Referat Skizofrenia Dayu

  • Uploaded by: muscadom
  • 0
  • 0
  • March 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Referat Skizofrenia Dayu as PDF for free.

More details

  • Words: 6,008
  • Pages: 32
Loading documents preview...
REFERAT SKIZOFRENIA

Disusun oleh: Dian Ayu Lestari 1102015059

Pembimbing: Dr. Witri Narhadi, Sp.KJ

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN JIWA RUMAH SAKIT BHAYANGKARA TK.I R.S. SUKANTO FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI PERIODE 16 DESEMBER 2019- 18 JANUARI 2020

BAB I PENDAHULUAN Skizofrenia adalah penyakit kronis berupa gangguan mental yang serius yang ditandai dengan gangguan dalam proses pemikiran yang mempengaruhi perilaku.1 Istilah skizofrenia diperkenalkan pada awal abad 20 oleh Eugen Bleuler. Kata tersebut diturunkan dari dua kata Bahasa Latin: “schizo” yang berarti untuk membelah atau memisah, dan “phren” yang berarti intelek atau pikiran, dan kadang digunakan untuk merujuk ke fungsi emosi3. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Domininguez, et al (2009), pasien skizofrenia mengalami gejala positif dan gejala negatif. Gejala positif meliputi halusinasi, delusi, dan bicara dan perilaku yang tidak teratur. Mereka juga mengalami gejala negatif, misalnya, afek datar, apatis dan penarikan sosial. Kondisi yang demikian menyebabkan gangguan fungsi di berbagai segi.4 Banyak orang menyalahartikan skizofrenia sebagai kepribadian terbelah (split personality) dimana seseorang dapat berperilaku normal namun tiba-tiba dapat berubah menjadi aneh atau berbahaya. Kenyataannya, skizofrenia (pikiran terbelah/split mind) ditandai oleh “terbelahnya” hubungan normal antara persepsi, mood, pikiran, perilaku, dan kontak dengan kenyataan. Skizofrenia terjadi pada 1520/100.000 individu per tahun, dengan risiko morbiditas selama hidup 0.85% (pria/wanita) dan kejadian puncak pada akhir masa remaja atau awal dewasa.5 Onset pada laki-laki biasanya antara 15-25 tahun dan pada perempuan antara 25-35 tahun. Prognosis biasanya lebih buruk pada laki-laki bila dibandingkan dengan perempuan. Onset setelah umur 40 tahun jarang terjadi. Kejadian skizofrenia pada pria lebih besar daripada wanita. Kejadian tahunan berjumlah 15,2% per 100.000 penduduk, kejadian pada imigran dibanding penduduk asli sekitar 4,7%, kejadian pada pria 1,4% lebih besar dibandingkan wanita. Di Indonesia, hampir 70% mereka yang dirawat di bagian psikiatri adalah karena skizofrenia. Angka di masyarakat berkisar 1-2% dari seluruh penduduk pernah mengalami skizofrenia dalam hidup mereka.

2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1 SKIZOFRENIA 1.1.DEFINISI Skizofrenia adalah gangguan kesehatan mental kronis yang kompleks ditandai dengan serangkaian gejala, termasuk delusi, halusinasi, ucapan atau perilaku yang tidak teratur, dan gangguan kemampuan kognitif. Skizofrenia adalah sekelompok gangguan psikotik dengan distorsi khas proses pikir, kadang-kadang mempunyai perasaan bahwa dirinya sedang dikendalikan oleh kekuatan dari luar dirinya, waham yang kadang-kadang aneh, gangguan persepsi, afek abnormal yang terpadu dengan situasi nyata atau sebenarnya, dan autisme.6 Skizofrenia merupakan gangguan kesehatan mental kronik yang kompleks yang ditandai oleh berbagai gejala, antara lain delusi, halusinasi, bicara atau perilaku berantakan, dan terganggunya kemampuan kognitif.7 1.2.EPIDEMIOLOGI Skizofrenia terjadi pada 15-20/100.000 individu per tahun, dengan risiko morbiditas selama hidup 0.85% (pria/wanita) dan kejadian puncak pada akhir masa remaja atau awal dewasa.5 Onset pada laki-laki biasanya antara 15-25 tahun dan pada perempuan antara 25-35 tahun. Prognosis biasanya lebih buruk pada laki-laki bila dibandingkan dengan perempuan. Onset setelah umur 40 tahun jarang terjadi. Kejadian skizofrenia pada pria lebih besar daripada wanita. Kejadian tahunan berjumlah 15,2% per 100.000 penduduk, kejadian pada imigran dibanding penduduk asli sekitar 4,7%, kejadian pada pria 1,4% lebih besar dibandingkan wanita. Di Indonesia, hampir 70% mereka yang dirawat di bagian psikiatri adalah karena skizofrenia. Angka di masyarakat berkisar 1-2% dari seluruh penduduk pernah mengalami skizofrenia dalam hidup mereka.6

3

1.3.ETIOLOGI DAN FAKTOR RISIKO Penyebab skizofrenia masih belum diketahui secara jelas. Penelitian menunjukkan adanya kelainan pada struktur dan fungsi otak. Kombinasi faktor genetik dan lingkungan berperan dalam perkembangan skizofrenia.8 Faktor-faktor yang berperan terhadap timbulnya skizofrenia adalah sebagai berikut.6 1. Umur Umur 25-35 tahun kemungkinan berisiko 1.8 kali lebih besar menderita skizofrenia dibandingkan umur 17-24 tahun. 2. Jenis Kelamin Proporsi skiofrenia terbanyak adalah laki-laki (72%) dengan kemungkinan laki-laki berisiko 2.37 kali lebih besar mengalami kejadian skizofrenia dibandingkan perempuan. Kaum pria lebih mudah terkena gangguan jiwa karena kaum pria yang menjadi penopang utama rumah tangga sehingga lebih besar mengalami tekanan hidup, sedangkan perempuan lebih sedikit berisiko menderita gangguan jiwa dibandingkan laki-laki karena perempuan lebih bisa menerima situasi kehidupan dibandingkan dengan laki-laki. 3. Pekerjaan Pada kelompok skizofrenia, jumlah yang tidak bekerja adalah sebesar 85.3% sehingga orang yang tidak bekerja kemungkinan mempunyai risiko 6.2 kali lebih besar menderita skizofrenia dibandingkan yang bekerja. Orang yang tidak bekerja akan lebih mudah menjadi stres yang berhubungan dengan tingginya kadar hormon stres (kadar katekolamin) dan mengakibatkan ketidakberdayaan, karena orang yang bekerja memiliki rasa optimis terhadap masa depan dan

4

lebih memiliki semangat hidup yang lebih besar dibandingkan dengan yang tidak bekerja. 4. Status Perkawinan Seseorang yang belum menikah kemungkinan berisiko untuk mengalami gangguan jiwa skizofrenia dibandingkan yang menikah karena status marital perlu untuk pertukaran ego ideal dan identifikasi perilaku antara suami dan istri menuju tercapainya kedamaian. 5. Konflik Keluarga Konflik keluarga kemungkinan berisiko 1.13 kali untuk mengalami gangguan jiwa skizofrenia dibandingkan tidak ada konflik keluarga. 6. Status Ekonomi Status ekonomi rendah mempunyai risiko 6.00 kali untuk mengalami gangguan jiwa skizofrenia dibandingkan status ekonomi tinggi. Status ekonomi rendah sangat mempengaruhi kehidupan seseorang. 7. Faktor Genetik Faktor genetik turut menentukan timbulnya skizofrenia. Hal ini telah dibuktikan dengan penelitian tentang keluarga-keluarga penderita skizofrenia dan terutama anak-anak kembar monozigot. Angka kesakitan bagi saudara tiri adalah 0.9-1.8%; bagi saudara kandung 715%; bagi anak dengan salah satu orang tua yang menderita skizofrenia 7-16%; bila kedua orang tua menderita skizofrenia 40-68%; bagi heterozigot 2-15%; dan bagi monozigot 61-86%. Diperkirakan bahwa yang diturunkan adalah potensi untuk mendapatkan skizofrenia melalui gen yang resesif.

5

8. Faktor Psikososial Faktor psikososial meliputi interaksi pasien dengan keluarga dan masyarakat. Timbulnya tekanan dalam interaksi pasien dengan keluarga, misalnya pola asuh orang tua yang terlalu menekan pasien, kurangnya dukungan keluarga terhadap pemecahan masalah yang dihadapi pasien, pasien kurang diperhatikan oleh keluarga ditambah dengan pasien tidak mampu berinteraksi dengan baik di masyarakat menjadikan faktor stressor yang menekan kehidupan pasien. Ketika tekanan tersebut berlangsung dalam waktu yang lama sehingga mencapai tingkat tertentu, maka akan menimbulkan gangguan keseimbangan mental pasien dan salah satunya adalah timbulnya gejala skizofrenia. 1.4.KLASIFIKASI Beberapa tipe skizofrenia yang diidentifikasi berdasarkan variabel klinik menurut ICD-10 antara lain sebagai berikut:6,9 1. Skizofrenia paranoid: Ciri utamanya adalah adanya waham kejar dan halusinasi auditorik namun fungsi kognitif dan afek masih baik. 2. Skizofrenia hebefrenik: Ciri utamanya adalah pembicaraan yang kacau, tingkah laku kacau dan afek yang datar atau inappropriate. 3. Skizofrenia katatonik: Ciri utamanya adalah gangguan pada psikomotor yang dapat meliputi motoric immobility, aktivitas motorik berlebihan, negativesm yang ekstrim serta gerakan yang tidak terkendali. 4. Skizofrenia tak terinci: Gejala tidak memenuhi kriteria skizofrenia paranoid, hebefrenik maupun katatonik. 5. Depresi pasca skizofrenia 6. Skizofrenia residual: Paling tidak pernah mengalami satu episode skizofrenia sebelumnya dan saat ini gejala tidak menonjol. 7. Skizofrenia simpleks 8. Skizofrenia lainnya

6

9. Skizofrenia yang tak tergolongkan. 1.5.PSIKOPATOLOGI Pada tahun 1980, T.J. Crow mengajukan klasifikasi pasien skizofrenik ke dalam tipe I dan tipe II, berdasarkan ada atau tidaknya gejala positif (atau produktif) dan gejala negatif (atau defisit). Psikopatologi pada skizofrenia dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu gejala positif, gejala negatif, dan disorganisasi. Gejala positif meliputi halusinasi dan waham. Gejala negatif meliputi afek mendatar atau menumpul, menarik diri, kurang motivasi, miskin bicara (alogia) atau isi bicara, bloking, kurang merawat diri, pasif, apatis, anhedonia dan sulit berpikir abstrak. Gejala disorganisasi meliputi disorganisasi pembicaraan (gangguan isi pikir), disorganisasi tingkah laku, gangguan pemusatan perhatian, dan gangguan pengolahan informasi.2 1.6.PATOFISIOLOGI Beberapa patofisiologi skizofrenia berdasarkan hipotesis adalah: 1. Abnormalitas Anatomi Peningkatan ukuran ventrikel, penurunan ukuran otak dan asimetri otak. Penurunan

volume

hipokampus

berhubungan

dengan

kerusakan

neuropsikologis dan penurunan respons terhadap antipsikotik tipikal.8 Beberapa pencitraan otak dan studi neuropatologis telah mencoba menghubungkan tanda-tanda skizofrenia dengan struktur atau fungsi wilayah dan sirkuit otak tertentu. Meskipun demikian, reduksi halus pada materi abu-abu (grey matter) dan ireguleritas materi putih (white matter) telah ditemukan di banyak area dan sirkuit otak. Penurunan materi abu-abu berkembang dengan periode penyakit, khususnya di lobus temporal, dan tampaknya terkait dengan pengobatan antipsikotik. Sebaliknya, bahkan pasien yang naif-obat menunjukkan penurunan volume (meskipun tidak

7

diucapkan seperti pasien yang diobati), secara eksklusif pada nukleus kaudat dan thalamus.10 2. Hipotesis Dopamin Ada bukti logis dari literatur farmakologis dan pencitraan otak yang menghubungkan disfungsi neurotransmisi dopaminergik pada awal gejala psikotik seperti delusi dan halusinasi.10 Rumusan paling sederhana hipotesis dopamin tentang skizofrenia menyatakan bahwa skizofrenia timbul akibat aktivitas dopaminergik yang berlebihan. Teori ini berkembang berdasarkan dua pengamatan. Pertama, kemanjuran serta potensi sebagian besar obat antipsikotik, (yaitu, antagonis reseptor dopamin) berkorelasi dengan kemampuannya bertindak sebagai antagonis reseptor dopamin D2. Kedua, obat yang meningkatkan aktivitas dopaminergik, yang terkenal adalah amfetamin, bersifat psikotomimetik. Teori dasar ini tidak menguraikan apakah hiperaktivitas dopaminergik disebabkan pelepasan dopamin yang berlebihan, reseptor dopamin yang terlalu banyak, hipersensitivitas reseptor dopamin terhadap dopamin, atau kombinasi mekanisme tersebut.2 Terdapat 4 jalur dopaminergik yang terlibat: (1) nigrostriatal pathway, berasal dari substantia nigra dan berakhir di nucleus caudatus. Kadar dopamin yang rendah pada jalur ini diperkirakan mempengaruhi sistem ekstrapiramidal, yang menyebabkan gejala motorik,7,10 (2) mesolimbic pathway, membentang dari ventral segmental area (VTA) sampai daerah limbik, yang mungkin berperan dalam gejala positif skizofrenia dengan kelebihan dopamin,7,10 (3) mesocortical pathway, membentang dari VTA sampai ke cortex, gejala negatif dan defisit kognitif pada skizofrenia diduga disebabkan oleh kadar dopamin mesokortikal yang rendah,7,10 dan (4) tuberoinfundibular pathway, berjalan dari hypothalamus ke glandula pituitary,

penurunan

atau

blokade

dopamin

tuberoinfundibular

menghasilkan peningkatan kadar prolaktin dan, sebagai akibatnya, galaktorea, amenore, dan penurunan libido.7,10

8

3. Hipotesis Serotonin Serotonin telah menerima banyak perhatian dalam penelitian skizofrenia sejak dilakukannya pengamatan yang menyatakan bahwa obat antagonis serotonin-dopamin (SDA) (contohnya, klozapin, risperidone, sertindol) memiliki aktivitas terkait serotonin yang poten. Secara spesifik, antagonisme pada reseptor 5-HT2 serotonin ditekankan sebagai sesuatu yang penting dalam mengurangi gejala psikotik dan meredakan timbulnya gangguan pergerakan terkait antagonisme-D2.2 Hipotesis serotonin untuk pengembangan skizofrenia muncul sebagai hasil dari penemuan bahwa asam lisergat dietilamid (LSD) meningkatkan efek serotonin di otak. Penelitian selanjutnya mengarah pada pengembangan senyawa obat yang menghambat reseptor dopamin dan serotonin, berbeda dengan obat yang lebih tua, yang hanya mempengaruhi reseptor dopamin. Senyawa yang lebih baru ditemukan efektif dalam mengurangi gejala positif dan negatif dari skizofrenia.7 4. Hipotesis GABA Neurotransmitter asam amino inhibitorik, asam γ-aminobutirat (GABA) juga dianggap terlibat dalam patofisiologi skizofrenia. Data yang tersedia sejalan dengan hipotesis bahwa sejumlah pasien skizofrenia mengalami kehilangan neuron GABAnergik di hipokampus. Hilangnya neuron GABAnergik inhibitorik secara teoritis dapat mengakibatkan hiperaktivitas neuron dopaminergik dan noradrenergik.2 5. Hipotesis Glutamat Glutamat merupakan neurotransmitter eksitatori utama di otak.7 Hipotesis yang diajukan tentang glutamat mencakup hiperaktivitas, hipoaktivitas, dan neurotoksisitas terinduksi glutamat. Glutamat dilibatkan karena ingesti akut fenilsiklidin dan ketamin, suatu antagonis glutamat, yang menimbulkan sindrom yang menyerupai skizofrenia.2,7

9

6. Neuropatologi Pada akhir abad ke-20, para peneliti membuat suatu langkah signifikan dalam mengungkap dasar neuropatologi potensial skizofrenia, terutama di sistem limbik dan ganglia basalis, termasuk abnormalitas neuropatologi atau neurokimiawi di korteks cerebri, thalamus, dan batang otak. Berkurangnya volume otak yang dilaporkan secara luas terdapat pada otak skizofrenik tampaknya merupakan akibat berkurangnya kepadatan akson, dendrit, dan sinaps yang memerantari fungsi asosiatif otak.2 Berkat perannya dalam pengendalian emosi, sistem limbik dihipotesiskan terlibat dalam dasar neuropatologi skizofrenia. Bahkan, area otak ini terbukti menjadi subjek studi neuropatologi paling subur untuk skizofrenia. Banyak studi sampel otak skizofrenik postmortem yang terkontrol baik menunjukkan adanya pengurangan ukuran region yang meliputi amigdala, hipokampus, dan girus parahipokampus.2 Ganglia basalis telah menjadi pusat perhatian teoretis skizofrenia setidaknya untuk dua alasan. Pertama, banyak pasien skizofrenia menunjukkan gerakan aneh, bahkan saat tidak ada gangguan pergerakan terinduksi obat (contohnya, dyskinesia tarda). Gerakan aneh tersebut dapat mencakup cara berjalan yang ganjil, seringai wajah, dan stereotipi. Karena ganglia basalis terlibat dalam pengendalian gerakan, penyakit pada ganglia basalis disangkutpautkan dalam patofisiologi skizofrenia. Kedua, dari semua gangguan neurologis yang mungkin memiliki psikosis sebagai gejala terkait, gangguan pergerakan yang melibatkan ganglia basalis (sebagai contoh, penyakit Huntington) adalah salah satu yang paling sering dikaitkan dengan psikosis pada pasien yang terkena.2

10

1.7.MANIFESTASI KLINIS 1. Gangguan Proses Pikir: Asosiasi longgar, intrusi berlebihan, terhambat, klang asosiasi, ekolalia, alogia, neologisme. 2

Gangguan Isi Pikir: Waham, adalah suatu kepercayaan yang salah yang menetap yang tidak sesuai dengan fakta dan tidak bisa dikoreksi. Jenis-jenis waham antara lain: a. Waham kejar b. Waham kebesaran c. Waham rujukan d. Waham penyiaran pikiran e. Waham penyisipan pikiran f. Waham aneh

3

Gangguan Persepsi; Halusinasi, ilusi, depersonalisasi, dan derealisasi.

4

Gangguan Emosi; ada tiga afek dasar yang sering diperlihatkan oleh penderita skizofrenia (tetapi tidak patognomonik): a. Afek tumpul atau datar b. Afek tak serasi c. Afek labil

5

Gangguan Perilaku; Berbagai perilaku tak sesuai atau aneh dapat terlihat seperti gerakan tubuh yang aneh dan menyeringai, perilaku ritual, sangat ketolol-tololan, dan agresif serta perilaku seksual yang tak pantas.

6

Gangguan Motivasi; aktivitas yang disadari seringkali menurun atau hilang pada orang dengan skizofrenia. Misalnya, kehilangan kehendak dan tidak ada aktivitas.

7

Gangguan Neurokognitif; terdapat gangguan atensi, menurunnya kemampuan untuk menyelesaikan masalah, gangguan memori (misalnya, memori kerja, spasial dan verbal) serta fungsi eksekutif.11

11

1.8.DIAGNOSIS Diagnosis skizofrenia menurut DSM IV yaitu pasien harus memenuhi kriteria DSM – IV yaitu: 1. Berlangsung paling sedikit enam bulan 2. Penurunan fungsi yang cukup bermakna yaitu dalam bidang pekerjaan, hubungan interpersonal dan fungsi kehidupan pribadi. 3. Pernah mengalami psikotik akut dalam bentuk khas selama periode tersebut. 4. Tidak diteui gejala-gejala yang sesuai dengan skizoafektif, gangguan mood mayor, autism atau gangguan organic

Kriteria Diagnosis 1. Skizofrenia 

Harus ada sedikitnya satu gejala berikut ini yang amat jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih bila gejala-gejala itu kurang tajam atau kurang jelas): a. “thought echo” = isi pikiran dirinya sendiri yang berulang atau bergema dalam kepalanya (tidak keras), dan isi pikiran ulangan, walaupun isinya sama, namun kualitasnya berbeda, atau “thought insertion or withdrawal” = isi pikiran yang asing dari luar masuk ke dalam pikirannya (insertion) atau isi pikirannya diambil keluar oleh sesuatu dari luar dirinya (withdrawal); dan “thought broadcasting” = isi pikirannya tersiar keluar sehingga orang lain atau umum mengetahuinya. b. “delusion of control” = waham tentang dirinya dikendalikan oleh suatu kekuatan tertentu dari luar; atau “delusion of influence” = waham tentang dirinya dipengaruhi oleh suatu kekuatan tertentu dari luar; atau “delusion of passivity” = waham tentang dirinya tidak berdaya dan pasrah terhadap suatu kekuatan dari luar; dan “delusional perception” = pengalaman inderawi yang tak wajar,

12

yang bermakna sangat khas bagi dirinya, biasanya bersifat mistik atau mukjizat. c. Halusinasi auditorik: –

Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku pasien, atau



Mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri (diantara berbagai suara yang berbicara), atau



Jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh.

d. Waham-waham menetap jenis lainnya, yang menurut budaya setempat dianggap tidak wajar dan sesuatu yang mustahil, misalnya perihal keyakinan agama atau politik tertentu, atau kekuatan dan kemampuan di atas manusia biasa (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan makhluk asing dari duia lain). 

Atau paling sedikit dua gejala di bawah ini yang harus selalu ada secara jelas: e. Halusinasi yang menetap dari panca indera apa saja, apabila disertai baik oleh waham yang mengambang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, ataupun disertai oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus; f. Arus pikiran yang terputus (break) atau yang mengalami sisipan (interpolation), yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan, atau neologisme; g. Perilaku katatonik, seperti keadaan gaduh-gelisah (excitement), posisi tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas cerea, negativisme, mutisme, dan stupor; h. Gejala-gejala “negatif”, seperti sikap sangat apatis, bicara yang jarang, dan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar,

13

biasanya yang mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunnya kinerja sosial; tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptika; 

Adanya gejala-gejala khas tersebut di atas telah berlangsung selama kurun waktu satu bulan atau lebih (tidak berlaku untuk setiap fase nonpsikotik prodromal);



Harus ada suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan (overall quality) dari beberapa aspek perilaku pribadi (personal behaviour), bermanifestasi sebagai hilangnya minat, hidup tak bertujuan, tidak berbuat sesuatu, sikap larut dalam diri sendiri (selfabsorbed attitude), dan penarikan diri secara sosial.

2. Skizofrenia Paranoid 

Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia.



Sebagai tambahan: –

Halusinasi dan/atau waham harus menonjol; a. Suara-suara halusinasi yang mengancam pasien atau memberi perintah, atau halusinasi auditorik tanpa bentuk verbal berupa bunyi pluit (whistling), mendengung (humming), atau bunyi tawa (laughing); b. Halusinasi pembauan atau pengecapan rasa, atau bersifat seksual, atau lain-lain perasaan tubuh; halusinasi visual mungkin ada tetapi jarang menonjol; c. Waham dapat berupa hampir setiap jenis, tetapi waham dikendalikan (delusion of control), dipengaruhi (delusion of influence), atau “passivity” (delusion of passivity), dan keyakinan dikejar-kejar yang beraneka ragam, adalah yang paling khas;



Gangguan afektif, dorongan kehendak dan pembicaraan, serta gejala katatonik secara relatif tidak nyata/tidak menonjol.

14

3. Skizofrenia Hebefrenik 

Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofrenia.



Diagnosis hebefrenia untuk pertama kalinya hanya ditegakkan pada usia remaja atau dewasa muda (onset biasanya mulai 15 – 25 tahun).



Kepribadian premorbid menunjukkan ciri khas: pemalu dan senang menyendiri (solitary), namun tidak harus demikian untuk menentukan diagnosis.



Untuk diagnosis hebefrenik yang meyakinkan umumnya diperlukan pengamatan kontinu selama 2 atau 3 bulan lamanya, untuk memastikan bahwa gambaran yang khas berikut ini memang benar bertahan: a. Perilaku yang tidak bertanggung jawab dan tidak dapat diramalkan, serta mannerisme; ada kecenderungan untuk selalu menyendiri (solitary), dan perilaku menunjukkan hampa tujuan atau hampa perasaan; b. Afek pasien dangkal (shallow) dan tidak wajar (inappropiate), sering disertai oleh cekikikan (giggling) atau perasaan puas diri (self-satisfied), senyum sendiri (self-absorbed smilling) atau oleh sikap, tinggi hati (lofty manner), tertawa menyeringai (grimaces), mannerisme, mengibuli secara bersenda gurau (pranks), keluhan hipokondriakal, dan ungkapan kata yang diulang-ulang (reiterated phrase); c. Proses pikir mengalami disorganisasi dan pembicaraan tak menentu (rambling) serta inkoheren.



Gangguan afektif dan dorongan kehendak, serta gangguan proses pikir umumnya menonjol halusinasi atau waham mungkin ada tetapi biasanya tidak menonjol (fleeting and fragmentary delusions and hallucinations). Dorongan kehendak (drive) dan yang bertujuan (determination) hilang serta sasaran ditinggalkan, sehingga perilaku penderita memperlihatkan ciri khas, yaitu perilaku tanpa tujuan (aimless) dan tanpa maksud (empty of puspose). Adanya suatu preokupasi yang dangkal dan bersifat dibuat-

15

buat terhadap agama, filsafat dan tema abstrak lainnya, makin mempersukar orang memahami jalan pikiran pasien. 4. Skizofrenia Katatonik 

Memenuhi kriteria umum diagnosis skizofenia



Satu atau lebih perilaku berikut ini harus mendominasi gambaran klinisnya: a. Stupor (amat berkurangnya dalam reaktifitas terhadap lingkungan dan dalam gerakan serta aktifitas spontan) atau mutisme (tidak berbicara); b. Gaduh gelisah (tampak jelas aktifitas motorik yang tak bertujuan, yang tidak dipengaruhi oleh stimuli eksternal); c. Menampilkan posisi tubuh tertentu (secara sukarela mengambil dan mempertahankan anggota gerak dan tubuh dalam posisi tubuh tertentu yang tidak wajar atau aneh); d. Negativisme (tampak jelas perlawanan yang tidak bermotif terhadap semua perintah atau upaya untuk menggerakkan, atau pergerakan kearah yang berlawanan); e. Rigiditas (mempertahankan posisi tubuhyang kaku untuk melawan upaya menggerakan dirinya); f. Fleksibilitas cerea/“waxy flexibility” (mempertahankan anggota gerak dan tubuh dalam posisi yang dapat dibentuk dari luar); dan g. Gejala-gejala lain seperti “command automatism” (kepatuhan secara otomatis terhadap perintah), dan pengulangan kata - kata serta kalimat – kalimat.



Pada pasien yang tidak komunikatif dengan manifestasi perilaku dan gangguan katatonik, diagnosis skizofrenia mungkin harus ditunda sampai diperoleh bukti yang memadai tentang adanya gejala – gejala lain. Penting untuk diperhatikan bahwa gejala –gejala katatonik bukan petunjuk untuk diagnosis skizofrenia. Gejala katatonik dapat dicetuskan oleh penyakit otak, gangguan metabolik, atau alkohol dan obat – obatan, serta dapat juga terjadi pada gangguan afektif.

16

5. Skizofrenia Tak Terinci (Undifferentiated) 

Memenuhi kriteria umum untuk diagnosis skizofrenia.



Tidak memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia paranoid, hebefrenik, atau katatonik.



Tidak memenuhi kriteria untuk skizofrenia residual atau depresi pasca skizofrenia.

6. Depresi Pasca Skizofrenia 

Diagnosis harus ditegakan hanya kalau: a. Pasien telah menderita skizofrenia (yang memenuhi kriteria umum skizofrenia) selama 12 bulan terakhir ini; b. Beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada (tetapi tidak lagi mendominasi gambaran klinisnya) dan; c. Gejala-gejala depresif menonjol dan mengganggu, memenuhi paling sedikit kriteria untuk episode depresif (F32.-), dan telah ada dalam kurun waktu paling sedikit 2 minggu.



Apabila pasien tidak menunjukkan lagi gejala skizofrenia, diagnosis menjadi episode depresif (F32.-). Bila gejala skizofrenia masih jelas dan menonjol, diagnosis harus tetap salah satu dari subtipe skizofrenia yang sesuai (F20.0-F20.3).

7. Skizofrenia Residual 

Untuk suatu diagnosis yang meyakinkan, persyaratan berikut ini harus dipenuhi semua: a. Gejala “negatif” dari skizofrenia yang menonjol, misalnya perlambatan psikomotorik, aktifitas yang menurun, afek yang menumpul, sikap pasif dan ketiadaan inisiatif, kemiskinan dalam kuantitas atau isi pembicaraan, komunikasi non verbal yang buruk seperti dalam ekspresi muka, kontak mata, modulasi suara dan posisi tubuh, perawatan diri dan kinerja sosial yang buruk; b. Sedikitnya ada riwayat satu episode psikotik yang jelas di masa lampau yang memenuhi kriteria untuk diagnosis skizofrenia;

17

c. Sedikitnya sudah melewati kurun waktu satu tahun di mana intensitas dan frekuensi gejala yang nyata seperti waham dan halusinasi telah sangat berkurang (minimal) dan telah timbul sindrom “negatif” dari skizofrenia; d. Tidak terdapat dementia atau penyakit/gangguan otak organik lain, depresi kronis atau institusionalisasi yang dapat menjelaskan disabilitas negatif tersebut. 8. Skizofrenia Simpleks 

Diagnosis skizofrenia simpleks sulit dibuat secara meyakinkan karena tergantung pada pemantapan perkembangan yang berjalan perlahan dan progresif dari: – Gejala “negatif” yang khas dari skizofrenia residual tanpa didahului riwayat halusinasi, waham, atau manifestasi lain dari episode psikotik; dan – Disertai dengan perubahan-perubahan perilaku pribadi yang bermakna, bermanifestasi sebagai kehilangan minat yang mencolok, tidak berbuat sesuatu, tanpa tujuan hidup, dan penarikan diri secara sosial.



Gangguan ini kurang jelas gejala psikotiknya dibandingkan subtipe skizofrenia lainnya.

1.9.DIAGNOSIS BANDING 1. Gangguan Kondisi Medis Umum misalnya epilepsi lobus temporalis, tumor lobus temporalis atau frontalis, stadium awal sklerosis multipel dan sindrom lupus eritematosus 2. Penyalahgunaan alkohol dan zat psikoaktif 3. Gangguan Skizoafektif 4. Gangguan afektif berat 5. Gangguan Waham 6. Gangguan Perkembangan Pervasif 7. Gangguan Kepribadian Skizotipal

18

8. Gangguan Kepribadian Skizoid 9. Gangguan Kepribadian Paranoid.11

1.10.

TATALAKSANA Tujuan pengobatan adalah untuk mencegah bahaya pada pasien,

mengontrol perilaku pasien, dan untuk mengurangi gejala psikotik pada pasien seperti agitasi, agresif, negatif simptom, positif simptom, serta gejala afek.12 Tatalaksana skizofrenia hendaklah disesuaikan dengan fase penyakit. Tuntunan yang dibuat oleh American Psychiatric Association (APA) membagi skizofrenia ke dalam tiga fase yaitu:11,13 1. Fase Akut Fase psikotik akut yaitu bila seorang dengan skizofrenia mengalami episode pertama atau eksaserbasi. Fase akut biasanya berlangsung antara 48 minggu.13 Pada Fase akut terapi bertujuan mencegah pasien melukai dirinya atau orang lain, mengendalikan perilaku yang merusak, mengurangi beratnya gejala psikotik dan gejala terkait lainnya misalnya agitasi, agresi dan gaduh gelisah.11 Gaduh gelisah dapat dikontrol dengan obat oral atau injeksi. Pasien yang takut diinjeksi dapat ditawarkan obat oral. Instrumen PANSS–EC (Positive and Negative Symptoms Scale–Excited Component) digunakan untuk mengukur derajat beratnya gaduh gelisah. PANSS–EC merupakan suatu subskala yang telah divalidasi dari PANSS yang digunakan untuk mengukur gejala-gejala agitasi, dan menilai lima gejala, antara lain buruknya

kontrol

terhadap

impuls,

ketegangan,

permusuhan,

ketidakkooperatifan dan gaduh gelisah. Dikatakan pasien gaduh gelisah bila total PANSS–EC lebih dari 15.13 Obat yang dapat digunakan untuk mengatasi gaduh gelisah, antara lain:11,13

19

a. Olanzapine, dosis 10 mg/injeksi, intramuskulus, dapat diulang setiap 2 jam, dosis maksimum 30mg/hari. b. Aripriprazol, dosis 9,75 mg/injeksi (dosis maksimal 29,25 mg/hari), intramuskulus. c. Haloperidol, dosis 5 mg/injeksi, intramuskulus, dapat diulang setiap setengah jam, dosis maksimum 20 mg/hari. d. Diazepam 10 mg/injeksi, intravena/intramuskulus, dosis maksimum 30 mg/hari. Tujuan Intervensi adalah mengurangi stimulus yang berlebihan, stresor lingkungan dan peristiwa-peristiwa kehidupan. Memberikan ketenangan kepada pasien atau mengurangi keterjagaan melalui komunikasi yang

baik,

memberikan

dukungan

atau

harapan,

menyediakan

lingkunganyang nyaman, toleran perlu dilakukan.11 2. Fase Stabilisasi Fase stabilisasi yaitu fase akut sudah terkontrol tetapi pasien masih berisiko terjadinya episode baru bila ia mengalami stressor atau bila obat dihentikan. Fase ini berlangsung selama 6 bulan setelah pulih dari simtom akut.13 Tujuan fase stabilisasi adalah mempertahankan remisi gejala atau untuk mengontrol, meminimalisasi risiko atau konsekuensi kekambuhan dan mengoptimalkan fungsi dan proses kesembuhan (recovery). Setelah diperoleh dosis optimal, dosis tersebut dipertahankan selama lebih kurang 8 – 10 minggu sebelum masuk ke tahap rumatan. Pada fase ini dapat juga diberikan obat anti psikotika jangka panjang (long acting injectable), setiap 2-4 minggu.11 Tujuan Intervensi adalah meningkatkan keterampilan orang dengan skizofrenia dan keluarga dalam mengelola gejala. Mengajak pasien untuk mengenali gejala-gejala, melatih cara mengelola gejala, merawat diri, mengembangkan kepatuhan menjalani pengobatan. Teknik intervensi perilaku bermanfaat untuk diterapkan pada fase ini.11

20

3. Fase Rumatan Fase stabil atau rumatan yaitu fase pasien berada dalam stadium remisi. Tujuan terapi fase ini adalah untuk mencegah kekambuhan dan membantu pasien kembali ke fungsi semulanya. Dosis mulai diturunkan secara bertahap sampai diperoleh dosis minimal yang masih mampu mencegah kekambuhan. Bila kondisi akut, pertama kali, terapi diberikan sampai dua tahun, bila sudah berjalan kronis dengan beberapa kali kekambuhan, terapi diberikan sampai lima tahun bahkan seumur hidup. Tujuan Intervensi adalah mempersiapkan pasien kembali pada kehidupan masyarakat. Modalitas rehabilitasi spesifik, misalnya remediasi kognitif, pelatihan keterampilan sosial dan terapi vokasional, cocok diterapkan pada fase ini. Pada fase ini pasien dan keluarga juga diajarkan mengenali dan mengelola gejala prodromal, sehingga mereka mampu mencegah kekambuhan berikutnya.11 Obat Antipsikotika Sinonim

:

NEUROLEPTCIS,

ATARACTIS

ANTIPSYCHOTICS,

MAJOR

TRANQUILLIZERS,

ANTIPSYCHOTIC

DRUGS,

NEUROLEPTIKA16 Obat Acuan

: Cholrpromazine (CPZ)16

Antipsikotika efektif untuk skizofrenia baik pada fase akut maupun pada fase yang sudah stabil. Ia dapat mengurangi risiko kambuhnya psikotik. Tertundanya pengobatan dengan antipsikotika dapat memberikan dampak buruk jangka panjang misalnya buruknya luaran simtom dan fungsi. Pemberian antipsikotika pada fase prodromal dapat mencegah atau menunda awitan skizofrenia.13 Antipsikotika tidak hanya “antiskizofrenia”. Ia juga efektif untuk mengobati hampir semua bentuk psikosis misalnya, psikosis pada bipolar, pada depresi

21

mayor, demensia, zat yang menginduksi gejala psikosis, psikosis Huntington dan psikosis lainnya akibat kondisi medik.13 Obat ini dibagi dalam dua kelompok, berdasarkan mekanisme kerjanya, yaitu dopamine receptor antagonist (DRA) atau antipsikotika generasi I (APG–I) dan serotonine-dopamine antagonist (SDA) atau antipsikotika generasi II (APG–II). Obat APG–I disebut juga antipsikotika konvensional atau tipik sedangkan APG–II disebut juga antipsikotika baru atau atipik.13 1. Obat Antipsikotika Tipikal / dopamine receptor antagonist (DRA)16 a. Phenothiazine 

Rantai Aliphatic

: CHLORPROMAZINE (Largactil)



Rantai Piperazine

: PERPHENAZINE (Trilafon) TRIFLUOPERAZINE (Stelazine) FLUPHENAZINE (Anatensol)



Rantai Piperidine

b. Butyrophenone

: THIORIDAZINE (Melleril) : HALOPERIDOL (Haldol, Serenace,dll)

c. Diphenyl-butyl-piperidine: PIOMOZIDE (Orap) 2. Obat Antipsikotika Atipikal / serotonine-dopamine antagonist (SDA) 16 a. Benzamide

: SULPRIDE (Dogmatil)

b. Dibenzodiazepine

: CLOZAPINE (Clozaril) OLANZAPINE (Zyprexa) QUETIAPIENE (Seroquel) ZOTEPINE (Lodopin)

c. Benzisoxazole

: RISPERIDON (Risperdal) ARIPIPRAZOLE (Abilify)

22

Tabel 3. Daftar Obat Antipsikotika, Sediaan, dan Dosis Anjuran16

Efek samping obat anti-psikosis dapat berupa:16 1. Sedasi dan inhibisi psikomotor (rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang, kinerja psikomotor menurun, kemampuan kognitif menurun). 2. Gangguan otonomik (hipotensi, antikolinergik/parasimpatolitik: mulut kering, kesulitan miksi & defekasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intraokuler meninggi, gangguan irama jantung).

23

3. Gangguan ekstrapiramidal (distonia akut, akathisia, sindrom parkinson: tremor, bradikinesia, rigiditas). 4. Gangguan endokrin (amenorrhoe, gynaecomastia), metabolik (Jaundice), hematologik (agranulocytosis), biasanya pada pemakaian jangka panjang. Efek samping dapat juga “irreversible”: tardive dyskinesia (gerakan berulang involunter pada: lidah, wajah, mulut/rahang, dan anggota gerak, dimana pada waktu tidur gejala tersebut menghilang). Biasanya terjadi pada pemakaian jangka panjang (terapi pemeliharaan) dan pada pasien usia lanjut. Efek samping ini tidak berkaitan dengan dosis obat anti-psikosis (non dose related).16 Bila terjadi gejala tersebut: obat anti-psikosis perlahan-lahan dihentikan, bisa dicoba pemberian obat Reserpine 2.5 mg/h, (dopamine depleting agent), pemberian obat antiparkinson atau L-dopa dapat memperburuk keadaan. Obat pengganti antipsikosis yang paling baik adalah Clozapine 50-100 mg/h.16 Bila terjadi efek samping, misalnya sindrom ekstrapiramidal (distonia akut atau parkinsonisme), langkah pertama yaitu menurunkan dosis antipsikotika. Bila tidak dapat ditanggulangi, berikan obat-obat antikolinergik, misalnya triheksilfenidil, benztropin, sulfas atropin atau difenhidramin injeksi IM atau IV.11 Tabel 4. Daftar Obat yang Digunakan Untuk Mengatasi Efek Samping Anti Psikotik11

Nama Generik

Triheksilfenidil

Dosis (mg/hari) 1-15

Waktu Paruh Eliminasi (jam) 4

Target Efek Samping Ekstrapiramidal Akatisia,

distonia,

parkinsonisme Amantadin

100-300

10-14

Akatisia, parkinsonisme

Propranolol

30-90

3-4

Akatisia

Lorazepam

1-6

12

Akatisia

24

Difenhidramin

25-50

4-8

Akatisia,

distonia,

parkinsonisme Sulfas Atropin

0.5-0.75

12-24

Distonia akut

Interaksi Obat16 

Antipsikosis + Antipsikosis lain = potensial efek samping obat dan tidak ada bukti lebih efektif (tidak ada efek sinergis antara 2 obat anti-psikosis). Misalnya, Chlorpromazine + Reserpine potensial efek hipotensif.



Antipsikosis + Antidepresan trisiklik efek samping antikolinergik meningkat (hatihati pada pasien dengan hipertrofi prostat, glaukoma, ileus, penyakit jantung).



Antipsikosis + ECT= dianjurkan tidak memberikan obat anti-psikosis pada pagi hari sebelum dilakukan ECT (Electro Convulsive Therapy) oleh karena angka mortalitas yang tinggi.



Antipsikosis + antikonvulsan = ambang konvulsi menurun, kemungkinan serangan kejang meningkat, oleh karena itu dosis antikonvulsan harus lebih besar (dose-related). Yang paling minimal menurunkan ambang kejang adalah obat anti-psikosis Haloperidol.



Antipsikosis + Antasida = efektivitas obat antipsikosis menurun disebabkan gangguan absorbsi.

Pemilihan Obat Pada dasarnya semua obat anti-psikosis mempunyai efek primer (efek klinis) yang sama pada dosis ekivalen, perbedaan terutama pada efek sekunder (efek samping : sedasi, otonomik, ekstrapiramidal).16

25

Tabel 5. Obat Antipsikotika dan Efek Sekundernya16

Pemilihan jenis obat anti-psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang dominan dan efek samping obat. Pergantian obat disesuaikan dengan dosis ekivalen. Apabila obat anti-psikosis tertentu tidak memberikan respon klinis dalam dosis yang sudah optimal setelah jangka waktu yang memadai, dapat diganti dengan obat anti-psiosis lain (sebaiknya dari golongan yang tidak sama), dengan dosis ekivalen-nya, dimana profil efek samping belum tentu sama. Apabila dalam riwayat penggunaan obat anti-psikosis sebelumnya, jenis obat anti-psikosis tertentu yang sudah terbukti efektif dan ditolelir dengan baik efek samping-nya, dapat dipilih kembali untuk pemakaian sekarang. Apabila gejala negatif (afek tumpul, penarikan diri, hipobulia, isi pikiran miskin) lebih menonjol dari gejala positif (waham, halusinasi, bicara kacau, perilaku tak terkendali) pada pasien Skizofrenia, pilihan obat antipsikosis –atipikal perlu dipertimbangkan. Khususnya pada penderita Skizofrenia yang tidak dapat mentolelir efek samping ekstrapiramidal atau mempunyai risiko medik dengan adanya gejala ekstrapiramidal (neuroleptic induced medical complication).16

26

Indikasi16 Gejala sasaran: Sindrom Psikosis 1. Hendaya berat dalam kemampuan daya menilai realitas (reality testing ability), bermanifestasi dalam gejala: kesadaran diri (awareness) yang terganggu, daya nilai norma sosial (judgement) terganggu, dan daya tilikan diri (insight) terganggu. 2. Hendaya berat dalam fungsi-fungsi mental, bermanifestasi dalam gejala POSITIF: gangguan asosiasi pikiran (inkohherensi), isi pikiran yang tidak wajar (waham), gangguan persepsi (halusinasi), gangguan perasaan (tidak sesuai dengan situasi), perilaku yang aneh atau tidak terkendali (disorganized), dan gejala NEGATIF: gangguan perasaan (afek tumpul, respon emosi minimal), gangguan hubungan sosial (menarik diri, pasif, apatis), gangguan proses pikir (lambat, terhambat), isi pikiran yang stereotip dan tidak ada insiatif, perilaku yang sangat terbatas dan cenderung menyendiri (abulia). 3. Hendaya berat dalam fungsi kehidupan sehari-hari, bermanifestasi dalam gejala: tidak mampu bekerja, menjalin hubungan sosial, dan melakukan kegiatan rutin. Cara kerja Antipsikotika Generasi I (APG–I) Antipsikotik generasi pertama merupakan antipsikotik yang bekerja dengan cara memblok reseptor dopamin D2. Antipsikotik ini memblokir sekitar 65% hingga 80% reseptor D2 di striatum dan saluran dopamin lain di otak. Jika dibandingkan dengan antipsikotik generasi kedua, antipsikotik ini memiliki tingkat afinitas, risiko efek samping ekstrapiramidal dan hiperprolaktinemia yang lebih besar.8 Antipsikotik generasi pertama efektif dalam menangani gejala positif dan mengurangi kejadian relaps. Sebanyak 30% pasien skizofrenia dengan gejala akut menghasilkan sedikit atau tanpa respon terhadap pengobatan antipsikotik

27

generasi pertama. Antipsikotik generasi pertama memiliki efek yang rendah terhadap gejala negatif.8 Antipsikotik generasi pertama menimbulkan berbagai efek samping, termasuk ekstrapiramidal akut, hiperprolaktinemia serta tardive dyskinesia. Efek samping tersebut disebabkan oleh blokade pada jalur nigrostriatal dopamine dalam jangka waktu lama. Antipsikotik generasi pertama memiliki afinitas yang rendah terhadap reseptor muskarinik M1 Ach, histaminergik H1 dan norepinefrin α1 yang memicu timbulnya efek samping berupa penurunan fungsi kognitif dan sedasi secara bersamaan.8 Cara kerja Antipsikotika Generasi II (APG–II) Antipsikotik generasi kedua, seperti risperidone, olanzapine, quetiapine, ziprasidon aripriprazol, paliperidone, iloperidone, asenapine, lurasidone dan klozapin memiliki afinitas yang lebih besar terhadap reseptor serotonin daripada reseptor dopamin. Sebagian besar antipsikotik generasi kedua menyebabkan efek samping berupa kenaikan berat badan dan metabolisme lemak. Klozapin merupakan antipsikotik generasi kedua yang efektif dan tidak menimbulkan efek samping ekstrapiramidal. Oleh karenanya, klozapin digunakan sebagai agen pengobatan lini pertama pada penderita skizofrenia. Namun, klozapin dikaitkan dengan peningkatan risiko hematotoksis yang dapat menyebabkan kematian (agranulositosis). Oleh karena itu, beberapa antipsikotik generasi kedua (risperidone, olanzapine, quetiapine dan ziprasidone) digunakan sebagai terapi tambahan untuk meningkatkan khasiat klozapin tanpa diskrasia darah.8 Selain diberikan obat-obat terapi medikamentosa pasien juga dilakukan terapi nonmedikamentosa yaitu psikoterapi dan psikoedukasi yang dianjurkan setelah pasien tenang dengan pemberian dukungan pada pasien dan keluarga agar mempercepat penyembuhan pasien dan diperlukan rehabilitasi yang disesuaikan dengan psikiatrik serta minat dan bakat penderita sehingga bisa dipilih metode yang sesuai untuk pasien tersebut.12

28

1.11.KOMPLIKASI Penelitian tentang perubahan kadar glukosa darah akibat penggunaan antipiskotik telah banyak dilakukan sebelumnya. Dalam berbagai penelitian juga menunjukan bahwa perubahan kadar gula darah pada pasien dengan pengobatan atipikal lebih besar kenaikan kadar glukosa darah daripada pada pasien dengan pengobatan tipikal. Mekanisme yang mengakibatkan adanya gangguan regulasi glukosa belum diketahui secara pasti. Antipsikotik dapat mengakibatkan hiperglikemia, resistensi insulin ketoasidosis, dan onset baru diabates tipe 2. Penggunaan obat antipsikotik yang lama, terutama atipikal, dapat menyebabkan kenaikan berat badan, dimana keadaan ini dapat menginduksi resistansi insulin di jaringan perifer. Mekanisme lain, antipsikotik juga mempunyai kemungkinan mengganggu regulasi level serum glukosa melalui mekanisme antagonis dopamin di hipotalamus. 1.12.PROGNOSIS Pemberian antipsikotik atipikal sebagai pengobatan lini awal dapat meningkatkan prognosis yang lebih baik untuk gangguan psikotik fase akut. Secara umum prognosis skizofrenia tergantung pada: 1. Usia pertama kali timbul (onset): makin muda maka makin buruk. 2. Mula timbulnya akut atau kronik: bila akut maka lebih baik. 3. Tipe skizofrenia: episode skizofrenia dan katatonik lebih baik. 4. Kecepatan, ketepatan, dan keteraturan pengobatan yang didapat. 5. Ada atau tidaknya faktor pencetus: jika ada maka lebih buruk. 6. Ada atau tidaknya faktor keturunan: jika ada maka lebih buruk. 7. Kepribadian prepsikotik: jika skizoid, skizotin, atau introvert maka lebih jelek. 8. Keadaan sosial ekonomi: jika rendah maka lebih jelek.

29

BAB III PENUTUP Skizofrenia merupakan sekumpulan gangguan psikotik dengan adanya waham, halusinasi, terganggunya kemampuan kognitif yang dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, pekerjaan, status ekonomi, konflik keluarga, faktor genetik dan faktor psikososial, yang terjadi lebih banyak pada laki-laki daripada wanita. Etiologi skizofrenia belum diketahui secara pasti. Skizofrenia berlangsung paling sedikit enam bulan. Perjalanan penyakit skizofrenia didasarkan pada hipotesis abnormalitas anatomi, hipotesis dopamin, hipotesis serotonin, dan hipotesis GABA. Pengobatan skizofrenia dapat diberikan antipsikotika generasi I dan/atau antipsikotika generasi II dengan mempertimbangkan indikasi, efek samping, dan ketersediaan obat.

30

DAFTAR PUSTAKA 1. Thorson RT, Matson JL, Rojahn J, dan Dixon DR. 2008. Behavior problems in institutionalized people with intellectual disability and schizophrenia spectrum disorders. Journal of Intellectual & Developmental Disability, 33, 316–322. Accessed from: Sari SP & Wijayanti DY. 2014. Keperawatan Spiritualitas Pasien Skizofrenia. E-Journal Unair, Vol. 9, No. 1, April 2014. 2. Sadock BJ & Sadock VA. 2004. Skizofrenia. In: Kaplan & Sadock Buku Ajar Psikiatri Klinis Edisi Ke-2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Pp. 147– 68. 3. Walker E, Kestler L, Bollini A & Hochman KM. 2004. Schizophrenia: Etiology and

Course.

Annu.

Rev.

Psychol.

2004.

55:401–30.

doi:

10.1146/annurev.psych.55. 090902.141950. 4. Domininguez M, et al. 2009. Are psychotic psychopathology and neurocognition orthogonal? A systematic review of their association. Psychology Bulletin. 135, 157-171. 5. Katona C, Cooper C & Robertson M. 2012. Skizofrenia: fenomena dan etiologi. In: At a Glance Psikiatri Edisi Ke-4. Jakarta: Penerbit Erlangga. Pp. 18-21. 6. Zahnia S & Sumekar DW. 2016. Kajian Epidemiologis Skizofrenia. MAJORITY, Vol. 5, No. 4, Oktober 2016: 160–6. 7. Patel KR, Cherian J, Gohil K & Atkinson D. Schzophrenia: Overview and Treatment Options. P T. 2014 Sep; 39(9): 638–645. Available in: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4159061/ Accessed on 8 October 2019. 8. Hafifah A, Puspitasari IM & Sinuraya RK. 2018. Review Artikel: Farmakoterapi dan Rehabilitasi Psikososial pada Skizofrenia. Farmaka, Supplemen Vol. 16, No. 2, pp. 210–32. 9. Maslim R. 2013. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa: Rujukan Ringkas dari PPDGJ–III dan DSM–5. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya.

31

10. Fatani BZ, Aldawod R, Alhawaj FA, et al. 2017. Schizophrenia: Etiology, Pathophysiology and Management - A Review. The Egyptian Journal of Hospital Medicine (October 2017) Vol. 69 (6), Page 2640–46. Doi: 10.12816/0042241. 11. Keputusan

Menteri

Kesehatan

HK.02.02/MENKES/73/2015. KEDOKTERAN

Republik

PEDOMAN JIWA.

Indonesia

NASIONAL

Nomor

PELAYANAN

Available

from:

http://hukor.kemkes.go.id/uploads/produk_hukum/KMK_No._HK_.02_.02MENKES-732015_ttg_Pedoman_Nasional_Pelayanan_Kedokteran_Jiwa_.pdf Accessed on 9 October 2019. 12. Hendarsyah F.2016. Diagnosis dan Tatalaksana Skizofrenia Paranoid dengan Gejala-Gejala Positif dan Negatif. J Medula Unila, Vol. 4, No. 3, Januari 2016, pp. 57–62. 13. Amir N. 2017. Bab 12: Skizofrenia. In: Elvira SD & Hadisukanto G. Buku Ajar Psikiatri Edisi Ke-3, Cetakan Ke-1. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 14. Purwandityo AG, Febrianti Y, Sari CP, Ningrum VDA & Sugiyarto OP. 2018. Pengaruh Antipsikotik terhadap Penurunan Skor The Positive and Negative Syndrome Scale-Excited Component. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia, Maret 2018,

Vol.

7

No.

1,

pp.

19–29.

ISSN:

2252–6218.

DOI:

10.15416/ijcp.2018.7.1.19. 15. Supriyanto I, dr. Cara Menggunakan PANSS-EC Untuk Pasien Agitasi. Available

from:

https://www.alomedika.com/cara-menggunakan-panss-ec-

pasien-agitasi Accessed in 9 October 2019. 16. Maslim R. 2007. Panduan Praktis Penggunaan Klinis Obat Psikotoprik (Psychotropic Medication) Edisi Ke-3. Jakarta: Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya. 17. Internet. Available from http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/133/jtptunimusgdl-muntiarohn-6617-3-babii.pdf. Accessed on 14 October 2019.

32

Related Documents

Referat-skizofrenia
March 2021 0
Referat Skizofrenia
March 2021 0
Referat Skizofrenia
March 2021 0
Referat Skizofrenia
March 2021 0
Skizofrenia: Referat
March 2021 0

More Documents from "Ari Filologus Sugiarto"