Identifikasi Perubahan Uu 41/1999, Uu 32/2009 Dan Uu 18/2003 Dalam Ruu Cipta Kerja

  • Uploaded by: Abdurrahman Abdullah
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Identifikasi Perubahan Uu 41/1999, Uu 32/2009 Dan Uu 18/2003 Dalam Ruu Cipta Kerja as PDF for free.

More details

  • Words: 3,139
  • Pages: 8
Loading documents preview...
BA D A N E K S E K U T I F KELUARGA MAHASISWA KEHUTANAN SYLVA INDONESIA (PC.) UNIVERSITAS HASANUDDIN Sekretariat: Jl. Perintis Kemerdekaan KM. 10, Kampung Rimba PH 101 Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin Telp. 081354425675 email: [email protected], Makassar 90245, Sulawesi Selatan

Identifikasi Perubahan UU 41/1999, UU 32/2009 dan UU 18/2003 dalam RUU Cipta Kerja Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang berfokus kepada menciptakan iklim investasi dan daya saing global terdiri atas 11 klaster yaitu: 1) Penyederhanaan Perizinan, 2) Persyaratan Investasi, 3) Ketenagakerjaan, 4) Kemudahan, Pemberdayaan, dan Perlindungan UMKM, 5) Kemudahan Berusaha, 6) Dukungan Riset dan Inovasi, 7) Administrasi Pemerintahan, 8) Pengenaan Sanksi, 9) Pengadaan Lahan, 10) Investasi dan Proyek Pemerintah, dan 11) Kawasan Ekonomi. Klaster Penyederhanaan Perizinan dan Pengadaan Lahan yang berhubungan langsung dengan pemanfaatan sumber daya alam dan pelestarian lingkungan hidup setidaknya mengubah beberapa regulasi seperti: Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dan Undang-Undang terkait lainnya. A. UU 41/1999 Tentang Kehutanan Dalam RUU Cipta kerja terdapat 20 Ketentuan pasal yang mengalami perubahan atau penghapusan, terdiri dari 17 pasal diubah dan 3 pasal dihapuskan yang diantaranya mengatur tentang: 1. Pengaturan Pengukuhan dan Pelepasan Kawasan Hutan: Ketentuan Pasal 18 (2) UU 41/1999 mengenai batas minimal 30% luas kawasan hutan dalam suatu daerah aliran sungai (das) atau pulau dihapuskan, dalam naskah akademik dijelaskan alasan perubahan karna dianggap sudah tidak relevan mengingat pulau jawa sudah kurang dari 30% artinya pemerintah ingin melakukan ekspansi perusakan ekosistem hutan ke pulau lain dan melegitimasi kerusakan pulau-pulau kecil. Menurut data Jaringan Advokasi Tambang, terdapat 55 pulau kecil yang telah dikavling tambang. Sejumlah pulau kecil yang kini telah menjadi monumen penghancuran tambang yaitu Pulau Gee dan Pulau Pakal.1 Pasal 15 (4) UU 41/1999 dalam RUU Cipta Kerja menjelaskan prioritas pengukuhan kawasan hutan pada daerah strategis namun tidak terdapat norma hukum yang menjelaskan terkait strategis tidaknya suatu daerah. Apakah strategis yang dimaksud ialah perubahan yang berpengaruh terhadap kondisi biofisik seperti perubahan iklim, ekosistem, dan gangguan tata air, serta dampak sosial ekonomi masyarakat bagi kehidupan generasi sekarang dan generasi yang akan datang ataukah daerah yang strategis untuk berinvestasi. Pasal 15 (6) UU 41/1999 dalam RUU Cipta Kerja disebut dalam hal tumpang tindih antara kawasan hutan dan rencana tata ruang, izin dan/atau hak atas tanah, 1

Pulau Kecil Indonesia, Tanah Air Tambang: Laporan Penghancuran Sekujur Tubuh Pulau Kecil Indonesia oleh Tambang Mineral dan Batubara, Jaringan Advokasi Tambang, 2019, hlm. 1.

BA D A N E K S E K U T I F KELUARGA MAHASISWA KEHUTANAN SYLVA INDONESIA (PC.) UNIVERSITAS HASANUDDIN Sekretariat: Jl. Perintis Kemerdekaan KM. 10, Kampung Rimba PH 101 Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin Telp. 081354425675 email: [email protected], Makassar 90245, Sulawesi Selatan

penyelesaian tumpang tindih dimaksud diatur dengan perpres. Norma dasar penyelesaian itu semestinya dinyatakan dalam RUU Cipta Kerja. Hal itu penting misalnya, untuk memastikan kapan wilayah tumpang tindih itu harus tetap dipertahankan sebagai kawasan hutan, kapan dialihfungsikan agar penyelesaian tumpang tindih mendapat solusi. Selain itu, diperlukan pula norma untuk menjalankan solusi terhadap lokasi izin yang didalamnya terdapat penguasaan tanah, termasuk jutaan hektar perkebunan sawit dan tambang dalam kawasan hutan karena Perpres 88/2007 mengenai penyelesaian penguasaan tanah di dalam kawasan hutan tidak menyelesaikan persoalan itu.2 Pasal 19 (2) UU 41/1999 mengenai persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam perubahan peruntukan kawasan hutan yang berdampak penting dengan cakupan yang luas dihapuskan, hal ini menghilangkan mekanisme check and balance, melemahkan tata kelola (governance) dan menegaskan sikap sentralistik pemerintah pusat dalam pengaturan kawasan hutan. 2. Perizinan Berusaha dan Pemanfaatan Hasil Hutan: Jenis izin usaha dalam kawasan hutan seperti izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan kayu, dan izin usaha pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu dalam RUU Cipta Kerja Pasal 26 UU 41/1999 diintegrasikan ke dalam Perizinan Berusaha. Pasal 27-29 UU 41/1999 yang mengatur pemberian izin bagi perorangan dan kelompok masyarakat dihapuskan, hal ini memperlihatkan ketidakadilan dalam pemanfaatan hasil hutan dan kontraproduktif dengan semangat Perhutanan sosial (social forestry) yang memberikan legal akses dan menjadikan masyarakat disekitar hutan sebagai subjek dalam pemanfaatan hasil hutan. Selain itu, bertentangan dengan penjelasan pasal 5 UU 41/1999 yang menjelaskan adanya pembagian hutan adat, hutan kemasyarakatan, hutan desa dan hutan rakyat untuk dikelola oleh masyarakat lokal dan adat. Pasal 30 UU 41/1999 dalam RUU Cipta Kerja mempertegas ketidakadilan dalam pemanfaatan hasil hutan bahwa dalam akses terhadap sumberdaya hutan bagi koperasi dan badan usaha milik desa diwajibkan bekerjasama dengan pemegang perizinan berusaha dari pemerintah pusat. Pasal 33 (3) UU 41/1999 dalam RUU Cipta Kerja memperlihatkan kembali sikap sentralistik pemerintah, kewenangan menteri dalam hal pengaturan, pembinaan dan pengembangan pengolahan hasil hutan diambil alih oleh pemerintah pusat. Pasal 35 (1) UU 41/1999 dalam RUU Cipta Kerja meringankan beban pemegang perizinan berusaha dalam pembayaran iuran kepada negara yang hanya dikenakan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) padahal sebelumnya iuran izin usaha, provisi,

2

Hariadi Kartodihardjo, “Kehutanan dan RUU Cipta Kerja”, dalam koran Kompas edisi 29 Feb 2019.

BA D A N E K S E K U T I F KELUARGA MAHASISWA KEHUTANAN SYLVA INDONESIA (PC.) UNIVERSITAS HASANUDDIN Sekretariat: Jl. Perintis Kemerdekaan KM. 10, Kampung Rimba PH 101 Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin Telp. 081354425675 email: [email protected], Makassar 90245, Sulawesi Selatan

dana reboisasi, dan dana jaminan kinerja memiliki tujuan penyaluran masing masing. Setelah menjadi PNBP tidak ada kepastian akan langsung disalurkan sesuai peruntukkannya. Selain itu, terdapat dana jaminan kinerja yang tidak termasuk kedalam PNBP sektor kehutanan. Dana jaminan kinerja ini penting karena kerapkali terdapat pelaku usaha yang melanggar ketentuan pemanfaatan hutan secara lestari. Berdasarkan hasil audit tahun 2013 oleh Kementerian Kehutanan pada 134 Hutan tanaman industri (HTI) di Riau, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, dan Jambi, menunjukkan bahwa hanya 23 unit HTI yang statusnya layak dilanjutkan, 52 unit layak dilanjutkan dengan catatan, 48 unit dilanjutkan dengan pengawasan, dan 11 unit layak untuk dievaluasi.3 Sejalan dengan data tersebut, hasil analisis Forest Watch Indonesia menyebutkan kinerja perusahaan HTI yang buruk telah memberikan kontribusi signifikan atas terjadinya kerusakan hutan dengan sumbangan angka deforestasi sebesar 453 ribu Ha.4 Pasal 38 (5) UU 41/1999 mengenai penerbitan izin pinjam pakai kawasan yang berdampak penting dan cakupan yang luas serta bernilai strategis seperti kegiatan pertambangan atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dihapuskan. Izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) untuk kegiatan pertambangan yang selama ini selalu menghasilkan konflik di tingkat tapak bukannya diperkuat malah dipermudah proses perizinannya dan sebenarnya hal ini bertentangan dengan Pasal 38 (2) UU 41/1999 yang menyebutkan bahwa penggunaan kawasan hutan dilakukan tanpa mengubah fungsi pokok kawasan hutan padahal kegiatan pertambangan jelas mengubah fungsi pokok hutan. Ketentuan IPPKH tak ubahnya rumusan hukum yang menghilangkan hutan atau deforestasi secara legal. 3. Kewajiban pemegang izin terhadap kebakaran hutan: Pasal 49 UU 41/1999 dalam RUU Cipta kerja mengubah ketentuan pemegang konsesi lahan tidak lagi bertanggungjawab ketika terjadi kebakaran hutan namun hanya sebatas melakukan upaya pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan diareal kerjanya saja. Hal ini mengakibatkan penegakan hukum untuk kebakaran hutan di areal konsesi perusahaan semakin melemah karena kebakaran hutan tidak serta merta lagi menjadi tanggungjawab perusahaan, sebelumnya pasal ini yang sering digunakan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dalam menggugat perusahaan pembakar hutan hingga dijatuhi sanksi denda administratif. Alih-alih menindak tegas perusahaan pembakar hutan pemerintah malah memperlemah penegakan hukum.

3

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, “118 Pemegang HTI akan Dievaluasi”, diakses dari http://silk.dephut.go.id/index.php/article/vnews/45, pada tanggal 10 Maret 2020 pukul 02.45. 4 Pelanggaran Perusahaan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan Pembiayaan; Studi Kasus PT.Toba Pulp Lestari dan APRIL Group, Forest Watch Indonesia Koalisi Responsi Bank Indonesia, 2015, hlm. 4.

BA D A N E K S E K U T I F KELUARGA MAHASISWA KEHUTANAN SYLVA INDONESIA (PC.) UNIVERSITAS HASANUDDIN Sekretariat: Jl. Perintis Kemerdekaan KM. 10, Kampung Rimba PH 101 Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin Telp. 081354425675 email: [email protected], Makassar 90245, Sulawesi Selatan

B. UU 32/2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Dalam RUU Cipta kerja terdapat 45 Ketentuan pasal yang mengalami perubahan terdiri dari 31 pasal diubah, 13 pasal dihapuskan dan 1 pasal disisipkan yang diantaranya mengatur tentang: 1. Redefinisi beberapa ketentuan: Pasal 1 (11) UU 32/2009 yang berbunyi “Analisis mengenai dampak lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut Amdal, adalah kajian mengenai dampak penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.” Sedangkan dalam RUU Cipta Kerja “Analisis mengenai dampak lingkungan hidup yang selanjutnya disebut Amdal adalah Kajian mengenai dampak penting pada lingkungan hidup dari suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan untuk digunakan sebagai pertimbangan pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.” Perubahan definisi dinilai mereduksi kewenangan amdal yang awalnya sebagai prasyarat untuk pengambilan keputusan penyelenggaraan usaha menjadi sekadar sebagai bahan pertimbangan saja. Pasal 1 (12) UU 32/2009 yang berbunyi “Upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup, yang selanjutnya disebut UKL-UPL, adalah pengelolaan dan pemantauan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.” Sedangkan dalam RUU Cipta Kerja “Upaya pengelolaan lingkungan hidup dan upaya pemantauan lingkungan hidup yang selanjutnya disebut UKL-UPL adalah standar dalam pengelolaan dan pemantauan terhadap usaha dan/atau kegiatan yang tidak berdampak penting terhadap lingkungan hidup.” Definisi terakhir menghilangkan redaksi bahwa UKL-UPL diperlukan sebagai proses pengambilan keputusan penyelenggaraan kegiatan/usaha. Pasal 1 (35) UU 41/1999 yang berbunyi “Izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan.” Sedangkan dalam RUU Cipta Kerja “Persetujuan Lingkungan adalah Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup atau Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup.” Adanya perubahan nomenklatur Izin Lingkungan yang diganti dengan Persetujuan Lingkungan, meninggalkan catatan kritis, dimana nomenklatur Izin Lingkungan yang dikenal masuk dalam rezim keputusan Tata Usaha Negara (TUN). Hal tersebut menjadi sarana yang digunakan untuk menilai apakah proses amdal tersebut memenuhi prosedur dan/atau kaidah ilmiah atau tidak. Apabila hanya menggunakan model persetujuan lingkungan saja, maka proses amdal tidak dapat diuji kembali berdasarkan ketentuan substansi

BA D A N E K S E K U T I F KELUARGA MAHASISWA KEHUTANAN SYLVA INDONESIA (PC.) UNIVERSITAS HASANUDDIN Sekretariat: Jl. Perintis Kemerdekaan KM. 10, Kampung Rimba PH 101 Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin Telp. 081354425675 email: [email protected], Makassar 90245, Sulawesi Selatan

atau formalnya. Dengan diadopsinya nomenklatur persetujuan lingkungan yang memiliki ciri yang berbeda dengan izin lingkungan, status amdal yang dapat dikatakan menjadi pelengkap dan bukan menjadi yang prasyarat utama dalam izin lingkungan.5 Penghapusan izin lingkungan juga menghilangkan kesempatan bagi masyarakat untuk menganulir atau mengoreksi keputusan yang melanggar hukum yang berkaitan dengan aspek lingkungan hidup. 2. Sentralisasi Pemerintah Pusat: RUU Cipta Kerja mencabut dan menyatakan tidak berlaku pasal terkait kewenangan daerah. Kewenangan yang tercantum dalam pasal tersebut dikembalikan kepada pemerintah pusat, dalam hal ini Presiden. Pengaturan kembali kewenangan tersebut di tingkat pusat dapat melalui berbagai macam cara, salah satunya melalui peraturan pemerintah.6 Pasal yang dimaksud diantaranya ialah Pasal 20 (3) Ketentuan perizinan membuang limbah ke media lingkungan hidup, Pasal 20 (4) Ketentuan baku mutu lingkungan, Pasal 23 (2) Ketentuan kriteria usaha/kegiatan wajib amdal, Pasal 24 (4) Ketentuan keputusan kelayakan lingkungan hidup, Pasal 28 Ketentuan sertifikasi dan kriteria penyusun amdal, Pasal 34 (3) Ketentuan penerbitan perizinan berusaha, Pasal 34 (4) Ketentuan penetapan jenis usaha wajib UKL-UPL, Pasal 55 (2) Ketentuan dana penjaminan untuk pemulihan fungsi lingkungan hidup, Pasal 59 (4) Ketentuan pengelolaan limbah B3, Pasal 63 Ketentuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bagi pemerintah provinsi dan kabupaten dihapuskan, terakhir Pasal 71 Ketentuan pengawasan sanksi administratif. Hal ini dinilai bakal mereduksi kewenangan pemerintah daerah. Sebab, kewenangan pusat akan makin mendominasi. Dengan kata lain, RUU Omnibus Law bertentangan dengan prinsip otonomi daerah untuk melakukan penguatan dan kemandirian daerah.7 Padahal dalam UU 32/2009 Pasal 2 disebutkan bahwa otonomi daerah sebagai salah satu asas yang digunakan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Selain itu, kemampuan pemerintah pusat dari segi kuantitas dan akses ke daerah di seluruh Indonesia sangat terbatas. Lantaran masalah lingkungan hidup sifatnya sangat site specific (ekoregion). Penunjukan subjek hanya Pemerintah Pusat berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dalam birokrasi. Kewenangan instansi berpotensi lebih mudah diubah karena hanya diatur dalam level peraturan pemerintah. 8 3. Mereduksi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal): Selain perubahan definisi amdal yang telah dijelaskan diatas, terdapat beberapa ketentuan yang turut diubah dalam RUU Cipta Kerja. Pasal 23 yang mengatur dengan jelas kriteria usaha/kegiatan 5

Kertas Kebijakan: Catatan Kritis dan Rekomendasi Terhadap RUU Cipta Kerja, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, 2020, hlm.23. 6 Ibid.,7 7 Kumparan, “Omnibus Law Cipta Kerja Dikritik Bertentangan dengan Prinsip Otonomi Daerah”, diakses dari https://kumparan.com/kumparanbisnis/omnibus-law-cipta-kerja-dikritik-bertentangan-dengan-prinsipotonomi-daerah-1su5k49Fuu6, pada tanggal 18 Maret 2020 pukul 01.09. 8 Catatan Atas RUU Cipta Kerja, Indonesian Center for Environmental Law, 2020, hlm.3.

BA D A N E K S E K U T I F KELUARGA MAHASISWA KEHUTANAN SYLVA INDONESIA (PC.) UNIVERSITAS HASANUDDIN Sekretariat: Jl. Perintis Kemerdekaan KM. 10, Kampung Rimba PH 101 Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin Telp. 081354425675 email: [email protected], Makassar 90245, Sulawesi Selatan

wajib amdal dihapuskan. Perubahan kriteria usaha wajib amdal menjadi sekadar berdampak penting terhadap lingkungan hidup, sosial, ekonomi, dan budaya tanpa disertai dengan norma yang lebih jelas. Dengan demikian dinilai akan mengerucutkan jenis kegiatan usaha wajib amdal tanpa memperhatikan aspek lingkungan hidup. Pasal 26 (3) yang mengatur tentang pelibatan masyarakat dalam hal ini pemerhati/aktivis lingkungan di setiap penyusunan dokumen amdal dihapuskan. Dalam RUU Cipta kerja hanya melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung, hal ini tentunya akan membuat proses penyusunan amdal menjadi tidak partisipatif dan justru cenderung eksklusif serta semakin rentan dengan praktik informal (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) padahal sebelumnya pelibatan masyarakat/pemerhati lingkungan dilaksanakan pada saat konsultasi publik dalam rangka menjaring saran dan tanggapan. Pasal 28 (2-3) yang mengatur tentang kriteria untuk memperoleh sertifikat kompetensi penyusun amdal dan lembaga sertifikasi penyusun amdal dihapuskan. Hal ini berpotensi untuk mengakibatkan banyaknya dokumen amdal yang tidak komprehensif dan tidak kredibel karena dibuat oleh pihak yang tidak berkompeten. Pasal 26 (4) yang mengakomodir hak masyarakat untuk mengajukan keberatan terhadap dokumen amdal dan Pasal 29-31 yang mengatur ketentuan mengenai komisi penilai amdal termasuk unsur yang terlibat didalamnya dihapuskan. Hal ini dinilai mengurangi keterlibatan masyarakat dalam menghentikan kegiatan usaha yang berpotensi merusak lingkungan hidup karena sebelumnya dalam komisi amdal terdapat keterlibatan masyarakat terdampak, organisasi lingkungan independen dan para ahli. 4. Legalisasi pencemaran lingkungan hidup bagi korporasi: Penyisipan Pasal 61A dalam RUU Cipta Kerja yang mengatur tentang diperbolehkannya pelaku usaha untuk menghasilkan, mengangkut, mengedarkan, menyimpan, memanfaatkan, membuang, mengolah, dan/atau menimbun bahan berbahaya dan beracun; menghasilkan, mengangkut, menyimpan, mengumpulkan, memanfaatkan, mengolah, dan/atau menimbun limbah bahan berbahaya dan beracun; pembuangan air limbah ke laut; pembuangan air limbah ke sumber air; dan/atau memanfaatkan air limbah untuk aplikasi ke tanah, selama pengelolaan tersebut dinyatakan dalam amdal dan UKL-UPL. 5. Kriminalisasi masyarakat adat: Pasal 69 (2) UU 31/2009 yang mengatur ketentuan mengenai larangan perbuatan perusak lingkungan dengan memperhatikan kearifan lokal dihapuskan. Dalam penjelasan pasalnya kearifan lokal yang dimaksud dalam ketentuan ini adalah melakukan pembakaran lahan dengan luas lahan maksimal 2 hektare per kepala keluarga untuk ditanami tanaman jenis varietas lokal dan dikelilingi oleh sekat bakar sebagai pencegah penjalaran api ke wilayah sekelilingnya. Hal ini tentunya berpotensi menyebabkan kriminalisasi bagi masyarakat adat yang telah menjalankan tradisi pembukaan lahan dengan cara pembakaran. 6. Impunitas korporasi perusak lingkungan hidup: Pasal 88 UU 32/2009 yang berbunyi “Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3,

BA D A N E K S E K U T I F KELUARGA MAHASISWA KEHUTANAN SYLVA INDONESIA (PC.) UNIVERSITAS HASANUDDIN Sekretariat: Jl. Perintis Kemerdekaan KM. 10, Kampung Rimba PH 101 Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin Telp. 081354425675 email: [email protected], Makassar 90245, Sulawesi Selatan

menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggungjawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan” diubah dengan menghilangkan prinsip strict liability atau tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan. Strict liability merupakan konsep pertanggungjawaban perdata yang tidak mensyaratkan adanya kesalahan pada diri tergugat tetapi telah menimbulkan kerugian pada diri penggugat.9 Sebelumnya pada tahun 2017, Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) dan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mengajukan gugatan judicial review ke Mahkamah Konstitusi terkait pasal penjerat pelaku kejahatan lingkungan hidup salah satunya ketentuan prinsip strict liability pada Pasal 88 UU 32/2009 walaupun pada akhirnya permohonan gugatannya ditarik kembali.10 Dengan perubahan pasal tersebut tentunya akan semakin menyulitkan untuk menjerat korporasi perusak lingkungan. Pasal 93 UU 32/2009 yang mengatur hak setiap orang untuk mengajukan gugatan administratif terhadap keputusan tata usaha negara dihapuskan. Dengan demikian ketentuan ini menghilangkan partisipasi publik dalam pengawasan (gugatan) terhadap keputusan badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan perizinan usaha maupun lingkungan. Pasal 98, 99, 102, 103, 104 UU 32/2009 yang mengatur ketentuan pidana bagi pelaku kejahatan lingkungan diubah menjadi pemberian sanksi administratif berupa denda, pelaku kejahatan lingkungan dapat dijatuhi sanksi pidana ketika denda tidak dapat dibayarkan. Dengan demikian pelaku kejahatan lingkungan akan kebal dari pidana dan tentunya tidak memberikan efek jera. Akhirnya, pelaku kejahatan telah mengelak dari tanggung jawab dan memindahkan tanggung jawab atas kejahatan lingkungan hidup dan kemanusiaan yang mereka lakukan kepada negara.11 C. UU 18/2013 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan Dalam RUU Cipta kerja terdapat 24 Ketentuan pasal yang mengalami perubahan terdiri dari 17 pasal diubah, 4 pasal dihapuskan dan 3 pasal disisipkan yang diantaranya mengatur tentang: 1. Ketentuan mengenai pemeriksaan perkara perusakan hutan pada Pasal 53 UU 18/2013 dihapuskan. Dalam naskah akademik dijelaskan penghapusan pasal dikarenakan dalam UU 18/2018 belum mengatur dengan tegas tentang pembentukan pengadilan tindak pidana perusakan hutan sebagai pengadilan khusus yang berada di lingkungan peradilan umum dengan demikian pengangkatan dan pengusulan calon Hakim ad hoc

9

Andri Wibisana, Penegakan Hukum Lingkungan Melalui Pertanggungjawaban Perdata, (Jakarta: Badan Penerbit FHUI, 2018). 10 Sapariah Saturi dan Lusia Arumingtyas, “Akhiri Gugatan, APHI-GAPKI Cabut Uji Materi UU Lingkungan” diakses dari https://www.mongabay.co.id/2017/06/12/akhiri-gugatan-aphi-gapki-cabut-uji-materi-uulingkungan/ pada tanggal 20 Maret 2020 pukul 17.49. 11 Ecocide Memutus Impunitas Korporasi, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, 2018, hlm.49.

BA D A N E K S E K U T I F KELUARGA MAHASISWA KEHUTANAN SYLVA INDONESIA (PC.) UNIVERSITAS HASANUDDIN Sekretariat: Jl. Perintis Kemerdekaan KM. 10, Kampung Rimba PH 101 Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin Telp. 081354425675 email: [email protected], Makassar 90245, Sulawesi Selatan

tidak akan dapat dilaksanakan karena pengadilan khusus belum dibentuk dengan UU. Seharusnya dengan melihat jenis perkara perusakan hutan yang membutuhkan keahlian dan pengalaman tertentu dalam memeriksa, mengadili, dan memutuskan, pemerintah dapat memberikan ruang bagi peradilan khusus alih-alih menghapus ketentuan tersebut. 2. Ketentuan mengenai lembaga pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan (LP3H) pada Pasal 54 UU 18/2013 dihapuskan. Dalam naskah akademik dijelaskan alasan penghapusan dikarenakan sampai saat ini lembaga pencegahan dan pemberantasan perusakan hutan belum terbentuk, melihat tingginya kasus perusakan hutan seharusnya pemerintah segera membentuk LP3H bukan malah menghapus ketentuannya. 3. Ketentuan mengenai pidana pelaku perusakan hutan sebagaimana yang diatur pada Pasal 82, 83, 84, 85, 92 dan 93 UU 18/2013 mengalami perubahan. Sebelumnya pengenaan sanksi pidana sekaligus dengan pengenaan sanksi administratif berupa denda sedangkan dalam RUU Cipta Kerja pelaku perusakan hutan dapat dijatuhi sanksi pidana ketika sanksi administrative berupa denda tidak dapat dibayarkan. Dengan demikian dinilai tidak dapat memberikan efek jera kepada korporasi perusak hutan.

“Jika lingkungan tercemar dan perekonomian sakit, virus penyebab keduanya akan ditemukan pada sistem produksi.” —BARRY COMMONER

Related Documents


More Documents from "cepris1026"