Ekologi Pantai Berpasir

  • Uploaded by: Rumagia
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Ekologi Pantai Berpasir as PDF for free.

More details

  • Words: 10,879
  • Pages: 57
Loading documents preview...
Tugas Individu Mt. Kuliah : Ekologi Sistem & Konservasi Sumberdaya Pesisir dan Laut Lanjutan Program S3 Dosen : Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M.Sc

EKOLOGI PANTAI BERPASIR

FAIZAL RUMAGIA C262140011

MAYOR ILMU PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUTAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2015

EKOLOGI PANTAI BERPASIR 1.

Pendahuluan Pantai-pantai berpasir di tepi laut merupakan lingkungan yang dinamis yang

membentuk dua per tiga dari garis pantai dunia. Pada wilayah ini terjadi pertemuan antara laut dan darat, serta gelombang, pasang surut dan angin yang beradu dan saling melepaskan energinya untuk mentransportasikan pasir. Perubahan pengadukan dan bagian dari lingkungan pantai menambah daya tarik dari panorama dan keindahan pantai, sedangkan kesederhanaan relatifnya menyediakan lokasi ideal bagi kegiatan penelitian. Kondisi ini seharusnya menarik perhatian mahasiswa dalam bidang ekologi. Akan tetapi, penelitian tentang aspek biologi dari pantai berpasir sangat ketinggalan dibandingkan dengan penelitian pada pantai berbatu dan ekosistem pesisir lainnya (Fairweather 1990). Pesisir pantai penuh dengan berbagai kehidupan, baik mikroskopik dan makroskopik. Spektrum kehidupan di dalam pasir meliputi, kerang-kerangan (moluska dan gastropoda), cacing, krustasea kecil (sand hoppers), kepiting, kutu air (sea lice), dolar pasir (sand dollars), dan rumah bagi hewan-hewan kecil, juga untuk protozoa, tumbuhan mikroskopik, dan bakteri. Organisme lainnya juga dijumpai pada daerah intertidal pantai, dimana sejumlah spesies bergerak di permukaan pantai daerah hempasan gelombang pada wilayah pasang surut, dan organisme lainnya akan masuk ke dalam pantai dari gumuk pasir (dunes) pada saat terjadi surut. Seluruh komponen tersebut berinteraksi pada sebuah jaringan trofik untuk membentuk ekosistem terbuka dari pantai berpasir, yang menukar material antara laut dan darat. Secara bertahap, kita menyadari bahwa pantai berpasir bukan merupakan padang pasir di laut, tetapi merupakan ekosistem yang menarik dan terkadang produktif. 2.

Karakteristik Fisik Lingkungan Pantai Berpasir Pantai berpasir merupakan lingkungan yang dinamis dimana struktur fisik dati

habitat laut ditentukan oleh interaksi antara pasir, gelombang, dan pasang surut. Pantai berpasir membentuk salah satu tipe garis pantai yang memiliki resiliansi yang tinggi karena kemampuanya untuk menyerap energi gelombang. Energi gelombang akan meningkatkan pergerakan massa air pada daerah hempasan, yang membawa pasir dari laut pada saat terjadinya badai dan akan kembali ke laut pada musim tenang. Karakteristik pantai dibentuk oleh transport pasir oleh gelombang dan transport oleh angin pada daerah di belakang pantai dan gumuk pasir. Kebanyakan pantai berpasir terbentuk dari gumuk

1

pasir dan interaksinya karena proses sedimentasi akibat suplay atau penerimaan pasir. Transport sedimen tersebut terjadi pada daerah pecah gelombang (surf zone) akibat aktifitas gelombang dan pada gumuk pasir akibat pengaruh angin. Pada kebanyakan pantai, transport sepanjang pantai akan menghasilkan pasir dalam jumlah yang besar. Sehingga pantai berpasir menjadi sebuah lingkungan yang dinamis dimana sering mengakibatkan terjadinya pergerakan pasir dan gelombang. 2.1. Pasir 2.1.1. Karakteristik Pasir Pasir umumnya berasal dari erosi daratan dan ditransportasikan ke laut melalui sungai. Pantai juga menerima pasir dari sumber biogenik dari laut, seperti kerangka hewan, dan dari erosi tebing-tebing di laut. Dua bentuk utama dari marial pasir pantai adalah pasir kuarsa dari daratan dan pasir karbon dari laut. Pasir kuarsa memeliki kepadatan yang lebih rendah (2,66 g.cm-3) dari pasir karbon (2,72 hingga 2,95 g.cm-3 untuk kalsit dan aragonit), sedangkan partikel kuarsa cenderung lebih bulat. Terpisah dari kepadatannya, partikel kalsium karbonat lebih lambat proses tenggelamnya di dalam air akibat dari bentuknya yang tidak beraturan. Material lain yang membentuk pasir pantai dapat berupa mineral berat, batuan basal (batuan vulkanik), dan umumnya material campuran seperti aluminium silikat,potassium, sodium atau kalsium. Bagian terpenting dari partikel pasir adalah ukurannya. Ukuran partikel umumnya diklasifikasikan berdasarkan berdasarkan skala Wentworth, dalam satua phi, dimana φ = -log2 diameter (mm). Klasifikasi pasir ditunjukkan dalam Tabel 1 di bawah ini. Tabel 1. Skala ukuran Wenrworth untuk sedimen. Nama Umum Kerikil (gravel)

Pasir (sand)

Lumpur (mud)

Boulder (bongkahan) Cobble (berangkal) Pebble (kerakal) Granule (butiran) Very coarse (sangat kasar) Coarse (kasar) Medium (sedang) Fine (halus) Very fine (sangat halus) Silt (lanau) Clay (lempung)

Range ukuran skala Wentworth (ϕ) < -8 -6 – -8 -2 – -6 -1 – -2 0 – -1 1–0 2–1 3–2 4–3 8–4 >8

Diamener partikel (mm) > 256 64 – 256 4 – 64 2–4 1.0 – 2.0 0.50 – 1.0 0.25 – 0.50 0.125 – 0.25 0.0625 – 0.125 0.0039 – 0.0625 < 0.0039

Sumber: McLachlan and Brown 2006

2

2.1.2. Porositas dan Permeabilitas (Kemampuan Menyerap) Pasir Porositas adalah volume dari ruang kosong dalam pasir, umumnya digambarkan sebagai persentasi dari total volume pasir. Sehingga, porositas dari sedimen adalah volume air yang dibutuhkan untuk memenuhi berat dari pasir kering. Satuannya dapat dinyatakan dalam volume atau berdasarkan massanya. Bagi kebanyakan pasir, porositasnya berkisar antara 30 hingga 40% dari volume total, atau 20 hingga 25% dari massa total pasir basah. Umumnya, semakin halus pasir maka semakin besar porositasnya, walaupun semakin berkurangnya ukurun pori sebuah butiran. Penelitian yang dilakukan oleh Crisp dan Williams (1971) menunjukkan bahwa diameter rata-rata dari pori-pori pasir adalah 30 sampai 40% dari diameter partikel pasir, dan 15 sampai 20% pada pasir yang mengandung kerikil (gravel). Porositas umumnya diukur secara grafimetri melalui penentuan besarnya massa air yang hilang. Porositas sangatlah penting dalam menentukan kapasitas kelembaban pasir. Permeabilitas adalah tingkat dari aliran atau penyaluran air yang melalui pasir. Pasir halus memiliki kemampuan yang tinggi dalam menahan air jika dibandingkan dengan pasir kasar, tetapi memilki permeabilitas yang rendah akibar kecilnya ukuran pori-pori yang dimilikinya. Permeabilitas sangatlah penting dalam menentukan jumlah pembilasan dan besarnya aliran air yang dilami oleh pasir. Permeabilitas dapat diukur dengan cara mengalirkan sejumlah massa air pada pasir dengan kedalaman tertentu kemudian dicatat lamanya waktu yang diperlukan oleh air tersebut untuk mencapai kedalaman pasir yang diinginkan. 2.1.3. Penetrabilitas (Daya Tembus) Pasir Penetrabilitas (daya tembus) pasir berkaitan dengan ukuran partikel dan porositas, tetapi juga sangat tergantung pada faktor lainnya. Penetrabilitas akan menjadi penting bagi makrofauna pantai berpasir, karena semua spesies harus mampu untuk menggali pada substrat tersebut. Proporsi dari pasir lempung dan lanau, serta kadar air dalam pasir, memainkan peran penting dalam menentukan penetrabililas, serta ketahanan pasir terhadap erosi. Pada pasir yang banyak mengandung air, kemudahan penetrabilitas juga sangat tergantung pada besarnya penetrasi yang terjadi, dimana tekanan yang tiba-tiba akan mengakibatkan pengentalan/pemadatan cairan (dilatancy) dan meningkatkan resistensi, sedangkan tekanan yang lemah akan meningkatkan thixotropy (cairan menjadi encer) dan menurunkan resistensi.

3

2.2. Gelombang Pembahasan tentang pantai berpasir pada bagian ini lebih terkait pada gravitasi gelombang permukaan, walaupun gelombang internal dan pasang juga merupakan hal yang penting dan berpengaruh pada kondisi fisik pantai berpasir. Gravatis gelombang permukaan dan arus sekunder yang dihasilkannya merupakan proses yang menginduksi proses-proses yang terjadi pada perairan pantai yang terbuka. Gelombang dihasilkan oleh tekanan angin pada permukaan air, melalui friksi antara udara dan air yang menyebabkan tarikan pada permukaan air yang membentuk permukaan seperti membran elastis. Distribusi oleh angin tersebut dan restorasi oleh tekanan permukaan mengakibatkan terbentuknya gelombang. Jika angin mejadi lebih kuat dan gelombang terbentuk, grafitasi akan menggantikan tekanan permukaan sebagai bentuk perubahan kekuatan dan gelombang akan bergerak sebelum pergerakan angin. Dengan begitu gelombang mentransfer energi dari angin di laut ke daerah pesisir. Bentuk dasar dari gelombang ditunjukkan dalam Gambar 2.1. Panjang gelombang (L) adalah jarak horizontal antara puncak-puncak gelombang, dan tinggi gelombang (H) adalah tinggi vertikal gelombang dari dasar hingga puncak gelombang. Waktu yang dibutuhkan bagi rangkaian puncak gelombang untuk melewati satu titik yang sama merupakan periode gelombang (T). Kecuraman gelombang adalah H/L, dan kecepatan gelombang, C = L/T. Tinggi dan periode dari gelombang berkaitan dengan kekuatan, waktu, dan fetch dari angin yang dihasilkan. Semakin kuat angin, semakin lama hembusannya, dan semakin besar fetch (jarak perjalanan tempuh gelombang dari awal pembangkitannya) semakin besar L dan T.

Gambar 2.1. Gambaran pergerakan gelombang.

4

Untuk gelombang dengan fetch pedek, tinggi gelombang akan meningkat secara langsung sebagai fungsi dari kecepatan angin, tetapi untuk gelombang dengan fetch yang panjang, tinggi gelombangnya menjadi rendah. Kecuraman gelombang dan bergolaknya laut terjadi ketika angin bertiup kencang. Partikel air dalam gelombang akan bergerak dalam lintasan melingkar, dan kembali keposisinya yang semula setelah satu siklus putaran (panjang gelombang) terlewati. Kecepatan dan radius lingkaran semakin berkurang sejalan dengan kedalam yang ditempuh (Gambar 2.2) hingga partikel tidak lagi membentuk sebuah putaran tetapi bergerak maju-mundur secara horizontal. Pada setengah kedalaman dari panjang gelombang, pergerakan melingkar menjadi hilang. Sehingga jika kedalaman air kurang dari L/2, gelombang akan menyentuh bagian dasar dan mulai mengalami perubahan.

Gambar 2.2. Pergerakan partikel pada gelombang dalam dan dangkal. 2.2.1. Tipe Gelombang Gelombang yang tidak menyentuh dasar perairan disebut gelombang laut dalam, dan kecepatannya adalah sebesar C = 1.56 Tm.s-1. Sehingga kecepatannya ditentukan oleh periode gelombangnya, dimana pergerakan periode gelombang yang panjang menentukan kecepatannya. Untuk jenis gelombang tersebut, kecepatannya adalah seperdua dari kecepatan gelombang, karena gelombang yang didepan dari rangkaian gelombang akan berkurang kecepatannya dan gelombang baru akan terbentuk dibelakangnya. Ketika kedalaman perairan antara 1/2L dan 1/20L, gelombang akan mengalami proses transisi dan pengaruh dasar perairan akan semakin signifikan. Pada kondisi ini, C ditentukan sebagian oleh T dan sebagian lagi oleh kedalaman perairan. Bagi kebanyakan 5

gelombang yang ditimbulkan oleh angin, kondisi ini terjadi pada periode 10 sampai 12 detik dan kedalaman kurang dari 100 m. Ketika kedalaman perairan kurang dari 1/20L, kecepatan gelombang dikontrol oleh kedalaman dan gelombangnya disebut sebagai gelombang perairan dangkal. Disini gelombang lebih pendek, curam, dan cepat pecah. Pada kondisi tersebut, C = √g∙d, dimana g = grafitasi = 9.1 m·s-1 dan d = kedalaman dalam m. Gerakan partikel membentuk gerakan elips yang lemah mendekati gerakan horizontal. Untuk tipe gelombang ini, kecepatan kelompok = C (kecepatan gelombang). 2.2.2. Energi Gelombang Gelombang mengandung dua bentuk energi: kinetik (energi dari gerakan partikel) dan potensial (pemindahan dari permukaan laut yang berkaitan dengan tinggi gelombang). Seiring dengan tinggi gelombang yang menentukan baik diameter orbital (energi kinetik) dan amplitodo (energi potensial), energi gelombang sebanding dengan kwadrat dari tinggi gelombang. 2.2.3. Refraksi (Perubahan Arah Gelombang) Gelombang yang mencapai dasar perairan akan mengalami perlambatan. Perubahan kecepatan tersebut pada satu bagian gelombang akan mengakibatkan perubahan arah gelombang. Refraksi (perubahan arah gelombang) ini terjadi ketika gelombang mendekati pantai cenderung searah dengan kontur garis pantai. Perubahan ini juga cenderung memfokuskan energi gelombang pada daerah semenanjung dan berkurang di daerah teluk (Gambar 2.3). Konvergensi (penguncupan) energi gelombang juga terjadi pada daerah yang terangkat dari dasar perairan, seperti pada terumbu atau penghalang. Konvergensi ini sebagian besar terlihat di daerah semenanjung pada saat terjadinya badai.

Gambar 2.3. Pembelokan gelombang yang mendekati garis pantai yang disebabkan oleh kedalaman perairan disekitar tebing pantai, dan perairan dangkal di semenanjung. 6

2.2.4. Gelombang Dangkal dan Gelombang Pecah Ketika kedalaman berkurang, kecepatan menjadi lambat. T (periode gelombang) menjadi terbatas, mengakibatkan L (panjang gelombang) menjadi berkurang dan pendek. Ketika gelombang memasuki perairan dangkal, puncak gelombang menjadi lebih terbentuk. Rasio H/L meningkat hingga gelombangnya pecah, dimana H/L = 1/7 dan kedalaman perairan = 1.3 H. H merupakan tinggi pemecahan, yang umumnya lebih besar dari tinggi gelombang pada laut dalam. Gelombang pecah terjadi dalam dua bentuk utama (Gambar 2.4).  Plunging. Kecepatan gelombang berkurang ketika memasuki perairan dangkal, sementara kecepatan orbital dari partikel meningkat ketika gelombang curam, hingga pada satu titik dimana kecepatan orbital mencapai maksimal melebihi kecepatan gelombang. Partikel air dibawah puncak gelombang bergerak lebih cepat dari puncak gelombang itu sendiri. Puncak gelombang sendiri akan menggantung pada gelombang seperti semburan air.  Spilling. Akselerasi vertikal maksimum dalam pergerakan gelombang akan meningkat hingga melebihi kecepatan akselerasi grafitasi kedepan. Partikel air kemudian menghambur keluar dari permukaan gelombang, membentuk gelombang pecah spilling. Tipe gelombang pecah ditentukan oleh dua faktor: kemiringan gelombang laut lepas (H/L) dan kelandaian pantai. Gelombang pecah tipe spilling terjadi ketika kecuraman gelombang mencapai pantai yang landai, sementara tipe plunging akan terjadi di setiap pantai yang landau dengan kecuraman gelombang yang rendah. Bentuk ketiga dari gelombang pecah adalah gelombang pecah tipe surging (dengan kecuraman gelombang yang sangat rendah dan pada pantai yang curam). Gelombang ini tidak pecah tetapi menderu kearah pantai dan sebagian dibalikkan kembali ke laut. Fakta nyata menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan transisi yang nyata dari tipe-tipe gelombang pecah tersebut, pada saat mereka saling mendahului. Gelombang dapat saja pecah ketika kedalaman perairan mencapai 2 H (gelombang spilling) dan 0,8 H (plungin).

7

Gambar 2.4. Dua tipe utama dari gelombang pecah. 2.3. Transport/Perpindahan Pasir Pergerakan massa air menghasilkan gesekan di dasar perairan. Hal ini dapat mengakibat perpindahan pasir dari dasar perairan ke dalam badan air, sehingga pasir tersebut dapat dipindahkan. Butiran pasir kasar akan berada pada lokasi hempasan, dan pasir umumnya menjadi lebih halus di kearah pantai tergantung pada kecepatan arusnya. Pasir dapat ditransportasikan dalam dua bentuk: sebagai muatan dasar dan sebagai muatan tersuspensi. Muatan tersuspensi merupakan bagian dari transport dalam kolom air di atas permukaan dasar perairan. Aliran osilasi pada riak gelombang mengakibatkan terbentuknya eddies (pengadukan/pusaran) pada bagian yang tenang, yang kemudian pecah ketika aliran tersebut dibalik (dan material dikeluarkan melalui puncak-puncak riak). Gaya grafitasi menarik partikel-partikel ke bawah, sedangkan turbulensi membawanya ke atas. Kesetimbangan tercapai dengan profil kesetimbangan material yang tersuspensi pada berbagai tingkatan dalam air. Sedimen dapat juga tersuspensi oleh helombang pecah tipe plunging. Muatan dasar perairan dinyatakan sebagai bagian dari

8

volume total material yang bergerak dekat dengan dasar perairan dan tidak melebihi besarnya riak air. Material kuarsa umumnya terbawa sebagai material dasar perairan. Transport ini dapat terjadi sepanjang pantai, demikian juga pada daerah lepas pantai. Pada saat terjadi badai gelombang tinggi, sejumlah besar sedimen dapat terangkut ke sepanjang pantai – umumnya pada bagian luar dari zona hempasan, dimana turbulensinya tinggi. Transport menyusur pantai (longshore) merupakan salah satu proses penting yang terjadi pada pantai yang terbuka dan menjadi perhatian bagi pengelola wilayah pesisir. Transport pasir menyusur pantai pada pantai yang terbuka capat mencapai 100,000 m3 per tahun, dan penghambatannya menggunakan bangunan pantai dapat berakibat pada deposisi dan erosi dengan jumlah yang besar. 2.4. Interaksi Diantara Kelandaian Pantai, Gelombang, Pasang Surut, dan Pasir Kelandaian muka pantai tergantung pada interaksi antara proses limpasan (swash) dan proses baliknya (backswash). Limpasan yang mencapai pantai akan membawa pasir bersamanya dan cenderung menyebabkan bertambahnya muka pantai dan kelerenganya. Backswash memberikan pengaruh sebaliknya. Jika pasir terdiri dari material kasar, seperti kerakal, swash cenderung mengering pada muka pantai, sehingga menghilangkan backswash. Pasir atau kerakal kemudian terbawa ke atas pantai tetapi tidak kembali lagi ke laut, dan menghasilkan lereng pada muka pantai. Disisi lain, pantai berpasir halus tetap menampung air karena permeabilitasnya yang rendah, sehingga setiap swash akan diikuti oleh backswash yang penuh, yang mendatarkan pantai melalui pemindahan pasir tersuspensi oleh limpasan airnya. Jadi, semakin kasar pasir maka semakin curam muka pantai yang terbentuk akibat proses gelombang. Jika partikel pasir tetap konstan dan tinggi gelombang terus meningkat, maka pantainya akan menjadi datar. Hal ini terjadi karena gelombang yang besar akan menghasilkan limpasan yang besar, yang menyebabkan semakin besarnya masukan air pada pasir dan erosi yang tinggi pada proses limpasan baliknya (backswash). Oleh karenya kemiringan pantai tidak selalu merupakan fungsi dari ukuran partikel. Keterkaitan yang penting antara kemiringan pantai, ukuran partikel pasir, dan pengaruh geombang diilustrasikan dalam Gambar 2.5.

9

Gambar 2.5. Hubungan umum diantara ukuran partikel pasir, keterbukaan terhadap pengaruh gelombang, dan kemiringan muka pantai. Pasang surut juga mempengaruhi kemiringan pantai, dengan proses yang sama akibat pengaruh gelombang (misalnya, pantai menjadi lebih lebar dan datar ketika jarak pasut meningkat). Badai umumnya memindahkan pasir dari pantai dan memperbesar zona pecah gelombang, sementara kondisi tenang memberikan pengaruh sebaliknya. 2.5. Indeks Pantai Berbagai indeks telah digunakan untuk mengkarakteristikan tipe pantai. Indeks yang sering digunakan adalah sebagai berikut: 

DFV (Ω)

= Hb·100/W·T



RTR

= tide/Hb



BI

= log10 (sand·tide/slope)



Slope*

= 1/beach face slope

Dimana DFV adalah dimensi kecepatan jatuh, Hb adalah tinggi signifikan pecahan (m), W adalah kecepatan jatuh pasir (cm·s-1), T adalah periode gelombang (s), RTR adalah relative tide range (jarak relatif pasang), tide (pasang) adalah jarak maksimum pasang semi (m), BI adalah beach index (indeks pantai), slope adalah kemiringan muka pantai, dan sand (pasir) adalah ukuran rata-rata partikel pasir dalam satuan phi + 1. Seluruh indeks bersifat dimensional (terukur) kecuali untuk BI (log phi·m). DFV (Ω) didasarkan pada pengukuran potensi transport pasir dan energi gelombang, dan merupakan indeks dari kemampuan gelombang untuk memindahkan pasir. Nilai yang tinggi (> 5) menunjukkan besarnya erosi dari pantai oleh gelombang dan

10

karenya pantai menjadi datar (disipasi). Sebaliknya, nilai yang rendah (< 2) mengindikasikan terbatasnya kemampuan dari gelombang untuk mengerosi pantai, sehingga akeresional (lebih curam). RTR merupakan pengukuran dari relatifitas penting dari gelombang dan pasang dalam mempengaruhi morfologi pantai. Nilai yang rendah (< 3) mengindikasikan pantai yang didominasi oleh gelombang, nilai antara 3 hingga 12 mengindikasikan pantai termodifikasi oleh pasang, dan nilai > 12 menunjukkan pantai yang didominasi oleh pasang dengan rataan pasir pada bagian depannya. BI menggabungkan nilai slope, pasir, dan pasang menjadi satu ukuran yang dapat mengkarakterisasi sebuah pantai, dan memudahkan para ekologis untuk membandingkan pantai dengan jarak pasang yang berbeda. Nilai berkisar antara 0 sampai 4, dari pantai berpasir kasar, bergelombang kecil, dan pasang yang rendah hingga pantai dengan pasir halus, dengan gelombang yang besar, dan pasang yang tinggi. Slope* adalah sebuah pengukuran sederhana terhadap integrasi pengaruh yang dihasilkan oleh pasir, pasang, dan gelombang, dan khusus digunakan ketika membandingkan subjek pantai dengan jarak pasut yang sama. Cara terbaik dalam menggambarkan slope adalah dengan melihat kebalikan dari slope muka pantai. Umumnya berkisar antara 5 dan 100 untuk pantai-pantai laut. 2.6. Tipe Pantai 2.6.1. Pantai Mikrotidal (Pantai didominasi gelombang) Enam tipe pantai mikrotidal utama (pantai didominasi gelombang) diilustrasikan dalam Gambar 2.6. Dua bentuk ekstrim dari sistem pantai ini adalah pantai disipasi (dissipative beach) dan pantai reflektif. Kondisi reflektif terjadi pada saat kondisi tenang dan/atau sedimennya kasar. Pada kondisi ini, seluruh sedimen berada pada bagian intertidal pantai dan bagian pantai yang tidak terendam kecuali terjadi badai (backshore). Tidak terdapat zona pecah gelombang dan zona limpasan gelombang yang terbentuk langsung pada wilayah muka pantai. Umumnya jarak pasang juga rendah. Muka pantai ditandai oleh sebuah area yang lebih rendah dari bagian pantai (dimana gelombang yang datang dan limpasan baliknya terbentuk dan memasukkan sedimen) dan oleh sebuah tanggul (atau platform) di atas slope intertidal. Energi gelombang akan dipantulkan pada bagian muka pantai.

11

Gambar 2.6. Tipe pantai mikrotidal, mulai dari kondisi reflektif (kanan bawah) hingga kondisi dissipative (kiri atas), dengan empat bagian transisi yang dicirikan oleh garis yang bergerak semakin jauh ke arah laut lepas melalui keadaan dissipatifnya (Short and Wright 1983 dalam McLachlan and Brown 2006). Pantai disipasi umumnya terjadi ketika gelombang lebih dari 2 m dan pasir sangat halus dari 200 m, sementara pantai reflektif memiliki gelombang yang kurang dari 0.5 m dengan pasir kasar 400 m. Kondisi morfodinamik dari pantai mikrotidal dapat digambarkan dari nilai DFV. Karakteristik umum dari pantai mikrotidal ditampilkan dalam Tabel 2. Secara umum, semakin besar jarak pasang maka semakin datar pantainya, sejalan dengan meningkatnya jarak pasang akan memberikan input air yang lebih besar ke dalam pasir, dan mengakibatkan bagian pantai yang rendah lebih terendam dan mengalami erosi akibat dari backwash.

12

Tabel 2. Karakteristik umum dari tipe pantai yang berbeda.

2.6.2. Pengaruh Pasang Surut Keadaan pantai sangat dipengaruhi oleh kondisi mikrotidal. Meningkatnya jarak air pasang membuat pantai menjadi lebih kompleks (Gambar 2.7). Ketika RTR (relative tide range) < 3, ketiga tipe pantai mikrotidal terbentuk. Ke arah darat dari breaker zone, pantai didominasi oleh proses pecah gelombang (surf) dan pengadukan gelombang (swash). Ketika jarak air pasang meningkat, pengaruh proses dari pecah gelombang dan pengadukan gelombang mulai berkurang sedangkan pendangkalan gelombang (shoaling) menjadi lebih terbentuk. Zona pecah gelombang (surf zone) dibatasi pada batas air pasng tertinggi, dimana zona surf pada awalnya dibedakan dengan zona swash oleh zona intertidal, dan berada pada batas air pasang terendah. Dengan meningkatnya dominasi air pasang, gelombang dangkal lebih berperan dibandingkan gelombang pecah, dan mengontrol morfologi wilayah intertidal dan subtidal. Kondisi ini memperhalus bentuk intertidal pantai. Jika RTR antara 3 dan 12, ketiga tipe pantai dapat dikenali, disebut: tipe refleksi dengan teras pasang rendah/reflective type with a low-tide terrace (RLT), lowtide bar and rip type (LBR), dan ultradissipative (UD) type. Ketika RTR mencapai 12, pantai sepenuhnya didominasi air pasang dan mereduksi energi gelombang. Secara keseluruhan, pengaruh dari meningkatnya air pasang adalah meningkatkan dominasi dari gelombang dangkal, terutama pada zona pecah gelombang (surf zone) yang besar, sehingga membuat gelombang dangkal semakin dekat pada zona pasang tertinggi.

13

Gambar 2.7. Model konseptual penutupan pantai dari seluruh jarak air pasang, didasarkan pada dimensionless fall velocity (Ω) dan relative tide range (RTR). Gambar 2.8 menggambarkan tingkatan lingkungan dari pantai macro- dan microtidal, yang menunjukkan batasan area konvergen dari gelombang pendek dan pasang rendah. Jadi, tipe pantai yang didominasi pasang surut dapat terjadi pada wilayah dengan pasang terendah jika gelombangannya cukup rendah. Perubahan kecil pada tinggi gelombang dan jarak pasut dapat berpengaruh pada morfologi pantai pada lingkungan pantai yang bergelombang rendah, seperti pada daerah estuari. Perubahan gelombang akibat gelombang pecah, dapat mengarah pada perubahan spasial pantai dan/atau morfologi rataan pasang surut secara terus menerus. Jarak pasang surut relatif sangat penting dalam menentukan tipe pantai. Pada saat RTR rendah, zona surf (didominasi oleh pecah gelombang) sebagian besar mengontrol morfologi pantai. Akan tetapi, pada saat RTR meningkat maka zona tersebut akan didominasi oleh gelombang panjang (shoaling waves) yang menentukan morfologi pantai dan daerah intertidal.

14

Gambar 2.8. Lokasi tipe pantai yang ditunjukkan dalam Gambar 2.7 berdasarkan jarak pasang surut dan tinggi pecahan, dalam kasus periode gelombang (T) sebesar 8 detik dan kecepatan pecah gelombang (Ws) sebesar 0,04 m/detik (Short 1996 diacu dalam McLachlan and Brown 2006). Batasan area ditandai dengan garis putus-putus, dimana posisinya akan meningkat sejalan dengan perubahan T dan Ws. Pada area dengan gelombang dan pasang surut rendah, perubahan kecil pada jarang pasang surut dan/atau tinggi gelombang akan menghasilkan perubahan besar pada tipe pantai. 2.7. Sirkulasi Sel dan Percampuran Interaksi antara gravitasi permukaan gelombang yang bergerak menuju ke pantai dengan gelombang tepi yang bergerak sepanjang pantai menghasilkan zona pertukaran arus

dengan

gelombang

tinggi

dan

redah

yang

menentukan

posisi

dari

perputaran/pembelokan arus (rip current). Bentuk klasik yang dihasilkan dari proses ini adalah pusaran arus (eddy) horizontal yang dikenal dengan istilah sirkulasi sel dekat pantai (nearshore circulation cell) (Gambar 2.9). Sistem sirkulasi ini menghasilkan pergantian yang terus-menerus antara zona surf dan peraran lepas pantai, dan berlaku sebagai mekanisme dispersi. Batas terluar dari sel berkisar dua kali dari lebar pada zona surf. Sel-sel tersebut akan simetris ketika gelombang mendekati pantai dalam keadaan normal, dan tidak simetris ketika gelombang yang mendekat menjadi lebih curam. Kebanyakan air yang dibawa ke arah lepas pantai oleh perputaran arus akan tersirkulasi kembali dengan pecahan gelombang, sehingga percampuran (mixing) antara sel-sel yang

15

ditambahkan akan lebih besar dari pada percampuran atau pertukaran antara zona surf dan perairan lepas pantai pada batas terluar dari bagian depan perputaran arus.

Gambar 2.9. Sirkulasi dekat pantai dengan transportasi massa oleh gelombang pecah yang mengakibatkan terbentuknya arus menyusur pantai (longshore current) hingga rip current. Pelepasan arus di luar zona pecah gelombang menghasilkan sirkulasi sel pada pecah gelombang yang dibedakan dalam bentuk gelombang normal dan gelombang curam. Jika terjadi variasi sepanjang pantai pada tinggi gelombang, perairan di dalam zona pecah gelombang cenderung mengalir ke arah perairan yang lebih rendah. Rip current akan terbentuk, ketika tinggi gelombang yang rendah terbentuk dan gelombang yang tinggi mulai mengalir kedalamnya. Ketika gelombang mendekati curam, rip current akan meningkat pada sistem arus menyusur pantai (longshore current system). 2.8. Pembentukan oleh Teluk (Embayment) dan Tanjung (Headlands) Tanjung, bebatuan, dan struktur lainnya mempengaruhi pantai dan zona surf melalui pengaruhnya terhadap refraksi dan atenuasi gelombang, dan melalui pembatasan terbentuknya arus menyusur pantai (longshore current), rip, dan arus pembentuk rip. Pada saat tinggi gelombang meningkat dan garis pantai menjadi berkurang, ambang batas akan tercapai dimana model pantai akan termodifikasi secara cepat. Pada pantai yang tidak bertanjung, sirkulasi normal pada zona surf akan berlaku. Ketika terdapat tanjung, maka pantai akan menerima gelombang yang sedikit, dan pantainya menjadi transisional, dimana tanjung akan mempengaruhi sirkulasi zona surf secara lokal. Pada saat tinggi gelombang meningkat dan/atau dekat dengan daerah tanjung, seluruh sirkulasi pantai

16

kemungkinan akan terpengaruh. Pada tahapan ini, kondisi topografi akan mempengaruhi sirkulasi, termasuk megarip pada saat kondisi gelombang besar (Short 1996 diacu dalam McLachlan and Brown 2006). Sirkulasi normal terjadi ketika pantai cukup panjang dan tidak terpengaruh oleh tanjung. Sirkulasi transisional terjadi ketika ukuran dan bentuk embayment mulai mengalami peningkatan dan mempengaruhi sirkulasi pada zona surf, dimulai dengan pembelokan arus menyusur pantai dan mengalir ke laut berlawanan arah dengan setiap tanjung, tetapi tetap mempertahankan beberapa proses sirkulasi pantai yang berjauhan dengan daerah tanjung. Sirkulasi selular terjadi ketika daerah tanjung mengontrol proses sirkulasi termasuk keseluruhan embayment. Aliran menyusur pantai mendominasi embayment, dengan topografi aliran arus kuat yang mengarah ke laut pada salah satu atau kedua bagian akhir dari embayment. Pada proses embayment yang lama, megarip juga dapat terbentuk jauh dari arah tanjung. Gambar 2.10 mengilistrasikan kombinasi antara dimensi embayment dan tinggi gelombang pecah yang menghasilkan sirkulasi transisional dan sirkulasi embayment, bersama dengan perkiraan jarak megarips. Embayment yang kecil (< 2 km) dapat berubah menjadi sirkulasi embayment ketika gelombang melebihi 3 m, tetapi embayment yang panjang (> 5 km) membutuhkan gelombang mencapai lebih dari 6 m untuk mencapai sirkulasi embayment dengan jarak rip sebesar 2 km. Embayment dan megarip juga berpengaruh terhadap erosi pantai dan sirkulasi zona surf yang mengarah ke laut. Sedangkan rip pantai normal umumnya mulai terdisipasi kearah laut pada zona pecahan, megarip dapat mengalir dengan kecepatan tinggi ( 2 – 3 m/det) hingga 1 km kearah laut dari zona pecah gelombang. Kondisi ini memiliki pengaruh yang penting bagi erosi pantai dam transport sedimen, nutrient, dan organisme kearah laut.

17

Gambar 2.10. Tinggi gelombang pecah diplotkan terhadap panjang garis pantai untuk mengindikasikan jarak dari model pantai normal, transisional, dan embayment (garis putus-putus), dan prediksi jarak megarip garis pantai (garis lurus dengan jarak dalam m) (Short 1996 diacu dalam McLachlan and Brown 2006). Megarip terbesar dihasilkan pada embayment yang lama oleh gelombang yang tinggi, sedangkan embayment yang kecil akan menjadi sirkulasi embayment pada gelombang yang relatif kecil. 2.9. Kondisi Pengadukan Gelombang (Swash Climate) Kondisi pengadukan gelombang (swash climate) sangat berkaitan erat dengan tipe pantai dan dapat diprediksi berdasarkan kelandaian muka pantai. Jejak pergerakan pengadukan selama lebih dari 15 menit pada tipe pantai refleksi, intermediate, dan disipasi ditunjukkan dalam Gambar 2.11. Berikut adalah beberapa istilah yang diberikan oleh para ilmuan ekologi tentang pengadukan gelombang yang terjadi pada muka pantai.  Panjang swash (swash length): merupakan jarak dari titik pecahnya gelombang pasang ke batas tertinggi dari zona swash pada muka pantai.  Periode swash (swash period): waktu rata-rata antara swash, yang dapat dibagi menjadi waktu upswash dan waktu backswash.  Kecepatan swash (swash speed): panjang swash dibagi dengan waktu upswash.  Effluent line crossing (perpotongan dengan aliran air tawar): berkaitan dengan pergerakan swash di atas muka air tanah yang muncul di tepi pantai.

18

Gambar 2.11. Profil swash selama lebih dari 8 menit pada tipe pantai refleksi, intermediate, dan disipasi. Jarak relatif terhadap batas air terendah. HT, MT, dan LT secara berurut merupakan pasang tinggi (high), sedang (mid), dan rendah (low). EL = effluent line. Pantai tipe refleksi yang curam memiliki swash yang singkat (periode pendek dan jarak yang pendek), sementara pada pantai tipe disipasi memiliki kondisi yang berlawanan (swash yang panjang pada periode yang lama). Perubahan kondisi swash pada tipe pantai disipasi membutuhkan periode yang lebih lama, dengan sedikit perpotongan dengan air tawar, sedikit turbulensi, dan variabel kecepatan swash yang lebih banyak (Gambar 2.12). Kondisi swash sangat berkaitan erat dengan kelandaian muka pantai. Secara keseluruhan, Gambar 2.12 dan Tabel 3 mengindikasikan bahwa kondisi swash akan semakin baik pada tipe pantai disipasi.

Gambar 2.12. Kondisi umum dari hubungan antara beberapa kondisi swash dan tipe pantai yang diindikasikan oleh kelandaian muka pantai. 19

Tabel 3. Karakteristik swash dari tipe pantai yang berbeda. Refleksi Intermediate Tipe Pantai  Kelandaian pantai Curam (steep) Moderat (moderate) Periode swash Pendek Intermediate Panjang swash Pendek Medium Kecepatan swash Cepat Cepat Effluent line Redah Intermediate Turbulensi Tinggi Intermediate

Disipasi Datar (flat) Panjang Panjang Bervariasi Tinggi Rendah

Sumber: McLachlan and Brown 2006.

2.10. Slope (Kelandaian/Kemiringan) Kelandaian/kemiringan muka pantai sangat berpengaruh terhadap berbagai aspek morfodinamik dari pantai berpasir. Kelandaian/kemiringan tersebut tidak hanya berpengaruh pada pembentukan tipe pantai dari refleksi hingga disipasi, tetapi juga berpengaruh pada tingkat kehalusan pasir, besarnya gelombang, dan besarnya pasang surut (Gambar 2.13) dan juga mengindikasikan kondisi swash. Kelandaian muka pantai umumnya berkisar dari 1/10 (5,7 derajat) untuk sistem refleksi yang landai hingga 1/100 (0,6 derajat) untuk pantai yang sangat disipasi. Nilai kelandaian yang lebih dari 1/10 umumnya ditandai dengan pasir sangat kasar (very coarse sand) atau kerikil (gravel), dan nilai yang lebih dari 1/100 mengindikasikan wilayah transisi dari rataan pasang surut.

Gambar 2.13. Pengaruh kelandaian muka pantai terhadap perubahan ukuran partikel pasir, tinggi pecahan gelombang, dan jarak pasang surut. Kemiringan diplot sebagai bagian dari kemiringan muka pantai. 2.11. Pengaruh Lintang Perubahan lintang dalam iklim mengakibatkan perubahan faktor fisik dari pantai berpasir. Perubahan yang paling signifikan adalah peningkatan pada energi gelombang dari daerah tropis ke area temperate yang dingin (Gambar 2.14), yang mengakibat perubahan pada tipe pantai. Wilayah tropis cenderung lebih memiliki pasir kalsium dari material bigenik laut, yang umumnya kasar dibandingkan pasir halus pada daerah

20

teresterial di pantai temperate. Akibat dari gelombang yang rendah dan pasir yang kasar, wilayah tropis cenderung memiliki banyak pantai yang bersifat refleksi, sedangkan wilayah temperate dengan gelombang yang besar dan pasir yang halus memilki lebih banyak pantai bertipe intermediate hingga disipasi.

Gambar 2.14. Distribusi global dari energi gelombang disepanjang garis pantai dunia.

21

3.

Lingkungan Interstisial Pasir pantai terdiri atas butiran sedimen dan jarak pori-pori diantara mereka, yang

kemudian membentuk sistem interstisial. Sistem ini sangat penting bagi habitat untuk organisme dan penyaringan air laut. Partikel sedimen yang membentuk sistem interstisial umumnya terbentuk dari beberapa sumber, sering kali disebabkan oleh proses geologi dari waktu ke waktu pada beberapa lingkungan pesisir. Berbagai faktor mengontrol dimensi wilayah interstisial. Bagian-bagian dari sedimen dan pasir yang dihasilkan sangat penting untuk mendefenisikan lingkungan interstisial, termasuk ukuran butiran, penyortiran, ukuran, bentuk, porositas, ukuran pori, permeabilitas, dan peluang thixotropy/dilatancy. 3.1. Karakteristik Sistem Interstisial 3.1.1. Ukuran Butiran (Grain Size) Ukuran butiran pasir umumnya digambarkan berdasarkan skala Wentworth. Skala logaritma phi dipilih oleh ahli sediment dan geologi karena kemudahannya dalam menghitung ukuran sedimen yang yang umumnya berukuran kurang dari 1 mm. pada sebagian besar pantai, mayoritas ukuran partikelnya berkisar antara 0,1 – 1.0 mm (dengan kata lain dari ukuran pasir halus hingga pasir kasar/kuarsa). 3.1.2. Mineralogi (Mineralogy) Sebagian besar butiran pasir pantai tebagi dalam dua kategori mineral: fragmen kuarsa (bersama dengan partikel lain yang berasal dari pelapukan batuan) dan fragmen kalsium karbonat yang berasal dari proses biogenik (proporsi fragmen kedua lebih banyak dijumpai pada wilayah tropis dan daerah lintang beriklim kering). Fragmen kuarsa terdapat pada batuan granit dan batuan beku lainnya, dan setelah terjadi pelapukan akan membentuk butiran yang umumnya berdiameter < 1 mm. Butiran kalsium karbonat umumnya lebih besar dan berbentuk dari partikel kuarsa. Seperti halnya kuarsa, sebagian besar partikel sedimen lainnya berasal dari silica tetrahedron dengan berbagai tambahan dan modifikasi (misalnya feldspars dan tanah liat). Pasir pantai biasanya merupakan campuran butiran lebih dari satu jenis mineral. 3.1.3. Penyortiran (Sorting) Pasir pantai tidak terdiri dari sedimen yang seragam pada ukuran yang sama. Sehingga, pengukuran kemampuan penyaringan dapat menunjukkan distribusi ukuran

22

butiran dari sebuah sampel. Pasir pantai, akibat adanya pensortiran yang kuat dari gelombang, cenderung tersortir dengan baik dengan skewness atau kurtosis yang kecil. 3.1.4. Bentuk Butiran (Grain Shape) Berkaitan dengan asalnya sebagai fragmen dari kristal, yang berubah menjadi kepingan material geologi, atau yang berasal dari proses biogenik, butiran pasir jarang berbentuk bulat. Secara umum, pasir kuarsa lebih cenderung berbentuk bulat dari pasir yang berasal dari kalsium karbonat, serta cenderung berada pada bagian pantai yang mengarah ke daratan (landward). 3.1.5. Porositas (Porosity) Rasio dari total volume kosong terhadap total volume sedimen (sistem interstisial) disebut sebagai porositas sedimen. Porositas sedimen tergantung pada tata letak butiran (pengepakan sedimen/sediment packing). Pengepakan dari sedimen berkaitan dengan penyortiran dan bentuk dari butiran pasir, dan kealamiahan dari pengendapan sedimen. Bagi pasir alami, volume porositas dapat berkisar 20 – 50%, dengan rata-rata 37% tersortasi baik untuk pasir pantai. Ketika mengukur porositas berdasarkan massa, porositas umumnya berada pada kisaran 15 – 25% dan harus dikonversi ke dalam volume menggunakan densitas air dan pasir (misalnya, kuarsa = 2,65) pada suhu yang tepat. Untuk pasir yang tergradasi, porositas massanya berkisar 16 – 25% dan volume berkisar 30 – 40%. 3.1.6. Ukuran Pori-pori (Pore Size) Untuk pasir pantai alami, rata-rata ukuran pori-porinya berkisar antara 0,2 – 0,4 dari rata-rata ukuran partikelnya, sehingga untuk pasir pantai dengan kategori fine dan medium akan berada pada kisaran 10 – 200 m.

Gambar 3.1. Kurva kumulatif dari kekosongan/pori-pori dan dimensi partikel pada pasir yang hampir seragam, dengan median diameter partikel sebesar 630 m dan median diameter pori sebesar 220 m.

23

3.1.7. Permeabilitas (Permeability) Konduktivitas hidrolik dari pasir pantai umumnya berkisar antara 10-2 – 10-6 m·s-1. Pasir kuarsa dengan kondisi well-sorted (tersortir baik) memilki permeabilitas yang tinggi, dan pasir dengan kondiri tersortir kurang baik memiliki permeabilitas yang rendah. Permeabilitas berkurang secara dramatis sejalan dengan bertambahnya pasir sangat halus, terutama pasir liat, karena kemampuannya untuk mengisi dan menghalangi ruang kosong dalam pasir. Permeabilitas juga tergantung pada kepadatan cairan yang dipengaruhi oleh suhu. 3.1.8. Kandungan Uap Air (Moisture Content) Jarak pori pada pantai berpasir secara keseluruhan dapat terisi oleh air, dan dapat berupa kombinasi antara udara dan air, atau tanpa adanya uap air. Kekuatan kapilar (daya tatik antar molekul air dan molekul air pada butiran pasir) dapat menarik air hingga mencapai kedalaman 4 – 50 cm dalam pasir, tergantung pada ukuran partikel dan sortasi (nilai untuk pantai berpasir berkisar 20 – 30 cm). Kapilaritas akan meningkat sejalan dengan berkurangnya ukuran butiran (Gambar 3.2). Kekuatan kapilaritas dapat membuat pasir menjadi jenuh sehingga akan memisahkan butiran dan meningkatkan porositas.

Gambar 3.2. Porositas dan kapilaritas sebagai fungsi dari ukuran butiran pasir. Peningkatan porositas (terarsir) adalah proporsi dari total porositas yang dapat menangkap dan kehilangan air. Ketika air terlepas dari pasir maka akan digantikan oleh udara, yang akan tertinggal setelah pasir kembali tergenang, sehingga mengurangi permeabilitas, walaupun tidak merubah daya kapilaritas. Sekitas 85% dari udara dalam badan pasir intertidal pantai akan tergantikan ketika tejadi pasang.

24

3.1.9. Thixotropy dan Dilatansi Thixotropy adalah pengetian yang diberikan pada berkurangnya resistensi dari pasir dengan meningkatnya rasio tekanan, sebagai lawan dari dilatansi (meningkatnya tekanan berakibat pada berkurangnya resistansi). Kondisi ini berkaitan dengan hewan-hewan yang menggali ke dalam pasir, sehingga dilatansi membuat proses penggalian dapat dilakukan. Thixotropy umumnya tergantung pada kandungan air dari pasir, walaupun fluiditas dari pasir juga merupakan fungsi dari viskositas dan densitas dari masuknya cairan ke dalam celah pasir. Pasir halus jenuh memiliki thixotropy maksimum. Kondisi ini sangat penting bagi makrofauna yang membenamkan diri ke dalam pasir. 3.2. Proses Masuknya Air Masuknya air kedalam sistem adalah melalui kombinasi dari proses-proses daratan, laut, atmosfir, dan biologi. Proses tersebut dapat berupa presipitasi, pelepasan air tanah, pasang surut, naiknya gelombang, dorongan gelombang subtidal, dan bioturbasi (bioturbation). Aktifitas hewan seperti menggali, dapat mengairi sedimen. Hal ini dapat menjadi penting pada sedimen halus dimana tidak terdapat mekanisme masukan lainnya atau pada populasi udang thalassinidae pada rataan pasir, tetapi relatif tidak penting pada pantai laut. Hujan juga mewakili masuknya air tawar dalam jumlah yang sedikit dan sporadis, tetapi lebih terbatas jika dibandingkan dengan input lainnya. 3.2.1. Pelepasan Air Tanah Pantai berpasir umumnya bertindak sebagai aqifer terbatas yang tehubung secara hidrolik dengan laut melalui pori-pori sedimen pantai. Bagian depan dari sistem hidroliknya mengarah ke laut dan akibatnya mereka ditandai oleh pelepasan air tanah pada berrbagai wilayahnya. Rasio pelepasan air tanah tergantng pada bagian depan sistem hidrolik (tinggi muka air tanah berada di atas permukaan laut) dan permeabilitas (konduktifitas hidrolik) tanah. Air tanah dapat dilepaskan di pantai atau dalam zona subtidal, sehingga membentuk aliran pada permukaan air tawar/air laut dan permukaan air tanah akan muncul di pantai. Air tawar yang dilepaskan ke laut akan menjadi payau karena tercampur dengan air asin pada zona difusi. Tipisnya zona pelepasan menjadi proporsional bagi volume aliran air tawar. Desakan dari intrusi air laut umumnya berada pada bagian bawah aquifer disepanjang pantai, merintangi percampuran kebawah dari air tawar yang memiliki densitas rendah, dan mendorong aquifer untuk melepaskan air tanah dekat dengan daratan 25

(Gambar 3.3). dalam skala global, pelepasan air tanah ke laut tidak terlalu penting jika dibandingkan dengan pelepasan oleh sungai, tetapi prosesnya cukup signifikan sebagai penyuplai nutrient ke perairan pesisir, sedangkan untuk peran dalam penyaringan air, berpengaruh pada masuknya salinitas interstisial, dan juga berperan dalam meningkatkat erosi pada permukaan pantai.

Gambar 3.3. Diagram yang menggambarkan pelepasan air oleh sebuah aquifer terbatas melalui sistem pantai. 3.2.2. Pasang Surut Naik turunnya pasang surut sepanjang wilayah intertidal pada pantai berpasir menghasilkan perubahan sistem hidrolik ke arah daratan dibandingkan ke arah laut, pada frekuensi pasang surut lokal. Hal ini mengakibatkan air dapat mengalir ke dan dari pantai. Masukan air oleh pasang surut dapat terjadi jika tinggi pasang lebih besar dari tinggi muka pantai, dan dapat membenamkan seluruh muka pantai. Tingkatan dari proses ini akan sangat tergantung pada kemiringan permukaan pantai, permeabilitas dan jarak air pasang yang terjadi. 3.2.3. Peningkatan Gelombang Muka Pantai Selain pasang, tepian pantai juga menjadi subjek bagi pengaruh gelombang. Masukan air ke intertidal terjadi ketika terjadi peningkatan pengadukan (swash) pada permukaan pantai, melalui permukaan air, dan memasukkan air kelapisan pasir yang jenuh. Peningkatan gelombang pada muka laut akan menaikkan level air lokal, yang dengan sendirinya mengalir kedalam pantai dan terkadang berupa arus bawah (arus balik bawah) pada zona pecah gelombang. Karena frekuensi dari gelombang dan pengadukan di tepi pantai hampir 103 kali dari pasang, mereka mewakili sejumlah besar energi hidrodinamik dan biasanya lebih penting daripada pasang sebagai mekanisme masukan,

26

terutama di pantai berpasir kasar/kuarsa yang cepat mengalami pengeringan. Riedl (1971) menggambarkan mekanisme input air laut ke permukaan pantai oleh pengaruh deburan dalam hal pengisian baji (wedges) (Gambar 3,4).

Gambar 3.4. Representasi dari pengisian baji (wedge) pada permukaan pantai. Tanda panah menunjukkan arah pergerakan permukaan air di bawah tanah. 3.2.4. Dorongan Gelombang Subtidal Masukan air melalui dasar dalam zona subtidal terjadi akibat dari pemompaan gelombang (dorongan yang disebabkan oleh perbedaan tekanan antara puncak gelombang dan lembah gelombang di depannya). Aliran masuk dan keluar ini dapat terjadi diseluruh pantai pada saat terjadi pasang tinggi dan pada setiap bagian pasang pada zona subtidal. Pada zona intertidal, dorongan gelombang akan berkerja secara berlawanan dengan air yang mengering di pasir terkait dengan arah permukaan air. Akan tetapi, dorongan arus dapat dua kali amplitudo dari arus akibat grafitasi. Berbeda dengan proses filtrasi pengadukan pada zona intertidal, dorongan subtidal ini merupakan aliran yang bersifat osilasi, dengan input dan output yang kurang lebih seimbang. 3.3. Penyaringan/Filtrasi Air Penyebab penyaringan/filtrasi air pada pasir pantai adalah perubahan hidrolik yang dihasilkan dari pasang surut, gelombang, dan pengisian aquifer. Dengan diketahuinya mekanisme yang berperan dalam input air ke sistem interstisial pada pantai berpasir, dan

27

penyebarannya pada berbagai bentuk pasir pantai, maka berikutnya akan dibaha tentang proses penyaringan dan kuantitas dari air yang tersaring. 3.3.1. Volume dan Waktu Tinggal dari Pasang dan Input oleh Gelombang Diperkirakan bahwa pasang dapat memberikan volume penyaringan sebesar 25%, dan rata-rata panjang jalur perkolasi (jarak filtrasi melalui pasir dari input hingga pelepasan) adalah 24 m (atau 35% dari jarak intertidal) dan waktu rata-rata perkolasi adalah 22 jam. Pada pantai terbuka sedang hingga pantai dissipasi Afrika Selatan, volume tersaring berkisar dari 1 – 12 m3·m-1·d-1, menjadi lebih besar jika pantai memiliki slope yang curam dan rendah pada pasang sedang. Bentuk ini akan terlihat jelas, pada saat terjadi pasang dengan input yang besar pada akhir pasang (Gambar 3.5) bagi pantai dengan pasir 200 – 300 m dan jarak pasang maksimum 2 m.

Gambar 3.5. Perubahan dalam input air pada pantai reflektif, sedang, dan dissipasi oleh pengadukan dan pasang surut dalam siklus pasang surut. Sebuah plot tentang input atau volume tersaring, waktu tinggal, dan kepentingan relatif dari gelombang terhadap pasang ditunjukkan dalam Gambar 3.6 untuk tipe pantai yang berbeda.

28

Gambar 3.6. Model grafik dari volume air tersaring dan rata-rata waktu tinggalnya sebagai fungsi dari bentuk pantai untuk pantai mikrotidal. 3.3.2. Pola Aliran dan Kondisi Interstisial Infiltrasi air laut kedalam dan melaui pasir pantai sangat besar terjadi pada saat air pasang terakhir, ketika zona pengadukan berada tidak beraturan diatas pantai

dan

permukaan air tanah terus meningkat. Ini merupakan proses yang kompleks yang dihasilkan sebagai dampak dari pasng surut dan pengadukan gelombang. Jika pemompaan gelombang dibawah zona pengadukan diabaikan, input melalui masukan baji ini akan terdiri dari dua tipe aliran: (1) aliran lemah akibat gravitasi dapat membasahi daratan pada dan di atas zona input pada pasang yang datang dan menuju ke arah laut pada saat terjadinya surut, dan (2) dorongan arus yang lebih kompleks dihasilkan langsung dari input pengadukan. Pasang surut menghasilkan aliran gravitasi melalui badan pasir, sedangkan pengadukan air menghasilkan aliran dorongan yang hanya terjadi dekat zona pecah gelombang dan zona pengadukan. Pada saat tidak ada gelombang, hanya terdapat aliran gravitasi. Aliran gravitasi menuju ke laut mendominasi setiap saat, terkecuali pada pertengahan dan akhir pasang surut, ketika masukan air menjadi tinggi dan aliran ke darat menjadi penting (terutama pada dan diatas zona input). Salah satu bagian dari tengah pantai akan mengalami serangkaian arus gravitasi pada satu siklus pasang sebagaimana diilustrasikan dalam Gambar 3.7. Pergerakan dari kecepatan dasar perairan bagi arus interstisian yang dihasilkan oleh pengadukan dan dorongan pecahan gelombang dalam satu siklus pasang surut ditampilkan dalam Gambar 3.8, dan untuk aliran grafitasi ditunjukkan dalam

29

Gambar 3.9. Parameter kondisi interstisial dihasilkan dari sebuah sintesis dari prosesproses yang disampaikan sebelumnya, ditunjukkan dalam Gambar 3.10.

Gambar 3.7. Rangkaian pasang surut yang menghasilkan aliran gravitasi pada satu siklus pasang pada bagian tepat dibawah permukaan pasir di bagian midshore.

Gambar 3.8. Kecepatan dasar dari aliran dorongan (swash) pada satu siklus pasang surut. Kontur (isotach) mewakili aliran sebesar 10 – 1.000 m·s-1 dan menunjukkan besarnya pergerakan air interstisial pada dan di bawah zona input selama pasang tinggi dan saat surut.

30

Gambar 3.9. Kecepatan dasar dari aliran gravitasi pada satu siklus pasang surut. Kontur mewakili aliran sebesar 10 – 500 m·s-1 dan menunjukkan aliran terkuat selama waktu pasang tertinggi dan setelahnya.

Gambar 3.10. Digram yang menunjukkan parameter keadaan interstisial pada sebuah pantai berpasir intermediate.

31

3.3.3. Dorongan Gelombang Subtidal : Volume Input dan Pola Aliran Walaupun pendorongan gelombang sebagian besar merupakan bagian dari zona subtidal, kondisi ini juga dapat terjadi pada zona intertidal selama pasang tinggi, terutama pada pantai dissipasi. Arus-arus pada sistem interstisial dalam kondisi ini memiliki dua komponen: arus gravitasi yang menggenang ke arah laut dari zona intertidal, dan variasi arus reguler pada frekuensi dan amplitudo gelombang, tergantung pada besarnya energi gelombang. Kecepatan aliran melalui zona interstisial dapat berada pada kisaran 0 – 200 m·s`-1. Semakin efisiennya proses pendorongan maka semakin besar perendaman dan oksigenasi dari bagian pasir yang terbenam, dan semakin dalam lapisan tereduksi dihasilkan. Pada zona subtidal dangkal dari pantai yang terekspos proses ini dapat menyaring volume sebesar 0,01 – 1,0 m3·m-2·d-1. 3.4. Fluktuasi Permukaan Air Tanah Dinamika permukaan air tanah dengan pantai berpasir sangatlah penting dalam membedakan zona-zona berdasarkan kandungan air pada zona interstisial, daerah potensial dari aliran air keluar dan aliran air masuk ke dalam lingkungan interstisial, dan membentuk pola aliran air yang melalui pantai. Permukaan air tanah di pantai menjadi dinamis dan berkaitan dengan perubahan aksi gelombang dan pasang surut. Permukaan air tanah pada perairan pantai berpasir berfluktuasi akibat adanya pasang surut. Permukaan air tanah dalam pertengahan pantai akibat adanya pergerakan air pasang yang mengarah ke daratan yang tergerus kembali ke arah pantai dengan jedah waktu 1 – 3 jam pada jarak 10 – 15 m dari batas air (Gambar 3.11). Pantai akan bertindak sebagai penyaring air pasang, dengan fluktuasi permukaan air tanah baik dalam tahapan penghilangan dan perubahan arah menuju daratan. Kemiringan permukaan air tanah akan mengarah ke daratan pada saat air pasang dan akan mengarah ke laut pada saat air surut Pelepasan air tanah melalui pantai berpasir akan berpengaruh dignifikan terhadap permukaan air tanah. Air pasang menginduksi fluktuasi pada lapisan permukaan air tanah akibat pengaruh morfologi pantai dan pengisian kembali air tanah dari daerah di belakang panati. Permukaan air tanah yang berada dekat dengan zona pengadukan akan merespon pada gelombang tunggal, tetapi bentuk permukaan pantai dan susunan sedimen secara efektif berfungsi sebagai penyaring terhadap frekuensi fluktuasi yang tinggi tersebut, dimana akan menjadi rendah di atas zona pengadukan.

32

Gamnar 3.11. Fluktuasi dari permukaan air tanah dalam pantai berpasir selama satu siklus pasang surut. Kemiringan permukaan air tanah di pantai mempengaruhi pergekan pasir pada ke/dari pantai permukaan pantai. Pada saat terjadi pasang, terjadi run-up di atas permukaan air tanah dan mengakibatkan terjadinya transport sedimen ke arah pantai akibat berkurangnya limpasan air dari darat. Secara konstan, selama terjadi surut permukaan air tanah akan tertinggal dan mengakibatkan terjadinya pembilasan balik dari alirannya dan mengakibatkan terjadinya erosi (Gambar 3.12).

Gambar 3.12. Distribusi sedimen dan pengaruh swash-backswash serta erosi pada permukaan pantai pada satu siklus pasang surut.

33

Webb (1991) menggambarkan zona kelembaban dalam pasir pantai dari permukaan kearah bawah mulai dari pasir kering, pasir lembab yang mengandung kelambaban pendular, pasir dekat permukaan air tanah yang basah karena meningkatnya kapilaritas, dan pasir jenuh yang terdapat pada/dan dibawah permukaan air tanah. Startifikasi kandungan air digambarkan dalam Gambar 3.13 di bawah ini.

Gambar 3.13. Tingkatan kelembaban interstisial pada pantai berpasir. 3.5. Komposisi Kimiawi Interstisial Variasi suhu maksimum pada intertidal pantai berpasir berada pada bagian permukaan dari level teratas pasang, dan temperaturnya akan semakin stabil mengarah ke laut dan turun kedalam sedimen. Suhu ekstrim umumnya hanya berada beberapa sentimeter di atas bagian tengah hingga tertinggi level pasang pada saat periode surut terendah. Perubahan temperatur akan mempengaruhi viskositas dari butiran air dan akan berpengaruh pada tingkat aliran dan daya kapilaritasnya. Temperatur juga mempengaruhi tingtat proses kimiawi. Pelepasan air tawar dari air tanah mengakibatkan meningkatnya tingkat nutrien inorganik, yang menghasilkan masukan organik ke laut dan peningkatan nutrien dalam sistem interstisial. Pelepasan air tanah juga berpengaruh pada level oksigen. Tingginya level nutrien terjadi bersamaan dengan tingginya masukan organik dan waktu tinggal (residence time) yang lama. Salinitas dari perairan interstisial ditentukan oleh salinitas air laut dan besarnya distribusi dari rembesan air tawar. Karena sebagian besar mengalami beberapa rembesan air tawar, salinitas akan menurun dari nilai air laut pada zona input ke arah daratan dan kemungkinan semakin kedalam pada lapisan sedimen.

34

Input bahan organik ke pantai terjadi sebagai material organik terlarut (dissolved organic matter/DOM) atau material partikel organik (particulate organic matter/POM). Input DOM tergantung pada tingkat produktivitas primer pada perairan, dan umumnya melebihi input POM. DOM dibawa kedalam sistem interstesial melalui proses penyaringan air dan mampu mendukung beragam fauna interstesial. Input POM akan sangat penting bagi beberapa organisme interstisial seperti, lamun dan makrophyta. Keberadaan oksigen akan semakin berkurang ketika memasuki lapisan pasir. Keberadaan oksigen dalam sistem interstisial sangat penting dalam menentukan status redoks dari nutrien, distribusi vertikal dari kondisi redoks, dan tingkat aktifitas organisme mikrobiologi. Semakin halus pasir maka semakin besar area permukaan dam semakin besar pula populasi organisme mikrobiologi. Jadi, pasir halus cenderung untuk menyediakan kebutuhan oksigen mikrobial dibandingkan dengan pasir kasar/kuarsa.

Gambar 3.14. Gradien kimiawi pada tipe pantai yang berbeda: (a) berkurangnya lapisan pada pantai berpasir halus dengan energi gelombang yang rendah (tipe dissipasi-rendah energi, rendah oksigen), dan (b) teroksigen penuh pada pantai yang tergenang penuh dengan energi intermediate tinggi atau tipe reflektif. Kebanyakan pelepasan nutrien terjadi secara reguler dan diatur oleh keluarnya air dan difusi, tetapi badai pada sedimen juga menjaddi sumber perlepasan nutrien yang tersimpan di dalam sedimen. Kebanyakan mineralisasi dari material organik terjadi pada tahapan pertama proses penyaringan, sehingga aktivitas mikrobiologi terkonsentrasi 35

dekat dengan zona input dimana perkolasi interstisial dimulai. Konsentrasi nutrien dalam perairan interstisial umumnya beberapa kali lebih tinggi dibandingkan pada perairan tercampur, dan dapat sangat tinggi pada kasus-kasus tertentu: level NO3-N dapat mencapai 5 mg·l-1 diarea dimana air tanah dikeluarkan, dan level H2S dapat mencapai 700 mg·l-1 dapat terjadi pada zona reduksi. Semakin besar sirkulasi air interstisial, dan semakin sering tingkat pembilasan, maka konsentarsi nutrien akan semakin rendah.

36

4.

Tumbuhan Pantai dan Surf-Zone Tumbuhan pantai berpasir secara khas terdiri dari mikroalga bentik dan

phytoplankton zona pecah gelombang (surf-zone phytoplankton), dimana kedua komponen tersebut didominasi oleh diatom. Pada pantai-pantai yang terlindung mikroalga bentik biasanya relatif melimpah, sementara pada pantai dissipatif yang terbuka, diatom surf-zone mungkin menjadi lebih penting. Pada kondisi intermediate, keduanya akan berada dalam jumlah yang sama atau tidak ada kelompok yang terwakili. Aktifitas gelombang dan pengadukan secara vertikal (vertical mixing) mengakibatkan terbatasnya perkembangan diatom yang menempel pada butiran pasir. Akibatnya, kehadirannya cenderung berkurang pada pantai-pantai yang bergelombang, tetapi lebih melimpah di wilayah offshore, pada perairan yang tenang, dimana mereka terkonsentrasi pada permukaan pasir. Lamun (seagrass) berkembang di zona subtidal pada pantai yang terlindung dan mungkin pada beberapa kasus akan tumbuh pada wilayah intertidal terendah dari pantai berpasir. 4.1. Mikroflora Bentik Mikroflora bentik dari pasir laut termasuk bakteri, cyanobacteria, flagellata autotrophic, dan diatom. Mereka menempel di butiran pasir dan umumnya dikenal sebagai epipsammon (Gambar 4.1). Ketika terjadi gelombang yang besar, diatom akan bercampur dengan sedimen pada kedalaman tertentu, sementara pada kondisi perairan tenang atau pada zona sublitoral mereka cenderung terkonsentrasi pada bagian permukaan. Zona fotik pasir akan meningkat sejalan dengan meningkatnya ukuran partikal, tetapi umumnya tidak melewati 5 mm (Gambar 4.2). Total area permukaan dari butiran pasir akan meningkat dengan berkurangnya ukuran partikel (Gambar 4.3), akan menyediakan area yang besar bagi penempelan mikroflora, tetapi akan mengurangi poripori-pori pasir. Pada sedimen yang tidak

teroksidasi dengan baik, komponen lain

(misalnya: alga, bakteri photosintetis, flagellate) akan membentuk lapisan pada kedalam yang berbeda pada pasir. Beberapa kelompok mikroalga bergerak melalui pasir, sedangkan yang menempel pada butiran pasir relatif tidak bergerak. Diatom Pennate (bentuk batang memanjang) bergerak sangat lambat dari butiran ke butiran, sementara yang berbentuk bulat umumnya menempel secara permanen. Spesies-spesies epipsammic umumnya menempel pada butiran menggunakan bagian tengah mucus. Hanya bentuk-bentuk yang berada dekat

37

permukaan substrat yang bergerak cukup cepat untuk menunjukkan migrasi diurnal atau migrasi karena pasang surut. Kepadatan mikrofauna bentik pada pasir laut mencapai 103 sell.cm-3 pada kondisi optimal. Diatom bentik, kebanyakan merupakan jenis pennate, dimana spesies pada zona pecah gelombang (surf-zone) dapat berupa jenis pennate atau centric. Kebanyakan diataom akan berada pada zona subtidal, dimana kelimpahannya dapat menjadi sumber yang signifikan dari produktifitas primer.

Gambar 4.1. Distribusi miroorganisme, termasuk diatom, pada sebuah butiran pasir intertidal.

Gambar 4.2. Penetrasi dari cahaya biri ke dalam pasir pada ukuran butiran yang berbeda.

38

Gambar 4.3. Total area permukaan dari butiran pasir yang merupakan fungsi dari besarnya butiran. 4.2. Surf-zone Phytoplankton Akumulasi pengayaan dari diatom merupakan bentuk tipikal dari surf-zone dari pantai terbuka. Akumulasi tersebut terbentuk dari spesies tunggal seperti Aulacodiscus, Attheya, Asterionellopsis, atau Anaulus (Gambar 4.4). Mereka akan tampak seperti blooming dan menyerupai lapisan minyak pada permukaan gelombang. Pada kondisi tertentu, dominasinya akan berubah sesuai musim yang ada. Keberadaannya telah tercatat pada sebagian benua (Gambar 4.5) dan pada pantai yang memiliki karakteristik dissipasi surf-zone terbuka hingga pantai yang memiliki gelombang besar. Akumulasi tersebut umumnya lebih terjadi pada belahan bumi bagian selatan (Southern Hemisphere), dimana Anaulus australis merupakan jenis endemik. Kebanyakan spesies lainnya terdisitribusi pada kedua belahan bumi dan sebagian diataranya tersebar diseluruh dunia. Batas distribusinya berkisar antara 46° LU dan LS, dan sebagian besar spesies hanya berada pada surf-zones. Akumulasi diatom terjadi pada permukaan perairan pada siang hari, terkadang berasosiasi dengan gelembung air, atau bahkan membentuk sebuah bentuk yang tidak terlalu stabil. Karena terkonsentasri di permukaan air, mereka ditransportasikan dan terkonsentasi oleh gelombang dan arus. Akibat adveksi permukaan, mereka digerakkan menuju ke pantai, terkonsentrasi pada bagian dalam surf zone dan terkadang terdampar di pantai sebagai deposit dari biuh. Konsentrasi di sepanjang pantai juga terjadi pada saatsaat tertentu, umumnya disebabkan oleh pergerakan arus (Gambar 4.6). Diatom tidak hanya terdapat pada buih, tetapi juga menyebar pada kolom perairan dan dalam sedimen,

39

dan bererak bersamanya. Mereka tidak ditemukan pada pantai reflektif atau pada pantai yang memiliki sedikit surf-zone.

Gambar 4.4. Genus umum dari surf-zone diatom.

Gambar 4.5. Lokasi dari sering ditemukannnya surf diatom. A.b = Analus birostratus, A.s. = Asterionella socialis, A.g. = Asterionella glacialis, C.a. = Attheya armatum, dan A.k. = Aulacodiscus kittoni. Lokasi terisolasi ditandai sebagai *.

Gambar 4.6. Bentuk akumulasi diatom pada pantai dengan pergerakan arus yang baik.

40

Sangatlah penting untuk membedakaan antara sebagian kecil diatom atau akumulasinya dengan blooming diatom yang sebenarnya. Blooming (pengayaan) merupakan fenomena musiman yang berkaitan dengan sifat kimiawi air dan suhu, sehingga bagian diatom yang dibahas dalam tulisan ini merupakn diatom yang berada sepanjang tahun dan secara fisik mengontrol proses akumulasinya. Kelompok surf diatom menunjukkan periode diurnal yang berbeda (Gambar 4.7). Pola untuk jenis Anaulus adalah sebagai berikut. Selama awal pagi hari, diatom akan meninggalkan pasir dan masuk ke dalam kolom air, dimana mereka akan masuk ke dalam buih dengan menempel pada gelembung yang terbentuk. Pada pertengahan pagi, kebanyakan diatom berada dalam buih atau kolom air dan beberapa yang tersisa berapa pada permukaan pasir, walaupun bagian yang signifikan terbenam lebih jauh ke dalam pasir. Pada sore hari, diatom mulai menghilangkan keseimbanyannya dan mulai jatuh dari buih dan masuk ke dalam kolom air. Dari sini secara perlahan mereka memasuki pasir, sehingga pada malam hari sebagian besar sel tersebut telah berada pada lapisan substrat. Migrasi vertikal ini mengingatkan kita pada migrasi vertikal pendek dari diatom bentik.

Gambar 4.7. Perubahan siklus pola makan dalam persentasi dari sel-sel surf-diatom Anaulus (a) di pasir, kolom air, atau permukaan buih, dan (b) terbagi atau terlapisi dengan mucus. Terdapat tiga siklus yang menjelaskan tentang dinamika pembentukan dan pengurangan diatom surf-zone (Gambar 4.8). Pertama, terdapat pergerakan vertikal harian antar buih selama siang hari dan sedimentasi pada malam hari. Kedua, terdapat migrasi ke/dari pantai. Ketiga, terdapat siklus akibat adanya masa badai atau masa tenang. Akibat dari akumulasi dinamis pada populasi diatom dan bentuk sirkulasi pada surf zone, kemungkinan terjadi perubahan yang besar pada klorofil-a dan profil produktifitas

41

primer yang ke/dari pantai pada perairan di surf zone yang berakibat pada dissipasi yang tinggi (Gambar 4.9).

Gambar 4.8. Diagram yang menggambarkan tiga siklus migrasi yang menjelaskan akumulasi dinamika surf diatom.

Gambar 4.9. Gambaran umum dari kinsentrasi surf diatom (Anaulus), detritus, dan klorofil sepanjang surf zona pada pantai di Afrika Selatan. Diatom tidak hanya berbentuk phytoplakntonik yang dapat ditemuka di perairan. Flagellata autotrofik dan cyanobacteria juga dapat berada pada waktu yang sama dengan jumlah yang signifikan. Produsen primer lainnya dari surf-zone adalah alga Pilayella. 4.3. Lamun (Seagrasses) Lamun merupakan tumbuhan berbunga sejati yang mampu beradaptasi terhadap kondisi lautan dan merupakan tumbuhan yang menyebar melalui benih. Hanya jenis Thalassia yang menghasilkan bunga. Tumbuhan ini terdiri dari daun, rhizome atau batang hotisontal, dan akar. Rhizoma dan akar berfungsi untuk menahan dan menyerap nutrient. Sebagian besar genus memiliki daun berbentuk pipih dengan area yang besar. Terdapat

42

12 genus dengan sekitar 50 spesies yang telah teridentifikasi. Tujuh genus merupakan jenis lamun perairan tropis dan sub-tropis: Halodule, Cymodocea, Syringodinus, Thalassodendron, Enhalus, Thalassia, dan Halophila. Lima genus terdapat di perairan temperate: Zostera, Phyllospadix, Heterozoster, Posidonia, dan Amphibolis (Gambar 4.10).

Gambar 4.10. Contoh gambar jenis-jenis lamun. Lamun tumbuh di perairan dangkal, dengan kedalaman kurang dari 10 m, terkadang pada wilayah terbenam yang ditunjukkan zona kedalamannya. Dalam beberapa situasi, pada kondisi terlindung, distribusinya akan sampai pada bagian terendah intertidal dari pantai berpasir. Pertumbuhan lamun menghasilkan habitat yang unik. Lamun menstabilisasi dasar perairan dan menahan sedimen, menjernihkan air, dan menjadi habitat bagi tumbuhan dan hewan. Sub-habitat pada daun yang dibentuk oleh lamun menjadi habitat bagi organisme epifit; rhizoma menjadi tempat kolonisasi makrobenthos seperti polychaeta, amphipoda, dan bivalvia; ikan, udang, dan cephalopoda hidup diantara daunnya; dan terakhir benthos yang hidup di dalam sedimen diantara tumbuhan lamun. Habitat-habitat tersebut dapat menjadi sangat penting bagi ikan dan udang, terutama jenis-jenis komersial penting, yang 43

menggunakannya sebagai daerah pembesaran. Kuda laut (seahorses), ikan terompet (pipefishes), dan ikan gobi marupakan habitat tipikal pada lamun. Kebanyakan ikan memakan invertebrata di lamun, terutama jenis krustasea. Padang lamun dapat menjadi sangat produktif. Dalam benamannya dapat terdiri dari > 20.000 batang per meter per segi dan biomassanya mencapai 10 kg massa kering m-2. Rhizosoma menghasilkan 60 hingga 80% biomassa. Produktifitas primer menjadi meningkat dengan kehadiran epifit pada daun dan dapat mencapai 1 kg C·m-2·y-1 di perairan tropis dan seperdua nilai tersebut dihasilkan di wilayah temperate. Laguna tropis dan sub-tropis merupakan daerah yang produktif untuk lamun. Lamun dapat secara cepat kehilangan materi organik terlarut, tetapi proses dekomposisnya agak lambat. Kurang dari 10% biomassa di grazing secara langsung, 5% dikeluarkan sebagai DOM, dan sisanya sebagai detritusa dalam rantai makanan dekomposer. Spesies-spesies yang beradaptasi dan mencari makan secara langsung pada lamun adalah penyu hijau (Chelonia mydas), dugong (Dugong), tiga spesies manatees (Ticherus), dan beberapa ikan, krustasea, dan bulu babi (sea urchin).

44

5.

Invertebrata Pantai Berpasir Sebagian filum invertebrata terdapat pada pantai berpasir, baik sebagai bentuk

interstisial atau sebagai anggota dari makrofauna, atau keduanya. Beberapa genus makrofauna merupakan tipe pasir intertidal dan dan surf zone-nya, sehingga jenis lainnya merupakan tipe untuk gosong pasir yang terlindung, pasir berlumpur, atau estuaria dan sedikit pada pantai terbuka. 5.1. Kelompok Invertebrata Penting Terdapat beberapa filum dari invertebra yang berasosiasi dengan ekosistem pantai berpasir. Filum-filum tersebut diantaranya adalah sebagai berikut: Filum : Porifera Sponge tidak terdapat pada atau di dalam pantai berpasir, tetapi karena kehadiran Clione dan kemungkinan keeratan genus dari sponge yang membor ke dalam lapisan permukaan dari kerang dari beberapa moluska pantai berpasir, termasuk gastropoda Bullia. Tingginya gannguan yang terjadi mengakibatkan cangkang menjadi lemah, sehingga moluska menjadi rentan terhadap predasi. Filum : Cnidaria Beberapa genus interstisial dari Hydrozoa (seperti: Psammohydra, Halammohydra, dan Otohydra) dijumpai dalam pantai berpasir. Filum Platyhelminthes Jenis-jenis invertebrata penting pada pantai berpasir dari filum ini diantaranya adalah dari kelas Turbellaria (cacing pipih), Trematoda, dan Cestoda. Filum : Nemertea Filum jenis ini bukan merupakan jenis yang hewan dominan pada ekosistem berpasir tetapi kehadirannya selalu ada pada kebanyakan tepi pantai berpasir. Genus Cerebratulus (Ordo Heteronemertini) merupakan genus yang dominan dan umumnya berada pada tepi pantai yang terbuka. Genus lainnya yang dijumpai di pantai berpasir yang terlindung pada daerah tropis dan sub-topis adalah genus Baseodiscus dan Zygonemertes. Filum : Nematoda Cacing laut dari nematode merupakan cacing yang paling banyak dijumpai pada pantai berpasir, dengan sejumlah genus yang hanya dapat dibedakan oleh ahlinya. Mereka umumnya dijumpai pada pantai berpasir halus, dan pada seluruh zona pantai, dan banyak spesiesnya tidak dibatasi dengan keberadaan oksigen. Famili Leptosomatida yang 45

umumnya dijumpai terdiri dari beberapa genus, seperti Epacanthion, Mesacanthion, dan Platycoma. Genus lain yang juga sering dijumpai adalah Bathlaimus, Metoncholaimus, Nannolaimus, dan Trileptium. Nematode juga terdapat sebagai parasite pada lambung moluska dan krustasea. Filum : Acanthocephala Cacing berkepala-duri ini merupakan parasit dalam rongga tubuh dan jaringan otot dari krustasea decapoda. Siklus hidupnya berada dalam ikan hiu, ikan sebelah, dan pari yang memakan kepiting. Filum : Rotifera Rotifera Seisonoid ditemukan pada pantai yang terlindung dan beberapa pantai terbuka, yang menempel pada butiran pasir dan terkadang pada bagian keras dari tubuh makrofauna. Genus yang sering dijumpai adalah Encentrum dan Proales. Filum : Gastrotricha Filum ini merupakan anggota dari meiofauna pantai berpasir, dengan tubuh kecil yang menyerupai cacing membuat mereka cocok untuk lingkungan interstisial. Hampir sebagian besar pantai berpasi ditempati oleh ordo Macrodasyoidea. Genus yang umum dijumpai adalah Turbanella dan Xenotrichula. Genus lainnya adalah Urodasys, Diplodasys, Thanumastoderma, dan Pseudostomella. Filum : Kinorhyncha Konorhyncha adalah hewan berbentuk silinder yang berhubungan dengaan rotifera dan gastrotrich, dan merupakan jenis hewan pada pantai berlumpur dan pasir berlumpur disbanding pantai berpasir. Terkadang mereka dijumpai pada sejumlah pasir yang terlindung, dan berkurang pada saat terjadi gelombang atau meningkatnya area intertisial. Kehadirannya tidak dijumpai pada pantai oseanik. Filum : Loricifera Filum ini merupakan kelompok lain dari hewan pseudocoelomate yang ditemukan pada tahun 1986. Anggota filum ini dijumpai pada daerah intertisial, dan ditemukan pada berbagai sedimen mulai dari pasir intertidal hingga lingkungan abisal. Filum : Annelida Jenis dari filum ini juga merupakan jenis invertebrata terbesar yang mendominasi wilayah pesisir dan paling banyak dijumpai pada wilayah pantai. Beberapa kelas dari filum Annelida yang dijumpai pada wilayah pantai berpasir adalah;

46

(1) Kelas Archiannelida : Famili

Nerillidae

(genus:

Nerilla,

Nerillidium,

dan

Troglochaetus), Polygordiidae (genus: Polygodius, Poeotodrilus, Protonnelis, dan Saccocirrus), Dinophilidae (genus: Diurodrilus dan Trilobodrilus) (2) Kelas Polychaeta : Famili Aphroditidae (genus: Antinoe, Sthenelais, Harmothoem, Malmgrenia, Pholoe, Lepidasthenia, Sigalion, dan Thalenessa), Phyllodocidae (genus: Phyllodocea, Norophyllum, dan Eteone), Glyceridae (genus: Glycera), Nephtyidae (genus: Nephtys), Syllidae (genus: Exogene, Syllis, Eurysyllis, Syllides, Sphaerosyllis, Streptosyllis, dan Brania), Hesionidae (genus: Hesione, Hesionella, dan Hesionides), Pisionidae (genus: Pisione dan Pisionidens), Nereidae (genus: Nereis, Perinereis, dan Ceratonereis), Paraonidae (genus: Paranonis, Paraonides, dan Paradoneis), Eunicidae (genus: Eunice, Marphysa, Ophryotrocha, Diopatra, Onuphis, Ninoe, Lumbriconereis, dan Lumbrinereis), Orbiniidae (genus: Orbinia dan Scoloplos), Psammodrilidae (genus: Psammodrilus), Spionidae (genus: Polydora, Pseudopolydora, Spio, Dispio, Prionospio, Nerine, dan Scolelepis), Chaetopteridae (genus: Chaetopterus, Phyllochaetopterus, dan Mesoschaetopterus), Capitellidae (genus: Capitella dan Dasybranchus), Arenicolidae (genus: Arenicola, Abarenicola, dan Arenicolides), Opheliidae (genus: Ophelia, Thoracophelia, Armandia, dan Travisia). (3) Kelas Oligochaeta : Famili Enchytraeidea (genus: Enchytraeus, Lunbricillus, dan Morionina), Tubificidae (genus: Tubifex, Tubificoides, dan Clitellio).

Gambar 5.1. Bebera cacing polychaeta (panjang sekitar 5 – 15 cm) pada pantai berpasir.

47

Gambar 5.2. Bagian anterior dari Nereis, yang menunjukan ciri utamanya.

Gambar 5.3. Bagian anterior belakang dari anggota genus Orbinia.

Gambar 5.4. Polychaeta jenis Arenicola dan Abarenicola (panjang sekitar 10 – 20 cm). Filum : Echiurida Filum ini tidak dijumpai pada bantai laut terbuka, tetapi secara individual dapat dijumpai pada pasir terlindung, dekat dengan batas air pada batas air pasang. Filum : Sipunculoidea Filum ini memiliki kekerabatan yang dekat dengan Echiurida, dimana mereka memiliki bentuk, ukuran dan habitat yang sama. Mereka juga sangat terbatas pada daerah intertidal, tetapi cukup banyak pada beberapa wilayah pantai. Mereka jarang terlihat pada kondisi yang terbuka. Genus yang umum dari filum ini adalah Sipunculus. Filum : Brachiopoda Brachiopoda tidak terdapat pada pantai berpasir oseanik, teapi jenis Lingula dapat dijumpai pada batas garis air pada gundukan pasir yang terlindung. Jenis Glottidia dilaporkan dijumpai di pantai Panama, dan brachipoda dijumpai pada pantai berbatu di New Zealand.

48

Filum : Moluska Filum ini merupakan jenis invertebrata yang mendominasi wilayah pantai berpasir, dan terdiri dari beberapa kelas yang umumnya mudah untuk dijumpai di wilayah pesisir pantai. Berikut adalah beberapa kelas moluska yang dijumpai pada wilayah pantai berpasir. (1) Kelas : Gastropoda, Sub-kelas : Prosobranchia, Ordo : Neogastropoda, Famili : Nassariidae (genus: Bullia, Dordanum, Buccinanops, dan Nassarius), Naticidae (genus: Natica dan Polinices), Terebridae (genus: Terebra), Olivacea (genus: Oliva, Olivella, dan Olivacillaria). (2) Kelas : Gastropoda, Sub-kelas : Opisthobranchia, Ordo : Acochlidiacea (genus : Hedylopsis, Microhedyle, dan Parahedyle), Ordo : Acoela. (3) Kelas : Bivalvia, Ordo : Eulamellibranchia, Super-Famili : Tillinacea (genus: Donax, dan Tellina) (4) Kelas : Scaphopoda (genus: Dentalium)

Gambar 5.5. Bullia digitalis (Dillwyn).

Gambar 5.6. Peta sebaran genus Bullia.

49

Gambar 5.7. Beberapa moluska jenis gastropoda pada tipe pantai berpasir (panjang berkisar antara 1 – 5 cm).

Gambar 5.8. Beberapa bivalvia yang umum dijumpai pada pantai berpasir (panjang berkisar 1 – 7 cm). Filum : Tardigrada Filum ini memiliki kekerabatan yang dekat dengan Arthopoda, dan sesuai dengan kehidupan intertisial. Jenis ini bergerak secara perlahan dari butiran ke butiran lain pada pasir. Tipe genus intetisial adalah Batillipes.

Gambar 5.9. Tipe tardigrade intertisial.

50

Filum : Arthropoda Filum ini terdiri dari beberapa kelas yang umumnya dijumpai di pantai berpasir, diantaranya sebagai berikut: (1) Kelas : Merostomata, Sub-kelas : Xiphosura (genus: Limulus, Tachypleus, dan Carcinoscorpius). (2) Kelas : Myriapoda. (3) Kelas : Arachnida, Ordo : Acarina, Famili : Halacaridae. (4) Kelas : Pycnogonida. (5) Kelas : Crustacea, Sub-kelas : Ostracoda, Mystacocarida (genus : Derocheilocaris), Copepoda (genus: Arenosetella, Hastigerella, Leptastacus, Cylindropsyllis, Arenopontia, Psammastacus, dan Asellopsis). (6) Kelas : Crustacea, Sub-kelas : Malacostraca, Ordo : Mysidacea (genus : Gastrosaccus, Mysidopsis, Metamysidopsis, Mesopodopsis, dan Bowmaniella), Cumacea (genus: Cyclaspis,Leptocuma, dan Pseudocuma), Amphipoda (genus: Talitrus, Orchestia, Orchestoidea, Talorchestia, Talorchestes, Synchelidium, Atylus, Paraphoxus,

Haustorius,

Parahaustorius,

Acanthohaustorius,

Protohaustorius,

Eohaustorius,

Amphiporeia,

Neohaustorius,

Bathyporeia,

Urothoe,

Marinogammarus, Psammonyx, dan Pontharpinia), Tanaidacea (genus: Tanais, Apseudes, Apseudomorpha, dan Leptochelia), Isopoda – Famili: Oniscidae (genus: Tylos), Cirolanidae (genus: Eurydice, Cirolana, Neocirolana, Excirolana, Pseudolana, Eurylana, dan Pontogeloides), Decapoda – Sub-ordo: Macrura (genus: Macropetasma, Crangon), Decapoda – Sub-ordo: Anomura (genus: Callianassa, Lepidopa, Blepharipoda, Hippa, Emerita, Diogenes, Clibanarius, dan Ceanobita), Decapoda – Sub-ordo: Brachyura (genus: Ocypode, Dotilla, Uca, Ovalipes, Lupa, Thalamita, Macrophthalmus, Matuta, Arenaeus, Callinectes, dan Carcinus). (7) Kelas : Insecta, Ordo : Collembola (genus: Anurida, Onychiurus, Hypogastrura, dan Xenylla), Orthoptera (genus: Tridactylus, Gryllotalpa), Diptera – Famili: Coelopidae (genus: Coelopa, Orygma, Malacomyia, dan Oedoparea), Coleoptera – Famili: Anthicidae, Melyridae, Lathridiidae, Oedemeridae, Ptiliidae, Carabidae (genus: Cillanus, Dyschirius, dan Halocomyza), Tenebrionidae (genus: Phaleria dan Epiantius), Hydrophilidae (genus: Cercyon).

51

Jenis insekta banyak dijumpai pada pantai berpasir, dengan lebih dari 30 sub-famili, dimana Sembilan diantaranya merupakan permanent inhabitants (penghuni tetap) di pesisir pantai. Diantara 60 genus, genus yang paling sering diwakili oleh jenis insekta pantai berpasir adalah Bledius, Psammathobledius, Cafius, Omalium, dan Philonthus.

Gambar 5.10. Bentholpanktonik, Gastrosaccus pada surf-zone (sekitar 1 cm).

Gambar 5.11. Amphipoda oedicerotid, Synchelidum yang bermigrasi melalui pasang surtt (sekitar 1 cm).

Gambar 5.12. Amphipoda phoxiceohalid, Paraphoxus (sekitar 1 cm).

Gambar 5.13. Tiga Amphipoda haustoriid pantai berpasir (sekitar 1 cm). 52

Gambar 5.14. Amphipoda talitid semiteresterial, Talitrus (sekitar 1 cm).

Gambar 5.15. Isopoda yang umum di pantai berpasir, umumnya berukuran 5 mm (Eurydice) hingga 2 cm (Tylos).

Gambar 5.16. Crangon, tipikal udang perenang di surf-zone (sekitar 5 cm).

Gambar 5.17. Dua jenis Anomura pada pantai terbuka: mole crab, Emerita dan sea louse, Hippa (berukuran 2 – 4 cm).

53

Gambar 5.18. Kepiting semiteresterial, Ocypode (5 cm) dan Dotilla (1 cm).

Gambar 5.19. Kepiting akiatik pantai berpasir, Ocalipes dan Matuta (sekitar 5 – 10 cm).

Gambar 5.20. Bentuk tipikal dari collembolan (sekitar 1 mm).

Gambar 5.21. Mole cricket, Gryllotalpa (sekitar 1 – 2 cm).

Gambar 5.22. Seaweed fly, Coelopa (sekitar 3 mm).

54

Gambar 5.23. Bledius, kumbang pada pantai berpasir (sekitar 1 cm). Filum : Ectoprocta Filum ini merupakan jenis yang paling sedikit dijumpai pada pantai berpasir. Walaupn terbatas, tetapi keberadaanya sangat penting dalam menjaga wilayah intertisial pada pasir yang terlindung. Genus yang paling dikenal adalah Monobryozoon. Hidupnya soliter dan bergerak bebas, bagian bawah tumuhnya tidak hanya berfungsi sebagai penempel tetapi juga sebagai organ repreduksi. Filum : Echinodermata Echinodermata buka merupakan tipe organisme pantai berpasir, walaupun pada pantaipantai yang terlindung mereka akan bergerak dari pantai menuju slope intertidal (misalnya jenis Echinodiscus dan Dendraster). Terkecuali dolar pasir (sand dollars) jenis Encope dan Mellita, yang terdapat pada daerah intertidal dan sub-tidal. Echinodermata yang berasosiasi dengan pantai berpasir adalah jenis Echinocardium, yang bersembunyi pada pasir-pasir di intertidal dan perairan dangkal yang telindung. Filum : Hemichordata Cacing jenis Balanoglossus kemungkinan dijumpai berada pada dataran pasir yang terlindung di wilayah tropis, dan belum tercatat pada pantai-pantai yang tergenang.

55

Pustaka McLachlan A, Brown AC. 2006. The Ecology of Sandy Shores. Elsevier Inc. pp. 373.

56

Related Documents

Ekologi Pantai Berpasir
January 2021 1
Piramida Ekologi
February 2021 1
Ekologi - Tipe Ekosistem
January 2021 1
Makalah Suksesi Ekologi
January 2021 1
Ekologi Populasi(2)
February 2021 2
Materi Rekayasa Pantai
February 2021 1

More Documents from "oxi"

Ekologi Pantai Berpasir
January 2021 1