Cerpen Kompas 2017

  • Uploaded by: darmanto
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Cerpen Kompas 2017 as PDF for free.

More details

  • Words: 34,188
  • Pages: 117
Loading documents preview...
[Document title] [Document subtitle]

darmanto radjab [COMPANY NAME]

Kasur Tanah ilustrasi Polenk Rediasa/Kompas

Cerpen Muna Masyari (Kompas, 17 September 2017)

Apa kau tidak merasa bahwa embu’ sengaja menjadikanmu sebagai sortana, menggantikan perabot yang semula ia tata rapi dalam kotak lemari paling atas, dan setiap senja dilapnya seolah takut ada debu hinggap? Perabot sortana yang berupa satu gelas, cangkir (lengkap dengan tatakannya), piring, baki ukuran kecil, dan mangkok itu dipesan khusus oleh embu’, dan baru datang dua bulan lalu. Tepatnya, sejak embu’ mulai sakit-sakitan. Entah pada siapa embu’ memesannya. Yang mengantarkan adalah seorang pemuda tanggung yang tidak pernah kau kenal, dan sepertinya embu’ pun demikian. Barangkali ia sekadar orang suruhan. Semua perabot sortana itu terbuat dari keramik perak bergambar wajah embu’ pada tepi piring, pada tengah-tengah tatakan cangkir dan baki, pada dinding luar cangkir, gelas dan mangkok. Gambar itu diambil dari foto embu’ saat masih berusia sekitar 30 tahun. Sangat cantik! Meskipun kepalanya ditudungi selembar kerudung panjang berenda emas, gelung berhias roncean kembang melati di belakang telinga masih sedikit terlihat. Pada hari pernikahan sekaligus kematian ini, barangkali kau tidak merasa bahwa embu’ sengaja menjadikan dirimu sebagai pengganti perabot sortana yang pernah diperlakukan istimewa itu. *** “Kegunaan sortana sebenarnya untuk apa sih, Bu’?” suatu senja, kau sengaja menghampiri embu’ yang sedang mengelap cangkir dengan sobekan kain beludru; bekas baju hantaran dari ayahmu waktu mereka menikah dulu. Mata embu’ membeling dan gerakan tangannya sangat lambat. Ia sempat gugup meski kau datang dengan langkah nyaris tak terdengar. Terpercik pertanyaan besar di matamu, karena setiap ada orang meninggal, keluarganya biasa menghaturkan berbagai macam perabot pada seorang kiai atau guru ‘ngaji sebagai sortana. Apalagi, perabot pesanan yang sering embu’ lap itu katanya untuk dijadikan sortana juga. “Selain bernilai sedekah jariyah, juga agar yang meninggal mudah diingat,” jawab embu’ setelah berhasil menyisihkan kegugupannya. “Berarti, walaupun kita sudah meninggal, dengan melihat sortananya orang akan teringat pada kita?” Beberapa saat embu’ terbatuk. Batuk yang sangat kering dan membuat tulang rahangnya mencuat. “Iya, salah satu manfaatnya,” setelah batuknya reda. “Oh.” “Kalau sortana itu dipakai untuk kebaikan, tentu menambah nilai pahala bagi yang meninggal. Itu sebab, mengapa dinamai sortana, mengambil dari kata kasorra tana, atau kasur tanah.” “Artinya, kasurnya orang yang sudah meninggal?” Embu’ mengangguk, meletakkan cangkir yang sudah dilap, lalu mengambil piring dan mengelapnya dengan gerakan halus. Sebentar embu’ terbatuk lagi. Seminggu ini batuk embu’ tambah parah. Tubuhnya semakin ringkih. Bahkan dua hari lalu ia mengaku batuk darah padaku. Namun ia memintaku merahasiakannya darimu. Ia pun menolak dianggap dan diperlakukan sebagaimana orang sakit. Meskipun pekerjaan dapur sudah kau bereskan sejak sebelum subuh, dan bajubaju kotornya kau cuci sebelum sinar matahari mengecup gorden jendela kamarnya, embu’ masih bersikeras menyapu lantai dan halaman yang banyak mengepulkan debu saat disapu, hingga berakibat napasnya kian sengal gara-gara batuk panjang.

Sudah empat kali kau antar embu’ ke mantri desa, tidak ada perkembangan sedikit pun. Ketika mencoba dibawa ke dukun, katanya embu’ kena teluh yang dikirim oleh lelaki yang ditolak lamarannya setelah ayahmu meninggal. Ah, tidak sedikit lamaran para duda yang embu’ tampik. Ia pun tidak mau membidik sangka pada salah satu di antara mereka. Katanya, sehat dan sakit adalah pemberian dari yang Mahakuasa, dan merupakan salah satu kemurahan Tuhan untuk menggugurkan dosa-dosa si bersangkutan. “Jika aku meninggal, haturkan perabot-perabot ini ke guru ’ngajimu,” lirih, seolah Malaikat Jibril sudah menunggu embu’ di luar pintu, hingga kecemasan kian membelukar di matamu. “Embu’ tidak akan mati. Yakinlah, Embu’ akan cepat sembuh.” “Sakit tidak ada hubungannya dengan kematian, Bhing! Yang namanya makhluk hidup pasti akan mencicipi mati. Entah itu datangnya cepat atau lambat, disebabkan sakit atau tidak, bila tiba waktunya tidak ada yang bisa menolak,” dengan nada datar dan senyum tawar. “Tapi aku tidak ingin ditinggalkan Embu’,” rusuh di dadamu tergetar jelas dari suaramu. Embu’ menatapmu. Bibirnya melengkung tipis. “Sekarang kau sudah besar. Sebelum mati, aku ingin melihatmu menikah.” Menikah? Kautatap embu’ lekat-lekat. Meskipun wajahnya tampak pucat dan bibirnya retak-retak, gurat kecantikan masih tersisa jelas. Semasih muda embu’ memang lebih cantik darimu. Ia menjadi perawan desa yang diperebutkan. Namun, perbedaan status sosial, tradisi pertunangan sejak bayi, hingga martabat yang harus dijunjung tinggi telah menumbalkan sebiji cinta yang dimilikinya. Tidak ada pilihan baginya kecuali tunduk di hadapan orangtua. Pada tradisi takdir perjodohan bayi. Setelah menikah, embu’ memilih setia pada ayahmu, yang telah menjadi tunangannya sejak masih bayi dan memendam cintanya dalam-dalam. Katanya, kehormatan seorang perempuan setelah menjadi istri berada pada kesetiaannya. Bahkan, meskipun menjanda di usia cukup muda, embu’ tidak pernah tergoda menikah lagi. Embu’ juga tidak suka memedulikan cibiran sinis para tetangga yang merasa cemas suaminya larak-lirik. Cinta rumit masa lalu membuat embu’ tegar dan bersikap lebih tenang. Bahkan, embu’ juga menanggapi dengan santai saat kau adukan bisik-bisik tetangga di warung mengenai dirimu. “Kata orang aku bukan anak kandung ayah. Benarkah, Bu?” dengan wajah kesal kau pulang dan menyemburkan pertanyaan itu. Ayahmu memang sudah tua saat menikahi embu’, dan ia tidak memiliki keturunan satu pun dari istri-istrinya terdahulu. Kakekmu terpaksa menjodohkan embu’ yang baru lahir dengan lelaki kaya yang sudah beristri tiga itu demi membalas budi setelah membantu biaya kelahiran embu’. Kata kakekmu, ia tidak mau menanggung utang budi hingga mati. “Apakah menikah dengan orang yang jauh lebih tua dari kita banyak menimbulkan prasangka di kemudian hari, Bu?” tanyamu suatu malam, sepulang dari langgar dan gulungan mukena masih terdekap di dada. Alis embu’ terangkat hingga bola matanya tampak kian membulat. “Kenapa kau bertanya demikian?” Kau menggeleng ragu. Tentu bayangan waktu kecil merimbun di kepalamu. Setiap ada pertemuan wali santri di sekolah menjelang haflatul imtihan, teman-teman kerap meledekmu, mengatakan ayahmu lebih pantas kau panggil kakek.

“Jodoh sudah ditentukan sebelum kita lahir. Manusia tinggal menjalani, kecuali masih ingin menggugat Tuhan, dan itu pekerjaan sia-sia,” embu’ menyentuh pundakmu lembut. Tangan satunya memegang cangkir. Tidak sedang dilap. Saat kau menghambur masuk ke kamarnya, kau lihat ia sedang memandangi cangkir itu lekat. “Kalau aku menikah dengan lelaki yang sudah seusia embu’, apa tidak keberatan?” Embu’ menatap matamu, seolah ingin menyelami hingga ke dasar hatimu. “Dulu aku tidak setuju kau dijodohkan sejak bayi, supaya kau bebas memilih akan menikah dengan siapa. Tidak peduli orang-orang menganggapmu sebagai anak perempuan yang tidak cepat laku,” sudut bibirnya tertarik sedikit. Risiko menolak tradisi perjodohan bayi, selain dipandang sebagai anak perempuan tidak laku, ujung-ujungnya kelak ia menikah dengan orang dari luar daerahnya. “Apa kau sudah punya pilihan?” Kau tak segera menjawab. “Kau masih muda. Pilihlah lelaki yang seusia atau lebih tua sedikit darimu. Jangan sepertiku,” ada penyesalan berakar yang berusaha embu’ pendam di antara desah napasnya. “Seandainya jodoh yang ditentukan Tuhan untukku seusia embu’, apa kita akan menggugat-Nya?” Embu’ terbatuk, seolah tersedak oleh perkataannya sendiri. “Apa ia seorang duda?” selidiknya kemudian. Kau menggeleng. Kening embu’ berkerut, “belum menikah sama sekali?” Kau mengangguk dengan sudut bibir tertarik ke samping. Senyum yang gagal. “Ia serius padamu? Kenapa tidak datang kemari melamarmu?” “Beliau memintaku untuk menanyakannya lebih dulu pada embu’, apakah merestui atau tidak?” Embu’ terdiam sejenak, lalu menghela napas. “Kalau sekiranya tidak akan membuatmu menyesal di kemudian hari, terserah pada keputusanmu.” Kau tersenyum tawar. Namun ada bias kelegaan di matamu. “Siapa dia?” “Beliau…” Kau ragu sejenak, menelan ludah. Alis embu’ terangkat, sebuah isyarat agar kau melanjutkan kalimat. “Beliau adalah guru mengajiku, Keh Sakdulla!” Cangkir di tangan embu’ terlepas jatuh. Kau tersentak. Tatapan embu’ tiba-tiba serupa bilik kosong yang sunyi meskipun sempat terbelalak sebentar dan menatapmu penuh kejut. Wajah embu’ mendadak beku. Ia tidak memedulikan cangkir yang berpuing di lantai. Lidahmu kelu. Kesunyian berkelindan. Kau terpaku heran. *** Tidak ada sortana berbahan keramik dan bergambar wajah embu’ yang bisa dihaturkan ke rumah guru ‘ngaji. Perabot-perabot itu telah menjadi puing di lantai ketika pagi tadi kau memeriksa kamar embu’ karena tak kau lihat ia menyapu halaman seperti biasa, meskipun sinar matahari sudah mengecup gorden jendela kamarnya setengah jam yang lalu. Gelas, cangkir, piring, baki, mangkok, tatakan cangkir, tidak utuh lagi. Tidak ada yang tersisa. Puing-puingnya berserak di lantai, dekat kaki pembaringan. Kau sempat histeris mendapati tubuh embu’ terbujur kaku dengan wajah mengapas di atas pembaringan. Raung tangismu menggegerkan para tetangga.

Setibaku di sana bersama tetangga lain yang berduyun-duyun, kau telah terkulai di lantai, di antara puing-puing perabot keramik yang berserakan. Kau baru tersadar ketika embu’ sudah diusung ke pemandian. Hanya aku dan lelaki itu yang menungguimu di kamar, menunggu kau tersadar. “Embu’?” kau sapu ruangan dengan mata yang baru terbuka. Kubantu kau bangun. “Embu’ sedang dimandikan. Ada sesuatu yang ingin kami bicarakan denganmu,” kutahan pundakmu ketika kau bermaksud turun dari pembaringan. “Sesuatu apa?” Kami, aku dan lelaki di sampingku, Keh Sakdulla, menukar tatap. Kau pun menatap kami bergantian dengan kening berkerut. *** Sebelum jenazah diantarkan ke pekuburan, akad pernikahanmu dilangsungkan di samping keranda. Setelah akad nikah selesai, kita pun ikut mengantarkan jenazah embu’. Kaulah sortana bagi embu’. Keberadaanmu tentu semakin melekatkan ingatan lelaki itu padanya. Pada cinta pertama mereka. Hari inilah hari kematian embu’, sekaligus hari pernikahanmu. Memang demikian pesan yang embu’ titipkan padaku; menikahkanmu di dekat kerandanya. Ada satu amanah lagi yang embu’ titipkan padaku; menjaga rahasianya. Rahasia identitasmu. Kau dan siapa pun tidak boleh tahu, bahwa Keh Sakdulla, lelaki yang baru saja menikahimu adalah ayah biologismu. Sebagai perempuan yang dulu menjadi santri abdi di rumah Keh Sakdulla, akulah saksi cinta mereka yang kandas karena status sosial dan tradisi perjodohan.

CERPEN, KOMPAS, LINA PW

Rumah Batu Kakek Songkok

Rumah Batu Kakek Songkok ilustrasi Kun Adnyana/Kompas

“Jadi juga pesan pasir?” tanya Sabang pada ayahnya, dengan napas tersengal. Sabang tinggal tak jauh dari rumah Kakek Songkok, panggilan sang ayah oleh warga kampung. Ia memperhatikan sebuah pikap menurunkan pasir, lalu tergopohgopoh menghampiri ayahnya. “Iye, kita bikin baru rumah kita, jadi rumah batu,” jawab Kakek dengan senyum mengembang sembari membenahi letak songkok. Karena songkok itulah ia dipanggil Kakek Songkok oleh warga kampung. Peci tak pernah lepas dari kepala Kakek. Bahkan, seluruh anaknya kerap memanggil ayah mereka dengan Kakek Songkok. Sabang mengerutkan kening, yang membuat Kakek teringat pertengkaran dengan putranya dua malam lalu saat Kakek menyampaikan niat menjadikan rumahnya rumah batu. “Kenapa harus rumah batu? Tak usahlah dengar kata orang,” cecar Sabang. Ia satu-satunya yang tidak setuju keinginan ayahnya mengubah rumah papan menjadi rumah batu. Bagi Sabang, rumah masa kecil harus tetap seperti sedia kala. Apalagi kalau ayahnya mengubah rumah hanya karena omongan tetangga. “Bukan karena kata orang, sudah lama mau kuubah rumah ini. Lihat ko papannya, ibumu sudah berapa kali jatuh karena papan-papan itu sudah tua,” ujar Kakek Songkok lirih, tubuhnya berkeringat. Tidak sanggup ia beradu mulut dengan putra kesayangannya. “Aih, tidak, tidak. Rumah kita harusnya biar begini saja. Di sini kenangan kita semua. Kenapa harus diubah?” Sabang setengah membentak ayahnya sambil menunjuk sekeliling rumah. Suaranya meninggi, mukanya merah padam menahan marah. Sejak hasrat mengubah rumah muncul, dan dikabarkan ke seluruh keluarga, saat itu Sabang sudah menentang. Kakek mengalah, mencoba membujuk Sabang agar paham. Tapi, pertengkaran dua hari lalu itu kini bangkit kembali. Sabang memandang gundukan pasir itu. Ia bayangkan, tak lama lagi pasir-pasir itu akan dicampur semen, merekatkan batu-batu. Bagi Sabang, batu-batu itu bersatu padu melindas kenangan masa kecilnya di rumah kayu yang tak lama lagi akan dirobohkan. Ia banyak melihat keadaan itu terjadi pada kawan-kawan di kota saat sekolah dulu. Saat itu ia hanya tertawa karena yakin kampungnya tetap teguh mempertahankan rumah adat mereka, kenangan mereka akan hidup. Tapi, sekarang tampaknya akan pupus pula kebanggaan itu. Sabang sadar, tak ada guna lagi menentang. Tak pantas lagi berharap. Semua bilah-bilah kayu itu, jendela-jendela, lantai, usuk, papan-papan, tempat semua kenangan masa kecil melekat dan menancap, akan segera lenyap. Rencana sedang dijalankan, keinginan tengah diwujudkan untuk melumat wujud sejarah sebuah keluarga. Semua akan tinggal kenangan yang mengambang. Melayang-layang mendesak-desak dada. Mulut Sabang terkunci, ia pulang tanpa pamit, membiarkan Kakek Songkok terdiam hampa. Memang, Sabang sangat keras soal rumah. Ia juga yang menentang

saat sang ipar, suami kakak perempuannya, membangun rumah batu sedari awal mereka menikah. Kakek berjalan terbungkuk ke arah balai bambu di bawah rumah panggungnya. Langkahnya lunglai, matanya kuyu. Istrinya menyusul. Mereka duduk dalam diam dielus angin sepoi yang biasa lewat di bawah rumah. Balai-balai ini tempat kesukaan pasangan tua itu. Pagi, siang, sore, bahkan malam, angin akan datang menghampiri, tak peduli musim apa pun yang sedang hinggap di kampung. Tapi tak ada yang terlalu suka di balai saat malam. Selain karena gelap tak menyenangkan, nyamuk-nyamuk akan berpesta pora, membuat penghuni sibuk menggaruk seluruh badan. “Ah, kenapa aku marah ke Sabang. Harusnya tak usah sampai begitu,” bisik Kakek pada dirinya sendiri. Lama Kakek duduk diam, tenggelam dalam pikiran sendiri. Sesekali Kakek Songkok memandang berkeliling, seolah ingin menelan rumah dengan tatapan matanya. Balai itu sendiri tanpa dinding papan. Kakek memasang bambu-bambu melintang di tengah tiang-tiang rangka rumah. Di situlah mereka biasa bercengkerama. Rumah mandar seperti rumah Kakek, besar, luas, dan memiliki tiangtiang rangka kokoh sebagai penyangga. Orang-orang menyebut rumah ini rumah panggung. Tiang rangka yang digunakan tinggi, hingga tiga meter, sebelum mencapai papan pijakan rumah. Biasa dibuatkan tangga untuk bisa memasukinya. Kakek Songkok menatap tangga rumahnya yang sudah berlubang, beberapa papannya lapuk dimakan usia. Seminggu lalu, cucu Kakek terluka karena berlari-lari di sekitar meja tamu. Ia terperosok di antara papan yang remuk karena tua. Kaki gadis kecil lima tahun itu berdarah-darah. Kejadian itu menyadarkan Kakek, rumahnya sudah renta. Memperbaikinya menjadi rumah batu bagi Kakek seperti memastikan keluarganya aman, tak ada lagi yang perlu terluka. Masih menekuri kerapuhan rumahnya sendiri, tiba-tiba menantu Kakek memberi salam, memanggil kembali Kakek dari buaian angin sepoi. “O, Darman, sini, sini,” sapa Kakek Songkok mendengar suami anak sulungnya mengucap salam. Masih berdiri Darman berujar, “Bagaimana jadinya pembangunan rumah ini, Kek?” Kakek menghela napas, memandang sekeliling rumah lagi, lalu menatap Darman, sambil berkata muram, “Yah, Sabang tetap tak setuju. Tapi pemesanan bahan sudah berjalan, akan datang besok. Malam nanti kita bujuk lagi Sabang agar setuju ubah rumah.” Darman mengangguk-angguk. Ia bukan orang Mandar. Tidak seperti Sabang dan Kakek Songkok. Ia tak pernah menikmati kebersamaan memindahkan rumah panggung beramai-ramai. Kebersamaan yang menyatukan warga kampung. Di tanah Mandar, masyarakat biasa saling bantu saat akan memindahkan rumah. Dari kampung sebelah pun datang mengangkat rumah panggung itu ke tempat baru.

Tawa riuh rendah bercampur masam bau keringat serta teriakan semangat selalu menyemarakkan pemindahan rumah. Semua lelaki kampung turun tangan, rumah panggung yang berat dengan tiang dan tangga itu akan dipindahkan dalam sekali waktu, bersama-sama. Setelah rumah pindah, masyarakat menikmati makanan ringan, seperti loka yanno, pisang goreng gurih sedap disantap selagi hangat, dan bubur kacang hijau yang disuguhkan oleh si empunya rumah. Kebersamaan itu mengikat masyarakat kampung. Sabang suka sekali membantu pemindahan rumah, ia akan bersenda gurau dengan pemuda kampung yang ikut serta. Apalagi ayahnya, Kakek Songkok, ditunggu-tunggu pemuda kampung karena selalu memberi guyon semangat saat akan memindahkan rumah. Hari-hari Sabang kecil riuh oleh pekik semangat dan kebersamaan warga. Tapi, itu semua tak pernah dirasakan Darman. Kenangan indah kebersamaan itulah yang merasuk dalam diri Sabang sehingga ia selalu menentang pembangunan rumah batu. Darman datang dari pulau sebelah. Belum lama di tanah Mandar, ia merantau sebagai tukang listrik di Malaysia. Dengan uang hasil kerjanya, ia membangun rumah batu pertama di kampung itu. “Rumah panggung sudah ketinggalan zaman,” katanya sengit. Tak disangka pembangunan rumah batu diikuti warga lain. Menimbulkan gengsi sendiri kata mereka. Hanya Sabang yang berang, mengatakan rumah panggung adalah tradisi, adat yang harus mereka rawat. Dalam tiga tahun sejak Darman membangun rumah batu pertama itu, hampir seluruh warga yang mampu langsung mengubah rumah mereka menjadi rumah batu. Warga yang tidak mengubah rumahnya dianggap berkehidupan di bawah standar. Keberadaan rumah batu menentukan tingkat sosial mereka. Dan tidak ada yang lebih menyakitkan daripada dipandang tidak mampu oleh warga sekampung. Kepala kampung yang seolah peduli dengan kehidupan warganya melontarkan gagasan membantu warga yang tempat tinggalnya belum rumah batu, dengan memberi sumbangan dari dana desa. Ia menyampaikan gagasan itu dengan lembut, tetapi terasa sangat mendesak-desak, juga membujuk-bujuk, yang kemudan disambut riang gembira oleh warga. Pembangunan rumah batu dimulai. Hanya dua orang yang menolak: Sabang, yang tidak mau mengubah rumahnya sama sekali, dan Kakek Songkok, ayah Sabang, yang mengatakan ia punya cukup uang untuk membangun rumah batu, hanya menunggu waktu. “Baik, kalau begitu saya permisi dulu,” kata Darman, tidak naik ke rumah. Kakek Songkok mengangguk singkat. Sepeninggal Darman, Kakek menaiki tangga rumah, membuat bunyi berderak dan kriut kencang. Ia berjalan ke kamarnya, berjingkat, menghindari lubang-lubang rapuh kayu rumah. Kakek lalu berbaring di dipan tanpa kapuk yang dipenuhi sarung dan baju-baju. Pikirannya dipenuhi rasa sesal karena pertengkaran dengan Sabang pagi tadi. Belum lama berbaring, Kakek Songkok terlonjak oleh salam Sabang. Lekas-lekas Kakek merapikan sarung, menyambut Sabang, siap menerima gelegak marah putranya lagi.

Tapi kali ini Sabang datang dengan penuh kelembutan. “Sudah saya putuskan. Lanjutkan saja pembangunan rumah ini. Saya mendukung apa pun yang akan dilakukan,” ujar Sabang pelan, terasa seperti igauan yang teduh. Kakek setengah melongo, tergagap menjawab, “Ah, benar setuju ko?” “Iye, kalau memang sudah diputuskan dan itu yang paling baik, teruskan,” kata Sabang. Kakek mengangguk-angguk senang, tak menyangka anaknya akan mendukung. “Tapi bagaimana denganmu? Ubah juga rumahmu jadi rumah batu, ya?” bujuk Kakek. Sabang hanya tersenyum kecil. Kakek merasa senyum putranya lebih dari cukup untuk sebuah persetujuan. “Nanti rumah ini juga punyamu, kan. Keluargamu bisa hidup baik di rumah batu, tak perlu panas-panas karena atap seng ini, nanti ganti juga jadi genteng,” tambah Kakek kegirangan. Sabang memandang berkeliling. Matanya melahap kenangan masa kecil ketika tinggal di rumah kayu ini. Jatuh pertamanya di papan kayu, cengkeh pertama yang ia poteki semasa kanak, semua di ruang ini. Air muka Sabang menyiratkan ia sungguh tak rela menjadikan rumah ini rumah batu. Namun, ia sudah memutuskan mengikuti keputusan ayahnya. Kakek Songkok masih berkata tanpa henti tentang rumah batu saat Sabang pamit. Pembangunan pun dimulai. Papan-papan rumah dibongkar, tiang-tiangnya dibuang. Pasir dan semen dicampur, batu-batu disusun. Darman dan semua keluarga berdatangan membantu, atau sekadar melihat pembongkaran rumah tua mereka. Sabang tak pernah datang, tak juga muncul saat rumah selesai dibongkar. Dinding batu pertama sudah rampung, tapi Sabang tak juga tampak. Banyak yang memuji, atau setengah menyindir, akhirnya Kakek Songkok memperbaiki rumah, dan tidak dipandang sebelah mata lagi oleh tokoh kampung. Ia hanya tersenyum menyaksikan rumahnya menjadi rumah batu. Meski heran mengapa putranya tak pernah menjenguk pembangunan rumah, Kakek tak terlalu gelisah, ia ingat perbincangan terakhir saat Sabang menyetujui keputusan tersebut. Ketika rumah batu itu rampung, Kakek mengadakan syukuran kecil. Kepala kampung yang diundang memberikan sambutan betapa bijak keputusan Kakek Songkok untuk mengubah rumah, dan memuji betapa indah rumah-rumah batu di kampung yang ia pimpin. Sebelum syukuran, Sabang dipanggil, tapi yang dicari tak ada di rumah. Acara tetap berjalan tanpa kehadiran Sabang. Masih subuh, saat akan bersiap ke kebun, Sabang menghampiri ibunya, di depan rumah. Kakek minum kopi di teras. “Ke mana saja ko? Kenapa tak pernah datang? Mau ke mana lagi?” tanya Kakek melambai pada Sabang.

“Saya mau pindah ke Ratte. Tak ada lagi yang sanggup saya bikin di sini, rumah kita juga sudah berubah,” ujar Sabang menahan isak. Ia menggendong ransel. Di motornya ada satu tas besar lagi, dipegang oleh Sarti, istri Sabang. Ia akan tinggal di kampung istrinya di Ratte, letaknya di balik bukit. Di sana ia bisa tetap tinggal di rumah panggung, terhindar dari tekanan untuk mengubah rumahnya menjadi rumah batu. “Rumahmu ini bagaimana? Kami bagaimana?” tanya Kakek, melonjak dari duduknya, kaget saat Sabang memutuskan pergi. “Tak apa. Rumah saya berikan pada Darman untuk anaknya, mau dijadikan rumah batu juga. Semua kan sudah aman dalam rumah batu. Lenyap kenangan kita, hilang juga saya,” jawab Sabang menghidupkan motornya. Ia berlalu, sedih. “Saya sudah berusaha tahan. Dia tak mau dengar, aih,” tiba-tiba Darman datang, berusaha selekas mungkin sampai pada Kakek. Sabang sudah tak terlihat lagi. Kakek Songkok duduk dengan tatapan kosong, matanya sembab, bayangan Sabang semakin jauh. Deru motornya kian sayup, begitu jauh. Angin tak kuasa lagi mengantarnya. Lina PW, lahir dan besar di Pulau Dewata, Bali. Memulai menulis sejak sekolah menengah dengan menuangkan ide dan pengamatannya melalui tulisan jurnalistik. Lina pernah menjadi wartawan lepas di beberapa media lokal dan kontributor kisah perjalanan di sejumlah media nasional. Tulisan-tulisannya antara lain dibukukan dalam antologi Merajut Mimpi di Sudut Negeri dan Kerlip Cahaya di Perbatasan. Tahun 2016, ia mengikuti workshop penulisan cerpen yang diselenggarakan harian Kompas. Kini Lina menetap di Bali, bersama teman-temannya, ia tengah merancang komunitas menulis bagi kaum belia.

AHMAD TOHARI, CERPEN, KOMPAS

Paman Klungsu dan Kuasa Peluitnya

Paman Klungsu dan Kuasa Peluitnya ilustrasi Sandi Jaya Saputra/Kompas Di sekitar jalan simpang tiga dekat pasar, nama Paman Klungsu sudah lama mapan. Dia adalah sosok yang punya kuasa di tempat itu. Dengan andalan lengking peluitnya, Paman Klungsu bisa mengatasi kemacetan lalu lintas, terutama di pagi hari. Pada saat itu, para pedagang laki-laki dan perempuan seperti beradu cepat mencapai pasar. Mereka naik sepeda atau motor dengan dua keranjang di bagian belakang. Puluhan anak SMP dan SMA dengan motor yang knalpotnya dibobok juga berebut keluar dari jalan kampung ke jalan raya. Tanpa helm, tanpa SIM. Tetapi mereka kelihatan tak peduli dan amat percaya diri. Guru-guru SD, beberapa di antaranya sudah bermobil ikut menambah kepadatan lalu lintas di simpang tiga itu. Maka, orang bilang, untung ada Paman Klungsu yang dengan lengking peluitnya bisa memuat semua menjadi lancar. Polisi lalu lintas belum pernah datang di sana. Tetapi, Paman Klungsu biasa memakai rompi lusuh bercap “Poltas Swakarsa” dengan tulisan spidol. Entah siapa

penulisnya. Selain rompi lusuh warna pupus pisang yang berpendar, Paman Klungsu juga melengkapi diri dengan peluit plastik warna merah. Meskipun kecil, suara peluit itu amat nyaring dan terbukti wibawanya ditaati oleh para pengendara. Orang-orang sering bertanya mana yang paling berwibawa di simpang tiga itu; sosok Paman Klungsu atau peluitnya. Empat-lima tahun yang lalu Paman Klungsu hanya orang lontang-lantung di pasar. Jalannya pincang. Kaki kirinya kecil dan lebih pendek. Sebatang kara, di malam hari jadi peronda pasar. Di siang hari jadi kuli angkut yang membawakan barang milik pedagang dari dalam pasar ke pinggir jalan atau sebaliknya. Para pedagang memberinya seratus atau dua ratus rupiah. Itu bekal Paman Klungsu untuk pergi ke warung nasi rames milik Yu Binah di belakang pasar. Sekarang Paman Klungsu tidak lagi mengangkut-angkut barang milik pedagang. Dia merasa telah naik pangkat menjadi-dia menyebutnya sendiri-poltas swakarsa, yang amat dia banggakan. Apalagi Paman Klungsu juga sering mendapat uang receh. Itu pemberian sopir-sopir yang merasa bersimpati. Mereka menghargai jasa Paman Klungsu yang punya prakarsa mengatur lalu lintas di simpang tiga. Pada awalnya Paman Klungsu sering dicibir orang. “Ah, kamu cuma polisi nonbatu, polisi-polisian. Kamu hanya berani mengatur pedagang dan anak sekolah, tapi tidak berkutik bila yang lewat pejabat atau moge. Kamu juga selalu mengistimewakan Yu Binah. Kalau perempuan itu lewat selalu kamu bukakan jalan.” Ketika menerima cibiran itu, Paman Klungsu hanya diam. Namun sebenarnya dia sungguh tersinggung. Jadi suatu kali dia bergerak cepat ketika ada sebuah mobil bersipongah mau melanggar aturannya. Dengan langkah terpincang-pincang, Paman Klungsu menghadang mobil bagus berpelat merah itu. Paman Klungsu berdiri tepat di depan mobil, tangan kanannya tegak lurus. Tetapi, kaki kirinya bersijingkat karena lebih pendek. Peluitnya melengking-lengking sekerasnya. Pengendara mobil itu mendengus dan berhenti dengan mata membulat. Kemarahan muncul penuh di wajahnya. Tetapi, Paman Klungsu bergeming. Dan di luar dugaan Paman Klungsu semua orang di simpang tiga bertepuk tangan mendukungnya. Peluit Paman Klungsu melengking makin nyaring dan bertubi-tubi. Tangan kanannya tetap menjulang ke atas. Orang- orang bersorak makin riuh. Sejak peristiwa itu, Paman Klungsu makin percaya diri dan merasa lebih gagah. Dia senang karena ternyata orang-orang berada di pihaknya. Maka, dia mengulangi sikap itu; tidak mengutamakan siapa saja yang lewat. Juga barisan puluhan moge yang menderu menggila dari barat pada Jumat dan menggelegar pongah balik dari timur pada Ahad. Maka, Paman Klungsu dengan peluitnya adalah sosok kekuasaan yang nyata di simpang tiga itu. Sayangnya, orang-orang juga masih jadi saksi peluit Paman Klungsu tak pernah melengking nyaring terhadap Yu Binah. Bila dia lewat, Paman Klungsu selalu mendahulukannya, dengan keramahan yang nyata pula. Terhadap Yu Binah, peluit Paman Klungsu seakan bisu. Ketika sedang istirahat pada suatu tengah hari di emper toko, ada orang bertanya, “Ah, kamu ternyata tetap mengutamakan Yu Binah. Ada apa ya? Awas, Yu Binah punya suami; kamu jangan macam-macam.”

Pertanyaan itu membuat Paman Klungsu ketakutan. Wajahnya mendadak beku. Bibirnya gemetar. Dia tergagap, dan kata-kata yang kemudian diucapkan terdengar patah-patah. “Yu Binah? Iya. Dia memang punya suami. Dan saya tidak mengapa-apakan dia.” Paman Klungsu gugup. Namun, lama-kelamaan bicaranya lebih tertata. Katanya, dia banyak berutang budi kepada Yu Binah. Penjual nasi itu suka memberinya rames lengkap berapa pun Paman Klungsu membayarnya. Menyadari uangnya sering tidak cukup, tambahnya, dia biasa hanya minta nasi dan air putih. Lauknya cukup kecap dan sambal yang memang disediakan cuma-cuma. Tetapi, Yu Binah tetap memberinya nasi rames lengkap dengan taburan bawang goreng, tahu atau tempe, bahkan kadang ikan juga. “Taburan bawang goreng di atas nasi hangat, ditambah sambal dan kecap, wah!” “Jadi hanya karena bawang goreng, kamu merasa harus mengutamakan Yu Binah?” Paman Klungsu tersipu, kemudian meneruskan penjelasannya. Katanya, ada sesuatu yang sangat mengesankan pada Yu Binah, yaitu gerak tubuh, terutama kedua tangannya ketika Yu Binah menyiduk nasi dari bakul lalu menampungnya dengan piring. “Itu seperti tangan orang menari, atau apa. Itu pantes banget, perempuan banget. Tidak semua perempuan bisa seperti itu,” tambah Paman Klungsu. Orang yang mendengar ucapan Paman Klungsu tertawa. “Ah, kamu mengada-ada saja. Cuma bawang goreng dan gerak tangan perempuan menyiduk nasi mengapa kamu begitu terkesan?” Jawaban Paman Klungsu keluar lagi setelah dia berdiam diri. Dia mengaku dirinya orang perasa sehingga mudah tersentuh oleh keanggunan yang tampak olehnya. Apalagi, tambahnya, keanggunan gerak Yu Binah ketika menyiduk nasi selalu disertai ketulusan yang nyata terlihat di wajahnya. *** Ini jam 9 pagi, lalu lalang di simpang tiga sudah mereda. Anak-anak sekolah, para guru, dan pegawai sudah lama sampai ke tempat kerja masing-masing. Yang masih berkendara lewat simpang tiga hanya orang-orang yang mau pergi atau pulang dari pasar. Udara mulai panas dan suara lengking peluit buat sementara tak terdengar. Karena tidak padat, arus kendaraan bisa mengalir lancar meskipun tanpa lengking peluit Paman Klungsu. Ke mana dia? Dengan bekal uang seribu lima ratus pemberian tiga sopir yang menyadari perut siapa pun harus diisi nasi, Paman Klungsu masuk ke warung Yu Binah. Di depan pintu warung lelaki pincang itu berpapasan dengan dua pedagang yang baru selasai makan nasi rames. Paman Klungsu duduk sendiri, meletakkan peluitnya di atas meja, lalu menyulut rokok. Yu Binah menyambutnya dengan senyum. Ah, Paman Klungsu tidak

akan melepaskan peluang menikmati keanggunan gerak Yu Binah ketika perempuan itu sedang menyiapkan nasi rames. Atau, barangkali Paman Klungsu sulit menjawab bila ditanya, mana yang lebih dia sukai, keanggunan gerak Yu Binah atau nasi ramesnya. “Yu, uangku cuma seribu lima ratus.” “Ya, tidak apa. Ah, sejak pagi kamu kerja keras tiup-tiup peluit di simpang tiga. Jadi perutmu tentu lapar. Sekarang makanlah sampai kenyang.” “Dengan uang seribu lima ratus ya, Yu?” “Ya, itu kan biasa. Kamu jangan terlalu perasa. Kamu sudah lama mengenal aku, kan?” Yu Binah memutar badan, mengambil satu piring lalu bergeser ke dekat wadah nasi, mengangkat ciduk. Paman Klungsu menatapnya dari samping dengan mata tanpa kedip. Rokoknya dibiarkan tak tersentuh di atas asbak dengan asap terus mengepul. “Itu betul sebuah lenggang yang pantes banget, dan aku tidak akan bosan melihatnya,” ujar Paman Klungsu dalam hati. Dan kemudian hatinya merasa sejuk seperti diguyur air ketika Yu Binah menyorongkan piring itu. Isinya penuh; nasi putih dengan taburan bawang goreng dan sayur buncis. Wadah sambal, botol kecap, dan segelas air putih disorongkan juga. “Ayo makan. Kamu tentu sudah lapar.” Suara itu terasa seperti dendang alam di telinga Paman Klungsu. Ketika sekejap menengadah, Paman Klungsu juga melihat wajah tulus itu. Mata yang jernih, senyuman yang polos, sederhana. Paman Klungsu menunduk, memperhatikan rokok di asbak yang hampir habis tanpa diisap. Menarik napas panjang, lalu menarik piring lebih dekat. Aroma bawang goreng membangkitkan seleranya. Dan Paman Klungsu sadar, harga nasi rames yang sedang dimakan pasti di atas seribu lima ratus. Selesai makan, Paman Klungsu minta diri dengan cara orang yang amat mengerti berterima kasih. Meskipun tahu dari jam sembilan sampai jam satu lalu lintas di simpang tiga tidak ramai, Paman Klungsu tidak mau terlalu lama meninggalkan tempat itu. Namun, sampai di depan pasar Paman Klungsu harus berhenti. Yu Binah memanggil-manggilnya dari belakang. Yu Binah berjalan tergesa-gesa, tangan kirinya menjimpit sesuatu dengan ibu jari dan telunjuk. Menahan rasa jijik. Tangan kanannya menutup hidung dan mulut. “He, ini, peluitmu tertinggal. Idih, ampun! Baunya busuk sekali,” kata Yu Binah dengan suara teredam oleh bungkaman tangan sendiri. “Peluitmu selalu kena ludah tapi tidak pernah kamu cuci ya? Idih, minta ampun busuknya!” “Begitu ya, Yu? Tetapi, peluitku amat penting. Bunyinya berkuasa mengatur simpang tiga,” jawab Paman Klungsu sambil berusaha menangkap peluit yang dilemparkan Yu Binah ke arahnya.

“Iya, lah, aku tahu. Namun, mengapa peluitmu yang punya kuasa itu harus bau busuk? Ah, cucilah barang busuk itu. He, dengar. Kamu jangan ke warungku sebelum peluit itu kamu cuci. Benar ya?” Paman Klungsu mengangguk dan tersenyum. Setelah Yu Binah berbalik, Paman Klungsu termangu sejenak. Mendadak dia tergoda untuk mencoba merasakan sendiri bau peluitnya. Maka lubang pada barang kecil itu didekatkan ke hidungnya. O, Paman Klungsu mendadak tersentak dan berkali-kali bergidik, lalu cuh! Kemudian Paman Klungsu berjalan terpincang-pincang sambil menunduk, pulang ke simpang tiga. Panas matahari menyengat kepalanya. Dan peluit sakti yang bau busuk itu tetap dalam genggaman. Ahmad Tohari, lahir di Banyumas, 13 Juni 1948. Sekarang menetap di Desa Tinggarjaya, Jatilawang, Purwokerto, Jawa Tengah. Karyanya yang paling populer novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk. Cerpennya “Anak Itu Mengencingi Jakarta” keluar sebagai Cerpen Terbaik Kompas 2015. Sampai sekarang di kampung halamannya Tohari tetap produktif menulis dan menjadi pembicara di sejumlah kota

CERPEN, KOMPAS, TRIYANTO TRIWIKROMO

Bukit Cahaya

Bukit Cahaya ilustrasi Ashady/Kompas PADA usia lima tahun, sebagaimana lelaki-lelaki kecil penggemar perkelahian yang lain, kau membayangkan malaikat adalah semut yang mampu menghajar seekor gajah. Tak lama kemudian kau juga membayangkan ia sebagai ulat yang bisa melahap gunung dalam sekali telan. Kau tidak pernah menyangka bisa saja bocah lain menggambarkan malaikat sebagai siput yang memangsa Adam dan Hawa yang sedang tidur lelap. Saat itu kau tidak menangis ketika seorang guru berbisik, “Malaikat itu mirip kuda terbang yang melesat ke langit dan tak pernah kembali.” Pada usia tujuh tahun, setelah mempelajari pendidikan agama dan mendengarkan aneka dongeng, kau ingin sekali menjadi pengendara kuda terbang. Kau pun mencari satwa lucu itu di hutan tak jauh dari perdesaan. Kau tidak menemukan

kuda terbang di hutan itu. Setelah dua jam berjalan tak tentu arah, kau malah bertemu dengan perempuan kecil seusiamu. “Namaku Hujan,” kata perempuan kecil itu. “Namaku Rinai,” katamu, “Aku ingin mengendarai kuda terbang. Aku juga ingin mencari cahaya bersama malaikat. Di desaku sudah tak ada lagi cahaya. Apakah kau tahu di mana cahaya disembunyikan?” “Tentu saja di Bukit Cahaya,” perempuan kecil itu menjawab. “Aku tak melihat ada bukit di hutan ini.” “Kau harus mencari dua hari ke arah barat untuk mendapatkan bukit itu. Pada hari pertama kau akan bertemu dengan sungai jernih dan sepasang kijang. Setengah hari kemudian kau akan bertemu dengan perempuan buta. Setelah itu kau baru bertemu dengan petapa penjaga bukit. Petapa itu yang akan menunjukkan di gua mana cahaya itu disembunyikan.” “Apakah kau mau menemaniku mencari bukit itu?” “Aku tidak bisa menemanimu. Aku harus segera kembali ke rumahku.” “Di mana rumahmu?” “Di dalam salah satu telur yang bertebaran di pantai.” “Di dalam telur? Telur raksasa?” Perempuan kecil itu tidak menjawab pertanyaanmu. Ia merasa kau telah bertanya sebagai pria bongkok yang teramat tua. *** “AKU akan meminta kupu-kupuku menemanimu,” kata perempuan kecil itu sambil merogoh saku, “Naiklah ke punggungnya. Segeralah melesat ke Bukit Cahaya.” Kau ragu-ragu. Kau merasa tak mungkin bisa berada di punggung kupu-kupu. “Ayo, jangan sampai terlambat!” Kau kemudian melompat ke punggung kupu-kupu itu. Kau kaget karena tiba-tiba sudah berada di punggung satwa indah itu. Kau tidak berani mempersoalkan apakah kau yang mengecil atau kupu-kupu yang berubah menjadi raksasa. “Mengapa kau ingin mencari cahaya?” kupu-kupu bertanya kepadamu. “Karena tanpa cahaya aku tidak bisa menggambar semut yang menghajar seekor gajah di hutan yang jauh dan terpencil.”

“Semut menghajar gajah?” “Ya. Aku juga tidak bisa menggambar ulat yang menelan gunung jika tidak ada cahaya.” Kupu-kupu terdiam. Satu pertanyaan lagi terlontar akan membuat ia seperti satwa tua yang hampir mati. *** PETUALANGANMU dengan kupu-kupu Bukit Cahaya bukanlah perjalanan mudah. Kadang-kadang kalian hampir ditabrak koloni burung yang sedang mencari raja mereka. Kadang-kadang kalian hendak bertabrakan dengan pecahan meteor. Kadang kalian dihantam badai atau pecahan benda-benda angkasa. “Apakah kau takut?” kau bertanya kepada kupu-kupu. “Apa yang harus ditakutkan?” kupu-kupu balik bertanya. “Apakah jika benda-benda angkasa itu menabrakmu, sayap-sayapmu tidak akan rusak? Apakah pecahan meteor tak membakar sayapmu?” “Sayapku tak pernah rusak. Sayapku tak pernah terbakar.” “Kalau begitu apakah kau bersaudara dengan malaikat?” “Apakah menurutmu malaikat tak pernah terbakar?” “Tentu saja tidak pernah.” “Ah, kau masih terlalu kecil untuk tahu segala yang terjadi di seluruh semesta.” “Apakah kau tahu segala yang terjadi?” Kupu-kupu itu tidak mau menjawab pertanyaanmu. Ia menganggap dalam sekejap kau telah menjadi pria konyol berusia 79 tahun. *** TENTU saja kau tetap berusia tujuh tahun ketika kupu-kupu itu makin mengajakmu meninggalkan hutan. Meninggalkan pohon-pohon. Meninggalkan bungabunga berduri. Meninggalkan ular-ular dan danau kecil. “Apakah kau tahu siapa perempuan kecil yang memintamu terbang bersamaku?” tiba-tiba kupu-kupu itu melontarkan pertanyaan tak terduga. “Sama sekali tidak tahu.” “Sebenarnya dia penyihir sekaligus pendongeng berusia 79 tahun.”

“Penyihir?” “Ya,” kata kupu-kupu itu, “Ia telah menipumu.” “Menipuku?” “Sebenarnya cahaya yang kau cari tak berada di barat. Cahaya itu memang berada di Bukit Cahaya, ditunggu oleh seorang petapa, tetapi berada di arah timur hutan. Cahaya itu sebenarnya muncul dari sorot mata seekor naga yang senantiasa tidur di dalam gua.” Kau tidak percaya pada ucapan kupu-kupu itu. Kau merasa sedang diuji untuk terus atau tidak mencari Bukit Cahaya. Kau merasa lebih baik mempercayai teman sebaya daripada ditipu makhluk lain. “Apakah kau keberatan jika tetap mengantarku ke arah barat? Jika keberatan, kau boleh menjatuhkan aku di sembarang tempat.” Kupu-kupu itu kaget. Kupu-kupu itu tidak menyangka kau akan taklid kepada perempuan kecil yang kini mungkin telah berada di dalam salah satu telur yang bertebaran di pantai. “Kau tidak takut jika jatuh ke jurang?” “Apa yang harus ditakutkan?” kau meniru kata-kata yang pernah diungkapkan oleh kupu-kupu. “Bagaimana kalau tubuhmu hancur dan kau mati?” kupu-kupu itu menakutnakutimu. “Apakah hancur? Apakah mati?” kau balik bertanya. Karena menganggap kau tak memiliki kekhawatiran sama sekali, kupu-kupu yang merasa telah teramat tua dan sebentar lagi akan mati itu justru kian bersimpati kepadamu. Bahkan jika boleh memilih, ia tidak akan menanyakan apa pun lagi kepadamu. Ia hanya ingin terbang secepat mungkin ke Bukit Cahaya. Ia hanya ingin menjalankan tugas indah terakhir sebagai kupu-kupu. “Ah, kau memang masih terlalu kecil untuk tahu makna hancur dan mati. Masih terlalu kecil. Masih terlalu kecil.” *** KAU berusia tujuh tahun lebih setengah hari ketika tiba di atas sebuah monumen. Kau melongok ke bawah dan mendapatkan 7.000.000 orang berpakaian serba ungu bersama-sama mengacung-acungkan pedang ke angkasa. “Siapakah mereka?” kau bertanya kepada kupu-kupu. Tak ada jawaban. Kupu-kupu menganggap itu bukan pertanyaan penting.

“Terbanglah sedikit ke bawah!” katamu, “Aku ingin melihat mereka!” Kupu-kupu menurut. “Siapakah mereka?” kau bertanya lagi. “Para pembunuh. Sejuta orang akan berusaha membunuh sejuta kuda terbang. Sejuta yang lain akan membunuh sejuta malaikat yang tersesat. Yang sejuta orang lagi akan membunuh seorang raja yang dianggap menista agama.” “Yang 4.000.000 orang?” “Mereka akan membunuh kita,” kata kupu-kupu sambil mengepakkan sayap ke arah yang lebih tinggi. “Mengapa mereka menjadi pembunuh?” Kupu-kupu tak mau menjawab pertanyaanmu. Kupu-kupu tak ingin mengatakan kepadamu betapa di kota ini memang tak ada lagi hukum. Sejak lama ditinggalkan oleh para wali. Sejak lama ditinggalkan nabi dan malaikat. “Di kota ini tak ada semut, ulat, dan siput ya?” kau teringat pada satwa-satwa yang sangat kau kagumi pada usia lima tahun. “Tentu saja tidak ada,” kata kupu-kupu, “Jadi, kita tidak perlu terlalu lama di sini. Jangan sampai kita terlambat menemukan Bukit Cahaya.” *** PADA saat berusia tujuh tahun lebih sehari kau meminta kupu-kupu menurunkan dirimu di tepi sungai. Kau menghampiri sepasang kijang. Salah seekor kijang berbisik kepadamu, “Kelak ketika kau berusia 79 tahun, peliharalah jutaan kupu-kupu dan kunang-kunang. Mereka akan menerangi rumahmu sepanjang waktu.” “Apakah kupu-kupu bercahaya?” kau bertanya. “Apa pun bercahaya pada saat kau berusia 79 tahun.” Kau terdiam. Kau tidak tahu apa yang bakal terjadi. Kau tak mau memikirkan apa yang bakal terjadi pada saat berusia 79 tahun. “Sekarang terbanglah lagi bersama kupu-kupumu.” Kau pun terbang lagi. *** PADA usia tujuh tahun lebih satu setengah hari kau meminta kupu-kupu menurunkan dirimu di tengah hutan. Pada saat itu, mungkin siapa pun menganggap sesuai nubuat, kau bertemu dengan perempuan buta. Kau takjub memandang perempuan bergaun serbahitam dan bersayap itu.

“Tak perlu takjub pada apa pun. Sebentar lagi dunia hancur. Tak ada lagi yang perlu dilihat,” kata perempuan itu. Kau tidak paham pada apa pun yang dikatakan perempuan itu. Kau merasa bertemu dengan hantu. Kau ketakutan. Kau pun segera bergegas meminta kupu-kupu membawamu terbang ke arah barat, ke Bukit Cahaya. *** TEPAT pada usia tujuh tahun lebih dua hari kau benar-benar bertemu dengan seorang petapa. Tak mudah bertemu dengan sang petapa. Mula-mula badai gajah— besar kecil kurus gemuk—bertebaran menghalangi kupu-kupu yang kian payah terbang. Setelah itu koloni kelelawar, beberapa planet kecil, dan puting beliung yang mengusung bangkai burung menabrak tubuhmu yang kian ringkih. Memang segalanya cepat berakhir. Namun tak mudah juga menemukan cahaya di dalam gua. Sang petapa—yang segala penampilannya mengingatkanmu pada perempuan 79 tahun—memintamu menjawab beberapa pertanyaan terlebih dulu. “Apa yang kau cari?” “Cahaya,” katamu. “Tak ada cahaya. Yang ada kau yang telah bercahaya.” Kau tidak tahu makna ucapan sang petapa. Kau tetap merengek agar diperbolehkan mencari cahaya di dalam gua. “Siapa yang akan menemanimu mencari cahaya?” “Kupu-kupu,” katamu. “Tak ada kupu-kupu. Yang ada kupu-kupu yang telah menjadi cahaya.” Kau juga tak tahu makna ucapan sang petapa. Namun kau memang tak lagi bisa melihat kupu-kupu. Kau justru melihat semacam satwa bersayap merah yang menyilaukan mata. “Sekarang jawab pertanyaan terakhirku,” kata sang petapa mengajakmu memasuki gua yang sangat gelap sehingga kau tidak bisa melihat apa pun. “Siapa aku?” sang petapa bertanya. “Penjaga bukit,” katamu. “Tak ada penjaga bukit.” “Tak ada?” “Tak ada.”

Kau bingung. Kau merasa dipermainkan. Meskipun begitu kau berjanji tidak akan keluar dari gua sampai cahaya itu kau temukan. Kau menunggu sang petapa berubah jadi cahaya. Kau menunggu gua berubah jadi bagian terindah dari Bukit Cahaya. Kau menunggu pendongeng cilik segera datang dan menunjukkan kepadamu betapa kisah tentang Bukit Cahaya bukanlah cerita bohong untuk para pencari cahaya. Mengapa tak meninggalkanmu?

kau

telan

saja

seluruh

bukit

agar

kegelapan

segera

Triyanto Triwikromo adalah penerima anugerah Tokoh Seni Pilihan Tempo 2015 (bidang puisi) untuk buku Kematian Kecil Kartosoewirjo. Ia juga menerima Penghargaan Sastra 2009 dari Pusat Bahasa untuk antologi cerpen Ular di Mangkuk Nabi. Ia antara lain menulis Sesat Pikir Para Binatang (kumpulan cerpen 2016), Celeng Satu Celeng Semua (kumpulan cerpen, 2013), dan Bersepeda ke Neraka (kumpulan cerita ringkas, 2016). Sepanjang 2003-2015 telah 13 cerita Triyanto masuk Cerpen Pilihan Kompas

CERPEN, KOMPAS, RADHAR PANCA DAHANA

Saat Maut Batal Menjemput

Bukit Cahaya ilustrasi Ashady/Kompas AKU tahu, di tiap “sakit itu”, “tak siapa pun di situ”. Kesendirian, kadangkala juga sebuah kesunyian, memang adalah watak sakit yang sebenarnya. Tapi tidak kali ini. “Sakit ini”, rasa sakit yang ada sekarang ini, bahkan “aku pun tidak di sini”. Entah kenapa. Aku belum paham, apakah ini hikmah atau jati diri sakit yang sesungguhnya. Yang melampaui kesadaran biologis bahkan kepekaan psikologisku. Ah… aku…aku sesungguhnya tidak cemas pada “sakit ini atau itu”, aku juga tidak peduli ini watak atau jati diri sakit yang sesungguhnya atau bukan. Apa yang kucemaskan hanyalah kesadaran dan kepekaan itu. Adakah aku masih memilikinya? Aku mencoba paham, jangan-jangan aku sudah “mengatasi” sakit itu, atau ini keadaan yang “meng-atas-i” sakit ini? Aku mencoba sekuatnya untuk merasakan, menghayati, sebagaimana biasanya sakit semacam ini datang padaku. Tapi aneh, bahkan ajaib, untuk pertama kali aku tidak bisa mempekerjakan kesadaran fisiologis juga kepekaan psikologisku. Akal? Sejak mula sebenarnya sudah tidak bekerja. Ia berhenti dengan sendirinya. Ia bukan lagi sentrum atau pusat di mana seluruh

kapasitas berbicara tubuh dan perasaanku ditentukan. Akal adalah bagian yang lebih cepat mati. Mati? Jangan-jangan tak hanya akalku. Menurut ukuran medis di Amerika Serikat yang kutahu, kematian (biologis setidaknya) ditentukan oleh daya kerja otak, sebagai bagian paling sentral dari kehidupan (yang mereka percaya, tentu saja). Sebagai orang yang bukan-Amerika, sekurangnya menolak menjadi bagian dari sejarah peradaban mereka, aku tidak begitu peduli atau tergantung pada otak alias akal. Aku hidup dengan mengoperasikan secara lebih kuat daya kerja fisik dan mental-emosional. Katakanlah secara sempit dan reduktif, refleks dan rasa. Begitupun kali ini, di tingkat “sakit ini”. Seluruh daya kukerahkan untuk mempekerjakan kekuatan, ilmu hingga kesadaran biologis dan psikisku. Namun sekian lama, sekian waktu yang kuanggap lebih dari cukup, aku tak merasakan apa-apa, tak menyadari apa-apa. Apa tubuh dan emosiku sudah tidak bekerja lagi? Atau ia mati akibat kematian otakku? Tidak. Tubuh dan emosi adalah ilmu dan kesadaran, budaya dan peradaban tersendiri, kadang lebih kuat dari akal. Tapi kini keduanya diam, sunyi sendiri. Apakah mereka pun mati? Apa artinya sesungguhnya sakit ini adalah mati yang sejati? Namun mengapa aku masih bisa melihat? Dengan penglihatan apa, dengan mata yang mana? Memang, pemandangan yang kulihat berbeda dari biasa. Langit, awan dan bintang misalnya nampak hanya sebagai kejembaran atau keluasan yang tak membutuhkan tepi bahkan isi. Kekosongan ini memenuhi pandang, bahkan mataku. Bahkan seluruh diriku kini seakan menjadi mata. Mata apa ini? Mataku yang mana? Mata siapa? Kosong ini memadati aku seperti tenaga yang terus mengumpul tiada henti, dengan daya atau kekuatan tak terperi. Aku seperti noktah dengan gravitasi terbesar yang segera akan menciptakan bang, semacam ledakan yang sangat hebat. Seperti ereksi yang tak mungkin ditahan oleh kejadian atau perasaan apa pun. Beginikah kematian, puncak semua kesakitan, melenyapkan keseluruhan diri dengan ledakan besar untuk mengisi kosong yang penuh ini? Bagaimana aku sanggup menanggungnya? Tidak…tidak aku tak sanggup, Tuhan. “Memang…bagaimana kau sanggup? Kau cuma manusia…cuma.” “Betul. Apa daya manusia di keluasan, kepenuhan semesta.” “Kamu bukan apa-apa…” “Betul aku bukan apa-apa.” … “Lalu, aku apa?” “Kamu sekadar mata.” “Mata? Maksudmu?”

“Kamu hanya penglihatan. Hanya bisa melihat. Mungkin memahami, sedikit. Tapi tak bisa menyentuh…merasakan, memiliki…menciptakan, apalagi.” “Oh…betul. Tapi mata ini saja sudah begitu luar biasa. Hingga apa yang kulihat tak mampu menangkapnya, menyimpan atau mencernanya. Tak ada sel otak manapun, bahkan kata, huruf sekalipun dapat tersusun untuk memahami semua…semua yang ada pada mataku saat ini.” “Inilah kenyataan kedua. Kenyataan yang harus kau baca.” “Harus kubaca? Melihat pun aku tak bisa seluruhnya.” “Apa kamu beragama?” “Tentu saja.” “Pernahkah kau membaca kitab-kitab dalam agamamu?” “Tentu.” “Untuk apa?” “Kewajiban.” “Apa tujuannya?” “Ya…memahami, isinya.” “Pahamkah kamu?” “….Saya tak tahu, tak bisa menilai.” “Apa sebenarnya paham itu?” “Aku tak mengerti maksudmu…?” “Paham itu bukan melulu mengerti arti, tersirat atau tersurat.” …. “Bukan sesuatu yang teranalisa, tersimpan dan tercerna dalam 1.300 cc isi otakmu. Bukan hal yang melulu akal.” “Maksudmu…” “Huruf terlalu terbatas dan miskin, bagi paham yang sebenarnya. Bagi kenyataan yang terlalu besar untuk tertangkap dan dicerna indera. Seluas apa pun akal dan imajinasi, ia hanya sungai di samudera hidup sesungguhnya.” ….

“Sesungguhnya paham harus terjadi di seluruh bagian dirimu.” “Bukan hanya pikiran?” “Jantung, jempol, mata, rambut, tungkai, usus, batin, emosi, semua.” “Bagaimana…?” “Pertanyaannya keliru. Jawaban pasti juga salah. Berhentilah hidup hanya dengan akal. Tubuhmu terlalu hebat hanya untuk diperintah, diakali akal.” “Sungguh…aku tak paham.” “Keluarlah dari huruf. Temui kenyataan dan hidupmu sebenarnya, dengan seluruh yang ada dalam dirimu. Dapatkanlah ilmu dalam jiwamu, dalam batinmu, dalam betismu, dalam jakunmu, gigimu, dalam langkahmu…” “Bagaimana…bisa?” “Tidak akan bisa. Karena kamu sudah terjebak sejak dini. Dalam huruf.” “Tapi tulisan, itulah kebudayaan, kemajuan manusia, hidup sebenarnya?” “Kebudayaan yang membuat keliru manusia, begitu lama.” Bibir misteri itu tersenyum, membuat langit terbuka dan seperti sebuah mata mengintip di baliknya. “Hah? Jadi…” “Jadilah mata sesungguhnya, untuk membaca…” “Membaca apa? Melihat pun tak bisa.” “Karena kau merasa ini matamu yang dulu, mata yang biasa, di kepala.” “Maksudmu…ini mata yang lain lagi? Mata hati begitu?” “Mata seluruh dirimu.” “Diri yang menjadi mata?” …. “Mata sebenarnya mata?” …. “Mata yang melihat nyata yang sebenarnya nyata?” Tersenyum lagi.

Kali ini langit lenyap. Semesta kosong, suwung. Aku tak dimana, tapi di sana. Semua senyum semata. *** SEJAK tadi, ya sejak tadi, aku berdialog. Begitu saja. Tanpa kesadaran, seperti dengan diri sendiri, seperti mimpi yang menguap. Begitu saja. Tapi…yang ini, bukan mimpi. Di depan mataku kini muncul satu wajah. Bukan ilusi atau fana. Nyata sebenarnya nyata. Wanita pula. Wanita yang tersenyum. Ya, senyum yang tadi. Senyum yang seperti ironik, mengejek, juga senang dan bahagia karena jawaban-jawaban terakhirku tadi? Monalisa? Bukan. Ia lebih sempurna, jauh lebih indah, terlebih kedalaman samudera di balik pandangannya. Ia memandangku dengan cara yang membuatmu tak berdaya karena ia memenuhi seluruh kosong yang sebelumnya memadatiku. Sinar matanya seperti riwayat jutaan tahun peradaban manusia, menukik ke bagian terdalam hati, merenggut dan menenggelamkanku, untuk selamanya. Untuk selamanya. Mengapa? Karena aku merasa seperti mendapat bantalan tidur yang tidak memberi sedikit pun rasa ingin untuk bangun. Aku henyak, seperti duduk di pelaminan Adam. “Apa kamu Eva?” “Aku adalah semua hawa yang kau butuhkan untuk kosongmu.” Ah…kalimat itu diakhiri oleh nafas yang menghembuskan udara dimana molekulmolekul penyusunnya bukan hanya menghidupkan makhluk, tapi juga benda mati. Inilah nafas Kun, benih yang menghidupkan. Begitu pun aku. Barang mati karena sakit ini. Dan apa yang dilakukan wanita sepenuh semesta di hadapanku ini selanjutnya, adalah mimpi semua lelaki dari masa paling purba. Termasuk, tentu saja, penderitaan lelaki yang sepanjang sejarah kebudayaannya sambil berurai airmata harus menindas perempuan karena inferioritasnya di hadapan perempuan. Wanita ini membebaskanku. Menjadikanku lelaki sesungguhnya lelaki, memberi rasa bangga dan penghormatan sesungguhnya. Menjadi manusia sempurna dalam inferioritasnya. Ia meladeniku jauh lebih baik dari cara terbaikku untuk meladeninya. Ia mengasihiku jauh lebih indah ketimbang cinta termulia yang kurasa dapat kuberikan padanya. Ia melengkapi semua yang kosong seperti melesapnya air ke celah rendah manapun yang ia lewati. Tanpa pamrih, apalagi prasangka. Aku sungguh merasa menjadi lebih manusia, manusia-sempurna ketika ia membiarkanku membaca, mengenali dan memahaminya lebih dalam. “Ternyata kamu ada memang untuk menjadi bacaan terbaikku.” Ia tersenyum.

“Menjadi pintu terbaik atau bahkan satu-satunya untuk memahami makna dari semesta tak terkatakan ini.” Ia memeluk. “Eva…kamu bukan hanya kesempurnaan Itu sendiri.”

potongan

yang

melengkapi,

tapi

memang

Ia mencium. “Eva…tetaplah di sini. Selamanya. Atau kau akan membuatku jadi puing hina, sia-sia.” Ia menggeluti seluruh inci dan saat hidupku, menciptakan kenyamanan yang bahkan nyawa tak mampu membayarnya. Aku tak kuat menahan airmata untuk kebahagiaan surgawi ini. Eva…kaulah surga sesungguhnya. Aku tak membutuhkan lagi apel, buah apa pun, pohon apa pun, karena kau pohon dan buah itu yang sebenarnya. Tolong, jangan renggut dirimu dariku, renggut aku dalam dirimu. Ya Tuhan, mengapa Kau memberi nikmat yang begitu berlebih ini. Jangan…jangan, Tuhan. Janganlah berlebih begini, karena pasti aku tak mampu menanggung bayi yang pasti lahir dari surga yang kumiliki ini, yakni bayi kecemasan. Cemas karena Kaulah yang menghadirkan dan meluputkan surga…Eva, wanita bagi semua Adam ini. “Eva…kamu dengar itu?” Hmm…ia memagutku. “Eva, dengar. Dengar ketakutanku itu?” Hmmhh…ia merasuk ke seluruh celah kenikmatan dan menutup seluruh pandang. “Eva…ehh…jangan kamu pergi…ok?” Ia tak bersuara, seperti kebisuan perempuan mencipta peradaban manusia pada intinya. “Eva…ehhh…” …. “Ehhh…ehhhh….” Ya Tuhan, maaf…maaf, tak mampu aku menanggung kebahagiaan seperti ini. Pluk… Ada tetes, ya airmata yang jatuh. Tapi bukan punyaku. “Eva…”

Pluk… “Kamu menangis?” Langit basah, semesta pun samudera airmata. “Mengapa…mengapa menangis?” Ia hanya bisu. Tapi matanya seperti dulu. Dengan laut yang lebih dalam, sehingga tak ada malaikat maupun iblis mampu menjangkaunya. “Eva….” Aku tak tahu apa yang terjadi. Dengan muka yang kuyup…entah sedih atau gembira seperti terlukis di bibirnya…wanita segala nabi itu seperti gambar yang merabun menjelang magrib tiba. Menjauh. “Mengapa…mengapa Eva?” Ia tetap menjauh. Tangan tak menggapai, jiwa pun tak sampai. Kecemasan itu bertamu selekas dan sekuat kepergian itu. Apa yang terjadi? “Mengapa…mengapa, Tuhan?” Aku ingin berteriak. Tapi Eva seperti lenyap juga sebagai nama. Berganti ketakutan yang datang seperti kepepatan dimana satu elemen udara pun tak tercipta untuk menghasilkan nafas. Semua terasa menghimpit dan sesak. Bahkan airmata tak tersisa. Hanya sakit. Ya rasa “sakit itu”. “Sakit ini” pun bersatu. Tuhan. *** Gelap. Dengan putus asa atau frustrasi yang begitu genap, aku memejamkan mata. Menghilang pandang. Aku ingin buta. Aku buta. Aku tak perlu mata. Betapa hikmah besar itu tak tertanggungkan dalam kekerdilan manusiaku. Gelap…cuma gelap yang kita rasa mampu menghindari kita dari cemas dan takut yang luar biasa. Namun kau pun paham. Itu sia-sia, tipudaya percuma. Gelap justru mendatangkan cemas yang memalu hatiku kian pilu. Tuhan, betapa sakitnya. Betapa sunyi dan sendirinya, sakit seperti ini. Kenapa gelap tak mampu menutupinya, kenapa cahaya juga tak kuasa mengusirnya. Tuhan, apa mesti kuperbuat? Masihkah aku membutuhkan mata. Mata mana lagi? “Bukalah matamu, Adam.” ? “Hei bukalah matamu!”

?!! Eva? “Eva siapa? Buka matamu, jangan bersandiwara lagi. Eva siapa?” Plak! Aku merasakan sakit, kali ini di pipi. Pipi? Plak, plak! Ya, pipiku terasa perih, sakit bener, sehingga seperti refleks aku membuka mata. “Apa yang kamu pikirkan, lamunkan? Perempuan itu lagi? Eva sekarang, namanya?” Sekarang aku benar membuka mata, memandang. Dan sebuah pandangan di depan menghadang. Pandangan kenyataan: seorang perempuan hampir empat puluhan, dengan tubuh yang coba ia pelihara dengan baik. Tegak di depanku, dengan mata tajam, berupaya lebih tajam dari pisau Swiss, tapi tak berhasil karena keluar negeri manapun ia tak pernah. Ya, aku kenali sekali siapa yang menghadang pandangku itu. Dia perempuan yang puluhan tahun ini bersamaku. Istri, istilah umumnya orang. Perempuan yang sudah memberi empat anak, dan menurut dia, membantuku untuk mendapatkan jabatan sebagai general manager di perusahaan exim tempatku bekerja sekarang. Ia sungguh memandangku dengan serius, dan sinarnya seperti cahaya LED TV terbaruku, atau suratkabar, atau buku sejarah yang mengisahkan sejarah perempuan dengan riwayat-riwayat dahsyat tapi mengalami penindasan permanen oleh kebudayaan yang menurut mereka diciptakan lelaki. Dan aku adalah kumpeni yang dilawan habis-habisan oleh keadaban padat dendam itu. “Dik…” “Tidak perlu dakdik dakdik…aku mau kamu jawab jujur saja…siapa Eva?” “Aku gak tahu, Dik…gak ngerti.” Plak!! “Dik!” Bibir perempuan itu tidak perlu monyong untuk cemberut atau marah. Tapi monyongnya itu, yang ia sebut seksi, memang menjadi penggoda banyak pria saat aku dulu coba memacarinya. Aku sukses. Ya menikahi dia. Menikahi sejarah masa depan yang hampir membuatku menyesal menjadi lelaki. Aku tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Seperti animasi yang berulang, suara berdebam yang melewati tiga dinding tetangga akan menjadi musik pembuka saat ia

membanting pintu kamar tidur. Lalu seharian ia tidak keluar. Dan keluar beberapa lama setelah aku keluar rumah menjalani general managerku. Bila aku tidak bisa memberi jawaban memuaskan mengenai “siapa Eva”, tragik masa depan itu terjadi lagi, jadi semacam tradisi. Aku bangun menjelang subuh, bebenah sendiri, membuat sarapan sendiri, makan sendiri, melap mobil sendiri, memanaskannya, dan berangkat sendiri, tanpa satu pun bisa kusalami. Sampai bila? Siapa bisa menerka. Karena hingga bila aku bisa menjawab pertanyaan absurd itu: “siapa Eva”? Aku memang tak mengenalnya. Tahu atau ingat pun tak. Hanya seolah ia bayangan yang sangat buram yang pernah menjadi bagian ingatan dari kulit, daging, kepala, hingga mataku. Tapi siapa? Sesungguhnya aku tidak berani mengorek lebih dalam lagi. Memang masih ada getar aneh yang membuat kudukku meremang, seperti saat aku melihat Jennifer Lawrence berakting atau Adele bernyanyi. Hanya ada satu perasaan gelap sembunyi di situ, ketakutan mengerikan yang tak mampu aku tanggungkan. Apa? Siapa? Mautkah jangan-jangan itu? Aku tak berani spekulasi lebih jauh. Saat makan siang tiba. Aku membuka tas dan mengeluarkan kotak plastik dimana udapan yang kumasak sendiri menjadi pengisi lunch time-ku. Di meja general manager ini. Sendiri. Radhar Panca Dahana, terpilih sebagai Tokoh Budaya dari Badan Bahasa, Kemendikbud RI serta dianugerahi harian Kompas, Cendekiawan Berdedikasi. Bukubukunya, Teater dalam Tiga Dunia (2013, Jakarta: Kemendikbud), dan Manusia Istana (2015, Yogya: Bentang Pustaka), dan Kebudayaan dalam Politik: Kritik pada Demokrasi (2015, Jakarta: Penerbit Mizan)

CERPEN, INDRA TRANGGONO, KOMPAS

Sumur Gumuling

Saat Maut Batal Menjemput ilustrasi Radhar Panca Dahana/Kompas Di Sumur Gumuling itu, jarum arloji tak lagi menyimpan kecemasan didera waktu. Di sini, waktu telah istirah, rebah dalam pelukan sunyi yang perkasa. Namun, gemuruh perasaan tetap saja memenuhi rongga dada laki-laki itu. Perasaan gamang yang menerbitkan rasa bimbang mengiringinya memasuki lapisanlapisan labirin hingga ia sampai di Sumur Gumuling. Penampang sumur yang menyerupai lubang kue donat itu menyergapnya. Juga retak-retak bangunan tembok yang mengabarkan bangunan itu telah berusia ratusan tahun. Mata laki-laki itu menyapu ruang sekitar. Bulu kuduknya kontan meremang tapi dia tetap bertahan. “Di Sumur Gumuling, kamu bisa bertemu dengan Pangeran

Jonggring. Bertanyalah soal nasibmu dan keselamatanmu.” Begitu guru spiritual lakilaki itu berpesan. Meskipun disebut Sumur Gumuling, situs ini sangat jauh dari bayangan orang tentang sumur pada umumnya. Tak ada air di sana. Apalagi kerek dan tali timba serta ember. Yang bisa ditemui hanyalah lubang dengan ukuran sekitar 10 meter, dengan kedalaman sekitar 50 meter. Di sekitarnya terdapat lima tangga terbuat dari susunan batu bata. Tangga itu menyatu dengan tembok tinggi yang mengepung. Tak ada atap. Orang pun bisa menatap bulan dan bintang-bintang, saat langit terang. Banyak orang percaya, dulu di Sumur Gumuling raja-raja Mataram sering semedi untuk mendapatkan pencerahan berupa wisik, bisikan gaib atau ilham. Malam telah matang ketika laki-laki itu telah sampai di dasar Sumur Gumuling. Dia pun termangu. Beberapa kali dia menghela napas agar jantungnya kembali normal berdegup. Sekaligus juga untuk memompa nyalinya. Lama dia menunggu munculnya Pangeran Jonggring. Dia telah menyiapkan segepok pertanyaan. Namun, yang ditemui hanyalah kesunyian. Gelisah pun mulai berkecambah. Pulang adalah pilihan terbaik, begitu dia membatin. Ketika dia hendak balik arah, mendadak muncul seorang berwajah dan berpostur tubuh sama persis dengan dirinya. Laki-laki itu terpana mengamati sosok laki-laki asing yang kini berdiri hanya berjarak satu meter dari dirinya. Rambutnya ikal, persis dengan rambutnya. Wajahnya oval, sama dengan wajahnya. Tubuh dan gerakannya pun tak bisa dibedakan dengan dirinya. Bedanya, laki-laki yang dijumpainya itu mengenakan baju dan sarung serba putih, sedangkan ia mengenakan baju coklat muda dan celana hitam. “Maaf, apakah kisanak ini Pangeran Jonggring?” Laki-laki itu masih bisa menangkap wajah orang asing dalam temaram sinar lampu minyak yang menempel di dinding. Abdi dalem keraton selalu menyalakan lampu itu, setiap hari. “Bukan. Aku adalah dirimu. Namaku Abinaya.” Sosok asing itu mengulurkan tangannya, menjabat tangan laki-laki itu. Kontan laki-laki itu kaget. Nama itu sama dengan nama dirinya. “Namamu juga Abinaya? Benar, nama kita memang sama.” Sosok misterius itu seperti bisa membaca pikiran dan perasaan laki-laki itu. Laki-laki itu disergap rasa heran tapi juga kagum. “Tapi namaku Abinaya Agrapana…” Laki-laki itu mencoba mengelak. “Sama. Namaku juga Abinaya Agrapana,” ujar sosok asing itu. “Bagaimana mungkin bisa sama?” “Segala kemungkinan bisa saja terjadi.” “Tapi kenapa wajahmu tampak sedikit lebih tua dariku?”

“Akulah masa depanmu.” Sosok asing itu tersenyum. Laki-laki itu terdiam. Tampak berpikir. Rasa heran semakin berkecambah di benaknya. Masa depan? “Benar. Akulah dirimu saat kamu nanti berusia 75 tahun. Tentu, jika kamu masih diberi hidup.” Laki-laki itu kembali terdiam. Pikirannya sibuk menghitung usianya sekarang, yang menginjak 51 tahun. Kembali ditatapnya sosok asing itu. “Ternyata aku tidak tampak renta dalam usia 75 tahun nanti,” dia membatin. Kebahagiaannya pun berbuncah saat mengetahui bahwa pada usia 75 tahun nanti dirinya masih tampak gagah, dengan aura wajah yang bercahaya, tidak seperti kondisinya sekarang yang keruh dan gelap. Gumpalan perasaan yang semula menekan rongga dadanya pun mencair. “Kenapa kisanak menjumpaiku? Apakah kisanak ini utusan Pangeran Jonggring? Jika benar, bolehkan aku menyampaikan beberapa pertanyaan?” Sosok lelaki itu tersenyum. “Siapa Pangeran Jonggring? Di sini tak ada siapasiapa, kecuali kesunyian. Dan kenapa kamu heran dengan pertemuan kita? Sejak ada dalam kandungan ibu kita, aku sudah hidup dalam darahmu, dalam detak jantungmu….” “Kenapa selama ini kita tidak saling mengenal?” “Karena kamu telah jadi orang asing bagi dirimu sendiri. Bahkan, kamu tak pernah mendengar semua ucapanku yang kukirim melalui gelembung-gelembung darahmu. Juga saat kamu terjerat perkara gawat ini.” Laki-laki itu tersengat. Darahnya berdesir. Wajahnya tampak tegang. “Kisanak tahu perkaraku?” “Aku tahu sejak pikiranmu bekerja, menyusun taktik untuk mengambil uang proyek bantuan pendidikan anak-anak yatim dan orang-orang miskin dari kas negara….” sesak.

Laki-laki itu kembali tersengat. Jantungnya berdetak keras. Dadanya terasa

“Waktu itu, aku sudah bilang, jangan ambil hak orang lain. Apalagi hak anak yatim dan orang miskin. Tuhan pasti marah.” Dada laki-laki bertambah sesak. Keringat dingin mengalir deras dari jutaan poriporinya. “Tapi kamu nekat. Kamu bersengkongkol dengan wadya balamu di departemenmu dan orang-orang parlemen. Kalian ramai-ramai mengarang proyek. Menyutradarai banyak orang untuk meyakinkan bahwa proyek itu nyata. Dana pun

mengucur yang kalian tampung dalam baskom kerakusan. Kalian minum darah anakanak yatim dan orang miskin. Tanpa malu….” “Maaf, saat itu aku khilaf.” “Khilaf kok rutin!” “Maaf, waktu itu ada setan lewat, masuk dalam otakku….” “He. Jangan mencatut nama setan! Bisa marah dia. Setan itu sama sekali tidak terlibat dalam perkara ini.” “Maksudku bukan setan, tapi iblis….” “Iblis apalagi. Dia sudah lama pensiun. Dia sudah putus asa jadi penggoda manusia, karena ternyata manusia jauh lebih cerdik, culas, licik daripada iblis. Cepat minta maaflah pada iblis, sebelum dia meremas jantungmu.” Kepala laki-laki itu merasa dihantam palu besar. Pusing yang membadai membuat ia hampir jatuh. Beruntung, tangannya bisa meraih tembok. “Berapa triliun uang yang telah kamu curi?” “Saya tidak sempat menghitung….” “Kenapa kamu datang ke Sumur Gumuling? Mau tobat? Minta ampun pada Tuhan?” Laki-laki itu terdiam. Sunyi menguasai ruang. Hawa mendadak berubah sangat dingin. Mendadak terdengar suara gemuruh, seperti tembok runtuh. Laki-laki itu pontang-panting menyelamatkan diri. Beberapa saat kemudian suara gemuruh berubah auman suara binatang. Dari balik kegelapan, muncul binatang menyerupai macan. Hitam. Matanya bercahaya. Binatang itu menerjang laki-laki itu hingga terjerembap di lantai. Kukukukunya yang tajam mencakar-cakar hingga tubuh laki-laki itu bermandi darah. Binatang itu hendak merobek leher laki-laki itu, tapi dicegah sosok asing. Binatang itu pun menyelinap dalam gelap. “Kenapa takut? Binatang itu tadi adalah dirimu sendiri!” “Kenapa dia malah menyerangku?” “Binatang itu adalah kerakusanmu. Dia kelaparan. Dia ingin memakan tubuhmu. Jiwamu….” Jiwa laki-laki itu tergedor. Menggigil. “Apakah semua ini pengadilan bagiku?”

“Ooo ini baru sebagian. Bahkan sebagian sangat keciiil.” Laki-laki itu gemetar. “Kenapa kamu lari dari pengadilan? Berapa duit yang kamu berikan kepada mereka yang memasukkan perkaramu ke dalam peti es? Berapa?” mata sosok asing itu menyala, “Perkaramu tidak bisa dibekukan karena di dalamnya ada api kemarahan anak-anak yatim dan orangorang miskin. Api itu berkobar. Membakar hingga melelehkan peti es perkara yang kalian sangka kuat.” Laki-laki itu menunduk. Jiwanya terasa pedih disayat-sayat kalimat sosok asing itu. Dia mencoba menggerakkan tubuhnya. Terasa sangat ngilu. Perih. Panas. Dirasakan ada ribuan kalajengking yang merayap dalam tubuhnya. Mereka berdesakdesakan, saling menindih bagai cendol. Kalajengking-kalajengking terus bergerak. Menyebar. Menyegat dan menebarkan bisa. Racun itu diserap darah, menyebar ke seluruh tubuh. Tubuh laki-laki itu membengkak. Melepuh. Menggelembung, seperti balon raksasa. Tiba-tiba tubuh laki-laki itu meledak, tanpa suara. Serpihan-serpihan tubuh terserak di lantai. Lalu terurai, menjadi kristal-kristal yang lenyap dalam udara. *** Laki-laki itu membuka mata. Selang infus menancap di nadi tangannya. Beberapa wajah yang semula tampak kabur, kini semakin jelas. Ada wajah hakim, jaksa, polisi, kepala departemen, pengusaha, orang-orang parlemen dan orang-orang politik. Laki-laki itu berusaha keras mengingat, siapa saja yang kini membesuknya. Beberapa nama dia ingat. Beberapa nama dia lupa. “Kami bersyukur, bapak Abinaya Agrapana tetap selamat. Tim SAR menemukan bapak dalam keadaan pingsan di Sumur Gumuling. Tempat itu memang terkenal gawat….” Salah seorang pembesuk menunjukkan selembar surat berisi pemberhentian penyidikan perkara. “Tapi, sekarang bapak bisa tenang. Karena ada surat ini. Silakan baca, Pak….” Laki-laki itu hanya bisa melihat huruf-huruf yang tampak berjatuhan dan kabur. Seorang koleganya mencoba membacakan surat itu, lirih, tepat di telinga laki-laki itu. Namun, yang dia dengar adalah raungan binatang hitam lalu disusul jeritan anak-anak yatim dan orang-orang miskin. Laki-laki itu meronta, menutupkan selimut di wajahnya. Dia terus meronta. Mencoba berlindung di balik selimut yang membungkus seluruh tubuhnya. Orang-orang panik. Seorang dokter langsung datang. Memberikan pertolongan. Siap dengan suntikan penenang, dokter itu membuka selimut yang membungkus lakilaki itu. Namun, yang mereka lihat bukan pasien bernama Abinaya Agrapana, tapi belatung raksasa. Beberapa kejap kemudian, belatung itu tiba-tiba meledak. Mencipratkan cairan bau anyir. Tubuh dokter dan para pembesuk basah kuyup. Seluruh ruangan pun tergenang cairan busuk.

INDRA TRANGGONO, penulis cerpen dan esais untuk soal-soal kebudayaan dan sosial, tinggal di Yogyakarta. Dua buku cerpennya yang sudah terbit: Iblis Ngabek dan Sang Terdakwa serta disusul Menebang Pohon Silsilah. Cerpennya telah masuk dalam buku Cerpen Pilihan Kompas sebanyak 11 kali. Pada tahun 2015, ia menerima penghargaan Kesetiaan Berkarya dari Harian Kompas.

CERPEN, KOMPAS, SUPARTIKA

Gugatan

Gugatan ilustrasi Poppy Rahayu/Kompas Sudarma meninggal siang tadi karena serangan jantung, dan sore ini mayatnya dikubur di sebuah kuburan tua yang ditumbuhi rumput ilalang yang tingginya selutut, dan rohnya dilempar ke neraka oleh malaikat. Andaikan saja ia tidak mendengar jeritan dan raungan orang-orang yang tersiksa, dan melihat jilatan api di kejauhan, pasti ia akan menganggap dirinya tersesat di sebuah kegelapan malam dengan gelap yang tiada ampun. Ketika kesadarannya belum pulih benar, dua penjaga neraka dengan tubuh gempal hitam, wajah bengis, dan bertaring tiba-tiba menyeretnya. “Bajingan, kau mau bawa aku ke mana?”

Sudarma membentak dan mencoba melawan, tetapi tak digubris. “Kau mau bawa aku ke mana?” Lagi-lagi tak ada jawaban. Kedua penjaga itu berjalan lurus menembus kegelapan malam sambil menyeret tubuh Sudarma. Setelah melewati jalan dengan kobaran api di kiri dan kanannya, ia diseret melewati anak tangga yang tinggi, entah berapa jumlahnya. Mungkin 2.222 anak tangga, atau mungkin 22.222 anak tangga, atau bahkan 222.222 anak tangga. Sampai di puncak anak tangga, tubuhnya dilempar, seperti melempar bangkai anjing ke sungai dan ditinggalkan begitu saja. Ia berdiri dengan bersusah-payah, lalu menengok ke belakang dan tidak menemukan anak tangga yang tadi dilewatinya. Ia hanya melihat api. Api yang begitu besar dan ia tidak pernah melihat api sebesar itu sebelumnya. Hawa panas yang luar biasa, keringat yang meleleh, dan ia mencoba untuk berlari menjauhi api itu. Ia berlari, api itu tetap mengikuti dirinya. Di belakangnya, seperti seekor anjing mengekori majikannya. Setiap menoleh ke belakang, api itu semakin mendekat. Hingga ia merasa lelah, lelah, sangat lelah, lalu terjatuh karena kelelahan. “Kau harus dilempar ke kerak neraka.” Ia mendongakkan mukanya dan mendapati di depannya berdiri sesosok makhluk aneh. Besar, bertanduk, berpakaian serba putih, dan membawa sebuah buku. “Siapa kau?” “Pencatat perbuatan manusia di dunia.” “Apa maumu?” “Menyeretmu ke kerak neraka.” “Kerak neraka?” “Ya.” “Salahku?” “Banyak.” Ia bangun lalu mendekati makhluk aneh itu. “Tidak! Aku tidak percaya.” “Apa kau tidak percaya denganku?” “Tidak!” “Apa kau tidak percaya dengan udara dan embus napasmu?”

“Aku percaya, tapi tidak dengan kau.” “Itu aku.” “Kau bohong.” “Aku ada dalam napasmu, aku ada dalam darahmu, aku ada dalam pikiranmu, aku ada dalam keringatmu, aku ada dalam pembuluh nadimu, aku ada dalam jantungmu, aku ada dalam suaramu, aku ada …. ” “Diam kau bajingan! Aku tidak pernah merasa bersalah, semua yang aku lakukan adalah benar. Kau tak berhak menyeretku ke neraka. Semestinya di surga tempatku.” “Kau banyak dosa. Tidak pantas di surga.” “Aku selalu taat berdoa.” “Hanya untuk pencitraan, agar orang-orang memandangmu sebagai manusia saleh, manusia tanpa cela. Doamu tidak tulus, mulutmu busuk. Dan dalam buku catatanku telah tercatat dengan rapi, dan tidak bisa kau bantah.” “Bagaimana bisa kau bilang pencitraan? Aku telah berdoa ke semua benua. Aku berlayar dari ujung timur ke ujung barat, dari ujung selatan ke ujung utara. Setiap kuil aku singgahi, setiap tempat ibadah aku singgahi, dan di sana aku berdoa, aku berdoa, dan terus berdoa. Bangun tengah malam aku berdoa, fajar aku berdoa, sebelum mandi aku berdoa, sebelum makan aku berdoa, siang, sore, senja, sebelum bekerja, di jalan, aku selalu berdoa. Apakah doaku masih kurang?” “Tidak ada artinya. Doamu tidak tulus. Kau berdoa, tapi kau selalu nyinyir mengurus orang yang tidak berdoa. Mulutmu busuk, membuat banyak orang sakit hati. Apa kau ingat berapa pelacur yang kau sebut anjing karena tidak pernah berdoa dan tidak kenal Tuhan, sementara kau rajin datang ke tempat pelacuran?” “Apa salahnya? Aku memperingatkan mereka agar mereka taat berdoa.” “Dengan mulut berbisa?” Ia terdiam. Saat masih hidup, memang benar ia telah melewati semua benua untuk berdoa. Ia mengejar Tuhan ke mana pun yang ia bisa. Dan saat perjalanannya mengarungi semua benua untuk berdoa, ia juga tidak lupa singgah ke tempat-tempat pelacuran terkenal dan mewah di setiap benua yang disinggahinya. Masih terdengar jelas di telinganya dengus napas pelacur yang ditindihnya. Masih ingat dengan jelas pula bagaimana ia mengumpat dengan kata anjing kepada pelacur yang habis ditidurinya setelah ia menanyakan apakah pelacur itu punya Tuhan, dan pelacur itu mengatakan tidak mengenal Tuhan, dan ia tidak pernah tahu bagaimana pelacur itu akhirnya gantung diri beberapa bulan setelah itu karena sakit hati. “Tapi, aku masih punya perbuatan baik. Sewaktu menjabat wali kota, aku membangun banyak tempat ibadah, dan banyak dari tempat ibadah yang aku bangun,

biayanya keluar dari kantongku sendiri. Aku mengalokasikan dana sebesar-besarnya untuk pembangunan tempat ibadah, hingga kota yang aku pimpin menjadi kota suci, tempat para dewa, dan para malaikat baik.” “Kau membangun banyak tempat ibadah, tapi rakyatmu banyak yang mengemis di pinggir jalan. Uang yang kau sumbangkan atas nama pribadi, kau ambil dari khas kota.” “Itu tidak benar. Jangan sembarangan menuduh. Apa kau menguping pembicaraan – yang sakit hati karena kalah saing dalam pemilihan wali kota?” “Apakah aku lebih percaya pada lawan politikmu daripada kemampuanku? Aku adalah keadilan, aku bertindak seadil-adilnya kepada semua makhluk. Aku tidak mengadakan yang tidak ada, aku juga tidak meniadakan yang ada. Aku mencatat apa yang ada, dan sebenar-benarnya.” “Apakah aku harus mengaku melakukan dosa itu?” “Maling tidak selamanya harus mengaku maling.” “Rakyatku banyak yang menjadi pengemis, itu karena mereka malas. Mereka malas mencari kerja, mereka hanya ingin hidup mewah, mereka tak mau berusaha. Mereka pemalas! Sudah sepantasnya mereka menjadi kere dan mengemis di pinggir jalan.” “Apakah tugasmu jadi wali kota untuk menghukum mereka?” “Aku sudah membantu mereka, setiap minggu aku turun ke pelosok-pelosok kota. Aku berkeliling melihat mereka, dan kadang aku memberikan mereka bantuan dari kantongku sendiri. Lewat anak buahku, aku juga telah mengirimkan bantuan kepada mereka. Aku memberikan mereka bahan makanan, pakaian, dan semua yang mereka butuhkan. Membuat banyak program agar mereka tidak miskin lagi. Tapi toh mereka tetap miskin, mereka pemalas. Apakah aku salah?” “Apakah menurutmu semuanya itu benar?” Sudarma terdiam. Ia tidak menjawab benar atau salah. Ia hanya ingat bahwa ia telah melakukan yang terbaik untuk kotanya. Menjadikan kotanya kota suci, hingga banyak para pelancong datang ke kotanya untuk berdoa, atau sekadar untuk menebus dosa-dosa yang telah menumpuk agar dikurangi setengahnya atau bahkan dihapuskan semuanya. Tapi dalam hal lain, ia juga pernah menggelapkan dana pembangunan tempat suci untuk membelikan anaknya mobil, dan sebuah apartemen untuk istrinya, dan sebagaimana yang dikatakan makhluk aneh itu. Ia juga sering menyumbang atas nama pribadi, padahal uang yang disumbangkan itu milik pemerintah. Bagaimanapun juga, hati kecilnya sebenarnya membenarkan semua ucapan makhluk aneh yang berdiri di depannya. Ia memang melakukan apa yang dikatakannya, tetapi ia tak mau mengalah begitu saja.

“Hei makhluk pembual. Aku tidak percaya dengan semua bualanmu. Aku perlu bukti!” “Bukti?” Makhluk aneh itu melemparkan buku yang ada di tangannya. Buku itu mengenai kepala Sudarma yang membuatnya sedikit puyeng karena buku itu sangat tebal. Sudarma membuka halaman pertama, dan tertulis dengan jelas kapan ia dilahirkan, di mana ia dilahirkan, dukun yang membantu kelahirannya, siapa orangtuanya, dan tetek-bengek lainnya yang berhubungan dengan kelahirannya. Di halaman berikutnya tercatat kapan pertama kali ia melakukan dosa, dan dosa apa yang dilakukannya, dan kebaikan apa pula yang ia lakukan. “Sudah cukup?” “Belum, aku harus mengecek semua kebenarannya.” Makhluk aneh itu tersenyum mendengar jawaban Sudarma. Sudarma membuka halaman lain secara sembarang. Di halaman itu tertulis, dirinya sewaktu SD pernah meminjamkan uang untuk temannya yang tidak membawa bekal. “Biar kau tahu makhluk bodoh, aku pernah membantu temanku yang tidak membawa bekal saat sekolah dulu. Seharusnya aku dapat sedikit surga.” “Aku tahu itu, dan seharusnya kau membaca kelanjutan catatan itu.” Sudarma membaca paragraf selanjutnya. Tercatat ia menagih uang itu dua kali lipat keesokan harinya. “Brengsek! Seharusnya aku tidak melakukannya,” Sudarma mengumpat dalam hati. Ia menutup buku itu dan membukanya kembali dari halaman belakang. Dan tercatat dengan jelas pula, sehari sebelum meninggal, ia meludahi seorang pemulung yang kedapatan mencuri sepeda rusak yang tergantung di belakang rumahnya. Tapi, dalam dua paragraf berikutnya tercatat sehari sebelum meninggal ia menyumbang untuk pembangunan tempat suci di kotanya. “Sehari sebelum meninggal, aku melakukan perbuatan yang mulia. Aku menyumbang untuk pembangunan tempat suci, seharusnya itu bisa menebus dosaku. Ini jelas-jelas tidak adil.” “Dan di halaman selanjutnya tercatat, kau meminta panitia yang menerima sumbanganmu untuk mencatat namamu di halaman pertama sebuah koran yang terkenal di kotamu.”

Begitulah, Sudarma mencermati halaman demi halaman buku itu, dan selalu mengungkapkan kebaikan yang telah ia lakukan dalam hidupnya yang ia temui dalam buku catatan itu, dan semuanya mendapat sanggahan yang membuat dirinya tidak bisa melawan. “Apakah bisa diakhiri?” “Aku belum membaca semuanya.” “Masih ada waktu setengah hari untukmu.” Sudarma tenggelam dalam catatan-catatan perjalanan hidupnya, dan makhluk aneh yang berdiri di depannya tersenyum melihat manusia yang keras kepala itu. Dalam sejarah penghakiman manusia atas dosa yang dilakukannya di dunia, baru kali ini ia menemukan manusia keras kepala dan merasa dirinya pantas mendapatkan surga atas dosa-dosa yang telah dilakukannya. “Waktumu habis.” “Aku belum membaca semuanya.” “Tidak ada waktu lagi.” “Lagi setengah hari saja dan aku akan membaca semuanya.” “Api di belakangmu akan segera menggulungmu.” Ia menoleh ke belakang. Ia bergidik melihat api yang begitu besar. “Tunggu dulu, di sini tercatat aku pernah berpuasa, dan melakukan malam penebusan dosa sebagaimana yang dilakukan Lubdaka saat …. ” Ia belum selesai mengucapkan kalimat itu, dan tubuhnya sudah digulung api yang begitu besar, dan makhluk aneh yang ada di depannya tak mendengar apa pun yang dikatakan Sudarma. Keterangan: Lubdaka adalah seorang pemburu yang memperoleh surga karena berpuasa dan melakukan malam penebusan dosa saat Siwa Ratri dengan tanpa sengaja saat ia berburu di tengah hutan. Kisah ini diceritakan dalam kitab Siwaratri Kalpa. Supartika memiliki nama lengkap I Putu Supartika, lahir di Karangasem, Bali, pada tanggal 16 Juni 1994. Alumnus Universitas Pendidikan Ganesha, jurusan Pendidikan Matematika. Kini mengelola jurnal sastra Bali modern Suara Saking Bali.

CERPEN, KOMPAS, MARTIN ALEIDA

Surat Tapol kepada TKW, Cucunya

Surat Tapol kepada TKW, Cucunya ilustrasi Mahendra Mangku/Kompas Febri yang baik, Pelupuk mataku hangat. Basah hidungku. Kau bilang aku tak peka. Engkau juga seperti menimpakan seluruh kesalahan ke pundakku yang tua ini. Karena dari 12.000 yang diasingkan selama sepuluh tahun di pulau pembuangan itu,

tak ada yang becus untuk menghasilkan tulisan yang menggugah. Jangankan menggerakkan. Kau katakan, dan terasa seperti menghukumku: “Kakek, tahu enggak,” begitu kau menyindir, “Anne Frank cuma 13 tahun, tapi dia begitu menukik dan agung menghayati kecemasan, ketakutan, yang memenjarakannya di belakang lemari persembunyian, sampai dia digerebek dan dibinasakan. Sementara catatan hariannya menjadi warisan dunia dan lambang kekuatan manusia dalam menghadapi penindasan yang membinasakan.” 10 Tahun kerja paksa tanpa secuil perkakas, kecuali sepasang tapak tangan dan jari-jari yang kami terima dari Tuhan, bagaimana mungkin kau harapkan otakku mampu melambung sebebas orang merdeka. Dalam surat terakhir, engkau kabarkan belum menonton film dokumenter tentang pulau di mana aku, dan ribuan lainnya, membikin aus otot, tulang, dan otak hanya untuk menghasilkan padi, sementara yang menikmati adalah tentara pengawal. Kau sebutkan ada temanmu yang sudah menyaksikan, namun dia datang membawa sebuah gugatan. Mengapa hanya dua tahanan yang muncul di layar? Di mana yang 12.000 lagi? Dan aku mati kutu ketika kau cecar, kau tekan terus, mengapa judul film yang semula begitu merangsang dan heroik tiba-tiba diganti dengan kata yang hambar, seakan-akan pulau penyiksaan itu sebuah surga lama yang baru ditemukan. Ada apa? Takut…? Menyensor diri sendiri? Hendak bermanis-manis dengan kekuasaan yang telah menistamu? Yang membuat kalian sampai pada kesimpulan bahwa hidup semata-mata untuk memikul siksa. Aku tak mengerti, Feb. Dan aku cuma bisa bilang itu bukan citra getir pulau pembuangan dari beribu manusia yang dihinakan. Aku bersih dari prasangkamu. Aku tak terlibat. Apa pun yang ingin engkau katakan, ucapkanlah, namun ingat selalu, aku kakekmu. Kuceritakan dalam catatan yang kutulis setelah aku pulang, bebas, bahwa kami, orang-orang rantai yang hina-dina, itu seperti muatan tak berharga dibongkar, dikeluarkan dari perut perahu, digiring satu-satu menginjakkan kaki di tebing Namlea yang berbau bakau. Penglihatanku menumbuk belantara. Tetapi, dengan lantang aku berteriak di dalam hati bahwa di pulau ini kami pasti akan mampu bertahan. Manusia bisa dikorbankan, tapi takkan mungkin dihancurkan! Begitu kami menyeruak semak-semak dalam iringan kawalan bersenjata, terlihat sukun. Hatiku memekik. Daun-daunya hijau ramah melambai. Ada sarang lebah. Sarat menggantung penuh madu. Rendah pula. Terbayang, dan aku menelan liur pahit setelah berjalan berjam-jam dengan beban di pundak bahwa kami takkan kekurangan karbohidrat. Ada sukun. Buah yang di kampungku juga disebut roti belanda. Aduhai sedapnya roti yang empur itu dicelupkan atau dioles madu. Pulau pembuangan terasa seperti surga yang sedang hanyut dari langit ketujuh. Kau bayangkan betapa sukacitanya aku yang sudah bertahun-tahun tak mengenal buah segar. Di sepanjang rawa berjejer salak. Daunnya hijau pekat menjulur-julur ke angkasa. Tetapi…. Ah, dasar tapol. Nasib yang lebih malang yang kami temukan. Pas dengan keinginan kekuasaan yang tak puas-puasnya merendahkan martabat kami. Ternyata yang kulihat itu bukan sukun, tetapi berembang yang kalau disantap bikin

mabuk. Yang menggantung menggoda itu bukan sarang tawon, tetapi rayap. Hmm… dikira salak. Padahal, cuma rotan yang menjalar dan tegak berdiri mencari matahari. Memang tak kasar, Feb. Tetapi, kau menyebutkan aku tak punya imajinasi. Majal…! Hatiku tidak terluka karena label yang kau tancapkan itu. Bagaimanapun, pedih membaca kata-katamu itu. Kau sebutkan tulisan yang kususun dengan berkeringat itu tak lebih dari catatan kerani kelurahan yang terus merengek minta gaji dinaikkan, sementara isi laporannya hanya mengotori halaman. Engkau harus tahu, sepuluh tahun kerja paksa tanpa secuil perkakas, kecuali sepasang tapak tangan dan jari-jari yang kami terima dari Tuhan, bagaimana mungkin kau harapkan otakku mampu melambung sebebas orang merdeka. Terbang membubung menemukan kekuatan kata. Bagaimana tidak mati kelaparan. Cuma itu isi otakku. Otak kami. Kalau kami berkhayal, itu pastilah tak jauh dari pikiran bagaimana menyelamatkan diri. Kalau kami ikan, maka yang kami renungkan, kerjakan, setiap detik adalah bagaimana air bisa tetap berada di insang, di sirip, kami. Tahukah kau bahwa khayal dan imajinasi, juga ikhtiar untuk itu, bisa berakhir dengan kematian: dibunuh penjaga, dibunuh teman sendiri, atau bunuh diri…. Tak berarti kami mampus sudah. Tinggal sekadar daging yang mau, dan bisa bergerak, lantaran siksaan militer yang sedang pesta kekuasaan. Kau bisa memojokkan tikus dan membunuhnya, tetapi sebelum mati dia masih punya akal untuk menyelamatkan sehelai nyawa. Dan itulah juga kami. Tak ada pintu untuk melawan. Tetapi, sudah dari sananya kezaliman mesti dilawan. Dengan jalan bagaimanapun. Kalah total kakekmu ini tak sudi. Walau tak mau mati konyol. Dan tak sia-sia aku ini pernah menjadi sukarelawan dan anggota resimen mahasiswa Jawa Timur untuk membebaskan Irian Barat tahun 1962 di bawah komando Soekarno. Aku pernah dilatih melancarkan sabotase. Kemahiran ini tak kusia-siakan di pulau pembuangan yang jauh terpencil bernama Buru itu. Aku mencuri beberapa gulung seng. Menyurukkannya di persembunyian yang sempurna. Dasar sial, si Heru mengambilnya selembar dan dijadikannya tempat penjemuran kopi. Mati aku…. Kepergok pengawal. Saya melompat ke depan tapol yang bodoh itu. Mengambil alih tanggung jawab yang bisa berarti kematian bagiku. “Dia tidak bersalah, Sersan. Saya yang mengambil seng dari gudang,” kataku mantap. Empat bulan aku dikurung. Tak pernah melihat matahari. Ditanya macammacam. Disiksa dengan rupa-rupa cara yang baru ditemukan tentara yang bengis itu di sini. Aku dituduh mempersiapkan gudang golok untuk memberontak membebaskan seisi pulau. Setrum, kaki meja kursi, gada besi bergerigi mendarat di sekujur tubuhku. Kalau tak sadarkan diri, mereka cemplungkan aku ke dalam perigi. Diseret keluar. Dipaksa makan cabai rawit sepiring penuh. Kedua mataku tenggelam ditelan pipi, dagu, dan jidatku yang bengkak mau meletus. Digebuki sampai gempor. Aku tak percaya bahwa aku bisa berdiri lagi. Tapi, perlu kukatakan, rasa sakit, perih, nyeri, dari siksaan itu hanya terasa di hari pertama. Selebihnya syarafku kayaknya sudah mati.

Dua hari selepas aku dibebaskan dari penyiksaan, diadakan apel di bawah terik matahari. “Hei, kalian semua, jangan coba-coba seperti Tumiseng ini, ya…!” bentak komandan kamp menghardik tapol yang berjejer, yang dia perlakukan tak lebih dari segerombolan tikus. “Atau kalian mau jadi umpan buaya…!” sambungnya lagi, sengit. Aku sakit hati karena dia menodai nama yang diberikan kedua orangtuaku. “Tumiseng,” katanya. Tumiso pencuri seng. Pedih. Tapi, baiklah, aku tak usah membuat perkara lebih besar. Nasib pesakitan memang untuk memuaskan nafsu yang kuasa. “Komandan…!” Seruan itu seperti meluncur sendiri dari kerongkonganku. Semua tapol terperangah. “Memang, saya yang mencuri empat gulung seng. Tapi, itu belum cukup,” ucapku gemetar. “Ha…! Maksudmu apa?” Matanya menelanku. “Saya perlu enam gulung lagi….” Para tapol yang berjejer kepanasan bergetar dibuat kata-kataku itu. Dagu mereka tergantung. Melongo. Tak percaya pada setengah manusia, kawan senasib mereka, yang baru saja berbicara. Sersan yang berkuasa atas nyawa kami melangkah mendekati daguku. “Mau kauapakan seng sebanyak itu?” Dia mengucapkannya dengan baik-baik, nada datar. Tidak membentak. Aku menang dalam pertarungan tak seimbang ini, teriakku di dalam hati. “Komandan ’kan tahu keluarga kami akan menyusul. Seng sebanyak itu kami butuhkan untuk membuat perabot rumah tangga. Ember, panci, anglo, teko, dan cangkir. Juga tetabuhan guna menghibur keluarga yang datang. Supaya mereka betah. Saya dan kawan-kawan akan bekerja lebih keras lagi untuk membuat kamp yang Komandan pimpin ini terbaik dari seluruh kamp yang ada di pulau ini.” Sersan itu seperti mendapat mukjizat dari ucapanku yang tak pernah dia bayangkan. Lama dia menikam mataku. Lama sekali. Kaki para tapol pada bergeser menunggu peruntunganku. Tiba-tiba dia mengamangkan tangan kanannya. Memberi hormat kepadaku. Aku tegak saja. Diam. Tidak bersorak menyambut kemenangan luar biasa ini. “Pakai sepedaku. Urus semua kebutuhan.” “Siap, Komandan! Saya perlu surat jalan dari Komandan.” Dia melepaskan topi lapangannya. “Ini,” katanya, “tunjukkan ini kalau ada yang bertanya.” Jumpalitan aku menari-nari di dalam hati. Kutunggang sepeda menuju gudang, 20 kilo jauhnya. Tidak bersiul-siul kegirangan, memang, namun hatiku tak pernah mekar sesemarak hari itu. Aku melewati unit-unit lain. Mampir dan basa-basi di tengah jalan. Dengan Buyung Saleh, Bandaharo, Naibaho, Tom Anwar. Menjenguk Pram yang

tidak memedulikan kehadiranku. Apalagi kemenanganku. Dia seperti diburu waktu, kebanjiran kata-kata untuk segera ditumpahkan ke mesin ketik. Tema besar dalam surat-suratmu, yang kau desakkan adalah kemampuan berimajinasi. Aku bukan pengarang. Cuma guru yang dituduh memilih jalan terkutuk oleh penguasa. Memang, tanpa daya khayal manusia bukan apa-apa. Dia akan menjadi seperti tikus yang terus-menerus ngibrit ke sarang yang sama. Tak perlu aku berdoa supaya kau menempuh jalan yang kulalui. Ditendang masuk bui, dibuang, supaya mampu memberikan nilai tinggi pada kebebasan. Untuk itu terkadang kita bisa menjadi seorang pendurhaka. Dengarkanlah baik-baik. Tanpa kebebasan, yang hanya jadi bayang-bayang hampa selama bertahun-tahun dijepit tembok penjara dan hutan belantara, kau menjadi tiada sebelum mati. Agama, di tangan mereka yang tak punya hati dan pikiran, tak menolong. Kau tahu, nenek moyang kita pengikut setia para sunan. Tapi, di pembuangan, oleh orang-orang yang pendek pikiran, fanatik seperti batu yang tak berguna, agama berubah menjadi ajaran yang jahat. Para penganjur yang dikirimkan khusus dari Jakarta memperlakukan kami sebagai calon penghuni yang pasti bagi neraka jahanam. Agama di sini menjadi siksaan. Sungguh. Seorang penyair asal Sumatera, seagama denganku, memberontak dengan cara membangun tonil Kristiani, keliling kampung. Naskah dia tulis sendiri. Penderitaan Kristus selalu menggetarkan, memang. Komandan tertinggi mengenal namanya. Sang Kolonel mengirim kopral menemui, mengancam si penyair kembali ke agama orangtuanya atau … Namun, tak-bisa-tidak, agama jugalah yang membebaskan. Aku kumpulkan lalang kering, bambu yang tak terpakai, juga dolken. Sendirian, kubangun kuda-kuda. Kutegakkan, dan jadilah apa yang kau sangka sebuah dangau. Beberapa hari kemudian, di ujung kuda-kuda yang memuja langit, kupakukan salib dari dahan kering. Buat komandan jaga, ini kelakuan agamawi. Bukan perlawanan. Dia dianggap sebagai sikap kalah dari mereka yang dirantai. Jadi, gereja itu berdiri dengan damai, kedamaian yang didambakan semua agama. “Sejauh mana Bung tahu tentang Kristen, kok nekat bikin gereja?” tanya tapol berdarah Tionghoa. “Bertahun-tahun saya membaca Injil. Sering dengan mengeja huruf dan katakatanya. Tentu tidak sempurna. Aku yakin gereja membebaskan. Paling tidak membuka celah pintu dunia bagi kita,” jawabku. Minggu hanya beberapa orang yang hadir beribadah. Kadang aku yang memberikan khotbah singkat. Acap kali, ada pastor yang datang dari Namlea. Gereja yang sederhana itu kemudian berubah jadi pintu menuju surga. Aku bebas berjalan kaki ke Namlea, membantu siapa saja yang memerlukan tenagaku. Ikut memuat dan membongkar muatan kapal. Pulang-pulang terkadang aku mengempit potongan kertas koran di pinggangku. Koran yang usianya sudah berbulan-bulan. Untuk memahami dunia luar, potongan koran bekas itu lebih berharga dari kitab suci. Sembunyisembunyi kami bergantian seperti menghafal huruf-hurufnya yang lusuh. Kami menyimaknya huruf-demi-huruf, kata-demi-kata. Titik koma. Mengejanya baik-baik layaknya potongan koran yang kumal itu akan membawa kami ke daratan yang dijanjikan.

Di kemudian hari, gereja itu pula yang menyadarkan dunia bahwa ada seorang penulis, yang bertahun-tahun dikurung, telah berkali-kali dicalonkan untuk menerima Nobel. Sementara Presiden Indonesia malah cuma tercantum dalam urutan teratas di antara koruptor di seluruh dunia. Dan aku tidak mabuk dengan pencapaianku melalui gerejaku itu. Walau aku tahu tanpa tanganku yang menyelundupkan naskah Pram ke Namlea, dunia tak bakalan pernah membacanya. Cucu semata wayangku, Ingin kusudahi surat ini dengan permintaan agar kau tidak menuduh aku campur tangan dalam urusanmu yang sangat pribadi selama kau bekerja di Jeddah ini. Engkau bilang, Ben kayaknya kesengsem. Mengejarmu ke mana-mana. Kalau menyentuh tangan lekaki di depan umum akan dihukum, kuanjurkan sambutlah tangannya. Cium diam-diam. Jangan terlalu memilih-milih. Jangan sampai “Takut titik lalu tumpah.” Aku tahu, orang Timur Tengah itu tak bisa dipegang. Mereka pasir yang mudah berpindah kalau diterpa angin gurun. Tetapi, ingat, ngger. Percayalah kepada korban! Ben keturunan Palestina, korban dari permainan kekuasaan. Kesepakatan dunia, kalau Israel berdiri, Palestina juga harus menjadi keniscayaan, tegak sebagai satu negara. Tapi, pada akhirnya aku serahkan padamu. Engkau sendirilah yang tahu bagaimana menghadapi badai di negeri dataran gurun yang jauh itu. Kalau kau tak percaya pada pasir, kecuali pada seruan hatimu sendiri, maka sebagai pemuja kebebasan, aku akan menghormati pilihanmu. Salam, Tumiso Danuasmoro. Martin Aleida. Anak Tanjung Balai, Sumatera Utara; menghabiskan lebih setengah abad usianya di Jakarta, sebagai mahasiswa, wartawan, dan penulis sejumlah fiksi panjang maupun pendek. Sedang menunggu terbitnya catatan perjalanannya, “Tanah Air yang Hilang”, tentang eksil Indonesia yang kelayaban di Eropa.

CERPEN, KOMPAS, WISNU SUMARWAN

Perihal Tanda-tanda

Perihal Tanda-tanda ilustrasi Ledek Sukadi/Kompas Aku selalu penasaran bagaimana nenekku bisa selalu benar tatkala menduga bahwa kematian akan datang pada suatu malam, pagi, siang, petang atau dini hari. Pertama kali aku mengetahui bakat semacam itu adalah saat nenek berkata bahwa seorang yang dekat tapi jauh akan pergi bersama orang-orang asing yang tak diketahui selain nama mereka. Pamanku yang termuda mengatakan bahwa seluruh orang dekat kami berkumpul dekat-dekat saja, tiada yang jauh, jadi tidak akan ada orang mati. Empat bulan kemudian paman termuda itu mati saat kapal laut yang ditumpanginya menuju perairan Filipina lenyap ditelan badai. Ia baru bekerja sebagai seorang mualim kapal ikan. Kami semua sudah lupa bahwa nenek pernah mengatakan tentang itu sebelumnya. Berikutnya, enam bulan sebelum kakek meninggal, nenek berkata bahwa akan ada pergantian kapten kapal karena kapten yang lama harus segera berpindah kapal, burung-burung akan mengiringinya. Lagi-lagi, tiada satu pun anggota keluarga kami yang bekerja di kapal selain paman termuda yang telah meninggal lebih dulu dan dia

bukan kapten. Ternyata, benar terjadi pergantian kapten dalam bentuk seumpama. Saat lebaran, kapal besar keluarga kami tak lagi berkumpul di rumah kakekku sebagai tetua yang tertua dan ganti berkumpul di rumah adiknya yang sejak itu jadi orang tertua di keluarga sepeninggal kakek. Lagi-lagi, kakek meninggal saat kami sudah lupa bahwa nenek pernah berkata sesuatu tentang itu. Kakek meninggal ketika membeli makanan burung di seberang pasar. Kami bilang ia meninggal dalam damai, yang lain bilang kalau kakek meninggal begitu saja tanpa tanda-tanda. “Kehidupan adalah menanak nasi,” ucap nenek saat upacara kematian ibuku sedang berlangsung, “tak tercium wanginya sampai sesaat menjelang harus diangkat, bau kematian adalah nasi yang hampir tanak.” Kematian di sini memang selalu wangi, penuh bunga-bunga dan cacahan daun pandan yang ditebarkan dalam peti atau keranda. Mungkin, untuk menutupi bau mayat yang bisa mengungkit kesedihan. Atau, supaya kematian tidak cuma berwarna hitam. Aku berusaha mengingat kata-kata nenek seperti kamus mengingat lema, namun tetap saja di saat-saat terakhir selalu saja terlupa sampai ada seorang kerabat yang meninggal. Mungkin, karena otak tak sudi mengingat-ingat kematian. Lalu aku ingat bahwa nasi yang sedang dimasak sudah mulai tanak, baunya bisa tercium, terasa segar dan baru. Seperti inikah bau kematian? Nenek hanya mengernyitkan bibirnya sambil mengangkat dandang dari atas tungku kayu kemudian memindahkan nasi setengah matang ke dalam kukusan bambu untuk sekali lagi dimasak dengan cara diuapkan di atas air panas yang menggelegak. Wanginya menyebar. “Sudah, nenek tak usahlah repot di dapur,” ujar seorang kerabat, “biar kami saja yang mengurus makanan.” Namun nenek berkeras untuk tetap berada di pawon dengan alasan: inilah kali terakhir ia bisa memasak untuk putrinya tercinta—ibuku. Tak ada sedikit juga raut kesedihan di matanya, mungkin karena ia sudah lebih dulu tahu perihal kematian itu. Ia juga pasti sadar kalau nasi yang ia masak pada kenyataannya takkan pernah dimakan oleh putrinya, melainkan masuk ke perut orang-orang yang cuma melayat mayatnya, banyaknya bukan orang yang akrab. Tapi, bukan itu masalahnya. Nenek tetap menganggap bahwa kerepotannya ini (yang ia anggap tidak merepotkan) adalah untuk putrinya sebagaimana sebelumnya ia telah memasak nasi untuk suami dan putra bungsunya saat mereka meninggal. Memasak nasi adalah mengolah kehidupan. Mungkin, pikir nenek hingga tak berhenti memasak nasi meski sedang berdiri di hadapan kematian suami atau anaknya. Sebaliknya, aku takut pada saat-saat begini. Nenek akan mulai meracau tentang tanda-tanda kematian seseorang yang tak diketahui, lalu berikutnya aku lupa. Aku takut kalau aku lupa bahwa ia pernah berwasiat tentang tanda-tanda. Aku tak takut jadi tua, tapi aku takut jadi tua dan pikun hingga melupakan perihal tandatanda. Apakah saudara-saudaraku takut jadi pikun juga? Sepertinya tidak. Mereka lebih takut pada kematian dibanding kepikunan. Menurutku, kepikunan bisa lebih

berbahaya dari kematian. Manusia disebut sebagai manusia karena kelahiran dan ingatan-ingatannya. Tanpa ingatan, manusia takkan mengetahui apa-apa tentang siapa dirinya. Manusia yang tak punya kenangan atas dirinya, masihkah bisa disebut manusia? Atau mayat hidup saja layaknya. Kerabat-kerabat—walau iba pada nenek yang bekerja keras memasak saat ada saudara meninggal, juga enggan untuk berada dekat-dekat, sebisanya menjaga jarak. Rupanya mereka begitu khawatir pada racauan nenek perihal tanda-tanda yang hampir tak pernah meleset (aku tak ingat kapan racauannya pernah meleset). Mereka bersyakwasangka tentang siapa yang dimaksudkan dalam ucapan itu. Bisa ayah mereka, ibu, paman, adik, kakak, atau diri mereka sendiri. Sehingga, ketika hanya aku yang cukup berani dekat-dekat nenek dalam jangka waktu lebih lama, akulah yang jadi sasaran pertanyaan-pertanyaan mereka. Rahasia kematian selalu jadi sumber rasa penasaran, bagaimanapun ditolak kehadirannya. “Nenek bilang apa? Siapa yang akan mati berikutnya?” “Nenek takbilang apa-apa,” jawabku, “lagi pula, mana pernah dia menyebut nama.” “Iya, tapi tak mungkin ia tak bilang apa-apa. Pasti kau yang tak peka terhadap ucapannya,” balas sepupuku. “Sungguh. Nenek memang tak mengucapkan apa-apa. Paling tidak, belum.” “Kau menutup-nutupi saja karena kau sebenarnya tahu dan tak mau kami khawatir.” “Tidak.” “Ayolah, ceritakan.” “Tidak ada yang bisa diceritakan. Kalau kalian mau dengar ucapannya, kenapa tak dekat-dekat nenek saja?” Baru mereka semua diam dan aku kembali ke pawon menemani nenek bekerja. Rapal doa-doa adalah suara lebah dalam sarang yang berdengung-dengung. Lalu nenek meracau lagi. “Sebenarnya, beras sudah jadi nasi, tinggal dihidangkan. Perjalanan sudah selesai. Kita mulai makan, kemudian yang kita ingat berikutnya rasa nasi saja. Beras yang sudah jadi nasi kemudian keluar dari perut, jadi tai yang dimakan lele. Kehidupan tak berhenti pada kematian, melainkan jadi kehidupan yang lain. Saat waktunya tiba, kita lupa pada nasi yang baru saja kita makan, atau beras.” Benarkah nenek bisa lupa pada kematian orang-orang yang dicintainya? Aku tak bisa membayangkan apa rasanya jadi nenek yang terus menua sambil menyaksikan suami dan anak turunannya mati satu per satu. Usianya sudah lebih dari sembilan

puluh tahun—nyaris seratus, kurasa—dan nasinya tak tanak juga, sementara nasi yang lain sudah selesai dihidangkan. Apa rasanya jadi dia? Aku tak mengerti. “Menyedihkan rasanya,” ucap nenek, “seperti melahirkan kematian. Dan lebih menyedihkan lagi ketika semua itu tak bisa ditolak. Pasrah saja kita bisanya.” Untuk banyak hal, ingatan nenek masih tajam, namun saat ia berbicara kematian ia seperti lupa bahwa orang yang dia bicarakan adalah kerabatnya sendiri yang kerap terhubung darah sangat dekat. Seperti saat kami mendengar ia berkata tentang meninggalnya seorang keponakan. “Bunga bisa gugur sebelum mekar, tapi tetap saja bunga,” ucapnya waktu itu, “kalau sudah gugur, biarkan saja. Nanti akan ada kuncup baru.” Baru delapan bulan kemudian keponakan itu meninggal bahkan sebelum lahir. Sepupuku keguguran di bulan keenam kehamilannya. Nenek sudah meramalkan kematian sebelum ada kelahiran, bahkan sebelum sepupuku itu menikah. Ketika ia mengatakan itu, kami semua tahu bahwa akan ada kematian lagi, namun lagi-lagi kami lupa sampai kematian itu benar-benar terjadi. Buatku ini mengerikan, namun aku juga tidak bisa mengingat untuk bersiap-siap atau paling tidak mengingatkan seseorang agar bersiap-siap menunda kematian. Ini yang paling masuk akal buatku. Bahwa, segala ucapan nenek adalah peringatan agar sesuatu bisa dibendung kedatangannya. Tapi, bisakah kematian dibendung? “Nek, bagaimana nenek bisa tahu akan ada kematian?” tanyaku untuk menutup rasa penasaran. “Nenek tidak tahu,” jawabnya. “Tapi, nenek selalu mengucapkan sesuatu sebelum ada orang meninggal.” “Mengucapkan apa?” “Macam-macam.” “Tidak. Nenek tidak pernah berucap apa-apa,” sanggahnya lagi. Lalu aku menceritakan kejadian-kejadian yang lalu. Nenekku lagi-lagi cuma mengernyitkan bibirnya sambil menggeleng-geleng dan berkata, “Tidak. Nenek tak pernah mengucapkan itu semua.” Aku diam. Apakah nenek sudah pikun? “Nenek tidak sadar bahwa dia sudah mengucapkan itu semua,” bisikku pada sepupu-sepupu. “Maksudmu, nenek kesurupan?” “Hus! Jangan sembarangan!”

“Apakah kau ingat, apakah nenek pernah berkata sesuatu tentang kematian ibumu?” Aku diam lagi, mencoba mengingat-ingat. Aku lupa. Aku tak ingat apa-apa. Lalu, sepupu terkecil berkata, “Nenek pernah bilang: ‘Maling bekerja dini hari, saat semua orang tertidur. Yang diambil adalah perhiasan keluarga paling berharga’. Diucapkan padamu.” “Kau ingat?” tanyaku. “Tiba-tiba saja ingat, Kak.” Ibuku meninggal dini hari, dan dia perhiasan keluargaku. Aku mengingatnya dengan jelas. Membayangkan bahwa aku melupakan betapa berharganya sesuatu, sungguh bukan bayangan yang menyenangkan. Lagi-lagi aku teringat pada nenek yang gemar menanak nasi, menikmati harumnya sambil melupakan tanda-tanda yang diucapkannya sendiri. Udara dari pawon menembus ke ruang makan. Aku mencium bau nasi hampir tanak. Aku sangat ingin mengaduk nasi setengah matang lalu menuangkannya ke dalam kukusan. Tapi, ternyata semua nasi sudah diangkat. Mungkin, sisa-sisa bau saja, karena dari jauh kulihat nenek sudah duduk tenang di teras belakang. “Apa kau bilang?” sepupuku bertanya. “Aku tidak bilang apa-apa.” “Kau baru saja bilang: ‘Akhirnya, nasi yang ditanak nyaris seratus tahun matang juga’. Nasi apa yang ditanak seratus tahun?” Aku diam sambil berjalan ke teras di belakang dapur dan duduk di samping nenekku. “Kau mau menanak nasi?” tanya nenek dengan suara pelan, “kalau sudah matang, jangan lupa diangkat. Waktunya selalu tepat.” Aku menggeleng. Aku tak mau menggantikan nenek menanak nasi. Aku tak mau tua, pikun lalu lupa perihal tanda-tanda. Keterangan: Pawon: dapur. Wisnu Sumarwan, bernama lengkap Wisnu Suryaning Adji Sumarwan. Lulusan Universitas Al Azhar Indonesia Jakarta. Pernah jadi direktur program sebuah radio dan usahawan kuliner. Pemenang 1 Lomba Cerpen Nasional #MyCupOfStory 2016 Nulisbuku.com dan Giordano Indonesia. Peserta Workshop Cerpen Kompas 2016 dengan mentor Agus Noor, Linda Christanty, dan Putu Fajar Arcana. Cerpennya termuat dalam antologi cerpen Kelas Cerpen Kompas 2016 Cerita Para Perambah.

CERPEN, KOMPAS, MIRANDA SEFTIANA

Sekuntum Melati Ibu

Sekuntum Melati Ibu ilustrasi M Dwi Pradipta/Kompas Aku mengenal ibu sebagai perempuan yang ceria. Dia sering tertawa, meski aku tidak benar-benar mampu mengeja apakah karena gemar saja atau dia memang sedang bahagia. Satu hal yang pasti, banyak lelucon yang sedatar papan sekali pun mampu memantik gelaknya. Persis seperti bocah usia di bawah lima tahun yang menganggap anjing tercebur ke kubangan lumpur bukan sebagai masalah, melainkan ajang bermain

air dan sabun. Pekerjaan menyebalkan bagi sebagian orang dewasa karena mesti mengulang aktivitas yang sama padahal bisa dilakukan sekali saja dalam seminggu. Tapi aku suka ibu. Suka melihat sudut bibirnya yang tertarik nyaris mencapai tulang pipi. Suka melihat retinanya yang coklat mengembun seperti daun ketika pagi hari. Segalanya lebih menarik. Tentu. Daripada kau melihat sepasang bahu yang berguncang atau lima jari yang membekap mulut dengan rapat. Aku tidak suka itu dan mungkin ibu juga begitu. “Kana, ambilkan arang dan sekam!” suara Ibu merambati udara. Beradu deru mesin alkon yang melewati sungai Pangambangan di belakang rumah kami. Aku yang sedang memandangi buah-buah rambutan bergegas menuju teras. Di sudut tempat yang menjadi transisi antara pekarangan dan pintu rumah tergeletak sekarung kulit padi yang telah menghitam, juga beberapa bungkus arang yang biasa digunakan untuk membakar ayam atau ikan. Ibu meletakkan di sana, di tempat teduh oleh bayangan dahan belimbing wuluh. Sengaja katanya, agar tidak mengganggu estetika. Karena menurut kepercayaan ibu, sesuatu yang kotor mesti dirahasiakan sebagaimana yang dilakukan Tuhan terhadap kesalahan manusia. Aku tidak berani membantah. Sepanjang hidup pun tak pernah menganggap ibu salah, terlebih jika sudah melibatkan Tuhan. Bapak juga begitu. Dia tidak suka mendebat ibu. Paling tidak, demikianlah yang kutahu sepanjang kebersamaan mereka sebagai orangtua. Meski dalam kesehariannya, lelaki dengan kumis melintang di antara hidung dan katup teratas bibir itu berbeda minat dengan ibu. Bapak lebih suka tanaman yang bisa dimakan, terlepas dalam kondisi mentah atau setelah diolah. Oleh karena itu, di halaman ini kalian bisa melihat perbedaan keduanya yang kentara. Jika ibu memilih menanam sepasang bunga kertas, putih dan merah sebagai gerbang, maka bapak memilih menanam mangga di halaman depan. Bila ibu lebih suka menumbuhkan bunga sri gading untuk mengawetkan pupur basah—bedak berbahan tepung beras dan air—yang biasa dipakainya tatkala menjajakan kembang barenteng dengan jukung hawaian, maka bapak condong menanam sepohon belimbing wuluh di seberangnya. Bapak suka menyantap ikan goreng, pepes, dan bakar dengan belimbing wuluh yang dicampur irisan cabai serta bawang merah. Lantaran demikian, hampir tak sekalipun buah bercitarasa asam sepat itu sempat menghujam tanah. Bapak akan lebih dulu memetiknya tak lama setelah bakal bunga menjelma buah. Ia akan menyusunnya ke dalam toples kaca, menyiram dengan larutan garam, lalu menyimpan di rak gantung sekitar dapur. Sepanjang tahun kalian bisa melihat deretan toples kaca berisi belimbing wuluh lunak dan berwarna kecoklatan. Bapak suka itu, ia tidak pernah bosan, tak mau digantikan. Kami menyebutnya jaruk balimbing tunjuk. Selain belimbing wuluh, bapak juga menaruh perhatian istimewa pada pohon rambutannya. Sekali dalam seminggu ia akan memupuk akar rambutan yang menyembul ke permukaan dengan gula. Setiap pagi, sesuai menyesap teh panas buatan ibu, ia akan menyiramkan sisanya ke pokok rambutan itu. Kupikir tidak bisa benar-benar disebut sisa, sebab bapak seperti sengaja menyisihkan tehnya lebih

banyak untuk akar rambutan. Pada masa berbunga, bapak akan lebih sering melakukannya. Ibu tidak pernah keberatan gula sakarnya berkurang setengah kilo setiap minggu. Seperti bapak yang juga tidak pernah marah simpanan arang untuk membakar dan memepes ikan berkurang demi anggrek milik ibu. Sudah kukatakan, mereka nyaris alpa dari berbantahan. *** Bapak tidak suka bunga. Aku tahu. Ibu tentu lebih tahu. Tapi bapak adalah lelaki manis seumpama rambutan jenis batukan yang tumbuh di pekarangan kami. Konon menurut cerita bapak, rambutan ini tidak bisa dipisahkan daging buah dan bijinya. Kalian hanya bisa menikmati dengan cara mengemut hingga rasa manisnya menyisakan hambar. Meski seperti tebu, rambutan ini tidak boleh terlalu banyak disantap karena bisa menyebabkan batuk. Bisa jadi inilah muasal nama batukan yang disematkan pada jenisnya. Manisnya bapak bukan dengan kata cinta. Seumur kebersamaan dengan mereka, aku tidak pernah mendapati keduanya bertukar panggilan sayang, jelingan menggoda pun tidak. Ya, paling tidak, itulah yang kudapati dari teras hingga dapur. Selebihnya barangkali menjadi rahasia yang disimpan berdua oleh bapak dan ibu. “Kenapa Ibu memanggil Bapak dengan sebutan Bapaknya Kana, bukan kanda atau sejenisnya?” usutku suatu waktu. Ibu sedang merangkai kuntum melati dan kelopak mawar dengan sebuah jarum dan benang dari serat pelepah pisang ketika aku bertanya begitu. Maka dilepaskan segala kegiatan ke atas sebuah talam—nampan berbahan kuningan. Ibu menatapku lama, tersenyum sesamar benang serat pelepah pisang. “Itu cara menyapa pasangan yang dicontohkan Penghulu Zaman,” ucap Ibu lalu kembali menusuk kuntum melati dengan jarum yang tajam. Aku meringis ngilu menyaksikannya, terlebih saat giliran kelopak mawar yang lubangnya kentara. “Bu, ini kembang barenteng ya?” Dia menggeleng kecil. “Ini kembang nagasari.” “Bukankah kembang nagasari semestinya menggunakan melati yang masih kuncup?” Tunjukku pada kuntum-kuntum semerbak yang telah mekar sempurna. “Kalau begini lebih mirip kembang barenteng untuk ziarah.” Ibu tidak menyahut, ia hanya memandangiku dengan nanar. Aku balik menatap mata ibu, menelusuri kebohongan dari retina secoklat air rawa. Tidak ada dusta di sana. Hanya rahasia yang terlampau dalam untuk diselam. ***

Senampan ketan berhias nanas merah yang dibentuk bagai kepala merak telah tersaji di depan pelaminan yang berhias arguci. Di sekeliling ketan itu terselip daun pisang yang dilipat kerucut. Lalu di atas ketan putih yang dimasak dengan santan berderet-deret irisan telur dadar tipis membentuk gelombang. Kami menyebutnya lakatan hadap-hadap. Sajian wajib di hari pernikahan perempuan Banjar. Pada kiri dan kanan pelaminan berdiri kambang sarai—hiasan kertas berwarnawarni yang dililit ke lidi—yang ditancap pada vas kuningan. Kuning, merah, dan hijau menjadi warna dominan. Kuning bermakna sakral, merah terselip makna kejujuran, sedangkan hijau berarti sejuk. Itu kata pahiasan—perias pengantin tradisional Banjar—yang kini sedang berusaha menyematkan kembang nagasari pada galung. Bunga ini istimewa, dikumpulkan oleh bapak dan dirangkai oleh ibu. “Beruntungnya suamimu, jujuran sapambari tapi mendapat melati yang masih kuncup,” komentar pahiasan sembari mengangkat surai nagasari. “Memang ada apa dengan melati yang masih kuncup?” Perempuan jelmaan yang menuju senja itu menepuk kedua pundakku. Dia menunduk, kami bertatapan sesaat di pantulan cermin meja rias yang dihadiahkan calon suamiku sebagai tanda kesanggupannya memenuhi syarat antaran tikar kalambu; mengisi kamar mempelai wanita dari teras hingga langit-langitnya. “Melati yang kuncup pertanda kau masih dara,” bisiknya membuat rambut halus di sekujur tengkukku meremang. Mataku memicing tajam ke sudut dinding kamar. Di sana, foto pernikahan bapak dan ibu terpajang, belum dipindahkan ketika pahiasan meminta kamar mereka menjadi kamar pengantin. Sebab ukuran kamarku yang sempit untuk tukang rias dan perlengkapannya masuk. Mendadak anganku berterbangan. Melati pada surai nagasari ibu yang telah mekar, akta kelahiranku yang hanya memuat satu nama orangtua, ibu yang lebih suka menyatukan kelopak bunga yang telah tercerabut dari kuntum, bapak yang sering mengumpulkan bunga ranggas tapi sejujurnya lebih suka menumbuhkan taman yang bisa ia makan. Aku sadar sekarang, mereka bukan selalu sepaham, melainkan hampir tak pernah bercakap kecuali perihal anak. Adakah seluruhnya kembang barenteng ibu; rangkaian bunga yang dibawa orang berduka pada pemakaman orang tercinta?

Miranda Seftiana, lahir di Hulu Sungai Selatan. Menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Lambung Mangkurat. Buku tunggalnya berjudul Senandung Cinta untuk Bunda (Leutika Prio, 2011). Karyanya berjudul Sebatang Lengkeng yang Bercerita terhimpun dalam buku Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas 2015.

CERPEN, KOMPAS, SORI SIREGAR

Akhir Perjalanan Gozo Yoshimasu

Akhir Perjalanan Gozo Yoshimasu ilustrasi Emmy Go/Kompas

Puluhan pemuda melangkah cepat sambil berteriak riuh menuju markas tentara Jepang di pojok jalan. Dengan bentangan tangannya, seseorang yang bertubuh besar menghentikan langkah para pemuda yang dibakar amarah itu. Lelaki bertubuh besar itu maju ke depan. “Mana komandan kamu. Panggil dia. Kami datang untuk mengambil semua senjata yang kalian miliki,” katanya kepada para pengawal. Gozo Yoshimasu, yang telah mendengar gemuruh teriakan ketika para pemuda itu semakin mendekati markas mereka, melangkah keluar sebelum pengawal memanggilnya. Ia berdiri tenang. Semua pemuda yang berada di depannya juga diam. Rasa takut belum meninggalkan wajah mereka. Susah rasanya melepaskan diri dari

rasa takut, benci, dan amarah setelah lebih dari tiga tahun ditindas oleh tentaratentara bermata sipit itu. Tentara Jepang dikenal kejam dan gemar menyiksa. Gozo Yoshimasu yang bertugas sebagai komandan di markas tentara di kota Tebing Tinggi itu menatap mata lelaki bertubuh besar yang berada tidak jauh di depannya. Yoshimasu bukanlah tentara yang mudah lepas kendali. Di kalangan sesama perwira tentara Jepang, Yoshimasu yang berpangkat kapten itu dikenal lembut menghadapi siapa saja. Ia bukanlah prototipe tentara pendudukan yang terkenal garang dan tanpa belas kasihan. “Boleh saya tahu mengapa kalian datang ke markas ini?” Ia bertanya tetap dengan tenang. Tanpa harus menunggu lama, ia mendengar teriakan lelaki bertubuh besar yang berdiri di depannya. “Kami datang untuk mengambil senjata yang kalian miliki. Sebagai bangsa yang kalah perang, tentara kalian tidak berhak memiliki senjata lagi. Serahkan senjata itu kepada kami dan kami tidak akan mengganggu tuan dan anak buah tuan.” Peristiwa yang sedang dihadapi Yoshimasu bukan hanya sekali terjadi di negeri ini setelah Jepang menyatakan takluk kepada Tentara Sekutu dalam Perang Dunia II. Karena itu, Yoshimasu tidak terkejut. Ia diam dan berpikir. Para pemuda di depannya mulai tidak sabar dan kembali berteriak-teriak dengan amarah walaupun tetap dibarengi rasa takut. “Senjata kami hanya akan dilucuti oleh Tentara Sekutu, bukan oleh pihak lain. Jika kami memberikan senjata-senjata yang kami miliki kepada kalian, kami dilarang keras untuk melakukan itu dan akan ditindak tegas oleh Tentara Sekutu.” “Serahkan sekarang juga,” ujar lelaki bertubuh besar itu. “Jika tidak, kami akan menyerbu masuk dan korban akan berjatuhan di pihak tuan. Tuan lihat betapa banyaknya pemuda di belakang saya.” Gozo Yoshimasu menatap mata lelaki bertubuh besar kemudian menatap semua pemuda di depannya. Kapten yang oleh rekan-rekannya dikenal lembut ini tampak berpikir untuk mengambil keputusan. Ia sadar betul bahwa para pemuda di depannya benar-benar membutuhkan senjata karena mereka ingin mempertahankan kemerdekaan yang baru mereka kumandangkan. Namun, jika ia memberikan senjata yang mereka miliki, Tentara Sekutu akan memberikan hukuman berat kepadanya. Ia akan dianggap membantu perjuangan kemerdekaan Indonesia. Tentara Sekutu tidak menghendaki itu. Mereka memiliki rencana sendiri untuk bangsa ini. Dalam keadaan kritis tersebut, Kapten Yoshimasu harus mengambil keputusan segera untuk menghindari pertumpahan darah. Keputusan yang ditunggu itu pun diambilnya dan ia siap untuk menanggung segala risiko untuk itu. “Masuklah dan ambillah semua yang kalian inginkan,” ujar Yoshimasu dengan suara keras dan tegas.

Mendengar keputusan itu, semua pemuda menyerbu masuk dan merampas semua yang terdapat di dalam markas. Yoshimasu menyaksikan semua itu dengan perasaan tercabik. Namun, ia merasa keputusannya tersebut paling tidak akan dapat menyelamatkannya dan anak buahnya. Namun, kenyataan berkata lain. Salah seorang pemuda yang menyerbu ke markas menodongkan ujung bambu runcingnya ke leher Yoshimasu. Lelaki bertubuh besar merampas bambu runcing itu dari pemiliknya dan melemparkannya ke halaman markas. Ia tidak ingin Yoshimasu cedera. Pemilik bambu runcing yang sedang diamuk amarah merampas senapan dari tangan temannya yang baru mengambil senjata itu dari markas. Ia mengarahkan senjatanya ke tubuh Yoshimasu yang tidak berdaya. Lelaki bertubuh besar berteriak mencegahnya. Dengan sekuat tenaga, pemuda pemilik bambu runcing itu menusukkan sangkur yang melekat di senapan itu ke dada Yoshimasu. Perwira Jepang itu bersimbah darah. Lelaki bertubuh besar itu mencoba menolong Yoshimasu. Tapi, saat itu juga sangkur yang masih merah dengan darah itu diarahkan sang pemuda ke dada lelaki bertubuh besar itu. Jika salah bersikap, ia akan mengalami nasib seperti Yoshimasu. Setelah mengerang beberapa saat, tubuh Yoshimasu tidak lagi bergerak dan darah terus mengucur dari tubuhnya. Setelah itu lelaki bertubuh besar hanya dapat menyaksikan dengan rasa tidak percaya semua yang dilakukan para pemuda yang tadi dipimpinnya. Setelah semua anak buah Yoshimasu dilumpuhkan, mereka diseret ke tengah-tengah kota. Di sana mereka diberondong seorang demi seorang di depan penduduk yang datang menonton. *** Kekejaman yang dilakukan para pemuda yang berada di belakang lelaki bertubuh besar itu tak pernah dapat diusirnya dari ingatannya. Dua puluh tahun kemudian, kekejaman yang serupa terjadi di negeri ini. Anak lelaki bertubuh besar juga gagal mencegah kekejaman teman-temannya. Ia tidak dapat berbuat apa-apa ketika para anggota ormas yang dipimpinnya membantai puluhan orang yang belum tentu bersalah akibat gejolak politik yang tidak diinginkan. Ketika anak semata wayang itu mengutarakan perasaan bersalahnya karena tidak dapat mencegah kejadian yang memilukan itu, sang ayah, lelaki bertubuh besar itu, berupaya menenangkannya. “Dua puluh tahun ayah juga merasa dikejar-kejar dosa karena tidak dapat menyelamatkan perwira Jepang itu dari kekejaman yang dilakukan para pemuda di Tebing Tinggi itu. Seandainya Yoshimasu bersikap keras dan melepaskan tembakan ke arah kami, ayahlah orang pertama akan tersungkur ke bumi. Tapi, Kapten Yoshimasu mengizinkan kami masuk ke markasnya dan mengambil semua senjata yang terdapat di sana. Ia hanya menyaksikan kami tanpa reaksi apa pun.” “Lalu, mengapa teman-teman ayah itu harus membunuh Yoshimasu dan semua anak buahnya?” Lelaki bertubuh besar itu menarik napas. Ia dapat membaca semua yang tersimpan dalam benak anaknya. Peristiwa yang membuat anaknya merasa berdosa

itu baru berlalu satu tahun. Itu pun pastilah tidak seberat yang dirasakan ayahnya selama dua puluh tahun. “Ketika itu kita memang terbelenggu oleh rasa cemas, takut, dan amarah sehingga kita tidak dapat berpikir jernih. Mereka telah takluk dalam perang dan apa yang dapat mereka perbuat sebagai pecundang terhadap kita? Mereka telah menyerah kepada nasib dan menunggu tindakan tentara sekutu. Hal yang sama juga kau alami. Apa yang dapat diperbuat kekuatan kiri itu setelah mereka dinyatakan terkubur di negeri ini. Mengapa teman-temanmu harus membunuh para petani, buruh dan para ibu yang belum tentu bersalah itu, sedangkan kaua tidak dapat menghentikannya. Mereka orang-orang sederhana yang diperalat oleh kekuatan politik durjana. Paling tidak kau telah berusaha menghentikan kebuasan itu, tetapi apalah artinya tenaga satu orang menghadapi kekuatan massa. Anak lelaki bertubuh besar menatap ayahnya. Baginya, banyak orang merasa peristiwa sejarah di masa lampau tak perlu dikenang atau disesalkan. Semua itu harus diterima apa adanya. Mungkin itu benar buat orang yang tidak bersinggungan sedikit pun dengan peristiwa sejarah itu. Tapi tidak buat orang yang kehilangan sesuatu atau terbelenggu kejaran dosa karena peristiwa sejarah itu. Anak lelaki bertubuh besar itu mengalihkan tatapannya ke arah lain. “Kemarin aku membaca feature menarik di koran Strait Times yang kubeli di sebuah toko buku di bandara. Seorang laki-laki yang mengaku dirinya cucu dari seorang perwira Jepang di Indonesia bernama Gozo Yoshimasu sedang mencari informasi tentang makam kakeknya dan bagaimana kakeknya terbunuh. Benarkah ia tertembak karena membangkang perintah Pasukan Sekutu? Aku rasa ayah dapat memberikan informasi yang benar kepadanya. Alamatnya jelas tertulis di akhir tulisan itu. Jelaskanlah, Tentara Sekutu sama sekali tidak ada urusannya dengan kematian Yoshimasu. Jelaskan juga bahwa ayah tidak tahu di mana jenazahnya dikuburkan atau dibuang bersama dengan mayat-mayat anak buahnya.” Lelaki bertubuh besar itu membisu. Lama ia berpikir. Adakah manfaatnya jika ia menceritakan peristiwa sebenarnya kepada orang yang mengaku sebagai cucu Yoshimasu itu? Apakah tidak lebih baik aku membiarkannya berpikir bahwa Tentara Sekutulah yang membunuh kakeknya. Dengan begitu aku dapat menyelamatkan nama baik para pemuda yang menyerbu ke markas Yoshimasu, termasuk diriku. Anak lelaki bertubuh besar seakan menyadari apa yang tersimpan dalam kepala ayahnya. Agar ayahnya tidak dikejar-kejar dosa sepanjang hidupnya, ia pun menyuarakan pendapatnya. “Ayah sebaiknya menghubunginya dan menuturkan semua yang ayah ketahui. Ia ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa kakeknya yang menjadi korban. Cobalah ayah baca artikel yang bagus dan mengharukan itu. Kalau sekadar ingin tahu nasib ayahnya sebenarnya cukup jika ia menulis surat pembaca. Tetapi, ia menulis artikel karena peristiwa di Tebing Tinggi itu selalu menjadi pembicaraan tentang Jepang yang kembali dari Sumatera. Nama kota itu ditulisnya berkali-kali dalam artikel itu. Dengan menceritakan semua yang terjadi pada Yoshimasu, percayalah, ayah, akan terbebas dari kejaran dosa yang tak berujung itu.

“Kau sendiri bagaimana?” “Orang-orang yang menjadi korban temanku seorganisasi bukanlah orang-orang penting seperti Kapten Yoshimasu. Hingga saat ini pun aku tidak pernah mendengar ada orang yang mempersoalkan hal itu. Siapa mereka dan mengapa mereka dikorbankan. Hanya para pelaku kejahatan itu yang dapat menjawabnya. Atau mereka pun tidak tahu karena perbuatan tidak terpuji itu mereka lakukan secara membabi buta karena amarah yang mencapai puncak. Biarlah ayah aku terus menanggung dosa ini hingga suatu saat nanti aku dapat terbebas dari kejarannya. Siapa tahu dengan pengakuan ayah terhadap cucu Yoshimasu secara bertahap kejaran itu akan berhenti. Siapa tahu”. Lelaki bertubuh besar masih membisu. Kemudian ia menghampiri anaknya dan memeluknya. “Berikan alamatnya kepada ayah.”

Jakarta, 16 Maret 2017 (Diilhami oleh buku The Dawn of Sumatra karya Takao Fusayama, diedarkan oleh Badan Musyawarah Pejuang Republik Indonesia Medan Area (PRIMA) dan Lina Computer Press—tanpa tahun penerbitan). Sori Siregar. Menulis cerpen sukar dihentikannya. Karena ia menulis terus, akhirnya ia bingung sendiri mau ke mana cerpen-cerpen itu dikirimkan. Media memang banyak, tetapi untuk mengikuti semua media itu tentu memerlukan kerja ekstra. Karena itu, cerpen-cerpen tersebut disimpannya sendiri. Kompas adalah tempat utama ia menyalurkan cerpen-cerpennya.

AGUS NOOR, CERPEN, KOMPAS

Lelucon Para Koruptor

Lelucon Para Koruptor ilustrasi AG Rama Dalem/Kompas Ada yang tak disampaikan ketika ia masuk penjara: mesti menyiapkan banyak lelucon. Mungkin Join Sembiling SH lupa soal itu. Pengacara yang menangani kasusnya itu hanya mengatakan kalau ia tak usah terlalu khawatir selama menjalani 8 tahun masa tahanannya karena segala sesuatunya sudah ada yang atur dan urus. “Percayalah, penjara bukanlah tempat yang menyeramkan bagi koruptor,” katanya setengah tertawa. Kehilangan kebebasan, bagaimanapun membuatnya merasa tertekan. Ia membayangkan kehidupan yang begitu membosankan dan akan mati kesepian. Tapi pengacara berpenampilan perlente itu, yang sudah menangani puluhan kasus korupsi,

menenteramkannya, “Anggap saja kau hanya pindah tempat tidur. Kau tetap bisa menjalankan bisnismu dan menikmati hal-hal yang kau sukai seperti biasanya.” Ia kini benar-benar percaya dengan semua yang dikatakan pengacaranya. Ia tak perlu pusing memikirkan kebutuhan hidup bulanan istrinya karena sudah ada yang menanggung, juga biaya sekolah anak-anaknya. Kawan-kawan dan atasan yang merasa diselamatkannya—karena ia tak menyebutkan nama mereka selama persidangan—telah diatur oleh Join Sembiling SH agar membantu semua kebutuhan rumah tangganya sebagai “ucapan terima kasih”. Bahkan, ia masih bisa berkomunikasi dengan mereka, dan istrinya bisa sewaktu-waktu menemuinya bila memang ia membutuhkan untuk “menyelesaikan hasratnya”. Bila merasa bosan dan pengin sedikit refreshing berjalan-jalan di luar, semua “prosedur formal akan dibereskan dengan biaya secukupnya”. Bila kangen makanan kesukaan, tinggal telepon dan akan segera ada yang mengantarnya. Yang menggelisahkan justru karena ia mesti menyiapkan lelucon. Ini ia ketahui setelah dua minggu dalam penjara. Ia diundang mengikuti pertemuan dengan para penghuni lama. “Ini pertemuan yang rutin diadakan tiap malam Rabu,” ujar Sarusi, kawan satu selnya, anggota dewan yang tertangkap tangan karena kasus suap reklamasi. “Kau bisa berkenalan dengan orang-orang terhormat di sini. Kesempatan langka, yang mungkin tak akan bisa kau dapatkan bila kau masih di luar sana.” Sarusi tersenyum. “Siapkan saja satu lelucon paling lucu yang kau punya, yang bisa menentukan martabatmu.” Ia bingung saat itu. *** Akhirnya ia tahu. Setiap yang hadir bergiliran menyampaikan satu lelucon. Yang paling lucu akan naik martabatnya karena akan dilayani oleh yang kalah, yakni yang dianggap paling tak lucu. Menjadi raja dalam seminggu, yang boleh memerintah atau mengerjai siapa pun yang kalah, misalkan menyuruh berdiri dengan satu kaki, menangkap seekor kecoa, dicoreng wajahnya dengan spidol dan tak boleh dibersihkan selama seminggu, memijiti tiap malam, dan bahkan menyuruhnya membersihkan sel. Lelucon-lelucon itu menghiburnya, sekaligus membuatnya mati kutu. Saat pertama kali hadir dalam pertemuan itu, ia dianggap paling tak lucu dan disuruh menyanyikan lagu nasional yang didangdutkan sambil goyang ngebor. Sialan! Rupanya semua telah sepakat untuk memplonconya sebagai warga baru karena ia tahu, sebenarnya lelucon Pak Hakil lebih tak lucu dari leluconnya. Pak Hakil, mantan hakim konstitusi, sebenarnya tak pernah bisa membuat lelucon lucu. Leluconnya nyaris sudah basi dan garing. Tapi semua yang mendengar selalu tertawa. Misal, suatu kali Pak Hakil melontarkan tebak-tebakan, “Kenapa di rel kereta api selalu ditaruh batu? Karena kalau ditaruh duit, pasti habis diambil kita semua.” Ia tahu, itu hanya lelucon lama yang dimodifikasi, tapi semua tertawa. Bahkan, ketika Pak Hakil menceritakan lelucon usang soal “kereta api yang berhenti di stasiun karena rodanya kempes”, semua tertawa ngakak. Apa lucunya? Kemudian Sarusi membisikinya, “Kau harus tertawa meski tak lucu. Pak Hakil sudah cukup menderita karena divonis seumur hidup, jadi anggap saja kita sedekah tawa karena ingin membuatnya terhibur. Ingat, menyenangkan orang lain itu dapat pahala. Haha….”

Kemudian, ia memahami, soal masa hukuman itu termasuk hal penting yang harus dihormati. Semakin lama masa hukuman, maka akan semakin tinggi kehormatannya. Yang lebih rendah vonis hukumannya harus menghormati yang dihukum lebih lama di atasnya. Bila lebih dari 15 tahun penjara, ibaratnya berpangkat setingkat jenderal. Yang dihukum seumur hidup langsung dapat gelar jenderal bintang lima anumerta. Kalau cuma dua tiga tahun, itu kelas kopral. Jumlah yang dikorupsi juga menentukan martabat. Bung Jayus, pegawai pajak yang masih muda tapi menilep miliaran, dipandang lebih terhormat dari Pak Muad Arim, bupati yang sudah berumur 70 tahun, tetapi hanya kesandung uang recehan ratusan juta. Makin banyak uang makin terpandang dan disayang. Setidaknya makin disayang para sipir penjara, kata Mas Unas, mantan ketua sebuah partai. Mas Unas tetap merasa dirinya hanya dikorbankan. “Saya tak bersalah. Terbukti saya tidak menerima satu rupiah pun…, sebab yang saya terima dalam bentuk dollar.” Leluconleluconnya sering mengejutkan. Di pertemuan malam Rabu itulah—yang sering dibilang Mas Unas sebagai “tadarus lelucon”— setiap yang hadir seperti ingin saling menghibur, tetapi kadang juga terasa ingin meneguhkan kehormatan dan martabatnya dengan saling sindir saling ledek. Dan Mas Unas kerap menjadi bintang dengan lelucon-leluconnya. Bung Jayus sering kena sasaran. “Kamu tahu, pajak itu mudah, yang sulit membayarnya,” kata Mas Unas. Semua tertawa. Bung Jayus mesam-mesem. “Orang pajak itu paling pelit. Saya punya kawan, perempuan yang pacaran dengan pegawai pajak. Tiap makan, selalu perempuan itu yang bayar. Ketika perempuan itu kesal, pegawai pajak itu bilang, ‘tenang, kamu yang bayar makannya, saya yang urus pajaknya’.” Kembali semua tertawa. “Tapi harus diakui, di antara kita semua, pegawai pajak yang akan gampang masuk surga. Ketika mau masuk gerbang surga, tiap orang akan ditanyai malaikat. Nah, ketika sampai di gerbang surga, justru pegawai pajak yang malah menanyai malaikat, ‘Tolong perlihatkan SPT pintu gerbang surga ini?! Apakah sudah melunasi pajak pintu gerbang surga?’ Mendengar itu, malaikat cepat-cepat menyuruh pegawai pajak itu masuk surga biar urusan pajak nggak diungkit-ungkit.” “Mas Unas,” timpal Bung Jayus, “semua orang itu jujur, kecuali soal pajak.” Kelebihan lain Mas Unas ialah piawai memberi konteks leluconnya dengan apa yang aktual. “Saya baru baca berita, kalau saat ini jumlah orang miskin hampir 100 juta. Sementara ekonomi hanya dikuasai oleh 10 orang terkaya. Menurut saya, ini berita bagus.” “Lho kenapa?” “Artinya, di negeri ini lebih gampang jadi orang kaya ketimbang jadi orang miskin. Kalau mau jadi orang miskin, harus bersaing dengan 100 juta orang. Tapi kalau mau jadi orang terkaya, saingannya hanya 10 orang. Artinya, kalau nanti kita keluar, kita masih tetap punya harapan untuk makin kaya karena hanya bersaing dengan 10 orang itu.” Semua nyengir.

Menyiapkan lelucon seminggu sekali menjadi hal yang paling menggelisahkannya dalam penjara ini. Memikirkan lelucon yang harus disiapkan untuk pertemuan Rabu malam itu saja sudah membuat perutnya mual. Ia selalu tak pernah bisa yakin dengan lelucon yang ia anggap lucu. Barangkali lelucon itu memang lucu, tapi ia tak pernah bisa menyampaikannya sebagai kelakar yang menarik. Ia pasti langsung keringat dingin ketika sampai gilirannya. Hal yang semakin membuat gelisah, ia selalu merasa, apa pun leluconnya, tak pernah ada yang menganggap lucu. Ia pernah menceritakan lelucon politik paling lucu tentang Stalin yang setiap pagi selalu mengulangi lelucon yang sama pada para pengawalnya, dan para pengawal itu tetap tertawa; sebab bila ada yang tak tertawa, langsung ditembak. Itu satir, tapi tak seorang pun tertawa ketika ia menceritakannya. Lalu, di pertemuan berikut ia memilih humor asosiatif dan menyerempet porno. Jangankan ada yang tertawa, tersenyum tidak. Malah ia jadi bahan ledekan. Ia juga sudah mencoba teka-teki konyol, tetap saja dianggap kalah lucu dengan lelucon Pak Hakil yang sama sekali tak lucu. Bahkan, yang membuatnya tak paham sekaligus geram, ia pernah dengan sengaja memilih lelucon yang sama dengan lelucon Pak Hakil: tentang kenapa anak babi selalu jalan tertunduk sebab malu punya ibu babi. Ketika Pak Hakil yang cerita, semua tertawa terbahak. Tapi saat ia menceritakan lelucon yang sama itu, semua diam. Ia tak bisa marah kepada Pak Hakil sebab sebagaimana “kode etik” sesama tahanan, Pak Hakil lebih terhormat (hukumannya lebih lama) dan lebih bermartabat (jumlah korupsinya lebih banyak). Selama setahun mengikuti malam lelucon itu, ia tak pernah terpilih sebagai yang paling lucu. Ia menyampaikan rasa penasarannya kepada Sarusi, tapi rekan satu selnya menghindar menjawab. Ia yakin Sarusi menyembunyikan rahasia. Ia selalu memancing agar Sarusi menjelaskannya. “Kau tak tahu?” kata Sarusi suatu malam, saat ia terus mendesaknya. “Kamu menutupi banyak fakta, hingga hanya kamu sendiri yang masuk penjara. Kamu melindungi semua atasanmu yang terlibat. Oleh mereka yang diselamatkanmu, kamu dianggap hebat, pahlawan penyelamat. Tapi bagi kawan-kawan di sini, kamu hanyalah seorang pengecut. Karena tak pernah berani menyebutkan nama-nama yang ikut korupsi bersamamu.” Sarusi menatapnya. Ia merasakan kesunyian yang membuatnya kehilangan semua kebanggaannya. Membayangkan sisa hukuman dengan harus memikirkan dan menyiapkan lelucon setiap minggu sungguh-sungguh menjadi siksaan yang lebih mengerikan dibanding hukuman dalam penjara yang mesti dijalani. Membuatnya merasa seperti pecundang yang sedang dihukum dengan lelucon-leluconnya sendiri.

Jakarta, 2016-2017 Agus Noor, belakangan lebih dikenal sebagai sutradara dan penulis lakon dalam seri pertunjukan Indonesia Kita. Dikenal piawai menggabungkan para talent dalam satu gagasan cerita yang utuh dan menawan. Bukunya yang sudah terbit, antara lain, Bapak Presiden yang Terhormat, Memorabilia, Selingkuh Itu Indah, Rendezvous,

Matinya Toekang Kritik, Potongan Cerita di Kartu Pos, Sepotong Bibir Paling Indah di Dunia, dan Ciuman yang Menyelamatkan dari Kesedihan. Agus berdomisili di Yogyakarta, tetapi lebih sering bekerja di Jakarta.

CERPEN, FAISAL ODDANG, KOMPAS

Siapa Suruh Sekolah di Hari Minggu?

Siapa Suruh Sekolah di Hari Minggu? ilustrasi Bambang Herras/Kompas Nama saya Rahing, usia delapan tahun lebih. Saya baru saja membunuh kakak saya. Lehernya saya potong pakai parang milik gerombolan. Saya ditangkap tentara. Tentara banyak sekali pertanyaannya, saya jadi pusing. Saya bilang mau pulang. Tentara bilang tidak boleh. Saya jadi sedih dan takut. Besok hari Minggu, Guru Semmang akan cubit saya kalau tidak masuk sekolah. Sekolah kami sekarang, pindah ke dalam hutan. Saya bilang, saya mau cerita tetapi sesudah itu, saya pulang. Tentara setuju. Saya bilang lagi, saya mau cerita tetapi jangan bilang sama Guru Semmang. Dan jangan kasih tahu ayah kalau saya di sini, tentara janji. Saya takut Guru Semmang cubit saya. Saya takut Ayah lihat saya, dia mau bunuh saya. Dia sering dipukul ayahnya menggunakan warangka parang. Bermacam-macam persoalan menjadi penyebabnya. Yang paling sering, karena Rahing dekat dengan Semmang—lelaki yang ayahnya benci secara ideologi bahkan secara personal. Yang Rahing alami sungguh tidak serumit yang di kepala ayahnya. Dia dipukul, memang itu menyakitkan—dia sudah terbiasa—tetapi ada kenyataan lain yang membuat

tangisannya seolah tangisan penghabisan pada suatu malam: ayahnya melarang dia pergi ke sekolah saat hari Minggu. “Itu sekolah gerombolan.” “Guru Semmang ajar kami mengaji, kami belajar menyanyi bahasa Arab, saya suka. Guru Semmang bilang dia pejuang, tidak boleh bilang gerombolan.” “Kau nanti ditangkap tentara!” “Guru Semmang bilang jangan takut.” “Kau nanti ditembak!” “Guru Semmang bilang jangan takut.” “Kau keras kepala sekali, sama kayak Semmang, kalian sama saja.” *** Ayah pernah bilang saya akan ditembak kalau tentara tangkap saya. Ayah pasti sudah berdosa karena bohong, karena tentara tidak tembak saya. Tentara bilang akan kasih permen, kalau mau cerita kenapa saya memotong leher kakak saya. Saya juga nanti dilepas dan dibiarkan pulang ke hutan. Saya jadi senang karena besok hari Minggu dan saya akan diberi hadiah oleh Guru Semmang karena saya sudah hafal doa sebelum tidur. Saya suka permen, kata Ayah, tentara punya banyak permen. Jadi harus berteman sama tentara. Saya sama warga dan Guru Semmang dan temannya, pernah rusak jembatan. Waktu itu sudah malam. Kata Guru Semmang, kalau jembatan rusak, tentara tidak bisa ganggu kami sekolah dan mengaji. Saya jadi senang. Besoknya tentara datang ke kampung kami cari laki-laki yang sudah besar. Ayah juga dipanggil, jadi saya ikut. Kami disuruh perbaiki jembatan yang rusak. Tentara itu kasih saya permen karena saya bantu angkat tanah. Kata Ayah, lihat mobil besar milik tentara itu, semua isinya adalah permen. Saya tambah rajin angkat tanah. *** Di posko tentara, Rahing duduk sambil menjilati permen gula aren di kedua tangannya. Ia mengenakan kemeja putih kecoklatan, peci hitam bulukan, sarung yang kedodoran dan kaki penuh lumpur. Dia bersama seorang tentara yang terus bertanya banyak hal. Posko sementara telah dibangun Tentara Jawa—istilah warga saat menyebut tentara nasional yang dikirim untuk Operasi Tumpas di Sulawesi. Hal itu disebabkan semakin banyaknya sekolah yang dipaksa libur di hari Jumat dan buka pada hari Minggu oleh gerombolan. Salah satunya, di sebuah kampung kecil di pelosok Kabupaten Wajo, kampung Rahing. Awalnya tentara datang menawarkan rasa aman, kemudian satu per satu warga ditangkap karena dituduh mata-mata gerombolan. Pada mulanya semacam itu, kemudian ternak warga mereka beli dengan harga murah, padi

dipanen sebelum waktunya, hasil kebun mereka petik paksa. Semua tentara lakukan ketika gerombolan semakin sering keluar hutan untuk mengambil persediaan makanan dari orang-orang kampung. Warga menjadi telur yang semula berada di ujung tanduk sapi lalu menyelamatkan diri ke ujung tanduk kerbau. Rahing masih menjilati permennya, sementara pertanyaan demi pertanyaan masih terus ditujukan untuknya. Tentu tidak semua ia jawab. “Kenapa kau gorok leher kakakmu?” “Dia jahat.” “Disuruh siapa?” “Guru Semmang.” “Apa katanya?” “Nanti saya dicubit, kata Guru Semmang tidak boleh cerita.” “Kalau tidak cerita, nanti kau tidak kami pulangkan, ayahmu kami panggil di sini. Benar, kan, Komandan?” tentara itu memandang, menuntut pengiyaan dari seorang tentara lain yang berdiri sambil melipat lengan di depan dada. *** Tentara itu bilang saya tidak boleh pulang. Sudah malam, nanti Ayah tahu saya di sini. Saya sebenarnya mau cerita lagi, tetapi saya ingat waktu Guru Semmang larang saya cerita kalau ada yang tanya. Tetapi, saya mau pulang, jadi saya cerita saja karena mungkin tentara tidak akan kasih tahu Guru Semmang. Jadi, kata Guru Semmang, kakak saya teman tentara. Karena kakak saya, Ibu dibunuh. Saya jadi sangat benci sama kakak saya. Saat Guru Semmang kasih saya parangnya, saya langsung potong lehernya seperti cara Ayah potong leher ayam kalau mau lebaran. Saya jadi rindu Ibu. Kalau lebaran, Ibu bikin ayam goreng. Saya senang karena kakak saya mati. Karena kata Guru Semmang, Ibu pasti senang juga di surga. Karena orang yang bikin dia mati sudah saya bunuh. Saya dapat pahala kalau bikin orangtua senang. Tetapi, Ayah tidak senang, dia mau bunuh saya juga, jadi saya lari ke hutan ikut sama Guru Semmang. Saya benci Ayah, dia tidak senang kalau Ibu senang. Dia juga tidak tahu bikin ayam goreng. *** Rahing membenci ayahnya seperti benci yang dia miliki ketika melihat leher kakak laki-lakinya memasrahkan diri pada parang yang diberikan Semmang. Saat itu, menjelang perayaan kemerdekaan, hari Minggu pada bulan Agustus 1961—Rahing baru sampai di sekolah ketika tiba-tiba Semmang menyuruh anak-anak lainnya menyalin bacaan yang ada di papan tulis.

“Saya ada tugas dulu sama Rahing,” kata Semmang sambil menggamit Rahing untuk mengikuti langkahnya yang buru-buru. Rahing belum selesai dengan rasa penasaran di kepalanya ketika ia tiba di hutan kecil di belakang sekolahnya. Sekolah yang hanya punya satu ruangan dengan dinding anyaman batang nipah serta atap rumbia. Beberapa anggota gerombolan memberi hormat menyambut kedatangan Semmang. Seorang pemuda awal dua puluh tahunan terduduk dengan kaki terikat memanjang ke depan serta tangan yang diikatkan pada batang cokelat di belakangnya. Mata pemuda itu ditutup dengan kain berwarna hitam dan mulutnya tampak dijejali dedaunan kering. Rahing mengenal pemuda itu, dia Walinono, kakaknya. Yang terjadi selanjutnya kurang lebih seperti yang Rahing sampaikan kepada tentara: Semmang mulai bercerita mengenai Walinono yang pengkhianat dan harus terima balasan. “Kau siap bikin ibumu senang, Rahing?” Semmang bertanya dengan pertanyaan yang membuat Rahing bergeming—ia terus memandangi kakaknya seperti memandang sebuah titik kecil di ufuk. Ia masih diam dan tidak menolak ketika gagang parang dijejalkan oleh Semmang ke tangannya. “Kau bisa bikin ibumu senang, dapat pahala bikin orangtua senang.” Rahing maju beberapa langkah dan beberapa saat setelahnya terdengar suara orokan yang begitu keras disusul darah yang mengalir. “Kau bantu, cepat!” Seorang anggota gerombolan mengambil parang dari Rahing—dan memutuskan leher Walinono yang tidak bergerak lagi. “Bagaimana perasaanmu, Nak Rahing, senang?” Semmang menepuk-nepuk pundak Rahing yang masih diam dengan tatapan kosong. Rahing baru tersenyum ketika Semmang mengatakan: “Ah, pasti ibumu senang sekali, Rahing!” Malam baru saja tiba ketika Rahing berjalan pulang menyusuri jalan kecil yang sudah sepi. Jalan penghubung hutan dan perkampungan; menghubungkan rumah dan sekolahnya. Ia tampak girang dan sesekali berlari kecil sambil menggigit sepotong tebu di tangan kirinya, yang diberikan Semmang sebagai hadiah. Di tangan kanannya ia menenteng sebuah karung goni yang berisi kepala Walinono. “Kau bawa kepala kakakmu, kasih lihat ke ayahmu. Kalau dia senang, berarti dia sayang ibumu. Kalau marah, berarti dia tidak suka ibumu senang, jadi kau ikut saja ke hutan, saya lebih cocok jadi ayahmu.” Di kepala Rahing, masih melekat jelas apa yang Semmang ucapkan ketika menyerahkan karung goni itu. Jalan semakin sepi juga sunyi—ia masih butuh berjalan

sekitar setengah jam untuk tiba di rumah. Tebu yang sisa sepah ia lemparkan ke semak-semak di sisi jalan. Rahing lantas meletakkan karung goninya di tanah. Sambil berlari kecil ia mulai menyepak karung itu seperti sedang menggiring bola—dan baru berhenti ketika cahaya pelita di perkampungan mulai tampak. *** “Saya suka main bola. Kepala kakak seperti bola, jadi saya tendang saja.” Saya sudah ngantuk. Tentara masih suruh saya cerita. Dia bilang saya tidak boleh tendang kepala kakak, tetapi Guru Semmang bilang boleh. Saya percaya Guru Semmang. Saya memang sudah benci Ayah, tetapi dia tidak bohong, tentara memang banyak permennya. Saya dikasih lagi, saya disuruh cerita lagi. Saya ditanya lagi, katanya di mana kepala kakak saya. Saya bilang tidak tahu. Ditanya lagi, bilang di hutan bagian mana Guru Semmang sembunyi, saya juga bilang tidak tahu. Sebenarnya saya tahu. “Tahu kau, kapan mereka akan keluar hutan atau merusak jalan sama jembatan?” Saya menggeleng ditanya begitu. Saya jadi sedih karena lupa, saya sudah janji sama Ibu tidak akan menggeleng atau mengangguk, kata Ibu tidak sopan. “Kau tahu siapa yang kasih gerombolan senjata?” Saya bilang, saya tidak tahu. Seandainya tahu, saya juga mau minta. Saya mau sekali punya senapan, saya dulu suka main senapan tetapi dari pelepah pisang. “Kenal sama gerombolan yang kena tembak bulan lalu?” Saya menggeleng, saya lupa lagi, ingat Ibu lagi. *** Memang Rahing tidak tahu siapa yang tertembak oleh tentara waktu itu. Semmang yang tahu—dan karena itu, dia memburu Walinono yang baginya telah memasok informasi untuk tentara. Informasi mengenai rencana-rencana merusak jalan dan jembatan oleh gerombolan memang semuanya tiba di tentara dengan campur tangan Walinono. Ketika tiga orang gerombolan tertembak setelah keluar hutan, itu juga berkat Walinono. Untuk informasi yang diberikan dia mendapat imbalan berbungkus-bungkus rokok dan seragam bekas tentara. Dari tiga gerombolan yang tertembak, salah satunya adalah adik kandung Semmang. “Kau kenapa melakukan ini?” Jawaban Walinono ketika tentara meragukan kesetiaannya sungguh tidak meragukan. Dia akan bercerita mengenai ibunya yang meninggal diperkosa. “Tidak ada cara lain membalaskan dendam Ayah selain begini, Komandan.”

Ia mengingat, malam itu ibunya pamit untuk menjual tenunannya ke Sengkang— ibu kota kabupaten. Ibunya berangkat, berjalan kaki tengah malam dengan harapan tiba pagi hari ketika pasar mulai dibuka, seperti biasa. Ibunya berangkat setelah melumuri tubuh dan wajahnya dengan arang; sudah menjadi kebiasaan bagi perempuan yang ingin keluar dari kampung itu. Diri mereka dibuat sejelek mungkin agar terhindar dari tangan tentara atau gerombolan yang ingin melecehkan. Ibunya tidak pernah tiba di Sengkang. Mayatnya ditemukan membusuk, telanjang dan mengambang di sungai, beberapa hari kemudian. Tidak ada yang tahu siapa pelakunya, tetapi Walinono tidak mencurigai nama lain selain Semmang—dia adalah mantan kekasih ibunya—yang sangat sakit hati ketika ibu Walinono memilih lelaki pilihan orangtuanya. Semmang waktu itu berjanji tidak akan pernah menikah—dan dia membuktikannya. Dia berjanji akan pembalas pengkhianatan itu, dia telah membuktikannya.

Wajo, 2017 Faisal Oddang, mahasiswa sastra Indonesia di Universitas Hasanuddin. Menulis novel Puya ke Puya yang menjadi salah satu pemenang sayembara novel DKJ 2014 serta menjadi novel terbaik versi majalah Tempo 2015. Terpilih sebagai penulis cerpen terbaik Kompas 2014 dan menerima anugerah ASEAN Young Writers Award 2014 dari Pemerintah Thailand. Sedang menyiapkan kumpulan puisi Perkabungan untuk Cinta dan novel Tiba Sebelum Berangkat.

CERPEN, KOMPAS, RIKA

Pena

Pena ilustrasi Loli Rusman/Kompas Subuh itu aku dilahirkan di ranjang perjudian. Orangtuaku adalah penjual lotre di sebuah kota kecil. Tante, om, tetangga, dan semua yang dekat dengan keluargaku juga senang berjudi. Saat aku lahir di sebuah rumah sakit, sebuah gelang dilingkarkan di pergelangan mungilku, sebagai tanda aku adalah anak dari ibuku. Gelang itu berisikan angka-angka. Dan semua angka-angka itu dipasang di meja lotre. Tak hanya sampai di situ saja, tanggal lahir, jam dan menitnya pun diikutsertakan. Siapa yang menyangka, mereka semua riang gembira atas kemenangan angka-angka itu. Tujuh hari berturut-turut angka-angka itu bergantian keluar menjadi pemenang. Disebutlah aku sebagai anak perempuan pembawa berkah! Saudara ayahku yang terlibat dalam salah satu keberuntungan waktu itu menceritakan padaku dengan senyumnya yang rekah dan mata yang berbinar mengingat kejadian itu. Apakah agama mengajarkan mereka seperti itu, aku pun tidak tahu. Salah dan benar, benar menjadi salah, salah menjadi benar, kelihaian manusialah mengotak-

atiknya dengan tingkah dan kata-kata, begitu susah untuk percaya pada manusia, hanya yang Maha Tunggallah yang kelak akan memberi kebenaran sesungguhnya. Saat itu mereka memberiku nama Pena. Ayah dan ibuku berdebat mengenai arti namaku tapi sepakat atas pilihan nama itu. Menurut Ayah, Pena bisa berarti aku seseorang yang pintar menulis, termasuk menulis hidupku sendiri. Menurut Ibu, jalan hidupku sudah dituliskan, bahwa akulah pembawa keberkahan, dalam hidupku dan keluargaku. Mereka terus berdebat, padahal kedua-duanya baik menurutku. Tak ada yang keliru. Jika saat itu aku sudah mampu berbicara, maka aku akan menyela dan membuat mereka berdamai. Sejak itu aku berpikir, bahwa orang dewasa memperdebatkan hal-hal yang begitu gampang untuk disepakati, tapi mereka begitu angkuh dengan persepsi mereka masing-masing. Bagaimana nanti saat aku dewasa? Apa mungkin aku akan memperjuangkan pikiranku juga? Musim panas berganti musim hujan, berulang-ulang demikian, tahun-tahun berganti, umurku sudah empat, dan aku mulai bersekolah. Aku disekolahkan di sebuah TK. Untuk tingkatan pertama memulai sekolah, saat itu aku ditempatkan di TK Nol Kecil, kegiatannya hanya bernyanyi-nyanyi, menari-nari, bermain-main, dan tepuk tangan, sedangkan aku tidak pandai bernyanyi, apalagi menari. Kalau bermain dan tepuk tangan aku rasa aku bisa melakukannya di rumah. Sejak saat itu aku mulai mengerti, kenapa orang dewasa senang berdebat, karena mereka memiliki kemampuan untuk berpikir. Saat otak mereka berpikir, tentunya sesuatu dari luar tidak begitu gampang dan cepat dapat diterima oleh si pemilik tubuh, yaitu pikiran itu sendiri. Maka mereka akan melakukan penerimaan atau pun penolakan. Saat sesuatu mereka rasa tidak sesuai keinginan gerak tubuh, maka ada penolakan yang besar terhadap sesuatu itu, dan itulah pertama kalinya aku tidak ingin melakukan hal yang menurutku membosankan. Aku lebih suka membaca dan menulis. Lalu karena aku pandai berunding dengan ayah dan ibu, mereka mencari akal agar aku tetap mau bersekolah. Akhirnya orang dewasa mampu mengatasi keinginan anak kecil dengan sedikit rumit memang, mereka berdiskusi dengan sesama orang dewasa, agar memaklumi keinginan seorang anak kecil yang belum mampu berpikir dengan baik, agar menyetujui begitu saja pilihanku agar tetap mau bersekolah, bukankah mereka telah keliru menilaiku saat itu? Padahal aku rasa aku telah memikirkannya dengan baik untuk pendapatku yang satu itu. Ibu, ayah, dan kepala sekolahku yang cantik setuju, aku dinaikkan satu tingkat, aku akan masuk kelas TK Nol Besar. Kegiatannya tepat seperti apa yang aku inginkan, membaca dan menulis. Saat itu aku hanya punya tiga teman, dua perempuan dan satu laki-laki. Aku tidak suka bergaul dengan banyak orang, bahkan kadang di saat istirahat aku lebih suka sendirian. Temanku Nilam dan Lita mereka suka membicarakan hal-hal yang menurutku tak perlu untuk dibicarakan, apalagi membicarakan tentang keburukan orang lain. Sedangkan Tomi, selalu mengajak kami bermain-main di taman dan berlari-lari, aku sedikit lelah dan tak ingin bajuku menjadi basah dan bau karena keringat. Biasanya Ayah selalu menjemput dan mengantarku sekolah. Ibu menungguku di rumah dan menyiapkan makan siang untukku sambil mengurusi jahitannya. Ibuku seorang penjahit. Ibu dan Ayah sudah berhenti menjadi penjual lotre, pekerjaan ini menurutku lebih baik.

Ada suatu hari, di mana Ayah tidak menjemputku, tapi kakak sepupuku yang rumahnya dekat dengan rumahku ditugaskan Ayah untuk menjemputku pulang dari sekolah. Ia tidak begitu tua, usianya hanya berbeda sepuluh tahun dariku. Ia menjemputku berjalan kaki, karena rumahku dan sekolah jaraknya tidak begitu jauh. Saat itu sesampainya di rumah, Ayah dan Ibu ternyata belum pulang, mereka pergi ke acara pemakaman rekan Ayah. Saat itu, Dodi menemaniku di rumah. Ia mengajakku bermain dan aku mengiyakan, ia memintaku berbaring dan ia melepas rok sekolahku. Dan sejak siang itu, aku telah kehilangan diriku sendiri. Lama baru aku tahu, apa yang ia lakukan padaku adalah memperkosa! Sialan! Sejak saat itu aku lebih pemalu dan tertutup. Aku semakin takut dekat dengan orang-orang selain Ayah dan Ibuku. Termasuk kakak laki-lakiku. Aku menjaga jarak dengannya. Tapi hidup tak pernah berhenti sampai di situ, saat kau berpikir harusnya tak ada hari esok, ternyata apalah kau manusia, tak mampu mengaturnya. Matahari tetap bersinar, dan aku pun menyambutnya. Aku ceritakan kejadian buruk itu pada Ibu, berharap tak pernah lagi bertemu dengan sepupuku itu, tetapi anehnya aku tidak mengerti kenapa orang dewasa marah tidak pada tempatnya. Ibuku, segera memukuliku dan memandikanku, ia membersihkan seluruh tubuhku dengan kasar, dan kemudian terus memukul tubuhku, sambil air mata terus-menerus membasahi pipinya dan ia terisak-isak. Aku benci melihatnya seperti itu. Ia boleh memukulku, tetapi tidak boleh menangis. Bukankah yang bersalah adalah kakak sepupuku, bukan Ibu. Hari-hari berlalu, aku merasakan kesepian dalam hatiku, aku mengingat kenangan yang buruk. Bagaimana bisa aku menjadi perempuan yang menarik untuk seorang lelaki? Umurku baru 4 tahun. Sebelum tidur malam, aku mencari botol susu, tanpa mengedot aku tidak akan bisa tidur. Pernah suatu malam, dotku digerogoti oleh tikus yang jahat, tapi aku juga tidak berhak mengatakan tikus itu jahat. Bisa jadi tikus itu sedang haus dan lapar, atau juga memang tempat tinggalku yang begitu kumuh. Aku tidak dapat memilih sebab mana yang membuat tikus itu menghabisi dotku. Yang jelas aku begitu tergantung pada dotku. Dan apakah wajar, seseorang laki-laki menginginkan anak kecil yang masih sangat tergantung dengan botol susunya? Dan dia pun aku rasa belum cukup dewasa untuk melakukan hal itu padaku. Aku rasa dia orang gila. Tidak hanya kali itu aku menemukan lelaki “gila” dalam hidupku. Saat aku berumur 8 tahun, aku punya tetangga baru. Mereka semua orang dewasa. Ada satu yang paling aku benci, yang kepalanya botak dan aksen bicaranya begitu mencolok. Ia yang paling sering aku pergoki mengintipku di kamar mandi saat aku mandi. Kamar mandiku dindingnya hanya dilapis oleh seng usang yang banyak lubang-lubangnya. Kamar mandiku tepat bersebelahan dengan rumah sebelah, hanya seng usang penuh lubang itu sebagai pembatas. Aku tidak hanya diintip saat mandi, tapi juga saat buang air. Aku mendengar mereka tertawa-tawa senang dan mengataiku dari dinding sebelah. Setiap kali aku ingin mandi dan buang air tanpa suara agar tidak diintip oleh mereka, tapi bagaimana caranya? Aku semakin bingung dan menceritakannya kepada Ayah dan Ibu. Mereka hanya tertawa dan mengatakan, “Siapa yang mau mengintip anak kecil sepertimu? Ibu saja tidak pernah diintip.” Mereka tak percaya ceritaku. Maka aku pun mencari cara sendiri. Setiap mandi aku selalu memakai baju, dan saat buang air berjongkok aku

menggunakan handuk menutupi kemaluanku dari depan, yang menjengkelkan adalah, mereka memberi lubang di belakang closetku! Sialan! Aku ketakutan dan bingung. Sejak saat itu aku mengutuk para lelaki yang matanya tak bisa mereka jaga dengan baik! Aku mengutuk setiap lelaki yang menyiksa perempuan dengan matanya! Aku membenci lelaki seperti itu! Seandainya saja aku bisa membunuh semua lelaki yang mengintipku, ingin rasanya aku melakukannya, tetapi aku tidak dapat. Mereka telah mencuri hak hidupku! Yaitu kebebasanku mandi dan buang hajat. Mereka patut menderita selamanya karena mata mereka! Mata yang jahat! Mata yang telah membuat seorang perempuan menderita dan terluka! Tapi aku manusia yang tidak akan menyerah untuk melindungi diriku. Aku terus mencari cara, hingga akhirnya satu cara yang terbaik telah kutemukan. Aku menjebak mereka. Aku pura-pura buang air. Pintu kamar mandi sengaja kubuka lebar-lebar. Saat itu beruntung sekali lubang di belakangku tempat mereka mengintip itu semakin besar dan semakin terlihat dengan jelas tidak hanya mata tapi sebagian wajah. Ibuku tiba-tiba masuk ke dalam kamar mandi, dan melihat mereka mengintipku juga mendengar suara mereka cekikikan! Akhirnya! Sejak hari itu, ayahku memperbaiki seluruh kamar mandi. Ibu memarahi mereka dan meminta orang-orang itu segera pindah dari tempat itu. Kalau tidak, ia akan lapor polisi. Mereka pun takut dan kemudian pindah dari tempat itu. Itu adalah satu hari terbaik dalam hidupku. Tapi hari-hari buruk yang pernah kulalui, telah terekam selama aku hidup. Aku terus mengingatnya. Aku menjadi sangat marah dan sekaligus menabung rasa takut dalam diriku. Apa sebenarnya arti namaku? Apakah takdirku begini sialnya? Saat aku duduk di bangku SMP ketakutanku terhadap laki-laki semakin menjadijadi. Aku merasa lebih aman dekat dengan perempuan. Bagiku lelaki punya senjata tajam yang tiap saat bisa saja sangat melukaiku. Aku memutuskan sejak hari itu ingin jatuh cinta pada perempuan saja. Dan aku berhasil membuat diriku menjadi seorang lesbian. Lama aku hidup dalam kekeliruan besar itu, hingga suatu hari aku merasa agama dan adat tak mengajarkan demikian. Setajamnya senjata laki-laki bagiku pada akhirnya aku tetaplah perempuan yang membutuhkan semua itu. Semakin dewasa dan berpengetahuan, aku menyadari segala hal itu. Hingga akhirnya aku berusaha membebaskan diriku dari belenggu ketersesatan ketakutanku sendiri. Aku ceritakan pada ibuku. Dia memelukku. Suatu hari, saat aku dinyatakan lulus dari SMA, Ibu memberi tahu aku harus menikah untuk menjadi perempuan normal dan hilang dari rasa takutku. Seorang laki-laki yang baru saja bercerai dengan istrinya ingin melamarku. Ibuku menerimanya berdasarkan beberapa pertimbangan, aku pun tak jua menanyakan apa pun selain menyetujuinya. Aku ingin mengikuti segala keinginan Ibu dan ada dendam yang harus diselesaikan. Lelaki itu bernama Dodi. Malam pertama aku tak lagi menikmatinya, aku ingat rasanya sama seperti 13 tahun yang lalu, saat aku masih TK. Hanya saja kurasakan tubuhnya yang lebih besar dari yang dulu, karena ia orang yang sama, orang yang telah mencuri keperawananku sebelum waktunya. Seandainya dia sedikit bersabar, aku mungkin akan jatuh cinta tanpa rasa takut. Tapi tak apa, ada sebilah belati yang telah kuselipkan di bawah bantalku, yang sudah kuasah seminggu terakhir. Aku yakin belati itu sangat tajam, akan mampu memusnahkan dendamku.

Rika, menetap di Banjarbaru, Kalimantan Selatan. Peserta Kelas Cerpen Kompas 2017 dengan mentor Linda Christanty, Joko Pinurbo, dan Putu Fajar Arcana. Beberapa buku karya Rika adalah Kertas Bintang (kumpulan cerpen dan puisi-2011), Istri Muda (novel2016), Jane Fara (novel pada tahun 2017), dan Matahari dalam Hujan (antologi puisi2017).

BUDI DARMA, CERPEN, KOMPAS

Tarom

Tarom ilustrasi Suharmanto/Kompas Agen saya tahu, setiap kali saya pergi ke Frankfurt, Jerman, saya tidak mau transit di bandara mana pun, selain bandara Abu Dhabi, Uni Emirat Arab. Ada dua teman di bandara ini, yaitu Manfred pemilik restoran dan Gertrude, pramugari darat. Pada waktu saya berkunjung ke restoran Manfred untuk pertama kali beberapa tahun lalu, dia mengajak saya bersalaman erat, lalu berbisik: “Ibu kamu pasti orang Jerman. Ayah kamu pasti orang Asia Tenggara.” Laki-laki anak ibu Jerman dan ayah Asia Tenggara pasti mirip ibunya, sedangkan anak perempuan pasti mirip ayahnya. Dan memang, kulit saya putih, mata saya biru, dan setiap kali saya ke Jerman, kebanyakan orang menganggap saya orang Jerman. Karena saya tidak membantah, maka setiap kali saya singgah di restorannya, pasti dia memberi sauerkraut, salad khas Jerman, gratis. Setelah mengetahui nama saya Tarom Wibowo, wajahnya berbinar-binar, lalu mengajak saya masuk ke ruang kecil di bagian belakang restoran.

“Lihat, Tarom, saya punya buku kamu.” Dia mengambil buku New Paradigm of Psycho-Hatred, buku saya mengenai likaliku kejiwaan tokoh-tokoh besar, dengan data dari berbagai negara, termasuk Jerman. “Buku hebat,” katanya. “Maaf, saya belum pernah membaca novel kamu.” Setelah mengobrol sebentar, dia berbisik: “Di sini ada gadis Jerman, Gertrude namanya. Pramugari darat. Kalau mau dia bisa menjadi pramugari udara. Terbang ke mana-mana. Seperti saya, dia malu jadi orang Jerman.” Dia berbisik lagi: “Kamu pasti suka Gertrude. Cantik. Dan ingat, dia pengagum penulis hebat bernama Tarom Wibowo. Dia tahu kamu bukan psikolog. Tapi, insting psikologimu benar-benar hebat.” Begitu dipertemukan dengan Gertrude, saya agak gemetar, agak bingung, karena itu memilih untuk diam, dan tampaknya perasaan Gertrude sama. Kami berjabat tangan sampai lama, telapak tangan dia dan telapak tangan saya sama-sama berkeringat dan sama-sama malas untuk saling melepaskan pegangan. Tapi, perasaan aneh merambat perlahan-lahan dari tangan dia, menyusupi tangan saya. Hawa panas bercampur hawa dingin. Dan begitu saya menatap wajahnya, saya agak merinding, lalu dia menunduk, tampak malu. Perasaan saya tidak enak, dan saya putuskan untuk tidak bertemu dengan dia lagi. Ternyata, begitu saya masuk ke ruang tunggu penumpang, pesan dia melalui WA masuk. Begitu membuka telepon genggam setelah saya mendarat di Frankfurt, pesan dia masuk lagi, bukan hanya satu, tapi beberapa. Selama beberapa hari saya di Frankfurt untuk mengurus jual beli hak cipta sekian banyak pengarang dari berbagai negara, pesan Gertrude datang bagaikan banjir. Dan ketika pesawat saya transit lagi di Abu Dhabi untuk kemudian disambung penerbangan ke Surabaya, Gertrude sudah menunggu, lalu mengajak saya ke ruang tunggu khusus. Perhatian dia lebih tertarik pada Berlin sebagaimana yang saya gambarkan dalam beberapa buku saya dibanding dengan cerita saya mengenai Frankfurt. “Kalau kamu ke Berlin, ajaklah saya. Tunjukkanlah tempat-tempat yang kamu tulis dalam buku-buku kamu. Dan kalau kamu pulang, saya ikut ke Surabaya.” Selanjutnya pesan demi pesan berdatangan terus, disertai kutipan lirik lagu “Imagine” The Beatles, “You may say I’m a dreamer, but I’m not the only one.” *** Seperti biasa, ketika akan ke Frankfurt lagi, agen saya tidak pernah bertanya saya ingin naik pesawat maskapai apa asalkan singgah di Abu Dhabi.

Agen saya memilih Angel Air, sebuah maskapai penerbangan baru, berdiri sekitar tiga tahun lalu. Semua orang penting di Angel Air perempuan, sisanya, pekerjaan kasar, diserahkan kepada laki-laki. Mungkin Angel Air percaya, perempuan punya otak dan modal laki-laki hanyalah otot. Nama pilot dan kopilot sudah beberapa kali saya simak melalui berbagai media. Saya belum pernah bertemu mereka, tapi andaikata bertemu, pasti saya mengenal mereka. Pilot bernama Awilia, ayahnya dokter umum dan ibunya dokter mata terkenal, kopilot bernama Azanil, ayahnya dokter umum dan ibunya dokter jantung terkenal. Sejak zaman mahasiswa, empat calon dokter ini sudah bersahabat, dan ketika sudah menjadi dokter mereka bekerja di rumah sakit yang sama. Awilia lahir jam 10:15, Azanil lahir pada hari dan tanggal sama, jam 10:18, di rumah sakit yang sama pula. Umur mereka terpaut tiga menit, dan setelah besar Awilia memperlakukan Azanil sebagai sahabat muda, dan Azanil selalu ingin dijadikan nomor dua. Sejak TK sampai dengan SMA mereka selalu bersama-sama, dan setelah lulus SMA mereka sama-sama menentang keinginan orangtua mereka untuk menjadi dokter. Alasan mereka sama: pada zaman dahulu kala, terceritalah ada dua sahabat karib, yang laki-laki genius tapi homo bernama Leonardo da Vinci, dan yang perempuan luar biasa cantik, Monalisa namanya. Sambil melihat burung-burung beterbangan, berkatalah Leonardo: “Monalisa, lihatlah burung-burung itu. Pada suatu saat, manusia pasti bisa terbang seperti burung.” Monalisa tidak percaya, tersenyum, tanpa berkata apa-apa. Awilia dan Azanil sama-sama mengirim lamaran ke Akademi Penerbangan Airbus di Toulouse, Perancis, sama-sama diterima, dan lulus juga bersama-sama, masingmasing dengan nilai tinggi. Setiap terbang mereka tidak mau dipisah, dan meskipun Awilia ingin gantian menjadi kopilot, Azanil selalu menolak. “Yang muda harus menghargai yang tua,” katanya bergurau. Setelah pesawat mencapai 15.000 kaki, seorang pramugari memberi saya kertas kecil. “Selamat terbang bersama kami pengarang Tarom Wibowo. Kita nanti bertemu di Abu Dhabi.” Saya tidak tahan menahan kantuk. Ada banyak kontrak dan jual beli hak cipta dari sekian banyak pengarang dan penerbit yang harus saya urus di Frankfurt nanti, dan ada banyak pula buku yang harus saya baca, khususnya buku Rochus Misch, bekas pengawal pribadi Hitler, mengenai kematian Hitler. Saya tertidur. Buah tidur adalah mimpi: ibu saya bercerita mengenai bangsa Jerman dan bangsa Jepang, dua bangsa besar dan sama-sama tololnya. Bangsa Jerman sangat setia kepada manusia bernama Hitler, dan bangsa Jepang sangat patuh pada keturunan Dewi Matahari, yaitu Kaisar Hirohito. Karena ketololannya, atas hasutan Hitler, bangsa Jerman dengan penuh semangat merusak dunia, demikian pula bangsa Jepang, bukan oleh hasutan manusia.

Ingat, kata ibu saya, dalam PD I Jerman dikalahkan oleh Jepang, dan semua tawanan perang Jerman diperlakukan dengan sangat baik oleh Jepang, bahkan lebih baik daripada serdadu Jepang sendiri. Perang antara Jerman dan Jepang dalam PD I mirip dengan perang antara Indonesia dan Malaysia di perbatasan dua negara di Kalimantan setelah Bung Karno menyatakan perang melawan Malaysia dengan semboyan “Ganyang Malaysia”. Serdadu Indonesia dan serdadu Malaysia pura-pura saling tembak, kemudian lari-lari menuju musuh, berangkulan erat, bertukar rokok, kemudian bergurau. Karena hanya purapura, perang ini dengan mudah diakhiri dengan perdamaian. Jepang dan Jerman purapura bertempur, tidak lain karena mereka bersiap-siap bersekutu untuk menghancurkan dunia dalam PD II. Karena bangsa Jerman setia kepada manusia dan bangsa Jepang setia bukan kepada manusia, kesetiaan mereka berbeda. Dalam mimpi ini pula ibu saya membanggakan kesetiaannya kepada keluarganya, lalu meminta saya membaca majalah Femina tahun 1980-an, mengenai kesetiaan istri Jepang terhadap suami orang Indonesia. Istri Jepang sangat setia kepada suami, dan begitu anak dia sudah bisa dibawa lari, dia akan lari bersama anaknya, kembali ke Jepang, disembunyikan oleh keluarganya di Jepang. Ibu saya berbicara mengenai dua bangsa ini karena dia tahu saya pernah jatuh cinta kepada gadis Jepang dan sekarang mungkin kepada gadis Jerman. Setelah terbangun, saya ingat cerita ibu saya mengenai pertemuan antara orangtua saya sebelum menikah. Hati ibu saya berkata, ayah saya mempunyai kemampuan terpendam, dan ternyata benar: begitu tahu ada pabrik akan bangkrut, ayah saya membelinya, memperbaikinya, kemudian menjualnya. Terakhir dia membeli pabrik smelting yang hampir bangkrut di Gresik, selama satu tahun memperbaikinya, kemudian menjualnya kepada orang India. Sebelum menikah, ayah saya juga yakin, ibu saya mempunyai kekuatan terpendam: lidahnya tajam, begitu ada makanan masuk ke mulutnya, dia tahu rahasia pembuatannya. Buku masakan ibu saya diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, dan dia sering diundang ke mana-mana, termasuk luar negeri, untuk berbicara mengenai masakan. Ketika iseng mengambil majalah, saya terkejut: foto Gertrude terpampang di kulit sebuah majalah, dan di berbagai halaman di majalah-majalah lain. Dia dinobatkan sebagai pramugari darat terbaik di Negara-negara Teluk setelah juri dari berbagai negara menyimak bandara di Mesir, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Bahrain, Oman, dan Qatar. Gertrude pemalu, pemilihan pramugari terbaik dan pemasangan fotonya pasti di luar kemauan dia. Setelah menyimak fotonya, hati saya berkata, Gertrude pasti mempunyai rahasia terpendam, dan ada kesamaan antara Mandred dan Gertude. Menurut Gertude, Manfred keturunan serdadu Jerman yang suka menyiksa, merampok, dan memerkosa di negara-negara jajahan Hitler selama PD II. Dia malu menjadi orang Jerman, tapi kadang-kadang harus kembali ke Jerman karena ibunya di Jerman sering sakit.

Begitu turun dari pesawat, Amilia dan Azanil menemui saya, minta tanda tangan buku-buku saya, buku yang, kata mereka, menemani mereka dari bandara satu ke bandara lain. Dengan membaca novel-novel saya, terasa mereka bisa mengamat-amati lika-liku jiwa mereka sendiri. Mereka mengajak saya ke ruang tunggu khusus, dan di sana Gertrude sudah menunggu. Dengan nada bercanda mereka mengatakan, sebagai pengarang hebat, pasti saya mampu mengangkat gejolak jiwa Gertrude dalam novel. Setelah mereka pergi, dengan sangat hati-hati saya berkata kepada Gertrude mengenai kisah kematian Hitler. Setelah Hitler yakin kalah, dia dan banyak pengikut setianya bertekad bunuh diri bersama Hitler. Pada saat itulah, salah satu arsitek holocaust yang sangat keji dan seharusnya ikut bunuh diri bersama keluarganya melarikan diri. Gertrude menunduk, lalu berkata: “Saya tahu siapa dia. Martin Bormann namanya. Darah saya kotor. Saya keturunan Bormann.” Pikiran saya melayang ke ibu saya. Budi Darma, sehari-harinya bekerja sebagai Guru Besar Universitas Negeri Surabaya. Ia menerbitkan beberapa kumpulan esai, cerpen, novel, dan pernah mendapat penghargaan antara lain dari Balai Pustaka, Kompas, SEA-Write Award (Bangkok), Anugerah Seni Pemerintah RI, Satya Lencana dari Presiden Republik Indonesia. Karyanya yang masyhur dan banyak mendapat pujian adalah kumpulan cerpen Orang-orang Bloomington dan novel Olenka.

CERPEN, KOMPAS, PUTU WIJAYA

Nio

Nio ilustrasi Samuel Indratma/Kompas Namaku Nio. Tapi aku lebih suka dipanggil Nia. Bukan karena mataku tidak sipit. Bukan karena tulang pipiku tidak menonjol. Bukan karena wajahku tidak bulat. Bukan karena lidahku tidak cadel. Bukan karena keluargaku kere. Bukan karena kami hidup dalam gubuk miskin di sebuah kampung, baur dengan pendatang dari Madura, Bugis, Padang, Medan, dan Ambon. Bukan juga karena aku tidak mau dibilang keturunan China.

Kenapa harus tidak mau? Nenek moyangku totok dari China daratan. Sanak saudaraku masih berserakan di sekitar jalanan Sutera. Aku tidak pernah keberatan, malu, kecil hati atau tersinggung. Bahkan, aku bangga betul berasal dari negeri leluhur yang menciptakan mesiu, percetakan, dan mi yang sekarang menjadi kebudayaan dunia. Bangsa yang pernah melahirkan orang-orang besar, seperti Kong Hu-Cu, Lao Tze. Bangsa yang begitu hebat etos kerjanya sehingga di seluruh dunia ada China Town. Bangsa yang menguasai ekonomi di Indonesia. Satu-satunya bangsa kulit berwarna yang masih disegani oleh negara adi kuasa. Dan aku tidak takut dianggap China. Kenapa takut? Memang banyak warga negara keturunan yang menjadi korban pemerasan, kekerasan, perlakuan tidak adil, dan kekejian. Banyak orang masih memperlakukan keturunan China sebagai warga negara kelas dua. Seakan-akan kami tidak sepenuhnya dilindungi oleh hukum. Bahkan, banyak para pejabat dan petugas negara yang memanfaatkan opini masyarakat itu untuk memeras kami. Tetapi itu memang nasib warga negara keturunan di mana-mana. Sekarang perlahan-lahan semua itu sudah menantang kami warga keturunan menjadi ulet sehingga berjuang dengan tenaga lebih. Karena itu banyak yang berhasil, bahkan terlalu sukses. Orangtuaku memang perkecualian. Walaupun aku kira mereka bekerja sama uletnya dengan warga keturunan yang lain, lebih keras dan lebih lama, nasibnya tak bergerak. Sudah lebih dari 20 tahun kami tercampak di lingkungan kumuh ini. Temanteman Papa, banyak yang sudah jadi orang kaya. Mereka kadang-kadang bertanya dengan heran, apa sebabnya Papa bertahan tinggal di tempat yang tidak hoki ini. Kami disuruh pindah ke dekat daerah huniannya untuk diberikan, dicarikan kesempatan hidup lebih enak. Tapi Papa menolak. “Aku tidak mau mereka menolongku karena belas kasihan. Bukan salah mereka menjadi kaya dan bukan dosa mereka kita ini miskin. Mereka tidak perlu merasa berkewajiban membantu kita,” kata Papa. Mama jengkel sekali oleh alasan Papa itu. Mereka lalu bertengkar. Pertengkaran itu begitu kerasnya sehingga akhirnya keduanya terpaksa mengambil jalan yang tidak menyenangkan. Mereka berpisah. Aku pun jadi rebutan. Tetapi entah kenapa, Mama akhirnya melepaskan aku ke tangan Papa. Itu sebabnya aku hidup bersama Papa sampai sekarang. Baru belakangan ini aku tahu, mengapa Papa menolak pertolongan sahabatnya.

“Aku tidak menolak,” kata Papa dengan suara dingin, “aku tidak cukup sombong untuk menolak tawaran yang dapat membuat hidup kita lebih baik. Bahkan, aku sendiri yang sebelumnya meminta, mengimbau, bahkan memohon kepada mereka. Aku bilang, kalau aku diberikan sedikit pinjaman modal yang bisa aku kembalikan sekitar 10 tahun nanti, aku akan sangat berterima kasih. Tapi dia menolak. Dia tidak mau meminjamkan. Dia ingin memberikan, tapi meminta lebih banyak. Dia suruh aku bekerja untuk usaha perjudiannya. Tentu saja aku menolak. Aku ini dagang tahu, bapakku, kakek kamu, juga tukang tahu. Tapi tahu kami adalah tahu yang disukai semua orang. Aku ingin menghidupi keluargaku dari tradisi membuat tahu itu. Aku tidak mau jadi bandar judi, apalagi bandar narkoba. Itu yang membuat dia marah sehingga aku dijauhi.” “Tetapi kenapa Papa menceraikan Mama?” “Jangan salah. Bukan aku yang menceraikan Mama, tapi Mamamu yang menceraikan Papa. Dia tidak tahan hidup sebagai tukang tahu. Dia ingin menikmati masa tuanya dengan enak. Lalu dia kawin dengan bekas temannya di SD, tetapi sekarang sudah jadi orang kaya sekali. Mama kamu tidak salah pilih. Suaminya tidak hanya berduit, tetapi juga baik. Dia mencintai Mama kamu. Sekarang aku baru mengerti bahwa aku sudah memperlakukan dia kurang semestinya, padahal aku sangat mencintai dan menyayanginya. Mestinya aku mencukupi batinnya menurut ukuran kebahagiaannya, bukan ukuranku sendiri. Ternyata aku sudah terlalu egois. Seluruh penyesalanku itu lalu aku tumpahkan untuk membesarkan kamu dengan kasih sayang.” “Tapi kenapa Mama tidak pernah menjengukku kemari?” “Karena dia tahu, itu akan bisa merusak ketenanganku. Dan mungkin juga mengubah perasaanmu.” “Aku tidak akan berubah.” “Kalau kamu lihat pakaiannya, rumahnya, mobilnya, kartu kreditnya, anakanaknya, adik tiri kamu, dan kebahagiaannya, kamu pasti akan goyah dan berubah. Perubahan yang sesungguhnya wajar dan baik untuk kamu, tetapi jelas tidak akan menguntungkan aku. Dari situlah aku belajar hal yang lain lagi tentang ibu kamu. Setelah membenci dia sebagai istri yang berkhianat selama puluhan tahun, kini aku sadar bahwa Mama kamu sangat memperhatikan perasaanku, sangat menghiraukan kebahagiaanku. Bukan kebahagiaan hari tuanya yang dia pikirkan, tetapi kebahagiaanku dan kebahagiaanmu. Berarti sebenarnya dia benar-benar sangat mencintaiku sampai ke sumsumnya. Harusnya dulu dia kupertahankan mati-matian. Pastilah dia sangat kecewa, karena aku tidak sungguh-sungguh berusaha untuk menghalang-halangi maksudnya untuk bercerai. Seandainya saja aku tahu lebih dahulu ….” Papa tidak bisa melanjutkan. Dia menangis. Untuk pertama kalinya aku lihat orang yang kuhormati, kucintai, dan kupuja sebagai orang kuat itu, menjadi lemah dan cengeng. Aku ikut menangis karena terharu.

“Karena itulah, aku minta kamu jangan mengulangi kesalahan Papa,” kata Papa selanjutnya, “maksudku, jangan hanya melihat segala sesuatu dari sudut kepuasanmu sendiri. Dari semata-mata perasaan! Tapi pakai otak. Lihat ke depan dengan obyektif. Hidup yang sebenarnya tidak hanya perasaan, tapi juga memerlukan banyak hal. Tidak hanya sekadar cukup sandang-pangan dan papan. Kita memerlukan rumah yang baik dengan isinya yang juga bagus. Kita perlu telepon, mobil, dan simpanan uang di bank supaya tidak kelabakan kalau ada resesi. Kita memerlukan kehormatan agar orang menghargai kita. Dan itu hanya mungkin kalau kita punya uang.” Lalu papa memandangku dengan tajam. “Jadi Nio, semasa kamu masih muda dan kuat, apalagi cantik seperti ini, jangan sia-siakan kesempatan. Cari uang sebanyak banyaknya!” Aku kaget. Seperti mendengar suara aneh yang tidak pernah bisa aku mengerti. Dan tiba-tiba saja aku kehilangan seseorang yang sebelumnya begitu kuhargai, kukagumi, dan kucintai. Papa berubah. Setelah mencapai usia senja, ia tidak lagi idealis. Ia menjadi orang biasa yang menyerah kepada kebutuhan materi. Apalagi kemudian ia melarangku untuk menari. “Tak ada orang bisa kaya karena menari, buat apa kamu capek-capek menari, Nio?” katanya dengan ketus, “Hentikan kegiatan yang sudah menghabiskan waktu dan uang itu. Cari pekerjaan di perusahaan-perusahaan asing yang bisa menggaji dengan dollar, atau kerja di perbankan. Balikkan hidup kita yang seperti kapal kandas ini. Tarik aku kepada kehidupan yang terang-benderang supaya aku tidak malu kepada mamamu. Buktikan bahwa bukan hanya dia saja yang bisa bergelimang uang, kita juga mampu!” Tak cukup dengan melarang menari, Papa juga kemudian mau menjodohkan aku dengan anak seorang importir mobil. “Robert akan mewarisi semua kekayaan orangtuanya. Meskipun dia sudah punya istri, tapi dia bersedia menceraikan istrinya, asal saja kamu mau menjadi penggantinya. Dia sudah melihat foto kamu,” kata Papa dengan gembira. Lalu Papa memaksaku berkenalan dengan Robert. Kemudian memerintahkan juga aku untuk bertindak genit di depan Robert supaya imannya gugur, agar ia cepatcepat menendang istrinya yang sudah punya lima anak. Bahkan, pada suatu ketika, seperti barang, aku diserahkan bulat-bulat kepada keluarga Robert untuk dijadikan apa saja, tanpa persetujuanku. Di situ kesabaranku habis. Aku merasa terhina. Dengan hati hancur, kutinggalkan rumah. Aku lari ke Jakarta. Bukan karena aku mau mengingkari diriku sebagai anak tukang tahu, tapi karena aku tidak mau membalas jasa orangtua dengan cara yang sekeji itu.

Akibat tindakanku itu, Papa sakit hati. Ia mengutuk dan menganggap aku berkhianat seperti Mama. “Aku besarkan kamu dengan seluruh kasih-sayangku. Sekarang, nasihatku yang semuanya untuk kebaikan kamu sendiri, kamu tolak. Anak yang tidak tahu berterima kasih! Persis seperti Mama kamu! Betina liar! Pergi, ikuti jejak Mama kamu dan jangan coba-coba kembali pulang! Jangan kamu kira aku akan mencarimu. Bagiku kamu sudah mati. Sama dengan Mama kamu!” Hancur seluruh batinku mendengar vonisnya. Aku bimbang. Apakah aku harus pulang untuk menyelamatkan perasaannya, tetapi menghancurkan diriku? Atau aku hancurkan Papaku sendiri yang tidak memiliki apaapa lagi selain diriku, hanya untuk mencapai kebahagiaanku sendiri, seperti Mama dulu? Apakah Papa akan punya waktu kelak untuk mengatakan bahwa segala yang kulakukan ini adalah yang terbaik, seperti yang dilakukannya terhadap Mama? Aku selalu berharap dan berdoa agar satu ketika dia akan sadar bahwa aku memiliki visi kehidupan yang berbeda dengannya. Bahwa ini riwayatku, bukan riwayatnya lagi! Aku menjadi penari bukan karena aku ingin kaya, tapi karena tubuhku ingin menari. Jiwaku ingin menempuh irama. Bahkan, aku bersedia membayar semua itu dengan melakukan pekerjaan lain. Tetapi bukan dengan cara merebut suami orang lain. Bukan dengan cara membuat anak-anak itu mengutukku sudah merampok kebahagiaan mereka. Hampir tiga tahun aku hidup di Jakarta. Aku berusaha menjadi penari dan hidup dari menari. Aku memberikan kursus dan menari kalau dipesan. Tapi banyak sekali penari di Jakarta. Dan aku tidak hoki seperti juga orangtuaku. Hidupku sangat pas-pasan. Akhirnya untuk bertahan dan sedikit lega bernapas, aku mulai menari di kelab malam. Hari pertama sangat menyiksa. Aku merasa hina. Seluruh diriku rasanya diperkosa. Tetapi kemudian malam-malam berikutnya semuanya mulai terbiasa. Apa salahnya menari di kelab? Aku hanya menjual tarian, bukan menjual tubuh. Harga diri dan kehormatanku masih utuh. Dengan pikiran seperti itu, aku jalan terus. Rezeki mulai naik. Uang yang kukumpulkan sudah bisa dipakai untuk mencicil mobil. Aku sekarang mengerti bahwa mobil bukanlah sebuah kemewahan, tetapi hanya alat untuk bekerja. Dengan mobil itu, aku merasa aman pulang dan pergi kerja sampai subuh. Sementara para tetangga pun mulai sedikit menghargaiku meskipun banyak yang menduga mobil itu hasil hidupku sebagai perempuan piaraan.

Ketika tabunganku membengkak, aku rencanakan akan meninggalkan hidup sebagai penari kelab. Aku akan membuat studio dan meneruskan karierku sebagai penari yang sebenarnya. Mungkin dikombinasikan dengan membuka warung. Nanti setelah jalan baik, aku akan pulang dan minta maaf kepada Papa. Tapi sebelum semua itu terjadi, pecah kerusuhan. Lingkungan yang kuhuni ikut serta jadi sasaran. Massa yang liar datang bagaikan air bah. Dengan muka yang ganas, mereka menyerbu. Penduduk dipukuli. Rumah dimasuki. Barang-barang dijarah. Mobilku dibakar. Dan aku sendiri yang sedang berada di kamar mandi ditarik keluar, lalu diperkosa beramai-ramai. Tak ada yang menolongku. Aku bangkit sendiri dengan air mata dan darah. Badanku yang pegal linu dan ringsek dengan susah-payah kuangkat. Seorang tukang becak yang tua, baik hati, lalu mengantarkan aku ke puskesmas. Dari sana aku dibawa ke rumah sakit. Dan di rumah sakit, aku diselamatkan, tetapi diancam. Tak boleh mengatakan apa pun yang terjadi kepada siapa-siapa. Anak kecil yang tadi kau lihat menyanyi dan menari di depan televisi itu adalah akibat dari peristiwa itu. Tidak seorang pun yang mengerti, mengapa aku membiarkannya lahir. Aku pun tidak. Mungkin anak itu sendiri yang sudah memaksaku untuk melahirkannya. Untuk menjadi sebuah monumen, betapa biadabnya manusia kalau sudah dimasuki setan. Namaku Nio. Tapi aku lebih suka dipanggil Nia. Bukan karena aku menolak siapa diriku. Bukan karena aku benci kepada orangtuaku. Bukan karena aku ingin melupakan sejarahku. Tetapi karena aku orang Indonesia. Pengakuan itu berhenti di situ. Aku sudah menuliskannya semalam suntuk setelah mendengar pengakuan Nio. Dengan perasaan penuh simpati, kubawa tulisan itu ke rumahnya. Ia sedang berbaring sakit. Lalu kubacakan semuanya dengan suara yang penuh haru. Begitu selesai, aku memandang matanya. Berharap ia akan memberikan aku pujian, karena aku sudah mewakili dirinya. Tetapi Nio menggeleng. “Itu bukan aku. Kamu tidak mengerti …,” kata Nio lirih.

Putu Wijaya, lahir di Puri Anom, Tabanan, Bali. Pernah menjadi wartawan Tempo, Zaman, dan Warisan Indonesia. Mendirikan Teater Mandiri, menyutradarai film dan sinetron, serta menulis cerpen, esai, novel, novel dan lakon

CERPEN, FARIZAL SIKUMBANG, KOMPAS

Penagih Hutang Bersepeda Kumbang

Penagih Hutang Bersepeda Kumbang ilustrasi Made Meiada/Kompas Perihal cerita tentang seorang penagih hutang bersepeda kumbang, memang sudah banyak dilupakan oleh orangtua di kampung Kuranji. Bagi anak-anak, dan remaja yang beranjak dewasa, tentu saja cerita itu kini bagai tak pernah ada, karena tak pernah dituturkan oleh orang tua mereka. Tapi bagi keluarga kami, cerita itu tetaplah hidup. Si penagih hutang itu, memang sudah tidak ada di kampung Kuranji. Mungkin itu yang membuat kisah ini tidak abadi di banyak orang. Karena musim mengikisnya,

dan juga masa telah melupakannya. Tapi tentang sepeda kumbang itu? Ia benar-benar ada. Karena sepeda kumbang itu tergantung rapi di sudut dapur rumah kami. Rumah kami? Masih seperti dulu. Berpuluh-puluh tahun lampau tidak jauh berbeda ketika si penagih hutang itu ada. Rumah panggung berdinding papan. Dan karena usia, sebagian papan-papan itu sudah lapuk dimakan rayap, sebagian lagi sudah diganti oleh Uni Ida dengan papan yang baru. Uni Ida dan suaminya, beserta tiga anaknya tinggal di rumah itu. Dan di rumah itu pula, bila aku pulang dari rantau, aku akan tinggal di sana untuk beberapa lama. Usiaku dua belas tahun kala itu. Di kala si penagih hutang muncul pertama kali di kampung Kuranji. Saat itu aku sedang sibuk mencabut rambut putih almarhum Amak. “Siapa itu Buyung yang bersepeda kumbang?” Tanya Amak sambil telunjuk lurus beliau mengarah ke laki-laki itu. Mataku pun tertuju kepadanya, tapi tanganku masih sempat menarik sehelai rambut putih Amak. “Entah Mak, tak kutahu siapa dia. Belum pernah kulihat wajahnya,” jawabku. Laki-laki itu menyandarkan sepedanya pada serumpun pohon pisang batu di halaman rumah kami. Di tempat duduk belakang sepedanya, kulihat kayu memanjang yang diikatkan. Pada dua ujungnya, terlihat buntalan karung yang berisi barang pecah belah. Aku ingat ada baskom plastik. Ember, piring plastik dan beberapa lagi aku lupa. “Maaf Amak, aku si pedagang keliling, si tukang jual barang pecah belah. Boleh kontan dan kredit. Perkenalkan namaku, Udin Leman asal Rengat,” katanya dengan girang. Mak berdiri meninggalkanku di sudut pintu. “Si tukang kredit? Belum pernah ada orang yang menjajakan barang-barang di kampung ini, buyung,” jawab Mak. “Apa yang kau jajakan,” tanya Mak lagi. “Baskom, piring, rantang nasi. Ambillah satu mak, mak cicil pun boleh.” Mak memperhatikan setiap barang yang dibawanya. Nampaknya mak mulai tergiur juga. “Rantangku sudah tak baik lagi.” “Mak ambillah. Harganya lima belas ribu. Mak angsur per hari saja, ya.” “Kau tiap hari kemari?” “Ya, mak. Aku baru menyewa rumah di kampung sebelah.”

“O, begitu.” Mak mengambil satu rantang nasi. Mak mencicilnya setiap hari. Kala itu kampung kami masih sepi. Semak-semak masih semarak di halaman, dan pohon-pohon besar juga masih melingkari kampung. Alat transportasi umum masih sulit ditemui, yang ada hanya pedati, dan dengan hitungan jari ada pula bendi. Laki-laki penagih hutang bersepeda kumbang itu pun setiap hari mengunjungi rumah kami. Seperti perjanjian Mak dengan dirinya. Setelah itu dia akan mengelilingi kampung kami. Menjajakan barang dagangannya kepada orang lain. Dan semakin hari, semakin banyak orang kampung kami yang berlangganan dengannya. *** Kakakku, Uni Ida baru saja menyelesaikan es-em-a-nya kala itu. Jadi kalau Mak mau pergi ke pasar atau ada keperluan lainya, beliau akan menitipkan uang pada Uni Ida yang akan diberikan pada si tukang kredit itu. Aku tidak tahu entah berapa kali Mak memberikan tugas itu pada Uni Ida. Namun yang aku ingat adalah, bahwa beberapa hari kemudian, si tukang kredit itu dengan Uni Ida semakin bersahabat saja. Bukan, bukan seperti orang bersahabat, tetapi seperti dua orang yang saling menyukai. Mereka sering terlihat duduk berdua di rumah beberapa lama. Saling berbincang entah apa. Tapi dari wajah Uni Ida, seperti senang riang tak kepalang, begitu juga dengan laki-laki si penagih hutang. Pernah beberapa kali aku diusir Uni Ida jika mereka sedang duduk berdua, atau Uni Ida akan membesarkan dua matanya sebagai isyarat agar aku pergi jauh. Aku juga sempat berpikir kala itu, begitukah cara bila dua orang saling menyuka? Berbulan kemudian, hubungan mereka tercium oleh Abak. Dan suatu malam, Abak menginterogasi Uni Ida. Aku ingat itu malam yang dingin. Hujan turun sangat lebat memukul-mukul atap seng rumah kami. Mak menggigil di sudut ruang tamu dengan membisu. “Kau masih baru tamat sekolah. Kau belum pantas berpacaran. Aku tak ingin kau berhubungan dengan, si tukang kredit itu.” Uni Ida hanya diam dengan menekukkan wajah ke lantai. Tak berani menatap wajah Abak. “Aku tak ingin lagi mendengar bila kau berjumpa dengannya. Aku merasa dia bukan orang baik-baik. Jangan pernah berhubungan dengan orang yang tak tahu asal-usulnya. Kau mengerti?” Uni Ida tak menyahut kata-kata Abak. Mulutnya membisu. Tubuhnya kaku. Ia serupa patung. Tapi airmata Uni Ida tumpah. Membasahi pipinya. Dan Abak tidak memikirkan tentang airmata. Bagi Abak, keputusannya tak boleh dilanggar. Mak, tak berani menyahut. Mak hanya diam. Kaku. Tapi di akhir pertemuan malam itu, Abak sempat menyalahkan Mak. “Ini ulahmu, mengundang si tukang kredit itu datang ke rumah,” kata Abak.

Seperti Uni Ida, Mak juga hanya diam. Di hari berikutnya, Mak tidak pernah lagi menitipkan uang pada Uni Ida. Ini adalah salah satu cara agar Uni Ida dan si tukang kredit itu tidak pernah lagi berjumpa. Setiap tukang kredit itu datang ke rumah, Maklah yang memberikan uang cicilannya. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada si tukang kredit itu setelah dia tidak berjumpa dengan Uni Ida untuk beberapa lama. Yang kuingat tentang Uni Ida adalah, bahwa setiap malam datang, Uni Ida tidak pernah lagi keluar kamar. Mukanya terlihat murung setiap hari. Dia pun sudah tidak banyak bicara. Dan Abak, tidak pernah hirau pada perubahan sikap Uni Ida itu. Aku tentu kasihan pada Uni Ida kala itu. Beberapa kali aku sengaja membawakan makanan ke kamarnya. Tapi setiap makanan yang pernah kubawakan, tak pernah dimakan Uni Ida. Begitu juga bila aku menyapanya, Uni Ida tak pernah menyahut. Suatu sore, aku mendengar suara gaduh di depan rumah kami. Dengan langkah gegas aku menyusul asal suara itu. Sesampai di pohon nangka, di samping rumah, kulihat Abak sedang mendorong tubuh si tukang kredit itu agar meninggalkan rumah. Di teras rumah, Mak memegangi tubuh Uni Ida yang sedang menangis. “Pergi kau! Pergi! Pergi!” Berulang-ulang Abak mengucapkan kata-kata itu dengan lantang. “Jangan pernah lagi kau injak rumahku ini. Pergi! Pergi!” Abak baru berhenti berteriak setelah tubuh si tukang kredit itu hilang di balik semak dan sebatang pohon asam kandis. Sedangkan Uni Ida, tak henti-hentinya menangis, kadang seperti orang meraung. Suaranya mengalahkan kicauan suara burung, dan pekikan monyet-monyet liar yang hendak mencuri nasi basi jemuran mak. Tiga hari berikutnya peristiwa aneh terjadi, Abak pulang dengan menaiki sepeda si penagih hutang. Mak jadi sangat kebingungan. Apa yang telah terjadi? Mungkinkah Abak telah membunuh si penagih hutang dan merampas sepeda kumbang? Ketika Mak menanyakan kepada Abak tentang sepeda itu, Abak tidak pernah menjawab. Bukan hanya tidak pernah menjawab. Abak jadi seperti orang bisu. Tidak lagi mau bicara. Dalam hal apa saja. Ini terjadi dalam dua minggu. Dan kejadian ini membuat Mak sering mengalami sakit kepala. Memasuki minggu ketiga, Abak jatuh sakit. Abak mengalami sakit yang aneh. Tubuhnya tak bisa digerakkan. Abak hanya bisa terbaring. Apabila Abak bersuara, apa yang beliau ucapkan nyaris tak terdengar. Kami terpaksa harus mendekatkan telinga ke mulut Abak setiap beliau hendak bicara. Seorang mantri desa telah di datangkan Mak. Obat yang mereka berikan tak mampu menyembuhkan sakit Abak. Bahkan Mak, pernah pula mendatangkan dukun bermata elang dari kampung seberang. Si dukun mengatakan, bahwa Abak diserang ilmu hitam nujum orang. Lalu si dukun menyiram tubuh Abak dengan air batang pisang yang telah dibakar dan diselingi mantra-mantra yang aku sendiri tak paham.

Namun usaha si dukun tak menghasilkan apa-apa. Lalu, apa yang membuat Abak mengalami sakit begitu rupa? Adakah ini hubungannya dengan si penagih hutang bersepeda kumbang? Ya, lima hari setelah kematian Abak, pertanyaan itu terjawab sudah. Adalah mamak Odang, kakak Mak yang menguraikan semuanya. “Pagi itu Abak kalian mendatanginya. Ia meminta agar si penagih hutang segera pergi jauh dari kampung seberang. Dia tentu saja sangat ketakutan. Abak kalian tak hanya membawa parang, tapi juga menceritakan dirinya, seorang mantan pejuang yang pernah berkali-kali menebas leher penjajah. Bisa kulukiskan ketakutan penagih hutang bersepeda kumbang itu. Tubuhnya gemetar. Keringat membasahi mukanya.” “Selama dia membereskan barang-barangnya sebelum pergi, si penagih hutang sempat mengatakan asal usulnya. Dalam ketakutan dia mengatakan bahwa dia berasal dari Rengat. Anak yatim piatu. Dua orangtuanya mati dieksekusi Belanda, di saat Belanda menyerang kota Rengat. Setelah itu si penagih hutang itu langsung pergi. Dan Abak kau tak menyahut lagi. Selain membawa sepeda kumbang itu pulang. Tapi di dalam perjalanan pulang, Abak kalian dalam keadaan bimbang, merasa bersalah.” “Jadi, penyakit Abak, karena beban pikiran,” simpulan Mak kala itu. “Ya. Kalian tahu Abak kalian seorang pejuang. Dia pernah berperang di Rengat. Dia merasakan sendiri tragedi di kota Rengat itu. Abak kau merasa bersalah telah mengusir si penagih hutang itu. Seandainya ia tahu si penagih hutang itu anak yatim korban tragedi Rengat, tak akanlah dia mengusirnya. Setelah kejadian itu, Abak kalian pernah menyuruhku untuk mencarinya kembali, tapi aku tak pernah menemukannya sampai Abak kalian meninggal. Abak kalian sungguh menyesal.” Mamak Odang menceritakan peristiwa itu dengan mata berkaca-kaca. Setelah selesai bercerita, beliau langsung mohon pamit minta pulang. Tak kutahu mengapa beliau begitu tergesa, mungkin saja beliau juga merasa berdosa tak menemukan kembali si penagih hutang, atau tak tahan melihat Uni Ida berurai airmata dengan tangis tertahan. Lalu sampai berapa lama Uni Ida bergelut dalam kesedihan setelah kepergian si penagih hutang? Entah sampai kapan aku tak tahu, yang tahu hanya Uni Ida. Sebab dua minggu setelah kematian Abak, Uni Ida kembali hidup seperti biasanya. Tapi ada kebiasaan aneh Uni Ida yang muncul tiba-tiba, yakni Uni Ida suka sekali merawat dan membersihkan sepeda kumbang si penagih hutang. Dan sampai sekarang, sepeda kumbang itu tergantug rapi di dapur rumah kami. Tentang bagian cerita ini, aku yakin suami Uni Ida tidak tahu sama sekali. (Banda Aceh, 2017) Farizal Sikumbang lahir di Padang. Bekerja sebagai pengajar di daerah pedalaman Kabupaten Aceh Besar. Tinggal di Kota Banda Aceh. Cerpennya dipublikasikan di media nasional dan daerah. Kumpulan cerpennya “Kupu-Kupu Orang Mati” (2017)

CERPEN, KOMPAS, MADE ADNYANA OLE

Lelaki Garam

Lelaki Garam ilustrasi Meuz Prast/Kompas Pada saat bersamaan ketika lelaki itu mengibaskan ujung kerah kemeja di sisi bahu yang basah oleh keringat, Jenawi tanpa sadar menjulurkan sedikit ujung lidah untuk melontarkan biji jambu yang tertinggal di mulut sehabis meneguk jus campur

buah lokal. Tepat saat itulah lidahnya mencecap rasa asin yang menggetarkan hati, asin yang dirindukannya sejak bertahun-tahun lalu. Ia merasakan angin aneh berembus dari tubuh lelaki itu, angin dengan kandungan uap garam yang basah. Uap itu mungkin meruap dari keringat yang terbang ketika ujung kerah kemeja lelaki itu dikibaskan. Mereka sama-sama berdiri di tepi danau, di pinggiran acara Festival Wisata Air yang digelar Dinas Pariwisata. Jadi, tak mungkin ada embusan uap garam dari danau, kecuali dari tubuh lelaki dengan kejanggalan yang menyiksa: keringat berlebih di udara sejuk sekali pun. Jenawi serasa mabuk. Dan dengan dorongan sensasi asin ia dekati lelaki itu, lelaki yang melamun sendiri di bibir danau, di antara tonggak bambu tempat nelayan mengikat jukung kayu. Begitu dekat, Jenawi ingin meraih tengkuk lelaki itu seperti mengetuk tengkuk seorang teman yang kebetulan ditemukan di tempat asing. Tapi berdebarlah jantung Jenawi saat tak terduga lelaki itu berbalik. Lelaki itu merentangkan kedua tangan dengan tingkah hendak menangkap tubuh Jenawi. Dan seperti sihir, tubuh Jenawi meluncur lalu terjerembab tepat di antara dua rentang tangan lelaki itu. Tubuh Jenawi tertangkap, lelaki itu menangkapnya. Mereka berpelukan. Tepat di atas bahu lelaki itu, mulut Jenawi tak henti menyembulkan ujung lidah, menikmati uap asin yang seperti meletus dari setiap pori tubuh lelaki yang memeluknya, lelaki yang dipeluknya. Saat pelukan merenggang, Jenawi sempat melirik dan melihat lelaki itu juga menjulurkan lidah, seperti mencecap sesuatu, mencecap dengan penuh perasaan, kadang dengan mata yang pejam. Begitulah awal bertemunya Jenawi, sebulan lalu, dengan Ripah, lelaki itu. Jenawi datang ke festival diundang selaku pengusaha restoran. Ripah datang selaku pengusaha hotel. Keramaian mempertemukan mereka, tapi pertemuan itu ia rasa seperti pertemuan gaib antara mimpi dan kenyataan. Ia pikir, pertemuan itu layak bagi seorang perempuan lajang meski usianya hampir 35 tahun. Ripah mungkin lebih tua lima tahun. Jika boleh berkhayal, ia ingin pertemuan itu bagai pertemuan sepasang burung yang tak perlu saling kenal tapi kemudian bercumbu dengan bebas di hutan senyap. Sebulan lewat, Jenawi merasa seperti burung. Burung perindu, bernyanyi selalu, memanggil pasangan yang entah di mana. Sungguh bukan Ripah dan pelukan itu yang dirindukannya. Tapi asin itu. Asin dengan satu rasa nan sama dengan asin yang pernah ia nikmati di masa kanak. Asin uap garam itu, dulu, selalu meruap dari tubuh lelaki berotot liat berkulit hangus yang ia panggil ayah. Lelaki itu penjual garam. Datang setiap Rabu ke desanya, ke Desa Uli, sebuah desa tani di lereng Bukit Bedugul. Lelaki itu selalu ditunggu, tentu karena dia satu-satunya penjaja garam ke desa itu. Lebihlebih bagi warga Desa Uli, garam sematalah bahan makanan yang harus mereka beli. Semua bahan lain diambil cuma-cuma dari alam desa yang raya. Jenawi satu-satunya anak desa yang menunggu penjaja garam itu dengan getar harap di setiap Rabu. Selalu di setiap Rabu pagi, ia keluar rumah, memandang lurus ke ujung jalan setapak. Ia tak pernah kecewa, lelaki itu menyembul dari tikungan di bawah rimbun sukun dan semak di kiri-kanan. Suara langkahnya jelas, karena beban berat di bahu menyebabkan kedua kakinya menginjak daun kering yang terserak di jalan dengan tekanan yang cukup keras.

“Ayah datang!” Jenawi menyambutnya dengan lengking girang kanak-kanak. Lelaki itu mempercepat langkah sehingga dua keranjang berisi garam yang sedang dipanggul dengan sepotong bambu di pundak berayun seakan hendak jatuh. Keranjang itu tak jatuh. Tali ijuk terlalu kuat menggantungnya dan sangat erat mengikat di kedua ujung bambu. Kalau pun akhirnya keranjang itu dilepaskan ke tanah, tentu karena lelaki itu menurunkannya dengan sengaja, agar kedua tangannya leluasa merangkul tubuh mungil Jenawi. Jenawi lalu menggeliat di dada lelaki itu, sambil selalu menjulurkan lidah, mencecap uap garam yang meletus di setiap pori tubuh lelaki yang selalu tampak hangus terbakar itu. Selalu sebelum keliling menjajakan garam, lelaki itu jeda di rumah Jenawi. Usai keliling, saat sore sebelum gelap, lelaki itu datang lagi, bercanda dengan Jenawi, dan tidur bersama ibunya setelah sore berubah gelap. Lelaki itu menginap hingga Sabtu dan pergi di Minggu pagi. Rabu pagi berikutnya ia datang lagi. Selalu begitu. Dan Jenawi tak pernah hirau siapa sesungguhnya lelaki itu. “Dia bukan suami ibu. Tapi panggil saja dia ayah!” kata ibunya suatu pagi. Jenawi tak peduli, tapi ia mengangguk. Sama tak pedulinya ia ketika sejumlah orang desa mengejeknya dengan cerita-cerita sok tahu. “Kau anak malang, Jenawi. Lahir tanpa ayah, tapi dipelihara tukang garam, bukan ayah, tapi sebenarnya ayah!” Jenawi berkali dengar cerita itu. Ibunya menjalin asmara dengan penjual garam lalu hamil. Ibunya menolak menikah. Jenawi tetap lahir. Ibunya diusir dari rumah keluarga. Dibantu lelaki penjual garam, ibunya mendirikan rumah kecil di atas tegalan agak tinggi, sehingga dari rumah itu akan tampak dengan indah lekuk sungai dan tera sawah di lembah pedesaan. Bagi Jenawi, rumahnya adalah tempat paling indah. Apalagi terdapat pohon asam yang rajin berbuah di halaman. Ia biasa naik dan duduk di atas cabang besar. Dari atas cabang ia tak hanya bisa melihat liku sungai dan sawah berundak di bawah, tapi juga laut dan sebuah tanjung luas di tempat yang jauh di selatan. “Di situlah rumah Ayah, Jenawi. Di kaki pulau itu!” kata lelaki itu suatu sore ketika mereka duduk di cabang asam yang tinggi. Tangan lelaki itu menunjuk sebuah tanjung, daratan yang tampak kelabu, menjorok ke laut di ujung selatan Pulau Bali. “Di tepi tanjung itu, di atas pasir putih, Ayah membuat garam dari air laut yang bening!” “Kapan Ayah mengajak Jenawi ke sana?” “Ayah ingin sekali mengajakmu tinggal di sana, tentu bersama ibumu. Tapi ibumu menolak. Katanya ia lebih bahagia di desa ini, di rumah ini,” jawab lelaki itu. Wajah lelaki itu seketika memerah dan keringatnya melimpah. Keringat berlebih memang selalu terbit di tubuhnya jika lelaki itu bicara soal perasaan, mungkin rasa cinta dan sedih yang saling bertabrakan di hatinya. Seperti biasa pada saat seperti itu Jenawi akan menyembulkan lidah lalu mencecap asin dari uap keringat tubuh lelaki

itu. Jenawi memetik buah asam matang, dikupas segera, lalu daging asam lunak dilumurkan ke wajah lelaki itu. Lelaki itu akan mengeluarkan lidah dan berupaya menjilat lumuran asam di sekitar bibir dengan mata terpejam. Lelaki itu menyukai asam, tentu saja. Di Minggu pagi, lelaki itu selalu mengisi keranjangnya dengan buah asam untuk dibawa pulang ke tanjung selatan, ke rumahnya, tempat ia bertani garam. Jenawi ingat, pada Minggu yang dini, lelaki itu menjejali kedua keranjangnya dengan buah asam matang. Dan ketika hendak beranjak pergi di pagi hari, ia didatangi kepala desa. Mereka bicara agak lama, tapi intinya lelaki itu diusir. “Di desa ini akan dibangun pasar modern yang menyediakan semua kebutuhan warga. Jadi, sesuai kesepakatan kami dengan investor, penjual barang apa pun, termasuk garam, tak diizinkan masuk desa ini, apalagi ke rumah-rumah,” kata kepala desa. Lelaki itu mengangguk lalu bersiap pergi. Sebelum meninggalkan halaman rumah, lelaki itu memeluk Jenawi. “Ayah tetap akan datang, bukan untuk jual garam, tapi untuk menemui Jenawi dan ibumu!” ujarnya. Namun lelaki itu tak pernah datang. Jenawi terus menunggu sambil menyaksikan Desa Uli berubah. Jalan diperlebar, jembatan dibangun, lalu-lalang orang entah dari mana lewat setiap saat di desa itu. Toko modern berjejaring dibangun di setiap sudut tikungan. Kemudian ada hotel dan rumah makan. Kebutuhan warga berubah. Yang harus dibeli bukan lagi semata garam, tapi berbagai barang yang tak mereka perlukan. Jenawi dan ibunya tak mau tertinggal. Rumah dengan pohon asam di halaman disulap jadi warung dengan menu masakan lokal. Awalnya Jenawi hanya membantu, namun setamat kuliah pariwisata ia mengelola warung secara penuh. Statusnya ia tingkatkan jadi restoran. Ia memimpin ritual memasak dan melayani pelanggan yang tak pernah sepi, siang dan malam. Menu restoran itu tak terlalu enak. Jenawi tahu. Pelanggan datang sebenarnya hanya terpesona alam di sekitar restoran, terutama pohon asam yang makin besar dan kokoh di halaman. Apalagi saat malam, dari pohon asam itu akan tampak pemandangan jutaan lampu seperti kunang-kunang di sebuah tanjung di kejauhan, di ujung selatan Pulau Bali. “Di sanalah rumah ayah saya, di sela lampu-lampu di tanjung itu. Dulu tanjung itu gelap, kini telah benderang,” kata Jenawi jika melihat pelanggan duduk di bawah pohon asam sambil memandang jauh ke selatan. Jika restoran sudah tutup, Jenawi pun lebih sering duduk di bawah pohon asam, kadang hingga tengah malam, sambil memandang tanjung kelap-kelip di kejauhan. Dengan begitu ia telah merawat rindunya pada uap asin dari tubuh lelaki yang ia panggil ayah, tentu rasa asin yang menggetarkan hati, yang tak pernah ia dapatkan dari garam di pasar mana pun yang pernah dibelinya untuk menu restoran. Kini asin seperti itu didapat dari tubuh Ripah. Setiap duduk di bawah pohon asam, ia ingat lelaki penjual garam sekaligus ingat Ripah dan ingin menemuinya sekali lagi, dua kali lagi, atau seterusnya, bukan hanya di tepi danau, tapi di sebuah tempat yang amat sunyi, sehingga ia bisa melumat seluruh asin di tubuh lelaki itu. Dan suatu malam, kerinduannya tak bisa ditahan. Ia menelepon Ripah.

“Bisakah kita bertemu di tepi danau itu lagi?” sergah Jenawi saat hubungan telepon tersambung, bahkan sebelum Ripah sempat mengucap salam. “Tentu saja. Datanglah malam ini juga!” jawab Ripah. Jenawi tak tahu, saat ia menelepon, Ripah sudah berdiri di tepi danau, di tempat mereka dulu berpelukan. Sejak bertemu Jenawi, lelaki itu hampir setiap hari berdiri di tempat itu, kadang dari pagi hingga tengah malam. Selain menemu sejuk karena belakangan tubuhnya selalu berkeringat secara berlebih, ia juga ingin menyingkir dari hiruk-pikuk perusahaan. Sudah sejak lama ia kerja tanpa henti, tepatnya sejak ia memelihara dendam dan ambisi untuk jadi pengusaha kaya, melebihi kekayaan pengusaha asing yang terus berebut membangun hotel di kawasan tanjung selatan tempat ia lahir. Tiga istrinya secara bergiliran menelepon. Penduduk tepi danau menganggap ia tak waras, karena selalu tampak menjulurkan lidah, seolah ingin mencecap sesuatu. Padahal ia memang ingin mencecap sisa uap asam yang meruap dari tubuh Jenawi saat ia peluk di tempat itu sebulan lalu. Ia rindu asam tubuh Jenawi, seperti juga ia rindu pada asam yang ia cecap dari embus keringat ayahnya, dulu, di setiap Minggu sore, pada setiap ayahnya baru datang dari menjajakan garam di desa pegunungan. Ripah tak bisa lupa bagaimana ia kehilangan ayah sekaligus kehilangan uap asam itu. Pada Minggu sore, sejumlah laki-laki mendatangi ibunya di ladang garam. Perawakan mereka tegap seperti tentara, namun dari apa yang dibicarakan kentara sekali mereka calo tanah.Mereka sudah berkali-kali datang. Tujuannya sama, memaksa ayah dan ibunya melepaskan ladang garam untuk dibeli konglomerat dari Jakarta. Ladang garam yang diapit laut dan bukit landai itu hendak disulap jadi hotel paling mewah di Bali. Ayahnya datang tepat ketika seorang dari sejumlah laki-laki itu membentak ibunya. Ripah tak akan pernah lupa, saat itu ayahnya datang dari menjajakan garam dengan wajah sangat sedih sambil memanggul dua keranjang penuh buah asam. Ayahnya kalap dan langsung mengamuk. Ia menerjang dan mengayunkan keranjang ke tubuh laki-laki yang membentak ibunya. Lalu terdengar ledakan. Ayahnya rebah. Darah dan buah asam berserakan di atas ladang garam. MADE ADNYANA OLE, lahir di Tabanan, kini tinggal di Singaraja, Bali utara. Menulis cerpen dan puisi. Buku kumpulan cerpennya Padi Dumadi (2007) dan kumpulan puisinya Dongeng dari Utara (2014). Dua cerpennya masing-masing terdapat dalam buku Cerpen Pilihan Kompas 2014 dan 2016

A MUTTAQIN, CERPEN, KOMPAS

Mbah Dlimo

Mbah DLimo ilustrasi Jeihan Sukmantoro/Kompas Bila kau ingin bertemu Kiai Amuni, datanglah ke Warung Kopi Kotok di sore hari, sekitar jam empat sampai jam lima sore. Di sana, akan kau dapati lelaki tua, dengan

jenggot yang sederhana, memakai sarung palekat, baju batik dan songkok kuno, duduk di pojok warung dengan wajah sumringah. Betul, dialah Kiai Amuni. Orang sini biasa memanggilnya Mbah Dlimo, lantaran ia pemilik pohon delima yang ajaib dan terkenal di kampung kami. Tentu semua orang sini mengenal Mbah Dlimo. Ia adalah lelaki tertua di kampung kami. Umurnya sudah seratus tahun lebih. Bila kau tanya kepastian tanggal dan tahun kelahirannya, maka orang sekampung kami akan menggeleng. Atau paling-paling menunjuk Damar Kurung yang dipajang di pinggir jalan sepanjang kampung kami. Banyak orang percaya, Mbah Dlimo sepantaran dengan almarhumah Sriwati Masmundari, pelukis asli Gresik pencipta Damar Kurung, yang oleh Tuhan Pengasih juga dianugerahi umur seratus tahun lebih. Kini Mbah Dlimo masih tetap hidup dan sehat. Masih menjadi imam salat, muruk ngaji di langgar, bahkan tiap sore selalu cangkruk di Warung Kopi Kotok ini, dengan rokok klobot-nya yang berbau khas. Bagi kami, Mbah Dlimo adalah berkah dan kegembiraan yang melimpah ke warung ini. Kehadirannya selalu dinanti. Setiap masuk warung, perihal yang tidak pernah ia lupa adalah memberi salam lalu berucap: “Malaikat memohon ampun untuk para peminum kopi.” Aku tak tahu, itu sabda Nabi atau hanya karang-karangan Mbah Dlimo sendiri. Tapi, jika sudah begini, kami biasanya akan senang sekali, menemani Mbah Dlimo yang duduk di pojok warung. Mbah Dlimo biasanya akan menceritai kami macam-macam. Dari cangkruk dengan Mbah Dlimo inilah kami tahu kisah para sesepuh yang mbabat alas Gresik, kisah wali-wali “penjaga” pulau Jawa beserta tempat munajatnya yang rahasia, atau kisah seorang Kompeni semprul yang suka mengobral zakarnya pada perawan desa yang sedang mandi. Dari Mbah Dlimo pula kami mengenal asal-usul nama kampung sekitar sini, nama jalan, nama jajanan, nama dolanan, sampai nama-nama jin yang menurut Mbah Dlimo mbaurekso kampung kami. Terus terang, kami sering dibuat heran oleh Mbah Dlimo. Kendati usianya sudah sangat tua, ia memiliki ingatan cukup kuat dan akurat. Ia bahkan masih menyimak kisruh politik hari ini. Ia tahu cekcok ketua partai A dan partai B. Ia tahu kiai dan dukun yang malu-malu mendukung partai C. Ia tahu pelawak yang nantinya bakal dicapreskan partai D. Ia juga tahu rencana-rencana edan partai E, kongkalikong partai F dan partai G dan seterusnya. Selain itu, Mbah Dlimo adalah penikmat kopi yang jeli. Ia bisa menjabarkan secara rinci beda rasa kopi toraja, kopi aceh, kopi bali sampai kopi arab. Kendati demikian, ia mengatakan kopi kotok di warung ini tak kalah baiknya. Selain rasanya yang khas, penyajiannya juga unik, tumbukan biji kopinya dibiarkan kasar, dengan saringan mini untuk menyaring dedak kopi sebelum diminum. Kadang kami tak percaya, Mbah Dlimo, orang yang kami temui hampir tiap sore ini umurnya sudah seratus tahun lebih. Banyak orang percaya, rahasia umur panjang dan kesehatan Mbah Dlimo adalah delima di depan rumahnya. Pohon delima yang umurnya mungkin setua pemiliknya itu tergolong pohon yang langka. Ia berbuah tiada henti. Bahkan, di bulan Ramadhan, jika kau datang ke kampung kami, kau akan mendapati pohon delima itu dipenuhi buah hingga ranting dan cabangnya seolah tak kuat menyangga berkah buahnya. Kendati semua orang percaya hubungan gaib antara umur Mbah Dlimo dan pohon delima itu, setiap kali kami tanyakan perihal ini, Mbah

Dlimo tak lupa menunjuk ke atas seraya menambahkan bahwa umurnya memang anugerah Tuhan lewat buah delima yang ia makan setiap pagi dan sore hari. Ah, betulkah buah delima yang membuat Mbah Dlimo awet dan sehat seperti ini? Sebagai buah, delima memang punya daya magis tersendiri. Buah yang konon aslinya berasal dari Persia ini juga dipercaya bisa mengobati banyak penyakit, mulai gangguan perut, gangguan jantung, kanker, rematik, kurang darah sampai diabetes. Bahkan, bangsa Moor memberi nama salah satu kota kuno di Spanyol, yaitu Granada, berdasarkan nama buah ini. Kendati begitu, kami tetap ragu dengan pengakuan Mbah Dlimo. Apalagi pohon delima itu jelas bukan jenis pohon delima sembarangan. Ia terus berbuah. Tak mengenal musim. Buahnya besar-besar. Rasa sangat manis, seperti dicampur gula saja. Penduduk kampung ini pasti pernah mencicipi buah delima Mbah Dlimo. Buah itu biasa dibagi-bagi kepada orang kampung sini. Dan waktu masih bocah, kami juga sering mencurinya, saat melewati rumah Mbah Dlimo sepulang ngaji. Kendati orang kampung kami percaya buah delima itulah rahasia umur panjang Mbah Dlimo, tapi aku curiga sebaliknya: jangan-jangan Mbah Dlimolah yang sakti, bisa nyuwuk pohon delima di depan rumahnya menjadi pohon ajaib. Apalagi, setelah mendengar cerita getok-tular sekitar pohon delima itu yang aneh-aneh. Alkisah, ketika terjadi pelebaran jalan kampung, pohon delima itu akan ditebang. Namun, tak ada satu pun alat tebang yang mampu menumbangkan pohon itu. Parang, perkul, bendho dan gergaji sudah dicoba, tapi pohon delima itu seperti menjelma besi. Mungkin ini yang menyebabkan cerita-cerita perihal pohon delima Mbah Dlimo jadi macam-macam. Menurut sebagian sesepuh kampung kami, di tempat tumbuhnya pohon delima itu dahulunya adalah makam seorang syekh. Ketika pada suatu malam makam itu digali oleh gerombolan maling yang hendak mencuri rambut sang syekh untuk jimat, ternyata tak ada rambut, bekas jasad atau tulang belulang sang syekh tersebut. Setelah lebih dalam digali, di lubang itu justru ditemukan biji-biji delima. Gerombolan perampok yang tak menemukan rambut sang syekh itu pun pergi, meninggalkan makam yang masih menganga dengan butiran biji delima yang kini tumbuh menjadi pohon legendaris di depan rumah Mbah Dlimo. Banyak yang percaya, pohon delima itu tak lain adalah reinkarnasi sang syekh, yang sepanjang hidupnya juga seperti pohon delima itu, memberi manfaat tak hentihenti bagi masyarakat sini. Tentu cerita begini ini sukar dipercaya. Apalagi jika kita melihat fakta bahwa tak ada warga di kampung kami yang lebih tua dari Mbah Dlimo. Dengan demikian, tak ada saksi sahih yang bisa menjelaskan asal-usul pohon delima itu. Namun ketika perkara ini kutanyakan kepada Mbah Dlimo, dengan enteng ia berkata: “Biasa juga begitu, Mas Takin. Jangan dikira, syekh atau wali-wali yang sepanjang hidupnya ngabekti itu mati. Tidak. Ia hidup dan Tuhan memberinya rizki.” Penjelasan Mbah Dlimo ini tentu tidak sepenuhnya kami mengerti. Ketika aku dan teman-teman yang duduk semeja dengan Mbah Delimo kembali minta penjelasan tambahan tentang ini, Mbah Dlimo langsung menunjuk Damar Kurung di seberang warung ini. Mbah Dlimo kemudian menjelaskan kenapa Masmundari diberi umur panjang. “Selain tentu karena rahmat Tuhan,” kata Mbah Dlimo, “itu lantaran ia tak beda dengan Damar Kurung ciptaannya, memberi terang dan keindahan ke jalan yang kita lewati. Masmundari itu ibarat jalan berhiaskan Damar Kurung. Dan seperti sebuah jalan yang panjang, umurnya juga panjang, bukan?”

“Lalu, bagaimana dengan umur Sampean Mbah?” tanyaku, mengejar penjelasan Mbah Dlimo yang kian tak kupahami itu. Tak terasa, warung telah sepi, tinggal kami yang duduk mengapit Mbah Dlimo, seperti para murid Yesus, dalam lukisan Leonardo da Vinci, “Perjamuan Terakhir”. Sayangnya, sebelum Mbah Dlimo memberi jawaban yang memuaskan perihal ini, terdengar azan maghrib dari langgar. Mbah Dlimo tersenyum, lalu membayar kopi dan buru-buru meninggalkan warung, sebab ia harus menjadi imam salat dan muruk ngaji seperti biasanya. Setelah Mbah Dlimo pergi, kami pun membayar kopi. Teman-temanku yang tadi datang ke warung memakai sarung, langsung menyusul Mbah Dlimo ke langgar. Sementara aku yang memakai celana-cekak, menghabiskan rokokku sembari pelanpelan berjalan pulang melewati rumah Mbah Dlimo. Dalam naungan temaram sore hari, aku melihat sepuluh, seratus, atau mungkin seribu kunang-kunang, mengitari buah-buah delima Mbah Dlimo. Dalam kitaran kunang-kunang, buah-buah delima itu sungguh mirip Damar Kurung ciptaan Masmundari. Sejenak aku berhenti. Kupandang buah-buah delima yang bergelantungan dikepung kunang-kunang itu. Kupandang buah itu satu-satu. Kuhadapkan wajahku ke buah yang lebih tinggi, dan aku tersentak, melihat Mbah Dlimo tengah salat di atas helai daun-daun delima itu. A Muttaqin lahir di Gresik dan tinggal di Surabaya, Jawa Timur. Ia mengarang puisi dan cerita pendek. Buku puisinya yang telah terbit, antara lain, Pembuangan Phoenix (2010), Tetralogi Kerucut (2014), dan Dari Tukang Kayu sampai Tarekat Lembu (2015). Cerpennya terkumpul dalam Klub Solidaritas Suami Hilang, cerpen Kompas pilihan 2014.

CERPEN, GDE ARYANTHA SOETHAMA, KOMPAS

Ida Waluh di Lereng Gunung Agung

Ida Waluh di Lereng Gunung Agung ilustrasi Yusuf Susilo Hartono/Kompas Sudah larut malam, barak pengungsi itu dipagut sepi. Mereka saling pandang ketika hendak memutuskan siapa akan menjemput Ida Waluh di lereng Gunung Agung. Perjalanan kurang dari tiga jam, tapi penuh mara bahaya, jika gunung yang dalam keadaan awas itu tiba-tiba meletus.

“Saya bersedia,” ujar seorang anak muda mengacungkan tangan tiba-tiba setelah sekian lama suasana bisu beku. Semua memandangnya dengan seksama. Dia tamatan institut teknologi informasi, bekerja di penyedia jasa web design di Jimbaran. Ia yatim piatu, kuliah ditanggung bibinya yang tidak menikah, hidup dari menjual sembako di pasar kecamatan. Sejak warga dusunnya, Desa Kesimpar, di lereng Gunung Agung mengungsi ke Swecapura, Ananta selalu bermalam bersama mereka. Saban hari ia ulang-alik Swecapura-Jimbaran menempuh dua jam bermotor. “Kalau begitu, saya ikut,” usul laki-laki bersarung, mengenakan kemeja endek. “Biar saya sendiri saja, Pak Losen. Bapak dibutuhkan di sini menyambut kunjungan pejabat dan menemani para pembawa sumbangan untuk selfi. Tak ada yang bersedih kalau saya tak kembali. Ayah, ibu, pacar, saya tak punya. Saya cuma titip bibi.” Losen anggota DPRD Kabupaten Karangasem, mendulang banyak suara berkat bantuan para bebotoh judi sabung ayam. Berulang Losen menyampaikan, ia bercitacita jadi bupati bahkan gubernur, karena dengan menjadi kepala daerah ia yakin bisa mensejahterakan Desa Kesimpar. Menjelang subuh Ananta berangkat ke Kesimpar naik motor. Para pengungsi melepasnya dengan pelukan dan tepukan bahu. Ibu-ibu terisak seperti melepas putra mereka ke medan perang dan tak akan kembali. Kakek-nenek mengusap-usap kepalanya, komat-kamit mengucap doa semoga ia kembali selamat utuh bersama Ida Waluh. Bibinya justru tegar, memberi semangat. “Kamu penyelamat dusun kita, An.” “Kasi hadiah nanti ya, kalau saya berhasil.” Si bibi tersenyum, menyodok lembut dada keponakannya dengan bangga. Melewati bukit Kahang-kahang, Ananta mulai merasakan getaran gempa. Selepas Desa Datah, gempa itu kian keras dan semakin kerap. Memasuki Desa Kesimpar, gempa semakin kuat, tanah tak cuma bergoyang, juga terguncang, dan bumi bagai hendak terbelah. Pohon terhuyung-huyung, gesekan semak-semak menimbulkan suara berderak- derak, seakan sebentar lagi Gunung Agung meletus. Tak ada burung melintas, juga tidak unggas dan anjing. Sapi-sapi sudah diungsikan. Desa Kesimpar menjadi dusun mati seperti disambar naga. Ananta memasuki Pura Desa tempat Ida Waluh. Beberapa bagian tembok pura retak, atap-atap bangunan miring digoyang ratusan kali gempa sepanjang hari sejak dua pekan terakhir. Ia berhenti tepekur di depan sebuah meru tumpang tiga beratap ijuk tempat Ida Waluh berada. Dengan kunci yang ia ambil dari tas pinggang, perlahan ia membuka pintu dengan dada berdebar, semakin berdebar oleh getaran gempa yang mengguncang setiap dua menit.

Ida Waluh duduk bersimpuh, menatap teduh Ananta yang mencakupkan tangan di dada, sebelum dengan takzim membopongnya ke balai piasan, tempat yang dipenuhi sesaji jika upacara piodalan digelar. Rambut Ida Waluh tergulung memanjang ke belakang, ujungnya melingkar. Dari kemaluannya menyembul bunga waluh menutup pusar dan sebagian kedua pahanya. Tubuhnya condong ke belakang, kedua tangan bertumpu menyangga bunga waluh yang besar. Warga Desa Kesimpar sangat yakin, rambut yang memanjang adalah lingga, alat kelamin tanda kelaki-lakian Dewa Siwa, dan waluh adalah yoni, kelamin perempuan. Ida Waluh diyakini sebagai perujudan lingga-yoni simbol kesuburan, pemberi kesejahteraan dan kedamaian. Warga menjaganya dengan tidur makemit saban malam di Pura Desa, sejak beberapa tahun lalu, ketika puluhan patung suci pretima di desadesa kaki Gunung Agung disatroni maling. Ida Waluh memang rawan diculik, karena persis di belahan dadanya terbenam permata hijau lumut sebesar ibu jari tangan. Tersebar kabar ke seluruh desa dan kota, permata itu sangat bertuah dan murah hati. Banyak tokoh yang turut pemilihan kepala daerah atau anggota DPRD mohon restu di Pura Desa Kesimpar, mohon petunjuk dan restu memenangkan pertarungan politik. Mereka yakin anugerah permata hijau lumut itu menyiramkan wibawa dan pengaruh bagi siapa saja yang memohon pada Ida Waluh, yang diyakini percikan dari Ida Sang Hyang Widhi. Ananta menyarankan tidak perlu makemit jika Ida Waluh selalu bersama GPS tracker untuk melacak dan memberi alarm jika diculik atau dipindahkan. GPS dipasang di atas lempengan baja yang menyatu dengan kayu, yang menjadi alas duduk Ida Waluh. Tapi warga tidak pernah yakin, tak pernah tenang. Laki-laki dusun tidak semangat mengurus kebun, setiap saat dihantui perasaan was-was dan bersalah jika Ida Waluh diculik. Orang-orang kampung itu meragukan teknologi, karena teknologi hebat bisa dilawan dengan yang lebih canggih. Teknologi itu gampang disiasati dan dikibuli. Beberapa hari setelah pemasangan GPS, tiga wanita kesurupan meminta warga makemit kembali, bermalam di pura. Ida Waluh memperoleh dua perlindungan: digital dan manual. Dari tempat kosnya di Jimbaran, dengan smart phone Ananta bisa memantau Ida Waluh karena GPS tracker tetap terpasang. Kesurupan kini berulang di pengungsian, dialami enam perempuan. Selepas petang anak-anak menangis menjerit-jerit tanpa sebab. Para orang tua bingung, inguh, gelisah. Orang-orang dewasa cuma tidur-tiduran tidak karuan, bermalas-malasan. Mereka merasa tidak nyaman dan ingin segera kembali ke Kesimpar, namun takut disergap lahar dan terjebak awan panas. Ketika itulah mereka sadar, Ida Waluh semestinya hadir untuk menjaga ketenangan dan kenyamanan. Mereka sepakat menjemput Ida Waluh untuk bersama tinggal di barak. Hari menjelang sore tatkala dengan sangat hati-hati Ananta membopong Ida Waluh, setelah membungkusnya dengan kain kasa kuning yang ia dapatkan di sudut balai-balai. Gempa mengguncang-guncang semakin sering dan kian kuat. Kadang Ananta mendengar suara gemuruh seakan gunung meledak. Waktu terasa berjalan

sangat lamban ketika ia bergegas jalan kaki melewati Tukad Gerudug yang dipenuhi batu muntahan letusan Gunung Agung tahun 1963. Ananta bergegas menghidupkan motor yang ia parkir di bawah mohon jambu mete. Ida Waluh ia tempatkan di depan dada, tidak di boncengan, karena kuwalat memunggungi sosok suci. Apalagi tanpa disadari kadang ia kentut kalau naik motor. Dengan menempatkannya di depan, ia merasa seakan dipeluk Ida Waluh. Ia menjadi sangat tenang, tidak gentar akan bunyi-bunyi aneh alam sekitar karena gempa yang berulang. Para pengungsi baru menyelesaikan makan malam ketika Ananta tiba di pengungsian Swecapura. Ia disambut seperti pahlawan, dielu-elukan, dipeluk penuh haru, dicubit-cubit ibu-ibu. Gadis-gadis mencium pipinya dengan bangga dan penuh suka cita. Tempat pengungsian itu menjadi riuh ketika Ida Waluh diarak ke ujung barak, ditempatkan dengan khidmat di atas tumpukan kardus-kardus bekas mi dan biskuit sumbangan. Sesaji dihaturkan, mereka menembangkan kidung wargasari, tirta dipercikkan. Sejak itu orang-orang Kesimpar di pengungsian menjadi tenang. Tak ada lagi yang kesurupan. Anak-anak meminjam buku dongeng dari perpustakaan keliling. Untuk para kakek dan nenek, mereka membaca buku Mendongeng Lima Menit yang dikumpulkan Made Taro. Kali ini anak muda yang mendongeng untuk orang tua. Meski Gunung Agung dikabarkan kritis siap meletus, mereka di barak tidur nyenyak. Anakanak makan banyak, bayi menetek susu ibunya dengan lahap. Sampai suatu hari lewat tengah malam ponsel Ananta berdering. Tat-tit-tut-tettet-tet… Ananta yang sedang duduk-duduk di barak pengungsi lain, tak harus menunggu dering ketiga, ia menyambar ponselnya. Ia kaget ketika menatap layar, ikon Ida Waluh bergerak ke luar barak. Ananta membangunkan orang-orang, mengajak mereka menatap layar selebar telapak tangan itu. Belasan orang bergegas mengikuti ikon yang bergerak semakin cepat di layar. Mereka memasuki sawah yang sedang ditumbuhi kedele. Mereka meloncati selokan tempat mereka mandi dan buang air di tengah sawah. Layar di ikon semakin jauh dan kian bergegas menerobos sawah. Mereka mengikuti Ananta, yang bagai menjadi komando dari sebuah pasukan tempur. Ponsel di genggamannya seperti sebuah senjata otomatis siap menyalak. Matanya tak lepas-lepas dari ponsel, silih berganti mengikuti arah pematang di depan agar ia tidak terperosok. Ananta memberi aba-aba agar orang-orang berhenti ketika ikon di layar diam, cuma berkedip-kedip perlahan. Mereka memandang sekitar, gelap sekali, sawah cuma diterangi cahaya bintang. Mereka mengendap-endap menuju titik ikon Ida Waluh berhenti. Ananta memandang lurus ke arah ikon yang semakin dekat. Matanya tak lepaslepas dari layar ponsel. Ia menatap sebuah gubuk kecil beratap alang-alang, dikitari tanaman jagung yang baru berbunga. Dengan dagunya ia menunjuk ke gubuk itu. Dan mereka serentak bergerak.

“Serbuuuuu…..!” Mereka menerobos gubuk, mendapati seseorang duduk di atas tumpukan jerami. Gelap sekali dalam gubuk ketika orang itu dihujani pukulan dan tendangan bertubitubi. Erangan dan jeritan kesakitan kalah oleh deru hantaman dan bising gerakan lengan. Gubuk itu roboh karena tak sanggup menahan belasan orang. Atapnya beterbangan menghantam batang-batang jagung. Ketika itulah mereka menemukan Ida Waluh terduduk di sudut gubuk. Mereka segera mengambil pretima, patung suci dari kayu cendana setinggi tiga puluh senti itu, dan menjunjungnya ramai-ramai ke barak. Kecuali Ananta, tak seorang pun peduli sama pencuri itu yang tertelungkup. Dada Ananta berdegup kencang ketika ia membalik tubuh orang itu, dan menatap wajahnya yang dikenal semua orang Kesimpar. “Pak Losen. Pak…. Pak Losen.” Ananta menggoyang-goyang tubuh lunglai itu. Losen perlahan membuka mata yang digenangi darah. “Sejak lama saya ingin memiliki permata ini, An,” ujarnya sembari merogoh saku celana dan mengeluarkan permata hijau lumut yang tadi masih tertancap di dada Ida Waluh, yang bercahaya lembut memantulkan cahaya bintang-bintang. Ananta tak percaya, ketika orang-orang membawa Ida Waluh ke barak, ia masih melihat jelas permata itu berada di tempatnya. “Yang itu palsu, An, saya mencungkilnya tadi, menggantinya. Yang ini asli. Saya cuma ingin permata ini, tidak patungnya. Akan saya kembalikan patung itu setelah berhasil menguasai permata lumut ini, agar saya bisa jadi bupati atau gubernur.” “Bapak yakin?” “Kamu kenal almarhum Pan Buyar?” “Semua orang Kesimpar mengenalnya.” “Pan Buyar itu kakekku, pakar batu mulia. Ia kerap menerima berkah batu bertuah di lereng Gunung Agung, tapi semua untuk penolak bala, tak ada buat membangun wibawa. Kakekku bilang, permata lumut ini bisa membuat pemiliknya jadi pemimpin nomor satu.” Losen menggenggam tangan Ananta, mencoba memindahkan permata hijau lumut itu ke genggamannya. Ananta terperanjat, menggeleng, menarik tangannya. Tubuhnya merinding, sesuatu berdesing dalam dadanya. Ia menggigil. “Takdir benda ini milikmu, An, ambillah,” suara Losen melemah. “Rawatlah dengan baik, kelak kamu bisa jadi bupati atau gubernur.”

Losen terengah-engah, tangannya berayun lemah memasukkan permata hijau lumut itu ke saku baju Ananta. Setelah itu ia tak bergerak. Wajahnya bengkak tengadah menatap langit, sekujur badannya berdarah. Orang-orang itu meremukkan tubuhnya, mematahkan rusuk dan betisnya. Beberapa kali bunyi krok-krok-krok meluncur dari tenggorokannya, kemudian diam, benar-benar diam. Di barak orang-orang mengumandangkan kidung wargasari, menyambut kembali Ida Waluh yang sempat menerebos tanaman kedele dan jagung. Kidung itu terdengar sayup ke gubuk, seakan sekalian menjadi nyanyian mengantar keberangkatan Losen. Sebentar lagi pagi tiba. Gde Aryantha Soethama, meraih Anugerah Kesetiaan Berkarya dari harian Kompas pada 2016. Buku kumpulan cerpennya Mandi Api (2006) meraih Khatulistiwa Literary Award. Hampir setiap tahun cerpennya lolos dalam buku Cerpen Pilihan Kompas. Ia juga menulis buku-buku jurnalistik seperti Menjadi Wartawan Desa (1985), Wawancara Jurnalistik (1986), dan Koran Kampus (1986).

CERPEN, DJENAR MAESA AYU, KOMPAS

Rumah-rumah Nayla

Rumah-rumah Nayla ilustrasi Hanafi/Kompas Entah nama apa yang tepat untuk tempat itu. Bar? Restoran? Warung? Sepertinya pemiliknya tidak terlalu peduli, sebagai apa kontainer berukuran delapan kali dua puluh meter persegi itu dimaknai. Sudah dua jam setelah Nayla membuka tempat usaha barunya yang dinamai Rumah Nayla. Kedengaran lebih mendekati makna kediaman ketimbang tempat usaha. Dan memang ia tinggal di sana. Sekitar setahun lalu Nayla membeli sebidang tanah yang tidak terlalu besar—jika dibandingkan dengan luas tanah rumah sebelumnya, tapi juga tidak terlalu kecil—jika dibandingkan dengan luas tanah rumah tipe sederhana. Tak sampai seratus lima puluh meter persegi luas tanahnya. Lalu dibelinya dua kontainer, satu dijadikan tempat usaha bernama Rumah Nayla, dan satunya lagi dijadikan sebagai tempat tinggalnya. Dulu sekali saat Nayla menikah muda, ia tinggal di sebuah rumah mewah bersama suaminya. Terletak di kompleks perumahan elit, dengan pos penjaga di

halamannya. Tak banyak kewajiban yang harus dilakukannya sebagai ibu rumah tangga. Mulai dari membersihkan rumah, mencuci, memasak, bahkan kopi untuk suaminya pun tinggal minta pembantu untuk melakukannya. Nayla juga tidak perlu pusing tentang masalah keuangan. Suaminya yang bekerja di perusahaan keluarga, entah benar bekerja atau cuma supaya kelihatan bekerja, hartanya tak akan habis walau dimakan tujuh turunan. Hidup begitu ringan. Hidup yang bagi kebanyakan orang adalah bentuk hidup idaman. Hanya dalam beberapa bulan menikah, Nayla hamil dan melahirkan bayi perempuan. Dan hanya dalam beberapa bulan setelah melahirkan, Nayla lagi-lagi hamil dan melahirkan lagi-lagi bayi perempuan. Kendati mempunyai dua balita tak membuat Nayla kerepotan karena lagi-lagi pengasuh bagi masing-masing bayinya disediakan. Ia pun memutuskan untuk punya dua anak saja padahal biasanya bagi keluarga peranakan, kehadiran bayi laki-laki amatlah diharapkan. Tapi lagi-lagi Nayla diberkati keberuntungan. Suaminya sama sekali tidak keberatan. Hidup begitu ringan. Hidup yang bagi kebanyakan orang adalah bentuk hidup idaman. Sering Nayla tak percaya dengan apa yang dialaminya. Di kala media memberitakan tentang peliknya perekonomian, agama diatas-namakan untuk membenarkan kejahatan, perkosaan yang berakhir dengan pembunuhan, pembakaran hidup-hidup terduga maling perabotan, patung dirubuhkan, hewan disiksa tanpa alasan, dan segudang kekacauan yang terkadang sama sekali tak masuk akal bisa dilakukan oleh makhluk yang konon nyaris mendekati kesempurnaan Tuhan, hidup Nayla benar-benar steril tanpa noda. Bisa dibilang tak nyata dalam kehidupan nyata. Maka, sering Nayla tak percaya dengan apa yang dirasakannya. Bagaimana rumah yang demikian nyamannya, bagaimana suami yang begitu pengertian dan mencintainya, bagaimana kedua anak perempuan cantik, pintar, dan sehat walafiat keadaannya, bagaimana materi bukanlah sesuatu yang harus dirisaukannya, bagaimana segala yang didambakan kebanyakan orang terjadi di dalam hidupnya, semua itu tak cukup membuatnya bahagia? Nayla selalu bahagia ketika berada di depan laptopnya. Ketika jari jemarinya mengetik kata demi kata. Rasa itu sama seperti apa yang ia rasakan semasa kecil saat menulis di buku catatannya. Di buku itu, Nayla membuat cerita. Jika ia tinggal di sebuah rumah yang selalu dipenuhi aroma cinta. Di pagi hari saat ia membuka mata, selalu tercium aroma kopi dan roti bakar yang sudah dipersiapkan Ibu untuk ayahnya. Renyah tawa mereka selalu membuat Nayla ingin buru-buru bangun dari tidurnya. Bergabung dan bercanda. Begitu pun saat Nayla sedang di sekolah. Yang ada di pikirannya hanyalah buru-buru pulang ke rumah. Di mana aroma kopi dan roti panggang sudah berganti dengan aroma sosis yang digoreng dalam minyak panas hingga melepuh kulit luarnya. Tak seperti ibu-ibu temannya yang memaksa bahkan memukul jika anaknya tak mau makan sayuran, ibunya hanya menghidangkan apa yang Nayla suka. Dan sedemikian enggannya Nayla saat waktu tidur tiba. Rasanya baru sebentar kebersamaan yang dilewatkannya sehabis Ayah pulang dan makan bersama. Mereka akan duduk di sebuah meja makan bundar, tertawa, bercanda. Rumah yang dipenuhi aroma cinta itu dinamai kedua orang tuanya, Rumah Nayla. Dan itulah nama, yang diberikan Nayla bagi buku catatannya,

Tapi ia tidak menamakan laptopnya seperti buku catatannya. Walaupun keduanya membuatnya merasa bahagia. Sebab seperti apa yang Nayla tulis di buku catatannya yang sebetulnya sangat bertolak belakang dengan apa yang dialaminya, demikian pula yang ia tulis di laptopnya. Ketika rumah yang dihuni dengan suami dan kedua putrinya saat itu adalah rumah beraroma cinta yang nyaris seperti apa yang Nayla tulis di buku catatannya, tapi penderitaanlah yang Nayla tulis di laptopnya. Tentang sebuah rumah di masa kecilnya yang tak bernama. Di rumah itu tak ada sedikit pun aroma cinta. Kedua orang tuanya pemakai narkoba. Jika mereka sedang dalam pengaruh narkoba, semuanya baik-baik saja. Tapi jika mereka kehabisan narkoba, mereka menjadi bukan seperti manusia. Nayla sering mendapat cacian bahkan pukulan untuk kesalahan yang tidak diperbuatnya. Di usianya yang sepuluh tahun Nayla sudah melakukan semua pekerjaan rumah tangga. Mulai dari membersihkan rumah, mencuci pakaian, hingga memasak seadanya. Jika mereka merasa rumah tidak terlalu bersih, maka Nayla menjadi sasaran kekesalan mereka. Padahal Nayla merasa sudah melaksanakan tugas sebaik-baiknya. Awalnya mereka hanya memakai narkoba berdua saja. Tapi lama kelamaan rumah mereka tak pernah sepi dari tamu. Ada yang datang hanya sebentar lalu segera pergi. Ada yang menginap dan mabuk bersama hingga berhari-hari. Ada pernah juga yang datang menagih uang sehingga mereka harus bersembunyi di dalam rumah yang terkunci. Terjadi seperti itu berulang kali. Hingga suatu hari tiga orang laki-laki berbadan besar mendobrak masuk. Mereka memukuli kedua orang tuanya hingga ambruk. Tak berhenti di sana, mereka bergantian meniduri Nayla. Aroma alkohol menyeruak dari desahan mereka. Nayla menangis dan mengiba. Tapi tak ada iba di mata mereka. Tak ada aroma cinta. Semua yang Nayla tulis di dalam laptopnya yang tak bernama itu dibaca suaminya. “Kamu masih enggak bahagia.” Nayla tak bisa menjawabnya. “Bisa enggak kamu melupakannya.” Nayla masih terdiam sejenak sebelum menggelengkan kepala pada akhirnya. “Bisa enggak saya membuat kamu melupakannya?” Nayla menggelengkan kepalanya. “Bisa enggak saya membuat kamu bahagia?” Nayla tak bisa menjawabnya. Itu sudah cukup untuk membuat hidup yang didambakan kebanyakan orang berubah seketika. Suaminya tak lagi bicara. Ia juga tak lagi pulang selepas jam kerja. Nayla tak bisa dan tak mau menyalahkannya. Ia hanya mencoba memperbaiki dengan tak lagi menulis di laptopnya. Sepenuhnya waktu ia habiskan dengan kedua putrinya. Tapi semakin lama, suaminya tak hanya tak pulang selepas jam kerja. Kadang ia pergi berhari-hari, berminggu-minggu, lantas berbulan-bulan lamanya. Di bulan ketiga suaminya pulang dan bicara, adalah hari di mana ia menceraikan Nayla. Sudah ada

perempuan lain dalam hidupnya. Yang membahagiakan dan bisa dibahagiakan, katanya. Lucunya, Nayla bisa mengerti sepenuhnya. Nayla tahu persis rasanya mencoba mencintai dan dicintai tapi diabaikan. Sama persis seperti apa yang kedua orangtuanya lakukan. Dengan segala kesadaran Nayla menyetujui untuk meninggalkan rumah dan membawa hanya sedikit uang tabungan yang hanya cukup untuk membayar sewa apartemen kecil dengan dua kamar untuk satu tahun ke depan. Walaupun tak ada hak asuh anak dalam perjanjian cerai, kedua putri Nayla kelihatannya lebih betah tinggal di rumah ayahnya dan Nayla cukup mengerti keadaan. Selain rumah itu adalah rumah yang mereka tinggali semenjak lahir, rumah itu juga jauh lebih nyaman. Tapi mengerti bukan berarti tidak menyakitkan. Terlebih jika harus mengerti karena itulah harga yang harus ia bayar untuk menebus kesalahan. Atau katakanlah, menebus kekalahan. Saat kedua putrinya bersama ayah dan ibu baru mereka, Nayla sering membayangkan. Sebuah rumah bertingkat dua dengan kolam renang membelah di tengah-tengahnya sehingga bisa dilihat dari segala ruangan. Di lantai dua sisi kiri adalah kamar-kamar kedua putrinya, dan kamar tamu di sisi kanannya. Di lantai bawah sisi kiri adalah kamar tidur dan kamar studi Nayla, sementara dapur dan ruang keluarga berada di sisi kanannya. Nayla membayangkan, jika rumah itu sudah menjadi nyata, ia tak lagi mau menggunakan jasa asisten rumah tangga. Ia akan melakukan segalanya sendiri untuk menunjukkan cintanya. Ia akan membersihkan rumah, mencuci pakaian, memasak segala yang mengeluarkan aroma cinta. Ia pun mulai kembali membuka laptopnya yang tak bernama. Dibacanya ulang catatan-catatan pendek dan dijadikannya menjadi beberapa cerita. Setelah terkumpul beberapa, ia kirimkan ke penerbit buku yang dengan segera mau menerbitkannya. Bukan dari buku itu benar Nayla mendapatkan uang sebesar yang diharapkannya. Tapi, walaupun buku yang diterbitkannya dicetak ulang berkali-kali, ia juga mendapat banyak pekerjaan sampingan yang lebih menghasilkan. Menuliskan buku orang tanpa namanya disebutkan, ternyata jauh lebih menguntungkan. Sedemikian menguntungkannya hingga ia bisa membangun rumah seperti yang ia bayangkan. Rumah itu beraroma cinta. Dengan kolam renang yang membelah di tengahnya. Kedua putrinya sudah lebih banyak tinggal di rumah itu ketimbang di rumah ayahnya yang sudah memiliki seorang putra. Sebelum mereka pulang dan saat mereka pulang sekolah ada aroma roti panggang, sosis goreng, apa pun yang mereka minta. Nayla pun membersihkan dan merawat rumah itu dengan segenap tenaga dan cinta. Nayla juga hanya membuka laptopnya jika ada tawaran saja. Ia tak tahu mengapa rasanya lebih mudah bahagia bersama kedua putrinya saja. Mengapa bahagia itu tidak Nayla rasakan saat ia bersama kedua putri dan suaminya? Mengapa Nayla merasa bahagia hanya saat berada di depan laptopnya seperti apa yang ia rasakan semasa kecil saat menulis di buku catatannya yang dinamakan Rumah Nayla? Apakah hati Nayla sudah sejak lama bercerai dengan laki-laki jauh sebelum mantan suaminya menceraikannya? Nayla tetap tidak menemukan jawabannya. Walaupun waktu perlahan menggerogoti usia dan kedua putrinya mulai asyik dengan dunianya yang remaja. Dan aroma cinta perlahan padam sebesar apa pun Nayla berusaha menghidupkannya. Mereka lebih senang berada di luar, atau jika tinggal di rumah mereka lebih memilih diam di kamar. Lalu satu per satu dilamar. Yang tertinggal dari mereka hanyalah sejumput rambut di saringan air ataupun sisir. Sepatu-sepatu kulit usang yang tak

pernah lagi mereka semir. Album foto. Kaos polo. Gincu yang hampir habis. Bantal yang busanya sudah menipis. Penjepit bulu mata yang setengah patah. Hati Nayla yang berdarah. Dan stamina yang melemah. Rasanya tak ada lagi daya untuk membersihkan dan merawat rumahnya itu. Berbagai penyakit pun mulai diidapnya sejak menginjak umur empat puluh lima tahun awal tahun lalu. Mulai dari kolesterol, hipertensi, hingga paru-paru. Tapi yang terutama adalah tak adanya alasan ataupun motivasi. Tak ada desakan kebutuhan bagi dirinya sendiri. Lalu Nayla membuka kembali laptopnya yang tak bernama seperti rumah yang ditinggalinya. Di laptop itu ia kembali membuat cerita. Tentang sebuah rumah kontainer berlantai dua. Di bawahnya adalah tempat usaha, dan Nayla tinggal di atasnya. Tempat itu menjual apa yang disukai dan tak akan merepotkannya. Kopi bungkusan, bir kalengan, dan makanan yang hanya pada hari itu ia ingin masak saja. Jika tak ada yang datang, paling tidak ia bisa menikmati dan mengonsumsi apa yang ia sukai sendiri. Jika ada yang datang anggap saja ada yang menemani. Di bagian itu jari Nayla berhenti mengetik. Menemani? Entah sudah berapa lama Nayla sendiri. Tak berteman, tak juga terlibat asmara dengan laki-laki. Kebutuhan seksual tak pernah terlalu berarti, karena Nayla sudah kehilangan birahi sejak perkosaan yang ia alami. Nayla menatap laptopnya. Sudah dua jam setelah Nayla membuka tempat usaha barunya yang dinamai Rumah Nayla. Tapi tak ada satu pun yang sepertinya berminat untuk singgah di sana. Entah nama apa yang tepat untuk tempat itu. Bar? Restoran? Warung? Kontainer berukuran delapan kali dua puluh meter persegi itu hanya berisi lima meja. Dua meja cukup besar untuk empat kursi, dan dua meja kecil untuk dua kursi di sisi kiri dan kanannya. Ke empat meja itu terletak di depan dapur terbuka dengan satu penggorengan dan kulkas berisi bir kalengan. Ruangan itu didominasi warna putih dan abu-abu. Demikian pula dengan meja dan kursi di ruangan itu. Tapi ada satu meja di sudut dekat jendela, tepat sebelum pintu masuk yang berwarna coklat tua. Berisi satu kursi seolah menegaskan jika meja itu itu tak untuk berbagi dengan siapa pun juga. Meja itu miliknya. Pintu terbuka, membuyarkan perhatian Nayla. Yang membuka pintu terlihat ragu karena tak ada siapa-siapa selain Nayla di dalamnya. “Buka?” Nayla menutup laptopnya. Djenar Maesa Ayu, ibu dari dua orang putri, Banyu Bening, Bidari Maharani, dan eyang putri dari Embun Kinnara ini, lahir di Jakarta 14 Januari 1973. Ia telah menerbitkan enam kumpulan cerpen berjudul Mereka Bilang, Saya Monyet!, Jangan Main-main (dengan Kelaminmu), Cerita Pendek tentang Cerita Cinta Pendek, 1 Perempuan 14 Laki-laki, T(w)ITIT!, SAIA dan sebuah novel berjudul Nayla. Belakangan lebih dikenal sebagai sutradara film

Related Documents

Cerpen Kompas 2017
February 2021 0
Cerpen
January 2021 2
Cerpen
January 2021 3
Kompas Geologi
February 2021 1
Contoh Resensi Cerpen
January 2021 1

More Documents from "RizkiMaulana"

Cerpen Kompas 2017
February 2021 0