Malaria Knowlesi Ini Kawan

  • Uploaded by: triditron
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Malaria Knowlesi Ini Kawan as PDF for free.

More details

  • Words: 2,823
  • Pages: 11
Loading documents preview...
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Malaria 2.1.1 Definisi Malaria merupakan suatu penyakit berpotensial fatal yang disebabkan oleh infeksi parasit Plasmodium.

Plasmodium ini ditularkan ke manusia melalui

gigitan nyamuk Anopheles sp. betina yang telah terinfeksi dengan parasit tersebut (Parmet S. et al, 2007). Sedangkan, Finch, R.G. et al (2005) mengatakan bahwa malaria merupakan suatu infeksi yang menyerang pada sistem darah manusia. Berdasarkan Chew S.K. (1992), terdapat empat spesies plasmodium yang bisa menginfeksi manusia yaitu, Plasmodium vivax, Plasmodium ovale, Plasmodium malariae, dan Plasmodium falciparum.

Walaupun begitu, studi terbaru telah

menemukan suatu spesies Plasmodium baru yang bisa menginfeksi manusia. Spesies Plasmodium yang kelima ini dikenali sebagai Plasmodium knowlesi (Marano & Freedman, 2009). 2.1.2 Epidemiologi Di daerah mana saja yang terdapat suhu yang sesuai, yaitu melebihi isotherm 16°C, serta terdapat koeksistensi manusia dan nyamuk Anopheles sp, maka terdapat faktor risiko untuk penularan malaria.

Kelima-lima parasit

Plasmodium yang bisa menginfeksi manusia terdistribusi di tempat geografis yang berbeda. Plasmodium falciparum paling sering ditemui di Afrika Sub-Sahara dan Melanesia; Plasmodium vivax pula ditemui di Amerika Sentral, Amerika Selatan, Afrika Utara, Timur Tengah, dan subkontinen India; Plasmodium Ovale ditemui hampir secara eksklusif di Afrika Barat; Plasmodium malariae bisa ditemui di seluruh dunia walaupun terkonsentrasi di Afrika dan Plasmodium knowlesi yang sejak kebelakangan ini didokumentasikan di beberapa kepulauan Bornea serta di beberapa daerah Asia Tenggara (Roe & Pasvol, 2009).

Universitas Sumatera Utara

2.1.3 Siklus hidup Plasmodium Siklus hidup Plasmodium terjadi pada tubuh nyamuk dan manusia. Siklus seksual parasit malaria berkembang di darah manusia yang telah terinfeksi. Nyamuk Anopheles sp. betina akan terinfeksi setelah menggigit orang yang darahnya mengandung gametosit. Siklus perkembangan Plasmodium dalam nyamuk berkisar 7-20 hari, dan akhirnya berkembang menjadi sporozoit yang bersifat infektif. Sporozoit ini yang akan bermigrasi ke kelenjar ludah nyamuk dan kemudian akan ditransmisi kepada manusia lainnya apabila digigit oleh nyamuk yang terinfeksi ini. Nyamuk Anopheles yang terinfeksi ini akan bersifat infektif sepanjang hidupnya. Sporozoit yang telah diinokulasi pada manusia akan bermigrasi kepada hati dan bermultiplikasi dalam hepatosit sebagai merozoit. Setelah beberapa hari, hepatosit yang terinfeksi akan ruptur dan melepaskan merozoit ke dalam darah di mana mereka akan menginfeksi eritrosit. Parasit akan multiplikasi dalam eritrosit sekali lagi dan berubah dari merozoit kepada trofozoit, skizont, dan akhirnya muncul sebagai 8-24 merozoit yang baru. Eritrosit akan pecah, dan melepaskan merozoit untuk menginfeksi sel-sel yang lain. Setiap siklus dari proses ini, yang dikenali sebagai skizogoni eritrositik, akan berlangsung selama 48 jam pada Plasmodium vivax, Plasmodium ovale, Plasmodium falciparum dan 72 jam pada Plasmodium malariae. Dengan setiap siklus ini, parasit akan bertambah secara logaritmik dan setiap kali sel-sel ruptur akan terjadi serangan klasik demam yang intermiten. (Finch, R.G. et al, 2005; Bradley, 1998) 2.1.4 Patogenesis Gejala klinis yang muncul pada infeksi malaria disebabkan secara tunggal oleh bentuk aseksual Plasmodium yang bersirkulasi di dalam darah. Parasit ini menginvasi serta menghancurkan sel darah merah, menetap di organ penting dan jaringan tubuh, menghambat sirkulasi mikro, serta melepaskan toksin yang akan menginduksi pelepasan sitokin yang bersifat proinflammatory sehingga terjadi rigor malaria yang klasik (Roe & Pasvol, 2009). Patologi malaria berhubungan dengan anemia, pelepasan sitokin, dan pada kasus Plasmodium falciparum,

Universitas Sumatera Utara

kerusakan organ multipel yang disebabkan oleh gangguan mikrosirkulasi. Parasitemia Plasmodium falciparum adalah lebih parah berbanding yang lain karena ia akan memparasitisasi eritrosit berbagai usia. Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale hanya menginfeksi retikulosit dan eritrosit muda sedangkan Plasmodium malariae hanya menyerang pada eritrosit yang lebih tua.

Oleh

karena seleksi ini, infeksi Plasmodium falciparum menimbulkan gejala klinis yang hebat sekali (Finch, R.G. et al, 2005).

Kakkilaya (2006) mengatakan

malaria Plasmodium falciparum ditandai oleh pembentukan sticky knob pada permukaan sel darah merah, adhesi sel darah merah pada sel endotelial di venul post kapiler, dan pembentukan rosette dengan sel yang belum terinfeksi. Ini akan menyebabkan adhesi pada kapilar otak, ginjal, usus, hati dan organ lain. Selain daripada menyebabkan obstruksi mekanik, skizont yang telah ruptur ini akan merangsang pelepasan toksin dan menstimulasi pelepasan sitokin yang lebih. Menurut

Rosenthal (2008), suatu karakteristik khas Plasmodium

falciparum adalah cytoadherence, di mana eritrosit yang terinfeksi dengan parasit matang akan melekat pada sel endotel mikrovaskular.

Proses ini dikatakan

sebagai suatu kelebihan untuk parasit karena ini bisa menghambat jalur masuknya eritrosit abnormal ke dalam limpa untuk dihancurkan. Konsentrasi tinggi eritrosit yang terinfeksi oleh Plasmodium falciparum dalam sirkulasi darah serta interplay antara faktor penjamu dan parasit ini yang akan menyebabkan manifestasi infeksi malaria berat seperti malaria serebral, non-cardiogenic pulmonary edema, dan gagal ginjal. Chotivanich, K. et al (2002) dalam suatu studinya tentang peran limpa dalam malaria parasite clearance mengatakan bahwa sel darah merah yang telah terinfeksi oleh malaria mengandung parasit yang semakin membesar dan bersifat kaku. Dimulai kira-kira dari 13 – 16 jam pertama sehingga pertengahan siklus aseksual, sel darah merah yang terinfeksi akan melekat pada endotelial vaskular sehingga dapat mencegah parasit masuk ke dalam limpa yang bersifat untuk membersihkan darah.

Parasit pada tahap awal berukuran kecil dan fleksibel,

sehingga tidak mengganggu konfigurasi membran sel darah merah ataupun mengekspresikan antigen parasitnya secara eksternal. Tetapi, parasit pada tahap

Universitas Sumatera Utara

lanjut, yaitu trofozoit dan skizont matang, berukuran lebih besar sehingga mengubah bentuk diskoid sel darah merah yang terinfeksi serta memasukkan neoantigen seperti ring-infected erythrocyte surface antigen (RESA) dan Plasmodium falciparum erythrocyte membrane 1 (Pf EMP 1) pada membran sel darah merah penjamu. Adhesin antigenik parasit Pf EMP 1 tersebut diekspresikan di permukaan luar sel darah merah, dan perubahan ini yang menyebabkan deformitas pada sel darah merah sehingga terjadi peningkatan antigenicity. Setelah infeksi yang berulang, akan terjadi pembentukan imunitas parsial. Ini akan membantu penjamu untuk bertoleransi dengan parasitemia dengan penyakit minimal. Walaupun begitu, imunitas ini akan hilang jika penjamu tidak terinfeksi lagi dalam beberapa tahun. Terdapat beberapa faktor genetik yang memberi imunitas terhadap malaria. Orang yang tidak mempunyai antigen Duffy pada membran sel darah merah (sering pada Afrika Barat) tidak rentan terhadap infeksi Plasmodium vivax. Beberapa hemoglobinopati termasuk sickle cell trait juga memberi proteksi terhadap efek parah malaria. Defisiensi besi juga bisa mengurangi keparahan infeksi malaria. Selain itu, limpa juga mempunyai peranan yang penting dalam mengontrol infeksi dan orang yang telah menjalani operasi splenektomi mempunyai risiko yang tinggi untuk infeksi malaria yang luar biasa (Finch, R.G. et al, 2005). 2.1.5 Gejala Klinis Plasmodium vivax, Plasmodium ovale dan Plasmodium malariae bisa menyebabkan demam tinggi yang intermiten pada manusia, tetapi jarang mengakibatkan kematian,

sedangkan Plasmodium falciparum merupakan

malignant tertian dan bersifat fatal jika tidak diobati segera, terutama pada serangan pertama (Bradley, 1998). Menurut Parmet S. et al (2007), gejala klinis malaria pada umumnya muncul 9-14 hari setelah gigitan nyamuk Anopheles yang terinfeksi. Gejala yang dapat muncul termasuk menggigil yang tiba-tiba, demam yang bersifat intermiten, keringat, kelelahan, sakit kepala, kejang, dan delirium. Roe & Pasvol (2009) pula mengatakan bahwa waktu inkubasi malaria tergantung pada lingkungan. Kondisi

Universitas Sumatera Utara

yang optimal dapat menyebabkan manifestasi gejala klinis dalam 7 hari saja. Walaupun begitu, terdapat beberapa kasus tertentu yang gejala klinis hanya muncul setelah 20 tahun, dan ini berlaku terutama pada infeksi Plasmodium malariae. Gejala klinis yang paling sering ditemui pada malaria adalah demam. Pada infeksi awal, malaria bisa bermanifestasi sebagai malaise, sakit kepala, muntah, atau diare.

Demam pada awalnya mungkin berkesinambungan atau

erratic, dan classical tertian atau quartan fever hanya muncul setelah beberapa hari. Suhu tubuh selalu mencapai 41°C dan diikuti oleh menggigil dan keringat dingin. (Finch, R.G. et al, 2005). Infeksi Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale menyebabkan penyakit yang relatif ringan.

Anemia terjadi dengan perlahan, dan mungkin terdapat

hepatosplenomegali yang nyeri. Penyembuhan adalah spontan dan terjadi dalam 2-6 minggu. Walaupun begitu, hipnozoit dalam hati dapat menyebabkan relaps yang sering berulang sehingga terjadi penyakit kronis karena anemia dan splenomegali hiperaktif. Infeksi Plasmodium malariae juga relatif ringan, tetapi lebih cenderung kronis. Parasitemia mungkin menetap bertahun-tahun, dan ini bisa menunjukkan gejala atau sama sekali tidak bergejala. Infeksi Plasmodium malariae pada anak-anak berhubungan dengan glomerulonefritis dan sindroma nefrotik. Infeksi Plasmodium falciparum juga menyebabkan self-limiting illness yang mirip plasmodium yang lain. Walaupun begitu, ia juga bisa menyebabkan komplikasi serius dan sebagian besar kematian malaria adalah disebabkan Plasmodium falciparum. (Finch, R.G. et al, 2005) Menurut Rosenthal (2008), World Health Organization (2000) telah mengklasifikasikan beberapa kondisi tertentu sebagai tanda-tanda infeksi malaria berat. Kondisi tersebut termasuk malaria serebral, masalah pernapasan, hipoglikemia, sirkulasi kolaps atau shok, perdarahan spontan atau disseminated intravascular coagulation (DIC), keterlibatan ginjal atau blackwater fever, anemia berat, kejang berulang, penurunan kesadaran, prostration, jaundis, muntah tidak henti, dan parasitemia yang melebihi 2%. Blackwater fever merupakan suatu keadaan yang disebabkan oleh hemolisis intravaskular yang luas dan berlaku baik

Universitas Sumatera Utara

pada sel yang terinfeksi dan yang tidak terinfeksi, sehingga menyebabkan urin berwarna hitam (Finch, R.G. et al, 2005).

Sarkar et al (2010) mengatakan

sebanyak 10% dengan infeksi malaria berat akan meninggal oleh karena disfungsi multiorgan.

2.1.5 Diagnosa Menurut Hanscheid T. (1999), Pewarnaan Giemsa pada sediaan tebal dan tipis merupakan standar untuk diagnosa malaria. National Institute of Malaria Research (2009) juga mengatakan bahwa sediaan tebal dan tipis merupakan gold standard untuk menegakkan suatu diagnosa malaria.

Keuntungan dari

perwarnaan adalah ia mempunyai sensitivitas yang tinggi.

Ini menunjukkan

pewarnaan Giemsa mampu mendeteksi parasit malaria walaupun pada densitas yang rendah. Selain itu, pewarnaan Giemsa juga dapat menghitung beban parasit dan membedakan spesies malaria dan stadiumnya. Pemeriksaan diagnostik yang lain termasuk analisa quantitative buffy coat (QBC) dan rapid diagnostic tests (RDT).

QBC merupakan suatu metode

mikroskopik alternatif di mana buffy coat yang telah disentrifuge diwarnai dengan flurokrom sehingga parasit malaria kelihatan terang apabila diperiksa di bawah mikroskop (Finch, R.G. et al, 2005). WHO (2005) menjelaskan bahwa RDT, yang juga disebut sebagai dip stick atau malaria rapid diagnostic devices (MRRDs), membantu menegakkan diagnosa malaria dengan membuktikan kehadiran parasit malaria dalam darah manusia.

RDT merupakan alternatif

terhadap diagnosa yang ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis, terutama pada tempat yang tidak mempunyai sarana mikroskopis yang berkualitas. Walaupun terdapat berbagai jenis RDT, tetapi prinsip kerjanya sama, yaitu dengan mendeteksi antigen spesifik (protein) yang dihasilkan oleh parasit malaria dan berada dalam sirkulasi darah orang yang terinfeksi. Beberapa RDT hanya mampu mendeteksi satu spesies Plasmodium sedangkan yang lain bisa mendeteksi beberapa spesies Plasmodium. Darah untuk pemeriksaan RDT biasanya diambil melalui finger prick. Menurut Roe & Pasvol (2009), keuntungan RDT adalah

Universitas Sumatera Utara

pemeriksaan ini tidak memerlukan kepakaran yang tinggi untuk pelaksanaannya. Walaupun begitu, biaya RDT mahal dan pemeriksaan tidak bersifat kuantitatif. Polymerase chain reaction (PCR) sangat berguna untuk menegakkan diagnosa malaria berdasarkan spesiesnya dan mendeteksi infeksi walaupun pada kadar parasitemia yang rendah. Namun, biaya yang mahal, waktu lama yang diperlukan serta peralatan khas yang diperlukan menyebabkan pemeriksaan malaria dengan menggunankan tidak praktis (Roe & Pasvol, 2009). Marano & Freedman (2009) mengatakan bahwa PCR diperlukan untuk mengidentifikasikan infeksi Plasmodium knowlesi. Ini karena pemeriksaan dengan mikroskopi sediaan tebal dan tipis sering menimbulkan kekeliruan dengan spesies Plasmodium malariae yang infeksinya bersifat lebih jinak berbanding Plasmodium knowlesi. Tes serologi seperti indirect fluorescent antibody technique dan enzymelinked-immunosorbent assays (ELISA) tidak mempunyai nilai diagnostik untuk diagnosis malaria.

Walaupun begitu, metode serologis sangat berguna untuk

skrinning pendonor darah asimptomatis (Chew S.K., 1992).

2.1.6 Penatalaksanaan Malaria diobati dengan obat yang mengganggu siklus hidup ataupun metabolisme Plasmodium (Parmet S. et al, 2007). Roe dan Pasvol (2009) membagikan pengobatan malaria kepada dua kategori yaitu, pengobatan malaria non-falsiparum dan pengobatan malaria falsiparum. Pada malaria non falsiparum, yaitu malaria yang disebabkan oleh Plasmodium vivax, Plasmodium ovale, Plasmodium malariae atau Plasmodium knowlesi, infeksi bisa diobati dengan obat standar yaitu klorokuin (Roe & Pasvol, 2009).

Harga murah dan ketersediaan klorokuin menyebabkannya sebagai

antimalarial yang paling sering digunakan.

Plasmodium vivax, Plasmodium

ovale, dan Plasmodium malariae hampir selalu sensitif terhadap obat ini dan hanya beberapa strain Plasmodium vivax dari daerah Oceania yang resistan (Finch, R.G. et al, 2005). Roe & Pasvol (2009) mengatakan bahwa vaquone dan proguanil, atau meflokuin, ataupun kuinin tambah tetrasiklin dapat diberi pada kasus

Plasmodium vivax

yang

resistan.

Primakuin digunakan untuk

Universitas Sumatera Utara

mengeradikasi hipnozoit yang menyebabkan relaps. Menurut Marano & Freedman (2009), Plasmodium knowlesi sensitif terhadap semua obat antimalarial yang biasa digunakan dan tidak memerlukan regimen pengobatan yang khas. Terdapat peningkatan resistensi terhadap klorokuin dan sulfadoksin pada infeksi malaria falciparum sehingga obat-obatan tersebut tidak bisa digunakan sebagai pengobatan infeksi tersebut. Infeksi malaria falsiparum ringan sering diobati dengan kombinasi obat atovaquone dan proguanil, artemether dan lumefantrin yang bisa ditoleransi lebih baik daripada penggunaan kuinin. Meflokuin juga bisa digunakan sebagai pengobatan infeksi malaria ringan. (Roe & Pasvol, 2009). Infeksi malaria falciparum berat merupakan suatu kondisi gawat darurat dan memerlukan penanganan yang segera. Rosenthal (2008) mengatakan bahwa sampai tahun 2007, kuinidin secara intravena merupakan terapi pilihan. Namun sekarang sudah terdapat sediaan artesunate secara intravena dan ini merupakan terapi pilihan terbaru oleh karena obat ini mempunyai efektivitas yang lebih tinggi serta efek samping yang kurang berbanding dengan kuinidin. Menurut Rosenthal (2008), WHO (2006) merekomendasikan artesunate secara intravena sebagai pilihan pengobatan untuk orang dewasa dan kanak-kanak yang terinfeksi dengan malaria berat di kawasan dengan kadar penularan yang rendah. Pada daerah dengan kadar penularan yang tinggi, WHO merekomendasikan pengobatan dengan artesunate, artemether atau kuinin. Malaria berat ataupun hitung parasit yang melebihi 1% pada pasien nonimun merupakan suatu keadaan gawat darurat. Kuinin harus diberikan secara intravena dengan segera. Fasilitas perawatan intensif seperti ventilasi mekanik dan dialisis mungkin diperlukan.

Anemia berat mungkin akan memerlukan

transfusi darah. Pemantauan yang teliti terhadap keseimbangan cairan merupakan hal yang penting oleh karena edema paru dan gagal ginjal pre-renal sering berlaku pada keadaan seperti ini (Finch, R.G. et al, 2005).

Universitas Sumatera Utara

2.1.7 Pencegahan Seperti kebanyakan penyakit vektor, pengontrolan malaria bergantung pada kombinasi pengobatan penyakit, eradikasi vektor, dan perlindungan terhadap gigitan nyamuk yang berupa vektor malaria. Eradikasi vektor biasanya dicapai dengan penggunaan insektisida, menyemprot rumah-rumah dengan DDT (dichlorodiphenyltrichloroethane) yang merupakan pestisida sintetik, ataupun dengan pengontrolan habitat seperti drainase rawa (Finch, R.G. et al, 2005). Menurut Chen L.H. et al (2006), pentingnya dan efektivitas upaya proteksi pribadi harus ditegaskan terutama pada orang yang sering berpergian. Upaya ini termasuk perilaku untuk mengurangi paparan terhadap nyamuk, misalnya tinggal di dalam pada senja sampai fajar, menggunakan barrier clothing, penggunaan kelambu yang telah disemprot dengan insektida, dan penggunaan mosquito repellent yang efektif. Freedman (2008) mengatakan bahwa mosquito repellent yang

digunakan

harus

mengandung

30%-50%

DEET

(N,N-diethyl-3-

methylbenzamide) dan dioleskan pada kulit setiap 4-6 jam. Sampai saat ini, tidak terdapat vaksin yang efektif untuk malaria (Finch, R.G. et al, 2005). Menurut Chen L.H. et al (2006), kebanyakan chemoprophylaxis regimen

memberi

proteksi

sebanyak

75%

-

95%.

Tidak

terdapat

chemoprophylactic regimen yang 100% efektif, walaupun obat tersebut dikonsumsi dengan teratur dan baik.

Walaupun begitu, chemoprophylaxis

antimalarial dapat mengurangkan keparahan infeksi jika seseorang digigit oleh nyamuk yang terinfeksi. Berdasarkan itu, profilaksis malaria dianjurkan untuk orang yang berpergian ke tempat endemis malaria. Freedman (2008) mengatakan bahwa sesiapa yang baru pulang dari tempat endemis malaria dan menderita demam harus segera berjumpa dengan dokter untuk pemeriksaan. 2.1.8 Prognosis Prognosis malaria tergantung kepada jenis malaria yang menginfeksi. Malaria tanpa komplikasi biasanya akan membaik dengan pengobatan yang tepat. Tanpa pengobatan, infeksi Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale dapat

Universitas Sumatera Utara

berlanjut dan menyebabkan relaps sampai 5 tahun. Infeksi Plasmodium malariae bisa bertahan lebih lama daripada Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale. Infeksi Plasmodium falciparum dapat menyebabkan malaria serebral yang selanjutnya dapat mengakibatkan kebingungan mental, kejang dan koma. Prognosis untuk infeksi Plasmodium falciparum lebih buruk dan dapat berakhir dengan kematian dalam 24 jam sekiranya tidak ditangani dengan cepat dan tepat. (Medical Disability Guidelines, 2009)

2.2 Pengetahuan 2.2.1 Definisi Pengetahuan berarti secara luas sebagai segala sesuatu yang diketahui (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005).

Notoatmodjo (2003) menjelaskan

pengetahuan sebagai suatu hasil ‘tahu’, dan hasil ‘tahu’ ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Penginderaan ini terjadi melalui pancaindera manusia, yakni: indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan yang dicakup di dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkat, yakni: 1. Tahu (know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Ini termasuk mengingat kembali (recall) terhadap suatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh karena itu, ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. 2. Memahami (comprehension) Memahami adalah suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah memahami harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.

Universitas Sumatera Utara

3. Aplikasi (application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil.

Aplikasi di sini dapat diartikan

aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip, dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. 4. Analisis (Analysis) Analisis merupakan suatu kemampuan untuk menjalarkan materi atau suatu suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata-kata kerja yaitu, dapat menggambarkan, membedakan, memisahkan, mengelompokkan, dan sebagainya. 5. Sintesis (Synthesis) Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Sintesis adalah kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasiformulasi yang ada. 6. Evaluasi (evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek.

Penilaian-penilaian itu

berdasarkan suatu kriteria yang ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteriakriteria yang telah ada. Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden.

Universitas Sumatera Utara

Related Documents

Malaria Knowlesi
January 2021 1
Dsk-malaria
January 2021 1
Plasmodium Knowlesi
January 2021 1
Plasmodium Knowlesi
January 2021 3

More Documents from "Francesc Richard Wenger"