Referat-anasthesia-indikasi-transfusi-darah-perioperatif-ii.doc

  • Uploaded by: widyaamoy
  • 0
  • 0
  • March 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Referat-anasthesia-indikasi-transfusi-darah-perioperatif-ii.doc as PDF for free.

More details

  • Words: 3,268
  • Pages: 16
Loading documents preview...
PENDAHULUAN Transfusi darah adalah proses menyalurkan darah atau produk berbasis darah dari satu orang ke sistem peredaran orang lainnya. Transfusi darah umumnya berhubungan dengan kehilangan darah dalam jumlah besar yang disebabkan oleh trauma, operasi, syok dan tidak berfungsinya organ pembentuk sel darah merah. Bila digunakan dengan benar, transfusi dapat menyelamatkan jiwa pasien dan meningkatkan derajat kesehatan. Indikasi tepat transfusi darah dan komponen darah adalah untuk mengatasi kondisi yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas bermakna yang tidak dapat diatasi dengan cara lain. Keputusan melakukan transfusi harus selalu berdasarkan penilaian yang tepat dari segi klinis penyakit dan hasil pemeriksaan laboratorium. WHO Global Database on Blood Safety melaporkan bahwa 20% populasi dunia berada di negara maju dan sebanyak 80% telah memakai darah donor yang aman, sedangkan 80% populasi dunia yang berada di negara berkembang hanya 20% memakai darah donor yang aman. Transfusi darah atas indikasi yang tidak tepat tidak akan memberi keuntungan bagi pasien, bahkan memberi risiko yang tidak perlu. Misalnya, transfusi yang diberikan dengan tujuan menaikkan kadar hemoglobin sebelum operasi atau mempercepat pulangnya pasien dari rumah sakit. Transfusi darah atau plasma untuk perdarahan akut masih sering dilakukan padahal terapi dengan infus NaCl 0.9% atau cairan pengganti lainnya sama efektifnya bahkan lebih aman dan murah. Oleh karena itu dalam tulisan kali ini akan dibahas mengenai indikasi transfusi darah periopertif yang bertujuan untuk memberikan pengetahuan dasar tentang indikasi indikasi transfusi darah khusunya pada pasien perioperatif.

5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Definisi. Transfusi Darah adalah proses pemindahan darah dari seseorang yang sehat (donor) ke orang sakit (respien). Darah yang dipindahkan dapat berupa darah lengkap dan komponen darah. Sedangkan Perioperatif adalah suatu rentang masa antara saat dirawat dirumah sakit untuk menjalani pembedahan hingga saat pemulangan dari rumah sakit. 1,4

2. Tujuan Transfusi Darah Tujuan dari transfusi darah antara lain : 1. Meningkatkan volume darah sirkulasi (setelah pembedahan, trauma). 2. Meningkatkan jumlah sel darah merah dan untuk mempertahankan kadar

hemoglobin pada pasien anemia. 3. Memberikan komponen seluler tertentu sebagai terapi (misalnya: faktor

pembekuan

untuk

membantu

mengontrol

perdarahan

pada

pasien hemofilia). 4. Meningkatkan oksigenasi jaringan. 5. Memperbaiki fungsi Hemostatis. 3.

Sistem penggolongan darah Membran sel darah merah berisi sedikitnya 300 faktor penentu antigenik berbeda. Sedikitnya 20 antigen golongan darah terpisah dapat dikenal, masingmasing berada di bawah kontrol genetik dari kromosom yang berbeda. Pada transfusi darah, sistem yang banyak digunakan adalah sistem ABO dan Rh.1

1. Sistem ABO Karl Landsteiner, seorang ilmuwan asal Austria menemukan penggolongan sistem ABO pada tahun 1900. Hasilnya adalah dua macam reaksi (menjadi dasar antigen A dan B, dikenal dengan golongan darah A dan B) dan satu macam tanpa reaksi (tidak memiliki antigen, dikenal dengan golongan darah O). Kemudian 6

Alfred Von Decastello dan Adriano Sturli menemukan golongan darah AB (kedua antigen A dan B ditemukan secara bersamaan) pada tahun 1901. Prinsipnya, pada system ABO terdapat gen yang diturunkan melalui kromosom 9. Kromosom ini menghasilkan dua alleles: A dan B, masing-masing merepresentasikan suatu enzim yang merupakan modifikasi dari suatu permukaan sel glycoprotein yang menghasilkan antigen yang berbeda. Antigen-antigen ini akan bereaksi dengan antibody yang sesuai sehingga dapat terjadi penggumpalan (aglutinasi). Antigen-A akan bereaksi dengan anti-A dan antigen-B akan bereaksi dengan anti-B. Antibodi yang menyebabkan penggumpalan (aglutinasi) disebut aglutinin sedangkan antigennya biasa disebut aglutinogen. Seseorang dapat membentuk salah satu atau kedua antigen maupun antibodi tersebut. Berdasarkan hal ini maka golongan darah seseorang dengan sistem ABO digolongkan atas golongan A, B, AB dan O. Tabel berikut ini menggambarkan macam antigen dan antibodi dalam darah seseorang yang bergolongan A, B, AB, dan O.1,4

Tabel 1. Distribusi golongan darah 2. Sistem Rh

Rh atau Rhesus pertama sekali ditemukan pada tahun 1940 oleh Landsteiner dan Weiner. Dinamakan rhesus karena dalam riset digunakan darah kera rhesus (Macaca mulatta). Sistem Rh ditandai oleh dua gen yang menempati kromosom. Ada sekitar 46 Rh-terkait dengan antigens, tetapi secara klinis ada lima antigen utama ( D, C, c, E, dan e) dan hubungannya dengan antibody. Pada system Rh, berpatokan pada ada atau tidaknya antigen D. Individu yang kekurangan antigen D disebut Rh-Negative.1

7

3. Sistem Lain

Sistem lain ini meliputi antigen Lewis, P, li, MNS, Kidd, Kell, Duffy, Lutheran, Xg, Sid, Cartright, YK, dan Chido Rodgers antigens. Terdapat beberapa perkecualian pada sistem Kell, Kidd, Duffy, dan S. Alloantibodi yang melawan sistem ini jarang menyebabkan reaksi hemolitik yang serius.1 4. Macam – Macam Jenis Transfusi Darah Jenis Transfusi

Kadungan

Tujuan Pemberian

Darah Darah lengkap

Eritrosit, darah lengkap juga Tranfusi darah lengkap hanya untuk

(whole blood)

mempunyai

1. Darah segar

trombosit

2. Darah baru

pembekuan labil (V, VIII).

kandungan mengatasi perdarahan akut dan dan

faktor masif,

3. Darah simpan

1. Frozen

yang

dipekatkan

wash memisahkan

concentrated

mempertahankan

dan proses

pembekuan.

Sel darah merah ( Eritrosit packed red cell )

meningkatkan

telah Menaikkan

Hb

pasien

tanpa

dengan menaikkan volume darah secara komponen- nyata.

komponen yang lain.

red blood cells (sel

darah

merah

pekat

beku

yang

dicuci) 2. Washed

red

cell 3. Darah

merah

pekat

miskin

leukosit White blood cells Terdiri dari darah lengkap Untuk pencegahan infeksi (WBC

atau dengan isi seperti PRC,

leukosit)

plasma dihilangkan 80 %

Trombosit

Trombosit

Kasus perdarahan yang disebabkan

8

(platelet plasma kaya

rich

oleh

(plasma

kekurangan

trombosit,

menghentikan perdarahan

trombosit),

platelet concentrate (trombosit pekat). Plasma (plasma Protein cair,

plasma

plasma pembekuan),

(faktor Memperbaiki volume dari sirkulasi terutama darah (hypovolemia, luka bakar),

kering

faktor V dan VII, faktor menggantikan

(lyoplylized

VIII,

plasma), frozen

faktor

pembekuan terbuang

seperti

protein albumin

yang pada

fresh XIII, faktor von willbrand, nephrotic syndrom dan cirhosis plasma, fibrinogen.

hepatis,

menggantikan

dan

cryopresipitate,

memperbaiki jumlah faktor-faktor

albumin )

tertentu dari plasma seperti globulin

5. Tes Kompatibilitas1 Sebelum darah diberikan kepada resipien, dilakukan dulu serangkaian prosedur untuk memeriksa kompatibilitas darah donor dengan darah resipien untuk memprediksi dan mencegah kemungkinan terjadinya reaksi antigen-antibodi.1,4 1. Tes ABO-Rh

Reaksi transfusi

yang paling berat adalah yang berhubungan dengan

inkompatibilitas ABO. Antibodi dapat bereaksi melawan antigen dari transfusi (asing), mengaktifkan komplemen, dan mengakibatkan hemolisis intravaskular. Eritrosit pasien diuji dengan anti-A dan anti-B untuk menentukan jenis darah. Sel darah merah pasien juga diuji dengan anti-D untuk menentukan Rh. Jika hasilnya adalah Rh(-), adanya anti-D dapat diuji dengan mencampur serum pasien dengan sel darah merah Rh (+). 2. Crossmatching

Crossmatch transfusi: sel donor dicampur dengan serum penerima. Crossmatch mempunyai tiga fungsi: ( 1) Konfirmasi jenis ABO dan Rh (kurang dari 5 menit), ( 9

2) mendeteksi antibodi pada golongan darah lain , dan (3) mendeteksi antibody dengan titer rendah atau tidak terjadi aglutinasi, membutuhkan waktu sekitar 45 menit. 3. Penapisan Antibodi (indirek Coombs Test)

Tujuannya adalah untuk mendeteksi dalam serum adanya antibodi yang biasanya dihubungkan dengan reaksi hemolitik non-ABO. Tes ini memerlukan waktu 45 menit, dengan mencampur serum pasien dengan sel darah merah dari antigen yang dikenal. Jika terdapat antibodi spesifik, membran sel darah merah akan dilapisi, dan penambahan dari suatu antibodi antiglobulin menghasilkan aglutinasi sel darah. Penapisan ini rutin dilakukan pada seluruh donor darah dan dilakukan untuk penerima donor sebagai ganti dari crossmatch. 4. Type & Crossmatch versus Type & Screen

Timbulnya suatu reaksi hemolitik yang serius setelah transfusi dari ABO- dan Rh-Compatible dengan penapisan negatif tetapi tanpa crossmatch kurang dari 1%. Crossmatching, memastikan pentingnya kemanan yang optimal dan mendeteksi adanya antibodi yang lain yang muncul dalam penapisan. Crossmatch kini dilakukan hanya untuk prosedur operasi elektif dengan kemungkinan transfusi darah. Oleh karena waktunya sekitar 45 menit, dapat dilakukan crossmatch dengan computer untuk mengefisienkan waktu

6. Indikasi Transfusi Darah Perioperatif Indikasi paling umum untuk transfusi darah pada pasien yang menjalani pembedahan adalah pemulihan volume darah sirkulasi. Hematokrit dapat dipakai untuk memperkirakan total kehilangan darah tetapi memerlukan waktu sampai 72 jam untuk menyusun suatu keseimbangan baru sesudah kehilangan darah yang bermakna. Kehilangan darah sampai sekitar 20% EBV (EBV = Estimated Blood Volume = taksiran volume darah), akan menimbulkan gejala hipotensi, takikardi dan penurunan tekanan vena sentral. Kompensasi tubuh ini akan menurun pada seseorang yang akan mengalami pembiusan (anestesi) sehingga gejala-gejala tersebut seringkali tidak begitu tampak karena depresi komponen vasoaktif.

10

Walaupun volume cairan intravaskuler dapat dipertahankan dengan larutan kristaloid, pemberian transfusi darah tetap harus menjadi bahan pertimbangan berdasarkan: 1. Keadaan umum penderita ( kadar Hb dan hematokrit) sebelum pembedahan 2. Jumlah/penaksiran perdarahan yang terjadi. 3. Sumber perdarahan yang telah teratasi atau belum. 4. Keadaan hemodinamik (tensi dan nadi) 5. Jumlah cairan kristaloid dan koloid yang telah diberikan 6. Kalau mungkin hasil serial pemeriksaan kadar hemoglobin dan hematokrit. 7. Usia penderita Sebagai patokan kasar dalam pemberian transfusi darah: •

1 unit sel darah merah (PRC = Packed Red Cell) dapat menaikkan kadar hemoglobin sebesar 1gr% dan hematokrit 2-3% pada dewasa.



Transfusi 10 cc/kgBB sel darah merah dapat menaikkan kadar hemoglobin 3gr% Monitor organ-organ vital dan diuresis, berikan cairan secukupnya sehingga diuresis ± 1 ml/kgBB/jam.

Komponen Darah Eritrosit

1. Transfusi

Indikasi Transfusi sel darah merah

hampir

selalu

diindikasikan pada kadar Hemoglobin (Hb) <7 g/dl, terutama pada anemia akut. Transfusi dapat ditunda jika pasien asimptomatik dan/atau penyakitnya memiliki terapi spesifik lain, maka batas kadar Hb yang lebih rendah dapat diterima. (Rekomendasi A) 2. Transfusi sel darah merah dapat dilakukan pada 11

kadar Hb 7-10 g/dl apabila ditemukan hipoksia atau hipoksemia yang bermakna secara klinis dan laboratorium. (Rekomendasi C) 3. Transfusi tidak dilakukan bila kadar Hb ≥10 g/dl, kecuali bila ada indikasi tertentu, misalnya penyakit yang membutuhkan kapasitas transport oksigen lebih tinggi (contoh: penyakit paru obstruktif kronik berat

dan

penyakit

jantung

iskemik

berat).

(Rekomendasi A) 4. Transfusi pada neonatus dengan gejala hipoksia dilakukan pada kadar Hb ≤11 g/dL; bila tidak ada gejala batas ini dapat diturunkan hingga 7 g/dL (seperti pada anemia bayi prematur). Jika terdapat penyakit jantung atau paru atau yang sedang membutuhkan suplementasi oksigen batas untuk memberi

transfusi

adalah

Hb

≤13

g/dL.

(Rekomendasi C) Trombosit

1. Mengatasi

perdarahan

pada

pasien

dengan

trombositopenia bila hitung trombosit <50.000/uL, bila

terdapat

perdarahan

mikrovaskular

difus

batasnya menjadi <100.000/uL. Pada kasus DHF dan DIC supaya merujuk pada penatalaksanaan masing-masing.(Rekomendasi C) 2. Profilaksis

dilakukan

bila

hitung

trombosit

<50.000/uL pada pasien yang akan menjalani operasi, prosedur invasif lainnya atau sesudah transfusi masif. (Rekomendasi C) 3. Pasien dengan kelainan fungsi trombosit yang Fresh Frozen Plasma = FFP

mengalami perdarahan. (Rekomendasi C) 7. Mengganti defisiensi faktor IX (hemofilia B) dan faktor inhibitor koagulasi baik yang didapat atau bawaan bila tidak tersedia konsentrat faktor spesifik atau kombinasi. 12

(Rekomendasi C) 8. Neutralisasi hemostasis setelah terapi warfarin bila terdapat

perdarahan

yang

mengancam

nyawa.

(Rekomendasi C) 9. Adanya perdarahan dengan parameter koagulasi yang abnormal setelah transfusi masif atau operasi pintasan jantung atau pada pasien dengan penyakit hati. (Rekomendasi C) Kriopresipitat

1. Profilaksis pada pasien dengan defisiensi fibrinogen yang akan menjalani prosedur invasif dan terapi pada

pasien

yang

mengalami

perdarahan.

(Rekomendasi C) 2. Pasien dengan hemofilia A dan penyakit von Willebrand yang mengalami perdarahan atau yang tidak responsif terhadap pemberian desmopresin asetat atau akan menjalani operasi. (Rekomendasi C) 7. Penanganan Intraoperatif Pada

kasus

kehilangan

darah

berlebih

dalam

prosedur

pembedahan,

penatalaksanaan intraoperatif mencakup transfusi sel darah merah, penatalaksanaan koagulopati, dan pemantauan serta terapi efek samping transfusi. Hal yang perlu dilakukan dalam penentuan kebutuhan transfusi sel darah merah adalah:1,4 1. Memastikan jumlah darah yang hilang termasuk perdarahan mikrovaskular yang berlebih melalui pengukurann sebagai berikut: •

menghitung volume darah di dalam kontainer suction



menghitung jumlah kasa bedah yang digunakan.

− Kasa ukuran kecil (4x4) diperkirakan mengandung 10 ml darah − Kasa ukuran besar diperkirakan mengandung 100-150 ml darah.

13

2. Memantau ada tidaknya tanda-tanda perfusi dan oksigenasi organ vital yang inadekuat secara berkelanjutan. Penilaian dapat dilakukan mulai dari cara-cara sederhana melalui pemantauan visual di daerah surgical field, pemantauan tekanan darah, denyut jantung, temperatur, saturasi oksigen darah, produksi urin, dan elektrokardiografi, hingga penggunaan sistem pemantauan khusus, seperti ekokardiografi intraoperatif, saturasi oksigen vena, dan analisa gas darah. 3. Memeriksa kadar Hb dan Ht apabila terjadi kehilangan darah yang signifikan atau timbul tanda-tanda iskemia organ. Pengukuran tersebut mencerminkan rasio sel-sel darah terhadap plasma. Perubahan volume cairan intravena dan penggantian cairan melalui terapi cairan turut mempengaruhi hasil pemeriksaan. Hematokrit lebih berguna untuk menentukan secara tidak langsung kehilangan darah yang terjadi saat dilakukan prosedur bedah dengan durasi yang lama atau jika perkiraan volume perdarahan sulit dilakukan. 4. Menjaga volume cairan intravaskular dan tekanan darah menggunakan cairan kristaloid atau koloid terlebih dulu. 5. Melakukan transfusi darah sesuai indikasi Volume sel darah merah yang ditransfusikan harus adekuat untuk menjaga perfusi organ. Secara praktis dapat digunakan rumus sebagai berikut untuk 9 menentukan volume ditransfusikan: Vol. darah (ml) =darah (kadaryang Hb target – kadar Hb saat ini) x berat badan (kg) x faktor pengali

Faktor pengali : 3 untuk packed red cell dan 6 untuk whole blood. 8. Komplikasi Transfusi Darah 1. Reaksi transfusi darah secara umum Tidak semua reaksi transfusi dapat dicegah. Ada langkah-langkah tertentu yang perlu dilakukan untuk mencegah terjadinya reaksi transfusi, walaupun demikian tetap diperlukan kewaspadaan dan kesiapan untuk mengatasi setiap reaksi transfusi yang mungkin terjadi. Ada beberapa jenis reaksi transfusi dan gejalanya bermacam-macam serta dapat saling tumpang tindih. Oleh karena itu, apabila terjadi reaksi transfusi, maka langkah umum yang pertama kali dilakukan adalah menghentikan transfusi, tetap memasang infus untuk pemberian cairan NaCl 0,9% dan segera memberitahu dokter jaga dan bank darah.1,2 14

2. Reaksi Transfusi Hemolitik Akut Reaksi transfusi hemolitik akut (RTHA) terjadi hampir selalu karena ketidakcocokan golongan darah ABO (antibodi jenis IgM yang beredar) dan sekitar 90%-nya terjadi karena kesalahan dalam mencatat identifikasi pasien atau unit darah yang akan diberikan.1,2 Gejala dan tanda yang dapat timbul pada RTHA adalah demam dengan atau tanpa menggigil, mual, sakit punggung atau dada, sesak napas, urine berkurang, hemoglobinuria, dan hipotensi. Pada keadaan yang lebih berat dapat terjadi renjatan (shock), koagulasi intravaskuler diseminata (KID), dan/atau gagal ginjal akut yang dapat berakibat kematian.1,2 Untuk mengatasi hal tersebut perlu dilakukan tindakan sebagai berikut: (a)meningkatkan

perfusi

ginjal,

(b)mempertahankan

volume

intravaskuler,

(c)mencegah timbulnya DIC.1,2 3. Reaksi Transfusi Hemolitik Lambat Reaksi transfusi hemolitik lambat (RTHL) biasanya disebabkan oleh adanya antibodi yang beredar yang tidak dapat dideteksi sebelum transfusi dilakukan karena titernya rendah. Reaksi yang lambat menunjukkan adanya selang waktu untuk meningkatkan produksi antibodi tersebut. Hemolisis yang terjadi biasanya ekstravaskuler.2,3 Gejala dan tanda yang dapat timbul pada RTHL adalah demam, pucat, ikterus, dan kadang-kadang hemoglobinuria. Biasanya tidak terjadi hal yang perlu dikuatirkan karena hemolisis berjalan lambat dan terjadi ekstravaskuler, tetapi dapat pula terjadi seperti pada RTHA. Apabila gejalanya ringan, biasanya tanpa pengobatan. Bila terjadi hipotensi, renjatan, dan gagal ginjal, penatalaksanaannya sama seperti pada RTHA.1,2 4.Reaksi Transfusi Non Hemolitik 1. Demam Demam merupakn lebih dari 90% gejala reaksi transfusi. Umumnya ringan dan hilang dengan sendirinya. Dapat terjadi karena antibodi resipien bereaksi dengan leukosit donor. Demam timbul akibat aktivasi komplemen dan lisisnya sebagian sel dengan melepaskan pirogen endogen yang kemudian merangsang sintesis prostaglandin dan pelepasan serotonin dalam hipotalamus. 15

Dapat pula terjadi demam akibat peranan sitokin (IL-1b dan IL-6). Umumnya reaksi demam tergolong ringan dan akan hilang dengan sendirinya.1,2 2. Reaksi alergi Reaksi alergi (urtikaria) merupakan bentuk yang paling sering muncul, yang tidak disertai gejala lainnya. Bila hal ini terjadi, tidak perlu sampai harus menghentikan transfusi. Reaksi alergi ini diduga terjadi akibat adanya bahan terlarut di dalam plasma donor yang bereaksi dengan antibodi IgE resipien di permukaan sel-sel mast dan eosinofil, dan menyebabkan pelepasan histamin. Reaksi alergi ini tidak berbahaya, tetapi mengakibatkan rasa tidak nyaman dan menimbulkan ketakutan pada pasien sehingga dapat menunda transfusi. Pemberian antihistamin dapat menghentikan reaksi tersebut.1,2 3. Reaksi anafilaktik Reaksi yang berat ini dapat mengancam jiwa, terutama bila timbul pada pasien dengan defisiensi antibodi IgA atau yang mempunyai IgG anti IgA dengan titer tinggi. Reaksinya terjadi dengan cepat, hanya beberapa menit setelah transfusi dimulai. Aktivasi komplemen dan mediator kimia lainnya meningkatkan permeabilitas vaskuler dan konstriksi otot polos terutama pada saluran napas yang dapat berakibat fatal. Gejala dan tanda reaksi anafilaktik biasanya adalah angioedema, muka merah (flushing), urtikaria, gawat pernapasan, hipotensi, dan renjatan.2,3 Penatalaksanaannya adalah (1)menghentikan transfusi dengan segera, (2)tetap infus dengan NaCl 0,9% atau kristaoid, (3)berikan antihistamin dan epinefrin. Pemberian dopamin dan kortikosteroid perlu dipertimbangkan. Apabila terjadi hipoksia, berikan oksigen dengan kateter hidung atau masker atau bila perlu melalui intubasi.1 9. Efek samping lain dan resiko lain transfusi Komplikasi dari transfusi massif Transfusi massif adalah transfusi sejumlah darah yang telah disimpan, dengan volume darah yanglebih besar daripada volume darah resipien dalam waktu 24 jam.4 Pada keadaan ini dapat terjadi hipotermia bila darah yang digunakan tidak dihangatkan, hiperkalemia, hipokalsemia dan kelainan koagulasi karena terjadi pengenceran dari trombosit dan factor- factor pembekuan. Penggunaan darah 16

simpan dalam waktu yang lama akan menyebabkan terjadinya beberapa komplikasi diantaranya adalah kelainan jantung, asidosis, kegagalan hemostatik, acute lung injury.1,4 Penularan penyakit Infeksi a. Hepatitis virus Penularan virus hepatitis merupakan salah satu bahaya/ resiko besar pada transfusi darah. Diperkirakan 5-10 % resipien transfusi darah menunjukkan kenaikan kadar enzim transaminase, yang merupakan bukti infeksi virus hepatitis. Sekitar 90% kejadian hepatitis pasca transfusi disebabkan oleh virus hepatitis non A non B. Meski sekarang ini sebagian besar hepatitis pasca transfusi ini dapat dicegah melalui seleksi donor yang baik dan ketat, serta penapisan virus hepatitis B dan C, kasus tertular masih tetap terjadi. Perkiraan resiko penularan hepatitis B sekitar 1 dari 200.000 dan hepatitis C lebih besar yaitu sekitar 1:10.000. 1,2 AIDS (Acquired Immune Deficiency syndrome) Penularan retrovirus HIV telah diketahui dapat terjadi melalui transfusi darah, yaitu dengan rasio 1:670.000, meski telah diupayakan penyaringan donor yang baik dan ketat.1,2 c. Infeksi CMV Penularan CMV terutama berbahaya bagi neonatus yang lahir premature atau pasien dengan imunodefisiensi. Biasanya virus ini menetap di leukosit danor, hingga penyingkiran leukosit merupakan cara efektif mencegah atau mengurangi kemungkinan infeksi virus ini. Transfusi sel darah merah rendah leukosit merupakan hal terbaik mencegah CMV ini.1,2 d. Penyakit infeksi lain yang jarang Beberapa penyakit walaupun jarang, dapat juga ditularkan melalui transfusi adalah malaria, toxoplasmosis, HTLV-1, mononucleosis infeksiosa, penyakit chagas (disebabkan oleh trypanosoma cruzi), dan penyakit CJD ( Creutzfeldt Jakob Disease).2,3 Pencemaran oleh bakteri juga mungkin terjadi saat pengumpulan darah yang akan ditransfusikan. Pasien yang terinfeksi ini dapat mengalami reaksi transfusi akut, bahkan sampai mungkin renjatan. Keadaan ini perlu ditangani seperti pada RTHA ditambah dengan pemberian antibiotic yang adekuat.1,2 17

e. GVHD(Graft versus Host disease) GVHD merupakan reaksi/ efek samping lain yang mungkin terjadi pada pasien dengan imunosupresif atau pada bayi premature. Hal ini terjadi oleh karena limfosit donor bersemai (engrafting) dalam tubuh resipien dan bereaksi dengan antigen penjamu. Reaksi ini dapat dicegah dengan pemberian komponen SDM yang diradiasi atau dengan leukosit rendah.1,2 Penanggulangan Reaksi Tranfusi 1. Stop transfusi 2. Naikan hemodinamik dengan pemberian kristaloid dan koloid, jika perlu tambah vasokonstriktor dan inotropik 3. Berikan oksigen 100% 4. Berikan diuretik lasik 10-20mg atau manitol 50mg 5. Berikan antihistamin dan steroid dosis tinggi 6. Jika perlu exchange transfusion 7. Periksa analisa gas darah dan elektrolit

KESIMPULAN

18

1. Transfusi Darah adalah proses pemindahan darah dari seseorang yang sehat (donor) ke orang sakit (respien). Sedangkan Perioperatif adalah suatu rentang masa antara saat dirawat dirumah sakit untuk menjalani pembedahan hingga saat pemulangan dari rumah sakit. 2. Tujuan Transfusi darah perioperatif adalah untuk mengembalikan keadaan tubuh kedalam keadaan homeostasis baik setelah maupun sebelum dilakukan tindakan pembedahan. 3. sistem penggolongan darah adalah sistem ABO, Rh, dan sistem lain 4. macam-macam jenis transfusi darah yaitu whole blood, PRC, trombosit, plasma 5. Transfusi tidak boleh diberikan tanpa indikasi kuat, transfusi hanya diberikan berupa komponen darah pengganti yang hilang/kurang. 6. Indikasi paling umum untuk transfusi darah pada pasien yang menjalani pembedahan adalah pemulihan volume darah sirkulasi. Kadar Hemoglobin dan Hematokrit dapat dipakai untuk memperkirakan total kehilangan darah. 7. komplikasi transfusi darah ada reaksi umum, hemolitik dan non hemolitik serta dapat mengakibatkan penularan penyakit infeksi

Daftar Pustaka

19

1.

Latief SA, Suryadi KA, Cachlan MR. Petunjuk Praktis Anestesiologi Edisi Kedua, Jakarta : Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI : 2002

2.

Morgan, G Edward, Maged S Mikhail, Michael J Murray. Clinical Anesthesiology, 4th ed. New York: Mc Graw Hill. 2006Sudoyo AW, Setiohadi B.

3.

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Keempat. Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006.

4.

WHO. The clinical use of blood: handbook. Geneva, 2002. Didapat dari URL: http://www.who.int/bct/Main_areas_of_work/Resource_Centre/CUB/English/Han dbook.pdf.

20

More Documents from "widyaamoy"