Nike Pneumoperitoneum, Ileus

  • Uploaded by: Nike Rakihara
  • 0
  • 0
  • March 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Nike Pneumoperitoneum, Ileus as PDF for free.

More details

  • Words: 3,947
  • Pages: 26
Loading documents preview...
PRESENTASI KASUS PNEUMOPERITONEUM DENGAN ILEUS OBSTRUKSI

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Mengikuti Ujian Kepaniteraan Klinik Radiologi RSUD Tjitrowardjojo

Disusun Oleh : Nike Evira Fraxtie Rakihara 20184010146

Pembimbing : dr. Pratiwi Anggraini, Sp. Rad

SMF RADIOLOGI RSUD TJITRO WARDOJO PURWOREJO FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA 2019

HALAMAN PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS

PNEUMOPERITONEUM DENGAN ILEUS OBSTRUKTIF

Telah disetujui pada tanggal

2019

Oleh :

Pembimbing Kepaniteraan Klinik Radiologi

dr. Pratiwi Anggraini, Sp. Rad

BAB I Laporan Kasus Nama

: Tn. S

Tanggal Lahir : 01-10-1954 (64 tahun) Alamat

: Watubumi

Status

: Menikah

Anamnesis -

Keluhan Utama : Pasien datang ke IGD RSUD Tjitrowardojo dengan keluhan post tertabrak mobil pada bagian tubuh sebelah kiri 1 hari yang lalu. Pasien mengeluhkan nyeri perut, tidak dapat flatus dan tidak bisa buang air besar.

-

Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien mengeluhkan bahwa perut terasa bertambah besar. Muntah (+). Pada saat kecelakaan bagian perut pasien terkena stang motor. Kencing berwarna merah (+)

-

Riwayat Penyakit Dahulu : Tidak terdapat riwayat penyakit hipertensi, jantung, diabetes mellitus, stroke, asma dan hepatitis. Pasien memiliki alergi terhadap obat asam mefenamat.

-

Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada anggota keluarga yang mengidap penyakit diabetes mellitus, jantung-paru, hipertensi, asma dan hepatitis.

-

Riwayat Personal Sosial : Pasien tidak memiliki kebiasaan merokok, mengonsumsi alkohol dan obat-obatan.

Anamnesis Sistem a. Sistem saraf pusat

: Tidak ada keluhan

b. Sistem integumentum

: Tidak ada keluhan

c. Sistem muskuloskeletal

: Tidak ada keluhan

d. Sistem gastrointestinal

: muntah (+), nyeri perut (+), distensi perut (+), tidak dapat flatus, tidak dapat buang air besar

e. Sistem urinaria

: Urin berwarna merah (+)

f. Sistem respiratori

: Sesak nafas (-)

g. Sistem cardiovascular

: Tidak ada keluhan

PRIMARY SURVEY a. Airway

: tidak ada sumbatan jalan napas

b. Breathing

: RR 17 x/menit, tidak menggunakan otot bantu nafas, pernapasan

cuping hidung (-) c. Circulation

: Tidak terdapat tanda shock, TD : 110/70 mmHg, nadi : 76 x/menit

PEMERIKSAAN FISIK : Kesan umum : Lemah Kesadaran

: Compos mentis, E4V5M6

Vital sign

: TD  110/70 mmHg RR  18 x/menit Nadi  76 x /menit Suhu  36,8° C

-

Mata: Pupil  isokor 3mm/3mm, Sklera ikterik (-/-)

-

Telinga: Secret (-), Perdarahan (-)

-

Hidung: Secret (-), Epistaksis (-)

-

Pemeriksaan leher : Kelenjar tiroid  Pembengkakan (-) Kelenjar limfonodi  Pembengkakan (-) Trachea  Tidak ada kelainan

-

Pemeriksaan thorax : dalam batas normal

-

-

Pemeriksaan abdomen : o Inspeksi

: Jejas (-), distensi (+)

o Auskultasi

: Bunyi usus (+) menurun

o Perkusi

: Hipertimpani di seluruh kuadran abdomen

o Palpasi

: Defans muskular (+)

Pemeriksaan urogenital : o Rectal toucher : Ampula recti kolaps, feses (+), mukosa rectum licin

-

Pemeriksaan Ektermitas: Dalam batas normal

Kesimpulan anamnesis dan pemeriksaan fisik : -

Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan post tertabrak mobil pada bagian tubuh sebelah kiri 1 hari yang lalu. Pasien mengeluhkan nyeri perut, tidak dapat flatus dan tidak bisa buang air besar.

-

Kesadaran Vital sign

-

Kepala

-

Leher

: DBN

-

Thorax

: DBN

-

Abdomen

: distensi (+), BU (+) menurun, defans muskular (+)

-

Genital dan inguinal : DBN

-

Regio urologi

: urin berwarna merah

-

Ekstermitas

: DBN

: Compos mentis , E4V5M6 : TD  110/70 mmHg RR  18 x/menit Nadi  76 x /menit Suhu  36,8° C : DBN

Diagnosis sementara: Trauma benda tumpul Ileus obstruktif

Diagnosis banding: Trauma renal

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Hasil Pemeriksaan Laboratorium Darah

PARAMETER

HASIL

SATUAN NILAI NORMAL

HB

13,0 (L)

gr/Dl

13,2 – 17,3

Leukosit

9,7

ribu/ul

3,8 – 10,6

Hematokrit (HMT)

39 (L)

%

40 -50

Eritrosit

5,0

juta/ul

4,40 – 5,90

Trombosit

273

ribu/ul

150 – 400

MCV

79 (L)

fL

80 – 100

MCH

26

pg

26 – 34

MCHC

32

g/dL

32 – 36

Neutrofil

91,20 (H)

%

50 – 70

Limfosit

5,40 (L)

%

25 – 40

Monosit

3,30

%

2–8

Eosinofil

0,00 (L)

%

2.00 – 4.00

Basofil

0,10

%

0–1

Gula Darah Sewaktu

204 (H)

mg/dL

74 – 106

Ureum

106,8 (HH)

mg/dL

10-50

Creatinin

4,97 (H)

mg/dL

0,62-1,01

SGOT

50 (H)

SGPT

21

U/L

0-50

Kalium

4,53

mmol/L

3,5-5,0

Natrium

136,5

Mmol/L

135-140

Klorida

101,5

Mmol/L

95-105

DIFFERENTIAL COUNT

Kimia klinik

Sero Imunologi HbsAg

Negative

0-50

Pemeriksaan Radiologi Dilakukan foto abdomen 3 posisi, dengan hasil: -

Preperitoneal fatline bilateral tegas

-

Renal outline dan psoas line bilateral samar

-

Fecal material prominen

-

Tampak dilatasi sistema usus halus, air fluid level (+) pendek, coil spring (+), herring bone (+)

-

Tampak gambaran lusensi di subdiafragma bilateral dan posisi tertinggi LLD, batas tegas, bentuk semilunar

-

Sistema tulang yang tervisualisasi intak

Kesan: Pneumoperitoneum dengan ileus obstruksi letak tinggi

Penatalaksanaan Dekompresi  NGT Puasa

Farmakoterapi Inj. Pumpisel Inf. NaCl 0,9% 20 tpm Inj. Ceftriaxon 1 gr/12 jam Inj. Ketorolac 30 mg/8 jam Inj. Ranitidine 50 mg/12 jam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Pneumoperitoneum 1. Definisi Pneumoperitoneum Pneumoperitoneum adalah adanya suatu udara bebas di luar lumen usus atau peritoneum yang merupakan ciri khas perforasi pada saluran pencernaan yang terlihat pada foto polos. Pneumoperitoneum ini dapat terjadi secara spontan atau traumatik, yang paling sering menyebabkan pneumoperitoneum spontan adalah perforasi lambung atau ulkus duodenum. Tanda khas pneumoperitoneum pada foto polos adalah adanya udara bebas berbentuk bulan sabit di bawah diafragma. Pneumoperitoneum bisa ditemukan bentuk soliter pada foto polos atau mungkin bersamaan dengan pneumomediastinum atau pneumoretroperitoneum, atau keduanya (Frkovic M, 2001). Gambaran radiologi dari pneumoperitoneum penting karena terkadang jumlah udara bebas dalam rongga peritoneal yang sedikit sering terlewatkan dan bisa menyebabkan kematian (Churchill & Begg, 2006). 2. Anatomi Peritoneum Peritoneum adalah mesoderm lamina lateralis yang tetap bersifat epitelial. Pada permulaan, mesoderm merupakan dinding dari sepasang rongga yaitu coelom. Di antara kedua rongga terdapat entoderm yang merupakan dinding enteron. Enteron di daerah abdomen menjadi usus. Kedua rongga mesoderm, dorsal dan ventral usus saling mendekat, sehingga mesoderm tersebut kemudian menjadi peritoneum (Mansjoer, 2000). Lapisan peritoneum dibagi menjadi 3, yaitu: 1. Lembaran yang menutupi dinding usus, disebut lamina visceralis (tunika serosa). 2. Lembaran yang melapisi dinding dalam abdomen disebut lamina parietalis. 3. Lembaran yang menghubungkan lamina visceralis dan lamina parietalis. Pada beberapa tempat peritoneum visceral dan mesenterium dorsal mendekati peritoneum dorsal dan terjadi perlekatan. Akibat perlekatan ini, ada bagian-bagian usus yang tidak mempunyai alat-alat penggantung, dan akhirnya berada disebelah dorsal peritonium sehingga disebut retroperitoneal. Bagian-bagian yang masih

mempunyai alat penggantung terletak di dalam rongga yang dindingnya dibentuk oleh peritoneum parietal.

Gambar 1. Anatomi peritoneum 3. Etiologi Pneumoperitoneum Penyebab pneumoperitoneum yang sering adalah adanya gangguan pada dinding viskus berongga. Penyebab pneumoperitoneum pada anak-anak berbeda dengan orang dewasa (Carroll & Jones, 2019) Penyebab pneumoperitoneum diantaranya yaitu: -

perforasi viskus berongga o peptic ulcer disease o iskemik usus o obstruksi usus o NEC o appendisitis o divertikulitis o malignansi o inflammatory bowel disease o perforasi mekanik (trauma, colonoscopy, benda asing, iatrogenik)

-

udara bebas intraperitoneal post operative

-

dialisis peritoneal

-

“aspirasi” vagina

-

ventilasi mekanik

-

pneumomediastinum

-

pneumothoraks

4. Manifestasi Klinis Manifestasi klinis tergantung pada penyebab pneumoperitoneum. Penyebab yang ringan biasanya gejalanya asimtomatik, tetapi pasien mungkin mengalami nyeri perut samar akibat perforasi viskus perut, tergantung pada perkembangan selanjutnya bisa berupa peritonitis.. Tanda dan gejala berbagai penyebab perforasi peritoneum mungkin seperti kaku perut, tidak ada bising usus, nyeri epigastrium atau jatuh pada kondisi shock yang parah (Silberberg, 2006). 5. Pencitraan Gambaran Foto Polos Radiologis Teknik radiografi yang optimal penting pada kecurigaan preforasi abdomen. Paling tidak diambil 2 foto , meliputi foto abdomen posisi supine dan foto thorax posisi erect atau left lateral decubitus (LLD). Udara bebas walaupun dalam jumlah yang sedikit dapat terdeteksi pada foto polos. Pasien tetap berada pada posisi tersebut selama 5-10 menit sebelum foto diambil.

Gambar 2. Foto abdomen posisi supine, foto dada posisi erect dan left lateral dekubitus (LLD) Sumber gambar dari http://www.wikiradiography.com

Pada foto polos abdomen atau foto Thorax posisi erect, terdapat gambaran udara (radiolusen) berupa daerah berbentuk bulan sabit (Semilunar Shadow) diantara diafragma kanan dan hepar atau diafragma kiri dan lien. Juga bisa tampak area lusen bentuk oval (perihepatik) di anterior hepar. Pada posisi lateral dekubitus kiri,

didapatkan radiolusen antara batas lateral kanan dari hepar dan permukaan peritoneum. Pada posisi lateral dekubitus kanan, tampak Triangular Sign seperti segitiga yang kecil-kecil dan berjumlah banyak karena pada posisi miring udara cenderung bergerak ke atas sehingga udara mengisi ruang-ruang di antara incisura dan dinding abdomen lateral. Pada proyeksi abdomen supine, berbagai gambaran radiologi dapat terlihat yang meliputi Falciform Ligament Sign dan Rigler’s Sign (Khan, 2016). CT Scan CT

scan

merupakan

pemeriksaan

standar

untuk

mendeteksi

pneumoperitoneum dikarenakan lebih sensitif dibanding foto polos abdomen, tetapi CT scan tidak selalu dibutuhkan jika dicurigai pneumoperitoneum karena lebih mahal dan memiliki efek radiasi yang

besar. CT scan berguna untuk

mengidentifikasi udara intraluminal meskipun terdapat dalam jumlah yang minimal, terutama ketika temuan foto polos abdomen tidak spesifik. CT scan tidak terlalu dipengaruhi oleh posisi pasien pada pemeriksaan dan teknik yang digunakan (Khan, 2016). USG Pada pencitraan USG, pneumoperitoneum tampak sebagai daerah linier peningkatan ekogenisitas dengan artifak reverberasi atau Distal

Ring Down.

Pengumpulan udara terlokalisir akibat perforasi usus dapat dideteksi, terutama jika berdekatan dengan abnormalitas lainnya, seperti

penebalan dinding usus.

Dibandingkan dengan foto polos abdomen, ultrasonografi memiliki keuntungan dalam mendeteksi kelainan lain, seperti cairan bebas intraabdomen dan massa inflamasi (Khan, 2016). 6. Penatalaksanaan Prinsip tatalaksana dan prognosis tergantung dari penyebab utamanya. Ketika seorang pasien diduga mengalami pneumoperitoneum, langkah pertama dalam pengobatan adalah mencari tahu penyebabnya, untuk pendekatan pengobatan yang tepat. Ini membutuhkan pemeriksaan diagnostik tambahan selain anamnesa pasien. Dalam beberapa kasus, pengobatan konservatif adalah yang terbaik, dengan dokter menunggu dan melihat lebih teliti untuk melihat apakah tubuh pasien mampu menghilangkan gas sendiri. Jika pneumoperitoneum adalah komplikasi dari infeksi,

maka operasi untuk memperbaiki masalah ini diperlukan secepat mungkin. Perforasi dan infeksi dengan cepat dapat menyebabkan kematian dengan segera (Pitiakoudis, 2011)

B. Ileus 1. Definisi Ileus adalah gangguan pasase isi usus yang merupakan tanda adanya obstruksi usus akut yang segera memerlukan pertolongan atau tindakan. Ileus obstruktif adalah kerusakan atau hilangnya pasase isi usus yang disebabkan oleh sumbatan mekanik sehingga isi lumen saluran cerna tidak bisa disalurkan ke distal atau anus karena ada sumbatan/hambatan yang disebabkan kelainan dalam lumen usus, dinding usus atau luar usus yang menekan atau kelainan vaskularisasi pada suatu segmen usus yang menyebabkan nekrose segmen usus tersebut (Sjamsuhidajat & De Jong, 2003) Berdasarkan proses terjadinya ileus obstruktif dibedakan menjadi ileus obstruktif mekanik dan non mekanik. Ileus obstruktif mekanik terjadi karena penyumbatan fisik langsung yang bisa disebabkan karena adanya tumor atau hernia sedangkan ileus obstruksi non mekank terjadi karena penghentian gerakan peristaltik (Manaf, 2010). 2. Etiologi Obstruksi usus halus disebabkan oleh : a. Perlekatan usus atau adhesi, dimana pita fibrosis dari jaringan ikat menjepit usus b. Jaringan parut karena ulkus, pembedahan terdahulu atau penyakit Crohn c. Hernia inkarserata, usus terjepit di dalam pintu hernia d. Neoplasma e. Intususepsi f. Volvulus g. Benda asing, kumpulan cacing askaris h. Batu empedu yang masuk ke usus melalu fistula kolesisenterik i. Penyakit radang usus, striktur, fibrokistik dan hematoma Kira-kira 15% obstruksi usus terjadi di usus besar. Obstruksi dapat terjadi di setiap bagian kolon tetapi paling sering terjadi di sigmoid. Penyebabnya adalah :

a. Karsinoma b. Volvulus c. Kelainan divertikular (Divertikulum Meckel), penyakit Hirschsprung d. Inflamasi e. Tumor jinak f. Impaksi fekal (Mansjoer, 2016) 3. Anatomi Usus halus merupakan tabung yang kompleks, berlipat-lipat yang membentang dari pilorus sampai katup ileosekal. Pada orang hidup panjang usus halus sekitar 12 kaki (22 kaki pada kadaver akibat relaksasi). Usus ini mengisi bagian tengah dan bawah abdomen. Ujung proksimalnya bergaris tengah sekitar 3,8 cm, tetapi semakin kebawah lambat laun garis tengahnya berkurang sampai menjadi sekitar 2,5 cm (Price & Wilson, 2012). Usus halus dibagi menjadi duodenum, jejenum, dan ileum. Pembagian ini agak tidak tepat dan didasarkan pada sedikit perubahan struktur, dan yang relatif lebih penting berdasarkan perbedaan fungsi. Duodenum panjangnya sekitar 25 cm, mulai dari pilorus sampai kepada jejenum. Pemisahan duodenum dan jejenum ditandai oleh ligamentum treitz, suatu pita muskulofibrosa yang berorigo pada krus dekstra diafragma dekat hiatus esofagus dan berinsersio pada perbatasan duodenum dan jejenum. Ligamentum ini berperan sebagai ligamentum suspensorium (penggantung). Kira-kira duaperlima dari sisa usus halus adalah jejenum, dan tiga perlima terminalnya adalah ileum.. Jejenum terletak di regio abdominalis media sebelah kiri, sedangkan ileum cenderung terletak di abdominalis bawah kanan (Price & Wilson, 2012). Jejunum mulai pada junctura denojejunalis dan ileum berakhir pada junctura ileocaecalis. Lekukan-lekukan

jejenum dan ileum melekat pada dinding posterior

abdomen dengan perantaraan lipatan peritoneum yang berbentuk kipas yang dikenal sebagai messenterium usus halus. Pangkal lipatan yang pendek melanjutkan diri sebagai peritoneum parietal pada dinding posterior abdomen sepanjang garis berjalan ke bawah dan ke kenan dari kiri vertebra lumbalis kedua ke daerah articulatio sacroiliaca kanan. Akar mesenterium memungkinkan keluar dan masuknya cabangcabang arteri vena mesenterica superior antara kedua lapisan peritoneum yang membentuk messenterium (Snell, 2012)

Usus besar merupakan tabung muskular berongga dengan panjang sekitar 5 kaki (sekitar 1,5 m) yang terbentang dari sekum sampai kanalis ani. Diameter usus besar sudah pasti lebih besar daripada usus kecil. Rata-rata sekitar 2,5 inci (sekitar 6,5 cm), tetapi makin dekat anus semakin kecil (Price & Wilson, 2012). Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon dan rektum. Pada sekum terdapat katup ileocaecaal dan apendiks yang melekat pada ujung sekum. Sekum menempati sekitar dua atau tiga inci pertama dari usus besar. Katup ileocaecaal mengontrol aliran kimus dari ileum ke sekum. Kolon dibagi lagi menjadi kolon asendens, transversum, desendens dan sigmoid (Price & Wilson, 2012). Kolon ascendens berjalan ke atas dari sekum ke permukaan inferior lobus kanan hati, menduduki regio iliaca dan lumbalis kanan. Setelah mencapai hati, kolon ascendens membelok ke kiri, membentuk fleksura koli dekstra (fleksura hepatik). Kolon transversum menyilang abdomen pada regio umbilikalis dari fleksura koli dekstra sampai fleksura koli sinistra. Kolon transversum, waktu mencapai daerah limpa, membengkok ke bawah, membentuk fleksura koli sinistra (fleksura lienalis) untuk kemudian menjadi kolon descendens. Kolon sigmoid mulai pada pintu atas panggul. Kolon sigmoid merupakan lanjutan kolon descendens. Ia tergantung ke bawah dalam rongga pelvis dalam bentuk lengkungan. Kolon sigmoid bersatu dengan rektum di depan sakrum. Rektum menduduki bagian posterior rongga pelvis. Rektum ke atas dilanjutkan oleh kolon sigmoid dan berjalan turun di depan sekum, meninggalkan pelvis dengan menembus dasar pelvis. Di sini rektum melanjutkan diri sebagai anus dalam perineum (Snell, 2012).

Gambar Sistem saluran pencernaan

4. Fisiologi Usus halus mempunyai dua fungsi utama : pencernaan dan absorpsi bahanbahan nutrisi dan air. Proses pencernaan dimulai dalam mulut dan lambung oleh kerja ptialin, asam klorida, dan pepsin terhadap makanan masuk. Proses dilanjutkan di dalam duodenum terutama oleh kerja enzim-enzim pankreas yang menghidrolisis karbohidrat, lemak, dan protein menjadi zat-zat yang lebih sederhana. Adanya bikarbonat dalam sekret pankreas membantu menetralkan asam dan memberikan pH optimal untuk kerja enzim-enzim. Sekresi empedu dari hati membantu proses pencernaan dengan mengemulsikan lemak sehingga memberikan permukaan lebih luas bagi kerja lipase pankreas. Proses pencernaan disempurnakan oleh sejumlah enzim dalam getah usus (sulkus enterikus). Banyak di antara enzim-enzim ini terdapat pada brush border vili dan mencernakan zat-zat makanan sambil diabsorpsi. Isi usus digerakkan oleh peristaltik yang terdiri atas dua jenis gerakan, yaitu segmental dan peristaltik yang diatur oleh sistem saraf autonom dan hormon. Pergerakan segmental usus halus mencampur zat-zat yang dimakan dengan sekret pankreas, hepatobiliar, dan sekresi usus, dan pergerakan peristaltik mendorong isi dari salah satu ujung ke ujung lain dengan kecepatan yang sesuai untuk absorpsi optimal dan suplai kontinu isi lambung. Absorpsi adalah pemindahan hasil-hasil akhir pencernaan karbohidrat, lemak dan protein (gula sederhana, asam lemak dan asam amino) melalui dinding usus ke sirkulasi darah dan limfe untuk digunakan oleh sel-sel tubuh. Selain itu air, elektrolit dan vitamin juga diabsorpsi. Absorpsi berbagai zat berlangsung dengan mekanisme transpor aktif dan pasif yang sebagian kurang dimengerti. 5. Patofisiologi Pada ileus obstruksi, hambatan pasase muncul tanpa disertai gangguan vaskuler dan neurologik. Makanan dan cairan yang ditelan, sekresi usus, dan udara terkumpul dalam jumlah yang banyak jika obstruksinya komplit. Bagian usus proksimal distensi, dan bagian distal kolaps. Fungsi sekresi dan absorpsi membran mukosa usus menurun, dan dinding usus menjadi edema dan kongesti. Distensi intestinal yang berat, dengan sendirinya secara terus menerus dan progresif akan mengacaukan peristaltik dan fungsi sekresi mukosa dan meningkatkan resiko dehidrasi, iskemia, nekrosis, perforasi, peritonitis, dan kematian (Purnawan, 2009). Secara umum, pada obstruksi tingkat tinggi (obstruksi letak tinggi/obstruksi usus halus), semakin sedikit distensi dan semakin cepat munculnya muntah. Dan

sebaliknya, pada pasien dengan obstruksi letak rendah (obstruksi usus besar), distensi setinggi pusat abdomen mungkin dapat dijumpai, dan muntah pada umumnya muncul terakhir sebab diperlukan banyak waktu untuk mengisi lumen usus. Kolik abdomen mungkin merupakan tanda khas dari obstruksi distal. Hipotensi dan takikardi merupakan tanda dari kekurangan cairan. Dan lemah serta leukositosis merupakan tanda adanya strangulasi. Pada permulaan, bunyi usus umumnya keras, dan frekuensinya meningkat, sebagai usaha untuk mengalahkan obstruksi yang terjadi. Jika abdomen menjadi diam, mungkin menandakan suatu perforasi atau peritonitis dan ini merupakan tanda akhir suatu obstruksi (J. Corwin, 2001). 6. Klasifikasi Berdasarkan lokasi obstruksinya, ileus obstrukif atau ileus mekanik dibedakan menjadi, antara lain : 1. Ileus obstruktif letak tinggi : obstruksi mengenai usus halus (dari gaster sampai ileum terminal). 2. Ileus obstruktif letak rendah : obstruksi mengenai usus besar (dari ileum terminal sampai rectum). Selain itu, ileus obstruktif dapat dibedakan menjadi 3 berdasarkan stadiumnya, antara lain : 1. Obstruksi sebagian (partial obstruction) : obstruksi terjadi sebagian sehingga makanan masih bisa sedikit lewat, dapat flatus dan defekasi sedikit. 2. Obstruksi sederhana (simple obstruction) : obstruksi/sumbatan yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah (tidak disertai gangguan aliran darah). 3. Obstruksi strangulasi (strangulated obstruction) : obstruksi disertai dengan terjepitnya pembuluh darah sehingga terjadi iskemia yang akan berakhir dengan nekrosis atau gangren. 7. Manifestasi Klinis Terdapat 4 tanda kardinal gejala ileus obstruktif : a. Nyeri abdomen b. Muntah c. Distensi d. Kegagalan buang air besar atau gas(konstipasi). Gejala ileus obstruktif tersebut bervariasi tergantung kepada : a. Lokasi obstruksi b. Lamanya obstruksi c. Penyebabnya

d. Ada atau tidaknya iskemia usus Gejala selanjutnya yang bisa muncul termasuk dehidrasi, oliguria, syok hypovolemik, pireksia, septikemia, penurunan respirasi dan peritonitis. Terhadap setiap penyakit yang dicurigai ileus obstruktif, semua kemungkinan hernia harus diperiksa (Winslet, 2002). Nyeri abdomen biasanya agak tetap pada mulanya dan kemudian menjadi bersifat kolik. Ia sekunder terhadap kontraksi peristaltik kuat pada dinding usus melawan obstruksi. Frekuensi episode tergantung atas tingkat obstruksi, yang muncul setiap 4 sampai 5 menit dalam ileus obstruktif usus halus, setiap 15 sampai 20 menit pada ileus obstruktif usus besar. Nyeri dari ileus obstruktif usus halusl demikian biasanya terlokalisasi supraumbilikus di dalam abdomen, sedangkan yang dari ileus obstruktif usus besar biasanya tampil dengan nyeri intraumbilikus. Dengan berlalunya waktu, usus berdilatasi, motilitas menurun, sehingga gelombang peristaltik menjadi jarang, sampai akhirnya berhenti. Pada saat ini nyeri mereda dan diganti oleh pegal generalisata menetap di keseluruhan abdomen. Jika nyeri abdomen menjadi terlokalisasi baik, parah, menetap dan tanpa remisi, maka ileus obstruksi strangulata harus dicurigai. 8. Diagnosis Diagnosis ditegakkan berdasarkan : Anamnesis : a. Nyeri (Kolik) Obstruksi usus halus : nyeri dirasakan di sekitar umbilikus Obstruksi kolon : nyeri dirasakan di sekitar suprapubik. b. Muntah Stenosis pilorus : encer dan asam Obstruksi usus halus : berwarna kehijauan Obstruksi kolon : onset muntah lama. c. Perut Kembung (distensi) Konstipasi Tidak ada defekasi Tidak ada flatus Inspeksi : Perut distensi, dapat ditemukan kontur dan steifung. Benjolan pada regio inguinal, femoral dan skrotum menunjukkan suatu hernia inkarserata. Pada Intussusepsi

dapat terlihat massa abdomen berbentuk sosis. Adanya adhesi dapat dicurigai bila ada bekas luka operasi sebelumnya. Auskultasi : Hiperperistaltik, bising usus bernada tinggi, borborhygmi. Pada fase lanjut bising usus dan peristaltik melemah sampai hilang. Perkusi : Hipertimpani Palpasi : Kadang teraba massa seperti pada tumor, invaginasi, hernia. Rectal toucher : Isi rektum menyemprot : Hirschprung disease Adanya darah dapat menyokong adanya strangulasi, neoplasma Feses yang mengeras : skibala Feses negatif : obstruksi usus letak tinggi Ampula rekti kolaps : curiga obstruksi Nyeri tekan : lokal atau general peritonitis 9. Pencitraan Foto Polos Abdomen Dapat ditemukan gambaran ”step ladder dan air fluid level” terutama pada obstruksi bagian distal. Pada kolon bisa saja tidak tampak gas. Jika terjadi strangulasi dan nekrosis, maka akan terlihat gambaran berupa hilangnya mucosa yang reguler dan adanya gas dalam dinding usus. Pelebaran udara usus halus atau usus besar dengan gambaran anak tangga dan air-fluid level. Penggunaan kontras kontraindikasi jika adanya perforasi-peritonitis. Barium enema diindikasikan untuk invaginasi, dan endoskopi disarankan pada kecurigaan volvulus.

Gambar 3. Radiolagi dari Ileus obstruktif (American Gastroenterological Association, 2003) 10. Penatalaksanaan Tujuan utama penatalaksanaan adalah dekompresi bagian yang mengalami obstruksi untuk mencegah perforasi. Tindakan operasi biasanya selalu diperlukan. Menghilangkan penyebab obstruksi adalah tujuan kedua. Kadang-kadang suatu penyumbatan sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan, terutama jika disebabkan oleh perlengketan. Penderita penyumbatan usus harus di rawat di rumah sakit (Schrock, 1993). Pasien ileus obstruksi mengalami dehidrasi dan gangguan keseimbangan elektrolit sehingga perlu diberikan cairan intravena seperti ringer laktat. Respon terhadap terapi dapat dilihat dengan memonitor tanda-tanda vital dan jumlah urin yang keluar. Selain pemberian cairan intravena, diperlukan juga pemasangan nasogastric tube (NGT). NGT digunakan untuk mengosongkan lambung, mencegah aspirasi pulmonum bila muntah dan mengurangi distensi abdomen (Schrock, 1993).

BAB III PEMBAHASAN RADIOLOGI A. Foto Polos Abdomen Prosedur foto polos 3 posisi dilakukan dalam posisi : 1. Abdomen AP supine Tujuan : untuk memperlihatkan ada/tidaknya penebalan/distensi pada kolon yang disebabkan oleh massa atau gas pada kolon. 2. Abdomen AP setengah duduk Tujuan : untuk menampakkan udara bebas di bawah diafragma. 3. Abdomen LLD (Left Lateral Decubitus) Tujuan : untuk memperlihatkan air fluid level atau udara bebas yang mungkin terjadi akibat perforasi kolon. Evaluasi Foto Abdomen BNO 1. Preperitoneal fat line (normal/tidak jelas/menghilang) Jaringan lemak radioluscent di lateral sepanjang dinding abdomen Preperitoneal fat line menghilang = peritonitis, ascites 2. Psoas line (normal/tidak jelas) Bayangan opaq yang dibentuk m. Psoas Normal : jelas, simetris, tempat bersandar ginjal Psoas line menghilang = proses retroperitoneal (perdarahan,peradangan) 3. Besar dan kontur ginjal (normal/tidak jelas) Perirenal fat renal outline, batas ginjal lebih jelas Ukuran ginjal rata-rata = 3 corpus vertebrae Ginjal kanan ukuran lebih kecil dari ginjal kiri Ginjal kanan terletak lebih rendah dari ginjal kiri 4. Bayangan opaque tractus urinarius (tak tampak/tampak) Bayangan opaque yang tampak = nefrolithiasis/ureterolitiasis DD plebolith bila terdapat pada ureterovesico junction/vesicouretra junction Biasanya pada orang tua

5. Vertebra (normal/ber-osteofit/alignment bergeser/discus menyempit) Terdapat osteofit atau spur formation pada vertebra = spondilosis Alignment procesus spinosus bergeser = spondilolithesis Procesus spinosus lumbal menyatu sacral = sacralisasi Penyempitan celah diskus vertebra = kompresi

B. Foto Polos Pasien Pneumoperitoneum dengan Ileus Obstruktif Letak Tinggi (Berdasarkan Kasus yang Diambil) Dilakukan foto abdomen 3 posisi, dengan hasil: -

Preperitoneal fatline bilateral tegas

-

Renal outline dan psoas line bilateral samar

-

Fecal material prominen

-

Tampak dilatasi sistema usus halus, air fluid level (+) pendek, coil spring (+), herring bone (+)

-

Tampak gambaran lusensi di subdiafragma bilateral dan posisi tertinggi LLD, batas tegas, bentuk semilunar

-

Sistema tulang yang tervisualisasi intak

Kesan: Pneumoperitoneum dengan ileus obstruksi letak tinggi

DAFTAR PUSTAKA Carroll, D., & Jones, J. (2019, 1 13). Pneumoperitoneum. Retrieved from Radiopaedia: http://radiopaedia.org/articles/pneumoperitoneum Churchill, & Begg, J. D. (2006). Abdominal X-rays Made Easy 2nd Edition. Elsevier. Frkovic M, K. T. (2001). Diagnostic Value of Pneumoperitoneum on Plain Abdominal Film. Radiol Oncol, 35(4):237-42. J. Corwin, E. (2001). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC. Khan, A. N. (2016, 3 6). Medscape. Retrieved from Pneumoperitoneum Imaging: https://emedicine.medscape.com/article/372053-overview Manaf, M. (2010). Obstruksi Ileus. Mansjoer, A. (2000). Bedah Digestif. In Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2 Edisi Ketiga (pp. 240-252). Jakarta: Balai Penerbit FKUI. Mansjoer, A., & dkk. (2016). Ileus Obstruktif. In Kapita Selekta Kedokteran Edisi Keempat Jilid 2 (pp. 318-320). Jakarta: Media Aesculapius. Pitiakoudis. (2011). Spontaneus Idiophatic Pneumoperitoneum Presenting as An Acute Abdomen. USA: National Library of Medicine. Price, S. A., & Wilson, L. M. (2012). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta: EGC. Purnawan, I. (2009). Ileus. Purwokerto: Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto. Schrock, T. (1993). Obstruksi Usus. In Ilmu Bedah (Handbook of Surgery) (p. 239). Jakarta: EGC. Silberberg, P. (2006). Pneumoperitoneum. Kentucky. Sjamsuhidajat, R., & De Jong, W. (2003). Buku Ajar Ilmu Bedah . Jakarta: EGC. Snell, R. S. (2012). Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta: EGC.

Related Documents

Nike
February 2021 1
Nike
February 2021 3
Nike
February 2021 1
Caso Nike
March 2021 0
Nike (3)
February 2021 3

More Documents from "Sai Ramesh"