Pemimpin Amanah

  • Uploaded by: kings
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pemimpin Amanah as PDF for free.

More details

  • Words: 46,002
  • Pages: 192
Loading documents preview...
1

PEMIMPIN AMANAH Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi, M. Phil ________________________________________________________________________ Konon dulu pemimpin atau raja-raja pada abad Pertengahan di Barat adalah seorang bishop. Pemimpin politik adalah agamawan. Mereka dipilih setelah diketahui umum bahwa mereka berasal dari tujuh turunan keluarga yang tidak cacat moral. Namun, hingga abad 19 kreteria pemimpin seperti itu mulai pudar sehingga sulit diperoleh. Tidak ada lagi pemimpin bermoral bishop dan tidak ada bishop berkualitas politisi. Agama dan politik pun bercerai. Sejalan dengan denigrasi agama di abad sekuler dan boleh jadi dipicu oleh pikiran Niccolò Machiavelli (1469–1527) abad 19 dianggap awal pencarian kriteria pemimpin ideal tanpa faktor agama. Thomas Carlyle, misalnya, menulis buku Heroes and Hero Worship (1841) untuk mengidentifikas bakat, skill dan ciri-ciri fisik orang yang menjadi penguasa. Francis Galton dalam bukunya Hereditary Genius (1869) menguji kualitas pemimpin pada keluarga-keluarga orang berpengaruh. Ia menemukan bahwa keluarga pemimpin berbakat pemimpin. Artinya pemimpin itu dilahirkan. Namun, ini dibantah oleh teori Cecil Rhodes (1853-1902) yang masih percaya bahwa karakter dan instink peimimpin itu bisa dididik. Tapi sekalipun karakteristik pemimpin ditemukan (tahun 1940-an) namun suatu kriteria tidak bisa berlaku untuk semua jenis masyarakat. Untuk itu para pakar menggunakan teori yang telah dirintis oleh McGrath (1962) teori Functional Leadership Model. Pemimpin ini dipilih sesuai dengan yang dikehendaki rakyat atau organisasi yaitu untuk melayani. Pada abad yang sama Bernard Bass (1978) mengembangkan teori yang disebut Transactional dan transformational leadership. Yang pertama adalah pemimpin yang diberi kekuasaan oleh kelompok atau rakyat untuk mengerjakan suatu tugas tertentu. kedua adalah pemimpin yang visioner yang bertugas menstimulasi dan menanamkan visi kepada rakyat. Bagaimanapun teori tentang kepemiminan hingga abad 21 ini masih gagal menemukan rumusan sifat-sifat ideal seorang pemimpin.

2

Kini sering terjadi tiba-tiba seorang pemimpin muncul atau terpilih diluar kriteria pemimpin. Politik dan politisi kini menjadi pemilik criteria, bukan pakar. Intelektualitas, nilai-nilai, kecakapan sosial, kepakaran dan kecakapan dalam problem solving dan mungkin juga kenegarawanan seiringkali absen dari diri pemimpin terpilih. Kepentingan politik pun berada didepan sebagai penentu. Maka mungkin putus asa dengan criteria ideal pemimpin, Oxford School Leadership menemukan teori baru kepemimpinan yang disebut Neo-emergent theory. Dalam teori dianggap paling mutakhir ini pemimpin itu dipromosikan oleh informasi yang diciptakan oleh stakeholdernya melalui media masa atau media social. Namun yang dipromosikan bukan karakter sesungguhnya dari pemimpin yang diinginkan, tapi untuk mengangkat popularitas dan elektabilitas. Teori ini digambarkan sebagai berikut: “the press, blogs and other sources report their own views of leaders, which may be based on reality, but may also be based on a political command, a payment, or an inherent interest of the author, media, or leader. Therefore, one can argue that the perception of all leaders is created and in fact does not reflect their true leadership qualities at all.” Teori Neo-emergent itu mungkin bisa disebut teori pencitraan atau pemimpin ala media masa atau social (sosmed). Demokrasi bisa berubah menjadi mediakrasi (kuasa media). Media pun sudah dibawah petunjuk kekuatan politik, pemodal, konglomerat dan sebangsanya. Logika postmodern memang tidak lagi memakai sillogisme, tapi bahasa dan makna penentu segalanya. Maka tidak heran Akbar S Ahmed menyimpulkan bahwa ide-ide postmodernisme dipicu oleh media. Media bisa bermain-main dengan makna. Koruptor bisa tiba-tiba menjadi pelopor. Culas bisa menjadi lugas dan tegas. Tukang maki menjadi pemimpin bernyali. Pakar barter menjadi berkarakter dan sebagainya. Logika bahasa Postmodern dalam media diracik dengan faham humanisme menghasilkan pemimpin yang unik. Pemimpin yang keras meledak-ledak, aneh-aneh dan dianggap gila itu pemimpin berkarakter. Berkarakter dianggap bermoral dan berakhlaq.

3

Kata character sendiri bermasalah sebab ia sifat yang dimainkan seorang aktor dalam sebuah sandiwara, drama atau lakonan. Berkarakter bisa diartikan ber “peran” dan bukan suatu sifat yang melekat erat dalam diri. Sifat inilah yang diletakkan oleh media kepada seseorang yang akan didaulat sebagai pemimpin. Bahkan bermoral pun bermasalah pula. Dalam Oxford English Dictionary moral adalah perilaku baik-buruk. Standar baik buruk itu bersumber dari kesepakatan manusia (human convention). Bahkan apa yang disebut “hukum moral” atau dharma dalam agama Hindu juga berasal dari kebiasaan sosial. Maknanya moral dan etika menjadi longgar. Jadi ber-moral artinya berperilaku sesuai dengan aturan masyarakat, dan tidak selalu religius. Kata akhlaq serumpun dengan khalaqa (menciptakan). Artinya adalah sifat jiwa yang melekat (malakah) dalam diri seseorang sesuai dengan asal mula diciptakannya (ahsanu taqwim). Jiwa manusia itu diciptakan Allah dengan fitrah-Nya (fitratallah alliti fatarannas alaiha). Maka ber-akhlaq adalah berfikir, berkehendak dan berplerilaku sesuai dengan fitrah (nurani) nya. Fitrah seseorang itu adalah bertuhan, beragama dan tentu berislam. Seorang yang tidak percaya kepada Tuhan mustahil bisa berbuat adil. Sebab kekafiran sendiri sudah merupakan kezaliman pada diri sendiri. Jika seorang kafir merasa lebih baik dari penganut agama hanya karena tidak korupsi, akan orang baik tapi penipu, pemeras, pezina, pembunuh dan bahkan penentang Tuhan. Pemimpin yang tegas, keras menindak pelanggaran, berani dengan siapapun yang dianggap salah, berani mengambil resiko dan sebagainya boleh saja dianggap berkarakter. Tapi ketika ia membolehkan perjudian, pelacuran, menuman keras sebagai sumber APBD, dan berani mencemooh ulama yang tidak setuju dengannya ia sudah tidak ber-akhlaq, meskipun tetap berkarakter. Matrik pemimpin berakhlaq bukan lagi manusia, tapi Tuhan melalui agama. Puncak berakhlaq adalah bersikap adil terhadap Tuhan dan terhadap manusia. Artinya meletakkan dirinya sebagai hambaNya, beribadah, berbuat baik karena dan atas petunjuk Tuhan. Adil

4

terhadap manusia adalah membimbing, memperlakukan dan mengatur manusia agar terjaga hartanya, jiwanya, akalnya, keluarganya dan terakhir agamanya. Jadi untuk menyelesaikan persoalan bangsa secara komprehensif tidak ada jalan lain kecuali kita letakkan agama untuk menjaga kemaslahatan manusia dan kita sujudkan maslahat manusia untuk Tuhan. Maka dari itu perbuatan, perkataan dan pikiran pemimpin, kata Umar bin Khattab, harus sama. Itulah amanah. Jika tidak maka dia khianat dan pengkhianatan paling keji, manurut Ali bin Abi Thalib adalah pengkhianatan pemimpin.

5

Filsafat Islam : Antara Ilmuwan Muslim dan Orentalis Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi _________________________________________________________________________

Jika di abad 9-13 M orang menyebut kata falsafah, maka asosiasinya pasti tertuju pada al-Masysya’un atau Muslim paripatetik. Sebab para mutakallimun dan fuqaha tahu kata falsafah (filsafat) merupakan Arabisasi dari kata philosophia. Selain itu para ulama seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd dsb., jelas telah berinteraksi dan menimba ilmu dari khazanah filsafat Yunani dengan tujuan untuk memformulasikan filsafat Islam. Namun, para orientalis menyimpulkan bahwa dalam Islam tidak ada filsafat. Jadi bagaimanakah asal usul dan hakekat filsafat Islam itu? Terdapat tiga pandangan berbeda terdahap filsafat Islam. Pertama, mereka yang yakin bahwa tidak ada filsafat Islam, yang ada hanyalah filsafat Yunani yang nama dan substansinya telah di Arabkan. Kedua, mereka menolak sama sekali adanya filsafat dalam Islam, karena berfilsafat itu haram hukumnya. Ketiga, mereka yang berpegang bahwa filsafat Islam itu berasal dari al-Qur’an dan diperkaya oleh filsafat Yunani. Yang pertama diwakili oleh orientalis, yang kedua oleh para fuqaha dan muhaddithin dan ketiga adalah ilmuwan Muslim masa kini. Disini hanya akan dibahas pandangan pertama dan ketiga. Alasan menafikan adanya filsafat Islam dari orientalis bersumber dari arti dan sejarah filsafat Islam. Peter FE misalnya, melihat sumber filsafat Islam hanya dari Yunani. Kajiannya menyimpulakan bahwa “dalam Islam tidak ada filsafat”, bahkan Ilmu Kalam sekalipun ia anggap sebagai “saudara tiri” filsafat yang juga berasal sumber yang sama yaitu Yunani (the stepsisters borne by the same mother). Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Professor Ueberweg dalam bukunya History of Philosophy vol. i, (hal. 405), bahwa seluruh filsafat Arab hanyalah Aristotelianisme yang dikembangkan kurang lebih dengan konsep-konsep Neo-Platonik. Jadi filsafat Islam berasal dari Yunani, baik nama maupun isinya.

6

De Boer juga melihat dari sisi sejarah. Katanya “Islam datang ke dunia ini tanpa filsafat”, sebab, katanya, pada abad pertama masyarakat Islam tidak mempunyai kesadaran akan metode atau sistim. Jadi filsafat Islam hanyalah hasil asimilasi dan bukan asli dari Islam. Tidak aneh jika bukunya The History of Philosophy in Islam membahas secara berlebihan Sains Yunani dan Wisdom dari Timur, sekedar untuk menunjukkan ketidakaslian filsafat Islam. Sama dengan De Boer, Gustave E von Grunebaum berasumsi bahwa dalam Islam tidak ada pemikiran rasional, konsep-konsep dan prinsip klassifikasi, oleh karena itu semua itu pasti diambil dari Yunani. Pandangan ekstrim ini tentu berdasarkan pengetahuan yang parsial tentang Islam. Asumsi bahwa dalam Islam tidak ada sesuatu yang rasional juga datang dari M.W.Watt, Joseph van Ess dan Michael Cook. Mereka bahkan menuduh ilmu Kalam yang menggunakan argumentasi rasional itu, memperkenalkan dan mendiskusikan konsepkonsep non-Qur’ani, yang kebanyakan diambil dari filsafat dan sains Yunani atau dari teks Syriac. Tapi, para orientalis itu hanya berasumsi dan mengakui bahwa itu semua masih harus dibuktikan. Padahal ilmu sanad dan klassifikasi hadith, misalnya, tidak pernah terbukti berasal dari Yunani. Dalam buku A History of Philosophical System, Edward J. Jurji menulis artikel berjudul Arabic and Islamic Philosophy. Dalam artikel itu ia mengakui adanya sumbangan peradaban Arab-Islam kepada peradaban Barat Baru (New West). Meskipun demikian ia dengan tegas menyatakan bahwa itu semua tidak berasal dari jazirah Arab, tapi dari Yunani. Sebab sebelum orang-orang Arab itu berhubungan dengan bangsa Syria, Yahudi dan Iran, mereka berwawasan sempit (narrow horizon). Orang Muslim, pada abad ke 7 M, katanya, mustahil bisa faham arti logika dan filsafat Yunani. Kemampuan mereka dalam disiplin filsafat baru muncul setelah orang-orang Kristen dan Yahudi mengungguli mereka. Pernyataan Edward sebenarnya bertentangan dengan temuan Peter yang menemukan fakta bahwa orang Kristen tidak bisa menyelesaikan terjemahan Organon karya Aristotle karena khawatir akan membahayakan keimanan mereka. Bagi Muslim ini tidak masalah. Ini berarti mereka tidak mampu menyerap logika Yunani yang canggih (baca sophisticated) karena miskinnya mekanisme untuk menghasilkan kerangka konsep 7

keilmuan (scientific conceptual scheme) dalam pandangan hidup mereka. Jadi kalau fakta yang dikemukakan Peter ini dipahami dalam perspektif pandangan hidup (worldview) Islam, asumsi Edward tidak bisa dipertahankan lagi. Malah asumsi itu bisa menjadi terbalik yaitu bahwa kerangka konsep keilmuan Barat itu muncul hanya setelah mereka bersentuhan dengan peradaban Muslim yang berdasarkan pada pandangan hidup yang canggih. Akibat dari cara pandang ini nampak dalam framework kajian mereka. Sudah dapat dipastikan bahwa hampir seluruh buku sejarah filsafat Islam, atau artikel tentang filsafat Islam dimulai dari tokoh yang bernama al-Kindi. Sebab al-Kindi dianggap cendekiawan Muslim yang pertama kali bersentuhan dengan filsafat Yunani. Logikanya, sebelum alKindi tidak ada filsafat Islam. Dan orang-orang yang menyerang filsafat Yunani seperti alGhazzali, Fakhr al-Din al-Razi dan lain-lain tidak disebut filosof. Mungkin agak sedikit obyektif, dan bisa mewakili pandangan ketiga adalah Michael Marmura (dalam Encyclopedia of Religion) dan Oliver Leaman. Menurut Marmura para filosof Muslim itu tidak hanya menerima ide-ide Yunani yang mereka terjemahkan, mereka menyeleksi, mengolah dan merubah konsep-konsepnya untuk membentuk filsafat mereka sendiri. Pengakuan Marmura sangat tepat, sebab tidak semua konsep Yunani diterima oleh Muslim. Ada proses seleksi, pemurnian, modifikasi dan reformulasi konsep. Faktanya memang penterjemah dari kalangan Kristen seperti Hunayn Ibn Ishaq (m.873), Thabit in Qurra (m.901), Yahya ibn Adi (m.974) dsb. adalah penerjemah bayaran. Sesudah proses penterjemahan, tidak lagi punya peran apa-apa. Para cendekiawan dan filosof Muslim lah yang kemudian mengolahnya dalam bentuk komentar, penjelasan, adapsi dan tentu Islamisasi konsep-konsep pentingnya. Pendapat Marmura ini dikuatkan oleh Sabra, yaitu bahwa istilah Yunani “philosophia” yang di Arabkan menjadi falsafah justru menunjukkan tanda keberhasilan naturalisasi filsafat Yunani kedalam millieu Islam.

8

Bahkan menurut C.A.Qadir, penulis buku Philosophy and Science in The Islamic World, sumber aspirasi asli dan riel para pemikir Muslim adalah al-Qur’an dan Hadith. Pemikiran Yunani hanyalah pembuka jalan. Muslim berhutang pada Yunani dan pada saat yang sama menyimpang dari Yunani. Dalam masalah Tuhan, manusia dan alam semesta para pemikir Muslim memiliki konsep mereka sendiri yang justru tidak terdapat dalam pemikiran Yunani. Oleh sebab itu MM Sharif dalam A History of Muslim Philosophy mengibaratkan pemikiran Islam dan Muslim sebagai kain sedangkan pemikiran Yunani sebagai sulaman, “meskipun sulaman itu dari emas, kita hendaknya jangan menganggap sulaman itu sebagai kain”. Bagi Iqbal semangat Islam adalah anti-klasik, maksudnya adalah anti-Yunani. Seyyed Hossein Nasr secara metaforis menyatakan bahwa Aristotle telah dikirim kembali ketempat asalnya di Barat, bersamaan dengan Averroes, murid terbesarnya. Meskipun begitu Nasr menyadari bahwa dalam filsafat terdapat unsur-unsur Yunani. Hanya saja ketika unsur-unsurnya yang sesuai dengan semangat Islam itu diintegrasikan kedalam peradaban Islam, ia menjadi Islami. Jika para orientalis diatas begitu ekstrim mengklaim filsafat Islam sepenuhnya berasal dari Yunani. Oliver Leaman dalam bukunya An Introduction to Medieval Islamic Philosophy mengakui bahwa Usul Fiqih memiliki peran penting dalam melahirkan filsafat dalam Islam. Ini nampaknya dikaitkan dengan tradisi qiyas dalam fiqih yang sangat rasional dan hampir mirip dengan syllogisme Aristotle. Bukan hanya itu kenyataannya dalam al-Qur’an memang telah terdapat elemen metafisika, seperti konsep Tuhan, alam ghaib, hari akhir, prinsip akhlaq, ilmu, iman dsb. Dari elemen ini saja sudah dapat disimpulkan bahwa filsafat telah ada sebelum bersentuhan dengan Yunani. Realitas ini digambarkan oleh Oliver Leaman dengan cerdas sekali bahwa filsafat Islam muncul dalam teologi Islam dan tanpa kaitan langsung dengan filsafat Yunani (philosophy arose in Islamic theology and was without any direct contact with Greek philosophy).

9

Lebih dari itu, dalam Islam sendiri terdapat istilah hikmah. Hikmah sepadan dengan kata sophy atau sophia. Dikalangan masyarakat Muslim tradisional filsafat masih dipahami sebagai Íikmah yang berkaitan dengan para Nabi dan para wali. Bahkan, menurut SH.Nasr, banyak orang yang tidak sadar bahwa wujud filsafat dalam Islam bisa ditemukan dalam ilmu-ilmu Islam seperti Tafsir, Hadith, KalÉm, UsËl al-Fiqh, Tasawwuf dan sudah tentu ilmu-ilmu alam dan mathematika, yang memiliki akar secara mendasar dalam al-Qur’an, sumber hikmah itu sendiri. Qadir dengan ringan menyatakan bahwa yang sebenarnya terjadi adalah bahwa Íikmah dalam Islam telah menemukan sparing-partner-nya untuk berkembang. Jadi, jika Muslim masih memahami arti filsafat Islam sebagai pengetahuan asing dan haram, maka ia tidak dapat menciptakan disiplin ilmu baru dalam Islam. Dan jika Muslim masih menganggap filsafat Islam adalah murni berasal dari Yunani maka berfikirnya set back ke abad ke 10. Padahal pada abad ke 13 saja istilah “falsafah” sudah dapat diterima jika unsur-unsurnya yang bertentangan dengan Islam dihilangkan. Ibn Taymiyyah, (MinhÉj al-Sunnah, I. ed.Rasyad Salim, hal 261) juga tidak keberatan dengan istilah falsafah ini, asal ditambah dengan predikat al-sahihah, yaitu pengetahuan tentang Wujud.

10

RELIGIOUS - HUMANIS Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi

“Percuma menjadi religius kalau tidak manusiawi”, “Daripada beragama tapi jahat lebih baik berperikemanusiaan meski tidak beragama”. Itulah logika geram para pembenci agama dan pengusung humanisme. Logikanya begitu humanis tapi justru seperti ateis. Dan ternyata “jimat” atau aji-aji pamungkas orang sekular-liberal dan bahkan ateis untuk menyerang agama adalah dalih humanisme. Sejarahnya, memang di Barat telah terjadi perubahan orientasi masyarakat dari teosentris (Tuhan sebagai pusat) menjadi antroposentris (manusia sebagai pusat). Perubahan itu dianggap sangat revolusioner yang selalu mengiringi perjalanan kebudayaan Barat modern hingga postmodern. Argumentasi mereka begitu mudah diterima. Dengan doktrin empirisisme Tuhan dianggap tidak riil, sedangkan manusia begitu riil dan kasat mata. Membela Tuhan, mementingkan Tuhan, menghormati Tuhan atau menyucikan Tuhan dianggap sia-sia dan tidak ada gunanya. Dalilnya “Tuhan tidak perlu dibela karena sudah Maha Kuasa”. Seperti membela Tuhan tapi sejatinya membuka jalan bagi blasphemy. Bukti orientasi antroposentrisme sudah terwakili oleh doktrin kematian Tuhan ala Nietzsche. Dari situ penistaan agama, Tuhan dan kebenaran menjadi absah. Tapi benih yang ditabur Nietzsche tahun 1948 telah menjadi buah masak yang berbentuk Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Ini adalah standarisasi kemanusiaan yang formal dan disepakati banyak Negara pendukung humanisme. Maka dari itu hak-hak asasi manusia benar-benar dominan dan agama-agama tidak lagi diberi ruang.

11

Karena penyusunan Deklarasi ini tidak melibatkan agama-agama maka banyak hal yang menjadikannya tidak universal. Terbukti banyak agama yang tidak puas. Pada bulan Juli tahun 1993 di New York diadakan Peluncuran acara Project on Religion and Human Right. Acara ini merupakan reaksi agama-agama terhadap DUHAM dan merupakan prakarsa untuk merevisinya. Bukan hanya itu, pada ulang tahun ke 50 DUHAM dan ulang tahun ke 50 Fakultas Religious Studies universitas McGill, Montreal, Canada, upaya merevisi DUHAM itu pun terulang lagi. Revisi itu menghasilkan dokumen yang disebut Universal Deklaration of Human Right by the World Religions. Setelah itu berturut-turut acara saling merevisi berlanjut di berbagai tempat seperti di California, New York, Durban, Barcelona, Paris dan Terakhir di Genting Highland, Malaysia pada bulan November 2002. Anehnya, acara ini disaksikan oleh pihak UNESCO. Resmilah sudah bukti perseteruan antara kaum humanis dan kaum religius. Terpisah dari respon agama-agama, di kalangan umat Islam Negara-negara Islam seperti Sudan, Iran, Saudi Arabia, Mesir dan sebagainya, juga turut menyadari dominasi humanisme dalam DUHAM. Mereka menganggap DUHAM gagal memasukkan pertimbangan konteks kultural dan religius dari Negara-negara non-Barat. Utusan Negara Iran di PBB tahun 1981, Said Rajaie-Khorassani malah menyatakan bahwa “DUHAM adalah hasil pemahaman sekuler dari tradisi Yahudi Kristen yang tidak dapat diterapkan kedalam Islam”. Tiga tahun lebih awal dari acara di New York, umat Islam mengeluarkan Deklarasi tandingan yang disebut Cairo Declaration on Human Rights in Islam (CDHRI). Deklarasi yang diadakan oleh Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada 5 Agustus 1990 ini diikuti 45 menlu Negara OKI. Intinya memberi gambaran hak-hak asasi manusia menurut Islam yang sumber satu-satunya adalah syariah Islam.

12

Jika logika sekuler, liberal dan ateis diatas benar, maka isi Deklarasi Cairo itu mestinya hanya menyucikan Tuhan belaka dan menginjak-injak kemanusiaan. Tapi ternyata tidak dan logika sekuler liberal ateis itu salah. Bahkan deklarasi Cairo itu tidak eksklusif untuk umat Islam. Dalam salah satu pasalnya mencatatkan “Diskriminasi berdasarkan ras, warna, bahasa, kepercayaan, seks, agama, afiliasi politik, status sosial atau pertimbangan lainnya adalah dilarang”. Bahkan perlindungan jiwa manusia adalah kewajiban syariat. Maka dalam situasi perang, mereka yang tidak terlibat perang seperti orang tua, wanita dan anak-anak, yang terluka, sakit dan juga tawanan perang, berhak untuk diberi makan, tempat tinggal dan keamanan serta pelayanan kesehatan. CDHRI juga memberikan hak kepada laki-laki dan wanita untuk menikah tanpa mempertimbangkan ras, warna kulit atau kebangsaan, tapi tetap mempertimbangkan agama. Selain itu wanita juga diberi penghargaan dan penghormatan yang sama sebagai manusia, hak untuk menjalankan pekerjaannya, hak-hak sipil, kemandirian finansial, dan hak untuk mempertahankan nama dan kekeluargaannya, meski tidak sama dalam segala hal. Dalam pasal ke 10 disebutkan bahwa Islam adalah agama yang sempurna. Melakukan segala bentuk pemaksaan terhadap manusia atau mengeksploitir kemiskinan atau kebodohan untuk mengonversikan seseorang dari satu agama ke agama lain atau ateisme adalah dilarang. Masih banyak lagi pasal-pasal yang membela manusia, tapi tidak serta merta menistakan agama apalagi Tuhan. Baca misalnya pasal 22 yang berbunyi: a) Setiap orang memiliki hak untuk mengekspresikan pendapatnya secara bebas dengan cara yang tidak akan bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. b) Setiap orang berhak untuk membela yang benar, dan mendakwahkan yang baik, serta memperingatkan hal-hal yang salah dan mungkar sesuai dengan norma-norma syariah Islam.

13

c) Informasi adalah kebutuhan vital bagi masyarakat. Ia tidak boleh dieksploitir atau disalahgunakan

sehingga

menodai

kesucian

dan

penghormatan

terhadap

Nabi,

merendahkan nilai-nilai moral dan etika, atau memecah, merusak atau membahayakan masyarakat atau melemahkan keimanan. d) Memicu kebencian yang bersumber dari kebangsaan atau doktrin keagamaan atau melakukan sesuatu yang mungkin memprovokasi segala bentuk diskriminasi ras adalah dilarang. Dari pasal 22 diatas terbukti bahwa memberi tempat pada agama tidak berarti menistakan manusia. Sebab syariah adalah sumber segala perlakuan terhadap manusia, Dalam syariah terdapat maslahat yang telah didesain oleh Tuhan melalui wahyu. Tapi tidak semua yang dianggap maslahat manusia dapat dibenarkan syariat. Pelacuran, homoseks, lesbianisme, nikah beda agama bagi pembenci agama adalah maslahat, tapi tidak dibenarkan syariat. Jadi logikanya yang benar semakin religius seseorang justru ia semakin manusiawi, tapi semakin humanis seseorang justru semakin ateis. Innal insana layatgha an ra’ahustaghna.

14

KEBENARAN Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi

“Semua adalah relatif” (All is relative) merupakan slogan generasi zaman postmodern di Barat, kata Michael Fackerell, seorang misionaris asal Amerika. Ia bagaikan firman tanpa tuhan, dan sabda tanpa Nabi. Menyerupai undang-undang, tapi tanpa penguasa. Tepatnya doktrin ideologis, tapi tanpa partai. Slogan itu memang enak didengar dan menjanjikan kenikmatan syahwat manusiawi. Baik buruk, salah benar, porno tidak porno, sopan tidak sopan, bahkan dosa tidak dosa adalah nisbi belaka. Artinya tergantung siapa yang menilainya. Slogan relativisme ini sebenarnya lahir dari kebencian. Kebencian Pemikir Barat modern terhadap agama. Benci terhadap sesuatu yang mutlak dan mengikat. Generasi postmodernis pun mewarisi kebencian ini. Tapi semua orang tahu, kebencian tidak pernah bisa menghasilkan kearifan dan kebenaran. Bahkan persahabatan dan persaudaraan tidak selalu bisa kompromi dengan kebenaran. Aristotle rela memilih kebenaran daripada persahabatan. Tidak puas dengan sekedar membenci, selanjutnya postmodernisme ingin menguasai agama-agama. “Untuk menjadi wasit tidak perlu menjadi pemain” itu mungkin logikanya. Untuk menguasai agama tidak perlu beragama. Itulah sebabnya mereka membuat “teologi-teologi” baru yang mengikat. Kini teologi dihadapkan dengan psudo-teologi. Agama diadu dengan ideologi. Doktrin “teologi” pluralisme agama berada diatas agama-agama. “Global Theology” dan Transcendent Unity of Religions mulai dijual bebas. Agar nama Tuhan juga menjadi global diciptakanlah nama “tuhan baru” yakni The One,

Tuhan

semua

agama.

Tapi

bagaimana

konsepnya,

tidak

jelas

betul.

Bukan hanya itu “Semua adalah relatif” kemudian menjadi sebuah kerangka berpikir. “Berpikirlah yang benar, tapi jangan merasa benar”, sebab kebenaran itu relatif. “Jangan terlalu lantang bicara tentang kebenaran, dan jangan menegur kesalahan”, karena kebenaran itu relatif. “Benar bagi anda belum tentu benar bagi kami”, semua adalah relatif. Kalau 15

anda mengimani sesuatu jangan terlalu yakin keimanan anda benar, iman orang lain mungkin juga benar. Intinya semua diarahkan agar tidak merasa pasti tentang kebenaran. Kata bijak Abraham Lincoln, “No one has the right to choose to do what is wrong”, tentu tidak sesuai dengan kerangka berpikir ini. Hadis Nabi Idha ra’a minkum munkaran… dan seterusnya bukan hanya menyalahi kerangka pikir ini, tapi justru menambah kriteria Islam sebagai agama jahat (evil religion) versi Charles Kimbal. Jadi, merasa benar menjadi seperti “makruh” dan merasa benar sendiri tentu “haram”. Para artis dan selebriti negeri ini pun ikut menikmati slogan ini. Dengan penuh emosi dan marah ada yang berteriak “Semuanya benar dan harus dihormati”. Yang membuka aurat dan yang menutup sama baiknya. Confusing! . Entah sadar atau tidak mereka sedang men“dakwah”kan ayat-ayat setan Nietzsche tokoh postmodernisme dan nihilisme. “Kalau anda mengklaim sesuatu itu benar orang lain juga berhak mengklaim itu salah” kata Nietzsche. Kalau anda merasa agama anda benar, orang lain berhak mengatakan agama anda salah. Para cendekiawan Muslim pun punya profesi baru, yaitu membuka pintu surga Tuhan untuk pemeluk semua agama. “Surga Tuhan terlalu sempit kalau hanya untuk umat Islam”, kata mereka. Seakan sudah mengukur diameter surga Allah dan malah mendahului iradat Allah. Mereka bicara seperti atas nama Tuhan. Slogan “Semua adalah relatif” kemudian diarahkan menjadi kesimpulan “Disana tidak ada kebenaran mutlak” (There exists no Absolute Truth)”. Kebenaran, moralitas, nilai dan lain-lain adalah relatif belaka. Tapi karena asalnya adalah kebencian maka ia menjadi tidak logis. Kalau anda mengatakan “Tidak ada kebenaran mutlak” maka kata-kata anda itu sendiri sudah mutlak, padahal anda mengatakan semua relatif. Kalau anda mengatakan “Semua adalah relatif” atau “Semua kebenaran adalah relatif” maka pernyataan anda itu juga relatif alias tidak absolute. Kalau “Semua adalah relatif” maka yang mengatakan “Disana ada kebenaran mutlak” sama benarnya dengan yang menyatakan “Disana tidak ada kebenaran mutlak”. Tapi ini selfcontradictory yang absurd. Menghapus kepercayaan pada kebenaran mutlak ternyata bukan mudah.

16

Di negeri liberal seperti Amerika Serikat sendiri 70% Kristen misionaris dan 27% ateis dan agnostik percaya pada kebenaran mutlak. Bahkan 38% warga Negara dewasanya percaya pada kebenaran mutlak. (Seperti dilaporkan William Lobdell di the Los Angeles Times dari hasil penelitian Barna Research Group). Karena itu doktrin postmo pun berubah: “Anda boleh percaya yang absolute asal tidak mencoba memaksakan kepercayaan anda pada orang lain”. Artinya tidak ada siapapun yang boleh menyalahkan siapa dan melarang siapa. Tapi pernyataan ini sendiri telah melarang orang lain. Bagi kalangan Katholik di Barat ini adalah sikap pengecut, pemalas dan bahkan hipokrit. Bagi kita pernyataan ini menghapuskan amar ma’ruf nahi munkar. Slogan “Semua adalah relatif” pun menemukan alasan baru “Yang absolute hanyalah Tuhan”. Aromanya seperti Islami, tapi sejatinya malah menjebak. Mulanya seperti berkaitan dengan masalah ontologi. Selain Tuhan adalah relatif (mumkin al-wujud). Tapi ternyata dibawa kepada persoalan epistemologi. Al-Qur’an yang diwahyukan dalam bahasa manusia (Arab), Hadis yang disabdakan Nabi, ijtihad ulama dan sebagainya adalah relatif belaka. Tidak absolute. Sebab semua dihasilkan dalam ruang dan waktu manusia yang menyejarah. Padahal Allah berfirman alhaqq min rabbika (dari Tuhanmu) bukan ‘inda rabbika (pada Tuhanmu). “Dari Tuhanmu” berarti berasal dari sana dan sudah berada disini di masa kini dalam ruang dan waktu kehidupan manusia. Yang manusiawi dan menyejarah sebenarnya bisa mutlak. Thomas F. Wall, penulis buku Thinking Critically About Philosophical Problem, menyatakan percaya pada Tuhan yang mutlak berarti percaya bahwa nilai-nilai moral manusia itu dari Tuhan. Demikian sebaliknya kalau kita tidak percaya Tuhan (hal. 60). Jika ada yang percaya bahwa nilai moral manusia itu adalah kesepakatan manusia tentu ia tidak percaya pada yang mutlak. “Semua adalah relatif” bisa berarti semua tidak ada yang tahu Tuhan yang mutlak dan kebenaran firmanNya yang mutlak. Jika begitu benarlah pepatah para hukama’ al-Nas a‘da’ ma jahilu (Manusia itu musuh bagi apa yang tidak diketahuinya).

17

SYAHWAT PIKIRAN Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi ________________________________________________________________________

Orang berzina, membunuh, mencuri itu karena syahwat. Orang korupsi, merampok, memanipulasi itu karena dorongan syahwat. Ada pula orang berbeda pendapat dan berselisih hingga bermusuhan karena syahwat. Bahkan boleh jadi ada orang bertausiyah, menyalahkan orang lain dengan penuh syahwat. Syahwat adalah nafsu atau hawa nafsu yang dimiliki oleh manusia tapi juga dimiliki oleh hewan. Namun Allah swt memberi manusia syahwat, tapi juga memberinya akal dan ilmu. Dengan akal, syahwat manusia akan membawa kepada kebaikan. Namun tanpa akal dan ilmu syahwat akan menyesatkan. Orang sesat karena menggunakanhawa nafsunya tanpa akal dan ilmu sehingga tidak dapat ditolong (QS al-Rum 29). Maka barangsiapa yang akalnya mengikuti syahwatnya maka ia akan sesat, bahkan lebih sesat dari binatang. Namun jika syahwatnya mengikuti atau dipimpin oleh akalnya maka boleh jadi ia lebih mulia dari Malaikat. Maka ketika seorang sedang berzina, memperkosa, membunuh dan mencuri, sesungguhnya ia sedang dipimpin syahwatnya dan kehilangan imannya. Karena meninggalknan imannya maka ia kehilangan akalnya. Berarti seorang yang beriman itu adalah orang-orang yang cerdas menggunakan akalnya, sedangkan seorang pezina dan pencuri itu hilang akal sehingga menjadi bodoh dan derajatnya rendah serendah hewan. Namun, ada yang lebih berbahaya dari "syahwat yang menyesatkan pada perut dan kemaluan" yang juga dikhawatirkan oleh Rasulullah. Syahwat itu adalah hawa nafsu yang menyimpangkan dari jalan yang lurus." (H.RMuslim). Jalan lurus adalah Islam dan Iman. Apa dibuat menyimpang oleh hawa nafsu boleh jadi adalah pikiran seseorang. Terbukti tidak sedikit kasus dimana pemikir, ilmuwan, cendekiawan yang pikirannya dirasuki oleh syahwat atau hawa nafsunya. Pemikir seperti

18

ini bisa jadi menghujat agama, mencaci ulama, mencaci saudara seiman, mencari cari kesalahan orang lain dan sebagainya. Bagaimanakah syahwat bisa membuat pikiran menyimpang? Al- Qur'an menunjukkan bahwa karena syahwat hati seseorang itu terkunci. Padahal hati itu adalah juga akalnya. Karena syahwat pendengarannya dan penglihatannya terhalang (QS. AlJatsiyah: 23), walhal keduanya adalah sumber ilmu. Maka wajar jika syahwat dominan akal tidak lagi berfungsi dalam menentukan baik buruk. Selain itu dalam Islam yang dilarang bukan berfikir rasional atau menggunakan akal, tapi berfikir yang mengikuti syahwat. Sebab mengikuti hawa nafsu … akan menyesatkan manusia dari jalan Allah.." (QS. Shaad: 26). Ini sebenarnya suatu tindak ketidak adilan dalam diri seseorang. Yaitu suatu tindakan meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Orang yang melakukan tindakan seperti ini tentu bukan orang yang dapat disebut adil. Orang seperti itu yang dilarang untuk dijadikan pemimpin dan ditaati. Firman Allah jelas sekali: "Dan janganlah engkau taati orang yang Kami lalaikan hatinya untuk mengingat Kami dan mengikuti hawa nafsunya dan keadaannya sudah melampaui batas". (QS.Al-Kahfi : 28). Mafhum mukhalafah ayat ini jelas. Ilmuwan dan pemimpin yang berhak ditaati manusia adalah orang yang hatinya dipenuhi dengan dzikir kepada- Nya. Pikirannya bisa menguasai hawa nafsunya sehingga ia mengetahui batas-batas kebebasan yang boleh dilakukan dan yang tidak. Untuk mengatasi ini Imam al- Ghazzali memberikan solusnya berupa kesabaran. Sabar dalam syahwat disebut iffah; sabar dari marah adalah al-hilmu; sabar dari kelebihan adalah al-zuhdu. Semua itu dapat diperoleh dengan tiga hal yaitu puasa, ibadah yang beratberat dan terakhir berdoa. Wallahul.musta'an.

Dimuat di Koran Republika, 16 Juni 2016. 19

Impor Ilmu Asing Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi _________________________________________________________________________

Dalam kitab Fihrist Ibn Nadim menceritakan, pada suatu hari al-Mamun, khalifah Abbasiyah ke VII, bermimpi. Disamping tempat tidurnya duduk persis seperti berhadaphadapan dengan sopan seorang berkulit putih berwajah kemerah-merahan, beralis tebal, berkepala setengah gundul. Dengan rasa terkejut al-Mamun bertanya: ”Siapa kamu?” “Saya Aristotle” Jawab orang itu. Ia terkesima tapi senang. Ia kemudian bertanya lagi: “Bolehkah saya bertanya sesuatu?” “Bertanyalah!”, Jawab Aristotle. “Apa itu kebaikan?” “Kebaikan adalah apa yang ada dalam pikiran” jelas Aristotle. Tidak cukup dengan jawaban itu ia bertanya lagi: ”Lalu apa lagi”? “Kebaikan itu apa yang baik dalam hukum” jawabnya “Lalu apa lagi”, Katanya “Kebaikan adalah apa yang baik untuk publik?” “Lalu apa lagi?”, Tanyanya “Lagi?”, Tanya Aristotle balik “Itu saja, tidak ada lagi”. Tapi sebenarnya dialog dalam mimpi al-Mamun belum berakhir disitu. Dalam riwayat lain masih ada fragmen dialog yang jarang disebut atau sengaja dihilangkan oleh orang-orang tertentu. Yang terakhir itu al-Mamun berkata: “Beritahu saya lagi sesuatu?” Aristotle lalu menjawab, “Siapapun yang memberi nasehat anda tentang emas, ambillah ia sebagai emas, tapi bagi anda yang penting adalah keesaan (Tuhan)”.

20

Mimpi boleh jadi hanya merupakan kegelisahan jiwa (waswasat al-nafs). Dapat pula merupakan isyarat dari langit. Sebab, sabda Nabi, mimpi adalah salah satu dari 46 pertanda kenabian. Al-Ghazzali bahkan menganggap mimpi bisa menjadi penghubung antara alam al-mulk dengan alam al-malakut. Jika mimpi al-Mamun termasuk kategori ini maka tabir kata-kata Aristotle itu bisa dijelaskan. Bahkan menurut Ibn Sirin al-Nablisi dan penafsir mimpi lainnya mimpi dapat di-tawil-kan secara ilmiah. Tawil-nya mungkin begini: Aristotle menganggap akal atau pikiran dan masyarakat sebagai sumber kebenaran. Aristotle tidak mengenal wahyu dan Yunani bukan tempat nabinabi diturunkan. Menganggapnya sebagai nabi juga mustahil. Nabi pasti membawa misi tauhid, sedangkan Aristotle tidak. Konsep Tuhannya, Unmoved-Mover (Penggerak yang tak tergerakkan) adalah hasil spekulasi pemikiran. Jumlahnya banyak, meskipun kualitasnya satu. Itu mungkin sebabnya mengapa dalam mimpi al-Mamun ia mengatakan “Bagi anda yang penting adalah keesaan Tuhan”. Konsep Tuhan Aristotle dan al-Mamun berbeda. Yang pasti Tuhan Aristotle tidak untuk disembah dan bukan pencipta yang aktif. Konsep Tuhan dalam Islam ditentukan oleh wahyu bukan akal. Meski Ibn Taymiyyah ataupun Ibn Tufayl menganggap fitrah manusia dapat menemukan Tuhan, tapi mereka percaya bahwa akal masih harus disempurnakan oleh wahyu (fitrah munazzalah). Apakah mimpi al-Mamun termasuk ruya uluhiah, wallahu alam. Yang jelas setelah mimpi itu al-Mamun memulai gerakan penerjemahan karya-karya Yunani, Persia, Sansekerta kuno dan lain-lain kedalam bahasa Arab. Ini proyek riil bukan mimpi. Inilah diantara gerakan yang menjadi pemicu berkembangnya peradaban Islam. Namun perlu dicatat bahwa peradaban Islam tidak berkembang hanya karena terjemahan karya-karya asing. Sebab umat Kristen Syriac juga tahu karya-karya Yunani, tapi tidak mampu berkembang seperti umat Islam saat itu.

21

Islam berkembang utamanya karena keunikan pandangan hidupnya. Karena pandangan hidupnya maka peradaban Islam menyerap atau meminjam unsur-unsur peradaban lain. Proses penyerapan atau pinjam meminjam dalam peradaban, kata Prof. Alparslan, adalah alami. Tapi meminjam bukan hanya menerjemahkan. Ada mekanisme dan proses ilmiah selanjutnya. M. Rekaya dalam The Encyclopedia of Islam menulis bahwa al-Mamun mengadopsi dan mengadapsi (adopted and adapted) khazanah pemikiran asing “according to the requirement of Islamic Civilization.” Inilah paparan singkat mekanisme dan proses meminjam konsep asing, Tidak lebih seabad dari proses adopsi konsep asing itu umat Islam telah mampu “menghasilkan karya asli.” Ini diakui William Mac Neil dalam karyanya The Rise of the West. Cara baru penggunaan angka-angka simbol matematik al-Khawarizmi, ensiklopedia kedokteran Abu Bakar al-Razi, sejarah dunia dari konsep penciptaan al-Thabari dan lainlain membuktikan hal itu. Bagi Thomas Brown, (The Oxford History of Medieval Europe) keberhasilan dan kekuatan umat Islam terletak pada kemampuan mereka mengembangkan “sintesa yang original dan kuat”. Rekaya benar, penerjemahan barulah proses adopsi. Sesudah itu diikuti oleh proses adapsi konseptual. Disinilah pandangan hidup Islam memainkan peran sentralnya. Konsep Tuhan, konsep hidup, konsep manusia, konsep dunia dan lain-lain, menjadi penapis konseptual. Penapisan konseptual terkadang memerlukan perubahan paradigma (paradigm shift). Jika demikian maka inilah yang dinamakan al-Attas sebagai proses Islamisasi. AlKindi, al-Farabi, Ibn Sina dan lain-lain mencoba mengislamkan berbagai konsep Yunani. Karena begitu kompleksnya konsep-konsep asing itu kekurangan terjadi disana sini. Itulah sebabnya mengapa al-Ghazzali merasa perlu menulis Tahafut al-Falasifah, dan Fakhr al-Din al-Razi perlu menulis Mathalib al-aliyah. Demikian seterusnya. Jika kini konsepkonsep yang dikembangkan al-Ashari, al-Ghazzali, al-Razi dan lain-lain diganti dengan konsep-konsep Immanuel Kant, Derrida, Emilio Betti, Paul Ricour dan sebagainya, maka kita justru akan set back ke periode adopsi konsep-konsep.

22

Lebih-lebih jika konsep-konsep sentral dalam pandangan hidup Islam juga digusur oleh konsep-konsep asing. Yang terjadi bukan Islamisasi konseptual tapi justru invitasi konsep-konsep asing tanpa koreksi dan kritik. Apakah salahnya “mengundang” konsep asing “ke rumah” kita? Apa salahnya menggunakan konsep asing? Memang tidak salah, asalkan tamu yang diundang tidak berubah menjadi tuan rumah. Dan asal konsep-konsep asing dengan kerancuan konseptualnya tidak dibiarkan tanpa koreksi. Pepatah kuno mengatakan Amici vitias si feras, facias tua, membiarkan kesalahan kawan tanpa koreksi berarti menjadikannya milik anda.

23

Kebebasan Memilih Oleh: Dr HamId Fahmy Zarkasyi _________________________________________________________________________

“Pilihlah Dengan Nurani Anda” adalah satu-satunya iklan atau kampanye pemilu yang paling menarik dan paling substansial bagi saya. Menarik karena ia tidak memihak pada partai atau calon presiden manapun. Substansial karena ia melibatkan hak asasi yang terdalam dari diri manusia. Pilihan tidak lagi dipengaruhi lagi oleh hingar-bingar kampanye dengan segala janji-janji politiknya. Pilihan lebih dipengaruhi oleh akal pikiran yang berkulminasi pada kehendak. Nurani jelas merupakan kata pinjaman dari Islam, yang akarnya adalah “nur”. Dalam kamus bahasa Melayu “nurani” diartikan bercahaya atau bersinar. Hati Nurani artinya hati yang bercahaya. Allah adalah cahaya langit dan bumi. Ia Maha Mengetahui. Ilmu yang diperoleh dari padaNya, kata Imam Syafi’i, adalah cahaya dan cahaya Allah tidak diberikan kepada pelaku maksiat. (al-ilm nur wa nur Allah la yuhda lil ‘asi) Oleh sebab itu dalam Islam konsep kebebasan memilih tidak sama dengan konsep “bebas” atau liberal atau freedom di Barat. Tidak seperti kata Cicero Libertas est potestas vivendi ut velis (Kebebasan adalah kemampuan seseorang untuk hidup dengan semaunya). Kata hurr atau hurriyyah, bebas atau kebebasan, juga bukan kata yang tepat untuk makna kebebasan dalam Islam. Sebab hurr digunakan untuk merujuk kepada status sesuatu atau seseorang yang diberi kebebasan seperti hamba, bekas tahanan dan lain-lain. Bukan kebebasan dalam konteks pikiran dan kehendak ditentukan oleh individu. Kebebasan dalam Islam tidak ada unsur pemaksaan seperti dalam medan semantik kata hurr. Kata yang tepat untuk ini dalam Islam adalah ikhtiyar, berasal dari akar kata khayr artinya baik. Kata ini sering diartikan berusaha, tapi sebenarnya berarti berusaha memilih yang terbaik.

24

Maka dari itu “tidak ada paksaan dalam agama” diteruskan dengan kata-kata “Qad tabayyana al-rushd min al-ghayyi” (Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari jalan yang sesat (Q.S. 2 : 256). Karena jalan yang benar telah ditunjukkan oleh ilmu agama yang rasional maka ikhtiyar atau memilih yang terbaik tidak mungkin dilakukan kecuali dengan ilmu. Ilmu tentang baik buruk. Bagi kaum sekuler baik-buruk ditentukan oleh akal atau kesepakatan masyarakat. Dalam Islam akal berada dibawah wahyu. Jadi ikhtiyar berbekal nilai atau ilmu tentang nilai baik buruk yang berasal dari agama. Pelaku maksiat tentu bukan orang yang memiliki nurani atau ilmu untuk memilih mana yang baik dan yang buruk. Ber-ikhtiyar memilih pemimpin atau kepala negara atau presiden hakekatnya sama saja. Kebebasan memilih harus berbekal ilmu tentang baik-buruknya calon yang akan dipilih. Peribahasa “Jangan membeli kucing dalam karung” artinya “Jangan memilih tanpa ilmu”. Memilih presiden adalah memilih pemimpin yang akan menentukan masa depan kita. Baik buruk masa depan kita ditentukan oleh pemimpin. Untuk mengetahui calon pemimpin yang baik, kita harus punya pengetahuan tentang visinya, kehidupan pribadinya, sikap

keberagamaannya,

sikap

kerakyatannya,

akhlaknya,

leadershipnya

dan

kemampuannya mengadakan perbaikan dalam berbagai sektor kehidupan kita. Jika akal kita tidak lagi mampu menentukan pilihan, kita tidak perlu pergi ke dukun atau tukang ramal. Islam mengajarkan sarana spiritual khusus untuk ber-ikhtiyar yaitu shalat istikharah (Memohon pilihan). Akar kata istikharah sama dengan ikhtiyar. Doanya begitu jelas “Saya mohon pilihan dengan ilmuMu dan dengan kekuasaanMu ……..jika engkau tahu jika perkara ini (calon ini, pilihan ini) baik bagiku, agamaku, kehidupanku, dan masa depanku, maka takdirkanlah, mudahkanlah, dan turunkanlah barakah kepadaku…”.

25

Artinya kita memohon agar cahaya ilmu Tuhan dipancarkan ke dalam hati kita. Cahaya itulah yang membelokkan hati (yuqallib al-qulub) kita ke arah pilihan yang benar. Memilih dengan nurani berarti memilih dengan hati yang bercahayakan ilmu Allah. Itulah sejatinya makna memilih dengan nurani. Jika telah tiba masa ber’azam untuk memilih maka pegangan terakhir adalah tawakkal.

26

Manhaj al-Fikri Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi _________________________________________________________________________

Ketika saya menulis thesis di Birmingham, Dr. David Thomas menasehati saya “kalau anda mau obyektif anda harus keluar dari (cara pandang) Islam”. Saya terkejut tapi tidak langsung menjawab, sebab dia temperamental. Pada temu-janji berikutnya saya baru menjawab “If I get out of Islamic framework I will be, epistemologically, no longer a Muslim”. Dia sekarang yang terperangah. Raut mukanya mendadak berubah, ia lalu tertawa ngakak, “ok..ok…forget it” katanya. Saya tidak mengerti mengapa sesingkat itu jawabannya. Tapi saya menangkap dia kurang percaya diri. Cara pandangnya dikotomis. Subyek dan obyek dipisahkan secara paksa. Agar bisa obyektif maka saya (subyek) harus memisahkan diri dari obyek. Memang dia sendiri, yang Katholik itu, dalam kuliah-kuliahnya, cenderung melihat sejarah Islam dari perspektif Kristen. Saya maklum. Tapi ketika dia sendiri memahami Kristen dari visi Kristen dia menjadi “curang”. Persoalannya adalah bagaimana dan dengan apa sesuatu itu dipahami. Soal cara memahami alumni pesantren modern mungkin tidak akan lupa prinsip altariqat ahammu min al-maddah (metode lebih penting dari materi). Dan guru lebih penting dari metode (al-mudarrisu ahammu min al- Tariqah). Pisau lebih penting dari mangga, tapi (keterampilan) pengupas lebih penting dari pisau. Itu prinsip bagaimana memahamkan sesuatu (pengajaran) di tingkat menengah. Di perguruan tinggi masalahnya bukan metode lagi, tapi metodologi. Bukan hanya pisau tapi pisau analisa, framework, manhaj atau cara pandang. Inilah sebenarnya inti nasehat David. Di tingkat menengah, jika metode atau tariqah gagal, murid tidak paham. Tapi di perguruan tinggi salah memilih framework atau manhaj membuat mahasiwa bingung kalau tidak tersesat. Prinsipnya mungkin berubah menjadi al-manhaj ahammu min al-maddah wa al-mudarris (framework lebih penting dari materi dan dosen).

27

Dalam kajian Islam suatu framework atau manhaj terkait pertama-tama dengan proses mencari, mencerna dan mengamalkan ilmu. Suatu “metabolisme” dalam nutrisi spiritual. Kualitas ilmu, cara mencari, sumber ilmu yang benar, penalaran yang betul, manfaat

yang

jelas

merupakan

sebagian

dari

bangunan

framework.

Jika ilmu itu cahaya al-haqq, seperti kata Waqi’ guru Imam Syafii, maka ilmu dan iman sumbernya sama. Siapa yang banyak ilmu mesti tebal imannya dan sebaliknya. Ia akan berilmu dengan imannya dan beriman dengan ilmunya. Pemikir mesti ahli zikir dan irama zikir harus sejalan dengan kerja pikir. (Ali Imran: 190-191). Karena cahaya itu dari Allah, maka alam pikiran Muslim merupakan refleksi Ilmu Ilahi. Alam pikiran Muslim membentuk miniatur alam semesta yang terstruktur (microcosmos). Pancaran pandangannya terhadap hidup dan kehidupan seluas pancaran cahaya pandangan hidup Islam (worldview). Itulah sebabnya mengapa Iqbal menyimpulkan Muslim tidak ditelan cakrawala seperti kafir, tapi justru menelannya. Alam pikiran Muslim yang diwarnai pandangan hidup Islam adalah framework. Jika alam pikiran manusia adalah framework, maka Alparslan Acikgenc benar “Setiap peradaban perlu framework” untuk memahami dirinya sendiri. Barat, India, Kristen, Islam dan sebagainya punya framework. Siapapun berhak memahami Islam, sebab Islam turun untuk umat manusia. Tapi, memahami Islam bukan hanya memahami data dan fakta sejarah. Framework kata Alparslan, tidak hanya berurusan dengan fakta dan data. Ia berkaitan dengan pendekatan metodologis. Artinya, bagaimana data dan fakta dalam peradaban Islam itu dipahami. Dalam Islam realitas (haqiqah) data dan fakta sebagai obyek kajian harus diselaraskan dengan realitas alam pikiran manusia (anfus), sebagai subyek yang mikrokosmis tersebut [Lihat Fussilat, 53].

28

Ini firman Tuhan. Karena itu realitas alam pikiran Muslim bersifat relatif jika berkaitan dengan fakta saja dan bersifat mutlak jika diderivasi dari dan selaras dengan realitas teks wahyu. Bukan melulu produk spekulasi rasional, bukan pula berasal dari data yang empiristis atau intuisionistis, tapi integrasi dari semua, asalkan mendapat pancaran sinar wahyu. Tapi memahami Islam tidak bisa dengan framework apapun atau alam pikiran siapapun. Jika seorang ateis diizinkan memahami framework Islam, maka Nabi bisa jadi penipu. Kalau alam pikiran sekuler dipakai, shahadat menjadi manifesto sekulerisasi. Menurut alam pikiran liberal, Nabi, Umar ibn Khattab dan lain-lain adalah seorang tokoh liberal sejati dan seterusnya. Begitulah, jika realitas obyek dipisahkan dari alam pikiran subyek atau jika realitas (haqiqah) data dan fakta tidak diselaraskan dengan realitas alam pikiran manusia (anfus). Jika afaq dipisahkan dari anfus (worldview), maka ia akan menjadi hampa, bak lagu tanpa irama. Begitulah, konsekuensi sebuah framework. Itulah salah satu alasan mengapa Muslim tidak bisa memakai framework peradaban lain. Framework Barat itu problematis, kata Sayyid Hossein Nasr. Mereka melupakan beda rasio dan intelek. Dalam Islam, istilah ‘aql sudah mencakup keduanya. Ratio (Latin) berarti pikiran manusia, tapi ‘aql-‘aqala mempunyai arti “mengikat”. Suatu bagian dalam diri manusia yang mengikat dirinya dengan Tuhannya. (makhluq dengan khaliq), yang menyatukan fisika dengan metafisika, fenomena dengan noumena, simbol dengan makna, afaq dan anfus, subyek dengan obyek, nisbi dengan mutlak dan seterusnya. Karena anugerah ‘aql inilah maka manusia memiliki salah satu sifat Tuhan, yakni ‘alim. Barat yang rasionalistis itu telah membuang fakultas pengikat ini. Maka tidak salah jika Iqbal menyimpulkan, rasionalisme Barat hanya bisa menghasilkan superman, seperti Nietszhe, tapi nalar dan akal Islam menghasilkan insan kamil, seperti para ulama yang saleh.

29

Jadi, Muslim bisa menggunakan metode asing tapi bukan frameworknya. Muslim bisa menelan cakrawala pemikiran asing, tapi dengan Cakrawala Muslim. Muslim bisa pakai handphone produk Barat, misalnya, tapi tidak mesti harus menjadi sekuler-liberal. Orang Barat bisa pakai minyak dari Saudi tapi tidak perlu bersyahadat dan naik haji. Sains Barat tidak sepenuhnya ditolak atau diterima. No science has ever been integrated into any civilization without some of it also being rejected, S.H.Nasr. Unsur asing perlu dicerna, diproses untuk diserap dan atau dibuang. Persis metabolisme tubuh manusia. Matthew Melko, profesor sosiologi di Universitas Wright, Ohio, setuju One civilization rarely receive material from another without changing the nature of that to fit its own pattern. (lihat Stephen K.S. Civilization and World System). Pattern adalah framework, alat cerna unsur-unsur asing. Jika ada yang berargumentasi bahwa “inti sekulerisasi adalah rasionalisasi, dan rasionalisasi sejalan dengan Islamisasi, maka sekulerisasi itu adalah Islamisasi”, maka ia telah salah menentukan framework. Sebab dalam framework atau manhaj ini Kant, Nietsche, Derrida dkk. pun bisa menjadi figur yang “saleh”. Bagi yang setuju dengan gerakan gender dan feminisme, syariat Islam itu menindas wanita. Benturan Islam-Barat direduksi menjadi Sexual clash of Civilization. Jadi jika Islam dipandang dari framework Barat, maka yang nampak bukan wajah asli Islam. F.Rosenthal sendiri mengakui “Anything lying outside one’s own experience cannot be comprehended in its true dimension”. Begitulah, menerima pandangan Alparslan bermakna menolak nasehat David. Pengikut “profesional” Barat mungkin akur dengan Thomas. “Jangan melihat Islam dari dalam Islam, lihatlah dari (framework) Barat”. Tapi ketika mereka harus mendukung “proyek” pluralisme agama, terpaksa harus “selingkuh”, “Jangan melihat Kristen dari framework Islam”. Bagi yang arif akan terbesit di kedalaman dhomir mereka kesimpulan kreatif “Jangan mengikuti Barat dengan framework Barat, lihatlah Barat dengan manhaj Islam”.

30

Jadi, daripada mendengar nasehat David lebih baik membaca pengakuan Rosenthal yang jujur dan adil. “Suatu peradaban” katanya, “cenderung berjalan diatas konsep-konsep penting…Yang telah ada sejak kelahirannya… jika [konsep-konsep] itu tidak lagi digunakan secara benar, maka ia merupakan pertanda yang jelas bahwa peradaban itu telah mati”. ‘Ilm adalah salah satu konsep penting dan dominan dalam peradaban Islam yang memberinya bentuk dan warna yang khas. Diatas konsep ‘ilm inilah peradaban Islam berjaya dan berjalan selama berabad-abad. Dan di kedalaman konsep ‘ilm inilah manhaj pemikiran Islam tersembunyi.

31

Clash of Worldview Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi

Samuel P. Huntington adalah pemberi nama konflik global yang terjadi saat ini dengan sebutan “Clash of Civilization” melalui bukunya yang berjudul The Clash of Civilization and the Remaking of the World Order (1996). Alasannya, sumber konflik umat manusia saat ini bukan lagi ideologi, politik atau ekonomi, tapi kultural. Sebab, semua orang kini cenderung mengidentifikasi diri dengan identitas kultural. Jika kultur atau peradaban adalah identitas, maka identitas peradaban itu sendiri adalah worldview. Jadi clash of civlization berindikasi clash of worldview. Banyak yang tidak sepakat dengan Huntington. Mungkin karena superficial atau provokatif. Seakan berbeda budaya bisa berarti perang. Namun Huntington bukan tanpa pendukung. Peter Berger misalnya, setuju konflik politik sekarang ini adalah collision of consciousness (benturan kesadaran atau persepsi), kata lain dari clash of civilization. Tapi pilihan kata, clash dan collision memang vulgar, masih kalah lembut dari kata-kata al-Attas divergence of worldviews. Tapi benarkah kini sedang terjadi clash of civilization? Hampir semua sepakat bahwa setiap peradaban mempunyai worldview. Jerman lebih dulu memiliki istilah weltanschauung, welt = dunia, anschauung = persepsi, berarti persepsi tentang dunia. Di Italia digunakan istilah “konsepsi tentang dunia”. Di Perancis kata weltanschauung dipinjam dan diartikan dengan “pandangan metafisis tentang dunia dan konsepsi kehidupan”, di Rusia disebut mirovozzrenie berarti pandangan dunia. Dan semua setuju bahwa kata worldview harus diikat oleh predikat kultural, religius, ataupun saintifik. Jadilah, misalnya istilah Christian Worldview, Medieval Worldview, Scientific Worldview, Modern worldview dan the Worldview of Islam. Semua mempunyai cara pandang yang eksklusif. Tapi semua orang tahu disitu ada proses saling meminjam antar peradaban, antar worldview.

32

Mungkin ini sebabnya di Barat orang mudah menerima denominasi berdasarkan worldview ketimbang “agama”. Hegel misalnya ketika ia baca teologi Hindu ia spontan menerimanya sebagai Indischen weltanschauung. Bahkan Ninian Smart menjadikan worldview sebagai alat untuk mengeksplorasi kepercayaan manusia (crosscultural explorations of human beliefs). Banyak lapisan makna didalam worldview. Membahas worldview bagaikan berlayar ke lautan tak bertepi (journey into landless-sea) kata Nietsche. Meskipun begitu, di Barat masalah worldview tetap hanya sejauh jangkauan panca indera. Luasnya worldview bagi Kant, Hegel dan juga Goethe, hanya sebatas dunia inderawi (mundus sensibilis). Tapi bagi Shaikh Atif al-Zayn bukan luasnya yang penting, tapi darimana ia bermula, maka worldview adalah mabda (tempat bermula). Disitu dapat diketahui spektrum makna worldview. Sedangkan worldview Islam seperti yang digambarkan al-Attas tidak sesempit luasnya lautan dalam planet bumi, tapi seluas skala wujud, ruyat al-Islam lil wujud. Menjadikan worldview sebagai matrik agama, peradaban, kepercayaan atau lainnya sah-sah saja. Sebab worldview bisa diukur dari apa yang ada dalam pikiran orang. Oleh sebab itu dilapisan dalam worldview terdapat conceptual framework (kerangka kerja konseptual). Tidak salah jika kemudian Dilthey menjadikannya sebagai asas formulasi epistemologis yang obyektif. Worldview lalu berfungsi sebagai asas ilmu-imu sosial (Dilthey), dan ilmu-ilmu alam (Kant). Thomas S. Kuhn (1922-1996) bahkan menyulap worldview menjadi paradigma yang menyediakan nilai, standar dan metodologi tertentu yang mengikat kuat kerja-kerja saintifik. Ia bahkan menyebutnya matrik disipliner (disciplinary matrix) yang memiliki elemen yang tersusun. Ini mengingatkan kita pada kata-kata Husserl dalam Crisis of European Sciences, bahwa worldview itu akhirnya mirip dengan kepercayaan keagamaan yang bersifat individual. Di satu sisi ini merupakan dinamika pemikiran yang positif. Ringkas kata, paradigm dan worldview memiliki variabel-variabel konsep yang terstruktur, yang berproses menjadi framework pemikiran, dan disiplin ilmu pengetahuan. Itulah sebabnya ilmu menjadi sarat nilai, alias tidak netral.

33

Dalam Islam, sejauh apapun pikiran kita berpetualang wahyu tetap menjadi obornya. Al-Quran sendiri sarat dengan sistem konsep (conceptual scheme). Ilmu-ilmu seperti fiqih, hadis, tafsir, falak, tabiah, hisab dan sebagainya adalah derivasi dari konsepkonsep dalam wahyu. Artinya, worldview al-Quran telah menghasilkan framework dan disiplin ilmu yang juga eksklusif. Orang Barat, misalnya, tidak bisa mengadopsi metode tadil dan tajrih ilmu hadis, atau mengadopsi ilmu faraid dalam Islam, dan seterusnya. Sebaliknya orang Islam juga tidak bisa terima teori kebenaran dikotomis: obyektif dan subyektif. Tidak juga bisa menerima doktrin pan-seksualisme Freud, doktrin evolusi Darwin dan sebagainya. Setiap teori atau konsep berangkat dari framework dan setiap framework diderivasi dari worldview. Kalau saya terpaksa setuju dengan Huntington, maka saya hanya setuju pada dataran epistemologis. Itupun kalau ini termasuk dalam thesis Huntington. Pada dataran ini memang seperti tidak terjadi apa-apa, tidak terlihat pula konflik sosial, lebih-lebih senjata. Senjatanya adalah pena-pena para pemikir, yang dalam Islam dihitung baik pedang syuhada. Akibatnya, tidak kasat mata. Hanya saja disana sini terjadi kebingungan (confusion) intelektual, dan kehilangan identitas (lost of identity). Namun disini istilah clash of worldview lebih tepat disebut worldview intrusion. Banyak contoh yang bisa membuktikan bahwa pemikiran umat Islam kini sedang dirasuki oleh worldview peradaban lain. Banyak cendekiawan Muslim atau “ulama” memuji habis Immanuel Kant, Karl Marx, Thomas S. Kuhn, Derrida dkk., tapi mengkritik al-Asyari, al-Ghazzali, al-Shafii dan lain-lain. Ada pula yang ragu apakah al-Quran benar-benar wahyu Allah, sedangkan ia percaya rukun Iman. Kini malah ada wanita Muslimah berjilbab, tapi protes mengapa Tuhan begitu maskulin. Malah tidak aneh jika seorang ahli tahajjud dengan keningnya yang hitam, juga seorang Marxist. Ia memahami makna Tauhid, tapi tidak tahu berpikir tauhidi. Imannya tidak didukung oleh akalnya sehingga ilmunya tidak menambah imannya. Muslim tapi worldview dan framework berpikirnya tidak. Itulah dampak worldview intrusion.

34

Bagi yang tidak percaya thesis Huntington, boleh jadi ia percaya pada Derrida (1930-….). Sebab tradisi intelektual Barat yang oleh Derrida disebut logocentrism telah dirobohkan (deconstructed). Zaman postmodern telah menjadi post-worldview era. Tidak ada lagi worldview. Tidak ada kepastian akan kebenaran tentang alam, apalagi framework. Semua bebas memahami semua. Jadi tidak ada clash of worldview. Tapi bukankah Derrida sedang mengusung worldview dan framework dia sendiri?, humor pun bagi Witgenstein masih termasuk worldview, meski ia hanya ilusi manusia tentang dunia. Dalam teologi Kristen sendiri konflik kebaikan dan kejahatan dianggap sebagai konflik worldview. Konflik antara kerajaan Tuhan dengan kerajaan Setan. Jadi clash of worldview atau intrusion of worldview bukanlah skenario peperangan, karena ia terjadi dalam diri kita sehari-hari, dalam akal dan hati kita. Oleh sebab itu kita tidak hanya perlu ditunjukkan tentang hakekat kebenaran tapi juga jalan menuju kebenaran.

35

Kontradiksi Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi

Ada dua kesan yang terbersit dari wajah pendukung pluralisme agama: kontradiksi tapi percaya diri! Kontradiksi karena mulutnya berbunyi toleransi tapi sorot matanya menyiratkan relativisme. Percaya diri karena merasa berada di jantung wacana postmodernisme. Sebenarnya, asal mula makna pluralism adalah toleransi. Dalam Oxford Advanced Learners’s Dictionary of Current English, terbit tahun 1948, makna itu jelas. Pluralisme adalah “suatu prinsip bahwa kelompok-kelompok bebeda tersebut dapat hidup bersama dalam kedamaian dalam satu masyarakat.” Tapi setengah abad kemudian prinsip berubah menjadi relativisme: curiga terhadap konsep “kebenaran”. Buktinya bisa dibaca pada Oxford Dictionary of Philosophy, oleh Simon Blackburn, terbit tahun 1995. Pluralisme adalah prinsip bahwa disana tidak ada pendapat yang benar, atau semua pendapat itu sama benarnya. Disinilah kontradiksi itu mulai nampak. Memang pluralism adalah wacana postmodernisme dan artinya tidak lain kecuali relativisme. Akbar S Ahmed dalam Islam and Postmodernism tegas bahwa postmodernisme dipicu oleh semangat pluralisme (relativisme). Dan, tulisnya, postmodernisme itu dihadapkan secara berlawanan dengan fundamentalisme. Apa itu fundamentalisme? tidak jelas. Dari Cheryl Bernard dalam Civil Democratic Soicety kita baru mafhum artinya adalah keolompok yang menolak kebudayaan Barat. Jika demikian semakin jelas bahwa relativisme adalah faham anti agama-agama. Tapi bagaimana cara menghadapi agama-agama? Jadikanlah agama sebagai masalah publik yang meresahkan! Buatlah bukti lalu stigma bahwa agama adalah sumber konflik dan kekerasan. Jika perlu konflik antar agama sekecil apapun harus dipublikasikan dan kalau perlu diada-adakan. Begitulah fatwa Bernard.

36

Hanya anehnya intoleransi dan kekerasan non fisik terhadap agama di Barat tidak dibahas. Di Barat, Muslim, misalnya, tidak mengalami kekerasan fisik, tapi tidak menikmati toleransi sama sekali. Bahkan Muslim kehilangan hampir semua hak asasi publiknya. Menara masjid diharamkan sekaligus suara azannya. Ibadah shalat oleh individu atau jamaah seperti Idul Adha diruang publik haram hukumnya, apalagi istighthah gaya para kyai pesantren. Sementara di negeri Muslim, khususnya Indonesia, toleransi lebih menonjol. Penganut agama minoritas dapat menikmati kebebasan publik. Dentuman lonceng gereja bebas bersaing dengan suara bedug dan azan. Gebyar natal, nyepi, imlek, galungan bebas dirayakan diruang publik secara nasional, bersaing dengan Idul Fitri. Mimbar agama-agama di TV-TV publik menjadi tontonan yang jamak. Dari negeri Muslim ini mestinya Barat belajar bertoleransi, dan bukan mengajarkan relativisme. Saya yakin itu. Sebab ketika saya memberi kuliah umum di Universtas Wienna seorang peserta bertanya:”Mengapa anda dapat hidup dengan toleransi seperti itu? Padahal kami disini bertentangga dengan Muslim atau penganut agama lain saja sangat tidak mudah”. Karena Barat sekuler dan seperti kata John Hick, Barat baru mengenal pluralitas agama-agama, jawab saya. Memang Barat, Islam dan agama-agama perlu saling belajar bertoleransi. Jika pluralisme berarti toleransi maka demi pluralism kita tidak perlu menyamakan Tuhan semua agama dan konsep kepercayaan kepadaNya. Demi pluralisme Barat tidak perlu pergi ke masjid dan ikut sholat atau ikut dikhitan. Sebaliknya, demi pluralism (toleran) Muslim tidak perlu makan daging babi, minum arak, melegalkan praktek lesbi dan homoseks; Demi pluralisme orang Nasrani tidak perlu ikut tahlilan, nyumbang dana untuk kurban atau zakat dan orang Islam rame-rame ikut natalan. Demi pluralisme orang Hindu tidak perlu menghancurkan patung mereka. Jika pluralisme diartikan relativisme, maka akal sehat akan menolak, karena alasan law of no-contradiction. Jika bagi seorang yang beragama Tuhan itu ada, sedangkan bagi seorang atheist tuhan itu tidak ada…; dan jika dalam ajaran suatu agama Tuhan itu Maha Esa sedangkan bagi penganut ajaran lain tuhan itu tiga atau lebih…; dan jika tuhan bagi

37

suatu agama adalah satu dan tidak seperti manusia sedang dalam kepercayaan itu ada dua: laki dan wanita…dst. maka menurut law of no-contradiction tidak mungkin semua benar atau semua salah. Yang benar pasti hanya satu. Logika buya Hamka tidak salah ketika mengatakan bahwa siapapun yang mengatakan semua agama itu sama, dia pasti tidak beragama. Jika Muslim yang mengatakan semua agama itu sama, maka ia tidak bicara atas nama Islam. Dalam bahasa logika, barangsiapa yang mengatakan semua pendapat itu sama benarnya maka ia menyalahi law of no-contradiction berarti kontradiksi. Bagi Gregory Koukl, “konsep pluralisme agama masa kini adalah bodoh (stupid)”. Wallahu a’lam bissawab

38

MODERAT Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi _______________________________________________________________________

Istilah moderat akhir-akhir ini mencuat menjadi jawaban terhadap stigmatisasi umat Islam dengan fundamentalisme dan terrorisme. Istilah ini nampaknya berfungsi sebagai penjinak terorisme. Mirip dengan fungsi sekularisme tahun 70an sebagai penjinak fundamentalisme. Tahun 2008 Sebuah symposium digelar di Tokyo Jepang. Isunya adalah tentang arti Muslim moderat dan masa depan politik Islam. Karena pentingnya istilah ini maka pada edisi tahun 2000 keatas American Journal of Islamic Social Sciences mengangkat tema ini secara serial. Sedikitnya ada tiga kelompok yang memperebutkan arti moderat ini yaiu mereka yang anti-Islam, orang Barat dan orang Islam. Definisi

Islam

moderat

yang

anti

Islam

dapat

dilihat

pada

situs

“muslimsagainstshariah”. Disitu ditulis begini diantaranya: moderat adalah yang tidak anti bangsa semit, menentang kekhalifahan, kritis terhadap Islam, menganggap Nabi bukan contoh yang perlu ditiru, pro kebebasan beragama, pro-kesetaraan gender, menentang jihad, menentang supremasi Islam, pemerintah sekuler, pro atau netral terhadap Israel, tidak bereaksi ketika Islam dan Nabi Muhammad dikritik, menentang pakaian Islam, syariah, dan terorisme serta pro-humanisme universal. Andrew McCarthy dalam National Review Online, August 24, 2010 justru dengan tegas menyatakan siapapun yang membela syariat tidak dapat dikatakan moderat. (No one who advocates shariah can be a moderate). Kedua pengertian ini sungguh-sungguh tidak moderat.

39

Islam moderat dalam perspektif Barat hampir seragam. Muslim moderat, kata Graham Fuller adalah yang menolak literalisme dalam memahami kitab suci, tidak monopoli penafsiran Islam dan menekankan persamaan dengan agama lain dan bahkan tidak menolak kebenaran agama lain. Inilah yang ditirukan orang liberal di Indonesia. Fuller bahkan ngelantur moderat adalah yang mendukung kebijakan dan kepentingan Amerika dalam mengatur dunia. Senada tapi lebih ekstrim lagi, Ariel Cohen mengartikan moderat sebagai menghormati hak menafsirkan al-Qur’an, hak menyembah Allah dengan caranya sendiri, atau tidak menyembah atau bahkan tidak percaya. Lagi-lagi ini alam pikiran kelompok “Islam Liberal” yang kental bau orientalismenya. Bagi Rabasa moderat adalah mereka yang dapat menerima kultur demokratik, mendukung demokrasi dan menerima HAM internasional, termasuk mengakui kesetaraan gender, kebebasan beribadah), menghormati pluralitas, menerima sumber hukum yang tidak sectarian, dan memusuhi terrorisme dan segala bentuk kekerasan. Definisi Rabasa, Graham maupun Cohen memang benar-benar liberal. Dan mungkin bagi orang liberal itu biasa dan “nothing wrong”. Tapi justru yang menemukan kesalahannya adalah John L. Esposito. Dengan bijak dan adil dia kritik begini: Pertama, Jika definisi Barat itu diterima maka Muslim konservatif dan tradisionalis menjadi tidak moderat. Selain itu jika seorang wanita Muslim memimpin Salat Jumat menjadi kriteria moderat, maka banyak orang Kristen, Yahudi dan penganut agama lain termasuk Paus John Paul II yang patrialistik itu justru tidak masuk kriteria moderat. Louay Safi dan Ubid Ullah Jan tokoh Muslim di Canada, memiliki kesan yang sama. Pengertian moderat yang pro-Barat ataupun yang anti Islam sama saja. Seorang Muslim belum dianggap moderat jika belum menolak al-Qur’an secara publik. Tapi masalahnya, menurut Esposito jika untuk menjadi moderat orang harus mengingkari kitab sucinya, maka Yahudi moderat juga harus mengingkari kitab sucinya. Padahal kitab suci itulah yang menjadi penyebab klaim negara Israel dan pendudukan tanah Palestina.

40

Kerancuan lain juga ditemukan Safi. Menurutnya pengertian “Muslim moderat” di Barat adalah “a person who is not comfortable with his/her Islamic roots and heritage, and openly hostile to Islam, and eager to transcend all Islamic norms”. Contoh yang nyata, katanya ada pada figur Irsyad Manji seorang feminis yang terkenal mengkritik Syariat (Bukunya: The Trouble with Islam: A Muslim’s Call for Reform in Her Faith), tapi pada saat yang sama mengaku sebagai pelaku lesbi. Anehnya figur seperti ini oleh Barat dianggap sebagai “the voice of moderation”. Bagi Muqtedar Khan, cendekiawan Muslim asal Canada moderat itu adalah yang berpikiran terbuka, kritis, menghormati semua orang, bermoral, beramar ma’ruf nahi munkar (QS. 5 : 48, 3 : 110), tidak ada intimidasi dan kekerasan. Sahabatnya Ubid Ullah Jan menambahkan, Muslim yang menolak ketidakadilan atau Muslim yang hidupnya hanya untuk ibadah masih dianggap moderat. Tentu semua itu tanpa kekerasan. Jadi, istilah moderat bisa diplesetkan menjadi sama arti dengan liberal. Atau bahkan bisa menjadi anti Islam dan pro-Barat. Inilah alat untuk mengalahkan apa yang mereka sebut radikalisme. Padahal untuk mengalahkan bayang-bayang fundamentalisme tidak perlu liberalism. Dan agar menang melawan hegemoni kolonialisme Barat tidak perlu ekstremisme. Kebajikanlah yang akan mengalahkan kejahatan atau kekerasan, vincit vim virtus.

41

JIHAD Oleh: Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi _________________________________________________________________________

Pada 11 September, 2001 dua pesawat penumpang menabrak dua menara kembar World Trade Center di Amerika Serikat. Diduga pelakunya adalah Muslim teroris Muslim, terutama Usama bin Ladin. Setelah itu beberapa Negara Islam dicurigai sebagai sumber terorisme. Tak ayal lagi Negara Afghanistan dan Iraq diperangi dan dikuasai hingga kini. Media Barat secara latah segera mengkaitkan peristiwa ini dengan jihad umat Islam. Bush pun juga salah sangka dan teriak “This is new crusade” (ini perang salib baru). Meski dianggap salah redaksi lalu dikoreksi, orang tahu apa yang dipikirkannya. Jack Nelson-Pallmeyer, menulis Is Religion Killing Us? Menuduh semua agama sebagai sumber peperangan dan malapetaka. Charles Kimbal, dalam bukunya When Religion Becomes Evil (Ketika Agama Menjadi Jahat) membuat lima kriteria agama jahat dan salah satunya adalah yang mendeklarasikan “jihad”. Menurutnya “Declaring war “holy” is a sure sign of corrupt religion”. Ringkasnya perang atas nama agama dizaman sekarang ini “haram”. Tapi perang atas nama kemanusiaan boleh, meskipun lebih banyak membunuh dan mengorbankan nyawa. Banyak terminologi perang dalam al-Qur’an. Kata netralnya adalah qital, yaitu perang dengan menggunakan senjata menghadapi musuh. Jika qital itu diniatkan untuk membela kebenaran agama Allah maka ia disebut jihad. Perang orang kafir disebut juga qital, tapi bukan jihad karena untuk membela tiran atau taghut (al-Nisa’, 76). Istilah lain dari perang adalah “harb”. Harb adalah peperangan dalam arti umum disebut sebanyak 6 kali dalam al-Qur’an. Harb digunakan untuk perang Arab Jahiliyah, seperti perang al-Basus. Mungkin Perang Dunia I dan II lebih cocok disebut harb. Boleh jadi dalam harb zaman modern musuh tidak saling berhadapan. Karena makna negatifnya maka al-Qur’an tidak pernah menggunakan istilah harb untuk qital yang berarti jihad.

42

Harb lebih bermakna sekuler dan hanya untuk kepentingan dunia seperti untuk kekuasaan, ekonomi, politik, memperbutkan harta karun atau sumber alam dsb. Maka slogan para demonstran di Amerika yang berbunyi No War for Oil, tidak bisa diganti menjadi No Jihad for Oil (La Jihada lil Bitrul). Yang tepat La harba lil bitrul. Makna lain dari perang adalah ghazwah yaitu qital umat Islam yang disertai Nabi. Sedangkan yang tidak disertai beliau disebut sariyyah. Makna-makna itu semua menunjukkan bahwa perang dalam Islam ada aturan dan akhlaqnya. Meskipun peperangan mewarnai sejarah Islam, tapi Islam sangat membenci peperangan. Allah pun menghindarkan orang-orang beriman dari peperangan (al-Ahzab, 25). Ini tidak sebanding misalnya dengan “hobbi” perang bangsa Yunani yang mengagungkan Ares, sang dewa perang. Orang Romawi mensucikan Tuhan perang yang disebut Mars. Apakah semua perang itu berarti jihad? Dan apakah jihad itu hanya berarti perang? Dalam al-Qur’an kata jihad disebut hanya sebanyak 34 kali. Arti “jihad” tidak seperti yang difahami orang Barat. Tidak bisa pula diterjemahkan menjadi Holy War. Para ulama mengartikan jihad sebagai mencurahkan kemampuan, tenaga dan usaha untuk menyebarkan dan membela dakwah Islam serta mengalahkan (musuh). Bisa juga berarti menanggung kesulitan. Jihad tidak selalu berarti perang. al-Raghib al-Isfahani memahami jihad sebagai melawan tiga macam musuh: melawan musuh yang tampak, melawan godaan syetan, melawan hawa nafsu. Jihad melawan musuh yang tampak pun tidak mesti perang. Sebab Nabi bersabda “berjihadlah kepada orang-orang kafir dengan tangan dan lisan kalian”. Ibn Taymiyyah bahkan memaknai jihad menjadi empat. Pertama dengan hati yaitu berdakwah mengajak kepada syariat Islam; kedua dengan argumentasi untuk mencegah kebatilan atau kesesatan; ketiga dengan penjelasan untuk membeberkan pemikiran yang benar untuk umat Islam; dan keempat, dengan tubuh yaitu berperang.

43

Ibn al-Qayyim, dalam Zad al-Ma’ad menyimpulkan ayat-ayat jihad dalam al-Qur’an menjadi tiga belas tingkatan. Empat tingkatan melawan hawa nafsu, dua tingkatan melawan syetan, empat tingkatan melawan kaum kafir dan munafik, tiga tingkatan melawan kezaliman dan kefasikan. Begitulah, makna jihad yang berarti perang fisik menurut al-Isfahani, Ibn Taymiyyah dan Ibn al-Qayyim hanyalah bagian terkecil dari arti jihad. Itupun tidak sama dengan perang sekuler atau Holy War di Barat yang sarat kebencian dan penistaan. Qital dalam arti Jihad masih terikat oleh aturan yang berdimensi akhlaq dan rasa kemanusiaan. Senjata tidak boleh merusak tanaman, makhluk hidup, binatang ternak, dan sebagainya. Senjata pemusnah massal seperti kimia, nukler, bakteri, biologi tidak digunakan dalam perang Islam. Target serangan pun tidak boleh mengenai rumah ibadah, wanita, anak-anak, orang tua renta, orang cacat, orang buta, pendeta dan mereka yang tidak sedang perang. Jika pun telah menang bala tentara Islam tidak boleh menghina musuh yang kalah. Jihad dalam arti perang menurut al-Qardhawi dibagi menjadi dua: jihad penyerangan (al-talab) dan jihad perlawanan (daf’). Yang pertama disebut futuhat (pembebasan). Maknanya menyerang untuk membebaskan negeri disekitar negeri Islam dari penguasa zalim. Yang kedua melawan musuh yang secara militer memasuki negerinegeri Islam. Berarti perang bangsa Indonesia melawan Belanda, bangsa Aljazair melawan Perancis, rakyat Palestina melawan Zionis adalah jihad. Qardhawi juga memasukkan musuh dalam bentuk “pemikiran yang mengancam aqidah, yang membuat ide-ide sesat dalam agama, yang mempengaruhi umat Islam untuk meninggalkan agama”. Nampaknya al-Qardhawi setuju melawan “agresi” liberalisme, sekularisme, pluralism agama, dan semacamnya yang mengancam aqidah dan syariah adalah jihad.

44

Mengislamkan Worldview Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi _________________________________________________________________________

Tabligh (mendakwahkan) risalah adalah wajib bagi Nabi. Karena itu Nabi mengirim surat kepada raja-raja mengajak mereka masuk Islam. Salah satu suratnya dikirim kepada Ebrewez, kaisar Persia. Pimpinan negara adikuasa dan cucu mendiang kaisar Khosru I, yang dinobatkan jadi Kaisar baru pada tahun 590 M. Itupun gara-gara ayahnya kaisar Murmuza IV terbunuh. Dalam bukunya Tarikh al-Muluk wa al-Umam, al-Tabari menceritakan bahwa Ebrewez tergolong raja Persia yang paling kuat. Jajahan dan kekuasaannya paling luas. Prestasinya tak tertandingi oleh kaisar sebelumnya. Karena itulah ia digelari Ebrewez yang berarti si Perkasa. Dalam bahasa Arab disebut alMudhaffar. Karena itu wajar jika ia dikenal suka menunjukkan kemewahan dan kebesarannya, menimbun harta kekayaan dan perhiasan. Ketika ia memindahkan singgasananya dari bangunan lama ke bangunan baru tahun 607-608 M harta yang dipindahkan terhitung sebanyak 468 juta gantang emas. Pada tahun ke 13 dari kekuasaannya kekayaannya mencapai 880 juta gantang emas. Surat Nabi yang singkat itu diantaranya berbunyi “Masuklah Islam agar anda selamat dan jika anda menolak maka bagi anda dosa seluruh kaum Majusi”. Namun, ternyata Ebrewez bukan penguasa yang bijak bestari. Bukan pula pemimpin yang adil dan beradab. Ia begitu pongah bagai Firaun dan angkuh tak tersentuh. Yang pasti ia tidak dapat hidayah. Dan benar, ketika cucu Anusyirwan itu menerima surat Nabi ia sangat murka. Ebrewez serta merta merobek-robek surat dari Nabi itu. Dan dengan pongahnya ia berkata,”Pantaskah orang itu menulis surat kepadaku sedangkan ia adalah budakku?”

45

Namun, setelah mendengar laporan ulah Ebrewez itu tidak sedikitpun memancing amarah Nabi. Dengan tauhid dan tafwidh-nya yang kuat Nabi yakin dan pasrah. Hanya Allah yang dapat memberi dan mencabut kekuasaan. Nabi membalas dengan doa sederhana. Tanpa emosi dan rasa perkasa “Semoga Allah merobek-robek kerajaannya” (Mazzaqa Allah mulukahu). Bagaimana caranya, digambarkan Nabi begini, nanti : “Allah memberi kekuasaan pada putera kaisar Persia yang bernama Syiraweh untuk mengalahkan dan membunuh ayahnya.” Nabi bukan futurologi, tapi itulah Nabi. Doa dan gambaran Nabi benar terjadi. Pada tahun 628 M putera Ebrewez yang bernama Qabaz yang digelari Syirawaih itu merebut kekuasaan dan membunuh Kaisar Ebrewez, ayahnya sendiri. Qabaz pun kemudian berkuasa, tapi tidak lebih dari empat bulan saja ia diturunkan. Selanjutnya kekaisaran Persia itu berganti-ganti hingga sepuluh kali dalam masa empat tahun. Itulah kenyataan dari mazzaqa Allah mulukahu. Allah benar-benar telah merobek-robek kekaisaran itu. Selama itu kerajaan mengalami kekacauan dan huru-hara Akhirnya rakyat berhasil mengangkat kaisar Yazdajir sebagai kaisar Persia terakhir dari keluarga Sasaniah. Bagi yang berfikir sekuler, itu semua terjadi karena proses politik. Tidak ada campur tangan Tuhan. Kaisar jatuh oleh rakyat, bukan dijatuhkan oleh Tuhan. Tapi bagi Mumin, itulah jawaban doa Nabi. Begitulah cara Allah memberi dan mencabut kekuasaan. Di masa kekuasaan kaisar Yazdajir (sekitar tahun 637) inilah tentara Islam datang ke Persia. Namun, kerajaan Persia yang telah berusia empat abad sudah seperti kakek gaek yang ompong, lemah dan sakit-sakitan. Ketika kaum Muslimin datang, dapat dikatakan tanpa perlawanan dan penduduknya masuk Islam dengan sukarela. Kekaisaran itu benarbenar runtuh. Bahkan putera-puteri kaisar sangat berminat menikah dengan bala tentara Islam, dan idolanya adalah Ali bin Abi Talib. Keruntuhan kerajaan Persia persis seperti yang diramalkan Nabi delapan tahun sebelum itu : “Jika kaisar Persia hancur tidak akan ada kaisar lagi sesudahnya.” (Hadith Ibn Kathir, jld. 3)

46

Namun, Muslim tidak datang untuk melakukan invasi apalagi kolonialisasi. Kolonialisasi atau eksploitasi bukan karakter Muslim dan peradaban Islam. Muslim tidak memboyong kekayaan Persia ke jazirah Arab. Konsepnya adalah hijrah. Berpindah, hidup, berkarya dan memakmurkan kawasan yang dituju lahir batin. Istilah yang digunakan alQuran bukan penaklukan tapi pembukaan atau kemenangan (al-Fath), seperti fathu Makkah, fathu Andalus, fathu Misra dan sebagainya Membuka, membebaskan, menyelamatkan atau mengislamkan. Para ulama dan bala tentara Muslim mengajari bangsa Persia al-Quran, Hadith, bahasa Arab dan pandangan hidup Islam. Yang dahulu jahil menjadi alim, yang dulu tersesat mendapat petunjuk, yang dulu miskin menjadi kaya dan makmur. Itulah rahmatan lil alamin. Kepercayaan Persia kuno yang mitologis dan animistis perlahan berganti dengan aqidah Islam yang rasional. Adat istiadat berganti syariat. Tradisi kekuasaan, kemegahan, dan kemewahan berganti tradisi ilmu. Mungkin bala tentara Islam, ulama dan relawan Arab itu tahu sabda Nabi bahwa “andaikata ilmu itu berada di bintang Suraya pasti akan dicapai oleh orang-orang Persia”. (Lihat Musnad Ahmad, jld 2). Ternyata, benar setelah ilmu-ilmu Islam yang tinggi itu dicapai dari kawasan ini lahir ulama-ulama besar dalam sejarah Islam. Tradisi ilmu Islam telah melahirkan ulama seperti al-Khawarizmi, Imam Bukhari, al-Isfahani, Fakhr al-Din al-Razi, Ibn Sina, alGhazzali, Ibn Taymiyyah dsb. Dari sini pulalah lahir kekhalifahan besar Islam, Abbasiyah yang bertahan selama 5 abad (750-1250), lebih lama dari kekaisaran Persia. Dalam bacaan orang liberal dan pendukung keras HAM, masuknya umat Islam ke Persia akan dianggap penindasan bangsa lain. Di nusantara mereka pernah menuduh Islam sebagai agama pendatang. Padahal Muslim masuk ke nusantara mencerahkan masyarakatnya yang dulu dihegemoni oleh mitologi menjadi teologi yang rasional. Islam juga mempersatukan berbagai ras suku dan bahasa melalui persaudaraan agama. Jika cara berfikir seperti ini diterapkan untuk semua bangsa di dunia, Amerika juga harus dianggap pendatang dan penindas bangsa Indian, Israel perampas tanah dan penindas bangsa Palestina. Australia penindas bangsa Aborigin. Jadi, menghukumi masa lalu dengan aturan dan tertib masa kini adalah naïf. 47

Meski umat Islam menduduki dan mengislamkan bangsa lain, mereka datang membawa pandangan hidup yang mencerahkan, aqidah yang mencerdaskan, syariah yang membebaskan dan ritual keagamaan yang memudahkan. Itulah arti mengislamkan yang sesungguhnya. Bangsa ini berjasa pada umat manusia karena Islam. Dapat berprestasi tinggi karena mereka menerima worldview Islam. Benarlah George F Kneller ketika mengatakan bahwa: “ketika keluar dari jazirah Arab bala tentara Islam tidak membawa apa-apa kecuali alQuran dan Hadith, tapi karena inner dynamic-nya, Islam menjadi worldview yang kelak memberi manfaat kepada umat manusia”. (George F Kneller, Science as a Human Endeavor, New York: Columbia University Press, 1978, hal. 3-4) Jadi, Islamisasi adalah membebaskan dan sekaligus menyelamatkan manusia dari cengkeraman worldview yang tidak sesuai dengan fitrahnya.

48

Eksklusif dan Inklusif Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi _________________________________________________________________________

“ Masuklah Islam, maka anda akan selamat (Aslim Taslam). Namun jika anda menolak anda akan mendapat dosa dua kali lipat”. Begitulah kalimat-kalimat dalam surat Nabi yang dikirim kepada Heraclitus, Kaisar Romawi Timur. Kepada Kaisar Persia Ebrewez surat Nabi berbunyi sama dengan tambahan “…. jika anda menolak maka bagi anda dosa seluruh kaum Majusyi”. Kepada Kaisar Najasyi berbeda lagi. Surat Nabi berbunyi: “Aku ajak anda kepada Allah yang Esa yang tiada sekutu bagiNya… dan mempercayai apa yang aku bawa” Kepada penguasa Mesir Muqauqis juga demikian: “Masuklah Islam anda akan selamat… agar Allah memberi pahala dua kali lipat. Jika anda menolak anda akan menanggung dosa bangsa Qibti”. Surat Nabi itu adalah tawaran, dawah atau, panggilan untuk keselamatan. Bukan memasarkan agama. Bukan pula intimidasi yang militeristik. Kurirnya pun tidak disertai pasukan bersenjata. Beda dengan perkataan “You are with us or against us” lalu tebar dana liberalisasi. Surat itu santun tapi tegas. Nabi sedang membawa risalah menyempurnakan risalah sebelumnya. “Masuklah Islam anda akan selamat”, artinya jelas bahwa yang tidak masuk Islam tidak akan selamat. Tidak ada jalan keselamatan diluar Islam. Itulah misi Nabi. Itulah Islam sebagai Al-din al-kamil. Islam adalah din bukan religi atau agama kultural. Din adalah sistem keyakinan, peribadatan serta prinsip kehidupan dunia-akhirat yang turun melalui wahyu Allah. Jadi din adalah jalan kebenaran dan keselamatan. Jika seseorang masuk dalam sistem keyakinan atau din ini maka ia akan berserah diri. Itulah berislam.

49

Berserah diri dalam Islam jelas kepada Tuhan yang bernama Allah. Allah seperti yang dalam konsep para nabi dan Nabi Muhammad. Maka dari itu Allah bukan Yahweh, bukan tuhan Bapak, bukan Nirguna Brahman, bukan Tao Te Ching, bukan En Soph, bukan pula Dharmakaya. Allah juga tidak sama dengan tuhan-tuhan eksoterik yang terbatas dalam konsep “transendentalisme”. Berserah diri artinya berislam kepada Tuhan nabi Ibrahim, Musa dan Isa serta nabi-nabi yang lain. Tuhan nabi-nabi itu adalah Tuhan yang diimani Nabi Muhammad. Jika Tuhan agama nabi-nabi itu benar mengapa penganut agama-agama terdahulu itu harus ikut agama Nabi Muhammad? al-Quran surah al-Maidah: 65 menjawab: “Jika orang-orang ahlul kitab beriman dan bertaqwa (kepada Allah) akan Kami hapuskan dosa mereka dan akan Kami masukkan surga” Artinya ahlul kitab dianggap tidak beriman kepada Allah SWT. Menurut ahli tafsir al-Baydhawi ahlul kitab yang dimaksud adalah sebelum datangnya Islam. Standarnya pun merujuk kepada Kitab Taurat dan Injil (al-Maidah 67) yang intinya adalah tauhid. Tapi itu pun tidak mereka lakukan. Sesudah Islam datang konsep berserah diri dan beriman pada Allah pun disempurnakan. Konsep beriman pada Allah merujuk kepada al-Quran. Rukunnya ditambah iman pada rasul-rasulNya dan kitab-kitab yang dibawa mereka, pada hari akhir, qadha-qadar, serta konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkannya. Dalam al- al-Ma'idah: 69 dan al-Baqarah: 62, jelas bahwa keselamatan agama terdahulu adalah beriman pada Allah, hari akhir dan beramal shaleh. Keselamatan sesudah Islam datang beriman dengan rukun-rukunnya. Bukankah agama-agama itu dibawa oleh nabi-nabi dan turun dari Allah juga?, Benar, tapi para pakar tafsir menyimpulkan bahwa untuk masa sesudah kedatangan Islam, agama-agama itu dibatalkan (mansukh).

50

Ini berarti agama Kristen, Yahudi, Sabiin dan sebagainya itu kini telah disempurnakan Islam. Ketika menafsirkan al-Baqarah: 62 dan Ali Imran: 69, Al-Thabari yakin bahwa surat itu telah di mansukh oleh surah Ali Imran ayat 75 "Barangsiapa memeluk agama selain Islam tidak diterima….". Pendapat ini merujuk kepada Ibn Abbas dan diperkuat oleh al-Qasimi, Wahbah Zuhayli dan mufasir-mufasir lainnya. (Lihat Hikmat Ibn Bashir ibn Yasin, al-Tafsir alSahih, mausu'ah al-Sahih al-al-Masbur min al-Tafsir bi al-Ma'thur, 2 jld, jld 1, Dar alMa'athir, Madinah, 1999, hal. 169). Menurut Ibn Taymiyyah bunyi al-Baqarah: 62 “Beriman kepada Allah dan hari akhir” tidak bisa dipahami secara literal tapi perlu ditafsirkan. Konsep iman berkaitan dengan konsep amal dan ilmu. Jadi beriman kepada Allah dan hari akhir saja tidak cukup. Konsekuensi menerima konsep itu yang terpenting adalah masuk Islam. Artinya menerima enam rukun Iman dan lima rukun Islam. Tapi untuk mereka yang hidup sebelum kedatangan Nabi Muhammad, adalah beriman kepada Allah dan akhir seperti yang diajarkan oleh Nabi-nabi yang diutus kepada mereka. Menolak Islam manjadi tidak seperti tidak logis. Sebab jika agama-agama yang dibawa oleh Nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad itu beriman pada Tuhan yang sama, mengapa ketika Tuhan yang sama berfirman tidak mereka indahkan. Malah Nabi Muhammad yang dimaki-maki. Kalau kita harus merespon wacana keagamaan di Barat yang berkembang dari eksklusif menuju inklusif dan pluralis, maka Islam mempunyai jawabannya. Islam adalah agama eksklusif. Sebab selain jalan Islam tidak dianggap selamat. Logikanya, jika Islam mengakui keselamatan ada pada agama lain, tentu Islam tidak akan mengajak pemeluk agama lain masuk Islam. (al-Nahl: 126). Nabi juga tidak akan mengirim surat meminta Raja Romawi Heraclitus, Raja Persia Ebrewez, Raja Ethiopia masuk Islam.

51

Maka, tidak heran jika Islam tidak akan pernah mentolerir ijtihad-ijtihad teologis yang menyimpang secara ijma. Maka aliran-aliran yang secara teologis menyimpang seperti Ahmadiyah, Bahaiyyah, dan sebagainya tidak akan pernah ditolerir. Islam juga bisa disebut agama yang inklusif. Sebab dalam Islam, anak-anak dari orang tua yang beragama apapun, jika meninggal sebelum baligh akan masuk surga alias selamat. Islam juga bisa dicap agama pluralis. Alasannya jelas, Islam sejak lahir telah berhadapan dengan pluralitas agama, ras, suku dan tradisi. Tapi pluralisme disini bukan pluralisme teologis tapi sosiologis. Islam dapat hidup dengan berbagai agama, ras, suku dan aliran apapun. Sejarah membuktikan, pembunuhan nabi-nabi dilakukan oleh mereka yang tidak suka agama. Kini tidak ada lagi nabi-nabi pembawa kebenaran dan jalan keselamatan untuk dibunuh. Yang dibunuh adalah kebenaran dan jalan keselamatan dan bahkan “tuhan” itu sendiri.

52

DUALISME Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi _________________________________________________________________________

Dalam sebuah acara talk-show di sebuah stasiun TV Inggris tahun 90an ditampilkan isu pelacuran. Panelisnya pendidik, pastur, tokoh masyarakat dan beberapa pelacur. Hampir semua menyoroti profesi pelacur dengan nada sinis. Pelacur adalah sampah masyarakat. Pelacur mesti dijauhkan dari anak-anak. Merusak adat kesopanan sosial, dan seterusnya. Tapi yang menarik giliran pelacur angkat bicara. "Saya memang pelacur. Dan saya melakukan ini karena saya janda. Saya menjalani profesi ini untuk menghidupi tiga orang anak saya. Kalian boleh saja mencemooh. Tapi siapa yang peduli jika anak-anak saya kelaparan, siapa! siapa!" ia berteriak Iantang. "Supaya kalian semua tahu, lanjutnya, saya memang pelacur tapi hati saya tetap suci". Hadirin pun bersorak. Nampaknya orang bersorak bukan karena ia pelacur, tapi karena ia dualis. Menjadi pelacur dan merasa suci. Dua sifat yang kontradiktif. Yang saya heran justru mengapa mereka bersorak. Sebab doktrin dualisme sudah lama berakar di dalam pemikiran Barat. Asal usul terdekatnya adalah fllsafat akal (philosophy of mind) yang digemari Descartes, Kant, Leibniz, Christian Wolf dan lain-lain. Menurut Christian Wolff misalnya "The dualists (dualistae) are those who admit the existence of both material and are those who admit the existence of both material and immaterial substances" tapi wujud materi dan jiwa terpisah. Pengertian ini disepakati Pierre Bayle dan Leibniz. Bahkan konon Barat mewarisinya dari kepercayaan Zoroaster (1000 SM) di Timur. Dunia dianggap sebagai pergulatan abadi antara kebaikan dan kejahatan. Thomas Hyde menemukan doktrin ini dalam sejarah agama Persia kuno (Historia religionis veterum Persiarum, 1700). Doktrin Zoroaster diwarisi oleh Manicheisme dan diramu dengan dualisme Yunani. Tuhan akhirnya dianggap sebagai person dan juga materi.

53

Bagi orang Mesir kuno Ré adalah tuhan matahari simbol kehidupan dan kebenaran. Lawannya adalah Apophis lambang kegelapan dan kejahatan. Deva dalam agama Hindu adalah tuhan baik, musuhnya adalah asura tuhan jahat. Di Babylonia peperangan antara Marduk dan Tiamat adalah mitos yang mewarnai worldview mereka. Mitologi Yunani selalu menampilkan peperangan Zeus dengan Titans. Di Jerman perang antara Ases dan Vanes, meski berakhir damai. Dalam filsafat, Pythagoras adalah dualis. Segala sesuatu diciptakan saling berlawanan: satu dan banyak, terbatas tak terbatas, berhenti-gerak, baik-buruk dan sebagainya. Empedocles setuju dengan Pythagoras, baginya dunia ini dikuasai oleh dua hal, cinta dan kebencian. Plato dalam dialog-dialognya memisahkan jiwa dari raga, inteligible dari sensible. Tapi apakah dualisme itu benar-benar realitas? Atau sekedar persepsi yang menyimpang? Sebab nilai-nilai monistis persepsi yang menyimpang? Sebab nilai-nilai monistis (kesatuan) dalam realitas juga ada dan riil. Heraclitus dan Parmenides mengkritik dualisme Pythagoras. Banyak itu pun berasal dari yang satu yang abadi. Yang dianggap saling berlawanan itu sebenarnya membentuk kesatuan dan tidak bisa dipisahkan. Aristotle ikut-ikutan. Dualisme Plato juga tidak benar. Jika jiwa diartikan bentuk (form) dari raga alami yang berpotensi hidup maka jiwa adalah pasangan raga. Jadi jiwa dan raga adalah suatu kesatuan. Tapi Aristotle ternyata masih dualis juga. Ia memisahkan akal dari jiwa. Dalam kepercayaan kuno pun unsur monisme juga wujud. Marduk ternyata turunan dari Tiamat. Zeus dan Titan berasal dari moyang yang sama. Leviathan ternyata diciptakan Tuhan. Pemberontak Mahabharata adalah dari keluarga yang sama. Dalam agama Zoroaster, kebaikan selalu dinisbatkan kepada Ahura Mazda atau Ohrmazd sedangkan kejahatan disifatkan kepada Ahra Mainyu atau Ahriman. Tapi dalam kitab Gathas, kebaikan dan kejahatan adalah saudara kembar dan memilih salah satu karena kehendak.

54

Para pemikir Kristen mulanya memilih ikut Plato, tapi mulai abad ke 13 mereka pindah ikut Aristotle dengan beberapa modifikasi. Di zaman Renaissance dualisme Plato kembali menjadi pilihan. Tapi pada abad ke 17 Descartes memodiflkasinya. Baginya yang riil itu adalah akal sebagai substansi yang berpikir (substance that think) dan materi sebagai substansi yang menempati ruang (extended substance). Teori ini dikenal dengan Cartesian dualism. Tujuannya agar fakta-fakta di dunia materi (flsika) dapat dijelaskan secara matematis geometris dan mekanis. Kant dalam The Critique of Pure Reason mengkritik Descartes, tapi dia punya doktrin dualismenya sendiri. Pendek kata Neo-Platonisme, Cartesianisme dan Kantianisme adalah filsafat yang mencoba merenovasi doktrln dualisme. Tapi terjebak pada dualisme yang lain. Perang antara monisme dan dualisme. sejatinya adalah pencarian konsep ke-esa-an (tauhid). Peperangan itu digambarkan dengan jelas oleh Lovejoy dalam bukunya The Revolt Against Dualism. Fichte dan Hegel, misalnya juga mencoba menyodorkan doktrin monisme, tapi bagaimana bentuk kesatuan kehendak jiwa dan raga, tidak jelas. Nampaknya, karena arogansi akal yang tanpa wahyu (unaided reason) maka monisme tersingkir dan dualisme berkibar. Jiwa dan raga dianggap dua entitas. Seorang dualis melihat fakta secara mendua. Akal dan materi adalah dua substansi yang secara ontologis terpisah. Jiwa-raga (mind-body) tidak saling terkait satu sama lain, karena beda komposisi. Akal bisa jahat dan materi bersifat suci. Atau sebaliknya,jiwa selalu dianggap baik dan raga pasti jahat. Padahal dari jiwalah kehendak berbuat jahat itu timbul. Dalam Islam kerja raga adalah suruhan jiwa (innama al-a’mal bi al-niyyat). Karena itu ketulusan dan kebersihan jiwa membawa kesehatan raga. Dualis dikalangan antropolog pasti memandang manusia . Dualis dikalangan antropolog pasti memandang manusia dari dua sisi: akal dan nafsu, jiwa dan raga, kebebasan dan taqdir (qadariyyah &jabariyyah). Dalam fllsafat ilmu, dualisme pasti merujuk kepada dikotomi subyek-obyek, realitas subyektif dan obyektif.

55

Kebenaran pun menjadi dua kebenaran obyektif dan sobyektif. Bahkan di zaman postmo kebenaran ada dua absolute dan relatif. Dalam lslam konsep tauhid inherent dalam semua konsep, tentunya asalkan sang sobyek berpikir tauhidi. Nampaknya doktrin dualisme telah memenuhi pikiran manusia modern, termasuk pelacur itu. Pernyataan pelacur itu tidak beda dari dialog dua sejoli dalam film indecent Proposal, "I slept with him but my heart is with you". Seorang dualis bisa saja berpesan ”lakukan apa saja asal dengan niat baik". Anak muda Muslim yang terjangkiti pikiran liberal akan berkata ’jalankan syariat sesuka hatimu yang penting mencapai maqasid syariah”. Kekacauan berpikir inilah kemudian yang melahirkan istilah ”penjahat yang santun”, "koruptor yang dermawan", "ateis yang baik", "Pelacur yang moralis", dan seterusnya. Mungkin akibat ajaran dualisme pula Pak Kyai menjadi salah tingkah dan berkata "Hati saya di Mekkah, tapi otak saya di Chicago“. Dualisme akhirnya bisa menjadi perselingkuhan intelektual. Hatinya berzikir pada Tuhan tapi pikirannya menghujatNya.

56

Pluralisme dan Islam Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi ________________________________________________________________________

Ketika fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengharamkan Pluralisme Agama, tidak banyak yang protes, kecuali beberapa gelintir penganut pluralis liberal. Sayang, protes itu tidak ditanggapi Majelis Ulama Indonesia dengan penjelasan yang ilmiah, detail dan dapat dipertahankan. Mungkin itulah sebabnya mereka yang protes itu kini terus mengembangkan paham ini melalui berbagai proyek. Untuk itu penjelasan mengenai apa hakekat pluralisme agama itu perlu dihadirkan sekali lagi. Sebelum Majelis Ulama Indonesia menghasilkan fatwa itu, Jurnal pemikiran dan peradaban ISLAMIA pada edisi 3 dan 4 telah membahas panjang lebar paham ini. KH. Salahuddin Wahid menantang para pengkritik fatwa untuk menjelaskan maksud mereka, apakah seperti yang dimaksud ISLAMIA atau makna yang lain. Namun, hingga pihak pengkritik fatwa itu juga tidak tegas pluralisme apa yang mereka bela itu. Sebenarnya, paham Pluralisme Agama lahir dari doktrin pluralisme. Di Barat pluralisme memiliki akar yang dapat dilacak jauh ke belakang, tapi yang paling dominan adalah akar nihilisme dan relativisme Barat postmodern. Dari berbagai kamus pluralisme dapat bermakna dua hal: Pertama, Pengakuan terhadap kualitas majemuk atau toleransi terhadap kemajemukan. Kedua, Doktrin yang berisi a) Pengakuan terhadap kemajemukan prinsip tertinggi, b) Pernyataan tidak ada jalan untuk menyatakan kebenaran yang tunggal atau kebenaran satu-satunya tentang suatu masalah c) Ancaman bahwa tidak ada pendapat yang benar, atau semua pendapat itu sama benarnya. 57

d) Teori yang seirama dengan relativisme dan sikap curiga terhadap kebenaran (truth). e) Pandangan bahwa disana tidak ada pendapat yang benar atau semua pendapat adalah sama benarnya. (No view is true, or that all view are equally true). (Lihat, The Golier Webster Int. Dictionary Of The English Language; Oxford Dictionary of Philosophy; Oxford Advanced Learners’ Dictionary of Current English). Jadi dari makna pluralisme saja sudah terdapat ide yang mencurigai kebenaran atau paham relativitas kebenaran. Pluralisme dalam pengertian pertama adalah toleransi, dimana masing-masing agama, ras, suku dan kepercayaan berpegang pada prinsip masing-masing dan menghormati prinsip dan kepercayaan orang lain. Pluralisme dalam arti kedua sudah tidak berpegang pada suatu dasar apapan. Masyarakat, harus menerima kenyataan bahwa disana tidak ada kebenaran tunggal artinya mereka benar, atau masyarakat tidak boleh memiliki keyakinan bahwa agama dan kepercayaan mereka itu benar atau paling benar. Bahkan dalam satu pengertian pluralisme mengajarkan bahwa sebenarnya kebenaran itu tidak ada. Sebenarnya wacana pluralisme tidak bisa lepas dari pemikiran Barat postmodern. Sebab menurut Akbar S. Ahmed, dalam bukunya Postmodernism and Islam postmodernisme diwarnai oleh doktrin pluralisme. Selain itu postmodernisme selalu menjadikan fundamentalisme sebagai musuh utamanya dan cara menghadapinya adalah menebar pluralisme. Doktrin utamanya adalah nihilisme dan relativisme. Jadi, target utama pluralisme sebenarnya adalah agama dan kepercayaan. Sebab begitu seseorang berbicara masalah pluralisme secara sosiologis, ia otomatis membahas teologi atau agama juga.

58

Di antara tokoh pendukung paham pluralisme adalah Peter Ludwig Berger, seorang sosiolog Amerika dan juga teolog Lutheran. Dalam bukunya The Desecularization of the World Peter menyatakan bahwa sekularisasi telah gagal, sebab praktek keagamaan ternyata justru bertambah subur dan desekularisasi malah dominan. Oleh sebab itu dalam The Social Construction of Reality ia mengusulkan gantinya yaitu penyebaran paham pluralisme. Berger beralasan bahwa meskipun agama masih sebagai faktor sosial yang kuat, namun pluralisme dan dunia yang global telah merubah pengalaman keberagamaan individu. Pluralisme yang dihidupkan, disebarkan dan diperkuat oleh globalisasi itu menjadi fakta kehidupan sosial dan kesadaran individual. Pada tingkat institusional, agama tidak lagi punya otoritas. Dan dalam masyarakat demokrasi liberal dimana kebebasan beragama dijamin, agama tidak bisa lagi menjadikan negara sebagai sandaran. Sejalan dengan kapitalisme otoritas itu seperti pasar, siapa saja bebas memiliki otoritas. Bahkan masyarakat akan lebih kuat menganut doktrin pluralisme daripada menganut suatu agama, tegas Berger. Lebih ekstrim dari Berger, Diana L. Eck dalam The Challenge of Pluralism, tegastegas menyatakan bahwa pluralisme bukan sekedar toleransi antar umat beragama, tidak pula sekedar menerima pluralitas (diversity). Dalam bukunya From Diversity to Pluralism ia “membayangkan” bahwa pluralisme adalah “peleburan” agama-agama menjadi satu wajah baru yaitu realitas keagamaan yang plural. Pada pemikiran Diana ini, nampak sekali muatan relativismenya. Sebab ia juga menyarankan agar agama-agama bersedia membuka diri dan menerima kebenaran yang ada pada agama lain.

59

Alasannya karena setiap agama mengandung porsi kebenaran. Ini jelas sekali menunjukkan bahwa Diana sependapat dengan ide bahwa semua agama itu sama benarnya dan tidak ada agama yang lebih benar dari agama lain. Dari definisi dan penjabaran singkat diatas, pluralisme sudah mengandung makna relativisme. Jadi klaim bahwa pluralisme adalah sebuah doktrin sosial ternyata menyentuh aspek teologis. Maka dari itu pluralisme dan pluralisme agama, seperti yang akan dijelaskan berikut ini, ternyata tidak beda. Kecuali jika ada yang memahami pluralisme hanya setingkat toleransi. Paham pluralisme agama terdiri dari dua aliran besar yaitu teologi global (global theology) atau teologi dunia (world theology) dan kesatuan transenden agama-agama (transcendent unity of religions). Yang pertama dicetuskan oleh John Hick dan Wilfred Cantwell Smith, sedangkan yang kedua oleh Fritjhof Schuon. Pertama yaitu teologi global berambisi untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi proyek globalisasi Barat. Pendekatan yang dipakai aliran teologi global terhadap agamaagama awalnya bersifat sosiologis, kultural dan ideologis. Bersifat sosiologis dan kultural karena agama-agama yang ada di dunia ini harus disesuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat modern yang plural. Ideologis sebab ia telah menjadi bagian dari program gerakan globalisasi yang jelas-jelas memasarkan ideologi Barat. Akibatnya, menurut Malcom Walter globalisasi yang datang bersama dengan kapitalisme ini malah membawa kekuatan baru yang menghapus otoritas agama, politik, militer dan sumber kekuatan lainnya. Karena kenyataannya gerakan globalisasi ini telah membawa ideologi baru yang bertujuan agar semua menjadi terbuka dan bebas menerima ideologi dan nilai-nilai kebudayaan Barat seperti demokrasi, Hak Asasi Manusia, feminisme/gender, liberalisme dan sekularisme. (Lihat Dr. Amir al-Roubaie, “Globalisasi dan Posisi Peradaban Islam”, dalam Jurnal pemikiran dan peradaban Islam ISLAMIA, Edisi 4, 2004 )

60

Jadi globalisasi Barat itu seakan-akan berdiri didepan semua agama dan memberi instruksinya “Ikut globalisasi Barat atau tertinggal dan ditinggal”. Posisi seperti inilah yang disampaikan oleh Peter Berger. Semua penganut agama, katanya, hanya ada tiga pilihan: menolak pluralisme, menarik diri dari padanya atau terlibat dengannya. Semua pilihan memiliki kesulitan dan resiko masing-masing, tapi hanya dengan terlibat dalam suatu agama akan menjadi sejalan dengan demokrasi liberal. Setelah menggunakan pendekatan sosiologis, kultural dan ideologis aliran ini menggunakan pendekatan filosofis, terutamanya doktrin relativisme. Doktrin relativisme kebenaran digunakan oleh John Hick dan juga Diana L. Eck untuk melebur batas agamaagama (eksklusifisme). Dalam bukunya an Interpretation of Religion Hick menyatakan bahwa kebenaran itu relatif yang absolut hanya Tuhan dan manusia tidak pernah mampu memahami Tuhan. Apa yang dipahami manusia mengenai Tuhan hanyalah bersifat relatif.

Selain itu Hick juga

mengadopsi teori Copernican Revolution yaitu yang merevolusi prinsip geosentris menjadi heliosentris. Jika Copernicus memindahkan pusat gravitasi dari bumi ke matahari maka Hick memindahkan pusat gravitasi teologi dari agama-agama kepada Tuhan (Religioncentredness to God centredness). Kalau dulu setiap agama menjadi pusat yang dikelilingi tuhan, maka kini dirubah tuhanlah yang dikelilingi agama-agama. Artinya dari banyak agama banyak tuhan menjadi banyak agama satu Tuhan. Berbeda dari Hick yang mengusung globalisasi, doktrin kesatuan agama-agama Schuon menebarkan ide bahwa agama dibagi menjadi dua: tingkat eksoterik (lahiriyah) dan esoterik (batiniyah). Pada tingkat eksoterik agama-agama mempunyai tuhan, teologi, ajaran yang berbeda. Namun pada tingkat esoterik agamaagama itu menyatu dan memiliki tuhan yang sama yang abstrak dan tidak terbatas. Doktrin pluralisme agama ini kini disebarkan kedalam wacana pemikiran Islam. Pengikut pertama doktrin teologi global dari Islam adalah Hasan Askari, sedangkan pengikut doktrin kesatuan transenden agama-agama adalah S.H. Nasr, namun pencetusnya sendiri Schuon yang dulunya Yahudi itu konon telah masuk Islam dan tetap pluralis. Para

61

cendekiawan Muslim yang mengadopsi paham ini sekurangnya ada tiga kelompok. Pertama, Mereka yang memahami doktrin dan mempunyai agenda tersendiri. Kedua, Mereka yang tidak memahami doktrin ini karena pemikirannya terbaratkan. Ketiga, Mereka yang tidak memahami doktrin ini dan terbawa oleh wacana umum. Dari kelompok pertama dan kedua inilah muncul istilah-istilah asing seperti Islam inklusif, Islam pluralis, pluralisme dalam Islam dan sebagainya. Selain itu mereka juga mencari-cari justifikasi dari al-Qur’an dan Hadis. Cara yang mereka gunakan adalah dengan mendekonstruksi makna ayat dan hadis untuk disesuaikan dengan tujuan mereka. Jadi prinsip pluralisme ala Peter L. Berger, Diana L. Eck atau lainnya atau doktrin pluralisme agama ala John Hick dan Schuon tidak berbeda. Pluralisme bukan prinsip mengenai toleransi, tapi relativisme kebenaran yang mengajarkan bahwa “Semua agama adalah sama”. Di Barat pluralisme telah meresahkan dan merugikan pihak gereja, seperti yang akan dibahas sebentar lagi. Tapi di negeri ini para aktifis LSM menganggapnya “berkah” melimpah. Para cendekiawan dan beberapa ulama menerimanya dalam domain “ijtihad”, karena dianggap “baru” dan berdimensi universal meski asing bagi umat. “Ijtihad” pendukung pluralisme (baca: liberalisme) di negeri ini lebih maju dari wacana para teolog Barat. Mereka telah sampai tahap “berani” membuka “pintu-pintu” surga bagi semua umat beragama. Tapi mereka lupa ketika membuka pintu surga lebarlebar, mereka belum menunjukkan jalan-jalan menuju pintu-pintu itu secara pasti, karena semua jalan adalah relatif. Boleh jadi, demi pluralism agama di satu saat nanti menjelang ajal seorang Kyai boleh dibaptis, dan setelah dikubur seorang pendeta boleh ditalqin, agar di alam sana bisa ada alternatif surga yang menurut mereka sangat “plural” itu.

62

Lagenhausen seorang Muslim mengkritik keras faham ini, “Tujuan pluralisme untuk membangun toleransi itu baik tapi terlepas apapun tujuannya, konsepnya salah”, tulisnya (Dr Muhammad Legenhausen, Islam and Religious Pluralism Journal Al-Tawhid, Vol. XIV, No. 3 ). Menurut HAMKA orang yang menyatakan bahwa semua agama adalah sama, sebenarnya dia sendiri tidak beragama. Jika ini makna pluralisme yang dimaksud kelompok pluralis liberal, maka fatwa Majelis Ulama Indonesia itu sungguh benar adanya.

63

TIMUR Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi

Ketika saya berkunjung ke perpustakaan Islamic Research Academy di Leicester Inggris, photo copy disitu mendadak macet dan tidak ada yang nampak bisa memperbaiki. Tiba-tiba seorang yang berjanggut panjang dan berpakaian salwar gamis mencoba mengotak-atik mesin itu. Saya yakin dari logat Inggrisnya dia orang Pakistan atau India. Banyak yang antri photo copy waktu itu. Semua setengah kesal dan tidak sabar. Dan akhirnya dengan mudah mesin itu berfungsi kembali. Kisahnya sederhana dan tidak penting. Yang penting apa yang dikatakannya kemudian. Sambil tersenyum dia berkata: “You see! wisdom always come from the East”. Lho! apa hubungannya? Kami diam sejenak, tapi kemudian tertawa renyah. Rasanya kami sedang memperolok-olok teknologi Barat. Teknologi itu kecil! Tidak ada apa-apanya dibanding wisdom dari Timur. Tapi, itu hanya olok-olok. Makna Timur atau “orient” dapat dipahami hanya dalam konteks Barat “occident”. Ini bukan klasifikasi geografis dan nama dua mata angin. Tidak jelas siapa yang memulai mengolok-olok “kamu orang Timur! kamu orang Barat!”. Yang pasti orientalisme mendahului occidentalisme. Kini siapa yang disebut “orang Timur” dan “orang Barat” sudah jelas. Timur, kata Edward Said, adalah masyarakat dan bahkan spirit yang menakutkan Barat. (Orientalism, hal. 1-2). Bahasa Edward nampak agak kasar, tapi gambaran yang tepat untuk fenomena perseteruan. Timur dan Barat bahkan seperti dua kutub yang mustahil bertemu. Saya lalu teringat dengan Iqbal. Ia memberanikan diri menghubungkan kutub itu dengan pesanpesannya. Dia sadar tidak banyak yang berani menyampaikan pesan kepada Barat. Ia menulis: “Saya tahu di kegelapan Timur, tidak ada cahaya tangan Musa atas Fir’aun”.

64

Pesan Iqbal untuk Barat dikompilasi dalam bentuk puisi, tahun 1923, berjudul Payam-i-mashriq (Pesan dari Timur). Pesan ini disampaikan sebagai jawaban atas ratapan Goethe seabad sebelumnya. Goethe (1749-1832) menulis buku West-Oestlicher Divan. Ia meratapi mengapa pandangan manusia Barat menjadi sangat materialistis. Ia berharap Timur dapat membawa misi yang menjanjikan nilai-nilai spiritual. Iqbal menjawab, moralitas dan agama itu penting bagi peradaban bung! Hidup ini tidak akan pernah meningkat tanpa memahami makna spiritualitas. Ratapan Goethe dan pesan Iqbal masih tetap relevan hingga kini. Nyatanya para pendeta Kristen di Barat masih terus menyesali “spirituality has gone to the East”. Barat memang materialistis, individualistis dan mematikan rasa belas kasih dan persaudaraan antar manusia, kata Iqbal. Maka ia kemudian berpesan: “Wahai penghuni negeri-negeri Barat, alam milik Tuhan ini bukan toko. Yang kau anggap barang berharga akan terbukti bernilai rendah. Peradaban anda akan bunuh diri dengan pisau anda sendiri. Sarang yang dibangun di atas dahan yang rapuh tidak bertahan lama.” Bait terakhir itu ia ulangi lagi dalam Bang-i-Dara “Peradaban yang hanya berdasarkan kapitalisme tidak akan berumur panjang”. Pasalnya tentu, karena kekurangan asas moralnya dan lack of wisdom. Sejalan dengan kegelisahan Goethe, pesan Iqbal dialihkan ke Karl Marx (18181883). Iqbal kagum pada gagasan ekonomi Marx. Karena terlalu kagum, ia menyebut Marx sebagai “nabi” tanpa wahyu”. Orang seperti Marx boleh jadi “hatinya beriman tapi otaknya kafir”. Karena itu, pesan Iqbal, baiknya Marx kembali kepada agama dan nilai-nilai spiritual. Pesan itu secara puitis dituangkan dalam Javid Namah “Orang Barat kehilangan visi tentang surga. Mereka berburu mencari spirit murni dari perut.”

65

Iqbal pun berpesan kepada Nietzsche (1884-1900). Nietzsche adalah pemikir cengeng. Ia merintih bagai orang tua dan menangis cengeng seperti anak kecil. Ketika pikirannya buntu ia menangis “where is man”. Siapa yang bisa saya “orangkan”. “Aku perlu guru (master)”, katanya. Master yang bisa membimbing jiwa. Sayangnya teriakannya tidak bisa memanggil orang semerdu azan, dan tidak mampu mengusik telinga sekuat musik rock. Tangisan Nietzsche adalah nyanyian spiritual yang tidak lagi digubris di Barat. Mencari guru spiritual di Barat hanyalah utopia. Anehnya, dalam kesunyian spiritualnya dan kebuntuan intelektualnya Nietzsche menawarkan gagasan Superman. Iqbal pun segera tahu, gagasan itu pinjaman dari literatur Islam atau Timur. Sayangnya baju Superman itu tidak berlabel S (baca: Spiritualisme), tapi M (baca: Materialisme). Superman “ciptaannya” hanyalah makhluk biologis yang tanpa moral dan spiritual. Nietzsche hanya membuang tenaga dan waktu saja, kata Iqbal. Gagasan Superman, tanpa melibatkan realitas khudi (Tuhan) adalah omong kosong. Pancaran sinar matanya hanya dapat menembus dimensi fisik. Konsepnya hanya setingkat kemanusiaan (nasut). Masih ada dua tingkat lagi yang belum dilalui: realisasi diri dalam konteks sosial dan kesadaran ketuhanan (lahut). Iqbal pun gregetan: “Kalau orang Barat itu (maksudnya Nietzsche) masih hidup hari ini, tentu aku akan menjelaskan tingkat Kesadaran Ketuhanan ini”. Mestinya Superman diganti dengan Insan Kamil, kombinasi dari kesadaran ketuhanan (lahut) dan kemanusiaan (nasut). Masih soal manusia, Iqbal juga berpesan kepada kaum Feminis. Gerakan wanita modern ini, kata Iqbal, memisahkan wanita dari tanggungjawab biologisnya. Peranan tertinggi wanita itu adalah ibu bangsa.

66

Tapi wanita modern terlanjut menabur benih individualisme. Kodrat kewanitaan dikorbankan untuk mengisi perut. Ini sama saja dengan bunuh diri, lanjutnya. Hasilnya wanita Barat hanya memiliki kebebasan dan sanjungan. Sementara wanita Timur juga memiliki kebebasan tapi dengan segala kehormatan dan penghargaan (with respect and honor). “Barat tidak memahami wisdom dibalik kerudung wanita Timur”, katanya.

Jadi, benarkah wisdom selalu datang dari Timur? Rabindranath Tagore peraih hadiah Nobel sastra dari India membenarkan. Kata bijak “Cintailah musuhmu” diucapkan Nabi dari Timur. ”Taklukkan kemarahan dengan kesabaran, kejahatan dengan kebaikan” juga wisdom Nabi yang lain dari Timur. Tapi katakata “Kenali Musuhmu”, vini, vidi, vici, we are the super power dan sebagainya keluar dari mulut orang Barat.

Tapi Tagore tidak selugas Iqbal. Ia sering menyampaikan pesan dari Timur ke Barat, Tapi ia seperti ragu apakah Barat akan mendengar pesan-pesannya. Di Jerman ia pernah menulis: “Namaku matahari. Hingga kini aku hanya menyinari Timur. Kini sang matahari beranjak ke Barat. Untuk melihat apakah ia dapat menyinari negeri-negeri itu, sehingga mereka mengalihkan pandangan kepadanya, Yang tidak mempedulikan Timur atau Barat. Tagore tidak punya rasa like dan dislike kepada Barat, ia malah tidak peduli Timur atau Barat. Orang Barat yang bijak mestinya juga begitu. Orang Timur yang bijak malah menegur Barat, seperti tangan Musa menegur Fir’aun. Hanya orang Timur yang “tolol” dan tidak tahu Timur akan membenci Timur. Persis seperti kata Gai Eaton, dalam King of Castle: The core of all stupidity is lack of self knowledge.

67

Goethe dan Tagore sama bijaknya. Tagore tidak peduli Timur atau Barat, Goethe menganggap Timur dan Barat sama-sama milik Tuhan. Ia menulis:

Gottes ist der Orient, Gottes ist der Okzident.

Tuhan adalah pemilik Timur. Tuhan adalah pemilik Barat. Luar biasa! Orang mungkin terperangah dengan diktum Goethe ini. Tapi A. Dasgupta penulis buku Goethe and Tagore, segera tahu ternyata Goethe diam-diam memplagiat ayat al-Qur’an, wa lillaahi al-mashriq wa al-magrib. Hanya saja pada bait selanjutnya Goethe menambahi “The Northland and the Sotherrn land, Rest in the quiet of His hand”. Masalahnya, Barat itu milik Tuhan tapi Barat sendiri tidak memiliki Tuhan.

Jadi, benarkah wisdom selalu datang dari Timur? Benar!, Kalau setuju bahwa Timur (syarq) adalah tempat terbit dan Barat adalah tempat tenggelam (gharb). Faktanya semua agama terbit dari Timur, tapi ketika di Baratkan (seperti Kristen) ia justru tenggelam. Mungkin pengakuan Hakim Agung Amerika Serikat tahun 70an William O. Douglas seperti membenarkan kata orang berjanggut di Leicester itu “One great contribution of the East to the West is charity or love, as epitomized by Muhammad….”. itulah hikmah atau wisdom itu.

68

PLURALISME DAN GEREJA Oleh: Dr. Hamid Fahmy Zarkasyi

"Our goal is a Christian nation. We have a Biblical duty, we are called by God, to conquer this country. We don't want equal time. We don't want pluralism." Randall Terry, Founder of Operation Rescue. Jika Christian Nation diganti Daulah Islamiyah, dan Biblical Duty diganti Jihad dan God ditukar Allah, pasti penulisnya jadi buronan. Dalam standar buku When Religion Become Evil karya Charles Kimbal, Randall dan agama Kristen sudah tentu masuk kategori agama jahat (evil) dan melanggar HAM. Jika Randall pernah membaca tulisan Akbar S. Ahmed tahun 90an bahwa “Postmodernisme dipicu oleh semangat pluralisme”, berarti Randall tengah melawan arus kebudayaan Barat postmodern. Sebab ia pasti tahu bahwa pluralisme menjadi ordo di zaman postmo. Padahal di Barat siapa melawan faham ini, termasuk Randall pasti dapat stigma intoleran, mungkin juga teroris. Sudah jamak postmodernisme lahir sebagai kemurkaan terhadap modernisme dan kejengkelan terhadap nilai dan kebenaran (nihilisme). Pluralisme menurut Peter Berger, (1967) merupakan alternatif pengganti sekularisme yang telah gagal di dunia Islam. Kalau al-Attas menganggap sekularisme sebagai program, kita bisa yakin pluralisme adalah proyek postmodernisme. Dilaksanakan dengan dana, strategi dan agenagen untuk setiap Negara dan agama. Dipopulerkan oleh tokoh dan didukung tokoh populer. Dipromosikan pada dua wilayah sekaligus yakni sacred, dan profane. Tidak mudah tapi ini proyek peradaban. Karena itu makna pluralisme dibuat ambigu. Misi umumnya adalah memberangus fundamentalisme, persis seperti postmo. Tapi makna istilahnya dibuat bersayap. Terkadang bermakna toleransi dan disaat lain berarti relativisme.

69

Tapi kalangan agamawan Kristen telah mencium trik ini. Robert E. Regier & Timothy J. Dailey misalnya dalam Religious 'Pluralism' or Tolerance?", sudah menaruh curiga. Menurutnya, banyak orang hari ini yang dibingungkan oleh istilah toleransi keagamaan tradisional Barat dengan pluralisme agama. Pluralisme agama berarti semua agama sama-sama valid. Jika demikian, lanjutnya, maka akan terjadi relativisme moral dan ketidakberaturan etika (ethical chaos). Kesan Rick Rood, seorang tokoh Katholik lainnya, juga sama “Dalam pluralisme agama semua agama adalah sama-sama benarnya sebagai jalan menuju Tuhan”. Bahkan John Stott, teolog Anglican (dalam interview tahun 1998) tidak hanya curiga. Ia menuduh target pluralisme pada akhirnya adalah melarang penyebaran agama, khususnya Kristen (evangelisme). Sudah tentu trik ini tidak dipahami oleh para blind supporter pluralisme. Padahal diantara narasumber mereka yaitu Diana L. Eck, pimpinan proyek pluralisme Amerika, tidak menafikan sayap relativisme itu. Menurutnya agamaagama dan pandangan hidup sekuler adalah sama benar dan validnya. Benar jika dilihat dari dalam kulturnya sendiri. Untuk itu, kata Diana L. Eck., dalam The Challenge of Pluralism, pluralitas harus digandengkan dengan pluralisme. Pengakuan terhadap pluralitas agama-agama tidak cukup, harusnya juga mengakui realitas kebenaran agama-agama, tegasnya. Kini makna toleransi dan relativisme dalam pluralisme telah dibumikan menjadi makna sosiologis dan teologis. Tapi ini justru merungsingkan pihak gereja. Dr. Dawe Robert L. Dabney dalam Christian Century May 12, 1982 menulis bahwa gaung pluralisme telah memasuki ruang-ruang gereja. “Namun pemahaman kita cenderung sosiologis daripada teologis” tulisnya. Tapi secara sosiologis sekalipun, menurut profesor teologi di Union Theological Seminary, Richmond, Virginia itu masih terdapat sisi negatifnya. Negatifnya gereja harus menerima berbagai pandangan baik konservatif ataupun liberal, yang saleh atau yang brengsek, feminis atau tradisionalis, aliran kiri atau kanan. Artinya nanti aliran setan sekalipun harus ditolerir.

70

Jadi sebenarnya mendukung pluralisme sosiologis juga masih riskan secara teologis. Orang diluar gereja merasa aman dari upaya penyingkiran. Tapi secara teologis mengakui keragaman kebenaran termasuk ateisme justru bertentangan secara teologis dengan gereja dan agama manapun. Itulah sebabnya uskup pertama Baltimore Dr. Dawe John Carroll bingung, jika gereja bersikap terlalu eksklusif Kristen menjadi tidak laku di pasaran yang penuh persaingan. Jika bersifat inklusif atau pluralis maka berarti mengakui semua sebagai samasama benar adanya. Ini masalah. Namun mereka tidak sadar dampak sosial ternyata tidak sebesar konsekuensi religius. Sebab ternyata para peneliti menemukan bahwa pluralisme agama melemahkan keterlibatan masyarakat dalam agama. Penelitian Finke dan Stark (1988) menyimpulkan bahwa pluralisme menghilangkan kegairahan beragama. Ketika Negara atau lembaga publik tidak lagi mengobarkan kebaikan suatu agama, maka pemeluk agama-agama itu akan kehilangan kualitas atau intensitas keimanan atau kepercayaan pada agamanya. Akibatnya, keterlibatan masyarakat pada agama menjadi turun. Semakin pluralis seseorang semakin rendah semangatnya pergi ke gereja, begitulah simpul Finke dan Stark. Lebih jeli lagi adalah kesimpulan Kenneth R. Samples, Abad dua puluh telah membawa tantangan yang tidak ada duanya dalam sejarah Kristen. Pada abad ini relevansi Kristen dan kebenarannya yang tertinggi telah dipertanyakan untuk pertama kalinya. Penghinaan terhadap klaim kebenaran Kristen yang sentral datang dari dua kelompok berbeda: humanis sekuler yang ateis dan suasana pluralisme agama yang terus berkembang (The Challenge of Religious Pluralism, Christian Research Journal) Kesimpulan Sensus Olson and Hadaway (1998) di Kanada juga sama. Pluralisme menggerogoti semangat masyarakat dalam kegiatan keagamaan di Amerika Utara. Stark dan Bainbridge (1987) juga mencatat ketika seseorang berbeda pendapat tentang (ajaran) suatu agama, maka salah satunya akan berkurang keimanannya. Tapi anehnya, Berger,

71

salah seorang konseptor pluralisme, berkesimpulan bahwa secara kognitif pluralisme agama telah menjadikan individu sulit mengimani agama tertentu. Selain itu kesimpulan Joseph M. Mcshane, S.J., Dosen religious studies di LeMoyne College di Syracuse, New York menarik dicermati. Dalam masa 200 tahun gereja-gereja Amerika menikmati “karunia” pluralisme tapi pada kurun waktu 40 tahun terakhir, gereja akhirnya harus menanggung efek pluralisme yang merusak. Kini di Amerika orang sulit membedakan antara penganut Katholik dan orang awam. Mengamati situasi diatas Gregory Koukl, rekan John Scott menjadi marah dan emosional mirip Randall. Dengan tegas dan blak-blakan ia mengatakan “Saya rasa konsep pluralisme agama masa kini adalah bodoh (stupid). Konsep bodohnya adalah ide bahwa semua agama pada dasarnya sama-sama benar”. Emosinya tercermin dari serapah dalam bahasa informal Amerikanya That is just flat out stupid.

72

KOMUNISME Oleh: Dr Hamid Fahmy Zarkasyi

Di Barat ketika Katolik tidak bicara kehidupan di dunia, Protestan mulai menyoal "Mengapa agama tidak menjamin kemakmuran hidup". Mereka pun bekerja keras untuk hidup makmur. Hidup makmur tidak cukup, makmur harus dijamin oleh kapital yang besar dan bertahan lama. Mereka pun terbukti sukses. Max Weber mencatat, bahwa ternyata di abad ke 16, di Jerman, kapitalis dan pengusaha besar serta pekerja yang terampil di perusahaan-perusahaan modern adalah kaum Protestan. Jadi kapitalis-kapitalis itu hanya ingin hidup makmur. Tapi makmur ternyata perlu sistim dan kekuasaan yang melibatkan masyarakat. Dari sini sistim sosial, sistim pasar, sistim pemerintahan pun berkembang bersama kapitalisme. Singkatnya lahirlah kapitalisme sebagai sistim ekonomi dan sosial. Tujuan akhirnya kemakmuran. Kemakmuran gaya kapitalisme bukan tanpa cacat. Maka pada awal abad ke 19 lahirlah gerakan sosialisme. Robert Owen (1771-1858) di Inggris dan Saint Simon (17601825) di Perancis adalah diantara perumusnya. Ide dasarnya tetap bagaiman hidup makmur. Tapi makmur ala sosialis mengutamakan kebersamaan. Sistim dikontrol dan dicengkeram penguasa. Pribadi dikalahkan oleh rakyat dan buruh. Sosialisme pun diikuti oleh komunisme. Paham yang dicetuskan oleh Karl Marx ini memusuhi kapitalisme dan segala sistimnya. Kapitalis-kapitalis itu dianggap menindas kaum buruh. Pimpinan Negara adalah borjuis dan kaum buruh adalah proletar. Keduanya diteorikan sebagai musuh abadi. Jika kapitalis bersaing dengan sistim pasar bebas, komunis melawan dengan cara apapun. Jika kapitalis menciptakan persaingan dengan cara kejam, komunis tidak kalah kejamnya menciptakan konflik dan jika perlu pertumpahan darah untuk mencapai tujuan. Jika kapitalis tidak lagi mementing kan Tuhan, kaum komunis mengingkari adanya Tuhan. Jika kapitalis dengan sis tim ekonominya menciptakan masya rakat elitis, komunis

73

menciptakan masya rakat tanpa kelas. Masalahnya, kapitalisme menghasilkan pertumbuhan ekonomi tapi melupakan pemerataan. Sedangkan komunisme mengobesikan pemerataan tapi tidak memikirkan partumbuhan. Kini kapitalisme menguasai sistim ekonomi Negara-negara Eropah dan bahkan sistim ekonomi dunia. Namun, kesejahteraan dan kemakmuran yang dibawa sistim ini ternyata hanya dinik mati oleh segelintir orang. Sistim eko nomi kapitalis ternyata berdampak buruk pada tata sosial-politik. Persaingan pasar berdampak pada persaingan politik dan persaingan politik-ekonomi berujung pada pertumpahan darah pula. Sedangkan komunisme sebagai sistim social ekonomi, belum memberi kan apa-apa kepada rakyat yang diperjuangkannya. Obsesi untuk bisa makmur bersama gagal. Hampir semua Negara komunis adalah miskin (proletar), sedang kan para pemimpinnya ternyata tidak beda dari borjuis-borjuis kapitalis. Cita-cita ideologi komunis adalah membela rakyat kecil. Tapi di negerinegeri yang rakyatnya telah makmur, komunis kehilangan misinya. Dalam kondisi seperti ini perjuangan komunis bukan lagi membela rakyat lemah, tapi menghancurkan kapitalisme. Menghancurkan kapitalisme tidak perlu menunggu hingga ia matang, kata Lenin, tapi setiap ada kesempatan kaum buruh harus merebut kekuasaan. Perebutan kekuasaan ujung-ujungnya adalah pertumpahan darah. Kapitalisme dan komunisme sama-sama anyir berbau darah. Diakui atau tidak kapitalisme telah terbukti membawa kemakmuran materi lebih baik dari komunisme. Namun, ia telah gagal membawa sistim sosial-po litik yang membawa ketenangan jiwa dan kedamaian ruhani. Dengan kapitalisme dunia semakin tidak aman dan damai. Jika komunisme ingin menggantikan peran kapitalisme dalam memakmurkan rakyat, maka komunisme akan mengganti kemakmuran dengan pemerataan. Pemerataan tidak akan menghasilkan kemakmuran. Jika komunisme tidak mampu memberi kesejahteraan dan kemakmuran material kepada rakyat du nia, bagaimana mungkin dengan atheismenya ia akan menjanjikan ketenangan jiwa dan kedamaian ruhani. 74

Di banyak negeri Islam, para tokohnya mengagumi sosialisme. Mereka berteriak seperti menemukan sesuatu "Islam adalah kiri". "Nabi adalah pelindung orang lemah", Nabi adalah pelindung anak yatim (sosial) alias orang miskin dan ia akan bersama mereka di sorga. Masih banyak lagi dalih untuk justifikasi kiri Islam. Tapi orang lupa bahwa Islam bisa berbau kapitalis. Saudagar kaya (kapi talis) yang jujur, misalnya, akan berada di surga bersama para nabi dan syuhada. Nabi pun menyukai Muslim yang kaya dan kuat. Orang akan lengkap rukun Islamnya jika ia kaya dan mampu membayar zakatnya. Masyarakat dunia kini sedang meng alamai kekeringan nilai, kehausan spiritual, dan kekosongan moral. Sistim apapun untuk mengatur kesejahteraan material, baik kapitalisme maupun komunisme, tidak akan menyelesaikan nestapa manusia modern. Dunia mulai menyadari ketidak mampuan kapitalis dan kegagalan komunis. Tapi mengapa Muslim dengan secara cerdas tidak segera menjadikan Islam sebagai alternatif dari dua sistim yang gagal itu. -------------Dimuat di Republika online dan ISLAMIA Republika, Kamis 19 Mei 2016.

75

ANTARA SHALAHUDDIN DAN AL GHAZALI Dr. Adian Husaini _________________________________________________________________ Film Kingdom of Heaven arahan Ridley Scott cukup berhasil menampilkan sosok pahlawan Islam Shalahuddin al-Ayyubi secara lebih obyektif. Wajar, jika film yang menampilkan sisi-sisi hitam sejarah Kristen itu memeranjatkan banyak orang di Barat. Sebab, selama ini sosok Shalahuddin memang dipersepsikan sebagai “momok”, yang dibenci. Jenderal Geraud, saat berhasil menaklukkan Damaskus, pada abad ke-20, menginjakkan kakinya di makam Shalahuddin, sambil berteriak: “Saladin, wake up. We are back!” Karen Armstrong, dalam bukunya, Holy War: The Crusades and Their Impact on Today’s World, menguraikan dampak Perang Salib dalam membentuk persepsi masyarakat Barat terhadap Muslim. Film Kingdom of Heaven mengungkap fakta yang sangat kontras antara sikap pasukan Kristen dan pasukan Islam saat merebut Jerusalem. Tahun 1099, saat menduduki Jerusalem, pasukan Salib membantai hampir semua kaum Muslim dan Yahudi. Sekitar 30 ribu orang dibantai di Jerusalem, sehingga di Masjid al- Aqsha terjadi genangan darah setinggi mata kaki. Tapi, saat Shalahuddin merebut kembali Jerusalem, ia membebaskan kaum Kristen untuk meninggalkan Jerusalem dengan aman. Sosok Shalahuddin, telah berabad-abad melegenda dalam tradisi masyarakat Barat. Jo Ann Hoeppner Moran Cruz, dalam tulisanya “Popular Attitudes towards Islam in Medieval Europe” (Lihat, David R. Blanks and Michael Frassetto (ed), Western Views of Islam in Medieval and Early Modern Europe, 1999), memaparkan cerita-cerita menarik seputar legenda-legenda yang hidup di kalangan masyarakat Barat pada Zaman Pertengahan terhadap Islam.

76

Misal, legenda tentang Eleanor of Aquitaine yang diisukan memiliki affair dengan Shalahuddin al-Ayyubi, saat ia menemani suaminya, Louis VII, dalam Perang Salib II. Ada pula legenda tentang Shalahuddin yang dikabarkan merupakan keturunan dari anak perempuan Count of Ponthieu di Utara Perancis. Juga, legenda bahwa Shalahuddin telah dibaptis pada akhir hayatnya. Apa pun persepsi Barat tentang Shalahuddin, bagi kaum Muslim, Shalahuddin alAyyubi dipandang sebagai pahlawan. Hingga kini, banyak orang Muslim bangga memberi nama anaknya “Shalahuddin”. Kisah-kisah kepahlawanan Shalahuddin, Muhammad alFatih, dan penguasa-penguasa (umara) Muslim lainnya, telah memberikan inspirasi kepada banyak generasi Muslim, bahwa jalan kebangkitan umat Islam adalah dengan menunggu dan berusaha menghadirkan seorang pemimpin politik kenegaraan. Bahkan, terkadang, harapan itu begitu besar, saat Negara dan masyarakat dalam kondisi terpuruk, banyak yang berharap hadirnya pemimpin baru akan memberikan perubahan besar dalam kehidupan mereka. Harapan itu sering kali berakhir sia-sia. Pemimpin baru yang tampil tak mampu berbuat banyak, atau bahkan seringkali menunjukkan kualitas jauh lebih rendah dari pada citra yang dimunculkan saat kampanye pemilihan kepemimpinan negara. Peran Ulama Kisah kebangkitan umat Islam dalam Perang Salib – setelah terpuruk dan dibantai Pasukan Salib dari Eropa – bisa menjadi pelajaran penting bagi umat Islam saat ini. Kebangkitan umat Islam ketika itu terjadi bukan melalui hadirnya seorang pemimpin hebat seperti Shalahuddin al-Ayyubi, tetapi justru terjadi melalui kerja keras para ulama – melalui madrasah-madrasah – yang berhasil melahirkan satu generasi yang hebat, yaitu “Generasi Shalahuddin” (Jiilu Shalahuddin). Kisah kebangkitan itu dipotret dan dianalisis dengan baik oleh Dr. Majid Irsan al-Kilani dalam bukunya, Hakadza Dhahara Jiilu Shalahuddin waHakadza ‘Aadat al-Quds. Buku ini memaparkan peran ulama- ulama seperti Imam alGhazali, Syekh Abdul Qadir al-Jilani, dan sebagainya, dalam mendidik dan melahirkan generasi Shalahuddin tersebut.

77

Peran Imam al-Ghazali dalam kebangkitan umat Islam saat itu juga digambarkan dalam Kitab al-Jihad yang ditulis ‘Ali b. Thahir al-Sulami an-Nahwi (1039-1106), seorang imam bermazhab Shafi‘i dari Damaskus. Ia adalah seorang yang aktif menggalang jihad melawan pasukan Salib melalui pertemuan-pertemuan umum pada 1105 (498 H), enam tahun setelah penaklukan Jerusalem oleh pasukan Salib. Adalah sangat mungkin al-Sulami bertemu dengan al-Ghazali di Masjid Ummayad, sebab Ali al- Sulami adalah imam di Masjid tersebut dan al-Ghazali juga sempat tinggal di tempat yang sama pada awal-awal periode Perang Salib. Dalam Kitabnya itu, Ali al-Sulami mencatat, bahwa satu-satunya solusi yang dapat menyelamatkan wilayah-wilayah Muslim, adalah menyeru kaum Muslim kepada jihad. Ada dua kondisi yang harus disiapkan sebelumnya. Pertama, “reformasi moral” untuk mengakhiri “degradasi spiritual” kaum Muslim ketika itu. Invasi pasukan Salib harus dilihat sebagai hukuman Allah, sebagai peringatan agar kaum Muslim bersatu. Kekalahan Muslim, menurut al-Sulami, adalah sebagai hukuman Allah atas kealpaan menjalankan kewajiban agama, dan di atas semua itu, adalah kealpaan menjalankan jihad. Tahap kedua, penggalangan kekuatan Islam untuk mengakhiri kelemahan kaum Muslim yang telah memungkinkan pasukan Salib menguasai negeri-negeri Islam. Dalam kitabnya, al-Sulami menyebutkan dengan jelas tentang situasi saat itu dan stretagi untuk mengalahkan pasukan Salib. Konsep al-Sulami dalam melawan pasukan Salib berupa “reformasi moral” dari alGhazali’s memainkan peran penting. Sebab, menurut al-Sulami, melakukan jihad melawan pasukan Salib akan hampa jika tidak didahului dengan the greater jihad (al- jihad al-akbar). Ia juga mengimbau agar pemimpin-pemimpin Muslim memimpin jalan ini. Dengan demikian, perjuangan melawan hawa nafsu, adalah prasyarat mutlak sebelum melakukan perang melawan pasukan Salib (Franks).

78

Peran al-Ghazali dalam membangun moral kaum Muslim disebutkan oleh Elisseef. Bahwa, kelemahan spiritual di kalangan Muslim pada awal Perang Salib ditekankan oleh al-Ghazali, yang ketika itu mengajar di Damascus. Al-Ghazali menekankan jihad melawan hawa nafsu, melawan kejahatan, di atas jihad melawan musuh. Tujuannya adalah untuk membantu kaum Muslim mereformasi jiwa mereka. (The spiritual laxness existing in Islam on the eve of the Crusades was underlined by al- Ghazali, in 1096. The illustrious philosopher who, at the time, was teaching in Damascus, emphasized the priority of jihad of the soul, the jihad al-akbar (the major jihad) – struggle against evil – over the jihad al-aÎghar (the minor jihad), i.e. the struggle against infidel. His aim was to help the Muslim rediscover his soul. At this time, it was necessary to effect the reform of morals and beliefs and to create ways of combating the various heterodoxies existing in the very bosom of Islam). Faktanya, sekitar 50 tahun kemudian, di masa Nur ad-Din Zengi, kaum Muslim mampu melaksanakan jihad efektif. Elisseef mencatat: “The person who would realize the ideal of the jihad which as-Sulami, Ghazali, and the ‘ulama of Damascus had advocated, was Nur ad-Din.” Titik balik Perang Salib terjadi dengan kejatuhan Edessa di tangan Muslim pada 539/1144, di bawah komandan Imam al-Din Zengi, ayah Nur al-Din. Dua tahun sesudah itu, Zengi wafat, tahun 1146. Ia telah meratakan jalan buat anaknya, Nur al-Din, untuk memimpin perjuangan melawan Pasukan Salib. Pada 544/1149, Nur al-Din meraih kemenangan melawan pasukan Salib dan pada 549/1154 ia sukses menyatukan Syria di bawah kekuasaan Muslim. Nur al-Din digambarkan sebagai sosok yang sangat religius, pahlawan jihad, dan model penguasa sunni. Setelah meninggalnya Nur al-Din pada 569/1174,

Shalahuddin

al-Ayyubi,

keponakan

Nur

al-Din,

memegang

kendali

kepemimpinan Muslim dalam melawan pasukan Salib. Ia kemudian dikenal sebagai pahlawan Islam yang berhasil membebaskan Jerusalem pada tahun 1187.

79

Istilah jihad, secara yuridis Islam, kemudian berkembang menjadi makna khusus, dan telah dipahami oleh para sarjana Muslim dalam pengertian “perang” (qital). Dalam makna khusus dalam bidang fiqih inilah, istilah jihad memiliki makna syariat. Semisal, ada ketentuan-ketentuan hukum dimana orang yang matin dalam jihad – dengan makna qital – diperlakukan jezanahnya sebagai syahid. Namun, memang terdapat berbagai hadith Nabi saw yang menunjukkan berbagai jenis jihad dalam makna yang umum, seperti jihad dengan mengeluarkan kata-kata yang benar di depan penguasa yang zalim. Begitu juga dengan jihad melawan hawa nafsu, dengan lisan, dan harta. Secara ringkas dapat dipahami, bahwa di masa Perang Salib, kaum Muslim berhasil menggabungkan konsep jihad al-nafs dan jihad melawan musuh dengan baik. Karya-karya al-Ghazali dalam soal jihad menekankan pentingnya mensimultankan berbagai jenis potensi dalam perjuangan umat, baik potensi jiwa, harta, dan juga keilmuan. Adalah menarik, bagaimana dalam situasi perang seperti itu, Imam Ghazali mampu melihat masalah umat secara komprehensif; secara mendasar. Dan melalui Ihya Ulumuddin, alGhazali juga menakankan pentingnya masalah ilmu. Ia membuka kitabnya itu dengan “Kitabul Ilmi”. Aktivitas al-Ghazali yang aktif dalam memberikan kritik-kritik keras terhadap berbagai pemikiran yang dinilainya menyesatkan umat, juga menunjukkan kepeduliannya yang tinggi terhadap masalah ilmu dan ulama. Al-Ghazali seperti berpesan kepada umat, ketika itu, bahwa problema umat Islam saat itu tidak begitu saja bisa diselesaikan dari faktor-faktor permukaan saja, seperti masalah politik atau ekonomi. Tetapi, masalah umat perlu diselesaikan dari masalahnya yang sangat mendasar, yang dikatakan oleh Ali al-Sulami sebagai tahap “reformasi moral”. Tentu, tahap kebangkitan dan reformasi jiwa ini tidak dapat dilakukan tanpa melalui pemahaman keilmuan yang benar. Ilmu adalah asas dari pemahaman dan keimanan. Ilmu yang benar akan menuntun kepada keimanan yang benar dan juga amal yang benar. Ilmu yang salah akan menuntun pada pehamaman yang salah. Jika pemahaman sudah salah, bagaimana mungkin amal akan benar?

80

Jadi, dalam perjuangan umat, diperlukan pemahaman secara komprehansif terhadap problematika yang dihadapi oleh umat Islam. Ketika itu, umat Islam menghadapi berbagai masalah: politik, keilmuan, moral, sosial, dan sebagainya. Problema itu perlu dianalisis dan didudukkan secara proporsional dan adil. Yang penting ditempatkan pada posisinya, begitu juga yang kurang penting. Di situlah, al-Ghazali menulis kitab Ihya Ulumuddin, dengan makna “Menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama”. Ketika itu, dia seperti melihat, seolaholah ilmu-ilmu agama sudah mati, sehingga perlu dihidupkan. Dalam Kitabnya, ia sangat menekankan pada aspek niat dan pembagian keilmuan serta penempatannya sesuai dengan proporsinya. Problema politik umat ketika itu merupakan masalah yang sangat serius. Tetapi, problematika keilmuan dan akhlak merupakan masalah yang lebih mendasar, sehingga solusi dalam bidang politik, tidak dapat dicapai jika kerusakan dalam bidang yang lebih mendasar itu tidak diselesaikan terlebih dahulu. Al-Ghazali dan para ulama ketika itu berusaha keras membenahi cara berpikir ulama dan umat Islam serta menekankan pada pentingnya aspek amal dari ilmu, sehingga jangan menjadi ulama-ulama yang jahat. Sebab, ilmu yang rusak, dan ulama yang jahat, adalah sumber kerusakan bagi Islam dan umatnya. Nabi Muhammad saw memberi amanah kepada para ulama untuk menjaga agama ini. Tentu saja, itu harus mereka lakukan dengan cara menjaga keilmuan Islam dengan baik. Bahkan, Rasulullah saw mengingatkan akan datangnya satu zaman yang penuh dengan fitnah dan banyaknya orang-orang jahil yang memberi fatwa. Sabda Rasulullah saw: Bahwasanya Allah SWT tidak akan mencabut ilmu dengan sekaligus dari manusia. Tetapi Allah menghilangkan ilmu agama dengan mematikan para ulama. Apabila sudah ditiadakan para ulama, orang banyak akan memilih orang-orang bodoh sebagai pemimpinnya. Apabila pemimpin yang bodoh itu ditanya, mereka akan berfatwa tanpa ilmu pengetahuan. Mereka sesat dan menyesatkan. (HR Muslim).

81

Sepanjang sejarah Islam, para ulama sejati sangat aktif dalam mempertahankan konsep-konsep dasar Islam, mengembangkan ilmu-ilmu Islam, dan menjaganya dari perusakan yang dilakukan oleh ulama-ulama su’, atau ulama jahat. Penyimpangan dalam bidang keilmuan tidak ditolerir sama sekali, dan senantiasa mendapatkan perlawanan yang kuat, secara ilmiah. Banyak kaum Muslimin yang berpikir bahwa jika aspek politik direbut oleh gerakan Islam tertentu, maka akan selesailah masalah umat. Pendapat ini sebagian benar. Tapi kurang sempurna. Kekuasaan politik adalah bagian dari masalah penting umat Islam. Sebab, ad-daulah adalah penyokong penting perkembangan agama. Bukan hanya Islam. Tetapi, juga agama-agama lain. Agama Kristen berkembang pesat di Eropa atas jasa besar Kaisar Konstantin yang mengeluarkan Dekrit ‘Edict of Milan’ (tahun 313) dan Kaisar Theodosius yang menjadikan Kristen sebagai agama resmi negara Romawi (Edict of Theodosius, tahun 392). Perkembangan agama Budha juga tidak lepas dari peran Raja Asoka. Begitu juga eksistensi dan perkembangan agama-agama lain, sulit dipisahkan dari kekuatan politik. Sama halnya, dengan ideologi-ideologi modern yang berkembang saat ini. Eksistensi dan perkembangan mereka juga sangat ditopang oleh kekuasaan politik. Komunisme menjadi kehilangan pamornya setelah Uni Soviet runtuh. Sulit membayangkan Kapitalisme akan diminati oleh umat manusia jika suatu ketika nanti Amerika Serikat mengalami kebangkrutan sebagaimana Uni Soviet. Tetapi, perlu dicatat, bahwa kekuasaan politik bukanlah segala-galanya. Banyak peristiwa membuktikan, bahwa pemikiran, keyakinan, dan sikap masyarakat, tidak selalu sejalan dengan penguasa. Di masa Khalifah al-Makmun, yang Muktazily, umat Islam lebih mengikuti para ulama Ahlu Sunnah, ketimbang paham Muktazilah. Di masa penjajahan Belanda, umat Islam tidak mengikuti agama penjajah, dan lebih mengikuti kepemimpinan ulama. Banyak lagi contoh lain.

82

Karena itu, ulama dan umara memang dua tiang penyangga umat yang penting. Kedua aspek itu harus mendapatkan perhatian yang penting. Para aktivis politik umat harus memiliki pemahaman yang benar tentang Islam. Jika tidak, para pemimpin politik justru bisa menjadi perusak Islam yang signifikan. Karena ketidaktahuannya, bisa saja melakukan tindakan yang keliru. Sebagai contoh, mereka mati-matian merebut kursi kepemimpinan di daerah atau departemen tertentu, sedangkan kemunkaran di bidang aqidah Islamiyah dianggap sepele. Ribuan orang dikerahkan untuk berdemonstrasi karena faktor kursi kekuasaan, tetapi tidak demonstrasi apa-apa ketika ada penyimpangan dalam aqidah Islam, semisal kasus Ahmadiyah, penyebaran paham Pluralisme Agama, atau kezaliman yang sangat mencolok, semisal pembangunan patung yang memakan dana rakyat milyaran rupiah, disaat rakyat sedang dililit kesulitan hidup dan berbagai penyakit yang mematikan. Jadi, tidaklah benar jika dalam perjuangan mengabaikan salah satu aspek kehidupan. Tetapi, semuanya harus ditempatkan dalam proporsi dan tempatnya. Itulah yang namanya adil. Nabi Muhammad saw memulai dakwah Islam dengan aspek ilmu, memberikan pemahaman yang benar kepada masyarakat tentang konsep-konsep dasar dalam Islam, seperti konsep tentang Tuhan, Nabi, wahyu, adil, agama, dan sebagainya. Pondasi pemikiran (afkar), pemahaman (mafahim), standar-standar nilai (maqayis), dan ketundukan (qana’at), yang Islamiy ditanamkan secara kokoh oleh Nabi Muhammad saw kepada para sahabat ketika itu. Mereka tampil sebagai sosok-sosok ulama dan cendekiawan serta pejuang yang tangguh dalam berbagai bidang kehidupan. Bisa dilihat, bagaimana hebatnya argumentasi Ja’far bin Abi Thalib ketika berdebat dengan Raja Najasyi dan orang-orang kafir Quraisy Mekkah di Habsyah. Ja’far dan kaum Muslimin yang sedang dalam kondisi terjepit meminta perlindungan kepadsa Najasyi, mampu memberikan argumen-argumen yang canggih seputar masalah Isa a.s. yang menjadi titik sentral kontroversi Islam dengan Kristen. Ringkasnya, perjuangan Islam dalam menghadapi problematika yang dihadapi umat ini, perlu memadukan dan mensinergikan berbagai aspek, yakni aspek keilmuan, kejiwaan, harta benda, dan sebagainya. Jihad melawan hawa nafsu atau berjuang dalam bidang keilmuan, tidak perlu dipertentangkan dengan jihad melawan musuh. Semua perlu

83

dipadukan, sebagaimana telah dilakukan di zaman Rasulullah saw, Perang Salib, dan sebagainya, sehingga kaum Muslim berhasil mengukir kemenangan yang gemilang dalam berbagai arena perjuangan. Rasulullah saw bersabda: “Jahid al-mushrikina bi amwalikum wa anfusikum wa alsinatikum”. (Berjihadlah melawan orang-orang musyrik dengan hartamu, jiwamu, dan lisan-lisanmu). Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud, al-Nasa’i, Ahmad, al-Darimi, dengan sanad yang sangat kuat. Ibn Hibban, al-Hakim, and an-Nawawiy menyatakan, bahwa hadits ini sahih. Melalui hadits tersebut, Rasulullah saw menekankan pentingnya kaum Muslimin melakukan jihad secara komprehensif, dengan menggunakan berbagai potensi yang dimiliki, baik harta, jiwa, maupun lisan. Dalam arena perjuangan, atau arena jihad, sebenarnya tiga aspek: harta, jiwa, dan lisan, saling terkait satu dengan yang lain. Peperangan fisik adalah salah satu bagian dari sebuah perjuangan yang luas dan panjang antara al-haq dan al-bathil. Bahkan, dalam hadits lainnya, Rasulullah saw juga menekankan pentingnya jihad melawan hawa nafsu. Rasulullah saw bersabda: “Al-Mujahid man jahada nafsahu fi- Allah ‘Azza wa-Jalla”. (Mujahid adalah seseorang yang melakukan jihad melawan hawa nafsunya di jalan Allah). Al-Iraqiy menyatakan, bahwa hadits ini sahih, dan diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi. Jadi, dalam arena perjuangan atau arena jihad, kaum Muslim sebenarnya diminta untuk menggabungkan seluruh kemampuan atau potensi – baik potensi jiwa, harta, maupun lisan (intelektual) dan menempatkan masing-masing pada proporsi yang sebenarnya. Kapan kekuatan fisik digunakan, kapan kemampuan intelektual, dan kapan potensi harta benda diperlukan. Semua itu harus dilandasi dengan niat yang ikhlas karena Allah SWT. Semua potensi jihad itu tidak bisa digunakan jika manusia dikuasai oleh hawa nafsunya. Maka, perang melawan hawa nafsu secara otomatis menjadi faktor penting dalam bentuk-bentuk perjuangan lainnya.

84

Jika kaum Muslim mampu menggabungkan semua potensi tersebut, maka dalam sejarahnya, kaum Muslim mampu tampil sebagai umat yang hebat, gemilang dan terbilang. Jika potensi itu terpecah belah dan tidak teratur dengan baik, maka kekalahan menimpa kaum Muslimin.

Peran ilmu dan ulama Sepeninggal Rasulullah saw, umat Islam ditinggali dua perkara, yang jika keduanya dipegang teguh, maka umat Islam tidak akan tersesat selamanya. Keduanya, yakni, alQuran dan Sunnah Rasululullah. Tapi, disamping itu, Rasulullah saw juga mewariskan para ulama kepada umat Islam. Ulama adalah pewaris nabi. Ulama-ulamalah yang diamanahkan untuk menjabarkan, mengaktualkan, membimbing, menerangi, dan memimpin umat dalam bidang kehidupan. Banyak ulama yang mensyaratkan ‘kemampuan berijtihad’ bagi kepala negara (khalifah). Adalah ideal jika ulama dan umara sama-sama baik. Dalam sejarahnya, Islam akan cepat berkembang jika ulama dan umaranya baik. Tapi, ada fase-fase dalam sejarah, dimana salah satu dari dua pilar umat itu bobrok atau rusak. Ketika itu, keberadaan ulama yang baik lebih diperlukan. Ketika Khalifah al-Makmun memaksakan paham Muktazilah, para ulama Ahlu Sunnah melakukan perlawanan yang gigih. Umat selamat, dan lebih mengikuti ulama ketimbang umara. Di zaman penjajahan Belanda, umaranya jelas rusak. Tetapi,

ulama-ulama

Islam

ketika

itu

gigih

mempertahankan

ad-Dinul

Islam.

Alhamdulillah, meskipun Belanda berusaha sekuat tenaga menghancurkan Islam, umat Islam lebih mengikuti ulamanya. Maka, yang perlu diperhatikan dan dicermati, -- disamping kerusakan umara – adalah kerusakan ulama. Lahirnya ulama-ulama yang jahil, yang tidak kapabel keilmuannya, yang korupsi ilmu agama, yang berfatwa tanpa ilmu yang memadai, yang akhlaknya rusak, yang cinta dunia, dan sebagainya, adalah bencana terbesar yang dihadapi oleh umat Islam. Jika kondisi seperti ini sudah terjadi, maka umat Islam harus bersiap-siap mengalami kebangkrutan.

85

Lebih rusak lagi jika para ulama sudah mencintai dunia, menjual agama dengan harta benda dunia, dan yang merusak ilmu-ilmu agama dengan dalih menyesuaikan Islam dengan tuntutan zaman. Adalah musibah dan fitnah besar, misalnya, jika dari Perguruan Tinggi Islam justru lahir orang-orang yang berpaham atheis atau yang gila dunia. Jika ilmu agama sudah dirusak, maka akan lahir ulama yang rusak (ulama as-su’); yakni ulama, yang harusnya menjadi penjaga agama, justru menjadi penghancur agama. Ketika ilmu-ilmu Islam dirusak, maka tidak ada jalan kembali bagi peradaban Islam untuk bangkit lagi. Karena itu sangat diprihatinkan, jika umat Islam membiarkan terjadinya serangan pemikiran yang akan merusak ilmu-ilmu agama. Abu Harits al-Hasbi al-Atsari dalam kata pengantarnya untuk tulisan Ibnul Qayyim al-Jauziyah yang berjudul Al-Ilmu menjelaskan, bahwa Allah telah menurunkan “Kitab” dan “Besi” sebagai sarana untuk tegaknya agama Allah. “Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan neraca (Keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia (supaya mereka mempergukan besi) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Mahakuat lagi Mahaperkasa.” (QS al-Hadid: 25).

Penutup Sekelumit kisah kebangkitan umat Islam di era Perang Salib tersebut bisa menjadi pelajaran berharga bagi kita, betapa pentingnya peran ulama dalam proses kebangkitan umat Islam. Ulama adalah pewaris Nabi. Maknanya, Nabi mewariskan perjuangannya pada kepemimpinan ulama. Jatuh bangunnya umat terletak pada baik atau tidaknya kualitas ulamanya. Jika ulamanya jahat atau jahil maka bencana besar menimpa umat. Jadi, sepanjang zaman, ulama harus senantiasa ada dalam jumlah yang memadai.

86

Sebab, perjuangan Nabi tidak boleh berhenti. Ulama tidak dilahirkan dan tidak turun dari langit. Tapi, ulama lahir dari proses pendidikan. Ironis, jika di masa penjajahan, lembaga pendidikan Islam bisa melahirkan ulama-ulama hebat, tapi di masa kemerdekaan, justru tidak mampu melahirkan ulama-ulama hebat pewaris Nabi. Semoga musibah itu tidak menimpa lembaga pendidikan kita. Amin.

87

LGBT: Belajar Dari Yahudi Oleh: Dr Adian Husaini ________________________________________________________________

Selasa (17/2), Fahira Idris, anggota DPD-RI dari Jakarta, pada acara Indonesia Lawyers Club, di sebuah TV swasta, mengingatkan bangsa Indonesia agar tidak me mandang remeh gerakan legalisasi LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender) di Indonesia. Ia menunjuk kasus yang terjadi di Amerika Serikat (AS). Di negara adikuasa ini, gerakan LGBT telah meraih sukses. Puluhan tahun lalu, kawin sejenis masih terlarang. Tapi, pada 26 Juni 2015, secara resmi AS mengesahkan perkawinan sesama jenis, mengikuti jejak 20 negara lain. Imbauan Fahira itu patut diperhatikan. Sebab, perjalanan legalisasi perkawinan sejenis (same-sex marriage), di AS terbilang sangat cepat. Tahun 2004, Mas sachusetts menjadi negara bagian pertama yang mengesahkan perkawinan sejenis. Tak lama kemudian, pada 2013, untuk pertama kalinya, Katedral Nasional AS melaksanakan perkawinan sejenis (https:// www. cathedral.org/press/PR-60QF1- 3I0018.shtml). Awal Juni 2015, pun, baru sekitar 30 negara bagian yang melegalkan kawin sejenis. Sebelumnya, tahun 2003, dunia sudah digemparkan peristiwa terpilihnya Gene Robinson sebagai Uskup Gereja Anglikan di New Hampshire AS. Gene Robinson adalah seorang pastor homo yang selama 13 tahun kawin dengan Mark Andrew. Mereka hidup sebagai pasangan "suamiistri" secara terbuka. Itu artinya, untuk pertama kalinya seorang pelaku homoseksual menduduki jabatan tertinggi dalam hirarki gereja selama 2000 tahun sejarah Kristen. Padahal, secara tersurat, Bibel (Imamat, 20:13), menegaskan: pelaku praktik kawin sejenis wajib dihukum mati.

88

Maka, di tengah perkembangan yang begitu cepat, menyusul keputusan Mah kamah Agung AS, para tokoh Katolik AS memberikan reaksi keras. Mereka me nyerukan agar kaum Katolik tidak menghadiri perkawinan sesame jenis. Pastor Michel Jarrel, seperti dikutip www.cbs –news.com, menyerukan pembangkangan sipil. "In some cases civil disobedience may be a proper response," ujarnya. Memang, hingga kini, otoritas Katolik tertinggi di Roma (Vatikan) tetap mempertahankan doktrin perkawinan antara satu laki-laki dengan satu wanita. Beberapa saat sebelumnya, Paus Fran ciscus menerima sejumlah pujian dari beberapa kelompok LGBT, ketika mengizin kan satu kelompok lesbian dan ho moseksual dari AS untuk duduk di kursi kehormatan dalam pertemuan umum ming guan dengan Sang Paus. Tetapi, Va tikan tetap bereaksi keras ketika negara Irlandia yang mayoritas Katolik mengesahkan perkawinan sejenis, melalui referendum. Vatikan menyebut legalisasi per kawinan sejenis di Irlandia itu sebagai "ke kalahan kemanusiaan" (a defeat for humanity). Apa yang menimpa Gereja Katolik dalam kasus LGBT di sejumlah negara, khususnya di AS, patut menjadi bahan renungan serius umat Islam Indonesia. Gereja Katolik selama ini diakui sebagai sebuah institusi keagamaan dan politik terbesar dan tertua di dunia. Bangsa AS, meskipun menganut sistem kenegaraan yang sekuler, tetapi rakyatnya masih banyak yang mempertahankan nilai-nilai religius. Sebuah buku berjudul What Americans Believe: An Annual Survey of Values and Religious Views in the United States (Ca lifornia: Regal Books, 1991), memberikan gambaran tingkat religiusitas rakyat AS yang masih lumayan. Terhadap pertanyaan, "apakah kepercayaan Kristen masih relevan dengan jalan hidup anda", sebanyak 47 persen rakyat AS menjawab "sangat setuju". Terhadap pertanyaan, "apakah Bibel adalah kata-kata Tuhan dan secara total ajarannya adalah akurat", sebanyak 47 persen pemeluk Kristen menjawab "sangat setuju". Lalu, terhadap pernyataan, "bahwa ada Satu Tuhan yang Mahasuci dan Mahasempurna, yang menciptakan alam semesta dan mengaturnya," sebanyak 74 persen juga menjawab "sangat setuju".

89

Bahkan, jauh sebelumnya, bangsa AS menegaskan identitasnya sebagai sebuah "bangsa Kristen". Tahun 1811, Mahkamah Agung AS menegaskan: "We are a Christian people." Itu ditegaskan lagi oleh Mahkamah Agung AS pada tahun 1892, dengan menyatakan: "This is a Christian Nation." Theo dore Dwight Woolsey, memberikan penjelasan, mengapa AS disebut "a Christian Na tion": "In this sense certainly, that the vast majority of the people believe in Chris tianity and the Gospel…" . Survei antara tahun 1989-1996 menunjukkan, 84-88 per sen penduduk AS mengaku Kristen. (Lihat, Samuel P. Huntington, Who Are We? The Challenges to America's National Identity" (New York: Simon&Schuster, 2004).

Peran Yahudi.

Bagaimana bangsa AS yang pernah menegaskan sebagai bangsa Kristen itu kemudian bisa diubah persepsi dan sikapnya dalam kasus perkawinan sesama jenis? Ternyata, prosesnya tidak sederhana. Pada 22 Mei 2013, Wakil Presiden AS Joe Biden memberikan pujian kepada tokoh-tokoh Yahudi yang telah berjasa dalam mengubah persepsi bangsa AS tentang perkawinan sejenis. Harian Israel, Haaretz menulis sebuah berita berjudul: "Biden: Jewish leaders drove gay marriage changes". Dikatakan, bahwa, "Vice President Joe Biden is praising Jewish leaders for helping change American attitudes about gay marriage and other issues. Biden says culture and arts change people's attitudes. He cites social media and the old NBC TV series "Will and Grace" as examples of what helped changed attitudes on gay marriage. Biden says, quote, "Think … behind of all that, I bet you 85 percent of those changes, whether it's in Hollywood or social media, are a consequence of Jewish leaders in the industry." Biden says the influence is immense and that those changes have been for the good."

90

Pernyataan Joe Biden itu tidak dapat dipandang enteng. Bahwa, para tokoh Yahudilah yang telah mendorong terjadinya perubahan sikap bangsa Amerika terhadap perkawinan sejenis. Bahwa, bu daya dan kesenian adalah media yang ber hasil mengubah sikap dan perilaku masya rakat. Ia pun menyebut peran penting me dia sosial dan satu film serial TV "Will and Grace" di NBC-TV. Biden berani bertaruh bahwa 85 persen perubahan itu dimainkan oleh para tokoh Yahudi yang berperan besar di Hollywood atau media sosial. Kajian-kajian tentang dominasi peran Yahudi di AS sangat melimpah. Prof. Norman Cantor, dalam bukunya, The Sac red Chain, menyebutkan bahwa pada 1994, jumlah Yahudi di AS hanya tiga persen dari populasi bangsa AS. Tetapi, pengaruh mereka setara dengan kekuatan 20 persen penduduk AS. Bahkan, Prof. Cantor me nulis, "Jews were over represented in the learned professions by a factor of five or six." Kemampuan dan dominasi Yahudi dalam pembentukan opini di AS tidak diragukan lagi. Kekuatan kaum Yahudi AS adalah dalam pembentukan opini. Eugene Fisher, Direktur Catholic-Jewish Relations, menyatakan, "If there is Jewish power, it's the power of the word, the power of Jewish columnist and Jewish opinion makers." Ia pun menambahkan, "And if you can shape opinion, you can shape events." Jadi, kata Fisher, jika Anda bisa membentuk opini, maka Anda akan mampu mencipta aneka peristiwa. (Dikutip dari buku The New Jerusalem: Zionist Power in America karya Michael Collins Piper, Washington, DC: American Free Press, 2004). Pengaruh tokoh-tokoh Yahudi dalam mempromosikan legalisasi perkawinan sejenis – seperti disebutkan Joe Biden – tentu tak lepas dari proses liberalisasi pemikiran tentang homoseksual dalam ajaran Yahudi. Dan Cohn-Sherbok, dalam bukunya, Modern Judaism, (New York: St Martin Press, 1996, hlm. 98), mengungkapkan perkembangan pemikiran kalangan Yahudi reformis terhadap status hukum homoseksual. Menurut mereka, perumusan hukum-hukum Yahudi modern harus memperhitungkan aspek psikologis.

91

Homoseksual misalnya, meskipun dilarang dalam Bibel, saat ini perlu dibolehkan, sebab saat ini manusia telah memiliki pemahaman terhadap seksualitas yang lebih tercerahkan (a more enlightened understanding of human sexuality). ----------Artikel ini dimuat di Jurnal Islamia-Republika 18 Februari 2016 dan Republika Online 19 Februari 2016

92

TAMAK DUNIA: SUMBER KEHANCURAN Oleh: Dr. Adian Husaini _________________________________________________________________

Dalam buku populernya “The Rise and Fall of the Great Powers”, Paul Kennedy menutup dengan bab “The United States: the Problem of Number One in Relative Decline”. Dalam buku ini, Kennedy memaparkan tanda-tanda kemunduran Amerika Serikat: Tahun 1985, utangnya sudah mencapai 1.823 milyar USD. Defisit neracanya 202,8 milyar USD. Tahun 2002 defisit neracanya diperkirakan telah mencapai lebih dari 400 miliar dolar AS. Dengan politik unilateralnya, ambisi kuasanya, beban yang ditanggung AS makin besar. Duit ditebar untuk menaklukkan negara-negara lain. Tapi, bagaimana pun, untuk sementara ini, AS masih menjadi negara terkuat. Dalam kata-kata Paul Kennedy, “For all its economic and perhaps military decline, it remains, in Pierre Hassner’s world, “the decisive actor in every type of balance and issue… because it has so much power for good or evil.” Nabi Muhammad saw menunjukkan sebuah rumus kehancuran peradaban, dalam satu sabda beliau: "Hampir tiba suatu masa dimana berbagai bangsa/kelompok mengeroyok kamu, bagaikan orang-orang yang kelaparan mengerumuni hidangan mereka." Seorang sahabat bertanya: "Apakah karena jumlah kami yang sedikit pada hari itu?" Nabi SAW menjawab: "(Tidak) Bahkan jumlah kamu pada hari itu sangat banyak (mayoritas), tetapi (kualitas) kamu adalah buih, laksana buih di waktu banjir, dan Allah mencabut rasa gentar terhadap kamu dari hati musuh-musuh kamu, dan Allah akan menanamkan penyakit "al wahnu". Seorang bertanya, "Apakah al wahnu itu Ya Rasulallah?" Rasulullah menjawab: "Cinta dunia dan takut mati." (HR Abu Dawud). Umat Islam digambarkan oleh Rasulullah SAW, ketika itu jumlahnya banyak. Tapi, banyaknya tidak berarti, laksana buih. Sumber kehinaan itu terletak pada sikap “hubbuddunya”, penyakit tamak terhadap dunia. Kebangkitan dan kehinaan suatu umat atau bangsa adalah merupakan sunnatullah. Jika umat Islam tidak kembali kepada Islam, terjangkit

93

penyakit hubbud-dunya, maka selamanya umat ini akan terus terhinakan. Pada saatnya nanti Allah akan memusnahkan umat seperti itu dan menggantikannya dengan umat atau generesi yang lain. “Wahai orang-orang yang beriman, barangsiapa yang murtad dari agama Allah, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum, yang Allah mencintai mereka, dan merkapun mencintai Allah, mereka berkasih sayang kepada orang-orang mukmin, dan tidak menghinakan diri kepada orang-orang kafir, mereka berjihad di jalan Allah, dan mereka tidak takut pada celaan orang-orang yang suka mencela.” (QS al-Maidah:54). Manusiamanusia yang “tamak dunia” tidak memiliki sikap cinta Allah dan Rasul-Nya. Apalagi mau berjihad di jalan Allah! Mereka hanya mementingkan syahwat dunia, mengejar dunia demi keuntungan dan kesenangan dirinya. “Tamak dunia” menjauhkan manusia dari sikap cinta pengorbanan yang menjadi salah satu asas kebangkitan sebuah bangsa atau peradaban. Syekh Amir Syakib Arsalan dalam buku terkenalnya, Limaadzaa Taa’kkharal Muslimun wa-limaadzaa Taqaddama Ghairuhum menyebutkan, bagaimana besarnya sikap berkorban dari kaum Yahudi dan bangsa-bangsa Barat, sehingga mereka mampu mengalahkan kaum Muslimin di berbagai belahan dunia. Pemuda-pemuda Italia dulu, tulis Syaikh Arsalan, merasa malu jika sampai umur 20 tahun masih ada di kampungnya. Mereka meminta izin untuk pergi berperang melawan umat Islam. Bangsa Yahudi mampu menghimpun dana yang sangat besar dan ribuan milisi berani mati demi merebut Tanah Palestina. Tengoklah sejarah! Mengapa kaum Muslim hancur di Andalusia setelah hampir 800 tahun (711-1492) memimpin negeri ini. Mengapa Kota Jerualem bisa diduduki Pasukan Salib (tahun 1099) yang jauh lebih rendah tingkat peradabannya? Mengapa bangsa Mongol yang sangat biadab dan barbar bisa menaklukkan Baghdad tahun 1215? Bisa disimpulkan: “tamak dunia” adalah sumber utama kehancuran peradaban Islam saat itu.

94

Dr. Majid Irsan al-Kilani dalam bukunya, Hakadza Dhahara Jiilu Shalahuddin waHakadza ‘Aadat al-Quds, dengan tepat menggambarkan kondisi moralitas penguasa, ulama, dan masyarakat, di saat-saat kejatuhan Kota Suci Jerusalem di tangan pasukan salib. Penyakit tamak dunia merajalela, bukan hanya di kalangan penguasa, tetapi juga di kalangan ulama. Umat Islam mengabaikan aktivitas amar ma’ruf nahi munkar. Mereka membiarkan kemunkaran merajalela, karena sibuk memikirkan kejayaan dan keuntungan pribadi dan kelompoknya. Satu lagi, penyakit kronis ketika itu: umat Islam terjebak dalam perpecahan antar-mazhab yang sangat parah. Mereka tidak peduli dengan Islam, dan hanya sibuk memikirkan kejayaan kelompoknya dengan mencaci-maki kelompok lainnya. Tokoh Islam, Mohammad Natsir, jauh-jauh sebelumnya pernah mengingatkan bahaya ”tamak dunia” yang sedang mengancam negara Indonesia. Pada 17 Agustus 1951, hanya 6 tahun setelah kemerdekaan RI, Mohammad Natsir menulis sebuah artikel berjudul “Jangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut.” Melalui artikelnya ini, Natsir menggambarkan hilangnya budaya cinta pengorbanan pada manusia Indonesia pasca kemerdekaan: “Dahulu, mereka girang gembira, sekalipun hartanya habis, rumahnya terbakar, dan anaknya tewas di medan pertempuran, kini mereka muram dan kecewa sekalipun telah hidup dalam satu negara yang merdeka, yang mereka inginkan dan citacitakan sejak berpuluh dan beratus tahun yang lampau… Semua orang menghitung pengorbanannya, dan minta dihargai. Sengaja ditonjol-tonjolkan kemuka apa yang telah dikorbankannya itu, dan menuntut supaya dihargai oleh masyarakat. Dahulu, mereka berikan pengorbanan untuk masyarakat dan sekarang dari masyarakat itu pula mereka mengharapkan pembalasannya yang setimpal… Sekarang timbul penyakit bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu dan merajalela sifat serakah. Orang bekerja tidak sepenuh hati lagi. Orang sudah keberatan memberikan keringatnya sekalipun untuk tugasnya sendiri.” Di tahun 1980-an, Natsir juga pernah berpesan kepada para sejumlah cendekiawan Muslim yang mewawancarainya: ”Salah satu penyakit bangsa Indonesia, termasuk umat Islamnya, adalah berlebih-lebihan dalam mencintai dunia...Di negara kita, penyakit cinta dunia yang berlebihan itu merupakan gejala yang ”baru”, tidak kita jumpai pada masa revolusi, dan bahkan pada masa Orde Lama (kecuali pada sebagian kecil elite masyarakat).

95

Tetapi, gejala yang ”baru” ini, akhir-akhir ini terasa amat pesat perkembangannya, sehingga sudah menjadi wabah dalam masyarakat. Jika gejala ini dibiarkan berkembang terus, maka bukan saja umat Islam akan dapat mengalami kejadian yang menimpa Islam di Spanyol, tetapi bagi bangsa kita pada umumnya akan menghadapi persoalan sosial yang cukup serius.” Nabi Muhammad saw sudah mengingatkan bahaya ”tamak dunia”. Sejarah sudah membuktikan. Kini, kita bisa menilai: apakah bangsa Indonesia – bangsa Muslim terbesar di dunia ini -- sedang menuju proses kebangkitan atau sedang menggali kuburnya sendiri? Wallahu a’lam bil-shawab.

96

“Islam Ragu-ragu” versi Rektor UIN Yogya Oleh: Adian Husaini _________________________________________________________________

Di kalangan akademisi muslim Indonesia, nama Prof. Dr. M. Amin Abdullah tidak asing lagi. Selain menjabat sebagai rektor Universitas Islam Negeri Yogyakarta (dulunya IAIN Yogya), dia juga pernah menjabat posisi penting di PP Muhammadiyah, sebagai Ketua Majlis Tarjih dan Pemikiran Islam. Tetapi, dalam Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang, tahun 2005, namanya terpental dari jajaran pimpinan pusat Muhammadiyah. Dia berlatarbelakang pendidikan bidang filsafat Islam. Lulus PhD dari Department of Philosophy, Faculty of Art and Sciences, Middle East Technical University (METU), Ankara, Turki, tahun 1990. Sebagai akademisi dan penulis, tulisan Amin Abdullah tersebar di berbagai buku, jurnal, dan media massa. Bidang yang sering ditulisnya terutama masalah filsafat dan epistemologi Islam. Tapi, karena sangat gencar mempromosikan penggunaan hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur’an, dia kadang kala juga dijuluki “Bapak Hermeneutika Indonesia”. Komitmennya dan kegigihannya dalam mempromosikan hermeneutika sebagai metode “tafsir baru” pengganti metode tafsir al-Quran yang klasik, tampak dalam berbagai tulisannya tentang hermeneutika. Di UIN

Yogyakarta, penggunaan metodologi

hermeneutika dalam tafsir Al-Qur’an memang sangat digalakkan, sampai-sampai seorang mahasiswa yang bermaksud mengritik metode ini mengaku “akan membentur tembok”. Disamping mempromosikan hermeneutika, Amin Abdullah tentu saja harus melakukan kritik terhadap metode tafsir Al-Qur’an. Ia menulis dalam sebuah pengantar untuk buku tentang hermeneutika, bahwa “tafsir-tafsir klasik Al-Quran tidak lagi memberi makna dan fungsi yang jelas dalam kehidupan umat Islam.”

97

Penulis buku itu pun dengan semena-mena mengecam tafsir-tafsir klasik, tanpa data dan analisis yang memadai, dimana letak kekurangan dan ketidakberesan tafsir-tafsir klasik. Ditulis dalam buku ini: “Apalagi sebagian besar tafsir dan ilmu penafsiran yang diwarisi umat Islam selama ini, sadar atau tidak, telah turut melanggengkan status quo, dan kemerosotan umat Islam secara moral, politik, dan budaya.” (Lihat, Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, 2002, hal. xxv-xxvi, 10). Kecurigaan terhadap mufassir dan para ulama Islam juga tak luput dari goresan tangan Abdullah. Di dalam tulisannya yang lain, Amin Abdullah mengajak pembaca untuk mencurigai ilmu-ilmu keagamaan, tanpa membedakan antara ilmu keagamaan dalam Islam, dengan ilmu keagamaan yang muncul dalam tradisi peradaban Barat yang berlatar belakang sejarah Yahudi dan Kristen. Ia tulis, misalnya: “Dari studi empiris-historis terhadap fenomena keagamaan diperoleh masukan bahwa agama sesungguhnya juga sarat dengan berbagai “kepentingan” yang menempel dalam ajaran dan batang tubuh ilmu-ilmu keagamaan itu sendiri.” (Pengantar buku Metodologi Studi Agama, 2000, hal. 2) Bagi mahasiswa baru dalam bidang studi Islam, pernyataan-pernyataan profesor dan rektor sebuah kampus berlabel Islam semacam itu, bisa jadi melenakan. Sebab, kata-kata yang ditebar cukup halus. Para ulama dan ilmuwan keagamaan, apa pun agamanya, adalah manusia biasa. Karena itu, mereka pasti punya kepentingan dengan ilmu-ilmu nyang disusunnya. Sepintas, kata-kata Amin Abdullah itu logis. Padahal, jika didalami, ada kekeliruan mendasar dalam cara berpikir, karena metodologi “gebyah uyah” (serampangan) dalam menyamakan antara tradisi keilmuan Islam dengan tradisi keilmuan Barat.

98

Di dalam Islam, ada tradisi penyatuan antara ilmu dengan amal. Ada konsep “fasiq”, dimana seorang yang –meskipun berilmu tinggi– tetapi berbuat jahat, dapat terkena ketegori fasiq, dan karena itu, periwayatan dan beritanya perlu diklarifikasi. Jika dia fasiq, maka sebagian ulama melarangnya menjadi saksi di dalam pernikahan atau pengadilan. Di dalam ilmu hadis, ada ilmu Jarah wa Ta’dil, yang secara terbuka membeberkan sifat-sifat buruk perawi hadits, seperti pembohong, dan sebagainya. Karena itu, di dalam tradisi keilmuan Islam, kita akan menjumpai ilmuwan-ilmuwan yang sangat tinggi ilmunya, sekaligus juga sangat shalih dalam beragama. Itu bisa kita jumpai pada Imam-imam mazhab, Imam Bukhari, Imam al-Ghazali, Ibnu Taymiyah, dan sebagainya. Mereka bukan hanya ilmuwan, tetapi juga mujahid dan ahli ibadah. Tradisi seperti itu tidak terjadi dalam sistem keilmuan di Barat yang sekular. Di dalam tradisi ilmu yang berakar pada tradisi keilmuan Yunani, ada pemisahan antara orang pintar dan orang saleh. Banyak ilmuwan pintar dan dihormati oleh masyarakatnya, meskipun amalnya bejat. Seorang ilmuwan di Barat, tetap dianggap sebagai ilmuwan yang dihormati, meskipun tidak jelas agamanya dan amalan-amalan agamanya. Paul Johnson, dalam bukunya “Intellectuals” (1988), memaparkan kehidupan dan moralitas sejumlah ilmuwan besar yang menjadi rujukan keilmuan di Barat dan dunia internasional saat ini, seperti Ruosseau, Henrik Ibsen, Leo Tolstoy, Ernest Hemingway, Karl Marx, Bertrand Russel, Jean-Paul Sartre, dan beberapa lainnya. Ruosseau, misalnya, dicatatnya sebagai “manusia gila yang menarik” (an interesting madman). Pada tahun 1728, saat berumur 15 tahun, dia bertukar agama menjadi Katolik, agar dapat menjadi peliharaan Madame Francoise-Louise de Warens. Ernest Hemingway, seorang ilmuwan jenius, tidak memiliki agama yang jelas. Kedua orang tuanya adalah pengikut Kristen yang taat. Istri pertamanya, Hadley, menyatakan, ia hanya melihat Hemingway sembahyang selama dua kali, yaitu saat perkawinan dan pembaptisan anaknya.

99

Untuk menyenangkan istri keduanya, Pauline, dia berganti agama menjadi Katolik Roma. Kata Johnson, dia bukan saja tidak percaya kepada Tuhan, tetapi menganggap ‘organized religion’ sebagai ancaman terhadap kebahagiaan manusia. (He not only did not believe in God, but regarded organized religion as a menace to human happiness). Sebagai ilmuwan, seyogyanya Rektor UIN Yogya itu memberikan klarifikasi dan penjelasan yang bertanggung jawab terhadap tulisannya, bahwa “Dari studi empiris-historis terhadap fenomena keagamaan diperoleh masukan bahwa agama sesungguhnya juga sarat dengan berbagai “kepentingan” yang menempel dalam ajaran dan batang tubuh ilmu-ilmu keagamaan itu sendiri.” Jika dia katakan, agama –termasuk Islam– adalah sarat dengan berbagai kepentingan yang menempel pada ajaran dan batang tubuh ilmu-ilmu keagamaan, maka dia harus menjelaskan, apa kepentingan Sayyidina Utsman menghimpun Mushaf Al-Qur’an, apa kepentingan Imam Bukhari mengumpulkan dan menyeleksi hadits-hadits Nabi, apa kepentingan Imam Syafii menulis Kitab Risalah? Apakah kita harus mencurigai tindakan keilmuan sahabat-sahabat Rasululullah dan ulama-ulama Islam yang begitu besar jasanya terhadap pengembangan keilmuan Islam, sehingga kita harus menyatakan, bahwa mereka semua pasti punya kepentingan. Apakah kita tidak bisa berprasangka baik terhadap mereka, dan mengakui keikhlasan dan jasa mereka yang luas biasa dalam menyusun ilmu-ilmu agama (ulumuddin)? Metode studi Islam yang –maaf, sok– bersikap kritis ini bisa pada akhirnya berdampak kepada keragu-keraguan pada para pelajar dan mahasiswa. Mereka yang belajar Islam dengan cara-cara seperti ini, bukan tidak mungkin akan terjebak pada keraguan dan ketidakyakinan terhadap ajaran agamanya sendiri. Akhirnya, dari metode ini bisa lahir sarjana-sarjana yang justru rajin menghujat agamanya, ragu dengan kebenaran agamanya, dan bahkan memusuhi agamanya. Orang yang belajar ushuluddin (dasar-dasar agama), bukannya semakin yakin dengan agamanya, tetapi bisa jadi malah “ucul”-“din”nya (agamanya lepas).

100

Tidak sedikit para sarjana syariah lulusan perguruan tinggi Islam, yang akhirnya justru gigih menentang dan aktif menulis artikel yang menghancurkan dan menghina syariat Islam. Kita sungguh tidak habis mengerti, misalnya, bagaimana dari sebuah kampus berlabel Islam, seperti UIN Yogya, bisa muncul tesis master yang justru menghujat AlQur’an, dan menyatakan, bahwa “Mushaf itu tidak sakral dan absolut, melainkan profan dan fleksibel. Yang sakral dan absolut hanyalah pesan Tuhan yang terdapat di dalamnya, yang masih dalam proses pencarian. Karena itu, kini kita diperkenankan bermain-main dengan Mushaf tersebut, tanpa ada beban sedikitpun, beban sakralitas yang melingkupi perasaan dan pikiran kita.” (Lihat buku: “Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan” (2004), hal. 123) Penulis tesis itu dan juga para dosen serta rektor kampus itu seolah-olah tenang-tenang saja dengan fenomena semacam itu, dan tidak takut dengan akibat yang ditimbulkan jika ada orang yang terpengaruh dengan ide sesat itu. Apakah mereka tidak takut dengan dosa jika ada yang kemudian meragukan kebenaran Al-Qur’an, karena membaca tesis yang sudah dibukukan itu? Jika orang sudah meragukan kebenaran Al-Qur’an, lalu bagaimana dia bisa beriman dan meyakini rukun iman yang disebutkan dalam Al-Qur’an, seperti Malaikat, Hari Kiamat, dan sebagainya? Penanaman keragu-raguan terhadap Islam bagi mahasiswa Muslim tampaknya kini banyak dilakukan oleh para dosen-dosennya sendiri. Dan itu bukan hal yang aneh, jika kita menyimak tulisan lain dari Amin Abdullah, Sang Rektor. Dalam pengantarnya untuk sebuah buku berjudul “Hermeneutika Al-Quran” (2005), Amin secara gamblang menulis, bahwa: “Dengan sangat intensif hermeneutika mencoba membongkar kenyataan bahwa siapa pun orangnya, kelompok apapun namanya, kalau masih pada level manusia, pastilah “terbatas”, “parsial-kontekstual pemahamannya”, serta “bisa saja keliru”.

101

Cara berpikir Amin seperti itu sama saja dengan membongkar sistem keilmuan dalam Islam. Sebab, tidak ada lagi pemikiran yang bersifat pasti dan qath’iy. Tidak ada tafsir yang tetap dan pasti kebenarannya. Semua terbatas dan bisa saja keliru. Juga, tidak ada lagi konsep ‘tawatur’, berita yang dipastikan kebenarannya. Kita bisa mempertanyakan kepada Rektor UIN Yogya itu, bagaimana dengan konsep “keadilan para sahabat” dan ijma’ sahabat? Pengumpulan Mushaf Utsmani adalah berdasarkan ijma’ sahabat. Dengan cara berpikir Amin Abdullah, maka bisa saja pengumpulan Al-Qur’an itu keliru. Sebab, para sahabat Rasulullah itu adalah manusia dan kumpulan manusia. Dan selama mereka pada level manusia, maka mereka “bisa saja keliru”. Jadi, ijma’ para sahabat Rasululullah saw itu – menurut cara berpikir Rektor UIN Yogya – bisa saja keliru. Cara berpikir semacam itu bisa kita katakan sebagai bentuk ‘Islam ragu-ragu’. Islam yang serba tidak pasti. Tidak ada kebenaran yang pasti. Itulah tugas hermeneutika. Malah, lanjut Sang Rektor lagi, tugas hermeneutika itu berseberangan dengan keinginan egois hampir semua orang untuk “Selalu Benar”. Tidak mengherankan, katanya, jika kemudian kehadiran hermeneutika sebagai salah satu disiplin kajian yang mencermati proses epistemologis-ontologis pemahaman manusia banyak mendapat tantanan. Dan tentangan paling keras terhadap hermeneutika muncul dari ranah agama-agama yang harus diakui merupakan ladang paling subur bagi lahirnya “Klaim Kebenaran”. Itulah kata-kata Sang Rektor UIN Yogya, yang sangat membanggakan hermeneutika sebagai metodologi pemahaman Al-Qur’an, yang menurutnya mampu membongkar hal-hal yang selama ini dianggap sebagai satu bentuk kepastian. Dengan cara berpikir Rektor seperti itu, maka kita tidak heran, jika dari kampus berlabel Islam itu lahir sarjana-sarjana versi ‘Islam ragu-ragu’, alias golbin (golongan bingung) yang tidak pernah meyakini kebenaran Islam.

102

Tentu kita patut kasihani manusia-manusia seperti ini. Meskipun, kita tidak perlu risau dengan ulah mereka. Biarlah yang bingung bangga dengan kebingungannya sendiri. Kita ingatkan mereka, mudah-mudahan mereka sadar. Kita yang sudah menemukan kebenaran, kewajiban kita adalah meyakini kebenaran itu, dan berusaha menegakkannya. Dan Allah SWT sudah mengingatkan kita: “Kebenaran itu dari Tuhanmu, maka janganlah engkau menjadi golongan orangorang yang ragu.” (QS Al Baqarah:147). Wallahu a’lam. (Jakarta, 28 Oktober 2005/hidayatullah.com).

103

Promo Lesbi, Hina Nabi, Lecehkan Al-Qur’an. Oleh: Dr Adian Husaini _________________________________________________________________

Sebagian pegiat legalisasi homoseksual dan lesbianisme, tampaknya menjadikan Nabi Luth a.s. sebagai sasaran kebencian dan umpatan mereka. Al-Quran memang menggambarkan perjuangan Nabi Luth a.s. yang begitu berat dalam menghadapi kemunkaran yang dikerjakan kaumnya, sehingga Nabi Luth diusir dari kampungnya. AlQuran menggambarkan perjuangan Nabi Luth sebagai berikut: “Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kalian mengerjakan perbuatan keji, yang belum pernah dikerjakan oleh seorang pun sebelum kalian. Sesungguhnya kalian mendatangi laki-laki untuk melepaskan syahwat, bukan kepada wanita; malah kalian ini kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: “Usirlah mereka dari kotamu ini, sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri. Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali istrinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu.” (QS Al-A’raf:80-84). Di dalam Surat Hud ayat 82 dikisahkan: “Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah-tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi.” Kerusakan perilaku seksual kaum Luth ini juga ditegaskan oleh Rasulullah saw: “Sesungguhnya hal yang paling aku takutkan menimpa umatku adalah perbuatan kaum Luth.” (HR at-Tirmidzi, al-Hakim, Ibn Majah).

104

Dalam Tafsir Al-Azhar, Prof. Hamka menjelaskan, bagaimana sangat merusaknya penyakit ’kaum Luth’, sehingga mereka diazab dengan sangat keras oleh Allah SWT. Hamka sampai menyebut bahwa perilaku seksual antar sesama jenis ini lebih rendah martabatnya dibandingkan binatang. Binatang saja, kata Hamka, masih tahu mana lawan jenisnya. Hamka mengutip sebuah hadits Rasulullah saw.: “… dan apabila telah banyak kejadian laki-laki ’mendatangi’ laki-laki, maka Allah akan mencabut tangan-Nya dari makhluk, sehingga Allah tidak mempedulikan di lembah mana mereka akan binasa.” (HR at-Tirmidzi, alHakim, dan at-Tabhrani). Hamka menulis dalam Tafsirnya tentang pasangan homoseksual yang tertangkap tangan: “Sahabat-sahabat Rasulullah saw. yang diminta pertimbangannya oleh Sayyidina Abu Bakar seketika beliau jadi Khalifah, apa hukuman bagi kedua orang yang ’mendatangi’ dan ’didatangi’ itu, karena pernah ada yang tertangkap basah, semuanya memutuskan kedua orang itu wajib dijatuhi hukuman mati.” (Lihat, Tafsir al-Azhar, Juzu’ 8). Bisa digambarkan, betapa gundah dan marahnya kaum homo dan lesbi beserta para pendukungnya, terhadap sosok Nabi Luth yang mencoba menghentikan budaya syahwat merdeka pada kaum liberal di masa itu. Sebuah situs http://www.savethe males.ca, pada 16 Oktober 2004, menulis berita tentang Irshad Manji dengan judul ”Lesbian Muslim Reformer is a New World Orderly.” Ditulis: ”Muslim ”reformer” and lesbian activist Irshad Manji, 35, symbolizes the globalist push to extinguish true religion and enslave humanity.” Tentang akitivitas Irshad Manji dalam mendukung dan mempromosikan lesbianisme bisa dilihat dalam situsnya: www.irshadmanji.com. Kaum liberal pun membanggakannya sebagai sosok ”lesbian” yang – katanya – gigih melakukan ijtihad. Seorang aktivis liberal membanggakan Irshad Manji dengan menulis judul artikel dalam Jurnal Perempuan (edisi khusus Lesbian, 2008) berjudul: Irshad Manji, Muslimah Lesbian yang Gigih Menyerukan Ijtihad. Ditulis di jurnal ini: ”Manji sangat layak menjadi inspirasi kalangan Islam khususnya perempuan di Indonesia.”

105

Sebuah contoh gugatan terhadap sosok Nabi Luth a.s. ditunjukkan oleh sekumpulan mahasiswa Fakultas Syariah IAIN Semarang yang menerbitkan Jurnal JUSTISIA. Pada Edisi 25, Th XI, 2004, diturunkan laporan utama berjudul ”Indahnya Kawin Sesama Jenis”. Dengan gagahnya, redaksi menulis pengantar: “Hanya orang primitif saja yang melihat perkawinan sejenis sebagai sesuatu yang abnormal dan berbahaya. Bagi kami, tiada alasan kuat bagi siapapun dengan dalih apapun, untuk melarang perkawinan sejenis. Sebab, Tuhan pun sudah maklum, bahwa proyeknya menciptakan manusia sudah berhasil bahkan kebablasan.” Selanjutnya, artikel-artikel di Jurnal itu diterbitkan dalam sebuah buku berjudul “Indahnya Kawin Sesama Jenis: Demokratisasi dan Perlindungan Hak-hak Kaum Homoseksual”, (Semarang:Lembaga Studi Sosial dan Agama/eLSA, 2005). Disebutkanlah strategi ke arah legalisasi perkawinan sesame jenis (homo dan lesbi), yaitu: (1) mengorganisir kaum homoseksual untuk bersatu dan berjuang merebut hakhaknya yang telah dirampas oleh negara, (2) memberi pemahaman kepada masyarakat bahwa apa yang terjadi pada diri kaum homoseksual adalah sesuatu yang normal dan fithrah, sehingga masyarakat tidak mengucilkannya bahkan sebaliknya, masyarakat ikut terlibat mendukung setiap gerakan kaum homoseksual dalam menuntut hak-haknya, (3) melakukan kritik dan reaktualisasi tafsir keagamaan (tafsir kisah Luth dan konsep pernikahan) yang tidak memihak kaum homoseksual, (4) menyuarakan perubahan UU Perkawinan No 1/1974 yang mendefinisikan perkawinan harus antara laki-laki dan wanita.” (hal. 15).

106

Hina Nabi lecehkan al-Quran Para penyokong gerakan legalisasi homoseksual ini berani membuat tafsir baru atas ayat-ayat al-Quran, dengan membuat tuduhan-tuduhan keji terhadap Nabi Luth. Seorang penulis dalam buku ini, misalnya, menyatakan, bahwa pengharaman nikah sejenis adalah bentuk kebodohan umat Islam generasi sekarang karena ia hanya memahami doktrin agamanya secara given, taken for granted, tanpa ada pembacaan ulang secara kritis atas doktrin tersebut. Si penulis kemudian mengaku bersikap kritis dan curiga terhadap motif Nabi Luth dalam mengharamkan homoseksual, sebagaimana diceritakan dalam al-Quran surat al-A’raf :80-84 dan Hud :77-82). Semua itu, katanya, tidak lepas dari faktor kepentingan Luth itu sendiri, yang gagal menikahkan anaknya dengan dua laki-laki, yang kebetulan homoseks. Ditulis dalam buku ini sebagai berikut : ‘’Karena keinginan untuk menikahkan putrinya tidak kesampaian, tentu Luth amat kecewa. Luth kemudian menganggap kedua laki-laki tadi tidak normal. Istri Luth bisa memahami keadaan laki-laki tersebut dan berusaha menyadarkan Luth. Tapi, oleh Luth, malah dianggap istri yang melawan suami dan dianggap mendukung kedua laki-laki yang dinilai Luth tidak normal. Kenapa Luth menilai buruk terhadap kedua laki-laki yang kebetulan homo tersebut? Sejauh yang saya tahu, al-Quran tidak memberi jawaban yang jelas. Tetapi kebencian Luth terhadap kaum homo disamping karena faktor kecewa karena tidak berhasil menikahkan kedua putrinya juga karena anggapan Luth yang salah terhadap kaum homo.” (hal. 39). Cercaan terhadap Nabi Luth dan al-Quran terus dilanjutkan berikut ini: “Luth yang mengecam orientasi seksual sesama jenis mengajak orang-orang di kampungnya untuk tidak mencintai sesama jenis. Tetapi ajakan Luth ini tak digubris mereka. Berangkat dari kekecewaan inilah kemudian kisah bencana alam itu direkayasa. Istri Luth, seperti cerita alQuran, ikut jadi korban. Dalam al-Quran maupun Injil, homoseksual dianggap sebagai faktor utama penyebab dihancurkannya kaum Luth, tapi ini perlu dikritisi… saya menilai bencana alam tersebut ya bencana alam biasa sebagaimana gempa yang terjadi di beberapa wilayah sekarang. Namun karena pola pikir masyarakat dulu sangat tradisional dan mistis lantas bencana alam tadi dihubung-hubungkan dengan kaum Luth…. ini tidak rasional dan 107

terkesan mengada-ada. Masa’, hanya faktor ada orang yang homo, kemudian terjadi bencana alam. Sementara kita lihat sekarang, di Belanda dan Belgia misalnya, banyak orang homo nikah formal… tapi kok tidak ada bencana apa-apa.” (hal. 41-42). **** Para mahasiswa tersebut – saat itu – sedang menimba ilmu di sebuah Perguruan Tinggi yang menyandang nama Islam, juga nama “Walisongo” (IAIN Walisongo Semarang). Para Wali itu adalah penyebar dan pendakwah Islam yang sangat gigih di Tanah Jawa. Wali Songo tidak bermain-main dalam masalah agama. Para Wali Songo bersikap tegas terhadap penyelewengan aqidah yang dilakukan oleh Syekh Siti Jenar. Di dalam tradisi keilmuan Islam, sangat ditekankan masalah adab, bukan hanya kebebasan berpikir dan berbicara. Tiap manusia harus memahami adab bicara. Pemain bola di Eropa ada yang dihukum karena bicara bernada rasis. Seorang anak juga tidak bebas bicara kepada orang tuanya dengan – misalnya – bertanya kepada ayahnya: “Ayah, benarkah saya anak ayah? Tolong buktikan secara ilmiah!” Adab juga menekankan sikap “tahu diri”. Tidak gampang bicara dan menulis sesuka hati, tanpa merujuk kepada pendapat para ulama yang punya otoritas tafsir ilmu al-Quran. Di dalam tiap bidang keilmuan, kita mengakui adanya otoritas. Tidak semua manusia bebas bicara dalam soal keilmuan. Contohnya, pelawak Thukul dan Prof. Mahfud MD sama-sama manusia. Tetapi, nilai kata-kata keduanya tidaklah sama saat bicara tentang arti pasal-pasal dalam UUD 1945. Dalam bidang ekonomi, begitu juga. Kita mengakui ada otoritas keilmuan dari para pakar ekonomi yang sudah diakui tingkat keilmuannya oleh komunitas ilmuwan internasional di bidang tersebut. Dalam bidang Fisika, kita akan tertawa geli jika ada mahasiswa baru belajar rumus-rumus dasar fisika lalu berterak-teriak, bahwa Newton, Einstein, Stephan Hawking, Habibie, ternyata bodoh semua! Adalah suatu kehancuran besar, jika adab keilmuan ini tidak ditegakkan dalam bidang Ulumuddin. Jika kita mengakui al-Quran adalah Kitab wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, maka logikanya pasti kita mengakui, bahwa manusia yang paling memahami al-Quran adalah Nabi Muhammad SAW. Kemudian, Nabi SAW

108

menunjuk sejumlah sahabatnya yang beliau sebut sangat ahli dalam Tafsir al-Quran, seperti Ibnu Abbas dan Abdullah bin Mas’ud. Berikutnya, muncul para ahli tafsir al-Quran dari kalangan Tabi’in, Tabi’it Tabi’in, dan seterusnya. Sebagaimana dalam bidang Ilmu Ekonomi, Ilmu Fisika, dan sebagainya, Ilmu Tafsir juga merupakan ilmu yang sudah sangat matang perkembangannya dalam tradisi keilmuan Islam. Begitu juga Ilmu Ushul Fiqih, Ilmu Fiqih, Ilmu Nahwu, Ilmu Sharaf, Ilmu Kalam. Jika hendak belajar Tafsir al-Quran, seharusnya orang mau merujuk kepada ilmuwan atau ulama yang memahami Ilmu Tafsir al-Quran. Jika ditelaah dengan sedikit cermat saja, tampak bahwa Irshad Manji bukanlah orang yang punya otoritas memadai dalam pemahaman al-Quran. Itu bisa dilihat dalam bukunya, ”Beriman Tanpa Rasa Takut: Tantangan Umat Islam Saat Ini”, yang bisa diunduh di situsnya. Dalam buku ini, Irshad Manji, menyandarkan keraguannya terhadap alQuran pada pendapat Christoph Luxenberg (seorang pendeta Kristen asal Lebanon yang menyembunyikan nama aslinya). Kata Manji: ”Jika al-Quran dipengaruhi budaya YahudiKristen – yang sejalan dengan klaim bahwa al-Quran meneruskan wahyu-wahyu sebelumnya – maka bahasa Aramaik mungkin telah diterjemahkan oleh manusia ke dalam bahasa Arab. Atau, salah diterjemahkan dalam kasus hur, dan tak ada yang tahu berapa banyak lagi kata yang diterjemahkan secara kurang tepat. Bagaimana jika semua ayat salah dipahami?” (hal. 96). Pendapat Christoph Luxenberg menyatakan bahwa selama ini umat Islam salah memahami al-Quran, yang seharusnya dipahami dalam bahasa Syriac. Tentang surga, dengan nada sinis Manji menyatakan, bahwa ada human error yang masuk ke dalam al-Quran. Menurut riset yang baru, tulis Manji, yang diperoleh para martir atas pengorbanan mereka adalah kismis, dan bukan perawan. “Nah, bagaimana bisa Al-Quran begitu tidak akurat?” tulisnya. Pendapat Luxenberg yang dicomot begitu saja oleh Irshad Manji bahwa bahasa alQuran harus dipahami dalam bahasa Aramaik telah ditulis dalam buku “Die syroaramaeische Lesart des Koran: Ein Beitrag zur Entschluesselung der Koransprache”. Pendapat Luxenberg pun sangat lemah dan sudah banyak artikel ilmiah yang

109

menanggapinya. Dr. Syamsuddin Arif telah mengupas masalah ini secara tajam dalam bukunya, “Orientalis dan Diabolisme Intelektual”. Menurut Syamsuddin, Professor Hans Daiber, misalnya, memberikan seminar terbuka tentang karya Luxeberg itu selama satu semester penuh di Departemen Orientalistik Universitas Frankfurt, dimana ia ungkapkan sejumlah kelemahan-kelemahan buku itu secara metodologi dan filologi. Salah satu kelemahan Luxenberg, misalnya, untuk mendukung analisis dan argumen-argumennya, mestinya Luxenberg merujuk pada kamus bahasa Syriac atau Aramaic yang ditulis pada abad ke-7 atau 8 Masehi (zaman Islam), dan bukan menggunakan kamus bahasa Chaldean abad ke-20 karangan Jacques E. Manna terbitan tahun 1.900! Jadi, penghormatan berlebihan terhadap Irshad Manji, merusak dua hal sekaligus: otoritas keilmuan Islam dan juga asas-asas akhlak Islam. Kita yakin, masih banyak ulama, cendekiawan, dan kalangan umat Islam yang sadar dan cinta akan agamanya. Kita cinta negeri kita, sehingga kita berharap, negeri Muslim terbesar ini tidak menjadi tong sampah pemikiran! Wallaahu a’lam bil-shawab. (Depok, 5 Mei 2012).

110

LEGENDA-LEGENDA BARAT Oleh: Adian Husaini _________________________________________________________________

Meskipun peradaban Barat berhasil mencapai kemajuan pesat dalam bidang sains dan teknologi, tetapi masyarakat Barat ternyata masih tetap terkenal sebagai pemuja legenda atau dongeng-dongeng. Kamus “The American Heritage Dictionary on the English Language”, mengartikan kata “legend” dengan “An unverifiable popular story handed down from the past.” Artinya, “legenda” adalah cerita masa lalu yang tidak dapat diverifikasi kebenarannya. Kata ini berasal dari bahasa Latin “legere” yang artinya “to collect”, “to gather”, atau “to read”, yakni “mengumpulkan” atau “membaca”. Lihatlah deretan judul film-film yang beredar di gedung-gedung biosksop dalam beberapa bulan ini. Penuh dengan cerita-cerita legenda. Film Troy yang bercerita tentang legenda kepahlawanan Achiles dan Agammemnon, di masa Yunani kuno, laris manis diserbu penonton di gedung-gedung bioskop Kuala Lumpur. Penonton harus rela antri untuk dapat menikmati film yang dibintangi oleh Brad Pitt, Orlando Bloom, dan Eric Bana ini. Film Spiderman 2, juga bukan main hebatnya dalam menyerap penonton. Sampaisampai penonton dilarang membawa handphone saat masuk ke dalam gedung bioskop (di Malaysia disebut Pawagam). Sementara, sampai 23 Juli 2004, film Spiderman 2 telah maraup keuntungan 15 juta USD (sekitar Rp 140 milyar), masih dibawah perolehan film legenda “Catwoman” yang maraup 16,7 juta USD. Kini, sedang hangat-hangatnya masyarakat di sini dibuai oleh film King Arthur. Baru diedar bebarapa saat, sampai 23 Juli 2004, King Arthur sudah maraup keuntungan 3,04 juta USD. Film The Passion of The Christ yang begitu kontroversial, berhasil meraup keuntungan 19,2 juta USD, sampai bulan Februari 2004.

111

Film ini, meskipun didasarkan pada cerita Perjanjian Baru, tetapi juga dibumbui dengan berbagai cerita yang sulit diverifikasi kebenarannya. Film trilogi “The Lord of the Rings”, mampu maraup keuntungan lebih dari 2000 juta USD. Jauh sebelumnya, berbagai film legenda semacam Rambo, Batman, Superman, dan sebagainya, yang ternyata juga menjadi film-film yang “laku dijual”. Dengan promosi yang sangat dahsyat, film-film itu pun dinikmati oleh banyak umat manusia di belahan dunia lainnya. Mengapa masyarakat Barat menyukai legenda, mitos-mitos, atau mimpi-mimpi? Padahal, ada yang menyebut bahwa cerita-cerita yang menjual mimpi biasanya diproduksi oleh masyarakat tertindas untuk menghibur diri dan membayangkan akan kejayaan di masa yang akan datang. Cerita-cerita legenda itu biasanya dikaitkan dengan kisah kepahlawanan (epik) untuk membangkitkan moral. Apakah fenomena ini berkaitan dengan masyarakat Barat yang “sakit” dan sedang mengalami krisis dalam hidup? Sebagai peradaban yang sedang berkuasa, Barat terbukti tidak mampu menyelesaikan problema yang dihadapi umat manusia, bahkan probem dirinya sendiri. Mereka dihantui dengan berbagai kecemasan yang tidak berkesudahan. Itu semua karena mereka kehilangan pegangan hidup, setelah menempatkan manusia sebagai “tuhan”. Terlepas dari hal itu, ada baiknya kita telaah kilasan sejarah tentang berbagai legenda tentang Islam yang hidup di kalangan masyarakat Barat, khususnya di abad pertengahan. Jo Ann Hoeppner Moran Cruz, dalam tulisanya berjudul “Popular Attitudes towards Islam in Medieval Europe” (1999) mencatat banyak legenda menarik tentang Islam yang populer di kalangan masyarakat Barat di abad pertengahan. Bahkan, meskipun Barat menyerap banyak informasi langsung dari dunia Islam, saat Perang Salib (Crusade), legenda-legenda tentang Islam tetap hidup subur di kalangan masyarakat. “But Western Christian were more likely to hear legends, many of which were brought backs by the Franks who had been to the Holy Land,” tulis Cruz.

112

Misalnya, legenda bahwa Ida, seorang janda pasukan Salib, dikawini seorang Muslim (Sarancens) dan akhirnya menurunkan seorang anak bernama Zengi. Nama lengkapnya, Nuruddin Zengi. Dalam sejarah, ia adalah paman Shalahuddin al-Ayyubi, yang membalik sejarah Perang Salib, dengan keberhasilannya menaklukkan Edessa dari pasukan Salib (the Franks) pada 1144. Legenda tentang Shalahuddin al-Ayyubi – tokoh yang merebut kembali Jerusalem dari the Franks, 1187– bertebaran. Ada cerita tentang Eleanor of Aquitaine, istri Louis VII, yang memiliki affair dengan Shalahuddin. Ada juga legenda, bahwa Shalahuddin adalah keturunan dari anak perempuan Count of Ponthieu di Utara Perancis. Juga legenda bahwa Shalahuddin dibaptis pada akhir hayatnya. Legenda, bahwa Dome of the Rock di Jerusalem menyimpan banyak berhala sesembahan kaum Muslim. Dan bahwa di Mekah, pendeta murtad bernama Nicholas, dijadikan sesembahan. Pidato Pope Urban II yang terkenal di The Council of Clermont, 25 November 1095, juga menyebarkan banyak legenda tentang Muslim. Di tengah konflik antar masyarakat Eropa ketika itu, Pope Urban II, menggalang sebuah legenda tentang musuh bersama bernama “Turks”. “The Turks”, kata Paus, “adalah bangsa terkutuk.” “Killing these godless monsters was a holy act: it was a Christian duty to exterminate this vile race from our lands,” katanya. Seruan The Pope, mendapat sambutan luar biasa. Ratusan ribu pasukan Kristen bergabung, dengan semangat tinggi merebut Jerusalem. Dalam buku klasiknya, Islam and the West, Norman Daniel menyebut: “The essence of crusading was to slay for God’s love.” . Maka, saat memasuki Jerusalem, 1099, the Franks melakukan tindakan yang sulit dipercaya. Mereka membantai sekitar 30.000 warganya, Muslim dan Yahudi, termasuk wanita dan anak-anak. Fulcher of Chartress mencatat: “If you had been there your feet would have been stainen to the ankles in the blood of the slain.” Seorang tentara the Franks menulis dalam Gesta Francorum : “No one has ever seen or heard of such a slaughter of pagans, for they

113

were burned on pyres like pyramid, and no one save God alone knows how many there were.” Sepanjang sejarah, hubungan Islam-Barat diwarnai dan memunculkan banyak legenda. Dokumen Chanson de Roland (sekitar tahun 1100) yang ditemukan di Inggris pada abad ke-19 memberikan gambaran bahwa kaum Muslim adalah penyembah berhala, pengecut, berperang demi kekayaan, tanah, dan perempuan. Dokumen ini bercerita tentang legenda kepahlawanan (epic) Charlemagne yang digambarkan berhasil menaklukkan seluruh Spanyol. Padahal, pada 778, Charlemagne gagal menjalankan misi membantu gubernur Barcelona dan Saragossa melawan Khalifah Umayyah di Cordoba. Saat pulang, pasukan Charlemagne melakukan pembunuhan dan perampokan di Kota Pamplona. Pasukan Basque/Wascons

(Kristen)

melakukan

pembalasan

dan

mengalahkan

pasukan

Charlemagne. “Uniknya” dalam Chanson de Roland, Charlemagne digambarkan telah berhasil menaklukkan semua Spanyol, kecuali Saragossa. Musuh utamanya, bukan pasukan Wascons, tetapi kaum Muslim (Saracens). Cerita tentang Charlemagne sangat penting disimak dalam sejarah Eropa. Sebab, pada tahun 800, Paus Leo III membuat keputusan besar dalam politik kepausan, dengan meletakkan mahkota kerajaan kepada Charlemagne yang diangkat sebagai “Emperor of the Romans”. Aksi Leo III ini sekaligus memindahkan gelar itu dari Kekaisaran Romawi Timur (Byzantine) ke Barat. Pengesahan Kekaisaran Romawi terhadap Charlemagne kemudian membentuk pola hubungan baru dalam bidang keagamaan di Eropa, dan kemudian juga memicu konflik politik-keagamaan di abad Pertengahan. Ini berkaitan dengan pemisahan tanggung jawab dan sumber legitimasi kekuasaan dari dua institusi tersebut: negara dan Gereja. Legenda lain yang memberikan gambaran buruk tentang Islam adalah cerita tentang Aymeri of Narbonne dan putranya, William of Orange. Dalam legenda ini, Muslim digambarkan lebih buruk ketimbang yang ada dalam Chanson de Roland. Selain penyembah berhala, Muslim adalah pencipta segala kejahatan, musuh Tuhan, dan pemuja

114

setan. Mereka memakan tawanan perang, mengkhianati perjanjian, dan menjual belikan wanita mereka sendiri. Mereka adalah manusia-manusia kejam, pengkhianat, dan menyembah banyak dewa, seperti Mahomet, Cahu, Apollyon, dan Tervagant. Dalam banyak aspek, perang melawan terorisme juga diwarnai berbagai legenda. Legenda-legenda tentang ancaman Islam itu terus hidup di benak masyarakat Barat, sehingga begitu peristiwa 11 September 2001 meletus, banyak kaum Muslim mengalami perlakuan tidak manusiawi di Barat. Banyak ilmuwan Barat yang telah membongkar berbagai legenda seputar masalah terorisme. Siapa yang sebenarnya teroris? Syekh Ahmad Yassin (almarhum) atau Ariel Sharon? Tahun 1980-an, isu terorisme PLO menyita perhatian dunia internasional. Padahal, pada 1982, terjadi pembantaian sekitar 3.500 pengungsi Palestina (termasuk wanita dan anak-anak) oleh Tentara Phalangis dengan pemantauan penuh Israel. Namun, Israel sama sekali bebas dari cap sebagai negara teroris. Korban warga Palestina di Shabra-Shatila itu juga melampaui jumlah korban kelompok yang sudah ditetapkan sebagai teroris, seperti PLO, Baader-Meinhof gang dan Red Brigades. Kita ingat, bagaimana banyaknya cerita-cerita yang menyeramkan seputar Taliban di Afghanistan diproduksi dan ditulis. Tak lama kemudian, Taliban dihancurkan. Kita ingat, bagaimana legenda tentang senjata pemusnah massal dibuat, sebelum Irak diserang. Kini, sejumlah cendekiawan “neo-konservatif” seperti Bernard Lewis dan juga sejumlah media massa Barat banyak membuat cerita seputar “bahaya Wahabi dan Arab Saudi”. Apakah ini juga pertanda, rezim Wahabi di Arab Saudi berada dalam ancaman?

Majalah Newsweek 28 Juni 2004 menggunakan istilah “the demonizing of Saudi Arabia”. Dulu, Wahabisme disokong Barat (Inggris) untuk melawan Ottoman, dan selama puluh dekade, Barat berada di belakang Saudi. Hubungan khusus AS dan Arab Saudi sudah menjadi rahasia umum. Apakah akan terjadi suatu perubahan besar dalam kebijakan AS terhadap Saudi? 115

Mari kita lihat dan tunggu, apakah dalam waktu dekat akan beredar luas berbagai “legenda” – melalui surat kabar, majalah, film, dan sebagainya – tentang Arab Saudi dan keluarga kerajaan yang berlimpah dengan kekayaan itu. Sudah terbukti dalam sejarah, legenda sangat ampuh dalam membentuk persepsi masyarakat Barat. Wallahu a’lam. (KL, 30 Juli 2004).

Ulama Dalam Kemerdekaan dan Pembangunan Oleh: Dr. Adian Husaini _________________________________________________________________

116

PEMBUKAAN UUD 1945 menegaskan: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur…”. Rumusan itu sungguh indah; sesuai dengan rumusan aqidah ahlus sunnah; memadukan aspek rahmat Allah dan usaha manusia. Bangsa Indonesia berjuang merebut kemerdekaan dan kita mengakui, bahwa Allah Subhanahu Wata’ala adalah yang menganugerahi kemerdekaan. Pengakuan itu kita letakkan dalam Pembukaan Konstitusi, dan biasanya dibaca setiap upacara bendera. Dengan pemahaman seperti itu, sepatutnya bangsa Indonesia, dan kaum Muslim khususnya, tidak boleh merasa angkuh, bahwa kemerdekaan itu diraih semata-mata karena usaha perjuangan rakyat Indonesia. Tapi, kemerdekaan adalah anugerah Allah, sehingga kemerdekaan kita pahami sebagai nikmat dari Allah yang wajib kita syukuri. Syukur, maknanya, menggunakan nikmat itu sesuai dengan Yang Memberi Nikmat; bukan menurut hawa nafsu kita. Semoga kita dan para pemimpin kita sadar akan makna penting dari kemerdekaan. Rumusan penting itu memang dihasilkan dari goresan tinta ulama dan cendekiawan Muslim yang berunding dalam Panitia Sembilan dalam BPUPK tahun 1945 yang menghasilkan dokumen sejarah penting, yaitu Piagam Jakarta. Syukurlah, rumusan “Atas berkat rahmat Allah… “ itu tidak dituntut untuk dicoret sebagaimana rumusan tujuh kata “(Ketuhanan)… dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.” Seperti kita pahami, “tujuh kata” itu kemudian dicoret dalam sidang PPKI, 18 Agustus 1945. Bung Hatta mengaku, ia mendapat telepon dari seorang perwira Jepang yang mengaku menyampaikan aspirasi kaum Kristen Indonesia Timur. Bahwa, mereka tidak mau bergabung dengan NKRI jika “tujuh kata” itu tidak dihapus. Hingga kini, peristiwa seputar pencoretan “tujuh kata” itu masih misterius, sebab sampai meninggalnya, Bung Hatta tidak membuka siapa sebenarnya perwira Jepang yang meneleponnya tersebut. Tapi, bagaimana pun, peristiwa itu telah menjadi sejarah. Kita ambil hikmahnya. Bagi umat Islam, tanggal 17 Agustus 1945, adalah hari yang patut disyukuri sebagai rahmat Allah Subhanahu Wata’ala, dan tanggal 18 Agustus 1945 adalah hari yang jangan

117

dilupakan. Itulah hari dimana para tokoh Islam menerima tuntutan kaum Kristen Indonesia Timur, demi terpeliharanya kemerdekaan dan juga demi persatuan dan kesatuan NKRI. Kita perlu mengingat kembali, bahwa setelah Puagam Jakarta ditetapkan, masih ada sebagian anggota BPUPK yang menggugatnya. Akhirnya, Bung Karno sendiri menegaskan: “Saya ulangi lagi bahwa ini satu kompromis untuk menyudahi kesulitan antara kita bersama. Kompromis itu pun terdapat sesudah keringat kita menetes. Tuan-tuan, saya kira sudah ternyata bahwa kalimat “dengan didasarkan kepada ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” sudah diterima Panitia ini.” Piagam Jakarta adalah naskah pembukaan (preambule) Undang-undang Dasar (UUD) 1945 yang disiapkan untuk konstitusi Negara Indonesia merdeka. Ketika naskah pembukaan itu sudah disepakati, maka naskah-naskah rincian pasal-pasal dalam UUD 1945 masih menjadi masalah yang diperdebatkan. Dalam sidang BPUPK tanggal 13 Juli 1945, KH Wahid Hasyim mengusulkan, agar Presiden adalah orang Indonesia asli dan “yang beragama Islam”. Begitu juga draft pasal 29 diubah dengan ungkapan: “Agama Negara ialah agama Islam”, dengan menjamin kemerdekaan orang-orang yang beragama lain, untuk dan sebagainya. Kata Kyai Wahid Hasyim: “Hal ini erat perhubungan dengan pembelaan. Pada umumnya pembelaan yang berdasarkan atas kepercayaan sangat hebat, karena menurut ajaran agama, nyawa hanya boleh diserahkan buat ideologi agama.” Usul KH Wahid Hasyim disokong oleh Soekiman. Tapi, Haji Agus Salim mengingatkan, bahwa usul itu berarti mementahkan kembali kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya antara golongan Islam dan golongan kebangsaan. Usulan Wahid Hasyim akhirnya ditolak. Tapi, pada sidang tanggal 14 Juli 1945, Ki Bagus Hadikoesoemo, tokoh Muhammadiyah kembali mengangkat usul Kyai Sanusi yang meminta agar frase “bagi pemeluk-pemeluknya” dalam Piagam Jakarta dihapuskan saja. Jadi, bunyinya menjadi: “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam.”

118

Menanggapi permintaan KIai Sanusi dan Ki Bagus Hadikoesoemo, Soekarno kembali mengingatkan akan adanya kesepakatan yang telah dicapai dalam Panitia Sembilan. Soekarno, lagi-lagi meminta kepada seluruh anggota BPUPKI: “Sudahlah hasil kompromis diantara 2 pihak, sehingga dengan adanya kompromis itu, perselisihan diantara kedua pihak hilang. Tiap kompromis berdasar kepada memberi dan mengambil, geven dan nemen. Ini suatu kompromis yang berdasar memberi dan mengambil… Pendek kata, inilah kompromis yang sebaik-baiknya. Jadi, panitia memegang teguh akan kompromis yang dinamakan oleh anggota yang terhormat Muh. Yamin “Djakarta Charter”, yang disertai perkataan Tuan anggota Soekiman, gentlemen agreement, supaya ini dipegang teguh di antara pihak Islam dan pihak kebangsaan.” (Tentang perdebatan dalam BPUPK, lihat A.B. Kusuma, Lahirnya Undang-undang Dasar 1945, Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Hukum Uiversitas Indonesia, 2004). Semangat jihad. Peristiwa tanggal 18 Agustus 1945 membuktikan kebesaran jiwa para ulama dan tokoh Islam dalam menyikapi persatuan dan kesatuan bangsa. Tentunya, sikap itu merupakan rangkaian panjang dari keterlibatan para ulama dalam berbagai perjuangan merebut kemerdekaan dari penjajah. Memang, sejarah mencatat, goresan tinta ulama memiliki andil signifikan dalam meraih kemerdekaan NKRI. Bahkan, perjuangan mengusir penjajah, sering kali memadukan goresan tinta ulama dan kucuran darah syuhada. Penjajahan bukan soal politik dan ekonomi, tetapi juga masalah iman. Sebab, penjajah membawa misi “Gospel”, yakni menyebarkan agama mereka dan merusak keagamaan penduduk muslim. Karena itu, sepanjang sejarah perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan, peranan para ulama Islam sangat menonjol. Dalam buku Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII&XVIII, (2005), Azyumardi Azra mengungkap sejumlah contoh perjuangan para ulama dalam melawan penjajah. Sebutlah contoh Syekh Yusuf al-Maqassari (16271629M). Ulama terkenal ini bukan hanya mengajar dan menulis kitab-kitab keagamaan, tetapi juga memimpin pasukan melawan penjajah. Tahun 1683, setelah tertangkapnya

119

Sultan Ageng Tirtayasa, Syekh Yusuf Maqassari memimpin sekitar 4.000 pasukan di hampir seluruh wilayah Jawa Barat. Menurut satu versi, Syekh Yusuf berhasil ditangkap setelah komandan pasukan Belanda, van Happel, berhasil menyusup ke markas Syekh Yusuf, dengan menyamar sebagai Muslim dengan pakaian Arab. Syekh Yusuf pun dibuang ke Srilanka dan Afrika Selatan untuk mengurangi pengaruhnya. Tapi, justru di kedua tempat itu, Syekh Yusuf berhasil mengembangkan Islam dengan mengajar dan menulis. Usaha Belanda untuk mengkristenkan Syekh Yusuf juga gagal. Sarjana Evangelis Belanda, Samuel Zwemer, mengkritik Petrus Kalden, pendeta dari Gereja Belanda Tua Cape Town, yang gagal menjadikan Syekh Yusuf sebagai pemeluk Kristen. Ulama lain, Syekh Abd al-Shamad al-Palimbani (1704-1789), dikenal sebagai ulama paling terkemuka dari wilayah Palembang. Meskipun menetap Mekkah, Syekh Abd al-Shamad memiliki kepedulian kuat terhadap kondisi Nusantara dan mendorong kaum Muslim untuk melaksanakan jihad melawan penjajah. Sebuah kitab berbahasa Arab tentang keutamaan jihad fi-sabilillah ditulisnya dengan judul, Nashihah al-Muslim wa-Tadzkirah al-mu’minin fi-Fadhail al-Jihad fiSabilillah wa-Karamah al-Mujahidin fi-Sabilillah. Melalui kitabnya ini, Syekh al-Palimbani menjelaskan bahwa wajib hukumnya bagi kaum Muslim untuk melakukan jihad melawan kaum kafir.

Dalam The Achehnese, seperti dikutip Azra, Snouck Hurgronje menyebutkan bahwa karya Syekh al-Palimbani merupakan sumber rujukan utama berbagai karya mengenai jihad dalam Perang Aceh yang sangat panjang melawan Belanda, mulai 1873 sampai awal abad ke-20. Kitab ini menjadi model imbauan agar kaum Muslim berjuang melawan kaum kafir.

120

Bahkan, setelah kemerdekaan diraih, para ulama tetap mengawal kemerdekaan Indonesia. Itu ditunjukkan oleh kepahlawanan KH Hasyim Asy’ari dengan fatwa jihadnya, pada 14 September1945. Isi Resolusi Jihad yang diputuskan dalam rapat para konsul NU se-Jawa Madura itu antara lain berbunyi: (1) Kemerdekaan Indonesia yang telah diproklamirkan pada 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan, (2) Umat Islam, terutama warga NU, wajib mengangkat senjata melawan Belanda dan kawan-kawannya yang hendak kembali menjajah Indonesia, (5) Kewajiban tersebut adalah “jihad” yang menjadi kewajiban bagi tiap-tiap orang Islam (fardhu ain) yang berada dalam jarak radius 94 km (yakni jarak dimana umat Islam boleh melakukan shalat jama’ dan qasar). Adapun bagi mereka yang berada di luar jarak tersebut, wajib membantu saudara-saudaranya yang berada dalam jarak 94 km tersebut. Dalam teks lain, ada tambahan: “Kaki tangan musuh adalah pemecah belah kebulatan tekad dan kehendak rakyat dan harus dibinasakan; menurut hukum Islam sabda hadits (Nabi) riwayat Muslim.” Dampak dari Resolusi Jihad itu sungguh luar biasa. Puluhan ribu kyai dan santri berperang melawan tentara Sekutu, yang baru saja memenangkan Perang Dunia kedua. Lima belas ribu tentara Sekutu dengan persenjataan serba canggih tak mampu menghadapi pasukan perlawanan pasukan kyai dan santri. Bahkan, Brigadir Jenderal A.W.S. Mallaby tewas di tangan laskar santri. (Lihat, el-Guyanie, Resolusi Jihad Paling Syar’i, 2010). Dimana ulama kini?. Fatwa jihad KH Hasyim Asy’ari – yang ketika itu juga sebagai pemimpin tertinggi umat Islam di Indonesia, sebagai Ketua Majelis Syuro Masyumi — menunjukkan kebesaran jiwa para ulama dalam menyikapi kemerdekaan Indonesia. Sikap itu juga menunjukkan kedewasaan berpolitik dalam bingkai NKRI. Meskipun tidak seluruh tuntutan dan cita-cita para ulama itu terpenuhi dalam memperjuangkan dasar negara, tetapi mereka “tidak ngambek” atau lari dari NKRI. Fatwa bahwa mempertahankan kemerdekaan

121

RI adalah wajib hukumnya, menunjukkan pembelaan hidup-mati umat Islam Indonesia terhadap kemerdekaan Indonesia. Merenungkan sejarah perjuangan para ulama dalam memperjuangkan dan membela kemerdekaan Indonesia itu, kita patut bertanya sekarang, di mana para ulama itu ditempatkan? Dalam upacara peringatan kemerdekaan, biasanya ulama ditempatkan dalam posisi “terhormat” sebagai “tukang baca doa”. Lumayan! Daripada tidak sama sekali! Akan tetapi, apakah ulama diajak rembukan untuk memusyawarahkan, bagaimana seharusnya bangsa kita ini mensyukuri nikmat kemerdekaan yang katanya diraih “atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa” itu? Mengapa memperingati kemerdekaan yang resmi dan diakui oleh institusi kenegaraan hanya berupa upacara bendera? Bagaimana jika bentuk peringatan resmi kemerdekaan RI itu dilakukan dengan khataman al-Quran dan pembacaan kisah-kisah perjuangan para pahlawan di seluruh masjid di Indonesia? Bukankah itu sesuatu yang bagus? Silakan yang melaksanakan lomba makan kerupuk, lomba balap karung, lomba panjat pinang; tetapi tidak ada salahnya jika Presiden bersama para ulama memberi contoh memperingati kemerdekaan dengan acara ibadah di masjid. Agak aneh, bahwa masjidmasjid di Indonesia belum terdengar menyelenggarakan acara peringatan kemerdekaan RI, padahal, kemerdekaan Indonesia diraih dengan perjuangan yang panjang oleh para ulama dan para syuhada. Lebih menyedihkan, setelah kemerdekaan, ada usaha – sadar atau tidak – untuk menyingkirkan ulama dari perumusan konsep-konsep pembangunan untuk mengisi kemerdekaan. Ulama dijadikan sebagai makhluk yang berharga terutama saat menjelang pilihan presiden atau pilkada. Saat diperlukan – kadang ulama didatangi; diminta doa, restu, atau dukungan politik, agar jabatan politik diraih; agar hujan turun saat kekeringan; agar krisis berlalu saat dilanda krisis. Setelah semua kebutuhan terpenuhi, ulama ditinggalkan, diposisikan sebagai “pendorong mobil mogok”. Tapi, itu pun masih lumayan; daripada para pejabat datang ke dukun-dukun klenik. Ulama adalah pewaris Nabi. Mereka wajib menjaga diri. Tugas utamanya adalah

122

melanjutkan perjuangan menegakkan misi kenabian. Ulama tidak perlu minta dihormati, apalagi sampai “gila hormat”. Kata Imam al-Ghazali, jika ulama rusak, cinta harta dan kehormatan (hubbul mal wal-jah), maka rusaklah penguasa. Jika penguasa rusak, maka rakyat pun binasa. Sejarah telah membuktikan, bagaimana para ulama kita begitu hebat perjuangannya dalam menyebarkan dan menjaga Islam di seluruh negeri. Begitu hebat dan cerdiknya para Wali Songo yang mendidik dan kemudian mengangkat Raden Patah sebagai Raja Muslim pertama di Tanah Jawa. Jika ulama setia pada perjuangan menegakkan cita-cita mulia para anbiya,pasti para penguasa tak akan memandang mereka hina! Wallahu A’lam.*/Jakarta, 21 Agustus 2015

PERINGATAN IMAM AL GHAZALI Oleh: Adian Husaini _________________________________________________________________

123

Tanggal 4 Juni 2005, saya datang ke IAIN Bandung, memenuhi undangan seminar tentang sekularisme, liberalisme, dan pluralisme agama. Kampus IAIN Bandung sedang direncanakan untuk menjadi Universitas Islam Negeri (UIN), seperti halnya UIN Jakarta dan UIN Yogyakarta. Dalam berbagai diskusi saya dengan mahasiswa dan dosen di berbagai UIN dan IAIN, saya mempunyai kesimpulan, bahwa salah satu masalah mendasar yang dialami oleh kalangan akademisi dan perguruan tinggi Islam saat ini adalah masalah visi, misi, dan niat. Masalah visi dan misi terkait dengan pemahaman tentang konsep ilmu. Apa sebenarnya yang dimaksud dengan ilmu? Ilmu-ilmu apakah yang harus dipelajari, dan untuk apa mempelajari ilmu-ilmu tersebut. Pendidikan, pada dasarnya berkaitan dengan masalah ilmu. Apalagi masalah pendidikan agama, yang berkaitan dengan ilmu-ilmu agama (ulumuddin). Sudah bukan rahasia lagi, kekacauan konsep ilmu telah menyebabkan munculnya dampak yang sangat serius di kalangan kaum Muslim saat ini. Pada level perguruan tinggi, konsep keilmuan terpecah secara mendasar; ilmu agama dan ilmu umum. Perguruan Tinggi dibentuk berdasarkan konsep yang sekular itu, sehingga lahirlah universitas/Institut Umum dan Universitas/Insititut Islam. Konsep dasar ini jelas sangat keliru, karena tidak berdasarkan pada konsep keilmuan Islam. Dari konsep yang salah ini, lahirlah para cendekiawan yang terbelah, baik dalam cara berpikir, maupun dalam penguasaan keilmuan. Mahasiswa yang belajar teknik, kedokteran, ekonomi, komputer, geologi, dan sebagainya, tidak merasa wajib untuk mempelajari ilmu-ilmu agama. Ia hanya merasa cukup sudah beramal dan bersemangat memperjuangkan Islam melalui aktivitas politik, sosial, ekonomi, dan sebagainya. Ia tidak merasa wajib untuk mempalajari ilmu-ilmu Islam, seperti Ushuluddin, bahasa Arab, Ulumul Quran, Ulumul hadits, ilmu fiqih, dan sebagainya. Menurut perasaan mereka, mempelajari ilmu-ilmu agama seperti itu adalah tanggung jawab orang-orang pesantren, IAIN, dan semacamnya. Meskipun secara umum bisa dikatakan, rata-rata mahasiswa kedokteran, teknik, komputer, dan sebagainya, adalah manusia berotak cerdas, mereka tidak merasa wajib menggunakan akalnya untuk mempelajari dengan sungguh-sungguh bahasa Arab atau ulumuddin lainnya. Mereka

124

biasanya hanya suka mendengar ustad ceramah, seminggu sekali, atau sebulan sekali, atau melalui media radio/telivisi, dengan tradisi jiping (ngaji kuping). Belajar agama dianggap sambilan, atau hanya sekedar mengisi waktu, dengan tenaga dan pikiran sisa. Mereka sanggup belajar bahasa Inggris, membayar mahal, dan bersungguh-sungguh mencurahkan pikirannya, untuk menguasai bahasa itu. Tetapi, ketika berhadapan dengan bahasa Arab, mereka merasa tidak berkepentingan sama sekali. Padahal, Imam Syafii menjelaskan dalam Kitab Risalah, bahwa mempalajari bahasa Arab adalah fardhu 'ain, dan setiap orang Muslim wajib menguasai bahasa Arab, semaksimal mungkin, sesuai dengan kemampuannya. Artinya, adalah berdosa, jika seseorang tidak bersungguh-sungguh belajar bahasa Arab. Padahal, jika orang-orang cerdas mau bersungguh-sungguh menggunakan akalnya untuk menguasai bahasa Arab, mereka insyaallah bisa menguasainya, sebagaimana mereka mampu memguasai bahasa-bahasa asing lainnya. Biasanya, para profesional atau kaum cendekiawan berlatarbelakang ilmu-ilmu umum, senang dan bangga memelihara statusnya sebagai orang awam dalam agama. Meskipun sudah lulus kuliah berpuluh-puluh tahun, dan menjadi orang muslim sejak lahir, mereka senang mengucapkan, saya ini awam dalam agama. Jadilah ia awam seumur hidupnya dalam bidang-bidang ilmu agama, tetapi sangat pakar dalam ilmu-ilmu tertentu di bidang profesinya. Fenomena semacam ini sangat lazim kita jumpai. Mereka menjadi awam dalam ilmu-ilmu agama bukan karena otaknya bodoh, atau tidak punya waktu untuk belajar, tetapi lebih karena mereka tidak memahami konsepsi ilmu dalam Islam. Mereka tidak paham, mana ilmu yang fardhu 'ain, dan mana ilmu yang fardhu kifayah. Padahal, konsep ini telah dijelaskan dengan gamblang oleh Imam al-Ghazali melalui kitabnya yang terkenal Ihya Ulumuddin. Ilmu-ilmu yang berkaitan dengan masalah aqidah dan ibadah wajib, misalnya, termasuk ilmu yang fardhu ain. Secara ringkas, ilmu yang fardhu ain adalah ilmu yang diperlukan untuk mengamalkan kewajiban. Untuk orang-orang yang dikarunai akal yang cerdas, maka beban dan kewajiban untuk mengkaji keilmuan itu tentu lebih berat. Mereka

125

seharusnya lebih mendalami ilmu-ilmu yang fardhu ain, lebih daripada orang lain yang kurang kadar kecerdasan akalnya. Bagi kaum cendekiawan atau ulama, maka tanggung jawab mereka juga lebih berat. Disamping wajib mengetahui yang benar, mereka juga harus mengetahui ilmu tentang halhal yang bathil yang tersebar di tengah masyarakat. Sebab, kata al-Ghazali, orang yang tidak mengetahui kebathilan, ia akan terperosok di dalamnya. Ibarat seorang dokter, maka ulama wajib mengetahui ilmu tentang pengobatan dan sekaligus ilmu tentang penyakitnya. Maka, di masa lalu, para ulama Islam, disamping menguasai ilmu-ilmu keislaman dengan mendalam, mereka juga menguasai ilmu-ilmu tentang pemikiran kontemporer ketika itu. Dengan itulah para ulama bisa menjalankan fungsinya sebagai pewaris para nabi, dengan menjaga aqidah umat. Para ulama saat ini, misalnya, wajib memahami dengan mendalam masalah sekularisme, liberalisme, pluralisme, marxisme, dan sebagainya. Paham-paham inilah yang sekarang menguasai dunia dan mencengkeram benak kaum muslimin. Jika para ulama tidak menguasai masalah-masalah pemikiran kontemporer, maka mereka akan menjadi penonton yang baik di satu arena pertarungan pemikiran yang dahsyat. Mencari ilmu, sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah saw, adalah wajib bagi setiap Muslim. Artinya, setiap hari, kaum Muslim seharusnya sibuk dalam aktivitas keilmuan. Tidak ada hari tanpa mengaji dan menambah ilmu, terutama ilmu-ilmu yang fardhu 'ain, maupun ilmu yang fardhu kifayah.

Imam al-Ghazali mencontohkan, ilmu fardhu kifayah seperti ilmu kedokteran dan ilmu berhitung. Ilmu jenis ini diperkukan untuk tegaknya sistem masyarakat. Fardhu kifayah artinya, jika sebagian kaum Muslimin sudah menguasai ilmu itu, dalam jumlah yang mencukupi kebutuhan masyarakat (kifayah), maka gugurlah kewajiban itu dari sebagian kaum muslimin lainnya. Tidak perlu semua anggota masyarakat menjadi dokter, dan tidak perlu semuanya pakar dalam matematika, teknik elektro, teknik komputer, teknik pesawat, dan sebagainya. Cukup sebagian kaum Muslimin yang menguasai bidang ilmu

126

fardhu kifayah. Selain kesalahan dalam memahami konsepsi ilmu, masalah mendasar lainnya dalam masalah ilmu dan pendidikan adalah soal niat mencari ilmu. Imam alGhazali sudah mengingatkan dengan bahasa yang lugas dalam mukaddimah kitab Bidayatul Hidayah. Kata beliau, jika seseorang mencari ilmu dengan maksud untuk sekedar hebathebatan, mencari pujian, atau untuk mengumpulkan harta benda, maka dia telah berjalan untuk menghancurkan agamanya, merusak dirinya sendiri, dan telah menjual akhirat dengan dunia. (Fa-anta saain ilaa hadmi diinika wa ihlaaki nafsika, wa bayi aakhiratika bi dunyaaka). Bagi Imam al-Ghazali, ilmu adalah sesuatu yang sangat mulia, dan sebab itu terlalu murah jika ilmu ditujukan untuk hal-hal yang sifatnya duniawi. Ilmu haruslah ditujukan untuk ibadah dan mencari hidayah Allah. Siapapun yang mencari ilmu dengan niat yang mulia seperti itu, kata beliau, maka para Malaikat akan melindungi pencari ilmu itu dengan membentangkan sayapnya; dan ikan-ikan di laut mendoakan si pencari ilmu yang ikhlas dalam langkahnya. Jika saat ini kita mengalami krisis ulama, dan pesantren serta kampus-kampus Islam tidak melahirkan ulama-ulama yang tangguh, maka kita perlu melakukan introspeksi ke dalam, apakah konsepsi ilmu dan niat dalam mencari ilmu sudah benar? Banyak jurusan dalam ilmu-ilmu agama dibentuk, dengan tujuan untuk mencari lapangan kerja. Mereka yang lulus, banyak yang kemudian tidak tertarik untuk mengembangkan ilmunya lebih jauh, atau mengamalkan ilmunya untuk berdakwah, tetapi justru meniatkan ilmunya untuk mencari harta benda dunia, sebagaimana sudah diperingatkan oleh al-Ghazali. Yang lebih memprihatinkan, ada kampus-kampus yang sama sekali mengabaikan masalah ilmu, dan mendirikan lembaga pendidikan sekedar jual beli gelar. Dari kampuskampus semacam ini akan lahir orang-orang yang menyandang gelar tertentu tanpa keilmuan yang memadai. Peringatan Imam al-Ghazali ini sangat penting kita renungkan. Beliau menulis Kitab Ihya Ulumuddin dan Bidayatul Hidayah antara tahun 1096-1097, di saat awal-awal periode Perang Salib. Saat itulah kaum Muslimin mengalami krisis politik

127

dan militer yang sangat serius, sehingga pasukan Salib (Crusaders) yang lebih rendah tingkat peradabannya mampu mengalahkan kaum Muslimin. Dengan penguasaan ilmu yang tinggi dan pencermatannya langsung ke beberapa wilayah kaum Muslimin, Al-Ghazali melihat pada problema yang paling mendasar yang harus dipecahkan umat Islam saat itu, yaitu masalah keilmuan dan keulamaan. Seperti kita bahas pada Catatan Akhir Pekan (CAP) yang lalu, tugas ulama adalah sebagai pewaris para Nabi. Mereka yang harus menjaga ilmu-ilmu agama agar tetap hidup dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat Islam. Jika konsepsi Islam tentang ilmu dipahami dan dihayati oleh kaum Muslimin, terutama para tokoh-tokohnya, maka tidak mungkin kita mengalami krisis seperti sekarang ini. Umat akan paham, mana yang wajib dilakukan terlebih dahulu dan mana yang menjadi prioritas kemudian. Tidak mungkin kita mengalami krisis pembelajaran dirosah islamiyah, dimana jurusan-jurusan agama (Fakultas Agama Islam) adalah jurusan terakhir yang dipilih mahasiswa muslim. Kemarin, saya berkunjung ke satu kampus di Jakarta. Ada data yang dianggap biasa: di kampus ini, jumlah mahasiswa jurusan komunikasi mencapai 400 orang, sementara mahasiswa jurusan agama hanya 15 orang. Itu pun adalah merekamereka yang diberi insentif untuk kuliah di situ. Biasanya, karena merupakan pilihan terakhir, maka yang masuk ke studi agama pun, kualitas mahasiswa yang kemampuan akalnya pas-pasan.

Masalahnya lebih rumit lagi, setelah masuknya virus liberalisme-sekularisme ke dalam sistem pendidikan Islam. Virus ini otomatis melemahkan sendi-sendi pertahanan kaum Muslim, dan memunculkan masalah yang sangat pelik. Dari konsepsi yang keliru lahirlah sarjana yang keliru cara berpikirnya. Jika dulu paham ateisme disebarkan oleh kalangan Marxis-komunis, maka kini tidak sedikit sarjana dari kalangan studi Islam yang dengan bangga menyebarkan ateisme atau Marxisme, baik dalam bentuknya yang asli atau metamorfosisnya, seperti paham pluralisme agama atau gender equality.

128

Mudah-mudahan peringatan Imam al-Ghazali dapat menjadi bahan renungan kita bersama, dalam upaya membangun peradaban Islam yang gemilang di masa mendatang. Amin. (Jakarta, 10 Juni 2005).

SATU TUHAN, SATU AGAMA! Oleh: Dr. Adian Husaini _________________________________________________________________

Dalam beberapa hari belakangan, ada sejumlah SMS yang masuk ke HP saya. Isinya, meminta saya mengkaji sebuah buku berjudul Satu Tuhan Banyak Agama,

129

Pandangan Sufistik Ibn ‘Arabi, Rumi dan al-Jili, (Mizan, 2011). Rabu (19/10/2011), saya baru sempat mencari buku ini di sebuah toko buku. Setelah membaca dengan seksama, saya segera berusaha memberikan sejumlah ulasan berikut ini. Dari segi penampilan luar, buku karya Dr. Media Zainul Bahri (dosen Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta) tampak berwibawa, dengan tebal 500 halaman lebih. Ada pengantar dari Rektor UIN Jakarta, Prof. Komaruddin Hidayat dan juga pujian dari Prof. Kautsar Azhari Noer, guru besar Perbandingan Agama, UIN Jakarta. Dengan tampilan semacam itu, wajar jika orang menyangka bahwa buku ini berbobot ilmiah yang tinggi. Apalagi, ini juga disertasi doktor di UIN Jakarta. Tentu, usaha penulis buku ini dalam mengkaji pemikiran-pemikiran tiga tokoh sufi tersebut perlu diberikan apresiasi. Harapannya, ke depan, makin terbuka kajian-kajian semacam ini yang lebih serius dan lebih Islami. Akan tetapi, sebagai karya terbuka, tentu buku ini wajib dikaji secara kritis. Berikut ini catatan kritis untuk buku ini: Pertama, buku ini mengambil konsep Pluralisme, Perenialisme dan Kesatuan Transendensi Agama-agama/KTAA (Transcendent Unity of Religions) sebagai dasar analisis. Pemikiran tiga tokoh sufi dianalisis dari konsep ini. Tidak ada catatan kritis apa pun terhadap konsep KTAA tersebut. Penulis buku ini sudah meyakini kebenaran konsep tersebut dan kemudian berusaha mencari legitimasi pada karya-karya klasik dan kontemporer dari para ulama dan sarjana Muslim klasik dan kontemporer.

Padahal, jika ditelaah sepintas saja, kita akan menjumpai berbagai paradoks dan kerancuan dalam pemikiran-pemikiran yang disajikan. Sebagai contoh, tertulis: “Dalam diskursus pluralisme agama, penjelasan tentang transendensi Ilahi ini dan bahwa setiap agama lahir dan terikat pada konteks tertentu menjadi argumen bahwa tidak ada agama yang lebih tinggi/sempurna atas yang lain. Semua bentuk-bentuk agama adalah sederajat, karena semuanya sedang mewadahi ke-Mahabenaran dan ke-Mahamutlakan Tuhan.” (hal. 21).

130

Itulah salah satu keganjilan pemikiran pluralisme agama. Mereka menolak “klaim kebenaran” dari masing-masing pemeluk agama, tetapi pada saat yang sama mereka justru menolak keberagaman. Mereka memaksa semua pemeluk agama melepaskan klaim kebenarannya masing-masing lalu dipaksa berpindah menuju satu keyakinan, bahwa “semuanya benar”, sebagaimana paham kaum pluralis tersebut. Bukankah ini satu sikap yang paradoks dan justru anti-pluralisme! Simaklah, betapa paradoks dan absurdnya logika penganut pluralisme ini! Di dalam buku ini, dikatakan: “Semua jalan-jalan itu menuju kepada puncak yang sama. Ibarat ribuan bahkan jutaan aliran air sungai dan anak sungai semuanya mengalir dan sedang meluncur ke samudera yang sama.” (hal. 379). Logikanya, jika ia mengakui kebenaran semua agama, aliran, atau paham, seharusnya dia juga mengakui kebenaran paham para penganut agama yang meyakini kebenaran agamanya sendiri (bersikap eksklusif). Tetapi, anehnya, kita banyak menjumpai berbagai kecaman terhadap orang-orang yang tidak sejalan dengan pemikiran pluralisme. Dikutip, misalnya, pendapat Paul F. Knitter, bahwa kita tidak dapat mengatakan agama yang satu lebih baik dari yang lain. Semua agama adalah relatif, terbatas, parsial, tidak lengkap, satu cara melihat sesuatu. Saat ini, menganggap bahwa satu agama pada dirinya lebih baik dari agama lain adalah sebuah pandangan keliru, ofensif, dan berpandangan sempit. (hal. 379-380).

Kita balik bertanya, jika orang hanya mengakui paham Pluralisme saja yang benar, dan menyerang paham yang berbeda dengannya, bukankah orang itu juga berpandangan sempit? Seorang “pluralis sejati”, seharusnya bersikap permisif terhadap semua paham dan agama, karena semuanya dianggap benar! Terbuktilah, logika kaum pluralis ini memang mau menang sendiri dan asal-asalan: merasa benar sendiri dengan pendapatnya, tetapi menyalahkan umat beragama yang meyakini kebenaran agamanya sendiri! Kedua, dalam buku ini tidak didefinisikan apa yang disebut “agama” dan apa batasannya? Misalnya, ditulis: “Dengan kata lain, semua agama adalah sama, dalam arti

131

sama-sama mengandung kebenaran yang terbatas. Tidak ada yang lebih baik atau lebih sempurna antara satu dengan yang lain. Tuhan Yang Mahabenar secara mutlak – meminjam ungkapan Schuon – tidak mungkin kebenaran-Nya secara sempurna dikandung hanya oleh satu agama atau berapa agama, bahkan jutaan agama sekali pun.” (hal. 380). Mari kita uji logika Doktor lulusan UIN Jakarta ini. Ia tentu paham bahwa jumlah agama di dunia ini adalah ribuan. Ambillah satu contoh agama bernama Bhairawatantra yang hidup di Indonesia sebelum kedatangan Islam. Bhairawatantra memiliki ajaran, bahwa manusia hendaknya jangan menahan hawa nafsu, bahkan sebaiknya manusia itu memperturutkan hawa nafsu. Sebab bila manusia terpuaskan nafsunya, maka jiwanya akan menjadi merdeka. (Dr. Prijohutomo. Sedjarah Kebudajaan Indonesia I: Bangsa Hindu. (J.B. Wolter, Jakarta-Groningen, 1953). Hal. 89). Salah satu bentuk ritual yang paling esoterik, adalah pemujaan yang memerlukan persembahan berupa manusia. Ritualnya meliputi persembahan berupa meminum darah manusia dan memakan dagingnya. (Paul Michel Munoz. Kerajaan-kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia. Terjemahan. (Mitra Abadi, Yogyakarta, 2006). Hal. 253 dan 448). (Lihat lebih jauh tentang aliran ini di Jurnal Islamia-Republika, Kamis 20 Oktober 2011). Apakah agama Bhairawatantra yang mengajarkan ritual seks bebas dan penyembelihan manusia ini sama derajatnya dengan agama Islam? Di era modern ini, masih banyak dijumpai agama yang mengajarkan agar pemimpin dan jemaatnya semuanya bertelanjang bulat saat melakukan ritual. Ada juga agama pemuja setan. Maka, bisa juga ditanyakan, saat menulis bukunya ini, si dosen Ushuluddin UIN Jakarta tersebut sedang memeluk dan meyakini agama apa? Sulit dibayangkan, jika logika si dosen ini suatu ketika dipungut oleh para pelacur, sehingga mereka berlogika, bahwa praktik prostitusi adalah satu bentuk ritual suci kepada Tuhan! Ketiga, sebagaimana kebiasaan kaum yang mengaku pluralis agama, penulis buku ini juga mengutip sejumlah ayat dari Kitab suatu agama menuruti pemahamannya sendiri, yang berbeda dengan pemahaman para pemeluk agama tersebut. Sebagai contoh, ia menulis: “Di antara agama-agama dunia, Hinduisme dan Bahaisme adalah dua agama yang secara eksplisit mengapresiasi pluralisme agama, dalam arti mengakui jalan-jalan 132

keselamatan pada agama-agama lain, Bhagawatgita, salah satu kitab suci Hindu, memuat dua sloka popular yang selalu menjadi rujukan bagi pluralisme. Sloka itu berbunyi: “Jalan mana pun ditempuh manusia ke arah-Ku, semuanya Kuterima. Wahai Arjuna, manusia mengikuti jalan-Ku pada semua jalan.” (hal. 381). Benarkah agama Hindu kondisinya seperti itu? Ternyata, ungkapan itu hanya khayalan penulis saja! Tahun 2006, terbit sebuah buku berjudul Semua Agama Tidak Sama. Editor buku ini, Ngakan Made Madrasuta menulis kata pengantarnya dengan judul “Mengapa Takut Perbedaan?” Ngakan mengkritik pandangan yang menyamakan semua agama, termasuk yang dipromosikan oleh sebagian kaum Pluralis yang suka mengutip Bagawadgita IV:11: “Jalan mana pun yang ditempuh manusia ke arah-Ku, semuanya Aku terima.” Padahal, jelas Ngakan: “Yang disebut “Jalan” dalam Gita adalah empat yoga yaitu Karma Yoga, Jnana Yoga, Bhakti Yoga, dan Raja Yoga. Semua yoga ini ada dalam agama Hindu, dan tidak ada dalam agama lain. Agama Hindu menyediakan banyak jalan, bukan hanya satu – bagi pemeluknya, sesuai dengan kemampuan dan kecenderungannya.” (Lihat, Ngakan Made Madrasuta (ed), Semua Agama Tidak Sama, (Media Hindu, 2006) hal. xxx.) Bahkan, majalah MEDIA HINDU, edisi Oktober 2011, menurunkan laporan utama berjudul “Kembali ke Hindu, Bila Indonesia Ingin Berjaya Kembali Seperti Majapahit” dengan menyimpulkan: “Kembali menjadi Hindu adalah mutlak perlu bagi bangsa Indonesia apabila ingin menjadi Negara Adidaya ke depan, karena hanya Hindu satusatunya agama yang dapat memelihara & mengembangkan Jatidiri bangsa sebagai modal dasar untuk menjadi Negara maju.” Itulah agama Hindu yang ditulis oleh orang Hindu sendiri! Sebagaimana sejumlah penganut paham pluralis, dosen Ushuluddin UIN Jakarta ini pun mencoba mencari legitimasi pemikirannya dengan mengutip pendapat Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, yang – katanya – berpendapat, bahwa tidak ada persyaratan bagi orang Yahudi, Nasrani, dan Sabean untuk beriman kepada Nabi Muhammad Saw., karena masing-masing umat memiliki wahyu dan nabi yang khusus, unik dan berbeda satu sama lain. (hal. 382-383).

133

Jika si penulis buku tersebut mau meneliti dengan sungguh-sungguh dan jujur pendapat Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh, tentu dia tidak akan berani menulis semacam itu. Dalam Tafsir al-Manar Jilid IV yang membahas tentang keselamatan Ahlul Kitab, disebutkan, bahwa QS 2:62 dan 5:69 adalah membicarakan keselamatan Ahlul Kitab yang kepada mereka dakwah Nabi (Islam) tidak sampai menurut yang sebenarnya dan kebenaran agama tidak tampak bagi mereka. Karena itu, mereka diperlakukan seperti Ahlul Kitab yang hidup sebelum kedatangan Nabi. Sedangkan bagi Ahli Kitab yang dakwah Islam sampai kepada mereka (sesuai rincian QS 3:199), Abduh dan Ridha menetapkan lima syarat keselamatan, yaitu: (1) beriman kepada Allah dengan iman yang benar, yakni iman yang tidak bercampur dengan kemusyrikan dan disertai dengan ketundukan yang mendorong untuk melakukan kebaikan, (2) beriman kepada al-Quran yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad. Mereka mengatakan bahwa syarat ini disebutkan lebih dahulu daripada tiga syarat yang lainnya, karena al-Quran merupakan landasan untuk berbuat dan menjadi pemberi koreksi serta kata putus ketika terjadi perbedaan. Hal ini lantaran kitab itu terjamin keutuhannya, tidak ada yang hilang dan tidak mengalami pengubahan, (3) beriman kepada kitab-kitab yang diwahyukan bagi mereka, (4) rendah hati (khusyu') yang merupakan buah dari iman yang benar dan membantu untuk melakukan perbuatan yang dituntut oleh iman, (5) tidak menjual ayat-ayat Allah dengan apapun dari kesenangan dunia. (Lebih jauh tentang keselamatan Ahli Kitab, kekafiran dan kemusyrikannya, lihat, Dr. Hamim Ilyas, Dan Ahli Kitab Pun Masuk Surga: Pandangan Muslim Modernis Terhadap Keselamatan Non-Muslim, (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2005), hal. 71-99). Jadi, di sini tampak jelas kekeliruan si penulis. Rasyid Ridha dan Muhammad Abduh sama sekali tidak berpendapat seperti yang ditulis oleh penulis buku ini. Secara ilmiah, cara-cara seperti ini tidak patut dilakukan, apalagi oleh seorang dosen Ushuluddin.

134

Keempat, penulis buku menyimpulkan bahwa dia telah mematahkan argumentasi dari para sarjana ISTAC, seperti Sani Badron, Syamsuddin Arif dan Anis Malik Thoha. (hal. 2). Sayangnya, penulis tidak mengkaji karya-karya para sarjana tersebut dengan mendalam dan cermat. Penulis hanya mengutip artikel Sani Badron di Majalah Islamia, Vol. 1, no. 3 (2004) yang berjudul “Ibn al-Arabi Tentang Pluralisme Agama.” Padahal, Dr Mohd. Sani bin Badron telah menulis Tesis yang serius berjudul “Ibn al-Arabi’s Conception of Religion.” Tesis Sani bin Badron ini tidak ditemukan dalam daftar referensi buku ini. Di akhir kesimpulan Tesisnya, Sani bin Badron mengkritik cara berpikir kaum Transendentalis yang memaksakan posisi teologis Ibn Arabi ke dalam pola pikir mereka: “Then only may we see clearly – at least in the case of Ibn al-‘Arabi – how far the Trancendentalists have been right or have been deviated by their own belief.” Dr. Syamsuddin Arif juga sudah melakukan kajian serius tentang konsep agamaagama Ibn Arabi yang mengkritik cara-cara kaum Transendentalis dalam membaca karya Ibn Arabi. Berikut ini petikan sebuah artikel Dr. Syamsuddin Arif berjudul “Pluralisme” dan Manipulasi Orientalis.” Oleh kaum Pluralis, Ibn Arabi ‘dijadikan bemper’ untuk melegitimasi asumsi para penganut ‘agama perennial’ (religio perennis) bahwa dalam aspek esoteris dan pada dataran transenden, semua agama adalah sama, karena semuanya sama benarnya, sama sumbernya (Tuhan), dan sama misinya (pesan moral, perdamaian, dsb). Pemahaman semacam ini dipopulerkan oleh F. Schuon, S.H. Nasr, W.C. Chittick dalam tulisan-tulisan mereka yang kini tampak mendapat banyak pengikut di Indonesia. Untuk mendukung klaimnya, biasanya ‘kalangan’ ini mengutip tiga bait puisi Ibn Arabi dalam karya kontroversialnya, Tarjuman al-Asywaq, yang berbunyi: “Hatiku telah mampu menerima aneka bentuk dan rupa; ia merupakan padang rumput bagi menjangan, biara bagi para rahib, kuil anjungan berhala, ka‘bah tempat orang bertawaf, batu tulis Taurat, dan mushaf bagi al-Qur’an. Agamaku adalah agama cinta, yang senantiasa kuikuti kemana pun langkahnya; demikianlah agama dan keimananku.”

135

Seolah membenarkan asumsinya sendiri (self-fulfilling prophecy), SH Nasr menyimpulkan bahwa di sinilah Ibnu Arabi “came to realize that the divinely revealed paths lead to the same summit” (Lihat: Three Muslim Sages [Delmar, New York: Caravan Books, 1964], hlm.118). Sebenarnya, Ibnu Arabi telah menjelaskan maksud semua ungkapannya dalam syarah yang ditulisnya sendiri, yaitu Dzakha’ir al-A‘laq syarh Tarjuman al-Asywaq (ed. Dr. M.‘Alamuddin asy-Syaqiri, Cairo: Ein for Human and Social Studies, 1995, hlm.245-6). Di situ dinyatakan bahwa yang ia maksudkan dengan ‘agama cinta’ adalah agama Nabi Muhammad saw., merujuk kepada firman Allah dalam al-Quran 3 (Ali Imran):31, “Katakanlah [hai Muhammad!], kalau kalian betul-betul mencintai Allah, maka ikutilah aku! --niscaya Allah akan mencintai kalian.” Dalam kitab Futuhat-nya (bab 178, fi Maqam al-Mahabbah), Ibn Arabi menyatakan bahwa cinta kepada Tuhan harus dibuktikan dengan mengikuti syari‘at dan sunnah RasulNya saw (al-ittiba‘ li-rasulihi saw fima syara‘a). Jadi, ‘agama cinta’ yang dimaksud Ibn Arabi adalah Islam, yaitu agama syari‘at dan sunnah Nabi Muhammad saw, dan bukan ‘la religion du coeur’ versi Schuon dan para pengikutnya itu. Menurut Ibn Arabi, semua agama dan kitab suci terdahulu harus diakui kebenarannya dalam konteks sejarah masing-masing -- yakni sebelum diutusnya Nabi Muhammad saw. muncul. Dan ini merupakan bagian dari rukun iman. Validitas itu tidak berlanjut setelah kedatangan Rasulullah saw. “Nabi Isa pun, seandainya sekarang ini turun, niscaya tidak akan mengimami kita, kecuali dengan mengikut sunnah kita [Ummat Muhammad], dan tidak akan memutuskan suatu perkara kecuali dengan syari‘at kita.” (Wa hadza ‘Isa idza nazala ma ya’ummuna illa minna, ay bi sunnatina, wa la yahkumu fina illa bi syar‘ina),” tegas Ibn Arabi (Lihat: Futuhat, bab 36). Sikap Ibn Arabi tentang konsep mukmin-kafir juga jelas. Orang Yahudi atau Nasrani yang masuk Islam tidak dikatakan murtad, karena ajaran murni agama mereka memang mengharuskan beriman mengikuti ajaran Nabi Muhammad saw. (Futuhat, bab

136

495, fi Ma‘rifati hal quthb kana manziluhu “wa man yartadid minkum ‘an dinihi fayamut wa huwa kafir”). Demikian hasil kajian Dr. Syamsuddin Arif tentang konsep agama Ibn Arabi yang berbeda dengan cara pandang penulis buku ini, yang sudah beriman secara bulat-bulat kepada teori Transendentalisme Fritjoph Schuon. Pembaca bisa membandingkan hasil kajian Sani bin Badron dan Dr Syamsuddin Arif dengan kajian penulis disertasi ini. Kelima, kesalahan fatal penulis buku ini adalah menjiplak mentah-mentah dan mengimani tanpa kritis sosok dan pemikiran KTAA, yaitu Fritjoph Schuon. Padahal, banyak sekali kritik terhadap pemikiran Schuon dan praktik ritual tarekat Maryamiyya yang dibentuknya. Salah satu kritik tajam disampaikan oleh Mark Sedwigk melalui bukunya Againts the Modern World. Sedwigk memaparkan beberapa penyimpangan yang dilakukan oleh Schuon maupun tarekat Maryammiyah. (Mark Sedgwick, Against the Modern World ; Traditionalism and the Secret Intellectual History of Twentieth Century, Oxford University Press, 2004). Mark Sedgwick menulis, bahwa Schuon sangat permisif dalam soal pelaksanaan syariat Islam. “He believed that esoteric practice was what really mattered and that its esoteric framework was less important.” (Ibid, hal. 124). Schuon memiliki hobi melukis. Ia juga tak segan-segan membuat lukisan telanjang, sebagai simbol esoterisme. (Ibid, hal. 148). Setelah mengaku “bertemu” dengan Bunda Maria (Virgin Mary), Schuon juga membuat lukisan yang terkadang menggambarkan Bunda Maria dalam keadaan telanjang bulat atau telanjang sebagian yang mempertontonkan payudaranya. Katanya, itu sebagai simbol untuk mengungkapkan kebenaran dan membebaskan kasih sayang. (to the unveiling of truth in the sense of gnosis and to liberating mercy.” (Ibid, hal 151). Tahun 1965, Schuon menikah lagi. Uniknya, kali ini ia menikahi salah satu muridnya sendiri, tanpa perlu bercerai dengan suaminya terdahulu. Perkawinan ini dijuluki sebagai “perkawinan vertikal” atau “perkawinan spiritual”. (Ibid, hal. 152-153).

137

Penutup. Sebenarnya, teori KTAA, bahwa semua agama menuju Tuhan yang sama, atau ibaratnya, semua sungai akan mengalir ke Laut yang sama, adalah sebuah teori fabrikasi dan khayalan belaka. Faktanya, tidak semua sungai mengalir ke laut. Ada sungai yang kering duluan. Faktanya juga, tidak semua sungai airnya jernih. Ada sungai yang airnya keruh, bahkan ada yang busuk dan beracun. Faktanya, saat ini, ada agama yang mengajarkan bahwa zina adalah perbuatan bejat, tetapi ada juga agama yang mengajarkan praktik seks bebas! Ada agama yang mengharamkan babi. Tetapi ada juga yang menghalalkannya. Ada agama yang mewajibkan khitan. Tapi ada juga yang melarang khitan! Ada agama yang melarang kawin sejenis (homo/lesbi). Ada juga agama yang membolehkan kawin sejenis. Orang yang sehat akalnya pasti menyatakan, tidak mungkin semua ajaran itu sama-sama benar dan berasal dari Tuhan yang sama! Adalah sebuah khayalan belaka, bahwa agama-agama akan bertemu pada level esoterik/transenden. Ingatlah, bahwa Iblis pernah berdialog dengan Allah di level itu. Faktanya, dia tetap iblis dan kafir. Jadi, di level transenden pun ada Iblis yang kafir. Teori KTAA juga menafikan bahwa Tuhan Yang Satu itu sudah mengenalkan diriNya melalui wahyu yang disampaikan kepada Nabi Terakhir, yakni Muhammad saw. Nama-Nya pun sudah disebutkan. Jadi, manusia tidak perlu mengarang nama Tuhan Yang Satu itu. Kalau ada orang menyebut Tuhan Yang Satu itu dengan nama “Setan Gundul” – menurut seorang Muslim – nama itu harus ditolak. Tapi, menurut penganut KTAA, nama apa pun untuk Tuhan, sah-sah saja! Kata mereka, yang penting Tuhan. Lalu, juga sebuah khayalan dari pengikut paham KTAA, bahwa aspek esoterik (batin) lebih penting dari aspek eksoterik (aspek syariah). Seorang Muslim -- yang telah bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasul Allah – pasti meyakini bahwa salah satu tugas penting dari Nabi Muhammad saw adalah mengajarkan bagaimana cara menyembah Tuhan Yang Satu itu! Itu aspek syariat. Tanpa panduan dan contoh dari Nabi, manusia pasti akan menyembah Tuhan sesuai dengan

138

imajinasi dan kreativitasnya masing-masing! Jika semuanya dikatakan sah dan benar, lalu untuk apa Nabi Muhammad saw diutus? Yang bisa dinilai dari suatu agama adalah justru aspek eksoterisnya. Sedangkan aspek esoterik adalah sesuatu yang abstrak, yang dalam pandangan Islam tidak dapat dipisahkan dari aspek syariat. Jika konsep eksoteris direlatifkan dan dibebaskan dalam bentuk apa pun, itu sama saja dengan merusak agama itu sendiri. Jika kita renungkan, yang logis bukan konsep “Satu Tuhan, Banyak Agama”, tetapi yang benar adalah “Satu Tuhan, Satu Agama!” Sebagai Muslim, sesuai penjelasan ayatayat al-Quran, misalnya QS 16:36, 3:19, 85, saya memahami, bahwa Tuhan itu SATU, dan Tuhan yang SATU itu hanya menurunkan SATU agama kepada para Nabi-Nya, yaitu agama Tauhid. Selama tidak mengajarkan TAUHID – yakni mengakui dan tunduk kepada Allah, sebagai SATU-SATU-nya Tuhan – maka jelas itu bukan agama dari Allah, dan bukan agamanya para Nabi; bukan pula agama wahyu (revealed religion), melainkan agama budaya (cultural religion). Agama Tauhid menuhankan Allah, sebagai satu-satunya Tuhan; bukan menuhankan Iblis. Dan untuk mengenal Allah – bukan Genderuwo atau Setan Gundhul – mutlak perlu beriman kepada kenabian Muhammad saw. Karena itulah, saya membaca syahadat: Saya bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan saya bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Jadi, Tuhan saya jelas,yaitu Allah! Bukan asal Tuhan, atau Tuhan asal--asalan. Itu karena posisi saya sudah jelas, yaitu saya Muslim, saya sudah memilih Islam. Saya bukan Kristen, saya bukan Yahudi, saya bukan Hindu, atau penganut paham kebenaran semua agama. Itu keyakinan saya, dan saya sangat menghormati keyakinan yang berbeda dengan saya, meskipun saya tidak membenarkannya. Saya tidak boleh memaksa orang lain mengikuti pendapat saya. Itulah makna toleransi dan mutual understanding. Jadi, sejatinya, teori Kesatuan Transendensi Agama-agama (KTAA) adalah teori yang absurd (senseless). KTAA bukannya memperkuat basis ushuluddin (dasar-dasar agama) seorang Muslim, tetapi justru mengajak Muslim untuk menjadi “uculuddin”

139

(bahasa Jawa: lepas agamanya). Padahal, penulis buku ini adalah dosen di Fakultas Ushuluddin, bukan Fakultas “Uculuddin”! Wallahu a’lam. (Depok, 20 Oktober 2011).

BELAJAR DARI “NAPOLEON” Oleh: Dr. Adian Husaini __________________________________________________________________

140

Kondisi kebebasan nyaris tanpa batas (anarkhi) dalam negara demokrasi – menurut Socrates (469-399 SM) -- akhirnya akan memunculkan bentuk tirani (tyranny). Socrates, seperti diceritakan muridnya, Plato (427-347 SM), dalam karyanya ‘The Republic’, memandang demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang tidak ideal; lebih rendah nilainya dibandingkan ‘aristokrasi’ (negara dipimpin para pecinta hikmah/kebenaran), ‘timokrasi’ (negara dipimpin para ksatria pecinta kehormatan), dan ‘oligarchy’ (negara dipimpin oleh sedikit orang). Di negara demokrasi (pemerintahan oleh rakyat – the rule of the people), kata Socrates, semua orang ingin berbuat menurut kehendaknya sendiri, yang akhirnya menghancurkan negara mereka sendiri. Kebebasan menjadi sempurna. Ketika rakyat lelah dengan kebebasan tanpa aturan, maka mereka akan mengangkat seorang tiran untuk memulihkan aturan. (… when men tire of the lawlessness of a liberty… they appoint a strong man to restore order). (Lihat, Eric H. Warmington, (ed.), Great Dialogues of Plato, (New York: The New American Library), hal. 123). Adalah menarik untuk membandingkan keadaan Indonesia saat ini dengan kondisi Perancis pada saat-saat negara itu mengalami Revolusi tahun 1789 dan setelah kejatuhan Napoleon. Menjelang Revolusi, Perancis adalah negara autokrasi di bawah kekuasaan Raja Louis ke-14 yang berpenduduk sekitar 26 juta jiwa. Kekuasaan terpusat di tangan raja dan kaum elite negara. Ada dua kelompok yang sangat diistimewakan ketika itu. Pertama, kaum agamawan (clergy), yang diwakili oleh Geraja Katolik, dan kaum bangsawan (nobility). Gereja mendapatkan berbagai keistimewaan, seperti memungut pajak hasil bumi, mencatat kelahiran, perkawinan, dan kematian, melakukan penyensoran terhadap buku-buku yang dinilai melawan ajaran Gereja, mengoperasikan sekolah-sekolah. Walaupun tanah-tanah Gereja banyak menghasilkan keuntungan, namun mereka tidak membayar pajak apa pun. Karena itu, banyak dijumpai, tokoh-tokoh agama yang hidup dalam kemewahan. Kelompok bangsawan yang jumlahnya hanya sekitar 350 ribu juga mendapatkan berbagai keistimewaan. Mereka dikecualikan dari hampir semua jenis pajak. Mereka menguasai sekitar ¼ sampai 1/3 tanah Perancis. Krisis ekonomi menjelang tahun 1789, dimanfaatkan dengan baik oleh kalangan liberal dan kelompok bourgeoisie Perancis untuk melakukan revolusi dan meruntuhkan

141

monarkhi. Dan itu terjadi pada 14 Juli 1789, saat masyarakat Perancis berhasil meruntuhkan penjara Bastile, yang menjadi simbol dari kekuasaan Rejim Lama. Revolusi Perancis mengusung jargon yang sangat terkenal: “liberty, egality, dan fraternity” (kebebasan, persamaan, dan persaudaraan). Namun, revolusi itu selama beberapa tahun tidak melahirkan stabilitas dan kebaikan bagi rakyat Perancis. Masa-masa teror sempat terjadi selama beberapa tahun yang memakan korban sekitar 40 ribu orang. Saling bunuh dan teror terjadi antar rezim yang berganti-ganti kekuasaan. Rezim Thermidorean, misalnya, pada 1795, melakukan aksi “kontra-revolusi” yang membantai pengikut rezim sebelumnya. Di saat-saat berkembangnya anarkhi dan ketidakpastian itulah, muncul seorang Jenderal militer, bernama Napoleon Bonaparte, yang mengambil alih kekuasaan di Perancis pada tahun 1799. Napoleon lahir tanggal 15 Agustus 1769 di Pulau Corsica. Ia masih termasuk keluarga bangsawan kecil. Tahun 1796, ia memimpin pasukan Perancis di Itali. Di sinilah ia meraih reputasi yang hebat dalam kemiliteran. Tahun 1799, ia menjadi jenderal terkemuka di Perancis. Ia bergabung dalam satu konspirasi untuk menumbangkan penguasa lama, dan mendirikan sistem pemerintahan baru dengan kekuasaan dipegang oleh tiga konsul. Sebagai konsul pertama, Napoleon memonopoli kekuasaan. Tahun 1802, ia menjadi konsul pertama seumur hidup, yang berhak menentukan penggantinya. Dan pada 2 Desember 1804, dalam satu seremoni agung di Katedral Notre Dame di Paris, Napoleon menobatkan dirinya sebagai Kaisar Perancis (emperor of the French). Napoleon memang cinta pada kekuasaan, yang ia ibaratkan, seperti seorang musisi mencintai biolanya.

Napoleon

melakukan

perombakan

sistem

pemerintahan

di

Perancis.

Ia

mengembalikan Perancis ke dalam sistem pemerintahan yang disebut sebagai “enlightened despotism” (despotisme yang tercerahkan). Ia menjadikan pemerintahan berjalan lebih efektif, dengan melakukan berbagai kebijakan, seperti: efisiensi dan penyeragaman administrasi pemerintahan, menolak feodalisme, menentang persekusi keagamaan, dan

142

menghilangkan diskriminasi warga negara. Juga, ia memilih kebijakan yang menjadikan negara mengontrol perdagangan dan industri. Menurut Napoleon, sistem “enlightened despotism” merupakan alat untuk menjamin stabilitas politik dan memperkuat negara. Napoleon juga memelihara dan melaksanakan sejumlah hasil yang dicapai dalam revolusi Perancis, seperti: persamaan di depan hukum, jenjang karir berdasarkan kemampuan dan prestasi (meritokrasi), penekanan pada pendidikan sekular, dan pengurangan kekuasaan Gereja (clerical power). Namun, Napoleon menekan kebebasan politik. Berbagai cara dilakukan Napoleon untuk mengkonsentrasikan kekuasaan, sehingga menjadi efektif. Untuk meraih dukungan kaum Katolik, ia melakukan negosiasi dengan Paus, yang hasilnya adalah pengesahan Concordat 1801, berupa pengakuan Katolik sebagai agama mayoritas rakyat Perancis. Napoleon menolak permintaan Paus untuk menjadikan Katolik sebagai agama negara. Ia pun melakukan berbagai cara untuk membungkam penentangnya, dari kalangan bekas keluarga kerajaan maupun pendukung republik. Namun, ia pun melakukan berbagai perbaikan di bidang hukum, ekonomi, dan pendidikan. Ia mendirikan University of France. Untuk menekan laju inflasi, misalnya, ia mendirikan Bank of France. Ia juga membiarkan para petani menguasai lahan para tuan tanah, yang mereka peroleh di masa Revolusi. Di tangan Napoleon, Perancis kemudian menjadi kekuatan besar di Eropa. Antara tahun 1805-1807, Perancis mampu menaklukkan Austria, Russia, dan Prussia (cikal bakal Jerman). Tahun 1810, Napoleon mendominasi Eropa Daratan, kecuali Semenanjung Balkan. Napoleon berhasil membawa Perancis menjadi negara besar yang sayangnya kemudian dimanfaatkan untuk aktivitas imperialisme. Ekspansi yang berlebihan akhirnya mengantarkan kehancuran tentara Perancis, terutama setelah kekalahan besar di Rusia pada tahun 1812 yang membawa kematian ratusan ribu tentara Napoleon. Akhirnya, tahun 1814 Paris diduduki Tentara Sekutu Austria, Russia, Prussia, dan Swedia, dan Napoleon berhasil ditangkap dan diasingkan ke Pulau Elba. Namun, setahun kemudian, sang jenderal kembali ke Paris sebagai ‘hero’ dan bertempur kembali melawan pasukan Sekutu, sebelum akhirnya dikalahkan kembali. (Uraian tentang Revolusi Perancis

143

dan Napoleon diringkaskan dari buku Western Civilization A Brief History, karya Marvin Perry, (Boston: Houghton Mifflin Company, 1997). Akankah “Napoleon” akan muncul di Indonesia? Di tengah situasi “anarkhis” dan kepemimpinan yang lemah, bukan tidak mungkin sebagian merindukaN tampilnya sosok Napoleon. Tapi, perlu diwaspadai, sosok semacam ini pun, ujungnya – jika tanpa iman dan taqwa – akan membawa pada kesengsaraan! Wallahu A’lam.

KESAKTIAN DAKWAH Oleh: Dr. Adian Husaini __________________________________________________________________

Prof. Dr. Hamka pernah menulis sebuah artikel menarik berjudul “Islam dan 144

Majapahit”, yang dimuat dalam buku Dari Perbendaharaan Lama (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1982). Bagi pengkaji sejarah Islam di Indonesia, artikel Hamka ini teramat sayang untuk dilewatkan. Hamka memulai artikelnya dengan ungkapan pembuka: “Meskipun telah hidup di zaman baru dan penyelidik sejarah sudah lebih luas dari pada dahulu, masih banyak orang yang mencoba memutar balikkan sejarah. Satu di antara pemutarbalikkan itu ialah dakwah setengah orang yang lebih tebal rasa Hindunya daripada Islamnya, berkata bahwa keruntuhan Majapahit adalah karena serangan Islam. Padahal bukanlah begitu kejadiannya. Malahan sebaliknya.” Hamka menjelaskan, bahwa Kerajaan Majapahit pada zaman kebesarannya, terutama semasa dalam kendali Patih Gajah Mada, memang adalah sebuah kerajaan Hindu yang besar di Indonesia, dan pernah mengadakan ekspansi, serangan dan tekanan atas pulau-pulau Indonesia yang lain. Dalam kitab “Negarakertagama” disebutkan daftar negeri taklukkan Majapahit. Berbagai Kerajaan, baik Hindu, Budha, maupun Kerajaan Islam ditaklukkan. Kerajaan Islam Pasai dan Terengganu pun dihancurkan oleh Majapahit. Pasai tidak pernah bangkit lagi sebagai sebuah kerajaan. Tapi, Pasai kaya dengan para ulama. Di dalam sejarah Melayu, Tun Sri Lanang menulis, bahwa setelah Kerajaan Malaka naik dan maju, senantiasa juga ahli-ahli agama di Malaka menanyakan hukum-hukum Islam yang sulit ke Pasai. Dan jika ada orang-orang besar Pasai datang ziarah ke Malaka, mereka disambut juga oleh Sultan-sultan di Malaka dengan serba kebesaran.

Menurut Hamka, jika Pasai ditaklukkan dengan senjata, maka para ulama Pasai kemudian dating ke Tanah Jawa dengan dakwah, dengan keteguhan cita-cita dan ideologi. Para ulama datang ke Gresik sambil berniaga dan berdakwah. Terdapatlah nama-nama Maulana Malik Ibrahim dan Maulana Ibrahim Asmoro, atau Jumadil Kubro, ayah dari Maulana Ishak yang berputera Sunan Giri (Raden Paku) dan Sunan Ngampel (Makhdum Ibrahim).

145

“Dengan sabar dan mempunyai rancangan yang teratur, guru-guru Islam berdarah Arab-Persia-Aceh, itu menyebarkan agamanya di Jawa Timur, sampai Giri menjadi pusat penyiaran Islam, bukan saja untuk tanah Jawa, bahkan sampai ke Maluku. Sampai akhirnya Sunan Bonang (Raden Rahmat) dapat mengambil Raden Patah, putra Raja Majapahit yang terakhir (Brawijaya) dikawinkan dengan cucunya, dan akhirnya dijadikan Raja Islam yang pertama di Demak,” tulis Hamka. Tindakan para wali dalam penyebaran Islam di Jawa itu tidak dapat dicela oleh rajaraja Majapahit. Bahkan, kekuasaan dan kewibawaan mereka di tengah masyarakat semakin meluas. Ada wali yang diangkat sebagai adipati Kerajaan Majapahit. Hamka menolak keras pandangan yang menyatakan, bahwa Majapahit runtuh karena diserang Islam. Itu adalah pemutarbalikan sejarah yang sengaja disebarkan oleh orientalis seperti Snouck Hourgronje. Upaya ini dilakukan untuk menjauhkan bangsa Indonesia agar tidak menjadikan Islam sebagai basis semangat kebangsaan. “Maksud ini berhasil,” papar Hamka. Akibatnya, dalam pentas sejarah nasional Indonesia yang diajarkan di sekolahsekolah, nama Sunan Ampel dan Sunan Giri tenggelam oleh nama Gajah Mada. Nama Raden Patah dan Pati Unus yang mencoba mengusir penjajah Portugis dari Malaka tenggelam oleh nama Raja Airlangga. Upaya sistematis untuk memecah belah bangsa Indonesia yang mayoritasnya Muslim dilakukan dengan berbagai cara oleh penjajah Belanda. Salah satunya dengan menjauhkan Islam dari semangat kebangsaan Indonesia. Seolah-olah Indonesia adalah kelanjutan Kerajaan Majapahit.

Simaklah paparan Hamka selanjutnya berikut ini: “Marilah kita jadikan saja segala kejadian itu, menjadi kekayaan sejarah kita, dan jangan dicoba memutar balik keadaan, agar kokohkan kesatuan bangsa Indonesia, di bawah lambaian Merah Putih!

146

Kalau tuan membusungkan dada menyebut Gajah Mada, maka orang di Sriwijaya akan berkata bahwa yang mendirikan Candi Borobudur itu ialah seorang Raja Budha dari Sumatra yang pernah menduduki pulau Jawa. Kalau tuan membanggakan Majapahit, maka orang Melayu akan membuka Sitambo lamanya pula, menyatakan bahwa Hang Tuah pernah mengamuk dalam kraton sang Prabu Majapahit dan tidak ada kstaria Jawa yang berani menangkapnya. Memang, di zaman jahiliyah kita bermusuhan, kita berdendam, kita tidak bersatu! Islam kemudiannya adalah sebagai penanam pertama jiwa persatuan. Dan Kompeni Belanda kembali memakai alat perpecahannya, untuk menguatkan kekuasaannya. Tahukan tuan, bahwasanya tatkala Pangeran Diponegoro, Amirul Mukminin Tanah Jawa telah dapat ditipu dan perangnya dikalahkan, maka Belanda membawa Pangeran Sentot Ali Basyah ke Minangkabau buat mengalahkan Paderi? Tahukah tuan bahwa setelah Sentot merasa dirinya tertipu, sebab yang diperanginya adalah kawan sefahamnya dalam Islam, dan setelah kaum Paderi dan raja-raja Minangkabau memperhatikan ikatan serbannya sama dengan ikatan serban ulama Minangkabau, sudi menerima Sentot sebagai “Amir” Islam di Minangkabau? Teringatkah tuan, bahwa lantaran rahasia bocordan Belanda tahu, Sentot pun diasingkan ke Bengkulu dan disana beliau berkubur buat selama-lamanya?

Maka dengan memakai paham Islam, dengan sendirinya kebangsaan dan kesatuan Indonesia terjamin. Tetapi dengan mengemukakan kebangsaan saja, tanpa Islam, orang harus kembali mengeruk, mengorek tambo lama, dan itulah pangkal bala dan bencana.” Peringatan Hamka, ulama terkenal, ini kiranya sangat patut dicamkan! Upaya sebagian kalangan, baik LSM dalam dan luar negeri maupun sebagian unsur pemerintah untuk menjauhkan Islam dari masyarakat – dengan cara membangkitkan kembali tradisi-

147

tradisi pra-Islam atau menanamkan paham sekularisme – sejatinya akan membawa Indonesia ke jurang bencana. Fenomena ini menunjukkan, bahwa tantangan dakwah Islam di Tanah Jawa sejatinya masih belum berubah. Jika Wali Songo dan para pendakwah Islam lainnya di Tanah Jawa telah memulai langkah-langkah yang spektakuler, mengubah agama penduduk mayoritas negeri ini menjadi Muslim, maka kaum Muslim selanjutnya berkewajiban melanjutkannya. Dalam buku terkenalnya, Fiqhud Da’wah, M. Natsir menegaskan, bahwa dakwah adalah kewajiban setiap muslim. “Tidak boleh seorang Muslim dan Muslimah menghindarkan diri dari padanya.”

ISLAM, KOMUNIS DAN PANCASILA Oleh: Dr. Adian Husaini ________________________________________________________________________

Sejarah perjalanan kehidupan bernegara di Indonesia mencatat satu babak tentang perebutan memaknai Pancasila antar berbagai kelompok ideologi di Indonesia. Pergulatan

148

pemikiran itu secara intensif pernah terjadi dalam Majlis Konstituante, dimana kekuatan Islam dan sekulerisme kembali terlibat dalam perdebatan tentang Dasar Negara Indonesia. Kekuatan komunis pernah menggunakan Pancasila untuk memuluskan penerapan ideologi komunisme di Indonesia. Mantan Wakil Kepala BIN, As'ad Said Ali, menulis dalam bukunya, Negara Pancasila, (hlm. 170-171), bahwa munculnya semangat para tokoh Islam untuk memperjuangkan Islam sebagai dasar negara, dalam Majelis Konstituante, antara lain juga didorong oleh masuknya kekuatan komunis (melalui Partai Komunis Indonesia/PKI) ke dalam blok pendukung Pancasila. "Kalangan Islam langsung curiga. Muncul kekhawatiran Pancasila akan dipolitisasi oleh

kelompok-kelompok

komunis

untuk

selanjutnya

diminimalisasi

dimensi

religiusitasnya. Kekhawatiran tersebut semakin mengkristal karena adanya peluang perubahan konstitusi sehubungan UUDS mengamanatkan perlunya dibentuk Majelis Konstituante yang bertugas merumuskan UUD yang definitif," tulis As'ad dalam bukunya tersebut. Dalam pidatonya di Majelis Konstituante tanggal 13 November 1957, tokoh Islam Kasman Singodimedjo banyak mengkritisi pandangan dan sikap PKI terhadap Pancasila. Kasman menilai PKI hanya membonceng Pancasila untuk kemudian diubah sesuai paham dan ideologi komunisme. Ketika itu PKI bermaksud mengubah sila Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi "kebebasan beragama". Termasuk dalam cakupan "kebebasan beragama" adalah "kebebasan untuk tidak beragama." Mr. Kasman Singodimedjo adalah Jaksa Agung RI 1945-1946 dan Ketua Komite Nasional Indonesia Pusat (1945-1950). Ia juga dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah. Dalam Sidang Konstituante itu mengingatkan: "Saudara ketua, sama-sama tokh kita mengetahui bahwa soko guru dari Pancasila itu adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, dan sama-sama kita mengetahui bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu justru telah mempunyai peraturan-peraturan yang tentu-tentu bagi umat manusia yang lazimnya dinamakan agama. Saudara ketua, sama-sama kita tahu, bahwa PKI dan komunis pada umum nya dan pada

149

dasarnya justru anti Tuhan dan anti-Agama!." (Lihat buku Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun, hlm. 480-481). Masuknya kaum komunis ke dalam blok pembela Pancasila kemudian dipandang oleh kubu Islam sebagai upaya membelokkan Pancasila dari prinsip dasar Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebagai contoh, pada 20 Mei 1957, tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) Ir. Sakirman mendukung pandangan Fraksi Katolik yang menyatakan, bahwa "Rakyat Indonesia terdiri dari berbagai-bagai golongan dengan berbagai-bagai kepercayaan atau keyakinan masing-masing bersifat universal." Karena itu Sakirman menyeru kepada golongan Islam: "Betapa pun universal, praktis dan objektifnya Islam, tetapi karena Islam hanya merupakan salah satu dari sekian banyak kepercayaan dan keyakinan, yang hidup dalam masyarakat Indonesia, maka Pancasila sebagai apa yang dinamakan oleh Partai Kristen Indonesia (Parkindo) suatu "grootste gemene deler" yang mempertemukan keyakinan dan kepercayaan kita semua, akan tetapi lebih praktis lebih objektif dan lebih universal dari pada Islam." Dalam Sidang Konstituante tanggal 2 Desember 1957, Kasman mengkritik ucapan Nyoto dari PKI pada Sidang Konstituante 28 November 1957 yang menyatakan: "Pancasila itu bersegi banyak dan berpihak ke mana-mana." Kasman berkomentar: "Itu artinya, dan menurut kehendak dan tafsiran PKI, bahwa Pancasila itu dapat dan boleh saja bersegi ateis dan politeis, pun dapat/ boleh saja berpihak ke syaitan dan neraka."

Begitulah sikap para tokoh Islam dalam sidang Konstituante yang memang merupakan forum untuk merumuskan dasar negara yang baru. Tapi, ketika forum itu di bubarkan dan dikeluarkan Dekrit pada 5 Juli 1959, Kasman dan para tokoh Islam lain nya, menerimanya karena telah sah secara konstitusional. (Hidup Itu Berjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun, hlm. 536-540). Dalam bukunya, Renungan dari Tahanan, Kasman menulis: "… seluruh rakyat Indonesia, termasuk seluruh umat Islam yang meliputi mayoritas mutlak dari rakyat

150

Indonesia itu kini harus mengindahkan Dekrit Presiden itu sepenuh-penuhnya." (Lihat, Kasman Singodimedjo, Renungan dari Tahanan, (Jakarta: Tintamas, 1967), hlm. 34). Memang, Ir. Sakirman pernah berpidato dalam Majlis Kontituante dengan menyebutkan adanya rumusan sila kelima yang diajukan Bung Karno pada 1 Juni 1945, yang berbeda dengan rumusan risalah sidang BPUPK, yaitu (5) "Ke-Tuhanan yang berkebudayaan atau Ke-Tuhanan yang berbudi luhur atau Ke-Tuhanan yang hormat menghormati satu sama lain." Sakirman juga mengakui, bahwa PKI memang menginginkan agar sila Ketuhanan Yang Maha Esa diganti dengan sila "Kemerdekaan Beragama dan Berkeyakinan Hidup." (Pidato Ir. Sakirman dikutip dari buku Pancasila dan Islam: Perdebatan antar Parpol dalam Penyusunan Dasar Negara di Dewan Konstituante, editor: Erwien Kusuma dan Khairul (Jakarta: BAUR Publishing, 2008), hlm. 275. Fakta komunisme. Tajamnya perbedaan antara Islam dan Komunisme, tidak menyurutkan usaha untuk menyatukan kekuatan agama dan komunisme. Tapi, sejarah kemudian mencatat, upaya penyatuan antara kelompok Nasionalis, Agama, dan Komunis, di bawah payung Pancasila mengalami kegagalan.

Golongan Islam melakukan perlawanan habis-habisan melawan komunisme. Dalam Muktamar Ulama se-Indonesia tanggal 8- 11 September 1957 di Palembang, para ulama memutuskan: (1) Ideologi/ajaran Komunisme adalah kufur hukumnya, dan haram bagi umat Islam menganutnya, (2) Bagi orang yang menganut ideologi/ajaran Komunisme dengan keyakinan dan kesadaran, maka kafirlah dia dan tiada sah menikah dan menikahkan orang Islam, tiada pusaka-mempusakai dan haram hukumnya jenazahnya diselenggarakan secara Islam,

151

(3) Bagi orang yang memasuki organisasi/Partai yang berideologi komunisme (PKI, Sobsi, Pemuda Rakyat dll; tidak dengan keyakinan dan kesadaran, sesatlah dia dan wajib bagi umat Islam menyeru mereka meninggalkan organisasi dan partai tersebut, (4) Walaupun Republik Indonesia belum menjadi negara Islam, namun haram hukumnya bagi umat Islam mengangkat/ memilih kepala negara yang berideologi Komunisme, (5) Memperingatkan kepada pemerintah RI agar bersikap waspada terhadap gerakan aksi subversif asing yang membantu perjuangan kaum Komunis/ Atheis Indonesia, (6) Mendesak kepada Presiden RI untuk mengeluarkan dekrit menyatakan PKI dan mantel organisasinya sebagai partai terlarang di Indonesia. (Lihat buku Muktamar Ulama seIndonesia di Palembang tanggal 8-11 September 1957, yang disusun oleh H. Husin Abdul Mu'in, (Palembang: Panitia Kongres Alim Ulama Seluruh Indonesia, 1957). Dalam sambutannya untuk Muktamar tersebut, mantan wakil Presiden RI Mohammad Hatta mengingatkan kepada para ulama, bahwa perkembangan Komunisme di Indonesia, terutama dihasilkan melalui kerja keras mereka dan kondisi kemiskinan rakyat. "Kemajuan PKI tidak disebabkan oleh kegiatan orang-orang komunis mengembangkan ideologi yang belum di mengerti oleh rakyat, melainkan dengan kegiatannya bekerja dalam kalangan rakyat serta janji-janjinya akan membagikan tanah dan memperbaiki hidup rakyat yang miskin. Apabila kaum Ulama kita tidak menilai masalah kemasyarakatan ini dengan ukuran yang tepat, Muktamar tidak akan dapat menyusun rencana yang tepat terhadap gerakan Atheisme," kata Hatta dalam sambutannya. Hatta mengajak agar Ulama berusaha menegakkan keadilan Islam. Kata Hatta lagi, "Apabila berlaku keadilan Islam di Indonesia, maka dengan sendirinya Komunisme akan lenyap dari bumi Indonesia. Apabila berlaku keadilan Islam di bumi kita ini, tidak ada yang akan dituntut oleh Komunisme. Keadilan Islam adalah keadilan yang setinggi-tingginya, keadilan Ilahi. Keadilan Islam menumbuhkan rasa damai, rasa bahagia dan sejahtera."

152

Perjuangan melawan komunisme, dalam sejarah perjuangan umat Islam, bisa dikatakan sudah mendarah daging di berbagai penjuru dunia. Sebab, kekejaman komunisme di berbagai belahan dunia sudah terbukti. Di Indonesia, salah seorang sastrawan terkemuka yang aktif melawan komunisme, sejak zaman Orde Lama sampai zaman kini adalah Taufik Ismail. Berbagai buku yang menjelaskan bahaya dan kegagalan komunisme ditulis oleh Taufik Ismail, termasuk buku-buku saku yang disebarluaskan secara gratis kepada masyarakat luas. Taufiq mengaku risau dengan generasi muda yang tidak lagi mengenal hakekat dan kekejaman kaum komunis. Dalam sebuah buku saku berjudul Tiga Dusta Raksasa Palu Arit Indonesia: Jejak Sebuah Ideologi Bangkrut di Pentas Jagad Raya, (Jakarta: Titik Infinitum, 2007), Taufiq menyajikan data yang menarik: Komunisme adalah ideologi penindas dan penggali kuburan massal terbesar di dunia. Dalam mengeliminasi lawan politik, kaum komunis telah membantai 120 juta manusia, dari tahun 1917 sampai 1991. Itu sama dengan pembunuhan terhadap 187 nyawa per jam, atau satu nyawa setiap 20 detik. Itu dilakukan selama ¾ abad (sekitar 75 tahun) di 76 negara. Karl marx (1818-1883) pernah berkata: "Bila waktu kita tiba, kita tak akan menutup-nutupi terorisme kita."

Vladimir Ilich Ullyanov Lenin (1870- 1924) juga menyatakan: "Saya suka mendengarkan musik yang merdu, tapi di tengah revolusi sekarang ini, yang perlu adalah membelah tengkorak, menjalankan keganasan dan berjalan dalam lautan darah." Satu lagi tulisannya: "Tidak jadi soal bila ¾ penduduk dunia habis, asal yang tinggal ¼ itu komunis. Untuk melaksanakan komunisme, kita tidak gentar berjalan di atas mayat 30 juta orang." Lenin bukan menggertak sambal. Semasa berkuasa (1917-1923) ia membantai setengah juta bangsanya sendiri. Dilanjut kan Joseph Stalin (1925-1953) yang menjagal 46 juta orang; ditiru Mao Tse Tung (RRC) 50 juta (1947-1976); Pol Pot (Kamboja) 2,5 juta jiwa (1975-1979) dan Najibullah (Afghanistan) 1,5 juta nyawa (1978-1987). Buku saku lain 153

tentang komunisme yang ditulis oleh Taufiq Ismail adalah Komunisme=Narkoba dan Komunis Bakubunuh Komunis, serta Karl Marx, Tukang Ramal Sial yang Gagal (Jakarta: Infinitum, 2007). Sepatutnya, bangsa Indonesia mau belajar dari sejarah. Ketika agama dibuang; Tuhan disingkirkan, jadilah manusia laksana binatang. Anehnya, kini ada yang mulai berkampanye tentang perlunya "kebebasan beragama" harus mencakup juga "kebebasan untuk tidak beragama". Dalam kondisi seperti ini, Islam dan kekuatan anti-komunisme lainnya, diharapkan memainkan perannya yang signifikan. Jangan sampai elite-elite muslim lupa diri; sibuk memikirkan kepentingan diri dan kelompoknya; sibuk saling caci; tanpa sadar komunisme dalam kemasan baru semakin mendapat simpati masyarakat. Na'udzubillahi min dzalika.

Kepemimpinan Perguruan Tinggi Islam Oleh: Dr. Adian Husaini

Dalam berbagai kesempatan seminar atau kuliah umum, saya menyampaikan satu penyataan, bahwa dalam kurun waktu 25-30 tahun belakangan, telah terjadi kebangkitan sekolah-sekolah Islam di Indonesia. Itu terjadi khususnya pada lembaga pendidikan tingkat TK, dasar, dan menengah. Kini dapat disaksikan, di berbagai pelosok daerah, banyak kalangan menengah muslim tidak segan-segan menyekolahkan anaknya ke sekolah-sekolah Islam, bahkan ke pondok-pondok pesantren. Tak jarang, mereka rela meninggalkan kesempatan untuk 154

memasuki sekolah-sekolah negeri. Bagi sebagian orang, masuk ke sekolah Islam, dengan membayar mahal pun, tak jadi soal. Tetapi kepercayaan seperti itu belum dinikmati Perguruan Tinggi Islam (PTI). Sejauh informasi yang saya terima, hingga kini, murid-murid pintar lulusan SMA sekolahsekolah Islam unggulan, belum menjadikan Perguruan-perguruan Tinggi Islam, sebagai tujuan utama kuliah utama mereka. Berbagai SMA Islam masih memasang ‘promosi’, bahwa sekian persen lulusan mereka diterima di berbagai Perguruan Tinggi Favorit. Yang dimaksud ‘favorit’ adalah semisal UI, ITB, UGM, IPB, Unair, Undip, Unpad, dan sebagainya. Sejumlah universitas Islam kini menduduki ‘peringkat atas’; masuk 50 besar universitas terbaik di Indonesia, versi sejumlah lembaga pemeringkat. Dari segi pemilihan jurusan (Program Studi) belum ada pergeseran yang signifikan dalam hal minat calon mahasiswa. Kedokteran Umum masih menduduki peringkat tertinggi. Biasanya disusul Teknologi Informasi, Ekonomi, dan seterusnya. Hingga kini, bidang Keguruan dan Pendidikan belum menjadi tujuan utama para murid-murid SMA terbaik secara akademik. Mungkin ada pemenang olimpiade matematika internasional yang mendaftar menjadi mahasiswa Fakultas Tarbiyah di satu PTI, tetapi saya tidak tahu. Wallahu A’lam. Padahal, jika dicermati, kini banyak sekali sarjana lulusan UI, ITB, IPB, dan sebagainya, yang memilih berprofesi sebagai guru. Bahkan tidak sedikit para insinyur dan pakar ekonomi yang aktif bergelut dalam bidang pendidikan. Dan mereka terbukti sukses mewujudkan dan mengelola berbagai lembaga pendidikan Islam terkenal. Mengapa sekolah-sekolah Islam bangkit dan menjadi tujuan utama para murid muslim yang pintar-pintar? Jawabnya sederhaha. Sebab, sekolah-sekolah Islam itu berbenah dengan serius meningkatkan kualitasnya. Mereka bukan hanya memasang target kompetensi keunggulan akademik, tetapi juga kompetensi iman, taqwa, dan akhlak mulia. Sebagian sekolah, menambah dengan kompetensi hafalan al-Quran. Intinya, ada ‘nilai jual’,

155

ada ‘distingsi’ atau ‘keunikan’, yang bersifat Islami, yang ditawarkan oleh sekolah-sekolah Islam.

Urgensi Kebangkitan PTI Kebangkitan sekolah-sekolah Islam itu kini telah meluluskan ribuan murid-murid SMA muslim yang berkualifikasi tinggi, baik secara akademik atau pun secara akhlak. Tidak sedikit dari mereka yang juga sudah hafal al-Quran 30 juz. Sepatutnya, para murid terbaik itu melanjutkan pendidikan mereka ke PTI, agar pembinaan intelektual, keimanan, ketaqwaan, seta akhlak mereka terus berjalan dengan baik. Tetapi, realitasnya, hingga kini, di kalangan orang tua dan para murid lulusan SMA, masih banyak muncul pertanyaan: di kampus mana di Indonesia, kita bisa mendidik anakanak kita untuk menjadi ahli Tafsir al-Quran, ahli ilmu fiqih, ahli sejarah Islam, ahli sains Islam, ahli psikologi Islam, dan sebagainya? Dimana kita mengirim anak-anak kita untuk dididik menjadi wartawan muslim yang tangguh? Kemana kuliahnya, seorang yang ingin menjadi pejuang profesional di bidang hukum? Bahkan, kemana kuliahnya, jika kita ingin mendidik anak-anak kita menjadi guru pejuang yang hebat? Patut disyukuri, kini sejumlah universitas Islam telah menempati jajaran perguruan tinggi elite di Indonesia. Beberapa prodi mereka diserbu calon mahasiswa. Beberapa universitas Islam kini memiliki jumlah mahasiswa lebih dari 20 ribu orang. Jumlah yang fantastis! Semua prestasi dan kepercayaan itu patut disyukuri. Itu amanah! Namun, tantangan tidak berhenti sampai disitu. Sebab, tujuan terpenting pendidikan dalam Islam, dan juga dalam ketentuan UUD 1945 serta UU Pendidikan Tinggi (UU No 12 tahun 2012) adalah pengembangan potensi mahasiswa agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa.

156

UUD 1945 pasal 31 (c) pun menegaskan: “Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.” Jadi, merujuk kepada UUD 1945 dan UU Pendidikan Tinggi, aspek iman, taqwa, dan akhlak mulia sepatutnya menjadi tekanan utama proses pendidikan di seluruh Perguruan Tinggi di Indonesia, khususnya di PTI. Itu tataran normatifnya. Maka, sepatutnya, tujuan pendidikan itu dijabarkan dalam kurikulum, program pendidikan, dan evaluasi pendidikan. PTI sepatutnya menjadi pelopor dalam hal ini. Mahasiswa muslim PTI yang akan ujian skripsi, misalnya, harus diuji aspek iman, taqwa, dan akhlaknya. Bukan hanya diuji kualitas akademiknya. Lucu, jika ada mahasiswa muslim lulus sarjana dari suatu PTI, tetapi tidak bisa membaca al-Quran dengan baik. Lebih parah, jika ia lulus sarjana, tetapi tidak disiplin dalam menjalankan salat lima waktu, atau jahat akhlaknya. Padahal, PTI tersebut memasang slogan-slogan indah dalam bentuk perumusan visi-misi kampus yang ideal.

Peringatan Allah Subhanahu Wata’ala dalam al-Quran sangat keras: “Wahai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu lakukan? (Itu) sangatlah dibenci oleh Allah, jika kamu mengatakan apa yang tidak kamu lakukan!” (QS 61:2-3).

Era 25 tahun kedua Menyusul era 25 tahun pertama, berupa Kebangkitan Pendidikan Islam di peringkat dasar dan menengah, maka saya pikir, perlu dicanangkan sebuah tekad mulia untuk

157

mencanangkan 2020-2045 sebagai era Kebangkitan Perguruan Tinggi Islam (PTI) di Indonesia. Itulah era 25 Tahun Kedua Kebangkitan Pendidikan Indonesia. Kebangkitan itu harus berpijak pada landasan dan konsep yang kokoh dalam pendidikan Islam, yakni penanaman adab dan pencapaian ilmu yang gemilang. Proses penanaman nilai-nilai keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia, dalam tradisi pendidikan Islam disebut sebagai proses penanaman adab (inculcation of adab). Itulah hakikat dan inti pendidikan dalam Islam, sebagaimana dipaparkan oleh Prof. Syed Muhammad Naquib alAttas dalam Konferensi Pendidikan Islam Internasional pertama di Makkah, 1977. Pada 13 November 2017, gagasan al-Attas itu digaungkan lagi oleh Dr. Muhammad Ardiansyah, dalam bentuk disertasi doktor bidang Pendidikan Islam di Universitas Ibn Khaldun Bogor. Disertasinya berjudul “Konsep Adab Syed Muhammad Naquib al-Attas dan Aplikasinya di Perguruan Tinggi”. Melalui disertasinya, Ardiansyah membuktikan, bahwa konsep adab yang dirumuskan oleh Prof. al-Attas bersifat unik, penting, mendasar, dan aplikatif. Al-Attas bukan saja berhasil membuat rumusan konsep adab yang komprehensif, tetapi al-Attas juga telah membuktikan bahwa konsepnya bisa diterapkan di dunia pendidikan modern, khususnya di Perguruan Tinggi.

Menurut Ardiansyah, konsep adab sendiri bukanlah hal baru dalam ajaran Islam. Para ulama Islam telah menekankan penting dan strategisnya konsep ini. Itu bisa dilihat dari pernyataan para ulama seperti Umar ibn al-Khattab r.a. yang menyatakan taadabû tsumma ta‘allamû (beradablah kalian, kemudian pelajari ilmu). (Lihat, Syekh Abdul Qadir al-Jilani, al-Ghunyah li Thâlibî Tharîq al-Haq, (Beirut:al-Maktabat al-Sya’biyah, tanpa tahun), hlm. 54). Konsep adab ini bukan konsep baru. Sejak dulu para ulama sudah membahas dan mengaplikasikannya. Beberapa ulama telah menyampaikan makna adab. Abu al-Qasim alQusyairy (w 465 H) menyatakan dalam al-Risalat al-Qusyairiyah, bahwa esensi adab

158

adalah gabungan semua sikap yang baik (ijtimâ’ jamî’ khisâl al-khair). Oleh karena itu orang yang beradab adalah orang yang terhimpun sikap yang baik di dalam dirinya. Dalam disertasinya, Ardiansyah menawarkan enam langkah aplikasi konsep adab di Perguruan Tinggi: Pertama, mensosialisaikan tujuan pendidikan sebagai proses menanamkan adab yang diawali dengan tazkiyatun nafs. Kedua, menyusun kurikulum pendidikan secara hirarkis dengan klasifikasi ilmu-ilmu fardhu ‘ain dan ilmu-ilmu fardhu kifayah. Ketiga, menyiapkan program dan metode pendidikan berdasarkan prinsip altaadub tsumma al-ta’allum melalui kajian adab, penguatan keimanan, pembiasaan, keteladanan dan kedisiplinan. Keempat, mengoptimalkan peran dosen sebagai muaddib yang peduli dan menjadi teladan. Kelima, merumuskan evaluasi pendidikan berdasarkan adab dan ilmu. Dan keenam, menyiapkan sarana pendukung yang berkualitas. Melalui enam langkah inilah, tujuan pendidikan tinggi untuk membentuk manusia yang baik (good man), yakni manusia beradab (insan adabi), atau manusia yang beriman, bertakwa, dan berakhlak mulia, dapat terwujud. Itulah manusia terbaik, yang mampu menjadi pemimpin dalam berbagai bidang kehidupan. Jadi, sesuai konsep ini, proses pendidikan di universitas atau perguruan tinggi, bukan sekedar proses pengajaran, tetapi yang utama adalah proses penanaman nilai-nilai kebaikan. Proses ini memerlukan keteladanan pimpinan dan dosen, pembiasaan penerapan nilai-nilai kebaikan, dan juga penegakan aturan. Konsep “taadabû tsumma ta‘allamû” juga lazim diterapkan dalam proses pendidikan para ulama di masa lalu. Al-Laits Ibn Sa’ad memberi nasehat kepada para ahli hadits: “Ta’allamul hilm qablal ‘ilmi!” Belajarkah sikap penyayang sebelum belajar ilmu! Di Perguruan Tinggi, konsep ini bisa diterapkan dalam bentuk matrikulasi di awal perkuliahan. Dalam kurun waktu tertentu, para mahasiswa baru hanya belajar dan mengamalkan adab dan ibadah. Hanya mereka yang terbukti adab, ibadah, dan akhlaknya baik, yang boleh melanjutkan pelajaran, menekuni bidang ilmu tertentu di Fakultas. Dengan cara ini, insyaAllah terhindar lahirnya ilmuwan-ilmuwan yang tidak beradab (be-adab).

159

Pendidikan jiwa Sesuai dengan konsep pendidikan berbasis adab tersebut, maka inti dari seluruh proses pendidikan adalah proses pensucian jiwa (takiyatun nafs). Inilah awal perubahan diri manusia. Jiwanya yang harus berubah menjadi semakin suci. Tidak keliru jika para siswa dan mahasiswa rajin menggemakan lagu Indonesia Raya: “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya!” Kampus seyogyanya menjadi tempat ideal bagi proses pensucian jiwa tersebut, dengan dimotori para pejabat dan pimpinannya. Jangan sampai pimpinan kampus justru mempertontonkan – misalnya – perilaku cinta dan serakah jabatan. Sebab, cinta dunia adalah pangkal segala kerusakan. Pimpinan kampus yang sehat jiwanya adalah yang memandang jabatan sebagai amanah yang berat, yang akan mereka pertanggungjawabkan di hadapan Satu-satunya Hakim Yang Maha Adil di Hari Akhir. Rasululullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda: “al-Mujaahidu man jaahada nafsahu”. Bahwa, seorang mujahid adalah orang yang berjihad melawan hawa nafsunya. (HR Tirmidzi). Proses pensucian jiwa adalah perjuangan yang berat. Dan hanya orang yang mensucikan jiwanya yang akan beruntung dan meraih kemenangan. Dengan kata lain, kampus ideal bukan menjadi tempat untuk mengumbar hawa nafsu. Tentu saja, untuk meraih jiwa yang suci atau jiwa yang tenang (muthmainnah) tersebut, perlu jalan terjal dan mendaki. Imam al-Ghazali dalam Minhajul Abidin, menggambarkan kesukaran jalan menuju bahagia tersebut: “Ternyata ini jalan yang amat sukar. Banyak tanjakan dan pendakiannya. Sangat payah dan jauh perjalanannya. Besar bahayanya. Tidak sedikit pula halangan dan rintangannya. Samar dimana tempat celaka dan akan binasanya. Banyak lawan dan penyamunnya. Sedikit teman dan penolongnya.” Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam sudah bersabda: “Ingatlah, sorga itu dikepung oleh segala macam kesukaran atau hal-hal yang tidak disukai (al-makaarih); dan neraka itu dikepung oleh hal-hal yang disukai manusia (al-syahawaat).” (HR Thabrani, shahih).

160

Sebagai contoh, kampus ideal, sepatutnya memiliki orientasi utama kehidupan akhirat; bukan hanya berhenti pada tujuan-tujuan duniawi. Para dosen dan mahasiswa menyadari pentingnya mengejar kebahagiaan (sa’adah) dunia dan akhirat. Penetapan ranking universitas di Indonesia, seharusnya juga memasukkan kriteria iman, taqwa, dan akhlak mulia; bukan hanya aspek formalitas dan manajerial kampus. Untuk mewujudkan gerakan kebangkitan Perguruan Tinggi, maka Perguruan Tinggi Islam (PTI) harus menjadi contoh yang baik (uswah hasanah) bagi Perguruan Tinggi lainnya. Perguruan Tinggi Islam bersungguh-sungguh dalam melahirkan alumni yang ideal. PTI harus unggul dalam kualitas iman, taqwa, akhlak mulia, dan profesionalitas lulusan nya. Jangan sampai lulusan PTI sama atau bahkan lebih buruk dari Perguruan Tinggi Umum. Ini adalah gerakan mulia dan pekerjaan besar. Diperlukan kerja keras, kerja ikhlas, dan kerja cerdas untuk mewujudkannya. Jika ini dilakukan dengan sungguh-sungguh, insyaAllah, dalam waktu singkat, PTI akan menjadi mimpi dan tujuan utama tempat kuliah bagi para lulusan SMA terbaik di Indonesia. Dengan begitu, maka era 2020-2045 benarbenar menjadi era kepemimpinan Perguruan Tinggi Islam. InsyaAllah. (Depok, 13 Februari 2018).*

ISLAM DAN INFORMASI Dr Adian Husaini __________________________________________________________________

Pesan ayat al-Quran itu begitu jelas: dalam menerima suatu informasi, kaum Muslim diperintahkan memperhatikan kredibilitas sumber berita. Waspadai jika berita itu bersumber dari orang fasik. Siapakah orang yang disebut sebagai fasik? Kata “fasik” (fasiq), berasal dari kata dasar “al fisq“ yang artinya “keluar” (khuruj). Para ulama mendefinisikan fasik sebagai “orang yang durhaka kepada Allah SWT karena meninggalkan perintah-Nya atau melanggar ketentuan-Nya”. Orang fasik adalah orang

161

yang melakukan dosa besar atau banyak/sering melakukan dosa kecil. Memang tidak begitu mudah menentukan batasan yang tegas apakah seorang masuk kategori fasik. Di dalam Al Quran kata fasik muncul dalam berbagai konteks. Terkadang kata fasik dihubungkan langsung dengan kekafiran dan kedurhakaan (QS 49:7) dan terkadang digandengkan dengan kebohongan dan percekcokan (QS 2:197). Di lapangan hukum Islam, kata “fasik” diperhadapkan dengan kata “‘adil“. Menurut jumhur ulama, adil adalah sifat tambahan dan tidak identik dengan Islam itu sendiri. Maksudnya, orang yang tidak adil (fasik) tidak langsung dikeluarkan dari Islam. Kategori fasik bisa terjadi akibat dosa besar atau dosa kecil, tetapi kategori kafir hanya mungkin terjadi akibat dosa besar. Dengan demikian, dapat dikatakan, setiap kafir pasti fasik, tetapi belum tentu setiap fasik adalah juga kafir. Sebagian ulama madzhab Syafii menyatakan, bahwa seorang dapat dikatakan sebagai tidak fasik (adil) apabila kebaikan dia lebih banyak dari kejahahatannya dan tidak terbukti bahwa ia sering berdusta. Menyimak uraian para ulama ter sebut, dapat diambil pemahaman, bahwa orang fasik terlarang memegang suatu jabatan atau amanah yang berhubungan dengan “kepercayaan”. Posisi media massa dan wartawan adalah sebagai ”pembawa amanah” untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat. Harusnya, posisi ini tidak ditempati oleh orang-orang yang fasik. Artinya, QS al-Hujurat ayat 6 tersebut seharusnya menyadarkan umat Islam untuk menyiapkan tenaga-tenaga wartawan dan institusi media Islam yang adil dan profesional. Asbabun Nuzul ayat 6 surat Al Hujurat itu berkaitan dengan kisah seorang bernama al-Walid bin Uqbah. Ia diutus oleh Nabi Muhammad saw untuk menarik zakat dari Bani Musthaliq yang telah menyatakan masuk Islam. Al-Walid tidak berhasil menarik zakat dan pulang kembali ke Madinah dengan mambawa laporan kepada Nabi SAW bahwa Bani Mushthaliq telah murtad dari Islam. Nabi pun bersiap-siap mengirimkan pasukan ke Bani Musthaliq. Tapi, se belum itu terjadi, datanglah utusan Bani Mushthaliq dan membantah berita al-Walid. Maka turunlah ayat itu. Bahkan ayat tersebut memberi julukan yang hina kepada Al Walid, yaitu si

162

“fasik”, tegasnya seorang pembohong. Ibnu Zaid, Muqatil, dan Sahl bin Abdullah memberi arti orang fasik sebagai pembohong (kadzdzaab). Sedangkan Abul Hasan al Warraq memberi arti orang fasik sebagai orang yang tidak segan-segan menyatakan suatu perbuatan dosa. (Lihat, Prof. Dr. Hamka, Tafsir Al Azhar, Juzu’ XXVI, hal. 191-192). Kisah itu mengisyaratkan betapa pentingnya kaum Muslim sangat berhati-hati dalam menerima, mengolah, dan menyebarkan informasi. Silakan menerima informasi dari kaum fasik, tapi harus dilakukan tabayyun terlebih dahulu. Lakukan cek dan ricek. Jangan percaya begitu saja informasi dari kaum fasik, apalagi kaum kafir. Apalagi, tidak ada informasi yang bebas nilai dan bebas misi. Informasi dalam bentuk berita, analisis, atau apa pun, disebarkan melalui media massa melalui proses pemilihan, penyuntingan, dan lay-out serta sudut pandang yang sarat kepentingan dan muatan nilai penulis dan media massanya. Bahkan, secara khusus, al-Quran mengingatkan bahwa musuh utama para Nabi – dan tentu juga para pengikut Nabi– adalah setan-setan jenis manusia dan setan-setan jenis jin yang senantiasa menyebarkan ”kata-kata indah” (zukhru falqaul), dengan tujuan untuk menipu manusia. (QS an-An’am: 112). Iblis pun menggoda Adam dan Hawa dengan katakata indah dan ungkapan yang menawan, bukan dengan ungkapan dan bentakan kasar, sehingga berhasil membujuk Adam dan Hawa melanggar larangan Allah. Henry Martyn, tokoh misionaris terkenal dengan ungkapan nya, “Aku datang untuk menghadapi umat Islam, bukan dengan senjata tapi dengan kata-kata, bukan dengan kekuatan fisik tapi dengan logika, dan bukan dalam kebencian tapi dalam kasih.” Perang Salib telah gagal, begitu kata Henry Martyn. Karena itu, untuk “me naklukkan” dunia Islam perlu resep lain: gunakan “kata, logika, dan kasih”. Bukan kekuatan senjata atau kekerasan. Hal senada dikatakan misionaris lain, Raymond Lull, “Saya melihat banyak ksatria pergi ke Tanah Suci, dan berpikir bahwa mereka dapat menguasainya dengan kekuatan senjata, tetapi pada akhirnya semua hancur sebelum mereka mencapai apa yang mereka pikir bisa diperoleh.” Lull mengeluarkan resep: Islam tidak dapat ditaklukkan dengan darah dan air mata, tetapi dengan cinta kasih dan doa. Menurut Eugene Stock, mantan sekretaris redaksi

163

Church Missionary Society, tidak ada figur yang lebih heroik dalam sejarah Kristen dibandingkan Raymond Lull. Lull adalah misionaris pertama dan mungkin terbesar yang menghadapi para pengikut Muhammad. Ungkapan Lull dan Martyn itu ditulis oleh Samuel M Zwemmer, misionaris Kristen terkenal di Timur Tengah, dalam buku Islam: A Challenge to Faith (1907). Buku yang berisi resep untuk “menaklukkan” dunia Islam itu disebut Zwemmer sebagai “beberapa kajian tentang kebutuhan dan kesempatan di dunia para pengikut Muhammad dari sudut pandang missi Kristen”. Jangan heran, jika kaum misionaris kemudian sangat serius dan professional dalam mengembangkan media informasi untuk mengarahkan pemikiran masyarakat. Tugas media adalah membentuk citra (image), yang seringkali berbeda dengan realitas sebenarnya. Media bisa mencitrakan seorang sebagai “orang baik” dan “orang jahat” yang sering berbeda dengan kenyataan sebenarnya. Informasi memang hal teramat penting dalam kehidupan manusia. Dan Nabi Muhammad saw memerintahkan: Berjihadlah melawan orang-orang mu syrik dengan hartamu, jiwamu, dan lidahmu. Kini, apa yang sudah dilakukan oleh umat Islam dalam berjuang di bidang media informasi ini? Sudahkah kita semua bersungguh-sungguh berjuang di bidang informasi ini? Jujurlah kita, tanya di sini, di hati ini!

PANCASILA MENOLAK ILMU SEKULER Oleh: Dr. Adian Husaini __________________________________________________________________ Pada 27 Desember 2017 lalu, saya mendapat undangan dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, untuk menjadi pembicara dalam sebuah Seminar Nasional tentang Keislaman dan Kebangsaan. Pembicara lainnya yang diundang hadir adalah Prof. Dr. Mahfud MD dan Prof. Dr. Sudjito Atmoredjo, guru besar Ilmu Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, serta Danrem Yogyakarta.

164

Dalam seminar itulah, saya pertama kali mengenal sosok Prof. Sudjito, yang dikenal juga sebagai pakar tentang Pancasila. Prof. Sudjito memaparkan uraiannya tentang Pancasila dengan judul: “Memposisikan Pancasila sebagai Paradigma Ilmu”. Beliau tampil pada sesi pertama bersama wakil dari Korem Yogyakarta. Sedangkan saya dijadwal tampil pada sesi berikutnya bersama Prof. Mahfud MD. Tema itu menarik. Karena itu, saya dengan tekun menyimaknya. Sejumlah poin penting yang disampaikan Prof. Sudjito diantaranya adalah bahwa: (a) Ilmu adalah lentera kehidupan (b) Ilmu sebagai institusi pencarian kebenaran, dinamis, terus berkembang, dan (c) ilmu bersifat amaliah, yakni berdwitunggal dengan amal. Prof. Sudjito menggariskan bahwa epistemologi keilmuan yang berparadigma Pancasila adalah yang mengakui bahwa asal-usul dan hakikat ilmu adalah dari Tuhan, berproses dalam kehidupan manusia, bermuara pada pertanggungjawaban kepada Tuhan Yang Maha Esa. Maka, karakteristik ilmu yang berparadigma Pancasila adalah:

(a) bersifat teistik, obyektif, dan universal (sila 1), (b) bersifat humanistik, naturalistik (sila 2), (c) Metode keilmuan holistik (sila 3), (d) Kebenaran diperoleh melalui konstruksi sosial-religius, musyawarah-mufakat (sila 4), dan (e) Keadilan sosial berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (sila 5). Lebih jauh Prof. Sudjito mengingatkan, bahwa saat ini Pendidikan Ilmu di Perguruan Tinggi masih menghadapi permasalahan dan tantangan antara lain: (a) Kurikulum masih berkarakter liberalistik, individualistik, dan sekuler (b) adanya pengaruh narkoba dan ideologi ekstrim di kampus yang perlu ditanggulangi (c) pengaruh modelmodel pendidikan Barat yang berkarakter rasionalistik semata, tetapi nihil moralitas kemanusiaan, dan (d) belum semua dosen ber-Pancasila.

165

Terakhir, menurut Prof. Sudjito, Perguruan Tinggi diharapkan menghasilkan lulusan yang cinta kepada Pancasila, paham hukum sebagai order (tatanan) dan mampu mengamalkan ilmu untuk kemaslahatan umat. Dalam pandangannya, ilmuwan professional adalah yang bermoral Pancasila, berwawasan kebangsaan, dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Secara umum, pandangan Prof. Sudjito tentang Pancasila itu menawarkan keserasian antara agama dan Pancasila. Sosok ilmuwan yang taqwa sebagai cita ideal ilmuwan Indonesia mensyaratkan penerapan ajaran agama. Setelah seminar, kami sempat berbincang singkat, dan beliau menegaskan bahwa orang yang ber-Pancasila adalah orang yang religius. Saya merasa ada kesepahaman dengan Prof. Sudjito dalam soal hubungan antara Islam dengan Pancasila. Pernyataan beliau bahwa pengajaran ilmu di Perguruan Tinggi masih berkarakter liberalistik, individualistik, dan sekuler, perlu kita garisbawahi. Sebagai akademisi senior di sebuah universitas besar di Indonesia, pernyataan itu menyiratkan keprihatinan yang mendalam. Apalagi, UUD 1945 menegaskan bahwa pemerintah harus menyelenggarakan pendidikan nasional untuk meningkatkan keimanan, ketaqwaan, dan akhlak mulia. Ilmu-ilmu sekuler tidak akan membawa mahasiswa menuju pada iman, taqwa, dan akhlak mulia. Bahaya ilmu sekuler Cendekiawan Kristen Harvey Cox dalam buku terkenalnya, The Secular City, menjelaskan bahwa sekularisasi adalah pembebasan manusia dari asuhan agama dan metafisika; pengalihan perhatiannya dari ‘dunia lain’ menuju dunia kini. (Secularization is the liberation of man from religious and metaphysical tutelage, the turning of his attention away from other worlds and towards this one). Buku Harvey Cox diawali dengan bab “The Biblical Source of Secularization”. Ia mengutip pendapat teolog Jerman Friedrich Gogarten: “Secularization is the legitimate consequence of the impact of biblical faith on history.” Bahwa sekularisasi adalah akibat logis dari dampak kepercayaan Bible terhadap sejarah.

166

Dalam bukunya, Christianity in World History, Arend Theodor van Leeuwen, mencatat, bahwa penyebaran Kristen di Eropa membawa pesan sekularisasi. Kata Leeuwen, “Christianization and secularization are involved together in a dialectical relation.” Maka, menurutnya, persentuhan antara kultur sekular Barat dengan kultur tradisional religius di Timur Tengah dan Asia, adalah bermulanya babak baru dalam sejarah sekularisasi. Sebab, kultur sekular adalah hadiah Kristen kepada dunia.(Christianity’s gift to the world). (Pendapat Leeuwen dikutip dari buku Mark Juergensmeyer, The New Cold War?, (London: University of California Press, 1993). Salah satu ilmuwan muslim terkemuka yang gigih menolak gagasan sekulerisasi adalah Prof. Dr. Syed Muhammad Naquib al-Attas. Buku karya al-Attas, Islam and Secularism, yang terbit awal 1970-an, sudah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa di dunia. Al-Attas menolak klaim Harvey Cox bahwa akar sekularisasi terdapat dalam kepercayaan Bible. Bagi al-Attas, akar sekularisasi bukan terdapat dalam Bible, tetapi terdapat dalam penafsiran orang Barat terhadap Bible. Sekularisasi bukanlah dihasilkan oleh Bible, namun ia dihasilkan oleh konflik lama antara akal dan Bible di dalam pandangan hidup orang Barat. Kata al-Attas: “The claim that secularization has its roots in biblical faith and that it is the fruit of the Gospel has no substance in historical fact. Secularization has its roots not in biblical faith, but in the interpretation of biblical faith by Western man…”. Dalam pandangan al-Attas, worldview orang Barat telah menempatkan Tuhan menjadi manusia dan manusia dijadikan Tuhan (deity is humanized and man is deified). Manusia telah menempatkan dirinya sebagai Tuhan yang merasa berhak mengatur diri dan seluruh alam sesuai kemauannya sendiri. Manusia seperti itu sejatinya telah hilang adab kepada Tuhan. Semua itu berawal dari ilmi yang salah. Ilmu yang sangat merusak kehidupan manusia. Peringatan akan bahaya ilmu sekuler ini juga pernah disampaikan oleh pakar filsafat sains, Seyyed Hossein Nasr. Menurutnya, kini makin banyak manusia yang sadar akan bahaya penerapan sains Barat yang menyebabkan kehancuran lingkungan hidup dan

167

mengarah pada lumpuhnya tatanan alam ini. Kata Nasr: “To day more and more people are becoming aware that the applications of modern science, a science witch until a few decades ago was completely Western and which has now spread to other continents, have caused directly or indirectly unprecedented environmental disasters, bringing about the real possibility of the total collapse of the natural order.” (Seyyed Hossein Nasr, The Need for a Sacred Science, (New York: State University of New York Press, 1993). Di Indonesia, bahaya ilmu sekuler pun sudah disampaikan oleh banyak ilmuwan muslim. Mohammad Natsir, misalnya, dalam pidatonya di Majelis Konstituante, tahun 1957 sudah mengingatkan, bahwa manusia Indonesia hanya punya dua pilihan: (1) memilih faham sekulerisme (la-dieniyah) tanpa agama, atau (2) memilih faham agama (dieny). Dan inilah penjelasan Mohammad Natsir, pahlawan nasional yang juga pendiri Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), tentang sekulerisme: “Sekulerisme adalah suatu cara hidup yang mengandung paham tujuan dan sikap hanya di dalam batas hidup keduniaan. Segala sesuatu dalam kehidupan kaum sekuleris tidak ditujukan kepada apa yang melebihi batas keduniaan. Ia tidak mengenal akhirat, Tuhan, dsb. Walaupun ada kalanya mereka mengakui akan adanya Tuhan, tapi dalam penghidupan perseorangan sehari-hari umpamanya, seorang sekuleris tidak menganggap perlu adanya hubungan jiwa dengan Tuhan, baik dalam sikap, tingkah laku dan tindakan sehari-hari, maupun hubungan jiwa dalam arti doa dan ibadah. Seorang sekuleris tidak mengakui adanya wahyu sebagai salah satu sumber kepercayaan dan pengetahuan. Ia menganggap bahwa kepercayaan dan nilai-nilai moral itu ditimbulkan oleh masyarakat semata-mata. Ia memandang bahwa nilai-nilai itu ditimbulkan oleh sejarah atau pun oleh bekas-bekas kehewanan manusia semata-mata, dan dipusatkan kepada kebahagiaan manusia dalam penghidupan saat ini belaka…” Menurut Natsir, bagi ilmuwan sekuler, “Ilmu pengetahuan sudah dijadikan tujuan tersendiri, science for the sake of science.” Pandangan sekuler, kata Natsir, sangat berbahaya, karena “menurunkan sumber-sumber nilai hidup manusia dari taraf ke-Tuhanan kepada taraf kemasyarakatan semata-mata.”

168

Natsir memberi contoh. Misalnya, ajaran tidak boleh membunuh, kasih sayang sesama manusia, semuanya itu menurut sekulerisme, sumbernya bukan wahyu Ilahi, akan tetapi apa yang dinamakan: penghidupan masyarakat semata-mata. Jika dulunya, karena nenek moyang kita menganggap bahwa hidup damai dan tolong menolong akan menguntungkan semua pihak, maka timbullah larangan untuk membunuh dan bermusuhan. Jadi, tujuannya adalah ‘perdamaian’. Natsir memandang, bahwa pandangan semacam itu telah menurunkan nulai-nilai adab dan kepercayaan ke taraf perbuatan manusia dalam pergolakan masyarakat. Dengan begitu, maka pandangan manusia terhadap nilai-nilai tersebut merosot. Manusia merasa dirinya lebih tinggi daripada nilai-nilai itu sendiri! Manusia menganggap bahwa nilai-nilai itu bukan sebagai sesuatu yang dijunjung tinggi, tapi sebagai “alat semata-mata”, karena semua itu adalah ciptaan manusia sendiri.” Kritik Mohammad Natsir terhadap sekulerisme itu sangat tajam. Karena itulah, Natsir berjuang sepanjang hidup untuk melawan sekulerisme melalui berbagai bidang kehidupan, khususnya bidang politik dan pendidikan. Untuk itu, Natsir tercatat aktif dalam proses pendirian sejumlah universitas Islam di Indonesia.

Kini, dengan adanya kritik Prof. Dr. Sudjito terhadap pengajaran ilmu-ilmu sekuler di Perguruan Tinggi, semoga semakin banyak yang sadar akan bahaya ilmu-ilmu sekuler tersebut. Tentu tidak salah jika kita berharap, semoga kampus UGM menjadi salah satu pelopor dalam gerakan “de-sekulerisasi ilmu”, sebagai pijakan menuju pembentukan ilmuwan-ilmuwan yang beriman, bertaqwa, dan berakhlak mulia (UUD 1945, pasal 31 (c)).

169

HUTANG BARAT TERHADAP ISLAM Oleh: Adian Husaini __________________________________________________________________

”Hutang Barat terhadap Islam” (The Wes’st Debt to Islam). Itulah tajuk satu bab dari sebuah buku berjudul “What Islam Did For Us: Understanding Islam’s Contribution to Western Civilization” (London: Watkins Publishing, 2006), karya Tim Wallace-Murphy. Di tengah gencarnya berbagai serangan terhadap Islam melalui berbagai media di Barat saat 170

ini, buku seperti ini sangat patut dibaca. Selain banyak menyajikan data sejarah hubungan Islam-Barat di masa lalu, buku ini memberikan arus lain dalam menilai Islam dari kacamata Barat. Berbeda dengan manusia-manusia Barat yang fobia dan antipati terhadap Islam – seperti sutradara film Fitna, Geert Wilders – penulis buku ini memberikan gambaran yang lumayan indah tentang sejarah Islam. Bahkan, dia tidak segan-segan mengajak Barat untuk mengakui besarnya hutang mereka terhadap Islam. ”Hutang Barat terhadap Islam,” kata, Tim Wallace-Murphy, “adalah hal yang tak ternilai harganya dan tidak akan pernah dapat terbayarkan sampai kapan pun. Katanya, “We in the West owe a debt to the Muslim world that can be never fully repaid.’’ Pengakuan Wallace-Murphy sebagai bagian dari komunitas Barat semacam itu, sangatlah penting, baik bagi Barat maupun bagi Islam. Di mana letak hutang budi Barat terhadap Islam? Buku ini banyak memaparkan data tentang bagaimana transfer ilmu pengetahuan dari dunia Islam ke Barat pada zaman yang dikenal di Barat sebagai Zaman Pertengahan (the Middle Ages). Sejak beberapa bulan lalu, setiap hari, Harian Republika, juga memuat rubrik khusus tentang khazanah peradaban Islam di masa lalu, yang memberikan pengaruh besar terhadap para ilmuwan di Barat.

Di Zaman Pertengahan itulah, tulis Wallace-Murphy, Andalusia yang dipimpin kaum Muslim menjadi pusat kebudayaan terbesar, bukan hanya di daratan Eropa tetapi juga di seluruh kawasan Laut Tengah. Pada zaman itu, situasi kehidupan dunia Islam dan dunia Barat sangatlah kontras. Bagi mayoritas masyarakat di dunia Kristen Eropa, zaman itu, kehidupan adalah singkat, brutal dan barbar, dibandingkan dengan kehidupan yang canggih, terpelajar, dan pemerintahan yang toleran di Spanyol-Islam. Saat itu, Barat banyak sekali belajar pada dunia Islam. Para tokoh agama dan ilmuwan mereka berlomba-lomba mempelajari dan menerjemahkan karya-karya kaum Muslim dan Yahudi yang hidup nyaman dalam perlindungan masyarakat Muslim. Barat

171

dapat menguasai ilmu pengetahuan modern seperti sekarang ini, karena mereka berhasil mentransfer dan mengembangkan sains dari para ilmuwan Muslim. Tim Wallace-Murphy menekankan perlunya Barat mengakui bahwa mereka mewarisi sains Yunani dan lain-lain, adalah atas`jasa para ilmuwan dan penguasa Muslim. Di masa kegelapan Eropa tersebut, orang-orang Barat secara bebas menerjemahkan karyakarya berbahasa Arab – tanpa perlu membayar Hak Cipta. Sejarawan Louis Cochran menjelaskan, bahwa Adelard of Bath (c.1080-c.1150), yang dijuluki sebagai “the first English scientist”, berkeliling ke Syria dan Sicilia selama tujuh tahun, pada awal abad ke12. Ia belajar bahasa Arab dan mendapatkan banyak sekali buku-buku para sarjana. Ia menerjemahkan “Elements” karya Euclidus, dan dengan demikian mengenalkan Eropa pada buku tentang geometri yang paling berpengaruh di sana. Buku ini menjadi standar pengajaran geometri selama 800 tahun kemudian. Adelard dengan menerjemahkan buku table asronomi, Zijj, karya al-Khawarizmi (d. 840) yang direvisi oleh Maslama al-Majriti of Madrid (d.1007). Buku itu merupakan pengatahuan astronomi termodern pada zamannya. Seorang penerjemah yang sangat fenomenal bernama Gerard of Cremona. Selama hampir 50 tahun tinggal di Toledo (1140-1187), dia menerjemahkan sekitar 90 buku dari bahasa Arab ke bahasa Latin. Separoh lebih berkaitan dengan matematika, astronomi, dan bidang sains lainnya; sepertiga berkaitan dengan kedokteran dan sisanya tentang filsafat dan logika. Bidang-bidang keilmuan inilah yang memberikan fondasi bagi munculnya renaissance (kelahiran kembali peradaban Barat) di Eropa pada abad ke-12 dan ke-13 M. Bukan hanya dalam bidang penerjemahan Barat sangat aktif. Dalam Pendidikan Tinggi, Oxford University yang berdiri tahun 1263 dan Cambridge University tak lama sesudah itu, juga menjiplak model kampus-kampus ternama di Andalusia. Dengan bukti-bukti sejarah tentang kejayaan Islam dan karakter Islam itu sendiri, Wallace-Murphy mengajak koleganya di dunia Barat untuk mengakui jasa-jasa besar Islam terhadap Barat. Lebih dari itu, dia mengimbau, agar Barat mampu melihat Islam dengan lebih jernih dan jangan bernafsu untuk mengintervensi urusan dunia Islam. Termasuk dalam soal toleransi dan penghormatan terhadap budaya dan pemeluk agama lain. Terhadap pertanyaan, “Can the world of Islam solve its own problems?”, apakah dunia Islam mampu 172

menyelesaikan masalahnya sendiri, Wallace-Murphy menjawab tegas: Itu telah terbukti di masa lalu, dan berkat prinsip-prinsip ajaran Islam yang penuh toleransi terhadap budaya dan agama lain, maka Islam akan mampu menyelesaikan masalahnya sendiri. Bahkan, ditambahkannya, karena keyakinan kaum Muslim yang tidak tergoyahkan dan hasrat besar akan kemerdekaan, maka ”Siapa atau apa yang akan mampu menghentikan mereka?” Agama Islam, katanya, telah memberikan inspirasi yang begitu besar di masa lalu, dan mereka akan meraih kejayaan kembali di masa depan di berbagai bidang yang mereka telah memiliki pengalaman hebat di banding yang lain, dalam soal toleransi, kreativitas, dan penghormatan. Lalu, ia menutup bukunya dengan sebuah imbauan kepada masyarakat Barat: “Berikanlah

penghormatan

kepada

kaum

Muslim,

sebagaimana

mereka

telah

memperlihatkan kepada kita, saat mereka – tanpa syarat – membagi buah kebudayaan mereka kepada kita.” Kata Wallace-Murphy, “Grant them the same respect that they have shown to us when they, unconditionally, shared the fruits of their culture with us”.

Sains Islam Ilmu pengetahuan senantiasa berkembang dari masa ke masa. Dan dunia Islam ketika itu berhasil mentransfer dan mengembangkan ilmu pengatahuan yang dikembangkan oleh peradaban lain, seperti Yunani, India, Cina, Persia, Babilonia, dan sebagainya. Tetapi, para ilmuwan Muslim tidak begitu saja menjiplak karya-karya ilmuwan Yunani atau yang lain. Bahkan, menurut pakar sains Islam, Prof. Cemil Akdogan, ilmuwan Muslim berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan yang ”khas Islam”, yang berbeda dengan tradisi ilmu pengetahuan Yunani atau peradaban lain.

173

Dalam bukunya, Science in Islam and the West, (ISTAC-IIUM, 2008), Cemil Akdogan menjelaskan, bahwa sains Islam adalah produk dari pendekatan tauhidik, sedangkan sains Barat modern adalah produk dari pendekatan dualistik. Dalam Islam, sains tidak terpisahkan dari Islam. Sedangkan di Barat, sains bersifat ”bebas Tuhan” (godless). Ironisnya, ketika Barat modern mengambil sains dari dunia Islam, mereka mensekularkan sains tersebut dan membebaskan sains dari campur tangan agama. Ini adalah salah satu produk sekulerisme yang memandang alam sebagai hal yang semata-mata ”profane” dan tidak terkait dengan unsur ketuhanan. Karena itulah, mereka memandang bahwa manusia boleh memperlakukan alam sesuai dengan kehendak mereka sendiri. Prof. Naquib al-Attas menilai, sains sekular Barat inilah sumber kerusakan terhadap dunia saat ini, bukan hanya kerusakan manusia tetapi juga dunia binatang, tumbuhan, dan alam mineral. Prestasi-prestasi besar kaum Muslim di bidang kehidupan dan keilmuan tidaklah terpisah dari dorongan besar yang diberikan Kitab Suci al-Quran dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Al-Quran adalah Kitab yang begitu besar perhatiannya terhadap aktivitas pemikiran dan keilmuan. Ini, misalnya, tergambar dari penyebutan kata “al-‘ilm” dan derivasinya yang mencapai 823 kali. Ditegaskan dalam QS 3:18-19, orang-orang yang berilmu harus mampu menemukan dua kesimpulan: (1) Tidak ada Tuhan selain Allah, (2) ad-Din (agama) dalam pandangan Allah hanyalah Islam. Dengan semangat inilah, kaum Muslim mampu menaklukkan dunia ilmu. Sepenggal sejarah peradaban Islam yang digambarkan oleh Tim Wallace-Murphy dalam bukunya, memperlihatkan bagaimana “rahmatan lil-alamin” memang pernah terwujudkan ketika umat Islam mengikuti dan menerapkan perintah al-Quran untuk belajar dan bekerja keras. Umat Islam menjadi umat yang disegani dan dicontoh oleh peradaban lain. Satu pelajaran penting yang dapat kita ambil dari buku Tim Wallace-Murphy itu adalah kesadaran akan hakekat ajaran Islam itu sendiri, yang berhasil diserap dan diaplikasikan oleh kaum Muslim, sehingga menghasilkan sebuah peradaban yang tinggi. Umat Islam

174

tidak pernah menutup diri dari peradaban lain. Unsur-unsur positif dari mana pun bisa diambil. Tetapi, bukan pandangan hidup syirik yang bertentangan dengan ajaran Tauhid. Dalam kaitan inilah, kita tidak habis pikir dengan banyaknya cendekiawan yang ”silau” dengan peradaban Barat; yang bangga dan rajin melantunkan lagu-lagu sekularisme, liberalisme, feminisme, pluralisme agama, dan isme-isme lain yang hanya menyeret kaum Muslim menjadi ”satelit Barat”. Karena itulah, sangatlah ajaib, bahwa banyak perguruan Tinggi Islam saat ini, misalnya, lebih bangga menerapkan metode hermeneutika Barat dalam menafsirkan al-Quran ketimbang menggunakan Ilmu Tafsir al-Quran itu sendiri. (Depok, 2 Rabiulakhir 1429 H/9 April 2008).

Pidana Zina, mengapa takut? Oleh: Dr Adian Husaini _________________________________________________________________

Menyusul keluarnya draf revisi RUUKUHP tahun 2003, sebuah majalah mingguan, edisi 6-12 Oktober 2003, menulis laporan utama dengan judul "Rancangan KUHP: Kitab Yang Semakin Menakutkan". Pada pekan yang sama, majalah mingguan lainnya memuat

175

sejumlah komentar aktivis HAM dan perempuan yang menolak urusan zina diatur dalam KUHP. Menurut mereka, zina itu masalah pribadi. Majalah mingguan terkenal itu menulis soal pasal-pasal zina dalam RUUKUHP tahun 2003 tersebut, "Jeratan Buat Para Pezina". Tulis majalah ini: "Makna zina dalam RUU KUHP diperluas, membuka peluang aparat ke ruang pribadi. Aroma hukum Islam, minus sanksi." Ada sejumlah pasal RUU KUHP tahun 2003 yang dipersoalkan. Misalnya, Pasal 419, yang menyatakan, bahwa akan dikenai pidana penjara lima tahun: (a) Laki-laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya. (b) Perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki yang bukan suaminya. (c) Laki-laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan, atau perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan lakilaki, pada hal diketahui laki-laki tersebut berada dalam ikatan perkawinan. Sementara Pasal 420 RUU KUHP 2003 itu menyatakan: "Laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat perkawinan yang sah melakukan persetubuhan, dan karenanya mengganggu perasaan kesusilaan masyarakat setempat, dipidana dengan penjara paling lama satu tahun atau denda dalam kategori II (Rp 750 ribu)." Entah mengapa, RUU-KUHP 2003 itu kemudian tenggelam. Kini tahun 2018, kembali muncul RUU-KUHP (RKUHP) yang juga memperluas cakupan pidana pasal-pasal perzinaan serta homoseksual. Maka, kini, lagi-lagi, muncul protes. Logika bahwa soal-soal zina adalah masalah privat kembali muncul. Para penolak pasal-pasal zina dalam RUU-KUHP itu seperti tak menyadari bahwa saat ini, begitu banyak masalah privat yang diatur oleh hukum negara. Pecandu narkoba, meskipun mengonsumsi untuk dirinya, dan tidak mengganggu orang lain, tetap ditangkap dan diadili. Mereka pun tak protes ketika dipaksa mengenakan helm atau sabuk pengaman saat mengendarai kendaraan bermotor. Tidak ada argumentasi bahwa itu soal privat. 176

Musuh agama Dalam Islam, pezina yang telah memenuhi syarat empat saksi menerima sanksi hukum yang berat. Pezina muhsan, dihukum mati dengan cara rajam. Pezina ghairu muhsan dicambuk 100 kali. (QS 24: 2). Nabi Muhammad SAW bersabda: "Apabila perzinaan dan riba telah melanda suatu negeri, maka penduduk negeri itu telah menghalalkan turunnya azab Allah atas mereka sendiri". (HR Thabrani dan Al Hakim). Dalam tradisi Yahudi dan Kristen, perbuatan zina juga dipandang sebagai kejahatan super berat. Sanksi bagi pezina bermacam-macam: dilempari batu sampai mati, dan bahkan beberapa jenis perzinaan dijatuhi sanksi hukuman bakar hidup-hidup. Kitab Perjanjian Lama (Hebrew Bible), Kitab Ulangan 22:20-22, menyebutkan: "(20) Tetapi jika tuduhan itu benar dan tidak didapati tanda-tanda keperawanan pada si gadis, (21) maka haruslah si gadis dibawa keluar ke depan pintu rumah ayahnya, dan orang-orang sekotanya haruslah melempari dia dengan batu, sehingga mati sebab dia telah menodai orang Israel dengan bersundal di rumah ayahnya. Demikianlah harus kau hapuskan yang jahat itu dari tengah-tengahmu.

(22) Apabila seorang kedapatan tidur dengan seorang perempuan yang bersuami, maka haruslah keduanya dibunuh mati: laki-laki yang telah tidur dengan perempuan itu dan perempuan itu juga. Demikianlah harus kau hapuskan yang jahat itu dari antara orang Israel." (Teks Alkitab terbitan Lembaga Alkitab Indonesia tahun 2000). Dalam Kitab Imamat (Leviticus) 20:8- 15 disebutkan semua bentuk dan jenis perbuatan zina dijatuhi hukuman mati. Bahkan, pezina dengan binatang pun, harus dihukum mati, termasuk binatangnya. "Bila seorang laki-laki berkelamin dengan seekor binatang, pastilah ia dihukum mati, dan binatang itu pun harus kamu bunuh juga." (ayat 15).

177

Jadi, menjatuhkan sanksi pidana berat kepada pezina, bukan hanya perintah Alquran. Aneh, jika ada pemeluk Islam atau Kristen menolak RKUHP pasal zina ini. Sebagian penolak beralasan bahwa RKUHP berpotensi mengkriminalisasi kelompok tertentu. Misalnya, Pasal 484 ayat (1) dan (2) RKUHP menyebutkan bahwa laki-laki dan perempuan yang tidak terikat perkawinan secara sah berhubungan seks bisa dikenakan pidana. Pasal 488 menyatakan bahwa seseorang yang hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan sah akan dipidana penjara paling lama satu tahun atau pidana denda paling banyak ketegori II. Alasan penolakan kali ini tak lagi menuduh pasal-pasal itu "beraroma hukum Islam". Tetapi, pasal-pasal itu berpotensi mengkriminalisasi kaum perempuan, anak, dan remaja. Juga, menurut mereka, pasal ini bisa menyasar orang-orang yang perkawinannya tidak tercatat oleh negara dengan berbagai alasan. Kekhawatiran kelompok penolak RKUHP ini perlu diperhatikan, karena tidak secara terbuka mendukung perzinaan. Mereka tidak secara tegas menya takan bahwa berzina merupakan hak asasi manusia – asal sama-sama dewasa dan suka sama suka. Sebaliknya, yang me midanakan zina dituduh sebagai pelanggar HAM.

Pandangan bahwa zina tidak melanggar HAM itu aneh. Zina itu jelas perbuatan maksiat, durhaka kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sejak kapan manusia punya hak untuk bermaksiat kepada Tuhannya? Inilah cara pandang manusia modern, yang oleh Prof. Syed Naquib al-Attas dirumuskan: deity is humanised, god is deified? (Tuhan dijadikan sebagai manusia, dan manusia dijadikan Tuhan). Demi memuja hawa nafsu, manusia sampai berani melawan Tuhan.

LGBT dan Yahudi

178

Senin

(12/12/2018),

sekelompok

massa

yang

mengatasnamakan

"Aliansi

Masyarakat Sipil" melakukan aksi di DPR, menolak rancangan KUHP baru. Massa menuduh RKUHP kali ini merupakan bentuk diskriminasi kepada minoritas. Tampak beberapa spanduk pembelaan terhadap LGBT dibentangkan. Satu spanduk berbunyi: "LGBT punya hak sama dengan masyarakat yang lain nya. LGBT bukan penyakit." Pendemo lainnya membentangkan spanduk berbunyi: "Kami menolak RKUHP. Tidak sesuai HAM." Para pendukung LGBT itu tak henti-hentinya berkampanye bahwa LGBT bukan penyimpangan. Karena itu, mereka merasa punya hak untuk melaksanakan praktik seks sejenis. Jargon "persamaan" dan "kesetaraan" digunakan para pendu kung LGBT di berbagai negara. Dengan jargon "equal", pendukung LGBT di Irlan dia yang mayoritas Katolik, akhirnya memenangkan referendum. Perkawinan LGBT di negara itu kemudian dilegalkan, meskipun dikecam keras oleh Vatikan. Saat menjadi Saksi Ahli di MK dari pihak AILA, saya memohon kepada hakim MK agar mengambil pelajaran dari kasus legalisasi LGBT di Amerika Serikat (AS). Pada 26 Juni 2015, secara resmi AS mengesahkan perkawinan sesama jenis, mengikuti jejak 20 negara lain sebelumnya. Perjalanan legalisasi perkawinan sejenis (same-sex marriage), di AS terbilang sangat cepat. Tahun 2004, Massachusetts menjadi negara bagian pertama yang mengesahkan perkawinan sejenis. Tak lama kemudian, pada 2013, untuk pertama kalinya, Katedral Nasional AS melaksanakan

perkawinan

sejenis

(https://www.cathedral.org/press/PR- 60QF1-

3I0018.shtml). Awal Juni 2015, pun baru sekitar 30 negara bagian di AS yang melegalkan perkawinan sejenis. Apa yang menimpa Gereja Katolik dalam kasus LGBT di sejumlah negara, khususnya di AS, patut menjadi bahan renungan serius bagi bangsa Indonesia yang mayoritas Muslim. Sebab, AS selama ratusan tahun dikenal sebagai bangsa yang cukup religius. Sebuah buku berjudul What Americans Believe: An Annual Survey of Values and

179

Religious Views in the United States (California: Regal Books, 1991), memberikan gambaran tingkat religiositas rakyat AS yang masih lumayan. Terhadap pertanyaan, "apakah kepercayaan Kristen masih relevan dengan jalan hidup anda", sebanyak 47 persen rakyat AS menjawab "sangat setuju". Bahkan, jauh sebelumnya, bangsa AS menegaskan identitasnya sebagai sebuah "bangsa Kristen". Tahun 1811, Mahkamah Agung AS menegaskan: "We are a Christian people." Itu ditegaskan lagi oleh Mahkamah Agung AS pada tahun 1892, dengan menyatakan: "This is a Christian Nation." (Lihat, Samuel P. Huntington, Who Are We? The Challenges to Ameri ca's National Identity (New York: Si mon&Schuster, 2004). Bagaimana bangsa AS bisa diubah persepsinya sampai melegalkan perkawinan sejenis? Inilah jawabannya! Pada 22 Mei 2013, Wakil Presiden AS Joe Biden memberikan pujian kepada tokoh-tokoh Yahudi yang telah berjasa dalam mengubah persepsi bangsa AS tentang perkawinan sejenis. Harian Israel, Haaretz menulis sebuah berita berjudul "Biden: Jewish leaders drove gay marriage changes". Dikatakan, bahwa, "Vice Presi dent Joe Biden is praising Jewish leaders for helping change American attitudes about gay marriage and other issues."

Kajian-kajian tentang dominasi peran Yahudi di AS sangat melimpah. Prof Norman Cantor, dalam bukunya, The Sacred Chain, menyebutkan bahwa pada 1994, jumlah Yahudi di AS hanya tiga persen dari populasi bangsa AS. Tetapi, pengaruh mereka setara dengan kekuatan 20 persen pen duduk AS. Bahkan, Prof Cantor menulis, "Jews were over represented in the learned professions by a factor of five or six." Kemampuan dan dominasi Yahudi dalam pembentukan opini di AS tidak diragukan lagi. Kekuatan kaum Yahudi AS adalah dalam pembentukan opini. Eugene Fisher, Direktur Catholic-Jewish Relations, menyatakan, "If there is Jewish power, it's the power of the

180

word, the po wer of Jewish columnist and Jewish opinion makers." (Dikutip dari buku The New Jerusalem: Zionist Power in America karya Michael Collins Piper, Washington, DC: American Free Press, 2004). Laman http: www.timesofisrael.com (4/3/2016), masih memampang satu judul berita "US Jews among the most supportive of gay marriage". Disebutkan bahwa kaum Yahudi Amerika merupakan komunitas tertinggi yang memberikan dukungan terhadap legalisasi perkawinan sejenis (perkawinan homo dan lesbi) di AS. Itulah hasil survei "Pew Research Center for the People and the Press." Menurut hasil survei yang dilakukan dalam rentang tahun 2012-2013, sebanyak 76 persen Yahudi AS mendukung pengesahan (legalisasi) perkawinan se jenis, sedangkan 18 persen menentang, dan delapan persen tidak menyatakan sikapnya. Jumlah itu jauh lebih besar dibandingkan pemeluk Protestan (34 persen) dan pemeluk Katolik (53 persen). Tidak mengherankan jika pakar psikologi AS, Prof Kevin McDonald, dalam bukunya The Culture of Critique, menyimpulkan bahwa gerakan intelektual abad ke-20,yang sebagian besar didirikan dan dipimpin oleh orang-orang Yahudi – "have changed European societies in fundamental ways and destroyed the confidence of Western man."

Semoga khafilah pemerintah dan DPR tetap berlalu, maju tak gentar membela yang benar, meskipun harus menghadapi berbagai teriakan, tekanan, dan ancaman dalam perumusan pasal-pasal kejahatan zina – baik sejenis maupun lain jenis. Yakinlah, bahwa jika penduduk satu negeri beriman dan bertakwa kepada Allah, pasti Allah akan mengucurkan berkah dari langit dan dari bumi! (QS 7:96). Allahu Akbar!

181

JIWA MANUSIA MENURUT FAKHRUDDIN AL-RAZI Oleh: Adnin Armas, M.A. __________________________________________________________________

Imam Fakhruddin al-Razi (m. 1210 M) dikenal sebagai seorang ulama besar yang ensiklopedis, menguasai berbagai bidang keilmuan secara mendalam. Ia seorang mufassir

182

al-Quran terkemuka. Ia juga pakar dalam bidang kedokteran, logika, matematika, dan fisika. Ia menulis kurang lebih dari dua ratus judul buku. Beberapa judul pun berjilid-jilid. Tulisannya tentang jiwa manusia terurai paling sedikit dalam tiga karyanya. Pertama, tentunya dalam Tafsir Besar-nya (al-Tafsir al-Kabir). Kedua, bukunya yang berjudul Kitab al-Nafs wa al-Ruh wa Syarh Quwahuma. (Buku Jiwa dan Ruh dan Komentar Terhadap Kedua Potensinya). Ketiga, tulisannya yang lebih menukik, terdapat dalam magnum opusnya (karya besar), yang berjudul al-Matalib al-Aliyah fi al-Ilm al-Ilahi (KesimpulanKesimpulan Puncak dalam Ilmu Ketuhanan). Buku ini terdiri dari 9 jilid. Dalam pandangan Fakhruddin al-Razi, manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang unik. Keunikannya ada pada karakteristiknya yang khas. Manusia memang beda dengan makhluk ciptaan Allah yang lain. Bagi Fakhruddin al-Razi, manusia adalah makhluk yang memiliki akal dan hikmah serta tabiat dan nafsu. Ini membedakan manusia bukan hanya dengan binatang dan tumbuhan, tapi juga dengan malaikat. Dalam kajian psikologi Barat, perbandingan manusia dengan malaikat dan setan tentunya tidak ditemukan. Menurut al-Razi, malaikat hanya memiliki akal dan hikmah, tanpa tabiat dan hawa nafsu. Karena itu, malaikat selalu ber-tasbih, ber-tahmid dan melakukan taqdis. (QS 16:50; 66:6: 21:21). Malaikat juga tidak akan mengingkari perintah Allah Taala karena memang tidak memiliki hawa nafsu. Sebaliknya, binatang dan tumbuh-tumbuhan memiliki tabiat dan nafsu, namun tidak memiliki akal serta hikmah. Berbeda dengan malaikat, binatang dan tumbuh-tumbuhan, manusia memiliki kesemua karakteristik tersebut, yaitu akal, hikmah, tabiat dan hawa nafsu. Karakteristik berbeda menyebabkan sifat juga berbeda. Bagi al-Razi, malaikat selalu memiliki kesempurnaan karena tidak punya hawa nafsu dan tabiat. Sebaliknya, binatang selalu memiliki kekurangan karena tidak punya akal dan hikmah. Nah, manusia ada di antara keduanya. Manusia memiliki akal dan hikmah, tapi manusia juga punya hawa nafsu dan tabiat. Karena ke-empat karakteristik tersebut, maka manusia memiliki sifat kekurangan dan kelebihan. Jika manusia menggunakan akal dan hikmah untuk mengatur hawa nafsu dan tabiatnya, maka manusia akan memiliki kelebihan dibanding dengan makhluk ciptaan Allah lainnya. Dengan menggunakan akal -- dan hikmah yang bersumber 183

dari ajaran agama -- untuk menundukkan hawa nafsu dan tabiatnya, maka manusia akan menjadi khalifah Allah di bumi, sekaligus akan menjadi makhluk yang paling mulia. Sebaliknya, jika tabiat dan hawa nafsu yang menguasai diri dan akalnya, maka ia akan lebih hina dari binatang, yang memang tidak punya akal dan hikmah. Menurut Fakhruddin al-Razi, jiwa manusia memiliki beberapa tingkatan. Tingkatan tertinggi adalah tingkat yang menghadap ke alam ilahi (al-sabiqun, al-muqarrabun). Tingkatan ini dapat diraih hanya jika manusia mau melakukan praktek spiritual (alriyadiyah al-ruhaniah) dengan istiqamah. Tingkatan berikutnya adalah tingkatan pertengahan (ashab al-maymanah, al-muqtasidun). Untuk mencapai tingkat kedua ini, diperlukan ilmu akhlak (‘ilm al-akhlaq). Tingkatan paling rendah adalah jiwa manusia yang sibuk mencari kesenangan kehidupan duniawi, (ashab al-shimal, al-dhalimun). Fakhruddin al-Razi juga menyatakan bahwa ada tiga jenis jiwa manusia. Pertama, al-Nafs al-Mutmainnah (al-Fajr, 89: 27), yaitu jiwa yang tenang, jiwa yang penuh dengan kehidupan spiritualitas dan kedekatan dengan Tuhan. Kedua adalah al-Nafs al-lawwamah (al-Qiyamah 75: 2). Ketiga adalah al-Nafs al-Ammarah bi al-su (Yusuf, 12: 53), adalah jiwa yang selalu mengarahkan manusia kepada keburukan. Fakhruddin al-Razi membedakan jiwa dengan tubuh. Menurutnya, jiwa bukanlah struktur lahiriah yang bisa dilihat secara inderawi (Ghayr al-bunyah al-zahirah almahshushah). Fakhruddin al-Razi membuktikan pendapatnya dengan akal dan wahyu. Adapun bukti akal sebagai berikut. Pertama, jiwa adalah satu. Oleh sebab itu, jiwa berbeda dengan tubuh dan bagian-bagiannya. Bahwa jiwa adalah satu, dapat dibuktikan secara spontan dan intuitif (a priori) dan bisa juga dengan bukti empiris (a posteriori). Spontan, karena ketika seorang mengatakan “aku/saya”, maka “aku/saya” merujuk kepada satu esensi (zat) yang khusus, dan tidak banyak. Jiwa bisa juga dibuktikan secara empiris, yang berbeda dengan tubuh dan bagianbagian tubuh:

184

(a) Jiwa bukanlah himpunan bagian-bagian tubuh karena penglihatan tidak menghimpun seluruh kerja tubuh. (b) Jiwa juga tidak identik dengan bagian dari tubuh karena tidak ada dari bagian tubuh yang meliputi semua kerja tubuh. (c) Jika kita melihat sesuatu, kita mengetahuinya, setelah itu menyukainya ataupun membencinya, mendekatinya ataupun menjauhinya. Jika penglihatan adalah sesuatu, dan pengetahuan adalah sesuatu yang lain, maka yang melihat tidak akan mengetahui. Padahal, ketika saya melihat, saya mengetahui. Jadi, esensi dari penglihatan dan pengetahuan adalah satu. (d) Semua bagian tubuh adalah alat untuk jiwa. Jiwa melihat dengan mata, berfikir dengan otak, berbuat dengan hati, merasa dengan kulit, dan seterusnya. Lalu, apa ”jiwa” itu? Fakhruddin al-Razi menggambarkan hakikat jiwa sebagai substansi yang berbeda dengan tubuh. Jiwa juga terpisah secara esensial dengan tubuh. Namun jiwa terhubungkan dengan tubuh dengan hubungan kerja dan administrasi (dzat alnafs jawhar mughayir laha mufariq anha bi al-dhat mutaalliq biha tasarruf wa al-tadbir). Setelah menyebutkan bukti-bukti akal, Fakhruddin al-Razi menyebutkan banyak ayat dalam al-Quran yang menunjukkan bahwa jiwa bukanlah tubuh. Firman Allah, misalnya, dalam Surah Ali Imran ayat 169 yang artinya: ”Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rezki. (QS 3: 169). Jadi, jiwa bukan tubuh, karena sekalipun badan mereka telah gugur, namun jiwa mereka tetap hidup. Begitu juga disebutkan dalam alQuran Surah Al-Muminun 40:46; Nuh 71: 25; Al-Anam: 93. Pemikiran Fakhruddin al-Razi bahwa jiwa dan bukan tubuh -- yang mengatur tubuh sangat penting untuk direnungkan. Kita mungkin banyak menghabiskan uang untuk berobat, merawat kesehatan badan, menjaga tubuh dengan membeli berbagai produk kesehatan dan kosmetika, dan membeli pakaian dengan berbagai merek, model dan bentuk. Jika tidak menghabiskan banyak uang untuk keperluan dan keinginan tersebut, setiap hari

185

kita mandi untuk membersihkan tubuh kita. Namun, apakah jiwa yang justru mengatur tubuh kita juga dibersihkan, diobati, dirawat dan dihiasi? Manusia bisa saja memiliki tubuh bersih namun berjiwa kotor. Jadi, jiwa tidak selalu tergantung kepada penampilan tubuh. Kita berharap memiliki jiwa yang sehat dengan tubuh yang sehat. Jiwa yang tenang akan dapat diraih dengan mempelajari serta mengamalkan ibadah dan akhlak secara berkelanjutan. Inilah jiwa yang sehat, jiwa yang selalu mengingat Allah dan menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya

TOKOH-TOKOH ORIENTALIS DI INDONESIA Oleh: Tiar Anwar Bachtiar

I.

Thomas Stamford Raffles (1781-1826) Terlahir dengan nama Thomas Raffles, sosok yang sangat dihormati di Inggris dan

Singapura ini tidak lahir di lingkungan istana. Ia lahir di lepas pantai Jamaika 6 Juli 1781 dari orang tua yang hanya berprofesi sebagai juru masak di sebuah kapal. Ia pun lahir saat orang tuanya bekerja di geladak Kapal Ann. Namun, sebuat Sir (sebutan bagi bangsawan Inggris) selalu dilekatkan padanya karena jasa-jasanya yang besar bagi pemerintahan Inggris.

186

Tidak seperti orientalis pada umumnya, Raffles bukanlah seorang ilmuwan an sich. Ia hanya menyelesaikan sekolah biasa di Inggris. Namun, karena keuletan dan kemauan belajarnya yang sangat tinggi, Raffles diterima bekerja sebagai juru tulis di East Indian Company (EIC) pada tahun 1795. Beberapa saat kemudian ia dipromosikan sebagai asisten sekretaris untuk wilayah kepulauan Melayu di perusahaan yang sama. Sejak dipekerjakan di sana, kemampuan bahasa Melayunya terasah. Sejak tahun 1804, Raffles bertugas di Pulau Penang, Malaysia. Kemudian tahun 1811 ia dikirim pemerintah Inggris pada suatu ekspedisi ke Tanah Jawa sebagai Letnan Gubernur. Karena kecerdikan, keterampilan, dan kemampuannya berbahasa Melayu, Pemerintah Inggris mempercayai Raffles menjadi Gubernur Jendral Hindia-Belanda, pada tahun yang sama setelah wilayah kepulauan Indonesia resmi jatuh ke tangan Inggris dari Prancis. Raffles pun menggantikan Gubernur Jendral William Daendels (1808-1811) utusan Prancis. Walaupun datang sebagai pejabat, Raffles ternyata sangat senang dengan dunia ilmu pengetahuan. Kegemarannya pada biologi membuat namanya telah dijadikan nama ilmiah bagi sederet tumbuhan dan binatang. Yang paling masyhur adalah rafflesia arnoldi (bunga bangkai). Selain itu, ia pun menaruh perhatian besar pada kebudayaan Melayu dan Jawa. Sepanjang masa tugasnya di kepulauan Melayu dan Jawa, ia mengumpulkan berbagai data tentang sejarah dan kebudayaan di wilayah ini; juga mengenai flora dan fauna yang tidak akan pernah ia lewatkan. The History of Java adalah magnum opus-nya mengenai segala sesuatu tentang Pulau Jawa, temasuk sejarah dan budayanya. Sekalipun lebih terlihat sebagai laporan atas apa yang ia temukan selama bertugas di Jawa, namun karya ini dianggap sebagai tonggak penting kajian-kajian sejarah dan kebudayaan Jawa dan Indonesia yang dilakukan oleh orientalis-orientalis sesudahnya. Karya inilah yang mula-mula menganggap kebudayaan Hindu-Budha sebagai fondasi dasar kebudayaan masyarakat Indonesia, khususnya Jawa. Karya ini pula yang menginspirasi sarjana-sarjana asing, terutama Belanda, pada masa-masa berikutnya untuk

187

turut menguatkan kesimpulan Raffles tentang posisi kebudayaan Hindu-Budha di Indonesia. Bagi Raffles, Islam yang disebarluaskan pada masa Walisongo dianggap sebagai ajaran asing. Sekalipun ia mengakui bahwa saat ia bertugas di kepulauan Melayu dan Jawa, Islam merupakan agama yang dianut mayoritas rakyat di kawasan ini, namun Raffles tidak melihatnya sebagai fenomena kultural yang harus digali. Ia justru semakin yakin dengan pengaruh mistik Hindu-Budha pada penguasa-penguasa Muslim. Ia menafsirkan berbagai praktik kultural yang dilakukan oleh penguasa-penguasa Muslim sama seperti penguasapenguasa Hindu sebelumnya. Penggambaran kekuasaan raja-raja Islam yang penuh mistik seperti keris bertuah, benda-benda pusaka, dan semisalnya melekat sepanjang tulisannya di The History of Java. Penggambarannya ini mengukuhkan kesan tidak berpangaruhnya ajaran-ajaran Islam yang ia sebut sebagai Mohamedanism ini kepada perilaku kultural masyarakat dan penguasapenguasa Muslim. Selain itu, ia pun mengukuhkan kesan perluasan Islam yang dilakukan dengan cara-cara kekerasan oleh penguasa Islam. Dalam kasus Raden Fatah, misalnya, The History of Javalah yang mula-mula menceritakan bahwa Demak mendapatkan kekuasaan setelah menghancurkan Majapahit. Dalam cerita itu digambarkan toleransi dan sikap damai Majapahit justru dibalas dengan serangan Raden Fatah yang haus kekuasaan hingga Majapahit benar-benar luluh lantak tak bersisa. Simpatinya pada kebudayaan Hindu-Budha ini juga diwujudkan dengan usahausahanya mengeskavasi candi-candi di pulau Jawa yang semula sudah hancur. Atas perintahnya-lah candi Borobudur yang sudah terkubur debu letusan gunung Merapi dibangun kembali dan dijadikan icon Jawa. Sejak saat itulah, tergambar seolah-olah pembangun utama kebudayaan Indonesia adalah kebudayaan Hindu-Budha. (***)

II.

William Marsden (1754 1836)

188

Bagi para Indonesianis, Raffles adalah inspirator sedangkan Marsden adalah peletak dasar kajian ilmiah tentang Indonesia. Karyanya yang paling popular tentang wilayah di kepulauan ini adalah The History of Sumatra (1783). Sama seperti Raffles, Marsden memokuskan karyanya ini pada kebudayaan orang-orang Sumatra seperti Minangkabau, Batak, Aceh, Rejang, Lebong, dan sebaginya. Jika Raffles meletakkan penelitian sebagai kerja sampingan dari pekerjaan utamanya sebagai pejabat, maka Marsden datang ke Asia Tenggara sebagai seorang Orientalis yang ditugaskan pemerintah Inggris untuk meneliti wilayah ini. Marsden bersahabat baik dengan Raffles dan sama-sama pernah dikirim ke Bengkulu untuk tugas yang berbeda. Saat bertemu di Inggris, Marsden sempat menghadiahkan 5 buah koin gobog wayang yang menjadi salah satu koleksi penting Raffles. Marsden lahir di Dublin 16 November 1754. Orang tuanya adalah pedagang di kota itu. Sejak usia 16 tahun ia sudah bekerja di sebuah perusahaan multinasional Inggris Eeast Indian Company (EIC) sebagai juru tulis. Ia bekerja di sana sebelum Raffles dan kemudian di kirim ke Bengkulu tahun 1771. Setelah itu, ia dipromosikan sebagai sekretaris utama negara untuk urusan Hinda-Timur yang ditempatkan di Sumatra. Sepanjang berada di Sana, ia melakukan penelitian tentang berbagai hal menyangkut kehidupan masyarakat Sumatra, dari mulai kekayaan alam, kehidupan sehari-hari, kebudayaan, sampai masalah keyakinan. Ia menguasai bahasa Melayu dengan sangat baik. Sekembalinya dari Sumatra tahun 1779, ia mulai menulis The History of Sumatra dan berhasil menyelesaikannya pada tahun 1783. Karya ini lebih dahulu dibuat daripada The History of Java. Namun, popularitas Raffles membuat The History of Java lebih dahulu dipublikasikan dan dikenal orang sebelum karya Marsden ini. Walaupun demikian, karya Marsden ini sangat penting bagi kajian-kajian keindonesiaan pada masa-masa berikutnya, terutama menyangkut Sumatra. Pada tahun 1834, dua tahun menjelang kematiannya, Marsden diangkat sebagai ketua the Royal Society, sebuah kumpulan kaum intelektual Inggris saat itu. Posisinya ini memberikan pengakuan akan otoritasnya di dunia ilmu pengetahuan.

189

Sama seperti karya-karya oreintalis pada umumnya, kelemahan mendasar karya Marsden tentang Sumatra ini adalah mengenai framework (kerangka kajian). Marsden terjebak dengan framework kultural Eropa yang telah tersekularisasi saat melakukan eksplanasi menyangkut fenomena-fenomena kultural masyarakat Sumatra yang mayoritas Muslim. Sepanjang eksplanasinya dalam The History of Sumatra, tulisan Marsden mengesankan bahwa kebudayaan dan kebiasaan sehari-hari yang dipraktikkan masyarakat Sumatra adalah indeginiuos (asli) hasil kreativitas masyarakat Sumatra. Saat menjelaskan mengenai hukum yang berlaku di beberapa kerajaan seperti Minangkabau. Melayu, dan Aceh, Marsden gagal mengungkapkan bahwa hukum-hukum yang berlaku itu merupakan hukum yang diadopsi masyarakat dari syariat Islam. Bahkan sampai hari ini di masyarakat Minang terkenal ungkapan adat basandi syara dan syara basandi kitabullah. Marsden sama sekali luput menjelaskan keterkaitan syariat Islam dengan hukum adat yang berlaku di sebagian besar wilayah Sumatra ini. Alhasil, karya Marsden ini berkontribusi besar dalam memisahkan pengaruh Islam dalam sejarah dan kebudayaan Indonesia, terutama wilayah Sumatra. (***)

III

Cristiaan Snouck Horgonje (1857-1936) Orientalis kelahiran Thalen, Ousterhout, Negeri Belanda tanggal 8 Februari 1857 ini

adalah orientalis paling kontroversial di Indonesia. Untuk memuluskan tujuannya menggali informasi mengenai umat Islam, ia rela berpura-pura masuk Islam. Oleh ayah dan kakeknya yang menjadi pendeta Protestan di Belanda ia diarahkan untuk mejadi pendeta. Namun, Snouck tidak kerasan dan memilih meneruskan kuliah di Universitas Leiden jurusan Sastra Arab. Tahun 1875, ia mendapatkan predikat cum laude untuk disertasi doktor dalam bidang Bahasa Semit dengan disertasi Het Mekaansche Feest (Festival Mekah). Tidak puas dengan studinya di Leiden, tahun 1884 ia pergi Mekah untuk menggali kebudayaan Arab dan berbagai aspek Islam di tempat yang netral dari pengaruh kolonialisme. Namun untuk tujuannya itu, ia rela menyatakan masuk Islam dan berganti nama menjadi Abdul Ghaffar.

190

Di Mekah, ia bertemu dengan seorang tokoh Aceh yang kemudian menjadi antek Belanda, Habib Abdurrahman Zahir. Pertemuannya itu mengubah minatnya belajar bahasa dan kebudayaan Arab kepada masalah-masalah politik kolonial. Dari Zahir, Snocuk mendapatkan banyak bahan mengenai penanganan masalah-masalah Acah. Saran-saran Zahir itu tidak terlalu ditanggapi pemerintah kolonial saat ditawarkan oleh Zahir sendiri. Namun melalui tangan Snouck, barulah pemerintah mau merespon. Bahkan, saat Snouck menawarkan diri untuk meneliti masalah-masalah pribumi, terutama masalah Aceh, pemerintah kolonial menyetujuinya. Tahun 1889 ia mulai melaksanakan tugasnya melakukan penelitian mengenai aspek-aspek kebudayaan dan keagamaan masyarakat Aceh. Hasil penelitiannya itu kemudian dibukukan setebal 2 jilid dengan judul De Atjeher. Dalam penelitiannya, ia berhasil mendapatkan informasi dari sumber-sumer pertama berkat kepura-puraannya mengaku Islam. Orang-orang Aceh pun percaya karena penguasaannya terhadap bahasa Arab dan penguasaannya terhadap berbagai aspek ajaran Islam. Apalagi, ia pernah dua tahun belajar di Mekah.

Tidak lama setelah pemerintah menjalankan saran-saran hasil penelitian Snuock, Aceh yang selama hampir satu abad penguasaan Belanda atas Indonesia tidak dapat ditaklukkan akhirnya dapat ditaklukkan juga. Atas jasa-jasanya ini Snouck mendapatkan pujian dan penghargaan besar. Kantor yang disediakan pemerintah Belanda untuk akitivitasnya, yaitu Het Kantoor voor Inlansche Zaken (Kantor Penasihat Urusan-Urusan Pribumi), menjadi kantor yang cukup penting. Bahkan kewenangannya seringkali tumpangtindih dengan pemerintah lokal setempat. Sama seperti para pendahulunya, Snouck tetap memperingatkan pemerintah Belanda bahwa Islam berbahaya bagi kepentingan politik kolonial. Namun, banginya tidak semua Islam berbahaya. Hanya umat Islam yang berkesadaran politiklah yang akan mengancam kelangsungan kekuasaan Belanda. Sementara umat Islam yang hanya mengurusi masalah-masalah ibadah tidak akan berbahaya. Oleh sebab itu, pemerintah

191

disarankan agar mendukung setiap kegiatan umat Islam yang berkaitan dengan masalah ibadah sehari-hari. Seperti dicatat Bernhard van Vlakke dalam The History of Nusantara, Snouck pula yang memperingatkan bahwa pada dasarnya masyarakat Islam Indonesia adalah masyarakat yang ramah dan tidak suka amok (protes). Yang suka menyulut amarah mereka adalah mereka yang sudah pulang dari Mekah dan membawa paham ”Mekah” yang keras. Inilah yang kemudian menjadi cikal bakal stigma jelek terhadap alumni-alumni Timur Tengah dan ajaran-ajaran Muhammad ibn Abdul Wahab yang oleh para Orientalis diberi julukan Wahabi. Kadua saran di antara sekian banyak saran Snouck yang lain di atas, rupanya sampai saat ini masih dijadikan standar penguasa dalam memperlakukan umat Islam. Padahal semestinya, saran itu hanya cocok untuk para penguasa penjajah yang memusuhi umat Islam, bukan pemerintah yang berasal dari dalam diri umat Islam sendiri.

192

Related Documents


More Documents from "indri silviani"