Makalah Hukum Perbankan Syariah

  • Uploaded by: Miya Ashindo
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Hukum Perbankan Syariah as PDF for free.

More details

  • Words: 8,761
  • Pages: 40
Loading documents preview...
MAKALAH HUKUM PERBANKAN SYARIAH Disusun untuk Memenuhi Tugas Matakuiah Aspek Hukum Ekonomi Islam yang Diampuh Oleh: Azhar Muttaqien, M. Ag

Disusun oleh: Jihaan Jaudah Amaliyah

201710510311001

M. Akbar Asykur Sony

210710510311019

Mochamad Adam

201710510311020

Syaiful Anwar

201710510311025

Lani Nofitri

201710510311033

Nur Khotimah

201710510311039

Fakurun Shobir

201710510311048

Ainun Islamiya

201710510311049

Program Studi Ekonomi Syariah Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang November 2019

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI....................................................................................................................2 BAB I................................................................................................................................3 PENDAHULUAN.............................................................................................................3 A.

Latar Belakang.......................................................................................................3

B.

Rumusan Masalah..................................................................................................3

C.

Tujuan Masalah......................................................................................................4

BAB II...............................................................................................................................5 PEMBAHASAN...............................................................................................................5 A.

Sejarah Perbankan Syariah di Indonesia.................................................................5

B.

Landasan Dalil Perbankan Syariah.........................................................................9

C.

Pengertian dan Perkembangan Dasar Hukum Perbankan Syariah di Indonesia....11

D.

Dasar Hukum Administratif Salah Satu Kegiatan Perbankan Syariah di Indonesia ………………………………………………………………………………………………………………………… 17

E.

Dasar-Dasar Hukum Administratif Perbankan Syariah di Indonesia....................25

F.

Metode Pengawasan Perbankan Syariah di Indonesia..........................................34

BAB III...........................................................................................................................39 PENUTUP.......................................................................................................................39 DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................40

2

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Perbankan Syariah adalah salah satu lembaga keuangan syariah yang memiliki banyak kegiatan atau banyak produk yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat tentunya yang kegiatannya sesuai dengan syariat islam, karena memang pada dasarnya bank syariah sangat berbeda dengan bank konvensional, dimana bank syariah mengharamkan sistem riba atau bunga, sedangkan konvensional justru sebalikanya, mereka secara terang-terangan menggunakan sistem riba yang merugikan masyarakat atau nasabah. Tetapi tidak banyak nasabah yang menyadari jika mereka sebenarnya sedang dirugikan secara perlahan. Oleh karena itu perbankan syariah mulai bangkit dan mulai menyadarkan masyarakat-masyarakat yang sudah dirugikan dengan menjelaskan jika riba atau bunga itu tidak diperbolekan dalam islam, dan begitupun banyak hukumhukum lain yang bisa menguatakan status perbankan syariah di Indonesia. Disini pemakalah akan menjelaskan apakah itu perbakan syariah dan juga ada hukum-hukum yang mendasarinya. B. Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah dalam makalah ini sebagai berikut: 1. Bagaimana penjelasan tentang sejarah perbankan syariah di Indonesia? 2. Apa saja dalil yang mendasari perbankan syariah? 3. Apa pengertian dan bagaimana perkembangan dasar hukum perbankan syariah di Indonesia? 4. Bagaimana dasar hukum administratif salah satu kegiatan perbankan syariah? 5. Bagaimana dasar-dasar hukum administratif perbankan syariah di Indonesia? 6. Apa saja metode pengawasan perbankan syariah di Indonesia?

3

C. Tujuan Masalah Adapun tujuan dari penulisan makalah ini sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui bagaimana sejarah perbakan syariah di Indonesia 2. Untuk mengetahui dalil apa saja yang mendasari perbakan syariah 3. Untuk mengetahu apa pengertian dan mengetahui perkembangan dasar hukum perbankan syariah di Indonesia 4. Untuk mengetahui dasar hukum administratif salah satu produk atau kegiatan perbankan syariah 5. Untuk mengetahui apa saja dasar hukum administratif perbankan syariah di Indonesia 6. Untuk mengetahui apa saja metode yang digunakan dalam pengawasan perbankan syariah di Indonesia

4

BAB II PEMBAHASAN A. Sejarah Perbankan Syariah di Indonesia Perbankan Islam pertama kali muncul di Mesir tanpa menggunakan embel-embel Islam, karena adanya kekhawatiran rezim yang berkuasa saat itu akan melihatnya sebagai gerakan fundamentalis. Perintisnya adalah Ahmad El Najjar. Sistem pertama yang dikembangkan adalah mengambil bentuk sebuah bank simpanan yang berbasis profit sharing (pembagian laba / bagi hasil) pada tahun 1963. kemudian pada tahun ’70-an, telah berdiri setidaknya 9 bank yang tidak memungut maupun menerima bunga, sebagian besar berinvestasi pada usaha-usaha perdagangan dan industri secara langsung dalam bentuk partnership dan membagi keuntungan yang didapat dengan para penabung. Baru kemudian pada tahun 1974 berdiri Islamic Development Bank yang disponsori oleh negara-negara yang tergabung dalam Organisasi Konferensi Islam, yang menyediakan jasa finansial berbasis fee dan profit sharing untuk negara-negara anggotanya dan secara eksplisit menyatakan diri berdasar pada syariah Islam. Kemudian setelah itu, secara berturut-turut berdirilah sejumlah bank berbasis Islam antara lain berdiri Dubai Islamic Bank (1975), Faisal Islamic Bank of Sudan (1977), Faisal Islamic Bank of Egypt (1977) serta Bahrain Islamic Bank (1979) Phillipine Amanah Bank (1973) berdasarkan dekrit presiden, dan Muslim Pilgrims Savings Corporation (1983). Di Indonesia sendiri yang mayoritas penduduknya adalah Muslim membuat negara ini menjadi pasar terbesar di dunia bagi perbankan syariah. Besarnya populasi muslim itu memberikan ruang yang cukup lebar bagi perkembangan bank syariah di Indonesia. Rintisan praktek perbankan Islam di Indonesia dimulai pada awal periode 1980-an, melalui diskusi-diskusi bertemakan bank Islam sebagai pilar ekonomi Islam. Tokoh-tokoh yang terlibat dalam pengkajian tersebut, untuk menyebut beberapa, di antaranya adalah Karnaen A Perwataatmadja, M Dawam Rahardjo, AM Saefuddin, dan M

5

Amien Azis. Sebagai uji coba, gagasan perbankan Islam dipraktekkan dalam skala yang relatif terbatas di antaranya di Bandung (Bait At-Tamwil Salman ITB) dan di Jakarta (Koperasi Ridho Gusti). Sebagai gambaran, M Dawam Rahardjo dalam tulisannya pernah mengajukan rekomendasi Bank Syari’at Islam sebagai konsep alternatif untuk menghindari larangan riba, sekaligus berusaha

menjawab

tantangan

bagi

kebutuhan

pembiayaan

guna

pengembangan usaha dan ekonomi masyarakat. Jalan keluarnya secara sepintas disebutkan dengan transaksi pembiayaan berdasarkan tiga modus, yakni mudlarabah, musyarakah dan murabahah. Prakarsa lebih khusus mengenai pendirian Bank Islam di Indonesia baru dilakukan tahun 1990. Pada tanggal 18 – 20 Agustus tahun tersebut, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut kemudian dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta 22 – 25 Agustus 1990, yang menghasilkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia. Kelompok kerja dimaksud disebut Tim Perbankan MUI dengan diberi tugas untuk melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang terkait. Sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI tersebut adalah berdirinya PT Bank Muamalat Indonesia (BMI), yang sesuai akte pendiriannya, berdiri pada tanggal 1 Nopember 1991. Sejak tanggal 1 Mei 1992, BMI resmi beroperasi dengan modal awal sebesar Rp 106.126.382.000,-. Sampai bulan September 1999, BMI telah memiliki lebih dari 45 outlet yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Kelahiran Bank Islam di Indonesia relatif terlambat dibandingkan dengan negara-negara lain sesama anggota OKI. Hal tersebut merupakan ironi, mengingat pemerintah RI yang diwakili Menteri Keuangan Ali Wardana, dalam beberapa kali sidang OKI cukup aktif memperjuangkan realisasi konsep bank Islam, namun tidak diimplementasikan di dalam negeri. KH Hasan Basri, yang pada waktu itu sebagai Ketua MUI memberikan jawaban bahwa kondisi

6

keterlambatan pendirian Bank Islam di Indonesia karena political-will belum mendukung. Selanjutnya sampai diundangkannya Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Bank Muamalat Indonesia merupakan satu-satunya bank umum yang mendasarkan kegiatan usahanya atas syariat Islam di Indonesia. Baru setelah itu berdiri beberapa Bank Islam lain, yakni Bank IFI membuka cabang Syariah pada tanggal 28 Juni 1999. Namun, sejak 2000-an, setelah terbukti keunggulan bank syariah (bank Islam) dibandingkan bank konvensional antara lain, Bank Muamalat tidak memerlukan suntikan dana, ketika bank-bank konvensional menjerit minta Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) ratusan triliunan akibat negative spread, bank-bank syariah pun bermunculan di Indonesia. Seperti misalnya Bank Syariah Mandiri yang merupakan konversi dari Bank Susila Bakti (BSB), anak perusahaan Bank Mandiri, serta pendirian lima cabang baru berupa cabang syariah dari PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk. Pada Februari 2000, tercatat di Bank Indonesia bank-bank yang sudah mengajukan permohonan membuka cabang syariah, yakni: Bank Niaga, Bank BTN, Bank Mega, Bank BRI, Bank Bukopin, BPD Jabar dan BPD Aceh. Sampai saat ini, pada tahun 2007, terdapat setidaknya 3 institusi bank syariah di Indonesia yaitu Bank Muamalat Indonesia, Bank Syariah Mandiri dan Bank Mega Syariah. Sementara bank umum yang telah memiliki unit usaha syariah adalah 19 bank diantaranya merupakan bank besar seperti Bank Negara Indonesia (Persero) dan Bank Rakyat Indonesia (Persero). Sistem syariah juga telah digunakan oleh Bank Perkreditan Rakyat, saat ini telah berkembang 104 BPR Syariah. Hanya saja, aset perbankan syariah periode Maret 2006 baru tercatat 1,40 persen dari total aset perbankan. Perkembangan perbankan syariah di Indonesia telah menjadi tolak ukur keberhasilan eksistensi ekonomi syariah. Bank muamalat sebagai bank syariah pertama dan menjadi pioneer bagi bank syariah lainnya telah lebih dahulu menerapkan system ini ditengah menjamurnya bank-bank konvensional. Krisis moneter yang terjadi pada tahun 1998 telah menenggelamkan bank-bank

7

konvensional dan banyak yang dilikuidasi karena kegagalan system bunganya. Sementara perbankan yang menerapkan system syariah dapat tetap eksis dan mampu bertahan. Tidak hanya itu, di tengah-tengah krisis keuangan global yang melanda dunia pada penghujung akhir tahun 2008, lembaga keuangan syariah kembali membuktikan daya tahannya dari terpaan krisis. Lembaga-lembaga keuangan syariah tetap stabil dan memberikan keuntungan, kenyamanan serta keamanan bagi para pemegang sahamnya, pemegang surat berharga, peminjam dan para penyimpan dana di bank-bank syariah. Hal ini dapat dibuktikan dari keberhasilan bank Muamalat melewati krisis yang terjadi pada tahun 1998 dengan menunjukkan kinerja yang semakin meningkat dan tidak menerima sepeser pun bantuan dari pemerintah dan pada krisis keuangan tahun 2008, bank Muamalat bahkan mampu memperoleh laba Rp. 300 miliar lebih. Perbankan syariah sebenarnya dapat menggunakan momentum ini untuk menunjukkan bahwa perbankan syariah benar-benar tahan dan kebal krisis dan mampu tumbuh dengan signifikan. Oleh karena itu perlu langkah-langkah strategis untuk merealisasikannya. Langkah strategis pengembangan perbankan syariah yang telah di upayakan adalah pemberian izin kepada bank umum konvensional untuk membuka kantor cabang Unit Usaha Syariah (UUS) atau konversi sebuah bank konvensional menjadi bank syariah. Langkah strategis ini merupakan respon dan inisiatif dari perubahan Undang – Undang perbankan no. 10 tahun 1998. Undang-undang pengganti UU no.7 tahun 1992 tersebut mengatur dengan jelas landasan hukum dan jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank syariah.

8

B. Landasan Dalil Perbankan Syariah ‫وا‬GGُ‫اض ِم ْن ُك ْم ۚ َواَل تَ ْقتُل‬ َ Gَ‫ارةً ع َْن ت‬ َ G‫ونَ تِ َج‬GG‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا اَل تَأْ ُكلُوا أَ ْم َوالَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِ ْالبَا ِط ِل إِاَّل أَ ْن تَ ُك‬ ٍ ‫ر‬G ‫أَ ْنفُ َس ُك ْم ۚ إِ َّن هَّللا َ َكانَ بِ ُك ْم َر ِحي ًما‬ Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. (Qs.An-Nisa’ ayat 29) Maksud ayat diatas bahwasanya surat An-nisa ayat 29 merupakan salah satu landasan hukum islam tentang bank syariah yang dapat diartikan bahwasannya bank syariah dalam melaksanakan tugasnya tidak boleh menyeleweng dari ajaran islam (batil) namun harus selalu tolong menolong demi menciptakan suatu kesejahteraan. Kita tahu banyak sekali tindakantindakan ekonomi yang tidak sesuai dengan ajaran islam hal ini terjadi karena beberapa pihak tidak tahan dengan godaan uang serta mungkin mereka memiliki tekanan baik kekurangan dalam hal ekonomi atau yang lain, maka bank syariah harus membentengi mereka untuk tidak berbuat sesuatau yang menyeleweng dari islam. ْ ‫ َؤ ِّد الَّ ِذي‬Gُ‫ض ُك ْم بَ ْعضًا فَ ْلي‬ ٌ ‫َوإِ ْن ُك ْنتُ ْم َعلَ ٰى َسفَ ٍر َولَ ْم تَ ِجدُوا َكاتِبًا فَ ِره‬ ۞ َ‫اؤتُ ِمن‬ ُ ‫ضةٌ ۖ فَإ ِ ْن أَ ِمنَ بَ ْع‬ َ ‫َان َم ْقبُو‬ ‫ق هَّللا َ َربَّهُ ۗ َواَل تَ ْكتُ ُموا ال َّشهَا َدةَ ۚ َو َم ْن يَ ْكتُ ْمهَا فَإِنَّهُ آثِ ٌم قَ ْلبُهُ ۗ َوهَّللا ُ بِ َما تَ ْع َملُونَ َعلِي ٌم‬ ِ َّ‫أَ َمانَتَهُ َو ْليَت‬ Artinya: "Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang). Akan tetapi jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, maka hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya (hutangnya) dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya; dan janganlah kamu (para saksi) menyembunyikan persaksian. Dan barangsiapa yang menyembunyikannya, maka sesungguhnya

9

ia adalah orang yang berdosa hatinya; dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan."( QS. Al-Maidah ayat 283) Maksud ayat diatas bisa diambil salah satu poin penting yakni dalam menyampaikan amanat. Dalam bank syariah baik pihak Bank maupun nasabah harus menjaga amanah yang telah disepakati dalam akad sebelumnya hal ini bertujuan untuk menjaga kepercayaan dan tetap berkegiatan ekonomi tanpa kecurangan atau kebohongan sedikitpun. Bisa dibilang harus terbuka dan transparan. QS Al-Maidah ayat 1-2 Dalam ayat ini memiliki arti “ Hai orang-orang beriman ! penuhilah akadakad itu.” Untuk ayat 1 sedangkan arti ayat ke dua “ dan tolong menolonglah kamu dalam hal kebajikan.” Dari dua ayat ini bisa diartikan bahwasannya Bank syariah hadir untuk melaksanakan dan menjaga akad-akad yang telah disepakati diantara dua pihak tidak bnoleh terjadi sebuah penyelewengan namun harus tetap baik dan benar sesuai dengan ajaran islam serta kesepakatan yang ada. Akad inilah yang menjadi perbedaan utama anatara bank syariah dan bank konvensional, dalam bank syariah akad yang diberlakukan adalah memakai sistem bagi hasil. Selain itu prinsip yang digunakan dalam bank syariah adalah sistem tolong menolong untuk mengerjakan sebuah kebajikan, dengan hal ini maka selain melakukan kegiatan perbankan atau perniagaan mereka juga beribadah, dari sinilah nilai plus yang dimiliki oleh bank syariah. Itulah beberapa landasan hukum dari bank syariah, meski bisa dibilang sebagai bank yang bernafaskan islam yakni berdasarkan Al-Qur’an , sunnah dan ijtihad sebagai pelengkap, namun bank ini tidak menutup diri untuk mendasarkan kegiatan atau aktivitasnya berdasarkan atau sesuai peraturan perundang-undangan yang telah ditetapkan oleh pemerintah, hal ini terjadi karena kita tahu sendiri Indonesia merupakan negara kesatuan dan berlandaskan atas Pancasila tentu tidak etis jika hukum tertinggu di negara ini yakni Undang-undang maupun pemerintah tidak dijadikan sebuah landasan hukum. Pada dasarnya pengkhususan bank syariah memiliki ciri khusus yang 10

membedakannya dengan Bank konvensional, dimana sistem yang mereka gunakan bukan bunga namun bagi hasil dimana bank syariah harus bisa menyetarakan atau menyeimbangkan uang masyarakat dengan baik selain itu gotong royong dan kekeluargaan juga diterapkan dengan baik oleh bank syariah. C. Pengertian dan Perkembangan Dasar Hukum Perbankan Syariah di Indonesia a) Pengerian Secara umum pengertian Bank Islam (Islamic Bank) adalah bank yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat Islam. Saat ini banyak istilah yang diberikan untuk menyebut entitas Bank Islam selain istilah Bank Islam itu sendiri, yakni Bank Tanpa Bunga (Interest-Free Bank), Bank Tanpa Riba (Lariba Bank), dan Bank Syari’ah (Shari’a Bank). Sebagaimana akan dibahas kemudian, di Indonesia secara teknis yuridis penyebutan Bank Islam mempergunakan istilah resmi “Bank Syariah”, atau yang secara lengkap disebut “Bank Berdasarkan Prinsip Syariah”. Undang-undang Perbankan Indonesia, yakni Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No. 10 Tahun 1998 (selanjutnya untuk kepentingan tulisan ini disingkat UUPI), membedakan bank berdasarkan kegiatan usahanya menjadi dua, yaitu bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah. Sebagaimana disebutkan dalam butir 13 Pasal 1 UUPI memberikan batasan pengertian prinsip syariah sebagai aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara Bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan/atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan Syariah, antara lain, pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak Bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).

11

Fungsi Bank Syariah secara garis besar tidak berbeda dengan bank konvensional, yakni sebagai lembaga intermediasi (intermediary institution) yang mengerahkan dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana-dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkannya dalam bentuk fasilitas pembiayaan. Perbedaan pokoknya terletak dalam jenis keuntungan yang diambil bank dari transaksi-transaksi yang dilakukannya. Bila bank konvensional mendasarkan keuntungannya dari pengambilan bunga, maka Bank Syariah dari apa yang disebut sebagai imbalan, baik berupa jasa (fee-base income) maupun mark-up atau profit margin, serta bagi hasil (loss and profit sharing). Disamping dilibatkannya Hukum Islam dan pembebasan transaksi dari mekanisme bunga (interest free), posisi unik lainnya dari Bank Syariah dibandingkan dengan bank konvensional adalah diperbolehkannya Bank Syariah melakukan kegiatan-kegiatan usaha yang bersifat multi-finance dan perdagangan (trading). Hal ini berkenaan dengan sifat dasar transaksi Bank Syariah yang merupakan investasi dan jual beli serta sangat beragamnya pelaksanaan pembiayaan yang dapat dilakukan Bank Syariah, seperti pembiayaan dengan prinsip murabahah (jual beli), ijarah (sewa) atau ijarah wa iqtina (sewa beli) dan lain-lain. b) Perkembangan Dasar Hukum Perbankan Syariah Di Indonesia Sebagaimana telah dikemukakan, secara teoritis Bank Islam baru dirintis sejak tahun 1940-an dan secara kelembagaan baru dapat dibentuk pada tahun 1960-an. Di Indonesia kenyataannya baik secara teoritis maupun kelembagaan, perkembangan Bank Islam bahkan lebih kemudian. Eksistensi Bank Islam secara hukum positif dimungkinkan pertama kali melalui Pasal 6 huruf m Undangundang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Pasal 6 huruf m beserta penjelasannya tidak mempergunakan sama sekali istilah Bank Islam atau Bank Syariah sebagaimana dipergunakan kemudian sebagai istilah resmi dalam UUPI, namun hanya menyebutkan: “menyediakan pembiayaan bagi nasabah berdasarkan prinsip bagi hasil sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah".

12

Di dalam Pasal 5 ayat (3) PP No. 70 Tahun 1992 tentang Bank Umum pun hanya disebutkan frasa “Bank Umum yang beroperasi berdasarkan prinsip bagi hasil” dan di penjelasannya disebut “Bank berdasarkan prinsip bagi hasil”. Begitu pula dalam Pasal 6 ayat (2) PP No. 71 Tahun 1992 tentang Bank Perkreditan Rakyat hanya menyebutkan frasa “Bank Perkreditan Rakyat yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip bagi hasil” yang dalam penjelasannya disebut “Bank Perkreditan Rakyat yang berdasarkan bagi hasil”. Kesimpulan bahwa “bank berdasarkan prinsip bagi hasil” merupakan istilah bagi Bank Islam atau Bank Syariah baru dapat ditarik dari Penjelasan Pasal 1 ayat (1) PP No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Dalam penjelasan ayat tersebut ditetapkan bahwa yang dimaksud dengan prinsip bagi hasil adalah prinsip muamalat berdasarkan Syari’at dalam melakukan kegiatan usaha bank. Melihat ketentuan-ketentuan yang ada dalam PP No. 72 Tahun 1992, keleluasaan untuk mempraktekkan gagasan perbankan berdasarkan syariat Islam terbuka seluas-luasnya, terutama berkenaan dengan jenis transaksi yang dapat dilakukan. Pembatasan hanya diberikan dalam hal: a. Larangan melakukan kegiatan usaha yang tidak berdasarkan prinsip bagi hasil (maksudnya kegiatan usaha berdasarkan perhitungan bunga) bagi Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat yang kegiatan usahanya semata-mata berdasarkan prinsip bagi hasil. Begitu pula Bank Umum atau BPR yang kegiatan usahanya tidak berdasarkan prinsip bagi hasil dilarang melakukan kegiatan usaha yang berdasarkan prinsip bagi hasil. b. Kewajiban memiliki Dewan Pengawas Syariah yang bertugas melakukan pengawasan atas produk perbankan baik dana maupun pembiayaan agar berjalan sesuai dengan prinsip Syari’at, dimana pembentukannya dilakukan oleh bank berdasarkan hasil konsultasi dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI). Pada saat berlakunya UU No. 7 Tahun 1992, selain ketiga PP tersebut di atas tidak ada lagi peraturan perundangan yang berkenaan dengan Bank Islam. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa eksistensi Bank Islam yang telah diakui secara hukum positif di Indonesia, belum mendapatkan dukungan secara wajar

13

berkenaan dengan praktek traksaksionalnya. Hal ini dapat dilihat misalnya dari tidak seimbangnya jumlah dana yang mampu dikumpulkan dibandingkan dengan penyalurannya di masyarakat. Bagi BMI tidak ada kesulitan untuk mengumpulkan dana berupa tabungan dan investasi dari masyarakat, namun untuk penyalurannya masih sangat terbatas, mengingat belum adanya instrumen investasi yang berdasarkan prinsip syariah yang diatur secara pasti, baik instrumen investasi di Bank Indonesia, Pemerintah, atau antar-bank. Tidak mengherankan bilamana dalam Laporan Keuangan BMI pada masa tersebut dapat ditemukan satu pos anggaran atau account yang diberi istilah sebagai “Pendapatan Non Halal”, yakni pendapatan yang didapat dari transaksi yang bersifat perbankan konvensional. Perkembangan lain yang patut dicatat berkaitan dengan perbankan syariah pada saat berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan adalah berdirinya Badan Arbitrase Muamalat Indonesia (BAMUI). BAMUI berdiri secara resmi tanggal 21 Oktober 1993 dengan pemrakarsa MUI dengan tujuan menyelesaikan kemungkinan terjadinya sengketa muamalat dalam hubungan perdagangan, industri, keuangan, jasa dan lain-lain di kalangan umat Islam di Indonesia. Dengan demikian dalam transaksi-transaksi atau perjanjianperjanjian bidang perbankan syariah lembaga BAMUI dapat menjadi salah satu choice of forum bagi para pihak untuk menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang mungkin terjadi dalam pelaksanaan transaksi atau perjanjian tersebut. Perkembangan kemudian berkenaan dengan BAMUI, melalui Surat Keputusan Majelis Ulama Indonesia No. Kep-09/MUI/XII/2003 tanggal 24 Desember 2003 menetapkan di antaranya perubahan nama BAMUI menjadi Badan Arbitrase Syari’ah Nasional (BASYARNAS) dan mengubah bentuk badan hukumnya yang semula merupakan Yayasan menjadi ‘badan’ yang berada di bawah MUI dan merupakan perangkat organisasi MUI. Meskipun pada saat berlakunya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 perkembangan perbankan syariah masih sangat terbatas, namun sebagaimana disebutkan oleh Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, SH merupakan salah satu tonggak sejarah yang sangat penting khususnya di dalam kehidupan umat Islam dan pada umumnya bagi perkembangan Hukum Nasional. Dalam makalahnya yang berjudul “Peranan BAMUI Dalam Pembangunan Hukum Nasional” beliau 14

mengatakan sebagai berikut: “Undang-undang Perbankan No. 7 Tahun 1992 membawa era baru dalam sejarah perkembangan hukum ekonomi di Indonesia. Undang-undang tersebut memperkenalkan “sistem bagi hasil” yang tidak dikenal dalam Undang-undang tentang Pokok Perbankan No. 14 Tahun 1967. Dengan adanya sistem bagi hasil itu maka Perbankan dapat melepaskan diri dari usahausaha yang mempergunakan sistem “bunga”. Jika selama ini peranan Hukum Islam di Indonesia terbatas hanya pada bidang hukum keluarga, tetapi sejak tahun 1992, peranan Hukum Islam sudah memasuki dunia hukum ekonomi (bisnis)”. Pada tahun 1998 eksistensi Bank Islam lebih dikukuhkan dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. Dalam Undang-undang tersebut, sebagaimana ditetapkan dalam angka 3 jo. angka 13 Pasal 1 Undangundang No. 10 Tahun 1998, penyebutan terhadap entitas perbankan Islam secara tegas diberikan dengan istilah Bank Syari’ah atau Bank Berdasarkan Prinsip Syari’ah. Pada tanggal 12 Mei 1999, Direksi Bank Indonesia mengeluarkan tiga buah Surat Keputusan sebagai pengaturan lebih lanjut Bank Syariah sebagaimana telah dikukuhkan melalui Undang-undang No. 10 Tahun 1998, yakni: a. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/33/KEP/DIR tentang Bank Umum, khususnya Bab XI mengenai Perubahan Kegiatan Usaha dan Pembukaan Kantor Cabang Syariah; b. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/34/KEP/DIR tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah; dan c. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32/36/KEP/DIR tentang Bank Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah. Selanjutnya berkenaan dengan operasional dan instrumen yang dapat dipergunakan Bank Syariah, pada tanggal 23 Februari 2000 Bank Indonesia secara sekaligus mengeluarkan tiga Peraturan Bank Indonesia, yakni: a. Peraturan Bank Indonesia No. 2/7/PBI/2000 tentang Giro Wajib Minimum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah, yang mengatur mengenai kewajiban 15

pemeliharaan giro wajib minimum bank umum yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah; b. Peraturan Bank Indonesia No. 2/8/PBI/2000 tentang Pasar Uang antar Bank berdasarkan Prinsip Syariah, yang dikeluarkan dalam rangka menyediakan sarana penanaman dana atau pengelolaan dana antarbank berdasarkan prinsip syariah; dan c. Peraturan Bank Indonesia No. 2/9/PBI/2000 tentang Sertifikat Wadiah Bank Indonesia (SWBI), yakni sertifikat yang diterbitkan Bank Indonesia sebagai bukti penitipan dana berjangka pendek dengan prinsip Wadiah yang merupakan piranti dalam pelaksanaan pengendalian moneter semacam Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dalam praktek perbankan konvensional. Berkenaan dengan peraturan-peraturan Bank Indonesia di atas, relevan dikemukakan dalam hal ini mengenai tugas Bank Indonesia dalam menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter berdasarkan prinsip syariah, sebagaimana disebutkan dalam Undang-undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (UUBI). Pasal 10 ayat (2) UUBI memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk menggunakan cara-cara berdasarkan prinsip syariah dalam melakukan pengendalian moneter. Kemudian Pasal 11 ayat (1) UUBI juga memberikan kewenangan kepada Bank Indonesia untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek suatu Bank dengan memberikan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah untuk jangka waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari. Dipandang dari sudut lain, dengan demikian UUBI sebagai undang-undang bank sentral yang baru secara hukum positif telah mengakui dan memberikan tempat bagi penerapan prinsip-prinsip syariah bagi Bank Indonesia dalam melakukan tugas dan kewenangannya. Disamping peraturan-peraturan tersebut di atas, terhadap jenis kegiatan, produk dan jasa keuangan syariah, Bank Syariah juga wajib mengikuti semua fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN), yakni satu-satunya dewan yang mempunyai kewenangan mengeluarkan fatwa atas jenis-jenis kegiatan, produk dan jasa keuangan syariah, serta mengawasi penerapan fatwa dimaksud oleh lembaga-lembaga keuangan syariah di Indonesia. Sampai saat ini DSN telah memfatwakan sebanyak 43 fatwa, melingkupi fatwa mengenai produk perbankan 16

syariah, lembaga keuangan non-bank seperti asuransi, pasar modal, gadai serta berbagai fatwa penunjang transaksi dan akad lembaga keuangan syariah.

D. Dasar Hukum Administratif Salah Satu Kegiatan Perbankan Syariah di Indonesia Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayan Mudharabah (Qiradh) Menimbang: a. bahwa dalam rangka mengembangkan dan meningkatkan dana lembaga keuangan syariah (LKS), pihak LKS dapat menyalurkan dananya kepada pihak lain dengan cara mudharabah, yaitu akad kerjasama suatu usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (malik, shahib al-mal, LKS) menyediakan seluruh modal, sedang pihak kedua (‘amil, mudharib, nasabah) bertindak selaku pengelola, dan keuntugan usaha dibagi diantara mereka sesuai kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak; b. bahwa agar cara tersebut dilakukan sesuai dengan syariat Islam, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang mudharabah untuk dijadikan pedoman oleh LKS Mengingat: 1. Firman Allah QS. An-Nisa [4]: 29 ‫راض‬G‫ارة عن ت‬G‫ون تخ‬G‫ل اال ان تك‬G‫ا ط‬G‫ا لب‬G‫والكم بينكم ب‬G‫او ا م‬G‫يا ايها الذ ين امنوا التا ك‬ ‫منكم‬ “Hai orang yang beriman! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan sukarela di antaramu…” 2. Firman Allah QS. Al- Maidah [5]: 1 ‫ياايها الذين امنو اوفوا بالعقود‬... “ hai orang yang beriman! Penuhilah akad-akad itu….” 3. Firman Allah QS. Al-Baqarah [2]: 283 “…Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya…”.

17

4. Hadis Nabi riwayat Thabrani: “Abbas bin Abdul Muthallib jika menyerahkan harta sebagai mudharabah, ia mensyaratkan kepada mudharib-nya agar tidak mengarungi lautan dan tidak menuruni lembah, serta tidak membeli hewan ternak. Jika persyaratan itu dilanggar, ia (mudharib) harus menanggung resikonya. Ketika persyaratan yan ditetapkan Abbas itu didengar Rasulullah, beliau membenarkannya.” (HR. Thabrani dari Ibnu Abbas). 5. Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dari Shuhaib: “Nabi bersabda, ‘Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan jewawut untuk keperluan rumah tangga, bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu Majah dari Shuhaib). 6. Hadis Nabi riwayat Tirmizi dari ‘Amr bin ‘Auf: “Perdamaian dapat dilakukan di antara kaum muslimin kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram; dan kaum muslimin terikat dengan

syarat-syarat

mereka

kecuali

syarat

yang

mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” 7. Hadis Nabi: “Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain” (HR, Ibnu Majah, Daraquthni, dan yang lain dari Abu Sa’id al-Khudri). 8. Ijma. Diriwayatkan, sejumlah sahabat menyerahka (kepada orang, mudharib) harta anak yatim sebagai mudharabah dan tak ada seorang pun mengingkari mereka. Karenanya, hal itu dipandang sebagai ijma’ (Wahbah Zuhaily, al-Fiqh alIslami wa Adillatuhu, 1989, 4/838).

18

9. Qiyas. Transaksi mudharabah diqiyaskan kepada transaksi musaqah. 10. Kaidah fiqh: “ Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang mengaharamkannya.” Memperhatikan: Pendapat peserta Rapat Pleno Dewan Syariah Nasional pada hari Selasa, tanggal 29 Dzulhijjah 1420 H./ 4 April 2000

MEMUTUSKAN Menetapkan:

FATWA

TENTANG

PEMBIAYAAN

MUDHARABAH

(QIRADH) Pertama: Ketentuan Pembiayaan: 1. Pembiayaan Mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh LKS kepada pihak lain untuk suatu usaha yang prodiktif. 2. Dalam pembiayaan ini LKS sebagai shahibul maal (pemilik dana) membiayai 100% kebutuhan suatu proyek (usaha), sedangkan pengusaha (nasabah) bertindak sebagai Mudharib atau pengelola usaha. 3. Jangka waktu usaha, tatacara pengembalian dana, dan pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (LKS dengan pengusaha). 4. Mudharib boleh melakukan berbagai macam ushaa yang telah disepakati bersama dan sesuai dengan syariah; dan LKS tidak ikut serta dalam managemen perusahaan atau proyek tetapi mempunyai hak untuk melakukan pembinaan dan pengawasan. 5. Jumlah dana pembiayaan harus dinyatakan dengan jelas dalam bentuk tunai dan bukan piutang. 6. LKS sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib (nasabah) melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian. 19

7. Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan dari mudharib atau pihak ketiga. Jaminan ini hanya dapat dicairkan apabia mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad. 8. Kriteria pengusaha, prosedur pembiayaan, dan mekanisme pembagian keuntungan diatur oleh LKS dengan memperhatikan fatwa DSN. 9. Biaya operasional dibebankan kepada mudhrib. 10. Dalam hal penyandang dana (LKS) tidak melakukan kewajiban atau melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan, mudharib berhak mendapat ganti rugi atau biaya yang telah dikeluarkan. Kedua: Rukun dan Syarat Pembiayaan: 1. Penyedia dana (shahibul maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap hukum. 2. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh pihal untuk menunjukkan kehendak

mereka

dalam

mengadakan

kontrak

(akad),

dengan

memperthatikan hal-hal berikut: a. Penawaran dan penerimaan harus sevara ekplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad) b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern. 3. Modal ialah sejumlah uang dan/ atau asset yang diberikan oleh penyedia dana kepada mudharib utnuk tujuan usaha dengan syarat sebagai berikut: a. Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya b. Modal dapat berbentuk uang atau barang yang dinilai. Jika modal diberikan dalam bentik asset, maka asset tersebut harus dinilai pada waktu akad. c. Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada mudharib, baik secara bertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam akad.

20

4. Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. Syarat keuntungan berikut ini harus dipenuhi: a. Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan hanya untuk satu pihak b. Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan pada waktu kontrak disepakati dan harus dalam bentuk prosentasi (nisbah) dari keuntungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan. c. Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan. 5. Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai perimbangan (muqabil)

modal

yang

disepakati

oleh

penyedia

dana,

harus

memperhatikan hal-hal berikut: a. Kegiatan ushaa adalah hak eksklusif mudharib, tanpa campur tangan penyedia

dana,

tetapi

ia

mempunyai

hak

untuk

melakukan

pengawasan. b. Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa yang dapat menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan. c. Pengelola tidak boleh menyalahi hukum syariah islam dalam tindakannya yang berhubungan dengan mudharabah, dan harus mematuhi kebiasaan yang berlaku dalah aktivitas itu. Ketiga: Beberapa Ketentuan Hukum Pembiayaan: 1. Mudharabah tidak boleh dibatasi pada periode tertentu 2. Kontrak tidak boleh dikaitkan (mu’allaq) dengan sebuah kejadian dimasa depan yang belum tentu terjadi 3. Pada dasarnya, dalam mudharabah tidak ada ganti rugi, karena pada dasarnya akad ini bersifat amanah (yad al-amanah), kecuali akibat dari kesalahan disengaja, kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan

21

4. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah atau KHES merupakan suatu produk peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia sebagai salah satu pedoman dalam kegiatan ekonomi syariah yang termasuk didalamnya industri keuangan syariah. Dasar hukum aturan ini adalah Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 2 Tahun 2008, adapun KHES ini terdiri dari 4 buku, 43 bab, serta 796 pasal. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yang mengatur mengenai akad mudharabah terdapat di dalam buku II bab VII tentang mudharabah. Ketentuan mudharabah yang diatur dalam KHES ini terdiri dari 2 bagian dan 23 Pasal. Definisi mengenai mudharabah dalam Buku II Pasal 20 ayat (4) berbunyi: “Mudharabah adalah kerjasama antara pemilik dana atau penanam modal dengan pengelola modal untuk melakukan usaha tertentu dengan membagikan keuntungan berdasarkan nisbah”. Pada Bab VII bagian pertama pasal 187 menjelaskan mengenai syarat mudharabah yaitu 1) Pemilik modal wajib menyerahkan dana atau barang yang berharga kepada pihak lain untuk melakukan kerjasama dalam usaha, 2) Penerima modal harus melaksanakan usaha dalam bidang yang telah disepakati, 3) Kesepakatan bidang usaha yang akan dijalankan ditetapkan dalam akad. Pada ayat selanjutnya dijelaskan mengenai rukun mudharabah yang terdiri dari 1) Shahibul maal atau pemilik modal, 2) Mudharib pengelola modal dan usaha, 3) Akad. Pada pasal 189 dijelaskan mengenai jenis akad mudharabah yang terdiri dari dua jenis yaitu: 1) Mutlak atau skema pembiayaan yang tidak dibatasi pada jenis usaha, waktu dan tempat, 2) Muqayyad atau skema pembiayaan yang dibatasi pada jenis usaha, tempat dan waktunya. Lalu ayat selanjutnya mengatakan bahwa pihak yang melakukan syirkah (kerjasama) harus memiliki keterampilan yangdiperlukan dalam usaha.

22

Pada pasal 191 menjelaskan mengenai ketentuan modal yaitu: 1) Modal harus berupa barang, uang dan atau barang yang berharga, 2) Modal tersebut harus diserahkan kepada mudharib atau kepada pihak yang mengelola usaha, 3) Jumlah modal dalam akad mudharabah harus dinyatakan dengan pasti. Pasal 192 mengatakan bahwa pembagian keuntungan hasil usaha antara shahibul maal dan mudharib harus dinyatakan secara jelas dan pasti. Kemudian pada pasal terakhir bagian pertama mengatakan bahwa akad mudharabah yang dilaksanakan tanpa memenuhi syarat akan menyebabkan akad tersebut batal. Bagian kedua bab ini membahas mengenai ketentuan akad mudharabah. Dijelaskan ketentuan mudharabah pada pasal 194 yaitu: 1) Status benda yang diberikan oleh shahibul maal kepada mudharib adalah modal, 2) Mudharib berkedudukan sebagai wakil dari shahibul maal dalam menggunakan modal yang diterima, 3) Keuntungan yang dihasilkan menjadi milik bersama. Pada pasal selanjutnya dijelaskan mengenai wewenang mudharib dalam mengelola usaha yaitu: 1) Mudharib berhak untuk membeli barang dengan maksud menjualnya kembali untuk mendapatkan keuntungan, 2) Mudharib berhak menjual barang dengan harga tinggi atau rendah, baik secara tunai atau cicilan, 3) Mudharib berhak menerima pembayaran dari harga barang dengan pengalihan piutang, 4) Mudharib tidak boleh menjual barang dalam jangka waktu yang tidak biasa dilakukan oleh para pedagang. Kemudian pada pasal 196 mengatakan bahwa mudharib tidak boleh menghibahkan, menyedekahkan, dan atau meminjamkan harta kerjasama, kecuali bila telah mendapat izin dari shahibul maal. Selanjutnya dijelaskan bahwa mudharib boleh memberi kuasa kepada pihak lain sebagai wakilnya untuk membeli dan menjual barang yang telah disepakati

dalam

akad

mudharabah,

kemudian

mudharib

berhak

mendepositokan dan menginvestasikan harta kerjasama berdasarkan sistem syariah, selanjutnya mudharib berhak menghubungi pihak lain untuk melakukan jual beli barang sesuai dengan kesepakatan di dalam akad, hal ini dijelaskan dalam pasal 197. Kemudian pada pasal 198 dan 199 dijelaskan mengenai hak mudharib dan shahibul maal terkait keuntungan atau imbalan sebagai berikut: 1) Mudharib berhak mendapatkan keuntungan sebagai imbalan 23

atas pekerjaan yang telah dilakukan sesuai kesepakatan di dalam akad, 2) Mudharib tidak berhak mendapatkan keuntungan sebagai imbalan bila usaha yang dijalankan mengalami kerugian. Pasal 199 menjelaskan mengenai hak shahibul maal terkait keuntungan sebagai berikut: 1) Pemilik modal berhak atas keuntungan berdasarkan modalnya yang telah disepakati dalam akad, 2) Pemilik modal tidak berhak mendapatkan keuntungan jika usaha yang dikelola oleh mudharib mengalami kerugian. Pada pasal 200 sampai pasal 202 dijelaskan secara berurutan mengenai ketentuan penyertaan kekayaan atau modal mudharib dalam akad mudharabah. Mudharib tidak boleh menyertakan kekayaan atau modalnya dengan harta kerjasama dalam akad mudharabah, kecuali bila hal tersebut sudah menjadi sebuah kebiasaan di kalangan pelaku usaha. Kemudian pada pasal 201 dijelaskan bahwa mudharib boleh menyertakan kekayaan atau modalnya jika telah mendapat izin dari shahibul maal dalam melakukan usaha-usaha khusus tertentu. Pasal 202 dijelaskan pembagian keuntungan hasil usaha yang menggunakan modal campuran (modal shahibul maal dan mudharib) yang dibagi secara proporsional atau atas dasar kesepakatan semua pihak. Terkait dengan perjalanan yang dilakukan mudharib dalam menjalankan usaha, dijelaskan dalam pasal 203, bahwa seluruh biaya perjalanan yang dilakukan oleh mudharib dalam rangka menjalankan usaha dibebankan pada modal shahibul maal. Selanjutnya pada pasal 204 menekankan bahwa mudharib wajib menjaga dan menjalankan ketentuan yang ditetapkan oleh shahibul maal dalam akad. Pada pasal 205 dijelaskan mengenai tanggung jawab mudharib atas risiko kerugian dan atau kerusakan yang diakibatkan oleh usahanya yang melampaui batas yang di izinkan oleh shahibul maal dan atau tidak sejalan dengan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam akad. Kemudian pada pasal 206 mengatakan bahwa akad mudharabah selesai apabila waktu kerjasama yang disepakati dalam akad telah berakhir. Mengenai permberhentian kerjasama bagi pihak yang berakad dalam mudharabah dijelaskan di dalam pasal 207 sebagai berikut: 1) Shahibul maal 24

dapat memberhentikan atau memecat pihak yang melanggar kesepakatan dalam akad mudharabah, 2) Pemberhentian kerjasama tersebut diberitahukan oleh shahibul maal kepada mudharib, 3) Mudharib wajib mengembalikan modal dan keuntungan kepada shahibul maal yang menjadi hak shahibul maal dalam kerjasama mudharabah, 4) Perselisihan antara shahibul maal dengan mudharib dapat diselesaikan dengan perdamaian dan atau melalui pengadilan. Pasal 209 menjelaskan bahwa akad mudharabah dapat berakhir dengan sendirinya jika shahibul maal atau mudharib meninggal dunia, atau tidak memiliki kompetensi dalam melakukan perbuatan hukum. Kemudian pada pasal 210 yang merupakan pasal terakhirmdalam bab VII mengenai mudharabah, dijelaskan mengenai hal-hal yang di atur bila mudharib meninggal dunia sebagai berikut: 1) Shahibul maal berhak melakukan penagihan terhadap pihak-pihak lain berdasarkan bukti dari mudharib yang telah meninggal dunia, 2) Kerugian yang diakibatkan oleh meninggalnya mudharib dibebankan kepada shahibul maal. E. Dasar-Dasar Hukum Administratif Perbankan Syariah di Indonesia Pengertian bank, sebagaimana yang telah ditentukan dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah jo. UndangUndang N0. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 1998, adalah badan usaha yang menghimpun

dana

dari

masyarakat

dalam

bentuk

simpanan

dan

menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Sedangkan pengertian Bank Syariah menurut ketentuan Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Perbankan Syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah. Prinsip Syariah itu sendiri menurut Pasal 1 angka 12 Undang-Undang Perbankan Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah. Selain pengertian formal yang ada dalam UU Perbankan Syariah, ada juga yang memberikan pengertian bahwa Bank Syariah atau bank Islam, yaitu:

25

Bank yang beropersi sesuai dengan prinsip-prinsip syariah Islam, yakni bank yang beropersinya mengikuti ketentuan-ketentuan syariah Islam, khususnya yang menyangkut tata cara bermuamalat secara Islam. Dalam tata cara bermuamalat itu dijauhi praktek-praktek yang dikhawatirkan mengandung unsur-unsur riba untuk diisi dengan kegiatan-kegiatan investasi atas dasar bagi hasildan pembiayaan perdagangan (Karnaen Perwataatmadja & Muhammad Syafi’I Antonio, 1992 : 1- 2); Lembaga

perbankan

yang

menggunakan

sistem

dan

operasinya

berdasarkan syariah Islam. Ini berarti operasi perbankan mengikuti tata cara berusaha maupun perjanjian berusaha berdasarkan Al-Qur’an dan Sunah Rasul Muhammad saw. Dan bukan tata cara dan perjanjian berusaha yang bukan dituntunkan oleh Al-Qur’an dan Sunah Rasul Muhammad saw. Dalam operasinya bank Islam menggunakan sistem bagi hasil dan imbalan lainnya yang sesuai dengan syariah Islam, tidak menggunakan bunga (M. Aziz, 1992 : 1). Menurut ensiklopedi Islam, Bank Islam (atau Bank Syariah) adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip-prinsip Syariat Islam (Warkum Sumitro, 2002 : 5). Akan tetapi, pengertian tersebut di atas sebenarnya kurang tepat, karena masih menggunakan istilah yang selama ini dikenal dalam bank konvensional, yaitu penggunaan istilah ’kredit’. Pemakaian istilah tersebut dapat mengaburkan makna yang seharusnya. Kalau merujuk pada Undang-Undang Perbankan, kredit berarti penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga (Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Perbankan). Berdasar ketentuan Pasal 1 angka 11 Undang-Undang Perbankan dapat diketahui bahwa dalam kredit akan selalu melekat unsur bunga, padahal pada Bank Syariah, pengambilan bunga merupakan bagian dari perbuatan riba.

26

Sementara riba itu sendiri termasuk sebagai perbuatan yang diharamkan. Oleh karena itu, sebaiknya dalam Bank Syariah menghindari penggunaan istilahistilah yang sudah dipakai oleh bank konvensional, sehingga akan menghindari kesan bahwa Bank Syariah adalah bank konvensional yang berganti sampul. Pada dasarnya bank, baik bank konvensional maupun Bank Syariah adalah suatu lembaga intermediasi (perantara) keuangan (financial intermediary). Fungsi utama intermediasi keuangan adalah transformasi aset, melaksanakan pembayaran sesuai jadwal, agen perantara serta transformasi risiko. Fungsi penting lain dari intermediasi adalah fungsi administrasi sistem akuntansi dan pembayaran, misalnya, transfer cek, transfer dana elektronik, penyelesaian utang dan pelunasan). Biasanya, intermediasi keuangan juga memerantarai peminjam dan dan pemberi pinjaman, dan memfasilitasi permintaan dan penawaran aset dan liabilitas non-tangible, seperti kolateral, jaminan, saran finansial dan jasa penitipan (Zamir Iqbal & Abbas Mirakhor, alih bahasa oleh A.K. Anwar, 2008 : 126). Pada Bank Syariah, bank tidak hanya semata-mata berperan sebagai lembaga intermediator, tetapi Bank Syariah berperan juga sebagai pelaku bisnis secara riil. Misalnya, dalam hal menyalurkan dana, Bank Syariah tidak sematamata hanya menyalurkan dana yang di kemudian hari akan meminta kembali dananya tersebut dengan tambahan tertentu. Dalam hal ini, Bank Syariah juga melakukan kegiatan bisnis. Bank Syariah dalam melakukan penyaluran dana bukan sebagai pihak yang meminjamkan dana, tetapi lebih sebagai pihak investor. Bank Syariah bertindak sebagai pihak yang mempunyai dana kemudian menanamkan dana tersebut ke dalam sebuah proyek atau usaha, yang nantinya jika proyek atau usaha tersebut memperoleh keuntungan, maka Bank Syariah akan mendapatkan pembagian dari keuntungan tersebut. Berdasarkan hal di atas, keberadaan lembaga keuangan perbankan, jika dihubungkan dengan ketentuan-ketentuan hukum Islam, lebih mengedepankan pada konsep usahanya serta teknik operasional usahanya yang menyangkut jenis-jenis perjanjian yang dipergunakan. Hal ini berbeda dengan bank konvensional, yang lebih mengedepankan fungsi dari bank itu sendiri (Gemala Dewi, 2004 : 53).

27

Dengan Persetujuan Bersama DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN: Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERBANKAN SYARIAH.

ASAS, TUJUAN, DAN FUNGSI  

 

Pasal  2 Perbankan Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya

 

  berasaskan Prinsip Syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian.

 

 

Pasal 3 Perbankan Syariah bertujuan menunjang pelaksanaan

 

  pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat.

 

 

 

 

Pasal 4 (1) Bank Syariah dan UUS wajib menjalankan fungsi menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. (2) Bank Syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi sosial dalam

 

 

bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola zakat.

28

(3) Bank Syariah dan UUS dapat menghimpun dana, sosial yang  

berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada

 

pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif). (4) Pelaksanaan fungsi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

 

 

BAB III  

PERIZINAN, BENTUK BADAN HUKUM, ANGGARAN

 

DASAR, DAN KEPEMILIKAN Bagian Kesatu

 

 

 

 

 

  (1) Setiap pihak yang akan melakukan kegiatan usaha Bank

Perizinan Pasal 5

Syariah atau UUS wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Syariah atau UUS dari Bank Indonesia. (2) Untuk memperoleh izin usaha Bank Syariah harus memenuhi

 

 

 

   

a. susunan organisasi dan kepengurusan;

 

   

b. permodalan;

 

   

c. kepemilikan;

 

   

d. keahlian di bidang Perbankan Syariah; dan

 

   

e. kelayakan usaha.

 

 

 

  (4) Bank Syariah yang telah mendapat izin usaha sebagaimana

persyaratan sekurang-kurangnya tentang:

(3) Persyaratan untuk memperoleh izin usaha UUS diatur lebih lanjut dengan Peraturan Bank Indonesia.

29

dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan dengan jelas kata "syariah" pada penulisan nama banknya. (5) Bank Umum Konvensional yang telah mendapat izin usaha  

 

UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan dengan jelas frase "Unit Usaha Syariah" setelah nama Bank pada kantor UUS yang bersangkutan.

 

 

 

 

 

 

(6) Bank Konvensional hanya dapat mengubah kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dengan izin Bank Indonesia. (7) Bank Umum Syariah tidak dapat dikonversi menjadi Bank Umum Konvensional. (8) Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tidak dapat dikonversi menjadi Bank Perkreditan Rakyat. (9) Bank Umum Konvensional yang akan melakukan kegiatan

 

 

usaha berdasarkan Prinsip Syariah wajib membuka UUS di kantor pusat Bank dengan izin Bank Indonesia.

 

 

 

 

Pasal 6 (1) Pembukaan Kantor Cabang Bank Syariah dan UUS hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia. (2) Pembukaan Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan jenis-jenis

 

 

kantor lainnya di luar negeri oleh Bank Umum Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS hanya dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia. (3) Pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang, wajib dilaporkan

 

 

dan hanya dapat dilakukan setelah mendapat surat penegasan dari Bank Indonesia.

 

  (4) Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tidak diizinkan untuk membuka Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan jenis kantor lainnya di luar negeri.

30

Bagian Kedua

 

 

 

 

 

  Bentuk badan hukum Bank Syariah adalah perseroan terbatas.

 

 

 

 

Bentuk Badan Hukum Pasal 7

Bagian Ketiga Anggaran Dasar Pasal 8 Di dalam anggaran dasar Bank Syariah selain memenuhi

 

  persyaratan anggaran dasar sebagaimana diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan memuat pula ketentuan:

 

 

a. pengangkatan anggota direksi dan komisaris harus mendapatkan persetujuan Bank Indonesia; b. Rapat Umum Pemegang Sahara Bank Syariah harus menetapkan tugas manajemen, remunerasi komisaris dan

 

 

direksi, laporan pertanggungjawaban tahunan, penunjukkan dan biaya jasa akuntan publik, penggunaan laba, dan hal-hal lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia.

 

Bagian Keempat

 

Pendirian dan Kepemilikan Bank Syariah Pasal 9 (1) Bank Umum Syariah hanya dapat didirikan dan/atau dimiliki oleh: a. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia; b. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia

 

   

dengan warga negara asing dan/atau badan hukum asing secara kemitraan; atau c. pemerintah daerah.

(2) Bank Pembiayaan Rakyat Syariah hanya dapat didirikan

31

dan/atau dimiliki oleh: a. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia yang seluruh pemiliknya warga negara Indonesia; b. pemerintah daerah; atau c. dua pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b. (3) Maksimum kepemilikan Bank Umum Syariah oleh warga negara asing dan/atau badan hukum asing diatur dalam Peraturan Bank Indonesia. Pasal 10 Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan, bentuk badan hukum, anggaran dasar, serta pendirian dan kepemilikan Bank Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan Pasal 9 diatur dengan Peraturan Bank Indonesia. Pasal 11 Besarnya modal disetor minimum untuk mendirikan Bank Syariah ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia. Pasal 12 Sahara Bank Syariah hanya dapat diterbitkan dalam bentuk saham atas nama. Pasal 13 Bank Umum Syariah dapat melakukan penawaran umum efek melalui pasar modal sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. Pasal 14 (1) Warga negara Indonesia, warga negara asing, badan hukum Indonesia, atau badan hukum asing dapat memiliki atau membeh saham Bank Umum Syariah secara langsung atau melalui bursa efek. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan 32

sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 15 Perubahan kepemilikan Bank Syariah wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 14. Pasal 16 (1) UUS dapat menjadi Bank Umum Syariah tersendiri setelah mendapat izin dari Bank Indonesia. (2) Izin perubahan UUS menjadi Bank Umum Syariah sebagaimana dimaksud pada  ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia. Pasal 17 (1) Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Bank Syariah wajib terlebih dahulu mendapat izin dari Bank Indonesia. (2) Dalam hal terjadi Penggabungan atau Peleburan Bank Syariah dengan Bank lainnya, Bank hasil Penggabungan atau Peleburan tersebut wajib menjadi Bank Syariah. (3) Ketentuan mengenai Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Bank Syariah dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. F. Metode Pengawasan Perbankan Syariah di Indonesia a. Pengawasan Umum Secara umum pada dasarnya pembinaan dan pengawasan pada perbankan syariah sama dengan pembinaan dan pengawasan pada bank konvensional, tetapi terdapat perbedaan dalam beberapa hal yakni: 1) Organisasi Dalam bank islam terdapat perangkat yang disebut Dewan Syariah. Dewan Syariah tersebut harus terpisah dari Dewan Komisaris dan Dewan Direksi. Bank Indonesia tidak ikut campur terhadap fatwa Dewan Syariah sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan perbankan yang berlaku dan asas-asas pengembangan perbankan yang

33

sehat. Dapat ditambahkan bahwa pengawasan terhadap kemurnian Operasi Bank Bagi hasil sepenuhnya menjadi tanggung jawab Dewan Syariah beserta pemilik dan pengurus bank msing-masing. Dalam hal ini Bank Indonesia sebagai Pembina dan pengawas bank hanya menilai apakah kegiatannya telah sesuai dengan prinsip-prinsip usaha bank yang sehat, termaksud perlindungan terhadap nasabah. 2) Perizinan Adanya persyaratan tambahan bagi pendirian bank Islam yaitu, dalam Anggaran Dasar dan Rencana Kerja bank Islam harus dinyatakan dengan jelas mengenai rencana kegiatan usaha yang semata-mata berdasakan prinsip bagi hasil, jual beli dan adanya Dewan Syariah. 3) Kualitas Kulitas aktiva produktif dan pembentukan cadangan penilaian terhadap kualitas aktiva produktif bank, erat kaitannya dengan penggolongan kolektibilitas aktiva produktif yang bersangkutan ke dalam kriteria lancer, kurang lancer, diragukan dan macet. Penetapan kriteria tersebut bagi bank konvensional antara lain didasarkan atas pembayaran bunga oleh nasabah, tetapi bagi bank islam yang beroperasi atas prinsip bagi hasil dan jual beli (tanpa bunga), maka ketentuan kolektibilitas yang berlaku bagi bank konvensional perlu dilakuakan penyesuaian khususnya mengenai penilaian kolektibilitas pemberian fasilitas pembiayaan. 4) Pelaporan Pelaporan sesuai dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1992 antara lain ditetapkan bahwa setiap bank wajib menyampaikan kepada Bank Indonesia neraca dan perhitungan laba/rugi tahunan dan penjelasannya, serta laporan-laporan berkala lainnya dalam waktu dan bentuk yang ditetapkan Bank Indonesia. Agar bank Islam dapat menyampaikan laporan-laporan tersebut sebagaimana bank konvensional, maka itemitem dalam laporan Bank Islam perlu disesuaikan, namun sandisandinya tidak diubah.

34

b. Pengawan Khusus Pengawasan umum terhadap bank Islam oleh Bank Indonesia diperlakukan sama dengan bank konvensional. Namun, pengawasan khususnya terhadap bank Islam dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS) karena dari segi syariah compliance hingga saat ini belum ada satu peraturan yang mengatur kewenangan dan tugas BI. Memang undang-undang perbankan secara umum mengatur norma maupun code of conduct bank yang mungkin dipahami sebagai implementasi prinsip syariah, yaitu antara lain kewajiban bank Islam untuk menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah dalam memberikan pembiayaan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Juga kewajiban bank islam untuk mempunyai keyakinan dan melakukan analisis yang mendalam berdasarkan iktikad baik, kemampuan, kesanggupan nasabah debitor dalam hal pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Ketentuan tersebut tidak memberikan arahan seberapa jauh BI dapat menilai dan bertindak dalam menentukan apakah produk jasa ataupun praktik bank islam, telah sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. maka diadakanlah “Dewan Pengawas Syariah”. Dan Hingga saat ini kewenangan tersebut diberikan kepada DPS yang ada dalam bank-bank tersebut. c. Dewan Pengawas Syariah (DPS) Bank syariah yang berbentuk perseroan terbatas, organisasinya mengacu pada ketentuan Undang-undang No. 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Hal tersebut berarti bahwa dalam suatu bank syariah kekuasaan tertinggi ada pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Pengurusan dilaksanakan oleh Direksi, dan pengawasan terhadap dewan Direksi dilaksanakan oleh Komisaris. Berdasarkan Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 32 /34/KEP/DIR tanggal 12 Mei 1999 tentang Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah. Dewan Komisaris sekurang-kurangnya berjumlah dua orang dan masing-masing wajib memiliki pengalaman dan/atau pengetahuan di bidang perbankan. Perbedaannya dengan perseroan terbatas lainnya adalah

35

bahwa dalam struktur organisasi bank syariah wajib ada sebuah lembaga yang disebut Dewan Pengawas Syariah (DPS). Pedoman Dasar DSN (bab II ayat 5) mengemukakan “Dewan Pengawas Syariah adalah Badan yang ada di lembaga keuangan syariah yang bertugas mengawasi pelaksanaan keputusan Dewan Syariah Nasional di lembaga keuangan syariah”. Berdasarkan keputusan DSN No. 3 Tahun 2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Penetapan Anggaran DPS pada lembaga keuangan syariah, disebutkan tugas, fungsi dan kewajiaban DPS, yaitu sebagai berikut: a. Tugas utama DPS adalah mengawasi kegiatan usaha Lembaga Keuangan Syariah (LKS) agar sesuai dengan ketentuan dan prinsip syariah yang telah difatwakan DSN. b. Fungsi utama DPS adalah: 1)

Sebagai penasihat dan pemberi saran kepada direksi,

pimpinan unit usaha syariah dan pimpinan kantor cabang syariah mengenai hal-hal yang terkait dengan aspek syariah, dan 2)

Sebagai

mediator

antara

LKS

dan

DSN

dalam

mengkomunikasikan usul dan saran pengembangan produk dan jasa dari LKS yang memerlukan kajian fatwa DSN.

c. Kewajiban DPS adalah: 1)

Mengikuti fatwa-fatwa DSN

2)

Mengawasi kegiatan usaha LKS agar tidak menyimpang

dari ketentuan dan prinsip syariah yang telah difatwakan DSN. 3)

Melaporkan kegiatan usaha dan perkembangan lembaga

keuangan yang diawasinya secara rutin kepada DSN, sekurangkurangnya dua kali dalam setahun. Sedangkan menurut Pasal 27 ayat (1) PBI No. 6/24/PBI/2004 tugas, wewenang dan tanggung jawab DPS adalah:

36

a. Memastikan dan mengawasi kesesuaian kegiatan operasional Bank terhadap fatwa yang dikeluarkan oleh DSN, b. Menilai aspek syariah terhadap pedoman operasional dan produk yang dikeluarkan Bank, c. Memberikan

opini

dari

aspek

syariah

terhadap

pelaksanaan

operasioanal bank secara keseluruhan dalam laporan publikasi bank, d. Mengkaji produk dan jasa baru yang belum ada fatwa kepada DSN, dan e. Menyampaikan laporan hasil pengawasan syariah sekurang-kurangnya setiap 6 bulan kepada Direksi, Komisaris, DSN dan Bank Indonesia. Pelaksanaan produk perbankan Islam dituangkan dalam bentuk akad. Semua akad harus diperiksa DPS terlebih dahulu, agar tidak menyimpang dari ketentuan syariah. Apabila ada akad yang belum difatwakan, DPS harus meminta fatwa terlebih dahulu kepada DSN. Sebelum ada persetujuan dari DSN, akad tersebut belum dapat dikeluarkan. Oleh Karena itu, harus ada batasan waktu bagi DSN untuk memutuskan produk tersebut sesuai atau tidak menurut syariah demi kelancaran dan perkembangan perbankan Islam yang pesat. Fungsi pengawasan DPS berlangsung sejak produk tersebut akan berjalan hingga akad tersebut selesai. Ini berguna untuk menghindari penyimpangan yang sering terjadi pada saat akad tersebut dibuat, baik dari para pihak maupun dari pelaksanaan isi akad. Pemberdayaan dan pengembangan system pengawasan dan audit kepatuhan syariah dipelopori oleh Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions  (AAOIFI). Dalam standar DPS yang diterbitkan oleh AAOIFI ditentukan sebagai berikut: 1) Setiap pelaporan tahunan bank islam harus mencantumkan pendapat DPS bank yang menjelaskan kegiatan usaha bank sesuai dengan prinsip-prinsip syariah (opini syariah) 2) Adanya proses pengawasan dan audit yang aktif dari pihak DPS terhadap seluruh kegiatan usaha bank.

37

BAB III PENUTUP

Setelah penulis mengerjakan dan memahami tentang perbankan syariah dan dasar-dasar hukum administratifnya, dapat disimpulkan bahwa Allah SWT telah menetapkan sistem perbankan atau sistem berniaga atau bertransaksi dengan seadil-adilnya dengan tidak memihak satu sama lain, kemudian ini dijadikan sebagai landasan ataupun kiblat yang seharusnya kita jadikan pedoman dalam melakukan transaksi. Sedangkan banyak dikalangan masyarakat saat ini yang justru menjauhi itu semua dan malah mendekatkan dengan kemunkaran yaitu tetap bertahan dengan sistem perbankan konvensional yang jelas-jelas 38

menggunakan sistem bunga atau riba yang lambat laun akan merugikan nasabahnya. Semoga dengan adanya makalah ini pembaca bisa mengetahui apa saja dasar-dasar perbankan syariah dan alasan mengapa kita harus mulai menydari dan berpindah ke perbankan syariah.

DAFTAR PUSTAKA Warkum Sumitro. 1996. Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga yang terkait. Jakarta : PT.Raja Grafindo https://dosenekonomi.com/ilmu-ekonomi/ekonomi-syariah/dasar-hukum-banksyariah, (online), diakses pada tanggal 16 november 2019. Sutan Remy Sjahdeini, SH, Prof., Dr., Perbankan Islam dan Kedudukannya Dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia, Grafiti, Jakarta, 1999, hal. 4. Muhammad Syafi’i Antonio, MSc., Perkembangan Lembaga Keuangan Islam (artikel dalam buku “Arbitrase Islam Di Indonesia”), BAMUI dan BMI, Jakarta, 1994, hal. 126. Muhammad Syafi’i Antonio, MSc., Bank Syariah Bagi Bankir & Praktisi Keuangan, Bank Indonesia dan Tazkia Institute, Jakarta, 1999, hal. 58. 39

Abdullah, Taufik (1979), “Tesis Weber dan Islam di Indonesia”, dalam Agama, Etos Kerja dan Perkembangan Ekonomi, Taufik Abdullah (editor), Jakarta: LP3ES. https://www.hestanto.web.id/dasar-hukum-perbankan-syariah/ Di Akses pada tanggal 18/11/2019 Pukul 20:45 wib Malang. Sumitro, Warkum. Asas-asas Perbankan Islam dan Lembaga-lembaga Terkait. ed. 1. Cet. 3. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002. Amin, Ma’ruf. Prospek Cerah Perbankan Syariah. Cet.1. Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Sosial, 2007. Dewan Syariah Nasional. 2000. Fatwa Dewan Syariah Nasional tentang Pembiayaan Mudharabah (Qiradh). Jakarta Pusat (mui.or.id)

40

Related Documents


More Documents from "Dia Orbitha Krisfin"

Case Ca Serviks
January 2021 1