Agama Skizofrenia Preview(1)

  • Uploaded by: PAULUSMAMIK
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Agama Skizofrenia Preview(1) as PDF for free.

More details

  • Words: 87,134
  • Pages: 192
Loading documents preview...
Perpustakaan Nasional: Katalog dalam Terbitan (KDT)

Fauzi, Ahmad AGAMA SKIZOFRENIA; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

AGAMA SKIZOFRENIA Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

Editor, ????? Semarang, xxiv + 360 hlm; 14x21cm ISBN: ?????????????

AGAMA SKIZOFRENIA; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian Penulis: Ahmad Fauzi Editor: ?????????? Desain Cover: Agung Widodo Desain Layout: Dzikrullah Zulkarnain Cetakan Pertama, September 2013 Diterbitkan oleh: Samarra Press Jl. ??????????????? Tel/Fax: (024)xxxxxxxxxxxxx

Ahmad Fauzi

© Hak pengarang dan penerbit dilindungi Undang-undang No. 19 Tahun 2002. Dilarang memproduksi sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.

(Our greatest blessings come to us by way of madness) -Rahmat kita yang terbesar sering datang kepada kita melalui jalan kegilaan-

*Socrates*

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

Kalimat Persembahan Untuk kedua Ibu-Bapakku yang telah mengajariku sejak kecil tentang membaca dan menulis. Untuk kedua kakakku Muhammad Fathurrahman dan Ahmad Fauzan yang telah menyentuhkan ruhku pada badai, karena sebelum itu aku hanya aliran air yang tenang dan tidak bergelombang. Terima kasih kepada kakakku ini yang memperkenalkan filsafat dan ilmu pengetahuan semenjak aku duduk di kelas Madrasah Aliyah. Tanpanya, aku mungkin sampai sekarang tidak memiliki tujuan dan makna hidup. Dan, untuk kedua adikku Nur Faizah dan Farida Nurhayati yang cantik dan manis, karena dengan melihat mereka aku merasakan keceriaan dan kelegaan dari kesusahan hidup. Proyek buku yang belum selesai ini kupersembahkan kepada mereka. Selama pengerjaan buku ini, penulis sering mengalami hambatan motivasi dan ketidakpercayaan diri sehingga mengakibatkan penulis ragu dan was-was atas dampak negatif yang mungkin muncul dari tesis buku ini. Dalam keraguan tersebut, penulis merasa terdorong oleh tantangan dari dua adik iparku Dion Haris Hudoyo dan Ari Wibowo. Penulis merasa terbantu dan harus berterimakasih kepada dua suami adikku, yang terus menerus mensupport baik secara lahir dan bathin. Tanpa keduanya mungkin seumur hidup buku ini mustahil terselesaikan. Begitu juga dengan kedua keponakanku, Rana Alfathunnisa’ dan Safwan Alim Zuhdi yang dengan menggendong mereka penulis merasa begitu susahnya menjadi sosok orang tua, karena harga susu mereka ternyata mahal sekali. Namun, penulis juga merasakan kegembiraan dengan melihat kelucuan keduanya, seolaholah memancing penulis untuk segera menikah. Sungguh

ini merupakan pengalaman yang membangkitkan insting primitif penulis. Sebelum penulis menginjakkan kaki di perguruan tinggi, penulis merasakan suasana yang sangat kondusif dan mendukung bagi cikal bakal terbentuknya sebuah cara pandang pemikiran tertentu, yaitu ketika penulis mondok di Pesantren Modern Islam Assalaam Surakarta. Di tempat tersebut penulis merasakan keteduhan dan keagungan sebuah masjid besar yang dijadikan penulis sebagai tempat merenung dan membaca buku. Masjid ini berperan besar bagi penulis karena memberikan suasana yang berbeda dengan tempat-tempat lainnya. Di Pondok Assalaam, penulis merasa beruntung karena diperkenalkan dengan dasar-dasar bahasa Arab dan Inggris, penulis juga merasakan faedah dari kurikulum pondok ini yang banyak mengajarkan bagaimana berpikir dan berdiskusi dengan baik. Penulis harus berterimakasih kepada ustadz-ustadz Assalaam yang telah membantu penulis merasakan kenikmatan hidup teratur dan disiplin, dalam hal ini penulis selalu teringat dengan sosok Ustadz Edi Suprapto, Ustadz Farhan, Ustadz Dalhari Nuryanto, Ustadz Dawwam, Ustadz Ma’ruf yang memperkenalkan Muhammad Iqbal kepada penulis, Ustadz Kirlan yang sangat kritis, dan masih banyak lagi. Di tempat ini, penulis juga merasakan suasana persahabatan hangat dengan teman-teman dan kakak-kakak kelas, seperti Ahmad Antoni, Erwin, Oktofandy, Syamsul Lombok, Arif Mustaghfirin, Iba Nurrahman, Baitul Atiq, Jody Julia Rahman, Fakhrur Rozi, Muhamad Fallas, Iman, Oma Sandi, Iqbal Yamani, Solahuddin Burhani, Bekti, Yofie Habibi, dan banyak lagi yang lainnya. Penulis merasa berhutang budi dan selalu merindukan dengan teman-teman, asatidz, dan semua kenangan yang indah di Pesantren Assalaam. Ketika penulis selesai wisuda dari Assalaam dengan vi

Kalimat Persembahan

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

predikat mahasiswa terbaik di tahun 1998 (alhamdulillah), penulis keluar dari tempat tersebut dengan membawa optimisme dan keyakinan yang kuat. Namun, ketika penulis sedang merasakan ekstase dari olah rasa ibadah dan membaca buku selama berbulan-bulan, tiba-tiba datang sapuan angin utara yang merusak dan memporakporandakan segala keindahan hidup, penulis terkena skizofrenia. Skizofrenia telah menghancurkan kemampuan berpikir, merenung, membaca dan menulis yang dimiliki penulis semenjak di pesantren. Skizofrenia menjadi titik balik bagi kehidupan penulis yang mampu menghancurkan segala impian dan cita-cita penulis. Tidak ada inisiatif hidup, setiap hari merasakan kegelisahan dan depresi, selalu sakit kepala tiap hari, tidak pernah mandi bisa sampai seminggu, selalu merasakan kelelahan yang luar biasa, tidak bisa konsentrasi, berpikir dan membaca buku, selalu ingin mengakhiri hidup dengan mencoba bunuh diri berkali-kali hingga Ayah dan Ibuku pun turut menangis, kenikmatan hidup yang ingin dirasakan ketika sakit skizofrenia hanyalah bagaimana caranya untuk secepat mungkin jiwa dan tubuh ini musnah dari cakrawala dunia. Setelah merasakan delusi dan halusinasi selama berbulan-bulan, hidup penulis seperti mayat hidup dan mengalami keterbelakangan mental. Semua keyakinan dan idealisme hancur seketika diterjang oleh penyakit yang tak pernah sedikitpun terbayang dalam benak penulis. Dampak negatif dari skizofrenia dirasakan penulis sampai bertahun-tahun, bahkan hingga memasuki perguruan tinggi. Nampaknya langit berbelas kasihan kepada jiwa dan tubuh yang telah hancur ini. Sedikit-demi sedikit penulis merasakan pemulihan dari efek retardasi mental. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba penulis merasakan kegembiraan yang meluap-luap ketika membaca buku

tentang penyakit psikotik dan neurotik di pandang dari sudut Psikologi Transpersonal. Penulis kemudian mulai bangkit dari keterpurukan setelah mengalami skizofrenia selama tiga tahun. Pada tahap selanjutnya penulis dipercaya menjadi Pemimpin Redaksi sebuah Media kampus dan kemudian ditunjuk sebagai ketua Pemilu Raya di kampus itu juga. Pada masa-masa ini penulis merasakan kegairahan dan vitalisme hidup yang menggelora. Penulis mendapatkan berkah dari skizofrenia karena dengan merasakan penyakit ini penulis merasakan kemampuan berpikir yang secara tidak sadar ternyata melampaui batasbatas pemikiran yang dahulu tidak bisa dipahami oleh penulis. Skizofrenia memberikan dampak dialektis yang mengangkat kualitas dan kekuatan baru meskipun dengan cara-cara yang negatif dan menyakitkan. Sebuah teka-teki yang masih menghantui pikiran penulis. Terima kasih juga penulis haturkan kepada wanitawanita cantik yang telah menolak cintaku hingga nasib penulis seperti Pat Kai dalam kisah Kera Sakti yang merasakan ribuan ujian penderitaan cinta, (beginilah cinta, deritanya tiada pernah berakhir). Penulis betul-betul merasakan bagaimana rasanya ditolak cinta oleh para wanita, penulis harus berpikir dan tahu diri bagaimana orang bisa jatuh cinta pada sosok manusia yang mengalami sakit jiwa? Penulis juga harus menghaturkan rasa terimakasih kepada Pak Muhsin Jamil, Pak Amin Syukur, Pak Abu Hafsin, Pak Hasyim Muhammad, Pak Ali Saefuddin, Pak Didin, Pak Ahmad Suryadi, Pak Yusuf Suyono, Pak Makmun Effendy, Pak Nasihun Amin, Mas Joko, Gus Anwar, dan masih banyak lagi nama yang tak bisa disebutkan di sini namun berjasa besar bagi terbentuknya pemikiran penulis. Buku ini merupakan hasil diskusi dengan beliau-beliau ini. Penulis merasa banyak berhutang

vii

viii

Kalimat Persembahan

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

budi kepada guruku Mas Yudi Haryono yang mau memperkenalkan Jakarta kepadaku. Mohon maaf apabila telah mengecewakan hati Mas Yudi. Kepada sahabatku Siswanto, Abu Darrin, Ahmad Taufan, Habib Yasin, Nanang Kosim, Yovi Gatot, Suharbadi, Ahmad Rifa’i IMM, temanku Iffah Mustandifah, Luluk, Fajar Wahyuningsih, Lely Hilaliah, Khalimatul Hidayah, dan teman-teman Samarra College, Solihin, Aqil, Maksum, Munif, Afif, Cuplis, Nadhir, Saiful, Nadhif, Faqih, Dawwam, dan lainnya, aku berhutang budi banyak pada kalian. Penulis juga harus berterima kasih kepada teman sejati “Seven Brothers” dari Banjarnegara, yaitu, Hadi Suprapto, Sugeng Haryadi, Daryanto, Hamdiono, Syarif Hidayatullah, Jarkasi, dan Rohkim. Mereka adalah temanteman di saat aku terpuruk dan susah. Maafkan aku yang sering menyusahkan kalian. Terakhir kali penulis haturkan rasa terimakasih kepada penyakit Skizofrenia-ku yang telah sedikit demi sedikit mendewasakanku meskipun aku dalam keadaan payah. Semarang, 25 April 2013 Penulis

ix

x

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

Kata Pengantar Sebenarnya, titik tolak penulisan buku ini bermula dari masalah psikologi, karena bersentuhan dengan wilayah studi atau bidang lain menjadikan buku ini juga meluas ke bidang agama, filsafat, sosiologi, antropologi, politik, etika, ilmu sains, dan bahkan sampai ke wilayah studi agama yang sangat spesifik, yaitu Ulumul Qur’an, bahkan Ulumul Qur’an menjadi tema ujung tombak dalam buku ini. Pada salah satu bagian dari buku ini yang berjudul: Ideologi, Fermentasi Religius, dan Gerakan Agama Baru, penulis berusaha menelusuri akar-akar ideologi yang ternyata berasal dari dua sumber utama, yaitu kekuatan material dalam sejarah dan naluri kesenangan dalam alam bawah sadar kita. Dalam perspektif Materialisme-Historis dan Psikoanalisa, ideologi dapat dipahami sebagai kekuatan tersembunyi yang mampu mempengaruhi, mengubah dan memanipulasi kesadaran kita sehingga manusia tidak dapat mempersepsi kenyataan yang sebenarnya. Karena kesadaran adalah kekuatan psikis yang menentukan bentuk dari realitas, maka apabila kesadaran termanipulasi oleh kekuatan ideologi tentu manusia akan mudah terasing dari realitas yang sebenarnya. Keterasingan pada gilirannya melemparkan manusia dari fungsinya sebagai subyek sejarah. Ideologi yang memanipulasi kesadaran manusia secara tersembunyi dan tersamar, namun terkesan regulatif dan positif, dapat menyebabkan potensi-potensi alamiah manusia terdistorsi dan terlemahkan, maka manusia bukan lagi makhluk yang seutuhnya, karena kemampuan-kemampuan dalam dirinya justru menipu dan mengaburkan dirinya sendiri dari realitas yang sebenarnya. Ideologi, dalam hal ini, menghasilkan kesadaran-palsu yang mengakibatkan

manusia tidak lagi bisa menilai situasi sebenarnya yang sedang terjadi dalam realitas masyarakat. Kata kunci untuk memahami isi buku ini terletak pada term kesadaran (consciousness). Kesadaran adalah fakultas psikis yang menentukan eksistensi kita. Fakultas kesadaran yang lepas dari belenggu struktur kekuatan materi dan naluri kesenangan menjadikan manusia memiliki kendali atas dirinya sendiri atau dengan kata lain kesadaranlah yang menentukan kita sebagai subyek sejarah. Kesadaran yang otonom dan bebas dimulai dari usaha manusia untuk lepas dari determinasi kekuatan material dan delusi naluri kesenangan. Perkembangan rohaniah dari fakultas kesadaran ditentukan oleh sejauh mana kita melepaskan diri dari kungkungan struktur kekuatan materi dan delusi naluri kesenangan. Kita mampu menciptakan dan menjadi pelaku sejarah karena adanya kesadaran yang bebas dan otonom dalam diri kita. Manusia memiliki eksistensi karena adanya kesadaran dalam dirinya. Adanya kesadaran yang sejati menunjukkan kalau kita adalah tuan dalam diri kita sendiri. Otonomi dan kebebasan kita peroleh apabila kita bisa menentukan pikiran, perasaan, dan tindakan melalui hukum moral dalam diri kita sendiri terlepas dari kekuatan-kekuatan dari luar, seperti hukum negara, norma masyarakat, dan kekuatan takdir atau fatalisme. Sesuatu yang digerakkan dari luar itu tidak alamiah dan tidak memiliki kualitas moral. Manusia tidak lagi menjadi diri yang sebenarnya apabila pikiran, perasaan, dan tindakannya ditentukan oleh kekuatankekuatan asing di luar dirinya sendiri. Berdasarkan perjalanannya dalam sejarah, kesadaran selalu mendapat serangan yang tersembunyi dan tersamar dari dua bentuk ideologi, yaitu kekuatan material dari dunia luar dan naluri kesenangan dari dalam psikis manusia itu sendiri. Kekuatan material sering xii

Kata Pengantar

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

memanipulasi kesadaran kita melalui institusi negara dan fakta masyarakat dengan bantuan hukum, norma sosial, pengetahuan, bahkan agama. Ideologi sering menyamarkan kepentingan, anomali, dan ketimpangan material yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat sehingga kita menganggapnya sebagai sesuatu yang normal dan wajar saja, padahal sebenarnya tidak demikian. Ideologi dapat mendistorsi kesadaran kita melalui cara-cara yang regulatif dan positif, sehingga kesadaran kita termakan secara lembut dan halus, akhirnya hal ini bisa mengubah cara pandang kita terhadap realitas yang sebenarnya. Kekuatan ideologi yang kedua berakar dalam alam bawah sadar manusia, yaitu naluri kesenangan. Naluri kesenangan sangat berperan penting dalam merongrong kesadaran kita secara tersamar sehingga mengakibatkan kesadaran terdistorsi dan kehilangan kontrol terhadap dirinya sendiri. Apabila kesadaran yang bertugas mengonstruksi kenyataan telah mengalami distorsi, tentu keadaan ini bisa mengaburkan kita dari realitas yang sebenarnya. Kita terpenjara dalam kurungan ilusi naluri kesenangan. Naluri kesenangan selalu menginvasi kesadaran dengan berbagai cara yang halus dan laten atau pun berkedok, hal ini mengakibatkan sensor kesadaran sudah tidak lagi mengenali naluri yang telah memalsukan diri tersebut sehingga bagian dari fakultas kesadaran, yaitu kekuatan intelektual dan kognitif kita, mengabdi pada kepentingan hasrat dan naluri kesenangan semata. Apabila rasio dan daya kognitif kita hanya mengabdi pada hasrat dan naluri kesenangan, tentu pengetahuan dan kebudayaan yang kita ciptakan tidak lagi memperhalus watak dan akal-budi kita. Yang menyebabkan rasio dan intelektual kita hanya mengabdi pada kepentingan naluri primitif adalah manusia sudah tidak mampu lagi mengekang naluri kesenangan dan agresivitas yang

bersumber dari dalam dirinya sendiri. Menurut penulis, kenyataan yang ada di luar bukanlah realitas yang sebenarnya, karena kenyataan yang ada di luar sering menjadi kedok atau topeng yang menyembunyikan ketimpangan material, kontradiksi, dan anomali yang terjadi dalam masyarakat. Kenyataan yang sebenarnya bukanlah realitas yang berkedok. Realitas yang sejati akan muncul apabila kita telah terbebas dari kekuatan-kekuatan material dan naluri kesenangan yang bersifat manipulatif. Kita tidak dapat mencapai atau mengalami kenyataan yang sebenarnya karena kesadaran kita selalu dikooptasi oleh kekuatan material dan naluri kesenangan yang distortif. Kenyataan yang sebenarnya hanya dapat kita persepsi apabila kesadaran kita telah mencapai otonomi dan independensi dari pengaruh kekuatan-kekuatan material dan naluri kesenangan. Dengan begitu kesadaran tidak lagi merefleksikan kekuatan material yang ada di luar, melainkan memancarkan watak dan eksistensi dasar manusia dari dalam. Ideologi yang berakar dalam kekuatan material dan naluri kesenangan sama-sama memiliki mekanisme kerja yang tersembunyi dan laten. Keduanya merupakan kekuatan yang menyamarkan ilusi, kontradiksi, ketimpangan material, dan kepentingan, dan apabila kesadaran kita termanipulasi oleh kekuatan ideologi tentu hal ini bisa membuat kita absurd dan muspra. Jika kesadaran kita tenggelam oleh naluri kesenangan dan kekuatan material dalam sejarah, maka manusia bisa kehilangan identitas kepribadiannya yang sejati, manusia tidak lagi otentik dan ia berubah menjadi anonim dan impersonal. Potensi otonomi dan kebebasan kita selalu terancam oleh dua kekuatan ideologi di atas. Keduanya merupakan kekuatan anti-humanisme yang bisa

xiii

xiv

Kata Pengantar

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

menenggelamkan semangat kemanusiaan kita. Kekuatan material dan naluri kesenangan adalah sumber ilusi yang apabila tidak dikelola dengan baik akan mencemarkan watak dasar dan akal-budi kita. Akar-akar kejahatan manusia terletak pada naluri kesenangan dalam dirinya sendiri dan kekuatan material yang objektif di dunia luar. Kedua kekuatan ideologi ini ternyata menyimpan potensi kegilaan, anomali, dan patologi yang sebenarnya sedang dialami oleh masyarakat kita. Karena kekuatan material dan naluri kesenangan selalu merongrong kesadaran, tentu hal ini bisa membuat kita teralienasi dari kenyataan yang sebenarnya, maka agar kita tetap memiliki eksistensi kita harus membangun mekanisme pertahanan diri dan menunjukkan kritikperlawanan pada keduanya. Kritik-perlawanan kita arahkan pada negara dan masyarakat yang sering menjadi tangan panjang dari kekuatan material dan naluri kesenangan. Negara merupakan institusi yang merefleksikan sekelompok manusia yang ditopang oleh kekuatan material, dan ia hanya melayani sesuai dengan kebutuhannya sendiri, yaitu sifat tamak dan rakus tak ketulungan yang inhern dalam pikiran oligarki. Negara dalam konteks kekinian tidak lagi mencerminkan keutamaan moral. Negara telah gagal dalam melayani dan menyejahterakan warganya sendiri. Negara sering menjadi topeng bagi kelas dominan yang berusaha untuk menguasai sumber-sumber penghidupan secara oligarkis. Maka, kalau kita tidak menunjukkan kritik-perlawanan tentunya eksistensi kita menjadi absurd dan mudah tergerus oleh pusaran sejarah yang manipulatif. Keberadaan kita ditentukan oleh sikap perlawanan kita. Karena dengan melawan, maka kita tetap ada. “Aku melawan, maka aku ada”. Dalam situasi masyarakat yang telah kehilangan

keutamaan-keutamaan moral dan kondisi negara yang mengalami pembusukan, agama mempunyai potensi untuk melakukan perlawanan dan perubahan terhadap keduanya. Agama menjadi simbol kritik-perlawanan terhadap negara dan masyarakat yang justru melemahkan dan memanipulasi kesadaran kita. Menjadi warga negara yang taat pada hukum dan norma sosial tidak membuat kita makin bermoral. Moralitas tidak ditunjukkan oleh sejauh mana kita mematuhi hukum lahiriah yang ada di luar. Etika bukanlah sekedar penyesuaian diri dengan norma sosial masyarakat. Moralitas justru terletak pada sikap perlawanan kita terhadap produk hukum negara dan norma masyarakat, karena hukum negara dan norma sosial tidak lagi mencerminkan kualitas moral melainkan merefleksikan kepentingan dari kelompok-kelompok kekuasaan yang tidak ingin kekuasaan mereka jatuh. Hukum dan norma sosial sering menjadi pembenar dan rasionalisasi bagi kepentingan-kepentingan oligarkis. Kejahatan yang dilakukan oleh pemilik kekuasaan sering mendapatkan stempel dari hukum negara dan norma masyarakat. Tindakan-tindakan kriminal sering disembunyikan oleh aturan-aturan birokrasi, alasan demokrasi, prosedur, dan legalitas. Maka, agama harus menunjukkan eksistensinya, yaitu dengan melakukan kritik-perlawanan terhadap kekuatan-kekuatan yang menyembunyikan eksploitasi, ketimpangan material, dan kontradiksi dalam realitas masyarakat. Apabila agama sudah tidak mampu lagi melakukan kritik-perlawanan terhadap gejala dan kecenderungan masyarakat yang ada, maka agama itu sudah mati. Pada masa sekarang, negara dengan proyek demokrasinya sudah berubah menjadi mitos ilmiah. Dalam sistem pemerintahan yang paling demokratis sekalipun, kenyataannya negara dikuasai oleh sekelompok organisasi

xv

xvi

Kata Pengantar

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

yang bersifat oligarkis. Ini adalah hukum besi oligarki yang mengurung negara dalam panitia yang terdiri dari sekelompok elit. Demokrasi tidak lagi merupakan keutamaan politik melainkan pembenar dan alat rasionalisasi bagi kepentingan elit dan pemilik modal. Demokrasi digunakan oleh oligarki untuk mengesahkan tindak kriminal mereka dengan cara-cara yang sah dan konstitusional. Di sisi lain, institusi agama-agama yang seharusnya menjadi kekuatan penekan terhadap kekuasaan malah dikalahkan oleh negara bahkan kemudian menjadi bagian dari negara. Maka, ketika negara dan agama yang mapan sedang mengalami malaise dan krisis tentu hal ini memancing munculnya fermentasi religius. Sebagai konsekuensi dari kondisi masyarakat yang telah kehilangan keutamaan moral dan situasi negara yang mengalami pembusukan, muncullah gerakan-gerakan sosial sebagai reaksi dan respon terhadap keadaan-keadaan tersebut. Salah satu bentuk fermentasi religius tersebut adalah merebaknya gerakan-gerakan agama baru yang mencerminkan situasi konflik, kepanikan epistemologis, dan disorientasi di bidang ekonomi, politik, dan budaya. Agama-agama baru, semisal Lia Eden, Nabi Ahmad Mushoddiq, dan sebagainya, tidak bisa begitu saja dikatakan sebagai aliran sesat yang harus dibubarkan, melainkan inilah cermin dari patologi masyarakat dan negara yang sedang mengalami dehumanisasi radikal. Agama-agama sempalan muncul karena agama-agama yang mapan sudah gagal dalam mengubah tatanan masyarakat yang sudah kehilangan keutamaan moral. Agama-agama yang mapan bukannya membebaskan masyarakat dari kenyataan yang terdistorsi melainkan malah melarikan penganutnya dari kenyataan yang ada. Agama-agama yang mapan tidak lagi mampu menunaikan tugas yang seharusnya dilakukan. Agama-agama yang ada

telah gagal dalam tugasnya untuk melakukan transformasi atas struktur dasar masyarakat dan nilai-nilai yang mendasarinya. Oleh karena itu, kita membutuhkan sebuah gerakan agama baru yang mampu menjawab kenyataan sosial yang ada dan membebaskan masyarakat dari kooptasi ideologi-ideologi kekuasaan. Gerakan agama baru berusaha untuk membebaskan sebesar mungkin enersi moral kita yang selama ini terbelenggu oleh kekuatan material dan naluri kesenangan. Gerakan agama baru juga ingin mengembalikan potensi kesadaran manusia yang otonom dan independen dari belenggu kekuatan material dan naluri kesenangan. Gerakan agama baru (new religious movement) harus memulai bagaimana membangun kembali masyarakat yang ada berdasarkan cita-cita dan landasan yang terbarukan. Impuls transformatif dari gerakan ini bisa kita baca dalam Bab Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru. Dalam bagian buku yang berjudul; Asal-usul Agama dan Ketidaksadaran, penulis berusaha untuk menelusuri bentuk-bentuk agama yang muncul dari zaman primitif hingga paling modern. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami watak dasar dari agama-agama dan mencari bentuk elementer dari semuanya itu. Agamaagama ini diwakili oleh animisme, agama magi, naturisme, totemisme, agama fungsional, dan agama sebagai alienasi. Dalam manifestasinya, agama-agama, semisal Islam, Yahudi, Kristen, Hindu ataupun Budha, mengandung elemen-elemen, seperti animisme, totem, magi, naturisme ataupun alienasi. Tidak ada agama masyarakat yang tidak mengandung elemen-elemen di atas. Penulis berusaha untuk menarik garis utama yang mendasari munculnya agama-agama ini, dan penulis menemukan saluran psikologis yang menjadi sumber utama bagi munculnya agama-agama tersebut, yaitu ketidaksadaran atau alam

xvii

xviii

Kata Pengantar

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

bawah sadar. Alam bawah sadar ternyata menjadi impuls paling elementer dari munculnya agama-agama manusia. Hal ini memperkuat tesis Carl Jung yang menganggap bahwa agama bermula dari psikologi alam bawah sadar. Namun, pernyataan Carl Jung yang menganggap agama bersumber dari alam bawah sadar mendapat tantangan yang serius dari Sigmund Freud, yaitu pendiri psikoanalisa. Psikoanalisa berpendapat bahwa alam bawah sadar atau ketidaksadaran (unconscious mind) adalah dunia psikis yang menyimpan agresivitas, kesenangan primitif, dan seksualitas yang tertekan. Alam bawah sadar dengan segala potensinya memiliki kecenderungan untuk selalu mengaburkan dan mendistorsi kesadaran (consciousness) sehingga apabila kita berpendapat kalau agama-agama bersumber dari alam bawah sadar tentu jenis agama ini memiliki akar-akar kekacauan pskologis. Penulis berusaha untuk memberikan pemahaman kepada pembaca bahwa setelah kita mengetahui potensi distortif dari agama yang meletakkan pondasinya pada psikis alam bawah sadar tentu nilai-nilai etika, seperti keadilan, kemanusiaan, kasih sayang dan kebenaran akan menjadi tidak adekuat karena nilai-nilai ini ditopangkan pada pondasi yang dapat mengaburkan kita dari realitas. Maka, seharusnya kita bisa mereformulasikan kembali landasan utama kita beragama agar kita terhindar dari potensi manipulatif dan distortif alam ketidaksadaran sehingga kita bisa beragama dengan lebih sehat dan dewasa. Usaha tersebut dapat dilakukan dengan menggeser pondasi agama yang pada mulanya bertopang pada ketidaksadaran (unconscious mind) menuju agama yang dilandaskan pada aspek kesadaran (consciousness). Ini adalah cara beragama yang menunjukkan kalau proses evolusi agama-agama dalam sejarah masih terus berlangsung. Meletakkan pondasi etika pada aspek

kesadaran merupakan ciri khas gerakan agama baru. Lalu, bagaimanakah bentuk etika agama yang dilandaskan pada kesadaran? Hal ini akan diulas oleh penulis dalam buku jilid kedua. Dalam bagian terakhir dari buku ini yang berjudul “Agama Skizofrenia”, penulis berusaha untuk membuktikan apakah agama Islam dari segi asal-usulnya sesuai dengan tesis Carl Jung yang menganggap bahwa agama itu berasal dari psikis alam bawah sadar. Langkah pertama untuk membuktikan tesis tersebut penulis menelusuri psikologi kenabian Muhammad yang ternyata memiliki akar-akarnya dalam budaya Arab Pra-Islam, yaitu dalam tradisi penyair, kahin, dan majnun. Orang-orang Arab pra-Islam sering menyaksikan kalau perilaku dan gejala psikis yang dialami Nabi ketika wahyu muncul ternyata memiliki kesamaan dengan perilaku para penyair, kahin, dan majnun. Orang-orang Arab pra-Islam secara empirik hanya melihat perilaku Nabi ketika wahyu muncul, mereka tidak melihat atau meneliti substansi hasil dari pewahyuan dalam Islam. Pengamatan orang Arab pra-Islam terhadap perilaku dan gejala psikis Nabi ketika wahyu muncul yang memiliki kesamaan dengan gejala psikis dan perilaku para kahin, penyair, dan majnun merupakan informasi yang sangat berharga. Dengan informasi ini kita dapat mengetahui kalau Nabi sebenarnya sedang dikuasai oleh ketidaksadaran atau alam bawah sadar ketika wahyu muncul dari kedalaman jiwa beliau. Hal ini dibuktikan oleh temuan psikologi modern yang telah mendiagnosa perilaku kesurupan (possession) sebagai keadaan psikis yang sedang dikuasai oleh alam bawah sadar, padahal kesurupan adalah gejala psikis yang menjadi landasan utama psikologi para penyair, kahin dan majnun. Kalau kesurupan yang dialami oleh para penyair, kahin, dan majnun ternyata disebabkan oleh merasuknya dinamika alam bawah sadar dan bukan

xix

xx

Kata Pengantar

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

disebabkan oleh merasuknya roh jin-jin ke dalam tubuh mereka, tentu psikis yang dialami oleh Nabi ketika wahyu muncul merupakan manifestasi dari serangan alam bawah sadar karena ekspresi perilaku Nabi ketika wahyu muncul ternyata memiliki kesamaan dengan ekspresi perilaku para penyair, kahin dan majnun. Temuan bahwa gejala psikis Nabi ketika wahyu muncul merupakan invasi dinamika alam bawah sadar menjadi landasan penulis untuk menjelaskan konsep wahyu dalam Islam. Konsep wahyu dalam Islam ternyata dibangun dari psikologi skizofrenia yang dialami oleh Nabi ketika wahyu muncul. Dalam kategori Freud, para Nabi yang telah mendapatkan wahyu melalui saluran-saluran ketidaksadaran, semisal lewat mimpi, delusi pengontrolan pikiran, halusinasi suara lonceng, dan sebagainya dapat dikategorikan sebagai orang yang memiliki kepribadian abnormal. Nabi sendiri diinformasikan oleh beberapa Hadis yang shahih dan mutawatir, beliau mengalami gejalagejala abnormal ketika mendapatkan wahyu. Maka, serangan alam bawah sadar (mimpi) yang terjadi dalam keadaan terjaga dapat didefinisikan sebagai gejala skizofrenia (kwasi-mimpi). Skizofrenia merupakan gejala psikis yang sedang dikuasai oleh alam bawah sadar yang ditandai dengan munculnya delusi dan halusinasi sehingga mengakibatkan seseorang merasakan penderitaan baik secara fisik maupun psikis. Jadi, pewahyuan Al-Qur’an bukanlah peristiwa ilahiah yang penuh dengan kegaiban dan juga bukan fenomena supranatural. Suara-suara dan penglihatan dalam pewahyuan tidak lain adalah delusi dan halusinasi yang muncul dari alam bawah sadar Nabi yang kemudian menciptakan psikologi skizofrenia. Kalau wahyu diartikan sebagai bisikan yang tersembunyi dan tersamar, maka bisikan itu adalah suara-suara skizofrenik dalam diri Nabi. Tidak ada campur tangan tuhan dalam proses

pewahyuan, semuanya bisa ditangkap menurut kategorikategori pengetahuan manusia. Penulis telah menemukan fakta kalau pewahyuan dalam Islam muncul melalui medium alam bawah sadar atau lebih tepatnya melalui psikologi skizofrenia. Kalau memang alam bawah sadar adalah impuls elementer munculnya wahyu tentu isi wahyu tersebut mengandung dinamika alam bawah sadar. Lalu elemen-elemen manakah dari isi wahyu Islam atau ayat-ayat al-Qur’an yang menunjukkan pengaruh dari alam bawah sadar atau gejala skizofrenia? Hal ini akan dibahas secara panjang lebar dalam buku jilid kedua setelah buku ini. Selamat membaca!!!

xxi

xxii

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

Daftar Isi

Kalimat Persembahan ~ v Kata Pengantar ~ xi Daftar Isi ~ xxiii I.

V. Agama Skizofrenia ~ 283 A. Penyair, Kahin, dan Majnun Menurut Alam Pikiran Arab Kuno ~ 285 B. Konsep Wahyu dalam Islam ~ 305 C. Kesimpulan ~ 352 D. Skizo-Hermeneutik ~ 356

Agama Tanpa Wahyu, Agama Masa Depan ~ 1

II. Spiritualisme Kaum Ateis ~ 11 III. Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru ~ 21 A. Pendulum Perubahan, Sirkulasi Elit dan Kendali Sejarah ~ 21 B. Akar-Akar Ideologi dan Humanisme Baru ~ 41 C. Agama Sebagai Kritik-Perlawanan ~ 73 D. Fermentasi Religius dan Kepanikan Epistemologis~ 98 E. Gerakan Agama Baru di Tengah Kebudayaan Dunia ~ 105 F. Keutamaan Asketis yang Diperbarui ~ 129 G. Keadilan dan Membangun Kembali Masyarakat ~ 141 H. Melawan Etika yang Membelakangi Dunia ~ 90 IV. Asal-Usul Agama dan Ketidaksadaran ~ 199 A. B. C. D. E. F. G.

Animisme ~ 205 Agama Magi ~ 216 Naturisme ~ 225 Totemisme dalam Psikoanalisa ~ 237 Fungsionalisme ~ 248 Agama sebagai Alienasi ~ 257 Penutup ~ 271 2

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

I

Agama Tanpa Wahyu, Agama Masa Depan Agama yang kebal dari kritik, seperti agama yang mendasarkan diri pada wahyu, adalah agama otoritarian Mitos paling terdalam dan penuh misteri dalam tiga agama Abrahamik adalah pewahyuan Islam adalah salah satu jenis agama yang ideologis. Disebut ideologis, karena di balik penampakannya yang penuh dengan ajaran dan perintah moral, Islam menyembunyikan benih-benih patologi, anomali bahkan memiliki akar-akar kekacauan psikologis. Bagaimana bisa, sesuatu yang kita anggap mulia dan luhur ternyata mengandung cacat dan kelemahan? Tesis pertama kami, agama bukanlah nilai-nilai ideal yang bebas dari kecacatan dan kelemahan. Ia adalah bagian dari sistem kebudayaan manusia yang bisa lapuk dan berkarat dirayapi tantangan zaman. Maka, agama juga bisa sakit dan memiliki anomali serta kelemahan, yang bisa sakit tidak hanya pemeluk agama, agama itu sendiri juga bisa mengalaminya. Analisa kritis atas sejarah agama memperlihatkan bahwa patologi dan kuman dalam agama sering disembunyikan oleh mitos pewahyuan, tabu dan kesakralan, yang oleh piranti pengetahuan disebut ideologi. Ideologi diartikan sebagai mekanisme yang mampu menyembunyikan dan mengaburkan sesuatu di balik

penampilannya yang terang, teratur dan positif. Ideologi menurut pengertian dalam tradisi Marxian dan Psikoanalisa adalah kekuatan yang bisa mengaburkan, mendistorsi dan memanipulasi kesadaran kita dari realitas yang sebenarnya terjadi. Salah satu mekanisme ideologis yang digunakan agama untuk menyembunyikan kecacatannya adalah tabu dan mitologi. Agama apapun dalam sejarah tidak pernah bebas dari tabu dan mitologi. Dan, agama bukannya membebaskan diri dari tabu dan mitologi malah menyuburkan keduanya. Kekuatan ideologis agama (salah satunya), terletak pada muatan tabu dan mitologinya yang sering berubah menjadi dogma yang kebal dari segala kritik dan kesalahan. Tabu dan mitologi mengubah agama menjadi ajaran yang tak bisa dipertanyakan dari mana asal-usulnya dan seolah-olah ada begitu saja tanpa bisa dikritik dan selalu bebas dari kecacatan. Tabu menjadi benteng pertahanan berlapis-lapis bagi siapa saja yang mau mempertanyakan sendi-sendi agama, bahkan ia telah mempersiapkan senjata dan para tentaranya untuk menyerang balik musuh-musuhnya. Sedangkan mitologi berfungsi untuk mengaburkan realitas yang sebenarnya terjadi dengan mengalihkan atau menggunakan simbolsimbol dan perumpamaan yang hampir secara sekilas tidak sesuai dengan realitas yang disembunyikannya tersebut. Mitologi sering dibumbui dengan unsur sastra dan cerita rakyat yang apabila kita teliti ternyata banyak memiliki persamaan dengan mekanisme kerja dan proses mimpi yang ideologis. Patologi, anomali, dan kekacauan psikologis dalam agama dapat bersembunyi di balik tabu dan mitologi. Di balik mitos dan ideologi agama yang indah, luhur, bijak, mempesona dan menakjubkan, tersembunyi benih-benih tragedi kegilaan umat manusia. Bahkan dalam Islam, semisal ritual totemik haji, baik tabu dan mitologi keduanya saling bahu membahu 2

Agama Tanpa Wahyu, Agama Masa Depan

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

menyembunyikan dan mensucikan tindak kriminal nabi Ibrahim yang primitif, yaitu berusaha menyembelih anaknya sendiri karena merasa mendapatkan wahyu melalui mimpi. Mimpi merupakan sumber pewahyuan yang menjadi biang keladi munculnya mitos dan tabu yang dikuduskan atas nama misteri dan kegaiban. Wahyu adalah mitos terbesar dalam agama-agama Abrahamik. Oleh karena itu, wajar apabila Freud menyebut agama sebagai fenomena neurosis-obsesional umat manusia, agama adalah penyakit yang disucikan. Bisakah dan bagaimana cara kita menghindar dari tuduhan ini? Mungkinkah kita membangun kembali agama dengan dasar-dasar baru yang lebih sehat dan dewasa, tanpa wahyu, agar lepas dari unsur neurosis atau patologi di dalamnya? Dalam pengamatan penulis, yang terpengaruh oleh teori Animisme E. B. Tylor dan Psikoanalisa Sigmund Freud, patologi dan akar-akar kekacauan psikologis yang ada dalam dasar-dasar agama Islam, terletak pada konsep pewahyuan. Penulis telah menunjukkan indikasi tersebut dalam bab Agama Skizofrenia, di mana asal-usul dasar agama Islam, yaitu wahyu al-Qur'an diperoleh melalui mekanisme dunia alam bawah sadar (unconscious mind) yang patologis dan distortif. Sistem nilai dan perintah moral dalam Islam ditopangkan pada landasan dan fundamen yang lemah. Pewahyuan dalam agama Islam meletakkan pondasinya pada mekanisme kerja mimpi, yang apabila diteliti dengan piranti Psikoanalisa, memiliki akar-akarnya dalam kekacauan psikologis. Yang mengherankan, fenomena mimpi yang patologis tersebut justru dalam agama-agama Abrahamik mendapat status transendental dan ilahiah. Agama mensucikan kekacauan berpikir dalam mimpi, ini yang menjadikan agama sebagai salah satu fenomena kegilaan terbesar umat manusia. Sebenarnya wahyu Islam dapat dipahami dalam kategori-

kategori pengetahuan manusia tanpa harus menyertakan aspek mukjizati, transendental dan ilahiah, justeru yang ilahiah dan transendental menjadi kedok ideologis yang menutupi kepentingan dan patologi di dalamnya. Islam, agama ideologis yang menyihir dan membalikkan kesadaran penganutnya sehingga tidak lagi berpijak dalam realitas. Oleh karena itu, dasar-dasar agama Islam yang diperoleh melalui mekanisme kerja mimpi, tercermin dalam wahyu al-Qur'an, adalah tidak adekuat dan rentan atas kritik. Tesis di atas memang terasa menyengat dan terkesan sentimentil. Penulis sedikit pun tidak bermaksud untuk memusuhi Islam dan menjelek-jelekkannya, karena penulis juga seorang muslim. Penulis hanya ingin menunjukkan kekurangan dan kelemahan yang ada dalam agama Islam, terutama dasar-dasar agama tersebut. Penulis meyakini bahwa agama tidak boleh kebal dari kritik, karena agama yang anti-kritik akan menjadikan dirinya semacam kumpulan ajaran yang dogmatis dan mekanis. Agama yang anti-kritik berpotensi menjadi agama yang kaku dan otoritarian. Agama yang hidup (living religion) dan dinamis selalu membuka kemungkinan kritik dari penganutnya, apabila ia tidak mampu melakukan hal tersebut, agama akan mandeg, statis dan mungkin mati, kalau pun masih hidup ia tidak memiliki nadi dan urat darah. Dengan mengetahui kelemahan dasar-dasar sebuah agama, ini akan memberi kita wawasan bagaimanakah menghindar dari kelemahan tersebut dan mencari dasar-dasar baru yang lebih kuat. Penulis adalah salah satu orang yang berusaha mencari dasar-dasar baru bagi sebuah agama, yang tentunya merupakan semangat pada zamannya, yang kemudian menjadikan agama tersebut lebih kuat, efektif dan manusiawi. Dengan menginsafi kelemahan dasar dalam sebuah agama, memungkinkan bagi kita untuk merekonstruksi kembali agama tersebut sehingga kita bisa

3

4

Agama Tanpa Wahyu, Agama Masa Depan

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

beragama dengan lebih sehat dan dewasa, lepas dari tuduhan yang dialamatkan pada agama, semisal kritik AlRazi, Al-Rowandi, Feuerbach, Marx, E. B. Tylor, Max Muller, Nietzsche, Frazer, dan Freud atau kritik mutakhir dari Stephen Hawking, Richard Dawkins dan Sam Harris. Kritik tidak akan membuat layu sebuah agama, tapi agama yang tidak membuka kritik dari penganutnya akan berubah menjadi dogma yang kering dan lambat laun akan mati. Dalam usaha membangun kembali masyarakat dan negara, kita bisa memulainya dengan mencari dasar-dasar baru bagi sebuah agama yang sesuai dengan semangat zamannya, karena formulasi agama merupakan impuls dasar transformatif bagi perubahan masyarakat dan negara. Agama adalah elemen yang paling mendasar yang mendorong terjadinya revolusi kebudayaan. Setiap terjadinya perubahan formulasi keagamaan, maka getaran ini akan merembet juga pada perubahan sosial. Dengan begitu, ketika dasa-dasar agama yang dianut oleh masyarakat berubah, tentu dasar-dasar yang melandasi bangunan utama masyarakat tersebut juga ikut berubah. Sejarah peradaban Barat, ternyata apabila ditelusuri asalusulnya memiliki akar-akar dalam impuls keagamaan yang bersifat asketis-keduniawian (inner-worldly ascetism). Dengan begitu, berdasar analogi tesis Weberian, setiap terjadi perubahan dalam formulasi agama, tentunya akan mempengaruhi juga perubahan dalam masyarakat dan negara. Formulasi agama yang efektif menjadi kekuatan imperatif bagi perubahan sosial. Dalam term sosiologi Durkheimian, agama merupakan refleksi dari kenyataan sosial yang ada. Agama adalah bayang-bayang dari fakta masyarakat, atau dalam bahasa yang ekstrim Durkheim mengatakan bahwa agama adalah masyarakat yang disakralkan. Agama diturunkan dari fakta masyarakat, dan juga sekaligus sebagai penopang kehidupan dan pembentuk masyarakat itu sendiri sehingga

masyarakat sering menggunakan instrumen ritual agama untuk meneguhkan dirinya atas individu-individu, dalam bentuk kohesi dan solidaritas sosial. Agama adalah simbol penjaga dan alat konservasi masyarakat. Maka, apabila sebuah masyarakat sedang mengalami kondisi anomali dan patologi, tentu agama yang merefleksikan kenyataan masyarakat tersebut juga mengalami gejala dan sakit yang sama. Penopang dan pondasi masyarakat adalah agama, jika buahnya busuk tentu ada yang salah dengan akarakarnya. Gejala sakitnya masyarakat menunjukkan gagalnya agama sebagai kekuatan untuk memasok apa yang dibutuhkan oleh masyarakat dalam menopang kehidupannya. Namun, kelemahan agama Durkheimian adalah agama tidak bisa keluar dari batas-batas masyarakat, ia lebih suka keseimbangan dan orde ketertiban, hal ini menjadikan agama bersifat akomodasionis dan tidak mau melancarkan kritik atas gejala dan kecenderungan masyarakat yang ada. Agama Durkheimian cenderung konservatif dan anti-perubahan. Padahal, kritik atas masyarakat secara terus menerus itulah yang menunjukkan bahwa agama itu ada dan sedang melaksanakan tugas yang seharusnya dilakukan. Hal yang hampir sama juga diajukan dari perspektif Weberian, bahwa agama merupakan roh pembangun masyarakat dan budaya bahkan peradaban. Peradaban manusia, sebagai akumulasi sistem ekonomi, politik, dan budaya memiliki akar-akarnya dalam kekuatan imperatif agama. Apabila ada sebuah masyarakat sedang mengalami krisis dan anomali, maka kita bisa bercermin dalam wajah agama yang dianut oleh individu-masyarakat tersebut. Jadi, kepanikan epistemologis yang dialami masyarakat saat ini dalam mencari sistem nilai dasar untuk dijadikan pijakan hidup mereka, bisa disebabkan agama-agama telah gagal untuk menjawab kenyataan sosial yang ada. Agama tidak lagi melaksanakan tugas yang seharusnya dilakukan.

5

6

Agama Tanpa Wahyu, Agama Masa Depan

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

Agama-agama yang ada tidak mampu mendewasakan individu-masyarakat untuk menghadapi kenyataan yang terus berubah, alih-alih mendewasakan, agama-agama di Indonesia justru mengasingkan individu-individu dari realitas dengan melarikan mereka pada ritual-ritual yang dogmatis dan mekanis. Akhirnya nalar individumasyarakat tercerabut dan potensi-potensi alamiahnya menguap, mereka tidak lagi menjadi manusia yang sesungguhnya. Kita betul-betul telah menjadi bangsa yang sakit, ini terekspresikan dalam bentuk gejala malaise akut, semisal korupsi, amuk masa, kriminalitas, kerusakan alam, kemiskinaan, kebodohan, kegilaan massal dan sebagainya, semuanya itu memiliki akar-akarnya dalam stamina agama yang lembek, yaitu agama yang tidak bisa mempengaruhi perilaku penganutnya. Ada sesuatu yang salah dalam cara beragama kita. Kesalahan itu bukan hanya terletak pada pelakunya saja atau manusianya, tetapi agama itu sendiri juga sedang mengalami krisis dan patologi yang akut. Agama-agama juga bisa sakit, bukan hanya manusia saja. Percuma kita berusaha untuk menjadi insan yang baik, sedangkan dasardasar agama yang menjadi sumber gerakan dan pengikat individu-manusia masih mengalami penyakit kronis. Kritik atas wahyu yang menjadi fundamen agama-agama yang ada adalah langkah pertama untuk mencari dasar-dasar baru bagi sebuah agama masa depan. Apabila dasar-dasar sebuah agama berubah tentu landasan kultural yang mendasari bentuk masyarakat juga ikut berubah. Bentuk agama masih terus mengalami perubahan dan evolusi sepanjang sejarah manusia, jadi tidak betul kalau ada yang mengatakan bahwa agama telah selesai dan paripurna. Maka, semangat zaman sedang merekah dan menuntut adanya perubahan dasar-dasar agama sebagai syarat utama menuju perubahan revolusioner. Perubahan dasar-dasar agama merupakan pendorong nomer satu bagi

terwujudnya revolusi kebudayaan. Para ahli tafsir, pembaharu, pemikir liberal dan kaum feminis telah banyak melakukan kritik terhadap pemikiran dan tafsir agama Islam yang bercorak skriptural, fundamentalis, dan ortodoks. Dalam hal ini, mereka berhasil melihat kelemahan-kelemahan ajaran Islam, namun itu hanya pada gejala-gejalanya saja, bukan jantung dan akar-akar patologinya. Apabila dasar-dasar agama masih berakar pada patologi, tentu gejala-gejala penyakit yang ada pada agama tersebut akan selalu muncul dan tak akan pernah lenyap, meski sudah mendapat serangan dari kaum liberal atau pun pembaharu. Penyakit yang ada pada agama Islam bukan pada tafsir penganutnya, tetapi akarakarnya yang menghunjam jauh dalam kekacauan psikologis, yaitu pewahyuan. Mengganti wahyu sebagai dasar agama Islam dengan dasar lain yang lebih kokoh, manusiawi dan sesuai dengan semangat zaman, adalah babak baru bagi agama yang lebih sehat dan dewasa. Dengan begitu, langkah awal bagi agama revolusioner adalah melakukan kritik atas wahyu dan menunjukkan kelemahan-kelemahannya serta patologi dan anomali yang disembunyikannya, dengan demikian sejarah agama baru akan dimulai. Agama yang benar dan teruji adalah agama yang mampu mewujudkan keselamatan dan kemenangannya di dunia, bukan sekedar di akhirat saja. Agama yang tidak mampu menunjukkan kemenangannya di dunia adalah agama yang kalah atau pecundang. Menguji kebenaran sebuah agama terletak pada bagaimana agama itu bisa mengikat, mendorong dan mempengaruhi penganutnya dalam merealisasikan tujuan-tujuannya di dunia. Agama yang dinamis adalah agama yang dapat menyentuhkan ruh pengikutnya pada gerakan sejarah, ia menjadi daya kendali sejarah (driving force of history). Sedangkan agama yang statis adalah agama yang tidak mampu menghasilkan gerakan

7

8

Agama Tanpa Wahyu, Agama Masa Depan

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

karena ia gagal mengubah perilaku dan mental penganutnya, maka jenis agama ini hanya menjadi timbunan sejarah. Agama lebih mirip untuk dikatakan sebagai gerakan, dan bukan sekedar ide refleksi pemikiran, walaupun impuls awalnya agama muncul dari ide-ide pikiran. Agama bukan sekedar nilai-nilai ideal yang kita sebenarnya mampu memahaminya tanpa kehadiran wahyu. Dilihat dari potensi dan pertumbuhan psikisnya dalam rentang zaman yang panjang, kedewasaan akal-budi manusia sudah bisa memahami, menemukan dan mencari kebenaran nilai-nilai moral tanpa campur tangan wahyu ilahiah. Manusia adalah sumber moral yang sejati, bukannya tuhan, hukum moral identik dengan kemanusiaan. Sikap beriman tidak ditentukan oleh sejauh mana kita percaya dan tunduk pada tuhan, tapi seberapa besar cinta dan pengabdian kita pada kemanusiaan. Agama adalah kemanusiaan, bukan ketuhanan. Meski manusia telah mengimani tuhan belum tentu ia telah beragama. Begitu juga kekafiran bukanlah tindak durhaka dan pembangkangan pada tuhan, tapi sikap pembinasaan pada nilai-nilai kemanusiaan dalam diri kita sendiri. Kita adalah sahabat manusia, bukan sahabat tuhan. Berpikir dan bekerja lebih bermanfaat daripada berdoa dan bersolawat. Menyatukan diri dengan kemanusiaan lebih mulia daripada penyatuan dengan tuhan. Muncul di tengah keramaian demi membangun kembali masyarakat dan negara lebih religius daripada menyepi dan berdoa di tempat-tempat ibadah yang keramat. Tempat suci agama tanpa wahyu ada di pasar-pasar yang berjubel, jalanan yang penuh terik panas matahari, gubuk-gubuk kumuh para tunawisma, sawah-sawah penyambung kehidupan negara, pabrik-pabrik para buruh yang tercerabut dari kehidupan, lautan yang dibelah para nelayan demi mencerdaskan kehidupan anak bangsa, kuli-kuli panggul yang setiap hari sudah berpuasa, pembuangan sampah

yang menjijikkan atau sekolah-sekolah tempat pengetahuan diperjualbelikan. Yang mempersatukan agama-agama yang ada bukanlah wahyu dan tuhan, tapi kemanusiaan dan semangat zaman. Nabi agama masa depan bukanlah manusia yang memperoleh wahyu, tapi para manusia yang mampu meresapi derita dunia, yang dengan itu, ia membangkitkan dan membebaskan enersi kreatif dalam diri manusia yang terbelenggu oleh eksploitasi dan alienasi. Pembebasan psikis dari cengkeraman berhala kekuatan ekonomi-politik dan budaya merupakan salah satu misi agama yang sesuai dengan semangat zamannya. Agama masa depan adalah messianisme dengan bahasa pengetahuan dan kemanusiaan. Kita betul-betul telah dewasa. Maka, masa depan agama anti-wahyu sedang menyingsing, dan kuburan agama-agama wahyu sedang dipersiapkan.

9

10

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

II

SPIRITUALISME KAUM ATEIS Banyak orang yang beriman kepada tuhan, tapi sebenarnya mereka tidak beragama. Kenapa bisa demikian? Sejatinya, agama bukanlah masalah tentang ketuhanan, sebuah konsep abstrak yang rumit dan berbelit-belit, tapi tentang kemanusiaan, ajaran yang seharusnya mendarah daging dalam sejarah. Walaupun agama mengajarkan tentang ketuhanan, namun tuhan di sini dimengerti bukan sebagai kekuatan absolut yang ada di luar diri manusia yang selalu mengawasi dan menggentayangi kita tapi sebagai daya hidup dan kekuatan pembebas dalam diri manusia itu sendiri. Akibat keterbatasan kita memahami tuhan yang sebenarnya, lebih tepat ia didefinisikan sebagai tiada daripada ada. Kategori-kategori pengetahuan manusia mengalami keterbatasan dalam mendefinisikan konsep tuhan yang transenden, sehingga pengertian tuhan selama ini dalam agama-agama Abrahamik lebih bisa disebut sebagai berhala ketimbang tuhan yang sebenarnya. Di sisi lain, tuhan yang dipersepsikan masyarakat, oleh Animisme Tylor dan Materialisme Feuerbach, telah ditelusuri bahwa daya-daya psikis dan kepribadian manusia menjadi akar bagi munculnya konsep ketuhanan yang kemudian kita kenal pengertian-pengertiannya dalam agama primitif, agama dewa-dewi hingga agama Abrahamik. Tidak ada konsep ketuhanan yang bisa lepas

dari bentuk dan model kepribadian manusia. Ketuhanan yang ada sampai sekarang, adalah produk keterasingan manusia yang hidupnya dirampok oleh kenyataan (Marx), atau proyeksi atribut kedirian manusia ke dunia luar (Feuerbach). Bukan manusia sebagai citra tuhan, tapi citra manusia adalah tuhan. Manusia adalah pusat agama, ia menjadi sumber moralitas. Tujuan dari segala tindakan moral sebesarbesarnya diarahkan demi kemanusiaan. Manusia adalah tujuan itu sendiri bukan alat atau sarana untuk mencapai tujuan lain. Pengorbanan demi kemanusiaan menjadi ibadah pertama bahkan puncak tertinggi keutamaan (summum bonum), seperti dalam pengorbanan diri Yesus sebagai anak manusia, adalah contoh keutamaan tertinggi dalam keberagamaan. Manusia adalah alasan beradanya sejarah dan alam semesta. Keberadaan manusia menentukan eksistensi lain yang tidak bisa menjelaskan dirinya sendiri. Manusia menjadi tujuan terciptanya sejarah dan alam semesta. Oleh karena itu, manusia adalah fakta moral. Tubuhnya, darahnya, air matanya, keringatnya, perasaannya, kehendaknya, naluri instingnya, jiwanya, inderawinya, cita-citanya dan segala hal yang menempel secara inhern pada eksistensi manusia menjadi bahan diskursus moral. Manusia merupakan alasan beradanya (raison d'etre) moralitas. Moralitas tidak perlu lagi didasarkan pada paham ketuhanan yang neurotik dan delusif. Ketuhanan tidak bisa menyatukan agama-agama yang berbeda-beda, karena banyak agama yang tidak memiliki konsep ketuhanan, semisal agama totem, dan yang lainnya. Ketuhanan bukanlah elemen yang paling mendasar dari agama. Paham ketuhanan juga tidak mampu menyatukan umat manusia. Kesetaraan, persamaan, dan kebebasan didasarkan dalam watak diri manusia itu sendiri, bukan di luarnya. Keadaan dan nasib umat manusia dalam struktur dasar 2

Spiritualisme Kaum Ateis

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

masyarakatlah yang menjadi asas persamaan dan kesetaraan dalam perjuangan sejarah. Dunia telah memperlihatkan bagaimana perbedaan paham ketuhanan menciptakan perselisihan, perang dan teror kemanusiaan yang sampai sekarang tidak kunjung berakhir. Yang menyatukan agama-agama bukanlah doktrin tentang ketuhanan, atau kewahyuan dan kitab suci, tetapi kemanusiaan yang luhur dan alamiah. Elemen mendasar dalam agama bukan terletak pada paham ketuhanannya yang otoritarian, tapi gambaran tentang manusia yang terus menerus bersetubuh dengan dunia. Seandainya tuhan bukan lagi pusat agama, maka spiritualisme yang mewujud bersama sifat dan eksistensi ketuhanan sudah tidak bermakna lagi. Mistisisme atau gairah spiritual tidak lagi mendasarkan pada pengalaman ketuhanan, tapi meresapi hakikat dan pengalaman kemanusiaan. Mistik baru bersumber dari hakikat kemanusian, bukan kegaiban dan ketuhanan. Menyatu dengan kehidupan manusia jauh lebih menghidupi daripada menyatu dengan wujud tuhan. Menyentuh tubuh manusia yang malang dan penuh derita sengsara merupakan dasar-dasar kenabian baru. Kenabian tidak lagi diturunkan dari wahyu dan atribut ketuhanan, melainkan dinubuwahkan melalui penautan diri dengan kehidupan para kaum pecundang yang terkalahkan oleh kenyataan. Di mana ada kemiskinan, kebodohan, keterasingan, dehumanisasi, atau eksploitasi, benih-benih kenabian akan berkecambah. Pentahbisan kenabian baru disematkan oleh rasa kemanusiaan. Meresapi penderitaan umat manusia merupakan roh yang menghidupkan rantai kenabian secara terus menerus. Kenabian baru (new prophecy) mengabarkan tentang era dan munculnya manusia utama. Manusia yang berani mendepak tuhan dari tahta agama. Kenabian tidak lagi mengabarkan janji-janji tuhan tentang surga dan akhirat, tapi imperatif yang mendesak kita untuk

berpetualang di dunia serta menjadikan semesta sebagai bukti kebenaran agama yang mendarah daging dengan manusia. Kenabian dan mistisisme baru tidak lagi merabaraba dunia supranatural yang gaib, tetapi merasakan nikmat siraman panas cahaya matahari di tengah jalanan, menahan beban derita lapar dan kekurangan, menggerakkan tangan dan kaki di tengah lumpur bebatuan, menarik secarik kertas berharga dengan memikul karung beras di pelabuhan, atau membusungkan dada di depan laras senjata kekuasaan yang korup dan otoritarian. Meresapi derita hidup manusia merupakan impuls penggerak naluri mistik untuk menuju pengalaman puncak keberagamaan, yaitu turun dari langit perenungan ke tengah keramaian manusia demi membangun kembali masyarakat dan negara, maka realisasi ibadah mistik yang paling utama adalah pengorbanan demi kehidupan umat manusia, menghidupi kehidupan. Oleh karena itu, manusia dan alam raya dengan segala isinya adalah bahan-bahan nyata bagi pengalaman spiritual dan mistisisme baru. Manusia yang memiliki spiritualisme humanis akan melihat dirinya dalam angin yang melambai-lambai, pohon-pohon yang sedang bercengkerama, dindingdinding yang berbisik, hewan-hewan yang mengajak bergurau atau sinar matahari yang menyemangatkan raga. Alam raya adalah citra diri manusia, semuanya menjadi bagian dari dirinya. Ketika manusia melihat wajah alam, sebenarnya ia sedang menyaksikan dirinya sendiri. Langit adalah dada manusia, air bumi adalah cucuran keringat kita, pohon-pohon adalah kaki-kaki kita, udara adalah nafas kita, dan seterusnyaa. Cukup dengan mengarahkan indera pada rerumputan atau langit biru, manusia sudah bisa merasakan kegembiraan dan ekstase yang meluapluap. Salah satu ciri mistik yang dewasa adalah gerak simplisitas dan kesederhanaannya, contohnya ekstase yang ditimbulkan intensi inderawi pada objek-objek alam dan

3

4

Spiritualisme Kaum Ateis

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

makhluk hidup lainnya, tanpa harus menyepi, mengasingkan diri dan bertapa dari naluri insting kita. Mistik baru bukan mencari kesendirian dan perenungan, tapi bercampur di tengah keramaian dan mewujudkan diri dengan tindak material demi penyempurnaan essensi manusia yang terdalam. Inderawi manusia adalah sumber sensasi spiritual yang alamiah. Di sini, kita menolak ekstase yang ditimbulkan oleh intuisi ketuhanan yang sebenarnya berakar dalam patologi yang neurotik dan delusif. Intuisi pewahyuan dan misitisisme ketuhanan merupakan ekspresi keberagamaan yang kekanak-kanakan dan belum dewasa. Watak alamiah manusia sebagai insting kreatif yang membentuk kebudayaan, adalah cikal bakal bagi munculnya agama, oleh karena itu budaya merupakan rembesan dari semangat keberagamaan, atau lebih ekstrim lagi budaya adalah agama itu sendiri. Sebagaimana dikatakan oleh Clifford Geertz, agama merupakan sistem kebudayaan yang dengannya manusia bersikap, berhadapan dan memperlakukan kenyataan, ia membentuk pikiran, perasaan, tingkah laku, dan kesadaran individuindividu, penulis menyebutnya agama historis. Dengan mendefinisikan agama sebagai kebudayaan yang menyejarah, dan bukan lagi hal-hal yang bersifat supranatural dan metafisik, tentu manusia akan menjadi bahasan utama, karena budaya adalah sesuatu yang bersifat manusiawi. Dalam perspektif ini, budaya diartikan sebagai tindak aktivitas manusia yang dihasilkan bukan karena interaksi dengan dunia supranatural, juga bukan karena respon terhadap kabar pewahyuan. Yang menciptakan nilai dan budaya bukanlah wahyu melainkan manusia. Peradaban atau kebudayaan bukan dinamai peradaban tuhan atau nubuwwah tetapi peradaban manusia. Hubungan manusia dengan budaya bukanlah hubungan dengan wahyu, tetapi hubungan dengan

pemikiran dan tindakan yang dilaksanakan oleh manusia, (Adonis; 2007). Budaya juga berkaitan dengan daya-daya dan potensi alamiah manusia, karena peradaban atau budaya dihasilkan dari swa-cipta dan aktualisasi diri manusia di tengah sejarah dan alam semesta. Kebudayaan adalah proses tumbuh kembang kedirian manusia demi pemenuhan kebutuhan dasarnya sehingga mekar potensipotensi alamiahnya yang terdalam. Maka, meski seseorang telah beriman kepada tuhan, itu bukan jaminan kalau ia beragama, karena ibadah yang sebenarnya tidak lagi ditujukan pada tuhan tapi pada segala hal yang bersifat kemanusiaan. Kami menyebut jenis agama di atas sebagai agama kemanusiaan, agama tanpa wahyu, lawan dari agama pewahyuan yang mendasarkan ajarannya pada fundamen ketuhanan. Agama wahyu yang mengajarkan bahwa kehidupan manusia hanya demi sebuah ibadah pada tuhan yang berdiri sendiri di luar, adalah tindak pengingkaran atas kemaanusiaan. Hal ini juga merupakan salah satu bentuk keterasingan manusia dari dirinya sendiri. Perwujudan agama ditentukan bukan seberapa besar rasa iman kita pada tuhan tetapi seberapa besar kita mencintai dan mengorbankan diri demi kemanusiaan. Imperatif dasar dalam agama bukan ditopangkan pada wahyu yang delusional tapi pada cahaya batin dalam setiap individu manusia. Yang membedakan antara agama kemanusiaan dan agama wahyu adalah, yang pertama menjadikan manusia sebagai sumber moral keutamaan, dan yang kedua meletakkan sumber moral dalam kepercayaan pada tuhan yang delusif dan neurotik sebagai asal-usul kebaikan. Yang pertama bersifat antroposentris dengan menopangkan moralitas pada asas kesadaran (consciousness) manusia, sedangkan yang kedua bersifat teosentris dengan mendasarkan moralitas pada wahyu ketuhanan yang muncul dari pikiran alam bawah sadar (unconscious mind)

5

6

Spiritualisme Kaum Ateis

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

yang patologis, karena asal-usul wahyu memiliki akarakarnya dalam kekacauan psikologis (tesis ini bisa dilihat dalam bab terakhir di buku Agama Skizofrenia). Catatan penulis, tidak ada paham tengah yang disebut teoantroposentris, karena ia tidak berpendirian dan tidak jelas konsistensinya. Ketuhanan yang metafisik tidak bisa menjadi fakta moral. Kegaiban, magi, mana, tabu, kesucian, jin, dewa, setan, malaikat dan semisalnya, bukanlah bahan-bahan diskursus moral dan juga bukan elemen mendasar dari agama. Fakta moral harus dirumuskan dari asas dan elemen yang menjadi sumber dari segala sumber moralitas. Fakta moral harus berangkat dari realitas yang konkret, meski dari yang konkret ini nanti muncul metafisika dan falsafah moral. Maka, yang paling layak menjadi fakta moral adalah manusia, mulai dari tubuhnya, jiwanya, kehendaknya, instingnya, air matanya, hingga ujung jarinya yang terkecil. Akibatnya, metafisika dan falsafah yang muncul dari manusia yang riil tersebut dinamai kemanusiaan. Disiplin ilmu-ilmu budaya atau humaniora (geisteswissenschaften) bersumber dari metafisika dan falsafah kemanusiaan ini. Dalam diri manusialah, yang awal dan yang akhir bertemu. Roh, setan, jin, malaikat, dewa-dewa bahkan tuhan, berasal dari kedirian manusia. Ia merupakan titik awal keberangkatan falsafah, ilmu pengetahuan, agama dan budaya, semuanya mengabdi demi manusia. Keabadian ada dalam kemanusiaan. Seluruh atribut-atribut alam raya menempel dalam eksistensi manusia. Jagat raya yang tak terbatas termampatkan dalam pikiran kita. Tidak ada yang lebih luhur selain manusia. Memang manusia itu lemah dan kerdil, tapi tanpanya alam semesta tidak memiliki makna. Manusialah pusat singularitas dan gravitasi semesta. Kelahirannya menjadi tujuan perjalanan evolusi sejarah dan alam semesta.

Cerita bahwa kaum ateis tidak memiliki moralitas dan rasa kemanusiaan, itu adalah mitos besar. Melabeli kaum anti-tuhan sebagai tidak memiliki wawasan spiritual dan naluri kerohaniahan adalah pandir. Dalam berbagi hal, ateisme justru merupakan tingkatan tertentu dalam pendakian puncak pengalaman keberagamaan. Sering pikiran skeptis seorang ateis menjadi titik tolak bagi lahirnya pembaruan keagamaan. Buku ini berisi uraian lepas yang berusaha menunjukkan dan meyakinkan kepada pembaca bahwa kaum ateis yang selama ini dianggap sebagai orang yang tidak beragama, ternyata memiliki denyut dan pesona mistisisme yang kuat dan mengagumkan. Mereka, meski ateis, memiliki getaran semangat religiositas menyala-nyala, mengalahkan iman para agamawan yang penakut dan tidak memadai, karena tersihir kebun magis surga yang imajiner. Mengapa para kaum ateis banyak mengumandangkan komentar miring terhadap agama dan konsep ketuhanan yang sedang dianut oleh masyarakat pada waktu itu? Mereka menyerang agama, karena agama pada masanya dianggap gagal dalam melaksanakan tugas yang seharusnya dilakukan. Mereka menafikan tuhan, bukan mereka tidak meyakini tuhan itu sendiri, tetapi menolak konsep atau formula ketuhanan yang dipercayai masyarakat pada saat itu karena tidak mampu membebaskan kekuatan kreatif manusia justru menjadi ruang pelarian dari kenyataan yang ada. Mereka ateis disebabkan ketuhanan dan agama yang ada membunuh insting dan watak alamiah manusia yang sebenarnya, atau malah memundurkan sikap kritis dan nalar yang seharusnya ditujukan pada realitas kebudayaan kita. Bagi mereka, agama dan ketuhanan harus diformulasikan kembali sesuai dengan semangat zamannya, karena bukannya makin memperhalus watak dan akal-budi manusia, malah membuat tenaga, pikiran dan mental kita

7

8

Spiritualisme Kaum Ateis

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

tercerabut. Semakin manusia mensifati dirinya dengan tuhannya masyarakat, semakin ia tidak memiliki kehidupan dan berkurang potensi-potensi alamiahnya. Keyakinan pada agama dan ketuhanan yang otoritarian akan memandulkan sifat kemanusiaan kita. Karena agama berpusat pada manusia, tentu pengertian dan pemahaman kita yang memadai akan falsafah manusia menentukan bagaimana agama bisa bersetubuh dalam kenyataan dunia. Contohnya, pengertian manusia utama (prime human) tidak lagi bisa dijelaskan dari perspektif tasawuf yang metafisik-spekulatif, semisal Insan Kamil dari Ibn Arabi yang menerangkan bahwa manusia merupakan manifestasi atau tajalli tuhan, tapi tipe manusia harus didefinisikan dari kegiatannya dalam dunia, dari tindakan materialnya atas sejarah atau semangat zamannya yang menghembuskan roh pada tubuh. Bgmn kita bisa menghubungkan jenis manusia ilahiah tersebut dengan realitas kontemporer, seperti dunia ilmu pengetahuan-teknologi dan industrialisasi yang sudah meninggalkan jauh era tasawuf yang primitif? Falsafah dan tasawuf Islam selama ini menjelaskan pengertian manusia dalam term metafisik-spekulatif yang jauh dari realitas. Kita tidak bisa menatap masa depan dengan kaca mata pengertian yang tak memiliki cahaya dalam melihat realitas kekinian. Apabila pengertian manusia ilahiah tersebut diyakini oleh sebagian besar umat islam, tentu akan membuat mereka terasing dari kenyataan sejarah. Definisi manusia harus berangkat dari kenyataan, meskipun dalam perjalanan waktu, definisi ini akan selalu berubah sesuai dengan realitas sosial yang dinamis. Pengertian manusia yang metafisik-spekulatif condong ahistoris, konstan dan tidak memadai dalam mendukung proses pembangunan dan pemekaran potensi-potensi alamiah manusia di tengah pusaran kenyataan. Ketidakmampuan kita dalam memberi makna eksistensi kita sebagai manusia dalam pusaran

kenyataan merupakan titik awal kematian manusia sebagai subyek dan pengendali sejarah.

9

10

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

III

IDEOLOGI, FERMENTASI RELIGIUS DAN GERAKAN AGAMA BARU Hantu perubahan sedang bergentayangan di mana-mana A. Pendulum Perubahan, Sirkulasi Elit, dan Kendali Sejarah Zaman terus bergerak. Alam raya pun senantiasa mengembang. Maka, tidak ada alasan bagi kita hanya diam duduk termangu menyaksikan perubahan diseret oleh arus sejarah. Di negeri ini, perubahan yang diharapkan bisa menyentuh struktur dasar masyarakat selalu dimentahkan oleh kekuatan-kekuatan tertentu yang justru melenyapkan peran manusia sebagai subyek sejarah. Perubahan yang terjadi mirip dengan ayunan bandul yang tidak dapat melakukan putaran penuh karena harus kembali ke tempat semula. Perubahan bagaikan pendulum yang selalu bergerak siklis, tidak kuasa untuk melahirkan paradigma baru karena selalu dimanipulasi oleh kekuatan-kekuatan tertentu. Kekuatan-kekuatan ini tidak menghendaki perubahan yang sebenarnya karena dampak perubahan tersebut dianggap bisa membuka kedok yang menutupi eksploitasi, ketimpangan material, atau kontradiksi yang selama ini terjadi dalam realitas masyarakat. Di negeri ini, sudah terjadi peralihan sistem politik selama beberapa dasawarsa. Mulai dari demokrasi liberal

dan terpimpin pada zaman Orde Lama, kemudian dilanjutkan oleh pemerintahan otoriter di masa Orde Baru, dan sekarang kita sedang memasuki Era Reformasi dengan model demokrasi angin-anginan versi entah dari mana. Perlu menjadi refleksi bahwa kita telah berganti-ganti sistem politik pemerintahan, namun tidak ada perubahan fundamental yang mampu mengangkat struktur dasar masyarakat, kalau pun ada perubahan yang berarti, perubahan tersebut berkubang dalam sirkulasi elit yang tiada habisnya. Peralihan sistem politik tidak sekaligus memunculkan perubahan yang mendasar. Kenyataannya, institusi politik yang paling demokratis sekali pun tidak mampu memberi dampak perubahan pada struktur dasar negara dan masyarakat, demokrasi justru mentahbiskan sirkulasi elit yang berujung pada pemerintahan oligarkis. Memang telah terjadi perubahan di sana-sini berkaitan dengan kebebasan berpolitik, berkeyakinan, dan berpendapat, tapi ini adalah perubahan sekunder yang sama sekali tidak bisa menjangkau transformasi masyarakat yang sebenarnya. Pergantian sistem politik pemerintahan sebagai jawaban untuk memunculkan perubahan yang mendasar dalam negeri ini betul-betul mengalami kegagalan. Pergantian sistem politik sama sekali tidak identik dengan perubahan yang menyentuh masyarakat, karena negara dan masyarakat ternyata tidak mendasarkan diri pada pondasi sistem politik. Sistem politik bukanlah basis bagi hadirnya perubahan yang mampu menjangkau struktur dasar masyarakat (basic structure of society). Apabila menginginkan terjadinya perubahan yang fundamental, kita harus terlebih dahulu mengetahui di atas landasan apakah negara dan masyarakat ini menopangkan diri. Dengan mengubah landasan di mana aspek politik, budaya, agama, hukum dan ilmu pengetahuan menopangkan diri, maka tentunya akan terjadi pula 2

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

perubahan dalam struktur dasar masyarakat dan negara. Pergantian sistem politik hanya mampu mengubah suasana politik saja. Ekonomi, hukum, budaya, ilmu pengetahuan dan agama tidak akan terjangkau oleh perubahan politik, karena politik bukanlah faktor determinan dan fundamental atas faktor-faktor tersebut. Dan, yang lebih memprihatinkan lagi, perubahan politik hanya dinikmati oleh segmen atau kelas tertentu saja, bahkan sistem demokrasi yang paling demokratis sekalipun tidak bisa menghindar dari bentuk oligarki, maka perubahan politik demokrasi berkubang dalam lingkaran sirkulasi elit yang sama sekali tidak ada pengaruhnya terhadap proses transformasi masyarakat. Sirkulasi elit ini diawetkan oleh mekanisme demokrasi, yaitu melalui pemilu. Pemilu sebagai mekanisme pengejawantahan sistem politik demokrasi sering menjadi alat legitimasi dan rasionalisasi bagi kaum oligarki untuk tetap berkuasa. Kita telah melihat bagaimana pemerintahan yang dihasilkan oleh suara rakyat ternyata tidak mampu melaksanakan kehendak umum rakyat itu sendiri. Meski dihasilkan oleh mekanisme demokrasi, tidak menjamin ia akan melaksanakan amanat masyarakat. Oleh karena itu, makna terpenting dari demokrasi bukanlah ia sekedar dipilih oleh masyarakat, namun mampukah ia melaksanakan kehendak umum masyarakat. Dengan begitu, pemerintahan yang otoriter sekalipun bisa dianggap demokratis asalkan ia betul-betul melaksanakan kehendak umum, meski ia tidak dipilih melalui pemilihan umum. Hasil pemilihan umum tidak identik dengan kehendak masyarakat yang sebenarnya. Dengan merefleksikan kalimat-kalimat di atas, maka pemerintahan sekarang yang dihasilkan oleh mekanisme pemilihan umum bisa dianggap tidak demokratis karena gagal dalam melaksanakan kehendak umum. Pemerintahan yang tidak mencerminkan kehendak

umum sebenarnya secara etis bisa digulingkan. Mekanisme pergantian pemimpin politik tidak harus menunggu lewat pemilu yang berikutnya. Gagal dalam melaksanakan kehendak umum terlihat pada produk hukum negara dan norma masyarakat yang menyembunyikan dan menyiratkan kepentingan oligarkis. Moralitas dapat didefinisikan sebagai perlawanan terhadap hukum negara dan norma sosial yang tidak lagi merefleksikan keutamaan. Negara dan pemerintahan yang ada tidak lagi memperhalus watak alamiah dan akal-budi kita, malah mencemarkan dan mengasingkan dari diri kita sendiri. Pembangkangan sipil dapat dikatakan bermoral ketika melawan hukum negara dan norma sosial yang sudah tidak lagi melaksanakan kehendak umum. Karena ingin terus berkuasa, tetapi gagal dalam melaksanakan kehendak umum, pemerintah kemudian berusaha menciptakan mekanisme ideologi untuk memalsukan kenyataan yang sebenarnya terjadi sehingga kesadaran indvidu-masyarakat terdistorsi secara manipulatif. Hukum negara dan norma sosial, sebagai tangan panjang kekuatan ideologis, sering digunakan untuk menutupi dan menyembunyikan tindak kriminalitas oligarki yang berkuasa. Hal ini mengakibatkan perubahan yang seharusnya muncul dari gerakan masyarakat bawah tidak akan pernah terjadi. Yang terjadi hanyalah perubahan siklis yang kemudian berkubang dalam sirkulasi elit, dan ini dilestarikan melalui mekanisme pemilu. Pemilu merupakan alat bagi kekuatan-kekuatan tertentu untuk terus mengukuhkan dominasinya di negeri ini. Maka, mekanisme perubahan yang sebenarnya tidak lagi membutuhkan pemilu, karena pemilu hanyalah instrumen yang diciptakan oleh kekuatan-kekuatan kapital untuk melegitimasi kekuasaan mereka melalui proses-proses yang konstitusional dan demokratis. Pemilu menjadi topeng ideologis yang menyembunyikan dominasi kelas tertentu.

3

4

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

Kekuatan yang lalim dapat dengan mudah menaklukkan gerakan perubahan dengan membuat aturan-aturan demokratis. Oleh karena itu, kita harus berani untuk mengatakan bahwa pemilu adalah musuh gerakan perubahan. Pemilu dalam banyak hal menghasilkan pemimpin-pemimpin politik yang sakit, akomodasionis, dan mudah berkompromi dengan kekuatan status quo. Tanpa pemilu, gerakan perubahan revolusioner yang menyentuh struktur dasar masyarakat dan nilai-nilai yang mendasarinya (basic structure of society and its underlying values) akan sangat mungkin untuk diwujudkan. Negeri tanpa perubahan mirip dengan kuburan zombie. Mereka hidup tapi seperti mayat yang tidak memiliki aliran darah dan kehendak bebas. Perubahan harus muncul untuk menggerakkan dan memberi nafas pada darah dan saraf jantung kita. Kekuatan status quo dan kelas yang dominan selalu menginginkan kita agar tetap menjadi mayat hidup, yaitu selamanya keringat dan tubuh ini menjadi susu dan roti di atas meja makan kehidupan kelas yang berkuasa (ruling class). Maka, potensi munculnya perubahan yang sebenarnya bisa dianggap mengganggu kepentingan kelompok yang sedang berkuasa. Dan, untuk menjaga kelestarian dan stabilitas, kekuatan-kekuatan yang sedang berkuasa terus berusaha menutupi ketimpangan dan kontradiksi dalam masyarakat dengan menggunakan piranti ideologi. Ideologi dapat menyamarkan kecacatan dan anomali dalam masyarakat yang membuat potensi perubahan bisa dimandulkan. Kekuatan-kekuatan yang sedang berkuasa menikmati kekuasaan mereka dengan cara memanipulasi dan mengaburkan realitas yang ada. Ideologi adalah kekuatan manipulatif yang bergerak secara tersembunyi untuk menancapkan pengaruhpengaruh kekuasaan dari kelompok tertentu terhadap individu-masyarakat melalui cara-cara yang regulatif dan

positif sehingga kita merasakan pengaruh tersebut sebagai sesuatu yang wajar dan normal. Ideologi mampu menyamarkan kontradiksi, kecacatan, dan ketimpangan material yang sedang terjadi dalam masyarakat dengan kedok kemajuan dan pembangunan, padahal di balik kemajuan dan pembangunan itu tersirat kepentingankepentingan kelas tertentu. Ideologi selalu berusaha untuk melindungi kepentingan-kepentingan terselubung yang menjadi milik kelas atau kelompok tertentu. Ideologi mengaburkan cara pandang kita terhadap realitas masyarakat yang diam-diam menyembunyikan anomali, kontradiksi, dan eksploitasi dengan alat bantu pengetahuan, agama, hukum, dan norma masyarakat. Dalam bangunan agama, hukum, pengetahuan dan norma masyarakat tersirat kepentingan dari kekuatan kelas yang dominan. Agama, pengetahuan, hukum negara dan norma masyarakat bisa dikatakan bersifat ideologis apabila mereka berhasil dalam menebarkan kuasa dan memutarbalikkan cara pandang kita terhadap kenyataan yang sebenarnya, dengan kata lain, ideologi selalu menghasilkan kesadaran-palsu (false-consciousness). Kesadaran-palsu tidak dapat menilai dan melihat “kenyataan yang sebenarnya”, yang dipersepsi oleh jenis kesadaran ini adalah kenyataan yang telah dimanipulasi. “Kenyataan yang ada” dalam masyarakat sering dimanipulasi oleh kepentingan ideologis, sehingga “kenyataan yang ada” tidak bisa memperlihatkan diri apa yang sebenarnya terjadi dalam struktur masyarakat. Kenyataan yang ada menyembunyikan borok dan bau busuk, namun kita menganggapnya sebagai sesuatu yang normal dan biasa. Ideologi mempengaruhi cara pandang kita terhadap realitas. Eksploitasi, ketimpangan material, dan anomali yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat bisa disamarkan dan disembunyikan oleh mekanisme ideologi sehingga kita tidak lagi menyadari kenyataan yang

5

6

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

sebenarnya terjadi dalam masyarakat dan kita pun tidak akan pernah tahu kalau masyarakat sebenarnya sedang sakit. Kita tidak lagi bisa menilai diri kita sendiri, karena kesadaran kita sedang dijangkiti oleh patologi yang tersembunyi. Apabila hanya terpaku pada “kenyataan yang ada” atau yang nampak saja, maka kita sudah terkecoh oleh mekanisme ideologi yang manipulatif dan distortif. “Kenyataan yang ada” dalam masyarakat bukan berarti itu adalah “kenyataan yang sebenarnya”. “Kenyataan yang sebenarnya” akan terlihat apabila kesadaran (consciousness) terhindar dari belenggu kooptasi ideologi yang membuat kita bisa menilai apa yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat. “Kenyataan yang sebenarnya” hanya bisa dipersepsi oleh kesadaran yang bebas dari pengaruh ideologi sehingga kita bisa menilai dunia luar tidak hanya dari penampakannya saja melainkan juga apa-apa yang disembunyikan. Sedangkan “kenyataan yang ada” ditandai oleh munculnya ideologi yang sedang mempengaruhi kesadaran sehingga kita tidak bisa lagi menilai apa yang sebenarnya terjadi di dunia luar, yang terlihat hanyalah penampakan atau kedoknya saja, apa-apa yang tersembunyi tidak lagi terjangkau. “Kenyataan yang ada” sering dianggap sebagai “realitas yang sebenarnya”, karena memang pikiran kita telah terdistorsi oleh kekuatankekuatan tertentu sehingga kita tidak pernah bisa mencapai pada pemahaman tentang “kenyataan yang sebenarnya”. Padahal di balik “kenyataan yang ada” dalam masyarakat itu tersembunyi ketimpangan material, anomali, gejala patologi, dan kontradiksi yang tak akan dapat diketahui apabila kita hanya menjadi manusia normal dan adaptif terhadap lingkungan masyarakat. Manusia yang selalu menginternalisir nilai-nilai sosial dan mengidentifikasi dirinya sebagai bagian masyarakat sering tidak bisa menilai anomali atau keanehan yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat. Melakukan kritik

terhadap gejala yang ada dalam masyarakat tidak mungkin efektif apabila pemikiran, perasaan, dan tindakan kita justru sangat ditentukan dan dipengaruhi oleh masyarakat itu sendiri. Kita dapat menilai kenyataan yang ada dalam masyarakat secara benar dan objektif apabila kita independen dan ada di luar kuasa masyarakat. Ada di luar masyarakat diartikan sebagai keadaan kesadaran kita yang bebas dan otonom dari pengaruh kekuatan ideologis masyarakat ke dalam pikiran dan perasaan kita. Untuk dapat menilai apa yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat, kita perlu menjaga jarak dari masyarakat dan menumbuhkan otonomi yang membuat kita independen dari pengaruh balik masyarakat ke jiwa kita. Menjaga jarak dari masyarakat dan menumbuhkan otonomi bukan berarti lari dan memisahkan diri dari masyarakat, menjaga jarak diartikan sebagai keadaan yang bebas dari pengaruh-pengaruh kekuatan ideologis yang ditebarkan oleh masyarakat ke dalam pikiran kita. Otonomi dan kebebasan merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi apabila kita ingin menilai apa yang sebenarnya terjadi dalam struktur dasar masyarakat. Kita bisa menilai keadaan masyarakat yang sedang sakit apabila kita telah memiliki independensi, otonomi, dan menjaga jarak dari masyarakat. Penilaian yang baik dan objektif terhadap gejala yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat menentukan bagaimana kita mengarahkan perubahan mendasar terhadap tatanan masyarakat. Jika masyarakat ternyata sedang dirundung patologi dan anomali, tentu kita dibebani oleh amanat sejarah untuk melakukan perubahan atas tatanan masyarakat yang sedang sakit itu. Dengan berbekal otonomi dan kebebasan justru kita bisa terus bersetubuh dan berperan aktif dalam membangun kembali masyarakat, dan bukannya lari ke gunung-gunung atau tempat-tempat sepi hanya untuk bermeditasi dan mencari

7

8

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

kedamaian semu. Tahap akhir dari perenungan, pemikiran dan penglihatan atas kebenaran terletak pada usaha kita untuk muncul di keramaian massa dengan tujuan membangun kembali masyarakat, dan bukannya lari menjauh demi kedamaian personal. Membangun kembali masyarakat mensyaratkan adanya perubahan. Perubahan dan membangun kembali masyarakat dimulai dengan kritik-perlawanan terhadap gejala dan kecenderungan yang ada dalam masyarakat. Perlawanan pada awalnya memang melemahkan masyarakat, namun dalam proses seterusnya justru berusaha untuk memperkuat kembali masyarakat, yaitu tercermin dalam bentuk munculnya masyarakat baru. Eksistensi orang yang teraktualisasi potensinya dalam sejarah terletak pada usahanya untuk melakukan perubahan. Perubahan revolusioner terjadi karena kita berusaha melawan kecenderungan atau gejala yang ada dalam masyarakat. Perubahan sering muncul dari individu-individu yang tampil berbeda dan mampu melawan kecenderungan umum dalam masyarakat. Kadang untuk mencapai kebenaran kita harus berani untuk melawan arus umum yang sering mengakibatkan kita dianggap sebagai orang abnormal dan eksentrik. Perubahan-perubahan besar acapkali terjadi dalam sejarah karena memang menyalahi kodrat dan menentang kecenderungan masyarakat yang ada. Manusia harus terbuka mata pikirannya bahwa ideologi itu merupakan kekuatan halus yang dapat mempengaruhi dan memanipulasi kesadarannya. Menurut penulis, ruang dan waktu yang menjadi bentuk dari realitas ternyata dikonstruksi oleh kesadaran kita. Apabila kesadaran yang bertugas mengonstruksi realitas telah terdistorsi oleh kekuatan manipulasi ideologi, tentu hal ini bisa mengakibatkan kita tercerabut dari kenyataan yang sebenarnya. Mekanisme kerja ideologi bisa membuat

kenyataan yang ada di luar dapat dimanipulasi dan diputarbalikkan sehingga “kenyataan yang sebenarnya” seakan-akan berdiri jauh di seberang jalan pengamatan kita. Realitas yang sering kita lihat di dunia luar sebenarnya adalah kenyataan yang telah terdistorsi atau diputarbalikkan, dan kita ternyata tidak menyadarinya. Maka, kita membutuhkan kritik-ideologi dan refleksi diri untuk membantu memulihkan kesadaran kita yang termanipulasi oleh kekuatan-kekuatan ideologis yang tersembunyi. Filsafat Fenomenologi merumuskan bahwa realitas atau kenyataan diciptakan oleh kesadaran kita.1 Apabila kesadaran berubah tentu kenyataan pun ikut berubah. Kenyataan yang kita alami di dunia luar berubah bersamaan dengan kekuatan kesadaran kita yang selalu berubah. Dengan mengubah kesadaran (consciousness) yang berinteraksi dengan dunia luar tentu kenyataan yang kita alami pastilah berubah. Menurut Plato, kenyataan yang ada di dunia luar bukanlah kenyataan yang hakiki atau yang sebenarnya, karena kenyataan yang ada di luar selalu berubah-ubah. “Kenyataan yang sebenarnya” itu tidak pernah berubah, ia bersifat abadi, absolut, dan tetap, dan “kenyataan sebenarnya” ini hanya ada dalam dunia idea. Dunia idea dari konsep Plato bersifat metafisik dan adiduniawi. Menurutnya, kenyataan yang kita alami di dunia luar ini hanyalah manifestasi dari kenyataan yang sebenarnya dari dunia idea. Jadi kenyataan yang selalu berubah-ubah yang terjadi dalam masyarakat hanyalah turunan dari dunia idea yang tidak pernah berubah. Kenyataan yang selalu berubah-ubah, di mana kita hidup di dalamnya, bukanlah kenyataan yang sebenarnya.

9

10

1

Ini adalah tesis Edmund Husserl, lihat Harry Hamersma, TokohTokoh Filsafat Barat Modern, Gramedia, Jakarta, 1992, hlm. 116.

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

Kenyataan yang sebenarnya tidak pernah tercapai dalam ruang sejarah, karena ia bersifat abadi, metafisik, dan terletak di seberang dunia kita. Ini adalah ajaran Plato yang terkenal itu. Menurut penulis, definisi Plato tentang “kenyataan yang sebenarnya” tidak memuaskan, karena kenyataan yang seharusnya bisa kita capai sebagai sebuah kebenaran selalu tergantung di atas dunia metafisika yang berawangawang. Pemahaman Plato atas kenyataan yang sebenarnya menjadikan realitas tidak memiliki dimensi sejarah ruang dan waktu. Realitas selalu terasing dari perjalanan sejarah. Kritik Plato bahwa realitas yang kita alami di dunia ini yang selalu berubah-ubah bukanlah kenyataan yang hakiki adalah betul. Namun, realitas yang ada di luar dianggap bukan sebagai kenyataan sebenarnya tidak disebabkan karena ia selalu berubah-ubah melainkan kenyataan yang ada di luar ternyata sering menyembunyikan anomali, kontradiksi, dan ketimpangan material. Kenyataan yang ada di luar bukanlah realitas yang sejati karena kenyataan yang ada di luar sering menjadi kedok bagi eksploitasi, kepentingan terselubung, dan gejala patologi. Seharusnya kita tahu bahwa “realitas yang sebenarnya” adalah kenyataan yang tidak pernah menyembunyikan kontradiksi dan kepalsuan sehingga persepsi kesadaran kita tidak tertipu dan termanipulasi oleh penampakannya saja. Dan, realitas yang sebenarnya tersebut bukan terletak di dunia metafisika melainkan bisa dimungkinkan ada dalam ruang sejarah. Lalu kenapa kita tidak pernah mengalami realitas atau kenyataan yang sebenarnya, dan bagaimana kita bisa memperoleh kenyataan tersebut? Kita mengalami realitas palsu karena kesadaran kita selalu diciptakan oleh kekuatan dari luar. Kesadaran kita yang seharusnya mampu mengonstruksi “realitas yang sebenarnya” selalu terdistorsi oleh kekuatan material yang selalu bergerak dinamis dan berubah-ubah sehingga

realitas yang kita alami pun selalu berubah. Kita tidak bisa mengalami “kenyataan yang sebenarnya” karena kesadaran kita tidak pernah mencapai otonomi. Kita tidak pernah mencapai kebenaran atau kenyataan yang sebenarnya karena kesadaran kita selalu terkungkung oleh kekuatan material dari luar. Bukannya kesadaran kita yang mempengaruhi kekuatan material, namun kekuatan materiallah yang menentukan kesadaran kita.2 Kekuatan material bisa mempengaruhi kesadaran kita karena dalam diri kita terdapat naluri kesenangan yang harus dipuaskan melalui barang-barang hasil dari produksi kekuatan material. Naluri kesenangan membuat benda-benda mati atau kekuatan material menjadi hidup dan bernyawa sehingga mendeterminasi pikiran dan hasrat manusia. Naluri kesenangan menghembuskan ruh kehidupan pada kekuatan material. Kekuatan material inilah yang sering mengendalikan realitas yang ada dalam masyarakat, padahal kekuatan material sering membawa kepentingan yang tersembunyi, dengan demikian realitas yang terjadi dalam masyarakat menjadi kedok yang menyembunyikan dan menyamarkan kepentingan dari kekuatan material dalam sejarah. Karena manusia menginternalisasi apa-apa yang ada dalam realitas masyarakat, tentu realitas yang dialami oleh individu-individu juga ditentukan oleh kekuatan material yang menciptakan realitas berkedok tersebut. Kekuatan material mempengaruhi dan memanipulasi persepsi kesadaran kita melalui fakta masyarakat yang sebelumnya telah terkontaminasi oleh kepentingan terselubung dari kekuatan material dalam sejarah. Hal ini mengakibatkan kehidupan manusia selalu dikelilingi oleh realitas yang bersifat distortif, dan ia tak pernah bisa bebas dari pengaruhnya.

11

12

2

Ini adalah bagian dari tesis Materialisme-Historis Karl Marx.

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

Manusia selalu hidup dalam realitas yang terdistorsi dan palsu karena kesadarannya sering merefleksikan kekuatan material yang ada di luar. Hal inilah yang menjadikan kita tidak memiliki otonomi untuk membentuk sendiri realitas berdasarkan kesadaran dari dalam, karena kesadaran kita tidak pernah independen dan selalu tergantung dengan kekuatan dari luar. Maka, untuk memperoleh kenyataan yang hakiki kita harus membebaskan kesadaran kita dari pengaruh kekuatankekuatan material dari luar sehingga “kenyataan yang sebenarnya” dapat muncul dari dalam kesadaran kita yang otonom. Dengan begitu kenyataan yang hakiki tidak lagi terletak di dunia idea atau metafisik melainkan mewujud dalam ruang sejarah yang selalu hendak kita tuju. Dari masa ke masa, sejarah memang mengalami perubahan tetapi ia kadang berubah dalam suasana yang terdistorsi dan patologis sehingga perubahan mesti dihentikan dan perlu diarahkan kembali menuju kendali sejarah. Kendali sejarah membutuhkan kekuatan kesadaran yang otonom dan independen, karena kesadaran adalah apparatus psikis yang menghubungkan manusia dengan kenyataan yang ada di luar. Mencapai kesadaran yang otonom dan bebas merupakan langkah awal manusia menuju kendali atas kebudayaan dan sejarah. Adalah panggilan zaman untuk terus memegang kemudi sejarah agar kita tidak lenyap tertelan oleh hasil daya cipta kita sendiri dan tidak menjadikan kita sebagai makhluk terasing. Memang manusia adalah pencipta sejarah namun ia tidak bisa melakukan perubahan terhadap sejarah dengan seenak jidatnya sendiri karena ia dikondisikan oleh struktur dan pilihan-pilihan yang telah ada, bila manusia tidak mampu mengendalikan sejarah tentunya ia cenderung akan menjadi budak sejarah. Sejarah telah mengarungi lautan ruang dan waktu yang hampir tidak terbatas, seolah-olah ia adalah alam semesta

itu sendiri, apalah arti diri manusia di hadapan sejarah. Manusia hanyalah sebutir pasir di tengah-tengah gurun pasir sejarah yang maha luas. Seberapa hebatkah individumanusia dengan segala daya ciptanya dibandingkan dengan hamparan sejarah yang tak terbatas. Sungguh begitu kerdil kita di hadapannya. Adalah bentuk kesombongan apabila manusia berjalan di atas bumi sambil berkata; “Akulah sang penakluk sejarah”. Dengan keadaan manusia yang begitu kecil di hadapan gelombang sejarah seharusnya menjadikan kita sebagai makhluk yang rendah hati dan tahu diri. Kita harus mendekati ruang sejarah dengan penuh rasa khidmat dan tawadhu’. Sejarah lah yang telah melahirkan kita karena ia menstrukturkan keberadaan kita dan kita pun bisa terus hidup di dalamnya dengan penuh gelora. Adalah perlu apabila kita menaruh rasa hormat, rendah hati, dan tahu diri di depan sejarah. Namun, bukan berarti dengan begitu kecilnya kita di hadapan sejarah lalu kita menjadi makhluk yang absurd dan tidak bermakna. Peran kita yang kerdil di muka sejarah tidak harus membuat kita kehilangan eksistensi dasar kita. Kalau sejarah menjadikan kita makhluk yang absurd dan tanpa makna, seperti keadaan manusia pada umumnya, maka untuk memperoleh eksistensi dan makna kehidupan kita di dunia, tidak ada jalan lain kecuali kita melawan atau melakukan pemberontakan terhadap kekuatan sejarah. ”Aku melawan, maka aku ada”. Karena, apabila kita tidak melawan, tentu kita akan lenyap ditelan oleh arus sejarah. Dengan adanya perlawanan, maka kita memiliki eksistensi. Perlawanan bukan berarti kita menyombongkan diri di hadapan sejarah, kita hanya menuntut hak kita sebagai makhluk yang punya arti di hadapan alam semesta. Meskipun dalam usaha manusia melawan arus sejarah selalu mengalami kekalahan, tetapi kita telah menunjukkan eksistensi sebagai makhluk yang memiliki nilai. Memang kita begitu kecil di hadapan sejarah,

13

14

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

namun bukan berarti kita adalah makhluk yang tiada arti. Kita kerdil di tengah hamparan luas sejarah, bukan berarti kita tidak eksis. Tujuan penciptaan sejarah dan alam semesta mempunyai makna karena adanya keberadaan kita di dalamnya, dalam diri manusia lah makna penciptaan alam semesta dan sejarah bisa dimengerti. Menurut Psikoanalisa, watak alamiah manusia pada dasarnya adalah buruk. Manusia cenderung bersifat antisosial, agresif, memperturutkan nafsu kesenangan, dan irrasional. Kodrat manusia adalah jahat. Kodrat manusia yang dianggap buruk tercermin pada naluri-naluri yang terpendam dalam alam bawah sadarnya. Hukum-hukum dinamika alam bawah sadar sangat dominan dalam menguasai jiwa manusia. Perilaku manusia sangat ditentukan oleh kekuatan alam bawah sadarnya, semisal naluri kesenangan, sehingga manusia sangat sulit untuk keluar dari kooptasi kekuatan alam bawah sadarnya sendiri. Begitu juga dengan makhluk hidup lainnya dan alam semesta. Makhluk hidup seperti tumbuhan dan hewan sangat patuh pada hukum-hukum alamiah yang menguasai mereka. Hewan dan tumbuhan tidak dapat melawan kodratnya sebagai makhluk hidup yang ditentukan oleh hukum-hukum alamiah atau naluri dalam dirinya. Alam semesta juga digerakkan oleh hukum-hukum tertentu yang mengakibatkan ia selalu tunduk dan tidak bisa keluar dari ketentuan hukum-hukum alamiah dalam dirinya. Kodrat tumbuhan, hewan dan alam semesta adalah selalu mentaati dan patuh terhadap hukum-hukum alamiah yang mengendalikan mereka. Alam semesta, tumbuhan, dan hewan tidak dapat melawan kodrat alamiahnya sendiri. Hal ini ada perkecualian dengan sifat manusia, meskipun manusia sangat ditentukan oleh kodratnya yang buruk, namun manusia telah dianugerahi oleh Tuhan

potensi kebebasan yang membuatnya bisa melakukan perlawanan terhadap kodrat alamiahnya yang buruk itu. Kebebasan ini tidak dimiliki oleh tumbuhan, hewan, dan alam semesta. Dengan potensi kebebasan, manusia mampu meraih otonomi dan independensi sehingga keluar dari batas-batas kodrat alamiahnya yang buruk. Manusia memiliki kekuatan untuk melakukan perlawanan terhadap nalurinya sendiri yang bersifat buruk, irrasional, agresif, dan selalu memperturutkan kesenangan. Dengan melawan hukum alamiah atau naluri-naluri dalam dirinya sendiri, manusia bisa melampaui batas-batas kodratnya. Dengan kata lain, kodrat manusia bisa berubah ketika ia mampu melawan naluri atau kecenderungan buruk dalam dirinya. Tapi perubahan kodrat dalam diri manusia membutuhkan kekuatan perlawanan yang tidak sedikit, bahkan bisa dikatakan hanya orang-orang tertentu saja yang berhasil melakukannya. Kebanyakan manusia pada umumnya tidak mampu melawan kodrat buruk dalam dirinya sendiri atau kebanyakan dari mereka hanya pasrah karena selalu gagal untuk mengubah kodrat mereka yang seolah-olah bersifat konstan. Perlawanan manusia terhadap naluri-nalurinya sendiri mengakibatkan manusia mengalami evolusi progresif, suatu proses yang tidak dimiliki oleh alam semesta dan makhluk hidup lainnya. Memang tumbuhan, hewan, dan alam semesta juga memiliki potensi untuk melakukan evolusi, hanya saja proses evolusi mereka tidak memiliki mata, kesadaran dan pengendalian. Evolusi alam semesta, hewan, dan tumbuhan terjadi secara acak. Evolusi alam semesta, hewan, dan tumbuhan tidak memiliki tujuan. Yang memberi makna dan tujuan pada evolusi alam semesta, hewan, dan tumbuhan adalah manusia. Alam semesta tidak dapat mengungkap eksistensi dirinya tanpa kehadiran manusia. Alam semesta dan makhluk hidup lainnya tidak memiliki tujuan dan makna tanpa keberadaan

15

16

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

manusia di dalamnya. Hal ini berbeda dengan evolusi manusia yang bergerak secara progresif, penuh kesadaran dan kendali sejarah. Evolusi progresif inilah yang menjadikan manusia yang sebelumnya kerdil dan kecil berubah menjadi tuan bagi alam semesta, sehingga dalam diri manusia yang telah mengalami evolusi progresif tercermin tujuan penciptaan sejarah dan alam semesta. Manusia yang kecil dan kerdil ternyata menjadi miniatur sejarah dan alam semesta, sebuah gambaran unik yang penuh dengan teka-teki. Menjadi tuan alam semesta dimulai dengan perlawanan manusia terhadap hukum naluri dalam dirinya yang mengakibatkan manusia yang awal mulanya tidak berarti di hadapan sejarah menjadi makhluk yang justru menentukan dan menciptakan sejarah. Dengan melawan naluri-naluri dalam dirinya, manusia mampu mengubah kodratnya sendiri, sesuatu yang tidak mungkin dilakukan oleh makhluk lainnya dan alam semesta sekali pun. Dengan melawan naluri-naluri dalam dirinya, manusia bisa mencapai otonomi dan independensi di hadapan sejarah dan alam semesta. Itulah awal kemenangan manusia terhadap dirinya sendiri. Abad modern memperlihatkan kepada kita bagaimana manusia telah kehilangan kendali atas arah kebudayaan yang ternyata bergerak berdasarkan hukum-hukumnya sendiri. Manusia terasing dari ciptaannya sendiri karena kebudayaan yang pada awalnya merupakan hasil swa-cipta manusia berubah menjadi realitas eksternal (kenyataan yang yang ada di luar manusia) yang terpisah dari penciptanya bahkan sebaliknya mampu mendeterminasi pikiran, hasrat dan tindakan manusia, salah satunya melalui kebutuhan-kebutuhan artifisial yang diciptakan oleh kepentingan mode produksi. Mode produksi kapitalisme merupakan hasil evolusi paling mutakhir dari cara manusia menghasilkan barang-barang untuk

memenuhi kebutuhan manusia itu sendiri. Pada awalnya, mode produksi muncul sebagai jawaban atas desakan kebutuhan naluriah manusia yang masih alamiah dan sederhana, namun dalam perkembangannya mode produksi bisa menciptakan sendiri kebutuhan-kebutuhan yang ditawarkan kepada manusia sehingga muncullah kebutuhan yang diciptakan dari luar dan bukannya dari watak dasar manusia itu sendiri. Mode produksi menjadi kenyataan obyektif (kekuatan material sejarah) di luar manusia yang menentukan perkembangan struktur dasar masyarakat. Kekuatan material menentukan struktur dasar masyarakat karena ia mampu menciptakan kebutuhankebutuhan manusia yang dihasilkan oleh mekanisme produksi kapitalis. Kebutuhan-kebutuhan manusia modern banyak ditentukan oleh kekuatan dari luar, dan bukannya dari dalam manusia itu sendiri. Di sini kita harus bisa membedakan antara kebutuhan alamiah yang berasal dari watak dasar dan eksistensi manusia dengan kebutuhan yang diciptakan secara artifisial dan manipulatif oleh mode produksi kapitalis yang sebenarnya menyembunyikan kepentingan tertentu.3 Kebutuhan-kebutuhan artifisial,

17

3

Kebutuhan-kebutuhan artifisial yang diciptakan kekuatan mode poduksi dalam rentang sejarah, oleh Marx, diperlawankan dengan kebutuhan yang berakar pada watak alamiah manusia yang bersifat konstan dan eksistensial. Perlu dibedakan antara kebutuhan yang alamiah dan kebutuhan yang diciptakan dari luar. Di sini Karl Marx berharap ada analis masyarakat yang berani untuk membangunkan manusia dari pengaruh kebutuhan artifisial yang bersifat ilusif, dan manusia kembali menyadari kebutuhannya yang nyata. Ini merupakan salah satu bentuk spiritualisme kaum ateis yang mendarah daging dalam kemanusiaan, tanpa menghadirkan wahyu. Erich Fromm, Konsep Manusia menurut Marx, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, hlm. 82-83.

18

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

seperti keinginan akan uang, mobil, rumah mewah, konsumerisme, gengsi, dan sebagainya, merupakan kebutuhan ilusif yang diciptakan dalam rentang sejarah dan tidak bersifat konstan karena akan terus berubah dan bertambah sesuai dengan perkembangan kekuatan material dalam sejarah. Kebutuhan-kebutuhan ini pada zaman dahulu tidaklah ada dan tak terpikirkan oleh kita kalau kebutuhan tersebut akan menjadi sesuatu yang inhern dalam diri manusia, karena memang diciptakan oleh kekuatan-kekuatan sosial tertentu yang bersifar represif dan ideologis. Kebutuhan ini bukanlah jenis kebutuhan yang berasal dari watak dasar dan eksistensi manusia itu sendiri. Kebutuhan-kebutuhan artifisial adalah kebutuhan yang diciptakan secara tidak alamiah oleh kepentingan mode produksi kapitalisme, dan ditawarkan kepada masyarakat melalui iklan-iklan, mode, fashion atau entertainmen sehingga seolah-olah masyarakat menganggapnya sebagai kebutuhan dasar yang normal dan wajar, padahal sebenarnya tidak demikian. Kebutuhan-kebutuhan yang kita rasakan sebenarnya diciptakan secara halus oleh mekanisme pasar, dan bukannya oleh eksistensi dasar kita. Kebutuhan-kebutuhan artifisial berasal dari melimpahnya hasil produksi kapitalisme yang kemudian dipasarkan secara artistik sehingga individu-masyarakat mengiranya sebagai kebutuhan yang patut untuk dipenuhi. Individumasyarakat digiring oleh mekanisme pasar untuk menjadi konsumen tetap atas barang-barang yang diciptakan oleh mode produksi. Hal ini menciptakan ketergantungan individu-masyarakat pada hasil produksi kapitalis yang tak akan pernah berhenti selama mekanisme pasar terus berjalan. Kebutuhan-kebutuhan artifisial mempengaruhi dan memaksa secara halus kepada individu-masyarakat agar memenuhinya sesuai dengan penawaran yang diajukan oleh mekanisme pasar. Sebenarnya, kekuatan

pasar yang dikendalikan oleh mode produksi mempunyai mekanisme yang bersifat ideologis ketika mempengaruhi cara pandang individu-masyarakat karena di balik kebutuhan artifisial yang dianggap bersifat normal dan wajar itu, ia menyembunyikan anomali, kontradiksi internal, dan kepentingan yang sebenarnya. Secara psikologis, hilangnya kendali sejarah bermula dari kesadaran manusia (consciousness) yang terdistorsi dan tercengkeram oleh ideologi yang berasal dari kekuatan material di luar manusia atau oleh naluri alam bawah sadar (unconscious mind) yang muncul dari dalam psikis manusia itu sendiri sehingga mengakibatkan manusia teralienasi dari realitas yang sebenarnya. Realitas dalam hal ini adalah kenyataan yang distrukturkan oleh kategori ruang dan waktu dari kesadaran kita, maka apabila kesadaran kita berubah tentu bentuk dari realitas yang kita alami juga ikut berubah. Ideologi adalah mekanisme kekuatan yang mampu mempengaruhi, mendistorsi dan memutarbalikkan kesadaran melalui institusi, sistem, struktur, psikis bahkan pengetahuan sehingga manusia yang dipengaruhinya tidak menyadari dan menganggapnya sebagai sesuatu yang positif, wajar dan regulatif. Pengetahuan bisa dianggap ideologis karena ia sering digunakan oleh kekuatan tertentu untuk menyembunyikan atau menyamarkan kontradiksi dan anomali yang ada dalam realitas masyarakat, sehingga kita tidak menyadari bahwa ketika kesadaran kita sedang memahami pengetahuan tertentu, kita sebenarnya sedang masuk dalam jaring-jaring kekuatan ideologis. Mekanisme ideologi yang mendistorsi kesadaran dapat mengaburkan manusia dari realitas yang pada gilirannya mengakibatkan manusia kehilangan otonominya yang sejati. Manusia tidak lagi bisa bertindak berdasarkan hukum moral dari dalam dirinya sendiri. Inisiatif dan kebebasan tidak lagi ada dalam diri manusia, karena perasaan, pikiran, dan tindakan

19

20

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

manusia didorong oleh kekuatan-kekuatan dari luar, semisal hukum negara dan norma masyarakat. Pada zaman sekarang, hukum negara dan norma masyarakat sudah tidak mencerminkan keutamaan moral. Menjadi warga negara yang taat hukum bukan berarti kita sudah bermoral, tindakan kita baru bisa disebut bermoral apabila ia muncul bukan disebabkan oleh dorongan untuk taat pada norma masyarakat dan hukum negara yang ada di luar, melainkan didorong oleh kesadaran dari dalam untuk taat terhadap hukum moral batin dari diri kita sendiri. Hukum moral telah diciptakan oleh Tuhan dalam diri kita berupa potensi kesadaran yang mampu meraih otonomi dan independensi. Apabila kita telah terbebas dari pengaruh ideologi kekuatan material yang sering memaksa, mempengaruhi, dan memanipulasi kesadaran kita melalui alat hukum negara dan norma masyarakat berarti kita telah memiliki hukum moral yang otonom.

bersifat normal. Kekuatan material salah satunya mengambil bentuk dalam wujud mode produksi (mode of production) yang mendasari perkembangan kehidupan masyarakat. Kekuatan material melalui pengaruh mekanisme mode produksi menjadi penggerak struktur dasar masyarakat. Mode produksi inilah yang menciptakan kebutuhan-kebutuhan artifisial sehingga mempengaruhi psikologi manusia secara tersembunyi. Kebutuhankebutuhan artifisial adalah kebutuhan manipulatif yang diciptakan oleh mode produksi kapitalisme yang membuat individu-masyarakat menganggapnya sebagai kebutuhan yang harus dipenuhi. Kita harus bisa membedakan antara “kebutuhan yang alamiah” dan “kebutuhan yang diciptakan”. “Kebutuhan yang diciptakan” selalu berkembang berdasarkan dinamika kekuatan material dalam sejarah, sehingga kebutuhan yang diciptakan itu bersifat manipulatif. Kebutuhan yang diciptakan itu tidak bersifat konstan karena selalu mengalami fluktuasi dan mengikuti perkembangan kekuatan mode produksi. Individu masyarakat menganggap kebutuhan manipulatif sebagai kebutuhan dasar karena kesadarannya telah terdistorsi oleh iklan-iklan, mode, dan entertainmen. Dalam hal ini, iklan-iklan, mode, life-style, dan entertainmen merupakan salah satu bagian dari mekanisme ideologi yang mempengaruhi dan menentukan bentuk kebutuhan manusia Mekanisme kerja ideologi yang mempengaruhi dan mendistorsi kesadaran ini ternyata tidak disadari oleh manusia itu sendiri karena ideologi mampu menyamarkan dan menyembunyikan diri sehingga manusia menganggapnya sebagai hal yang wajar, normal dan biasa. Apa yang disembunyikan dan disamarkan oleh ideologi ternyata adalah kontradiksi internal, kepentingan atau anomali yang bisa memutarbalikkan kenyataan. Mekanisme kerja ideologi akhirnya berpotensi mempengaruhi kondisi psikologis manusia, yaitu

B. Akar-akar Ideologi dan Humanisme Baru Berikut, penulis akan menelusuri konsep ideologi yang ternyata memiliki akar-akarnya dalam kekuatan material dan naluri alam bawah sadar manusia. Pada yang pertama penulis mendasarkan pengertian ideologi menurut tesis Materialisme-Historis dari Karl Marx, dan yang kedua penulis mendasarkan pengertian ideologi menurut Psikoanalisa Sigmund Freud. Yang pertama, berdasarkan tesis Materialisme-Historis, konsep ideologi tercermin pada pernyataan Karl Marx (1818-1883) bahwa kekuatan materilah yang mempengaruhi kesadaran manusia, dan bukannya kesadaran yang mempengaruhi kekuatan materi. Konsep ideologi berasal dari kekuatan material dalam sejarah yang mampu mempengaruhi, mendistorsi, dan memutarbalikkan kesadaran secara pasif, tersamar dan

21

22

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

menghasilkan kesadaran palsu (false consciousness) yang bisa mengaburkan manusia dari realitas sebenarnya dan memenjarakannya dalam realitas palsu. Menurut penulis, ideologi berusaha mengaburkan kesadaran kita dalam menghadapi kenyataan yang sebenarnya. Ideologi dapat menyembunyikan kontradiksi, anomali dan ketimpangan material dalam realitas, hal ini mengakibatkan kesadaran selalu termanipulasi dan terdistorsi sehingga “kenyataan yang sebenarnya” tidak pernah kita alami. “Kenyataan yang sebenarnya” tidak akan pernah kita capai karena kesadaran kita selalu dikuasai oleh kekuatan material dalam sejarah. Kekuatan material bisa mempengaruhi cara pandang manusia terhadap kenyataan. “Kenyataan yang ada” berbeda dengan “kenyataan yang sebenarnya”, karena “kenyataan yang ada” muncul dari kesadaran yang telah terdistorsi, dan ia sering menyembunyikan anomali dan kontradiksi dalam masyarakat. “Kenyataan yang ada” dalam masyarakat sering dikendalikan oleh kekuatan material yang menjadi akar-akar ideologi. Tatanan masyarakat yang selalu kita anggap adi-luhung sebenarnya menyembunyikan bau busuk dari kepentingan kekuatan material dalam sejarah. Menurut tesis MaterialismeHistoris, kesadaran merupakan refleksi dari kekuatankekuatan material dalam sejarah, maka apabila kita ingin merubah dan mendapatkan kesadaran yang sejati kita terlebih dahulu harus melakukan perubahan terhadap kekuatan-kekuatan material dalam sejarah (kapitalisme). Dalam perspektif Marxian, kesadaran dibentuk oleh kekuatan-kekuatan material di luar manusia, dan bukan oleh otonomi eksistensi manusia itu sendiri, maka untuk memperoleh kesadaran baru, kita membutuhkan praxis revolusioner agar bisa mengubah kekuatan atau struktur material dalam sejarah. Apabila telah terjadi perubahan pada kekuatan atau struktur material pada gilirannya

terjadi juga perubahan cara pandang atau kesadaran manusia itu sendiri. Jika kesadaran kita secara halus ditentukan oleh kekuatan-kekuatan dari luar yang bersifat ideologis maka kesadaran yang kita alami pun menjadi relatif sehingga kita tidak akan pernah mencapai kesadaran yang otonom. Apabila kita tidak mampu mencapai kesadaran yang independen dan otonom dari pengaruh kekuatan material, tentu “kenyataan yang sebenarnya” juga tidak akan pernah kita alami dan kita pun terus berkubang dalam lumpur realitas palsu. Kepentingan dan kontradiksi internal yang disembunyikan oleh mekanisme ideologi menerima penyelesaian dalam psikis atau pikiran manusia yang terdistorsi, yaitu dalam bentuk kesadaran-palsu. Kesadaran-palsu tidak bisa membedakan kenyataan yang termanipulasi dengan kenyataan yang sebenarnya. Kesadaran-palsu tidak bisa melihat apa-apa yang tersembunyi di balik realitas yang ada. Keadaan ini bisa membuat kita menganggap bahwa pengaruh kekuatan material terhadap eksistensi kesadaran kita sebagai sesuatu yang alamiah dan normal, bukan suatu keadaan yang diciptakan secara artifisial. Padahal sebenarnya kesadaran-palsu itu dikonstruksi secara deviatif oleh kekuatan-kekuatan dari luar yang tidak ingin kepentingan mereka diketahui secara nyata oleh pengamatan kita. Kesadaran-palsu menjadikan pandangan kita terhadap anomali dan kontradiksi yang terjadi dalam masyarakat seolah-olah sebagai sesuatu yang wajar dan lumrah. Kesadaran-palsu tidak bisa menilai tatanan masyarakat yang menyembunyikan patologi. Kesadaranpalsu dalam kehidupan biasa bisa disebut dengan akalsehat (common sense). Akal-sehat selalu menjadikan individu sebagai bagian dari masyarakat yang ada melalui proses adaptasi dan

23

24

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

internalisasi terhadap nilai-nilai dan budaya yang sedang berkembang.4 Akal sehat tidak akan pernah bisa keluar dari batas-batas norma masyarakat. Akal sehat merupakan definisi yang diciptakan oleh masyarakat untuk terus mendukung dirinya sehingga solidaritas dan keutuhan sosial tetap terjaga. Maka, meskipun menggunakan akal sehat, kita tidak akan mampu menembus tirai yang menyembunyikan patologi dalam tatanan masyarakat. Satu-satunya cara agar kita tahu bahwa masyarakat itu mengandung patologi dan anomali, kita harus keluar dari batas-batas nilai yang diciptakan oleh masyarakat. Untuk mengetahui bahwa keadaan masyarakat kita sedang sakit,

kita tidak bisa menilainya dari dalam atau menggunakan akal sehat, dengan kata lain kita tidak bisa mengetahui kegilaan masyarakat kita apabila kita masih menjadi bagian dari masyarakat tersebut atau pikiran dan perasaan kita masih ditentukan oleh fakta masyarakat itu sendiri. Kita bisa menilai kondisi masyarakat apabila kita telah memiliki otonomi dan independensi dari pengaruh ideologis masyarakat. Apabila tindakan dan pemikiran kita tidak lagi dikooptasi oleh pengaruh dari luar, semisal masyarakat, dan kita bisa bebas menentukan pikiran, perasaan, dan tindakan kita sendiri dari dalam, maka otonomi dan independensi telah kita capai. Sayangnya, kebanyakan manusia justru mudah terpengaruh oleh kekuatan material yang dioperasikan melalui fakta masyarakat. Masyarakat sering menjadi tangan panjang dari kekuatan material dalam sejarah. Dengan menjadi warga masyarakat yang baik bukannya menumbuhkan otonomi dan independensi kita, malah kebebasan moral kita tercemar karena kita bertindak bukan berdasarkan hukum otonomi moral dari dalam diri kita sendiri, melainkan berdasarkan kekuatan pemaksa dari luar, yaitu fakta masyarakat. Maka, cita-cita manusia untuk bisa sampai pada “kenyataan yang sebenarnya” menjadi utopis karena ideologi yang berasal dari kekuatan material selalu memanipulasi kesadaran manusia sehingga kesadaran kita tidak pernah mencapai titik otonomi, padahal otonomilah yang bisa mengantarkan kita menuju “kenyataan yang sebenarnya”. Akhirnya, kita hanya menjadi bagian dari masyarakat yang sedang sakit atau gila, kita tidak akan pernah bisa keluar dari arus masyarakat. Yang kedua, konsep ideologi juga bisa ditelusuri dalam dinamika alam bawah sadar. Alam bawah sadar (unconscious mind) yang di dalamnya terkandung nalurinaluri primitif, semisal kesenangan, agresivitas, seksualitas, dan sebagainya, selalu merongrong dan memanipulasi

4

Di sini, “akal-sehat” yang didefinisikan penulis berbeda dengan istilah teknis “akal”. Akal-sehat sering disebut dengan “common sense”, karena ia dibentuk melalui hasil internalisasi terhadap nilainilai dan norma yang ada dalam masyarakat, sehingga dalam skema Psikodinamika Freud, akal-sehat dapat disamakan dengan superego. Hal ini berbeda dengan istilah “akal”. Penulis sering mendefinisikan “akal” sebagai bagian dari kesadaran (consciousness). Akal bisa bersifat kognitif juga bisa bersifat emotif. Akal yang bersifat kognitif tercermin dalam daya-daya kognitif dan intelektual, sedang akal yang bersifat emotif tercermin dalam daya akal itu sendiri yang mampu mengendalikan diri dari pengaruh kekuatan materi dan hasutanhasutan nafsu dan emosi. Akal mempunyai kekuatan untuk merefleksikan dan mengkritik dirinya sendiri sehingga mampu berdialektika dan melampaui batas-batas dirinya, sesuatu yang tidak mungkin bisa dilakukan oleh common sense atau akal-sehat. Maka, akal-sehat lebih cocok disebut sebagai anggapan masyarakat umum, sedang “akal” dalam pengertian penulis bisa disebut sebagai bagian dari daya-daya ego atau kesadaran. Tidak mengherankan jika “akal” sering melawan dan mengalami benturan dengan akal-sehat atau anggapan umum. Lahirnya perubahan-perubahan revolusioner sering disebabkan adanya perlawanan antara “akal” menentang aka-sehat atau anggapan-anggapan yang sudah terlanjur lumrah, contohnya adalah penemuan Copernicus.

25

26

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

kesadaran (consciousness), yaitu melalui representasi simbolik yang sebenarnya adalah manifestasi naluri-naluri primitif (kesenangan dan agresi) manusia yang telah berubah wujud. Karena naluri kesenangan telah berubah wujud, menjadikan manusia secara tidak sadar sedang berhadapan dengan kesadaran yang telah dipalsukan (berkedok). Contoh bentuk ideologi ini, misalnya ada dalam mekanisme kerja mimpi, delusi, halusinasi, fantasi imajiner, phobia, skizofrenia dan berbagai bentuk mekanisme patologi psikis lainnya di mana manusia dikuasai oleh naluri-naluri primitif (kesenangan dan agresi) dari dalam dirinya sendiri. Tapi, cara naluri primitif dalam menguasai dan mempengaruhi psikis manusia ternyata dilakukan secara tersembunyi dan berkedok sehingga tidak disadari oleh manusia itu sendiri. Mekanisme patologi psikis ini dapat memanipulasi kesadaran yang mengakibatkan manusia tercerabut dari realitas yang sebenarnya, dalam hal ini penulis mendasarkan konsep ideologi menurut tesis Psikoanalisa Sigmund Freud (18561939). Alam ketidaksadaran yang memuat naluri-naluri primitif (kesenangan dan agresi) mendesak kesadaran agar naluri-naluri tersebut dapat dipuaskan dalam kenyataan namun dengan cara menyamarkan diri atau berkedok di hadapan sensor kesadaran sehingga kesadaran sudah tidak mengenali bentuk aslinya. Konsep ideologi dalam pengertian Psikoanalisa terdapat pada dinamika alam ketidaksadaran yang mampu menyamarkan dan menyembunyikan naluri-naluri primitif (id) di hadapan kesadaran yang mengakibatkan kesadaran tertipu dan termanipulasi, contoh proses ini dapat kita ketahui melalui mekanisme kerja mimpi. Mekanisme kerja mimpi menunjukkan bagaimana kekuatan naluri primitif (kesenangan dan agresi) yang berasal dari alam ketidaksadaran dapat menipu kesadaran

(consciousness) dengan melakukan perubahan wujud, yaitu merubah dorongan kesenangan dan agresi menjadi simbolsimbol yang kabur dalam gambaran mimpi sehingga kesadaran sudah tidak mengenali bahwa simbol-simbol tersebut sebenarnya adalah manifestasi dari naluri primitif yang telah berubah bentuk. Pada saat kita bermimpi, kesadaran termanipulasi oleh naluri kesenangan dan agresi yang merubah bentuk dirinya menjadi simbol-simbol kabur agar dapat dipuaskan dalam mimpi meskipun harus berkedok di hadapan kesadaran. Inilah basis teori mimpi yang kerangkanya bisa menjelaskan bagaimana ideologi bisa muncul dan berakar dalam psikis manusia. Menurut Psikoanalisa, mekanisme kerja mimpi hanyalah satu contoh dari kekuatan alam bawah sadar yang bisa memanipulasi kesadaran, dan dalam kehidupan sehari-hari kita bisa melihat berbagai mekanisme psikologis lainnya yang ternyata memiliki kesamaan dengan mekanisme kerja mimpi. Banyak sekali perilaku manusia dalam keseharian yang apabila kita teliti dengan refleksi Psikoanalisa ternyata menyembunyikan motif dan dorongan alam ketidaksadaran, dalam hal ini perilaku kita sebenarnya bersifat abnormal dan patologis namun kita menganggapnya sebagai sesuatu yang normal.5 Pengamatan terhadap mekanisme kerja mimpi hanya salah satu cara untuk memahami dinamika alam bawah sadar. Menurut Freud, kesadaran adalah benteng pertahanan psikis yang selalu mendapat tekanan dari naluri primitif (id) yang muncul dari alam bawah sadar manusia sehingga berpotensi mengaburkan kesadaran dalam mengkonstitusi

27

28

5

Lihat, Sigmund Freud, The Psychopathology of Everyday Life, New York, 1988

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

realitas yang sebenarnya.6 Realitas dalam hal ini adalah kenyataan yang dikonstruksi oleh kesadaran kita. Apabila kesadaran manusia yang bertugas dalam mengkonstitusi atau mengkonstruksi “realitas yang sebenarnya” terdistorsi oleh dinamika ketidaksadaran, tentunya manusia akan terasing dari kenyataan yang sebenarnya, karena kesadaranlah (consciousness) yang menentukan bentuk dari realitas yang kita alami. Naluri primitif (ketidaksadaran) yang berisi agresivitas dan kesenangan selalu merongrong dan mempengaruhi kesadaran agar kesadaran menjadi pelayan bagi pemuasan nafsu agresivitas dan kesenangan manusia, namun cara naluri primitif untuk mempengaruhi kesadaran ternyata dilakukan secara tersamar dan tersembunyi. Ideologi dapat diumpamakan seperti naluri kesenangan yang terus mempengaruhi kesadaran agar naluri tersebut dapat dipuaskan dalam kenyataan, namun cara naluri kesenangan agar dapat dipuaskan ternyata menggunakan kedok di hadapan kesadaran (ego) sehingga kesadaran (ego) tidak tahu bahwa apa yang ada di hadapannya ternyata adalah naluri primitif yang telah berubah wujud atau berkedok. Peran ideologi sama dengan naluri kesenangan atau mekanisme alam bawah sadar, yaitu mempengaruhi kesadaran dengan cara berkedok atau bersembunyi dalam wujud lain, sehingga kita sendiri tidak menyadari bahwa kita sebenarnya sudah tertipu karena kedok tersebut terkesan seolah-olah normal dan wajar, padahal di balik kedok itu menyembunyikan wujud yang sebenarnya, yaitu nafsu kesenangan. Kepentingan, anomali, dan patologi dapat bersembunyi di balik kedok keteraturan hukum dan norma sosial, tapi kita tidak menyadarinya karena hukum

dan norma sosial adalah tatanan yang terlanjur dianggap regulatif, normal, dan positif. Psikoanalisa memiliki piranti refleksi-diri yang bisa difungsikan sebagai kritik-ideologi sehingga apabila diterapkan dalam wilayah sosial-politik dapat menelusuri bagaimana ideologi atau kedok itu bisa terbentuk, dan menyingkap bagaimana patologi, kontradiksi, dan kecacatan itu bisa bersembunyi di balik keteraturan norma dan hukum yang terlanjur dianggap normal dan wajar. Apabila kesadaran manusia termanipulasi dan terdistorsi oleh ideologi yang berasal dari kekuatan material dan alam bawah sadar, maka manusia sudah dikuasai oleh benda-benda dari luar dan naluri dalam dirinya, sehingga manusia bukanlah tuan atas kekuatankekuatan dalam dirinya sendiri, dan ia menjadi identik dengan benda-benda yang impersonal serta tanpa kepribadian. Cara kerja kekuatan ideologi (materi dalam realitas eksternal dan kesenangan yang berasal dari alam bawah sadar) ketika mendistorsi kesadaran dilakukan dengan cara-cara yang tersembunyi, normal, dan regulatif (bahkan positif). Namun, apabila kita menggunakan alat kritik-ideologi untuk memahami mekanisme berjalannya ideologi ketika mempengaruhi kesadaran individumasyarakat, kita akan menemukan anomali dan kontradiksi di dalamnya, meskipun dalam kenyataannya orang-orang yang dikuasai oleh kekuatan ideologi tersebut tidak menyadari bahwa dirinya sedang dipengaruhi oleh kekuatan tersembunyi yang bernama ideologi. Dengan memahami mekanisme kerja ideologi yang dapat mendistorsi dan memanipulasi kesadaran, Materialisme-Historis dan Psikoanalisa sebenarnya bisa menjadi titik tolak bagaimanakah memperoleh bentuk kesadaran yang sehat dan dewasa. Dengan memahami tesis Marx dan Freud, kita bisa tahu bagaimana caranya membebaskan kesadaran kita dari pengaruh ideologi yang

6

Jorge Larrain, Konsep Ideologi, LKPSM, Yogyakarta, 1996, hlm. 36 dan 90.

29

30

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

berasal dari kekuatan material dan dinamika ketidaksadaran, sehingga kita bisa sampai pada “kenyataan yang sebenarnya”, dan bukan kenyataan yang dimanipulasi. Materialisme-Historis dan Psikoanalisa, menurut Jurgen Habermas (1929- ), merupakan jenis pengetahuan emansipatoris yang berfungsi membantu manusia menemukan kesadaran sejati melalui kritikideologi dan refleksi diri.7 Melalui kritik-ideologi dan refleksi diri kita dibimbing untuk memperoleh otonomi dan kebebasan yang sebenarnya. Otonomi dan kebebasan adalah sifat yang inhern dalam kesadaran kita. Otonomi dan kebebasan, dalam hal ini, berbeda pengertiannya dengan makna yang sering kita ketahui dalam paham demokrasi. Kebebasan tidak bisa dipahami hanya sebagai keadaan bebas untuk berpendapat, berpolitik atau beragama. Kebebasan yang sejati adalah bebas untuk menentukan pikiran, perasaan, dan tindakan dari dalam diri sendiri sebisa mungkin tidak ditentukan oleh kekuatan-kekuatan dari luar, semisal negara dan masyarakat, atau kekuatan adi-duniawi di luar kita. Sesuatu yang digerakkan dari luar tidak memiliki aspek kebebasan. Otonomi dan kebebasan adalah kemampuan bertindak secara otentik dan alamiah berdasarkan hukum moral dalam diri kita sendiri. Otonomi dan kebebasan hanya bisa mungkin apabila kita memiliki kesadaran yang jernih, bebas dari kooptasi dan pengaruh ideologi yang berasal dari kekuatan material dan delusi alam bawah sadar. Apabila kita bertindak berdasarkan kesadaran yang telah memiliki otonomi dan kebebasan berarti kita sudah bermoral. Otonomi dan kebebasan adalah syarat yang harus

dipenuhi apabila tindakan kita mau dianggap bermoral. Maka, bukanlah termasuk sebagai tindakan moral jika perbuatan atau perilaku kita selalu ditentukan atau didorong oleh kekuatan-kekuatan pemaksa dari luar, seperti hukum negara dan norma masyarakat. Perilaku yang digerakkan dari luar tidak memiliki kualitas moral. Hukum negara dan norma sosial dalam abad modern sudah tidak lagi mencerminkan keutamaan dan keduanya sering menjadi alat ideologi yang bisa memanipulasi kesadaran kita dengan menyembunyikan kontradiksi, anomali, dan kecacatan yang sedang terjadi dalam masyarakat. Apabila tindakan moral ditentukan oleh hukum dan norma sosial dari luar, tentu kualitas moral kita menjadi rusak, karena tindakan dan pikiran kita tidak lagi memiliki kesadaran yang otonom dan bebas. Moralitas sejati didorong oleh kesadaran dari dalam diri kita sendiri berdasarkan otonomi dan kebebasan. Moralitas yang bertolak dari kesadaran yang otonom dan bebas menjadi kritik terhadap hukum negara dan norma masyarakat yang sering memaksa dan memanipulasi kesadaran kita sehingga tindakan kita tidak memiliki kualitas moral, karena dipaksa oleh kekuatan-kekuatan dari luar yang sering bersifat manipulatif. Fungsi kesadaran yang hendak dituju oleh Materialisme-Historis dan Psikoanalisa, salah satunya adalah sebagai kekuatan realisasi diri manusia untuk mencipta dan mengatur kebudayaan dalam kerangka ruang dan waktu. Kesadaranlah yang menjadi alat kendali manusia terhadap kenyataan yang ada di luar. Kesadaran menghubungkan manusia dengan realitas sehingga bentuk dari realitas sangat ditentukan oleh keadaan kesadaran kita. Apabila kesadaran kita terdistorsi, karena otonomi dan kebebasan telah hilang dari diri kita, tentu akan mempengaruhi bentuk realitas yang kita peroleh dan hal ini bisa mengakibatkan kita tercerabut dari realitas yang

7

F. Budi Hardiman, Menuju Masyarakat Komunikatif, Kanisius, Yogyakarta, 1993, hlm. 37-53.

31

32

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

sebenarnya sehingga kita kehilangan kendali atas arah kebudayaan. Analisa kritik-ideologi memperlihatkan bahwa kekuatan material dalam sejarah -yang pada mulanya merupakan hasil kebudayaan yang diciptakan manusia namun telah menjadi fakta obyektif di luar diri manusia- ketika dioperasikan oleh masyarakat dan negara ternyata dapat merepresi psikis individu secara halus dan tersamar, sama seperti alam bawah sadar atau ketidaksadaran yang mampu mengaburkan kesadaran manusia modern dari realitas yang sebenarnya. Maka, usaha untuk melepaskan kesadaran (consciousness) dari kooptasi ideologi kekuatan-kekuatan material (Marxian), dan manipulasi ideologi naluri kesenangan (Freudian) dari dalam psikis alam bawah sadar manusia itu sendiri merupakan sebuah upaya mengembalikan kendali sejarah ke tangan manusia. Kekuatan material dapat mempengaruhi kesadaran manusia karena dalam diri kita terdapat naluri primitif (kesenangan dan agresi) yang harus dipuaskan di dunia luar. Alat yang dapat memuaskan naluri primitif manusia tersebut terdapat pada benda-benda di luar manusia atau barang-barang yang dihasilkan oleh mode produksi dari kekuatan-kekuatan material sejarah. Inilah yang disebut dengan kebutuhan yang muncul dari naluri primitif kita. Kebutuhan-kebutuhan naluri primitif yang harus dipuaskan di dunia luar juga dapat dimanipulasi sehingga muncullah kebutuhan-kebutuhan artifisial yang sebenarnya bukan kebutuhan yang berasal dari watak alamiah manusia, karena kebutuhan ini diciptakan oleh ideologi yang berasal dari kepentingan terselubung mode produksi kapitalisme, dan bukan lahir dari dalam eksistensi manusia itu sendiri. Benda-benda atau barang-barang hasil mode produksi sebenarnya adalah benda mati, namun karena ada naluri primitif (kesenangan) yang berasal dari alam ketidaksadaran manusia, benda-benda tersebut

menjadi hidup serta dapat menentukan arah pikiran dan hasrat manusia, Marx menyebut proses ini sebagai pengaruh jimat komoditas (fetishism of commodity). Tanpa adanya naluri primitif (kesenangan) atau id dari dalam psikis ketidaksadaran manusia, kekuatan-kekuatan material dalam wujud barang-barang hasil mode produksi kapitalisme tidak akan bisa mempengaruhi atau mendeterminasi kesadaran manusia. Menurut Freud, sumber dan akar-akar ideologi yang bisa memunculkan kesadaran-palsu dalam diri manusia bukan sekedar berasal dari benda-benda di luar manusia (kekuatan-kekuatan material dalam sejarah), melainkan dari naluri primitif (kesenangan) atau id manusia itu sendiri. Penjelasan singkat ini menunjukkan bahwa teori Materialisme-Historis membutuhkan dan dapat dipadukan dengan analisa jiwa dari teori Psikoanalisa Sigmund Freud. Adalah Plato (427-348 SM), sang filsuf Yunani, yang merumuskan pertama kali bahwa pengetahuan manusia mengenai realitas hanyalah bentuk turunan yang berasal dari ide-ide bawaan manusia yang telah ada ketika lahir. Plato menamakan ide-ide bawaan ini sebagai idea. Menurutnya, pengalaman empiris hanya pelengkap bagi bentuk pengetahuan yang telah ada dalam idea-idea. Innate ideas atau idea adalah struktur atau kerangka bagi pengalaman inderawi yang kita peroleh dari dunia luar, kemudian pengalaman inderawi ini menjadi isi material bagi kerangka idea yang sejak mula telah ada. Kerangka pengetahuan pada dasarnya bersifat a priori,8 ia telah

33

34

8

Dalam epistemologi Immanuel Kant, sifat a priori adalah kategori ruang dan waktu yang telah ada pada manusia semenjak lahir. Kategori ruang dan waktu ini menjadi kerangka bagi pengetahuan yang diperoleh dari dunia luar (empiris) atau a posteriori. Menurut Kant,

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

muncul bersamaan dengan lahirnya manusia, sedangkan pengalaman inderawi lebih bersifat a posteriori atau material (matter) karena ia menjadi isi bagi kerangka pengetahuan yang telah ada sebelum manusia mendayagunakan alat-alat inderawinya. Formulasi Plato mengenai bentuk pengetahuan idea yang telah ada pada manusia sejak lahirnya sedikit dapat menjelaskan teori naluri primitif (id) yang dipostulatkan oleh Sigmund Freud sehingga bisa dihubungkan dengan tesis Materialisme-Sejarah dari Karl Marx. Freud merumuskan bahwa naluri kesenangan atau naluri primitif telah ada dan diperoleh manusia semenjak lahirnya, naluri ini ada dalam psikis alam bawah sadar dan hampir sama asal-usulnya dengan ide-ide bawaan yang di rumuskan Plato. Naluri kesenangan menjadi kerangka atau struktur yang harus diisi dan dipuaskan oleh benda-benda yang ada di luar manusia. Naluri kesenangan yang menjadi kerangka bagi benda-benda di luar manusia disebut dengan id dan benda-benda yang mengisi kerangka naluri id disebut dengan materi. Kedua teori di atas sebenarnya coba disatukan oleh Psikologi Behaviouristik yang menyamakan materi yang ada di luar sebagai “stimulus” dan naluri kesenangan yang inhern dalam diri manusia bertindak sebagai “respon” atas stimulus tersebut. Namun, Teori Behaviouristik terlalu menitikberatkan pada stimulus dari luar yang seolah-olah menentukan munculnya respon dari naluri kesenangan sehingga perilaku manusia melulu dijelaskan berdasarkan interaksi antara “stimulus” dari luar dan “respon” dari naluri kesenangan. Psikologi Behaviouristik lebih dekat dengan Materialisme-Historis Marx yang menyatakan bahwa

stimulus dari luar atau materi lebih menentukan perilaku dan kesadaran seseorang, padahal menurut penulis berdasarkan pandangan Psikoanalisa, stimulus atau materi dari luar bisa menentukan tindakan justru disebabkan adanya naluri kesenangan dalam diri manusia. Naluri kesenangan dapat bergerak sendiri tanpa adanya stimulus dari luar. Naluri kesenangan dalam diri manusia lebih mendasar dibanding kekuatan materi yang ada di luar, sehingga kedudukan materi lebih bersifat sekunder. Hal ini bisa diperumpamakan kalau akar-akar kejahatan dalam dunia manusia bukanlah terletak pada “uang,” namun terletak pada “kecintaan kita pada uang.” “Uang” melambangkan kekuatan materialisme yang obyektif ada di luar sedang “kecintaan pada uang” melambangkan kekuatan naluri kesenangan yang bersifat primitif dalam diri manusia. Naluri kesenangan seperti samudera lautan yang menyediakan segala potensi tumbuh kembangnya manusia. Naluri kesenangan dapat diumpamakan seperti kerangka atau struktur karena ia harus dipuaskan dengan cara diisi oleh benda-benda material dari luar. Benda-benda hasil produksi yang ada di luar manusia dapat berkembang dan dimanipulasi berdasarkan dorongan naluri kesenangan yang harus dipuaskan oleh benda-benda tersebut, proses ini disebut ekonomi libidinal. Perkembangan ekonomi yang ada di luar manusia ternyata banyak ditentukan oleh naluri libido (kesenangan) manusia. Naluri libidolah yang seharusnya bertanggung jawab bagi terciptanya kompleksitas, ketidakpastian dan fleksibilitas dalam dunia ekonomi sehingga memancing munculnya Tangan-tangan yang Tak Nampak (invisible hands). Padahal naluri kesenangan (id) adalah struktur dalam psikis manusia yang cenderung di luar kendali manusia itu sendiri, maka apabila dinamika ekonomi ditentukan oleh naluri kesenangan tentu perkembangan benda-benda material

pengetahuan selalu mengambil bentuk sintesis antara yang a priori dan a posteriori.

35

36

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

juga condong ada di luar kuasa manusia. Sebenarnya, fundamen ekonomi pasar adalah irrasionalisme, karena proses penawaran (produksi) dan permintaan (konsumsi) yang menggerakkan pertumbuhan ekonomi bukan ditentukan oleh tindakan dan pilihan rasional melainkan oleh preferensi naluri kesenangan yang irrasionl dan terus mendesak pemuasan tanpa bisa membedakan antara kebutuhan yang sebenarnya dan keinginan yang impulsif. Maka, ekonomi yang ditopangkan pada mekanisme pasar memiliki kontradiksi internal dalam subjek manusia yang irrasional. Jenis ekonomi ini penuh dengan kontraksi dan tidak stabil. Penulis menamakan fenomena ini sebagai irrasionalisme-pasar. Naluri kesenangan seperti struktur yang ada di luar kendali kesadaran manusia (consciousness) namun berkuasa untuk menentukan dan mempengaruhi kesadaran manusia itu sendiri melalui benda-benda material yang ada di luar, karena naluri kesenangan harus dipuaskan dengan bendabenda tersebut. Apabila manusia lebih dikuasai oleh naluri kesenangannya (yang harus dipuaskan oleh benda-benda material yang ada di luar) dari pada kesadarannya, hal ini bisa mengakibatkan kesadaran manusia sebagai subyek tergusur dari rumahnya sendiri, yaitu jiwa manusia. Manusia bukan lagi tuan atau penguasa atas dirinya sendiri karena kesadaran telah tergeser dari pusatnya. Manusia ditentukan oleh struktur naluri id-nya sendiri yang cenderung irrasional, agresif, tidak mengenal dan sering mengaburkan kenyataan. Akhirnya, manusia juga dikooptasi oleh kekuatan material yang merupakan turunan dan alat pemuas dari naluri id manusia. Kekuatan material yang menjadi kepanjangan naluri kesenangan dalam perspektif Strukturalisme merupakan sangkar yang melenyapkan kebebasan dan potensi manusia sebagai subyek sejarah. Kekuatan material dan naluri kesenangan adalah kekuatan anti-humanisme yang dapat

menenggelamkan kesadaran manusia sehingga potensipotensi alamiahnya terdistorsi dan kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Kekuatan material dan naluri kesenangan mampu menciptakan ketergantungan yang bisa melemahkan watak alamiah dan akal-budi kita. Di sini penulis hendak mendengungkan kembali pendapat Jacques Lacan (1901-1981) yang mengatakan bahwa keberadaan alam bawah sadar atau ketidaksadaran yang di dalamnya terdapat naluri kesenangan (id) ternyata merupakan struktur yang mampu mendesentralisasi kesadaran (consciousness) yang dianggap sebagai subyek kendali psikis.9 Dalam jiwa manusia, ketidaksadaran (unconscious mind) lebih dominan dibandingkan kesadaran. Manusia lebih cenderung untuk memperturutkan kesenangannya daripada ia mengekang atau mengendalikannya. Bagi Lacan, kesadaran yang otonom adalah fantasi. Kekuatan ketidaksadaran selalu mengeroposi sendi-sendi kesadaran dengan cara menginvasinya melalui simbol, manipulasi, khayalan, dan ilusi yang bisa menyembunyikan naluri kesenangan dan agresi sehingga kesadaran terdistorsi secara lembut dan halus. Bagaimana kesadaran itu bisa otonom dan mampu mengendalikan ketidaksadaran, padahal enersi psikis kesadaran berasal dari ketidaksadaran? Kesadaran selalu distrukturkan oleh kekuatan ketidaksadaran. Dan, anehnya seolah-olah telah menjadi takdir kalau kesadaran itu selamanya tidak bisa lepas dari bayang-bayang pengaruh ketidaksadaran. Kesadaran manusia selalu terancam oleh serbuan naluri kesenangan dan agresi yang berasal dari dunia ketidaksadaran. Hal ini berakibat manusia bisa kehilangan kekuatan otonominya, apabila manusia telah

37

9

K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX, Gramedia, Jakarta, 1996, hlm. 207.

38

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

kehilangan daya otonominya maka kesadarannya akan mudah untuk dimanipulasi oleh kekuatan material dari luar manusia, pada gilirannya ia tidak memiliki kendali sejarah dan terasing dari kenyataan yang ia ciptakan sendiri. Akhirnya manusia akan mengalami masa-masa depersonalisasi yang akut. Itulah gejala awal mundurnya peradaban dan kebudayaan manusia. Ketidaksadaran yang berisi naluri kesenangan id merupakan struktur yang lebih dominan dan berkuasa dalam kehidupan jiwa manusia dibandingkan kesadarannya, sehingga menurut perspektif MaterialismeHistoris dan Psikoanalisa, sudah menjadi kodrat kalau manusia itu bukanlah subyek sejarah dan juga bukan tuan dalam rumahnya sendiri. Hal ini menyebabkan manusia menjadi budak kekuatan material dan perannya sebagai kendali sejarah hilang tertelan cakrawala dunia. Maka, untuk memperoleh kembali harkat dan eksistensinya yang sejati manusia harus melakukan perlawanan. Sejarah moral manusia adalah pemberontakan melawan kodratnya sendiri, yaitu melawan pengaruh kecenderungan kekuatan struktur material di luar manusia dan kekuatan ketidaksadaran (id) dari dalam dirinya sendiri, karena keduanya lah yang membuat manusia kehilangan otonomi dan kebebasannya sehingga cita-cita manusia untuk mencapai predikat insan yang otentik dan penuh dengan keutamaan tidak pernah terwujud. Akankah manusia menjadi pemenang dalam melawan kodratnya sendiri? Memperoleh kembali kesadaran manusia yang otonom, dewasa dan bebas dari kooptasi ideologi yang berasal dari kekuatan material dan alam bawah sadar merupakan prasyarat bagi humanisme yang sebenarnya. Kekuatan material yang ada di luar dan naluri kesenangan dalam alam bawah sadar adalah struktur yang dapat mencemarkan watak alamiah dan akal-budi manusia, keduanya bisa disebut sebagai kekuatan anti-humanisme.

Humanisme muncul karena manusia cenderung mudah tenggelam oleh kekuatan material dari luar dan manipulasi dinamika alam bawah sadar dari dalam dirinya sendiri. Cita-cita humanisme terletak pada kesadaran manusia yang mampu menghadapi dan membangun mekanisme pertahanan diri dari kooptasi ideologi yang berasal dari kekuatan material sejarah dan naluri alam bawah sadar sehingga manusia menemukan dirinya dalam pijakan otonomi, kemandirian, dan kebebasan yang mengantarkan dirinya sebagai jenis Manusia Utama. Tujuan humanisme adalah melahirkan Manusia Utama. Manusia Utama memiliki kekuatan fisik dan psikis yang menjadikan hidupnya sebagai realisasi diri. Humanisme bisa diartikan sebagai pemenuhan atau realisasi potensipotensi alamiah manusia dalam lapangan sejarah untuk mencipta dan menjadi kendali bagi proses kebudayaan yang tak akan pernah berhenti. Humanisme menuntut manusia menjadi tuan atas kekuatan-kekuatan dalam dirinya sendiri. Untuk menjadi tuan atas dirinya sendiri dan tidak diperbudak oleh kekuatan dari luar, manusia membutuhkan adanya otonomi dan kebebasan. Otonomi memberikan kekuatan kendali bagi manusia terhadap dirinya sendiri sehingga ia bertindak berdasarkan hukum dalam dirinya, tidak dipaksa oleh kekuatan dari luar, semisal kekuatan supranatural yang adi-duniawi dan fatalistik atau hukum negara dan norma masyarakat. Keberadaannya tidak ditentukan oleh kekuatan-kekuatan lain melainkan oleh dirinya sendiri. Kekuatan adi-duniawi sering dianggap sebagai belenggu takdir yang bisa menentukan tindakan dan nasib manusia sehingga inisiatif dan kreativitas manusia menjadi tumpul. Begitu juga dengan negara dan masyarakat, keduanya adalah makhluk objektif di luar manusia yang sering memaksakan pengaruhnya terhadap kesadaran manusia melalui hukum dan norma sosial. Hukum negara

39

40

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

dan norma sosial menjadi tangan panjang dari kekuatankekuatan material dalam sejarah yang sebenarnya menguasai struktur negara dan fakta masyarakat. Maka, dengan memahami bahwa kesadaran atau humanisme harus bebas dari kekuatan-kekuatan pemaksa dari luar tentu definisi moral pada zaman modern perlu dirombak. Moralitas bukan hanya sekedar ketaatan pada hukum lahiriah yang diciptakan oleh negara. Moralitas juga bukan sekedar adaptasi kita terhadap nilai-nilai yang ada dalam masyarakat. Moralitas yang sejati bermula dari pikiran, perasaan dan tindakan yang didasarkan pada kehendak bebas kita dari dalam. Apabila moralitas digerakkan oleh inisiatif dan otonomi dari dalam berarti tindakan tersebut baru bisa dikatakan bebas dan etis. Moralitas harus muncul dari dalam kesadaran kita, dan bukannya dipaksa oleh kekuatan-kekuatan represif dari luar yang bersifat manipulatif. Maka konsekuensinya dalam abad modern, menjadi warga negara yang taat hukum bukan berarti ia sudah bermoral, dan sebaliknya, menjadi orang yang tidak taat hukum negara dan masyarakat bukan berarti ia tidak bermoral. Pembangkangan sipil dalam batas-batas tertentu bisa dikatakan etis, dan anarki dalam konteks hukum negara tidak seburuk yang kita bayangkan selama ini. Humanisme hadir sebagai gerakan untuk membebaskan sebesar mungkin enersi moral manusia dari kooptasi kekuatan material dan naluri kesenangan. Oleh karena itu, humanisme bisa menjadikan manusia sebagai individu-masyarakat yang otonom dan mandiri. Kalau manusia sudah mampu menjadi eksistensi yang otonom, ia cenderung bebas dari pengaruh luar dan tidak tergantung dengan eksistensi di luar dirinya, dalam filsafat Stoa, ia telah mencapai autarkia, ia mempunyai watak yang kuat. Keberadaannya tidak bergantung pada kekuatan-kekuatan lain melainkan ditentukan oleh dirinya sendiri. Otonomi dan kebebasan adalah tanda yang menempel

inhern pada eksistensi manusia. Manusia dikatakan sebagai subyek sejarah disebabkan adanya kesadaran (consciousness) dalam dirinya. Kesadaranlah yang menciptakan fungsi kendali pada jiwa manusia sehingga memungkinkan manusia bertindak secara otonom dan penuh kebebasan. Eksistensi manusia yang sejati mencerminkan otonomi dan kebebasan, dan hal itu bisa terwujud apabila kita memiliki kesadaran. Manusia disebut makhluk yang bebas apabila ia memiliki kesadaran yang sebenarnya. Apabila manusia itu bebas berarti ia eksis. Apa yang dikatakan oleh Rene Descartes (1596-1650) bahwa “aku menyadari maka aku ada” (cogito ergo sum)10 adalah benar. Manusia dianggap “ada dan eksis” apabila ia memiliki kesadaran. Kesadaran (consciousness) membuat manusia menjadi manusia, manusia adalah subyek karena kesadarannya. Namun, apabila kita melihat ke dunia kita sendiri, akan nampak kalau kita ini sebenarnya adalah makhluk yang lemah. Kesadaran manusia selalu ditentukan oleh kekuatan material dari luar, dan bukan sebaliknya. Dalam hal ini, banyak manusia yang mudah terperangkap oleh kekuatan sensasi material sehingga kesadarannya sudah hilang dari kepribadiannya. Manusia bisa dikatakan tidak lagi memiliki kepribadian, karena dirinya dijajah oleh kekuatan yang anonim dan impersonal. Maka, orang tersebut tidak lagi memiliki eksistensi. Otonomi dan kebebasan pergi dari jiwanya. Begitu juga orang yang kesadarannya terlelap oleh naluri kesenangan

41

42

10

“Cogito ergo sum” tidak hanya bisa diartikan sebagai “aku berpikir maka aku ada”. “Aku berpikir” juga bisa diartikan sebagai “aku menyadari”. “Aku berpikir maka aku ada” bisa dimengerti dengan kalimat “aku menyadari maka aku ada”. Oleh karena itu, filsafat Descartes juga bisa disebut sebagai filsafat kesadaran yang berpusat pada subyek.

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

yang berasal dari kekuatan alam bawah sadar, ia bisa dikatakan termanipulasi dari kehidupan yang sebenarnya. Ia tidak lagi memiliki eksistensi. Apabila kesadaran terdistorsi oleh kekuatan-kekuatan manipulatif yang berasal dari struktur material dan naluri alam bawah sadar, tentu manusia tersebut bisa kehilangan eksistensinya yang sejati. Ia bukanlah makhluk yang bebas, ia hidup dalam dunia yang absurd dan muspra. Kesadaran adalah kekuatan yang menunjukkan kalau manusia itu memiliki eksistensi dan daya hidup. Kesadaran adalah instrumen yang menentukan kendali sejarah. Namun, ketika manusia bersetubuh dengan sejarah, kesadaran manusia mudah mengalami distorsi, yaitu negara, masyarakat, dan mekanisme pasar yang dikendalikan oleh kekuatan material mendesentralisasi dan melenyapkan kesadaran manusia sebagai subyek sejarah. Negara, masyarakat dan mekanisme pasar mampu memanipulasi kesadaran kita melalui kekuatan ideologis yang sering menyembunyikan anomali dan kecacatan yang sedang terjadi dalam masyarakat sehingga kita menganggapnya sebagai suatu hal yang wajar dan biasa. Kehadiran humanisme selalu mendapat tantangan dari anti-humanisme. Anti-humanisme tercermin pada kekuatan-kekuatan yang bisa dengan mudah menenggelamkan dan mencengkeram kesadaran manusia. Kekuatan-kekuatan ini bisa bersumber dari dua arus, yaitu stuktur material dalam sejarah dan naluri-naluri primitif dalam alam bawah sadar manusia itu sendiri. Pengaruh dan dampak dari kekuatan material dan naluri alam bawah sadar bisa mengakibatkan manusia terasing atau teralienasi dari hasil swa-ciptanya sendiri. Hasil cipta manusia sering menjadi kekuatan objektif yang ada di luar yang bisa mempengaruhi dan menentukan perasaan, pikiran, dan tindakan kita. Manusia tidak lagi mampu menentukan perasaan, pikiran dan tindakannya

dari dalam, karena ia tidak memiliki kesadaran yang selama ini berfungsi sebagai kendali psikis terhadap dirinya dan dunia luar, akibatnya manusia kini dikendalikan oleh hasil kebudayaannya sendiri sehingga pantas untuk dikatakan bahwa abad modern dengan lantang menyuarakan kematian manusia sebagai subyek sejarah. Maka, apabila manusia ingin meraih kembali eksistensi dan kepribadiannya yang sejati, ia harus berani melakukan perlawanan terhadap kekuatan material yang sering mengendalikan struktur negara, masyarakat dan mekanisme pasar, tapi itu tidak cukup, manusia juga harus melakukan perlawanan terhadap naluri-naluri primitif dalam alam bawah sadarnya sendiri, karena naluri primitif merupakan sumber konflik umat manusia dan ia adalah roh dari kekuatan material. Tanpa melakukan perlawanan terhadap keduanya, tentu manusia harus siap untuk kehilangan eksistensi dan kepribadiannya yang sejati, ia selamanya akan terasing dari dunia dan dirinya sendiri. Mungkinkah kalau sejarah manusia itu sebenarnya merupakan penggambaran subyek yang diperbudak oleh hasil kebudayaannya sendiri? Atau dengan kata lain sejarah manusia adalah keterasingan dari diri dan ciptaannya sendiri? Kematian manusia sebagai subyek sejarah telah ditulis sendiri oleh manusia modern yang tidak mampu memaknai keberadaannya dalam alam semesta karena ia secara tidak sadar menyamakan dirinya sebagai bendabenda yang impersonal. Eksistensi manusia modern kehilangan makna keberadaannya dalam dunia. Menurut Martin Heidegger (1889-1976), sebenarnya eksistensi manusia berbeda dengan benda-benda di sekelilingnya, namun karena kesadarannya tenggelam oleh struktur material dalam sejarah, manusia mempunyai kecenderungan untuk menjadi suatu benda atau obyek. Sering kali manusia begitu tenggelam dalam dunia material

43

44

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

ia berubah menjadi anonim, yaitu tanpa kepribadian. Lalu, manusia menjadi bagian dari dunia benda serta makna keberadaannya (eksistensinya) sangat ditentukan oleh sesuatu dari luar dirinya, yaitu atribut-atribut yang menempel pada manusia, semisal uang, wanita, kekuasaan, mobil dan sebagainya, dan bukannya oleh nilai intrinsik dalam eksistensinya sendiri, semisal keutamaan pengetahuan, kebajikan, kesederhanaan, dan sebagainya sehingga kedudukannya dalam sejarah sangatlah dangkal. Atau dengan kata lain, masyarakat kita kehilangan keutamaan-keutamaan moral, karena keutamaan sering diukur oleh atribut-atribut dari luar yang menempel dalam eksistensi manusia. Keutamaan tidak lagi diukur dari dalam eksistensi dan watak kita sendiri. Manusia modern enggan untuk bertanya dalam dirinya apakah makna sebenarnya dari keberadaannya di dunia ini. Manusia modern dikepung oleh mode-mode, trend atau fashion yang bersifat sementara, tanpa perhatian untuk memperoleh perasaan yang lebih mendalam dan abadi. Manusia kini takut untuk hidup secara mendalam, bebas dan otentik. Dunia manusia dikuasai oleh kekuatan teknis yang bersifat impersonal dan menutupi diri manusia untuk bertanya tentang makna keseluruhan, makna hidup dan makna kenyataan yang sebenarnya sehingga manusia modern kini telah tercerabut dari keutamaan-keutamaan yang sebenarnya merupakan tujuan ontologis atau eksistensinya di muka bumi.. Manusia modern terisolasi oleh kebudayaan yang diciptakannya sendiri sehingga ia terasing dari pertanyaanpertanyaan yang bersifat eksistensial dan ontologis.11 Manusia modern sejatinya sedang mengalami dehu-

manisasi yang radikal karena ia kehilangan keutamaankeutamaan yang bersifat intrinsik dalam eksistensinya sendiri. Salah satu kekuatan objektif yang membuat manusia bisa kehilangan eksistensinya adalah mekanisme pasar yang irrasional. Mekanisme pasar merupakan proses ekonomi yang memandang sesuatu itu memiliki nilai apabila ia bisa dijadikan barang komoditas. Komoditas tidak memandang dirinya manusiawi atau tidak tergantung pada nilai jualnya. Padahal kita tahu sendiri bahwa ekonomi pasar bisa membeli tenaga manusia sebagai komoditas yang memiliki nilai jual. Manusia bukan lagi eksistensi yang memiliki tujuan yang luhur, tapi telah berubah menjadi komoditas yang dapat diperjualbelikan. Manusia baru dianggap bernilai apabila ia bisa diperjualbelikan. Realitas ekonomi pasar mendegradasikan eksistensi dasar manusia menjadi alat komoditas. Dan, yang menjadikan penulis heran adalah ternyata kita tidak menyadari bahwa eksistensi kita telah menjadi alat ekonomi, karena kecacatannya ditutupi oleh pandangan kita yang menganggap bahwa ekonomi pasar adalah mekanisme yang wajar dan lumrah. Bagaimana kita bisa melawan kekuatan yang menjadikan kita makhluk yang tidak berarti apabila kita sendiri tidak tahu dan tidak menyadari bahwa kita sudah menjadi makhluk yang tidak bereksistensi? Anti-humanisme harus dilawan dengan humanisme sebagai bentuk pemberontakan eksistensial melawan kekuatan-kekuatan yang telah melenyapkan peran manusia sebagai subyek sejarah sehingga kendali sejarah dimungkinkan kembali berada di atas tangan manusia. Kendali sejarah membutuhkan karakter revolusioner yang alamiah dan eksistensial. Karakter revolusioner sangat berkaitan dengan kehidupan religiositas kita, dalam hal ini eksistensi manusia di tengah dunia menunjukkan aktualisasi iman kita. Muhammad Iqbal (1877-1938),

11

Harry Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, Gramedia, Jakarta, 1992, hlm. 126.

45

46

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

seorang filsuf dan penyair muslim India terkenal, berkata; tanda-tanda orang beriman adalah ketika ia berdiri di tengah masyarakat, cakrawala dunia lenyap ke dalam dirinya, dan bukan dirinya yang lenyap ditelan oleh cakrawala. Iman ditunjukkan oleh eksistensi kita di dunia nyata. Orang beriman adalah orang yang memiliki eksistensi. Orang beriman mempunyai eksistensi yang membuat dirinya tidak larut oleh pusaran sejarah. Meskipun orang beriman berada dalam keramaian masyarakat, ia tidak terpengaruh oleh arus masyarakat itu sendiri. Ia mampu menjaga jarak, memiliki otonomi dan independensi dari pengaruh ideologis yang ditebarkan oleh masyarakat kepadanya. Orang beriman memiliki eksistensi yang kuat yang membuatnya tahan dari pengaruh kekuatan-kekuatan material dalam sejarah yang telah menjadi realitas eksternal dan selalu mengaburkan kesadaran manusia. Eksistensi orang beriman yang menjaga jarak dari masyarakat dan bersifat independen tidak harus menjadikan dirinya sebagai makhluk soliter yang terpencil dari keramaian, ia juga dituntut untuk menyejarah dan bersetubuh dengan dunia dalam rangka membangun kembali masyarakat berdasarkan cita-cita dan landasan baru. Dunia bukanlah sesuatu untuk dilihat atau diketahui lewat gagasan-gagasan semata, melainkan sesuatu untuk dibentuk dan dibentuk lagi dengan perbuatan yang terus menerus.12 Karakter revolusioner tercermin pada segala tindakan manusia yang bertolak dari hukum moral dalam dirinya sendiri, dan bukannya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan pemaksa dari luar, seperti anggapan masyarakat dan represi kekuatan negara. Sesuatu yang digerakkan dari luar

tidak memiliki kualitas moral dan tidak alamiah. Kita bisa melihat ke dunia luar bagaimana manusia modern menjadikan anggapan masyarakat sebagai tuhan. Anggapan masyarakat membentuk cara pandang manusia terhadap pemenuhan kebutuhannya. Anggapan masyarakat mempengaruhi manusia modern untuk mencukupi kehidupannya dengan berbagai produk kekuatan material seperti, prestise, uang, konsumerisme, mobil, rumah mewah, wanita, kekuasaan, life-style, dan sebagainya, semuanya itu berusaha dijejalkan kepada kita seolah-olah kita membutuhkannya. Kebutuhan-kebutuhan manusia modern diciptakan oleh anggapan masyarakat. Perasaan, perilaku, dan pikiran manusia modern banyak ditentukan oleh anggapan masyarakat dari luar daripada ditentukan oleh inisiatif dan kehendak bebas dari dalam dirinya sendiri sehingga ia tidak mampu menjadi manusia yang otentik dan otonom. Anggapan masyarakat merupakan simbol dari dinamika kekuatan materi, kesenangan, dan kekuasaan. Tuhan yang disembah oleh manusia modern di tempattempat ibadah hanyalah topeng yang menyembunyikan tuhan yang sebenarnya, yaitu kekuatan materi, kekuasaan, dan kesenangan. Tuhan yang sebenarnya inilah yang membuat manusia modern terikat dan bergantung pada kekuatan-kekuatan dari luar. Hal ini membuat hidupnya tidak bebas dan anonim, karena ia menjadi budak bagi kekuatan-kekuatan dari luar. Musuh orang beriman pada zaman dahulu adalah menyembah berhala karena dengan menyembah berhala kita telah menyekutukan tuhan, dan musuhnya yang sekarang ternyata masih sama, yaitu menjadikan hasil ciptaan kita sendiri sebagai tuhan meskipun dalam bentuk yang terselubung. Berhala-berhala yang disembah pada zaman dulu merupakan karya seni yang berharga, semisal patung-patung, dan berhala-berhala pada zaman modern kini mengambil wujud dalam rupa

12

Muhammad Iqbal, Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1983, hlm. 262.

47

48

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

hasil-hasil kebudayaan, semisal mobil, rumah mewah, uang, wanita, kekuasaan, gaya hidup, prestise, atau kesenangan-kesenangan lainnya. Dengan menggantungkan diri pada kekuatan materi dan kesenangan, berarti kita menyetarakan hasil ciptaan kita dengan Tuhan. Sikap ketergantungan manusia modern terhadap materi dan kesenangan telah menciptakan keterasingan dari diri dan ciptaannya sendiri. Apalah arti sikap beriman kita apabila eksistensi kita di tengah dunia ditentukan oleh kekuatankekuatan yang pada mulanya adalah hasil ciptaan kita sendiri. Pada zaman sekarang, orang-orang yang betul-betul beriman bisa dianggap ateis, karena ia tidak lagi menyembah tuhan yang disembah oleh masyarakat. Normal dan abnormal sering ditentukan oleh kategori yang diciptakan masyarakat, hal ini adalah menyesatkan. Orang ateis dalam struktur masyarakat modern biasa disebut sebagai manusia abnormal, tetapi justru orang abnormal inilah yang mampu keluar dari arus masyarakat yang sering menjerumuskan kita pada kubangan nihilisme. Orang ateis yang dianggap abnormal dan eksentrik ternyata bisa melawan kecenderungan masyarakat yang sudah sakit, karena perlawanannya itulah dia yang justru pantas disebut manusia normal dan tercerahkan. Orang yang tercerahkan dalam abad modern biasa disebut manusia abnormal, dan orang yang sakit tetapi bisa menyesuaikan diri dengan masyarakat malah sering dipanggil sebagai manusia normal. Waras dan abnormal tidak bisa diukur dari sejauh mana orang tersebut menyesuaikan diri dengan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, karena tatanan masyarakat sekarang bukannya memperhalus watak dan akal-budi kita, malah mencemarkannya. Normal dan abnormal tidak bisa begitu saja tergantung dari definisi masyarakat. Perubahan dalam struktur dasar masyarakat yang

didorong oleh gerakan religius sering bermula dari perlawanan pribadi orang abnormal dan eksentrik terhadap arus umum dan kecenderungan masyarakat yang ada. Orang abnormal yang pada mulanya terpinggirkan dari masyarakat, dan kemudian mereka kembali bersetubuh dengannya sering menjadi agen perubahan atas nilai-nilai dan struktur dasar masyarakat. Agen perubahan yang muncul dari gerakan agama acapkali muncul dari orang-orang yang terasing dan berbeda dari masyarakat umum. Hukum sejarah telah menuliskan kalau perubahanperubahan besar yang menentukan arah zaman justru muncul dari pribadi-pribadi yang abnormal, eksentrik, dan terasing. Perubahan berakar dalam kepribadian mereka yang mampu melawan dan menentang kecenderungan masyarakat yang ada. Perubahan-perubahan revolusioner tidak akan terjadi tanpa adanya perlawanan dan penentangan terhadap gejala yang ada dalam masyarakat. Karena berbeda dari masyarakat umum, orang abnormal dan eksentrik bisa disebut orang murtad atau ateis. Ateisme sebenarnya adalah proses yang harus dilalui menuju kebenaran monoteisme. Ateisme menjadi inti dari monoteisme, karena untuk mencapai penyembahan tuhan yang sebenarnya kita harus menegasikan atau menyingkirkan bentuk tuhan-tuhan kecil yang secara tidak kita sadari selalu menguasai kehidupan kita sehari-hari. Ateisme diartikan sebagai tindak peniadaan tuhan-tuhan palsu. Langkan pertama monoteis sejati adalah ia berani untuk menolak keberadaan tuhan-tuhan yang sering membuat kita tergantung dan justru memperlemah potensi-potensi alamiah manusia itu sendiri. Menyembah tuhan-tuhan palsu membuat manusia terasing dari diri dan ciptaannya sendiri. Orang ateis adalah orang yang selalu meragukan dan menafikan tuhan-tuhan kecil yang sering disembah oleh masyarakat umum. Meskipun masyarakat menyembah Tuhan di tempat-tempat ibadah, namun

49

50

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

setelah mereka pulang dari tempat ibadah mereka kembali menyembah kekuatan-kekuatan material yang penuh dengan kesenangan. Tuhan-tuhan palsu pada zaman modern tampil dalam wujud mobil, wanita, gaya hidup, trend, prestise, kekuasaan, harga diri dan sebagainya. Dalam pengertian monoteisme, orang-orang ateis adalah orang-orang yang menafikan dan meragukan keberadaan tuhan-tuhan kecil di atas. Untuk mencapai keberadaan Tuhan yang sebenarnya, kita harus berani menyingkirkan tuhan-tuhan palsu yang sering tidak kita sadari justru menguasai hidup kita. Oleh karena itu, tindakan ateisme merupakan bagian dari humanisme, karena dengan melepaskan diri dari cengkeraman tuhan-tuhan palsu membuat potensi-potensi alamiah manusia terbebaskan dan manusia menjadi diri yang seutuhnya. Alasan kenapa kita harus menyembah tuhan yang sebenarnya bukan karena tuhan butuh disembah oleh manusia. Tindakan menyekutukan tuhan dilarang bukan karena itu merupakan perbuatan dosa pada tuhan, tetapi penyekutuan terhadap tuhan membuat kita terikat dan bergantung pada kekuatan-kekuatan yang membuat manusia terasing dan terlemahkan potensi-potensi alamiahnya. Paham ketuhanan harus memiliki akarakarnya dalam potensi-potensi kemanusiaan. Maka, percaya pada tuhan yang sebenarnya akan membebaskan manusia dari belenggu naluri kesenangan dan kekuatan material yang selalu menentukan tindakan, pikiran, dan perasaan kita. Kita sering menganggap naluri kesenangan dan kekuatan material sebagai tuhan, tapi kita tidak menyadarinya karena kita menyembah keduanya secara terselubung. Dengan menegasikan tuhan-tuhan palsu membuat kita bebas dan otonom. Adanya manusia ditentukan oleh kehendak dan inisiatif dari dirinya sendiri, bukan ditentukan oleh kekuatan-kekuatan lain. Sebenarnya orang ateis itu bukannya tidak memiliki

tuhan, hanya saja mereka tidak menyembah Tuhan sebagaimana yang disembah oleh masyarakat kita. Tuhan orang-orang ateis adalah ketiadaan, karena definisi tuhan tidak cukup dirangkum oleh kategori-kategori kemanusiaan dan pengalaman inderawi. Tuhan lebih tepat untuk dikatakan “tiada” daripada “ada”. Ketiadaan menyimbolkan bahwa dengan mengosongkan diri dari pengertian-pengertian yang bersifat ilusif dalam diri kita (naluri kesenangan dan kekuatan material), maka yang diseberang batas bahasa dan pengalaman inderawi akan muncul dengan sendirinya. Tuhan adalah simbol dari ketiadaan. Dan, untuk mencapai ketiadaan itu kita harus menempuh perjalanan hidup dengan penuh keutamaan moral, yaitu mengekang naluri kesenangan dalam diri dan kekuatan material yang ada di luar. Dengan mengekang naluri kesenangan dan kekuatan material, di mana tindakan ini merupakan esensi humanisme, maka tuhan yang sebenarnya akan menampakkan diri. Tuhan yang disembah oleh orang-orang ateis dewasa kini adalah keutamaan moral, karena Tuhan menampakkkan diri dalam keutamaan tersebut. Sedangkan, tuhan yang disembah oleh masyarakat kita sejatinya adalah materi dan kesenangan meskipun dalam bentuk yang terselubung. Ateisme menjadi kritik terhadap keberagamaan manusia dewasa ini yang menyembah tuhan di rumah ibadah, namun setelah keluar dari tempat ibadah ia menjadi hamba bagi kekuatan materi dan kesenangan. Ateisme menjadi gerakan agama baru untuk menolak tuhan-tuhan kecil yang sering menguasai hidup kita, dan meneguhkan kembali keutamaan moral sebagai simbol kehadiran Tuhan yang selama ini telah hilang ditendang oleh kekuatan tuhan-tuhan kecil, yaitu mobil, rumah, kemewahan, konsumerisme, wanita, kekuasaan dan sebagainya. Karena potensi-potensi alamiah manusia sering terasing oleh kekuatan materi dan kesenangan, maka

51

52

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

ateisme yang berusaha untuk membebaskan manusia dari keterasingan tersebut dapat dikatakan sebagai bagian dari humanisme. Ateisme yang menegasikan keberadaan tuhantuhan palsu menjadikan manusia sebagai makhluk yang bebas dan teraktualisasikan potensi-potensi alamiahnya. Ateisme ingin membangkitkan kembali keutamaankeutamaan moral yang hilang dari mata masyarakat. Ateisme menjadi gerakan pencerahan bagi masyarakat yang secara tersembunyi dikuasai oleh kekuatan material dan kesenangan. Ateisme bersama teman-temannya, seperti kegilaan, gejala abnormal, dan sifat eksentrik, menjadi simbol kritik dan perlawanan terhadap bentuk masyarakat dewasa ini yang telah mengalami kepanikan epistemologis dan kehilangan keutamaan.

bagian dari masyarakat sekilas akan membuat kita menjadi manusia yang normal, tapi eksistensi yang sejati bukan pada sikap tersebut. Menjadi bagian dari masyarakat yang telah kehilangan keutamaan moral justru melenyapkan potensi kita sebagai manusia yang memiliki otonomi. Menjadi manusia normal yang selalu taat dan patuh pada norma sosial tidak menunjukkan eksistensi kita yang sebenarnya. Dengan mengikuti arus masyarakat, kita akan kehilangan identitas, karakter, dan keunikan individual kita. Sekilas dengan mematuhi norma sosial kita bisa dianggap manusia yang normal dan warga yang baik, namun di zaman ketika masyarakat sedang mengalami kegilaan terselubung tentu kategori normal dan abnormal tidak bisa diserahkan pada anggapan masyarakat. Tatanan masyarakat tidak lagi mampu mempertinggi watak dan akal-budi kita. Eksistensi tidak ditunjukkan oleh perilaku kita yang selalu menyesuaikan diri dengan masyarakat, tetapi eksistensi yang sejati justru ditunjukkan oleh sikap orang-orang yang selama ini terpisah dan dianggap abnormal oleh masyarakat. Orang abnormal selalu berpikir dan bertindak melawan kecenderungan umum. Dengan melawan kecenderungan umum, kita bisa terlepas dari arus masyarakat yang sering membawa kita menuju kubangan nihilisme. Manusia abnormal sering berusaha melawan dan menentang kecenderungan masyarakat kita yang sedang sakit. Menjadi manusia abnormal dalam batas-batas tertentu malah bisa mengeluarkan diri kita dari arus masyarakat yang sedang kehilangan keutamaan moral. Kebenaran sering muncul ketika kita melawan arus umum. Sejarah lahirnya agama-agama di dunia adalah perlawanan terhadap kecenderungan yang ada dalam masyarakat. Pada mulanya agama lahir untuk menentang dan melawan bentuk masyarakat yang ada. Sudah menjadi kodrat

C. Agama sebagai Kritik-Perlawanan Dalam tatanan masyarakat yang sedang kehilangan keutamaan, eksistensi manusia ditunjukkan oleh keberadaannya dalam melawan kecenderungan dan gejala yang ada pada masyarakat tersebut. Perlawanan perlu dilakukan karena masyarakat adalah fakta obyektif yang berdiri sendiri di luar manusia yang mampu menenggelamkan dan mengaburkan kesadaran manusia itu sendiri. Kalau tidak ada perlawanan, maka manusia akan mudah dihanyutkan oleh arus sejarah yang bisa menjadikannya sebagai makhluk yang absurd dan muspra. Kekuatan masyarakat yang seolah-olah berada di atas kesadaran individu bisa menyeret eksistensi manusia modern menuju pusaran lubang hitam. Kekuatan masyarakat merupakan bagian dari arus sejarah yang tidak pandang bulu untuk menenggelamkan siapa saja yang ada dalam dominasinya. Eksistensi manusia terletak bukan pada gerak adaptasi atau penyesuaian diri dengan arus masyarakat. Menjadi

53

54

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

alamiah kalau masyarakat sering mengalami perputaran siklis, yaitu kehilangan keutamaan moral, oleh karena itu, agama muncul. Eksistensi kita sering ditunjukkan oleh daya perlawanan kita terhadap norma masyarakat, karena norma yang dihasilkan oleh masyarakat yang sedang sakit cenderung mengaburkan eksistensi kita yang otonom. Kini masyarakat tidak lagi memperhalus akal-budi kita, justru mencemarkan watak alamiah kita yang baik. Maka, perlawanan menjadi simbol eksistensi kita, karena dengan melawan kita bisa dikatakan eksis. “Aku melawan, maka aku ada”. Di tengah-tengah hiruk pikuk kesibukan dunia, manusia sering menghadapi situasi absurd yang membuatnya tidak bermakna lagi. Keadaan absurd dimulai dari usaha manusia yang gagal dalam menghadapi keganasan dan ketidakpastian hidup antar sesama manusia atau pun alam. Ketidakberdayaan dan kekalahan sering memunculkan frustasi yang mendalam, hal ini bisa mengakibatkan kekosongan makna dalam diri manusia. Tanpa makna, hidup akan terasa hambar dan sia-sia. Memang, kekalahan dan penderitaan adalah sesuatu yang tak dapat dihindari, tapi tanpa perlawanan, eksistensi manusia akan menjadi absurd. Maka, eksistensi manusia untuk keluar dari absurditas adalah melakukan perlawanan.13 Dengan melawan, maka kita memiliki

eksistensi. Dengan perlawanan, kita bisa memaknai kehidupan walaupun penuh dengan rasa sengsara dan penderitaan. Lebih baik menderita daripada hidup tanpa makna. Kita melihat sendiri dalam realitas bagaimana kesadaran manusia (consciousness) lenyap ditelan oleh struktur material dalam sejarah. Determinisme ekonomi Marxian menunjukkan bahwa kesadaran ditentukan oleh faktor-faktor ekonomi dari luar sehingga sulit untuk memperoleh kesadaran yang otonom dan dewasa. Kesadaran manusia selalu terancam oleh dominasi kekuatan-kekuatan ideologis dari luar yang berasal dari struktur material dalam sejarah sehingga berpotensi melahirkan kesadaran-palsu (false-consciousness). Kesadaran manusia bukan lagi sebagai penentu alur sejarah tetapi digantikan oleh kekuatan-kekuatan material yang anonim dan impersonal. Manusia menyerahkan jalan hidupnya pada struktur yang tidak memiliki kepribadian. Di lain pihak, dari Psikoanalisa kita bisa belajar bahwa dalam dinamika psikis manusia unsur ketidaksadaran (unconsciousness) lebih dominan daripada kesadaran (consciousness). Kesadaran hanya dianggap sebagai institusi psikis yang tidak determinan, pinggiran dan tidak otonom. Kesadaran yang seharusnya berfungsi sebagai kendali sejarah telah dipasung oleh dominasi ketidaksadaran yang dapat mengaburkan manusia dari realitas. Ketidaksadaran dapat diumpamakan seperti struktur di luar kendali manusia yang bisa menelan dan menenggelamkan kesadaran. Dari dua teori tersebut, kita bisa memahami bahwa manusia tidak lagi sebagai tuan dalam rumahnya sendiri, manusia bukan lagi sebagai subyek sejarah yang dapat menentukan sendiri nasib hidupnya. Manusia telah terdesentralisasi dari pusat sejarah dan terlempar ke dalam pusaran yang mengakibatkan dirinya ada dalam kondisi

13

Lihat karya Albert Camus, The Rebel, Vintage Books, 1986. Di sini penulis mengalihkan kata pemberontakan dengan perlawanan. Sebenarnya, pemberontakan adalah usaha manusia untuk keluar dari absurditas. Ini adalah faham eksistensialisme . Penulis memasukkan agama sebagai perlawanan untuk menunjukkan eksistensi manusia di tengah-tengah masyarakat yang sedang mengalami anomali dan krisis. Tema eksistensi sebagai sebuah bentuk perlawanan juga tersirat pada karya-karya novel Pramoedya Ananta Toer.

55

56

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

absurd. Maka, untuk keluar dari kondisi absurd yang mengakibatkan manusia tidak dianggap lagi sebagai subyek sejarah dan tuan dalam rumahnya sendiri, manusia harus melakukan perlawanan. Manusia harus melawan kekuatan-kekuatan yang membuatnya tidak lagi sebagai tuan dalam rumahnya sendiri. Eksistensi manusia ditunjukkan bagaimana ia melakukan perlawanan, karena tanpa perlawanan manusia akan terus berada dalam sangkar absurditas. “Aku melawan, maka aku ada”. Perlawanan menampilkan eksistensi manusia yang sebenarnya, meskipun dalam usaha perlawanan tersebut manusia selalu kalah dan dipecundangi, tetapi setidaktidaknya manusia sudah menunjukkan harga diri dan kehormatannya. Perjuangan manusia untuk mengukuhkan eksistensinya melawan absurditas seharusnya tercermin pada watak agama. Agama adalah simbol pemberontakan manusia melawan keadaan yang membuatnya terasing. Agama melambangkan gerakan pemberontakan dari kaum budak yang hidupnya dikelilingi oleh absurditas dan alienasi yang diciptakan oleh para tuan-tuan lalim. Sejarah lahirnya agama-agama di dunia adalah perlawanan. Pemberontakan atau perlawanan dilakukan karena manusia hidup dalam keadaan absurd dan muspra. Pemberontakan menunjukkan bahwa manusia itu memiliki eksistensi atau eksistensi manusia ditunjukkan oleh daya perlawanan dan pemberontakan tersebut. Perubahan dan pembangunan kembali masyarakat dapat dimulai dengan melakukan kritik-perlawanan terhadap masyarakat. Kritik-perlawanan merupakan langkah awal untuk memperkuat masyarakat. Kita melawan karena masyarakat kita sebenarnya sedang mengalami patologi dan anomali. Maka, membangun kembali masyarakat bisa ditunjukkan oleh sikap kritikperlawanan kita terhadap fakta masyarakat yang sudah tidak memiliki keutamaan. Fakta masyarakat sudah tidak

lagi memperhalus watak alamiah dan akal-budi kita. Kritikperlawanan terhadap masyarakat merupakan misi dasar dari agama. Agama bisa dianggap eksis apabila ia mampu melakukan kritik-perlawanan terhadap gejala dan kecenderungan masyarakat yang ada. Agama yang tidak lagi memiliki daya kritik-perlawanan terhadap masyarakat berarti agama itu sudah mati. Gerakan agama sebagai kritik-perlawanan tercermin pada usaha manusia untuk memperoleh kembali otonomi dan kebebasannya dari cengkeraman kekuatan material dalam sejarah. Kekuatan material dalam sejarah sering menentukan dan mempengaruhi struktur negara dan fakta masyarakat. Norma dan hukum yang diciptakan oleh masyarakat dan negara selalu menentukan pikiran, hasrat, dan tindakan manusia. Maka, melalui hukum dan norma masyarakat lah kekuatan material dapat memaksa secara halus dan memanipulasi kesadaran (pikiran, tindakan, perasaan) kita. Dalam hal ini, kekuatan material secara tidak langsung bisa mempengaruhi dan mendistorsi kesadaran melalui kedudukan kita sebagai warga negara yang taat hukum dan tunduk terhadap norma sosial. Sekilas, sebagai warga negara kita harus taat hukum dan norma sosial, namun ”agama sebagai kritik-perlawanan” berusaha memberikan pemaknaan baru bahwa dengan menjadi warga negara yang taat hukum, bukan berarti kita sudah bermoral. Orang yang tunduk pada norma sosial juga bukan berarti kita sudah beretika. Karena tindakan moral atau etika yang sejati bukan terletak pada ketaatan kita pada kekuatan-kekuatan dari luar yang justru bisa mengaburkan kita dari kenyataan yang sebenarnya. Hukum negara dan norma sosial sering menyembunyikan kontradiksi, anomali, dan ketimpangan material dalam realitas masyarakat. Kalau kita bertindak berdasarkan norma sosial dan hukum negara dari luar berarti kesadaran kita ikut terbawa arus ideologi yang

57

58

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

berusaha menyembunyikan kecacatan dan ketimpangan material. Maka, kritik-perlawanan harus ditujukan terhadap hukum negara dan norma masyarakat yang telah menjadi tangan panjang dari kekuatan material dalam sejarah. Bentuk moralitas yang sebenarnya terletak dalam perlawanan terhadap kekuatan ideologis negara dan masyarakat yang sering memanipulasi kesadaran kita. Ketidaktaatan pada negara dan masyarakat justru bisa dikategorikan bermoral. Perlawanan terhadap negara dan masyarakat merupakan simbol otonomi dan kebebasan kita yang sebenarnya. Moralitas yang sesungguhnya adalah rasa hormat kita pada hukum moral yang telah diciptakan tuhan dalam kesadaran kita, dan bukannya tunduk pada hukum dan norma yang ada di luar kita. Hukum moral yang bersemayam dalam dada kita lebih bersifat universal dan independen. Agama berusaha untuk membebaskan sebesar mungkin enersi moral dalam diri kita yang tersandera oleh kekuatan material dalam sejarah melalui kritik-perlawanan terhadap hukum negara dan norma masyarakat, karena memang negara dan masyarakat merupakan alat dari kekuatan material. Dengan begitu lewat usaha perlawanan, etika yang berlandaskan hukum moral batin dalam diri kita bisa dimungkinkan terwujud dalam lapangan sejarah. Tindakan etis yang berasal dari hukum moral dalam batin kita menjadi kritik atas tatanan masyarakat yang sering memaksa dan menentukan perbuatan kita padahal tatanan masyarakat tersebut menyembunyikan anomali, ketimpangan dan kecacatan yang sedang terjadi dalam realitas. “Agama sebagai kritik” adalah salah satu tahapan penting dalam evolusi Agama Historis. Pendapat di atas didasarkan pada fakta bahwa kelahiran Agama-agama Historis, seperti Yahudi, Kristen dan Islam adalah membawa risalah kritik yang mampu memecah keseimbangan masyarakat pada waktu itu. Contohnya

adalah Islam, agama ini sejak awal dimaksudkan oleh pendirinya, yaitu Nabi Besar Muhammad, berusaha untuk melemahkan dan menghantam sendi-sendi masyarakat pada waktu itu. Nabi melihat bahwa kohesi sosial yang mengikat masyarakat Arab sedang mengalami perapuhan, maka untuk membangun solidaritas baru, dasar-dasar masyarakat lama perlu diruntuhkan terlebih dahulu. Nabi menghantam mentalitas dan sendi-sendi masyarakat yang didasarkan pada ikatan darah, kesukuan, kekerabatan dan keturunan (ashabiyah) diganti secara revolusioner dengan dasar bahwa semua individu-masyarakat adalah sederajat dan mereka diikat bukan oleh darah dan suku melainkan oleh persamaan iman. Doktrin ini dikenal dengan nama ummah. Doktrin ummah adalah bentuk egalitarianisme yang dianggap oleh para pemimpin suku Arab sebagai gerakan revolusioner yang dapat memecah belah dan melawan bentuk masyarakat yang ada. Ajaran Nabi tentang ketuhanan (tauhid) melandasi sistem sosial dan mendarah daging dalam struktur dasar masyarakat. Ketuhanan memiliki korelasi yang sangat kuat dan berakar pada persamaan derajat manusia. Oleh karena itu, Islam pada awalnya adalah agama humanis, maka wahyu yang ada pada pikiran Nabi memiliki daya hantam revolusioner atas tatanan masyarakat yang ada. Tentu sangatlah wajar kalau risalah Nabi besar ini ditentang oleh kekuatan status quo yang selalu menghendaki stabilitas dan keseimbangan yang konservatif karena risalah beliau mengancam pusatpusat kekuasaan yang sedang dipegang kaum borjuisoligarki pada waktu itu. Namun, kekuatan kritikperlawanan Nabi tidak sekedar menentang dan meruntuhkan kohesi sosial yang ada melainkan berusaha untuk membangun kembali masyarakat baru berdasarkan nilai-nilai yang transformatif. Ide Nabi ini dinilai terlalu modern pada zamannya sehingga institusi-institusi sosial pada waktu itu tidak mampu menopangnya secara

59

60

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

adekuat.14 Agama sebagai kritik pada awal kemunculannya sering dianggap sebagai penyimpangan dari arus ortodoksi atau kemapanan, karena ia menentang kecenderungan dan gejala yang ada dalam masyarakat. Keseimbangan masyarakat yang menyembunyikan patologi dan kontradiksi harus digoyahkan dan dibuka kedoknya oleh daya kritik. Kritik merupakan awal dari sebuah gerak perubahan dalam membangun kembali masyarakat berdasarkan landasan baru di mana struktur dasar masyarakat (basic structure of society) merupakan titik sasarannya. Jadi, eksistensi manusia terlihat sejauh mana ia dan agamanya mampu melakukan kritik sebagai bentuk perlawanan terhadap gejala dan kecenderungan masyarakat menuju transformasi struktur dasar masyarakat itu sendiri dan nilai-nilai yang mendasarinya.15 Filosofi “agama sebagai kritik” tidak harus selalu berarti sebagai gerakan agama untuk menghancurkan tatanan yang ada. Perlawanan “agama sebagai kritik” bisa dipahami seperti negativitas dalam kerangka dialektika Hegelian. Negativitas sekilas berarti sebuah antitesis yang bersifat melawan, namun negativitas dalam dialektika merupakan proses penolakan terhadap eksistensi yang ada untuk mengangkat derajatnya (aufhebung) dan memperoleh hasil baru dalam proses sejarah yang tidak pernah berhenti. Kritik agama diarahkan pada struktur dan bentuk masyarakat yang ada bukan untuk dihancurkan melainkan dirubah sesuai dengan semangat dan cita-cita baru. Kritikperlawanan bisa berarti memperkuat kembali masyarakat.

Agama dan masyarakat adalah dua entitas yang berbeda namun saling berkaitan, berinterelasi dan berjalan secara dialektis dalam sejarah. Kritik agama terhadap masyarakat tidak boleh berhenti, kalau agama sudah tidak mampu melancarkan kritik terhadap gejala yang ada dalam masyarakat, maka agama itu sudah layu.16 “Agama sebagai kritik” merupakan salah satu tahapan evolusi agama dalam sejarah manusia. Pada fase awal, Agama primitif merupakan agama yang berciri naluriah. Agama primitif belum mengenal kesadaran (consciousness) sebagai potensi manusia yang patut untuk dikembangkan lebih lanjut. Kepercayaan pada masa primitif bisa diperbandingkan dengan fase psikologi anak-anak yang baru bersentuhan dengan dunia. Agama primitif belum bisa mengenali potensi-potensi alamiah manusia dalam berhubungan dengan alam sekitarnya. Dalam zaman agama primitif belum terjadi spesialisasi dan pembagian kerja secara struktural. Pengolahan sumber-sumber pangan masih bersifat komunal. Ritual atau pengorbanan adalah bentuk ibadah yang utama. Tahap selanjutnya adalah agama arkais, di mana manusia sudah mengenal dewa-dewa alam. Agama arkais mencerminkan keinginan manusia untuk berdamai dan menguasai alam. Agama arkais mulai menggunakan kekuatan alamiah manusia untuk menjelaskan eksistensi dirinya bersama kedudukannya dengan alam semesta. Pada fase ini manusia belumlah akil balig sehingga kekuatan-kekuatan yang difungsikan ternyata menipu dirinya. Hal ini bisa kita temukan dalam ritual magi yang di dalamnya manusia mulai menguasai alam berdasarkan hukum psikis yang diterapkan pada dunia benda dan alam sekitarnya. Kekuatan magi diarahkan pada dewa-dewa

14

Robert N. Bellah, Beyond Belief, California Press, Los Angeles, 1970, hlm. 150. 15 Penulis terinspirasi dari tema buku karangan Robert John Ackermann: Agama sebagai Kritik, Jakarta, 1991.

61

16

Ibid, hlm. 5.

62

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

alam untuk mewujudkan keinginan-keinginan pemintanya. Kekuatan psikis magi masih berkuasa dalam diri manusia arkais meskipun setengahnya telah dipindahkan pada figur dewa-dewa alam. Ritual magi ternyata hanyalah fase awal dari ilmu pengetahuan yang belum dewasa, dan belum menemukan pijakan dalam realitas. Meskipun magi tidak sesuai dengan realitas, namun karena bersumber dari alam bawah sadar ia akan terus abadi dalam kehidupan manusia. Dengan kata lain, keadaan manusia arkais yang dikungkung secara psikologis oleh kesadaran palsu, yaitu pseudo-science dalam magi masih terus berlangsung hingga manusia modern. Dan, fase ketiga adalah agama historis yang batang tubuhnya adalah manusia itu sendiri. Agama ini memunculkan karakter manusia yang mulai beranjak dewasa meski belum matang dan sering mengalami distorsi kesadaran. Hal ini tercermin pada lahirnya ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang rasional adalah simbol kedewasaan manusia dalam menghadapi keterbatasan, ketidakpastian dan ketidakberdayaan yang ditimbulkan oleh alam. Agama historis hidup dalam struktur masyarakat yang mulai berkembang dan mengalami diferensiasi. Ketimpangan material merupakan dampak yang tak terhindarkan dari munculnya spesialisasi dan pembagian kerja. Kehadiran Agama-agama historis (seperti Yahudi, Kristen dan Islam) selalu diawali dengan krisis dan anomali dalam masyarakat sehingga memancing lahirnya fermentasi religius yang memunculkan “agama sebagai kritik.” Kritik inilah yang menjadi senjata bagi para nabi-nabi untuk melawan tatanan lama dan membangun kembali masyarakat baru. Ada persamaan kuat yang mendasari agama primitif,

arkais dan agama historis,17 yaitu agama-agama ini ternyata bersandar dan bersumber dari impuls ketidaksadaran manusia (unconscious mind). Mulai dari totemisme, animisme, agama dewa-dewi, agama magi, Yahudi, Kristen, Islam mempunyai corak yang sama, yaitu bersandar pada ketidaksadaran. Pada titik ini penulis setuju dengan tesis Carl Jung (1875-1961) yang mengatakan bahwa sumber dan asal-usul agama dunia adalah ketidaksadaran (unconscious mind).18 Tetapi, agama-agama yang melandaskan nilai-nilai moralnya pada saluran ketidaksadaran berpotensi memiliki akar-akar kekacauan psikologis yang bisa mengaburkan manusia dari realitas, dalam hal ini agama-agama Semit (Yahudi, Kristen, Islam) adalah contoh bentuk agama yang mendasarkan wahyunya pada saluran mimpi, halusinasi dan delusi pikiran. Saluran mimpi, halusinasi dan delusi pikiran merupakan wilayah psikis ketidaksadaran. Telah kita ketahui bersama bahwa nabi-nabi Agama Semit mendapatkan wahyu melalui keadaan-keadaan psikologi abnormal. Psikologi abnormal bisa disebut sebagai saluran munculnya wahyu Agama-agama Semit. Dikatakan abnormal karena saluran-saluran ini merupakan bagian dari dinamika ketidaksadaran yang patologis. Saluransaluran wahyu tersebut tentu dapat mempengaruhi struktur dan gaya ajaran agama-agama tersebut. Ketidaksadaran secara psikologis mampu mendistorsi kenyataan dan mengaburkan realitas. Hal ini memungkinkan bagi gerakan agama baru (new religious

63

17

Tipologi Agama Primitif, Arkais dan Historis diambil dari tulisan artikel Robert N. Bellah yang berjudul: Religious Evolution di dalam bukunya; Beyond Belief, California, 1970. 18 Erich Fromm, Psikoanalisa dan Agama, Atisa, Jakarta, 1988, hlm. 16.

64

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

movement) untuk memformulasikan kembali nilai-nilai risalahnya bebas dari pengaruh patologi ketidaksadaran dengan meletakkan ajaran dan etikanya pada landasan non-ketidaksadaran, yaitu agama yang berasaskan pada fundamen kesadaran (consciousness). Untuk membahas asal-usul agama yang lahir dari impuls ketidaksadaran, pembaca bisa mendapatkan pada bab selanjutnya dari buku ini. Dakwah ”agama sebagai kritik” pada mulanya bertentangan dan berlawanan dengan kecenderungan masyarakat yang ada. Pendapat ini nampak kontradiktif dengan tesis Emile Durkheim (1858-1917) mengenai sifat dan sumber agama. Aliran Fungsionalisme Durkheim menyatakan bahwa agama lahir dari proses masyarakat yang disakralkan. Masyarakat adalah akar-akar agama, atau dengan kata lain agama adalah fakta masyarakat itu sendiri. Agama muncul dan berfungsi menjaga kestabilan, integrasi dan keseimbangan pada orde masyarakat. Kalau pun ada konflik dan perubahan, organ masyarakat tersebut berusaha untuk melakukan penyesuaian agar terjadi penyeimbangan sehingga titik kestabilan pun tercapai. Menurut Durkheim, agama lahir untuk mengakomodasi dan menjaga solidaritas masyarakat dan bukan menentangnya.19 Apa yang dinamakan sebagai keseimbangan dan stabilitas itu hanyalah lapisan atau permukaan luar dari struktur masyarakat. Keadaan yang dalam penampakannya tertib dan teratur, sebenarnya dihasilkan dari struktur kuasa yang berusaha menutupi dan menyembunyikan pertentangan, konflik, dan keterpecahan yang ada di bawah permukaannya. Apabila kita melucuti kedok

keteraturan dan keseimbangan di lapisan atas, akan kita dapati konflik dan pertentangan di bawahnya.20 Bahkan hukum-hukum keteraturan alamiah alam semesta, pada awalnya, muncul dari situasi chaos dan kacau balau. Hukum keteraturan selalu ada dalam bayang-bayang ketidakteraturan. Di mana ada keteraturan dan keseimbangan, di situ tersembunyi ketidakteraturan dan pertentangan. Struktur kuasa berusaha menutupi dan menyembunyikan pertentangan agar potensi perubahan dapat dimandulkan. Karena, apabila terjadi perubahan maka kepentingan dari kelas yang dominan dan berkuasa akan terancam. Oleh karena itu, demi mengukuhkan keteraturan dan stabilitas, kelas yang dominan menggunakan piranti ideologi untuk memanipulasi dan mendistorsi kenyataan yang sebenarnya terjadi dalam struktur masyarakat. Ideologi bisa muncul melalui ajaran agama, pengetahuan, hukum, dan kepemimpinan politik. Agama apabila ingin disebut sebagai indikator perubahan, ia harus memunculkan unsur kritik-perlawanan terhadap gejala dan kecenderungan yang ada dalam masyarakat, karena kritik-perlawanan merupakan alat pembuka kedok ideologis yang selama ini mementahkan perubahan. Perubahan identik dengan melawan dan menentang keseimbangan. Fakta kelahiran agama yang menentang masyarakat lebih sesuai dengan tesis Bronislaw Malinowski (1884-1942) yang menyebutkan bahwa agama lahir dari sumber yang murni individual, yaitu dari para nabi sebagai pendirinya.21

20

Emile Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life, New York, 1965, hlm. 479-488.

K.J. Veeger, Realitas Sosial, Gramedia, Jakarta,1993, hlm. 211. Bronislaw Malinowski, Magic, Science and Religion, New York, 1954, hlm. 59. Secara psikologis, ide bahwa sumber agama murni

65

66

19

21

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

Para nabi ini mendakwahkan seperangkat nilai yang mengandung muatan kritik terhadap gejala masyarakat pada waktu itu, karena masyarakat dalam kurun masa tertentu sering mengalami krisis yang tentunya menyemai benih bagi lahirnya agama baru sebagai kritik terhadap status quo. Para nabi sering diidentikkan dengan jenis pribadi yang berbeda dengan manusia pada umumnya, bahkan dianggap eksentrik dan abnormal. Justru dengan sifat eksentrik dan abnormal, nabi-nabi pembawa agama besar cenderung menentang dasar-dasar masyarakat yang ada dan berusaha merubah fundamen agama ortodoks yang sedang menguasai cara pandang manusia terhadap realitas. Senjata kritik para nabi ini adalah keutamaankeutamaan yang selama ini hilang dari mata masyarakat. Agama menurut Durkheim berfungsi sebagai penjaga ortodoksi, yaitu mendukung nilai-nilai yang sedang dianut oleh mayoritas masyarakat, dan nabi-nabi malah muncul untuk mengubah serta menentang bentuk agama ortodoks tersebut. Kecenderungan munculnya agama baru adalah menentang gejala atau kecenderungan yang ada dalam masyarakat, di mana agama ortodoks berlindung di dalamnya. Inilah bentuk sebenarnya dari agama sebagai kritik-perlawanan. Dalam pandangan penulis, definisi agama yang dikemukakan oleh Durkheim tadi sangat berbahaya karena ketika eksistensi agama sangat bergantung pada bentuk dan nilai-nilai yang ada dalam masyarakat, padahal situasi masyarakat kita sedang sakit, mengalami malaise, atau terjangkiti patologi sosial dan mengalami kepanikan epistemologis, tentu nilai-nilai agama yang bergantung pada masyarakat tersebut akan ikut sakit dan abnormal.

Agama tidak bisa mendasarkan dan merefleksikan diri pada fakta masyarakat. Baik dan buruk, normal dan abnormal tidak bisa ditentukan oleh masyarakat melainkan oleh eksistensi nilai-nilai keutamaan universal itu sendiri. Definisi yang dibuat oleh Durkheim bahwa agama harus mendasarkan diri pada masyarakat akan mengakibatkan agama menjadi ajaran atau nilai-nilai yang bersifat relatif, maka agama ini tidak bisa menjadi patokan dalam merumuskan nilai-nilai yang memiliki jangkauan universal. Nilai-nilai agama tidak boleh bergantung pada fakta masyarakat, nilai-nilai agama harus berdiri sendiri, bersifat otonom, independen dan universal. Namun, tesis Durkheim yang menyatakan bahwa masyarakat yang disakralkan adalah esensi agama itu sendiri, ternyata dapat menjelaskan fenomena kehidupan religius manusia modern. Menurut Durkheim, masyarakat adalah fakta yang berdiri sendiri terpisah dari individuindividu. Masyarakat memiliki pengaruh yang dapat menentukan gerak, pandangan, hasrat, dan pikiran individu-individu. Hal ini terjadi karena inidividu-individu harus menginternalisir nilai-nilai yang ada dalam masyarakat agar ia mampu beradaptasi dan bertahan hidup kalau tidak ia akan dianggap oleh orang lain sebagai manusia yang terasing dan terpinggirkan. Nilai-nilai yang ada dalam masyarakat mampu membentuk “hati nurani kolektif” (collective conscience) yang berdiri sendiri bahkan melampaui individu-individu. Hati nurani kolektif inilah yang menjadi lambang atau anggapan masyarakat yang kemudian bisa menentukan pikiran, perasaan, dan tindakan individu-individu. Dalam wujud material, kebudayaan masyarakat yang membentuk hati nurani kolektif merupakan kekuatan yang dapat mendeterminasi pikiran dan perbuatan manusia modern melalui kebutuhan-kebutuhan yang diciptakan oleh mode produksi kapitalisme. Kita bisa melihat

bersifat individual juga bisa kita dapati dalam tulisan klasik William James yang berjudul: The Varieties of Religious Experience.

67

68

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

bagaimana individu-individu modern begitu tergantung dengan masyarakat, mereka bertindak, berpikir, dan berkata selalu berdasarkan kategori-kategori yang diciptakan oleh masyarakat, semisal life-style, trend, prestise, entertainmen, dan sebagainya. Individu modern sangat ditentukan oleh anggapan-anggapan masyarakat, sehingga anggapan masyarakat lebih menentukan kehidupan mereka dibandingkan keutamaan yang muncul dari dalam eksistensi manusia itu sendiri. Individu manusia modern berpikir berdasarkan anggapan masyarakat dari luar, dan bukannya didorong oleh inisiatif dari dalam manusia itu sendiri. Manusia modern tidak mampu menjadi insan yang otentik dan otonom karena anggapan masyarakat telah menggantikan nilai-nilai keutamaan dalam kehidupannya. Sebenarnya, manusia modern secara terselubung telah menjadikan nurani kolektif atau anggapan masyarakat sebagai tuhan, karena mereka bertindak dan berpikir berdasarkan anggapan atau nurani kolektif tersebut daripada bertindak dan berpikir berdasarkan keutamaan dari dalam eksistensi mereka sendiri. Tindakan manusia modern sering ditentukan oleh fakta masyarakat dari luar daripada ditentukan oleh kualitas, inisiatif dan otonomi dari dalam manusia itu sendiri. Immanuel Kant menamakan tindakan manusia yang didorong dari luar dengan nama heteronomi sebagai lawan dari tindakan yang muncul dari dalam otonomi kehendak manusia. Sesuatu yang digerakkan dari luar tidak memiliki kualitas moral, dan ini tidak alamiah. Jadi, berdasarkan definisi Durkheim, manusia modern sering menjadikan anggapan masyarakat atau suara kolektif sebagai tuhan karena cara pandang mereka terhadap sesuatu lebih ditentukan olehnya daripada keutamaan eksistensi manusia itu sendiri. Tuhan yang disembah di rumah ibadah hanya menjadi kedok yang

menyembunyikan tuhan yang sebenarnya, yaitu anggapan masyarakat dan kesenangan materi, karena fakta masyarakat ditentukan oleh kekuatan material. Apabila kita mendefinisikan agama sebagai nilai-nilai masyarakat yang disakralkan, tentu cara beragama kita akan menjadi distortif karena bentuk masyarakat kita secara tidak langsung ternyata dikuasai dan dikooptasi oleh kekuatan mode produksi kapitalisme, sehingga selamanya kita tidak akan pernah mencapai tindakan etis yang bertolak dari kesadaran otonom karena tindakan etis kita selalu ditentukan oleh kekuatan-kekuatan dari luar. Tesis Durkheim memiliki kebenaran karena bisa menjelaskan fenomena religiositas masyarakat modern. Namun, tesis ini tidak bisa dijadikan acuan untuk memformulasikan bagaimanakah seharusnya kita beragama, karena tesis tersebut hanya menjelaskan fenomena religiositas yang ada bukan bagaimana seharusnya kita beragama. Tetapi setidak-tidaknya, dengan memahami bagaimana tuhan atau agama muncul dari anggapan masyarakat yang disakralkan kita bisa menghindar dari formulasi agama yang telah dijelaskan oleh Durkheim sehingga kita mampu beragama dengan lebih sehat dan dewasa. Penelitian Durkheim mengenai asal-usul agama ditujukan pada agama primitif yang dianggap sebagai bentuk agama paling tua dan elementer, yaitu totemisme. Totemisme menurut Durkheim bukan sekedar agama yang menyembah hewan-hewan yang dikurbankan. Prinsip utama totemisme terletak pada lambang totem yang menyimbolkan masyarakat itu sendiri. Ritual totemisme diciptakan untuk meneguhkan dan mengikat individuindividu pada masyarakat. Masyarakat dengan segala nilai dan aturannya adalah objek penyembahan totemisme. Totemisme adalah lambang dari masyarakat yang disakralkan. Prinsip totemisme dalam kehidupan modern

69

70

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

dapat ditemukan pada “hati nurani kolektif” (collective conscience) atau “anggapan masyarakat” yang berisi nilai-nilai dan aturan-aturan yang selalu diinternalisir oleh individuindividu. Lambang totemisme yang disimbolkan oleh ”anggapan masyarakat” bisa menentukan bagaimana manusia modern harus berpikir dan merasakan. Anggapan masyarakat dari luar lebih menentukan pikiran, perasaan, dan tindakan individu-individu dibandingkan dengan keutamaan yang berasal dari dalam eksistensi manusia itu sendiri. Penelitian tentang agama totemisme memang berbeda dengan penelitian yang ditujukan pada bentuk agama yang lebih maju, seperti Yahudi, Kristen dan Islam. Penelitian yang pertama penuh dengan kabut dan misteri sehingga memungkinkan banyak penafsiran yang saling bertentangan. Namun, penelitian Durkheim memiliki aspek fungsional, yaitu latar belakang keadaan melemahnya masyarakat dan negara Perancis yang terkikis oleh fenomena anomie dan anarki individu borjuasi telah menginspirasi Durkheim untuk mendorong bagaimana melakukan penguatan atas negara dan masyarakat. Konsep-konsep kunci, seperti solidaritas, kohesi, representasi kolektif dan fakta sosial menjadi perhatian utama dalam studi sosiologi Durkheim.22 Hal ini mengantar Durkheim pada definisi agama sebagai kekuatan yang berasal dari masyarakat sekaligus berfungsi sebagai penjaga solidaritas dan keutuhannya. Yang dipikirkan oleh Durkheim adalah bagaimana caranya menguatkan masyarakat dan melemahkan kebebasan individu yang cenderung anomik dan anarkis sehingga ia memahami agama sebagai masyarakat yang disakralkan. Menurut

Durkheim, individu manusia pada dasarnya adalah antisosial sehingga masyarakat atau agama perlu untuk mengekang watak alamiah manusia tersebut. Akhirnya, “masyarakat” menjadi jantung pemikiran Durkheim agar nantinya bisa difungsikan sebagai kebijakan yang bersifat strategis dan pragmatis. Sebenarya, tesis Durkheim memiliki kaitan dengan keadaan agama-agama yang mapan dalam sebuah masyarakat. Yaitu, sosiologi Durkheim menunjukkan signifikansi agama ortodoksi yang berfungsi sebagai penjaga keutuhan dan keseimbangan masyarakat. Ortodoksi merupakan bentuk akumulasi ajaran agama yang telah menjadi timbunan sejarah sehingga membawa beban dalam dirinya sendiri. Ortodoksi ini bersifat fungsional dan memelihara kestabilan masyarakat terus menerus, dalam tesis Thomas S. Kuhn, ortodoksi disebut dengan agama normal (normal religion). Ada sesuatu yang memberi wawasan pada bentuk agama Durkheimian ini, yaitu setelah agama merumuskan dirinya menjadi ortodoksi yang definitif dan mapan, sering ia kehilangan daya kritik terhadap gejala masyarakatnya karena sifat fungsional, akomodasionis dan watak ketertiban dalam ortodoksi ini menolak adanya konflik atau perubahan yang bisa mengancam keutuhan masyarakat. Karena telah kehilangan daya kritik terhadap gejala dan kecenderungan masyarakatnya, ortodoksi hanya membawa beban nilai yang lebih bersifat dogmatis, mekanis dan ritualistik sebab nilai-nilai inilah yang mampu menjaga solidaritas dan kohesi masyarakat. Agama yang terlalu menekankan diri pada aspek dogmatis dan ritual adalah jenis agama yang anti-perubahan, ia juga bisa dinamakan ortodoksi karena menitikberatkan pada keseimbangan dan ketertiban. Dan, ketika ortodoksi telah kehabisan tenaga dalam menjaga keutuhan masyarakat, unsur-unsur pertentangan dan konflik yang selama ini tersembunyi di bawah permukaan

22

K.J. Veeger, Realitas Sosial, Gramedia, Jakarta, 1985, hlm. 139-150. Lihat juga karya, Anthony Giddens, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern, UI-Press, 1985, hlm. 81-100.

71

72

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

akan menyeruak keluar, maka terjadilah semacam krisis yang kemudian memancing munculnya fermentasi religius, yaitu hadirnya agama baru revolusioner yang berusaha menggantikan agama ortodoksi serta membangun masyarakat dengan cita-cita dan landasan baru. Meskipun nantinya gerakan agama baru bisa bersifat revolusioner, namun ia tidak mesti bersifat orisinil. Bisa jadi, gerakan agama ini muncul dengan mengangkat kembali nilai-nilai yang sudah lama hilang dan terpinggirkan oleh masyarakat. Banyak sekali gerakangerakan agama yang muncul dalam sejarah dan bersifat revolusioner namun tidak memiliki ajaran-ajaran yang bersifat orisinil karena ajaran-ajaran mereka merupakan bentuk transformasi nilai-nilai yang telah ada dalam masyarakat yang kemudian mendapat interpretasi dan makna baru, dalam hal ini Islam adalah salah satu contohnya.23 Hal ini menunjukkan ketepatan penilaian Durkheim bahwa agama yang paling asing pun pasti memiliki akarakarnya dalam masyarakat meskipun bentuk masyarakat tersebut telah lama hilang. Yang mungkin bersifat orisinil dari sebuah gerakan agama baru ini adalah bagaimana ia membangun landasan yang kokoh untuk menjadi topangan bagi nilai-nilai yang didakwahkan oleh agama tersebut. Yaitu, selama ini kita telah mengenal semua agama, mulai dari agama-agama primitif, semisal totemisme, animisme

dan magi, sampai agama-agama historis dan modern, semisal Yahudi, Kristen dan Islam. Agama-agama ini ternyata mendasarkan nilai-nilai moralnya pada landasan ketidaksadaran (unconscious mind), jadi kebenaran, keadilan, kasih sayang dan kemanusiaan secara faktual ditopang oleh saluran ketidaksadaran yang merupakan asal-usul agama tersebut. Dalam hal ini, agama Yahudi, Kristen, dan Islam melandaskan diri pada wahyu yang diperoleh para Nabinya yang berasal dari keadaan-keadaan psikis abnormal (wahyu muncul melalui keadaan-keadaan kwasi-mimpi, delusi, halusinasi, dan kesurupan). Apakah landasan ketidaksadaran bisa mempengaruhi isi dan ajaran moral yang hendak disampaikan oleh agama-agama ini? Tentu, ketidaksadaran bisa mengaburkan manusia dari realitas, membunuh daya kritik dan menyuburkan delusi, sehingga nilai-nilai moral yang ditopang oleh ketidaksadaran berpotensi mengandung patologi psikis dan pasti akan menjadi absurd dan mengasingkan manusia dari realitas. Maka, agama baru harus bisa menghindar dari delusi ketidaksadaran dengan menopangkan nilai-nilai moralnya pada fundamen yang lebih kuat, yaitu kesadaran (consciousness). Kesadaran yang utuh akan membentuk ciri khas manusia yang otonom dan penuh kebebasan,24 24

Lihat tulisan-tulisan Toshihiko Izutsu yang memaparkan bagaimana Nabi melakukan transformasi atas konsepsi nilai-nilai Arab pra-Islam yang kemudian mendapatkan posisi dan interpretasi baru dalam struktur semantik Al-Qur’an. Izutsu menamakan nilai-nilai lama pra-Islam sebagai “makna dasar” dan nilai-nilai yang telah ditransformasi oleh Nabi sebagai “makna relasional; Relasi Tuhan dan Manusia, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2003.

Otonomi dan kebebasan merupakan syarat bagi adanya moralitas yang sebenarnya. Lihat tulisan etika otonomi melawan heteronomi pada karya-karya Immanuel Kant. Sumbangan utama dari teori etika yang diformulasikan oleh Immanuel Kant, menurut penulis, bukan terletak pada etika kewajiban itu sendiri melainkan pada syarat yang memungkinkan etika bisa dipenuhi, yaitu otonomi dan kebebasan. Dengan mendasarkan etika pada otonomi dan kebebasan, etika Kant telah bersentuhan dengan institusi negara, masyarakat atau tatanan yang ada di luar manusia yang sedang menguasai dan memaksa kesadaran individu-individu.

73

74

23

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

dengan begitu manusia bisa mengaktualisasikan potensipotensi alamiah dalam dirinya. Ia menjadi manusia sepenuhnya, karena agama tidak lagi mengasingkan dirinya melainkan mempertinggi dan memperhalus watak alamiah dan akal-budinya. Inilah ciri pondasi agama baru yang revolusioner. Agama yang berfungsi sebagai kritik-perlawanan terhadap kecenderungan masyarakat dan negara merupakan titik awal bahwa agama berpotensi untuk menjadi penggerak perubahan dan transformasi masyarakat. Hal ini sesuai dengan tesis Etika Protestan dari aliran Weberian yang menolak premis Karl Marx (18181883) yang menyatakan bahwa agama hanyalah sekedar epifenomena kondisi material dalam sejarah. Menurut Marx, agama merefleksikan ketimpangan material dalam sejarah sehingga ketika ketimpangan material dapat terselesaikan, dengan sendirinya agama akan menghilang dari dunia manusia. Agama sangat tergantung pada kekuatan-kekuatan material sehingga agama bersifat tidak otonom. Tesis Marx ini berbeda dengan Max Weber (1864-1920) yang menyatakan bahwa agama bersifat otonom dan tidak bergantung pada dinamika kekuatan material dalam sejarah. Itu terbukti bahwa asal-usul peradaban kapitalisme ternyata memiliki akar-akarnya dalam Etika Protestan. Agama bukanlah sekedar bangunan atas (superstructure) yang ditentukan oleh basis (base) determinisme ekonomi. Otonomi agama terletak pada dimensi etika yang dibangun dari kesadaran penganutnya yang bisa lepas dari pengaruh kekuatan material sejarah. Dalam sejarah kelahiran peradaban Barat, kesadaran yang otonom mampu menjadi impuls transformatif bagi munculnya institusi kelembagaan yang bersifat rasional dan etis. Ini adalah cikal bakal lahirnya kapitalisme awal di Barat. Namun, tesis agama sebagai kritik-perlawanan ternyata

juga sesuai dengan teori konflik dari aliran Marxian di mana kemunculan agama bukan untuk mengakomodasi dan menjaga masyarakat yang ada sebagaimana disuarakan oleh kaum Fungsionalis. Justru sebaliknya, transformasi yang ada dalam “agama sebagai kritik” berpotensi memunculkan perlawanan dan perubahan yang berawal dari konflik untuk memunculkan strukturasi masyarakat baru. Agama pada mulanya adalah kekuatan yang berusaha menentang kecenderungan masyarakat yang ada. Agama sebagai kritik-perlawanan merupakan kombinasi antara tesis Max Weber dan Karl Marx. Yang pertama memandang bahwa agama mampu memiliki independensi dan otonomi yang terlepas dari pengaruh kekuatan-kekuatan material dalam sejarah sehingga bisa difungsikan sebagai alat perubahan dan instrumen bagi kendali sejarah dan kebudayaan manusia. Etika agama memiliki potensi transformatif atas watak dasar masyarakat. Sedangkan yang kedua meyakini bahwa perubahan dalam sebuah masyarakat ditandai dengan adanya konflik yang bersifat dialektis. Konflik dibutuhkan sebagai daya dorong terhadap bentuk masyarakat yang telah membeku dan menjadi timbunan sejarah. Konflik ini dapat diterjemahkan sebagai bentuk kritik dan perlawanan agama terhadap kecenderungan dan gejala yang ada dalam masyarakat, maka nampak adanya benturan antara gerakan agama baru dengan bentuk masyarakat lama. Agama sebagai kritik-perlawanan terhadap kecenderungan masyarakat yang ada bukan bermaksud untuk menghancurkannya melainkan justru mengangkat derajatnya dan memperkuat kembali, yaitu melalui perubahan dengan cara melawan masyarakat untuk melahirkan stuktur masyarakat baru. Kekuatan material dalam sejarah dan naluri kesenangan dari alam bawah sadar selalu berusaha mengaburkan kesadaran kita dari realitas. Kekuatan

75

76

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

material dalam sejarah juga menjadi penentu bagi bergeraknya negara dan masyarakat. Eksistensi negara dan masyarakat sangat tergantung dengan kekuatan material atau kapital. Dengan begitu hukum dan norma sebagai produk dari negara dan masyarakat pun bisa dikendalikan oleh kekuatan material. Maka, apabila agama sebagai kritik dipahami sebagai usaha perlawanan terhadap kekuatan material dalam sejarah, tentu perlawanan juga harus diarahkan pada hukum negara dan norma masyarakat, karena keduanya merupakan manifestasi dari kekuatan material yang dapat mengaburkan manusia dari realitas yang sebenarnya. Melawan masyarakat dan negara bukan berarti berusaha untuk menghancurkan keduanya, melainkan membebaskan keduanya dari ketergantungan terhadap kekuatan material dalam sejarah. Moralitas yang sebenarnya terletak pada perlawanan terhadap kekuatan hukum negara dan norma masyarakat. Menjadi warga negara yang taat hukum bukan berarti kita sudah bermoral, malah menjadi penentang hukum negara dan norma masyarakat justru dalam berbagai sisi bisa menjadikan kita manusia yang bermoral. Pemberontakan dan pembangkangan sipil bisa dikategorikan sebagai bermoral tatkala hukum negara dan norma sosial justru tidak berpihak pada rakyat kecil atau malah menyembunyikan bau busuk dari kepentingan segelintir orang atau kelompok tertentu. Agama bisa menjadi gerakan kritik-perlawanan terhadap tatanan masyarakat (hukum negara dan norma masyarakat) yang cenderung menyembunyikan kontradiksi, patologi, dan kecacatan secara terselubung. Setiap agama pastilah mengajarkan perlawanan terhadap kekuatan-kekuatan yang melemahkan kebebasan dan watak alamiah manusia. Kekuatan material dalam sejarah adalah variabel yang paling determinan dalam mencemarkan watak alamiah manusia. Apabila bisa

dikendalikan, kekuatan material memang berdampak positif terhadap kehidupan manusia. Namun, sudah menjadi kecenderungan manusia untuk selalu memperturutkan dirinya dengan kesenangan, sehingga dinamika material dalam sejarah tidak bisa kita kendalikan karena yang mengemudikan laju perkembangan kekuatan material ternyata adalah naluri kesenangan manusia yang bersifat agresif, asosial, impulsif dan destruktif. Kekuatan material dalam sejarah bergerak sesuai dinamika naluri kesenangan manusia yang cenderung liar dan tidak bisa diatur. Kekuatan material menjadi sumber konflik dan menurunkan derajat manusia yang pada mulanya adalah baik. Oleh karena itu, sudah menjadi takdir kalau manusia harus melakukan perlawanan terhadap kekuatan material dalam sejarah dan naluri kesenangan dalam dirinya sendiri. Agama bisa menjadi simbol bagi gerakan perlawanan terhadap kekuatan material dan naluri kesenangan. Dan, kalau kita bersihkan bentuk-bentuk agama dari atribut-atribut yang menempel padanya, semisal dogma dan ritual, akan kita dapatkan darinya sari pati yang murni, yaitu hukum moral. Hukum moral agama yang murni selalu mengajarkan perlawanan terhadap kekuatan material dan naluri kesenangan yang selama ini dan sampai kapan pun akan terus melemahkan derajat, watak alamiah dan kebebasan manusia. Hukum abadi agama dalam sejarah evolusi manusia adalah perlawanan terhadap kekuatan material di luar manusia dan naluri kesenangan dalam dirinya sendiri.

77

78

D. Fermentasi Religius dan Kepanikan Epistemologis Dalam struktur masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai macam agama, Islam adalah agama terbesar yang paling mungkin melakukan penetrasi dan mempengaruhi negara. Islam memiliki potensi kekuatan penekan dan

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

penyeimbang terhadap kekuasaan. Agama ini juga harus sadar bahwa negara adalah instrumen yang paling berpotensi menggerakkan dan melakukan perubahan fundamental pada struktur dasar masyarakat. Negara dengan segala apparatusnya bisa memaksakan perubahan secara massif atas struktur dasar masyarakat. Agama, negara dan masyarakat merupakan tiga pilar yang harus berfungsi simultan dan sinergis apabila ia menghendaki gerakan transformatif. Namun, pintu-pintu struktural yang disediakan oleh negara untuk melakukan transformasi banyak yang tertutup sehingga peran transformasi ini tidak boleh terlalu berharap hanya pada negara. Dalam kenyataannya, negara kita gagal dalam melakukan transformasi masyarakat. Negara hanya melayani sekelompok kekuatan yang menopang dan menghidupi dirinya. Negara sudah menjadi kekuatan yang terpisah dari asal-usulnya sendiri, yaitu individu-masyarakat. Perubahan-perubahan sistem politik dalam kenyataannya tidak berbanding lurus dengan perubahan struktur dasar masyarakat. Struktur dasar masyarakat tidak pernah terangkat ke atas, karena perubahan selalu diboikot oleh kepentingan-kepentingan ideologis dari elit penguasa. Negara kemudian disandera oleh sekelompok elit yang memiliki pengaruh modal dan kekuasaan. Era reformasi telah menjadikan negara sebagai kawasan ideologis. Sistem politik dan ekonomi negara ini sedang mengalami pembusukan (decay) di tengah-tengah optimisme yang berlebihan. Demokrasi menjadi mitos yang berfungsi sebagai pembenaran ilmiah bagi proses politik di Indonesia. Para pemimpin politik sering menjadikan demokrasi sebagai alat rasionalisasi dan legitimasi atas kekuasaan mereka yang lalim. Demokrasi menyembunyikan kepentingan para elit atau kelas tertentu dalam menguasai sumber-sumber pendapatan. Warganegara yang tidak terdidik dan tidak memiliki

kesadaran politik hanya menjadi jutaan kumpulan domba di tengah-tengah puluhan serigala dan singa. Demokrasi bisa dilaksanakan apabila masyarakat kita telah terdidik dan tidak dikooptasi oleh ideologi dari pusat-pusat kekuasaan. Demokrasi memang tujuan tertinggi etika politik, namun ketika masyarakat kita belum menemukan dirinya dalam pijakan otonomi untuk dapat menentukan sendiri pendapat, pikiran, dan perasaan mereka tanpa terpengaruh oleh kekuatan-kekuatan dari luar, maka demokrasi hanyalah lintah darat yang menyedot darah rakyat Indonesia secara perlahan. Demokrasi di Indonesia belum bisa mengarahkan perubahan dalam struktur dasar masyarakat, karena perubahan hanya berkubang pada elit atau kelas tertentu saja. Demokrasi disandera oleh hukum besi oligarki25 dalam bentuk sirkulasi elit yang tiada habisnya. Meja kekuasaan negara dalam kenyataannya hanya dikelilingi oleh orang-orang tertentu saja sehingga demokrasi yang tidak ditunjang oleh budaya warga negara (civic culture) yang terdidik secara sosial maupun politik hanya menjadikan proses demokratisasi sebagai agama kerumunan yang mudah dikendalikan dan diselewengkan oleh kapitalisasi. Dalam wilayah ekonomi-politik, kekuatan kapital neoliberal menjadi saudara kandung demokrasi dalam mengaburkan arah kebijakan ekonomi Indonesia, karena kekuatan kapital begitu leluasanya dalam mempengaruhi dan menentukan aspek-aspek kehidupan, semisal politik, budaya, sosial, dan hukum sehingga aspek-aspek ini tidak bisa berdiri sendiri secara otonom dan independen. Apa yang terjadi dalam konstelasi politik, budaya, sosial dan hukum pada bangsa kita tidak bisa terlepas dari pengaruh

79

25

Hukum Besi Oligarki (the iron law of oligarchy) merupakan istilah yang dibuat oleh Robert Michels dalam bukunya; Political Parties.

80

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

dinamika ekonomi material, maka sedikit banyak tesis Marx tentang basis determinasi ekonomi menemukan relevansinya. Struktur dasar negara dan masyarakat sangat tergantung pada kekuatan kapital. Apabila kita menginginkan perubahan yang mendasar dan fundamental maka syarat pertama yang paling mutlak adalah adanya perubahan pada landasan yang mendasari sistem politik, budaya, hukum dan agama. Jika tidak ada perubahan pada landasan tersebut, tentu tidak akan ada perubahan yang fundamental, kalau pun ada perubahan, itu hanyalah perubahan sekunder dan bersifat siklis. Dan, yang paling menyedihkan ialah sistem ekonomi kita ternyata sudah dari sejak lama menjadi tawanan kepentingan internasional. Indonesia hanya menjadi negara satelit yang terus diperah susunya oleh kekuatan negara-negara pusat, yaitu kelompok negara maju. Hasil kekayaan alam dan keanekaragaman budaya kita tidak menjadi berkah, melainkan kutukan yang memantrai kemiskinan dan kebodohan bangsa kita. Keadaan inilah yang menjadikan agama memiliki posisi strategis untuk memformulasikan kembali ajaran-ajarannya agar mampu menjawab kenyataan sosial sehingga menjadi cetak biru bagi transformasi struktur dasar masyarakat, karena negara yang seharusnya memiliki kekuatan perubahan paling signifikan ternyata sedang mengalami pembusukan dan tidak mau membuka pintu-pintu struktural yang menjadi celah bagi munculnya perubahan. Hanya saja, apakah Islam mampu menjawab tantangan tersebut? Penulis merasa pesimis apabila kita terlalu berharap Islam di Indonesia mampu melakukan transformasi masyarakat dan negara. Karena, Islam di Indonesia sendiri sedang mengalami krisis inhern yang akut. Dilihat dari sisi luar, institusi agama Islam lenyap tertelan oleh negara. Islam telah dikalahkan oleh negara, bahkan Islam cenderung menjadi bagian dari kekuatan negara yang

bersifat ideologis. Sedangkan dilihat dari sisi dalam, ortodoksi telah melumpuhkan semangat awal agama ini dalam dakwahnya untuk melancarkan kritik terhadap gejala dan kecenderungan masyarakatnya. Islam sudah tidak memiliki kekuatan kritik-perlawanan terhadap gejala dan kecenderungan dari masyarakat dan struktur negara. Institusi agama yang mapan tidak lagi mampu melindungi dan memberdayakan umatnya. Ortodoksi selalu melindungi masyarakat dari perubahan dan konflik. Kalau pun ada perubahan, maka ortodoksi segera mementahkan potensi perubahan tersebut sehingga keseimbangan dan integrasi segera kembali pulih. Ortodoksi selalu bersifat akomodasionis dan kompromistis. Hal ini disebabkan karena ia menjadi bagian dari kekuatan negara. Ortodoksi mengalihkan peran Islam untuk hanya menjadi penghibur dan penenang psikologi umat. Ia tidak bisa melakukan pendewasaan bagi umatnya agar mampu beragama dengan lebih sehat dan dewasa. Di sisi lain, pembaruan pemikiran Islam yang diharapkan dapat menghaluskan dan mendewasakan karakter ortodoksi menjadi terlalu canggih dan asing di mata masyarakat kebanyakan. Watak ortodoksi yang pragmatis, akomodasionis dan cenderung pada ketertiban mengaburkan elan vital agama ini sehingga pembaruan pemikiran Islam sebagai salah satu bentuk revitalisasi agama selalu dimentahkan oleh ortodoksi dan seolah-olah pembaruan pemikiran Islam tidak lagi memiliki akar yang kuat dalam ajaran Islam itu sendiri.26 Revitalisasi agama selalu dimentahkan oleh ortodoksi karena mereka menganggap bahwa pembaruan pemikiran Islam sering membahayakan sendi-sendi dan dasar-dasar agama.

81

26

Lihat, H.A.R. Gibb, Aliran-Aliran Modern dalam Islam, Jakarta, 1996, hlm.107-139.

82

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

Ortodoksi menolak perubahan karena agama dianggap telah selesai dan sempurna. Ia juga menolak perubahan demi alasan sosiologis, karena perubahan dapat mengganggu stabilitas dan integrasi masyarakat, kalau pun ada perubahan, organ-organ dari masyarakat segera melakukan penyesuaian-penyesuaian sehingga titik keseimbangan kembali diperoleh. Maka, gerakan perubahan menjadi tidak mungkin. Yang lebih memprihatinkan lagi adalah pembaruan Islam yang selama ini dianggap sebagai bagian dari revitalisasi agama ternyata gagal menghasilkan perubahan yang berarti, karena yang berubah hanyalah elit-elitnya saja sehingga perubahan berkubang dalam sirkulasi elit yang tiada habisnya, mirip ayunan bandul yang tidak bisa melakukan putaran penuh karena harus kembali ke posisi semula. Gerakan pembaruan Islam seolah-olah ditakdirkan hanya menjadi pendulum yang bergerak siklis tanpa menghasilkan paradigma baru yang bisa mendorong perubahan struktur dasar masyarakat. Agama yang tidak mampu melancarkan kritik terhadap watak dasar masyarakat dan negara maka sejatinya agama itu telah mati. Kalau pun tidak mati, agama tersebut hanya mengandung nilai-nilai yang bersifat dogmatis, mekanis dan ritualistik. Itulah situasi terkini dari kondisi agama-agama yang sedang mapan. Agama-agama mapan saat ini gagal dalam menciptakan transformasi struktur dasar masyarakat dan nilai-nilai yang mendasarinya. Keadaan ini pada gilirannya menciptakan anomali dan menyuburkan pembentukan fermentasi religius di Indonesia. Masyarakat sedang tercerabut dari keutamaan-keutamaan moral yang mengakibatkan krisis disorientasi, dehumanisasi, dan kepanikan epistemologis, yaitu sebuah bentuk kepanikan dalam mencari pijakanpijakan dasar untuk menghadapi kenyataan yang sedang berubah. Masyarakat sedang membutuhkan perubahan

paradigmatis yang bisa memberikan orientasi baru dalam menghadapi arus zaman. Dan sialnya, agama-agama yang mapan ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar dari masyarakat yang sedang mengalami kepanikan epistemologis tersebut. Sebagai akibatnya, muncullah gejala fermentasi religius, berjamuran agama-agama sempalan muncul ke tengah masyarakat menawarkan janji messianik atau keselamatan, seperti agama Lia Eden, Nabi Ahmad Mushoddiq, dan berbagai bentuk agama sempalan lainnya yang selalu muncul hampir tiap tahun atau bulan selama masa krisis. Agama-agama sempalan muncul sebagai respon terhadap krisis dehumanisasi dan kepanikan epistemologis yang tidak bisa ditangani oleh agama-agama yang mapan. Agama-agama sempalan tidak bisa disalahkan begitu saja sebagai bentuk agama yang dianggap sesat dan murtad, karena munculnya agama-agama ini mencerminkan situasi konflik psikologis yang dialami oleh masyarakat yang telah kehilangan keutamaan-keutamaan moral. Agama-agama sempalan merefleksikan adanya patologi dan anomali yang sedang terjadi dalam masyarakat kita. Fermentasi religius sebagai sebuah situasi menjamurnya agama-agama sempalan merupakan fenomena sejarah yang selalu berulang dan bersifat siklis. Yang menjadi kritik penulis, kenapa agama-agama sempalan ini hanya tampil dalam bentuk formal dan ritualistik serta tidak mau menyentuh persoalan yang mendasar dalam masyarakat? Agama-agama sempalan ini selamanya tetap terpenjara dalam formalisme-ritual karena sedikit pun tidak mengarahkan formulasi ajarannya untuk menjawab kenyataan sosial yang ada, yaitu melakukan transformasi struktur dasar masyarakat dan nilai-nilai yang mendasarinya. Agama-agama sempalan tidak mampu menciptakan cetak-biru keteraturan sosial dan nilai-nilai yang menjadi topangan bagi munculnya bentuk

83

84

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

masyarakat baru. Fermentasi religius memberi kesempatan dan ruang bagi hadirnya suatu gerakan agama baru yang bisa melakukan pembangunan kembali masyarakat dan negara. Hal inilah yang tidak bisa dilakukan oleh agamaagama sempalan. Sementara anomali dan kepanikan epistemologis masih berlangsung, agama-agama sempalan akan terus berjamuran muncul ke permukaan masyarakat. Kegagalan Islam di Indonesia untuk melahirkan perubahan transformatif atas struktur dasar masyarakat dan negara telah menciptakan anomali dan ruang fermentasi religius yang tentunya khas Indonesia. Hal ini memberi angin segar bagi unsur-unsur lokal untuk ikut berperan dalam mengisi fermentasi religius di Indonesia. Jenis agama yang muncul dari lokalitas sering di sebut agama etnik. Dalam banyak kasus, eksistensi agama etnik sedang terancam oleh ortodoksi atau agama yang mapan sehingga agama etnik perlu membangun mekanisme pertahanan diri untuk melindungi local genius dari gempuran dan penggerusan ortodoksi. Agama etnik yang berakar pada tradisi lokal menawarkan identitas kolektif, lokalitas dan janji messianik untuk mengisi psikologi masyarakat yang selama ini mengalami deprivasi relatif dan kepanikan epistemologis yang diakibatkan oleh krisis ekonomi dan politik di Indonesia. Meskipun unik, khas dan mendapat perlindungan filosofis dari gerakan postmodern, agama etnik sering tidak bisa bertahan oleh serangan politik ortodoksi. Sebenarnya, agama etnik tampil gagah berani untuk menghadang dan menjadi antitesis bagi gerakan ortodoksi yang terlalu agresif dan formalistik. Kemenangan politik ortodoksi bisa berpeluang mengancam eksistensi identitas lokal yang selama ini memberikan kohesi dan menjaga solidaritas masyarakat kesukuan dan pedesaan. Agama etnik, dalam hal ini, tetap tidak bisa memenuhi kriteria agama baru yang revolusioner dan mampu melancarkan kritik terhadap kecenderungan

masyarakat sekaligus mengubah struktur dasar dan nilainilai yang melandasinya.

85

E.

Gerakan Agama Baru di Tengah Kebudayaan Dunia

Gejala kehadiran ”gerakan agama baru” bisa dimengerti menurut kerangka revolusi paradigmatis ilmu sains dari Thomas S. Kuhn. Munculnya paradigma baru dalam revolusi pengetahuan bisa diambil alih konsepnya untuk menjadi kerangka penjelas bagi munculnya gerakan agama baru. Sebuah peradaban yang mendapatkan nafas dari agama yang mapan merupakan contoh dari orde ketertiban dan ortodoksi. Ortodoksi merupakan akumulasi ajaran-ajaran agama yang definitif dan kanonik, di dalamnya berisi dogma, ritual, pemikiran atau pun mitosmitos yang mendekatkan agama tersebut dengan pemeluknya. Ortodoksi adalah agama kemapanan yang selalu dijaga oleh status quo, ia tidak mengizinkan penafsiran-penafsiran yang keluar dari tradisi kemapanan. Jenis agama ini memberi peneguhan bagi keutuhan masyarakat dari potensi konflik yang dapat memecah keseimbangan masyarakat itu sendiri, fase ini disebut agama normal (normal religion). Agama normal selalu berusaha mengikat individu-individu dalam sebuah representasikolektif sehingga tercipta solidaritas dan kohesi sosial yang kuat. Ritual, dogma, dan mitos-mitos sangat berperan penting dalam mengikat individu dalam cengkeraman masyarakat. Bentuk agama ini menyatakan dirinya seolaholah melampaui kesadaran individu-individu yang membuat individu selalu mengidentifikasi dirinya dan menginternalisir berdasarkan kategori atau nilai-nilai dari agama normal (fakta masyarakat). Individu selalu menjadi bagian dari masyarakat, tidak akan pernah bisa menyimpang darinya, apabila keluar dari definisi masyarakat maka ia dianggap menyimpang dan heterodoks.

86

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

Namun, ketika agama normal yang mapan mengalami ketegangan-ketegangan dari dalam dan sudah tidak bisa memunculkan kritik serta mengarahkan perubahan yang merupakan kebutuhan masyarakat itu sendiri, kita sudah memasuki fase anomali dan krisis. Anomali dan krisis terjadi pada masyarakat yang sedang menghadapi kepanikan epistemologis dan deprivasi relatif yang mengakibatkan masyarakat tersebut mengalami ketercerabutan makna hidup dan disorientasi yang mendalam. Setiap keseimbangan menyembunyikan ketidakteraturan dan konflik yang siap untuk meletup apabila ada pemicunya. Masyarakat yang sedang dirundung krisis dan anomali sering kehilangan keutamaan-keutamaan moral yang menjadi pondasi masyarakat dan peradaban. Keadaan ini dapat diterjemahkan dalam bentuk krisis ekonomi, sosial, budaya dan politik yang akut. Akhirnya, fermentasi religius sebagai pengharapan dari situasi krisis, konflik dan anomali memunculkan pra-kondisi bagi kembalinya revolusi gerakan agama. Gerakan yang fundamental membutuhkan jenis agama revolusioner yang mampu memunculkan paradigma baru untuk menggantikan tatanan lama secara mendasar,27 apabila tidak mampu melahirkan paradigma baru yang revolusioner tentu yang muncul hanya agama-agama sempalan semata. Jenis paradigma yang fundamental bisa didapatkan dengan meresapi gerakan-gerakan siklis Agama-agama Dunia (world religions) yang revolusioner yang mampu menjadi kekuatan kritik untuk melawan dan menentang gejala serta kecenderungan masyarakat yang telah

kehilangan orientasi menuju transformasi struktur dasar masyarakat itu sendiri dan nilai-nilai yang mendasarinya. Selain meresapi semangat kritik yang menentang bentuk masyarakat yang kehilangan orientasi dan sedang mengalami kepanikan epistemologis, “gerakan agama baru” harus memberi landasan bagi ajaran etika-moralnya, yaitu suatu fundamen yang bersifat orisinil yang membedakan dengan Agama-agama Dunia sebelumnya. Contoh paradigma baru ini bisa kita kaitkan dengan landasan ketidaksadaran yang selama ini menjadi fundamen Agama-agama Besar Dunia, semisal Yahudi, Kristen dan Islam. Agama-agama Besar ini didirikan oleh para nabinya yang mendapatkan wahyu melalui saluran ketidaksadaran (unconscious mind), semisal lewat mimpi atau kwasi-mimpi, delusi, halusinasi, ekstasi ataupun kesurupan. Agama baru harus mampu membedakan dirinya secara paradigmatik dengan Agama-agama Besar yang ada selama ini, yaitu dengan menopangkan ajaran etika dan moralnya pada fundamen kesadaran (consciousness) sehingga bisa terbebas dari patologi yang tersirat dalam agama-agama yang melandaskan etika moralnya pada fundamen ketidaksadaran (unconscious mind). Gerakan agama baru tidak lagi menopangkan diri pada wahyu substantif, atau anti-wahyu profetik adalah ciri khasnya. Inilah ciri paradigma yang diharapkan menjadi gerakan agama baru (new religious movement) yang revolusioner. Bentuk fermentasi religius dan ”gerakan agama baru” sebenarnya memiliki preseden dalam sejarah kelahiran Agama-agama Semit, semisal Yahudi, Kristen dan Islam. Ada semacam hukum siklis yang berulang-ulang dalam memunculkan bentuk gerakan agama baru. Salah satu ciri fermentasi religius dari gerakan Agama Semit di atas adalah budaya populisme. Populisme merupakan tradisi keagamaan universal yang mempunyai perhatian pada

27

Lihat buku karya Thomas S. Kuhn, The Structure of Scientific Revolution, 1989. Thomas Kuhn membagi tahapan dalam pergantian paradigma sains sebagai berikut; Paradigma Lama -Normal Science Anomali -Krisis -Revolusi - Paradigma Baru.

87

88

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

kebutuhan moral dan kemampuan-kemampuan orang awam yang berbeda sekali dengan kelas-kelas tinggi yang memiliki hak istimewa atau paling tidak suatu perhatian yang pantas pada orang-orang biasa. Kemunculan semua Agama Semit disuburkan oleh tradisi keagamaan yang bersifat populis, di mana mereka cenderung untuk menyiarkan ajaran-ajarannya dalam ukuran moral yang dibutuhkan oleh orang biasa. Dalam sejarah Agama-agama Semit, populisme diarahkan untuk mengutuk keberadaan nilai-nilai yang sedang mapan pada saat itu. Biasanya, kutukan ini diarahkan pada dominasi kelas-kelas masyarakat tinggi yang sudah tidak peduli pada keadaan masyarakat yang lebih rendah. Islam muncul untuk melawan kelas-kelas tinggi yang mendominasi sumber-sumber kehidupan sehingga struktur dasar masyarakat sedapat mungkin bisa berubah. Pada mulanya, Islam menjadi simbol perlawanan orang-orang tertindas (budak) terhadap kekuatan-kekuatan yang mendominasi sumber-sumber kehidupan secara oligarkis. Semangat moral dan keadilan sosio-ekonomi adalah senjata utama agama ini.28 Untuk mendukung gerakan populisme dari ”agama baru” dibutuhkan semacam figur personal yang memiliki kharisma sebagai daya tarik pesona agar memperoleh dukungan masyarakat. Dalam sosiologi Weberian, faktor kepribadian kharismatik dipandang sudah tidak sesuai dengan budaya modern yang telah mencapai alam pikiran rasional.29 Namun, memandang psikologi masyarakat yang masih dikuasai oleh simpati dan telah tertanam kuat dalam

alam bawah sadar mereka, faktor kharisma tetap dibutuhkan untuk memegang kendali arah populisme. Hanya saja kepribadian kharismatik tidak harus selalu dihubungkan dengan kekuatan mitologis dan supranatural yang sering melekat pada pemimpin gerakan agama baru. Mitos memang memiliki kekuatan daya tarik dan pesona bagi masyarakat awam yang belum terdidik dan hal ini ada hubungannya dengan psikologi masyarakat yang masih dikuasai oleh alam bawah sadar. Dalam abad modern, kharisma harus dibangun dari kualitas keutamaan moral dan pengetahuan sebagai usaha pendewasaan masyarakat. Keutamaan moral merupakan kharisma yang sejati dan ini membentuk tradisi revolusi keagamaan yang turun temurun. Pada masa sekarang, kharisma masih mempunyai kekuatan untuk menggerakkan perubahan masyarakat. Namun, kita harus berani menunjukkan bentuk baru dari kharisma yang tentunya berbeda dengan ciri khasnya yang selama ini kita ketahui dalam sosiologi Weberian, yaitu kharisma selalu identik dengan kepribadian yang memiliki kapasitas supranatural dan kemukjizatan. Dengan bentuknya yang transformatif, kharisma harus memiliki karakter revolusioner yang menunjukkan arah baru bagi perubahan masyarakat dan peradaban. Karakter ini hanya dimiliki oleh figur yang mampu menunjukkan keutamaan moral dan watak alamiah manusia yang eksistensial.30 Eksistensi orang yang memiliki kharisma apabila ia berdiri di tengah masyarakat dan dunia, ia tidak tertelan oleh arus masyarakat itu sendiri. Orang yang berkharisma tidak mudah terpengaruh oleh anggapan masyarakat, justru dialah yang berusaha menentukan dan mengubah

28

Marshall G.S. Hodgson, The Venture of Islam, Paramadina, Jakarta, 1999, hlm. 179. 29 Max Weber, The Theory of Social and Economic Organization, London, 1964, hlm. 358.

Erich Fromm, Ambisi dalam Abad Modern, Rejeki, Bandung, 1990, hlm. 33.

89

90

30

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

watak masyarakat tersebut. Watak ini harus dimiliki oleh individu yang ingin mempelopori terjadinya perubahan dalam masyarakat. Perubahan berusaha memunculkan kembali bentuk keutamaan moral dan watak alamiah yang selama ini telah hilang dari mata masyarakat. Keutamaan dan watak alamiah manusia modern telah tercemar oleh ciptaannya sendiri, yaitu kebudayaan masyarakat dan negara. Masyarakat dan negara tidak makin memperhalus watak alamiah dan akal-budi manusia, justru sebaliknya. Keutamaan moral dan watak alamiah manusia pada zaman sekarang ini merupakan suatu kepribadian yang memancarkan karakter revolusioner. Karakter revolusioner menampilkan sosok pribadi manusia yang otonom, bebas, yaitu tidak memiliki ketergantungan dengan realitas di luar eksistensinya terutama terhadap budaya yang sedang menjangkiti kaumnya, mampu berpikir kritis sehingga potensi individualnya bersifat orisinil dan alamiah. Karakter revolusioner menunjukkan aspek kebebasan dan ketidaktergantungan yang sepenuhnya apabila ia secara mandiri menentukan sendiri pikiran-pikirannya, perasaanperasaannya, serta keputusan-keputusannya. Ia bersikap otonom dan bertindak secara otentik, yaitu kehidupannya digerakkan oleh dirinya sendiri dan bukan digerakkan oleh sesuatu di luar dirinya. Seorang yang berkarakter revolusioner tidak memahami atau mengenal Tuhan sebagai sesuatu di luar dirinya yang selalu mengawasi dan menentukan perbuatan dirinya melainkan sebagai simbol kekuatan yang berada dalam diri kita sendiri. Gerakan agama baru menilai bahwa ilmu pengetahuan dan seni seharusnya bisa memperhalus dan mempertinggi akal-budi atau watak alamiah manusia. Namun, dalam kenyataannya tidak begitu. Adalah Jean-Jacques Rousseau (1712-1778) yang mengatakan bahwa peradaban dan hasilhasil kebudayaan masyarakat dalam tingkatan tertentu telah mengaburkan dan merusak watak alamiah manusia.

Penemuan manusia atas seni dan ilmu pengetahuan tidak sepenuhnya memperhalus watak manusia, justru sebaliknya.31 Bahkan aliran Frankfurt seperti Horkheimer (1895-1973), Adorno (1903-1969) dan Marcuse (1898-1979) menilai secara radikal bahwa rasio manusia yang merupakan jiwa dan semangat ilmu pengetahuan telah menjadi mitos ilmiah (dalam bentuk hasil-hasil kebudayaan yang menjadi realitas eksternal terpisah dari penciptanya) yang mampu mendistorsi kesadaran manusia. Menurut mereka, rasio dan ilmu pengetahuan yang pada abad sebelumnya merupakan alat pencerahan manusia dari kungkungan mitos kini sudah menjadi ideologi atau mitos baru. Hal ini diperkuat oleh generasi baru Mazhab Frankfurt, yaitu Jurgen Habermas (1929- ) yang menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi membawa kepentingan tersembunyi yang merasionalisasi (memanipulasi) kebijakan-kebijakan negara yang kontradiktif, dan kita terpengaruh untuk menganggapnya sebagai hal yang normal.32 Hal senada juga dikemukakan oleh pemikir dari kaum posmodern, yang diwakili oleh Michel Foucault (1926-1984), kita bisa belajar darinya bahwa ilmu pengetahuan itu sebenarnya menyimpan kekuatan dominasi. Menurut Foucault, pengetahuan itu mengandung unsur relasi kuasa yang bergerak secara regulatif, tersembunyi, dan normal. Kuasa dalam ilmu pengetahuan mampu memproduksi realitas tertentu yang dianggap positif. Pengetahuan yang diajarkan dalam institusi pendidikan sering memutarbalikkan atau

91

31

Franz Magnis-Suseno, Etika Politik, Gramedia, Jakarta, 1994, hlm. 237. 32 Francisco Budi Hardiman, Kritik Ideologi, Kanisius, Yogyakarta, 1993, hlm. 65.

92

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

menyembunyikan kontradiksi dan patologi yang ada dalam kenyataan. Persepsi kita terhadap kenyataan dapat diputarbalikkan oleh kekuatan pengetahuan yang bersifat ideologis. Dengan begitu, watak dasar dari pengetahuan sebenarnya tidak bersifat bebas-nilai karena ia mengandung kepentingan-kepentingan tertentu untuk mendominasi kekuasaan. Cara penyebaran dominasi tidak lagi melalui penindasan yang menggunakan kekuatan fisik melainkan melalui normalisasi yang terstruktur dan regulatif. Dalam hal ini, ilmu pengetahuan ternyata berpotensi menjadi ideologi yang tersamar dan menyimpan kekuatan dominasi sehingga orang awam tidak menyadari bahwa dengan menerima dan memahami bentuk pengetahuan tertentu sebenarnya kita sudah masuk dalam kurungan dominasi atau kuasa yang terstruktur.33 Di sini, Foucault berpendapat bahwa dominasi tidak selalu berasal dari kuasa subyek fisik yang kuat tetapi bisa melalui struktur atau sistem yang dianggap normal sehingga kesadaran manusia tertelan oleh struktur tersebut secara lembut dan halus. Ilmu pengetahuan nampaknya menjadi paradoks bagi manusia. Di satu sisi, ia merupakan alat pencerahan dan emansipasi manusia dari kebodohan dan kabut takhayul, namun di sisi yang lain, ia bisa berpotensi menjadi mitos ilmiah (ideologi) yang merasionalisasi anomali, kontradiksi dan memanipulasi sehingga bisa mendistorsi kesadaran manusia, padahal pengetahuan pada mulanya mempunyai watak alamiah yang baik. Dalam bahasa yang paling radikal, menurut Pareto (1848-1923), ideologi atau mitos ilmiah justru muncul dari rasio itu sendiri, yaitu rasio

ternyata lebih cenderung berfungsi melegitimasi kepentingan-kepentingan dari sentimen, hasrat dan naluri primitif manusia. Rasio manusia selalu menciptakan mekanisme pembenaran atas manifestasi nafsu dan hasrat yang tidak disadari oleh rasio itu sendiri. Rasio mencaricari argumentasi dan alasan untuk membenarkan kepentingan dari hasrat dan nafsunya. 34 Akal manusia kehilangan refleksi terhadap kekuatan-kekuatan dalam dirinya sendiri karena rasio sering menjadi pelayan bagi kepentingan-kepentingan yang tersembunyi. Akhirnya, manusia justru termakan oleh daya-daya yang pada awalnya adalah pembuka kedok dari takhayul dan kebodohan. Hal inilah yang menciptakan paradoks dan pesimisme karena manusia justru akan terbunuh oleh pahlawannya sendiri. Abad-abad rasio mengalami krisis dan mendapat tantangan yang sangat serius dari irrasionalisme yang muncul dari rasio itu sendiri, karena rasio bisa berubah menjadi mitos baru yang bersifat ideologis. Maka, refleksi kesadaran dan kritik-ideologi dibutuhkan oleh manusiamanusia modern untuk bisa menyadari manifestasi dari nafsu, hasrat, kepentingan, dan naluri primitif manusia yang sering mendapat legitimasi dan pembenaran dari rasio sehingga nampak tersembunyi dan tidak disadari oleh manusia itu sendiri. ”Agama baru” memberi tekanan pada manusia bahwa untuk membangun kembali masyarakat dan peradaban, kita tidak membutuhkan akumulasi kapital semata. Peradaban tidak identik dengan kekuatan untuk menumpuk sebanyak-banyaknya harta dan uang. Peradaban memiliki asal-usul pada kemampuan manusia untuk mengekang naluri kesenangannya, sehingga dari

33

K. Bertens, Filsafat Barat Abad XX Jilid II Prancis, Gramedia, Jakarta, 1996, 321-324.

93

34

Jorge Larrain, Konsep Ideologi, LKPSM, Yogyakarta, 1996, hlm. 97.

94

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

tindakan ini terbentuklah prinsip pengetahuan dan tindakan etis. Peradaban di mana pun tidak pernah lepas dari peran pengetahuan dan karakter moral. Yang menjadi pertanyaan dalam konteks ini adalah bagaimana asal mulanya pengetahuan yang berfungsi untuk membangun peradaban ternyata dalam kelanjutannya malah mengabdi dan melayani kepentingan nafsu dan naluri kesenangan manusia? Rousseau, Mazhab Frankfurt, Foucault, Pareto telah mengajukan tesis bahwa pengetahuan yang pada mulanya ”baik” bisa berubah menjadi mitos ilmiah atau ideologi yang mampu mengaburkan manusia dalam memandang realitas di luar. Pengetahuan yang dalam dirinya sendiri mengandung kebaikan justru menjadi ideologi yang sering melegitimasi dan merasionalisasi daya-daya irrasional yang berasal dari naluri primitif kita. Pengetahuan mengalami krisis dan distorsi yang mendalam, karena ia bukannya memperhalus akal-budi kita malah sebaliknya. Menurut penulis, pengetahuan yang pada dasarnya memiliki watak alamiah baik tetapi malah melayani kepentingan nafsu kita sehingga sering menjadi kekuatan ideologis ternyata disebabkan oleh faktor psikologis yang berakar dalam kepribadian. Pengetahuan mengalami penyimpangan karena kita tidak bisa mengekang naluri kesenangan dalam diri kita. Karena tidak bisa mengekang daya-daya irrasional dalam diri kita, pengetahuan yang pada mulanya baik justru melayani dan mengabdi bagi kepentingan nafsu dan naluri primitif dalam diri kita sendiri. Pengekangan kesenangan (id) menjadi syarat utama berfungsinya pengetahuan yang baik. Pengekangan kesenangan (id) menjadi alat kendali bagi pengetahuan. Dengan begitu pengetahuan tidak lagi mencemarkan watak dasar manusia, justru makin memperhalus akal-budi kita. Kesadaran adalah horizon psikis yang sangat luas, dan ia tidak hanya sekedar berisi kapasitas intelektual, akal atau

rasio saja. Kesadaran mampu melakukan dialektika untuk merefleksikan dan mengkritik kekuatan dirinya sendiri, ia mengembang melampaui batas-batas dirinya dan bersifat evolutif. Evolusi kesadaran (consciousness) berjalan melintasi sejarah bersamaan dengan usaha manusia untuk mengekang, mengendalikan, dan mensublimasi naluri kesenangannya sehingga manusia sering mengalami kegerahan, frustasi, bahkan depresi. Namun, keadaankeadaan itulah yang justru makin mendewasakan kekuatan kesadarannya. Perkembangan rohaniah manusia tidak akan terjadi tanpa adanya pengekangan yang sekilas menimbulkan kegerahan dan frustasi untuk sementara waktu. Manusia berbeda dengan hewan dan makhluk hidup lainnya, karena hewan tidak mampu untuk mengekang naluri-naluri dalam dirinya. Hewan selalu berusaha untuk memuaskan naluri-nalurinya tanpa mampu untuk menahan kegerahan yang timbul dari pengekangan. Inilah ciri khas manusia yang membedakan dirinya dengan hewan dan makhluk hidup lainnya sehingga manusia dianggap bisa lepas dari kepunahan karena ia sanggup berevolusi dengan cara mengekang naluri-naluri kesenangannya. Namun, potensi kehancuran manusia sebagai spesies juga terdapat pada perilaku manusia itu sendiri yang tidak mau mengekang naluri-naluri kesenangannya. Evolusi kekuatan manusia ditentukan oleh rasa sakit yang disebabkan adanya pengekangan atas naluri kesenangan, dengan kata lain psikis manusia akan bertambah dewasa justru disebabkan munculnya stressor ke dalam pikiran dan tubuh manusia sehingga memancing munculnya mekanisme pertahanan diri yang berdampak pada dialektika psikologi manusia, yaitu tumbuhnya kedewasaan atau perkembangan rohaniah manusia yang disebabkan oleh pengekangan yang sering membawa ketegangan dan penderitaan untuk sementara waktu.

95

96

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

Ketegangan inilah yang menjadi antitesis bagi kesadaran manusia. Menurut “agama baru”, tanpa adanya pengekangan atas naluri kesenangan maka rasio manusia cenderung menjadi pelayan bagi nafsu, kepentingan, dan hasrat yang makin membuat manusia terasing dari kenyataan. Pengekangan naluri kesenangan menjadi kekuatan dialektis, yaitu sebagai daya antitesis yang menolak keadaan yang ada bukan untuk dihancurkan namun dilawan dan dirubah agar mengangkat derajatnya atau menghasilkan kekuatan sintetik baru. Hukum evolusi manusia ternyata disebabkan oleh sesuatu yang sering kita anggap negatif, sakit, ataupun abnormal. Dalam psikologi, kekuatan kesadaran manusia tidak akan berkembang tanpa adanya pengekangan kesenangan yang sekilas membawa rasa sakit, gerah, dan negatif dalam tubuh manusia. Kesadaran (consciousness) atau ego membutuhkan latihanlatihan pengekangan terhadap naluri kesenangan, dan latihan pengekangan ini sering membawa rasa sakit dan memakan waktu yang lama, namun hasilnya makin memperkuat kesadaran sehingga manusia memperoleh otonomi dan kebebasannya yang sejati lepas dari pengaruh kekuatan material dan nafsu primitif (id) dalam dirinya sendiri. Akhirnya, manusia memiliki watak yang kuat (autarkia), ia bahagia bukan disebabkan oleh naluri kesenangan dan faktor materi dari luar, namun kebahagiaan diperoleh dari tercapainya keutamaan (hilm) dalam dirinya. Menurut Rousseau, salah satu sumber perusak bagi watak alamiah manusia terletak pada ketidaksamaan atau diferensiasi yang diciptakan oleh negara dan masyarakat. Padahal struktur negara dan masyarakat kita ternyata ditentukan bahkan dikuasai oleh kekuatan material dalam sejarah. Maka, munculnya kelas-kelas yang membedakan antara si kaya dan si miskin sebenarnya bersumber dari

kekuatan material dalam sejarah. Oleh karena itu, kekuatan material dalam sejarah yang menentukan struktur dasar masyarakat dan negara bisa dianggap sebagai akar-akar segala kejahatan manusia. Diferensiasi atau ketidaksetaraan kelas dalam masyarakat bukanlah fakta alamiah melainkan diciptakan atau dikonstruksi secara artifisial oleh kekuatan-kekuatan tertentu, dan negara secara tidak langsung turut serta dalam proses ini. Pada awalnya, watak dasar manusia itu baik namun ia menjadi tercemar disebabkan oleh kehadiran negara dan masyarakat yang membawa kategori-kategori yang bersifat ideologis. Negara dan masyarakat mampu menciptakan kategori-kategori yang bersifat sosial, politik, dan normatif yang dapat memaksa serta mempengaruhi individu-individu bagaimana ia berpikir, merasakan dan bertindak. Struktur negara dan masyarakat sebenarnya menyembunyikan anomali dan kontradiksi material yang menjadi asal-usul ideologi yang bersifat mengecoh kesadaran. Ideologi dalam hal ini merupakan mekanisme kekuatan-kekuatan dari luar manusia yang mampu mempengaruhi dan memutarbalikkan kesadaran secara pasif. Negara dan masyarakat sering menutup-nutupi ketidaksetaraan dengan menciptakan produk hukum dan norma sosial yang dapat menyembunyikan ketidaksetaraan tersebut. Konsekuensi dari kritik Rousseau adalah kita harus bisa menciptakan sebuah bentuk negara dan masyarakat yang tidak mencemari dan mengaburkan watak alamiah manusia. Yaitu, negara harus mampu merealisasikan diri sebagai pemenuhan otonomi dan kebebasan manusia sehingga produk yang dihasilkan dari negara dan masyarakat, semisal hukum dan norma sosial justru bukan sebagai ideologi yang menyembunyikan kontradiksi dan anomali, dan ketika individu-individu berhadapan dengan hukum dan norma sosial, sejatinya mereka sedang berhadapan dengan diri

97

98

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

mereka sendiri. Mereka tidak berhadapan dengan kekuatankekuatan dari luar yang justru melemahkan kesadaran dan potensi-potensi alamiah mereka. Negara dan masyarakat tidak lagi membuat individu-individu terasing dari diri dan realitas yang sebenarnya. ”Agama baru” bisa menjadi harapan untuk membantu terwujudnya kondisi di atas, yaitu agama harus membangunkan manusia untuk memiliki kesadaran kelas. Oleh karena itu, misi dasar dari agama baru adalah menjadikan dirinya sebagai agama perjuangan kelas. Orang yang memiliki kesadaran kelas akan tahu bahwa dirinya mempunyai hak atas negara dan bangsanya, manusia telah menyerahkan haknya pada negara saat tercapainya kesepakatan kontrak sosial. Individu-individu menyerahkan hak kebebasannya pada negara sehingga negara memiliki otoritas untuk mengatur warganya, meskipun secara alamiah tidak ada yang bisa mengatur dan memerintah manusia selain individu itu sendiri. Negara dibentuk oleh semacam kontrak perjanjian antar sesama warganya. Dengan terbentuknya perjanjian tersebut, maka negara wajib untuk memenuhi apa yang telah dibuat bersama warganya. Apabila negara tidak mampu menunaikan kewajibannya, tentu secara etis otoritas negara dapat dicabut melalui pemberontakan atau pembangkangan sipil. Hanya saja, mampukah individu-masyarakat membangun kesadaran kelas? Karena selama ini, mereka hanya pasrah dan nrimo, dan menganggap keadaan sengsara yang mereka alami sebagai nasib yang telah ditentukan oleh Tuhan. Kalau pun orang-orang tertindas memiliki potensi pembangkangan sipil, potensi mereka untuk membangkang telah dihegemoni oleh kekuatan ideologi melalui pendidikan, agama, hukum, norma masyarakat, dan kebijakan negara. Adakah jalan keluar selain pemberontakan? Karena selain melalui pemberontakan, perubahan hanya berkubang dalam sirkulasi elit dan

oligarki, dan ini makin dibenarkan dengan adanya pemilu. Pemilu menjadi tangan panjang bagi kekuatan-kekuatan kapital oligarkis untuk terus mendominasi kelas dalam struktur negara dan masyarakat. Kekuatan-kekuatan kapital yang anonim dan impersonal menjadi roh bagi berfungsinya negara dan masyarakat. Perpaduan analisa Weberian dan Marxian menunjukkan bahwa peradaban kapitalisme yang pada mulanya merupakan hasil kombinasi agama, seni, dan ilmu pengetahuan, pada saat sekarang sudah berubah karena telah menjadikan manusia teralienasi dari hasil karyanya sendiri. Kapitalisme yang pada awalnya muncul dari pengekangan manusia dalam bentuk etika puritanisme dan rasionalisasi, berdasarkan perkembangannya lebih lanjut berubah menjadi kekuatan yang justru digerakkan oleh libido dan kesenangan. Kapitalisme yang dulunya diciptakan dari pengekangan, kini dikendalikan oleh libido dan naluri kesenangan, dan hal ini mendorong rasio manusia untuk menjadi alat legitimasi dan pembenaran atas kepentingan libido dan kesenangan yang kini menahkodai kapitalisme. Rasio mencari alasan-alasan dan strategi bagi pembenaran atas tingkah laku manusia yang dikendalikan oleh naluri kesenangan. Dalam bahasa Pareto, ”residu” atau manifestasi dari naluri kesenangan dan nafsu manusia cenderung selalu dilegitimasi dan mendapat pembenaran dari ”derivation” yaitu kecakapan tertentu yang merupakan bagian dari kekuatan intelektual dan rasio kita. Ilmu pengetahuan dan rasio justru mengabdi demi kepentingan nafsu dan kesenangan manusia. Pada zaman dahulu, ilmu pengetahuan dan rasio adalah alat emansipasi manusia dari tirai kebodohan dan takhayul, sekarang keduanya menjadi alat ideologi yang berusaha membenarkan (merasionalisasi) kepentingan dan nafsu manusia yang irrasional dan agresif. Ilmu pengetahuan dan rasio manusia yang dulunya adalah alat pencerahan dari

99

100

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

kabut mitologi, kini berubah menjadi mitos ilmiah. Legitimasi dan pembenaran yang dilakukan oleh rasio terhadap nafsu dan kepentingan manusia membuat bangunan kapitalisme selalu bisa terhindar dari keruntuhan. Karena dinahkodai oleh naluri kesenangan yang tidak teratur, kapitalisme sudah mewujud menjadi realitas eksternal yang independen dan objektif di luar manusia, bahkan kini mekanismenya sudah di luar kendali dan kontrol manusia. Jaring-jaring kapitalisme kini dikendalikan oleh ”dunia bawah” (nether world) yang impersonal35 dan ”tangan-tangan yang tak nampak” (invisible hand)36 sehingga arah kapitalisme memunculkan daya ketidakpastian dan ketidakberdayaan pada diri manusia modern. Kapitalisme bergerak berdasarkan mekanisme dan hukum-hukumnya sendiri lepas dari kendali manusia. Malah sebaliknya, cara berpikir dan tindakan manusia ditentukan oleh kekuatan struktur dari luar yang pada awalnya adalah ciptaannya sendiri. Sejarah manusia adalah alienasi sepenuh hati karena ia menjadi budak dari ciptaannya sendiri. Kapitalisme juga menyediakan suatu mekanisme yang dapat memanipulasi kebutuhan-kebutuhan manusia, semisal lewat iklan-iklan dan entertainmen. Kebudayaan kapitalisme melahirkan kebutuhan-kebutuhan yang bukan berasal dari watak alamiah dan eksistensi dasar manusia.

Konsumerisme, trend, keinginan akan uang, mobil, prestise, mekanisme pasar dan akumulasi kapital merupakan kebutuhan yang diciptakan oleh manusia dalam sejarah, kebutuhan-kebutuhan ini tidak pernah ada pada masa-masa sebelumnya (primitif) dan tak pernah terpikirkan bahwa jenis kebutuhan ini akan menjadi sesuatu yang inhern dalam diri kitia. Hal ini menambah sifat ketergantungan manusia pada eksistensi di luar dirinya yang pada mulanya adalah hasil karya ciptanya sendiri. Kebutuhan-kebutuhan artifisial tersebut adalah kebutuhan palsu yang sengaja ditanamkan dari luar oleh kepentingan-kepentingan sosial yang bersifat represifideologis dan telah mengalihkan manusia dari kebutuhan yang sebenarnya, yaitu kebutuhan untuk menyempurnakan eksistensi manusia itu sendiri. Kebutuhankebutuhan di atas merupakan refleksi kekuatan mekanisme produksi kapitalis yang bersifat eksternal. Kebutuhan ini adalah kebutuhan yang bersifat ideologis karena menyembunyikan anomali dan kontradiksi material dalam dunia produksi. Kebutuhan-kebutuhan artifisial yang muncul dari sejarah kebudayaan mengakibatkan otonomi dan eksistensi manusia menjadi terlemahkan. Kebutuhan-kebutuhan yang bukan berasal dari watak alamiah manusia mampu menciptakan realitas baru yang mengaburkan kesadaran manusia. Kesadaran manusia akan kenyataan yang sebenarnya menjadi terdistorsi karena kenyataan hanya bisa dipahami menurut bentuk budaya kapitalisme. Dengan menggunakan istilah Marcuse, kini manusia modern telah menjadi manusia berdimensi satu, yaitu manusia hanya memiliki kesadaran akan kenyataan yang diciptakan oleh kapitalisme dan budaya massa, dengan kata lain, bentuk kesadaran yang ada di luar kapitalisme dan budaya massa dianggap sebagai sesuatu yang abnormal dan eksentrik. Kesadaran banyak ditentukan oleh

35

Nether world adalah istilah teknis yang digunakan oleh Robert Heilbroner untuk menunjukkan mekanisme kerja kapitalisme modern, dalam bukunya yang berjudul; Nature and Logic of Capitalism. 36 Invisible hand adalah istilah teknis ekonomi yang pertama kali diperkenalkan oleh Adam Smith dalam bukunya; Wealth of Nations. Istilah ini mengacu pada mekanisme kerja pasar yang bersifat kompleks dan mengandung unsur ketidakpastian sehingga manusia sudah tidak dapat mengontrol lagi variabel-variabelnya secara terukur.

101

102

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

dinamika proses ekonomi yang ada luar diri kita. Kebudayaan membentuk struktur tersendiri yang terlepas dari manusia sebagai penciptanya. Kesadaran manusia yang berfungsi sebagai kendali sejarah kemudian hanya menjadi sekrup kecil di dalam bangunan mesin besar yang dapat berjalan dan mengoperasikannya sendiri. Manusia kemudian terasing dari diri dan ciptaannya sendiri. Kini, uang, prestise, mobil, pasar, negara, demokrasi dan kapitalisme menjadi sesembahan manusia yang pada dulunya adalah ciptaannya sendiri. Golemgolem atau berhala-berhala zaman dahulu muncul kembali dalam sosok baru namun hal itu tidak disadari oleh pikiran manusia. Tuhan melarang hambanya untuk menyembah berhala bukan dikarenakan Tuhan takut dirinya tersaingi dan tidak disembah lagi oleh manusia tetapi pelarangan penyembahan berhala lebih disebabkan manusia akan terasing dari ciptaannya dan menjadi budak atas maha karyanya sendiri. Menyembah berhala mengakibatkan potensi-potensi individual manusia menjadi terdistorsi dan terlemahkan sehingga tujuan manusia akan penyempurnaan eksistensi dirinya tidak akan pernah tercapai. Memang masyarakat kita beragama, mereka beribadah setiap hari, tapi apa kenyataannya, setelah mereka menyembah Tuhan di rumah ibadah, mereka kembali ke rumah untuk kemudian menyembah kekuatan materi dan kesenangan. Setiap hari mereka memang sembahyang, tapi dalam kehidupan sehari-hari mereka menjadikan materi sebagai tuhan. Dalam sembahyang, umat kita menganggap tuhan adalah realitas yang tertinggi, namun setelah kembali dari rumah ibadah, mereka menjadikan diri mereka budak atau hamba materi. Hal ini disebabkan mereka lebih menghormati dan menganggap kekuatan materi sebagai keutamaan tertinggi. Masyarakat kita menghormati tetangganya lebih disebabkan oleh materi dan

kekuasaannya daripada karena kebajikan atau nilai-nilai moralnya. Apalah artinya sembahyang apabila manusia justru menjadi hamba kekuatan materi dan kesenangan. Umat kita tidak bisa menghubungkan antara makna sembahyang dengan etika keutamaan. Etika keutamaan yang berpangkal pada kebajikan, pengetahuan, dan makna eksistensi diri telah hilang dari mata masyarakat, karena yang berkuasa di luar sembahyang ternyata adalah kekuatan materi dan kesenangan, sembahyang terpisah dari makna kehidupan sejati. Meskipun mengaku beragama, dalam kehidupan nyata, manusia modern menciptakan sendiri tuhan mereka yang berasal dari komoditas kebutuhan dan kemudian mereka puja dan sembah dalam kesibukan sehari-hari. Adakah kekuatan yang mampu merubah dan menghentikan kapitalisme dan kebudayaan massa? Hebatnya, pertanyaan ini pernah dijawab oleh Karl Marx ( 1818-1883), namun sayang jawabannya selalu ditelikung oleh kelihaian dan kemampuan kapitalisme dalam bermetamorfosis. Yaitu, ramalan Marx tentang runtuhnya bangunan kapitalisme yang disebabkan oleh kontradiksi internal dalam sistemnya itu sendiri yang kemudian mengundang munculnya revolusi sehingga melahirkan masyarakat sosialis ternyata tidak pernah terjadi. Kapitalisme tidak bisa runtuh karena ia begitu liat dalam bertransformasi untuk melakukan penyesuaianpenyesuaian terhadap kondisi-kondisi yang selalu berubah sehingga depresi ekonomi selalu berhasil untuk dipecahkan dan dilalui. Rasio manusia selalu berhasil dalam memecahkan masalah-masalah yang ditimbulkan dari kontradiksi internal dalam kapitalisme sehingga keruntuhannya selalu bisa dicegah. Dalam hal ini, Marx kurang mempertimbangkan peran dari rasio yang mampu menjadi alat pembenaran bagi kepentingan nafsu dan kesenangan yang sekarang menahkodai ekonomi kapitalis.

103

104

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

Revolusi juga sulit muncul karena kesadaran kelas yang seharusnya muncul dari orang-orang yang tertindas telah dihegemoni37 oleh mekanisme kebudayaan masyarakat dan negara yang bersifat ideologis, apalagi selama negarabangsa masih utuh dan melindungi sistem kapitalis, sosialisme ilmiah yang dianggap sebagai keniscayaan natural hanya menjadi surga Marxis yang utopis. Nampaknya kebudayaan manusia dapat diumpamakan seperti truk besar yang melaju kencang namun tidak ada seorang pun yang mengendalikannya.38 Manusia kehilangan kendali sejarah karena struktur kebudayaan berjalan tanpa mata dan rambu-rambu yang menyertainya. Di sinilah kegilaan Friedrich Nietzsche (1844-1900) menjadi keprihatinan dunia, yaitu pikirannya mengalami kebuntuan dalam menanggapi paradoks modernitas sehingga harus dibayar dengan sakit jiwa yang dialaminya. Paradoks modernitas tercermin pada bentuk kebudayaan manusia yang dianggap sebagai kemajuan peradaban namun hasil peradaban itu juga yang menelan kesadaran penciptanya. Apparatus kesadaran dan otonomi yang diharapkan menjadi pengendali sejarah tertelan oleh struktur kebudayaan kita sendiri Kebudayaan kita sedang menuju pada situasi yang absurd menuju kubangan nihilistik. Situasi yang mengancam eksistensi dan makna kehidupan manusia modern, sehingga memaksa kita untuk menerimanya begitu saja sebagai sebuah kenyataan karena

kita memang tidak bisa menghindarinya. Eksistensi manusia modern kini identik dengan absurditas dan nihilisme. Situasi absurd tergambarkan dalam paradoks kebudayaan, di satu sisi kebudayaan adalah kemajuan peradaban yang tak dapat dielakkan, di sisi lain kebudayaan telah menelan kesadaran manusia sebagai subyek sejarah sehingga manusia modern identik dengan benda-benda yang tidak memiliki kepribadian dan bersifat impersonal. Setelah menelan kesadaran sebagai subyek sejarah, manusia akan kehilangan nilai-nilai dalam eksistensinya sendiri, ia menjadi relatif karena nilai-nilai tidak lagi ditentukan dari dalam eksistensinya, melainkan oleh sesuatu di luar eksistensi manusia itu sendiri, semisal barang-barang hasil produksi (mobil, rumah, trend, dan sebagainya). Keadaan relativisme nilai inilah yang mengantarkan manusia pada nihilisme. Bagi Albert Camus (1913-1960), untuk memecah kebuntuan absurditas ini dibutuhkan sebuah perlawanan dan pemberontakan eksistensial atau kita merayakan saja nihilisme sebagai sebuah pesta tahun baru yang layak untuk ditunggu dan disambut dengan gembira, demikian sabda Nietzsche. “Agama baru” harus muncul untuk membangunkan manusia agar insyaf dan menyadari kebutuhan-kebutuhan ilusif yang telah mengkooptasi kehidupannya dan sisi-sisi manakah dari peradaban yang mampu mempertinggi watak dan akal budinya sehingga hasil karya manusia mengabdi pada tuannya.39 “Agama baru” harus mampu mengembalikan kesadaran manusia yang sejati agar ia bisa menilai kebutuhan-kebutuhannya sendiri yang alamiah dan eksistensial lepas dari kungkungan determinasi kapitalisme dan budaya massa

37

Lihat tesis Antonio Gramsci tentang hegemoni yang meneliti kenapa masyarakat buruh yang tertindas tidak mampu memunculkan revolusi sosial dalam negara kapitalis, padahal kondisi sosiologis sudah memenuhi syarat untuk munculnya sebuah revolusi. 38 Ini merupakan istilah dari Anthony Giddens yang mengibaratkan budaya kapitalisme dengan truk besar juggernaut yang melaju kencang tapi tak ada pengendalinya..

105

39

Lihat tulisan Erich Fromm yang berjudul: Konsep Manusia Menurut Marx, Yogyakarta, 2001.

106

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

yang sebenarnya adalah tiran baru yang melemahkan psikis manusia modern. Untuk merangkul masyarakat bawah, keutamaan moral dari ”gerakan agama baru” perlu untuk dibungkus dengan keindahan artistik. Dakwah agama yang berhasil harus menyentuh kalbu dan emosi pengikutnya. Hal ini dibuktikan oleh keberhasilan agama-agama historis, seperti Yahudi, Kristen dan Islam dalam mempengaruhi emosi masyarakat. Ada sesuatu yang perlu untuk diteliti di sini, yaitu bagaimanakah bentuk kaitan antara alam bawah sadar para pendiri agama-agama historis dengan ciptaan artistik yang membungkus pesan-pesan moral agama ini ketika disampaikan pada umatnya? Ada satu kelemahan mendasar dari agama-agama di atas, yaitu mereka terlalu mudah menggunakan bahan-bahan mitologis untuk menyelimuti pesan-pesan moral. Mereka berdalih bahwa mitologi adalah tema yang telah sangat dikenal oleh masyarakat bawah sehingga pesan-pesan moral lebih mudah untuk dipahami apabila dibungkus dengan mitologi, padahal dengan cara ini ada bahaya patologi yang hanya bisa diteliti oleh pengetahuan psikologi modern. Mitologi sebenarnya mempunyai asal-usul dan mekanisme yang bersumber dari dinamika alam bawah sadar, dan agama sering menggunakan mitologi untuk menyampaikan pesan-pesan moralnya kepada manusia. Hal ini tidak mengherankan, karena watak dasar agamaagama yang ada sampai sekarang juga mendasarkan nilainilai moralnya pada landasan alam bawah sadar atau ketidaksadaran. Wahyu sebagai sumber moral dari agamaagama dunia, semisal Islam, Kristen dan Yahudi mempunyai asal-usulnya pada alam bawah sadar para nabinya. Adalah wajar jika agama selalu menggunakan mitologi sebagai baju untuk membungkus nilai-nilai moralnya, karena keduanya adalah sama-sama berakar dalam pikiran alam bawah sadar manusia.

Agama tidak perlu takut apabila mitologi yang selama ini menjadi baju moralitas harus dilepaskan dari agama itu sendiri. Agama apabila dibersihkan dari atribut-atributnya, semisal mitologi, dogma, dan ritual yang menempel pada diri agama, ia akan menyisakan satu jenis kekuatan, yaitu hukum moral. Hukum moral adalah elan vital agama. Ia merupakan daya hidup yang sering dikaburkan oleh mitologi dan ritual formal. Agama masa depan tidak lagi membutuhkan mitologi dan ritual formal karena memang agama yang sejati terletak pada kandungannya yang bersifat universal, yaitu hukum moral. Agama tidak akan kehilangan spirit dan daya pesonanya yang sejati hanya gara-gara ia melepaskan atribut mitologi dari dirinya. Justru dengan melepaskan mitologi dari agama, hukum moral akan terbebaskan dari kedok yang menutupinya. Agama adalah hasil ekspresi seluruh potensi manusia. Agama tidak akan hidup apabila ia hanya ditopang oleh daya kognitif melulu yang cenderung kering dan tidak mampu menjangkau alam pemikiran masyarakat bawah. Agama perlu untuk mendukung dan menjadi wadah realisasi segala potensi dan kemampuan manusia. Filsafat dan ilmu pengetahuan bisa menjadi daya kritik terhadap dasar-dasar agama yang mungkin telah kehabisan tenaganya, tetapi ilmu pengetahuan dan filsafat tidak bisa menggantikan agama. Agama adalah masalah keseluruhan dan bukan hanya sekedar renungan dan pemikiran saja. Agama menuntut individu-manusia untuk masuk ke dalamnya secara utuh dan bukan setengah-setengah, kalau tidak ia hanya seorang munafik. Agama perlu mengalihkan pondasinya ke dalam apparatus kesadaran bukan berarti menafikan ketidaksadaran di mana emosi keagamaan berlindung di dalamnya. Pengalihan fondasi ini untuk membatasi dinamika atau kecenderungan ketidaksadaran yang selalu mendominasi dan mendesakkan naluri primitifnya ke

107

108

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

dalam alam kesadaran. Dengan membatasi atau mengekang alam ketidaksadaran saja dinamikanya masih kuat untuk merongrong kesadaran, apalagi kalau kita tidak membatasi dinamikanya. Karena mitologi mempunyai asalusul dalam dunia ketidaksadaran, tentu agama baru harus membatasi penggunaan mitologi untuk membungkus pesan-pesan moral agama agar kita bisa menghindari melimpahnya enersi ketidaksadaran yang selalu mengaburkan kesadaran manusia dari realitas dan tidak mendewasakan masyarakat bawah. Tema-tema mitologis bisa berubah menjadi dogma yang terkesan ideologis sehingga bisa mematikan daya kritik masyarakat. Keindahan artistik memang disesuaikan dengan subyektivisme masyarakat pada zamannya, namun tidak mesti harus menggunakan bahan-bahan mitologis.

sudah tidak mampu mengekang naluri kesenangan dan agresivitas (id) dalam dirinya. Apabila manusia tidak mampu mengekang kesenangan dalam dirinya, maka ia akan mudah dikendalikan oleh kekuatan material dari luar. Kemudian, kekuatan material yang pada mulanya adalah hasil cipta manusia akan menciptakan keterasingan dalam diri manusia itu sendiri. Manusia tercerabut dari kenyataan yang sebenarnya. Manusia sebagai subyek sejarah tertelan oleh hasil ciptaannya sendiri, ia tidak lagi memiliki eksistensi. Manusia akan kehilangan kepribadian dan menjadi anonim karena ia dikuasai oleh kekuatan yang bersifat impersonal. Maka, dimulailah episode depersonalisasi dan dehumanisasi kepribadian manusia. Naluri kesenangan dan agresivitas yang tidak dikekang merupakan sumber konflik antar manusia maupun dengan alam. Naluri kesenangan dan agresivitas yang tak terkendali bisa mencemarkan watak alamiah dan akal-budi manusia. Keduanya merupakan akar-akar kejahatan yang dapat menghancurkan sendi-sendi masyarakat. Maka, untuk membangun kembali masyarakat yang sedang koyak tidak cukup hanya dengan pembenahan dari segi ekonomi dan politik melulu. Peradaban tidak hanya dibangun melalui kekuatan ekonomi atau akumulasi kapital saja, justru pondasi peradaban terletak pada nilai-nilai yang menopang struktur dasar masyarakat tersebut. Nilai-nilai ini tercermin dalam keutamaan moral. Sebagaimana dalam tesis Etika Protestan yang dikemukakan oleh Weber, peradaban sebenarnya tidak identik dengan akumulasi kapital saja, kita bisa melihat kerajaan-kerajaan atau imperium-imperium dunia yang telah melakukan penumpukan kekayaan tetapi ternyata kapitalisme tidak bisa muncul dari tindakan tersebut. Kapitalisme mensyaratkan adanya tindakan pengekangan kesenangan dan rasionalisasi, karena dari situlah peradaban dimulai. Dengan begitu menurut Weber, peradaban kapitalisme

F.

Keutamaan Asketis yang Diperbarui

Gerakan agama baru berusaha menghidupkan kembali keutamaan-keutamaan yang telah lama hilang dari masyarakat kontemporer. Krisis disorientasi dan kepanikan epistemologis yang sedang mewabah dewasa ini ternyata disebabkan oleh hilangnya keutamaan moral dari mata masyarakat. Semisal, korupsi dan aksi-aksi kekerasan yang selama ini marak terjadi merupakan penanda bahwa masyarakat Indonesia sangat lemah dalam mengekang naluri kesenangan dan agresivitas dalam diri mereka. Korupsi dan aksi kekerasan yang merebak disebabkan gagalnya piranti pendidikan dan hukum yang berfungsi menekan dan mengekang dengan keras watak alamiah manusia yang buruk. Maka, dibutuhkan daya tonjok psikologis yang ketat dan keras dalam mendisiplinkan watak alamiah tersebut, di dalamnya termasuk piranti pendidikan, budaya, hukum dan agama. Pada prinsipnya, keutamaan moral hilang karena kebanyakan manusia

109

110

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

Barat justru berasal dari nilai-nilai moral yang tercermin dalam perilaku asketis yang diarahkan pada kehidupan dunia. Asketisme yang diarahkan dalam kehidupan dunia merupakan cikal bakal bagi peradaban Barat. Asketisme ini ditunjukkan melalui tindakan pengekangan kesenangan yang dari situ muncul prinsip-prinsip pengetahuan dan moralitas. Oleh karena itu, untuk membangun kembali masyarakat dan peradaban kita harus memulainya dari tindakan asketisme atau pengekangan, karena dari situlah pengetahuan dan moralitas dibentuk. Keutamaan moral dari ”agama baru” harus memancarkan prinsip etika individual yang membuat populisme mendapat dukungan dan simpati dari masyarakat yang telah terpinggirkan. Etika individual yang paling utama adalah asketisme dan kesederhanaan hidup. Asketisme dan kesederhanaan hidup mendapat peneguhan dari hedonisme psikologi Epikuros (314-270 SM). Dorongan dan motivasi hidup manusia sebagian besar dianggap berasal dari prinsip kesenangan sehingga keinginan menghindar dari rasa sakit merupakan ukuran kebahagiaan. Manusia cenderung bertindak untuk memaksimalkan rasa kesenangan dan meminimalisir sedikit mungkin rasa kesakitan. Hal ini menggiring kita untuk mengakui bahwa salah satu tujuan etika adalah mencapai kebahagiaan. Hedonisme Epikuros tidak mengajarkan bahwa untuk mencapai kebahagiaan hanya sekedar memaksimalkan kesenangan dan mengurangi penderitaan. Hedonisme yang lebih canggih justru meletakkan kebahagiaan berasal dari usaha manusia untuk hidup sederhana dan membatasi diri. Ia harus dapat hidup dengan sedikit kesenangan atau seperlunya saja. Karena nikmat yang berlebihan justru dapat menghasilkan penderitaan dan rasa sakit. Dengan mengekang kesenangan hidup, semakin besar potensi kebahagiaan yang akan kita peroleh. Sebagaimana dalam

hukum psikologi Gossen, tegukan pertama kali ketika kita minum air bisa lebih memberikan kepuasan daripada tegukan yang kedua, begitu juga tegukan kedua bisa lebih memberikan kepuasan daripada tegukan yang ketiga dan seterusnya. Hal ini mengimplikasikan bahwa semakin kita mengeksploitasi kenikmatan hidup semakin mengecilkan potensi kita memperoleh kebahagiaan dan sebaliknya semakin kita membatasi kenikmatan semakin besar potensi kebahagiaan yang akan diperoleh. Apabila kita tidak terbiasa mengekang kesenangan hidup, banyak pengalaman menyenangkan yang tidak akan tercapai.40 Meskipun ada tujuan etika lain yang lebih unggul selain mencapai kebahagiaan, yaitu etika diarahkan bukan hanya sekedar demi manfaat dan kebahagiaan, melainkan “demi keutamaan itu sendiri”, namun jenis etika ini jarang ditengok oleh kecenderungan masyarakat kita, padahal etika keutamaan ini paling memungkinkan menjadi prasyarat dalam membangun kembali masyarakat.41 Jenis etika yang mengarah pada “keutamaan itu sendiri” bukan berarti tidak mengenal kemanfaatan dan kebahagiaan, karena kemanfaatan dan kebahagiaan bukanlah tujuan tertinggi melainkan hanya salah satu akibat dari kita melaksanakan “keutamaan itu sendiri”. Immanuel Kant (1724-1804) menyebut keutamaan ini dengan nama kewajiban. Keutamaan kewajiban berbeda dengan keutamaan yang mengarah pada kebahagiaan, karena keutamaan kewajiban didorong oleh tindakan demi kewajiban itu sendiri, bukan karena dorongan perasaan kasihan,

111

40

Franz Magnis-Suseno, 13 Model Pendekatan Etika, Kanisius, Yogyakarta, 1998, hlm. 55. 41 Lihat tulisan-tulisan para ahli filsafat aliran Stoa dan filsuf modern Immanuel Kant.

112

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

kesenangan, keinginan, emosi, sentimen atau paksaan dari luar. Etika kewajiban didorong oleh hukum moral dalam diri kita sendiri, maka etika kewajiban berimplikasi pada otonomi dan kebebasan karena memang ia berasal dari dalam diri, dan bukan berasal dari keinginan serta paksaan kekuatan luar. Etika kewajiban tidak mengejar kebahagiaan karena kebahagiaan dimotivasi oleh dorongan prinsip kesenangan (id), walaupun sebenarnya kebahagiaan dapat dicapai melalui dorongan id yang telah disublimasi atau dialihkan enersinya demi tujuan-tujuan kultural atau moralitas. Tujuan etika kewajiban adalah demi kewajiban itu sendiri, sebisa mungkin lepas dari emosi, keinginan, sentimen dan perasaan meskipun dalam kenyataannya tidak bisa lepas sepenuhnya. Menurut konsep ideal, keutamaan kewajiban harus bebas dari emosi dan perasaan sehingga etika kewajiban bersifat formal, ia tidak didorong oleh kesenangan justru sepenuhnya mengekang kesenangan. Tapi dalam realisasinya, etika kewajiban nampak terlampau tinggi untuk dicapai oleh manusia meskipun secara teoritis konsep etika kewajiban adalah yang paling unggul. Pemenuhan kewajiban demi kewajiban itu sendiri sebenarnya lebih tinggi dari pada etika yang bertujuan meraih kebahagiaan, hanya saja realisasinya sangatlah sulit. Kebahagiaan bukanlah tujuan tertinggi keutamaan, tetapi dengan melaksanakan keutamaan demi kewajiban itu sendiri secara otomatis kebahagiaan akan datang dengan sendirinya. Etika kewajiban yang bertujuan demi pemenuhan kewajiban itu sendiri mengandung potensi penguasaan diri atau watak yang kuat karena dengan motivasi yang tidak didorong oleh kesenangan (id) tetapi justru sepenuhnya mengekang kesenangan akan muncul kekuatan otonomi yang menjadi kendali manusia atas dirinya sendiri. Salah satu letak keistimewaan etika kewajiban terletak pada potensi otonomi yang mampu

menguasai naluri-naluri primitif (id) sehingga manusia tidak dikendalikan oleh naluri tersebut. Menurut psikodinamika, asketisme dan kesederhanaan hidup sebagai tindakan etis merupakan usaha untuk menunda, mengekang dan mengalihkan dorongan kesenangan agar sesuai dengan prinsip kenyataan. Prinsip kenyataan bertugas untuk memuaskan dorongan kesenangan yang harus disesuaikan dengan pertimbangan, wawasan, dan daya kognitif kita. Pengekangan ini sering menimbulkan rasa gerah dan sakit pada individu. Tetapi, dengan mengendalikan dan mengekang kesenangan, kedewasaan manusia dalam menghadapi kenyataan akan semakin bertambah. Kedewasaan manusia tidak akan tumbuh apabila setiap kali muncul impuls kesenangan selalu bisa disalurkan dalam kenyataan tanpa adanya kekangan. Pengekangan merupakan syarat pertama bagi tumbuh kembang kepribadian yang dewasa. Hal ini serupa dengan Etika Weberian (1905) yang memandang peradaban Barat dibangun dari usaha etika asketis yang diarahkan pada dunia kenyataan. Kerja keras sebagai panggilan teologis dan usaha mengusir cara hidup bersenang-senang yang terpadu dalam tindakan ekonomi adalah kombinasi antara pengekangan dan rasionalisasi. Dengan mengekang kesenangan yang cenderung berlebihan, kekuatan rasio akan semakin kuat dalam menghadapi kenyataan. Tanpa adanya pengekangan kesenangan, rasio manusia cenderung hanya akan mengabdi dan menjadi pelayan bagi nafsu dan hasrat manusia itu sendiri. Kesederhanaan hidup merupakan etika asketis yang dapat mengarahkan rasionalitas berkuasa atas dorongan-dorongan irrasional42 sehingga

113

42

Lihat karya Max Weber, The Protestan Ethic and the Spirit of Capitalism, London, 1986.

114

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

ketika kita bertindak tidak sekedar mengikuti keinginankeinginan semata. Asketisme merupakan manifestasi kehendak untuk menguasai nafsu, agresivitas dan kesenangan primitif yang cenderung liar dan menjadi sumber konflik manusia. Asketisme dan kesederhanaan hidup bisa melatih dan memperkuat kesadaran (consciousness) sehingga kendali manusia atas dirinya makin optimal. Potensi kendali manusia yang makin besar terhadap naluri, nafsu, dan agresivitas dalam dirinya sendiri akan menumbuhkan karakter otonom dalam diri manusia. Asketisme dan kesederhanaan hidup merupakan salah satu bentuk keutamaan yang mampu menciptakan karakter otonom dan sifat ketidaktergantungan manusia terhadap eksistensi di luar dirinya. Dalam teori psikodinamika Sigmund Freud, peradaban adalah peristiwa menangnya prinsip kenyataan (reality principle) atas prinsip kesenangan (pleasure principle).43 Prinsip kenyataan akan dicapai manusia apabila ia mampu mengekang dan menunda dorongan kesenangan untuk dipuaskan dalam realitas, dalam hal ini tindakan etika mendapatkan otonominya yang berasal dari kesadaran yang makin diperkuat. Kekuatan otonomi bermula dari usaha manusia yang terus menerus mengekang, menunda dan mengendalikan dorongan-dorongan irrasional yang bersumber dari naluri kesenangan, sehingga dengan cara inilah kekuatan kesadaran (consciousness) akan makin kokoh dalam berperan sebagai subyek kendali psikis. Kekuatan kesadaran yang berperan sebagai subyek kendali psikis inilah yang menjadi simbol otonomi manusia.

Pengekangan kesenangan bertanggung jawab bagi munculnya kebudayaan manusia. Dalam pengekangan naluri kesenangan terdapat dasar-dasar pengetahuan dan tindakan etis. Akal sebagai bagian dari kesadaran (consciousness) akan berfungsi baik apabila ia bisa mengusir daya-daya khayali dari nafsu dan hasrat manusia melalui pengekangan kesenangan. Orang yang berakal adalah orang yang dapat menguasai diri di mana ia bisa mengikat, menghalau dan mengendalikan nafsu dan emosinya sehingga daya nalarnya tidak tercerabut. Pengekangan kesenangan dari satu sisi merupakan pengendalian terhadap nafsu dan hasrat manusia, ini adalah dasar moralitas, dan di sisi lain ketika manusia tidak lagi dikuasai oleh nafsu dan hasratnya maka kekuatan nalarnya akan berfungsi dengan baik, ini adalah cikal bakal munculnya pengetahuan. Pengekangan terhadap naluri kesenangan, yang apabila tidak dikendalikan berpotensi menghasilkan tindakan pengrusakan dan penghancuran, merupakan latihan untuk menghasilkan keutamaan moral (etika). Dengan mengekang kesenangan ketika sedang berhadapan dengan kenyataan tentu kekuatan akal akan makin berkuasa, sehingga dalam diri orang yang berakal sebenarnya terpadu antara prinsip pengetahuan dan tindakan etis, dua hal inilah yang menjadi pondasi bagi munculnya peradaban. Keutamaan moral harus didasarkan pada mekanisme kerja akal, karena dengan begitu tindakan moralitas mempunyai daya pertimbangan dan wawasan. Tindakan moral seharusnya juga tidak bersandar pada prinsip hati nurani, karena mekanisme kerja hati nurani diperoleh melalui hasil internalisasi kita semenjak kecil atas normanorma dari orang tua dan masyarakat. Hati nurani terbentuk oleh proses adaptasi kita sejak kecil dengan norma-norma masyarakat dari luar dan perintah-larangan dari orang tua. Hati nurani mencerminkan nilai-nilai yang

43

Herbert Marcuse, Cinta dan Peradaban, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2004, hlm. 11-19. Marcuse mengembangkan metapsikologi psikoanalisa menjadi filsafat teoritis yang bertitik tolak dari karya Freud; Civilization and Its Discontents

115

116

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

diambil dari masyarakat. Apabila kita mendasarkan keutamaan moral pada hati nurani tentu nilai-nilai moral yang kita anut akan menjadi distortif karena jika masyarakat kita sedang sakit, mengalami patologi dan kehilangan keutamaan moral tentu moralitas yang kita topangkan pada masyarakat tersebut juga ikut sakit. Maka, seharusnya kita tidak menopangkan nilai-nilai moral pada hati nurani, karena nilai-nilai moral yang sejati ada dalam kesadaran kita. Hati nurani adalah bagian dari superego yang menggambarkan dinamika kekuatan ketidaksadaran dan apabila kita menyandarkan keutamaan moral pada hati nurani tentu tindakan etis kita tidak memiliki daya pertimbangan dan wawasan. Tindakan moral yang didasarkan pada hati nurani merupakan moralitas yang tidak dewasa dan kekanak-kanakan. Dasar iman yang sebenarnya terletak pada akal, karena dengan akal, manusia bisa membedakan yang baik dan buruk. Dengan adanya akal, manusia pantas dibebani untuk melaksanakan kewajiban moral. Memang akal memiliki tapal batas, namun seiring perkembangan umat manusia, tapal batas ini selalu bisa dilampaui dan didorong lebih maju ke depan. Akal memiliki potensi dialektis yang selalu mampu melampaui dirinya sendiri. Di sini akal jangan hanya dipahami sekedar alat intelektual yang bersifat kognitif semata. Akal adalah salah satu potensi yang dimiliki oleh kesadaran (consciousness). Akal memberi kita kekuatan untuk menjadi pengendali atas diri kita sendiri. Akal adalah bagian dari kendali psikis sehingga kemampuan kita sebagai subyek sejarah banyak tergantung pada kekuatan akal. Orang yang berakal adalah orang yang mampu menelaah dan berpikir secara menyeluruh, di mana ia bisa mengendalikan diri dari hawa nafsunya sehingga mencegah pada bentuk tindakan yang menghancurkan diri dan pihak lainnya. Dengan menjadi penguasa atas dirinya sendiri, akal

menghasilkan tindakan etis dan merupakan titik tolak menuju pengetahuan. Sifat akal yang sebenarnya adalah, pertama; sebagai kekuatan kesadaran yang dapat menghalau daya-daya khayali dari nafsu dan hasrat manusia sehingga orang tersebut bisa membedakan antara kenyataan dan ilusi serta memiliki daya kontrol terhadap realitas yang sebenarnya. Kemampuan akal dalam hal ini adalah langkah awal menuju pengetahuan. Sifat akal yang kedua adalah sebagai kekuatan kesadaran yang dapat menghalau daya naluri kesenangan dan agresivitas sehingga bisa mencegah seseorang pada tindakan penghancuran baik terhadap diri sendiri maupun terhadap pihak lain. Pada titik ini akal menghasilkan tindakan etis. Kalau pengetahuan disandarkan pada prinsip kerja akal, maka pengetahuan yang kita gunakan untuk membangun peradaban mendapat legitimasi dari keutamaan moral. Jadi, peradaban dan kebudayaan ternyata dihasilkan dari pengekangan kesenangan yang dari situ terlahir prinsip pengetahuan dan tindakan etis. Dalam diri akal yang selalu berusaha mengekang naluri kesenangan terpadu keutamaan moral dan tindakan awal menuju terciptanya pengetahuan. Dalam pandangan ”gerakan agama baru”, pengekangan kesenangan hidup atau asketisme merupakan prasyarat kondisional untuk membangun kembali masyarakat dan peradaban. Dengan mengekang kesenangan, maka kesadaran semakin kokoh sehingga kekuatan otonomi manusia semakin berkuasa. Otonomi mencerminkan kendali sejarah yang didasarkan pada prinsipprinsip pengetahuan dan tindakan moral. Dengan otonomi, maka kita memiliki kendali atas arah dan tujuan peradaban. Tesis ini secara teoritis menolak anggapan bahwa asketisme adalah etika yang anti-kebudayaan. Meskipun asketisme bermula dari keutamaan individual, apabila ia diformulasikan kembali dalam bentuk imperatif

117

118

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

agama yang bersifat kolektif dan berhubungan langsung dengan kehidupan dunia, ia akan menjadi impuls transformatif atas watak dasar masyarakat. Asketisme sebenarnya bukan nilai keutamaan yang menolak naluri kehidupan. Penulis tidak setuju dengan Nietzsche yang menganggap asketisme sebagai sikap yang membelakangi dunia. Memang dalam praktek umumnya, asketisme sering dijalankan dengan sikap menolak dunia dan tidak afirmatif dengan naluri kehidupan. Dalam hal ini semua agama, mulai dari Islam, Yahudi, Kristen, Hindu dan Budha memiliki penganut yang mengamalkan etika asketik secara berlebihan dan menarik diri dari dunia. Sufisme Islam dalam segi-segi tertentu juga memiliki potensi asketik yang berusaha menolak dunia, namun tidak semua etika asketik menolak dunia dan lari darinya. Kita bisa belajar dari Sufisme Baru (neo-sufism) yang dikumandangkan oleh Ibn Taymiyyah dalam pembaruan Islam dan gerakan asketisme dari Etika Protestan di Eropa yang mampu mengkombinasikan antara imperatif agama dan kehidupan duniawi. Gerakan Sufisme Baru (neo-sufism) yang dipelopori oleh Ibn Taymiyyah, salah satunya merupakan reaksi terhadap organisasi-organisasi sufi yang sudah tidak memiliki kepekaan terhadap kehidupan masyarakat atau dunia. Dengan kecenderungan meninggalkan kehidupan dunia, sufisme lama tidak memiliki kepedulian terhadap kehidupan yang berkaitan dengan nasib masyarakat dan negara. Sufisme lama menjelma menjadi etika yang sangat personal, individual, dan hampir bersifat autis sehingga tidak mampu membangun kembali nasib masyarakat yang pada waktu itu sedang mengalami kemunduran, bahkan sufisme pada waktu itu menjadi sumber klenik dan takhayul. Apa yang dilakukan oleh Ibn Taymiyyah dengan Sufisme Baru-nya merupakan bentuk spiritualisme aktif yang berkaitan langsung dengan jantung masyarakat dan

negara. Asketisme mempunyai andil dalam membangun kembali masyarakat dan negara berdasarkan nilai-nilai moral tertentu. Sufisme Baru yang dicanangkan oleh Ibn Taymiyyah mempunyai kekuatan untuk mendorong bagi terbentuknya kembali masyarakat dan negara. Sufisme Ibn Taymiyyah di zaman kemudian hari telah menjadi impuls bagi gerakan reformasi agama yang dilabuhkan dalam kehidupan dunia. Reformasi agama ini menjadi akar bagi terbentuknya masyarakat dan negara baru, meskipun dengan cara menggunakan pedang dan kekerasan. Apa yang dilakukan oleh Ibn Taymiyyah dengan Sufisme Baru-nya ternyata banyak memiliki kesamaan dengan asketisme etika Calvinis yang dianggap sebagai cikal bakal munculnya kapitalisme di Barat. Etika Protestan memiliki formulasi kandungan teologis yang kemudian menjadi kekuatan imperatif untuk dapat dilabuhkan dalam kehidupan dunia. Salah satunya adalah paham bahwa keselamatan tidak lagi ada di gereja dan pendeta melainkan dalam diri mereka sendiri. Orang Protestan akan dianggap terselamatkan apabila mereka mampu mencapai kesuksesan di dunia. Menjadi orang yang sukses di dunia membuktikan mereka sebagai orang-orang yang terpilih. Namun, kesuksesan di dunia itu harus diperoleh dengan kerja keras, tekun, dan tidak berfoya-foya dengan kesenangan dunia. Sikap bersenang-senang yang dapat mengaburkan akal adalah dosa utama. Pengekangan merupakan syarat mutlak apabila kita ingin mencapai sukses di dunia. Oleh karena itu, ekonomi menjadi pelabuhan utama dari etika ini. Etika Protestan menerapkan pengekangan dan penguasaan atas naluri-naluri irrasional sebagai syarat psikologis bagi munculnya kekuatan rasional, dan hal ini menjadi alat kendali manusia dalam kehidupannya terutama pada bidang ekonomi. Lembaga-lembaga ekonomi mendapat dorongan spirit dari etika dan kapasitas

119

120

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

rasional yang dihasilkan oleh sikap pengekangan tersebut. Dalam hal pengekangan dan penguasaan atas naluri-naluri primitif, Etika Protestan merupakan salah satu contoh perwujudan dari “kehendak untuk berkuasa” Nietzsche. Tujuan “kehendak untuk berkuasa” dari konsepsi Nietzsche adalah manusia harus memaksimalkan kekuatan penguasaannya atas naluri-naluri primitif dalam dirinya, semisal nafsu, insting, hasrat dan kepentingan. Penguasaan atas dorongan-dorongan insting dan nafsu akan memberi jalan bagi berfungsinya rasio dan akal dalam diri kita. Hal ini menjadikan pengekangan sebagai kombinasi antara tindakan etis dan peletakan dasar-dasar pengetahuan. Pengekangan dalam Etika Protestan adalah asketisme yang diarahkan pada kehidupan duniawi (inner-worldly ascetism). Etika Protestan bisa menjadi contoh bagi kita bagaimana membangun masyarakat dan peradaban baru berdasarkan impuls dan kekuatan imperatif agama. Akhirnya, asketisme memiliki potensi untuk diformulasikan kembali menjadi nilai-nilai yang mempunyai kapasitas transformatif sehingga bisa menjadi landasan kultural bagi strukturasi masyarakat baru.

negeri ini ternyata dikuasai oleh kelas tertentu saja. Kekayaan sumber daya alam sering dimonopoli oleh kelas yang memiliki kapital. Kekayaan alam yang tersedia sangat mempengaruhi pembagian kerja individu-masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pembagian kerja lebih menentukan kemakmuran ketimbang usaha keras. Banyak dari anggota masyarakat telah bekerja sangat melelahkan hingga mentalnya tercerabut namun hasil kerjanya tidak cukup untuk memenuhi hidup sehari-hari. Pekerjaan bukan lagi realisasi diri dan swa-cipta dalam sejarah, melainkan beban yang menyiksa. Bagi mereka, hidup baru dimulai ketika pekerjaan telah selesai. Di sisi lain, banyak orang yang kerjanya hanya duduk dan bermalas-malasan namun bisa menghasilkan pendapatan yang berlebih hingga mampu melakukan akumulasi kapital. Telah terjadi ketidakseimbangan peran dan fungsi kerja antara rakyat kecil dengan para kelas yang berkuasa. Pembagian kerja dibentuk oleh faktor ekonomi yang ditahbiskan pengetahuan, agama, dan budaya, ini adalah artifisial dan tidak alamiah. Pembagian kerja adalah sumber pertentangan kelas. Selama negara dan kekuatan material mengawetkan pembagian kerja, maka kecemburuan sosial dan ketimpangan material tidak akan pernah terselesaikan. Pembagian kerja menciptakan kelaskelas yang berbeda kepentingannya. Kelas-kelas ini bukannya saling melengkapi dan bekerja sama, tapi malah saling bersaing untuk mendapatkan sumber-sumber pendapatan dengan cara yang halus ataupun kasar. Bagi yang lemah dan tidak beruntung, ia akan menjadi sapi perah bagi kelas yang dominan. Diferensiasi atau pembagian kerja adalah setan penebar ketimpangan material yang susah untuk ditolak. Hukum negara dan norma sosial tidak mampu menyelesaikan pertentangan kelas ini, karena ia lahir dari kelas yang dominan. Tatanan masyarakat yang sering kita anggap adi-luhung, normal

G. Keadilan dan Membangun Kembali Masyarakat Selain asketisme dan kesederhanaan hidup, ”agama baru” membutuhkan seperangkat nilai yang bisa mengantarkan manusia pada tercapainya perubahan struktur dasar masyarakat, nilai itu adalah keadilan dan egalitarianisme. Keadilan dan egalitarianisme merupakan prinsip etika politik yang paling utama. Keadilan dan egalitarianisme harus menjadi sumber kritik agama terhadap negara dan tatanan masyarakat yang ada. Keadilan dan egalitarianisme mensyaratkan adanya kesetaraan dalam pemerolehan hak-hak hidup. Selama ini kita bisa melihat kalau sumber-sumber pendapatan di

121

122

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

dan alamiah, menyembunyikan konflik yang suatu saat apabila ada pemicunya akan menyembulkan bencana kemanusiaan yang tak diduga-duga. Ketimpangan material yang sangat mencolok dalam tatanan masyarakat akan mengundang roh perjuangan kelas untuk mengendarai motor perubahan revolusioner. Ketidakseimbangan dan ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat menyebabkan kaum yang lemah ekonominya harus mengabdi pada kelas yang memiliki kapital berlebih. Seolah-olah darah dan keringat para pekerja menjadi susu dan roti yang dimakan oleh para penguasa. Ketimpangan material antara orang kaya dan miskin sering dikaburkan oleh anggapan bahwa orang miskin tidak mampu memenuhi hidup disebabkan mereka tidak memiliki etos kerja yang berbudaya. Kemiskinan sering dianggap sebagai kelemahan budaya. Ini adalah tesis yang diajukan oleh para ahli teori modernisasi. Padahal kita bisa melihat sendiri bagaimana orang-orang miskin yang dianggap tidak berbudaya ternyata memiliki semangat dan etos kerja yang tinggi. Kemiskinan tidak disebabkan oleh budaya kerja melainkan oleh struktur yang tidak ingin kepentingannya dalam menguasai sumber-sumber pendapatan bisa terganggu oleh kelompok lain. Orang-orang menjadi miskin bukan disebabkan oleh kapasitas budaya mereka yang lembek, namun kemiskinan yang mereka alami diciptakan dan dikonstruksi oleh kekuatan-kekuatan yang tidak menginginkan pemerataan sumber-sumber pendapatan. Sumber-sumber pendapatan sebisa mungkin dikelola secara oligarkis oleh elit-elit penguasa. Elit-elit ini kemudian berusaha melanggengkan dominasi mereka atas orang-orang miskin dengan cara menciptakan alat ideologi. Ideologi berfungsi sebagai alat untuk menutupi praktek-praktek kriminal para elit penguasa sehingga tindakan mereka dalam menguasai sumber-sumber pendapatan dapat dibenarkan oleh hukum

dan norma sosial. Hukum dan norma sosial mengaburkan kenyataan yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat. Ketimpangan bisa disembunyikan dari kenyataan. Hukum negara dan norma sosial sering dibuat untuk mengesahkan dominasi para elit penguasa. Hukum negara dan norma sosial adalah senjata perang dalam selubung regulasi dan keseimbangan. Hukum negara dan norma sosial selalu membawa kepentingan tersembunyi. Hukum dan norma sosial menjadi pelindung sekelompok oligarki dari perubahan yang bisa menghancurkan kepentingan mereka. Dengan begitu, negara dan masyarakat dikuasai dan dikendalikan oleh sekelompok orang yang memiliki kekuatan kapital. Hukum negara tidak lagi mencerminkan simbol moralitas. Maka, menjadi warga negara yang taat hukum bukan berarti kita sudah bermoral, malah bisa sebaliknya. Moralitas tidak terletak dalam ketundukan kita pada hukum-hukum yang dipaksakan dari luar ke dalam kesadaran kita. Hukum negara yang bersifat memaksa tidak mengandung kewajiban moral. Adanya hukum negara justru mencemarkan watak alamiah dan akal-budi kita. Ketidaktaatan kita pada hukum negara dan norma sosial justru bisa dikategorikan sebagai tindakan moral, karena yang patut kita hormati adalah hukum moral dalam batin kita. Hukum moral dalam batin lebih bersih, bercahaya dan independen dibandingkan peraturanperaturan hukum yang dibuat pemerintah. Moralitas yang didasarkan pada hukum kesadaran dari dalam menjadi kritik terhadap negara dan tatanan masyarakat yang ada. Keselamatan tidak lagi terletak pada struktur atau institusi yang ada di luar, melainkan ada dalam diri kita sendiri. Otonomi dan kebebasan menentukan hukum moral yang sebenarnya. Salah satu ciri agama yang memiliki fungsi perjuangan kelas adalah agama tersebut muncul sebagai perlawanan terhadap produk hukum dan norma sosial yang

123

124

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

menyembunyikan kepentingan tertentu. Keadilan membutuhkan kritik-ideologi untuk dapat memahami dan menelanjangi kepentingan terselubung dari munculnya produk hukum dan norma sosial. Kita membutuhkan kritik-ideologi karena rakyat kecil tidak menyadari bahwa kemiskinan yang mereka alami bukanlah nasib dari tuhan melainkan dibuat secara artifisial oleh kekuatan-kekuatan manipulatif. Kemiskinan bukanlah gejala alamiah melainkan diciptkan oleh kekuatan-kekuatan asing dari luar. Rakyat kecil tidak menyadari kalau mereka sebenarnya sedang dieksploitasi oleh kekuatan penguasa melalui produk hukum dan norma sosial. Mereka tidak mengetahui bahwa hukum dan norma sosial sering menyembunyikan kepentingan tamak dari sekelompok elit. Kritik ideologi mengajarkan kepada rakyat kecil akan pentingnya kesadaran kelas. Orang-orang baru bisa dianggap mempunyai kesadaran kelas apabila mereka mampu mengorganisir diri menjadi kekuatan massa yang menuntut hak mereka di hadapan negara. Hak harus dituntut karena hak tidak diberikan begitu saja, karena negara sering hanya menarik pajak dari kita tapi mereka selalu lupa akan kewajibannya kepada kita. Negara selalu mengingkari kalau dirinya berasal dari kontrak sosial antar sesama warga. Negara diciptakan demi kepentingan kita, bukannya kita ada demi negara. Maka, keadilan dan egalitarianisme menuntut terjadinya perubahan dalam struktur ekonomi dan politik, namun dengan syarat, rakyat kecil bisa mempersenjatai diri mereka dengan kekuatan ”agama sebagai kritik-perlawanan” terhadap tatanan masyarakat yang ada. Kita melihat sendiri bagaimana demokrasi di Indonesia yang mencita-citakan dirinya sebagai manifestasi kesetaraan telah gagal dalam tugasnya. Demokrasi sebagai cita-cita rakyat justru menghasilkan diferensiasi yang makin memperlebar jurang si kaya dan si miskin. Cita-cita

masyarakat egaliter hanya bualan untuk memperindah citra demokrasi yang sebenarnya menyembunyikan anomali dan kontradiksi. Yang membuat demokrasi gagal untuk mempersempit diferensiasi kelas dalam masyarakat adalah begitu kuatnya cengkeraman kapitalisasi di negeri ini dalam mempengaruhi kebijakan-kebijakan negara, seolah-olah negara begitu tergantungnya dengan kekuatan material sehingga eksistensi negara ada dalam kooptasi kapitalisme. Demokrasi sebagai mekanisme politik dalam kenyataannya hanya merupakan sirkulasi elit yang diciptakan oleh kekuatan akumulasi modal. Pemilu sebagai pesta demokrasi merupakan kedok yang diciptakan oleh kelompok pemilik modal agar kekuasaannya memiliki legitimasi yang sah dan konstitusional. Pemilu lima tahunan menjadi pintu masuk bagi lingkaran elit untuk memperebutkan sumber-sumber pendapatan sehingga rakyat kecil hanya menjadi penonton yang patut untuk dibelas kasihani. Negara betul-betul telah disandera oleh kepentingan kelas pemilik modal namun dengan selubung demokrasi. Demokrasi yang pada mulanya diharapkan bisa membebaskan manusia dari tirani dan otoritarianisme justru berubah menjadi mitos ilmiah. Demokrasi menjadi pembenaran ilmiah bagi kepentingan oligarkis yang selalu ingin mempertahankan kekuasaan ekonomi-politiknya. Negara yang dikuasai oleh sekelompok elit terus menancapkan pengaruhnya melalui legitimasi demokratis. Demokrasi berfungsi sebagai rasionalisasi atau pembenaran ilmiah bagi elit yang terus ingin berkuasa namun tidak mampu melakukan perubahan dalam masyarakat, kalau pun ada perubahan, ia hanya berkubang dalam lingkaran elit itu juga. Robert Michels menyebut fenomena ini sebagai hukum besi oligarki (the iron law of oligarchy), karena sistem politik yang paling demokratis pun tidak akan pernah bebas dari bentuk oligarki. Sistem politik demokratis adalah bualan, karena ia menyembunyikan kenyataan

125

126

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

bahwa negara hanya dikuasai oleh sekelompok oligarki. Di sisi lain, kekuatan akumulasi modal selalu memanfaatkan demokrasi sebagai legitimasi yang sah untuk membenarkan eksploitasi dan penindasan demi pengejaran sumber-sumber pendapatan. Hukum ikut merasionalisasi keberadaan kekuatan akumulasi modal dalam selubung demokrasi, maka sebenarnya hukum tidak dapat berdiri sendiri. Meskipun aparatur negara dan pemerintah menyuarakan hukum sebagai prinsip yang otonom dan independen, dalam kenyataannya perangkat hukum sangat tergantung dengan politik-kekuasaan di mana kekuatan akumulasi modal adalah penggerak utamanya. Kita tidak bisa menyerahkan permasalahan keadilan pada institusi hukum, karena lembaga tersebut sudah tidak mencerminkan keutamaan moral dan tidak lagi bisa dipercaya. Adanya hukum di negeri ini tidak lagi merefleksikan keadilan yang sebenarnya. Kalau sistem demokrasi dan institusi hukum atau peradilan bisa diibaratkan sebagai hasil pencapaian intelektual manusia, maka kekuatan intelektual ini sering berfungsi sebagai pembenar bagi kepentingan naluri kesenangan manusia itu sendiri, yaitu hasrat para kaum oligarki yang ingin terus berkuasa demi akumulasi sumbersumber pendapatan. Hasil kebudayaan dan kapasitas intelektual manusia (rasio dan pengetahuan) tidak lagi memperhalus watak dan akal-budinya sendiri, tetapi malah mencemarkan harkat dan martabatnya yang luhur. Keadilan adalah semangat moral yang tak dapat dimusnahkan, meskipun sering kalah dan berhenti di tengah jalan. Telah menjadi hukum alam kalau suara keadilan adalah jeritan dari hati terdalam manusia, ia tak akan pernah berhenti untuk bersuara meskipun yang mendengarkannya selalu abai dan tidak peduli. Keadilan harus menjamin hak-hak individu dan masyarakat yang paling tidak diuntungkan. Rakyat kecil adalah bagian

terbesar warga negara yang sering hak-haknya tidak dipenuhi oleh negara, padahal mereka telah membayar pajak secara tetap. Tanah dan sumber-sumber daya alam malah dikuasai oleh sekelompok orang dengan mengatasnamakan negara dan kepentingan sosial. Sumber daya alam negeri yang melimpah ini menjadi kutukan dan bukannya berkah bagi masyarakatnya sendiri. Setiap nafas dari makhluk hidup yang tinggal di atas bumi Nusantara berhak atas pemerolehan sumber-sumber daya alam, meskipun hanya sejengkal tanah. Setiap bentuk ketidakadilan dalam pembagian hak-hak atas pengolahan sumber daya alam mengandung potensi pemberontakan atas negara. Hukum sejarah menuliskan bahwa setiap bentuk ketidakadilan pasti mengundang gerakan massa atau perjuangan kelas, meski terlambat dan menunggu waktu yang lama. Maka, jatuh bangunnya sebuah negara terletak pada kebijakannya yang menyangkut hajat hidup orang banyak. Prinsip-prinsip keadilan harus bertitik tolak dari realitas masyarakat. Keadilan bukanlah prinsip dogmatis yang tidak memiliki pertimbangan. Prinsip keadilan bukan dogma yang datang dari langit kemudian dimutlakkan dan tahan dari segala kritik yang berusaha untuk membebaskannya dari asam karat sejarah. Adanya keadilan bukan disebabkan oleh dogma-dogma ketuhanan, malah sebaliknya ketuhanan berakar dalam prinsip-prinsip kemanusiaan. Permasalahan keadilanlah yang memunculkan doktrin ketuhanan, dan bukannya ketuhanan yang memunculkan paham keadilan. Ide-ide tentang tuhan hadir sebagai mekanisme pertahanan diri manusia untuk menghadapi dan memberi makna tentang keadilan dalam kehidupannya. Keadilan bukan produk dari langit yang bisa dipaksakan atas nama tuhan. Keadilan adalah prinsipprinsip moral yang memiliki akarnya dalam potensipotensi kemanusiaan. Keadilan tidak perlu mendasarkan

127

128

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

diri pada aspek kewahyuan. Prinsip keadilan yang didasarkan pada landasan metafisik bisa dibelokkan oleh kekuatan ideologis agama, oleh karena itu keadilan bukan alat dari agama, melainkan agama itu sendiri. Keadilan adalah sesuatu yang inhern dalam eksistensi manusia, karena itu alasan beradanya keadilan ditentukan sebagai tujuan penyempurnaan eksistensi manusia itu sendiri. Ketidakadilan yang berakar dalam perilaku tamak dan penuh nafsu untuk terus mengakumulasi kapital dapat melemahkan potensi-potensi alamiah manusia. Apabila ketidakadilan mewabah dalam masyarakat tentu sendisendi dasar yang menopang masyarakat akan tergerus dan runtuh. Gejala ketidakadilan selalu mengundang reaksi kritik-perlawanan dari prinsip-prinsip agama kemanusiaan. Agama kemanusiaan adalah realisasi keadilan dalam tubuh masyarakat. Prinsip keadilan merupakan refleksi atas struktur dasar masyarakat yang ada sehingga ia bisa disetubuhkan ke dalamnya. Maka, keadilan bukanlah rumusan idealisme yang mengawangawang di atas kesadaran manusia (supranatural) tetapi merupakan keniscayaan ilmiah dan kekuatan natural yang menjadi tujuan emansipasi manusia. Dalam realitas ekonomi-politik, dunia adalah arena pertarungan bebas yang disembunyikan dengan aturan dan regulasi yang terselubung. Negara-bangsa ikut berperan dalam menyamarkan pertarungan bebas ini dengan kedok kebebasan dan kemakmuran. Kapitalisme adalah seni pertempuran yang paling mudah kita rasakan dampaknya namun sulit untuk ditolak sebagai sebuah permainan yang tidak sah. Kapitalisme merupakan regulasi yang menyembunyikan dominasi dan ketidakadilan namun sampai sekarang kita terus menerimanya sebagai sesuatu yang normal dan taken for granted. Kita harus menelan pil pahit karena kita tidak bisa menghindarinya. Kapitalisme merupakan kenyataan yang harus kita terima karena belum

ada sistem ekonomi-politik yang mampu menggantikannya. Kapitalisme sebenarnya mencerminkan watak manusia yang penuh dengan kesenangan dan menjadi saluran bagi agresivitas yang selalu ditekan oleh kultur dan moralitas. Keadilan dalam konteks kapitalisme tidak bisa sekedar dimaknai sebagai perjuangan ekonomi-politik melawan eksploitasi melainkan bagaimana keadilan diterjemahkan sebagai keniscayaan ilmiah yang natural dan merupakan usaha pendewasaan manusia dari kecenderungan dan dorongan nalurinya yang bisa menghancurkan dirinya sendiri. Keadilan secara individual dan psikologis dapat dimaknai sebagai sebuah pengekangan terhadap nalurinaluri bawaan manusia yang irrasional dan destruktif sehingga dapat dibelokkan menuju saluran yang lebih kultural dan dewasa. Keadilan disebut sebagai usaha pengekangan karena ketidakadilan selalu muncul dari sifat tamak, penuh nafsu, dan tidak puas untuk terus mengakumulasi kapital atau semacam egoisme tak ketulungan. Semua itu adalah potensi-potensi bawaan manusia yang apabila tidak dikekang dan dikendalikan bisa mengakibatkan konflik, pertumpahan darah dan kerusakan alam. Dalam arena pertarungan bebas, pemihakan pada asas keadilan tidak perlu dipahami sebagai pelanggaran atas kebebasan yang sama besar terhadap individu dan masyarakat. Keadilan harus memihak kepada individu atau masyarakat yang paling tidak diuntungkan berdasarkan prinsip perbedaan dan distribusi pemerataan pendapatan bersama dengan cabang-cabang atau alokasi kehidupan lainnya.44 Keadilan harus memiliki perlakuan

129

44

Prinsip Perbedaan merupakan istilah yang dibuat oleh John Rawls dalam bukunya Theory of Justice. Bentuk etika dalam bahasan buku

130

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

khusus bagi mereka yang tidak diuntungkan, minoritas atau orang-orang yang lemah, sehingga ketika mereka telah memiliki kekuatan yang sama besarnya dengan orang lain, baru saat itulah keadilan bisa disebut dengan kesetaraan. Ketidakadilan dalam zaman modern sudah tidak bisa dikenali lagi secara jelas, karena aroma penampakannya disembunyikan oleh hukum, norma sosial, pengetahuan, bahkan agama. Kepentingan bisa disamarkan sehingga batas antara keadilan dan ketidakadilan tidak lagi memiliki garis yang tegas. Norma masyarakat dan hukum negara muncul seolah-olah sebagai pembela masyarakat dan bangsa, namun apabila kita menggunakan kritik-ideologi yang mampu menelanjangi kepentingan-kepentingan di balik norma dan hukum tersebut kita baru tahu kalau keduanya tidaklah membela keadilan karena keduanya dikuasai oleh kekuatan material dalam sejarah (kapitalisme). Dengan melihat kenyataan di atas, maka wajar kalau Marx ingin sekali menghapus negara dari muka bumi, karena negara sering menjadi sumber dan alat dari ketidakadilan, negara telah menjadi salah satu akar kejahatan manusia. Negara mencemarkan watak alamiah manusia yang pada mulanya baik menjadi egois, tamak, agresif, dan penuh dengan kesenangan. Keadilan harus membangkitkan kesadaran kelas pada warga negara bahwa negara-bangsa adalah sebuah kontrak sosial yang dibuat untuk saling menukarkan hak dan kewajiban. Apabila rakyat sudah menyerahkan hak kebebasan pada negara tetapi negara tidak mampu melaksanakan kewajibannya kepada masyarakat maka

kontrak sosial antara negara dan warganegara dianggap batal dan pembangkangan sipil bisa dikatakan etis. Negara bukanlah fakta obyektif yang ada di luar kesadaran manusia melainkan kesatuan yang berasal dari individuindividu manusia. Negara ada untuk manusia, bukannya manusia ada untuk negara. Negara bukanlah sesuatu yang given dan melampaui kesadaran manusia sebagaimana negara organiknya Hegel, tetapi merupakan fakta artifisial yang diciptakan demi mewujudkan kehendak umum. Apabila ia gagal dalam melaksanakan kehendak umum, maka hak dan wewenang negara dapat dicabut melalui pemberontakan, dan ini bisa disebut gerakan yang bermoral. Kita harus membebaskan konsep negara yang selama ini telah mewujudkan diri sebagai fakta obyektif dan eksternal seolah-olah di luar kepentingan manusia. Kejahatan negara dimulai dari dirinya yang mulai memisahkan dan membuat garis demarkasi dengan asalusulnya, karena negara bukanlah fakta alamiah melainkan fakta artifisial yang diciptakan berdasarkan kebutuhan akan kontrak sosial. Negara dapat digulingkan apabila ia tidak lagi mengayomi warganya sendiri. Dalam situasi ekonomi-politik internasional, harapan besar sedang ditunggu oleh dunia bagi datangnya ”gerakan agama baru” yang mampu memerankan secara seimbang dengan teori-teori pembangunan di Dunia Ketiga. Gerakan agama baru diharapkan dapat menemukan dirinya sebagai alternatif dari teori-teori pembangunan yang ada. Teori pembangunan Marxis dan Neo-Marxis memberikan penjelasan teoritis paling baik tentang pembangunan dan keterbelakangan di tingkat nasional dan internasional. Namun, karena teori ini bersifat radikal, ia tidak menawarkan resep dan banyak pemecahan yang spesifik bagi masalah sehari-hari yang dihadapi oleh para pembuat keputusan dan bagaimana pembangunan itu harus dilakukan sehingga terciptalah ruang kosong teoritis yang

John Rawls sangat terpengaruh oleh etika Deontologi Kant, di mana kelompok masyarakat yang paling tidak diuntungkan dalam sistem ekonomi-politik merupakan objek pertama asas keadilan. Prinsip ini dianggap lebih unggul daripada etika Utilitarianism.

131

132

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

cenderung diisi oleh teori yang lebih konservatif dan tidak memadai (Neo-Liberal). Para pembuat keputusan yang menerapkan teori-teori konservatif sebagai pemandu sering menampilkan keputusan dengan retorika yang lebih manipulatif. Akibatnya terciptalah tindakan yang menyesatkan. Penerapan teori Neo-Liberal yang konservatif atau teori Strukturalis yang nasionalis malah cenderung memperlebar jurang antara si kaya dan miskin.45 Contohnya, adalah Cina, Korea Utara dan Kuba. Sebelum Cina membuka diri bagi hadirnya investasi modal asing, negara ini mengalami kepanikan bagaimana caranya melakukan pembangunan ekonomi, karena sistem komunis (ekonomi Mazhab Historis Marx) memang bisa mendiagnosa munculnya ketidakadilan dan tiadanya pemerataan, tapi ia tidak memiliki resep yang spesifik untuk memecahkan problem bagaimana membangun kekuatan ekonomi tanpa akumulasi kapital. Nampaknya, tanpa akumulasi kapital sebuah negara tidak akan mampu untuk membangun kekuatan ekonominya, itu terbukti pada negara Korea Utara dan Kuba. Kedua negara ini menganut paham komunis yang tidak mau membuka investasi modal asing sehingga mereka tercerabut dari sistem ekonomi internasional, dan pembangunan ekonomi pun mustahil adanya. Pembangunan ekonomi tanpa modal yang terkonsentrasi dan tidak adanya kepemilikan pribadi bisa dikatakan sulit berkembang. Kekosongan teoritis yang diciptakan oleh ketidakmampuan komunisme untuk membangun kekuatan ekonomi inilah yang kemudian diisi oleh teori-teori ekonomi Neo-Liberal sehingga pembangunan ekonomi di Cina memiliki ciri kapitalis namun ditopangkan pada ideologi komunis.

Menurut Kevin P. Clements, ekonomi dunia kapitalis sekarang ini berada dalam krisis yang akut dan pembangunan keterbelakangan semakin menguat tiap harinya. Negara-negara industri maju nampaknya memutuskan untuk memecahkan masalah-masalah ekonomi mereka dengan mengintensifkan eksploitasi terhadap Dunia Ketiga. Banyak pengamat dengan tegas menyatakan bahwa eksploitasi membutuhkan sebuah reaksi yang radikal. Para pengamat menegaskan bahwa kaum Kiri di Dunia Ketiga tidak terorganisir dan tidak mampu memberikan reaksi semacam ini. Kita selalu mendapati suatu pengakuan yang meluas terhadap diagnosis radikal atas sifat mendua antara pembangunan atau keterbelakangan. Hanya beberapa prasarana politik yang mampu memberikan ungkapan organisasional dari ideologi radikal ini. Dalam ketiadaan prasarana tersebut, gerakan keagamaan dan nasionalisme populis mengalami kebangkitan dramatis di Iran, Malaysia, Indonesia dan di tempat-tempat lain. Apakah gerakan-gerakan ini mampu mencapai suatu bentuk pembangunan yang sesungguhnya, akan sangat tergantung pada kemampuan gerakan-gerakan tersebut memberikan ungkapan kongkret terhadap akibatakibat politik teori pembangunan Marxis dan Neo-Marxis yang radikal, karena teori Neo-Klasik Liberal dan teori Strukturalis telah mencoba dan mendapatkannya.46 Penerapan teori-teori pembangunan dari yang berideologi paling kanan (Neo-Liberalism) hingga paling kiri (Neo-Marxism) telah menciptakan distorsi, kontraksi dan ketidakseimbangan yang lebih dalam daripada sebelumnya sehingga negara-negara Dunia Ketiga masih dalam

45

Kevin P. Clements, Teori Pembangunan dari Kiri ke Kanan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1997, hlm. vii.

133

46

Ibid, hlm. 90.

134

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

keadaan terbelakang.47 Dibutuhkan sebuah seni ekonomi campuran baru (new mixed economy) yang adaptable dan seimbang agar menjadi semacam teori pembangunan ekonomi-politik yang lebih moderat dan realistis. Bukan suatu hal yang mustahil, kelak kita memiliki teori ekonomipolitik pembangunan yang dihasilkan dari gerakan agama baru yang mampu menciptakan cetak biru keteraturan sosial sebagai alternatif bagi teori Marxis dan Konservatif (Neo-Liberal). Dengan merefleksikan berbagai kenyataan sosial yang ada, gerakan agama baru bisa diharapkan untuk ikut serta dalam memunculkan teori baru dalam pembangunan ekonomi-politik. Meskipun sistem kapitalisme sedang mengalami krisis dan anomali, selama belum ada sistem yang mampu menggantikan kapitalisme maka kritik-kritik tajam yang berusaha menghancurkan kapitalisme tetaplah sia-sia. Oleh karena itu, gerakan agama baru perlu memformulasikan ajaran-ajarannya dalam kenyataan sosial yang selalu berubah tanpa menjadi formula yang dogmatis. Dalam menjawab kenyataan sosial, agama baru harus terus memiliki keterbukaan civilitas agar bisa menampung kemungkinan-kemungkinan baru di bidang ekonomi, politik, budaya dan ilmu pengetahuan. Agama baru harus menjadi cetak biru keteraturan sosial (social blue-print) agar tidak hanya menjadi kekuatan kultural tetapi juga gerakan struktural. Gerakan kultural di sini dipahami sebagai sebuah transformasi nilai-nilai mendasar yang kelak bisa menjadi landasan bagi masyarakat baru yang dihasilkan dari gerakan struktural. Bentuk masyarakat yang dihasilkan oleh transformasi nilai-nilai baru dan gerakan struktural penulis namakan sebagai Masyarakat Utama

(prime society). Masyarakat Utama adalah tujuan dari adanya transformasi struktur dasar masyarakat. Gerakan perubahan akan sia-sia apabila tidak bisa menghasilkan bentuk Masyarakat Utama. Masyarakat Utama merupakan formulasi cetak biru keteraturan sosial yang menjadi darah daging agama dalam sejarah. Cetak biru keteraturan sosial merupakan peta teoritik bagi panduan gerakan untuk melahirkan struktur dan kultur masyarakat baru, dengan begitu kita cenderung memiliki kendali sejarah. Tanpa adanya kendali sejarah, kita hanya akan menciptakan struktur yang justru melenyapkan kita sebagai subyek sejarah. Lalu bagaimanakah bentuk masyarakat utama diwujudkan dalam konteks sosial-politik negara-bangsa? Menurut sosiologi Weberian, negara-bangsa (nationstate) adalah institusi yang paling mungkin dan sah untuk memaksa dengan keras pada individu karena negara dianggap memiliki kekuasaan yang dilindungi oleh legitimasi warganya.48 Potensi kekuatan negara untuk memaksakan perubahan pada masyarakat adalah sangat besar. Hanya saja, dalam kenyataannya negara tidak mau membuka pintu-pintu struktural yang seharusnya menjadi alat paling efektif untuk memunculkan perubahan, kesulitan ini ditambah dengan sifat negara yang tidak netral terhadap kepentingan-kepentingan yang ada dalam masyarakat. Menurut Marx, negara menjadi alat bagi kelas tertentu untuk menunaikan dan menjaga kepentingan mereka sendiri. Kalau pun negara mengabdi bagi masyarakat, hal ini dilakukan demi kepentingan jangka panjang kelas yang menguasai negara tersebut, meski harus

47

Muhammad Fathurahman, Gerakan Pembaruan dalam Islam, Semarang, 2009, hlm. 2.

135

48

Arief Budiman, Teori Negara, Gramedia, Jakarta, 1996, hlm. 6.

136

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

mengorbankan kepentingan jangka pendek.49 Negara tidak otonom karena ia ditelikung oleh kekuatan-kekuatan eksternal, baik dari kepentingan internasional atau pun kelompok oligarki yang ada dalam negara tersebut. Lalu, bagaimanakah nasib individu dan masyarakat apabila negara dikuasai oleh kelas tertentu dan tidak mampu mengakomodasi kepentingan warganya? Di sinilah letak strategis bagi gerakan agama untuk melancarkan kritik-transformatif atas masyarakat dan negara. Gerakan agama harus memiliki daya tawar dan pengaruh terhadap lembaga negara. Gerakan agama harus mampu menciptakan kelompok Masyarakat Utama yang memiliki kekuatan penyeimbang dan penekan terhadap negara. Gerakan agama diharapkan dapat memaksa negara untuk membuka pintu-pintu strukturalnya sehingga perubahan terjadi tidak hanya dalam level kultural melainkan juga melalui stuktur negara. Pada sisi kultural, gerakan agama baru semestinya menciptakan nilai-nilai transformatif yang menjadi landasan bagi munculnya masyarakat baru yang dihasilkan dari gerakan struktural. Gerakan struktural tidak harus masuk sebagai perangkat negara, tetapi membangun kekuatan otonom di luar negara yang bisa memaksa negara untuk melakukan perubahan. Masyarakat mengatasi negara, dan bukan dideterminasi oleh negara. Masyarakat Utama merupakan cetak biru keteraturan sosial yang harus diformulasikan oleh gerakan agama. Masyarakat Utama adalah bentuk masyarakat yang

dibangun berdasarkan nilai-nilai baru yang transformatif, mandiri dan otonom lepas dari pengaruh kekuatan negara. Menciptakan bentuk Masyarakat Utama (prime society) tidak harus dengan melenyapkan negara sebagaimana yang dibayangkan oleh Karl Marx. Marx membayangkan masyarakat tanpa kelas akan muncul di atas puing-puing keruntuhan negara dan kapitalisme. Bagi Marx, pembagian kelas diciptakan oleh kekuatan kapital dan negara. Pembagian kelas menciptakan pertentangan yang tidak akan pernah terselesaikan tanpa keruntuhan negara dan sistem kapitalisme. Penghapusan negara dan sistem kapitalis menjadi syarat bagi hadirnya masyarakat tanpa kelas. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah mungkin kita bisa menghapuskan negara? Menurut ramalan Marx, kapitalisme akan runtuh dengan sendirinya, dan ini disebabkan oleh anomali dan kontradiksi internal dalam mode produksi kapitalisme itu sendiri yang kemudian mengundang perjuangan kelas dari masyarakat bawah. Perjuangan kelas dibutuhkan untuk menggulingkan negara yang selama ini melindungi dan menjadi instrumen bagi kekuatan kapital. Tapi, ramalan ini tidak pernah terbukti dalam sejarah. Pertama, kapitalisme mampu melakukan metamorfose, yaitu depresi ekonomi yang dihasilkan dari kontradiksi kapital internasional selalu bisa dipecahkan bahkan merupakan koreksi yang makin mendewasakan sistem ekonomi kapital itu sendiri. Kedua, potensi perjuangan kelas yang seharusnya muncul dari kaum tertindas ternyata dihegemoni oleh kekuatan negara yang selalu mendukung sistem kapital. Dukungan negara terhadap sistem kapitalis disebabkan karena negara sangat bergantung pada kekuatan material. Negara tidak akan tumbuh dan bergerak tanpa adanya akumulasi kapital. Hegemoni negara terhadap potensi perjuangan kelas sering menggunakan piranti pendidikan, agama, hukum, dan budaya sehingga daya perlawanan masyarakat

49

Ibid., hlm. 48-49. Marx menyebut jenis negara yang memenangkan kepentingan rakyat dan mengalahkan kepentingan kelas yang berkuasa untuk sementara merupakan sebuah strategi kelas berkuasa untuk melanggengkan kepentingan jangka panjangnya meskipun mengorbankan kepentingan jangka pendek, strategi ini dinamakan oleh Karl Marx sebagai strategi Negara Bonapartis.

137

138

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

terhadap negara mudah dimentahkan dan dimandulkan. Maka, rakyat miskin dan kaum jelata perlu didorong dan dibangunkan kesadarannya oleh agama untuk memperjuangkan dirinya sendiri sebagai kelas tertindas. Mereka harus tahu bahwa dunia ini adalah perang. Perang tidak saja terjadi melalui kekuatan militer dan senjata, tetapi bisa dengan cara-cara yang halus, yaitu stabilitas dan keadaan damai merupakan alat yang paling jitu untuk menghisap dan mengeksploitasi manusia secara terselubung. Kapitalisme adalah perang dalam topeng regulasi dan mekanisme pasar. Kapitalisme sebagai area pertempuran disembunyikan dalam selubung perdamaian, kemakmuran, dan keseimbangan. Tanpa adanya inisiatif dari mereka sendiri yang tertindas, kesadaran kelas yang mampu mengorganisir dirinya secara massif tidak mungkin terbentuk. Kesadaran sebagai kelas yang tertindas adalah syarat mutlak bagi lahirnya perjuangan kelas yang revolusioner. Gerakan agama yang revolusioner memiliki kekuatan imperatif untuk melepaskan hegemoni negara terhadap orang-orang tertindas sehingga potensi perjuangan kelas orang-orang tersebut dapat diaktualisasikan dalam wilayah sosial-politik. Perjuangan kelas merupakan misi utama dari agama-agama besar yang bersifat revolusioner. Agama revolusioner adalah senjata bagi kelas tertindas untuk memperjuangkan nasib dirinya dari eksploitasi sistem kapitalis yang didukung oleh negara-bangsa. Penulis masih yakin bahwa negara-bangsa dan demokrasi bukan satusatunya mekanisme politik. Evolusi sistem politik masih terus berjalan sehingga demokrasi dan negara-bangsa bukan tahap akhir dari perjalanan ini, sebagaimana yang disangkakan oleh Francis Fukuyama. Kita tidak perlu bersusah-payah menghapus negara demi terciptanya Masyarakat Utama, karena melampaui negara bukanlah hal yang mustahil. Kelahiran kapitalisme dan demokrasi dalam

sejarah masyarakat Barat bisa mengilhami kita bagaimana sebuah gerakan agama mampu melampaui negara tanpa harus menghapuskannya. Masyarakat Protestan di negara-negara Eropa pada abad ke-16 adalah kelompok masyarakat yang jarang sekali bisa mendapatkan posisi politik yang strategis. Hal ini disebabkan dominasi agama Katolik yang menjadi agama mayoritas di Eropa. Karena terpinggirkan dari wilayah politik menjadikan kelompok agama Protestan mengubah impuls-impuls murni mereka yang pada mulanya adalah eksklusif, yaitu tidak mau terjun dalam wilayah dunia kemudian berubah menjadi totalistik, yaitu menjadikan agama sebagai keteraturan sosial yang mencakup seluruh aspek kehidupan terutama di bidang ekonomi. Agama Protestan mampu menciptakan impuls-impuls transformatif dalam bentuk imperatif-imperatif agama yang diarahkan pada kehidupan dunia. Secara teologis, imperatif ini merupakan bentuk asketisme yang bermuara pada wilayah dunia. Asketisme bukanlah etika imperatif yang membelakangi dunia justru sebuah etika yang berpusat pada dunia, (inner-worldly ascetism). Perubahan paradigma agama ini pada gilirannya menghasilkan transformasi internal yang memicu lahirnya kreativitas non-politik, yaitu institusionalisasi lembaga-lembaga sosialekonomi baru yang dimotivasi oleh etika puritan yang bersifat inklusif. Semangat keterbukaan atau inklusivitas ini diarahkan pada civilitas yang membuka kemungkinan-kemungkinan baru di bidang ekonomi, sosial, dan ilmu pengetahuan. Keterbukaan pada bidang ekonomi, sosial dan pengetahuan memberi ruang bagi munculnya institusiinstitusi non-politik. Sebagai hasilnya, etika puritan kemudian berkolaborasi dengan pemunculan lembagalembaga baru yang bergerak di bidang ekonomi. Etika puritan yang berpusat pada pengekangan dan rasionalisasi

139

140

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

berkombinasi baik dengan keterbukaan (inklusivitas) ekonomi yang ditujukan dalam kehidupan dunia nyata, maka terjadilah hubungan kausal antara Etika Protestan dan kekuatan ekonomi. Dengan kesibukan yang massif di bidang lembaga ekonomi baru, lahirlah kelas borjuasi yang berusaha melampaui negara dengan kekuatan ekonominya, karena negara diisi oleh orang-orang yang agamanya berbeda dengan agama yang dianut oleh kaum borjuis, (dalam hal ini, kapitalisme bisa dikatakan muncul dari etika sentimen para kaum borjuis terhadap negara yang dikuasai oleh orang-orang yang agamanya berbeda dengan kaum borjuis). Kekuatan ekonomi tidak akan tumbuh tanpa didukung oleh hukum dan kekuatan negara. Negara dan kerajaan dalam hal ini tidak bisa menghindar dari pengaruh ekonomi borjuasi yang disokong oleh kebebasan demokrasi. Demokrasi muncul setelah kekuatan ekonomi bisa mendesakkan negara untuk menganut nilai-nilai politik tertentu, tentunya yang bisa menguntungkan kekuatan ekonomi borjuis. Demokrasi dalam hal ini menerapkan simbiosis mutualisme dengan kekuatan borjuasi baru. Demokrasi memberikan ruang dan legitimasi bagi tumbuhnya kekuatan kapital kaum borjuis. Akhirnya, negara-bangsa ada dalam tawanan ekonomi borjuasi dan politik demokrasi. Tesis ini menunjukkan bahwa demokrasi dan kapitalisme sebenarnya lahir dari rahim yang sama. Kapitalisme dalam banyak hal sangat bergantung pada politik demokrasi dan juga sebaliknya, meskipun dalam kasus-kasus negara yang tidak demokratis dan otoriter, kapitalisme juga bisa berkembang dengan baik dan tumbuh pesat. Namun, analisa historis memperlihatkan kepada kita bahwa kelahiran kapitalisme dan demokrasi itu saling membutuhkan, demokrasi adalah saudara kandung kapitalisme. Keberhasilan Protestanisme untuk

menciptakan kapitalisme dan demokrasi disebabkan adanya kapasitas transformatif yang terkandung dalam ajaran agama tersebut.50 Kapasitas transformatif tercipta dari reformulasi pandangan-pandangan keagamaan dalam bersetubuh dengan dunia dan bagaimana ia mampu menjawab kenyataan sosial yang ada. Etika Protestan di Barat mampu melahirkan masyarakat industrial yang sebenarnya merupakan cetak biru transformasi agama yang bisa menyentuh struktur dasar masyarakat. Transformasi agama tidak bisa dipahami hanya sekedar transformasi nilai-nilai kultural, justru yang menjadi titik tujuannya adalah pembentukan masyarakat baru berdasarkan nilainilai tertentu. ”Gerakan agama baru” (new religious movement) harus belajar dari keberhasilan Etika Protestan yang mampu melampaui negara dan melahirkan masyarakat baru pada waktu itu. Melancarkan kritik-perlawanan sekilas dapat dimaknai sebagai penolakan terhadap eksistensi negara. Penolakan terhadap eksistensi negara bukan berarti menghapuskan negara itu sendiri melainkan memaksa negara untuk melakukan perubahan diri secara mendasar sehingga negara mengabdi demi emansipasi umat manusia. Dengan adanya perubahan ini, maka ketika individumasyarakat berhadapan dengan negara, sebenarnya mereka berhadapan dengan diri mereka sendiri. Negara tidak lagi mengasingkan manusia dari diri dan ciptaannya sendiri. Gerakan agama baru sebenarnya tidak mau melakukan

141

50

Roland Robertson, Agama: dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, Jakarta,1993, hlm.349-371. Penulis menelusuri tulisan S. N. Eisenstadt yang menghimpun perdebatan mengenai tesis Etika Protestan Weber. Eisenstadt mengulas tesis Weber dengan interpretasi yang sangat mendalam dan baru.

142

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

konfrontasi fisik dengan negara karena hal ini adalah gerakan bunuh diri. Tetapi, agama baru harus berani menolak hukum negara dan norma sosial yang sering menutupi kontradiksi, ketimpangan material, dan kecacatan dalam realitas masyarakat. Penolakan ini menunjukkan kalau agama baru memiliki kritik-ideologi terhadap negara dan tatanan masyarakat yang ada. Tanpa adanya kritik-ideologi maka agama baru yang muncul tidak akan bisa memperlihatkan kepada inidividumasyarakat bahwa mereka sebenarnya sedang sakit dan mengidap patologi yang serius. Agama baru juga tidak perlu memaksakan gagasan-gagasan formal terhadap negara karena ini hanya membuang tenaga dan sia-sia. Gerakan agama baru akan lebih efektif secara endogen apabila ia bersifat inklusif terhadap kenyataan sosial. Inklusivisme yang diarahkan pada civilitas akan membuka kreativitas dan kemungkinan-kemungkinan baru dalam wilayah sosial, politik dan ilmu pengetahuan. Lebih bermanfaat bagi agama ini untuk merumuskan formulasi ajaran mereka dalam kenyataan sosial yang bisa menjadi kapasitas transformatif dan merupakan pra-kondisi bagi strukturasi masyarakat baru daripada memaksakan diri untuk berhadap-hadapan langsung dengan kekuatan negara. Berhadapan dengan kekuatan negara mengundang konsekuensi yang sangat besar. Dalam konteks negara kesatuan RI, setiap gerakan agama baru pasti akan dicurigai negara sebagai kekuatan yang berpotensi memunculkan konflik dan memecah keseimbangan masyarakat yang ada. Maka, dibutuhkan sebuah seni dan strategi bagaimana melancarkan perlawanan nilai-nilai sekaligus negosiasi yang kompromistik untuk menghindari benturan fisik yang tidak perlu terjadi. Gerakan ini akan sangat bergantung pada karakter dan kharisma pemimpinnya dalam mempengaruhi masyarakat. Transformasi atas struktur dasar masyarakat dan nilai-

nilai yang mendasarinya adalah tujuan utama dari adanya ”gerakan agama baru”. Gerakan agama baru sadar bahwa struktur dasar masyarakat selama ini dikuasai dan digerakkan oleh dinamika kekuatan material sejarah. Kita mengetahui hal ini dari tesis Materialisme-Sejarah yang menyatakan bahwa mode produksi kapitalisme mendasari perkembangan struktur dasar masyarakat bahkan juga negara. Mode produksi kapitalisme ternyata bisa menentukan dan mempengaruhi hasrat, pikiran, tindakan, dan kebutuhan manusia melalui institusi politik negara, ekonomi pasar, budaya populer, hukum positif, agama, pendidikan umum dan norma-norma sosial yang dibentuk oleh masyarakat. Mode produksi bisa mendeterminasi manusia disebabkan adanya naluri primitif (kesenangan) atau id dalam jiwa manusia. Naluri kesenanganlah yang menjadikan mode produksi seolah-olah hidup sehingga ia bisa menentukan kesadaran manusia. Kekuatan material sejarah menjadi basis bagi perkembangan masyarakat disebabkan dalam jiwa manusia terpendam naluri kesenangan yang harus dipuaskan atau diisi dengan barang-barang hasil produksi dari kekuatan material. Kalau kita ingin merubah struktur dasar masyarakat, terlebih dahulu kita harus merubah kekuatan material sejarah dalam wujud mode produksi kapitalisme yang selama ini menjadi basis perkembangan masyarakat, yaitu melalui praxis revolusioner. Ini adalah tesis determinisme ekonomi Marx yang terkenal itu. Namun, perubahan terhadap kekuatan material saja tidak cukup, karena akar-akar kejahatan bukan terletak pada materi yang objektif di dunia luar, melainkan “kecintaan” kita pada materi tersebut, dan perasaan kecintaan ini bersfat primitif dan telah ada sebelum munculnya kekuatan material. Kecintaan bersifat inhern dan muncul dari naluri kesenangan manusia yang telah ada bahkan sebelum ia terlahir sebagai manusia. Kekuatan

143

144

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

material bisa efektif mempengaruhi kesadaran manusia disebabkan adanya naluri kesenangan yang terpendam dalam jiwa manusia. Naluri kesenangan merupakan roh dari materi dan ia menjadi akar dari perubahan masyarakat. Maka, bersamaan dengan perubahan terhadap kekuatan-kekuatan material dalam sejarah kita juga harus memperhatikan bagaimana naluri kesenangan bisa mendorong kekuatan material sehingga dapat mendeterminasi kesadaran manusia, dengan kata lain dibutuhkan penguasaan dan pengekangan atas nalurinaluri kesenangan yang bersifat primitif dalam jiwa kita. Tanpa pengendalian terhadap naluri kesenangan dalam diri, maka perubahan terhadap kekuatan-kekuatan material di dunia luar akan sia-sia karena naluri kesenangan merupakan jantung materi dan akar perubahan dalam masyarakat. Di sinilah peran penting etika agama dan pendidikan untuk melakukan transformasi nilai-nilai yang selama ini dipegang oleh masyarakat. Etika menjadi impuls transformatif yang paling penting dalam mengubah watak dasar masyarakat sehingga menjadi landasan kulutral bagi strukturasi masyarakat baru.

manusia modern melalui pengekangan naluri kesenangan. Etika imperatif berfungsi sebagai kekuatan untuk menguasai, mengekang, dan mengendalikan naluri kesenangan dalam jiwa sehingga bentuk etika ini menjadi mekanisme pertahanan diri dari serangan determinasi kekuatan-kekuatan material terhadap kesadaran manusia. Etika yang berusaha mengekang kesenangan akan makin memperkuat kesadaran (consciousness) dalam menghadapi pengaruh kekuatan materi. Manusia dengan kesadarannya yang sejati menjadikan dirinya sebagai subyek sejarah, karena ia adalah tuan bagi kekuatan materi dan bukan hamba materi. Sedangkan maksud dari etika yang berpusat pada dunia adalah tujuan etika agama ini diarahkan sepenuhnya pada kehidupan dunia, dan bukannya kehidupan akhirat karena dunia ini merupakan darah daging agama yang sebenarnya. Kepercayaan pada hari akhirat ternyata sering menjadi pelarian dan kedok ideologis atas ketidakmampuan kita untuk mencapai kemenangan di dunia. Etika agama bisa diuji kebenarannya apabila ia mampu merealisasikan cita-citanya dalam ruang sejarah. Etika imperatif memandang dunia ini sebagai ladang tempat ia beribadah dan bekerja, tapi bukan berarti dunia kemudian menjadi realitas yang menguasai kesadaran manusia. Manusia yang bebas bukanlah makhluk yang ditentukan oleh kekuatan-kekuatan dari luar. Etika imperatif tidak sama dengan bentuk etika Budhism. Etika Budhism mengajarkan pada manusia bahwa dunia materi adalah kesenangan yang justru membawa manusia pada dekadensi sehingga etika ini berusaha melarikan manusia dari dunia, yaitu dengan cara membunuh insting kesenangan dalam diri manusia itu sendiri. Bagi Budhism, dunia ini adalah semu dan ilusi maka ia memerintahkan manusia untuk meninggalkan diri dari sifat semu dan ilusi tersebut.

H. Melawan Etika yang Membelakangi Dunia Gerakan agama baru harus mampu menciptakan nilainilai yang menjadi topangan atau landasan kultural bagi strukturasi masyarakat baru. Nilai-nilai ini menjadi kekuatan yang otonom sehingga bisa menggerakkan kebudayaan material. Gerakan agama baru menjadi nyata apabila agama ini memformulasikan ajarannya menjadi etika imperatif yang berpusat pada dunia. Nilai-nilai imperatif yang berpusat pada dunia harus menggantikan nilai-nilai yang berporos pada imajinasi akhirat. Etika imperatif memuat nilai-nilai transformatif yang berusaha mendidik dan mendewasakan kepribadian individu

145

146

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

Hal ini berbeda dengan etika imperatif yang memandang bahwa dunia ini betul-betul nyata dan riil, tapi dunia yang riil dan nyata ini dapat menjerumuskan kita pada kubangan ilusi apabila kita tidak mampu mengekang naluri kesenangan dalam diri kita. Etika imperatif menempatkan dunia sebagai pusat ibadah, di satu sisi dunia adalah realitas yang menjadi pembuktian kebenaran agama, di sisi lain manusia harus mampu mengekang diri dari pengaruh dunia materi yang mampu mengaburkan watak dan karakternya yang luhur dan alamiah sehingga manusia tidak dikendalikan oleh naluri kesenangan dalam dirinya, ia tetap menjadi subyek bagi naluri-naluri dalam dirinya Etika agama yang berpusat pada dunia tidak sama dengan sekularisasi. Sebagaimana didefinisikan oleh Cak Nur, sekularisasi berusaha mendesakralisasi unsur-unsur ukhrawi yang bersifat palsu menjadi benar-benar bersifat duniawi. Etika imperatif justru sebaliknya, ia ingin menjadikan semua yang bersifat duniawi menjadi sesuatu yang bersifat sakral, atau dengan kata lain semua yang bersifat profan berubah menjadi sesuatu yang bersifat sakral. Sesuatu yang bersifat sakral tidak harus selalu bersifat ukhrawi. Hal-hal yang berkaitan dengan duniawi juga bisa bersifat sakral. Etika imperatif mensakralisasi semua yang bersifat duniawi. Dunia adalah tujuan dari kebenaran agama itu sendiri sehingga ia tidak membedakan mana yang sakral dan mana yang profan karena yang sakral dan profan melebur dalam satu bentuk, yaitu etika yang berpusat pada dunia. Dunia bukan lagi sebagai sesuatu yang profan, justru semua aktifitas manusia di dunia bisa dikategorikan sebagai hal yang sakral karena ia didorong oleh tindakan etis. Etika imperatif yang berpusat pada dunia akan menjadikan manusia terkurung dalam dunia yang sakral, dunia adalah pusat ibadah manusia, yang sakral terletak dalam semua

tindakan etis manusia yang diarahkan pada kehidupan dunianya. Dengan mengarahkan tindakan yang berpusat pada dunia bukan berarti sifat ibadah dan religiositas manusia menjadi luntur dan berubah sekuler, justru dengan meletakkan religiositas pada dunia, seluruh kehidupan manusia adalah sakral, dan menjadi biara seumur hidupnya. Jantung agama adalah etika, tujuan etika adalah dunia, dan bukannya akhirat, apa yang dianggap religius atau sakral terletak pada etika manusia yang diarahkan pada kehidupan dunia. Jadi, anggapan Weber terhadap bentuk agama yang selama ini berorientasi pada akhirat apabila berubah menjadi agama yang berorientasi sepenuhnya pada kehidupan dunia akan kehilangan daya pesonanya (disenchantment of the world) adalah tidak beralasan. Agama tidak akan kehilangan daya magisnya, hanya gara-gara ia tidak lagi berorientasi pada kehidupan akhirat melainkan berorientasi sepenuhnya pada kehidupan dunia. Agama yang berpusat pada dunia tidak akan pudar daya pesonanya hanya gara-gara ia tidak lagi berorientasi pada dunia akhirat. Gerakan agama baru (new religious movement) percaya bahwa dengan adanya pergeseran nilai-nilai yang dipegang oleh masyarakat pada gilirannya akan mampu menggerakkan perubahan struktur dasar masyarakat itu sendiri. Pergeseran dimulai dari kritik terhadap nilai-nilai yang telah mapan dalam masyarakat sehingga kelak benturan dan konflik sosial tidak bisa terhindarkan. Kekuatan-kekuatan status quo yang berasal dari agama mapan akan menggunakan mekanisme represi politik untuk menekan dan menghancurkan gerakan agama baru. Oleh karena itu, gerakan “agama baru” harus bersetubuh dengan kekuatan-kekuatan potensial yang ada. Dalam hal ini, gerakan agama harus melakukan pengenduran untuk melakukan konsesi-konsesi sehingga mengurangi

147

148

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

ketegangan yang diakibatkan munculnya kritik tajam. Nilai-nilai kritik terlebih dahulu mendapatkan institusionalisasi dalam kenyataan sosial sebelum melakukan benturan dengan agama mapan. Nilai-nilai harus memiliki urat dan darah daging agar ia tidak hanya menjadi ide-ide abstrak yang membumbung tinggi di luar kesadaran manusia. Agama dapat diuji kebenarannya apabila ia lahir dan menjadi eksistensi yang bisa merealisasikan ajaran dan nilai-nilainya dalam dunia. Ia menjadi darah daging sejarah. Ia juga merupakan realisasi potensi-potensi individu yang menjadi tujuan emansipasi manusia di dunia sehingga agama baru merupakan salah satu bentuk aktual dari humanisme yang berbasiskan otonomi dan kebebasan. Agama baru mengaktualisasikan dirinya sesuai dengan pernyataan Jean-Paul Sartre (1905-1980) bahwa eksistensi manusia ditunjukkan oleh karakter humanisme-nya, dan humanisme ini mengandung sifat perlawanan dan pemberontakan terhadap kekuatan-kekuatan yang telah melemahkan manusia sebagai subyek sejarah. Dalam hal ini, kekuatan materi dan naluri kesenangan merupakan kekuatan yang dapat mengaburkan dan melemahkan manusia sebagai subyek sejarah. Kekuatan material dan naluri kesenangan adalah struktur yang dapat membelenggu kebebasan dan akal-budi kita. Agama baru merefleksikan diri sebagai kritik dan perlawanan terhadap sistem totaliter yang berifat tertutup dalam masyarakat, karena masyarakat kini telah menjadi pseudo-tuhan yang mampu memaksakan pandanganpandangannya terhadap individu manusia modern. Kita bisa melihat dalam realitas bagaimana individu-individu berpikir, berkata dan bertindak berdasarkan kualitas dan kategori-kategori yang diciptakan masyarakat. Sesuai dengan tesis Durkheim, masyarakat menjadi realitas eksternal atau fakta sosial yang dapat memaksa kesadaran

individu. Secara terselubung manusia modern menganggap masyarakat sebagai tuhan. Agama baru menolak tuhannya masyarakat dan menentang individu-individu yang menjadikan anggapan masyarakat sebagai tuhan sehingga individu tersebut terlihat begitu tidak berdaya di hadapan sistem yang berlaku dalam negara dan masyarakat. Agama sering mengajarkan kepada kita bahwa kekuatan yang menjadi tempat kita bergantung hanyalah tuhan, tapi dalam kenyataannya manusia menjadikan materi dan kesenangan sebagai kekuatan yang paling dominan dalam kehidupannya meskipun ia tidak menyadari hal tersebut. Agama memaklumatkan diri untuk menafikan tuhan-tuhan kecil, yaitu materi dan kesenangan yang sering menguasai diri kita, dan menegaskan akan eksistensi tuhan yang sebenarnya, yaitu keutamaan moral. Tapi, realitas masyarakat sekarang justru bertolak belakang dengan prinsip di atas, manusia cenderung untuk menafikan keutamaan moral yang merupakan simbol kehadiran tuhan, dan malah menegaskan keberadaan materi dan kesenangan yang menjadi tuhan-tuhan palsu. Manusia modern menggantikan kedudukan tuhan yang asli dengan tuhan-tuhan palsu. Materi dan kesenangan menggantikan keutamaan moral. Agama yang dipeluk oleh manusia modern sering menjadi kedok bagi naluri kesenangan yang selalu ditekan, sehingga meskipun setiap hari manusia beribadah kepada tuhan, sejatinya ia menyembah kesenangan dan kekuatan materi. Tuhan yang disembah di rumah ibadah hanya menjadi topeng yang menyembunyikan tuhan yang disembah oleh masyarakat kita, yaitu materi dan kesenangan. Materi dan kesenangan menjadi tuhan yang terselubung. Negara dan masyarakat mewujudkan diri sebagai realitas eksternal yang dapat memaksa individu secara ideologis, seolah-olah negara dan masyarakat adalah fakta yang given dan melampaui kesadaran individu. Dari sini

149

150

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

kesadaran individu nampak ditentukan oleh kategorikategori yang diciptakan oleh masyarakat dan negara. Tindakan dan pikiran individu sudah tidak bersifat orisinil dan otentik karena ditentukan oleh kekuatan-kekuatan dari luar dan bukan dari otonominya sendiri. Tindakan yang dibentuk secara paksa oleh kekuatan-kekuatan dari luar tidak memiliki kualitas moral. Individu manusia modern sebenarnya tidak memiliki kebebasan yang hakiki, karena ia dikepung oleh hasil ciptaannya sendiri yang mampu mendeterminasi pikiran, hasrat dan kebutuhannya. Akhirnya individu modern terkurung dalam sangkar besi ideologi yang dihasilkan oleh kekuatan-kekuatan material dalam sejarah, yaitu bagian dari ciptaan manusia itu sendiri, karena negara dan masyarakat bertopang dan mendasarkan diri pada pondasi kekuatan material. Kekuatan material yang dioperasikan oleh negara dan institusi masyarakat dapat mempengaruhi kesadaran individu karena ada naluri primitif (kesenangan) pada psikisnya sehingga benda-benda material nampak hidup dan bersifat inhern dalam diri manusia. Maka, agama harus muncul sebagai bentuk kritik terhadap institusi negara dan masyarakat kontemporer yang telah menciptakan keterasingan dan mendistorsi kesadaran manusia. Agama harus mampu memulihkan kesadaran manusia dari belenggu ideologi yang berkembang dalam masyarakat karena apabila negara dan masyarakat bersifat ideologis, keduanya bisa mengaburkan manusia dari realitas yang sebenarnya dan melahirkan kondisi heteronomi pada individu sehingga moralitas yang adekuat tidak akan pernah tercapai. Kondisi heteronomi merupakan jenis moralitas yang dibangun berdasarkan paksaan dari luar manusia, seperti hukum negara dan masyarakat, sehingga tindakan moral yang dibentuk kehilangan kesadaran dan otonominya. Kesadaran dan otonomi diartikan sebagai kekuatan yang didasarkan pada kenyataan yang

sebenarnya agar bisa menentukan putusan-putusan moral secara bebas dari diri sendiri dan tidak terikat atau ditentukan dari luar manusia yang bersifat eksternal dan memaksa meskipun paksaan dari luar ini menggunakan mekanisme psikologi yang bersifat halus, normal dan regulatif. Hukum moral yang otonom mampu membebaskan diri kita dari ikatan naluri kesenangan dan kekuatan material yang membuat potensi-potensi alamiah manusia teraktualisasikan di dunia nyata dan kita menjadi manusia seutuhnya.51 Agama baru harus bisa membangunkan manusia dari ketidakmampuannya untuk memaknai hidup secara mendalam, abadi, dan eksistensial. Kebudayaan yang diciptakan sendiri oleh manusia melahirkan kekuatankekuatan eksternal yang justru melenyapkan manusia sebagai subyek sejarah. Kesadaran (consciousness) manusia telah hilang dalam lelap struktur besar kebudayaan dan manusia menjadi bagian dari benda-benda yang ia ciptakan sendiri. Manusia berubah menjadi benda-benda yang anonim tanpa kepribadian, ia mengalami depersonalisasi yang patologis. Dalam hal ini, manusia bisa dikatakan berarti dan bermakna apabila ada atribut-atribut dari luar eksistensinya yang menempel dalam dirinya, semisal uang, mobil, wanita, kekuasaan dan sebagainya, sehingga eksistensi manusia dianggap bermakna berdasarkan sesuatu dari luar dirinya. dan bukannya oleh keutamaankeutamaan yang ada dalam eksistensinya itu sendiri, semisal kebajikan, moralitas ataupun pengetahuan. Agama harus melakukan transformasi nilai-nilai yang selama ini dipegang oleh masyarakat yang telah kehilangan makna dasar dan keutamaan-keuatamaan yang sebenarnya

151

51

Dalam hal ini penulis mendasarkan diri pada etika otonomi Immanuel Kant

152

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

merupakan pra-kondisi bagi munculnya peradaban baru. Agama sejati harus menunjukkan diri bahwa ia bisa mempertinggi watak dan karakter alamiah manusia ketika berhubungan dengan sesama dan alam semesta. Agama menjadi jaket pelindung bagi ilmu pengetahuan yang bersifat kritis-emansipatoris, yaitu pengetahuan yang berfungsi sebagai alat kritik-ideologi agar bisa mengurai tatanan dunia yang bukannya makin memperhalus watak dan akal-budi justru menciptakan dekadensi kemanusiaan dari harkatnya yang luhur. Selain berasal dari kekuatan material sejarah, ideologi ternyata bisa bersembunyi di balik konsep etika yang menolak naluri kehidupan atau kesenangan (id) yang berasal dari alam bawah sadar karena tidak mampu bersikap afirmatif terhadap dunia. Kebahagiaan di akhirat sering merupakan kedok bagi ketidakmampuan manusia untuk memperoleh kebahagiaan di dunia. Ide tentang alam akhirat muncul sebagai bentuk fantasi imajiner manusia yang disebabkan kekalahannya di dunia. Maka, keberhasilan dan kemenangan agama yang sejati bukan terletak di alam seberang atau akhirat melainkan di dunia ini. Agama baru mengubah etika akhirat menjadi etika para petualang dunia. Agama baru mengajarkan kepada kita betapa mulianya kehidupan dunia. Dulu meniadakan tuhan adalah dosa, dan sekarang menafikan dunia adalah dosa paling utama. Meskipun orientasi agama terletak di dunia, namun bukan berarti kehidupan moral kita ditentukan oleh dayadaya kesenangan dan nafsu. Di satu sisi, tujuan agama adalah kehidupan dunia, tetapi di sisi lain kita juga harus hati-hati terhadap pesona ilusi kehidupan dunia (nafsu dan kesenangan) yang mampu mengaburkan kita dari realitas. Oleh karena itu, moralitas mengajarkan betapa pentingnya usaha untuk mengekang daya-daya kesenangan agar tidak melarutkan kesadaran kita. Dengan mengekang kesenangan, di satu sisi akan menguatkan daya pikiran,

akal, dan kognitif kita, sehingga kesadaran makin kokoh dalam menghadapi dorongan-dorongan irrasional dan ini merupakan langkah awal menuju pembentukan pengetahuan. Di sisi lain dengan mengekang kesenangan kita bisa terhindar dari kekuatan naluri kesenangan dan nafsu yang selalu berusaha menjerumuskan kita pada kubangan pengrusakan baik terhadap kehidupan moral kita sendiri, atau pun pengrusakan fisik yang mengakibatkan konflik antar umat manusia, pada sisi ini pengekangan merupakan salah satu aktualisasi bentuk moralitas. Kekuatan moral harus menundukkan ketidakadilan di dunia, dan bukannya di akhirat, karena dunia adalah tempat ibadah bagi orang beriman. Dengan memiliki kemampuan untuk memberantas ketidakadilan di dunia, maka agama bisa dikatakan memiliki kekuatan. Dengan kekuatan inilah, ”agama baru” menunjukkan kemenangannya di dunia. Gerakan agama baru (new religious movement) menganggap bahwa etika adalah kekuatan (force) sehingga etika agama baru harus menghindari jenis etika sentimen atau kebencian orangorang lemah terhadap para penguasa sebagaimana didakwahkan oleh Friedrich Nietzsche, (1844-1900). Nietzsche adalah orang pertama yang secara radikal mengungkap adanya etika berkedok atau ideologis yang menyembunyikan naluri kehidupan atau kesenangan (id) yang berasal dari dunia alam bawah sadar manusia. Nietzsche memperingatkan kita bahwa etika kebaikan yang kita miliki sekarang jangan-jangan hanyalah kedok untuk menutupi naluri kehidupan atau kesenangan yang selalu kita tekan. Etika sering menyembunyikan keinginankeinginan kita yang sebenarnya dengan memperhalus diri sehingga yang nampak bagi kita sebetulnya adalah kedok. Etika kebaikan yang kita miliki jangan-jangan merupakan kedok kelemahan kita sendiri karena tidak mampu

153

154

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

mencapai kekuatan keluhuran. Etika jenis ini menjadikan kepribadian kita sebagai topeng. Nietzsche menganggap bahwa etika yang ada pada agama tidak lain merupakan kebencian kita terhadap bentuk etika yang dimiliki oleh orang yang telah menindas kita, Nietzsche menamakan jenis etika ini sebagai etika budak. Kaum budak selalu membentuk etika yang memperlawankan keadaannya sebagai budak dengan nilai-nilai orang yang telah menindasnya, dengan kata lain etika budak adalah etika balas dendam atau kebencian. Etika budak adalah etika dekaden atau kelemahan karena selalu mengidentifikasi dirinya yang memperlawankan dengan nilai-nilai kaum penguasa. Etika budak menganggap bahwa apa yang baik itu selalu apa yang dianggap hina oleh kaum penguasa. Baik menurut kaum budak adalah buruk menurut kaum penguasa, apa-apa yang dianggap baik oleh penguasa diputar balikkan menjadi buruk di mata kaum budak. Etika budak adalah jenis etika orang-orang yang kalah. Etika budak tidak mampu mengakui naluri kehidupan yang mengalir dalam dirinya sehingga selalu menolak dunia dan menganggap bahwa dunia itu hina. Mereka menganggap dunia itu buruk karena mereka tidak berhasil dalam kehidupan dunia. Etika budak adalah etika antiberkuasa. Memang Nietzsche benar ketika mengatakan bahwa lahirnya agama Yahudi, Kristen dan Islam berasal dari gerakan revolusi kaum budak atau kaum tertindas, tetapi bentuk etika gerakan agama baru tidak mesti sebuah penjungkirbalikan nilai-nilai kaum penguasa dengan nilainilai kaum budak atau orang tertindas. Nietzsche dapat menjelaskan etika berkedok yang selama ini sudah terlanjur diyakini secara kuat oleh masyarakat kita, karena bentuk etika ini secara tersirat ada dalam etika agama-agama dunia, semisal Islam, Kristen, Yahudi, atau pun Budha. Nietzsche bisa menelusuri naluri tersembunyi dari etika agama-agama dunia di atas, namun ia tidak menjelaskan

“bagaimana seharusnya etika agama itu”, “apa yang ada” berbeda dengan “apa yang seharusnya” karena etika bukan hanya menggambarkan realitas tetapi bagaimana kita bisa menciptakan realitas. Bentuk etika adalah “apa yang seharusnya” bukan sekedar “apa yang ada”. Nampaknya kita harus menelusuri kembali kepingan-kepingan pemikiran Nietzsche secara utuh untuk bisa menemukan apa yang tersirat dari tulisan-tulisannya yang banyak salah dimengerti. Sesuai dengan Psikodinamika Freud, etika adalah bentuk pengekangan dan pengendalian kita atas nalurinaluri primitif atau kehidupan (kesenangan) yang berasal dari alam bawah sadar. Pengekangan adalah pembekuan terhadap naluri kesenangan untuk sementara yang pada saat kemudian bisa dipuaskan dalam kenyataan berdasarkan keutamaan. Pengekangan bukanlah pembunuhan atas naluri kesenangan atau kehidupan. Meskipun etika keutamaan mengekang kesenangan, ternyata ia justru bersikap positif terhadap naluri kesenangan atau kehidupan. Etika keutamaan atau pengekangan tidak membiarkan manusia dikendalikan oleh naluri kehidupan atau kesenangan karena tanpa kendali atau pengekangan terhadap naluri kehidupan, manusia akan menjadi budak dari naluri-nalurinya sendiri. Tanpa adanya pengekangan terhadap naluri kesenangan, rasio cenderung hanya menjadi pelayan bagi nafsu dan hasrat manusia itu sendiri. Pengekangan bertujuan untuk memperoleh kesadaran (consciousness) yang makin kuat karena dorongan-dorongan kesenangan tidak mengenal ruang dan waktu (selalu agresif, irrasional dan mengaburkan kesadaran) sehingga dengan mengekang naluri kesenangan, kita akan memperoleh otonomi yang makin membuat kita berkuasa atas diri kita sendiri. Pengekangan kesenangan merupakan kekuatan penggerak evolusi kesadaran manusia (consciousness) karena pengekangan berdampak pada penemuan manusia

155

156

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

atas otonomi-nya sendiri. Otonomi memberikan kekuatan bagi kita untuk bertindak etis berdasarkan hukum dari kita sendiri tanpa adanya paksaan dari luar, hal ini menjadikan kita sebagai tuan dalam rumah sendiri. Etika pengekangan bukanlah etika yang menolak dunia atau tidak afirmatif dengan naluri kehidupan. Memang sekilas jenis etika ini berusaha untuk mengekang kesenangan atau keinginan kita, sehingga bisa dianggap menolak naluri kehidupan dalam diri kita, namun tujuan pengekangan ini sebenarnya adalah usaha untuk memaksimalkan kehendak berkuasa atas diri kita sendiri, karena apabila nafsu dan kesenangan tidak kita kekang, maka kita akan dikendalikan oleh nafsu dan keinginan kita. Dengan mengekang kesenangan, daya rasionalitas kita akan makin berkuasa dalam menghadapi dorongan-dorongan irrasional yang kemudian mengakibatkan kendali atas diri kita sendiri makin menguat. Pengekangan kesenangan bertujuan untuk melatih kesadaran agar makin berkembang secara lebih dewasa dan matang. Perkembangan rohaniah atau kepribadian tidak akan terjadi tanpa adanya pengekangan. Dengan pengekangan berarti kita sedang memaksimalkan ”kehendak berkuasa” atas daya-daya dan potensi dalam diri kita sendiri, dan ini tercermin pada otonomi dan kebebasan yang kita miliki. Kehendak berkuasa memungkinkan manusia untuk bertindak berdasarkan hukum moral dari dalam dirinya sendiri. Moralitas ditentukan oleh pemikiran, perasaan, dan tindakan dari dalam, sebisa mungkin lepas dari kekuatankekuatan luar. Inilah bentuk etika yang mendasarkan pada aspek otonomi dan kebebasan. Etika yang mengekang kesenangan tidak berusaha untuk menolak kesenangan, tapi dorongan kesenangan hanya dibekukan untuk sementara sambil menunggu pemuasan yang didasarkan pada pertimbangan, wawasan, dan daya kognitif kita atas dunia luar. Pemuasan dorongan kesenangan harus

disesuaikan dengan keutamaan moral, dan keutamaan moral ini didasarkan pada kesadaran akal dan prinsip kenyataan. Etika pengekangan tentulah berbeda dengan etika kebencian dari kaum budak karena pengekangan bertujuan untuk memberdayakan “kehendak berkuasa” kita atas naluri kehidupan atau kesenangan yang berasal dari alam bawah sadar yang cenderung agresif, irrasional, dan suka mengaburkan realitas. Kehendak untuk berkuasa mencerminkan adanya kekuatan dalam diri kita. Sedangkan etika budak yang menolak naluri kehidupan berasal dari sikap inferioritas dan perasaan iri atas ketidakmampuannya untuk mencapai kekuatan atau keluhuran di dunia. Etika budak merupakan kedok bagi kegagalan kita untuk menguasai kehidupan dunia. Etika budak yang selalu menggembor-gemborkan ancaman kehidupan di akhirat adalah bentuk fantasi imajiner bagi mereka-mereka yang kalah di dunia. Etika pengekangan adalah kekuatan karena menjadikan dunia sebagai tempat ibadah, sedangkan etika budak atau kebencian adalah kelemahan, karena menjadikan alam akhirat sebagai topeng atas kegagalannya di dunia. “Agama baru” menganggap bahwa etika adalah kekuatan (force). Agama adalah kekuatan untuk menguasai variabel-variabel yang telah mengungkung dan memunculkan ketidakpastian dan ketidakberdayaan hidup dalam diri manusia. “Agama baru” dalam hal ini senafas dengan penguasaan naluri kehidupan yang digemakan oleh Nietzsche, yaitu kehendak untuk berkuasa (the will to power). Kekuatan “kehendak untuk berkuasa” sangat berkaitan dengan potensi kesadaran (consciousness) yang apabila diaktualisasikan ke dunia luar atau material (outerworld) diharapkan mampu menjadi alat kendali sejarah. Kita bisa melihat ke dunia luar bahwa kebudayaan yang kita ciptakan telah berubah menjadi kekuatan yang

157

158

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

bergerak sendiri lepas dari kontrol kita. Kebudayaan yang berdiri objektif di dunia luar menciptakan rasa ketidakberdayaan dan ketidakpastian dalam diri manusia. Kita terasing dari maha karya kita sendiri karena kita tidak lagi memiliki kendali atasnya. Hilangnya kendali atas kebudayaan yang kita ciptakan sendiri bermula dari kesadaran kita yang terdistorsi dan termanipulasi oleh kekuatan-kekuatan material dari luar. Maka, untuk memperoleh kembali daya kuasa atas ciptaan kita sendiri, kita harus membebaskan kesadaran dari pengaruh kekuatan material, dengan begitu kendali sejarah kembali berada di tangan kita. ”Kehendak untuk berkuasa” juga merupakan salah satu bentuk kesadaran manusia yang apabila diaktualisasikan ke dunia dalam (inner-world) mampu mengendalikan naluri-naluri primitif dan nafsu dalam dirinya sehingga dia tidak dikendalikan oleh kekuatan yang bersifat destruktif dalam dirinya sendiri. Manusia menjadi tuan atas naluri-naluri dalam dirinya. Orang yang memiliki kehendak untuk berkuasa tidak takut akan naluri hidup yang mengalir dalam jiwanya, ia berkata “ya” pada kehidupan dan menolak kemenangan hidup apabila kemenangan itu ditentukan di alam akhirat, karena kemenangan sejati ada di dunia ini. Meskipun afirmatif terhadap naluri kehidupan atau kesenangan bukan berarti ia dikendalikan oleh naluri tersebut, karena apabila manusia dikendalikan oleh naluri kesenangan (id) yang cenderung irrasional ia akan kehilangan otonominya yang mengakibatkan bisa tercerabut dari kenyataan. Tindakan moral yang diresapi oleh kehendak untuk berkuasa ditentukan dan didorong dari dalam manusia itu sendiri dan bukannya oleh kekuatan-kekuatan dari luar, semisal kekuatan supernatural yang bersifat gaib ataupun negara dan masyarakat. Ia mengenal Tuhan bukan sebagai fakta kekuatan adi-duniawi di luar manusia melainkan sebagai

impuls kekuatan yang ada dalam diri manusia itu sendiri. Hal inilah yang menyebabkan Nietzcshe memaklumatkan kepada dunia kalau tuhan itu telah mati, karena ia menganggap bahwa kepercayaan pada tuhan lah yang menyebabkan doktrin takdir (predestination) menguasai pikiran manusia sehingga menjadi hambatan manusia untuk bertindak berdasarkan otonomi dan kehendak bebasnya masing-masing. Manusia modern sering menganggap bahwa tuhan adalah eksistensi adi-duniawi yang ada di luar dirinya, maka apabila manusia beriman kepada tuhan yang ada di luar dirinya tentu kekuatan manusia sangat ditentukan oleh eksistensi dari luar tersebut. Menurut penulis, perkataan “tuhan telah mati” tidak bisa dipahami bahwa “eksistensi” tuhan sebenarnya telah mati, karena yang dimaksud mati itu bukanlah “eksistensi tuhan itu sendiri” melainkan kepercayaan manusia kepada tuhan yang sering membawa akibat pada keyakinan adanya takdir. Perkataan tuhan telah mati ditujukan untuk melawan doktrin fatalistik yang beranggapan bahwa tindakan manusia diatur dan ditentukan oleh takdir yang diciptakan oleh tuhan, sehingga paham ini menyebabkan manusia tidak memiliki inisiatif, kebebasan dan kreativitas.52 Kepercayaan kepada ketentuan takdir bermula dari anggapan kita bahwa tuhan adalah realitas adi-duniawi yang ada di luar dan terpisah dari kita, dan bukannya kekuatan yang ada dalam diri kita sendiri.

159

160

52

Doktrin “tuhan telah mati” yang digaungkan oleh Nietzsche sebenarnya memiliki kemiripan dengan doktrin Qodariyyah, yaitu paham tentang kebebasan kehendak (free-will) dalam salah satu aliran teologi Islam. Maksud dari paham “tuhan telah mati” adalah membebaskan sebesar mungkin fakultas kehendak manusia yang merdeka dan otonom lepas dari kooptasi takdir atau fatalisme.

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

Dengan mempercayai tuhan sebagai kekuatan yang ada di luar, tentu kekuatan dari luar inilah yang menentukan perbuatan dan nasib manusia. Perkataan Nietzsche tentang tuhan telah mati ditujukan kepada manusia modern untuk tidak terikat dengan takdir yang dapat melumpuhkan karsa bebasnya, karena takdir sebenarnya adalah potensi-potensi yang ada dalam diri manusia agar ia bisa merealisasikan sendiri secara bebas apa-apa yang menjadi tujuannya. Takdir bukanlah ketetapan azali yang tidak dapat diubah. Dengan palu tuhan telah mati, Nietzsche berusaha membebaskan manusia modern dari paham determinisme (takdir) yang sering mengkooptasi otonomi dan kehendak bebas manusia. Manusia harus bebas dari belenggu metafisik agar ia bisa menemukan dirinya sendiri bahwa ia memiliki tanggung jawab terhadap segala perbuatannya, apabila tindakan manusia ditentukan oleh takdir metafisik bagaimana ia bisa dimintai pertanggungjawaban? Apakah semua tindakan manusia ditentukan dan diatur oleh kekuatan langit? Apabila kita menjawab bahwa kita semua telah ditakdirkan oleh tuhan, maka yang tersisa dari usaha manusia adalah melakukan perlawanan atau pemberontakan terhadap belenggu takdir metafisik tersebut, itulah sabda Albert Camus. Kebebasan dan otonomi dapat kita temukan dalam perlawanan kita terhadap kekuatan-kekuatan yang telah melemahkan inisiatif dan daya cipta kita, meskipun kekuatan tersebut adalah takdir dari langit atau pun kekuatan negara yang sebenarnya jauh lebih kuat daripada kita. Karena tanpa perlawanan, maka eksistensi kita akan menjadi absurd. Otonomi dan kehendak bebaslah yang menentukan perbuatan manusia sehingga kelak ia bisa dimintai pertanggung jawaban oleh Tuhan atas segala perbuatannya. Paham “tuhan telah mati” harus dimengerti dalam konteks manusia modern yang ternyata masih

percaya kepada doktrin takdir, dan dari perkataan tersebut justru menunjukkan sisi religiositas Nietzsche yang oleh kebanyakan orang sering dianggap ateis dan murtad. Doktrin Nietzsche yang menyerang paham takdir berimplikasi pada tumbuhnya otonomi dan kehendak bebas manusia yang bisa memaksimalkan daya “kehendak untuk berkuasa”. Doktrin “tuhan telah mati” harus dihubungkan dengan ajaran Nietzsche tentang “kehendak untuk berkuasa”, hal inilah yang sering tidak dipahami oleh agamawan sehingga mereka sering salah tafsir tentang maksud sebenarnya dari tulisan Nietzsche. Maksud dari “kehendak untuk berkuasa” adalah usaha manusia untuk menguasai nafsu, insting, dan hasrat dalam dirinya di mana ia memiliki kendali dalam berpikir, berkata dan bertindak. Manusia menjadi subyek atas dirinya sendiri, ia tidak lagi dikuasai oleh naluri-naluri primitif dalam dirinya yang selalu merongrong kesadaran sehingga ia tidak terjerumus pada penghancuran diri sendiri. Manusia tidak lagi terasing dari diri dan ciptaannya sendiri. Perkataan Nietzsche bahwa “tuhan telah mati” membuat psikis manusia makin berkuasa terhadap dirinya sendiri, ia bertindak berdasarkan inisiatif dari dalam dan tidak ditentukan oleh kekuatan-kekuatan dari luar, maka ia memiliki karsa bebas yang otonom dan mandiri. Manusia yang dirasuki oleh “kehendak untuk berkuasa” memiliki mekanisme pertahanan diri dari serangan ideologi yang ditebarkan oleh masyarakat dan negara, ia tetap eksis berdiri, dan tidak terpengaruh oleh kebudayaan masyarakatnya, malah ia mempunyai kekuatan yang mampu mempengaruhi dan merubah tatanan masyarakat yang ada. Kehendak untuk berkuasa juga bisa diarahkan ke dunia luar untuk menjadi kendali bagi faktor-faktor yang selama ini menciptakan ketidakpastian dan ketidakberdayaan pada diri manusia, maka dengan hadirnya “kehendak untuk berkuasa”

161

162

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

manusia mampu mencapai titik tertinggi dari garis evolusinya sampai pada taraf unggul (Manusia Utama) atau sering disebut Insan Kamil (ubermensch).53 Humanisme Nietzsche mencita-citakan munculnya manusia utama. Insan Kamil atau Manusia Utama adalah konsepsi diri manusia yang bersifat historis dalam rentang evolusi ego manusia dari masa primitif hingga situasi terkini. Evolusi kesadaran (ego) manusia sangat ditentukan oleh faktor bagaimana ia mampu mengekang naluri kesenangan dalam psikisnya. Pengekangan kesenangan merupakan salah satu tahap penting dalam evolusi manusia menuju kesadaran paripurna. Dengan mengekang naluri kesenangan, manusia bisa tetap eksis sebagai spesies yang cerdas sehingga pengekangan naluri adalah kata kunci bagi evolusi manusia yang bisa menciptakan peradaban, sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh hewan dan makhluk hidup lainnya. Pengekangan kesenangan adalah aktualisasi dari “kehendak untuk berkuasa” atas dorongan-dorongan irrasional dari kawasan alam ketidaksadaran manusia. Dengan pengekangan, “Manusia Utama” akan mendapatkan kekuatan penuh dalam mengendalikan potensi-potensi alamiah dirinya, hal inilah yang menyebabkan Insan Kamil adalah tujuan sebenarnya dari doktrin humanisme. Insan Kamil adalah makhluk yang tidak mudah terpengaruh dan bergantung dengan dinamika kekuatan material. Insan Kamil tidak seperti kebanyakan manusia yang pada umumnya suka memperturutkan naluri kesenangan dalam dirinya sehingga mudah terpengaruh dan terkooptasi oleh kekuatan materi. Jika kita mampu mengekang kesenangan, maka kekuatan material tidak akan bisa mengkooptasi pikiran kita. Kita selama ini

terpengaruh dan dikooptasi oleh kekuatan material karena kita tidak dapat mengekang, menguasai, dan mengendalikan naluri kesenangan dalam diri. Materi dapat menghegemoni pikiran disebabkan adanya naluri kesenangan dalam diri kita. Naluri kesenangan sering menuntut untuk dipuaskan melalui kebutuhan-kebutuhan yang diciptakan oleh kekuatan material, atau dengan kata lain, kesenangan dipuaskan melalui barang-barang materi hasil produksi manusia. Maka, naluri kesenangan adalah roh dari materi. Pikiran dapat terbebas dari kekuatan materi apabila kita lebih dahulu terbebas dari naluri kesenangan. Terbebas dari naluri kesenangan bukan berarti kita membunuh naluri tersebut, kita hanya mengekang dan mengendalikanya saja. Naluri kesenangan tidak dapat dimusnahkan, karena ia merupakan asal-usul kehidupan kita. Dengan terus mengekang kesenangan, maka kesadaran (pikiran dan akal) bisa mencapai otonomi dan independensi dari pengaruh materi. Otonomi dan independensi pikiran mempunyai potensi kekuatan untuk mengatasi, mempengaruhi atau merubah materi. Inilah watak dasar dari kesadaran atau pikiran, ia lebih mendasar daripada materi. Pikiran manusia mampu melampaui tubuh yang menjadi bungkus bagi pikiran. Pikiran lebih substansial dibandingkan materi, karena materi adalah sekunder. Pikiran dapat terlepas dari ketergantungannya terhadap materi jika manusia berhasil dalam mendisiplinkan diri dalam mengekang naluri kesenangan. Apabila pikiran Insan Kamil telah mencapai otonomi dan independensi dari pengaruh materi, maka ia memiliki potensi untuk mengendalikan dan merubah materi. Manusia dengan kekuatan pikirannya dapat mengendalikan secara kinetik benda-benda di hadapannya. Rahasia dari kekuatan yang dapat merubah dan mengendalikan materi terdapat dalam kesadaran atau

53

St. Sunardi, Nietzsche, LKiS, Yogyakarta, 2006, hlm. 146-151.

163

164

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

pikiran manusia yang bisa terus menerus mengekang naluri kesenangan sehingga pikirannya mencapai otonomi dan independensi dari pengaruh kekuatan material. Ilmu pengetahuan berkepentingan dengan tesis di atas. Pengetahuan harus menemukan secara teknis bagaimana caranya pikiran bisa mengendalikan benda-benda materi di hadapannya. Dalam diri manusia ternyata terpendam kekuatan ”kemahakuasaan pikiran” (the omnipotence of thought)54 yang bisa diaktualisasikan ke dunia luar melalui

daya dukung ilmu pengetahuan. Kemahakuasaan pikiran adalah potensi yang dimiliki oleh manusia untuk mempengaruhi realitas di luar dirinya, semisal benda-benda material, hanya dengan menggerakkan pikirannya saja. Jadi, ”kemahakuasaan pikiran” sama dengan kekuatan magis (mukjizat) yang dapat mengendalikan dan memanipulasi benda-benda di luar dirinya hanya dengan kekuatan pikiran saja. Orangorang yang sedang mengalami kondisi dikuasai oleh kekuatan alam bawah sadar sering merasakan hadirnya perasaan kemahakuasaan pikiran. Perasaan akan adanya kekuatan kemahakuasaan pikiran adalah nyata dan riil,

54

“Kemahakuasaan pikiran” sebenarnya adalah daya kekuatan psikis yang dimiliki oleh orang-orang abnormal, seperti penderita psikotik dan neurotik. Menurut Freud, kemahakuasaan pikiran sering muncul bersamaan dengan delusi dan halusinasi. Kemahakuasaan pikiran merupakan gejala psikis yang berusaha mempengaruhi, mengendalikan, dan merubah realitas di dunia luar (semisal materi atau benda-benda) hanya dengan kekuatan psikis atau pikiran saja. Kemahakuasaan pikiran mirip dengan daya-daya magis. Kemahakuasaan pikiran dapat disamakan dengan kekuatan magis yang gagal. Meskipun daya kemahakuasaan pikiran dalam kasus orangorang abnormal tidak dapat menghasilkan kenyataan di dunia luar, namun perasaan yang dialami oleh orang-orang psikotik akan hadirnya kemahakuasaan pikiran adalah benar-benar riil. Dalam literatur filsafat Islam, Ibn Sina menamai kekuatan yang dapat mempengaruhi dan mengubah materi disebut dengan al-wahm al‘amil. Al-wahm al-‘amil merupakan bagian dari apparatus psikis yang terletak dalam wilayah subliminal atau ketidaksadaran (unconscious mind). Penulis merasa kalau teknologi suatu saat bisa menciptakan piranti bagaimana “kemahakuasaan pikiran” dapat direalisasikan dalam kenyataan, dan langkah pertamanya bisa dengan cara menelusuri bagaimana asal-usulnya kemahakuasaan pikiran muncul dalam alam pikiran manusia. Teknologi harus meneliti daya-daya psikis yang dimiliki oleh orang-orang yang dikuasai oleh alam bawah sadarnya, seperti dalam kasus gejala psikotik atau neurotik. Kita tahu kalau naluri kehidupan atau kesenangan berasal dari alam bawah sadar. Jadi asal-usul kehidupan kita memiliki awal pada naluri alam bawah sadar

yang misterius. Alam bawah sadar menyimpan misteri asal-usul kehidupan kita. Dan, apabila kekuatan alam bawah sadar bisa menciptakan materi, maka alam bawah sadar dalam hal ini merupakan jawaban bagi teka-teki awal mula munculnya energi atau materi. Alam bawah sadar bisa jadi merupakan asal-usul penciptaan energi (dalam menelusuri tesis ini pembaca bisa melihat tulisan penulis berjudul “Skizofrenia Kosmik” dalam buku selanjutnya). Menurut penulis, kemahakuasaan pikiran bisa muncul dalam psikis apabila pikiran kita dapat membebaskan diri dari pengaruh naluri kesenangan, atau dengan kata lain pikiran kita juga terbebas dari pengaruh kekuatan material. Orang yang terus menerus melatih diri dengan mengekang daya kesenangan dalam jiwanya akan lebih mudah dirasuki oleh kekuatan “kemahakuasaan pikiran”. Hanya saja, kemahakuasaan pikiran selama ini berada dalam kawasan alam bawah sadar kita, maka adalah tugas ilmuwan bagaimana caranya menarik “kemahakuasaan pikiran” agar masuk ke dalam kawasan kesadaran. Dengan menarik “kemahakuasaan pikiran” masuk ke dalam alam kesadaran kemungkinan besar daya-daya magis dari kemahakuasaan pikiran bisa terwujud dalam kenyataan. Ini adalah tahap awal dari pendayagunaan kemahakuasaan pikiran, yang seterusnya hanya dapat dilakukan oleh teknologi untuk mendukung agar pikiran lebih kuat dibandingkan dengan materi sehingga pikiran memiliki kemampuan mengendalikan dan mengubah secara kinetik benda-benda di luar kita.

165

166

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

hanya saja orang tersebut tidak bisa mengendalikan dan memfungsikan kekuatan tersebut agar menjadi nyata di dunia luar. Secara filosofis dan psikologis, pikiran yang telah bebas dari ketergantungan materi dengan cara terus menerus mengekang kesenangan mempunyai potensi magis (mukjizati), yaitu pikiran dapat mempengaruhi, mengendalikan, dan merubah benda-benda material di dunia luar, hanya saja ilmu pengetahuan belum menemukan teknologi yang tepat bagaimana caranya mendayagunakan pikiran tersebut agar bisa mengendalikan secara kinetik benda-benda material di hadapan kita. Pengetahuan sains dan teknologi harus mencari jawaban kenapa manusia bisa merasakan kehadiran ”kemahakuasaan pikiran”, namun ia tidak bisa memfungsikan kekuatan tersebut agar bekerja nyata di dunia luar sehingga kelak ”kemahakuasaan pikiran” merupakan rancangan teknologi yang bisa diwujudkan dalam dunia nyata dan tidak hanya dirasakan dalam psikis kita saja. Akhirnya, kekuatan magis tidak lagi menjadi bualan, pseudo-science atau mitos melulu namun dapat direalisasikan menjadi ilmu pengetahuan dan teknologi yang berbasiskan pada daya-daya psikis alam bawah sadar. Konsep Insan Kamil tidak perlu dikaitkan dengan unsur-unsur yang bersifat mistis, supranatural dan kegaiban karena manusia hidup dalam ruang sejarah yang nyata.55 Insan Kamil adalah makhluk yang mendarah daging dalam realitas dunia. Insan Kamil harus

diformulasikan dalam ruang sejarah sesuai dengan perkembangan struktur dasar masyarakat. Insan kamil adalah manusia historis, bukan insan metafisik yang melampaui batas-batas alam. Insan Kamil tercermin dalam diri manusia yang kuat fisik sekaligus psikisnya. Menurut penulis, apabila manusia telah mencapai predikat ”Insan Kamil”, ia bisa menjadi pusat sejarah dan alam semesta. Manusia merupakan miniatur sejarah dan alam semesta. Dalam diri ”Manusia Utama” terdapat makna dan tujuan diciptakannya sejarah dan alam semesta. Tanpa adanya ”Manusia Utama” penciptaan sejarah dan alam semesta akan terasa sia-sia, karena sejarah dan alam semesta tidak bisa menjelaskan eksistensi diri mereka sendiri. Manusialah yang memberi makna dan tujuan eksistensi sejarah dan alam semesta. Manusia jenis ini memiliki keutamaan (arete’) yang menjadi tujuan dalam dirinya sendiri, ia mempunyai watak yang kuat sehingga ia tidak digelisahkan oleh penderitaan dan ketidakmampuan dalam mencapai kebahagiaan, karena kebahagiaan terdapat dalam keutamaan itu sendiri, bukan di luarnya. Ia bersifat otonom, mandiri dan tidak tergantung dengan eksistensi di luar dirinya, ia otentik dan berwatak alamiah.56 Predikat Insan Kamil akan tercapai apabila manusia telah mampu menundukkan dorongan-dorongan primitif (naluri kesenangan dan agresivitas) dalam dirinya yang berasal dari alam ketidaksadaran (unconscious mind)

56

Penulis menolak konsepsi Insan Kamil yang didefinisikan oleh para ahli tasawuf, semisal Ibn ‘Arabi. Konsepsi Insan Kamil atau Manusia Utama yang diformulasikan oleh para ahli tasawuf cenderung kabur dan autis, karena didefinisikan secara metafisik dan mistis, bukan berdasarkan kualitas dan potensi kemampuan manusia yang nyata, baik secara fisik maupun psikis.

Maksud dari kalimat bahwa Insan Kamil tidak tergantung dengan kekuatan-kekuatan dari luar bukan berarti manusia sama sekali tidak membutuhkan benda-benda di luar dirinya, melainkan manusia tidak lagi bergantung pada kekuatan dari luar yang justru mengaburkan watak alamiah dan eksistensi dasarnya. Dalam hal ini, manusia tetap membutuhkan benda-benda di luar dirinya sebagai ciri yang alamiah, asalkan kebutuhan tadi tidak mencemarkan watak dan akal budi kita.

167

168

55

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

sehingga ia tidak dikendalikan oleh naluri dan nafsu yang menjadi sumber konflik umat manusia. Ia mampu membebaskan kesadarannya dari kooptasi kekuatan material. Kekuatan material inilah yang sering mengendalikan gerak dinamika masyarakat dan negara, dengan begitu Manusia Utama harus berdiri di luar negara dan masyarakat sehingga dapat menilai dan melancarkan kritik-perlawanan terhadap kecenderungan dan gejala yang ada pada negara dan masyarakat tersebut. ”Manusia Utama” memiliki kesadaran yang kritis di mana ia tidak melihat kenyataan dari penampakannya saja, karena apa yang nampak dari kenyataan sering menipu dan menyembunyikan kecacatan. Tatanan masyarakat yang ada secara sembunyi-sembunyi menyimpan ketimpangan material dan kontradiksi. Insan Kamil mampu menembus kabut yang sering menutupi realitas yang sedang terjadi. Penglihatan ini diperoleh melalui kesadaran yang telah mencapai predikat otonom dan autarkia. Di samping bersifat etis, psikologis, dan kritis, Insan Kamil juga berwatak sosiologis, yaitu dengan kesadaran (consciousness) yang eksistensial, otentik dan bebas dari pengaruh ideologi yang berkembang dalam masyarakat dan negara, ”Manusia Utama” justru mampu mempengaruhi masyarakat dengan membangun tatanan baru, terus memegang kendali arah masyarakat sehingga ia cenderung menjadi subyek sejarah, dan bukan budak sejarah. Manusia Utama selalu tidak puas dengan situasi dan kondisi yang sedang terjadi dalam masyarakatnya. Hidupnya selalu dirundung kegelisahan melihat nasib kaumnya. Tujuan hidupnya bukan sekedar mencapai kebahagiaan, melainkan realisasi dan aktualisasi diri dalam gelombang sejarah. Ia bekerja demi alam semesta. Sebagaimana munculnya para Nabi yang melahirkan agama-agama dunia, Manusia Utama adalah agen universal bagi perubahan sejarah dan masyarakat.

Dalam pandangan Materialisme-Sejarah, pikiran atau kesadaran manusia lebih ditentukan oleh kekuatan materi. Tesis ini tercermin dalam tulisan Marx yang menyebutkan bahwa bukannya kesadaran yang menentukan materi, tetapi kekuatan materilah yang menentukan kesadaran manusia. Tesis Marx ini mengandung kebenaran dan bisa menjelaskan fenomena kehidupan manusia pada umumnya. Yaitu, manusia cenderung untuk tunduk dan mudah terpengaruh oleh kekuatan materi. Kehidupan manusia sering dikendalikan oleh kekuatan materi dalam sejarah. Dalam skala yang lebih luas, struktur dasar masyarakat di mana individu hidup di dalamnya ternyata digerakkan oleh kekuatan material dalam sejarah. Kesadaran manusia sering ditentukan oleh kekuatankekuatan dari luar. Hal ini mengakibatkan manusia tidak lagi memiliki otonomi dan kebebasan, karena ia tidak lagi dikendalikan oleh elan vital dari dalam dirinya sendiri melainkan oleh kekuatan-kekuatan impersonal dari luar. Ketika kesadaran manusia tenggelam oleh kekuatan material, ia mudah menjadi makhluk yang anonim dan tanpa kepribadian. Keutamaan tidak lagi diukur oleh kebajikan dan nilai-nilai yang intrinsik dalam diri manusia itu sendiri. Keutamaan diukur oleh seberapa banyak atribut yang menempel dalam eksistensinya, semisal mobil, uang, wanita, kekuasaan, mode, fashion, prestise, dan sebagainya. Ini adalah cermin dari kecenderungan manusia yang mudah terpengaruh oleh kekuatan material. Materialisme-Sejarah menjelaskan bahwa kesadaran manusia merefleksikan kekuatan material dari luar. Kesadaran yang dimiliki oleh orang pada umumnya tidak mencerminkan otonomi dan kebebasan manusia. Materialisme-Sejarah bisa menjelaskan fenomena kehidupan manusia pada umumnya yang mudah terpengaruh oleh daya pikat dan sensasi materi. Namun secara tersirat, yang ingin dilakukan oleh Marx justru adalah kebalikan

169

170

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

dari apa yang telah ia katakan. Ia ingin membebaskan manusia dari ketergantungannya dengan materi. Agar terbebas dari kungkungan materi, manusia membutuhkan pengetahuan bagaimana materi dalam sejarah selalu mengalami perubahan dan dinamika dalam mempengaruhi kesadaran kita. Kekuatan material selalu mengalami evolusi dan modifikasi dalam sejarah. Penyelesaian atas penderitaan manusia yang selalu dijajah oleh kekuatan materi terletak pada kekuatan materi itu sendiri. Perubahan dalam sistem produksi atau ekonomi merupakan kata kunci bagi penyelesaian atas keterasingan manusia terhadap ciptaannya sendiri. Maka menurut Marx, agar kita lepas dari penderitaan yang disebabkan oleh sistem produksi maka perubahan sistem produksi itu sendiri merupakan jawaban bagi penyelesaian kontradiksi ekonomi. Idealisme Marx berakar dalam uraian-uraian yang didasarkan pada prinsip-prinsip materialisme sejarah. Namun menurut penulis, akar-akar yang menciptakan penderitaan pada manusia bukan sekedar berasal dari kekuatan material melainkan pada naluri-naluri kesenangan manusia itu sendiri. Kekuatan materi bisa mempengaruhi kesadaran manusia karena dalam diri manusia terdapat naluri kesenangan yang harus dipuaskan melalui benda-benda material. Meskipun kebanyakan manusia mudah terpengaruh oleh kekuatan materi, namun tetaplah ada orang-orang yang justru tidak mudah terpengaruh oleh daya pikat materi. Orang-orang ini memiliki watak yang kuat karena ia selalu berusaha mengekang kesenangan dalam dirinya sehingga ia tidak mudah terpengaruh oleh kekuatan materi. Kesadaran mereka mampu mencapai independensi, otonomi dan kebebasan dari determinasi kekuatan material. Kesadaran mereka tidak lagi mencerminkan kekuatan material dari luar melainkan memancarkan eksistensi manusia yang otonom dan mandiri. Hal ini mengakibatkan mereka

memandang keutamaan tidak terletak pada atribut-atribut di luar eksistensi manusia, melainkan ada dalam diri manusia itu sendiri, semisal kebajikan, pengetahuan, kebebasan, dan kemanusiaan. Orang-orang yang tidak dikendalikan oleh kekuatan materi dari luar cenderung memiliki kendali terhadap naluri-naluri dalam dirinya sendiri. Mereka adalah tuan dalam rumahnya sendiri. Mereka adalah subyek sejarah. Mereka adalah manusiamanusia pengubah sejarah dan penentu gerak zaman. Dengan kesadarannya yang otonom, mereka bukannya ditentukan oleh kekuatan materi namun justru memiliki kekuatan untuk mengendalikan dan merubah fenomena material yang ada di luar mereka, seperti fenomena sosial atau benda-benda material itu sendiri. Kekuatan untuk merubah fenomena sosial dan benda-benda material yang ada dihadapan mereka berasal dari upaya mereka untuk terus menerus mengekang naluri kesenangan dalam diri mereka sendiri. Mereka adalah kebalikan dari manusia yang pada umumnya dikuasai oleh kekuatan material. Orang-orang yang kita sebutkan ciri-cirinya tadi bisa disebut sebagai Manusia Utama atau Insan Kamil. Mereka adalah produk evolusi moral dalam rentang sejarah manusia. Dengan memiliki kesadaran yang otonom, dewasa, dan berwatak alamiah, nilai-nilai agama baru harus bisa memulihkan hubungan timbal balik antar sesama manusia dan alam semesta bukan berdasarkan pakta dominasi dan eksploitasi melainkan dilandasi dengan komunikasi yang bebas paksaan dan kesamaan derajat. Agama baru memandang kesadaran yang berpusat pada subyek bukan sebagai alat dominasi terhadap obyek, semisal alam dan lingkungan, namun sebagai syarat agar terjadi hubungan timbal balik yang sederajat antara manusia dan alam lingkungannya. Humanisme tidak bisa diartikan sebagai dominasi manusia atas sesamanya dan alam semesta,

171

172

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

sebagaimana sering dituduhkan pada filsafat kesadaran Descartes. Memang humanisme bisa mengubah manusia yang pada mulanya kerdil dan kecil di hadapan sejarah menjadi pribadi baru dan tuan alam semesta, namun makna menjadi tuan alam semesta bukan berarti alam semesta berubah menjadi obyek eksploitasi bagi manusia. Manusia dan alam semesta merupakan partner yang setara dalam menyambut amanat Tuhan. Manusia dan alam semesta sebenarnya bersifat organis, kerusakan yang terjadi pada manusia pastilah akan merembet pada kerusakan alam semesta, begitu juga sebaliknya. Humanisme merupakan interaksi timbal balik antar sesama manusia dan alam semesta berdasarkan kesetaraan dan pemahaman yang mungkin berbeda. Humanisme yang bersanding dengan fenomena alam semesta beserta isinya adalah eksistensi manusia yang sebenarnya. Manusia tidak dapat hidup sendirian tanpa adanya hubungan timbal balik dengan alam dan makhluk hidup lainnya. Humanisme adalah tujuan utama dari munculnya agama. Humanisme menjadikan manusia sebagai tujuan dalam dirinya sendiri dan bukan merupakan alat untuk mencapai tujuan lain. Humanisme muncul ketika kebanyakan manusia sudah menjadi individu-individu yang tidak berdaya di hadapan kebudayaan yang mereka ciptakan sendiri. Negara dan masyarakat yang bertopang pada kekuatan material telah berubah menjadi fakta eksternal yang justru melemahkan kesadaran dan kebebasan manusia. Eksistensi manusia yang mudah tenggelam oleh kekuatan material dan naluri kesenangan membutuhkan elan vital dari humanisme. Humanisme merupakan manifestasi dan realisasi potensi-potensi kemanusiaan yang harus terwujud di dunia berdasarkan otonomi dan kebebasan, karena humanisme tanpa otonomi dan kebebasan hanyalah hantu yang sia-sia. Humanisme berusaha membebaskan sebesar mungkin energi kreatif

dalam diri manusia yang selama ini terbelenggu oleh pengaruh kekuatan material dan naluri alam bawah sadar. Usaha pembebasan di atas membutuhkan peran nilai-nilai agama. Tapi, agama seringkali mengalami krisis karena nilai-nilai yang diformulasikannya telah membeku menjadi kumpulan dogma yang definitif sehingga tidak mampu menjawab kenyataan sosial yang ada. Tidak hanya manusia saja yang bisa mengalami kondisi sakit, agama pun bisa mengalami kondisi patologis, bahkan agama sering menjadi sumber motif perilaku abnormal. Pengetahuan dan filsafat dapat membantu agama dalam mengatasi krisis inhern dalam dirinya. Pengetahuan dan filsafat bisa menyingkirkan gejala-gejala patologis dalam nilai-nilai agama yang telah kehabisan tenaganya, namun filsafat dan pengetahuan tidak bisa menggantikan posisi dan peran agama. Filsafat dan ilmu pengetahuan bisa menjadi alat kritik terhadap agama yang sudah tidak mampu menjadi alat emansipasi manusia, tapi keduanya tidak bisa berdiri sendiri dalam melakukan fungsi pembebasan tanpa kehadiran spirit agama. Bentuk pembebasan dari gerakan agama baru berbeda dengan Marxisme, karena kelemahan utama Marxisme adalah ia berusaha menjadi suatu ”agama baru” namun ia menolak eksistensi agama yang bisa memiliki nilai-nilai moral otonom terlepas dari kekuatan material dalam sejarah. Marxisme menganggap agama sebagai bangunan atas (superstructure) yang ditentukan oleh bangunan bawah (base), yaitu kekuatan material. Definisi ini diperoleh Marx dari analisanya terhadap peran agama yang ada pada waktu itu. Marxisme menjadi suatu pseudo-agama dengan menolak eksistensi agama itu sendiri, karena Marx lebih mengunggulkan pengetahuan positif di atas agama. Agama yang berkembang pada zaman Marx adalah agama yang sakit karena bukannya menjadi alat emansipasi, malah melarikan manusia dari kenyataan yang sedang terjadi.

173

174

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

Marxisme tidak bisa mengapresiasi nilai-nilai agama, karena fakta agama yang dilihatnya pada waktu itu justru mengaburkan manusia dari realitas. Marx melihat agama pada masa itu tenyata tidak mampu melaksanakan tugas yang seharusnya dilakukan. Marx hanya menilai agama dari sisi negatifnya saja, ia gagal melihat sisi lain dari agama yang sehat dan dinamis. Marxisme terlalu meremehkan etika agama, sehingga ia menundukkan agama di bawah ketiak determinasi ekonomi, padahal etika yang otonom bisa menjadi kendali atas kekuatan material, asalkan saja etika tersebut mendasarkan diri pada kesadaran (consciousness). Dengan memanfaatkan kritik filsafat dan ilmu pengetahuan terhadap dasar-dasar agama, agama yang lebih maju harus didasarkan pada kekuatan kesadaran manusia (consciousness) dan bukannya pada fakta ketidaksadaran sebagaimana bentuk agama-agama dunia (Islam, Kristen, Yahudi) selama ini, karena adanya kesadaranlah maka humanisme yang berbasiskan otonomi dan kebebasan bisa dimungkinkan. Kesadaran (consciousness) yang menjadi landasan etika agama tidak bisa diartikan hanya sekedar kekuatan intelektual melulu. Kesadaran adalah horison psikis yang tidak hanya berisi alat kognitif atau intelektual belaka. Dengan mendasarkan etika agama pada pondasi kesadaran, maka etika agama akan memiliki kekuatan wawasan dan pertimbangan, sesuatu yang tidak dimiliki oleh etika agama tradisional, semisal Islam, Kristen, dan Yahudi, karena ketiganya melandaskan bentuk etika agama pada pondasi ketidaksadaran. Dengan mendasarkan etika agama pada pondasi kesadaran, maka agama tersebut memiliki potensi sebagai subyek atau kendali sejarah, karena hilangnya kendali kita atas kebudayaan yang kita ciptakan sendiri bermula dari kesadaran yang terdistorsi atau termanipulasi. Maka kesadaran yang otonom dan independen adalah instrumen bagi kendali sejarah. Etika

agama yang bertopang pada kesadaran tidak lagi ditentukan oleh kekuatan-kekuatan manipulatif dari luar atau pun naluri-naluri primitif dari dalam psikis manusia itu sendiri. Agama baru yang bertopang pada landasan kesadaran harus hadir sebagai manifestasi kendali atas kebudayaan masyarakat yang ternyata sering bergerak berdasarkan hukum-hukumnya sendiri sehingga berpotensi menciptakan alienasi pada diri manusia. Apabila kebudayaan masyarakat telah terpisah dari kendali manusia, ia merupakan fakta obyektif di luar manusia yang bersifat determinatif dan bisa berubah menjadi ideologi yang mampu mengkooptasi kesadaran manusia itu sendiri. Maka, usaha agama baru untuk membebaskan kesadaran manusia yang terkooptasi oleh ideologi yang berasal dari determinasi kekuatan material (Marxian) dan delusi naluri kesenangan yang berasal dari alam bawah sadar atau ketidaksadaran (Freudian) adalah upaya mengembalikan kendali sejarah ke tangan manusia. Kesadaran sejati adalah kekuatan yang membentuk otonomi dan kebebasan sehingga tindakan moral muncul dari dalam kekuatan manusia itu sendiri dan bukan oleh kekuatan yang berasal dari luar manusia. Eksistensi manusia ditentukan oleh dirinya sendiri, dan bukan oleh kekuatan-kekuatan lain. Hal ini tentu bisa dimungkinkan apabila kesadaran manusia memiliki ”kehendak untuk berkuasa” (Nietzschean) terhadap daya-daya nalurinya sendiri maupun terhadap faktor-faktor ketidakpastian dan ketidakberdayaan yang diciptakan oleh kekuatan material yang ada di luar dirinya. ”Kehendak untuk berkuasa” yang dicetuskan oleh Nietzsche merupakan jawaban bagi keadaaan manusia yang selama ini dibelenggu oleh nalurinaluri dalam dirinya sendiri dan strukturasi kekuatan material dari dunia luar. Kekuatan inilah yang diharapkan menjadi titik tolak dalam mengarahkan kebudayaan, masyarakat, dan negara sehingga kita bisa terhindar jatuh

175

176

Ideologi, Fermentasi Religius dan Gerakan Agama Baru

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

dari kubangan absurditas dan nihilisme. Etika yang benar harus bisa membebaskan sebesar mungkin wawasan moral manusia yang selama ini tenggelam oleh kekuatan material. Etika harus bisa memperbesar kekuatan manusia untuk menjadi subyek sejarah. Etika yang benar pasti mampu mengalahkan ketidakadilan di dunia. Apabila etika agama malah dipecundangi oleh ketidakadilan, dan menyandarkan kemenangannya di akhirat, lalu apalah guna etika agama apabila ia tidak bisa menjadi kekuatan yang memungkinkan manusia mencapai kemenangannya di dunia. Agama yang tidak mampu mewujudkan sendiri kemenangannya di dunia adalah agama orang buangan atau budak, yaitu agama orang-orang yang kalah karena ia sering menjadikan kehidupan akhirat sebagai kedok atau topeng yang menyembunyikan ketidakmampuannya untuk mencapai keluhuran dan kemenangannya di dunia. Kalau agama tidak mampu merealisasikan tujuannya di dunia, lalu bagaimana kita bisa menguji kebenaran ajaran agama tersebut?

177

178

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

IV

ASAL-USUL AGAMA DAN KETIDAKSADARAN Kondisi-kondisi psikologi skizofrenik yang disebabkan merasuknya alam bawah sadar pada diri manusia menjadi dasar bagi munculnya animisme, magi, naturisme, dan totemisme. Agama muncul sebagai mekanisme pertahanan diri (self-defense mechanism) dalam menghadapi ketidakpastian dan ketidakberdayaan hidup, ia juga merupakan fantasi imajiner yang diciptakan oleh individu-masyarakat agar mereka tetap hidup dalam menghadapi kemalangannya di dunia, terutama karena kemiskinan.

Membahas fenomena agama berarti kita sedang membicarakan sebuah tema yang sangat kompleks dan misterius. Tema yang menguras habis enersi para pengamat dan penelitinya. Mereka telah melakukan studi tentang agama dengan pendekatan yang beragam, namun sampai sekarang studi tentang agama seolah-olah tiada habisnya untuk diteliti dengan menggunakan pendekatanpendekatan baru. Meskipun fenomena agama adalah hasil kebudayaan kuno yang telah memfosil, ia masih layak dan berhak mendapatkan tempat istemewa di mata para ahli ilmu pengetahuan. Penelitian agama telah menghasilkan berjuta-juta buku yang semakin mengukuhkan bahwa agama adalah fenomena yang misterius, abadi dan kontroversial. Apalagi kalau kita ditanya, kapan dan

bagaimana agama itu lahir? Dari manakah asal-usul agama itu? Apakah sebab atau impuls-impuls yang menciptakannya? Dan bagaimanakah ia bisa menjadi seperti sekarang ini? Tentu akan lebih memancing rasa ingin tahu kita sehingga wajar kalau agama layak untuk mendapatkan studi yang cermat dan serius. Kini, agama sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kebudayaan manusia. Dalam kenyataannya, agama memang memiliki pengaruh yang sangat mendalam terhadap kehidupan manusia. Agama mampu menghibur manusia dari kesedihan, membantu manusia dalam menghadapi kesukaran hidup yang disebabkan hubungannya dengan alam dan sesamanya. Agama dipercaya dapat menciptakan tata tertib masyarakat sekaligus meneguhkan komitmen manusia akan moralitas bahkan agama bisa membantu kelahiran peradaban, dan masih banyak lagi manfaat lain dari agama dalam kehidupan manusia. Namun, pernahkah terlintas dalam benak kita kalau ajaran agama juga bisa membawa patologi terhadap umat manusia? Pernahkah kita berpikir kalau agama bisa menjadi sumber penyakit abnormal?57 Sejarah munculnya wahyu pada diri nabi-nabi agama besar mengisyaratkan kalau akar-akar agama ternyata bersandar pada kondisi-kondisi abnormal. Karena agama bersandar pada kondisi-kondisi abnormal, ia tentu bisa mengaburkan penganutnya dari realitas yang sebenarnya. Agama juga sering menjadi kedok bagi penyaluran naluri-naluri primitif manusia, semisal agresivitas. Dalam hal ini, radikalisme atau fundamentalisme benar-benar berakar dalam agama itu sendiri, dan bukannya sekedar ketidakmampuan manusia dalam memahami agama. 57

Bernard Spilka, The Psychology of Religion, Prentice-Hall, New Jersey, 1985, hlm. 305.

2

Asal-Usul Agama dan Ketidaksadaran

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

Fundamentalisme dan radikalisme bukan disebabkan para penganut agama yang salah memahami agama, melainkan agama itu sendiri memiliki benih-benih yang memancing naluri agresivitas untuk disalurkan dalam bentuk kekerasan atas nama agama. Akar-akar agama yang terletak pada kondisi abnormal mampu memanipulasi kesadaran kita sehingga kita tidak lagi berpijak dalam realitas. Agama bisa berbahaya karena dalam formulasi ajaran-ajarannya ternyata mengandung benih-benih penyakit psikologis. Bukan hanya kita saja yang bisa terkena penyakit, agama pun tidak bisa sepenuhnya terhindar dari virus-virus penyakit patologis. Di sini penulis memahami agama bukan sekedar nilai-nilai moral yang diidealkan, tetapi bagaimana agama hidup dalam kenyataan sosial dan pengaruhnya terhadap perilaku manusia. Selain membawa banyak manfaat, agama juga sering mengandung patologi yang melahirkan rasa sakit pada diri kita, tetapi kebanyakan manusia tidak menyadarinya. Sejarah telah menuliskan tinta merah bagaimana agama telah memusuhi sikap ilmiah dan pikiran kritis manusia. Agama juga mampu membutakan nalar sehingga terjadilah peperangan antar pemeluk agama yang memakan korban banyak nyawa manusia. Dalam hal ini, agama menjadi kedok bagi agresivitas yang selalu ditekan oleh kita. Agama kadang terlalu menuntut lebih idealisme sehingga mengingkari kodrat manusia itu sendiri, dan masih banyak lagi dampak yang lainnya. Halhal negatif di atas sedikit pun tidak mampu memisahkan manusia dengan agama sehingga memunculkan pertanyaan; bagaimanakah agama bisa sedemikian erat menjadi kawan abadi manusia meskipun kadang agama membawa kesusahan dan penderitaan bagi manusia itu sendiri? Mengapa agama masih dipeluk oleh umat manusia meskipun banyak ajarannya sudah tidak sesuai dengan kebenaran ilmiah? Dan, sisi manakah dari agama yang

mengandung patologi dan berpotensi memunculkan efek negatif terhadap manusia? Pertanyaan-pertanyaan di atas memang terasa sangat menyengat bagi orang-orang yang tidak terbiasa dengan studi agama yang kritis dan natural. Agama tidak akan pernah layu hanya disebabkan mendapat kritik pedas dari manusia amatir seperti penulis buku ini. Dalam perjalanannya, agama telah mengarungi lautan kritik dan hujatan dari para sarjana agama, baik dari kalangan filsuf, pakar politik, ahli psikologi, ilmuwan sains, antropolog ataupun sosiolog. Sejarah peradaban Barat telah berusaha membunuh agama berkali-kali namun sedikit pun tidak ada tanda-tanda bahwa agama akan menghilang dari dunia manusia. Hal inilah yang mengundang rasa ingin tahu penulis untuk melakukan studi yang lebih cermat tentang asal-usul dan dasar-dasar agama yang memungkinkannya bertahan dan makin berpengaruh dalam kehidupan manusia. Dalam tulisan ini, penulis akan menelusuri berbagai macam teori yang berusaha untuk menerangkan dan mencari asal-usul agama, mulai dari Animisme E.B. Tylor, Agama Magi J.G. Frazer, Naturisme Max Muller, Totemisme dari Psikoanalisa Sigmund Freud, Fungsionalisme Malinowski dan Agama sebagai Alienasi dari Karl Marx. Teori-teori ini akan sangat membantu kita dalam memahami karakter dasar dari agama agar kita mampu menembus kabut tebal yang selama ini menutupi watak asli dari agama. Dengan menemukan watak asli dari agama, memungkinkan bagi kita untuk bisa bersikap adil padanya dan mendorong bagi para pemeluk agama untuk bisa beragama dengan lebih baik. Penulis berusaha untuk menyatukan semua teori-teori di atas melalui impuls ketidaksadaran atau alam bawah sadar manusia. Dalam hal ini penulis menggunakan kerangka pemikiran Psikologi-Analitis Carl Jung (1875-

3

4

Asal-Usul Agama dan Ketidaksadaran

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

1961) yang merumuskan bahwa sumber dan asal-usul agama terletak pada psikis alam bawah sadar atau ketidaksadaran manusia, (unconscious mind). Jung memasukkan fenomena mimpi, keadaan psikotik, delusi, halusinasi, kesurupan dan bahkan kegilaan sebagai fakta yang religius, karena fenomena-fenomena ini merupakan bagian dari dinamika ketidaksadaran yang sedang menguasai psikis manusia. Agama memiliki akar-akar pada setiap keadaan ketika manusia berada dalam kontrol psikis ketidaksadaran, karena pada saat itu manusia dianggap sedang dikuasai oleh kekuatan asing yang ada di luar kendalinya. Kekuatan-kekuatan asing ini sering diterjemahkan sebagai campur tangan dunia gaib yang bersifat ilahiah sehingga ketika manusia dikuasai oleh alam bawah sadar dapat dianggap bahwa peristiwa tersebut merupakan fakta atau fenomena yang religius dan transendental. Kekuatan-kekuatan ketidaksadaran yang menguasai psikis seseorang bisa menjadi obyek penyembahan dan pemujaan setelah kekuatan ini diobjektivikasikan atau diproyeksikan ke dunia luar serta mendapatkan personifikasi atau atribut personal, dari proses inilah muncul ide tentang tuhan, dewa, malaikat, setan dan makhluk spiritual lainnya. Sebenarnya, konsep tuhan, dewa-dewa, roh-roh dan jin berasal dari objektivikasi ke dunia luar atas kekuatan-kekuatan psikis manusia itu sendiri pada saat dikuasai oleh ketidaksadaran yang kemudian mendapat atribut personal sesuai dengan kepribadian manusia, kemudian diinternalisir kembali seolah-olah wujudnya riil dan eksis di dunia nyata. Asalusul makhluk spiritual seperti roh, jin, setan, malaikat dan bahkan tuhan dapat ditelusuri dalam daya-daya psikis manusia itu sendiri. Sumber agama yang terletak dalam dunia alam bawah sadar ini bukanlah asal-usul yang pasif, karena manusia

menghadapi realitas yang berbeda-beda, maka ketika psikis manusia dikuasai oleh dinamika alam bawah sadarnya ia mengekspresikan diri berdasarkan realitas yang berbedabeda itu, sehingga menghasilkan bentuk agama yang berbeda-beda pula, semisal animisme, naturisme, totemisme, magi, dan sebagainya, meskipun sebenarnya bentuk-bentuk agama ini berasal dari sumber yang sama, yaitu alam bawah sadar manusia. Berbagai bentuk agama yang berbeda-beda ini ternyata dapat ditarik asal-usulnya pada impuls yang bersifat elementer yaitu alam bawah sadar, namun impuls ini bukanlah satu-satunya penyebab karena impuls alam bawah sadar yang membentuk agama tentulah bercampur dan berkolaborasi dengan faktor-faktor lain sehingga agama merupakan satu kesatuan yang bersifat kompleks dan rumit. Penulis tidak dalam usaha untuk melakukan reduksi atau over-determinasi atas fenomena agama yang begitu kompleks dan tidak bisa ditelusuri hanya dari satu impuls saja, penulis hanya menemukan fakta bahwa ketidaksadaran atau alam bawah sadar merupakan salah satu unsur kompleksitas dan sarana bagi munculnya benih-benih agama. Kemudian, yang menjadi salah satu penelusuran penulis dalam buku ini adalah bagaimana asal mulanya fenomena mimpi, delusi dan setiap keadaan-keadaan psikis yang dikuasai oleh alam bawah sadar atau ketidaksadaran dianggap sebagai fakta atau fenomena yang bersifat ilahiah dan merupakan bagian dari pewahyuan? Bukankah fenomena mimpi, delusi dan dinamika alam bawah sadar merupakan kekuatan yang dapat mengaburkan dan memanipulasi kesadaran (consciousness) sehingga manusia bisa teralienasi dan tercerabut dari realitas yang sebenarnya? Bagaimana mungkin agama yang menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran, kebajikan, keadilaan dan kasih sayang dapat menopangkan dirinya pada landasan mimpi, delusi dan halusinasi karena pada faktanya agama-agama

5

6

Asal-Usul Agama dan Ketidaksadaran

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

dunia, seperti Islam, Kristen dan Yahudi berasal dari ajaran-ajaran para Nabi-nya yang memperoleh wahyu melalui keadaan-keadaan ketidaksadaran, semisal lewat mimpi, delusi, halusinasi dan kesurupan (possession)? Bukankah dengan mendasarkan nilai-nilai moral pada topangan ketidaksadaran bisa membawa kita pada tesis bahwa agama-agama ini sebenarnya memiliki asal-usul dan akar-akar kekacauan psikologis, bisakah kita mengakui dan menghindar dari tesis ini? Kalau memang bentuk agama Islam, Kristen dan Yahudi ternyata menopangkan nilainilai moralnya pada fundamen ketidaksadaran sehingga dari segi asal-usulnya bisa mengandung kekacauan psikologis dan mampu mengaburkan manusia dari realitas, mungkinkah bagi kita untuk memformulasikan kembali bentuk “agama baru” yang menopangkan nilai-nilai moralnya pada fundamen non-ketidaksadaran sehingga kita bisa terlepas dari distorsi yang diakibatkan oleh dinamika ketidaksadaran?

E.B. Tylor hidup pada masa ilmu pengetahuan sedang berkembang subur di Eropa. Sains ilmiah pada waktu itu telah menjadi keyakinan baru bagi para sarjana dan berusaha untuk diterapkan metodologinya pada wilayah kajian lainnya, seperti sosiologi, antropologi, psikologi dan yang lainnya. Determinisme ilmiah diimani sebagai syahadat bagi para ilmuwan untuk meneguhkan superioritas ilmu pengetahuan atas agama. Pada saat Tylor mulai melakukan studi yang cermat, buku Charles Darwin, Origin of Species (1859) telah terbit dan menciptakan kontroversi yang tiada habisnya. Ide tentang evolusi menjadi buah bibir di mana-mana dan mulai mempengaruhi suasana intelektual di Eropa, termasuk di dalamnya pemuda Tylor. Konsep evolusi kemudian merembes dalam wilayah studi lainnya, bahkan Tylor menjadikan evolusi sebagai kerangka tahapan agama dalam bukunya Primitive Culture.59 Animisme adalah teori pertama yang dirumuskan secara sistematis untuk mengulas tentang bentuk paling elementer dari agama. Dalam pengertian evolusi agama, bentuk yang diteliti adalah agama yang dianggap paling primitif. Teori animisme merupakan studi antropologi yang memiliki basis psikologis yang kuat. Animisme, dalam pengertian sempit, adalah teori mengenai konsep-konsep psikis (jiwa) yang ada dalam diri manusia yang kemudian diproyeksikan ke dunia luar dan mendapatkan atribut personal, dan dalam bentuk yang lebih luas adalah teori tentang makhluk spiritual secara umum.60 Tylor mula-mula berusaha mendefinisikan animisme sebagai; …belief in spiritual beings, yaitu sebuah kepercayaan pada makhluk

A. Animisme Yang pertama adalah animisme. Teori animisme biasanya diidentikkan dengan sosok peneliti yang belajar sendiri tanpa pernah masuk ke universitas, yaitu Edward Burnett Tylor (1832-1917). Banyak yang menganggap kalau ia adalah pendiri antropologi sosial di Inggris. Tylor lahir dari keluarga Quaker yang merupakan salah satu aliran sekte dalam agama Protestan. Karyanya yang terkenal adalah Primitive Culture, suatu studi yang terdiri dari dua volume besar yang kemudian menjadi karya besarnya dalam studi peradaban manusia.58

59

58

Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, Qolam, Yogyakarta, 2001, hlm. 27-29.

7

Ibid, hlm. 31. Sigmund Freud, Totem dan Tabu, Jendela, Yogyakarta, 2001, hlm. 122. 60

8

Asal-Usul Agama dan Ketidaksadaran

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

spiritual.61 Ini merupakan definisi minimum yang bertujuan untuk merangkul semua bentuk agama sehingga animisme bisa disebut sebagai agama yang paling elementer. Tylor merasa bahwa suatu karakteristik yang dimiliki agama, besar atau kecil, modern atau kuno pasti mengandung kepercayaan roh atau makhluk spiritual. Menurut Tylor, esensi agama -begitu juga mitologi- adalah animisme. Semua agama dipandang memiliki aspek animistik, maka animisme adalah agama yang paling tua dan elementer. Tidak ada satu pun bentuk agama yang tidak memiliki aspek animistik. Bagi Durkheim, definisi animisme yang dikemukakan oleh Tylor ternyata mengundang masalah, yaitu apabila semua agama esensinya adalah kepercayaan terhadap makhluk spiritual atau roh, lalu bagaimanakah nasib agama yang sama sekali tidak memiliki konsep roh? Durkheim menunjuk totemisme sebagai bentuk agama yang sama sekali tidak mengenal konsep roh atau makhluk spiritual. Di sini, Durkheim berseberangan dengan metodologi Tylor dalam mendefinisikan agama. Ia justru mengelompokkan totemisme sebagai agama yang lebih elementer dari animisme bahkan agama yang paling primitif.62 Menurut penulis, Durkheim salah paham terhadap apa makna sebetulnya dari animisme itu. Sebenarnya animisme adalah jenis agama yang bertumpu pada konsep psikis, dan kepercayaan terhadap makhluk spiritual atau roh sebagaimana dalam definisi umum animisme berasal dari perluasan konsep psikis tersebut. Jelas-jelas, agama totem memiliki aspek psikis. Asal-usul upacara ritual dalam totemisme berasal dari ungkapan

ambivalensi emosi dari orang-orang primitif. Ambivalensi ini mengambil wujud binatang totem yang melambangkan sang ayah purba yang dikagumi sekaligus dibenci. Pemahaman Durkheim tentang agama totemisme masihlah kabur, karena definisi Durkheim lebih menonjol pada aspek sosiologisnya, dan bukan pada aspek psikologis. Tapi, fakta sosial yang didefinisikan oleh Durkheim juga mengandung tekanan psikis, yaitu ketika beliau menyebut fakta sosial sebagai collective conscience yang berdiri eksternal di luar individu, bahkan memaksa secara batiniah terhadap individu-individu yang ada di dalamnya, bukankah ini aspek psikis yang coba dihapus secara paksa oleh Durkheim.. Pengertian Durkheim tentang masyarakat selain bersifat sosiologis, juga tersembunyi aspek psikologisnya. Aspek roh atau makhluk spiritual berasal dari personalisasi atas daya-daya psikis manusia itu sendiri. Substansi dari konsep roh sebenarnya berasal dari konsep psikis yang kemudian diolah lebih lanjut oleh manusia. Penulis dalam hal ini lebih setuju dengan Tylor yang menyebutkan bahwa agama yang paling elementer adalah animisme, karena tidak ada satu pun agama yang tidak memiliki dan melibatkan aspek psikis. Agama yang paling elementer berakar pada daya-daya psikis. Aspek mendasar dari animisme adalah konsep psikis manusia itu sendiri, dan totemisme ternyata juga mengandung konsep psikis sebagaimana terlukiskan dalam ritual penyembahan lambang totem yang dikatakan oleh Freud berasal dari katarsis atas tragedi pembunuhan sang ayah purba. Teori animisme dirumuskan berdasarkan anggapan bangsa-bangsa primitif yang luar biasa tentang alam dan dunia. Bangsa-bangsa primitif yakin bahwa dirinya menempati dunia bersama-sama dengan begitu banyak roh dan menganggap bahwa penyebab terjadinya proses-proses alam adalah roh-roh tersebut. Mereka meyakini bahwa

61

Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion,, Oxford, 1996, hlm. 24. Emile Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life, London, 1965, hlm. 106-107. 62

9

10

Asal-Usul Agama dan Ketidaksadaran

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

roh-roh juga menghuni tumbuhan, binatang dan juga benda-benda mati. Kebanyakan ahli cenderung mempercayai asumsi bahwa konsep roh di atas adalah inti sebenarnya dari sistem animisme dan roh hanya berhubungan dengan jiwa yang telah terbebas dari lokalitas fisik tertentu. Dan, konsep tentang jiwa binatang, tumbuhan dan benda-benda dibentuk melalui analogi dengan jiwa manusia.63 Animisme adalah suatu bentuk pemikiran yang sangat tua yang dapat ditemukan di seluruh sejarah bangsa manusia. Maka, jika kita ingin sungguh-sungguh menjelaskan agama, persoalan yang harus kita jawab adalah: bagaimana dan mengapa bangsa manusia pada mulanya percaya bahwa hal-hal semacam itu, yaitu wujudwujud spiritual atau roh adalah betul-betul ada? Dalam teori animisme, orang-orang primitif yakin bahwa keberadaan jiwa manusia sebagai wujud spiritual berasal dari pemahamannya yang begitu sederhana terhadap kehidupan ganda yang biasa dijalani, yaitu kehidupan psikis saat terjaga dan saat tidur. Orang-orang primitif meyakini gambaran-gambaran yang ada dalam pikirannya sama penting dalam waktu terjaga maupun pada waktu bermimpi. Mereka mengobjektifkan gambarangambaran yang ada pada dua keadaan di atas sebagai kenyataan yang real. Maka, ketika mereka bermimpi mengunjungi sebuah negeri yang jauh, mereka percaya bahwa mereka betul-betul telah pergi ke sana. Tapi, mereka bisa pergi ke sana jika ada dua tubuh pada diri mereka: satu tubuhnya yang lelap di atas tempat tidur yang akan didapati dalam posisi yang sama ketika bangun dan tubuhnya yang satu lagi yang bergerak melintasi ruang dan waktu pada saat bermimpi. Dari pengulangan-

pengulangan pengalaman dalam mimpi, sedikit demi sedikit memunculkan ide bahwa kegandaan dirinya pada saat bermimpi adalah betul-betul riil dan objektif.64 Kegandaan ini melandasi seluruh ciri dasariah setiap makhluk yang kasat mata dan keadaan kasat mata inilah yang membuat mereka membungkus kegandaan itu. Dalam hal-hal tertentu, tubuh yang ada dalam mimpi berbeda dengan tubuh yang bergerak ketika terjaga. Dia lebih aktif karena bisa melintasi jarak yang sangat jauh dalam waktu sekejap. Dia lebih lunak dan lentur karena untuk meninggalkan tubuh kasar tentu harus bisa melewati rongga-rongga tubuh, terutama hidung dan mulut. Tubuh yang lunak ini diyakini tercipta dari suatu materi tertentu, tapi materi ini lebih halus dan ringan ketimbang materimateri yang kita kenal secara empiris. Tubuh yang lunak ini disebut jiwa. Tak dapat diragukan lagi bahwa jiwa dipandang sebagai citraan tubuh kasar. Ia bahkan dianggap dapat menanggung cacat seperti cacat yang disebabkan oleh luka atau mutilasi. Sebagian suku-suku di Australia mempercayai bahwa memotong jari jempol kanan musuhnya setelah mereka bunuh akan mengakibatkan jiwa lepas dari tubuh musuhnya sehingga tidak lagi bisa melemparkan tombak dan melakukan balas dendam pada dirinya. Tetapi di saat yang sama, orang primitif percaya walaupun jiwa menyerupai badan, ada sesuatu yang semispiritual padanya. Mereka yakin bahwa jiwa merupakan bagian badan yang tidak memiliki daging, tulang ataupun urat saraf, ia menyerupai badan yang sudah disucikan.65 Namun jiwa bukanlah roh. Jiwa hanya bisa ditambatkan pada satu tubuh dan saat dia tidak ada, ia

63

Sigmund Feud, Op. Cit., hlm. 123.

11

64

Emile Durkheim, The Elementary Forms of the Religious Life, Yogyakarta, 2003, hlm. 84. 65 Emile Durkheim, Op. Cit., hlm. 66.

12

Asal-Usul Agama dan Ketidaksadaran

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

tidak dapat dijadikan objek pemujaan. Sebaliknya, walapun roh itu biasanya menjadikan hal-hal tertentu sebagai tempat berdiamnya, ia bisa saja meninggalkanya sewaktuwaktu dan manusia hanya bisa berhubungan dengannya jika telah melaksanakan ritual-ritual pemanggilan, maka jiwa bisa berubah menjadi roh jika ia merubah dirinya. Perubahan ini sangat mudah terjadi, yakni hanya dengan menerapkan ide-ide yang menyangkut realitas kematian. Bagi masyarakat primitif yang berpikir dengan nalar yang sederhana, kematian tidak jauh berbeda dengan keadaan pingsan atau tidur yang lama karena dalam kematian terdapat semua sifat keadaan ini. Kematian menjadi sebuah peristiwa terpisahnya jiwa dengan tubuh, sama dengan keterpisahan pada saat bermimpi, tapi karena orang primitif tidak melihat tubuh tetap bisa bertahan, maka mereka menerima ide tentang keterpisahan mutlak pada periode tertentu saja. Ketika tubuh telah hancur, keterpisahan itu dipandang sebagai sesuatu yang final. Maka roh terpisah dari tubuh dan melayang bebas di dalam ruang. Dengan cara ini, satu populasi roh-roh terbentuk di sekeliling mereka yang masih hidup dan jumlahnya terus bertambah. Karena jiwa-jiwa manusia memiliki keinginan dan nafsu seperti juga manusia, maka roh-roh berusaha untuk terlibat lagi dengan kehidupan dengan teman sesama manusia sebelumnya dan membantu makhluk hidup atau mencelakakan mereka, tergantung pada perasaan-perasaan yang masih mereka miliki tentang manusia yang masih hidup. Keadaan kehidupan roh-roh ini membuat mereka bisa jadi teman yang baik atau malah musuh yang sangat kejam. Dengan memuja kehalusannya yang ekstrim, bisa membuat mereka merasuki tubuh-tubuh manusia dan membuatnya rusak atau sebaliknya bisa meningkatkan kemampuan tubuh tersebut. Inilah awal mula kepercayaan tentang kesurupan. Maka orang-orang primitif terbiasa

menganggap semua kejadian yang tidak bisa mereka jelaskan pasti ada kaitannya dengan roh-roh. Dengan cara ini, mereka membuat kerangka sebab-akibat yang sering tidak bisa diuraikan dengan pikiran biasa. Akhirnya konsepsi roh menjadikan manusia primitif menemukan dirinya terperangkap dalam dunia imajiner, walaupun pencipta dan pelaku dunia ini adalah mereka sendiri. Manusia primitif menjadi pengikut kekuatan-kekuatan spiritual yang mereka ciptakan dan di dalam citraannya sendiri. Karena roh-roh ini terlalu banyak campur tangan mengurusi kesehatan dan penyakit atau baik buruknya sesuatu, maka yang muncul adalah keinginan untuk menyenangkan jiwa-jiwa atau roh-roh ini atau membujuk mereka ketika sedang marah. Dari sini muncullah sesembahan, kurban, doa dan seluruh piranti peribadatan religius.66 Sampai di sini jiwa telah mengalami transformasi, ia berubah dari semacam inti kehidupan yang menggerakkan tubuh manusia atau jiwa menjadi roh, jin yang baik atau jahat atau bahkan menjadi dewa, tergantung pada luasnya cakupan akibat-akibat yang dikaitkan dengannya. Tapi karena kematianlah yang dianggap menciptakan proses perubahan ini, maka pada akhirnya kepada orang-orang yang telah matilah -roh para leluhur atau nenek moyangyang menciptakan pemujaan atau ibadah manusia yang pertama. Jadi, upacara-upacara agama yang pertama adalah upacara kematian, pengurbanan-pengurbanan yang pertama adalah sesaji makanan untuk memenuhi kebutuhan mereka yang telah mati dan tempat-tempat ibadah pertama yaitu kuburan-kuburan.67 Meskipun pemujaan animistik pertama adalah ritus

13

14

66 67

Ibid, hlm. 66-67. Ibid, hlm.67.

Asal-Usul Agama dan Ketidaksadaran

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

kematian, lalu bagaimana teori ini bisa menjelaskan asalusul penyembahan dewa-dewa alam yang nampaknya berasal dari perluasan ritus kematian dan pemujaan leluhur atau nenek moyang? Dalam hal ini, animisme berbeda dan sedikit memiliki kemiripan dengan teori naturisme Max Muller yang menyebutkan bahwa perasaan infinite (ketidakterbatasan) terhadap fenomena alam atau kosmis menjadi sebab munculnya dewa-dewi yang disembah manusia. Persamaan keduanya adalah asal-usul pemujaan dewa-dewa alam berasal dari sebuah kondisi psikologis, hanya saja naturisme dan animisme berbeda ketika berusaha untuk menjelaskan bagaimana kondisi psikologis ini memunculkan fenomena agama. Menurut David Hume, dalam bukunya Natural History of Religion, animisme merupakan proses menghidupkan sesuatu (animating) yang tak hidup menjadi sesuatu yang hidup. Ada kecenderungaan universal pada umat manusia untuk menganggap bahwa semua makhluk sama seperti dirinya dan mentransfer kualitas-kualitas dalam dirinya pada semua yang telah akrab ia kenal dan yang sangat dekat ia sadari.68 Apa yang membuat hidup pada sesuatu yang asalnya tak hidup (materi) adalah oleh roh. Pada awalnya, memang roh itu berasal dari pengamatan manusia terhadap pengalaman mimpinya, namun kemudian mengalami perluasan disebabkan adanya asosiasi ide manusia terhadap fenomena binatang, alam dan tumbuhan. Asosiasi ide ini difungsikan oleh hukum kemiripan dalam pikiran manusia yang menyamakan semua benda alam dengan manusia itu sendiri sehingga orang-orang primitif percaya bahwa roh-roh juga mendiami wujud benda mati sebagaimana benda hidup. Orang-orang primitif percaya bahwa kejadian-kejadian

dalam fenomena alam digerakkan dan dipengaruhi oleh roh-roh yang mendiaminya. Karena manusia primitif sangat tergantung kehidupannya dengan alam dan sekitarnya, maka manusia berusaha untuk menguasainya atau berdamai dengannya melalui ritus-ritus pemujaan alam. Dengan memuja alam diharapkan dapat mempengaruhinya agar tunduk dan membantu kehidupan manusia. Pemujaan alam dihasilkan dari asosiasi ide manusia antara dirinya dengan alam, di mana manusia primitif mempersonifikasikan roh-roh alam semesta dengan sifat dan kepribadian manusia yang diproyeksikan ke dunia luar. Dewa-dewa alam adalah rohroh yang dimodelkan menurut sifat dan pribadi manusia. Roh-roh ini pada mulanya berasal dari kekuatan psikis manusia yang diproyeksikan ke dunia luar kemudian diberi atribut personal sesuai dengan sifat dan kepribadian manusia, maka muncullah dewa-dewa alam yang memiliki ciri-ciri sesuai dengan sifat manusia, akhirnya setelah seolah-olah objektif di dunia luar dewa-dewa alam ini diinternalisir kembali sebagai sesuatu yang maha agung di luar manusia dan menjadi objek penyembahan. Dewadewa alam biasanya mengambil bentuk dan sifat sesuai dengan kualitas dan kategori yang ada pada manusia. Pada bentuk yang lebih maju, makhluk-makhluk spiritual dalam Agama-agama Historis, seperti setan, jin atau malaikat bahkan tuhan berasal dari evolusi agama primitif yang mempersonifikasikan (memberikan atribut personal) sifat dan psikis manusia itu sendiri yang kemudian diproyeksikan ke dunia luar sehingga menjadi fakta obyektif di luar manusia walaupun sebenarnya merupakan citraan manusia terhadap dirinya sendiri. Tuhan, dalam pengertian ini hanyalah manusia yang ditinggikan saja. Inilah tuhan-nya masyarakat kita. Semua pemikiran dan filsafat alam animistik di atas berasal dari pengalaman manusia ketika bermimpi,

68

Sigmund Freud, Op. Cit., hlm. 124-125.

15

16

Asal-Usul Agama dan Ketidaksadaran

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

halusinasi, pingsan, katalepsi, ekstasi dan kesurupan. Pengalaman-pengalaman ini adalah suatu keadaan manusia yang sedang dikuasai oleh alam ketidaksadaran (unconscious mind). Orang-orang primitif mengobjektivikasikan pengalaman-pengalaman yang mereka alami ketika bermimpi ke dunia luar. Dengan memindahkan pengalaman mimpi ke dunia luar mengakibatkan keadaan-keadaan psikis ketika bermimpi juga terbawa ke dalam alam kesadaran sehingga orangorang primitif mengalami kondisi kwasi-mimpi, yaitu mimpi dalam keadaan terjaga. Hal ini memunculkan kesimpulan bahwa agama animisme bersumber dan memiliki asal usul dalam psikologi ketidaksadaran manusia.69 Kondisi kwasi-mimpi merupakan media bagi munculnya kepercayaan-kepercayaan yang dianggap bersifat ilahiah, sehingga wajar kalau fenomena mimpi (dalam agama Kristen, Yahudi, dan Islam) dipercayai sebagai bagian dari fenomena ketuhanan atau pewahyuan. Dalam kerangka evolusi, animisme merupakan bentuk agama primitif yang akan sirna oleh pengetahuan ilmiah. Karena bagi Tylor, animisme adalah jenis agama yang bersifat imajiner dan khayali. Namun, Tylor harus menjawab pertanyaan: kalau memang agama itu bersifat khayali, bagaimana ia bisa bertahan sampai sekarang ini dan bahkan mampu melahirkan peradaban modern sebagaimana tesis Etika Protestan Weber? Penulis nampaknya harus membantu Tylor untuk menjawab pertanyaan ini. Aspek-aspek animisme yang merasuk dalam agama-agama modern memang masih dan akan bertahan sampai kapan pun karena ia bersumber dari alam ketidaksadaran manusia. Bukankah sistem animisme berasal dari pengalaman manusia ketika bermimpi,

halusinasi dan kesurupan? Pengalaman mimpi, halusinasi dan kesurupan adalah keadaan-keadaan psikis yang dikuasai oleh dinamika alam bawah sadar atau ketidaksadaran. Padahal menurut Psikoanalisa, ketidaksadaran (id) adalah wilayah psikis manusia yang paling dominan. Selama psikologi manusia masih mengaktifkan dan dikuasai oleh ketidaksadaran, jenis agama animisme akan tetap menjadi kawan abadi umat manusia meskipun selalu diserang oleh pengetahuan ilmiah.

69

Emile Durkheim, Op. Cit., hlm. 67.

17

B.

Agama Magi

Yang kedua adalah agama magi. Agama magi biasanya dinisbahkan pada figur sarjana yang agak eksentrik dan pemalu, yaitu James George Frazer. Tidak seperti Tylor yang suka berkelana, Frazer menghabiskan seluruh hidupnya di apartemen yang penuh dengan buku-buku di universitas Cambridge. Ia bisa dikatakan sebagai murid Tylor yang kreatif dan kritis. Ia telah mengambil alih animisme Tylor dan menambahkan sentuhan yang khas dan baru. Tylor dapat dianggap sebagai pemikir yang orisinil dan Frazer lebih memiliki pengaruh dan ketenaran.70 Frazer berasal dari keluarga Protestan, tetapi bukan Protestan yang liberal. Ia lahir pada tahun 1854, di Glasgow, Skotlandia dan dibesarkan oleh orang tua pengikut Prebistarian Skotlandia yang saleh dan keras. Kebiasaan ayah Frazer membaca bible dalam kebaktian yang suci setiap hari membuatnya asyik dengan ceritaceritanya. Hal ini secara abadi mempengaruhi jiwa Frazer dan membentuk cara Frazer merumuskan pikirannya

70

Daniel L. Pals, Op. Cit., hlm. 27.

18

Asal-Usul Agama dan Ketidaksadaran

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

dalam karyanya yang sangat terkenal, Golden Bough.71 Teori agama magi bisa dikatakan adalah kelanjutan dari animisme Tylor. Magi adalah teknik animisme yang menunjukkan kecenderungan untuk memaksakan hukumhukum kehidupan psikis atas realitas benda-benda yang diyakini didiami oleh roh-roh animistik. Pengertian ini akan menjadi jelas apabila kita betul-betul memahami dua kategori sihir yang dibuat oleh Frazer, yaitu magi homeophatic atau imitatif dan magi contagious atau menular.72 Ketrampilan magi sebenarnya memiliki latar belakang kebudayaan primitif. Untuk mencukupi kebutuhan hidup, orang-orang primitif haruslah bekerja mengumpulkan makanan, contohnya adalah berburu binatang atau bercocok tanam. Ketika melakukan pekerjaan ini mereka sangat tergantung dengan kekuatan alam. Dalam memahami kekuatan alam dan menguasainya demi kepentingan hidup maka dibutuhkanlah sebuah teknik yang sesuai dengan cara bepikir mereka, semisal ketika sawah mereka sedang kekeringan tentu mereka membutuhkan hujan untuk mengairinya. Hal ini memaksa mereka menempuh usaha bagaimana menghasilkan terjadinya hujan sehingga tanaman mereka bisa tetap tumbuh. Usaha yang pertama-tama dilakukan adalah teknik magi. Nama lengkap yang diberikan Frazer untuk hal ini adalah magi simpatetik, karena orang primitif berasumsi bahwa alam bekerja dengan simpati atau pengaruh, yaitu apabila ada dua hal dapat dihubungkan secara mental, tentu dua hal tersebut juga pasti berhubungan di dunia secara fisik.73 Hubungan jiwa

merupakan cerminan hubungan fisik. Dalam magi, Frazer menemukan sesuatu yang sistematis dan memiliki kemiripan dengan ilmu pengetahuan. Ia menunjuk bahwa hubungan utama yang dilakukan oleh magi simpatetik pada dasarnya ada dua tipe, yaitu pertama bersifat imitatif; magi yang menghubungkan benda-benda atas dasar prinsip kemiripan atau kesamaan, dan kedua bersifat menular; magi kontak yang berhubungan atas dasar prinsip pelekatan. Contoh dari sihir imitatif adalah apabila orang primitif menginginkan terjadinya hujan, mereka tinggal menuangkan air melalui saringan yang jatuh tampak seperti hujan disertai guntur. Penyiraman air semacam ini diyakini dapat memaksa hujan turun dari langit. Penyiraman air dengan saringan memiliki kemiripan dengan turunnya hujan. Prinsip kemiripan ini menghubungkan dua ide secara mental untuk mewujudkan keinginan secara fisik. Dan contoh sihir menular adalah ketika seorang dukun sihir memasukkan peniti ke hati sebuah boneka yang dihiasi dengan kuku jari dan rambut musuhnya, ia mengasumsikan bahwa hanya dengan kontak transmisi yang menular ia dapat menyebabkan kematian korbannya.74 Pada dasarnya sihir adalah seni mempengaruhi roh karena ia bekerja sesuai prinsip simpatetis. Orang primitif meyakini alam semesta sebagai tatanan kosmik yang mengandung hubungan-hubungan simpatetik atau roh. Alam semesta beserta isinya merupakan satu kesatuan yang bersifat organis, hubungan antara satu dengan yang lainnya diperantarai oleh roh-roh atau kekuatan psikis yang bersifat metafisik. Dengan memaksa dan mempengaruhi roh yang mendiami alam, diyakini

71

Ibid, hlm. 51. Brian Morris, Antropologi Agama, Yogyakarta, 2003, hlm. 126. 73 Daniel L. Pals, Op. Cit., hlm. 59. 72

19

74

Ibid., hlm. 59

20

Asal-Usul Agama dan Ketidaksadaran

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

keinginan manusia bisa menjadi kenyataan. Dalam hal ini penulis tidak setuju dengan pendapat Freud yang meyebut bahwa kemunculan sihir lebih dahulu daripada animisme. Freud berpendapat bahwa sihir atau magi bekerja secara impersonal sedangkan animisme sudah mempersonifikasikan roh-roh. Ia menyamakan sihir dengan konsep mana (kekuatan impersonal) dari R. Marett yang ada dalam masa pra-animisme.75 Sungguh jelas sekali kalau sihir bekerja sesuai prinsip-prinsip animistik. Sihir adalah teknik yang dipraktekkan berdasarkan kepercayaan terhadap adanya roh-roh. Sihir tidak akan efektif tanpa campur tangan roh-roh yang dipengaruhinya. Orang primitif bisa mempengaruhi agar hujan turun berasal dari keyakinan kalau hujan dikendalikan oleh roh-roh animistik. Animisme memberi jalan bagi datangnya sihir. Sihir atau magi merupakan sebuah keyakinan yang dengan salah mengira hubungan ide sebagai hubungan nyata. Hubungan palsu ini ada pada prinsip kemiripan dalam sihir imitatif dan prinsip menular dalam sihir contagious. Jadi, sebenarnya sihir adalah pseudo-science yang menerapkan hukum-hukum psikologis atas hukum-hukum alam. Yang menjadi pertanyaan, bagaimana asalnya orangorang primitif begitu yakin kalau asosiasi atau hubungan ide dalam sihir adalah nyata dan sesuai dengan hukum alam? Dan bagaimana magi tetap bisa bertahan dalam abad modern meskipun telah digugurkan kebenarannya oleh pengetahuan ilmiah? Telah kita kemukakan di atas bahwa sihir merupakan teknik animisme yang berusaha untuk menerapkan mekanisme psikis atas realitas sehingga sihir pastilah berkaitan dengan dunia psikologi pemakainya. Menurut Freud, prinsip kemiripan dan prinsip menular

yang menjadi asosiasi ide bersumber dalam dunia psikis alam bawah sadar, yaitu proses primer. Proses primer tidak bisa membedakan mana kenyataan subyektif dan mana kenyataan obyektif. Mekanisme proses primer dijalankan oleh prinsip kemiripan dan keterhubungan, dua prinsip yang juga menjadi mekanisme kerja mimpi, delusi, dan halusinasi. Keyakinan sihir berasal dari delusi proses primer (primary process) psikologi manusia, yaitu dalam bentuk kemahakuasaan pikiran (the omnipotence of thought) yang melanda orang-orang primitif. Kemahakuasaan pikiran adalah keadaan psikologis yang terlalu berlebihan menganggap kejadian fisik bisa terjadi hanya melalui kekuatan pikiran saja. Orang-orang yang dihinggapi kemahakuasaan pikiran akan berusaha mempengaruhi atau merubah keadaan material hanya dengan kekuatan pikirannya. Kemahakuasaan pikiran dapat memunculkan perasaan kesamuderaan (oceanic experience) yang seolah-olah bisa mempengaruhi dan memanipulasi realitas alam atau pun benda hanya dengan kekuatan pikiran saja. Manusia primitif terlalu overvaluasi atau over-estimate dalam menggunakan apparatus psikis mereka. Benda-benda kalah penting dibanding ide-ide yang mewakilinya dan yang terjadi dalam pikiran pasti juga terjadi dalam kenyataan. Hubungan antara satu gagasan dengan gagasan lain juga ada pada benda yang satu dengan yang lain.76 ”Kemahakuasaan pikiran” memiliki kemiripan dengan mimpi, delusi dan halusinasi yang bersumber dari psikis ketidaksadaran manusia (unconscious mind). Orang yang sedang bermimpi dan mengalami delusi pastilah dengan yakin menganggap bahwa pengalaman yang dialaminya adalah kenyatan. Ruang dan waktu ternyata dikonstruksi

75

Evans-Pritchard, Teori-Teori Agama Primitif, Yogyakarta, 1983, hlm. 43.

21

76

Sigmund Freud, Op. Cit., hlm. 137.

22

Asal-Usul Agama dan Ketidaksadaran

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

oleh subjektivitas, mereka baru sadar kalau itu mimpi dan delusi setelah tersadarkan dari keadaan tersebut. ”Kemahakuasaan pikiran” sering dialami oleh orang-orang yang dianggap memiliki gejala psikotik atau pun neurotik. Hal ini berhubungan dengan ritual magis dan manteramantera orang primitif yang secara psikologis ternyata terjadi dalam kondisi kesurupan77atau keadaan neurotik dan psikotik.78 Prinsip-prinsip magi berakar kuat dalam psikis alam bawah sadar. Kondisi kesurupan, psikotik dan neurotik yang menjadi media bagi munculnya pikiran magis merupakan gejala psikis yang sedang diinvasi oleh dinamika alam bawah sadar manusia itu sendiri, maka tidak ada sebab-sebab eksternal yang bersifat gaib atau ilahiah yang melakukan campur tangan terhadap tindakan magis atau pun mukjizat. Dalam tulisan ini, penulis berusaha membuka diri bagi suatu pandangan yang menganggap ”kemahakuasaan pikiran” adalah kekuatan magis yang gagal. Kemahakuasaan pikiran disamakan dengan delusi dan mimpi karena ketiganya berusaha menciptakan sendiri kategori ruang dan waktu, meskipun berifat subyektif dan imajiner. Ada semacam teka-teki di balik fenomena ini, yaitu kemahakuasaan pikiran yang dialami oleh orangorang psikotik dan neurotik ternyata bersifat riil dan nyata. Berdasarkan pengalaman penulis yang pernah mengalami skizofrenia, kemahakuasaan pikiran adalah suatu perasaan memiliki kekuatan yang sangat luar biasa sehingga hanya dengan pikiran saja kita seolah-olah mampu menggerakkan fenomena alam atau benda-benda material di hadapan kita. Hanya saja, ketika kita berusaha memfungsikan kekuatan

kemahakuasaan pikiran terhadap realitas di luar ternyata kita gagal menghasilkan apa yang kita inginkan. Inilah yang disebut dengan magis yang gagal. Apa yang ingin dikatakan oleh penulis adalah kemahakuasaan pikiran merupakan perasaan yang nyata dan riil, namun kekuatan yang kita rasakan tersebut ternyata tidak berfungsi di dunia luar. Ada semacam sebab yang mengakibatkan kemahakuasaan pikiran tidak dapat berfungsi di dunia nyata, dan ilmu pengetahuan dan sains harus menemukan sebab itu sekaligus menciptakan rekayasa teknologi yang memungkinkan pikiran kita mampu mengubah dan mengendalikan materi. Langkah awalnya adalah ilmu pengetahuan dan teknologi harus mengarahkan penelitiannya terhadap gejala psikis yang dialami oleh orang-orang psikotik dan neurotik. Dengan begitu, sains dan teknologi suatu saat akan menemukan jawaban bagaimana caranya memfungsikan ”kemahakuasaan pikiran” agar berhasil dan terwujud di dunia luar, sehingga kekuatan ini bukan hanya kita rasakan kehadirannya saja melainkan dapat kita gunakan dan manfaatkan sebagai hasil rekayasa teknologi alam bawah sadar. Adalah mungkin bagi kemahakusaan pikiran atau magi yang pada mulanya berupa pseudo-science menjadi sains yang sesungguhnya, karena watak dari pikiran adalah lebih subtansial dibandingkan dengan materi. Sesungguhnya apabila pikiran telah mencapai otonomi dan independensi dari pengaruh materi, maka ia dapat menggerakkan dan mengendalikan materi. Ini adalah awal bagi suatu teknologi yang berbasiskan pada premis psikologi dan filsafat. Dalam agama modern ternyata masih ada sisa-sisa kepercayaan animistik dan sihir yang telah mengalami tumpang tindih dan penghalusan yang bersifat evolusionis, yaitu doa-doa dalam peribadatan religius. Doa berasal dari sebuah usaha magis untuk mempengaruhi roh-roh agar

77

I.M.Lewis, Ecstatic Religion: A Study of Shamanism and Spirit Possession, New York, 2003, hlm. 162-163. 78 Evans Pritchard, Op. Cit., hlm. 53.

23

24

Asal-Usul Agama dan Ketidaksadaran

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

memenuhi keinginan pemintanya. Doa pada mulanya adalah mantra pemanggil roh. Mantra-mantra dalam sihir yang ditujukan untuk mempengaruhi fenomena alam bisa disamakan dengan doa-doa yang ditujukan kepada tuhan atau dewa-dewa alam agar mengabulkan permintaan atau keinginan pemintanya. Dalam hal ini bentuk doa dan magi sama-sama menggunakan kata kerja perintah untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Doa merupakan penghalusan dan hasil evolusi dari mantra-mantra yang ada dalam magi sehingga manusia modern sudah tidak menyadari asal-usulnya. Selain doa, ada juga sisa-sisa magi yang telah mengalami spiritualisasi, yaitu mu’jizat. Dalam tradisi kenabian agama Islam, Kristen, dan Yahudi, mu’jizat adalah kemampuan supranatural yang mampu mempengaruhi benda-benda agar berubah sesuai keinginan manusia yang memilikinya. Kekuatan supranatural dalam mu’jizat diperoleh dengan memfungsikan imajinasi dan pikiran sehingga mampu merubah atau mempengaruhi benda-benda tertentu secara ajaib. Ibn Sina menamakan fenomena imajinasi yang mampu mempengaruhi benda sehingga bisa berubah secara ajaib dengan sebutan al-wahm al-‘amil.79 Kemampuan ini memiliki kemiripan dengan magi yang terlalu berlebihan dalam menggunakan pikiran, hanya saja mu’jizat telah mendapatkan makna yang ideologis dari agama historis sehingga dianggap berbeda dengan magi, yaitu magi berasal dari manusia sedangkan mu’jizat merupakan anugerah Tuhan. Sebenarnya tidak ada yang membedakan antara tindakan magis dan mukjizat, karena keduanya berasal dari sumber yang sama, yaitu

”kemahakuasaan pikiran” dalam alam bawah sadar manusia. Magi dan mukjizat bermula dari kekuatan pikiran dalam psikis manusia yang berusaha mengendalikan, merubah atau memanipulasi kenyataan material yang ada di luar, fenomena alam atau bahkan pikiran manusia lainnya. Dalam magi dan mukjizat tidak terdapat unsur-unsur yang bersifat supranatural, karena keduanya adalah usaha manusia yang gagal untuk menguasai materi atau bendabenda yang ada di luar. Kalau magi dan mukjizat ingin berhasil dalam kenyataan, kita membutuhkan rekayasa teknologi dan ilmu pengetahuan yang mendukung kekuatan pikiran atau psikis agar bisa mempengaruhi, mengendalikan, dan memanipulasi materi atau benda. Dua bentuk sisa-sisa sihir di atas, yaitu doa-doa dan mukjizat, hanyalah contoh yang menunjukkan bahwa dengan mengenal sifat animisme dan magi bisa membantu kita dalam memahami agama-agama yang lebih maju yang telah mengalami penghalusan dan hampir tidak kita kenali asal-usulnya. Dalam bab ini, penulis memasukkan sihir atau magi sebagai salah satu bentuk agama, karena magi sebenarnya merupakan kepercayaan kuno yang pernah dianut oleh bangsa manusia sejak dulu hingga sekarang. Kepercayaan magi telah membentuk cara pandang manusia terhadap segala sesuatu yang mengitari kehidupannya atau dengan kata lain, magi sudah menjadi weltanschauung. Dalam urutan evolusi agama, magi merupakan teknik lebih lanjut dari kepercayaan animistik, padahal animisme adalah elemen yang sangat mendasar dalam agama kuno hingga modern sekalipun. Hal inilah yang menjadikan penulis memasukkan magi sebagai salah satu ekspresi atau bentuk agama yang lahir setelah animisme dan tetap hidup sampai sekarang meskipun telah mengalami penghalusan. Yang menjadi pertanyaan bagi kita adalah mengapa dalam

79

Fazlur Rahman, Cita-Cita Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000, hlm. 202.

25

26

Asal-Usul Agama dan Ketidaksadaran

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

sejarah agama-agama besar, semisal Islam, Kristen dan Yahudi, justru menolak dan mengecam eksistensi sihir atau magi bahkan sampai agresif untuk memusnahkannya dengan kekerasan? Apakah kita tidak sadar bahwa dalam ajaran-ajaran agama kita (Islam, Kristen, dan Yahudi) sebenarnya bisa dikatakan mengandung unsur-unsur magis walaupun tampil secara implisit dan telah mengalami penghalusan, dengan kata lain mengapa agama yang lebih maju justru menolak dan mengecam eksistensi magi dan animisme, padahal agama kita sebenarnya merupakan evolusi yang lebih halus dan berasal dari fenomena animisme dan magi? Pertanyaan ini akan coba dijawab oleh penulis dalam bab-bab berikutnya.

terjemahan literatur sanskerta klasik dan atas dasar ini sebagian besar penghargaan diberikan kepada sarjana semacam Muller. Di samping terjemahan tersebut, Muller juga menulis beberapa kajian umum tentang agama dan mitologi. Bukunya Introduction to the Science of Religion merupakan sebuah studi pertama yang memperkenalkan bagaimana mendekati agama dalam kerangka ilmu pengetahuan.81 Naturisme merupakan sebuah mazhab pemikiran agama yang lahir di Jerman. Mazhab ini memiliki perbedaan dengan aliran animisme, kalau para teoritikus animisme adalah para etnografer dan antropolog, maka naturisme lebih banyak dikelilingi oleh para ahli filologi. Animisme sering diidentikkan dengan studi agama-agama kasar yang pernah dijalankan oleh manusia di mana perhatian utamanya pada roh-roh orang mati, jiwa dan setan, yaitu makhluk-makhluk spiritual. Sedangkan naturisme memusatkan diri pada kajian peradabanperadaban besar yang lebih maju daripada animisme, yaitu agama Indo-Eropa. Mazhab naturisme memiliki perbedaan yang sangat fundamental dengan aliran animisme. Bisa dikatakan naturisme merupakan reaksi terhadap filsafat animisme, di samping Max Muller hidup sezaman dengan E.B. Tylor. Perbedaan itu adalah naturisme mengusulkan bahwa asal usul agama berasal dari mitos alam yang dipahami dengan analisa filologi dan etimologi sedangkan animisme menelusuri agama yang berasal dari kepercayaan roh-roh dengan perangkat etnologi. Naturisme meyatakan bahwa dewa-dewa kuno dan dewa dewa yang dipuja di mana saja adalah tidak lain lebih dari fenomena alam yang dimanusiakan; matahari, bulan, bintang, fajar, pergantian

C. Naturisme Yang ketiga adalah naturisme. Apabila kita menyebut naturisme, maka istilah ini tidak akan lepas dari sosok Friderich Max Muller (1823-1900), seorang bapak pendiri studi perbandingan agama (father of comparative religion).80 Max muller, yang dilahirkan di Jerman dan sangat dipengaruhi oleh tradisi romantik Jerman yang erat kaitannya dengan Schiller dan Goethe, menghabiskan sebagian besar hidupnya sebagai professor di Oxford. Sebagai seorang ahli bahasa yang brilian dan sarjana Sanskerta terkemuka, dia dikenal karena terjemahannya atas kitab Veda dan telah mengedit buku yang tidak terhingga nilainya, yaitu Sacred Books of the East yang diterbitkan dalam lima puluh volume. George Woodcock dalam biografinya tentang Gandhi menyatakan bahwa hadiah terbesar yang diberikan Inggris kepada India adalah masa lalu Max Muller itu sendiri, seperti terlihat dalam

80

Brian Morris, Op. Cit, hlm. 111

27

81

Ibid, hlm. 111

28

Asal-Usul Agama dan Ketidaksadaran

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

musim, sungai besar dan ini memiliki asal usul pada pengalaman-pengalaman inderawi manusia, berbeda dengan animisme yang menelusuri dewa-dewa sebagai roh-roh yang mendiami fenomena alam yang kemudian mendapatkan atribut personal. Animisme berasal dari proyeksi kekuatan psikis manusia ke dunia luar yang kemudian mendapatkan atribut personal. Bagi Muller, agama mulai dari pengalaman inderawi seperti seluruh bentuk pengetahuan kita, tidak ada agama yang tidak berasal dari indera. Naturisme merupakan hasil reaksi terhadap kekuatan-kekuatan alam yang membuat takjub dan membawa perasaan takdhim dalam diri manusia. Agama tampil bukan sebagai penafsiran tentang mimpi yang rancu dan tidak jelas, sebagaimana dalam konsep animisme tapi sebagai sistem ide dan praktek yang benar-benar didasarkan pada realitas. Pengalamanpengalaman inderawi manakah yang telah melahirkan pemikiran religius? Pertanyaan ini dijawab oleh Muller melalui studi filologinya terhadap kitab Veda.82 Sudah kita ketahui bersama, nama-nama dewa-dewi Veda adalah kata benda umun yang masih tetap dipakai atau kata kerja arkhais yang makna asalnya masih dapat ditelusuri. Keduanya sama-sama menunjukkan fenomena alam yang memukau. Oleh sebab itu, pada awalnya agni, nama salah satu dewa utama India, hanyalah berarti “api” sebagai fenomena alamiah biasa persis sebagaimana indera mencerapnya tanpa embel-embel mitologis. Di dalam Veda sendiri, Agni masih digunakan di dalam makna tersebut, sementara itu kenyataan bertahannya kata ini dalam bahasa Indo-Eropa lainnya menunjukkan dengan jelas bahwa makna kata ini adalah primitif: kata ignis dalam bahasa Latin, ugnis dalam bahasa Lituania, ongi dalam bahasa

Slavogny kuno yang berhubungan dekat dengan agni. Begitu juga dengan hubungan dyaus dalam bahasa Sanskerta, zeus dalam bahasa Yunani, jovis dalam bahasa Latin dan zio dalam bahasa Jerman tinggi tidak dapat diingkari pada hari ini. Hubungan ini membuktikan bahwa kata-kata yang berbeda ini merujuk pada satu dewa yang sama-sama diakui oleh orang-orang Indo-Eropa sebelum mereka tercerai-berai. Sekarang, Dyaus berarti “langit yang cerah”. Bukti ini memperlihatkan bahwa di dalam masyarakat ini, tubuh dan kekuatan alam merupakan objek pertama yang dituju oleh perasaan religius. Objek-objek ini adalah benda-benda pertama yang dituhankan. Max Muller yakin bahwa evolusi religius umat manusia berawal dari titik yang sama.83 Bagi Max Muller, kesimpulan itu sangat berkaitan dengan pertimbangan psikologis. Berbagai fenomena yang diperlihatkan alam kepada manusia merupakan syarat bagi kemunculan secara langsung ide religius dalam pemikiran. Kata Muller, ketika manusia melihat dunia, tidak satu pun yang tampak alami bagi mereka selain dari alam. Bagi mereka, alam merupakan sesuatu yang benar-benar mengejutkan dan menakutkan; alam merupakan kekuatan ajaib dan gaib yang abadi. Setelah itu, saat manusia menemukan kekonstanan pada fenomena-fenomena alam, pola-pola kesamaannya, keteraturan perulangannya maka dari sisi-sisi inilah yang ajaib dan gaib tadi akhirnya dikatakan sebagai sesuatu yang alamiah, natural, dalam artian fenomena-fenomena itu telah bisa diperkirakan, biasa terjadi dan bisa dinalar. Wilayah inilah yang terbuka bagi perasaan kagum bercampur takut, keajaiban dan keanehan inilah yang memicu lahirnya pemikiran religius

82

Emile Durkheim, Op. Cit., hlm. 116.

29

83

Ibid., hlm. 117.

30

Asal-Usul Agama dan Ketidaksadaran

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

dan bahasa religius.84 Manusia tidak bisa berhubungan dengan alam tanpa menyadari akan ketidakterbatasan dan kedahsyatannya. Di balik ruang yang dia lihat, ada ruang lain yang terasa tidak terbatas (infinite) dan setiap saat pasti diawali dan diikuti oleh waktu lain yang tidak bisa dihitung, semisal aliran sungai menggambarkan kekuatan tak terbatas karena tidak ada yang mampu membendungnya. Tidak ada aspek alam yang tidak menciptakan rasa lemah dalam diri kita sebab kita menyadari ketidakterbatasannya yang mengurung dan menguasai kita. Bagi Muller, dari perasaan seperti inilah agama berasal.85 Agama naturisme akan terbentuk ketika kekuatankekuatan alam ini tidak dipandang lagi sebagai sesuatu yang abstrak. Alam dan sifat-sifatnya harus berubah menjadi agen-agen personal, sesuatu yang berpikir dan hidup seperti kekuatan-kekuatan spiritual yaitu dewadewi, karena pemujaan biasanya ditujukan pada hal-hal seperti ini. Animisme juga memiliki pendapat yang hampir mirip dengan konsepsi ini. Animisme menganggap dewadewi alam muncul dari personalisasi kekuatan-kekuatan alam yang berasal dari roh-roh yang diyakini mendiami dalam benda-benda. Orang-orang primitif tidak bisa membedakan benda mati dan benda hidup, semuanya terasa seperti anima. Menurut Muller, yang mengubah kekuatan alam menjadi sosok personal adalah metamorfosis bahasa yang ada dalam pikiran.86 Metamorfosis tersebut dipahami melalui cara sebagai berikut; karena bingung dengan kedahsyatan kekuatankekuatan alam yang menjadi tempat bergantung, manusia

bertanya dalam dirinya sendiri, terdiri dari apakah kekuatan-kekuatan tersebut dan berusaha mengganti kesadaran yang tidak jelas ketika menghadapi kekuatan tersebut dengan ide dan konsep yang lebih kongkret. Ide dan konsep-konsep tidak akan mungkin ada tanpa katakata. Bahasa bukan hanya sebagai baju luar pikiran, ia juga merupakan rangka internal pikiran. Bahasa tidak sematamata berdiri di luar pikiran yang menerjemahkan sesuatu yang sudah terbentuk dan jadi tetapi dalam kenyataannya, dia juga berfungsi membentuk pikiran. Distorsi seperti inilah yang melahirkan gambaran-gambaran religius kita.87 Tesis Muller bisa disingkat sebagai berikut: bahwa perasaan infinite, begitu ide ini muncul, hanya dapat dipikirkan dalam bentuk metafor (kiasan) dan simbolsimbol yang hanya diambil dari sesuatu yang tampak agung dalam dunia yang diketahuinya, semacam bendabenda langit atau lebih tepat sifat-sifat benda langit itu. Tetapi, sifat ini kemudian kehilangan makna majazinya yang asli disebabkan adanya perasaan kegaiban atau infinitas dan mendapatkan kedudukan otonomi dengan ditokohkan sebagai dewa-dewi. Contohnya adalah agni, pada mulanya hanyalah berarti fenomena “api” atau yang bersifat membakar karena mengalami metamorfosis bahasa yang disebabkan rasa kegaiban manusia terhadap api menjadikan agni yang sebelumnya bermakna api yang membakar mendapatkan personalisasi dan berubah menjadi sosok “dewa api.” Maka nomina (nama) menjadi numina (sesuatu yang ditakuti), dari “kata benda” berubah menjadi “kata personal.” Metamorfosis bahasa mampu mengubah “benda-benda mati” menjadi “sosok personal” yang mewakili kekuatan dan sifat benda tersebut. Bendabenda alam yang memiliki kekuatan dan membuat takjub

84

Ibid, hlm. 117. Ibid, hlm. 118. 86 Ibid, hlm. 119. 85

87

31

Ibid, hlm. 119.

32

Asal-Usul Agama dan Ketidaksadaran

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

dalam diri manusia mendapatkan atribut personal sehingga ia seolah-olah hidup dan memiliki eksistensi dalam dunia ini. Inilah yang oleh Muller disebut metamorfosis bahasa dalam pikiran manusia. Dengan demikian agama bermula dari sebuah penyakit bahasa (disease of language), dan merupakan pencitraan manusia terhadap kekuatankekuatan alam di sekitarnya yang kemudian dimodelkan sesuai dengan kepribadian manusia.88 Distorsi yang mengakibatkan manusia mengubah kekuatan-kekuatan alam menjadi sosok personal adalah metafora bahasa yang telah diterima sebagai sesuatu yang harfiah. Hal ini terjadi karena ilmu pengetahuan yang mampu menghilangkan ilusi ini belumlah muncul. Naturisme mereduksi agama sebagai metafor yang berubah dari nomina menjadi numina dan membuat agama hanya dalam sistem citraan-citraan halusinasi. Agama memang bermula dari cerapan-cerapan inderawi yang diberikan fenomena alam kepada kita tapi dengan proses kerja magis bahasa. Pemikiran religius berkaitan dengan kenyataan hanya sekedar untuk menopenginya dengan kedok yang menyembunyikan bentuk aslinya, kedok ini kemudian menjadi kepercayaan-kepercayaan yang menakjubkan yang dihasilkan oleh mitologi. Muller berkesimpulan, awalnya agama berasal dari penyakit bahasa (disease of language) tapi karena menurut pertimbangannya bahasa dan pikiran tidak bisa dipisahkan maka penyakit bahasa juga merupakan penyakit pikiran, dengan kata lain, gila.89 Kesimpulan Muller yang menyatakan bahwa agama adalah hasil dari cerapan inderawi terhadap kekuatan alam yang memberi perasaan kegaiban dan ketidakterbatasan (infinite), sebenarnya memiliki kemiripan dengan konsep

agama dari Rudolf Otto, yaitu numinous. Alam semesta yang maha luas memunculkan perasaan pada inderawi kita sebagai sebuah misteri yang menakutkan sekaligus memberi rasa ketakjuban (mysterium tremendum et fascinocum). Rasa kegaiban inilah yang mengakibatkan manusia mempersonifikasikan kekuatan-kekuatan alam.90 Hanya saja, perasaan infinite dan kegaiban yang penuh misteri ini bisa mengarah pada penyakit pikiran, dengan kata lain perasaan infinitas manusia bekerja dalam psikis ketidaksadaran yang menyebabkan metamorfosis bahasa. Ketidaksadaran ini yang pada gilirannya membuka jalan bagi penyakit pikiran. Kegilaan dapat dipahami sebagai keadaan psikis yang dikuasai oleh alam ketidaksadaran sehingga menimbulkan kekacauan penggunaan bahasa pada diri manusia. Animisme dan Naturisme mempunyai pola kerja yang sama-sama berasal dari pikiran ketidaksadaran (unconscious mind) manusia tapi agak berbeda dalam menjelaskan kemunculan fenomena agama. Animisme berangkat dari sisi internal manusia, yaitu hasil proyeksi atas kekuatan psikis manusia ke dunia luar yang kemudian mendapatkan atribut personal, sedangkan Naturisme merupakan reaksi psikis manusia terhadap kekuatan-kekuatan alam yang membawa perasaan takjub, takdhim, dan lemah dalam diri manusia, kemudian keadaan psikis ini menciptakan kekacauan bahasa. Naturisme dikenal sebagai aliran yang berusaha mengenali dewa-dewi alam yang penuh dengan ceritacerita mitologis. Dalam kepercayaan ilmiah, mitologi dewadewi memang telah musnah tetapi wujud kebudayaan modern masih menampilkannya dalam wilayah seni dan sastra. Seni dan sastra yang mengandung mitologi sangat

88 89

Evans Pritchard, Op. Cit., hlm. 28. Emile Durkheim, Op. Cit., hlm. 126.

33

90

Brian Morris, Anthropological Studies of Religion, Cambridge, 1991, hlm. 184.

34

Asal-Usul Agama dan Ketidaksadaran

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

efektif dalam mempengaruhi psikologi masyarakat meskipun mitologi sudah tidak diyakini lagi eksistensinya oleh ilmu pengetahuan. Hal ini memunculkan dua pertanyaan, yang pertama; meskipun sudah tidak diimani lagi eksistensinya oleh pengetahuan ilmiah tapi kenapa masyarakat modern masih menampilkan mitologi di bidang seni, sastra dan hiburan? Yang kedua; kenapa dan bagaimana seni mitologis lebih bisa mempengaruhi psikis manusia dan sering menjadi alat oleh agama untuk menyampaikan pesan-pesan moral tertentu? Dua pertanyaan di atas nampaknya mampu meruntuhkan determinisme ilmiah dari teori evolusi agama yang memandang mitologi pasti sirna setelah dimentahkan oleh ilmu pengetahuan modern. Walaupun telah ditelanjangi kebenarannya oleh ilmu pengetahuan, namun ilmu pengetahuan sama sekali tidak mampu memusnahkan mitologi secara sekaligus. Telah dikemukakan di atas, disebabkan mitologi bersumber dari alam bawah sadar manusia maka seni dan sastra yang mengandung mitologi lebih mudah masuk ke dalam jiwa karena memang mitologi adalah sesuatu yang sudah sangat akrab dan dikenal oleh jiwa manusia. Mitologi akan tetap selamanya bertahan dalam kehidupan selama alam bawah sadar ada dalam psikis manusia. Animisme, Magi dan Naturisme sama-sama memiliki asal-usul yang hampir mirip, yaitu berhubungan dengan mekanisme psikologi bawah sadar manusia. Menurut teori Animisme, orang-orang primitif begitu yakin bahwa keberadaan jiwa dan roh yang berasal dari pemikiran mereka dalam mimpi adalah betul-betul nyata. Orangorang primitif mengobjektivikasikan ke dunia luar pengalaman psikologis mereka ketika bermimpi. Dengan mengobjektivikasikan gambaran-gambaran mimpi ke dunia eksternal menyebabkan keadaan mimpi terbawa pada saat terjaga. Pengalaman mimpi yang terbawa hingga

terjaga disebut dengan kwasi-mimpi. Maka kepercayaan animistik bisa diyakini sebagai kenyataan yang benar karena dikondisikan oleh kwasi-mimpi. Hal ini hanya bisa dipahami kalau keyakinan yang kuat dalam kepercayaan animistik ternyata berasal dari keadaan mimpi yang masih berlangsung dalam dunia nyata, dengan kata lain mimpi yang terjaga. Orang-orang primitif meyakini bahwa roh dan jiwa itu nyata berasal dari kondisi mimpi mereka yang terus terbawa sampai terbangun. Jadi, kondisi yang melatar belakangi keyakinan orang primitif terhadap Animisme adalah mimpi dalam keadaan terjaga (kwasi-mimpi). Orang yang bermimpi pada saat terjaga akan menganggap hal-hal yang berbau ilusi pun sebagai kenyataan. Bagaimanakah kita bisa membangunkan orang-orang ini? Sedangkan Magi bersumber dari keyakinan psikis yang terlalu berlebihan menganggap dunia benda bisa dikendalikan dengan pikirannya saja. Mereka menerapkan mekanisme psikis terhadap alam. Apa yang bisa digerakkan oleh pikiran secara mental, bisa juga dapat diterapkan dalam fenomena benda. Pikiran bisa mengatasi benda-benda di sekitarnya. Kekuatan pikiran yang berlebihan ini berasal dari proses primer (primary process) manusia yang sama dengan keadaan delusi, halusinasi, dan mimpi. Yang menjadi masalah adalah delusi yang dialami oleh orang-orang primitif terjadi dalam keadaan terjaga dan keadaan itu sama dengan psikologi Animisme. Lalu bagaimanakah kita membangunkan mereka dari keadaan delusi yang dialami pada saat terjaga? Kedua kondisi dalam Animisme dan Magi ternyata terjadi juga dalam Naturisme. Pengalaman ketidakterbatasan (infinite) yang kemudian meyebabkan penyakit bahasa (disease of language) dalam Naturisme adalah sebuah kondisi halusinasi yang terekspresikan melalui pencerapan inderawi. Pada waktu munculnya perasaan infinitas yang disebabkan oleh fenomena alam

35

36

Asal-Usul Agama dan Ketidaksadaran

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

yang begitu fantastis, pencerapan inderawi yang melihat fenomena alam tersebut mengalami distorsi yang disebabkan oleh mekanisme psikologi dari dalam, yaitu alam bawah sadar (unconscious mind). Setelah alam bawah sadar menguasai pikiran dan perasaan yang pada saat itu dipenuhi dengan ketakjuban (infinite), mekanisme psikologi alam bawah sadar menciptakan keadaan halusinasi yang mengakibatkan terjadinya metamorfosis bahasa yang bersifat hiperbolik ataupun personifikasi. Kekuatankekuatan alam yang pada mulanya bersifat impersonal kemudian beralih menjadi pribadi yang ditinggikan, hal ini terjadi karena metamorfosis bahasa berlangsung secara halusinatif. Yang menjadi pertanyaan adalah kenapa Animisme, Magi dan Naturisme yang sama-sama mengindikasikan kondisi kwasi mimpi, delusi, halusinasi mempunyai susunan dan ekspresi yang berbeda satu dengan yang lainnya padahal semuanya itu berasal dari alam ketidaksadaran manusia? Kwasi-mimpi, delusi dan halusinasi merupakan aktivitas-aktivitas psikis yang bersumber dari dunia bawah sadar atau ketidaksadaran (unconscious mind). Dengan kata lain, Animisme, Magi dan Naturisme merupakan kepercayaan primitif yang saling berbeda susunan dan ekspresinya namun bersumber dari impuls yang sama, yaitu alam ketidaksadaran (unconscious mind). Pertanyaan ini hanya bisa dijawab apabila ada suatu kondisi umum yang menyatukan pengalaman Animisme, Magi dan Naturisme sehingga kondisi ini bisa mengekspresikan diri secara berbeda-beda sesuai dengan pancingan dari realitas. Menurut hipotesa penulis, keadaan Animisme, Magi dan Naturisme berasal dari keadaan skizofrenik orangorang primitif yang kemudian terekspresikan secara berbeda-beda tergantung pancingan dari keadaan sekitarnya. Skizofrenia adalah wilayah psikologi yang

dikuasai oleh alam bawah sadar. Orang-orang yang mengalami skizofrenia pastilah ia juga mengalami kondisi kwasi mimpi, delusi dan halusinasi, yaitu pengalamanpengalaman yang mendasari Animisme, Magi, dan Naturisme. Kondisi skizofrenik yang dipancing oleh keadaan realitas di sekitarnya baik dari sisi internal manusia itu sendiri atau pun dari sisi eksternal di luar manusia bisa menghasilkan aspek-aspek yang berbeda dalam bentuk Animisme, Magi, Naturisme, dan yang lainnya. Keadaan skizofrenia orang-orang primitif dengan keadaan pada zaman modern tentulah berbeda. Dalam zaman modern, kedewasaan yang didorong oleh kesadaran akal-budi telah muncul dan mampu menggeser kepercayaan-kepercayaan primitif meskipun tidak sekaligus berhasil memusnahkannya, karena kepercayaankepercayaan primitif ini berasal dari dinamika psikis alam bawah sadar manusia itu sendiri. Skizofrenia dalam abad primitif justru didukung oleh institusi-institusi pada zamannya, semisal institusi perdukunan (shamanism) dan paranormal. Perdukunan memandang skizofrenia sebagai gejala positif yang sesuai dengan alam kepercayaan primitif dan hal ini berbeda dengan suasana alam pemikiran dunia modern. Perdukunan dan paranormal merupakan fenomena pinggiran yang telah terpojokkan oleh nalar meskipun institusi ini masih bertahan hidup dan berkembang biak sampai sekarang. Tetapi sampai saat ini tidak ada tanda-tanda sedikitpun yang mampu menjelaskan kenapa fenomena perdukunan dan paranormal tidak bisa terhapuskan walaupun pengetahuan modern telah membunuhnya berkali-kali. Pertanyaan ini hanya bisa dijawab apabila kita menengok bahwasanya institusi perdukunan dan paranormal akan selamanya eksis sepanjang alam ketidaksadaran tetap ada dalam psikis manusia, padahal alam bawah sadar adalah wilayah psikis

37

38

Asal-Usul Agama dan Ketidaksadaran

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

manusia yang paling dominan dan akan terus selamanya ada. Agama primitif, perdukunan dan skizofrenia merupakan ekspresi terdalam dari psikis manusia yang akan terus bergejolak meskipun selalu dihadang dan dibunuh berkali-kali oleh alam pemikiran modern.

tidak akan menjelaskan teori agama Freud secara menyeluruh. Penulis hanya ingin mengulas secara sangat singkat bagaimana Freud menelusuri totemisme yang ternyata bersumber dari represi seksual Oedipus Complex. Represi dalam Oedipus Complex bisa dipahami sebagai bentuk pengekangan seksual yang dipaksakan oleh sang ayah kepada sang anak lelaki karena ada kecenderungan laten pada anak lelaki untuk mencintai secara seksual kepada sang ibu dan menimpakan sifat cemburu pada sang ayah. Ini adalah serpihan kecil dari teori Freud yang luas namun merupakan jantung psikoanalisa yang kontroversial. Pada mulanya, psikonalisa lahir dari ketelitian yang terus menerus dari seorang ahli terapi terhadap pasiennya yang sering mengalami gangguan psikis. Praktek terapilah yang pada mulanya menunjukkan gejala-gejala awal bahwa gangguan jiwa bermula dari dinamika ketidaksadaran psikis manusia. Freud adalah orang yang pertama mengemukakan secara ilmiah bahwa represi seksual yang berlebihan dan menindas dapat mengakibatkan gangguan-gangguan psikis pada manusia.92 Dan represi ini ternyata sudah memiliki akar-akarnya sejak manusia berusia kanak-kanak. Dalam karyanya yang berjudul Three Essays on the Theory of Sexuality, Freud mengemukakan bahwa sejak usia balita, anak-anak sudah mengembangkan kecenderungan seksual yang infantile. Semenjak balita, anak laki-laki sudah mulai memiliki kecenderungan untuk mengarahkan cintanya pada sang ibu dan menimpakan kecemburuan pada sang ayah.93 Kecenderungan ini tidak disadari secara jelas dan terjadi

D. Totemisme dalam Psikoanalisa Yang keempat adalah totemisme menurut perspektif psikoanalisa. Jika kita mendengar istilah psikoanalisa maka kita tidak bisa menghindar dari sosok Sigmund Freud. Ia lahir pada tanggal 6 Mei 1856 di Freiberg, sebuah kota di Moravia yang sekarang disebut Pribor, Cekoslowakia. Ibunya bernama Amalie, merupakan istri ketiga Jacob Freud. Ayah Sigmund Freud adalah sorang pedagang wol yang berkebangsaan Yahudi. Pada tahun 1859, ketika Sigmund Freud berumur 3 tahun, keluarganya pindah ke kota Wina. Selama tujuh puluh sembilan tahun berikutnya, Freud terus tinggal dan bekerja di kota ini. Sekalipun berulang-ulang ia mengatakan kalau Wina adalah kota yang kurang meyenangkan tetapi sungkan bagi Freud untuk meninggalkannya. Pada tahun 1938, karena serangan Nazi, Freud terpaksa meninggalkan Wina dan mengungsi ke Inggris hingga saat meninggalnya pada tanggal 23 September 1939 setelah meletusnya Perang Dunia Kedua.91 Teori-teori agama Freud sebenarnya memiliki dimensi yang sangat luas. Hal ini disebabkan karena psikonalisa telah menjadi suatu pandangan dunia (weltanschauung) yang mampu menjangkau banyak dimensi atau aspekaspek kehidupan lain, semisal filsafat, antropologi, sosiologi, budaya, pendidikan, seni dan tentunya agama, psikologi dan kedokteran. Dalam bab buku ini, penulis

92

91

Antony Storr, Freud, Grafiti, Jakarta, 1991, hlm. 1.

39

Sigmund Freud, Memperkenalkan Psikoanalisa: Lima Ceramah, Gramedia, Jakarta, 1979, hlm. 35. 93 Ibid., hlm. xvii.

40

Asal-Usul Agama dan Ketidaksadaran

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

pada alam bawah sadar anak. Ini adalah basis lapangan bagi munculnya teori Oedipus Complex. Dari manakah kecenderungan ini berasal? Teori totemisme yang diusung oleh psikoanalisa dapat disingkat sebagai berikut; Freud mendasarkan asal-usul totemisme terjadi dalam suatu gerombolan asli (primal horde) pada masyarakat primitif awal, yaitu suatu bentuk masyarakat Darwinian di mana yang ada adalah sang ayah yang kejam, pencemburu, yang suka menyimpan semua perempuan untuk dirinya sendiri sebagai hak seksualnya dan mengusir anak-anak lelakinya apabila mereka mulai beranjak dewasa. Sang ayah mengusir anak-anak lelakinya karena ada kecenderungan kuat anak-anak lelakinya menginginkan hak seksual seperti dirinya, yaitu mengawini ibu atau saudara-saudara perempuan mereka.94 Suatu hari, karena gerah oleh represi seksual yang tak tertahankan, sekelompok anak laki-laki yang diusir menggabungkan kekuatannya untuk membunuh dan memakan ayah mereka. Dengan bersama-sama mereka melakukan pembunuhan yang tidak mungkin mereka lakukan secara sendirian. Sudah pasti manusia-manusia liar ini memakan ayah mereka karena mereka masih kanibal sehingga setiap anak lelaki menyimpan gambaran tentang model ayah yang ditakuti sekaligus dihormati dalam psikis ketidaksadaran. Ayah merekalah yang telah menciptakan orde masyarakat dengan melakukan pengekangan seksual terhadap anak lelakinya dari saudara perempuan dan ibu mereka.95 Pesta makan dalam agama totemisme berasal dari tragedi pembunuhan ini, yaitu dalam bentuk pengulangan dan peringatan atas peristiwa pembunuhan sang ayah.

Setelah anak-anak lelaki membunuh sang ayah, mereka dengan bebas memperebutkan ibu dan saudara perempuan mereka sehingga hal ini menciptakan anarki yang menyebabkan integrasi gerombolan tersebut terancam musnah. Maka untuk menghindari disintegrasi masyarakat dibuatlah semacam kontrak sosial dalam bentuk pemujaan totem. Pemujaan totem berasal dari rasa penyesalan anak lelaki karena telah membunuh ayah mereka. Anak-anak lelaki mengalami semacam ambivalensi emosi, di satu sisi mereka ingin membunuh ayah mereka yang kejam karena menindas kecenderungan seksual mereka, di sisi lain mereka mengagumi ayah mereka yang mampu menjaga orde masyarakat gerombolan pada saat itu. Rasa penyesalan ini kemudian dialihkan (displacement) dalam wujud binatang yang kemungkinan besar adalah hasil penyimpangan psikologis yang berasal dari sikap phobia. Sikap phobia dihasilkan dari ambivalensi emosi sang anak yang mengagumi figur ayah mereka sekaligus membencinya. Ambivalensi ini kemudian oleh mekanisme psikologi phobia dipindahkan pada wujud binatang, karena pada zaman itu mata pencaharian manusia masih dalam bentuk perburuan binatang. Pada saat pemujaan totem, anak-anak lelaki menghidupkan kembali wujud sang ayah dalam wujud binatang yang mereka puja dan sembah sebagai bentuk penghormatan pada sang ayah namun juga setelah selesai pemujaan, hewan totem itu mereka bunuh dan dimakan beramai-ramai sebagai simbol rasa kebencian pada sang ayah. Rasa penyesalan sang anak juga kemudian menghasilkan kesepakatan untuk tidak mengawini ibu dan saudara-saudara perempuan mereka sehingga terciptalah eksogami yang dapat menghindarkan kelompok tersebut

94 95

Sigmund Freud, Op. Cit., hlm. 226. Ibid., hlm. 227.

41

42

Asal-Usul Agama dan Ketidaksadaran

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

dari situasi anarki.96 Rasa penyesalan para anak lelaki memunculkan dua tabu, yaitu dilarang membunuh hewan totem sebagai lambang ayah mereka terkecuali pada saat pemujaan saja dan dilarang mengawini ibu dan saudara perempuan mereka karena hal ini akan menciptakan anarki yang menghancurkan orde masyarakat itu sendiri, dari sinilah lahir prinsip eksogami untuk menghindari incest. Jadi, Freud menganggap bahwa agama totem berasal dari sikap ambivalensi sang anak terhadap ayah mereka. Karena pewarisan psikis terjadi dalam sejarah evolusi manusia, maka manusia modern pun tentu masih memiliki kecenderungan dan gambaran Oedipus Complex yang berasal dari nenek moyang mereka.97 Penelusuran Freud tentang asal-usul agama totem menghasilkan proposisi bahwa tuhan yang menjadi obyek sesembahan manusia tidak lain adalah simbol ayah yang ditinggikan saja. Simbol sang ayah dalam pemujaan totem mampu menenangkan psikologi sang anak yang mengalamai perasaan ambivalensi yang ditimbulkan oleh Oedipus Complex setelah tragedi pembunuhan terhadap sang ayah. Fungsi lambang totem sang ayah pada saat pemujaan berusaha merestorasi, mengulang dan mengenang otoritas sang ayah yang selalu menaungi anaknya yang masih kecil dan mampu menciptakan orde masyarakat yang stabil. Dari tesis Freud ini dapat disimpulkan secara tersirat bahwa agama totem yang dianggap sebagai agama paling tua dan elementer ternyata berasal dari tragedi kriminal pembunuhan sang ayah yang kemudian menghasilkan semacam kontrak sosial. Maka, kalau kita mengakui bahwa agama-agama sekarang

merupakan bentuk evolusi yang halus dari agama-agama sebelumnya di mana totemisme adalah agama yang paling pertama, tentu agama yang kita anut merupakan lembaga kebudayaan manusia yang tercipta dari sebuah kekacauan psikologis. Kekacauan psikologis ini berasal dari momen Oedipus Complex, yaitu represi seksual yang dialami sang anak kemudian dilanjutkan dengan tragedi pembunuhan sang ayah purba, dan ini menciptakan perasaan ambivalensi pada kelompok anak laki-laki, yaitu antara rasa benci dan kekaguman pada diri ayah purba. Ternyata, perasaan Oedipus Complex yang akhirnya memunculkan tragedi pembunuhan sang ayah purba dan menghasilkan lembaga pemujaan totem juga diwariskan kepada manusia modern secara psikis dari nenek moyang mereka pada zaman gerombolan asli (primal horde). Pewarisan psikis ini tersimpan baik dan terjaga dalam alam bawah sadar kolektif manusia hingga sekarang.98 Agama totem yang menyembah dan memuja sang ayah yang kemudian dialihkan dalam wujud binatang bisa menjadi petunjuk awal bagaimana asal mula dewa-dewa memiliki bentuk separuh manusia dan separuh binatang. Wujud binatang yang melekat pada diri dewa-dewa memiliki asal-usul pada hewan totem yang menjadi sesembahan masyarakat primitif yang kemudian mengalami proses evolusi seperti bentuk tuhan yang dikenal sekarang ini. Sebenarnya, sisa-sisa totemisme ayah yang ditinggikan masih ada jejak-jejaknya dalam agamaagama tradisional dan bahkan modern sekalipun. Kita bisa melihat dewa-dewa alam yang memiliki hierarki kekuasaan ternyata ada dalam kelompok-kelompok keluarga. Dewadewa yang memiliki hierarki tertinggi biasanya mengambil

96 97

Ibid., hlm. 228. Ibid., hlm. 231.

98

43

Ibid., hlm 235.

44

Asal-Usul Agama dan Ketidaksadaran

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

figur dan sifat-sifat seorang ayah. Dalam monoteisme yang telah mengalami evolusi yang lebih maju pun, tuhan masih memiliki atribut kelaki-lakian, semisal kata ganti tuhan yang bersifat maskulin. Teori Freud yang mengatakan bahwa agama bermula dari pengekangan seksual dalam Oedipus Complex semakin mengukuhkan asal-usul Animisme, Magi dan Naturisme. Sebagaimana telah dijelaskan oleh penulis sebelumnya, agama Animisme, Magi dan Naturisme mempunyai akarakar pada dunia bawah sadar manusia yaitu kwasi-mimpi, delusi dan halusinasi yang menyatu dalam kondisi skizofrenia dan kemudian mengekpresikan diri berdasarkan pancingan realitas sehingga muncullah bentuk agama-agama yang berbeda. Lalu apakah yang menghubungkan antara Animisme, Magi, Naturisme dengan Totemisme yang berasal dari represi seksual? Berdasarkan berbagai penelitian penulis, orang-orang yang mengalami skizofrenia biasanya sebelum sakit mereka mempunyai bentuk-bentuk perasaan religius, diantaranya yaitu kepercayaan animistik, magis dan kegaiban. Keadaan psikologi animistik, kegaiban dan magis ini menjadi prakondisi bagi munculnya skizofrenia, namun keadaankeadaan ini bukan penyebab atau pencetus terjadinya skizofrenia. Yang menjadi salah satu pencetus gangguan jiwa menurut Freud adalah represi seksual yang berlebihan sehingga mengingkari kodrat alamiah manusia itu sendiri. Represi seksual memang muncul karena faktor dari luar manusia tetapi wilayah kerja represi seksual terjadi dalam dunia psikis internal manusia. Represi seksual dapat memancing munculnya kekuatan alam bawah sadar yang dapat melahirkan delusi dan halusinasi sehingga kondisi psikis orang tersebut sudah di luar kendali akal fikiran. Enersi alam bawah sadar yang menciptakan delusi dan halusinasi berasal dari daya seksual yang tertekan atau terepresi. Beranjak dari konsepsi Freud, penulis

berkesimpulan bahwa keadaan skizofrenia yang dipicu oleh represi seksual telah mengekspresikan diri dalam bentuk kwasi-mimpi, delusi dan halusinasi di mana ketiganya menjadi dasar bagi Animisme, Magi dan Naturisme. Jadi, skizofrenia yang disebabkan oleh represi seksual menjadi landasan utama bagi munculnya Animisme, Magi, dan Naturisme. Teori ini juga bisa sedikit membantu bagaimana perasaan religius itu bisa terbentuk pada kondisi-kondisi psikis yang dikuasai oleh alam bawah sadar. Fantasi religius yang selama ini dianggap ilahiah oleh orang-orang beriman atau para ahli mistikus yang mengalami kesatuan wujud (mystical union) dengan tuhan sebenarnya merupakan penguapan atau manifestasi penghalusan dari seksualitas yang tertekan. Daya seksualitas yang terepresi dalam alam bawah sadar muncul ke permukaan psikis dalam bentuk lapisan yang sangat halus yang memberikan suatu perasaan tak terbatas (infinite), ekstase, delirium dan kenikmatan religius yang sulit untuk diungkapkan. Hal ini juga terjadi dalam konsep mana dari Marett dan ide numinous dari Rudolf Otto, di mana keduanya yang sering dianggap sebagai dasar-dasar agama dan bisa menciptakan perasaan kegaiban dalam diri seseorang ternyata tidak lain berasal dari penghalusan seksualitas yang tertekan dalam alam bawah sadar. Enersi seksual yang tertekan dalam alam bawah sadar tidak hilang sepenuhnya, justru karena tertekan ia mencari saluran-saluran untuk dapat keluar dan berubah wujud (sublimasi) agar dapat mengelabuhi sensor dari alam kesadaran. Sublimasi dari seksualitas yang tertekan inilah yang memberikan perasaan religius yang nikmat dan tak tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata, namun karena seksualitas yang muncul ke permukaan psikis telah berubah wujud dari bentuk aslinya semula, hal ini mengakibatkan kesadaran sudah tidak menyadari dan

45

46

Asal-Usul Agama dan Ketidaksadaran

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

mengenali bahwa perasaan religius yang bersifat ilahiah itu sebenarnya adalah seksualitas yang telah bertransformasi. Dibutuhkan sebuah penelitian psiko-kimiawi terhadap materi seksualitas dan bagaimana materi seksualitas ini bisa mempengaruhi psikis serta mampu melakukan sublimasi atau transformasi energi sehingga terciptalah fantasi religius yang selama ini menjadi perdebatan yang tiada habisnya. Seksualitas yang tertekan dapat memicu munculnya delusi dan halusinasi. Padahal delusi dan halusinasi merupakan bagian dari dinamika alam bawah sadar. Kalau kita teliti dengan cermat, orang-orang yang mengalami kesatuan wujud dengan tuhan sebenarnya psikis mereka sedang dikuasai oleh kekuatan alam bawah sadar. Dengan keadaan psikis mereka yang dikuasai oleh dinamika alam bawah sadar berarti orang-orang yang mengalami kesatuan wujud dengan tuhan menunjukkan kalau mereka sedang dipengaruhi oleh delusi dan halusinasi. Orang yang dikuasai oleh kekuatan alam bawah sadar cenderung tidak bisa mengendalikan diri mereka sendiri, daya kontrol terhadap dirinya telah diambil alih oleh delusi dan halusinasi. Pengaruh halusinasi dan delusi-lah yang mengakibatkan seseorang bisa merasakan pengalaman spiritual yang luar biasa, di mana ia seolah-olah dikendalikan oleh kekuatan asing yang tak nampak, mendengar suara-suara gaib, melihat penampakanpenampakan, merasakan kalau dirinya memiliki kekuatan yang maha adi-duniawi, mengalami perasaan kegembiraan yang meluap-luap, atau sebaliknya tercekam dalam suatu kondisi yang sangat tertekan dan menakutkan, dan masih banyak lagi ciri-ciri lain yang menunjukkan kalau orang yang mengalami kesatuan wujud dengan tuhan sebenarnya mereka sedang dikuasai oleh delusi dan halusinasi. Namun, dengan menyadari kalau perasaan religius dan pengalaman sufisme atau mistis yang sering kita rasakan

itu ternyata berasal dari sublimasi daya-daya seksual yang bisa menciptakan delusi dan halusinasi, maka seharusnya kita bisa memformulasikan kembali bagaimanakah bentuk mistisisme yang lebih sehat dan bebas dari pengaruh dayadaya delusi dan halusinasi sehingga dengan usaha tersebut kita mampu beragama dengan lebih baik dan dewasa. Salah satu ciri keberagamaan yang matang ialah kita mendasarkan pengalaman keberagamaan kita pada pondasi kesadaran (consciousness), dan bukannya meletakkan pengalaman tersebut pada daya-daya delusi dan halusinasi yang berasal dari kekuatan alam bawah sadar (unconscious mind). Tulisan-tulisan Freud yang terlalu menekankan unsur seksualitas sebagai penyebab munculnya gejala neurotik ataupun psikotik bisa dipahami oleh penulis karena penulis sendiri telah mengalami skizofrenia selama bertahuntahun. Dalam masa-masa sebelum munculnya gejala patologi skizofrenia, penulis merasakan perasaan kegaiban, daya magis serta kegembiraan religius yang meluap-luap, dan setelah diteliti secara cermat hal ini ternyata disebabkan oleh represi seksual yang kemudian tertekan di alam bawah sadar. Sebenarnya enersi seksual tidaklah hilang sepenuhnya, enersi yang tertekan dalam alam bawah sadar ini berusaha mencari saluran-saluran psikis sebagai tempat untuk muncul ke dunia luar namun melalui penghalusan atau perubahan wujud sehingga kesadaran sudah tidak menyadari bahwa seksualitas yang tertekan tersebut telah berubah wujud menjadi perasaan religius yang meluap-luap. Perasaan religius yang penuh ekstase yang sering menjadi dasar bagi kepercayaan sufisme dan mistisisme kalau kita teliti secara reflektif sebenarnya merupakan kedok penghalusan dari seksualitas yang tertekan. Freud menyebut seksualitas sebagai dorongan enersi yang lembut dan kenyal karena enersi ini bisa dipindah-

47

48

Asal-Usul Agama dan Ketidaksadaran

pindahkan dengan mengalami perubahan objek pemuasan. Hal inilah yang membedakan dengan dorongan keinginan untuk makan dan minum karena kedua dorongan ini tidak selamanya bisa dipuaskan melalui khayalan dari proses primer (primary process) sehingga apabila keduanya tidak bisa dipuaskan dengan benda yang sebenarnya akan mengakibatkan kematian pada manusia. Kita tidak mungkin makan dengan makanan imajinasi dan kita tidak bisa minum dari air khayal, meskipun khayalan halusinasi bisa untuk sementara meredakan ketegangan yang disebabkan oleh rasa haus dan lapar. Tentu ini berbeda dengan dorongan seksualitas yang apabila tidak dipenuhi sekalipun manusia akan tetap hidup, namun manusia harus mengganti seksualitas yang tidak bisa dipuaskan di dunia luar ini dengan munculnya gejala-gejala patologis, semisal delusi, halusinasi, dan psikotik (skizofrenia). Ada jalan melingkar untuk menghindari patologi psikis yang disebabkan oleh represi seksual, yaitu dengan jalan pemuasan seksualitas melalui daya khayal atau imajinasi dan penyaluran enersi seksual yang tertekan menuju kegiatan-kegiatan atau saluran-saluran yang lebih kultural atau artistik. Namun, kegiatan kultural dan artistik yang menjadi asal-mula munculnya peradaban bukan tidak memiliki konsekuensi, karena dengan mengubah obyekobyek enersi seksual yang bersifat naluriah menuju obyekobyek yang tidak lagi bersifat naluriah memiliki potensi penindasan terhadap insting manusia yang selamanya tidak akan pernah dapat dihancurkan. Peradaban yang dibangun oleh manusia mempunyai akar-akarnya dalam insting manusia yang tertekan. Tapi, apabila naluri atau enersi seksual ini tidak diawasi, ditekan, dan dikendalikan, ia bisa menjadi sumber konflik dan alat penghancur kebudayaan manusia.

49

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

E.

Fungsionalisme

Yang kelima adalah fungsionalisme. Apabila kita menyebut fungsionalisme maka perhatian kita pasti tertuju pada perintis sosiologi masyarakat, yaitu Emile Durkheim. Fungsionalisme pada awalnya merupakan sebuah gerakan pemikiran sosiologis yang berusaha melawan aliran pemikiran evolusionis zaman Victorian. Fungsionalisme menjadi sebuah mazhab pemikiran internasional setelah terjadi perang dunia pertama dan yang menjadi punggawanya yang paling terkenal di antaranya adalah Bronislaw Malinowski dan Radcliffe-Brown. Kedua-duanya adalah raksasa intelektual Inggris yang terpengaruh oleh tulisan-tulisan Durkheim dan berusaha memperkenalkan studi antropologi dan sosiologi yang lebih modern pada zamannya.99 Dalam tulisan pendek ini, penulis hanya ingin memfokuskan ulasan pada salah satu tokoh fungsionalisme modern, yaitu Bronislaw Malinowski. Malinowski lahir di kota Cracow, Polandia, pada tahun 1884. Dia banyak menghabiskan waktu hidupnya bertahun-tahun di kota London dan kemudian terbiasa dengan suasana dan bahasa kota tersebut. Dia adalah seorang profesor antropologi di universitas London semenjak tahun 1927 hingga kematiannya pada tahun 1942. Karyanya yang paling terkenal adalah Magic, Science and Religion yang terbit pada tahun 1925.100 Banyak hal penting dalam studi agama yang mendapatkan pengaruh dari mazhab pemikiran fungsionalisme. Dalam kerangka acuan penelitian empiris,

99

Brian Morris, Op. Cit., hlm. 128-130. Bronislaw Malinowski, Magic, Science and Religion, New York, 1954, hlm. 1. 100

50

Asal-Usul Agama dan Ketidaksadaran

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

teori fungsional menganggap masyarakat sebagai suatu lembaga sosial yang berada dalam kondisi keteraturan atau keseimbangan. Lembaga inilah yang mempolakan kegiatan manusia berdasarkan norma-norma yang dianut secara kolektif serta dianggap lazim dan mengikat peran serta manusia itu sendiri. Masyarakat merupakan lembaga yang kompleks dan secara keseluruhan bisa diperlakukan sebagai sistem sosial yang sedemikian rupa di mana setiap bagian saling tergantung dengan semua bagian lain, sehingga apabila ada perubahan dalam satu bagian tentunya akan mempengaruhi bagian lain yang pada akhirnya mempengaruhi sistem sosial secara keseluruhan. Dalam pengertian ini, agama merupakan salah satu bentuk perilaku manusia yang telah terlembaga dalam sebuah sistem sosial.101 Sosiologi modern telah menyadari, walaupun manusia menganut berbagai nilai, gagasan dan orientasi yang terpola yang mempengaruhi perilaku mereka dan bertindak dalam konteks yang terlembaga, akan tetapi yang bertindak, berfikir, dan merasa adalah individu. Kini, sosiologi dan antropologi modern mengakui sumbangan psikologi kepribadian dan mengambil kerangka acuan yang dalam hal ini adalah kepribadian manusia, yakni suatu kompleks dorongan, kebutuhan, kecenderungan memberikan tanggapan dan bertindak, nilai dan sebagainya yang bersifat sistematis. Kepribadian ini merupakan sebuah sistem yang telah terpola melalui proses belajar dan atas otonominya sendiri.102 Teori fungsional memandang manusia yang ada dalam masyarakat sebagai ditandai oleh beberapa tipe kebutuhan dan kecenderungan bertindak. Demi eksistensi hidupnya,

manusia harus bertindak terhadap lingkungannya, baik dengan cara menyesuaikan diri pada lingkungan itu atau menguasai dan mengendalikannya. Sejarah kemanusiaan menunjukkan bahwa kemampuan manusia untuk mengendalikan lingkungan dan mempengaruhi kondisi lingkungannya selalu terus meningkat. Tetapi manusia bukan hanya pembuat benda dan manipulator kondisi lingkungannya. Kegiatan manusia bukan hanya kegiatan yang bersifat penyesuaian dan manipulasi. Manusia juga mengungkapkan perasaan, bertindak melaksanakan kebutuhan yang dirasakan, menanggapi orang dan benda dengan cara yang non-utilitarian dan terlibat dalam macam-macam bentuk hubungan. 103 Sejauh mana makna penting agama bila dilihat dari sisi kebutuhan manusia akan penyesuaian dan pengungkapan ini? Aksioma teori fungsional adalah segala sesuatu yang tidak memiliki fungsi pastilah akan musnah dengan sendirinya. Karena agama sejak nenek moyang kita sampai sekarang itu masih ada, hal ini menunjukkan bahwa agama pastilah memiliki fungsi tertentu dalam kehidupan manusia. Fungsionalisme memandang bahwa peran agama terhadap masyarakat dan kebudayaan manusia ternyata didasarkan pada karakteristik pentingnya dalam mentransendensikan pengalaman sehari-hari. Kenapa manusia membutuhkan sesuatu yang mampu mentransendensikan pengalaman sehari-hari mereka?104 Fungsionalisme bependapat bahwa munculnya kebutuhan agama didasarkan pada tiga karakteristik dasar eksistensi manusia, yaitu adanya ketidakpastian, ketidakberdayaan dan kelangkaan. Pertama, manusia sering hidup dalam sebuah kondisi ketidakpastian yang

101 102

Thomas F. O’Dea, Sosiologi Agama, Rajawali, Jakarta, 1985, hlm. 3. Ibid., hlm. 5.

51

103 104

Ibid., hlm. 6. Ibid., hlm. 7.

52

Asal-Usul Agama dan Ketidaksadaran

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

menyangkut arti penting keamanan dan kesejahteraannya ternyata ada di luar kendali manusia itu sendiri. Kedua, kesanggupan manusia dalam mengendalikan dan mempengaruhi kondisi hidupnya sering mengalami keterbatasan-keterbatasan yang disebabkan ketidakberdayaannya. Dan yang ketiga adalah manusia harus hidup dalam suatu masyarakat yuang hanya mempunyai alokasi yang terbatas dalam berbagai fungsi, fasilitas dan ganjaran, di sini meliputi pembagian kerja dan hasil produksi. Dalam hal ini manusia menghadapi suatu kondisi kelangkaan yang ternyata merupakan salah satu ciri eksistensi mansusia. Jadi, fungsionalisme memandang bahwa agama muncul dari keadaan manusia untuk menyesuaikan diri dan menghadapi tiga ciri eksistensi manusia, yaitu ketidakpastian, ketidakberdayaan dan kelangkaan. Agama memiliki aspek fungsional yang sangat diperlukan oleh manusia untuk menghadapi dan memberikan pasokan makna hidup karena manusia sering dirundung oleh kondisi ketidakpastian, ketidakberdayaan dan kelangkaan, sehingga tanpa bantuan agama, hidup manusia akan terasa absurd dan muspra.105 Konteks ketidakpastian menunjuk pada kenyataan semua usaha manusia, betapapun telah direncanakan sedemikian baiknya dan dilaksanakan dengan tepat tetap tidak terlepas dari kegagalan dan kekecewaan. Bahkan dalam masyarakat yang capaian teknologinya telah mumpuni, keberuntungan tetap merupakan suatu berkat dari ketidakpastian. Ketidakpastian membawa manusia keluar dari situasi perilaku sosial yang biasa menuju semacam transendensi pengalaman sehari-hari. Ketidakpastian dan ketidakberdayaan membawa manusia pada

suatu keadaan di mana berbagai usaha teknik biasa yang telah mapan dalam struktur sosial tidak memiliki kelengkapan total sebagai penyedia mekanisme penyesuaian. Oleh karena itu, manusia berhadapan dengan suatu titik kritis yang mengandung deprivasi dan frustasi. Yaitu, manusia berhadapan dengan unsur yang tak bisa dilampaui oleh pengalaman biasa maka timbullah masalahmasalah yang hanya bisa dijawab oleh sesuatu yang mampu melampaui titik kritis tersebut, yaitu agama dan magi.106 Penjelasan di atas merupakan kondisi penyebab bagi munculnya agama dan magi. Menurut Malinowski, betapapun primitifnya sebuah masyarakat tidak ada yang tidak memiliki konsep agama dan magi. Memang agama dan magi memiliki perbedaan yang cukup tajam, namun magi baginya memiliki fungsi yang sama dengan agama, yaitu memberikan keyakinan dan harapan kepada individu dari kondisi deprivasi dan frustasi yang diakibatkan oleh ketidakpastian dan ketidakberdayaan karena keterbatasan manusia dalam menghadapi realitas kehidupan. Agama dan magi merupakan respon emosional manusia dari situasi kepanikan epistemologis. Agama dan magi muncul sebagai respon natural terhadap kebuntuan dalam kehidupan praktis ketika pengetahuan dan kontrol teknis sudah tidak memadai lagi.107 Apa yang kita paparkan di atas dapat digambarkan oleh pandangan Malinowski terhadap agama dan magi berkat studinya tentang penduduk Trobriand. Ia mencatat bahwa penduduk kepulauan ini memiliki banyak sekali pengetahuan dan keahlian empiris di bidang penangkapan ikan dan perkebunan yang berfungsi sebagai sarana 106

105

107

Ibid., hlm. 7-8.

53

Ibid., hlm. 9. Brian Morris, Op. Cit., hlm. 181.

54

Asal-Usul Agama dan Ketidaksadaran

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

produksi penduduk tersebut. Mereka menganggap bahwa magi adalah tindakan ritual yang tak terpisah dengan keberhasilan di bidang perkebunan dan penangkapan ikan, walau tidak seorang pun mengetahui apa yang akan terjadi tanpa adanya ritual magi, karena ketika Malinowski sedang melakukan penelitiannya memang tak ada penduduk yang tidak menggunakan magi. Penduduk Trobriand juga tahu bahwa dengan magi pun bencana tetap saja terjadi dan menimpa usaha mereka. Dengan begitu suku Trobriand tidak mengatributkan semua keberhasilan kepada ritus magi. Mereka menyadari penyebab dan kondisi alam serta usaha fisik untuk mengendalikan hal itu. Jika terjadi pagar roboh, bibit rusak atau pun punah, mereka harus kembali bekerja, bukannya beralih pada ritus magi dan itu di bimbing oleh nalar dan pengetahuan mereka. Mereka juga mengetahui bahwa walaupun dengan usaha dan pengetahuan yang benar, keberhasilan bisa saja tidak diperoleh. Hasil yang akan diperoleh ditentukan oleh berbagai kekuatan-kekuatan dan badan yang ada di luar jangkauan mereka. Panen yang berhasil atau yang gagal merupakan hasil dari unsur-unsur yang tidak diketahui dan tak terjangkau. Kegagalan bisa disebabkan oleh nasib jelek atau kesialan tanpa memandang usaha yang paling gigih dan pengetahuan yang terbaik. Maka untuk mengendalikan pengaruh-pengaruh ini yang dapat dilakukan oleh penduduk Trobriand hanyalah dengan doadoa dalam agama dan ritual magi.108 Dari penelitian Malinowski terlihat bahwa ketergantungan pada magi menjadi semakin besar bila kepercayaan pada kebenaran pengetahuan empiris dan keahlian praktis berkurang. Dia mengutip fakta bahwa dalam memancing ikan di sebuah teluk dalam masyarakat Trobriand, magi

tidak diperlukan lagi, karena orang bisa sepenuhnya mengandalkan pengetahuan dan keahliannya. Namun, ketika penduduk memancing ikan di lautan lepas yang penuh bahaya dan ketidakpastian, maka disana terdapat banyak ritus-ritus magi untuk menjamin keselamatan dan hasil yang melimpah. Oleh karena itu, magi tidak digunakan ketika tujuan dapat dicapai dengan cara-cara biasa.109 Meskipun Malinowski membedakan konsep agama dan magi, namun baginya agama dan magi memiliki asalusul dan fungsi yang sama, yaitu sebagai mekanisme penyesuaian manusia menghadapi deprivasi dan frustasi psikologis yang diakibatkan oleh kondisi ketidakpastian, ketidakberdayaan dan kelangkaan dalam realitas kehidupan. Adanya perasaan ketidakpastian, ketidakberdayaan dan kelangkaan memancing tanggapan manusia untuk mengaktifkan psikis alam bawah sadarnya dalam bentuk transendensi pengalaman sehari-hari, yaitu magi dan agama, karena aparatus kesadaran manusia sudah tidak mampu untuk menjelaskan makna yang melampaui hal-hal yang biasa. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Julian Silverman, seorang antropolog dari kalangan psikiatri, terhadap para ahli dukun (shaman) dan peserta ritual magi, ditemukan adanya gejala-gejala psikotik yang menyertai gaya ekspresi psikologi mereka ketika sedang melakukan ritual. Ekspresi ini merupakan bentuk katarsis yang ditimbulkan oleh alam bawah sadar manusia untuk menyesuaikan diri dengan realitas yang tidak bisa ditangani oleh kesadaran biasa. Menurut diagnosa psikiatri, ritus-ritus magi yang dilakukan oleh suku-suku primitif mengandung benih skizofrenia akut (acute-

108

Thomas F. O’Dea, Op. Cit., hlm. 14.

55

109

Brian Morris, Op. Cit., hlm. 185.

56

Asal-Usul Agama dan Ketidaksadaran

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

schizoprenic) dalam bentuk kesurupan dan ekstasi yang berlebihan, namun keadaan ini surut kembali pada keadaan psikologi normal setelah ritual magi itu selesai. Kepulihan dari kesurupan dan ekstasi terjadi karena orangorang suku primitif masih memiliki ikatan ego (ego bounderies) yang mengakibatkan mereka bisa terhindar dari keadaan skizofrenia akut untuk sementara.110 Sebab-sebab munculnya fenomena agama dan magi yang dijelaskan oleh aliran Fungsionalisme makin memperkuat tesis kita sebelumnya tentang keadaan skizofrenia yang mengandung unsur-unsur kwasi-mimpi, delusi dan halusinasi di mana pada hal-hal tersebut Animisme, Magi, dan Naturisme mendasarkan diri. Pada tulisan tentang totemisme, gejala-gejala skizofrenia bisa dipicu oleh realitas yang bersifat internal dalam diri manusia, yaitu adanya represi seksual yang berasal dari situasi Oedipus Complex, dan perasaan Oedipus inilah yang kemudian memunculkan agama Totemisme. Sedangkan dalam Fungsionalisme, manusia mengalihkan diri pada katarsis ritual magi karena dipaksa oleh realitas ketidakpastian dan ketidakberdayaan hidup dari luar. Katarsis dalam ritual magi dipercaya dapat menenangkan pesertanya dari kondisi frustasi dan deprivasi yang disebabkan oleh rasa ketidakpastian dan ketidakberdayaan. Namun dari ritual magi telah didapati adanya gejala-gejala psikologis yang bersifat skizofrenik. Gejala ini berasal dari derasnya dinamika alam bawah sadar yang menguasai psikis mereka dan menampakkan diri dalam bentuk ekstasi (ecstasy) atau kesurupan (possession). Jadi, agama yang muncul dalam masyarakat primitif (animisme, magi, dan naturisme) disebabkan oleh ekspresi gejala skizofrenia yang dialami orang-orang primitif, di

mana skizofrenia ini diakibatkan oleh invasi kekuatan alam bawah sadar yang berasal dari represi seksual dalam manusia itu sendiri (totemisme) dan realitas ketidakpastian, ketidakberdayaan, dan kelangkaan dari luar manusia (agama fungsional). Gejala psikis yang berasal dari merasuknya alam bawah sadar juga nampak apabila kita memasukkan tesis determinisme ekonomi sebagai pemicu munculnya agama dan fantasi religius. Ketimpangan material dalam kehidupan menjadi sebab nyata bagi manusia untuk mengalihkan diri ke dalam fantasi religius yang dapat menenangkan layaknya opium. Mereka menciptakan dunia imajiner sebagai obat penghibur dari ketimpangan material yang telah membuat hidup mereka sengsara. Untuk lebih jelas lagi kaitan antara determinisme ekonomi dan munculnya Agama sebagai Alienasi akan diulas dalam tulisan akhir dari bab ini. Bab ini akan ditutup dengan pembahasan tesis yang menyatakan bahwa agama lahir dari kondisi eksternal, yaitu materialisme Karl Marx. Penjelasan di atas memberi kesimpulan kepada penulis bahwa agama dan magi muncul sebagai reaksi terhadap keadaan-keadaan psikologis yang mengalami deprivasi dan frustasi yang disebabkan oleh realitas kehidupan di luar yang mengandung ketidakpastian, ketidakberdayaan dan kelangkaan di mana kesadaran dianggap tidak mampu memberikan kepastian makna. Hal ini memungkinkan manusia untuk menoleh pada alam bawah sadarnya yang dianggap mampu melampaui hal-hal yang biasa dan menjadi katarsis bagi keadaan frustasi manusia. Ketidaksadaran sangat identik dengan ketidakpastian dan ketidakberdayaan hidup. Ketidaksadaran adalah sebuah dinamika psikis yang berada di luar kendali dan kontrol kekuatan manusia, sehingga ketika manusia telah mengalami jalan buntu dalam mengendalikan fakta-fakta kehidupan, mereka kemudian melarikan diri dalam dunia

110

I. M. Lewis, Op. Cit., hlm. 163.

57

58

Asal-Usul Agama dan Ketidaksadaran

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

ketidaksadaran karena dunia psikis ini menyediakan perangkat kekuatan yang dianggap dapat melampaui kesadaran biasa dan memberikan perasaan tentram, maka kepanikan yang ditimbulkan oleh realitas ketidakpastian dan ketidakberdayaan hidup dari luar dapat diredam. Agama fungsional menempatkan diri sebagai mekanisme pertahanan diri (self-defense mechanism) manusia dari keadaan-keadaan yang mengancam eksistensinya dengan menghidupkan alam bawah sadarnya sendiri , dan ini merupakan sebuah ungkapan psikis yang menyediakan makna hidup agar terhindar dari kondisi absurd dan frustasi. Agama yang berpangkal dari dunia alam bawah sadar akan selamanya eksis dalam dunia manusia selama ketidakpastian, ketidakberdayaan dan kelangkaan masih melingkupi kehidupannya. Ini sudah menjadi kodrat, kalau manusia selamanya akan selalu dikooptasi oleh dinamika alam bawah sadarnya sendiri karena walau bagaimanapun manusia tidak akan bisa lepas dari realita ketidakpastian, ketidakberdayaaan dan kelangkaan dalam hidupnya.

Karl Marx lahir di Trier, Jerman, pada tahun 1818. Ayahnya bernama Heinrich Marx, seorang pengacara Yahudi yang beberapa tahun sebelum kelahiran Marx berpindah ke agama Kristen Protestan. Pada tahun 1836 Marx disuruh oleh ayahnya untuk belajar ilmu hukum di Bonn, tetapi setelah satu semester, ia pindah ke Berlin dan belajar filsafat. Berlin pada saat itu bisa dikatakan sebagai pusat ilmu pengetahuan dan intelektualisme Jerman. Marx bersama kawan-kawannya mendalami filsafat Hegel dengan cara yang liberal dan radikal. Ia dan kawankawannya menggunakan filsafat Hegel yang kekirian untuk mengkritik sitem politik Jerman. Pada tahun 1841 ia dipromosikan untuk menjadi doktor filsafat dengan disertasinya tentang Democritus dan Epicurus. Selama hampir setahun ia menjadi pimpinan redaksi sebuah harian radikal. Pada tahun 1843, ia kawin dengan Jenny von Westphalen, puteri seorang bangsawan, dan pindah ke Paris. Di sana ia berkenalan dengan sahabat seumur hidupnya, yaitu Friedrich Engels dan juga bersentuhan dan berkawan akrab dengan tokoh-tokoh sosialis Perancis. Dari seorang yang liberal dan radikal, ia berubah menjadi seorang sosialis. Tahun 1845, Marx diusir dari Paris oleh pemerintah Perancis atas usulan pemerintah Prussia dan ia pun pindah ke Brussel, Belgia. Dalam tahun-tahun ini, ia telah mengembangkan teori-teorinya yang definitif. Ia dan Engels terlibat dalam bermacam-macam kegiatan kelompok sosialis. Bersama dengan Engels, ia menulis Manifesto Komunis yang terbit pada bulan januari 1848. Sebulan kemudian pecahlah apa yang disebut dengan Revolusi ’48, semula di Perancis, kemudian menyebar ke Prussia dan Austria. Marx setelah itu kembali ke Jerman secara illegal, tetapi karena revolusi akhirnya gagal, ia akhirnya pindah ke London di mana ia akan menjalani hidup sampai akhir hayatnya. Di London lah ia menerbitkan karya magnum

F.

Agama sebagai Alienasi

Usaha penulis dalam menelusuri asal-usul agama berakhir dengan konsep materialisme historis Karl Marx. Memang Marx tidak pernah menulis tentang risalah agama secara khusus dan sistematis. Namun, konsepsinya tentang determinisme ekonomi mempunyai implikasi pada munculnya benih-benih agama. Pernyataan Marx tentang agama sangat terkenal, yaitu agama tidak lain adalah candu masyarakat (opium of the people). Bagaimanakah ia bisa sampai pada proposisi tersebut, itulah yang akan kita telusuri asal-usulnya. Di sini penulis hanya mengemukakan pemikiran Marx dengan sangat singkat sekali karena secara luas akan dibahas dalam buku selanjutnya setelah buku ini.

59

60

Asal-Usul Agama dan Ketidaksadaran

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

opus-nya, Das Kapital. Tahun-tahun terakhir hidupnya amat sepi dan Marx meninggal pada tahun 1883 dengan hanya delapan orang yang menghadiri pemakamannya.111 Jarang sekali sosok yang lahir dalam sejarah yang mempunyai pengaruh sebesar Marx. Mungkin kita bisa membandingkan pengaruhnya dengan Darwin, Newton, Muhammad, Freud atau Einstein. Pandangan dan pemikiran Marx telah menjadi weltanschauung atau pandangan dunia yang mempunyai dampak luas dalam wilayah filsafat, politik, agama, budaya, ekonomi, sosiologi, antropologi dan sebagainya. Selain pengaruhnya yang sangat luas, pemikiran Marx telah menjadi bahan kontroversi setelah negara-negara komunis, semisal Rusia dan Cina mendasarkan sistem ekonomi dan ideologinya dengan menganut falsafah Marxisme. Hampir sepertiga dunia, pada saat Uni Soviet masih berdiri, menganut ideologi komunis bahkan Indonesia, negara kita, hampir saja menjadi negara komunis seandainya gerakan G 30S/PKI berhasil mengalahkan tentara angkatan darat. Sampai sekarang, meskipun Uni Soviet telah runtuh, pemikiran dan ajaran Marxisme masih menjadi perbincangan dan perdebatan yang tiada habisnya, seolaholah hantu Marx selalu bergentayangan mengikuti perkembangan zaman. Filsafat Marx yang sangat terkenal disebut dengan Materialisme-Historis. Materialisme Marx tidak dalam usaha untuk mengatakan bahwa realitas sebenarnya adalah sesuatu yang bersifat material. Pandangan materialisme mentah ini tentu saja ditolak oleh Marx. Namun, Marx berpendapat bahwa kehidupan manusia sangat tergantung pada dinamika kekuatan material dalam sejarah. Kekuatan material dalam sejarah bisa kita temui aktualisasinya pada

cara manusia memproduksi (mode of production) barangbarang atau sumber-sumber kehidupan sebagai jawaban atas tuntutan kebutuhan dasarnya. Cara manusia memproduksi kebutuhan materialnya mendasari perkembangan kehidupan masyarakat. Cara produksi manusia menentukan dan mempengaruhi kesadaran dan hasratnya sendiri. Pada awalnya, karena dorongan kebutuhan dasariah, manusia dituntut untuk bekerja. Kerja merupakan kategori antropologis yang menghubungkan manusia dengan alam dan sesamanya. Kerja manusia ini disebut Marx dengan istilah mode of production. Cara manusia memproduksi ternyata dalam sejarah selalu mengalami perkembangan dan perubahan. Kapitalisme merupakan hasil evolusi cara produksi manusia yang paling mutakhir. Namun, cara produksi kapitalisme bukannya tanpa masalah, justru mode produksi kapitalisme yang sekarang berkuasa dalam mengendalikan proses ekonomi ternyata menyembunyikan anomali dan kontradiksi internal. Anomali dan kontradiksi internal dalam mode produksi kapitalisme disembunyikan oleh piranti yang disebut ideologi. Ideologi merupakan mekanisme kekuatan yang muncul dari kekuatan mode produksi kapitalisme untuk menancapkan pengaruh kuasa terhadap individu-masyarakat. Ideologi yang ditebarkan oleh mekanisme mode produksi menyamarkan kontradiksi internal dengan cara-cara yang halus dan produktif. Sistem negara, struktur birokrasi, pendidikan, norma hukum telah menjadi alat ideologis yang dapat mendominasi dan mempengaruhi cara berpikir, keinginan dan hasrat manusia, namun manusia itu sendiri tidak menyadari kalau alat ideologis tersebut berasal dari kekuatan mode produksi kapitalisme, karena masyarakat merasakan pengaruh ideologi terhadap kesadaran mereka sebagai sesuatu yang wajar dan normal. Tindakan kriminal kapitalisme terhadap manusia ternyata disamarkan,

111

Franz Magnis-Suseno, Op. Cit., hlm. 260-261.

61

62

Asal-Usul Agama dan Ketidaksadaran

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

disembunyikan dan disahkan oleh mekanisme ideologi yang dioperasikan oleh kekuatan negara, hukum, dan norma masyarakat. Produk ideologi berupa hukum negara dan norma masyarakat dapat memanipulasi kesadaran warga negara sehingga tindak kriminal dari kekuatan kapital tidak bisa dilihat secara jelas justeru terasa sebagai sesuatu yang wajar dan lumrah. Cara produksi kapitalisme dalam sejarah telah menghasilkan dua macam kategori antropologis, yaitu kaum pekerja atau buruh dan kaum pemilik modal atau borjuis. Menurut Marx, kapitalisme menghasilkan dominasi dan eksploitasi pada diri kaum pekerja. Kaum buruh adalah manusia yang melakukan produksi barang namun hasilnya tidaklah ia miliki. Kaum buruh atau pekerja teralienasi karena kerja telah berhenti menjadi bagian dari sifat kerja manusia yang alamiah, konsekuensinya buruh tidak memenuhi dirinya dalam pekerjaannya tetapi justru menolak dirinya yaitu memiliki perasaan sengsara, tidak mengembangkan energi mental dan fisiknya secara bebas bahkan tenaganya terkuras dan mentalnya tercerabut.112 Kerja yang sebenarnya merupakan manifestasi dan realisasi diri manusia ke dunia luar berubah menjadi perbudakan yang disahkan oleh hukum. Hal ini kemudian memunculkan asumsi bahwa cara produksi kapitalisme membuat kaum buruh teralienasi dari hasil pekerjaan yang tidak bisa dimilikinya. Hasil produksi kapitalisme hanya menguntungkan para pemilik modal dengan cara mengeksploitasi tenaga, mental dan waktu dari kaum buruh, dan proses ini dihalalkan oleh hukum yang dibuat oleh negara. Ujungnya, cara produksi kapitalisme melahirkan antagonisme dalam bentuk

ketimpangan material antara sang pemilik modal dan kaum buruh. Kondisi alienasi dan ketimpangan material ini menjadi prakondisi bagi munculnya kesadaran palsu pada psikis kaum buruh atau manusia kebanyakan. Kesadaran palsu diciptakan oleh kondisi material yang bersifat eksternal dan bisa menekan psikis manusia bagaimana ia harus berpikir dan bertindak. Contohnya, ada pada kebutuhan-kebutuhan artifisial yang diciptakan oleh cara produksi kapitalis, melalui iklan, mode, fashion, life-style, atau entertainment. Kebutuhan-kebutuhan yang diciptakan oleh kekuatan mode produksi mampu mempengaruhi dan menentukan cara pandang masyarakat terhadap kebutuhan dasarnya sendiri. Individu-masyarakat menjadi tertekan dan terpengaruh oleh kekuatan iklan agar memenuhi tawaran yang diajukan oleh mekanisme pasar. Akhirnya, kebutuhan manusia diciptakan oleh kekuatan material atau mekanisme pasar di luar dirinya dan bukannya oleh eksistensi manusia itu sendiri. Kebutuhan-kebutuhan yang diciptakan oleh iklan dan life-style telah menjadi berhala hidup, namun manusia tidak menyadarinya karena hal tersebut dianggap sebagai sesuatu yang wajar dan normal. Dalam hal ini, cara produksi kapitalisme yang mewujudkan diri dalam bentuk mekanisme pasar mampu menyembunyikan anomali dan kontradiksi internal dalam hubungan sistem produksi dengan manusia, dan keanehan atau anomali ini hanya dapat diketahui melalui analisa kritik-ideologi yang cermat dan refleksi diri. Pada saat kesadaran manusia tertekan oleh kekuatan material di luar dirinya dan tidak berdaya di hadapannya, muncullah perasaan religius yang hadir dan diciptakan sebagai sebuah jawaban dan harapan dari kondisi ketimpangan material antara kaum buruh dan borjuis. Perasaan religius dapat menenangkan dan mengayomi buruh yang teralienasi layaknya opium yang mampu membius kesadaran

112

Erich Fromm, Konsep Manusia Menurut Marx, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001, hlm. 63.

63

64

Asal-Usul Agama dan Ketidaksadaran

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

manusia. Alienasi yang dialami oleh kaum buruh membentuk semacam fantasi atau perasaan religius yang berfungsi secara manipulatif sehingga kaum buruh bisa tetap survive meskipun hidup dalam dunia imajiner. Reaksi dalam bentuk fantasi ini diciptakan oleh alam bawah sadar manusia sebagai jawaban bagi eksistensinya yang terancam oleh kemalangannya di dunia. Dari sini, muncullah konsep eskatologi atau akhirat dan surga yang mampu memberikan rasa keadilan dari kejahatan yang dilakukan oleh kaum borjuis. Fantasi akan adanya hari akhirat yang memberikan perasaan tentram dan damai pada psikologi kaum pekerja membuatnya bebas dari tekanan akan ketimpangan material antara dirinya dan majikannya. Fantasi religius berupa angan-angan akan adanya hari akhirat berfungsi seperti opium atau candu yang dapat membius kesadaran, dari situ muncullah keadaan ekstase, euphoria, dan kegembiraan-semu, maka terbebaslah manusia dari kesengsaraan hidup untuk sementara. Fantasi religuis atau kepercayaan agama berbeda dengan cara kerja bius atau candu yang bersifat sementara, kepercayaan agama lebih melekat dalam jiwa manusia secara mutlak dan abadi. Maka, fantasi agama sebenarnya lebih berbahaya dari pada candu atau obat bius yang melumpuhkan kesadaran secara sementara, fantasi agama dapat melumpuhkan kesadaran selama manusia masih mengimaninya dan ia dalam keadaan terjaga dengan persepsi inderawi yang masih normal. Kenyataan memperlihatkan bahwa perasaan religius sering lahir dalam psikis manusia yang teralienasi dan ini dipicu oleh kondisi ketimpangan material yang ada dalam masyarakat. Agama menurut tesis Marx, hanyalah epifenomena atau keadaan samping dari kekuatan material dalam sejarah. Ini tentu berbeda dengan tesis Weber yang menyatakan bahwa agama memiliki otonomi dan

independensi dari pengaruh kekuatan-kekuatan material sejarah. Agama hanyalah bangunan atas (supra-structure) yang bertumpu pada determinisme ekonomi sebagai bangunan dasarnya (base-structure). Agama yang lahir dari kondisi alienasi merupakan salah satu bentuk mekanisme pertahanan psikis dari serangan eksternal yang diciptakan oleh determinasi kekuatan kapital. Mekanisme pertahanan diri ini dibangun melalui kekuatan alam bawah sadar manusia. Agama yang muncul dari keadaan alienasi merupakan kesadaran-palsu (false consciousness) yang dicitrakan oleh determinasi kekuatan material terhadap psikologi manusia. Agama sebagai alienasi adalah salah satu bentuk ideologi yang dibangun oleh psikis manusia untuk bertahan menghadapi keganasan hidup yang diciptakan oleh kontradiksi internal dalam kapitalisme. Agama ini disebut ideologis karena menyembunyikan anomali dan menolak otonomi, kesadaran, serta kebebasan manusia. Agama ini tentunya berpotensi mengandung patologi psikologis dan bisa mengaburkan manusia dari realitas. Agama bagi Marx merupakan cermin atau refleksi dari kontradiksi material ekonomi, apabila kontradiksi atau ketimpangan material dapat terselesaikan maka agama akan hilang dengan sendirinya. Musuh besar Marxisme bukan hanya kaum borjuis tetapi juga cara produksi kapitalisme yang telah menciptakan penghisapan, eksploitasi dan antagonisme ekonomi-politik. Dari hasil diagnosanya terhadap bangunan peradaban kapitalisme, Marx berusaha untuk melakukan pembebasan dari cengkeraman determinasi kapitalisme yang telah mengaburkan kesadaran manusia, yaitu dengan menggagas sosialisme ilmiah. Sosialisme ilmiah hadir sebagai reaksi terhadap kontradiksi internal yang terjadi dalam dinamika kapitalisme sepanjang sejarah. Hukum ekonomi, bagi Marx, sanggup meramalkan runtuhnya

65

66

Asal-Usul Agama dan Ketidaksadaran

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

mode produksi kapitalisme yang disebabkan oleh kontradiksi di dalamnya. Dengan runtuhnya kapitalisme, maka menyingsinglah fajar sosialisme. Sosialisme merupakan keniscayaan ilmiah. Sosialisme yang diusung oleh Marx bukan idealisme moral kewahyuan melainkan messianisme profetik yang berakar dalam kemanusiaan dengan menggunakan bahasa sekular. Sosialisme adalah emansipasi manusia yang natural dan dianggap mampu mengembalikan watak alamiah manusia yang tercerabut oleh determinasi kekuatan material. Apa yang dilakukan oleh Marx dalam konsepsi sosialisme-nya merupakan sebuah perluasan dari eksistensi spiritual, yaitu emansipasi manusia dari alienasi dan restorasi kemampuan-kemampuan manusia dalam hubungannya dengan alam dan sesamanya.113 Marx menemukan salah satu hukum sejarah, yaitu kekuatan materi yang bergerak dalam sejarah ternyata lebih menentukan kesadaran manusia, dibandingkan kesadaran manusia yang menentukan kekuatan materi. Namun, dengan ditemukannya hukum sejarah tersebut, Marx berusaha mengatasi bagaimanakah caranya kita terbebas dari pengaruh kekuatan materi, sehingga kita bisa mencapai kesadaran yang otonom. Apa yang dilakukan Marx dalam analisanya terhadap bangunan ekonomi kapital dan falsafahnya tentang manusia menyiratkan kalau ia berusaha melawan kekuatan yang mengakibatkan manusia mudah tenggelam oleh kekuatan material. Penyelesaian keterasingan dan penderitaan manusia terletak pada antisipasi kita atas kontradiksi internal dalam ekonomi dunia kapitalis. Marx bisa meramalkan akhir kapitalisme dan bagaimana cara kita mengantisipasi dan menyelesaikannya. Apa yang diperjuangkan oleh Marx

memiliki kemiripan dengan dakwah para nabi-nabi yang berusaha membebaskan manusia dari belenggu kekuatan material, hanya saja Marx menggunakan bahasa sekular dan ilmu pengetahuan sedangkan para nabi sebelum Marx menggunakan bahasa moral-kewahyuan. Bagi Marx, watak alamiah manusia itu pada dasarnya adalah baik.114 Namun, watak ini telah dicemarkan dan dirusak oleh munculnya masyarakat dan peradaban manusia itu sendiri. Munculnya ilmu pengetahuan yang menghasilkan peradaban maju tidak makin memperhalus watak dan akal budi manusia, justru sebaliknya. Peradaban yang dihasilkan oleh cara produksi dalam sejarah telah menciptakan kebutuhan-kebutuhan yang bukan dari watak alamiah manusia. Kebutuhan akan uang, mobil, fashion, trend, konsumerisme, prestise adalah kebutuhankebutuhan artifisial yang diciptakan oleh cara poduksi manusia itu sendiri dalam sejarah. Kebutuhan-kebutuhan tersebut bukanlah kebutuhan yang lahir dari eksistensi dasar manusia, karena bersifat tidak konstan dan tidak alamiah. Kebutuhan ini merupakan hasil manipulasi mekanisme produksi massal dalam budaya kapitalisme, seperti iklan-iklan dan entertainment. Kebutuhan yang diciptakan ini memiliki kekuatan eksternal yang memaksa secara psikis dan batiniah kepada individu agar diterima secara wajar dan alamiah, meskipun sebenarnya tidak demikian. Kebutuhan-kebutuhan di atas adalah kebutuhan palsu yang diciptakan oleh mekanisme mode produksi agar bisa ditanamkan dalam kesadaran manusia. Hal ini

113

Erich Fromm, Op. Cit., hlm. 7.

67

114

Pandangan Marx tentang watak alamiah manusia nampak terpengaruh oleh pemikir Perancis J. J. Rousseau dan ini berlawanan dengan konsepsi Freud yang menyebutkan bahwa manusia pada dasarnya suka memperturutkan dorongan kesenangannya, agresif, impulsif dan irrasional.

68

Asal-Usul Agama dan Ketidaksadaran

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

menyebabkan manusia dikendalikan dan ditentukan oleh ciptaannya sendiri, manusia menjadi budak maha karyanya sendiri. Keberadaan manusia yang ditentukan oleh hasil ciptaannya sendiri, inilah yang kemudian menciptakan kesadaran palsu dan mengaburkan watak alamiah manusia. Jadi, cara produksi manusia dalam sejarah menentukan bentuk kesadaran kita. Peradaban yang pada asalnya adalah hasil kerja manusia telah menjadi entitas yang otonom dan independen yang mampu mempengaruhi dan menentukan bagaimana manusia harus berpikir dan bertindak. Peradaban yang pada mulanya diciptakan manusia kini menjadi kekuatan yang dapat memaksa dan mengendalikan kehidupan manusia itu sendiri. Hasil-hasil peradaban berubah menjadi sesembahan manusia yang baru. Manusia terasing dari maha karyanya sendiri. Asal-usul kejahatan dan watak tidak baik, bagi Marx, terletak pada kepemilikan pribadi. Kepemilikan pribadi menciptakan diferensiasi dan akumulasi kapital yang tak mengenal batas dan ini makin dilestarikan oleh negara. Maka, untuk mengembalikan watak alamiah dan kesadaran manusia yang sejati, negara dan kepemilikan pribadi harus dihapus dari dunia manusia. Manusia harus kembali pada zaman primitif di mana kekayaan dan hasil kerja dimiliki secara kolektif.115 Meskipun solusi Marx terhadap peradaban kapitalisme yang menciptakan alienasi pada diri manusia sangat utopis dan regresif (surut ke belakang), namun Marx telah menunjukkan bentuk agama yang mengandung alienasi dan kesadaran palsu sehingga memungkinkan bagi kita untuk memformulasikan kembali bentuk agama yang

bebas dari kesadaran palsu dan alienasi yang disebabkan oleh determinisme ekonomi. Marx memperbandingkan agama dengan opium karena eksistensi agama pada masa itu tidak mampu melaksanakan tugas yang seharusnya dilakukan. Agama telah melumpuhkan kesadaran manusia dalam menghadapi realitas. Bukannya menjadi alat emansipasi manusia, agama malah melarikan penganutnya dari realitas yang sedang terjadi. Agama sebagai opium dapat digambarkan melalui kondisi ketidaksadaran manusia yang terjadi pada saat terjaga. Jenis agama ini adalah suatu keadaaan alienatif yang memiliki banyak persamaan dengan agama yang lahir dari kondisi ketidakpastian dan ketidakberdayaan hidup. Keduanya merupakan mekanisme pertahanan diri psikis manusia yang didorong oleh alam bawah sadar untuk melampaui keterbatasan-keterbatasan kesadaran biasa, karena kesadaran dianggap tidak mampu menghadapi kekuatan-kekuatan eksternal yang mengkooptasi kehidupan manusia. Tetapi, mengapa agama-agama di atas, mulai dari Animisme, Naturisme, Magi, Totemisme, Agama Fungsional dan Agama sebagai Alienasi bahkan Yahudi, Kristen dan Islam meletakkan sendi-sendi etika dan moralitas pada fakta ketidaksadaran atau alam bawah sadar? Kenapa agama-agama ini tidak menginsyafi keterbatasan kesadaran dengan menyelami kembali potensi-potensi kesadaran itu sendiri serta mengembangkannya, dengan begitu mekanisme pertahanan diri manusia ditopangkan di atas pondasi kesadaran sejati dan bukannya lari pada ketidaksadaran? Agama yang berasal dari keadaan alienasi (Marx) dan agama yang berasal dari kondisi ketidakpastian dan ketidakberdayaan hidup (Fungsionalisme Malinowski) merupakan bentuk agama yang memiliki asal-usul sosiologis, karena keduanya muncul dan disebabkan oleh faktor-faktor dari luar manusia. Faktor-faktor dari luar

115

Pandangan Marx tentang sosialisme merupakan warisan dari para pemikir Perancis.

69

70

Asal-Usul Agama dan Ketidaksadaran

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

yang bersifat sosiologis ini mempengaruhi kondisi psikologis alam bawah sadar manusia untuk memberikan reaksi sebagai bentuk mekanisme pertahanan diri dari pengaruh ketidakberdayaan dan kemalangannya di dunia, maka kedua jenis agama ini juga memiliki asal-usul yang bersifat psikologis. Pertama, agama berasal dari ketimpangan material yang diciptakan oleh mode produksi kapitalisme, pada tahap ini asal-usul agama bersifat sosiologis. Namu, setelah itu ia juga menghasilkan kondisi keterasingan yang dapat mempengaruhi psikis manusia sehingga memicu alam bawah sadar bereaksi dengan menciptakan fantasi imajiner yang bersifat metafisik, pada tahap ini agama bisa dianggap memiliki asal-usul psikologis. Akhirnya, manusia bisa bertahan hidup menghadapi kemalangannya di dunia meskipun dirinya dikuasai oleh fantasi imajiner yang mengaburkan kewarasannya. Agama sebagai alienasi melekat pada karakter agama yang dapat menolong manusia dalam menghadapi realitas yang menekan dirinya dengan bertumpu pada ide-ide yang bersifat metafisik, dan ide ini ternyata menyediakan “makna” (atau grounds of meaning menurut Weber) yang membuat manusia bisa bertahan hidup walaupun teralienasi dari diri dan ciptaannya sendiri. Kedua, agama yang berasal dari realita yang mampu menciptakan ketidakpastian dan ketidakberdayaan hidup pada diri manusia sebenarnya dikategorikan sebagai agama yang memiliki asal-usul sosiologis. Karena realita sosiologis tersebut mempengaruhi dan menekan psikis manusia, hal ini memicu alam bawah sadar memberikan reaksi yang bersifat menenangkan dan menyediakan “makna” sehingga manusia merasa memiliki kekuatan tak terbatas untuk menghadapi kenyataan yang telah membuatnya tidak berdaya, meskipun kekuatan tersebut mengandung patologi psikis dan bisa mengaburkan dirinya dari realitas

yang sebenarnya. Kedua jenis agama di atas memiliki pengaruh pada psikis manusia, yaitu memicu alam bawah sadar untuk memberikan reaksi berupa kekuatan pelindung dan pasokan “makna” dalam menghadapi ketidakberdayaan hidup dan kemalangannya di dunia sehingga manusia dengan bantuan “makna” ini terus bisa eksis di alam nyata. Pada tahap ini, kedua agama di atas memiliki ciri-ciri dan asal-usul yang bersifat psikologis, atau lebih tepatnya lagi, yaitu agama sebagai mekanisme pertahanan diri (self-defense mechanism) yang bersumber dari dunia alam bawah sadar atau ketidaksadaran manusia. Setelah menelusuri asal-usul konsep agama mulai dari Animisme, Magi, Naturisme, Totemisme, Agama Fungsional dan Agama sebagai Alienasi, penulis berkesimpulan bahwa agama-agama ini ternyata mempunyai ciri yang sama, yaitu mendasarkan diri pada fakta ketidaksadaran atau alam bawah sadar manusia (unconscious mind). Agama-agama historis, semisal Yahudi, Kristen dan Islam juga pada awalnya lahir dari sumber yang murni individual, yaitu dalam bentuk wahyu yang muncul melalui saluran-saluran ketidaksadaran yang dialami oleh para nabi agama-agama di atas, namun karena individu nabi ini eksis dalam jaring-jaring sosial, politik dan budaya, maka agama tentunya juga memiliki watak yang bersifat sosiologis. Dalam bab berikutnya, penulis akan mengulas salah satu agama historis, yaitu Islam, yang ternyata muncul melalui psikologi alam bawah sadar nabi-nya yaitu Muhammad. Hal ini dibuktikan dengan fakta kalau wahyu Islam itu muncul melalui saluran-saluran alam bawah sadar, semisal melalui saluran mimpi atau kwasi mimpi, halusinasi suara lonceng, delusi, dan halusinasi penglihatan atau vision. Alam bawah sadar ternyata menjadi media atau sarana bagi munculnya agama-agama di atas. Penulis tidak berusaha untuk mereduksi fenomena agama dari satu

71

72

Asal-Usul Agama dan Ketidaksadaran

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

impuls saja dan menafsirkan fakta sosial dengan kategori psikologi, tetapi menunjukkan bahwa alam bawah sadar yang dikelilingi oleh realita yang begitu kompleks bisa menjadi asal-usul, sarana dan benih-benih bagi munculnya agama.

ketidaksadaran (unconsciousness) dalam psikis manusia. Jung menganggap luhur setiap keadaan yang dikuasai oleh aparatus ketidaksadaran dan menggolongkannya dalam kategori fakta yang religius. Memang, kita harus mengakui bahwa munculnya agama-agama besar dunia (Islam, Kristen, dan Yahudi) berasal dari para pendirinya yang mengalami keadaan psikologi abnormal ketika mendapatkan wahyu. Kita bisa belajar dari contoh pewahyuan dalam agama Islam yang muncul lewat saluran mimpi, delusi, dan halusinasi suara lonceng. Kalau kita mengikuti kategori Jung, mimpi dan delusi adalah keadaan ketidaksadaran psikis manusia yang dianggap memiliki kualitas religius dan ilahiah. Bahkan menurut Jung, kegilaan atau insanitas juga mengandung unsur ketuhanan. Akhirnya, fakta di atas mengantarkan Jung pada kesimpulan bahwa agama bersumber pada aparatus psikis ketidaksadaran (unconscious mind). Penggolongan ketidaksadaran sebagai sesuatu yang luhur dan ilahiah mendapatkan tantangan yang serius dari tokoh pendiri psikoanalisa, yaitu Sigmund Freud (18561939). Freud memasukkan kategori ketidaksadaran yang di dalamnya meliputi; mimpi, halusinasi, gejala psikotik dan neurotik, mitologi, phobia, delusi, animisme, naturisme, totemisme dan magi adalah mekanisme psikologi yang patologis dan abnormal. Bagi Freud, ketidaksadaran adalah bagian psikis manusia yang irrasional. Hal ini mengantar pada penilaian yang berbeda antara Jung yang memuji ketidaksadaran dan Freud yang merendahkan ketidaksadaran. Lalu, bagaimanakah nasib agama-agama dunia yang terang-terangan mendasarkan pada wahyu yang berasal dari psikis ketidaksadaran, semisal Islam yang mendasarkan wahyu pada proses mimpi dan halusinasi suara lonceng? Pada titik inilah Jung ternyata tidak bisa menjawab secara meyakinkan. Justeru, Freud yang selama ini dianggap sebagai tokoh anti-agama mampu

G. Penutup Agama disebut fenomena yang abadi karena ia telah menemani spesies manusia dari zaman primitif sampai abad sekarang ini dan tidak sedikitpun adanya tanda-tanda kalau manusia akan berpisah dengannya. Bahkan sebaliknya, agama dan manusia telah menjadi satu entitas permanen yang tak bisa terpisahkan. Eksistensi manusia dapat diketahui melalui agamanya, karena agama telah menjadi bagian yang inhern dalam diri manusia. Meskipun agama menghadapi tantangan-tantangan yang mengancam untuk membunuhnya, sebagaimana pada pembuka abad modern dengan kelahiran sains ilmiah, ia tetap teguh berdiri dan siap mengerahkan para tentaranya untuk memerangi dan menyerang balik musuh-musuhnya. Tidak ada yang paling abadi dari hasil kebudayaan manusia selain agama. Hal ini memancing munculnya pertanyaanpertanyaan umum yang merupakan salah satu tujuan dalam penelitian buku ini, yaitu bagaimana asal-usulnya agama bisa menjadi fenomena yang abadi dan seakan-akan adalah kawan karib umat manusia meskipun banyak fakta kebenaran dalam ajaran-ajaran agama telah diruntuhkan oleh munculnya sains ilmiah? Apa yang telah membuat manusia takluk sehingga ia menyerahkan diri dan kehidupannya pada agama? Adakah jalan kehidupan di luar agama? Dalam buku ini, penulis berusaha menguatkan kembali tesis Carl Jung (1875-1961) yang menyatakan bahwa yang menjadi salah satu sumber lahirnya agama adalah aparatus

73

74

Asal-Usul Agama dan Ketidaksadaran

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

menunjukkan celah yang tidak disadari oleh pengetahuan kita. Dalam susunan kepribadian, Freud menamakan ketidaksadaran dengan Id dan kesadaran dengan nama Ego. Bagi Freud, wilayah psikis manusia lebih didominasi oleh aparatus ketidaksadaran (id), dan kesadaran (ego) kita berkembang dewasa secara terlambat setelah lebih dahulu muncul ketidaksadaran (id). Perlu kita ketahui bahwa ketidaksadaran (id) adalah sumber kehidupan bagi berfungsinya psikodinamika manusia. Dalam hal ini, kesadaran (ego) memperoleh kehidupannya dari enersi yang berasal dari ketidaksadaran (id) sehingga kesadaran (ego) tidak akan bisa sepenuhnya terlepas dari kuasa ketidaksadaran (id). Psikoanalisa memberikan ciri ketidaksadaran (id) sebagai aparatus psikis yang dominan dalam diri manusia tetapi irrasional, agresif, penuh dengan kesenangan dan naluri primitif, mengaburkan realitas, dan bersifat subversif, sehingga apabila agama mendasarkan dirinya pada ketidaksadaran, tentunya ia memiliki potensi yang patologis dan abnormal. Maka, nilai-nilai moral yang dicita-citakan oleh umat manusia, seperti kebenaran, humanitas, keadilan, dan persamaan akan menjadi absurd jika ia ditopang oleh fakta ketidaksadaran. Apabila kita memandang Islam yang mendasarkan nilai-nilai moralnya pada wahyu yang muncul lewat saluran mimpi, delusi, dan halusinasi suara lonceng di mana keduanya termasuk dalam kategori ketidaksadaran (id), hal ini akan memunculkan tesis bahwa Islam dari segi asal-usulnya memiliki akar-akar kekacauan psikologis. Mungkinkah Islam menghindar dari kenyataan ini? Jung adalah murid Sigmund Freud yang reaksioner. Dia berusaha menunjukkan kepada kita bahwa agama yang bersumber pada ketidaksadaran psikis adalah fakta. Ia menganggap kebenaran adalah fakta dan bukan keputusan

pernyataan atau proposisi. Berdasar pada premis ini, seekor gajah adalah benar jika ia ada atau eksis. Akan tetapi berdasarkan kritik Freud, Jung lupa bahwa kebenaran juga selalu mengacu kepada suatu penilaian dan bukan sekedar deskripsi fenomen yang dipersepsi oleh alat indera kita. Jung mengatakan bahwa suatu ide adalah benar secara psikologis sejauh ia ada dan eksis, tak peduli ia berupa khayalan ataupun berkaitan dengan gejala psikis abnormal.116 Bagi Jung, agama pastilah benar meskipun ia berasal dari dinamika psikis yang abnormal. Jung mendasarkan tesisnya pada realitas kelahiran agamaagama besar selama ini, yaitu contohnya kemunculan agama Yahudi, Kristen, dan Islam, di mana para pendirinya mendapatkan wahyu melalui saluran-saluran alam bawah sadar atau ketidaksadaran, semisal lewat mimpi, delusi, dan halusinasi penglihatan (vision). Hal inilah yang hendak diluruskan oleh Freud walaupun ia sering dituduh sebagai orang murtad dan anti-agama. Bagi Freud, agama bukan sekedar fakta ketidaksadaran tetapi merupakan proposisi penilaian agar ia tidak terjebak oleh distorsi ketidaksadaran. Bagi Freud, konsepsi dan formulasi agama adalah “apa yang seharusnya” bukan sekedar fakta “apa yang ada” sebagaimana dikonsepsikan oleh Jung. Dengan belajar pada psikoanalisa, justeru kita bisa melihat bagaimana Freud menunjukkan sisi gelap dari ketidaksadaran yang menjadi sumber lahirnya agamaagama dunia. Setelah mengetahui sisi gelap dari agama yang mempunyai potensi patologis maka kita bisa memformulasikan kembali bagaimana bentuk agama yang lebih sehat dan mampu menopang nilai-nilai moral secara adekuat. Agama yang diformulasikan dari tesis Freud adalah bentuk agama “yang seharusnya” sehingga bisa

75

76

116

Erich Fromm, Op. Cit., hlm.14.

Asal-Usul Agama dan Ketidaksadaran

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

menghindar dari distorsi ketidaksadaran yang selama ini dianggap sebagai “fakta” dan sumber kelahiran agamaagama dunia termasuk di dalamnya, Islam, Kristen, dan Yahudi. Kalau memang selama ini agama-agama mendasarkan dirinya pada fakta ketidaksadaran karena ketidaksadaran merupakan media munculnya wahyu, maka kita harus bisa memformulasikan bagaimanakah bentuk agama baru yang tentunya membedakan diri dengan bentuk agama-agama dunia yang ada. Freud adalah seorang ateis dalam artian ia tidak mengakui Tuhan menurut cara pandang agama Jung, tetapi ia mengimani nilai-nilai universal yang hendak disampaikan oleh semua agama, seperti; kebenaran, kebaikan, keadilan, kasih sayang, kemurahan hati, pengetahuan, kebebasan, dan nilai-nilai kemanusiaan yang lain. Freud menolak agama yang dilandaskan pada ketidaksadaran karena jenis agama ini dianggap tidak mampu menunaikan tugas yang sebenarnya. Agama yang ditopang oleh ketidaksadaran berpotensi mengaburkan manusia dari realitas, membunuh daya kritik, dan menyuburkan delusi. Jadi, seharusnya kita berterimakasih kepada Freud yang telah menunjukkan sisi gelap agama sehingga memungkinkan bagi kita untuk membangun kembali formula agama yang terbebas dari unsur patologi dan kekacauan psikologis. Buku ini ditulis dalam sebuah kerangka dialog antara konsepsi Jung yang menilai ketidaksadaran sebagai sesuatu yang ilahiah dan antisipasi Freud yang jauh sebelumnya telah merumuskan bahwa dalam psikodinamika ketidaksadaran terdapat potensi yang mampu menjadikan manusia teralienasi dari kehidupannya. Yang membuat penulis terheran-heran dengan tesis Jung adalah bagaimana asal-usulnya hingga ketidaksadaran mendapatkan kualitas ilahiah dan religius. Apakah yang membuat mimpi itu memiliki unsur ketuhanan sehingga ia dianggap sebagai

bagian dari pewahyuan? Hal ini akan dijawab oleh penulis dalam buku jilid kedua. Penulis tidak bermaksud untuk menyerang dan merontokkan sendi-sendi agama tertentu, terutama Islam. Tetapi, penulis ingin menunjukkan kepada para penganut agama, khususnya Islam, bahwa untuk mencapai keberagamaan yang lebih sempurna kita harus berani berfikir kritis, jujur, dan terbuka. Agama tidak akan pernah runtuh hanya oleh seorang kritikus amatir, tetapi agama akan layu apabila ia tidak dapat membuka kritik dari penganutnya. Konsep ketidaksadaran (unconscious mind) yang menjadi titik sentral dalam buku ini mengacu pada psikodinamika yang telah dirumuskan oleh Sigmund Freud. Dalam ajaran Freud, ketidaksadaran (id) dipertentangkan dengan konsep kesadaran (ego). Id adalah sumber energi psikis. Ego memperoleh tenaga psikisnya dari id dan tugas psikis ego adalah mengendalikan naluri id agar bisa dipuaskan sesuai dengan tuntutan kultural dan kenyataan. Id adalah timbunan psikis yang merefleksikan prinsip kesenangan (pleasure principle), sedangkan ego mencerminkan prinsip kenyataan (reality principle). Karena id bersifat impulsif, ia selalu mendesakkan naluri kesenangannya agar dapat dipuaskan oleh ego dalam kenyataan. Wilayah kekuasaan id dalam psikodinamika manusia bisa dikatakan tidak terbatas. Freud memandang bahwa manusia cenderung dikuasai oleh kekuatankekuatan ketidaksadaran (id). Freud bisa dikategorikan sebagai seorang filsuf anti-rasional yang berpendapat bahwa kekuatan kesadaran manusia begitu lemahnya dalam menghadapi gempuran-gempuran ketidaksadaran (id). Ia begitu pesimis karena manusia lebih cenderung merusak, menumpahkan darah dan suka memperturutkan kesenangannya daripada menahan, menunda atau memuaskannya dalam kenyataan secara lebih adil dan dewasa.

77

78

Asal-Usul Agama dan Ketidaksadaran

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

Manusia lebih condong untuk dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan irrasional yang berasal dari kawasan id. Dan hal yang paling berbahaya dari id adalah sifat subversif dan latennya yang mampu mengecoh kesadaran manusia. Id mampu menyamarkan dan memalsukan dirinya di hadapan ego sehingga secara tidak sadar manusia menganggapnya sebagai kenyataan. Dalam hal ini, ego telah dikorupsi oleh id. Contoh dari usaha id yang mampu mengelabuhi ego adalah proses psikis mimpi, halusinasi dan delusi serta bentuk ideologi yang dibangun dari psikis manusia. Proses psikis mimpi bisa meyakinkan kepada kita bahwa gambaran visual dalam mimpi adalah kenyataan, dan kita baru sadar bahwa gambaran visual itu adalah ilusi setelah kita terbangun dari tidur. Selain mimpi, pengalaman penyatuan dalam mistisisme (mystical union) dan fundamentalisme kekerasan agama adalah contoh suatu bentuk tindakan yang memperlihatkan bahwa id (eros dan agresi) mampu menyamarkan diri di hadapan ego, sehingga ego tidak menyadari bahwa dirinya telah termanipulasi, tertipu dan terkorupsi oleh eros dan agresi. Kedua bentuk aktifitas religius di atas akan dibahas secara mendalam dan khusus dalam buku selanjutnya. Meskipun Freud adalah seorang filsuf anti-rasional yang pesimis terhadap kecenderungan manusia yang mudah memperturutkan sisi irrasional, agresi, kesenangan, dan naluri primitifnya, ia tidak kalah optimisnya untuk menasehati manusia bahwa alam telah menganugerahi mereka kekuatan kesadaran (ego) yang mampu bertindak otonom, dewasa, dan independen sehingga mampu mengarahkan naluri primitifnya agar sesuai dengan pembangunan kembali masyarakat yang beradab dan berperikemanusiaan. Namun, kesadaran (ego) bukanlah sesuatu yang sudah jadi tanpa ada proses yang mendahuluinya. Ego manusia tumbuh seiring dengan usaha untuk terus mengekang, menunda dan menahan

pemuasan id dalam dirinya. Pengekangan, penundaan dan penahanan terhadap dorongan id bisa memunculkan kegerahan dan rasa sakit pada individu, tetapi justru rasa sakit inilah yang pada gilirannya menciptakan kedewasaan dan kematangan kepribadian manusia. Secara lebih umum ego berjalan melintasi sejarah dalam wujud evolusi manusia. Evolusi manusia berjalan seiring dengan kekuatan ego untuk terus mengekang dan menahan dorongan id-nya. Kunci keberhasilan manusia dalam melakukan evolusi sehingga bisa terhindar dari kepunahan terletak pada usaha ego untuk selalu mengekang naluri kesenangannya, usaha inilah yang tidak mampu dilakukan oleh makhluk hidup lainnya. Manusia harus terus berjuang untuk meyelami kembali bakat-bakat potensial dari kesadaran ego-nya agar bisa membangun mekanisme pertahanan diri yang layak dan bebas dari pengaruh ilusi id. Dibutuhkan waktu yang panjang, latihan yang disiplin, dan pembelajaran yang terus menerus bagi ego untuk dapat memperoleh bentuk kepribadian yang matang dan dewasa. Di sini, etika agama berkepentingan untuk melatih kepribadian manusia dalam memperkuat, mendewasakan dan mematangkan ego sehingga mampu menahan gempuran dari naluri id yang agresif, penuh dengan kesenangan, dan bersifat delusif. Memang kekuatan kesadaran (ego) jauh lebih lemah dibandingkan dengan ketidaksadaran (id), bahkan tenaga psikis ego berasal dari naluri id, namun bukan suatu hal yang mustahil kelak dalam sejarah, manusia mampu menundukkan kecenderungan irrasional, agresi, kesenangan, dan naluri primitif dalam dirinya sehingga manusia sampai pada puncak garis evolusinya. Inilah puncak tertinggi kemenangan manusia terhadap dirinya sendiri. Penulis sangat berhutang budi pada Sigmund Freud karena buku ini secara metodologis menggunakan dan

79

80

Asal-Usul Agama dan Ketidaksadaran

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

banyak terpengaruh oleh pandangan psikoanalisa. Bisa dikatakan psikoanalisa merupakan sebuah cara pandang dunia (weltanschauung) terhadap banyak hal, mulai dari psikologi, agama, budaya, antropologi, seni, filsafat, etika, pendidikan, politik dan sebagainya. Pada awalnya, psikoanalisa adalah teknik penyembuhan dan perawatan terhadap para pasien penderita neurotik, namun setelah melangkah lebih jauh Freud sadar bahwa dirinya sudah meyentuh wilayah-wilayah lain dan tidak bisa terpaku pada bidang psikoterapi saja. Psikoanalisa seolah-olah ditakdirkan untuk muncul di pembuka abad kedua puluh sebagai revolusi pengetahuan yang merubah secara radikal cara pandang manusia tentang banyak hal. Penemuan Freud atas psikoanalisa bisa disejajarkan dengan pengaruh Newton, Darwin, Muhammad, Einstein, dan Karl Marx. Mereka adalah para pendekar dunia yang telah menentukan gerak zaman dan mengubah secara fundamental nasib umat manusia. Dalam bab selanjutnya, penulis berusaha untuk memfokuskan studi penelitian tentang agama Islam yang muncul dari kompleksitas alam bawah sadar atau ketidaksadaran yang dialami oleh pendirinya, yaitu Nabi Muhammad. Menurut tesis penulis, Islam adalah salah satu bentuk agama historis yang terlahir dari kompleksitas psikologi ketidaksadaran yang tentunya berkolaborasi dengan realitas yang terjadi pada saat itu. Islam merupakan salah satu bentuk agama yang berasal dari sumber yang murni individual, yaitu psikologi ketidaksadaran Nabi Muhammad, namun karena pribadi Nabi hidup dalam ruang sosial, politik dan budaya pada masanya tentunya agama ini juga memiliki watak yang tidak saja bersifat individual melainkan juga bersifat sosiologis. Untuk menelusuri jejak-jejak ketidaksadaran dalam agama Islam, penulis tidak bisa menggunakan alat dan data sejarah ortodoks karena penulis yakin data sejarah

tentang psikologi abnormal yang terjadi pada Nabi Muhammad pastilah tidak mungkin ada. Hal ini disebabkan pengetahuan tentang sejarah Nabi tidak bisa terlepas dari hegemoni dan relasi kuasa yang selalu melindunginya dari keanehan dan kecacatan. Maka, penulis berusaha untuk mencari metodologi yang meyakinkan sehingga kita bisa menembus tirai tabu yang menutupi alam pemikiran tentang kepribadian Nabi. Penulis memilih untuk menggunakan psikoanalisa sebagai metodologi untuk mendekati al-Qur’an karena dalam berbagai hadis menginformasikan bahwa al-Qur’an adalah cerminan jiwa Nabi yang terekspresikan melalui saluran kwasi-mimpi, delusi dan halusinasi suara lonceng. AlQur’an sebagai wahyu Islam muncul dari gejala ketidaksadaran Nabi, yaitu salah satunya lewat pengalaman mimpi dan halusinasi suara lonceng. Psikoanalisa terkenal dengan metodologimya dalam menelusuri dinamika ketidaksadaran manusia bahkan Freud telah menulis sebuah buku yang secara khusus menganalisa tentang mimpi, yaitu berjudul The Interpretation of Dream. Buku ini mengatakan bahwa fenomena mimpi merupakan jalan masuk atau via regia menuju alam ketidaksadaran. Maka, melalui studi yang cermat atas fenomena mimpi yang menjadi salah satu saluran munculnya wahyu Islam, kita akan mengenal dengan baik bagaimanakah kaitan antara gejala ketidaksadaran yang dialami Nabi dengan struktur dan bangunan al-Qur’an. Dengan menelusuri jejak-jejak ketidaksadaran dalam al-Qur’an, penulis yakin strategi ini lebih jitu layaknya sebuah arkeologi untuk merekonstruksi hewan purbakala yang telah punah namun rangka dan tulang-tulangnya masih tersisa. Bedanya, rekonstruksi hewan-hewan purbakala merupakan sebuah kegiatan analisa fisik sedangkan rekonstruksi al-Qur’an yang memiliki jejak-jejak

81

82

Asal-Usul Agama dan Ketidaksadaran

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

ketidaksadaran merupakan sebuah kegiatan analisa psikis. Penulis beruntung karena al-Qur’an adalah sebuah dokumen yang masih utuh dan terjaga dengan sangat baik sehingga memungkinkan bagi kita untuk bisa mengidentifikasi struktur dan isinya secara memadai dan dapat dipertanggung jawabkan.

83

84

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

V AGAMA SKIZOFRENIA Suara-suara dan penglihatan dalam pewahyuan tidak lain adalah kekuatan delusi dan halusinasi dari dinamika alam bawah sadar yang dapat menciptakan kondisi kegaiban, misteri dan perasaan seolah-olah dikendalikan oleh kekuatan maha besar yang tak nampak. Agama yang mendasarkan ajarannya pada wahyu memiliki potensi kekacauan psikologis. Menurut tesis Carl Jung, sumber dan asal-usul Agamaagama Dunia, termasuk di dalamnya Islam, adalah fakta ketidaksadaran atau alam bawah sadar (unconscious mind). Jenis agama ini mempunyai ciri bahwa wahyu yang menjadi batang tubuh Agama-agama Dunia (world religions) muncul lewat saluran ketidaksadaran atau alam bawah sadar, semisal lewat mimpi atau kwasi mimpi, halusinasi auditorik berupa suara lonceng, halusinasi visual, delusi pengontrolan pikiran, waham kebesaran, kesurupan, ekstasi, atau bahkan kegilaan (insanity). Para Nabi dari Agama-agama Dunia mendapatkan wahyu melalui saluran alam bawah sadar. Bagi Jung, keadaan-keadaan yang dikuasai oleh alam bawah sadar merupakan fenomena keberagamaan yang mendasar karena pada saat itu akal fikiran dan psikis dikuasai oleh kekuatan yang berada di luar kontrol kita. Apa yang dinamakan dengan mimpi, halusinasi dan delusi dianggap merupakan ekspresi keadaan psikis yang dikuasai oleh kekuatan-kekuatan asing yang berasal dari luar diri kita sendiri. Kekuatan-

kekuatan asing yang berasal dari luar ini sering diterjemahkan sebagai intervensi kegaiban atau Tuhan. Jung menganggap bahwa keadaan-keadaan psikis manusia yang dikuasai oleh alam bawah sadar memiliki kualitas ilahiah dan bersifat religius sehingga ia sampai pada kesimpulan bahwa agama bersumber dari alam bawah sadar, atau dengan kata lain alam bawah sadar yang menciptakan suasana misteri, kegaiban, dan keterasingan adalah fakta atau fenomena religius.117 Dalam bab ini, penulis berusaha menelusuri asal-usul agama Islam untuk membuktikan apakah dasar-dasar agama Islam sesuai dengan tesis Carl Jung di atas. Benarkah pewahyuan dalam agama Islam didasarkan pada fakta ketidaksadaran? Dan apakah implikasinya terhadap isi dan ajaran agama tersebut apabila ia mendasarkan dirinya pada fakta ketidaksadaran? Dalam bagian selanjutnya penulis juga berusaha untuk menelusuri bagaimanakah asal-usul fenomena mimpi, delusi, dan bentuk-bentuk ketidaksadaran lainnya bisa dikatakan bersifat ilahiah sehingga dianggap menjadi sumber munculnya Agama-agama Dunia? Usaha penelusuran penulis terhadap jejak-jejak alam bawah sadar yang terekspresi secara formal dalam ajaran Islam (Al-Qur’an) didasarkan pada metode Psikoanalisa, yaitu sebuah metode psikologis yang ditemukan oleh Sigmund Freud untuk menjelaskan dinamika alam bawah sadar yang sangat menentukan bentuk dan motif yang paling primitif dalam perilaku manusia. Penjelasan dan uraian tentang metode psikoanalisa serta kaitannya dengan Al-Qur’an akan dibahas pada buku selanjutnya, namun masih di dalam tema Agama Skizofrenia. 117

Erich Fromm, Psikoanalisa dan Agama, Atisa Pers, Jakarta, 1988, hlm. 14-17.

2

Agama Skizofrenia

A. Penyair, Kahin dan Majnun menurut Alam Pikiran Arab Kuno Pengakuan Muhammad bahwa ia adalah seorang Nabi dan Rasul yang menerima pesan-pesan dari Tuhan, telah dikritik dan diserang bahkan sejak hari pertama klaim tersebut dikemukakan.118 Pada masa awal kenabian, beliau mendapatkan tantangan dan cemoohan dari masyarakat Arab yang ditujukan pada kepribadiannya dan sekaligus pesan-pesan ayat yang dibawanya. Orang-orang Arab menuduh dan menyangka bahwa Nabi adalah seorang majnun (orang gila) yang mendapatkan inspirasi ayat-ayat yang berasal dari keadaan kesurupan, Al-Qur’an sendiri menceritakan tuduhan itu dalam surat al-Thuur (52;29). Mereka menyangka kalau Nabi adalah seorang penyair yang sering mengalami kesurupan karena campur tangan jin-jin, dalam hal ini Al-Qur’an menyebutkan prasangka itu dalam surat al-Haaqqah (69;41). Mereka juga menyebut kepribadian Nabi sebagai seorang penyihir, surat al- Thuur (52;29). Masyarakat Arab menganggap bahwa ayat-ayat AlQur’an yang diturunkan kepada Nabi hanyalah dongengdongeng masa silam yang dibacakan di waktu pagi atau petang, dan ayat-ayat tersebut memiliki kandungan yang bersifat mitologis (asatir al-awwaliin), surat al-Furqan (25;5). Yang menjadi pertanyaan dan bahan analisa kita adalah alasan apakah yang menyebabkan orang-orang Arab pada masa awal kenabian menyebut beliau sebagai seorang penyair, tukang sihir, orang gila dan melabeli AlQur’an sebagai kata-kata dongeng masa silam yang dibacakan setiap pagi dan petang? Sebelum menjawab pertanyaan yang sangat penting di

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

atas, kita perlu memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan konsep penyair, kahin dan majnun menurut alam pikiran masyarakat Arab pra-Islam. Pertama, penyair dalam namanya syaa’ir berasal dari kata sya’ara atau sya’ura yang berarti “memiliki dan merasakan pengetahuan tentang”, misalnya tentang hal sesuatu yang tidak dimiliki oleh orang pada umumnya. Artinya seseorang yang memiliki pengetahuan langsung tentang dunia yang tak terlihat. Jenis pengetahuan ini diperoleh bukan melalui pengamatan yang rasional melainkan melalui sebuah hubungan akrab dengan wujud supranatural yang disebut jinn. Pada tahap ini, syair bukan merupakan bidang seni, melainkan pengetahuan supranatural yang berasal dari komunikasi langsung dengan roh-roh yang tak nampak yang mereka percayai melayang-layang di udara atau mendekam di lembahlembah yang dianggap angker.119 Menurut alam pemikiran Jahiliyah, bangsa jinn tidak berkomunikasi dengan setiap orang dengan sembarangan. Masing-masing memiliki pilihan dan kriteria khusus untuk merasuk ke dalam tubuh manusia. Bila jinn menemukan seseorang yang disukainya, maka ia pun menghampirinya, berlutut di hadapannya dan mendesaknya untuk dijadikan penyambung lidah sang jinn ke dunia luar. Inilah awal mula dari upacara syair.120 Orang-orang Jahiliyah berpendapat bahwa setelah jinn merasuki tubuh manusia yang dipilihnya, terjadilah semacam komunikasi antara sang jinn dan manusia. Komunikasi ini nampak dari luar seperti igauan dalam waktu terjaga atau lebih tepatnya dinamakan kesurupan 119

118

W. Montgomery Watt, Pengantar Studi Al-Qur’an, Rajawali Press, Jakarta, 1991, hlm. 25.

3

Toshihiko Izutsu, Relasi Tuhan dan Manusia, Tiara Wacana, Yogyakarta, 2003, hlm. 186. 120 Ibid, hlm. 186.

4

Agama Skizofrenia

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

(tajnin). Kesurupan dalam alam pikiran Jahiliyyah bukanlah sesuatu yang dianggap asing oleh mereka. Orang-orang Jahiliyah meyakini kalau kesurupan merupakan peristiwa biasa yang tidak memiliki keistimewaan dan sering terjadi di mana-mana bahkan di seluruh dunia. Dalam alam pikiran modern, kesurupan merupakan bagian dari fenomena yang dikenal dengan samanisme (shamanism). Kesurupan menurut tradisi samanisme Arab Kuno dianggap sebagai merasuknya beberapa wujud supranatural yang tak terlihat, tiba-tiba untuk sementara waktu menguasai jiwa yang dirasuki dan lewat manusia itu mengutarakan kata-kata yang bersemangat, kebanyakan dalam bentuk sajak di mana manusia sendiri tidak akan pernah dapat menyusunnya dalam keadaan yang wajar, yakni pada saat tidak dirasuki.121 Sajak yang dihasilkan dari keadaan kesurupan ini dianggap memiliki kekuatan magis yang dapat menghantam musuh secara psikologis, layaknya mata tombak yang dapat melukai tubuh manusia. Sajak yang berat dan mengandung kekuatan magis ini dinamakan qafiyah (yang dalam konteks semacam ini tidak hanya bermakna bersajak atau perkataan bersajak sebagaimana yang digunakan orang Arab di kemudian hari, tetapi lebih tepat maknanya sebagai kata-kata yang memiliki kekuatan magis yang diucapkan dalam bentuk sajak atau sejenis mantra yang bergema di malam hari).122 Pada zaman Arab Kuno, kedudukan penyair dalam struktur masyarakat sangatlah penting. Seorang penyair merupakan kekayaan suku yang tidak dapat dinilai harganya baik pada masa damai maupun pada saat

berperang. Pada masa damai, ia merupakan pemimpin suku pengembara karena ia memperoleh pengetahuan supranatural dari roh-roh jinn. Pengembaraan suku di padang pasir diatur oleh perintah yang diberikan kepala suku yang juga seorang dukun-penyair. Dalam pengertian ini, pada umumnya penyair identik dengan kepala suku. Pada masa perang, ia bahkan dipandang lebih kuat daripada serdadu karena memiliki kekuatan gaib yang dapat memperdayakan musuh bahkan sebelum pertempuran yang sesungguhnya dimulai, yaitu melalui kutukan dan mantra yang dilancarkan kepada musuhnya dalam bentuk sajak yang dipercayai memiliki pengaruh yang jauh lebih kuat untuk menghancurkan sasarannya dibandingkan dengan anak panah dan tombak.123 Jadi, dalam konsep tradisi Jahiliyyah yang dinamakan penyair adalah orang yang mendapatkan inspirasi atau ilham dari makhluk-makhluk spiritual yang merasuki penyair tersebut sehingga mengakibatkan keadaan kesurupan (possession), dan dalam keadaan kesurupan itulah terjadi semacam komunikasi antara manusia dan makhluk spiritual di atas yang sekilas dari luar nampak seperti igauan, maka dari proses tadi muncul sajak-sajak magis yang tidak mungkin diciptakan tanpa dirasuki. Kedua, masyarakat Jahiliyyah pada masa pra-Islam menganggap bahwa fenomena kesurupan dalam diri penyair ternyata memiliki persamaan dengan konsep kahin atau tukang sihir. Tukang sihir (kahin) merupakan jenis manusia yang sedang dirasuki oleh jinn atau makhlukmakhluk spiritual di mana dalam keadaan kerasukan atau kesurupan itu mengucapkan kata-kata yang tidak wajar dan pikirannya sangat dipengaruhi oleh kekuatan inspirasi makhluk halus. Sesungguhnya semakin kita melihat ke

121 122

Ibid, hlm. 185. Ibid, hlm. 188.

123

5

Ibid, hlm. 188.

6

Agama Skizofrenia

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

belakang ke masa-masa kuno, maka akan semakin sulit untuk membedakan antara fenomena penyair (syaa’ir) dengan kahin. Karena, keduanya merupakan manifestasi dari samanisme atau perdukunan, dan pada awalnya keduanya memiliki kesamaan baik sifat maupun fungsinya dalam kehidupan sosial.124 Pada masa Jahiliyyah kuno, kahin merupakan jenis manusia yang dianggap memiliki kekuatan gaib dan menggunakan kekuatan itu sebagai profesinya. Dalam masa itu, ke-kahin-an hampir mirip dengan sebuah institusi sosial. Ia diperlukan untuk memecahkan masalah penting di dalam suku maupun antar suku. Ia bertindak sebagai penafsir mimpi. Ia dimintai tolong untuk menemukan onta yang hilang, ia melayani anggota-anggota suku tidak saja sebagai dokter tetapi juga sebagai detektif dalam masalahmasalah kejahatan yang terjadi dalam masyarakat tersebut.125 Apa yang sungguh menarik dari sifat kahin adalah aspek kemiripan dan kesamaannya dengan penyair. Kahin selalu mengucapkan kata-katanya dengan bentuk ritme tertentu yang sangat dikenal dengan sebutan saj’ (syair magis). Beberapa ahli mengatakan bahwa saj’ merupakan bentuk syair yang paling awal dalam sejarah budaya Arab. Yang paling mungkin adalah bahwa saj’ mewakili bentuk pra-syair. Saj’ merupakan bentuk ekspresi yang terletak di antara syair dan prosa pada percakapan umum sehari-hari. Puisi Arab sesungguhnya dimulai dengan rajaz, dan saj’ merupakan tahap yang mendahuluinya.126 Saj’ terdiri dari serangkaian kalimat pendek dan padat, biasanya bersama dengan irama tunggal, ini merupakan

bentuk inspirasi dan wahyu yang paling khas pada masa Arab kuno. Saj’ (syair magis) merupakan bentuk puisi Arab kuno yang dianggap berasal dari keadaan kesurupan karena dirasuki oleh jinn-jinn yang kemudian memberikan inspirasi magis kepada orang yang dirasukinya. Semua tindakan berbicara yang bersumber dari kekuatan yang tak terlihat, semua perbuatan berbicara yang bukan merupakan penggunaan kata sehari-hari, tetapi memiliki hubungan dengan kekuatan yang tak terlihat, seperti misalnya karunia, magi, ramalan, inspirasi, harus ditulis dalam bentuk ini.127 Kata saj’ itu sendiri berhubungan dengan kata Ibrani shag’ yang secara etimologis dan asal-usulnya berarti bunyi berdekut burung dara dan merpati. Dan, kata ini dihubungkan dengan bunyi berdengung suara jinn ketika sedang merasuki dan memberikan inspirasi kepada seseorang yang kemudian menghasilkan syair-syair yang bernada magis. Nabi Muhammad sendiri, dalam sebuah hadis yang berasal dari ‘Aisyah, melukiskan akibat yang dihasilkan oleh kata-kata kahin seperti suara ketok ayam jantan; “Ia (jinn) mengetok-ketok (yuqarqiru) ke telinga teman-temannya seperti suara ketok (qarqarah) seekor ayam jantan.”128 Ketiga, salah satu aspek yang dituduhkan pada kepribadian nabi Muhammad adalah status majnun. Tuduhan ini memiliki konteks dalam alam pikiran dan budaya Arab pra-Islam. Telah kita ketahui di atas, menurut mitologi primitif kehadiran penyair disebabkan oleh merasuknya makhluk-makhluk spiritual yang disebut dengan jinn ke dalam tubuh manusia yang dikehendakinya. Begitu juga dengan pengetahuan yang

124

Ibid, hlm. 190. Ibid, hlm. 190. 126 Ibid, hlm. 191. 125

127 128

7

Ibid, hlm. 191. Ibid, hlm. 191.

8

Agama Skizofrenia

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

dimiliki oleh seorang kahin, yaitu berasal dari komunikasi dengan makhluk spiritual yang menguasai tubuh sang kahin. Yang menghubungkan fenomena majnun dengan penyair dan kahin adalah kesurupan (possession), yaitu keadaan yang sama-sama dialami oleh majnun, penyair dan kahin. Kesurupan yang diakibatkan oleh merasuknya jinn ke dalam tubuh penyair dan kahin memunculkan perilaku yang aneh dan tidak sebagaimana lazimnya. Dalam keadaan kesurupan (possession), sang penyair dan si kahin bisa mengeluarkan kata-kata aneh yang tidak wajar dan memunculkan igauan-igauan yang tidak terjadi pada manusia normal. Pada saat kesurupan, seorang penyair dan kahin sudah tidak mampu mengontrol dan mengendalikan diri karena kesadaran telah hilang ditelan oleh kekuatan yang dianggap asing, keadaan inilah yang disebut dengan majnun. Keadaan majnun terekspresi dalam bentuk kesurupan yang mengakibatkan orang yang mengalaminya kehilangan akal dan kesadaran. Keadaan majnun menjadi kondisi umum yang dialami oleh seorang kahin dan penyair. Orang-orang yang mendapat predikat sebagai kahin dan penyair, pada masa Jahiliyyah kuno pasti juga mengalami keadaan majnun, sehingga antara kahin, penyair dan majnun sebenarnya saling berkaitan, dan ini merupakan bentuk ekspresi budaya yang sering disebut dengan samanisme atau perdukunan (shamanism). Yang kemudian menjadi analisa penulis adalah benarkah keadaan kesurupan yang dialami oleh orang majnun, penyair dan kahin dalam tradisi Arab Kuno merupakan akibat dari merasuknya jinn-jinn atau makhlukmakhluk spiritual ke dalam tubuh mereka? Nampak secara samar-samar kita sedang menyusuri jalan sunyi yang tertutup kabut tebal dan tak pernah seorang pun melaluinya, hal inilah yang sebenarnya terjadi pada penelitian tentang fenomena penyair, kahin, majnun,

dan kaitannya dengan kenabian. Pengalaman-pengalaman kesurupan (possession) yang dialami oleh penyair, kahin dan majnun dalam konteks budaya Arab pra-Islam sebenarnya mengandung tabir mitologis yang bersifat psikologikerakyatan (folklore) karena masyarakat pada waktu itu belum bisa menjelaskan fenomena apa yang sebenarnya terjadi. Dalam selubung mitologi pasti meninggalkan jejakjejak yang bisa menjadi petunjuk bagi kita untuk membantu menyingkap realitas yang sebenarnya. Dari bukti-bukti yang ada sampai sekarang, nampak bahwa perilaku kesurupan (possession) yang menjadi latar belakang bagi penyair, kahin dan majnun mengandung aspek psikologis. Hal ini ditunjukkan dengan bentukbentuk perilaku yang bersifat psikopatologis pada diri penyair, kahin dan majnun pada saat mereka mengalami kesurupan. Dalam sebuah penelitian modern yang dilakukan oleh Julian Silverman, seorang antropolog dari kalangan psikiatri, terhadap para ahli dukun (shaman) dan peserta ritual magi atau sihir yang sedang mengalami keadaan kesurupan dan ekstase, ditemukan adanya gejala-gejala psikotik yang menyertai gaya ekspresi psikologi mereka karena telah melakukan ritual tertentu. Ekspresi ini merupakan bentuk katarsis yang ditimbulkan oleh alam bawah sadar manusia untuk menyesuaikan diri dengan realitas yang tidak bisa ditangani oleh kesadaran biasa. Menurut diagnosa psikiatri, ritus-ritus magi atau sihir yang dilakukan oleh penduduk suku-suku primitif mengandung benih skizofrenia akut (acute-schizoprenic) dalam bentuk kesurupan129 namun skizofrenia ini dapat surut pada

9

10

129

I. M. Lewis, Ecstatic Religion: A Study of Shamanism and Spirit Possession, New York, 2003, hlm. 163.

Agama Skizofrenia

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

kesadaran semula setelah ego-nya kembali pulih.130 Orang-orang yang kesurupan sebenarnya mereka tidak dirasuki oleh makhluk halus atau jinn dan makhluk gaib lainnya melainkan dikuasai oleh dinamika alam bawah sadar mereka sendiri. Orang-orang kesurupan yang dikuasai oleh alam bawah sadar mereka sendiri merasa dirinya dikontrol, dikendalikan, melihat penampakanpenampakan atau vision yang bersifat kabur dan mendapatkan bisikan-bisikan yang seolah-olah berasal dari luar, keadaan-keadaan ini telah diterjemahkan oleh psikopatologi dengan nama delusi (delusion) dan halusinasi (hallucination). Ketika orang dikuasai oleh alam bawah sadarnya, maka kesadaran yang menggerakkan akal fikiran juga ikut tenggelam, orang tersebut jadi tidak bisa mengendalikan diri mereka sendiri dan kendali diambil alih oleh dinamika alam bawah sadar. Dengan kata lain, dinamika alam bawah sadar menindih kesadaran sehingga orang-orang yang mengalami kesurupan kehilangan kendali atas psikis mereka sendiri. Dalam term PsikologiAnalitis Carl Jung, apa yang dinamakan dengan kegilaan atau majnun adalah fenomena keadaan psikis yang dikuasai oleh dinamika alam bawah sadar kolektif (collective unconscious) yang mengakibatkan kesadaran seseorang tercerabut dan kehilangan kontrol atas dirinya sendiri.131 Lalu bagaimanakah asalnya seorang penyair, kahin dan majnun yang dikuasai oleh alam bawah sadar bisa menganggap bahwa dirinya sedang dirasuki oleh makhluk halus yang sering disebut jinn? Sebenarnya, orang yang sedang dikuasai oleh alam bawah sadarnya sendiri akan mengalami keadaan-keadaan

psikis yang bersifat misterius, gaib dan asing. Dalam keadaan kesurupan, penyair, kahin dan majnun tidak menguasai diri mereka dan tidak mengerti secara jelas gerangan apakah yang sedang terjadi pada dirinya. Karena merasa dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan yang asing bagi mereka dan sering mendengar suara-suara yang seolah-olah bersifat eksternal, mereka kemudian mencari penjelasan berdasarkan kapasitas pengetahuan mereka, yaitu dengan berusaha memproyeksikan impuls-impuls psikis dari dalam ke dunia luar dan menganggap bahwa kekuatan yang sedang menguasai diri mereka adalah makhluk-makhluk gaib. Dengan memproyeksikan impulsimpuls psikis ke dunia luar, bisa dikatakan kekuatankekuatan psikis yang menguasai jiwa mereka pada saat kesurupan telah mendapatkan atribut yang bersifat personal, maka muncullah makhluk yang bernama jinnjinn. Jadi, yang dinamakan dengan jinn adalah hasil personalisasi terhadap kekuatan-kekuatan psikis yang menciptakan suasana kegaiban, misteri, dan keterasingan dalam jiwa para penyair, kahin dan majnun. Hal ini disebabkan kebingungan dan ketidakmampuan intelektual sekelompok manusia pada zaman itu untuk memahami apa yang sebenarnya mereka alami saat kesurupan. Mereka tidak bisa mengetahui gerangan apakah yang sedang terjadi pada diri mereka sendiri. Menurut teori Animisme E. B. Tylor, hal ini juga terjadi dalam asal-usul makhlukmakhluk gaib lainnya, seperti setan, malaikat, hantu, rohroh, dewa-dewa dan tuhan sekalipun, yaitu mereka berasal dari proyeksi kekuatan-kekuatan psikis manusia ke dunia luar yang kemudian mendapatkan atribut personal seperti kepribadian manusia, setelah itu diinternalisir kembali oleh manusia seolah-olah itu adalah fakta objektif yang ada di luar manusia, padahal yang sebenarnya mereka (jin, roh, setan, dan malaikat bahkan tuhan) berasal dari kekuatan

130

J. Milton Yinger, The Scientific Study of Religion, 1984, hlm. 39. Carl Gustav Jung, Menjadi Diri Sendiri, Gramedia, Jakarta, 1987, hlm. 32. 131

11

12

Agama Skizofrenia

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

psikis manusia itu sendiri.132 Tuhan dalam konsepsi Islam berakar dalam kepribadian Nabi yang sedang dikuasai oleh kekuatan delusi dan halusinasi yang menciptakan perasaan kegaiban, misteri dan seolah-olah sedang dikendalikan dan dipengaruhi oleh kekuatan maha besar yang tak nampak. Perasaan sedang dirasuki oleh kekuatan maha besar ditafsirkan sebagai campur tangan ilahiah yang misterius dan transendental. Penglihatan dan suara-suara pewahyuan yang sering dianggap ilahiah dan transenden tidak lain adalah delusi dan halusinasi yang berasal dari pikiran manusia itu sendiri. Delusi dan halusinasi yang bersifat impersonal ini kemudian diproyeksikan ke dunia luar dan dipersonalisasi berdasarkan bentuk dan model kepribadian manusia. Tuhan berasal dari fantasi imajiner manusia yang tidak bisa menjelaskan tentang keberadaan dirinya yang sedang dirasuki oleh kekuatan maha besar yang tak nampak dan misterius. Hal ini memperkuat tesis Feuerbach tentang akar-akar konsep tuhan dalam kepribadian manusia. Konsepsi ketuhanan berasal dari daya ketidakterbatasan dalam diri manusia yang kemudian diproyeksikan ke dunia luar. Menurut teori proyeksi dari Ludwig Feuerbach (1804-1872), konsep tuhan secara psikologis berasal dari proyeksi kekuatan-kekuatan psikis manusia ke dunia luar yang kemudian mendapatkan atribut personal. Konsep tuhan, menurut teori ini, berasal dari pencitraan manusia terhadap dirinya sendiri yang kemudian diobjektivikasikan ke dunia luar dan mendapatkan status seolah-olah ada dan riil. Konsep tuhan berasal dari cita-cita manusia terhadap dirinya sendiri dan dimodelkan menurut kepribadian manusia. Dalam diri tuhan-lah cita-cita tertinggi dari

manusia bisa kita dapatkan, maka konsep tuhan tidak akan pernah bebas dari model dan kepribadian manusia.133 Dari perspektif kesurupan, ide tentang tuhan berakar dalam kepribadian manusia. Tuhan adalah delusi manusia imajiner. Sebenarnya, kekuatan psikis yang seolah-olah mengontrol, mengendalikan dan memberikan bisikanbisikan pada jiwa orang-orang yang dianggap mengalami kesurupan adalah hasil kegiatan mekanisme psikopatologi yang disebut dengan delusi (delusion) dan halusinasi auditorik (auditoric hallucination). Kekuatan delusi dan halusinasi yang memunculkan perasaan misterius, kegaiban, keterasingan, magis dan perasaan merasa disentuh oleh kekuatan maha besar yang tak nampak dan seolah-olah memberikan bisikan-bisikan halus, oleh orang yang mengalaminya bisa mengakibatkan kehilangan kontrol terhadap diri mereka sendiri.134 Dari sinilah suarasuara dan penglihatan wahyu berasal, bahwa keduanya tidak lain adalah delusi dan halusinasi yang menguasai psikis Nabi yang kemudian dipersonalisasi berdasarkan model kepribadian manusia, maka muncullah definisi tuhan, malaikat, setan, dan yang lainnya. Kesurupan yang dialami oleh penyair, kahin dan majnun bukanlah campur tangan makhluk halus atau jinn melainkan suatu keadaan psikis yang dikuasai oleh dinamika alam bawah sadar dari diri mereka sendiri. Lalu, kenapa orang yang mengalami kesurupan, yaitu para kahin, penyair dan majnun mendapatkan status yang tinggi pada masa Arab kuno? Karena, pada masa itu perdukunan

132

Lihat tesis Animisme E. B. Tylor dalam karyanya yang berjudul “Primtive Culture.”

13

133

Harry Hamersma, Tokoh-Tokoh Filsafat Barat Modern, Gramedia, Jakarta, 1992, hlm. 65. 134 Rusdi Maslim, Diagnosis Gangguan Jiwa, Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atma Jaya, Jakarta, 2001, hlm. 46.

14

Agama Skizofrenia

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

(shamanism) merupakan institusi yang masih menguasai dan melandasi struktur masyarakat Arab kuno maka wajar kalau kahin dan penyair mendapatkan tempat yang sangat prestisius. Fenomena penyair, kahin, dan majnun merupakan bagian dari tradisi samanisme yang terus hidup hingga abad modern sekalipun. Meskipun sains dan ilmu pengetahuan telah berusaha meruntuhkan kebenaran samanisme dan memojokkannya hingga ke sudut-sudut yang gelap, namun samanisme tetap kokoh dan masih eksis sampai kapan pun. Hal ini disebabkan karena fenomena kesurupan berasal dari kegiatan alam bawah sadar, padahal alam bawah sadar adalah fakta psikis yang inhern dalam diri manusia dan akan tetap terus ada sampai kapan pun. Maka, apabila kita mencari asal-usul kenapa fenomena kesurupan bisa bertahan hingga zaman modern sekarang ini, kita bisa menengok dan menunjuk kalau yang bertanggung jawab adalah dinamika alam bawah sadar yang misterius dan penuh kegaiban. Dengan memahami fenomena penyair, kahin dan majnun sebagai keadaan kesurupan karena tubuh dirasuki oleh makhluk halus, masyarakat Arab pada masa kenabian Muhammad juga menganggap bahwa fenomena kenabian beliau mempunyai asal-usul dan akar-akarnya pada budaya Arab kuno, yaitu pengalaman-pengalaman keagamaan yang dialami Nabi ketika munculnya wahyu disamakan dengan proses kesurupan karena dirasuki oleh makhluk-makhluk gaib. Hal ini bukannya tanpa alasan, ada dua alasan utama yang mengakibatkan masyarakat Arab pada waktu itu menyamakan fenomena kenabian dengan perdukunan atau kesurupan, yaitu Pertama; keadaankeadaan psikis dan perilaku Nabi saat munculnya wahyu mempunyai kesamaan dan kemiripan dengan keadaan kesurupan. Kedua; banyak sekali ayat-ayat dalam AlQur’an yang memuat secara formal bentuk-bentuk syair magis dan mitologi yang bersifat animistik karena bentuk-

bentuk syair magis tersebut telah dikenal lama oleh orang Arab kuno sebagai hasil dari proses kesurupan yang dialami oleh para kahin, peyair dan majnun meskipun kita bisa mengetahui bahwa bentuk-bentuk syair dalam ayatayat Al-Qur’an yang memiliki kemiripan dengan aspek saj’ (syair magis) hanyalah sebuah cara untuk membungkus pesan-pesan moral yang dikandungnya. Orang-orang Arab hanya melihat aspek bentuk atau formal dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan bukan isinya yang mengandung pesan-pesan moral kebajikan. Orang-orang Arab meyakini apabila perilaku Nabi saat munculnya wahyu memiliki kesamaan dengan kesurupan tentu apa yang disampaikan oleh wahyu kenabian Muhammad juga mengandung unsur kesurupan atau samanisme meskipun hanya dalam aspek formalnya saja. Lalu bagaimanakah pandangan kita kalau ternyata AlQur’an sendiri menolak dirinya disamakan dengan perkataan syair, kahin dan kepribadian Nabi bukanlah majnun? Al-Qur’an sebenarnya ingin menegaskan kepada kita bahwa dirinya bukan dihasilkan atau disebabkan oleh merasuknya roh-roh atau jinn-jinn ke dalam tubuh dan jiwa Nabi sebagaimana kepercayaan masyarakat Arab pada masa itu terhadap fenomena kahin, penyair dan majnun. AlQur’an tidak mengakui kalau fenomena kesurupan itu dihasilkan oleh merasuknya jinn-jinn ke dalam tubuh manusia. Dengan begitu secara implisit Al-Qur’an ingin mengatakan kepada kita bahwa keadaan psikologi yang dialami Nabi ketika wahyu muncul bukanlah disebabkan oleh roh-roh halus melainkan disebabkan merasuknya dinamika alam bawah sadar ke dalam jiwa beliau secara alamiah dan natural. Al-Qur’an tidak mau disamakan dengan hasil ekspresi kahin, penyair, dan majnun karena ia dimunculkan oleh impuls hukum moral dari kedalaman jiwa Nabi Muhammad, sedangkan ekspresi para kahin, penyair, dan

15

16

Agama Skizofrenia

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

majnun berangkat dari kepentingan semata. Meskipun perasaan dan pengalaman (psikologi) munculnya wahyu bisa disamakan dengan perasaan yang dialami oleh para penyair, kahin, dan majnun ketika mereka sedang kesurupan, namun isi pengalaman pewahyuan berbeda dengan isi pengalaman para kahin, majnun, dan penyair. Isi pengalaman wahyu adalah hukum moral dan isi pengalaman para kahin, majnun, dan penyair adalah kepentingan, walaupun keduanya ternyata sama-sama dibungkus atau dikonstruk oleh pikiran alam bawah sadar. Konstruk pikiran atau bungkus inilah yang menjadi persamaan antara pengalaman pewahyuan dan pengalaman para kahin, majnun, dan penyair. Yang akan dibahas dalam bagian ini hanyalah alasan pertama saja, yaitu kenapa masyarakat Arab memandang bahwa pengalaman kenabian Muhammad memiliki asalusul dalam budaya samanisme atau perdukunan, sehingga Nabi dijuluki sebagai orang gila (majnun), penyihir (kahin) dan penyair (syaa’ir)? Apa yang ditunjukkan oleh perilaku dan keadaan psikis Nabi ketika munculnya wahyu ternyata memiliki kesamaan dengan fenomena kesurupan, dan masyarakat Arab pada waktu itu tidak memandang asing perilaku Nabi saat munculnya wahyu karena memang sudah biasa dalam tradisi budaya mereka. Sedangkan alasan kedua, kenapa masyarakat Arab menganggap Nabi sebagai orang gila, penyair dan penyihir? Yaitu karena adanya berbagai macam bentuk formal yang merupakan hasil ekspresi dari kesurupan atau samanisme yang ternyata termuat dan termanifestasi dalam hasil pewahyuan Nabi, salah satunya yaitu ayat-ayat Al-Qur’an yang bergaya sajak magis, akan diulas pada bagian selanjutnya. Masyarakat Arab Kuno menduga, karena Nabi mengalami kesurupan tentu gaya ekspresi dari kesurupan itu menjadi bentuk formal dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Untuk memperkuat pandangan bahwa kondisi Nabi

saat pewahyuan memiliki kesamaan dengan orang yang kesurupan, ada sebuah hadis yang menceritakan bagaimana keadaan psikis Nabi ketika munculnya wahyu, di mana di dalamnya memberitakan kepada kita tentang penderitaan yang hebat, sakit secara fisik, perasaan seperti tercekik pada saat itu. “ ‘Aisyah meriwayatkan (ini merupakan hadis tentang wahyu yang dikenal paling sahih)- “Saya melihat ketika wahyu turun pada saat hari sangat dingin. Pada kening beliau terlihat butiran-butiran keringat-“. Dalam hadis lain meriwayatkan bahwa ketika wahyu turun, wajahnya menjadi gelap, kadang-kadang beliau jatuh ke tanah seperti pingsan, kadang-kadang beliau merintih seperti onta atau sapi dan lain sebagainya.135 Keadaan-keadaan inilah yang menjadikan masyarakat Arab Pra-Islam mengidentikkan beliau sebagai orang yang mengalami kesurupan, karena keadaankeadaan ini juga dialami oleh para penyair, kahin, dan majnun ketika mereka sedang mendapatkan inspirasi dari makhluk halus atau roh jinn. Karena keadaan-keadaan psikis yang dialami oleh para kahin, penyair, dan majnun juga dialami oleh Nabi ketika munculnya prinsip-prinsip wahyu, tentu sangat wajar kalau orang-orang Arab Kuno juga menyebut wahyu Islam dihasilkan dari keadaan kesurupan. Jadi, tuduhan yang ditujukan kepada Nabi oleh masyarakat Arab pada waktu itu bahwa keadaan-keadaan psikis Nabi ketika munculnya wahyu mempunyai kesamaan dan kemiripan dengan kondisi orang-orang Arab Kuno yang sedang mengalami kesurupan, cukup beralasan dan didukung oleh bukti-bukti empiris. Hal ini bisa menjadi petunjuk dan jejak bagaimana kita memahami dengan baik dan merekonstruksi psikologi kenabian yang

17

18

135

Toshihiko Izutsu, Op. Cit., hlm. 194.

Agama Skizofrenia

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

selama ini ditutupi oleh kabut mitologi yang bersifat ideologis, karena memang Islam adalah agama pemenang dan penguasa di Arab. Kalau kita menganalisa keadaan psikis dan perilaku Nabi yang merasa tertekan dan tercekam oleh sesuatu yang dianggap sebagai hal yang bersifat kewahyuan, hal tersebut lebih disebabkam memang Nabi sedang tercengkeram oleh kekuatan dan dinamika alam bawah sadar (unconscious mind). Tesis ini didukung oleh pengamatan empirik masyarakat Arab yang mengidentikkan keadaan psikis Nabi dan perilaku beliau ketika munculnya wahyu sama dengan orang-orang yang mengalami kesurupan. Pengamatan ini tertuju pada bukti-bukti yang bersifat fisik daripada menjelaskan fenomena yang sebenarnya. Dengan menyamakan kondisi psikis Nabi ketika wahyu muncul dengan orang-orang yang sedang kesurupan jinn, di mana sebenarnya kesurupan itu bersifat mitologis dan bukan disebabkan oleh merasuknya jinn ke dalam tubuh manusia, tentu kita bisa mengambil hipotesa bahwa Nabi sedang tercengkeram dan dikuasai oleh dinamika alam bawah sadar (unconscious mind). Hal ini diindikasikan dengan ekspresi perilaku dan keadaan psikis Nabi saat munculnya wahyu mempunyai kesamaan dengan para penyair, kahin dan majnun pada saat kesurupan, padahal orang yang mengalami kesurupan sebenarnya ia sedang dikuasai oleh alam bawah sadarnya sendiri. Keadaan psikis Nabi yang tertekan secara mental dan mengalami penderitaan fisik saat munculnya wahyu, sehingga oleh sebagian orientalis, Nabi dianggap mengidap penyakit epilepsi atau ayan bisa dijelaskan dengan mekanisme kekuatan dan dinamika alam bawah sadar. Merasuknya kekuatan alam bawah sadar yang mengakibatkan keadaan fisik dan psikis tertekan merupakan salah satu gejala skizofrenia. Hipotesa penulis atas data-data minimum ini untuk sementara menganggap

bahwa Nabi mengalami keadaan skizofrenia dan hal ini akan terus diuji sepanjang bagian dan bab berikutnya dalam buku ini. Skizofrenia adalah sebuah keadaan psikis yang sedang dikuasai oleh alam bawah sadarnya sendiri dalam bentuk serangan psikopatologi delusi (waham) dan halusinasi.136 Orang yang sedang dikuasai oleh delusi, pada jenis-jenis tertentu, akan mengalami kondisi tertekan yang sangat luar biasa menakutkan dan mampu mempengaruhi kondisi fisik. Orang yang sedang dikuasai oleh delusi banyak mengalami pengalaman-pengalaman psikis yang menakutkan sekaligus melegakan setelah delusi itu mulai sirna. Pada saat kita terpengaruh oleh kekuatan delusi alam bawah sadar, kita bisa merasakan penderitaan psikis hebat yang bisa menjalar ke wilayah fisik. Dalam hal ini, keadaan fisik kita bisa dikatakan mengalami ketegangan yang luar biasa dahsyatnya, seperti serangan epilepsi atau ayan yang tiba-tiba tanpa ada gejala-gejala yang pasti. Ibnu Khaldun dalam bukunya Muqaddimah menjelaskan bahwa fenomena penderitaan Nabi ketika munculnya wahyu dianggap sebagai sebuah sakit jasmani yang disebabkan oleh pengalaman supranatural Nabi yang untuk sementara meninggalkan sifat kemanusiaannya (basyariyyah) untuk ditukar dengan sifat kemalaikatan

19

20

136

Rusdi Maslim, Op. Cit., hlm. 46-48. Diagnosa skizofrenia bisa ditandai dengan munculnya kondisi jiwa yang pecah yang menghasilkan delusi dan halusinasi. Penulis mendasarkan cara diagnosa ini berdasarkan pada pendapat Eugen Bleuler, penemu istilah skizofrenia. Hal ini tentu berbeda dengan diagnosa yang ditegakkan oleh Emil Kraeplin, penemu istilah Dementia Praecox, di mana menurutnya (Emil Kraeplin) diagnosa skizofrenia harus disertai dengan keruntuhan mental dan tidak cukup hanya ditandai dengan gangguan pikir delusi dan halusinasi, Ayub Sani Ibrahim, Skizofrenia, Ind-Hill-Co, Jakarta, 1990, hlm. 6-7.

Agama Skizofrenia

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

(malakiyyah) sehingga untuk sementara waktu Nabi ada dalam bagian dunia kemalaikatan sampai wahyu selesai dan Nabi pun kembali lagi ke sifat kemanusiaannya lagi.137 Penjelasan ini nampak bersifat filosofi-mistis yang sulit untuk dibuktikan dan diuji secara empiris. Pendapat ini bukanlah cara orang Arab Kuno dalam memandang dan memahami fenomena kenabian. Pendapat Ibnu Khaldun, menurut penulis merupakan apologi untuk melindungi teologi dari serangan orang-orang yang membenci Islam dan apologi ini bersifat a-historis karena telah kita lihat di atas bahwa kenabian itu sendiri memiliki asal-usul dan akar-akarnya dalam budaya Arab Kuno. Yaitu, wahyu Islam memiliki akar-akarnya pada budaya penyair, kahin dan majnun. Namun, budaya Arab Kuno itu sendiri mengandung tabir mitologis dalam bentuk simbol-simbol makhluk spiritual seperti jinn, setan, roh, dan sebagainya, sehingga dapat mengaburkan kita dari realitas yang sebenarnya. Orang yang kesurupan sebenarnya tidaklah disebabkan oleh merasuknya makhluk halus ke dalam tubuh mereka, melainkan disebabkan oleh invasi kekuatan alam bawah sadar yang mengakibatkan orang bisa kehilangan kontrol dan kesadaran dirinya. Dengan menggunakan analisa psikologi alam bawah sadar terhadap kondisi psikis Nabi ketika munculnya wahyu, hal ini bisa menjadi lahan penelitian subur yang akan terus berkembang dalam kebudayaan manusia, karena memang alam bawah sadar adalah wilayah psikologi yang dalam abad modern ini bisa dibuktikan, diteliti dan diuji secara empiris. Kesimpulan sementara penulis untuk bagian ini adalah fenomena penyair, kahin dan majnun yang dipercayai oleh

masyarakat Arab kuno sebagai peristiwa kesurupan (possession) yang disebabkan oleh merasuknya makhlukmakhluk spiritual, seperti jinn-jinn, sebenarnya merupakan tabir mitologis, di mana masyarakat Arab kuno belum bisa menjelaskan fenomena kesurupan dengan pengetahuan meyakinkan. Masyarakat Arab kuno yang tidak mempunyai pengetahuan yang memadai tentang kesurupan memproyeksikan kekuatan-kekuatan psikis yang sedang menguasai jiwa mereka ke dunia luar dan memberikan atribut personal pada kekuatan-kekuatan psikis tersebut, maka muncullah makhluk yang bernama jinn, setan, malaikat, roh-roh dan sebagainya. Kekuatan-kekuatan psikis yang menguasai kahin, majnun dan penyair saat kesurupan sejatinya berasal dari dinamika alam bawah sadar mereka sendiri. Alam bawah sadar yang mampu mengendalikan dan mengontrol jiwa serta membisikkan suara-suara halus seolah-olah terdengar secara eksternal pada orang-orang yang sedang kesurupan, sebenarnya berasal dari pikiran mereka sendiri. Keadaankeadaan kesurupan yang dialami oleh para kahin, penyair dan majnun ternyata secara psikis dialami juga oleh Nabi ketika munculnya wahyu. Hal ini dibuktikan secara empirik dengan anggapan masyarakat Arab pada waktu itu yang melihat perilaku Nabi ketika munculnya wahyu sama persis dengan perilaku yang dialami oleh para kahin, penyair dan majnun ketika sedang kesurupan. Pernyataan di atas bisa menjadi petunjuk awal bahwa sebenarnya penderitaan psikis dan perilaku-perilaku aneh yang dialami oleh Nabi ketika munculnya wahyu merupakan serangan kekuatan alam bawah sadar pada psikis beliau. Kondisi Nabi yang terserang oleh dinamika alam bawah sadar ternyata memunculkan delusi dan halusinasi yang dirasakan oleh beliau sebagai penderitaan psikis yang mengakibatkan rasa sakit luar biasa hingga ke fisiknya. Dalam kajian-kajian Psikologi-Analitis, serangan

137

Nasr Hamid Abu Zayd, Tekstualitas Al-Qur’an, LKis, Yogyakarta, 2002, hlm. 53. Dan, Toshihiko Izutsu, Op. Cit., hlm. 184.

21

22

Agama Skizofrenia

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

kekuatan alam bawah sadar (berupa delusi dan halusinasi) terhadap psikis seseorang bisa mengakibatkan keadaan skizofrenia,138 dan diindikasikan hal ini juga dialami oleh Nabi ketika sedang menerima wahyu kenabian. Keadaan skizofrenia menjadi saluran bagi munculnya wahyu Islam. Inilah tesis sementara kami yang akan terus diuji dalam tulisan selanjutnya.

Muhammad dan mengungkap dari bahan-bahan yang ada wawasan-wawasan yang relatif baru yang dapat dihubungkan dengan tesis kita pada bagian sebelumnya. Menurut tesis Fazlur Rahman, dalam bukunya yang berjudul Islam, beliau berusaha untuk meluruskan konstruksi ortodoks yang memandang bahwa proses pewahyuan yang terjadi pada Nabi Muhammad berlangsung secara eksternal, yaitu wahyu datang kepada Nabi melalui malaikat yang turun ke bumi dengan menyerupai manusia kemudian malaikat tersebut menyampaikan wahyu dalam bentuk percakapan dengan Nabi yang dapat didengar dengan jelas oleh Nabi melalui telinga dan mata. Konsep ortodoks inilah yang sering disebut dengan wahyu eksternal. Menurut Fazlur Rahman, konsep wahyu eksternal diciptakan pada masa-masa awal formulasi (tadwin) ajaran-ajaran Islam secara definitif, di mana pada awal abad kedua dan ketiga Hijriyah terjadi banyak friksi serta timbul perbedaan-perbedaan pendapat yang tajam dan kontroversi mengenai sifat wahyu, yang sebagaian dipengaruhi oleh doktrin-doktrin Kristen, yaitu kepercayaan bahwa Isa adalah Kalam Tuhan dalam rupa manusia yang menyejarah dan mendaging. Hal ini memicu ortodoksi untuk merumuskan sifat eksternal wahyu dan keunikannya yang aman dari pengaruh ajaran Kristen. Padahal, menurut Rahman, dengan jelas Al-Qur’an menyatakan bahwa; “Ruh yang terpercaya telah membawanya (wahyu) turun ke hatimu agar engkau menjadi salah seorang yang memberi peringatan”, (Surah Asy-Syu’araa’; 193-194). Dan juga, “ Katakanlah barang siapa yang memusuhi Jibril maka Jibril telah menurunkan Al-Qur’an ke dalam hatimu dengan seizin Allah…..” (Surah Al-Baqarah; 97). Dari kedua ayat ini menunjukkan bahwa proses pewahyuan terjadi dalam hati, yang berarti bersifat internal dan spiritual atau lebih tepatnya lagi, psikologis. Dua ayat di atas secara jelas menolak paham ortodoks

B. Konsep Wahyu dalam Islam Untuk merekonstruksi psikologi kepribadian yang dialami oleh Nabi Muhammad ketika munculnya wahyu bukan pekerjaan yang mudah. Ini disebabkan informasi dan data-data yang kita ketahui dari sumber yang terpercaya sekalipun, semisal; Al-Qur’an, Hadis dan sejarah riwayat Nabi, nampak simpang siur, penuh dibumbui dengan mitologi yang berlebihan, bersifat ideologis, tidak tertata secara sistematis dan koheren sehingga memaksa penulis untuk mendekonstruksi terlebih dahulu aspekaspek mana yang bersifat fundamental, orisinil dan dapat dipercaya kemudian setelah itu merekonstruksi kembali berdasarkan prinsip seleksi dan rasionalitas yang dapat diteliti menurut kategori-kategori yang bisa dipertanggungjawabkan. Dengan penulisan berdasarkan cara di atas, tentu penulis sadar bahwa cara kerja ini banyak bertabrakan dengan tradisi penulisan yang selama ini dilakukan oleh para sarjana muslim mulai dari skripturalis, moderat hingga yang paling liberal sekalipun meski sebenarnya penulis memperoleh bahan-bahan dari mereka. Dalam bagian ini, penulis berusaha untuk mendekonstruksi bentuk pewahyuan dalam kenabian

138

Carl Gustav Jung, Op. Cit., hlm. 32 dan 65.

23

24

Agama Skizofrenia

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

yang menyatakan bahwa wahyu diturunkan melalui malaikat yang menyerupai manusia yang kemudian berbincang-bincang dengan Nabi berdasarkan persepsi indera yang kasat mata. Wahyu muncul bukan secara eksternal, yaitu melalui penampakan malaikat yang menyerupai manusia kemudian berbincang-bincang dengan Nabi dengan kesadaran seluruh persepsi inderawi yang kasat mata, tetapi wahyu sebenarnya muncul secara internal dari kedalaman jiwa Nabi secara psikologis. Menurut Fazlur Rahman, kegagalan ortodoksi untuk menjelaskan pewahyuan secara internal lebih disebabkan karena pada waktu itu ulama Islam belum memiliki piranti atau alat intelektual untuk menjelaskan kenabian Muhammad secara lebih meyakinkan. Hal ini ditambah dengan metode perumusan ajaran Islam oleh kaum ortodoks yang mengandalkan hadis-hadis yang bersifat parsial, sektarian dan tidak koheren dengan Al-Qur’an itu sendiri.139 Munculnya wahyu secara internal atau melalui kedalaman jiwa dan spiritual Nabi tentu sangat berkaitan dengan kondisi psikologi Nabi ketika wahyu muncul dan sifat-sifat wahyu itu sendiri. Cara turunnya wahyu secara internal ke dalam jiwa Nabi membuktikan bahwa munculnya wahyu terjadi secara psikologis-spiritual dan bukannya secara fisik. Pengalaman-pengalaman munculnya wahyu yang dialami oleh Nabi Muhammad, dan diceritakan oleh beberapa hadis dapat dipahami sebagai sebuah kondisi psikologi kwasi-mimpi. Kwasimimpi merupakan kondisi yang terjadi dalam peralihan antara keadaan tidak sadar dan terjaga. Menurut Fazlur Rahman, kondisi psikologi Nabi ketika munculnya wahyu dapat dikatakan bersifat setengah sadar, yaitu mimpi

dalam keadaan terjaga, karena Nabi diriwayatkan setelah menceritakan pengalaman mendapatkan wahyu, beliau mengatakan; “Kemudian aku terjaga”.140 Hadis ini secara tersirat ingin menunjukkan bahwa sehabis munculnya wahyu, Nabi terbangun dari keadaan mimpinya kemudian langsung terjaga dan siuman. Peristiwa munculnya wahyu terjadi di antara keadaan mimpi dan terjaga, dengan kata lain ada dalam kondisi kwasi-mimpi. Dalam literatur Psikoanalisa, keadaan kwasi-mimpi yang dialami oleh Nabi ketika munculnya wahyu dapat membawa gangguan-gangguan fisik yang kuat karena disebabkan tekanan psikis yang mendalam.141 Hal ini sesuai dengan informasi yang diceritakan oleh hadis berikut; Dalam sebuah hadis Sahih Bukhari yang terkenal yang berasal dari ‘Aisyah diberitakan bahwa Haris bin Hisham suatu ketika bertanya kapada Nabi, “ Ya Rasulullah, bagaimanakah wahyu datang kepadamu?”, lalu Nabi menjawab, “Kadang-kadang ia datang kepadaku seperti gemerincing lonceng (mitsla salsalati al-jarasi). Cara ini merupakan cara yang membuat saya paling sakit; kemudian lonceng itu meninggalkan saya, lalu dari suara tersebut saya tersadar (wa’aitu) dan mengetahui apa yang dikatakan Allah.”142 Penggunaan aspek kata kerja lampau (wa’aitu) pada kalimat terakhir perlu mendapatkan perhatian yang layak. Yaitu, apa yang ingin dikatakan oleh Nabi Muhammad adalah bahwa pada saat munculnya wahyu, beliau tidak memiliki “kesadaran” mendengar perkataan yang dapat dimengerti, semua yang beliau dengar merupakan suatu 140 141

Ibid, hlm. 4. Sigmund Freud, Tafsir Mimpi, Jendela, Yogyakarta, 2001, hlm. 99-

100. 139

Fazlur Rahman, Islam, Pustaka, Bandung, 1997, hlm. 32-33.

25

142

Toshihiko Izutsu, Op. Cit., hlm. 194.

26

Agama Skizofrenia

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

hal yang misterius atau suara yang tidak jelas. Hal ini sesuai dengan tesis Fazlur Rahman yang menyatakan bahwa kondisi Nabi saat pewahyuan beliau dalam keadaan setengah sadar atau kwasi-mimpi, karena setelah terjadi pewahyuan Nabi mengatakan; “Kemudian aku terjaga.” Berarti saat pewahyuan Nabi tidak memiliki kesadaran yang jernih karena pada saat itu Nabi dikondisikan oleh keadaan kwasi-mimpi dan Nabi tidak bisa mengidentifikasi suara-suara yang terdengar kuat tetapi misterius dan tidak bisa ditelusuri asal-usulnya. Bunyi seperti “gemerincing lonceng” (mitsla salsalati al-jarasi) tidak harus dimaknai seperti yang biasa kita ketahui. Kata terakhir al-jarasi (lonceng) dapat juga dibaca -al-jarsi- frasa tersebut memiliki makna seperti “bunyi pukulan logam”, seperti “bunyi kepak sayap burung” dan seterusnya. Namun, maknanya masih tetap misterius, yaitu bunyi yang sulit diidentifikasi.143 Informasi yang menyebutkan bahwa Nabi tidak memiliki “kesadaran utuh” atau keadaan psikologinya yang sama dengan kwasi-mimpi (mimpi dalam keadaan terjaga) membuktikan kalau keadaan Nabi pada saat munculnya wahyu sebenarnya sedang dikuasai dinamika kekuatan alam bawah sadar. Dalam psikologi klinis, kwasimimpi merupakan bagian dari psikopatologi yang disebabkan oleh merasuknya kekuatan alam bawah sadar pada psikis seseorang. Orang yang dikuasai oleh kekuatan alam bawah sadar akan kehilangan kesadarannya, ia akan kehilangan kendali dan kontrol atas dirinya sendiri karena kendali psikis diambil alih oleh dinamika ketidaksadaran atau alam bawah sadar. Orang yang mengalami kwasimimpi yang disebabkan dirinya dikuasai oleh ketidaksadaran akan mendengar suara-suara halusinasi

lonceng (bersifat auditorik) yang membuatnya terasa sakit hingga ke fisiknya. Suara-suara ini sebenarnya berasal dari dalam pikirannya sendiri tapi karena terasa sangat kuat mengakibatkan suara ini seperti terdengar dari luar telinga. Suara halusinasi auditorik tidak harus berupa suara lonceng tapi bisa bermacam-macam jenisnya, seperti suara mendengung, suara kepakan sayap atau suara peluit dan sebagainya, yang jelas adalah suara yang tak dapat diidentifikasi. Keadaan kwasi-mimpi atau mimpi dalam keadaan terjaga sebenarnya adalah sebuah bentuk kegilaan kreatif. Menurut Immanuel Kant, orang gila kreatif adalah orang yang sedang bermimpi di alam sadarnya (dalam keadaan terjaga) di mana persepsi inderawinya masih bekerja utuh. Menurut Krauss, gangguan jiwa adalah sebuah mimpi di mana seluruh alat inderanya dalam keadaan sadar. Schopenhauer mengistilahkan mimpi sebagai kegilaan singkat dan kegilaan adalah mimpi yang panjang.144 Kalau mampu memahami mimpi sebagai pintu masuk ke alam bawah sadar, kita baru bisa mengerti kenapa kwasi-mimpi disebut sebagai serangan alam bawah sadar pada saat inderawi kita masih bekerja utuh. Dengan kata lain, kwasimimpi adalah keadaan mimpi (sebagai dinamika kekuatan alam bawah sadar) yang terus terbawa sampai terjaga kemudian menindih kesadaran dan menghasilkan gangguan jiwa yang kreatif. Ini adalah hasil analogi antara mimpi dan gangguan jiwa. Kegilaan kreatif ini celakanya oleh psikiatri sering dinamakan skizofrenia. Dan, apabila orang-orang yang mengalami skizofrenia ditanya ketika telah sembuh bagaimanakah rasanya pengalaman kegilaan itu, mereka tentu menjawab bahwa keadaan skizofernia itu terasa seperti mimpi saja.

143

144

Ibid, hlm. 195.

27

Sigmund Freud, Op. Cit., hlm. 101.

28

Agama Skizofrenia

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

Jadi, kegilaan kreatif yang dialami Nabi, dan dicirikan dengan keadaan psikis Nabi yang tertekan sehingga menimbulkan penderitaan fisik yang hebat (kwasi-mimpi), oleh orang Arab Kuno hal ini dimengerti sebagai kesurupan (possession) dan oleh Psikologi-Analitis pengalaman Nabi sebenarnya merupakan manifestasi serangan kekuatan alam bawah sadar berupa halusinasi suara lonceng yang mengakibatkan penderitaan psikis dan fisik yang hebat. Dalam berbagai kajian-kajian psikiatri, apa yang dinamakan halusinasi suara lonceng yang terdengar secara psikis di kedalaman jiwa dan mengakibatkan tekanan psikis sehingga mengganggu secara fisik merupakan salah satu gejala dalam diagnosa skizofrenia.145 Tesis ini makin menguatkan hipotesa kita sebelumnya bahwa pengalaman munculnya wahyu merupakan fenomena merasuknya alam bawah sadar Nabi berupa suara-suara halusinasi auditorik dan delusi yang seolaholah mengendalikan, mengontrol dan membisiki sehingga Nabi merasa tertekan secara psikis hingga ke fisiknya. Ini dipertegas dengan ayat yang mengatakan:”Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang berat”, Surah al-Muzammil, ayat 5. Di sini, skizofrenia menjadi medium bagi munculnya wahyu kenabian. Namun, kita harus membedakan pengalaman skizofernia Nabi dengan orang-orang yang tidak waras dan telanjang di jalanan, karena skizofrenia Nabi merupakan pengalaman kejiwaan yang justru menjadi alat untuk membuka wawasan kreatif beliau sehingga muncullah kecakapan-kecakapan orisinil yang tidak dimiliki orang biasa. Dalam diri Nabi terpadu sifat kecerdasan intelektualjenius dan kegilaan unik yang membedakan dengan orang yang hanya cerdas tetapi tetap normal saja. Justru dengan

kejeniusan yang dipadukan dengan kegilaan yang unik menghasilkan kekuatan otoritatif baik dalam wilayah keagamaan maupun ilmu pengetahuan apabila ia bergelut di bidang itu.146 Skizofrenia dalam pengalaman wahyu menjadi medium bagi hadirnya kekuatan-kekuatan kreatif yang sampai sekarang masih misterius untuk kita teliti dan telah menjadi teka-teki sepanjang zaman. Setelah kita menemukan pemahaman baru tentang kondisi psikologi Nabi yang mengalami kwasi-mimpi ketika wahyu muncul dan cara pewahyuan secara internal ke dalam lubuk kejiwaan Nabi, kita akan menghubungkan dua aspek tadi dengan sifat wahyu itu sendiri, yaitu apakah wahyu yang disampaikan kepada Nabi bersifat verbal ataukah bersifat non-verbal? Yang dimaksud dengan verbal adalah wahyu yang didapat oleh Nabi berupa katakata dan makna yang jelas, sedangkan non-verbal adalah hanya inspirasi atau isi dan makna kandungannya saja yang diwahyukan kemudian oleh Nabi diformulasikan dan dibungkus dengan bahasa Arab sehingga wahyu nonverbal dalam pengertian ini dapat disamakan dengan istilah ilham. Dengan mengintegrasikan kondisi psikologi Nabi ketika wahyu muncul, cara pewahyuan secara internal dan sifat wahyu itu sendiri, kita akan menemukan kesatuan atau koherensi antara satu tema dengan tema lainnya sehingga menjadi satu bangunan yang utuh dan bisa dimengerti karena satu bagian dengan bagian lainnya saling mendukung dan melengkapi. Namun, sebelum kita

145

Rusdi Maslim, Op. Cit., hlm. 48.

29

146

Perpaduan antara kekuatan intelektual dengan temperamen psikotik dalam diri orang-orang besar bisa kita dapatkan dalam tulisantulisan William James; The Varieties of Religious Experience, The American Library, New Jersey, 1958, bab Religion and Neurology, hlm. 21, dan buku “The Reconstruction of Religious Thought in Islam”, pada bab terakhir, karangan Muhammad Iqbal.

30

Agama Skizofrenia

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

meneliti apakah wahyu itu bersifat verbal ataukah nonverbal, kita harus terlebih dahulu memahami asal-usul kata wahyu dalam ranah etimologi, konteks budaya dan menurut ayat-ayat Al-Qur’an itu sendiri.

ketika Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat; “Sesungguhnya Aku bersama kamu, maka teguhkanlah pendirian orang-orang yang telah beriman…”(Q.S. AlAnfaal; 12).” Pada ayat pertama dan kedua menunjukkan bahwa makna wahyu itu sama dengan ilham atau inspirasi. Ilham di sini memiliki struktur makna yang bersifat tersembunyi dan cepat. Ilham dapat berwujud angan-angan atau gejala jiwa dengan cara membisikkan inspirasi halus yang mendesak orang yang mendapatkannya untuk berkata atau berbuat sesuatu. Pada ayat kedua, wahyu bukanlah bentuk komunikasi yang eksklusif pada manusia saja, makhluk lain pun bisa mengalami fenomena pewahyuan. Sedangkan pada ayat ketiga, makna wahyu itu bersifat simbolik dan tidak dalam bentuk verbal melainkan non-verbal. Hal ini sejalan dengan makna wahyu secara bahasa yaitu sesuatu yang tersembunyi. Pada ayat keempat, wahyu diidentikkan dengan sesuatu yang berbentuk bisikan-bisikan. Kita tahu bahwa bisikan itu suatu perkataan halus yang tidak jelas sehingga masih dalam lingkup makna yang tersembunyi. Sedangkan ayat terakhir menunjukkan bahwa pewahyuan terjadi dalam psikis internal manusia, karena malaikat ditugaskan untuk meneguhkan pendirian orang-orang yang beriman. Pekerjaan ini tentunya terjadi secara tersembunyi dalam psikis internal. Ini sesuai dengan ayat yang menyatakan bahwa wahyu turun melalui hati Nabi dan tidak bersifat eksternal, (Q.S. 2;97), (26;193-194).148 Bahkan ketika penerima wahyu adalah seorang nabi maka yang dikomunikasikan biasanya bukanlah suatu kata-kata wahyu yang jelas, tetapi hanya kerangka praktis perilaku, sesuatu yang harus ditindakkan. Jadi “dibisikkan” kepada Nuh untuk membuat bahtera, dan ia

Wahyu



dalam bahasa Arab berbentuk mashdar

(kata-kata asal), adalah perkataan yang menunjukkan dua arti pokok, yaitu hal yang tersembunyi



dan cepat

 .147 Wahyu secara bahasa dapat diartikan menurut AlQur’an sebagai berikut; Pertama, ilham yang sudah menjadi fitrah atau kodrat alam pada manusia, seperti wahyu yang terjadi pada ibu Nabi Musa. “Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; “Susukanlah dia ……,” (Q.S. Al-Qashash; 7).”. Kedua, ilham yang merupakan naluri (gharizah) pada hewan, seperti wahyu kepada lebah. “Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah; “Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di bangunanbangunan yang dibuat oleh manusia, (Q.S. An-Nahl; 68).” Ketiga, isyarat cepat dengan jalan simbol atau tanda, yaitu wahyu yang terjadi pada Nabi Zakaria. “Maka dia (Zakaria) keluar dari mihrab menuju kaumnya lalu dia memberi isyarat kepada mereka; “Hendaklah kamu bertasbih pada waktu pagi dan petang, “ (Q.S. Maryam; 11).” Keempat, bisikan-bisikan halus. “Sesungguhnya setan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu,…..” (Q.S. Al-An’aam; 121). Kelima, apa yang dihunjamkan Allah kepada malaikat tentang sesuatu hal agar ia memperbuatnya. (Ingatlah) 147

Mana’ul Quthan, Pembahasan Ilmu Al-Qur’an, Rineka Cipta, Jakarta, 1993, hlm. 25.

31

148

Ibid, hlm. 26.

32

Agama Skizofrenia

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

harus membuatnya di bawah pengawasan Tuhan serta menuruti bisikan-Nya (Q.S. 11;36 dan Q.S. 23;27).149 Dari ayat di atas bisa dimengerti bahwa makna wahyu secara aktual merupakan bentuk pendengaran (auditorik) terhadap suara-suara yang sangat halus (bisikan-bisikan inspiratif) meskipun dalam beberapa ayat lain bisa dikatakan bersifat visual, namun sifat visual ini tidak bisa diterjemahkan sebagai penglihatan dengan persepsi indera yang kasat mata dan normal (wahyu yang bersifat visual akan dibahas nanti). Dan pendengaran di sini juga tidak diartikan sebagai mendengar dengan piranti telinga secara normal (eksternal) karena peristiwa pewahyuan terjadi secara internal dalam lubuk kejiwaan yang bersifat psikologis. Jadi, pengertian kata mewahyukan dari ayatayat yang telah disebutkan tadi bisa disimpulkan sebagai komunikasi suatu gagasan melalui bisikan-bisikan yang halus dan cepat atau desakan-desakan inspiratif untuk melakukan perbuatan atau perkataan tertentu, dan bentuk komunikasi ini terjadi dalam kejiwaan yang bersifat psikologis dan spiritual.150 Menurut berbagai pendapat, seperti Muhammad Abduh151 dan Mana’ul Quthan, ilham berbeda maknanya dengan wahyu dilihat dari segi sumbernya. Yaitu, orang yang mendapat wahyu meyakini bahwa sumber pengalamannya berasal dari Tuhan, sedangkan orang yang mendapat ilham tidak meyadari dari mana asal usul pengalamannya tadi.152 Pembedaan makna wahyu dan

ilham ini sebenarnya bersifat ideologis dan bertentangan dengan makna wahyu itu sendiri, yaitu sebagai sebuah pengalaman yang tersembunyi dan cepat. Secara bahasa, makna wahyu identik dengan angan-angan dan serupa dengan gejala jiwa153 dan tidak mengenal dari manakah sumber wahyu itu didapatkan sehingga orang yang mendapatkan wahyu itu sendiri sama dengan orang yang mendapatkan ilham, yaitu keduanya tidak tahu secara jelas dari mana datangnya sumber wahyu dan ilham karena keduanya terjadi secara tersembunyi dan cepat. Kalau pun orang yang mendapatkan wahyu yakin pengalamannya berasal dari Tuhan, ia hanya sekedar menisbahkan saja karena pengalaman wahyu terjadi dalam proses psikis manusia yang misterius. Hal ini dibuktikan dengan kejadian pewahyuan yang pertama dalam diri Nabi Muhammad ketika beliau bertahanuts di gua Hira. Setelah kejadian pewahyuan pertama, Nabi tercekam dalam sebuah kondisi psikis yang akut, beliau merasa ketakutan dan kedinginan sehingga perlu untuk diselimuti, (gejalagejala psikis Nabi setelah pertama kali munculnya wahyu bisa diperbandingkan dengan keadaan skizofreniaparanoid, diagnosa terhadap situasi ini akan dibahas dalam bagian lain). Pada waktu itu Nabi kebingungan dan tidak mengetahui gerangan pengalaman jenis apakah yang dialaminya itu, karena memang bentuk pewahyuan itu terjadi dalam bentuk proses psikis yang tidak kasat mata sehingga Nabi berusaha mencari tahu berdasarkan kapasitas rasional yang dimilikinya. Setelah Nabi menjelaskan dan menceritakan pengalaman wahyunya kepada seorang pendeta nasrani, yaitu saudara sepupu istrinya yang bernama Waraqah bin Naufal, Nabi diyakinkan oleh pendeta tersebut bahwa pengalamannya

149

W. Montgomery Watt, Pengantar Studi Al-Qur’an, Rajawali Press, Jakarta, 1991, hlm. 31. 150 Ibid, hlm. 31. 151 Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, Bulan Bintang, Jakarta, 1975, hlm. 144. 152 Mana’ul Quthan, Op. Cit., hlm. 26.

33

153

Ibid, hlm. 27.

34

Agama Skizofrenia

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

itu berasal dari Tuhan. Nabi meyakini pengalaman tersebut berasal dari Tuhan berkat penerawangan yang dilakukan oleh seorang pendeta nasrani. Pengalaman wahyu pada mulanya adalah sama dengan pengalaman ilham, yakni keduanya terjadi dalam suasana psikis yang tidak kasat mata, bersifat internal, tersembunyi, cepat dan tidak kita ketahui dari mana asalusulnya, kalaupun kita tahu dari mana sumbernya, kita hanya sekedar menisbahkan atau mencantelkan (mentransendensikan) apa yang kita alami. Makna wahyu yang dibedakan dengan makna ilham dari segi asal-usul dan sumbernya sebenarnya menyimpang dari makna asal wahyu itu sendiri yang berarti sesuatu yang tersembunyi dan cepat, serta bersifat ideologis karena berusaha untuk memaksakan keluar dari akar makna aslinya dalam budaya sehingga bisa mengaburkan dari arti yang sebenarnya. Meskipun makna kata wahyu memiliki persamaan dari segi asal-usul dan sumbernya dengan makna kata ilham, namun keduanya juga memiliki perbedaan yang cukup fundamental. Perbedaan apakah itu? Pertanyaan ini akan kita jawab nanti. Menurut Izutsu, kata wahyu merupakan istilah teknis yang sudah dikenal baik oleh budaya masyarakat Arab kuno pra-Islam. Secara semantik kata wahyu memiliki tiga persoalan pokok, yaitu pertama, ia merupakan bentuk komunikasi. Kedua, ia tidak harus bersifat verbal. Ketiga, selalu terdapat hal-hal yang bersifat misterius, rahasia dan pribadi.154 Wahyu pastilah mengandung unsur komunikasi. Dalam bukunya Mafhum an-Nash, Nasr Abu Zayd mengemukakan pendapat bahwa makna sentral wahyu adalah pemberian informasi secara “rahasia”. Dengan kata

lain, wahyu adalah sebuah hubungan komunikasi antara dua pihak yang mengandung pemberian informasi pesan atau kata secara “tersamar” dan “rahasia”. Nampaknya murid Amin Al-Khuli ini telah melakukan dobrakan yang luar biasa dalam studi Al-Qur’an dengan menunjukkan unsur komunikasi pada sifat wahyu dan ini secara jelas menggambarkan pengaruh Toshihiko Izutsu pada diri beliau.155 Menurut Izutsu, secara semantik konsep struktur wahyu apabila dikatakan mengandung unsur komunikasi harus menghubungkan kata antara dua pihak (two personsrelation word). Ini bisa dipahami bahwa struktur semantik wahyu sebagai bentuk komunikasi minimal melibatkan dua orang atau dua pihak. Kemudian sangatlah penting bagi kita, apabila ingin memahami makna kata secara umum kita harus menaruh perhatian dan mengetahui berapa jumlah orang atau pihak yang terlibat dalam mengkomunikasikan kata tersebut. Dengan kata lain, sebagai langkah pertama dalam analisis semantik, penting bagi kita untuk mengetahui berapa banyak pihak -aktoraktor- yang berada di panggung apabila diumpamakan seperti dramatis personae sehingga peristiwa komunikasi tersebut benar-benar terjadi.156 Untuk membantu dan memperoleh sedikit pintu kejelasan bagaimanakah makna semantik wahyu, Izutsu memperkenalkan kepada kita sebuah ode terkenal dari AlQamah al-Fahl, seorang penyair yang menonjol pada zaman pra-Islam;

       *      155

154

Toshihiko Izutsu, Op. Cit., hlm. 171-173.

35

156

Nasr Hamid Abu Zayd, Op. Cit., hlm. 30. Toshihiko Izutsu, Op. Cit., hlm. 171.

36

Agama Skizofrenia

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

Dalam syair ini, pengarangnya melukiskan dengan sentuhan humor yang menarik yang berasal dari personifikasi burung onta jantan yang pulang ke sarangnya. Burung onta jantan ini telah pergi jauh dari sarangnya untuk mencari makan. Tiba-tiba, pada saat hari hujan disertai angin, ia teringat akan istri dan anakanaknya, yakni burung onta betina dan telur-telurnya yang ia tinggalkan di sarangnya. Bagaiamanapun hujan itu membuat dirinya cemas akan keadaan mereka. Lalu, ia pun pergi berlari secepatnya menuju sarangnya. Ia pun tiba di sarangnya di mana ia menemukan keluarganya dalam keadaan selamat dan aman. Setelah bebas dari rasa cemas, ia pun mulai berbicara kepada betinanya dengan gembira. Ia mengatakan sesuatu kepadanya. Apa yang ia katakan? Tak seorang pun yang tahu selain mereka sendiri. Percakapan itu merupakan rahasia antara mereka berdua.157 Percakapan yang rahasia inilah yang merupakan salah satu makna dasar wahyu dalam perspektif budaya. Berikut situasi yang coba dilukiskan oleh penyair; “Burung onta jantan berbicara kepadanya (yuwhi) dengan suara gemeretak (inqadh; yang merupakan bahasa burung onta jantan) dan naqnaqah (peniruan bunyi gemeretak burung onta betina), sebagaimana orang Yunani berbicara satu sama lain dengan bahasa yang tak diketahui (tarathana) di istana mereka.”158 Kata tarathana dalam konteks ini sangat penting bagi tujuan kita. Kata kerja dasar rathana dari mana kata tarathana berasal, secara semantik terdiri dari dua unsur dasar. Yang pertama yaitu gagasan bahwa pembicara ternyata adalah orang asing, yakni bukan orang Arab yang bahasa aslinya bukan bahasa Arab. Yang kedua adalah kata

tersebut sama sekali tidak dapat dimengerti oleh orang Arab. Bentuk derivatif tarathana menjadikan kedua unsur ini ke dalam bentuk hubungan dua orang, yaitu gagasan resiprositas sehingga di benak kita muncul bayangan tentang orang-orang asing yang saling berbicara dengan bahasa yang tak dapat dimengerti. Jika hal tersebut terjadi di kalangan orang-orang Arab, maka wajarlah bila mereka menjadi sangat curiga. Di dalam Musnad Imam ibnu Hanbal, salah seorang pengumpul hadis, menceritakan bahwa seorang pemuda Yunani suatu ketika terlihat berbicara dengan seorang wanita Yunani yang kawin dengan seorang Arab. Mereka berbicara ”dengan bahasa yang tak dapat dimengerti” dan hal ini bisa dapat disimpulkan bahwa diantara keduanya terdapat hubungan “rahasia” yang gelap.159 Berdasarkan pemahaman di atas, kita bisa sedikit mendapat petunjuk apakah arti sebenarnya dari kata “wahyu” dalam perpektif budaya. Dengan memahami kata wahyu sebagai suasana komunikasi, kita bisa mengumpamakan dua orang yang tengah berbicara satu sama lain di depan kita. Mereka berbicara dengan bahasa asing yang tidak dapat kita mengerti. Kita yakin bahwa di antara kedua orang itu terdapat komunikasi gagasan dan perasaan, tetapi kita sebagai orang luar tidak dapat menembus kandungan komunikasi tersebut. Kita sepenuhnya berada di luar keakraban mereka sehingga menimbulkan perasaan menyaksikan sesuatu yang asing, rahasia dan misterius, inilah makna dasar wahyu.160 Bentuk komunikasi wahyu dalam perspektif budaya dapat dijelaskan dengan memahami fenomena penyair, kahin dan majnun. Telah kita ketahui sejak awal bahwa apa

157 158

159

Ibid, hlm. 174. Ibid, hlm. 174..

160

37

Ibid, hlm. 174. Ibid, hlm. 175.

38

Agama Skizofrenia

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

yang dinamakan dengan penyair, kahin dan majnun, menurut kepercayaan masyarakat Arab kuno, adalah orang-orang yang mengalami kesurupan karena mereka dianggap sedang dirasuki oleh makhluk-makhluk gaib atau yang sering disebut dengan jinn. Jinn-jinn ini merasuki tubuh para kahin, penyair dan majnun untuk menjadi penyambung lidah ke dunia luar dengan memberikan inspirasi tentang ramalan, puisi-puisi yang bernada magis dan bentuk-bentuk pengetahuan gaib lainnya. Dalam keadaan kesurupan ini terjadilah semacam komunikasi non-verbal antara pribadi penyair atau kahin dengan roh jinn tersebut. Hubungan komunikasi antara jinn sebagai makhluk gaib dengan penyair yang dirasukinya terjadi melalui bisikan-bisikan halus yang disuarakan oleh jinn kepada penyair. Bentuk bisikan-bisikan ini diterima oleh penyair dari makhluk gaib dalam bentuk bahasa non-verbal. Penting untuk diketahui bahwa bentuk inspirasi dari makhluk halus selalu dirasakan oleh penyair sebagai sesuatu yang turun dari atas, yakni dari udara.161 Hal ini yang menjadikan para nabi ketika sedang menerima wahyu merasakan wahyu turun dari langit, meskipun sebenarnya wahyu itu muncul dari kedalaman jiwa para nabi tersebut, yaitu psikis para nabi sedang dikuasai oleh alam bawah sadarnya sendiri. Inilah bentuk skema hubungan antara jinn dan penyair yang dirasukinya:

Bentuk di atas menjelaskan bahwa skema hubungan antara jinn dan penyair hanya terjadi antara dua pihak, di mana menurut Izutsu tuduhan masyarakat Arab terhadap fenomena kenabian Muhammad bahwa beliau disamakan dengan orang yang kerasukan jinn adalah tidak benar karena bentuk hubungan dalam skema wahyu kenabian tidak sekedar dua pihak saja (sebagaimana dalam hubungan jinn dan penyair) tetapi lebih dari dua pihak, yaitu bisa tiga pihak, Tuhan, malaikat dan rasul-Nya.162

A

Jinn

B

Penyair

Allah

Malaikat

Tetapi, orang-orang pagan dengan keras kepala menolak untuk melihat sesuatu pada Muhammad yang membedakan dirinya dengan seseorang yang dirasuki dan diilhami oleh jinn. Dalam pemahaman mereka, beliau adalah seorang manusia yang mengaku memiliki pengetahuan yang datang kepadanya melalui wujud supranatural yang turun dari langit. Apakah wujud supranatural itu Tuhan, malaikat atau syaitan, dalam pandangan mereka tidak ada bedanya sama sekali; semuanya adalah jinn.163 Pandangan ini tidak sepenuhnya salah karena kondisi pewahyuan yang dialami oleh Nabi banyak memiliki kesamaan dengan keadaan psikis dan perilaku ketika kesurupan. Orang-orang Arab hanya melihat bentuk ekspresi Nabi yang bersifat empiris, yaitu 162

161

163

Ibid, hlm. 187.

39

Nabi Muhammad

Ibid, hlm. 193. Ibid, hlm. 188.

40

Agama Skizofrenia

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

keadaan psikis dan perilaku Nabi ketika munculnya wahyu ternyata memiliki persamaan dengan orang-orang yang mengalami kesurupan yang disebabkan oleh merasuknya jinn-jinn ke dalam tubuh manusia. Namun, orang Arab kuno belum memiliki formulasi pengetahuan yang meyakinkan tentang apakah yang sebenarnya terjadi pada Nabi Muhammad ketika kesurupan, dan mereka menuduh Nabi sebagai orang yang kerasukan jinn hanya berdasarkan mitologi yang dipercayai pada saat itu. Telah kita ketahui bersama dalam tulisan sebelumnya bahwa pengalaman para kahin dan penyair itu merupakan bentuk keadaan psikis yang dikuasai oleh alam bawah sadar. Jadi, hubungan antara jinn dan manusia yang dialami oleh kahin ketika kesurupan hanyalah mitologi yang belum mampu menjelaskan fenomena yang sebenarnya. Pengalaman-pengalaman kesurupan yang dialami oleh para penyair dan kahin sebenarnya adalah sebuah kondisi kejiwaan yang sedang dikuasai oleh kekuatan alam bawah sadar, bukannya disebabkan oleh merasuknya roh makhluk halus ke dalam tubuh mereka. Dan, apabila keadaan Nabi disamakan kondisinya dengan orang-orang yang kesurupan (disebabkan tanda-tanda perilaku dan psikisnya saat pewahyuan sama dengan kesurupan) maka jelaslah bahwa komunikasi pewahyuan dalam kenabian juga merupakan bentuk komunikasi yang dilakukan oleh alam bawah sadar. Lalu bagaimanakah bentuk komunikasi yang diciptakan oleh alam bawah sadar dalam pengalaman pewahyuan Nabi? Dalam tulisan sebelumnya kita telah memiliki hipotesa bahwa Nabi mengalami kondisi kwasi-mimpi ketika terjadi pewahyuan. Kwasi-mimpi merupakan keadaan psikologi yang dikuasai oleh alam bawah sadar yang bisa disamakan dengan skizofrenia. Skizofrenia merupakan sebuah pengalaman psikis yang sedang dikuasai oleh dinamika alam bawah sadar, dan dapat disamakan dengan kwasi-

mimpi karena skizofrenia terjadi dalam keadaan kwasimimpi. Apabila kita meyakini Nabi Muhammad mengalami skizofrenia kita tidak perlu memahami skema wahyu yang ditawarkan oleh Izutsu, di mana menurutnya pewahyuan mensyaratkan komunikasi yang diikuti oleh lebih dari dua pihak. Dengan memahami psikologi skizofrenia kita bisa mengerti kalau komunikasi yang dialami oleh Nabi sebenarnya hanyalah cukup dilakukan oleh satu orang, yaitu diri Nabi itu sendiri. Orang-orang yang dikuasai oleh alam bawah sadarnya seperti kondisi skizofrenia akan merasakan kalau dirinya sering mendengar suara-suara yang mendengung dan bergema dalam pikirannya. Suara-suara ini tidaklah bersifat eksternal, melainkan mirip dengan bisikan-bisikan halus yang berasal dari pikirannya sendiri tetapi karena sangat kuat, misterius dan sulit untuk diidentifikasi mengakibatkan orang skizofrenia menganggap hal itu berasal dari luar dirinya. Selain bisikan-bisikan, orang skizofrenia juga sering mendengar suara-suara yang mirip peluit atau lonceng di mana suara ini mengakibatkan psikis orang yang mendengarnya jadi tertekan hingga mengakibatkan penderitaan fisik. Suara-suara tersebut oleh psikiatri disebut dengan halusinasi auditorik.164 Selain halusinasi, orang yang terkena skizofrenia juga akan mengalami delusi, di mana ia akan merasakan dirinya dikendalikan dan dikontrol oleh kekuatan yang asing, tersembunyi dan misterius. Orang-orang yang mengalami skizofrenia juga bisa dihinggapi semacam delusi yang bisa memunculkan kekuatan magis. Kekuatan delusi ini mengakibatkan seseorang mengalami ”kemahakuasaan pikiran” (omnipotence of thought), di mana dengan kekuatan ini orang bisa menguasai benda-benda alam hanya dengan

41

42

164

Rusdi Maslim, Op. Cit., hlm. 48.

Agama Skizofrenia

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

menggerakkan pikirannya saja. Dengan hanya berpikir saja seseorang bisa merubah dan mengendalikan keadaan dunia luar seperti gejala alam, benda-benda fisik, perilaku manusia, dan sebagainya. Kekuatan ”kemahakuasaan pikiran” merupakan bagian dari daya-daya magis pada psikis seseorang, karena cara bekerjanya memang mirip dengan kekuatan magis. Kekuatan ini merupakan ”overestimasi” secara berlebihan atas daya-daya pikirannya sendiri yang coba untuk diterapkan pada realitas di dunia luar. Apabila kekuatan ini terdapat pada seorang nabi, maka nabi tersebut dianggap memiliki mukjizat supernatural. Daya kekuatan ini sebenarnya berasal dari mekanisme kerja proses primer dalam alam bawah sadar kita. Orang yang mengalami kemahakuasaan pikiran di atas akan membawa seseorang pada keadaan animistik, numinous, kegaiban, dan misteri, maka definisi wahyu yang tersembunyi dan misterius tidak hanya dirasakan oleh orang dari luar yang menyaksikan fenomena fisik pewahyuan tetapi orang yang mengalami pewahyuan itu sendiri juga merasakan perasaan misterius dan rahasia karena ia dikuasai oleh kekuatan delusi yang tidak dapat dijelaskan berdasarkan kapasitas pengetahuan orang tersebut. Sifat misterius, rahasia, tersamar, kegaiban, dan ketersembunyian terjadi pada orang yang dikuasai oleh delusi dan halusinasi auditorik yang membisikinya seolaholah memerintahkan untuk melakukan atau mengatakan sesuatu. Suara-suara yang membisiki ke dalam pikiran orang-orang yang mengalami skizofrenia ini kemudian dipersonalisasi secara animistik sesuai dengan kepribadian manusia sehingga terbentuklan konsep Tuhan, malaikat, setan dan makhluk-makhluk spiritual lainnya. Konsep tuhan, malaikat, setan dan dewa-dewa tidak bisa terlepas dari sifat dan kepribadian manusia. Konsep-konsep tersebut berakar dalam kekuatan-kekuatan psikis manusia

itu sendiri. Skizofrenia sering disebut sebagai kepribadian yang terbelah. Dalam diri orang yang mengalami skizofrenia terdapat banyak kepribadian, yaitu kepribadian orang yang mengalami skizofrenia dan kepribadian suara-suara yang membisikinya. Kepribadian-kepribadian ini diwakili oleh suara-suara yang mengatasnamakan banyak orang atau pihak sehingga bentuk komunikasi dalam orang skizofrenia bisa melibatkan banyak pihak, bisa dua pihak, tiga atau bahkan melebihi empat pihak, namun komunikasi ini sebenarnya hanya dilakukan oleh satu eksistensi yaitu manusia skizofrenik itu sendiri. Dalam komunikasi tersebut bisa terjadi pembicaraan yang searah sehingga orang yang terkena delusi dan halusinasi merasakan dirinya sangat pasif dan pasrah namun kadang juga bisa terjadi dialog antara orang yang terkena delusi dan halusinasi (skizofrenia) dengan suara-suara yang mengomentari perbuatan atau perkataannya sehingga terjadilah semacam komunikasi timbal balik. Dialog-dialog wahyu berasal dari keadaan ini.165 Selain mendengarkan halusinasi suara yang seolaholah membisiki telinga, orang-orang yang mengalami skizofrenia juga merasakan adanya penglihatan atau penampakan figur tertentu yang bisa dianggap sebagai makhluk halus, malaikat, atau bayangan-bayangan tuhan. Definisi psikiatri terhadap bentuk-bentuk vision yang bersifat visual ini disebut dengan halusinasi penglihatan. Halusinasi penglihatan terjadi dalam dua macam, yaitu pertama, halusinasi penglihatan melalui inderawi mata yang diarahkan pada dunia luar, dan yang kedua, halusinasi penglihatan melalui pikiran alam bawah sadar, dan bukannya dengan persepsi inderawi yang kasat mata,

43

44

165

Ibid, hlm. 48.

Agama Skizofrenia

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

contohnya seperti gambaran dalam mimpi. Pada yang pertama, orang-orang yang mengalami halusinasi penglihatan dengan persepsi inderawi mata mengalami distorsi dari dalam psikisnya sendiri seperti orang kehausan di padang pasir kemudian dia melihat sebuah mata air yang sebenarnya hanyalah fatamorgana yang diciptakan oleh kekuatan psikologis dari dalam, contoh jenis pewahyuan melalui halusinasi inderawi mata bisa kita temukan pada pewahyuan yang dialami oleh Nabi Musa ketika di bukit Sinai, yaitu beliau mendengar suarasuara gaib yang disertai dengan penglihatan obyek api yang bersifat halusinatif melalui kedua indera matanya. Obyek api yang bersifat halusinatif ini menjadi tabir bagi suara-suara yang menyeru secara langsung kepada Nabi Musa. Yang kedua, pada bentuk pewahyuan visual melalui pikiran alam bawah sadar (bukan kasat mata), Nabi dianggap telah melihat figur malaikat dalam bentuk yang sebenarnya, untuk hal ini Al-Qur’an mengatakan: “Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya; akankah kamu semua mendustakan apa yang telah disaksikannya (dalam hal ini malaikat)?”, (Q.S. 53; 11-12). Jadi pewahyuan secara visual sebagaimana yang diberitakan oleh Al-Qur’an di atas terjadi dalam lubuk hati atau kejiwaan Nabi (bersifat psikologis) dan bukannya melalui penampakan secara kasat mata, sehingga kita harus berani untuk menolak anggapan-anggapan yang menyatakan bahwa Nabi secara kasat mata bisa melihat figur malaikat dalam wujud yang sebenarnya, seperti dalam hadis-hadis yang menceritakan tentang peristiwa lokomotif Isra’ dan Mi’raj (yang sebenarnya adalah formulasi ulama yang terpengaruh doktrin Kristen), karena pengalaman-pengalaman di atas berlangsung secara psikologis atau spiritual. Penampakan wujud malaikat dapat dilihat bukan dengan indera mata nabi, melainkan melalui pikiran alam bawah sadar beliau

layaknya gambaran-gambaran dalam mimpi. Doktrin yang mengatakan bahwa Nabi bisa melihat figur malaikat secara kasat mata merupakan formulasi yang diciptakan ortodoksi karena belum memiliki piranti intelektual untuk memahami fenomena pewahyuan visual secara psikologis.166 Di sini, ada satu catatan penting yang menandai antara pewahyuan halusinasi penglihatan melalui pikiran (bukan kasat mata) dan pewahyuan halusinasi penglihatan melalui inderawi mata, yaitu keduanya terjadi dalam kondisi psikis yang sedang dikuasai oleh alam bawah sadar, yang artinya kedua bentuk pewahyuan visual ini berlangsung dalam psikis abnormal, dan pada saat itu Nabi atau para penerima wahyu tidak memiliki kesadaran yang jernih dan utuh karena mereka sedang dikuasai oleh kekuatan ketidaksadaran atau alam bawah sadarnya sendiri. Dengan memahami fenomena pewahyuan sebagai sebuah bentuk komunikasi yang melibatkan hanya satu orang (eksistensi) tetapi terjadi dalam kawasan psikis alam bawah sadar, kita bisa mengabaikan struktur semantik wahyu kenabian yang harus melibatkan tiga eksistensi, yaitu komunikasi yang menghubungkan manusia (nabi) dengan dunia gaib, seperti tuhan dan malaikat sebagaimana digambarkan oleh Izutsu. Jenis bentuk komunikasi yang terjadi dalam kawasan alam bawah sadar bisa dipelajari dengan meneliti fenomena keadaan skizofrenik. Keadaan skizofrenia ditandai dengan munculnya delusi dan halusinasi yang mampu mempengaruhi pikiran seseorang sehingga ia menganggap dirinya sedang dikendalikan, dipengaruhi, dan dikontrol oleh kekuatan dari luar yang bersifat rahasia dan misterius, psikiatri memberi nama jenis kekuatan asing ini sebagai

45

46

166

Fazlur Rahman, Op. Cit., hlm. 6 dan 33.

Agama Skizofrenia

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

delusion of control dan delusion of influence.167 Hal ini diperkuat dengan beberapa ayat yang di dalamnya disebutkan ada semacam suara yang berusaha mengendalikan dan mengontrol pikiran Nabi, “Jangan gerakkan lidahmu karena hendak cepat-cepat menguasainya; Kamilah yang akan mengumpulkannya dan membacakannya; Ketika Kami membacakannya, ikutilah bacaan itu; Kemudian Kamilah yang menjelaskannya,” (Q.S. 75;16-19). Kekuatan delusi ini mengendalikan pikiran Nabi dengan cara membisikkan suara-suara tertentu atau hadirnya suara lonceng yang membuat psikis tertekan hingga ke fisiknya. Antara diri yang dibisiki dengan suara yang membisiki kadang-kadang terjadi semacam dialog atau pembicaraan satu arah saja, dan apabila terjadi dialog, bisa melibatkan hingga lebih dari tiga jenis suara yang mendapatkan personalisasi. Tuhan, malaikat, setan, Nabinabi sebelum Muhammad dan semua makhluk yang mengambil posisi wicara dalam Al-Qur’an merupakan hasil personalisasi dari suara-suara psikis dalam skizofrenia. Menurut Izutsu, apa yang dinamakan proses wahyu mencakup tiga aspek, yaitu pertama, adanya komunikasi dan pihak-pihak yang berkomunikasi. Kedua, tidak harus bersifat verbal. Dan yang ketiga, mengandung unsur misteri, asing dan rahasia.168 Semua syarat di atas nampaknya dapat dipenuhi dalam psikologi skizofrenia. Pertama, kalau kita sistematisir siapa yang melakukan komunikasi dalam psikologi skizofrenia dan berapa jumlah yang terlibat sehingga bisa didefinisikan sebagai kata “wahyu”, kita bisa menemukan bahwa yang terlibat dalam komunikasi adalah pribadi orang (nabi) yang mengalami

skizofrenia dengan suara-suara asing yang tersembunyi dan membisiki secara halus kepada orang yang mengalami skizofrenia tersebut. Suara-suara asing ini memberikan informasi tertentu, mengomentari keadaan dan perilaku Nabi, memerintahkan atau mendesak untuk berbicara dan bertindak sehingga kadang terjadi semacam komunikasi antara pribadi skizofrenik dengan suara-suara yang membisiki dan mengendalikan dirinya. Inilah yang disebut dengan pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi alam bawah sadar, dan jumlahnya bahkan bisa melebihi dari empat jenis suara yang dipersonalisasikan tergantung pada realitas yang menjadi bahan untuk proses dinamika alam bawah sadar. Kedua, karena pewahyuan terjadi dalam alam bawah sadar tentu orang yang mengalami nya telah kehilangan kesadaran (meskipun persepsi inderawinya masih terjaga), akibatnya ruang ini tidak memungkinkan munculnya katakata yang jelas baik dari segi makna dan isinya, apalagi suara-suara yang muncul dalam keadaan dikuasai oleh alam bawah sadar (skizofernia) adalah bisikan-bisikan yang kabur, halus dan tak dapat diidentifikasi, maka sifat wahyu ini bisa dikategorikan bersifat non-verbal. Keadaan kwasimimpi yang dialami oleh Nabi saat munculnya wahyu mengakibatkan fisik dan psikis beliau merasa sangat tertekan, dan ini tidak memungkinkan untuk bisa menangkap kata-kata atau penglihatan secara jelas. Sifat verbal wahyu membutuhkan semacam komunikasi yang bersifat eksternal, yaitu pewahyuan yang terjadi dalam ruang fisik sehingga alat-alat indera dengan kesadaran penuh dapat menyimak, mendengar dan melihat secara jelas. Sifat verbal wahyu dapat digambarkan dengan pemunculan malaikat yang menyerupai manusia dan kemudian melakukan perbincangan secara jelas dengan Nabi, tetapi bentuk pewahyuan ini jelas-jelas telah ditolak sendiri oleh Al-Qur’an, (Q.S. 26;193-194), karena

167 168

Rusdi Maslim, Op. Cit., hlm. 46. Toshihiko Izutsu, Op. Cit., hlm. 171-173.

47

48

Agama Skizofrenia

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

pewahyuan itu berlangsung secara internal dalam lubuk kejiwaan Nabi (bersifat psikologis). Dan yang ketiga adalah perasaan asing, rahasia dan misterius. Dalam diri orang yang mengalami skizofrenia, ia akan merasakan adanya suasana yang bersifat animistik dan kegaiban, perasaan ini kemudian bercampur dengan penelusuran sumber suara-suara halus yang ternyata tidak jelas dan tidak dapat dilacak asal-usulnya. Hal ini bisa memunculkan perasaan misterius, asing dan rahasia karena suara-suara yang mendengung dan menggema dalam pikiran Nabi itu sangat kuat namun tidak bisa di ketahui dari mana sumbernya. Perasaan rahasia, misteri dan asing tidak hanya dirasakan oleh orang yang mengalami skizofrenia atau pewahyuan, hal ini juga dirasakan oleh orang luar yang menyaksikan adanya komunikasi pada orang yang mengalami pewahyuan. Dari berbagai penjelasan sebelumnya, akhirnya kita bisa memahami makna sebenarnya dari kata “wahyu” dalam ayat berikut: “Dan tidak ada bagi seorang manusia pun untuk diajak berkomunikasi oleh Allah kecuali melalui wahyu, atau dari balik tabir atau mengirim utusan lalu mewahyukan dengan izin-Nya apa yang Dia kehendaki.”, ( Q.S. 42;51) Cara pertama adalah wahyu dimaknai sebagai suarasuara bisikan yang memerintahkan Nabi untuk berkata atau bertindak, tetapi suara ini tersembunyi karena tidak dapat diidentifikasi dan tidak bisa diketahui dari mana sumbernya. Suara-suara wahyu ini juga bersifat cepat karena kilasan suara ini dipandang dari luar, yaitu orang yang menyaksikan pewahyuan, memakan waktu yang singkat dan sifat wahyu ini berada di luar kategori ruang dan waktu karena terjadi dalam alam bawah sadar Nabi. Suara-suara ini bisa mengakibatkan psikis Nabi tertekan hingga fisiknya karena peristiwa ini terjadi dalam keadaan kwasi-mimpi. Psikopatologi menamakan suara wahyu ini

sebagai “halusinasi auditorik.” Suara halusinasi ini terdengar halus tapi kuat karena mendengung dan bergema dalam pikiran serta sulit untuk ditelusuri asalusulnya, sehingga apabila kita meyakini siapa yang mengirimkan suara tersebut, hal ini lebih dikarenakan kita mempersonalisasi suara-suara asing itu dan menisbahkannya (mentransendensikan). Bentuk auditorik ini memiliki kemiripan dengan ilham yang bersifat inspiratif dan yang terdengar bukanlah katakata yang jelas melainkan hanya sekedar ide-ide yang mengambang. Selain wahyu yang berbentuk halusinasi auditorik, wahyu juga mengambil wujud dalam bentuk delusi pengontrolan pikiran (delusion of control) dan delusi yang mempengaruhi pikiran (delusion of influence). Kedua delusi ini mengendalikan dan mempengaruhi psikis Nabi secara pasif bersamaan dengan suara-suara halusinasi yang terus membisiki ke dalam pikiran nabi. Delusi dan suarasuara halusinasi bekerja dalam pikiran alam bawah sadar Nabi. Ada satu kategori dari makna kata wahyu yang tidak dibahas oleh satu pun dari para sarjana muslim atau peneliti dari luar Islam dalam studi Ulum al-Qur’an, yaitu apakah makna sebenarnya dari kata “cepat” ‫ السرعة‬dalam term “wahyu” ‫وحي‬, karena kata “wahyu” mengandung dua makna, yaitu sesuatu yang tersembunyi dan cepat. Ada satu petunjuk yang bisa mengarahkan kita untuk mengetahui makna kata “cepat” yang sebenarnya dari fenomena pewahyuan, yaitu kondisi alam bawah sadar. Telah kita ketahui dalam tulisan sebelumnya bahwa pewahyuan yang dialami oleh Nabi Muhammad terjadi dalam alam bawah sadar Nabi. Kalau kita bisa memahami bahwa kategori waktu dalam alam bawah sadar ternyata berbeda dengan kategori waktu pada saat kita sadar, kita akan memperoleh definisi bahwa kategori waktu sebenarnya bersifat relatif. Dalam hal ini penulis

49

50

Agama Skizofrenia

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

mendasarkan pada teorema relativitas ruang dan waktu dari Albert Einstein. Sifat relatif dari ketegori waktu ditentukan oleh subjektivitas kita (bersifat subyektif) sehingga kategori waktu itu sebenarnya bersifat psikologis.169 Hanya saja, relativitas ruang dan waktu yang didefinisikan oleh Einstein terjadi dalam alam sadar. Hal ini tentu berbeda dengan konsepsi relativitas ruang dan waktu yang didefinisikan dari alam bawah sadar karena relativitas dalam alam bawah sadar hampir bisa dikatakan bersifat khayali dan imajiner.170 Definisi sifat waktu yang bersifat subyektif dan psikologis dapat membantu kita memahamai fenomena pewahyuan yang sebenarnya. Ketika terjadi pewahyuan dalam alam bawah sadar, Nabi merasakan pengalaman-

pengalaman yang bersifat spiritual atau psikologis yang memakan waktu sangat lama. Hal ini dibuktikan dengan adanya bentuk pewahyuan yang membuat psikis Nabi sangat menderita hingga fisiknya, dan bentuk-bentuk pewahyuan yang menceritakan tentang perjalanan spiritual Nabi yang seolah-olah melintasi ruang yang sangat jauh. Jadi, kalau dihitung menurut kategori waktu pada saat berada dalam alam bawah sadar, Nabi merasakan waktu yang sangat lama sehingga bisa mengalami pengalamanpengalaman yang sangat luas. Tapi, berdasarkan kategori waktu dari luar (alam sadar), yaitu orang yang melihat secara fisik pewahyuan pada Nabi, pengalaman yang dirasakan oleh Nabi ternyata dilihat dari luar memakan waktu singkat (relatif cepat). Maka, ada dua kategori waktu yang bersifat subyektif, yaitu lamanya waktu yang dialami oleh Nabi pada saat pewahyuan yang memakan waktu sangat lama sehingga Nabi bisa merasakan banyak pengalaman-pengalaman yang bersifat spiritual atau psikologis dan kategori waktu yang dirasakan oleh orang luar yang menyaksikan fenomena pewahyuan, di mana orang tersebut ada dalam ruang kesadaran dan melihat pewahyuan yang dialami oleh Nabi terasa relatif singkat seperti ilham saja. Dua kategori waktu di atas bisa dipahami menjadi dua, yaitu kategori waktu ketika berada dalam dunia alam bawah sadar yang memakan waktu sangat lama dan kategori waktu ketika berada dalam alam sadar yang memakan waktu relatif singkat (cepat). Maka makna kata “cepat” dalam wahyu, sebenarnya ditujukan pada kategori waktu yang dialami seseorang dalam alam sadar yang melihat proses fisik pewahyuan ternyata bersifat cepat atau singkat walaupun sebenarnya Nabi dalam alam bawah sadarnya merasakan pengalaman pewahyuan yang relatif sangat lama. Makna “cepat” pada kata wahyu sangat penting untuk bisa dihubungkan dengan kondisi pewahyuan yang sebenarnya dialami oleh

169

Muhammad Iqbal juga melakukan penelusuran apakah watak sebenarnya dari “waktu” itu. Beliau membahas watak dasar dari waktu dengan meneliti pendapat-pendapat para ulama Islam klasik yang mengulas tentang waktu mulai dari Al-Asy’ari, Fakhruddin Al-Razi, Ibn ‘Arabi, Jalaluddin Dawani dan seterusnya yang kemudian dihubungkan dengan pendapat-pendapat ilmuwan modern mulai dari Newton hingga Einstein. Beliau akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa watak dasar dari “waktu” itu tidak bersifat obyektif melainkan bersifat subjektif dan psikologis; Muhammad Iqbal, Pembangunan Kembali Alam Pikiran Islam, Bulan Bintang, Jakarta, 1983, hlm. 116121. Pendapat Iqbal yang menyatakan bahwa “waktu” bersifat subyektif dan psikologis ternyata hanyalah salah satu karakter dari tiga karakter waktu yang disebutkan oleh Stephen Hawking dalam bukunya; A Brief History of Time. 170 Stephen Hawking mengusulkan untuk menggunakan piranti “waktu yang bersifat imajiner” dalam meneliti bagaimana kondisi singularitas ketika terjadinya Big Bang, yaitu saat alam semesta mulai terbentuk. Stephen Hawking, Riwayat Sang Kala, Grafiti, Jakarta, 1994, hlm. 146-147. “Waktu imajiner” ini sebenarnya bisa kita pelajari dengan memahami konsep relativitas ruang dan waktu dalam alam bawah sadar.

51

52

Agama Skizofrenia

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

Nabi dalam alam bawah sadarnya sehingga makna “cepat” dari kata “wahyu” membuktikan bahwa kategori ruang dan waktu itu bersifat relatif dan dikonstruksi secara subjektif (dialami oleh manusia secara subjektif). Dan, alam bawah sadar inilah yang menciptakan perasaan mampu melampaui ruang dan waktu secara relatif sangat lama bagi orang yang mengalaminya, meskipun dilihat dari luar pengalaman tersebut dirasakan relatif lebih cepat. Kategori ruang dan waktu yang bersifat relatif juga bisa dikaitkan dengan pengalaman-pengalaman yang dirasakan oleh para ahli mistik, di mana mereka secara psikologis (dalam alam bawah sadarnya) bisa dikatakan seolah-olah mengalami perjalanan melampaui ketegori ruang dan waktu, meskipun tubuh mereka berada dalam ruang alam sadar. Cara kedua adalah berbicara dari balik tabir. Pewahyuan jenis ini disertai dengan penglihatan visual. Di sini, pewahyuan melalui penglihatan terjadi dalam dua macam ruang, yaitu pertama, penglihatan visual tidak diartikan sebagai melihat dengan mata telanjang atau kasat mata secara normal melainkan penglihatan dengan pikiran alam bawah sadar Nabi, dan yang kedua, penglihatan dengan inderawi mata yang telah terdistorsi oleh kondisi psikologis dari dalam, yaitu oleh dinamika kwasi-mimpi pada saat munculnya wahyu sehingga yang tampak oleh persepsi inderawi ini adalah gambaran halusinatif. Kita mulai dari yang kedua, yaitu saat pewahyuan ada tabir yang menghalangi penglihatan secara jelas terhadap obyek yang sebenarnya sehingga dalam term ini berbicara di balik hijab, semisal pohon, api, kayu dan gunung sebagaimana dalam pewahyuan Nabi Musa bisa dipahamai sebagai “halusinasi penglihatan.” Dalam halusinasi ini, penglihatan indera kita dikaburkan (didistorsi) dan ditipu oleh kondisi psikologi dari dalam sehingga obyek yang sebenarnya, yaitu sumber atau asal-usul wahyu tidak akan pernah kita peroleh. Contoh halusinasi penglihatan dapat

kita temukan pada pewahyuan yang dialami oleh Nabi Musa ketika sedang berada di buki Sinai, di mana beliau mendengar suara-suara yang bersembunyi di balik api. Suara-suara ini sebenarnya berasal dari dalam jiwa Nabi Musa itu sendiri, namun disebabkan adanya perasaan numinous atau kegaiban dalam psikis Nabi Musa, seolaholah suara itu mempunyai sumber yang bersifat eksternal dan berasal dari balik tabir api. Perasaan numinous berasal dari kondisi kwasi-mimpi yang terjadi saat munculnya wahyu. Pada saat itu penglihatan Nabi Musa terdistorsi oleh perasaan numinous dari dalam jiwanya sehingga mempengaruhi pencerapan inderawinya, yang nampak dalam penglihatannya hanyalah nyala api yang bersifat halusinatif, dan api ini menjadi tabir (hijab) bagi suara-suara yang terdengar asing dan misterius. Obyek api yang dilihat oleh inderawi mata Nabi Musa merupakan hasil halusinasi yang diciptakan oleh keadaan numinous yang kemudian mendistorsi inderawi mata Nabi Musa sehingga yang nampak adalah obyek api yang halusinatif. Meskipun bersifat kabur, dalam penglihatan halusinatif bisa muncul obyek seolah-olah seperti bayangan-bayangan yang tidak jelas dalam pikiran dan jiwa para Nabi yang mendapatkan wahyu. Pewahyuan yang muncul melalui halusinasi penglihatan sebenarnya tidak berbeda dengan pewahyuan yang muncul melalui kwasi-mimpi, bahkan kwasi-mimpi menjadi sebab dalam membentuk proses halusinasi penglihatan, hanya saja dalam pewahyuan jenis ini inderawi mata terarah pada obyek tertentu di dunia luar meskipun pencerapan inderawi yang terarah pada obyek tersebut telah terdistorsi oleh kondisi psikologis dari dalam, yaitu oleh pengaruh daya numinous. Selain wahyu yang berbentuk halusinasi pendengaran (auditorik) dan delusi pengontrolan pikiran, Nabi juga mengalami pewahyuan yang berbentuk penglihatan,

53

54

Agama Skizofrenia

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

namun penglihatan di sini tidak bisa diartikan sebagai penglihatan dengan inderawi mata normal melainkan penglihatan dalam mimpi atau pikiran, yaitu proses pewahyuan dengan munculnya figur-figur tertentu yang nampak dalam pikiran alam bawah sadar Nabi, yaitu ketika bermimpi atau kwasi-mimpi. Kondisi kwasi-mimpi merupakan keadaan peralihan antara keadaan tidak sadar dan keadaan terjaga. Di sini, Nabi dianggap telah melihat figur malaikat dalam bentuk yang sebenarnya, untuk hal ini Al-Qur’an mengatakan: “Hatinya tidak mendustakan apa yang telah dilihatnya; akankah kamu semua mendustakan apa yang telah disaksikannya (dalam hal ini malaikat)?”, ( Q.S. 53; 11-12). Pewahyuan secara visual sebagaimana yang diberitakan oleh Al-Qur’an di atas terjadi di dalam lubuk hati atau kejiwaan Nabi (bersifat psikologis) dan bukannya melalui penampakan secara kasat mata. Namun, bersamaan pada saat munculnya wahyu berupa penglihatan terhadap figur-figur tententu dalam pikiran alam bawah sadarnya, Nabi dalam keadaan terjaga juga masih memiliki persepsi inderawi yang diarahkan pada dunia luar. Jadi, apa yang dinamakan dengan proses pewahyuan dengan penglihatan visual terjadi dalam dua ruang, yaitu pertama, penglihatan terhadap obyek tertentu bukan melalui persepsi inderawi mata melainkan melalui ruang pikiran alam bawah sadar, seperti pada Q.S. (53;1112), yaitu Nabi bisa melihat figur malaikat bukan dengan persepsi inderawi yang kasat mata melainkan dengan pikiran atau daya spiritual beliau yang berada dalam kondisi dikuasai oleh alam bawah sadar. Dan kedua, penglihatan pada ruang dalam keadaan terjaga sehingga inderawi mata masih bisa melihat ke dunia luar meskipun penglihatan inderawi ini mengalami distorsi atau dikaburkan oleh kondisi psikologis dari dalam sehingga muncullah halusinasi penglihatan, cara penglihatan ini bisa

kita temukan pada pewahyuan yang dialami oleh Nabi Musa ketika di bukit Sinai, yaitu beliau mendengarkan suara wahyu namun disertai dengan penglihatan atau persepsi inderawi berupa api yang ternyata merupakan hasil tipuan halusinasi, dan api ini menjadi hijab bagi suara wahyu yang terdengar asing dan misterius. Namun ada persamaan yang mendasari dua pengalaman halusinasi penglihatan di atas, yaitu baik halusinasi dengan penglihatan melalui pikiran atau daya spiritual dan halusinasi melalui penglihatan inderawi kasat mata yang telah terdistorsi atau dikaburkan dari dalam, keduanya sama-sama terjadi dalam keadaan dipengaruhi alam bawah sadar. Kedua bentuk halusinasi penglihatan ini terjadi dalam wilayah psikologi abnormal dan keduanya tidak memiliki bentuk kesadaran yang utuh, karena memang terjadi dalam keadaan dipengaruhi alam bawah sadar. Cara yang ketiga adalah dengan perantara malaikat. Jenis pewahyuan ini menurut Isutzu melibatkan tiga pihak, yaitu Tuhan, malaikat dan Nabi. Sudah kita ketahui dari uraian sebelumnya bahwa fenomena pewahyuan terjadi melalui halusinasi auditorik dan delusi yang mengakibatkan Nabi merasa terkontrol dan dikendalikan oleh suara-suara yang bersifat halus namun menggema kuat dalam pikirannya. Konsep malaikat sebenarnya berasal dari usaha Nabi memberikan atribut personal pada suara-suara psikis yang membisiki dan menggema dalam pikirannya yang kemudian diolah secara animistik. Nabi telah mengetahui nama malaikat Jibril berdasarkan ceritacerita popular yang telah beredar pada masa pra-kenabian (fermentasi religius) maupun setelahnya. Sehingga, pengetahuan yang diperoleh Nabi pada saat sadar menjadi bahan-bahan pewahyuan terutama ketika Nabi memberikan atribut personal terhadap suara-suara wahyu yang terdengar tidak jelas, misterius namun nyata dan

55

56

Agama Skizofrenia

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

terjadi kuat dalam alam pikiran bawah sadar Nabi. Konsep malaikat dalam pewahyuan berasal dari personifikasi Nabi terhadap suara-suara halusinasi auditorik yang menggema dalam pikiran Nabi namun bersifat misterius dan sulit diididentifikasi sehingga menyebabkan Nabi memberikan atribut personal terhadap suara-suara psikis tersebut serta memproyeksikan ke dunia luar seolah-olah objektif dan eksis di dunia nyata. Inilah asal-usul sebenarnya dari eksistensi malaikat dan makhlukmakhluk spiritual lainnya. Kini, sudah saatnya kita harus menjawab pertanyaan apakah pewahyuan Nabi bersifat verbal ataukah nonverbal dengan berdasarkan analisa alam bawah sadar yang dialami oleh Nabi saat munculnya wahyu. Kita telah mempunyai formulasi bahwa fenomena pewahyuan yang terjadi pada Nabi Muhammad ternyata dihasilkan dari ruang bawah sadar yang bersifat rahasia, tersamar dan tersembunyi, bagaimana kita bisa mengatakan bahwa wahyu itu bersifat verbal dan jelas kata-kata serta maknanya apabila mengacu pada fakta bahwa wahyu itu sendiri terjadi dalam alam bawah sadar sehingga mempunyai makna dasar sebagai sesuatu yang tersembunyi, misterius, dan rahasia? Penulis di sini berusaha membantah tesis Fazlur Rahman tentang bentuk wahyu yang bersifat verbal, di mana verbalisme menurut beliau terjadi dalam psikis internal Nabi. Ada semacam inkoherensi dalam tesis Rahman, yaitu tidak adanya hubungan kesebangunan antara kondisi kwasi-mimpi yang dialamatkan pada pengalaman pewahyuan yang bersifat internal dalam jiwa Nabi dengan sifat wahyu yang berbentuk verbal, karena wahyu yang bersifat verbal membutuhkan kondisi kesadaran yang normal dan terjadi secara eksternal di

dunia fisik, padahal Fazlur Rahman menolak cara-cara pewahyuan yang bersifat eksternal.171 Wahyu yang terjadi secara internal dari kedalaman jiwa tidak mungkin bersifat verbal meskipun menurut beliau bahwa ide-ide dan perasaan terapung-apung di dalam kejiwaan dapat secara organis dibungkus dengan kata-kata. Lebih lanjut beliau mengatakan, ada hubungan yang organis antara perasaan, ide, dan kata-kata sehingga ide-kata-perasaan merupakan kompleks keseluruhan yang memiliki kehidupan sendiri.172 Tesis Fazlur Rahman yang menyatakan bahwa wahyu turun secara internal ke dalam hati Nabi sekaligus bersifat verbal sehingga antara ide-kata-perasaan terbungkus secara organis mengakibatkan beliau sampai pada kesimpulan bahwa Al-Qur’an adalah Kalam Tuhan sekaligus Kalam Nabi.173 Dalam hal ini, penulis juga tidak bisa menerima tesis Fazlur Rahman yang menyatakan bahwa Nabi memiliki kondisi psikis normal dan penuh kesadaran ketika wahyu muncul dari kedalaman jiwanya yang bersifat internal, padahal menurut Fazlur Rahman sendiri, munculnya fenomena wahyu ternyata bersamaan dengan pengalaman kwasi-mimpi, (dalam kajian psikiatri, kwasi-mimpi bisa dianggap sebagai kondisi psikis yang abnormal). Kajiankajian psikiatri memperlihatkan bahwa kondisi kwasimimpi yang dialami Nabi ketika munculnya wahyu mengakibatkan beliau kehilangan kesadaran dan mengalami tekanan fisik dan mental yang sangat mendalam, apakah kondisi-kondisi ini bisa dianggap normal dan biasa? Pandangan Fazlur Rahman yang melihat bahwa Nabi

57

58

171

Fazlur Rahman, Op. Cit., hlm. 33. Ibid, hlm. 35. 173 Ibid, hlm 33. 172

Agama Skizofrenia

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

memiliki kesadaran yang normal sekaligus mengalami kondisi kwasi-mimpi ketika munculnya wahyu merupakan reaksi beliau dalam menghadapi serangan-serangan para orientalis, namun beliau telah gagal dalam memahami fenomena pewahyuan dalam Islam yang nampak sekilas bisa dikatakan abnormal namun justru dengan sifat abnormal tersebut yang memungkinkan kecakapankecakapan adi-luhung dalam diri Nabi bisa terekspresikan secara sempurna. Fazlur Rahman tidak bisa melihat hubungan kesebangunan antara kondisi kwasi-mimpi sebagai manifestasi dinamika alam bawah sadar dengan psikis abnormal, padahal sudah jelas kalau wahyu itu muncul melalui saluran-saluran ketidaksadaran, semisal lewat mimpi atau kwasi-mimpi, delusi, dan halusinasi suara lonceng, saluran-saluran ini merupakan bagian dari kondisi abnormal karena ketika mengalami kwasi-mimpi, yaitu ketika munculnya wahyu, Nabi tidak memiliki kesadaran yang utuh, bahkan kondisi fisik dan psikisnya mengalami distorsi yang sangat mendalam, maka bisa dipahami kalau Nabi sebenarnya berada dalam kondisi abnormal pada saat wahyu muncul. Namun, kata “abnormal” di sini tidak bisa disamakan begitu saja dengan orang-orang yang tak waras dan mengalami gangguan jiwa. Kata “abnormal” yang dialami Nabi ketika munculnya wahyu merupakan sebuah pengalaman jiwa yang tidak bisa dimiliki oleh orang-orang biasa atau normal saja, “abnormal” pada diri Nabi harus dipahami sebagai sebuah kepribadian yang unik dan khas yang dihasilkan dari usaha perluasan horizon kehidupan psikologis (spiritual). Bersamaan dengan kondisi abnormal yang dialami oleh Nabi, terbukalah wawasan kreatif yang sebelumnya terpendam dalam alam bawah sadar beliau, jadi kondisi abnormal menjadi kunci pembuka terhadap kekuatan-kekuatan kreatif Nabi yang sebelumnya tersegel dalam ketidaksadaran kolektif beliau. Kepribadian

“abnormal” ini ternyata merupakan bagian dari proses evolusi kepribadian manusia yang terus akan berlanjut hingga mencapai puncak garisnya sepanjang sejarah umat manusia. Telah kita lihat bahwa kondisi Nabi saat pewahyuan merupakan manifestasi penguasaan kekuatan alam bawah sadar pada diri beliau sehingga mengakibatkan kwasimimpi serta menghasilkan delusi dan halusinasi yang bersifat tersembunyi (tidak jelas), rahasia dan misterius. Bagaimana bisa dari keadaan-keadaan tersebut bisa muncul wahyu yang bersifat verbal dengan kata-kata dan makna yang jelas sekaligus? Bagaimana bisa dikatakan jelas katakata dan maknanya apabila Nabi telah kehilangan kesadaran pada saat pewahyuan? Jelas, bahwa suara “halusinasi lonceng” yang menggetarkan psikis Nabi serta menghilangkan kesadaran, dan “halusinasi visual” yang beliau alami tidak memungkinkan munculnya suatu perkataan dan penglihatan yang jelas dan terang. Jadi, pewahyuan yang dialami oleh Nabi sebenarnya lebih bersifat kalam non-verbal daripada verbal, dan bentuk nonverbal ini ternyata sesuai dengan makna wahyu itu sendiri, yaitu sesuatu yang tersembunyi dan cepat. Skema komunikasi alam bawah sadar Nabi dapat digambarkan sebagai berikut:

59

60

Suara A

Suara H

Suara B

Pribadi

Suara C

Suara D

Skizofrenik

Suara G Suara F

Suara E

Agama Skizofrenia

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

Sifat wahyu non-verbal ini tidak bisa disamakan seluruhnya dengan bentuk (sifat) ilham. Memang sifat wahyu non-verbal memiliki kesamaan dengan ilham terutama dari segi asal-usul dan sumbernya, yaitu keduanya tidak bisa ditelusuri dari manakah sumber wahyu non-verbal dan ilham tersebut, karena keduanya muncul dalam sifat yang tersembunyi, misterius, dan terjadi secara internal di dalam jiwa. Lalu apa yang membedakan antara wahyu non-verbal dengan ilham? Wahyu non-verbal yang menjadi substansi Al-Qur’an ternyata muncul di kedalaman jiwa Nabi yang sangat kompleks. Keadaan jiwa Nabi ketika munculnya wahyu ditandai dengan merasuknya kekuatan alam bawah sadar yang sangat deras dan menguasai psikis Nabi sehingga mengakibatkan kwasi-mimpi atau mimpi dalam keadaan terjaga. Hal ini tentu dirasakan Nabi sebagai kondisi psikis yang sangat berat dan mengakibatkan rasa sakit pada fisiknya. Keadaan psikis yang sangat kompleks tersebut oleh psikiatri sering dinamakan dengan skizofrenia sehingga kondisi Nabi ketika munculnya wahyu bisa dikatakan bersifat abnormal. Tapi, sifat abnormal yang dialami Nabi tidak bisa disamakan begitu saja dengan orang-orang yang tak waras yang ada di rumah sakit jiwa, karena skizofrenia yang dialami Nabi merupakan pengalaman yang unik dan menjadi impuls kekuatan yang mampu membuka wawasan kreatif beliau yang tak akan muncul apabila dalam kondisi normal saja. Hal ini tentu berbeda dengan keadaan psikis yang dialami seseorang ketika munculnya ilham. Secara garis besar, munculnya ilham ke dalam pikiran terjadi dalam keadaan psikis yang biasa-biasa saja dan kondisi kesadaran masih dalam keadaan utuh sehingga munculnya ilham bisa dikatakan terjadi dalam kondisi psikis yang normal dan biasa. Kemudian ada satu hal lagi yang membedakan antara wahyu non-verbal dengan ilham, yaitu tentang sifat waktu

dalam keduanya. Karena wahyu non-verbal terjadi dalam kawasan alam bawah sadar, tentu ia mempunyai ketegori waktu yang berbeda dengan ilham yang terjadi dalam kawasan alam sadar. Pada pewahyuan non-verbal yang terjadi dalam alam bawah sadar, orang yang mengalaminya akan merasakan pengalaman-pengalaman yang berlangsung relatif lama namun hal ini dilihat oleh orang luar yang menyaksikan pewahyuan non-verbal ternyata berlangsung relatif cepat karena orang yang melihat pewahyuan non-verbal ada dalam kawasan alam sadar. Jadi, ketegori ruang dan waktu dalam pewahyuan non-verbal berbeda dengan kategori ruang dan waktu dalam ilham, karena yang pertama terjadi dalam alam bawah sadar (unconscious mind) sedangkan yang kedua terjadi dalam alam sadar (consciousness). Akhirnya kita sampai pada pertanyaan; kalau memang proses pewahyuan itu bersifat non-verbal, yaitu mengandung bentuk suara-suara auditorik yang bergema dan mendengung dalam pikiran nabi, bersifat halus, rahasia, tersembunyi dan juga dalam bentuk penglihatan yang halusinatif, lalu bagaimana kita harus mencari penjelasan kalau firman Al-Qur’an itu ternyata berbentuk kata-kata yang jelas dalam bahasa Arab? Sesuai dengan pemaparan yang berujung pada kesimpulan wahyu itu bersifat non-verbal, kita telah memiliki formulasi bahwa wahyu merupakan suatu bentuk komunikasi yang terjadi dalam alam bawah sadar Nabi. Eksistensi yang melakukan komunikasi tersebut hanyalah pribadi skizofrenik Nabi, dengan bentuk beliau mendengar suara-suara bisikan halus yang seolah-olah mengendalikan dan mengontrol psikisnya. Hubungan komunikasinya bisa bersifat dialogis atau pembicaraan satu arah saja di mana Nabi secara pasif dan pasrah mendengar suara-suara halusinasi (inilah makna pasrah dalam kata islam) dan delusi yang membisikinya sekaligus menguasainya.

61

62

Agama Skizofrenia

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

Komunikasi ini tidak melibatkan makhluk atau eksistensi yang bersifat supranatural di luar Nabi, karena halusinasi suara tersebut berasal dari pikiran Nabi itu sendiri. Hanya saja, karena suara-suara halusinasi auditorik dan delusi itu terasa kuat dalam pikiran seolah-olah bisa terdengar oleh telinga secara eksternal, hal ini mengakibatkan Nabi mempersonalisasi suara halusinasi tersebut sebagai wujud spiritual yang mempunyai eksistensi. Maka, kita harus berani menolak anggapan dan teori yang berusaha untuk menjelaskan fenomena pewahyuan sebagai sebuah komunikasi supranatural dengan eksistensi lain semisal dengan dunia gaib, sebagaimana teori imajinasi Ibn Sina yang kemudian diambil alih oleh Ibn Khaldun. Menurut Ibn Sina, Nabi secara alamiah memiliki kekuatan imajinasi yang dapat menghubungkan dirinya dengan wujud spiritual, yang sering disebut Akal Universal (al-‘aql al-kulli) atau Akal Aktif (aql faal). Akal ini berasal dari hasil emanasi (fayd) Tuhan (wajib al-wujud) yang berpikir tentang dirinya sendiri (ta’aqqul bi nafsih). Akal Universal-lah yang menghubungkan antara wujud Nabi dengan wujud Tuhan sehingga wahyu yang bersifat ilahiah dapat dimungkinkan secara komunikatif.174 Pada saat munculnya wahyu, dengan kekuatan imajinasinya Nabi berusaha untuk meninggalkan dunia kesadaran (kemanusiaan, basyariyyah) untuk mencapai dunia gaib (kemalaikat-an, malakiyah) sehingga terjadi sebuah transformasi psikis atau ruhani yang mengakibatkan Nabi merasakan rasa sakit yang luar biasa karena beliau harus meninggalkan dunia kemanusiaan-nya untuk berubah menjadi kapasitas yang bersifat malakut. Pada saat ada dalam dunia malakut itulah (meskipun tubuh nabi masih

ada dalam dunia kemanusiaan) Nabi mendapatkan wahyu dan berhubungan dengan wujud Tuhan meskipun tidak bersifat langsung, akhirnya setelah selesai pewahyuan ruh Nabi kembali dalam dunia kemanusiaan-nya. Peristiwa transformasi ini bersifat sementara hanya saat munculnya wahyu, terjadi secara psikis, spiritual atau psikologis, dan tubuh Nabi masih tetap ada dalam dunia kemanusiaan meskipun ruhnya ada dalam dunia malakut. Yang menyebabkan terjadinya transformasi psikis Nabi dari dunia kemanusiaan menuju dunia malakut adalah kekuatan imajinasi Nabi itu sendiri, inilah teori psikologi Ibn Sina yang kemudian diambil alih dan dikembangkan oleh Ibn Khaldun. Teori imajinasi Ibn Sina ternyata berpangkal pada wujud Tuhan yang telah melakukan emanasi (fayd) sehingga tercipta bentuk-bentuk akal yang bersifat gaib dan mistis. Inilah kelemahan teori tersebut. Prinsip emanasi merupakan ajaran Neo-Platonik yang kemudian diambil alih dan diolah oleh Ibn Sina untuk dapat mendukung teori kenabian agar mampu melindungi ajaran-ajaran Islam dari pengaruh agama dari luar, terutama Kristen. Teori imajinasi Ibn Sina sebenarnya mempunyai karakter psikologis, karena mendapat pengaruh dari filsafat Neo-Platonis mengakibatkan teori psikologisnya menjadi tenggelam sehingga bercampur dengan hal-hal yang berbau mistis dan klenik. Yang akan dilakukan oleh penulis adalah bagaimana menyelamatkan aspek psikologis dari teori imajinasi Ibn Sina agar bisa digunakan untuk menjelaskan fenomena kenabian. Menurut Ibn Sina, kekuatan imajinasi akan dapat kita ketahui karakter yang sebenarnya apabila kita bisa mengamati fenomena mimpi karena pada saat kita bermimpi kekuatan inderawi kita mengendur sehingga daya imajinasi bisa lepas dan terbebas dari kesadaran. Kekuatan imajinasi bereaksi terhadap gambar-gambar

174

Ian Richard Netton, Allah Transcendent, Routledge, New York, 1989, hlm. 171.

63

64

Agama Skizofrenia

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

inderawi yang tersimpan baik di dalam konsepsi memori kita. Imajinasi me-recall memori sesuai apa adanya sebagaimana proses mengingat atau menyusunnya satu sama lain atau memisahkannya berdasarkan berbagai gambar yang diperoleh inderawi ketika tersadar. Imajinasi juga dapat bertindak terhadap berbagai makna parsial yang dipersepsi oleh delusi dan halusinasi di mana keduanya tersimpan baik di dalam memori kita. Orang-orang yang mengalami skizofrenia sering masih memiliki ingatan yang kuat tentang apa-apa yang dialaminya saat terkena delusi dan halusinasi, meskipun pada saat itu kesadarannya telah hilang dan tidak memiliki kontrol atas dirinya sendiri.175 Imajinasi merupakan instrumen yang membantu akal untuk dapat menciptakan konsepsi-konsepsi yang hampir bersifat khayali. Kenapa bersifat khayali? Sebab konsepsikonsepsi yang dihasilkan dari imajinasi sering dianggap tidak memiliki kenyataan dalam dunia inderawi karena bersifat magis.176 Imajinasi juga memiliki tempat-tempat jatuh yang bersifat ilusif sehingga kita harus bisa membedakan imajinasi yang mempunyai aspek kenyataan dengan imajinasi yang hanya berisi ilusi semata. Kekuatan alamiah dari imajinasi adalah menghadirkan sesuatu yang pada mulanya tidak mempunyai bentuk dan konsep berubah menjadi sesuatu yang baru, konseptual dan terorganisir. Tetapi, konsep terorganisir dari imajinasi harus diuji dalam ruang inderawi agar tidak hanya bersifat khayali namun juga memiliki aspek kejelasan dalam kenyataan. Apabila daya proses imajinasi berangkat dari premis-premis dan konsep-konsep yang ada secara riil, ia

merupakan kekuatan kreatif yang bisa menghasilkan penemuan-penemuan baru dalam dunia nyata. Jadi, seorang ilmuwan akan mendapatkan penemuan baru dikarenakan ia telah berhasil dalam mendayagunakan imajinasinya dengan mengolah bahan-bahan yang telah disediakan oleh persepsi inderawi, dan ini membedakan dengan orang yang hanya berkhayal di siang bolong, karena yang diperoleh hanyalah ilusi. Lalu bagaimanakah kita bisa menghubungkan fakultas imajinasi dengan fakta firman Al-Qur’an yang tersusun begitu jelas dalam bentuk bahasa Arab? Sebenarnya, imajinasi merupakan daya cipta kreatif yang berasal dari fakultas alam bawah sadar kita. Kekuatan imajinasi bisa dikatakan bersifat bebas pada saat kita tidur dan bermimpi. Dalam mimpi, ia mengolah data-data inderawi yang tersimpan oleh memori pada saat terjaga sehingga gambaran-gambaran yang tercipta pada saat bermimpi dipersepsi oleh pikiran sebagai sesuatu yang nyata. Pada saat kita bermimpi, kesadaran tidaklah hilang sepenuhnya, ia bisa dikatakan sedang tertindih dan mengendur untuk sementara sehingga imajinasi bisa mengolah data-data yang berasal dari fakultas kesadaran kemudian menghasilkan gambaran-gambaran mimpi yang dipersepsi seolah nyata. Meskipun bersifat bebas dalam alam bawah sadar, imajinasi bergerak acak berdasarkan hukum dinamika alam bawah sadar sehingga sering menghasilkan gambaran mimpi yang tidak jelas dan kabur. Kondisi ini berbeda saat imajinasi berada dalam keadaan tersadar dan terjaga, meskipun ia tidak bebas bergerak, imajinasi bisa dikatakan terkendali dan bergerak secara teratur. Salah satu yang menyebabkan kita mengalami kondisi kwasi-mimpi (mimpi dalam keadaan terjaga) adalah kekuatan imajinasi kita berusaha membebaskan diri dari kungkungan alam kesadaran sehingga mengakibatkan dinamika alam bawah sadar muncul bersamaan dengan

175

Muhammad Utsman Najati, Jiwa dalam Pandangan para Filosof Muslim, Pustaka Hidayah, Bandung, 2002, hlm. 159. 176 Jean-Paul Sartre, Psikologi Imajinasi, Bentang Budaya, Yogyakarta, 2000, hlm. 293.

65

66

Agama Skizofrenia

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

kondisi inderawi yang terjaga, dan Nabi sering mengalami keadaan ini. Terjadilah semacam bentuk hubungan yang sangat kompleks antara alam bawah sadar, imajinasi dan kesadaran (yang diwakili oleh persepsi inderawi yang terjaga), keadaan ini merupakan batas tepi dan gerbang menuju kwasi-mimpi. Dalam keadaan kwasi-mimpi, kesadaran tidaklah hilang sepenuhnya, ia hanya mengendur dan tertindih oleh alam bawah sadar untuk sementara. Telah kita ketahui dari tulisan-tulisan sebelumnya bahwa pewahyuan dalam diri Nabi Muhammad sebenarnya terjadi dalam kondisi kwasi-mimpi. Yaitu, kondisi di mana alam bawah sadar (unconscious mind) muncul dan menindih kesadaran (consciousness) namun persepsi inderawinya masih bekerja utuh meskipun sering terdisorsi atau tertipu oleh dinamika alam bawah sadar dalam bentuk delusi dan halusinasi. Ketika Nabi sedang mengalami keadaan kwasi-mimpi, Nabi mendapatkan wahyu berbentuk ide-ide inspiratif yang terapung-apung dan mengambang yang kemudian dibungkus dengan bahasa Arab berdasarkan bahan-bahan yang diperoleh pada saat kesadaran berkuasa. Bahasa, pengetahuan kognitif dan bahan-bahan yang diperoleh saat Nabi sadar merupakan materi Al-Qur’an, dan sekaligus pembungkus bagi ide-ide non-verbal yang dihasilkan pada saat alam bawah sadar mewahyukan diri pada Nabi, namun pikiran yang menjadi substansi dan menggerakkan materi AlQur’an (bahasa, pengetahuan kognitif, dan bahan-bahan yang diperoleh pada saat nabi tersadar) adalah dinamika alam bawah sadar. Pikiran alam bawah sadar adalah konstruk yang menentukan bentuk Al-Qur’an dan merupakan kekuatan yang bisa mempengaruhi jiwa manusia secara mendalam. Bagaimanakah proses tersebut terjadi? Nabi Muhammad merupakan tipe manusia yang

berjiwa perenung177 karena beliau oleh alam dianugerahi kekuatan imajinasi yang kuat. Hal ini dibuktikan dengan kegiatan Nabi sebelum pewahyuan di mana beliau sering menyendiri dan bertahanuts di Gua Hira selama berbulanbulan hingga tahunan. Selama periode tersebut beliau sering tenggelam secara intens dalam merenungkan hal-hal yang bersifat kemasyarakatan, karena memang Nabi hidup dalam suatu era yang membutuhkan perubahan dan orientasi hidup baru bagi masyarakatnya, (fermentasi religius). Pada saat-saat itulah Nabi gemar menggunakan daya imajinasinya untuk memikirkan secara kreatif bagaimanakah bentuk masyarakat baru itu dan akan dibawa ke manakah nasib masyarakatnya. Kegiatan Nabi dalam menggunakan daya imajinasi tidak hanya terjadi pada masa pra-kenabian melainkan juga terjadi pada masa kenabian beliau. Pada masa kenabian, beliau sering memikirkan masalah umatnya berkaitan dengan tatanan komunitas yang ingin beliau bentuk berdasarkan nilai-nilai yang relatif baru sehingga setelah muncul wahyu yang bersifat tidak jelas dan kabur (nonverbal), Nabi berusaha memformulasikannya (membungkus) menjadi kata-kata yang terang dalam bahasa Arab untuk dijadikan pedoman bagi komunitas baru yang sedang dibentuknya. Nabi memilih malam hari sebagai waktu yang tepat untuk memformulasikan suara-suara pewahyuan yang telah diperolehnya, yaitu waktu ketika gagasan-gagasan demikian jelas dan kata-kata yang tepat sebagian besar mudah ditemukan.178 Pada waktu malam ketika kekuatan inderawi Nabi mulai mengendur dan daya imajinasi mulai menguat, Nabi memfungsikan daya imajinasinya sehingga seolah-olah berusaha menembus

67

68

177 178

W. Montgomery Watt, Op. Cit., hlm. 32. Ibid, hlm. 33.

Agama Skizofrenia

batas-batas kesadaran dan hampir menyentuh dunia alam bawah sadar, saat itulah muncul memori suara-suara yang membisiki Nabi ketika terjadi pewahyuan non-verbal karena di-recall oleh daya imajinasi. Maka, berlangsunglah proses pembungkusan suara-suara tersebut dengan bahasa dan materi-materi yang diperoleh Nabi pada saat sadar namun karena yang di bungkus adalah ide-ide yang mengambang pada saat kwasi-mimpi, tentu kerangka pembungkusan tersebut adalah pikiran alam bawah sadar Nabi. Akhirnya, terciptalah Al-Qur’an sebagai bacaan mulia yang berbahasa Arab (verbal) sekaligus mempunyai bentuk dan konstruk yang berasal dari keadaan kwasimimpi (alam bawah sadar). Maka, Al-Qur’an yang kita baca sehari-hari adalah hasil formulasi (pembungkusan) Nabi terhadap suara-suara wahyu yang membisikinya pada saat kwasi-mimpi, dan proses formulasi ini dilakukan oleh daya imajinasi Nabi saat beliau merenung dan berkontemplasi di waktu sadar. Kata-kata wahyu yang berasal dari keadaan kwasi-mimpi di bungkus oleh bahasa dan materi-materi yang diperoleh Nabi saat beliau sadar, namun kerangka bentuk pembungkusan tersebut tetaplah pikiran alam bawah sadar Nabi. Jadi, Al-Qur’an berasal dari formulasi imajinasi Nabi terhadap suara-suara wahyu yang tak jelas atau ide-ide yang mengambang kemudian membungkusnya dengan bahasa Arab dan materi-materi yang didapatkan oleh kesadaran (consciousness) Nabi dalam realitas sehingga terciptalah ayat-ayat yang jelas dan mulia dalam bentuk bahasa Arab, tapi kerangka dan bentuk (form) yang mengkontruksi Al-Qur’an adalah pikiran alam bawah sadar (unconscious mind) Nabi karena suara-suara pewahyuan terjadi dalam kondisi dikuasai oleh alam bawah sadar. Proses pembungkusan di atas dilakukan pada saat kesadaran Nabi jernih dan normal meskipun hampir bersentuhan dengan dunia alam bawah sadar. 69

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

C. Kesimpulan Bagian ini akan diakhiri dengan kesimpulan sebagai berikut; pada bagian pertama kita telah menganalisa kondisi pewahyuan yang dialami Nabi ternyata menunjukkan keadaan psikis dan perilaku yang memiliki kesamaan dengan ekspresi orang yang kesurupan, padahal orang yang kesurupan itu sebenarnya bukan dirasuki oleh makhluk halus melainkan dinamika alam bawah sadar menguasai dan mengendalikan psikis orang yang dianggap kesurupan. Kalau memang Nabi dianggap kesurupan berdasarkan perilaku dan kondisi beliau yang memiliki kesamaan dengan kesurupan, tentu hasil proses pewahyuan yang beliau alami pastilah mengandung unsurunsur kesurupan, padahal kesurupan itu dihasilkan oleh mekanisme dinamika alam bawah sadar yang muncul bersama dengan gejala delusi dan halusinasi. Pada zaman Arab kuno hingga sekarang, keadaan psikis yang dikuasai oleh dinamika alam bawah sadar masih dianggap secara mitologis sebagai fenomena kesurupan, yaitu merasuknya roh-roh halus ke dalam tubuh manusia, padahal psikiatri telah mendiagnosa keadaan-keadaan kesurupan sebagai gejala psikotik karena psikis manusia dikuasai oleh kekuatan alam bawah sadarnya sendiri, dan bukannya disebabkan oleh roh-roh halus. Pewahyuan yang ditandai oleh kekuatan alam bawah sadar yang tampil bersama dengan gejala-gejala delusi dan halusinasi oleh psikiatri dinamakan dengan skizofrenia, (kwasi-mimpi). Setelah melalui analisa psikologis yang cermat, akhirnya penulis sampai pada tesis bahwa proses pewahyuan yang dialami oleh Nabi Muhammad terjadi melalui mekanisme psikologi skizofrenia. Skizofrenia menjadi medium bagi munculnya wahyu yang bersifat misterius, tersembunyi, cepat dan rahasia.

70

Agama Skizofrenia

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

Pewahyuan yang dibentuk oleh mekanisme skizofrenia menciptakan semacam komunikasi berupa hubungan antara pribadi skizofrenik Nabi dengan suara-suara halus yang membisiki dan menguasai psikisnya. Karena suarasuara tersebut sangatlah kuat, bergema dan mendengung dalam pikiran Nabi, menyebabkan beliau merasakan sakit pada psikis hingga fisiknya, hal ini juga mengakibatkan Nabi tidak memiliki kesadaran pada saat munculnya suarasuara skizofrenik (wahyu) tersebut. Bentuk komunikasi jiwa Nabi dengan suara-suara skizofrenik yang tak jelas, tak dapat diidentifikasi dan bersifat halus ternyata sesuai dengan makna kata wahyu itu sendiri, yaitu sesuatu yang tersembunyi, cepat (dilihat dari luar), asing dan misterius sehingga karakter atau sifat wahyu dalam Islam adalah kalam non-verbal. Akhirnya melalui daya imajinasi, Nabi membungkus suara-suara pewahyuan yang bersifat nonverbal tadi menjadi ayat-ayat Al-Qur’an yang jelas dalam bahasa Arab (verbal) sedangkan yang mengkonstruk dan memberi bentuk formal pada ayat-ayat Al-Qur‘an tetaplah pikiran alam bawah sadar atau kwasi-mimpi, (skizofrenia). Tesis ini mempunyai implikasi, kalau memang wahyu kenabian dihasilkan oleh mekanisme skizofrenia tentu ayat-ayat Al-Qur’an merupakan manifestasi dan mengandung unsur-unsur yang bersifat skizofrenik. Dengan kata lain, jika saluran bagi munculnya wahyu AlQur’an adalah kwasi-mimpi maka bentuk ayat-ayat AlQuran pastilah mengandung unsur-unsur kwasi-mimpi. Tesis inilah yang berusaha penulis buktikan dalam buku selanjutnya. Kesimpulan lain adalah, suara-suara dan penglihatan dalam proses pewahyuan Nabi sebenarnya merupakan bagian dari proses delusi dan halusinasi yang bersifat skizofrenik, karena invasi dinamika alam bawah sadar yang membawa delusi dan halusinasi merupakan gejala patologi skizofrenia. Kata ”wahyu” yang berarti bisikan

yang cepat tapi tersembunyi tidak lain adalah suara halusinasi auditorik yang ada dalam psikologi skizofrenia. Begitu juga kekuatan-kekuatan tak nampak yang seolaholah mengendalikan dan mengontrol jiwa nabi saat pewahyuan yang kemudian dianggap sebagai intervensi ilahiah, ternyata adalah delusi pengontrolan dalam gejala skizofrenia. Dan juga konsep-konsep metafisika dalam Islam, seperti adanya tuhan, malaikat, dan setan tidak lain adalah proyeksi dari kondisi psikis Nabi yang skizofrenik ke dunia luar, kemudian ditransendensikan dengan memberi atribut personal pada gejala-gejala psikis tersebut, yaitu suara-suara halusinasi dan penglihatan halusinatif dipersonifikasikan berdasarkan kepribadian manusia. Maka, konsepsi tuhan dalam wahyu Islam sebenarnya adalah daya-daya psikis manusia yang ditinggikan. Konsep tuhan dalam Islam tidak akan pernah lepas dari model kepribadian manusia. Setelah kita membahas secara singkat bagaimana keadaan psikologis Nabi ketika wahyu hadir dan bagaimana wahyu itu muncul dari kedalaman jiwa, penulis sangat setuju dengan pernyataan Nasr Hamid Abu Zayd yang mengatakan bahwa kenabian bukanlah fenomena transendental yang penuh dengan kegaiban dan bersifat supranatural, melainkan fenomena yang bersifat alamiah yang dapat dipahami dan ditangkap oleh kategori-kategori pengetahuan manusia.179 Dan, fenomena kenabian ini ternyata memiliki akar-akarnya dalam budaya Arab Kuno yang bersifat terselubung, yaitu pada tradisi samanisme (shamanism) dan kesurupan (possession). Kita tidak dapat memahami psikologi kenabian tanpa mengerti lebih dahulu apa itu fenomena sebenarnya dari kesurupan dan

71

72

179

Nasr Hamid Abu Zaid, Tekstualitas Al-Qur’an, Yogyakarta, 2002, hlm. 56.

Agama Skizofrenia

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

samanisme. Penelusuran penulis atas gejala skizofrenia yang dialami oleh Nabi ketika wahyu muncul, bukan berarti menyamakan begitu saja pengalaman-pengalaman psikologis yang dialami Nabi sama persis dengan pengalaman-pengalaman para kahin, penyair, dan majnun. Impuls psikologis yang mengakibatkan Nabi bisa mengalami pengalaman-pengalaman skizofrenik adalah hukum moral. Nabi adalah jenis manusia yang terus menerus gelisah dengan nasib kaumnya yang sudah kehilangan keutamaan moral. Beliau adalah manusia perenung yang berusaha untuk membawa perubahan atas struktur dasar masyarakatnya. Nabi adalah manusia pemikir yang melihat sendi-sendi dan landasan masyarakatnya telah mengalami kerapuhan. Beliau berusaha untuk melawan, menghantam, dan merubah mentalitas masyarakat Arab berdasarkan nilai-nilai yang transformatif. Impuls skizofrenia yang dialami oleh Nabi adalah hukum moral, dan ini membedakan dengan impuls yang menggerakkan pengalaman para kahin, penyair dan majnun, karena mereka didorong bukan oleh kekuatan moral melainkan kepentingan. Pengalaman-pengalaman psikologis dari para penyair, kahin, dan majnun tidak memiliki kandungan hukum moral yang mengakibatkan hasil eskpresi dari pengalaman Nabi, yaitu ayat-ayat alQur’an berbeda isinya dengan hasil ekspresi para kahin, penyair, dan majnun meskipun konstruk pikirannya samasama muncul dari alam bawah sadar. Penulis berani berkata kalau Nabi mengalami skizofrenia karena memang skizofrenia bisa menjadi medium bagi munculnya wahyu tanpa harus melibatkan peristiwa-peristiwa yang bersifat supranatural dan mukjizati. Psikologi skizofrenia yang dialami oleh Nabi ketika wahyu muncul merupakan naturalisasi terhadap kepercayaan-kepercayaan yang bersifat klenik, takhayul

dan mukjizati, dengan begitu kenabian dalam agama Islam bisa dipahami menurut kategori-kategori pengetahuan manusia. Keberkahan yang didapat oleh manusia sering datang melalui jalan kegilaan yang misterius dan penuh dengan teka-teki. Wahyu yang muncul dari kedalaman jiwa Nabi betul-betul sangat alamiah sehingga tidak meninggalkan sedikit pun jejak-jejak ilahiah dan transendental. Dengan begitu eksistensi Tuhan sebagai sumber keutamaan moral tetaplah tersembunyi.

73

D. Skizo-Hermeneutik Dalam bagian-bagian sebelum tulisan ini kita telah mengulas keadaan-keadaan yang dialami oleh Nabi ketika munculnya wahyu, yaitu sebagai sebuah gejala psikis di mana beliau dikuasai oleh dinamika kekuatan alam bawah sadar atau ketidaksadaran (unconscious mind) yang bersifat misterius dan tersembunyi sehingga mengakibatkan orangorang Arab pra-Islam menganggap beliau seperti orang kesurupan yang sedang dirasuki oleh makhluk halus. Orang-orang Arab pada waktu itu belum memiliki piranti pengetahuan yang meyakinkan tentang gejala psikis yang sebenarnya dialami oleh Nabi ketika munculnya wahyu sehingga mereka melabeli Nabi sebagai penyair, kahin, dan orang gila. Pendapat di atas sebenarnya tidak sepenuhnya salah, karena orang-orang Arab mengamati secara empiris bahwa ekspresi psikis dan perilaku Nabi ketika munculnya wahyu ternyata memiliki kesamaan dengan orang yang sedang kesurupan (penyair, kahin, dan majnun). Hanya saja orangorang Arab masih terjebak dengan pemikiran kaum primitif (mitologi) yang masih menganggap bahwa perilaku orang yang kesurupan (possession) disebabkan oleh merasuknya roh-roh halus ke dalam tubuh manusia, padahal psikologi modern telah membuktikan bahwa

74

Agama Skizofrenia

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

keadaan kesurupan sebenarnya disebabkan oleh kekuatan alam bawah sadar yang sedang menguasai psikis seseorang sehingga ia tidak memiliki kontrol terhadap dirinya sendiri, ia juga merasakan dirinya dikendalikan oleh kekuatankekuatan yang tak nampak dan kekuatan ini sering menyisipkan atau membisikkan kata-kata halus namun kuat ke dalam pikiran yang isinya sering bersifat memerintah untuk berkata dan bertindak sesuatu. Alam bawah sadar juga yang bertanggung jawab terhadap munculnya penglihatan-penglihatan halusinatif dalam diri orang yang kesurupan. Oleh mitologi primitif, kekuatan-kekuatan yang tak nampak tapi mengendalikan dan mempengaruhi pikiran seseorang ketika sedang dikuasai oleh alam bawah sadar sering dimaknai sebagai campur tangan asing atau kekuatan gaib (Tuhan). Hal inilah yang kemudian ditafsirkan oleh Carl Jung bahwa orang-orang yang sedang dikuasai oleh kekuatan alam bawah sadar digolongkan sebagai orang yang mengalami fenomena religius dan transendental. Jung menganggap setiap keadaan-keadaan psikis yang sedang dikuasai oleh alam bawah sadar sebagai sesuatu yang kudus dan ilahiah. Pengertian ini mengantarkan Jung pada definisinya yang terkenal bahwa agama-agama ternyata bersumber dari kekuatan alam bawah sadar atau ketidaksadaran.180 Pendapat Jung sebenarnya tidak salah karena definisi Jung tentang sumber dan asal-usul agama ternyata menggambarkan realitas yang ada. Kita bisa melihat dalam sejarah Agama-agama Besar Dunia, semisal Yahudi,

Kristen, dan Islam, yang ternyata mendasarkan nilai-nilai moralnya pada kekuatan alam bawah sadar. Para Nabinabi agama Yahudi, Kristen, dan Islam memperoleh bentuk wahyu yang ternyata berasal dari kawasan subliminal atau alam bawah sadar. Nabi Muhammad diriwayatkan oleh beberapa Hadis yang terkenal dan sahih menunjukkan kalau wahyu itu muncul dari gejala-gejala abnormal atau ketidaksadaran, yaitu melalui saluran mimpi atau kwasimimpi, halusinasi penglihatan, halusinasi auditorik, halusinasi suara lonceng, delusi pengontrolan pikiran, dan sebagainya.181 Dalam tradisi Agama-agama Besar (Islam, Kristen, dan Yahudi), gejala-gejala abnormal yang merupakan bagian wilayah ketidaksadaran ternyata menjadi medium dan saluran bagi munculnya wahyu. Yang menjadi subjek penelitian bagi kita adalah kalau memang saluran munculnya wahyu dalam agama Islam adalah pikiran alam bawah sadar tentu ayat-ayat Al-Qur’an pastilah mengandung dinamika alam bawah sadar, setidaknya ini tercermin dalam konstruk pikiran Al-Qur’an, sehingga “bahasa pikiran” yang menentukan bentuk dan bangunan Al-Qur’an adalah dinamika ketidaksadaran atau alam bawah sadar. Lalu elemen-elemen manakah dari AlQur’an yang dianggap merupakan manifestasi dari dinamika alam bawah sadar? Usaha penulis dalam menelusuri elemen-elemen manakah dari Al-Qur’an yang mengandung dinamika alam bawah sadar atau kwasi-mimpi merupakan sebuah ta’wil atau ”Hermeneutika Dalam” (depth hermeneutic)182 atas Al181

Jung memberi nama pada sumber dan asal-usul agama dengan sebutan alam bawah sadar kolektif (collective unconscious) atau transpersonal. Pemikiran Jung menampakkan diri sebagai pengaruh dari para filsuf, seperti Nietzsche, Levy-Bruhl, dan William James.

Mana’ul Quthan, Op. Cit., hlm. 31-34. Istilah “Hermeneutika Dalam” dibuat oleh filsuf Jerman Jurgen Habermas untuk menyebut bentuk hermeneutika yang terpengaruh oleh metode atau mekanisme kerja mimpi dalam Psikoanalisa. Jurgen Habermas sangat terpengaruh oleh pikiran-pikiran Sigmund Freud.

75

76

180

182

Agama Skizofrenia

Agama Skizofrenia; Kegilaan, Wahyu dan Kenabian

Qur’an yang didasarkan pada metode Psikoanalisa, dan pemaparannya akan dibahas pada buku jilid ke-2.

77

78

Related Documents

Skizofrenia
March 2021 0
Agama
January 2021 2
Referat-skizofrenia
March 2021 0
Referat Skizofrenia
March 2021 0
Referat Skizofrenia
March 2021 0

More Documents from "AnemiaHemolytic"