Kelompok Vii - Morfin

  • Uploaded by: Dedix Henk
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Kelompok Vii - Morfin as PDF for free.

More details

  • Words: 2,685
  • Pages: 11
Loading documents preview...
PAPER TOKSIKOLOGI KIMIA “MORFIN”

Disusun Oleh VII : Luh Putu Arisanti (1308105006) Putu Dona Oka Putri (1308105013) Komang Ayu Tri Lestari (1308105022) I Putu Juan Dirga Atmaja S. (1308105024) Febryna Aurora Valent (1308105025)

JURUSAN KIMIA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS UDAYANA BALI 2015 1 | MORFIN

BAB I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Pada abad ke-21 ini, masalah narkotika dan maraknya kenakalan remaja menjadi perhatian yang serius dari semua pihak. Presiden RI melalui Instruksi Presiden No 6/1971, tentang penanggulangan peredaran gelap dan penyalahgunaan narkotika seperti morfin, heroin, obat-obatan yang mengandung opium dan merokok ganja. Undang- undang yang mengatur tentang zat- zat ini sudah jelas, yaitu Undang- Undang No. 9 tahun 1976 yang berkaitan dengan narkotika. Dalam UU Narkotika, yang tergolong narkotika adalah ganja, kokain, dan opioid/opiat. Sedangkan yang termasuk jenis opioid adalah morfin dan heroin. Narkotika adalah jenis obat yang biasa digunakan dalam terapi untuk menghilangkan rasa nyeri seperti pada penderita kanker. Sementara kini, peredaran ilegal narkotika semakin marak, selain itu, penyalahgunaan narkotika di kalangan remaja semakin sulit dibendung. Akibatnya, selama satu dekade terakhir di negeri ini telah ditemukan ratusan ribu pecandu narkotika dan zat adiktif lainnya. Keracunan narkotika juga cepat terjadi dengan menekan pusat pernapasan, napas menjadi lambat, pengguna merasa ‘melayang’, tekanan darah menurun, dan dapat membuat pengguna menjadi koma hingga meninggal dunia. Sekitar 2% dari pengguna narkotika melalui suntikan meninggal dunia setiap tahunnya karena overdosis atau infeksi. Morfin adalah obat yang mewakili kelompok besar opioid yang terdiri dari opium alam (asli), sintetis, semi sintetis, devirat dan garamnya. Morfin sering disalahgunakan untuk memperoleh efek yang tidak ada pada medikasi medis. Morfin mempunyai efek analgesik dan morfin sendiri sedikit sekali diabsorpsi dari saluran cerna. Sangat mungkin bagi seorang dokter untuk membuat visum et repertum yang berkaitan dengan kasus-kasus penyalahgunaan narkotika ini. Oleh karena itu, selayaknya kita mengetahui dan memahami zat-zat yang berkaitan dengan narkoba (narkotika dan obat-obatan lainnya), salah satunya adalah morfin dimana gejala-gejala keracunan morfin yang mungkin ditemui pada korban, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. 1.2 Rumusan Masalah Pada paper ini akan dibahas beberapa rumusan masalah, yaitu : a) Apa yang dimaksud dengan morfin? b) Bagaimana morfin mengalami fase-fase toksikologi dalam tubuh manusia? 2 | MORFIN

c) Bagaimana efek toksik morfin dalam tubuh? d) Bagaimana cara mendeteksi morfin dalam tubuh? 1.3 Tujuan Paper ini bertujuan untuk : a) b) c) d)

Menjelaskan apa yang dimaksud dengan morfin. Mengetahui fase-fase toksikologi morfin dalam tubuh manusia. Mengetahui efek toksik morfin dalam tubuh Mengetahui cara mendeteksi morfin dalam tubuh manusia.

1.4 Manfaat Paper ini dapat bermanfaat untuk menjelaskan kepada pembaca tentang morfin, fase-fase toksikologi morfin dalam tubuh, efek toksik morfin, dan cara mendeteksi morfin dalam tubuh. 1.5 Ruang Lingkup Pada paper ini hanya membahas tentang morfin dan gejala-gejala umum pada manusia apabila mengalami kelebihan dosis morfin.

BAB II 3 | MORFIN

Tinjauan Pustaka 2.1 Morfin Morfin adalah hasil olahan dari opium/candu mentah. Morfin merupakan alkaloida utama dari opium (C17H19NO3). Morfin rasanya pahit, berbentuk tepung halus berwarna putih atau dalam bentuk cairan berwarna. Pemakaian morfin dapat dilakukan dengan cara dihisap dan disuntikkan. Morfin bersumber dari bunga opium Papaver somniferum. Tanaman ini telah digunakan selama lebih dari 6000 tahun, dan penggunaanya terdapat dalam dokumen – dokumen kuno Mesir, Yunani, dan Romawi. Morfin adalah pemurnian pertama dari sumber tanaman dan merupakan salah satu dari sedikitnya mengandung 50 macam alkaloid dari beberapa jenis dalam opium, Poppy Straw Konsentrat, dan turunan opium lainnya. Opium menarik karena sampai pada abad ke 18 belum ada perhatiaan akan kecenderungan adiksi opium. Morfin merupakan salah satu jenis dari opioid, dimana opioid disebut juga sebagai analgesia narkotik yang sering digunakan dalam anastesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri paska pembedahan. Morfin mempunyai lima pusat asimetrik (karbon 5,6,9,13, dan 14), tetapi hanya 16 (8 pasangan rasemik diastereoisomer) dan bukan 32 (25) isomer yang mungkin, karena atom 10 dan 12 harus cis, jadi 1,3-diaksial, dibandingkan terhadap cincin piperidin (D). Stereokimia relatif pada kelima pusat itu direduksi secara tepat oleh Stork pada tahun 1952. Peristilahan klasik (misalnya morfin, kodein) digantikan oleh tatanama sistemik yang didasrkan pada inti morfinan dengan mempertahankan sistem penomoran fenantren. Jadi morfin sekarang disebut (Cemical Abstract) 17-metil-7,8didehidro-4,5α-epoksimorfinan-3,6α-diol; dimana α menunjukan orientasi trans terhadap jembatan 15, 16, 17 yang berhubungan dengan sistem cincin ABC. Sintesis total morfin pertama kali dipaparkan oleh Gates dan Tsehudi (1952-1956) dan oleh Elad dan Ginsburg (1954). Hal ini menegaskan hipotesis Robinson-Stork. Beberapa sintesi lain yang baik menyusul tetapi tak satu pun sintesis total dapat bersaing secara dagang dengan hasil sumber alami. Pembuktian langsung tentang stereokimia relatif pada karbon 5, 6, 9 dan 13 diberikan oleh Rapoport (1950-1953) perincian terakhir, C(14), diberikan pada tahun 1955 melalui telaah difraksi sinar-X Kristal tunggal tentang garam morfin yang dilaporkan oleh MacKay dan Hodgkin. Telaah ini juga memberikan gambaran konformasi lengkap pertama untuk molekul morfin. Konfigurasi absolut ditetapkan pada tahun yang sama oleh Kalvoda dan rekan-rekannya melalui penguraiantebain secara kimia menjadi senyawa menjadi senyawa yang lebih sederhana yang konfigurasi absolutnya diketahui. 4 | MORFIN

Konfigurasi absolut untuk (-)-morfin yang terdapat di alam adalah seperti yang diperlihatkan. Citra cerminnya, (+)-morfin, tidak mempunyai aktivitas analgesic. Morfin dan semua senyawa sejenisnya yang aktif adalah basa organik (amin) dengan pKa yang berkisar antara kira-kira 8,5 sampai 9,5. Jadi, pada pH fisiologis (7,4) sekitar 97% sampai 99 % terprotonasi. Basa bebas sangat sukar larut dalam air, tetapi pada umumnya, garamnya yang sangat baik larut dalam air. Basa yang tak terion yang ada dalam keseimbangan dengan membentuk (ion) yang terprotonasi dianggap sebagai jenis yang menembus hambatan lipoid darah otak. Secara luas diterima bahwa opium berinteraksi dengan reseptor dalam bentuk ion. Sifat, reaksi morfin sebagai alkaloid bersifat basa karena mengandung gugus amin tersier (pKa ≈ 8,1) dan membentuk garam berbentuk Kristal dengan sederetan asam. Yang digunakan adalah garam hidroksida yang mengandung tiga molekul air Kristal ( morfin hidroksida pH, Eur). Berdasarkan gugus hidroksil fenolnya morfin juga bersifat asam ( pKa = 9,9) dan bereaksi dengan alkalihidroksida membentuk fenolat, tetapi tidak bereaksi dengan larutan ammonia. Titik isolistrik terletak pada pH 9. Morfin yang terdapat dalam alam memutar bidang polarisasi ke kiri.

Gambar 1.1 Struktur umum morfin 2.2 Fase-fase Toksikologi Morfin dalam Tubuh Manusia a) Fase Eksposisi Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat menembus kulit yang luka. Morfin juga dapat menembus mukosa. b) Fase Toksokinetik Absorpsi : Kebanyakan efek analgesik dari morfin diabsorpsi dengan baik pada pemberian subkutan dan intramuskular yang sama baiknya dengan absorpsi dari permukaan mukosa hidung atau mulut dan saluran cerna. Walaupun absorpsi melalui saluran cerna mungkin cepat, ketersediaan hayati dari beberapa senyawa yang dilakukan dengan cara ini 5 | MORFIN

mungkin berkurang karena metabolisme first-pass yang jelas dengan glukoronidasi dalam hati. Oleh karena itu diperlukan dosis oral yang jauh lebih tinggi untuk memperoleh efek terapi daripada dosis yang diperlukan bila digunakan cara pemberian parenteral. Karena jumlah enzim yang dapat memberikan respons pada reaksi ini sangat bervariasi pada individu-individu yang berlainan, maka dosis oral yang efektif dari suatu senyawa mungkin sulit ditentukan. Kodein dan oksikodon mempunyai rasio potensi oral, parenteral yang tinggi karena konjugasinya dicegah oleh gugusan metil pada gugusan hidroksil aromatik. Distribusi : Penyerapan morfin oleh berbagai organ dan jaringan adalah merupakan fungsi faktor fisiologik dan kimia. Meskipun morfin terikat pada protein-protein plasma dengan berbagai tingkat afinitas, senyawa-senyawa ini dengan cepat meninggalkan darah dan terlokalisasi dengan konsentrasi tertinggi di jaringan-jaringan yang perfusinya tinggi seperti di paru, hati, ginjal, dan limpa. Walupun konsentrasi morfin di otot rangka dapat sangat rendah, jaringan ini merupakan tempat simpanan utama untuk obat karena masanya yang lebih besar. Walaupun demikian, akumulasi dalam jaringan lemak juga penting, terutama pada pemakaian dosis tinggi morfin. Kadar morfin dalam otak biasanya relatif rendah dibanding dengan diorgan-organ tubuh lain karena adanya sawar darah otak. Namun demikian , sawar darah otak lebih mudah dilewati oleh senyawa-senyawa hidroksil aromatik yang disubstitusi pada atom C3, seperti pada heroin dan kodein. Tampaknya lebih banyak kesulitan untuk memperoleh kadar dengan senyawa-senyawa amfoter (misalnya obat-obat yang mempunyai sifat-sifat asam dan basa) seperti morfin. sawar ini pada neonatus masih belum sempurna. Penggunaan analgesik morfin untuk analgesia obstetri dapat menimbulkan depresi pernapasan pada bayi baru lahir. Metabolisme : Sebagian besar morfin dikonversi menjadi metaboit-metabolit polar, sehingga mudah disekresi oleh ginjal. Senyawa yang mempunyai gugusan hidroksil bebas seperti morfin dan levorfanol dengan mudah dikonjugasi dengan asam glukoronat. Metabolit yang dikonjugasi dengan glukoronat ini bersifat polar diperkirakan tidak aktif, tetapi penemuan terakhir menunjukkan bahwa morfin-6-glukoronid mempunyai sifat – sifat analgesik yang yang mungkin lebih besar dari morfin sendiri. Akumulasi metabolit aktif ini dapat dijumpai pada pasien-pasien gagal ginjal serta dapat memperpanjang dan lebih kuat efek analgesiknya meskipun yang masuk ke SSP tebatas. Morfin juga mengalami Ndimetilasi oleh hati, tetapi ini hanya sebagian kecil saja. Akumulasi metabolit meperidin, normeperidin, dapat ditemukan pada pasien-pasien fungsi ginjal yang menurun atau pasien yang menerima obat dalam dosis yang jauh lebih tinggi. Dalam konsentrasi yang cukup tinggi, metabolit dapat menimbulkan kejang terutama pada anak. 6 | MORFIN

Ekskresi : Metabolit polar morfin diekskresi terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin diekskresi dalam bentuk tidak berubah. Konjugasi glukoronid juga diekskresi kedalam empedu, tetapi sirkulasi enterohepatik hanya merupakan bagian kecil dari proses ekskresi. Morfin diekskresikan terutama dalam bentuk terkonyugasi. Yang dominan dalam hal ini yaitu 3-0-glukuronida. N-demetilasi kurang penting. Metabolit utama kodein ialah 6-0glukuronida. Selain itu terjadi N- dan 0-demetilasi, dimana terbentuk norkodein dan morfin. Produk demitilasi sebagaian diekskresikan sebagai konyugat. c) Fase Toksodinamik Efek morfin terjadi pada susunan syaraf pusat dan organ yang mengandung otot polos. Efek morfin pada system syaraf pusat mempunyai dua sifat yaitu depresi dan stimulasi. Digolongkan depresi yaitu analgesia, sedasi, perubahan emosi, hipoventilasi alveolar. Stimulasi termasuk stimulasi parasimpatis, miosis, mual muntah, hiper aktif reflek spinal, konvulsi dan sekresi hormone anti diuretika (ADH). 2.3 Efek yang ditimbulkan morfin dalam tubuh Morfin digunakan untuk menghambat nyeri yang paling kuat. Dosis analgetik pada penggunan yang diutamakan, yaitu subkutan, adalah 10 mg. Pada dosis kecil sudah terjadi peredaan rangsang batuk melalui peredaman pusat batuk (kerja antitusif), selain itu pusat respirasi juga dihambat (kerja depresi pada respirasi). Hal ini terlihat dalam rentang dosis terapi dan pada dosis yang lebih tinggi, akhirnya menyebabkan kelumpuhan pernapasan. Morfin juga mempunyai sifat merangsang secara sentral. Hal ini merupakan hasil dari serangan pada bagian sentral parasimpatikus dan diwujudkan sebagai miosis. Kerja stimulasi dari analgetika jenis morfin, dapat diamati secara khas pada menchit, melalui penegakan ekor dalam bentuk S yang khas gejalan ekor dari straub. Termasuk sebagai kerja parifer morfin adalah peningkatan tonus otot polos, yang mengakibatkan obstipasi spastik. Sebaliknya, opium yang dapat digunakan untuk meredakan usus, menyebabkan obstipasi otonik karena mengandung papaverin. Morfin bekerja langsung pada sistem saraf pusat untuk menghilangkan sakit. Efek morfin antara lain adalah penurunan kesadaran, euforia, rasa kantuk, lesu, dan penglihatan kabur. Morfin juga mengurangi rasa lapar, merangsang batuk, dan meyebabkan konstipasi. Morfin menimbulkan ketergantungan tinggi dibandingkan zat-zat lainnya. Pasien morfin juga dilaporkan menderita insomnia dan mimpi buruk. Dalam pengobatan klinis, morfin dianggap sebagai standar emas, atau patokan dari analgesik digunakan untuk meringankan penderitaan berat atau sakit dan penderitaan. Seperti opium lain, misalnya oksikodon (Oxy Contin, 7 | MORFIN

Percocet, Percodan), hidromorfon (Dilaudid, Palladone), dan diacetylmorphine (heroin), morfin langsung mempengaruhi pada sistem saraf pusat (SSP) untuk meringankan rasa sakit. Morfin memiliki potensi tinggi untuk kecanduan, toleransi dan psikologis ketergantungan berkembang dengan cepat, meskipun Fisiologis ketergantungan mungkin membutuhkan beberapa bulan untuk berkembang. Efek lain yang ditimbulkan oleh morfin yaitu, pasien mengalami pelambatan dan kekacauan pada saat berbicara, kerusakan penglihatan pada malam hari, mengalami kerusakan pada liver dan ginjal, peningkatan resiko terkena virus HIV dan hepatitis dan penyakit infeksi lainnya melalui jarum suntik dan penurunan hasrat dalam hubungan sex, kebingungan dalam identitas seksual, kematian karena overdosis. Gejala kelebihan dosis : Pupil mata sangat kecil (pinpoint), pernafasan satu- satu dan coma (tiga gejala klasik). Bila sangat hebat, dapat terjadi dilatasi (pelebaran pupil), sering disertai juga nausea (mual), kadang-kadang timbul edema paru (paru-paru basah). Gejala–gejala lepas obat : Agitasi, nyeri otot dan tulang, insomnia, nyeri kepala. Bila pemakaian sangat banyak (dosis sangat tinggi) dapat terjadi konvulsi(kejang) dan koma, keluar airmata (lakrimasi), keluar air dari hidung(rhinorhea), berkeringat banyak, cold turkey, pupil dilatasi, tekanan darah meninggi, nadi bertambah cepat, hiperpirexia (suhu tubuh sangat meninggi), gelisah dan cemas, tremor, kadang-kadang psikosis toksik. 2.4 Cara mendeteksi morfin dalam tubuh manusia Morfin dapat dideteksi melalui Anamnesa dan Pemeriksaan fisik, misalnya : a) Gejala klinis :  Pada umumnya sama dengan gejala klinis keracunan barbiturate; antara lain nausea, vomiting, nyeri kepala, otot lemah, ataxia, suka berbicara, suhu menurun,   

pupil menyempit, tensi menurun dan sianosis. Pada keracunan akut : miosis, koma, dan respirasi lumpuh. Gejala keracunan morfin lebih cepat nampak daripada keracunan opium. Gejala ini muncul 30 menit setelah masuknya racun, kalau parenteral, timbulnya



hanya beberapa menit sesudah masuknya morfin. Tahap 1, tahap eksitasi, Berlangsung singkat, bahkan kalau dosisnya tinggi, tanpa ada tahap 1, terdiri dari :  Kelihatan tenang dan senang, tetapi tak dapat istirahat.  Halusinasi.  Kerja jantung meningkat, wajah kemerahan dan kejang-kejang.  Dapat menjadi maniak. 8 | MORFIN





Tahap 2, tahap stupor, dapat berlangsung beberapa menit sampai beberapa jam (gejala ini selalu ada), terdiri dari :  Kepala sakit, pusing berat dan kelelahan.  Merasa ngantuk dan selalu ingin tidur.  Wajah sianosis, pupil amat mengecil.  Pulse dan respirasi normal. Tahap 3, tahap koma, tidak dapat dibangunkan kembali, terdiri dari :  Tidak ada reaksi nyeri, refleks menghilang, otot-otot relaksasi.  Proses sekresi.  Pupil pinpoint, refleks cahaya negative. Pupil melebar kalau ada asfiksisa,

dan ini merupakan tanda akhir.  Respirasi cheyne stokes.  Pulse menurun, kadang-kadang ada kejang, akhirnya meninggal b) Pemeriksaan Toksikologi Sebagai barang bukti :  Urin, cairan empedu dan jaringan tempat suntikan.  Darah dan isi lambung, diperiksa bila diperkirakan keracunannya peroral.  Nasal swab, kalau diperkirakan melalui cara menghirup.  Barang bukti lainnya. c) Metode lain yang dapat digunakan :  Dengan Thin Layer Chromatography atau dengan Gas Chromatography (Gas Liquid Chromatography). Pada metode TLC, terutama pada keracunan peroral: barang bukti dihidroliser terlebih dahulu sebab dengan pemakaian secara oral, morfin akan dikonjugasikan terlebih dahulu oleh glukuronida dalam sel mukosa usus dan dalam hati. Kalau tanpa hidrolisa terlebih dahulu, maka morfin yang terukur hanya berasal dari morfin bebas, yang mana untuk mencari beberapa 

morfin yang telah digunakan, hasil pemeriksaan ini kurang pasti. Nalorfine Test. Penafsiran hasil test : Kadar morfin dalam urin, bila sama dengan 5 mg%, berarti korban minum heroin atau morfin dalam jumlah sangat banyak. Bila kadar morfin atau heroin dalam urin 5-20 mg%, atau kadar morfin/heroin dalam darah 0,1-0,5 mg%, berarti pemakaiannya lebih besar dosis lethalis. Permasalahan timbul bila korban memakai morfin bersama dengan heroin atau bersama kodein. Sebab hasil metabolic kodein, juga ada yang berbentuk morfin, sehingga morfin hasil metabolic narkotika tadi berasal dari morfinnya sendiri dan dari kodein. Sebagai patokan dapat ditentukan, kalau hasil metabolit morfinnya tinggi, sedang mensuplai morfin hanya sedikit, dapat dipastikan korban telah mensuplai juga kodein cukup banyak.

9 | MORFIN

BAB III Penutup 3.1 Kesimpulan Morfin merupakan salah satu jenis dari opioid, dimana opioid disebut juga sebagai analgesia narkotik yang sering digunakan dalam anastesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri paska pembedahan. Efek morfin antara lain adalah penurunan kesadaran, euforia, rasa kantuk, lesu, dan penglihatan kabur. Morfin juga mengurangi rasa lapar, merangsang batuk, dan meyebabkan konstipasi. Morfin menimbulkan ketergantungan tinggi dibandingkan zat-zat lainnya. Pasien morfin juga dilaporkan menderita insomnia dan mimpi buruk. Dalam pengobatan klinis, morfin dianggap sebagai standar emas, atau patokan dari analgesik digunakan untuk meringankan penderitaan berat atau sakit dan penderitaan. Morfin diekskresikan terutama dalam bentuk terkonyugasi. Yang dominan dalam hal ini yaitu 3-0-glukuronida. N-demetilasi kurang penting. Metabolit utama kodein ialah 6-010 | M O R F I N

glukuronida. Selain itu terjadi N- dan 0-demetilasi, dimana terbentuk norkodein dan morfin. Produk demitilasi sebagaian diekskresikan sebagai konyugat. 3.2 Saran Karena morfin merupakan senyawa yang dapat memberikan efek toksik, sebaiknya kita tidak mengkonsumsi morfin atau senyawa opium lainnya.

Daftar Pustaka

Budavari, Susan. The Merck Index, 12th edition. Merck. 1996 Clark E.C.G. : Isolation and Identification of Drug, General Medical Counsil, London. Drs. Y.P. Jokosuyuno, 1980, Masalah Narkotika dan Bahan Sejenisnya, Penerbitan Yayasan Kanisius. James Scorzelli, 1987, Drug Abuse- Preventions and Rehabilitations In Malaysia, Universiti Kebangsaan Malaysia. Le Couteur P. and Burreson J. Napoleon’s Buttons: How 17 Molecules Changed History. Penguin Putnam. 2003. Sudjono D, 1977, Narkotika dan Remaja, Penerbitan Alumni Bandung. 11 | M O R F I N

Related Documents

Kelompok Vii - Morfin
January 2021 0
Jatekok Vii
March 2021 0
Unidad Vii
January 2021 3
Rpp Ipa Kls Vii
February 2021 1
Bateria Vii 16 Ii
January 2021 0

More Documents from "Mariana Hristache"

Kelompok Vii - Morfin
January 2021 0