Senandung Talijiwo_rakbukudigital.pdf

  • Uploaded by: Rahmani Amalia
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Senandung Talijiwo_rakbukudigital.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 28,083
  • Pages: 237
Loading documents preview...
BENTANG

Tern'lo.to. Menclnfo.l bu.ko.nlo.l, co.ro. untuk berba.lio.910.. Menclnto.1 to.k lo.in CUMO. percoba.o.n-percoba.o.n kwl untuk Meluko.l diri 0.90.r kelo.k to.ba.l, Mengno.do.pl Iuka.-Iuka. 'lo.n9 leb1I, beso.r, Keko.slh

"l.1\S1l>\d'>I •-od-01s -op-odd>\ -o1'u-opd(\ 6u-opds 6u-o1' -od-01s -01'u91hs 'U"O)I-Opd(\WdW !61>1 "OS\q >\"Ot -Ot\>\ \-odW-o<_; "t"O"OS d-O\PS ·-o1'U)l\l"Oqd5 'U"O() "\'.>Ud(\ -op-odd)\ jJ"Oq"O>\ -od-o. -o1'u-opd(\ -OtU\)

Mari kita dukung hak cipta penulis dengan tidak menggandakan, memindai, atau mengedarkan sebagian atau seluruh isi buku tanpa izin. Hak cipta bisa menjadi pendorong kreativitas penulis, penyebarluasan gagasan, dan penguatan nilai-nilai keberagaman. Terima kasih sudah membeli buku cetak/digital edisi resmi. Anda telah turut mendukung penulis dan penerbit agar terns berusaha membuat buku-buku terbaik bagi semua kalangan pembaca.

� BENTANG

Senandung Talijiwo Karya Sujiwo Tejo Cetakan Pertama, April 2019 Penyunting: Ahernawan dan Nurjannah Intan Perancang & ilustrasi sampul: Agung Budi Sulistya & Musthofa Nur Wardoyo Pemeriksa aksara: Galih Pangestu Jati & Dwi Kurniawati Penata aksara: Nuruzzaman & Rio Ap Ilustrasi isi: Fransisca Ayu Digitalisasi: Rahmat Tsani H. Diterbitkan oleh Penerbit Bentang (PT Bentang Pustaka) Anggota Ikapi Jin. Plemburan No. 1 Pogung Lor, RT 11 RW 48 SIA XV. Sleman, Yogyakarta 55284 Telp. (0274) 889248- Faks. (0274) 883753 Sure!: [email protected] Sure! redaksi: [email protected] http://www.bentangpustaka.com Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KOT) SujiwoTejo Senandung talijiwo I Sujiwo Tejo ; penyunting, Ahernawan dan Nurjannah Intan. -- Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2019. viii + 228 him; 20,5 cm ISBN 978-602-291-586-7 ISBN 978-602-291-587-4 (PDF) ISBN 978-602-291-588-1 (EPUB) IL Ahernawan. 1. Kehidupan. I. Judul. E-book ini didistribusikan oleh:

Mizan Digital Publishing Jin. Jagakarsa Raya No. 40 Jakarta Selatan - 12620 Telp.: +62-21-7864547 (Hunting) Faks.:+62-21-7864272 Sure!: [email protected]

III. Nurjannah Intan. 128

Kekasih, terima

kasih te/al, ka u ber; tahu ak Sebe/um k.e tttd citd-Q., du/u tahu u. ku cuma pisau 9 � his4. � �-

1 B

12 1,

20

24 2'I

'J'J 'JB

41 44

48 52 5(; ,1 (;5 10 14

1'1 84 8'1 '1'J

!1ove o,I. Surya le/al, le17jjela1>1 .... Move On

Kayu Soelastri S-1, Cuk T he (um and Roses Perasaan Sepeda Lalu Hidung Surya Tenggelam

Pada Sehwal, l?a'!J"'!J Ukuran Pasar Buah Operasi Senyap Mirnpi Tergila-gila Kaus #<::@ntiMertua Ngalamuning Ati

Susu

;1/e_Jara !)ttjd!Jdtfj Amen Ban Serep Dagdigdug Jambu Kluthuk

'18 102 108 112

11'1 120 124 128 111 118

144 148 15'1

151

N�ara Pascadangdut Kembar Tulang Rusuk Stasiun Tua

111/.fs/.fA lerawal'J Amp lop Bang Bing Bung CCTV Musuh dalam Selimut Saat Sukma Terawan Syapres dan Syawapres #TaliJiwo lni "Elek Yo Ben'

l?ai-hl/.f dalahl /1/b/.fhl

158

Album

1'1

Rai-mu

1'1

Dokter Melati Kardus dan PHP Rani! Rani! Kolam dalam Kamar Tagar, Eh, Pagar

111 115 11'1 184

18'1 1'14 200 204 208 211

211

Sawa'!J Sil'JaWa'!j P residenJenar Polusi Visual Wader Kalau Buku Bisa Ngornong Kopi ltu Kopi Hantu Nggak Lucu

rak-bukudigital.blogspot.com

S

edang tren manusia tak butuh pasangan sesama insan. Ketimbang nanti berantem, ketimbang nanti saling melapor polisi, mending mereka berumah tangga dengan hewan saja. Selapik seketiduran. Taruh kata bersama anjing, kucing, koala, clan bersama "sesama" yang lain. Di beberapa negara Eropa, seperti lnggris, musim itu telah lama tiba. "Tapi bukan karena musim itu aku gandrung sama murai clan kacer," pengakuan Sastro ketika terus-menerus didesak kapan akan menikahi Jendro, yaitu Jendrowati, teman SMP-nya dahulu waktu di Nganjuk. "Mending saya jujur mencintai binatang, karena sukanya memang itu, ketimbang saya mengaku cinta teknologi clan menepuk dada sebagai Habibie masa depan," kilahnya lagi.

Jendro pun tak keberatan kalau Sastro lebih mumet saat kehabisan jangkrik makanan burung-burungnya dibanding kalau tiada WA-nya dalam sepekan. Suatu hari Jendro diajak Sastro mlaku-mlaku nang Tunjungan menemui Mus Mulyadi. Mumpung Bulan Bahasa, serta demi titik temu Polri clan TNI, mereka ingin bertanya ke "Gus Mus" itu tentang apa beda senjata

melumpuhkan clan mematikan? Lha wong, kata orang, HP saja bisa menjadi senjata mematikan kalau sudah terpegang istri atau suami?

Orang mudah Uth.bW"CA., Kekasih, bila k.t.t.r� wn.hn_g4t cerita tentang banyaknya pelru.d yang wn.cintaL g�. Cita-cita ke Tunjungan itu tak kesampaian. Jendro ikhlas. Sastro berbelok arah dari tujuan bersama. Mereka akhimya lebih lama ngendon hujan-hujanan di pasar burung. Di situ Sastro mencari pakan burung-burungnya: ulat Jerman, ulat Hongkong, clan ulat bambu. "Ulatnya jangan banyak_..banyak," wanti Sastro ke Jendro yang akan ngasih pakan burung Sastro. Petang itu, di kos­ kosan Sastro, Jendro mencoba menyenangkan kekasihnya usai "jalan-jalan ke Tunjungan". Alasan Sastro, "Kalau surplus ulat, nanti berahinya meningkat." "Hah? Berahi meningkat, baguslah. Kamu sendiri sering mengeluh. Kamu bilang berahiku nggak pemah menanjak. Pas di trotoar jalan berdua, dalam koalisi, jarang aku menggandengmu kalau nggak kamu minta ... hayooo

"

"Ya, bagus ... bagus ...," Sastro menelan ludah sambil melihat leher Jendro, leher yang bagai pualam apalagi pas

Jendro membukanya karena rambutnya yang sepinggang diikat tinggi. "Tapi nanti kalau pas kontes burung, mereka malah tidak nggacor. Diem melulu ngempet berahi ..." Nasi telah menjadi bubur. Jendro sudah telanjur kebanyakan menyuplai ulat ke murai clan kacer. Apalagi sebelum pulang, Jendro masih mengimbuhinya lagi. Oleh karena itu, Jendro bangun malam-malam. Ia sirami murai clan kacernya. Ia semprot. Itu cara manusia untuk menurunkan berahi burung. Sastro tidak bisa menurunkan berahi burung "pasangannya" itu dengan bercumbu karena walau sesama makhluk, mereka berlainan "merek". Herannya, pas kontes Bulan Bahasa esoknya, murai clan kacer Sastro diam seribu bahasa, padahal Sastro yakin mereka sudah tidak berahi lagi. Dalam e-mail-nya Jendro komen, "Sebenarnya aku sedikit tahu tentang unggas juga, Sastro. Jangan menyesal. Jangan bersedih. Mereka tidak berkicau di kontes itu karena melihat kamu di dekat mereka. Mestinya kamu sembunyi. Tiap hari kamu hadir bersama mereka. Tiap hari kamu hadir melatih mereka ngoceh. Lama-lama mereka tak merasakan kehadiranmu. Ketika kamu pergi, justru mereka baru akan merasakan kehadiranmu. Mereka akan ngoceh. Mengapa kamu tak menghilang sejenak?" ''Apakah kalau aku bersembunyi baru kamu akan mencari-cariku juga? Kamu akan minta ketemu, lalu menggandeng tanganku tanpa kuminta?" balas e-mail Sastro. "Tidak, Sastro. Kamu sembunyi, kamu menghilang, nggak bakalan aku mencari-carimu. Kamu move on dari aku, baru aku blingsatan ...."

Bukan menghilang, bukan sembunyi, senjata paling mematikan ternyata move on. Duh. Lingsir wengi di luar kos-kosan. Sastro sedang merenung akan memperdalam cintanya ke burung-burung, atau ke Jendro?

Beragam �� datang kepada kembang untuk mengusung stori,

'4wih.

Tak satu pun di antara kembang itu menuntut

ha.ppg e�. Yang penting,

tokoh-tokohnya telah tne�uca.pk.a.n. dengan getar Setner� S�Ap-S�Ap

��.

cird"a..

� uh, kawasan berpohon-pohon soelastri. Pohon yang ':l::.J tingginya bisa mencapai 30 meteran ini konon berasal dari Langenharjo, pemandian Sri Susuhunan Paku Buwono X. Seluruh perempuan di sana rupa-rupa wajah clan tata rambutnya. Nano-nano. Namun, serupa dalam kata clan perbuatan. Perbuatan clan tutur kata mereka rupanya anu banget sehingga mendudukkan diri mereka sendiri untuk nggak cucuk kalau disakiti. Itu saking tingginya harga tindak tanduk clan lambe mereka. Bertindak clan bertanduk menawarkan tasbih kayu soelastri kepada para wisatawan saja cara mereka menawan. "lni kayu soelastri, Pak. Tapi tak seperti mitosnya. lni bukan pengasihan agar istri Bapak semakin mencintai Bapak," tutur mereka. Pun dengan cara menawan. "Tapi jika Bapak berkenan, tasbih kayu soelastri yang lembut ini akan membuat Bapak tak tebersit sezarah debu pun untuk berbuat kasar ke perempuan." "Dan itu yang akan membuat istriku semakin takluk, Nduk?" Sastro tertunduk. Senyumnya simpul.

"Tapi sejatinya aku ini belum punya istri, Nduk ...." Penjaja itu terperangah, walau samar-samar. Sangat samar sehingga di-zoom in secanggih apa pun perangahannya tak bakal ter-cyduk. "Walau masih bujangan, aku ini pemimpin daerah, Nduk," tutur Sastro, wisatawan yang disapa "si Bapak" itu. "Aku akan menerbitkan perda di daerahku: Laki-laki hanya boleh menangis ketika menyesal karena pada masa lalu sudah menyakiti apalagi sampai memutus ceweknya. Tangisan di luar alasan itu dinyatakan ilegal. Tangisan karena takut born adalah tangis ilegal. Dan lain-lain tangis yang tak perlu. Polisi-Airmata akan memantau ini ...." Jendrowati "si penjual tasbih soelastri" hanya bisa tunduk. Ia pilin-pilin ujung rambutnya yang dikelabang clan dijatuhkan di dada kanan. Keningnya, tentu saja, agak mengernyit. Pasalnya, di kawasannya sendiri Jendro tak pernah menyaksikan ada laki-laki yang sampai tega menyakiti apalagi bablas memutus perempuan pasangannya. Padahal ...,

suka tak suka, di

k.ew cird"a.. selalu ada

perte� yang dt1:utup dengan perpis4M.rt. Pertemuannya

�t.tp

tni.s&- g� tniri.p ml bili&-.

Perpisahannya tn.adt.i. Waiau tn.llr\is,

mochi itu tneru.t.. perw:f"u.f>, Kekasih.

Yang kerap Jendro saksikan malah sebaliknya. Lelaki­ lelaki mengaku bahwa yang membuat perempuan di sini menjadi tak patut untuk disakiti adalah para perempuan itu sendiri. Cara mereka membuat alis clan membikin kopi. Cara mereka dengan halus menolak tawaran untuk dibonceng. Berdiri di trotoar, mereka menolak tawaran itu sambil membungkuk melekap roknya yang dikibar-kibarkan angin trotoar agar pahanya tak tersingkap. Duh! "Kok diam?" Sastro dengan hati-hati membelah kesunyian. "Ehm .... Oh, nggak, Pak .... Nggak papa," Jendro gelagapan. Sehelai rambut yang dipilinnya copot satu, meliuk-liuk diterbangkan angin. "Kalau tangis perempuan di daerah Bapak bagaimana, Pak?" Jendro menemukan cara agar kekikukannya tak terlalu kentara. ''Apakah di sana ada juga perempuan yang tangisnya ilegal, Pak?" Lelaki dengan paduan belah dagu clan leher yang gagah itu agak lama menerawang langit sampai akhirnya manthuk­ manthuk bertopang dagu ke tangan, "Hmmm .... Boleh aku

menggeser duduk ke dekatmu?" Jendro antara mengangguk clan tidak.

Di dalam rod-a., Kekasih, hanyak yang ter�e�d t4.npa. pen.ge�«htga. te�4S setelah meninggalkan jejak seperti tAM1&n., Kekasih.

Setelah mendekat clan menyeruput kopi lanang, Sastro melanjutkan obrolan. Wajahnya tepat clan dekat berhadap­ hadapan dengan wajah Jendro. "Di sana, seluruh tangis perempuan, dengan alasan apa pun, akan kunyatakan legal." "Wowww ....," Jendro melonjak dari bangkunya dengan kepal kedua tangan di dada. "Eh, Pak .... Di sana saya boleh menangis bahagia ketika diputus laki-laki karena yakin kelak lelaki itu akan menyesal telah memutus saya, seperti laki­ laki yang nyesel memutus Lagy Gaga sebelum ia terkenal?" "Boleh .... Boleh .... ltu tangis yang legal." "Serius, Pak?" "Serius, Jendro. Tetapi tindakan legal itu tak akan pemah kamu lakukan ...." "?" "Sebab, sejak malam ini, aku berjanji tak akan pemah memutusmu. Sangat tak layak bagi aku untuk meninggalkan perempuan seperti dirimu."

G

edung yang elok. Halamannya penuh bebungaan hingga mirip Taman Sriwedari yang kondang kaonang­ onang itu. Ada dahlia, aster, cempaka, asoka, dan banyak lagi yang lainnya. Dinding-dindingnya pun penuh lukisan bermutu. Lukisan tentang Joko Tarub dan Dewi Nawang Wulan di ruang tunggu termasuk di antaranya. "Kamu tahu Joko Tarub, kan?" tanya ibu-ibu ke pemuda sebelahnya. "Tahu dong, Ma. ltu, kan, pembangun Kerajaan Pajang," jawab si pemuda. "Kalau yang di lukisan ini namanya Joko Tingkir, Ma. Lihat, Ma, Joko Tingkir sedang mengendap-endap mencuri pakaian bidadari yang sedang mandi." lbu-ibu tadi manthuk-manthuk. Tak disanggahnya si pemuda betapa dia ketukar-tukar. Yang nilep pakaian bidadari di Telaga Widodaren, Ngawi, itu justru Joko Tarub. Nah, pembangun Kerajaan Pajang itu Joko Tingkir. Si pemuda lalu pergi ke toilet. Lama. Sastro yang juga sedang berada di ruang tunggu iseng bertanya ke ibu-ibu tadi, "Maaf, nama saya Sastro .... Kok ibu tadi setuja-setuju saja soal Joko? Anak itu, kan, kebalik-balik?"

''A.duh, begini, Paaak .... Pak Sastro, ya? lya, Pak Sastro! Kenapa tadi saya diam saja ke anak saya yang kacau balau soal Joko Tingkir clan Joko Tarub? Karena anak saya ini tipe bingungan. Maka datanglah saya ke bangunan elok ini. Konsultasi psikologi." "Hmmm .... Tipe bingungan, Bu?" "Betul, Pak Sastro. Minggu lalu dia ngomong ke bapaknya, 'Pak, aku sudah lulus S-1 kemarin.' Bapaknya bilang, 'Wah, bagus. Terus?' Anak saya bilang, 'Terus sekarang aku mesti ngapain?' Bapaknya

plegak-pleguk

nggak

bisa jawab." "Heuheuheu .... Tenang, Bu. Mungkin generasi Zaman Now

memang begitu. Mereka sangat mudah tak peduli. Ibu

tak usah merasa gagal mendidik anak-anak. Tenang."

Mungkin 9484'.- adalah W'A. �iA. �nA.tnlll h.AsiL yang sesuai k.ehenhk.-Ng A., tetapi ta.k sesw keinginannya, Kekasih.

"Tenang, sih, tenang, PakSastro. Tapi, paginya, sebelum berangkat lagi ke luar negeri untuk mengimpor beras, suami saya malah curhat. 'Kalau dulu setelah diwisuda aku tanya begitu ke Ayah pasti sudah muaaataaamu

....' katanya."

"Heuheuheu .... Tenang, Bu ...."

dikaploki

clan diumpat

"Ya, terima kasih, Pak Sastro. Saya usahakan tenang. Toh, soal Joko Tarub itu masih untung anak saya tidak ketukar-tukar dengan Joko Widodo." Alkisah, ibu clan anaknya kini sudah memasuki ruang konsultasi. "Kenapa satu bidadari di lukisan itu tampak amat malu?" tanya partner Sastro, Jendro alias Jendrowati. "Kalau memang pakaian kita dikutil, apa salahnya dengan tubuh kita yang bugil? Begitu kotorkah tubuh kita? Kenapa hams malu melenggang tanpa busana sampai menemukan busana itu?" Giliran Sastro yang kini plegak-pleguk 1• Persis tokoh ayah dalam kisah ibu tadi. Akhirnya ia kembali tenang. Seakan paham betullah Sastro, Jendro menjadi demikian liberal karena terlampau lama di luar negeri. "Dear Sastro, Cintaku, My Kekasih, apa salahnya

dengan tubuh? Kalau misalnya mahar politik ditutup-tutupi oleh sebagian besar orang, masih masuk akallah." "Kalau soal cantrang?" ''Aaah, come on baby, jangan mengalihkan perhatian. lni soal penjaringan tujuh bidadari, bukan penjaringan ikan yang bikin mumet Bu Susi-nya Pak Joko." Tiba-tiba Jendro pamit ke toilet, toilet kecil satu-satunya di ruang tunggu itu, tapi tergopoh-gopoh keluar lagi. "Sastro, apa benar sejak zaman Pajang negerimu pandai membangun, tapi tak pandai merawat? Gedung ini bagai Plegak-pleguk:

Jawa, 'berbicara terbata-bata karena salah tingkah'.-peny.

Sriwedari. Tapi toiletnya tak bisa dikunci. Rusak. Maukah kamu menjaga pintu? Takut ada lelaki masuk." "Ya cueklah. Kalau terlihat lelaki, apa salahnya dengan tubuhmu?" Sastro seperti menyindir. "Pemuda tadi juga lama di toilet. Nggak papa tuh ...." Jendro merajuk, "Ya, mungkin karena anak itu baru lulus S-1 ...." Tapi bukan berarti kuliah itu tak penting.

J�a.n. kau �ia.-�t.A.K4k\. h.uA.IAf>tnu. dengan tih.k l<J.J.i.a.h.. Kuliah itu pent�. Yaitu untuk tne�erk 41\.gAk �a.n. ....

Aku tak pernah meremehkan pes�. Kekasih. �-�tn.tA. selalu

sangat t\'\e�.

"Hidup jangan t\'\ele�e�. Banyak jalan menuju tidak melempem. Di jalan itulah

M.Si.b bertttr�

t\'\eltu.u4.rt tttluA.i.r. ltulah W4.n8Sit yang kup eroleh saat � rert99� berkru.ert9 f(�

bt.Wt."

Bagian "rengginang berkaleng Khong Ctµan", bukan "�4.n8 berbuw. 4g�··, betul-betul S4.n8td

t\'\e�.

rf\anas ngenthak-ngenthak2 entah akibat dolar semakin '£' sombong atau akibat hasil pilkada, paling pas minum degan ijo Lumajang. Pakai es. Minumnya diJalan Semarang, Surabaya, di antara kusen-kusen dagangan orang Madura. 0, ya, sebelum minum degan utuh yang pangkal sabutnya kemerahan itu enaknya ngelap muka
Ngenthak-ngenthak:

Jawa, 'amat terik'.-peny.

nya pakai handuk kecil dingin. Handuknya putih digulung. Gulungannya selingkar es lilin. Tambah

tepak

lagi bila handuk itu diulurkan oleh wong wedok kinyis-kinyis. Model rambutnya seseger pramugari sebuah maskapai ternama walau keuangan maskapai itu kabarnya sudah nggak seger lagi. Namun, faktanya degan ijo yang dijanjikan itu tak ada. Dia cuma ada dalam cerita Sastro. "Cerita tentang hasil pilkada? Malah tambah panas!" Jendrowati cepat menyergah. "Ya, tentang apa saja, lstriku. Tergantung butuhmu ...." "Ya sudah. Asal jangan nggantung. Jangan seperti cerita horor yang hantunya baru mau nongol, eh, sudah tamat." "Beres. Maumu cerita apa?" "Alm maunya cerita tentang rasa degan ijo lengkap dengan rasa pramugarinya. Dan gulungan handuknya yang sebesar mentimun." Sastro kaget, tapi ia sembunyikan karena kemauan Jendro ternyata persis lamunan Sastro sendiri tadi. Ia masih menyimpan kekagetannya rapat-rapat sebagaimana para ahli strategi menyimpan rahasia bagaimana pada suatu bulan Agustus mereka menetapkan capres clan cawapres berdasarkan hasil pilkada. Hanya sorot matanya yang tak bisa membohongi kekagetan itu, Kenapa yang dikatakan istrinya kok bisa persis banget dengan angan-angannya tadi? Berarti, selama ini, kalau

dia tidur memeluk Jendro, istri ini juga tahu bahwa Sastro membayangkan sedang berkoalisi dengan perempuan-perempuan lain? Duh!

"Kok diam saja, Mas. Tersindir?" "Hah? Ndak. Tersindir apaan?" Sastro berlagak seperti politisi yang tidak peka atas sindiran rakyat, yang baru mengerti kalau rakyat sudah mulai terang-terangan berdemo. "Aku nggak tersindir apa-apa. Cuma itu lho, gulungan handuk dari pramugari kok sebesar mentimun sih .... Mestinya kan sebesar es lilin!" "Karena mentimun lebih besar ...." "Ndak.

Es lilin dalam ceritaku ini beda."

Es lilinnya bukan saja seukuran timun. Ia hampir sebesar timun suri. Gulungan handuk yang putih, bersih, lembut, clan segar itu mendahului sajian es degan ijo yang pangkal sabutnya bersemu warna mawar, pertanda degan ijo asli. Pengantar handuk yang diterima oleh tangan mulus Jendro lelaki mirip Messi. Pakaiannya rapi mirip petugas TPS. Karena Jendro sudah cantik tanpa make-up maka ia mengelap wajahnya dengan handuk itu sambil menghirup napas dalam
"Saya menjadi saksi. Yang segar bukan handuk kami, tetapi perasaan Mbak sendiri," puja "Messi" sambil mengelus-elus cambangnya. "Saya menjadi pencatat. Yang segar bukan es degan kami, melainkan sukma Mbak sendiri," puji bintang iklan sampo antiketombe "Ronaldo" sembari menggaruk­ garuk rambutnya seolah membuktikan bersih dari segala ketombe clan dosa-dosa. Sambil menceritakan itu Sastro mendengar berkali-kali Jendro menelan ludah. Usai cerita Sastro, Jendro masih merasakan ilusi segarnya es degan ijo itu ke sekujur sarafnya. Jendro merasa betul-betul segar tenggorokannya walau nyatanya tak ada es, tak ada degan, tak ada handuk, clan mereka masih berada di antara debu­ debu clan truk-truk yang berseliweran di bawah terik tepi­ tepimu, oh, Surabaya. "Sastro," bisik Jendro, "Kenapa kamu tak menjadi juru kampanye saja?"

Mungkin bukan pAtttti yang terutama mendidik bangsa ini. Tetapi cinta..

Pernikahan telah membuat bangsa ini setiap

4khir pek.a.rt f.tdihA.rt tlr\"h-e dipr��

I

a membenamkan diri ke kepala pasangannya, mencari­ cari, menciumi, lalu menggigit telinganya. Pasangannya segera hanyut dalam berahi yang menderu. Mereka saling mengendus penuh hasrat. Satu sama lainnya berpagutan leher dengan gonggongan serak-serak basah.

Suaramu �tr(ll(-�tr(ll( �tA.. Kamu bertanya, apa yang sedang kulakukan

suatu saat ketiktt ��ttg�k.A.n.-�ttg�k.A.n. �w.tr�, Kekasih. Saal mengkhayalkan suaramu itu tu(U,

��aJa.hkrut ���

di kertas gambar hingga ibuku bertanya, "Apakah itu

�ajt.Ut g� ���ik.tut L -�·

7"

n.lA.l�.

Sastro-Jendro terhibur ada yang membuat hatinya bersenandung, menyaksikan asmara dua anjing jantan­ betina itu. Jendro cekikikan. Sastro cekakakan. Segala

jenis tawa mendadak dihidangkan keduanya. Lebih meriah dari sambutan bila akan digelar Asian Games. Menjelang kedua anjing itu menuntaskan hajat hidup bersamanya dengan lolong yang teramat panjang, Sastro clan Jendro mendongak. Mereka mengalihkan pandang ke lembayung senja. Siluet bukit di barat itu bak cerobong pabrik yang horizontal. Asap hitam pekatnya adalah rombongan kelelawar yang bersembulan. Semburan "asap" ini seketika meliuk-liuk di angkasa membentuk berbagai koalisi clan manuver. Lama-lama langit hitam total. Sastro kembali tak punya hiburan. Wajahnya terkulai. "Kamu pasti menyembunyikan sesuatu, Sastro. Sesuatu yang sangat rahasia," Jendro memecah sunyinya kegelapan. "Maafkan aku, tapi kamu harus membuka rahasia itu padaku." Akhirnya, setelah memendamnya kurang lebih lima bulan, Sastro bercerita. Siang itu, datang ke kantor Sastro untuk kesekian kalinya seorang lelaki matang. Rompi clan dasinya serasi. Arlojinya berkilauan. Sikapnya penuh percaya diri. Sastro agak jiper juga melihatnya. "Kali ini waktu saya nggak banyak, Tuan Sastro, saya akan to the point saja," tandas lelaki itu sambil dengan norak memesan dua cangkir kopi ke

office boy

di kantor tuan

rumah. Satu untuknya, satu untuk tuan rumah.

Ia seorang pengacara. Kehadirannya atas nama kliennya yang merasa dirugikan Rp 1,5 miliar oleh harapan palsu almarhum ayah Sastro. Pengacara itu menunjukkan foto lusuh orang-orang pas upacara pemakaman ayahnya sekian tahun lalu. ltu foto saat Sastro berpidato agar yang diberi harapan palsu oleh almarhum ayahnya memberitahunya. Kliennya menyaksikan pidato Sastro. Pengacara itu bilang, kliennya tak tampak di foto. "Tapi rakyat yang tak ada di foto bukan berarti rakyat yang tidak ada," ia seperti berfilosofi. "Singkat kata," tegas si pengacara. "Klien saya tak masalah jika harapannya tinggal harapan. ''Almarhum jadi PHP bahwa politik tidak akan berbau. Mana buktinya? Baru Kali Item yang sudah tak berbau3• Namun, singkat kata, harapan KW ortumu sudah dianggap menjadi harapan ori asal kamu merelakan Jendro kekasihmu dinikahi oleh klienku." Jendro menyela Sastro, "Kamu mau lepas aku?" "Nggak, tapi dari mana aku dapat Rp 1,5 miliar untuk bayar utang?" "Kalau aku nggak mau nikah ma 'Datuk Maringgih' itu?" "Pasti mau, karena kamu cinta aku." "Tidak. Buat apa aku cinta ama orang yang tak cinta aku, ama orang yang ringan saja mau lepas aku kepada investor ...." Mengacu pada suatu nama kali di Jakarta yang berbau. Cara Pemda DK! Jakarta membuat kali tersebut tidak berbau menjelang Asian Games 2018 dengan menuang pewangi di sana menuai pro kontra.-peny.

Sastro menepuk jidat. Bersamaan itu tawa Jendro berderai. Jendro buka-bukaan bahwa pengacara yang merangkap debt collector itu cuma sandiwaranya. Tujuannya menguji Sastro. Apakah kekasihnya ini tipe laki yang merahasiakan perasaannya bahkan ke pacarnya sendiri? Bagi Jendro, Sastro yang calon pemimpin sejatinya juga pacar rakyatnya. "Jangan cuma data yang di-omongke rakyat. Data bisa dibuat-buat. Perasaan? ltu yang mestinya disampaikan. Perasaan tak bisa dibuat-buat," ungkap Jendro.

Semoga aku bukan &r� per� Aku S� b«Mtl.n. merasakan warna yang terlihat. Maka aku �n.gel.tun., Kekasih. Di dasar f.tud

g� gufittt. aku ingin merasakan warna

yang terdengar, yang berge� di dasar cinta. "Masak kita kalah sama anjing, Sastro? Mereka tak menyembunyikan perasaannya. Kelelawar juga. Mereka tak merahasiakan manuver-manuver di balik koalisinya dengan senja. Transparan dalam pacaran .... Itulah bernegara," rajuk Jendro.

"(!>ercayalah, Sastro, tak pernah hatiku se-plong ini .... " Di atas ranjang dengan sprei berlipat, Sastro yang diajak ngobrol oleh Jendrowati masih tiduran miring. Matanya ketap-ketip. Sepertinya dapat ia pahami ind demi ind curhatan Jendro. ltulah keluh kesah yang dialami perempuan malang di seputar hari Lebaran. Si perempuan malang itu skripsinya ditolak untuk kali ketujuh oleh dosen pembimbing. Paginya, di perantauan itu, karena ia tak bisa mudik, terdengar kumandang takbir. Eh, usai salat Id tetiba masuk WA dari pacarnya. Tanpa babibu si bajindul itu memutus sepihak hubungannya dengan perempuan malang ini. "Dapatkah kamu merasakan segenap yang kurasakan pagi itu, Sastro? Merasakan jantungku .... Nadiku .... Napasku .... "

Ternyata �n.cirdai bukanlah CIU"t.t wduk berb�it.t. Mencintai tak lain cuma percobaan-percobaan kecil untuk �lul<.Ai rAix-i agar kelak tabah menghadapi Iuka-Iuka yang lebih be�ttr, Kekasih.

Ah, Sastro masih tampak malas-malasan dalam tidur miringnya di atas lipat-lipatan sprei putih kamar Jendro. Matanya saja yang mulai berlinang. Dengan pipi yang masih basah, Jendro menyeka mata Sastro. Jendro bingung kenapa dirinya ujug-ujug di-cut oleh cowok yang perasaannya sudah tidak bekerja lagi itu. Memang, ia tak melaksanakan usulan kekasihnya soal tema clan topik skripsi. Pantesan ditolak terus oleh "dosbim"-nya. Kekasihnya usul agar skripsi Jendro adalah analisis tentang foto Jokowi (patung) membonceng Jokowi (asli) naik sepeda. Draf skripsi Jendrowati selalu tak tentang itu. Pernah draf skripsinya analisis tentang foto Sekutu membonceng NICA ditolak, Jendro mengajukan lagi draf skripsi berupa analisis tentang foto Soekarno melayani Ibu Fatmawati, memboncengnya.

emtA. kadang menampilkan diri sepenuhnya hanya sebagai pela.gArt. Pada saat itu aku

menyuruhmu tne...J,ersih.k.4.n. sep«h.tlo.t. untuk tne�e...J,4.r4. ke sekujur tubuhmu.

cintA. unju.l<. ,Mri., sepenuhnya sebagai r«h.t., aku menjadi �� pertW't sep«h.t. Ketika tiba su:ht.gA.

yang paling pas untuk kaki

dan pe14.lruwt hidupmu.

Draf skripsi analisis tentang foto perjalanan Bung Karno clan Bu Fat naik sepeda itu ditampik, Jendro menyodorkan lagi draf skripsi berupa analisis tentang hubungan cara boncengan clan kedekatan jiwa. Pacaran yang menjelang berakhir bisa ditandai dari cara boncengan mereka clan seterusnya. Pokoknya bukan skripsi usulan kekasih Jendro. Kekasih Jendro marah? Tidak! Ia bahkan menepuk­ nepuk bangga pundak Jendro di warung Pak Karto. "Kamu hebat. Kamu punya prinsip sendiri. Kamu tidak seperti kerbau yang dicocok cingurnya lalu menurut saja apa pun yang dimaui tuannya. Kamulah istri yang aku idam-idamkan kelak kalau kamu sudah diwisuda ...," kekasihnya berikrar. "O ya, Jendro, cara kita boncengan menunjukkan bahwa kita adalah pasangan abadi di tengah bangsa bermental tempe ini, kan?"

Kekasih, kadang berrnen:f-4.L te�e bagus juga. Selama tempe masih yakin bahwa manusia selalu menemukan cara tnetnA.StU<. te�e busuk menjadi tempe b�krek.

M.rt

lez«f; menjadi

kl�ar�tt.. tak begitu terasa sakitnya Suatu malam setelah berjalan-jalan tak tentu tuju, setelah beberapa kali Jendro ingin menubrukkan dirinya ke sepeda, sesampai di kamar kos-kosan yang lupa ia tutup jendelanya sudah mapan Sastro di atas ranjang.

Jendro menghardiknya. Kagetlah Sastro. Ia menggeliat bangun clan melompat ke lantai. Lalu, astaga, ia berjalan terseok-seok, menyeret-nyeret salah satu kakinya. Kelihatannya baru saja ada perempuan yang tega melindas kakinya dengan sepeda. Merasa iba, Jendro dengan sekuat tenaga menggendong, mengobatinya dengan obat-obatan di kotak P3K, membalutnya, menaruhnya kembali di ranjang, clan menandai kucing jantan yang malang itu dengan nama Sastro. Hampir setahun sudah hubungan keduanya berlangsung. "Sudah selama itu pula si bajingan tengik itu memutusku, duh!" kenangJendro. Keliru! PHK, pemutusan hubungan kasih itu sudah berlangsung sejak tiga tahun lalu. Sastro, kalau adaJendro, sangat kerasan thenguk-thenguk4 di kos-kosan Jendro, di negeri ikan yang konsumsi ikannya masih rendah ini. Apabila dilempari ikan, Sastro enggan memakannya karena masih larut dalam kesedihan Jendro. Saat Jendro menunjukkan foto Bu Susi, baru Sastro lahap memakan itu ikan. "Sastro, apakah skripsimu juga ditepis berkali-kali? Sudah skripsi ditolaki, eh kamu ... masih juga kakimu dilukai sepihak oleh kekasihmu? Dan dia lukai pula hatimu?" "Meooooooooong ...."

Thenguk-thenguk:

Jawa, 'termangu, sedang tidak berbuat apa-apa'.-peny.

"rtl'"ku wis tangi? Atau masih mimpi?" Rasa hangat di pipi � .I.kiri Sastro tak kunjung reda. Sensasi kehangatan itu, bahkan lalu merantak ke sekujur tubuhnya yang sedang duduk di jok kemudi hardtop-nya. lngatannya lalu pulih. Samar-samar ingatan itu kembali pada obrolan ringan menjelang ia nge-drop Jendro kekasihnya di depan rumahnya. Kalau saja Sastro tak memaksanya segera turun dari hardtop, Jendro tak bakalan turun. "lni sudah larut. Kamu harus masuk rumah. Nanti mamamu nggak percaya lagi kalau kamu aku ajak mlaku­ mlaku nang Tunjungan," pinta Sastro. Lalu Jendro masih keukeuh tak mau turun dari hardtop kesukaan Sastro. Ia masih senderan di jok depan. Sabuk pengamannya bahkan belum dibebaskannya bersyarat ataupun murni seperti Ahok saat menjalani hukuman. Bukan berarti Jendro sandaran menyamping ke pundak Sastro atau tangannya menempel di bagian-bagian tubuh Sastro atau sebaliknya. Sama sekali tidak.

Walau sudah sir-siran5 nyaris tujuh purnama, keduanya pantang bersentuhan. Mereka cuma asyik bercakap-cakap. Larut malam di depan pintu pagar rumah Jendro, di bawah pohon ketapang yang bayang-bayang rembulannya rebah ke tanah, Sastro-Jendro cuma berbincang-bincang. Topik obrolan berlalu-lalu, mulai dari surat keterangan tidak mampu (SKTM) yang banyak dipalsukan. Mereka mampu beli Mercedez terbaru, tapi tidak mampu beli kambing kurban, eh, lalu mengaku tidak mampu menyekolahkan anaknya. "Saal zonasi penerimaan peserta didik baru yang paling untung yang tinggal di halaman sekolah itu." ''Apa ada, Jendro?" ''Ada. Anaknya Pak Bon, tukang kebun sekolah," canda Jendro. Lalu obrolan beralih tentang orang-orang yang mendadak jadi ikhlas menyumbang apa pun untuk manusia tercepat di dunia, pelari Lalu Muhammad Zahri. Lalu Sastro melirik jam tangannya clan kaget, "Sudah jam 3 pagi. Kamu hams cepat turun." Seturun Jendro, Sastro yang taat peraturan polisi tak lalu pergi. Ia ngantuk berat. Merebahkan joknya, lalu tidur dengan niat bangun sebelum fajar. Lalu Sastro bermimpi. Di bawah sinar rembulan, ia yang kala itu masih bocah nongkrong di pucuk pohon ketapang tepian sawah seusai meraih layang-layang yang Sir-siran: Jawa, 'saling suka, naksir'.-peny.

nyangsang. Berlalu ibu-ibu muda yang sedang menggandeng Jendro bocah berteriak kepada Paman Sastro yang sedang mencangkul di sawah. "Di atas ketapang itu ada anak-anak nyangking layangan. Siapa?" "Ponakanku! Baru datang dari kota!" "Ooo, pantes." Perempuan muda yang tampak sudah akrab dengan Paman Sastro clan tahu bahwa si paman cuma punya satu­ satunya saudara laki itu melanjutkan, "Pantes wajah anak itu mirip bapaknya." "Heuheuheu .... Eh, anakmu Jendrowati ini jadi nikah? Semoga jodoh."

Kekasih, inilah �&r jodoh itu: Aku perf-4.tn4. memandangmu, kemudian

p�a.ru<JA. beralih kepada yang lain-lain. Kepada �uka.rt t�ih.rut wi U1U- k.M lalu ke warung � instttn. yang aku p elototi dengan

�aj4h k�ttn.. Tetiba aku tersadar p ernah bertemu seseorang mirip kamu entah kapan, entah di mana, entah sekarang, entah pada k.ehid..upttn. yang lalu maupun yang akan datang.

Ditanya apakah Jendro sudah menikah, perempuan muda itu menggeleng. Tersanggah sudah desas-desus yang beredar di seluruh desa bahwa Jendrowati, walau masih di bawah umur, sudah akan dinikahi oleh seorang kakek­ kakek. "Kita semua sudah menyelidiki, ternyata kakek itu bukan saja ... apa itu... agamawan. Kata suamiku, beliau ternyata juga hmmm ... apa itu... politisi. Kita akan menghindari ... apa itu ... hmmm ... agamawan yang merangkap-rangkap jadi politisi," teriak perempuan muda itu. Seketika Jendro yang rambumya dikepang dua jalinan dengan semringah lalu memanjat pohon ketapang clan mengecup pipi kiri Sastro. Kecupan dari alam mimpi itulah yang kini masih terasa hangat di pipi Sastro saat menancap gas mobilnya. Pulang. Fajar hampir berlalu ketika ibu Sastro membukakan pintu pagar untuk hardtop hijau tentara Sastro. Ia terkesiap semu-semu senyum, "Sastro, kok di pipi kirimu ada stempel lipstik perempuan?"

c,-'ik Tok diblokir atau tidak6, tetap saja dunia isinya cuma main-main. Semua baru jadi serius kalau sudah dipandang oleh ibu-ibu calon mertua.

-1

Jendrowati bukan ibu-ibu calon mertua. Celakanya, ia pun sudah ketularan virus mengerikan itu. Dunia ini dipandangnya sangat serius gegara pertunangannya tahun lalu batal total. Senja itu ia duduk di suatu kafe di Surabaya. Nun jauh di depannya terbentang sungai. Terdapat pula ikan predator Arapamia dari Amazon, yang didesas-desuskan masuk Surabaya seperti tentara NICA dahulu. Pemangsa ikan itu panjangnya semeteran. Jendro tak turut merinding bersama penduduk. Sekadar ucapan syukur bersama teman-temannya pun tidak. Misalnya, merasa beruntung pendatang di Surabaya ini penampakannya ikan. Penampakan pendatang di sungai-sungai Jakarta malah buaya.

Aplikasi media sosial diblokir oleh Kementerian Komunikasi dan Informasi karena dinilai berisi konten negatif terutama pornografi medio Juli 2018. Blokir hanya berlangsung selama sepekan karena pihak Tik Tok berjanji membersihkan konten tersebut.-peny.

Hidup herteman itu sana«t tnJAlia.. Suatu hari, Kekasih, seorang teman yang seek.&r � WA.g A. s�4l hilang kepadaku, 'Hai � WA.g A.

w«t; kenapa sih, teman-temanmu sesama manusia � tt?

pada �lerhk. fill' tnld"A. u.a.g Mereka toh sepertiku juga Sering �errili- tntd"A. walau faktanya tak ada tanai.s di sana Akan tetapi, semua di kejauhan itu fana. Buaya pun fana. Mas-mas pelayan kafe yang dari tadi siaga mencatat pesanan menu dekat pelupuk mata Jendro pun fana. Yang abadi di matanya cuma malam pertunangan itu. Roti buaya clan lain-lain sudah disiapkan untuk menyambut rombongan pelamar. Sang ibu terus mondar-mandir dengan tatapan mata yang aneh. Ia lalu mengendus roti buaya. Diendusnya pula rawon yang masih mengepul-ngepul. Habis itu ia menerawang ke langit-langit. "Aku mencium bangkai tikus," desisnya. Matanya sambil menyapu suami clan anak-anaknya. Kini semuanya sadar, yang sejak tadi aneh bukan tatapan mata ibu. Cuping hidungnya itu, lho. Warnanya lebih merah ketimbang seluruh wajah bundarnya yang berdagu ganda.

"Sudahlah, Bu. ltu cuma halusinasi," Jendro menenangkan. "Ibu nggak suka rawon, sih. Kata Nenek, waktu kecil, Ibu pertama disuap kuah rawon pas ada bangkai tikus. Sampai sekarang setiap kali cium rawon ibu traumatis serasa cium bangkai tikus." "ltu cuma ilusi!" ayah Jendro nyamber. "Seperti buaya darat. ltu cuma fatamorgana. Yang nyata, ya, buaya-buaya di Jakarta." Sebelumnya, mereka sudah akur untuk menyuguhkan rawon walau si ibu traumatis ke makanan dari dunia hitam itu. lni semata-mata demi ayah Sastro yang bakal melamar Jendro. Ia seorang lelaki gagah berzodiak Libra clan bermaniak rawon. Jendro termasuk pengagum ayah Sastro yang gagah perkasa. Harapannya, calon tunangannya yang "anak papa" itu pun mewarisi sifat-sifat ayahnya, kecuali penciumannya. Walau gagah, penciuman ayah Sastro perempuan banget. Tajamnya luar biasa, mungkin lebih tajam dibanding daya endus ibu Jendro. "Cepat survei clan singkirkan bangkai ini!!!" ibu Jendro meradang. Walau tak ada yang menciumnya, kontan semua anggota keluarga pura-pura berpencar menyurvei bangkai sialan itu. Kakak Jendro menyurvei bangkai tikus di balik burung Garuda Pancasila dari kayu yang digantung di dinding dekat almanak Dewi Sri. Adik Jendro yang paling bungsu, masih taman kanak-kanak, menyurvei bangkai tikus di

balik tokoh idola yang sedang berpidato politik, yaitu di balik televisi penayangnya. Survei pura-pura itu sedianya masih akan berlanjut, tapi harus berakhir. Rombongan ayah Sastro tiba sepuluh menit lebih cepat. Sepanjang acara resmi lamaran ekspresi ayah Sastro seserius ekspresi ibu Jendro dalam mencium dunia. Mereka toleh-toleh dengan cuping hidung kembang­ kempis. Singkat cerita, lamaran batal. Akhirnya, senja itu, di suatu kafe di tepian Surabaya, pelayan kafe berbicara sok tahu ke Jendro. "Maaf, Mbak. Selama hampir satu periode menjadi pelayan masyarakat di kafe ini, belum pernah saya berdiri menunggu amanah menu sampai lebih dari satu jam. Tidak apa-apa, Mbak. Saya akan tetap menunggu. Saya bisa mengerti kalau rencana naiknya BBM membuat Mbak jadi stres begini. Kalau semua dihitung-hitung, hidup memang bikin stres, Mbak."

S«tu. k.u.r� s«fu. entah herapa aku sudah lupa, Kekasih. Aku soalnya harus wn.e�l
Sastro malah kepincut penawar terendah yang ndilalah tinggal sekota dengannya. Perempuan. Cantik. "Ya sudah, duitnya mau di transfer ke mana!?" ketus Jendrowati tak bisa menyembunyikan kekesalan ke adiknya. "Cepetan! Mana nomor rekeningmu!" Jawab Sastro pelan, "Nggak usah. Aku mau ketemuan langsung saja."

Aku mendengar ada pe�a.su.h cinf4. yang tak pemah mengandung dan melahirkannya. Aku mendengar ada pe�� dan pel.A.hir cinf4. yang tak pemah w�a.slAh.n.ga.. }J� prebletn..fJ!lni risiko hidup dengan dua telinga.

k.up� kiri kubiarkan mendengar baik-baiknya. Sementara k.up� kAM.n.

Tentang cinta,

kubiarkan mendengar buruk-buruknya, Kekasih. Jendro nggerundel 7 , "Duit masih ditopang Ayah, belum punya kuasa, itu aja adikku sudah nggak tahan kecantikan. Maka, lembaga surveimu tuh, nggak usah resek kalau ada pemimpin yang cintanya tak pernah tenggelam. Ngaca!"

7

Nggerundel: Jawa, 'menggerutu'.-peny.

S

i bungsu Sastro dapat banyak voucher walau belum lama bekerja di lembaga survei politik. Macam-macam fasilitas gratisannya itu. Dari voucher taksi sampai voucher internet. Namun, seperti umumnya pegawai anyaran lulusan S-1, gaji Sastro kecil banget. Hidup bulanannya masih rutin ditalangi ortu. "Aduh surga banget, ya, hidupmu. Anak-anakmu sudah pada berduit," begitu biasanya komentar keluarga besar ke ayah Sastro. "Sudah tiap bulan kamu dapat gaji komisaris perusahaan daerah plus ... plus ... plus segala tunjangannya, masih pula dapat upeti dari Sastro clan kakak-kakaknya yang lain yang gajinya sudah pada selangit." Segala puji itu biasanya ditanggapi ayah Sastro dengan menarik napas panjang clan senyum-senyum, "Yaaah ... gimana lagi, ya? Sudah garisnya begitu. Tiap bulan susah tolak angpau dari anak-anak. Padahal saya ndak ngarep lho

"

Hmmm .... Hidup memang pilihan. Bagi ayah Sastro mending ngasih duit ke saudara dari pada membuat harkat anak-anaknya melorot.

Adik perempuannya mengeluh, "Mas, tolong anakku mau daftar kuliah untuk menjadi dokter yang jujur, Sampeyan, kan, sudah banyak dapat setoran bulanan dari anak-anak." Nyooooooh

keluar duit.

"Dik, aku kok pengin ke museum kenangan penenggelaman kapal ikan, ya. Bisa nggak aku icip-icip duit setoran bulanan ponakan-ponakanku kepadamu," curhat kakak perempuannya. Nyooooooh

keluar duit.

Tiba-tiba, hari Jumat, Sastro mendapat semacam hidayah. Bulan ini, Sastro tak ingin ditopang ayahnya lagi. Bolos ke kantor clan mengerjakan proyek sampingan lalu minta keterangan sakit dari dokter? Tidak! Dokter-dokter sekarang takut ngasih keterangan palsu. Memang, nama terdakwa bisa tiba-tiba hilang dari dakwaan, tapi kemudian muncul tersangka baru. Itulah tokoh dari dunia kesehatan yang dijadikan tersangka oleh KPK karena ngasih status sakit ke tersangka korupsi, padahal yang bersangkutan non-sakit. Sastro akan mencari ceperan dengan menghibur Bu Susi. Srikandi penenggelam kapal itu lagi sedih karena ada yang melarang menenggelamkan kapal pencuri ikan? Tidak! Saat menjabat menteri perkara laut itu tentu Bu Susi sudah sanggup menghibur dirinya sendiri. Di kamar mandi nyanyi "Kala Sang Surya Tenggelam"-nya Chrisye saja sudah menghibur .... Surya tenggelaaam ... ditelaaan kabut kelaaam

Oalam pe��4t4N(J.(., selama tnervAa.ld 9� dan tne�At�l. lru.d; tak pernah ada �u. yang k.et�94Uln. 24Jn4r\.. Yang bisa k.et�4Uln. 24Jn4r\. cuma penyanyinya, yaitu �. dan cara. n..ga.rtgUnJA., Kekasih. Matahari saja boleh ditenggelamkan. Apalagi cuma kapal pencuri ikan. Ya, Bu Susi yang bisa ngomong logat Jawa Timuran itu pasti bisa menghibur dirinya sendiri. Hanya orang-orang tak bahagia yang mencari hiburan dari penderitaan sesama. Mereka baru terhibur oleh berita-berita perceraian tokoh ataupun dugaan foto-foto syuuurrrr seorang tokoh yang pasti membuat keluarganya menderita. Tambahan duit yang dimaksud Sastro adalah menjual fasilitas gratisan dari kantornya: voucher internet. Sayangnya, tak laku-laku. Sastro minta tolong kakaknya, Jendrowati. Kebetulan Instagram kakaknya, karena ayu, banyak follower­ nya. Jendro pun bersemangat. Dia pikir keuntungan voucher adiknya bisa dibagi dua. Dengan begitu, ia pun bulan ini tidak harus minta topangan duit ayahnya. Tidak sampai 25 menit pengumuman diunggah. Instagramnya sudah dipenuhi kandidat pembeli. Lelaki perkasa asal Aceh muncul dengan penawaran tertinggi. Sayangnya, setelah mengintip seluruh calon pembeli di Instagram kakaknya,

Jl

idup perlu langkah yang hati-hati? Betul! Petuah itu betul-betul Sastro ingat-ingat.

Sayangnya yang sukses membuatnya ingat bukan Pak atau Bu Guru, bukan pula rohaniwan. Jendrowati istrinyalah, yang sama sekali bukan pengajar, bukan pula rohaniwan, yang justru sukses membuat Sastro tak akan pernah lagi melupakannya. Kisah berawal dari pernikahan mereka.

Pernil
�. Di dalamnya manusia menjadi &risU\4.L.

Dalam periode pacaran Jendro masih menjadi Jendro KW. la kelihatan tak masalah ketika tepi-tepi cuping hidung Sastro sedikit bolotan. Sastro sendiri yang berinisiatif membersihkan koalisi debu clan keringat itu di salon walau Jendro tampak tak peduli dengan pencitraan wajah Sastro. Waktu itu, Sastro pun masih menjadi Sastro KW.

Sepekan setelah pilkada, eh, setelah pernikahan, Jendro KW menjelma jadi Jendro Orisinal. Ternyata ia tipe perempuan bersihan. Sastro Orisinal pernah dilempar kain pel olehnya saat melangkah sembarangan di lantai yang masih basah lantaran baru saja dia pel. Bekas telapak kaki di lantai yang belum total mengering membuat Jendro manyun. Sejak itu Sastro menjadi koalisi antara Sastro KW clan Sastro Ori. Ia kadang-kadang selalu berhati-hati bila akan melangkahkan kaki dalam hidupnya. Pagi ini, misalnya, belum ingin ia melangkah dari ruang tamu ke dapur untuk membikin kopi. Persoalannya, sedikit saja langkah itu ditunda bisa berabe. lni adalah detik-detik menjelang istrinya rutin akan ngepel lantai dari ruang tamu, ruang tengah, hingga dapur. Yang artinya, telat sedikit melangkah ke dapur, Sastro harus menunggu sampai semua lantai kering baru bisa melangkah bikin kopi. "Ya, sudah. Kopi bisa dientar-entar," akhirnya begitu keputusan Sastro sambil terus nonton televisi di ruang tamu. Ia memilih tak mau ketinggalan berita. Televisi sedang menyiarkan protes lelaki-lelaki Zimbabwe ke Tiongkok. Mereka pada bete karena kondom produksi negara Tirai Bambu itu ukurannya terlalu kecil.

f'el
�41�.

emtA. tetap mengenalimu

walau �el"KW"4"8 ukuran b�umu.

Sementara, cinta sendiri tA.k.

�t.SA. �. PenjA.hi:t tak bisa w�w<.u.r cird'A..

Hanya penjAhat yang selalu penasaran mengukurnya lalu wna.kut-nakuti.tnu, agar tidak mencinta.

Kini Sastro baru sadar, "Kok lelaki Indonesia tak ada yang protes kondom dari Tiongkok kekecilan, ya? Apakah karena ukuran kami ini memang kecil-kecil? Apakah kami ini nasibnya mesti kompak dengan laki-laki dari Negeri Naga yang sekarang juga bermunculan menjadi tenaga kerja di sini?" Belum tuntas pikiran itu mengerucut ke kesimpulan, Sastro harus duduk sambil mengangkat tekukan kedua kakinya karena lantai pijakan kakinya dipel. Kursinya tak dilengkapi penopang kaki. Sastro menghibur diri, "Ya sudah. Terima nasib. Siapa tahu dengan duduk sambil angkat kaki begini unggasku juga akan berkembang menjadi burungnya laki-laki Zimbabwe." Sekarang, alih-alih melangkah ke dapur untuk membikin kopi, duduk menurunkan kaki saja Sastro belum

boleh. Udara mendadak mendung clan lembap. Lantai bekas peJ...pelan tak kunjung kering. Sastro kembali menghibur diri untuk merasa lebih beruntung dari orang-orang yang pagi ini sudah nongkrong di coffee shop clan tinggal pesan kopi, tapi ketika pesan, ditanya atas nama siapa. ]angan

sewot

mengatasnamakan

kalau agama.

kini

tambah

Sekarang

banyak

memang

lagi

yang marak­

maraknya zaman atas nama. Dulu pesan kopi nggak pakai atas nama. Sekarang kasir pun bertanya, Atas nama siapa ya?... ,

batin Sastro. Sehari setelah Hari Raya Nyepi, Jendro sakit. Sastro hati-hati melangkah mengantarnya ke dokter. ''Atas nama persatuan dokter-dokter saya turut prihatin," dokter membisiki Sastro. "Tadi ada pasien sakit lantaran hidupnya terlalu jorok. Giliran istrimu kebalikannya. Dia sakit karena stres gegara terlampau bersihan. Bersihannya tak terukur."

Pt.du.s cin:ta.. perlu obat dan olahraga. Obatnya wlupWlt. Olahraganya berburu pa.s�tut ba.rtA..

r4"da yang tergopoh-gopoh ke gubuk Sastro. Teriak-teriak � .l.dari luar, "Sastro! Sastro! Cepat bawa bojomu pulang. Bojomu gelut. Sama Jendro. Di pasar buah. Omongannya, wah, makin lama makin nggak syariah. Makin merambah ke judul-judul alat vital." Sastro masih mendengarkan radio. Pemain badminton kita cedera pada suatu Asian Games, tetapi pantang menyerah. Orang lain datang menggebrak-gebrak pintu bambu gubuk Sastro. "Sastro! Sastro! Cepat ke pasar buah. Bojomu clan Jendro sudah cakar-cakaran. Baju bojomu sudah koyak­ moyak. Kalau behanya sampai dicakar juga, waduh, nanti ada buah tambahan di pasar buah itu. Kalau ada yang menawar gimana?"

Sastro masih mendengarkan radio. Para warganet menganggap atlet "berdarah-darah", tapi tetap berjuang itu sudah biasa. Memang sudah kewajibannya. Semua orang juga "berdarah-darah" dalam bidang masing-masing. Para ortu "berdarah-darah" nyekolahin anak-anaknya. Pengangguran "berdarah-darah"

nyari

kerjaan. Petani.

Nelayan. Semua lumrah. Yang terakhir datang pemulung. Dikabarkannya ke Sastro bahwa ada cabor baru di pasar buah: sikut-sikutan plus bully-bully-an. Sastro mematikan radio clan memandangi baju lusuhnya. Berbaju lusuh, tapi tetap sehat dibanding laki-laki seusianya, yakni 50-an, itulah kelebihan Sastro. Toh, ia tetap tidak bergegas ke pasar buah untuk melerai kesibukan bininya berkelahi dengan Jendro. Dibanding suami Jendro yang masih 40-an, kondisi Sastro masih unggul. Suami Jendro itu, karena sudah kaya dari warisan, badannya ringkih. Hidupnya kurang perjuangan clan mudah gumunan terhadap mereka yang "berdarah-darah" dalam hidupnya. Artinya, andai di pasar buah nanti suami Jendro pun cawe-cawe,

ia pasti berpikir seribu kali untuk menantang Sastro. Sebagaimana kini banyak orang mikir keras untuk meminta volume azan masjid tak keras-keras. 8

Merujuk pada vonis penjara 18 bulan pada Meliana, perempuan di Tanjung Balai yang disebut meminta volume pengeras suara azan dikecilkan.-peny.

rak-bukudigital.blogspot.com

Keras kepalaku masih terus berf-4.tnba.h. Kel"AS di dalam

h.ujllll, Kekasih. Salahnya hujan tak pernah

merinci seberapa banyak air yang ��t.rrt.g4.. Tahu-tahu kepalaku yang membatu ini loJ,Qf lA.wt tner\CIW", lalu menjadi kepal.A. fill'.

Semuanya tner\CIW". Air �4.Kl.t- ada di bagian mana sampai tak bisa kau k.u.kenAli lagi. Firasat Sastro benar. Pergelutan dua wanita itu akhirnya finis tanpa intervensi koalisi rumah tangga masing-masing: para suami. Bini Sastro cuma tak langsung pulang. Dia menyisih, menyendiri di tepi kali. Merenung. Apa sih sebab-sebab pertengkarannya dengan Jendro, sebabnya sederhana. Sambil menawar buah kesemek, keduanya bergosip soal cederanya pemain badminton. Jendro menganggap cedera dalam bidangnya, tapi tetap berjuang, itu luar biasa. Ah, bini Sastro menganggap itu biasa-biasa saja. Setiap orang di negeri ini "berdarah-darah" pada bidang masing­ masing agar tetap bertahan hidup. "Tapi, atlet itu berjuang demi bangsa clan negara, Monyong! Bukan cuma demi dapur ngebul!" "Sama saja, heh, Jendro. Kami berjuang demi dapur ngebul. Tapi ujung-ujungnya demi bangsa clan negara juga. Kalau banyak warga dapurnya nggak ngebul, negara ini hancur."

Pulang hampir pukul 10 malam, bini Sastro menyangka suaminya telah memalang pintu bambunya dari dalam. Ternyata tidak. Pintu mudah terkuak. Bini Sastro menguaknya pelan-pelan clan mengendap-endap masuk dalam ruang yang telah digelapkan Sastro. Bini Sastro melepas baju koyaknya di kegelapan, lalu menyelinap ke dalam tikar bekas yang menyelimuti Sastro. Ia terus menggeser tubuhnya yang tanpa pakaian sampai mendekap erat-erat suaminya dari belakang. "Sudah lama aku ingin mengakuiJendro itu mantanku, lstriku. Tapi, aku nggak mau kamu menyangka aku ngaku-ngaku, mentang-mentang dia sekarang kaya berkat suaminya." Ternyata Sastro yang juga tanpa pakaian hanya pura-pura tidur. "Hmmm .... Naluriku terbukti. Rasanya aku tak akan bisa mengampuni kesalahanmu, Suamiku," bisik bini Sastro sambil memutar tubuh suaminya hingga kini keduanya tepat bersentuhan wajah. Perlahan, ia menciumi suaminya. Mencium clan mendesah, "Sekarang kamu harus menebus seluruh kesalahanmu melalui cabor-tengah-malam ini!"

J

enuh jadi pegawai itu biasa. Jenuh jadi istri? Nah ....

Bernapas saja kadang menjemukan. Menghirup oksigen, dada mengembang. Mengembus, dada mengempis. Rata­ rata orang hidup dengan pernapasan dada model begitu. Sejak zaman Benyamin malah jauh sebelumnya, ya, orang bernapas cuma begitu-begitu saja. Makanya variasi sangatlah penting.

Golkar warna dan pohonnya begitu-begitu saja sejak zaman old. Kini ada variasi. Mereka gantilah pucuk pohonnya dari Setya Novanto ke Airlangga Hartarto. Pun mereka yang pada tanggal berapa pun bernapasnya pakai pernapasan dada. Perlu variasi. Mereka ikut kursus pernapasan perut, pernapasan diafragma, dan pernapasan ini-itu asal bukan pernapasan dada yang monoton.

Sesd,4r apakah kita akan ��hir-up na.pa.s dan bermain-main mengembangkan h.tt.sr«t untuk melahirkan anak-anak, Kekasih? Sesabar para tukang mainan mengembangkan

�n.u.tf rel="nofollow">k.tut M.p4SrtgtL

bt.tl.&n. di depan anak-anak.

Itu yang membikin Jendrowati tak merasa bersalah ketika bosan menjadi istri Sastro. Selain ikut kursus pemapasan, mulailah Jendro sering habring-habringan dengan konco-konconya sesama istri orang. Sebagian besar adalah teman-teman lamanya di bangku sekolah yang kini tongkrongannya sudah sama-sama sukses walau masih sama-sama suka kerupuk upil. Ada juga satu dua di antara mereka yang merupakan kenalan baru, tetapi langsung klop. Misalnya, ibu-ibu sasakan tinggi asal Slogohimo. Dari cuma jalan-jalan, nonton, clan makan-makan, lama­ lama habring-habringan itu meningkat menjadi pengumpulan dana. Setiap kumpul-kumpul mereka bantingan. Duit terkumpul yang kadang bisa ratusan juta itu untuk amal: mendanai khitanan massal, operasi katarak, operasi bibir sumbing, rehabilitasi penyalahgunaan narkoba, clan sebagainya. Di antara perempuan-perempuan paruh baya itu Jendro paling dekat dengan Rita asal Slogohimo. "Kita besanan saja, yuk? Anakku sampai sekarang belum pacaran," tawaran Rita ketika masih berdua dengan Jendro, menunggu emak­ emak yang lain tiba bergabung. "Lho, ayooo .... Cuma ... itu lho, Rit ... anakku sekarang lagi dekat dengan nggak tahu anak mana itu. Bapaknya sih no comment. Tapi comment-ku, aku nggak suka," Jendro gugup. "Lha, terus, piye, · J en.7"

"Hmmm, gini, Rit. Kamu tahu, kan, dari
"Orang kota ini juga. Suratnya pernah kucuri baca begini:

� UMii � fuulamu, � nutoii clan� � lJWW¥UJ ... � uia ���W'fla &wlu wd �&an� ���� 0ant itu ourat � ....

Jawa, 'sama siapa?'-peny.

Suratnya model-model begitu. Katanya instruktur teknik pernapasan. Katanya mirip Reza Rahadian. Padahal aku nggak suka Reza. Reza soalnya mau-maunya main film jadi Benyamin. Aku nggak suka Benyamin karena aku nggak suka Israel." "Itu Benjamin Netanyahu. Perdana menterinya. Yang Reza perankan itu Benyamin Sueb. Orang Betawi. Ya sudah, nama latihan pernapasannya apa?" "Namanya 'No Persekusi Rohaniwan', kalau nggak salah ...." "Oooh, itu. Aku tahu. Suamiku juga ikut pelatihan di situ. Dia sudah bosan ama dadaku, eh, sudah bosan ama pernapasan dada. Ya, ikutlah dia pelatihan itu .... Ya sudah, Rit, beres kalau begitu." "Beres gimana, Jen?" Rita tampak gugup. "Kamu tahu kan, Rit, Sastro itu waktu zaman Pak Harto dulu puluhan tahun kerjanya intel, kan? Dari istana, suamiku bisa ngatur siapa jadi pucuk pohon partai A clan siapa jadi pucuk pohon partai B. Nanti aku akan suruh suamiku melakukan operasi senyap dari dekat. Taruhan nggak sampai tiga pekan mereka akan putus. Dari jauh, aku akan berdoa untuk itu." Teman-teman Jendro clan Rita menahan napas melihat keduanya cekikikan ... panjang sekali.

J

endro cemberut. Sejak didandani perias mirip artis Chelsea Islan, yang bernama lengkap Jendrowati itu manyun. Lantaran kalah cantik? Bisa jadi. Yang kebangeten, ya, manajer pertunjukan ketoprak kali ini. Nyari perias kok, ya, ayuan periasnya ketimbang primadonanya.

lni kan sama saja dengan Wakil Wali Kota Palu Pasha "Ungu". Rambutnya itu, lho. Gaya skin fade. Masak bawahan kok lebih trendy dari rambut presidennya yang jadul banget. Untung presidennya, Pak Jokowi, masih mengimbanginya dengan gaya anak muda. Secara pernah dibelinya sepeda motor Chopper gitu, lho. Lha, Jendro? Jendro tak punya persiapan untuk seimbang. Apakah keseimbangan itu?

Di antara begitu banyak htW rQJN1u.f tntA.,

hanya satu yang protes saat kusebut k.tun.u.

audik,

Kekasih. Menurutnya kamu n..gebelin.. 0 ya? Aku tak bisa

tn.a.rdh padanya. Hanya kuteruskan

rne�elu.s-elu.s seluruh rambutmu hingga si tukang protes itu turut terbeW lalu put.tu bersama malam.

Jendro tak begitu. Baru tahu kalau periasnya mirip Chelsea Islan, ya, pas wajahnya sudah akan "ditancap". Wah, tahu begini sejak kemarin ia memborong baju-baju yang dipastikan jauh lebih bagus dari sebagus-bagusnya baju untuk kelas perias. Kalah ayu, menang baju. Ah, tapi ini negara merdeka. Sedih jangan ditanggung sendiri. Proses periasan itu Jendro update di medsosnya. Siaran langsung. Seabrek yang mendukung. Mereka menulis agar Jendro tidak terus-terusan murung. "Kalem. lni, kan, masih proses. Nanti lihat hasil akhimya, deh. Kamu pasti lebih cantik dari perias kamu itu," tulis Sastro, kekasihnya. ''Ah, kamu sendiri selalu bilang proses lebih penting. Hasil nggak penting, hayo!" secara tertulis Jendro balik protes. "Kamu selalu bilang, Sas, mending hasilnya salah asal prosesnya benar. Kalau tekun, diulang-ulang, dibiasakan, lama-lama hasilnya akan benar. Prosesnya salah hasilnya benar? Ah, itu kebetulan. Kebetulan tak bisa diulangi, Sas!"

"I ya, st'h, J en. " "Makanya. lni prosesnya saja sudah salah, Sas. Tuh, lihat. Aku kalah ayu. Periasnya lebih menyala Bombay. He111ooo ..., " ketik Jendro sambil mengarahkan kamera ke periasnya. "Ya, lihat saja hasilnya nanti, Jen. Kamu pasti lebih cantik."

"Kenapa baru lihat hasilnya nanti-nanti, Sas? Sekarang saja! Lihat prosesnya! Kamu juga ngajarin aku lihat impor beras clan impor garam. Padahal itu baru tahapan proses. Kamu tak menyuruh aku baru lihat nanti tahapan akhir dari semua proses itu: swasembada!" Waduh ... berat ... berat .... Yang enteng-enteng saja, sekarang di ruang rias pertunjukan ketoprak dalam rangka ulang tahun Mbak Mega ketujuh puluh berapa gitu, proses telah mencapai hasil akhir. Jendro menjadi persis artis dari udik, Soimah Pancawati. lni sesuai arahan penulis naskah clan sutradara Agus Noor. Semua kagum atas kecantikan Ishoma, eh, Sowimah yang diperankan olehJendro, kecualiJendro sendiri. Kekasih Sastro ini merasa Chelsea Islan lebih kinclong dibanding Sowimah walau yang lain-lain sudah meyakinkannya bahwa Sowimah-lah yang lebih ngejreng. Voting di antara awak panggung pun tak bisa memupus kekesalan Jendro. "lni tak bisa divoting. lni bukan soal pilkada! lni bukan soal uang! lni soal perasaan. Perasaan saya, Chelsea lebih cantik dari Sowimah!" Jendro mencak-mencak. Nyaris saja ia bongkar riasannya andai tangannya tak ditahan kuat-kuat oleh Agus Noor. Sedianya akan ditempuh cara lain yang lebih asli Nusantara, musyarawarah mufakat. Sayangnya gong ketiga sudah terdengar dari auditorium. Pertanda pertunjukan harus dimulai. Galau. Tapi perlukah galau?

'141.A.u.. itu saat tak sangg

up

kau be�

mana yang memenuhi hidup mu dan mana yang cuma �n.wt-�ruthin.. Jendro terpaksa naik panggung walau jadi ngaco. Lakon dari Agus Noor tak dilakoninya. Dia bikin lakon sendiri. Spontan. Di depan raja yang bergelimang harta clan sakti dengan segala mantra, harusnya ia menyindir dengan tembang, Sugih tanpo bondo .... Digdoyo tanpo aji. 'Kaya tanpa harta, sakti tanpa mantra'. Terlantunnya malah, "Yang pentiiing berhasiiil. Jadiii rajaaa. Proses ndak pentiiing ...."

S

astro barn saja buka praktik perdukunan. Spesialiasinya meramal. Salah satu ramalannya yang termasuk jitu tentang kalajengking. Jumat Wage itu, ia bilang ke tamunya, kalajengking akan menjadi primadona ketajiran Nusantara seperti pernah di-endorse oleh Pak Jokowi. Jumat tanpa rembulan itu pula istrinya langsung tak percaya. Dasarnya, ia memang sudah tak rela suaminya buka praktik ramal-meramal setelah pensiun. Apa pun yang diramalkan Sastro pasti dicibirnya. Khusus tentang kalajengking, ketidakpercayaannya tercampur kenangan yang nggilani. Oulu waktu ke Tiongkok untuk mengenang pernikahan peraknya, dia "tergila-gila" alias gilo, kok bisa-bisanya kalajengking yang nggilani itu jadi jajanan laris manis seperti cilok dan seblak di sini.

Entah dipanggang entah diapakan, pokoknya tukang rambat cokelat-hitam-kemerahan yang dolar mau naik atau mau turun tetap saja suka ujug-ujug njengking itu di sana jadi tampak gosong dan ditusuk jejer-jejer seperti sate. Di sana, ABG-ABG dengan dandanan kekinian bukan saja banyak yang makan es krim ataupun gula-gula. Saat jalan-jalan menggelendot pacarnya bisa saja mereka belok,

mampir di gerobak-gerobak mmp penjual jagung rebus di sini. Ambil sate kalajengking beberapa tusuk. Kadang­ kadang plus sate kelabang clan sate kuda laut. Terns melenggang lagi sambil mengelamuti 10-nya. Hiiiiiiiii .... Istri Sastro amat "tergila-gila". Suaminya membatin,

Kamu �etW� peth.bend yang kucintai secara kebetulan, Kekasih. Ketika tlu aku be/um mengerti kenapa tff(St9ett. menghidupkan sekaligus �th.blAlllAh k,la. lngat, dengan menghirup oksigen �el-�el kifa.. jadi hidup tapi sekaligus jadi �tu.UL Wu tn.afi. "Sebetulnya kamu tidak bend, tidak jijik lihat sate kalajengking," sinis Sastro ke Jendro mengenang masa-masa mereka ke Beijing karena tiket gratisan dari kantor. "Kamu cuma nggak rela aku jadi dukun. Apa pun yang aku katakan kepada tamu-tamuku kamu tidak akan setuju. Itu akibatnya. Karena kamu tak rela kusambung masa pensiunku dengan dunia ramal-meramal." "Ih, aku memang bukan relawanmu, kok, Mas!" "Ya, jelas. Karena bagiku relawan bukanlah pendukung Pak Jokowi, pendukung Pak Prabowo, atau pendukung suami. Relawan adalah penumpang bus Rela," kelakar Sastro 10

Mengelamuti: Jawa, 'mengulum'.-peny.

menetralkan kesinisannya sebelumnya sambil menyebut bus supercepat-legendaris jurusan Solo-Purwodadi itu. Dari teman arisannya, Jendro baru tahu. Eh, yang disebut bisnis primadona dari kalajengking temyata bukan satenya, tapi racunnya. Bayangkan satu liter racun kalajengking menurut Pak Jokowi harganya bisa sampai Rp140 miliar lebih. Jauh lebih mahal dibanding madu termahal dari tebing-tebing di Nepal ataupun Turki. lni bukti tak selamanya benarlah lagu Arie Wibowo yang pemah sangat ngetop, "Madu clan Racun": .... Madu di tangan kananmu, racun di tangan kirimu, aku tak tahu mana yang, akan kau berikan padaku

....

Sungguh racun kalajengking sangat menjanjikan. Tapi, ah, jangan mudah percaya kepada janji-janji. Lagi pula, yang tukang janji itu biar manusia saja.

�nja.njil<.tut keb�iAAn. seperti hujan tak pernah �nja.njil<.tut rAi.r, Kekasih. Cinta tak pernah

Yang sering menjanjikan kebahagiaan itu keber\dA.rt.

Yang terbukti, kini sebaliknya. Kadang hal buruk seperti racun karena kalau diolah bisa jadi obat, malah berhak berada di singgasana kebaikan tangan kanan. Wah, benar juga ramalan suami Jendro. Sejak itu, kekaguman Jendro kepada suaminya mulai bersemi. Setelah bertahun-tahun berbisnis bumbu pecel, untuk kali

pertama, Jendro membikin bumbu pecel khusus suaminya. Bumbu pecel dengan racikan khusus clan diolah dengan cinta. Sayangnya, orang iri ada di mana pun. Tak saja antara relawan anu dengan relawan anu. Bukan pula antar-relawan yang sama itu sendiri. Antardukun ramal pun temyata bisa saling iri. "Ramalan suamimu itu meleset," kata seorang juru ramal lain yang juga pensiunan. "PakJokowi tak bilang racun kalajengking adalah komoditas termahal. Presiden bilang, racun kalajengking clan minyak itu komoditas mahal, tapi yang lebih mahal dari keduanya adalah komoditas waktu." Istri Sastro semula terpengaruh. Lama-lama tidak. Justru ia menganggap suaminya telah membuat ramalan yang benar. Kala pada Kalajengking berarti sang waktu, seperti Batara Kala.

Yang sudah menjadi tnAStl �t.UA.

tak cuma tahun lalu dalam hi:h.t�tA.rt kAlen.thr,

Kekasih. Kalimat 11Q.KlA. t\'\en.cin:t�'' pun segera menjadi tnAStl �t.UA. dalam hil:ungan M..r\Jr­

�tik sesudah ia ter�. Selamat percaya kepada segala hal yang telah menjadi tn/.lStl �t.UA.. cr'agar-tagar tentang capres juga sudah menjadi masa lampau. Begitu pula cerita tentang tagar berikut ini.

-1

Perceraian walau sama sekali tak dianjurkan tetap saja boleh diperbuat. Sebenarnya mertua Jendrowati tak masalah bila menantunya kausan #TetanggakuCalonSuamiku. Mereka sadar. Lima tahun terakhir, pernikahan Jendro dengan Sastro anaknya memang telah di ujung tanduk. "Tapi kenapa dia mesti kausan #GantiMertua? Mbok pakai kaus yang tagar-tagar lain, misalnya #SiAnuCalonSuamiku. Monggo. Calon, kan, belum tentu jadi. Bisa saja setelah mediasi akhirnya Jendro tetap menjadi

istri anakku, Sastro. Kalau #GantiMertua, itu sudah pasti cerai, clan itu bikin panas situasi!" tandas mertua perempuan di depan kompor gulai. Apalagi kaus dengan tagar #GantiMertua tak cuma di pakai Jendro. Kemarin lusa ketika reunian SMA, Jendro membagi-bagikan itu ke sohib-sohibnya. Tanpa penelitian clan penyelidikan mendalam mereka yang sudah tahu betapa tulusnya Jendro sejak SMA langsung membelanya. "lni pasti bukan hoaks," begitu karib Jendro yang langsung percaya clan merangkul Jendro. "lni pasti kebenaran. Aku tahu dulu di SMA tak ada orang yang sejujur kamu, Jend. Entah kenapa kami semua di sini langsung percaya ceritamu: suamimu ancene buaya clan sekarang sudah punya simpanan di Jember." Kepercayaan mereka tak cuma dalam kata-kata. Mereka pun berbuat. Dalam reunian di Banyuwangi itu langsung mereka lukir11 baju. Mereka, sekitar 300-an orang, kompak pakai kaus #GantiMertua yang tertera di bagian dada. Ada perempuan gendut yang sampai mau-maunya mengenakan kaus amat kekecilan karena jatah ukuran XXL sudah habis. Tulisan #GantiMertua jadi tampak tegas, tandas clan menonjol atas sesaknya desakan dada. Dengan seragam kaus #GantiMertua itu mereka foto­ foto di Ketapang, di Bandara Blimbingsari, di Watu Dodol, clan tempat-tempat wisata lain di bumi Blambangan itu. Selain mengunggahnya di Instagram, setiap orang lantas memasukkan foto-foto itu di grup WA-nya masing-masing. 11

Lukir:

Jawa, 'tukar'.-peny.

Tak heran kaus #GantiMertua lalu dipakai oleh banyak orang di luar komunitas teman-teman SMA Jendro. Kaus ini beredar di toko-toko clan kaki lima-kaki lima. Laris manis. Pedagang kaus di Cihampelas Bandung sampai hafal. Kalau ada ibu-ibu muda datang, pasti yang dia cari kaus #GantiMertua. Tanpa ba-bi-bu ia langsung membimbing ibu-ibu malang itu ke rak kaus #GantiMertua. Mertua Jendro tak tinggal diam. Ia melobi pembuat kaus sablonan yang terhitung masih saudara misannya sendiri. "Kita kan bersaudara, nih," ultimatum si mertua. "Stop sampean terima order kaus #GantiMertua lagi dari menantuku!" Walau bersaudara, apalagi sebangsa, lobi gagal. Pasalnya, perusahaan kaus sablonan itu mempekerjakan sekitar 35 orang. Masing-masing menanggung kehidupan sekitar tiga anak. "Selama ini orderan sepi. Baru kaus #GantiMertua ini yang orderannya membeludak," alasannya. Yo wis. Lobi berantakan. Kini yang kebakaran jenggot bukan cuma mertua Jendro. Seluruh mertua di Nusantara gusar setiap melihat kaus #GantiMertua itu di angkutan umum, di lobi-lobi hotel, di tempat-tempat lainnya. Para mertua yang gusar itu membentuk persatuan. Perwakilannya mendatangi pembuat kaus sablonan saudara misan mertua Jendro. "Silakan secara profesional sampean tetap melayani orderan kaus #GantiMertua. Tapi, ini juga profesional, sampean harus mau menerima orderan kami

kaus #PertahankanMertua. lni mirip di dunia kedokteran zaman modern. Dokter, kan, tidak boleh menolak pasien yang beda aliran?" pinta perwakilan para mertua gusar itu dengan berkali-kali menekankan pentingnya menghargai zaman.

SekAtL-sekAfL bolehlah kamu hidup di ltta.r n.egeri.., Kekasih, tetapi jangan pernah sekali pun hidup di f.tta.r UUWUL Kini di masyarakat beredar kaus #GantiMertua sekaligus #PertahankanMertua. Sama banyaknya. Sayangnya, pengguna kaus #PertahankanMertua cuma para mertua yang gusar itu. Tak ada anak-anak muda yang menggunakan itu. Satu-satunya anak muda pengguna #PertahankanMertua hanyalah: Sastro!

kaus

C"rernyata Sastro sudah berjalan kaki lebih dari 10 kilometeran. Pabrik Gula Madukismo antara Solo­ Jogja pun sudah dilaluinya sebelum akhirnya tiba di ambang pintu rumah ibunya di Jogja. Jendro, istrinya, baru saja menuntut cerai clan mengusirnya.

-1

"Ya, ampun, wahai engkau Anakku! Kamu naik 'sekuter' (suku muter atau jalan kaki)?" Songsong ibunya di gerbang. Suaranya gemetar buyuten. Namanya juga ibu, perempuan full ubanan itu kontan tahu bahwa anaknya baru saja menempuh traveling kaki cukup jauh. Feeling ibu ke anak biasanya memang begitu. Setajam silet, mungkin jauh lebih tajam dibanding naluri polisi untuk menerka siapa dalang orang-orang gila penyerang kaum agamawan. Sastro sendiri disadarkan bahwa ia baru memecahkan rekornya sendiri dalam bidang perjalanan kaki. Biasanya dari rumah istrinya ke rumah ibunya Sastro naik mobil "Empat Tuner". Kadang dia nyetir sendiri kalau istrinya sedang berakit-rakit ke hulu dengan partainya. Tanpa Jendro, Sastro riang bersama putrinya yang masih seperti "DPR di mata Gus Dur", yaitu masih Taman Kanak-

Kanak.12 Anak itu riang bernyanyi-nyanyi apa saja dari mars Nasdem, mars Perindo, atau mars partai apa saja. Rute yang biasa dilalui dengan kegembiraan mars berbagai partai dan bakpia kukus itu kini Sastro lintasi dengan berjalan kaki. Ketika mengusir Sastro, Jendro melarang suaminya membawa apa pun, termasuk sepatu roda butut di gudang.

Cinta tak p ernah pergi. Cinta pasti p� walau rutenya tak selalu ke r�

Kadang kita berjala.n. ke arah lain dari rute tersebut

dan menjadikan b�lo.t.-b�lo.t.

t� l<.6:tA.

sebagai rumah kita ber«t-4.p �i:t; Kekasih.

Untung Sastro masih diizinkan membawa pakaian yang dikenakannya kini, pakaian yang lima tahun lalu dibelikan istrinya di Singapura. Bayangkan kalau Sastro bugil berjalan kaki. Sudah pasti ayah tiga putri itu akan disangka gila. Masyarakat bakal ramai-ramai mengeroyoknya karena khawatir Sastro akan menyerang tokoh-tokoh agama. Saat itu, lagi tren penyerang tokoh agama dianggap orang gila. Sastro tidak gila. Ia cuma terlalu berat menafsir makna dunia yang terkandung dalam kata-kata istrinya. Tadi pagi, sebagai calon wakil rakyat, istrinya menuduh Sastro melakukan penghinaan. 12

Mengacu pada ungkapan terkenal Presiden RI keempat, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, untuk merespons pernyataan para anggota DPR menyikapi langkah Gus Dur membubarkan Departemen Penerangan dan Departemen Sosial medic 2001.-peny.

"Mulai hari ini, kamu harus latihan tidak menghinaku!" damprat Jendro sambil klontang-klontang membanting panci dan wajan. "Agar nanti kalau aku sudah benar-benar jadi wakil rakyat, kamu tidak keceplosan menghinaku sebab bisa dipidana. Baca rancangan undang-undang terbaru nggak, sih!?" Dampratan istri itu terus terngiang-ngiang setelah Sastro meninggalkan gerbang rumah ibunya, kembali berjalan kaki entah ke mana. Ibunya sudah hampir kehabisan oksigen untuk menahan Sastro yang menangis.

Aku hukannya tne�is, Kekasih. Aku nma tak tahu pada h.at4.ptt.n. mana lagi Ai.¥- tnaitA. ini dapat ��4.r\.. "Tata lahir kamu memujiku secerdas Sri Mulyani! Tapi aku tahu batinmu menghinaku! Sudahlah, aku tahu kamu sinis ketika Menteri Keuangan itu dapat penghargaan sebagai menteri terbaik dunia! Kamu termakan provokasi bahwa para pihak yang hidup dari bunga uang tentu senang ngasih penghargaan kepada orang yang terus-menerus berutang. Padahal, kamu dan para provokator itu ngerti apa soal ekonomi!!!???" Hingga perjalanan kakinya sudah mendekati Bandara Adisoetjipto, Sastro yakin banget bahwa ia betul-betul memuji istrinya. Menurutnya, istrinya secerdas Sri Mulyani dan ia memang betul-betul mengagumi Sri Mulyani.

"Halah! Bahkan kalau kamu memang betul-betul memujiku, itu pun penghinaan. Memuji berlebihan sama saja dengan menghina!" Semakin mengenang kemarahan istrinya, semakin Sastro berjalan kaki dengan tatapan kosong. Ia berusaha melupakannya, tetapi tak kuasa.

�el.up� ternyata jauh lebih

�lelA.hlwt

daripada �rt8�trl"�. Kekasih. Di Bandara Adisoetjipto ada ibu-ibu yang mengejar Sastro ketika lelaki malang itu diantarkan oleh perjalanan kakinya memasuki toilet. "lni toilet perempuan, Pak!" seru ibu-ibu itu. "Maaf, Bapak ngalamun karena delay salah satu maskapai penerbangan, ya? Sama, Pak. Kemarin-kemarin saya juga begitu. Tapi, saya bersama masyarakat akhirnya sudah terbiasa, Pak .... Heuheuheu .... 0, ya, nama saya Sri Mulyaning, Pak. Pernah dengar nama itu, Pak?"

(D erat

bagi Sastro mengomentari keluhan Jendrowati, 'flkonco perempuannya sesama karyawan yang sedang berdinas luar kota. Kalau bahkan separo saja tak sanggup mengomentari, lebih baik sekalian tak berkomentar apa­ apa. Ia bertahan membisu, menunggu lanjutan keluh kesah sohibnya. Jendro merasa sejak meninggalkan bayinya di Kendari, payudaranya yang tak lagi disesap seakan mau membuncah. Membesar, mengeras, penuh air susu, air yang tak tahu mau meluap ke mana lagi. Pengakuannya di lobi losmen, "Tahu nggak, Sastro? Kali ini aku ingin sekali diperas." "Diperas apa diperah?" letup Sastro terperenyak. Dia hampir tidak bisa mengingat apa-apa, kecuali kakeknya di Pujon yang tiap pagi membawa timba, berlutut, lalu meremas susu sapi. Namun, kenangan masa kecil di halimun pegunungan itu lekas-lekas ditepisnya.

Karena adakah hari selA.irt h.Ari.. i.ni, Kekasih. Tak ada. Yang ada cwna hari ini.

fee�t.Ut

adalah hari ini yang t\'\ere�k.tut k.e""-A.rtn.. Harapan adalah hari ini yang t\'\e�kh.Agttlhrt es&k.

Lagi pula yang akan dimintai tolong Jendro memeras payudaranya pasti bukan aku, baik tadi malam, tadi pagi, maupun sekarang. Penampilanku tetap meyakinkan bahwa kami cuma temenan, tak lebih. lni pasti akan membuatnya risih kalau sampai aku sendiri yang memerasnya,

Sastro membatin.

Jendro semakin kesakitan. Dadanya bukan susu pekat manis kemasan yang pernah diributkan, yang sejatinya kemasan tak bersusu. Bukan. Dadanya betuJ...betul penuh susu. Melihat resepsionis losmen melintas, Sastro buru­ buru mencegat perempuan dengan blazer ungu menawan itu. "Mbak, Mbak ... maaf, ini urgent. Bisa minta tolong memeraskan payudara teman saya? Kamar 308." "Waduh, maaf, Pak Sastro, saya bukan tukang peras. Lagian tidak punya pengalaman menjadi pemeras. Sebelum mengabdi di losmen ini, saya belum pernah mengabdi di bank yang nggak bener. Pernah, sih, dua kali. Tapi kedua­ duanya bank yang bener .... Kenapa teman Bapak itu, kok, sampai .... Hmmm .... Dia teman Bapak, kan?" "lya, teman saya," jawab Sastro gelagapan karena masih bingung mencari benang merah antara pemeras clan bank. "Maaf, ini agak kasar: betul-betul dia hanya teman Bapak, kan?" "Sumpah, betul-betul hanya teman."

"Hmmm ... baiklah. Tapi, kenapa 'betul-betul hanya teman' Bapak itu tidak Bapak sarankan beli pompa ASI saja?" Nah, itu masalahnya. Sastro menjadi semakin yakin perempuan berdagu elok ini maqam-nya memang pas jadi pegawai saja. Semoga kelak dia tidak akan pernah nyaleg. Jadi caleg harus tahu keadaan rakyat. Dia menyangka bahwa setiap orang mampu beli pompa susu. "Lagian, Pak, Nenek bilang, kalau habis diperas nanti

susunya malah semakin banyak .... Emangnya bayinya umur berapa?" "Seminggu. Namanya Lukaku Matamu." "Waduh. Bagus. Dua kata. Dua-duanya nama 'pemain voli' dunia. Bayi baru seminggu, kok, sudah ditinggal dinas luar kota?" Nah, itu masalahnya. Mbak-mbak ini juga tidak tahu, dinas luar kota adalah cara pegawai seperti Sastro-Jendro mendapat tambahan fulus. Harga telur walau belum di ujung jalan tol sudah di ujung tanduk. Bagaimana bisa mencukupi protein anak kalau Jendro yang masih nenenin bayi itu menolak dinas luar kota? Cuma mampu untuk beli telur, tak usah muluk-muluk sampai punya duit banyak supaya bisa mentransfer kader partai ke partai lain seperti di Liga Eropa. Apa salahnya? Dalam perjalanan pulang ke losmen, Sastro membayangkan temannya, Jendro, makin tersiksa oleh payudaranya yang kian mengembung gegara tak mengucur.

Terbayang,

Kenapa, sih, saat-saat genting begini Jendro

nggak berpikir praktis saja. Mbok anggap saja aku ini seperti bayinya sendiri.

Bayangan yang segera ditepis sendiri oleh Sastro sebagai mantanJendro, clan merasa bersalah terhadap suamiJendro yang juga karibnya.

Manusia harus sating mengingatkan kepada k.ebruh.rt karena h.uttAJt, 9�, S4MJ4.h., dan lru.dtAJt hanya bisa mengingatkan kita kepada �4.r\..

rf\ernah ada lagu tentang 2019 tak ganti presiden. Pernah ada lagu tentang 2019 ganti presiden. Dua-duanya punya peminat di YouTube. Walau begitu Sastro clan Jendro, dua pengamen laki-perempuan Kota Surabaya, tak terpengaruh.

'i"

Sastro-Jendro bukan orang partai, tapi mereka punya ideologi. Ideologi mereka: manusia pas makan pengin santai, tak pengin dengar apa pun tentang politik. Tentang Asian Games yang kurang bergaung dibanding politik masih okelah. Yang jelas, mereka cuma pengin dengar lagu­ lagu cinta, perjalanan, kangen-kangenan .... ''Ah, itu mah bukan ideologi. ltu namanya selera," celetuk sejawat mereka sesama pengamen, istilah bentukan dari "pe" clan "amen", lulusan S-1 jurusan Teknik Nuklir. Jendrowati manyun clan semakin menggemaskan. "Sudahlah, situ nggak usah nyinyir," ketusnya. "Kerja aja di teknik nuklir bidangmu. Di sini nggak ada lowongannya, kan? Ya sono jadi TKI nuklir di Korea Utara. Lumayan kalau diajak Kim Jong-un ke Singapura terus ke Vietnam. Damai­ damaian ma Trump."

Suatu malam ketika Sastro dan Jendro diusir-usir selagi ngamen di Benowo dan di Tambaksari, keduanya berjumpa di titik temu Tugu Pahlawan. Keduanya berkolaborasi mengamen ke seseorang yang mirip Yudi Latif, tokoh yang baru memunduri jabatan kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila. "Yudi Latif' langsung ngasih duit, padahal lagu baru baris pertama. Setelah itu mereka menganggur. Daripada nganggur, Sastro memberi penjelasan pada komentar sejawat pengamen lulusan teknik nuklirnya tentang ideologi. "Aktif di partai politik agar banyak proyek, agar keluarganya kaya, agar tak ada satu pun anggota keluarganya yang kepepet jadi pengamen, itu namanya politik­ kepentingan," tandas Sastro sambil gantian ngemut es krim satu berdua sama Jendro. "Terus?" Jendro merajuk. Masih tersisa sengal-sengal napasnya seolah habis berlari dalam Asian Games, gegara diburu petugas pengusiran pengamen. Sekali dua-kali sambil ia "jreng"-kan ukulelenya. "Nah, terus, aktif di partai politik agar kelak bisa menggodok undang-undang bagi keadilan dan kemakmuran sehingga otomatis tak ada pengamen, itu namanya politik­ ideologi," Sastro sembari memetik gitarnya menimpal "jreng-jreng"-an ukulele Jendro. Udara romantis, walau Sastro cuma ikut-ikutan genjrengan Jendro.

Aku suka peretnpWAJt tnAJ\is yang k.&pi

pAhitn..ga. tetap kurasa pAhit, tidak ikut-ikutan tnAJ\is gegara diseduh oleh peretnpWAJt tnAJ\is. Aku tak suka apa pun yang ik.u:t-ik.u:t4.n., Kekasih. "Berarti kalau ada prinsip apa pun makanannya, minumnya tetap ... eh, siapa pun capresnya akulah cawapresnya', itu politik kepentingan? Kan logikanya kalau sudah seidelogi ma capres A, berarti beda ideologi ma capres B?" "Pinter .... Hmmm .... Koalisi partai juga begitu, Jendro.

Kalau politiknya politik-ideologi, bukan politik-kepentingan, koalisi partai akan sama dari pusat sampai di berbagai daerah. Jika di pusat partai A tidak berkoalisi dengan partai B, di daerah keduanya juga tak bisa berkoalisi." "Maksudmu, Sastro, kalau di pusat partai munyuk berkoalisi dengan partai bedes, clan partai kampret berkoalisi dengan partai koala maka koalisi pilkada di daerah-daerah juga seperti itu?" "Pinter. Kamu pantas menjadi pengamenwati yang

dapat receh ke-13 clan THR, Tunjangan Hiburan Receh .... Karena bukan politik-ideologi, tapi politik-kepentingan maka partai kadal yang di suatu daerah berkoalisi dengan partai genderuwo, di daerah lain bisa berkoalisi dengan partai wewe gombel." "ltu akan mengubah hakikat demokrasi?"

rak-bukudigital.blogspot.com

"Tidak mengubah. Hakikatnya tetap, yaitu tetap kadal." Mereka lalu berdoa agar politik berubah. Namun mereka tak ingin ge-er (gede rasa) jika doa mereka cepat terkabul. Ibaratnya, pengamen yang cepat-cepat dikasih duit biasanya yang nyanyinya tak enak, agar segera menyingkir. ltu perumpamaan tentang doa yang cepat terkabul versi K.H. Imron Djamil dari Pesantren Kyai Mojo Jombang. "Kalau Tuan yang diameni sayang kita, beliau akan menunggu sampai kita selesai nyanyi utuh baru ngasih duit. Kalau perlu duitnya ditahan-tahan dulu, imbuh lagu lagi ... imbuh terus ... clan yang menyanyi, eh, yang berdoa kudu sabar," kenang Sastro ke Jendro.

Kaum berSAbA.r' adalah mereka yang tabah mengikuti pr�es, Kekasih. Di antaranya tab4.h. menekuni proses

�+��is dari bend menjadi cinta.

r4yah Sastro seliweran di mobil tua yang bannya kempis. � .l.Kadang searah jarum jam. Kadang beroposisi. Velg mobil kenangan itu sudah nyaris menempel tanah. "Aku harus segera mengganti dengan ban serep walau ban serepnya sudah tua," tekadnya. "Kalau tidak, nanti pas Jendro merengek minta keliling kota naik mobil, piye jal?" Jendrowati adalah anak kandungnya dengan ibu kandung Sastro. Beberapa bulan setelah ayah kandung Sastro meninggal dalam revolusi mental, ibu kandungnya sudah tak lagi jadi janda revolusi. Perempuan hitam manis itu menikahi lelaki sederhana yang kini menjadi ayah kandung Jendro sekaligus ayah tiri Sastro.

Cinta adalah anak � dan QJW(.

'°'dtut-'°'dtut

tiri pe��·

Oh, mendengar tekad yang digumamkan ayah tirinya, Sastro langsung menyahut, "Ayah, aku akan ke tetangga. Pinjam dongkrak."

"Jangan! Kamu masih kecil. Tidak kuat bawanya." ''Ayah, aku akan bilang pinjam saja dulu. Nanti ayah yang bawa." Dongkrak merah bikinan Jerman berhasil dipinjam. Ayah tiri Sastro bersiap tengkurap merayap di kolong mobil. Sebelumnya, Sastro sudah lebih dahulu menggelar tikar pandan buat alas ayah tirinya. Tuas dongkrak dijungkat-jungkit. Bunyinya berderit­ derit. Sastro tak kalah sibuk. Ia sudah menyiapkan baskom dengan airnya untuk cud tangan, handuk kecil, serta segelas air putih. "Kalau capek mendongkrak, Ayah keluar dulu saja dari kolong. Sini, ngaso. Minum air putih." Hmmm .... Sejak itu ayah tiri Sastro perlahan-lahan berubah. Ia yang semula cuma sayang Jendro sebagai putri kandungnya yang amat cerdas, mulai sayang pula kepada Sastro, putra tirinya.

Cinta adalah s�ai yang membuatmu k.eSW"uj>tilt setiap kaK kau k.e� tu"c.tS�, riAk.-r�, dan k.el&l<.A.n.-k.e�, Kekasih. Itulah yang kelak membuat ayah Sastro terpilih menjadi pemimpin di daerahnya. Warga percaya, dia yang tak membedakan anak kandung clan anak tirinya akan tak membedakan pula mana rakyat kandung clan rakyat tiri.

Tak jarang, ia membela anak tirinya, seperti seusai penggantian ban sore itu, ketika Sastro clan Jendro berselisih. "Jadi, wapres itu seperti ban serep," bocah Sastro menjelaskan kepada adik tirinya di dalam mobil sambil keliling kota. "O, tidak bisa, Kakak. Wapres kayak ban serep itu zaman Eyang Harto. Sekarang wapres punya peluang besar jadi presiden pilpres mendatang." Seterusnya, eyel-eyelan antara dua bocah. Jendro sambil makan arum manis di jok belakang. Sastro menyandarkan kepalanya di jok depan, mendampingi ayah tirinya. Sang ayah yang sembari mengemudi mendengarkan otot-ototan 13 kedua bocah itu akhirnya membela Sastro. "Jendro!" sergahnya. "Kakakmu bener, ban yang sedang kita pakai sekarang ini ibarat wakil presiden, cuma ban serep." "O, tidak bisa, Ayah. Bos-bos yang ingin nanti anaknya jadi presiden, tapi belum bisa jadi wakil presiden saat ini akan pasang wapres yang sekarang berusia lanjut. Pada pilpres mendatang, usia wapres akan tambah lanjut lagi. Mustahil dia sanggup melanjut jadi presiden. Nah, anak­ anak bos itulah yang akan melanjutkan." "Belum tentu karena itu, Jendro," Sastro menukas. "Bos-bos yang berharap anak-anaknya kelak jadi presiden pasti tahu lakon wayang Semar Kuncung." 13

Otot-ototan: Jawa, 'saling bantah'.-peny.

Maksud Sastro, mereka pasti ingat ketika Arjuna clan para pendukungnya memilih Semar untuk menjadi wakil Arjuna di kawasan Madukara. Harapannya, orang tua seperti Semar pasti gampang di-plekotho 14 • Tahunya, dalam perjalanan waktu, ketika Semar ngamuk, bahkan dewa-dewa pun tak ada yang berani. Saat itu, si ayah berhenti di toko ban. Menjelang turun dari mobil, ia ragu. Mengganti ban baru, artinya membela Jendro bahwa ban serepnya yang sudah tua cuma dipakai untuk menyongsong munculnya ban baru.

Protes terbesar terhadap sesuatu

�u.ka.n. teriak-teriak sampai bakar-bakaran ban. ltu masih cemen. Puncak protes tertinggi

dan tersuci terhadap sesuatu adalah tttk.

sm �i

wtnbi.cartA..kruutga. walau cuma sehuruf.

••

Di-plekotho: Jawa, 'dipecundangkan, ditipu'.-peny.

�ss�

G

erai oleh-oleh khas Surabaya itu kabarnya akan bubar pada 2030. 15 lni mirip ramalan akan bubarnya Indonesia pada tahun tersebut. Jendrowati yang tinggal di Makassar terperenyak. la yang pernah dioleh-olehi karibnya kue lapis berselai stroberi dari gerai tersebut tak percaya. "Amacaciiiii ...? Lapisnya masih enak, kok. Resep kunonya masih terasa sekali. Warnanya juga bagus. Gradasi dari Golkar, eh, dari kuning ke warna-warna lainnya itu lho .... Duh, lembut sekali .... Aku nggak tahan!!! Gradasi warna-warni pilkada kalah!" luap Jendro kepada sang tercinta, Sastro.

Sastro cinta sekali Jendro. Memang tak sekali pun ia berikrar di podium-podium sebagai Pancasilais, eh, sebagai Jendrois sejati dalam persatuan harga mati. T idak. Tak pernah. Namun, Jendro merasakan cinta sejati Sastro berdenyut nyata. Pas pergi ke Surabaya untuk ngecek kiriman sarung­ sarung dari Guangzhou, Sastro berencana mampir gerai kue itu, akan ia saksikan sendiri mungkinkah kecintaan kekasihnya di Makassar itu akan berpuing-puing pada 2030? 15

Calon Presiden Prabowo Subianto menyebutkan hal ini dalam pidatonya dengan merujuk sebuah novel fiksi, Ghost F/eet.-peny.

Bila kau tega.. membuatku h.rutcu.r,

aku pun akan tega.. mengumpulkan p�-p�k.u. sehingga

utuh menjadi sen.g�. Kekasih.

"Cepetan, Cuk. Aku akan ke toko kue di Pasar Genteng

Besar. Kenapa barangku, kok, nggak kamu bongkar-bongkar, Cuuuk?" Sastro penasaran ke tenaga kerja bongkar muat (TKBM) di terminal peti kemas. "Karena sampean baru tanya, belum ngritik saya. Tenang, pokoknya begitu sampean ngritik saya, pada saat itu juga, saya akan langsung bongkar semuanya," kata TKBM itu seperti terinspirasi oleh cara seorang menteri mengancam pengkritiknya. Lalu, terjadilah seperti di alam mimpi. Begitu Sastro mengkritik bahwa kue lapis yang sedang dimakan TKBM itu murahan karena lapis-lapis yang mahal-mahal sudah dikuasai asing, langsung TKBM itu marah-marah. Segera ia bongkar sarung-sarung desainan Sastro. Di kawasan Pasar Genteng Besar, di sebuah toko kue yang mobil boleh parkir hingga menjorok teras toko, Sastro tak langsung masuk. Tadinya ia akan langsung melihat-lihat berbagai macam kue, bahkan sampai sambal clan kerupuk khas Surabaya. Obrolan ibu-ibu di teras membuat Sastro betah bertahan. Ada tiga ibu-ibu yang ngrasani kakek-kakek bule sendirian yang duduk di bangku porselen dalam toko.

"Eh, eh, Sri ...," ujar yang pakai sepatu hak kuning kecokelatan, "Mungkin dia orang Belanda. Pengin menjajah Indonesia lagi. Tapi nggak mungkinlah. Makanya dia ingin menguasai saham toko kue ini saja .... Dia tahu kue dari sini menyebar ke seluruh Indonesia. Tak bisa menguasai politik, dia akan kuasai rasa." "Ah, lebay, Jeng. Lebay ...." "Eh, eh, eh, jangan nyelepekan rasa lho, ya. Perasaan itu lebih penting dari pikiran. voe dulu datang ke sini pertama-tama hanya karena soal rempah-rempah .... Rempah itu soal rasa!" "Sssttt ... Jeng, jangan-jangan dia bukan bule Belanda .... Tapi dari Prancis, sang ahli ramal Nostradamus yang hidup kembali ...?" Sastro terkesiap. Dia hampiri kakek-kakek berjenggot itu. "Apa betul sampean Nostradamus? Jayabaya-nya Eropa?" tanyanya. Sebelum dijawab, Sastro sudah nyerocos lagi, "Apa betul toko kue ini bubar tahun 2030? Benarkah negara Indonesia juga akan bubar 2030?" Kakek itu mengangkat dagunya dari tumpuan lengan tongkat clan terkekeh-kekeh, "Tenang, Nak. Negara Indonesia masih akan lama. Namun, bangsa Indonesia mungkin sudah dari kemarin-kemarin bubar, Nak. Rasa kebangsaan itu sudah raib. Tako kue ini juga masih akan lama ada clan rasa kuenya juga masih tetap. Itu bedanya. Salam buat Jendrowati, istrimu .... 0 ya, sarungmu sudah beres, kan?"

pertanyaan dalam hati itu membuat jantung Sastro dagdigdug. Artinya? Ah, Hah? Tahu istri saya? ]uga soal sarung?

Selalu lebih banyak c.eri:ta.. daripada kepala untuk w�a.., Kekasih.

S

udah tiga hari Sastro tak kuasa buang air besar. Surutnya kekuasaan itu, menurut temannya, gegara Sastro

kebanyakan jambu biji. Kok? Lha, orang diare saja pulih kok pakai jambu kluthuk itu.

Apalagi kalau makannya sedaun-daun pupusnya. Kotoran cair akan memadat. Yang artinya, kalau tak diare, tapi makan jambu biji, kebanyakan lagi, tinja Sastro yang sudah kompak akan kian mengompak lagi. Susahlah keluarnya. Tak selamanya kompak itu bagus.

Cinta dan amuba terus berlomba h.ebt.d-h.ebt.drut. Cinta menyatu-nyatukan belahan diri sehingga tnertgef.w,,WL Amuba rnetnbelAh­ beWtktut kesatuan diri sehingga tnertge� "Kamu dapat data pengompakan Indonesia itu dari mana? Yakin jambu yang muasalnya Brasil masuk via Thailand itu mujarab untuk orang yang fesesnya tidak kompak?" kekasih Sastro, Jendrowati, masygul.

"Meneketehe," respons Sastro memanfaatkan jejak ujaran

"mana kutahu" jauh sebelum Pak Jokowi jadi presiden. Jendro lalu menantang teman Sastro itu adu data. Sastro terbelalak. "Kamu kebawa Pak Jokowi, ya?" cengangnya. Pekan lalu, presiden menyilakan para pengkritik membengkaknya utang Indonesia untuk adu data dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani. Tantangan ini di sambar Rizal Ramli. Mantan Menko Kemaritiman itu seraya meminta media massa mau jadi seksi repot-repot acara debat terbuka adu data itu. Menurut data Sri Mulyani, eh, Jendrowati, jambu biji yang juga kerap disebut jambu batu ataupun jambu kisi itu bukan satu-satunya penyembuh orang-orang yang sering keeirit. Masih diperlukan garam, gula, clan tepung umbi garut. "Sudahlah. Di dunia ini tak ada satu pun yang dapat dikerjakan sendirian. Begitu pun dengan jambu kisi itu. Dia masih perlu koalisi," yakin Jendro ke Sastro. Banyak usulan agar ada televisi lokal yang menyelenggarakan debat terbuka itu. Rating pemirsanya pasti tinggi. Maklum, sejak harga beras makin mahal banyak warga di kampung itu yang dilanda diare, atau sebaliknya, susah buang air. Apalagi pernah ada pejabat tinggi enteng kasih komen agar masyarakat tak gugup menghadapi harga beras yang kian meroket. Mereka cuma diimbaunya agar sabar-sabar menawar saja.

Pendek kata, acara ini pasti ditonton saking makin banyaknya orang sakit perut. Sayangnya, pengarah acara televisi lokal yang digadang-gadang akan membuat program heboh itu tiba-tiba membatalkannya. Mungkin karena dia TKA. "Dia tenaga kerja asing? Dari Tiongkok?" gusar seorang warga. "Bukan. Dia J awa tulen," sahut lainnya.

'Tapi dia

as� terhadap pekerjaannya sendirL

Dia bekerja di bidang yang sesungguhnya bttk.«t dan kemampuannya sama sekali tidak di situ. ltulah sebenar-benarnya te�a. k.erja. lbarat bakatnya

as�.

M8�, tapi masuk pmal p&litik.

atau bir&k.rasi. Mereka asing terhadap pek.erj�a. serthi." "Berarti di Indonesia ini banyak sekali TKA?" timpal yang lain lagi. "Mahasiswa asing juga banyak, dong?"

celetuk

lainnya lagi. "Pengin kuliah sastra, tapi ortu clan earner mengultimatum dia masuk kedokteran, jadilah dia mahasiswa asing kedokteran."

Sedangkan wda.. clan bend tak asing satu sama lain. Cinta bertanya 11 a.. 4.p

Dan, sebaliknya. Seti.A.f>

k.a.bat?'' kepada bencL

�w. S

ampai

kita tak bisa

lagi membedakan, sejatinya siapa yang sedang bertanya kepada siapa, Kekasih. Hmmm .... Akhirnya ada juga televisi lokal yang pengarah acaranya bukan TKA. Dia kelola acara adu data tersebut walau cuma beberapa menit. Domba-domba Garut yang ge-er menyangka dirinya sama dengan data-data pada stres usai mendengar bakal digelarnya acara eksklusif adu data. Entah akhirnya dapat obat herbal dari siapa, Sastro kuasa buang air besar. Yang jelas bukan jambu biji, bukan pula umbi garut. Padahal, sudah beberapa hari terakhir ia tak kuasa melakukannya. Pada saat Sastro berkuasa-kuasanya di toilet itulah televisi lokal menayangkan langsung acara adu data. "Sastro, cepat keluar. Tuh, istrimu lagi memandu acara adu data," teriak mertua yang sedang bermalam di rumah Sastro. "Ayooo .... Cepaaat!!!!" "Ekkkhhhhhh ...!!!" cuma itu reaksi Sastro yang bergema dalam toilet.

Plung!!! Terjemahan bunyi itu:

V«ttA. bisa diada-adakan, tapi tidak rAStL

S

astro kondang berkat berdangdut. Milenial sampai ibu-ibu mabuk gayanya. Mereka hanyut dalam gejolak dangdut Sastro.

Dangdutnya lazim dia kasih pemanasan dengan pantun­ pantun jadul. Sastra leluhur itu Sastro bumbu-bumbui sehingga tetap nendang laksana dangdut. Kalau ada sumur

di

ladang

Bolehlah kita menumpang mandi Kalau ada syukur

di ranjang

Bolehlah kita nggelinjang lagi Alamaaaaaak

... ! Uang Sastro membanyak. Dompetnya mowol-mowol. Namun, lumrahnya lelaki muda, masih saja Sastro merasa minim doku. Suatu malam, di belakang panggung, muncul lelaki paruh baya perlente. Jasnya kotak-kotak kecil. Pantofel hitam sepatunya. Mengilat. Ditawarinya Sastro gawean baru: menyanyi seriosa. ltu pun nyanyinya dalam grup lawak kuartet. Selain itu, nyanyinya harus fals. Harns ngaco pula syairnya.

Khas pebisnis tulen, sebelum ketemu, tampak lelaki paruh baya itu sudah lama menyelidiki riwayat hidup Sastro. Sampai tahu persis dia di mana ari-ari Sastro ditanam. Apalagi kalau cuma info bahwa Sastro, walau nyanyi dangdutnya mendayu-dayu, orangnya sangat temperamental. "Bayarannya dua puluh kali lipat dari dangdutan. Seratus juta!" cepat-cepat dia berbisik sambil jarinya membentuk tanda peace. Rupanya dia cemas didahului Sastro mendampratnya atau malah melemparinya asbak. ltu pernah menimpa pebisnis kesenian pendahulunya. Berhari-hari setelah melewati beberapa pertemuan dan ketegangan karena Sastro tersinggung dan hampir melempar kursi, akhirnya Sastro menyerah. Dia setujui syarat harus nyanyi seriosa sumbang dan berlirik ngawur.

Pw<..uL berapa ya sekarang, Kekasih? �� dan S4.f>i lagi riang-riangnya mencari r�ut

rAi gW"un. pASir. Mereka berlarUUt..

Berlompat-lompatan. Sen.krtA. putih belum mereka

kil,4rk.4.n., tapi kenapa banyak manusia

dan cintanya sudah tnertgertUt lap�

wib?

ltu tanpa seizinJendrowati istrinya. "Bagaimana dengan ibu-ibu penggemar dangdut romantismu selama ini, Mas?" lstrinya bersedekap di ambang pintu.

Sastro ngotot berangkat pentas bersama anggota pelawak kuartet. Setiap menyanyi fals dan berkacau kata-kata, tiga pelawak lain mem-bully-nya hingga menamparnya. ''Ayo, Tro, Sastro, kamu nyanyi 'Sepasang Mata Bola'," pinta pelawak yang gemuk. "Haaampir malam diii Yogyaaa tiba .... " 16

....

Ketika pesawaaat Lion

Plak!!!

"Fals!" komen pelawak yang kurus sambil menempeleng Sastro. Plak!!!

"Liriknya salah!" komentar pelawak jangkung dan menggambar Sastro. "Sekarang coba nyanyi 'Balonku Ada Lima'. Tetap gaya seriosa," pinta pelawak yang gemuk. "Baaaloooooonku tinggal empaaat

....

Tursilawati dihukum mati di Araaaaaab tidak sepanik saat Lion jatuh

.... Padahal,

17

Karena TKI Tuti ••••

Dan Majapahit

satu nyawa sama saja

dengan ratusan nyawa, bahkan seluruh nyawa manusiaaaaaa .... " Plak!!!

"ltu bukan gaya seriosa! Masih dangdut! Dasar ndesit!!!" tukas pelawak yang gemuk setelah menempeleng Sastro. Entah kenapa penonton terpingkal tak sudah-sudah setiap kali Sastro ditempeleng. Penonton terus membeludak, jauh melebihi penonton dangdut. ••

Merujuk pada tragedi jatuhnya pesawat Lion Air JT-610 di Tanjung Karawang pada 29 Oktober 2018. Kecelakaan ini menimbulkan keresahan di masyarakat mengingat Boeing 737 Max 8 yang jatuh ini masih relatif baru.-peny.

17

Secara diam-diam, pemerintah Arab Saudi menghukum mati TKI bernama Tursilawati tanpa pemberitahuan ke pemerintah Indonesia, akhir Oktober 2018.-peny.

�100�

"Rakyat suka dangdut, tapi lebih suka melihat orang disakiti atau cilaka," kesimpulan Sastro. Dia tak bisa lapor polisi karena penggamparan itu dari pelawak untuk pelawak. Bukan dari guru untuk murid. Guru kan menjitak murid saja, walau tujuannya pendidikan budi pekerti, bapaknya sudah boleh lapor polisi. Ah, no problem, yang penting kini Sastro jadi kaya raya. Kini, dia mampu memborong 6.000-an mobil Esemka yang konon akan diluncurkan Oktober. Mampu pula dia borong bergudang-gudang tempe yang ternyata masih murah walau konon harganya mahal.18

Ah, feek.Asi.h., kau cuma pura-pura tak tahu bahwa tAM1a. dan t4n9 isk.u.

bagai perbedaan b�Wa. dan pe�L Saal hati tersakiti oleh hinaan bahwa dangdut ndesit, sudah itu setiap pulang kerja, Sastro pun tersakiti dengan tanda merah di pipi, bekas gambar tanganmu ... mirip lagu "Hati yang Luka" nyanyian Betharia Sonata. Ah, sama saja. Dahulu, semasih nyanyi dangdut, pipi Sastro juga selalu bertanda merah bekas gambar tangan Jendrowati. lstrinya selalu main tempeleng gegara banyaknya simpenan Sastro dari kalangan ibu-ibu pengagumnya. 1•

Dua kampanye calon wakil presiden yang tidak terbukti. Ma'ruf Amin menyebut mobil buatan lokal Esemka bakal diluncurkan Oktober 2018, sementara Sandiaga Uno menyatakan harga tempe mahal atau ukurannya jadi lebih kecil karena sulitnya ekonomi.-peny.

�101�

CJ"'ak banyak yang diketahui Sastro-Jendro tentang orang

-1 kembar. Paling manten anyar itu cuma denger-denger

bahwa kalau yang satu meriang maka ikutan greges-greges-lah kembarannya. Denger-denger tak bisa diandalkan. Lain dengan lihat­

lihat. Penunggu toko geregetan bertanya, "Sampean mau beli apa?" Sampean santai jawab, "Nggak, kok, cuma lihat-lihat saja." ltu berarti bl.eger sampean memang sungguh-sungguh ada clan berdenyut di sana. Bukan cuma arwah sampean yang gentayangan di toko yang cuma jadi ajang lihat-lihatan itu.

Sertd dan �� bisa dikubur, Kekasih, habis perkara, tapi cinta akan tetap 9enftt.g4.n84.rl .... "Selamat pagi, Mas, Mbak. Perkenalkan nama saya Erwin." Di ruang tunggu stasiun seorang pemuda gondrong piyak tengah berkumis tipis kenalan ke Sastro-Jendro.

"Tadi malam saya bermimpi. Penyanyi Muchsin Alatas dan Titiek Sandhora nyanyi "Semalam di Malaysia". Dalam mimpi itu, kira-kira menjelang Subuh, saya disuruh bertanya makna "Semalam di Malaysia" pada pasangan muda yang wajahnya persis sampean berdua." Sastro dan istrinya, Jendrowati, agak gelagapan. Mereka bukan ahli tafsir mimpi, dan tentang Malaysia mereka cuma denger-denger. Denger-denger

Indonesia dan Malaysia kembar, bahasanya hampir mirip. Denger-denger oposisi menang pada Undian Raya di sana. Denger-denger pilihan rakyat sana akan menular seperti pilek. Oposisi akan menang pula di sini nanti Pilpres 2019 karena, sama juga dengan di negeri jiran itu, rakyat sudah jengah dengan investasi modal dan tenaga kerja dari Tiongkok. "O tidak bisa, Friend," tandas teman Sastro beberapa hari sebelumnya. "Mahathir yang sudah berusia di atas 90 tahun kembali jadi perdana menteri bukan karena rakyat sumpek investasi dan tenaga kerja asal Tiongkok. Denger-denger karena rakyat marah pada korupsi penguasa sebelumnya." Apa pun penyebab kemenangan itu, teman Sastro lainnya yakin sekali bahwa kemenangan oposisi di kembaran Indonesia akan menular ke Indonesia. Tak dinyana-nyana, Jendrowati yang tampak sebagai ibu rumah tangga biasa ternyata ciamik juga berpendapat soal politik. "Menurutku Malaysia tak bakalan menulari kita.

�10s�

\

r ..

Kita yang justru pernah menulari mereka: Reformasi 1998. Ibaratnya kita pernah pilek pada 1998. Flu itu kini baru berjangkit di Malaysia. Masak hidung kita akan sentrap. sentrup lagi ketularan apa yang sudah kita tularkan?" Disetujui atau tidak segala pendapat tersebut, tentu saja semuanya hanya pikiran yang fondasinya cuma denger-denger. Tergantung orang ingin percaya yang mana. Sama halnya denger-denger ada yang yakin bahwa Ahok tidak meringkuk di tahanan Mako Brimob yang barusan rusuh. 19 Namun, denger-denger pula, ada yang yakin mantan Gubernur DKI Jakarta itu mendekam di jantung pengamanan terorisme tersebut. Lain halnya kalau kita mendengar teror berupa raungan sirene dan lampu strobo iring-iringan pejabat. ltu bukan denger-denger. Orang-orang di Klaten yang mendengar freatik Merapi. ltu bukan denger-denger. O ya, ada teror yang lebih sejati, yaitu teror mindset. Sebut iklan suplemen atau obat-obatan penguat puasa yang ber-mindset bahwa puasa adalah masalah bagi tubuh, bukan justru solusi bagi kesehatan raga sekaligus jiwa. Kita sering mendengarnya saat Ramadan. ltu kenangan. ltu bukan denger-denger.

Su.r�-bu.r� hin��ap

di ke�a. dan berkiu.t.t., Kekasih.

Kita-kita �94.f> di ke�4tt dan ��is. ••

Medio Mei 2018 sejumlah narapidana kasus terorisme menguasai penjara Mako Brimob. Mereka menguasai senjata, menyandera polisi dan menewaskan lima orang, hingga aparat bisa menguasai kembali.-peny.

�106�

Di ruang tunggu bandara menjelang berangkat ke Jogja, Sastro-Jendro dihampiri pemuda gondrong piyak tengah berkumis tipis yang langsung baper. Bapernya, "Suatu malam saya bermimpi. Penyanyi Muchsin Alatas clan Titiek Sandhora nyanyi 'Semalam di Malaysia'. Dalam mimpi itu, kira-kira menjelang Subuh, saya disuruh bertanya makna 'Semalam di Malaysia' pada pasangan muda yang wajahnya persis sampean berdua." "Kamu Erwin, ya? Kita pernah ketemu di stasiun, kan?" Sastro-Jendro kompak setelah lama berusaha mengingat­ ingat. "Bukan. Saya Erwan. Kembarannya Erwin."

�101�

{() eaksi artis sangat bhinneka bila ter-cyduk gegara 'i"\Benyalahgunaan obat-obatan psikotropika. Ada yang malah santai, ketawa-ketiwi seperti Jennifer Anu. Sampai­ sampai ketika diarak petugas masyarakat bingung, lni jan­ jane mana yang menangkap? Mana yang ditangkap, sih? Anu begitu karena ngece20? Mungkin karena dia banyak tahu kartu para penguasa di sini. Belum tentu! Belum tentu para petinggi banyak kartunya. Juga belum tentu Anu ngece. Hati orang siapa tahu. Pokoknya, negara yang mengaku demokratis mesti membebaskan warganya berkebhinnekaan reaksi. lngin reaksi semua orang tunggal ika terhadap ustaz yang minum kencing unta? Ya jangan ngaku bertanah air demokrasi. Sastro, seorang polantas, tengah malam itu pun dapat memaklumi reaksi unik bin aneh seorang kakek-kakek. Salahnya sudah lebih jelas ketimbang semut di seberang lautan. Nyetir sepeda motor tanpa kelengkapan SIM clan STNK. Eh, kakek-kakek ini pun keukeuh ngeyel. 20

Ngece:

Jawa, 'mencemooh'.-peny.

"Saya ini ngojek bukan demi duit, Pak! Duit ... saya, mah, ada," eyel-nya. lntinya, betapa tengah malam itu ia membonceng ibu­ ibu hanya semata-mata ibadah. "Bu Jendro ini kasihan ndak dapat-dapat ojek. Pak Jendro, suaminya, di rumah sakit. Pinjamlah saya motor tetangga. 'Alhamdulillah', kok ya bodong STNK-nya." "Emang situ kerjanya apa, kok, ngaku-ngaku ngojek

bukan niat duit?" "Ya, 'Alhamdulillah' saya nganggur, Pak!" "Halah, berarti situ ngojek demi duit? Kalau emang sudah ada duit, mana duitmu? Buktikan!" Malang, si kakek tak bisa membeberkan duit walau telah merogoh sakunya yang bhinneka. Sejatinya, ia memang sedang bokek pol. Malah ditudingnya Pak Sastro sedang mencari-cari alasan untuk disogok. "Eh, situ masih percaya hoaks bahwa polisi zaman now masih bisa disuap!? Jangan percaya hoaks apa pun termasuk hoaks membangun!! Semua hoaks merusak!!" Pak Polantas naik pitam. "Eh, enak aja ngomong. Hoaks membangun itu ada, Pak!" si kakek segera teringat ucapan pemimpin Badan Siber clan Sandi Negara suatu ketika tentang adanya hoaks yang membangun. "Kalau nggak ada ayam jago berkokok bikin hoaks bahwa hari sudah pagi, padahal masih malam, apa akan terbangun Candi Prambanan, Candi Sewu, clan lain-lain."

�109�

"Emang situ keturunannya Bandung Bondowoso?" "Ya bukan begitu. Tapi setidaknya saya ngojek ini bukan semata-mata demi duit. Nggak kaya sampean, main cegat clan nyetop saya hanya gara-gara duit!!!" "Eh, jaga mulut situ, ya! Situ menghina aparat!? Operasi ini murni demi hukum .... Aku cabut gigimu, kapok!" ''Ayo cabut ...!!! Cabut ...!!!" tantang kakek-kakek itu seraya meyodorkan wajahnya yang menganga lebar-lebar. Ternyata dia ompong paripurna. Pak Polantas ingin tertawa, tapi ditahannya. ''Atau begini saja, Pak." Napas kakek-kakek itu masih memburu. "Bapak laki. Saya laki. Gimana kalau kita selesaikan secara laki-laki saja ...?"

Kalau tak kita pe�. Kekasih, k.uli:t" selalu tak mau kehilangan kesempatannya untuk menjadi keri.puf. Oemikian juga dengan 1.$'\.W'. Kita perlu terus peduli umur dengan cara tak memperhatikannya sama sekali. Maukah engkau menjadi silii

UbtAJt pertama

dalam hidup ku? Kakek-kakek itu segera melepas bajunya. Tampak mentiung badannya yang kurus, kulit menggelambir clan tulang rusuknya yang mem-piano. Baru di sinilah Pak Polantas tak kuat ngempet tawanya, "Heuheuheu .... Sudah.

�110�

Situ pakai lagi bajunya. Keburu masuk angin. Kita semua

yang repot." Bu Jendro yang dari tadi mematung saja akhirnya menyogok polantas itu Rp50 ribu saking sangat kebeletnya ingin cepat-cepat membesuk suaminya di rumah sakit. Sepekan kemudian, koran-koran ramai mengabarkan polantas gadungan yang ditangkap aparat hukum. Di televisi rumah sakit, Bu Jendro tak pangling Sastro yang baru ditangkap aparat walau di kamera ia selalu bereaksi unik bin aneh dengan menggerak-gerakkan clan memain-mainkan otot wajahnya demi menyamarkan muka orisinalnya.

�111�

S

etahunan kerja serabutan jadi pengojek online baru siang ini Sastro semriwing. Pundaknya ditepuk-tepuk penumpang perempuannya. Tepatnya setelah penumpang semampai clan bermata bola itu turun di stasiun kuno di Surabaya. Tepukannya malah diimbuhi cubitan di lengan segala. Duh! Matek! Yok opo ndak matek!

Biasanya jangankan main tepuk, para penumpang perempuannya dengan manyun meletakkan tas di tengah sadel. ltulah batas wilayah mereka clan Sastro. Punggung clan bokong Sastro tak merasakan empuknya apa-apa, kecuali kalau isi tas kebetulan yang empuk-empuk, seperti susu clan kapuk. Mbak-mbak penumpang ini, Jendrowati alias Jendro, juga menaruh tas pembatas teritorial. lsinya benda-benda persegi. Terasa keras di punggung Sastro. Jendro juga tak berbicara sepatah pun hingga menjelang sampai tujuan. ltu sesuai koridor hukum ayah Jendro, "Jadi perempuan jangan gampangan. Toko kain Bapak sepi sejak dilewati pembangunan infrastruktur. Dokter-dokter praktik sebelah toko juga sepi. Namun, sesepi apa pun fulusku, jangan kamu jadi murahan. Jaga jarak terhadap lelaki."

Anehnya, pas Jendro turun stasiun, tepatnya di sisi kerumunan ojek pangkalan, jarak itu tak ada.

J4r4.k sudah ada sebelum rneterAtl dtlemukan.

�U\AAA.. sudah ada sebelum aku tnen.e�. Kekasih. Malah terjadilah haJ...hal yang diinginkan setiap lelaki, termasuk si pengojek. Tadinya, Sastro ogah masuk ke halaman stasiun begitu melihat pengojek online dimaki-maki pengojek pangkalan. Didengarnya juga mereka ngamuk ke calon penumpang ojek online yang pada berdiri menunggu sesuatu. "Sampean-sampean ini bisa baca, nggak? Penumpang dilarang pakai ojek online. Mbok dibaca papan pengumuman itu! Itu papan resmi dari stasiun, lho. Hormati kami. Jelek-jelek begini kami bukan koruptor e-KTP. Kami ojek pangkalan." Waktu itu, udara Kota Pahlawan lagi terik-teriknya menjelang hujan. Jendro tak mau Sastro menurunkannya di jalan. "Tas ini berat, Cak. Sudahlah, masuk stasiun saja. Tenang. Nggak usah gentar sama ojek pangkalan. Pokoknya nanti kalau aku apa-apain, situ respons saja." Kata-kata itulah dasar hukum Sastro untuk pura-pura tak kaget ketika dirinya ditepuk-tepuk, bahkan dicubiti Jendro di sisi ojek pangkalan. Jendro menepuki clan mencubitinya

�11s�

dengan gemes sambil entah ngomong apa. Kayaknya nada omongannya seperti merajuk manja. Sastro malah akhirnya memegang tangan Jendro yang mencubitnya. Dipegangnya dengan lembut dan tersenyum. Beberapa pengojek pangkalan saling menengok. Mereka mesam-mesem. Seolah di terik Surabaya yang menyengat itu bersyukurlah mereka masih diberi kesempatan melihat oase. Masih dapat mereka saksikan peristiwa menyegarkan tentang asmara. Pengojek pangkalan yang tadi uring-uringan berbisik ke temannya, "Duh! Aku dulu sama istriku juga semesra itu." Jendro tak enak mengeluarkan uang dari dompet. Pengojek tak jadi ia bayar. Ia khawatir. Khawatir salah satu pengojek pangkalan mengendus bahwa kemesraannya barusan hanya sandiwara. Tak mau ia memberi peluang perubahan kesan bahwa sejatinya hubungan keduanya murni hubungan penumpang-pengojek. "Sekarang milenium perempuan. Perempuan ngasih duit ke cowoknya nggak tabu lagi. Yang masih tabu ngasih miras ke hewan-hewan di Taman Safari belum lama ini," ujar Sastro pelan. Ia masih berharap dibayar oleh penumpangnya. Rupanya bonus tepukan pundak dan jeweran mesra masih kurang memadai. Dasar lelaki! "lya, ok milenium perempuan," tukas Jendro. Mata bolanya dengan bulu yang lentik sekelebat beredar ke pengojek pangkalan. "Tapi mereka belum tentu tahu bahwa sekarang kita sudah masuk ke milenium perempuan."

�116�

0, stasiun tua .... 0, ojek pangkalan ....

petA.. s� tak hutuh lagi peta-peta beru.tA. ba.ru... 0, kasihan �

hAr4.f>4A sudah lengkap terpeta.k.a.rt. Bwni hanya hutuh hAr4.f>tAA ba.ru.. Semua tAMh

ltulah kita, Kekasih. Jendro dengan beban tas yang berat dadah-dadah ke pengojeknya. Setahun peristiwa itu berlalu. Hari ini mereka memasuki akad nikah.

�111�

S�kitlAh, Kekasih.

Lihatlah kita lebih bersamaan ket��

petir.

be�tili dan CA.hAga.. petu suka tak bersamaan. St.tka � kita bersama. u(b anyak anak banyak rezeki" kadang ada benarnya. 'flsastro tengak-tengok konco-konco-nya. Mereka anaknya banyak, kayak BUMN. Rezeki lumintu. Persis gerojokan. Masing-masing anak dikasih mobil yang pakai sirene clan lampu strobo. Cuma mungkin itu tak seratus persen benar. Buktinya anak-anak Sastro gemrayah sampai 14 cacah. Lha, rezekinya kok seret? Usia Sastro sudah uzur. Cucunya, eh, putri bungsunya akan menempuh hidup baru memasuki bahtera taman kanak-kanak. ltu berarti biaya, padahal sekali main gamelan untuk wayangan Sastro paling banter kecipratan Rp500 ribu. ltu pun belum tentu seminggu sekali ada job. Akan tetapi, sejarah mulai berbalik. Tadi malam, pas sepekan sebelum pendaftaran TK, Sastro dapat Rp5 juta

nomplok dari honor menabuh kenong, yaitu spesialisasinya dalam karawitan sejak 72 tahun yang lalu. "Maturnuwun, Bu Jendro. Maturnuwun, Bu," ungkapnya

berkali-kali ke istri Pak Dalang usai wayangan menjelang Subuh. Bu Jendro adalah penggemar musik keras macam Dream Theater. Beliau istri baru Pak Dalang. Bukan berarti Pak Dalang poligami, lho. Pak Dalang menikah lagi setelah tabah menduda 40 jam. Istri baru itulah yang terus-menerus Sastro ucapi terima kasih. Dalam perjalanan mengantar putri bungsunya ke taman kanak-kanak, Sastro hanya membatin tragedi teman­ temannya. "Jangan senang dulu terima duit Rp5 juta," wanti sejawatnya pemain gong asal Trenggalek. "Bu Jendro bisa salah kasih, lho. Amplop buat pemain gong dikasih ke pemain kendang. Ketukar-tukar. Bisa. Lha wong Bu Jendro itu nggak ngerti mana kenong, mana gender, mana rebab .... Bu Jendro itu sukanya Ahmad Albar dan 'Drim Titer' .... Kalau almarhumah istri Pak Dalang dulu, kan, memang pesinden. Nggak akan meleset kasih amplopnya ...." Tersentak, Sastro mengingat-ingat amplopnya. Di sampul tidak tercantum untuk penabuh instrumen gamelan apa dan siapa namanya. Apa untuk pemain peking apa bonang ... amplop bersih tanpa tulisan kata-kata. "Mungkin maksudnya memang untuk pemain kenong .... Ya, memang untuk aku sendiri. Namun, lupa ditulis," tegas Sastro ke pemain gong tadi. Tentang kata dan tulis-menulis,

�121�

Kau minta aku menjelaskan cinta. dengan Wa.-Wa., Kekasih. Bagaimana ini? Sedang �afik. Mis sekali pun tak menggambarkan batiknya dengan

h.c.trc.J-h.w,,&J

"Ya, semoga Tuhan melindungimu. Tapi waktu sebulanan kamu sakit itu pernah Bu Jendro salah amplop ke tukang kenong penggantimu. Ketukar-tukar semua. Nah, esok harinya Bu Jendro meneleponnya. Bilang, bukan buat dia. Itu buat bintang tamu, pesinden primadona. Tapi Bu Jendro sudah tahu teleponmu?" "Sudah. Kan nomorku ada di Pak Dalang," ujar Sastro. "Ya, tunggu saja. Pasti Bu Jendro nanti akan telepon kamu, Tro." Waduh. Sambil mengenang perbincangan itu menjelang masuk ke halaman taman kanak-kanak Sastro makin deg-degan. Apalagi tepat di gerbang sekolah, walau antrean orang tua tak sepanjang antrean pengurusan BPJS, teleponnya berbunyi. "Halo, Pak Sastro. It's me, Bu Jendro ...." Bumi gonjang-ganjing ....

"Betul, Bu. lni dengan Sastro. Saya sendiri. Jangan kuatir, Bu .... Nanti saya akan kembalikan Bu ... hehehe .... Tertukar sama amplop untuk pesinden primadona, ya?" "What? Apanya yang akan Pak Sastro kembalikan?

Memang Pak Sastro pernah pinjam apa ke Pak Dalang? Terus, tadi, apanya yang tertukar?"

�122�

Sastro gelagapan. Bu Jendro, "Saya menelepon Pak Sastro cuma mau ngucap happy birthday ke-90. Kabar ini info A-1 dari Ahmad Albar .... Juga, selamat menyekolahkan ur kid ke TK. Semoga kelak jadi Gubernur Jawa Timur, menggantikan Pakde Karwo dan Bu Khofifah .... 0 ya, katanya ur wife hamil lagi?" "Hah? Itu juga info A-1, Bu?" "Lho! Bu Sastro sendiri bilang. Kami baru saja meeting di pulau reklamasi yang entah jadi dibatalkan atau tidak itu ...."

�123�

� e Gunung Rinjani, Cuk. Ke air terjun Jeruk Manis.
Cinta tak dapat ku.s�ulkrut, Kekasih, tap i dapat k.u.r�k..wn. saat �nhk.4.f>tnu... "O, itu karena kita sudah berakit-rakit ke hulu, Jend. Nggak aneh kalau sekarang berenang-renang ke tepian!!!" Sastro beteriak-teriak agar suaranya lebih menggelegar dibanding gemuruh air terjun. Keduanya duduk mencangkung di atas batu lumutan. Jendro yang berkali-kali mengusap percikan air terjun di wajahnya clan wajah Sastro sengaja membiarkan pasangannya hari itu terus-menerus bicara. Maklum, Hari Kartini.

Di kampungnya sendiri, di tapal batas Jawa Timur clan Jawa Tengah, biasanya kalau Hari Kartini tiba banyak diselenggarakan demo bapak-bapak yang melakukan aktivitas keseharian ibu-ibu di "Hari Kartono". Di dasar genangan air terjun yang curah, tempias clan cipratan airnya ke mana-mana itu agak mustahil dicanangkan demo membuat nasi goreng clan sejenisnya. Nasi goreng air, masih mungkin. Jendro hanya membiarkan Sastro yang adatnya di luar Hari Kartini pendiam kini nggacor21 laksana cucakrawa. Sekalian kesempatan membiarkan Sastro berlomba lantang-lantangan suara dengan air terjun. "Tapi sebenarnya kamu nggak fair lho, Jend!!!" lantang Sastro. "Hari ini kamu cuma nyuruh aku yang ngomong terus. Nggakfair. Toh di luar Hari Kartini kami, kaum pria, sudah banyak ngomong. Di parlemen. Di mana-mana ...." Sastro bisa saja keliru. Perempuan asal Surabaya yang namanya bernuansa Majapahit, Gayatri, jauh lebih banyak omong dalam demo-demo tentang kasus Bank Century ketimbang laki-laki di parlemen, bahkan Gayatri juga banyak jumpalitan dalam aksi teatrikal yang pasti masih menjadi jejak digital di otak bangsa bila tak lekas lupa. Akan tetapi, Sastro juga bisa saja benar. Bila ditotal, laki-laki di parlemen masih lebih banyak omong. Beberapa di antaranya, bahkan masih menyindir hingga kini bahwa Budi Mulya adalah laki-laki paling sakti di jagad raya. Bayangkan, dalam kasus Bank Century, Budi Mulya yang kini dibui sanggup melakukan korupsi triliunan rupiah 21

Nggacor:

Jawa, 'mengoceh'.-peny.

�125�

hanya seorang diri, sesuatu yang sangat mustahil di dalam korupsi besar. ")end, kamu bilang akhimya kita bisa mandi basah di Jeruk Manis ini bukan karena berhemat-hemat dengan menabung!!!??? Kamu bilang bahwa usaha ada hubungannya dengan hasil itu hanyalah indoktrinasi logika-logika orang sekolahan!!!???" Sastro tak berhenti sampai di situ. Semakin deras curahan air terjun, semakin berpekik-pekik pula Sastro bicara. "Kamu bilang bahwa usaha itu kewajiban, sedangkan hasil hanyalah soal keberuntungan!!!??? Kamu ajukan bukti bahwa orang-orang di luar Budi Mulya yang berusaha korupsi, toh sekarang hasilnya tidak dibui!!!???" Jendro yang baju kuyupnya kini semakin lekat dan menempel di tubuh dan dadanya tetap tak berbicara. Sambil menggigil di air terjun, perempuan berbibir ranum itu baru among ketika mau pulang dan sudah sampai di Pelabuhan Lembar. Tujuan akhimya adalah Jakarta? Rumah? Apakah itu puitis? Ah,

walau tak cuma terhuat dari Wa.-Wa., �&plr

tool selalu hertanya tujuan kita

menumpang taksL 'Pl.4.Ul tak selalu hertanya tujuan kita menumpang puisL Puisi tak cere�et

walau cuma terbuat dari Wa.-Wa..

�126�

Uang, tiket, kartu identitas, clan segala macam mereka entah dicuri, entah dicopet entah jatuh di mana. Mereka sudah berusaha sangat primpen menyimpan semua itu di mana pun clan kapan pun. ''Apa kataku, Sas? Usaha kita untuk menjaga semuanya tak ada hubungannya dengan hasil," bisikJendro. "Hasilnya, tetap saja barang-barang kita hilang." Tetiba muncul pemimpin partai yang mendekati mereka, ''Aku punya pesawat pribadi, N ak. J angan menangis. Ayo, kalian mau aku antar pulang ke mana?" Giliran Sastro kini membisiki Jendro, ''Apa kataku, Jend? Usaha kita untuk menjaga semuanya kini menuai hasil."

�121� rak-bukudigital.blogspot.com

CC7f/ CJ"'ak ada yang ngalahi goreng sukun sore-sore. Lebih­

-1 lebih dikudapnya sembari ngobrol di beranda. Bareng

gerimis, langit kemerahan, dan di depan kolam ikan. Wuiiih!!! Sayangnya di beranda pinggiran ibu kota suatu provinsi saat itu datang seorang petugas. Ia membawa surat keterangan pelanggaran lalu-lintas berdasarkan rekaman CCTV di lampu merah. Sambil masih menelan sisa sukun goreng di mulutnya, dan sedikit keseretan, tuan rumah Sastro menjelaskan, "Nomor polisinya betul, Pak. Persis yang terekam CCTV. Tapi sekarang sudah dibeli orang Ponorogo." Denda itu akhirnya bisa dibayar si pelanggar. Masyarakat cuma jadi gelisah walau tak sedikit yang senang karena lalu­ lintas jadi lebih tertib berkat banyaknya CCTV di jalanan. Gelisahnya, masyarakat jarang nongkrong di depan rumah, takut tiba-tiba kedatangan petugas.

Cintaku �t4.hit menghilangkan r4Sa..

ta.kc.dtnJA...

Tapi setiap l<..eta.kc.d� datang, cintaku akan membuatmu �lupWJU\.g4.. Begitu, Kekasih , kata dewa cinta �4.g4. ke �«ti.h, belahan jiwanya.

Sejak itu, sukun-sukun banyak yang rontok terbengkalai. Mereka membusuk bersama koruptor. Tak ada yang menggorengnya untuk kudapan sore hari. Demo besar-besaran pun kerap terjadi. Mereka menolak CCTV di banyak tempat. Seorang perempuan demonstran berseru, "Ditilang langsung lebih enak! Kita jadi tahu wajah polisinya! Kalau perlu, kenalan! Masak cuma Paspampres aja yang ada cowok gantengnya. Polisi pasti banyak yang ganteng, kan!?" Kota menjadi gaduh. Hanya pasutri Sastro-Jendro yang masih menggoreng sukun. Sore-sore mereka menyantapnya, tapi tak di beranda. Terpaksa mereka menikmatinya di dalam rumah sambil nonton TV. Keduanya kaget. Tiba-tiba televisi menayangkan mereka dari sumber kamera CCTV di suatu perempatan. Ada tayangan ketika Sastro sedang menyeberangkan nenek-nenek clan menggendongnya karena akan disamber mobil yang disetiri perempuan sinting. Perempuan itu pemah terkenal karena mengancam bakal telanjang kalau dihukum oleh hakim.

�1so�

Ada juga tayangan ketika Jendro sedang memisah perkelahian istri tua clan istri muda. Tumpang-tindih jambak-jambakan kaum ibu di

zebra cross

itu dapat dilerai

oleh Jendro. Keduanya malah jadi ketawa-tawa seraya rangkul-rangkulan clan berpekik-pekik sepakat mendukung capres tertentu. Medsos milik keduanya mendadak ramai mention-an puja puji dari teman-teman clan kolega mereka, termasuk di grupWA. Mereka semua lantas terilhami oleh Sastro-Jendro. Tak sengaja berbuat baik untuk pamer diri, toh, akhirnya dipamerkan oleh televisi. Ada yang berdiri menunggu lampu hijau penyeberangan. Berdirinya tidak bengong, tapi berdiri sambil melakukan kegiatan positif, yaitu membaca buku. lni terekam CCTV clan ditayangkan televisi lengkap dengan komentar pujian dari Duta Baca Najwa Shihab. Para sohibnya pada mengacungkan jempol di medsos. Ada yang pipinya kembung menahan ludah. Itu pun ia tak meludah sembarangan seperti para pemain bola yang secara menjijikkan tinggal "zzzuuuh" di mana pun di lapangan. Lelaki itu terseok-seok cukup jauh untuk meludah di tempat yang benar, yaitu di tempat sampah. Meludahnya juga amat sopan seolah-olah lubang tong sampah akan dikecupnya. Itu juga terekam CCTV clan ditayangkan televisi. Wah, para sahabatnya membuat tanda keplok-keplok di medsos.

�1s1�

Para calon gubemur clan calon wali kota tak ketinggalan berbuat baik di sepanjang jalanan kota itu, ada yang memakaikan baju bagi dua pasangan remaja yang diarak telanjang. Semua terekam CCTV clan ditayangkan televisi. Termasuk pemuda gondrong di hari Jumat.

Adakah yang lebih romantis dari �esek.4.n. s� ke tt.SpaL oleh laki-laki yang bergegas menuju J�IU\.?

Tak ada lagi demo menentang CCTV. Mereka malah menuntut CCTV yang lebih banyak lagi dibanding Malang, kota yang waktu itu berencana akan menambah lagi 100 CCTV. Sastro-Jendro clan koleganya merayakan suasana itu dengan makan goreng sukun di beranda rumahnya hingga datang aparat hukum. Semua gelak tawa terhenti. Petugas itu santun sekali, "Selamat sore. Bu Jendro bulan lalu nyetir sambil main HP, ya?"

�1s2�

S

astro tak merasa kejutan saat pertama mengganti popok bayinya. Sebelum menikahi Jendrowati clan beranak, lelaki tak tahan dingin itu sudah kerap mengganti popok keponakannya. Saat petang ini naik kereta api tut tut tut ke Bandung-Surabaya, bolehlah Sastro terkejut dengan percuma. Di sinilah kali pertama ia naik "ular naga panjangnya" itu di atas rel. Pertanyaan pertama Sastro ke petugas bukanlah "kereta ini di mana apinya kok nekat disebut kereta api?" ltu pertanyaan yang sudah disimpan Sastro lama sebelum ketemu Jendro pada lomba lelaki mengganti popok bayi di pegunungan yang dingin. "Oulu di zaman sepur kluthuk kabarnya kereta api betul-betul kelihatan apinya. Sekarang?" tanya Sastro.

0, bikinlah iA..f>i �9Wt untukku, Kekasih, yang rtgt.dt.utgt.t me� iA..f>i.

bw,tth1.t.th. �tA- untukku, Kekasih, yang �t.t mendahului �en,, yang kangennya mendahului dtdtA...

"Ssssm ... sudahlah. Dulu orang jahat juga betul-betul kelihatan jahatnya. Sekarang?" Jendro menghangatkan tubuh Sastro dengan menggelayut ke pundaknya. "Mending aku pilih kamu saja. Kamu sebenarnya orang baik walau tak tampak baiknya." Petang ini, di dalam gerbong ber-AC dingin, maksud hati Sastro ingin menanyakan hal terpendam itu ke ahlinya saja, yaitu awak gerbong. Keluarnya malah, "Mbak, ada selimut?" Dia mbak-mbak berslayer batik. Melihat badan salah seorang penumpangnya menggigil, dengan sigap ia mengambilkan selimut walau pembagian selimut kepada seluruh penumpang sebenarnya baru nanti selewat Stasiun Bekasi. Tak sampai sepuluh menit setelah selimutan bagai pocong, Sastro terlelap. Mimpinya tentang apa saja, terutama tentang segala sesuatu yang baru saja dialaminya. Baru melihat langsung kereta api yang bagi Sastro bagai, Ular naga panjangnya, menjalar-jalar selalu kian kemari, membuatnya bermimpi tentang ular. Ular itu menggigit payudara istrinya lalu gugur karena keracunan silikon, persis sebuah berita dari mancanegara. Dalam mimpi itu Sastro termenung. Ada baiknya ia mengizinkan istrinya operasi payudara dengan silikon agar kalau digigit ular, ularnya kualat. Maklum, ia belum mampu beli rumah yang jauh dari kemungkinan ketamuan ular. Rumahnya masih di tengah sawah.

�1ss�

Secara sendiri-sendiri ��k.u.rk.u. Kekasih. Oengkurmu tA.k.

bu.rc.tk,

ka1.tA.h buruknya. Hanya bila berp4A.U., dengkur kita tak ka1.tA.h mer� dari musik alami k&
�1s6�

adalah masyarakat itu sendiri. Mereka suka meributkan asap tanpa mau bertanya lebih dulu ke ahlinya di mana sumber apinya," tutur seorang pemuka. Kereta yang tak tampak berasap clan tak tampak berapi itu masih setengah zaman lagi sampai Stasiun Gubeng ketika awak gerbong mengumpulkan selimut. Para penumpang digugah. Selimutnya diminta. Rupanya Sastro sukar sekali dibangunkan. Selimutnya main ditarik saja. Sastro meradang, "Saya ini insinyur lokal. Keahlian saya mengganti popok bayi. Narik popok basahnya nggak sekasar ini!!!" "Maaf, Pak. Saya sudah menariknya pelan-pelan tadi." "Kenapa saya merasa sampean menariknya kasar?" "Maaf, Pak. Mungkin karena Bapak dikompori oleh musuh dalam selimut, musuh terbesar, yaitu diri Bapak sendiri ...."

�1s1�

M

ayoritas manusia suka es krim clan mayoritas mereka tak suka fisika. Sastro menyukai guru Fisika bukan karena fisika, tapi lantaran lelaki kerempeng yang selalu berbaju biru lengan panjang itu sanggup menjelaskan perihal bejana berhubungan melalui dunia non-fisik, yaitu cinta. "Pahamilah, Sastro, di dalam kisah-kisah asmara manusia pun sambung-menyambung bak bejana berhubungan," tutur Pak Kemal, guru termaksud. Waktu itu, malam-malam, di bawah pohon kenanga, Pak Kemal menasihati Sastro yang barn di-"Lu-Gue-End"­ kan kekasihnya yang pencinta jam, Jendrowati.

Ceritanya, Jendro pacaran lagi dengan tukang jam tangan sahabat Sastro yang ketemu Sastro-Jendro setahunan lalu. Saat berkerumun di jalanan nonton perempuan yang saking sakit hatinya menebar jutaan uang ke calon madunya yang juga sahabat perempuan itu, saat itulah Sastro memperkenalkan Jendro. "Bayangkan, Pak Kemal, betapa terlukanya saya. Persis luka ibu-ibu yang menabur uang-uang kertas itu. Saya yang

membuat Jendro salaman ke si ahli waktu. Saya pula yang kemudian mengajak Jendro membetulkan jam tangannya ke dia. Hujan-hujan, Pak! Jauh! Kertosono masih terus! Duh, bagaimana ini, Pak Kemal?" Pak Kemal diam saja. Tak dikatakan misalnya, bahwa itu pertanyaan yang tidak perlu.

Berapa banyak lagi rtt.Stt Sa.kit yang harus kualami? Kekasih, di dalam cinta,

pertanyaan itu tak. �erf.u.l<.An.. Akhimya Pak Kemal bereaksi, "Heuheuheu. Ya, itulah bejana berhubungannya. Dalam kisah cinta ini kalian berhubungan. Peranmu menjadi lantaran pertemuan kekasihmu dengan kandidat kekasih barunya. Itulah pilkada, eh, 'pilkasih' serentak." Pak Kemal meminta Sastro menyeka air matanya. Sambil merapikan lengan panjang birunya, Pak Kemal menandaskan lagi bahwa seluruh manusia sejatinya berhubungan. Cuma, tak semua sanggup melihatnya. "Sama saja, alam raya isinya fisika. Fisika sangat nyata. Dialami segenap pihak. Tapi tak semua orang sanggup melihatnya. Lahirlah Partai Antifisika. Padahal pengurusnya ke kantor naik mobil. Mobil itu, dipajaki atau tidak, adalah proses fisika. Di kantor mereka dilindungi atap gedung. Gedung itu tunduk pada kaidah-kaidah fisika. Kalau tidak, ya, runtuhlah seperti beberapa proyek infrastruktur. Karena

"

�1s9�

Oh .... Sadar bahwa omongannya terlalu serius seperti orang yang belum sarapan, Pak Kemal berhenti. Tak ia lanjutkan hal-hal yang membuat kening mengerut. "Eh, tapi, ngomong-ngomong, kenapa sih Jendro putar haluan ke tukang jam itu?" Pak Kemal berubah ke ekspresi santai sambil menepuk-nepuk Sastro. Sastro nyeruput kopi. Ia berusaha mengingat-ingat. "Persisnya saya tidak tahu, Pak Kemal. Tapi ... hmmm ... waktu hujan-hujan itu, sebelum kami pulang, sohib saya ini bilang ke Jendro bahwa secara fisika ia tidak bisa mengubah saat. Ia hanya bisa memperbaiki jam yang belum menunjukkan pukul 12.00, padahal saatnya sudah pukul 12.00." Hah? Pak Kemal cepat tanggap. Menurutnya, si tukang jam cuma melanjutkan pesan terselubung fisika dari leluhur, Ojo anggege mongso .... Bahwa fajar baru akan fajar bila saatnya memang sudah harus tiba fajar. Mau di­ saat-saat-kan bagaimana pun, fajar belum akan fajar kalau saatnya memang belum tiba fajar. Itulah momentum. Itulah titi kolo mongso.

t'J\enil<:.4h tak akan menikah walau sudah M\ihl-� kalau waktunya memang belum �tt«htg4. nil<:.4h, Kekasih.

Suatu fajar sepekan kemudian, di tempat yang sama, di bawah pohon kenanga yang bunganya makin menguning bak gurita-gurita kecil yang lucu-lucu, Sastro melapor bahwa kekasihnya yang mencintai jam sudah kembali ke pangkuannya. "Nah, berarti saatnya tiba. Dan itulah bejana berhubungan, Sastro. Peran ahli jam itu penunjuk bahwa sesungguhnya kamulah kekasih Jendro. Dengan dekat padanya Jendro malah lebih gamblang meneropong kelebihan-kelebihanmu." Pak Kemal membersihkan serbuk_.. serbuk kenanga di kening Sastro. "Betul, Pak Kemal. Kata Jendro, sohib saya hanya tahu tentang jam, tapi saya lebih tahu saat, yaitu saat-saat yang tepat untuk makan es krim bersama Jendro. Jadi, saatnya saya mesti ikut partai apa, Pak?"

�143�

" ni bukan zaman now, bukan pula zaman masyarakatI perbuatan. lni zamannya masyarakat-kata. Orang lebih mudah tersinggung gegara kata daripada perbuatan," Sastro ciyus banget saat lagi bermain tanah-air dengan pacar sekampusnya, Jendrowati.

Cacing tanah yang mengupingnya susah membedakan apakah itu kencan atau seminar. Kalau tak seminar, minimal sarasehanlah. Pokoknya pasti bukan pacaran.

Jendro sudah maklum. Pacarannya akan memasuki saat­ saat paling rawan alias terawan, yaitu mengandung obrolan yang amat serius. lni lumrah terjadi bila ortu Sastro telat mengirim duit. "Ortuku tidak telat transfer aku, lho, Jend," sanggah Sastro seolah mampu ia baca sukma Jendro yang tampak plonga-plongo. Malu dengan mimik plonga-plongonya, Jendro mengubahnya menjadi air muka ciyus clan menanggapi "paparan seminar" Sastro sekenanya. Ngasal.

"Aku tak setuju kamu bilang sekarang zamannya masyarakat-kata," tanggap Jendro. "Lihat saja, orang

sekarang sudah tak terikat lagi dengan kata-katanya. Dulu Gajah Mada berkata nggak bakalan makan Palapa sebelum menyatukan Nusantara. Dia terikat kata-kata itu. Sekarang? Berapa banyak sumpah jabatan dikatakan. Apa kata-kata itu mengikat sukma mereka?" Sastro terperangah. Jejak digital, eh, jejak gelombang pasangan angsa berenang di telaga sampai lolos perhatiannya. "Maksudku bukan begitu, Jen," Sastro gelagapan. "Yang kumaksud masyarakat-kata, Kepala sekolah bisa dipecat gara-gara mengatakan muridnya anjing. Caba kalau ia tak berkata kayak gitu walau berbuat memperlakukan muridnya seperti anjing? Tak akan dipecat!" "Setuju!" Jendro berseru, berlonjakan. Sastro bangga. Ia pelukJendro di bawah nyiur melambai. "Makanya kamu ndak dipidana, Sas," sambung Jendro. "Hah?" Sastro bingung clan melepas pelukan. "Kamu tidak akan dipidana karena tak berkata bahwa aku anjing, Sas, walau perbuatanmu memperlakukan aku bagaikan anjing. Kamu menuntut kesetiaanku, kan?" rajuk Jendro setengah manja. Disambungnya itu dengan desah serak-serak basah di telinga Sastro. "Kamu memperlakukanku seperti anjing." ")end, engkau ingin aku berbuat memperlakukan anjing seperti manusia, seperti kamu? Seperti yang dengan mengharukan dilakukan perempuan bercadar terhadap anjing-anjing yang menderita clan viral?" tanya Sastro.

�145�

Jendro berkaca-kaca lalu berlari ke pantai clan membaca #TaliJiwo, bacaan yang pada zaman old disebut puisi:

Bila aku terhimpun dalam tnASga.r41<.At �. siapa pun terduga pe�hina. � nggak p erlu minta maaf kepadaku. Karena aku bla.s tidak akan

ter��9� dengan ( dugaan) hinaan itu. Aku hanya merasa terhina. kalau ada yang tne�a.k.u. �. tapi kelakuannya sama sekali tak tne�9e�u.rkrut ttA.nA.h.

OHO

Timbul tenggelam di antara gemuruh gulungan ombak larik-larik #TaliJiwo itu masuk ke sukma Sastro. Sukmanya tak sempat membatin jangan-jangan cacing di situ hanyalah metafora Syekh Siti Jenar ketika nguping wejangan Sunan Bonang di atas perahu kepada muridnya Sunan Kalijaga. Cuma segera terlintas dalam sukma Sastro betapa kekasihnya lebih mendambakan masyarakat-perbuatan ketimbang masyarakat-kata. "Siapa yang mencuci otak Jendro sehingga sanggup membuat #TaliJiwo begitu?" Sastro penasaran. "Siapa yang mengobati penyumbatan pembuluh darah di otaknya?" 22 22

Dr. Terawan Agus Putranto, Sp.Rad. dikenal karena kasus kontroversial mengenai terapi •cuci otak". Metode ini menuai pro dan kontra di kalangan medis karena latar belakangnya sebagai seorang radiolog. Meski demikian, banyak kalangan pejabat dan selebritas yang mengaku berhasil menggunakan metodenya.-peny.

�146�

Yang mengobati Jendro clan orang-orang lain kini sudah dipecat dari organisasi para penyembuh. Mungkin karena selain masyarakat-kata, kita pun adalah masyarakat­ cara. Walau hasil diakui, kalau cara meraih hasil itu tidak diakui, ya akan memasuki saat-saat terawan. Memasuki sukma terawan itulah cacing-cacing menyaksikan Sastro membalas #TaliJiwo Jendro:

Aku SW
untuk tnetnenja.r4.K4.n.

&r�.

Karena bangsamu

paham betul bahwa dalam penja.r41.A.h. orang bisa

terbebas dari hi.ruk. pil<.r.tk urusan dunia

sehingga bisa tiap �tlk j��a.n. (berdialog) dengan Tuhan.

�147�

(b egini uneg-uneg Sastro syapres clan syawapres .... Syapres

clan syawapres?

lya, cantik, kan, jadi syantik. Capres clan cawapres harus ikutan jadi syapres clan syawapres. Begitu juga congormu clan cocot-mu. Harus turut konsisten jadi syosyotmu clan syongormu. Bila mau maju, bangsa ini harus konsisten dalam segala bidang kehidupan. lya, konsisten. Bila disebut rakyat sudah cerdas, jangan ada lagi penyitaan buku-buku tentang organisasi terlarang. Toh rakyat sudah bisa mencerna sendiri. Lho, razia buku­ buku jenis itu sudah sesuai amanat ketetapan MPRS tahun 1966. Ya, berarti siapa pun pemimpin yang berkata bahwa rakyat sudah cerdas, melanggar konstitusi karena tak sesuai dengan jiwa ketetapan MPRS tersebut. Sekali lagi, konsistenlah. Kembali ke uneg-uneg Sastro menjelang masa akhir zaman, eh, masa akhir pendaftaran syapres clan syawapres awal Agustus itu. Menurutnya, kudapan yang dihadapinya sekarang bukan es buah. Segalanya terlalu es syampur untuk dapat disebut es buah. Bahwa ini bukan sup buah apalagi sup buntut .... Ooo Sastro mendukung banget. Namun, apakah

es syampur di depan rai-nya itu kini sungguh-sungguh es syampur? lni yang Sastro masih condong jadi golput ketimbang jadi pendukungnya.

Pada suatu bU1 enviL yang hilang warna, seekor c.u.cA.l<.rAWA. yang hilang kicaunya

rontok bc.tf.tt.-bc.tf.tt.

SA.gA.f>n.gA- tak bersuara.

Satu-satunya yang tersisa cuma sepas� tnaf4. dan

l<.uf>�ku., yang memberinya �Atna.

dan l<.icruA., juga memberi S4.g4.f> padamu, Kekasih. Es syampur itu belum hilang rasa clan warna. Cuma koalisi tekstur kuning nangka clan tekstur hijau alpukatnya kurang mantab. Susu kental yang diliak-liukkan di atas munjung butiran esnya kurang menderes liur. Syinsyau clan kehitamannya berlapis di bawah permukaan santan clan keputihannya. Namun, keduanya kurang berkoalisi menjadi bias-bias warna kelabu penggoda lidah yang tak bertulang. Ada banyak bahaya bila lidah yang tak bertulang ini tak pernah digoda, tak pernah diuji.

p4A4- ttilin.gA., Kekasih. Sekarang masih. Oulu pemimpin terik.at p4A4WA--W4.rtgA-. Sekarang tidak. �� statu. Oulu �� terik.at

M�ut berke��- lni membanggakan. �149�

Walau begitu, saat menyeruput bias-bias warna kelabu yang kurang merangsang itu, ingatan Sastro langsung ke Jendrowati, kekasihnya. Gambar wajah Jendro langsung terpampang bulat-bulat di keningnya. Biasanya butuh waktu bermenit-menit bagi lelaki berkasyamata itu untuk dapat mengusung wajah Jendro utuh­ utuh di pikirannya. Kalau sekadar mengenang, sih, syepat. Mengenang tutur katanya yang selalu memohon "hadapilah hidup, Mas Sastro. Hadapilah hidup." Mengenang tingkah lakunya yang selalu menggelayut ke pundak Sastro .... ltu, sih, syepat. Akan tetapi, menghadirkan wajah Jendro di batinnya seakan Sastro sungguh-sungguh melihatnya langsung? Padahal kata-katanya atau rupanya saja, belumlah Jendro secara utuh.

Suih. di samudra belumlah samudra, Kekasih. Begitu juga seluruh kata yang berbuih.-buih. di dalam cinta ... belumlah cud-a.. Masih untung, es syampur yang rada-rada es buah ini memendekkan kebutuhan waktu tersebut. Sekonyong­ konyong bibir Jendro yang merekah ranum terpampang rada-rada mesem di benak Sastro. Matanya sedikit memisying penuh dengan syinta.

�1so�

"Hidup makin tak seronok, makin tak senonoh. Tapi kamu jangan gentar menghadapi semua ini," tutur Jendro di benak Sastro. "Pening bagaimana pun, hadapi, Sastro. Hadapi! Jangan syuma duduk berpangku tangan. Apalagi syuma duduk sambil terus-terusan menggosok hidung." Sastro menghentikan menggosok-gosok hidungnya seperti lalat yang hinggap di bibir mangkuk es syampurnya. "Bagus .... Gitu dong," Jendro memuji Sastro. "Hmmm, lagi pula, jangan syuma bisa mengumpat 'haram jadah' menggeluti noraknya situasi. ltu sikap hidup yang kolot sekali. Sudah basi, Sastro! Yang penting, seperti tadi pesanku, hadapi .... Hadapi ...!!!" Jendro yang tergambar di angan-angan Sastro tidak salah. Lha wong orang yang sudah dipenjara saja tidak kabur dari kenyataan. Dingin, kokoh, dan sepinya tembok penjara itu mereka tanggulangi dengan membangun fasilitas ini-itu di dalamnya. Aneka ragam syara, rasa, dan karsa. Warna­ warni seperti es syampur. Sambil memejamkan mata, Sastro menggeser ingatannya dari Jendro. Teringat kembali Sastro akan wajah lelaki yang bagai algojo saat ia meminta izin untuk mengajak putrinya pergi ke bioskop. Lelaki tegap yang suka menggosok-gosok hidungnya itu adalah ayah Jendro. Sastro selalu yakin suatu hari, entah kapan, si "algojo" akan membuatnya rata dengan tanah bila lidahnya tak bertulang, bila mensyla-mensyle terhadap putrinya.

�1s1�

Kemudian, menjelang pendaftaran gairah Sastro kembali bangkit. Hadapilah

syapres-syawapres, hidup, betapa pun

kamu jijik. ]angan menunggu hidup menjadi sempurna dulu baru kamu hadapi, Sastro,

permohonan Jendro dalam benak

Sastro. Bayangan Jendro itu melenyap bersamaan ludesnya es syampur yang kurang sempurna.

�1s2�

#

�/Ji,Wt,. 1

(;u.,

£U� 'f3'ew" Jangan hidup

�n.gMj� l<.elo.tpl.A.,

tetapi �� l<.ep��· Kekasih. an ini cerita tentang kepompong.
Demikianlah, pada menit-menit berikutnya sudah santer dugaan bahwa oli di jalanan sudut kota itu sengaja ditumpahkan. Lalu, siapa penumpahnya? "Ya, siapa lagi kalau bukan arek-arek yang sering arak­ arakan sepeda motor itu!" seru seorang warga dari RT Kumuh Yo Band. "Pasti bukan kami!" balas anak-anak muda yang merasa kelompok bermotornya jadi tertuduh. Di suatu upacara bendera itu mereka makin gigih melanjutkan ikrarnya, "Lihatlah seragam kami Kurang Merah-Putih Yo Band ini. Setidaknya kami masih terus berusaha menjadi Merah-Putih pol? Saal tumpah-tumpahan oli ke tanah, kami hanya tahu bahwa Indonesia tanah tumpah darahku!!!" Beres? Tidak! Yang fana adalah waktu. Kecurigaan abadi. (Maaf buat Mas Sapardi Djoko Damono atas plesetan puisinya Yang fana adalah waktu. Kita abadi ....) "Sudahlah, kalian semua tenang. Tak usah main ikrar­ ikraran membela diri," ujar Pak Kawit, kepala sekolah dekat tumpahan oli tersebut yang sekolahnya kini mendapat giliran jadi tercuriga. Kepada murid-muridnya yang aktif dalam kelompok musik sekolah Pals Yo Band itu Pak Kawit dengan sederhana, tetapi tetap berwibawa melanjutkan, "Kalian break dulu latihan musik ini. Pergilah ke jalan depan itu, bersihkan olinya. Tapi bakti sosial besok tetap kalian lakukan lho, ya. ltu sudah rutin. Bakti bersih oli ini bukan penggantinya."

�154�

Sambil membersihkan oli, Sastro yang main bas bilang ke vokalis Jendrowati, "Kita yang sedang asyik-asyiknya bermusik disuruh

break

untuk kerja nyata bersih-bersih

oli. Jangan-jangan Pak Kawit menyindir grup musik para menteri Elek Yo Band, yang meramaikan Java Jazz Festival 2018. Sindirannya, dalam keadaan seperti ini, kok malah asyik-asyikan nge-band." ''Ah, kamu, curiga melulu orangnya. Nggak asyik. Akukah yang

ngajarin

kamu jadi curigaan begini, Sastro?"

Jendro mengernyit penasaran. Keningnya beroli karena baru di seka jemari lentiknya yang beroli. Sastro menertawakan dirinya sendiri. Bakti sosial esok harinya, acara rutin mingguan sekolah itu, tetap terlaksana. Pagi ini bentuknya mengumpulkan nasi bungkus dari ibu-ibu sosialita lalu membagi-bagikan nasi itu kepada orang-orang tak berdaya di jalanan. Sorenya, Pak Kawit, sang kepala sekolah, ditelepon seorang calon dalam pilkada setempat. Namanya Bu Berlyana. lntinya prates. "Tadi pagi itu, Pak Kawit, saya Tanpa nglesot

macak23

sederhana.

make-up,

bahkan pupuran saja tidak. Saya duduk di trotoar. Ngobrol dengan gelandangan. Saya tanya,

mana yang paling mereka nggak suka: melihat pengendara sambil merokok, sambil dengerin musik, atau sambil menumpahkan oli .... Eh, ujug-ujug ada siswa-siswi Bapak ngasih 23

saya nasi bungkus."

Macak: Jawa, 'tampil'.-peny.

�1ss�

"Lho, berarti Sastro-Jendro clan OSIS-nya bagus, Bu. Mereka tidak curiga Bu Berlyana sedang pencitraan miskin. Kenapa Ibu protes?" "Protes. Kenapa nasi bungkus yang dikasihkan saya ikannya belut. Saya, kan, nggak doyan belut, Pak Kawit?"

�156�

rf\emutih belum tentu tentang kecantikan muka. Pemutihan denda pajak kendaraan bermotor toh jauh dari perkara yang permukaan-permukaan, hayo?

'I"'

Makanya, tentang apa pun, termasuk tentang berita miring, jangan buru-buru bereaksi. Sabar, walau sabarnya jangan kebablasan. Misalnya, "Sabar. Ibu kota Israel nggak bakal jadi dipindah ke Yerusalem. Buktinya ibu kota Indonesia mau dipindah ke Palangkaraya juga nggak pindah-pindah. Haya?"

Harusnya kesa.bara.n.. itu seperti ke�irwt, tak ada hatasnya. Yang bert4.pAL

cuma l<.ebu:tc.Jwt, Kekasih.

btd4S

Yang penting, selain disabari, tiap berita perlu dicek clan diricek dulu. Begitu pula berita tentang album. Ini tak mesti tentang musik, yang punya lawan kata single. Misalnya album foto.

Album ini, seperti biasa, ditonton bareng-bareng beberapa hari setelah nikahan Sastro-Jendro. Diamat­ amatilah siapa saja yang hadir salaman. Adakah pejabat yang turut hadir clan swafoto di situ? Siapa tahu? Toh pelaminan bukanlah Kabah. Belum ada larangan swafoto di titik-titik tertentu di sana. Poto reunian teman-teman SD, SMP, SMA yang hadir di resepsi nikahan juga tak kalah mengharukannya. "Tapi ngomong-ngomong laki-laki ini siapa, ya?" ibunya Jendrowati penasaran. Telunjuknya tepat di wajah lelaki bermata sayu dalam foto itu. Seluruh keluarga yang berkumpul di ruang makan itu pun tak ada yang kenal siapa dia. Raut wajahnya antara senyum clan tidak, seperti orang yang kekurangan seduhan hangat air kapulaga campur jeniper24 clan madu. Menambah muram matanya yang sudah sayu. Rambutnya sedikit gondrong. Batiknya persis seperti seragam batik anggota keluarga inti dalam resepsi tersebut. Motif tumpuk kembang jeruk warna cokelat dengan aksen-aksen motif kawung kekuningan. "Caba ingat-ingat, Bu. Mungkin Ibu punya ponakan di Situbondo atau Benculuk .... Datang jauh-jauh kemari pas hari-H," Sastro mendesak ibu mertuanya sementara Jendro terus menunduk memainkan kuku. Ibu mertua mencoba keras mengingat-ingat. Sampai habis separuh air seduhan kapulaga, hasilnya nihil. "Lagian, kan, kita baru saja reunian keluarga besar. Ibu belum 24

Jeruk nipis peres.-peny.

�159�

pemah melihat manusia yang model kayak begituan tuh," lanjut ibu mertua. Keningnya terus berlipatan. Tak puas dengan keluarga inti yang berkumpul di ruang makan, foto itu kemudian disebar di grup WA keluarga besar. Hasilnya, tak satu pun di antara kerabat dekat clan jauh mereka mengenali pemuda muka layu di foto ini. Sementara itu, Jendro masih menunduk memain­ mainkan kuku, Sastro membantu ibu mertua meneleponkan penjahit seragam pengantinan. Kalau-kalau ada spion dari Israel yang membocorkan motif batik. Penjahat, eh, penjahit menggaransi bahwa telik sandi itu cuma hoaks. Bapak mertua mulai angkat bicara. Ia menyalahkan semua. Kenapa ribut-ributnya baru sekarang? Bukankah waktu pemotretan itu mestinya ada di antara mereka yang merasa aneh, kok, ada orang asing ikutan dalam keluarga inti. "Bapak clan ibumu sudah capek ketika itu. Terima salaman sekian banyak orang," alasannya. "Sama, Pak," tukas adikJendro. "Kita semua juga sudah capek. Banyak teman-teman yang menumpang reunian akbar. Ada yang datang dari Palestina malah. Mana kepikir ada orang asing segala pas sesi foto keluarga inti. Waktu itu aku pikir Bapak atau Ibu tahu dia." Tujuh tahun berlalu misteri itu tak kunjung terkuak. Akhimya, ketika pengantin sudah beranak clan Jendro yang Kristen menilai bahwa Sastro yang Islam sudah sanggup clan siap mendengar jawaban, Jendro bicara dari hati ke

�161�

hati. Jendro membeber "pemutihan" alias mengaku, lelaki itu sejatinya orang yang dulu nembak dia clan ditolaknya. Si muka layu pengagum Yahudi itu memaklumi. Ia hanya titip nazar agar dapatlah tetap menjadi bagian dari keluarga inti Sastro-Jendro. Abadi.

emta. kadang tak membuatmu tahu

hahwa setelah

tuj..Jt tah.wt hanyak hal

yang hisa terjadi, Kekasih. Misalnya, dia telah �� hukan saja dengan orang yang sangat k.a.ga.,

tapi orang sangat kaya yang berb4.M8ia. dan Nthh4.M8i.a.kA.n..

�162�

rebaran kali ini Sastro cuma �eeeeeet ....

duaan.

Wuiiih ....

So

Bukan duaan ma Jendrowati kekasihnya. Namun, berdua cuma dengan kakeknya. Kalaupun ada pihak lain, bocah bungsu dari keluarga menengah itu cuma dipihaki oleh tape ketan ijo clan madumongso. No.

Undak-undakan sawah-sawah terhampar di buritan mereka. Nun dari balik bukit terdengar takbir dari toa masjid. Kakek Sastro, lelaki yang sudah hampir 100 tahun usianya, meraba-raba marmer meja. Kalau tangan itu di­ sharelocation, kerut-kerutnya berlokasi di antara mangkuk tape ketan ijo clan stoples madumongso. "Anakku, tanganmu di mana, ya?" "Kakek, aku bukan anakmu. Aku cucumu. Tanganku ada di sayap kiri madumongso." Tangan kakek terns grepe-grepe. Sastro tak srantan mengambil tangan kakek dengan tangan kanannya. Dielus­ eluskannya itu ke tangan kirinya. Aduh, telapak tangan kakek kasar sekali clan kaku, persis daun gadung yang
Kakek bertanya, ''Ayahmu kenapa? Ayahmu sudah tidak pernah berlebaran ke sini lagi." ''Ayahku sudah lama meninggal. Tuh makamnya ada di balik bukit." Kakek manggut-manggut. Pertengahan lidahnya yang pucat menyembuJ...nyembul dari mulutnya yang senantiasa ngowoh. Sesekali air liurnya ngeces. Kalau luapan liurnya sudah banyak, kadang kakek menyekanya dengan punggung tangannya, kadang menyeruputnya kembali. Sluuurrrppp. Kakek bertanya, ''Anakku, apakah rai-mu menarik?" "Hadeuuuh .... Aku bukan anakmu. Aku cucumu." Sastro tak akan jengkel begini terus bila Lebaran kali ini cuma berdua dengan kekasihnya. Sayangnya, Jendro memutuskan ke Palestina. Untuk membuktikan apakah rakyat Palestina marah karena baru saja ada petinggi PBNU yang juga petinggi istana mengunjungi hajatan resmi di Israel.25 "Kunjunganku bukan untuk itu," tandas Jendro kepada diri sendiri. "Lawatanku cuma untuk menyigi apakah orang Palestina masih punya program latihan kesabaran. Dulu Indonesia punya. Namanya program tahunan latihan sabar mudik Lebaran. Tapi, sekarang mudik Lebaran sudah lancar. Berkat jalan tol." Ini, menurut Jendro, sangat berbahaya. Saat pilgub clan pilpres nanti orang-orang akan pada tak sabaran semua 25

Petinggi PBNU, Yahya Cholil Staquf menghadiri forum di Israel untuk membahas perdamaian Israel-Palestina. Namun, kunjungan anggota Dewan Pertimbangan Presiden itu menuai polemik dan dianggap mewakili pemerintah untuk mendukung Israel.-peny.

karena belum dilatih sabar dalam suasana kemacetan panjang arus mudik. Kakek bertanya lagi, ''Anakku, apakah rai-mu menarik?" "Sama sekali tidak, Kek," Sastro kian jengkel. "Dan aku bukan anakmu, Kek. Aku cucumu!!!" ''Anakku, apakah kamu juga masuk partai politik?" Sastro geleng-geleng mengulum madumongso. Eh, sadar bahwa rabun kakeknya sudah kelas berat akhirnya digantinya bahasa tubuh itu dengan bahasa yang lebih lazim. "Tidak, Kek, aku tidak masuk partai politik." ''Anakku!" suara kakek meninggi. "Jangan bohong. Tega-teganya kamu membohongi diriku. Bagaimana rai-mu bisa tidak menarik kalau kamu bukan orang politik? Aku bisa melihatnya. Karena aku banyak belajar."

Aku banyak belaj4t dari buih. Malah harus kukatakan bahwa hampir �e� Ml.. k up el�ari dari buih, Kekasih. Ya, itu masa-masa sebelum seluruh je�da.n.. g� mengajariku: kalau pandai wni:h:, buih, selamat badan sampai ke �eber�. "Hadeuuuh, Kakek ngomong apa, aku nggak mudeng. Dan aku juga bukan anakmu. Aku cucumu ...."

�165� rak-bukudigital.blogspot.com

Ya, ya... Wajah kakek menerawang seolah baru paham bahwa bocah yang kini diajaknya ngomong bukanlah anaknya, tetapi cucunya. Tapi, sejurus kemudian, '�nakku. Ayahmu tidak pernah mau dengar petuah pentingku. Liurku sampai muncrat-muncrat, tetap saja ayahmu akhirnya masuk ke .... ltu yang banyak umbul-umbul clan pekik-pekiknya itu, lho ...." "Umbul-umbul, pekik-pekik politik .... ltu partai." '�khirnya ayahmu tetap ngotot ingin pergi ke pasar saja. Aku bilang, buat apa pergi ke pasar. Di sana sudah banyak orang. Pergilah ke kuburan. Merenung." Lebaran berikutnya, Sastro ingin menanyakan makna "pasar" clan makna "kuburan". Namun, kakek keburu meninggal. Pusaranya di bukit yang sama dengan nisan anaknya, tapi berseberangan ideologi, eh, berseberangan lereng. Sastro cuma bisa menduga-duga bahwa pasar betapa pun ramainya, clan kuburan betapa pun sunyinya, sama saja. Sama-sama buih. lni pernah disinggung kakeknya sebelum sakit-sakitan.

Buih NrenAA. gelombang, Nrajuf gelora,

memanik-maniki pa.s�-SW"uf stAJnUha.. hukan atas kehendaknya sendiri, Kekasih. Waiau cuma buih, huih bergerak atas k.ehenAA.k samudra. la telah Nrtg«™- samudra. lnilah k.e�gal.tA.n.. lnilah esensi dari k.e�a..h.ihrt �166�

�ujwA..

(0 ai atau wajah Sastro unik pol. Tidak melamun saja rai­ ::f�nya sudah persis rai orang ngalamun, apalagi pekan­ pekan ini, banyak banjir clan lain-lain. Sastro yang berwajah melamun itu benar-benar melamun. Duduk mendekap lutut ia di sudut teras. Kebayang, kan, rai di pojokan itu kayak apa? "Rai-mu itu lho, Cak! Rai-mu ...," seru Jendro, istrinya.

"Ada apa dengan rai-ku?" Sastro balik tanya ogah­ ogahan. Ya, ada banyak hal dengan penampakan Sastro. Bibir, misalnya. Kemarin-kemarin sudah mirip empal, kini semakin mengempal. Mungkin untuk mengucapkan "NKRI Harga Hidup" saja terganjal-ganjal, apalagi mengucap "NKRI Harga Mati". Matanya yang biasanya rabun kini makin tak bisa membedakan lagi tulisan "Reuni 212" clan "Reuni SMA 2". Di depan teras yang ada bunga tanjung clan mahkota dewanya itu Sastro seperti menerawang putrinya beberapa tahun lalu. Melati, putrinya semata wayang, kala itu diterima di fakultas kedokteran. Wah, Sastro antara suka clan duka. Sukanya, orang tua mana yang tak senang anaknya

diterima di fakultas yang masa depannya jauh lebih terang dibanding cagub. Cagub kalau tidak kepilih? Hayo! Dokter tak semewah kehidupan beberapa pengacara, memang. Namun, sekali ngobati orang sudah berapa, coba? Kabarnya penyakit-penyakit katastropik, seperti jantung clan ginjal, tetap akan ditanggung BPJS lagi? Ah, pasien pribadi toh akan tetap ada. Kalau Melati diterima di fakultas filsafat tentu aku tidak sebahagia ini, luap Sastro dalam hati. Dukanya, tahu sendiri biaya kuliah di fakultas kedokteran puluhan kali lipat daripada filsafat, kan? Tahun pertama kuliah saja separuh rumah sudah habis untuk Melati. Perlu diketahui, rumah Sastro-Jendro sebelumnya cukup luas. Tetangga sebelahnya, sebuah kantor cabang partai besar, sudah berkali-kali ingin membeli rumahnya sebagai "manisan" untuk pengurus yang kebelet melompat ke partai lain. Sastro baru melepas setelah kepepet butuh duit bagi kuliah Melati. Atas saran Jendro, tahun-tahun kuliah berikutnya, Sastro tak melego sisa separuh rumahnya. Ia hanya mengobral beberapa tanah yang sebelumnya dijadikan lahan bisnis area memancing khusus untuk pasutri yang stres gegara menantu. Stres gegara faktor lain, tak diterima memancing di situ. Melati akhirnya lulus kuliah. Sastro-Jendro banyak beroleh ucapan selamat dari sesama ortu yang hadir wisudaan. "Wah, putri Bapak, dokter? Selamat. Tinggal ngitung duit, nih, nanti," luap seorang ibu berambut cepol

�168�

sembari menjilat jempol clan telunjuknya lalu jari-jari itu digetarkannya seperti orang menghitung onggokan duit. "Terima kasih .... Putra ibu sarjana ...?" "Filsafat, Pak," ibu itu menyahut dengan senyum setengah paksaan. "Tapi nggak apa-apa, Bu. Semoga dia mendapat istri yang kaya raya ...." ''Amin ...," Jendro turut mengaminkan doa suaminya untuk ibu yang nahas itu. Dokter Melati pun menikah. Suaminya, Arief Budiono asal Kertosono, seorang dokter juga yang kadang menulis berita kadang membuat karikatur di koran. Ia amat disayang oleh Sastro. Karier Melati pun bagus. Cepat melejit. Dasar Melati pekerja ulet. Siang malam tak kenal waktu. Cuma dalam kurun lima tahun, walau belum dikaruniai momongan, ia sudah menduduki posisi penting di sebuah rumah sakit bergengsi. Akan tetapi, pekan lalu bagai disambar petir, Sastro mendapat kabar bahwa Dokter Melati berhenti kerja. lni atas tuntutan suaminya. Arief Budiono memastikan bahwa Melati tak hamil-hamil gegara kepayahan bekerja. Kepastian itu didukung oleh para sejawatnya sesama dokter yang sempat memeriksa Melati. Di sudut teras rumahnya, Sastro sambil duduk mencangkung sambil teringat berapa banyak ia menjual telah menjual tanahnya demi kuliah kedokteran Melati.

�169�

"Bukannya menggendong cucu lebih indah clan merdu daripada memandangku punya jabatan, Pak?" Melati berfilsafat sambil mematut-matut kerah baju ayahnya di pojok teras, saat Hari Maulid Nabi.

�110�

(1 eperti yang sudah-sudah, Sastro yang sudah kakek-kakek Omengawali paginya dengan menulis surat. Tangannya buyuten.

Surat sanggahan itu ia tulis untuk rubrik surat

pembaca koran-koran yang pernah bikin berita miring tentangnya: Sastro, kakek-kakek maling bendera tetangga. Setiap kata "merah putih" ia garis bawahi dengan tinta hijau NU. Lalu, ia teken surat panca lembar itu. Tanda tangannya penuh mata gergaji. Maklum, ditoreh dengan telunjuk dan jempol yang gemetaran. Kemudian, kakek memasukkannya ke amplop walau hampir saja memasukkan itu ke dalam kardus. Namun, tak lupa ia bubuhkan prangko dan tulisan "jangan cuma PHP bahwa setiap surat sanggahan akan dimuat." Moga-moga aku tidak lupa pos,

lagi nyemplung-kan ini ke kotak

batinnya sambil tertatih-tatih ke halte bus kota. Sudah

berkali-kali menulis surat serupa, persis panca halaman pula, sudah berkali-kali pula Sastro lupa memasukkannya ke kotak pos. Surat-surat itu ketelingsut, lalu menguap bagai PHP.

Si kakek sedang berjuang memasukkan surat ke kotak pos dekat halte bus ketika muncul gadis pirang yang menolongnya. "Jangan tersinggung ya, Kek. Abis, saya perhatiin, sudah hampir 17 menit 8 detik 45 PHP Kakek berjuang keras, tapi itu surat gak masuk-masuk selempitan, malah jatuh terus." "O, ndak papa .... Ndak papa. Malah matur nuwun. Namamu siapa, Nduk?" "Jendro, Kek ...." "Oh, jadi gini, Jendral ...." "Jendro, Kek ...." "Gini, Jendro, sumpah saya nggak nyolong bendera tetangga sebambu-bambu runcingnya untuk saya tancap di halamanku. ltu yang saya mau bantah." Jendro melongo. Ia tak tahu apa-apa kok ujug-ujug dicurhati soal bendera sebambu-bambunya. Ia bertanya ngasal, "Jadi, yang Kakek kibarkan di rumah Kakek bendera siapa, Kek?" "Nah, itu dia, bendera siapa. Saya sudah lupa. Mungkin bendera orang Amerika. Mungkin bendera orang RRC. Bisa juga bendera orang Rusia. Atau bendera Arab, ya?" "Emang tetangga Kakek orang mana?" "Nah, itu dia. Orang mana, ya?"

"J ad'1, jelasnya, Kakek emang mencuri bendera tetangga?"

�112�

"O, jelas tidak. Orang-orang hanya bermain-main memanfaatkan saya yang sudah pelupa. Saya sudah lupa apakah itu bendera saya sendiri atau bukan. Mereka lalu enak saja bilang itu bendera curian .... Eh, malah ada yang bilang itu bukan Merah Putih. ltu bendera warna hitam, cuma disulap punya penampakan Merah Putih. Eh, namamu siapa, ya?" pertanyaan kakek kali kesepuluh. Dan, kalimat kakek sudah melalui editing untuk tulisan ini. Aslinya patah-patah. "Jendro, Kek, Jen ... Oro ...." Baiklah. Mereka pisahan. Kakek naik bus. Sebelum naik bus, kakek sempat teriak agar Jendro mencari pasangan lelaki yang baik.

lel.4.ki yang kubawa dalam diriku adalah dia yang berk.tili-k.tili kAWt

dan b�ki:t kembali berkali-kalL Tidakkah itu w�9Air�. Kekasih? Kakek turun di halte bus dekat tumpukan kardus. Lama sekali ia mencari-cari duit dari berbagai sakunya untuk membayar teh kotak kardusan. Seorang bapak melihat wajah kakek pucat layaknya korban PHP. Tak tega dia. Dibayarinyalah teh kotak itu. "Matur nuwun, Hendro," teriak kakek dengan menyebut nama sekenanya.

�11s�

Dua hari setelah itu, di kantor redaksi sebuah koran, Jendro yang bekerja sebagai sekretaris urusan surat pembaca kaget. Ia menerima surat yang tulisan clan warna amplopnya persis surat yang sekelebat ia lihat saat membantu kakek­ kakek memasukkannya ke kotak pos dekat halte. "Pirang, surat ini tidak usah dimuat," tegas bos Jendro. "Tapi, ini penting, Pak. Menyangkut nama baik orang." "Penting apaan, Pirang? Kerjamu di koran, tapi nggak pernah baca koran, ya? Koran kita clan koran mana pun nggak ada yang pernah mengabarkan bahwa kakek ini maling bendera tetangga." "Jadi, maaf, Pak, ini hanya halusinasi kakek itu? Halusinasi seperti istana kardus, juga seperti PHP?"

{() ani dimasukkan ke pesantren. Bukan dimasukkan, 'i�ng, tepatnya masuk. Tak jelas siapa yang memasukkan bocah usia empat tahunan ini ke situ. Tahu-tahu bocah berambut kriwil itu sudah mak plung ke suatu pesantren di pelosok Jawa Timur clan selalu bikin repot!!! Tenaga Rani tak seberapa. Mirip umumnya tenaga para konstituen "partai"-nya Kak Seto. Tak sampai sepersekian tenaga kuda. ltu pun kuda yang masih dalam masa pertumbuhan, kecuali kalau Rani sudah mulai mengamuk. Wah, kitab-kitab suci pun diobrak-abriknya. Tak peduli kitab yang terjemahannya bernas ataupun yang terjemahannya kacau, seperti lumrahnya banyak terjemahan. Semuanya dedel duwel.

Siapa sanggup menghentikan tangis bocah kriwil berhidung mungil ini? Cuma Bu Nyai Jendrowati! Beliau garwa Kyai Sastro, pemimpin pondok pesantren tersebut.

Teriakan Bu Nyai, "Rani!" sudah cukup menghentikan tangis Rani. Amukannya otomatis juga terhenti. ltukah kekuatan cinta?

Cinta �-� pengertiannya. Semuanya sudah

k.ubA.Ca., Kekasih.

Sudah �A. pula. Semua dan tnen.gelu.ru.h.. Kalau kuceritakan akan le�ih.

Ptlnj� dari 9aris k.h.Atul.isttMla.. (wris besarnya: temyata aku titM.k. tah..u. apa-apa tentang dnta..

Enam bulanan mondok di situ baru terkuak bahwa Rani waktu bayinya dulu dibuang ke kotak amal yang gemboknya palsu. Ibunya sejatinya tak malu punya anak di luar nikah. Ia cuma tak tahan mendapat teror beberapa hari pasca­ persalinan. Teror dari bapaknya untuk mengambil Rani. Kabarnya si bapak hendak melenyapkan Rani yang saat masih dalam kandungan pun pernah ditendangnya. Setahun setelah itu, Bu Nyai Jendrowati sudah bisa mendapatkan nomor telepon baik bapak maupun ibu Rani. Sayangnya, beberapa kali dikontak oleh pihak pesantren, kedua pihak ortu Rani itu tidak pernah mengangkat teleponnya. "Maaf, Bu Nyai," curhat seorang santri, "Bagaimana kalau kita tidak usah telepon-telepon lagi." "Ooo, tidak bisa. Apa pun yang kita ajarkan ke Rani nggak akan ngefek kalau tidak didobeli dukungan ajaran orang tuanya," jelas Bu Nyai kepada para santrinya.

�116�

Pada akhirnya, penyair Chairil Anwar benar, hidup hanyalah menunda kekalahan. Pada akhirnya, Bu Nyai menyerah. lnikah cinta?

Aku tak pernah berpikir bagaimana cata. rnen.cird�, Kekasih, sebagaimana aku p4SrAA saja tak mau berpikir bagaimana cara tubuh membagi­ bagi �4.r't.- � ke sekujur badanku. Bu Nyai tak pernah berpikir kenapa kembali memilih tidak capek untuk terns berseru, "Rani! Rani ...!" pada setiap bocah yang makin tumbuh itu ngamuk-ngamuk. Para santri senang. Mereka tak perlu capek-capek menelepon orang tua Rani walau pada akhirnya stres juga ketika mereka tahu bahwa menjelang Tahun Baru 2018 Bu Nyai mesti pergi ke luar kota selama beberapa bulan. Di bandara, tepatnya di pintu masuk, seorang santri tiba-tiba tergopoh-gopoh menjulurkan HP ke Bu Nyai. Saat petugas bandara memindai tiket Bu Nyai, saat itu juga si santri punya ide merekam seruan "Rani" dari Bu Nyai. Ia yakin rekaman ini akan mujarab untuk melengserkan tangis Rani. "Rani .... Rani ...," ucap Bu Nyai pada HP yang hampir menempel di bibirnya. "Maaf. Kurang keras, Bu Nyai. Bikin seolah-olah nyata Bu Nyai sedang menegur Rani ...."

�111�

"Rani! Rani!" Suara Bu Nyai sedikit lebih menguat. ''Aduh, Bu Nyai. Masih kurang nyata." "Rani!!! Rani!!!" Bu Nyai berteriak sekuat-kuatnya. Ekspresi wajahnya pun sekuat orang yang sedang marah sejati. Bala sekuriti bandara dari berbagai penjuru tergopoh­ gopoh mengerumuni Bu Nyai. "Rani itu cucunya, Bu? Tadi mainnya ke partai mana, Bu? Sepatunya ada bunyinya nggak?" tanya mereka. Di pesantren, esoknya, ketika Rani ngamuk seorang santri cekatan menyetel rekaman Bu Nyai teriak "Rani! Rani!" via toa musala. Rani bukan saja kontan terdiam tangisnya. Ia cekikikan, "Xixixi .... ltu cuma rekaman, kan, Kaka? Bu Nyai bilang apa lagi buat aku waktu direkam. Jangan cuma menyiarkan cuplikannya. ltu hoaks. Siarkan utuh!"

�118�

S

alah satu yang bikin Jendrowati lengket ke Sastro adalah ceritanya. Kekasihnya yang menjadi platinum member dari angkringan sego kucing itu selalu punya cerita baru. Bajunya boleh itu-itu saja. Celana clan sepatunya juga. Agak­ agak kumal gimana gitu. Namun, cerita Sastro selalu gres. Kemarin lusa, cerita Sastro bisa tentang e-KTP yang tercecer. Esoknya bisa tentang ancaman bahwa kantor redaksi surat kabar bakal dibuat rata dengan tanah bila wartawannya dianggap keliru. 26 Esoknya lagi, cerita Sastro bisa tentang gaji para pembina ideologi Pancasila. Sembari memilihkan sego kucing teri, si bakul angkringan membatin, Sud.ah rambutnya ikal mayang, Jendro bermata kelinci. ]adi tambah cantik kalau ngowoh menyimak

cerita baru Sastro. Langgananku lainnya kasihan. Mereka tak tambah cantik karena cowoknya melulu mengulang-ulang cerita lawasnya.

''Angin seperti kiblat, Jen," bakul sego kucing menguping obrolan Sastro ke "Cat Woman"-nya kemarin lusa. "Dihadapi secara tepat, angin bisa mengeringkan rambut ikal mayangmu. Bisa mengeringkan tangis mata 26

Mengacu pada ucapan Ketua DPD PDIP Jawa Tengah Bambang Wuryanto yang mengandaikan jika kantor Radar Boger itu berada di Jateng, basis massa PDIP, akan rata dengan tanah. Pernyataan bernada ancaman itu merespons tulisan media itu tentang gaji tinggi Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Megawati Soekarnoputri yang juga ketua partai itu.-peny.

kelincimu. Namun, dihadapi sembrono, angin bisa menerbangkan begitu banyak e-KTP sehingga tercecer-cecer di Bogor." Esoknya, si bakul menguping cerita yang lain lagi dari Sastro. "Jendro, 'Bumi Manusia' ini mungkin tidak datar, mungkin tidak rata, tapi bangunan-bangunannya bisa diratakan dengan tanah. Utamanya bangunan kantor redaksi surat kabar yang juru wartanya dianggap menebarkan berita hoaks tentang gaji para penggede." Bakul angkringan mulai terkesan ke Sastro ketika ia suatu malam memberinya tebakan, apa yang bedanya lebih tipis dari sayatan bawang dibelah tujuh? Jawabnya, sombong dan percaya diri.

Batas s��

� peret.t.g4. diri itu sejuta kali

lebih tipis dari sayatan bawang, Kekasih. Dan, yang

menyarankan agar kamu tak. S��' biasanya orang yang sama dengan yang tnen.gara.n.kA.rt agar kamu punya rasa peret.t.g4. rAiri. Esoknya lagi lain lagi cerita Sastro. Owner angkringan sego kucing menguping Sastro bercerita tentang cita-cita hidupnya yang mendadak berubah. Dulu, cita-citanya mengamalkan Pancasila. Hari ini, demi gaji yang lebih tinggi, cita-citanya berubah ingin menjadi pembina ideologi negara.

�1so�

"Kenapa nggak tetap bercita-cita mengamalkan Pancasila saja, Sastro?" Jendro bertanya, "Bukannya pembina ideologi Pancasila sudah pasti pengamal Pancasila?" "Wah, soal itu mana aku tahu, Jen. Pokoknya pengamal Pancasila belum tentu dibayar, tapi kalau pembina ideologi Pancasila sudah pasti dibayar." "Sudah pasti? Ah, sok tahu.

Emang

kamu punya bukti

bahwa mereka benar-benar digaji?" Sejak itu, Sastro pantang berkisah apa pun ke Jendro tentang segala sesuatu yang tak dialaminya sendiri. Ia mulai pergi ke sana kemari. Perginya bukan saja agar mempunyai kisah baru buat kekasihnya, tetapi agar kisah yang ter-up­ dated itu betul-betul kisah yang dialaminya sendiri.

Sayang, kr1.t. b�ASi cuma dilatih melabeli ''fr4a ile '' pada barang-barang peca.h. belA.h..

Mereka selalu

k.hit.J untuk rnef.Abelm itu pada

bebtUl-bebtU\. dnta. dalam setiap perjttlA.rwt. Kekasih.

Pengembaraan Sastro ke berbagai kota itu membuatnya terdampar di rumah sahabat SD-nya dulu yang kini sukses di ibu kota. Di rumah magrong-magrong sahabatnya di kawasan elite itu, Sastro

disubyo-subyo27 •

Ia diinapkan di kamar yang

�ya ada kolam renangnya. 27

Disubyo-subyo: Jawa, 'dimuliakan, dijamu'.-peny.

�1s2�

Sound-system kamarnya pun canggih.

Gemuruh final Liga Champions antara Real Madrid clan Liverpool betul-betul menjadi gegap gempita yang hidup seakan Sastro benar­ benar menghadiri clan mengalaminya langsung di Ukraina. Jendro bahagia sekali mendengar cerita tentang fasilitas kamar Sastro di ibu kota itu. Mata kelincinya berbinar-binar menambah cantiknya. Sayang, menurut bakulsego kucing, Sastro yang gondrong sepundak itu terlena dengan fasilitas kamar. Sastro sama sekali tak menyinggung pemilik kamar, sahabatnya yang menemukannya di jalan yang sesat ketika di Jakarta clan memberinya petunjuk ke kamar super deluxe. "Pemuda yang bernama Sastro itu ibarat orang yang beribadah, dianugerahi rasa khusyuk, merasa nikmat tiada tara dalam kekhusyukan itu, selalu terngiang pada kenikmatan itu sampai lupa kepada Sang Pemberi Rasa Nikmat," bakul nasi kucing rasan-rasan sembari membaringkan kepalanya di pangkuan istrinya saat Ramadan, tepatnya saat Waisak menjelang Galungan.

�1ss�

Andai r4SA. i.ni belun1 kau p�rui menjadi la.h.rut ber� c.inf4., Kekasih, tentu akan lebih. lu.4S lagi dapat �d.rkrut diriku padamu. n<JBG Jendrowati tak pernah melihat langsung � .l.kebiasaan ortunya. Oulu, zaman dolar masih belum kebangeten sombongnya, ortu Jendro punya kebiasaan yang menjauhkan manusia dari kesan sombong. Mereka selalu mengantar pulang tamunya hingga ke pintu pagar. Begitulah nasib anak yatim piatu. Jendrowati masih belum sanggup mengingat apa­ apa ketika bopo-biyung-nya berpulang abadi. Ia kemudian diangkat anak oleh buliknya, perempuan mata redup seperti ASN bilamana tak beroleh THR clan gaji ke-13. Celaka 13, kebiasaan yang selalu langsung Jendro lihat: tamu masih dadah-dadah di teras, buliknya yang tukang dandan itu sudah masuk menutup pintu rumahnya.

Begitulah nasib penglihatan Jendro. Beda sekali dengan pemandangan saat Jendro yang beralis clan berbibir lembut ini liburan di Ciamis, Kudus, ataupun Jember. Banyak tuan clan nyonya rumah yang mengantar tamunya pulang sampai ke kendaraan. Mereka bukannya sudah lenyap masuk rumah ketika mata tamu ketutupan saat masih sibuk memasang helm. Pengalaman unik tersebut Jendro share di medsos. Wah, komen ramai sekali. Menurut mereka di pelosok Nusantara lainnya juga masih banyak terdapat pemandangan elok serupa, tak kalah elok dibanding memandang senyum Jendro di atas pematang berlatar gegunung.

Sebaik-baik t.Uaja.h. adalah �ertgWn. yang gampang ��"Diantar pulang ma teman pun mereka baru masuk rumah kalau temannya sudah menjauh," respons netizen. "Bagus! Bagus!" respons warganet lainnya. "Di Depok malah ada ibu-ibu yang belum mau masuk rumahnya sebelum ojek pengantarnya sudah menjauh." ''Ah, lebay. Ojek mah beda. Kan kita sudah bayar?" Angkringan alam maya itu pun kian ramai. Di sinilah pengagum keramahtamahan di Depok itu tidak terima. "Emang kalau sudah bayar nggak usah berterima kasih?"

�1ss�

"Setuju, Cuk! Terima kasihnya tak cuma pakai mulut. Pakai perbuatan. Berbuat sabar menunggu dia pergi baru kita masuk rumah ...." "Sudah. Sudah. Nggak usah nyindir ke mereka yang mulutnya doang mengaku Pancasialis, tapi kelakuannya bukan. Kalau mau nyinyir soal itu bentar lagi pas 1 Juni, Hari Lahir Pancasila ...." Akun anyar tiba-tiba

nyelonong,

"Saal

nganter

tamu

sampai pintu pagar itu, gimana kalau tak punya pagar seperti negara Indonesia ...." "Hush, nyinyir!!! Emang begitu lemahnya perlindungan teritorial negeri kita? Emang semua tamu bebas masuk ke Indonesia dan menganggap negeri ini betul-betul bagai rumah sendiri?" "Bukan begitu, hadeuuuh. Tapi batas kita, kan, bukan tembok? Batas kita laut!" "Kalau tak punya pagar, anterin tamumu pulang sampai ke halaman ...." "Kata tak punya halaman. Makanya perlu mudik ke kampung halaman ...." Tak dinyana-nyana ada yang DM Jendrowati. Isinya video kebiasaan ortu Jendro ketika mengantar tamunya pulang. Ada juga ketika mereka diantar pulang oleh koleganya. Pengirim DM seorang anak asisten rumah tangga Jendrowati dahulu yang kini sukses menjadi tukang cukur di Malaysia.

�1s6�

"Mbak Jendro, saya yakin di video tinggalan mendiang ortu saya ini ortumu," pesannya. Begitu tertuntun Jendro oleh suri teladan dari orang tuanya. Esok harinya, ketika Jendro diantar pulang oleh pacarnya, Sastro, begitu turun dari boncengan sepeda motor ia tak langsung ngacir masuk rumah. "Sumpah, aku nggak mau masuk sebelum kamu pulang, Sas ...." "Sumpah, aku nggak mau pulang sebelum kamu masuk, Jend ...." Ada saksi. Mereka petugas siskamling, sistem keamanan yang diusulkan aktif lagi untuk mencegah suatu permukiman dijadikan persemaian teroris. Kesaksian mereka, kedua ABO itu tetap eyel-eyelan di mulut pagar sejak petang sampai menjelang sahur dan tukang ronda leyeh-leyeh di tepi telaga. Sorenya turun hujan di kawasan itu.

Aku suka per�etAJIAIA.r\.

h.uja.n. melalui jutaan ttAJ\lk

C8t\fre��tl di muka telaga, Kel
merestui tanggal per� kita

�1s1�

Bisa nggambang nggak bisa nyuling Bisa mandang nggak bisa nyanding

"

oo.... Tenangkan dirimu. Bukan cuma kamu yang O mengalami itu. Setiap makhluk mengalaminya," hibur Sastro ke Jendro, anak wadon-nya.

"Aku sudah tenang, Bapak. Mantumu memang betul­ betul orang yang dari
"lya, syukur. Suamimu memang orang yang
"Lha, tapi mobilmu? Rumahmu? Apa itu mobil clan rumah yang memang kamu cita-citakan sedari
"Ah, Anakkkuuu ...."

Ke Ngaglik, Nduk, nyasar Kauman Orang sirik tanda tak iman

Dulu semasih dalam gendongan, Sastro sering menimang-nimang Jendro. Sembari ditembanginya ia tentang iri clan dengki. lri tandanya ingin memiliki kepunyaan orang. Dengki pertanda tak ingin miliknya dibagi dengan sesama. Walau kala itu umur Jendro belum sanggup mengerti makna syair, timangan tersebut tanpa disadari sudah menyesap ke tulang sumsumnya. Hingga usianya hari ini, Jendro sukar merasa iri clan dengki, kecuali untuk satu hal: Jendro kadang masih silau memandang kehidupan Pak Jenar. Seperti orang-orang di dusun itu, Jendro juga tak tahu Pak Jenar dulunya presiden apa? Apa presiden suatu perkumpulan profesi, apa presiden suatu perusahaan, atau yang lainnya. Pokoknya, sebagaimana yang selalu Jendro saksikan, kehidupan Pak Jenar tak ubahnya presiden-presiden negara yang telah selesai menjabat. Ke mana-mana lelaki semampai clan bersahaja itu masih mendapat fasilitas pengawalan. "Kalau tak bisa menjadi Pak Jenar, minimal aku sudah senang seandainya bisa menjadi pengawalnya," curhat suami Jendro. Namanya jodoh, lelaki berjenggot itu pun kesusupan rasa sirik istrinya. "Bayangkan, Dik. Kita bisa melanglang buana ke mana­ mana ikut Pak Jenar. Tanpa harus bayar, malah dibayari. Duh!"

�191�

Duh, orang Blauran berkunang-kunang Yang nggak syukuran sawang sinawang

Ya,

sawang sinawang.

Rumput tetangga tampak lebih

hijau dari rumput sendiri. Tahukah keluarga Jendro, menjadi pengawal presiden tak sebahagia yang mereka bayangkan? Ketika Presiden Jenar memimpin sembahyang di negeri orang, mereka tak bisa turut sembahyang dalam kepemimpinannya. Mereka harus mengawal clan baru bisa sembahyang setelah itu. Apakah itu bahagia? Ketika dalam suatu kunjungan Presiden Jenar, ada mahasiswa mengacungkan warna kuning mirip peringatan wasit sepak bola, para pengawal serbasalah. Jenar bisa berarti merah. Syeh Lemah Abang alias Tanah Merah adalah nama lain Syeh Siti Jenar. Diacungi warna kuning apa berarti Pak Jenar yang asalnya merah itu diminta beralih ke lain hati? Boro-boro

jalan-jalan!

Besar sekali tanggung jawab di pundak pengawal ketika menjadi pelindung sekelas presiden. Jenar memang bisa juga berarti kuning. Kulit perawan Jawa yang kuning lazim disebut jenar. Kuning diacungi kuning, klop. Namun, bagaimana kalau kita menganut "mazhab" bahwa jenar artinya merah? Entah uneg-uneg para pengawal itu bocor melalui siapa, akhirnya keluarga Jendro tak punya rasa iri clan dengki lagi.

�192�

Di manakah letak pera.s�, Kekasih? Dibalik�-� yang dipenuhi C6t"et-tn8tet politisi pembohong? Atau di sel.4.-sel.4. mural meriah

dan mengecoh dari parajW'Lt.

�an.ge? Atau di p&t\ksi tak kasat mata pada 9ra!Ji wn.gesafkA.n. dari para Weleld&A.A.t b4.g4ra.n.? Dari sanalah a.l<..u. harus bertanya.

Sastro dan Jendro malah membayangkan betapa pusingnya menjadi pengawal Presiden "Merah-Kuning" kalau diacungi warna hijau. Hijau bagi polisi yang dekat dengan Pak Jenar artinya jalan terns. Lha bagi yang lain? Yang ber-"mazhab" bahwa warna yang pantas cuma hijau? "Haruskah PresidenJenar dan semua pemimpin sampai ikut ams menghijau-hijaukan dirinya?" bertanyalah Sastro keJendro.

�193� rak-bukudigital.blogspot.com

rt"\. ini

hari clan Jendrowati mengerti sudah. Kenapa di halte bus sepagi buta itu mata lelaki di depannya seperti orang yang fakir tidur?

'i:.J

"Aku ini dalang. Dalang yang tidak laku. Tak laku, tapi tiap malam tetap ndalang di kamar. Sampai pagi. Kalaupun ada yang nonton, paling Kiki Dunung," keluh lelaki itu sembari menguap. "Kiki Dunung itu siswamu mendalang?" "Bukan. Dia kucingku." Ujug-ujug lelaki itu terdiam menambah sunyinya dini

hari. Kalaupun bersuara, itu hanya desis angopnya. Kembali dipandanginya Jendro lama-lama dari ujung rambut balik lagi ke ujung rambutnya. Padangannya terhenti lama pada bulu mata lentik Jendro clan hidungnya yang mewah. Sepertinya sedang ia telusuri kalau-kalau ada bagian-bagian tersembunyi dari tubuh Jendro yang terkait dengan dirinya. "Apakah kamu yakin aku mempunyai hal-hal yang terkait dengan dirimu?" Jendro kikuk, bertanya menebak­ nebak.

Tebakan Jendro jitu. Walau demikian, lelaki ahli bangunan, eh, ahli-bangun-malam itu tak menunjukkan rasa kaget. Ia hanya berubah jadi lembut. Nada bicaranya menjadi mengalun clan lebih akrab. "Dini hari? Di halte bus yang sepi begini? Sendirian? Hanya perempuan yang mau minggat yang berani melakukan itu!" alunnya. Langit di timur belum kunjung memerah. Hari hanya diterangi oleh lampu-lampu cahaya kuning merkuri jalanan. Jendro menunduk. Rambutnya yang sepinggang hampir menjadi tirai di kedua pipinya. Jendro mulai merenung. Lelaki yang baru dikenalnya ini sedikit lebih ganteng ketimbang suaminya. Duit di kantongnya mungkin tidak lebih banyak. Namun, lelaki dengan ransel hijau ini tampak lebih lembut clan peduli, di samping, itu tadi, lebih ganteng.

Sedangkan lA.c.d" masih membolehkan bibirtnu. menyebutkan MJh.4.-MJh.4. selain laut.

Sedangkan cinta lebih.

LAAs dari lautan, Kekasih.

"Kebetulan aku juga mau minggat," kata si ganteng ahli melekan itu. "Kita senasib. Bedanya, saat kamu minggat, ada orang-orang tercinta yang kehilangan. Aku tidak. Paling yang kehilangan aku cuma Kiki Dunung." Kucingmu? Jendro membatin. Pertanyaan clan cekikikan

itu cuma disimpannya sendiri dalam batinnya. Matahari pagi kemerahan yang menyelinap dari kisi-kisi halte bus memperjelas betapa kikuknya wajah Jendro.

�195�

Pasca dini hari di halte bus itu nyaris tanpa berkedip, Jendro menatap satu-satunya manusia selain dirinya. Walau tak berani ia akui bahwa dirinya memang perempuan yang mau minggat. Bagi lelaki itu, kedipan Jendro dahsyat.

Aku suka la,Aip�

ketimbang boo�-boo�.

Sesungguhnya bintang-bintang tak pernah berla,Aip, Kekasih. Yang membuat bintang-bintang terkesan berkedip hanyalah segala hal

yang berWu.-� di antara kita dan mereka. Kenapa Jendro mau minggat? Itulah akibatnya. Akibat kalau sebagai istri, Jendro sudah mulai kurang peka terhadap suaminya. Suaminya yang seorang ASN telah mengalami tahun-tahun yang berat. Ayahnya ingin mendengar tangis pertama seorang cucu, tetapi mendadak budek. Gendang telinganya rusak satu detik menjelang Jendro melahirkan. Eh, tega-teganya tadi malam saat berantem perkara perbedaan pilihan presiden, Jendro me-mention kebudekan itu. Ia tanya ke suaminya begini, "Kamu budek, ya, Mas? Kok, sampai tidak dengar apa kata orang tentang perjuanganku sehingga kamu lulus jadi ASN?" Belum lagi ibu suaminya yang sudah lama katarak seketika buta. Ia ingin sekali dapat melihat cucunya, baik

�198�

laki-laki maupun perempuan. Nahas. Tiga detik menjelang Jendro melahirkan penglihatannya tak berfungsi. Eh, tadi malam, selain menyebut budek, tega-teganya Jendro masih tanya begini ke suaminya, "Kamu juga buta terhadap perjuanganku tambal sulam kebutuhan rumah tangga saat awal-awal kamu jadi ASN yang masih pas-pasan, bahkan minus?" Suaminya merasa kata-kata Jendro itu menista ibu clan ayahnya yang buta clan tuli. Pendeknya, makin serulah pertengkaran mereka. UjungnyaJendro sudah duduk manis di halte bus jauh sebelum hari menjelang terang tanah. "Hmmm ...," gumam laki-laki di halte itu. "Kenapa pilpres membuat suamimu clan semua orang jadi sensitif clan sombong? Mereka sangka yang tidak buta clan tidak tuli pasti lebih bahagia? Mereka tak tahu bahwa kucingku tidak nonton wayanganku? Dia sejatinya hanya marah kepadaku karena setelah kubawa operasi mata clan telinga, setelah dia melek clan mendengar, dunia jadi gaduh clan penuh polusi visual dengan banyaknya spanduk clan baliho politik." Tapi, ah sudahlah .... Toh, pilpres sudah berlalu.

�199�

nggak papa. Tapi itu di zaman old. Zaman now zaman sensitif. Apa-apa yang di zaman old nggak papa sekarang bisa digoreng menjadi apa­ apa. lngat, ada profesi barn. Namanya buzzer, bukan merk kompor tapi sejenis kompor ...." "



{!<xot wedus

VV

Sastro dengan tekun menyimak penjelasan pengisi acara seminar "Bijak di Medsos" yang terns nyerocos. "Coba .... Sekarang tulang rnsuk ikan wader kalian nista dengan menyebutnya duri. Padahal itu tulang rnsuk. Ikan wader nggak tersinggung, memang. Tapi bagaimana kalau ada kompor, kalau ada buzzer atau provokator yang menggoreng wader-wader itu supaya ...." "Duh! Aku seminar.

demen

wader goreng!!!" celetuk peserta

Penceramah tampak tersinggung walau tetap nyerocos, ".... Maksud saya menggoreng wader itu menggiring! Menggiring yang terhormat para wader supaya tersinggung. Sekarang, bagaimana kalau ada dinosaurns? Perbandingan besar dinosaurns clan manusia, setara manusia dibanding

wader. Mentang-mentang gede, dinosaurus menyebut tulang rusukmu duri. Tersinggung nggak, kalian? Ngamuk nggak kaum kalian?"

Setega-teganya banh�, durinya St.rnA.

bila k.u.prest&-. Tapi �i �4.r' yang kau

ttU\.C4f rel="nofollow"> di hatiku, Kekasih? Beuuuuuh ....

Sejak itu Sastro ogah ngoceh lagi di Twitter. Takut kalau-kalau menyinggung perasaan orang. Ia pindah main Instagram atau IG yang lebih berupa pahe alias paket hemat kata. Yang paling sering Sastro unggah adalah sketsa orang­ orang yang sudah meninggal, utamanya tentang yang baik­ baiknya saja seburuk apa pun almarhum/almarhumah. Kenapa?

��k.t.t, disukai oleh sisi 9elap dan sisi ter�, Kekasih.

ltu kenapa aku �Ak ena.k

kalau pil.ih. kasih pada keduanya. Seorang janda muda, misalnya. Ia mati gegara amuk massa setelah ketahuan mencuri ayam. Yang tampil

�201�

dalam sketsa Sastro justru pas janda kembang itu sedang menyunggi batu-batu seperti perempuan Bali menyunggi buah-buahan untuk upacara di pura. ltulah batu-batu yang disusun bagai gunung buah-buahan di atas kepala untuk pembangunan masjid di tengah sawah. ''Aduh, gambar Sastro bagus-bagus," ungkap Jendrowati alias Jendro. Ngidamnya Jendro untuk dilukis Sastro sama kuamya dengan ketika ia ngidam kue pancong pas lewat Bandung, yang kalau di Jogja disebut kue gandos. Pernah suami Jendro, sudah nyetir hampir sampai Cimahi, akhirnya balik lagi belasan kilometer ke Bandung sebab Jendro membik-membik nangis di jok belakang. Saking aneh-anehnya ngidam mati, si suami sampai minta tolong sahabat Jendro untuk ngasih asupan nasihat. Wejangan agar istrinya mengurangi rasa ingin mati hanya supaya bisa segera dilukis oleh Sastro. "Pl.ease jangan bunuh diri kayak artis Korea ya, Jen," bujuk si sahabat. Jendro keukeuh ingin mati saja. Baginya dunia makin membosankan. Semua cuma pengulangan. Polanya juga ketebak. Tiap Desember pasti soal dipaksa atau tidaknya karyawan/karyawati mengenakan atribut Natal. Yang lain debat bahwa atribut-atribut itu sejatinya cuma budaya yang tak terkait langsung dengan keyakinan Nasrani. Lalu soal ngucapin Natal haram atau tidak. Juga soal berapa ribu personel aparat pengaman Natal. Kenapa tentang itu semua berikut segala pro-kontranya selama bertahun-tahun tidak dibukukan saja, atau dikompilasi oleh kemenkominfo? Masyarakat kalau mau

�202�

berdebat tinggal klik itu dulu sehingga level perdebatan terus meningkat, tidak muter dari nol lagi ... dari nol lagi .... "Sudahlah, Jen. Jangan mati dulu. Pakai akal sehat. Sabar," telepon sahabat itu ke Jendrowati. "lni aku sedang di Muntilan. Kamu mau aku oleh-olehi wader goreng tepung? Enak, lho."

Jangan mengaku sudahja:h.th. cin:tA., Kekasih, sebelum sanggup kau tertawakan a.kaL. �eh.«t dank.e�� Menjelang pulang dari Muntilan malah sahabat itu yang meninggal di jalan. Ia meninggalkan alam fana setelah bercerita bahwa baru saja bermimpi dikejar-kejar dinosaurus. Keringamya sejagung-jagung ketika bangun dari tidurnya clan bercerita. Lalu, tiba-tiba, mati. Di IG Sastro, sahabat itu digambar tidak dikejar­ kejar dinosaurus. Justru menunggang dinosaurus, melindungi para terdakwa koruptor dari segala ancaman bila "bernyanyi" di pengadilan, mengungkap tuntas siapa saja yang tersangkut korupsi e-KTP dari kelas dinosaurus sampai kelas wader.

�20s�

J4'Art kelt.w- dari �en. adalah pOOt.4- t\'\ASW( yang kau luplU(tU\.

W

aiau selalu marah-marah, Sastro periang clan masih punya kepercayaan. Lelaki itu percaya bahwa yang bisa merinclu bulan bukan cuma pungguk. Pegawai negeri juga rinclu bulan, tepatnya awal bulan. ltulah bangsa manusia yang biasanya marah-marah pacla tanggal tua.

Selain clirinclukan pungguk clan aparat sipil negara, bulan juga bisa ngomong. lni juga termasuk kepercayaan Sastro. Semasih kecil pemucla asal Blitar itu clemen lagu pemusik Doel Sumbang, "Kalau Bulan Bisa Ngomong". Kalau bulan bisa ngomong Dia jujur tak akan bohong

Sambil mengejar layang-layang, Sastro menyanyikannya riang. Pas alam marah-marah clalam wujucl tanah longsor, banjir banclang, gempa bumi, clan lain-lain Sastro kecil pun masih clengan gembira menyanyikan tembang Doel clengan Nini Karlina itu.

"Jangan nyanyi itu, Sastro!" pinta panitia pembagian selimut clan nasi bungkus untuk orang-orang yang baru kebanjiran. "Suasananya nggak pas. Alam sedang marah­ marah ke penguasa.

Mbok

kamu

tuh

nyanyinya lagu-lagu

yang sedih." Lagu yang sedih? Walau masih kecil clan penggembira, Sastro sudah jadi laki-laki pemarah. Waktu itu, menurutnya, "Kalau Bulan Bisa Ngomong" sudah sedih. Sastro saja yang membawakannya dengan riang. 0, tidak! Panitia berpendapat lain. Mereka keukeuh

bahwa lagu itu sendiri, mau sedih kayak apa pun

cara Sastro menyanyikan, tetaplah lagu yang riang. Bagi panitia, lagu yang tetap sedih walau seheboh apa pun kita mendendangkannya adalah "Tanjung Perak" yang kerap dibawakan Waldjinah: Tanjung Perak tepi laut Siapa suka boleh ikut

"Sedihnya di mana!?" Sastro saat marahnya kian memuncak. "Lho, ya, sudah jelas to sedihnya 'Tanjung Perak' itu di mana," jawab panitia urusan banjir tersebut. "Kebebasan itu menyedihkan. Kita diberi kebebasan untuk ikut atau tidak ke Tanjung Perak. lni menyedihkan. Paling enak

tuh

diwajibkan. Kayak rencana kewajiban potong gaji untuk zakat melalui negara bagi pegawai negeri yang beragama Islam."

�20s�

''Ah, itu bukan kewajiban!!!" Kini Sastro yang ganti bersikukuh clan meradang. "Pegawai masih diberi kebebasan. Pegawai yang tidak setuju boleh keberatan!!!" "Hadeuuuh," balas panitia santai.

Ternyata tak cuma tnerpd"i..

yang kalau �p,u ke �

beb,u

akan kembali mudik ke 2&t\4. n_g4.tnAh: �n.ga.. Panitia menambahkan, "Memang aparatur sipil negara yang tak mau gajinya dipotong karena lebih suka bayar zakat secara langsung boleh mengajukan nota keberatan. Tapi kalau peraturan presidennya sudah keluar, mana ada di antara mereka yang berani keberatan membayar pajak melalui negara?" Hmmm .... Tak terjadi titik temu antara panitia clan Sastro. Sama saja tak terjadi kesepahaman apakah lagu "Buku lni Alm Pinjam" dari Iwan Pals masuk kategori lagu sedih apa lagu riang. Sampai Sastro meningkat dewasa, sampai ia meningkat berahi pada perawan cantik bernamaJendrowati, perdebatan itu pun belum kelar. Pada suatu Rabu malam, Sastro meminjam buku ke Jendro. Bukan untuk ditulis-tulisi puisi seperti dalam lirik "Buku lni Aku Pinjam". Sastro berlagak demikian cuma

�206�

agar punya alasan untuk nge-date ke rumah Jendro, supaya ada alasan untuk mbribik-mbribik. Malam Minggu buku itu dikembalikan Sastro tanpa membaca isinya, sambil marah-marah ke Jendro bukan saja gegara teleponnya tak pernah diladeni, melainkan karena Jendro mendukung calon pilkada yang Sastro kurang sreg. Sastro tak sempat membaca isi buku yang ngomong: "Jangan habiskan tenagamu untuk marah pada keadaan. lngat, orang yang kamu sayangi juga masih butuh energimu. Percayalah bahwa warga negara tak cuma kita. Alam juga. Jangan hina alam, seolah alam nantinya tak bisa marah sampai-sampai kamu sendiri yang menghabiskan seluruh energimu untuk itu."

�201�

Yang rne�el
�AJ� sebelum 9elltf rel="nofollow">.

(b ukan adatnya Bu Guru Sastro bawel begini. Jendro 'flabsen bukan tanpa alasan. Siswa pelajaran Sejarah-nya itu sakit. Pakai surat dokter segala. Masih juga Bu Sastro menuntut lebih. Harns ada keterangan pembanding dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Bu Sastro perlu pengukuhan dari IDI bahwa Jendro tak pura-pura sakit. "Saya lihat kemarin sore Jendro masih main pingpong kok," alasan Bu Sastro. Jendro malah lebih dari sekadar sehat. Bu Sastro ingat betul, Jendro main pingpongnya masih sambil nyanyi­ nyanyi. "September Ceria"-nya Vina Panduwinata. Sukar baginya percaya kalau hari ini Jendro tetiba memakai alasan sakit keras demi membolos mata pelajaran Sejarah. Pacar Jendro bersaksi, petang sehabis main pingpong clan nyanyi "September Ceria" kekasihnya tak langsung istirahat. Ia larut dalam obrolan ngalor-ngidul dengan

senior-seniornya sekontrakan sampai pagi. Di kontrakan minim ventilasi itu Jendro mengakui kebhinnekaan Nusantara adalah karunia Tuhan yang tiada tara. Bagi Vina, September membawa keceriaan. Bagi politisi, September berarti lain lagi. Inilah kebhinnekaan yang nyata. Brukkkk ...!!!! Jendro tumbang seketika. Para seniornya, mahasiswa/ mahasiswi clan karyawan di kontrakan itu, menggotong Jendro ke puskesmas terdekat. Mungkin gegara kebanyakan asap rokok yang berkemelut di kontrakan nyaris tanpa jendela itu. ''Apa di situ hadir D.N. Aidit?" tanya Bu Sastro. Pacar Jendro peka. Bu Guru pasti sedang bermaksud menyentil. Mana mungkin PKI hidup lagi, eh, Aidit hidup lagi. D.N. Aidit menurut sebuah film tentang PKI adalah tokoh yang tak bisa lepas dari rokok. Pantas kalau ruangan mengobrol di kontrakan sederhana itu penuh asap rokok. Namun, menurut banyak info mutakhir yang dia himpun, D.N. Aidit sejatinya tak merokok. Oleh karena itu, pacar Jendro tidak tertawa menanggapi sentilan Bu Guru. Sebagian siswa saja yang senyum-senyum. Sisanya tak berekspresi apa-apa karena belum menonton film tersebut. Seorang siswi nimbrung perbincangan Bu Sastro clan pacar Jendro. "Bu Guru, kenapa sih, setiap tahun hams ada bulan September-nya? Kecurigaan kita kepada Jendro terjadi pada bulan September. Kalau tidak ada September, saya tidak akan Iuka gegara putus dengan tunangan saya."

�210�

Siapa tak pemah f.t.tka.? Tukang jam bisa terluka oleh

jarUM. j� �· Bukan terluka oleh �Ald1.t-, tapi � oleh cinta, masih yang paling indah di antara segala jenis Iuka.

Guru Sejarah bilang, tidak mudah menghilangkan September termasuk dengan segala lukanya. Julius Caesar yang penuh kekuasaan saja tak sanggup menghilangkan September dalam kalender Romawi. Sepulang dari Mesir clan bertemu ahli-ahli astronomi di negeri piramida itu, beliau cuma menambahkan bulan. Kalender Romawi yang semula per tahun cuma terdiri atas 10 bulan, menjadi 12 bulan. Namun, September tetap tak diutik-utik apalagi dilenyapkan. "Hmmm ... Ibu yakin sejarah kalender itu sudah lurus?" "Maksudmu lurus itu bagaimana?" Siswi itu gelagapan. "Hmmm ... kalau ada tokoh tak merokok, di filmnya jangan dibikin merokok .... Sejarah yang benar." "Ya, sejarah mau tidak mau memang tergantung versi, ya. Jangankan sejarah masa lalu, kopi di depanmu detik ini pun masih tergantung pada versimu sendiri. Misalnya, dari sisi mana kopi itu kamu lihat. Dari samping kiri, kanan, depan ...."

�211�

Pacar Jendro membatin harusnya pacarnya masuk kelas ketika Bu Guru ngasih penjelasan yang menarik ini. Bu Guru semangat melanjutkan, "Kopi yang sama, manisnya beda-beda bila kau seruput saat mendengar pacarmu sakit atau pura-pura sakit. Bahkan, rasa kopimu detik ini pun berversi-versi. Apalagi sejarah masa lalu. Kopi yang sama, pahitnya beda-beda bila kau seruput saat nobar Pak Setya Novanto dulu menang pra-peradilan atau nobar film tentang PKL"

Cinta pun berversi..-versi..

lngin melihat safu. versi cinta saja,

sama dengan ingin melihat tnileniat pada zaman Jul.i.u,s &.esar.

�212�

J

endrowati nggak percaya ada hantu. Namun, sama hantu dia takutnya bukan kepalang. Pernah dalam kelas Matematika, ia sontak ketakutan tanpa tahu sebabnya. Apa coba namanya kalau bukan gegara hantu? Segera pamitlah ia ke Pak Dosen. Pulang. Enaaaaaakeeeeee ....

Pak Dosen memahami kepamitan Jendro yang terasa gaib. Maklum istrinya juga sering aing-aing model begitu. Nyonya dosen bisa seketika senang tanpa tahu asal-usulnya, ujug-ujug sedih tanpa tahu sumbernya, bahkan pernah pula mendadak minta cerai tanpa tahu akar masalahnya.

Kekasih, bila pernikahan hanya �r.ut-�r.ut abadi, kita �e�a. tak akan nyata.

Kita akan menjadi kM.gt.tl.rut terbaik. Bila telah terl
Pak Dasen sebersit pun tak punya syak wasangka ketika Jendrowati gemetaran pamit dengan keringat sejagung­ jagung di keningnya clan matanya tampak berat seperti perempuan dengan bulu mata palsu. Misal ia punya kecurigaan begini, "O, tidak. Jendro, kamu sebenarnya tidak takut hantu penunggu ruang kelas ini, arwah dosen Matematika yang wafat gantung diri di dekat papan tulis ini gegara istrinya pada pukul 1 malam tiba-tiba anti-Matematika, kan? Kamu hanya takut kepada matkul Matematika tentang beda statistik asli clan statistik palsu yang Bapak ajarkan kan, Jendro?" Tak ada kecurigaan itu. Yang main curiga-curigaan clan resek malah teman Jendro. ''Ah, sudahlah jangan neko-neko kamu, Jen. Tak percaya hantu ada, kok, takut hantu!" Teman itu nggak habis pikir. "Mana ada orang takut sesuatu yang sendirinya tak percaya itu ada? Kita takut mati karena percaya bahwa kematian itu bukan hoaks!" Jendro entah cerdas entah ngeles menjawab karibnya secara kebalikan, "Orang-orang yang percaya bahwa setiap orang pasti ada jodohnya tetap takut juga nggak dapat jodoh. Haya? Jadi, percaya atau tidak pada adanya sesuatu, orang kayak aku ini boleh saja takut pada sesuatu itu." Puncak resek sang karib terjadi ketika malam Jumat Kliwon. Ketika itu, ia menginap di rumah Jendro. Ia menyaksikan sendiri bagaimana Jendro tak mau dijemput nonton film oleh pacarnya, Sastro.

�2111-�

"Kamu takut yang menjemput kamu itu bukan Sastro asli tapi hantu, Jen?" Karibnya tak habis pikir setelah Jendro mengusir Sastro yang datang pakai motor RX King kuno. "Wong

jelas-jelas bunyi knalpotnya cring-cring-cring khas RX King. Bunyinya nggak palsu. ltu jelas bukan bunyi cring­ cring-cring lampor kok ...." Nggak enak karena akan ninggalin karibnya? Si karib yang takut hantu itu sudah bilang agar Jendro tak usah mengkhawatirkan dirinya. Begitu Jendro pergi dengan Sastro, karibnya toh bilang akan tidur sekamar dengan ibunya Jendro. "Jen, aku yang percaya ada hantu saja, yakin Sastro yang tadi itu bukan Sastro hantu. Kok, kamu yang tidak percaya hantu malah nyangka dia hantu?" "Ya, aku tak percaya bahwa hantu ada," sahut Jendro. "Tapi Sastro yang tadi itu membuat aku takut sekali. Bulu kuduk clan bulu romaku berdiri. Aku merinding. Aku tak melihat itu Sastro yang asli."

Pada mfin.g4, dunia ini terdiri atas k.eASl.wt dan k.ep4L�UAJt, tapi aku tak begitu gA.kin. bahwa keaslian

i:tu. 4lAA., Kekasih.

Kini, tepat Hari Paskah, karib Jendro meraba-raba clan sampai pada kesimpulan yang entah asli atau palsu: tadi Jendro tak merasa itu Sastro asli. Tidak saja datangnya yang

�215�

pakai motor biasanya, terasa lain dari biasanya, tapi cara ngomong, tatapan mata, dan lain-lain, Sastro juga terasa lain dari biasanya walau pun tampak seperti biasanya. Setiap yang tak asli itu bagai hantu bagi Jendro. Mengerikan!

�216�

"Cf

elinga. Mata. Pentingan mana?" Pantai Watu Dodol Banyuwangi masih jauh. ltu

ditanyakan Sastro sembari nyetir mobil di hutan karet Purwoharjo. Jawabannya gampang-gampang susah. Menurut Jendro, lengkapnya Jendrowati, walau nadanya bercanda, pertanyaan Sastro serius banget. Okelah pentingan kuping. Namun, itu kan, cuma bagi pemilik burung kicau-kicauan. Taruhlah murai clan kacer. Para pemilik burung merak? Coba, buat apa merak memekrokkan bulu-bulunya yang sedap

dipandang

kalau tak ada mata manusia? Ada merak merah.

Merak putih. Merah hijau

... , Jendro masih meneruskan

perang batinnya, Ah, tapi ikan-ikan dasar laut yang gelap gulita, kok, warna-warni seperti merak? Keadaan toh gelap total. Untuk mata siapa mereka berhias?

T� bisa dilawan tapi tAk �epflnj� h.Agtd, Kekasih. Maka lhAh-up mesti �U.S tiap menjelang ti
Suntuk berpikir. Ngantuk. Jendro ketiduran di jok depan samping Sastro. Kadang kepalanya terkulai ke kanan, ke pundak sang kekasih, bila mobil menikung ke kiri dalam perjalanan ke pantai itu. Jendela kaca dibuka sebagian. Angin lereng pegunungan terasa segar. Tidurnya tambah pulas. "Hmmm ...," gumam Sastro sendirian. "Barisan pohon karet semuanya kompak doyong ke kanan. Mereka mengejar matahari pagi. lni juga indah hanya bagi yang punya mata."

tv\d-4.hAri pasti akan terus menyinari p&h.&n.­

p&h.&n. asalkan mereka terus berUStUtA. k.eras untuk �i kalau tak disinari, Kekasih.

Diliriknya Jendro semakin

angler

tidur di sampingnya.

Sembari membanting setirnya ke kiri clan Jendro kembali terkulai ke pundak Sastro di kanannya, Sastro teringat sahabatnya penggemar murai. Enam bulan lalu, saat kontes burung, sohibnya membeli seekor murai Rp5 juta. lni hampir semahal cucakrawa yang suaranya sudah jadi. Murai itu sama sekali tak berkicau. Karibnya cuma menggunakan penglihatan clan matanya jeli. Dari

prejengan

si burung, lengkung ekornya yang

panjang clan lentik, serta warna dadanya yang merah bata kekuningan, ia meramalkan murai itu kelak akan Ramalannya tak meleset!

�218�

nggacor.

Berarti, pikir Sastro, Mata juga penting buat penggemar murai. Setelah pembelian, baru telinga berperan penting.

Telinga pemiliknyalah yang menyeleksi rekaman-rekaman audio murai untuk diperdengarkan setiap hari. Dari rangsangan berbagai kicauan rekaman yang diseleksi itu, yang diputar tiap hari, akan terbentuk ciri khas ocehan murai peliharaannya. Ada sedikit geronjalan aspal. Jendro terbangun. Kesempatan itu dimanfaatkan Sastro untuk bertanya lagi, "Jadi, mana yang lebih penting?" "Telinga!" Jendro spontan menjawab sambil menguap. Spontanitasnya terdorong oleh mimpi barusan. Dalam mimpinya, Jendro melihat resepsi mantu orang besar yang sederhana, tapi mendengar bahwa itu mewah. Ia melihat bahwa penetapan tersangka kali kedua bagi koruptor kakap itu akan membuatnya lolos lagi, tapi mendengar bahwa sesungguhnya tak akan lolos lagi. Semua mimpinya bertentangan. "Jadi, yakin pentingan telinga?" pancing Sastro. "Yakin. Lagian, yang tahu lebih dulu kalau pintu mobil nutupnya kurang rapat, kan, juga telinga. Bukan mata." Sastro tak memancing lagi. Ia nge-gas kuat-kuat mengejar mobil yang baru saja menyalipnya secara ugal­ ugalan. Tangan Jendro berpegangan kuat-kuat ke tepian jok. Wajahnya meringis. Diiinnn .... Diiinnn .... Dinnn !!!

�219�

Sastro main klakson setelah dapat menjajari mobil yang dikejarnya. Pengemudi mobil itu serta-merta membuka kaca jendelanya dengan wajah garang. Jari tengahnya menunjukkan tanda makian kepada Sastro. Sastro pun membuka kaca jendela di samping Jendro. Ia tak terpancing makian pengemudi itu. Sastro berteriak-teriak sambil tangannya membuat tanda bahwa pintu depan mobil itu kurang rapat. Si pengemudi baru ngeh. Senyum-senyum clan berteriak-teriak minta maaf. "Yang tahu lebih dulu pintu mobil itu kurang rapat adalah mataku," jelas Sastro ke Jendro, "Bahkan, sampai sekarang telingaku tidak tahu bahwa pintu mobil itu kurang rapat." Di luar hujan. Bunyi hujan menerpa daun-daun bagai suara genderang.

t-lujM.. itu air dan suaranya, Kekasih. Sejak kau �...J,isu., hujan turun ta.k berSWA.r4.. Tahu-tahu pi.f rel="nofollow">il<JA. sudah ikutan b,uolt.

�220�

CUMi � -
��

.{!ah ... � hMi!t, � � ��---·

rak-bukudigital.blogspot.com

B
('

j TERSEDIA DI TOKO BUKU, MIZANSTORE, D S RE E [______________ AN GOOGL PLAY TO ____________ ___) Sudah berapa lama kau terjebak dengan beragam kesibukan yang tak habis-habis itu? Berhentilah berbusa­ busa tentang kemerdekaan bila ternyata kau sendiri tak punya waktu luang. Padahal, hanya di dalam waktu luang manusia bisa berpikir dan merenung tentang bagaimana seyogianya mengisi kemerdekaan hidup.

:· TERS IA DI TOKO BUKU, MIZA TORE, ,] NS ED O A TORE D N G OGLE PLAYS ..............J

!. . . . . . .

Bagi Sabdo Palon dan Budak Angon, dua makhluk spiritual dari Majapahit dan Pajajaran yang selalu mengikuti Mbok Jamu dalam senyap, Mbok Jamu bukanlah perempuan biasa. Dirinya pastilah putri raja yang menitis ke raga rakyat biasa. Meski terlihat tak berkuasa, ia mampu menjadi penentu kemenangan dalam kompetisi pilpres tahun kapan pun.

Related Documents


More Documents from "Rahmani Amalia"

January 2021 0
March 2021 0
Struktur Bangunan
March 2021 0