Filsafat Hukum: Marxist Dan Critical Legal Studies

  • Uploaded by: Natasya Afditami
  • 0
  • 0
  • March 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Filsafat Hukum: Marxist Dan Critical Legal Studies as PDF for free.

More details

  • Words: 4,525
  • Pages: 78
Loading documents preview...
FILSAFAT HUKUM

Marxist dan Critical Legal Studies

Sumber Utama Perkuliahan: Bahan Pemberajaran Dr. Agus Brotosusilo

Teori Kelas •

Kesadaran Intelektual dibentuk dari setting sosial yang ada pada suatu masa/waktu tertentu

• Perjuangan historis dari kelompok ekonomi rendah dan rentan (baik yang memiliki “class consciousness” maupun tidak) untuk membebaskan diri dari dominasi dan eksploitasi oleh the upper “privileged” class yang terus mempertahankan dominasi mereka sampai pada posisi permanen. • Pertarungan dan pergulatan antara kepentingan kelas pekerja (proletar) dan majikan mereka (borjuis/pemilik modal).

Teori Marxist • Materialism “Conceiving, thinking, the mental intercourse of man, appear at (the earliest) stage are nothing but their material behavior” • Dialectical Materialism The Marxist theory that maintains the material basis of a reality constantly changing in a dialectical process and the priority of matter over mind • Infrastructure-Superstructures The mode of production of material life determines the general character of the social, political, and spiritual processes of life • Alienation & Surplus Value

Hukum dan Ideologi • • • •



The concept of ideology is central to Marxian understanding of law Ideologi adalah pandangan tentang bagaimana dunia seharusnya berjalan (Normatif) Ideologi sangat dapat bersifat subjektif dan berpihak, minimal berpihak pada si penganut pandangan atau si pembuat hukum atau kebijakan Pada umumnya ideologi dalam bidang hukum bersifat tersirat daripada tersurat Suatu ideologi bisa bertahan apabila ditopang oleh pranatapranata sosial. Hukum dan kekuasaan menjadi instrumen utama.

Critical Legal Studies • Critical Legal Studies lahir di kalangan pemerhati ilmu sosial; Dengan demikian pada dasarnya faham ini melakukan kritik terhadap sistem hukum dari luar. Oleh karena itu, tidak aneh bila penalarannya pada awalnya kurang dikenal di kalangan Hakim • Namun dalam perkembangannya penalaran ini menjadi cukup dominan di dalam kajian displin hukum • Pusat Kegiatan Critical Legal Studies adalah menyerang segala pemikiran kelompok Legal Liberalism, yang meliputi: Natural Law, Classical maupun Modern Positivism, Sociological Jurisprudence, maupun Legal Realists

Critical Legal Studies • • •

Critical Legal Studies menolak Formalism yang mempromosikan netralitas hukum, yang menekankan bahwa penalaran hukum liberal sama sekali bebas nilai Critical Legal Studies juga menolak pendapat displin hukum bersifat otonom, berbeda sama sekali dengan displin lainnya Pokok pemikiran Critical Legal Studies adalah Hukum adalah Politik, Hukum melembagakan Politik!

Critical Legal Studies • Pokok-Pokok pemikran tercemin pada padanganan sebagai berikut: • Hukum adalah pencerminaan struktur kekuasaan yang ada pada saat pada saat itu, sehingga hukum tidak mungkin netral • Peran hukum adalah melembagakan status quo dan melegitimasi penggunaan kekuasaan untuknya; • Dengan berkedok netralitas, pemikiran hukum membatasi pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu status quo, dengan demikian menjadi hambatan bagi perubahan sosial yang konstruktif, dan • Hukum mempertahankan struktur dan birokrasi sosial yang exploitatif

Critical Legal Studies • Hukum bukannya menerapkan metode pengambilan keputusan yang obyektif dan netral, tetapi merupakan kedok bagi isu-isu politik yang relevan bagi status quo • Pemikiran liberal mengandung kontrakdiksi yang tak terpecahkan, yang merupakan dilemma mendasar bagi liberalism ingin melindungi kebebasan individu, tetapi pada saat yang sama mengakui adanya ketergantungan timbal balik antar warga masyarakat. Penganut liberalism yang mengagungkan nilai individualism selalu berkotbah tentang demokrasi yang mengutamakan nilai komunalism

Critical Legal Studies • Critical Legal Studies menyimpulkan bahwa kerangka kerja doktrinal pemikiran hukum legal liberalism yang ada sebenarnya merupakan upaya untuk menyembunyikan kontrakdiksi yang sangat mendasar tersebut; merupakan pertanyaan tanpa harapan untuk menjawab pertanyaan yang mustahil terjawab. • Konsekuensinya: legal liberalism bukan saja tidak bermanfaat, tetapi juga secara politis bersifat represif

Sekian..………

Natural Law What is beyond?

Who is he? Sapere Aude (Dare to be wise, dare to know) Born in 1724 in Konigsberg, Prusia (Kaliningrad) German philosopher “It always remains a scandal of philosophy and universal human reason that the existence of things outside us ... should have to be assumed merely on faith, and that if it occurs to anyone to doubt it, we should be unable to answer him with a satisfactory proof.” Then he Proposed: “Up to now it has been assumed that all our cognition must conform to the objects; but ... let us once try whether we do not get farther with the problems of metaphysics by assuming that the objects must conform to our cognition”. Hans Kelsen is inspired by this Philosopher.

The Three Postulates • FREEDOM – GOD - IMMORTALITY • There are incorporated into coherent and meaningful ethical structure. • A postulate is “a theoretical propositions which is not as such demonstrable but which is an inseparable corollary of an apriori unconditionally valid practical law.” • The postulate becomes part of the Kant’s ethical structure but he makes it clear that the postulates play no theoretical or explanatory role.

Postulates • As we have no intuitions to apply the concepts of freedom, God and immortality; no theoretical knowledge is possible. • Kant makes it clear, “A postulate of practical reason is an object of rational belief, but the reasons for the belief are practical and moral. Person needs the belief as a condition for obedience to the moral law.”

Explanation • Freedom, God and Immortality: are not theoretical dogmas  presuppositions: for practical reference. The postulate can be considered as an attempt to limit the theoretical and extend the practical so as to make them stand together. • God as postulate by Kant is not the God of religion. It has origin in one’s own reason which would necessarily mean that submitting to will of God is submitting to one’s own reason. The need of God arises because the relationship between moral law and happiness is not guaranteed in this world. So here God comes to the rescue and thus necessitates the compatibility of virtue and realization of highest good, according Kant.

Explanation • Immortality is very much related with God. For Kant it is very difficult for a man to be righteous without hope. Immortality guarantees this hope and ensures that there is a place sufficient for the reckoning of happiness in proportion to worthiness to be happy. • Freedom (Autonomy) is given a special position among the other two postulates. It becomes the condition of of the moral law which we do know. It is because of freedom that God and Immortality gain objective reality and legitimacy and subjective necessity. Freedom (Autonomy) then can be considered as the keystone of the structure of pure reason.

Its Relevance with Natural Law • The assumption of natural law: Universality and Eternality • System of thinking : transcendentalist • There is another world consists of absolute entity that determines the world of everyday life. • Secular approach (rationality) and theological approach (God as supreme and almighty entity). • Natural Law’s perspective is transcendentalist in nature because it believes the existence of what is behind the appearance.

Conversation between two old friends • Do you believe that there is life after this life? • No, I do not believe it. • But for what reason you will do good in your life? Don’t you expect reward? • No. • So what makes you do good? • Happiness. I do good because I am happy to do that. • Isn’t that (happiness) a reward? • No. That is a consequence of what I’ve done. If you speak about reward then there would be “something” that gives me such reward and in contrary a punishment if I do bad. • So it is meaningless if I will relate reward with the life afterlife or heaven as reward of your good behavior and attitude.

Questions • Do people always need reward for doing good? • If we make further reflection on “goodness”, does goodness always anchor its existence in the hope for reward in the future, especially good reward in the afterlife? Isn’t that good is enough for good itself? • If we take a look on law. Do you see that the logic of law quite the same with such kind of logic? – reward and punishment logic. Is it really necessary for applying such logic in law so people will obey the law? • What about common good? Do we need such logic for achieving common good?

Dari Gerakan “Hukum & Pembangunan” Menuju “Akses Keadilan” Sulistyowati Irianto

Gerakan “Law & Development” • Awal 1960 an: Law and Development diterapkan dengan tujuan mempromosikan demokrasi dan pembangunan di negara2 baru merdeka di Afrika dan Asia, dan negara berkembang. • Perancang: US dan lawyers-nya • Tujuan mentransformasi “western social, economic and political model” • Mereka percaya dengan bantuan hukum barat, modernisasi dan demokrasi dapat terwujud di negara2 tsb

Kegagalan program “Law and Development” & penyebabnya • Demokrasi dan modernisasi tidak pernah terjadi. • F. Benda-Beckmann “what did lawyers understand about the development of the third world ?” • Carothers: Pengetahuan yang tidak memadai • David Trubek and Marc Galanter: “that the law and development movement was based on a flawed theory of law and society, and a flawed ideal of “liberal legalism”. • Lawrence Friedman the promotion of legal reform in developing countries lacked “any careful, thought out, explicit theory of law and society or law and development”. • James Gardner, … “these programs, though well-intentioned, amounted to “legal imperialism.” (Stephenson, 2006: 192)

Gerakan “Rule of Law” • Stl kegagalan legal development movement, hukum tidak pernah diperhitungkan dalam teori2 pembangunan tahun 1970-1980 • Hukum diperhitungkan lagi setelah munculnya gelombang baru “law-focus development” in the 1990 • The Rule of Law movement lahir sebagai bidang yang dipromosikan setelah berakhirnya perang dingin. Diterapkan di Latin America, Eastern Europe, the former Soviet Union, Asia (Indonesia), dan SubSaharan Africa.

“Rule of Law Orthodoxy” • Tujuan lebih bersifat orientasi hukum bisnis • Asumsi: hukum bisnis: stimulus utk pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan • Negara2 Asia, tmasuk Indonesia: modifikasi hukum dan institusi bisnis agar cocok dengan ekonomi komersial • Instrumen hukum bisnis disahkan dan diamandemen • Setelah 10 tahun dilaksanakan, menghabiskan billion dollar Amerika, program tidak berjalan baik: upaya memperkuat institusi hukum berjalan lambat & sulit • Pelatihan utk hakim, konsultan hukum, studi komparatif di antara palar ahli tidak relevan dng dana yg dikeluarkan. Sistem hukum di Amerika Latin tetap terbelakang dan di Rusia reformasi hukum tidak terjadi.

Kegagalan “rule of law orthodoxy”(Golub, 2005) • Bersifat “top down” & state centered • Ciri utama dari “orthodoxy”: • Terlalu fokus kpd institusi negara, khususnya pengadilan • Fokus ini ditentukan oleh profesi hukum yg mewakili negara, pejabat hukum, jaksa, konsultan asing & penyandang dana • Hasilnya: kecenderungan utk mendefinisikan masalah hukum & solusinya secara sempit, terkait pengadilan, kejaksaan, advokat, kontrak, reformasi hukum & institusi hukum lain

Program diterjemahkan sbg • Membangun & memperbaiki gedung2 pengadilan • Membeli furnitur, komputer & peralatan • Drafting hukum & regulasi baru dlm bidang hukum bisnis • Pelatihan hakim, advokat & profesi hukum lain • Memanfapkan manajemen dan administrasi sistem pengadilan • Mendukung institusi pengadilan dan institusi manajemen yg lain • Membentuk organisasi2 advokat • Menyelenggarkan pertukaran hakim, administrator pengadilan dan advokat

Akses keadilan bagi kelompok miskin & perempuan 4 milyar orang di seluruh dunia hidup dalam kemiskinan karena ketiadaan akses kepada keadilan (CLEP, 2008) Dekonstruksi thd kemiskinan dlm perpektif ekonomi sentris Ketiadaan akses kpd keadilan: ketiadaan ruang untuk didengar suaranya dlm proses2 pengambilan keputusan di berbagai tingkat

Mengapa Akses Keadilan bagi Klp miskin & perempuan ? • Perempuan (miskin) menjadi bagian dari kelompok yang tidak diuntungkan, karena mereka miskin, terbelakang, berasal dari ras, etnik, dan agama minoritas (Tong, 1998, Harding, 1987, Moore, 1998, Shiva & Mies, 1993, Rosaldo 1974) • Relasi kuasa antara perem dan orang-orang di sekitarnya, termasuk suami, kerabat (otoritas adat) sampai elite kekuasaan di pemerintahan, menghalangi perem mendpt akses kpd keadilan

Definisi “Akses Keadilan” Akses Keadilan tersedia apabila terdapat keadaan: •Adanya orang miskin dan rentan •Menderita ketidak adilan •Memiliki kemampuan •Agar ketidakadilannya didengar/diperhatikan oleh •Institusi negara/non-negara •Yang mengatasi masalah ketidakadilannya •Didasarkan pada hukum negara, hukum adat, hukum agama atau kebiasaan’ •Sejalan dengan “rule of law”

EMPAT PILAR AKSES KEADILAN (1)Tersedianya hukum yang adil bagi kelompok rentan (perempuan) (2)Akses terhadap pengetahuan hukum (3)Akses terhadap identitas hukum (4)Akses terhadap bantuan hukum

Akses peremp kpd keadilan (negara) • Hukum yg berkeadilan gender: bgm peremp ditempatkan dalam hukum? Apk pengalaman peremp diperhitungkan oleh hukum’ bgm ia diperlakukan oleh penegak hukum dlm proses penyelesaian perkara di persidangan ? • Pengkajian dan Pencabutan berbagai peraturan perundang-undangan (daerah) dan kebijakan yang berimplikasi merugikan perempuan.

Akses kpd Pengetahuan Hukum • Peremp miskin dan tidak terdidik terhalang untuk memiliki pengetahuan hukum ttg hak-haknya utk diperlakukan adil di muka hukum, mendpt pelayanan dan bantuan hukum yang memadai ketika membutuhkannya, bahkan sering diperlakukan tidak adil dalam proses peradilan • Memperkuat basis legal knowledge para calon sarjana hukum di Fakultas Hukum, para penegak hukum, & masyarakat luas

Akses kpd identitas hukum •Memperkuat secara institusional dan sistematis penjaminan berbagai dokumen hukum spt surat lahir, surat perkawinan, KTP/paspor, surat kepemilikan barang, dsb

Akses kpd bantuan hukum • Perempuan miskin sukar mendapat akses kepada konsultasi & dampingan hukum • Memperkuat implementasi UU Bantuan Hukum (bagi orang miskin & perempuan)

• TERIMAKASIH

POSITIVISME HUKUM • Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang bertitik tolak bahwa ilmu alam (fakta yang positif) sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik. • Mengutamakan fakta yang dapat diamati walaupun tidak menolak abstraksi-abstraksi data hasil pengamatan, tidak mencari atau menerima suatu realitas yang lebih tinggi dan di atas dunia inderawi. Oleh karena itu, positivisme cenderung sekuler dan empiris. • Pendiri filsafat positivis: Henry de Saint Simon (Auguste Comte adalah tokoh positivisme yang paling terkenal).

Tiga tahap pemikiran manusia • •

Menurut Simon untuk memahami sejarah manusia harus mencari hubungan sebab akibat dan hukum-hukum yang menguasai proses perubahan. Comte merumuskan 3 tahap pemikiran manusia (perkembangan masyarakat) yaitu; 1). Tahap teologis, 2). Tahap metafisis dan 3). Tahap positivis.



Tahap Teologis  manusia adalah ”produk” dari proses kosmos yang dikendalikan oleh gagasan-gagasan keagamaan. Proses, yaitu; anismisme dan fetisisme , politeisme kemudian menuju pada pemikiran monoteisme.



Tahap Metafisika  manusia dengan akal budinya mampu menjelaskan tentang realitas, fenomena, dan berbagai peristiwa dicari dari alam itu sendiri.



Tahap Positivis  tahap dimana manusia mulai berpikir secara ilmiah (Dasar bagi masyarakat Industri).

Ciri-Ciri Positivisme • mengutamakan fakta yang dapat diamati; • didasarkan pada data empiris; • tidak mencari atau menerima statu realitas yang lebih tinggi atau diatas dunia inderawi; • tidak mengenal adanya spekulasi; • cenderung sekuler

 Aliran positivisme ini dibawa dan dikembangkan dalam ranah bidang Hukum.

Positivisme Hukum • Menurut positivisme hukum; • suatu norma adalah hukum bila norma tersebut ditetapkan (diletakkan) sebagai hukum. • penetapan norma sebagai suatu hukum ditetapkan oleh suatu kedaulatan (sovereign). • hukum ada perintah dari penguasa (command of lawgivers) • adanya pemisahan yang tegas hukum dari moral. Hukum mungkin saja bertentangan dengan moral, namun ia tetap sah sebagai sebagai hukum bila ditetapkan oleh penguasa (ciri khas yang paling menonjol dari aliran ini) • hukum dalam perkembangannya menjadi sangat formalistik

Asumsi yang digunakan • Penguasa adalah orang-orang pilihan yang dipilih oleh rakyat untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat. • Hukum yang dibuat dan ditetapkan oleh penguasa sudah pasti benar dan adil. • Adanya itikat baik dari penguasa. • Aliran ini memandang bahwa mereka yang bekerja di peradilan adalah orang-orang netral karena independensi dan imparsialitas dari lembaga-lembaga peradilan sudah dijamin oleh undang-undang.

Tokoh-tokoh positivisme hukum • Jeremy Bentham (utilitarian) • Kebahagian terbesar adalah untuk jumlah yang terbesar. • Dia menolak hukum kodrat dan nilai-nilai subjektif dan menggantinya dengan patokan-patokan yang didasarkan pada keuntungan, kesenangan dan kepuasan manusia. • Teorinya merupakan teori hukum yang bersifat imperatif, yang didalamnya konsep-konsep kunci yaitu; sovereignty dan command. • Baginya pelaksanaan hukum merupakan “extra legal,” walaupun dia tidak menyampingkan penggunaan sanksi hukum.

Tokoh-tokoh positivisme hukum • Dia berpikir, bahwa “command” dan “sovereign” merupakan hukum walaupun “command” itu hanya didukung oleh sanksi moral dan agama. • Penghargaan lebih efektif daripada penghukuman • Tidak ada hukum yang tidak bersifat imperatif maupun tidak permisif (Hukum selalu imperatif dan permisif) • Seluruh hukum memerintahkan, melarang atau membolehkan bentuk-bentuk tertentu dari perilaku. • Sifat imperatif hukum selalu disebutkan, sedangkan penghukuman sering tersembunyi

Tokoh-tokoh positivisme hukum • John Austin • Bagi austin, hukum merupakan perintah dari pihak yang berkuasa yang memiliki sanksi. • Hukum terpisah dari moral. • Austin bersikukuh pada orang atau lembaga yang menentukan sebagai sumber dari suatu command yang dapat dianggap sebagai pijakan bahwa suatu command merupakan pelaksanaan kehendak dari orang/orang tertentu. • Sovereignty bersifat faktual, bisa banyak, bertingkat dan bersifat politis. • Empat unsur penting untuk dinamakan sebagai hukum adalah perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan. • Hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis, tetap dan bersifat tertutup (close logical system) • Tidak membedakan sovereignty secara de jure dengan de facto (Dianggap sebagai kegagalan)

Penutup • Kepastian hukum adalah “senjata” dari tujuan dan sasaran yang ingin dicapai oleh penganut aliran positivisme hukum. • Hukum akan kehilangan makna sebagai patokan bagi prilaku semua orang bila tanpa adanya kepastian. • Kepastian hukum Vs Keadilan Hukum ??

FILSAFAT HUKUM Topik: Sociological Jurisprudence a. b. c.

Latar belakang Hubungan Hukum dan Masyarakat (Sosiologis) Perbedaan Sociological Jurisprudence dan Sosiologi Hukum

d. e.

Tokoh-tokoh (Ehrlich, Durkheim, Weber dan Pound) Diskusi

A. Latar Belakang Hukum yang Berdimensi Sosiologis • Perkembangan ilmu pengetahuan dan metode ilmiah pada abad XIX • Kritik terhadap paham legisme/formalisme yang dijadikan sebagai dasar pembentukan hukum modern • Memberikan pengetahuan bagi seorang juris, disamping penguasaan terhadap hukum positif, juga dibekali penguasaan untuk melakukan sorotan terhadap aspek perilaku dari kenyataan, yang mencakupi pendekatan sosiologis, antropologis, historis, maupun psikologis (Soerjono Soekanto)

B. Pandangan terhadap hubungan Hukum dan Masyarakat (Legisme Hukum) 1. Pandangan Legisme Hukum: Hukum adalah (cermin) Masyarakat Asumsi : • Masyarakat homogen, ada konsensus nilai dan norma Argumentasi: • Hukum (=undang-undang) adalah hasil positivisasi atau formalisasi saja dari apa yang selama ini dianggap telah berlaku sebagai norma-norma dan/atau moral kebiasaan melalui badan-badan berwenang.

B. Pandangan terhadap hubungan Hukum dan Masyarakat (Non Legisme) 2. Pandangan Non Legisme Hukum: Hukum tidak (selalu cermin) masyarakat; hukum bisa juga konflik dengan masyarakat Argumentasi : • Hukum (=Peraturan perundang-undang) didoktrinkan agar memberi kepastian; padahal: • Masyarakat adalah realitas yang selalu berubah, lain dulu lain sekarang; konflik selalu ada antara the conservative dan the progressive • Masyarakat adalah realitas yang berbeda dari tempat ke tempat; masalah cultural dan legal gaps

C. Perbedaan antara Sociological Jurisprudence dengan Sosiologi Hukum • Pendekatan hukum yang berdimesi sosiologis diajarkan melalui dua ilmu yang berbeda pijakan ilmunya. • 1. Pendekatan Sosiologis Tentang hukum  Praktek di negara-negara Eropa Kontinental pendekatan ini diajarkan dalam Ilmu Sosiologi Hukum. • 2. Pendekatan Hukum terhadap Sosiologi  Praktek di Amerika Serikat pendekatan ini diajarkan dalam Ilmu Sociological Jurisprudence. • Topik pembahasannya identik, tetapi dari segi cabang ilmu pengetahuan berbeda • Sociological Jurisprudence merupakan cabang dari Ilmu Hukum Normatif yang ruang lingkupnya berkaitan dengan pembentukan hukum dan pelaksanaan hukum agar lebih efektif. • Sosiologi Hukum adalah cabang Ilmu Sosiologi yang pada dasarnya merupakan salah satu ilmu deskriptif dan bersifat empiris.

D. Tokoh – Tokoh Sociological Jurisprudence

1. Eugen Ehrlich (1862–1922) • •



Pusat gaya tarik perkembangan hukum tidak terletak pada perundang-undangan, tidak pada ilmu hukum, tetapi ada di dalam masyarakat. Untuk mengetahui bagaimana hukum bekerja dan bagaimana pandangan masyarakat terhadap hukum, kita perlu terjun secara langsung untuk mengetahui kehidupan di dalam masyarakat. Hukum positif yang dibuat akan efektif apabila selaras dengan hukum yang hidup dalam masyarakat (living law).

D. Tokoh – Tokoh Sociological Jurisprudence 2. Emile Durkheim

(1858 – 1917)

Karya; the Division of Labor in Society  tipe solidaritas dalam struktur sosial dalam masyarakat •

• • • •

Inti gagasannya tentang masyarakat. Pembagi masyarakat modern dan masyarakat tradisional Dalam masyarakat tradisional hubungan sosial dan solidaritasnya didasarkan oleh banyaknya persamaan (perasaan, pandangan hidup, agama/kepercayaan, dan adat istiadat) dari masyarakat tersebut. Jenis Solidaritas masyarakat ini adalah Solidaritas Mekanis Kesadaran di dalam masyarakat bersifat kolektif, sehingga individualitas anggota masyarakat cenderung kecil. Jenis hukum yang berlaku adalah ”hukum yang menindak” (repressive), yang merupakan ciri khas dari hukum pidana yang memberikan hukum pemaksaan dan penderitaan bagi individu yang melakukan pelanggaran.

D. Tokoh – Tokoh Sociological Jurisprudence • Masyarakat modern dicirikan sudah ada diferensiasi dan spesialisasi fungsi dari masing-masing anggota masyarakat, diantaranya melalui pembagian atau spesialisasi kerja anggota masyarakat. • Jenis Solidaritas masyarakat ini adalah Solidaritas Organik • Kesadaran masyarakat terbatas pada “kepentingan kerja,” akibatnya individualisme berkembang dan kesadaran kolektif menjadi berkurang. Untuk tetap dapat melangsungkan hidupnya, maka masyarakat harus saling bekerjasama. Hukum merupakan mekanisme pengintegrasian sosial. • Jenis hukum yang berlaku adalah ”hukum yang menggantikan” (restitutive). Hukum jenis ini memberi perbaikan, penggantian dan penegakkan kembali seperti keadaan semula. • Hukum menurut Durkheim mempunyai fungsi utama untuk menegaskan lagi “conscience collective” dihadapan tindakan-tindakan yang mempertanyakan kebenarannya.

D. Tokoh – Tokoh Sociological Jurisprudence 3. Max Weber

(1864 – 1920)

• Suatu tatanan dapat disebut sebagai hukum, apabila secara eksternal ada jaminan bahwa hukum tersebut dapat dipaksakan (fisik dan psikologi) yang diterapkan oleh badan khusus • Adanya pengaruh politik, agama dan ekonomi terhadap perkembangan hukum dan ilmu hukum • Tipe Otoritas • Otoritas Tradisional  Kepercayaan akan nilai-nilai yang sudah mapan dan selalu ada • Otoritas Kharismatis  Dikendalikan oleh orang-orang yang mempunyai kepribadian yang luar biasa • Otoritas Legal-Rasional  Otoritas yang bersumber pada sistem hukum

D. Tokoh – Tokoh Sociological Jurisprudence Tipologi mengenai hukum • Tipologi disusun berdasarkan; formal-substantif dan irasionalrasional

• Irasional Substantif  Didasarkan pada nilai-nilai emosional • Irasional Formal  Didasarkan pada pewahyuan • Rasional Substansif  Didasarkan pada kebijaksanaan dan ideologi penguasa • Rasional Formal  Didasarkan pada konsep abstrak tentang jurisprudence

D. Tokoh – Tokoh Sociological Jurisprudence

4. Roscoe Pound ( 1870 – 1964) • • •

Pembawa pendekatan ilmu eksakta dalam ilmu hukum Dalam masyarakat terdapat berbagai kepentingan (umum, sosial dan individu) Hukum adalah upaya untuk meraih kepuasan, harmonisasi, penyesuaian terhadap berbagai konflik kepentingan yang terjadi dalam masyarakat sehingga memberikan dampak luas bagi kepentingan warga masyarakat (sosial) secara menyeluruh dengan minimal munculnya friksi.

D. Tokoh – Tokoh Sociological Jurisprudence • Roscoe Pound berpendapat agar ahli hukum lebih memusatkan perhatian pada hukum dalam praktek (law in actions), dan jangan hanya sebagai ketentuan-ketentuan yang ada dalam peraturan (law in books). • Pandangan bahwa Hukum sebagai ”social engineering” dilakukan melalui putusan hakim (dalam tradisi common law). Ketika dikembangakan di Indonesia konsep ini diterjemahkan bahwa hukum-melalui para pembuat peraturan (penguasa)dijadikan alat untuk merekayasa masyarakat demi tujuan pembangunan. • Tujuan hukum menurut Pound adalah untuk mengawasi berbagai kepentingan dan mempertahankan atau memelihara keharmonisan dan integrasi masyarakat.

Sekian..………

Conceptual Study:

Access to Justice and Rule of Law

Van Vollenhoven Institute

Various Definitions of Access to Justice From: -‘Access to Justice concerns the availability of legal aid for poor people’ (paraphrase of the concept as implicit in the famous Dutch Access to Justice study De weg naar het recht, 1975) to -‘Access to Justice is the ability of people to seek and obtain a remedy through formal or informal institutions of justice, and in conformity with human rights standards’ (UNDP 2005) Van Vollenhoven Institute

Various Definitions of Legal Empowerment ‘The use of legal services, often in combination with related development activities, to increase disadvantaged populations’ control over their lives’ (Golub 2006) ‘Fighting poverty by identifying and providing the poor with legal and institutional tools that allow them to benefit from greater security and to create wealth within the rule of law’ (CLEP 2006) ‘To create rights, capacities, and/or opportunities for the poor that give them new power to use law and legal tools to escape poverty and marginalization.’ (Bruce et al. 2007) Van Vollenhoven Institute

Commonalities and differences -Bottom up -Concerned about the poor -Centrality of the legal system (to some extent)

-‘Enabling’ v. ‘overcoming obstacles’ -Centrality of power relations Access to Justice is often used as the umbrella concept (e.g. Genn et al. 2004) Van Vollenhoven Institute

‘Umbrella Definition’ of A2J Access to justice exists if:

-

People, notably poor and vulnerable,

-

Suffering from injustices

-

Have the ability

-

To make their grievances be listened to

-

And to obtain proper treatment of their grievances

-

By state or non-state institutions

-

Leading to redress of those injustices

-

On the basis of rules or principles of state law, religious law or customary law

-

In accordance with the rule of law

Van Vollenhoven Institute

1. (Notably) Poor and Vulnerable People You need to identify them.

Van Vollenhoven Institute

2. Suffering from injustices What is your standard?

-

State law?

-

Your point of view?

-

The point of view of those concerned?

Van Vollenhoven Institute

3. Have the ability -

Practical issues

-

Psychological issues

Van Vollenhoven Institute

4. To make their grievances be listened to -

From injustice to grievance

-

First step: being listened to

Van Vollenhoven Institute

5. And to obtain proper treatment of their grievances -

Second step: to obtain proper treatment

-

Again: what is proper (state law, researcher’s point of view, or the point of view of those concerned?)

Van Vollenhoven Institute

6. By state institutions or non-state institutions -

Recognising that various forums may exist

-

Implications for ‘proper’?

Van Vollenhoven Institute

7. Leading to redress of those injustices -

Third step: redress

-

Once again: what is the standard for redress?

Van Vollenhoven Institute

8. On the basis of rules or principles of state law, religious law or customary law -

Underlining the legal pluralist approach of the concept

-

Making justice ‘legal’ and not ‘incidental’

-

Introducing a normative point of reference

Van Vollenhoven Institute

9. In accordance with the rule of law

-

Introducing a firm normative standard: procedural (whether the process is fair) and in accordance with human rights

Van Vollenhoven Institute

A Rule of Law Model Category 1 : Procedural elements law (= written acts, regulations and decrees) as instrument of government action (rule by law) state actions are subject to law law must be clear and certain in its content, accessible and predictable for the subject, and general in its application (formal legality) consent determines or influences the content of the law and legal actions (democracy)

Van Vollenhoven Institute

A Rule of Law Model Category 2: Substantive elements subordination of all law and its interpretations to fundamental principles of justice, moral principles, fairness and due process protection of individual rights and liberties (fundamental political and property rights [1st generation]) the state exists for the benefit of each and every individual (social human rights / social welfare [2nd generation]) protection of group rights (3rd generation) Van Vollenhoven Institute

A Rule of Law Model Category 3: Controlling Mechanisms

there exists an independent judiciary charged with the interpretation and application of the law to which every aggrieved person has access (independence of the judiciary, sometimes broadened to trias politica) there are other institutions (Ombudsman, Human Rights Commission, Tribunals, etc.) charged with safeguarding elements of the rule of law

Van Vollenhoven Institute

A Rule of Law Model Category 3: Controlling Mechanisms

there exists an independent judiciary charged with the interpretation and application of the law to which every aggrieved person has access (independence of the judiciary, sometimes broadened to trias politica) there are other institutions (Ombudsman, Human Rights Commission, Tribunals, etc.) charged with safeguarding elements of the rule of law

Van Vollenhoven Institute

Relation A2J - Rule of Law -Access to Justice is incorporated in a broad conception of the rule of law (in any case when it involves state law and state institutions) -Access to Justice can be seen as a shift of attention within an extended version of the RoL model and by explicitly incorporating institutions other than courts

Van Vollenhoven Institute

How to do research on A2J?

Van Vollenhoven Institute

Related Documents


More Documents from "Ratno Legoh-lohonauman"