Perjalanan Seni Rupa Era Orde Baru

  • Uploaded by: seracantika
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Perjalanan Seni Rupa Era Orde Baru as PDF for free.

More details

  • Words: 1,681
  • Pages: 8
Loading documents preview...
PERJALANAN SENI RUPA INDONESIA ERA ORDE BARU SENI LUKIS INDONESIA SEHABIS PERIODE “POLITIK JADI PANGLIMA” Seni lukis Indonesia Nampak memiliki peluang luas untuk berkembang setelah redamnya Gerakan 30 September 1965. Sebab sebelum itu dominasi politik PKI yang membawa lembaga kesenian semacam Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) terasa begitu kuat. Sehingga poilitik berada di atas seni. Yang otomatis berada di bawah baying-bayang politik PKI.

Joko Pekik, Berias di Belakang Panggung

Tumpasnya Lekra sama dengan tumbangya prinsip seni lukis sebagai propaganda politik, sebagaimana yang di tekan-tekankan oleh Lekra kala itu. Dari sini kebebasan setiap pelukis lalu semakin menemukan ruangnya, dan kebebasan kreatif setiap seniman seperti mendapat pengabsahan untuk menyuruk kemananana. Meskipun untuk itu harus diakui, seni lukis Indonesia lantas menjumpai tempat-tempat kosong dalam percaturanya, Indonesia kehilangan beberapa pelukis kuat, yang sesungguhnya pada kemudian hari

dapat memberikan aksentuasi

kepada, sejarah seni Lukis di dini. Kekejaman Politik G 30S PKI, yang dengan musnahnya Lekra,berekor dengan surutnya beberapa pelukis Indonesia yang bernaungan di bawah Politik komunis itu. Mereka diantaranya ialah Trubus, Basoki Resobowo. Kemudian beberapa nama lain yang terpaksa dinon-aktifkan sementara, sambil menunggu rehabilitasi. Diantaranya tercatat nama Hendra Goenawan, Amrus Natalsya, Batara Lubis, dan sebagainya. Nama –nama ini di kemudian hari berkarya bebas kembali. Dan mengolah cita artistiknya sesuai dengan kebebasan individualnya. 1

Kebebasan individual para pelukis memungkinkan terbentuknya iklim pemacuan kreativitas. Dan iklim ini merangsang para seniman untuk berupaya hadir ke masyarakat tanpa dibayang-bayangi ketakutan politik seperti

yang dirasakan

pada tempo sebelumnya. Jika pada masa sebelumnya seni lukis Indonesia diimbau atau diagitasi untuk menyandang nilai-nilai propanda dengan corak yang cenderung lekat dengan realism social, maka pada post Lekra seni Lukis menelusukkan citra artistiknya lebih kearah “ dalam “. Setehun setelah tragedy G 30S PKI itu sejumlah seniman yang bergabung dalam

Grub

Seniman

Bandung

muncul

dalam

pameran.

Pameran

ini

diselenggarakan di Jakarta, dan cukup membrikan perluasan cakrawala pandangan. Mereka antara lian adalah AChmad Sadali, But Muchtar, Popo Iskandar, dan Srihadi Sudarsono. Semuanya adalah pengajar Institut Teknologi Bandung jurusan Seni Rupa. Para pelukis ini pada masa Lekra agag terganggu kebebasan geraknya, karena faham aliran keseni lukisan yang jauh dari realism sosial, dan mengarah pada ala kubisme atau abstraksionisme. Sejumlah gaya lukis yang diwarisi dari guru mereka, Ries Mulder. Pameran “kebebasan” ini memperoleh reaksi hangat dari masyarakat seni lukis Indonesia.

Joko Pekik, Merdeka

Jim Supankat, Ken Dedes

2

Keragaman gaya dan tema penciptaan pada lukisan-lukisan mereka telah meefleksikan kebebasan sebenarnya citra-citra pergerakan seni lukis Indonesia post Lekra. Dari sini, diantaranya, banyak orang berkata bahwa seni lukis Indonesia sudah mendapatkan hak asasinya yang paling murni. Seni lukis kembali pada seni lukis. Dan pelukis sudah balik ke jiwa rasanya sebagai pelukis. Bukan “ anak politik “. Pada 1968 bulan November di Jakarta di adakan Pesta Seni. Pesta ini berkenaan dengan dibukanya Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki. Dalam pesta ini dipamerkan 132 Lukisan karya pelukis pilihan dari Yogyakarta, Jakarta dan Bandung. Kekayaan cocok yang merupakan rekayasa ragaman ide semakin Nampak jelas. Pesta seni lukis besar-besaran ini merangsang yang lain-lain semakin berani hadir. Sejumlah seniman dan pengajar tinggi lantas punya hasrat berpameran bersama. Pada tahun 1969 hal itu terrealisasikan. Dosen Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), yang terdiri dari Bagong Kussudiarjo, Budiani, Edhi Sunarso, Widayat, Fajar Sidiq, Abas Alibasyah, Mujitha, berpameran bersama pelukis-pelukis muda dari Bandung. Para pelukis Bandung semuanya Bergumul di perguruan ITB jurusan Seni Rupa. Mereka adalah Erna Pirous, Rustam Arief, Imam Bukhori, Sanento Yuliman, T. Susanto,Umi Dahlan, dan Haryadi Suadi. Memasuki tahun 1970 seni lukis kontemporer Indonesia bisa dibilang sudah berjalan sebagaimana mestinya, Artinya ; kebebasan kreatif, yang berkaitan dengan dengan kebebasan penciptaan individual sudah sepenuhnya diperoleh. Tanpa ada yang mengotak-atik. Politik pemerintah melepas segala bebean tema kanvas seni lukis Indonesia. Dan penyelenggaran-penyelenggaraan pameran juga melaju lancar tanpa disayat sensor dari pihak manapun. Dan pula, pameran dalam bentuk pameran mendapat tanggapan positif. Bahkan pada tahun 1970 ini, pada Pesta Seni Pusat Jakaarta sempat di hadirkan seni lukis abstrak dalam sebuah pergelaran besar. Mereka yang hadir dalam forum ini antara lain adalah D.A. Peransi, Jufri Tanissan, Ipe ma’aruf, Arief Sudarsono, Sriwidodo, dan Oesman Effendi. Disimak dari karyanya, tak sepenuhnya abstrak memamng. Pesta seni lukis indonesia semakin meriah memang, pada tahun 1970 ini pula di taman Ismail Marzuki diselenggarakan pameran akbar yang melibatkan pelukis3

pelukis dari Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Bali. Setelah pameran-pameran yang melibatkan seniman-seniman berbagai kota, pelukis perkotapun semakin berhati pasti untuk muncul. Lalu, terselenggaralah pameran-pameran kelompok, yang mengatasnamakan

kotanya

sendiri-sendiri.

Dari

bandung

muncul

18

kelompok.beroameran di jakarta. Diantaranya pematung Rita Widagdo, Sunaryao. Di sampingya pelukis-pelukis A.D. Pirous, Samsudin Dayat, Yusuf Affendi dan sebagainya. Mereka berpameran di jakarta tahun 1971. Tak hanya di bandung. Surabaya pun, yang selama kurun ini tak pernah terdengar suaranya, memunculkan nama-nama yang amat memberikan prospek. Kelompok mereka dijuluki oleh masyarakat sebagai kelompok Aksera atau Akademik Seni Rupa Surabaya. Tahun-tahun berikutnya pameran di jakarta terutama, dan di beberapa

kota

lain

yang

potensial

untuk

pagelaran

seni

lukis

seperti

bandung,yogyakarta dan Surabaya terus bermunculan. Tak hanya pameran ramairamai yang melibatkan pelukis, atau pameran kelompok yang mengikutkan beberapa seniman. Tapi oameran tunggal juga mulai terselenggarakan. Dalam sejarah seni lukis indonesia sampai awal tahun 1970-an, pameran tunggal masih merupakan “upacara besar” bagi seorang pelukis. Oleh kaarena itu, jika ada pelukis yang telah menyelenggarakannya, maka ia akan segera terangkat sebagai sosok yang lebih menggenggam citra sebagai profesional. Pada tahun 1973, misalnya, pelukis-pelukis seperti Nashar, D.A. Peransi , Zaini, Popo Iskandar serta Mustika telah melakukan pameran tunggal.

Dalam pameran itu Nashar

menampilkan karya-karya abstrak ekspresionis. Popo Iskandar pada perkembangan lukisan-lukisan era 1970-an menunjukkan kedigjayaan wujud, yang pada kemudian akhirnya muncul sebagai cap jati dirinya. Lukisan-lukisan Nashar, Zaini dan Popo iskandar di atas dapat dicontohkan sebagai bagian yang paling menonjoldan terkuat pada era ini. Dominasi lirisme mulai di usik oleh pelukis-pelukis muda yang masih duduk di bangku akademi. Pada sekitar tahun 1972-1975 pendidikan seni lukis berbagai di perguruan tinggi, terutama di Sekolah Tinggi Seni Rupa “Asri” Yogyakarta dan ITB seperti sampai pada era “keterbukaan.” Pikiran progresif mulai melanda. Dan progesivitas itu dibawa dari pengaruh kitab-kitab seni rupa Barat Modern yang masuk ke sini, lewat perpustakaan-perpustakaan sekolah. Gejala uyang muncul dari 4

progresivitas itu ialah munculnya bentuk-bentuk geometris atau matematis pada kanvas pelukis muda. Kemeriahan kecenderungan baru pada pelukis-pelukis muda ini disimak dari aspek dinamika kreatifitas, tentu menggembirakan, namun dilihat dari aspek-aspek lain kadang dirasakan cukup menggelisahkan. Oleh karena itu, Drs. Sudarmaji, pada pidatao dies di Upacara Dies Natalis ke-24, Asri, 22 januari 1973 melontarkan gejala tersebut sebagai pokok masalah. Pidatonya yang berjudul “ Benturan Fine Art Modern Barat Kepada Indonesiadan Efeknya di STSRI Asri” cukup mengundang perhatian. Masalahnya diangkat sebagai problem seni lukis nasional. SENI LUKIS INDONESIA MENEMUKAN MOMENTUMNYA Setelah

tahun

1980,

kegiatan

seni

lukis

Indonesia

seperti

menemukan

momentumnya, hak itu di pacu oleh beberapa faktor yang utama yang pertama tentu oleh iklim dunia seni lukis yang apik dan selalu merangsang jagat penciptaan serta kehadiran seniman dalam pamran. Yang kedua adalah hadirnya banyak prasarana yang berupa tempat dan aneka sponsor yang menunjang kehadiran pelukis-pelukis untuk pameran. Yang ketiga menculnya kaum elit baru yang melihat seni lukis sebagai benda budaya yang harus dimiliki. Yang keempat adalah sambutan media masa atas sebuah pameran. Media masa ini, yang berupa majalah, koran atau media elektronik seperti Televisi dan Radio, acapkali menyiarkan kegiatan pameran dalam berbagai bentuk, di media cetak, ada yang berupa berita. Keempat faktor tersebut dapat berarus bolak-balik. Sebab, bisa pula karena penyiaran di media masa, sponsor lalu tertarik. Bisa pula bangkitnya gairah pengoleksian kaum elit baru menyebabkan para pelukis lalu semakin produktif bekerja. Dan dapat pula karena memang pelukis menghasilkan karya-karya bermutu, sehingga dapat memikat berbagai pihak. Namun yang jelas, kegairahan seni lukis yang muncul pada kurun waktu ini karena adanya infrastruktur yang baik, ekonomi yang setabil menimbulkan rasa tentram pada kehidupan pelukis. Salah satu dampak positif dari membaiknya infrastruktur itu adalah terjadinya komunikasi budaya antarbangsa, ini suatu hal yang memberikan stimulasi kepada pertumbuhan seni lukis di sini.

5

I Ivan Sagito Manusia yang Wayang Atau Manusia yangTopeng

Dede Eri Supria Etos Kerja

Dari data yang dihimpun, jumlah pameran yang terjadi di Jakarta pada kurun waktu ini cukup mengejutkan. Tahun 1981 tak kurang dari 80 pameran seni lukis terjadi. Tahun 1982 meningkat menjadi 100. Tahun 1984 ada 135 pameran seni lukis dan tahun 1989 terjadi 160 pagelaran seni lukis diadakan. Dari sekian banyak pameran banyak yang menyuguhkan kejutan. Pameran seni lukis Basoeki Abdullah misalnyayang di adakan di Hotel Hilton, jakarta. Pameran ini memungut biaya bagi oenontonya. Sesuatu yang tidak biasa dalam sejarah pameran seni lukis di indonesia. Pagelaran tahun 1983 itu memungut biaya Rp. 500 untuk pelajar dan Rp. 1000 untuk umum. Pada tahun 1985 di galeri pasar seni ancol muncul tiga pelukis legendaris indonesia. Mereka adalah Basoeki Abdullah, S. Sujojono dan Affandi pertemuan ini menyandang misi yang unik : merujukkan dua pelukis besar indonesia yang lama berselisih faham seni dan “bersekutu” sejak zaman Persagi, 1938. Dua pelukis itu adalah Basoeki Abdullah dan S.Sujojono. sedangkan Affandi dipasang sebagai “penengah”.

6

Pada sekitar tahun 1985 dunia seni lukis indonesia menawarkan ide baru dalam ide dan manifestasi pengungkapanya. Gejala itu adalah berjangkitnya gejala surealis. Terutama pada kanvas-kanvas pelukis muda. Surealis ini sebelumnya oleh pelukis senior seperti amang rahman telah jauh hari dikibarkan. Amang memang terbilang sukses dengan gaya surealisme mistisnya, yang berisi pertanyaan soal hidup dan mati. Namun pelukis-pelukis muda lebih bergairah mengobarkan gaya ini, lewat berbagai peristiwa pameran. Bersama atau tunggal. Pada tahun 1980-an sejumlah pelukis indonesia yang di luar negeri banyak yang balik. Yang mengadakan pagelaran demi pagelaran. Doyo Prawito, pelukis Surabaya yang lama tinggal di paris , beberapa kali pameran tunggal di Surabaya dan Jakarta. Sampai pelukis pemegang Oscar di Montecarlo ini meninggal tahun 1987. Teguh Ostentrik yang berbelas tahun berada di jerman balik ke indonesia dan mengadakan pameran dengan presentasi yang unik. Diantaranya dengan gubahan instalasi benda-benda. Karya lukisnya dimanifestasikan dalam bentuk happeningart. Pertumbuhan jagat seni lukis ini sedikitnya merangsang 3 hal yang menarik. Pertama merangsang kreativitas lembaga kepanitiaan atau penyelenggaraan pameran untuk membuat acara pameran yang memikat perhatian khalayak.Kedua merangsang lahirnya grub-grub seni lukis, baik yang berupa grub insidentil ataupun sanggar permanen.Ketiga merangsang lahirnya galeri-galeri, atau tempat-tempat yang menawarkan jasa-jasa sebagai akomodasi percaturan seni lukis. Juga museum-museum swasta.

7

PERJALANAN SENI RUPA INDONESIA ERA ORDE BARU

Oleh: AGIL TRI KUNCORO 2411409042

8

Related Documents


More Documents from "114miles"