Lalita Hita Karana

  • Uploaded by: Adi Brata
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Lalita Hita Karana as PDF for free.

More details

  • Words: 10,868
  • Pages: 34
Loading documents preview...
LALITA HITA KARANA Sadhana TRI HITA KARANA LALITA HITA KARANA Sadhana TRI HITA KARANA

LALITA HITA KARANA Sadhana TRI HITA KARANA

SEBUAH TEKNIK MEDITASI MENUJU KEBEBASAN

Oleh : SARASVATI DEVI, I KETUT REGIG BURUAN, GIANYAR, BALI JANUARI 2001

LALITA HITA KARANA Sadhana TRI HITA KARANA

AKU DATANG DARI BRAHMAN BERJALAN DI JALAN BRAHMAN MENUJU PADA BRAHMAN

LALITA HITA KARANA Sadhana TRI HITA KARANA

RENGGEH GAWE, CATUR YAKSA, LINUIH ANGAREP ING ULUN

LALITA HITA KARANA Sadhana TRI HITA KARANA

Om Swastiastu Lalita Hita Karana merupakan suatu pendekatan sekaligus merupakan sadhana yang perlu dijalankan setiap hari. Merupakan kewajiban setiap orang yang ingin membebaskan diri dari ikatan duniawi menuju kepada yang maha suci. Sadhana ini kembali dimunculkan setelah sepuluh abad berlalu, dimana Maharaja Guna Priya Dharma Patni Udayana memerintah pulau Bali, didampingi penasehat kerajaan Mpu Kuturan, Mpu Gana, Mpu Semeru dan Mpu Gnijaya, menelorkan konsep Tri Hita Karana, Tri Kahyangan dan Tri Murti dengan konsep agama Siwa-Budha. Dengan disepakati konsep Tri Hita Karana, Tri Kahyangan dan Tri Murti, semua aliran dan sekte yang ada di Bali saat itu terwadahi. Pada zaman itu di Bali terdapat beranekaragam aliran dan keyakinan yang banyak menimbulkan pertentangan antar pemeluknya yang pada akhirnya banyak timbul masalah sosial dalam kehidupan bernegara.

i

Pada hakekatnya pertentangan itu tidak harus terjadi, karena setiap sekte atau aliran tersebut pada dasarnya bercita-cita menuju kepada Brahman Sang Pencipta. Kenyataan dalam kehidupan sehari-hari pertentangan itu tidak dapat dihindari. Hal ini disebabkan masing-masing penganutnya masih diliputi oleh kegelapan, dikendalikan oleh ahamkara (ego). Melihat kenyataan saat ini dimana situasi dan kondisi masyarakat di Bali mendekati zaman tersebut. Adanya fanatisme terhadap apa yang diyakini benar, bahkan kadang-kadang mencemooh dan merendahkan keyakinan orang lain. Kalau ini berkembang terus tidak mungkin dibendung lagi dalam kehidupan bermasyarakat dan beragama akan terjadi pertentangan seperti yang pernah terjadi sepuluh abad yang lalu. Karena rasa cinta kasih beliau terhadap umatnya, beliau kembali menurunkan ajaran beliau yaitu “LALITA HITA KARANA” yang arti bebasnya “JALAN MENUJU KEBEBASAN” sebagai pendekatan operasional, dalam mewujudkan tujuan konsep “Tri Hita Karana”. Lalita Hita Karana merupakan sadhana dengan urutan mantra-mantra suci Hindhu yang dijadikan sarana pelayanan kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang merupakan kewajiban kita dilahirkan ke dunia ini. Pelayanan atau bakti merupakan karma yang harus kita perbuat dalam hidup ini, untuk mencapai tujuan hidup yang lebih sempurna, yang pada akhirnya dapat manunggal dengan Yang Maha Sempurna. Lalita Hita Karana merupakan tuntunan bagi umat dan murid-murid Beliau agar kembali ke jalan Dharma. Selama lebih kurang seribu tahun berlalu, konsep Tri Hita Karana, Tri Kahyangan dan Tri Murti yang merupakan landasan dalam hidup bernegara dan beragama telah banyak terjadi perkembangan. Perkembangan tersebut ada yang bersifat positif dan ada pula yang bersifat negatif. Bahkan kalau secara jujur kita berbicara pelaksanaan agama dalam kehidupan sehari-hari lebih banyak menekankan bentuk luarnya saja, sedangkan tujuan dan hakekat agama itu sendiri masih sangat jauh untuk dihayati. Lalita Hita Karana merupakan suatu tuntunan persembahyangan sekaligus merupakan sadhana untuk menghubungkan diri dengan Tuhan Yang Maha Kuasa, karena didalamnya teruntai mantra-mantra yang merupakan inti dari Weda dan Upanisad. Semoga dengan tuntunan persembahyangan ini kita sebagai umat Beliau menemukan kebenaran sejati dengan kembali ke jalan Tuhan.

Om Santhi Santhi Santhi Penyusun

LALITA HITA KARANA Sadhana TRI HITA KARANA

PENDAHULUAN Kebenaran sejati yang terkandung dalam weda tidak akan bermanfaat bagi kehidupan sehari-hari kalau kebenaran sejati itu tidak diterapkan menjadi acara dharma atau penerapan kebenaran agama dalam tradisi kehidupan sehari-hari, sehingga merupakan bagian yang integral dalam diri manusia dan masyarakat. Tanpa acara Dharma kebenaran sejati yang disebut Sanatana Dharma atau Satya Dharma tidak akan memberikan arah yang jelas pada kehidupan manusia dan masyarakat. Satya Dharma merupakan api spiritual agama sedangkan acara dharma adalah asap dan abunya. Kalau abu dan asap ini tidak dikontrol dengan baik, maka dapat menutup api spiritual itu sendiri. Sebaliknya acara dharma atau tradisi keagamaan tanpa dikontrol oleh Satya Dharma tidak mustahil acara Dharma bisa menyimpang jauh dari inti kebenaran itu sendiri. Satya Dharma merupakan kebenaran mutlak yang dijadikan dasar hidup dan pola pikir orang Hindu. Pola pikir dan landasan hidup tersebut adalah penyerahan diri secara total terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa. Penyerahan diri kepada Tuhan Yang Maha Kuasa merupakan yadnya tertinggi. Menurut filsafat Hindu Tuhan dalam menciptakan alam semesta ini melalui yadnya atau pengorbanan. Yadnya tersebut dilaksanakan oleh Beliau, untuk Beliau dengan diri Beliau sebagai Sarana Yadnya.

ii

Dengan demikian yadnya yang tertinggi nilainya yaitu persembahan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa melalui penyerahan diri secara total yang disebut Bhakti. Bhakti atau penyerahan diri merupakan inti dari acara Dharma yang dalam kehidupan sehari-hari kita kenal dengan Upacara dan Upakara. Upacara menerangkan bagaimana tatanan pelaksanaan agama. Sedangkan Upakara merupakan sarana yang dipergunakan untuk menghubungkan diri dengan Tuhan. Seperti disebutkan acara Dharma menghasilkan abu dan asap yang bisa menutup api spiritual, hendaknya selalu dikontrol agar tidak terlalu jauh menyimpang dari tujuan hidup mencapai moksa. Moksa bagi masyarakat awam kadang-kadang sangat dibesar-besarkan sehingga barang siapa yang mendengar kata moksa sudah terlintas dalam pikirannya suatu usaha yang tidak mungkin dicapai dewasa ini. Benarkah pandangan itu?. Kalau hal itu dianggap benar jadilah kita benda mati yang tak pernah ada kegiatan. Karena kita sudah menyerah sebelum berbuat. Apa gunanya kita hidup sebagai manusia yang dilahirkan semata-mata untuk memperbaiki diri untuk mencapai kesempurnaan. Dalam kenyataan sekarang ini pendapat serupa menghantui pikiran umat, mengapa hal ini bisa terjadi?. Ini yang perlu kita cari pemecahannya. Perjalanan Hinduisme dari negeri asalnya sampai ketempat-tempat tertentu diseantero dunia ini diumpamakan sebuah bola salju yang menggelinding mengikuti alur lintasannya. Dalam perjalanannya bersentuhan dengan tradisi-tradisi setempat. Disamping tempat (desa) dalam perjalanannya melintasi waktu (kala) yang juga memberikan pengaruh. Kalau dalam perjalanannya pada ruang dan waktu tadi Hinduisme tidak dikontrol dengan cermat oleh Satya Dharma tidak mustahil pengaruh ruang dan waktu dapat bersifat sebagai abu dan asap yang bisa memudarkan api spiritual Hinduisme itu sendiri. Abu dan asap yang menutup api spiritual bisa berupa kepentingan ego pada setiap orang yang berkuasa pada saat itu, karena mereka sendiri sudah diperbudak oleh ego, sehingga mereka diliputi kegelapan, tidak dapat melihat lagi kebenaran abadi. Mereka terbelenggu oleh nafsu dan ego yang sesungguhnya semua objek dari nafsu dan ego itu adalah Maya. Kama dan Ahamakra yang sudah begitu lekat menutupi diri sejati setiap orang sehingga api spiritualnya tidak terlihat sinar terangnya.

LALITA HITA KARANA Sadhana TRI HITA KARANA

Mereka yang digelapkan oleh kekuatan maya tidak mustahil menggunakan acara Dharma sebagai wahana untuk kepentingan individu maupun kelompoknya. Akibat dari kenyataan ini maka sistem warna tidak berfungsi lagi. Seseorang menyebut diri seorang Brahmana namun tingkah polahnya seperti seorang Wesya, Kesatrya, atau Sudra, seorang yang menyebut diri seorang Kesatrya, tingkah polahnya sebagai Wesya atau Sudra, demikian sebaliknya. Seseorang menyebut dirinya Brahmana dan berpredikat pendeta yang pada hakekatnya harus disibukkan membimbing umat kejalan dharma memberikan pelayanan terhadap Yang Maha Kuasa, tekun melaksanakan sadhana agar bisa manunggal dengan Tuhan Sang Pencipta, disibukkan dengan kegiatan menjual sarana upacara, dengan dalih meringankan umat, nenerapkan upacara secara kaku bahkan cenderung berlebihan dengan harapan mendapatkan kewibawaan lahiriah.

iii

Demikian juga sebaliknya untuk mendapatkan status sosial yang lebih tinggi di masyarakat dan tergiur dengan perolehan materi, karena kebodohan umat seorang yang belum mumpuni sebagai pendeta menyatakan dirinya sebagai pendeta dengan hanya bermodalkan upacara ritual yang pada hakekatnya hanya bersifat formalitas. Siapakah disini dibohongi?. Tidakkah mereka ini membohongi dirinya?. Karena mereka tahu Tuhan maha tahu, dan ada pada setiap orang. Apa yang dikhawatirkan oleh pendahulu kita melalui cerita Ni Diah Tantri, Sang Cangak menjadi pendeta hanya sekedar mencari isi perut, Begawan Darma Swami, seorang Begawan sibuk menjual kayu bakar, sehingga mereka celaka oleh dirinya sendiri. Sangat disayangkan apabila seseorang berbuat diluar Satya Dharma hanya sekedar memenuhi panggilan nafsu dan egonya. Sangat disayangkan apabila mereka yang dijadikan panutan dalam penerapan Satya Dharma tegelincir dari Satya Dharma, yang pada gilirannya berapa banyak umat ikut tergelicir dari Satya Dharma dan terbelenggu oleh pengaruh maya. Mengapa dosa yang harus diperbuat dalam kehidupan ini? Mengapa kita sia-siakan berkah Tuhan, kita dilahirkan sebagai manusia yang satu-satunya ciptaan-Nya dapat menolong dirinya sendiri melalui Sadhana. Di lain pihak adanya pandangan keliru tentang bakti. Bakti yang terbesar dan mulia adalah bakti atas diri sendiri. Namun masih banyak yang belum tahu hal ini. Mereka memandang pengorbanan material wujud bakti yang tertinggi, bahkan timbul kebanggaan pada dirinya, merasakan dirinya lebih dari yang lain. Lebih disesalkan lagi mereka melaksanakan yadnya dengan harapan apa yang diinginkan agar dikabulkan oleh Tuhan. Dia berkaul (mesaudan), agar apa yang diharapkan tercapai. “Mesaudan” bahasa Bali berasal dari kata me-saud-an. Saud artinya salah langkah. Kalau seseorang menganyam sesuatu, apabila salah satu anyamannya keliru langkahnya disebut saud dalam arti salah. Setiap orang tahu bahwa saud artinya salah, namun mengapa banyak orang melakukan?. Bukankah berarti kita sengaja berbuat salah. Tidakkah ini merupakan kebodohan yang tidak perlu terjadi?. Setiap orang tahu keberhasilan tak kunjung tiba tanpa didasari usaha yang keras. Dalam Bhagawad Gita berulang-ulang dinyatakan bekerjalah tanpa harapan. Sepintas kelihatannya sangat tidak masuk akal, karena dalam kehidupan sehari-hari setiap usaha selalu dilandasi tujuan dan harapan. Tanpa harapan disini dimaksudkan hendaklah setiap usaha yang kita lakukan tidak dibelenggu oleh harapan dan keinginan. Tujuan dan harapan adalah suatu strategi dalam disiplin melaksanakan kegiatan. Kalau usaha atau kegiatan dibelenggu oleh harapan, apabila ternyata tidak sesuai harapannya dengan hasil yang diperoleh akan menimbulkan kekecewaan. Dari kecewa timbul frustasi akhirnya depresi. Bukankah ini berarti menyiksa diri? Dalam kelahiran ini kita berkewajiban memperbaiki diri dari hidup sebelumnya. Menebus dosa-dosa yang pernah kita perbuat, melalui pelayanan terhadap Tuhan dan berbuat baik dengan sesama yang berarti juga pelayanan terhadap Tuhan. Masalah hasil, baik atau buruk hanya Tuhan yang tahu. Acara Dharma merupakan alat dalam penerapan Satya Dharma untuk mencapai tujuan agama sekaligus tujuan hidup yaitu moksa. Moksa merupakan tujuan hidup setiap orang pemeluk agama Hindu.

LALITA HITA KARANA Sadhana TRI HITA KARANA

Perjalanan menuju moksa atau kebebasan banyak mendapat rintangan dan hambatan. Hambatan tersebut banyak berasal dari acara dharma yang tidak dikontrol dengan Satya Dharma, dilain pihak ketidak mampuan seseorang untuk membebaskan diri dari pengaruh maya seperti kama, indrya dan ahamkara. Bakti dan sadhana merupakan jalan yang sangat mudah dan tepat untuk mencapai moksa. Walaupun tidak secara sempurna pada kehidupan sekarang ini, setidak-tidaknya merupakan anak tangga untuk meningkat ketangga yang lebih tinggi, pada kehidupan yang akan datang, karena pada hakekatnya moksa atau kebebasan secara universal kita capai melalui penjenjangan sebagai berikut: 1. Membebaskan diri dari keinginan (nafsu). 2. Membebaskan diri dari kekuatan alam, terbebas dari kutub-kutub kekuatan bumi, dan gesekan kekuatan yang ada di alam dan tetap pada pendirian. 3. Membebaskan diri dari badan kasar, yaitu panca maya kosa dan tri guna. 4. Membebaskan diri dari ego atau rasa aku. 5. Bebas secara universal, bersatunya atman dengan paramatman.

iv

Setiap jenjang ini dapat kita nikmati dalam kehidupan ini dalam bentuk kedamaian hidup bermasyarakat, maupun dalam kehidupan akhirat. Untuk hal ini kembalilah kepada hakekat Satya Dharma itu sendiri yang dapat memberi penerangan jalan menuju jalan Tuhan. Apabila Satya Dharma tidak dipegang erat-erat oleh setiap umat dikhawatirkan kekacauan antar umat sendiri tidak terelakkan akan kembali terjadi, seperti apa yang terjadi pada zaman pemerintahan Guna Priya Dharma Patni Udayana. Untuk menghindari terulang kembalinya hal-hal yang menyesatkan kita, alangkah baiknya kita lebih menghayati hakekat dari filsafat “Tri Hita Karana” yang sudah terbukti ampuh menyelesaikan kehidupan beragama dalam Dharma negara, sekaligus jalan utama untuk menuju Brahman Sang Pencipta.

LALITA HITA KARANA Sadhana TRI HITA KARANA

01

LALITA HITA KARANA (jalan menuju kebebasan) Lali = lupa, ta = kamu (dalam arti kemilikan menunjukkan kepunyaan, memiliki = ego. Hita = mula, Karana = permulaan. Secara keseluruhan Lalita Hita Karana diartikan lupakan Ego menuju mula dari permulaan. Dengan demikian makna dari Lalita Hita Karana “Dengan membebaskan diri dari Ego bersatu dengan mula dari permulaan (Brahman, Sang Pencipta)”. Untuk mencapai kebebasan atau Moksa, secara universal tangga terakhir harus kita lalui yaitu terbebasnya “Diri dari pengaruh Ego (Ahamkara)”. Berbicara kebebasan atau moksa merupakan perwujudan tujuan setiap orang khususnya orang yang menyatakan dirinya penganut Hinduisme. Namun kenyataannya belum banyak orang berminat merintis jalan kehidupan kearah tersebut. Membicarakan moksa saja kadang-kadang dianggap suatu pembicaraan yang berlebihan, bahkan cenderung membicarakan hal yang tidak mungkin dicapai. Terlebih lagi di zaman modern sekarang ini yang begitu sarat dengan modernisasi di bidang teknologi dan science. Benarkah demikian? Dengan kemajuan teknologi sekarang ini kita tidak boleh menutup mata dengan kemampuan manusia sekarang ini dibidang ilmu pengetahuan duniawi. Namun dengan kemajun yang diperoleh umat manusia dalam ilmu duniawi belum menjamin suatu kebahagiaan dan kedamaian baik secara individu maupun kelompok. Hal serupa ini masih diperlukan suatu jalan yang harus ditempuh agar tercapainya suatu kebahagiaan dan kedamaian. Mungkin umat manusia melupakan hakekatnya sendiri bahwa manusia pada hakekatnya mahluk jasmani dan rohani yang selalu harus seimbang. Apabila kedua komponen ini tidak seimbang, maka terjadilah gejala yang tidak normal, yang pada akhirnya muncul masalah pada umat didunia ini. Pada kenyataan hidup dewasa ini banyak masalah yang muncul yang sulit dicarikan pemecahannya. Dalam segala aspek kehidupan ada saja masalah yang tidak kunjung ketemu jalan pemecahannya. Dalam aspek kesehatan banyak penyakit yang tidak didapatkan obatnya. Dalam aspek sosial banyak kita lihat konflik sosial antar kelompok atau bangsa yang berkepanjangan bahkan tidak terlihat titik penyelesaiannya. Pemakaian obat terlarang yang menghancurkan generasi sangat marak diperjualbelikan. Yang sangat menghantui kita semua merosotnya moral kemanusiaan baik dikalangan intelektual maupun ditingkat orang kebanyakan, sehingga terjadi penindasan antar sesama. Banyak orang berpendapat masalah-masalah tersebut perlu dicarikan alternatif pemecahan yaitu dengan pendekatan religius atau agama. Pendekatan religius merupakan pendekatan yang paling memberikan harapan, karena dengan pendekatan religius ditumbuhkembangkan spiritual umat untuk menyeimbangkn kemajuan duniawi dewasa ini. Agama melalui pustaka-pustaka sucinya membahas individu mulai dari lapisan yang paling dalam yaitu spirit, yang dalam agama hindu disebut microcosmos (atma widya).selanjutnya secara universal membahas macrocosmos atau brahma widya sekaligus hubungan antara microcosmos dan macrocosmos. Dalam keyakinan agama ada yang disebut sorga dan neraka, kenikmatan dan kesengsaraan. Dalam agama hindu itu disebut “swarga” dan “kawah”. Kawah disini disimbolkan suatu jambangan api yang berkobar yang panasnya tidak terkirakan. Kalau kembali kita renungkan Kawah berasal dari kata ke-wah. Wah = berubah. Kalau keseimbangan dalam segala aspek kehidupan ini dirubah (kawah) maka akan nerakalah kita yang disimbolkan dengan api. Hal ini merupakan kodrat alam, hukum alam yang tidak dapat disangkal oleh manusia. Dalam ilmu fisika kita dapati dalil setiap benda kalau digerakkan posisinya menimbulkan panas, besi yang dalam posisi lurus kalau kita bengkokkan akan panas. Tinggi rendahnya suhu akibat perubahan ini tergantung besar kecilnya intensitas perubahan tersebut. LALITA HITA KARANA Sadhana TRI HITA KARANA

02

Banyak orang sekarang membicarakan ayat-ayat suci yang terkandung dalam agama dengan harapan dapat menemukan jalan yang harus ditempuh. Mereka yang demikian itu patut kita syukuri, bahkan lebih ekstrim lagi memperdebatkan ayat-ayat suci. Ada juga yang mempertentangkan yang akan berakibat menimbulkan kekacauan antar pemeluknya sendiri. Hal ini sangat disesalkan. Mereka lupa perintah-perintah agama tak akan membuahkan hasil jika hanya sekedar dibicarakan dan didebatkan tanpa dilaksanakan secara sungguh-sungguh dalam kehidupan sehari-hari. Mereka lupa, siapa aku ini?, mengapa aku dilahirkan ?, kemana aku pergi setelah dilahirkan?, untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini “Sadhana” salah satu cara yang perlu dilakukan. Lalita Hita Karana adalah suatu sadhana yang dapat diterapkan untuk menjawab ketiga pertanyaan tadi. Lalita Hita Karana pendekatan operasional untuk mewujudkan konsep Tri Hita Karana suatu konsep dasar yang sampai saat ini masih dipertahankan sebagai acara dharma khususnya di bali. Tri Hita Karana suatu konsep yang dicetuskan oleh Mpu Kuturun bersama saudara-saudaranya, atas permohonan raja bali, Guna Priya Dharma Patni Udayana yang juga disebut Mahendradatta, Udayana untuk mengatasi kekacauan yang terjadi di bali pada zaman itu. Kekacauan tersebut diakibatkan oleh adanya banyak aliran atau sekte agama yang berkembang. Masing-masing menonjolkan kelebihannya bahkan cenderung mencemooh dan menjelekkan aliran lain sehingga banyak terjadi perselisihan antar kelompok yang sangat mempengaruhi kehidupan bermasyarakat. Mereka lupa bahwa apa yang disebutkan dalam Bhagawad Gita “dengan jalan apapun engkau datang kepada-Ku, aku terima….”. ini dapat dijadikan contoh dalam penerapan agama yang tidak dikontrol dengan Satya Dharma akan menimbulkan gejolak social. Dalam mengatasi masalah umat pada saat itu, Mpu Kuturun dalam pertemuan segi tiga antara pemeluk sekte Siwa, Budha dan 6 aliran yang ada di Bali mengajukan konsep Tri Hita Karana, Tri Kahyangan dan Tri Murti, diterima dengan aklamasi oleh peserta. Tri Hita Karana merupakan konsep yang tidak bisa dipungkiri lagi dalam mempersatukan umat di bali yang sampai saat ini masih kita warisi keberadaannya. Tri Hita Karana terdiri dari kata Tri = Tiga, Hita = Mula dan Karana = Permulaan. Jadi Tri Hita Karana berarti hubungan yang harmonis antara tiga komponen agar atman bersatu dengan parama atman. Tiga komponen tersebut adalah satunya hati, pikiran dan Tuhan. Untuk mencapai hal ini diperlukan disiplin diri yang sangat kuat melalui tahap-tahap tertentu yang disebut “Asta Angga Yoga”. Pelajaran serupa ini sangat rahasia namun wajib dilaksanakan oleh umat karena merupakan jawaban dari pertanyaan “kemana kita pergi setelah dilahirkan?” begitu rahasaianya ajaran ini maka dalam penerapannya perlu penjenjangan. Bagi umat yang belum mantap untuk memasuki jalan kerohanian, penerapan Tri Hita Karana dengan menciptakan keseimbangan tiga komponen dalam bentuk atau simbol, yaitu keselarasan hubungan manusia antara Parhyangan (tempat pemujaan), Pawongan (antar umat) dan Pelemahan (alam lingkungan). Pemahaman Tri Hita Karana seperti ini mengacu pada bentuk material (matra), yang semua ini masih bentuk simbol-simbol dari yang sejati. Parhyangan dalam wujud pura dan sanggah dengan pralingganya merupakan simbol Tuhan sebagai produk pikiran. Konsep ini dilandasi oleh pemikiran bahwa untuk memuja Brahman yang tanpa wujud sangat sulit dilaksanakan tanpa didahului dengan pemujaan dengan wujud yang diciptakan sendiri oleh umat manusia.

LALITA HITA KARANA Sadhana TRI HITA KARANA

03

Pawongan adalah diri kita sendiri. Bagi umat kebanyakan belum mengenal diri sejati yang disebut “purusa”, kebanyakan orang merasakan bahwa dirinya ini adalah badan ini sendiri yang disebut “prakerti”, yang terdiri dari seonggok daging, otot tulang dan cairan yang dibungkus oleh kulit. Pelemahan yaitu alam semesta ini dalam bentuk macrocosmos yaitu Brahman dalam wujud / Prakerti, yang disebut Saguna Brahman, Nirguna Brahman (Brahman yang tak berwujud) berfungsi sebagai purusa. Pawongan wujud atman sebagai microcosmos parahyangan adalah pikiran manusia tentang Tuhannya dan palemahan sebagai macrocosmos, perwujudan Brahman yang meliputi segalanya. Dengan demikian penerapan konsep Tri Hita Karana dalam wujud simbol seperti diatas masih bersifat maya, masih mengalami perubahan dan tidak abadi. Brahman yang tidak berwujud adalah yang sejati yang tidak terpengaruh oleh prakerti. Penerapan Tri Hita Karana sebatas hubungan antara parhyangan, pawongan dan pelemahan dalam bentuk simbol tadi, sudah tentunya belum mencapai hakekat dasar dari pengertian Tri Hita Karana yaitu hubungan tiga komponen untuk mencapai mula dari permulaan yaitu Brahman tanpa wujud Bagi umat yang sudah siap untuk meniti jalan kerohanian, penerapan konsep Tri Hita Karana hendaknya ditingkatkan dalam bentuk abstrak. Tri Hita Karana suatu konsep untuk bisa mencapai mula dari permulaan adalah terjadinya hubungan yang harmonis atau satunya Hati, Pikiran dan Tuhan Sang Pencipta. Untuk mencapai penunggalan ketiga komponen tadi diperlukan usaha yang disebut sadhana. Tri Hita Karana bersatunya atman dengan Brahman yang diarahkan pada awalnya oleh pikiran merupakan konsep yang berlaku universal khususnya umat hindu dimanapun mereka berada. Dimanapun orang yang menyatakan dirinya penganut paham hindu pada hakekatnya untuk mencapai moksa, bersatunya atman dengan parama atman. Bahkan setiap orang yang menyatakan dirinya umat beragama pada akhir hayatnya mencita-citakan arwahnya diterima pada haribaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Kalau diibaratkan dengan buah, penerapan Tri Hita Karana sebatas parhyangan, pawongan dan palemahan, penerapannya baru sebatas kulit luarnya saja. Sedangkan penerapan Tri Hita Karana sebagai konsep bersatunya hati, pikiran dan Brahman adalah isi dari buah itu sendiri. Kalau buah itu sudah masak kita dapat merasakan betapa manisnya buah tersebut. Mengapa kita selalu terlena mengelus-elus halusnya kulit buah itu tanpa pernah merasakan manisnya daging buah itu. Realita di masyarakat umat manusia masih terpaku pada kulit luar dari agama itu sendiri. Bahkan dengan acara dharma yang berlebih-lebihan yang ditumpangi oleh kepentingan duniawi, membuat hakekat agama menjadi sangat kabur, bahkan jauh menyimpang dari tujuan agama, yang disampaikan dalam kitab suci untuk mencapai moksa. Dewasa ini adanya kecenderungan adat dan budaya lebih menonjol dari agama (dharma), pada hal konsep awalnya adat dan budaya adalah sarana untuk mencapai tujuan dharma. Gejala serupa ini adalah suatu hal wajar terjadi, karena kita sebagian besar masih dibelenggu oleh nafsu dan ego. Sehingga atma yang berstana di teratai hati setiap individu tidak memancarkan sinar cemerlangnya. Dengan demikian kita lebih banyak berbuat dosa karena dorongan nafsu dan ego, yang sangat kuat mengendalikan pikiran sehingga berperilaku menyimpang dari dharma. Berbicara tentang hakikat Tri Hita Karana bagi orang yang terbelenggu oleh nafsu dan ego atau pada mereka yang terbuai oleh kemewahan duniawi, yang telah keenakan dengan status sosial yang diwariskan oleh pendahulunya, mungkin kita dapat cemoohan dengan dalih memecah persatuan umat. Kalau cemoohan semacam ini kita dengarkan, sampai kapan umat kita terbelenggu oleh kekuatan nafsu dan ego, seperti seekor burung yang terkena jerat tak dapat membebaskan diri. Selamanya kita disesatkan oleh nafsu dan ego. LALITA HITA KARANA Sadhana TRI HITA KARANA

04

Sudah saatnya sekarang kembali ke jalan dharma. Kembali merenungkan warisan para resi pendahulu kita. Sebaliknya bagi mereka yang tidak memiliki status sosial yang lebih tinggi, jangan memandang konsep Tri Hita Karana dan Lalita Hita Karana merupakan angin segar untuk memenuhi keingginannya bahkan dengan serta merta ingin merubah tatanan sosial, adat dan budaya yang telah ada.ini sangat keliru, kalau ada yang berpikir demikian, mereka tak ada bedanya dengan mereka yang disebut terdahulu. Orang yang demikian juga ada dalam cengkeraman nafsu dan ego. Apa yang ada yang menunjang tegaknya dharma hendaknya tetap dipelihara, yang menyimpang dari satya dharma kita kembalikan ke jalan dharma. Pada hakikatnya sarana dan simbol dalam pelaksanaan satya dharma adalah alat untuk mencapai tujuan dharma. Bagaimana seorang murid yang baru belajar menghitung 2 + 2 = 4. sebelum ia dilatih dengan lidi atau sarana lain. Seperti II + II = IIII 2+2=4 Sarana riil ini lama kelamaan diubah menjadi lambing bilangan atau angka yang bersifat abstrak. Proses serupa ini dapat dijadikan contoh untuk melatih diri mengenal diri sejati. Pemujaan Brahman yang tanpa wujud sangat susah dilaksanakan tanpa didahului dengan pemujaan wujud yang diciptakan sendiri oleh umat manusia. Untuk mencapai tujuan yang diharapkan dalam Tri Hita Karana hendaknya kita berusaha perlahan-lahan membebaskan diri dari belenggu nafsu, indra dan ego. Pada akhirnya moksa secara universal akan dicapai.

LALITA HITA KARANA Sadhana TRI HITA KARANA

05

LALITA HITA KARANA SEBAGAI TEKNIK MEDITASI Dewasa ini banyak teknik meditasi yang dikembangkan untuk mencapai suatu tujuan. Semua teknik tersebut pada dasarnya baik untuk melatih kesadaran rohani. Dengan banyaknya berkembang olah rohani melalui meditasi, merupakan modal dasar untukk menggapai jalan menuju ke kesadaran atman. Namun kalau dihayati secara seksama dan mendalam, apa yang dijadikan sasaran dalam meditasi, bagaimana langkah-langkah yang harus ditempuh dalam bermeditasi banyak kita lihat masih kabur. Karena dorongan ingin tahu ada keinginan untuk mencari kebenaran tertinggi, banyak orang yang ikut-ikutan dalam kelompok tertentu tanpa tujuan yang pasti yang pada akhirnya mandeg di tengah jalan. Gejala serupa ini sangat disayangkan, karena usaha yang sangat baik tidak mendapatkan arah yang memadai. Dilain pihak ada kalangan tertentu mengambil jalan meditasi dengan harapan-harapan tertentu untuk memenuhi keinginan dan egonya. Mereka duduk bersila, dalam waktu yang lama, dengan harapan agar apa yang diinginkan terkabulkan. Umumnya mereka menginginkan benda-benda yang memiliki wasiat tertentu, untuk dijadikan kebanggaan diri. Apabila harapan ini berhasil kebanggaan pada dirinya mulai tumbuh dilanjutkan keangkuhan dan kesombongan karena merasa lebih dari yang lain. Kalau hal ini terjadi sangat kita sayangkan mereka suda terjerat oleh kekuasaan nafsu dan egonya sendiri, selamanya mereka tidak mendapat kasih Tuhan. Pada dasarnya dalam kehidupan ini Tuhan memberikan pilihan kepada kita sendiri untuk mengisi dan mengarahkan kehidupan ini. Jalan tersebut adalah Wahya dan Adiatmika. Wahya adalah jalan keduniawian atau kedigjayaan, yaitu kemampuan fisik dan batin yang merupakan tangga atau sarana ketingkat yang lebih tinggi. Kalau kekuatan (shakti) ini diarahkan kepada hal-hal yang baik (satwika) disebut ilmu putih, di Bali dikenal “penengen” ilmu kanan, sebaliknya kalau diarahkan kepada perbuatan jahat lazim disebut ilmu hitam di Bali disebut “pengiwa” ilmu kiri. Pada hakikatnya ilmu putih atau ilmu hitam tergolong kedigjayaan. Dengan melatih ilmu kedigjayaan, kejayaan akan didapat. Adiatmika berasal dari kata Adi-atma-ika. Adiatmika adalah Tuhan itu sendiri. Kalau kita menekuni Adiatmika kita tidak akan mendapatkan kejayaan yang berupa Shakti dan Sidhi. Yang didapat dalam kesempurnaan Adiatmika adalah Prema atau kasih sayang Tuhan. Apabila kita mendapatkan kasih sayang Tuhan sudah tentu Shakti dan Sidhi kita peroleh, karena Shakti dan Sidhi milik Tuhan. Kita berhak mempergunakan Shakti Tuhan sepanjang dipergunakan untuk kesejahteraan dan kebahagiaan umat manusia, sehingga dalam pelaksanaannya didasari dengan kehendak-Nya. Sekilas banyak orang tidak memilih jalan keadiatmikaan. Dalam kehidupan sehari-hari orang lebih banyak tertarik kedalam hal-hal yang riil, kemampuan nyata yang dipergunakan sesuai dengan keinginannya. Apabila salah sedikit dalam penerapannya, karena kuatnya dorongan nafsu, kita akan tergelincir dari jalan menuju Moksa. Mengapa sedikit orang menempuh jalan Adiatmika, hal ini wajar, karena sejak manusia dilahirkan dalam memperjuangkan hidup khususnya badan raga ini diperlukan kemampuan jasmani atau rohani untuk memelihara badan kasar ini agar sehat sebagai tempat berstananya Atman yang Maha Suci. Boleh juga disebut badan ini sebagai rumah Tuhan perlu dipelihara dengan baik. Namun jangan sampai kita terlena sampai disini, tujuan akhir masih jauh harus ditempuh untuk bersatunya Atman dan Parama Atman. Apabila kita terlena dengan kemewahan dan gemerlapnya hal-hal duniawi selamanya kita berputar-putar dalam lingkungan Samsara.

LALITA HITA KARANA Sadhana TRI HITA KARANA

06

Dengan demikian Tuhan sudah memberikan pilihan pada umatnya tiga jalan (marga tiga), jalan kebaikan akan menuju Indra Loka (Swarga) jalan kejahatan akan menuju Yama Loka (Kawah atau Neraka). Kedua jalan ini berputar-putar dalam lingkaran Samsara. Jalan ketiga adalah jalan keadiatmikaan. Menuju ke Sunya Loka yaitu Brahman Sang Pencipta. Pada dasarnya setiap orang mengharapkan bersatu dengan Brahman Sang Pencipta. Namun sedikit orang yang merintis jalan ini. Pada hakikatnya kita dibingungkan oleh banyak tatanan upacara dan banyaknya aturan dan kitab sastra yang dianjurkan oleh para Resi. Yang ditulis berdasarkan pengalamannya dalam melaksanakan kegiatan rohani. Sekian banyaknya aturan dan kitab-kitab sastra yang tersebar diseluruh dunia mampukah kita menjamah dalam kehidupan yang sangat singkat ini apa gunanya kita membaca banyak kitab suci bila kita tidak melaksanakan perintah-perintah yang tercantum di dalamnya. Ini merupakan usaha yang sia-sia. Pada hakekatnya apa yang tertuang dalam kitab suci semuanya sama, menuntun kita untuk membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, suba asuba karma yang dapat dijadikan tangga untuk naik ke kesadaran Brahman. Agar terlepas dari kebingungan hendaknya kita kembali pada hakikat itu sendiri. Bukankah demikian disebutkan oleh Krisna kepada Arjuna dalam Bhagavad Gita : “ kalau engkau dibingungkan oleh Weda datanglah pada-Ku”. Demikian pula kalau kita dibingungkan oleh kitab sastra yang ada mengapa kita tidak kembali kepada Brahman Sang Pencipta. Brahman penyebab semua yang ada. Kepada siapa lagi kita harus berguru selain kepada Beliau Sang Maha Tahu. Jalan yang dapat dilalui agar dapat berguru dengan Beliau adalah konsep “Tri Hita Karana” : Satunya hati, pikiran dan Brahman Sang Pencipta melalui sadhana “Lalita Hita Karana”, dengan membebaskan diri dari Ego menuju mula dari permulaan. Lalita Hita Karana sebagai teknik meditasi terdiri dari tahap-tahap sebagai berikut: 1. Tahap Orientasi yaitu memantapkan keyakinan pada kebesaran Tuhan. 2. Diksa : Penyucian diri (Prascita-Widhi), memusnahkan hambatan-hambatan yang ada dalam diri kita untuk memulai diterima sebagai murid Beliau. 3. Sadhana : penyerahan diri pada Tuhan melalui pelayanan yang terdiri dari: a. Tahap Pemula b. Tahap Lanjut c. Tahap Penyempurnaan. 1. Tahap Orientasi Tahap ini bertujuan untuk memantapkan keyakinan pada calon Diksa tentang kebenaran sejati. Mereka harus diberikan ilmu pengetahuan yang disebut Brahman Widya dan Atma Widya, dengan tujuan pengenalan Buana Alit dan Buana Agung. Buana Alit yaitu mengenal diri kita sendiri sebagai jawaban siapa aku? Apa yang harus aku lakukan? Kemana aku harus pergi? Buana agung adalah alam semesta ini. Dengan memahami Brahman Widya kita akan dapat memahami bagaimana alam semesta ini diciptakan, siapa yang menciptakan alam semesta ini, bagaimana keberadaan kita di alam semesta ini. Dengan memahami kedua hal ini maka akan mantap keyakinan kita pada Brahman yang meliputi segalagalanya. 2. Diksa Diksa merupakan kegiatan upacara penyucian diri dan pengucapan tekad yang bulat kepada Tuhan Yang Maha Kuasa untuk mengikuti jalan Dharma atas bimbingan Beliau sebagai guru sejati. Diksa serupa ini dapat dilaksanakan dibawah bimbingan guru spiritual yang terlebih dahulu menempuh jalan Dharma. Sesungguhnya guru spiritual disini adalah sebagai perantara untuk mendapatkan berkah Tuhan. Selanjutnya apabila upacara ini berlalu usaha sendirilah yang paling menentukan. Hal ini dapat LALITA HITA KARANA Sadhana TRI HITA KARANA

07

diilustrasikan seperti anak yang baru berumur 7 tahun yang mulai masuk sekolah, pertama harus diantar oleh orang tuanya untuk tercatat sebagai siswa, dan berhak menerima pelajaran. Selanjutnya peran orang tua hanya sebagi motivator dan mencarikan jalan keluar apabila terjadi masalah dalam hubungan anak dengan sekolah. Demikian pula halnya bagi para sadhaka yang sudah memasuki tahap ini diperlukan konsultasi dengan guru pembimbing apabila ada pengalaman spiritual yang tidak dimengerti. 3. Sadhana Sadhana adalah suatu kegiatan menghubungkan diri dengan Yang Maha Suci secara terus menerus yang dilaksanakan dengan pemujaan, penyucian diri dan lingkungan. Untuk itu bersatu dengan Brahman yang selalu suci (wreti) hendaknya diri kita harus suci terlebih dahulu. Agar diri kita selalu suci, lingkungan dimana kita berada harus tetap suci. Apabila ketiga komponen ini sudah selaras, sudah tentunya tidak ada batas lagi antara Atman dan Parama Atman, karena pada hakikatnya antara Atma dan Parama Atma adalah satu, Tat Twam Asi, Aku adalah Engkau. Dapat diumpamakan Atman yang terkurung dalam badan ini seperti sepanci air yang mengapung dilautan luas. Panci itu dapat diumpamakan sebagai prakerti (badan) yang menghasilkan nafsu dan ego, yang membelenggu air didalamnya. Sehingga terlihat ada perbedaan antara air dalam panci dan air laut. Apabila panci tadi kita bebaskan maka air dalam panci akan melebur dengan air laut. Pada saat ini tidak bisa dibedakan lagi mana air laut dan mana air yang berada didalam panci tadi. Demikianlah dapat diilustrasikan proses peleburan itu terjadi. Panci yang membelenggu air tadi dalam diri kita terbuat dari panca maha butha, panca tan matra, panca indra, panca kamenaya, ego, manas dan budi. Apabila Atma terbebaskan dari belenggu tadi akan terjadilah penunggalan Atman dengan Brahman. Sadhana merupakan inti kegiatan rohani melalui japa dan meditasi. Untuk mempercepat keberhasilan meditasi alat bantu yang dipergunakan rangkaian mantra-mantra sebagai berikut ini 1. Om Kara Mantram : Om, Om, Om 2. Gayatri Mantram : Om Bhur Bhuvah Svah Tat Savitur Varenyam Bhargo Devasya Dhimahi Dhyo yo nah Pracodayat Om Bhur Bhuvah Svah Tat Savitur Varenyam Bhargo Devasya Dhimahi Dhyo yo nah Pracodayat Om Bhur Bhuvah Svah Tat Savitur Varenyam Bhargo Devasya Dhimahi Dhyo yo nah Pracodayat Om Santhi, Santhi, Santhi 3. Mantram Guru : Om gur Brahma Gur Wisnu Gur Deva Mahesvara Gur Sak Sat Param Brhman Tasmae Sri Guruve Namah 4. Dhyana dengan Japa Om : Japa “Om”, mengucapkan Om dalam hati mengikuti keluar masuknya nafas (sedikitnya 10 menit). LALITA HITA KARANA Sadhana TRI HITA KARANA

08

5. Mantram Asato maa dan Loka Samasta : Asato maa sad Gamayam Tamaso maa jyotir Gamayam Mrityor maa Amritham Gamayam Loka samasta Sukino Bawantu Loka samasta Sukino Bawantu Loka samasta Sukino Bawantu (untuk tahap pemula 3x) (untuk tahap lanjut 11x) Om Kara Mantra, Gayatri Mantra dan Guru Mantra merupakan doa, pujaan dan ucapan syukur kehadapan Tuhan Sang Pencipta, dengan wujud aksara suci, surya prajapati dan Sad Guru (Guru Sejati)

OM KARA MANTRA Om adalah aksara suci, sekaligus bijaksara untuk melambangkan Brahman Sang Pencipta. Dengan mengucapkan Om, kita sudah mencoba menghubungkan diri dengan Tuhan. Om suku kata tertinggi yang merupakan jiwa dari prana (Pranawa Om). Bentuk kasar dari prana adalah nafas, karenanya dalam bermeditasi menarik dan mengeluarkan nafas diikuti dengan japa Om. Om merupakan Tri Aksara Angga yang merupakan satu kesatuan. Sesungguhnya mantra suci Om itu berasal dari diri yang Maha Roh. Sang Maha Roh dalam menciptakan alam semesta ini membagi diri-Nya menjadi tiga bagian yang tak terpisahkan yaitu perkataan “A”, “U”, “M”. dengan cara demikian itu seluruh alam semesta ini ditenun kekanan dan kekiri, keatas dan kebawah mengarungi seluruh wilayah Diri Beliau Perkataan A,

Lambang Brahma awal, Bhur Loka, sang pribadi dalam keadaan sadar

Perkataan U,

Lambang Wisnu, pertengahan, Bhuvah Loka, sang pribadi dalam keadaan mimpi

Perkataan M,

Lambang Siva, akhir, Svah Loka, sang pribadi dalam keadaan tidur tanpa mimpi

Om merupakan Nyasa Sakti yaitu Tri Dewi yaitu Dewi Saraswati, Dewi Sri dan Dewi Uma, dari sinar sucinya yang berasal dari sabda Brahman yaitu Om timbullah ciptaannya. Dengan demikian suara Om adalah suara alami. Apabila seseorang mencapai puncak semadhinya secara sempurna akan mendengar suara Om dalam dirinya. Demikian pula bayi yang baru lahir baru belajar berbicara suara pertama yang diucapkan adalam Aum (Om). Begitu agung dan sucinya mantra suci Om, Semua orang suci mengagungkan mantra suci Om sebagai sarana untuk memperoleh penerangan suci. Demikian suci, agung dan mulianya mantra suci Om, maka seluruh pustaka suci memujanya. Tidak ada mantra yang tidak didahului oleh mantra Om. Dengan demikian Om merupakan inti sari Weda.

GAYATRI MANTRA Gayatri mantra pertama kali diwahyukan kepada Wiswamitra. Gayatri mantra terdiri dari tiga bagian : 1. ucapan syukur 2. mengandung meditasi 3. doa LALITA HITA KARANA Sadhana TRI HITA KARANA

09

Tuhan dalam menciptakan alam semesta ini Dia (Sang Maha Roh, Tuhan Yang Maha Esa) mengambil pribadi yang riil (satya) adalah sang Prajapati (yang dipertuan atas penciptaan-penciptaaan) melakukan tapa brapa. Dari ucapan Beliau yang pertama keluar perkataan Bhur yang berarti bumi, perkataan Bhuvah yang berarti atmosfir dan perkataan Svah yang berarti langit. Alam semesta ini adalah bentuk yang paling kasar dari sang Prajapati. Svah Loka merupakan kepalanya, Bhuvah Loka adalah perutnya dan Bhur Loka kakinya, sedangkan matanya adalah Aditya (matahari). Mengapa matahari sebagai mata, sebab untuk menghayati alam mantra yang begitu besar orang hanya dapat menghayati dengan mata. Demikian pula tanpa matahari alam semesta ini tidak bisa dihayati. Oleh sebab itu setiap orang yang memuja sang Prajapati hendaknya disertai mantra suci Bhur, Bhuvah, Svah dengan demikian Prajapati yang menjadi Roh semua yang ada menjadi tersembah. Sang Maha Roh merupakan mata dari semua mahluk dalam wujud matahari (aditya) dalam pemujaannya hendaknya kita mengucapkan “Tat Savitur Varenyam“ yang artinya Ya Tuhan dalam wujud Savitri (sang pemberi kehidupan sama dengan matahari) yang maha agung, kami ingin manunggal dengan keagunganmu. Dewi Savitri merupakan tujuan setiap orang untuk dapat manunggal dengan Sang Maha Roh (Brahman) melalui Dewi Savitri yaitu matahari dalam wujud matranya. Bhargodevasya dhimahi artinya perkenankanlah ya Tuhan kami bermeditasi terhadap keagungan-Mu, jadi disebut yang Maha Agung itu adalah Savitri yang tak lain adalah Tuhan itu sendiri dalam memberikan kehidupan atas semua ciptaannya. Oleh karenanya setiap orang yang bermeditasi untuk mencapai moksa sasaran meditasinya adalah keagungan-Nya. Yang Maha Agung tersembunyi di matahari yang dinamai Bharga. Karena sinar cahayanya (Bha) itu dia pergi sepanjang garis perjalanannya (Gati) Dia dinamai Bharga, maha dahsyat karena dia dapat mengeringkan (Bharja yati). “Bha” berarti Dialah menjadiikan terangnya (Bhasa yati) alam semesta ini. “Ra” berarti Dialah menjadikan gembiranya (Ranja yati) mahluk-mahluk yang ada didunia ini karena tanpa matahari kehidupan didunia ini tak akan terjadi. “Ga”, berarti mahluk-mahluk didunia ini pergi (Gacchanti) ke diri sang maha Roh (Tuhan Yang Maha Esa) yang mula-mula muncul dari diri Beliau. Oleh sebab itu semua mahluk yang ada di alam semesta ini berkeadaan Bha-Ra-Ga. Maka Beliau kita namakan “Bharga”. Keagungan Beliau ini kita jadikan sasaran dalam bermeditasi. Dhyoyonah Pracodayat, artinya semoga Tuhan berkenan memberi inspirasi kepada pikiran kami. Pikiran itu erat sekali hubungannya dengan kegiatan bermeditasi. Pikiran merupakan jembatan untuk manunggalnya Atman dengan Parama Atman. Dalam bermeditasi sadhaka hendaknya selalu berusaha agar satunya hati (atman), pikiran (manas) dan Parama Atman, yang selalu disebut Tri Hita Karana. Melalui sadhana selalu berusaha menyucikan hati dan pikiran sehingga pda akhirnya atman terbebaskan dari pengaruh prakerti atau wesana. Apabila atman dikuasai oleh perbuatan baik dan buruk atman akan berputarputar naik dan turun dalam lingkaran samsara memasuki rahim yang baik atau yang buruk, dikuasai oleh hal-hal yang berpasangan (dvandra) terbungkus 5 substansi halus (Panca tan Matra), 5 elemen besar (Panca maha bhuta) tergabung menjadi tubuh (sarira), atman yang berada dalam tubuh disebut Bhuta atma. Bhuta atma berada dibawah kekuasaan guna (sifat) prakerti (alam), karena dkuasai oleh guna maka dia tak dapat melihat berkah dari yang dipertuan (prabu) yang menjadi penyebab tingkah laku yang terdiri atas kekuatan sendiri (atma-sta). Selama dikotori oleh aliran sifat-sifat (guna) selama itu ia tidak mantap, goncang dan bingung. Selama atman tidak terbebas dari guna selama itu pula sinar sucinya tidak terlihat memancar keluar, tertutup oleh karma wesana, suba asuba karma. Seperti bulan yang tertutup oleh awan di malam hari.

LALITA HITA KARANA Sadhana TRI HITA KARANA

10

Sesungguhnya yang menjadi pelaku adalah bhuta atma yang menjadi penyebab tingkah laku melalui pribadi batiniah (inner person). Dapat diumpamakan seperti segumpal besi dikuasai oleh api dan ditempa oleh tukang besi sehingga dapat mengambil bentuk yang berbeda-beda. Bhuta atma diumpamakan besi, pribadi batiniah adalah apinya dan guna sebagai tukang besi. Pengambilan wujud itu atau tubuh terbungkus dalam lima lapisan yaitu: 1. Anna Maya Kosa, Lapisan yang terdiri dari makanan (anna). Badan kasar yang terbuat dari zat-zat dari alam kasar. 2. Prana Maya Kosa, Lapisan yang terbuat dari prana atau kekuatan vital. 3. Mano Maya Kosa, Lapisan yang terbuat dari manah atau pikiran. 4. Vijnana Maya Kosa, Lapisan yang terbuat dari pengertian atau pengetahuan. 5. Ananda Maya Kosa, Lapisan yang terbuat dari kebahagiaan (ananda). Kelima lapisan tadi bersifat maya. Untuk bisa bersatunya atma dengan parama atma, seseorang hendaknya mampu membebaskan diri dari kelima lapisan tadi secara bertahap. Moksa (kebebasan) bukan berarti melepaskan diri dari hal tersebut. Kebebasan disini berarti “sang diri” menjadi kusir dan mengendalikan lapisan-lapisan tadi, bukan sebaliknya atma dikendalikan oleh kelima lapisan tadi. Jalan yang baik untuk mencapai kebebasan : 1. Mempelajari ilmu pengetahuan tentang Tuhan dan atma (Brahma Widya dan Atma Widya) 2. Melakukan tapa brata 3. Melaksanakan meditasi dengan japa Om karena mantra Om mengagungkan nama Brahman. Dengan menempuh ketiga jalan tadi secara tekun, dengan disiplin yang ketat secara terus menerus, Brahman dapat dicapai. Dengan demikian mantra Gayatri merupakan mantra yang tidak dapat diabaikan karena berisikan : 1. Syukur dan Pujian Om Bhur, Bhuvah, Svah. Tat Savitur Varenyam Ya Tuhan pencipta dan penguasa alam semesta ini dalam wujud Dewi Sawitri yang maha agung, kami ingin manunggal dengan keagungan-Mu. 2. Mengandung meditasi Bhargo devasya dhimahi Perkenankanlah ya Tuhan kami bermeditasi atas keagungan-Mu 3. Mengandung doa dan permohonan Dhiyo yo nah Pracodayat Dan semoga Tuhan berkenan memberikan inspirasi kepada pikiran kami. Mantra Gayatri penghormatan kepada Sang Prajapati, Tuhan dalam menciptakan alam semesta ini dalam wujud Dewi Savitri, dalam alam mantranya adalah matahari. Dewi Gayatri merupakan simbol tenaga kehidupan yang menguasai lima aspek kehidupan yaitu : 1. Menguasai Panca Prana (Prana, Apana, Vyana, Samana dan Udana) sehingga beliau dijuluki ibunya prana. 2. Menguasai Panca Jnanendra 3. Menguasai Panca Maya Kosa 4. Menguasai Panca Karmendya 5. Memiliki Panca Rupini (lima wajah) Dewi Gayatri dianggap sebagai sarwa dewata yang memberikan kekuatan kepada semua dewa dan merupakan perwujudan semua dewata (Swarupini) antara lain : - Dewi Gayatri : Dewi yang melindungi budi (Gayas) - Dewi Savitri : Dewi pelindung kehidupan

LALITA HITA KARANA Sadhana TRI HITA KARANA

11

- Dewi Saraswati : Dewi pelindung ilmu pengetahuan, sehingga mantra gayatri disebut ibu dari Weda karena Weda turun melalui pikiran dengan kekuatan yang bersumber dari ibu Gayatri. Karena sifatnya yang melindungi maka akan melindungi yang mengucapkan. Dengan mengucapkan mantra Gayatri sebelum bermeditasi maka sadhaka akan terlindungi dari hal-hal yang buruk.

MANTRAM GURU Status dan fungsi guru tak dapat dipisahkan dalam kehidupan umat manusia. Tak ada seorangpun dalam hidupnya tanpa guru. Bahkan bagi orang-orang yang bijaksana pengalaman yang paling remeh dan paling menyakitkanpun adalah guru. Dalam masyarakat dikenal dengan adanya catur guru : 1. Guru Rupaka : yaitu orang tua yang melahirkan kita sebagai wakil Tuhan dalam menciptakan umat. 2. Guru Pengajian : orang yang mendidik kita disekolah, di masyarakat serta pengalaman-pengalaman selama hidup ini. 3. Guru Wisesa : yaitu pemerintah yang mengatur kesejahteraan dan memberikan perlindungan terhadap warganya. 4. Guru Swadyaya : yaitu Tuhan Yang Maha Kuasa. Dalam rangkaian mantra ini catur guru yang disebut tadi sudah tercakup didalamnya, dalam perwujudan : Guru Brahma, yaitu orang tua leluhur dan Tuhan sebagai pencipta (rupaka). Guru Wisnu, berfungsi memelihara dan mendidik, meliputi : orang tua, guru disekolah, masyarakat dan pengalaman hidup. Guru Maheswara (Ciwa Sakti) yaitu Tuhan dalam wujud Ciwa memberi pelayanan dan peleburan dalam bentuk cinta kasih, pengalaman spiritual yang menghantar atman menyatu, melebur dengan Tuhan, Guru Sat (Tuhan) merupakan guru utama yang kita puja dan menyerahkan diri. Semua kita puja dalam wujud Guru Dewa. Demikian juga atman yang ada dalam setiap makhluk merupakan percikan sinar suci Tuhan yang membimbing makhluk dalam menjalankan tugas-tugas dalam kehidupannya seyogyanya kita sembah sebagai Guru Dewa. Pemujaan terhadap atman merupakan tahap terakhir dari tahap perkembangan kerohanian. Apabila seseorang sudah mencapai kemuliaan Siwa dan Budha, selanjutnya mencari kemuliaan Wisnu akhirnya bertemu Krisna di Surya. Kembali lagi ditempatkan Krisna dalam Hati, kita puja sebagai Narayana. Apabila seseorang telah mencapai tiga kemuliaan yaitu kemuliaan Siwa (atman), kemuliaan Budha (budhi), kebijaksanaan, kemuliaan Wisnu (meliputi segalanya), dia disebut bujangga (memuja diri). Dia ini disebut Tri Sadhaka (memiliki tiga kemuliaan) dia sudah mencapai moksa bebas dari Dvandva (dua yang berlawanan).

DHYANA DENGAN OM KARA Meditasi dengan japa Om adalah keluar masuknya Nafas diikuti dengan japa Om. Pada dasarnya tujuan kehidupan rohani adalah bersatunya dua Om, di Bali dikenal bertemunya dan menyatunya Om Kara Ngadeg dan Om Kara Sinungsang. Makna dari istilah tadi adalah bersatunya Om pada Buana Alit yaitu Atma dengan Om pada Buana Agung yaitu Brahman. Hakekat dari kalimat rahasia ini adalah sebagai berikut : Sesungguhnya ada dua wujud Brahman : 1. Brahan yang tidak berwujud yang berkeadaan riil, yang sejati. 2. Brahman yang berwujud yang berkeadaan tidak riil, tidak sejati. Brahman yang berwujud dalam bentuk cahaya suci dalam bentuk matranya adalah matahari yang dijiwai oleh Sang Maha Roh dalam wujud mantra suci Om yang berasal dari Sang Maha Roh Sejati. LALITA HITA KARANA Sadhana TRI HITA KARANA

12

Dalam penciptaan alam semesta ini Sang Maha Roh dalam wujud Prajapati mencipta alam semesta ini pada mulanya terdiri dari wujud yang tidak memiliki kehidupan, dengan demikian beliau membagi dirinya lagi menjadi lima bagian : Prana, Apana, Wiana, Samana, dan Udana, yang memberikan zat hidup pada ciptaannya yang dalam bentuk kasarnya adalah nafas. Roh nafas itu sendiri berasal dari Sang Maha Roh. Dengan demikian roh matahari (Sang Maha Roh) menghadap ke bawah, sedangkan roh nafas menghadap ke atas saling berhubungan satu dengan yang lain. Seyogyanya dalam penghormatan kedua roh “matahari” dan roh nafas dengan mantra suci Om. Dengan ucapan mistik Bhur, Bhuvah, Svah. Dan doa persembahyangan Savitri. Pada hakekatnya Udgita (bahasa kasih) adalah mantra suci Om, hakekat dari mantra suci Om terdapat dalam Udgita. Udgita itu ada di matahari dan itu adalah mantra suci Om. Dengan demikian apabila kita melaksanakan meditasi, bayangkan matahari adalah mantra suci Om. Konsentrasi di tengah-tengah dada letakkan kesadaran di Ajna. Dengan demikian akan bersatunya atma dengan parama atma melalui bahasa kasihnya Om itu sendiri.

MANTRA ASATOMA DAN LOKA SAMASTA Mantra Asatoma dan Loka samasta merupakan penyempurnaan dari sadhana, juga merupakan pelayanan kepada Tuhan Sang Pencipta, dengan jalan mendoakan alam semesta ini menjadi cemerlang. Juga merupakan pemberkatan alam semesta dengan sinar suci Tuhan dan cinta kasih kedamaian. Dalam mantra ini mengandung makna doa dan pemberkatan bumi : • Asato Maa Sad Gamayam Dari ketidakbenaran menjadi benar • Tamaso Maa Jyotir Gamayam Dari kegelapan menuju kecemerlangan, dari kebodohan menuju kebijaksanaan. • Mrityor Maa Amritham Gamayam Dari kematian menuju kehidupan, dari kezaliman menuju kedamaian • Loka Samasta Sukino Bhawantu Semoga alam semesta ini damai sejahtera. Dengan melafalkan mantra ini secara sengaja kita melakukan pelayanan kepada Tuhan dalam memelihara alam semesta ini mencapai keseimbangan. Dilihat dari segi microcosmos yaitu tubuh kita sendiri, mantra ini berfaedah menetralisir energi murni dalam tubuh setelah melaksanakan meditasi. Meditasi merupakan kegiatan rohani dengan sadhana kita mencoba menarik energi murni agar berfungsi sebagaimana mestinya. Tidak jarang seorang sadhaka salah mempraktekkan sadhananya. Sehingga terjadi penyekatan dalam tubuh, disuatu tempat kelebihan energi dan dilain tempat terjadi kekurangan energi, lazim disebut tersekatnya prana pada tempat tertentu yang mengakibatkan terasa sakit pada bagian tubuh tertentu. Dengan mantram tadi kelebihan prana pada tubuh akan keluar menyebar di lingkungan kita. Apabila pada saat itu ada energi negatif di lingkungan kita secara otomatis dinetralisir. Dari pengalaman sadhaka yang gemar bermeditasi banyak ditemukan keluhan setelah melaksanakan olah rohani, mereka merasakan sakit pada bagian tubuh tertentu atau merasa sangat lesu seperti tidak bertenaga. Secara medis tidak dapat dideteksi. Kejadian serupa ini terjadi akibat tersekatnya prana atau terjadi perubahan putaran. Cakra-cakra dalam tubuh yang berupa pintu masuk dan keluarnya energi tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Kalau hal ini terjadi pada sadhaka hendaknya cepat-cepat menemui guru pembimbing agar prana dan cakracakra dalam tubuh dapat dinetralisir. Agar tidak berakibat fatal hendaknya sadhaka hati-hati dalam memilih guru pembimbing yang betul-betul mampu memanipulasi prana. LALITA HITA KARANA Sadhana TRI HITA KARANA

13

Dengan melafalkan mantram Asato Maa dan Loka Samasta sebagai alat menetralisir prana (energi murni) dibawah lindungan ibu Gayatri sebagai ibunya prana dan guru dewa, semoga para sadhaka yang masih dalam tahap pemula meniti jalan Tuhan, tidak mengalami hal serupa itu. Kalau toh hal ini terkadi segeralah datang pada guru pembimbing atau murid yang sudah senior untuk menetralisir prana dan fungsi-fungsi tubuh.

LALITA HITA KARANA Sadhana TRI HITA KARANA

14

LANGKAH-LANGKAH MEDITASI MENUJU KEBEBASAN Secara garis besarnya langkah-langkah yang harus ditempuh dalam meditasi dapat digambarkan sebagai berikut Langkah I Langkah II Langkah III

: Memantapkan keyakinan : Diksa : Sadhana terdiri dari : 1. Tahap Pemula 2. Tahap Lanjut 3. Tahap Penyempurnaan

MEMANTAPKAN KEYAKINAN Pada langkah ini sadhaka diharapkan menumbuhkan keyakinan pada diri sendiri tentang “Kebenaran Sejati”, kegiatan serupa ini dapat dilakukan dengan membaca kitab pustaka suci, wejangan para resi yang mendahului kita, wira cerita, dan buku-buku lain yang menunjang tumbuhnya keyakinan bahwa pelayanan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan kewajiban setiap umat manusia. Disamping sastra suci dapat juga diperoleh melalui Upanishad yang diberikan oleh seorang guru rohani atau Sadhaka yang sudah senior. Mendengarkan pengalaman-pengalaman Sadhaka yang sudah lama melakukan sadhana, dalam hal memecahkan masalahnya sendiri. Menyadari kasih sayang Tuhan dalam wujud berkah, masalah, penderitaan. Yang dalam kehidupan seharihari sering dirasakan hukuman. Namun pada hakekatnya itu semuanya panggilan Tuhan untuk dapat kita mendekatkan diri. Masalah, penderitaan, sesungguhnya bahasa kasih Beliau agar kita mau kembali ke jalan Tuhan. Sebaliknya ada pula ungkapan kasih Beliau berupa kebahagiaan duniawi diluar batas normal. Hal serupa ini sangat jarang terjadi karena apabila seseorang sudah berlimpah dengan kepuasan duniawi bukan mendorong untuk ingat pada Tuhan, sebaliknya mereka akan mabuk dengan duniawi dan ego akan menguasai dirinya. Setiap tindakannya penuh dengan harapan kewibawaan dan kekuasaan. Mereka tidak menyadari sebesar apapun kenikmatan duniawi sama dengan setitik air dalam lautan kalau dibandingkan dengan kasih sayang Tuhan, Kebahagiaan sejati tidak dapat diraih dengan kepuasan duniawi. Kepuasan duniawi bersifat maya, tidak kekal. Kebahagiaan sejati hanya dapat diraih dengan melakukan Sadhana dan Bakti, berupa pelayanan dan penyerahan diri kepada Tuhan. Banyak orang keliru mengartikan pelayanan kepada Tuhan. Dengan membuat korban yang sangat besar dengan harapan Tuhan memenuhi keinginannya. Apabila harapannya tidak sesuai dengan kenyataan maka timbul penyesalan bahkan cenderung merasakan dirinya sudah berbuat banyak terhadap Tuhan roh nasibnya belum berubah seperti yang diinginkan.

LALITA HITA KARANA Sadhana TRI HITA KARANA

15

Mereka yang demikian tidak menyadari apa yang ia lakukan bukan merupakan bakti dan pelayanan terhadap Tuhan, sebaliknya ia melaksanakan korban demi nafsu dan egonya. Sehingga korban itu sendiri tertuju pada nafsu dan egonya. Banyak orang bicara meratapi penderitaannya, saya sudah selalu sembahyang, tiap hari menghaturkan sesaji, toh nasib tetap begini. Ungkapan serupa ini mungkin keliru, Tuhan tidak pernah meminta untuk dilayani, sebaliknya kita memerlukan berkah Beliau. Apa yang kita korbankan dalam wujud materi adalah milik Tuhan karena beliau yang menciptakan semua yang ada di alam ini. Yang Beliau kehendaki adalah ketulusan hati dan pikiran kita yang kita persembahkan sebagai ungkapan kasih kita kepada Beliau sehingga Beliau balik akan melimpahkan kasih-Nya yang tiada hentinya kepada kita, karena Beliau merupakan lautan kasih. Barang siapa yang sudah memiliki keyakinan bahwa Tuhan Maha Segala-galanya, meliputi seluruhnya (Whisnu), setiap langkah dan perbuatannya atas nama Tuhan, hasil perbuatannya diterima dengan lapang dada apa itu baik atau buruk, karena Tuhanlah yang mempertanggungjawabkan. Pada hakekatnya kehidupan ini adalah sebuah pentas sandiwara, yang sutradaranya adalah Tuhan itu sendiri. Kalau kita ingin menjadi pemain yang baik kita harus mengikuti aturan-aturan yang ditetapkan oleh sutradara yaitu jalan Dharma. Yang sangat menentukan sang pemain harus selalu mengadakan kontak dengan sutradara yang berada di balik layar yaitu dengan Meditasi. Apabila kedua hal ini kita lupakan niscaya kita tidak berhasil memainkan peran yang diberikan pada kita yang pada akhir dari pertunjukan kita mendapat malu dihadapan penonton. Apabila keyakinan kita sudah mantap, dalam Sadhana dan meditasi, besar harapannya membuahkan hasil untuk mendapatkan berkah kasih sayang Tuhan

DIKSA Kata Diksa berasal dari bahasa Sansekerta. Yang artinya upacara penerimaan menjadi murid dalam kesucian. Dalam perkembangan selanjutanya memiliki arti yang lebih luas dimana Diksa diartikan atau dipandang upacara untuk menjadi “Dwi Jati” lahir dua kali yaitu lahir dari rahim ibu dan lahir dari ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang dimaksud adalah Jnana Agni yaitu Brahma Widya dan Atma Widya. Diksa dalam konteks ini bukan dimaksudkan untuk mendapatkan pengakuan formal seperti yang dilaksanakan di masyarakat, dimana setiap orang yang sudah mendapatkan upacara diksa, akan memperoleh gelar secara formal berupa, Pendeta, Resi, Sri Mpu atau Begawan. Diksa yang dimaksudkan dalam langkah-langkah meditasi ini sesuai dengan arti dari kata diksa itu sendiri yaitu upacara penerimaan menjadi murid dalam kesucian. Upacara diksa disini tidak seperti upacara diksa yang biasa dilaksanakan untuk mendapatkan gelar secara formal dan memiliki kewenangan untuk memimpin upacara agama, melainkan upacara yang dilaksanakan melalui “Diksa Widhi” atau Prascita Widhi, yang dipandu oleh guru sekala atau siswa yang sudah senior. Diksa Widhi dijalankan dengan cara sebagai berikut : 1. Sadhaka duduk dengan asana yang disukai ditempat yang sudah suci, ditetapkan oleh guru niskala, di kuil Guna Priya Dharma Patni. 2. Sadhaka mohon restu kepad Ida Bhatara Hyang Guru yang ada dirumahnya, Bhatara kawitan (leluhurnya), untuk mengikuti ajaran Dharma. 3. Mohon berkah kepada Guru Dewa yaitu Tuhan dengan segala kekuatannya agar Beliau berkenan menerima calon diksa menjadi murid. Mohon agar Beliau berkenan juga untuk melebur semua LALITA HITA KARANA Sadhana TRI HITA KARANA

16

kotoran, kekuatan dan ajaran yang ada pada diri sadhaka yang menghambat dalam mengikuti ajaran kebenaran. Selanjutnya sadhaka melakukan meditasi dengan mengucapkan japa Om mengikuti keluar masuknya aliran nafas, sampai proses diksa selesai. Untuk mengetahui selesai tidaknya proses diksa ini dapat dilihat melalui proses batin oleh guru sekala atau sadhaka yang sudah senior dan sudah diberikan hak dan kewajiban untuk menjalankan diksa. Oleh sebab itu sadhaka yang sedang mengikuti upacara diksa jangan berhenti bermeditasi sebelum dinyatakan selesai oleh guru pembimbing. Setelah upacara diksa selesai, sadhaka sudah berhak melaksanakan sadhana sesuai dengan langkah-langkah yang ditetapkan dan berhak menggunakan mantra-mantra yang ditetapkan dalam urutan persembahyangan “Lalita Hita Karana”. Dari pengalaman yang sudah berlalu, apabila tidak dilaksanakan diksa terlebih dahulu, banyak masalah dihadapi oleh siswa dalam sadhananya. Tingkat masalah yang dihadapi sesuai dengan tingkat hambatan yang ada dalam dirinya, selaras dengan tingkat kesucian diri sadhaka.

SADHANA Sadhana disini dimaksudkan mencoba menghubungkan diri dengan Tuhan sesering mungkin dengan urutan persembahyangan Lalita Hita Karana. Sadhana artinya suatu usaha seseorang mendekatkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa, sehingga dalam melaksanakan kegiatan sehari-hari dilandasi dengan pikiran pelayanan sepenuhnya terhadap Tuhan. Dengan demikian apapun yang kita lakukan dalam kehidupan ini bertindak atas nama Tuhan. Apapun hasilnya nanti akan dipertanggungjawabkan oleh Tuhan itu sendiri karena pada hakekatnya kita sebagai aktor dalam pertunjukkan-Nya. Asalkan kita tidak menyimpang dari jalur yang sudah ditetapkan, berupa perintah-perintah Tuhan melalui kitab suci. Apabila sadhaka sudah memiliki pandangan serupa ini, berangsur-angsur berusaha membebaskan diri dari nafsu dan ego serta menuju kearah bakti dan penyerahan diri secara total. Dengan demikian apabila sadhaka sudah punya keyakinan yang mantap berjalan mengikuti jalan Tuhan segala usaha yang dilaksanakan selama hidup ini merupakan kewajiban untuk berbakti kepada Beliau. Keliru kalau seseorang berasumsi kegiatan rohani hanya dijalankan pada saat melaksanakan yadnya, persembahyangan dan meditasi saja. Tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari merupakan dasar untuk keberhasilan meditasi, dalam asta angga yoga kegiatan sehari-hari termasuk tangga pertama dan kedua yaitu Yama yang artinya pengendalian diri dan Niyama membentuk peradaban atau kebiasaan baik. Sedangkan meditasi (dhyana) merupakan tangga ke tujuh. Untuk mencapai kebebasan sadhana dilakukan melalui tahap-tahap sebagai berikut :

A. TINGKAT PEMULA

: Sikap duduk sesuai dengan kemampuan diri dan sesuai dengan postur tubuh. 1. Asana Asana tersebut bisa: Padmasana, Sidhasana, Sawaasana dan lain-lain yang dirasakan paling enak dan merasa bebas. 2. Mudra : Letakkan kedua tangan diatas paha, jempol bersentuhan dengan telunjuk sebagai simbol bertemunya atman dengan parama atman. Ketiga jari yang lain yaitu jari tengah, jari manis dan kelingking terpisah dari telunjuk sebagai simbol terpisahnya atau bebasnya atman dari pengaruh tri guna.

LALITA HITA KARANA Sadhana TRI HITA KARANA

17

3. Pranayama : Pengaturan nafas seenak mungkin. Keluar masuknya nafas tidak menimbulkan ketegangan dalam tubuh. Tidak diadakan penahanan nafas. Penahanan nafas dilakukan hanya pada situasi khusus sesuai dengan keperluan atas petunjuk guru pembimbing. 4. Doa dan Pemujaan : Melafalkan mantra Om kara, Gayatri mantra, dan Mantra Guru, dalam hati (japa), dengan menghayati sasaran yang dituju sesuai makna masing-masing mantra. Pada kegiatan ini sadhaka mohon petunjuk, bimbingan dan perlindungan Tuhan dengan segala kekuatannya (shaktinya), agar dalam melaksanakan meditasi ini tidak mendapat hambatan.

5. Meditasi (dhayana) dengan japa Om : Pertama : Membuka pintu Tuhan (Siwa Dwara). Niatkan sinar suci Tuhan masuk ke Cakra Mahkota (Sahasra Cakra), pada ubun-ubun dalam tubuh fisik Kedua

: Membuka pintu atma. Niatkan sinar suci Tuhan yang masuk melalui Cakra Mahkota mengalir ke Cakra Anahata yang terletak di tulang punggung tepat di tengah-tengah dada. Dari Cakra Anahata bayangkan sinar suci Tuhan menyebar ke seluruh tubuh. Niatkan kotoran yang ada dalam tubuh terbuang ke laut (peleburan segala kotoran di Alam Makro).

Ketiga

: Membuka pintu Weda. Setelah kegiatan pertama dan kedua dilaksanakan letakkan kesadaran di Cakra Ajna diantara kedua alis.

Ketiga kegiatan tadi berjalan hampir bersamaan diikuti dengan menarik dan mengeluarkan nafas secara perlahan diikuti dengan japa Om. Kegiatan ini dilakukan dua kali sehari pagi dan sore (malam) sesuaikan dengan kesempatan yang dimiliki. Lama kegiatan paling sedikit 15 menit untuk meditasi saja. Tujuan meditasi bagi sadhaka yang berada pada tahap pemula : a. Pembersihan diri secara umum melalui Jnana. b. Mempersiapkan diri menerima cahaya Tuhan ditandai dengan mekarnya daun Cakra Mahkota. c. Mempersiapkan atma menerima cahaya Tuhan, dengan terbukanya pintu hati dicirikan dengan bersihnya Cakra Anahata. d. Mempersiapkan diri untuk menerima Weda (ilham), dengan terbukanya pintu kebijaksanaan, ditandai dengan mekarnya daun Cakra Ajna. Pada tingkat pemula kegiatan meditasi dimaksudkan untuk peleburan noda (kotoran dalam diri) dalam wujud Astral. Noda yang mengotori tubuh Astral dapat bersumber dari luar tubuh maupun dari dalam diri. Noda yang berasal dari luar tubuh bisa berupa : a. Makanan yang tidak Satwika (tidak bersih) yaitu makanan yang tidak cocok untuk seorang yogi. b. Penyakit yang berasal dari alam lingkungan dalam bentuk butas, maupun penyakit yang dibuat berdasarkan kekuatan pikiran seseorang yang bersifat magis. Noda yang berasal dari dalam diri : a. Akibat pikiran, perkataan dan perbuatan yang negatif. b. Gejolak emosional yang tidak menentu akibat dorongan nafsu. c. Karma Wesana, sisa hasil perbuatan buruk pada kelahiran terdahulu. Noda yang mengotori tubuh Astral sebagian besar diakibatkan oleh dorongan nafsu dan ego, dan berlangsung terus menerus setiap waktu. Untuk menghindari bertumpuknya noda yang mengotori

LALITA HITA KARANA Sadhana TRI HITA KARANA

18

diri kita, hendaknya sadhaka memilih makanan yang Satwika dan dalam interaksi antar sesama di masyarakat hendaknya berpegang teguh pada TRI KAYA PARISUDHA. Dengan melaksanakan kegiatan tadi diharapkan paling lambat selama 3 bulan diri kita sudah mulai bersih sehingga sinar suci atma tampak dari luar. Cahaya muka sudah mulai tampak. 6. Penyucian diri dan Lingkungan : Setelah meditasi (dhyana) berakhir, dilanjutkan dengan mengucapkan mantra Asatoma dan Loka Samasta dalam hati, sambil meniatkan sinar suci Tuhan turun ditempat kita, dan sekaligus masuk pada diri kita melalui Cakra Mahkota. Dengan kegiatan ini terjadi penyeimbangan pada microcosmos dan macrocosmos. a. Penyeimbangan pada microcosmos Pada saat sadhaka melakukan meditasi kemungkinan terjadi : 1) Kelebihan prana (energi murni) dalam tubuh pada tempat-tempat tertentu, yang disebut penyekatan prana. Apabila tidak dinetralisir akan menyebabkan gangguan pada fungsi-fungsi tubuh. Dengan melafalkan mantra Asatoma dan Loka Samasta kelebihan prana dalam tubuh akan keluar dalam bentuk energi murni. Langsung akan menyentuh energi negatif yang ada di lingkungan kita, sehingga terjadi proses penyucian di lingkungan kita. Energi negatif yang ada dilingkungan kita berupa kotoran akibat kontaminasi manusia, energi negatif yang sengaja diciptakan oleh seseorang berupa kekuatan magis. 2) Kekuatan prana dalam tubuh. Kekurangan prana dalam tubuh setelah melaksanakan meditasi akibat terjadinya kekosongan prana pada tempat tertentu yang sebelumnya berisikan noda (kotoran). Pada saat sadhaka meniatkan kotoran dan penyakit yang ada dalam tubuh keluar dan lebur ke laut, tempat yang ditinggalkan dalam tubuh belum sempat diisi dengan prana, disamping itu saat membuang kotoran ke laut memerlukan energi juga, sehingga terjadi kekurangan prana pada tempat-tempat tertentu dalam tubuh. Dalam keadaan demikian Aura tubuh akan menipis. Apabila itu terjadi hendaknya pengucapan mantra Asatoma dan Loka Samasta dihentikan untuk beberapa hari menunggu kesiapan diri untuk memberkati bumi di lingkungan kita. 3) Sadhaka belum siap memberkati bumi dengan sinar cinta kasih kedamaian. Apabila sadhaka baru melafalkan mantra Asatoma dan Loka Samasta terasa kepala pusing atau mual dan bahkan ada yang langsung muntah-muntah, sebaiknya sadhaka berakhir sampai langkah ke lima saja yaitu langkah meditasi. Sampai beberapa hari menunggu sadhaka siap melaksanakan penyucian lingkungan. Gejala serupa ini terjadi pada sadhaka yang tubuhnya banyak kotoran. Kekurangan prana pada akhir proses meditasi biasanya terjadi pada sadhaka yang baru pada tahap pemula. Hal ini disebabkan oleh penarikan prana melalui cakra-cakra dalam tubuh belum begitu lancar (licin). Konsentrasi sadhaka belum mantap. Dengan demikian banyak berlatih tekun dan sungguh-sungguh hal serupa ini dapat dilewati.

B. TINGKAT LANJUT (PELEBURAN NODA & DOSA) Pada tingkat lanjut kegiatan kerohanian merupakan lanjutan apa yang sudah di capai pada tingkat pemula. Perbedaan terletak pada sasaran konsentrasi dan penyaluran energi murni dalam bentuk sinar suci Tuhan. Peleburan noda berjalan terus, dibarengi dengan usaha untuk melebur dosa, baik yang diperbuat dalam kehidupan ini maupun dalam kehidupan terdahulu. Pada tahap ini sadhaka sudah memasuki pelajaran yang sangat rahasia. Untuk tidak terjadi hal yang tidak diinginkan siapapun yang menempuh tahap ini, diharapkan didampingi pembimbing seorang guru atau siswa yang sudah senior,

LALITA HITA KARANA Sadhana TRI HITA KARANA

19

Apabila dianugrahi kemampuan waskita kegiatan ini dapat dilalukan dengan bimbingan langsung guru dewa. Langkah-langkah kegiatan tingkat lanjut adalah sebagai berikut : 1. Langkah satu sampai dengan empat pada tingkat pemula dilaksanakan sama pada tingkat lanjut. 2. Membuka Pintu Hati. Langkah 5 pada tingkat pemula yaitu meditasi dengan japa Om juga dilaksanakan namun pemusatan pikiran ada perubahan. Pada tingkat lanjut, pemusatan pikiran pertama-tama pada Cakra Anahata belakang dan depan (ditengah-tengah dada tembus ke punggung). Sinar suci Tuhan yang masuk melalui Cakra Mahkota dikumpulkan pada Cakra Anahata. Dengan demikian Cakra Anahata bertambah bersih dan kuat. Putaran Cakra Anahata bertambah cepat, daun cakra akan mengembang ditandai dengan membesarnya Cakra Anahata. Dengan membesarnya Cakra Anahata rasa cinta kasih akan muncul karena pada Cakra Anahata merupakan Mandala dari perasaan tertinggi yang berwujud cinta kasih (prema). Apabila kegiatan ini tetap dilakukan secara berulang-ulang maka akan mengubah sifat seseorang dari temperamen emosional menjadi penuh pengertian dan kasih sayang. Kegiatan ini secara riil merupakan pengendalian emosi rendah seperti: marah, iri hati, sombong, serakah. Hanya sadhana serupa ini yang lebih memberikan hasil untuk mengendalikan nafsu dan ego. Perubahan sifat dan sikap seseorang lebih banyak datangnya dari dalam diri. Dengan nasehat dan wejangan tanpa dibarengi dengan sadhana pengendalian nafsu dan ego sangat lambat terwujudnya. Secara fisik mekarnya daun Cakra Anahata pada saat awalnya dapat dirasakan pada Cakra Mahkota terjadi getaran. Hal ini disebabkan Cakra yang memiliki daun seribu lembar, terdiri dari dua bagian. Bagian dalam terdiri dari 12 lembar sisanya dibagian luar. Cakra Anahata juga memiliki daun 12 lembar. Dengan mekarnya Cakra Anahata mekar pulalah Cakra Mahkota bagian dalam. Dengan mekarnya Cakra Anahata pintu hati akan terbuka perlahan-lahan. Atma yang bersemayam di teratai hati atau jantung akan bergeser ke Cakra Anahata. 3. Membuka Pintu Tuhan. Apabila Cakra Anahata sudah mekar kesadaran dikembangkan ke Cakra Mahkota, agar Cakra Mahkota mekar dengan sempurna. Dengan mekarnya Cakra Mahkota secara sempurna pintu Brahman sudah terbuka. Ini berarti kita sudah siap menerima Sinar Suci Tuhan. Pada awalnya secara fisik dapat kita rasakan kepala seperti memakai topi, secara astral kita terlihat memakai mahkota yang bentuknya seperti candi. Perbedaan bentuk mahkota setiap orang tergantung tingkat kemekaran Cakra Mahkotanya. 4. Membuka Pintu Kebijaksanaan. Apabila Cakra Mahkota sudah mekar kesadaran dikembangkan ke Cakra Ajna. Konsentrasi di Cakra Ajna dengan tujuan terjadi pemekaran Cakra Ajna yang berdaun 2 lembar. Dengan aktifnya Cakra Ajna berarti pintu kebijaksanaan sudah terbuka, daun cakra 2 lembar merupakan simbol DVANDVA atau dua yang berbeda. Apabila Cakra Ajna sudah mekar sifat membeda-bedakan akan berangsur-angsur hilang. Sadhaka tidak terpengaruh oleh baik dan buruk sehingga bebas dari DVANDVA. Kebijaksanaan akan tumbuh. Aktifnya Cakra Ajna akan berpengaruh pada cakra yang ada dibawahnya seperti Cakra Visuda di leher. Cakra Anahata ditengah-tengah dada, Cakra Mani Pura di pusar, Cakra Svadistana dibawah pusar, dan Cakra Muladara di antara kemaluan dan lubang pantat, oleh karena itu Cakra Ajna disebut cakra guru (chakra master). 5. Membangun Kundalini Sakti. Apabila ketiga cakra tadi Cakra Anahata, Cakra Sahasra dan Cakra Ajna sudah aktif maka prana yang berupa energi murni yang masuk melalui Cakra Mahkota akan mengalir kebawah melalui Ida Nadi dan Pinggala Nadi didorong oleh getaran japa Om melalui Cakra Ajna. Kedua aliran prana tadi bertemu di Tripeni selanjutnya memukul Kundalini yang tidur di Cakra Muladara. Dengan getaran energi prana tersebut, Kundalini akan bangun akhirnya bergerak perlahan-lahan ke atas melalui sum-sumna nadi. Naiknya Kundalini shakti melintasi cakra-cakra yang ada diatas Cakra Muladara, terjadi ledakan energi, pada saat yang sama terjadilah proses peleburan dosa, oleh api sucinya Kundalini.saat Kundalini melintasi Cakra Anahata, atman terlebih dahulu sudah berada di Cakra Anahata. Dengan demikian atman akan terdorong keatas bersamasama dengan Kundalini akhirnya sampai di Brahmadhara ditengah-tengah otak. Disini atman sudah LALITA HITA KARANA Sadhana TRI HITA KARANA

20

siap menerima sinar suci Tuhan untuk penyucian atman dari Karma Wasana agar bebas dari dosa dan noda. Kejadian ini tidak semua orang dapat merasakan, karena setiap orang mendapat pengalaman yang berbeda-beda. 6. Samadhi. Langkah seperti tersebut diatas dilakukan berulang-ulang sehingga betul-betul sempurna. Pada saatnya nanti terjadi peleburan dunia Astral dan pikiran dengan atma. Selanjutnya peleburan atma dengan Brahman. Saat peleburan atman dengan Brahman seseorang mencapai puncak Samadhi, bersatunya atma denga Brahman. Semua proses ini tidak dapat dikontrol oleh pikiran hanya Tuhan yang tahu. Setelah meditasi berakhir dilanjutkan dengan penyucian lingkungan dengan melafalkan mantra Asatoma dan Lokaa Samasta sebanyak 11 kali dengan makna penyucian sebelas penjuru alam yaitu Atas, Tengah, Bawah, dan Delapan penjuru mata angin.

C. TINGKAT PENYEMPURNAAN Langkah-langkah pada tingkat lanjut diulang-ulang dengan : 1. Kesadaran di Cakra Anahata melebur sifat-sifat prakerti menjadi DEV (sinar) dan melebur dengan atma, buta menjadi buta hita. Dalam keadaan demikian ini sadhaka kalau dilihat dengan mata batin sudah dalam wujud dev (sinar). Atman terbebas dari sifat prakerti yang disebut guna. Terbebasnya sadhaka dari guna memasuki alam dewa. Sadhaka yang sudah sampai pada tingkat ini disebut memiliki kemuliaan Siwa (atma) juga disebut Mahatma. 2. Proses selanjutnya kuatkan kesadaran di Cakra Ajna untuk mencapai peleburan Sada Siwa melalui peleburan semua kekuatan shakti (dewa-dewa) dengan atma. Bentuk tubuh dalam penglihatan batin perlahan-lahan berubah-ubah dari bentuk sinar menjadi bening. Apabila sadhaka sudah mencapai kemuliaan Budha, mencapai kebijaksanaan. Sadhaka bebas dari Hasil perbuatan baik dan buruk. 3. Proses selanjutnya kesadaran diperkuat diarahkan ke surya. Untuk bertemunya Wisnu di surya, dilanjutkan untuk bertemu Krisna di surya. Setelah menyatu dengan Krisna di surya kembali pada diri sendiri. Tempatkan Krisna di teratai hati di jantung, selanjutnya kita puja sebagai sasaran meditasi. Sadhaka yang sudah sampai di tingkat ini disebut mencapai kemuliaan Wisnu yaitu meliputi segalanya. Sadhaka berhak menggunakan semua Shakti Tuhan untuk kesejahteraan umat manusia. Sadhaka yang memiliki tiga kemuliaan disebut Tri Sadhaka atau Bujangga. Sadhaka sudah sampai pada tahap memuja diri. Diri sendiri adalah Brahman (AHAM). Apabila saatnya pralaya sudah tiba, penyatuan Atma dengan Krisna di surya menuju NIRGUNA BRAHMAN. 4. Penyucian lingkungan (alam semesta) dengan melafalkan mantra Asatoma dan Loka Samasta. Langkah-langkah meditasi yang diuraikan diatas kita sebut LALITA HITA KARANA jalan menuju kebebasan, merupakan penerapan konsep TRI HITA KARANA, yang diajarkan oleh Maha Guru Kuturun. Tiga kemuliaan harus dimiliki untuk dapat bersatu dengan Brahman, sebagai mula dari permulaan. Untuk mencapai hal ini, bertemu dengan yang selalu suci hendaknya diri kita harus suci. Agar diri kita tetap suci, alam lingkungan dimana kita berada juga harus suci. Apabila hal ini sudah tercapai niscaya tujuan hidup ini membebaskan diri dari belenggu maya tercapai, meleburnya Atman dengan Parama Atman. Kalau dipikir dan direnungkan dalam diri, sepertinya usaha yang sangat sulit dan sangat rahasia ini sulit untuk dicapai. Tetapi jangan lupa, semua kegiatan ini wajib kita lakukan, karena merupakan tujuan kita dilahirkan untuk memperbaiki diri dan menebus dosa. Sedangkan moksa terbebasnya diri dari belenggu maya merupakan tujuan yang harus kita capai setelah dilahirkan sebagai manusia. Berbahagialah kita dilahirkan sebagai manusia karena hanya manusia yang mampu memperbaiki dirinya untuk menuju kesempurnaan.

LALITA HITA KARANA Sadhana TRI HITA KARANA

21

Kebebasan atau moksa memiliki tahapan yang tak bisa dilewati, seperti halnya kita mendaki gunung. Untuk mencapai puncak kita perlu istirahat pada tempat-tempat tertentu, kemudian dilanjutkan keesokan harinya. Demikian pula halnya untuk mencapai moksa yang universal, melalui tingkat moksa yang lebih rendah yang dapat dibagi menjadi lima tingkatan moksa sebagai berikut: 1. Bebas dari keinginan (nafsu) 2. Bebas dari kekuatan alam, bebas dari kutub-kutub kekuatan alam, berupa gesekan-gesekan kekuatan. Sehingga memiliki keteguhan hati tetap berpegang pada prinsip atau pendirian. 3. Bebas dari Badan Kasar, sifat-sifat Prakerti yaitu Guna. 4. Bebas dari ego (rasa aku) 5. Bebas secara Universal. Apabila dalam kelahiran sekarang ini kita mampu mencapai tingkat dua, dikelahiran selanjutnya otomatis kita mulai merintis ke tingkat tiga, selang waktu kelahiran ini dengan kelahiran selanjutnya sama halnya dengan seorang pendaki gunung, menikmati pengalaman yang dialami saat pendakian terdahulu. Sama halnya seseorang menikmati buah karmanya dalam kelahiran terdahulu di alam lain. Yakinlah pada kemampuan diri sendiri, lakukanlah tanpa harapan hasil, laksanakan kewajiban dalam hidup ini. Datang dari Brahman, Berjalan di jalan Brahman, Menuju pada Brahman. Om Santhi Santhi Santhi

LALITA HITA KARANA Sadhana TRI HITA KARANA

LALITA HITA KARANA Sadhana TRI HITA KARANA

LALITA HITA KARANA Sadhana TRI HITA KARANA

LALITA HITA KARANA Sadhana TRI HITA KARANA

LALITA HITA KARANA Sadhana TRI HITA KARANA

LALITA HITA KARANA Sadhana TRI HITA KARANA

Related Documents


More Documents from "Madhu Murthy"