Hepatitis B Dalam Kehamilan

  • Uploaded by: Widya Noviani
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Hepatitis B Dalam Kehamilan as PDF for free.

More details

  • Words: 7,075
  • Pages: 32
Loading documents preview...
Referat

HEPATITIS B DALAM KEHAMILAN Diajukan sebagai salah satu syarat dalam menjalani Kepaniteraan Klinik Senior di bagian Ilmu Obstetri Ginekologi Rumah Sakit Umum Daerah Cut Nyak Dhien Meulaboh Oleh :

WIDYA NOVIANI, S.ked 16174284

Pembimbing : dr. Armansyah Harahap Sp.OG dr. Adyanur Munira Sp.OG

BAGIAN ILMU KANDUNGAN DAN KEBIDANAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ABULYATAMA RUMAH SAKIT UMUM DAERAH CUT NYAK DHIEN MEULABOH TAHUN 2017 1

BAB I PENDAHULUAN

Penyakit hepatitis merupakan masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang di dunia, termasuk di Indonesia. Virus hepatitis B (VHB) telah menginfeksi sejumlah 2 milyar orang di dunia dan sekitar 240 juta merupakan pengidap virus hepatitis B kronis. Sekitar 23 juta penduduk Indonesia telah terinfeksi Hepatitis B. Menurut hasil Riskesdas 2007, hasil pemeriksaan Biomedis 10.391 sampel serum yang diperiksa, prevalensi HBsAg positif 9.4% yang berarti diantara 10 penduduk di Indonesia terdapat seorang penderita Hepatitis B virus. Angka penularan secara vertikal dari ibu pengidap Hepatitis B kepada bayinya cukup tinggi. Berdasarkan penelitian beberapa rumah sakit di Indonesia, prevalensi HBsAg pada ibu hamil berkisar 2,1 – 35,1%. Resiko tinggi terhadap Hepatitis B terdapat pada anak yang dilahirkan dari ibu penderita Heptitis B, pasangan penderita Hepatitis B, orang yang sering berganti pasangan sex, injection drug user, kontak serumah dengan penderita, penderita hemodialisis, pekerja kesehatan, petugas laboratorium dan berkunjung ke wilayah dengan endemisitas tinggi. Penanganan Hepatitis B di Indonesia adalah masalah yang rumit dan membutuhkan koordinasi dari banyak pihak. Sulitnya penanganan ini antara lain disebabkan karena tingginya prevalensi Hepatitis B di Indonesia, sifat virus Hepatitis B yang sangat infeksius, dan kurangnya pengetahuan dan kepedulian masyarakat tentang Hepatitis B. Penanganan Hepatitis B di Indonesia secara umum dapat dibagi menjadi upaya memutus rantai penularan virus Hepatitis B dan penanganan secara tepat penderita Hepatitis B. Pemutusan rantai penularan virus Hepatitis B bisa dilakukan secara vertikal maupun horizontal. Penanganan penderita Hepatitis B secara tepat, selain berguna untuk menekan angka kejadian sirosis dan kanker hati, juga berguna untuk mencegah penularan dengan cara mengurangi tingkat infeksiusitas penderita. 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 HEPATITIS B 2.1.1 Etiologi Penyebab termasuk

penyakit

adalah

virus

Hepatitis

B

(VHB)

yang

family Hepadnavirus dan berukuran sangat kecil (42nm). VHB

merupakan virus DNA dan sampai saat ini terdapat 8 genotip VHB yang telah teridentifikasi, yaitu genotip A-H. VHB memiliki 3 morfologi dan mampu mengkode 4 jenis antigen, yaitu HBsAg, HBeAg, HBcAg, dan HBxAg.

Gambar 1. Virus Hepatitis B Bagian luar Virus ini terdiri dari HBsAg sedangkan bagian dalam adalah nukleokapsid yang terdiri dari HBcAg. Dalam nukleokapsid didapatkan kode genetik VHB yang terdiri dari NA Untai ganda untai ganda (double sttranded) dengan panjang 3200 nukleotida. Ketiga morfologi dari VHB yaitu: 1. Partikel sferis (bulat) kecil yang pleomorfik berdiameter 22 nm. 2. Partikel berbentuk tubuler atau filament berdiameter 22 nm dengan berbagai macam panjang antara 50-250nm 3

3. Partikel virus hepatitis B sendiri berdiameter 42 nm berbentuk sferis berikut

rangkap yang disebut partikel Dane

Partikel ini dianggap

sebagai bagian virus hepatitis yang infeksi.

Gambar 2. Tiga Morfologi VHB Struktur kompak.

dan

Genom

organisasi

genetik

VHB

tersusun

dengan

VHB merupakan genom kecil yang berupa sepasang

rantai DNA yang berbentuk lingkaran dengan panjang rantai yang tidak sama (partially double stranded). Genom tersebut mempunyai 4 Open Reading Frame (ORF), yaitu gen S dan pre-S yang mengkode HBsAg (LHBs, MHBs, dan SHBs), gen pre-C dan gen C yang mengkode HBeAg dan HBcAg dan gen P yang mengkode DNA polymerase serta gen X yang mengkode HBxAg.

Gambar 3. Struktur Genome VHB 4

Gen X tersebut berfungsi memacu ekspresi seluruh genom virus dengan cara berinteraksi pada daerah gen tertentu pada genom inang. Dengan demikian, HBxAg mempunyai sifat transaktifator yang mungkin penting untuk efisiensi replikasi VHB. Infeksi VHB terjadi bila partikel utuh VHB berhasil masuk ke dalam hepatosit, kemudian kode genetik VHB akan masuk ke dalam inti sel hati dank ode genetik itu akan memerintahkan sel hati untuk membuat protein-protein yang merupakan komponen VHB. Jadi, sebenarnya virus yang ada di dalam tubuh penderita itu dibuat sendiri oleh hepatosit penderita yang bersangkutan dengan genom VHB yang pertama masuk sebagai cetak biru. 2.1.2 Siklus Replikasi VHB Replikasi adalah suatu bentuk aktivitas perkembangan virus di dalam sel hati yang terinfeksi yang dapat berupa bahan-bahan genom dan protein virus, yang menyusun progeny virus dan mengeluarkannya dari sel. Replikasi VHB terjadi di dalam sel hati dan berlangsung melalui suatu perantara RNA. Siklus replikasi VHB dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu:2 a. Penempelan (attachment) VHB pada sel hepatosit. Penempelan tersebut dapat terjadi dengan perantaraan protein pre-S1, protein pre-S2, dan poly HAS (Polymerized Human Serum Albumin) serta dengan perantara SHBs.

Gambar 4. Virus Hepatitis B menempel pada sel hati dengan perantaraan poly HSA 5

b. VHB masuk (penetrasi) ke dalam hepatosit dengan mekanisme endositosis. c. Pelepasan partikel core yang terdiri dari HBcAg, enzim polymerase dan DNA VHB ke dalam sitoplasma. Partikel core tersebut selanjutnya ditransportasikan menuju nucleus hepatosit. d. Karena ukuran lubang pada dinding nucleus lebih kecil dari partikel core, sebelum masuk nucleus akan terjadi genome uncoating (lepasnya HBcAg), dan selanjutnya genom VHB yang masih terbentuk

partially double

stranded masuk ke dalam nucleus (penetrasi genom ke dalam nucleus). e. Selanjutnya partially double stranded DNA tersebut akan mengalami proses DNA repair menjadi double stranded covalently close circle DNA (ccc DNA) f. Transkripsi cccDNA menjadi pregenom RNA dan beberapa messenger RNA (mRNA LHBs, mRNA MHBs dan mRNA SHBs). g. Pregenom RNA dan messenger RNA akan keluar dari nucleus melalui nucleus pore. Translasi pregenom RNA dan messenger RNA akan menghasilkan protein core (HBcAg), HBeAg dan enzim polymerase, sedangkan translasi mRNA LHBs, mRNA MHBs dan mRNA SHBs akan menghasilkan komponen protein HBsAg, yaitu large protein (LHBs), middle protein (MHBs) dan small protein (SHBs). h. Enkapsidasi pregenom RNA, HBcAg dan enzim polymerase menjadi partikel core. Proses ini disebut juga proses assembly dan terjadi di dalam sitoplasma. i. Proses maturasi genom di dalam partikel core dengan bantuan enzim polymerase berupa transkripsi balik pregenom RNA. Proses ini dimulai dengan proses priming sintesis untai DNA (-) yang terjadi bersamaan dengan degradasi pregenom RNA, dan akhirnya sintesa untai DNA (+). j. Karena masa paruh hidup cccDNA di dalam nucleus hanya 2-3 hari, untuk mempertahankan persistensi perlu suplai genom terus menerus. Suplai DNA tersebut bisa berasal dari infeksi baru hepatosit oleh VHB atau proses re-entry partikel core yang dihasilkan di dalam sitoplasma. 6

k. Selanjutnya terjadi proses coating partikel core yang telah mengalami proses maturasi genom oleh protein HBsAg. Proses coating tersebut terjadi di dalam reticulum endoplasmic. Disamping itu di dalam reticulum endoplasmic juga terjadi sintesa partikel VHB lainnya partikel tubuler dan partikel sferik yang hanya mengandung LHBs, MHBs, SHBs (tidak mengandung partikel core). l. Selanjutnya melalui apparatus Golgi disekresi partikel-partikel VHB yaitu partikel Dana, partikel tubuler, dan partikel sferik. Hepatosit juga akan menyekresikan HBeAg langsung ke dalam sirkulasi darah karena HBeAg bukan merupakan bagian structural partikel VHB.

Gambar 5. Siklus Replikasi VHB

2.1.3 Epidemiologi Hepatitis B tersebar di seluruh dunia, WHO memperkirakan lebih dari 2 milyar orang terinfeksi HBV (termasuk 240 juta dengan infeksi kronis). Setiap tahun diperkirakan sekitar 1.000.000 orang meninggal akibat infeksi HBV. Pada negara dengan VHB endemis tinggi (prevalensi HBsAg berkisar di atas 8%), infeksi dapat terjadi pada semua golongan usia. Prevalensi terjadinya infeks Hepatitis B kronik pada anakanak jauh lebih tinggi dibandingkan pada orang dewasa. Penularan Hepatitis B terutama terjadi selama masa kehamilan dari ibu dengan Hepatitis B ke anak (penyebaran perinatal). Menurut tingginya 7

prevalensi infeksi VHB, WHO membagi dunia menjadi 3 macam daerah yaitu daerah dengan endemisitas tinggi, sedang, dan rendah. a. Daerah Endemisitas Tinggi, Di daerah dengan endemisitas tinggi, penularan utama terjadi pada masa perinatal dan kanak-kanak. Batas terendah frekuensi HBsAg dalam populasi berkisar 10-15%. Daerah yang termasuk kelompok ini adalah Afrika, negara Asia sebelah timur India termasuk Cina, pulau-pulau di Lautan Pasifik, Lembah Amazon, daerah pesisir Artic, sebagian negara Timur Tengah dan Asia kecil serta kepulauan Karibia. b. Daerah Endemisitas Sedang, Di daerah dengan endemisitas sedang penularan terjadi pada masa perinatal dan kanak-kanak jarang terjadi. Frekuensi HBsAg

dalam

populasi

berkisar

2-10%. Daerah dengan endemisitas

sedang adalah Eropa Selatan, Eropa Timur, sebagian Rusia, sebagian negara Timur Tenga, Asia Barat, India, Jepang, Amerika Tengah, Amerika Selatan. c. Daerah Endemisitas Rendah, Di daerah dengan endemisitas rendah penularan utama terjadi masa dewasa. Penularan pada masa perinatal masa perinatal dan kanak-kanak sangat jarang. Frekuensi HBsAg dalam populasi berkisar kurang 2%. Daerah ini meliputi Amerika Utara, dan Eropa Barat, sebagian Rusia, dan sebagian Afrika Selatan, Australia dan Selandia Baru.

TABEL 1. Pola geografik prevalensi infeksi hepatitis B di dunia 8

Pada negara dengan endemisitas Hepatitis B rendah (prevalensi HBsAg kurang dari 2%), sebagian besar infeksi terjadi pada dewasa muda, khususnya pada kelompok berisiko. Tingkat prevalensi Hepatitis B di Indonesia sangat bervariasi yaitu berkisar dari 2,5% di daerah

Banjarmasin

hingga

25,61% di Kupang, sehingga Indonesia termasuk dalam kelompok negara dengan endemisitas sedang hingga tinggi. Sebelum kebijakan skrining terhadap darah donor ditetapkan, penderita yang menerima darah dari donor carrier Hepatitis B mempunyai risiko tinggi tertular penyakit ini. Namun saat ini sebagian besar negara di dunia menyediakan fasilitas skrining untuk HBsAg terhadap darah donor sebelum diberikan kepada penderita yang memerlukan.

2.1.4 Cara Penularan Ada 2 golongan cara penularan infeksi VHB, yaitu penularan horizontal dan penularan vertikal. Cara penularan horizontal terjadi dari seorang pengidap infeksi VHB kepada individu yang masih rentan di sekelilingnya. Penularan horizontal dapat terjadi melalui kulit atau melalui selaput lender, sedangkan penularan vertikal terjadi dari seorang pengidap yang hamil kepada bayi yang dilahirkannya. Ada 2 macam penularan melalui kulit, yaitu penularan melalui kulit yang disebabkan tusukan yang jelas (penularan parenteral), misalnya melalui suntikan, transfusi darah atau pemberian produk berasal dari darah, dan tato. Kelompok kedua adalah penularan melalui kulit tanpa tusukan yang jelas, misalnya masuknya bahan infektif melalui goresan atau abrasi kulit dan radang kulit. Selaput lender yang dapat menjadi tempat masuk infeksi VHB adalah selaput lender mulut, mata, hidung, saluran makanan bagian bawah dan selaput lender genitalia. Penularan infeksi dari ibu hamil kepada bayi yang dilahirkannya. Dapat terjadi pada masa sebelum kelahiran atau prenatal (inutero), selama persalinan atau perinatal dan setelah persalinan atau postnatal. Dulu diperkirakan bahwa 9

penularan inutero hanya terjadi pada 5-15% bayi yang dilahirkan oleh ibu HBsAg dan HBeAg positif. Namun, teradapat bukti bahwa sebenarnya penularan inutero terjadi lebih tinggi dari angka-angka tersebut. Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar bayi yang tertular VHB secara vertikal mendapat penularan pada masa perinatal yaitu pada saat terjadi proses persalinan. Karena itu bayi yang mendapat penularan vertikal sebagian besar mulai terdeteksi HBsAg positif pada usia 3-6 bulan yang sesuai dengan masa tunas infeksi VHB yang paling sering didapatkan. Penularan yang terjadi pada masa perinatal dapat melalui cara maternofetal micro infusion yang terjadi pada waktu terjadi kontraksi uterus, tertelannya cairan amnion yang banyak mengandung VHB serta masuknya VHB melalui lesi yang terjadi pada kulit bayi waktu melalui jalan lahir. Penularan infeksi VHB vertikal juga dapat terjadi setelah persalinan.

2.1.5 Patogenesis Penelitian menunjukkan bahwa VHB bukanlah suatu virus yang sitopatik. Kelainan sel hati yang diakibatkan oleh infeksi VHB disebabkan oleh reaksi imun tubuh terhadap hepatosit yang terinfeksi VHB dengan tujuan akhir untuk mengeliminasi VHB tersebut. Pada kasus-kasus Hepatitis B akut respons imun tersebut berhasil mengeliminasi sel-sel hepar yang terkena infeksi VHB sehingga terjadi nekrosis sel-sel yang mengandung VHB dan terjadi gejala klinik yang diikuti dengan kesembuhan. Pada sebagian penderita respons imun tersebut tidak berhasil menghancurkan sel-sel hati yang terinfeksi sehingga VHB tersebut tetap mengalami replikasi. Pada kasus-kasus dengan Hepatitis B kronik, respons imun tersebut ada, tetapi tidak sempurna sehingga hanya terjadi nekrosis pada sebagian sel hati yang mengandung VHB dan masih tetap ada sel hati yang terinfeksi yang tidak mangalami nekrosi. Dengan demikian infeksi VHB dapat menjalar ke sel lainnya. Pada pengidap HBsAg simptomatik respons imun tersebut sama sekali tidak

10

efektif sehingga tidak ada nekrosis sel hati yang terinfeksi dan virus tetap mengadakan replikasi tanpa adanya gejala klinik. Setelah VHB masuk dalam tubuh dan akhirnya masuk ke dalam sel hati VHB akan mengalami replikasi. Pertama kali VHB akan berhubungan dengan respons imun nonspesifik yang mampu bekerja dalam waktu beberapa menit atau jam yang kemudian diikuti oleh naiknya kadar IFN. Proses eliminasi nonspesifik ini tidak disertai restriksi HLA dan melibatkan NK dan LKT yang dirangsang oleh IFN. Selanjutnya akan terjadi respons imun spesifik, baik yang bersifat seluler maupun humoral. Respons imun seluler berupa proses sitolitik yang akan menyebabkan pecahnya sel-sel hati yang terinfeksi. Proses sitolitik tersebut disebabkan oleh aktivitas sel T sitolitik yang telah diaktifkan. Di samping itu, juga terjadi

eliminasi

virus

intraseluler

tanpa

menimbulkan pecahnya sel-sel yang terinfeksi. Proses itu disebut proses eliminasi nonsitolitik yang terjadi karena aktivitas sitokin. Respons imun humoral terjadi melalui proses terbentuknya anti-HBs yang ikut membantu eliminasi VHB. Bila proses yang terjadi pada Hepatitis B akut tidak efektif sehingga sel yang terinfeksi tidak berhasil dihilangkan seluruhnya, akan terjadi infeksi Hepatitis B kronik. Pada Hepatitis B kronik antigen viral yang diekspresikan pada membran hepatosit adalah HBcAg dan HBeAg. Perlu diketahui bahwa antara HBcAg dan HbeAg terjadi reaksi imunologik silang pada tingkat sel T. Proses eliminasi VHB oleh respons imun yang tidak efisien dapat disebabkan oleh faktor viral ataupun faktor inang. Faktor viral antara lain: 

Terjadinya toleransi imun terhadap produk VHB



Hambatan terhadap CTL yang berfungsi melakukan lisis sel-sel terinfeksi



Terjadinya mutan VHB yang tidak memproduksi HBeAg



Integrasi genom VHB dalam genom sel hati.

11

Faktor inang antara lain: 

Faktor genetik



Kurangnya produksi IFN



Adanya antibody terhadap antigen nukleokapsid



Kelainan fungsi limfosi



Faktor kelamin atau hormonal

Perbedaan respons sitolitik sel T terhadap protein VHB sangat menentukan manifestasi klinik yang timbul. Bila respons sel T cukup kuat, akan timbul hepatitis akut dan tubuh dapat menyingkirkan virus. Bila respons sel T ini sangat hebat dapat timbul Hepatitis B akut fulminant.

Namun,

hubungan antara respons sel T dan manifestasi klinik rupanya tidak mutlak. Sebagai contoh, pada penderita yang mengidap infeksi VHB dengan mutan precore karena tidak terjad penampilan antigen nukleokapsid pada membran sel yang terinfeksi, respons sel T berkurang. Namun, justru pada kasus-kasus tersebut sering terjadi Hepatitis berat dan bahkan Hepatitis fulminant. Diduga dalam keadaan ini faktor yang berpengaruh adalah patogenesitas VHB. Pentingnya faktor patogenesitas virus juga tampak pada infeksi VHB bersamaan dengan VHD (Virus Hepatitis Delta). Gejala klinik pada infeksi VHB dan VHD lebih hebat dibandingkan dengan infeksi VHB saja walaupun respons sel T pada infeksi VHB dan VHD tidak banyak berbeda dengan infeksi VHB saja.

2.1.6 Manifestasi Klinis Manifestasi klinis infeksi VHB pada wanita hamil tidak berbeda dengan infeksi VHB pada umumnya. Teradapat 4 macam gambaran klinik infeksi VHB, yaitu : asimtomatik, akut, kronis dan karsinoma hepatoseluler. 1. Asimtomatik Gambaran klini pada pengidap asimtomatik tidak menunjukkan gejala klinik yang khas. Penderita tampak sehat hanya saja dalam darahnya didapati 12

HBsAg positif. Bila dalam tubuhnya terdapat HBeAg makan pengidap ini tergolong infeksius sebab HBeAg positif menggambarkan proses replikasi yang masih aktif bekerja. 2. Hepatitis B akut Perjalanan klinis penyakit hepatitis akut dibagi menjadi 4 tahap yaitu: a. Masa inkubasi Masa

inkubasi

adalah

masa

antara

penularan

infeksi

dengan

terjadinya gejala. Masa inkubasi VHB berkisar 30-180 hari dengan ratarata 60-90 hari. Lama masa inkubasi tergantung banyaknya virus yang ada dalam tubuh penderita, cara penularan dan faktor pejamu. Jumlah virus dan usia merupakan faktor penting yang berhubungan dengan keparahan akut atau kronik Hepatitis B. b. Fase pra-ikterik Fase pra-ikterik adalah waktu antara timbulnya gejala pertama dengan timbulnya ikterus. Keluhan paling awal adalah lemas, malas, anoreksia, mual, muntah, panas dan rasa tidak enak daerah perut kanan atas. Muntah pada kehamilan muda dapat dibedakan dengan muntah pada hepatitis dari awal terjadinya. Pada hepatitis, semakin sore hari muntah semakin berat sedangkan pada kehamilan muda muntah paling sering dirasakan pada pagi hari. Pada akhir masa inkubasi, beberapa individu berkembang gejala seperti hipersensitivitas yang berupa atralgia, ruam kulit dan vaskulitis. Keadaan ini terjadi karena kompleks antigen-antibodi yang ikut dalam sirkulasi darah. c. Fase ikterik Icterus akan timbul dan terjadinya berkisar antara 1-3 minggu tetapi dapat pula terjadi beberapa hari atau bahkan sampai 6 bulan. Fase ikterik berakhir antara 2-6 minggu.

Ketika

gejala

ikterus

tampak

makan

demam dan malaise akan menghilang. Pada fase ini pada pemeriksaan fisik terapa hepar dan lien membesar dan akan menetap beberapa waktu setelah icterus hilang. Bila ikterus ini berlangsung dengan hebat makan 13

akan terjadi hepatitis fulminant yang dapat menyebabkan kematian. Pada hepatitis fulminant yang terjadi kegagalan fungsi hati progresif yang ditandai dengan ensefalopati, koagulopati dan koma. Hepatitis fulminant mempunyai resiko kematian 70-95%. Selain itu 50% penderita hepatitis fulminant mengalami perdarahan gastrointestinal, 30% dengan sindroma gagal nafas, 40% dengan aritmia kordis dan 10-20% mengalami sepsis.

Pada

pemeriksaan

laboratorium

didapatkan

leukositosis,

hiponatremia, hypokalemia, kurang dari 10% mengalami hioglikemia serta peningkatan bilirubin dan transaminase serum. d. Fase penyembuhan Fase penyembuhan adalah fase antara hilangnya ikterus sampai kesembuhan dari hepatitis. Pada pemeriksaan laboratorium terlihat HBsAg, HBeAg dan DNA VHB menghilang. Anti-HBc mulai timbul disertai IgM anti-HBc meningkat sedangkan IgG anti-Hbc timbul kemudian dan menetap. Pada fase ini pula sebelum HBsAg menghilang akan timbul anti-HBe yang berarti terjadi pengurangan replikasi virus dan mulai terjadi resolusi. Dalam waktu 6 bulan akan timbul anti-HBs setelah HBsAg menghilang pada 30-50% penderita. 3. Hepatitis B kronis Gambaran klinis pada Hepatitis B kronis dapat bermacam-macam, mulai dari tanpa gejala sampai gejala yang khas. Gejala tersebut secara klinis sering kali sulit dibedakan apakah seseorang menderita hepatitis kronis persisten (HKP) atau hepatitis kronis aktif (HKA). Keluhan yang sering terjadi pada HKA adalah mudah lelah, nafsu makan menurun dan berat badan turun, kadang-kadang terdapat panas subfebril. 4. Karsinoma Hepatoseluler primer (KHP) Gejala klinis KHP akan timbul dan perlu dicurigai bila penderita sirosis memburuk. Keluhan umum berupa malaise, rasa penuh daerah perut, anoreksia, berat badan menurun dan panas subfebril. Pada pemeriksaan terlihat perut yang membengkak karena asites dan pembesaran hepar. 14

Gambaran yang mencurigakan ke arah kanker hati adalah bila pembesaran hepar ke atas dan ke bawah disertai benjolan keras tak teratur di daerah kuadran kanan atas. Kadang-kadang teraba tidak nyeri atau bahkan nyeri tekan dengan keadaan umum parah.

2.1.7 Diagnosis Diagnosis penyakit hepatitis B ditegakkan berdasarkan gejala klinis, pemeriksaan laboratorium klinik, pemeriksaan serologis hepatitis B, dan pemeriksaan penunjang berupa USG. Hepatitis kronis umumnya tidak menimbulkan gejala atau tidak menunjukka gejala yang khas berupa tidak ada nafsu makan, kelelahan, mual, muntah-muntah, nyeri daerah perut sebelah kanan atas dan ikterus. Bagaimanapun juga anamnesis yang teliti seperti lahir dan hidup didaerah endemis, keluarganya ada yang sakit hepatitis B dan sebagainya akan membantu tegaknya diagnosis hepatitis B. Pemeriksaan enzim transaminase seperti SGPT dan SGOT akan meningkat yang menunjukka terjadi kerusakan dan nekrosis sel hati. Pada kerusakan

hepatosis

juga didapatkan gama GT meningkat disamping

peningkatan bilirubin. Petanda serum merupakan kunci dalam menegakkan diagnosis hepatitis B. Tiga petanda yang penting untuk diagnosis, yaitu: 1. Petanda infeksi : HBsAg adalah sebagai tanda ada infeksi hepatitis B dan bila dalam 6 bulan tidak hilang berarti menjadi kronis. IgM anti-HBc adalah salah satu antibody yang terlihat selama masa akut sedangkan IgG anti-HBc tetap positif seumur hidup. 2. Petanda replikasi : petanda untuk mengetahui adanya replikasi virus adalah HBeAg dan DNA VHB 3. Petanda untuk mengetahui penyakit akut atau kronis, yaitu IgM antiHBc yang menunjukkan adanya kerusakan hati pada hepatitis akut.

15

Gambar 6. Petanda serologis Hepatitis B

Sampai saat ini terdapat beberapa indikator laboratoris yang bisa digunakan untuk menilai infeksi Hepatitis B. pada infeksi akut, antibody terhadap HBcAg adalah yang paling pertama muncul, diikuti dengan munculnya HBsAg dan HBeAg serum. Bila penderita mengalami kesembuhan spontan setelah Hepatitis B akut, maka akan terjadi serokonversi HBsAg dan HBeAg, yang ditandai kadar kedua penanda tersebut tidak akan dapat terdeteksi lagi di serum sementara anti-HBs dan anti-HBe justru mulai terdeteksi. Sebaliknya, pada Hepatitis B kronik, HBsAg dan HBeAg akan terus terdeteksi di serum penderita. Pada penderita dengan Hepatitis B kronik, DNA VHB sebaiknya diperiksa

untuk

memantau perjalanan penyakit. Pada beberapa jenis virus

mutan, HBeAg bisa tidak terdeteksi di serum walaupun proses peradangan hati masih terjadi dan kadar DNA VHB serum masih tinggi. Pada pemeriksaan USG akan tampak pembesaran hati serta bertambah densitas gema dari parenkim hati pada hepatitis akut-kronis.

16

2.1.8 Pencegahan Seperti pada penyakit infeksi lainnya, pencegahan infeksi Hepatitis B bisa berupa pencegahan non-spesifik maupun pencegahan spesifik. Pencegahan non-spesifik infeksi Hepatitis B dapat dilakukan dengan menerapkan pencegahan universal yang baik dan melakukan penapisan pada kelompok resiko tinggi. Prinsip-prinsip kewaspadaan universal, seperti menggunakan sarung tangan ketika bekerja dengan cairan tubuh penderita, penanganan limbah jarum suntik yang benar, sterilisasi alat dengan cara yang benar sebelum melakukan prosedur invasif, dan mencuci tangan sebelum menangani penderita dapat mengurangi risiko penularan, terutama pada tenaga medis, salah satu kelompok yang paling berisiko tertular Hepatitis B. Selain itu, penapisan pada kelompok risiko tinggi (orang yang lahir di daerah dengan endemisitas

VHB

tinggi,

orang

dengan

pasangan

seksual

multipel,

homoseksual, semua wanita hamil, penderita HIV dan Hepatitis C, pengguna jarum suntik, penderita hemodialisis, penderita dengan terapi imunosupresan, serta orang dengan kadar ALT/AST yang tinggi dan menetap) sebaiknya dilakukan. Penderita yang terbukti menderita Hepatitis B sebaiknya diberi edukasi perubahan perilaku untuk memutus rantai infeksi Hepatitis B. Bagi orang yang tidak diimunisasi dan terpajan dengan Hepatitis B, pencegahan postexposure berupa kombinasi HBIG (untuk mencapai kadar antiHBs yang tinggi dalam waktu singkat) dan vaksin Hepatitis B (untuk kekebalan jangka panjang dan mengurangi gejala klinis) harus diberikan. Untuk pajanan perinatal (bayi yang lahir dari ibu dengan Hepatitis B), pemberian HBIG single dose, 0,5 mL secara intra muskular di paha harus diberikan segera setelah persalinan dan diikuti 3 dosis vaksin Hepatitis B (imunisasi), dimulai pada usia kurang dari 12 jam setelah persalinan. Pemberian HBIG dan Vaksin Hepatitis B dilakukan pada paha yang berbeda. Untuk mereka yang mengalami inokulasi langsung atau kontak mukosa langsung dengan cairan tubuh penderita Hepatitis B, maka profilaksis yang digunakan adalah HBIG single dose 0,06 mL/kg BB, yang diberikan sesegera mungkin. 17

Penderita lalu harus menerima imunisasi Hepatitis B, dimulai dari minggu pertama setelah pajanan. Bila pajanan yang terjadi adalah kontak seksual, maka pemberian dosis HBIG 0,06 mL/kg BB harus diberikan sebelum 14 hari setelah pajanan, dan tentu diikuti dengan imunisasi. Pemberian vaksin Hepatitis B dan HBIG bisa dilakukan pada waktu bersamaan namun di lokasi injeksi yang berbeda. Pencegahan

spesifik

preexposure

dapat

dilakukan

dengan

memberikan vaksin Hepatitis B pada kelompok risiko tinggi. Vaksin Hepatitis B yang tersedia saat ini merupakan vaksin rekombinan HBsAg yang diproduksi dengan bantuan ragi. Vaksin diberikan sebanyak 4 kali dengan cara injeksi intra muskular (di deltoid, bukan gluteus) pada 0, 2, 3 dan 4 bulan. (program imunisasi nasional). Indonesia telah memasukkan imunisasi Hepatitis B dalam program imunisasi rutin Nasional pada bayi baru lahir pada tahun 1997. Imunisasi Hepatitis B mampu memberikan perlindungan terhadap infeksi Hepatitis B selama lebih dari 20 tahun. Keberhasilan imunisasi dinilai dari terdeteksinya antiHBs di serum penderita setelah pemberian imunisasi Hepatitis B lengkap (34 kali). Tingkat keberhasilan imunisasi ditentukan oleh faktor usia penderita, dengan lebih dari 95% penderita mengalami kesuksesan imunisasi pada bayi, anak dan remaja, kurang dari 90% pada usia 40 tahun, dan hanya 6570% pada usia 60 tahun. Penderita dengan sistem imun yang terganggu juga akan memberikan respons kekebalan yang lebih rendah. Bayi dari ibu dengan HBsAg () tidak akan terpajan virus Hepatitis B selama proses persalinan, namun risiko bayi tersebut untuk terpajan virus Hepatitis B tetap tinggi, mengingat endemisitas penyakit ini di Indonesia. Seperti telah disebutkan di atas, infeksi virus Hepatitis B pada anak memiliki risiko perkembangan kearah Hepatitis B kronis yang lebih besar. Maka setiap bayi yang lahir di Indonesia diwajibkan imunisasi Hepatitis B. Vaksin yang digunakan adalah vaksin rekombinan yang mengandung HBsAg yang diproduksi ragi.

18

Vaksin ini diberikan secara intramuskular pada saat bayi lahir dan dilanjutkan minimal pada bulan ke1 dan ke6. Namun panduan imunisasi yang berlaku di Indonesia menyarankan pemberian imunisasi pada saat bayi lahir, pada bulan ke2, bulan ke3, dan bulan ke4. Pemberian imunisasi dilakukan oleh tenaga medis terlatih di masingmasing daerah.

2.1.9 Penanganan Orang yang tidak memiliki kekebalan terhadap Hepatitis B atau tidak diketahui status imunitasnya dan terpajan cairan tubuh penderita Hepatitis B, baik secara perkutan maupun secara seksual harus mendapatkan profilaksis pasca pajanan secepatnya. Pada kasus pajanan pada cairan tubuh penderita yang tidak diketahui status HBsAgnya, sebaiknya sumber pajanan diperiksa dahulu status HBsAgnya. Apabila sumber pajanan tidak mengidap Hepatitis B (HBsAg negatif), maka profilaksis pasca pajanan tidak diperlukan, namun apabila status HBsAg sumber pajanan (+) atau tidak dapat diketahui, maka profilaksis wajib diberikan. Profilaksis yang digunakan adalah HBIG single dose 0,06 mL/kg BB, yang diberikan sesegera mungkin (maksimal 48 jam setelah pajanan). Penderita lalu harus menerima imunisasi Hepatitis B, paling lambat pada minggu pertama setelah pajanan. Bila pajanan yang terjadi adalah kontak seksual, maka pemberian dosis HBIG 0,06 mL/kg BB harus diberikan sebelum 14 hari setelah pajanan, dan tentu diikuti dengan imunisasi. Pemberian vaksin Hepatitis B dan HBIG bisa dilakukan pada waktu bersamaan, namun di lokasi injeksi yang berbeda. Status HBsAg dan antiHBs penderita lalu diperiksa kembali 1 bulan setelah pajanan. Apabila orang yang terpajan terbukti memiliki kadar antiHBs > 10 IU/L, maka profilaksis pasca pajanan tidak perlu diberikan. Penderita dengan HBsAg (+) harus segera dikonsultasikan dengan dokter untuk evaluasi lebih lanjut. Penderita juga harus diperiksakan status HBeAg, antiHBe, DNA VHB, SGOT, dan SGPTnya untuk menentukan tingkat 19

keparahan penyakit dan saat terapi yang tepat. Pilihan terapi yang bisa digunakan mencakup Interferon, Lamivudin, Adefovir, Telbivudin, Entecavir, atau Tenofovir.

2.2 HEPATITIS B PADA KEHAMILAN 2.2.1 Pengaruh infeksi VHB pada kehamilan Infeksi VHB kronis atau akut pada kehamilan sama dengan populasi pada umumnya. Infeksi VHB tidak menyebabkan peningkatan mortalitas maupun menyebabkan efek teratogenik. Namun, pada infeksi VHB akut insidensi untuk terjadinya berat bayi lahir rendah dan prematur lebih tinggi. Dimana

diabetes

gestasional,

perdarahan

antepartum

dan persalinan

prematur lebih sering terjadi pada infeksi VHB kronik. Kelahiran prematur meningkat sebesar 1535%, yang kemungkinan disebabkan karena keadaan penyakitnya yang berat, pengaruh virus pada janin atau plasenta. Diperkirakan bahwa kenaikan kadar asam empedu dan

asam lemak

bebas

bersama dengan

timbulnya ikterus dapat

meningkatkan tonus otot uterus dan memulai persalinan. Tidak didapatkan adanya efek teratogenik maupun kondisi akut pada janin, sehingga dianggap outcome bayi yang dilahirkan dari ibu yang terinfeksi VHB sama dengan bayi yang dilahirkan dari ibu yang tidak terinfeksi. Pada umumnya yang menjadi permasalahan di sini adalah penularan vertikalnya saja. Bila ibu hamil terinfeksi VHB pada kehamilan trimester I dan II maka penularan vertikal hanya kurang dari 10%. Tetapi bila infeksi VHB terjadi pada kehamilan trimester III, penularan vertikal menjadi lebih tinggi yaitu 76%. Infeksi akut VHB pada kehamilan trimester III sering berkembang menjadi/menyebabkan sedangkan

hepatitis

fulminant

dan

persalinan

prematur

pada persalinan dapat menyebabkan perdarahan postpartum

terutama bila terjadi gangguan fungsi hati. Dikarenakan adanya gangguan pada fungsi hati maka terjadi perpanjangan waktu protrombin dan waktu 20

aktivasi parsial tromboplastin yang dapat menyebabkan kecenderungan perdarahan, terutama perdarahan post partum.

2.2.2. Pengaruh Kehamilan Pada Infeksi VHB Pada ibu hamil normal sering terlihat tandatanda seperti yang kita dapatkan pada penderita sirosis hati misalnya spider angioma dan eritema palmaris. Hal ini wajar pada kehamilan sebagai akibat meningkatnya kadar estrogen. Selama kehamilan masih dalam batas normal, fungsi hati tidak akan terganggu. Pada tes laboratorium faal hati sering didapatkan nilainya yang berubah pada kehamilan trimester III. Hal ini mungkin disebabkan karena meningkatnya volume plasma darah sehingga terjadi hemodilusi yang digambarkan dengan menurunnya protein total, albumin, gama globulin dan asam urat. Plasenta yang sedang berkembang menghasilkan alkali fosfatase sehingga kadar alkali fosfatase meningkat dalam darah. Demikian juga kolesterol, globulin dan fibrinogen akan meningkat. Bilirubin, transaminase, asam empedu tidak berubah atau bila berubah meningkat sedikit dan akan menurun lagi pada saat aterm. Resiko infeksi VHB pada kehamilan adalah sama dengan pada wanita yang tidak hamil. Bahaya infeksi tersebut adalah sama pada semua trimester kehamilan. Pada masyarakat dengan gizi yang baik, angka kematian dari infeksi VHB pada wanita hamil maupun wanita tidak hamil adalah sama. Tetapi pada masyarakat dengan masalah malnutrisi, angka kematiannya adalah lebih tinggi tetapi tetap sama pada wanita hamil maupun tidak. Bila infeksi VHB terjadi pada kehamilan trimester I atau permulaan trimester II, maka gejala gejalanya akan sama dengan gejala infeksi VHB pada wanita tidak hamil. Sedangkan infeksi VHB yang terjadi pada ibu hamil trimester III, akan menimbulkan gejalagejala yang lebih berat bahkan dapat menunjukkan gejalagejala hepatitis fulminant. Hal ini disebabkan karena pada kehamilan trimester III terdapat defisiensi faktor lipotrofik disertai kebutuhan janin akan nutrisi 21

yang

meningkat. Hal ini menyebabkan ibu mudah jatuh ke dalam akut hepatic nekrosis. Angka kejadian hepatitis fulminant pada wanita hamil berkisar 1020%, terutama terjadi pada kehamilan trimester III. Selama kehamilan terjadi beberapa perubahan pada sistem imun ibu, seperti pergeseran pada keseimbangan Th1Th2 ke respon Th2, peningkatan jumlah dari regulator sel T, dll, yang berkontribusi terhadap penurunan respon imun terhadap HBV. Tujuan dari perubahan ini adalah untuk mencegah terjadinya penolakan terhadap fetus yang sebagian bersifat alogenik terhadap sistem imun ibu. Perubahan ini menyebabkan peningkatan DNA HBV dan penurunan level aminotransferase. Setelah persalinan terjadi perbaikan kembali sistem imun yang menyebabkan hal yang sebaliknya. Terjadi peningkatan alanine aminotransferase (ALT) yang signifikan dan penurunan DNA HBV pada saat itu.

2.2.3 Transmisi VHB Perinatal Transmisi perinatal merupakan cara yang paling umum terjadi pada transmisi HBV. Sekitar sepertiga infeksi HBV didapatkan melalui transmisi perinatal. Infeksi HBV pada neonatus di definisikan sebagai didapatkan HBsAg positif 6 bulan setelah lahir. Antibodi untuk antiHBe dan antihepatitis B core antigen dapat melewati sawar plasenta dan menghilang sebelum usia 12 dan 24 bulan. Jadi, itu merupakan antibodi ibu transplasenta dan bukan merupakan indikator infeksi HBV. Infeksi perinatal dimediasi melalui tiga cara utama: a. transmisi intrauterine b. transmisi intrapartum atau labor c. transmisi postnatal Mekanisme transmisi intrauterine masih belum banyak diketahui tapi terdapatnya infeksi

intrauterine diperlihatkan

dalam

beberapa

studi,

diindikasikan dengan ditemukannya HBsAg dan HBV DNA pada bayi baru 22

lahir dan dari plasenta dan studi PCR. Faktor resiko untuk terjadinya infeksi intrauterine adalah ibu dengan HBeAg positif, DNA HBV yang terdeteksi, mutasi spesifik allel pada HBV ibu, riwayat partus prematurus iminens, dan infeksi hepatitis B akut didapat saat hamil, terutama saat trimester akhir. HBeAg negatif pada ibu dengan viral load yang tinggi (DNA HBV load >108

IU/mL) merupakan resiko yang tinggi untuk terjadinya transmisi

virus kepada janin di intrauterine. Sejak lama para ahli berpendapat bahwa partikel VHB utuh (partikel Dane) dalam keadaan biasa tidak dapat menembus plasenta. Dahulu diduga lewatnya partikel Dane melalui plasenta hanya terjadi bila terdapat kebocoran plasenta, misalnya bila terjadi robekan dan lainlain. Namun, banyak bukti menunjukka bahwa dalam keadaan tertentu tanpa kebocoran plasenta juga dapat terjadi perpindahan virus. Bukti bukti tersebut antara lain 43,8% dari jaringan hati dan serum bayi yang dilahirkan oleh ibu HBsAg positif yang mengalami abortus ternyata menunjukkan DNA VHB yang positif dan bahkan 33,3% bayibayi tersebut telah mengalami integrasi DNA VHB dalam genom sel hati. Disamping itu, banyak neonatus yang menunjukka HBsAg positif dengan titer yang sangat tinggi pada darah tali pusat ataupun darah bayi yang diambil pada harihari pertama setelah lahir. Hal ini menunjukkan bahwa VHB telah mengalami replikasi sebelum bayi dilahirkan. Sampai saat ini seorang bayi dikatakan telah mendapat infeksi VHB inutero bila dalam jangka waktu kurang dari 6 minggu (yang merupakan masa tunas terpendek VHB) bayi tersebut telah menunjukkan HBsAg yang positif. Untuk mudahnya bila seorang bayi sudah HBsAg positif pada usia 1 bulan, bayi tersebut telah mendapat infeksi VHB inutero. Sampai sekarang belum diketahui bagaimana VHB dapat melewati plasenta. Salah satu teori mengatakan bahwa pada keadaan tertentu yang menyebabkan kontraksi uterus terjadi maternofetal micro perfusion. Hal ini dapat terjadi pada trimester 2 dan 3. 23

Transmisi intrapartum atau labor dapat terjadi jika terdapat transfusi darah ibu ke fetus saat kontraksi; akibat dari ketuban pecah; dari darah ibu yang terkontaminasi HBV atau cairan ketuban atau cairan vagina yang tertelan bayi atau masuk ke sirkulasi darah bayi melalui ruptur plasenta; atau melalui kontak langsung fetus dengan darah atau cairan yang terinfeksi melalui jalan lahir ibu. Jumlah HBV sebanyak 10 IU/mL dari darah ibu yang masuk ke janin dapat menyebabkan infeksi HBV pada janin. Transmisi postpartum terjadi dalam jumlah yang sedikit dan mekanismenya masih belum diketahui dengan jelas. Mekanisme yang mungkin terjadi adalah terdapat kontak langsung dari bayi terhadap sekret ibu yang terkontaminasi infeksi HBV. Dapat juga terjadi melalui: kontak langsung dari ibu ke bayi sepertu mencium bayi dengan mulut ke mulut, selain itu juga dapat terjadi akibat infeksi nosocomial yaitu kurangnya higenitas tenaga kesehatan yang berhubungan dengan bayi dan ibu. Tanpa profilaksis resiko transmisi ibu ke bayi sangat tinggi. Bervariasi tergantung dari status HBeAg/antiHBe ibu. 70%90% pada ibu dengan HBeAg positif, 25% pada ibu dengan HBeAg negatif/HBeAb negatif, dan 12% pada ibu dengan HBsAg negatif/antiHBe positif. Program skrining pada ibu hamil bertujuan untuk mengidentifikasi HBsAg positif pada ibu merupakan pemeriksaan yang umumnya di lakukan pada kehamilan di kebanyakan negara. Saat HBsAg positif teridentifikasi maka bayi akan mendapatkan imunoprofilaksis aktif dan pasif untuk mencegah penularan secara vertikal dari ibu ke bayi. Imunoprofilaksis pasif adalah dengan memberikan imunoglobulan Hepatitis B (HBIG) dan imunoprofilaksis aktif adalah dengan memberikan vaksin hepatitis B. Meskipun dengan pemberian profilaksis ini efektif dalam mencegah penularan HBV melalui ibu, namun beberapa anak (3%13%) yang lahir dari ibu dengan HBsAg positif, terutama dengan HBeAg akan menjadi karier HBsAg meskipun telah diberikan imunoprofilaksis baik secara aktif maupun

24

pasif HBeAg ibu dapat melewati plasenta dari ibu ke fetus dan merangsang toleransi sel T dalam uterus. Mekanisme infeksi HBV intrauterine masih belum diketahui dengan jelas namun penyebab utamanya adalah gagalnya blockade imun. Serum DNA HBV yang tinggi pada wanita hamil merupakan faktor resiko utama untuk terjadinya infeksi HBV intrauterine, berhubungan dengan kadar DNA HBV dalam darah umbilical dan titer HBsAg. HBV dapat menginfeksi semua sel pada plasenta (desidua, trofoblastik, mesenkimal villi, sel endotel kapiler

vili)

dan

DNA

HBV

terdapat

pada

semua

generasi

sel

spermatogenik dan sperma pada lakilaki dengan infeksi HBV, cairan folikular dan pada ovarium. Adanya virus pada sel sperma dapat menjadi salah satu penyebab transmisi infeksi HBV pada neonatus.

2.2.4 Penanganan Infeksi VHB Saat Kehamilan Penanganan infeksi VHB pada kehamilan harus mempertimbangan semua resiko dan keuntungan pada ibu dan fetus. Masalah utama pada fetus adalah mengenai bahaya teratogenik dari obat saat embryogenesis. Tujuh obat yang telah disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk pengobatan hepatitis B adalah PEGinterferon alpha 2a, Interferon alpha 2b, lamivudine, adefovir, entecavir, telbivudine dan tenofovir. Interferon kontraindikasi diberikan saat hamil, dapat digunakan pada wanita usia subur karena biasanya diberikan pada periode tertentu (4896 minggu). Pemberian interferon direkomendasikan

diberikan bersama

penggunaan kontrasepsi selama pengobatan. Agen antivirus oral seperti nukleosida atau anolog nukleosida bekerja dengan menginhibisi polymerase virus, biasanya digunakan dalam jangka waktu yang lama. Obat ini dapat mempengaruhi replikasi DNA mitokondria sehingga berpotensi untuk menyebabkan toksisitas pada mitokondria yang berpengaruh terhadap perkembangan fetus.

25

Tabel 2. Kategori obat antiviral untuk hepatitis B pada kehamilan Obat Lamivudin

kategori kehamilan C

Entecavir

C

Telbivudin

B

Adefovir

C

Tenofovir

B

Interferon alpha 2a

C

PegylatedInterferon alpha 2a

C

FDA mengklasifikasi obat menjadi 5 kategori (A,B,C,D dan X) tergantung dari kemungkinan efek teratogenik pada manusia maupun hewan. 5 obat oral analog nukleotida untuk terapi HBV diklasifikasikan sebagai kategori B atau kategori C. Obat yang tergolong dalam kategori C adalah lamivudine, adefovir, dan entecavir merupakan obat yang memperlihatkan efek teratogenik atau embriosidal pada binatang percobaan dan tidak ada studi terkontrol pada wanita hamil. Obat yang tergolong dalam kategori B adalah telbivudine dan tenofovir dimana obat ini tidak memperlihatkan adanya resiko pada janin pada studi terhadap binatang percobaan dan tidak ada studi terkontrol pada wanita hamil atau pada binatang percobaan memperlihatkan adanya efek samping yang tidak terjadi pada studi terkontrol terhadap wanita hamil trisemester 1 dan tidak ada bukti mengenai resiko pada trisemester selanjutnya. Pemilihan terapi antiHBV pada wanita hamil sangat sulit. Terdapat beberapa parameter yang biasanya digunakan untuk menentukan terapi pada hepatitis B (usia, stadium penyakit, komobiditas, jumlah virus, genotype, kekuatan dari agen, barrier genetik, dll), pemilihan obat pada wanita usia subur dipertimbangkan juga keamanan obat selama kehamilan, menyusui dan lamanya terapi. 26

Pada kasus dimana perempuan yang tidak mendapat pengobatan HBV dan berencana untuk hamil, maka terapi dapat ditunda setelah persalinan. Contohnya, jika perempuan tersebut berada pada fase imuntoleransi saat infeksi (tingginya kadar DNA HBV dengan ALT normal dan biopsi hepar inaktif) terapi dapat ditunda setelah persalinan. Namun, perempuan dengan HBeAg positif dan viral load yang tinggi maka profilaksis harus diberikan pada trisemester ketiga untuk mengurangi transmisi. Pada perempuan yang dalam pengobatan dan hamil, jika terdapat fibrosis yang signifikan makan terapi harus tetap dilanjutkan untuk mengurangi resiko terjadinya dekompensasio dari penyakit hepar. Ini memiliki efek yang negatif terhadap kesehatan fetus. Jika memungkinkan dapat diganti dengan agen antiviral yang lebih aman untuk kehamilan. Kesimpulannya, pemilihan terapi antiHBV pada perempuan hamil tergantung dari tujuan pengobatan apakah untuk menangani penyakit hepat akut dimana terapi tidak dapat ditunda atau untuk mencegah transmisi infeksi pada fetus dari tingginya viremia pada ibu tanpa kelainan hepar yang signifikan. Pada perempuan yang sedang dalam pengobatan dan hamil makan obat dapat dilanjutkan atau dihentikan atau diganti dengan obat kategori B. Semua perempuan hamil pada trisemester pertama harus melakukan skrining terhadap infeksi HBV. Jika hasilnya negatif, tidak diperlukan vaksinasi yang rutin selama hamil, meskipun aman dan harus diberikan pada mereka dengan resiko tinggi: bergantiganti pasangan (lebih dari dua dalam waktu 6 bulan terakhir), riwayat penyakit menular seksual atau terinfeksi penyakit menular seksual, Intravenous drug users, tinggal di daerah endemik HBV, dan mereka dengan pasangan HBsAg positif. Pada bayi diberikan vaksinasi terhadap hepatitis B dan vaksinasi lainnya. Jika pada perempuan hamil didapatkan hasil yang positif pada awal kehamilan, perlu diketahui status dari penyakit tersebut. Jika perempuan tersebut didapatkan infeksi HBV yang sangat aktif (peningkatan ALT yang signifikan dengan viral load yang tinggi), atau 27

dengan suspek sirosis, terapi harus diberikan tanpa melihat usia gestasi. Jika perempuan tersebut terinfeksi dalam keadaan yang inaktif (ALT rendah dan Viral load rendah) terapi tidak diperlukan dan pengawasan berlanjut tetap dilakukan untuk mencegah resiko terjadi peningkatan VHB nantinya pada kehamilan dan beberapa bulan setelah postpartum. Kuantitas dari DNA HBV direkomendasikan pada semua perempuan yang terinfeksi.

Gambar 7. Algoritma penangangan infeksi VHB saat kehamilan

2.2.5 Imunoprofilaksis Pada juli 2004, WHO merekomendasikan vaksin HBV dimasukkan dalam program imunisasi nasional dan neonatus pada daerah endemik HBV untuk diberikan vaksin HBV saat lahir dan diikuti 23 dosis selanjutnya. Pemberian vaksin dalam 3 dosis memperlihatkan konsentrasi antibody proteksi pda 95% bayi dan anak dan 90% pada masa dewasa. Di Australia di rekomendasikan untuk memberikan dosis awal vaksin HBV dalam waktu 24 jam setelah lahir, di ikuti dengan 3 dosis berturutturut pada bulan ke 2, 4, dan 6 atau 12 bulan. Pada bayi yang lahir dari ibu dengan infeksi HBV kronik diberikan imunoprofilaksis secara aktif dan pasif yaitu satu dosis awal vaksin HBV dan satu dosis HBIG segera setelah lahir, dan diikuti dengan 3 dosis vaksin HBV pada dalam tahun 28

pertama kehidupan. Tujuan dari strategi ini adalah untuk mengurangi transmisi dari ibu ke bayi saat masa nifas, infeksi akut pada usia ini dapat menyebabkan resiko tinggi untuk menjadi infeksi kronik karena toleransi imun pada sistem imun bayi yang imatur. Setelah serangkaian vaksin lengkap diberikan maka pemeriksaan terhadap HBsAG dan antibody terhadap HBsAg (anti HBs) harus dilakukan pada usia 9 sampai 18 bulan. HBsAg negatif dengan kadar antiHBs lebih dari 10 mIU/mL dianggap sebagai imun dan tidak diperlukan managemen terapi lanjutan. Jika antiHBs kurang dari 10mIU/mlL maka perlu dilakukan vaksin ulang (3 dosis) diikuti dengan pemeriksaan ulang dalam waktu 1 sampai 2 bulan setelah dosis akhir. Adanya antiHBs ibu pada bayi yang lahir dari ibu dengan imunitas terhadap hepatitis B (melalui plasenta dan ASI)

walaupun

dalam

konsentrasi yang besar, tidak menunjukkan efek yang panjang terhadap HBV. Pemberian vaksin HBV tetap harus diberikan.

2.2.6 Penanganan anak dan ibu dengan HBsAg (+) Di negara berkembang, termasuk Indonesia, penularan virus Hepatitis B secara vertikal masih memegang peranan penting dalam penyebaran virus Hepatitis B. Selain itu, 90% anak yang tertular secara vertikal dari ibu dengan HBsAg (+) akan berkembang mengalami Hepatitis B kronis. Maka pencegahan penularan secara vertikal merupakan salah satu aspek yang paling penting dalam memutus rantai penularan Hepatitis B. Langkah awal pencegahan penularan secara vertikal adalah dengan mengetahui status HBsAg ibu hamil. Langkah ini bisa dilakukan dengan melakukan penapisan HBsAg pada setiap ibu hamil. Metode penapisan HBsAg bisa menggunakan pemeriksaan cepat (rapid test). Penapisan ini sebaiknya diikuti oleh semua wanita hamil pada trimester pertama kehamilannya. Hal ini dimaksudkan agar ibu, keluarga, dan tenaga medis memiliki kesempatan untuk mempersiapkan tindakan yang diperlukan apabila 29

ibu memiliki status HBsAg (+). Pelayanan pemeriksaan penapisan Hepatitis B ini dapat dilaksanakan dan disediakan pada sarana pelayanan kesehatan oleh tenaga kesehatan yang telah dilatih. Apabila ibu yang akan melahirkan memiliki status HBsAg (+) dan HBeAg (+), maka persalinan ibu tersebut wajib dilakukan/didampingi oleh tenaga medis yang terlatih. Bayi yang lahir dari ibu dengan HBsAg (+) dan HBeAg (+) disarankan segera mendapat suntikan HBIG 0,5 mL dan vaksin Hepatitis B. Kedua suntikan ini diberikan segera setelah bayi dilahirkan (kurang dari usia 12 jam). Pemberian imunisasi selanjutnya sesuai Program Imunisasi Hepatitis B Nasional (pada bulan ke2, 3 dan 4). Selanjutnya perlu diketahui status HBsAg dan anti HBsnya pada saat bayi berusia 912 bulan. Ibu dengan HBsAg (+) dan HBeAg (+) harus dirujuk ke dokter ahli untuk berkonsultasi mengenai kemungkinan terapi penyakitnya. Penderita juga sebaiknya diperiksakan status, antiHBe, DNA VHB, dan ALTnya. Ibu yang positif Hepatitis B disarankan untuk tetap menyusui bayinya. Apabila ibu yang akan melahirkan memiliki status HBsAg (+) dan HBeAg (+), maka persalinan ibu tersebut wajib dilakukan/didampingi oleh tenaga medis yang terlatih. Sesuai anjuran program imunisasi, bayi segera mendapatkan imunisasi HB0, sedangkan ibunya sebaiknya mendapat konseling dari dokter ahli Penyakit Dalam atau dokter yang telah dilatih tentang Hepatitis B virus.

30

BAB III KESIMPULAN

Infeksi VHB tidak menyebabkan peningkatan mortalitas maupun menyebabkan efek teratogenik. Namun, pada infeksi VHB akut insidensi untuk terjadinya berat bayi lahir rendah dan prematur lebih tinggi. Transmisi perinatal merupakan cara yang paling umum terjadi pada transmisi HBV. Sekitar sepertiga infeksi HBV didapatkan melalui transmisi perinatal. Infeksi HBV pada neonatus di definisikan sebagai didapatkan HBsAg positif 6 bulan setelah lahir. Pemeriksaan HBsAg dianjurkan pada semua perempuan hamil, baik yang sudah pernah melakukan pemeriksaan sebelumnya maupun yang telah melakukan vaksinasi. Mengidentifikasi VHB positif pada perempuan hamil merupakan cara yang paling efektif untuk mencegah transmisi pada bayi baru lahir dengan pemberian profilaksis secara aktif maupun pasif segera setelah lahir. Pada perempuan dengan kadar viremia yang sangat tinggi tetap dapat menyebabkan bayi baru lahir tertular infeksi secara in utero meskipun telah diberikan profilaksis secara aktif maupun pasif. Untuk itu, dianjurkan pemberian terapi antiviral pada trimester ketiga.

31

DAFTAR PUSTAKA

1. Muljono DH, Kandun N, Sulaiman A, Gani RA, Oswari H, Hasan I, et al. Pedoman Pengendalian Hepatitis Virus. Jakarta:Kementerian Kesehatan RI;2012.p.1-55. 2. Soemoharjo S. Hepatitis Virus B. 2nd ed. Jakarta:Penerbit Buku Kedokteran EGC;2008.p.1-22. 3. Borgia G, Carleo MA, Gaeta GB, Gentile I. Hepatitis B in Pregnancy. World Journal of Gastroenterology 2012;18. 4. Navabakhsh B, Mehrabi N, Estakhri A, Mohamadnejad M, Poustchi H. Hepatitis B Virus Infection during Pregnancy: Transmission and Prevention. Middle East Journal of Digestive Diseases 2011;3. 5. Ho V, Ho W. Hepatitis B in Pregnancy:

Spesific

Issues

and

Considerations. J Antivir Antiretrovir 2012;4. 6. Godbole G, Irish D, Basarab M, Mahungu T, Lewis AF, Thorne C, et al. Management of hepatitis B in pregnant women and infants: a multicenter audit from four London hospitals. BMC Pregnancy and Childbirth 2013;13.

32

Related Documents


More Documents from "HendraDwiCahyono"