Tasawuf Di Kalangan Intelktual Muhammadiyah Kota Semarang

  • Uploaded by: danyismail
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tasawuf Di Kalangan Intelktual Muhammadiyah Kota Semarang as PDF for free.

More details

  • Words: 54,251
  • Pages: 229
Loading documents preview...
TASAWUF DI KALANGAN INTELEKTUAL MUHAMMADIYAH KOTA SEMARANG

TESIS

Diajukan sebagai Persyaratan untuk Memperoleh Gelar Magister dalam Ilmu Agama Islam

Oleh: A. SYA’RONI TISNOWIJAYA NIM : 5202069

PROGRAM PASCASARJANA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) WALISONGO SEMARANG 2008

DR. H. ABDUL MUHAYYA, MA. Gedung Dekanat Fakultas Ushuluddin Jl. Prof. Dr. HAMKA, Kampus II IAIN Walisongo Semarang 50189, Telp. 024-7625443 & 08122804394 ---------------------------------------------------------

NOTA PEMBIMBING

Dengan ini saya menerangkan bahwa Tesis Saudara: H. AHMAD SYA’RONI, NIM: 5202069, Konsentrasi Etika

Islam/Tasawuf,

berjudul

“TASAWUF

DI

KALANGAN INTELEKTUAL MUHAMMADIYAH KOTA SEMARANG,” telah memenuhi syarat untuk diujikan sebagai tesis pada Program Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang, tahun akademik 2008/ 2009.

Semarang, 21 Juli 2008 Pembimbing

DR. H. ABDUL MUHAYYA, MA. NIP. 150245380

2

DEKLARASI

DENGAN

PENUH

KEJUJURAN

DAN

TANGGUNG

JAWAB,

PENULIS

MENYATAKAN BAHWA TESIS INI TIDAK BERISI MATERI YANG TELAH DAN ATAU PERNAH DITULIS DAN DITERBITKAN ORANG LAIN KECUALI INFORMASI YANG TERDAPAT DALAM REFERENSI YANG DIJADIKAN BAHAN RUJUKAN.

Semarang, 20 Juli 2008 Penulis,

H. ACHMAD SYA’RONI NIM : 5202069

3

ABSTRAKS

Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah bagaimanakah persepsi dan implementasi intelektual Muhammadiyah Kota Semarang terhadap ajaran tasawuf. Tujuan umum yang akan dicapai adalah untuk mengungkap, mengetahui dan mendeskripsikan persepsi intelektual Muhammadiyah Kota Semarang terhadap tasawuf, serta mengungkapkan implementasi dari persepsi tersebut. Jenis penelitian ini adalah kualitatip dengan mengunakan pendekatan naturalistik. Muhammadiyah secara formal memang menolak tasawuf, karena tasawuf, menurut Muhammadiyah, seringkali diselewengkan menjadi tarekat dengan praktik-praktik ritual yang sangat ketat. Di Muhammadiyah tidak ada tawash-shulan, yasinan, tahlilan atau manaqiban seperti yang dipunyai NU, tetapi bukan berarti bahwa amalan-amalan tasawuf dan dzikir tidak dilakukan warga Muhammadiyyah. Amalan-amalan tasawuf dapat diterima oleh mereka sepanjang menjadi praktik individual, dengan tujuan untuk meningkatkan akhlaq terpuji. Muhammadiyah juga sangat menganjurkan para anggotanya untuk memperbanyak shalat sunnat, dzikir dan wirid, serta mengedepankan sikap ikhlas dalam beraktivitas. Sampai saat ini sikap hidup yang demikian masih terus dijalankan oleh tokoh dan warga Muhammadiyah. Hasil penelusuran terhadap landasan dasar Muhammadiyah tidak dijumpai adanya konsep

tasawuf secara formal seperti yang umum dilakukan dikalangan NU, yang ada hanyalah tasawuf substantive atau nilai-nilai tasawuf yang sesuai dengan ajaran dasar al Qur’an san Sunnah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum terdapat tiga sikap dikalangan intelektual Muhammadiyah terkait dengan eksistensi tasawuf yaitu menolak secara total, terbuka terhadap keberadaan tasawuf dan sikap yag terakhir adalah akoodatif. Pertama, kelompok yang menolak secara total. Kelompok ini beranggapan bahwa beribadah adalah suatu konsep yang sudah paten dan tidak boleh direkayasa dan mengada-ada. Apabila kedua hal ini yang dilakukan maka beribahah akan menjadi kacau. Dalam perspektif Muhammadiyah, landasan utama yang mendasari setiap ibadah manusia adalah Qur’an dan Sunnah, sehingga apabila di dalam Qur’an dan Sunnah tidak ada konsep tertentu tentang suatu ibadah, tasawuf misalnya, secara otomatis maka hal tersebut tidak boleh dilakukan. Kedua, bersikap terbuka terhadap tasawuf. Kelompok ini beranggapan bahwa di Muhammadiyah, konsep tasawuf secara formal tidak dikenal, yang ada hanyalah dzikir. Dzikir ada dalam Muhammadiyah bukan dipahami sebagai salah satu elemen dari tasawuf melainkan memang dzikir diajarkan dalam Islam. Dzikir dalam Muhammadiyah adalah konsep dzikir yang diajarkan oleh Rosulullah. Ketiga, akomodatif terhadap tasawuf. Kelompok ini beranggapan tasawuf tidak sering ditemui di dalam Muhammadiyah. Konsep yang digunakan oleh Muhammadiyah untuk terminology spiritualitas ini lebih sering disebut dengan istilah “akal dan hati suci” sebagaimana yang diungkapkan oleh Munir Mulkhan atau “irfan” dalam istilah Amin Abdullah. Tasawuf dalam Muhammadiyah menurut kelompok ketiga ini adalah “Spiritualitas yang Syariahistik”.

4

KATA PENGANTAR

Selama ini para peminat kajian tasawuf cukup kesulitan memberikan batasan definitif tentang makna tasawuf itu sendiri. Oleh karenanya, tidak heran bila dari diskursus tasawuf lahirlah mazhab intepretasi yang beragam. Secara garis besar minimal ada dua pendekatan yang dilakukan dalam membincangkan tasawuf. Pendekatan pertama adalah pendekatan yang purifikatif sehingga melahirkan kecendrungan ahistoris. Tasawuf dalam mazhab ini dianggap hanyalah sumber malapetaka yang bisa menjerumuskan umat Islam ke dalam fase kegelapan. Pendekatan kedua adalah pendekatan dengan menggunakan logika akomodatif. Tanpa usaha filterisasi yang dalam, mazhab kedua ini cenderung menerima apa saja yang datang dari tasawuf. Oleh sebab itu, yang pertama terkesan rigid dan kering spiritual, yang kedua ini cenderung gampang tersusupi oleh faham-faham yang tidak jelas landasan teologisnya. Tidak bisa dipungkiri bahwa selama ini selalu ada kesan negatif dalam ranah tasawuf. Contohnya adalah ajaran mengenai kesalehan individual yang lebih mementingkan dimensi ketuhanan ketimbang care pada aspek kemanusiaan dan kemasyarakatan. Dengan karakter yang demikian, tasawuf kemudian menjadi cenderung, meminjam bahasa Hasan Hanafi, teosentris. Seolah-olah hidup di dunia hanya untuk kepentingan Tuhan saja. Akibatnya adalah dimensi hablu min al-nâs menjadi banyak terabaikan. Contoh lain dari kesan negatif pada tasawuf adalah ajaran non-egaliter dan irasional. Sebagaimana banyak disebutkan dalam literatur-literatur tasawuf bahwa seorang murid ketika berhadapan dengan syaikh bagaikan seorang mayit

5

yang terbujur kaku di depan orang yang memandikannya. Ini tentu bertentangan dengan semangat tauhid Islam yang menekankan kesetaraan antar sesama. Di sisi lain, diperlukan pengakuan jujur bahwa tasawuf telah melahirkan banyak hal positif. Dari tasawuf inilah lahir konsep sistematis tentang zuhud, sabar, ikhlas, qanâ’ah dan urusan akhlak lainnya. Disamping itu apabila tasawuf digunakan sesuai dengan porsinya dan bisa diharmonisasikan secara tepat dengan tarekat, maka dari tasawuf ini akan lahir kekuatan revolusi melawan despotisme, imperialisme dan diktatorisme seperti yang dilakukan gerakan Sanusiyah di Libiya. Jadi intinya tasawuf memang tidak hanya memilih sisi negatif saja. Ia, sama seperti entitas lain, juga memiliki sisi positif. Sebagai akhir, penulis perlu mengucapkan terima kasih kepada beberapa pihak yang telah membantu dalam proses penelitian ini yang diantaranya adalah: 1. PROF. DR. H. ABDUL DJAMIL, MA, Rektor Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang, 2. PROF. DR. AHMAD GUNARYO. M.Soc.Sc, Direktur Program Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang, dan PROF. DR. SUPARMAN SYUKUR, MA, Selaku Asdir I Program Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang dan PROF. DR. ISMAWATI. M.Ag, selaku Asdir II Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang 3. DR. H. ABDUL MUHAYA, MA, sebagai pembimbing yang telah mencurahkan waktu, pikiran, tenaga dan kesabaran selama membimbing dan mengarahkan penulis dalam penulisan Tesis ini.

6

4. Seluruh Civitas Akademika Pascasarjana IAIN Walisongo Semarang yang tidak penulis sebutkan satu-persatu yang telah memberikan layanan yang diperlukan dalam proses penyelesaian tesis ini. 5. Seluruh Civitas Akademika Institut Agama Islam NU (Inisnu) Jepara terkhusus simbah KH. A. SAHAL MAHFUDZ, selaku Rektor. 6. Seluruh sahabat karibku yang telah memberikan dorongan dan motivasi sehingga Tesis ini dapat diselesaikan sebagaimana diharapkan. Akhirnya, penulis berharap semoga penulisan tesis ini bermanfaat kepada para pembaca dan memberikan sedikit pencerahan.. Amin.

Semarang, 10 Juli 2008 Penulis,

H. ACHMAD SYA’RONI NIM: 5202069

7

TRANSLITERASI

Tesis ini ditulis dengan menggunakan pedoman transliterasi sebagai berikut:

‫ا‬

=

`

‫ز‬

=

z

‫ق‬

=

q

‫ب‬

=

b

‫س‬

=

s

‫ك‬

=

k

‫ت‬

=

t

‫ش‬

=

sy

‫ل‬

=

l

‫ث‬

=

ts

‫ص‬

= sh

‫م‬

=

m

‫ج‬

=

j

‫ض‬

= dl

‫ن‬

=

n

‫ح‬

=

h

‫ط‬

= th

‫و‬

=

w

‫خ‬

=

kh

‫ظ‬

= zh

‫ﻩ‬

=

h

‫د‬

=

d

‫ع‬

=

‫ي‬

=

y

‫ذ‬

=

dz

‫غ‬

= gh

‫ر‬

=

r

‫ف‬

=



‫ة‬

=

at/ah

f

8

MOTTO:

"Ya Tuhanku berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai; dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang saleh." (QS. AnNaml : 19)

9

PERSEMBAHAN

Tesis ini saya persembahkan kepada: 1. Istri (Hj. ANI ROHANI), Anak-anakku (SHOFAUSSAMAWATI, S.Ag. M.SI dan keluarga, SUSI AMALIA, S.Ag dan keluarga serta M. NASRUL HAQQI), cucu-cucuku (M. AZKA AZKIA, M. AHDA MANIHTADA, NAJWA IMANIA dan M. AUVA BIAHDIH), terima kasih atas semangat, doa dan motivasinya sehingga tesis ini dapat terselesaikan. 2. Civitas Akademika Institut Agama Islam NU (INISNU) Jepara, terima kasih atas kepercayaan dan kerjasamanya selama ini. 3. Peminat kajian tasawuf semuanya, semoga penelitian ini dapat memberikan setitik pencerahan.

10

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

i

HALAMAN NOTA PEMBIMBING

ii

HALAMAN PENGESAHAN

iii

HALAMAN DEKLARASI

iv

HALAMAN ABSTRAKSI

v

HALAMAN KATA PENGANTAR

vi

HALAMAN TRANSLITERASI

ix

HALAMAN MOTTO

x

HALAMAN PERSEMBAHAN

xi

DAFTAR ISI

xii

BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

1

B. Perumusan Masalah

8

C. Tujuan Penelitian

8

D. Kajian Pustaka

8

E. Metode Penelitian

15

F. Sistematika Penulisan

19

BAB II : DESKRIPSI TENTANG BERBAGAI PEMAHAMAN YANG TERKAIT DENGAN TASAWUF, MAQOMAT DAN THAREKAT A. Deskripsi Tentang Tasawuf

23

B. Deskripsi Tentang Kemunculan Tasawuf

34

C. Maqomat: Perjalanan Menuju Hakekat

37

11

D. Tharekat: Berbagai Jalan Menuju Tuhan

48

E. Rekonstruksi Terhadap Tasawuf

67

BAB III : TASAWUF DALAM PERSPEKTIP MUHAMMADIYAH: SEBUAH PENELUSURAN AWAL A. Historisitas Muhammadiyah

74

B. Identitas Dasar Muhammadiyah

79

C. Misi Muhammadiyah

83

D. Penelusuran Landasan Dasar Muhammadiyah 1. Substansi Muqodimah Anggaran Dasar

87

2. Substansi Kepribadian Muhammadiyah

88

3. Substansi MKCHM

90

4. Substansi Hakekat Muhammadiyah

92

5. Substansi Khittah Perjuangan Muhammadiyah

95

6. Substansi Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah

100

E. Deskripsi Tentang Zhawãhir al-Afkãr al-Muhammadiyyah

103

F. Melacak Tasawuf dalam Akar idiologi Muhammadiyah

113

G. “Tasawuf” Muhammadiyah: Sebuah Hasil penelusuran

120

BAB IV : TASAWUF DALAM PERSPEKTIP INTELEKTUAL MUHAMMADIYAH KOTA SEMARANG A. Deskripsi Historis-geografis kota Semarang

127

B. Deskripsi Tentang Tasawuf Dalam Perspektip Intelektual Muhammadiyah Kota Semarang

132

1. Menolak Secara Total Eksistensi Tasawuf

134

2. Bersikap terbuka Terhadap Tasawuf

149

3. Akomodatif terhadap Tasawuf

160

C. Spiritualitas Syariahistic: Formulasi Tasawuf Muhammadiyah

188

1. Urban Sufisme

188

2. Neo Sufisme

191

3. Tasawuf Positif

194

12

4. Tasawuf Modern Hamka

197

D. Analisis terhadap Tasawuf Dalam Perspektip Intelektual Muhammadiyah Kota Semarang

199

1. Tasawuf itu Bid’ah?

200

2. Penggolongan Tasawuf dalam Kategori-Kategori

208

3. Muhammadiyah Menolak Tasawuf?

211

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan

216

B. Saran

219

C. Penutup

219

13

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Realitas kehidupan manusia akhir-akhir ini apabila dicermati telah mengalami kejenuhan-kejenuhan yang pada tingkat tertentu mengakibatkan manusia mengambil tindakan yang oleh rasionalitas dianggap sangat mustahil. Ini terefleksi setidaknya dengan memperhatikan peristiwa bunuh diri massal atas nama agama1 serta fenomena kekerasan yang menjadi kecenderungan akhir-akhir ini2. Dari kedua hal itu, bisa dipahami bahwa kehidupan kemanusiaan mengalami sebuah tantangan besar untuk mempertahankan eksistensinya. Tantangan tersebut bukanlah merupakan suatu ancaman, tetapi realitas yang harus disikapi dan dihadapi. Apabila diformulasikan tantangan kemanusiaan tersebut mengarah pada dua hal yaitu krisis modernitas dan krisis pemahaman agama. Krisis modernitas oleh Nasir (1997: 3) dimaknai sebagai mewabahnya anomi bagi kehidupan bermasyarakat. Anomi adalah suatu keadaaan di mana setiap individu kehilangan ikatan yang memberikan perasaan aman dan kemantapan dengan

1 Fenomena Falun Gong merupakan salah satu contoh proses irrasionalitas ini. Falun Gong adalah organisasi keagamaan yang lebih dimonopoli ajaran meditasi yang mengabungkan ajaran Budhis dan Taois, di Cina pada tahun 1996 dan dipimpin oleh Li Hongzhi. Menurut Azra (1999: 75-78), Falun Gong merupakan fenomena baru dalam beragama yang menitik beratkan pada aspek kultus. Organisasi semacam ini diantaranya adalah The Moorish Science Temple di Amerika Serikat, serta The International Society for Khrisna Consciousness, The Children of God, The People’s Temple (Jim Jones), dan The Unification of Church (The Moonies) yang kesemuanya oleh beberapa kalangan disebut sebagai New Religions. 2

Kekerasan sebagai sebuah tren bisa dirujuk dalam peristiwa-peristiwa seperti rentetan kerusuhan dan kekerasan di Sampit, Ambon, Aceh, Maluku, serta banyak tempat lainnya di Indonesia maupun dunia diantaranya peruntuhan WTC dan pembantaian atas mana agama di Israel serta Bosnia yang kesemuanya menggunakan kekerasan sebagai piranti utama untuk aksi mereka.

14

manusia yang lain, sehingga menyebabkan kehilangan pengertian yang memberikan petunjuk tentang tujuan dan arti kehidupan di dunia ini. Proses ini dalam perjalanannya akan mengarah pada rusaknya norma serta kaidah kamasyarakatan yang menjadi acuan umum dalam kehidupan. Haidar Nasir memberikan deskripsi menarik tentang hal ini dengan mengatakan:

Daniel Bell telah lama menyurakkan kegelisahan dan penyesalan atas modernisasi yang telah mencerabut dan melenyapkan nilai-nilai luhur kehidupan tradisional yang digantikan oleh nilai-nilai kemodernan masyarakat borjuis-perkotaan yang penuh keserakahan dan seribu nafsu untuk menguasai bagaimana sebagaimana watak masyarakat modern kapitalis. Para sosiolog melihat gejala krisis manusia modern itu dalam skala kehidupan masyarakat yaitu mengambarkan kemunduran sebagai lawan dari kemajuan, sebagai kenyataan sosial yang tidak terbantah. Terdapat kerusakan dalam jalinan struktur perilaku manusia dalam kehidupan masyarakat, pertama-tama berlangsung pada level pribadi yang berkaitan dengan motif, persepsi, dan respon, termasuk didalamnya konflik status dan peran. Kedua, berkenaan dengan norma yang berkaitan dengan rusaknya kaidah-kaidah yang harus menjadi patokan kehidupan prilaku yang oleh Durkheim disebut dengan kehidupan tanpa acuhan norma. Pada level kebudayaan, krisis itu berkenaan dengan pergeseran nilai dan pengetahuan masyarakat yang oleh Ogburn disebut gejala kesenjangan kebudayaan, atau cultural lag. Bahwa nilai-nilai dan pengetahuan yang bersifat material tumbuh pesat jauh melampaui hal-hal yang bersifat spiritual, sehingga masyarakat kehilangan keseimbangan. Tidak berlebihan, jika Ali Syariati secara tegas melukiskan fenomena penyakit manusia modern sebagai malapetaka modern yang menyebabkan kemerosotan dan kehancuran manusia (Nasir, 1997: 3). Selain anomi, yang merupakan salah satu dari indikasi krisis modernitas, hal lain yang sangat menonjol dalam realitas adalah munculnya berbagai penyakit keterasingan, yang menurut Heradi Nurhadi (1997: 6) mewujud dalam beberapa penyakit keterasingan yang terdiri dari keterasingan ekologis, etologis, masyarakat dan kesadaran.

15

Keterasingan ekologis. Dalam keterasingan ini manusia secara mudah merusak alam dan kekayaan yang terkandung di bumi ini dengan penuh kerakusan tanpa peduli kelangsungan hidup di masa depan bagi semua orang. Keterasingan etologis, dimaknai sebagai sebuah gejala dimana manusia mengingkari hakekat dirinya hanya karena perebutan materi dan mobilitas kehidupan. Keterasingan masyarakat, dalam posisi ini ditandai dengan munculnya keretakan dan kerusakan dalam hubungan antar manusia dan antar kelompok, sehingga lahir disintegrasi sosial. Keterasingan kesadaran, yang ditandai oleh hilangnya keseimbangan kemanusiaan, karena meletakkan akal pikiran sebagai satu satunya penentu kehidupan yang menafikan rasa dan akal budi (Nurhadi, 1997: 6). Dari berbagai sikap keterasingan inilah manusia modern seringkali melakukan perbuatan-perbuatan yang sering dianggap irasional dan bahkan bertentangan dengan norma dan kaidah yang berlaku umum di masyarakat yang oleh Kuntjaraningrat (1997: 9) diasumsikan sebagai mentalitas menerabas3. Haidar Nasir dalam telaahnya tentang kehidupan modern mengatakan bahwa : Apa yang patut dibanggakan dalam kehidupan modern saat ini jika manusia saling memangsa sesama dengan penuh kesadaran, sehingga hidup nyaris tanpa pencerahan dan kehormatan. Kehormatan apa saja yang diraih dalam kehidupan yang disebut modern apabila manusia modern itu sendiri saling menjatuhkan diri pada budaya materi, rasio dan teknologi yang mematikan manusia. Humanisme apa lagi yang masih kokoh dijadikan sandaran manusia modern manakala pada saat yang sama krisis demi krisis kemanusiaan tumbuh dengan mekar dan menjadi panorama keseharian di setiap sudut kehidupan, sehingga manusia modern menjadi tidaj berharga 3 Menurut Koentjaraningrat (1997: 21) mentalitas menerabas adalah suatu mentalitas yang bernafsu untuk mencapai tujuan dengan secepat-cepatnya tanpa banyak kerelaan berusaha dari permulaan secara bertahap. Mentalitas ini merupakan jenis penyakit atau kerusakan mental sebagai kelanjutan atau akibat dari alam pikiran dan sikap mental yang meremehkan mutu dan kualitas dalam hidup. Mentalitas menerabas ini bukanlah perilaku kebetulan, tetapi merupakan cerminan dan manifestasi dari alam pikiran dan sikap mental yang memandang hal-hal yang dilakukannya secara jalan pintas itu sebagai sesuatu yang baik dan benar serta dianggap sebagai kelaziman umum. Pola ini bermuara pada sikap pragmatisme.

16

sama sekali karena kehilangan jati diri. Rasionalisme apalagi yang patut dijadikan acuan hidu ketika kemodernan itu manusia kehilangan makna hidup yang membuat manusia rentan terhadap penyakit kehidupan. Bahagiakah manusia modern dengan kemodernan yang diciptakannya sendiri dengan penuh keyakinan dan keangkuhan?. (Nasir, 1997: 9)

Perkataan Haidar Nasir ini merupakan refleksi modernitas yang menilai secara jujur tentang hilangnya makna hidup dalam kehidupan. Pendapat senada diungkapkan pula oleh Hanna Djumhana Bastaman (1995: 191) bahwa satu hal pokok dari kehidpan modern adalah hilangnya makna hidup yang berakibat pada hilangnya orientasi, hilangnya tujuan hidup, hilangnya moralitas dan “kesemrawutan pola kehidupan”, yang akhirnya bermuara pada menjalarnya stres4 dalam dimensi yang semakin komplek. Kehidupan modern yang materialis-hedonistic dan hanya menekankan pada aspek lahiriyah semata, berakibat pada kegersangan spiritual dan dekandensi moral serta stress menjadi fenomena yang lumrah. Pada titik jenuhnya, manusia akan kembali mencari kesegaran rohaniyah untuk memenuhi dahaga spiritualnya. Oleh

4

Stres dapat mewujud dalam anxiety neurosis atau disebut juga neurosa kecemasan yaitu bentuk neurosa dengan gejala paling mencolok adalah ketakutan yang terus menerus terhadap bahaya yang seolah-olah terus mengancam, yang sebenarnya tidak nyata tetapi hanya dalam perasaan penderita saja. Senada dengan definisi ini, Hanna Djumhana Bastaman (2001: 156) memberikan pengertian tentang kecemasan yaitu “ketakutan terhadap hal-hal yang belum tentu terjadi. Perasaan cemas biasanya muncul bila kita berada dalam suatu keadaan yang kita duga akan merugikan dan kita rasakan akan mengancam diri kita dimana kita merasa tidak bberdaya menghadapinya. Sebenarnya apa yang kita cemaskan iru belum tentu terjadi. Dengan demikian, rasa cemas itu sebenarnya ketakutan yang kita ciptakan sendiri. Hampir dalam segala hal, seorang pencemas selalu khawatir dan takut”, Sedangkan Zakiyah Daradjat (2001: 20) memberikan pengertian tentang kecemasan bahwa kecemasan adalah : manifestasi dari berbagai proses yang bercampur baur, yang terjadi ketika orang sedang mengalami tekanan perasaan (frustasi) dan pertentangan batin (konflik). Kecemasan itu mempunyai segi yang disadari yaitu seperti rasa takut, tidak berdaya, rasa berdosa/bersalah, terancam dan sebagainya. Oleh karena itu rasa cemas terdapat dalam semua gangguan dan penyakit jiwa. Dengan demikian anxiety neurosis ialah; symptom ketakutan dan kecemasan terhadap bahaya yang seakan-akan mengancam, yang sebenarnya tidak nyata tetapi hanya dalam perasaan penderitanya saja. Perasaan cemas ini berasal dari perasaan tidak sadar yang berada di dalam kepribadian sendiri, jadi tidak berhubungan dengan objek yang nyata atau keadaan yang benar-benar ada

17

karena itu banyak diantara mereka yang kembali ke dunia mistisisme, Tao, Budhis dan Tasawuf. Selain krisis modernitas manusia modern juga dihadapkan pada sebuah kenyataan, bahwa agama yang selama ini diharapkan mampu memberikan solusi terbaik terhadap persoalan-persoalan modernitas juga mengalami persoalan internal yang cukup rumit. Diantaranya adalah persoalan krisis indentitas yang sejak awal sudah mempertanyakan mampukah agama secara realitas memberikan alternatif pemecahan bagi krisis yang dialami oleh ideologi kapitalisme dan sosialisme (Maksum, 1994: 1). Pertentangan dan perumusan tentang formulasi jawaban belum menemukan titik temu yang maksimal sampai sekarang ini. Persoalan lain dari permasalahan keagamaan yang akhir-akhir ini menggejala adalah kekerasan atas nama agama5. Pertanyaannya kemudian adalah mengapa bisa demian?. Mengapa tiba-tiba manusia yang beragama berubah menjadi manusia yang brutal?. Mengapa tiba-tiba sesama saudara harus saling menerkam, membunuh dan menghancurkan?. Mengapa perilaku manusia beragama yang semula religius berubah dalam waktu yang singkat menjadi seperti binatang?. Mengapa perayaan agama yang begitu meriah tidak mampu membawa perubahan perilaku?. Pertanyaan lebih lanjut adalah adakah yang salah mengenai cara beragama yang selama ini dilakukan?. Pertanyaan-pertanyaan

tersebut

muncul,

dikarenakan

ada

persoalan

mengenai cara beragama yang selama ini dilakukan. Permasalahan itu adalah adanya 5 Agama sering dikaitkan dengan fenomena kekerasan lebih-lebih di Indonesia akhir-akhir ini, sinyalemen ini disanggah melalui pernyataan apogetis (membela diri) yakni agama mengajarkan perdamaian dan menentang kekerasan tetapi manusia menyalahgunakannya untuk kepentingan pribadi maupun golongannya sehingga menyulut kekerasan. Padahal agama baru menjadi konkrit sejauh dihayati oleh pemeluknya. Bisakah memisahkan begitu saja agama dari pemeluknya? (Haryatmoko, 2000: 4).

18

keterjebakan keberagamaan manusia dalam bahasa simbol yang masih kaku. Hal ini dalam realitas nantinya akan mengarah pada keterjebakan formalisasi agama. Apabila hal ini terjadi maka agama justru menjadi terasing dengan persoalan kehidupan manusia, karena fungsi agama menjadi kabur. Agama yang seharusnya menjadi pembebas akan terperosok dan terjebak pada aspek romantisme formal. Oleh sebab itu sangat wajar, apabila ketika kesalehan dijadikan alat politik untuk mencari popularitas, posisi, kedudukan, dan kekuasan konsekuensi logis yang akan ditanggung oleh umat beragama adalah ketidak berdayaan eksistensi. Dari deskripsi ini jelas, bahwa beragama tidak cukup hanya bersifat ritual dan mementingkan diri sendiri, diperlukan sikap keberagamaan yang menyeluruh, sehingga menyentuh aspek-aspek kehidupan. Menurut Romo Mangunwijaya (1999: 4), beriman bukan sekedar orang sembahyang. Bagi dia orang beriman berarti harus berani menanggung resiko dengan cara ikut ambil bagian untuk memanusiakan manusia. Orang beriman tidak terjebak persoalan hukum normatif tentang sah dan tidah sah, layak atau tidak layak. Agama harus kembali kepada semangat awal yakni berfungsi profetis. Agama harus kritis terhadap kekuasaan, harus mampu membebaskan masyarakat dari kebodohan, ketakutan, kemiskinan, dan sistem yang menindas. Dalam realitas banyak masyarakat yang menghayati agama secara formalis. Mereka rajin beribadah, tetapi juga rajin menjelekkan orang lain. Mereka rajin berdoa tetapi juga rajin menindas sesama. Mereka rajin berziarah, tetapi juga rajin korupsi dan manipulasi. Kenyataan seperti ini muncul karena penghayatan keagamaan mereka menurut Romo Mangun (1999: 5) amat kekanak-kanakan. Tuhan hanya dimengerti

19

sebagai alat untuk mencari perlindungan dari segala perbuatan yang tercela. Tuhan dimengerti hanya untuk mencuci dosa. Cara pandang beragama seperti inilah yang perlu dikoreksi. Tugas umat beriman adalah menyucikan dunia dengan menegakkan kemanusiaan manusia dan keadilan yang bermoral. Keberagamaanya bukan hanya untuk kepentingan diri sendiri tetapi sebaliknya. Romo Mangunwijaya (1999: 5) mengatakan, orang yang memiliki religiusitas itu tidak memikirkan diri sendiri justru memberikan diri untuk keselamatan orang lain. Iman harus menghasilkan buah kebaikan, perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan. Intinya beragama secara benar adalah bila kita mampu mengendalikan organ tubuh kita sendiri untuk tidak memuaskan diri sendiri. Adanya kenyataan bahwa, manusia modern mengalami krisis modernitas di satu sisi dan sisi lain agama yang diharapkan memberikan pencerahan ternyata terjebak pada aspek formalisasi ajaran dan fenomena kekerasan yang bercorak agama maka diperlukan pemikiran ulang secara terus menerus untuk lebih mengarahkan agama supaya efektif dalam memberikan petunjuk bagi kehidupan manusia. Pada posisi seperti inilah tasawuf menjadi hal yang patut untuk ditawarkan. Hal ini dikarenakan tasawuf menurut Syeikh Hisyam Kabbani (2007: 16), lebih mengutamakan kedamaian bagi umat manusia. Tasawuf menganjurkan agar antar umat manusia saling bekerja sama. Tasawuf menjembatani semua kebudayaan seperti tenda besar yang bisa memayungi para musafir yang datang dari berbagai penjuru dunia dan berbagai latar belakang. Oleh karena itu, pengamal tasawuf bisa berdampingan mesra dengan siapapun.

20

Persoalannya kemudian adalah timbul asumsi bahwa tasawuf merupakan ajaran dan perilaku yang menyimpang dari Islam dikarenakan banyaknya muatan bid’ah dan khurafat. Hal inilah yang mendorong Muhammadiyah sebagai organesasi pembaharuan mengadakan gerakan pemurnian ajaran Islam dari segala bentuk bid’ah dan khurafat, tetapi dalam perkembangannya banyak tokoh Muhammadiyah yang adaptip terhadap tasawuf sehingga hubungan tasawuf dan Muhammadiyah yang awalnya berada pada posisi yang berhadapan menjadi posisi yang sejalan. Perubahan inilah yang layak untuk diteliti lebih lanjut dalam tesis ini. B. Rumusan Masalah Permasalahan utama dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah persepsi intelektual Muhammadiyah Kota Semarang terhadap ajaran tasawuf? 2. Bagaimana implementasi intektual Muhamadiyah Kota Semarang terhadap ajaran tasawuf tersebut. C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan permasalahan di atas, tujuan umum yang akan dicapai adalah untuk mengungkap, mengetahui dan mendeskripsikan persepsi intelektual Muhammadiyah

Kota

Semarang

terhadap

tasawuf,

serta

mengungkapkan

implementasi dari persepsi tersebut. D. Kajian Pustaka Untuk memperjelas posisi penulis dalam penelitian ini, maka terlebih dahulu dideskripsikan beberapa penelitian yang pernah dilakukan, beberapa diantaranya adalah:

21

1. Penelitian yang dilakukan oleh Khozin dari Muhammadiyah and Islamic Study Center, (MISC-UMM) dan dipublikasikan oleh JIPTUM tahun 2001 yang berjudul : Muhammadiyah and Reconstruction of Islamic Spirituality: (The Study of Tasawuf form and its Pactice in Muhammadiyah).

Penelitian ini

mengkaji persoalan spiritualitas Islam dalam Muhammadiyah, yang secara umum lazim dikenal dengan istilah tasawuf. Persoalan ini kemudian dirumuskan dalam bentuk pertanyaan yaitu, 1) Adakah tasawuf dalam Muhammadiyah, dan 2) kalau ada, bagaimana bentuk dan praktik tasawuf dalam Muhammadiyah6. Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa dalam gerakan Muhammadiyah terdapat elemen-elemen tasawuf, yang bentuknya adalah seperti spiritualitas Islam pada umumnya sesuai tuntunan al-Qur'an dan al-Sunnah. Bentuk dan praktiknya, misalnya anjuran untuk ber-muhasabah, pengendalian hawa nafsu dengan menjalankan ibadah ritual. Bentuk lainnya adalah memandang kematian sebagai bahaya besar. Persepsi tentang kematian ini mendorong orang-orang Muhammadiyah untuk melakukan amal dan kerja secara produktif dan bukan melakukan ibadah atau menyepi untuk berhidmat dengan Tuhan. Itulah agaknya yang dapat disebut sebagai tasawuf Muhammadiyah, atau ajaran spiritualitas Islam sesuai tuntunan al-Qur'an dan al-Sunnah. Tasawuf Muhammadiyah adalah

6 Prosedur pencarian data penelitian di atas dilakukan dengan cara mengumpulkan bahan-bahan tertulis baik dari hasil penelitian, tulisan lepas maupun dokumen kegiatan yang terkait dengan aspek spiritualitas Islam dalam Muhammadiyah. Dari bahan yang ada, dilakukan seleksi mana yang layak, serta mana yang dipandang kurang layak. Pembacaan secara mendalam terhadap bahan yang terkumpul adalah tahap selanjutnya hingga penyusunan draf laporan. Penulisan adalah tahap yang membutuhkan waktu paling lama. Dimulai dengan membuat pohon penelitian, hingga memberikan ilustrasi yang sedapat mungkin menggambarkan ada tidaknya tasawuf dalam Muhammadiyah hingga bentuk dan prakteknya. Tahap ini sekaligus merupakan tahap analisis hasil penelitian, dengan mendeskripsikan secara induktif dan melakukan penarikan kesimpulan sementara, sehingga menggambarkan suatu uraian secara deskriptif-kualitatif.

22

tasawuf akhlaki-transformatif, atau tasawuf aktual. Berikut adalah kesimpulan dari penelitian tersebut.

The research result asserts that the tasawuf elements exist in Muhammadiyah movement whose form such as islamic spiritual as it is commonly known in accordance with Qur'anic value and sunnah. Its form and practice such as advise to be introspective, to control the passion by conducting ritual worship. Another form is regarding a death as a great danger. The perception of death supports the members of Muhammadiyah to perform the program and work productively and not just to worship the God respectively and hide from everyone. Thus, what is probably able to be concsidered as tasawuf of Muhammadiyah of teaching of islamic spirituality in accordance with al-Qur'an and alSunnah. Muhammadiyah's tasawuf is moral transformation tasawuf or actual tasawuf (Khozin: 2001,1) Penelitian di atas merupakan kerangka dasar yang memberi gambaran awal bahwa Muhammadiyah ternyata juga mengamalkan tipologi tasawuf meskipun dengan karakteristik yang berbeda dengan yang dipraktekkan secara umum. Penelitian ini mencoba mempertegas penelitian terdahulu dengan mencari

bentuk

dan

praktik

tasawuf

dalam

perspektip

intelektual

Muhammadiyah Kota Semarang. Dengan lokalitas dan pembatasan wilayah yang lebih spesifik diharapkan penelitian di atas dapat teruji secara proporsional dan memadai untuk mempertegas kesimpulan mengenai tasawuf akhlakitransformatif, atau tasawuf aktual. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Khozin dari Muhammadiyah and Islamic Study Center, (MISC-UMM) dan dipublikasikan oleh JIPTUM tahun 2002 dengan judul: Rekonstruksi Spiritualitas Tokoh Muhammadiyah (Studi Tentang Apresiasi Dan Refleksi Keagamaan KH. Ahmad Dahlan Dan KH. AR. Fachruddin). Studi ini berawal adanya suatu fenomena sejarah tentang

23

keberagamaan tokoh-tokoh Muhammadiyah sebagai penganut Islam puritan yang apresiasi keagamaannya menurut pencermatan peneliti agak tipikal. Apresiasi keagamaan ini sebagaimana yang terefleksi dalam semangat perjuangan, kesederhanaan, kejujuran dan keikhlasan dalam beramal. Dari fenomena sejarah ini kemudian fokus penelitian ini dirumuskan: Pertama, mengapa tokoh-tokoh Muhammadiyah memiliki apresiasi keagamaan yang tipikal?. Kedua, bagaimana apresiasi keagamaan ini direfleksikan dalam kehidupan sehari-hari ?7. Penelitian ini menunjukkan bahwa menurut KH. Ahmad Dahlan, beragama adalah menghadapkan jiwa hanya kepada Allah serta menghindarkan diri dari ketertawanan terhadap hal-hal yang bersifat kebendaan dengan bukti penyerahan harta dan jiwa kepada Allah. Menurut KH. AR. Fachruddin memandang agama sebagai peraturan hidup lahir dan batin yang harus direfleksikan dalam hidup sehari-hari sebagai wujud dari kesadaran yang dalam tentang adanya pembalasan di hari akhir. Refleksi dari pandangan keagamaan ini semangat juang yang tinggi disertai kerelaan berkorban harta benda, pikiran serta tenaganya sebagai wujud penyerahan diri yang total. Lebih dari itu adalah hidup dalam kesederhanaan, kejujuran dan keikhlasan.

7

Penelitian di atas dimaksudkan untuk mendeskripsikan apresiasi keagamaan, yaitu pandangannya terhadap agama yang terefleksi dalam kehidupan sehari-hari. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara akademik dengan memberikan sumbangan teoritik tentang wacana spritualitas Muhammadiyah. Penelitian ini secara praktisnya dapat dimanfaatkan pihak-pihak yang berwenang di persyarikatan untuk mendisain dan mengembil kebijakan yang berkenaan dengan pengembangan spiritualitas Muhammadiyah. Penelitian ini menggunakan metode sejarah beografis yaitu, penelitian yang berusaha menangkap fenomenna masa lalu yang bersifat individual. Dalam hal ini peneliti berusaha untuk melakukan konstruksi masa lalu dari apresiasi keagamaan beberapa tokoh Muhammadiyah dan refleksinya dalam kehidupan sehari-hari. Subyek penelitian sengaja dipilih KH. Ahmad Dahlan dan KH. AR. Fachruddin keduanya adalah tokoh yang sangat berpengaruh di Muhammadiyah

24

Penelitian di atas memberikan antitesa bahwa Muhammadiyah yang lahir dari semangat puritan dan anti tasawuf ternyata dalam perspektip pendirinya yaitu Ahmad Dahlan dan AR. Fahrudin memiliki pemahaman spiritualitas ketasawufan yang kurang begitu banyak diekspose. Inilah yang menjadi titik tekan penelitian ini untuk mencari dan merumuskan secara detail spiritualitas Muhammadiyah pada generasi yang lebih baru terutama di Kota Semarang. 3. Artikel yang ditulis oleh Rizqon Khamami8 yang berjudul : “Fenomena Intelektual Muda NU dan Muhammadiyah” yang dimuat di harian Duta Masyarakat, 13 November 2003. Menurutnya pada satu dekade terakhir dapat ditengarai sebuah kebangkitan intelektual di kalangan anak-anak muda Islam yang berpayung pada organisasi beraliran tradisional, dan disusul oleh anakanak muda dari kalangan Islam modernis. Arah angin di kemudian hari kedua organasasi Islam ini perlahan terciptanya tipis batasan antara istilah tradisional dan modern. Pada tataran lain, anak-anak muda Muhammadiyah menunjukkan gejala kebangkitan yang sama. Sebagai salah satu organisasi massa Islam yang mendasarkan pada semangat pembaharuan Muhammad Abduh, dan semangat puritanisme Ibnu Taymiyah, Muhammadiyah telah mengalami "pergeseran" pergerakan. Meskipun berhasil memajukan amal usaha yang berhubungan langsung dengan denyut 8

Rizqon Khamami beralamat di Ponpes Syekh Abdul Qodir Al-Jailani, Rangkang, raksaan, Probolinggo, Jawa Timur, Indonesia. Terlahir di kabupaten Batang, Jawa Tengah, kini sehari-hari mengelola pesantren Ponpes Syekh Abdul Qodir Al-jailani, Rangkang, Kraksaan, Probolinggo, Jawa Timur. Selain mengajar di Universitas Zainul Hasan, Genggong, ia adalah direktur Pokjar Syekh Abdul Qodir Al-Jailani menyelenggarakan PGSD, UPBJJ-UT Malang. Pendidikan Menengah Atas diselesaikan di SMA Takhasus Al-Qur'an (TAQ) dan Ponpes Al-Asy'ariyyah, Kalibeber, Wonosobo, Jawa Tengah. Ia adalah alumnus Saddam University for Islamic Studies, Baghdad, Iraq, untuk S1 pada tahun 1998. Sedangkan S2 diselesaikan dari Jamia Millia Islamia, New Delhi, India dalam bidang Islamic Studies.

25

kehidupan masyarakat, seperti rumah sakit, universitas, sekolah dan lain sebagainya, namun terkesan melupakan sisi kajian keislaman. Pengembangan wacana keislaman di tubuh organisasi modernis ini selama beberapa waktu tampak mandeg. Keberhasilan Muhammadiyah dalam bidang amal usaha belum membuat kalangan mudanya terpuaskan. Gesekan-gesekan kaum muda Muhammadiyah dengan fakta sosial, tak terelakkan, adalah pemicu geliat keintelektualan mereka, karena kaum tua Muhammadiyah lamban dalam mengantisipasi. Wacana-wacana anyar yang dimunculkan oleh kalangan muda Muhammadiyah merupakan bentuk kritik tak langsung dan sebagai ekspresi pemberontakan kepada kalangan tua Muhammadiyah. Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)9 berdiri. Dalam Musyawarah Nasional XXIV Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam di Universitas Muhammadiyah Malang pada bulan Januari 2000 telah diputuskan agar manhaj tarjih dan pemikiran Islam dalam Muhammadiyah tidak hanya didominasi oleh pengkajian masalah-masalah akidah dan fikih yang dianalisa dengan pendekatan tekstual, tetapi harus menembus ke berbagai wilayah pemikiran keislaman, baik teologi (kalam), 9 Pada 18-20 November 2003, JIMM, menyelenggarakan Tadarus Pemikiran IslamMuhammadiyah (TPI-Muh) di Malang, yang memiliki tujuan memetakan pemikiran Islam kontemporer, khususnya yang berkaitan dengan dialog Islam-Barat dan membangun kunci hermeneutik untuk turut andil memecahkan problem kekinian. Muncul nama-nama seperti Zuly Qodir, Happy Susanto, A Fuad Fanani, Piet A Khaidir, Zakiyuddin Baidhawy, Pradana Boy, Ai Fatimah Nur Fuad dan lain-lain. Bahkan disebut-sebut TPI-Muhammadiyah merupakan upaya awal membedah problem sosial, kemiskinan, keterbelakangan, krisis multidimensional yang memunculkan kegelisahan religius, keprihatinan sosial, dan moral. Intelektual muda Muhammadiyah terpacu untuk melakukan aksi penyadaran dan pencerahan kepada rakyat. Persentuhan anak-anak muda Muhammadiyah dengan fakta kekinian dengan mengangkat isu-isu kontemporer seperti demokratisasi, hubungan antaragama, hak asasi manusia, kesetaraan gender, civil society, globalisasi, dan multikulturalisme adalah sebuah sikap kritis dalam memahami persoalan sosial yang memerlukan "penyelesaian agama". Semangat kembali kepada Al Quran dan Sunah Nabi Muhammad Saw (al-ruju' ila al-Quran wa al-Sunnah al-Nabawiyah) dalam ranah agama, bagi kalangan muda Muhammadiyah belumlah cukup, tanpa melibatkan diri dalam ranah sosial dan moral.

26

falsafah, fikih, tasawuf, dan agenda-agenda sosial kemasyarakatan. Tak pelak, pilihan ini harus dibarengi dengan peninjauan kembali metodologi. Semangat tajdid al din (pembaharuan pemikiran keagamaan) yang digagas Abduh mendapatkan tempat. Menariknya, ketika angkatan muda NU dan Muhammadiyah secara bersamaan mengangkat isu-isu tersebut di atas, maka batas antara tradisionalis NU dan modernis Muhammadiyah semakin kabur, kecuali dari kenyataan bahwa anak-anak muda NU mengembangkan wacana keislaman berangkat dari warisan tradisi

yang

ditularkan

secara

turun

temurun,

dan

angkatan

muda

Muhammadiyah menggali kajian keislaman dari semangat tajdid al-din. Akhirnya, warisan persengketaan intelektual masa lalu dua kelompok Islam ini sebagai akibat desakan identitas dan kuatnya kepentingan lambat laun mulai menghilang. Arus balik intelektual muda Muhammadiyah inilah yang menjadi titik tekan penelitian tesis ini untuk mempertegas keberadaan bentuk dan praktik tasawuf di Muhammadiyah Kota Semarang. 4. Artikel yang ditulis oleh Dalail Ahmad dan Muhammad Qorib yang berjudul “Tasawuf Di Tengah Nestapa Manusia Modern” yang dimuat di majalah Suara Muhammadiyah pada tanggal 15 April 2008. Menurutnya ada beberapa indikator kuat dari kebutuhan manusia terhadap tasawuf, baik di dunia pada umumnya maupun khususnya di dunia Islam. Di Indonesia kecenderungan terhadap spiritualitas juga dapat dilihat dari maraknya berbagai pengajian tasawuf. Beberapa pengajian yang bercorak tasawuf dapat menyedot jamaah lebih banyak daripada pengajian lainnya, bahkan sebagian masyarakat sanggup

27

membayar mahal untuk mengikuti kursus-kursus tasawuf di berbagai tempat. Spiritualitas di dalam Islam disebut tasawuf. Meskipun para ahli memberikan definisi terhadap kosa kata itu secara beragam, namun intinya adalah sama yakni kesadaran manusia akan dimensi spiritualnya. Di dalam tasawuf, manusia diarahkan untuk memiliki visi dan misi hidup yang jelas. Visi dan misi itu, mengharuskan manusia melakukan pendakian demi pendakian untuk meraih kualitas dirinya agar semakin baik. Dengan mengutip pendapat Annemarie Schimmel,

kedua

penulis

tersebut

berpendapat

bahwa

tasawuf

akan

mengantarkan manusia sedekat mungkin dengan Tuhan. Tasawuf dapat diejawantahkan melalui berbagai aktivitas umat manusia, yang mengindikasikan bahwa tasawuf tidak menolak kehidupan dunia, malah kehidupan itu harus diraih. Tasawuf hanya mengarahkan agar setiap orang tidak terpengaruh atasnya. Tasawuf juga tidak mengajarkan agar seseorang melakukan ekskomunikasi dari masyarakat. Lebih dari itu, tasawuf bisa melahirkan orang yang tercerahkan dan mencerahkan, terbimbing dan membimbing, terdidik dan mendidik. Artikel ini menjadi menarik karena ditulis oleh tokoh Muhammadiyah yang banyak dicitrakan anti tasawuf. Penulis pertama adalah Ketua PW. Muhammadiyah Sumatera Utara periode 2005-2010, sedangkan penulis kedua adalah Wakil Ketua MTDK. PWM Sumatra Utara, yang kini sedang menyelesaikan program doktor di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Tulisan ini mengindikasikan bahwa telah terjadi perubahan paradigma tentang tasawuf yang dalam perjalannnya kemudian diadopsi menjadi satu hal yang menyatu dengan Muhammadiyah.

28

E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Sesuai rumusan masalah yang ada dengan pertimbangan bahwa dalam penelitian ini tidak mengejar yang terukur, menggunakan logika matematik dan membuat generalisasi atas neraca maka jenis penelitian di sini adalah penelitian kualitatif (Muhajir, 1996: 9). Dalam konteks penelitian ini, peneliti dalam memperoleh data tidak diwujudkan dalam bentuk angka, namun data itu diperoleh dalam bentuk penjelasan dan berbagai uraian yang berbentuk lisan maupun tulisan. Penelitian kualitatif secara garis besar dikelompokkan menjadi 3 yaitu : penelitian kualitatif naturalistik, penelitian kualitatif teks dan penelitian kualitatif historis (Yahya, 2003: 33-38). Dari ketiga model diatas penelitian ini sesuai dengan judulnya masuk pada model pertama yaitu penelitian kualitatif naturalistik. 2. Pendekatan Penelitian Pendekatan yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan naturalistic yaitu pendekatan yang memandang kenyataan sebagai sesuatu yang berdimensi jamak dan merupakan suatu kesatuan yang utuh, serta berubah (open ended). Oleh sebab itu dalam melakukan, antara peneliti dan yang diteliti saling berinteraksi sehingga dalam konteks ini peneliti sekaligus berfungsi sebagai alat penelitian yang tentunya tidak dapat melepaskan diri secara multak dari unsur subjektifitas. Pendekatan naturalistic sering juga disebut sebagai pendekatan kualitatif, post-positivistic, etnografic, humanistic dan case study (Sudjana dan Ibrahim, 2000: 6)

29

3. Populasi dan Sampel Populasi atau universe adalah jumlah keseluruhan dari unit analisa yang ciri-cirinya akan diduga (Sofyan, 1983: 108), atau juga dapat dipahami sebagai sesuatu yang terkait dengan elemen yakni tempat diperolehnya informasi yang bisa berbentuk individu, keluarga, kelompok social ataupun organisasi. Dengan kata lain populasi adalah kumpulan dari sejumlah elemen sedangkan sample merupakan sebagian dari populasi terjangkau yang memiliki sifat yang sama dengan populasi (Sudjana dan Ibrahim, 2006: 84). Populasi dalam penelitian ini adalah keseluruhan dari intelektual Muhammadiyah kota semarang. Intelektual dalam hal ini dipahami sebagai kelompok terpelajar (Purwodarminto, 1976: 384), atau menurut Ali Syariati (1985: 15) didefinisikan sebagai orang yang selalu memanfaatkan potensi akal yang

merasa

terpanggil

untuk

memperbaiki

kondisi

masyarakatnya,

mengungkap aspirasi mereka, merumuskan dalam bahasa yang dapat dipahami oleh setiap anggota masyarakat. Secara praktis intelektual Muhammadiyah kota Semarang adalah seluruh warga Muhammadiyah yang memiliki latar belakang akademik yang memadai. Penelitian ini tidak dimaksudkan untuk memformulasikan pemikiran Intelektual Muhammadiyah kota Semarang secara keseluruhan tetapi mencoba memotretnya dengan sample unsur dari Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Semarang dan dan unsur dari Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah. Pemilihan sample ini mempertimbangkan pengelompokan

30

intelektual Muhammadiyah Kota Semarang dalam kategori menolak tasawuf secara total, bersikap terbuta dan akomodatip. 4. Metode Pengumpulan Data Ada tiga metode pengumpulan data yang dipakai dalam penelitian ini, keduanya yaitu : a.

Metode Wawancara. Metode wawancara yaitu suatu metode pengumpulan data dengan jalan mengajukan pertanyaan secara langsung kepada seseorang

yang

berwenang tentang suatu masalah (Arikunto, 1993: 104). Wawancara dalam hal ini dilakukan kepada sample penelitian yang terkait dengan pandangan mereka terhadap tasawuf dan hal-hal lain yang terkait dengan fokus penelitian.

b. Metode Dokumentasi Dalam penelitian ini, pengumpulan data-data yang berkaitan dengan masalah yang dibahas akan dilakukan dengan jalan dokumentasi yaitu mengumpulkan data yang bersifat primer maupun sekunder dalam bentuk buku, majalah, artikel dan lainnya (Hadi, 1983: 9) c. Metode Observasi Metode ini digunakan untuk mencari data dengan datang langsung ke-obyek penelitian dengan memperhatikan dan mencatat segala hal penting

31

untuk mendapatkan gambaran dan persepsi yang maksimal dari obyek tersebut. 5. Metode Analisis Data Setelah proses memperoleh data-data dari hasil observasi, wawancara dan domumentasi, langkah selanjutnya adalah mengklasifikasi sesuai dengan permasalahan yang diteliti, kemudian data-data tersebut disusun dan dianalisa dengan metode analisis data. Metode analisis data adalah jalan yang ditempuh untuk mendapatkan ilmu pengetahuan ilmiah dengan mengadakan pemerincian terhadap objek yang diteliti atau cara penanganan terhadap suatu objek ilmiah tertentu dengan jalan memilah-milah antara pengertian yang satu dengan pengertian yang lain guna memperoleh kejelasan mengenai halnya (Sudarto, 2000: 59). Setelah itu, perlu dilakukan telaah lebih lanjut guna mengkaji secara sistematis dan objektif. Metode deskriptif adalah sebuah metode yang mendeskripsikan dan menafsirkan data yang ada, misalnya tentang sesuatu yang diteliti, satu hubungan kegiatan, pandangan, sikap yang nampak atau proses yang sedang berlangsung (Surahmat, 1970: 131). Setelah data terdeskripsikan, langkah selanjutnya adalah menganalisisnya dengan mencari faktor-faktor penyebab terjadinya atau munculnya suatu fenomena tertentu (Nasir, 1998: 68) yang dalam hal ini adalah faktor-faktor yang mempengaruhi pandangan intelektual Muhammadiyah terhadap ajaran tasawuf. F. Sistematika Penulisan

32

Dalam penelitian ini penulis membagi pokok bahasan menjadi lima bab dan setiap bab terdiri beberapa sub bab. Adapun rincian dari kelima bab tersebut adalah sebagai berikut : Bab I : Pendahuluan. Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, penegasan judul, pokok permasalahan, tujuan penelitian, kajian pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan Bab II : Diskripsi tentang Tasawuf, Maqomat dan Thariqah. Bab ini akan membahas tentang pengetian tasawuf, deskripsi tentang kemunculan tasawuf, maqomat, tarekat dan rekonstruksi terhadap tasawuf. Bab ini dimaksudkan sebagai landasan teori untuk pembahasan yang lebih tajam dan akurat agar sesuai dengan pokok permasalahan yang menjadi focus penelitian agar tidak keluar dari landasan teori yang telah dibangun. Bab III : Diskripsi tentang penelusuran paham tasawuf dalam landasan dasar perserikatan Muhammadiyah, yang terdiri dari pembahasan tentang pencitraan tasawuf secara umum, historisitas Muhammadiyah, penolakan Muhammadiyah terhadap takhayul, bid’ah dan churofat, deskripsi tentang misi Muhammadiyah, yang dilakukan dengan penelusuran paham tasawuf dalam landasan dasar muhamadiyah yang meliputi penelusuran dalam muqodimah anggaran dasar, kepribadian

Muhammadiyah,

Matan

keyakinan

dan

Cita-Cita

Hidup

Muhammadiyah, hakkat Muhammadiyah, khittah perjuangan Muhammadiyah dan pedoman hidup islami warga Muhammadiyah. Bab ini juga menelusuri paham tasawuf dalam zhawahir al afkar al muhammadiyah dan pelacakan dalam idiologi Muhammad Dahlan. Uraian bab ini dimaksudkan untuk memaparkan hasil

33

pengumpulan data lapangan, yang kemudian dijadikan bahan analisis setelah dipadukan dengan landasan teori yang ada. Bab IV : Deskripsi tentang tasawuf dalam perspekrif intelektual Muhammadiyah kota Semarang yang terdiri dari deskripsi histories-geografis Kota Semarang, formulasi tasawuf menurut intelektual Muhammadiyah kota Semarang yang mengarah pada konsep Urban sufisme, Neo-sufisme dan Tasawuf Positif serta pembahasan

tentang

faktor

penyebab

deviasi

pemahaman

intelektual

Muhammadiyah kota Semarang terhadap tasawuf. Dalam bab ini dimaksudkan untuk menganalisis data yang ada kemudian membandingkan dengan landasan teori yang ada. Bab V : Penutup, yang berisi kesimpulan dan saran.

BAB II DISKRIPSI TENTANG BERBAGAI PEMAHAMAN TENTANG TASAWUF, MAQOMAT DAN TAREKAT

34

Tasawuf10 merupakan praktik spiritual dalam tradisi Islam. Tasawuf memandang ruh sebagai puncak dari segala realitas, sementara jasad tidak lebih sebagai “kendaraan” saja (Aceh, 1984: 28). Oleh sebab itu, jalan spiritualitas lebih banyak menekankan pada aspek ruhani, bersifat personal dan berangkat dari pengalaman yang juga bersifat personal. Berbeda dengan agama yang bersifat umum (dalam Islam di kenal dengan istilah sya’riah/syari’at), jalan tasawuf kemudian dikenal dengan istilah tarekat (dekat dengan istilah tirakat). Dalam perspektip tarekat setiap pendaki akan melewati level dan kondisi (maqomat dan ahwal) di bawah bimbingan guru spiritual (dalam Islam dikenal dengan istilah Mursyid) (Arberry, 1979: 84). Di antara satu guru dengan guru yang lain sangat dimungkinkan menggunakan metode yang berbeda. Murid diajarkan untuk berlatih membuka mata batinnya (ainul qolb). Ada yang menyebut istilah ini dengan Mukasyafah (menyingkap) atau hudhuri (menghadirkan) atau tawajjuh (berhadap-hadapan). Murid dilatih membersihkan diri melalui tarekat tadi dengan menempuh dari level tertentu ke level yang lebih tinggi, dari kondisi tertentu ke kondisi yang lebih yang lain, hingga murid mampu mencapai tingkatan fana (kosong/hampa) tidak ada lagi ego dalam diri murid sehingga murid sampai pada sebuah kondisi “tersingkap”, “menghadirkan”, atau “berhadap-hadapan” (Nicholson, 1979: 30). Disinilah antara tasawuf moral dan tasawuf falsafi berbeda jalan. Tasawuf moral, setelah melewati fase tadi, mengajak “kembali” sang murid untuk hidup dalam dunia “nyata” dan kembali masuk dalam aturan syariat, namun syariat yang telah diisi 10

Kaum sufi yang merupakan kaum elit dan kaum terdepan. Merupakan roda penggerak utama Islam pada masanya. Sepanjang abad ke-18, ke-19 dan awal abad ke-20, gerakan-gerakan sufi besar di Afrika dan Asia sering dihubungkan dengan gerakan-gerakan Islam umumnya. Kaum sufi adalah kaum elit masyarakatnya, dan sering memimpin gerakan pembaruan, atau perlawanan terhadap penindasan dan dominasi asing atau kolonial.

35

dengan pengalaman dan pengetahuan bertuhan, sehingga syariat yang dijalankan akan lebih mantap dan bermakna dari sebelum ia melakukan perjalanan. Misalnya, sang murid sudah mengerti apa hakikat sholat, puasa dan zakat lalu bisa mempraktikannya dengan lebih baik dan penuh makna. Sang murid sudah mengerti bahwa pada sisi yang paling esoterik semua agama memiliki tujuan yang sama sehingga mampu untuk hidup toleran serta tidak memperbesar perbedaan sisi eksoterik satu agama dengan agama yang lain. Sang murid sudah mengerti bagaimana cara bergaul dan menghargai antara sesama manusia bahkan seluruh makhluk hidup. Sang murid sudah mengerti dari mana ia berasal dan kemana ia akan kembali (Zuhri, 1979: 30). Berbeda dengan tasawuf falsafi. Setelah sampai pada fase tersebut, sang murid atau bahkan sang guru, tidak mau “pulang”, tetapi mau tetap menikmati ekstase keindahan dan kenikmatan “bersatu” dengan Tuhan (Nicholson, 1979: 30). Terucaplah perkataan yang tidak terkontrol tadi (syathohat) dalam kondisi ekstase. Dari sinilah akhirnya terucap pengakuan sebagai “Sang Kebenaran” atau memuji dirinya sendiri sebagai Tuhan, atau menuangkan pengalaman bertuhannya dalam karya/tulisan (Bazsur Ilahi, 1986: 99). Di level sesama praktisi spiritualitas (kalangan khas atau khawasul khawas) mungkin tidak menjadi persoalan, tetapi bagaimana di kalangan awam yang memang hanya menjalankan syariat tanpa dibarengi dengan praktek tasawuf? Disinilah problem selanjutnya muncul. Mau tidak mau, atas nama menjaga kemaslahatan umum, menjaga keimanan dari kalangan umum, dan alasan-alasan yang sejenis, maka para praktisi tasawuf falsafi ini diklaim sesat dan berakhir dengan hukuman mati. Syihabuddin Syuhrawardi yang bergelar al-maqtul (terbunuh), Abu Mansyur Al-Hallaj dan Ainul Qudhat Hamadani adalah sufi falsafi yang hidupnya

36

berakhir dengan hukuman mati. Bahkan Syuhrawardi dan Ainul Qudhat dihukum mati dalam usia yang cukup muda. Apa yang terjadi dengan Syekh Siti Djenar (jika kisah ini juga memang benar dan bukan sebagai mitos serta terlepas dari persoalan politik) adalah termasuk dalam kategori ini. Bertemu dan bersatu dengan Tuhan ini merupakan klaim kaum sufi yang juga diperdebatkan dikalangan teologis dan ahli fikih, bahkan bagi sebagian kalangan Islam yang agak keras, praktik tasawuf dianggap bid’ah (Fauzan, 1998: 39). Apa yang dicontohkan Al-Ghazali dan Jalaludin Rumi yaitu untuk segera pulang setelah bertemu Tuhan, bisa menjadi teladan yang baik bagi para praktisi tasawuf dewasa ini. Al-Ghazali menghiasi syariat yang kaku dengan nilai-nilai hakikat, atau Rumi yang mengekspresikan kebahagian dan rasa cinta serta rindu kepada Tuhan melalui simbol-simbol (cinta, mawar, cawan dll) yang terlukiskan dalam karya sastra. Mungkin tidak mudah untuk serta merta diterima oleh rasio karena memang tasawuf tidak menggunakan “alat ukur” rasionalitas. Tasawuf menggunakan alat ukur yang berbeda yang bernama “ainul qolb” (mata batin) yang diyakini juga ada dalam diri setiap manusia yang kadang sepintas ia “muncul” dan kita tidak mengenalinya lalu “tertutup” lagi oleh potensi lain dalam diri kita (Aceh, 1984: 28). A. Deskripsi Tentang Tasawuf Sebagai pengantar kajian tentang tasawuf alangkah baiknya kita simak pendapat Wahid B. Rabbani yang menyatakan:

Sufisme and science are striving for the same destination. Science wants to know: how did the universe come into being and what is its nature? Is there any creator? What is He like? Where is He? How is He related to the universe? How is He related to the man? Is it possible for man to approach

37

Him? Sufi has found the answers and invite the scientist to come and have that knowledge (Rabbani:1995, 1) Kutipan diatas adalah sebuah ilustrasi yang memberitahu kepada kita bahwa tasawuf (dalam penelitian ini penulis menggunakan istilah sufisme, tasawuf dan mistisisme secara bergantian untuk maksud yang sama) adalah suatu hal yang sangat penting. Bukan hanya dalam konteks sebagai entitas dari ajaran Islam karena ia adalah innerdimension of the Islamic relevation (Nasr, 1980: 31), namun lebih dari itu sufisme menjadi hal yang sangat utama dalam rangka pencarian terhadap makna hidup yang bersifat universal dan perennial (Lings, 1993: 22-23). Tasawuf dalam hal ini dapat disandingkan dengan ilmu pengetahuan (sains) dalam upaya mencari cara pandang terhadap kehidupan. Oleh sebab itu tidak heran apabila, dalam tradisi Islam, tasawuf menjadi fenomena yang sangat complicated dan penuh dengan dinamika. Historisitas Islam sangatlah dipengaruhi akan keberadaan mistisisme baik sejak awal berdirinya agama ini sampai saat sekarang. Tasawuf dalam sejarah Islam mengalami perkembangan dan modifikasi yang sangat variatif, maka tidak heran apabila dalam setiap periode sejarah umat Islam, selalu muncul para tokoh sufi dan kelompok-kelompok sufi (sufi orde) pada hampir seluruh wilayah umat Islam. Islam merupakan agama yang menghendaki kebersihan lahiriah sekaligus batiniah. Hal ini tampak misalnya melalui keterkaitan erat antara niat (aspek esoterik) dengan beragam praktek peribadatan seperti wudhu, shalat dan ritual lainnya (aspek eksoterik). Tasawuf merupakan salah satu bidang kajian studi Islam yang memusatkan perhatiannya pada upaya pembersihan aspek batiniah manusia

38

(Aceh, 1984: 28) yang dapat menghidupkan kegairahan akhlak yang mulia. Jadi sebagai ilmu sejak awal tasawuf memang tidak bisa dilepaskan dari tazkiyah al-nafs (penjernihan jiwa). Upaya inilah yang kemudian diteorisasikan dalam tahapantahapan pengendalian diri dan disiplin-disiplin tertentu dari satu tahap ke tahap berikutnya sehingga sampai pada suatu tingkatan (maqam) spiritualitas yang diistilahkan oleh kalangan sufi sebagai syuhud (persaksian), wajd (perjumpaan), atau fana’ (peniadaan diri). Dengan hati yang jernih, menurut perspektif sufistik seseorang dipercaya akan dapat mengikhlaskan amal peribadatannya dan memelihara perilaku hidupnya karena mampu merasakan kedekatan dengan Allah yang senantiasa mengawasi setiap langkah perbuatannya. Jadi pada intinya, pengertian tasawuf merujuk pada dua hal: penyucian jiwa (tazkiyatun-nafs) dan pendekatan diri (muraqabah) kepada Allah (Umari, 1961: 123). Sesungguhnya tasawuf secara formal belum dikenal pada zaman Nabi Muhammad. Istilah ini secara tehnis baru berkembang setelah abad kedua hijriah (Basyuni, 1960: 111). Pendapat ini diamini dari Saleh Fauzan (1998: 1). Menurutnya kata tasawuf dan sufi tidak dikenal pada awal Islam. Ia terkenal (ada) setelah itu atau masuk kedalam Islam dari umat-umat yang hidup di belakang hari. Menurut Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa-nya dituliskan: “Adapun kata sufi tidak dikenal di 3 masa yang utama ( shahabat, tabi’in, tabi’it tabi’in) dan hanya dikenal setelah masa itu” (dalam Fauzan, 1998: 1). Hal ini banyak dinukil oleh para imam, seperti Imam Ahmad bin Hambal dan Abu Sulaiman Ad-Darani. Lebih lanjut Saleh Fauzan menjelaskan.

39

Dan Sufi itu tidak ada dalam Islam. Ada yang mengatakan bahwa asalnya adalah dari kata Shuuf (bulu domba) dan inilah yang terkenal di kalangan banyak orang. Dan sufi yang pertama muncul adalah dinegeri Basrah. Orang yang pertama kali mengadakan gerakan sufi ini adalah sebagian dari sahabat Abdul Wahid bin Zaid, ia adalah seorang sahabat Al Hasan Al Basri. Ia (Abdul Wahid) populer di Basrah dengan sifatnya yang keterlaluan dalam zuhud, ibadah, rasa takut dll. Tidak ada penduduk kota itu yang seperti dia. Abu Syaikh telah meriwayatkan dengan sanad-sanadnya dari Muhammad bin Sirin bahwa telah sampai berita kepadanya tentang sebagian kaum yang lebih mengutamakan pakaian dari bulu domba. Ia berkata: “sesungguhnya ada suatu kaum yang lebih mengutamakan memakai pakaian bulu domba. Mereka mengatakan ingin meniru pakaian Isa bin Maryam, sedangkan bimbingan dari nabi kita lebih kita cintai. Nabi juga memakai pakaian dari katun dan lain-lain, atau komentar yang senada dengan itu (Fauzan: 1998, 1). Para peneliti pemikiran keislaman berbeda pendapat mengenai asal mula kata al tasawuf. Sebagian peneliti ada yang mengatakan ia berasal dari kata shaf yang berarti baju dari bulu domba kasar yang biasa dipakai oleh orang saleh yang tidak lagi menghiraukan kehidupan dunia. Sebagian yang lain berpendapat berasal dari shafa yang berarti bersih dan suci karena orang sufi senantiasa membuat lahir batinnya dalam keadaan suci. Sebagian yang lain ada yang menyandarkannya kepada al-shuffat yaitu serambi masjid tempat Rosulullah mengajar dan tempat ibadah sahabat yang terkenal keshalihannya seperti Abu Zar al-Ghifari, sedangkan ada yang lain namun minoritas yang berpendapat bahwa tasawuf berasal dari kata Yunani shopos (Hidayat, 2003: 542). Secara etimologis, tasawuf setidaknya dapat dirujuk dari tujuh kata asal yaitu: shafa (suci), saff (barisan shalat), saufanah (buah-buahan kecil berbulu yang banyak dijumpai dipadang pasir), safwah (yang terbaik), suf (bulu domba kasar), theosophy (hikmat ketuhanan) dan shuffah,. Menurut Al-Kalabazi (1969: 1), kata shuffah, dapat dipahami dalam dua pengertian yaitu pelana kuda yang dipergunakan

40

oleh para sahabat nabi untuk bantal tidur disamping masjid nabawi atau juga dapat dipahami sebagai suatu kamar di serambi Masjid Nabawi yang ditempati oleh beberapa sahabat Anshar.

Pendapat Al-Kalabazi ini dipertanyakan oleh Mir

Valiuddin (1987: 2) menurutnya jika memang asal kata tasawuf berasal dari shuffah maka panggilan bagi pelaku tasawuf bukannya sufi melainkan shuffi. Pendapat AlKalabazi mendapat penegasan dari Al-suhrawardi (1985: 445) yang mengatakan “mekipun secara ilmu bahasa tasawuf berasal dari kata shuffah, namun secara maknawi dapat dibenarkan”. Dari berbagai istilah itu ada kecenderungan bahwa tasawuf berasal dari kata shuff. Kelompok yang mendukung pendapat ini adalah Al Suhrawardi (1985: 326), dengan beberapa alasan: pertama, didasarkan pada hadis dari Anas yang menyatakan Rasulullah mendatangi undangan hamba sahaya naik Himar dan memakai pakaian bulu domba. Serta didasarkan pada pernyataan hasan Basri yang pada intinya dia telah bertemu tujuh puluh pasukan badar yang mengenakan pakaian bulu domba. Pendapat ini juga disetujuai oleh HAR. Gibb (1964: 110), menurutnya sebutan mutashawwif diperuntukkan bagi orang yang memakai pakaian dari bulu domba dan perilakunya disebut tasawuf. Lebih lanjut menurutnya, secara histories asal mula pakaian bulu domba ini sebagai lambang penebusan dosa seseorang yang diidentikkan dengan pakaian Isa (Gibb: 1964, 110). Dukungan juga diberikan oleh Ibnu Khaldun (tt: 370-371) dan Noldeke, sebagaimana dikutip oleh Nicholson (1975: 3-4) dia menjelaskan bahwa sebutan shuff awalnya dinisbatkan kepada orang-orang Islam yang hidup asketis, meniru kehidupan para biarawan Nasrani

41

yang biasanya mengenakan pakaian dari anyaman bulu domba yang kasar sebagai tanda tobat dan niat yang kuat untuk meninggalkan kehidupan duniawi. Dari deskripsi di atas dapat dipahami bahwa inti dari perbedaan pendapat mengenai asal kata tasawuf bermula dari perbedaan sudut pandang. Ada kelompok yang menitikberatkan pada aspek lahiriah yaitu pakaian yang dipakai oleh pelaku tasawuf (shuf) sedangkan kelompok yang lain menekankan pada aspek batiniah yaitu kondisi jiwa yang bersih dari sifat-sifat tercela (shafa), sedangkan yang lain menitikberatkan pada aspek perilaku yaitu adanya kesamaan amaliah antara ahli tasawuf dengan ahli shuffah dan juga kebanyakan ahli tasawuf selalu berpuasa dan bangun malam melaksanakan sholat malam sehingga badannya kurus seperti pohon shufanah. Secara terminologis, istilah tasawuf diungkapkan secara beragam, Junaid al Baghdady berpendapat bahwa tasawuf adalah penyerahan kehendak dan tujuan hanya kepada Allah bukan kepada yang lain (dalam Zachner, 1969: 46). Untuk mencapai sebuah penyerahan kehendak dan tujuan secara total kepada Allah mensyaratkan adanya proses pembersihan terhadap hati, karena hati adalah bagian dari Tuhan. Oleh sebab itu esensi dari tasawuf sesungguhnya adalah penyucian hati dari segala kotoran dan entitas-entitas keduniawian. Penyucian jiwa ini akan berdampak pada kedamaian dan kesejukan karena kehadiran Tuhan senantiasa dirasakan secara sadar dalam kehidupan. Dari sini dapat dipahami bahwa pada dasarnya tasawuf memuat dua entitas penting yaitu, pertama: kesucian jiwa untuk menghadap Tuhan sebagai zat yang maha suci dan kedua: upaya pendekatan diri secara individual kepada-Nya (Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, 2004: 307).

42

Secara terminology, definisi tentang tasawuf juga dapat dirujuk dari banyak tokoh. Menurut Abu Qosim Abdul Karim al-Qusyairi (tt: 56-57), tasawuf adalah menjabarkan ajaran al-Qur’an dan Sunnah, berjuang mengendalikan nafsu, menjahui perbuatan Bid’ah, mengendalikan syahwat dan menghindari sikap meringankan ibadah. Menurut Ma’ruf ak-Karkhi sebagaimana dikutip oleh Al-Syuhrawardi (1985: 326) tasawuf adalah mengambil hakekat dan tidak tamak dari apa yang dimiliki oleh makhluk. Menurut al-Nuri sebagaimana dikutip oleh Ibrahim Basuni (1969: 18), tasawuf adalah akhlak mulia. Abu Wafa al-Ghanimi al-Taftazani (1974: 3-12) mendefinisikan tasawuf sebagai sikap menempuh kehidupan zuhud, menghindarkan diri dari kehidupan duniawi, melakukan berbagai macam ibadah, melemahkan dimesndi jasmani dan memperkuat dimensi ruhani. Dari berbagai definisi di atas dapat dipahami bahwa tasawuf merupakan perilaku yang dilandasi oleh akhlak mulia, mampu mengisi waktu yang ada untuk beribadah kepada Allah dan menghindarkan diri dari semua perbuatan tercela. Tasawuf secara sederhana dapat diartikan sebagai usaha untuk menyucikan jiwa sesuci mungkin dalam usaha mendekatkan diri kepada Tuhan sehingga kehadiranNya senantiasa dirasakan secara sadar dalam kehidupan. Ibn al-Khaldun (1966: 231) pernah menyatakan bahwa tasawuf para sahabat bukanlah pola ketasawufan yang menghendaki kasyf al-hijab (penyingkapan tabir antara Tuhan dengan makhluk) atau hal-hal sejenisnya yang diburu oleh para sufi di masa belakangan. Corak sufisme yang mereka tunjukkan adalah ittiba’ dan iqtida’ (kesetiaan meneladani) perilaku hidup Nabi.

43

Islam sekalipun mengajarkan tentang ketakwaan, qana’ah, keutamaan akhlak dan juga keadilan, tetapi sama sekali tidak pernah mengajarkan hidup kerahiban, pertapaan atau uzlah sebagaimana akrab dalam tradisi mistisisme agamaagama lainnya (An-Nadwi, 1987: 61). Abdul Qadir Mahmud menyatakan bahwa pola hidup sufistik yang diteladankan oleh sirah hidup Nabi dan para sahabatnya masih dalam kerangka zuhud (dalam An-Nadwi, 1987: 68). Menurut Ahmad Sirhindi, tujuan tasawuf bukanlah untuk mendapat pengetahuan intuitif, melainkan untuk menjadi hamba Allah. Menurutnya, tidak ada tingkatan yang lebih tinggi dibanding tingkat abdiyyat (kehambaan) dan tidak ada kebenaran yang lebih tinggi di luar syariat. Jadi, orientasi fundamental dalam perilaku sufistik generasi salaf adalah istiqamah menunaikan petunjuk agama dalam bingkai ittiba’ dan bukannya mencari karomah atau kelebihan-kelebihan supranatural (dalam An-Nadwi: 1987, 68). Adapun tasawuf yang berkembang pada masa berikutnya sebagai suatu aliran (mazhab), maka sejauh hal itu tidak bertentangan dengan Islam dapat dikatakan positif (ijabi), tetapi apabila telah keluar dari prinsip-prinsip keislaman maka tasawuf tersebut menjadi mazhab yang negatif (salbi). Tasawuf ijabi mempunyai dua corak: tasawuf salafi, yakni yang membatasi diri pada dalil-dalil naqli atau atsar dengan menekankan pendekatan interpretasi tekstual, dan tasawuf sunni11, yakni yang sudah memasukkan penalaran-penalaran rasional ke dalam

11

Dalam bidang tasawuf tidak ada perbedaan antara Syiah dengan Sunni. Karena, pertama, tidak dikenal dalam terminologi Islam, yang disebut dengan tasawuf Syi'i yang ada hanya tasawuf dan tasawuf dibagi dua. Yang pertama tasawuf falsafi, yaitu tasawuf yang menekankan aspek filosofis dari tasawuf. Tentu tasawuf ini berkenaan dengan konsep mahabbah, ma'rifah, hulul, wihdatul wujud, dan lain-lain. Karena falsafi, sebagaimana corak filsafat, cenderung spekulatif. Filsafat apa pun adalah spekulatif. Tasawuf yang falsafi juga spekulatif.

44

konstruk pemahaman dan pengamalannya. Perbedaan mendasar antara tasawuf salafi dengan tasawuf sunni terletak pada takwil12. Salafi menolak adanya takwil, sementara sunni menerima takwil rasional sejauh masih berada dalam kerangka syari’ah, sedangkan tasawuf salbi atau disebut juga tasawuf falsafi adalah tasawuf yang telah terpengaruh secara jauh oleh faham gnostisisme Timur maupun Barat (Nasution, 1990: 56). Terdapat beberapa pendapat tentang pengaruh luar yang membentuk tasawuf Islam, ada yang menyebutkannya dari kebiasaan rahib Kristen yang menjauhi dunia dan kehidupan materiil. Ada pula yang menyebutkannya dari pengaruh ajaran Hindu dan juga filsafat neoplatonisme. Dalam Hindu misalnya terdapat ajaran asketisme dengan meninggalkan kehidupan duniawi guna mendekatkan diri kepada Tuhan dan menggapai penyatuan antara Atman dan Brahman. Pythagoras juga mengajarkan ajakan untuk meninggalkan kehidupan materi dengan memasuki dunia kontemplasi (Al-Afifi, 1989: 40). Demikian juga teori emanasi dari Plotinus yang dikembangkan untuk menjelaskan konsep roh yang memancar dari dzat Tuhan dan kemudian akan kembali kepada-Nya. Pada konteks ini, tujuan mistisisme baik dalam maupun di luar Islam ialah kesadaran akan adanya komunikasi dan dialog langsung antara roh manusia dan Tuhan, kemudian mengasingkan diri dan berkontemplasi. Apabila kita membahas tasawuf logikanya memang tidak lagi terkotak-kotak kepada Susy (Suni Syiah), alasannya tasawuf adalah dimensi spiritual Islam yang membahas perjalanan salik menuju Allah. Artinya dimensi ini bersifat spirit (rohani) lain dengan corak keagamaan yang terdogma dalam aturanaturan dunia (syariat). Walaupun dominasi ajaran mereka memiliki corak khusus, bahkan Ibnu Arabi seorang Sufi yang Suni, pendapatnya yang berbau filosofis kurang diterima dikalangan suni tetapi sebaliknya di Syii diterima dengan penghormatan khusus, bahkan mendapatkan sebutan Syaihul Akbar. Ilmu hakikatnya satu demikian juga kebenaran karena berangkat dari sumber yang satu, jadi ini hanya masalah sudut pandang saja. Bisa saja sejarah tasawuf dipandang dari sudut pencampuran kebudayaan, bisa saja tasawuf dipandang dari sudut faktor sosial dan ekonomi, masing-masing punya sudut bahasan yang unik bahkan memperkaya khasanah pengetahuan kita. Tak perlu berapriori bahwa sejarah tasawuf harus sama dan seragam.

45

Secara histories lahirnya tasawuf didorong oleh beberapa faktor: (1) reaksi atas kecenderungan hidup hedonis yang mengumbar syahwat, (2) perkembangan teologi yang cenderung mengedepankan rasio dan kering dari aspek moral-spiritual, (3) katalisator yang sejuk dari realitas umat yang secara politis maupun teologis didominasi oleh nalar kekerasan (Al-Afifi, 1989: 30). Oleh karena itu sebagian ulama memilih menarik diri dari pergulatan kepentingan yang mengatasnamakan agama dengan praktek-praktek yang berlumuran darah. Menurut Hamka (1978: 75), kehidupan sufistik sebenarnya lahir bersama dengan lahirnya Islam itu sendiri, sebab ia tumbuh dan berkembang dari pribadi Nabi saw. Tasawuf Islam sebagaimana terlihat melalui praktek kehidupan Nabi dan para sahabatnya itu sebenarnya sangatlah dinamis. Hanya saja sebagian ulama belakangan justru membawa praktek kehidupan sufistik ini menjauh dari kehidupan dunia dan masyarakat. Tasawuf kemudian tak jarang dijadikan sebagai pelarian dari tanggung jawab sosial dengan alasan tidak ingin terlibat dalam fitnah yang terjadi di tengah-tengah umat. Mereka yang memilih sikap uzlah ini sering mencari-cari pembenaran (apologi) atas tindakannya pada firman Allah. Padahal dapat diketahui bersama bahwa nabi dan para sahabatnya sama sekali tidak melakukan praktek kehidupan kerahiban, pertapaan atau uzlah. Mereka tidak lari dari kehidupan aktual umat, tetapi justru terlibat aktif mereformasi kehidupan yang tengah dekaden agar menjadi lebih baik dan sesuai dengan cita-cita ideal Islam ((Hamka: 1978, 76). Sebagaimana halnya fikih dan kalam, tasawuf memang sering dipandang sebagai fenomena baru yang muncul setelah masa kenabian. Tetapi tasawuf dapat berfungsi memberi wawasan dan kesadaran spiritual atau dimensi ruhaniah dalam

46

pemahaman dan pembahasan ilmu-ilmu keislaman. Seperti diungkap R.A. Nicholson (1979: 23), bahwa tanpa memahami gagasan dan bentuk-bentuk mistisisme yang dikembangkan dalam Islam, maka hal tersebut serupa dengan mereduksi keindahan Islam dan hanya menjadi kerangka formalitasnya saja. Dimensi mistis dalam tiap tradisi keagamaan cenderung mendeskripsikan langkahlangkah menuju Tuhan dengan imaji jalan (the path). Misalnya, di Kristen dikenal 3 (tiga) jalan: the via purgativa, the via contemplativa, dan the via illuminative (Russel, 1927: 28). Hal serupa ada pula dalam Islam, dengan mempergunakan istilah shari’a, tariqa, dan haqiqa (Valiuddin, 1981: 56). Praktik kesufian sebagaimana dipahami secara umum dewasa ini memang menuntut disiplin laku-laku atau amalan-amalan yang merupakan proses bagi para salik menemukan kesucian jiwanya. Salik adalah istilah yang diberikan kepada para pencari Tuhan, yaitu orangorang yang berusaha mengadakan pendekatan (taqarrub) untuk mengenal Allah dengan sebenar-benarnya. Jalan spiritual yang ditempuh para sufi tidaklah mudah. Dalam tradisi kesufian,

tingkatan-tingkatan

spiritual

digambarkan

dalam

analogi

titik

pemberhentian (station atau maqam) yang antara sufi satu dengan lainnya sering terdapat perbedaan pendapat. Station ini antara lain: taubat, zuhud, sabar, tawakkal, ridha, mahabbah, ma’rifah, fana’, ittihad, hulul. Selain maqam, tradisi sufi mengenal apa yang disebut dengan hal (jamaknya ahwal, state) yakni situasi kejiwaan yang diperoleh seorang sufi sebagai karunia dari Allah atas riyadhah atau disiplin spiritual yang dijalaninya. Suatu situasi kejiwaan tertentu terkadang terjadi hanya sesaat saja (lawaih), adakalanya juga relatif cukup lama (bawadih), bahkan

47

jika hal tersebut sudah terkondisi dan menjadi kepribadian, maka hal inilah yang disebut sebagai ahwal. Beberapa ahwal yang banyak dianut oleh kalangan sufi rumusannya sebagai berikut: muraqabah, khauf, dan raja’, Syauq, Uns, tuma’ninah, musyahadah, dan yakin (Nasution, 1974: 79). Dalam wacana kesufian, takhalli ‘an al-radzail atau membersihkan diri dari perbuatan tercela merupakan langkah awal untuk membersihkan hati seseorang, sedangkan tahalli bi al-fadail atau menghiasi diri dengan sifat-sifat luhur adalah tangga berikutnya untuk mencapai tingkat spiritualitas yang lebih tinggi yaitu tajalli. Jadi disini, tarekat (dari kata tariq = anak jalan) digambarkan sebagai jalan yang berpangkal pada syariat (dari kata syari’=jalan utama) (Triminghan, 1971: 51). B. Deskripsi tentang Kemunculan Tasawuf Menurut al-Dzahabi (1987: 23), istilah sufi mulai dikenal pada abad ke-2 Hijriyah, tepatnya tahun 150 H. Orang pertama yang dianggap memperkenalkan istilah ini kepada dunia Islam adalah Abu Hasyim al-Sufi atau akrab disebut juga Abu Hasyim al-Kufi, tetapi pendapat lain menyebutkan bahwa tasawuf baru muncul di dunia Islam pada awal abad ke-3 hijriyah yang dipelopori oleh al-Kurkhi, seorang masihi asal Persia. Tokoh ini mengembangkan pemikiran bahwa cinta (mahabbah) kepada Allah adalah sesuatu yang tidak diperoleh melalui belajar, melainkan karena faktor pemberian (mauhibah) dan keutamaan dari-Nya. Adapun tasawuf baginya adalah mengambil kebenaran-kebenaran hakiki. Tesis ini kemudian menjadi suatu asas dalam perkembangan tasawuf di dunia Islam (Al-Taftazani, 1979: 72). Beberapa tokoh lainnya yang muncul pada periode ini adalah al-Suqti (w.253 H), alMuhasibi (w. 243 H) dan Dzunnun al-Hasri (w. 245 H).

48

Tasawuf kemudian semakin berkembang dan meluas ke penjuru dunia Islam pada abad ke-4 H dengan sistem ajaran yang semakin mapan. Belakangan, alGhazali menegaskan tasawuf atau hubbullah (cinta kepada Allah) sebagai keilmuan yang memiliki kekhasan tersendiri di samping filsafat dan ilmu kalam. Pada abad ke-4 dan ke-5 hijriyah inilah konflik pemikiran terjadi antara kaum sufi dan para fuqaha’. Umumnya, kaum sufi dengan berbagai tradisi dan disiplin spiritual yang dikembangkannya dipandang oleh para fuqaha’ sebagai kafir, zindiq dan menyelisihi aturan-aturan syari’at. Konflik ini terus berlanjut pada abad berikutnya, terlebih lagi ketika corak falsafi masuk dalam tradisi keilmuan tasawuf dengan tokoh-tokohnya seperti Ibn al-’Arabi dan Ibn al-Faridl pada abad ke-7 H . Realitas inilah yang kemudian menimbulkan pembedaan dua corak dalam dunia tasawuf, yaitu antara tasawuf ‘amali (praktis) dan tasawuf nazari (teoritis). Tasawuf praktis atau yang disebut juga tasawuf sunni atau akhlaki merupakan bentuk tasawuf yang memagari diri dengan al-Qur’an dan al-Hadith secara ketat dengan penekanan pada aspek amalan dan mengaitkan antara ahwal dan maqamat. Sedangkan tasawuf teoritis atau juga disebut tasawuf falsafi13 cenderung menekankan pada aspek pemikiran metafisik dengan memadukan antara filsafat dengan ketasawufan (Shihab, 2001: 120). Di antara tokoh yang dianggap sebagai pembela tasawuf sunni adalah al-Haris al-Muhasibi (w. 243H/858 M), al-Junaid (w. 13

Tasawuf Falsafi adalah sebuah konsep ajaran tasawuf yang mengenal Tuhan (ma’rifat) dengan pendekatan rasio (filsafat) hingga menuju ketinggkat yang lebih tinggi, bukan hanya mengenal Tuhan saja (ma’rifatullah) melainkan yang lebih tinggi dari itu yaitu wihdatul wujud (kesatuan wujud). Bisa juga dikatakan tasawuf filsafi yakni tasawuf yang kaya dengan pemikiran-pemikiran filsafat. Di dalam tasawuf falsafi metode pendekatannya sangat berbeda dengan tasawuf sunni atau tasawuf salafi. kalau tasawuf sunni dan salafi lebih menonjol kepada segi praktis (‫) يلمعلا‬, sedangkan tasawuf falsafi menonjol kepada segi teoritis (‫ ) يرطنلا‬sehingga dalam konsep-konsep tasawuf falsafi lebih mengedepankan asas rasio dengan pendektan-pendekatan filosofis yang ini sulit diaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari khususnya bagi orang awam, bahkan bisa dikatakan mustahil.

49

298/911), al-Kalabadzi (385/995), Abu Talib al-Makki (386/996), Abu al-Qasim Ab al-Karim al-Qusyaeri (465/1073), dan alGhazali (505/1112). Sedangkan tokoh yang sering disebut sebagai penganut tasawuf falsafi adalah Abu Yazid al-Bustami (261/875), al-Hallaj (309/992), al-Hamadani (525/1131), al-Suhrawardi al-Maqtul (587/1191) dengan puncaknya pada era Ibn ‘Arabi14. Secara mendasar kemunculan pemikiran tasawuf adalah sebagai reaksi terhadap kemewahan hidup dan ketidakpastian nilai (Al-Afifi, 1989: 20). Tetapi secara umum tasawuf pada masa awal perkembangannya mengacu pada tiga alur pemikiran: (1) gagasan tentang kesalehan yang menunjukkan keengganan terhadap kehidupan urban dan kemewahan; (2) masuknya gnostisisme Helenisme yang mendukung corak kehidupan pertapaan daripada aktif di masyarakat; dan (3) masuknya pengaruh Buddhisme yang juga memberi penghormatan pada sikap antidunia dan sarat dengan kehidupan asketisme. Terdapat 3 sasaran antara dari tasawuf: (1) pembinaan aspek moral; (2) ma’rifatullah melalui metode kasyf al-hijab dan (3) bahasan tentang sistem pengenalan dan hubungan kedekatan antara Tuhan dan makhluk. Konsep kedekatan dalam hal ini dapat berarti: merasakan kehadiran-Nya 14 Namun dalam sejarah, seperti dicatat Alwi Shihab, Islam tasawuf sendiri tidak sepi konflik, khususnya antara tasawuf sunni dan tasawuf falsafi, tatkala pada akhir abad ke-6 H bermunculan tarekattarekat yang sebagian besar mulai mengorientasikan pandangannya pada fiqih dan syari'at. Tasawuf sunni dengan tokoh pertamanya yang menonjol, Ar-Raniri, menolak dan mencela tasawuf falsafinya Hamzah Fansuri. Dengan fatwa yang menyeramkan ia menjatuhkan veto kafir atas ajaran Fansuri. Menurut ArRaniri, tasawuf falsafi tak lebih sebagai ajaran kebatinan dan kejawen, dan bahkan Nasrani yang berbaju Islam. Dalam babakan sejarah peradaban Islam awal, tasawuf falsafi tak ubahnya anak haram; selalu dikejar-kejar dan disingkirkan seperti anjing kurap penyebar virus berbahaya bagi akidah. Puncak dari perseteruan itu tatkala Sitti Jenar dieksekusi mati oleh dewan Wali (Wali Songo) karena dianggap telah keluar dari rel ajaran Islam murni. Benarkah tasawuf falsafi telah menyimpang? Tampaknya tidak. Dari sinilah kita melihat bagaimana Alwi Shihab dengan jenial dan piawai melakukan rangkaian pembelaan dan anotasi kesalahan persepsi Ar-Raniri atas ajaran tasawuf Fansuri. Menurut Alwi, Ar-Raniri menyerang Fansuri dengan tidak mengikuti pendekatan "ilmiah obyektif" melainkan cara-cara propaganda apologetik. Ia menghujat penganut tasawuf falsafi sebagai murtad yang kemudian dihalalkan darahnya dan menyebabkan jatuhnya ribuan korban yang tak berdosa. Adalah benar, kata Alwi, Ar-Raniri cukup berjasa dalam menancapkan akar tasawuf sunni, tetapi jasa baik itu tak lantas membuat kita menutup mata dari kesewenang-wenangan fatwanya yang menyeramkan (Shihab, 2001: 121)

50

dalam hati, berjumpa dan berdialog dengan-Nya, ataupun penyatuan makhluk dalam iradah Tuhan (Al-Afifi, 1989: 20). Dari segi sejarah, sufisme sebenarnya dapat dibaca dalam 2 tingkat: (1) sufisme sebagai semangat atau jiwa yang hidup dalam dinamika masyarakat muslim; (2) sufisme yang tampak melekat bersama masyarakat melalui bentukbentuk kelembagaan termasuk tokoh-tokohnya. Perluasan wilayah kekuasaan Islam tidak semata-mata berimplikasi pada persebaran syiar Islam melainkan juga berimbas pada kemakmuran yang melimpah ruah. Banyak di kalangan sahabat yang dahulunya hidup sederhana kini menjadi berkelimpahan harta benda. Menyaksikan fenomena kemewahan tersebut muncul reaksi dari beberapa sahabat seperti Abu Dzar al-Ghifari, Sa’id bin Zubair, ‘Abd Allah bin ‘Umar sebagai bentuk “protes” dari perilaku hedonistic yang menguat pada masa kekuasaan Umayyah. Disintegrasi sosial yang parah mempengaruhi umat mencari pedoman doktrinal yang mampu memberi mereka ketenangan jiwa dan sekaligus memberi kesadaran yang mengukuhkan ikatan yang damai sesame muslim di antara mereka (Effendi, 1993: 34). Secara garis besar perkembangan tarekat dapat dibaca melalui tiga tahapan berikut: (1) khanaqah, yakni terbentuknya komunitas syaikh-murid dalam aturan yang belum ketat untuk melakukan disiplin-disiplin spiritual tertentu. Gerakan yang bercorak aristokratis ini berkembang sekitar abad ke-10 M; (2) tariqah, yakni perkembangan lebih lanjut di abad berikutnya dimana formulasi ajaran-ajaran, peraturan dan metode-metode ketasawufan mulai terbentuk mapan; (3) taifa, yakni masa persebaran ajaran dan pengikut dari suatu tarekat yang melestarikan ajaran syaikh tertentu (Effendi, 1993: 67).

51

Tarekat adalah lembaga tempat berhimpunnya orang-orang yang melalui ikatan hirarkis tertentu sebagai murshid-murid, menjalani disiplin-disiplin spiritual tertentu untuk menemukan kejernihan jiwa dan hati. Varian tarekat dapat disejajarkan sebagai mazhab dalam bidang tasawuf sebagaimana muncul pula varian-varian mazhabi dalam bidang pemikiran kalam dan fikih. C. Maqamat: Perjalanan Menuju Hakekat Dalam perspektif tasawuf dipahami bahwa doktrin yang paling pangkal dari semua ajarannya adalah tauhid dan memang begitu harusnya dikarenakan tauhid adalah inti dari ajaran Islam. Tauhid (unity) ini diekspresikan dalam bentuk verbal “syahadah” (al-Faruqi, 1998: 327). Pada kenyataanya seluruh agenda sufisme dengan jalan spiritualnya yang biasa disebut dengan tariqah bertujuan untuk membebaskan manusia dari segala bentuk penjara keterpisahan dan keberagaman (multiciply). Membebaskan manusia dari segala bentuk dan karakter hipokrit menuju pemahaman dengan perspektif yang menyeluruh untuk menuju derajat kemuliaan manusia. Manusia terkadang mengaku mempunyai Tuhan yang satu akan tetapi mereka berbuat seolah-olah ada banyak Tuhan. Inilah yang disebut dengan syirk. Tasawuf dengan demikian bermaksud mengubah keadaan siyrk. Singkatnya tujuan tasawuf adalah mengintegrasikan manusia dalam keseluruan eksistensi yang paling dalam dan paling luas dari eksistensi kehidupan. Dari sinilah konsep manusia sempurna dimunculkan (al-Faruqi, 1998: 327). Konsep tauhid mengharuskan setiap muslim untuk percaya bahwa tidak ada Tuhan (al haq) atau realitas kecuali Allah, tetapi hanya para sufilah yang membawa realitas ini pada kesimpulan yang sempurna. Inilah yang biasa disebut sebagai

52

“kesatuan keadaan” (oneness af being) (Lings, 1993: 64). Dalam konteks seperti inilah para sufi mempersaksikan la ilaha illa allah

dalam dua hal, pertama:

persaksian tersebut adalah pengesaan Allah dalam segala hal terutama dalam hal dia sebagai dzat yang dicinta satu-satunya, oleh karena itu para sufi menegasikan tujuan, kecintaan dan pengabdian selain kepada Allah. Ilah dalam perspektif sufi adalah mahbub, maqshud dan ma’bud sekaligus. Kedua: persaksian tersebut mengharuskan proses intenalisasi Allah sebagai satu-satunya yang dituju, dicinta dan abadi (Muhayya, 2000: 1-2). Untuk mencapai dan merealisasikan konsep tauhid inilah sufisme mempunyai jalan atau tahapan-tahapan yang sering disebut dengan istilah maqamat yang pada umumnya dinyatakan dalam terminology religio-moral yang istilahnya dipinjam dari al Qur’an (Rachman, 2000: 194) . Istilah maqam sendiri berasal dari derivasi qama-yaqumu-maqam yang berarti tempat berdiri. Maqam secara terminology adalah tahapan dari sebuah pencapaian spiritual dalam proses pendekatan diri kepada Tuhan yang merupakan hasil dari usaha pribadi yang bersifat mistik (Arberry, 1972: 75). Maqam juga berarti sebuah aspek pengetahuan ketuhanan yang merupakan sesadaran permanent yang dicapai oleh jiwa. Sebuah maqam tertentu bisa menjadi karakteristik bagi seorang Wali atau sufi tertentu dan bisa saja tidak berlaku bagi yang lain (Classe, 1995: 258). Abu Nasr al Sarraj al Tusi mendefinisikan maqam dengan kedudukan seorang hamba dihadapan Allah yang berhasil diperolehnya melalui ibadah, perjuangan melawan hawa nafsu (jihad al nafs), berbagai latihan spiritual (riyadlah) dan penghadapan segenap jiwa (intiqa) kepada Allah (Ensiklopedi Tematis, 2004: 308).

53

Istilah maqam berbeda dengan istilah yang lain dalam sufi, yaitu hal (ahwal) yang berarti keadaan jiwa (state of soul) atau beberapa bentuk keadaan secara umum (Ensiklopedi Tematis, 2004: 308). Hal

adalah keadaan spiritual yang tidak

tergantung pada upaya mistik tetapi bergantung kepada Allah. Ini sesuai dengan apa yang dikatakan oleh al-Qushairy yang mengatakan bahwa jika maqam dicapai dengan usaha maha hal merupakan pemberian Allah (dalam Arberry, 1972: 75). Perbedaan antara kedua hal ini dapat dipahami dari komentar salah satu tokoh sufi yang otoritatif, al Hujwiri. maqam mengharuskan keberadaan seseorang dalam rangka menuju Tuhan dan kepatuhan dia terhadap perintah-Nya merupakan usaha untuk mencapai maqam tersebut dan dengan memelihara keadaan itu hingga sampai pada kesempurnaan tergantung pada kesempurnaan manusia. Dia tidak dibolehkan berhenti pada maqamnya tanpa memenuhi kewajiban-kewajibannya. Maqam yang pertama adalah taubat, inabat, zuhd, tawakal dan seterusnya. Maka tidak diperbolehkan seseorang yang berpura-pura melakukan inabat tanpa melakukan taubat terlebih dahulu atau zuhud tanpa taubat. Hal pada satu sisi adalah sesuatu yang diberikan oleh Allah kepada hati seseorang tanpa ia mampu menolaknya ketika datang atau untuk menahannya ketika pergi (dalam Nicholson, 1991: 181 dan Nasr, 1980: 62) Dalam kitabnya al Luma, Abu Nars al Sarraj menjelaskan sepuluh ahwal yaitu: muraqobah, qurb, mahabbah, khauf, raja, syauq, uns, itma’nan, musyahadah dan yaqin (al-Sarraj, 1914: 42 dan Nicholson, 1991: 181), dan menjelaskan maqamat kedalam tujuhbagian yaitu taubah, wara, zuhd, faqr, sabr, tawakal dan rida. Ini berbeda dengan Abu Bakar al Kalabadzi yang membagi maqam dalam kategori taubat, zuhd, sabar, tawakal, rida, mahabbah dan ma’rifat (Ensiklopedi Tematis, 2004: 309).

54

Dalam menentukan jumlah dan tingkatan maqam, para sufi nampaknya berbeda-beda dan tidak mempunyai pekspektip yang sama. Sebagian mereka sama dalam menentukan jumlah yang kebanyakan adalah tujuh maqam namun berbeda mengenai apa saja jenis maqam yang harus dilalui namun ada juga seorang tokoh sufi yang menyebutkan banyak maqam seperti yang dikonsepkan oleh Abu Said Ibn Abi Khayr yang menentukan empat puluh maqam yang harus ditempuh oleh seorang sufi yang terdiri dari: niyyat, mabat, taubat, irodat, mujahadah, muraqabat, sabr, zikr, rida, mukhalafatunnafs, muwafaqat, taslim, tawakal, zuhd, ibadah, wara, ikhlas, sidq, khauf, raja, fana, baqa’, ilm al yaqin, haq al yaqin, ma’rifat, jahd, wilayat, mahabbat, wajd, qurb, tafakkur, wisal, kashf, khidmat, tajrid, tafrid, inbisat, tahqiq, nihayat, tasawwuf (dalam Nasr, 1980: 66-70). Walaupun maqamat merupakan tahapan spiritual yang bisa dilalui melalui usaha dan ahwal merupakan sinyal-sinyal Allah yang diterima oleh seorang sufi, namun ahwal tidak bisa dilepaskan dari usaha seorang sufi dalam meniti maqamat, dengan demikian menurut Abdul Muhaya, ahwal ibarat cahaya maka maqamat adalah ibarat cermin (Muhaya, 2000: 2). Semakin tinggi dan keras usaha seseorang untuk membersihkan cermin, maka semakin terang juga cahaya akan memantul dari cermin tersebut. Seorang salik yang dalam perjalanan telah mencapai maqam yang lebih tinggi tidak diperbolehkan meninggalkan maqam yang ada dibawahnya namun yang harus dilakukan adalah tetap melakukan perjalanan bersamanya. Kualitas yang bagus dalam penghayatan sebuah maqam sagatlah dibutuhkan, sekali maqam tersebut bersamanya maka harus terus bersamanya sampai akhir perjalanan

55

(Amstrong, 1995: 140). Dengan demikian pada dasarnya melampaui sebuah maqam bukan hanya berarti mempunyai pengalaman (to experience) tentang maqam tersebut secara lahiriah, namun diharuskan juga untuk melakukan transformasi secara total dengan maqam tersebut (wholly transformed) (Nasr, 1980: 63-64). Berikut adalah deskripsi tentang stratifikasi konsep maqam menurut Abu Bakar al Kalabadzi. a. Taubat. Maqam ini merupakan awal dari semua maqamat. Kedudukannya laksana fondasi sebuah bangunan. Tanpa fondasi, bangunan tidak akan berdiri dengan baik. Demikian juga tanpa taubat seseorang tidak akan mampu mensucikan jiwanya secara maksimal untuk menghadap Tuhan. Taubah yang berasal dari kata kembali dimaknai sebagai kembali dari segala perbuatan tercela menuju perbuatan terpuji sesuai dengan ketentuan agama (Ensiklopedi Tematis, 2004: 309). Imam al Ghazali menjelaskan bahwa taubat mempunyai dua arti penting. Pertama, dosa yang dilakukan secara terus menerus tanpa disertai dengan taubat mengakibatkan hati menjadi gelap dan penuh dengan kotoran. Kondisi ini membuat hati menjadi tidak akan merasakan kenikmatan dekat dengan Allah. Kedua, taubat menentukan diterimanya amal seseorang, karena ibadah seorang hamba tidak akan diterima selama ia masih penuh dengan dosa (Ensiklopedi Tematis, 2004: 309). Taubat yang paling tinggi secara tingkatan adalah taubatan nasuha yaitu taubat yang menghapuskan keinginan yang terlintas didalam hati untuk melakukan perbuatan dosa yang pernah dilakukan

56

dimasa lampau sebagai perwujudan dari rasa kagum kepada Allah dan takut kepada siksanya. Taubat ini akan dapat terlaksana amemenuhi tiga hal, pertama : membebaskan hati dari keinginan untuk berbuat dosa, kedua: meninggalkan perbuatan buruk yang pernah dilakukan pada masa lalu, ketiga: meninggalkan perbuatan buruk tersebut (Ensiklopedi Tematis, 2004: 309). b. Zuhud Secara bahasa zuhud adalah meninggalkan segala sesuatu karena kekurangan dan kehinaannya, sedangkan secara istilah zuhud dimaknai sebagai kebencian hati yang terkait dengan keduniawian dan menjauhkan diri darinya karena taat kepada Allah meskipun terdapat kesempatan untuk memperolehnya (Ensiklopedi Tematis, 2004: 309). Dalam al-Qur’an dijelaskan bahwa: Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah megah antara kamu serta berbangga tentang banyaknya harta dan anak (QS. 57: 20).

Ayat ini

mengindikasikan bahwa keduniawiaan itu bisa berwujud kesenangan material yang bersifat sementara yang paling penting dan hakiki adalah kehidupan spiritual yang bersifat pribadi dan ruhaniyah. Walaupun kehidupan zuhd berarti bersifat

anti

materi

namun

keperluan

kemanusiaan

juga

tidak

bisa

dikesampingkan karena orang yang zuhd adalah orang yang mampu menggunakan segala hal keduniawian sesuai dengan ketentuan hokum dan etika bukan berlebihan dan berfoya-foya karena semuanya digunakan untuk kepentingan beribadah kepada Allah (Ensiklopedi Tematis, 2004: 309).

57

Menurut Al Sarraj ada tiga tingkatan dalam zuhud. Pertama, zuhud terhadap dunia. Ini adalah zuhud yang paling rendah karena di dalam hatinya sebenarnya masih ada keinginan keduniawiyan hanya saja ia berusaha untuk mengatasinya. Kedua, kezuhudan seseorang yang telah sanggup meninggalkan keduniawian karena ia dianggap sudah tidak mempunyai nilai. Ketiga, zuhud tingkat tertinggi yaitu zuhud yang semata-mata hanya mengharap ridha Allah. Menurut al Ghazali ada tiga tanda dari kezuhudan seseorang, pertama: dia tidak bergembira dengan apa yang dapat dicapai dan tidak berduka dengan sesuatu yang hilang. Ini merupakan tanda zuhud pada harta. Kedua: dia bersikap sama dalam menerima pujian dan ejekan. Ini merupakan tanda zuhud yang terkait dengan jabatan. Ketiga: hatinya senantiasa diliputi kemesraan dalam mengingat Allah dan merasakan nikmatnya beribadah (Ensiklopedi Tematis, 2004: 309). c. Tawakal Secara bahasa tawakal berarti mempercayakan atau mewakilkan. Dalam istilah tasawuf berarti mempercayakan atau menyerahkan segenap masalah kepada Allahdan menyandarkan kepada-Nya penanganan berbagai masalah yang dihadapi. Menurut Zunnun Al-Misri, tawakal adalah meninggalkan tadbir terhadap diri sendiri dengan menghapuskan daya dan kekuatan sehingga orang yang bertawakal kepada Allah tidak melihat adanya daya dan kekuatan melainkan daya dan kekuatan Allah (Ensiklopedi Tematis, 2004: 309). d. Rida’ Maqam rida’ merupakan puncak perkembangan sikap tawakal. Rida berarti menerima apa saja yang telah ditetapkan oleh Allah baik yang

58

menyusahkan maupun menyenangkan. Menurut Harun Nasution, pada maqam rida seseorang tidak akan memberontak batinnya terhadap segala cobaan Allah, tetapi akan selalu menerimanya dengan senang hati, didalam hatinya tidak memiliki perasaan benci ketika mendapat musibah melainkan selalu rela dan selalu mengelorakan rasa cinta kepada Allah. Maqam ini menunjukkan seorang salik telah mencapai derajat kedekatan dengan Allah dan telah berada diambang pintu ketuhanan yang nantinya akan mampu menyaksikan musyahadah dengan Allah melalui hati nurani yang suci (Ensiklopedi Tematis, 2004: 311). e. Mahabbah Mahabbah secara bahasa berasal dari kata hibbah yang berarti benih yang jatuh kebumi. Kata mahabbah dapat diderivasi dari beberapa kata. hubb yang berarti tempayan yang penuh dengan air yang tenang. Hibb yang berarti kayu penyangga poci air. Habb yang berarti relung hati tempat bersemayamnya cinta dan habbah yang berarti gelembung-gelembung air. Menurut Rabiah al Adawiyah (1981: 34), mahabbah merupakan dasar dan prinsip seorang hamba dalam perjalanan menuju Tuhan.

f. Ma’rifat Ma’rifah adalah maqam tertinggi dalam dunia sufisme. Secara bahasa ma’rifah bearti mengenal namun dalam tasawuf diartikan melihat Tuhan dengan hati nurani. Apabila seorang salik telah mencapai derajat ma’rifat pada hakekatnya dia telah sampai pada sebuah kesaksian ruhaniah terhadap tuhan.

59

Pada poisisi seperti ini yang terjadi adalah lenyapnya kesadaran karena tenggelam ke wujud Allah, sehingga yang dirasakan hanyalah selalu bersama Allah (unitive state).

Sebagai pembanding berikut adalah tahapan maqomat menurut Harun Nasution (1996: 24). Menurutnya, Jalan yang ditempuh seseorang untuk sampai ke tingkat melihat Tuhan dengan mata hati dan akhirnya bersatu dengan Tuhan demikian panjang dan penuh duri. Bertahun-tahun orang harus menempuh jalan yang sulit itu. Karena itu hanya sedikit sekali orang yang bisa sampai puncak tujuan tasawuf. Jalan itu disebut tariqah (bahasa Arab), dan dari sinilah berasal kata tarekat dalam bahasa Indonesia. Jalan itu, yang intinya adalah penyucian diri, dibagi kaum sufi ke dalam stasion-stasion yang dalam bahasa Arab disebut maqamat -tempat seorang calon sufi menunggu sambil berusaha keras untuk membersihkan diri agar dapat melanjutkan perjalanan ke stasion berikutnya. Penyucian diri diusahakan melalui ibadat, terutama puasa, shalat, membaca al-Qur'an dan dzikir. Maka, seorang calon sufi banyak melaksanakan ibadat. Tujuan semua ibadat dalam Islam ialah mendekatkan diri itu, terjadilah penyucian diri calon sufi secara berangsur. Langkah pertama yang harus dilakukan seseorang adalah tobat dari dosadosanya. Karena itu, stasion pertama dalam tasawuf adalah tobat. Pada mulanya seorang calon sufi harus tobat dari dosa-dosa besar yang dilakukannya Kalau ia telah berhasil dalam hal ini, ia akan tobat dari dosa-dosa kecil, kemudian dari perbuatan makruh dan selanjutnya dari perbuatan syubhat. Tobat yang dimaksud

60

adalah taubah nasuha, yaitu tobat yang membuat orangnya menyesal atas dosadosanya yang lampau dan betul-betul tidak berbuat dosa lagi walau sekecil apapun. Jelaslah bahwa usaha ini memakan waktu panjang. Untuk memantapkan tobatnya ia pindah ke stasion kedua, yaitu zuhud. Di stasion ini ia menjauhkan diri dari dunia materi dan dunia ramai. Ia mengasingkan diri ke tempat terpencil untuk beribadat, puasa, shalat, membaca al-Qur'an dan dzikir. Puasanya yang banyak membuat hawa nafsunya lemah, dan membuat ia tahan lapar dan dahaga. Ia makan dan minum hanya untuk mempertahankan kelanjutan hidup. Ia sedikit tidur dan banyak beribadat. Pakaiannyapun sederhana. Ia menjadi orang zahid dari dunia, orang yang tidak bisa lagi digoda oleh kesenangan dunia dan kelezatan materi. Yang dicarinya ialah kebahagiaan rohani, dan itu diperolehnya dalam berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Qur'an dan berdzikir. Kalau kesenangan dunia dan kelezatan materi tak bisa menggodanya lagi, ia keluar dari pengasingannya masuk kembali ke dunianya semula. Ia terus banyak berpuasa, melakukan shalat, membaca al-Qur'an dan berdzikir. Ia juga akan selalu naik haji. Sampailah ia ke stasion wara'. Di stasion ini ia dijauhkan Tuhan dari perbuatan-perbuatan syubhat. Dalam literatur tasawuf disebut bahwa al-Muhasibi menolak makanan, karena di dalamnya terdapat syubhat. Bisyr al-Hafi tidak bisa mengulurkan tangan ke arah makanan yang berisi syubhat. Dari stasion wara', ia pindah ke stasion faqr. Di stasion ini ia menjalani hidup kefakiran. Kebutuhan hidupnya hanya sedikit dan ia tidak meminta kecuali hanya untuk dapat menjalankan kewajiban-kewajiban agamanya. Bahkan ia tidak meminta sungguhpun ia tidak punya. Ia tidak meminta tapi tidak menolak

61

pemberian Tuhan. Setelah menjalani hidup kefakiran ia sampai ke stasion sabar. Ia sabar bukan hanya dalam menjalankan perintah-perintah Tuhan yang berat dan menjauhi larangan-larangan Tuhan yang penuh godaan, tetapi juga sabar dalam menerima percobaan-percobaan berat yang ditimpakan Tuhan kepadanya. Ia bukan hanya tidak meminta pertolongan dari Tuhan, bahkan ia tidak menunggu-nunggu datangnya pertolongan. Ia sabar menderita. Selanjutnya ia pindah ke stasion tawakkal. Ia menyerahkan diri sebulatbulatnya kepada kehendak Tuhan. Ia tidak memikirkan hari esok; baginya cukup apa yang ada untuk hari ini. Bahkan, sungguhpun tak ada padanya, ia selamanya merasa tenteram. Kendatipun ada padanya, ia tidak mau makan, karena ada orang yang lebih berhajat pada makanan dari padanya. Ia bersikap seperti telah mati. Dari stasion tawakkal, ia meningkat ke stasion ridla. Dari stasion ini ia tidak menentang percobaan dari Tuhan bahkan ia menerima dengan senang hati. Ia tidak minta masuk surga dan dijauhkan dari neraka. Di dalam hatinya tidak ada perasaan benci, yang ada hanyalah perasaan senang. Ketika malapetaka turun, hatinya merasa senang dan di dalamnya bergelora rasa cinta kepada Tuhan. Di sini ia telah dekat sekali dengan Tuhan dan iapun sampai ke ambang pintu melihat Tuhan dengan hati nurani untuk selanjutnya bersatu dengan Tuhan. Karena stasion-stasion tersebut di atas baru merupakan tempat penyucian diri bagi orang yang memasuki jalan tasawuf, ia sebenarnya belumlah menjadi sufi, tapi baru menjadi zahid atau calon sufi. Ia menjadi sufi setelah sampai ke stasion berikutnya dan memperoleh pengalaman-pengalaman tasawuf. D. Tarekat: Beragam Jalan Menuju Tuhan

62

Tarekat berasal dari kata 'thariqah jamaknya tharaiq, yang berarti: (1) jalan atau petunjuk jalan atau cara, (2) Metode, system (al-uslub), (3) mazhab, aliran, haluan (al-mazhab), (4) keadaan (al-halah), (5) tiang tempat berteduh, tongkat, payung (‘amud al-mizalah). Jalan yang dimaksud di sini adalah jalan untuk menjadi orang bertaqwa, menjadi orang yang diridhoi Allah. Secara praktisnya tarekat adalah kumpulan amalan-amalan lahir dan batin yang bertujuan untuk membawa seseorang untuk menjadi orang bertaqwa (Haeri, 2000: 37). Menurut AlJurjani ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali (740-816 M), tarekat ialah metode khusus yang dipakai oleh salik (para penempuh jalan) menuju Allah

melalui tahapan-

tahapan/maqamat. Dengan demikian tarekat memiliki dua pengertian, pertama ia berarti metode pemberian bimbingan spiritual kepada individu dalam mengarahkan kehidupannya menuju kedekatan diri dengan Tuhan. Kedua, tarekat sebagai persaudaraan kaum sufi (sufi brotherhood) yang ditandai dengan adannya lembaga formal seperti zawiyah, ribath, atau khanaqah (dalam Mulkhan, 1998: 111). Tarekat sufi berkembang secara bertahap dan tidak secara langsung. Di abad-abad awal Islam, kaum sufi tidak terorganisasi dalam lingkungan-lingkungan khusus atau tarekat. Namun, dalam perjalanan waktu, ajaran dan teladan pribadi kaum sufi yang menjalani kehidupan menurut aturan-aturan yang telah ditetapkan agama mulai banyak menarik kelompok manusia. Di antara abad kesembilan dan kesebelas, mulai muncul berbagai tarekat sufi, yang meliputi para ahli dari segala lapisan masyarakat. Ketika tarekat sufi, atau persaudaraan sufi ini muncul, pusat kegiatan sufi bukan lagi di rumah-rumah pribadi, sekolah atau tempat kerja sang pemimpin spiritual (Nafies, 1996: 180).

63

Selain itu, struktur yang lebih bersifat kelembagaan pun diberikan pada pertemuan-pertemuan mereka, dan tarekat-tarekat sufi mulai menggunakan pusatpusat yang sudah ada khusus untuk pertemuan-pertemuan ini. Pusat pertemuan kaum sufi biasanya disebut Khaneqah atau Zawiyya. Orang Turki menamakan tempat perlindungan orang sufi sebagai Tekke. Di Afrika Utara tempat semacam itu disebut Ribat, nama yang juga digunakan untuk menggambarkan kubu atau benteng tentara sufi yang membela jalan Islam dan berjuang melawan orang-orang yang hendak menghancurkannya. Di anak benua India, pusat sufi disebut Jama'at Khana atau Khaneqah (Arberry, 1988: 39). Sama halnya dengan berbagai mazhab hukum Islam, yang muncul pada abad-abad awal setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, dimaksudkan untuk menegaskan suatu jalan yang jelas untuk penerapan hukum tersebut, demikian pula tarekat-tarekat sufi yang muncul dalam periode yang sama bermaksud menegaskan jalan yang sederhana bagi praktik penyucian batin. Sebagaimana banyak mazhab hukum Islam (fiqh) tidak lagi dipropagandakan sehingga berakhir, demikian pula banyak tarekat besar menghadapi situasi yang serupa. Di abad kesembilan terdapat lebih dari tiga puluh mazhab fiqh Islam, tetapi kemudian jumlah tersebut berkurang hingga lima atau enam saja. Di abad ke-12 Anda tak dapat menghitung jumlah tarekat sufi, antara lain karena banyaknya, dan karena tarekat-tarekat itu belum ditegaskan sebagai tarekat. Sebagian besar syekh dan guru spiritual dalam tarekat sufi dan mazhab hukum tidak mengharapkan ajaran mereka akan diberikan penafsiran yang terbatas dan sering kaku pada masa setelah kematian mereka, atau bahwa tarekat sufi dan mazhab hukum dinamai dengan nama mereka. Namun,

64

terpeliharanya tarekat-tarekat sufi sebagian sering merupakan akibat dari pengasingan diri (uzlah) secara fisik dan arah yang diambil oleh kecenderungan Islam (Beck, 1988: 137). Suatu kecenderungan yang nampak pada tarekat-tarekat sufi ialah bahwa banyak diantaranya telah saling bercampur, sering saling memperkuat dan kadang saling melemahkan. Kebanyakan tarekat sufi memelihara catatan tentang silsilahnya, yakni rantai penyampaian pengetahuan dari syekh ke syekh, yang sering tertelusuri sampai kepada salah satu Imam Syi'ah dan karenanya kembali melalui Imam 'Ali ke Nabi Muhammad SAW, sebagai bukti keotentikan dan wewenangnya. Satu-satunya

kekecualian

adalah

tarekat

Naqsyabandiyah

yang

silsilah

penyampaiannya melalui Abu Bakar, khalifah pertama di Madinah, ke Nabi Muhammad SAW (Beck, 1988: 139). Secara substansi tarekat mempunyai tiga sistem, yaitu: sistem kerahasiaan, sistem kekerabatan (persaudaraan) dan sistem hirarki seperti khalifah tawajjuh atau khalifah suluk, syekh atau Mursyid, Wali atau qutub. Kedudukan guru tarekat diperkokoh dengan ajaran wasilah dan silsilah. Keyakinan berwasilah dengan guru dipererat dengan kepercayaan karamah, barakah atau syafa’ah atau limpahan pertolongan dari guru (Iqbal, 1981: 12). Secara substansial terdapat dua macam tarekat yaitu tarekat wajib dan tarekat sunat. Pertama, tarekat wajib, adalah amalan-amalan wajib, baik fardhu ain dan fardhu kifayah yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim. Tarekat wajib yang utama adalah mengamalkan rukun Islam. Contoh amalan wajib yang utama adalah shalat, puasa, zakat, haji. Amalan wajib lain antara lain adalah menutup aurat,

65

makan makanan halal dan lain sebagainya. Kedua, tarekat sunat, yaitu kumpulan amalan-amalan sunat dan mubah yang diarahkan sesuai dengan 5 syarat ibadah untuk membuat pengamalnya menjadi orang bertaqwa. Tentu saja orang yang hendak mengamalkan tarekat sunnah hendaklah sudah mengamalkan tarekat wajib. Jadi tarekat sunnah ini adalah tambahan amalan-amalan di atas tarekat wajib. Paket tarekat sunat ini disusun oleh seorang guru Mursyid untuk diamalkan oleh muridmurid dan pengikutnya. Isi dari paket tarekat sunat ini tidak tetap, tergantung keadaan zaman tarekat tersebut dan juga keadaan murid atau pengikut. Hal-hal yang dapat menjadi isi tarekat sunat ada ribuan jumlahnya, seperti shalat sunat, membaca Al Qur’an, puasa sunat, wirid, zikir dan lain sebagainya (Trimingham, 1971: 4). Salah satu amalan tarekat adalah wirid/zikir yang dibaca secara teratur dengan disiplin tertentu. Wirid ini diberikan/didiktekan oleh Rasulullah kepada pendiri tarekat tersebut melalui yaqazah (pertemuan secara sadar/jaga). Fungsi wirid ini adalah sebagai penguat amalan batin (Hamka, 1978: 241). Berikut adalah kedudukan tarekat dalam empat tingkatan spiritual.

66

Islam sebenarnya terdiri dari empat tingkatan spiritual yaitu, syariat, tariqah atau tarekat, hakikat, sedangkan tingkatan keempat, adalah ma'rifat, tingkatan yang 'tak terlihat', yang sebenarnya adalah inti dari wilayah hakikat, sebagai esensi dari keempat tingkatan spiritual tersebut. Secara lahiriah tarekat terdiri dari beragam bentuk. Pertama, Tarekat Alawiyyah adalah nama salah satu gerakan tarekat yang ada di dunia. Tarekat Alawiyyah berbeda dengan tarekat sufi lain pada umumnya. Perbedaan itu terletak dari praktiknya yang tidak menekankan segi-segi riyadlah (olah rohani) dan kezuhudan, melainkan lebih menekankan pada amal, akhlak, dan beberapa wirid serta dzikir ringan. Sehingga wirid dan dzikir ini dapat dengan mudah dipraktikkan oleh siapa saja meski tanpa dibimbing oleh seorang Mursyid. Ada dua wirid yang diajarkannya, yakni Wirid Al-Lathif dan Ratib Al-Haddad. Juga dapat dikatakan, bahwa tarekat ini merupakan jalan tengah antara Tarekat Syadziliyah [yang menekankan riyadlah qulub (olah hati) dan batiniah] dan Tarekat Al-Ghazaliyah [yang menekankan riyadlah al-‘abdan (olah fisik) (Arberry, 1988: 121). Kedua, Tarekat Khalwatiyah adalah nama sebuah aliran tarekat yang berkembang di Mesir. Pada umumnya, nama sebuah tarekat diambil dari nama sang pendiri tarekat bersangkutan, seperti Qadiriyah dari Syekh Abdul Qadir Al-Jailani atau Naqsyabandiyah dari Baha Uddin Naqsyaband, tetapi Tarekat Khalwatiyah justru diambil dari kata “khalwat”, yang artinya menyendiri untuk merenung. Diambilnya nama ini dikarenakan seringnya Syekh Muhammad Al-Khalwati, pendiri Tarekat Khalwatiyah, melakukan khalwat di tempat-tempat sepi. Secara

67

“nasabiyah”, Tarekat Khalwatiyah merupakan cabang dari Tarekat Az-Zahidiyah, cabang dari Al-Abhariyah, dan cabang dari As-Suhrawardiyah, yang didirikan oleh Syekh Syihabuddin Abi Hafs Umar as-Suhrawardi al-Baghdadi (539-632 H)15. Ketiga, Tarekat Qodiriyah adalah nama sebuah tarekat yang didirikan oleh Syeikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Jaelani Al-Baghdadi16. Tarekat Qodiriyah berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria kemudian diikuti oleh jutaan umat muslim yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia. Tarekat ini sudah berkembang sejak abad ke-13. Namun meski sudah berkembang sejak abad ke-13, tarekat ini baru terkenal di dunia pada abad ke 15 M. Di Makkah, tarekat Qodiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M. Tarekat Qodiriyah ini dikenal luwes, yaitu apabila murid sudah mencapai derajat syeikh, maka murid tidak mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya, bahkan dia berhak melakukan modifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal itu seperti tampak pada ungkapan Abdul Qadir Jaelani sendiri, "Bahwa murid yang sudah

15

Tarekat Khalwatiyah dibawa ke Mesir oleh Musthafa al-Bakri (lengkapnya Musthafa bin Kamaluddin bin Ali al-Bakri as-Shiddiqi), seorang penyair sufi asal Damaskus, Syria. Ia mengambil tarekat tersebut dari gurunya yang bernama Syekh Abdul Latif bin Syekh Husamuddin al-Halabi. Karena pesatnya perkembangan tarekat ini di Mesir, tak heran jika Musthafa al-Bakri dianggap sebagai pemikir Khalwatiyah oleh para pengikutnya. Karena selain aktif menyebarkan ajaran Khalwatiyah ia juga banyak melahirkan karya sastra sufistik. Di antara karyanya yang paling terkenal adalah Tasliyat Al-Ahzan (Pelipur Duka). 16 Syaikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Al-Jaelani Al-Baghdadi QS, ini adalah urutan ke 17 dari rantai mata emas mursyid tarekat. Garis Salsilah tarekat Qodiriyah ini berasal dari Sayidina Muhammad Rasulullah SAW, kemudian turun temurun berlanjut melalui Sayidina Ali bin Abi Thalib ra, Sayidina Al-Imam Abu Abdullah Al-Husein ra, Sayidina Al-Imam Ali Zainal Abidin ra, Sayidina Muhammad Baqir ra, Sayidina Al-Imam Ja'far As Shodiq ra, Syaikh Al-Imam Musa Al Kazhim, Syaikh Al-Imam Abul Hasan Ali bin Musa Al Rido, Syaikh Ma'ruf Al-Karkhi, Syaikh Abul Hasan Sarri AsSaqoti, Syaikh Al-Imam Abul Qosim Al Junaidi Al-Baghdadi, Syaikh Abu Bakar As-Syibli, Syaikh Abul Fadli Abdul Wahid At-Tamimi, Syaikh Abul Faraj Altartusi, Syaikh Abul Hasan Ali Al-Hakkari, Syaikh Abu Sa'id Mubarok Al Makhhzymi, Syaikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Al-Jaelani AlBaghdadi QS.

68

mencapai derajat gurunya, maka dia jadi mandiri sebagai syeikh dan Allah-lah yang menjadi Walinya untuk seterusnya." Mungkin karena keluwesannya tersebut, sehingga terdapat puluhan tarekat yang masuk dalam kategori Qodiriyah di dunia Islam. Seperti Banawa yang berkembang pada abad ke-19, Ghawtsiyah (1517), Junaidiyah (1515 M), Kamaliyah (1584 M), dan lain-lain, semuanya berasal dari India. Di Turki terdapat tarekat Hindiyah, Khulusiyah, dan lain-lain. Di Yaman ada tarekat Ahdaliyah, Asadiyah, Mushariyyah, sedangkan di Afrika diantaranya terdapat tarekat Ammariyah, Tarekat Bakka'iyah, dan lain sebagainya. Di Indonesia, pencabangan tarekat Qodiriyah ini secara khusus oleh Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasi digabungkan dengan tarekat Naqsyabandiyah menjadi tarekat Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah . Kemudian garis salsilahnya yang salah satunya melalui Syaikh Abdul Karim Tanara AlBantani17 berkembang pesat di seluruh Indonesia. Keempat, Tariqah Naqsyabandiyah yang merupakan salah satu tarekat sufi yang paling luas penyebarannya18. Ciri yang menonjol dari Tarekat Naqsyabandiyah adalah diikutinya syari’at secara ketat, keseriusan dalam beribadah menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari, serta lebih mengutamakan berdzikir dalam hati, 17

Syaikh Abdul Karim Tanara Al-Bantani ini berasal dari Banten dan merupakan ulama Indonesia pertama yang menjadi Imam Masjidil Haram. Selanjutnya jalur salsilahnya berlanjut ke Syaikh Abdullah Mubarok Cibuntu atau lazim dikenal sebagai Syaikh Abdul Khoir Cibuntu Banten. Terus berlanjut ke Syaikh Nurun Naum Suryadipraja yang berkedudukan di Pabuaran Bogor. Selanjutnya garis salsilah ini saat ini berlanjut ke Syaikh Al Waasi Achmad Syaechudin. Syaikh Al Waasi Achmad Syaechudin selain mempunyai sanad dari tarekat Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah juga khirkoh dari tarekat Naqsyabandiyah dari garis salsilah Syaikh Jalaludin. Beliau sampai dengan hari ini meneruskan tradisi tarekat Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah dengan kholaqoh dzikirnya yang bertempat di Bogor Baru kotamadya Bogor propinsi Jawa Barat. Rekaman suara tausiahnya pada setiap pelaksanaan kholaqoh dzikirnya dapat didengarkan melalui http://www.SyaikhAchmadSyaechudin.org 18 Tarekat ini bermula di Bukhara pada akhir abad ke-14, Naqsyabandiyah mulai menyebar ke daerah-daerah tetangga dunia Muslim dalam waktu seratus tahun. Perluasannya mendapat dorongan baru dengan munculnya cabang Mujaddidiyah, dinamai menurut nama Syekh Ahmad Sirhindi Mujaddidi Alf-i Tsani (”Pembaru Milenium kedua”, w. 1624). Pada akhir abad ke-18, nama ini hampir sinonim dengan tarekat tersebut di seluruh Asia Selatan, wilayah Utsmaniyah, dan sebagian besar Asia Tengah

69

dan kecenderungannya semakin kuat ke arah keterlibatan dalam politik (meskipun tidak konsisten). Praktik Naqsyabandiyah di Indonesia sejak dini sangat berbeda dengan adanya ritual yang disebut dengan suluk, yakni menyendiri dengan jangka waktu yang berbeda-beda dan sebagian diiringi dengan puasa. Asal usul praktik ini sangat berbeda dengan tradisi Naqsyabandiyah yang tidak diketahui. Putusnya hubungan dengan Makkah akibat penaklukan Hijaz oleh kaum Wahabiyah makin menambah ciri khas bagi kaum Naqsyabandiyah di Melayu Indonesia19. Penganut Naqsyabandiyah mengenal sebelas asas Thariqah. Delapan dari asas itu dirumuskan oleh ‘Abd al-Khaliq Ghuzdawani, sedangkan sisanya adalah penambahan oleh Baha’ al-Din Naqsyaband. Asas-asas ini disebutkan satu per satu dalam banyak risalah, termasuk dalam dua kitab pegangan utama para penganut Khalidiyah, Jami al-’Ushul Fi al-’Auliya. Kitab karya Ahmad Dhiya’ al-Din Gumusykhanawi itu dibawa pulang dari Makkah oleh tidak sedikit jamaah haji Indonesia pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Kitab yang satu lagi, yaitu Tanwir al-Qulub oleh Muhammad Amin al-Kurdi dicetak ulang di Singapura dan di Surabaya, dan masih dipakai secara luas. Masing-masing asas dikenal dengan namanya dalam bahasa Parsi. Delapan asas-asas yang dinisbatkan kepada Abd al-Khaliq Ghuswadani adalah (Bergin, 1995: 5): 19

Naqsyabandiyah, sebagai tarekat, punya sejarah dalam rentangan masa hampir enam abad, dan penyebaran yang secara geografis meliputi tiga benua. Maka tidaklah mengherankan apabila warna dan tata cara Naqsyabandiyah menunjukkan aneka variasi mengikuti masa dan tempat tumbuhnya. Adaptasi terjadi karena keadaan memang berubah, dan guru-guru yang berbeda telah memberikan penekanan pada aspek yang berbeda dari asas yang sama, serta para pembaharu menghapuskan pola pikir tertentu atau amalan-amalan tertentu dan memperkenalkan sesuatu yang lain. Dalam membaca pembahasan mengenai berbagai pikiran dasar dan ritual berikut, hendaknya selalu diingat bahwa dalam pengamalannya sehari-hari variasinya tidak sedikit.

70

1. Hush dar dam: “sadar sewaktu bernafas”. Sufi yang bersangkutan haruslah sadar setiap menarik nafas, menghembuskan nafas, dan ketika berhenti sebentar di antara keduanya. Perhatian pada nafas dalam keadaan sadar akan Allah, memberikan kekuatan spiritual dan membawa orang lebih hampir kepada Allah, lupa atau kurang perhatian berarti kematian spiritual dan membawa orang jauh dari Allah. 2. Nazar bar qadam: “menjaga langkah”. Sewaktu berjalan, sang murid haruslah menjaga langkah-langkahnya, sewaktu duduk memandang lurus ke depan, demikianlah agar supaya tujuan-tujuan (ruhani)-nya tidak dikacaukan oleh segala hal di sekelilingnya yang tidak relevan. 3. Safar dar watan: “melakukan perjalanan di tanah kelahirannya”. Melakukan perjalanan batin, yakni meninggalkan segala bentuk ketidaksempurnaannya sebagai manusia menuju kesadaran akan hakikatnya sebagai makhluk yang mulia atau, dengan penafsiran lain: suatu perjalanan fisik, melintasi sekian negeri, untuk mencari Mursyid yang sejati untuk sepenuhnya pasrah dan dialah yang akan menjadi perantaranya dengan Allah. 4. Khalwat dar anjuman: “sepi di tengah keramaian”. Berbagai pengarang memberikan bermacam tafsiran. Khalwat bermakna menyepinya seorang pertapa, anjuman dapat berarti perkumpulan tertentu. Beberapa orang mengartikan asas ini sebagai “menyibukkan diri dengan terus menerus membaca dzikir tanpa memperhatikan hal-hal lainnya bahkan sewaktu berada di tengah keramaian orang”; yang lain mengartikan sebagai perintah untuk turut serta secara aktif dalam kehidupan bermasyarakat sementara pada waktu yang sama

71

hatinya tetap terpaut kepada Allah saja dan selalu wara’. Keterlibatan banyak kaum Naqsyabandiyah secara aktif dalam politik dilegitimasikan (dan mungkin dirangsang) dengan mengacu kepada asas ini. 5. Yad kard: “ingat”, “menyebut”. Terus-menerus mengulangi nama Allah, dzikir tauhid (la ilaha illallah), atau formula dzikir lainnya yang diberikan oleh guru seseorang, dalam hati atau dengan lisan. Oleh sebab itu, bagi penganut Naqsyabandiyah, dzikir itu tidak dilakukan sebatas berjamaah ataupun sendirian sehabis shalat, tetapi harus terus-menerus, agar di dalam hati bersemayam kesadaran akan Allah yang permanen. 6. Baz gasyt: “kembali”, ” memperbarui”. Demi mengendalikan hati supaya tidak condong kepada hal-hal yang menyimpang, sang murid harus membaca setelah dzikir tauhid atau ketika berhenti sebentar di antara dua nafas, formula ilahi anta maqsudi wa ridlaka mathlubi (Ya Tuhanku, Engkaulah tempatku memohon dan keridlaan-Mulah yang kuharapkan). Sewaktu mengucapkan dzikir, arti dari kalimat ini haruslah senantiasa berada di hati seseorang, untuk mengarahkan perasaannya yang halus kepada Tuhan semata. 7. Nigah dasyt: “waspada” yaitu menjaga pikiran dan perasaan terus-menerus sewaktu melakukan dzikir tauhid, untuk mencegah agar pikiran dan perasaan tidak menyimpang dari kesadaran yang tetap akan Tuhan, dan untuk memlihara pikiran dan perilaku seseorang agar sesuai dengan makna kalimat tersebut. 8. Yad dasyt: “mengingat kembali”. Penglihatan yang diberkahi: secara langsung menangkap Zat Allah, yang berbeda dari sifat-sifat dan nama-namanya; mengalami bahwa segalanya berasal dari Allah Yang Esa dan beraneka ragam

72

ciptaan terus berlanjut ke tak berhingga. Penglihatan ini ternyata hanya mungkin dalam keadaan jadzbah: itulah derajat ruhani tertinggi yang bisa dicapai. Tiga asas tambahan dari Baha al-Din Naqsyabandi terdiri dari (Bergin, 1995: 15): 1. Wuquf-i zamani: “memeriksa penggunaan waktu seseorang”. Mengamati secara teratur bagaimana seseorang menghabiskan waktunya. (Al-Kurdi menyarankan agar ini dikerjakan setiap dua atau tiga jam). Jika seseorang secara terusmenerus sadar dan tenggelam dalam dzikir, dan melakukan perbuatan terpuji, hendaklah berterimakasih kepada Allah, jika seseorang tidak ada perhatian atau lupa atau melakukan perbuatan berdosa, hendaklah ia meminta ampun kepadaNya. 2. Wuquf-i ‘adadi: “memeriksa hitungan dzikir seseorang”. Dengan hati-hati beberapa kali seseorang mengulangi kalimat dzikir (tanpa pikirannya mengembara ke mana-mana). Dzikir itu diucapkan dalam jumlah hitungan ganjil yang telah ditetapkan sebelumnya. 3. Wuquf-i qalbi: “menjaga hati tetap terkontrol”. Dengan membayangkan hati seseorang (yang di dalamnya secara batin dzikir ditempatkan) berada di hadirat Allah, maka hati itu tidak sadar akan yang lain kecuali Allah, dan dengan demikian perhatian seseorang secara sempurna selaras dengan dzikir dan maknanya. Tarekat Naqsyabandiyah membedakan dirinya dengan aliran lain dalam hal dzikir yang lazimnya adalah dzikir diam (khafi, “tersembunyi”, atau qalbi, ” dalam hati”), sebagai lawan dari dzikir keras (dhahri) yang lebih disukai tarekat-

73

tarekat lain. Kedua, jumlah hitungan dzikir yang mesti diamalkan lebih banyak pada Tarekat Naqsyabandiyah daripada kebanyakan tarekat lain. Dzikir dapat dilakukan baik secara berjamaah maupun sendiri-sendiri. Banyak penganut Naqsyabandiyah lebih sering melakukan dzikir secara sendiri-sendiri, tetapi mereka yang tinggal dekat seseorang syekh cenderung ikut serta secara teratur dalam pertemuanpertemuan di mana dilakukan dzikir berjamaah. Di banyak tempat pertemuan semacam itu dilakukan dua kali seminggu, pada malam Jum’at dan malam Selasa; di tempat lain dilaksanakan tengah hari sekali seminggu atau dalam selang waktu yang lebih lama lagi (Arberry, 1988: 107). Dua dzikir dasar Naqsyabandiyah, keduanya biasanya diamalkan pada pertemuan yang sama, adalah dzikir ism al-dzat, “mengingat yang Haqiqi” dan dzikir tauhid, ” mengingat keesaan”. Dsikir yang pertama terdiri dari pengucapan asma Allah berulang-ulang dalam hati, ribuan kali (dihitung dengan tasbih), sambil memusatkan perhatian kepada Tuhan semata. Dzikir Tauhid (juga dzikir tahlil atau dzikir nafty wa itsbat) terdiri atas bacaan perlahan disertai dengan pengaturan nafas, kalimat la ilaha illa llah, yang dibayangkan seperti menggambar jalan (garis) melalui tubuh. Bunyi la permulaan digambar dari daerah pusar terus ke hati sampai ke ubun-ubun. Bunyi Ilaha turun ke kanan dan berhenti pada ujung bahu kanan. Di situ, kata berikutnya, illa dimulai dengan turun melewati bidang dada, sampai ke jantung, dan ke arah jantung inilah kata Allah di hujamkan dengan sekuat tenaga. Orang membayangkan jantung itu mendenyutkan nama Allah dan membara, memusnahkan segala kotoran.

74

Variasi lain yang diamalkan oleh para pengikut Naqsyabandiyah yang lebih tinggi tingkatannya adalah dzikir latha’if. Dengan dzikir ini, orang memusatkan kesadarannya (dan membayangkan nama Allah itu bergetar dan memancarkan panas) berturut-turut pada tujuh titik halus pada tubuh. Titik-titik ini, lathifah (jamak latha’if), adalah qalb (hati), terletak selebar dua jari di bawah puting susu kiri; ruh (jiwa), selebar dua jari di atas susu kanan; sirr (nurani terdalam), selebar dua jari di atas putting susu kanan; khafi (kedalaman tersembunyi), dua jari di atas puting susu kanan; akhfa (kedalaman paling tersembunyi), di tengah dada; dan nafs nathiqah (akal budi), di otak belahan pertama. Lathifah ketujuh, kull jasad sebetulnya tidak merupakan titik tetapi luasnya meliputi seluruh tubuh. Apabila seseorang telah mencapai tingkat dzikir yang sesuai dengan lathifah terakhir ini, seluruh tubuh akan bergetar dalam nama Tuhan (Arberry: 1988, 108). Kelima, Tarekat Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah adalah nama sebuah tarekat yang merupakan penggabungan dari Tarekat Qodiriyah dengan Tarekat Naqsyabandiyah yang dilakukan oleh Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasiatau biasa disebut juga dengan nama Syaikh Ahmad Khatib bin Abdul Ghaffar alSambasi al-Jawi. Beliau adalah ulama besar dari Indonesia yang diangkat menjadi imam Masjidil Haram di Makkah al-Mukarramah. Beliau tinggal sampai akhir hayatnya di Makkah. Beliau wafat pada tahun 1878. Sebagai seorang guru Mursyid yang kamil mukammil, Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasi sebenarnya memiliki otoritas untuk membuat modifikasi tersendiri bagi tarekat yang dipimpinnya. Dikemudian hari, tarekat ini sangat berkembang pesat dan menjadi tarekat yang paling banyak pengikutnya di Indonesia. Mursyid Tarekat Qodiriyah Wa

75

Naqsyabandiyah diantaranya adalah Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasi, Syaikh Abdul

Karim

Tanara

Nawawi

Al-Bantani,

Syaikh

Abdullah

Mubarok

Cibuntu/Syaikh Abdul Khoir Cibuntu Banten, Syaikh Nurun Naum Suryadipraja, Syaikh Al Waasi Achmad Syaechudin dan Syaikh Nur Churi Satar Gondanglegi Malang - Jatim. Keenam, Tarekat Syattariyah adalah aliran tarekat yang pertama kali muncul di India pada abad ke-15. Tarekat ini dinisbahkan kepada tokoh yang mempopulerkan dan berjasa mengembangkannya, Abdullah asy-Syattar. Awalnya tarekat ini lebih dikenal di Iran dan Transoksania (Asia Tengah) dengan nama Isyqiyah. Sedangkan di wilayah Turki Usmani, tarekat ini disebut Bistamiyah. Ketujuh, Thoriqoh Shiddiqiyyah atau Tarekat Shiddiqiyyah. Thoriqoh ini merupakan aliran tarekat yang mengajarkan metode atau sistem untuk menanamkan kalimat Laa ilaaha ilallah ke dalam jiwa, hati, roh yang menyehatkan serta membersihkannya dari bemacam-macam penyakit dan kotoran. Tarekat ini dari Rosululloh Muhammad diturunkan melalui sahabat Sayyidina Abu Bakar Ash Shiddiq. Mursyid Tarekat Shiddiqiyyah saat ini adalah Syaih Muhammad Muhtar bin Abdul Mu'thi – Muchtarulloh Al Mujtaba r.a., yang mulai mengajarkan Tarekat Shiddiqiyyah sejak tahun 1954, setelah memperoleh izin dan perintah dari Mursyidnya, Syaih Ahmad Syuaib Jamali Al Banteni. Kata Shiddiqiyyah berasal dari gelar dari Sayyidina Abu Bakar ketika Nabi Muhammad SAW menceritakan tentang pengalamannya didalam Isra Mi'raj kepada umatnya saat itu. Sayyidina Abu Bakar adalah salah satu orang pertama percaya akan kebenaran peristiwa Isra Mi'raj yang dialami Nabi SAW. Abu Bakar mendapatkan gelar Shiddiq dari Rasulullah

76

SAW, yang artinya membenarkan, percaya atas kebenaran. Thoriqoh Shiddiqiyyah sekarang ini di luar Indonesia sudah punah, dan satu-satunya di dunia hanya terdapat di Indonesia yang berpusat di Jombang, Jawa Timur. Kedelapan, Tarekat Tijaniyah adalah salah satu dari gerakan tarekat yang didirikan oleh Abul Abbas Ahmad bin Muhammad bin al-Mukhtar at-Tijani (17371815), salah seorang tokoh dari gerakan "Neosufisme". Ciri dari gerakan ini ialah karena penolakannya terhadap sisi eksatik dan metafisis sufisme dan lebih menyukai pengalaman secara ketat ketentuan-ketentuan syari'at dan berupaya sekuat tenaga untuk menyatu dengan ruh Nabi Muhammad SAW sebagai ganti untuk menyatu dengan Tuhan.

Dalam tradisi tarekat, peran seorang Mursyid (pembimbing atau guru ruhani) merupakan syarat mutlak untuk mencapai tahapan-tahapan puncak spiritual. Eksistensi dan fungsi Mursyid atau wilayah keMursyidan ini ditolak oleh sebagaian ulama yang anti tasawuf atau mereka yang memahami tasawuf dengan cara-cara individual. Mereka merasa mampu menembus jalan ruhani yang penuh dengan rahasia menurut metode dan cara mereka sendiri, bahkan dengan mengandalkan pengetahuan yang selama ini mereka dapatkan dari ajaran Al-Qur´an dan Sunnah. Namun karena pemahaman terhadap kedua sumber ajaran tersebut terbatas, mereka mengklaim bahwa dunia tasawuf bisa ditempuh tanpa bimbingan seorang Mursyid (Schimmel, 1986: 12). Pandangan ini dinilai layak hanya secara teoritis belaka tetapi dalam praktek sufisme, hampir bisa dipastikan, bahwa mereka hanya meraih kegagalan spiritual.

77

Bukti-bukti historis akan kegagalan spoiritual tersebut telah dibuktikan oleh para ulama sendiri yang mencoba menempuh jalan sufi tanpa menggunakan bimbingan Mursyid. Para ulama besar sufi, yang semula menolak tasawuf, seperti Ibnu Athaillah as-Sakandari, Sulthanul Ulama Izzuddin Ibnu Abdis Salam, Syeikh Abdul Wahab asy-Sya´rani, dan Hujjatul Islam Abu Hamid Al-Ghazali akhirnya harus menyerah pada pengembaraannya sendiri, bahwa dalam proses menuju kepada Allah tetap membutuhkan seorang Mursyid (Schimmel, 1986: 12). Masing-masing ulama besar tersebut memberikan kesaksian, bahwa seorang dengan kehebatan ilmu agamanya, tidak akan mampu menempuh jalan sufi, kecuali atas bimbingan seorang Syekh atau Mursyid. Sebab dunia pengetahuan agama, seluas apa pun, hanyalah "dunia ilmu", yang hakikatnya lahir dari amaliah. Sementara, yang dicerap dari ilmu adalah produk dari amaliah ulama yang telah dibukakan jalan ma´rifat itu sendiri (Najati, 1980: 328). Jalan ma´rifat itu tidak bisa begitu saja ditempuh begitu saja dengan mengandalkan pengetahuan akal rasional, kecuali hanya akan meraih Ilmul Yaqin belaka, belum sampai pada tahap Haqqul Yaqin. Alhasil mereka yang merasa sudah sampai kepada Allah (wushul) tanpa bimbingan seorang Mursyid, wushul-nya bisa dikategorikan sebagai wushul yang penuh dengan tipu daya. Sebab, dalam alam metafisika sufisme, mereka yang menempuh jalan sufi tanpa bimbingan ruhani seorang Mursyid, tidak akan mampu membedakan mana hawathif-hawathif (bisikan-bisikan lembut) yang datang dari Allah, dari malaikat atau dari syetan dan bahkan dari jin. Di sinilah jebakan-jebakan dan tipu daya penempuh jalan sufi muncul. Oleh sebab itu ada kalam sufi yang sangat terkenal: "Barangsiapa

78

menempuh jalan Allah tanpa disertai seorang guru, maka gurunya adalah syetan" (Bastaman, 1997, 59) . Oleh sebab itu, seorang ulama sendiri, tetap membutuhkan seorang pembimbing ruhani, walaupun secara lahiriah pengetahuan yang dimiliki oleh sang ulama tadi lebih tinggi dibanding sang Mursyid. Tetapi, tentu saja, dalam soal-soal Ketuhanan, soal-soal bathiniyah, sang ulama tentu tidak menguasainya (Aceh, 1985: 12) . Seorang pembimbing ruhani mesti memiliki predikat seorang yang Wali, dan seorang yang Mursyid. Dengan kata lain, seorang Mursyid yang bisa diandalkan adalah seorang Mursyid yang Kamil Mukammil, yaitu seorang yang telah mencapai keparipurnaan ma´rifatullah sebagai Insan yang Kamil, sekaligus bisa memberikan bimbingan jalan keparipurnaan bagi para pengikut thariqatnya. Tentu saja, untuk mencari model manusia paripurna setelah wafatnya Rasulullah saw. terutama hari ini, sangatlah sulit. Sebab ukuran-ukuran atau standarnya bukan lagi dengan menggunakan standar rasional-intelektual, atau standar-standar empirisme, seperti kemasyhuran, kehebatan-kehebatan atau pengetahuan-pengetahuan ensiklopedis misalnya tetapi, adalah penguasaan wilayah spiritual yang sangat luhur, dimana, logika-logikanya, hanya bisa dicapai dengan mukasyafah kalbu atau akal hati (Nurbachshi, 1991: 8). Siapakah Wali itu? Wali adalah kekasih Allah Swt. Mereka adalah para kekasih Allah yang senanatiasa total dalam tha´at ubudiyahnya, dan tidak berkubang dalam kemaksiatan. Sebagian tanda dari keWalian adalah tidak adanya rasa takut sedikit pun yang terpancar dalam dirinya, tetapi juga tidak sedikit pun merasa gelisah atau susah. Para Wali ini pun memiliki hirarki spiritual yang cukup

79

banyak, sesuai dengan tahap atau maqam dimana, mereka ditempatkan dalam Wilayah Ilahi. Paduan antara keWalian dan keMursyidan inilah yang menjadi prasyarat bagi munculnya seorang Mursyid yang Kamil dan Mukammil di atas. Menurut Sulthanul Auliya´ Syekh Abul Hasan asy-Syadzily ra, bahwa syarat-syarat seorang Syekh atau Mursyid yang layak, minimal ada lima yaitu: memiliki sentuhan rasa ruhani yang jelas dan tegas, memiliki pengetahuan yang benar, Memiliki cita (himmah) yang luhur, memiliki perilaku ruhani yang diridhai dan memiliki matahati yang tajam untuk menunjukkan jalan Ilahi. Sebaliknya keMursyidan seseorang gugur manakala melakukan salah satu tindakan berikut: bodoh terhadap ajaran agama, mengabaikan kehormatan ummat Islam, melakukan hal-hal yang tidak berguna, mengikuti selera hawa nafsu dalam segala tindakan dan berakhal buruk tanpa peduli dengan perilakunya. Syekh Abu Madyan menyatakan, siapa pun yang mengaku dirinya mencapai tahap ruhani dalam perilakunya di hadapan Allah Swt. lalu muncul salah satu dari lima karakter di bawah ini, maka, orang ini adalah seorang pendusta ruhani. Lima karakter tersebut adalah membiarkan dirinya dalam kemaksiatan, mempermainkan thaat kepada Allah, tamak terhadap sesama makhuk, kontra terhadap Ahlullah dan tidak menghormati sesama ummat Islam sebagaimana diperintahkan Allah Swt. Syekh Abul Hasan Asy-Syadzili mengatakan, "Siapa yang menunjukkan dirimu kepada dunia, maka ia akan menghancurkan dirimu. Siapa yang menunjukkan dirimu pada amal, ia akan memayahkan dirimu. Dan barangsiapa menunjukkan dirimu kepada Allah Swt. maka, ia pasti menjadi penasehatmu." (dalam AlTaftazani, 1979: 15).

Ibnu Athaillah as-Sakandari dalam kitab Al-Hikam

80

mengatakan, "Janganlah berguru pada seseorang yang yang tidak membangkitkan dirimu untuk menuju kepada Allah dan tidak pula menunjukkan wacananya kepadamu, jalan menuju Allah" (dalam Al-Taftazani, 1979: 15) . Seorang Mursyid yang hakiki, menurut Asy-Syadzili adalah seorang Mursyid yang tidak memberikan beban berat kepada para muridnya. Dari kalimat ini menunjukkan bahwa banyak para guru sufi yang tidak mengetahui kadar bathin para muridnya, tidak pula mengetahui masa depan kalbu para muridnya, tidak pula mengetahui rahasia Ilahi di balik nurani para muridnya, sehingga guru ini, dengan mudahnya dan gegabahnya memberikan amaliyah atau tugas-tugas yang sangat membebani fisik dan jiwa muridnya. Jika seperti demikian, guru ini bukanlah guru yang hakiki dalam dunia sufi. Jika secara khusus, karakteristik para Mursyid sedemikian rupa itu, maka secara umum, mereka pun berpijak pada lima (5) prinsip thariqat itu sendiri yaitu taqwa kepada Allah swt. lahir dan batin, mengikuti Sunnah Nabi Saw. baik dalam ucapan maupun tindakan, berpaling dari makhluk (berkonsentrasi kepada Allah) ketika mereka datang dan pergi, ridha kepada Allah, atas anugerah-Nya, baik sedikit maupun banyak dan kembali kepada Allah dalam suka maupun duka (Haeri, 2000: 152). Dari sejumlah ilusttrasi di atas, maka bagi para penempuh jalan sufi hendaknya memilih seorang Mursyid yang benar-benar memenuhi standar di atas, sehingga mampu menghantar dirinya dalam penempuhan menuju kepada Allah Swt. Rasulullah saw. adalah teladan paling paripurna. Ketika hendak menuju kepada Allah dalam Isra´ dan Mi´raj, Rasulullah senantiasa dibimbing oleh Malaikat Jibril as. Fungsi Jibril di sini identik dengan Mursyid di mata kaum sufi. Hal yang sama,

81

ketika Nabiyullah Musa as, yang merasa telah sampai kepada-Nya, ternyata harus diuji melalui bimbingan ruhani seorang Nabi Khidir as. Hubungan Musa dan Khidir adalah hubungan spiritual antara Murid dan Syekh. Maka dalam soal-soal rasional Musa as sangat progresif, tetapi beliau tidak sehebat Khidir dalam soal batiniyah. Karena itu lebih penting lagi, tentu menyangkut soal etika hubungan antara Murid dengan Mursyidnya, atau antara pelaku sufi dengan Syekhnya. Syekh Abdul Wahhab asy-Sya´rani, (W. 973 H) secara khusus menulis kitab yang berkaitan dengan etika hubungan antara Murid dengan Mursyid tersebut, dalam "Lawaqihul Anwaar al-Qudsiyah fi Ma´rifati Qawa´idus Shufiyah" (Haeri, 2000: 149).

E. Rekonstruksi terhadap Tasawuf Ide rekonstruksi terhadap tasawuf salah satunya dapat ditemukan dalam pemikiran

Hasan

Hanafi.

Secara

mendasar

dia

menolak

tasawuf

serta

memandangnya sebagai penyebab dekadensi kaum Muslimin (Hanafi, 2001: 24). Tasawuf sesungguhnya merupakan gerakan anti kemewahan, anti arogansi, anti gila terhadap kekuasaan dan anti kompetisi duniawi, setelah perlawanan partai-partai oposisi dari imam-imam ahl al-bayt, yang dimulai dari saat Ali dan Husein mengalami kekalahan. Oleh karena itu, ketika kekuasaan dinasti Umayyah mulai mapan, orang-orang meninggalkan gebyar duniawi yang dinilai sebagai penyebab perpecahan dan pertumpahan darah. Prinsip yang mereka gunakan adalah menyelamatkan diri sendiri jika tak dapat menyelamatkan orang lain dan tetap dalam kesucian roh-batiniah jika tak mampu menegakkan syari’at dalam kehidupan.

82

Islam, lalu, berubah dari suatu gerakan horizontal dalam sejarah menjadi gerakan vertikal, yang keluar dari kehidupan dunia. Cita-cita kesejarahan menjadi cita-cita historis; dari milik seluruh umat, Islampun menjadi milik eksklusif jamaah tarekat belaka. Pada tingkat ekstase (fana`) dan manunggal dengan Tuhan (alittihad) secara illusif dan fantastik, para sufi mengakhiri pengembaraan spiritualnya tanpa mengubah dunia. Hanafi menuding bahwa menyelamatkan diri sendiri tanpa menyelamatkan orang lain adalah egoisme, kesucian jiwa tanpa kesucian dunia adalah naif dan destruktif. Kaum Muslimin menderita karena nilai-nilai negatif yang dikembangkan, seperti faqr (kemiskinan), khawf (ketakutan), dan al-ju’ (kelaparan). Maka, kaum Muslimin benar-benar miskin, takut lapar dan mengalami krisis yang tak ada yang dapat melepaskan diri dari krisis itu (Hanafi, 2001: 67). Kaum Muslimin merasa sebagai "sebaik-baik umat yang dilahirkan untuk manusia" (khaira ummatin ukhrijat li al-nas), memilih peradaban tinggi yang pernah lahir dalam sejarah dan menjadi umat yang unggul, akan tetapi mereka tak mampu melakukan amar ma’ruf nahi munkar agar menjadi umat yang terbaik. Adapun ekstase sesungguhnya adalah ekstase dalam karya dan berkorban untuk menegaskan misi kemanusiaan manunggal (al-ittihad), yakni menerapkan syariat Islam dan membumikan wahyu dalam tatanan dunia secara aktif, melalui gerakan kaum Muslim dalam sejarah. Atas pertimbangan di atas, Hanafi mencoba merekonstruksi tasawuf. Hanafi (2000: 44) mengatakan bahwa tasawuf adalah bagian integral dari kebudayaan Islam. Ia merupakan salah satu dari empat besar ilmu rasional (‘aql) yang bersifat tradisional (naql). Sesudah serangan yang dilancarkan al-Ghazali atas ilmu-ilmu

83

rasional yang diwakili filsafat, yang melalui ilmu itu teologi mu’tazilah berhasil menampilkan rasionalisme Islam selama empat abad, dari abad II hingga abad V Hijriyah, tasawuf menjalin hubungan dengan teologi tradisional, yakni Asy’ariyah yang mengambil alih semua ilmu Islam selama tujuh abad berikutnya dan sepanjang masa kerajaan Usmaniyah hingga gerakan pembaharuan modern. Manurut Hanafi (2000: 44), tasawuf lahir dalam kondisi historis yang mengharuskan adanya upaya untuk menanggulangi kekalahan politik dan militer, yang telah disublimasikan dalam kemenangan rohani, sehingga tasawuf seolah-olah tidak memiliki lagi sentuhan makna sosiologis dan keduniawian yang secara nyata sedang dihadapi oleh manusia. Oleh karena itu, Hanafi berusaha merekonstruksi nilai mistik jenjangjenjang moral, kondisi-kondisi psikologis dan kesatuan mutlak untuk membantu generasi-generasi modern menghadapi tantangan-tantangan yang sedang dihadapi. Bagi Hanafi (2000: 42), tasawuf adalah sebuah ideologi perjuangan yang diterapkan secara terbalik, ideologi kemenangan batin dan spiritual diri dalam menghadapi pihak lain dengan meninggalkan dunia kekalahan untuk membina dunia kemenangan, sehingga mudah membawanya kembali ke dunia. Tasawuf merupakan suatu jalan (tariqah) yang meliputi tiga tahap: tahap moral, tahap etiko-psikologis dan tahap metafisik (Hanafi, 1998: 40). Hanafi kemudian melakukan rekonstruksi tasawuf dalam ketiga hal tersebut. Pertama, rekonstruksi tahap moral. Dalam tahap moral, tasawuf muncul sebagai ilmu etika yang bertujuan untuk menyempurnakan moral individu. Jika masyarakat hilang, paling tidak individu dapat dipertahankan. Rekonstruksi tahap moral mencakup: a) Dari jiwa ke tubuh. Karena krisis permulaan yang merupakan

84

awal timbulnya tasawuf disebabkan oleh nafsu serakah jiwa, maka tubuh tidak kurang parahnya dibandingkan jiwa. Jika semua masalah masa lampau dihubungkan dengan jiwa, maka semua masalah saat ini dihubungkan dengan tubuh; b) Dari rohani ke jasmani. Tasawuf lama membuka suatu dunia rohani baru sebagai kompensasi atas dunia jasmani yang material. Segala hal memiliki makna ganda, karena realitas memiliki wajah ganda. Jika kekuasaan sosial politik merampas lahiriah, maka tasawuf mempertahankan batiniah. Dalam era pembangunan, yang dipertahankan adalah dunia lahir. Kekuasaan sosial politik yang mengontrol dunia lahir dapat diubah, karena tidak ada pembangunan tanpa kekuasaan; c). Dari etika individu ke etika sosial. Salah satu alasan lahirnya tasawuf lama adalah rusaknya individu. Maka reaksi alaminya adalah meningkatkan pergolakan moral bagi individu; d). Dari meditasi-menyendiri ke tindakan terbuka. Meditasi hanyalah cara memperoleh kekhusyu'an untuk mengungkap rasa cemas dan penderitaan. Sekalipun berpendapat secara individual dipentingkan, namun sesungguhnya untuk dunia sekarang tindakan terbuka sangat diperlukan untuk perubahan-perubahan; e). Dari organisasi sufi ke gerakan sosio-politik. Kedua, rekonstruksi tahap etiko-psikologis. Tahap ini mengandung arti bahwa tasawuf maju dari moralitas praktis ke psikologis individual, dari ilmu perilaku ke psikologi murni nafsu manusia. Tasawuf tidak lagi berhubungan dengan tindakan lahir perilaku melainkan tindakan batin kesalehan. Fokusnya bukan lagi pada anggota-anggota tubuh, melainkan hanya pada tindakan-tindakan hati. Kini, tasawuf merupakan ilmu tentang rahasia-rahasia hati. Ilmu ini terdiri dari dua bagian; langkah-langkah moral (maqamat) dan kondisi-kondisi psikologis (ahwal).

85

Rekonstruksi pada tahap ini mencakup dua hal, yaitu dari nilai pasif ke nilai aktif dan dari kondisi psikologis ke perjuangan sosial. Ketiga, Rekonstruksi tahap metafisik. Tahap ini menjelaskan bahwa ketika sufi melintasi kawasan hati pada jalan tasawuf, yakni pertengahan, ia sampai pada tahap terakhir yang tidak memerlukan semua tindakan sebelumnya, karena sufi telah melewati seluruh latihannya dengan keberhasilan yang gemilang. Tahap ketiga ini benar-benar merupakan buah yang harus dikumpulkan, hasil yang harus dicapai dan hadiah yang harus diterima. Namun demikian, tahap ini perlu direkonstruksi agar perkembangan tersebut tercapai dibumi. Rekonstruksi pada tahap ini mencakup pada empat hal: a). Dari vertikal ke horizontal. Karena tasawuf telah mengarahkan diri ke arah yang tertinggi, maka sejak itu yang rendah bersikeras kepada kehendak murni, setelah dikuasai oleh kehendak tidak murni yang mudah untuk membawanya kembali untuk turun ke bumi. Generasi sekarang paling tidak sedang mencoba menguasai kembali dunia. Tindakan-tindakan besar yang telah dilakukan sebelumnya bermaksud untuk dekolonisasi dan sekarang untuk pembangunan. Akan tetapi, tindakan-tindakan ini muncul terbatas, karena kesemuanya selalu menguap akibat digunakan di tempattempat lain. Jika vertikal ditransformasikan kembali ke bawah, tindakan-tindakan ini mungkin bersifat konklusif dan produktif (Shibab, 1998: 59). Jika gerakan di jalan sufi bermula dari luar (tahap moral) ke dalam (tahap etiko-psikologi) dan lalu ke yang tertinggi (kepercayaan metafisik), maka gerakan dalam pebangunan bermula dari yang tertinggi (perencanaan) ke dalam (pengelolaan) dan selanjutnya ke luar (pencapaian).

Jika

bumi

pada

masa

kelahiran

tasawuf

putus

asa

dan

86

diperbandingkan dengan langit, sekarang negara-negara sedang berkembang mencoba menaklukkkan bumi lagi (Abdurrahman, 2003: 18). Pada saat yang bersamaan, Tuhan adalah Tuhan langit dan bumi. Tanah mesti muncul dari inti tradisi sebagai manifestasi utamanya, yakni apakah untuk dekolonisasi atau untuk bekerja; b). Dari langkah moral ke periode sejarah. Karena langkah-langkah moral merupakan tahap-tahap periodik di jalan pengawasan, mungkinkah menyusun langkah-langkah moral ini sebagai periode sejarah yang progresif? Dalam tasawuf, terdapat apa yang benar-benar diperlukan pembangunan.: mobilitas, perubahan, periodisasi, kesempurnaan, rasa keharusan mengikuti pedoman, kemunduran, kesudahan, nafsu, komitmen, perjuangan, harapan memperoleh keberhasilan dan sebagainya. Ini hanya masalah pengalihan hubungan depan-belakang; c). Dari dunia ini ke dunia lain. Tasawuf pada mulanya merupakan reaksi terhadap kekalahan kesalehan, sementara kebenaran dunia lain merupakan tempat perlindungan yang terakhir, yang tak dapat dicapai oleh ketidak salehan dan kebatilah di dunia. Karena kehidupan yang lurus di bumi pada hakekatnya tidak ada, maka yang saleh pun meninggal dalam keadaan syahid, sebagai kehidupan abadi yang kekal bagi mereka. Namun demikian kondisi modern ini lebih banyak berhubungan dengan kehidupan daripada kematian. Kondisi ini lebih banyak berhubungan dengan para penghuni di luar kubur di wilayah-wilayah pembangunan urban kota-kota besar; d). Dari kesatuan khayal ke penyatuan nyata. Akibat kekalahan kesalehan dan kemenangan ketidaksalehan, maka terjadi pemisahan antara cita-cita dan kenyataan. Kesatuan antara keduanya menjadi sekedar harapan dan impian yang diteruskan di dalam tasawuf (Fariza, 2003: 55).

87

Kaum sufi memberikan beberapa kesan untuk mengungkapkan kesatuan ini, yakni misalnya, antara Tuhan dan dunia, kebenaran dan realitas, rohani dan alam dan sebagainya. Maksud dan tujuan akhir tasawuf adalah kesatuan dan penyatuan yang berhubungan dengan tauhid, yang merupakan dasar dalam keimanan Islam. Mengapa tidak beralih dari kesatuan khayali antara cita-cita dan kenyataan ke penyatuan nyata masyarakat Islam, untuk merobohkan rintangan-rintangan artifisial yang dihadapi sebagai upaya peralihan dari era kolonial? Jawabannya, metafisik kesatuan dalam tasawuf dapat memainkan peranan sangat penting untuk mecapai kesatuan sebagai tujuan politik. Panteisme dapat direkonstruksi sebagai kerangka konseptual bagi Pan-Islamisme (Shibab, 1998: 56). Dilihat dari uraian diatas tampak dengan jelas bahwa rekonstruksi yang dilakukan Hassan Hanafi menunjukkan penalaran yang sangat tinggi. Pemikiran ini tampaknya lahir dari kesadaran yang sangat penuh atas posisi kaum Muslimin yang sedang terbelakang, untuk kemudian melakukan rekonstruksi terhadap bangunan pemikiran Islam tradisional agar dapat berfungsi sebagai kekuatan pembebesan. Upaya rekonstruksi ini adalah suatu keniscayaan (Abdullah, 1996: 87). Sebagai cendikiawan, Hanafi berusaha menawarkan suatu bentuk transformasi pengetahuan yang diperolehnya sebagai akibat dari interaksi akademis yang cukup dalam antara wilayah internal timur Hassan Hanafi dengan tradisi intelektual Barat. Hanafi dengan sangat berani mengadopsi tradisi filsafat materialisme-dialektis, yang dalam dunia Islam dianggap sebagai ancaman bagi keberhasilan kehidupan spiritual. Namun demikian, Hanafi tidak semata-mata memakai analisa filsafat materialisme.

88

Ia juga menggunakan analisis kesejarahan dunia Islam, sehingga secara jujur dapat mengungkap fakta-fakta dan relasinya untuk melakukan rekonstruksi.

BAB III TASAWUF DALAM PERSPEKTIP MUHAMMADIYAH: SEBUAH PENELUSURAN KONSEPTUAL

Melihat perkembangan Islam di Indonesia beberapa tahun belakangan, salah satu pertanda paling mencolok adalah perhatian pada tasawuf di samping segi sosial-politik Islam yang seringkali kontroversial. Kalau diperhatikan laporan media massa akan

89

didapatkan betapa sering muncul laporan mengenai perkembangan tasawuf, seolah-olah ada kecenderungan baru cara keberagaman masyarakat yang beralih ke cara Sufistik. Media massa sering memberitakan laporan yang aneh-aneh mengenai kajiankajian tasawuf itu, misalnya ada kursus Sufi Dancing, ada spiritual gathering mengenai masalah kematian dan alam kerohanian, ada kajian mengenai kedokteran Sufi, juga psikologi Sufi yang memberi konseling atas krisis kehidupan. Di televisi bahkan muncul acara dengan rubric tasawuf. akhirnya, tasawuf telah menjadi pertanda ekspresif fenomena keagamaan dewasa ini. Bagaimana dengan Muhammadiyah? A. Historisitas Muhammadiyah Muhammadiyah didirikan oleh Kiai Haji Ahmad Dahlan pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah yang bertepatan dengan tanggal 18 November 1912. Dia lahir pada tahun 1868 di sebuah pemukiman di sekitar Masjid Besar Yogyakarta yang bernama Kampung Kauman dengan nama aslinya yaitu Muhammad Darwisy (Darban, 2000: 34). Muhammad Darwisy merupakan salah satu anak dari KH. Abu Bakar, seorang ulama dan Khatib terkemuka di Mesjid Besar Kesultanan Yogyakarta. Berdasarkan silsilah, dia masih termasuk dalam garis keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang wali besar dan terkemuka diantara para Walisongo, yang merupakan pelopor pertama dalam penyebaran dan pengembangan Agama Islam di Tanah Jawa (Kutojo dan Safwan, 1991: 3). Di masa kecilnya, Muhammad Darwisy mengenyam pendidikan dalam lingkungan keagamaan di sebuah pesantren yang mengajarinya tentang pengetahuan agama Islam dan bahasa Arab. Di usianya yang masih relatif muda, yaitu pada umurnya yang ke 15, dia menunaikan rukun Islam yang ke lima yaitu ibadah haji

90

pada tahun 1883. Selanjutnya disana dia menetap dan memperdalam pengetahuan tentang ilmu Agama Islam di Makkah dalam kurun waktu kurang lebih selama lima tahun. Selama belajar ilmu agama disana, dia sering berinteraksi dengan pemikiranpemikiran pembaharuan di dalam dunia Islam saat itu. Tokoh-tokoh Islam seperti Muhammad Abduh, al-Afghani, Rasyid Ridha, dan Ibn Taimiyah rupanya mempunyai dampak yang sangat besar pada diri pribadi Muhammad Darwisy (Nashir, 2006: 1). Seketika itu jiwa dan pemikirannya dipenuhi oleh semangat pembaharuan yang kelak dikemudian hari menampilkan corak keagamaan yang sama, yaitu melalui Muhammadiyah20. Muhammadiyah sendiri berdiri dengan dilatarbelakangi keinginan untuk memperbaharui pemahaman tentang ke-Islaman di sebagian besar dunia Islam di Indonesia yang pada saat itu dianggapnya masih bersifat ortodoks (kolot), serta masih bercampur aduknya ajaran agama Islam dengan ajaran agama yang terdahulu atau kebiasaan di daerah tertentu dengan alasan adaptasi. Bercampur aduknya ajaran Islam dengan kebudayaan non-Islam itu sendiri sebenarnya dapat dimaklumi pada saat awal-awal penyebaran agama Islam di Indonesia. Hal ini mengingat sulitnya masyarakat pada waktu itu untuk meninggalkan kebiasan atau ajaran yang telah lama mereka anut sejak nenek moyang, sehingga kebiasaan tersebut masih dilakukan walaupun dengan memasukkan unsur Islam didalamnya. Namun seiring 20

Kata “Muhammadiyah” secara bahasa berarti “pengikut Nabi Muhammad”. Penggunaan kata Muhammadiyah, dimaksudkan untuk menisbahkan (menghubungkan) dengan ajaran dan jejak perjuangan Nabi Muhammad. Penisbahan nama tersebut menurut H. Djarnawi Hadikusuma (1960: 29) mengandung pengertian sebagai berikut: “Dengan nama itu dia bermaksud untuk menjelaskan bahwa pendukung organisasi itu ialah umat Muhammad, dan asasnya adalah ajaran Nabi Muhammad saw, yaitu Islam. Dan tujuannya ialah memahami dan melaksanakan agama Islam sebagai yang memang ajaran yang serta dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, agar supaya dapat menjalani kehidupan dunia sepanjang kemauan agama Islam. Dengan demikian ajaran Islam yang sucidan benar itu dapat memberi nafas bagi kemajuan umat Islam dan bangsa Indonesia pada umumnya

91

dengan berlalunya waktu, kebiasan-kebiasaan atau cara-cara yang dianggap masih bercampur tersebut masih kerap dilakukan meskipun sudah beradab-abad berlalu sejak awal masuknya Islam di Indonesia. Dia memandang hal ini dapat menimbulkan kebekuan ajaran Islam, stagnasi dan keterbelakangan didalam diri umat Islam. Dia berpikir, pemahaman keagamaan yang demikian, harus diubah melalui gerakan pemurnian ajaran Islam yang kembali kepada ajaran al-Qur'an dan al-Hadits. Sekembalinya dari Makkah, yaitu pada usia 20 tahun (1888), dia berganti nama menjadi Ahmad Dahlan. Sepulangnya dari Makkah ini, dia diangkat menjadi khatib amin di lingkungan Kesultanan Yogyakarta (Darban, 2000: 34). Berbekal dari berbagai pemikiran yang didapatnya selama mendalami ajaran agama Islam di Makkah, dia merasa bertanggung jawab untuk dapat membangunkan, menggerakkan dan memajukan umat Islam di Indonesia. Ahmad Dahlan sadar bahwa keinginannya itu tidaklah mungkin dilaksanakannya seorang diri, melainkan harus dilaksanakan oleh sekumpulan orang yang diatur sedemikian rupa dalam wadah organisasi. Untuk itu, pada tahun 1912, atau tepatnya pada tanggal 18 Nopember, Ahmad Dahlan mendirikan organisasi non-politik yang bersifat sosial dan bergerak di bidang pendidikan yang diberi nama Muhammadiyah (Kuntowijoyo, 1985: 36). Organisasi ini bertujuan untuk melaksanakan cita-cita pembaharuan Islam di bumi nusantara. Melalui Muhammadiyah, Ahmad Dahlan berkeinginan untuk mengadakan suatu pembaharuan dalam cara berpikir dan beramal menurut tuntunan agama Islam yang murni yaitu menurut tuntunan seperti yang diajarkan didalam al-Qur'an dan alHadits (Ali, 2000: 349).

92

Pendirian Muammadiyah itu sendiri pada awalnya mendapatkan kecamankecaman dari berbagai pihak, baik yang datangnya dari keluarga sendiri maupun dari masyarakat disekitarnya. Berbagai fitnahan ditujukan kepadanya. Pada saat itu Dia dituduh hendak mendirikan suatu agama baru yang menyalahi ajaran-ajaran agama Islam yang telah ada. Namun demikian, segala rintangan-rintangan tersebut dapat dihadapinya dengan sabar. Keteguhan hati untuk melanjutkan cita-cita dan perjuangan pembaharuan Islam di tanah air bisa mengatasi segala rintangan tersebut. Pada tanggal 20 Desember 1912, Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk mendapatkan badan hokum (Peacock, 1978: 43). Permohonan itu kemudian dikabulkan pada tahun 1914 dengan Surat Ketetapan Pemerintah No. 81 tanggal 22 Agustus 1914. Badan hukum itu hanya berlaku untuk daerah Yogyakarta dan dengan ruang gerak di daerah Yogyakarta saja. Meskipun ruang gerak Muhammadiyah dibatasi oleh Pemerintah Hindia Belanda yang merasa khawatir dengan perkembangan organisasi tersebut, tetapi di daerah lain seperti Srandakan, Wonosari, dan Imogiri dan tempat lain telah berdiri cabang Muhammadiyah meskipun dengan nama yang berbeda atau dibawah bimbingan Muhammadiyah. Dalam rangka membangun upaya dakwah, Ahmad Dahlan dengan gigih membina angkatan muda untuk turut bersama-sama melaksanakan upaya dakwah tersebut, dan juga untuk meneruskan dan melangsungkan cita-citanya membangun dan memajukan bangsa ini dengan membangkitkan kesadaran akan ketertindasan dan ketertinggalan ummat Islam di Indonesia. Strategi yang dipilih untuk mempercepat dan memperluas gagasannya tentang gerakan dakwah Muhammadiyah

93

ialah dengan cara mendidik para calon pamongpraja (calon pejabat) yang belajar di STOVIA Magelang dan para calon guru yang belajar di Kweekschool Jetis Yogyakarta, karena ia sendiri pada waktu diizinkan oleh pemerintah kolonial untuk mengajarkan agama Islam di kedua sekolah tersebut (Salam, 1963: 35). Dengan mendidik para calon pamongpraja tersebut diharapkan akan dengan segera memperluas gagasannya tersebut, karena mereka akan menjadi orang yang mempunyai pengaruh luas di tengah masyarakat. Demikian juga dengan mendidik para calon guru yang diharapkan akan segera mempercepat proses transformasi ide tentang gerakan dakwah Muhammadiyah, karena mereka akan mempunyai murid yang banyak. Oleh karena itu, Dahlan juga mendirikan sekolah guru yang kemudian dikenal dengan Madrasah Mu'allimin (Kweekschool Muhammadiyah) dan Madrasah Mu'allimat (Kweekschool Istri Muhammadiyah) (Azra, 1985: 33). Gagasan pembaharuan Muhammadiyah juga disebarluaskan oleh Ahmad Dahlan dengan cara mengadakan tabligh ke berbagai kota, di samping juga melalui relasi-relasi dagang yang dimilikinya. Gagasan ini ternyata mendapatkan sambutan yang besar dari masyarakat di berbagai kota di Indonesia. Ulama-ulama dari berbagai daerah lain berdatangan kepadanya untuk menyatakan dukungan terhadap Muhammadiyah. Muhammadiyah makin lama makin berkembang hampir di seluruh Indonesia, sehingga pada tanggal 7 Mei 1921 Ahmad Dahlan mengajukan permohonan kepada pemerintah Hindia Belanda untuk mendirikan cabang-cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia. Permohonan ini akhirnya dikabulkan oleh pemerintah Hindia Belanda pada tanggal 2 September 1921.

94

Pada bulan Oktober tahun 1922, Ahmad Dahlan memimpin delegasi Muhammadiyah dalam kongres Al-Islam di Cirebon. Kongres ini diselenggarakan oleh Sarikat Islam (SI) guna mencari aksi baru untuk konsolidasi persatuan ummat Islam. Dalam kongres tersebut, Muhammadiyah dan Al-Irsyad (perkumpulan golongan Arab yang berhaluan maju di bawah pimpinan Syeikh Ahmad Syurkati) terlibat perdebatan yang tajam dengan ulama-ulama lain yang berasal dari Surabaya dan Kudus. Muhammadiyah dipersalahkan telah menyerang aliran yang telah mapan dan dianggap berusaha membangun suatu mazhab baru di luar empat mazhab yang telah ada dan mapan (Rais, 1992: 67). Muhammadiyah juga dituduh berupaya mengadakan tafsir Qur'an baru, yang menurut penentangnya merupakan suatu perbuatan terlarang. Menanggapi serangan tersebut, Ahmad Dahlan menanggapinya dengan perkataan, "Muhammadiyah berusaha bercita-cita mengangkat agama Islam dari keadaan keterbekelakang. Banyak penganut Islam yang menjunjung tinggi tafsir para ulama dari pada Qur'an dan Hadits (itu sendiri). Umat Islam harus kembali kepada Qur'an dan Hadits. Harus mempelajari langsung dari sumbernya, dan tidak hanya melalui kitab-kitab tafsir" (Nakamura, 1990: 12). B. Identitas Dasar Muhammadiyah Dari deskripsi di atas dapat dipahami bahwa gerakan Muhammadiyah adalah gerakan pembaharuan dan pemurnian yang dalam perjalanannya Gerakan ini berhadapan dengan tahayul, bid'ah dan khurafat, lazim diringkas jadi TBC dan berusaha untuk memurnikannya. Sebenarnya, gerakan anti-TBC itu terkait gerakan pemurnian agama oleh berbagai macam organisasi, misalnya Persatuan Islam

95

(Persis, berdiri 12 September 1923) dan Muhammadiyah (berdiri 18 November 1912). Gerakan anti-TBC21 itu membersihkan Islam dari berbagai macam kepercayaan lokal yang dikonsepsikan sebagai khurafat. Bid'ah, yang dipahami sebagai penambahan dalam ajaran Islam, diyakini oleh gerakan reformis itu sebagai ajaran yang tidak ada dalam teks Al-Quran dan sunah. Selain itu juga membersihkan dari kepercayaan lokal terhadap penguasa alam gaib lokal yang diyakini bisa meningkatkan keselamatan, kesejahteraan, dan sebagainya itu (Aziz, 2005: 6). Gerakan-gerakan semacam ini sesungguhnya lebih bercorak transplantik, Maksudnya, gerakan itu diambil dari Timur Tengah. apabila dilacak, sumbernya adalah gerakan wahabiyah. Gerakan ini sering dikaitkan dengan Ibnu Taimiyah dan Abdullah bin Saud yang mendirikan Kerajaan Arab Saudi. Oleh sebab itu, ketika mengukur sesuatu juga berangkat dari ukuran Timur Tengah. Ini yang kemudian menimbulkan resistensi. Resistensi itu akan selalu muncul karena gerakan itu dianggap

tidak

memiliki

akar

historis

terhadap

Islam

bercorak

lokal.

Muhammadiyah secara substansial tidak melakukan gerakan dengan menerapkan seperti apa yang terjadi di Timur Tengah, tetapi melakukan akomodasi-akomodasi. 21 Menurut Muhammad Ali dalam www.kompas.com menyebutkan bahwa Muhammadiyah dianggap mengikuti kecenderungan purifikasi agama. Gerakan Wahabiyyah di Arab Saudi sering disebut sebagai model gerakan Muhammadiyah. Jika ini benar, maka Muhammadiyah kini harus meredefinisi perannya dalam konteks lokal dan global saat ini yang jauh berbeda dari masa awal pendiriannya. Modernisasi pendidikan yang dijalankan Muhammadiyah sejak awal, melalui pengenalan sistem kelas modern dalam pendidikan, sering dianggap sebagai tanda bahwa Muhammadiyah adalah gerakan modern, bukan gerakan tradisionalis. Namun demikian, cap modern pada Muhammadiyah bisa menjadi bumerang pada dirinya sendiri bila tidak cukup pandai mengakomodir tradisi lokal dan global, atau jika menganggap keberagamaan yang dianutnya sebagai self-sufficient (cukup dengan sendirinya) dan lebih murni dari yang lain. Pada kenyataannya, tidak ada yang benar-benar self-sufficient dan benar-benar munri. Sepanjang sejarah, keberagamaan senantiasa mengalami dialektika antara diri dan lingkungan. Setiap manusia, seorang puritan sekalipun, pasti pernah mengalami proses menyerap apa yang ada di luar dirinya. Sulit dipahami bila ada orang yang menganggap dirinya telah beragama secara "murni", dalam pengertian tidak dipengaruhi kondisi lingkungannya. Klaim bahwa mereka menolak TBC (taqlid, bid'ah, "churafat") tidak selalu benar dalam kenyataannya. Apakah ada manusia sosial yang benar-benar lepas dari proses taqlid? Adakah orang yang benar-benar lepas dari proses perubahan dan inovasi?

96

Itu pula yang dilakukan NU, namun, Persis sangat berbeda karena sejak semula didesain untuk menerapkan Islam seperti di Timur Tengah. Oleh karena itu, diterimanya NU sebagai suatu gerakan keagamaan dan juga Muhammadiyah di sisi lain, salah satunya karena NU dan Muhammadiyah bisa melakukan akomodasi kultural secara kreatif. Posisi Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharuan dan pemurnian, sebagaimana dideskripsikan diatas setidaknya memiliki tiga identitas dasar. (Nashir, 2007: 21): 1. Muhammadiyah sebagai gerakan Islam. Dari latar belakang berdirinya Muhammadiyah jelaslah bahwa sesungguhnya kelahiran Muhammadiyah itu tidak lain karena diilhami, dimotivasi dan disemangati oleh ajaran-ajaran Al Qur'an. Apa yang digerakkan oleh Muhammadiyah tidak ada motif lain kecuali semata-mata untuk merealisasikan prinsip-prinsip ajaran Islam dalam kehidupan yang riel dan kongkrit. 2. Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam. Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah Islam, amar ma’ruf nahi mungkar. Ciri ini telah muncul sejak dari kelahirannya dan tetap melekat tak terpisahkan dalam jati diri Muhammadiyah. Namun sudah menjadi tanggung jawab Muhammadiyah juga sebagai gerakan dakwah Islam amar maruf nahi mungkar untuk meluruskan kembali niatan awal berdirinya Muhammadiyah yang sesuai dengan cita-cita pemikiran Ahmad Dahlan, Muhammadiyah dapat mengangkat agama Islam dan keterbelakangan atau kebodohan massif. Tidak hanya ranah pemahaman agama yang diluruskan namun juga ranah pemahaman maksud dan tujuan organisasi

97

Muhammadiyah, karena Muhammadiyah adalah pure sebuah organisasi kemasyarakatan. 3. Muhammadiyah sebagai Gerakan Tajdid (Reformasi). Ciri ketiga ini yang melekat pada persyarikatan Muhammadiyah adalah sebagai gerakan Tajdid atau pembaharu. Tajdid berarti pembaharuan, dan dari segi istilah tajdid memiliki dua arti yakni : pertama, pemurnian dan kedua, peningkatan, pengembangan, modernisasi sudah menjadi tugas Muhammadiyah bila pemurnian tajdid dimaksudkan sebagai pemeliharaan matan ajaran Islam yang berdasarkan sumber Al Qur'an dan As Sunnah shahih sedangkan arti peningkatan, pengembangan, modernisasi tajdid dimaksudkan sebagai penafsiran pengamalan dan perwujudan ajaran Islam dengan tetap berpegang teguh kepada Al Qur'an dan AS Sunnah yang shahih.

Di samping itu Muhammadiyah juga bertanggungjawab terhadap tantangan zaman dan arus globalisasi yang terus melaju (Mulkhan, 2007: 115). Tugas pertama Muhammadiyah adalah purifikasi kembali kepribadian Muhammadiyah yang mulai terinfeksi virus yang akan melencengkan kepribadian Muhammadiyah. Tugas kedua Muhammadiyah adalah meningkatkan etos kerja segala bidang baik dalam dakwah maupun amal usaha Muhammadiyah serta mengembangkan serta melebarkan sayap Muhammadiyah dalam penerimaan arus informasi global sebagai tameng kebodohan massif Muhammadiyah. Modernisasi Muhammadiyah bukan berarti meninggalkan dasar pemikiran pertama kali berdirinya, tapi Muhammadiyah dapat up to date bukan berarti berganti baju untuk beridentitas ideologi baru namun

98

Muhammadiyah tetap eksis dalam kepribadian Muhammadiyah sebagai organisasi sosial kemasyarakatan yang tak usang dimakan zaman atau kuno tertinggal arus modernisasi. C. Deskripsi tentang Misi Muhammadiyah Setiap organisasi, termasuk Muhammadiyah, tentu memiliki misi tertentu yang diembannya. Sejak sebuah organisasi didirikan, para pendirinya sudah merancangkan langkah-langkah strategis apa yang perlu dilakukan, agar cita-cita yang ingin dicapai dengan mendirikan organisasi itu bisa diwujudkan. Misi yang merupakan tugas utama organisasi yang sifatnya mendasar dan fundamental, mempunyai posisi dan peranan yang sangat penting dan strategis bagi sebuah organisasi . Di samping misi itu menjadi semacam penuntun bagi semua komponen organisasi kearah pencapaian tujuan yang telah ditetapkan, ia juga menjadi pembeda antara organisasi yang satu dengan organisasi lainnya yang bergerak di bidang yang serupa. Dengan perkataan lain, misi membentuk organisasi memiliki cirri yang khas, yang membedakannya dari organisasi lainnya yang sejenis. Melihat pentingnya posisi dan peranan misi bagi setiap organisasi, maka seperti halnya tujuan organisasi, menjadi sebuah prinsip yang tidak bisa ditawar, bahwa misi organisasi itu harus dirumuskan dengan rumusan yang jelas. Dalam perumusan sebuah misi, menurut seorang pakar manajemen stratejik, yaitu S.P. Siagian (1992: 53-54), ada beberapa ciri yang harus tergambar dalam misi itu, antara lain: pertama, ia merupakan suatu pernyataan yang bersifat umum dan berlaku untuk kurun waktu yang panjang tentang niat organisasi yang bersangkutan; kedua, ia mencakup filsafat yang dianut dan akan digunakan oleh

99

organisasi itu; ketiga, secara implisit menggambarkan citra yang hendak diproyeksikan ke masyarakat luas; keempat, ia merupakan pencerminan jati diri yang ingin diciptakan, ditumbuhkan dan dipelihara; kelima, menunjukkan produk apa yang menjadi andalan dari organisasi dan keenam, menggambarkan kebutuhan apa dari masyarakat yang akan diupayakan untuk dipuaskan oleh organisasi. Ada banyak manfaat yang dapat dipetik dengan adanya rumusan sebuah misi organisasi. Di antara manfaat itu adalah bahwa dengan rumusan yang tepat, membuat anggota organisasi punya persepsi yang sama tentang maksud keberadaan organisasi. Ini penting, karena kesamaan persepsi pada gilirannya akan menimbulkan kesamaan gerak dan tindakan dalam menunaikan kewajiban dan tanggung jawab masingmasing, di samping juga menjadi semacam pendorong bagi anggota untuk memberikan kontribusi yang optimal kepada organisasi. Adanya rumusan yang jelas juga memudahkan bagi perumusan langkah dan program organisasi serta penentuan tipe dan struktur organisasi, baik vertikal maupun horizontal. Di samping itu adanya rumusan misi yang jelas juga memudahkan orang luar untuk memahami apa sesungguhnya yang akan diusahakan oleh organisasi, dan ini menjadi daya tarik tersendiri bagi mereka yang setuju untuk memberikan dukungan, bahkan keinginan untuk bergabung dengan organisasi tersebut. Memperhatikan demikian pentingnya peranan misi bagi sebuah organisasi, di samping mutlak perlunya rumusan yang jelas tentang misi tersebut, timbul pertanyaan, apakah dalam dokumen-dokumen resmi Muhammadiyah sudah ada rumusan

tentang

misi

tersebut?.

Apabila

dirujuk

dari

Anggaran

Dasar

Muhammadiyah, secara harfiah memang tidak ditemukan istilah misi. Dalam

100

Anggaran Dasar Muhammadiyah, sejak Anggaran Dasar pertama sampai dengan Angaran Dasar keempatbelas, istilah yang digunakan adalah istilah “maksud”, kecuali Anggaran Dasar keempat dan kelima, yang menggunakan istilah “hajat”. Istilah “misi” secara formal salah satunya dapat dijumpai pada tulisan para tokoh Muhammadiyah, terutama Ustadz H. Ahmad Azhar Basyir, MA Ketua PP Muhammadiyah periode 1990-1995, yang secara khusus pernah menulis tentang Misi Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam. Istilah misi dalam dokumen resmi, baru dijumpai pada Keputusan Muktamar ke-44, khususnya pada Program Muhammadiyah Periode 2000-2005, yang secara eksplisit merumuskan visi dan misi Muhammadiyah. Pada dokumen-dokumen tersebut, misi Muhammadiyah itu berkisar pada tiga pokok substansi, yang oleh Ustadz Ahmad Azhar disebut sebagai tiga pola perjuangan Muhammadiyah, yang secara eksplisit dirumuskan sebagai berikut: 1. Menegakkan keyakinan tauhid yang murni, sesuai dengan ajaran Allah yang dibawa oleh seluruh Rasul Allah, sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad. 2. Menyebarluaskan ajaran Islam yang bersumber kepada Al- Qur-;an, Kitab Allah yang terakhir untuk umat manusia, dan Sunnah Rasul 3. Mewujudkan amalan-amalan Islam dalam kehidupan peribadi, keluarga dan masyarakat. Apabila diperhatikan secara saksama rumusan misi Muhammadiyah tersebut, agaknya telah memenuhi kriteria sebagaimana telah dikemukakan di atas. Tiga butir misi yang satu sama lain merupakan satu rangkaian kesatuan yang tidak terpisahkan itu kiranya telah memenuhi ciri-ciri yang diisyaratkan oleh S.P. Siagian

101

seerta telah berhasil membentuk jati diri Muhammadiyah yang khas, yang membedakan Muhammadiyah dengan organisasi Islam lainnya, yang sama-sama bergerak di bidang dakwah. Jati diri Muhammadiyah yang telah berhasil dibangun melalui misi tersebut, bahwa Muhammadiyah adalah sebuah organisasi gerakan yang senantiasa berjuang menyebarluaskan ajaran Islam, yang selalu berpegang teguh pada keyakinan tauhid yang murni serta berusaha dengan sekuat tenaga untuk mengamalkan ajaran Islam dalam kehidupan pribadi, keluarga dan masyarakat. Semua aktivitas Muhammadiyah yang memasuki seluruh aspek kehidupan pada hakekatnya merupakan perwujudan dari misi tersebut. Tidak ada aktivitas Muhammadiyah yang terlepas dari misi tersebut, apalagi sampai bertentangan dengan semangat dan jiwa yang terkandung di dalamnya, bahkan tidak hanya itu misi Muhammadiyah tersebut tidak hanya menjadi ciri bagi Muhammadiyah secara kelembagaan, tetapi seharusnya juga menjadi ciri bagi setiap individu dalam Muhammadiyah. Ciri orang Muhammadiyah yang menonjol adalah bahwa dia memiliki keyakinan tauhid yang kokoh dan sangat peka terhadap paham, keyakinan, kepercayaan dan sebagainya yang berbau syirik, yang dapat merusak keyakinan tauhidnya (Mulkhan, 2007: 15). Di samping itu, orang Muhammadiyah adalah orang yang sangat giat berdakwah dan berusaha untuk mengamalkan ajaran Islam dalam keseharian hidupnya, tanpa bertanya apakah hukum amalan itu wajib, sunnah atau mubah. Semua amalan yang telah dituntunkan dan dicontohkan oleh Rasul Allah Muhammad, diusahakan untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari dengan penuh keikhlasan dan kesabaran (Suara Muhammadiyah, April Minggu kedua Tahun 2008).

102

D. Penelusuran Terhadap Landasan Dasar Muhammadiyah Langkah pertama untuk mengetahui persepsi intelektual muhammadiyah terhadap tasawuf, haruslah merujuk pada beberapa konsep dasar yang menjadi pedoman serta jiwa dari organesasi ini yang sekaligus sebagai aturan pengikat bagi warganya. Beberapa konsep dasar tersebut meliputi, muqodimah angagaran dasar persyarikatan muhammadiyah, 1. Substansi Muqodimah Anggaran Dasar Muhammadiyah. Dalam Muqodimah Anggaran Dasar disebutkan bahwa sesungguhnya ke-Tuhanan itu adalah hak Allah semata-mata. Ber-Tuhan dan ber'ibadah serta tunduk dan tha'at kepada Allah adalah satu-satunya ketentuan yang wajib atas tiap-tiap makhluk, terutama manusia. Dari sini dapat dipahami bahwa Tuhan merupakan pusat dari segala eksistensi sehingga tidak ada sesuatu apapun selain Tuhan yang dijadikan sebagai sumber ketataan. Di sisi lain Hidup bermasyarakat itu adalah sunnah (hukum qudrat iradat) Allah atas kehidupan manusia di dunia ini. Masyarakat yang sejahtera, aman damai, makmur dan bahagia hanyalah dapat diwujudkan di atas keadilan, kejujuran, persaudaraan dan gotong-royong, bertolong-tolongan dengan bersendikan hukum Allah yang sebenar-benarnya, lepas dari pengaruh syaitan dan hawa nafsu (lihat, www.muhammadiyah.or.id). Dalam Muqodimah Anggaran Dasar juga disebutkan bahwa Islam adalah satu-satunya pokok hukum dalam masyarakat. Menjunjung tinggi hukum Allah lebih daripada hukum yang manapun juga, adalah kewajiban mutlak bagi tiap-tiap orang yang mengaku ber-Tuhan kepada Allah. Dalam Muqodimah Anggaran Dasar juga disebutkan bahwa Islam secara substansial adalah untuk

103

mendapatkan kehidupan yang bahagia. Untuk mencapainya manusia haruslah mengikuti jejak para Nabi, beribadah kepada Allah dan berusaha secara maksimal mengumpulkan segala kekuatan dan menggunakannya untuk menjelmakan masyarakat itu di Dunia ini, dengan niat yang murni-tulus dan ikhlas karena Allah semata-mata dan hanya mengharapkan karunia Allah dan ridha-Nya belaka, serta mempunyai rasa tanggung jawab di hadirat Allah atas segala perbuatannya, dan pula harus sabar dan tawakal bertabah hati menghadapi segala kesukaran atau kesulitan yang menimpa dirinya, atau rintangan yang menghalangi pekerjaannya, dengan penuh pengharapan perlindungan dan pertolongan Allah. 2. Substansi dari Konsep Dasar Kepribadian Muhammadiyah Dalam Konsep Dasar Kepribadian Muhammadiyah ditegaskan bahwa Muhammadiyah adalah persyarikatan yang merupakan Gerakan Islam. Oleh sebab itu intinya adalah amar ma'ruf nahi munkar yang ditujukan kepada dua bidang: perseorangan dan masyarakat. Untuk amar ma'ruf nahi munkar dalam bidang perseorangan diarahkan pada dua aspek: kepada yang telah Islam bersifat pembaharuan (tajdid), yaitu mengembalikan kepada ajaran Islam yang asli dan murni; dan yang kedua kepada yang belum Islam, bersifat seruan dan ajakan untuk memeluk agama Islam. Untuk amar ma'ruf nahi munkar dalam bidang kemasyarakatan bersifat kebaikan dan bimbingan serta peringatan. Kesemuanya itu dilaksanakan dengan dasar taqwa dan mengharap keridlaan Allah sematamata.

104

Dengan melaksanakan dakwah Islam dan amar ma'ruf nahi munkar dengan caranya masing-masing yang sesuai, Muhammadiyah menggerakkan masyarakat menuju tujuannya, ialah "terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya".

Dalam

perjuangan

melaksanakan

usahanya

menuju

terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya, dimana kesejahteraan, kebaikan dan kebahagiaan luas-merata, Muhammadiyah mendasarkan segala gerak dan amal usahanya atas prinsip-prinsip yang tersimpul dalam Muqaddimah Anggaran Dasar, yaitu (lihat, www.muhammadiyah.or.id): •

Hidup manusia harus berdasar tauhid, ibadah, dan taat kepada Allah.



Hidup manusia bermasyarakat.



Mematuhi ajaran-ajaran agama Islam dengan berkeyakinan bahwa ajaran Islam itu satu-satunya landasan kepribadian dan ketertiban bersama untuk kebahagiaan dunia akhirat.



Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam dalam masyarakat adalah kewajiban sebagai ibadah kepada Allah dan ikhsan kepada kemanusiaan.



Ittiba' kepada langkah dan perjuangan Nabi Muhammad SAW.



Melancarkan amal usaha dan perjuangannya dengan ketertiban organisasi. Berdasarkan prinsip di atas, maka apapun yang diusahakan dan

bagaimanapun cara perjuangan Muhammadiyah untuk mencapai tujuan tunggalnya, harus berpedoman: "Berpegang teguh akan ajaran Allah dan RasulNya, bergerak membangun di segenap bidang dan lapangan dengan menggunakan cara serta menempuh jalan yang diridlai Allah". Oleh sebab itu

105

warga Muhammadiyah wajib memiliki dan memelihara sifat-sifat yang terdiri dari (lihat, www.muhammadiyah.or.id): •

Beramal dan berjuang untuk perdamaian dan kesejahteraan.



Memperbanyak kawan dan mengamalkan ukhuwah Islamiyah.



Lapang dada, luas pandangan, dengan memegang teguh ajaran Islam.



Bersifat keagamaan dan kemasyarakatan.



Mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan, serta dasar dan falsafah negara yang sah.



Amar ma'ruf nahi munkar dalam segala lapangan serta menjadi contoh teladan yang baik.



Aktif dalam perkembangan masyarakat dengan maksud ishlah dan pembangunan, sesuai dengan ajaran Islam.



Kerjasama dengan golongan Islam manapun juga dalam usaha menyiarkan dan mengamalkan agama Islam serta membela kepentingannya.



Membantu pemerintah serta bekerjasama dengan golongan lain dalam memelihara dan membangun Negara untuk mencapai masyarakat adil dan makmur yang diridlai Allah SWT.



Bersifat adil serta kolektif ke dalam dan keluar dengan bijaksana.

3. Substansi dari Konsep Dasar

Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup

Muhammadiyah (MKCHM).

106

Berdasarkan Konsep Dasar Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah (MKCHM)22 (lihat, www.muhammadiyah.or.id), Perserikatan Muhammadiyah adalah Gerakan Islam dan Dakwah Amar Ma'ruf Nahi Munkar, yang beraqidah Islam dan bersumber pada Al-Qur'an dan Sunnah, bercita-cita dan bekerja untuk terwujudnya masyarakat utama, adil, makmur yang diridhai Allah SWT, untuk malaksanakan fungsi dan misi manusia sebagai hamba dan khalifah Allah di muka bumi (Pasal 1). Pada pasal 2 disebutkan bahwa Muhammdiyah berkeyakinan bahwa Islam adalah Agama Allah yang diwahyukan kepada Rasul-Nya, sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang masa, dan menjamin kesejahteraan hidup materil dan spritual, duniawi dan ukhrawi. Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan: Al-Qur'an yang merupakan Kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW dan Sunnah Rasul yang merupakan penjelasan dan palaksanaan ajaran-ajaran Al-Qur'an yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan akal fikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam. Pasal 3 terkait dengan konsep Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya ajaran-ajaran Islam yang meliputi bidang-bidang: Pertama, Aqidah. Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya aqidah Islam yang murni, bersih dari gejala-gejala kemusyrikan, bid'ah dan khufarat, tanpa mengabaikan prinsip toleransi menurut ajaran Islam. Kedua, Akhlak. Muhammadiyah bekerja

22

Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah (MKCHM) merupakan keputusan Tanwir tahun 1969 di Ponorogo. Rumusan MKCHM telah mendapat perubahan dan perbaikan PP. Muhammadiyah atas kuasa Tanwir tahun 1970 di Yogyakarta dan disesuaikan dengan Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-41 di Surakarta.

107

untuk tegaknya nilai-nilai akhlak mulia dengan berpedoman kepada ajaranajaran Al-Qur'an dan Sunnah rasul, tidak bersendi kepada nilai-nilai ciptaan manusia. Ketiga, Ibadah. Muhammadiyah bekerja untuk tegaknya ibadah yang dituntunkan oleh Rasulullah SAW, tanpa tambahan dan perubahan dari manusia. Ketiga, Muamalah Duniawiyah. Muhammadiyah bekerja untuk terlaksananya mu'amalat duniawiyah (pengolahan dunia dan pembinaan masyarakat) dengan berdasarkan ajaran Agama serta menjadi semua kegiatan dalam bidang ini sebagai ibadah kepada Allah SWT (lihat, www.muhammadiyah.or.id).

4. Substansi dari Hakikat Muhammadiyah Rumusan

konsep

Hakekat

Muhammadiyah

didasarkan

atas

perkembangan masyarakat Indonesia, baik yang disebabkan oleh daya dinamik dari dalam ataupun karena persentuhan dengan kebudayaan dari luar, telah menyebabkan perubahan tertentu. Perubahan itu menyangkut seluruh segi kehidupan masyarakat, diantaranya bidang sosial, ekonomi, politik dan kebudayaan, yang menyangkut perubahan strukturil dan perubahan pada sikap serta tingkah laku dalam hubungan antar manusia. Muhammadiyah sebagai gerakan, dalam mengikuti perkembangan dan perubahan itu, senantiasa mempunyai kepentingan untuk melaksanakan amar ma'ruf nahi-mungkar, serta menyelenggarakan gerakan dan amal usaha yang sesuai dengan lapangan yang dipilihnya ialah masyarakat, sebagai usaha Muhammadiyah untuk mencapai tujuannya: "menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat utama, adil dan makmur yang diridlai Allah SWT. Dalam

108

melaksanakan

usaha

tersebut,

Muhammadiyah

berjalan

diatas

prinsip

gerakannya, seperti yang dimaksud di dalam Matan Keyakinan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (www.muhammadiyah.or.id). Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah itu senantiasa menjadi landasan gerakan Muhammadiyah, juga bagi gerakan dan amal usaha dan hubungannya dengan kehidupan masyarakat dan ketatanegaraan, serta dalam bekerjasama dengan golongan Islam lainnya. Sesuai dengan khittahnya, Muhammadiyah sebagai Persyarikatan memilih dan menempatkan diri sebagai Gerakan Islam amar ma’ruf nahi mungkar dalam masyarakat, dengan maksud yang terutama ialah membentuk keluarga dan masyarakat sejahtera sesuai dengan Dakwah Jamaah. Di samping itu Muhammadiyah menyelenggarakan amal-usaha seperti tersebut pada Anggaran Dasar Pasal 4, dan senantiasa berikhtiar untuk meningkatkan mutunya Penyelenggaraan

amal-usaha,

tersebut

merupakan

sebagian

ikhtiar

Muhammadiyah untuk mencapai Keyakinan dan Cita-Cita Hidup yang bersumberkan ajaran Islam dan bagi usaha untuk terwujudnya masyarakat utama, adil dan makmur yang diridlai Allah SWT (www.muhammadiyah.or.id). Dalam bidang politik, Muhammadiyah berusaha sesuai dengan khittahnya: dengan dakwah amar ma ma'ruf nahi mungkar dalam arti dan proporsi yang sebenar-benarnya, Muhammadiyah harus dapat membuktikan secara teoritis konsepsionil, secara operasionil dan secara kongkrit riil, bahwa ajaran Islam mampu mengatur masyarakat dalam Negara Republik Indonesia yang berdasar Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945 menjadi masyarakat

109

yang adil dan makmur serta sejahtera, bahagia, materiil dan spirituil yang diridlai Allah SWT. Dalam melaksanakan usaha itu, Muhammadiyah tetap berpegang teguh pada kepribadiannya. Usaha Muhammadiyah dalam bidang politik tersebut merupakan bagian gerakannya dalam masyarakat, dan dilaksanakan berdasarkan landasan dan peraturan yang berlaku dalam Muhammadiyah. Dalam hubungan ini Muktamar Muhammadiyah ke-38 telah menegaskan bahwa: Muhammadiyah adalah Gerakan Dakwah Islam yang beramal dalam segala bidang kehidupan manusia dan masyarakat, tidak mempunyai hubungan organisatoris dengan dan tidak merupakan afiliasi dari sesuatu Partai Politik atau Organisasi apapun, setiap anggota Muhammadiyah sesuai dengan hak asasinya dapat tidak memasuki atau memasuki organisasi lain, sepanjang tidak menyimpang dari Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga dan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam Persyarikatan Muhammadiyah. Sesuai dengan kepribadiannya, Muhammadiyah akan bekerjasama dengan golongan Islam manapun juga dalam usaha menyiarkan dan mengamalkan Agama Islam serta membela kepentingannya. Dalam melakukan kerjasama tersebut, Muhammadiyah tidak bermaksud menggabungkan dan mensubordinasikan organisasinya dengan organisasi atau institusi lainnya (www.muhammadiyah.or.id). Berdasarkan landasan serta pendirian tersebut di atas dan dengan memperhatikan kemampuan dan potensi Muhammadiyah dan bagiannya, perlu ditetapkan langkah kebijaksanaan sebagai berikut: pertama, memulihkan

110

kembali Muhammadiyah sebagai Persyarikatan yang menghimpun sebagian anggota masyarakat, terdiri dari muslimin dan muslimat yang beriman teguh, ta'at beribadah, berakhlaq mulia, dan menjadi teladan yang baik di tengah-tengah masyarakat. Kedua, meningkatkan pengertian dan kematangan anggota Muhammadiyah tentang hak dan kewajibannya sebagai warga negara, dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan meningkatkan kepekaan sosialnya terhadap persoalan-persoalan dan kesulitan hidup masyarakat Menepatkan kedudukan Persyarikatan Muhammadiyah sebagai gerakan untuk melaksanakan dakwah amar-ma'ruf nahi-mungkar ke segenap penjuru dan lapisan masyarakat serta di segala bidang kehidupan di Negara Republik Indonesia yang berdasar Pancasila dan Undang-Undang Dasar 194523. 5. Substansi dari Khitah Perjuangan Muhammadiyah Rumusan

Khittah

Perjuangan

Muhammadiyah

pada

intinya

menyatakan Muhammadiyah adalah Gerakan Islam yang melaksanakan da'wah amar ma'ruf nahi munkar dengan maksud dan tujuan menegakkan dan menjunjung tinggi Agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

Muhammadiyah

berpandangan

bahwa

Agama

Islam

menyangkut seluruh aspek kehidupan meliputi aqidah, ibadah, akhlaq, dan mu'amalat dunyawiyah yang merupakan satu kesatuan yang utuh dan harus dilaksanakan dalam kehidupan perseorangan maupun kolektif. Dengan mengemban misi gerakan tersebut Muhammadiyah dapat mewujudkan atau

23

Rumusan Hakekat Muhammadiyah ini merupakan Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke40 di Surabaya.

111

mengaktualisasikan Agama Islam menjadi rahmatan lil-'alamin dalam kehidupan di muka bumi ini (www.muhammadiyah.or.id). Muhammadiyah berpandangan bahwa berkiprah dalam kehidupan bangsa dan negara merupakan salah satu perwujudan dari misi dan fungsi melaksanakan da'wah amar ma'ruf nahi munkar sebagaimana telah menjadi panggilan sejarahnya sejak zaman pergerakan hingga masa awal dan setelah kemerdekaan Indonesia. Peran dalam kehidupan bangsa dan negara tersebut diwujudkan dalam langkah-langkah strategis dan taktis sesuai kepribadian, keyakinan dan cita-cita hidup, serta khittah perjuangannya sebagai acuan gerakan sebagai wujud komitmen dan tanggungjawab dalam mewujudkan "Baldatun Thoyyibatun Wa Rabbun Ghafur"( www.muhammadiyah.or.id). Kehidupan berbangsa dan bernegara secara mendasar dapat dilakukan melalui dua strategi dan lapangan perjuangan. Pertama, melalui kegiatankegiatan politik yang berorientasi pada perjuangan kekuasaan/kenegaraan (real politics, politik praktis) sebagaimana dilakukan oleh partai-partai politik atau kekuatan-kekuatan politik formal di tingkat kelembagaan negara. Kedua, melalui kegiatan-kegiatan kemasyarakatan yang bersifat pembinaan atau pemberdayaan masyarakat maupun kegiatan-kegiatan politik tidak langsung (high politics) yang bersifat mempengaruhi kebijakan negara dengan perjuangan moral (moral force) untuk mewujudkan kehidupan yang lebih baik di tingkat masyarakat dan negara sebagaimana dilakukan oleh kelompok-kelompok kepentingan (interest groups). Muhammadiyah secara khusus mengambil peran dalam lapangan kemasyarakatan dengan pandangan bahwa aspek kemasyarakatan yang

112

mengarah kepada pemberdayaan masyarakat tidak kalah penting dan strategis daripada aspek perjuangan politik kekuasaan. Perjuangan di lapangan kemasyarakatan diarahkan untuk terbentuknya masyarakat utama atau masyarakat madani (civil society) sebagai pilar utama terbentuknya negara yang berkedaulatan rakyat. Peran kemasyarakatan tersebut dilakukan oleh organisasiorganisasi

kemasyarakatan

seperti

halnya

Muhammadiyah,

sedangkan

perjuangan untuk meraih kekuasaaan (power struggle) ditujukan untuk membentuk pemerintahan dalam mewujudkan tujuan negara, yang peranannya secara formal dan langsung dilakukan oleh partai politik dan institusi-institusi politik negara melalui sistem politik yang berlaku. Kedua peranan tersebut dapat dijalankan secara objektif dan saling terkait melalui bekerjanya sistem politik yang sehat oleh seluruh kekuatan nasional menuju terwujudnya tujuan negara. Muhammadiyah sebagai organisasi sosial-keagamaan (organisasi kemasyarakatan) yang mengemban misi da'wah amar ma'ruf nahi munkar senantiasa bersikap aktif dan konstruktif dalam usaha-usaha pembangunan dan reformasi nasional sesuai dengan khittah (garis) perjuangannya serta tidak akan tinggal diam dalam menghadapi kondisi-kondisi kritis yang dialami oleh bangsa dan negara. Oleh karena itu, Muhammadiyah senantiasa terpanggil untuk berkiprah dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan berdasarkan pada khittah perjuangan sebagai berikut (www.muhammadiyah.or.id) : -

Muhammadiyah meyakini bahwa politik dalam kehidupan bangsa dan negara merupakan salah satu aspek dari ajaran Islam dalam urusan keduniawian (al-umur ad-dunyawiyat) yang harus selalu dimotivasi, dijiwai,

113

dan dibingkai oleh nilai-nilai luhur agama dan moral yang utama. Karena itu diperlukan sikap dan moral yang positif dari seluruh warga Muhammadiyah dalam menjalani kehidupan politik untuk tegaknya kehidupan berbangsa dan bernegara. -

Muhammadiyah meyakini bahwa negara dan usaha-usaha membangun kehidupan berbangsa dan bernegara, baik melalui perjuangan politik maupun melalui pengembangan masyarakat, pada dasarnya merupakan wahana yang mutlak diperlukan untuk membangun kehidupan di mana nilai-nilai Ilahiah melandasi dan tumbuh subur bersamaan dengan tegaknya nilai-nilai kemanusiaan, keadilan, perdamaian, ketertiban, kebersamaan, dan keadaban untuk terwujudnya "Baldatun Thayyibatun Wa Rabbun Ghafur".

-

Muhammadiyah memilih perjuangan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara melalui usaha-usaha pembinaan atau pemberdayaan masyarakat guna terwujudnya masyarakat madani (civil society) yang kuat sebagaimana tujuan Muhammadiyah untuk mewujudkan masyarakat Islam yang sebenarbenarnya. Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan kebijakan-kebijakan kenegaraan sebagai proses dan hasil dari fungsi politik pemerintahan akan ditempuh melalui pendekatan-pendekatan secara tepat dan bijaksana sesuai prinsip-prinsip perjuangan kelompok kepentingan yang efektif dalam kehidupan negara yang demokratis.

-

Muhammadiyah mendorong secara kritis atas perjuangan politik yang bersifat praktis atau berorientasi pada kekuasaan (real politics) untuk dijalankan oleh partai-partai politik dan lembaga-lembaga formal kenegaraan

114

dengan sebaik-baiknya menuju terciptanya sistem politik yang demokratis dan berkeadaban sesuai dengan cita-cita luhur bangsa dan negara. Dalam hal ini perjuangan politik yang dilakukan oleh kekuatan-kekuatan politik hendaknya benar-benar mengedepankan kepentingan rakyat dan tegaknya nilai-nilai utama sebagaimana yang menjadi semangat dasar dan tujuan didirikannya negara Republik Indonesia yang diproklamasikan tahun 1945. -

Muhammadiyah senantiasa memainkan peranan politiknya sebagai wujud dari dakwah amar ma'ruf nahi munkar dengan jalan mempengaruhi proses dan kebijakan negara agar tetap berjalan sesuai dengan konstitusi dan citacita luhur bangsa. Muhammadiyah secara aktif menjadi kekuatan perekat bangsa dan berfungsi sebagai wahana pendidikan politik yang sehat menuju kehidupan nasional yang damai dan berkeadaban.

-

Muhammadiyah

tidak

berafiliasi

dan

tidak

mempunyai

hubungan

organisatoris dengan kekuatan-kekuatan politik atau organisasi manapun. Muhammadiyah

senantiasa

mengembangkan

sikap

positif

dalam

memandang perjuangan politik dan menjalankan fungsi kritik sesuai dengan prinsip amar ma'ruf nahi munkar demi tegaknya sistem politik kenegaraan yang demokratis dan berkeadaban. -

Muhammadiyah

memberikan

kebebasan

kepada

setiap

anggota

Persyarikatan untuk menggunakan hak pilihnya dalam kehidupan politik sesuai hati nurani masing-masing. Penggunaan hak pilih tersebut harus merupakan tanggungjawab sebagai warga negara yang dilaksanakan secara

115

rasional dan kritis, sejalan dengan misi dan kepentingan Muhammadiyah, demi kemaslahatan bangsa dan negara. -

Muhammadiyah meminta kepada segenap anggotanya yang aktif dalam politik untuk benar-benar melaksanakan tugas dan kegiatan politik secara sungguh-sungguh dengan mengedepankan tanggung jawab (amanah), akhlak mulia (akhlaq al-karimah), keteladanan (uswah hasanah), dan perdamaian (ishlah).

Aktifitas

politik

tersebut

harus

sejalan

dengan

upaya

memperjuangkan misi Persyarikatan dalam melaksanakan da'wah amar ma'ruf nahi munkar. -

Muhammadiyah senantiasa bekerjasama dengan pihak atau golongan mana pun

berdasarkan

prinsip

kebajikan

dan

kemaslahatan,

menjauhi

kemudharatan, dan bertujuan untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara ke arah yang lebih baik, maju, demokratis dan berkeadaban. 6. Substansi dari Pedoman Hidup Islami warga Muhammadiyah (PHIM) Pedoman Hidup Islami warga Muhammadiyah (PHIM)24 secara garis besar terdiri dari lima bagian. Bagian pertama adalah pendahuluan yang terdiri dari landasan dan sumber, kepentingan, sifat, tujuan dan kerangka. Bagian kedua terdiri dari uraian tentang pandangan islam tentang kehidupan. Bagian ketiga merupakan uraian tentang kehidupan Islami warga Muhammadiyah yang terdiri dari sepuluh aspek yaitu pribadi, keluarga dan masyarakat25, kehidupan berorganesasi, kehidupan dalam mengelola amal usaha, kehidupan dalam 24

Pedoman Hidup Islami warga Muhammadiyah di dasarkan atas Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-44 tahun 2000 di Jakarta 25 Aspek pribadi terdiri dari uraian tentang Aqidah, Akhlaq dan Ibadah. Aspek kehidupan dalam keluarga terdiri dari uraian tentang kedudukan dalam keluarga, fungsi dan aktifitas keluarga. Aspek ketiga adalah aspek kehidupan bermasyarakat

116

berbisnis, kehidupan dalam mengembangkan profesi, kehidupan dalam melestarikan lingkungan, kehidupan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan tehnologi dan kehidupan seni dan budaya. Bagian keempat adalah tuntunan pelaksanaan dan bagian terakhir adalah penutup. Untuk melihat rumusan “Tasawuf” dalam Pedoman Hidup Islami warga Muhammadiyah berikut akan dideskripsikan bagian ketiga aspek pertama yaitu aspek kehidupan pribadi dalam bidang Aqidah. Secara detail disebutkan bahwa: 1. Setiap warga Muhammadiyah harus memiliki prinsip hidup dan kesadaran imani berupa tauhid kepada Allah Subhanahu Wata'ala yang benar, ikhlas, dan penuh ketundukkan sehingga terpancar sebagai lbad ar-rahman24 yang menjalani kehidupan dengan benar-benar menjadi mukmin, muslim, muttaqin, dan muhsin yang paripurna (PHIM:2003, 13). 2. Setiap warga Muhammadiyah wajib menjadikan iman dan tauhid sebagai sumber seluruh kegiatan hidup, tidak boleh mengingkari keimanan berdasarkan tauhid itu, dan tetap menjauhi serta menolak syirk, takhayul, bid'ah, dan khurafat yang menodai iman dan tauhid kepada Allah Subhanahu Wata'ala (PHIM, 2003: 13). Menurut Pedoman Hidup Islami warga Muhammadiyah dalam aspek kehidupan pribadi dalam bidang akhlak disebutkan bahwa: 1. Setiap warga Muhammadiyah dituntut untuk meneladani perilaku Nabi dalam mempraktikkan akhlaq mulia, sehingga menjadi uswah hasanah yang diteladani oleh sesama berupa sifat sidiq, amanah, tabligh, dan fathanah (PHIM, 2003: 14)

117

2. Setiap warga Muhammadiyah dalam melakukan amal dan kegiatan hidup harus senantiasa didasarkan kepada niat yang ikhlas dalam wujud amal-amal shalih dan ihsan, serta menjauhkan diri dari perilaku riya’, sombong, ishraf, fasad, fahsya, dan kemunkaran (PHIM, 2003: 14). 3. Setiap warga Muhammadiyah dituntut untuk menunjukkan akhlaq yang mulia (akhlaq al-karimah) sehingga disukai/diteladani dan menjauhkan diri dari akhlaq yang tercela (akhlaq al-madzmumah) yang membuat dibenci dan dijauhi sesame (PHIM, 2003: 14). 4. Setiap warga Muhammadiyah di mana pun bekerja dan menunaikan tugas maupun dalam kehidupan sehari-hari harus benar-benar menjauhkan diri dari perbuatan korupsi dan kolusi serta praktik-praktik buruk lainnya yang merugikan hak-hak publik dan membawa kehancuran dalam kehidupan di dunia ini (PHIM, 2003: 14). Menurut Pedoman Hidup Islami warga Muhammadiyah dalam aspek kehidupan pribadi dalam bidang ibadah disebutkan bahwa: 1. Setiap warga Muhammadiyah dituntut untuk senantiasa membersihkan jiwa/hati ke arah terbentuknya pribadi yang mutaqqin dengan beribadah yang tekun dan menjauhkan diri dari jiwa/nafsu yang buruk, sehingga terpancar kepribadian yang shalih yang menghadirkan kedamaian dan kemanfaatan bagi diri dan sesamanya (PHIM, 2003: 15). 2. Setiap warga Muhammadiyah melaksanakan ibadah mahdhah dengan sebaik-baiknya dan menghidup suburkan amal nawafil (ibadah sunnah) sesuai dengan tuntunan Rasulullah serta menghiasi diri dengan iman yang

118

kokoh, ilmu yang luas, dan amal shalih yang tulus sehingga tercermin dalam kepribadian dan tingkah laku yang terpuji (PHIM, 2003: 15). Menurut Pedoman Hidup Islami warga Muhammadiyah dalam aspek muamalah dunyawiyah disebutkan bahwa: 1. Setiap warga Muhammadiyah harus selalu menyadari dirinya sebagai abdi dan khalifah di muka bumi, sehingga memandang dan menyikapi kehidupan dunia secara aktif dan positif serta tidak menjauhkan diri dari pergumulan kehidupan dengan landasan iman, Islam, dan ihsan dalam arti berakhlaq karimah (PHIM, 2003: 15). 2. Setiap warga Muhammadiyah senantiasa berpikir secara burhani, bayani, dan irfani yang mencerminkan cara berpikir yang Islami yang dapat membuahkan karya-karya pemikiran maupun amaliah yang mencerminkan keterpaduan antara orientasi habluminallah dan habluminannas serta maslahat bagi kehidupan umat manusia(PHIM, 2003: 16). 3. Setiap warga Muhammadiyah harus mempunyai etos kerja Islami, seperti: kerja keras, disiplin, tidak menyia-nyiakan waktu, berusaha secara maksimal/optimal untuk mencapai suatu tujuan(PHIM, 2003: 16). E. Deskripsi Tentang Zhawãhir al-Afkãr al-Muhammadiyyah Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang beberapa tahun yang lalu menghasilkan sebuah dokumen yang dikenal sebagai Zhawãhir al-Afkãr alMuhammadiyyah ’Abra Qarn min al-Zamãn (Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Jelang

Satu

Abad).

Dokumen

tersebut

tampaknya

meneruskan

tradisi

Muhammadiyah yang menghasilkan manifesto demi manifesto di setiap periode

119

sejarahnya. Manifesto-manifesto tersebut kemudian dikenal dengan nama resmi seperti: Kepribadian Muhammadiyah (Keputusan Muktamar ke-35 tahun 1956), Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah (Keputusan Tanwir Tahun 1969 di Ponorogo), Khittah Perjuangan Muhammadiyah (Muktamar ke-40 di Surabaya, Tahun 1978) dan Khitah dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara (Tanwir Bali Tahun 2002 ). Selain dokumen-dokumen diatas, ada juga dokumen-dokumen formal sejarah Muhammadiyah yang layak disebut sebagai manifesto Muhammadiyah seperti Langkah 12 yang dicetuskan oleh KH Mas Mansyur di masa Pra Kemerdekaan juga Muqodimah Anggaran Dasar Muhammadiyah yang digagas Ki Bagus Hadikusumo di awal Kemerdekaan Indonesia, disamping ada sebuah ‘manifesto praksis’ hasil Muktamar ke 44 tahun 2000 di Jakarta yang dikenal dengan sebutan Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah. Tradisi ini memang bukan tradisi yang dimulai oleh KH Ahmad Dahlan, dimana dimasa KH Ahmad Dahlan hidup tidak ada satupun bentuk teks yang kemudian diakui sebagai dokumen organisasi layaknya sebuah manifesto. Mungkin sosok KH A.Dahlan-lah yang dianggap sebagai ‘manifesto hidup’ dimana di awal perintisan Muhammadiyah itu. Dengan keluarnya bentuk manifesto-manifesto yang keseluruhannya merupakan produk pasca KH Dahlan ini, bisa diartikan sebagian missi KH Ahmad Dahlan telah berhasil ruh tajdid (pembaharuan) di dalam Muhammadiyah secara kelembagaan masih terus bergelora. Keluarnya Zhawãhir alAfkãr al-Muhammadiyyah ’Abra Qarn min al-Zamãn tampaknya bukanlah sematamata layaknya pidato peringatan ulang tahun Muhammadiyah yang sudah berusia

120

hampir satu abad ini. Zhawãhir al-Afkãr ini keluar dalam waktu yang strategis di tengah krisis peradaban Modern ummat manusia (Kholis, 2006: 1). Muhammadiyah mungkin merujuk prediksi para penafsir arah peradaban yang sepakat bahwa saat ini adalah detik-detik akhir dari peradaban modern dan merupakan awal dari munculnya konstruksi peradaban baru, walaupun kemudian para penafsir arah peradaban itu memiliki perbedaan membaca kecenderungan jaman dengan rumusan-rumusan yang beragam. Dimana perbedaan-perbedaan itu memunculkan beberapa varian seperti konsep Post Modern Derida dan kawankawan, The End of History-nya Fukuyama, Toynbee dalam The Study of History, Turning Point-nya Fritjof Capra, atau Peradaban Gelombang Ketiganya Alvin Tofler. Bila dilihat dari teks Zhawãhir al-Afkãr tampak ada perbedaan mendasar dibandingkan

dengan

isi

manifesto-manifesto

sebelumnya,

dimana

selain

merupakan sebuah manivesto terpanjang sepanjang sejarah, Zhawãhir al-Afkãr ini juga merupakan sebuah manivesto yang menganut pola fikir baru, walaupun tetap berpijak dalam tradisi ar-ruju’ ila al –Qur’an wa as-Sunnah dan tajdid. Di dalam dokumen Zhawãhir al-Afkãr inilah pertama kali di cantumkan secara jelas tafsir bentuk “Masyarakat Islam yang Sebenar-Benarnya” sebagai tujuan Muhammadiyah dalam 5 pokok pikiran dan Zhawãhir al-Afkãr tidak sekedar menganut bentuk penegasan ulang identitas persyarikatan yang lebih bersifat nasional seperti manifesto-manifesto sebelumnya, namun juga merupakan sebuah bentuk rumusan visi kedepan Persyarikatan Muhammadiyah dalam menyambut zaman baru yang ditandai dengan Globalisasi. Mungkin Muhammadiyah dengan Zhawãhir al-Afkãr

121

ini ingin menghadirkan kembali ‘sosok’ KH A Dahlan yang ijtihadnya telah terbukti mampu mengatasi peliknya relasi Islam dengan modernisme selama kurun waktu hampir satu abad ini. Pendek kata, Zhawãhir al-Afkãr ini mencoba mentajdid kembali bentuk Muhammadiyahnya KH.A. Dahlan seabad yang lalu dalam sebuah konstruksi relasi Islam dengan tata peradaban baru pasca runtuhnya modernisme. Atau bahkan dengan Zhawãhir al-Afkãr ini Muhammadiyah ingin menghadirkan kembali spirit Piagam Madinah yang telah berhasil ‘melampaui jamannya’ di tengah peradaban baru yang akan datang . Pernyataan pikiran (zhawãhir al-afkãr/statement of mind) terdiri dari lima hal yaitu komitmen gerakan, pandangan keagamaan, pandangan tentang kehidupan, tanggungjawab kebangsaan dan kemanusiaan, serta agenda dan langkah kedepan. Untuk kepentingan penelitian ini tidak akan diuraikan kelima hal tersebut tetapi membatasi diri dengan hanya mendeskripsikan komitmen gerakan dan pandangan keagamaan serta kehidupan. Komitmen Gerakan, sebagai salah satu dari pernyataan pikiran (zhawãhir alafkãr/statement of mind) terdiri dati tiga point penting yaitu: 1. Muhammadiyah adalah gerakan Islam yang mengemban misi da’wah dan tajdid, berasas Islam, bersumber pada al-Quran dan as-Sunnah, dan bertujuan mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Muhammadiyah sesuai jatidirinya senantiasa istiqamah untuk menunjukkan komitmen yang tinggi dalam memajukan kehidupan umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan sebagai wujud ikhtiar menyebarluaskan Islam yang bercorak rahmatan lil-‘alamin. Misi kerisalahan dan kerahmatan yang diemban Muhammadiyah tersebut secara nyata

122

diwujudkan melalui berbagai kiprahnya dalam pengembangan amal usaha, program, dan kegiatan yang sebesar-besarnya membawa pada kemaslahatan hidup di dunia dan akhirat bagi seluruh umat manusia di muka bumi ini (www.muhammadiyah.or.id). 2. Muhammadiyah dalam usianya jelang satu abad telah banyak mendirikan taman kana-kanak, sekolah, perguruan tinggi, rumah sakit, balai pengobatan, rumah yatim

piatu,

usaha

ekonomi,

penerbitan,

dan

amal

usaha

lainnya.

Muhammadiyah juga membangun masjid, mushalla, melakukan langkahlangkah da’wah dalam berbagai bentuk kegiatan pembinaan umat yang meluas di seluruh pelosok Tanah Air. Muhammadiyah bahkan tak pernah berhenti melakukan peran-peran kebangsaan dan peran-peran kemanusiaannya dalam dinamika nasional dan global. Kiprah Muhammadiyah tersebut menunjukkan bukti nyata kepada masyarakat bahwa misi gerakan Islam yang diembannya bersifat amaliah untuk kemajuan dan pencerahan yang membawa pada kemaslahatan masyarakat yang seluas-luasnya. Peran kesejarahan yang dilakukan Muhammadiyah tersebut berlangsung dalam dinamika yang beragam. Pada masa penjajahan sejak berdirinya tahun 1330 H/1912 M., Muhammadiyah mengalami cengkeraman politik kolonial sebagaimana halnya dialami oleh seluruh masyarakat Indonesia saat itu, tetapi Muhammadiyah tetap berbuat tak kenal lelah untuk kemerdekaan dan kemajuan bangsa. Setelah Indonesia merdeka pada masa awal dan era Orde Lama Muhammadiyah mengalami berbagai situasi sulit akibat konflik politik nasional yang kompleks, namun Muhammadiyah tetap berkiprah dalam da’wah dan kegiatan kemasyarakatan.

123

Pada era Orde Baru di bawah rezim kekuasaan yang melakukan depolitisasi (pengebirian politik), deideologisasi (pengebirian ideologi), dan kebijakan politik yang otoriter, Muhammadiyah juga terus berjuang mengembangkan amal usaha dan aktivitas da’wah Islam. Sedangkan pada masa reformasi, Muhammadiyah memanfaatkan peluang kondisi nasional yang terbuka itu dengan melakukan revitalisasi dan peningkatan kualitas amal usaha serta aktivitas da’wahnya. Melalui kiprahnya dalam sejarah yang panjang itu Muhammadiyah telah diterima oleh masyarakat luas baik di tingkat lokal, nasional, dan internasional sebagai salah satu pilar kekuatan Islam yang memberi sumbangan berharga bagi kemajuan peradaban umat manusia (www. muhammadiyah.or.id). 5. Kiprah dan langkah Muhammadiyah yang penuh dinamika itu masih dirasakan belum mencapai puncak keberhasilan dalam mencapai tujuan dan cita-citanya, sehingga

Muhammadiyah

semakin

dituntut

untuk

meneguhkan

dan

merevitalisasi gerakannya ke seluruh lapangan kehidupan. Karena itu Muhammadiyah akan melaksanakan tajdid (pembaruan) dalam gerakannya sehingga di era kehidupan modern abad ke-21 yang kompleks ini sesuai dengan Keyakinan dan Kepribadiannya dapat tampil sebagai pilar kekuatan gerakan pencerahan

peradaban

di

berbagai

lingkungan

kehidupan

(www.

muhammadiyah.or.id). Pandangan keagamaan, sebagai salah satu dari pernyataan pikiran (zhawãhir al-afkãr/statement of mind) terdiri dati empat point penting yaitu:

124

1. Muhammadiyah dalam melakukan kiprahnya di berbagai bidang kehidupan untuk kemajuan umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan dilandasi oleh keyakinan dan pemahaman keagamaan bahwa Islam sebagai ajaran yang membawa misi kebenaran Ilahiah harus didakwahkan sehingga menjadi rahmatan lil-‘alamin di muka bumi ini. Bahwa Islam sebagai Wahyu Allah yang dibawa para Rasul hingga Rasul akhir zaman Muhammad Saw., adalah ajaran yang mengandung hidayah, penyerahan diri, rahmat, kemaslahatan, keselamatan, dan kebahagiaan hidup umat manusia di dunia dan akhirat. Keyakinan dan paham Islam yang fundamental itu diaktualisasikan oleh Muhammadiyah dalam bentuk gerakan Islam yang menjalankan misi dakwah dan tajdid untuk kemaslahatan hidup seluruh umat manusia (www. muhammadiyah.or.id). 2. Misi da’wah Muhammadiyah yang mendasar itu merupakan perwujudan dari semangat awal Persyarikatan ini sejak didirikannya yang dijiwai oleh pesan Allah dalam Al-Quran Surat Ali-Imran 104, yang artinya: ”Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, mereka itulah orangorang yang beruntung”. Kewajiban dan panggilan da’wah yang luhur itu menjadi komitmen utama Muhammadiyah sebagai ikhtiar untuk menjadi kekuatan Khaira Ummah sekaligus dalam membangun masyarakat Islam yang ideal seperti itu sebagaimana pesan Allah dalam Al-Quran Surat Ali-Imran ayat 110, yang artinya: ”Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik

125

bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.”. Dengan merujuk pada Firman Allah dalam AlQuran Surat Ali Imran 104 dan 110, Muhammadiyah menyebarluaskan ajaran Islam yang komprehensif dan multiaspek itu melalui da’wah untuk mengajak pada kebaikan (Islam), al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar (mengajak kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar), sehingga umat manusia memperoleh keberuntungan lahir dan batin dalam kehidupan ini. Da’wah yang demikian mengandung makna bahwa Islam sebagai ajaran selalu bersifat tranformasional; yakni dakwah yang membawa perubahan yang bersifat kemajuan, kebaikan, kebenaran, keadilan, dan nilai-nilai keutamaan lainnya untuk kemaslahatan serta keselamatan hidup umat manusia tanpa membedabedakan ras, suku, golongan, agama, dan lain-lain (www. muhammadiyah.or.id). 3. Kyai Haji Ahmad Dahlan sebagai pendiri Muhammadiyah dikenal sebagai pelopor

gerakan

tajdid

(pembaruan).

Tajdid

yang

dilakukan

pendiri

Muhammadiyah itu bersifat pemurnian (purifikasi) dan perubahan ke arah kemajuan (dinamisasi), yang semuanya berpijak pada pemahaman tentang Islam yang kokoh dan luas. Dengan pandangan Islam yang demikian Kyai Dahlan tidak hanya berhasil melakukan pembinaan yang kokoh dalam akidah, ibadah, dan akhlak kaum muslimin, tetapi sekaligus melakukan pembaruan dalam amaliah mu’amalat dunyawiyah sehingga Islam menjadi agama yang menyebarkan kemajuan. Semangat tajdid Muhammadiyah tersebut didorong antara lain oleh Sabda Nabi Muhammad s.a.w., yang artinya: “Sesungguhnya Allah mengutus kepada umat manusia pada setiap kurun seratus tahun orang

126

yang memperbarui ajaran agamanya” (Hadits diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abi Hurairah). Karena itu melalui Muhammadiyah telah diletakkan suatu pandangan keagamaan yang tetap kokoh dalam bangunan keimanan yang berlandaskan pada Al-Quran dan As-Sunnah sekaligus mengemban tajdid yang mampu membebaskan manusia dari keterbelakangan menuju kehidupan yang berkemajuan dan berkeadaban (www. muhammadiyah.or.id). 4. Dalam pandangan Muhammadiyah, bahwa masyarakat Islam yang sebenarbenarnya yang menjadi tujuan gerakan merupakan wujud aktualisasi ajaran Islam dalam struktur kehidupan kolektif manusia yang memiliki corak masyarakat tengahan (ummatan wasatha) yang berkemajuan baik dalam wujud sistem nilai sosial-budaya, sistem sosial, dan lingkungan fisik yang dibangunnya.

Masyarakat

Islam

adalah

masyarakat

yang

memiliki

keseimbangan antara kehidupan lahiriah dan batiniah, rasionalitas dan spiritualitas, aqidah dan muamalat, individual dan sosial, duniawi dan ukhrawi, sekaligus menampilkan corak masyarakat yang mengamalkan nilai-nilai keadilan, kejujuran, kesejahteraan, kerjasama, kerjakeras, kedisiplinan, dan keunggulan dalam segala lapangan kehidupan. Dalam menghadapi dinamika kehidupan, masyarakat Islam semacam itu selalu bersedia bekerjasama dan berlomba-lomba dalam serba kebaikan di tengah persaingan pasar-bebas di segala lapangan kehidupan dalam semangat ”berjuang menghadapi tantangan” (al-jihad li al-muwajjahat) lebih dari sekadar ”berjuang melawan musuh” (aljihad li al-mu’aradhah). Masyarakat Islam yang dicita-citakan Muhammadiyah memiliki kesamaan karakter dengan masyarakat madani, yaitu masyarakat

127

kewargaan (civil-society) yang memiliki keyakinan yang dijiwai nilai-nilai Ilahiah, demokratis, berkeadilan, otonom, berkemajuan, dan berakhlak-mulia (al-akhlaq al-karimah). Masyarakat Islam yang semacam itu berperan sebagai syuhada ‘ala al-nas di tengah berbagai pergumulan hidup masyarakat dunia. Oleh karena itu, masyarakat Islam yang sebenar-benarnya yang bercorak ”madaniyah” tersebut senantiasa menjadi masyarakat yang serba unggul atau utama (khaira ummah) dibandingkan dengan masyarakat lainnya. Keunggulan kualitas tersebut ditunjukkan oleh kemampuan penguasaan atas nilai-nilai dasar dan kemajuan dalam kebudayaan dan peradaban umat manusia, yaitu nilai-nilai ruhani (spiritualitas), nilai-nilai pengetahuan (ilmu pengetahuan dan teknologi), nilai-nilai materi (ekonomi), nilai-nilai kekuasaan (politik), nilai-nilai keindahan (kesenian),

nilai-nilai

normatif

berperilaku

(hukum),

dan

nilai-nilai

kemasyarakatan (budaya) yang lebih berkualitas. Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya bahkan senantiasa memiliki kepedulian tinggi terhadap kelangsungan ekologis (lingkungan hidup) dan kualitas martabat hidup manusia baik laki-laki maupun perempuan dalam relasi-relasi yang menjunjungtinggi kemaslahatan, keadilan, dan serba kebajikan hidup. Masyarakat Islam yang demikian juga senantiasa menjauhkan diri dari perilaku yang membawa pada kerusakan (fasad fi al-ardh), kedhaliman, dan hal-hal lain yang bersifat menghancurkan kehidupan. Pandangan tentang kehidupan, sebagai salah satu dari pernyataan pikiran (zhawãhir al-afkãr/statement of mind) terdiri dati tiga point penting yaitu:

128

1. Muhammadiyah memandang bahwa era kehidupan umat manusia saat ini berada dalam suasana penuh paradoks. Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat luar biasa dibarengi dengan berbagai dampak buruk seperti lingkungan hidup yang tercemar (polusi) dan mengalami eksploitasi besar-besaran yang tak terkendali, berkembangnya nalar-instrumental yang memperlemah naluri-naluri alami manusia, lebih jauh lagi melahirkan sekularisasi kehidupan yang menyebabkan manusia kehilangan keseimbangankeseimbangan hidup yang bersifat religius. Kemajuan kehidupan modern yang melahirkan antitesis post-modern juga diwarnai oleh kecenderungan yang bersifat serba-bebas (supra-liberal), serba-boleh (anarkhis), dan serbamenapikan nilai (nihilisme), sehingga memberi peluang semakin terbuka bagi kemungkinan anti-agama (agnotisme) dan anti-Tuhan (atheisme) secara sistematis. Demokrasi, kesadaran akan hak asasi manusia, dan emansipasi perempuan juga telah melahirkan corak kehidupan yang lebih egaliter dan berkeadilan secara meluas, tetapi juga membawa implikasi pada kebebasan yang melampau batas dan egoisme yang serba liberal, yang jika tanpa bingkai moral dan spiritual yang kokoh dapat merusak hubungan-hubungan manusia yang harmoni (www. muhammadiyah.or.id). 2. Dalam memasuki babak baru globalisasi, selain melahirkan pola hubungan positif antarbangsa dan antarnegara yang serba melintasi, pada saat yang sama melahirkan hal-hal negatif dalam kehidupan umat manusia sedunia. Di era global ini masyarakat memiliki kecenderungan penghambaan terhadap egoisme (ta’bid al-nafs), penghambaan terhadap materi (ta’bid al-mawãd), penghambaan

129

terhadap nafsu seksual (ta’bid al-syahawãt), dan penghambaan terhadap kekuasaan (ta’bid al-siyasiyyah) yang menggeser nilai-nilai fitri (otentik) manusia dalam bertauhid (keimanan terhadap Allah SWT) dan hidup dalam kebaikan di dunia dan akhirat. Globalisasi juga telah mendorong ekstrimisme baru berupa lahirnya fanatisma primordial agama, etnik, dan kedaerahan yang bersifat lokal sehingga membangun sekat-sekat baru dalam kehidupan. Perkembangan global pasca perang-dingin (keruntuhan Komunisme) juga ditandai

dengan

pesatnya

pengaruh

Neo-liberalisme

yang

semakin

mengokohkan dominasi Kapitalisme yang lebih memihak kekuatan-kekuatan berjuasi sekaligus kian meminggirkan kelompok-kelompok masyarakat yang lemah (dhu’afã) dan tertindas (mustadh’afin), sehingga melahirkan ketidakadilan global yang baru. Namun globalisasi dan alam kehidupan modern yang serba maju saat ini juga dapat dimanfaatkan oleh gerakan-gerakan Islam seperti Muhammadiyah untuk memperluas solidaritas umat manusia sejagad baik sesama umat Islam (ukhuwah islamiyyah) maupun dengan kelompok lain (‘alãqah insãniyyah), yang lebih manusiawi dan berkeadaban tinggi (www. muhammadiyah.or.id). 3. Karena itu Muhammadiyah mengajak seluruh kekuatan masyarakat, bangsa, dan dunia untuk semakin berperan aktif dalam melakukan ikhtiar-ikhtiar pencerahan di berbagai lapangan dan lini kehidupan sehingga kebudayaan umat manusia di alaf baru ini menuju pada peradaban yang berkemajuan sekaligus bermoral tinggi (www. muhammadiyah.or.id). F. Melacak “Tasawuf” dalam Akar Ideologi Ahmad Dahlan

130

Abdul Munir Mulkhan dalam beberapa kajiannya tentang geneologi intelektualitas Ahmad Dahlan mencatat adanya korelasi ideologis dalam beberapa pemikiran pendiri gerakan Muhammadiyah ini dengan pemikiran Ibn Taimiyah. Pokok-pokok pandangan Ibn Taimiyah yang dinilai mempunyai pengaruh besar terhadap dinamika gerakan pembaharuan di dunia Islam, dan Ahmad Dahlan pada khususnya meliputi lima aspek (Mulkhan, 1990: 37) : 1. Satu–satunya kunci untuk memahami Islam adalah al Quran dan Sunnah Rasul. 2. Ijtihad sebagai upaya memahami Islam dari sumber primer (al Quran dan sunnah) merupakan proses tidak pernah selesai. 3. Ummat Islam tidak harus dipimpin oleh hanya seorang khalifah. 4. Usaha yang dilakukan oleh manusia dengan mempergunakan kemampuan akal dan kecerdasan berpikirnya semata–mata untuk menemukan dan mencapai kebenaran mutlak, adalah suatu usaha yang mustahil. 5. Untuk memperoleh pemahaman yang tepat terhadap al Quran dan sunnah, perlu mempergunakan pendekatan dan contoh yang dilakukan oleh golongan salaf yang merupakan generasi pertama ummat Islam. Pasca kebangkitan simbolik Ibn Taimiyah, bermunculan sarjana-sarjana Muslim yang konsisten memperjuangkan ketinggalan dunia Islam dari dunia Barat. Gerakan reformasi Islam dalam dunia Arab modern dimulai dan disemai oleh para pemikir-pemikir Muslim rasionalis semenjak Rifa'at Tahtawi dan al-Tunisi. Puncaknya dalam gerakan pembaharuan Muhammad 'Abduh. Dan `Abduh adalah cikal-bakal gerakan reformis yang ada sekarang ini. Hanya, kecenderungan dikotomis untuk menjadi "kiri" atau "kanan" dalam madzhab 'Abduh semakin

131

intens. Kelompok kiri penerus 'Abduh semakin lama semakin kiri (menjadi sekular), dan kelompok kanan juga terus semakin kanan, atau memutuskan diri sama sekali dari kerangka ajaran sang imam, yaitu menjadi fundamentalis. Gerakan reformistik adalah proses evolusi madrasah 'Abduh yang beraliran kiri; pada mulanya adalah 'Abduh, kemudian Qasim Amin, kemudian 'Ali 'Abd alRaziq, kemudian Muhammad Imarah dan terakhir Hassan Hanafi. Dinamika tantangan mendorong konstruksi-konstruksi pemikirannya semakin kiri, sehingga semakin jauh dari kerangka berpikir awal sang Imam. Kasusnya sama dengan kelompok kanan, semakin kemari semakin menjadi radikal (perhatikan matarantainya: dari 'Abduh, kemudian Rasyid Ridla, kemudian Hassan al-Banna, dan terakhir Sayyid Quthb) (Asysyaukani, 2000: 34). Di kawasan Asia sendiri bermunculan tokoh–tokoh Islam yang memiliki latar belakang dan corak pemikiran yang beragam, seperti Syah Waliyullah, Sir Ahmad Khan, Syed Ameer Ali, Muhammad Iqbal, Muhammad Ali Jinnah (India dan Pakistan) serta KH. Ahmad Dahlan, KH. Ahmad Syurkati dan KH. Hasyim Asy `ari di Indonesia. Sebelum mendirikan Muhammadiyah, Kyai Dahlan bergabung terlebih dahulu dengan Jamiat Khair, gerakan pembaharu pertama di Indonesia. Melalui organisasi ini Dahlan berkenalan Ahmad Syurkati yang sudah lebih dulu mengenal gagasan pembaharuan Islam serta memiliki akses terhadap publikasi gagasangagasan pembaruan Islam di Timur Tengah. Inilah yang melatar belakangi ketertarikan Dahlan bergabung dengan Jamiat Khair (Shihab, 1998: 112 dan Hisyam, 2001: 167). Bersamaan dengan itu, Dahlan ikut bergabung dalam

132

pergerakan Budi Utomo. Kedua organisasi inilah yang mengilhaminya untuk membangun organisasi Islam berwawasan modern. Dapat kita cermati, bahwa Dahlan merupakan orang yang terbuka, respek, toleran, moderat dan serba ingin tahu. Rickes menggambarkan kepribadian Dahlan tersebut sebagai berikut: Dahlan was a kind of Indonesia of the Calvinist ethic, an energetic, militant, intelligent man some forty year of age, obviously with some Arab blood and stricly orthodox but with a trace of torelance”(Hisyam, 2001: 174). Wawasan keberagamaan Dahlan mengedapankan sikap inklusivitas, pluralitas dan relativitas dalam memandang sebuah pemahaman kebenaran. Kepribadian Dahlan ini sangat mewarnai corak penampilan Muhammadiyah pada fase–fase awal. Mengingat kedudukan sentral pemikiran Kyai dalam gerak perkembangan Muhammadiyah maka menjadi sangat penting untuk memahami pokok–pokok pikiran pemikiran Kyai Dahlan seperti yang terdapat dalam karyanya. Amin Abdullah (2001) menyatakan bahwa Kyai Dahlan memiliki tipikal yang berbeda dengan para pembaharu lain yang banyak meninggalkan karya tulis. Kyai Dahlan merupakan tipe pembaharu a man of action dan bukan a man of tought. Beliau menafsirkan Islam sebagai realitas yang dinamis dan hidup. Tafsir sosial Islam yang dilakukan Dahlan menyuarakan kepentingan pemihakan kepada konstruksikonstruksi sosial yang marjinal, terjajah, dan tertindas oleh sebuah sistem otoritas/struktur sosial yang opresif. Oleh sebab itu tidak mengejutkan apabila dalam pidato terakhir bulan Desember 1922, sebelum meninggal dunia, Dahlan menyatakan bahwa problem utama mengapa umat Islam lemah dan sulit bekerjasama ialah karena setiap orang, pemimpin dan kelompok, merasa paling

133

benar sendiri, dan menganggap segala yang datang dari orang lain, apalagi yang memusuhi, selalu salah, buruk dan jahat. Pesan pidato Kyai Dahlan tersebut diabadikan Charles Kurzman (2002) di bawah judul “The Unity of Human Life” (dalam Asyukri, 2003: xix). Menurut Munir Mulkhan, kesatuan kemanusiaan di atas merupakan dasar berbagai gagasan KH. Dahlan tentang sikap kritis terhadap kebenaran yang selama ini diyakini pemeluk agama dan pemimpin agama. Begitu pula pemikiran tentang pentingnya sikap terbuka dan kesediaan untuk belajar kepada orang lain, walaupun kepada orang yang berbeda agama. Tampak jelas bahwa bagi KH. Dahlan Islam merupakan ajaran untuk pencapaian kesejahteraan dan perdamaian seluruh umat manusia. Untuk itu, gerakan pembaharuan Muhammadiyah bertujuan melawan otoritas-otoritas (tiran) kolonial/neo-kolonial yang jutru melakukan tindakantindakan yang bertentangan bahkan mengancam hakekat manusia itu sendiri. Disinilah, Muhammadiyah ikut andil bagian dalam mengusung nasionalisme dengan berbasis pada identitas Islam. Apabila dilihat secara komparatif, epistemologi Kyai Dahlan terbangun dari dua aksioma, yaitu aksioma dasar dan aksioma operasional (Mulkhan, 1990: 101). Al Quran dan Sunnah Rasul merupakan aksioma dasar yang dijadikan acuan dalam melakukan domestifikasi Islam dalam ranah historis empirik. Nalar yang berbasis kepada logika, kritisisme dan berdimensi praksis menjadi pilar utama dalam operasionalisasi aksioma dasar diatas. Struktur epistemologi ini menyiratkan bahwa kepastian (qath`iah) menjadi dasar utama epistemologi sebagaimana ditekankan asy Syatibi (dalam Hallaq, 2000: 243).

134

Dalam falsafah ajaran Kyai Dahlan (Hadjid, 1996: 46) dan pokok-pokok pikiran yang dipubliksikan oleh Hoofbestuur Taman Pustaka, Kyai hanya menyebut akal suci sebagai metode dalam melaksanakan ajaran agama. Sumber komplemanter untuk memahami agama terdiri dari hadits, ijma dan qiyas sebagaimana tercantum dalam Verslaag Moehammadijah di Hindia Timur tahun IX Januari-Desember 1922 (Arifin, 1987: 109). Inovasi untuk memasukkan ilmu–ilmu filosofis rasional, baik yang bersifat sosial-humaniora sciences maupun natural sciences, dalam kurikulum pendidikan Muhammadiyah telah mengecualikan gerakan ini dari tesis Robert N. Bellah (2000), generalisasi Arkoun (1994) serta analisis Amin Abdullah (1996) yang mensinyalir telah hilangnya tradisi filosofis rasionalistik dalam tradisi dunia Muslim pasca masa kodifikasi atau sejak abad pertengahan-skolastik. Kepiawaian Kyai dalam ilmu falaq (astronomi) dengan memakai pendekatan hisa`b, kisah surat al Ma`un serta pendirian berbagai institusi sosial menjadi fakta otentik yang monumental pada masa itu. Proyek nalar modern yang dicanangkan Arkoun sudah menjadi komitmen sosial Kyai Dahlan untuk memancangkan semangat rasionalitas dan kritisisme sebagai aksioma operasional epistemologi Muhammadiyah. Dominasi dan hegemoni nalar Bayani selama ini terhadap peradaban (Arab) Islam yang menjadi tesis al Jabiri melahirkan varian tersendiri bagi Muhammadiyah (Azhar, 2000: 19). Seperti diakui Syamsul Anwar dan Hamim Ilyas (dalam Baidhowi, 2002: 79), bahwa sejak awal Muhammadiyah memang telah mempraktekkan pendekatan bayani yang di konfrontasikan dengan realitas empirik. Sehingga yang terjadi adalah dialektika dinamis antara teks dan konteks, dimensi normativitas dan historisitas. Menurut penulis, eksistensi nalar Bayani dalam

135

Muhammadiyah pada masa ini relatif berada pada relasi sinergis–kritis dengan nalar Burhani (akal suci) dan nalar Irfani (hati suci). Dalam kerangka teori al Jabiri, Muhammadiyah pada masa Islam (sejati) Kyai Dahlan ini berada dalam tahapan al tadakhul al takwini; fase subalternasi genetis atau dalam istilah Alfian, the formative years (Alfian, 1989: 136). Namun dalam perkembangan fase Muhammadiyah, pendekatan bayani/teks mengeras secara dominan. Fenomena ini dapat dirujuk pada kentalnya dominasi teks dalam semangat ijtiha`diah Muhammadiyah yang secara eksplisit terkodifikasi dalam Pokok–pokok Manhaj Majlis Tarjih. Katagorisasi ijtihad bayani, ijtihad qiyasi dan ijtihad istishlahy dalam konteks ini hanyalah klasifikasi intensitas dan eksplisitas otoritas teks terhadap nalar. Skema nalar syafi`iah ini menempatkan nalar manusia dalam struktur subordinatif–dominatif terhadap wahyu. Karena deduksi analogi harus bertitik tolak pada prinsip–prinsip yang diakui oleh al Quran dan Sunnah (Coulsons, 1983: 45). Pada dasarnya, wilayah ijtihadiah Muhammadiyah hanya terbentang sebatas garis demarkasi otoritas teks. Pada proses ini terjadi transformasi wilayah non-teks menjadi otoritas wilayah teks (Abu Zaid, 1997: 6). Pendekatan teks (nalar bayani) yang sangat dominan dalam Muhammadiyah pasca Kyai Dahlan dengan basis nalar qiyasi (qiyas bayani) telah mentahbiskan lahirnya “Nalar Islam Muhammadiyah” yang mengalami reifikasi. Nalar ini dibentuk dan menyatu dalam struktur memori kebudayaan Muhammadiyah secara tidak sadar. Langkah–langkah kodifikasi yang dilakukan pada fase kepemimpinan 1923–1985 telah memunculkan dominasi qiyas bayani (nalar qiyasi). Dominasi ini mengartikulasikan kepemimpinan

elite syariah formalistik dalam gerakan

136

Muhammadiyah pasca Kyai Dahlan. Maka gerakan pemikiran di Muhammadiyah lebih menampakan background fiqhiyyah–nya dibanding dimensi gerakan pembaharuan sosial yang dinamis. Dengan demikian, metodologi hermeneutik sosial yang diwariskan Kyai Dahlan tidak saja tidak mendapat ruang apresiasi bahkan pada akhirnya harus tersingkir dari epistemologi penalaran sosial keagamaan di Muhammadiyah. Ketersingkiran paradigma hermeneutik sosial dari konstruksi tafsir sosial Muhammadiyah telah menimbulkan akibat yang fatal bagi landasan identitas (politik) Muhammadiyah, yaitu kebudayaan. Nampaknya, kebudayaan dipahami tidak memiliki garis relasional dengan cita-cita sosial serta kepentingan pemihakan Muhammadiyah. Justru kebudayaan merupakan medan bagi proses perebutan pemaknaan. Oleh karena itu, artikulasi gerakan Muhammadiyah akan selalu dibingkai dalam kerangka kebudayaan yang bermuatan politis: keberpihakan pada kelompok-kelompok sosial yang ditundukan/dilemahkan oleh sistem maupun oleh konstruksi-konstruksi sosial dominan. G. Tasawuf Muhammadiyah: Sebuah Hasil Penelusuran Secara umum hasil penelusuran landasan dasar muhammadiyah tidak dijumpai adanya konsep tasawuf secara formal seperti yang umum dilakukan dikalangan NU, yang ada hanyalah tasawuf substantive atau nilai-nilai tasawuf yang sesuai dengan ajaran dasar al Qur’an san Sunnah. Tasawuf substantive ini dapat dijumpai dalam beberapa landasan dasar Muhammadiyah yaitu: 1. Dalam Muqodimah Anggaran Dasar disebutkan bahwa Islam secara substansial adalah untuk mendapatkan kehidupan yang bahagia. Untuk mencapainya

137

manusia haruslah mengikuti jejak para Nabi, beribadah kepada Allah dan berusaha

secara

maksimal

mengumpulkan

segala

kekuatan

dan

menggunakannya untuk menjelmakan masyarakat itu di Dunia ini, dengan niat yang murni-tulus dan ikhlas karena Allah semata-mata dan hanya mengharapkan karunia Allah dan ridha-Nya belaka, serta mempunyai rasa tanggung jawab di hadirat Allah atas segala perbuatannya, dan pula harus sabar dan tawakal bertabah hati menghadapi segala kesukaran atau kesulitan yang menimpa dirinya, atau rintangan yang menghalangi pekerjaannya, dengan penuh pengharapan perlindungan dan pertolongan Allah. Dalam Muqodimah Anggaran Dasar tasawuf dimaknai sebagai sikap ikhlas, sabar dan tawakal sesuai tuntunan Nabi dan hanya terorientasikan kepada Allah. 2. Pada pasal 2 MKCHM disebutkan bahwa Muhammdiyah berkeyakinan bahwa Islam menjamin kesejahteraan hidup materil dan spritual, duniawi dan ukhrawi. Muhammadiyah dalam mengamalkan Islam berdasarkan: Al-Qur'an yang merupakan Kitab Allah yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW dan Sunnah Rasul yang merupakan penjelasan dan palaksanaan ajaran-ajaran AlQur'an yang diberikan oleh Nabi Muhammad SAW dengan menggunakan akal fikiran sesuai dengan jiwa ajaran Islam. Dalam MKCHM ini tasawuf dimaknai sebagai keseimbangan materil dan spritual, duniawi dan ukhrawi, inilah yang kemudian oleh beberapa kelompok disebut sebagai Tasawuf Positif yang didasarkan atas Qur’an dan Sunnah, dan menafikan tasawuf yang terorientasi pada khalwat dan penyingkiran terhadap kehidupan dunia.

138

3. Dalam Rumusan Hakekat Muhammadiyah disebutkan inti dari kepribadian warga Muhammadiyah adalah beriman teguh, ta'at beribadah, berakhlaq mulia, dan menjadi teladan yang baik di tengah-tengah masyarakat. Inilah orientasi dasar dari tasawuf yang tidak disandingkan dengan yang dipandang sebagai negative seperti, menyendiri, berkebiasaan aneh-aneh, berteologi secara spekulatif dan mengasingkan diri ditengah masyarakat. 4. dalam PHIM disebutkan bahwa setiap warga Muhammadiyah wajib menjadikan iman dan tauhid sebagai sumber seluruh kegiatan hidup, tidak boleh mengingkari keimanan berdasarkan tauhid itu, dan tetap menjauhi serta menolak syirk, takhayul, bid'ah, dan khurafat yang menodai iman dan tauhid kepada Allah. Ini artinya tasawuf yang identik dengan tarekat dan dan kepatuhan terhadap mursyid tidak diterima dalam wilayah Muhammadiyah karena dipandang sebagai bid’ah. Tasawuf substantive seperti di atas didasarkan atas pemahaman yang menyatakan tidak seorangpun yang tidak mendambakan kepuasan dan kenikmatan hidup. Setiap orang tentulah menginginkan agar hidupnya selalu dalam keadaan tenang dan tenteram serta selalu dapat merasakan adanya kepuasan hidup (Suara Muhamadiyah, 2008: 12) . Untuk mendapatkan ketenangan dan ketenteraman hidup itu, berbagai cara dan jalan dilalui. Sementara orang beranggapan bahwa, kepuasan hidup itu terletak pada adanya harta kekayaan yang menumpuk, maka untuk memperoleh kepuasan hidup itu, ia berusaha mengumpulkan harta kekayaan sebanyak-banyaknya. Dan sering terjadi bahwa, untuk mendapatkan harta kekayaan

139

itu, ditempuhlah berbagai cara dan jalan, tidak peduli apakah cara itu dibenarkan oleh agama atau tidak yang penting asal harta kekayaan dapat dikumpulkan. Sementara orang lagi beranggapan bahwa, kepuasan hidup itu terletak pada adanya pangkat dan kedudukan yang tinggi. maka untuk memperoleh kepuasan hidup itu, dengan berbagai cara dan jalan, dikejarlah pangkat dan kedudukan itu. Dan tidak jarang pula bahwa, dalam mengejar pangkat dan kedudukan itu ditempuhlah cara-cara yang tidak wajar. Apakah benar bahwa, dengan harta kekayaan dan pangkat, seseorang akan memperoleh kepuasan hidup? Dalam batasbatas tertentu memang benar bahwa, harta kekayaan dan pangkat bisa membuat seseorang menjadi puas dan senang. Tetapi, kesenangan dan kepuasan yang dicapai sifatnya relatif. Dalam praktek tidak sedikit orang yang berharta cukup, uang simpanan di Bank melimpah, rumah megah, kendaraan mewah berjejer, segala kehendak dan keinginannya terpenuhi, tetapi batinnya merasa kosong, jiwanya gelisa. Demikian pula tidak jarang seseorang yang menduduki pangkat yang cukup tinggi, tetapi, dengan pangkatnya itujiwanya selalu tidak tenteram. Ia selalu merasa dikejar-kejar orang dan sebagainya. Sebaliknya tidak sedikit pula orangdapat merasakan kepuasan hidup, pikirannya selalu dalam keadaan tenang, jiwanya tenteram, padahal secara lahiriyah ia selalu dalam keadaan serba kekurangan, harta tidak dan pangkat pun tiada. Kepuasan batin rupanya telah memberikan imbangan terhadap ketidakpuasan yang bersifat lahiriyah (Suara Muhamadiyah, 2008: 24). Dalam rangka mencari kepuasan yang bersifat batiniyah menurut Muhammadiyah, ada beberapa cara yang bisa dilakukan.

140

1. Menjauhi larangan. Setiap orang yang melakukan pelanggaran, baik pelanggaran terhadap peraturan atau undang-undangnegara, norma atau nilai-nilai luhur yang berlaku di masyarakat, lebih-lebih lagi pelanggaran terhadap ketentuanketentuan Allah, pastilah membuat hatinya tidak tenteram, selalu berdebar-debar dan gelisah. Keadaan semacam ini tentunya merupakan siksaan batin, yang membuat kehidupannya tidak tenang. Untuk menghindari kegelisahan hidup, salah satu resepnya adalah menjauhi segala larangan, terutama larangan Allah (Suara Muhamadiyah, 2007: 16). 2. Ridha terhadap karunia Allah. Sudah menjadi tabiat manusia bahwa, ia selalu merasa tidak puas terhadap nikmat yang dikaruniakan oleh Allah kepadanya. Sekiranya perasaan tidak puas itu ditujukan kepada karunia berupa ilmu pengetahuan, ini justru merupakan hal yang terpuji, tetapi, pada umumnya perasaan tidak puas itu menyangkut soal kebendaan. Orang selalu merasa tidak puas dengan harta kekayaan yang telah dimilikinya. Walaupun kepadanya diberikan dua lembah penuh emas, tetapi ia selalu menginginkan lembah yang ketiga, keempat dan seterusnya, tiada habis-habisnya. Tabiat tidak pernah merasa puas terhadap harta yang dikaruniakan kepadanya itu dapat dikendalikan dengan menanamkan sikap qana;ah, yaitu, bersikap ridha terhadap karunia Allah. Artinya, dia menerima apa adanya, menerima dengan perasaan syukur atas apa yang dikaruniakan oleh Allah kepadanya. Sifat ridha dan syukur itu akan mebuat seseorang merasa paling kaya, walaupun kenyataannya dia miskin. Sebaliknya sifat thama, loba dan serakah terhadap harta kekayaan akan membuat seseorang merasa miskin, walaupun dalam kenyataannya ia hidup bergelimang

141

harta. Sebab sifat serakah membuat mata seseorang selalumenengadah, hanya melihat ke atas, melihat orang lain yang lebih kaya daripada dirinya. Dalam hubungan inilah Islam menasehatkan agar dalam soal karunia harta, hendaknya seseorang selalu melihat ke bawah, melihat orang lain yang keadaannya lebih miskin daripada dirinya. Dengan melihat ke bawah akan tumbuhlah rasa syukur, bahwa, dirinyaternyata dalam keadaan lebih baik apabila dibandingkan dengan keadaan orang lain. Menurut Muhamadiyah kekayaan itu tidak terletak pada uang dan harta yang melimpah, melainkan pada budi pekerti (Suara Muhamadiyah, 2007: 12). 3. Mencintai sesama manusia laksana mencintai diri sendiri. Sudah menjadi tabiatnya, bahwa, setiap orang itu sangat mencintai diri sendiri. Meskipun diri sendiri mengandung banyak kelemahan dan kekurangan serta menyandang banyak cacat sekalipun, tetapi cinta kepada diri sendiri tidak akan berkurang. Sekiranya ada orang lain yang beranimengungkapkan kekurangan dan cacat itu, ia pasti tersinggung dan merasa direndahkan. Karena cintanya kepada diri sendiri, kadang-kadang membuat orang bersikap sombong dan angkuh, merasa diri sendirilah yang paling hebat, paling pintar, paling benar, paling gagah dan sebagainya.Cinta pada diri sendiri, acapkali membuat seseorang bersikap rakus dan tamak. Ia menginginkan agar sebanyak mungkin harta benda hanya menumpuk pada dirinya sendiri, tidak perduli, apakah orang lain menderita karenanya. Mencintai diri sendiri sebenarnya tidak dilarang oleh agama. Bahkan, agama juga menganjurkan agar memperhatikan kepentingan dan tuntutan diri kita, baik yang bersifat jasmaniah maupun rohaniah. Yang dilarang oleh agama

142

adalah cinta kepada diri sendiri secara berlebihan. Oleh sebab itu kalau tidak mau dicela atau direndahkan oleh orang lain, hendaklah kita tepo seliro, tidak mencela dan merendahkan orang lain. Apabila diri kita tidak suka difitnah dan diadu domba, maka kitapun jangan pula menfitnah dan mengadu domba orang lain. Apabila kecintaan kita kepada sesama manusia mencapai tingkatan serupa itu, berhaklah kita menyandang predikat sebagai seorang muslim sejati, yang hidupnya penuh kepuasan dan ketenteraman (Suara Muhamadiyah, 2008: 25).

BAB IV TASAWUF DALAM PERSPEKTIP INTELEKTUAL MUHAMMADIYAH KOTA SEMARANG

Mendengar kata tasawuf, yang terbetik dalam benak adalah sesuatu yang berat. Sesuatu yang jauh, yang tidak terjangkau oleh akal awam kita. Berpakaian serba putih, memelihara jenggot panjang dan menjauhi kehidupan dunia, hidup dalam kekurangan ekonomi alias miskin dan berpakaian lusuh. Gambaran itulah yang kerap dimunculkan,

143

saat mendengar kata tasawuf, dan juga sufi26 (para pelaku tasawuf). Ini masih ditambah lagi dengan pernyataan-pertanyaan ganjil atau nyleneh yang seringkali susah dipahami dan terkesan melanggar keyakinan umum kaum Muslim. Seperti ucapan Al Hajjaj dan Abu Yazid Al-Busthami, misalnya `'Akulah Sang Kebenaran'' (ana Al-Haqq) atau `'Tak ada apapun dalam jubah yang aku pakai selain Allah”.' Dari sinilah timbul tudingan Syaikh Abdurrahman al Wakil, yang menyatakan bahwa tasawuf itu adalah tipuan, makar paling rendah, hina dan tercela. Tasawuf adalah topeng kaum Majusi agar ia terlihat sebagai seorang yang Rabbani, bahkan juga topeng semua musuh agama ini (Islam) (dalam Fauzan, 1998: 2).

A. Deskripsi Historis-Geografis Kota Semarang Semarang adalah ibukota Provinsi Jawa Tengah dan merupakan salah kota yang dipimpin oleh walikota. Kota ini terletak sekitar 485 km sebelah timur Jakarta, atau 308 km sebelah barat Surabaya. Semarang berbatasan dengan Laut Jawa di utara, Kabupaten Demak di timur, Kabupaten Semarang di selatan, dan Kabupaten Kendal di barat. Secara histories sejarah Semarang berawal kurang lebih pada abad ke 8 M, yaitu daerah pesisir yang bernama Bergota (ada ahli sejarah yang 26 Kaum sufi yang merupakan kaum elit dan kaum terdepan. Merupakan roda penggerak utama Islam pada masanya.Sepanjang abad ke-18, ke-19 dan awal abad ke-20, gerakan-gerakan sufi besar di Afrika dan Asia sering dihubungkan dengan gerakan-gerakan Islam umumnya. Kaum sufi adalah kaum elit masyarakatnya, dan sering memimpin gerakan pembaruan, atau perlawanan terhadap penindasan dan dominasi asing atau kolonial. Maka, misalnya, mereka terlibat jauh dalam gerakan politik seperti kebangkitan di Maroko dan Aljazair melawan Prancis, dan pembangunan kembali masyarakat dan pemerintahan Islam di Libya, yang sebagian besar dilakukan oleh para anggota tarekat Sanusi. Di Nigeria utara, Syekh 'Utsman dan Fobio (m. 1817), seorang anggota Tarekat Qadiriyah, memimpin jihad melawan para penguasa Habe yang telah gagal memerintah menurut syariat Islam, yang telah mengadakan pembebanan pajak yang dibuat-buat, korupsi umum, penindasan, dari menjatuhkan moralitas Islam pada tingkat rakyat maupun istana. Lebih jauh ke timur, Syekh Muhammad Ahmad al-Mahdi (m. 1885), anggota tarekat Tsemaniyah, berhasil menentang pemerintahan kolonial Inggris di Sudan. Fenomena serupa terjadi pula di Timur. Misalnya, kaum sufi Naqsabandiyyah dan Syah Waliyullah menentang kekuasaan kolonial Inggris di India.

144

menyebutnya Plagota) dan merupakan bagian dari kerajaan Mataram Kuno. Daerah tersebut pada masa itu merupakan pelabuhan yang ramai dan masih berupa gugusan kepulauan kecil-kecil. Akibat pengendapan gugusan tersebut kemudian menyatu membentuk daratan. Bahkan kota Semarag Bawah yang kita kenal sekarang ini dahulu merupakan laut. Pelabuhan tersebut diperkirakan berada di Pasar Bulu sekarang memanjang masuk ke pelabuhan Simongan tempat armada Laksamana Cheng Ho mendarat pada tahun 1406 M. Ditempat pendaratannya Laksamana Cheng Ho mendirikan kelenteng dan masjid yang sampai sekarang masih dikunjungi dan disebut Kelenteng Gedong Batu (Sam Poo Kong) (http//: id-wikipedia wordpress.com). Pada akhir abad ke 15 M ada seorang dari kesultanan Demak bernama pangeran Made Pandan bersama putranya Raden Pandan Arang pergi ke pesisir utara bagian barat untuk mencari daerah baru. Disuatu tempat yang bernama Pulau Tirang ( pulau kecil yang sekarang menjadi bagian dari bukit pemakaman Bergota), beliau membuka hutan dan mendirikan pesantren dan menyiarkan agama Islam. Dari waktu ke waktu daerah itu semakin subur, dari sela-sela kesuburan itu muncullah pohon asam yang jarang (bahasa Jawa: Asem Arang), sehingga memberikan gelar atau nama daerah itu menjadi Semarang27. Sebagai pendiri desa, kemudian menjadi kepala daerah setempat, dengan gelar Kyai Ageng Pandan Arang 27 Semarang, sebagai lbu kota Jawa Tengah, memiliki sejarah yang panjang. Mulanya dari dataran lumpur,yang kemudian hari berkembang pesat menjadi lingkungan maju dan menampakkan diri sebagai kota yang penting. Sebagai kota besar, ia menyerap banyak pendatang. Mereka ini, kemudian mencari penghidupan dan menetap di Kota Semarang sampai akhir hayatnya. Lalu susul menyusul kehidupan generasi berikutnya. Di masa dulu, ada seorang dari kesultanan Demak bernama pangeran Made Pandan bersama putranya Raden Pandan Arang, meninggalkan Demak menuju ke daerah Barat Disuatu tempat yang kemudian bernama Pulau Tirang, membuka hutan dan mendirikan pesantren dan menyiarkan agama Islam. Dari waktu ke waktu daerah itu semakin subur, dari sela-sela kesuburan itu muncullah pohon asam yang arang (bahasa Jawa: Asem Arang), sehingga memberikan gelar atau nama daerah itu menjadi Semarang (www.kotasemarang.go.id)

145

I. Sepeninggalnya, pimpinan daerah dipegang oleh putranya yang bergelar Pandan Arang II. Di bawah pimpinan Pandan Arang II, daerah Semarang semakin menunjukkan pertumbuhannya yang meningkat, sehingga menarik perhatian Sultan Hadiwijaya dari Pajang. Oleh karena persyaratan peningkatan daerah dapat dipenuhi, maka diputuskan untuk menjadikan Semarang setingkat dengan Kabupaten. Pada tanggal 2 Mei 1547 bertepatan dengan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW, tanggal 12 rabiul awal tahun 954 H disahkan oleh Sultan Hadiwijaya setelah berkonsultasi dengan Sunan Kalijaga. Tanggal 2 Mei kemudian ditetapkan sebagai hari jadi kota Semarang28 (http//: id-wikipedia wordpress.com). Pada tahun 1678 Amangkurat II dari Mataram, berjanji kepada VOC untuk memberikan Semarang sebagai pembayaran hutangnya, dia mengklaim daerah

28

Bandingkan dengan www.kotasemarang.go.id, yang menjelaskan, di bawah pimpinan Pandan Arang, daerah Semarang semakin menunjukkan pertumbuhannya yang meningkat, sehingga menarik perhatian Sultan Hadiwijaya dan Pajang. Karena persyaratan peningkatan daerah dapat dipenuhi, maka diputuskan untuk menjadikan Semarang setingkat dengan Kabupaten. Akhirnya Pandan Arang oleh Sultan Pajang melalui konsultasi dengan Sunan Kalijaga, juga bertepatan dengan peringatan maulid Nabi Muhammad SAW, tanggal 12 rabiul awal tahun 954 H atau bertepatan dengan tanggal 2 Mei 1547 masehi dinobatkan menjadi Bupati yang pertama. Pada tanggal itu "secara adat dan politis berdirilah kota Semarang" . Masa pemerintahan Pandan Arang II menunjukkan kemakmuran dan kesejahteraan yang dapat dinikmati penduduknya. Namun masa itu tidak dapat berlangsung lama karena sesuai dengan nasihat Sunan Kalijaga, Bupati Pandan Arang II mengundurkan diri dari hidup keduniawian yang melimpah ruah. la meninggalkan jabatannya, meniggalkan Kota Semarang bersama keluarga menuju arah Selatan melewati Salatiga dan Boyolali, akhirnya sampai ke sebuah bukit bernama jabalekat di daerah Klaten. Didaerah ini, beliau menjadi seorang penyiar agama Islam dan menyatukan daerah Jawa Tengah bagian Selatan dan bergelar Sunan Tembayat. Beliau wafat pada tahun 1553 dan dimakamkan di puncak Gunung Jabalkat. Sesudah Bupati Pandan Arang mengundurkan diri lalu diganti oleh Raden Ketib, Pangeran Kanoman atau Pandan Arang III (1553-1586), kemudian disusul pengganti berikutnya yaitu Mas R.Tumenggung Tambi (1657-1659), Mas Tumenggung Wongsorejo (1659 - 1666), Mas Tumenggung Prawiroprojo (1966-1670), Mas Tumenggung Alap-alap (1670-1674), Kyai Mertonoyo, Kyai Tumenggung. Yudonegoro atau Kyai Adipati Suromenggolo (1674 -1701), Raden Maotoyudo atau Raden Summmgrat (1743-1751), Marmowijoyo atau Sumowijoyo atau Sumonegoro atau Surohadmienggolo (1751-1773), Surohadimenggolo IV (1773-?), Adipati Surohadimenggolo V atau kanjeng Terboyo (?), Raden Tumenggung Surohadiningrat (?-1841), Putro Surohadimenggolo (18411855), Mas Ngabehi Reksonegoro (1855-1860), RTP Suryokusurno (1860-1887), RTP Reksodirjo (18871891), RMTA Purbaningrat (1891-?), Raden Cokrodipuro (?-1927), RM Soebiyono (1897-1927), RM Amin Suyitno (1927-1942), RMAA Sukarman Mertohadinegoro (1942-1945), R. Soediyono Taruna Kusumo (1945-1945), hanya berlangsung satu bulan, M. Soemardjito Priyohadisubroto (tahun 1946, 1949 - 1952 yaitu masa Pemerintahan Republik Indonesia) pada waktu Pemerintahan RIS yaitu pemerintahann federal diangkat Bupati RM.Condronegoro hingga tahun 1949.

146

Priangan dan pajak dari pelabuhan pesisir sampai hutangnya lunas. Pada tahun 1705 Susuhunan Pakubuwono I menyerahkan Semarang kepada VOC sebagai bagian dari perjanjiannya karena telah dibantu untuk merebut Kartasura. Sejak saat itu Semarang resmi menjadi kota milik VOC dan kemudian Pemerintah Hindia Belanda. Pada tahun 1906 dengan Stanblat Nomor 120 tahun 1906 dibentuklah Pemerintah Gemeente. Pemerintah kota besar ini dikepalai oleh seorang Burgemeester (Walikota). Sistem Pemerintahan ini dipegang oleh orang-orang Belanda berakhir pada tahun 1942 dengan datangya pemerintahan pendudukan Jepang (http//: id-wikipedia wordpress.com). Pada masa Jepang terbentuklah pemerintah daerah Semarang yang di kepalai Militer (Shico) dari Jepang. Didampingi oleh dua orang wakil (Fuku Shico) yang masing-masing dari Jepang dan seorang bangsa Indonesia. Tidak lama sesudah kemerdekaan, yaitu tanggal 15 sampai 20 Oktober 1945 terjadilah peristiwa kepahlawanan pemuda-pemuda Semarang yang bertempur melawan balatentara Jepang yang bersikeras tidak bersedia menyerahkan diri kepada Pasukan Republik. Perjuangan ini dikenal dengan nama Pertempuran lima hari di Semarang. Tahun 1946 lnggris atas nama Sekutu menyerahkan kota Semarang kepada pihak Belanda.Ini terjadi pada tangga l6 Mei 1946. Tanggal 3 Juni 1946 dengan tipu muslihatnya, pihak Belanda menangkap Mr. Imam Sudjahri, walikota Semarang sebelum proklamasi kemerdekaan. Selama masa pendudukan Belanda tidak ada pemerintahan daerah kota Semarang. Narnun para pejuang di bidang pemerintahan tetap menjalankan pemerintahan di daerah pedalaman atau daerah pengungsian diluar kota sampai dengan bulan desember 1948. Daerah pengungsian berpindah-

147

pindah mulai dari kota Purwodadi, Gubug, Kedungjati, Salatiga, dan akhirnya di Yogyakarta. Pimpinan pemerintahan berturut-turut dipegang oleh R Patah, R. Prawotosudibyo dan Mr. Ichsan. Pemerintahan pendudukan Belanda yang dikenal dengan Recomba berusaha membentuk kembali pemerintahan Gemeente seperti dimasa kolonial dulu di bawah pimpinan R Slamet Tirtosubroto. Hal itu tidak berhasil, karena dalam masa pemulihan kedaulatan harus menyerahkan kepada Komandan KMKB Semarang pada bulan Februari 1950. Tanggal 1 April 1950 Mayor Suhardi, Komandan KMKB. menyerahkan kepemimpinan pemerintah daerah Semarang kepada Mr Koesoedibyono, seorang pegawai tinggi Kementrian Dalam Negeri di Yogyakarta. Beliau menyusun kembali aparat pemerintahan guna memperlancar jalannya pemerintahan. Kotamadya Semarang secara definitif ditetapkan berdasarkan UU Nomor 13 tahun 1950 tentang pembentukan kabupaten-kabupaten dalam lingkungan Provinsi Jawa Tengah. Secara geografis daerah dataran rendah di Kota Semarang sangat sempit, yakni sekitar 4 kilometer dari garis pantai. Dataran rendah ini dikenal dengan sebutan kota bawah29. Kawasan kota bawah seringkali dilanda banjir, dan di

29

Berdasarkan sejarahnya, kota Semarang memiliki suatu kawasan yang ada pada sekitar abad 18 menjadi pusat perdagangan. Kawasan tersebut pada masa sekarang disebut Kawasan Kota Lama. Pada masa itu, untuk mengamankan warga dan wilayahnya, maka kawasan itu dibangun benteng, yang dinamai benteng VIJHOEK.Untuk mempercepat jalur perhubungan antar ketiga pintu gerbang dibenteng itu maka dibuat jalan-jalan perhubungan, dengan jalan utamanya dinamai : HEEREN STRAAT. Saat ini bernama Jl. Let Jen Soeprapto.Salah satu lokasi pintu benteng yang ada sampai saat ini adalah Jembatan Berok, yang disebut DE ZUIDER POR. Jalur pengangkutan lewat air sangat penting hal tersebut dibuktikan dengan adanya sungai yang mengelilingi kawasan ini yang dapat dilayari dari laut sampai dengan daerah Sebandaran, dikawasan Pecinan. Masa itu Hindia Belanda pernah menduduki peringkat kedua sebagai penghasil gula seluruh dunia. Pada waktu itu sedang terjadi tanam paksa( Cultur Stelsel ) diseluruh kawasan Hindia Belanda. Kawasan Kota Lama Semarang disebut juga OUTSTADT. Luas kawasan ini sekitar 31 Hektar. Dilihat dari kondisi geografi, nampak bahwa kawasan ini terpisah dengan daerah sekitarnya, sehingga nampak seperti kota tersendiri, sehingga mendapat julukan "LITTLE NETHERLAND". Kawasan Kota Lama Semarang ini merupakan saksi bisu sejarah Indonesia masa kolonial Belanda lebih dari 2 abad, dan lokasinya berdampingan dengan kawasan ekonomi. Ditempat ini ada sekitar 50 bangunan kuno yang masih berdiri dengan kokoh dan mempunyai sejarah Kolonialisme di

148

sejumlah kawasan, banjir ini disebabkan luapan air laut (rob). Di sebelah selatan merupakan dataran tinggi, yang dikenal dengan sebutan kota atas, di antaranya meliputi Kecamatan Candi, Mijen, Gunungpati, dan Banyumanik. Secara administratip Kota Semarang terdiri atas 16 kecamatan, yang terbagi lagi dalam sejumlah kelurahan dan desa. Ke-16 kecamatan tersebut adalah: Banyumanik, Candisari, Gajahmungkur, Gayamsari, Genuk, Gunungpati, Mijen, Ngaliyan, Pedurungan, Semarang Barat, Semarang Selatan, Semarang Tengah, Semarang Timur, Semarang Utara, Tembalang dan Tugu. Pemilihan Kota Semarang sebagai tempat penelitian setidaknya didasarkan karena kota ini menjadi ibu kota propinsi Jawa Tengah. Sebagai ibu kota propinsi semarang tentunya menjadi pusat pemerintahan, pusat pendidikan dan pusat yang lainnya. Sebagai pusat pendidikan, di Semarang30 terdapat sejumlah perguruan tinggi ternama baik negeri maupun swasta. Perguruan Tinggi tersebut adalah: Universitas Diponegoro (Undip), Universitas Negeri Semarang (Unnes), Politeknik Negeri Semarang, IAIN Walisongo, Akademi Kepolisian. Perguruan tinggi swasta antara lain: Universitas 17 Agustus 1945, Universitas Islam Sultan Agung, Universitas Wahid Hasyim Semarang, Universitas Katolik Soegijapranata,

Semarang. Kota Lama Semarang ini adalah daerah yang bersejarah dengan banyaknya bangunan kuno yang dinilai sangat berpotensi untuk dikembangkan dibidang kebudayaan ekonomi serta wilayah konservasi. 30 Surat kabar yang terbit di Semarang antara lain: Radar Semarang dan Meteor (Grup Jawa Pos), Suara Merdeka, Majalah Merah Putih, Wawasan (Suara Merdeka Grup). Televisi lokal di Semarang adalah TV Borobudur, Pro TV, TVKU, dan Cakra TV. Dari sisi budaya Semarang memiliki seni budaya warak ngendhog dan dhugdheran yang diadakan menjelang datangnya bulan ramadhan. Semarang memiliki kota tua Little Netherland yang mencakup kawasan Polder, Stasiun Semarang Tawang Jembatan berok dan Lawang Sewu. Komunitas Tionghoa di Semarang, dapat ditemui melalui perkumpulan Kopi Semawis (Komunitas Pecinan Semarang untuk Pariwisata), mengadakan Pasar Semawis, yakni pasar malam yang menjual berbagai makanan & oleh-oleh khas Semarang, di daerah pecinan Semarang (daerah Gang Pinggir).

149

Universitas Dian Nuswantoro, Universitas Stikubank, Universitas Semarang, Universitas AKI, Universitas Muhammadiyah Semarang, Sekolah Tinggi Ilmu Elektronika dan Komputer (STEKOM) Semarang, STMIK ProVisi IT College, AKABA 17 Agustus 1945. Dari sekian banyak lembaga pendidikan, tentunya Semarang menjadi salah satu pusat domisili para intelektual dari beragam disiplin ilmu. Dalam perspektip semacam inilah penelitian ini dilakukan. B. Deskripsi Tentang Tasawuf Dalam Perspektip Intelektual Muhammadiyah Kota Semarang. Beragama pada era dewasa ini memiliki tantangan tersendiri, hal ini dikarenakan selain dihadapkan pada semakin banyaknya perspekrif pemahaman yang berbeda dalam lingkup agama tertentu disatu sisi, disisi lain umat beragama juga dihadapkan pada realitas beragama ditengah agama-agama lain. Menurut Budhi Munawar Rahman, tantangan paling besar dalam kehidupan beragama sekarang ini adalah bagaimana seseorang beragama bisa mendifinisikan dirinya ditengah kelompok-kelompok lain atau dalam istilah yang lebih tehnis “berteologi dalam konteks pemahaman-pemahaman yang berbeda”31. Dalam pergaulan antar agama, semakin hari kita semakin merasakan inteksnya pertemuan agama-agama itu. Pada tingkat pribadi sebenarnya hubungan antar tokoh agama di Indonesia menunjukkan suasana yang semakin akrab, tetapi pada tingkat teologis yang merupakan dasar dari agama muncul kebingungan-kebingungan khususnya yang menyangkut bagaimana kita harus mendefinisikan diri ditengah agama-agama lain yang juga eksis dan punya keabsahan. 31

Dalam bahasa Budhi Munawar Rahman istilah yang dipakai adalah “Beragama di Tengah Agama Orang Lain”, lihat (IDEA, 1997: 32)

150

Dari realitas yang mengglobal tentang agama dan beragama yang berpadu dengan

cepatnya

ilmu

pengetahuan

dalam

berbagai

perspektif

yang

multidimensional mengakibatkan semakin beragamnya pemahaman beragama yang semakin dinamis. Hal ini tidak bisa terelakkan karena beragama bukanlah merupakan sikap yang pasif, tetapi akhir-akhir ini beragama lebih dipahami seagai sikap dialogis intelektual yang proporsional antara manusia, realitas dan Tuhan. Dalam perspektif seperti inilah beragama semakin menemukan momentum untuk bergerak dinamis dan berakselerasi dengan tantangan realitas ruang dan waktu. Secara umum terdapat tiga sikap dikalangan intelektual Muhammadiyah terkait dengan eksistensi tasawuf yaitu menolak secara total, terbuka terhadap keberadaan tasawuf dan sikap yag terakhir adalah akoodatif. Ketiga sikap ini dapat pula dikategorikan dalam terminologi eksklusif, inklusif dan pluralis32 (Hubbard, 1998: xix). Eksklusif adalah pola pemikiran yang secara umum menafikan tasawuf secara total dan beranggapan bahwa hanya pemikiran kelompoknyalah yang paling benar dan yang mampu memberikan pencerahan kehidupan. Sikap secara inklusif ditunjukkan dengan lebih terbuk terhadap tasawuf sedangkan sikap pluralis merupakan tindakan respek terhadap tasawuf yang ditunjukan dengan sikap mengakui serta memahami eksistensi tersebut.

1. Menolak Secara Total Eksistensi Tasawuf 32 Kategorisasi kedalam sikap eksklusif, inklusif dan pluralis diadaptasi dari pendapar Nurcholish Madjid yang menyatakan bahwa paling tidak dewasa ini para ahli memetakan dalam tiga sikap golongan. Pertama, sikap yang eksklusif dalam melihat agama lain (agama lain adalah jalan yang salah dan menyesatkan bagi pengikutnya). Kedua, sikap inklusif (agama-agama lain adalah bentuk implicit agama kita) dan ketiga, sikap pluralis yang bisa terekspresikan dalam beragam rumusan seperti, agama-agama lain adalah jalan yang sama-sama sah untuk mencapai kebenaran yang sama-sama sah atau setiap agama mengekspresikan bagian penting sebuah kebenaran (Hubbart: 1998, xix)

151

Sikap ini diwakii oleh Hamzah33, Sekretaris PDM kota Semarang dan juga Dosen di IKIP PGRI Semarang. Menurutnya beribadah adalah suatu konsep yang sudah paten dan tidak boleh mengada-ada. Apabila kedua hal ini yang dilakukan

maka

beribahah

akan

menjadi

kacau.

Dalam

perspektif

Muhammadiyah menurutnya, landasan utama yang mendasari setiap ibadah manusia adalah Qur’an dan Sunnah, sehingga apabila di dalam Qur’an dan Sunnah tidak ada konsep tertentu tentang suatu ibadah, tasawuf misalnya, secara otomatis maka hal tersebut tidak boleh dilakukan. Menurut Hamzah, penolakan terhadap tasawuf didasarkan pada beberapa aspek: 1. Pada jaman Rasulullah, Islam tidak mengenal aliran tasawuf, juga pada masa shahabat dan tabi’in. Kemudian datang setelah masa tabi’in suatu kaum yang mengaku zuhud yang berpakaian shuf (pakaian dari bulu domba), dari pakaian inilah mereka mendapat julukan sebagai nama bagi mereka yaitu Sufi dengan nama tarekatnya Tasawwuf. Menurut Hamzah, adalah dusta yang mengatakan bahwa Rasulullah dan para sahabatnya adalah golongan tasawwuf. 2. Aliran sufi memeliki sifat fanatisme terhadap syaikh dan mursyid mereka, padahal menurutnya Allah berfirman : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya. (Al-Hujurat : 1) dan rasulullah bersabda : Tidak ada ketaatan bagi seseorang dalam berbuat maksiat kepada Allah, ketaatan itu hanya dalam berbuat baik. (HR. Bukhari 33

Wawancara dengan Hamzah dilakukan pada tanggal 17 Juni 2008 di Kantor Pimpinan Daerah Muhammadiyah Semarang.

152

& Muslim).

Menurut Hamzah, kebanyakan manusia sekarang ini

mengambil apa saja yang dikatakan oleh gurunya tanpa mau memeriksa apakah perkataan gurunya itu sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah atau tidak. Dia menerima apa saja yang dikatakan oleh gurunya yang disangkanya bebas dari kesalahan, maka jika gurunya sesat secara otomatis sesat pulalah dia. Ini menurutnya adalah kebiasaan syaikh-syaikh tasawuf. Mereka biasa melatih murid-muridnya untuk taat buta sekalipun didalamnya terdapat perihal

meninggalkan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya dan

memperingatkan mereka bila bersikap ingkar dan menyanggah. 3. Keramat-keramat dan Perkataan-perkataan Para Syaikh Tarekat Sufi. Dia merujuk pada ungkapan Syaikh Muhammad Al-Mashum: Aku melihat kabah yang dimuliakan merangkul dan menciumku dengan kerinduan yang mendalam. Tatkala aku selesai melaksanakan thawaf ziarah, datanglah kepadaku seorang malaikat membawa sebuah kitab tentang diterimanya haji yang aku laksanakan dari Rabb semesta alam. Ini menurutnya ada dalam kitab Al-Mawahibus Sarmadiyyah, halaman 213, Jamiu Karamatil Auliya jus 1 halaman204 dan Al-Anwarul Qudsiyyah halaman 196, semuanya adalah kitab-kitab

referensi

tasawuf

aliran

Naqsyabandiyyah.

Ini adalah perkataan para Syaikh tarekat sufi, dan masih begitu banyak hal yang senada seperti di atas dari ucapan-ucapan mereka yang didalamnya terdapat penyimpangan-penyimpangan terhadap syariat dan tidak bisa diterima oleh orang yang memeiliki akal sehat.

153

4. Memohon

Pertolongan/Istighasah

Kepada

Para

Syaikh

Mereka.

Diriwayatkan bahwa salah seorang murid Syaikh Muhammad Al-Mashum sedang mengendarai seekor kuda, lalu kuda tersebut membuang kotorannya sehingga membuat sang murid terjatuh ke tanah dan kakinya tergantung di tempat pelana kuda. Kemudian kuda tersebut membawanya lari hingga ia berkeyakinan akan binasa. Kemudian ia meminta pertolongan kepada yang mulia al-qayyum (yaitu Syaikh Muhammad Al-Mashum-disifati dengan sifat yang hanya dimiliki Allah SWT). Sang murid berkata : lalu aku melihat sang Syaikh datang sambil memberhentikan kuda tersebut serta menaikkanku keatasnya. Menurut Hamzah ini bisa dilihat dalam Al-Mawahibus Sarmadiyyah

halaman

210-213,

padaha

Alah

berfirman

:

Atau siapakah yang memperkenankan (doa) orang yang dalam kesulitan apabila ia berdoa kepada-Nya, dan yang menghilangkan kesusahan dan yang menjadikan kamu sebagai khalifah di bumi ? Apakah disamping Alah ada tuhan (yang lain)? (Al-Anam: 62) 5. Membenci Ilmu dan Malas Menuntut Ilmu. Abu Yazid Al-Busthomi berkata seraya mengajak bicara Ahlul Hadits : Kalian telah mengambil ilmu kalian dari orang mati melalui orang mati, sedangkan kami mengambil ilmu kami dari Dzat Yang Maha Hidup Yang tidak akan mati. Ini bisa dirujuk dalam Thabaqatusy Syarani jus 1 halaman 5, Al-Futuhatul Makkiyyah jus 1 hal 365. Al--Qusyairi telah meriwayatkan perkataan Abu Bakar Al-Warraq : Penyakit yang bisa merusak seorang murid ada tiga : menikah, mencatat/menulis hadits dan kitab-kitab. (Ar-Risalatul Qusyairiyyah

154

halaman

92).

Sulaiman

Ad-Daroni

berkata:

Apabila

seseorang

mencari/mempelajari hadits atau bepergian untuk mencari rezeki dan menikah, maka berarti ia telah cenderung kepada dunia. (Al-Futuhatul Makkiyyah 1/37). Menurut Hamzah, mereka tidak butuh lagi dengan AsSunnah, padahal Allah berfirman : Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Bagaimana bisa mentaati Allah dan rasul-Nya jika ia tidak mengetahui perintah-perintah dan larangan-larangan yang tersebut dalam As-Sunnah, apalagi yang tersebut dalam Al-Quran. 6. Aliran sufi menyeru untuk zuhud kepada dunia dan meninggalkan sebabsebab (kerja) serta meninggalkan jihad padahal Allah berfirman : “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kenikmatan) di negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu (dari kenikmatan ) di dunia.” (Al-Qashash : 72) “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu miliki.” (Al-Anfal : 59.) 7. Sebagian aliran Sufi meyakini adanya wihdatul wujud (menyatunya hamba kepada Allah), sehingga tidak berbeda antara pencipta dan makhluk dan semua makhluk bisa menjadi sesembahan. Hal ini dikatakan oleh Ibnu Arabi (tokoh sufi) yang dikubur di Damsyiq, dia mengatakan: Hamba ini adalah Tuhan dan Tuhan adalah hamba Wahai siapa yang dibebani (ibadah) ? Jika saya katakan saya adalah hamba itu betul. Dan jika saya katakan saya adalah Tuhan, maka bagaimana akan dibebani ? Ini adalah menurut Hamzah adalah kesyirikan yang Akbar yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam. Bagaimana seorang manusia mengaku bahwa dirinya adalah Tuhan, dan

155

mengatakan bahwa ia terbebas dari kewajiban ibadah (karena ia sudah berkedudukan sebagai Tuhan. 8. Sufiyyah berdo’a kepada selain Allah yaitu kepada Nabi, para Wali yang hidup dan yang telah mati. Mereka mengucapkan : “Yaa Jailani!, Yaa Rifa’i!, dan Yaa Rasulullah!”, sebagai tujuan istighatsah dan memohon pertolongan atau dengan ucapan, “Yaa Rasulullah! Engkaulah tempat bersandar.” Sementara Allah : “Dan janganlah kamu menyembah apa-apa yang tidak memberi manfaat dan tidak pula memberi mudharat kepadamu selain Allah, sebab jika engkau berbuat yang demikian itu maka sesungguhnya engkau termasuk orang-orang yang zhalim(musyrik).”(Yunus :106) Rasulullah SAW telah bersabda : “Doa itu adalah ibadah.” (HR Tirmidzi dengan sanad hasan shahih), maka do’a itu adalah ibadah seperti halnya shalat yang tidak boleh ditujukan kepada selain Allah, sekalipun kepada Rasul dan para Nabi. 9. Aliran Sufi mengaku mempunyai ilmu kasyaf (tersingkapnya segala rahasia) dan mengetahui yang ghaib Ini adalah kedustaan yang telah dibantah oleh Allah dengan firman-Nya : Katakanlah : tidak ada seorangpun dilangit dan dibumi yang mengatahui perkara yang ghaib kecuali Allah. (An-Naml : 65) Rasulullah bersabda : Tidak ada yang mengetahui perkara yang ghaib selain Allah. (HR. Thabrani dengan sanad Hasan). Sikap Hamzah ini didasarkan pada Anggaran Dasar Muhammadiyah yang dinyatakan bahwa Muhammadiyah merupakan Gerakan Islam, berasas Islam, bersumber pada Al-Qur’an dan Sunnah Nabi,

yang gerakannya

156

melaksanakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar dan tajdid, dengan maksud dan tujuan menjunjung tinggi Agama Islam sehinga terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya. Rumusan tersebut merupakan formulasi dari esensi dan eksistensi Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang bersifat pemurnian dan pembaruan di bawah tema utama kembali pada Al-Quran dan Sunnah yang shahihah atau maqbullah, dengan mengembangkan atau membuka pintu ijtihad untuk kemajuan umat dan kehidupan manusia. Sebagai Gerakan Islam sebagaimana disebutkan itu, Muhammadiyah berdasarkan pada dan memiliki paham tentang Islam yang menjadi dasar dan orientasi gerakannya. Pada awalnya paham tentang Islam melekat dengan pemikiran Kyai Haji Ahmad Dahlan yang menjadi pendirinya, bahkan menurut H.M. Djindar Tamimy, kelahiran Muhammadiyah justeru karena paham agama (Islam), yang menjadi jiwa, landasan, dan arah bagi kelahiran dan pertumbuhan Muhammadiyah. Berikut pandangan H.M. Djindar Tamimy, tokoh dan ideolog Muhammadiyah, mengenai keberadaan Muhammadiyah dan paham agama Islam: ”Ber-Muhammadiyah itu, harus dimulai dari dan selanjutnya harus tetap bersandar kepada pengertian/faham dan keyakinan agama, yang meliputi: a. Memahami sungguh-sungguh ajaran Agama Islam dengan tepat. b. Menyadari sungguh-sungguh bahwa untuk melaksanakan dan menerapkan ajaran Agama Islam dalam arti yang sebenar-benarnya, tidak akan dapat tanpa ”ber-Organisasi” dengan disertai ”jihad bil amwal wal anfus”.” (Tamimy, 1978: 3). Menurut Hamzah, berbicara tasawuf dalam perspektip Muhammadiyah merupakan hal yang salah alamat dikarenakan memang tidak dikenal. Tasawuf dalam Muhammadiyah adalah Islam itu sendiri. Menurutnya Rujukan paham

157

agama Islam dalam Muhammadiyah selain melekat dengan paham Kyai Dahlan tentang Islam yang melatarbelakangi berdirinya Muhammadiyah secara idealteologis, secara institusinoal atau kelembagaan telah ditetapkan dalam pemikiran-pemikiran resmi Persyarikatan melalui Majelis Tarjih dan keputusankeputuaan Muktamar atau lainnya sepanjang perjalanan Muhammadiyah. Pemikiran-pemikiran Kyai Dahlan secara tertulis berupa pokok-pokok saja seperti dalam “Tujuh Falsafah Ajaran Kyai Dahlan” dan ”Tujuhbelas Ayat AlQuran” yang ditulis K.H. R. Hadjid, selain dari gagasan-gagasan lepas yang membingkai pendirian Muhammadiyah waktu itu. Menurut Hamzah, pemikiran-pemikiran formal dalam Muhammadiyah yang berkaitan dengan paham agama Islam, antara lain dapat dirujuk pada berbagai keputusan Majelis Tarjih lebih khusus lagi hasil Muktamar atau Munas Tarjih. Pemikiran-pemikiran yang telah baku seperti ”Dua Belas Langkah Muhammadiyah” dari KH. Mas Mansur, Kitab Masalah Lima (al-Masâil alKhamsah) tahun 1954-1955, Tafsir Anggaran Dasar Muhammadiyah hasil Tanwir tahun 1951 di Yogykarata, Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah hasil Tanwir Ponorogo tahun 1969, Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah (PHIM) hasil Muktamar ke-44 tahun 2000 di Jakarta, dan hasil-hasil Munas Tarjih Muhammadiyah yang berkaitan dengan masalahmasalah paham agama dalam Muhammadiyah. Prinsip-prinsip pemahaman agama dalam Muhammadiyah menurut Hamzah, tersistematisasi dalam Manhaj Tarjih, bukan pemahaman orangperorang, sedangkan pengembangan tajdid diperlukan untuk kemajuan hidup

158

dalam satu kesatuan antara tarjih dan pemikiran Islam atau antara pemurnian dan dinamisasi sebagaimana prinsip pemahaman Islam dalam Muhammadiyah. Muhammadiyah memandang dan meyakini bahwa ajaran Islam merupakan satu matarantai sejak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad, yang keseluruhannya berdasarkan Wahyu Allah dan dibawa oleh para Nabi serta Rasul Allah. Muhammadiyah berkeyakinan bahwa Islam adalah Agama Allah yang diwahyukan kepada para Rasul-Nya sejak Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan seterusnya sampai kepada Nabi penutup Muhammad S.A.W., sebagai hidayah dan rahmat Allah kepada umat manusia sepanjang masa, dan menjamin kesejahteraan hidup materiil dan spirituil, duniawi dan ukhrawi (Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah/MKCHM butir ke-2). Dari pandangan tersebut maka Muhammadiyah meletakkan Islam sebagai ajaran dari Allah yang selain satu juga bersifat menyejarah dengan dibawa dan didakwahkannya oleh para Nabi dan Rasul Allah dalam perjalanan sejarah umat manusia, sehingga kehadiran agama Samawi ini memang untuk rahmatan lil‘alamin. Dalam pandangan orang Muhammadiyah menurut Hamzah, Agama adalah apa yang disyariatkan Allah dengan perantara para Nabi-nabi-Nya, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia di dunia dan akhirat. Adapun Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad ialah apa yang diturunkan Allah di dalam Qurân dan yang tersebut dalam Sunnah yang shahih, berupa perintah-perintah dan laranganlarangan, serta petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia di Dunia dan Akhirat.

159

Agama adalah apa yang disyari‘atkan Allah dengan perantaraan Nab-nabi-Nya, berupa perintah-perintah dan larangan-larangan serta petunjuk-petunjuk untuk kebaikan manusia di Dunia dan Akhirat. (Kitab Masalah Lima, Al-Masâil AlKhams tentang al-Dîn). Hal yang menarik dari paham agama menurut Muhammadiyah tersebut selain sumber ajarannya yang otentik (asli) karena berasal dari Allah dan dibawa oleh para Nabi-nya, juga menyangkut aspek ajarannya. Bahwa ajaran Islam selain mengandung perintah-perintah (alawâmir) dan larangan-larangan (al-nawâhi), juga mengandung petunjukpetunjuk (al-irsyâdat). Dalam perspektip semacam inilah maka beragama menjadi sesuatu yang tidak dibuat-buat seperti yang terjadi dalam tasawuf, sehingga wajar apabila tasawuf tidak mendapat tempat dalam Muhammadiyah. Penolakan Muhammadiyah terhadap tasawuf, menurut Hamzah juga dapat dilihat dari pemahaman Muhammadiyah, yang memahami Islam sebagai agama yang hanya untuk penyerahan diri semata-mata karena Allah dan tidak ada ketundukan kepada mursyi’d, agama semua Nabi, agama yang sesuai dengan fitrah manusia, agama yang menjadi petunjuk bagi manusia, agama yang mengatur hubungan dengan Tuhan dan hubungan manusia dengan sesama, dan agama yang menjadi rahmat bagi semesta alam. Islam satu-satunya agama yang diridhai Allah dan agama yang sempurna. Dengan beragama Islam maka setiap muslim memiliki dasar/landasan hidup tauhid kepada Allah, fungsi/peran dalam kehidupan berupa ibadah, menjalankan kekhalifahan, dan bertujuan untuk meraih ridha serta karunia Allah SWT. Islam yang mulia dan utama itu akan menjadi kenyataan dalam kehidupan di dunia apabila benar-benar diimani,

160

dipahami, dihayati, dan diamalkan oleh seluruh pemeluknya (orang Islam, umat Islam) secara total atau kaffah dan penuh ketundukan atau penyerahan diri. Dengan pengamalan Islam yang sepenuh hati dan sungguh-sungguh itu menurut Hamzah, maka terbentuk manusia muslimin yang memiliki sifat-sifat utama: kepribadian muslim, kepribadian mukmin, kepribadian muhsin dalam arti berakhlak mulia, dan kepribadian muttaqin (Pedoman Hidup Islami Warga Muhammadiyah/PHIWM, bab Pandangan Islam Tentang Kehidupan). Pandangan Islam tentang kehidupan tersebut menunjukkan keluasan mengenai aktualisasi ajaran Islam, sekaligus kesadaran dan tuntutan untuk membumikan ajaran Islam tersebut dalam dunia kehidupan umat manusia untuk menciptakan rahmatan lil-‘alamin. Dalam konteks inilah Muhammadiyah memandang dunia bukan saja sebagai ajang untuk membumikan ajaran Islam, tetapi sekaligus memberi ruang untuk berijtihad dalam rangka mengurus urusan dunia berdasarkan pesan ajaran Islam. Inilah yang membedakan dengan tasawuf yang memandang dunia sebagai neraka dan penjara bagai kaum muslim. Dalam kaitan inilah maka Muhammadiyah pun memiliki pandangan yang mendasar mengenai konsep dunia (ma hiya al-dunyâ). Menurut Muhammaiyah, yang dimaksud dengan ”urusan dunia” dalam Sabda Rasulullah: “Kamu lebih mengerti urusan duniamu” ialah segala perkara yang tidak menjadi tugas diutusnya para Nabi; yaitu perkara-perkara/pekerjaan-pekerjaan/urusan-urusan yang diserahkan sepenuhnya kepada kebijaksanaan manusia (Kitab Masalah Lima, Al-Masâil Al-Khams tentang al-Dunýâ).

161

Selain pandangan mengenai agama dan dunia, dalam al-Masail alKhams juga dikemukakan juga mengenai konsep ibadah, sabilullah, dan qiyas atau ijtihad, yang menyisyaratkan tentang lima masalah mendasar yang terkait dengan pandangan Muhammadiyah mengenai hal-hal penting bagi manusia. Menurut Hamzah, Muhamadiyah berpandangan bahwa Ibadah ialah bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah, dengan jalan menta’ati segala perintahperintah-Nya, menjauhi larangan-larangan-Nya dan mengamalkan segala yang diidzinkan Allah. ‘Ibadah itu ada yang umum dan ada yang khusus: yang umum ialah segala ‘amalan yang diidzinkan Allah. Dan yang khusus ialah apa yang ditetapkan Allah akan perincian-perinsiannya, tingkah dan cara-caranya yang tertentu.” (Kitab Masalah Lima, Al-Masâil Al-Khams tentang ‘Ibadah). Adapun mengenai ”apa itu sabilullah” Muhammadiyah berpandangan bahwa ”Sabilullah ialah jalan yang menyampaikan kepada keridlaan Allah, berupa segala ‘amalan yang diidzinkan Allah untuk memuliakan kalimatkalimat-(agama-agama)-Nya dan melaksanakan hukum-hukum-Nya.” (Kitab Masalah Lima, Al-Masâil Al-Khams tentang Sabilillah) . Dengan pandangan mengenai sabilullah tersebut Muhammadiyah selain menunjukkan kesatuan mengenai jalan dunia dan akhirat yang harus satu napas, juga memandang tentang pentingnya setiap muslim untuk berbuat sesuai dengan dan menuju pada jalan Allah. Sabilullah tidak lepas dari ibadah, bahkan keduanya merupakan satu kesatuan yang utuh tentang kesadaran berbuat bagi setiap muslim. Dalam pemahaman semacam inilah, Muhammadiyah secara tegas menurut Hamzah menolak keberadaan tasawuf.

162

Senada dengan Hamzah adalah apa yang dikemukakan oleh Suratman34, Wakil Ketua PDM Kota Semarang. Menurutnya penolakan terhadap tasawuf dikarenakan tasawuf tidak ditemukan dan dirumuskan dalam Islam. Rumus dasarnya adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh Nabi Muhammad dan terdapat dalam Qur’an dan Sunnah maka itulah yang dilakukan. Sebagai contoh adalah bacaan takbir tahmid sebanyak 33 kali setelah ba’da Isya, ini boleh dilakukan dikarenakan sesuai ajaran Rosulullah tetapi bacaan Ya Latif sebanyak 33 kali itu tidak ada dalam Islam. Sikap penolakan terhadap tasawuf juga didasarkan atas rumusan dasar bahwa ijtihad dalam bidang ibadah adalah kharam. Berijtihad hanyalah untuk aspek-aspek dunyawiyah. Dalam kasus tasawuf menurut Suratman, itu masuk dalam kategori berijtihad dalam bidang ibadah. Penolakan terhadap tasawuf ini menurut Suratman juga didasarkan pada pokok agama Islam, yaitu hanya sabda Tuhan dan Sunnah Rasul s.a.w yang menjadi tujuan akhir dari setiap pribadi dan masyarakat, ialah kebahagiaan dunia dan akhirat, kesehatan jasmani dan ruhani, keseimbangan kemajuan lahir dan bathin, jiwa dan akal. Dan jalan satu-satunya untuk mencapai itu ialah dengan Agama Islam. Pandangan atau paham agama yang demikian mendasar dan luas tersebut menunjukkan pemikiran yang komprehensif dan berorientasi tajdid dari Muhammadiyah di masa lalu, yang menjadi basis bagi gerakan Muhammadiyah untuk kurun berikutnya. Pemikiran tajdid tersebut baik yang berdimensi pemurnian maupun pembaruan, sehingga keduanya merupakan pilar penting 34

Wawancara dengan Suratman dilakukan pada tanggal 19 Juni 2008 di Kantor Pimpinan Daerah Muhammadiyah Semarang.

163

dalam pandangan dan pengamalan ajaran Islam di lingkungan Muhammadiyah. Dengan pemurnian Muhammadiyah yang merujuk dan menampilkan Islam yang sesuai dengan pesan autentik Wahyu Allah dan Sunnah Nabi yang sahih (maqbulah), sehingga beragama jelas sumber ajarannya dan tidak terkontaminasi dengan pandangan dan praktik yang bersifat bid’ah atau tambahan-tambahan manusia. Sebaliknya, dengan tajdid yang bersifat pembaruan, maka aspek ajaran Islam yang murni itu sekaligus memiliki fungsi dalam kehidupan sehingga Islam menjadi agama kehidupan. Lebih jauh lagi, dengan tajdid yang bersifat pembaruan, maka Islam sebagai ajaran sekaligus dapat menjawab tantangantantangan baru dalam setiap babakan kehidupan, sehingga agama ini benar-benar menjadi rahmatan lil-’alamin: “tidaklah Kami mengutusmu Muhammad, kecuali sebagai rahmat untuk semesta alam” (QS. Al-Anbiya: 107). Muhammadiyah menampilkan Islam sebagai agama Langit yang membumi untuk semesta kehidupan. Menurut Suratman, Muhammadiyah mempertahankan Islam dari pengaruh dan serangan dari luar. membersihkan Islam di Indonesia dari pengaruh dan kebiasaan bukan Islam. Watak puritan Muhammadiyah, menurut Faisal Ismail tercermin dalam sikap Muhammadiyah yang tidak mengapresiasi praktik-praktik semacam tarekat, tahlil, danMuhammadiyah tidak terikat dengan satu mazhab tertentu dalam pengambilan hukum agama, makanya sering disebut Muhammadiyah tidak bermazhab. Muhammadiyah tidak mentolerir taklid yang menjadi pangkal kebekuan umat dalam menjalankan agama, tapi justru

164

menganjurkan ittiba dan ijtihad sebagai tulang punggung gerakan dakwahnya dan menolak tawasul secara total. Dalam perspektip semacam ini, Muhammadiyah menurut Suratman bercita-cita membebaskan umat Islam dari keterbelakangan dan membangun kehidupan yang berkemajuan melalui tajdid (pembaruan) yang meliputi aspekaspek tauhid

(aqidah), ibadah, muamalah, dan pemahaman terhadap ajaran

Islam dan kehidupan umat Islam, dengan mengembalikan kepada sumbernya yang asli yakni Al-Quran dan Sunnah Nabi yang Shakhih, dengan membuka ijtihad. Mengenai langkah pembaruan Kyai Dahlan, yang merintis lahirnya Muhammadiyah di Kampung Kauman, Suratman merujuk pada pendapat Adaby Darban (2000: 31) yang berpendapat dalam bidang tauhid, K.H A. Dahlan ingin membersihkan aqidah Islam dari segala macam syirik, dalam bidang ibadah, membersihkan cara-cara ibadah dari bid’ah, dalam bidang mumalah, membersihkan kepercayaan dari khurafat, serta dalam bidang pemahaman terhadap ajaran Islam, dia merombak taklid untuk kemudian memberikan kebebasan dalam ber-ijtihad. Gagasan pembaruan Kyai Dahlan yang memiliki aspek pemurnian (purifikasi) selain dalam memurnikan aqidah dari syirk, bid’ah, khurafat, tahayul, juga dalam praktik pelaksanaan ibadah. Menurut keduanya di dalam Muhamadiyah yang diamalkan tidak boleh lepas dari landasan dasar perserikatan terutama Muqodimah Anggaran Dasar, MKCHM,

Pedoman

Islami

Warga

Muhammadiyah,

dan

Kepribadian

Muhammadiyah. Dari kesemua landasan ini, tasawuf tidak dikenal dan sebagai sesuatu yang dianggap bid’ah dan tidak islami.

165

Secara umum kelompok yang menolak tasawuf mereka menganggap tasawuf adalah bid’ah yang bertentangan dengan atau menyimpang dari Islam, karena berasal dari luar Islam. Kelompok ini pada umumnya adalah kaum literalis dan formalis Islam (Muhaditsun/Akhbariyun) (Al Husaini, 2004: 2), seperti Khawarij, para ulama kerajaan, para modernis dan para pengikutnya dari kalangan Wahabiyin. Kelompok pertama, yang menolak keislaman tashawuf, terlihat misalnya dari bagaimana para ‘ulama’ mengkafirkan dan menganggap sesat seorang sufi (Abu Abd al-Rahman al-Sulami) yang telah menulis tafsir al Qur’an, Haqa’iq al-Tafsir, dengan pendekatan tasawuf. Al-Sulami dikafirkan dan dianggap sesat dan pendusta antara lain oleh Ibn Shalah, Imam Abu alHasan al Wahidi, Al Dzahabi, dan Ibn Taymiah (Basyuni, 1981: 1). Ibn Arabi (Syaikh al-Akbar Ibn ‘Arabi) yang menulis salah satu tafsir Sufi, Tafsir al Qur’an al Karim, dikecam dan dikafirkan oleh Syeik Muhammad Abduh. Tafsir ini dikecam dan dinisbahkan oleh Abduh kepada seorang Syiah Batiniah, AlKasyani. Menurut Abduh: ‘Di dalamnya banyak sekali penyimpangan yang terlepas darinya agama Allah dan Kitab Allah yang Mulia” (Al Husaini, 2004: 2). Al-Husayn bin Mansyur al-Hallaj adalah seorang ahli ibadah yang cintanya kepada Allah tidak diragukan dan sangat mabuk dalam tasawuf, diadili dengan berbagai tuduhan yang bertentangan satu sama lain. Ia dituduh telah mengaku sebagai Imam Mahdi, Nabi bahkan Tuhan. Ia juga dituduh pengikut Syiah ekstrem dan menganjurkan haji ke Ka’bah yang dibuat di rumahnya sendiri. Dalam pengadilan ia dibela oleh Ibn Atha yang dengan berani berkata

166

kepada Majlis Hakim, “Apa hubungannya kalian dengan peristiwa ini? Cemaskanlah perampasan hak rakyat yang disitu kalian terlibat, pikirkanlah perbuatan kalian menindas dan membunuhi mereka. Apa hubungannya kalian dengan ucapan-ucapan orang yang mulia ini.”(Al Husaini: 2004, 3), Ibn Atha lalu dipukuli sampai mati dengan sepatunya sebelum al-Hallaj dicambuk 1000 kali dan tubuhnya dibakar pada tahun 309 H. Di dalam sejarah Islam di tanah air Indonesia, dapat dilihat bagaimana Hamzah Fanshuri, seorang sufi dan sastrawan-pujangga Islam Melayu di Aceh, dikafirkan dan ditindas oleh kerajaan dan ‘ulama’ kerajaan: Nurrudin Ar Raniry. Atau Syeikh Siti Jenar di pulau Jawa, dianggap sesat dan dibunuh oleh para ulama kerajaan di Jawa.

2. Bersikap Terbuka terhadap Tasawuf Kelompok kedua ini meletakkan sikap penolakan terhadap tasawuf harus dipahami dalam konteks historisnya. Lothrop Stoddard (1966: 29) melukiskan dengan tepat, bahwa pada abad ke-13 Masehi dunia Islam jatuh ke jurang keruntuhan yang terdalam. Di manapun tidak ada tanda adanya tenaga sehat dan di mana-mana terdapat kemacetandan pembekuan. Kerusakan budi dan moral malah parah. Apa yang masih tinggal dari kebudayaan Arab lenyap ditelan kemewahan yang di luar batas oleh segolongan kecil maupun besar yang juga mengalami degradasi. Pengajaran atau pendidikanpun terhenti. Sejumlah universitas yang masih ada terdampar pada pembekuan (Stoddard, 1966: 30).

167

Masyarakat muslim hidup miskin dan tak diacuhkannya. Pemerintahan Islam menjadi despotik, kadang terjadi anarkhi dan berbagai pembunuhan. Pegawai pemerintahan yang curang memeras dan merampas rakyat habishabisan. Petani dan orang kota patah semangat hidupnya untuk bekerja dan berusaha. Pertanian dan perdagangan pun jatuh dan merosot sekali. Sedangkan agamapun membeku, ketauhidan yang diajarkan Nabi Muhammad telah diselubungi khurafat dan paham kesufian.Masjid-masjid ditinggalkan golongan besar awam. Golongan awam itu menghias diri dengan azimat, penangkal penyakit, dan tasbih sambil belajar pada darwis-darwis dan menziarahi kuburankuburan orang-orang yang dikeramatkan. Orang-orang awam itu tidak lagi hirau dengan akhlak yang diajarkan Al-Quran, bahkan minum arak dan melakukan perbuatan-perbuatan tercela. Akhlak merosot dan rusak kehormatan diri. Kota Makkah dan Madinah tak lagi berwibawa (Stoddard, 1966: 30). Intinya, kehidupan Islam telah lenyap, meninggalkan ritus dan tak berjiwa, serta dilanda kemunduran yang meluas. Jadi, sejak kejatuhan Cordova dan Baghdad itulah dunia Islam diliputi kegelapan. Itulah era kemunduran peradaban dan kebudayaan Islam. Agama Islam kehilangan kemurniannya, artinya para pemeluknya tidak lagi mempraktikkan Islam yang autentik (murni, aseli) sebagaimana dicontohkan Nabi Muhammad dan generasi Salaf al-Shalih (generasi sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabiin). Praktik Islam melenceng dari sumbernya yang utama, yakni Al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang shahih (maqbulah). Sementara itu pintu ijtihad ditututp rapat-rapat dan sebaliknya

168

taklid berkembang, sehingga umat Islam jatuh dalam kejumudan (statis) dan kehilangan daya hidup serta kemajuan (Stoddard, 1966: 31). Kehadiran pasukan Mongol ke jantung peradaban Islam di Baghdad telah menimbulkan dua kecenderungan. Pertama, masuknya praktik-praktik kehidupan dan keagamaan yang bersifat mistis dan kemudian mencemari akidah dan moralumat kala itu, yang banyak penyimpangan dari kemurnian Islam. Kedua, kejatuhan politik Islam, sehingga umat Islam menjadi lemah. Akibat dari dua hal tersebut kemudian umat Islam menjadi krisis secara akidah, merosot secara moral, lemah secara politik, dan jumud secara pemikiran dan kondisi kehidupan. Dalam kondisi yang demikian itulah maka muncul gerakan untuk memurnikan kembali Islam dan melakukan pembaruan dalam kehidupan sebagaimana dipelopori oleh Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah (1263-1328) untuk memperbarui cara berpikir dan cara hidup umat Islam.Tema utama pemikiran Ibn Taimiyah ialah gerakan al-ruju ila Al-Qur’an wa Al-Sunnah, yakni mengajak kembali pada sumber ajaran Islam yang asli atau murni yaitu Al-Qur;an dan As-Sunnah. Dengan tekanan pada pemurnian akidah (tandhif al-aqidah al-Islamiyyah), gerakan ini sering disebut dengan muhyi atsar al-salaf, yakni menghidupkan kembali ajaran salaf yang shalih, yaitu praktik ajaran Islam zaman Nabi dan tiga generasi sesudahnya yakni generasi para sahabat. Jadi, konteks pemurnian Ibn Taimiyah saat itu memang karena ada kondisi pencemaran praktik ajaran Islam dari syirk, tahayul, bid’ah, dan khurafat sebagai pengaruh dari kehadiran bangsa Mongol dan juga Persia yang membawa atau menghidupkan kembali paganisme (Stoddard, 1966: 31).

169

Gerakan dan pemikiran pemikir Islam abad tengah ini memiliki spirit pula dengan pemikiran Imam Ibn Hanbal, yang menghidupkan salafisme (salafiyyah), tetapi sekaligus membuka pintu ijtihad. Keras dalam ajaran akidah, tetapi terbuka pada ijtihad. Namun karena Ibn Taimiyah sendiri kaya akan pemikiran, maka warna pemurnian Islam yang dibawanya bersenyawa dengan spirit ijtihad dan orientasi pada membangkitkan kembali kemajuan umat Islam dari kemunduran dankejumudan. Pembaruan yang dipelopori Ibn Taimiyah memperoleh dukungan kuat dan dilanjutkan oleh muridnya Ibn Qayyim alDjauziah (1292-1350) terutama dengan tekanan pada pemurniannya, bahkan tiga abad setelah itu digelorakan kembali oleh Muhammad bin Abdil Wahhab (17031787) di jazirah Arabia dengan corak dan warna pemurnian yang lebih keras, yang dikenal pula dengan gerakan Wahhabiyah atau Wahabi. Setelah itu, gerakan pembaruan atau kebangkitan Islam memperoleh sentuhan politik yang kuat dan meluas melalui tokoh pembaru Jamaluddin AlAfghani (1838-1797), kemudian di bidang pemikiran dan pendidikan oleh pembaru dari Mesir Muhammad Abduh (1849-1905) dan muridnya yang lebih keras Syekh Muhammad Rashid Ridla (1856-1935). Sedangkan pembaruan di anak benua India ialah Sayyid Ahmad Khan (1817-1897). Dalam mata rantai pembaruan Islam di dunia muslim pasca kejatuhan peradaban Islam itulah lahir Muhammadiyah sebagai salah satu pelopor gerakan pembaruan Islam di Indonesia. Pada rentang abad yang panjang itu, Islam dan umat Islam memang mundur. Apalagi setelah kejatuhan tiga kerajaan besar yakni dinasti Ustmani di

170

Turki, Safawi di Persia, dan Mughal di India pada rentang tahun 1500-1800 Masehi, baik di Timur maupun di Barat umat Islam benar-benar jatuh ke lembah kemunduran. Di Spanyol usai kekalahan di Andalusia umat Islam bahkan dipaksa masuk Kristen. Sementara di jazirah Arabia, Turki, Persia, dan India Islam mengalami kemunduran di bidang akidah dengan maraknya berbagai praktik kemusyrikan, bid’ah, dan tahayul sebagai akibat dari semakin menjauhnya spirit Islam dari sumbernya yang aseli serta pengaruh praktikpraktik keagamaan lama yang bangkit kembali. Praktik tasawuf yang kian mekar juga ikut memperlemah kaum muslimin kala itu, sehingga Islam kehilangan spirit ajarannya yang dinamis. Konflik Sunni dan Syi’ah juga semakin meluas di tengah terpuruknya dunia Islam dalam lapangan politik dan pemerintahan. Sementara taklid semakin meluas dan pintu ijtihad ditutup rapat, sehingga umat Islam benar-benar terpuruk dalam kejumudan dan kemunduran. Dalam kondisi Islam yang penuh pencemaran dan kemunduran itu, lahir gerakan pembaruan yang dipelopori Muhammad Ibn Abdil Wahhab di jazirah Arab, yang tekananya lebih pada pemurnian ajaran Islam dengan corak gerakan yang terbilang keras. Muhammad Ibn Abdil Wahhab ingin mengembalikan Islam pada sumbernya yang asli yaitu Al-Qur-;an dan Hadits Nabi yang autentik sebagaimana jejak Salaf al-Shalih yang dikumandangkan Ibn Taimiyah dan para pengikut Mazhab Ibn Hanbal sebelumnya. Dalam kaitan ini Muhammad Ibn Abdil Wahhab boleh dikatakan sebagai pelanjut pembaruan Ibn Taimiyah dengan tekanan pada pemurnian yang lebih praktis bahkan keras. Artinya, gerakan untuk mengembalikan umat pada ajaran Islam yang murni

171

bukan sekadar mengembalikan pada dua sumber ajarannya semata yaitu AlQur’an dan Sunnah Nabi, sekaligus melakukan gerakan pemberantasan terhadap praktik-praktik syirik dan bid’ah yang meluas kala itu secara langsung dan keras, seperti pemusnahan bangunan-bangunan kuburan yang dikeramatkan. Ibn Taimiyah memang sering dihubungkan dengan penerus dan pemikir yang memiliki kaitan dengan mazhab Hanbali. Pemikirannya untuk menghidupkan kembali ajaran salaf al-shalih (tiga generasi terbaik sesudah Nabi) yang membawa misi pemurnian akidah yang sering diklaim sebagai golongan yang selamat (firqah najiyah) sebagaimana pesan Nabi mengenai lahirnya berbagai golongan dalam Islam. Gerakan untuk menghidupkan ajaran Salafiyah yang murni itulah yang membawa persentuhan Ibn Taimiyah dengan mazhab Hanbali yang sejak awal menggelorakan salafiyah. Karena itu, hingga batas tertentu, gerakan salafiyah bahkan memperoleh napas baru di tangan Syeikh al-Islam Ibn Taimiyah, yang menampilkan pemikiran dan gerakannya dengan begitu cerdas dan cemerlang. Pemikirannya selain tentang tauhid, tafsir, hadits, dan fiqih yang begitu luas dan mendalam, juga tentang politik sebagaimana termaktub antara lain dalam karya utamanya As-Siyasah As-Syar’iyyah. Dia sangat keras pula menentang tasawuf, terutama yang membawa paham wihdat al-wujud atau phanteisme. Dia juga pendobrak pintu ijtihad yang ditutup rapat kala itu. Di sinilah Ibn Taimiyah menjadi sosok ulama dan pemikir besar yang menonjol dalam menggelorakan gerakan kembali pada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang dikenal pula dengan gerakan pemurnian Islam. Gerakan pemurnian Islam yang

172

dipelopori Ibn Taimiyah dan kemudian mengilhami gerakan-gerakan pembaruan Islam babak berikutnya, memang dinisbatkan pada ajaran Salaf al-Shalih, yakni ajaran Islam yang dipraktikkan dan dianut di zaman Nabi, sahabat, tabiin, dan tabiut tabiin hingga abad ke-3 hijriyah, yang dikenal pula dengan gerakan Islam asli (Harun Nasution, 2001: 19). Islam asli atau murni tersebut belum tercemar oleh praktik-praktik syirk (kemusyrikan), bidah, tahayul, dan khurafat yang dilingkungan Muhammadiyah dikenal dengan TBC (Tahayul, Bid-;ah, dan Churafat). Ibn Taimiyah, sebagaimana Imam Ibn Hanbal dan madzhab Hanbali, memang sosok yang cukup keras dalam menggelorakan pemurnian Islam tersebut. Hal tersebut karena situasi kehidupan umat Islam kala itu memang tengah berada dalam situasi penuh krisis. Dia berada di tengah zaman ketika Islam yang autentik banyak tercemar oleh berbagai penyimpangan, sehingga gerakan kembali pada Al-Qur-;an dan As- Sunnah yang dikumandangkannya memang sangat kontekstual dengan zaman kritis saat itu. Kelompok kedua ini diwakili oleh Tabri Hasani35, Wakil Ketua PDM Kota Semarang dan dosen di Universitas Muhammadiyah Semarang (Unimus). Menurutnya dalam Muhamadiyah, konsep tasawuf secara formal tidak dikenal, yang ada hanyalah dzikir. Dzikir ada dalam Muhammadiyah bukan dipahami ia sebagai salah satu elemen utama dari tasawuf melainkan memang dzikir diajarkan dalam Islam.

35

Wawancara dengan Tabri Hasani dilaksanakan pada tanggal 19 Juni 2008 di kantor Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Semarang

173

Prinsip-prinsip dasar gerakan reformasi Islam Muhammadiyah, pada tingkat tertentu menurut Tabri, mirip dengan Reformasi Protestan Calvinis. Oleh karena itu, Muhammadiyah pantas disebut sebagai Reformasi Islam model Protestan, dengan argumen berikut. Pertama, baik Calvinis maupun Muslim puritan Muhammadiyah sama-sama mengajarkan skripturalisme: bersandarkan semata-mata pada kitab suci (Bibel dan Al Quran). Inilah doktrin sola scriptura. “Kembali pada Kitab Suci” sama-sama dipakai dalam gerakan reformasi Protestan dan Muhammadiyah. Calvinis sepenuhnya menyandarkan diri pada pembacaan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, sementara Muslim puritan Muhammadiyah kembali dan bersandar pada sumber asli Islam, yakni Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad. Bibel dan Al-Qur’an diletakkan sebagai sumber utama otoritas dan legitimasi. Pada posisi seperti inilah menurut Tabri, tasawuf tidak bergitu dilihat secara total karena telah tercampur dengan doktrin-doktrin selain Qur’an dan Sunnah. Kedua, sebagai konsekuensi atas slogan “Kembali pada Kitab Suci”, baik Calvinis maupun Muslim Puritan berdiri di hadapan Tuhan. “Para Calvinis,” kata Weber (2005: 68), “ingin selamat melalui pembenaran hanya dengan Iman”. Inilah doktrin sola fide. Tidak ada lagi perantara antara Tuhan dan Calvinis. Absennya perantara keagamaan ini dapat disimak pada minimalisasi unsur sakramen, deligitimasi radikal atas sistem Imamat, dan penolakan terhadap gereja yang hierarkis dan korup. Muslim puritan Muhammadiyah berbagi prinsip dasar dengan Calvinis. Tidak ada sistem perantara keagamaan yang memediasi hubungan Muslim dengan Allah. Muslim

174

puritan berdiri dan bertanggung jawab langsung kehadirat Allah. Seperti apa yang dilakukan Calvinis, beriman kepada Allah juga disertai etos kerja keras di dunia ini. Karena Muslim puritan muncul di lingkungan Jawa yang sinkretik, maka karakter reformasi-puritannya dapat dilihat pada usaha purifikasi Islam dari unsur magis dan aspek sinkretik lainnya. Pada posisi seperti ini konsep tawassul, asketik, mursyid yang akrab dalam dunia tasawuf menjadi sesuatu yang asing bagi Muhhamdiyah. Ketiga, baik Calvinis maupun Muslim puritan mengikuti apa yang diteoritisasikan Weber sebagai “disenchantment of the world”. Menurut Weber, proses ini dimulai dalam tradisi Yahudi Kuno yang sejalan dengan pemikiran dan gerakan ilmiah Yunani. Proses ini berpuncak pada teologi dan praktik Calvinis dengan menolak semua piranti magis dalam pencarian keselamatan. Kebangkitan Muslim puritan Muhammadiyah pada dasarnya sebagai respons langsung terhadap takhayul, bid’ah, dan khurafat. Semua elemen magis ini adalah nonrasional, dan, mengikuti tesis Weber, harus dibersihkan dari praktik Islam puritan dan konsepsi keduniaan. Jadi, Muslim puritan berjuang pada dua hal: eksklusi unsur-unsur magis dari Islam dan demistifikasi konsepsi keduniaan dengan mendasarkan diri pada kalkulasi rasional dan perilaku hidup asketis di dunia modern. Imbas dari pemahaman ini adalah penolakan terhadap unsureunsur karomah, kewalian dan hal-hal yang berbau mistis dalam tasawuf. Keempat, sebagai konsekuensi atas konsep “disenchantment of the world”, Muslim puritan mirip Calvinis dalam hal rasionalisasi. Muslim puritan merasionalisasikan doktrin keislaman melalui purifikasi iman dari unsur mistik

175

dan Islam-Jawa-Hindu. Sikap tak kritis dalam memeluk Islam, taqlîd, dipandang sebagai sumber konservatisme dan stagnasi dalam Islam. Taklid harus diganti dengan tradisi pemikiran rasional dan independen (ijtihâd). Spirit rasional ini diyakini sebagai sumber kemajuan umat Islam dalam memasuki dunia modern Senada dengan Tabri Hasani adalah apa yang diungkapkan oleh Hasan Rifai36, Wakil Ketua PDM Kota Semarang dan dosen di Unimus. Menurutnya dzikir dalam Muhammadiyah adalah konsep dzikir yang diajarkan oleh Rosulullah, sehingga tidak dikenal dzikir yang diucapkan sebanyak 99 kali, 4444 kali, 1000 kali atau sebagainya. Perintah untuk memperbanyak dzikir memang ada dalam Islam dengan maksud untuk lebih memahami suatu amal perbuatan ibadah tertentu tetapi secara khusus penyebutan angka tidak ada. Agama dalam pandangan Muhammadiyah menurut Tabri, bukan hanya masalah ritual semata, juga bukan bersifat pemurniah belaka, sebagaimana sering dipersepsikan secara sempit oleh sebagian kalangan, tetapi bersifat multiaspek yang menyeluruh. Pemahaman yang sempit dan terbatas, kendati peralatan ilmu untuk memahaminya serba mencukupi, akan melahirkan citra Islam yang parsial. Jika hal itu terjadi, maka Muhammadiyah sebagai gerakan Islam yang bergerak di ranah dakwah dan tajdid pun, akan dicitrakan sebagai gerakan yang juga parsial, yang kehilangan ruh gerakannya yang aseli sebagai gerakan pembaruan Islam (gerakan purifikasi dan dinamisasi) di Indonesia sebagaimana dipelopori pendirinya, Kyai Haji Ahmad Dahlan, sekitar satu abad yang silam. Mengenai paham agama Islam juga cukup mendasar juga dapat 36

Wawancara dengan Hasan Rifai dilaksanakan pada tanggal 19 Juni 2008 di Kantor Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Semarang

176

dirujuk pada tafsir Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah yang tercantum dalam ”Tafsir Anggaran Dasar Muhammadiyah” hasil Majelis Tanwir tahun 1951. Dalam menafsirkan kalimat “radlitu bi Allah rabba wa bil al-Islami dina wa bi Muhammad shalla Allah ‘alaihi wassalam nabiyya wa rasula”, ditafsirkan ke dalam lima pokok ”penegasan”. Kelima pokok pernyataan penegasan menganai Muqaddimah tersebut ialah (1) Tauhid, (2) Hidup Bermasyarakat, (3) Hidup Beragama, (4) Hidup Berorganisasi (Bersyarikat), dan (5) Negara Indah Tuhan Mengampuni. Substansi inilah yang digali dari matan dan rumusan lengkap ”Muqaddimah Anggaran Dasar Muhammadiyah” yang digagas Ki Bagus Hadikusuma tahun 1946, yang terdiri atas enam pernyataan fundamental mengenai Muhammadiyah, yang dikenal pula sebagai ideologi Muhammadiyah, yakni: (1) Hidup manusia harus berdasar tauhid, ibadah, dan taat kepada Allah; (2)Hidup manusia bermasyarakat; (3) Mematuhi ajaran-ajaran agama Islam dengan keyakinan bahwa ajaran Islam itu satu-satunya landasan kepribadian dan ketertiban bersama untuk kebahagiaan dunia akhirat; (4) Menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam dalam masyarakat adalah kewajiban sebagai ibadah kepada Allah dan ihsan kepada kemanusiaan; (5) ‘Ittiba kepada langkah perjuangan Nabi Muhammad s.a.w.; (6) Melancarkan amal-usaha dan perjuangan dengan ketertiban organisasi. Menurut Rozihan37, Wakil Ketua PWM Jawa Tengah, dzikir memang dipraktekkan dalam Muhammadiyah dan semakin banyak, semakin bagus. 37

Wawancara dengan Rozihan dilaksanakan pada tanggal 19 Juni 2008 di Kantor Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Semarang

177

Terkait dengan jumlah dzikir yang harus dibatasi, sekian dan sekian, 99 kali, 4444 kali, 1000 kali atau sebagainya serta apabila tidak sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan baik itu kurang atau kelebihan maka tidak maqbul, ini yang tidak diterima dalam Muhammadiyah. Apalagi jika harus dipahami 99 kali, 4444 kali, 1000 kali atau sebagainya itu sebagai anak kunci yang apabila tidak pas maka tidak dapat digunakan untuk membuka, ini dinilai oleh Rozihan sebagai sesuatu yang tidak berdasar. Pernyataan di atas juga didukung oleh Tafsir, Sekretaris PWM Jawa Tengah dan dosen IAIN Walisongo Semarang dan Saifudin Waspada, wakil ketua PWM Jawa Tengah. Menurut keduanya tasawuf secara formal memang tidak diterima dalam Islam, tetapi Muhammadiyah mengamalkan apa yang oleh HAMKA disebut sebagai Tasawuf Modern. Terkait dengan dzikir, tafsir mengatakan hal tersebut dapat dilakukan dalam bentuk ucapan yang dalam aplikasinya diserahkan menurut pribadi masing-masing dan dalam bentuk perbuatan yang dalam Muhammadiyah disebut dengan amal usaha baik berbentuk pembangunan Perguruan Tinggi, rumah sakit dan lain sebagainya. Dari sinilah menurut Tafsir, ada kesan Muhammadiyah mengalami kegersangan bacaan-bacaan dzikir tetapi sesungguhnya Yasinan, Tahlilan itu ada dalam Muhammadiyah yang ditolak hanyalah tawasul dan khadroh. Hal ini dikarenakan dalam Muhammadiyah tawasul tidak melalui orang perorang melainkan melalui amal berbuatan. Kelompok kedua ini, secara mendasar meski tidak mengharamkan tasawuf, mereka masih meragukan keaslian dan kemurnian Islam dalam Tashawuf. Akibatnya mereka masih ragu-ragu untuk mengikuti dan

178

mempromosikannya. Dan menganggapnya hanyalah sebagai urusan pribadi masing-masing orang dalam berhubungan dengan Tuhan Pencipta-nya.

3. Akomodatif terhadap Tasawuf Kelompok ini diwakili oleh Ahmad Rifai, Kepala Divisi Kajian Majalah cermin PWM. Jawa Tengah dan dosen di Akademi Ilmu Statistik (AIS) Muhammadiyah Semarang38. Menurutnya tasawuf tidak sering ditemui di dalam Muhammadiyah. Konsep yang digunakan oleh Muhammadiyah untuk terminology spiritualitas ini lebih sering disebut dengan istilah “akal dan hati suci” sebagaimana yang diungkapkan oleh Munir Mulkhan atau “irfan” dalam istilah Amin Abdullah. Menurut Rifai istilah Irfan – sebagaimana istilah ma’rifah yang berasal dari akar kata yang sama dalam bahasa Arab – secara literal berarti ilmu pengetahuan. Makna khususnya adalah ilmu pengetahuan tertentu yang diperoleh tidak melalui indera maupun pengalaman (empirisme & eksperimentasi), tidak pula melalui rasio atau cerita orang lain, melainkan melalui penyaksian ruhani dan penyingkapan batiniah. Kemudian fakta tersebut digeneralisasikan menjadi suatu proposisi yang bisa menjelaskan makna penyaksian dan penyingkapan tersebut antara lain melalui argumentasi rasional (misalnya dalam filsafat iluminasi (Isyraqiyah). Inilah yang disebut dengan Irfan (teoritis). Dan karena penyaksian dan penyingkapan tersebut dicapai melalui latihan-latihan (riyadah) khusus dan perilaku perjalanan spiritual tertentu (syair wa

suluk)

maka

yang

terakhir

ini

disebut

Irfan

‘Amali

(praktik

Sufisme/Tashawwuf).

38

Wawancara dengan Ahmad Rifai dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 10 Juli 2008 di SMK. Muhammadiyah Semarang.

179

Penolakan terhadap TBC, menurut Rifai muncul jauh setelah era Ahmad Dahlan karena memang tidak mendapat rujukan otentik dalam Qur’an dan Sunnah. Menurutnya, tasawuf secara formal tidak ada didalam Islam, tetapi landasan dasar segala sesuatu yang dilakukan oleh seseorang haruslah diorientasikan pada rihdo Allah dan selalu dalam pengamatan Allah yang dalam aplikasinya menuju arah individualisasi spiritualistis. Menurut Rifai, “tasawuf” akan menjadi positif, bahkan sangat positif ketika tasawuf dilaksanakan dalam bentuk kegiatan keagamaan yang searah dengan muatan-muatan peribadahan yang telah dirumuskan sendiri oleh alQur’an dan as-Sunnah; mana yang diwajibkan dan dihalalkan, dikerjakan dan mana yang haram dikerjakan ditinggalkan. Sementara itu wajah peribadahan hendaknya berkolerasi antara ibadah yang “hablun minallah” (ibadah murni) dengan ibadah yang “hablun minannas” (ibadah sosial nyata). Selain itu, tasawuf hendaknya juga dilaksanakan dalam bentuk kegiatan yang berpangkal pada kepekaan sosial yang tinggi dalam arti kegiatan yang dapat mendukung “pemberdayaan umat Islam” agar kemiskinan ekonomi, ilmu pengetahuan, kebudayaan, politik dan mentalitas yang dengan demikian kalau umat Islam ingin berkorban maka ada hal atau barang yang akan dikorbankan, kalau ingin mengeluarkan zakat maka ada kekayaan yang akan diberikan kepada orang yang berhak dan sebagainya. Untuk itu, bukan tradisi pandangan tarekat yang cenderung membenci dunia yang patut diangkat kembali, melainkan roh asli “tasawuf” yang semula bermaksud untuk zuhud terhadap dunia, yaitu sikap hidup agar hati tidak “dikuasai” oleh keduniawian. Intinya tasawuf akan memiliki efek negatif bila dilaksanakan dengan berbentuk kegiatan yang tidak digariskan oleh ajaran agama Islam yang terumus dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Selain itu, tasawuf dilaksanakan dalam wujud kegiatan yang dipangkalkan terhadap pandangan bahwa “dunia ini harus dibenci”. Dalam posisi ini dia merujuk pada pendapat Hamka (1996: 38). Dengan memperhatikan rincian kemungkinan-kemungkinan tasawuf menjadi negatif atau positif di atas, Hamka menyimpulkan bahwa tasawuf yang bermuatan zuhud yang benar, dilaksanakan lewat peribadahan dan I’tiqad yang benar, mampu berfungsi sebagai media pendidikan moral yang efektif. Dari kesimpulan tersebut, Hamka lalu menawarkan pendapatnya, yaitu bahwa tasawuf yang patut diintroduksi dan diamalkan “jaman modern” adalah tasawuf yang memenuhi ciri berikut :

a. Bermuatan memahami, menyadari dan menghayati zuhud yang tepat seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw yang cukup sederhana pengertiannya, yaitu memegang sikap hidup di mana hati tidak berhasil “dikuasai’ oleh keduniawian. b. Sikap hidup zuhud tersebut diambil dari hasil pemahaman terhadap makna dibalik kewajiban

peribadahan yang diajarkan resmi dari agama Islam,

karena dari peribadahan itu dapat diambil makna metaforiknya, yang tentu saja peribadahan yang berlandaskan I’tiqad yang benar.

180

c. Sikap zuhud yang dilaksanakan berdampak mempertajam kepekaan sosial yang tinggi dalam arti mampu menyumbang kegiatan pemberdayaan umat (social empowering), seperti bergairah mengeluarkan zakat dan infaq sebergairah menerima keuntungan dalam kerja dan sebagainya (Hamka, 1996: vii).

Oleh sebab itu Muhammadiyah memandang perlu untuk normalisasi konsep zuhud. Bagi kebanyakan orang, ketika disebut kata zuhud, biasanya langsung terbayang dalam pikiran kita sikap anti dunia, menjauhkan diri dari kemewahan duniawi, dan benci terhadap segala sesuatu yang bersifat keduniaan. Jadi, zuhud ialah meninggalkan dunia dan benci kepada dunia, karena dipandang jelek dan penipu. Akan tetapi, mampukah kita hidup terpisah dari dunia yang masih kita perlukan? Apakah memisahkan diri dari masyarakat ramai bukan sesuatu yang melanggar agama dan tabiat sendiri?. Dibalik itu, menurut Rifai, akan memunculkan pertanyaan-pertanyaan lain, bukankah kita masih hidup di dunia dan butuh makan, minum, tempat tinggal dan sebagainya. Bukankah kita masih perlu istri dan anak-anak?. Bukankah kita masih perlu perhatian dari orang sekitar kita?. Itulah sederetan pertanyaan yang muncul ketika kata zuhud diangkat kepermukaan. Lalu kalau demikian, akan muncul lagi pertanyaan berikutnya apakah zuhud itu bukan bersumber dari ajaran Islam? Bukankah ajaran Islam menawarkan prinsip keseimbangan antara kehidupan dunia dan akhirat? Apakah mencari harta secara halal bertentangan dengan ajaran Islam? Dibalik pertanyaan-pertanyaan itu pasti akan muncul lagi sederetan pertanyaan lain yang sehubungan dengan itu. Untuk membendung munculnya pertanyaan baru lagi, Rifai, memulai pembahasan ini dengan melihat posisi dunia bagi kehidupan manusia. Dunia yang diciptakan Allah sebagai tempat untuk manusia hidup dan berketurunan telah dilengkapi dengan berbagai perhiasan dan sarana kehidupan dalam wujud berbagai potensi alam yang dapat diolah dan dikelola menjadi benda-benda berhargam sehingga disebut harta benda. Selain itu, Allah telah menjadikan manusia berpasang-pasangan, sehingga dengan itu ia dapat menjalin tali pernikahan yang nantinya akan melahirkan anak-anak. Semua itu adalah perhiasan bagi kehidupan. Allah berfirman, “Harta benda dan anak-anak adalah perhiasan hidup di dunia”, (QS.Al-Kahfi : 46). Tanpa harta dan anak-anak dunia terasa sunyi dan hampa. Hidup tanpa harta laksana sebuah rumah besar tanpa perhiasan, terasa tidak indah dan kosong. Rumah tanpa tangis dan tawa canda anak-anak serasa kuburan yang sepi dan menakutkan. Akan tetapi kebanyakan anak dapat pula membuat pusing kepala. Sebenarnya dunia diperlukan tapi menumpahkan cinta dan perhatian semata-mata kepada dunia, itulah yang tercela. Jadi, dunia tidak harus dibenci yang dibenci ialah mempasrahkan hidup hanya semata-mata dunia. Pada posisi ini Rifai merujuk pada pendapat Yunasril Ali (2002: 69).

Suatu ketika, seorang laki-laki menemui Ali ibn Abi Thalib. Lelaki itu mencela dunia, ia berkata bahwa dunia telah memperdaya dirinya,

181

merusak, menipu, dan berbuat jahat kepadanya. Lelaki tersebut pernah mendengar orang-orang besar mencela dunia, lalu mengira bahwa yang mereka cela adalah realias alam, sehingga alam ini benar-benar dipandangnya jelek. Lelaki yang lalai itu tidak tahu bhawa yang tercela ialah penyembahan dunia, pandangan picik terhadap dunia dan kesenangan-kesenanagan rendah yang tidak sesuai dengan martabat manusia dan kebahagiaannya. Ali menjawab, “Sesungguhnya engkaulah yang tertipu oleh dunia, padahal dunia tidak menipumu. Engkaulah yang menganiaya dunia, bukan dunia yang menganiayamu”. Hingga beliau berkata, “Dunia adalah sahabat bagi yang berjalan bersamanya dengan cara bersahabat, ia adalah sumber kesembuhan bagi yang mengetahui hakikatnya. Dunia adalah tempat ibadah bagi para pecinta Allah, tempat salat para malaikat Allah, tempat turunnya wahyu Allah, dan tempat berniaga para wali Allah.” Ali juga menuturkan tentang orang-orang zuhud: “Kamu min ahl al-dunya wa kaysu min ahliha : Mereka hidup didunia, tetapi tidak mendunia” (Ali, 2002: 83). Kecintaan kepada dunia tidak dilarang jika hanya sebatas kecintaan fitri yang memang telah ditanamkan Allah dalam setiap diri manusia. Allah berfirman : Dijadikan indah pada pandangan manusia kecintan kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak darijenis emas, dan perak, kuda pilihan, binatangbinatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan disisi Allah tempat kembali yang baik. (QS.Al-Imran: 14). Ayat ini, menyebutkan benda-benda yang menjadi kecintaan manusia, wanita, anak, uang, emas dan perak, kuda-kuda pilihan yang melambangkan kewibawaan, binatang ternak dan sawah ladang. Cinta kepada wanita, anak-anak, dan harta benda adalah bersifat fitri, dan segala yang bersifat fitri tidaklah tercela. Yang tercela ialah apabila hati tertembat dan disibukkan oleh benda-benda duniawi itu, merasa rida dan cukup terhadapnya, serta lalai dan melupakan sesuatu yang dibalik itu, yaitu Tuhan dan akhirat. Apabila hati telah tertembat kepada dunia, maka segenap aktivitas dan pikiran yang tertuju kepadanya, sehingga lupa kehidupan akhirat yang abadi. Jadi yang dilarang bukan mencintai dunia secara wajar, yang merupakan firah manusia, tetapi yang tidak baik ialah tertambat hati kepada dunia, sehingga lalai dan lupa terhadap Tuhan dan akhirat, seakan-akan dunia adalah tujuan akhir kehidupan. Cinta damai adalah fitrah manusia, oleh sebab itu tidak ada seorang manusiapun yang tidak menukai wanita, anak-anak, harrta, jabatan dan sebagainya. Seandainya ada orang yang tidak suka itu semua, niscaya dia akan ditanggalkan oleh anak, istri, dan orang-orang sekitarnya, dan bahkan anak dan istri akan memandangnya sebagai orang lain dalam kehidupan mereka. Seandainya Nabi Ibrahim bersedia mengurbankan anaknya, tanpa perasaan cinta seorang ayah terhadap anaknya, maka kesediaannya mengurbankan anaknya tidaklah dihitung sebagai suatu kelebihan. Pengurbanan itu menjadi berarti karena adanaya rasa cinta yang mendalam Ibrahim As kepada anaknya. Kalau kecintaan itu tidak ada, tentu berkurban anak akan sama dengan berkurban kambing. Dari itu, kecintaan kepada harta, anak, dan wanita adalah wajar dan normal, sejauh tidak membuat kita lu[a kepada Allah dan hari akhirat Allah mengisyaratkan : “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu dilalaikan oleh harta benda dan anak-anakmu dari mengingat Allah. Barangsiapa berbuat demikan, mereka itulah orang-orang yang merugi”.(QS. Al-Munafiqin : 9)

182

Kecintaan berlebihan kepada dunia membuat orang lupa kepada Allah dan kehidupan akhirat. Laksana seseorang yang meminum air asin, semakin banyak diminum semakin terasa dahaga. Senang terhadap dunia, senang terhadap wanita, anak, harta, dan kekakayaan, kedudukan, serta kekuasaan adalah sunnatullah. Hal itu menurut Rifai, merupakan sarana berputarnya roda kehidupan didunia ini. Seandainya kecenderungan dan semangat yang seperti itu tidak ada di dalam diri setiap orang, niscaya etos kerja akan menghilang. Dengan demikian, gerak kehidupan akan berhenti total dan kesempurnaan hidup manusia tidak aka tercapai. Kecintaan terhadap dunia semata bukan menyebabkan kemandekan dan bahan kehancuran. Banyak bencana kemanusiaan timbul akibat kerakusan manusia. Banyak pula keonaran mencuat akibat pemujaan perut, pemujaan wanita, harta dan kedudukan. Seluruh akhlak bejat dan perilaku rendah, seperti berbohong, menjilat, dan berbuat semena-mena, bersumber dari penghambaan diri terhadap dunia. Allah mengancam orang yang hanya mempasrahkan kehidupannya untuk dunia, “Sesungguhnya orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan kami dan merasa puas dengan kehidupan dunia serta merasa tenteram dengan kehidupan itu dan orang-orang yang melalaikan ayat-ayat Kami, mereka itu tempatnya di nereka, disebabkan apa yang selalu mereka kerjakan”. (QS Yunus : 7-8) Sikap zuhud dalam hal ini berarti melihat dunia hanya sebagai sarana untuk meraih kebahagiaan abadi di akhirat. Dunia bukan tujuan hidup, tetapi hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan. Tujuan hidup ialah Tuhan dan ridhaNya. Seorang zahid bukan pribadi yang lemah dan bertekuk lutut di depan para penyembah dunia dan mengharapkan sisa-sisa makanan mereka. Zahid sejati adalah pribadi yang memiliki wibawa yang tinggi tidak dipermainkan oleh dunia, tidak merasa takut berpisah dengan dunia, kendati akan habis segala yang ada ditangannya. Allah berfirman, “Agar kamu tidak terlalu bersedih terhadap yang telah hilang dan tidak terlalu gembira terhadap yang datang’. (QS.Al-Hadid : 23). Sikap zuhud mengarahkan manusia untuk melihat dunia sebagai lembah yang luas dan lapang. Tidak takut menghadapi bahaya, tidak gentar menghadapi bencana. Bersyukur ketika mendapat karunia dan tidak lupa daratan. Bersabar ketika ditimpa musibah dan tidak berputus asa. Manusia adalah hamba Allah, bukan hamba dunia. Zuhud tidak akan meninggalkan dunia, karena dunia diperlukan. Namun dunia bukan tujuan hidupnya. Allah berirman : “Dan carilah pada apa yang dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan jangan kamu melupakan kebahagiaanmu dari kenikmatan duniawi da berbuat baiklah kamu (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu (QS.Al-Qashash : 77). Dengan zuhud, nilai dunia yang bersifat sementara berubah menjadi bernilai abadi yang melampaui ruang, waktu sebagai sarana untuk meraih ridha Allah, sebagaimana ditunjukkan oleh Nabi, “Dunia adalah ladang untuk akhirat”. Di dunia kita menyemai dan menanam, didunia kita akan memetik hasilnya. Senada dengan Rifai adalah apa yang diungkapkan oleh Rahmad Suprapto dari devisi kajian Majalah Cermin PWM. Jawa Tengah39. Menurutnya tasawuf dalam Muhammadiyah adalah “Spiritualitas yang Syariahistik” yang terlembaga dalam konsep “akhlak, ikhsan dan irfan”. Penolakan tasawuf dalam Muhammadiyah selain karena tidak

39

Wawancara dengan Rahmad Suprapto dilaksanakan pada hari Kamis tanggal 10 Juli 2008 di Ruang Redaksi Majalah Cermin PWM. Jawa Tengah

183

mendapat legalitas dalam Qur’an dan Sunnah juga karena adanya asketisme dalam kelompok-kelompok tertentu dalam tasawuf. Menurutnya tasawuf dalam muhammadiyah adalah tasawuf modern HAMKA yang lebih subtantif. Salah satu contoh tasawuf modern yang subtantif sebagaimana dipahami dalam muhammadiyah bisa ditemukan dalam bentuk pemaknaan ulang konsep sabar, dia mengutip sebuah ayat: Sesungguhnya Kami memberikan cobaan kepadamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah mereka mengucapkan, “Sesungguhnya kami milik Allah dan kepadaNya kami kembali. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhannya dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk”. (Qs al-Baqarah : 155-157). Menurut Suprapto, ketakutan, krisis pangan dan ekonomi, kematian orang yang disayangi dan berbagai musibah yang lain merupakan hal-hal yang terasa berat dan menyedihkan, tetapi tak dapat dielakkan kedatangannya. Segenap manusia yang berpikiran waras merasakan pahit dan getirnya bencana itu, namun dia harus menghadapinya. Di sini datang perintah Tuhan, agar segalanya itu dihadapinya dengan sabar (Al-Baqarah : 153). Kesabaran yang harus dilakukan dengan rasa yang sangat berat ini disebut tashabbur, yaitu berupaya menahan hati, kendari kepedihan, kesedihan dan penderitaan tetap dirasakan. Menurut kaum sufi inilah kesabaran peringkat paling bawah (Ali, 2003: 75). Untuk mempertegas kajian sabar ini Suprapto menceritakan sebuah kisah yang intinya: Pada masa Nabi masih hidup seorang sahabat menghadap beliau sembari berkata “Ya rasulullah, saya mendapat musiba besar. Anak saya satusatunya yang bernama Salim ditawan musuh. Ibunya senantiasa menangis hingga sakit. Saya tidak punya uang untuk membebaskan anak saya itu. Apa kiranya yang harus saya lakukan ya Rasulullah. Sejenak Nabi berpikir, lalu berkata, “Tabahkanlah hatimu serta perbanyak menyebut: La hawla wa la quwwata illa bi Allah al-Aliyya al-Azhim (Tidak ada daya dan upaya melainkan dengan pertolongan Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Agung) bersama istrimu!”. Pesan tersebut disampaikannya kepada istrinya dan mendapat sambutan penuh harapan. Sang istri berkata, “Pastilah tepat pesan Nabi itu!”. Karena itu mereka berdua senantiasa bersabar sambil berpasra diri dengan mengucapkan apa yang diajarkan Nabi Saw tersebut. Lalu, tak lama kemudian sahabat tadi datang lagi kepada Nabi dengan membawa anaknya yang baru lolos dari tawanan musuh. Nabi berkata kepada Salim, Ceritakanlah usahamu sehingga dapat lolos dari tawanan musuhmu!”. Ya Rasulullah, pertama saya ditawan dengan penjagaan yang sangat ketat, saya ditawan dan disekap tetapi saya senantiasa bepenampilan baik, jujur, setia dan tidak menampakkan sikap benci. Lama kelamaan saya dipercaya dan dianggap sebagai teman sejati sembari diperlakukan sebagai keluarga sendiri. Saya disuruh mengembala kambing dan onta, tanpa ada rasa curiga. Pada saat-saat itulah saya mengatur rencana pembebasan diri saya. Pada suatu hari, mereka mengadakan pesta perkawinan dengan keramaian, tari-tarian dan tabuh-tabuhan, makan dan mabuk-mabukan. Ketika mereka sudah tidak sadar, maka segera saya ambil seekor onta yang terbaik dan tercepat larinya serta menggiring sebanyak mungkin kambing-kambing yang biasa saya gembalakan sebagai hadiah untuk orang tuaku”. Demikianlah cerita Salim kepada Nabi. “Ya Rasulullah sungguh Salim ini menjadikan kami makmur”, tukas ayah salim penuh kegirangan. Hal demikian tidak lain adalah karena upaya untuk bersabar ketiak ditimpa musibah, menahan emosi serta senantiasa berharap akan pertolongan Allah (Ali, 2003: 75-77).

184

Sabar peringkat pertama dapat ditingkatkan dengan memikirkan secara mendalam bahwa mansuia adalah makhluk yang memiliki derita yang tidak dimiliki oleh makhluk lain, sebagai tertera dalam ungkapan Allah: “Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia berada dalam keadaan kesusahan”.(Qs Al-balad ; 4) Jadi penderitaan adalah standar insaniah dan sumber nilai-niai insani, akan tetapi kita sering salah dalam menanggapi suatu penderitaan yang kita rasakan. Kita anggap kesulitan sebagai sesuatu yang buruk, misalnya kita ditimpa sakit kepala, rasa sakit itu kita dapat mengobati suber penyakit. Nah, kalau tanpa rasa sakit tentu kita akan membiarkan bakteri atau virus berkembang di dalam tubuh kita, sehingga membahayakan diri kita. Jadi rasa sakit itu ibarat petugas yang memberitahukan kepada kita bahwa di dalam tubuh kita ada bahaya yang harus segera kita atasi. Oleh sebab itu dapat kita simpulkan orang yang lebih banyak merasakan derita berarti sadar dan lebih tahu keadaan dirinya. Dengan demikian, penderitaan dan kepedihan dalam hidup akan kita rasakan sebagai hal yang wajar dan biasa. Menurut kaum sufi, inilah sabar peringkat kedua dan inilah sabar yang sebenarnya. Disini sabar bukan lagi sebagai hal yang dipaksakan, tetapi telah menjadi tabiat, sehingga kapan dan dimanapun kita akan menghadapinya sebagai hal biasa yang wajar. Lebih jauh, menurutnya dengan semakin banyaknya cobaan, niscaya kita akan semakin dewasa dalam menghadapinya dan pada tahap tertentu kita memandang penderitaan itu tidak lagi sebagai bencana atau musibah., melainkan sebagai wujud kasih dan cinta Tuhan sebagai disebutkan dalam hadis : “Sesungguhnya apabila Allah mencintai seseorang hamba, maka Dia tenggelamkan hamba itu ke dalam cobaan”. (HR .al-Thabrani) (Ali, 2003: 79). Tak ubahnya seperti pelatih panjat tebing, ia akan mendorong orang yang dilatihnya untuk dapat naik memanjat tebing, sekalipun orang yang dilatihnya itu harus mendeita jatuh sekali-kali, sebab, dia tahu benar bahwa kendati ratusan buku dan teori yang dipelajari sang pemanjat tebing untuk mengetahui cara memanjat yang baik dan benar, dia tidak akan pernah bisa memanjat selama hanya membaca buku dan mempelajari teori. Dia harus berlatih dengan tali temali dan tebing terjal, dan dalam latihan itu harus berani, smapai-sampai harus menghadapi maut sekalipun. Karena dengan itulah dia akan dapat menjadi pemanjat ulung. Semakin banyak berlatih, niscaya akan semakin terampil memanjat. Demikian pula dengan cobaan-cobaan Allah yang ditimpahkan kepada kita, tidak lain adalah sebagai wujud kaih sayangNya. Dia ingin menyempurnakan jiwa hambaNya, sehingga memiliki ruhani yang benar-benar berkualitas.kehidupan manusia di dunia bukan berakhir dengan kebahagiaan, tetapi pada kesempurnaan dan kematangan ruhani, maka dalam kehidupan duniawinya tidak pernah merasakan kebahagiaan sejati, kebahagiaan sejati hanya ada di akhirat kelak, kebahagiaan duniawi hanya ada dalam batas khayal, yang dapat dicapai oleh manusia ialah kesempurnaan ruhani. Ketika derita itu kita rasakan sebagai wujud kasih sayang Tuhan, kita tidak lagi menerimanya sebagai sesuatu yang menyusahkan dan menyakitkan, melainkan dengan rasa lega dan lapang dada. Kita percaya bahwa inilah kasih sayang Tuhan yang dikaruniakan-Nya kepada kita. Kesabaran ditingkat ini disebut ishthibar. Allah berfirman, “Maka mengabdilah kepada Dia (Allah) dan ishthibar-lah dalam beribadat kepadaNya”.(QS. Maryam : 65) Alam semesta diciptakan Tuhan dengan sistem universal, yang disebut sunnatullah. Satu sama lain saling berkorelasi sehingga membentuk satu tatanan hukum yang utuh dan harmonis. Tidak ada satu yang kurang dari sistem universal itu, karena ia dirancang dan diciptakan oleh pencipta Yang Maha Adil dan Maha Bijaksana. Apabila kita

185

melihat alam ini secara utuh dan menyeluruh, maka yang ada dihadapan kita tidak lain hanyalah menerima apa adanya demi terealisasinya sistem dan kesimbangan umum. Bertolak dari asumsi demikian, maka adanya tinggi dan rendah, terang dan gelap, kesengsaraan dan kesenangan, kegagalan dan kesuksesan semua merupakan keharusan karena semua itu berada dalam ruang lingkup sistem universal itu. Jika satu diantaranya tidak ada, maka yang lain tidak akan bermakna. Tinggi tidak ada maknanya tanpa ada yang rendah, jika saja segenap manusia diciptakan dengan postur tubuh yang sama bentuk wajah serta warna kulit sama pula, maka kita tidak akan kenal arti tampan dan buruk rupa, kesadaran tentang makna ketampanan itu terkait dengan kejelekan dan perbandingan keduanya. Akan tetapi, pandangan umum yang jernih itu sering tertutup oleh pandangan individual yang subjektif, sehingga kita sulit menerima kenyataan. Oleh sebab itu menurutnya perlu ditegaskan bahwa pada dasarnya kemalangan, kesedihan, kepahitan hidup merupakan pendahulu bagi terwujudnya sesuatu yang membahagiakan. Sebenarnya di relung kepahitan terdapat kemanisan, di relung jeruk muda yang asam tersimpan kemanisan, tetapi kita tidak tahu dan tidak merasakannya. Baru setelah jeruk itu matang dan rasa asam menyusut tampillah rasa manis ketika kita katakan bahwa jeruk itu manis.

Dalam relung bencana yang menimpa sebenarnya tersimpan kebahagiaan, tetapi kita tidak

mengetahuinya. Allah berfirman, “Dan boleh jadi kamu memberi sesuatu padahal ia amat baik bagimu dan boleh jadi pula kamu mencintai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu. Dan Allah mengetahui tetapi kamu tidak mengetahui”.(QS.al-Baqarah: 216) Tidak ada yang tahu bahwa dalam relung malam yang gelap terdapat siang yang terang-benderang direlung kesulitan terdapat kemudahan relung kebencian tersembunyi kecintan. Ketika seseorang ayah sangat mencintai anaknya, ia memanjakan anak itu secara berlebihan. Lalu tak lama kemudian perangai anak itu berubah menjadi bandel, sehingga relung kebencian tersembunyi kecintaan. Akan tetapi, jangan kira kebandelan senantiasa buruk, ketika seorang ibu berhadapan dengan anak yang bandel, sehingga menumbuhkan rasa benci kepada sang anak, dia tidak mengira bahwa di balik kebandelan itu tersembunyi keluhuran budi. upaya orang tua ialah mengenyahkan sifat bandel dengan mendidik si anak, bukan memanjakannya, sehingga akan muncul sifat-sifat mulianya. Allah mengisyaratkan dalam Kitab Suci, “Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan”.(QS.alInsyirah : 4-5), (Ali : 2003, 84). Kesulitan dan bencana merupakan keharusan bagi kesempurnaan manusia. Seandainya cobaan dan penderitaan itu tidak ada niscaya tidak akan ada pula apa yang disebut manusia. Sebab penderitaan dan kebahagiaan adalah milik manusia, bukan milik mahkluk lain. Al-Qur’an menyebutkan, “Dia (Allah) yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu, siapakah diantara kamu yang paling baik amalnya”. (QS.al-Mulk : 2). Dunia adalah sekolah kehidupan, sedangkan hidup dan mati, senang dan susah, bahagia dan sengsara adalah ujian bagi manusia, sehingga daat ditentukan mana diantara mereka yang paling baik kualitas amalnya. Tengelam dalam kenikmatan hidup dan jauh dari kesulitan akan mendatangkan kemanjaan dan kelemahan ruhani, tetapi sebaliknya kehidupan yang senantiasa dirundung kepedihan dan kesulitan niscaya akan melahirkan manusia yang kuat dan kokoh serta mampu mengatasi tantangan yang lebih besar lagi.

186

Menurut Arif Rahman40, alumni al Azhar dan Pascasarjana UIN Jakarta dan Ketua Majelis Tabliq PDM Semarang, secara umum mengatakan tasawuf tidak dikenal dalam Muhammadiyah, karena organisasi ini lebih bercorak Wahabi dan merujuk pada Ibn Taimiyah, tetapi konsep akhlak, tazkiyatun nafs dan dzikir ada dalam Muhammadiyah meskipun secara jama’I ketiga hal itu tidak pernah dilakukan, sehingga bentuk formalnya ada tetapi secara substansi ada. Imbasnya menurutnya adalah keringnya spiritualitas dalam Muhammadiyah yang berimbas pada minimnya berkah dan Muhammadiyah tidak mengenal konsep ini menurutnya. Hal lain yang menarik dari Arif Rahman ini adalah ungkapannya yang secara pribadi respek dan akomodatif terhadap konsep mursyid dalam tarekat yang dipahaminya sebagai guru. Dia menjelaskan penjelasan tambahan terkait dengan mursyid ini melalui perumpamaan seseorang yang belajar membaca al-Qur’an. Secara sendiripun bisa tetapi kalau mau fasih harus melalui guru.tetapi musyid sebagai perantara kepada Tuhan dia tidak setuju. Imbas dari ditolaknya konsep mursyid dalam Muhamadiyah memunculkan sikap tidak adanya ta’dzim kepada guru. Dia juga setuju dengan fenomena “sufi kota”, “tasawuf positif”, “sufi tanpa tarekat” atau sejenisnya. Dia juga menilai positif dan apreseasif kiat-kiat sufiah yang dipahami secara positif seperti: 1.

Bertaubat: siapapun dan kapanpun, seorang harus melakukannya, karena taubat adalah modal dasar baginya, manfaatnya juga untuk dirinya (QS. Huud [11]:3). Guna menjaga kelestarian taubatnya, ada beberapa hal yang perlu dilakukan terus menerus: Muuhasabah, Ibnu Muhammad Syatha mengajak: “Ikutilah taubatmu dengan muhasabah, yang akan mencegahmu dari sikap meremehkan dan mengulangi dosa.” (ii) Menjaga tujuh anggota badan (mata, lisan, telinga, perut, tangan, kaki dan kemaluan) dari kerja mereka yang dapat mendorong kepada maksiyat dan dosadosa. (iii) Tekun beribadah, ibaratnya, taubat adalah pondasi dan ibadah adalah bangunan diatasnya. Keinginan setiap orang tentu pondasi harus kuat dan bangunan juga harus seindah mungkin.

2.

Qana’ah, yakni perasaan rela menerima pemberian yang sedikit. Maka dia tidak pernah rakus ataupun tamak dalam kehidupannya. Yang menyebabkan berhasilnya qana’ah, dalam mencari ‘hidup akhirat’ rela meninggalkan sesuatu yang amat menarik dan membanggakannya dari duniawi.

3.

Zuhd al-dunya, artinya aslinya adalah menentang keinginan atau kesenangan. Makna Zuhd adalah berpaling dari mencintai dunia manuju cinta Ilahi. Maka yang perlu dilakukan zahid (orang yang zuhd) adalah menghilangkan rasa cinta dunia dari dalam hatinya, tapi tak perlu menghilangkan dunianya, karena jika hati dipenuhi oleh duniawi, akan susah untuk ‘memasukkan’ Allah ke dalam hatinya.

4.

Mempelajari syari’at guna meningkatkan kualitas takwanya. Secara garis besar ada 3 kandungan syari’at Islam yakni ibadah, aqidah dan akhlaq. Ketiganya merupakan serangkaian amalan lahir dan batin sebagai bukti kesempurnaan iman seseorang.

5.

Memelihara sunnah-sunnah Nabi, baik dalam pengertian melaksanakan amalan/ibadah sunat maupun mencontoh adab (budi pekerti) Nabi.

40

Wawancara dengan Arif Rahman dilakukan pada tanggal 19 Juni 2008 di kantor Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Semarang.

187

6.

Tawakkal, arti bahasanya adalah penyerahan dan penyandaran. Maka makna tawakkal adalah menyandarkan hati dan segala urusan hidupnya sepenuhnya hanya kepada Yang Maha Mewakili, Allah SWT. (QS. Ali Imran :159)

7.

Ikhlash semata-mata karena Allah, merupakan dasar gerakan hati dan sebagai pusat seluruh ibadah. (QS. alBayyinah : 5). Maka yang harus kita hindari adalah riya, sum’ah, ujub, (bangga diri), dan takabur (sombong).

8.

‘Uzlah, yakni menyendiri dari kehidupan sesama manusia. Memang ada yang memahaminya secara fisik (misalnya Imam Ghazali pernah melakukannya), tetapi sebenarnya yang lebih utama adalah tetap al-julus (berdampingan) dan bergaul dengan masyarakat namun bersikap ‘uzlah dalam menjaga dirinya. Maka untuk itu dibutuhkan kesabaran, ketabahan, kebesaran jiwa, kedewasaan, dan tetap tanggap akan kebutuhan sosialnya.

9.

Memperbanyak wirid dan dzikir, baik dengan hati, lisan, sikap maupun perbuatannya.

Istilah-istilah “sufi kota”, “tasawuf positif”, “sufi tanpa tarekat” atau sejenisnya ini menurut Wahyudi, Wakil Ketua PDM Semarang dan dosen IAIN Walisongo Semarang, sebagai hal yang positif yang menurutnya adalah sebagai kreatifitas organisasi dan di Semarang itu tidak berkembang dikalangan Muhammadiyah. Tasawuf dalam Muhammadiyah salah satunya dapat dirujuk dari Ibn Taimiyah, selain juga Hamka. Sebagai contoh adalah bagaimana pemikiran Ibn Taimiyah tentang penyakit hati. Penyakit hati menurut Ibnu Taimiyah adalah suatu bentuk kerusakan yang menimpa hati, dengan merusak gambaran dan kehendak hati. Gambaran tentang syubhat (hal-hal yang samar) yang sudah jelas di depannya membuatnya tidak mampu melihat kebenaran atau bahkan dia melihat kebalikannya. Akibatnya orang yang terjangkit penyakit hati akan membenci kebenaran yang bermanfaat dan menyukai kebatilan yang membawa kepada kemudharatan. Oleh karena itu kata maradh (sakit) kadang-kadang diintepretasikan dengan syakh atau raib (keraguan). Hal ini seperti penafsiran Mujahid dan Qotadah tentang ayat al-Baqarah ayat 2 : “Dalam hati mereka ada penyakit”. Penyakit dalam ayat ini dipahami sebagai keraguan (Taimiyah, 2001: 149). Orang yang dijangkiti penyakit hati, efeknya akan kembali kepada dirinya sendiri seperti panas, dingin, hingga ada perasaan berat untuk beraktivitas. Penyakit ini akan membawa penderitanya kepada suatu bentuk kelemahan. Kekuatan yang ada seakan-akan menjadi hilang dan tidak mampu lagi melakukan aktifitas sebagaimana mereka yang sehat. Kesehatan itu hanya bisa dijaga dengan hal-hal yang mendukung kesehatan itu sendiri dan akan hilang manakala dilakukan tindakan yang sebaliknya. Begitu pula dengan semakin parah dan sembuhnya suatu penyakit tergantung pada perawatannya, maka apabila orang-orang yang sakit tidak diberi hal-hal yang mendukung sakitnya akan semakin parahlah penyakitnya dan akan semakin melemah kekuatannya. Sebaliknya apabila diberi hal-hal yang memperkuat kekuatannya maka akan lenyaplah penyakitnya (Taimiyah, 2002: 29). Penyakit hati menurut Ibnu Taimiyah adalah penyakit yang ada di dalam hati, seperti kemarahan, keraguan dan kebodohan dan kezaliman. Orang yang ragu dan bimbang tentang sesuatu akan merasakan sakit hatinya sampai dia mendapatkan jelelasan dan keyakinan. Tetapi fokus kajian Ibnu Taimiyah tentang penyakit hati adalah hasud atau iri ataupun dengki. Dengki menurutnya, dengan mengambil beberapa pendapat adalah rasa sakit yang disebabkan karena kecemburuan terhadap orang-orang yang berharta dan juga sikap berangan-angan atau berharap hilangnya nikmat dari orang lain, meskipun dengan hilangnya nikmat itu ia tidak memperolehnya, atau juga dimaknai sebagai sikap

188

berkeinginan untuk mendapatkan hal yang sama dengan diiringi rasa senang apabila yang dinginkan itu hilang dari orang lain. Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa iri adalah suatu bentuk kebencian dan rasa tidak senang terhadap kenikmatan yang ada pada orang lain (Taimiyah, 1999: 13). Secara umum, iri terbagi menjadi dua : pertama, adalah kebencian terhadap nikmat yang ada pda orang lain. Iri semacam ini menurutnya adalah iri yang tercela, dikarenakan apabila seseorang terjangkit penyakit ini hatinya akan terasa sakit setiap kali orang lain mendapatkan nikmat dan rasa sakit tu hanya dapat dihilangkan apabila nikmat yang ada pada orang lain itu juga dihilangkan. Padahal dengan hilangnya nikmat pada orang lain tersebut, dia tidak mendapatkan manfaat apapun. Manfaat yang ia dapatkan hanyalah sebatas hilangnya rasa skit dalam dirinya. Meskipun demikian rasa sakit itu akan terus menghantunya manakala nikmat yang diharapkan hilang itu ada kemungkinan untuk didapatkan kembali oleh orang yang bersangkutan, baik dalam bentuk yang sama, lebih bagus atau dalam jumlah yang lebih besar. Kedua : perasaan tidak senang kepada orang lain yang mempunyai kelebihan dan akan merasa senang apabila dia juga memperoleh hal yang sama atau lebih bagus. Keadaan semacam inilah yang oleh sebagian orang disebut ghibthah (Taimiyah, 1998: 13). Menurutnya, iri merupakan penyakit yang diidap oleh sebagian besar manusia dan hanya sebagian kecil saja yang mampu membersihkan hatinya dari penyakit ini. Ada sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa “jasad tidak akan terlepas dari iri”, hanya saja bedanya seseorang yang berjiwa rendah akan menampakannya sedangkan mereka yang berjiwa mulia menyembuyikannya. Menurut Ibnu Taimiyah, pada suatu hari, Hasan Basri ditanya, “Adakah seorang Mukmin yag berlaku iri?”, maka Hasan Basri menjawab, “Adakah engkau lupa akan kisah saudara-saudara Nabi Yusuf? akan tetapi iri hendaklah engkau sembuyikan dalam hatimu saja. Iri tidak membahayakan dirimu selagi engkau tidak mengungkapnya dengan lisan atau melahirkannya kedalam bentuk tindakan”. (Taimiyah, 2001: 200). Dengan demikian barangsiapa yang didalam jiwanya ada rasa iri hendaklah dia menggiringnya dengan ketaqwaan dan kesabaran serta membenci iri itu. Banyak orang memiliki dasar agama yang kuat tidak melanggar hak mahsud (orang yang menjadi sasaran kedengkian). Meskipun demikian dia belum dapat dikatakan memenuhi hak-hak yang semestinya seandainya ada orang yang mencela, tetapi dia juga tidak membelanya dengan mengungkap kebaikannya. Demikian pula jika ada orang yang memuji mahsud dia lebih memilih berdiam diri. Orang yang semacam ini digolongkan sebagai orang yang mufrith (orang-yang meyia-nyiaka kebaikan). Menurut Ibn Taimiyah ada tiga hal yang dapat dijadikan sebagai obat penyakit hati yaitu al Qur’an, amal saleh dan meninggalkan ma’siat. Pertama : menurut Ibn Taimiyah, al Qur’an adalah penyembuh bagi penyakit hati yang berada di dalam dada dan bagi orang yang dalam hatinya ada penyakit keraguan dan syahwat (Taimiyah, 2001: 187). Di dalamnya terdapat keterangan-keterangan yang menghilangkan kebatilan dan syubhat yang dapat merusak ilmu, pemahaman dan kesadaran hingga segala sesuatu secara hakiki. Di dalamnya juga terdapat hikmah dan nasehat yang baik, seperti dorongan berbuat baik, ancaman dan kisah-kisah yang didalamnya terdapat pelajaran yang berpengaruh pada sehatnya hati. Hati akan menjadi cinta kepada apa yang bermanfaat dan benci kepada apa yang membawa kepada kesengsaraan. Akhirnya hati

189

menjadi cinta kepada petunjuk dan benci kepada kesesatan, setelah pada mulanya condong kepada penyimpangan dan antipati terhadap petunjuk (Taimiyah, 2001: 154). Al-Qur’ân juga merupakan penyembuh dari penyakit yang mendorong kepada kehendak-kehendak buruk. Dengan al Qur’an hati dan kehendak menjadi sehat serta kembali kepada fitrahnya, sebagaimana kembalinya badan pada keadaan yang semula yaitu nilai-nilai keimanan dan al Qur’an yang membawanya kepada keesucian dan menolongnya untuk melakukan perbuatan baik. Kedua : amal saleh sebagai obat penyakit hati. Menurutnya hati membutuhkan pemeliharaan supaya dapat berkembang dan bertambah baik menuju kesempurnaan dan kebaikan, sebagaimana tubuh memerlukan makanan yang bergizi. Oleh karena itu, wajib hukumnya untuk mencegah badan dari apa saja yang dapat membawa pada kemudaratan. Badan tidak akan dapat berkembang dengan baik tanpa memberinya hal yang bermanfaat dan mencegahnya dari hal yang memudaratkannya. Demikian pula hati, ia tidak akan berkembang dengan baik atau mencapai kesempurnaan tanpa memberinya sesuatu yang bermanfaat dan menolak apa-apa yang membawa pada kemudaratan. Demikian pula halnya dengan tanaman, ia tidak akan tumbuh kecuali dengan hal ini (Taimiyah, 2001: 153). Oleh karena itu tatkala sedekah dapat menghapus kesalahan, sebagaimana air dapat memadamkan api maka perbuatan baik dapat mensucikan hati dari dosa, sebagaimana firman Allah : Ambillah sedekah dari sebagian harta mereka, dengan sedekah itu kamu bersihkan dan mensucikan mereka (QS. At taubah/9 : 103). Ketiga : meninggalkan ma’siat sebagai obat penyakit hati. Menurutnya perbuatan keji dan munkar tak ubahnya seperti campuran kotoran dalam badan dan seperti benalu bagi tanaman. Oleh karena itu apabila badan telah bersih darinya maka sehatlah badan tersebut. Demikian pula hati, apabila ia telah bertobat dari dosa-dosa, seolah-olah ia telah mensucikan dari segala yang hal buruk. Oleh sebab itu apabila hati telah bertobat dari segala dosa maka akan kembalilah kekuatan hati dan siap untuk menjalankan amalan baik, disamping juga beristirahat dari segala hal yang sifatnya buruk (Taimiyah, 2001: 155). Dari deskripsi di atas menurut Wahib Mu’thi, konsep pengobatan penyakit hati yang tiga tersebut dapat diperinci menjadi beberapa varian yaitu benar dan ikhlas, taubat, zuhud, wara, sabar, syukur, tawakal, rela kepada Allah, takut, dan mengharap. Macam-macam pengobatan hati tersebut tidak lain merupakan atau sebagian dari apa yang dikemukakan oleh sufi sebagai Al maqomat dan al akhwal yaitu tahapan-tahapan dan keadaan-keadaan rohani dalam mendekatkan diri kepada Allah (Mu’thi, 1994: 71). - Benar dan Ikhlas Pengobatan hati yang mula-mula dibicarakan oleh Ibnu Taimiyah adalah adalah benar dalam artian kesungguhan dalam beragama yang harus dibuktikan dengan mengerjakan amal kebajikan, sedangkan kata ikhlas adalah bukti dari keislaman. Dengan Islam, yang dimaksud di sini adalah menyerahkan diri kepada Allah sebagai lawan dari sombong dan menyekutukan Allah. Kata Ibnu Taimiyah, “Barang siapa yang tidak menyerahkan diri kepada Allah maka ia adalah sombong dan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah dan kepada selain Allah maka ia telah menyekutukan” (Mu’thi, 1994: 72). Dalam pengertian ini maka benar dan Ikhlas ditempatkan pada

190

bagian pertama mengennai pengobatan hati. Pemahaman Ibnu Taimiyah mengenai kedua istilah itu memberikan penekanan pada pentingnya amal kebajikan dan berjuang untuk membela agama. - Taubat Dalam tasawuf, taubat dipandang sebagai tahapan pertama yang ditempuh oleh sufi dalam proses mendekatkan diri kepada Allah. Secara umum pengertian taubat meliputi tiga aspek yaitu meninggalkan perbuatan dosa, mohon ampun kepada Allah dan tidak akan melakukan dosa selamanya. Dalam tasawuf pengertian tersebut diperdalam lagi dalam artian taubat tidak hanya meninggalkan perbuatan dosa tetapi juga meninggalkan segala sesuatu selain Allah (Taimiyah, 2002: 136). Menurut Ibnu Taimiyah, taubat sebagai awal dari tahapan penyucian jiwa, tetapi dalam kaitannya dalam kehidupan manusia yang setiap saat cenderung berbuat dosa, suatu dosa, kata Ibnu Taimiyah, akan diampuni Allah dengan sepuluh perkara : Pertama : dengan bertaubat kepada Allah sehingga Allah menerima taubatnya. Kedua : dengan istighfar yaitu memohon ampun kepada Allah sehingga Allah mengampuninya. Ketiga : dengan melakukan amal kebajikan karena amal kebajikan dapat menghapuskan kesalahan. Keempat : karena doa orang yang beriman yang mendoakan kepadanya baik ketika ia masih hidup ataupun sudah mati. Kelima : dengan memberikan kepadanya pahala amal yang bermanfaat. Keenam : karena safaat nabi. Ketujuh : karena cobaan Allah berupa musibah di dunia sehingga cobaan itu menjadi tebusan bagi dosa-dosanya. Kedelapan : karena penderitaan yang dialami di alam barzah. Kesembilan : karea penderitaan dihari kiamat. Kesepuluh: semata-mata karena kasih sayang Allah. Ibnu Taimiyah berkata : “Barangsiapa tidak mendapat salah satu dari yang kesepuluh perkara ini janganlah ia menyalahkan kecuali kepada dirinya sendiri” (Taimiyah, 1998: 21). Menurut Ibnu Taimiyah, tidak ada dosa yang tidak diampuni oleh Allah apabila orang yang melakukan dosa itu mau bertaubat kepada Tuhan, termasuk dosa menyekutukan Tuhan. Ajaran Ibnu Taimiyah tentang taubat di atas pada dasarnya mengajak seseorang yang berdosa supaya meninggalkan perbuatan dosanya dan mengisi hidupnya dengan amal kebajikan. Hal ini dia pertegas dengan menyatakan bahwa kesempurnaan taubat adalah dengan melakukan amal kebajikan. - Zuhud dan Wara Zuhud menurut Ibnu Taimiyah tidak bearti menjauhkan diri dari kehidupan dunia atau meninggalkan perkara yang dihalalkan yang membawa kepada kebaikan. Sebagai contoh, meninggalkan makanan yang diperlukan tubuh sehingga tidak dapat melakukan kewajiban agama, tidak merupakan zuhud yang dikehendaki oleh agama. Perbuatan demikian adalah salah, karena tidak memperhatikan kepada kebaikan yang harus diutamakan (Taimiyah, 2001: 234). Zuhud yang sesuai dengan syariah adalah meninggalkan perkara yang merugikan atau perkara yang tidak bermanfaat untuk kehidupan akhirat termasuk didalamnya adalah kekayaan yang berlebihan apabila kekayaan itu tidak dipergunakan untuk beribadah kepada Allah. Singkatnya zuhud yang benar ialah zuhud dari perkara yang merugikan bukan zuhud dari perkara yang bermanfaat. Dalam salah salah satu risalahnya Ibnu Taimiyah menjawab menjawab pertanyaan tentang siapakah yang lebih utama orang kaya yang bersyukur ataukah orang miskin yang sabar. Menurutnya, kekayaan dan kemiskinan bukanlah ukuran keutamaan yang berdiri sendiri. Keutamaan seseorang

191

adalah disebabkan oleh taqwanya kepada Allah. Orang kaya karena taqwanya maka ia lebih utama dari pada orang fakir dan sebaliknya. Orang yang sempurna imannya adalah yang dapat menempatkan diri pada masing-masing keadaan dengan bersabar dan bersyukur. Sama seperti hal di atas adalah persoalan apakah menyepi atau menyendiri dalam beribadah lebih utama daripada bergaul daalam kehidupan masyarakat. Menurut Ibnu Taimiyah, dalam keadaan tertentu pergaulan adalah lebih diutamakan misalnya untuk tolong menolong dalam melakukan kebaikan, shalat berjamaah, berjuang untuk membela agama dan mengikuti perkumpulan sosial yang

bermanfaat, tetapi tetap diperlukan waktu-waktu tertentu dalam

kehidupan seseorang dimana ia menyendiri untuk berdoa, berdzikir, tafakkur, muhasabah (introspeksi) dan sebagainya (Taimiyah, 2002: 11). Jadi memilih pergaulan secara mutlak adalah tidak benar begitu pula hidup menyendiri secara mutlak adalah tidak benar. Sikap hidup yang benar adalah mengambil apa yang diperlukan dan yang bermanfaat dari keduanya. Wara’ yang sesuai dengan syariah adalah meninggalkan perkara yang haram dan syubhat. Menurut Ibnu Taimiyah, kesempurnaan wara’ adalah dengan mengetahui yang terbaik diantara dua perkara yang baik untuk dilakukan dan yang terburuk diantara dua perkara yang buruk untuk ditinggalkan. Melakukan yang paling baik dan meninggalkan yang paling buruk didasarkan atas pertimbangan bahwa ajaran agama pada hakekatnya dibangun atas dasar maslakhah semaksimal mungkin dan menghilangkan mafsadah hingga sekecil-kecilnya. Dengan demikian orang yang melakukan perbuatan atau meninggalkannya dengan alasan wara’ tidak dapat dibenarkan jika tanpa mempertimbangkan segi maslahah dan mafsadah menurut agama, sehingga menyebabkan ia meninggalkan kewajiban dan melanggar larangan. - Sabar dan sykur Berbagai penjelasan Ibnu Taimiyah tentang sabar tidak berbeda dengan penjelasan yang terdapat dalam literatur akhlaq atau tasawuf pada umumnya, menurutnya sabar adalah ungkapan hati yang berkaitan dengan penderitaan (Taimiyah, 2001: 231). Sebaliknya adalah syukur yang merupakan keadaan hati yang berkaitan dengan kenikmatan. Syukur dinyatakan dengan memanjatkan pujian kepada Tuhan. Ibnu Taimiyah menekankan pentingnya memuji dan bersyukur kepada Tuhan dan mejelaskan perbedaan antara keduanya. Dari segi cara menyatakannya, syukur lebih umum sifatnya karena syukur dikerjakan dengan hati, ucapan dan perbuatan, sedangkan memuji Tuhan dinyatakan dengan ucapan saja, tetapi dari segi sebabnya memuji kepada Tuhan mengandung arti yang lebih umum karena berkaitan dengan segala kebaikan yang dipuji tidak hanya kebaikan yang ditujukan kepada yang memuji, sedangkan syukur hanya berkenaan kenikmatan yang diberikan kepada orang yang bersyukur. - Tawakal dan Ridha Tawakal berarti menyerahkan diri kepada Tuhan untuk tidak bergatung kepada makhluk atau perbuatan yang dilakukan (Taimiyah, 1998: 212). Perbuatan hanya merupakan sebab dari terjadinya sesuatu. Sebab tidak dapat berdiri sendiri dalam mewujudkan sesuatu melainkan harus ada penentu. Penentu bagi keberhasilan usaha tidak lain adalah Tuhan. Oleh sebab itu manusia harus berserah diri dan memohon pertolongan kepada Tuhan.

192

Tawakal kepada Allah tidak berarti penyerahan diri secara pasif tetapi harus disertai dengan usaha dan meminta pertolonga kepada Tuhan. Oleh karena itu ajaran agama menyuruh manusia agar menyembah kepada Allah dan meminta pertolongan kepadanya. Secara garis besar Ibnu Taimiyah berpendapat apabila seseorang merasakan hakekat keihlasan dalam beragama yang terkandung dalam iyyakana’budu dan merasakan hakekat tawakat yang terkandung dalam iyyaka nastain maka tidak ada lagi baginya kenikmatan yang diatasnya. Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa tawakal tidak berarti meninggalkan sebab dan menyerah kepada nasib. Dia mengkritik orang-orang yang mengaku menyerahkan diri kepada Tuhan tanpa berusaha dan menjalankan perintahnya. Mereka menyangka bahwa segala sesuatu telah ditaqdirkan Tuhan tanpa digantungkan pada sebab-sebab tertentu yang harus diusahakan oleh manusia.

C. Spiritualitas yang Syariahistic: Formulasi Tasawuf Dalam Perspektip Intelektual Muhammadiyah Kota Semarang Dari ketiga kategori di atas terdapat benang merah yang dapat menyatukan persepsi mereka yaitu penerimaan tasawuf secara substantive atau juga disebut sebagai spiritualitas yang syariahistic. Konsep ini dalam aplikasinya terformula dalam beberapa bentuk. 1. Urban Sufisme Tasawuf dalam perspektip intelektual muhammadiyah Kota Semarang secara umum bercorak substantive atau juga disebut sebagai spiritualitas yang syariahistic hampir sama dengan apa yang dikonsepkan oleh Julie Howell (2003) dengan istilah “urban Sufism” untuk memformulasikan satu kajian antropologis tentang gerakan sufisme yang marak di wilayah perkotaan di Indonesia, seperti Paramadina, Tazkiya Sejati, ICNIS, IIMAN, dan lain sebagainya. Pengertian urban sufism sendiri bisa mencakup berbagai fenomena gerakan spiritual yang muncul di tengah masyarakat perkotaan. Maka, di samping gerakan spiritual yang lebih mengutamakan ritual zikir dan do’a tanpa organisasi tarekat juga termasuk dalam kategori urban sufism adalah gerakan tasawuf konvensional

193

yang masih terikat dengan simpul-simpul organisasi tarekat, seperti yang ditampakkan

oleh

komunitas

Tarekat

Qadiriyyah-Naqsybandiyyah

(Fathurrahman, 2007: 1). Urban sufism merupakan fenomena umum yang terjadi di hampir semua kota besar di dunia. Hanya saja, urban sufism tidak bisa dipahami sebagai gerakan yang telah menggeser popularitas tarekat konvensional. Kenyataannya tasawuf konvensional dengan organisasi tarekat tetap dapat berkembang di tengah hiruk-pikuk masyarakat modern. Fakta ini semakin menegaskan nilai universal dalam sufisme. Seperti diketahui, sufisme cenderung bersifat lentur, toleran, dan akomodatif terhadap keragamaan faham keagamaan dan tradisi local (Sukma, 2007: 34). Bahkan, pada level tertentu, sufisme mengandung ajaran kesatuan agama-agama (wahdat al-adyan). Model keberagamaan inilah yang banyak diminati kalangan Muslim perkotaan yang kosmopolit. Dan fakta ini sedikit banyak juga menjelaskan munculnya fenomena sufisme seperti Anand Krishna atau Kelompok Salamullah di Indonesia. Dalam kaitan inilah Komaruddin Hidayat (1985: 231) melihat setidaknya ada empat cara pandang mengapa sufisme semakin berkembang di kota-kota besar di Indonesia: •

Sufisme diminati oleh masyarakat perkotaan karena menjadi sarana pencarian makna hidup



Sufisme menjadi sarana pergulatan dan pencerahan intelektual



Sufisme sebagai sarana terapi psikologis

194



Sufisme sebagai sarana untuk mengikuti trend dan perkembangan wacana keagamaan. Fenomena urban sufism di Indonesia bisa dirunut dari Hamka, dengan

buku Tasawuf Modern-nya. Hamka adalah orang pertama yang memberi penekanan atas pentingnya mengapresiasi nilai-nilai substantif tasawuf tanpa harus terikat dengan ketentuan-ketentuan tarekat (Fathurrahman, 2008: 5). Belakangan juga muncul sastrawan Abdul Hadi WM yang giat mendengungkan puisi-puisi sufi, khususnya karangan Hamzah Fansuri, sehingga semakin banyak kalangan Muslim yang tertarik dengan ajaran tasawuf. Mulai sekitar 1980-an, aktivitas sufi di perkotaan ini mulai terlembagakan. Ini ditandai antara lain dengan berdirinya Yayasan Wakaf Paramadina pimpinan Nurcholis Madjid atau Cak Nur (alm.). Melalui kegiatan-kegiatan pengajian dan kursus yang diselenggarakannya, Cak Nur mencoba mengemas tasawuf menjadi menu menarik untuk memenuhi hasrat masyarakat perkotaan yang haus akan nilainilai spiritual. Lembaga sejenis lain juga tumbuh, seperti Tazkiya Sejati pimpinan Jalaluddin Rahmat, IIMAN sebagai pusat pengembangan tasawuf positif di bawah koordinasi Haidar Bagir. Dan, seperti halnya Paramadina, lembaga-lembaga tersebut juga menyelenggarakan berbagai bentuk kegiatan seperti kursus, dan pelatihan dengan menyuguhkan materi-materi yang berkaitan dengan tasawuf. Kendati mengalami pasang surut, kegiatan-kegiatan dengan materi semacam itu pernah banyak diminati peserta yang umumnya berasal dari kalangan menengah ke atas (middle class).

195

Tentu saja, cara pengenalan ajaran-ajaran tasawuf oleh lembagalembaga tersebut berbeda dengan dunia tasawuf konvensional. Yayasan Paramadina mengemas kajian tasawuf sebagai bagian dari paket kursus kajian Islam yang ditawarkan. Demikian halnya Tazkiya Sejati, yang memperkenalkan tasawuf kepada masyarakat perkotaan dalam bentuk kursus singkat, serta dengan menyediakan bahan-bahan pegangan dan panduan zikir yang disusun sendiri oleh Jalaluddin Rahmat. Juga perlu disebut di sini adalah peran media massa yang menampilkan dan bahkan memiliki rubrik khusus tentang tasawuf. Tidak hanya harian Republika, yang memang kental dengan nuansa Islamnya, media cetak lain semisal Kompas, Suara Pembaruan, The Jakarta Post, Indonesian Observer, Media Indonesia, Gatra, SWA, dan Tempo, tidak jarang memuat tulisan atau reportase berkaitan dengan dunia tasawuf. Berbagai tulisan dalam media cetak tersebut, ditambah dengan maraknya penerbitan buku-buku tentang tasawuf, telah banyak memberikan kontribusi terhadap proses sosialisasi aspek-aspek esoteris Islam ke kalangan masyarakat perkotaan yang memang cenderung memiliki akses luas terhadap sumber-sumber informasi tersebut. Fenomena maraknya kajian tasawuf Islam khususnya, dan spiritualitas pada umumnya, di kalangan masyarakat perkotaan ini tentu saja merupakan hal menarik, karena sebelumnya tasawuf seringkali diidentikkan dengan aktivitas masyarakat pedesaan tradisional belaka, bahkan dianggap sebagai simbol ketertinggalan. Kini, kajian-kajian tentang sufisme dilakukan di hotel berbintang, di kantor, dan di perumahan-perumahan mewah (Bagir, 2002: 34).

196

Apalagi, fenomena bangkitnya tasawuf dan spiritualitas ini sudah menjadi trend global, tidak hanya terjadi di Indonesia tapi juga di sejumlah negara lain . 2. Neo Tasawuf Tasawuf merupakan kajian yang menarik, baik dalam kerangka ajaran Islam maupun dalam konteks perkembangan peradaban Islam. Dalam konteks yang pertama, tasawuf dipersoalkan sejauhmana kesesuaiannya dengan al-Quran dan Hadits. Pada dasarnya Islam memberi tempat kepada jenis penghayatan keagamaan yang bersifat eksoterik (lahiriah) dan esoterik (batiniyah). Ayat-ayat al-Quran mencakup dua jenis keberagamaan ini. Sayangnya, sejarah Islam mencatat adanya polarisasi yang saling menistakan. Polarisasi itu antara lain munculnya ekstrimitas kaum fiqh yang literal di satu sisi, dan ekstrimitas kaum sufi (penganut Tasawuf) di lain sisi (Amal, 1989: 33). Sejarah mencatat adanya konflik tajam antara keduanya, diantaranya dengan sikap saling menuduh bahwa lawannya telah menyeleweng dari Islam. Di kalangan mayoritas Islam, terutama yang beraliran Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja), tasawuf dianggap telah menyimpang dari ajaran Islam. Karena itu mayoritas umat Islam di Indonesia yang merupakan penganut Aswaja memandang Tasawuf sebagai ajaran yang sesat. Namun demikian, gerakan Tasawuf juga mendapat sambutan luas di kalangan umat Islam. Bahkan penyebaran Islam di Indonesia menjadi lebih mudah berkat dakwah yang dilakukan oleh para Sufi. Situasi seperti inilah mulanya yang mendorong Buya Hamka (1994: 21) melakukan penelitian tentang Tasawuf, sebagaimana Hamka jelaskan dalam bukunya:

197

Bilamana kita perhatikan ajaran-ajaran Tasawuf dan latihan-latihannya itu dengan memakai bermacam-macam kata rahasia dan pertumbuhanpertumbuhannya, dapatlah kita mengetahui bagaimana besar dan luasnya gerakan ini dalam berbagai zaman. Bila diselidiki dengan dasar ilmu pengetahuan, dapatlah kita pisahkan mana pokoknya yang asli dan mana ajaran lain yang disengaja atau tidak telah turut membentuknya. Tetapi tidaklah dapat diragui lagi bahwasanya tasawuf adalah salah satu pusaka keagamaan terpenting yang mempengaruhi perasaan dan fikiran kaum muslimin,” (Hamka, 1981: 20). Luasnya pengaruh Tasawuf dalam hampir seluruh episode peradaban Islam menandakan bahwa Tasawuf relevan dengan kebutuhan umat Islam. Sebetulnya, sebagaimana dijelaskan Buya Hamka, Tasawuf adalah pusaka umat Islam yang diambil langsung dari al-Quran dan kehidupan Nabi Muhammad Saw. Oleh karena itu, benturan antara tasawuf (hakikat) dengan fiqih (syariat), menurut Hamka, tidak harus disikapi dengan menolak Tasawuf dan melabelinya sebagai ajaran sesat (Hamka, 1971: 22). Sungguhpun ada sebagian doktrin Tasawuf yang tidak sesuai dengan semangat ajaran Islam, namun substansi dari ajaran Tasawuf sesuai dengan ajaran Islam. Penyimpangan dalam Tasawuf mungkin saja terjadi, mengingat interaksi umat Islam yang demikian luas dengan beraneka macam tradisi agama-agama lain. Mengenai hal ini Buya Hamka dapat dikategorikan sebagai penganjur neo-Tasawuf (Maksum, 2003:113). Menurut Buya Hamka, Tasawuf ibarat jiwa yang menghidupkan tubuh (1981). Dalam Islam Tasawuf merupakan jantung dari keislaman. Oleh karena itu, sangat tepat jika pendekatan Tasawuf menjadi salah satu daya tarik diterimanya Islam di Indonesia. Lebih jauh lagi, Tasawuf telah meniupkan

198

spiritnya ke dalam hampir seluruh kebudayaan Islam. Tarekat-tarekat sufi sebagai institusi terorganisasi dalam matriks yang lebih besar masyarakat Muslim, memainkan pengaruh besar atas seluruh struktur masyarakat. Di awal pertumbuhannya, tasawuf merupakan gerakan kritis terhadap kemewahan para penguasa dan kecenderungan haus kekuasan dan jabatan yang diidap oleh sebagian tokoh-tokoh Islam (Rahmad,1999: 2). Problem hedonisme menjadi altar kemunculan dan pertumbuhan tasawuf. Dalam perkembangan selanjutnya tasawuf menjadi suatu pendekatan keagamaan yang diminati mayoritas umat Islam, terutama ketika Imam alGhazali mempromosikannya lewat bukunya Ihya ‘Ulumuddin. Dalam konteks kehidupan masyarakat modern, fenomena ketertarikan masyarakat terhadap pengajian-pengajian yang bernuansa Tasawuf mencerminkan adanya kebutuhan masyarakat untuk mengatasi problem alienasi yang diakibatkan oleh modernitas( Nasution, 1995: 33). Modernitas memang memberikan kemudahan hidup namun tidak selalu memberikan kebahagian 3. Tasawuf Positif Tasawuf positif adalah sebuah pemahaman atas tasawuf yang berupaya mendapatkan manfaat dari segala kelebihan dalam hal pemikiran dan disiplin yang

ditawarkannya

seraya

menghindari

ekses-eksesnya,

sebagaimana

terungkap dalam sejarah Islam (Burhani, 2001: 89). Selain itu, betapapun dilabeli istilah `positif , tasawuf ini tetap mempromosikan konsep Allah dalam dua perwujudan, yakni perwujudan keindahan dan cinta (jamal) di samping

199

perwujudan

keagungan

dan

kedahsyatan

(jalal)41.

Tema

tersebut

menggambarkan bahwa metode tasawuf merepresentasikan sifat Islam yang, selain berorientasi syariat, juga menekankan metode cinta. Selama ini kita menganggap bahwa cinta kasih itu kaitannya dengan agama Nasrani, sedangkan Islam identik semata-mata dengan syariah, ketaatan pada hukum, disiplin pada hukum. Hal ini, menurut (Baqir, 2005: 211), merupakan akibat dari pemahaman

41

Salah satu contoh kajian Tasawuf positif adalah kajian yang laksanakan oleh Lazuardi bekerja sama dgn IIMaN ( Indonesian Islamic Media Network) akan mengadakan Kajian Tasawuf Positif yg Insya Allah akan di lakukan secara rutin (mingguan).Untuk sessi soft opening, akan dimulai pada 3 Sept 2005 dgn 2 kali pertemuan dgn topik Menggapai akhirat melalui kesuksesan dunia (gratis) dan selanjutnya mulai 10 Sept 2005 dgn topik Panduan Menggunakan Kecerdasan Al-Quran untuk Kesuksesan Dunia Akhirat. Contoh tema kajian: Quranic Quotient for a Lasting Success Panduan Menggunakan Kecerdasan AlQuran untuk Kesuksesan Dunia-Akhirat. Kegiatan dalam 5 kali pertemuan pada 10 Sept - 11 Oktober 2005 yang meliputi materi Panduan 1 - pertemuan 1 (Personal Inprovement) Mimpi yang sedang beraksi Panduan 2 - pertemuan 2 (Personal Inprovement) Sensitivitas terhadap Realitas Panduan 3 - pertemuan 3 (Personal Inprovement) Putus asa = Kafir Panduan 4 - pertemuan 4 (Spiritual Development) Teknik QQ untuk Ketentraman Ruhani Panduan 5 - pertemuan 5 (Social Empowerment) Teknik QQ untuk Kebahagian Bersama Kegaiatn ini secara garis besar mengungkap kusuksesan dunia dan akhirat sering disangka tak bisa diraih sekaligus, karena keduanya selalu saja dirasakan bertentangan. Tapi kalau nyatanya begitu, lalu apa gunanya perintah Al-Quran untuk mengejar kesuksesan dunia akhirat? Tidakkah perintah itu akan menjadi sia-sia belaka? Disinilah letak pentingnya penggalian Quranic Quotient demi pencapaian kesuksesan abadi. Al-Quran tidak memberikan rincian teknis yang sangat detail dalam menjalankan prinsip pernigaan yang menguntungkan dunia akhirat, karena bagaimanapun ia bukan buku ekonomi atau manajemen. Sebagai kitab petunjuk yang universal, ia lebih berkepentingan untuk mengamanatkan prinsip-prinsip atau nilai-nilai saja. Sedang menyangkut bentuk atau teknik pemenuhan nilai itu lebih banyak diserahkan kepada rasio atau kecerdasan manusia. Sungguhpun begitu, disisi lain, Al-Quran pun tetap berkepentingan memberikan inspirasi bagi pengembangan cara-cara pemenuhan nilai. Sebab lagilagi sebagai petunjuk universal, disamping ia harus menunjukkan nilai-nilai universalnya, ia pun sudah selayknya memperlihatkan kemungkinan bisa diterapkannya nilai-nilai tersebut (visiabilitas), sehingga nilai-nilainya tidak bisa dianggap utopis atau mustahil diterapkan. Biasanya Al-Quran menjabarkan nilainilainya melalui konsep-konsepnya (seperti iman, shalat, zakat, dan sebaginya), sedang untuk menunjukkan visiabilitas nilai-nilainya ia menggunakan kisah-kisah terbaiknya (ahsan al-Qashahs). Kisah-kisah inilah yang kemudian banyak memberikan inspirasi. Karena itu tak heran dalam bukunya Quranic Quotient: Kecerdasan-kecerdasan Bentukan Al-Quran, Muhammad Jarot Sensa menyebut kisahkisah Al-Quran sebagai mencerdaskan. Bertolak dari penggalian kecerdasan Al-Quran tersebut training ini memberikan panduan menggunakan kecerdasan untuk kesuksesan dunia akhirat. Narasumber: Dr. Haidar Bagir, MA (Doktor di bidang Filsafat Islam dan Ketua Pusat Pengembangan Tasawuf Positif IIMaN, penulis Buku Saku Filsafat Islam dan Buku Saku Tasawuf,Direktur Utama Penerbit MIZAN,serta Ketua Yayasan Lazuardi Hayati). Partisipasi 150.000 Untuk 5 (lima) kali pertemuan (Termasuk Buku QQ for a Lasting Succes seharga Rp 31.000,-)

200

secara eksklusif atas aspek jalal (tremendum) Allah dan melupakan pada satu aspek lainnya. Sesungguhnya, jalan tasawuf positif berusaha membimbing para pencari agar secara sungguh-sungguh berusaha menemukan kehilangan mereka yang sesungguhnya. Dengan pasti dapat dikatakan bahwa setiap orang yang memiliki pikiran dan kesadaran yang bekerja dengan baik akan merasakan bahwa ada sesuatu yang hilang yang sedang dicarinya dalam kehidupannya di dunia ini. Orang-orang yang tidak mempunyai rasa kehilangan ini hanyalah orang yang telah kehilangan dirinya sendiri karena sikap ketidakpedulian mereka. Sesungguhnya, "perasaan ada sesuatu yang hilang dalam kehidupan ini" adalah perasaan agung yang tidak dapat dirasakan oleh orang-orang yang telah menjadi budak nafsu, kekayaan, jabatan, atau ambisi. Kereta tasawuf negatif melakukan perjalanan panjang, mencari banyak hal, dan mengalami banyak hambatan, tetapi akhirnya ia sudah terpuaskan hanya dengan beberapa kenikmatan batiniah atau tingkat-tingkat mental tertentu; merasa cukup hanya dengan beberapa pengetahuan yang aneh, dengan ucapan-ucapan yang tak biasa, dan lalu berhenti. Sayang sekali para pencari ini tak menyadari benar-benar bahwa sesuatu yang hilang dalam jiwa manusia itu bukanlah hal-hal sepele seperti itu, yang muncul karena beberapa sebab tampaknya, orang pertama yang mengetahui kehilangannya adalah orang yang, setelah mencoba tasawuf positif di bawah bimbingan para Rasul, merasa diberi semangat untuk bangkit dari lembah khayal dunia dan melangkah menuju perbaikan. Ketika berusaha

201

menemukan sesuatu yang hilang itu, mereka menjauhkan diri dari kenikmatankenikmatan, rasa mementingkan diri sendiri, dan capaian-capaian duniawi, untuk menjalankan kapal jiwanya dengan penunjuk arah kesadaran ilahiah, dan di bawah bimbingan intelek yang sehat, di samudera wujud. Karena tasawuf positif tak pernah menganggap keuntungan-keuntungan seperti yang disebutkan di atas sebagai tujuan, maka ia dapat mencapainya sementara tetap berjalan menuju tujuan akhirnya, yaitu perjumpaan dengan Allah, yang mensyaratkan, pertama-tama, keterjagaan, pengembangan, dan penguasaan jiwa atas dunia wujud. Tasawuf positif adalah tasawuf yang mengakomodasi kehidupan dunia untuk akhirat (Burhani, 2002: 34). Menghargai syariat (aspek formal agama), menjunjung rasionalitas, dan menekankan buah tasawuf pada dimensi sosial kemasyarakatan. Maka tidak heran jika para penganut Tasawuf Positif kontemporer adalah masyarakat yang secara material tercukupi, terpelajar, dan suka mengasihi dan bersimpati dengan kaum miskin. Oleh karena itu, jika masyarakat perkotaan ingin mendapatkan kedamaian dan kebahagian yang terampas oleh modernisme, mereka harus berpikir jernih, cerdas, cermat, dan tidak gampang mengikuti tren yang berkembang. Pencarian kebenaran atau kebermaknaan hidup yang bersifat virtual atau semu bukanlah wujud dari pembebasan kemanusiaan. Ia hanyalah bentuk kebebasan yang tidak jarang sering tidak terbendung dan sulit diarahkan. Penggabungan kreativitas akal, pengalaman, dan perenungan makna hidup secara mendalam mutlak dilakukan untuk mencapai hal tersebut (Amstrong,1996: 69).

202

4. Tasawuf Modern HAMKA Tasawuf modern yang digagas Hamka pada dasarnya adalah tawaran upaya-upaya pembersihan jiwa untuk menuju kesempurnaan dan kebahagiaan melalui pembersihan jiwa ala sufi. Dengan demikian manusia akan mendapatkan hati yang bersih dan bisa berada dekat dengan Tuhan (Iqbal, 1981: 49). Bedanya, Hamka menempatkan praktek permbersihan jiwa tersebut dalam konteks masyarakat modern. Ini dimaksudkan agar term-term tasawuf yang sering dianggap tradisional lebih “membumi” dan sesuai dengan kehidupan masyarakat sehari-hari. Dalam buku Lembaga Budi misalnya, Hamka secara panjang lebar membahas bagaimana seorang professional, pelaku bisnis, karyawan, pengarang, wartawan, pemimpin, palitikus dan lain sebagainya melakukan berbagai akhlak terpuji (budi mulia) (Hamka: 1996, 79). Implementasi budi dalam kehidupan sehari-hari tersebut adalah sebagai upaya penyucian hati manusia sehingga mereka mendapatkan kebahagiaan hakiki. Seperti dikatakan al-Junayd, “Barang siapa mencari sesuatu dengan kejujuran dan bersungguh-sungguh tentu akan mendapatkannya. Seandainya tidak mendapatkan seluruhnya maka akan mendapatkan sebagiannya” (Nasution, 1995: 58) Di dalam bukunya Tasauf Moderen, Hamka juga membahas tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh seseorang sebagai upaya untuk mencapai bahagia, misalnya bergaul dengan orang budiman, menjaga syahwat dan kemarahan, instropeksi diri, memelihara kesehatan jiwa, marah yang positif, qana’ah, tawakkal dan lain sebagainya. Semua itu dikaitkan Hamka dengan

203

kehidupan keseharian masyarakat modern, sehingga istilah-istilah tasawuf menjadi mudah dipahami. Misalnya qana’ah, dalam tradisi tasawuf klasik diartikan beragama oleh para sufi. Bisyr al-Hafi mengartikan qana’ah dengan seorang raja yang hanya tinggal di dalam hati yang beriman. Dhun Nun al-Misri menyebutkannya dengan orang yang selamat dari orang-orang yang semasanya dan berjasa atas semua orang. Sufi lain yaitu alKaffari mengatakan “Barang siapa yang menjual kerakusan demi qana’ah berarti telah memperoleh keagungan dan kebesaran. Hamka mengartikan qana’ah dengan “menerima cukup” (al-Taftazani, 1985: 45). Menurut Hamka qana’ah memiliki lima unsur yaitu, menerima apa yang ada dengan rela, memohon kepada Allah agar menambahkannya yang pantas dengan berusaha, menerima dengan sabar ketentuan Allah, bertawakkal kepada Tuhan, tidak tertarik oleh tipu daya dunia. Dalam menjelaskan qana’ah Hamka mengatakan, siapa yang mendapatkan rizki yang cukup untuk menghidupi diri dan keluarganya, maka hendaklah menenangkan hati. Manusia tidak dilarang untuk mencari rizki yang banyak, berpangku tangan, sebab itu bukan qana’ah. Manusia tetap harus bekerja keras, bukan karena terobsesi mengumpulkan harta, namun karena orang hidup memang tidak boleh berhenti bekerja. Penjelasan Hamka dengan kalimat seperti ini sangat sesuai dengan konteks masyarakat modern. Hamka memahami masyarakat sering menganggap qana’ah dengan arti salah, di mana qana’ah diartikan sebagai sifat yang tidak mementingkan bekerja dan merasa cukup dengan apa yang telah ada. Menurut Hamka itu adalah sifat yang justru bukan menjadi terpuji tapi malah tercela,

204

sebab qana’ah itu bekerja dan berusaha sehabis tenaga. Arti qana’ah sangat luas. Qana’ah menyuruh manusia percaya akan adanya kekuasaan yang lebih besar dari kekuatan manusia, menyuruh sabar menerima ketentuan Ilahi, menyuruh manusia bekerja keras, bukan karena harta yang ada tidak cukup, tapi karena orang hidup mseti bekerja. Dengan penjelasan seperti demikian, Hamka menginginkan terciptanya individu dan masyarakat yang memiliki kepribadian sufi, yaitu pribadi yang memilikim akhlak terpuji (akhlaq al-karimah). Jadi bukan sufi dalam term tasawuf klasik yang hidup dengan mengasingkan diri atau mempraktekkan kesalehan individu dan terasing dari masyarakat D. Analisis terhadap Pemahaman Intelektual Muhammadiyah Kota Semarang terhadap Tasawuf 1. Tasawuf itu Bid’ah? Muhamadiyah

secara

umum

dikesankan

beranggapan

bahwa

mempelajari dan menjalankan tasawuf hukumnya bidah/haram dengan alasan bahwa tasawuf itu merupakan kegiatan yang dapat menyesatkan ummat. Mereka mengatakan bahwa pada zaman Rasulullah saw. tidak dikenal istilah tasawuf, yang ada adalah istilah zuhud, wara, dan lain-lain. Terkait dengan pemahaman di atas harus dipahami bahwa manusia, seperti disebutkan Ibn Khaldun, memiliki anggota tubuh, panca indra, akal pikiran, dan hati sanubari (Nasr, 1983: 44). Ketiga potensi ini harus bersih, sehat, dan dapat bekerja sama secara harmonis. Untuk menghasilkan kondisi seperti ini, ada tiga bidang ilmu yang berperan penting. Pertama, fikih, berperan dalam membersihkan dan menyehatkan panca indra dan anggota tubuh. Karenanya, fikih banyak berurusan dengan dimensi lahiriah manusia. Kedua, filsafat, berperan dalam menggerakkan menyehatkan akal pikiran. Karenanya filsafat banyak berurusan dengan

205

dimensi metafisik. Ketiga, tasawuf, berperan dalam membersihkan hati sanubari. Karenanya tasawuf banya berurusan dengan dimensi batin manusia. Dengan demikian, antara fikih, filsafat, dan tasawuf memiliki korelasi yang cukup dekat, yang tidak mungkin dipisahkan lagi antara satu dengan yang lainnya (Nasr: 1983, 68). Ketiga potensi tersebut dijelaskan oleh Allah dalam Al Qur’an surat Al Mulk ayat 23. “Katakanlah: Dialah yang menciptakan kamu dan memberikan kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, tetapi sedikit sekali kamu bersyukur.” (QS. Al Mulk/67: 23). Ditinjau dari segi bahasa, tasawuf memiliki makna sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan, dan selalu bersikap bijaksana. Sikap yang demikian itu pada hakikatnya adalah akhlak mulia. Adapun dari segi istilah, pengertian tasawuf amat bergantung pada sudut pandang yang digunakan para ahli yang memberikan definisi tersebut. Selama ini, ada tiga sudut pandang yang diguakan para ahli untuk mendefinisikan tasawuf, yaitu sudut pandang manusia sebagai mahluk yang memiliki keterbatasan, manusia sebagai mahluk yang harus berjuang, dan manusia sebagai mahluk yang bertuhan. Jika dilihat dari sudut pandang manusia sebagai mahluk yang memiliki keterbatasan, tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan pengaruh kehidupan dunia dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah swt (Syukur, 1999: 123) . Jika sudut pandang yang digunakan manusia sebgai makhluk yang harus berjuang, tasawuf dapat didefinisikan sebagi upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber dari ajaran agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah swt. Selanjutnya, jika sudut pandang yang digunakan adalah manusia sebagai makhluk yang bertuhan, tasawurf dapat disefinisikan sebagai kesadaran fitrah (ketuhanan) yang dapat mengarahkan jiwa agar tertuju kepada kegiatankegiatan yang dapat menghubungakan manusia dengan Tuhan. Abul Hasan Al Fusyandi, seorang tabi’in yang hidup sezaman dengan Hasab Al Bisri mengatakan, “Pada zaman Rasulullahs saw., tasawuf ada realitasnya, tetapi tidak ada namanya. Dan sekarang, ia hanyalah sekedar nama, tetapi tidak ada realitasnya” (Iqbal, 1981: 21). Pernyataan ulama dari kalangan tabi’in ini bisa menjadi acuan bahwa zaman Rasulullah saw. memang tidak dikenal istilah tasawuf, namun ada realitasnya seperti sikap zuhud, qona’ah, taubat, ridha, shabar, dan lain-lain. Nah, sikap-sikap mulia tersebut dirangkum dalam sebuah nama yang sekarang dikenal dengan istilah tasawuf. Jadi, kita tidak perlu mempersoalkan nama, yang penting realitas atau substansinya. Dalam mengarungi kehidupan,

206

kita harus punya jiwa zuhud, qana’ah, taubat, muraqabatullah, ‘iffah, dan lain-lain. Bila Anda memberi nama untuk sederet istilah itu dengan sebutan Tasawuf, tentu saja boleh dan tidak termasuk bid’ah. Namun, kalau Anda tidak suka dengan istilah Tasawuf dengan alasan istilah tersebut tidak digunakan pada zaman Rasulullah saw., pakai saja istilah lain seperti ilmu zuhud misalnya (istilah yang digunakan Imam Ahmad) (Baqir, 2002: 56). Yang pasti, materi yang dibahas dalam ilmu zuhud dan ilmu tasawuf substansinya sama, yang berbeda hanyalah masalah nama. Apalah arti sebuah nama, yang penting substansinya! Jadi, inti dari tasawuf adalah usaha pensucian jiwa dengan amaliah-amaliah yang shaleh yang sesuai dengan sunah Rasulullah saw. Prof. Hamka (alm) menyebutnya dengan istilah Tasawuf Modern. Namun demikian, kita pun perlu membuka mata bahwa memang ada juga ajaran tasawuf yang menyimpang dari sunah Rasulullah saw. Inilah yang disebut dengan tasawuf yang bid’ah. Sementara usaha pensucian hati yan gmengikuti sunah Rasulullah saw. sama sekali tidak bid’ah. Kesimpulannya, pada zaman Rasulullah saw. tidak ada istilah tasawuf, yang ada adalah realitas atau substansinya seperti zuhud, qana’ah, ridha. ‘iffah, dan lain-lain. Kita dibenarkan untuk mempelajari dan mengamalkan tasawuf yang mengikuti sunah Rasulullah saw. dan haram mempelajari serta mengamalkan tasawuf yang tidak sesuai dengan sunah Rasulullah saw. (tasawuf yang bid’ah). Jadi, kita tidak bisa men-generalisasi bahwa semua tasawuf itu bid’ah. Sungguh bijak bila kita dapat menempatkan segala sesuatu secara proporsional. Istilah tasawuf atau mistisisme dalam Islam masih sebuah diskursus kontroversial. Sebab, secara tekstual (scripture), Alquran tidak menyebutkan kata "tasawuf", baik secara eksplisit maupun implisit. Hal ini, sepintas dapat dipahami, bahwa Islam terkesan tidak memiliki dimensi tasawuf, atau setidak-tidaknya "anti tasawuf". Pada tataran ini, studi tentang Islam khususnya dalam rangka memahami tasawuf tidak bisa bersifat tekstual semata, atau meminjam istilah Muhammed Arkoun hanya bersifat "logosentris". Tradisi filologis atau logosentris yang mewarnai para pemikir muslim dan Islamolog Barat, ternyata tidak mampu membedah substansi ajaran Islam yang paling fundamental (dimensi esoteris). Buktinya, secara sosio-historis, hampir seluruh ajaran dalam Islam hanya "mengandalkan" kemampuan teks didalam memahami agamanya, seperti Wahabisme yang "anti tasawuf" atau terkesan kurang apresiatif terhadap tasawuf. Fenomena seperti itu, tidak hanya mewarnai dunia Islam, tetapi juga dunia Barat, paling tidak dapat dilihat dari tradisi orientalisme.

207

Karena itu, upaya memahami ajaran Islam secara komprehensif harus disertai dengan analisa sosio-historis. Pada konteks ini, ajaran Islam, khususnya tasawuf tidak hanya bisa dipahami dari sudut pandang "sejarah ide" an sich, melainkan juga harus dilihat dari "kenyataan sosial-politik". Dengan kata lain, realitas sosial-politik merupakan komponen yang harus dipertimbangkan pada saat memahami ajaran Islam. Bila secara tesktual, Alquran tidak pernah menyebutkan kata "tasawuf", maka secara konsepsional (pada tataran sue-generis) atau sosiohistoris Islam tidak berarti "anti tasawuf". Tasawuf adalah produk sejarah Islam, karena itu, kenyataan historis yang tidak bisa dipungkiri adanya. Ia adalah hasil dari proses "ortodoksifikasi" para intelektual muslim di dalam membedah doktrin ideal Islam. Bahkan,

pada

konteks

kehidupan

modern,

tasawuf

merupakan

fenomena

antropologis. Dari situ, dari sudut antropologi-falsafi, kita bisa melihat bahwa kegairahan bertasawuf erat hubungannya dengan keterasingan (alienasi) yang muncul akibat kehidupan modern. Alienasi tersebut, membawa akibat terjadinya keadaan yang disebut powerlesness (kehilangan makna hidup), dan social-isolation (merasa terisolasi, dan kehilangan kontak personal dalam masyarakat). Tasawuf atau sufisme adalah dimensi bathin atau esoteriss Islam (the inner dimension of Islam). Dimensi ini sering dipertentangkan dengan aspek luar ajaran Islam, atau istilah populernya syari’ah. Karena merupakan dimensi bathin, maka tasawuf, "sufisme" (mistik), tidak bisa dicapai dengan cara-cara biasa atau dengan usaha intelektual. Mistik ini memang berasal dari kata Yunani : myin, "menutup mata". Maka dari itu, tegas Annemarie Schimmel, mistik telah menjadi "arus besar kerohanian yang mengalir dalam semua agama". Dalam dimensi yang lebih luas, mistik bisa didefinisikan sebagai kesadaran terhadap kenyataan tunggal yang mungkin disebut Kearifan, Cahaya, Cinta, atau Nihil. Dengan kata lain, mistik dapat didefinisikan sebagai cinta kepada yang mutlak. Cinta ini bisa mengantarkan jiwa si ahli mistik kehadapan Illahi "bagaikan elang yang membawa mangsanya" yakni dengan itu, Seyyed Hossein Nasr, salah seorang penggagas filsafat perenial atau aliran tradisional menyatakan, bahwa sufisme merupakan "jalan spritual". Dari situ, Nasr memahami sufisme sebagai jantung ajaran Islam, ia seperti juga jantung manusia, tersembunyi dari pandangan, meskipun ia menjadi sumber bathin kehidupan dan menjadi pusat yang mengatur seluruh organisme keagamaan Islam. Dari perspektif perenialistik, sufisme ternyata merupakan ajaran Islam yang paling fundamental. Ia merupakan falsafah hidup dan cara tertentu dalam tingkah laku manusia, dalam

208

upaya merealisasikan kesempurnaan moral, pemahaman tentang hakekat realitas, dan kebahagiaan rohani. Dari sini terlihat bahwa, sufisme cenderung menempatkan Tuhan di atas segalanya, termasuk dirinya sendiri. Hal ini berarti sufisme penuh dengan semangat perjuangan yang membuatnya selalu siap bertempur dengan segala yang menolak kebenaran dan merusak harmoni. Dalam perspektif ini, substansi atau essensi dari sufisme, "seharusnya" melahirkan dua sikap hidup yang ideal. Pertama, jiwa berjuang, "berperang" yang berdimensi historis, dalam arti dapat dibuktikan secara kongkret, baik secara militer, politik maupun sosial. Perang dalam kategori ini kata nabi disebut sebagai perang kecil (al-Jihad al-Ashgar). Kedua, jiwa berjuang yang inheren dalam jiwa manusia itu sendiri, yang berarti perang melawan nafsu, melawan semua kecenderungan untuk menolak Tuhan dan kehendak-Nya. Kategori kedua ini oleh nabi disebut sebagai"perang besar" (al-Jihad al-Akbar). Namun demikian, secara historis, yang berkembang dalam masyarakat muslim justru kategori kedua. Karena itu, sufisme umumnya dipahami sebagai proyek perbaikan moral individu melalui "renungan-renungan spiritual", ritus, wirid-wirid, dan upacara-upacara keagamaan. Dengan demikian sufisme menjadi kehilangan dimensi sosialnya, dengan sendirinya, sufisme seakan akan tidak mempunyai tanggung jawab sosial, sehingga sering diidentikkan dengan budaya asketis, anti intelektual dan lain-lain. Untuk menguatkan asumsi kecenderungan di atas, berikut pernyataan Abu Wafa alGhanimi al-Taftazani, yang pendapat ini didukung oleh Bertrand Rusel, RM Bucke, dan lain-lain. Menurutnya, tasawuf atau mistisisme umumnya memiliki lima karakteristik yang bersifat psikis, moral, dan epistimologis, yakni peningkatan moral, merupakan ekspresi nilai-nilai moral tertentu dari setiap Tasawuf (mistisisme) dan bertujuan untuk "membersihkan jiwa", yang perealisasian itu memerlukan proses riyadhah fisik-psikis tersendiri. Pemenuhan fana (sirna) dalam realitas mutlak. Adalah sampainya kondisi mistikus pada satu level psikis tertentu di mana rasa egosentrisnya sirna, kekal-abadi dalam realitas yang tertinggi, telah meleburkan kehendaknya bagi Kehendak Yang Mutlak. Pengetahuan intuitif langsung. Ini adalah norma terkaji epistimologis, yang membedakan tasawuf (mistisisme) - suatu pemahaman hakekat realitas di balik persepsi inderawi serta penalaran intelektual dengan filsafat yang memahami realitas melalui metodemetode intelektual. Ketentraman atau Kebahagiaan yang merupakan karakteristik khusus pada semua bentuk tasawuf (mistisisme), sebagai pembangkit keseimbangan (balance) psikis pada diri

209

mistiskus, membuat terbebas dari rasa takut serta merasa intens dalam ketentraman jiwa. Penggunaan simbol dalam ungkapan-ungkapan yang merupakan realisasi dari kondisi-kondisi efektif yang khusus, yang mustahil diekspresikan secara aktual; lewat kata-kata. Tasawuf (mistisisme) merupakan pengalaman yang subyektif, ia buka merupakan kondisi yang sama pada semua orang. Karakteristik umum tasawuf di atas terutama dimensi moralnya telah "menyejarah" dalam masyarakat muslim, bahkan diakui sebagai "doktrin ideal-normatif" Islam. Pada konteks ini, tasawuf dipahami sebagai "Islam" itu sendiri - sebagai cita-cita kehidupan ideal yang bersifat spiritual - ketimbang sebagai sebuah "tradisi Islam". Di samping itu, penekanannya pada perbaikan moral manusia secara individual, menyebabkan tasawuf kehilangan dimensi sosial. Kecenderungan seperti ini, sebenarnya bertentangan dengan misi Nabi Muhammad SAW. Di samping menekankan perbaikan moral individuu, Nabi juga menekankan tranformasi sosial. Jadi, tipologi dan corak tasawuf klasik, sepertinya merupakan sebuah perspektif reduksionis terhadap doktrin ideal Islam, termasuk sunnah (tradisi nabi, meminjam istilah Fazlur Rahman). Karena itu, wajar bila para intelektual muslim modern, seperti Iqbal atau Fazlur Rahman, atau Hamka sendiri mulai kritis dalam melihat "tradisi Islam". Hamka, misalnya menawarkan istilah "tasawuf modern" sebagai paradigma baru ilmu tasawuf. Sedangkan Rahman, menawarkan istilah "neo-sufisme". Keduanya, baik tasawuf modern maupun neo-sufisme merupakan reformed sufism. Jika tasawuf klasik hanya menekankan moral individual, maka tasawuf modern atau neo-sufisme tidak ragu lagi adalah puritanis dan aktivis. Kecenderungan yang dipahami Rahman dan Hamka pada dasarnya

adalah ingin mengembalikan esensi tasawuf kembali pada tradisi Nabi.

2. Penggolongan tasawuf dalam kategori-kategori Di

wilayah ilmiah, tashawwuf pun digolong-golongkan dengan penambahan titel

klasik dan modern. Misalnya, kini marak pula apa yang disebut sebagai Tasawuf Modern, Sufisme Modern, Neo-Sufism, atau belakangan disebut pula dengan Tasawuf Positif. Tashawwuf klasik, walau tetap mementingkan pemahaman esoteris dari setiap ibadah formal yang dilakukan, masih sering dicap cenderung menarik diri dari kehidupan dunia. Sedangkan tashawwuf Pemahaman dan penggolongan tashawwuf dengan cara seperti ini sedikit banyak dipengaruhi oleh sikap anti thariqat yang dipandang sebagai Jalan yang diikuti oleh para shufi masa lalu. Thariqat dipandang hanya berlandaskan pada ketaqlidan buta terhadap mursyid

210

sebagai pembimbing spiritual. Bahkan kini pun muncul slogan “Tasawuf Yes, Tarekat No”. Permasalahannya, dari pandangan seperti itu terlihat bahwa kini jarang ada yang memahami apakah sebenarnya thariqat itu, dan lebih terbetot perhatiannya pada ekses-ekses yang dipandangnya ‘negatif’. Thariqat

sebenarnya

adalah

bagian

khusus

dari

tashawwuf,

yaitu

aspek

operasionalnya. Thariqat merupakan sikap hidup di dunia, terjun ke dalam ‘lautan’ dunia, berinteraksi dan beraktivitas dengan manusia, namun jiwanya tidak ‘terbasahi’ oleh dunia. Inilah yang disebut dengan sikap zuhud, yaitu tidak mengisi hati dengan kecintaan terhadap dunia. Thariqat sebenarnya memiliki tiga tujuan. Tujuan pertama adalah menjadi almuthahharuun, suatu tingkat kesucian bayi. Pada tingkatan ini, barulah seseorang salik (pejalan thariqat) dapat ‘menyentuh’ dimensi batin Al-Quran yang bahkan berdimensi hingga tujuh lapis. Tingkatan ini disebut juga sebagai rahmat pertama. Tujuan kedua adalah bertemu diri, atau ma‘rifat. Pada tingkatan inilah seseorang baru dapat mengenal diri otentiknya dan mengetahui misi hidupnya di muka bumi. Pada tingkatan inilah seseorang digelari sebagai syuhada (bisa juga dengan cara mati syahid). Dan di tingkatan inilah seseorang baru dikatakan mengerti hakikat syahadat (bagaimana bisa tingkatan seperti ini bisa dicapai hanya dalam satu kali training?). Pada tingkatan inilah Ruh Al-Quds berbicara di balik jiwa, seperti melihat matahari di balik film yang memfilter cahayanya yang dapat membutakan mata. Ruh Al-Quds mengingatkan kembali jiwa dengan perjanjian terhadap Tuhan (QS Al-A’raaf [7]: 172) dan penetapan qadha dan qadarnya.16 Tingkatan ini disebut juga sebagai rahmat kedua. Tugas seorang mursyid hanya sampai di tingkatan ini, karena untuk berikutnya yang akan menjadi mursyid adalah Ruh Al-Quds, yang akan menjadi penasehat dan pembimbing dalam menjalankan misi hidupnya. Adapun tujuan thariqat yang ketiga adalah menjadi hamba-Nya yang didekatkan (qarrib). Di sisi lain, secara ilmiah, kini tashawwuf pun digolong-golongkan ke dalam berbagai tipe

wacana, seperti tashawwuf akhlaqi atau

tashawwuf filosofis, bahkan ada pula

mengistilahkannya dengan Jalan Cinta (Path of Love) dan Jalan Pengetahuan (Path of Knowledge). Dalam tradisi wacana modern, hal tersebut merupakan sesuatu yang positif, yaitu suatu kreativitas dalam mencipta konsep-konsep. Namun, berbeda dengan tradisi spiritualitas, konsep sebenarnya lebih diarahkan sebagai mimesis dari Kebenaran, sebagai imaji pemikiran, sebagaimana yang disarankan oleh Plato. Untuk kajian akademis, penggolongan tersebut memang berguna, namun dalam Jalan spiritual bisa lain masalahnya.

211

Perbedaan di kalangan shufi—yang telah sering dibukukan—sebenarnya hanyalah sebatas peristilahan, bukan konsep. Ajaran-ajaran yang ditulis oleh para shufi besar tak ubahnya televisi dengan berbagai macam tipe bentuk dan ukuran, namun kesemuanya menayangkan satu siaran dari stasiun televisi yang sama. Tak ubahnya air yang mengambil bentuk wadahnya, sehingga tampak berbeda bentuk, padahal esensinya tetaplah air. Tak ada perbedaan antara satu sama lainnya karena pengetahuan mereka lahir dari keberserahdirian total. Yang membedakan adalah wadah pembahasaannya. Seorang Suhrawardi atau Mulla Shadra yang ketika muda lebih terbiasa dengan wacana filsafat, ketika membahasakan tashawwuf akan menggunakan bahasa-bahasa filsafat. Karena itu, untuk zaman sekarang, apabila muncul kembali shufi sekaliber Ibn ‘Arabi atau Rumi yang ketika mudanya terbiasa dengan wacana sains, bukan tidak mungkin pembahasannya tentang tashawwuf akan menggunakan bahasa-bahasa sains. Selain itu, pengetahuan mistik yang berasal dari Satu Sumber bagi para shufi lebih berfungsi untuk meningkatkan hakikat ‘ubudiyyah. Inilah perbedaan yang cukup mencolok dengan wacana Tasawuf Modern. Kecenderungan wacana tersebut adalah melakukan klasifikasi dan mencari berbagai perbedaan di antara ajaran-ajaran tersebut secara kreatif untuk penciptaan konsep-konsep baru, dan seringkali tidak langsung diniatkan sebagai Jalan spiritualitas. Hal ini terlihat cukup jelas dengan tidak adanya lagi karya-karya tashawwuf yang kualitasnya sebanding dengan karya-karya para shufi terdahulu, seperti Fushush Al-Hikam dari Ibnu ‘Arabi, Al-Hikam dari Ibnu Atha’illah, Ihya ‘Ulumuddin dari Imam Al-Ghazali, Hikmah Muta’aliyyah dari Mulla Sadra, Al-Mawaqif wal Mukhathabat dari Imam An-Nifari, dan banyak lagi yang lainnya. Apabila para shufi zaman dulu menulis karyanya dari hasil berthariqat, mencapai ma‘rifat, dan menemukan al‘ilm at-tasawwur-nya serta dianugrahi nur ilmu, setelah sekian tahun jatuh bangun dalam berbagai

ujian kehidupan dan menjalani misi hidupnya, maka wacana tashawwuf

hari ini lebih didominasi oleh wacana-wacana rasional tanpa pengalaman dan pengetahuan mistik. 3. Muhammadiyah Menolak Tasawuf? Selama ini para peminat kajian tasawuf Islam cukup kesulitan memberikan batasan definitif tentang makna tasawuf itu sendiri. Oleh karenanya, tidak heran bila dari diskursus tasawuf lahirlah mazhab intepretasi yang beragam. Secara garis besar selama ini minimal ada

212

dua pendekatan yang dilakukan para ulama dalam membincangkan tasawuf. Pendekatan pertama adalah pendekatan yang purifikatif sehingga melahirkan kecendrungan ahistoris. Tasawuf dalam mazhab ini dianggap hanyalah sumber malapetaka yang bisa menjerumuskan umat Islam ke dalam fase kegelapan. Pendekatan kedua adalah pendekatan dengan menggunakan logika akomodatif. Tanpa usaha filterisasi yang dalam, mazhab kedua ini cenderung menerima apa saja yang datang dari tasawuf. Maka, bila yang pertama terkesan rigid dan kering spiritual, yang kedua ini cenderung gampang tersusupi oleh faham-faham yang tidak jelas landasan teologisnya (al-Quran dan as-Sunnah). Dari sinilah sebenarnya kita dituntut untuk bisa mengambil posisi mu’tadil (moderat). Dalam bahasa al-Quran posisi ini disebut, lâ ilâ hâulâi wa lâ ilâ hâulâi (tidak ke kanan dan tidak pula ke kiri). Tidak bisa dipungkiri bahwa selama ini selalu ada kesan negatif dalam ranah tasawuf. Contohnya adalah ajaran mengenai kesalehan individual; yang lebih mementingkan dimensi ketuhanan ketimbang care pada aspek kemanusiaan dan kemasyarakatan. Dengan karakternya yang demikian, tasawuf kemudian menjadi cenderung, meminjam bahasa Hasan Hanafi; teosentris. Seolah-olah hidup di dunia hanya untuk kepentingan Tuhan saja. Akibatnya adalah dimensi hablu min al-nâs menjadi banyak terabaikan. Contoh lain dari kesan negatif pada tasawuf adalah ajaran non-egaliter dan irasional. Sebagaimana banyak disebutkan dalam literatur-literatur tasawuf bahwa seorang murid ketika berhadapan dengan syaikh bagaikan seorang mayit yang terbujur kaku di depan orang yang memandikannya. Ini tentu bertentangan dengan semangat tauhid Islam yang menekankan kesetaraan antar sesama. Di sisi lain, kita juga harus jujur bahwa tasawuf pun telah melahirkan banyak hal positif. Dari tasawuf inilah lahir konsep sistematis tentang zuhud, sabar, ikhlas, qanâ’ah dan urusan akhlak lainnya. Seorang orientalis kawakan berdarah Perancis penganut aliran marxisme; Roger Geraudi, terrtarik untuk masuk Islam karena terkagum pada ajaran tasawuf. Di samping itu pula, bila digunakan sesuai dengan porsinya dan bisa diharmonisasikan secara apik dengan tarekat, maka dari tasawuf ini akan lahir kekuatan revolusi melawan despotisme, imperialisme dan diktatorisme seperti yang dilakukan gerakan Sanusiyah di Libiya. Jadi kesimpulannya adalah bahwa tasawuf memang tidak hanya memilih sisi negatif saja. Ia, sama seperti entitas lain, juga memiliki sisi positif. Apa yang bisa dikonsep untuk melahirkan posisi i’tidâl dalam ranah tasawuf ini? Yusuf Qardhawi dalam bukunya Tsaqâfah Dâ’iyah berusaha memetakan bentuk interaksi yang mu’tadil

213

terhadap tasawuf. Dan inilah yang tepat untuk menformulasi tasawuf dari kelompok yang tidak menolak tasawuf dalam Muhammadiyah. Pertama, kita selayaknya menolak seluruh paham tasawuf yang lahir atas dasar logika (falsafah), seperti, al-hulûl dan wihdatu’l wujûd. Kedua, memanfaatkan sisi positif tasawuf yang bersifat akhlaqi dan tarbawi. Ketiga, meninggalkan segala bentuk ajaran tasawuf yang bertentangan dengan akidah dan beraliran skeptisme. Mari samasama kita renungkan ayat al-Quran yang menganjurkan pentingnya sikap washatiyyah ini. “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu…." (QS al-Baqarah/2:143). Ada satu langkah yang harus dilakukan dalam ranah tasawuf ini, yaitu rekonstruksi. Dua hal ini tidak paradoks bila dilakukan secara adil. Ajaran yang harus di dalam dunia tasawuf adalah ajaran yang non-egaliter, irasional dan individualistic dan diganti menjadi ajaran-ajaran positif, yaitu dengan menjadikan tasawuf sebagai 'nafas' pada setiap gerak anak adam. Ajaran positif terhadap tasawuf ini menjadikan tasawuf sangat elastis dan terus mengikuti perkembangan zaman. Kalau dulu seorang wali muncul dari goa-goa pertapaan, diera moderen mungkin saja seorang waliyullah keluar dari perkantoran-perkantoran, berdasi dan naik mercy. Tasawuf itu elastis, tidak jumud dan terus berkembang. Muhammadiyah secara formal memang menolak tashawwuf, karena tashawwuf, menurut Muhammadiyah, seringkali diselewengkan menjadi tarekat dengan praktik-praktik ritual yang sangat ketat. Di Muhammadiyah tidak ada tawash-shulan, yasinan, tahlilan atau manaqiban seperti yang dipunyai NU. Tapi bukan berarti bahwa amalan-amalan tashawwuf dan dzikir tidak dilakukan warga Muhammadiyyah. Amalan-amalan tashawwuf dapat diterima oleh mereka sepanjang menjadi praktik individual, dengan tujuan untuk meningkatkan akhlaq terpuji. Muhammadiyah juga sangat menganjurkan para anggotanya untuk memperbanyak shalat sunnat, dzikir dan wirid, serta mengedepankan sikap ikhlas dalam beraktivitas. Sampai hari ini sikap hidup yang demikian masih terus dijalankan oleh tokoh dan warga Muhammadiyah. Terkait dengan dua tokoh yang menjadi rujukan dalam Muhammadiyah yaitu KH Ahmad Dahlan dan Hamka dalam hal tasawuf terjadi perbedaan. Ahmad Dahlan dikenal sebagai pembaru ajaran Islam dari 'penyakit' TBC. (takhayul, bid’ah, dan c/khurafat). Ungkapan dia yang terkenal di kalangan Muhammadiyah adalah 'Semua ibadah diharamkan kecuali ada perintah dan semua muamalah (masalah dunia) boleh dilakukan kecuali ada larangan.' Dalam hal itu, Hamka sama dengan KH Ahmad Dahlan. Ia juga dikenal sebagai tokoh Muhammadiyah dan sekaligus

214

pembaru. Bedanya, kalau ajaran Dahlan 'kering' dari spiritualisme atau kerohanian, Hamka justru sebaliknya. Ia merupakan penganjur dan bahkan menulis sejumlah buku tentang tasawuf. Ia sanga fasih mengupas sisi kehidupan spiritual Nabi Muhammad dan para sahabat, serta ajaran dan personifikasi dari para tokoh-tokoh sufi/tarekat dari abad pertengahan hingga yang ada di nusantara. Ia sering mengutip ayat Alquran Ala bidzikrillahi tathmainnul qulub yang menjadi dasar ajaran tawawuf. Ayat ini pulalah yang menjadi pegangan kaum nahdliyin dalam mengamalkan kehidupan kesufian/kerohanian. Di sinilah kesamaan Hamka dengan KH Hasyim Asy'ari. Namun, berbeda dengan kaum Nahdliyin, sufistik Hamka tidak mengikuti salah satu ajaran maupun amalan tarekat yang diakui oleh NU. Dari buku-buku sufistik yang ditulisnya tampak Hamka tidak menjalani ritual tertentu seperti yang dijalankan pengamal tarekat pada umumnya. Misalnya suluk, baiat, dan amalan-amalan tertentu yang dijalankan pada waktu-waktu tertentu. Dalam hal ini bahkan Hamka mengritik amalan-amalan sufistik yang dianggap menyimpang yang mengarah pada syirik. Sebagai misal ia mengritik amalan-amalan yang mengarah pada pemujaan berlebihan terhadap Sheikh Abdul Qadir Jaelani, Terlepas kritiknya terhadap tarekat, Hamka, seperti dikemukakan di atas, merupakan penganjur dan sekaligus pengamal tasawuf (yang mementingkan sisi rohani) dalam kehidupan sehari-hari. Ini pulalah yang mendekatkan Hamka dengan kalangan warga NU. Bahkan terhadap kalangan NU, ia dikenal sangat toleran. Meskipun ia seorang tokoh Muhammadiyah, tapi saat menjadi imam salat Subuh di masjid sering memakai qunut manakala ia tahu banyak warga NU yang ikut berjamaah. Dari puluhan buku yang ditulisnya, Hamka juga tampak sengaja menghindar dari membahas masalah-masalah furi'iyah (cabang), yang seringkali menjadi perdebatan tajam antara kalangan Muhammadiyah dan NU.

215

BAB V P E N U T UP

A.

Kesimpulan Muhammadiyah secara formal memang menolak tashawwuf, karena tashawwuf, menurut Muhammadiyah, seringkali diselewengkan menjadi tarekat dengan praktik-praktik ritual yang sangat ketat. Di Muhammadiyah tidak ada tawash-shulan, yasinan, tahlilan atau manaqiban seperti yang dipunyai NU. Tapi bukan berarti bahwa amalan-amalan tashawwuf dan dzikir tidak dilakukan warga Muhammadiyyah. Amalan-amalan tashawwuf dapat diterima oleh mereka sepanjang menjadi praktik individual, dengan tujuan untuk meningkatkan akhlaq terpuji. Muhammadiyah juga sangat menganjurkan para anggotanya untuk memperbanyak shalat sunnat, dzikir dan wirid, serta mengedepankan sikap ikhlas dalam beraktivitas. Sampai hari ini sikap hidup yang demikian masih terus dijalankan oleh tokoh dan warga Muhammadiyah. Secara umum hasil penelusuran landasan dasar muhammadiyah

tidak dijumpai

adanya konsep tasawuf secara formal seperti yang umum dilakukan dikalangan NU, yang ada hanyalah tasawuf substantive atau nilai-nilai tasawuf yang sesuai dengan ajaran dasar al Qur’an san Sunnah. Secara umum terdapat tiga sikap dikalangan intelektual Muhammadiyah terkait dengan eksistensi tasawuf yaitu menolak secara total, terbuka terhadap keberadaan tasawuf dan sikap yag terakhir adalah akomodatif

216

1. Menolak Secara Total Eksistensi Tasawuf Kelompok yang menolak ini beranggapan beribadah adalah suatu konsep yang sudah paten dan tidak boleh mengada-ada. Apabila kedua hal ini yang dilakukan maka beribahah akan menjadi kacau. Dalam perspektif Muhammadiyah, landasan utama yang mendasari setiap ibadah manusia adalah Qur’an dan Sunnah, sehingga apabila di dalam Qur’an dan Sunnah tidak ada konsep tertentu tentang suatu ibadah, tasawuf misalnya, secara otomatis maka hal tersebut tidak boleh dilakukan. Penolakan terhadap tasawuf juga dikarenakan tasawuf tidak ditemukan dan dirumuskan dalam Islam. Rumus dasarnya adalah segala sesuatu yang dilakukan oleh Nabi Muhammad dan terdapat dalam Qur’an dan Sunnah maka itulah yang dilakukan. Sebagai contoh adalah bacaan takbir tahmid sebanyak 33 kali setelah ba’da Isya, ini boleh dilakukan dikarenakan sesuai ajaran Rosulullah tetapi bacaan Ya Latif sebanyak 33 kali itu tidak ada dalam Islam. Sikap penolakan terhadap tasawuf juga didasarkan atas rumusan dasar bahwa ijtihad dalam bidang ibadah adalah kharam. Berijtihad hanyalah untuk aspek-aspek dunyawiyah. Muhamadiyah yang diamalkan tidak boleh lepas dari landasan dasar perserikatan terutama Muqodimah Anggaran Dasar, MKCHM,

Pedoman

Islami

Warga

Muhammadiyah,

dan

Kepribadian

Muhammadiyah. Dari kesemua landasan ini, tasawuf tidak dikenal dan sebagai sesuatu yang dianggap bid’ah dan tidak islami. 2. Bersikap Terbuka terhadap Tasawuf Kelompok ini beranggapan bahwa konsep tasawuf secara formal tidak dikenal, yang ada hanyalah dzikir. Dzikir ada dalam Muhammadiyah bukan

217

dipahami ia sebagai salah satu elemen utama dari tasawuf melainkan memang dzikir diajarkan dalam Islam. Dzikir dalam Muhammadiyah adalah konsep dzikir yang diajarkan oleh Rosulullah, sehingga tidak dikenal dzikir yang diucapkan sebanyak 99 kali, 4444 kali, 1000 kali atau sebagainya. Perintah untuk memperbanyak dzikir memang ada dalam Islam dengan maksud untuk lebih memahami suatu amal perbuatan ibadah tertentu tetapi secara khusus penyebutan

angka

tidak

ada.

Dzikir

memang

dipraktekkan

dalam

Muhammadiyah dan semakin banyak, semakin bagus. Terkait dengan jumlah dzikir yang harus dibatasi, sekian dan sekian, 99 kali, 4444 kali, 1000 kali atau sebagainya serta apabila tidak sesuai dengan jumlah yang telah ditentukan baik itu kurang atau kelebihan maka tidak maqbul, ini yang tidak diterima dalam Muhammadiyah. Apalagi jika harus dipahami 99 kali, 4444 kali, 1000 kali atau sebagainya itu sebagai anak kunci yang apabila tidak pas maka tidak dapat digunakan untuk membuka, ini dinilai kelompok ini sebagai sesuatu yang tidak berdasar. Tasawuf dalam perspektip kelompok ini adalah mengamalkan apa yang oleh HAMKA disebut sebagai Tasawuf Modern. Terkait dengan dzikir, dapat dilakukan dalam bentuk ucapan yang dalam aplikasinya diserahkan menurut pribadi masing-masing dan dalam bentuk perbuatan yang dalam Muhammadiyah disebut dengan amal usaha baik berbentuk pembangunan Perguruan Tinggi, rumah sakit dan lain sebagainya. Kelompok ini mengakui Muhammadiyah

mengalami

kegersangan

bacaan-bacaan

ada kesan dzikir

tetapi

sesungguhnya Yasinan, Tahlilan itu ada dalam Muhammadiyah, yang ditolak

218

hanyalah tawasul dan khadroh. Hal ini dikarenakan dalam Muhammadiyah tawasul tidak melalui orang perorang melainkan melalui amal berbuatan. 3. Akomodatif terhadap Tasawuf Kelompok ini beranggapan tasawuf tidak sering ditemui di dalam Muhammadiyah. Konsep yang digunakan oleh Muhammadiyah untuk terminology spiritualitas ini lebih sering disebut dengan istilah “akal dan hati suci” sebagaimana yang diungkapkan oleh Munir Mulkhan atau “irfan” dalam istilah Amin Abdullah. Tasawuf dalam Muhammadiyah menurut kelompok ini adalah “Spiritualitas yang Syariahistik” yang terlembaga dalam konsep “akhlak, ikhsan dan irfan”. Penolakan tasawuf dalam Muhammadiyah selain tidak mendapat legalitas dalam Qur’an dan Sunnah juga karena adanya asketisme dalam kelompok-kelompok tertentu dalam tasawuf. Tasawuf dalam muhammadiyah adalah tasawuf modern HAMKA yang lebih subtantif.

B. Saran Adapun saran yang dapat penulis paparkan di sini adalah sebagai berikut: Kesimpulan di atas, janganlah dijadikan pedoman final, tetapi sebagai landasan awal untuk proses pengkajian lebih lanjut, sehingga upaya pembaharuan pemahaman Islam perlu dilakukan secara terus menerus supaya lebih dinamis dan akomodatif terhadap persoalan peradaban dan realitas masyarakat. C. Penutup Terakhir penulis bersyukur kepada Tuhan, atas rencana hidup dan keridoannya yang mempertegas keyakinan penulis bahwa garis taqdir memang sudah tersuratkan dan manusia tinggal meniti sesuai petunjuk dan pertolongan-Nya. Ungkapan ini penting untuk melukiskan betapa sulit dan beragam kebingungan serta tantangan yang penulis hadapi dalam menyelesaikan penelitian ini realitas kehidupan yang terus bergulir. Semoga dengan segala keterbatasan hasil penelitian ini dapat bermanfaat dan mampu sebagai pemicu awal dalam studi tentang Kompas dan media pada umumnya untuk menemukan ritual lain dari kajian keislaman selama ini. Amin.

219

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Amin. 1996, Studi Agama: Normativitas Atau Historisitas, Yogyakarta, Pustaka Pelajar Abdurrahman, Moeslim Dkk. 1999, Islam, Masyarakat Madani Dan Demokrasi, Surakarta, Muhammadiyah University Press. Abu Zaed,, Nasr Hamid, 1997, Imam Syafi` : Moderatisme, Ekletisisme, Arabisme, Terj. Khoiron Nahdliyyin, Yogyakarta: LKiS. Aceh, Abubakar, 1985, Pengantar Ilmu Tarekat, Solo: Ramadhani, ---------------------, 1984,Pengantar Sejarah Sufi Dan Tasawuf, Solo: Ramadhani, Al-Afifi, Abu A’la, 1989, Filsafat Mistic Ibn Arobi, Terj. Syahrir Mawi Dan Nandi Rahman, Jakarta: Gaya Media Pratama, Al-Faruqi Ismail Raji, Dan Louis Lamya Al Faruqi, 1998, Atlas Budaya Islam, Bandung: Mizan, Alfian, Alfan, 1989, The Muhammadiyah Political Behavior Of A Moslem Modernits Organization Under Dutch Colonialism, Yogyakarta : Gadjah Mada University Press,

220

Ali, Yunasri, 2002., Jalan Kearifan Sufi : Tasawuf Sebagai Terapi Derita Manusia, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, ---------------, 2003, Jatuh Hati Pada Ilahi, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta,. --------------, 1997, Manusia Citra Ilahi : Perkembangan Konsep Insan Kamil Ibnu Arabi Oleh Al Jili, Paramadina, Jakarta,. ---------------, 2003, Ruh Dan Jenjang-Jenjang Rohani, Serambi Ilmu Semesta, Jakarta. Ansori, Afif, 2003, Dzikir Dan Kedaamaian Jiwa : Solusi Tasawuf Atas Persoalan Manusia Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Arikunto, Suharsimi, 1998, Prosedur Penelitian , PT Rineka Cipta, Jakarta At-Taftazani, Abu el Wafa, 1997, “Peran Sufisme Dalam Masyarakat Modern” Dalam Mukti Ali, Agama dan Pergumulan Masyarakat Kontemporer, Tiara Wacana Press, Yogyakarta, Al-Kalabazi, 1969, Al-Taa’rruf Limadzahabi Ahli Al-Tasawwuf, Cairo: Maktabah Al Kulliyat Al-Azhariyah, Al-Qusyairi, Tt , Risalah Al-Qusairiyah Fi Ilm Al Tasawuf, Beirut: Dar Al-Khoir Al-Suhrawardi, 1358 H , Awarif Al-Ma’arif, Cairo: Maktabah Al-Alamiyah, Al-Taftazani, Abu Al Wafa, 1979, Madkhol Ila Al Tasawuf Al Islam, Kairo: Dar Al Shaqofah, Amal, Taufiq Adnan, 1989, Islam Dan Tantangan Modernitas, Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rachman, Bandung: Mizan, Amstrong, Amanullah, 1996, Kunci Memahami Dunia Tasawuf, Bandung: Mizan, Anshori, Afif, , 2003, Dzikir Demi Kedamaian Jiwa: Solusi Tasawuf Atas Persoalan Manusia Modern, Jogyakarta: Pustaka Pelajar Arberry, AJ., 1988, Pasang Surut Aliran Tasawuf, Terj Bambang Herawan, Bandung: Mizan -----------------, 1979, Sufism: An Account Of The Mystic Of Islam, London: Unwin Paperboche

221

Arikunto, Suharsimi, 1998, Prosedur Penelitian , PT Rineka Cipta, Jakarta, Assyaukanie, Luthfi, “Tipologi Dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer” Dalam Jurnal Paramadina, 2/4/2000 Asykuri Dkk. 2003, Purifikasi Dan Reproduksi Budaya Di Pantai Utara Jawa, Surakarta: PSB-PS UMS At-Taftazani, Abu El Wafa, 1997, “Peran Sufisme Dalam Masyarakat Modern” Dalam Mukti Ali, Agama Dan Pergumulan Masyarakat Kontemporer, Tiara Wacana Press, Yogyakarta,. Azhar, Muhammad, Dan Hamim Ilyas (Ed.), 2000, Pengembagan Pemikiran Keislaman Muhammadiyah: Purifikasi Dan Dinamisasi, Yogyakarta: LPPI UMY Basyuni, Ibrahim, 1969, Nasyaih Al-Tashawwuf Fi Al Islami, Kairo: Dar Al-Maarif, Burhani, Ahmad Najib, 2002, Manusia Modern Mendamba Allah Renungan Tasawuf Positif, Jakarta: Hikmah Bazur Ilahi, Syaikh Ibrahim, 1986, Mengungkap Misteri Sufi Besar Mansur Al Hallaj: Anal Haqq, Terj. Jobar Ayoeb, Jakarta : Rajawali, Beck. HL Dan NJE. Kaptain (Ed.), 1988, Pandangan Barat Terhadap Literatur Hukum, Filosofi, Teologi Dan Mistic Dalam Tradisi Islam, Jakarta: INIS, Bergin, Allen E., “Psikoterapi And Nilai-Nilai Religius”, Jurnal Ulumul Al Qur’an, Nomor 4 Vol. V, Tahun 1995 Burhani, Ahmad Najib, 2002., Tarekat Tanpa Tarekat : Jalan Baru Menjadi Sufi, Serambi, Jakarta Coulson`S, Noel J, 1983, Hukum Islam Dalam Persfektif Sejarah, Jakarta: P3M, Damami, Muhammad, 2000, Tasawuf Positif : Dalam Pemikiran Hamka, Fajar Pustaka, Yogyakarta, Effendi, Djohan, 1993, Sufisme Dan Masa Depannya, Jakarta: Pustaka Firdaus, Ensiklopedi Islam Tematis, 2004, Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoove,

222

Fariza, 2003, Islam Bukan Agama Misionaris Tapi Agama Peradaban, Jakarta, Ma’arif Institute. Fauzan, Sholeh, 1998, Haqiqout Tashawwuf Wa Mauqifush Shufiyah Min Ushulil Ibadah Wa Addin, Terj. Muhammad Ali Ismah, Solo: Pustaka As-Shof, Haeri, Syaikh Fadhlullah, 2000, Jenjang-Jenjang Sufisme, Terj. Ibnu Burdah, Jogjakarta: Pustaka Pelajar, Hallaq, Wael B., 2000, Sejarah Teori Hukum Islam, Terj. , Jakarta: Rajawali Pers, HAMKA, 1971, Pelajaran Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang, ------------, 1980, Tasawuf Modern, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, -------------, 1978, Tasawuf: Perkembangan Dan Pemurniannya, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, HAR. Gibb, 1964, Islam Dalam Lintasan Sejarah, Jakarta: Barata, Hawwa, Said, 1408 H, Tarbiyatunur Ruhiyah, Darus Salam, Mesir, Hidayat, A., “Tasawuf Dalam Al-Qur’an Dan Sunnah Serta Pandangan Ulama”, Jurnal Khasanah, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Vol. 1 No. 3 Januari-Juni, 2003 Hidayat, Komarudin, 1985,“Upaya Pembebasan Manusia: Tinjauan Sufistik Terhadap Manusia Modern”, Dalam Dawam Raharja (Ed), Insan Kamil, Jakarta: Grafida Press, Hisyam, Muhammad, , 2001, Cought Between Three Fires: Javanese Penghulu Under Dutch Colonialism Administration 1882–1942, Jakarta: INIS Iqbal, Muhammad, 1981, Recontruction Of Religions Thought In Islam, New Delhi: Nasrat Ali Nasri Of Kitab Bavan, Isa Walay, Muhammad, 1989, Fikr Dan Dzikir Dalam Sufisme Persia Awal, Terj. Ribut Wahyudi, Pustaka Sufi, Khaldun, Ibn, Al Muqaddimah, Beirut: Dar Al-Fikr, Tt KHR. Hadjid, 1996, Ajaran K. H. Ahmad Dahlan Dengan 17 Kelompok Ayat–Ayat Al Quran, Semarang: PWM Jawa Tengah, ,

223

Manrihu, Muhammad Tayib, 1992, Penyuluhan Bimbingan Dan Konseling Karir, Bumi Aksara, Jakarta, MT. Arifin, 1987, Gagasan Pembaharuan Muhammadiyah, Jakarta: Bumi Aksara, Mubarak, Ahmad, 2000, Jiwa Dalam Al-Qur’an : Sulusi Krisis Keruhanian Manusia Modern, Paramadina, Jakarta, Muhaya, Abdul, “Melintas Tingkatan Spiritualitas Melalui Musik”, Disampaikan Dalam Stadium General Perkuliahan Semester Gasal 2000/2001 Di IAIN Walisongo Semarang Tanggal 1 September 2000 Mulkhan, Abdul Munir, 1989, Warisan Intelektual KH. Ahmad Dahlan Dan Amal Usaha, Yogyakarta: Percetakan Persatuan, ----------------------------, 1998, Bisnis Kaum Sufi: Studi Tarekat Dalam Masyarakat Industri, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Nafies, Muhammad Wahyuni (Ed), 1996, Rekonstruksi Dan Renungan Religius Islam, Jakarta: Paramadina, Najati, Muhammad Ustman, 1980, Ilm Al Nafs Fi Hayatina Al Yaumiyah, Kuwait: Dar Al Qolam, Nasir, Haedar, 1997, Agama Dan Krisis Kemanusiaan Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Nasr, Seyyed Husain, 1993, Islam Dalam Cita Dan Fakta, Terj. Abdurrahman Wahid, Jakarta: Lapenas, ---------------- , 1980, Living Sufisme, George Allen And Unwin Great Britain, -----------------, 1983, Islam Dan Nestapa Manusia Modern, Terj. Anas Mahyudin, Bandung: Pustaka, Nasution, Harun, 1995, “Tasawuf”, Dalam Budhi Munawar Rahman, Rekonstruksi Doktrin Islam Dan Sejarah, Jakarta: Paramadina, ---------------------, 1990, Falsafah Dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, ---------------------, 1974, Islam Di Tinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta : Bulan Bintang, Nicholson, RA., 1979, The Mystic Of Islam, London And Boston: Routledge And Kegan Paul,

224

Nurbakhshi, Javad, “Tasawuf Dan Psikoanalisa: Konsep Irodah Dan Transformasi Dalam Psikologi Sufi”, Jurnal Ulumul Al-Qur’an, Nomor 8 Tahun 1991 Nasution, Harun, dkk., 2004, Ensiklopedi Islam di Indonesia, Jakarta: Depag RI, Dirjen Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Proyek Peningkatan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN, Jakarta: . Othman, Ali Isa, 1998. Manusia Menurut Al Ghazali, Terj. Anas Mahyudin, Pustaka, Bandung, Pengurus Pusat Muhammadiyah, 2004, Dakwah Kultural Muhammadiyah, Yogkayarta: Suara Muhammadiyah. Praja, Juhaya, S., 1995, Model Tasawuf Menurut Syariah : Penerapannya Dalam Perawatan Korban Narkotik Dan Berbagai Penyakit Ruhani, Latifah Press, Tasikmalaya, Rabbani, Wahid Bakhsh, 1995, Islamic Sufism, Kuala Lumpur: AS. Noordeen, Rachman, Fazlur, Islam, 2000, Terj. Ahsin Muhammad, Bandung: Pustaka, ----------------------, 1993, Membuka Pintu Ijtihad, Terj. Anas Mahyudin, Bandung: Pustaka, 1993 ---------------------, 1993, Tema-Tema Pokok Al-Qur’an, Terj. Anas Mahyudin, Bandung: Pustaka, Rachmat, Jalaludin, 1999, Meraih Cinta Ilahi: Pencerahan Sufistik, Bandung: Remaja Rosdakarya, Russell, Bertrand, 1927, Mysticism And Logic, New York: Modern Liberary, Schemmel, Annemarie, 1986, Mystic Dimention In Islam, Terj. Supardi Joko Damono, Jakarta: Pustaka Firdaus, Shihab, Alwi, 1998, Membendung Arus: Respon Gerakan Muhammadiyah Terhadap Penetrasi Misi Kristen Di Indonesia, Terj. Ali Ihsan Fauzi, Bandung: Mizan, -------------------------, 2001, Al-Tashawwuf Al-Islami Wa Atsaruhu Fi Al-Tashawwuf AlIndunisi Al'Mu' Ashir , Terj. Islam Sufistik: "Islam Pertama" Dan Pengaruhnya Hingga Kini Di Indonesia, Bandung: Penerbit: Mizan,

225

Syafi’i Ma’arif, Ahmad, 1995, Membumikan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Syukur, Amin, 1996, Zuhud Di Abad Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Taimiyah, Ibn, 1986, Tasawuf Dan Kritik Terhadap Filsafat Tasawuf, Terj. Aswadi Syukur, Surabaya: Bina Ilmu, Trimingham, Spencer, 1971, The Sufi Orders In Islam, New York: Oxford University Umari, Barmawi, 1961, Sistemik Tasawuf, Solo: Ramadhani, Valiudin, Mir, , 1981, The Qur’anic Sufism, New Delhi: Matilal Banarsidas Van Bruinesenn, Martin, 1992, Tarekat Naqsabandiyah Di Indonesia, Mizan Pustaka Utama, Bandung,. Zachner, RC., 1969, Hindu And Muslim Mysticism, New York: Socke Book, Zakiyuddin, Baidhowi, Dan M. Jinan, 2002, Agama Dan Pluralitas Budaya Lokal, Surakarta: PSB-PS Universitas Muhammadiyah Surakarta, Zuhri, Mustafa, 1979, Kunci Memahami Tasawuf, Surabaya: Bina Ilmu, Nasir, Haedar, 1997, Agama Dan Krisis Kemanusiaan Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Bastaman, Hanna Djumhana, 1997, Integrasi Psikologi Dengan Islam; Menuju Psikologi Islami, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Hidayat, Komarudin, 1985,“Upaya Pembebasan Manusia: Tinjauan Sufistik Terhadap Manusia Modern”, Dalam Dawam Raharja (Ed), Insan Kamil, Jakarta: Grafida Press, HAMKA, 1971, Pelajaran Agama Islam, Jakarta: Bulan Bintang, ------------, 1980, Tasawuf Modern, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, -------------, 1978, Tasawuf: Perkembangan Dan Pemurniannya, Jakarta: Yayasan Nurul Islam, Rachmat, Jalaludin, 1999, Meraih Cinta Ilahi: Pencerahan Sufistik, Bandung: Remaja Rosdakarya, Burhani, Ahmad Najib, 2002, Manusia Modern Mendamba Allah Renungan Tasawuf Positif, Jakarta: Hikmah Bazur Ilahi, Syaikh Ibrahim, 1986, Mengungkap Misteri Sufi Besar Mansur Al Hallaj: Anal Haqq, Terj. Jobar Ayoeb, Jakarta : Rajawali, Amal, Taufiq Adnan, 1989, Islam Dan Tantangan Modernitas, Studi Atas Pemikiran Hukum Fazlur Rachman, Bandung: Mizan,

226

Amstrong, Amanullah, 1996, Kunci Memahami Dunia Tasawuf, Bandung: Mizan, Anshori, Afif, , 2003, Dzikir Demi Kedamaian Jiwa: Solusi Tasawuf Atas Persoalan Manusia Modern, Jogyakarta: Pustaka Pelajar Arberry, AJ., 1988, Pasang Surut Aliran Tasawuf, Terj Bambang Herawan, Bandung: Mizan Iqbal, Muhammad, 1981, Recontruction Of Religions Thought In Islam, New Delhi: Nasrat Ali Nasri Of Kitab Bavan, Isa Walay, Muhammad, 1989, Fikr Dan Dzikir Dalam Sufisme Persia Awal, Terj. Ribut Wahyudi, Pustaka Sufi, Nasution, Harun, 1995, “Tasawuf”, Dalam Budhi Munawar Rahman, Rekonstruksi Doktrin Islam Dan Sejarah, Jakarta: Paramadina, ---------------------, 1990, Falsafah Dan Mistisisme Dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, ---------------------, 1974, Islam Di Tinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jakarta : Bulan Bintang,

BIODATA PENULIS

Nama : H. AHMAD SYA’RONI Tempat Tangal Lahir : Jepara, 10 Februari 1943 Alamat Rumah : Bantrung RT.01 RW. II, Kecamatan Batealit, Jepara Phon. 081 325 025871 Alamat Kantor : Fakultas Dakwah, Inisnu Jepara Jln. Taman Siswa (Pekeng) Tahunan Jepara, telp/fax: 0291 593132, Email: [email protected]

Pengalaman Pekerjaan 1. Dosen IAIN Walisongo Semarang 2. Dosen Undaris 3. Dosen STAIN Kudus

227

4. Pembantu Rektor III Institut Agama Islam NU (Inisnu) Jepara 5. Dekan Fakultas Dakwah Institut Agama Islam NU (Inisnu) Jepara

Pengalaman Organesasi 1. Ketua MWC NU Kecamatan Batealit Jepara 2. Anggota Mukhtasyar NU Cabang Jepara 3. Pengurus Yayasan Pendidikan Tinggi Islam NU (Yaptinu) Jepara 4. Ketua Yayasan Pendidikan “Amal Muslimin” Jepara

Lampiran

DAFTAR RESPONDEN

No 01

Hamzah

Nama

02 03 04

Suratman Aan Jumeno Nurbini

05 06

Harminto Tabri Hasani

07

Hasan asy’ari Ulamai

Keterangan Sekretaris PDM Kota Semarang Dosen IKIP PGRI Semarang Wakil Ketua PDM Kota Semarang Wakil Sekretaris PDM Kota Semarang Wakil Ketua PDM Kota Semarang Dosen IAIN Walisongo Wakil Ketua PDM Kota Semarang Wakil Ketua PDM Kota Semarang Dosen Unimus Wakil Ketua PDM Kota Semarang Dosen IAIN Walisongo

228

08

Rozihan

09

Tafsir

10 11

Saifudin Waspada Marpuji Ali

12

Ahmad Rifai

13 14

Arif Rachman Wahyudi

15

Hasan Rifai

Wakil Ketua PWM Jawa Tengah Dosen Unisula Sekretaris PWM Jawa Tengah Dosen IAIN Walisongo Wakil Ketua PWM Jawa Tengah Ketua Umum PWM Jawa Tengah Dosen UMS Surakarta Kepala Divisi Kajian Majalan Cermin PWM Jawa Tengah Dosen AIS Semarang Ketua Majelis Tablig PDM Kota Semarang Wakil Ketua PDM Kota Semarang Dosen IAIN Walisongo Wakil Ketua PDM Kota Semarang Dosen Unimus

229

Related Documents


More Documents from "Andrik Hermanto"