Referat Ikterus Neonatorum

  • Uploaded by: Ratu Suci Angraini Hasibuan
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Referat Ikterus Neonatorum as PDF for free.

More details

  • Words: 6,672
  • Pages: 32
Loading documents preview...
REFERAT IKTERUS NEONATORUM

DISUSUN OLEH: Ratu Suci Anggraini Hasibuan 030.10.232 PEMBIMBING: Dr. Indrayanti Jorianto Sp.A. MARS

KEPANITERAAN ILMU KESEHATAN ANAK RUMAH SAKIT OTORITA BATAM- BP BATAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI PERIODE 18 AGUSTUS – 24 OKTOBER 2014

1

KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmatdan hidayah-Nya jualah penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaikbaiknya. Ucapan terima kasih penulis ucapkan kepada seluruh pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini, khususnya kepada dr. Indrayanti Jorianto Sp.A. MARS selaku konsulen yang telah memberi bimbingan, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas di stase ilmu kesehatan anak dengan judul Ikterus Neonatorum pada kepaniteraan klinik senior di RSOB – BP BATAM Dalam penyusunan makalah ini penulis masih merasa banyak kekurangan, untuk itu penulis mengharap kritik dan saran yang membangun guna perbaikan ke depan. Penulis berharap makalah ini dapat memberi banyak manfaat bagi penulis khususnya dan pembaca sekalian pada umumnya. Semoga makalah ini dapat memberi masukan bagi rekan-rekan yang ingin mengetahui masalah Ikterus Neonatorum. Batam, September 2014 Penulis

2

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR................................................................................................

i

DAFTAR ISI..............................................................................................................

ii

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................

1

I.1 Latar belakang.............................................................................................

1

I.2 Tujuan.........................................................................................................

1

BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................

2

II.1 Definisi.......................................................................................................

2

II.2 Metabolisme Bilirubin...............................................................................

4

II.3 Etiologi.......................................................................................................

7

II.4 Faktor Resiko.............................................................................................

9

II.5 Patofisiologi...............................................................................................

11

II.6 Manifestasi Klinis......................................................................................

12

II.7 Pemeriksaan Penunjang ............................................................................

14

II.8 Diagnosis...................................................................................................

15

II.9 Diagnosis Banding.....................................................................................

19

II.10 Komplikasi...............................................................................................

20

II.11 Penatalaksanaan.......................................................................................

21

II.12 Pencegahan..............................................................................................

24

II.13 Prognosis..................................................................................................

27

BAB III KESIMPULAN............................................................................................

28

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................

29

3

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Neonatus merupakan bayi yang berumur 0-28 hari. Masa ini merupakan masa transisi dimana bayi memulai kehidupan diluar rahim ibunya. Begitu banyak perubahan yang dialami mulai dari organ fisik maupun fungsi organ tubuhnya. Pada sebagian neonatus, ikterus akan ditemukan dalam minggu pertama kehidupannya, ikterus terdapat pada 60% bayi cukup bulan dan pada 80% bayi kurang bulan. Ikterus terjadi apabila terdapat akumulasi bilirubin dalam darah, keadaan ini timbul akibat akumulasi pigmen bilirubin yang berwarna ikterus pada sklera dan kulit. Pada masa transisi setelah lahir,hepar belum berfungsi secara optimal, sehingga proses glukuronidasi bilirubin tidak terjadi secara maksimal. Keadaan ini menyebabkan dominasi bilirubin tak terkonjugasi di dalam darah. Pada kebanyakan bayi baru lahir ini merupakan fenomena transisional yang normal, tetapi pada beberapa bayi, terjadi peningkatan bilirubin secara berlebihan sehingga berpotensi menjadi toksik dan dapat menyebabkan kematian dan bila bayi tersebut dapat bertahan hidup pada jangka panjang akan menimbukan sekuele nerologis. Dengan demikian setiap bayi yang mengalami kuning, harus dibedakan apakah ikterus yang terjadi merupakan keadaan yang fisiologis atau patologis serta dimonitor apakah mempunyai kecenderungan untuk berkembang menjadi hiperbilirubinemia yang berat.1,3 1.2 Tujuan Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mempelajari dan mengetahui definisi, metabolisme bilirubin, etiologi, faktor resiko, patofisiologi, manifestasi klinis, diagnosis, diagnosis banding, penatalaksanaan serta prognosis dari ikterus neonatorum.

BAB II

4

PEMBAHASAN 2.1

Definisi

Ikterus neonatorum Ikterus (‘Jaundice’) keadaan klinis pada bayi baru lahir yang ditandai oleh pewarnaan ikterus pada kulit, sklera dan mukosa akibat akumulasi bilirubin tak terkonyugasi yang berlebihan. Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah 5-7 mg/dL atau disebut dengan hiperbilirubinemia. 1,7 Hiperbilirubinemia Adalah terjadinya peningkatan kadar plasma bilirubin 2 standar deviasi atau lebih kadar yang diharapkan berdasarkan umur bayi atau lebih dari persentil 90. Biasanya istilah hiperbilirubinemia dipakai untuk ikterus neonatorum setelah ada hasil laboratorium yang menunjukkan peningkatan kadar serum bilirubin. Hiperbilirubinemia bisa disebabkan proses fisiologis atau patologis atau kombinasi keduanya.1 Ikterus fisiologis Ikterus fisiologis merupakan masalah yang sering terjadi pada bayi kurang maupun cukup bulan selama minggu pertama kehidupan yang frekuensi pada bayi cukup bulan dan kurang bulan berturut-turut adalah 50-60% dan 80%, kadar bilirubin tak terkonjugasi pada minggu pertama > 2 mg/dL. Dalam keadaan normal, kadar bilirubin indirek dalam serum tali pusat adalah sebesar 1-3 mg/dl dan akan meningkat dengan kecepatan kurang dari 5 mg/dl/24 jam; dengan demikian ikterus baru terlihat pada hari ke 2-3, biasanya mencapai puncaknya antara hari ke 2-4, dengan kadar 5-6 mg/dl untuk selanjutnya menurun sampai kadarnya lebih rendah dari 2 mg/dl antara lain ke 5-7 kehidupan. Ikterus akibat perubahan ini dinamakan ikterus fisiologis dan untuk kebanyakan bayi fenomena ini ringan dan dapat membaik tanpa pengobatan, hal ini terjadu akibat hancurnya sel darah merah janin yang disertai pembatasan sementara pada konjugasi dan ekskresi bilirubin oleh hati.1 Diantara bayi-bayi prematur, kenaikan bilirubin serum cenderung sama atau sedikit lebih lambat daripada pada bayi aterm, tetapi berlangsung lebih lama, pada umumnya mengakibatkan kadar yang lebih tinggi, puncaknya dicapai antara hari ke 4-7, pola yang akan diperlihatkan bergantung pada waktu yang diperlukan oleh bayi preterm mencapai pematangan mekanisme metabolisme ekskresi bilirubin. Kadar puncak sebesar 8-12 mg/dl tidak dicapai sebelum hari ke 5-7 dan kadang-kadang ikterus ditemukan setelah hari ke-10. 5

Peningkatan sampai 10-12 mg/dL masih dalam kisaran fisiologis, bahkan hingga 15 mg/dL tanpa disertai kelainan metabolisme bilirubin, kadar tersebut tidak melewati kadar yang membahayakan atau mempunyai potensi menjadi “kernikterus” dan tidak menyebabkan suatu morbiditas pada bayi.7 Ikterus akibat perubahan ini dinamakan ikterus fisiologis dan diduga sebagai akibat hancurnya sel darah merah janin yang disertai pembatasan sementara pada konjugasi dan ekskresi bilirubin oleh hati. Diagnosis ikterus fisiologik pada bayi aterm atau preterm, dapat ditegakkan dengan menyingkirkan penyebab ikterus berdasarkan anamnesis dan penemuan klinik dan laboratorium. Pada umumnya untuk menentukan penyebab ikterus jika : 1. Ikterus timbul dalam 24 jam pertama kehidupan. 2. Bilirubin serum meningkat dengan kecepatan lebih besar dari 5 mg/dl/24 jam. 3. Kadar bilirubin serum lebih besar dari 12 mg/dl pada bayi aterm dan lebih besar dari 14 mg/dl pada bayi preterm. 4. Ikterus persisten sampai melewati minggu pertama kehidupan, atau 5. Bilirubin direk lebih besar dari 1 mg/dl. Ikterus non fisiologis Dulu disebut dengan ikterus patologis tidak mudah dibedakan dari ikterus fisiologis dan mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubinnya mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemi. Ikterus non fisiologis mungkin merupakan petunjuk penting untuk diagnosis awal dari banyak penyakit neonatus, walaupun kadar bilirubin masih dalam batasbatas fisiologik, tetapi klinis mulai terdapat tanda-tanda Kern ikterus maka keadaan ini disebut ikterus non fisiologi. Ikterus non fisiologis timbul dalam 36 jam pertama kehidupan biasanya disebabkan oleh kelebihan produksi bilirubin, karena klirens bilirubin yang lambat jarang menyebabkan peningkatan konsentrasi diatas 10 mg/dl pada umur ini. 1,5-7 Ada beberapa keadaan ikterus yang cenderung menjadi patologik: 1. 2. 3. 4.

Ikterus terjadi sebelum umur 24 jam Setiap peningkatan kadar bilirubin serum yang memerlukan fototerapi Peningkatan kadar bilirubin total serum >0.5 mg/dL/jam Adanya tanda-tanda penyakit yang mendasari pada setiap

bayi

(muntah,letargis, malas menetek, penurunan berat badan bayi yang cepat, apnea, takipnea atau suhu yang tidak stabil)

6

5. Ikterus bertahan setelah 8 hari pada bayi cukup bulan atau setelah 14 hari pada bayi kurang bulan. 6. Ikterus yang disertai: - Berat lahir < 2.000 g - Masa gestasi < 36 minggu - Asfiksia, hipoksia, sindroma gawat nafas pada neonatus - Infeksi - Trauma lahir pada kepala - Hipoglikemia, hiperkarbia Kernikterus Adalah perubahan neuropatologi yang ditandai oleh deposisi pigmen bilirubin indirek/tak terkonjugasi pada beberapa daerah diotal terutama di ganglia basalis, pons dan serebelum. Kern Ikterus adalah digunakan untuk keadaan klinis kronik dengan skuele yang permanen karena toksik bilitubin.1,7 2.2

Metabolisme bilirubin Untuk mendapat pengertian yang cukup mengenai masalah ikterus pada neonatus, perlu

diketahui tentang metabolisme bilirubin pada janin dan neonatus. Perbedaan utama metabolisme adalah bahwa pada janin melalui plasenta dalam bentuk bilirubin indirek. Metabolisme bilirubin mempunyai tingkatan sebagai berikut :1,3,7 1.

Produksi Bilirubin adalah pigmen kristal berwarna jingga ikterus yang merupakan bentuk akhir dari pemecahan katabolime heme melalui proses reaksi oksidasi-reduksi. Langkah oksidasi pertama kali adalah biliverdin yang dibentuk dari heme dengan bantuan enzim heme oksigenase yaitu suatu enzim yang sebagaian besar terdapat dalam sel hati, dan organ lain. Dalam pembentukkan itu akan terbentuk besi yang digunakan kembali untuk pembentukkan hemoglobin dan karbonmonosida (CO) yang diekskresikan kedalam paru. Biliverdin kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim biliverdin reduktase. Biliverdin bersifat larut dalam air dan secara cepat akan diubah menjadi bilirubin melalui reaksi bilirubin reduktase. Bilirubin bersifat lipofilik dan terikat dengan hidrogen serta pada pH normal bersifat tidak larut. Jika tubuh akan mengekskresikan, diperlukkan mekanisme transport dan eliminasi bilirubin. Pada bayi baru lahir, sekitar 75% produksi bilirubin berasal dari katabolime heme haemoglobin dan sisanya 25% disebut early labelled bilirubin yang berasal dari pelepasan 7

hemoglobin karena eritopoesis yang tidak efektif didalam sumsum tulang, jaringan yang mengandung protein heme dan heme bebas. Bayi baru lahir akan memproduksi bilirubin 8-10 mg/kgBB/hari. Peningkatan produksi bilirubin pada bayi baru lahir disebabkan masa hidup eritrosit yang pendek (70-90 hari),peningkatan degradasi heme,turn over sitokrom yang meningkat dan juga reabsorbsi bilirubin dari usus yang meningkat. 2.

Transportasi Pembentukkan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial, selanjutkan dilepaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bayi baru lahir memiliki kapasitas ikatan plasma yang rendah terhadap bilirubin karena konsentrasi albumin yang rendah dan kapasitas ikatan molar yang kurang. Bilirubin yang pada albumin serum ini merupakan zat non polar dan tidak larut dalam air kemudian akan ditransferkan ke sel hepar. Bilirubin yang terikat dengan albumin tidak dapat memasuki susunan saraf pusat dan bersifat non toksik. Saat kompleks bilirubin-albumin mencapai membran plasma hepatosit, albumin terikat ke reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin, ditransfer melalui sel membran yang berikatan dengan ligandin (protein Y), mungkin juga dengan protein ikatan sitosolik lainnya. Keseimbangan antara jumlah bilirubin yang masuk ke sirkulasi, perpindahan bilirubin antar jaringan, pengambilan bilirubin oleh sel hati dan konjugasi bilirubin akan menentukkan konsentrasi bilirubin tak terkonjugasi dalam serum, baik pada keadaan normal ataupun tidak normal. Berkurangnya kapasitas pengambilan hepatik bilirubin tak terkonjugasi akan berpengaruh terhadap pembentukan ikterus fisiologis. Walaupun demikian defisiensi ambilan ini dapat menyebabkan hiperbilirubinemia terkonjugasi ringan pada minggu kedua kehidupan saat konjugasi bilirubin hepatik mencapai kecepatan normal yang sama dengan orang dewasa.1

3.

Konjugasi Bilirubin tak terkonjugasi dikonversikan ke bentuk bilirubin konjugasi yang larut dalam air diretikulum endoplasma dengan bantuan enzim uridine diphospat glucoronosyl transferase (UDPG-T). katalisa oleh enzim ini akan merubah bentuk bilirubin monoglukoronide menjadi diglukoronide. Bilirubin kemudian diekskresikan ke dalam kanalikulus empedu. Sedangkan satu molekul bilirubin tak terkonjugasi akan kembali ke retikulum endoplasmik untuk rekonjugasi berikutnya. Pada keadaan peningkatan beban bilirubin yang dihantarkan ke hati akan terjadi retensi bilirubin tak terkonjugasi

8

seperti halnya pada keadaan hemolisis kronik yang berat pigmen yang tertahan adalah bilirubin monoglukoronida. 4.

Ekskresi Sesudah konjugasi bilirubin ini menjadi bilirubin direk yang larut dalam air dan di ekskresi dengan cepat ke sistem empedu kemudian memasuki saluran pencernaan dan diekskresikan melalui feses. Dalam usus bilirubin direk ini tidak diabsorpsi; sebagian kecil bilirubin direk dihidrolisis menjadi bilirubin indirek dan direabsorpsi. Siklus ini disebut siklus enterohepatis. Selain itu pada bayi baru lahir, lumen usus halusnya steril sehingga bilirubin konjugasi tidak dapat dirubah menjadi sterkobilin (suatu produk yang tidak dapat diabsorbsi).

5.

Metabolisme bilirubin pada janin dan neonatus Pada likuor amnion yang normal dapat ditemukan bilirubin pada kehamilan 12 minggu, kemudian menghilang pada kehamilan 36-37 minggu. Pada inkompatibilitas darah Rh, kadar bilirubin dalam cairan amnion dapat dipakai untuk menduga beratnya hemolisis. Peningkatan bilirubin amnion juga terdapat pada obstruksi usus fetus. Bagaimana bilirubin sampai ke likuor amnion belum diketahui dengan jelas, tetapi kemungkinan besar melalui mukosa saluran nafas dan saluran cerna. Produksi bilirubin pada fetus dan neonatus diduga sama besarnya tetapi kesanggupan hepar mengambil bilirubin dari sirkulasi sangat terbatas. Demikian pula kesanggupannya untuk mengkonjugasi. Dengan demikian hampir semua bilirubin pada janin dalam bentuk bilirubin indirek dan mudah melalui plasenta ke sirkulasi ibu dan diekskresi oleh hepar ibunya. Dalam keadaan fisiologis tanpa gejala pada hampir semua neonatus dapat terjadi akumulasi bilirubin indirek sampai 2 mg%. Hal ini menunjukkan bahwa ketidakmampuan fetus mengolah bilirubin berlanjut pada masa neonatus. Pada masa janin hal ini diselesaikan oleh hepar ibunya, tetapi pada masa neonatus hal ini berakibat penumpukan bilirubin dan disertai gejala ikterus. Pada bayi baru lahir karena fungsi hepar belum matang atau bila terdapat gangguan dalam fungsi hepar akibat hipoksia, asidosis atau bila terdapat kekurangan enzim glukoronil transferase atau kekurangan glukosa, kadar bilirubin indirek dalam darah dapat meninggi. Bilirubin indirek yang terikat pada albumin sangat tergantung pada kadar albumin dalam serum. Pada bayi kurang bulan biasanya kadar albuminnya rendah sehingga dapat dimengerti bila kadar bilirubin indek yang bebas itu dapat meningkat dan sangat berbahaya karena bilirubin indirek yang bebas inilah yang dapat melekat pada sel otak. Inilah yang menjadi dasar pencegahan ‘kernicterus’ dengan pemberian albumin atau plasma. Bila kadar bilirubin indirek mencapai 20 mg% 9

pada umumnya kapasitas maksimal pengikatan bilirubin oleh neonatus yang mempunyai kadar albumin normal telah tercapai.

Gambar 1. Metabolisme Bilirubin pada Neonatus. 2.3

Etiologi

Penyebab ikterus pada bayi baru lahir dapat berdiri sendiri ataupun dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Secara garis besar etiologi ikterus neonatorum dapat dibagi :3,5,6 1.

Produksi yang berlebihan Hal ini melebihi kemampuan bayi untuk mengeluarkannya, misalnya pada hemolisis yang meningkat pada inkompatibilitas darah Rh, AB0, golongan darah lain, defisiensi enzim G-6-PD, piruvat kinase, perdarahan tertutup dan sepsis.

2.

Gangguan dalam proses “uptake” dan konjugasi hepar

10

Gangguan ini dapat disebabkan oleh bilirubin, gangguan fungsi hepar, akibat asidosis, hipoksia dan infeksi atau tidak terdapatnya enzim glukoronil transferase (sindrom criggler-Najjar). Penyebab lain yaitu defisiensi protein. Protein Y dalam hepar yang berperan penting dalam “uptake” bilirubin ke sel hepar. 3.

Gangguan transportasi Bilirubin dalam darah terikat pada albumin kemudian diangkat ke hepar. Ikatan bilirubin dengan albumin ini dapat dipengaruhi oleh obat misalnya salisilat, sulfafurazole. Defisiensi albumin menyebabkan lebih banyak terdapatnya bilirubin indirek yang bebas dalam darah yang mudah melekat ke sel otak.

4.

Gangguan dalam ekskresi Gangguan ini dapat terjadi akibat obstruksi dalam hepar atau diluar hepar. Kelainan diluar hepar biasanya disebabkan oleh kelainan bawaan. Obstruksi dalam hepar biasanya akibat infeksi atau kerusakan hepar oleh penyebab lain.

Ikterus yang berhubungan dengan pemberian air susu ibu. Diperkirakan 1 dari setiap 200 bayi aterm, yang menyusu, memperlihatkan peningkatan bilirubin tak terkonjugasi yang cukup berarti antara hari ke 4-7 kehidupan, mencapai konsentrasi maksimal sebesar

10-27 mg/dl, selama minggu ke 3. Jika mereka

terus disusui, hiperbilirubinemia secara berangsur-angsur akan menurun dan kemudian akan menetap selama 3-10 minggu dengan kadar yang lebih rendah. Jika mereka dihentikan menyusu, kadar bilirubin serum akan menurun dengan cepat, biasanya kadar normal dicapai dalam beberapa hari. Penghentian menyusu selama 2-4 hari, bilirubin serum akan menurun dengan cepat, setelah

itu

mereka

dapat

menyusu

kembali,

tanpa

disertai

timbulnya

kembali

hiperbilirubinemia dengan kadar tinggi, seperti sebelumnya. Bayi ini tidak memperlihatkan tanda kesakitan lain dan kernikterus tidak pernah dilaporkan. Susu yang berasal dari beberapa ibu mengandung 5 b-pregnan-3 a, 2ab-diol dan asam lemak rantai panjang, tak-teresterifikasi, yang secara kompetitif menghambat aktivitas konjugasi glukoronil transferase, pada kira-kira 70% bayi yang disusuinya. Pada ibu lainnya, susu yang mereka hasilkan mengandung lipase yang mungkin bertanggung jawab atas terjadinya ikterus. Sindroma ini harus dibedakan dari hubungan yang sering diakui, tetapi kurang didokumentasikan, antara hiperbilirubinemia takterkonjugasi, yang diperberat yang terdapat dalam minggu pertama kehidupan dan menyusu pada ibu.(3-4) 11

Tabel 1. Faktor etiologi yang mungkin berhubungan dengan hiperbilirubinemi pada bayi yang mendapatkan ASI1,7 Asupan cairan :  Kelaparan  Frekuensi menyusui  Kehilangan berat badan/dehidrasi Hambatan eksresi bilirubin hepatik  Pregnandiol  Lipase free fatty acid  Unidentified inhibitor Intestinal reabsorption of bilirubin      2.4

Pasase mekonium terlambat Pembentukkan urobilinoid bakteri Beta-glukorinidase Hidrolisis alkaline Asam empedu Faktor resiko

Faktor resiko timbulnya ikterus neonatorum :1 a. Faktor Maternal - Ras atau kelompok etnik tertentu ( Asia, Native American, Yunani) - Komplikasi kehamilan ( DM, inkompatibilitas ABO dan Rh) - Penggunaan infus oksitosin dalam larutan hipotonik, ASI b. Faktor Perinatal - Trauma lahir (sefalhematom,ekimosis) - Infeksi (bakteri,virus,protozoa) c. Faktor Neonatus - Prematuritas - Faktor genetik - Polisitemia - Obat ( streptomisin, kloramfenikol, benzyl-alkohol, sulfisoxazol) - Rendahnya asupan ASI - Hipoglikemia - Hipoalbuminemia Faktor yang berhubungan dengan ikterus fisiologis1,7 Tabel 2. Faktor yang berhubungan dengan ikterus fisiologis 12

Dasar Peningkatan bilirubin yang tersedia 

Peningkatan produksi bilirubin



Peningkatan

resirkulasi

melalui

Penyebab -

Peningkatan produksi sel darah merah Penurunan umur sel darah merah Peningkatan early bilirubin Peningkatan aktifitas Bglukoronidase tidak adanya flora

enterohepatik shunt -

bakteri Pengeluaran

mekonium

yang

terlambat Penurunan bilirubin clearance  

Penurunan clearance dari plasma Penurunan metabolisme hepatik

-

Defisiensi protein karier Penurunan aktifitas UDPGT

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya ikterus dikatakan non fisiologis atau patologis jika pigmennya dan waktu menghilangnya berbeda dari kriteria yang telah disebutkan pada ikterus fisiologis. Walaupun kadar bilirubin masi dalam batas-batas fisiologis, tetapi klinis mulai terdapat tanda-tanda Kern Ikterus, maka keadaan ini disebut ikterus non fisiologis atau patologis.2,4 Ikterus non fisiologi dapat terjadi karena beberapa faktor yaitu :3 a. Ikterus Prahepatik Karena produksi bilirubin yang meningkat yang terjadu pada hemolisis sel darah merah. Peningkatan pembentukan bilirubin dapat disebabkan oleh: Kelainan sel darah merah. Infeksi seperti malaria,sepsis. Toksin yang berasal dari luar tubuh seperti: obat-obatan, maupun berasal dari dalam tubuh seperti yang terjadi pada reaksi transfusi dan eritroblastosis fetalis. b. Ikterus pascahepatik Bendungan pada saluran empedu akan menyebabkan peningkatan bilirubin konjugasi yang larut dalam air. Akibatnya bilirubin meningkat akan mengalami regurgitasi kembali kedalam sel hati dan terus memasuki peredaran darah, masuk ke ginjal dan di eksresikan oleh ginjal sehingga ditemukan bilirubin dalam urin. Sebaliknya karena ada bendungan pengeluaran bilirubin kedalam saluran pencernaan berkurang sehingga tinja akan berwarna dempul karena tidak mengandung sterkobilin. c. Ikterus Hepatoselular

13

Kerusakan sel hati dapat menyebabkan konjugasi bilirubin terganggu sehingga bilirubin direk akan meningkat dan juga menyebabkan bendungan ke dalam hati sehingga bilirubin darah akan mengadakan regurgitasi ke dalam sel hati yang kemudian menyebabkan peninggian kadar bilirubin konjugasi di dalam darah. Kerusakan sel hati terjadi pada keadaan: hepatitis,sirosis hepatis,tmor,bahan kimia dan lainya. 2.5

Patofisiologi Peningkatan kadar bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan. Kejadian

yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban bilirubin pada sel hepar yang terlalu berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran eritrosit, polisitemia, memendeknya umur eritrosit janin/bayi, meningkatnya bilirubin dari sumber lain, atau terdapatnya peningkatan sirkulasi enterohepatik. Gangguan ambilan bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y berkurang atau pada keadaan proten Y dan protein Z terikat oleh anion lain, misalnya pada bayi dengan asidosis atau dengan anoksia/hipoksia. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi hepar (defisiensi enzim glukoranil transferase) atau bayi yang menderita gangguan ekskresi, misalnya penderita hepatitis neonatal atau sumbatan saluran empedu intra/ekstra hepatik. Pada derajat tertentu, bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas ini terutama ditemukan pada bilirubin indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. Sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologik pada sel otak apabila bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak ini disebut kernikterus atau ensefalopati biliaris. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada susunan saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar bilirubin indirek lebih dari 20 mg/dl. Mudah tidaknya bilirubin melalui sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung dari tingginya kadar bilirubin tetapi tergantung pula pada keadaan neonatus sendiri. Bilirubin indirek akan mudah melalui sawar daerah otak apabila pada bayi terdapat keadaan imaturitas, berat lahir rendah, hipoksia, hiperkarbia, hipoglikemia, dan kelainan susunan saraf pusat yang terjadi karena trauma atau infeksi.1,3 2.6

Manifestasi Klinis Pengamatan ikterus paling baik dilakukan dengan cahaya sinar matahari. Bayi baru

lahir (BBL) tampak kuning apabila kadar bilirubin serumnya kira-kira 6 mg/dl atau 100 14

mikro mol/L (1 mg mg/dl = 17,1 mikro mol/L). salah satu cara pemeriksaan derajat kuning pada BBL secara klinis, sederhana dan mudah adalah dengan penilaian menurut Kramer (1969). WHO dalam panduannya menerangkan cara menentukan ikterus secara visual, sebagai berikut : -

pemeriksaan dilakukan dengan pencahayaan yang cukup ( disiamg hari dengan cahaya matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat dengan pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang.

-

Tekan kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di bawah kulit dan jaringan subkutan.

-

Tentukan keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang tampak kuning.2-3

-

Gambar 2. Pembagian ikterus menurut Kramer.

15

Tabel 3.

Hubungan kadar bilirubin (mg/dL) dengan daerah hiperbilirubinemia menurut

Kramer. Kadar bilirubin

Daerah

Penjelasan

hiperbilirubinemia

(mg/dL) Prematur Aterm 4–8 4–8

1

Kepala dan leher

2

Dada sampai pusat

5 – 12

5 – 12

3

Pusat bagian bawah sampai lutut

7 – 15

8 – 16

4

Lutut sampai pergelangan kaki dan bahu

9 – 18

11 – 18

> 10

> 15

sampai pergelangan tangan 5

Kaki dan tangan termasuk telapak kaki dan telapak tangan Tabel 4. Perkiraan Klinis Tingkat Keparahan Ikterus Usia

Kuning terlihat pada

Tingkat keparahan ikterus

Hari 1

Bagian tubuh manapun

Berat

Hari 2

Lengan dan tungkai

Hari ke 3 dan seterusnya

Tangan dan kaki

Bila kuning terlihat pada bagian tubuh mananpun pada hari pertama dan terlihat pada lengan, tungkaim tangan dan kaki pada hari keduam maka digolongankan sebagai ikterus sangat berat dan memerlukan terapi sinar secepatmya. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan kadar bilurbin serum untuk memulai terapi sinar. 2.7

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus

neonatorum serta untuk menentukkan perlunya intervensi lebih lanjut. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin adalah tindakan ini merupakan tindakan invasif yang dianggap dapat meningkatkan morbiditas neonatus. Namun pada bayi yang mengalami ikterus berat, lakukan terapi sinar sesegera mungkin, jangan menunda terapi sinar dengan menunggu hasil pemeriksaan kadar serumbilirubin. ‘Transcutaneous bilirubin (TcB)’ dapat digunakan untuk menentukan kadar serum bilirubin 16

total, tanpa harus mengambil sampel darah. Namun alat ini hanya valid untuk kadar bilirubin total < 15 mg/dL (<257 μmol/L), dan tidak ‘reliable’ pada kasus ikterus yang sedang mendapat terapi sinar. Pemeriksaan yang perlu dilakukan : a. pemeriksaan bilirubin ( direk dan indirek) berkala b. pemeriksaan darah tepi c. pemeriksaan penyaring G6PD d. pemeriksaan lainya yang berkaitan dengan kemungkinan penyebab. Antara lain : - Darah rutin Pemeriksaan darah dilakukan unutk mengetahui adanya suatu anemia dan juga keadaan infeksi. - Urin Tes yang sederhana yang dapat kita lakukan adalah melihat warna urin dan melihat apakah terdapat bilirubin di dalam urin atau tidak. - Bilirubin Penyebab ikterus yang tergolong pre-hepatik akan menyebabkan peningkatan bilirubin indirek. Kelainan intrahepatik dapat berakibat hiperbilirubin indirek maupun direk. Kelainan posthepatik dapat meningkatkan bilirubin direk. - Aminotransferase dan alkali fosfatase - Tes serologi hepatitis virus IgM hepatitis A adalah pemeriksaan diagnostik untuk hepatitis A akut. Hepatitis B akut ditandai oleh adanya HBSAg dan deteksi DNA hepatitis B. - Biopsi hati Histologi hati tetap merupakan pemeriksaan definitif untuk ikterus hepatoseluler dan beberapa kasus ikterus kolestatik (sirosis biliaris primer, kolestasis intrahepatik akibat obat-obatan (drug induced). - Pemeriksaan pencitraan Pemeriksaan pencitraan sangat berharga ubtuk mendiagnosis penyakit infiltratif dan kolestatik. USG abdomen, CT Scan, MRI sering bisa menemukan metastasis dan penyakit fokal pada hati. Pemeriksaan serum bilirubin total harus diulang setiap 4-24 jam tergantung usia bayi dan tingginya kadar bilirubin. Kadar serum albumin juga perlu diukur untuk menentukan pilihan terapi sinar ataukah tranfusi tukar. 3 2.8

Diagnosis

17

Berbagai faktor resiko dapat meningkatkan kejadian hiperbilirubinemia yang berat. Perlu penilaian pada bayi baru lahir terhadap berbagai resiko, terutama untuk bayi-bayi yang pulang leboh awal. Selain itu juga dilakukan pencatatan medis bayi dan disosialisasikan pada dokter yang menangani bayi tersebut selanjutnya.5 Anamnesis ikterus pada riwayat obstetri sebelumnya sangat membantu dalam menegakkan diagnosis ikterus pada bayi. Termasuk dalam hal ini anamnesis mengenai riwayat inkompatabilitas darah, riwayat transfusi tukar atau terapi sinar pada bayi sebelumnya. Disamping itu faktor risiko kehamilan dan persalinan juga berperan dalam diagnosis dini ikterus/hiperbilirubinemia pada bayi Tampilan ikterus ikterus harus dapat ditentukan dengan memeriksa bayi dalam ruangan pencahayaan yang baik dan menekan kulit dengan tekanan ringan untuk melihat warna kulit dan jaringan subkutan dan pemeriksaan fisik harus difokuskan pada identifikasi dari salah satu penyebab ikterus patologis. Kondisi bayi harus diperiksa pucat, petekie,ektravasasi darah, memar kulit yang berlebihan, hepatosplenomegali, kehilangan berat badan dan bukti adanya dehidrasi. Guna mengantisipasi komplikasi yang timbul, maka perlu diketahui daerah letak kadar bilirubin serum total beserta faktor resiko yang terjadinya hiperbilirubinemia yang berat. Faktor risiko tersebut antara lain adalah kehamilan dengan komplikasi, persalinan dengan tindakan/komplikasi, obat yang diberikan pada ibu selama hamil/persalinan, kehamilan dengan diabetes melitus, gawat janin, malnutrisi intrauterin, infeksi intranatal, dan lain-lain.

18

Gambar 4. Kurva fototerapi berdasarkan America Association of Pediatry5 Normogram diatas merupakan penentuan resiko hiperbilirubinemia pada bayi sehat usia 36 minggu atau lebih dengan berat badan 2000 gram atau lebih atau usia kehamilan 35 minggu atau lebih dan berat badan lahir 2500 gram atau lebih berdasarkan jam observasi kadar bilirubin serum. Pendekatan menentukan kemungkinan penyebab Menetapkan penyebab ikterik tidak selamanya mudah dan membutuhkan pemeriksaan yang banyak dan mahal. Waktu timbulnya ikterus mempunyai arti yang penting pula dalam diagnosis dan penatalaksanaan penderita karena saat timbulnya ikterus mempunyai kaitan yang erat dengan kemungkinan penyebab ikterus tersebut,sehingga dibutuhkan suatu pendekatan khusus untuk dapat memperkirakan penyebabnya yaitu : A. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama Penyebab ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya kemungkinan dapat disusun sebagai berikut : 1. Inkompatibilitas darah Th,ABO atau golongan lain 2. Infeksi intrauterin (rubela, penyakit sitomegali, toksoplasmosis, atau sepsis bakterial) 3. Defisiensi G6PD

19

B. Ikterus yang timbul 24-72 jam sesudah lahir 1.Biasanya ikterus fisiologis 2.Inkompatibilitas darah ABO atau Rh atau golongan lain. Hal ini dapat diduga kalau peningkatan kadar bilirubin cepat, misalnya melebihi 5 mg %/24 jam. 3.Defisiensi enzin G6PD juga mungkin 4.Polisitemia 5.Hemolisis perdarahan tertutup (perdarahan subapneurosis,pendarahan subkapsuler dan lainnya) 6.Hipoksia 7.Srerositosis, elipsitosis, dan lain-lain. 8.Dehidrasi asidosis 9.Defisiensi enzim eritrosit lainnya. C. Iketrus yang timbyl sesudah 72 jam sampai akhir minggu pertama 1. Infeksi (Sepsis) 2. Dehidrasi asidosis 3. Defisiensi enzim G6PD 4. Pengaruh obat 5. Sindrom Crigler-Najjar 6. Sindrom Gilbert D. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya 1. Biasnaya karena obstruksi (atresia duktus koledokus, stenosis pilorus) 2. Hipotiroidisme 3. “Breast milk jaundice” 4. infeksi 5. neonatal hepatitis 6. Galaktosemia Pada breast milk jaundice terjadi hiperbilirubinemia pada 1 % dari bayi yang diberikan ASI. Hiperbilirubinemia biasanya terjadi pada hari kelima dan kadar bilirubin mencapai puncak pada hari ke-14 dan kemudian turun dengan pelan. Kadar normal tidak akan tercapai sebelum umur 12 minggu atau lebih lama. Jika pemberian ASI distop dan fototerapi singkat diberikan, kadar bilirubin akan menurun dengan cepat dalam waktu 48 jam.1-2 20

Gambar 3. Bagan Diagnosis Ikterus.

2.9

Diagnosis Banding Ikterus yang terjadi pada saat lahir atau dalam waktu 24 jam pertama kehidupan

mungkin sebagai akibat eritroblastosis foetalis, sepsis, penyakit inklusi sitomegalik, rubela atau toksoplasmosis kongenital. Ikterus pada bayi yang mendapatkan tranfusi selama dalam uterus, mungkin ditandai oleh proporsi bilirubin bereaksi-langsung yang luar biasa tingginya.

21

Ikterus yang baru timbul pada hari ke 2 atau hari ke 3, biasanya bersifat “fisiologik”, tetapi dapat

pula

merupakan

manifestasi

ikterus

yang

lebih

parah

yang

dinamakan

hiperbilirubinemia neonatus. Ikterus nonhemolitik familial (sindroma Criggler-Najjar) pada permulaannya juga terlihat pada hari ke-2 atau hari ke-3. Ikterus yang timbul setelah hari ke 3, dan dalam minggu pertama, harus dipikirkan kemungkinan septikemia sebagai penyebabnya; keadaan ini dapat disebabkan oleh infeksi-infeksi lain terutama sifilis, toksoplasmosis dan penyakit inklusi sitomegalik. Ikterus yang timbul sekunder akibat ekimosis atau hematoma ekstensif dapat terjadi selama hari pertama kelahiran atau sesudahnya, terutama pada bayi prematur. Polisitemia dapat menimbulkan ikterus dini. Ikterus yang permulaannya ditemukan setelah minggu pertama kehidupan, memberi petunjuk adanya, septikemia, atresia kongenital saluran empedu, hepatitis serum homolog, rubela, hepatitis herpetika, pelebaran idiopatik duktus koledoskus, galaktosemia, anemia hemolitik kongenital (sferositosis) atau mungkin krisis anemia hemolitik lain, seperti defisiensi enzim piruvat kinase dan enzim glikolitik lain, talasemia, penyakit sel sabit, anemia non-sperosit herediter), atau anemia hemolitik yang disebabkan oleh obat-obatan (seperti pada defisiensi kongenital enzim-enzim glukosa-6-fosfat dehidrogenase, glutation sintetase, glutation reduktase atau glutation peroksidase) atau akibat terpapar oleh bahan-bahan lain.5 Ikterus persisten selama bulan pertama kehidupan, memberi petunjuk adanya apa yang dinamakan “inspissated bile syndrome” (yang terjadi menyertai penyakit hemolitik pada bayi neonatus), hepatitis, penyakit inklusi sitomegalik, sifilis, toksoplasmosis, ikterus nonhemolitik familial, atresia kongenital saluran empedu, pelebaran idiopatik duktus koledoskus atau galaktosemia. Ikterus ini dapat dihubungkan dengan nutrisi perenteral total. Kadang-kadang ikterus fisiologik dapat berlangsung berkepanjangan sampai beberapa minggu, seperti pada bayi yang menderita penyakit hipotiroidisme atau stenosis pilorus. Tanpa mempersoalkan usia kehamilan atau saat timbulnya ikterus, hiperbilirubinemia yang cukup berarti memerlukan penilaian diagnostik yang lengkap, yang mencakup penentuan fraksi bilirubin langsung (direk) dan tidak langsung (indirek) hemoglobin, hitung leukosit, golongan darah, tes Coombs dan pemeriksaan sediaan apus darah tepi. Bilirubinemia indirek, retikulositosis dan sediaan apus yang memperlihatkan bukti adanya penghancuran eritrosit, memberi petunjuk adanya

hemolisis; bila tidak terdapat

ketidakcocokan golongan darah, maka harus dipertimbangkan kemungkinan adanya hemolisis akibat nonimunologik. Jika terdapat hiperbilirubinemia direk, adanya hepatitis, kelainan metabolisme bawaan, fibrosis kistik dan sepsis, harus dipikirkan sebagai suatu

22

kemungkinan diagnosis. Jika hitung retikulosit, tes Coombs dan bilirubin direk normal, maka mungkin terdapat hiperbilirubinemia indirek fisiologik atau patologik.1,4,6 2.10

Komplikasi Komplikasi yang ditakuti dari hiperbilirubinemia adalah kern icterus. Kern icterus

atau ensefalopati bilirubin adalah sindrom neurologis yang disebabkan oleh deposisi bilirubin tidak terkonjugasi (bilirubin tidak langsung atau bilirubin indirek) di basal ganglia dan nukleus batang otak. Patogenesis kern icterus bersifat multifaktorial dan melibatkan interaksi antara kadar bilirubin indirek, pengikatan oleh albumin, kadar bilirubin yang tidak terikat, kemungkinan melewati sawar darah otak, dan suseptibilitas saraf terhadap cedera. Kerusakan sawar darah otak, asfiksia, dan perubahan permeabilitas sawar darah otak mempengaruhi risiko terjadinya kern icterus.5,7 Pada bayi sehat yang menyusu, kern icterus terjadi saat kadar bilirubin >30 mg/dL dengan rentang antara 21-50 mg/dL. Onset umumnya pada minggu pertama kelahiran tapi dapat tertunda hingga umur 2-3 minggu. Gambaran klinis kern icterus antara lain :7 1) Bentuk akut : a. Fase 1(hari 1-2) : tidak kuat menyusui, stupor, hipotonia, kejang. b. Fase 2 (pertengahan minggu I) : hipertoni otot ekstensor, opistotonus, retrocollis, demam. c. Fase 3 (setelah minggu I) : hipertoni. 2) Bentuk kronis : a. Tahun pertama : hipotoni, active deep tendon reflexes, obligatory tonic neck reflexes, keterampilan motorik yang terlambat. b. Setelah tahun pertama : gangguan gerakan (choreoathetosis, ballismus, tremor), gangguan pendengaran. Oleh karena itu terhadap bayi yang menderita hiperbilirubinemia perlu dilakukan tindak lanjut sebagai berikut: 2 1. Penilaian berkala pertumbuhan dan perkembangan 2. Penilaian berkala pendengaran 3. Fisioterapi dan rehabilitasi bila terdapat gejala sisa

23

2.11

Penatalaksaan

MANAJEMEN Berbagai cara telah dilakukan untuk mengelola bayi baru lahir dengan hiperbilirubinemia indirek. Strategi tersebut termaksud : pencegahan, penggunaan farmakologi, fototerapi, dan transfusi tukar.5 Tujuan

utama

dalam

penatalaksanaan

ikterus

neonatorum

adalah

untuk

mengendalikan agar kadar bilirubin serum tidak mencapai nilai yang dapat menbimbulkan kern-ikterus/ensefalopati bilirubin, serta mengobati penyebab langsung ikterus tadi. Pengendalian kadar bilirubin dapat dilakukan dengan mengusahakan agar konjugasi bilirubin dapat lebih cepat berlangsung. Hal ini dapat dilakukan dengan merangsang terbentuknya glukoronil transferase dengan pemberian obat-obatan (luminal). Pemberian substrat yang dapat menghambat metabolisme bilirubin (plasma atau albumin), mengurangi sirkulasi enterohepatik (pemberian kolesteramin), terapi sinar atau transfusi tukar, merupakan tindakan yang juga dapat mengendalikan kenaikan kadar bilirubin. Dikemukakan pula bahwa obatobatan (IVIG : Intra Venous Immuno Globulin dan Metalloporphyrins) dipakai dengan maksud menghambat hemolisis, meningkatkan konjugasi dan ekskresi bilirubin.(1-5) a. Memberikan substrat yang kurang toksik untuk transportasi atau konjugasi Contohnya ialah pemberian albumin untuk mengikat bilirubin yang bebas. Albumin dapat diganti dengan plasma dengan dosis 15-20 mg/kgBB. Albumin biasanya diberikan sebelum transfusi tukar dikerjakan oleh karena albumin akan mempercepat keluarnya bilirubin dari ekstravaskuler ke vaskuler sehingga bilirubin yang diikatnya lebih mudah dikeluarkan dengan transfusi tukar. Glukosa perlu diberikan untuk konyugasi hepar sebagai sumber energy. b. Melakukan dekomposisi bilirubin dengan fototerapi 2,5 Indikasi terapi sinar adalah: Bayi kurang bulan atau bayi berat lahir rendah dengan kadar bilirubin >10 mg/dL. 1. Bayi cukup bulan dengan kadar bilirubin >15 mg/dL.

24

Lama terapi sinar adalah selama 24 jam terus-menerus, istirahat 12 jam, bila perlu dapat diberikan dosis kedua selama 24 jam.

Gambar 4. Kurva fototerapi berdasarkan America Association of Pediatry5  Sebagai patokan digunakan kadar bilirubin total  Pada bayi usia kehamilan 35-37 minggu diperbolehkan untuk melakukan foto terapi pada kadar bilirubin toral sekitar medium risk line. Merupakan pilihan untuk melakukan intervensi pada kadar bilirubin total serum yang lebih rendah pada bayibayi yang mendekati usia kehamilan 35 minggu dan kadar bilirubin total serum yang lebih tinggi untuk bayi yang berusia mendekati 37 minggu.  Diperbolehkan melakukan foto terapi baik di rumah sakit atau dirumah bila kadar bilirubin serum total 2-3mg/dL dibawah garis yang ditunjukkan, namun bayi-bayo yang memiliki faktor resiko foto terapi sebaiknya tidak dilakukan dirumah Foto terapi intensif adalah fototerapi yang menggunakan sinar blue-green spectrum ( panjang gelombang 430-490 nm) dengan kekuatan paling kurang 30 uW/cm 2. Bila bilirubin tidak menurun atau cenderung naik pada bayi-bayi yang mendapat fototerapi 25

c. Transfusi tukar pada umumnya dilakukan dengan indikasi sebagai berikut 2 a.Kadar bilirubin tidak langsung >20 mg/dL b. Kadar bilirubin tali pusat >4 mg/dL dan Hb <10 mg/dL c.Peningkatan bilirubin >1 mg/dL Gambar 4. Kurva pandauan transfusi tukar pada bayi usai kehamilan > atau sama dengan 35

minggu berdasarkan America Association of Pediatry 5

Usia Hari 1

Terapi Sinar Bayi Sehat Faktor Resiko mg/dL mmol/L mg/dL mmol/L Setiap ikterus yang terlihat

Tranfusi Tukar Bayi Sehat Faktor resiko mg/dL mmol/L mg/dL mmol/L

15

260

13

220

Hari 2 Hari 3

15 18

260 310

13 16

220 270

19 30

330 510

15 20

260 340

Hari 4 dst

20

340

17

290

30

510

20

340

Tabel 3. Penanganan Bilirubinemia Berdasarkan Kadar Bilirubin Serum 2 d. Terapi suportif, antara lain : 2 a. Minum ASI atau pemberian ASI peras. b. Infus cairan dengan dosis rumatan.

26

2.12

Pencegahan

Ikterus dapat dicegah dan dihentikan laju peningkatannya dengan : 1,5 1) Pencegahan primer - Menganjurkan ibu untuk menyusui bayinya paling sedikit 8-12 kali perhari untuk beberapa hari pertama. Tidak memberikan cairan rutin seperti dekstrose atau air pada bayi yang mendapatkan

-

ASI dan tidak mengalami dehidrasi 2) Penccgahan skunder - Melakukan penilaian sistematis terhadap resiko kemungkinan terjadinya ikterus atau hiperbilirubinemia berat selama periode neonatal yaitu :  Semua wanita hamil harus diperiksa golongan darah ABO dan rhesus serta -

penyaringan serum untuk antibodi isoimun yang tidak biasa Harus memastikan bahwa semua bayi secara rutin dimonitor terhadap timbulnya ikterus dan menetapkan protokol terhadap penilaian ikterus yang harus dinilai saat

pemeriksaan tanda vital bayi, tetapi tidak kurang dari 8-12 jam 3) Evaluasi laboratorium - Pengukuran bilirubin transkutan dan atau bilirubin serum total harus dilakukan pada setiap bayi yang mengalami ikterus dalam 24 jam pertama setelah lahir. Penentuan waktu dan perlunya pengukuran ulang bilirubin transkutan atau bilirubin serum total tergantung pada daerah dimana kadar bilirubin serum total terletak, umur bayi dan -

evolusi hiperbiliruinemia. Pengukuran bilirubin transkutan dan atau bilirubin serum total harus dilakukan bila tampak ikterus yang berlebihan, jika derajat ikterus meragukan dan pada kulit hitam

oleh karena pemeriksaan derajat ikterus secara visual sering sekali salah. 4) Penyebab kuning - Memikirkan kemungkinan penyebab ikterus pada bayi yang menerima fototerapi atau bilirubin serum total meningkat cepat dan tidak dapat dijelaskan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis.  Bayi yang mengalami peningkatan bilirubin direk atau konjugasi harus dilakukan analisis dan kultur urin. Pemeriksaan laboratorium tambahan untuk mengevaluasi sepsis harus dilakukan bila terdapat indikasi berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis.  Bayi sakit dan ikterus pada atau umur lebih 3 minggu harus dilakukan pemeriksaan bilirubin total dan direk atau bilirubin konjugasi untuk mengindentifikasi adanya kolestasis. Juga dilakukan penyaringan terhadap tiroid dan galaktosemia.

27

 Pemeriksaan terhadap G6PD direkomendasikan untuk bayi ikterus yang mendapat fototerapi dan dengan riwayat keluarga atau etnis/asal geografis yang menunjukkan kecenderungan defisiensi G6PD atau pada bayi dengan respon terhadap fototerapi yang buruk. 5) Penilaian resiko sebelum bayi dipulangkan Sebelum pulang dari rumah sakit, setiap bayi harus dinilai terhadap resiko berkembangnya hiperbilirubinemia berat dan semua perawatan harus menetapkan protokol untuk menilai resiko ini. Penilaian ini sangat penting pada bayi yang pulang sebelum umur 72 jam.  Ada dua pilihan rekomendasi klinis yaitu : pengukuran kadar bilirubin transkutaneus atau kadar bilirubin serum total sebelum keluar RS, secara individual atau kombinasi untuk pengukuran yang sistematis terhadap resiko  Penilaian faktor resiko klinis. 6) Kebijakan dan prosedur rumah sakit Harus memberikan informasi tertulis dan lisan kepada orangtua saat keluar dari RS, termasuk penjelasan tentang kuning, perlunya monitoring terhadap kuning dan anjuran bagaimana monitoring harus dilakukan  Tindak lanjut : Semua bayi harus diperiksa oleh petugas kesehatan profesional yang berkualitas beberapa hari setelah keluar RS untuk menilai keadaan bayi dan ada tidaknya kuning. Waktu dan tempat untuk melakukan penilaian ditentukkan berdasarkan lamanya perawatan, ada atau tidaknya faktor resiko untuk hiperbilirubinemia dan resiko masalah neonatal lainnya.

 Saat tindak lanjut : berdasarkan tabel dibawah ini Bayi keluar RS Sebelum umur 24 jam Antara umur 24 dan 72 jam Antara umur 48 dan 72 jam Tabel 5. Saat tindak lanjut5 Selainan itu pencegahan juga dilakukan dengan cara

Harus dilihat saat umur 72 jam 96 jam 120 Jam :

28

a.

Pengawasan antenatal yang baik

b.

Menghindari obat yang dapat meningkatkan hiperbilirubinemia pada bayi pada masa kehamilan dan kelahiran, mislnya sulfafurazol, novobiotin, oksitosin, dan lain-lain.

c.

Pencegahan dan mengobati hipoksia pada janin dan neonatus

d.

Iluminasi yang baik pada bangsal bayi baru lahir

e.

Pemberian makanan yang dini

f.Pencegahan infeksi g.

Pemberian ASI eksklusif

Pengelolaan ikterus dini (early jaundice) pada bayi yang mendapat ASI7 1.

Observasi semua feses awal bayi. Pertimbangkan untuk merangsang pengeluaran jika feses tidak keluar dalam waktu 24 jam

2. Segera mulai menyusui dan beri sesering mungkin. Menyusui yang sering dengan waktu yang singkat lebih efektif dibandingkan dengan menyusui yang lama dengan frekuensi yang jaranh walaupun total waktu yang diberikan adalah sama 3. Tidak dianjurkan pemberian air, dekstrosa atau formula penganti 4. Observasi berat badan, bak dan bab yang berhubungan dengan pola menyusui 5. Ketika kadar bilirubin mencapai 15mg/dL, tingkatkan pemberian minum, rangsang pengeluaran/produksi ASI dengan cara memompa dan menggunakan protokol penggunaan fototerapi yang dikeluarkan AAP 6. Tidak terdapat bukti bahwa early jaundice berhubungan dengan abnormalitas ASI, sehingga penghentian menyusui sebagai suatu asupan upaya hanya diindikasikan jika ikterus menetap lebih dari 6 hari atau meningkat di atas 20 mg/dL atau ibu memiliki riwayat bayi sebelumnya terkena kuning.

MONITORING Monitoring yang dilakukan antara lain : 1. Bilirubin dapat menghilang dengan cepat dengan terapi sinar. Warna kulit tidak dapat digunakan sebagai petunjuk untuk menentukan kadar bilirubin serum selama bayi mendapat terapi sinar dan selama 24 jam setelah dihentikan. 2. Pulangkan bayi bila terapi sinar sudah tidak diperlukan, bayi minum dengan baik, atau bila sudah tidak ditemukan masalah yang membutuhkan perawatan di RS.2,5 29

2.13.

Prognosis Ikterus baru akan berpengaruh buruk apabila bilirubin indirek telah melalui sawar

darah otak. Pada keadaan ini penderita mungkin menderita kernikterus atau ensefalopati biliaris. Gejala ensefalopati biliaris ini dapat segera terlihat pada masa neonatus atau baru tampak setelah beberapa lama kemudian. Pada masa neonatus gejala mungkin sangat ringan dan hanya memperlihatkan gangguan minum, latergi dan hipotonia. Selanjutnya bayi mungkin kejang, spastik dan ditemukan epistotonus. Pada stadium lanjut mungkin didapatkan adanya atetosis disertai gangguan pendengaran dan retardasi mental di hari kemudian. Dengan memperhatikan hal di atas, maka sebaiknya pada semua penderita hiperbilirubinemia dilakukan pemeriksaan berkala, baik dalam hal pertumbuhan fisis dan motorik, ataupun perkembangan mental serta ketajaman pendengarannya.3,8

BAB III KESIMPULAN Ikterus merupakan disklorisasi pada kulit atau organ lain akibat penumpukan bilirubin. Bila ikterus terlihat pada hari ke 2-3 dengan kadar bilirubin indirek 5-6 mg/dl dan untuk selanjutnya menurun hari ke 5-7 kehidupan maka disebut ikterus fisiologis sedangkan ikterus patologis yaitu bila bilirubin serum meningkat dengan kecepatan lebih besar dari 5

30

mg/dl / 24 jam pertama kehidupan yang selanjutnya dapat terjadi kernikterus bila tidak didiagnosa dan ditangani secara dini. Gejala klinik yang dapat ditimbulkan antara lain letargik, nafsu makan yang menurun dan hilangnya refleks moro merupakan tanda-tanda awal yang lazim ditemukan tanda-tanda kernikterus jarang timbul pada hari pertama terjadinya kernikterus. Pengobatan yang diberikan pada ikterus bertujuan untuk mencegah agar konsentrasi bilirubin indirek dalam darah tidak mencapai kadar yang menimbulkan neurotoksitas, pengobatan yang sering diberikan adalah fototerapi dan transfusi tukar. Prognosis ikterus tergantung diagnosa secara dini dan penatalaksanan yang cepat dan tepat.

DAFTAR PUSTAKA 1. Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2010. Buku Ajar Neonatologi. Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia: Jakarta 2. Direktorat Jendral Bina Upaya Kesehatan. 2004. HTA Indonesia 2004 Tatalaksana Ikterus Neonatorum. Kementrian kesehatan RI: Jakarta

31

3. Etika,

R.,

Harianto,

A.,

Indarso,

F.,

Damanik,

Sylviati

M.

2004.

Hiperbilirubinemia Pada Neonatus. Divisi Neonatologi Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fk Unair/Rsu Dr. Soetomo – Surabaya 4. Kliegman, Robert M. 2004. Neonatal Jaundice And Hyperbilirubinemia Dalam : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB Editors. Nelson Textbook Of Pediatrics. 17Th Edition. Philadelphia, Pennsylvania : Saunders. 5. American Academy of Pediatrics, Subcommittee on Hyperbilirubinemia. 2004. Management Of Hyperbilirubinemia In The Newborn Infant 35 Or More Weeks Of Gestation. Pediatrics; 114;297-316. 6. Glaser K.L., Jaundice and Hyperbilirubinemia in the Newborn in Pediatrics, in www.medstudents-pediatrics.htm, 2001; page 1-3. 7. Blackburn ST, penyunting.Bilirubin metabolism. Maternal, fetal & neonatal physiology, a clinical perspective. Edisi ke-3.Saunders;2007. 8. Medline Plus. Bilirubin. Http://www.nlm.nih.gov. 9. Sulaiman A. Pendekatan Klinis pada Pasien Ikterus. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III edisi IV. Jakarta : Pusat penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. 2006. 422-425.

32

Related Documents


More Documents from "tyana"