Edoman Memperoleh Daging Segar: Yang Sehat, Aman Dan Layak Dikonsumsi

  • Uploaded by: Nanda Ayu Cindy Kashiwabara
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Edoman Memperoleh Daging Segar: Yang Sehat, Aman Dan Layak Dikonsumsi as PDF for free.

More details

  • Words: 17,586
  • Pages: 84
Loading documents preview...
PEDOMAN MEMPEROLEH DAGING SEGAR YANG SEHAT, AMAN DAN LAYAK DIKONSUMSI

YUDI PRASTOWO,drh

2014

DAFTAR ISI halaman Pengantar Penulis Pendahuluan Penyembelihan Ternak Kesejahteraan Hewan Prosedur Pemeriksaan Ternak dan Daging Prinsip-prinsip Umum Pemeriksaan Antemortem dan Postmortem ternak konsumsi Pemeriksaan antemortem Pemeriksaan postmortem

Hasil penilaian Kondisi akut versus local

Persyaratan Pemeriksaan postmortem pada sapi, kambing/domba Babi Pemeriksaan Kepala Pemeriksaan Organ Dalam (viscera) berdasarkan Topographi Pemeriksaan Karkas

Pemeriksaan Antemortem dan Postmortem Pada Ayam/Unggas Pemeriksaan antemortem Pemeriksaan postmortem Hasil Penilaian

Konsep Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) Pada Pemeriksaan Daging Ternak Konsumsi Pemisahan Produk Daging Yang Tidak Aman dan Tidak Layak Dikonsumsi (Condemned) Di RPH Kesejahteraan Hewan Selama Proses Pemingsanan Konsep Audit Internal Dasar-Dasar Pengendalian Mikroorganisme Rekomendasi Penilaian Akhir Antemortem dan Postmortem Pada Sapi, Kambing/Domba dan Babi Pengambilan Contoh Daging Tentang Penulis

PENGANTAR PENULIS Rumah Potong Hewan (RPH) adalah komplek bangunan dengan desain tertentu yang dipergunakan sebagai tempat memotong hewan secara benar bagi konsumsi masyarakat luas serta harus memenuhi persyaratan teknis tertentu. Dengan dilaksanakan pemeriksaan antemortem dan post mortem secara benar, diharapkan karkas, daging dan organ dalam dapat memenuhi persyaratan aman dan layak dikonsumsi manusia. Untuk memenuhi peningkatan permintaan akan daging dan hasil olahannya, RPH memegang peran penting sebagai sarana penting yang diperlukan untuk meningkatkan pelayanan masyarakat sekaligus pemutusan mata rantai penularan penyakit zoonosa (dari hewan ke manusia ), sehingga karkas, daging dan organ dalamnnya, sehat, aman dan layak dikonsumsi serta memenuhi ketenraman bathin masyarakat. Pemeriksaan dimulai dari sejak penyembelihan bagi ternak yang dipersyaratkan halal, dan tidak memfaatkan darah sebagai bahan konsumsi. Pencegahan pengkonsumsian daging bangkai seperti ayam tiren disembelih seolah-olah berasal dari RPH merupakan permasalahan tersendiri, apabila konsumen tidak dapat membedakannya. Pemeriksaan kehalalan daging segar dari hewan yang dipersyaratkan merupakan prasyarat untuk terpenuhinya kesehatan, keamanan dan ketentraman bathin. Pemeriksaan prasyarat halal di RPH ataupun berbagai tempat pemotongan hewan di Indonesia, khususnya pemotongan unggas di pasar–pasar tradisional sering terabaikan. Hal ini kemungkinan keterbatasan aparat atau kekurangan pedulian masyarakat karena faktor keterbatasan pengetahuan tentang kesehatan, keamanan dan kelayakan daging dikonsumsi Pada hakekatnya fungsi RPH bagi kesehatan masyarakat, meliputi: 1. aspek teknis a. RPH sebagai tempat dilaksanakan pemotongan hewan secara benar sesuai standar teknis b. RPH sebagai tempat pem antemortem dan postmortem untuk mencegah penularan penyakit termasuk zoonosa c. RPH bagian surveilans dengan mengidentifikasi penyakit hewan menular yang terjadi untuk dipantau dan penulusuran balik ke daerah asal yang dilakukan melalui penelitian dan/atau penyidikan lebih lanjut d. RPH sebagai tempat seleksi dalam pengendalian pemotongan ternak sapi/kerbau betina yang masih produktif.

RPH merupakan salah satu komponen agribisnis di sektor hilir berkaitan erat di sektor hulu yaitu seperti pasar/los daging perlu mendapat perhatian pembenahan oleh berbagai pihak yang berwenang dan pengawasan secara terpadu semua pihak. 2.

aspek sosial RPH sebagai sarana pelayanan kepada masyarakat dalam penyediaan daging yang aman dan layak dikonsumsi serta halal bagi ternak yang dipersyaratkan.

3.

Aspek regulasi dan standar Regulasi RPH telah diatur dalam UU No.18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, UU No.18/2012 tentang Pangan, PP No.95/2012 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Kesejahteraan Hewan, Kepmentan No.557/ Kpts/TN.520/9/1897 tentang Syarat-syarat Rumah Potong Unggas dan Usaha Pemotongan Unggas, Kepmentan No.295/Kpts/TN.520/9/1987 tentang PemotonganBabi dan Penanganan Daging Babi, serta Hasil Ikutannya, Kepmentan No.413/Kpts/TN.310/9/1992 tentang Pemotongan Unggas dan Penanganan Daging Unggas dan Hjasil Ikutannya, dan No.306/Kpts/TN.330/4/1994 tentang Pedoman Pemotongan Unggas dan Penanganan Daging Unggas serta hasil ikutannya, Kepmentan No.557/Kpts/TN.520/9/1987 tentang Syarat Rumah Potong Hewan dan Usaha Pemotongan Hewan dan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 13/Permentan/OT.140/1/2010 Tahun 2010 tentang Persyaratan Rumah Potong Hewan Ruminansia dan Unit Penanganan Dagingdan beberapa standar terkait daging, yaitu: a. Standar Nasional Indonesia (SNI) 01-6159-1999 mengenai Rumah Potong Hewan; b. Standar Nasional Indonesia No.01-3523-1994 Persyaratan Sapi Potong. c. Standar Nasional Indonesia No.3932:2008 Mutu Karkas dan Daging Sapi d.

Standar Nasional Indonesia No.4230:2009 Mutu Karkas Daging Ayam

e.

Standar Nasional Indonesia No.3925:2008 Mutu Karkas dan Daging Kambing/Domba

f.

Standar Nasional Indonesia No.01-2734-1992 Ternak Babi Siap Potong

g.

Standar Nasional Indonesia No.01-3141-1998 Susu Segar

h.

Standar Nasional Indonesia No.01-4277-1996 Telur Asin

i.

Standar Nasional Indonesia No.3926:2008 Telur Ayam Konsumsi

j.

Standar Nasional Indonesia No.06-2736-1992 Kulit Sapi Mentah Basah.

k.

Standar Nasional Indonesia No.01-2908-1992 Dendeng Sapi

l.

Standar Nasional Indonesia No.01-4852-1999 Sistem Analisa Bahaya dan Pengendalian Titik Kritis (HACCP) serta Pedoman Penerapannya.

m. Standar

Nasional

Indonesia

SNI-19-14001-2005

Sistem

manajemen

lingkungan - Persyaratan dan panduan penggunaan. n.

Standar Nasional Indonesia ISO 22000:2009 Sistem Manajemen Keamanan Pangan dan Persyaratan Untuk Organisasi Dalam Rantai Pangan.

o.

Standar Nasional Indonesia 503-2000 Prosedur pengambilan, penanganan dan pengiriman contoh

BAB I PENDAHULUAN Ilmu di bidang kesehatan masyarakat veteriner dan ilmu kesehatan daging merupakan kegiatan dalam suatu mata rantai pangan asal hewan, yang dimulai dari sejak pengumpulan informasi dimana ternak berasal terkait status kesehatan dan keamanan lingkungan dan pemberian pakan (pre harvest) hingga ternak yang disembelih di Rumah Potong Hewan/RPH (post harvest), sehingga diperolehnya daging yang layak dikonsumsi. Aktifitas tersebut merupakan prasyarat untuk memperoleh daging ternak yang sehat dan layak dikonsumsi. Pada pengawasan penyembelihan halal bagi ternak konsumsi yang dipersyaratkan, maka diharapkan manfaat daging akan menjadi sumbangan penyediaan protein hewani penyediaan daging segar di Indonesia. Sedangkan melalui pemeriksaan antemortem dan postmortem yang baik, diharapkan terpenuhinya tujuan dari persyarat kesehatan dan keamanan pangan asal hewan sesuai standar. Uraian pemeriksaan antemortem dan postmortem dalam tulisan ini diharapkan dapat menjadikan rujukan bagi para dokter hewan dan paramedic veteriner dalam melakukan pengawasan dan pemeriksaan daging di RPH.

Gambar 1: Kepala sapi lokal yang dijajakan di pasar tradisional lolos dari pemeriksaan.post mortem, menunjukkan tidak ada pengawasan di pasar tradisional pada los daging

BAB II PENYEMBELIHANTERNAK Metode Islam Penyembelihan Ternak Bagi Yang Dipersyaratkan

Gambar 2: Metode Islam dalam penyembelihan ternak konsumsi yang tepat. Metode penyembelihan ternak konsumsi dalam Islam dikenal dengan metode Zabiha. Metode ini tidak hanya memperhatikan aspek kesejahteraan hewan, namun juga memperhatikan kaidah ilmiah berlaku secara universal meliputi yaitu: 1.

Kebersihan dan kesehatan orang yang menyembelih dan ternak konsumsi yang disembelih. Zakkaytum adalah kata kerja arab berasal dari kata dasar kata Zakah (kesucian). Hal ini mengandung makna terhadap ternak dan orang yang menyembelih harus juga bersih dan sehat. Oleh karena itu model Islam dalam penyembelihan ternak konsumsi mempersyaratkan hal sebagai berikut: a. Ternak yang disembelih menggunakan pisau tajam. Ternak yang disembelih dengan menggunakan pisau tajam dimaksudkan agar dapat secara cepat dilaksanakan sehingga meminimalisir rasa sakit atau penderitaan ternak tersebut seolah-olah terbius. b.

Memotong saluran pipa saluran udara/pernafasan, saluran makanan dan pembuluh darah (keluar maupun masuk ke jantung)

Zabiha adalah bahasa Arab yang bermakna 'penyembelihan'. Penyembelihan dilakukan dengan memotong pipa saluran udara, saluran makanan dan pembuluh darah (keluar dan masuk ke jantung) dan tidak diperkenankan memotong tulang leher (spinal cord) sebelum tiba kematian sempurna. Spinal cord ditunda terpotong dimaksudkan agar supaya perintah jantung ke otak agar tetap berlangsung untuk memompa darah keluar dari tubuh secara sempurna hingga jantung berhenti berdetak (mati). Terjadi kematian sebagai akibat otak kekurangan oxygen akibat terpotongnya arteri carotid keluar dari jantung menyebabkan otak mengalami ischemia. Akibat kekurangan darah (ischemia), maka perintah simpul syaraf, tidak dapat diteruskan keberbagai organ lain termasuk jantung berhenti berdetak. Akibat kerja syaraf menurun akan diikuti efek kelompak mata (pelpebra) menutup, kekejangan kaki mereda dan kematian manjadi sempurna. Apabila kematian telah sempurna maka selanjutnya pemisahan kepala dari tubuh dapat dilaksanakan untuk pemrosesan berikutnya. c.

Darah keluar sempurna (drained) Darah harus keluar sempurna dari tubuh ternak yang dimaksudkan agar darah sebagai media pertumbuhan kuman, jamur, media pembawa racun (residu) tidak menyebabkan konsumen ikut menderita sakit dan/atau bahkan menyebabkan kematian. Disisi lain akibat berkurangnya darah dalam tubuh ternak, akan menghasilkan daging lebih lembut/empuk (tenderness) dan lebih gurih (juiceness) karena yang tertinggal hanya sari daging. Penundaan pemotongan tulang leher kepala (spinal cord) sebelum ternak mati sempurna, dimaksudkan juga agar perintah otak (syaraf)kepada perut tetap berjalan, tidak terjadi pengeluaran kotoran berlebihan yang dapat mencemari daging ternak tersebut.

2.

Darah sebagai medium kuman, jamur dan racun. Diketahui bahwa darah sebagai medium kuman, jamur dan racun. Karena itu dalam Islam darah dilarang dikonsumsi, sebaiknya dimusnahkan dimaksudkan agar dampak negative dari ternak yang dipotong penderita penyakit zoonosa bisa dicegah lebih dini. Disamping itu darah segar media antigenik, apabila terjadi akibat factor allelik akan merubah sifat genetik dalam susunan kromosom konsumen.

3.

Kesegaran daging lebih lama

Daging ternak konsumsi disembelih dengan metode Islam menghasilkan kesegaran daging lebih lama dibanding metode penyembelihan lainnya sebagai akibat berkurangnya gula darah sebagai medium kuman anaerob, jamur dan racun. Dengan demikian yang tertinggal berupa sari daging (juiceness) yang manis dihasilkan glycogen otot dari konversi gula darah pada siklus Krebs. Berkurangnya suplai oxygen dari arteri ke jaringan otot, maka energi berkurang, sehingga hanya diperoleh energi yang berasal dari metabolisme anaerob dan menghasilkan sejumlah asam laktat. Apabila karkas ternak sapi dilayukan dengan cara digantung dalam kurun waktu paling kurang 6 jam, maka asam laktat akan menyebar membunuh kuman dan terjadi relaksasi dan keempukan otot (tenderness). Darah dalam otot tidak keluar sempurna karena masih ada tertinggal 35 % di otot-otot scapula

OIE/Badan Kesehatan Hewan Dunia merekomendasikan implementasi kesejahteraan hewan (kesrawan) pada sistim pemotongan halal versi Islam layak bagi dunia. Melalui perlakuan kesrawan yang buruk akan menurunkan kualitas keempukan, kerenyahan (juiceness) dan umur daging lebih pendek (Normal pH 5,4-5,7 dlm 24 jam)

Hasil penelitian CSIRO, Australia

PSE (Pale, Soft, Exudative)Akibat hewan stres akut, ketakutan, kesakitan  pH <5

DFD (Dark, Firm,Dry)  Akibat hewan terlalu lelah, stres berat  pH>6

Gambar 3: Pengaruh penanganan Kesejahteran Hewan yang buruk berdampak pada daging yang dihasilkan

4.

Ternak tidak merasa sakit Pemutusan saluran darah (arteri carotid dan vena jugularis) menyebabkan aliran oxygen darah dari jantung ke otak terhenti, sehingga perintah dari simpul syaraf menurun akibat ischemia yang diikuti mati rasa. Dengan demikian hewan tidak menderita sakit atau tersiksa berkepanjangan.

Dukungan Kesejahteraan Hewan Dukungan kesejahteraan hewan yang baik pada metode Islam terhadap penyembelihan ternak konsumsisecara langsung telah memenuhi persyaratan positif dari 5 kebebasan (Five Freedoms) dan 3 prinsip (the three principles) dari Professor John Webster.Lima kebebasan (The Five Freedoms) adalah:  Bebas dari haus dan lapar (Freedom from hhunger and thirst) o Dalam metode Islam ternak harus diperlakukan dengan baik (ichsan) yaitu dengan menyiapkan air minum segar dan pakan sebelum disembelih guna mempertahankan kesehatan dan kebugaran ternak setelah menempuh perjalanan dari tempat asal ke tempat pemotongan.  Bebas dari ketidak-nyamanan (Freedom from discomfort) o Ternak yang akan disembelih disediakan tempat perlindungan dan peristirahatan agar supaya cukup tenaga ketika akan disembelih dan tidak mati karena kepayahan. o Bebas nyeri, terluka dan penyakit (Freedom pain, injury and diseases)  Bebas mengekspresikan perilaku normal (Freedom to express most normal beha avior) o Ternak yang akan disembelih punya ruang cukup bergerak leluasa sebagai perlakuan yang baik (ichsan) dan tidak boleh disakiti bila dilakukan pemingsanan (stunning).  Bebas dari rasa ketakutan dan stress (Freedom from fear and distress) o Ternak konsumsi dicegah dari rasa ketakutan akibat ruda paksa dan perlakuan penyiksaan pemotongan ketika tidak menggunakan pisau tajam. Prof John Webster(2008). Animal Welfare: Limping Towards Eden. John Wiley and Sons. halaman 6, menjelaskan kesejahteraan hewan dilakukan melalui pendekatan advokasi melalui tiga persyaratan positif yaitu hewan harus tinggal dilingkungannya dengan kondisi layak, sehat dan merasa nyaman. Hal ini sesuai prinsip-prinsip ajaran Islam (Al Quran) terhadap perlakuan orang terhadap hewan.

Gambar 4: Restrain ternak sapi secara tradisional dan menggunakan restraint mover Dalam ajaran Islam melarang mengkonsumsi darah, daging babi, bangkai. Kebanyakan pada masa lalu selalu hal tersebut diatas dikaitkan dengan penyakit seperti cacing pita pada daging babi, darah dan bangkai begitu pula. Namun secara ilmu pengetahuan, Allah SWT memberitahukan kepada manusia agar menjauhi hal tersebut diatas untuk kebaikan manusia itu sendiri.. Darah dan daging babi selalu terkait keturunan dan sifat yang dimiliki makhluk tersebut. Dalam ilmu kedokteran hewan babi memiliki 16 golongan dan iso & heteroantigen darah (A/2,B/2,C/1,D/2,E/14,F/4,G/2,H/5,I/,J/2,K/5.L/12.M/8,N/1,O/2,S/1) paling lengkap daripada seluruh hewan di dunia. Kemiripan golongan ABO pada babi mirip yang dimiliki darah manusia. Golongan darah manusia ada 4 yaitu A/1, B/1, O/2 dan AB/0, sedangkan kera 6 golongan darah yaitu G/4,H/2,I/2,J/2,K/1,L/11. Untuk sapi ada 12 golongan darah, domba 7 dan ayam 12 yang ada kemiripan manusia yaitu golongan A dan B. Dalam ilmu pengetahuan golongan darah digunakan untuk menentukan unsur genetik dari sel dinding darah merah yang mengandung glycogen dikenal sebagai Allele. Allele adalah salah satu dari sejumlah bentuk alternatif pada gen (faktor keturunan) yang memiliki lokus genetik yang sama. Dipercaya antigen dalam darah yang mengandungAllele atau hubungan samaantar gen (unsur keturunan dan sifat) yang diklasifikasikan dalam kelompok golongan darah sama dan aglutinin.Simbiose allelic dari antigen dari kelompok yang sama,akan terbawa oleh aliran darah konsumen, dan akan menyebabkan terjadi perubahan sifat gen lebih kearah sifat negatif. Dalam perkembangan ilmu bioteknologi abad 21 telah diketahui bahwa allelic dari golongan darah yang sama seperti ABO pada manusia dan babi bisa bersimbiose antar antigen yang menghasilkan materi gen yang sama tetapi berbeda sifat. Sifat keturunan kebinatangan tersebut patut diduga dapat merekat dalam sifat manusia melalui darah, Daging babi yangberasal dari susunan allelic yang sama dengangolongan darah atau antigen yang mirip dimiliki manusia makadiduga akan mewariskan sifat genbabi terutama kerentanan terhadap agen penyakit asal hewan dan sifat omnivoora (pemakan segalanya).

Menyembelih dengan selain nama Allah SWT dalam Islam lebih hanya memastikan penghindaran pengakuan sifat syirik (menduakan Tuhan) sebagai pemilik mahluk. Syirik merupakan laranganNya keras serta merupakan dosa yang tidak terampunkan bagi umat Islam. BABI HEWAN OMNIVOORA

BAB III PROSEDUR PEMERIKSAAN TERNAK DAN DAGING Sasaran:

Dalam pemeriksaan antemortem dan postmortem dari ternak yang disembelih dapat dipenuhinya persyaratan hygiene sanitasi melalui prosedur pemeriksaan antemortem dan postmortem Tujuan program pemeriksaan daging ada 2 yaitu:

1.

Menjamin bahwa yang hanya terlihat sehat, ternak secara fisiologi normal yang disembelih untuk keperluan konsumsi dan memisahkan ternak abnormal serta dilakukan sesuai prosedur.

2.

Menjamin bahwa daging diperoleh berasal dari ternak yang bebas penyakit, aman dan tidak berisiko bagi kesehatan konsumen.

Tujuan tersebut diatas dapat dicapai melalui prosedur pemeriksaan antemortem dan postmortem yang dilakukan secara higienis untuk meminimalisir pencemaran. Bilamana suatu unit usaha pemotongan telahtelah menerapkan prinsip-prinsip Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP), juga dilakukan peningkatan prosedur pemeriksaan penyakit secara menyeluruh dengan menggunakan prinsip-prinsip penilaian risiko.

BAB IV PRINSIP-PRINSIP UMUM PEMERIKSAAN ANTEMORTEM DAN POSTMORTEM TERNAK KONSUMSI. 1.

Pemeriksaan antemortem. Tujuan utama pemeriksaan antemortem adalah sebagai berikut: a. Menseleksi seluruh ternak yang untuk disembelih; b. Menjamin bahwa ternak telah diistirahatkan minimal 12 jam untuk memperoleh informasi gejala klinis melalui diagnosa dan keputusan yang diperoleh. c. Menekan risiko cemaran kotoran atau penyakit ternak ke daging ketika ternak disembelih melalui pemisahan ternak yang kotor dan pemisahan ternak yang berpenyakit, bila perlu melalui pengaturan tersendiri. d. Menjamin bahwa ternak yang menderita sakit yang direkomendasikan pemotongan darurat dan dilakukan perlakukan pemeriksaan khusus. e. Mengidentifikasi penyakit-penyakit ternak strategis yang wajib dilaporkan untuk mencegah pencemaran lantai tempat pemotongan. f. Mengidentifikasi ternak yang sakit dan ternak yang sebelumnya telah atau baru diobati dengan antibiotika, agent chemotheraputik, insektisida dan pestisida. g. Diperlukan dan menjamin alat angkut ternak tetap bersih dan dihapushamakan sebelum meninggalkan tempat atau rumah pemotongan hewan. h. Isolasi atau karantina bagi ternak yang menunjukkan gejala klinis.

Pemeriksaan antemortem dimulai sejak penilaian status kesehatan hewan di peternakan asal yang perlu digali meliputi informasi: 1. 2. 3.

4.

Status dan situasi penyakit hewan yang pernah dideritanya, dengan memeriksa kartu ternak. Evaluasi penggunaan obat-obatan, apabila ternak sapi baru divaksin anthrax, maka penyembelihan ternak harus ditunda potong paling kurang waktu 42 hari. Status pemberian pakan dan minum (apakah hijauan pernah disemprot pestisida sebelumnya, konsentrat mengandung meat bone meal/MBM, lingkungan limbah pembuangan akhir, air limbah industri, pakan yang mengandung growth promoter/pemacu pertumbuhan, dll). Gejala klinis ketika terjadi di tempat asal.

5. 6. 7. 8. 9.

Konformasi fisik (kurus, gemuk, sedang), dan konfirmasi larangan undangundang terhadap pemotongan sapi betina produktif. Kebersihan kulit dan bulu. Pemeriksaan umum selaput lendir mata, hidung dan adakah kebengkakan pada pipi, rahang. Pergerakan ternak secara bebas diamati termasuk perilakunya ketika tiba. Lubang-lubang yang ada yaitu telinga, hidung, anus (kumlah) dan ambing

Pengumpulan informasi untuk dilakukan evaluasi sebagai catatan pada pemeriksaan antemortem untuk menentukan rekomendasi penilaian oleh dokter hewan terkait kelayakan ternak disembelih atau disembelih bersyarat. Oleh karena itu setiap selesai pemeriksaan yang akurat, dicatat dalam formulir pemeriksaan antemortem yang telah disiapkan. Dalam catatan formulir informasi hasil pemeriksaan direkomendasikan penyembelihan bersyarat, maka catatan tersebut diserahkan kepada dokter hewan pemeriksa postmortem untuk lebih mengamati terhadap adanya perubahan patologi pada otot, organ dan jaringan ternak potong tersebut yang perlu diafkir. Ternak sebelum diperiksa harus diistirahatkan dan diletakkan dalam kandang yang mudah ternak bergerak. Pemeriksaan antemortem harus dilakukan dalam waktu 24 jam sebelum dipotong dan tidak boleh ditunda. Apabila tertunda wajib mengikuti prosedur pemeriksaan pada hari berikutnya. Bagi ternak yang patah tulang atau tidak mampu berdiri dapat dilakukan pemotongan darurat. Bagi ternak-ternak yang menunjukkan gejala klinis penyakit harus dibawah pengawasan, pemeriksaan dan penilaian dokter hewan terhadap kelayakan untuk dipotong. Terhadap ternak yang tersangka atau baru saja diobati harus dipisahkan dari ternak yang sehat. Sejarah penanganan penyakit harus dilaporkan dan dicatat pada kartu antemortem. Informasi lain yang harus ada di kartu antemortem meliputi: 1. Nama pemilik; 2. Jumlah ternak dalam angkutan, keranjang atau saat tiba; 3. Spesies dan jenis kelamin; 4. Tanggal dan waktu pemeriksaan antemortem; 5. Gejala klinis dan perubahan temperatur tubuh yang terkait; 6. Alasan mengapa ternak harus diperiksa ulang/khusus atau tunda potong; 7. Tanda tangan pemeriksa. Kelengkapan pemeriksaan antemortempaling sedikit: 1. Topi pelindung 2. Jas kerja putih 3. Peralatan tulis 4. Peralatan statescope, thermometer, senter 5. Sepatu bot, dan 6. Formulir antemortem

Gambar 5: Dokter Hewan dan paravet melakukan pemeriksaan antemortem dan melakukan proses dokumentasi untuk memastikan ternak yang akan disembelih dalam jangka waktu paling kurang 12 jam di RPH sapi, layak disembelih atau tidak. Pemeriksaan antemortem harus dilakukan dalam cahaya yang cukup terang dan ternak diperiksa secara berkelompok atau individual pada saat istirahat atau bergerak. Perilaku umum ternak harus diamati termasuk status gizi, kebersihan, gejala penyakit dan abnormalitas tubuh. Beberapa abnormalitas yang harus diteliti pada saat pemeriksaan antemortem yaitu: 1.

Abnormal pernafasan. Dilakukan melalui pemeriksaan frekquesi pernafasan/respirasi, juga diamati pola cara bernafas, yang membedakan antara hewan sehat dan sakit. Bila ada dugaan ternak sakit harus segera dipisahkan dari ternak yang sehat.

2.

Abnormal perilaku. Pengamatan perilaku meliputi gejala antara lain yang mungkin timbul yaitu: a. Ketika berjalan saat keliling apa menampakkan jalan pincang atau posture ketika berjalan terlihat abnormal; b. Apa terlihat pola menekan-nekan kepalanya ke dinding; c. Apa terlihat perilaku sangat agresif; d. Apakah terlihat dungu dan ekspresi mata yang liar; e. Apakah gangguan rasa. Hal ini juga dapat ditunjukkan ada perdarahan tanpa gejala komplikasi ataupun dengan komplikasi atau ada terjadi gejala proses keracunan.

3.

Abnormal kepincangan. Abnormal kepincangan sangat berhubungan dengan rasa sakit pada kaki, dada, abdomen atau indikasi gangguan syaraf.

4.

Abnormal bentuk tubuh (posture). Diamati melalui bentuk abdomen atau pada saat akanberdiri melalui cara ternak mengangkat kepala atau mengangkat kaki atau ternak mungkin tiduran dengan kepala terkulai kesisi. Ketika ternak tidak mampu mengangkat tubuhnya bangun (ambruk/downer) yang harus dilakukan perlu perhatian khusus untuk mencegah penderitaan berkepanjangan.

5.

Abnormal pada susunan tubuh (conformasi). Abnormal susunan tubuh (conformasi) dapat diartikan sebagai berikut: a. Terlihat bengkak (abses) pada tubuh yang umumnya diderita ternak babi; b. Pembengkakan persendian; c. Pembengkakan tali pusar, hernia atau omphalophlebitis. d. Pembenkakan ambing karena mastitis; e. Pembengkanan rahang; f. Pembengakan abdomen (bloated abdomen).

6.

Abnormal leleran atau cairan yang keluar dari tubuh ternak. Beberapa contoh abnormal leleran atau yang keluar dari tubuh ternak adalah: a. Leleran hidung, cairan ludah berlebihan dari mulut, atau cairan berlebihan setelah melahirkan lubang kelamin; b. Keluar cairan berlebihan dari vulva atau usus; c. Adanya penonjolan rectum (prolap rectum) atau uterus; d. Adanya penonjolan dari vagina (prolapsus uterus); e. Adanya penonjolan mata dan diare berdarah.

7.

Abnormal warna. Abnormal warna seperti adanya peradangan pada mata, radang pada kulit, kebiruan pada kulit atau ambing (adanya gangrene). Abnormal warna dapat menunjukkan status penyakit akut atau kronis.

8.

Abnormal bau. Abnormal bau sulit diketahui apabila tidak diamati secara rutin selama pemeriksaan antemortem. Bau yang berkembang dari abses, atau bau yang berasal dari pengobatan, dan bau khas dari pakan yang dikonsumsi atau bau acetone pada kasus ketosis harus dibedakan.

9.

Abnormal kebersihan fisik Abnormal kebersihan fisik diketahui terjadi pada ternak yang posisi ambruk (downer) atau penderita penyakit kronis.

Kebanyakan Rumah Potong Hewan di Negara berkembang atau daerah tertentu tidak menyediakan tempat akomodasi untuk ternak istirahat yang cukup untuk menentukan adanya gejala klinis. Kebanyakan pula di rumah potong hewan sering tidak dilakukan prosedur pemeriksaan antemortem karena alasan daging diperlukan segera ke pasar. Apabila ada gejala klinis yang meragukan, maka ternak potong tersebut segera dipisah dan ditempatkan pada kandang isolasi dengan maksud untuk: 1. Dilakukan pemeriksaan lebih lanjut melalui observasi atau diberi perlakuan tertentu ataupun ditolak disembelih untuk diobati terlebih dahulu atau dilanjutkan pemeriksaan laboratorium dan penyidikan epidemiologi penyakit hewan menular dengan menginformasikan kepada Dinas setempat yang berwenang pada bidang kesehatan hewan di daerah ternak berasal.

2.

Disembelih bersyarat dengan pengawasan khusus. Apabila menunjukkan gejala klinis penyakit bersifat sistemik, dan dapat membahayakan kesehatan manusia atau menunjukkan gejala klinis akibat keracuanan makanan atau adanya tindakan mekanis, maka: a. Mengafkir bagian daging tertentu yang tidak layak dikonsumsi; b. Dilakukan pengawasan secara khusus pada pemeriksaan postmortem secara terpisah dengan penilaian/rekomendasi dapat dikonsumsi bersyarat atau ditolak sama sekali.

Apabila dalam pemeriksaan ditemukan seekor ternak dicurigai penderita zoonosis yang berbahaya seperti anthrax, maka seluruh ternak yang ada di RPH direkomendasikan untuk dilarang disembelih, dan seluruh aktifitas pemotongan di RPH dihentikan sementara. Terhadap ternak tersangka harus dilakukan pengamatan mendalam dan pengambilan sampel uji laboratorium. Sambil menunggu hasil laboratorium dan keputusan diagnose, maka dilakukan tindakan pencegahan terhadap lalu lintas ternak rentan, isolasi seluruh ternak yang bersentuhan dan dilakukan sanitasi dengan penghapushamaan dan diinsektida Apabila ditemukan hasil laboratorium positif zoonosis berbahaya, maka segera bekerjasama dengan Dinas setempat yang berwenang di bidang kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat, untuk dilakukan tindakan sesuai prosedur yang berlaku. Dokumentasi ante mortem Hasil pemeriksaan antemortem harus dilakukan pencatatan secara individual bagi ternak besar dan cara berkelompok bagi ternak unggas. Informasi yang harus tercatat dalam dokumen pemeriksaan antemortem sekurang-kurangnya menginformasikan halhal sebagai berikut: a. Nomor register Rumah Potong hewan atau Nomor Kontrol Veteriner b. Identitas ternak atau kartu ternak c. Jenis ternak (spesies, bangsa) d. Jenis kelamin e. Kondisi ternak saat tiba dan menjelang dipotong f. Termperatur dan pernafasan dan/atau gerak rumen g. Berat ternak h. Catatan hasil pemeriksaan klinis antemortem i. Tanggal pemeriksaan dan tanda-tangan petugas/dokter hewan pemeriksa j. Saran pemeriksaan lebih lanjut kepada dokter hewan pemeriksa postmortem terhadap hal-hal untuk pemeriksaan organ secara spesifik Keadaan darurat (emergency) pemotongan ternak di kawasan peternakan Dalam hal darurat, ternak tidak dimungkinkan dibawa ke Rumah Potong Hewan, karena alasan penyakit atau risiko penyebaran penyakit atau alasan membahayakan masyarakat, maka dokter hewan berwenang harus melakukan konfirmasi meliputi sebagai berikut:

a. b. c. d. e.

2.

Adanya laporan peternak terhadap status dan situasi kejadian penyakit ternak, dan kondisi lingkungan yang berbahaya Laporan juru sembelih terhadap kelainan ditemui Laporan status pemeriksaan dari dokter hewan bila ada Waktu kejadian dan alat angkutdigunakan dan/atau adanya mutasi ternak Melakukan Identifikasi kejadiansecara lamgsung dan/atau mengumpulkan data epidemiologis

Pemeriksaan postmortem.

Tujuan pemeriksaan postmortem adalah untuk menjamin daging aman dari kontaminasi penyakit zoonosis dan layak dikonsumsi, bebas dari cemaran yang membahayakan kesehatan konsumen. Dengan memperhatikan rekomendasi pemeriksaan antemortem, maka dilakukan segera pemeriksaan postmortem tanpa ditunda. Pemeriksaan dengan pengirisan, palpasi kelenjar getah bening, organ atau jaringan harus dilakukan dengan teliti dan bersih, dengan mencegah cemaran pada daging, peralatan dan orang yang berkerja didekatnya. Pemeriksaan postmortem dari karkas ternak harus selalu dilakukan sesegera mungkin setelah pengulitan sempurna untuk mengetahui kondisi kelayakan daging untuk dikonsumsi. Seluruh atau bagian karkas atau organ-organ diperiksa sebelum diproses lebih lanjut.Pemeriksaan postmortem merupakan kelengkapan informasi secara evaluasi ilmiah proses adanya perubahan patologi untuk mengetahui kelayakan daging dikonsumsi. Pengetahuan teknis dan profesionalisme sepenuhnya digunakan melalui: 1. Pengamatan, pengirisan (insisi), perabaan (palpasi) dan teknis penanganannya; 2. Membuat klasifikasi kelainan atas 2 katagori akut atau kronis; 3. Menetapkan keputusan bilamana kondisi umum ataupun terlokaslisir, dan mengamati adanya perluasan perubahan terjadi secara sistemik pada organ dan/atau jaringan; 4. Menentukan secara signifikan terhadap perubahan patologi yang bersifat sistemik atau primer dan kaitan terhadap perubahan sistemik pada organ utama khususnya hati, ginjal, jantung, limpa dan sistem lymphatic. 5. Mengkoordinasi seluruh komponen temuan hasil pem antemortem dan postmortem untuk menentukan diagnosa. 6. Mengirimkan sampel ke laboratorium untuk mendukung diagnosa. Apabila RPH memiliki fasilitas pendingin, maka karkas yang tersangka disimpan sementara untuk ditunda pada proses lebih lanjut.

Hasil penilaian: Hasil penilaian ditujukan untuk melindungi konsumen dari daging ternak yang terduga terhadap: 1. Penyakit bahan asal makanan (foodborne infection). 2. Adanya racun dan/atau bahaya residu. 3. Penyakit zoonosa (foodborne zoonotic). 4. Penyakit parisit zoonotik seperti Tricinella spiralis atau Taenia soleum pada babi, Taenia bovis pada babi, hydatidosis/enchinococcus Penilaian Karkas Pemotongan (trimming) atau pemisahan (condem) dapat dilakukan apabila diduga: 1. Adanya bagian karkas atau keseluruhan karkas abnormal atau berpenyakit. 2. Adanya bagian karkas atau karkas keseluruhan terkait kondisi keabnormalan yang dapat membahayakan kesehatan masyarakat. 3. Adanya bagian karkas atau karkas keseluruhan terkait penolakan konsumen. Kondisi umum versus lokal. Penting untuk menjadi perhatian untuk membedakan kondisi penilaian karkas ternak melalui kondisi lokal atau umum. Kondisi lokal Ditunjukkan adanya perubahan terbatas pada bagian karkas atau organ. Perubahan sistemik terkait dengan suatu perubahan kondisi yang terjadi. Sebagai contoh cairan empedu berubah terkait penyakit hati atau adanya racun (toxemia) yang diikuti pyometra (nanah/abses di uterus). Kondisi umum Mekanisme pertahanan tubuh melalui sistim sirkulasi atau kelenjar getah bening (lymphatic systems) tubuh tidak mampu menghentikan penyebaran penyakit hewan. Kelenjar getah bening pada karkas akan teramati adanya perubahan abnormal atau patologi secara umum. Beberapa gejala penyakit secara umum terjadi sebagai berikut: 1. Peradangan umum dari kelenjar getah bening (lymph nodes) di kepala, rongga badan dan atau karkas. 2. Peradangan sendi. 3. Pembengkakan hati, limpa, ginjal dan hati. 4. Adanya berbagai abses di berbagai bagian karkas termasuk di tulang spina ruminansia. Pada kondisi luka atau lesi umum biasanya diperlukan beberapa penilaian khusus dari kondisi luka lokal yang teramati.

Kondisi akut versus kondisi kronis Kondisi akut. Pada suatu kondisi akut menampakkan suatu perkembangan luka lebih lama beberapa hari, dimana pada kondisi kronis perkembangan luka lebih lama dari kondisi akut dapat mencapai beberapa minggu, bulan bahkan tahunan. Kondisi sub-akut merujuk beberapa priode waktu antara kondisi akut dan kronis. Stadium akut merupakan manifestasi peradangan dari peradangan beberapa organ atau jaringan-jaringan, terjadi pembesaran pada kelenjar getah bening (lymph nodes) dan selalu disertai petechial haemorrhage pada membrane mukosa dan serosa serta adanya perbedaan organoleptik dari organ dalam seperti jantung, ginjal dan hati. Pada stadium akut selalu parallel dengan berbagai penyakit umum yang lebih komplek pada kondisi infeksi akut cenderung mempengaruhi sistem kekebalan ternak. Masing-masing kasus menunjukkan luka-luka sistemik yang harus dinilai secara individual terlihat signifikan di luka-luka tersebut. Hal itu Nampak terlihat pada sistim organ utama khususnya hati, ginjal, jantung, limpa dan sistem limphatik yang dapat mempengaruhi kondisi umum karkas. Kondisi kronis Suatu kondisi kronis, menunjukkan adanya peradangan dengan disertai pembengkakan yang disertai adhesi, jaringan fibrotik dan nekrotik dan atau abses. Penilaian dalam stadium kronis lebih ringan dan seringkali dilakukan pemisahan (condemnation) dari bagian karkas. Namun demikian penilaian pada ternak ataupun karkas cenderung lebih komplek pada kasus subkronis dan kadangkala ditemui pada stadium perakut. Jaringan dengan nekrotik umum selalu dihubungkan dengan kasus-kasus infeksi sebelumnnya, oleh karenanya karkas harus dipisahkan tersendiri untuk dimusnahkan (condemn). Keputusan Penilaian Pemeriksaan Postmortem. Dalam keputusan final pemeriksaan postmortem dapat dilihat pada tabel dibelakang atau dibawah buku ini dengan berbasis katagori dengan simbul-simbul sebagai berikut:  Disetujui, layak dikonsumsi (simbul A);  Seluruh kulit, karkas, daging dan jeroan tidak layak dikonsumsi manusia (simbul T);  Sebagian karkas atau karkas tidak layak dikonsumsi (simbul D);  Layak dikonsumsi dengan bersyarat, dibagi 2: a. “Kh”: direbus dengan temperature 90 derajat Celcius dan daging dipotongpotong kecil 10 cm kubik; b. “Kf” daging perlu dipanaskan atau didinginkan terlebih dahulu hingga terbunuh parasit yang terdapat dalam daging;  Daging terdapat kerusakan sedikit, namun masih layak dikonsusmi (simbul I);

 

Disetujui, sebagai layak dikonsumsi dengan peredaran di wilayah terbatas pada daerah tertentu, karena upaya mencegah penyebaran penyakit hewan menular lebih luas (simbul L); dan Tidak dapat digunakan konsumsi padaorgan pada katagori penyakit tertentu seperti spesifik risk material pada kasus penyakit BSE (simbul …).

Seluruh simbul tersebut untuk memudahkan pengenalan guna pengambilan keputusan dan pelacakan (trace back) yang dicatat dalam buku khusus serta sebaiknya dibagi beberapa katagori berupa kelompok sebagai berikut: 1. Temuan Umum 2. Daftar topgraphi dan kelainan: 2-1 Infeksi umbilical 2-2 Penyakit sistim persyarafan 2-3 Penyakit jantung dan pembuluh darah 2-4 Penyakit sistim pernafasan 2-5 Penyakit selaput pembungkus 2-6 Penyakit saluran pencernaan 2-7 Penyakit penggantung alat pencernaan 2-8 Penyakit hati 2-9 Penyakit saluran kencing 2-10 Penyakit alat reproduksi betina dan sebab penyakit yang menyertainya. 2-11 Penyakit kelamin jantan 2-12 Penyakit ambing 2-15 Penyakit kulit. 3.

Daftar penyebab penyakit: 3-1 Penyakit parasit 3-2 Penyakit protozoa 3-3 Penyakit bakteri dan penyebabnya 3-4 Penyakit virus 3-5 Penyakit menular yang tidak tahu sebabnya 3-7 Penyakit jamur.

Disposisi keputusan dan tanda kendali Setelah ada keputusan daging layak dikonsumsi manusia, maka diperlukan tanda berupa stempel yang menunjukan bahwa telah diperiksa sebagai alat kendali. Ukuran dan bentuk serta kata-kata pada stempel dan label harus menunjukan identitas RPH, ternak yang sisembelih, kode dokter hewan pemeriksa. Penggunaan tinta stempel harus sesuai ketentuan layak pangan(food grade). Apabila bagian organ, karkas atau bagian lain dari daging yang masih diperlukan perlakuan khusus harus distempel tersendiri. Sedang untuk organ, karkas atau bagian lainnya yang tidak layak dikonsumsi harus diberikan tanda tinta berwarna biru dengan cara dicatkan pada masing-masing bagian tersebut dan ditempatkan pada wadah penampungan tersendiri untuk dimusnahkan.

Stempel/cap hasil lulus pemeriksaan post mortem Karkas yang telah dilakukan pemeriksaan sebelum diedarkan wajib diberi tanda atau stempel/cap di 8 (delapan) titik tanda/bagian khususnya tempat-tempat pemeriksaan kelenjar getah bening dari sejak kaki depan punggung hingga kaki belakang. Stempel/cap sebagai identitas tanda kelulusan pemeriksaan post mortem harus menginformasikan sekurang-kurangnya: a. Nomor Kontrol Veteriner. b. Kode dokter hewan pemeriksa sebagai identitas penelusuran c. Wilayah tempat pemotongan d. Logo RPH Dalam penggunaan stempel/cap harus menggunakan tinta kriteria” food grade” atau sekurang-kurangnya dengan formulasi tinta sebagai berikut: - Alcohol 50 CC - Glycerin 150 CC - Kristral violet 50 CC - Aquades ad 1.000 CC Pemakaian label hasil pemeriksaan daging Dokter hewan atau juru pemeriksa daging harus mempunyai tanda pengenal. Tanda/kode pengenal sebagai informasi kepada berbagai pihak yang bersangkutan penanggung jawab produk yang dihasilkan dari RPH tersebut. Penggunaan Label RPH pada produk yang dihasilkan harus menunjukan nama, tanggal pemeriksaan, jenis daging, berat, nomor ear tag ternak bila ada, dan jenis ternak. Dokumentasi pemeriksaan postmortem Catatan hasil pemeriksaan postmortem, khususnya pada ternak besar dilakukan secara individual meliputi informasi sekurang-kurangnya: a. Nama dokter hewan pemeriksa b. Nama pemilik berikut identitas ternak/kartu ternak c. Spesies, bangsa, warna/tanda khusus, jenis kelamin, umur, berat, tanggal diisembelih d. Tanggal pemeriksaan postmortem e. Gambaran klinis/sejarah postmortem f. Gambaran perubahan patologi g. Rekomendasi dokter hewan postmortem h. Nama, jabatan/kedudukan/status dan tanda tangan dokkter hewan

BAB V PERSYARATAN PEMERIKSAAN POSTMORTEM PADA SAPI, KAMBING DAN DOMBA SERTA BABI. PEMERIKSAAN KEPALA Kelenjar retropharyngeal (No. 1), parotid (No. 2) and submaxillary (No. 3) pada petunjuk gambar 6 harus dilakukan pemeriksaan dengan cara melakukan berberapa irisan atau potongan untuk mengetahui perubahan abnormal. TABEL 1 : PEMERIKSAAN KEPALA KONDISI UMUM KELENJAR

SAPI

KAMBING & DOMBA

BABI

AMATI PERMUKAAN LUAR, RONGGA MULUT DAN RONGGA PERNAFASAN GETAH

BENING: SUBMAXILLARIS PAROTID RETROPHARYNGEAL

LIDAH LAINNYA

-

Iris (3) Iris (2) Iris (1) DIRABA

Pemeriksaan Cysticercosis bovis (a)

Iris -

DIRABA

-

-

Pemeriksaan Cysticercosiscellulose (b)

Keterangan: (a). Oesophagus harus dipsahkan dari penggantungnya hingga ke trachea; (b). Diperksa pada otot dan kelenjar getah bening pada tulang rawan scapula.

Sumber: WHO, 1986

Gambar 6 : Pemeriksaan Kepala Ternak Sapi Potong.

KETERANGAN

.

Sumber: WHO, 1986

Gambar. 7: Pemeriksaan Kepala: Retropharyngeal lymph nodes (No. 1) diamati dan diiris dengan berbagai irisan dan potongan

Lidah: Dilakukan pemeriksaan melalui palpasi terutama pada ternak sapi umur lebih 6 minggu) Lain-lain. Sapi – kecuali anak sapi dibawah 6 minggu, saluran pernafasan (oesophagus) pada ternak harus dipisahkan dari trachea dan diperiksa terpisah. Pemeriksaan ternak sapi diatas umur 6 minggu terhadap adanya Cystcercercus bovis, maka otot massseter harus diperiksa dengan cara melakukan beberapa irisan linear secara parallel kearah bawah dagu. Sebagai tambahan pada dalam otot leher/M.triceps brachii, 5 cm dibelakang dagu juga dilakukan pengamatan. Babi–karena adanya risiko Cysticercus cellulosae, maka otot luar pengunyah (musculus masseter), otot abdominal dan diaphragma serta ujung hulu lidah babi harus diiris dan dan dipalpasi kemungkinan adanya benjolan atau kista. Tidak lupa pengambilan daging pada punggung babi untuk diuji adanya Trichinella spiralis.

PEMERIKSAAN ORGAN DALAM (VISCERA) BERDASARKAN TOPOGRAPHI 1.

PEMERIKSAAN PARU-PARU DAN KELENJAR GETAH BENING (LYMPHO NODES) MESENTERICUS, PORTALIS, BRONCHIAL DAN MEDIASTINALIS a. Mengamati dan meraba bronchi. Pengecualian pada kambing dan domba, bronchi dibuka keatas dengan irisan memanjang (transverse incision across) ke diaphragmatic lobes. Untukternak sapi, maka larynx, trachea dan bronchi harus pada posisi terbuka memanjang. b. Kelenjar getah bening (Lymph nodes) c. Iris dan amatiBronchial (tracheobronchial) dan paru bagian tengah (mediastinal).

Sumber : WHO, 1986

Gambar. 8: Pemeriksaan paru-paru dilakukan pada bronchi, dilanjutkan kelenjar getah bening kiri (No. 1) dan kanan (No. 2) dan mediastinal (No. 3) pada gambar diatas dengan carakelenjar diiris dan periksa adanya keabnormalan terjadi.

Sumber : WHO, 1986

Gambar 9: Pemeriksaan paru-paru kerbau dilakukan dengan cara membuka trachea dan mengiris kelenjar getah bening bronchial sertamediastinal. Amati kemungkinan adanya Sinusitis, Pneumonia akut, Pneumonia Catharrhal.

Pada babi periksakemungkinan adanyaPneumonia subakut, Broncopneumonia subakut, Abses, Bronchitis, Brochopneumonia verminousa, Atelactasis, emphysema, perdarahan atau ingesti benda asing. 2.

JANTUNG Pengamatan dilakukan setelah melepas pericardium

Sumber: WHO, 1986

Gambar 10: Pemeriksaan Jantung dilakukan dengan membuat irisan sepanjang sisi (minimum 4 bagian) dari dasar ke pucuk otot jantung dan amatipermukaan potongan terutama adanya perikarditis, adhesi atau abses dan endokarditis. 3.

HATI Periksa dengan meraba permukaan dalam pada kedua sisi. Periksa kelenjar empedu. Untuk sapi diatas 6 minggu dilakukan pengirisan kedalam untuk menentukan adanya cacing hati dengan membuka saluaran empedu yang besar. Untuk ternak domba diiris lebih dalam untuk menemukan parasitnya. Amati kelanjar getah bening (lymph nodes) dan portal hepatic dengan cara mengiris dan diperiksa dengan seksama adanya parasit dan luasrnya kerusakan terjadi.

Sumber; WHO, 1986

Gambar 11: Pemeriksaan hati dengan mengiriskelenjar getah bening portal /hepatic lymph nodes (No. 1) dan buka saluran empedu yang besar (No. 2).

Amati adanya telangiectasis, bentukan kista, batu empedu, inflitrasi lemak, degenerasi hati, keracunan hati, adanya parasit (bungkul parasit), nekrosis olehbakteri, nekrosis military, abses hati dan abses selaput hati. 4.

LIMPA Pemeriksaan limpa dengan cara meraba (palpasi) apakah ada benjolan keras atau berisi cairan tetapi waspadai anthrax

Sumber : WHO, 1986

Gambar 12: Pemeriksaan Limpa biasanya tidak lepas dari lambung perut (Stomachs). Periksa dan amati juga rumen dilanjutkan meraba limpa. Pemeriksaan lambung dan usus amati adanya Gastroenteritis akut, Gastroenteritis catarrhal kronis, enteritis berdarah, konstipasi atau penyumbatan saluran pencernaan, kembung/bloat, mesentericus emphysema pada babi, peritonitis, adhesi dan abses. Hati-hati terhadap anthrax. 5.

SALURAN PENCERNAAN

Sumber: WHO, 1986

Gambar 13: Pemeriksaan Saluran Pencernaan (Gastrointestinal tract). Mengamati kelainan kelenjar getah bening Mesenteric (Mesenteric lymph nodes). Pemeriksaan rumen, reticulum, omasum dan abomasum.

Sumber: WHO, 1986

Gambar14: Mengiris dan memeriksakelainan kelenjar getah bening (mesenteric lymph nodes). Amati adanya gastroenteritis akut atau kronis, radang usus (enteritis) berdarah, kembung/bloat, atau radang penggantung usus (peritonitis). 6.

GINJAL Amati dan iris ke dalam ginjal, apakah ada bau urine abnormal, adanya radang ginjal dengan uremia atau oedema, batu ginjal,nephritis kronis, colinephritis, nephritis suppurative dan embolik, pyelopnephritis, cystitis exudative atau sistemik, rupture kandung kemih atau urethra.

7.

UTERUS (hanya berlaku ternak dewasa) Pengamatan terhadap adanya radang uterus, retensi placenta, prolap, cairan atau abses, orchitis, dan/atau epidemititis.

8.

OTAK (untuk ternak gejala gangguan syaraf& inkkordinasi gerak) Tujuan memeriksa otak mengamatiadanya encephalitis dan meningitis, atau lainnya,dimana pada saat pemeriksaan antemortemmenunjukkan adanya gejala syaraf diikuti yang diikuti gejala inkoordinasi alat gerak atau sempoyongan yang erat dugaan terhadap penyakit seperti Rabies, BSE, Surra. Pemgamatan juga dilakukan apakah juga diikuti dengan adanya abses atau perdarahan otak.

Tatacara pemeriksaan postmortem terhadap organ dalam dan karkas, dapat dilihat pada Tabel berikut: TABEL 2 : PEMERIKSAAN ORGAN DALAM KONDISI KELENJAR GETAH BENING: MESENTERICUS PORTALIS BRONCHIAL & MEDIASTINAL SALURAN PENCERNAAN LIMPA HATI PARU-PARU JANTUNG GINJAL UTERUS OTAK

SAPI

KAMBING DAN DOMBA

BABI

DIAMATI DIAMATI DIRABA DIIRIS DIRABA DIRABA DIRIS DIRABA DIIRIS DIAMATI DIAMATI DIAMATI DIRABA DIRABA DIRABA DIAMATI, DIRABA PADA KANTUNG EMPEDU. DIIRIS UNTUK MENGETAHUI KEBERADAAN CACING HATI DIRABA, KECUALI KAMBING & DOMBA, BRONCHI HARUS DIBUKA DENGAN MENGIRIS MEMANJANG HINGGA KE LOBUS DIAPRAGMA. DIAMATI SETELAH PERICARDIUM DILEPAS. MENGIRIS DASAR JANTUNG HINGGA APEX. BABI: JANTUNG DIIRIS TERBUKA SETIAP SEPTUM UNTUK DUGAAN ADANYA CYSTICERCUS CELLULOSE DIAMATI SETELAH DIENAKULASI DIRABA DIAMATI DIAMATI DIAMATI DIAMATI DIAMATI

PEMERIKSAAN KARKAS TABEL 3: PEDOMAN PEMERIKSAAN KARKAS KONDISI

SAPI

UMUM

KAMBING DAN DOMBA

BABI

PEMERIKSAAN KARKAS (TERMASUK OTOT, TULANG, PERSENDIAN, SELAPUT TENDON) DITUJUKAN UNTUK MENGETAHUI ADANYA PENYAKIT ATAU KERUSAKAN. PENGAMATAN DITUJUKAN PADA KONDISI FISIK KARKAS, ADANYA PERDARAHAN, PERUBAHAN WARNA, KONDISI MEBRAN SEROSA (PLERA DAN PERITONIUM), KEBERSIHAN DAN ADANYA BAU YANG TIDAK NORMAL

KELENJAR GETAH BENING: SUPERFICIAL INGUINAL. EXTERNAL DAN INTERNAL ILIACUS PREPECTORAL POPLITEA RENALIS

DIRABA DIRABA

DIRABA DIRABA

DIRABA DIRABA

DIRABA DIRABA

DIRABA DIRABA

DIRABA DIRABA BAGIAN KASTRASI

LAIN-LAIN

Sumber:WHO,1986

Gambar 15: Peta anatotmi letak kelenjar getah bening.

Pemeriksaan postmortem karkas pada semua ternak diarahkan secara umum atau sistemik adanya berpenyakit tuberculosis. Caranya dengan melihat adanya perubahan luka pada kelenjar getah bening precural poplitea, anal, superficial inguinal, ischiatic, internal dan external iliacal, lumbar, renal, sternal, prepectoral, prescapular dan atlantal. Tuberculosis juga ditemukan pada perubahan kelenjar getah bening yang berada di kepala dan organ dalam dengan cara pengamatan dan pengirisan.

Sumber: WHO, 1986

Gambar 16: Kelenjar getah bening superficial inguinal, internal dan external iliac pada babi dilakukan pemeriksaan dan diraba secara rutin pada prosespem.postmortem.

Sumber : WHO, 1986

Gambar 17: Pemeriksaan medial darihind quarter untuk mengetahui perubahankelenjar getah bening superficial inguinal, internal dan external iliac sertalumbar dengan cara mengiris dan mengamati terhadap dugaan penyakit umum atau sistemik.

Sumber: WHO, 1986

Gambar 18: Pemeriksaan medial fore quarter dengan untuk adanya perubahan mengamati kelenjar getah beningintercostal, suprasternal, presternal dan prepectoral dengan cara mengiris bagian tersebut.

Sumber WHO, 1986

Gambar 19: Pengirisan kelenjar getah bening popliteal pada babi untuk mengetahui dugaan adanya penyakit bersifatumum atau sistemik.

Sumber WHO, 1986

Gambar20: Pemeriksaan lateral karkas. Pengirisan dilakukan pada kelenjar getah bening precrural danprescapularuntuk mengetahui adanya dugaan penyakit umum atau sistemik.

Gambar 21: Penandaan/stempel/CapRPH pada karkas yang telah lulus hasil pem.postmortem.

BAB VI PEMERIKSAAN ANTEMORTEM AND POSTMORTEM PADA AYAM/UNGGAS Pemeriksaan antemortem Pemeriksaan antemortem pada ayam ada beberapa kesulitan, apabila ayam ditempatkan dalam keranjang dan hanya dapat dilakukan pemeriksaan secara superficial pada kondisi umumnya. Perlu diingatkan bahwa pem antemortemharus dilakukan ditempat terang sebelum digantung dan/atau disembelih. Catatan pem antemortem merupakan kewajiban untuk dilakukan meliputi tanggal pemeriksaan, nomor plat alat angkut, spesies unggas, jumlah ayam dan nama pemilik. Adapun tujuan pemeriksaan antemortem adalah: 1. Untuk menentukan kondisi umum ayam; 2. Menentukan penyakit yang ditemui yang perlu diambil keputusan untuk dilakukan pemisahan, penundaan potong atau dipotong. Pada suasana udara panas, ayam memerlukan penyiraman air keatas alat angkut pada area tempat peristirahatan. Apabila ditemukan kasus AI atau ND, maka dokter hewan harus mencatat dan menginformasikan kepada Dinas yang berwenang dalam kesehatan hewan. Ada beberapa gejala klinis yang sama pada pem postmortem seperti penyakit bronchitis dapat dikelirukan dengan penyakit AI atau ND. Oleh karena itu diagnose harus didukung pengujian cepat (rapid test) dan memahami deferensial diagnosa. Ada beberapa factor pertimbangan dalam pemeriksaan antemortem dan pemeriksaan postmortem antara daging unggas dan daging ruminansia atau babi yaitu: 1. Umur. Pada umumnya ternak unggas pemotongan dilakukan diawal umur (6-8 minggu) sedang daging ruminansia pada umumnya pada umur tertentu atau umur tua. 2. Genetik. Pada ternak unggas lebih seragam berasal dari ayam neneknya, dibandingkan ternak ruminansia lebih variasi. 3. Gizi dan pengelolaan kesehatan. Pada unggas sangat dipengaruhi pemberian pakan, status vaksinasi, pengobatan termasuk pemakaian obat pemacu pertumbuhan dalam pakan dan dilakukan pemeriksaan dari sejak lingkungan penetasan hingga dibawa kepemotongan. Pemeriksaan antemortem pada unggas/ayam lebih berbasis lot/keranjang dan ada beberapa perbedaan pada pem antemortem unggas dengan ruminansia sebagai berikut:

1. Antemortem pada unggas tidak memerlukan pemeriksaan individual seperti pada ruminansia 2. Tidak diperlukan restraint khusus pada unggas 3. Pemisahan karkas, daging dan/atau jeroan abnormal tidak diperlukan label. 4. Pada unggas tidak dilakukan pemeriksaan suhu/temperature 5. Hasil pem. antemortem pada unggas yang terduga penyakit zoonosa dilakukan penolakan secara lot berbasis asal ternak unggas 6. Daging unggas yang berasal dari sekelompok unggas yang diuji berresidu berbahaya dimusnahkan atau unggas hidupnya dilakukan eliminasi kemudian dibakar 7. Observasi aspek kesejahteraan unggas yang akan disembelih tidak begitu diperlukan, akan tetapi saat eliminasi unggas karena kepentingan pengendalian penyakit hewan menular untuk dimusnahkan diperlukan perhatian aspek kesejahteraan hewan 8. Prosedur dokumentasi pada unggas pada saat pem. antemortem dibedakan 2 katagori yaitu: a. Saat unggas tiba; b. Saat unggas dimusnahkan. Pemeriksaan antemortem pada unggas dengan cara mengamati secara kelompok atau individual yaitu untuk mengetahui adanya penyakit yaitu dengan mengamati adanya: 1. Pembengkakan pada kepala atau mata 2. Edema pada sayap 3. Adanya bersin 4. Kotoran tidak berwarna 5. Luka-luka pada kulit 6. Kelemahan 7. Tortikolis atau gerakan memutar leher 8. Pembesaran sendi atau tulang, dan 9. Radang kulit (dermatitis). Faktor selain penyakit yang mempengaruhi kondisi unggas/ayam yang perlu diperiksa: 1. Musim 2. Panas 3. Kepadatan dalam kandang atau krat pengangkut ayam potong 4. Hujan 5. Jarak tempuh dari peternakan asal ke RPH 6. Jumlah tumpukan unggas pada alat pengangkut, dan/atau 7. Lama pemberian pakan dan air sebelum dipotong. Beberapa hal harus menjadi perhatian pada pemeriksaan antemortem pada ayam yaitu: 1. Pememeriksaan antemortem dilakukan mulai pada saat hari itu akan terjadi pemotongan dan dilakukan setiap lot unggas. 2. Setelah akan mulai operasi pemotongan setiap pem antemortem harus dilakukan sendiri oleh dokter hewan penanggung jawab RPH 3. Apabila ada penyakit yang wajib dilaporkan (HPAI, Ornithosis, Avian tuberculosis) maka dokter hewan wajib menolak untuk disembelih dan segera hubungi dokter hewan berwenang pada Dinas setempat.

4. Unggas (hidup atau mati) yang sakit dan akan dipisahkan atau dimusnahkan, maka perlu dihitung jumlah dan berat unngas yang akan dimusnahkan/eliminasi 5. Pengawasan harus dilakukan secara ketat hingga saat dimusnahkan untuk mengantisipasi penyebaran penyakit atau pencemaran lingkungan khususnya budidaya. Pengamatan dalam pemeriksaan. antemortem yang harus diperhatikan yaitu: 1. Bone leucosis (sayap lemah) 2. Perosis (tendon slip, disebabkan trauma, terlihat sehat tetapi tidak dapat berjalan) 3. Sinusitis 4. Pendulous crop ( tanda kaki x) 5. Fowl pox (pembengkakan jengger) 6. Avian erysipelas (kulit berdarah) 7. Terluka 8. Runt birds (perkembangan sayap buruk, iritasi mata karena ammonia kotoran) 9. Parasit (dibawah sayap) 10. Prolap ( pembesaran oviduct) 11. Bumble foot (radang telapak kaki karena staphylococcus) 12. Scaly leg (kelemahan kaki dan dada karena parasit) 13. Edematous wattle (eodema pada jengger) 14. Ornithosis (kotoran berwarna sulfur, ekor dan sayap lembab/basah).

Pemeriksaan postmortem Teknis pemeriksaan postmortem pada ayam teknik dapat merujuk pada pem postmortem ternak ruminansia dengan cara mengamati, meraba, membau dan mengiris. Warna karkas ayam dapat berbeda-beda tergantung pada umur, jenis kelamin, pemberian pakan dan temperature pemanasan (scalding) atau benturan benda keras. Saluran pencernaan, hati, limpa dan jantung ayam harus dilihat secara visual dan diraba terhadap kemungkinan keabnormalannya. Pemeriksa daging ayam harus mampu atau jeli melihat kedalam karkas ayam untuk mengetahui perubahan patologi seperti radang pernafasan, peritonitis, radang oviduct (salpingitis), dll. Cemaran kotoran ayam atau cairan empedu pada daging ayam yang diamati dan diupayakan dihindarkan kontaminasi pada daging. Pem postmortem menggunakan ketrampilan kedua tangan (disarankan menggunakan sarung tangan). Pengamatan juga dilakukan pada karkas ayam bagian external untuk mengetahui adanya pembengkakan, sinusitis, saluran udara dan leleran pada mata (apabila kepala masih ada), luka-luka pada kulit, pembengkakan sendi, dll.

Penilaian Luka lokal dapat diberikan keputusan/disposisi oleh juru pemeriksa daging untuk dilakukan pengafkiran bagian organ yang luka, akan tetapi terhadap keputusan penilaian akhir kelayakan konsumsi harus dilakukan oleh dokter hewan. Pemisahan organ dan/atau karkas biasanya yang ada perubahan patologi. Keputusan pem.postmortem dapat diklasifikasi sebagai berikut: 1. Disetujui layak konsumsi manusia 2. Total tidak layak konsumsi manusia 3. Sebagian ditolak tidak layak konsumsi manusia 4. Disetujui layak konsumsi manusia dengan persyaratan 5. Daging unggas dengan minor penyimpangan tetapi layak dikonsumsi manusia 6. Disetujui layak konsumsi manusia dengan peredaran terbatas atau wilayah tertentu karena penyakit hewan menular non zoonosis. Pedoman persyaratan pem postmortem pada unggas/ayam sebagai berikut: 1. Avian tuberculosis: a. Diskripsi disebabkan: mycobacterium avium b. Gejala postmortem:  Bentukan benjolan berkapur (tubercle)  Organ atau jaringan dipengaruhi: jantung, paru-paru, hati, tulang belakang.  Ciri fisik benjolan: irregular, fibrous, abu-abu/putih, pengkejuan bagian tengah benjolan (caseous center) c. Disposisi: Seluruh karkas dan organ dimusnahkan dengan insenerasi. 2. Leucosis: a. Diskripsi disebabkan: bervariasi virus b. Gejala postmortem:  Marek’s disease (herpes virus) pada ayam umur kurang 6 bulan.  Lymphoid leucosis (retrovirus) pada ayam dewasa  Osteoporosis (retrovirus) mempengaruhi mempengaruhi jaringan tulang belakang pada anak ayam umur diatas 1 (satu) bulan. c. Disposisi: Bagian yang terkena dapat dibuang untuk dimusnahkan, akan tetapi bila telah kompleks maka seluruh karkas dan organ dimusnahkan dengan insenerasi 3. Septicemia dan toxemia: a. Diskripsi disebabkan: bervariasi mikroorganisme pathogen dan/atau racun (toxin)oleh perubahan sistemik dari synovitis, tumor, bruises, airsacculitis, proses peradangan b. Gejala postmortem:  dehidrasi  cyanosis  emasiasi

 kekuningan (icterus)  perdarahan umum echymotic/petechial  tumbuh pendek (kate)  daging dan lemak kehilangan warna atau kegelapan/kebiruan  ascitesintensif. c. Disposisi: Seluruh karkas dan organ abnormal dimusnahkan dengan insenerasi (dibakar) 4. Synovitis: a. Diskripsi disebabkan: bervariasi organisme kelompok genus Mycoplasma. Dapat juga akibat luka dan kekurangan pakan b. Gejala postmortem:  Radang dan pembengkakan persendian breast bursa  Exudat mucopurulent atau serosanguinous  Septicaemia atau toxemia.. c. Disposisi: peradangan bagian karkas dan/atau organ dalam abnormal dipisahkan untuk dimusnahkan dengan cara dibakar (insenerasi). 5. Tumor a. Diskripsi disebabkan: avian leucosis complex dengan bentuk tumor seperti squamous cell carcinoma, adenocarcinoma, leiomyomas, fibromas b. Gejala postmortem:  squamous cell carcinomaditandai luka dalam kulit seperti kerak yang biasanya dijumpai pada ayam muda.  adenocarcinoma berkembang tumor di organ abdominal dalam bentuk massa menonjol terbatas yang biasanya terjadi pada ayam tua.  leiomyomas berbentuk seperti kumpulan anggur dan biasanya ditemukan pada oviduct unggas dewasa  fibromasberkembang tumor di jaringan konektivus dalam bentuk massa menonjol terbatas yang biasanya terjadi pada ayam lebih tua c. Disposisi: apabila telah terjadi tumor metastasis, maka seluruh karkas dan organ abnormal dipisahkan untuk dimusnahkan dengan cara dibakar (insenerasi). 6. Memar (Bruises) a. Dikrispsi disebabkan perdarahan meluas di jaringan otot dalam katagori kebiruan, terkandang berdarah meluas b. Gejala postmortem:  Perdarahan berbagai ukuran di jaringan otot berupa petichial, ecchymotic, extravacation dalam jaringan.  Septicaemia atau toxemia. c. Disposisi: Seluruh karkas dan organ abnormal dimusnahkan dengancara dibakar (insenerasi).

7. Bangkai (Cadaver)

a. Diskripsi bangkai akibat kematian sebelum disembelih yang disebabkan: bervariasi berupa penyakit, trauma, mati akibat pemanasan (scalded) lolos dari proses penyembelihan kurang sempurna. Diasamping itu kebanyakan bangkai tidak menunjukkan perdarahan. b. Gejala postmortem:  Unggas yang mati karena penyakit, bangkai karkasakibat menampakkan bentuk septic atau toxic  Unggas yang mati karena trauma, bangkai karkas merah gelap karena adanya rentensi darah dan mungkin beberapa kehijauan/kebiruan.  Unggas yang mati akibat celup air panas sebelum penyembelihan sempurna menampakkan merah lembam karena retensi darah. Sedangkan organ dalam (seperti hati, usus) menampakkan kemerahan karena gumpalan darah dan jaringan karkas bagian dalam berwarna merah jambu. c. Disposisi: Seluruh karkas dan organ dipisahkan untuk dimusnahkan dengancara dibakar(insenerasi). 8. Kontaminasi (cemaran) a. Diskripsi disebabkan: bervariasi cemaran kimia dan/atau racun (toxin) umumnya ditandai dengan perubahan atau kerusakan dan dagingnya tidak layak dikonsumsi. b. Gejala postmortem: Ada kesulitan menetukan perubahan terhadap peristiwa kontaminasi yang baru terjadi. Untuk kontaminasi oleh cairan empedu atau kotoran (feces) juru periksa daging tidak dapat menentukan bahwa karkas, daging atau organ dalam tidak layak dikonsumsi. Pencemaran yang berlangsung terkadang merusak jaringan seperti terbakar atau berwarna kebiruan/atau hitam c. Disposisi: Apabila karkas, daging dan/atau jeroan tercemar bahan kimiawi atau racun maka seluruh karkas, daging dan organ dalam ditelusuri jumlah dan luas kontaminasi. Karkas, daging dan/atau jeroan tercemar dipisahkan untuk dimusnahkan dengan insenerasi 9. Pemanasan berlebihan (over scald) a. Diskripsi disebabkan unggas yang akan dicabut bulunya termasak matang karena suhu air panas tidak terkendali atau akibat peristiwa perebusan berlebihan b. Gejala postmortem: Pada peristiwa perebusan yang berlebihan ditandai perubahan warna dan aroma bau daging rebus. c. Disposisi: karkas, daging dan organ unggas dipsahkan untuk peruntukan lain selain untuk komersial konsumsi manusia. 10. Airsacculitis a. Diskripsi disebabkan: sekelompok mikroorganisme dapat apatogen atau pathogen dan/atau racun (toxin) yang menyebabkan perubahan peradangan yang terkadang mengandung exudat b. Gejala postmortem:  Radang akut kantung udara

 Radang kronis kantung udara  Akunulasi exudat pada kantung udara  Septicaemia atau toxemia. c. Disposisi: Apabila tidak sistemik atau toxemia bagian karkas, daging dan organ dalam yang tidak terpengaruh dipisahkan untuk diproses lebih lanjut. Bagian yang abnormal dimusnahkan dengan insenerasi 11. Proses peradangan a. Diskripsi disebabkan: bervariasi mikroorganisme pathogen dan/atau racun atau oleh berbagai sebab dan umumnya berwarna kmerahan yang terkadang bercampur exudat, b. Gejala postmortem:  Akumulasi exudat di jaringan subkutan  Radang terbatas pada kulit  Luka-luka umumnya bagian dada depan  Terkadang menunjukkan gejala septicaemia atau toksik. c. Disposisi: Apabila baian karkas, daging dan organ dalam menunjukkan gejala septicaemia atau toxic, dipsahkan untuk dimusnahkan dengan insenerasi. Untuk bagian karkas, daging atau organ dalam yang tidak terpengaruh dapat dimanfaatkan sebagai produk layak konsumsi.

Sumber: WHO, 1986

Gambar22: Posisi tepat pemeriksaan karkas dan organ dalam ayam broiler.

BAB VII

KONSEP HAZARD ANALYSIS CRITICAL CONTROL POINT (HACCP) PADA PEMERIKSAAN DAGING TERNAK KONSUMSI Khusus konsep HACCP dapat dirancang pada setiap RPHuntuk sebagai pengembangan pengendalian keamanan dan kebersihan pangan asal hewan secara lebih efektif dan efisien. Pengembangan konsep HACCP meliputi sebagai berikut: a. Identifikasi bahaya kesehatan. b. Menentukan tingkatan bahaya c. Menetapkan batas titik kritis d. Identifikasi pengawasan pada titik kritis e. Rekomendasi pengawasan yang diperlukan f. Membuat catatan g. Verifikasi prosedur yang lebih efisien h. Menguji konsep penjaminan yang dikerjakan. Konsep Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) dikenalkan di industri pangan dimulai pada tahun 1971 untuk menghasilkan pangan olahan yang bermutu.World Health Organization (WHO) merekomendasikan sebagai konsep yang dapat digunakan pada pemeriksaan keamanan daging dan mutu daging, khususnya pada pengawasan salmonellosis. Hal ini juga digunakan untuk menurunkan tingkat pencemaran bakteri selama pemotongan dan pengulitan serta menjamin melalui pengawasan pemeriksaan daging ternak konsumsi. Pemeriksaan keamanan daging dan kesehatan daging dilakukan untuk meyakinkan bahwa daging dan produknya memenuhi kriteria aman dan layak dikonsumsi. Pada prakteknya pemeriksaan daging telah mengalami perubahan bertahap lebih dari tiga decade terakhir ini. Secara klasik prosedur pemeriksaan antemortem dan postmortem hanya ditujukan untuk mengetahui adanya penyakit. Hal ini dilakukan melalui rasa (uji organoleptik) seperti meraba, melihat (memeriksa dan observasi), membau (seperti bau busuk gangrene) dan menjilat (hanya pada produk yang telah dimasak). Penyakit tuberculosis sebagai prioritas utama dalam pengawasan di RPH. Pada saat ini laboratorium pengujian telah banyak dikembangkan sebagai bagian kelengkapan di unit usahaproduksi daging guna melakukan pengujian penyakit dan keamanan pangan asal hewan. Penurunan kejadian tuberculosis secara bertahap telah dilakukan dari berbagai Negara produsen daging di luar negeri, dengan caramengembangkan metode peternakan, mengurangi penggunaan obat hewan dan pestisida yang diduga merupakan penyebab resistensi antimikroba, serta diduga pula merupakan salah satu masalah penyebab timbulnya penyakit baru (new emerging). Saat ini telah diketahui bahwa ada hubungan erat antara residu dengan kesehatan manusia yang tertular penyakit zoonosa pada pencemaran pangan asal hewan. Ada kecenderungan umum pada laporan WHO, 2000 bahwa di seluruh dunia penyakit saluran pencernaan dalam priode lima tahun terakhir terjadi peningkatan dua kali lipat menginfeksi manusia oleh Salmonella dan tiga kali

lipat oleh Campylobacter. Bakteri lain yang menjadi perhatian pula pada pencemaran makanan adalah Yersinia spp. dan Listeria spp.Ada hubungan secara simultan bahwa penerapan HACCP memperpanjang masa kadaluarsa bagi produksi daging segar. Semua saran pada penerapan pengawasan daging akan lebih menguntungkan dengan memakai konsep HACCP walau sederhanamelalui pengawasan titik-titik kritis pada kelompok bakteri atau organism pembusuk lainnya yang berpotensi mencemari karkas. Pengawasan titik-titik kritis mampu mengidentifikasi pencemaran Salmonella ke daging merah dan unggas.Proses produksi daging merah, pencemaran utama yang sering terjadi di RPH adalah selama proses pengulitan dan pengeluaran jeroan. Ada pula proses pencemaran yang terjadi selama pengangkutan, deboning. Paling efektif pengawasan dilakukan pada saat akan dilakukan pendinginan secara bertahap (chiller). Juru pemeriksa daging harus memastikan proses pengulitan dan pengeluaran jeroan dilakukan dengan baik. Pengawasan titik-titik kritis pada Rumah Potong Ayam pada umumnya dilakukan pada saat pencabutan bulu (picking) dan pengeluaran jeroan (evisceration). Di Negara-negara berkembang ketika proses produksi dilakukan secara tidak otomatis maka masih diperlukan pengawasan melalui pendekatan kesehatan (hygienic) selama operasi produksi berlangsung. Sedangkan pada unit usaha yang telah menerapkan teknologi dengan menggunakan mesin pencabutan bulu dan pengeluaran jeroan secara otomatis masih juga diperlukan tindakan sanitasi secara regular terutama pada ternak ayam yang perolehan dari berbagai sumber.

Sumber :Food Hygiene, CAC, 1980

Gambar 23: Bagan alir yang menunjukan sumber pencemaran Samonella dan penentuan titik-titik kritis (CCP) yang harus diawasi pada setiap proses produksi daging merah.

BAGAN ALIR PRODUKSI SEDERHANA DAGING AYAM/UNGGAS DI RUMAH POTONG AYAM/UNGGAS PENERIMAAN AYAM HIDUP

PEMERIKSAAN ANTEMORTEM PEMINGSANAN DAN/ATAU PENYEMBELIHAN PENCELUPAN KEDALAM AIR PANAS (SCALDING) PENCABUTAN BULU, PENCUCIAN KARKAS PENGELUARAN JEROAN DAERAH KOTOR

DAERAH BERSIH

PEMERIKSAAN POSTMORTEM PENCUCIAN DAN/ATAU PENDINGINAN KARKAS SELEKSI, PENIMBANGAN,PENGEMASAN, PELABELAN PENYIMPANAN DALAM RUANG PENDINGIN PENGANGKUTAN DAN PEMASARAN

PENCEMARAN UTAMA KEMUNGKINAN TERJADI PENCEMARAN

Sumber : Food Hygiene, CAC, 1980

Gambar 24:Bagan alir produksi yang menunjukan sumber pencemaran Samonella dan penentuan titik-titik kritis (CCP) yang harus diawasi pada setiap proses produksi daging ayam.

BAGAN ALIR PROSES PRODUKSI DAGING DI RUMAH POTONG HEWAN PENERIMAAN HEWAN HIDUP

ISTIRAHAT SAPI/KERBAU ATAU DOMBA, KAMBING

PEMERIKSAAN ANTEMORTEM PROSES PENYEMBELIHAN

PENCELUPAN KEDALAM AIR PANAS

PELEPASAN KULIT

PENGELUARAN JEROAN

PEMBELAHAN KARKAS

PENGEROKAN PEMERIKSAAN POSTMORTEM

PELAYUAN/PENIRISAN

PENGELUARAN JEROAN

PEMBELAHAN KARKAS

PEMBELAHAN KARKAS

N PELAYUAN/PENIRISAN

PELEPASAN TULANG

PEMBELAHAN KARKAS

N PENGEMASAN

PELEPASAN TULANG

PENYIMPANAN (COLD STORAGE

PENGEMASAN

PENYIMPANAN (COLD STORAGE PENGANGKUTAN

PENCEMARAN UTAMA KEMUNGKINAN TERJADI PENCEMARAN

BABI

BAB VIII PEMISAHAN PRODUK DAGING YANG TIDAK AMAN DAN TIDAK LAYAK DIKONSUMSI (CONDEMNED) DI RPH Tujuan pengawasan bahan-bahan yang singkirkan akibat terduga rusak, abnormal (seperti tubercle diduga TBC) dan tidak layak konsumsi (septicaemia, abses, dll) tidak masuk rantai pangan. Prinsip pemisahan ini melalui :  Identifikasi: a. Bahan-bahan yaitu produk karkas, bagian karkas, organ yang telah diperiksa dokter hewan yang berwenang di RPH dinyatakan tidak aman dan layak dikonsumsi serta dipotong kecil-kecil dimasukkan dalam container khusus. b. Kontainer harus ditandai dan/atau diberi label. 



Bahan-bahan tidak aman dan tidak layak dikonsumsi: a. Bahan-bahan tidak aman dan tidak layak dikonsumsi wajib dimusnahkan. b. Pemusnahan bahan-bahan tersebut dibawah pengawasan dokter hewan Dinas setempatyang berwenang . Pemisahan: a. Untuk mencegah penyebaran penyakit zoonosa, agar dipisahkan bahanbahan berpenyakit dengan bahan rusak tidak diakibatkan penyakit zoonosa. b. Tidak diperlukan pengawasan khusus, kecuali ada bahan yang berpenyakit zoonosa.



Cegah pencemaran silang: a. Cegah semaksimal mungkin kontaminasi silang dari bahan-bahan abnormal kepada produk daging yang sudah lulus pemeriksaan. b. Dilakukan pelabelan atau penandaan terghadap produk daging yang telah lulus pemeriksaan.



Penghancuran produk dengan ditandai: a. Pemberian warna dan/atau bau khusus terhadap produk daging yang akan dimusnahkan. b. Pemusnahan dengan menggunakan alat incinerator sebagai kelengkapan RPH.



Dokumentasi: Formulir yang digunakan untuk penghancuran atau pemusnahan dipisahkan yaitu untuk keperluan: a. Pemisahan hasil pemeriksaan antemortem b. Pemisahan hasil pemeriksaan postmortem.

BAB IX PEMINGSANAN DARI ASPEK KESEJAHTERAAN HEWAN Pemingsanan (stunning) Pengaruh implementasi pemingsanan dalam urusan kesejahteraan hewan harus dilakukan secara cepat, tepat dan tidak menyebabkan kerusakan atau luka pada ternak konsumsi dapat ditoleransi sepanjang tidak melanggar dan menyebabkan rasa sakit dan rasa nyeri. Untuk itu diperlukan kompetensi operator yang ahli dan trampil serta trampil melakukan audit ketidaksesuaiaan. Hal ini tidaklah mudah bagi juru sembelih ternak halal pemula di Indonesia yang mana Indonesia tidak mengenal pemotongan non halal bagi yang dipersyaratkan. Pada umumnya para operator stunning gun minim dan/atau tidak mempunyai ketrampilan memingsankan, dan tidak memahami konsep audit terhadap ketidaksesuaian dari proses hasil kegiatan pemingsanan, pemotongan melalui proses penandaan sebagai cara penelusuran (trace back). Untuk ternak babi pemingsanan direkomendasikan menggunakan arus listrik, agar tidak menyiksa hingga menyebabkan kegaduhan. Priode ketidaksadaran dimulai pada saat waktu pingsan terus diikuti dengan cepat proses pemotongan. Oleh karena itu apabila akan digunakan proses stunning maka harus mempertimbangkan persyaratan sebagai berikut: 1. Kondisi pingsan bagi ternak bersifat sementara 2. Peralatan yang digunakan tidak menyebabkankerusakan atau luka pada hewan 3. Peralatan yang digunakan tidak boleh membunuh atau terjadi kerusakan permanen pada otak 4. Penggunaan arus listrik dalam tingkat voltage rendah yang digunakan pada unggas dan babi yang volume pemotongannya sangat tinggi dapat dikendalikan sehingga tidak menyebabkan ternak mati. Captive Bolt Stunning Stunning /stun-ning/ (stun´ing) loss of function, analogous to unconsciousness.

ELECTRICAL STUNNING

myocardial stunning temporarily impaired myocardial function, resulting from a brief episode of ischemia and persisting for some period afterward.

Gambar 23: Teknik dan sarana pemingsanan pada sapi, unggas dan babi

Standar desentisasi (pemingsanan) ternak potong unggas. Setiap pemotongan ternak yang mempergunakan metoda pemingsanan dalam rangka mengurangi ruang gerak/penyiksaan ternak, maka harus memenuhi ketentuan fatwa ulama berlaku. Dalam hal peminsanan ternak potong unggas menggunakan peralatan elektronik, petugas harus meneliti dengan pasti bahwa peralatan elektronik tersebut berkerja dengan normal, voltage terpasang antara 12-16 volts, dengan frekuensi kurang dari 200 Hz dan kekuatan arus 100 mA. Unjuk kerja untuk memastikan keberhasilan pemingsanan sebelum dilakukan secara massal, dapat dengan mencelupkan kepala unggas pada air bermuatan arus listrik pada peralatan elektronik tersebut, apakah ternak unggas dipastikan pingsan sesaat dan dapat bangun dalam waktu 2-4 menit. Ayam/unggas digantung sebelum proses pemingsanan dilakukan selama kurang lebih 3 menit untuk mengistirahatkan, kemudian dipingsankan dengan stunner atau aliran air bermuatan listrik selama 30 detik. Setelah yakin ayam/unggas pingsan segera

dilakukan penyembelihan tanpa ditunda. Ayam/unggas yang disembelih dibagian tengah batang leher, ditunggu 2-2,5 menit untuk menjamin pengeluaran darah sempurna. Pengawasan selama proses beraksi dilakukan dengan cara memastikan satu-persatu bahwa hasil pemingsanan, unggas tidak mati sebagai pesyaratan penyembelihan secara ritual Islamik. Untuk memastikan tidak mati dapat diamati dan diraba bahwa pelpebra mata tidak menutup sempurna dan gerak motorik alat gerak masih tampak bereaksi ketiika disentuh atau diamati. Pengamatan ternak hasil peminsanan diperlukan dan penting agar tercegah bangkai ikut terpotong, sehingga terjadi pencampuran antara produk halal dan haram. Kebanyakan pendapat ahli kesejahteraan hewan dunia barat mengatakan bahwa proses kematian pada saat pemingsanan itulah memenuhi kaidah kesejahteraan hewan karena ditinjau dari aspek hewannya tidak merasa sakit dan menderita. Hal ini berbeda dengan konsep Islam bahwa memingsankan itu adalah meniadakan kesadaran sehingga proses penderitaan saat disembelihtidak dirasakan. Dalamproses pemingsanan, darah ternak akanbergerak mengumpul kearah pusat jantung, karena proses kejutan aliran listrik.Selain itu apabila sadar, maka darah mengalir kembali keseluruh tubuh ayam/unggas dan suhu badannya meningkat kembali. Disamping itu tujuannya untuk memudahkan pengeluarannya secara sempurna melalui jantung dan pipa pembuluh darah yang besar-besar, sehingga perolehan daging bersih dan sehat lebih sempurna. Proses pemingsanan bersifat temporer, maka apabila sadar kembali, maka ayam/unggas akan bergerak perlahan-lahan bangun seperti biasa.. Disamping itu seorang pejagal wajib mempunyai buku catatan harian sebagai alat kendali dan pertanggungjawaban bagi pihak yang memerlukan, oleh karenanya seorang juru sembelih selayaknya punya asisten. Seorang jagal juga harus memahami konsep audit dan siap sebagai auditee. Hal ini untuk memastikan bahwa jasa dan produk yang dihasilkan abash dan terjamin mutunya. Kebanyakan juru sembelih berproses umumnya secara turun menurun dan untuk memastikan bahwa jasa dan produk yang dihasilkannya hanya berbekal saling percaya saja tanpa ada pembuktian yang absah. Oleh karena itu juru sembelih harus trampil dan memenuhi persyaratan syari Islam. Pada era globalisasi proses ketidak terbukaan (transparan) dan tidak ada perlakuan yang sama proses(equal treatment) dalam penyembelihan ternak halal secara ritual Islamik mulai dipertanyakan.Proses penyembelihan menurut syari Islam adalah sebagai proses pertanggungjawaban kebaikan sesama mahluk Tuhan dan ketentraman bathin sebagaimana diperintahkanNya untuk menyembelih atas Allah SWT, bukan tuhan-tuhan yang lain.Oleh karena itu konsep tenaga juru sembelih ternak halal dan konsep kehalalan produk ternak halal dikonsumsi versi Islam harus diperbaiki sesuai tujuan syariah.

Standar minimum kesejahteraan hewan di RPH Untuk memfasiltasi akses perdagangan international pangan asal hewan pertimbangan implementasi kesejahteran makin menjadi isu penting. Ada 5 (lima) dasar tuntutan global pada implementasi kesejahteraan hewan dipersyaratkan menjelang pemotongan di RPH, diluar unggas yaitu sebagai berikut: 1. Bebas haus, lapar, dan malnutrisi selama pengangkutan ke RPH 2. Dukungan perlindungan dan kenyamanan ternak selama diistirahatkan 3. Pencegahan atau tersedianya sarana diagnosa cepat dan pengobatan apabila ada yang terluka atau sakit/infeksi di perjalanan jauh ke RPH 4. Bebas dari tekanan (stress) selama perjalanan atau istirahat di RPH 5. Mampu menampilkan perilaku normalnya ketika diistirahatkan. Disamping itu ada 4 (empat) kode etik kesejahteraan hewan terkait fasilitas pemotongan di RPH, yang diperlukan untuk dipenuhi, yaitu: 1. Kebutuhan fisiologi ternak 2. Rancang bangun, konstruksi dan pemeliharaan fasilitas RPH yang memadai 3. Kebebasan bergerak ternak potong di RPH 4. Proses pemingsanan dan penyembelihan ternak potong di RPH Terkait isu tersebut dimana RPH harus didukung sarana air bersih dan pakan memadai, serta fasilitas yang dapat melindungi dan tidak menyebabkan ternak terluka atau menyebabkan kegaduhan ataupun stress. Apabila menggunakan cara pemingsanan ternak sebelum disembelih, maka dipersyaratkan hal-hal prinsip sebagai berikut: 1. Kondisi pingsan bersifat sementara 2. Peralatan pemingsanan tidak menyebabkan kerusakan atau luka pada tempurung kepala. 3. Peralatan pemingsanan tidak menyebabkan ternak mati ataukerusakan otak permanen 4. Peralatan pemingsanan elektronik pada babi atau unggas harus terkendali sesuai standar berlaku. Tanda-tanda proses pemingsanan berhasil sebagai berikut: 1. Terjadi proses ternak kolaps seketika 2. Pergerakan anggota tubuh ternak terhenti selama 10-15 detik 3. Gerakan pernafasan hilang seketika 4. Hilang reflek kornea mata seketika 5. Secara perlahan pupil mata membesar 6. Menurunnya aktifitas detak jantung 7. Apabila ternak tidak segera disembelih, akan bangun secara perlahan dalam waktu tidak lebih dari 40 detik setelah pingsan.

BAB X KONSEP AUDIT INTERNAL Audit dianggap sebagai suatu metode untuk meningkatkan perbaikan sistem secara berkesinambungan dari RPH agar proses pemotongan hewan selalu terkendali dan mampu telusur. Di kebanyakan RPH Indonesia penerapan audit masih, dianggap tidak berbiaya mahal, kurangbermanfaat dan membuang waktu serta tidak ada pengaruh signifikan terhadap proseskeuntungan bisnis. Akan tetapi di era globalisasi akan menjadi prasyarat bisnis sebagai tuntutan kesehatan bagi konsumen cerdas dan gaya hidup bagi orang berbisnis. Antara keinginan maju dan kebiasaan buruk dipertahankan selalu menjadi pilihan. Memang hidup adalah pilihan antara kebutuhan kebaikan untuk maju atau memilih keinginan tetap seperti apa adanya untuk pembodohan konsumen. Dalam hal menghadapi konsummen yang cerdas, maka diperlukan pendekatan pemotongan ternak kearah kebaikan dalam sistim mampu telusur (traceability) dengan mengenalkan konsep audit internal. Dalam menjalankan audit diperlukan sumberdaya dan waktu tersendiri serta kompetensi sumberdaya manusia yang handal. Oleh karena itu ulasan ini hanya superficial dari konsep audit. Ada 2 (dua) jenis audit yaitu audit kepatuhan dan audit manajemen. Terkait pedoman ini lebih tepat dilakukan audit aspek keselamatan, keamanan dan mutu untuk menghasilkan daging segar yang aman dan layak dikonsumsi manusia. Tujuan dari audit ini adalah untuk memeriksa, menganalisa, mengatur dan memverifikasi proses dalam arti tertentu. Proses ini diperiksa dengan tujuan melakukan penyesuaian yang diperlukan untuk membawa ke tingkat kinerja yang dapat mencapai tujuan yang dimaksudkan. Dalam audit internal RPH adalah karyawan atau perwakilan unit usaha (RPH) yang tengah diaudit oleh Tim audit internal. Oleh karena itu auditor harus memiliki wawasan yang baik tentang karkas, daging dan organ dalam, proses pemeriksaan antemortem dan postmortem, kebijakan RPH dan budaya organisasi tersebut. Hal ini dilakukan sebagian jadwal audit yang sistematis yang dapat diterapkan secara keseluruhan atau sebagian system, proses dan aktifitas di RPH. Prinsip melakukan audit Sejumlah prinsip yang membantu pelaksanaan suatu audit agar menjadi alat yang efektif dan handal dalam mendukung manajemen kebijakan dan pengendalian. Kepatuhan terhadap prinsip merupakan prasyarat untuk menyediakan kesimpulan yang

relevan dan memadai serta untuk memfasilitasi auditor yang bekerja secara indepeden. Prinsip-prinsip melakukan audit berdasarkan ISO 19011:2011 yaitu: 1.

Intergritas Dalam program audit internal terhadap produk yang dihasilkan oleh unit usaha penyedia daging, seharusnya:  Melakukan tugas dengan jujur, teliti dan bertanggung jawab  Memahami dan memperhatikan peraturan perundang-undangan dan persyaratan standar minimal  Melakukan unjuk kerja kompetensi dalam melaksanakan kerja  Melaksanakan tugas tanpa memihak, yaitu tetap adil dan tidak bias dalam tindakan.  Menyadari dampak yang akan mempengaruhi tugas audit.

2.

Presentasi yang adil Hasil temuan audit internal dan laporan audit harus jujur dan akurat mencerminkan semua hal yang ditangani.

3.

Kehati-hatian sesuai dengan profesionalisme Tekun dalam penilaian, berhati-hati dan menjaga kepercayaan mempertimbangkan dengan matang dalam semua situasi audit.

4.

serta

Kerahasiaan Auditor harus bijaksana dalam menggunakan dan melindungi informasi selama melaksanakan tugas yang tidak merugikan kepetingan yang teraudit.

5.

Kemandirian Ketidakberpihakan dan objektif serta tidak ada komplik kepentingan harus dijaga selama audit.

6.

Pendekatan berdasarkan bukti Kesimpulan audit dengan menggunakan sampling yang sesuai merupakan bukti yang tersedia

Praktek audit yang baik Auditor harus mampu menerapkan prinsip-prinsip audit yang baik dengan cara antara lain:

    

Mampu menilai dan memperoleh bukti objektif yang adil Tetap memegang teguh tujuan audit tanpa rasa ketakutan atau keberpihakan. Menghormati kekhawatiran dan meyakinkan pemilik yang teraudit akan manfaatnya Melaksanakan proses audit tanpa menyimpang dari ruang lingkup Memberikan dukungan dan perhatian untuk kemajuan yang teraudit.

Regulasi dan standar Idealnya regulasi dan standar dapat membantu dalam penjaminan mutu karena merupakan hasil kesepakatan minimal harus dilakukan untuk menghasilkan yang terbaik termasuk menjaga keamanan konsumen dan upaya meningkatkan manajemen yang baik bagi RPH. Program audit Program audit harus ditetapkan untuk melakukan efektifitas system manajemen RPH yang teraudit. Program audit yang dalam keterbatasan sumberdaya dan waktu ditetapkan misalnya:  Maksud dan tujuan audit  Cakupan atau ruang lingkup audit  Prosedur audit  Kriteria audit  Metode audit  Seleksi tim audit  Faktor yang akann mempengaruhi efektifitas audit  Kesimpulan audit sebelumnya bila ada  Sumberdaya yang dibutuhkan  Mengantisipasi dan memberikan solusi terhadap kemungkinan permasalahan social, budaya dan kebiasaan setempat  Menjaga keamanan dan kerahasiaan informasi  Menjaga keselamatan dan kesehatan bersama. Pelaksanaan program audit harus diukur dan dipantau agar tujuan audit dapat dicapai. Mengidentifikasi peluang untuk perbaikan bukan mencari kesalahan namun memastikan perbaikan berjalan berkesinambungan.

BAB XI DASAR-DASAR PENGENDALIAN MIKROORGANISME Mikroorganisme dapat menyebabkan banyak bahaya dan kerusakan. Pengetahuan ini perlu dipahami oleh petugas pemeriksa daging, yang dimaksudkan agar dapt mencegah proses rekontaminasi terhadap produk ternak yang dihasilkan. Hal ini mampak dari caramenginfeksi hewan dan manusia, menimbulkan penyakit yang berkisar dari infeksi ringan sampai kepada kematian. Yang dimaksud pengendalian disini yaitu segala kegiatan yang dapat menghambat, membasmi atau menyingkirkan mikrorganisme. Mikrorganisme pun dapat mencemari makanan, dan dengan menimbulkan perubahanperubahan kimiawi di dalamnya, membuat produk pangan asal hewan tersebut tidak layak dikonsumsi, atau bahkan beracun. Kerusakan yang ditimbulkan juga dapat kerugian ekonomi yang diakibatkannya sangat besar

Gambar 24: akibat mikroorganisme melalui pangan menyebabkan orang sakit Pentingnya pengendalian mikroorganisme. Alasan utama untuk mengendalikan mikroorganisme dapat dirangkum sebagai berikut: 1. Mencegah penyebaran penyakit dan infeksi; 2. Membasmi organisme pada inang yang terinfeksi; 3. Mencegah proses pembusukan dan perusakan daging, sehingga masa kadaluarsa lebih lama.. Mikroorganisme dapat disingkirkan, dihambat atau dibunuh dengan sarana atau proses fisik, atau bahan kimia. Tersedia berbagai teknik dan saran yang bekerja menurut berbagai macam cara yang berbeda-beda dan masing-masing mempunyai keterbatasan sendiri-sendiri didalam penerapan prakteknya. Suatu sarana fisik dapat diartikan sebagai keadaan atau sifat yang menyebabkan suatu perubahan. Beberapa contoh sarana fisik yaitu suhu, tekanan, radiasi dan penyaringan.

Suatu proses fisik yaitu suatu prosedur yang mengakibatkan perubahan, misalnya sterilisasi, pembakaran dan sanitasi. Suatu bahan kimia yaitu suatu substansi (padat, cair, atau gas) yang dicirikan oleh suatu komposisi molekuler yang pasti menyebabkan terjadinya reaksi sebagai contoh adalah senyawa fenolik, alkohol, klor, iodium, dan etilen oksida. Pola dan laju kematian bakteri Apabila satu tetes suspensi bakteri dimasukkan ke dalam botol berisi asam panas atau ke dalam tempat pembakaran, maka semua bakteri itu dapat terbunuh seketika atau setidak-tidaknya sedemikian cepat sehingga tidak terukur laju kematiannya. Namun perlakuan tidak sedratis itu tidak akan membunuh semua sel pada saat yang sama, melainkan sel-sel tersebut akan terbunuh dalam laju yang konstan. Sel-sel dengan umur atau stadium fisiologis pertumbuhan yang berbeda-beda menunjukkan perbedaan dalam kerentanan terhadap suatu bahan antimikrobia Keadaan yang mempengaruhi kerja antimikrobial Banyak faktor dan keadaan dapat mempengaruhi penghambatan atau pembasmian mikroorganisme oleh bahan atau proses antimikrobial. Kesemuanya harus dipertimbangkan bagi efektifitas penerapan pengendalian. Kosentrasi atau intensitas zat antimikrobial Peluang untuk mengenai sasaran sebanding tidak hanya tidak hanya terhadap jumlah sasaran mikroorganisme yang ada, namun juga terhadap jumlah konsentrasi atau intensitas zat antimikrobial yang diberikan. Makin banyakjumlah konsentrasi atau intensitas zat antimikrobial yang diberikan dalam kurun waktu tertentu makin cepat sasaran mikroorganisme yang terbunuh.

Gambar 25: Sanitasi tangan dengan sabun dapat mengurangi jumlah kuman yang ada

Jumlah mikroorganisme Makin lama kita menembak sasaran (jumlah mikroorganisme), makin banyak sasaran yang terkenai; namun makin banyak sasaran yang ada, maka makin lama waktu yang diperlukan mengenai semua sasaran, yaitu bila segala kondisi yang lain konstan. Artinya diperlukan banyak waktu untuk membunuh populasi mikroorganisme. Apabila jumlah mikroorganisme banyak, maka perlakuan harus diberikan lebih lama supaya kita cukup yakin bahwa semua mikroorganisme tersebut mati. Spesies mikroorganisme

Gambar 26: macam mikroorganisme penyebab penyakit asal makanan asal hewan

Spesies mikroorganisme menunjukkan kerentanan yang berbeda-beda terhadap saran fisik dan bahan kimia. Telah diketahui bahwa banyak spesies pembentuk spora, sel vegetatif yang sedang tumbuh lebih muda dibunuh dibandingkan dengan sporanya. Sesungguhnya spora bakteri adalah paling resisten di antara semua mikroorganisme hidup dalam hal kemampuan untuk bertahan pada keadaan fisik dan kimiawi yang kurang baik. Peran bahan organik Adanya bahan organik asing dapat menurunkan dengan nyata keefektifan zat kimia antimikrobial dengan cara menginaktifkan bahan-bahan tersebut atau melindungi mikroorganisme dari padanya. Sebagai contoh, adanya bahan organic di dalam campuran disinfektan mikroorganisme dapat mengakibatkan: 1. Penggabungan disinfektan dengan bahan organik membentuk produk yang tidak bersifat mikrobisidal 2. Penggabungan disinfektan dengan bahan organikmenghasilkan suatu endapan, sehingga disinfektan tidak mungkin lagi mengikat mikroorganisme 3. Akumulasi bahan organic pada permukaan sel mikroba, menjadi suat pelindung yang akan mengganggu kontak antara disinfektan dan sel. Dalam prraktek, apabila ada serum atau darah pada benda yang diberikan perlakuan suatu zat antimikrobial, maka serum atau darah itu dapat menginaktifkan sebagian zat tersebut.

Kemasaman atau kebasaan (pH) Mikroorganisme yang terdapat pada bahan dengan pH asam dapat dibasmi pada suhu yang lebih rendah dan dalam waktu yang lebih singkat dibandingkan dengan mikroorganisme yang sama di dalam lingkungan basa. Cara kerja antimikrobial Sangatlah bermanfaat untuk mengetahui bagaimana cara kerja zat antimikrobial dalam menghambat atau mematikan mikroorganisme terutama dalam setelah peristiwa pemisahan (condemned) terkait penyakit hewan menular dan zoonosis, serta disinfeksi alat angkut yang tepat sesuai penyakit yang terjadi di RPH, agartidak terjadi pencemaran silang. Pengetahuan ini dapat juga membantu di dalam merencanakan pembuatan zat antimikrobial baru yang lebih efektif.

BAB X REKOMENDASI PENILAIAN AKHIR ANTEMORTEM DAN POSTMORTEM PADA SAPI, KAMBING/DOMBA, DAN BABI

PENYAKIT, KONDISI PATOLOGI ATAU ABNORMAL

REKOMENDASI PENILAIAN AKHIR KARKAS

RONGGA PERUT

T

T

...

`1.2. Peningkatan suhiu atau lelah akibat stress, tanpa gejala penyakit akut 1.3. Gejala hampir mati, suhu subnormal, denyut melemah, rasa terganggu





T

1.4. Kronis, anemia, cachecia, emasiasi, menjijikan, degenerasi organ dan oedema

T

1. TEMUAN UMUM 1.1.Gejala Demam, Lemah & Umum Memperlihatkan adanya penyakit hewan menular akut.

PENYAKIT ATAU YANG DIPENGARUHI BAGIAN ORGAN KARKAS

LAIN-LAIN

CATATAN











Alternatif, K/D/…/…/…/…diketah ui pada awal pem. Postmortem, disertai hasil lab, dimana penyebabnya tidak berbahaya bagi orang, tidak bakterimia, tidak ada penggunaan oabat atau bahan kimia; Pada antemortem, penyembelihan, postmortem tidak ada kelainan, tidak berbahaya bagi orang dan hewan; tidak sedang dalam pengobatan atau penyembuhan yang harus ditolak/afkir pada pem.antemortem Pemotongan ditunda dan pem.antemortem diulang setelah cukup istirahat

T







T







Dimusnahkan apabila ternak tidak dapat sembuh. Dinilai tunda dengan pem.ulang antemortem apabila gejala berkurang. I atau K, dan dilakukan pem. Lab. untuk mengurangi risiko Tergantung kondisi pertimbangan ekonomi, L, I atau Kh; T apabila penyakit kronis; pem. Lab apabila dicurigai dalam pengobatan.

T

T







T

T







Alternatif Kh/D/…/…/… kondisi lemah dan uji lab. residu obat dan/atau infeksi sekunder -

T

T







-

I

I

I

I

I

Pada beberapa kasus: T/T/…/…/…

T A

T A

… D

… D

… …

I

I







1.8. Bunting, baru beranak atau abortus











1.9.fetus dan tidak berkembangnya neonatal 1.10. Pemotongan dibawah pengawasan atau potong darurat 1.10.1. kondisi perdarahan ,perubahan warna,

T

T







Amati pengaruh waktu kerja obat dan uji lab; sebaiknya: T/T/…/…/… Alternatif A/A/…/…/…bila tidak direbus; L atau I bila konsumen suka. Alternatif Kh untuk konsumen yang tidak ingin bau; bau ringan alternative I/I…/…/…, bau kuat T/T/…/…./… Tahan pemotongan terhadap risiko kesehatan hewan dan kesehatan manusia. Rekomendasi dapat A, I, Kh atau T tergantung kondisi umum dan hasil uji lab. Selayaknya ternak dikirim ke RPH dalam waktu 10 hari setelah melahirkan atau abortus/keluron Rekomendasi L

T

T







-

1.5. Gejala penyakit akut protozoa, seperti Hiburea, anemia atau kelemahan 1.6.Septicaemia, pyemia atau toxemia 1.7. Bau, warna abnormal, dll 1.7.1.Penyakit akut atau kronis 1.7.2.Sebab pakan (tepung ikan, dll) 1.7.3. Sebab pengobatan: a) Akut b) Local

1.7.4.Bau sexual

oedematous, dll 1.10.2.tiba-tiba kolaps tanpa penyakit dan gejala umum, atau perubahan patologi pada postmortem (seperti krisis cardiovascular) 1.10.3.Perdarahan cadaver setelah mati atau dipotong karena ternak menderita 1.10.5.Potong darurat karena kecelakaan 1.10.5.Potong tanpa antemortem a).karena kecelakaan

b).karena luka berat 1.11. Ternak dipotong karena program pemberantasan penyakit atau kampanye kesehatan ternak bukan reactor, pem antemortem & postmortem sehat 1.12. Tidak ada rigor mortis pada karkas yang diperiksa 1.13.Ternak dibunuh untuk keperluan diagnostic atau mencegah penyebaran penyakit 2. DAFTAR

T

T







Alternatif Kh/Kh/…/…/… hasil uji lab tidak berpenyakit

T

T







-

I

I







Alternatif A/A/…/…/…, tetapi untuk export T/T/…/…/…

A

A







Uji lab, tidak untuk export T/T/…/…/…apabila ada perdarahan

T L

T L

… …

… …

… …

I

D







T

T







T

T







T

T







Alternatif Kh/Kh/…/…/…

Kecuali bila pem ditemukan sebab lain, rekomendasinya T atau Kh.

TOPOGRAFI 2.1.Infeksi umbilicus sistemik 2.2.Penyakit syaraf 2.2.1.Encephalitis

Alternatif A/A/…/…/…

dan meningitis akut 2.2.2. Encephalitis, meningitis dengan sempoyongan, suhu normal serta tidak ada gejala komplikasi 2.2.3.Abses otak a).terdapat pyemia b).luka terlokalisir tanpa gejala 2.2.4.Abnormal tingkah laku (gangguan rasa, dll) a).Perdarahan tanpa gejala komplikasi

A

A

D



Otak D

otak D bila hasil uji lab non infeksi (sun stroke) Tdilakukan bila kronis

T A

T A

… …

… …

… Otak D

Otak perlu uji lab

A

A







b).Disertai gejala lain atau keracunan 2.3.Penyakit selaput jantung, jantung dan pembuluhnya 2.3.1.Pericarditis a).Pericarditis akut, septicaemia dan disertai demam, akumulasi exudat, gangguan sirkulasi, perubahan degenerative dan bau abnormal b).Pericarditis subakut

T

T







Teliti catatan peternakan, dan uji lab untuk mengetahui penyebab keracunan atau penyakit yang mana kelak perlu disposisi T atau K -

T

T







-

Kh

Kh

D

D



A

A

D

D



Uji lab, penyebab infeksi atau non infeksi -

A

A

D

D



Uji lab

Kh

Kh



D



Alternatif L pengganti Kh bila Kh tdk ekonomis, dg uji lab pathogen negative

c).Pericarditis kronis tanpa komplikasi d). Pericarditis kronis traumatic 2.3.2.Endocarditis a). Endocarditis ulcerative dan verrucose, tanpa komplikasi

b).Cicatrix c).Verrucose endocarditis tanpa luka paru-paru atau hati, infiltrasi, debilitas umum 2.3.3. Luka jantung tidak menular (malformasi, dll) 2.4.Penyakit sistim pernafasan 2.4.1.Sinusitis 2.4.2.Pneumonia akut,

A T

A T

… …

D …

… …

-

A

A



D



Dapat T, bila kronis

A T

A T

D …

… …

Kepala D …

A

A



D



A

A

D

D



Kh

Kh

D

D



Uji lab

Mesent ericus A

Mesen tericus Kh

Mesen tericus D

mesen tericus D

Mesentericu s Paru-paru D

Uji lab

T

T







A A

A A

… …

D D

… …

A

A



D



T

T







A

A

D

D



T

T







-

broncopneumonia

purulent, gangrene paru atau pneumonia nekrotik 2.4.3.Pneumonia catarrhal 2.4.4.Pleropneumonia babi a).Dengan perubahan patologi b).Gejala komplikasi lain 2.4.5.Pneumonia subakut 2.4.6.Bronchopneumonia subakut 2.4.7.Abses paruparu 2.4.8.Bronchitis 2.4.9.Brochopneumonia verminiosa 2.4.10.Atelectasis, emphysema, pigmentasi, perdarahan pernafasan atau ingesti benda asing 2.5.Penyakit pleura 2.5.1.Diffuse fibrinosa 2.5.2.Adhesi jaringan fibrinous 2.5.3.Suppurative atau gangrene pluritis 2.6.Penyakit lambung

Uji lab

Uji lab

Alternatif T atau Kh tergantung hasil uji lab. Tuberculosis lihat item 3.3.8

dan usus 2.6.1.Gastroenteritis Catarrhal akut a).congesti kelenjar getah bening mesentericus b).congesti mukosa dan kelenjar getah bening mesentericus, pembesaran limpa atau degenerasi 2.6.2. Gastroenteritis Catarrhal kronis

A

A



D

Usus D

Kh

Kh



Usus D



A

A



D

Usus D

T

T







A

A



D



b).Kasus ringan 2.6.6.Mesentericus emphysema babi 2.7.Penyakit Peritonium 2.7.1.Peritonitis: a).Akut , difusse, atau extensif b).Peritonitis fibrinous local 2.7.2.Adhesi atau abses encapsulates local 2.8.Penyakit hati 2.8.1.Telangectasis, bentukan kista, batu empedu

A A

A A

… …

D D

… …

-

T

T







-

A

A

D

D



-

A

A

D

D



Bila Tubeculosis, beralku item 3.3.8

A

A



D



Alternatif T tergantung kondisi umum dan hasil uji lab

2.8.2.Infiltrasi lemak 2.8.3.Degenerasi hati 2.8.4.keracunan, parasit atau penyakit non spesifik 2.8.5.Bungkul parasit hati

A A A

A A A

… … …

D D D

… … …

A

A



D



2.6.3.Enteritis berdarah, atau septic, croupus, diphtric enteritis 2.6.4.Bloat atau impaksi lambung atau rumen a).Kasus sedang

Alternatif T atau Kh tergantung hasil uji lab. Uji lab

Alternatif T atau Kh tergantung hasil uji lab. Alternatif Kh tergantung hasil uji lab.

Alternatif I,T atau Kh tergantung hasil uji lab.

Tergantung kondisi umum dan hasil uji lab D- hati diiris yang kena untuk dibuang (condemn)

2.8.6.Nekrosis hati karena bakteri 2.8.7 Abses hati a). embolik dengan infeksi umbical, abses pada limpa, dll b). Abses pada selaput hati 2.8.8 Nekrosis military hati pada pedet 2.9. Penyakit saluran kencing 2.9.1Batu ginjal, bentukan kista 2.9.2 Radang ginjal (Nephritis) a). berbau urine abnormal b).Nephritis kronis

Kh

Kh



D



T

T







-

A

A



D



=

T

T







-

A

A



D



=

T

T







-

A

A



D



2.9.3. Coline nephritis 2.9.4. Nepritis suppurative dan embolik 2.9.5.Pyelonephritis a).Dengan uremia b).tidak ada gejala sistemik 2.9.6.Cystisis a).bentukan exudative dengan demam, bau atau urenogeneous pyelonephritis b).tidak ada gejala sistemik 2.9.7.Rupture kantung urine a). urenogeneous peritonitis, bau urine, atau urinary cellulitis b).tidak ada gejala sistemik 2.10.Penyakit kelamin betina dan penyebabnya 2.10.1.Radang uterus a).Metritis akut b).Metritis kronis 2.10.2.Retensi placenta

T

T







T

T







Uji lab negative ochratoxin Alternatif Kh, subjek uji lab Alternatif Kh, subjek uji lab

T A

T A

… …

… D

… …

=

T

T







-

A

A



D



=

T

T







-

A

A

D

D



=

T A

T A

… …

… D

… …

Subjek uji lab

a).Tanpa gejala sistemik b).Dengan sistemik dan demam 2.10.3. Kelahiran disertai metritis akut, vaginitis atau disertai putrefikasi foetus 2.10.4.Prolap uterus disertai demam atau peritonitis

A

A



D



Subjek uji lab

T

T







-

T

T







-

T

T







2.10.5.Terdapat sejumlah cairan dalam uterus 2.10.6.Hb uria puerperal pada sapi 2.11. Penyakit kelamin jantan 2.11.1.Orchitis dan/atau epididimitis 2.12.Penyakit ambing 2.12.1.Mastitis a).Tanpa gejala sistemik b).Spetic, gangrenous atau dengan gejala sistemik 2.12.2.Pigmentasi kelenjar ambing pada babi 2.12.3. Oedema pada ambing 2.13.Penyakit tulang, persendian dan selaput tendon 2.13.1. Fraktur a). Tanpa komplikasi b). Penyakit atau disertai gejala umum 2.13.2.Osteomyelitis a).lokal b).gangrenous, suppuratif atau disertai metatasis 2.13.3.Deposit pigmen dalam tulang atau

A

A



D



A

A

D

D



Apabila lulus pem.antemortem dan postmortem, A atau Kh. Subjek uji lab. Ternak tidak menunjukkan gejala umum =

A

A



D



Dugaan Brucellosis dan Subjek uji lab

A

A



D



-

T

T







-

A

A

D

D



=

A

A



D



=

A

A

D





-

T

T







-

A T

A T

… …

D …

… …

-

A

A

D





-

periosteum 2.13.4.Arthritis dan/atau tendonitis a).Tidak menular atau kronis, tanpa gejala sistemik. b).Menular akut (fibrinous purulent), seperti poliarthritis pada anak sapi 2.13.5.calsifikasi presternal pada sapi 2.13.6.Osteofluorosis 2.13. Penyakit otot 2.14.1.Deposit calcareous 2.14.2.Myopathy degenerative aseptic seperti”white muscle disease” 2.14.3.Abnormalitas lainnya dari otot a).Pada babi (lemak tidak dipengaruhi) seperti”Porcine Stres Syndrome”,”Pale Soft Exudative(PSE)”,a tau Dark, Firm Dry (DFD)” b).Ternak lain seperti “Dark Cutting Beef” 2.15.Penyakit kulit 2.15.1.Lesi atau Cellulitis a).Granula baru b).luka menular dan luka kulit mengelupas (i).Tanpa gejala klinis (ii).Dengan gejala klinis seperti demam, atau metastasis atau sepsis

-

A

A

D





-

T

T







A/A/D/…/…, subjek uji lab

A

A

D





-

A

A

D





A

A

D





Tidak ada rigor mortis lihat 1.12 -

A

A

D





-

A

A

I





Punya dampak pada karkas D sebagai pengganti I, apabila luka sedang. Karkas D, bila luka meluas

A

A

I





-

A

A

D





-

A

A

D





-

T

T







-

2.15.2.Luka memar a).Lokal b).Dampak perubahan secara umum atau sekunder di dalam karkas 2.15.3. Terbakar a).Lokal tanpa sistemik b).Dengan oedema meluas atau gejala sistemik disertai demam. 2.15.4.Exzema dan dermatitis kronis pada babi 2.15.5.Erytrema dan dermatitis akut (seperti Frostbite, Sunburn, korosi kimiawi, Photosensititas i). a).Tanpa gejala sistemik b).Dengan demam

A T

A T

… …

… …

… …

-

A

A

D





-

T

T







-

A

A

D





-

A

A

D





-

T

T







-

T

T







Negata bebas tidak perlu uji lab, termasuk perlindungan kesehatan masyarakat seperti perebusan, pendinginan, pembakaran daging dari ternak tertular.

a).Infestasi berat

T

T







Infestasi meluas, wajib dilaporkan kepada penanggung jawab kesehatan hewan yang berwenang setempat. Alternatifnya dengan pemanasan mencapai 60 derajat celcius hingga ke pusat daging.

b).Infestasi sedang atau ringan

Kf

Kf







DAFTAR PENYEBAB 3.1.PARASIT 3.1.1.TRICHINELLOSIS (T.spiralis)

3.1.2.CYSTICERCOSIS BOVIS

3.1.3.CYSTICERCOSIS CELLULOSE

a).Infestasi berat b).Infestasi sedang atau ringan 3.1.4.CYSTICERCOSIS OVIS

T Kf

T Kf

… …

… …

… …

A

A



D



A

A



D

Otak D

3.1.7.DISTOMATOSIS a).Infestasi berat b).Infestasi sedang atau ringan

A A

A A

… …

D D

… …

3.1.8.ENCHINOCOCCO

A

A

D

D



Item1.4 tdk diperlukan D, bagian tertular disingkirkan. Terhadap sisa hati rekomendasinya I. Item1.4 tdk diperlukan

3.1.9.STRONGILUS

A

A



D



Item1.4 tdk diperlukan

PULMONARY DAN GATROINTESTINAL 3.1.10.Luka karena parasit hati atau usus

A

A



D

A

A



D



A

A

D





Item1.4 tdk diperlukan

A

A

D





-

Kh

Kh







Item1.4 tdk diperlukan

A T

A T

D …

… …

… …

Alternatif Kh, subjek diuji bakterinya

a).Infestasi berat b).Infestasi sedang atau ringan 3.1.5.CYSTICERCOSIS TENUICOLLIS

3.1.6.COENUROSIS

Item1.4 tdk diperlukan Bagian tertul Item1.4 tdk diperlukan ar disingkirkan -

CEREBRALIS

SIS (HYDATIDOSIS)

3.1.11.Infestasi Oestrus ovis pada domba 3.1.13.Infestasi warble (hypodermosis) 3.1.14.Mange dan Scabies a).Mange sarcoptic pada babi (i).lokal dan tidak sistemik (ii).luka meluas atau ada sistemik b).Scabies sporoptic pada domba (i).tidak sistemik (ii).luka kulit suppurative 3.2. PENYAKIT PROTOZOA

Kepala D

L dapat dipakai pengganti D, dimana dapat dikerjakan dengan mudah

Catatan: Tidak semua penyakit protozoa, T

3.2.1.TRIPANOSOMIASIS 3.2.2. BABESIOSIS 3.2.3.THEIILIREOSIS 3.2.4.TRICHOMONIASIS

atau Kh dipakai daripada A, dimana diketemukan gejala umum yang terdaftar dalam item 1. -

A A A A

A A A A

… … … …

D D D D

… … … …

T A

T A

… D

… D

… …

A hanya bagian tertular disingkirkan

T A

T A

… …

… …

… …

= -

A

A





Usus D

-

A

A

D

D



-

T

T







-

T T

T T

… …

… …

… …

-

T

T







-

T

T







-

T

T







-

T

T







-

(T.FOETUS)

3.2.5.SARCOSPRODIO SIS

a).Infestasi berat b).Infestasi ringan 3.2.6.TOXOPLASMOSIS a).Serologis b).Gejala klinis atau sistemik 3.2.7.COCCIDIOSIS 3.2.8.BESNOITOSIS a).lokal dan tidak sistemik b).luka meluas atau ada sistemik 3.3.PENYAKIT BAKTERI DAN PENYEBABNYA 3.3.1.ANTHRAX 3.3.2.BLACK LEG 3.3.3.BRAXY (Cl.septicum) 3.3.4.ENTEROTOXEM IA (desentri domba, Cl perfrigens) 3.3.5.MALIGNANT OEDEMA (Cl.septicum) 3.3.6.TETANUS (Cl.tetani) 3.3.7.BOTULISM (Cl.botulism) 3.3.8.TUBERCULOSIS

a). sapi dan kerbau (i).kasus infeksi residual atau karena program pemberantasan (ii).selama stadium akhir pemberantasan

Daging ternak penderita TBC dilarang diekspor T

T







-

dimana prevalensi rendah  Reaktor tanpa luka

Kh

Kh





Paru-paru, ambing D

 Salah satu organ terkena dan tanpa luka military  Satu organ atau lebih organ tertular, atau terdapat luka military pada salah saatu organ (iii).selama stadium awal pemberantasan dan ditemui prevalensi tinggi di satu daerah  Reaktor tanpa luka

Kh

Kh





Paru-paru, ambing D

T

T







L

L



D

Paru-paru, ambing D

 Salah satu organ tertular, tanpa gejala umum atau baru menyebar melalui darah.  Lebih dari satu organ tertular, tanpa gejala umum atau baru menyebar melalui darah.  Dengan gejala umum  Gejala baru menyebar ke dalam darah b). Pada babi (i).lokal tenggorokan atau kelenjar getah bening mesentercus (type bovine atau avian) (ii).type avian terbatas pada kelenjar

Kh

Kh



D

Paru-paru, ambing D

Kh

Kh



D

Paru-paru, ambing D

T

T







-

T

T







-

Kh

Kh

D

D

Usus D

A

A

D



Kepala D

Alternatif L atau A, tetapi dilarang untuk ekspor Item1.4 tdk diperlukan. T apabila dimungkinkan secara ekonomi -

A disukai daripada I. Apabila L tidak ekonomis dilarang untuk perdagangan ekspor Item1.4 tdk diperlukan

Kecuali T, apabila dipertimbangkan lebih ekonomis atau Item1.4 dapat dipergunakan

T bila ada program pemberantasaan TBC atau dalam stadium akhir penyakit. Alternatif Kh dengan pemanasan 77 derajat celcius.

submaxillaris (iii).lukanya meluas pada kelenjar getah bening atau organ lain c).pada ruminansia kecil 3.3.9.Johne’s disease (Paratuberculosi s) 3.3.10.Actinomycosis dan actinobaccilosi s a).Terbatas di kepala, atau terdapat luka ringan pada paruparu b).luka meluas pada paru-paru

T

T







-

T

T







-

A

A



D

Usus dan penggantung nya D

Item1.4 tdk diperlukan

A

A

D

D



Item1.4 tdk diperlukan

T

T







-

3.3.11.Salmonellosis 3.3.12. White scour, omphalophebiti s, polyarthritis, dan septicaemia lain pada anak yang baru lahir 3.3.13.Swine erysipelas a).kondisi akut dengan erytrema, atau diffuse cutaneous dengan erytrema

T T

T T

… …

… …

… …

-

T

T







b).Arthritis kronis local, atau endocarditis local tanpa gejala sistemk

Kh

Kh

D

D



c).luka cutaneous ringan

Kh

Kh

D





-T pada pemeriksaan antemortem dinilai bahaya, apabila dimungkinkan pemotongan ditunda untuk diobati dulu hingga sembuh Uji bakteriologi, T apabila meluas, atau apabila positif bakteri berbahaya. Lihat juga Item 2.3.2. Alternatif A dimungkinkan apabila dinilai tidak membahayakan kesehatan konsumen Alternatif A dimungkinkan apabila dinilai tidak membahayakan konsumen

T

T







d).Komplikasi nekrosis arthritis,

atau luka kulit, atau gejala sistemik 3.3.14. Listiriosis

T

T







3.3.15.Infeksi coryne bacterial pada kelenjar getah bening subamaxillaris pada babi 3.3.16.Caseous lymphadenitis pada domba (corynebacteri um ovis) 3.3.17.Brucellosis a).Pada sapi

A

A

D

D



A

A

D

D

Paru-paru D

-Kecuali apabila T atau Kh dibawah Item 1.4

A

A



D

Ambing, alst kelamin, kelenjar getah bening terkait D

b).Pada babi

T

T







c).Pada domba, kambing dan kerbau

T

T







3.3.18.Infectious ovine epidedemitis (B. ovis) 3.3.19.Bovine

A

A



D



-Apabila ada dugaan Brucella mellitensis: T atau Kh, tergantung tingkat prevalensi dan pertimbangan ekonomis; Ternak dipotong dalam rangka program pemberantasan: L lebih baik daripada A, bila pertimbangan ekonomiis, epidemiologis dan/atau pencegahan bahaya penularan penyakit T bila tidak ekonomis, Kh dengan ketentuan kelenjar ambing, alat kelamin dan kelenjar getah bening terkait, dilakukan langkah D T bila tidak ekonomis, Kh dengan ketentuan kelenjar ambing, alat kelamin dan kelenjar getah bening terkait, dilakukan langkah D =

A

A



D



=

Kh

Kh



D



Kecuali bila T kasus item 1.1 atau 1.4

campylobacteri osis 3.3.20.Pasteurellosis

Perkecualian diperlukan untuk mencegah penularan pada pekerja daging -

3.3.21.Haemorhagic septicaemia (pasteurella multocida type 6:B dan 6:E) 3.3.22.Shipping fever a).Stadium klinis

T

T







Tidak diperkenankan dibawa ke RPH

T

T







b).Penyembuhan 3.3.23.Atropic rhinitis 3.3.24.Calf Diptheria (necrobaccilosis) a).Umum b).Lokal 3.3.23.Foot rot pada domba 3.3.24.Dermathophillus (Streptothricosis

A A

A A

… D

D …

… …

Bila mungkin pemotongan ditunda hingga sembuh = D apabila ada kelainan tulang muka

T Kh A

T Kh A

… D D

… D …

… Kepala D …

A

A

D





T A A

T A A

… … …

… D D

… Ginjal D Paru=paru dan selaputnya D

-

A

A



D

Paru=paru dan selaputnya D

-

A

A



D

Ambing D

-

A

A







Dibedakan dengan PMK (lihat item 3.4.1) Item 1.4 tidak diperlukan

dermathophilus congolensis)

3.3.25.Leptosiprosis a).Akut b).Kronis lokal 3.3.26.Contagious bovine pleuropneumoni a (Mycoplasma mycoides subspecies mycoides SC (Bovine blottype)

3.3.27.Contagious caprine pleuropneumona

(Mycoplasma sp F.38 blottype 3.3.28.Contagious agalactia pada kambing dan domba (Mycoplasma agalactia) 3.3.29.Heartwater (crowdie ruminantium) 3.3.30. Q fever (Coxiela burnetti) a). Klinis penyakit

T

T







-

Kecuali T atau Kh disebabkan item 1.1 Diperlukan pencegahan penularan pada pekerja RPH -Kh/D/…/Ambing D, bila T

dipertimbangkan tidak ekonomis. -T atau Kh lebih disukai dan lebih ekonomis Kecuali bila Item1.1, 1.4 atau 1.7 dipakai

b).Serologis

A

A





Ambing D

3.3.31.Anaplasmosi s

A

A



D



T

T







...











Tidak boleh dipotong di RPH Penilaian terhadap perlindungan kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner; dengan perhatian khusus infeksi sekunder bacterial dan gejala umum (lihat Item 1.1,16, dan 3.3.11). Dilakukan tindak pengawasan secara kebijakan nasional

A

A

D

D



T

T







Kh

Kh

D

D

Usus D

A

A



D

Kepala D

Kh

Kh

D

D



A

A

D

D



3.4.PENYEBAB VIRUS Vesicular dan Cacar 3.4.1. Penyakit Mulut dan Kuku a).Pada Negara atau zone bebas  Hewan sakit dan kontak b).Pada Negara atau zone tertular

3.4.2.Vesicular stomatitis 3.4.3.Vesicular exanthema pada babi 3.4.4.Swine vesicular

3.4.5.Contagious pustular dermatitis (contagious ectyma/ Orf) 3.4.6.Sheep pox/goat pox a).Penyakit kiinis

b).Masa penyembuhan

...

T dan ditolak dari RPH untuk program pemberantasan. Apabila deferensial diagnose tidak dikonfirmasikan, dinilai sebagai PMK Item 3.4.1 Bila deferensial diagnose tidak dikonfirmasikan, dinilai sebagai PMK Item 3.4.1

Kecuali bila T dipakai Item 1.1; I bila Kh dinilai tidak ekonomis =

3.4.7.Lumpy Skin Disease 3.4.8.Cacar lainnya a).Sapi b).Babi

PENYAKIT SAPI 3.4.9.Bovine malignant catarrh 3.4.10.Infectious bovine rhinotracheitis -IBR/IPV 3.4.11.Bovine virus diarrhea/Muco sal Disease 3.4.12.Bovine parainfluenza 3.4.13.Bovine leucosis a).luka maskrospis multiple b).Reaktor saja

3.4.14.Bovine Spongiform Encephalopat hy/ BSE

MACAM-MACAM PENYAKIT PADA BABI 4.4.15. Clasical swine Fever (Hog Cholera) a).Berpenyakit

b).hewan yang kontak 3.4.17.African Swine Fever (baik berpenyakit dan hewan kontak) 3.4.18.Teschen

Kh

Kh

D

D



A L

A L

D D

… …

Ambing D Kulit D

I

D







Item 1.1 tidak dipakai

A

A



D



Item 1.1 tidak dipakai

A

A



D



Item 1.1 tidak dipakai

A

A



D



Item 1.1 tidak dipakai

T

T







...

A

A







T

T







Tergantung tingkat prevalensi (Kh dipakai daripada A, bila dipertimbangkan lebih ekonomis) Sapi dengan gejala BSE harus dilakukan persyaratan ketat oleh Dokter Hewan berwenang. Uji Lab untuk kepastian diagnosa

T

T







Kh

D







T

T







Kh

D





Otak, spinal

Kecuali bila T dipakai Item 1.1; I bila Kh dinilai tidak ekonomis

I bila dinilai tidak ekonomis

Bila tidak ekonomis dpakai Kh (T dipakai dibawah Item1.1)_

Tidak boleh dipotong di RPH

Kecuali apabila T/T

disease

3.4.19.Aujeszky’s disease (Pseudorabies ) a).Berpenyakit

cord, saluran alimentarius D

Kh

Kh

D

D

b).Reaktor

T

T





Otak, spinal cord D …

3.4.20.Swine Influenza

A

A



D

Paru-paru D

T

T







A

A







T

T







A

A





Hati, darah D

3.4.23.Louping ill

A

A



D



3.4.24.Ephemeral Fever

A

A



D



3.4.25. Rabies Ternak dipotong dalam waktu 48 jam setelah digigit.

T A

T A

… D

… …

… …

3.4.26.Japanese Encephalitis pada babi

L

L

D



Darah, otak medulla, alat kelamin: D

dibawah item 1/.1 atau 1.3.

Termasuk hewan yang divaksinasi Kecuali apabila T atau Kh dipakai dibawah Item 1.1

MACAM-MACAM PENYAKIT RUMINANSIA YANG PENYEBABNYA MELALUI ARTHROPODA

3.4.21.Bluetongue a). Dengan gejala klinis b).Reaktor saja 3.4.22.Rift Valley Fever a).Dengan gejala klinis b).Reaktor saja

-

Kecuali T atau Kh dipakai dibawah item 1.1 Kecuali T atau Kh dipakai dibawah item 1.1 Pemotongan ditunda sampai suhu normal. Sebaliknya T atau Kh dipakai dibawah Item 1.1.

LAIN-LAIN PENYAKIT

D: disekitar gigitan; perhatian risiko penularan pada pekerja. Alternatif pemotongan ditunda, dan dilakukan tindak isolasi/karantina agar dapat dikonfirmasi penyakitnya. Kh bila dinilai lebih ekonomis, T pada kasus penyakit akut

3.4.27.Scrapie a).Dengan gejala klinis b).Hanya kontak, anak dan induknya 3.4.28.Viral Leucosis (selain pada sapi) a),Dengan luka makroskopik b).Reaktor saja

T

T







-

L

L







T dipakai daripada L, bila dipertimbangkan tidak ekonomis.

T

T







A

A







Tergantung tingkat prevalensi (Kh dipakai daripada A, bila dipertimbangkan tidak ekonomis)

3.5.1.Tick paralysis

T

T







I, atau Kh bila T tidak ekonomis

3.5.2.Tumor a). Tumor jinak

A

A

D

D



b).Tumor ganas

T

T







c).kombinasi keduanya 3.5.3.Gangguan metabolism, penyakit defisiensi, keracunan a).Bovine Ketosis

T

T







D untuk bagian organ, bila telah menyebar sebaiknya D dikenakan pada seluruh organ. Uji lab diperlukan untuk membedakan Uji lab diperlukan untuk membedakan

T

T







b).Pasturient paresis (hypocalcemia, dll)

T

T







c).Kekurangan mineral pakan d).Grass tetany

A

A

D





T

T







3.5. GEJALA-GEJALA TIDAK TERIDENTIFIKASI ATAU PENYEBAB TIDAK MENULAR LAINNYA.

(Hypomagnesemia)

Alternatif Kh/D atau I/D, subjek diuji lab. Lebih disukai ditunda pemotongan hingga sembuh Alternatif Kh/D atau I/D, subjek diuji lab. Lebih disukai ditunda pemotongan hingga sembuh Item 1.4 tidak diperlukan Alternatif Kh/D atau I/D, subjek diuji lab. Lebih disukai ditunda

pemotongan hingga sembuh Dipakai apabila hewan menunjukan gejala klinis atau tanda padaa pemeriksaan postmortem Subjek diuji lab untuk mengetahui/menghila ngkan risiko residu

e).Keracunan (akut atau kronis)

T

T







f).Keracunan subakut atau kronis dengan perubahan sekunder (gastroenteritis, degenerasi organ,dll)- setelah klinis penyembuhan g).Ichterus (jaundice) (i).Haemoli\ytic (ii).Toxic (iii).Penyumbatan (ringan, ditunjukkan dalam waktu 24 jam) (iv).Penyumbatan sedang (v).Physiologcal (seperti pada anak yang baru lahir) atau karena fraktur,dll)  Apabila ada perubahan warna yang ditunjukkan dalam waktu 24 jam setelah dipotong  Apabila perubahan warna terlihat setelah 24 jam h).Penyebaran melanosis pada sapi i).Penyingkiran bagian tertular yang sudah tidak dimungkinkan ii).Penyingkiran bagian tertular yang dimungkinkan 3.5.4. Residu

A

A

D

D



T

T







-

T

T







-

A

A





Hati D

A

A







-

T

T







Alternatifnya I pada kasus ringan dimana T tidak dibenarkan

A

A







-

T

T







-

A

A

D

D



-

T

T







-

Alternatif I pada kasus dimana A tidak dibenarkan

pemberian anabolik 3.5.5.Residu diatas ambang batas Nasional ataupun internasional

T

T







-

3.6.1.Ochrratoxicosi s pada babi

T

T







3.6.2.Alfatoxicosis

A

A



D

3.6.3.Mycotoxicosis akut atau kronis teramati pada antemortem dan postmortem

T

T





Pada penilaian ini ochratoxin tidak lebih dari 25 mg/kg dalam jaringan ginjal (uji lab dilihat darii sejarah kausus kronis abnormal pada babi dari sumber yang sama) Penilaian ini alflatoxin tidak lebih dari 0,001 mg/kg (uji laboratorium dilihat dari sejarah kasus meningkat pada babi dari sumber yang sama) -

3.6. PENYAKIT JAMUR DAN KERACUNAN JAMUR

Hati, ginjal, ambing:D



(sumber: FAO/WHO, 1993)

Keterangan:    

  

Disetujui, layak dikonsumsi (simbul A); Seluruh kulit, karkas, daging dan jeroan tidak layak dikonsumsi manusia (simbul T); Sebagian karkas atau karkas tidak layak dikonsumsi (simbul D); Layak dikonsumsi dengan bersyarat, dibagi 2: a. “Kh”: direbus dengan temperature 90 derajat Celcius dan daging dipotong-potong kecil 10 cm kubik; b. “Kf” daging perlu dipanaskan atau didinginkan terlebih dahulu hingga terbunuh parasit yang terdapat dalam daging; Daging terdapat kerusakan sedikit, namun layak dikonsusmi (simbul I); Disetujui, layak dikonsumsi dengan peredaran terbatas pada daerah tertentu, karena alas an pencegahan penyebaran penyakit hewan menular (simbul L); dan Tidak dapat digunakan (simbul …).

BAB XI PENGAMBILAN CONTOH PENGUJIAN Daging adalah bahan yang cepat rusak (perishable), karenanya hasil pengujian laboratorium sangat tergantung perencanaan dan pengambilan contoh, penanganan contoh (pengiriman dan penyimpanan) dan persiapan contoh agar dalam persiapan contoh lebih baik, sehingga maksud dan tujuan pengujian tidak sia-sia. Pengambilan contoh daging harus dilakukan petugas pengambil contoh terlatih, dan mempertimbangkan faktor-faktor hal sebagai berikut: 1.

Perencanaaan Dalam pengambilan contoh harus dilakukan secara cermat dan cepat dalam satu batch (lot) dalam satu unit produksi atau dilakukan secara acak dalam satu lot, yang dianggap dapat mewakili setiap lot. . Kebutuhan pengambilan contoh uji tergantung pada maksud dan tujuan pengujian dari rekomendasi hasil penilaian akhir pemeriksaan antemortem dan/atau postmortem oleh dokter hewan

2.

Petugas pengambil contoh Petugas pengambil contoh harus trampil dan memahami prosedur pengambilan contoh, sesuai pedoman pengambilan bahan pengujian patologi atau mikrobilogi dan pengujian residu kimiawi sesuai Pedoman BSN 503-2000

3.

Tatacara pengambilan contoh Dalam pengambilan contoh harus disiapkan kebutuhan peralatan sesuai kebutuhan, seperti uji mikrobiologi dilakukan secara steril dan aspetik, serta selalu segar dan disimpan pada suhu 2-4 derajat Celcius. Contoh daging untuk tujuan mengetahui mikrobiologik, maka diambil dengan cara: a. menggunakan peralatan swab/ulas dengan cara diusapkan cotton bud steril pada permukaan daging/cairan daging, darah dengan luasan 25 cm persegi dan dimasukkan ke dalam tabung. b. Tusuk (excision) menggunakan cock borer kedlama daging (2 mm dari permukaan), dengan memperhitungkan luas permukaan dan jumlah larutan pengencer, sehingga dipastikan jumlah mikroorganisme per cm persegi c. Teknik mengiris kecil-kecil (incision Technique) dengan maksimum contoh 2 kilogram, dimasukkan dalam plastic steril dan ditambahkan pengencer steril maksimal 9 kali berat contoh. Penambahan pengawet hanya diperlukan untuk uji patologis. Untuk pengujian patologis, pengambilan contoh dilakukan pada 2 (dua) macam contoh yaitu pengambilan jaringan normal dan abnormal sebagai pembanding.

Untuk pengujian patologis atau biologi pada ternak ayam/unggas dapat diambil secara ayam utuh, baik masih hidup atau bangkai Pengambilan contoh uji untuk mengetahui adanya parasit dalam daging (seperti cyste, protozoa pada toxoplamosis) dapat mengiris secara utuh daging pada tempat-tempattertentu (predeleksi) 4.

Penanganan contoh Pengambilan contoh yang telah disiapkan ditempatkan dalam wadah dengan tutup pengaman, agar tidak terjadi kontaminasi yang tidak perlu. Pengirman contoh ke laboratorium untyuk diuji, tersimpan dengan baik sesuai maksud dan tujuan pengujian yang diperlukan. Berhati-hati penanganan contoh yang dikatagorikan bahaya

5.

Pemberian label Pemberian label pada contoh yang diambil sangat penting sebagai informasi kepada penguji untuk melakukan tugasnya. Pemberian label harus menginformasikan paling kurang sebagai berikut: o Nama atau Nomor contoh o Deskripsi contoh (seperti species, ras, organ dalam, karkas, cairan, dll) o Nama petugas pengambil contoh o Tanggal pengambilan contoh dan jumlah contoh o Nama dan alamat unit usaha/pemilik o Keterangan batch/lot atau unit contoh o Suhu pengiriman contoh saat pengiriman o Keterangan uji yang diperlukan. o Titik dan lokasi pengambilan contoh

6.

Keselamatan kerja Keselamatan kerja bagi petugas dalam menangani contoh bahan-bahan berbahaya, maka sikap kerja hati-hati, teliti dan menggunakan alat pelindung diri merupakan kewajiban petugas pengambil contoh yang baik.

7.

Dokumentasi Catatan pengambilan contoh dilakukan secara seksama dan teliti baik di label, formulir yang diperlukan, dan buku agenda yang dimaksudkan agar tidak tertukar dan terdata dengan baik sebagai bahan telusur jejak pengujian.

TENTANG PENULIS Penulis lahir di Medan, 2 Maret 1957, menyelesai studi Sekolah Dasar Negeri III,, Sekolah Menegah Pertama Negeri II dan Sekolah Menengah Atas Negeri II (Paspal), di Tanjungkarang, Provinsi Lampung dan menyelesaikan studi Dokter Hewan, FKH-UGM, Yogyakarta 1983. Riwayat Pekerjaan: 1979-1983 Asisten Dosen bidang Anatomi, FKH-UGM dan aktivis HMI FKH UGM Bergabung dengan Direktorat Jenderal Peternakan pada akhir 1983 hingga saat ini menjabat fungsional medic veteriner madya, pada Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Pascapanen, dan sebelumnya pernah menduduki berbagai posisi jabatan sebagai berikut:       

Kepala Seksi Pengawasan Hewan, Bahan Asal Hewan, dan Hasil Bahan Asal Hewan, Subdit Penolakan, Direktorat Kesehatan Hewan 1993-1995 Kepala Seksi Bahan Asal Hewan pada Subdit Perlindungan Hewan, Direktorat Kesehatan Hewan 1995-1999 Kepala Seksi Produk Pangan Asal Hewani, Subdit Produk Pangan Hewani, Dit Kesehatan Masyarakat Veteriner, 2000-2005 Kepala Subdit Pembina Pengujian Produk Hewan, 2006-2008 Kepala Subdit Produk Hewan Non Pangan,2008-2010 Kepala Subdit Sanitary dan Keamanan Produk Hewan, 2011-2012 Mengundurkan diri jabatan structural eselon III Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Pascapanen, menjadi Jabatan Fungsional Medik Veteriner padaDirektorat Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Pascapanen Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan.

Pengalaman kerja: 1982 pernah bekerja magang di RPH Kabluk, Semarang sebagai pemeriksa kesehatan ternak potong dan melaksanakan program vaksinasi massal PMK Provinsi Jawa Tengah di Kab.Semarang 1985-1993 ikut berperan aktif dalam Tim negosiasi zoo-sanitary di lingkup ASEAN, dan Sosial-ekonomi (sosek) Malindo, dan masukan teknis kepada OIE 1985-1986 ikut memperjuangkan berdirinya 200 Poskeswan di seluruh Provinsi RI Dana NAEP-pada Direktorat.Penyuluhan Peternakan, Ditjen Peternakan. 1986 insiasi Dokter Hewan dalam kelompok professional sebagai Tenaga Kesehatan Dokter Hewan dengan masa pensiun umur 60 tahun bagi dokter hewan yang berwenang di daerah dan UPTbersama Drh. Anwar Sholeh, Kepala Seksi Pemberantasan Penyakit Hewan 1987 pertama kali menjadi Inspektur Pemeriksa Kesehatan sapi bantuan ADB untuk Kalimantan Timur, di Australia, kedua sap Banpres untuk NTT, pada tahun 1996 1983-1990 ikut berperan aktif dalam Tim pemberantasan Penyakit Mulut dan Kuku dan Upaya Deklarasi Pembebasan PMK hingga diakui OIE, 1990

1984 ikut berperan aktif Tim pemberantasan SE di Ujung Kulon bersama Dinas Peternakan Provinsi Jawa Barat dan Kabupaten Pandeglang. 1983-1985 ikut aktif berperan Tim penanggulangan dan pemberantasan wabah penyakit ND di P.Sulawesi, Jawa dan Bali. 1987-1988 ikut berperan aktif Tim pemberantasan dan pembebasan Rabies di Wonogiri, Jateng dan Ngawi, Jatim 1989-1990 ikut berperan aktif Tim penanggulangan wabah penyakit Anthrax di Boyolali dan Klaten, Jawa tengah 1992 ikut berperan aktif dalam pembahasan RUU tentang Karantina,Hewan, Ikan dan Tumbuhan dan Persyaratan dan Pemasukan Daging dari Luar Negeri ke Indonesia 1993-1994 ikut berperan aktif dalam menetapkan protocol persyaratan teknis kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner di lingkup ASEAN dan pemasukan daging dan ternak sapi feeder steer dari Australia. 1994-1995 ikut inisiasi perlunya jabatan fungsional medik dan paramedik veteriner beserta angka kreditnya bersama Drh.Tagor Harahap, Kepala Subdit Penolakan. 1995-1996 ikut Tim penyusun RPP tentang Karantina Hewan 1998 ikut menginisiasi berdirinya Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner pisah dari Direktorat Kesehatan Hewan yang terbentuk pada tahun 1999 bersama Drh. Muchtar Abdulah, Kepala Subdit Perlindungan Hewan 2001-2002 ikut menjadi saksi kepolisian dalam hal pemasukan illegal paha ayam (Chicken Leg Quarter/CLQ) 1995-2000 ikut berbagai kegiatan negosiator persyaratan teknis kesehatan hewan dan kesehatan masyarakat veteriner dan karantina hewan baik untuk ekspor dan impor hewan dan produk hewan dari berbagai Negara EU (ekspor daging unggas, impor daging sapi Irlandia), USA, Australia, Afrika Selatan dan beberapa Negara lain (impor burung onta), China, Jepang (daging unggas), lingkup ASEAN dan Amerika Latin seperti Argentina, Venezuela, Brazil dan Mexico terutama kulit 2006-2008 ikut aktif dalam penyusunan Standar Nasional Indonesia terkait ternak, produk hewan dan pengujian serta peraturan perundangan (Permentan) bidang pengawasan dan pengujian keamanan dan mutu produk hewan beserta SNI laboratorium kesmavet. 2000-2012 ikut berperan aktif dalam berbagai negosiator aspek hambatan teknis SPS dan TBT dari berbagai Negara anggota WTO yang berkepentingan dengan pasar Indonesia maupun mendampingi untuk keperluan ekspor produk hewan 2002-2003 ikut dalam Tim Penanggulangan Pemasukan Hewan dan Produk Hewan illegal, Deptan bekerjasama dengan aparat penegak hukum dan Badan Intelijen Negara RI yang dikoordinator Ditjen P2HP, Deptan. 2002-2014 menjadi Tim Penillai Medik Veteriner Tingkat Pusat. 2009 ikut aktif memberikan masukan rancangan pemerintah pada DIM RUU tentang Peterrnakan dan Kesehatan Hewan 2012 mengundurkan diri dari jabatan struktural ke jabatan fungsional medik veteriner di Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner dan Pascapanen. 1990-2012 ikut berperan aktif sebagai auditor aspek kesehatan, keamanan dan kehalalan Produk Hewan dan bahan biologic di di dalam negeri maupun di berbagai Negara: USA, Australia, New Zealand, Irlandia, Thailand, Malaysia. 2012-2013 aktif pembahasan Standar Kerja Kompetensi Nasional Indonesia bidang Paramedik dan Medik Veteriner.

2010-2014 ikut aktif dalam pembahasan berbagai RUU maupun Permentan bidang Peternakan dan Kesehatan Hewan, Pangan, serta Permendag tentang impor dan ekspor hewan dan produk hewan. 2011-2012 berperan aktif negosiator masalah SPS dengan Negara Argentian, Brazil, USA, EU, Australia, New Zealand. Pengalamanan pendidikan dan pelatihan yang langsung terkait profesi veteriner sebagai berikut: Dalam negeri: 1. Surveilans Epidemiologi, Depkes RI 2. Pengamat Wabah Penyakit Hewan Menular 3. Pengenalan Butchering, MLA, Australia 4. Analisis Risiko, OIE 5. Emergency Prepradness Outbreak of Animal Diseases, DPIF, MAFF, Australia, di Jakarta. 6. Reproduksi dan Kesehatan Ternak 7. Auditor HACCP disponsori USDA 8. Regulasi dan implemetasi SPS-WTO disponsori OIE dan WTO di Jakarta 9. Pelatihan Auditor, NATA, Australia di Jakarta, 2012 10. Penyegaran Auditor, NATA, Australia di Bandung, 2014 -

Luar Negeri: 1. Meningkatkan Kemampuan Manajemen Kesehatan Hewan,di Germany 2. Risk Analysis, SPS-WTO, Bangkok, Thailand 3. Studi komparatif pengujian residu kimiawi dan cemaran mikroba, di Malaysia 4. Pengujian Teknis Residu Kimiawi, di Univ Kedokteran Hewan, Nantes, Perancis. 5. Keamanan produk peternakan, Korea Selatan, 2012

Tanda jasa yang diperoleh: 1. Tanda Kehormatan Satyalencana Karya Syatia, 10 tahun dari Presiden RI: BJ Habibie. 2. Tanda Kehormatan Satyalencana Karya Syatia, 20 tahun dari Presiden RI: Bambang Susilo Yudhoyono Berbagai kegiatan jenis seminar dan narasumber di bidang peternakan, kesehatan hewan, kesehatan masyarakat veteriner dan karantina hewan baik di dalam negeri maupun di luar negeri yang pernah diikuti penulis yang tidak bisa disebutkan disini. Semoga dengan adanya tulisan ini dapat bermanfaat bagi para juru pemeriksa ternak potong dan daging, sebagai bahan pengetahuan, pengajaran dan pelatihan ketrampilan, serta bahan uji kompentensi standar kerja Nasional Indonesia.

Bahan-Bahan Pustaka: 1. Anonimous, FSIS PHIS Directive., USDA, Antemortem Livestock Inspection, 2011. 2. Anonimous, Meat and Meat Products, Codex Alimentarius Volume Ten. Joint FAO/WHO. Food Standard. Codex Alimentarius Commission, 1993. 3. Anonimous, Poultry Meat and Poultry Products Inspection, VPH Division. Department of Livestock Development. Ministry of Agriculture, Thailand. 1992. 4. AA Ressang, Patologi Chusus Veteriner, 1963 5. Anonimous, Specimen Veteriner. Bullletin Epidemiologi Veteriner. Direktorat Kesehatan Hewan. No.45-III/1985. 6. Anonimous, Manual Standard for Diagnostic Test and Vaccine, OIE. 1992 7. Anonimous, International Seminar of Animal Health and Production Services For Village Livestock. Proceeding. Kon Kaen. Thailand.1989. 8. Anonimous, Meat Safety Quality Assurance System.- MSQA. For Fresh Meat, Second Edition. AQIS, Canberra. Australia. 1990. 9. Howard D Dunne and Allen D Lenea. Diseases of Swine. Fourth Edition. The Iowa State Univercity Press. Ames, Iowa, USA, 1978 10. JAAM Buijttel, RBM Huirnee, AA Dijkhuizen, JA Renkema and JPTM. Noordhuizen. Basic Framework for the Economic Evaluation of Animal Heaalth Control Programmes. Rev.Sci.tech. Off. Int Epiz.,Vol.15, No.3, Sept.1996 11. Michael J Palazo, Jr and E Os Chan. Basic of Microbilogy. Mc Graw-Hill Book Company, 1986. 12. Mozes R. Toelihere. Ilmu Kebidanan pada Terank Sapi dan Kerbau. UI Press. 1985. 13. Neil V Anderson. Veterinary Gastro Enterology. Lea Febriger. Philadelphia, USA.1980 14. Otto H Siegmund, cs, A Hand book of Diagnosis and Therapy for Veterinarian. The Merck Veterinary Manual, 1979. 15. RA Lawrie. Meat Science. Univercity of Nothingham, Cambridge. Pergamon Press. London.1968. 16. Robert Lehane. Beating The Odds. In Big Country. The Eradication of Bovine Brucellosis and Tuberculosis, Australia, 1996 17. SC Hataway, Risk Analysis and Meat Hygiene. Revue Scientifique Et Technique. Vol.12 No.16. OIE.1993 18. Soewarno T. Soekarto. Dasar-Dasar Pengawas dan Standardisasi Mutu Pangan. Ditjen Dikti. Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, IPB, Bogor.1990

Related Documents


More Documents from "afan"