Tembang Tanpa Syair - 01

  • Uploaded by: agungriyadi
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tembang Tanpa Syair - 01 as PDF for free.

More details

  • Words: 23,907
  • Pages: 118
Loading documents preview...
1

TEMBANG TANPA SYAIR Agung Riyadi

*** untuk apa ilmu silat kalau itu menjauhkan diri dari Tuhan dari ketentraman dari persatuan dengan kehidupan yang sesungguhnya lebih baik tidak usah dipelajari lebih baik tidak usah diajarkan lebih baik tidak usah diberitahu tembang ini tanpa syair dibuat dari renungan untuk mencari sampai mendapatkan tindakan yang benar dengan mata hati tembang ini tanpa syair biar saja dibaca oleh burung biar saja dibaca oleh ikan biar saja dibaca oleh angin biar saja ditemukan oleh mata oleh hati oleh mata hati *** Jakarta, 2011 2

Daftar Isi

Prolog .....................................................................................................................................2 Bab 1 Aku dan Ayah .........................................................................................................4 Bab 2 “Melihat” Tanpa Mata ...........................................................................................9 Bab 3 Memaknai Aliran ................................................................................................. 12 Bab 4 Kuatkan Dasar Filosofimu, Nak! ...................................................................... 18 Bab 5 Menyatulah Dengan Rasamu ............................................................................. 23 Bab 6 Tubuh Ini, Pemahaman Ini ............................................................................... 30 Bab 7 Kalah Atau Salah ................................................................................................. 38 Bab 8 Kalau Bisa Merusak, Apa Kamu Bisa Memperbaiki? .................................... 53 Bab 9 Sukma Ajaran Silat .............................................................................................. 59 Bab 10 Apa Yang Paling Berharga Pada Dirimu, Nak? .............................................. 69 Bab 11 Kesadaran Inderawi ........................................................................................... 74 Bab 12 Legenda Yang Baru Akan Dimulai .................................................................. 86 Bab 13 Ambang Batasmu Adalah Kesadaran Rasional .............................................. 92 Bab 14 Ada „Rasa‟ Di Dalam Rasa .............................................................................. 105 3

BAB 1

AKU DAN AYAH Cuaca hari ini begitu cerah. Hamparan rumput yang tertata rapi. Luas, menghampar, terang, seolah mampu membelokkan cahaya matahari. Hijau, tak beralasan. Suara aliran sungai yang airnya begitu jernih terdengar dari kejauhan. Jernih, bening, mendamaikan. Hijau daun dan semilir angin melengkapi semua itu. Sebuah pertunjukan keindahan alam yang tiada duanya. Sangat sayang untuk dilewatkan oleh mata. Tampak dua orang sedang duduk bersila sambil memejamkan mata. Kedua tangan menjuntai santai dengan punggung tangan bersentuhan diatas lutut, telapak tangan menghadap ke langit. Semuanya bertelanjang dada. Hanya mengenakkan celana panjang hitam khas petani. Yang satu tampak masih begitu muda, sekitar sepuluh tahunan. Ditemani oleh seorang lelaki paruh baya, berusia sekitar tiga puluh tahunan. Mata keduanya terpejam dengan sangat rapat. Hampir tanpa celah. Hembusan dan tarikan nafas terlihat begitu teratur pada keduanya. Lembut, terukur, mengalir, terkendali. Cahaya matahari yang menyentuh tubuhnya seperti iri karena seolah tidak diperhatikan. Sungai tampak cemburu karena kilaunya seolah tidak diperhatikan. Lima menit, sepuluh menit, lima belas menit, dua puluh menit, dua puluh lima menit, tiga puluh menit berlalu. Pori-pori kulit keduanya terlihat semakin mengembang, bertambah lebar. Perlahan namun pasti pori-pori sang laki-laki paruh baya ini kembali normal seiring dengan mata yang mulai terbuka perlahan. Sedangkan anak muda di sebelahnya masih tetap terpejam rapat.

4

"Ayah, sudah selesaikah latihannya?", tanya anak yang masih sangat muda ini kepada laki-laki paruh baya disebelahnya yang dipanggil dengan sebutan 'Ayah'. Ia memberanikan bertanya meski matanya masih terpejam. "Iya nak. Sudah. Hasil latihanmu tampaknya lebih baik sekarang. Bahkan gerakan kelopak mata ayahpun sudah bisa kamu rasakan.", jawab laki-laki paruh baya yang dipanggil dengan sebutan 'Ayah' ini sambil tersenyum. Mendengar jawaban dari sang ayah, sang anak pun membuka matanya perlahan. "Bagaimana perasaanmu kali ini?", tanya sang ayah. "Segar sekali yah. Rasanya setiap hembusan angin, gerakan dedaunan, ranting, dan bahkan aliran sungai seolah terdengar begitu jelas", jawab sang anak. "Benar nak. Tiga tahun sudah kamu melatih ini, seharusnya kamu sudah bisa merasakan itu semua. Ketahuilah, yang disebut dengan mendengar tidak hanya dengan telinga. Yang disebut melihat juga tidak hanya dengan mata. Hati yang lebih penting. Lihatlah sekelilingmu dengan hatimu. Maka semua akan tampak lebih jelas dan indah. Kamu akan bisa melihat dan mendengar yang sebelumnya tidak bisa kamu lihat dan dengar.", jelas sang ayah. "Iya yah. Terima kasih yah", jawab sang anak. "Ya sudah, sekarang kita akhiri dengan berdoa kepada Sang Pencipta, Allah SWT, Tuhan Sekalian Alam, Sang Penguasa Sejati Alam Raya, Sang Pemilik Sejati Diri ini. Jangan lupakan, bahwa setiap aktivitasmu harus diawali dan diakhiri dengan berdoa. Ingat selalu itu.", lanjut sang ayah. "Baik yah. Aa akan selalu mengingat pesan ayah.", jawab sang anak yang menyebut dirinya dengan sebutan 'Aa'.

5

"Mari kita berdoa. Kita syukuri setiap apa yang kita dapatkan. Besar maupun kecil, banyak maupun sedikit. Syukuri setiap tarikan dan hembusan nafas yang keluar masuk pada tubuh ini. Mari nak.", lanjut sang ayah. Keduanya memejamkan mata kembali sambil merapatkan kedua tangan di depan dada. Suasana menjadi hening kembali. Raut wajah keduanya kembali tenang, lembut, serius, lepas, dan khusyuk. Kira-kira sepeminuman teh, keduanya membuka mata bersamaan dengan diturunkannya kembali posisi tangan di atas paha. Rileks, santai. Sang ayah tersenyum. "Lihatlah kesekelilingmu nak, apa yang kamu lihat?", tanya sang ayah mengawali. "Sungai. Rumput. Tanah. Pohon. Daun. Ranting. Batu. Air. Awan. Hijau, coklat, biru, putih, orange, abu-abu yah.", jawab sang anak sambil pandangannya menyapu ke sekeliling. "Bisakah kamu melihat apa yang ada dibalik daun? Bisakah kamu melihat apa yang ada dibawah akar? Bisakah kamu melihat apa yang ada dibalik ranting? Bisakah kamu melihat apa yang ada dibawah sungai? Apa yang ada di dalam cahaya matahari?", tanya sang ayah sambil tersenyum. "Aa tidak bisa yah. Mata Aa tidak bisa melihat seperti itu", jawab sang anak. "Benar. Dan itulah batas pandangan matamu nak. Itulah yang maksimal yang bisa kau lihat. Mata adalah jendela dunia. Dengannya kamu bisa melihat indahnya dunia. Dengannya kamu bisa melihat semaraknya alam raya. Tapi mata itu ruang yang kecil nak. Ia hanya bisa melihat yang bisa dikenali oleh bentuk dan warna. Ia hanya jendela. Mata hanyalah jendela hati.", lanjut sang ayah. 6

"Maksudnya yah?", tanya sang anak. "Mata hanyalah jendela hati. Meski kamu bisa melihat segalanya, tapi kamu tetap tidak akan bisa melihat segalanya. Mungkin pada awalnya akan terdengar membingungkan ucapan ayah ini. Kalau kamu ingin melihat segalanya, maka jangan gunakan jendela itu. Biarkanlah hatimu yang melihat. Maka hatimu adalah duniamu. Lihatlah dunia ini dengan hatimu, tidak dengan matamu. Sebab suatu saat matamu bisa menipumu. Tapi hati tidak.", jawab sang ayah. "Iya yah", ujar sang anak. "Sesungguhnya bukan mata ini yang tidak bisa melihat, bukan telinga ini yang tidak bisa mendengar, tapi hati yang di dalam dada ini yang tidak bisa melihat dan mendengar. Karena itu, bukalah hatimu, lihatlah dengan hatimu, latihlah hatimu. Dan biarkan ia menjadi duniamu", lanjut sang ayah. "Aa masih belum paham yah", tanya sang ayah. "Tidak apa-apa. Ingat-ingat saja pesan ayah ini. Suatu hari nanti kamu akan mengerti. Kita sudahi latihan pagi ini. Ayo kita sarapan dulu", tutup sang ayah. Wajah Aa tersenyum. Ia tahu, meski ia belum mengerti maksud ucapan sang ayah, tapi ia percaya pada ayahnya. Keduanya kemudian berdiri. Menepuk-nepuk celana untuk membersihkan rumput yang menempel dan kemudian berjalan perlahan menuju sebuah rumah gubuk sederhana yang berada tidak jauh dari situ. Sang ayah berjalan di depan, sedangkan Aa sedikit agak dibelakang. Rumah gubuk itu begitu sederhana. Tak ada jendela. Hanya sebagai tempat bernaung saat teriknya matahari dan melindungi dari derasnya air hujan. Dibuat seadanya namun tampak kokoh. Hanya ada sebuah jalan masuk tanpa pintu. Di tengahnya terlihat ada sebuah bungkusan besar hitam yang tampaknya sudah dipersiapkan. Tidak berapa lama keduanya sampai di rumah gubuk tersebut. Sang 7

anak, yang dipanggil Aa, mengambil posisi duduk didekat pintu. Sang ayah, duduk agak ke tengah. Ia membuka bungkusan hitam besar. Mengeluarkan isinya, dan meletakkannya di tengah. ***

8

BAB 2

“MELIHAT” TANPA MATA Di tengah rumah gubuk itu sudah terlihat ada dua nasi bungkus, dua buah kerupuk, dan dua botol air minum. Sang ayah memberikan sebuah nasi bungkus kepada Aa. Diterima dengan suka cita. "Terima kasih ayah", sesaat setelah menerima nasi bungkus pemberian sang ayah. "Iya, sama-sama", jawab sang ayah. Ketika Aa ingin membuka nasi bungkus tersebut, tiba-tiba tangan sang ayah memberikan simbol untuk melarang. Aa bingung dengan wajah tidak mengerti. "Tunggu sebentar. Ayah ingin lihat sejauh mana latihanmu. Coba kamu pejamkan matamu, lalu katakan pada ayah apa yang ada di dalam nasi bungkusmu itu. Kalau tepat, kamu boleh memakannya semua. Kalau salah, lauknya untuk ayah saja.", tanya sang ayah sambil tersenyum. Aa mengangguk. Ia mengerti maksudnya dan mengikuti permintaan sang ayah. Bungkusan itu ia letakkan kembali di tengah. Lalu ia memejamkan mata sambil berdoa kepada Sang Pencipta agar diberi kemudahan dalam melakukan ini. Raut wajahnya terlihat tenang tapi serius. Perlahan, ia berkonsentrasi pada rasa diseluruh tubuhnya. Pori-pori kulitnya mulai melebar. Ia melihat warna hitam dalam pandangan mata terpejamnya. Ia kemudian mencoba menajamkan rasa untuk mencoba membuka selubung penghalang rasa seperti yang pernah diajarkan oleh ayahnya. Perlahan namun pasti, corak putih lembut mulai terlihat. Guratan abstrak mulai terlihat. Gambaran seperti siaran televisi rusak dengan garis-garis warna hitam dan putih dan kombinasi warna diantara hitam dan putih itu. Pusarnya mulai 9

menghangat. Ia naikkan rasa hangat tersebut ke dada, lalu mengalirkan ke jantung, dan menyalurkannya pada telapak tangan kanannya untuk kemudian dipancarkan. Bersamaan dengan itu ia juga mengalirkan rasa hangat ini terus ke atas, ke leher, melewati tenggorokan, lalu ke kepala dan ke ubun-ubun. Mengalir, menembus, memancar. Ia buka telapak tangan kanannya, kemudian rasa itu ia pancarkan pada nasi bungkus di depannya. Corak yang terlihat saat terpejam makin jelas. Hitam putih mulai terbayang dan berbayang. Ia kemudian tersenyum. "Rendang. Timun. Cabe hijau. Telur dadar. Nasi putih.", jawab Aa dengan mantap. "Ada lagi?", tanya sang ayah. Aa terdiam. Wajahnya terlihat semakin serius. Ia memompa kembali rasa hangat dari pusarnya ke dada, lalu mengalirkan kembali ke telapak tangannya sembari meneruskan ke leher, kepala dan ubun-ubun, lalu memancar. Ia konsentrasikan semuanya pada rasa. Ia percayakan pada aliran rasa dan guratan yang terlihat dalam pandangan mata terpejamnya. Ia tersenyum kembali. "Di dalam nasi putihnya ada Paru goreng ya yah", jawab Aa. "Bagus. Hasil latihanmu sudah bertambah baik. Cukup. Buka matanya.", ujar sang ayah sambil tersenyum. Ia tampak sangat puas melihat perkembangan hasil latihan Aa. Aa kemudian membuka kembali matanya setelah terlebih dahulu mengembalikan keadaan ke kondisi normal. Menarik kembali hawa hangat ke bawah pusar. Lalu menguncinya disitu. Guratan abstrak juga ia normalkan kembali. Tak lupa ia berdoa kembali kepada Sang Pencipta atas semua usahanya itu. Bersyukur atas keberhasilannya. Ia tersenyum lebar, karena itu berarti lauknya bisa ia nikmati semuanya. 10

"Ayo Aa dibuka nasi bungkusnya. Ini ayah kasih bonus kerupuk buat Aa. Hehehe. Jangan lupa, sebelum makan, mari kita berdoa terlebih dahulu agar makanan ini membawa berkah bagi kita semua.", lanjut sang ayah. "Iya yah", jawab Aa. Keduanya kemudian membuka nasi bungkus masing-masing. Tak lupa sang ayah memberikan sebuah kerupuk pada Aa sebagai bonus keberhasilannya. Keduanya lalu memejamkan mata, berdoa kepada Tuhan Sang Pemberi Rezeki dan Sang Pemberi Nikmat atas apa yang terhidang di depan. Sesaat kemudian doa pun selesai. Keduanya kembali membuka mata. Aa membuka nasi bungkusnya. Tepatlah seperti yang tadi diucapkan. Sepotong rendang, timun, sambal cabe hijau, dan telur dadar. Aa kemudian membongkar nasi putih, dan benarlah ada sepotong paru goreng tersembunyi di dalamnya. "Ayah sempet aja masukin paru goreng ke dalam nasi putih", goda Aa. "Hehehe, ayah sengaja melakukan ini untuk menguji sejauh mana hasil latihanmu. Pada tahapan ini, memang seharusnya tidak ada masalah untuk melihat adanya paru goreng yang ayah sembunyikan di dalam nasi putih ini. Perkembangan hasil latihanmu sudah cukup baik. Ya sudah, ngobrolnya nanti saja. Kita makan saja dulu. Setelah itu istirahat dan lanjut kembali latihannya.", jawab sang ayah. "Baiklah yah", lanjut Aa. "Dulu, Aa pernah bertanya khan mengapa semua itu bisa terjadi? Nanti setelah makan, ayah akan jelaskan mengapa itu bisa terjadi.", tutup sang ayah. "Iya yah", angguk Aa mantap. *** 11

BAB 3

MEMAKNAI ALIRAN Angin berhembus agak kencang, matahari sudah naik sepenggalah, cahayanya sudah mulai terasa lebih panas bagi alam sekitar. Panas, tapi tidak membakar. Sebagian dari sinarnya mencoba menyeruak masuk melalui celah-celah atap rumbia di rumah gubuk. Sebagian lagi mengenai langsung pipi lelaki separuh baya yang dipanggil 'Ayah' yang sedang duduk di dalamnya. Hangat, lembut. Bulir-bulir keringat dari tubuh keduanya terlihat bercahaya oleh siraman cahaya yang masuk. Tampak Aa sedang merapihkan tempat makan. Mengambil nasi bungkus yang sudah habis, lalu memasukkannya kembali ke dalam kantong plastik hitam besar. Tangannya terlihat cekatan untuk usia anak sepuluh tahunan. Tidak berapa lama, sisa-sisa makanan dan bungkusan sudah dibersihkan. "Aa, sebelum kita lanjutkan latihan, kita sholat Dhuha dulu", ucap sang ayah mengawali pembicaraan. "Iya yah", jawab Aa. Sang ayah menggeser duduknya, kemudian mengambil tas besar di samping kanannya, lalu mengeluarkan dua potong baju. Sang ayah mengambil satu yang berwarna putih, bercorak batik dengan motif awan, dan mengambil satu lagi yang berwana coklat dengan jenis baju lengan panjang bercorak abstrak untuk diberikan pada Aa. Tidak berapa lama, keduanya sudah mengenakan baju dan berdiri perlahan. Ayah sedikit merapihkan bajunya yang terlipat di bagian bawah. Sedangkan Aa terlihat sedang merapihkan lengan bajunya yang tergulung. Mereka kemudian keluar dari rumah gubuk, mengenakan sandal yang ada di depan jalan masuk, tanpa pintu, kemudian berjalan memutar, menuju air pancoran yang ada di belakang gubuk yang berjarak kurang lebih dua puluhan langkah. 12

Terdengar suara gemericik air pancoran yang jatuh. Cukup deras sehingga suaranya terasa begitu keras dan jelas. Pancoran itu terbuat dari bambu yang tengahnya telah dilubangi. Dibelakang salah satu ujungnya ada tempat penampungan air alami berupa cerukan tanah selebar kira-kira dua meter dengan dalam kira-kira setengah meter. Ujung bambu masuk ke tengah genangan air, sedangkan ujung satunya lagi menjadi pancoran air dibawahnya. Untuk mencapai tempat penampungan air diatas bambu, harus melewati anak tangga batu alami yang sudah disusun sedemikian rupa. Tingginya sekitar dua meter. Agak licin karena mulai ditumbuhi lumut. Terlihat ada beberapa akar-akar mengambang diatas genangan air pada cerukan. Sebagian genangan diam, sebagian lagi berputar-putar. Kanan kirinya pohon cukup rimbun, dengan daun-daun yang menghijau. Sebagian ranting dan dedaunan yang telah tua telah jatuh. Sang ayah terlihat memandang ke atas, lalu pandangannya tertuju pada tumpukan akar yang mengapung di atas air. "Aa, naik ke atas dulu. Ada yang ingin ayah tunjukkan", tanya sang ayah. "Iya", Aa mengangguk. Sang ayah kemudian menaiki anak tangga batu alami satu persatu hingga mencapai puncak anak tangga. Lalu berjalan mendekati cerukan tanah tempat penampuangan air. Di belakangnya terlihat Aa mengikuti. Sang ayah berdiri disamping cerukan tanah. Aa ikut berdiri juga disampingnya. Sang ayah menengok ke sekeliling. Matanya seperti sedang mencari sesuatu. Ia tersenyum. Pandangannya kemudian terhenti pada sepotong ranting kecil yang berada di sebelah kiri sebatang pohon besar yang tak jauh dari cerukan sungai tersebut. Ia berjalan mendekat, membungkuk, dan mengambil sepotong ranting kering. Lalu 13

berjalan kembali ke posisinya semula. Sambil memandang aliran air dan akar-akar yang mengambang di atasnya, ia tersenyum kembali. "Aa, bagaimana menurut Aa aliran airnya?", tanya sang ayah. "Lancar sekali yah.", jawab Aa sambil tersenyum. "Bagaimana kalau sekarang?", tanya sang ayah. Sang ayah kemudian membungkuk, lalu tangannya menggerakkan ranting pada beberapa tumpukan akar yang mengambang di atas permukaan air. Memutarnya perlahan sehingga tumpukan akar itu jadi semakin banyak. Lalu perlahan menggiringnya pada lubang bambu tempat air mengalir sehingga sebagian besar menutupi lubang. "Kalau gitu sih aliran airnya pasti terhambat yah. Bahkan bisa macet sama sekali.", jawab Aa. Sang ayah kembali berdiri. "Benar nak. Dan seperti itulah juga tenagamu. Kalau lancar, maka aliran tenaga akan lancar juga. Kalau terhambat, maka aliran tenaga juga akan terganggu.", lanjut sang ayah. "Apa yang bisa bikin terhambat yah?", tanya Aa. "Begini, ada hal-hal yang masih menjadi hijab atau penghalang untuk masuk ke tahap selanjutnya. Masih ingat ketika dulu ayah ajarkan bagaimana cara menguatkan konsentrasi pada Aa?", ujar sang ayah sambil tersenyum dan menoleh. "Iya yah, Aa masih ingat", jawab Aa sambil mengangguk. 14

Aa kemudian terdiam. Ingatannya seperti dibawa kembali pada kira-kira dua tahunan yang lalu. Ayahnya mengajak untuk menonton pertandingan silat di Bandung. Ia berangkat berdua saja naik bis dari depan jalan rumahnya pagi-pagi jam setengah enam. Sejak umur lima tahun ia sudah diajarkan gerakan silat dari ayahnya. Ia mulai suka karena sering melihat ayahnya melakukannya di waktu pagi, atau siang, atau malam sebelum tidur. Terkadang, tanpa disadari ia suka menirunya. Lama kelamaan jadi hafal sendiri. Saat ayahnya kemudian mengajarkannya, ia jadi lebih paham. Gerakan silat yang diajarkan ayahnya cukup sederhana, mudah ditiru dan dihafalkan. Ayahnya dulu menjelaskan bahwa gerakan harus diikuti dengan teknik nafas. Harus seiring sejalan, bersamaan, harus paralel. Di dalam bis inilah pertama kalinya ayah mengajarkan bagaimana cara berkonsentrasi dan mengumpulkan tenaga di bawah pusar melalui olah nafas. Yang dilakukannya dulu hanya duduk diam, badan rileks, pikiran rileks. Konsentrasi hanya pada aliran nafas dan rasa tubuh yang masuk dan keluar ke tubuh ini. Polanya buang-tahan-tarik-tahan, dengan interval yang sama. Saat buang dengan interval tertentu, saat tahan dengan interval tertentu, saat tarik dengan interval tertentu, dan saat tahan dengan interval tertentu pula. Interval ini harus sama untuk semuanya. Ritmenya harus sama. Pada awalnya cukup sulit ia lakukan. Maklum, sebagai anak berusia delapan tahunan ia belum punya pikiran untuk bertanya ini itu. Dilakukan saja instruksi ayahnya apa adanya. Meski cukup sulit pada awalnya, tapi lama kelamaan ia mulai terbiasa dan mulai bisa merasakan sedikit demi sedikit. Perlahan ia merasakan pusarnya menghangat. Tubuhnya ringan. Segar. Pikirannya terasa lebih terang dan lebih baik. Telinganya juga menjadi lebih peka. Suara di sekitar menjadi semakin jelas terdengar, semakin besar, seolah sangat dekat. Hampir empat jam perjalanan ke Bandung setengahnya diisi dengan latihan seperti ini. Rasa dingin dari AC di dalam bis sudah tidak begitu terasa lagi. Ia merasakan sensasi yang sangat hangat pada pusarnya. Pertama kali dalam hidupnya ia merasakan hal baru yang menarik seperti ini. Di sampingnya, ayahnya pun melakukan hal yang sama. Perjalanan saat itu diwarnai dengan aksi diam. Semuanya asyik dengan latihan masing-masing. Bis yang berbelok kanan dan kiri tidak 15

dihiraukan. Semua larut dan tenggelam pada latihannya. Hingga tanpa terasa bis sudah mencapai terminal. Kami hentikan latihan setelah terdengar teriakan kondektur yang dengan lantang menyebutkan nama terminal yang terkenal di kota Bandung itu, Cicaheum namanya. "Yah, apa sih yang bikin aliran tenaga jadi terhambat?", tanya Aa mengulangi lagi. "Apa yang ayah akan jelaskan, mungkin belum akan kamu pahami saat ini. Tidak apa-apa nak, dengarkan saja baik-baik. Pemahaman tidak musti harus datang pada saat itu juga. Suatu hari nanti kamu akan menemukan jawabannya.", jawab sang ayah. Sang ayah menghela nafas perlahan. "Nak, ketahuilah, bahwa kehidupan ini sangat rumit. Ada banyak hal yang bisa terjadi di dalamnya. Ada banyak hal yang bisa menghambat. Saat seseorang ingin bertahan hidup, terkadang ia terhambat oleh rasa takutnya sendiri. Saat seseorang ingin mendapatkan kesenangan, terkadang ia terhambat oleh rasa bersalahnya. Saat seseorang ingin menjadi lebih kuat, terkadang ia terhambat oleh rasa malu. Saat seseorang mulai merasakan cinta dan ingin mencintai, terkadang ia terhambat oleh kesedihan dirinya. Saat seseorang ingin menjadi benar, terkadang ia terhambat oleh kebohongan-kebohongan yang pernah diperbuatnya. Saat seseorang ingin mendapatkan pengetahuan, terkadang ia terhambat oleh khayalan dan ilusi dirinya. Atau saat seseorang ingin mendapatkan daya linuwih, terkadang ia terhambat oleh hal-hal duniawi. Nah, ketakutan, rasa bersalah, rasa malu, kesedihan, kebohongan, khayalan atau ilusi, dan hal-hal duniawi itu terkadang menghambat diri kita untuk maju atau untuk naik setingkat lebih tinggi. Lebih jauh lagi, hambatan-hambatan itu membuat aliran tenaga kita menjadi terhalang dari yang semestinya. Persis seperti tumpukan akar-akar yang menutupi lubang bambu ini. Kita harus bisa melewati hambatan-hambatan itu semua. Hambatan-hambatan yang ayah sebutkan itu adalah hambatan psikologis, yakni hambatan mental. Ada juga jenis hambatan fisik yang 16

berkaitan dengan pengetahuan mengenai tubuh manusia. Tapi nanti saja ayah jelaskan untuk hambatan yang terakhir itu. Biar Aa tidak bingung.", jelas sang ayah. Aa mengangguk. Meski ia belum sepenuhnya bisa memahami penjelasan ayahnya, tapi ia bisa mengingat dengan baik setiap ucapan ayahnya. Ayahnya tak pernah bosan untuk mengulangi dan mengulangi setiap penjelasan yang ada. Terkadang, disertai contoh, atau bahkan contohnya bisa diambil dari buku belajarnya. Ia terkadang bertanya-tanya dalam hati, dari mana ayahnya bisa mendapat pengetahuan sebanyak itu? "Ya sudah. Nanti kita lanjutkan lagi. Sambil latihan nanti akan lebih jelas. Ayo, kita turun. Ambil wudhu dulu. Kita selesaikan sholat Dhuha terlebih dahulu. Berdoa semoga Allah membukakan hati dan pikiran kita untuk menerima pengetahuan.", tutup sang ayah. "Iya yah", jawab Aa sambil mengangguk mantap. ***

17

BAB 4

KUATKAN DASAR FILOSOFIMU, NAK! "Assalamualaikum warahmatullah", kepala sang ayah menengok ke kanan. "Assalamualaikum warahmatullah", kepala sang ayah menengok ke kiri. Ia mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Di sampingnya Aa mengikuti, tepat setelah salam yang kedua. Aa pun mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya. Aa kemudian mencium punggung tangan kanan ayahnya. Saat mencium punggung tangan ayahnya, telapak tangan kiri bergerak menyentuh kepala Aa. Aa merasa damai sekali. Serasa ada getaran yang masuk ke tubuhnya. Nyaman. Mereka telah selesai menunaikan sholat Dhuha. "Mari kita tutup dengan berdoa. Diawali dengan berdzikir. Dzikir sebagai pengakuan kebesaran Allah, Sang Maha Pencipta. Bahwa manusia itu tiada daya dan upaya melainkan karena izin Allah. Tak ada satu lembar daunpun akan jatuh melainkan Allah tahu. Tak ada satu detakan jantung ditubuh kita terjadi melainkan Allah mengizinkannya. Tak ada satu aliran nafaspun yang akan terhenti melainkan Allah mengizinkannya. Perbanyak rasa syukur terhadap apapun.", pinta sang ayah. Aa mengangguk. Mereka menundukkan kepala. Khusyuk, dan mulai berdzikir. Selesai dzikir, kedua tangan sang ayah menengadah ke langit, diikuti oleh Aa. Mereka berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa, kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, kepada Tuhan Yang Maha Pencipta.

18

Alam seperti hening. Waktu seolah berhenti. Cahaya matahari seolah diam. Angin seperti enggan berhembus. Sungai seolah tak bergerak. Getaran doa di dalam hati mereka seolah mampu memerangkap alam semesta untuk diam. Hanya kepasrahan yang ada, hanya keikhlasan yang muncul. Perkenankanlah setiap doa kami ya Allah, pinta sang ayah dalam hati. Tidak berapa lama, doa selesai. Mereka kembali membuka mata dan mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya. "Ayo, kita lanjutkan latihannya. Buka lagi bajumu. Letakkan saja disitu. ", ucap sang ayah sambil berdiri dan jari tangan kanannya menunjuk pada sebuah kayu yang ada disebelah tempat sholat. Tak lupa, ayahnya juga membuka baju putih bercorak batiknya dan meletakkannya pada tempat yang ia tunjuk. Aa ikut berdiri. Mengikuti perintah ayahnya. Membuka baju coklat berlengan panjang, dan meletakkannya pada tempat yang ayahnya tunjuk. Keduanya kemudian berjalan menuju halaman rumput di depan rumah gubuk. Tempat yang tadi pagi sudah digunakan untuk latihan. Di tengah lapangan, mereka berhadapan dengan jarak kira-kira dua meter. "Sikap Siap! Heaa!", teriak sang ayah. Aa melakukan apa yang diperintah. Sikap siap, kedua kaki selebar bahu. Badan rileks, dengan kedua lengan berada di samping badan. Jari-jari tidak mengepal, tapi terbuka rapat dengan ujung jari menghadap ke tanah. "Sikap sempurna! Heaa!" Sikap sempurna, tumit kaki digeser ke arah luar sehingga telapak menjadi sejajar. Kedua telapak tangan yang terbuka dinaikkan mulai dari samping tubuh 19

hingga mendekati ketiak, kemudian disilangkan di depan dada dengan pergelangan tangan keduanya yang bergesekan dimana tangan kanan berada diatas tangan kiri. Kemudian ditarik dengan cara diturunkan mengayun kembali kearah pinggang sambil mengepal, tetapi sedikit lebih ke depan. Gerakkan Aa tampak mantap. Ia sudah terbiasa melakukan ini sejak umur lima tahun. Sejak ia sering melihat ayahnya berlatih, dan sejak ia sering menirukannya. "Aa tahu makna gerakan tadi?", tanya sang ayah. Aa menggeleng. Ia memang sering melakukannya, tapi ia belum pernah diajarkan manfaat dari masing-masing gerakannya. Tujuan dari masing-masing gerakannya untuk apa. Ia hanya mengikuti, menirukan, dan menghafal gerakan. "Di dalam silat yang ayah ajarkan ini, menyerang dapat juga sekaligus bertahan. Bertahan dapat juga sekaligus menyerang. Menyerang dan bertahan itu suatu kesatuan. Kemarilah.", ucap sang ayah. Aa kemudian mendekat. "Coba pukul ayah. Terserah bagian yang mana saja. Dada boleh, leher boleh, kepala juga boleh.", pinta sang ayah. Terlihat sang ayah dengan posisi sikap siap. Aa kemudian memukul dengan tangan kanannya. Kepalan kecilnya menuju dada ayahnya. Ayahnya kemudian melakukan gerakan Sikap Sempurna. Aneh, pukulannya jadi tertangkis oleh gerakan menyilang tangan kanan di atas tangan kiri pada sikap sempurna yang dilakukan. Pukulannya berada diantara pertemuan pergelangan tangan kanan dan kiri ayahnya. Sama sekali tidak mengenai sasaran. Tidak hanya itu saja, ayahnya bahkan memutar pergelangan tangan kanannya untuk menangkap pukulannya, menariknya ke bawah, tepat ke arah pinggang agak ke depan. Aa jadi terpelanting, terjatuh di samping ayahnya. Ia terbanting! Sedangkan ayahnya masih berada dalam posisi Sikap Sempurna! 20

Aa mencoba bangun. Ia masih bingung, kenapa ia bisa terbanting? "Lihatlah nak. Bertahan sekaligus menyerang. Menyerang sekaligus bertahan. Inilah dasar filosofi aliran beladiri yang ayah ajarkan. Setiap gerakan memiliki makna. Jangan pernah meremehkan setiap gerakan apapun, bahkan yang paling sederhana sekalipun. Sikap Sempurna, meski tampak sederhana, tapi berisi teknik bertahan sekaligus menyerang. Bertahan sekaligus menyerang. Menyerang sekaligus bertahan.", jelas sang ayah. "Iya yah. Tadi Aa terbanting. Itu berarti bertahan sekaligus menyerang ya yah? Terus bagaimana yang menyerang sekaligus bertahannya yah?", tanya Aa. "Coba Aa berdiri lagi di depan ayah", pinta sang ayah. Aa mengikuti. Sang ayah kemudian melakukan kembali Sikap Sempurna. Saat kedua tangannya bersilangan, tiba-tiba ayah mengarahkan silangan tersebut ke leher Aa. Memutar sedikit pergelangannya sehingga kedua telapak tangannya menutupi leher Aa. Bersamaan dengan itu, ayah menarik tangan kanannya ke bawah, membentuk posisi Sikap Sempurna. Gerakan ini membuat Aa kehilangan keseimbangan karena lehernya ikut tertarik ke bawah. Dan ia terpelanting kembali di samping ayahnya. Ia terjatuh dua kali! "Bagaimana?", tanya sang ayah sambil tersenyum. Aa kembali bangun. "Coba lagi yah. Aa akan coba siap-siap", jawab Aa. Tampaknya ia penasaran dan ingin mencoba sekali lagi. Ia kembali berdiri di depan ayahnya pada jarak serang. Ia tampaknya masih penasaran kenapa bisa terbanting.

21

Sang ayah mengulangi kembali posisi Sikap Sempurna. Aa kali ini membiarkan tangan ayahnya menyentuh lehernya seperti tadi, tapi saat kemudian tersentuh, tangan kanan Aa melakukan pukulan ke arah rusuk ayahnya. Tiba-tiba gerakan ayahnya jadi melentur, ia melepaskan tekanan tangan kanan di lehernya dan menggerakkan tangan kanannya mengayun ke bawah membentuk posisi Sikap Sempurna. Gerakan tiba-tiba ini otomatis menangkis pukulan yang diarahkan ke rusuk ayahnya. Bersamaan dengan itu, tangan kirinya yang sengaja dibiarkan terlambat kembali menarik leher Aa hingga kembali terjatuh, terbanting. Aa jatuh tiga kali dengan bantingan! Meski demikian, Aa tersenyum. Aa tampak seperti menemukan 'sesuatu'. "Sudah paham?", tanya sang ayah sambil tersenyum. Aa mengangguk. "Bagus nak. Bertahan sekaligus menyerang, dan menyerang sekaligus bertahan. Ada banyak pengembangan yang bisa dilakukan dari sebuah gerakan sederhana. Ingat baik-baik filosofi ini.", jelas sang ayah. “Kamu harus ingat nak, bahwa beladiri tanpa filosofi akan kehilangan ruh dari beladiri itu sendiri. Tapi hanya sekedar mengetahui filosofi beladiri saja tidaklah cukup, kamu harus menerapkan filosofi itu di kehidupanmu. Filosofimu akan menjadikanmu orang yang lebih baik. Jadi, kuatkan selalu dasar filosofimu, lalu terapkan di kehidupanmu.”, tegas ayah. ***

22

BAB 5

MENYATULAH DENGAN RASAMU! Hari demi hari berlalu. Rumput hijau sudah mulai menguning. Daun rumbia di atap rumah gubuk juga sudah mulai berwarna coklat tua, beberapa bahkan sudah jatuh karena mengering. Putaran waktu di alam ini seolah hampir tak terasa. Enam tahun sudah tempat itu selalu menjadi tempat latihan kami. Menjadi saksi dua anak manusia yang masih tetap rutin melatih dan berlatih, berlatih dan melatih. Tanah yang amblas karena hentakan kaki, bambu pancoran, cerukan air, ranting, undakan anak tangga batu, dan sungai, menjadi saksi bisu yang masih ada hingga kini. Namaku Akbar, tapi lebih suka dipanggil Aa. Aku anak tertua, dari empat bersaudara. Terdiri dari tiga orang laki-laki dan seorang perempuan. Adik perempuanku yang cantik, secantik ibuku, sekolah di lain kota karena kebetulan ibuku menjadi PNS di luar kota tempat kelahiranku. Konon kota kelahiranku sering disebut dengan istilah Kota Wali, beberapa juga menyebutnya dengan istilah Kota Udang. Meski demikian, tiap sebulan sekali pasti pulang dan berkumpul. Apalagi kalau liburan, pasti ayah sering mengajak kami berkemah di alam terbuka. Usiaku saat ini enam belas tahun. Jauh lebih besar, tegap, dan tinggi dibanding enam tahun yang lalu. Dan aku bersekolah di sebuah SMU favorit di daerahku, dekat dengan rumah orang tuaku. Hari ini, ayah ingin menjelaskan hal-hal yang lebih mendalam mengenai latihanku. Aku sangat senang setiap kali ayah bercerita, karena mudah dimengerti dan ayah tidak segan untuk mempraktekkannya. Kami akan berlatih di tempat yang sama. Aku tidak tahu mengapa ayah suka sekali berlatih di tempat itu. Aku pernah bertanya seperti itu, tapi ayah katakan kalau suatu hari nanti aku akan tahu mengapa tempat itu yang ayah pilih. Seiring pemahaman, aku akan lebih memahami. Begitu katanya. 23

Aku berjalan keluar kamar, hanya mengenakan celana latihan hitam seperti biasa. Jahitan bagian bawahnya sudah agak terlepas. Mungkin karena seringnya dipakai dan dicuci mengakibatkan warnanya mulai memudar. Aku membuka pintu rumah. Dari jauh aku lihat ayah sudah menunggu. Ayah duduk sila sambil memejamkan mata. Ayah bertelanjang dada seperti biasa. Wajahnya terlihat tenang, serius, damai. Meski demikian, beberapa rambutnya sudah terlihat memutih. Jenggotnya juga beberapa sudah banyak yang memutih. Meski demikian, otot-otot ayah masih terlihat kokoh. Ayah tidak pernah lupa untuk berlatih. Ayah selalu meluangkan waktu untuk berlatih setiap harinya. Kata ayah, berlatihlah sebanyak kita makan nasi. Aku kemudian menghampiri. Dan duduk di depan ayah sambil bersila. Perlahan ayah membuka kelopak matanya. Ayah tersenyum. Lalu menyuruhku untuk melakukan rangkaian gerak dasar dan rangkaian gerak praktis dengan terlebih dahulu berdoa. Aku berdoa sambil duduk sila. Mengatupkan kedua telapak tangan di depan dada, lalu memejamkan mata. Selesai berdoa, aku kembali membuka mata dan berdiri sempurna. Berjalan mundur sekitar 3 meteran untuk bersiap melakukan gerakan yang diminta oleh ayah. "Lakukan Gerakan Tangan Serangan. Lakukan dengan perlahan-lemas.", pinta ayah. Aku mengikuti apa yang ayah perintahkan. Dimulai dari kuda-kuda tengah sedang, kemudian kuda-kuda tengah rendah, kemudian membentuk sikap leyek. Yakni kondisi badan yang agak condong ke arah kanan dengan sedikit memutar bahu kiri ke arah depan sehingga tubuh menghadap ke kanan. Lutut kaki kanan agak ditekuk dan kaki kiri lurus sejajar dengan arah punggung. Kedua tangan berada di samping pinggang. Perlahan aku melakukan gerakan tangan serangan seperti pukulan datar, pukulan silang, sodokan datar, sodokan silang, tebasan, tebangan, 24

keprukan, ujung siku datar, ujung siku ke atas, ujung siku ke bawah, dan yang lainnya. Aku melakukannya dengan perlahan, lemas. Kata ayah, gerakan yang perlahan-lemas ini sangat berguna untuk mengenali bentuk dan merasakan aliran tenaga. "Bagus! Sekarang kamu lakukan gerakan yang sama, tetapi lakukan dengan pelan dan bertenaga!", pinta ayah. Aku melakukan apa yang ayah perintahkan. Aku masih ingat, ayah selalu melatihku dalam empat pola yakni pelan, cepat, lemas, dan bertenaga. Ayah mengkombinasikan dari keempat pola tersebut seperti pelan-lemas, pelan-bertenaga, lemas-cepat, cepat-bertenaga, dan sebagainya. Jadi, latihan gerak selalu mengikuti empat pola tersebut atau kombinasi dari empat pola tersebut. Tidak heran, saat latihan gerak bersama ayah aku bisa menghabiskan waktu 1 jam hanya untuk gerakan tangan serangan saja. Aku selalu diingatkan oleh ayah agar tidak boleh mengeluh dan tidak boleh menyerah. Belajar itu harus dengan usaha yang keras, dan jangan bosan untuk diulang-ulang. Begitulah kata ayah. Ayah juga pernah berkata kalau gerakan yang pelan-bertenaga berguna untuk merasakan kemana tenaga mengalir. "Bagus! Sekarang kamu lakukan dengan cepat-bertenaga!", pinta ayah. Aku melakukan kembali apa yang ayah perintahkan. Pukulanku kini dipercepat dan dengan tenaga maksimal. Awalnya saat pertama kali ayah melatihku seperti ini, aku sampai serasa kehabisan nafas. Otot-otot tubuhku serasa bergetar kelelahan. Tapi lama kelamaan, seiring peningkatan kemampuan fisikku, aku mulai terbiasa. Apalagi ketika ayah mulai mengajariku olah nafas. Kata ayah, bentuk yang cepatbertenaga ini berguna untuk penerapan gerakan. Ayah tersenyum melihatku. "Bagus! Cukup!", ucap ayah. 25

Aku menghentikan gerakanku. Dan mengambil posisi duduk sila kembali di depan ayah. Latihan untuk memahami tata gerak dari ayah tampaknya sudah selesai. Keringatku sudah sebesar bulir-bulir jagung. Berkilauan terkena cahaya matahari. Rasanya segar sekali. Ada banyak hal yang aku dapatkan. Tidak hanya bagaimana melakukan gerakan dengan benar, tapi juga ada apa dibalik setiap gerakan tersebut. Kata ayah, gerakan harus dimaknai. Gerakan harus dipahami, harus didalami. Gerakan jangan hanya sekedar dilakukan. Jangan hanya menjadi bentuk tanpa jiwa. Merasakan bentuk, juga harus merasakan jiwa. Gerakan harus dijiwai. Untuk bisa menjiwainya, maka harus kenal dengan filosofinya. Begitu kata ayah. Aku pernah bertanya pada ayah, apa tujuan dari filosofi itu? "Nak, filosofi itu sudah direnungkan oleh para pendahulu kita. Merupakan petunjuk pemahaman keilmuan yang justru untuk kebaikan hasil latihan. Filosofi keilmuan dimanfaatkan sebagai akar pijakan bagi kita. Meski demikian, cara dulu guru ayah menjelaskan pada ayah akan bisa berbeda dengan cara ayah menjelaskannya kepadamu. Ada beberapa hal yang ayah bisa berikan apa adanya, bisa jelaskan apa adanya. Tapi ada beberapa hal yang ayah harus sesuaikan dengan cara pikirmu. Beberapa bahkan tidak bisa ayah terapkan persis seperti keadaan aslinya. Istilahnya, ambil apinya, dan bukan abunya.", jelas ayah. "Gerakan silat yang ayah ajarkan memang tidak terlalu kaya, tapi khas. Kamu sudah pernah melihat aliran beladiri lain yang berisi jurus-jurus atau gerakan-gerakan yang lebih kaya dari apa yang ayah pernah ajarkan. Silat yang kamu pelajari ini tidak punya jurus. Hanya dinamai gerak saja atau gerakan saja. Dianggap khas karena gerakannya seringkali menyatu dengan aplikasi olah nafas. Hampir semua bentuk baku, rangkaian gerak yang ayah ajarkan, akan saling dukung dengan hasil atau 26

penerapan olah nafasnya. Meski demikian, ketika nanti sudah masuk pada gerak naluri, bisa jadi akan ada sedikit pergeseran, meskipun tidak menyimpang. Misal, ayah tidak pernah mengajarkan gerakan yang berbentuk cakar macan, tapi ketika nanti latihan naluri dan tiba-tiba terbentuk gerakan tersebut ketika menangkis dan menyerang, itu tidak masalah. Itu nalurimu untuk mengantisipasi gerakan lawan.", lanjut ayah. "Di dalam memahami tata gerak, pertama, kamu harus melakukan gerakan dengan benar. Disini kamu harus melihat gerakan dan menirunya. Nalarmu berperan disini. Untuk menirukan bentuk, untuk menirukan gerak." "Kedua, kamu harus menghafalnya. Nalarmu diuji disini. Sejauh mana kamu bisa mengingatnya." "Ketiga, kamu harus mengulang-ulangnya dengan pola kombinasi pelan, lemas, cepat, bertenaga. Disini, karena kamu sudah hafal, maka penggunaan nalar akan dikurangi dengan meningkatkan rasa dan tubuh untuk menghayati tata gerak. Sehingga nantinya akan di dapat gerak reflek yang hafal, penuh penjiwaan, ada dinamika semangat, tenaga, dan tempo yang pas." "Terakhir, barulah dilatih dengan dilambari penghayatan getaran, yang bila digabung dengan latihan gerak naluri maka tata gerak akan menjadi perbendaharaan beladirimu yang menyatu dengan rasa dan tubuh, menjadi perbendaharaan gerak naluri beladiri." "Paham?", tanya ayah. Aku mengangguk. Aku mulai memahami maksud ayah selama ini. Dulu aku sekedar menirukan gerakan ayah. Kemudian ayah menyuruhku menghafalkannya. Setelah itu ayah selalu melatih dan menyuruhku berlatih terus dengan berulangulang. Bahkan aku sering melihat ayah melakukan satu gerakan yang sama berulangulang hingga 1 jam. Setelah ayah menjelaskan ini, pikiranku baru terbuka. Dulu, 27

karena masih berusia sepuluh tahunan, pengertianku mungkin belum seperti sekarang. Meskipun ayah juga mengatakan hal yang sama enam tahunan yang lalu, tapi pemahamanku tidak seperti sekarang ini. "Iya yah. Aa mulai mengerti.", jawabku sambil mengangguk mantap sekali lagi. "Yah, apakah belajar gerakan ini ada batasnya?", aku memberanikan bertanya. "Nak, kalau hanya dibaca dan dipikir, ilmu tata gerak beladiri yang ayah ajarkan ini sebentar saja pasti sudah tuntas dan mentok.", jawab ayah sambil tersenyum. Ayah kemudian berdiri dan mendekatiku. Ia duduk kembali di depanku tapi lebih dekat. "Pejamkan matamu", pinta ayah. Aku menurut. Kedua mataku aku pejamkan. "Suatu gerakan harus bisa menyatu dengan ini.", ucap ayah sambil menggerakkan lengannya. Aku merasakan telapak tangan ayah yang hangat menyentuh dadaku. "Gerakan itu harus menyatu dengan rasa,", lanjut ayah sambil menepuk-nepuk dadaku. Aku tertawa kecil. Memang benar. Aku merasa sudah hafal Gerakan Dasar, aku juga hafal Rangkaian Gerak Praktis, dan juga rangkaian gerak yang lainnya. Tapi saat ayah menjelaskan filosofinya dan penerapannya, rasanya masih sangat luas sekali. Rasanya apa yang aku lakukan ini belum apa-apa. Aku membuka mata. Melihat ayah memejamkan mata sambil menengadahkan wajahnya kepada ke langit. Jenggotnya tampak bergerak tertiup angin. 28

"Berbatas tapi tak berujung... Bertepi tapi tak berbatas... Suatu hari nanti kamu akan paham...", ayah berkata sambil menghela nafas. ***

29

BAB 6

TUBUH INI, PEMAHAMAN INI KRIIIIING... Bel sekolah terdengar nyaring. Aku membereskan buku-buku pelajaran, memasukkan ke tasku sekedarnya saja. Aku melihat pak guru juga sedang merapihkan buku-buku di meja beliau. Setelah terlihat rapi, beliau kemudian memberi isyarat padaku. Aku mengerti isyaratnya. Aku kemudian berdiri dan memulai untuk memimpin doa. "Siaaaaap! Mari kita tutup pelajaran hari ini dengan membaca doa. Berdoooaaaa! Mulai!", ucapku lantang. Aku kemudian menundukkan kepala. Membaca surat Al Fatihah di dalam hati. Diikuti juga oleh teman-temanku yang lain. Oh ya, aku adalah Ketua Murid di kelasku. Aku dipilih oleh teman-temanku melalui sebuah pemilihan yang alot. Dari tiga calon yang ada, aku hanya menang tipis. Kini, sudah tugasku untuk memimpin kelas untuk berdoa saat pelajaran usai. "Berdoa.. selesai!", ucapku lantang sekaligus mengakhiri pelajaran hari ini. Aku mengangkat kepalaku dan duduk kembali. Teman-teman yang lain juga terlihat sudah mengangkat kepala dan mulai asyik dengan aktivitasnya masing-masing. Ada yang memasukkan buku, ada yang membetulkan tali sepatu, ada beberapa teman perempuan yang berdandan, ada yang membetulkan kerudungnya. Aku duduk di barisan paling belakang, dekat dengan tembok. Bagian belakang kursiku menempel dengan tembok kelas. Aku seharusnya duduk berdua bersama Andi. Tapi hari ini dia 30

tidak masuk. Katanya sedang sakit. Rencanaku nanti sore selepas latihan aku mau menengoknya. "Baiklah anak-anak, sampai ketemu besok ya. Assalamualaikum warahmatullahi wabarakaatuh", ucap pak guru sambil berdiri dan berjalan meninggalkan ruang kelas. Beliau adalah pak Djauhari. Sosoknya tinggi jangkung, agak kurus dengan muka oval dan rambut yang mulai memutih. Beliau adalah guru Bahasa Inggris di sekolahku. "Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakaatuh!", jawab kami serentak. "Aa, nanti jadi gak nih traktir makan?", tanya Herman sambil menengok ke belakang. Ia duduk di kursi di depan mejaku. Aku terkejut, lalu memberi isyarat diam pada Herman. "Ssst..! Jangan berisik!", pintaku pada Herman. Tapi ia tidak menggubrisku, dan malah berdiri di atas kursi sambil berteriak lantang. "Hooiii... teman-temaaan! Ada yang ulang tahun niiiih!", teriak Herman lantang sambil telunjuknya mengarah kepadaku. Ia keliatan sangat gembira melakukan itu. Sedangkan aku sendiri yang mulai panik. "Eh iya nih, si Aa ulang tahun niiih!... Mana tim penyeraaaaang!", teriak Risa. Ia duduk di sebelah kananku persis. Ia berdiri dan juga menunjuk kepadaku. Tim penyerang? Haah, pasti ada yang akan membawa benda-benda untuk dilempari ke tubuhku. Kalau tidak telur ayam, tepung, air diplastik, mungkin cat. Haduuuh... bagaimana ini? Tanyaku dalam hati. Aku melihat Roni tiba-tiba berdiri, ia duduk paling depan. Di tangannya tergenggam sebuah telur ayam. Rupanya ia sudah mempersiapkannya. Entah sejak kapan mereka sudah merencanakan ini. Gawat, ia pasti akan melemparku dengan 31

telur itu. Aku bangun dari kursi. Aku selempangkan tasku di bahu dan berdiri sejajar, mengambil jarak setengah meter dari tembok kelas belakang. Kakiku aku rentangkan selebar bahu. Benar saja, Roni tiba-tiba berjalan mendekat dan melemparku dengan telur itu! Aku terkejut. Secara reflek tubuhku aku miringkan bersamaan dengan menggeser tumit kaki kanan ke belakang empat puluh lima derajat dan tumit kaki kiri depan sehingga membentuk sikap leyek belakang. Posisi tubuhku yang tadinya menghadap ke depan, menjadi menghadap ke kiri. Di tempat yang sempit karena terhalang oleh kursi di kanan kiri, sikap leyek belakang sangat efektif untuk menghindari serangan. Entah kenapa tubuhku menganggap lemparan telur itu sebagai serangan sehingga secara reflek bergerak menghindar. Telur itu tidak mengenaiku, tapi menghantam tembok belakangku. Hancur berantakan. Pecahannya berhamburan kesana kemari. Tubuhku melompat ringan ke depan sehingga berada di sebelah Herman, menghindari pecahan telur dan isinya. Aku teringat, dulu ayah mengajariku bagaimana penerapan gerakan silat yang ayah ajarkan pada beberapa kondisi. Di tempat yang luas, di ruang yang sempit, di tempat dimana aku berada tersudut di pojok, saat kakiku tidak boleh digerakkan, saat mataku harus ditutup, dan kondisi-kondisi lain yang cukup menyulitkan. Tujuannya agar aku bisa menerapkan gerakan sesuai dengan keadaan. Ayah bilang kalau gerakan harus luwes, fleksibel, menyesuaikan dengan keadaan, menyesuaikan bentuk, dan keluar dari hati. Antara bentuk dasar dan penerapan tidak musti harus sama persis seratus persen. Beberapa memang bisa diterapkan utuh, tapi beberapa tidak dan harus disesuaikan. Ayah juga bilang kalau saat kita berdiri, maka lebar tubuh kita adalah sasaran tembak bagi lawan. Lebar kepala, lebar bahu, lebar kaki, lebar lengan, lebar paha, semuanya adalah sasaran tembak bagi lawan. Lawan akan tergerak untuk mengarah pada bagian yang ia lihat. Kalau ia melihat dada kita, maka lebar bahu itulah area yang bisa ia kenai. Untuk menghindarinya maka bentuk harus diubah. Dengan menggeser posisi, maka lebar bisa diperkecil. Kalau tubuh kita sedang menghadap ke depan dan kemudian memutar pinggang sehingga bahu kita menjadi menghadap ke depan, maka area yang bisa dikenai oleh lawan akan berubah, akan mengecil atau bahkan hilang. Perubahan bentuk itu bisa dilakukan dengan pergeseran, dengan langkah, atau lompatan, atau dengan menggerakkan 32

bagian lain seperti pinggang, lutut, tumit, atau dengan gerakan khas lainnya. Dan itulah yang terjadi. Tubuhku secara reflek berusaha menghindar dari serangan lemparan telur. Pecahan telur dan beberapa isinya mengenai Risa. Bajunya kotor. Ia terlihat marah. "Roniiii...!! Awass lu yaaa! Malah gue yang kotor niiiih...!", teriak Risa sambil memandang marah pada Roni. Ia mengambil potongan kertas, meremasnya menjadi bulatan lalu melemparkannya kepada Roni. Roni terlihat ketakutan. Ia berlari keluar ruangan kelas. Risa kelihatannya masih kesal, dan ia bersiap berlari mengejar Roni untuk "membalas dendam". Ia membawa sebuah buku di tangan kanannya. Tampaknya buku itu akan digunakannya untuk memukul si Roni. "Amppuuuunn Riiisss... Gue ga sengajaaa... Gue pengen lempar si Aa! Ampuuunn...! Hahahahahahaha!", teriak Roni sambil lari. Ia tertawa terbahak-bahak. Mungkin dipikirannya, meski gagal melemparku dan membuatku kotor, setidaknya ada yang menjadi "korban". Huh, dasar si Roni. Tapi ia belum sepenuhnya lolos dari "bahaya", karena di belakang si Risa mengejarnya. Teman-teman yang lain menertawakan tingkah mereka yang lucu. Aku ikut tersenyum. Ron, malang nian nasibmu kali ini. Rasakan! Aku bersyukur karena baju sekolahku tidak kotor karena lemparan telur ayam dari Roni. Aku segera bergegas keluar ruangan agar aman dari "serangan" lain. Aku berjalan lebih cepat mendekati pintu. "Hoiii.. tungguuu! Gue ikuuut!", teriak Herman. Ia langsung melompat dari tempat duduknya dan berusaha mengejarku. Aku menoleh ke arah Herman. Tanpa sengaja aku melihat wajah Herman yang seperti memberi kode pada teman yang lain yang berada di dekat pintu keluar dengan 33

bibirnya. Naluriku berkata kalau "serangan" belum usai. Benar saja. Selesai aku menoleh dan akan berjalan kembali ke pintu keluar, Cahyo, yang duduk di dekat pintu keluar tiba-tiba berdiri. Di tangannya terlihat sudah tergenggam dua butir telur ayam. Tiba-tiba ia langsung melemparku dengan telur ayamnya. Lemparannya lurus, mengarah ke dada. Tubuhku reflek menghindar. Aku memiringkan tubuh sehingga lemparan itu tidak mengenai tubuhku. Bahaya, arah miring tubuhku malah membuat lebih dekat dengan tempat Cahyo berdiri. Telur itu menabrak tembok. Pecahannya berhamburan kemana-mana. Merasa gagal, Cahyo berusaha melempar sekali lagi. Tampaknya ia penasaran. Jarak Cahyo dan aku hanya tinggal satu setengah meter. Aku terlalu terbawa putaran pinggang saat memiringkan tubuhku. Lemparan kedua rasanya tidak bisa aku hindari. Tiba-tiba perut ini menghangat. Rasa hangatnya naik ke dada, ke leher, hingga kemudian berhenti di belakang kepala, tepat di otak kecil bagian belakang. Belakang kepalaku langsung menghangat. Bersamaan dengan itu, dunia yang aku lihat menjadi seolah melambat. Mulut Cahyo yang tertawa terbahak-bahak terlihat sangat jelas gerakannya. Lemparan tanggannya seolah menjadi slow motion, menjadi gerak lambat. Telur yang melayang di udara juga terlihat begitu jelas. Tangan kananku aku gerakkan. Telapak tangan kananku aku buka dan aku gerakkan menyongsong arah lemparan telur tapi memotong di tengah jalur, dan kemudian aku tarik perlahan seiring telur yang menyentuh telapak tanganku. Telur tidak membentur keras dan pecah, telur tetap utuh, dan mengikuti arah. Telapak tanganku jadi peredam. Aku membiarkan tanganku mengikuti arah lintasan telur itu. Aku mengikutinya. Bersamaan dengan itu, tubuhku ikut mundur dua langkah. Jarak ini kemudian membuat tenaga lemparan telur terhenti. Aku berhasil menangkap lemparan telur itu dengan telapak tanganku. Aku turunkan kembali rasa hangat yang memenuhi otak kecil di belakang kepalaku. Dunia kembali menjadi normal. Kecepatannya menjadi normal. Cahyo hanya bengong melihat telurnya aku tangkap.

34

Tanpa menunggu lebih lama, aku bergegas berlari keluar ruangan dengan cepat. Sambil tidak lupa meletakkan telurnya di meja Cahyo. "Kabuuuuurrr!!!", teriakku lantang sambil berlari. Aku langsung berlari keluar dari ruangan, mengarah pada anak tangga. Kelasku berada di lantai 2, disebelah pojok dari bangunan baru. Tingginya sekitar lima meter. Dengan dua buah kelompok anak tangga yang masing-masing terdiri dari sepuluh undakan anak tangga. Aku berjalan cepat menuruni anak tangga. Lalu bergegas menuju kantin yang berjarak sekitar dua puluh meter dari tangga. Dari atas, aku melihat Herman berteriak menunjukku. "Itu dia! Si Aa ke kantiiiiiinnnn!!!", teriak Herman lantang. Beberapa teman juga menyorakiku. Mereka tampak gembira karena target buruannya sudah ditemukan kembali. Aku tertawa sambil terus berjalan cepat menuju kantin. Aku duduk di depan penjual es. Itu adalah es kesukaanku. Es yang dijajakannya dibuat dari serutan es batu yang diberi air santan. Setelah itu dituangkan susu coklat di atasnya. Aku paling suka meminumnya sambil memakan roti yang memang disediakan disitu. Aku memesan satu. Aku memandang ke sekeliling. Kantin sekolahku cukup luas. Di dalamnya ada penjual gorengan, ada penjual nasi kuning, ada nasi rames, ada juga nasi empal sapi. Selain es susu coklat tadi, aku paling suka nasi empal sapi. Rasanya enak, harganya juga tidak terlalu mahal. Penjualnya bernama Atun, tidak tahu kenapa dipanggil begitu. Padahal ia seorang laki-laki. Jadi aku menyebutknya nasi empal Atun. Sambil duduk, aku teringat kejadian dimana aku berhasil menangkap telur yang dilempar dari jarak satu setengah meter tanpa pecah. Tiba-tiba ingatanku seperti terbang di masa lalu, saat berlatih bersama ayah. 35

Saat itu ayah mengajarkanku makna dari cepat dan lambat. Bagaimana cepat bisa mengalahkan lambat, dan bagaimana lambat bisa mengalahkan cepat. Kata ayah, cepat dan lambat itu ada pada persepsi, ada pada apa yang kita tangkap di otak kita. Otak kita bisa menterjemahkan sesuatu sebagai 'cepat' dan otak kita bisa menterjemahkan sesuatu sebagai 'lambat'. Ada perbedaan pada sudut pandang yang melakukan. Yang cepat bisa dibuat jadi lambat. Yang lambat juga bisa dibuat jadi cepat. Setelah selesai berlatih gerak, ayah selalu melatih olah nafas kepadaku. Latihan olah nafas selalu ditutup dengan meditasi. Aku harus duduk sila memejamkan mata. Kedua tanganku menjuntai dengan punggung tangannya berada di atas lutut. Ibu jari dan jari tengah dipertemukan sehingga membentuk seperti lingkaran. Saat itu, aku harus berkonsentrasi pada nafas yang aku hirup. Setiap kali menghirup nafas, aku disuruh membayangkan tenaga yang aku keluarkan dari seluruh tubuh ditarik masuk dan disimpan ke bawah pusar. Terus saja seperti itu. Dianggap selesai ketika aku bisa merasakan detak jantungku pada ujung ibu jari dan jari tengah yang menempel dan suhu tubuhku sudah normal, sudah bisa merasakan angin dingin di sekitarku. Saat itu yang aku rasakan aliran hangat mengalir dari seluruh tubuhku menuju ke bawah pusar. Setelah dirasa cukup oleh ayah, aku harus 'menutup' aliran tenagaku. Cara menutupnya cukup dengan sugesti, dengan niat dan konsentrasi. Terkait dengan cepat dan lambat, ayah berkata bahwa bentuk meditasi seperti tadi bisa berguna untuk membuat persepsi pada otak. Kalau dialirkan ke otak kecil di belakang kepala, maka apa yang ditangkap oleh pandangan mata akan terlihat oleh otak seperti melambat. Benda yang dilihat sendiri sebenarnya tidak melambat, tetapi persepsi otak terhadap apa yang dilihat akibat dari teknik ini akan membuat gerakan cepat terlihat lambat. Sehingga kita bisa melakukan antisipasi terhadap sesuatu. Pada awalnya aku tidak memahami ucapan ayah. Meskipun sudah dicoba berapa kalipun, yang aku lihat tetap saja sama, tidak melambat. Normal normal saja. Tapi barusan saat Cahyo melempar telur, aku benar-benar merasakan apa yang ayahku katakan. Aku melihat dunia seperti melambat. Sehingga aku bisa melakukan 36

antisipasi terhadap telur yang dianggap sebagai 'ancaman' bagiku. Barangkali, ketika dulu aku berlatih bersama ayah, aku belum mendapatkan kondisi yang aku anggap sebagai ancaman bagiku, sehingga aku tidak bisa mengeluarkan potensi yang sebenarnya. Sedangkan tadi, ketika tubuhku menganggap lemparan telur sebagai ancaman, maka aku bereaksi dengan secara alamiah, mengikuti naluriku, mengikuti apa yang dulu pernah diajarkan kepadaku. Dan hasilnya persis seperti yang dijelaskan ayahku. Cepat dan lambat sesungguhnya ada persepsi, pada cara kita memandang. Cepat bisa dilawan dengan lebih cepat. Lambat bisa dilawan dengan cepat. Cepat juga bisa dilawan dengan lambat. Bukan lambat, tetapi "lambat". Sebab ketika sudah masuk pada ranah persepsi, maka cepat bukanlah "cepat" dan lambat bukanlah "lambat". Aku tersenyum. "Ayah, aku mulai paham. Terima kasih ayah.", ucapku dalam hati. ***

37

BAB 7

KALAH ATAU SALAH? Kantin ini sudah mulai sepi. Yang terlihat hanyalah para pedagang yang sedang membereskan dagangannya. Aku masih duduk di kursi panjang ini. Aku menunggu lebih lama, menunggu lebih sepi. Sekolahku ini muridnya cukup banyak. Terdiri dari sembilan kelas untuk kelas satu, sembilan kelas untuk kelas dua, dan sebelas kelas untuk kelas tiga. Dengan rata-rata satu kelas terdiri dari tiga puluh hingga empat puluh orang. Bisa dibayangkan berapa jumlah muridnya apabila pulang sekolah. Siang ini aku berencana menengok Andi, teman sebangku yang tidak masuk karena sakit. Rumah Andi cukup jauh dari sekolahku. Kira-kira lima belas menit apabila berjalan kaki. Tapi cukup lima menit saja kalau naik angkot. Aku bersiap untuk beranjak dari kursi panjang ini. "Berapa A?", tanyaku pada pedagang es susu coklat. "Biasa... Tiga ribu aja A sama rotinya...", jawab sang pedagan sambil tersenyum. Satu gelas es susu coklat dihargai dua ribu rupiah, sedangkan rotinya dihargai seribu rupiah. Aku mengeluarkan selembar lima ribuan dari saku celana sebelah kananku, lalu memberikannya pada sang pedagang es. "Ini A...", lanjutku. Uangku diterimanya. Ia terlihat memasukkan pada kotak tempat penyimpanan uang di belakang tempat gelas, lalu mengambil selembar uang dua ribuan dan memberikannya kepadaku. 38

"Terima kasih A...", ucap sang pedagang. "Iya, sama-sama A..", jawabku. Aku memasukkan uang kembalian ke saku sebelah kananku. Lalu mengambil tas dan diselempangkan ke bahu kananku. Aku memutar tubuh, dan beranjak dari kursi panjang tersebut. Pandanganku masih mengarah pada kumpulan teman-teman yang sedang keluar dari pintu gerbang sekolah. Sudah tidak sebanyak tadi. Ya sudah, aku putuskan untuk pulang. Aku berjalan santai dari kantin menuju pintu gerbang. Aku harus melewati sebuah lapangan voli yang belum disemen dan sebuah lapangan basket yang sudah disemen. Jarak antara kantin sekolah dengan pintu gerbang kira-kira berjarak lima puluhan meter. Cukup jauh juga. Maklum, sekolah favorit ini penuh dengan bangunan-bangunan fasilitas penunjangnya. Termasuk juga lapangan-lapangan olahraga yang disediakan. Aku sudah melewati lapangan bola voli. Sesaat ketika sepatuku menyentuh semen di lapangan basket, tiba-tiba hatiku menjadi gelisah. Hmmm, ada apa ini? Aku paksakan untuk melangkah. Tapi rasa di hati ini malah semakin kuat. Aku terdiam di tengah lapangan. Aku seperti merasakan akan ada sesuatu. Tapi aku tidak tahu apa itu? "Ah sudahlah!", jawabku dalam hati. Aku kuatkan niat dan langkah untuk keluar dari pintu gerbang. Niatku sudah bulat. Aku ingin menengok Andi! Seiring kuatnya niatku, maka rasa yang gelisah itu mulai menghilang.

39

Dari jauh terlihat pak Madi, penjaga pintu gerbang sekolah. Terlihat sedang membereskan kunci dan rantai pintu. Beliau menyapaku. "Pulang A?", tanya pak Madi ramah. Langkahku terhenti. "Iya pak. Mari pak, saya pamit dulu...", jawabku ramah dengan kepala sedikit menunduk hormat. Pak Madi hanya tersenyum sambil juga menganggukkan kepala. Aku meneruskan langkahku keluar dari pintu gerbang. Berjalan terus menuju pintu keluar sekolah yang letakknya berdekatan dengan jalan raya. Sekolahku berada di dekat jalan raya, namanya Jl. Dr. Cipto Mangunkusumo. Salah satu jalan protokol di kotaku. Di depan sekolahku terdapat sebuah halte. Disebut halte angkot, karena tidak ada bus di kotaku. Trotoar terlihat sepanjang jalan.Di sebelah kiri sekolahku, kira-kira berjarak dua ratusan meter, terdapat sebuah pasar yang cukup besar, merupakan salah satu pasar utama di kotaku, namanya Pasar Gunung Sari. Persis di depan pasar tersebut terdapat sebuah mall yang terbesar di kotaku. Dipisahkan oleh sebuah jalan raya yang lebarnya kira-kira lima mobil. Mall terbesar itu bernama Grage Mall. Tempat yang sering dijadikan tempat nongkrong anak sekolah. Meskipun seharusnya tidak boleh demikian. Tetapi entah mengapa pengelola mall membiarkan anak sekolah berkeliaran disana menggunakan baju sekolah. Aku sudah berjalan keluar dari pintu keluar sekolah. Berbelok ke sebelah kiri, menaiki trotoar pejalan kaki dan meneruskan jalan menuju ke arah pasar. Deretan setelah sekolahku juga terdapat ruko-ruko yang di depannya ada halaman ruang kosong untuk parkir mobil atau motor. Dari jarak kira-kira lima puluhan meter, aku melihat ada beberapa pemuda yang mendekati adik kelasku. Aku tahu persis dia adik kelasku karena baju yang dipakainya. Meski demikian, aku tidak tahu namanya. Mereka terdiri dari tiga orang. Dua orang yang berbadan sedang dan satu orang yang berbadan besar dan tegap. 40

Ah, dahiku mengerenyit. Tampaknya mereka sedang berusaha memaksa adik kelasku untuk menyerahkan barang berharganya. Aku melihat adik kelasku memegang erat tasnya. Sedangkan dua orang pemuda tadi mencoba merebutnya. Pemuda yang berbadan besar dan tegap hanya menonton saja. Tiba-tiba dadaku bergemuruh. Emosiku naik. Aku tidak senang dengan pemandangan ini. Aku percepat langkahku untuk mendekati mereka. "Lepaskan! Lepaskan!", teriak adik kelasku. "Sudah diam! Sini berikan tasmu!", hardik salah satu pemuda yang mencoba merebut tasnya. Pemuda yang satunya hanya menyeringai sambil menunjukkan wajah seramnya. Tampaknya ia berusaha agar korban ketakutan. Jarakku hanya tinggal lima meteran saja. Pemuda yang berbadan paling besar dan paling tegap menoleh ke arahku. "Hei kalian! Hentikan!", teriakku lantang sambil jari telunjukku mengarah pada kedua pemuda tersebut bergantian. Aku menggeser tasku ke arah punggung. Aku tahu, sebentar lagi pasti akan terjadi perkelahian. Meskipun ayah selalu berpesan agar sebisa mungkin menghindari perkelahian, tapi aku tidak bisa melihat keadaan seperti ini di depan mataku. Entahlah, apakah aku sok jagoan atau bagaimana. Yang jelas, batinku tidak bisa menerima keadaan ini. Kedua pemuda tersebut menoleh ke arahku. Salah satunya tertawa. Salah satunya lagi berjalan ke arahku. "Hahaha, mau ada yang jadi jagoan ya disini?", ucap pemuda yang berjalan ke arahku itu. Pandangan matanya tajam menusuk ke arahku. Jaraknya hanya sekitar satu meteran di depanku. 41

Aku berdiri terdiam. Kedua bahuku aku lemaskan, tangan menjuntai ke bawah. Pemuda itu semakin mendekatiku dan ia langsung mencengkram kerah bajuku dengan tangan kanannya. "Lu mau jadi jagoan disini?!!", hardik sang pemuda. Cengkraman kerah bajuku semakin diperkeras. "Nggak mas. Tapi tolong lepaskan adik kelas saya.", tanyaku pada sang pemuda. Aku mencoba ramah dan tidak berusaha menekan pada intonasi suaraku. Tak disangka, pemuda di depanku ini tampak semakin marah dengan jawabanku. "Eeh, lu siapa hah! Seenaknya aja main perintah! Lu mau gua hajar?!!", hardik si pemuda lebih keras sambil mendorongku ke belakang. Cengkramannya tidak ia lepaskan. Dheg! Aku terdiam. Tiba-tiba pusarku terasa menghangat. Rasa hangatnya bergerak naik. Alirannya terasa lebih cepat memenuhi seluruh tubuhku. Dadaku semakin bergemuruh. Secara reflek tangan kiriku menangkap tangan kanan yang mencengkeram kerahku, lalu memutarnya dengan cepat dan menariknya ke atas lebih tinggi dari kepalaku. Bersamaan dengan itu, tangan kananku bergerak cepat ikut membantu menguatkan pegangan tangan kiriku pada tangan pemuda itu. Lalu menekuknya ke arah pingggang kanan si pemuda sehingga ia menjadi terbungkuk. Setelah itu kaki kiriku aku geser ke belakang dengan cepat sambil kedua tanganku menarik tangan si pemuda tersebut ke arah lutut kiriku. Gerakan ini membuat tubuh si pemuda terbanting dengan lengan terpuntir dan kepalanya berada di bawah lutut kiriku! 42

BUGGH!!! Ia terbanting keras. "Uuuughh!!", teriak pemuda ini. Tidak berhenti sampai disitu, aku memutar lengannya sambil mengunci siku pemuda tersebut dengan lutut kiriku. "Aaaaaakkh!", pemuda itu berteriak kesakitan. Gerakanku masih berlanjut. Tangan kananku aku lepas dan langsung memukul urat leher besar di sebelah kanan. Pemuda itu tampak lemas. Ia pingsan! Oooh tidak! Aku lupa! Aku tidak boleh melakukan ini! Urat leher besar kanan adalah daerah sensitif, yang kalau terkena serangan keras akibatnya bisa menghentikan aliran darah dan bahkan bisa menyebabkan kematian. Ah, aku merasa bersalah. Sesaat aku jadi teringat saat latihan bersama ayah. Saat itu, ayah mengajariku mengenai titik-titik rawan di dalam tubuh manusia. Titik-titik dimana apabila serangan kita diarahkan kepadanya akan bisa membawa rasa sakit dan penderitaan berat bagi lawan. Ayah pernah berkata bahwa ketika gerakan dilakukan, maka ia umumnya terdiri dari alat penyasar serangan dan sasaran serangan. Alat penyasar disesuaikan dengan bentuk gerakan. Ada yang berupa kepalan tangan utuh, ujung jari, sisi telapak tangan, punggung telapak tangan, ujung siku, telapak tangan, atau yang lainnya. Sedangkan sasaran serangan adalah titik-titik pada tubuh yang sudah diidentifikasi sedemikian rupa. Beberapa titik menyebabkan rasa sakit yang biasabiasa saja, tapi beberapa menyebabkan rasa sakit yang sangat dahsyat, beberapa malah bisa menyebabkan kematian. Ayahku selalu mengingatkan, bahwa pelajaran mengetahui titik-titik rawan tubuh janganlah melulu ditafsirkan sebagai cara untuk mengalahkan lawan dengan cepat. Tapi lebih jauh dari itu, pengetahuan terhadap 43

titik-titik rawan tubuh juga bisa digunakan untuk mengobati seseorang, atau lebih jauh lagi bahkan dapat meningkatkan kemampuan kita. Tergantung ingin digunakan bagaimana pengetahuan tersebut. Ayah juga mengingatkan, bahwa pada mereka yang sudah terlatih fisik dan olah nafas, maka titik-titik rawan ini bisa sedemikian kuat, bahkan bisa disembunyikan, atau lebih jauh lagi bisa digeser. Ayah menambahkan, bahwa yang digeser atau disembunyikan bukanlah fisik dari titik tersebut, tetapi rasa yang ada di dalamnya. Jadi, tidak semua titik-titik ini menjadi rawan. Tergantung dengan siapa kita berhadapan. Tetap waspada, dan jangan lengah. Begitulah pesan ayah. Meski demikian, ayah tidak pernah bosan mengingatkan agar sebisa mungkin menahan amarah, menahan emosi. Maafkan aku ayah, aku sudah melanggar nasehatmu. Aku terpaksa melakukan ini. Tubuhku bergerak sendiri. Mengikuti naluriku. Mengikuti 'theg' di hatiku. Aku ingin memberi pelajaran pada orang-orang jahat ini. Aku berdiri kembali, membiarkan pemuda ini tergeletak pingsan di sebelah kiriku. Aku menoleh pada pemuda yang satunya. "Hei! Lu apain temen gua hah! Sialan lu!", teriak pemuda yang satunya. Ia berlari menuju ke arahku. Tiba-tiba ia meloncat sambil menendang dengan kaki kanannya. Tendangannya cukup keras. Aku menggeser kaki kananku melebar ke arah kanan sambil menekuk lutut kanan. Bersamaan dengan itu pinggangku aku putar sedemikian rupa sehingga tubuhku yang tadinya menghadap ke depan menjadi menghadap ke kanan. Ini adalah posisi leyek depan. Posisi yang bisa digunakan menghindar. Tendangan lawan otomatis tidak mengenai tubuhku. Aku melanjutkan gerakan. Tangan kiriku aku gerakkan untuk melakukan tangkisan bawah, bergerak mengayun dengan lintasan dari atas ke bawah dan mengenai pergelangan kaki kanan pemuda tersebut. Sesaat setelah terasa mengena aku langsung mencengkram celana yang terpegang oleh tangan kiriku. Aku memutar tumit kaki kananku empat puluh 44

lima derajat dan menarik kaki kiriku dengan cara menyeret memendek sehingga kaki kanan pemuda itu mendekat ke badanku. Ini adalah sikap leyek belakang. Tangan kananku melakukan gerakan yang disebut dengan Punggung Siku Datar yakni salah satu serangan tangan dimana punggung siku digunakan sebagai alat penyasarnya. Adapun sasarannya adalah sendi lutut kaki pemuda tersebut. "Aaakh!!!", pemuda itu berteriak. Aku mengenai persendian lutut kanannya dengan keras. Meskipun aku sudah mengurangi tenagaku, tapi tak urung tetap membuat pemuda itu berteriak kesakitan. Kalau saja aku lepas kendali, aku pasti sudah mematahkan persendian lutut pemuda itu. Beruntung aku teringat pesan ayah agar tetap terkendali dan terkontrol meskipun dalam situasi sesulit apapun. Aku harus membereskan pemuda ini dengan cepat. Gerakanku berlanjut. Kaki kananku aku geser mendekati tubuh pemuda itu sambil aku melakukan serangan yang disebut dengan Ujung Siku Datar. Serangan ini aku arahkan pada ulu hatinya. Sesuai dengan namanya, alat penyasarnya adalah ujung siku. BUKK!! Pemuda itu tidak bersuara. Ulu hatinya terkena seranganku dengan telak. Ia terjatuh, mengaduh. Berguling-guling sebentar sambil memegangi ulu hatinya, lalu pingsan! Aku terkejut. Apakah aku sekeras itu memukul? Rasanya biasa saja. Aku terngiang ucapan ayahku bahwa ketika seseorang sudah melatih tata gerak dengan pengulangan yang sangat banyak sedemikian rupa, maka gerakannya akan menjadi sangat akurat, sangat bertenaga. Apalagi kalau pada saat yang bersamaan juga ia melatih olah nafas dan digabungkan dengan penerapan tata geraknya. Maka 45

efeknya bisa sangat dahsyat. Tanpa olah nafas saja efeknya bisa sangat membahayakan, apalagi digabung secara bersamaan. Aku tertegun. Masih dengan posisi ujung siku tangan kananku membentuk serangan. Dua pemuda sudah roboh. Pemuda yang satu lagi tampak cukup tenang. Ia terlihat lebih percaya diri dibanding teman-temannya. Ia juga lebih tegap dan kuat dibanding dua temannya. Ia berjalan mendekatiku dan berhenti kira-kira satu meter di depanku. "Hmm, kamu keliatannya boleh juga...", ucap pemuda tersebut kalem. Aku terdiam. Tidak menanggapi ucapannya. Tenang itu biasanya menghanyutkan. Begitu kata ayah saat memberikan nasehat kepadaku. Berhatihatilah terhadap orang yang tenang, sebab bisa jadi ia menyimpan sesuatu. "Maafkan saya kak. Tadinya saya hanya ingin teman-teman kakak ini tidak mengganggu adik kelas saya. Itu aja kak.", ucapku memulai. Pusarku kembali menghangat. Aku mulai waspada. Pemuda ini mulai berjalan mengitariku. Aku semakin waspada. "Sudahlah, tidak usah banyak omong! Terima saja ini... huh!", teriak pemuda itu yang serta merta langsung menyerang dengan pukulan lurus ke arah kepalaku. Kuda-kudanya terlihat begitu lebar dengan kaki kanan di depan dan sedikit ditekuk. Tidak mau kepalaku jadi sasaran serangan lawan, aku melangkah ke samping menghindari serangan pukulan dengan sikap leyek dengan tangan kiriku melakukan gerakan tangkisan bernama Tangkisan Atas, yakni tangkisan dengan menggunakan sisi telapak tangan yang sedikit ditekuk ke arah luar. TAKKK!! 46

Aku berhasil menangkisnya. "Huh, gerakan ini lagi! Sudah aku baca!", ucap pemuda itu. Ia langsung mengganti serangannya dengan melangkah maju dan melakukan pukulan yang kedua dengan tangan kirinya. Sementara tangan kanannya ia simpan di pinggang kanan. Melihat ini, kaki kiriku aku gerakkan memutar ke arah belakang kaki kananku sehingga sedikit melewatinya. Putaran ini sekaligus dibarengi putaran pinggangku dengan tangan kananku melakukan gerakan tangkisan dengan punggung tangan. Gerak langkah ini disebut dengan Srimpet, sedangkan gerak tangkisannya disebut dengan Potongan. PLAKK!! Punggung tanganku berhasil menangkis serangan pukulannya. Kaki kananku secara reflek berusaha menendang ke arah tubuh pemuda itu dengan keras dengan Tendangan Samping menggunakan sisi telapak kaki kananku. Pemuda itu menggeser tubuhnya ke arah kiri. Ia berusaha menjauh. Aku tidak tinggal diam. Aku langsung mendekatinya dan melakukan serangan Pukulan Datar, yakni sebuah pukulan lurus dengan kepalan tangan yang aku arahkan di dadanya. BUGGH!! Seranganku mengenainya. Pemuda itu terdorong mundur. Ia tampaknya tidak merasa kesakitan seperti dua pemuda tadi. Padahal pukulanku cukup keras mengenai dadanya. Meski sedikit di atas ulu hatinya. Aku yakin cukup keras. Tapi rupanya belum cukup keras.

47

"Lumayan! Pantas lu berani sok jagoan!", ucap pemuda tersebut. Ia tidak mengelus dadanya atau mengurut dadanya. Ia terlihat biasa saja. Kepalanya manggut-manggut. Wajahnya kini terlihat serius. Tangannya kirinya terlihat masuk ke kantong celana sedangkan tangan kanannya mengelus-elus dagunya yang tidak berjenggot. Aku kembali berdiri dengan kaki sejajar bahu. Jarak kami hanya sekitar satu setengah meter. Tiba-tiba tangan kiri pemuda itu bergerak ke arah wajahku dan melemparkan sesuatu. Sekilas terlihat seperti pasir-pasir yang dilemparkan. Aku tidak tahu apa yang dilemparkan, apakah pasir atau bukan. "Terima ini!", ucap pemuda itu mendadak. "Uuuuh!", aku mencoba menutup kedua mata dengan tanganku. Tapi terlambat. Sebagian pasir mengenai mataku. Perih terasa. Aku langsung mundur tiga langkah. Mencoba menjaga jarak, sambil tanganku berusaha mengusap-usap kedua mataku yang perih. "Uuuh, bahaya ini. Perihnya tetap terasa!", batinku dalam hati. Aku hanya mendengar suara langkah kaki di depanku. Tiba-tiba dadaku terasa nyeri karena ditendang oleh pemuda itu. BUGGGH!! Aku terpental sampai tiga meteran. Jatuh berguling-guling di tanah. Aku langsung berusaha berdiri, dengan masih memejamkan mata. Serangan itu tidak begitu sakit aku rasakan. Aku lebih mengkhawatirkan mataku. Uuh sial, mataku masih perih. 48

Disaat seperti ini, aku teringat kembali latihan bersama ayah. Ayah mengajarkanku suatu materi yang ia sebut dengan Getaran Tutup Mata. Kata ayah, ini adalah salah satu seni rahasia dari aliran beladirinya. Memungkinkan orang yang melatihnya mampu mengembangkan daya kepekaan sedemikian rupa sehingga ia tidak membutuhkan daya lihat optik seperti mata. Penglihatannya diganti dengan rasa. Rasa adalah penglihatannya. Sebuah daya kepekaan sedemikian rupa untuk menangkap gelombang, untuk menangkap getaran. Sebab getaran adalah gelombang. Semua yang bergetar akan memancarkan gelombang. Dan itu bisa kita rasakan, kata ayah. Air, batu, kayu, sungai, cahaya matahari, kulit, urat, otot, darah, semua memiliki getaran pada tingkatannya masing-masing. Dan semuanya memancarkan gelombang. Itulah yang dirasakan. Aku kemudian menjadi lebih tenang. Aku pusatkan konsentrasi pada rasa. Pada warna hitam di 'pandangan' mataku. Aku mencoba menembus selubung penghalang rasa seperti yang pernah diajarkan oleh ayahku. Perlahan, pori-pori kulitku mulai membesar seiring dengan guratan abstrak putih mulai terbentuk. Gambaran seperti siaran televisi rusak mulai terlihat. Hitam dan putih. Terbayang dan berbayang. Semua yang berada di sebelah kananku, di sebelah kiriku, di depanku, di belakangku, di atasku, menjadi begitu sangat terasa. Setiap langkah dari pemuda itu sangat terasa. Aliran udara di sekitar tubuhnya. Bahkan hingga detak jantungnya pun terasa sekali. Sosok pemuda di depanku 'terlihat' mendekat. Jaraknya semakin dekat. Aku terdiam. Waspada. "Mampus lu!", teriak pemuda itu sambil kaki kanannya menendang keras ke arahku. Aku menggeser kakiku ke arah kanan. Serangan kaki itu luput. Pemuda itu kaget karena serangannya gagal.

49

"Sialan lu! Nih, gua beri lagi!", hardik pemuda itu. Ia kemudian menendang kembali dengan kaki kirinya. Aku kembali menggeser kakiku, menjauh sedikit dari serangannya. Serangan kedua itu luput lagi. "Kurang ajar! Nih!", pemuda itu terlihat maju merangsek sambil memukul dengan tangan kanannya dengan arah lintasan memutar ke arah pelipis mata kananku. Tapi sebelum serangan itu sampai ke pelipis kananku, aku maju menyongsong serangannya sambil melakukan Tangkisan Atas dan Pukulan Datar secara bersamaan. Sasaran dari pukulan datarku adalah hidung pemuda itu. PLAKK!! DHUESSS!!! Pemuda itu terjerembab. Ia terjatuh dan mengaduh sambil memegangi hidungnya. Darah 'terlihat' mengucur dari hidungnya. Aku kembali mengambil posisi siap. Barangkali pemuda itu masih punya rencana lain. Ia kemudian berdiri, lalu berlari. Pemuda itu meninggalkan teman-temannya yang tergeletak. Ia tampak tidak peduli. "Awas lu!!", teriak pemuda itu sambil berlari menjauh dan memegangi hidungnya. Aku hanya merasakan pemuda itu semakin menjauh. Ia terus berlari, dan aku tidak mempedulikannya. Suasana kemudian jadi hening. Aku hanya merasakan dua orang yang masih tergeletak pingsan. Uuh, mataku harus aku bersihkan. Aku kemudian menebar getaran deteksi ke sekelilingku. Mencoba mencari pedagang teh botol di sekitarku. Ketemu. Pedagang itu ada tidak jauh dari sebelah kiriku. Aku menghampirinya sambil masih tetap memejamkan mata.

50

"Mas, beli Aqua satu ya", tanyaku. Tanganku langsung mengambil sebotol Aqua. Membuka tutupnya, lalu menuangkannya ke mataku sambil aku usap-usap. Aku mencoba membersihkan mataku dari rasa perih. Aku mengembalikan seluruh rasa getaran yang tadi aku gunakan ini kepada organ optikku kembali. Setelah itu aku mencoba membuka mata. Masih agak perih dengan pandangan sedikit kabur. Aku tuangkan kembali air Aqua itu pada kedua mataku. Aku usap-usap perlahan. Tidak berapa lama pandangan mataku sudah mulai normal. Alhamdulillah. Aku bersyukur tidak terjadi apa-apa pada kedua mataku. "I...i..iya mas", jawab pedagang itu. Ia barangkali bingung bagaimana aku bisa menghampirinya dan mengambil Aqua dengan tepat meskipun mataku terpejam. Aku tersenyum. Ini pertama kalinya aku menguji kemampuan Getaran Tutup Mata pada situasi sebenarnya. Meski ada banyak pertanyaan, tapi saat ini aku cukup puas. Terutama saat aku melakukan serangan terakhir. Sesungguhnya sebelum serangan pemuda itu akan disarangkan kepadaku, sesaat sebelum serangan itu sampai, getaran 'niat' dari pemuda itu bisa aku rasakan benar. Aku sebenarnya sudah tahu kaki kanannya akan menendangku. Aku juga tahu kemudian kaki kirinya mencoba menendangku lagi. Dan pada serangannya yang ketiga, aku sudah bisa merasakan getaran 'niat' dari pemuda itu untuk melakukan serangan tangan berupa pukulan melingkar. Itulah sebabnya aku bisa menghindar dengan sempurna. Aliran getaran dari 'niat' dan bagian tubuh pemuda itu terasa di hatiku dan merambati seluruh tubuhku. Sehingga aku bisa melakukan antisipasi dengan benar. Meski demikian, ada satu hal yang masih jadi pertanyaan di benakku. Yakni saat sebelumnya aku berhasil memukul dada pemuda itu, tapi ia tampak tidak kesakitan. Padahal pukulanku cukup keras kulayangkan ke dadanya. Aku ingin menanyakan nanti pada ayah kenapa bisa begitu. Aku juga ingin minta maaf karena sudah melanggar nasehatnya dengan berkelahi di jalanan. Sesuatu yang ayahku sangat tidak sukai. Aku terngiang ucapan ayah. 51

"Getaran adalah gelombang. Gelombang adalah getaran. Getaran dari sukma sejati. Gelombang dari sukma sejati. Seni ini sangat istimewa. Mengembangkan ini akan membuka cakrawala pengetahuan beladiri yang sama sekali baru. Akan membuka ranah pengetahuan baru. Sebuah evolusi yang benar-benar evolusi. Bukan sekedar pengembangan, tetapi benar-benar evolusi. Belum pernah dibukukan sebelumnya. Belum pernah dipikirkan sebelumnya. Gabungan tradisional dengan modern. Satu ruang tumbuh yang baru. Yang suatu hari nanti akan kamu tempati, asalkan kamu masih di jalan pendekar dan ilmuwan.", ucap ayah. ***

52

BAB 8

KALAU BISA MERUSAK, APA KAMU BISA MEMPERBAIKI? Aku membersihkan bekas telapak sepatu dari pemuda yang terakhir menendangku itu. Aku tepuk-tepuk agar debunya berjatuhan. Serangan itu tidak begitu terasa sakit. Karena hawa hangat yang mengalir dari bawah pusarku dan naik ke dada seperti 'membersihkan' efek benturan dari serangan itu. Aku melihat kedua orang pemuda yang masih pingsan. Tiba-tiba muncul rasa iba pada mereka. Aku jadi teringat nasehat ayah. Aku kemudian berjalan mendekati salah satunya. Yang paling dekat denganku adalah pemuda yang terkena ulu hatinya. Aku berjongkok sambil mencoba mengangkat setengah bagian tubuhnya sehingga ia berada dalam posisi duduk dengan kaki lurus. Masih tetap berjongkok, aku menggeser tubuhku di depan tubuhnya, lalu mengangkat tangan kanannya sehingga ketiaknya terbuka. Aku mencubit urat besar di tengah-tengah ketiak kanan pemuda itu dengan cukup keras menggunakan ibu jari dan jadi telunjuk tangan kananku, kemudian melakukan hal yang sama pada ketiak kirinya. Mencubit urat besar di tengah-tengah ketiak kiri pemuda itu dengan tangan kiriku. Setelah itu, aku langsung memutar ke belakang tubuhnya, dan melakukan totokan dengan ujung jari telunjuk kanan pada dua titik di bahunya agak dekat dengan leher. Lalu menepuk-nepuk punggungnya dengan telapak tangan kananku. Pemuda itu pun tersadar. Aku langsung berdiri dan mendekati pemuda satunya yang masih tergeletak pingsan. Melakukan hal yang sama, yakni mencubit urat besar di tengah ketiaknya kemudian menotok dua titik di bahunya agak dekat dengan leher, lalu menepuknepuk punggungnya dengan telapak tanganku. Ia pun juga tersadar. 53

Keduanya terduduk. Kesadaran mereka mulai berangsur pulih. Pengetahuan ini aku dapatkan dari ayahku. Bagaimana cara menyadarkan seseorang yang pingsan. Kata ayah, seorang yang belajar beladiri, selain bisa merusak juga harus bisa memperbaiki. Jangan hanya bisa merusak tanpa bisa memperbaiki. Aspek beladiri harus seiring sejalan dengan aspek pengobatan. Aspek kanuragan, sebisa mungkin dibarengi dengan aspek kahusadaan. Begitu kata ayah. Lebih lanjut lagi, kalau seseorang sudah bisa menghancurkan apakah ia bisa merakit ulang kembali? Kalau kita bisa merusak, apakah kita bisa memperbaiki kembali? Itu adalah sesuatu yang ayah minta aku ingat benar-benar. Aku kemudian berdiri, dan membiarkan mereka disitu. Aku ingin meneruskan perjalanan ke arah lampu merah di ujung jalan. Saat itu aku melihat ke sekeliling, dan mendapati beberapa orang dewasa yang memandang ke arahku. Ada tukang becak, ada pedagang teh botol, ada pengendara motor yang berhenti. Mereka tampak tersenyum melihatku. Salah satunya bahkan mengangkat dua ibu jari tangannya, sebagai simbol pengakuan atas sesuatu. Mulutnya berkata tanpa suara, "Bagus dik!". Aku bisa membaca gerak bibirnya yang mengatakan seperti itu. Barangkali dia menonton dari awal hingga akhir perkelahianku. Aku tersenyum padanya sambil sedikit menundukkan kepalaku. Tanganku tanpa sadar menggarukgaruk kepalaku yang sama sekali tidak gatal. Ah, aku malah jadi kikuk. Lebih baik aku bergegas meninggalkan tempat itu daripada aku jadi bingung sendiri nantinya. Aku melihat sekeliling, adik kelasku rupanya sudah pergi entah sejak kapan. Ya sudah, biar sajalah. Yang penting dia selamat. Aku bersyukur karena aku sendiri selamat, adik kelasku selamat, dan pemuda yang pingsan ini sudah tersadar kembali. Pemuda yang paling besar dan tegap, meskipun lari, tapi tentunya dia juga selamat. Aku yakin ia agak sedikit cedera, tetapi selama ia masih bisa berlari, berarti cederanya tidak terlalu parah. Semoga saja demikian, batinku. Aku berjalan cepat meninggalkan tempat itu. Kira-kira lima puluh meteran, aku menoleh ke belakang. Dari jauh aku lihat salah satu pemuda itu sudah berdiri dan 54

mencoba menolong temannya untuk berdiri. Kemudian mereka berjalan berlawanan arah denganku sambil salah satunya dirangkul. Syukurlah, mereka sudah bisa berjalan lagi. Aku tersenyum. Hatiku menjadi lega sekarang. Entah mengapa, rasanya ada suatu perasaan yang sulit aku jelaskan saat mengalami semua itu. Aku teruskan perjalanan. Niatku hari ini untuk menengok Andi yang masih sakit di rumahnya. Sambil berjalan, aku teringat pada ayah. * Selama ini, aku hanya berlatih bersama ayah. Menirukan gerakan, mengulangulangnya, kemudian menerapkan gerakan dalam situasi yang menurutku berada dalam skenario dan rancangan ayah. Mungkin karena berlatih bersama ayah, perasaanku kurang lepas, aku tidak mengalami keadaan yang bikin aku deg-degan. Lebih jauh lagi, barangkali aku belum mengalami kondisi yang mengancam nyawaku, sehingga potensi diriku belum sepenuhnya keluar. Ayah pernah berkata, bahwa latihan adalah awal. Penerapan yang sesungguhnya ada pada pertarungan. Meski latihanku benar, belum tentu penerapan pada pertarungan juga benar. Meski pengetahuan gerakanku cukup banyak, belum tentu gerakan itu akan keluar dengan baik pada pertarungan. Gerakan harus disesuaikan dengan keadaan. Dan setiap yang berlatih beladiri, pasti akan mengalami pertarungan. Kita akan menyadari berharganya ilmu beladiri kita manakala kita berhadapan dengan situasi yang mengancam nyawa kita, dan kita bisa tertolong dan menolong karenanya. Demikianlah ayah menjelaskan. "Yah, apakah pertarungan itu artinya perkelahian?", tanyaku. "Perkelahian adalah salah satu dari pertarungan. Seorang yang belajar silat, pasti akan mengalami pertarungan dalam hidupnya. Entah yang bersifat fisik, seperti perkelahian, atapun yang bersifat non fisik. Suatu pertarungan tidak akan berhenti sampai diketahui hasilnya. Jadi, kalau kamu belum siap dengan pertarungan, maka 55

kamu lebih baik jangan bertarung dulu atau sebisa mungkin hindarilah suatu pertarungan. Tapi kalau kamu, karena suatu hal, terpaksa harus masuk di dalam suatu pertarungan, maka hadapilah sebaik-baiknya. Keluarkan semua potensimu.", jawab ayah. "Meski demikian, tetaplah bijak dengan kekuatanmu, dengan teknik-teknikmu, dengan gerakan-gerakanmu, dan dengan pengetahuanmu. Tetaplah baik dengan musuhmu, bahkan apabila ia menyakitimu pun, berusahalah tetap baik terhadapnya. Dalam batas yang wajar.", jawab ayah. Aku mengangguk. "Yah, kenapa Aa dilarang berkelahi sedangkan ayah mengajari teknik untuk berkelahi?", tanyaku kembali. "Nak, jawaban dari pertanyaanmu ini akan kamu dapatkan nanti, dalam pertarunganmu sendiri. Jika saat itu tiba, maka hikmah akan menjadi jawabannya. Seperti apa? Ayah juga nanti ingin mendengar sendiri jawabannya dari kamu nak.", jawab ayah sambil tersenyum dan menepuk pundakku. Aku kembali mengangguk. "Yah, adakah pertarungan yang paling hebat yah?", aku memberanikan diri bertanya kembali. "Ada, yakni pertarungan dengan dirimu sendiri. Pertarungan dengan hawa nafsumu. Itulah pertarungan yang paling besar, dan itulah pertarungan yang sesungguhnya. Lawan berkelahimu tidak akan pernah ada di dekatmu setiap saat. Ia akan ada hanya pada suatu saat, tapi tidak setiap saat. Ketika lawanmu ada, maka ia akan tetap terlihat oleh panca indramu. Tapi hawa nafsu itu sesuatu yang lain. Ia tidak terlacak oleh panca indramu. Ia akan mengikutimu setiap saat. Ia akan selalu menjadi bagian dari dirimu yang mencoba terus untuk mengalahkanmu. Setiap saat, 56

dan selalu pada setiap saat yang tidak pernah kamu duga-duga atau harapkan. Saat kamu bisa mengalahkan hawa nafsumu, maka kamu sudah melewati pertarungan terbesarmu.", jawab ayah. "Kamu, nafasmu, jiwamu, ragamu, nafsumu, hatimu, pikiranmu, dan yang lainnya adalah suatu kesatuan. Sebagian saling mempengaruhi satu sama lain. Ada pengaruh yang membangun, juga ada yang merusak. Ada yang menguatkan, ada yang melemahkan. Meski hawa nafsumu adalah musuhmu, tapi ia juga potensimu, bisa menjadi kekuatanmu. Latihlah, kuasailah, taklukkan olehmu sendiri.", lanjut ayah. * Ingatanku saat latihan bersama ayah tiba-tiba dibuyarkan oleh suara klakson dari sebuah sepeda motor di belakangku. "Hoiii...!", teriak seseorang dengan lantang. Aku menoleh. Terlihat pengendara motor menggunakan helm yang bagian depannya tidak memiliki kaca. Lho, itu khan Herman, teman sekelasku. Aku menghentikan langkahku. Herman dengan sepeda motornya langsung berbelok memotong jalanku dan berada persis di depanku. "Mo kemana bro?!", ucap Herman mengulangi. "Man, gue pengen nengok Andi nih.", jawabku. "Oh ya? Ya udah, yuk barengan aja!", jawab Herman. Tangan kirinya meraih helm berwarna hitam yang tergantung di stang motor kirinya. Dan langsung melemparkannya kepadaku. "Tangkap!", pintanya. 57

Aku dengan sigap menangkap helm Herman. Lalu memakainya di kepalaku. Ah, kebetulan nih. Lumayan lah ada tumpangan, batinku. Aku tersenyum lebar. "Siiiip!", aku langsung melompat ke belakang Herman. "Waduuh, ini jok apa batu sih Man? Keras amat!", tanyaku protes. Pantatku serasa membentur batu, padahal itu adalah jok motor. "Hahaha, itu campuran jok ama batu!", jawab Herman sambil tertawa. "Dasar lu yaaa! Hahahaha", ucapku sambil tertawa. Aku jitak saja kepalanya perlahan. Ia pun memacu sepeda motornya menembus udara siang hari yang mulai memanas. Aku menengok ke belakang, melihat kembali tempat perkelahianku dari kejauhan. Disana sudah sepi. Nanti, sepulang dari menengok Andi, aku ingin menemui ayah. Aku ingin menanyakan suatu hal padanya. ***

58

BAB 9

SUKMA AJARAN SILAT

"Syalalalala... syalalalala...", aku bersenandung di kamar mandi. Aku sedang membilas tubuhku dengan air yang disemprotkan dari shower. Segar sekali rasanya. Air di daerahku ini segar sekali. Berasal dari pegunungan, yakni Gunung Ciremai. Agak dingin, meski tidak sedingin air di Puncak, Bogor. Tetapi segarnya mampu menyaingi. Setelah aku selesai menengok Andi bersama Herman, aku langsung pulang. Sore ini aku ingin bertanya pada ayah mengenai sesuatu yang menjadi pertanyaan di hatiku tadi siang. Tiba-tiba senandungku terhenti karena pintu kamar mandi digedor dengan cukup kencang. "Kakaaak... cepetaaan dooonk!", teriak Ayu lantang. Ia menggedor pintu kamar mandiku. Ayu adalah adik pertamaku. Dia cantik sekali. Secantik ibuku. Ia bersekolah di salah satu SMP favorit, tapi agak jauh dari rumah. Setiap hari, ia berangkat naik sepeda. Sesekali naik angkutan umum atau angkot. Aku pernah bertanya, kenapa tidak mau diantar oleh ayah atau ibu? Ia hanya menjawab kalau ia sudah cukup besar, dan tidak mau merepotkan. Kalau cuma berangkat sekolah saja sih bisa sendiri, katanya. Aku tersenyum. Adikku ini juga cukup mandiri. Mungkin karena ayah selalu mengajarkan kami untuk belajar mandiri makanya pola pikir untuk keadaan yang satu itu agak seragam antara aku dan adik-adikku. Aku melanjutkan bersenandung, tidak mempedulikannya. 59

"Kakaaaaaaaak! Cepetaaaaaann..!", teriak Ayu kedua kali. Tangannya makin keras menggedor pintu kamar mandi. Uuh, aku terpaksa menghentikan lagi senandungku. "Iya.. iya... sabaaar! Kakak bentar lagi yaaaaaa...! Ini lagi handukan niiih.", jawabku dari dalam kamar mandi. Tidak berapa lama, pintu kamar mandi kubuka. Belum sempat aku keluar dari pintu kamar mandi, Ayu sudah menerobos masuk. "Minggirr... minggiiirr.. Iiiih! Cepetan..!", ucapnya. Tubuhnya memaksa masuk. Kedua tangannya mendorong tubuhku ke tembok. Aku tergeser, otomatis memberinya jalan. Tidak berhenti sampai disitu saja, setelah melewatiku, tangannya kembali mendorongku hingga aku benar-benar keluar dari kamar mandi secara paksa. "Iya iya ... Sabaar Yuuu...!", teriakku agak kesal. Terlambat. Aku sudah terdorong keluar kamar mandi. BRUGG!! Pintu kamar mandi ditutup. "Huh!", aku hanya mendengusl. "Awas yaaaaa!", ancamku dari luar kamar mandi. "Biariiin!... Weeekkk!", suara Ayu dari dalam kamar mandi, ia terdengar mengejek. 60

Aku berjalan menuju kamarku. Meski kesal, aku tidak marah. Begitulah tingkah adikku ini. Karena hanya ia satu-satunya yang perempuan, barangkali ia jadi tampak berbeda. Aku, sebagai anak tertua, harus bisa mencoba memahami keadaannya. Kata ayah, anak tertua memiliki tanggung jawab yang lebih besar. Terkadang, saat adik-adikku bertengkar, aku menjadi penengah untuk mereka. Bahkan kalau adikadikku terjadi keributan karena suatu hal, hingga hampir terjadi perkelahian, aku harus menghentikan mereka. Ayah sangat melarang perkelahian diantara keluarga. Oh iya, semua adikku diajari silat yang sama oleh ayah. Jadi tidak heran kalau saat ada keributan, tangan dan kaki sering nyelonong sendiri tanpa sadar. Pipi adik keduaku, Bayu, pernah memar kena tinju yang paling bungsu, yakni Taufan. Sebaliknya, pipi Taufan juga pernah memar kena tinju kakaknya, Bayu. Kalau sudah begini, mereka pasti akan kena hukuman. Biasanya mereka disuruh menulis 'Aku tidak akan memukul adikku lagi' atau 'Aku tidak akan memukul kakakku lagi' sebanyak lima ratus kali sambil ayah menunggu mereka selesai menulis. Kalau masih bandel, hukuman ditingkatkan sampe seribu kali tulisan. Tidak menyakitkan buat mereka, tapi cukup membuat mereka kapok. Kalau dipikir-pikir, lucu juga. Tiga orang laki-laki dan seorang perempuan. Semuanya pesilat. Meski demikian, saat kumpul bersama, ayah selalu menegaskan bahwa silat yang dipelajarinya tidak boleh digunakan untuk hal-hal yang tidak baik, apalagi sampai berkelahi antar saudara. Sebagai keluarga, harus saling asah, saling asih, dan saling asuh. Begitu kata ayah. Aku sudah selesai ganti baju. Sore ini aku memakai celana hitam latihan dan kaos hitam. Aku berjalan ke depan untuk menemui ayah. Aku melihat dari balik kaca samping pintu, ayahku sedang duduk membaca koran. Sesekali pandangannya melihat ke depan. Aku berjalan mendekatinya, lalu duduk di kursi di samping ayah. Ayahku menoleh. "Gimana sekolahmu hari ini?", tanya ayah. "Allhamdulillah baik yah", jawabku. 61

Ayah tersenyum dan kemudian kembali membaca koran. Suasana hening sejenak. "Anu.. yah, begini.. ada yang ingin Aa tanyakan sama ayah", tanyaku memecah keheningan. Aku menggaruk-garuk kepalaku meskipun tidak gatal sama sekali. Aktivitas ayah terhenti, terdiam, lalu ayah lalu meletakkan korannya di atas meja dan menoleh ke arahku. "Ada apa A?", jawab ayah. "Sebelumnya, maafkan Aa ya yah karena Aa sudah melanggar nasehat ayah.", ucapku. "Aa... tadi... tadi... berkelahi di jalan.", lanjutku dengan lirih. Kepalaku sedikit menunduk. Hati ini berdetak lebih kencang. Aku khawatir ayah akan marah. Ayah memutar kursinya sehingga menghadap ke arahku. "Trus kamu menang?", tanya ayah sambil tersenyum. "I...i..iya yah. Kok tahu?", jawabku. Aku mengangkat kembali kepalaku dengan heran. "Wajahmu mengatakan demikian. Ada raut penyesalan, juga sekaligus kebanggaan. Tak ada bekas luka pukul pada wajahmu, juga tanganmu. Jadi ya kemungkinannya kamu menang.", lanjut ayah. "A...ayah marah ga?", tanyaku penuh kekhawatiran.

62

"Ayah tidak marah nak. Kalau kamu, karena suatu hal, masuk ke dalam suatu pertarungan yang tidak dapat kamu hindari, ya mau tidak mau harus kamu hadapi sebaik-baiknya.", jawab ayah sambil tersenyum dan menepuk pundak kananku dengan tangan kanannya. Aku masih ingat nasehat itu. "Yah, waktu Aa berkelahi, Aa melawan tiga orang yah. Yang pertama Aa jatuhkan dengan Tangkap Kunci 3, trus Aa pukul urat lehernya sampe pingsan. Yang kedua Aa jatuhkan dengan Ujung Siku Datar ke arah ulu hatinya. Ia pingsan juga. Tapi yang ketiga, Aa yakin mukul dengan keras di dadanya. Tapi keliatannya ia ngga kesakitan. Dan biasa-biasa aja. Malah bisa nyerang balik. Ia melempar pasir ke mata Aa. Perih yah. Aa jadi ga bisa buka mata. Tapi Aa ingat sama latihan Getaran Tutup Mata dari ayah.", ucapku menerangkan kejadian perkelahian itu. "Setelah itu bagaimana?", tanya ayah. "Ya Aa bisa menghindari dua serangannya. Di serangan ketiga Aa bisa memukul hidungnya yah pake Tangkisan Atas dan Pukulan Datar secara bersamaan. Trus dia lari ninggalin temen-temennya yang pingsan. Aa trus nyari tukang teh botol, beli air Aqua buat bersihkan mata Aa. Tadinya Aa mau langsung pergi saja, tapi Aa kasihan lihat mereka yang pingsan. Aa bangunin mereka pake teknik cubitan di tengah ketiak kanan dan kiri seperti yang dulu ayah ajarkan.", jawab Aa. Ayahku kembali tersenyum. "Anu.. yah, waktu Aa mukul pemuda yang ketiga, dia keliatannya ngga apa-apa yah. apakah pukulan Aa waktu itu kurang keras ya yah?", tanyaku. Senyum ayah melebar, berdiri dari tempat duduknya. "Sini, ikut ayah...", ucap ayah. 63

Ayah berjalan menuju halaman samping rumah. Disitu ada sebuah paviliun kecil. Bersebelahan dengan pohon asem yang sengaja ditanam oleh ayah. Kata ayah paviliun itu sudah dijadikan gudang, tempat menyimpan barang-barang. Aku sendiri tidak tahu barang apa saja yang disimpan disana. Jarang melihatnya. Yang aku tahu, disitu katanya tempat dimana barang-barang yang sering ayah gunakan sebagai latihan. Aku berdiri, lalu berjalan mengikuti ayah. Kami sampai di depan pintu paviliun yang dijadikan gudang itu. Aku berdiri disamping ayah. Ayah membuka pintu. Di dalamnya terlihat ada banyak sekali barang-barang. Aku tidak bisa mengenali semuanya. Ada beberapa yang cukup familiar dengan pengetahuanku, ada juga yang tidak. Di sudut ruangan, terlihat ada tumpukan beton cor selebar dua jengkal orang dewasa. Tampak kokoh. Disampingnya ada beberapa potong besi berwarna hijau yang berbentuk seperti gagang pompa. Di sebelahnya lagi ada beberapa potong besi berwarna hijau juga tapi lebih pendek dari gagang pompa dan lebih datar, tapi lebih tebal. Ada juga terlihat seperti plat besi berwarna hitam. Aku tidak tahu itu untuk apa. Sedikit bergeser ke kiri, aku melihat ada dua buah batu bata yang sudah disemen. Ada juga pot yang sudah di semen. Bagian atas pot itu berlubang sedalam satu ruas jari. Tampaknya digunakan untuk mencengkram. Ada juga sebuah bambu raut yang diikat dengan karet, sebuah halter dengan beban samping, sebuah halter dengan beban tengah. Tidak jauh dari situ, menggantung di seutas tali sebuah benda yang asing bagiku. Benda itu terbuat dari rotan, berbentuk seperti busur ganda yang ujungnya diikat dengan karet. Lalu dua buah meja kecil. Aku tidak tahu untuk apa itu semua. "Aa, tolong keluarkan ini, ini, ini, ini, ini, dan ini. Letakkan saja di luar.", pinta ayah. 64

Ayah menunjuk pada batu bata yang sudah disemen, pot semen berlubang, rautan bambu, halter pinggir, halter tengah, dan bambu busur yang tergantung. Aku menuruti perintahnya. Aku keluarkan satu persatu benda-benda yang diminta oleh ayah. Meletakkannya di luar, kira-kira tiga meter di depan paviliun tersebut. Aku juga melihat ayah mengeluarkan dua buah besi penyangga. Meletakkannya agak jauh dari tempatku meletakkan benda-benda yang diminta ayah. Lalu ayah balik lagi, dan mengambil beberapa beton cor, dan dua buah gagang pompa yang paling tebal. Aku tidak tahu apa yang akan ayah lakukan. Ini sangat asing buatku. Ayah kemudian menutup pintu paviliun, dan berjalan menuju benda-benda yang aku bawa. "Duduklah dulu...", tanya ayah. "Iya yah", jawabku. Aku dan ayah duduk hampir bersamaan. Kami berada di dekat benda-benda ini. "Nak, kamu tahu benda-benda apa ini?", tanya ayah. Aku menggeleng. "Benda-benda ini adalah benda yang digunakan untuk melatih satu tahap lain dari beladiri, yakni tahap olah nafas.", ucap ayah. "Selama ini kamu sudah belajar gerak, menghafalnya, mengulanginya, dan menerapkannya dengan cukup bagus. Lebih jauh lagi, kamu bahkan sudah mengalami satu pertarungan dalam hidupmu. Ayah yakin, saat itu yang bertarung bukan hanya ragamu, tapi juga hatimu. 65

Kamu juga sudah ayah ajari beberapa teknik olah nafas yang mengarah pada salah satu seni rahasia beladiri ini, yakni olah nafas Getaran. Olah nafas jenis ini akan menghasilkan apa yang disebut dengan Tenaga Getaran. Tapi ayah sengaja belum mengajarkanmu olah nafas untuk meningkatkan kekuatan tenagamu. Atau istilahnya olah nafas Power.", lanjut ayah. Aku terdiam. Berusaha mencerna penjelasan-penjelasan ayah. Benar sekali. Saat itu tidak hanya ragaku yang bertarung, tapi batinku juga ikut bergemuruh. Termasuk ketika terakhir aku mencoba menolong para pemuda yang pingsan juga hatiku berkecamuk. Antara menolong atau tidak. "Di dalam mempelajari suatu keilmuan, ada yang menurut pakemnya dan ada yang tidak menurut pakem. Yang menurut pakem, biasanya menyiapkan dulu raga atau tubuh untuk berlatih gerak atau jurus, baru kemudian berlatih olah nafas, kemudian olah rasa, dan olah batin. Adapun yang tidak menurut pakem bisa berlatih olah batinnya dulu, atau olah rasanya dulu, atau olah nafasnya dulu, atau hanya jurusnya dulu. Akan tetapi, tetap ada benang merahnya ... yakni olah nafas. Dimana ketika seseorang mumpuni di dalam olah nafas, walau tidak memiliki jurus tetap bisa menendang dan memukul dengan hasil yang berbahaya.", ucap ayah. "Yah, apakah hanya berlatih gerakan saja tidak maksimal?", tanyaku. "Tidak selalu demikian nak. Entah disadari atau tidak, saat seseorang berlatih gerakan atau berlatih jurus, maka ia secara naluri juga melatih nafasnya. Misalkan ketika menggerakan jurus atau gerakan tertentu, seseorang tentu mengambil nafas, menahannya, atau menyalurkannya pada suatu bentuk gerakan, barulah kemudian mengerahkan jurusnya. Tentunya ini sama saja dengan belajar jurus atau belajar gerakan plus olah nafasnya, meskipun tidak ia sadari. Kalau ditanya, apakah ada olah nafasnya, jawabnya selalu tidak ada. Padahal sebenarnya ada, tapi mungkin tidak spesifik ke arah olah nafas murni, tapi sudah menyatu pada gerakan jurusnya. Sudah menempel di gerakannya. Yang demikian itu tentu akan berbeda pada mereka yang 66

melakukan gerakan saja tanpa mengolah nafasnya dan yang melakukan gerakan dengan mengolah nafasnya. Hasilnya akan lain. Efeknya juga lain. ", jawab ayah. "Bukankah tanpa belajar, seseorang bisa memukul? Tanpa belajar terlebih dahulu seseorang bisa menendang? Bisa membopong? Berlari? Yang kesemuanya itu dilakukan dengan menghirup dan membuang nafas? Akan tetapi, akan lebih baik apabila semua didasari dengan suatu kesadaran pribadi bahwa mempelajari sesuatu sebaiknya memiliki dasar pengetahuan. ", lanjut ayah. "Untuk saat ini, kamu pahami saja dulu bahwa ada yang disebut dengan tenaga luar, dan ada yang disebut dengan tenaga dalam.", ucap ayah menegaskan. Aku mengangguk. Aku jadi paham mengapa pukulanku seperti tidak bermakna pada pemuda yang terakhir itu. Aku mengerahkan tenaga luar, dan mengenai tempat yang bukan titik mematikan. Pada dua serangan luarku sebelumnya, aku mengarah pada urat leher dan ulu hati, yang tentunya merupakan titik-titik yang menyakitkan. Tidak heran efeknya seperti yang diharapkan. Sedangkan ketika aku memukul dada pemuda yang ketiga, pukulanku tidak mengenai titik mematikan, meskipun tenagaku cukup besar. Tapi sepertinya kekuatan tubuh pemuda itu lebih besar dari kekuatan pukulanku. Kekuatan pukulan luarku kalah dengan kekuatan luar tubuhnya. Aku melihat ayah memandang ke langit. Ia memejamkan mata. Terdengar desahan lirih dari bibirnya. Dengan masih terpejam, ayah melanjutkan. "Orang yang belajar silat dengan harapan untuk menjadi kuat, belumlah mencapai sukma dari ajaran silat itu sendiri. Keutamaan dalam mempelajari ilmu silat, sebenarnya bukanlah sekadar menghafal gerakan atau cara berlatih napas untuk menghimpun tenaga atau untuk menghasilkan yang lebih jauh dari itu. Akan tetapi, lebih dari semua itu adalah menyelami kearifan yang tertulis atau tersembunyi dalam 67

baris-baris kidungan, atau di dalam keilmuan itu sendiri. Itulah sesungguhnya inti, sukma ajaran silat.", lanjut ayah. Ucapannya agak bergetar ketika mengatakan ini. Wajah ayah memandang ke arah pohon di dekat paviliun. Aku tahu ayah tidak memandang pohon tersebut, tetapi ia sedang memikirkan sesuatu. "Belajar silat, belajarlah bijaksana...", ucap ayah dengan tenang. Suasana menjadi hening. Aku menunduk, mencoba merenungi setiap penjelasan ayah. ***

68

BAB 10

APA YANG PALING BERHARGA PADA DIRIMU, NAK? Aku mengangkat wajahku. Aku melihat wajah ayah sudah tidak menghadap ke langit lagi. Ayah kini menatapku. "Ayah tidak menyalahkan mereka-mereka yang belajar beladiri untuk mencari kekuatan. Tapi ayah harap, tujuanmu bukan itu. Mereka-mereka yang mencari kekuatan, hanya akan mendapat kekuatan. Karena hanya itulah yang mereka kejar. Tapi mereka-mereka yang tidak mencari kekuatan, akan mendapatkan lebih dari sekedar kekuatan. Sebaliknya, kekuatan akan mendatangi mereka, akan menempel bersama mereka. Seperti bayang-bayangmu di siang hari.", ucap ayah memecah keheningan. Aku mengangguk. "Apa yang akan kamu lihat dan kamu dapatkan ini, adalah sesuatu yang harus kamu perhatikan benar-benar. Resapkan maknanya. Lihat isinya, jangan kulitnya.", ucap ayah. Aku kembali mengangguk. Badanku bergetar. Wajahku berbinar. Aku menjadi begitu bersemangat. "Apa yang paling berharga pada dirimu nak?", tanya ayah. Aku tertegun. Pertanyaan ini menyentak hatiku. Wajahku terlihat bingung. Jujur, aku tidak tahu apa jawaban dari pertanyaan ini. Aku melihat ayah tersenyum. Aku yakin ayah sudah tahu apa jawabanku. 69

Ayah kemudian berdiri. Aku melihatnya berjalan menuju ke paviliun, membuka pintu, masuk ke dalamnya, dan keluar dengan membawa sebuah ember hitam yang cukup besar. Ayah kemudian mengisinya dari kran air di sebelah kanan paviliun. Ember itu cukup besar. Kilauan airnya terlihat akibat dari pantulan cahaya matahari yang mengenainya. Ayah mendekatiku, lalu meletakkan ember itu di depanku. Ember hitam itu kini berjarak setengah meter dariku. Tingginya sekitar satu seperempat meter dan berisi penuh air. "Berdirilah. Mendekat kemari...", pinta ayah. Aku menurut. Aku berdiri, dan mendekat persis di depan ember hitam berisi air. "Celupkan kepalamu kesini. Celup sampai lehermu.", ucap ayah sambil tangannya menunjuk ke air. Dengan masih bingung, aku menurutinya. Kepalaku aku benamkan ke dalam air hingga sebatas leher. Sepuluh detik, dua puluh detik, aku masih kuat. Tiga puluh detik berlalu, dadaku rasanya sudah tidak kuat. Oksigen yang mengisi paru-paruku sudah sangat menipis sepertinya. Harus segera keluar dari air untuk mendapatkan oksigen. Aku langsung menggerakkan kepalaku untuk keluar dari air. BLEP..BLEP..BLEP..! "Ouuugghh!", aku terkejut, tapi tidak bisa berteriak. Karena aku merasakan ayahku menahan kepalaku dengan tangannya. Kepalaku terbenam lagi ke dalam air! Dadaku seperti mau pecah! Air bahkan sempat masuk ke tenggorokanku karena terminum tanpa sengaja. Aku mencoba berontak, tapi tenagaku tidak cukup 70

untuk melawan tenaga dari tekanan tangan ayah. Aku hanya bisa menahan tubuhku dengan memegang pinggiran ember hitam. "Aaaaaghh..!", aku hanya berteriak dalam hati. Dadaku serasa mau pecah. Rasanya sudah tidak ada lagi udara di paru-paruku. Air sudah cukup banyak masuk lewat mulut dan hidungku. Urat-urat leherku menegang, terlihat kemerahan dengan jelas sekali. Tanganku semakin mencengkram pinggiran ember hitam. Aku tidak kuasa untuk berontak. Kira-kira sekitar lima belas detik ayah menahan kepalaku di dalam air. Ayah kemudian melepasku, tepat setelah batas maksimal kemampuanku menahan udara sudah habis. Aku langsung menyentak kepalaku ke atas sambil menghirup udara sebanyakbanyaknya. Nafasku tersengal-sengal. Mulut dan hidungku mengeluarkan air. Rasanya pedas sekali. Aku terbatuk-batuk. Sambil berusaha menormalkan kembali aliran nafasku. Aku jatuh terduduk. Wajahku rasanya masih memerah, nafasku masih tidak beraturan. Perlahah-lahan, air tidak keluar lagi dari hidung dan mulutku. Rasanya kini sudah mulai nyaman. Aku juga sudah tidak tersengal-sengal lagi seperti tadi. "Uhuk.. uhukk!", aku terbatuk lagi. Badanku membungkuk sambil duduk. Tanganku memegang pinggangku. Aku terbatuk , mengeluarkan dahak yang berisi cukup banyak air. Sekilas aku melihat ayahku hanya tersenyum. Ayah membiarkanku mengatur nafasnya agar kembali normal. Kira-kira tiga menitan, aku sudah mulai biasa lagi. Aku bersihkan sisa-sisa air di wajahku dengan lengan baju kanan dan kiriku. "Sudah mendingan?", tanya ayah.

71

"I..i..iya yah... Sudah..", jawabku dengan terbata-bata. Aku langsung terduduk. Mencoba mengatur nafasku kembali. Sepertinya wajahku masih memerah. Ayah kemudian menghampiriku, dan duduk disamping kananku. Ia terlihat memandangi ember yang berisi air. Sebagian dari airnya berjatuhan di sekitar ember. Agak basah disekitarnya. "Kamu tahu nak, itulah yang paling berharga pada dirimu.", ucap ayah. Aku terdiam. "Nafas. Itulah yang paling berharga pada dirimu dalam beladiri.", lanjut ayah. Dheg, dadaku seperti dipukul dengan palu godam. Aku seperti tersentak. Ucapan ayah sangat mengena di hatiku. "Dirimu bukanlah apa-apa tanpa nafas. Tanpa nafas, kamu hanya seonggok daging dan tulang yang berjalan. Jagalah ia baik-baik, maksimalkan potensinya. Karena tidak ada perbaikan terhadapnya. Kalau kulitmu kamu tersayat oleh benda tajam, kulitmu bisa melakukan regenerasi lagi, dan akan terbentuk kulit baru. Kalau ginjalmu bermasalah, kamu bisa mencangkok ginjal milik orang lain. Kalau matamu buta, kamu bisa mendapatkan mata dari donor sehingga kamu bisa mendapatkan penglihatanmu kembali. Kalau tanganmu atau kakimu diamputasi, kamu bisa menggunakan tangan robot untuk menggantikan fungsinya. Semua bagian wadag dari tubuhmu bisa tergantikan, baik yang sejenis ataupun melalui teknologi. Tapi tidak ada yang bisa menggantikan nafasmu.", ucap ayah serius. "Kalau kamu melakukan olah nafas nanti seperti halnya kamu menghayati kejadian tadi, maka latihanmu niscaya tidak akan sia-sia karena kamu tidak punya 72

ambisi selain menyadari hakekat keberadaan nafasmu. Kamu akan cepat maju!", lanjut ayah. Aku seperti menemukan sesuatu. Aku mulai memahami maksud ayah. ***

73

BAB 11

KESADARAN INDERAWI Ayah berdiri, lalu berjalan menuju besi penyangga yang di sampingnya terdapat beberapa beton cor dan beberapa besi yang bercat hijau serta berbentuk seperti gagang pompa. Ayah lalu mengatur jarak dua besi penyangga tersebut, membungkuk dan mengangkat dua buah beton cor. Ayah meletakkannya di atas besi penyangga tersebut. Tanpa sekat. Beton cor itu panjangnya kira-kira enam puluh sentimeter dengan lebar kira-kira dua puluh lima sentimeter dan tinggi kirakira delapan sentimeter. Tangan ayah kemudian melambai kepadaku. Memberi tanda agar aku mendekat. Kondisiku sudah normal kembali. Nafas juga sudah teratur. Aku bangun lalu berjalan ke tempat ayah. Aku berdiri kira-kira satu meter di depan dari besi penyangga yang di atasnya terdapat dua buah beton cor yang ditumpuk tanpa sekat. "Pukullah beton cor ini semampumu. Patahkan. Gunakan sisi telapak tanganmu atau gunakan bawah kepalan tanganmu atau telapakmu, atau apa saja. Terserahmu saja, gunakan bagian tubuhmu yang dirasa paling kuat.", pinta ayah. Aku mengangguk. Aku mundur setengah langkah, mengatur jarak, mengatur kuda-kuda. Kaki kiriku aku letakkan di depan dengan lutut sedikit tertekuk, berada sedikit di luar melebihi besi penyangga di depanku. Kaki kananku aku geser ke belakang. Saat ini 74

kakiku membentuk posisi Kuda-kuda Kiri Depan. Aku akan memukul beton cor itu dengan tangan kananku, menggunakan alat penyasar sisi telapak tanganku. Tangan kananku aku julurkan, sisi telapak tangannya menyentuh beton cor paling atas. Aku konsentrasi. Serius. Aku tahu ini tidak mudah. Beton cor itu tampaknya sudah lama ada di paviliun. Tentunya tingkat kekerasannya sudah sangat lumayan. Aku angkat tangan kananku hingga melewati kepala dengan lintasan seperti busur, lalu mengeraskan sisi telapak tanganku. Pandangan mataku masih terfokus pada beton cor itu. Setelah hatiku terasa yakin, secepatnya aku pukulkan pada beton cor itu. Aku mengandalkan benar kekuatan tanganku ini. BRAKK!!! Beton cor itu patah! Patahannya berjatuhan. Besi penyangganya agak sedikit bergoyang akibat tumbukan tadi. Aku tersenyum puas. Meski terasa agak sedikit nyeri dan ngilu pada pergelangan tangan, tapi aku berhasil mematahkannya. Aku melihat ayah mengatur kembali jarak besi penyangganya. Ayah mengambil kembali beberapa beton cor yang masih utuh, dan meletakkannya pada posisi menumpuk di atas dua besi penyangga tadi. Satu, dua, tiga, empat tumpuk beton cor tanpa sekat! Deg, jantungku berdetak lebih kencang. Aku jadi mulai ragu. Empat tumpuk beton cor tanpa sekat. Dua beton cor yang tadi saja sudah membuat pergelangan tanganku sedikit ngilu dan terasa agak sedikit nyeri di sisi telapak tangan yang terbentur dengannya, apalagi ini empat tumpuk dan tanpa sekat! "Bagaimana kalau sekarang? Ayo, coba lagi.", tanya ayah sambil tersenyum. Aku terdiam. Jujur saja, hatiku tidak yakin. Tingkat kekerasan, jumlah, dan tanpa sekat, benar-benar menggentarkan hati ini. Aku tidak yakin pukulanku sanggup mematahkan tumpukan beton cor tersebut. Aku tidak yakin tenagaku cukup besar untuk melakukan itu semua. 75

"Anu.. yah.. Begini ... ituuu.. ", jawabku sekenanya. Tangan kiriku menggarukgaruk kepalaku yang sama sekali tidak gatal. Wajahku menyeringai, dengan senyum yang tidak enak untuk dipandang mata tentunya. Ayah sepertinya melihat keraguanku. Ayah tersenyum. Tangannya diletakkan diatas tumpukan beton cor tersebut. "Disinilah bedanya nak.", ucap ayah. "Tenaga luar dan tenaga dalam memiliki porsinya sendiri. Masing-masing punya ruangnya sendiri, meskipun bisa saja tumpang tindih tanpa disadari. Yang jelas, pengetahuan terhadap keduanya tetap harus kamu pahami. Bahwa ada yang terlihat oleh mata dan bisa terasa oleh panca indra kemudian bisa kamu rasakan, itu memang benar. Tapi ada juga yang tidak terlihat oleh panca indramu tapi bisa dirasakan. Satu beton cor ini, bisa dipatahkan oleh orang biasa. Dua beton cor tanpa sekat, bisa dilakukan oleh yang cukup terlatih. Tapi empat tumpukan beton cor tanpa sekat, akan sulit dilakukan oleh yang biasa-biasa saja, bahkan yang terlatih pada tenaga luar sekalipun. Lebih dari itu, hanya yang memahami tenaga dalamlah yang bsia melakukannya. Sekuat apapun seseorang pada tenaga luar, suatu hari nanti ia akan menyadari keterbatasan tenaga luarnya.", lanjut ayah. "Tenaga luar terkait dengan daya inderawi.", ucap ayah. Aku melihat wajah ayah tampak serius. Ayah kemudian menyentuhkan ujung tiga jari pada beton cor paling atas, menekuk pergelangan tangannya ke arah atas sehingga ada ruang antara telapak tangannya dengan beton cor. Ruang itu tidak lebih dari setengah jengkal saja. Sesaat aku melihat ayah menarik nafas ringan dari hidungnya, kemudian langsung membenturkan telapak tangannya perlahan. PLEK, BRAAAKKK!!! 76

Uuh, beton cor itu hancur berantakan! Pecahannya berhamburan. Aku melompat mundur secara reflek dengan sangat terkejut. Tidak mengira kalau tepukannya yang terlihat ringan ternyata bisa mematahkan beton cor tersebut. Tidak, itu bukan cuma patah, tapi hancur! Ini baru pertama kalinya aku melihat ayah 'beraksi'. Selama ini aku hanya berlatih dan dilatih dengan ayah. Melihat ayah melakukan suatu gerakan, kemudian menyuruhku untuk mengulanginya. Kemudian kami saling berlatih bersama, mencoba penerapan gerakan, tangkap kunci, membanting, dan sejenisnya. Beberapa juga duduk bersama, berlatih olah nafas Getaran. Memberiku pengarahan untuk melakukan ini dan itu. Dan terakhir, mengujiku. Tapi belum pernah aku melihat ayahku melakukan sesuatu yang membuat mataku terbelalak. "I..i..itu betonnya ha.. hancur yah..! Ba... bagaimana caranya yah?", tanyaku terbata-bata. Keterkejutanku masih belum hilang. Aku tidak bisa membayangkan seandainya tubuh manusia yang terkena serangan tersebut. Ayah hanya tersenyum. "Pada tenaga kasar, seseorang menggunakan kekuatan ragawi untuk melakukannya. Ada yang berasal dari jarak, ada yang berasal dari otot, ada yang berasal dari kulit, ada juga yang berasal dari tulang. Atau kekuatan yang dihasilkan diantaranya. Dengan latihan tertentu, seseorang membentuk kekuatan parsial pada salah satunya, lalu menggabungkannya dengan yang lain. Misal, melatih kekuatan otot dengan mengangkat beban berat, melakukan push up untuk meningkatkan kekuatan tangan, melakukan sit up untuk meningkatkan kekuatan otot perut, atau melakukan penempaan-penempaan lain sedemikian rupa. Keras pada fisiknya, pada raganya. Ia melatih daya ragawi sedemikian rupa untuk menghasilkan sebuah kekuatan. Orang ini menyadari daya inderawi sehingga mampu mengolah sedemikian rupa daya ragawi sehingga menghasilkan kekuatan. Orang-orang yang demikian mulai tumbuh adanya kesadaran inderawi.", jawab ayah. 77

"Sedangkan yang kamu lihat tadi sama sekali berbeda. Ayah tidak menggunakan daya ragawi, tetapi ayah menggunakan tenaga getaran untuk melakukannya. Tenaga getaran yang didapat dari olah nafas. Tenaga getaran yang sama dengan yang pernah kamu latih. Tetapi dalam pemahaman yang berbeda. Meski demikian, penerapan tenaga getaranmu ayah arahkan untuk tutup mata dan gerakan naluri. Memungkinkanmu untuk memfungsikan daya kepekaan sehingga menghasilkan satu kemampuan tambahan pada gerak di ragamu. Kamu juga sudah pernah merasakan manfaatnya ketika berkelahi dengan para pemuda itu, bukan?", lanjut ayah. Aku mengangguk. Meresapi kebenaran ucapan ayah. Meski ada beberapa hal yang aku kurang paham. Kalau tenaga getaranku sama dengan yang dimiliki ayah, tetapi kenapa bisa berbeda pada penerapannya? "Yah, apakah tenaga getaran Aa bisa digunakan untuk melakukan seperti tadi?", tanyaku. Aku jadi penasaran. "Tentu saja. Tapi nanti, setelah bangkitnya kesadaranmu.", jawab ayah sambil tersenyum. "Bangkitnya kesadaran?", aku bertanya kembali. "Benar nak. Bangkitnya kesadaran. Kesadaran, bukanlah sekedar melek atau membuka mata atau terjaga. Tetapi kemampuan memahami dan merasakan sesuatu. Saat ini, kesadaranmu berada pada apa yang disebut dengan kesadaran inderawi. Jangan merasa bisa, tetapi bisalah untuk merasa. ", jawab ayah. "Duduklah...", pinta ayah. Aku menurut. 78

Ayah kemudian duduk juga di depanku. "Kesadaran mewakili fungsi jiwa.", ucap ayah. "Kesadaran inderawi merupakan tingkat kesadaran terendah dalam diri seseorang yang berfungsi ketika ia melakukan interaksi tertentu dengan lingkungannya. Karena kesadaran mewakili fungsi jiwa, maka tingkatan kesadaran inderawi juga menggambarkan kualitas jiwa yang terendah. Seseorang dikatakan berada dalam kesadaran inderawinya jika ia menyadari dan bisa memahami diri dan lingkungan sekitarnya dengan bertumpu pada fungsi panca inderanya. Ia bisa memahami apa yang dilihatnya. Ia bisa mengerti segala yang didengarnya. la bisa menikmati apa-apa yang dibaui oleh indera penciumannya, dikecap oleh lidahnya, dan dirasakan oleh kulitnya. Ketika seseorang berada pada kesadaran inderawinya, maka ia memperoleh nuansa pemahaman terhadap segala yang terjadi sangat riil, dan cenderung materialistik. Seringkali, diantara kita bertumpu kepada kemampuan inderawi secara berlebihan. Kadang kita hanya percaya kepada sesuatu jika sesuatu itu bisa dijangkau oleh indera. Kita hanya bisa memahami jika telah melihat dengan mata kepala sendiri, atau telah mendengarnya, mencium dan merasakannya. Sesuatu yang tidak terdeteksi oleh panca indera, bakal tidak kita akui sebagai keberadaan. Atau setidaktidaknya, kita tidak merasa perlu untuk memikirkannya, dan kemudian mengacuhkannya.", lanjut ayah. "Orang yang demikian sebenarnya telah terjebak pada pola pikir materialistik dan terbelakang.", tegas ayah.

79

"Kenapa bisa begitu yah?", aku memberanikan bertanya. Rasa penasaran menyelimuti hatiku. "Tentu saja nak. Perlu kamu ketahui, bahwa sistem kerja inderawi kita sangatlah terbatas. Sehingga, lucu juga, kalau kita bergantung kepada yang sangat terbatas itu untuk memahami realitas. Pasti hasilnya juga akan begitu terbatas. Semakin rendah kualitas inderawi kita, maka semakin jelek juga hasil pemahaman kita. Sebagai contoh, apa yang terjadi pada orang yang buta warna. Kalau seorang penderita buta warna bersikeras bahwa realitas warna yang ada di sekitarnya adalah seperti yang dia pahami. Tentu saja banyak orang normal yang akan menertawakannya. Sebab orang yang buta warna memang tidak paham bahwa alam sekitarnya berwarna-warni. Atau pada orang yang mengalami buta warna total, ia hanya bisa memahami dunia dalam warna hitam-putih atau abu-abu saja. Gradasi warna merah, jingga, kuning, sampai putih, baginya hanya terlihat sebagai warna abu-abu tua sampai abuabu muda, dan paling ekstrim adalah putih. Atau sama sekali tidak berwarna, atau bahkan hanya hitam pekat saja. Padahal bagi kita yang tidak buta warna, kita melihat bahwa dunia ini berwarna warni demikian indah. Tidak seperti yang dia pahami lewat keterbatasan penglihatannya. Kalau ia memaksakannya seperti yang raganya pahami, maka ia telah terjebak pada keterbatasannya sendiri.", jawab ayah. Aku mengangguk. "Kalau kita mau introspeksi, sebenarnya penglihatan kita pun demikian terbatasnya. Bahkan, pada orang yang memiliki penglihatan yang dianggap paling 'sempurna' sekalipun. Mengapa bisa demikian? Karena, sistem kerja penglihatan kita ternyata demikian menipu. Tidak menceritakan yang sebenarnya terjadi. Apa yang kita lihat sebenarnya bukan realitas. Sesungguhnya antara kenyataan dan apa yang kita lihat atau kita pahami adalah dua hal yang berbeda. Kita bukan melihat benda yang sesungguhnya, kecuali sekadar bayang-bayang yang tertangkap oleh lensa mata 80

kita, diteruskan ke retina, dan kemudian ke otak sebagai pulsa-pulsa listrik belaka. Sehingga, pusat penglihatan di otak kita itu pun sebenarnya tidak pernah berinteraksi langsung dengan benda yang kita lihat. Sel penglihatan di otak hanya berinteraksi dengan pulsa-pulsa listrik yang berasal dari retina. Jadi kalau pulsa-pulsa listrik itu mengalami distorsi, maka pusat penglihatan itu bakal salah dalam memahami penglihatan tersebut. Kefahaman yang disimpulkan oleh sel penglihatan itu sangat bergantung kepada kualitas jalur penglihatan mulai dari lensa mata, retina, saraf-saraf penglihatan sampai kepada sel-sel otak yang terkait dengan proses melihat itu. Padahal, ketajaman lensa mata tidaklah terlalu tinggi. Misalnya, lensa mata kita tidak mampu melihat benda-benda yang terlalu kecil. Seperti pori-pori benda, bakteri, virus, sel, molekul, atom, dan apalagi partikel-partikel sub atomik seperti proton, neutron, dan elektron. Lensa mata manusia juga hanya bisa menangkap benda-benda yang cukup besar. Namun, tidak terlalu besar. Jika terlalu besar, juga tidak bisa terlihat. Gajah di pelupuk mata misalnya, pasti malah tidak kelihatan. Jadi, yang sedang-sedang saja. Belum lagi, melihat dalam kegelapan. Pasti juga tidak mampu. Atau sebaliknya, melihat di tempat yang terlalu terang, malah silau. Singkat kata, penglihatan kita begitu terbatasnya sehingga banyak hal yang tidak bisa kita pahami dengan hanya sekedar melihat.", lanjut ayah. Aku mengangguk mantap. Aku mulai bisa mencerna ucapan ayah. "Demikian pula, indera yang lain seperti penciuman, pendengaran, pengecap dan peraba. Mereka tidak kalah sering menipu kita. Jika suatu saat, kita ke rumah sakit, kita bakal membaui adanya aroma obat-obatan yang menyengat. Tapi jika kita berada di sana dalam waktu yang cukup lama, tiba-tiba kita tidak merasa membaui aroma yang menyengat lagi. Kenapa demikian? Karena hidung kita telah beradaptasi. Jadi ia telah menggeser pemahaman kita. Seakan-akan sudah tidak ada 81

aroma obat lagi, padahal sebenarnya sensitivitas penciuman kita yang menurun karena sudah beradaptasi atau berkompromi.", jelas ayah. Aku terdiam. "Karena itu, percaya yang terlalu berlebihan kepada panca indera kita juga bisa menyebabkan kekeliruan dalam memahami suatu kenyataan.", ayah menegaskan. Ayah kemudian berdiri. "Tunggu sebentar, ada yang ingin ayah tunjukkan padamu.", ucap ayah. Tanpa menunggu aku menjawab, ayah berjalan menuju dapur. Aku duduk diam, termenung, mencoba meresapi setiap ucapan ayah. Hmm, kesadaran inderawi. Itu istilah yang sangat baru bagiku. Tapi sangat mengena. Memang benar, selama ini aku terpaku mengandalkan apa yang bisa ditangkap oleh panca indraku. Bahkan, saat belajar getaranpun, sesungguhnya aku tidak memahami benar mengapai itu bisa terjadi. Aku hanya melakukan apa yang ayah instruksikan, melatihnya berulang-ulang, kemudian jadilah seperti itu hasilnya. Aku bisa mendayagunakan secara lebih fungsi inderaku. Kepekaan kulitku bertambah. Ada kekuatan lain. Tapi aku tidak menyadarinya. Aku merasakannya tapi belum bisa menyadarinya. Aku seperti merasa bisa, tapi sesungguhnya aku belum bisa merasa. Dari jauh, aku melihat ayah membawa dua mangkok di kedua tangannya. Mangkok sebelah kanan berwarna hijau, sedangkan mangkok sebelah kiri berwarna merah. Ayah semakin mendekat. Aku jadi bisa melihat isi di dalam kedua mangkok tersebut. Yang berwarna hijau aku lihat berisi air yang di dalamnya terdapat es batu seukuran dadu dalam jumlah yang cukup banyak. Air di dalamnya pasti berasa dingin. Sedangkan mangkok yang berwarna merah terlihat berisi air tanpa es batu. 82

Ayah lalu meletakkan kedua mangkok tersebut di depanku dan duduk kembali. "Celupkan tangan kananmu dari ujung jari hingga pergelangan tangan pada air es di mangkok hijau itu nak", pinta ayah. Aku menurut. Aku celupkan tangan kananku pada mangkok hijau itu. Terasa dingin di kulitku. "Cukup.", ucap ayah. Kira-kira dua puluh detik sudah tanganku dicelupkan ke air es yang dingin. Tangan kananku terasa dingin. Apalagi dari ujung dari hingga ke pergelangan. "Coba sekarang kamu celupkan pada air di mangkok merah itu", pinta ayah sambil menunjuk pada mangkok merah. Aku menurut. Aku celupkan tangan kananku pada mangkok merah itu. Baru tiga perempat telapak tangan aku celupkan, aku sudah terkejut. "Aaaaaahh!", aku berteriak karena terkejut. Secara reflek, aku tarik tangan kananku dari mangkok hijau itu. "Panas sekali yah...!", ucapku. Tanganku secara reflek aku kibas-kibaskan untuk mengurangi rasa panas yang ada. Ayah hanya tersenyum. "Sekarang, coba kamu celupkan tangan kirimu dari ujung jari hingga pergelangan pada mangkok merah ini", tanya ayah kembali.

83

Dengan sedikit ragu, aku menurut. Tangan kiriku aku celupkan kesitu. Terasa airnya hangat. Eh, ini benar-benar air hangat. Sama sekali tidak panas. Kenapa bisa terasa panas oleh tangan kananku ya? Aku keheranan. "Kok bisa yah?", tanyaku sambil tersenyum dengan wajah heran. "Kamu lihat nak, kulit, sebagai indera perasa juga tidak kalah pembohongnya. Kalau kita berkali-kali meraba benda kasar, maka ketika kita meraba benda halus kepekaannya juga menjadi berkurang. Atau, kita mencelupkan tangan kita ke dalam air dingin beberapa waktu, kemudian ganti mencelupkannya ke air hangat. Maka, kita seperti merasakan mencelupkan tangan ke air panas. Kenapa demikian? Karena, kulit kita juga melakukan adaptasi dan kompromi terhadap lingkungannya. Ia juga bisa plin-plan di dalam menterjemahkan sesuatu.", jawab ayah. "Kesadaran yang dibentuk hanya berdasarkan panca indera dapat menjebak kita dalam kekeliruan yang sangat mendasar. Panca indera tidak cukup digunakan untuk memahami kenyataan. Karena ternyata, kenyataan yang terhampar di sekitar kita berbeda dengan yang tertangkap oleh mata, telinga dan seluruh panca indera, apalagi oleh hati.", lanjut ayah. Ayah menepuk pundakku. "Nak, kesadaran inderawi adalah kesadaran yang paling rendah tingkatannya. Hanya anak-anak yang masih kecil saja yang bertumpu sepenuhnya kepada pemahaman panca inderanya untuk membangun pemahaman terhadap realitas di sekitarnya. Orang yang lebih dewasa pasti akan bertumpu pada kesadaran yang lebih tinggi dari sekadar itu. Jadi, kunci memahami tenaga adalah bangkitnya kesadaran baru dari kesadaran inderawi yang sudah ada.", ucap ayah. "Tenaga adalah kesadaran. Ia adalah pemahaman.", lanjut ayah. 84

Aku tertunduk. Rasanya aku seperti mulai memahami sesuatu. ***

85

BAB 12

LEGENDA YANG BARU AKAN DIMULAI

Aku melihat ayah berdiri, berjalan mendekati benda yang terbuat dari besi berwarna hijau seperti gagang pompa. Ayah membungkukkan badannya, kemudian mengambil dua buah, lalu berjalan kembali mendekatiku. Ayah berdiri tegak. Dua buah gagang pompa besi berwarna hijau itu dipegang di belakang pinggangnya dengan dua tangan. Kepalanya sedikit menengadah, keningnya agak sedikit berkerut, dan matanya mulai dipejamkan. "Nak, dulu, saat ayah mempelajari ilmu ini, pematahan atau penghancuran benda keras polanya ya seperti tadi. Benda keras tersebut diletakkan pada satu alat penyangga, kemudian dipatahkan atau dihancurkan. Ada kekurangan dan kelebihan pada cara ini. Benda keras dalam keadannya yang seperti ini adalah benda diam atau sebut saja benda yang statis. Kamu memukul benda diam. Tentu saja pemusatan tenagamu, pendekatan langkahmu, teknik yang kamu gunakan, termasuk penyaluran tenaganya jauh lebih mudah. Kamu jauh lebih mudah menerapkan teknikmu pada benda mati yang statis.", ucap ayah sambil masih memejamkan mata. "Tapi lawanmu itu bergerak. Lawanmu adalah gerakan.", ayah menoleh ke arahku sambil membuka matanya. Raut wajahnya terlihat serius saat mengatakan ini. Serasa menembus ke sukma. Aku tertegun dengan pandangan mata ayah. Eh, bener juga ya, pikirku. Saat aku memukul dua beton cor tanpa sekat, aku bisa konsentrasi penuh, aku bisa mengatur tempo, jarak, ritme, dan memaksimalkan kekuatan. Tapi belum tentu aku bisa melakukan itu pada lawan yang bergerak. Aku reflek mengangguk. 86

"Selama ini yg selalu menjadi permasalahan dalam uji pematahan benda keras statis adalah efektifitasnya pada pertarungan sesungguhnya. Hampir tidak ada korelasi antara kemampuan pematahan benda keras statis dgn kemampuan tarung praktisi beladiri.", lanjut ayah. Tangannya kini terlihat menimang-nimang dua gagang pompa besi berwarna hijau itu. Ayah tiba-tiba melemparkan satu gagang pompa tersebut ke udara. Gagang pompa itu terlihat berputar meninggi kira-kira tiga meteran, lalu mulai jatuh kembali akibat dari efek gravitasi bumi. Aku hanya melihat kepala ayah memandang tanpa berkedip pada gagang pompa yang dilemparkan itu, kemudian tangan ayah menebas dengan cepat menggunakan sisi telapak tangan kanannya pada saat gagang pompa tersebut mencapai ketinggian kepala ayah dengan jarak satu lengan dari tubuhnya. TRAKKK!!! Gagang pompa berwarna hijau itu patah jadi dua. Salah satu patahannya terlempar cukup jauh. Aku melihat ayah kembali melemparkan gagang pompa yang satunya. Gagang pompa itu juga berputar di udara, meninggi kira-kira empat meteran. Lebih tinggi dari sebelumnya. Tidak seperti tadi, dimana mata ayah terlihat seperti elang yang ingin menyambar kelinci, fokus, tidak berkedip, tapi sekarang aku melihat ayah memejamkan mata, lalu menarik kaki kanannya sedikit ke belakang. Saat ketinggian gagang pompa tersebut mencapai kepala ayah, kaki kanannya bergerak cepat menendang dengan Tendangan Sabit, yakni tendangan melingkar dengan punggung kaki sebagai alat penyasarnya. TRAKKK!!! Tendangannya tepat mengenai gagang pompa sehingga patah jadi dua. Patahannya terlempar lebih jauh dari yang pertama. Aku terkejut. Bagaimana bisa ayah melakukan itu? Wajahku berbinar dengan rasa penasaran. 87

Ayah kemudian mengambil sebuah lagi gagang pompa berwarna hijau, membalikkan badan dan berjalan kembali ke arahku. "Coba kamu patahkan gagang pompa dragon ini dengan satu serangan. Ayah nanti akan melemparkannya kepadamu. Bentuk serangannya terserah saja. Boleh seperti ayah tadi, menggunakan sisi telapak tangan, atau boleh dengan tendangan.", pinta ayah. Aku mematuhinya. Aku mundur dua langkah, lalu memasang kuda-kuda sikap pasang pesilat. Kaki kiri di depan, sedikit ditekuk, kaki kanan di belakang juga sedikit di tekuk. Jarak kedua kaki tidak terlalu lebar, juga tidak terlalu pendek. Senyaman aku berdiri saja. Aku berencana akan mematahkan gagang pompa besi itu dengan tebasan sisi telapak tangan kananku karena aku berpikir kalau itulah yang paling mudah. Konsentrasi lebih aku arahkan pada sisi telapak tanganku ini. "Bersiaplah!", ucap ayah. Aku mengangguk siap. Ayah kemudian melemparkan satu gagang pompa berwarna hijau ke arahku perlahan. Aku hanya melihat putarannya mengarah ke tubuhku. Uuh, bagaimana ini? Aku kesulitan menentukan titik pukul dari benda yang bergerak seperti ini. Titik pukul sasarannya selalu berubah-ubah. Gagang pompa itu mendekat. Tanpa berpikir lagi, aku langsung menebas tangan kananku mengarah ke gagang pompa tersebut. Tangan kananku terasa mendapat benturan, tapi aku tidak tahu dengan bagian yang mana dari gagang pompa itu. TAKKK!!! 88

Gagang pompa itu terpental cukup jauh. Tapi ia tidak patah! "Ehhh..!", aku terkejut. Aku melihat ayah tersenyum. "Kamu lihat nak, sungguh tidak mudah untuk menyerang sasaran yang bergerak. Apalagi kalau kamu berorientasi pada pikiran. Akan ada banyak kesalahan pada penerapan. Akibatnya kamu jadi tidak tepat pada sasaran. Tempo, ritme, dan kekuatan seranganmu menjadi kacau. Tidak mudah bukan?", ucap ayah. Ah benar sekali! Ini memang sangat berbeda dibanding saat aku memukul dua beton cor tanpa sekat tadi. Tadi, aku hampir kesulitan melihat titik sasarannya. Kalaupun terlihat, gerakan benda yang berubah-ubah membuat titik sasaran juga seolah seperti berubah. Akhirnya membuat timbulnya keragu-raguan apakah seranganku bakal mengena atau tidak. Tepat atau tidak. Keragu-raguan yang berbeda dibanding saat aku memukul beton cor. "Setelah nanti kamu jalani latihan olah nafas untuk Power, ayah akan mengujimu dengan dua pola yakni benda mati statis, dan benda mati dinamis.", lanjut ayah. "Duduklah..", pinta ayah sambil ayah duduk terlebih dahulu. Aku menurut. Aku duduk berhadapan kembali dengan ayah. "Kamu tahu, mengapa ayah ingin agar kamu melakukan dua pola seperti itu?", tanya ayah. 89

Aku menggeleng. "Pada pola yang pertama, yang menjadi pakem dari yang sudah ada. Ia merupakan bagian dari sesuatu yang harus kamu jalani dan berguna untuk menguji hasil latihanmu. Karena tidak mungkin mengujikan kekuatan teknik pada tubuh manusia.. Salah satu kegunaan lainnnya adalah untuk mengukur sejauh mana kemampuan tahap awalmu. Seolah ingin menjelaskan kalau yang tidak bergerak saja membutuhkan kekuatan, teknik, ketepatan waktu, tempo, dan sasaran yang pas. Apalagi yang bergerak. Tentu akan lebih sulit lagi. Pola itu tetap memiliki manfaat.", lanjut ayah. "Sedangkan pola yang kedua, berguna untuk menciptakan kondisi pertarungan yang sebenarnya, dengan penerapan teknik dan power yang sebenarnya, yang menyesuaikan dengan sasaran, arah, dan bentuk. Kamu akan belajar banyak hal dengan melakukan pola yang kedua ini. Setidaknya, bisa didapat suatu korelasi yg lebih baik antara kemampuan tenaga dengan kemampuan beladirimu. Sebagai contoh, nanti ayah akan melemparkan sepuluh sasaran dalam waktu satu menit ke arahmu. Kamu harus bisa mematahkannya atau menghancurkannya. Dari situ nanti akan bisa dilihat tingkat kemampuan penerapan hasil olah nafasmu dalam suatu pertarungan. Ini jauh lebih lebih baik dibanding uji pematahan dua beton cor statis. Ayah nanti akan melemparkan sepuluh sasaran dalam waktu satu menit ke berbagai arah atas, bawah, kiri, kanan, tengah, dan arah yang lainnya, kamu nanti boleh mematahkannya dengan berbagai teknik pukulan dan tendangan dengan menggunakan bermacam anggota tubuh misalnya pisau tangan, pukulan, sodokan, ujung siku, punggung siku, kaki, dan sebagainya. Kamu jadi terkondisikan untuk mengerahkan tenaga pada sasaran yg bergerak. Mencoba melatih rasa, ritme, pola, getaran, power, dan tempo yang pas pada suatu serangan. 90

Dari sini juga bisa terlihat tingkat staminamu dalam pertarungan yang sesungguhnya, terutama pada seberapa cepat staminamu habis dalam suatu pertarungan dan seberapa cepat tingkat pemulihannya. Ayah juga sudah merencanakan untuk melakukan beberapa sesi uji, misalnya pada sesi pertama sepuluh sasaran per menit kemudian istirahat sepuluh sampai dua puluh detik, sambil kamu berusaha memulihkan staminamu dengan suatu teknik pemulihan stamina, kemudian dilanjutkan sesi berikutnya yakni dua puluh sasaran per menit. Lama kelamaan, beban sasaran akan diperberat. Pada akhirnya, ini akan membentuk cara bertarungmu yang sesungguhnya. Kamu akan mendapatkan korelasi antara tata gerak, olah nafas, dan pematahan benda keras secara maksimal. Kamu akan teruji!", jelas ayah. "Ini akan menjadi legenda...!", tegas ayah. Aku melihat mata ayah berbinar. Aku terkejut, tak kusangka ayahku sampai berpikir ke arah ini. Terasa sekali semangatnya yang membara. Seperti merasuk ke jiwaku. Darahku seperti mendidih. Aku ikut terbawa oleh keyakinan ayah. Ya Allah, doakan aku mampu melewati semua ini. ***

91

BAB 13

AMBANG BATASMU ADALAH KESADARAN RASIONAL Aku duduk terdiam. Batinku serasa berkecamuk. Aliran darah ini serasa semakin cepat, membuat detak jantungku meningkat. Apa yang sudah ayah jelaskan, peragakan, semuanya membuka cakrawalaku belajar silat selama ini. Aku tertegun, ternyata masih banyak hal yang belum aku mengerti. Secara reflek kepalaku menunduk. "Bangunlah..., ada yang ingin ayah tunjukkan padamu.", pinta ayah. Ucapannya menyadarkan lamunanku. Aku melihat ayah berjalan menuju paviliun, membuka pintu paviliun, dan kemudian masuk. Beberapa saat kemudian ayah keluar dengan membawa tiga buah senjata di tangannya. Aku melihat ayah membawa sebilah golok, sebuah toya, dan sepotong kayu tipis seperti pedang. Ayah berjalan mendekatiku. Kira-kira jarak satu meteran, ayah membungkuk untuk kemudian meletakkan toya dan sepotong kayu tipis seperti pedang di bawah. Di tangannya kini hanya ada sebilah golok. Golok itu pendek, berkilauan terkena cahaya matahari. Masih terlihat ketajamannya. "Nak, kamu tahu apa ini?", tanya ayah sambil menimang-nimang golok tersebut dengan kedua tangannya. Pandangan matanya melihat pada golok tersebut. "Golok yah...", jawabku. "Kamu tahu fungsinya?", tanya ayah. Pandangan mata ayah masih memandang golok tersebut. Kini golok tersebut berada di dalam genggaman tangan kanan ayah. 92

Sementara tangan kirinya mengusap sisi terlebar golok tersebut dengan tiga jarinya dari batang golok hingga ujungnya. "Banyak yah. Bisa untuk menyembelih hewan, bisa untuk memotong sesuatu, bisa juga untuk menjadi senjata di dalam suatu pertarungan, atau hal-hal lain yang membutuhkan kekuatan dan ketajaman dari golok tersebut", jawabku mantap. "Benar nak. Itu adalah beberapa fungsi dari golok. Kalau kamu masih mengandalkan kesadaran inderawi ketika melihat golok, maka itulah yang umumnya akan ditangkap oleh kebanyakan orang. Ayah sudah katakan sebelumnya, bahwa kesadaran inderawi adalah tingkat kesadaran terendah. Kalau kau bertumpu sepenuhnya terhadap kesadaran inderawi dalam membangun pemahaman terhadap realitas di sekelilingmu, maka itu menggambarkan kualitas jiwa yang terendah.", ucap ayah. Pandangannya kini menatapku. "Adakah yang salah dengan itu yah?", tanyaku. "Tidak ada yang salah dengan kesadaran inderawi nak. Ia menempati porsinya sendiri sebagai cikal bakal suatu proses tumbuh. Tapi ia harus tetap kamu lewati nak.", jawab ayah serius. Golok yang sudah digenggam di tangan kanannya diturunkan. Tangan kanannya kini menjuntai ke bawah dengan santai. Sementara tangan kirinya menjulur ke depan dengan seluruh ujung jari terbuka dan menghadap ke arah dadaku. Jarak ujung jari ayah sekitar tiga puluh sentimeter tepat di depan dadaku. "Kamu lihat, apakah tangan ayah bisa menjangkau tubuhmu?", tanya ayah. Aku menggeleng. 93

"Tidak sampai yah.", jawabku. Jelas tidak mungkin sampai, karena ada ruang kosong sekitar tiga puluh sentimeter dari ujung jari ayah yang menghadap ke dadaku dengan tubuhku. "Bagaimana kalau sekarang", tanya ayah. Aku melihat ayah menggerakkan tangan kanannya yang menggenggam golok sedikit melingkar ke arah bahu kiriku. Sisi golok itu kini menempel di bahu lengan kiriku. Ujung goloknya melewati tubuhku. "Bagaimana kalau ayah tusukkan golok ini dengan posisi dan arah yang sama dengan tangan kiri ayah?", tanya ayah. Aku terkejut. "Eh, Aa pasti kena yah.", jawabku. "Bagaimana supaya kamu tidak kena?", tanya ayah kembali. "Aa harus mundur, menjauhi dari jarak dan arah serangan golok. Mundur satu langkah sudah cukup.", jawabku. "Benar nak. Cobalah kamu mundur.", pinta ayah. Aku menurut, dan mundur satu langkah. Aku melihat kini ujung golok ayah dan tubuhku semakin menjauh. Kira-kira sekitar tiga puluhan sentimeter. Ayah tersenyum. Aku melihat ayah membungkuk, lalu meletakkan goloknya disamping toya. Kini ayah mengambil toya dengan tangan kanannya, lalu menggenggam ujungnya. 94

Ayah kemudian menusukkan perlahan toya tersebut ke arah yang sama dengan arah golok. Ujung toya itu mengenai dadaku. "Kalau ini?", tanya ayah. "Kena yah. Karena toya lebih panjang dari golok. Mundur satu langkah tidak akan cukup. Aa harus mundur satu langkah lagi, atau menghindar", jawabku. "Benar nak, itulah yang harus kamu lakukan saat berhadapan dengan senjata. Kamu harus mengetahui sifat serangan senjata tersebut, agar kamu bisa dengan benar keluar dari jangkauan senjata tersebut.", lanjut ayah. Aku mengangguk. Ayah kemudian menurunkan tongkatnya hingga salah satu ujungnya menempel ke tanah. Ayah menggerakkan tangan kanannya ke kiri, yakni ke samping kanan tubuhku, hingga ke samping kiri tubuhku setengah lingkaran sehingga ujung tersebut menggores permukaan tanah dan menyebabkan terjadinya ceruk yang tidak terlalu dalam. Terlihat cerukan tersebut membentuk goresan setengah lingkaran. "Kalau kamu perhatikan, ayah sama sekali tidak menggeser posisi ayah. Tapi ayah menggunakan golok dan toya ini sebagai kepanjangtanganan ayah agar bisa menyentuhmu. Senjata bisa memperpanjang jarak, bisa juga menambah daya kekuatan. Sejauh mana kamu memahami pengetahuan dan sifat dari senjata itu, maka potensi untuk keluar dari jangkauannya atau bahkan mematahkannya akan semakin besar. Demikianlah arti senjata secara inderawi.", ucap ayah. Aku kembali mengangguk. "Ambil golok itu. Lalu mundur tiga langkah.", pinta ayah.

95

Aku menurut. Aku berjalan mendekati golok, lalu membungkukkan badan, mengambil golok dengan tangan kananku, kemudian mundur kira-kira tiga langkah. Pada saat yang bersamaan, aku melihat ayah mengambil kembali dua buah besi yang berbentuk seperti gagang pompa berwarna hijau. "Bersiaplah. Patahkan kembali gagang pompa besi ini...", ucap ayah. Aku bersiap. Tangan kananku yang menggenggam golok juga telah siap. Kaki kananku aku tarik sedikit ke belakang. Entah kenapa aku jadi lebih percaya diri saat menggenggam golok ini. Tidak seperti saat aku berusaha menebas dengan sisi telapak tanganku sebelumnya. Aku melihat gagang pompa itu sudah dilempar oleh ayah. Gagang pompa itu mendekatiku, dengan berputar cukup keras. Setelah aku yakin sudah masuk pada jarak serang, tanpa ragu aku sabetkan golok di tanganku menyongsong gagang pompa tersebut. Aku merasakan terjadinya benturan antara golok dengan gagang pompa. TRAAANG!!! Aku melihat gagang pompa itu patah jadi dua. Salah satu patahannya terlempar cukup jauh. Meski aku sendiri tidak yakin bagian mana dari gagang pompa itu yang berhasil aku kenai, tapi kenyataannya gagang pompa itu telah patah jadi dua. Tentunya berkat golok ini. Aku melihat ayah tersenyum. "Sekali lagi..!", teriak ayah. Gagang pompa besi berwarna hijau itupun melayang kembali mendekati tubuhku. Lebih cepat dan keras dari sebelumnya. Putarannya sangat acak. Meski 96

demikian, aku tetap yakin pada diriku. Aku tebaskan kembali golok itu menyongsong gagang pompa besi yang kedua. TRAAANG!!! Gagang pompa besi yang baru dilemparkan oleh ayah kembali patah jadi dua. Salah satu potongannya terlempar di sepotong kayu yang berbentuk seperti pedang. Aku tersenyum. Golok ini bertugas dengan baik. "Kemarilah... "Duduklah kembali...", pinta ayah. Aku menurut. Aku berjalan mendekat. Aku melihat ayah duduk. Akupun mengikutinya. "Kamu lihat nak, dengan menggenggam golok, maka kepercayaan dirimu bertambah, keyakinanmu terhadap keadaan yang membahayakan keselamatan jiwamupun bertambah. Kamu tidak ragu untuk menyerang gagang pompa yang ayah lemparkan kepadamu. Meskipun kamu tidak tahu bagian mana yang bakal kena, tapi kamu tetap yakin. Karena kamu sadar sepenuhnya kalau tanganmu tidak akan cedera saat melakukan tebasan tadi. Kamu percaya pada golok itu sebagai perpanjangan tanganmu. Kamu sudah melewati tahap kesadaran inderawi pada saat itu.", ucap ayah. Aku mengangguk. Eh, benar sekali yang diucapkan ayah. "Seseorang yang telah memiliki banyak pengalaman, dan sudah makan asam garam kehidupan bakal berusaha memahami realitas kehidupan ini dengan melakukan eksplorasi lebih jauh, daripada sekadar bertumpu pada panca indera. 97

Mereka akan mengambil pelajaran dari pengalaman orang-orang lain. Bahkan, akan menyimpulkan dari berbagai penelitian yang berkait dengan masalah tersebut. Khasanah pengalaman manusia dalam menghadapi persoalan hidupnya itulah yang kemudian disebut sebagai ilmu pengetahuan. Ia dikembangkan berdasarkan rasionalitas persoalan yang berkembang dengan kebutuhan kehidupan manusia. Maka, orang yang telah menggunakan berbagai khasanah keilmuan untuk memahami realitas hidupnya, ia telah mencapai kesadaran tingkat kedua yaitu Kesadaran Rasional.", lanjut ayah. "Kesadaran Rasional?", tanyaku. "Benar nak, kesadaran rasional.", jawab ayah. "Pada saat kesadaran seperti itu telah bangkit, maka ia tidak lagi bergantung sepenuhnya kepada hasil pengamatan panca inderanya. Melainkan membandingkan dengan hasil-hasil pengamatan yang lain, Misalnya melalui alat-alat bantu yang lebih canggih. Atau analisa-analisa matematis dan perhitungan keilmuan lainnya. Ia, karenanya lantas mendapatkan kesimpulan yang lebih 'benar' dan lebih mendekati kenyataan dibandingkan sekadar menggunakan panca indera. Golok, dan toya ini adalah salah satunya. Termasuk pengetahuan yang didapat darinya, yakni timbulnya keberanianmu untuk menebas gagang pompa tersebut.", lanjut ayah. Aku mengangguk. Aku mulai mengerti penjelasan ayah. Selama aku sekolah, aku sudah sering menggunakan alat-alat bantu yang cukup modern di laboratorium sekolahku untuk melakukan suatu penelitian. Sejauh ini, aku hanya bersikap biasabiasa saja. Menganggap semua alat-alat tersebut ya sekedar alat-alat saja, tapi tidak memahami makna dibalik terbentuknya alat-alat itu. 98

"Sebagai contoh. Kalau kita menggunakan mata untuk mengamati sebatang logam, maka kita akan mengatakan bahwa logam itu adalah benda padat yang tidak berlubang-lubang, tidak tembus penglihatan. Akan tetapi jika kita menggunakan sinar X atau mikroskop elektron untuk 'melihat' sepotong logam itu, kita bakal melihat sesuatu yang berbeda, bahwa logam tersebut bukanlah benda yang 'terlalu padat'. la benda yang berpori-pori dan „keropos‟. Benda yang ternyata berisi ruang kosong yang amat banyak. Contoh lainnya, kita tidak bisa melihat janin di dalam rahim seorang ibu, dengan mata telanjang. Tapi, kini kita bisa 'melihatnya' dengan menggunakan alat bantu, USG. Dengan demikian, pemahaman mengenai pekembangan janin di dalam rahim menjadi jauh lebih baik ketimbang hanya sekadar menggunakan mata telanjang, atau menggunakan teropong suara yang ditempelkan ke perut ibu yang sedang hamil, seperti dilakukan para bidan zaman dulu.", ucap ayah. Aku melihat ayah menengadah, wajahnya dihadapkan pada langit. "Atau, ketika seseorang berusaha memahami tentang langit. Tentu saja, pemahamannya akan menjadi jauh lebih baik dan maju ketika dia belajar ilmu astronomi yang menggunakan banyak alat bantu berupa rumus matematis maupun teleskop, dibandingkan dengan hanya menggunakan mata telanjang untuk memahami bintang-bintang dan benda langit yang berjumlah triliunan. Pendek kata, ketika kesadaran rasional itu muncul, dan kemudian dibarengi dengan menggunakan pendekatan ilmiah dan rasional, maka seseorang akan memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang alam semesta dan lingkungan hidupnya. Tiba-tiba seseorang akan menyadari betapa canggih dan hebatnya alam semesta tempatnya hidup. Dia telah memperoleh kesadaran baru terhadap realitas yang terhampar di sekitarnya. Pada tingkat kesadaran rasional ini, seseorang tiba-tiba bisa 'melihat' lebih besar dan luas dari apa yang dilihat oleh matanya. Ia bisa 'mendengar' lebih tajam 99

dibandingkan dengan pendengaran telinganya. la bisa „mencium‟ lebih peka daripada penciuman hidungnya. Dan bisa merasakan lebih halus daripada kehalusan indera pengecap dan perabanya.", lanjut ayah. Aku merasakan kebenaran ucapan ayah. Saat dulu aku mengamati sel dengan menggunakan mikroskop pada saat pelajaran Biologi di sekolahku, mataku bisa melihat bentuk sel dengan benar. Termasuk ketika pelajaran Fisika, aku melihat bentuk gelombang apakah transversal atau longitudinal, aku menggunakan Osciloscope. Atau saat melihat bintang saat studi tour tahun kemarin di Boscha, aku menggunakan telescope agar mataku bisa melihat bintang. Tapi kalau tidak menggunakan mikroskop, sel tumbuhan itu sama sekali tidak terlihat. Kalau tidak menggunakan Osciloscope, bentuk gelombang itu tidak akan terlihat. Kalau tidak menggunakan telescope, bintang itu tidak akan terlihat dengan jelas. "Nak, kesadaran rasional akan membuat seseorang melihat dunia ini dengan berbeda. Bukan hanya seperti yang ia amati selama ini. Banyak hal yang tadinya tidak terdeteksi, kini bermunculan. Ia telah bisa 'melihat', 'mendengar', 'mencium' dan sekaligus 'merasakan' dunia, dengan menggunakan rasionya atau akalnya berdasarkan pengetahuan yang ada. Disitulah teknologi muncul. Hanya orang yang berakal saja yang dapat mengambil pelajaran...", ucap ayah. "Kesadaran rasional adalah ambang batas tertinggi dari fungsi inderawi...", lanjut ayah sambil matanya kembali menatapku. Aku mengangguk, memahami maksud dari ucapan-ucapan ayah. Aku mulai mengerti, kalau ternyata memang banyak hal-hal hebat yang dihasilkan dari kesadaran jenis ini. Saat dimana panca indera yang terbatas mulai dibantu dan terbantu dengan alat-alat dan teknologi modern. "Dan ambang batas itu harus kamu lewati agar masuk pada tahap selanjutnya ...", tegas ayah. 100

Aku tertegun. Keningku berkerut. "Ambang batas? Tahap selanjutnya?", tanyaku. Ayah tidak menjawab. Ayah kemudian mengambil sepotong kayu tipis yang berbentuk seperti pedang di samping kanannya dengan tangan kanannya. "Ini adalah pedang kayu nak. Tipis. Kalaupun kamu benturkan dengan gagang pompa itu, niscaya yang patah malah pedang kayu ini. Kekuatan ragawi dari pedang kayu ini tidak sekuat seperti gagang pompa itu. Itulah yang akan kamu tangkap dari fungsi inderawimu, dan itulah juga yang akan ditafsirkan dari kesadaran rasionalmu.", jawab ayah. Aku mengangguk. Ayah mengambil potongan gagang pompa yang kebetulan jatuh di dekat pedang kayu tersebut. Ayah kemudian berdiri, lalu melemparkan potongan gagang pompa tersebut ke udara. Aku melihat gagang pompa itu meninggi sekitar empat meteran. Mata ayah tidak berkedip menatap gagang pompa yang masih melayang di udara tersebut. Tiba-tiba ayah menebasnya dengan pedang kayu tipis. TRAKKK!! Aku terkejut. Potongan gagang pompa tersebut patah jadi dua! Uuh, bagaimana bisa? Secara material, kayu tipis seperti itu tidak akan bisa mematahkan gagang besi! Aku melihat ayah tersenyum. "Ada satu lagi yang menarik nak...", ucap ayah. 101

Aku melihat ayah menancapkan pedang kayu tipis itu ke tanah, lalu pandangannya melihat ke sekeliling. Seperti ada yang sedang dicari oleh ayah. Ayah kemudian mendekati sebatang rumput yang cukup panjang. Memetiknya. Lalu kembali ke tempat awal. Sambil berjalan, ayah juga terlihat mengambil sebuah potongan gagang pompa yang berada tidak jauh dari situ. Di tangan kanannya kini terdapat sepotong rumput yang panjangnya kira-kira dua puluh sentimeter dan di tangan kirinya kini terdapat sepotong patahan gagang pompa besi. Aku melihat tangan kiri ayah memegang patahan gagang pompa, sikunya agak ditekuk, lalu diturunkan sedikit di bawah dadanya dengan jarak sekitar empat puluh sentimeter. Sedangkan tangan kanannya memegang sepotong rumput yang salah satu ujungnya ditekand dengan ibu jari dan jari telunjuk yang ditekuk sedemikian rupa. Aku melihat ayah menempelkan rumput tersebut di atas patahan gagang pompa. Wajahnya terlihat serius. Sesaat kemudian ayah menghirup nafas ringan, lalu mengangkat rumput itu meninggi sekitar dua puluh sentimeter, dan membenturkannya ke patahan gagang pompa yang dipegang oleh tangan kiri ayah. TRAKKKKK!! Patahan gagang pompa itu kembali patah! Aku sangat terkejut. "Ini tidak mungkin!", gumamku dalam hati. Bagaimana bisa? Sepotong rumput yang tampak lemah seperti itu bisa mematahkan sepotong gagang pompa pendek? Aku heran, dan juga terkejut. Aku hanya melihat ayah kembali tersenyum. Nampaknya ia memahami kebingunganku. "Kamu lihat nak, bahkan sepotong rumput ini bisa menjadi sesuatu yang berbeda. Kesadaran inderawimu tidak akan bisa menerima ini, termasuk juga kesadaran rasionalmu akan menolak hal ini. Pengetahuan ilmiahmu akan membantah keras kejadian tadi. Mereka adalah ambang batasmu.", ucap ayah. 102

"Ba...ba..bagaimana ayah melakukannya yah?", tanyaku keheranan. Jujur aku bingung. Dan memang benar, nalarku tidak bisa menerima keadaan tadi. Kalau saat ayah mematahkan dengan sisi telapak tangannya atau tendangannya, aku masih bisa menerima. Kalau tadi aku mematahkannya dengan golok di tanganku, aku juga bisa menerimanya. Tapi penerimaanku mulai goyah saat melihat bagaimana pedang kayu yang tipis bisa menebas sepotong besi. Aku jauh lebih tergoyahkan saat sepotong rumput bisa mematahkan sepotong gagang pompa yang sudah terpotong pendek. Ayah berjalan mendekatiku, lalu memberikan rumput itu padaku. Kedua tangannku agak bergetar menerima rumput itu. Benar. Itu hanya rumput biasa. Tidak ada yang istimewa darinya. Aku merabanya, mengamatinya dari ujung ke ujung, pada setiap bagiannya. Uuh, tidak ada yang istimewa. Ini benar-benar rumput. Sama dengan yang setiap hari aku lihat. Sama dengan yang saat ini sedang aku duduki. Ini memang rumput! Ayah kemudian duduk di depanku dan menyentuhkan ujung telunjuk tangan kanannya di dadaku. "Semua karena ini nak...", ucap ayah. Sambil ujung jari tersebut diketukketukkan perlahan di dadaku. "Semua karena pemahaman. Karena kesadaran. Kesadaran. Lewatilah ambang batasmu itu nak...", tegas ayah. "Kalau kamu terlalu terfokus pada ini..., maka kamu tidak akan bisa menembus ambang batas itu.", ujung jari telunjuk ayah diketuk-ketukkan perlahan pada pinggiran pelipis mata kananku. Secara tidak langsung, seolah ayah ingin berkata bahwa kalau aku terlalu terfokus pada otak, maka aku tidak akan bisa menembus ambang batas. Aku kembali tertegun. Entah mengapa batinku serasa bergetar, bergelora. Entah 103

mengapa juga pikiranku jadi lebih terang benderang saat ini. Aku jadi mulai bisa menangkap benang merah dari latihan ayah terhadapku selama ini. "Bisalah merasa ... jangan hanya merasa bisa...", lanjut ayah. ***

104

BAB 14

ADA „RASA‟ DI DALAM RASA "Raport sudah dibagikan. Mulai besok, kalian libur selama dua minggu. Masuk kembali tanggal sebelas maret ya. Daftar ulang mulai dari tanggal dua. Ingat, jangan lupa untuk mengisi liburan kalian dengan kegiatan yang berguna. Selamat siang anak-anak, dan selamat menjalani liburan!", ucap pak Endang. Beliau adalah guru Fisika di sekolahku, sekaligus juga sebagai wali kelasku. "Selamat siang paaaaak...!", jawab anak-anak serempak dengan semangat. Setelah itu, suasana hening sejenak. Aku melihat pak guru membereskan bukubuku diatas mejanya, lalu berjalan keluar ruangan kelas. "Horeeeee... libuuur panjaaaaang! Liburr panjaaaang! Libuuuuur panjaaang!", tiba-tiba Herman berteriak dengan lantang. Persis setelah pak guru keluar dari ruangan kelas. Ia kemudian naik ke atas meja, lalu menari-nari dengan riangnya. Herman terlihat sedang menirukan gaya berjoget Jaipongan. Tapi tidak sama persis, bahkan gerakannya parah sekali. Aku tertawa kecil melihatnya. Teman-teman yang lainnya juga demikian. Risa, yang terkenal cerewet juga ikut tertawa lebar melihat gerakan-gerakan Herman. Tapi Herman cuek saja. Ia tetap saja bernyanyi dengan gerakan Jaipongan semaunya.

Hari ini adalah hari terakhir aku belajar di kelas dua. Besok sudah liburan. Ah, tak terasa sudah aku melewati kelas dua ini dan bersiap masuk ke kelas tiga. Oh iya, aku akan menempati kelas 3 IPA 2 nanti. Letak kelas baruku ada di ujung tangga pada lantai dua bangunan baru. Aku masuk tiga besar, dan ditempatkan secara otomatis oleh wali kelasku pada kelas IPA. Aku sendiri tidak menolaknya. 105

Aku melirik Andi, teman duduk di sampingku. Eh buku-bukunya sudah dirapihkan. "A, gue cabut dulu yaa..! Udah ditunggu nyokap nih...", ucap Andi kepadaku. "Ok Ndi, hati-hati ya... Met liburan yaaa!", jawabku. "Iya, met liburan juga ...! Eh, yayangmu dateng tuh...", ucap Andi. Pandangan matanya mengarah ke pintu kelas. Aku spontan menoleh, dan memang benar, aku melihat Dewi sedang berdiri di pintu kelas. "Ciaooo!", ucap Andi. Ia langsung berdiri dari tempat duduk dan berjalan cepat menuju pintu keluar kelas. Langkahnya lebar sekali. Ia kemudian terlihat menyapa Dewi di pintu. "Dew, ditungguin Aa tuh...", ucap Andi dengan cukup keras. Matanya melirik ke arahku. Dewi tidak mempedulikannya. Ia berjalan masuk dan mendekatiku. Dewi kemudian duduk disamping tempat dudukku. Dewi berkulit sawo matang, muka oval, dan cukup manis. Ia kemudian memukul lengan kiriku dengan lembut. "Gimana? Dapet rangking ga?", tanya Dewi. "Alhamdulillah Dew.", jawabku. "Iiiiih kamu pinteeeer siiih!", ucap Dewi. Ia mencubit lengan kiriku dengan cukup keras. Aku meringis sambil menggerakkan tangan kananku untuk mengelus-elus bekas cubitan Dewi di lengan kiriku. 106

"Awww.. kok dicubit sih? Sakit tau!", ucapku dengan masih meringis. "Kalau kamu sih gimana?", tanyaku sambil tertawa kecil. "Hmmmm... Seperti biasa ... Ngga dapet! Hehehehe", jawab Dewi semangat. Ia menatap ke arahku. "Dasar!", ucapku sambil berusaha untuk membalas dengan menjitak kepalanya. Tapi jitakan yang memang tidak kena, hanya sekedar bentuk gerakannya saja. Ia kemudian menyandarkan punggungnya pada kursi. "Liburan nanti mau kemana A?", tanya Dewi dengan lembut. Matanya menatap wajahku. Uuh, aku jadi grogi. Kelembutan ini benar-benar membuatku grogi. Ingatanku melayang pada awal kali kamu bertemu dan berkenalan. * Jujur, aku memang suka dengan gadis ini. Dan kelihatannya dia juga suka denganku. Perkenalan kami tidak sengaja, ketika ada acara kegiatan sekolah saat masa orientasi siswa baru. Aku diminta jadi bagian dari tim keamanan sekolah pada kegiatan tersebut. Saat itu Dewi belum aku kenal dengan baik. Maklum, jumlah murid di sekolahku sangat banyak. Apalagi Dewi lain kelas, dan aku orangnya agak tertutup. Meski aku mengetahuinya pun mungkin hanya sebatas kenal muka tapi tidak kenal nama. Saat aku sedang melakukan inspeksi mendadak pada satu kelompok siswa baru yang sedang ditatar, aku melihat ada seorang gadis yang sedang duduk dengan wajah yang terlihat pucat. Ia tampak kelelahan. Aku kemudian mendekatinya. Jarak kami sekitar dua meteran. 107

"Eh, kamu sakit?", tanyaku. Gadis itu diam saja. Wajahnya terlihat semakin pucat. Aku kenal wajahnya, tapi tidak tahu namanya. "Ya sudah, ikut gue aja dulu ke ruang kesehatan yuk?", pintaku. Gadis itu mengangguk. Ia bangun dari tempat duduknya. Berusaha untuk berjalan. Tapi baru berjalan satu langkah, ia sudah mulai lunglai. Tangannya meraih ujung meja dan berpegangan disitu. Ia hampir terjatuh. Secara reflek aku memegangnya, dan berusaha memapahnya menuju ruang kesehatan. Tangan kanannya aku arahkan ke bahuku, lalu aku memapahnya sambil berjalan menuju ruang kesehatan. Terasa lemah sekali. Ruang kesehatan itu berada di depan ruang guru. Berukuran empat kali lima meter. Cukup besar memang. Masih terawat, dan memiliki pendingin sehingga terasa cukup nyaman. Di dalamnya terdapat dua buah ranjang standar untuk pasien dengan sprei berwarna putih. Ada juga dua lemari untuk obat-obatan dan alat-alat kesehatan lainnya. Temboknya dicat dengan warna putih. Diantara dua ranjang terdapat sekat dengan kain putih. Aku memasuki ruang kesehatan. Pandanganku menyapu ke sekeliling, berusaha mencari tempat yang baik untuk gadis ini. Di dalamnya terlihat ada dua orang siswa baru yang sedang duduk. Mereka juga tampak kelelahan. "Kamu tiduran saja di ranjang itu ya..", ucapku. Gadis itu mengangguk. Aku memapahnya mendekati ranjang ruang kesehatan yang letaknya paling dekat. Gadis itu kemudian merebahkan tubuhnya disitu. Aku mengatur posisi bantal 108

putih agar kepalanya nyaman saat rebahan. Kemudian berjalan menuju ujung ranjang untuk melepas sepatunya, agar ia lebih nyaman. Tanganku mulai dengan membuka ikatan tali sepatunya. Sesekali aku mencuri lirik pada wajahnya. Meski sedang sakit, ia terlihat manis. Gadis itu tersenyum. Ia tahu aku mencuri lirik pada wajahnya. Aku menjawab senyum. Hatiku jadi dag dig dug. Tanganku sudah selesai membuka ikatan tali sepatu kanannya. Perlahan aku menarik sepatunya. Ia terlihat meringis. "Sakit?", tanyaku dengan kening aku kerutkan seolah ikut merasakan sakit. Gadis itu menggeleng. Ia tersenyum. "Nggak...", jawabnya perlahan. Aku melanjutkan untuk membuka ikatan sepatu di kaki kirinya. Mencoba melepas sepatu kirinya perlahan, khawatir membuatnya meringis lagi. Sesekali, aku masih mencuri lirik pada wajahnya. Aku meletakkan sepatunya dibawah ranjang. "Sepatunya disini ya...", ucapku sambil menunjuk ke arah sepatu di bawah ranjang. "Iya, terima kasih ya... Kamu baik...", ucapnya lirih. Matanya menatapku. Ini pertama kalinya pandangan mata kami beradu. Hatiku benar-benar dag dig dug tak karuan. Ia benar-benar manis. "Sa.. sama-sama ya. Terima kasih juga ...", ucapku dengan agak grogi. "Nama kamu siapa?", tanya gadis itu. "Aku Akbar, biasa dipanggil Aa.", jawabku. 109

"Kalau kamu?", tanyaku. Gadis itu kemudian menggerakkan tangan kanannya dengan sikap seperti ingin berjabat tangan. "Aku Dewi...", jawabnya sambil tersenyum. Aku terdiam sesaat. Aku membalas jabatan tangannya. Terasa telapak tangannya yang lembut dan jari jemarinya yang mungil. Saat bersentuhan, terasa ada getaran aneh di hati ini. Hatiku semakin dag dig dug tak karuan. "Iya, met kenal ya Wi..", ucapku. "Dew...Dewiii..!", seorang gadis tampak masuk dengan tergesa-gesa sambil berteriak. Aku menoleh. Gadis yang baru masuk itu tingginya kira-kira seratus enam puluh lima sentimeter, agak tambun, berkulit agak putih, berambut ikal. Di mulutnya terdapat sebuah permen Lolipop. Pandangannya menyapu ke sekeliling, lalu terfokus melihat Dewi yang sedang berbaring di ranjang. Ia kemudian berjalan dengan bergegas. "Aduuuh Deew... elu kenapa siiih?", tanyanya. Ia tampak menjadi begitu sibuk. Pandangannya seperti menyusuri setiap bagian tubuh Dewi dari ujung kaki sampai ujung rambut. "Eh ini siapa? Kok pegang-pegang tangan elu sih Dew?", lanjutnya. Tangannya kemudian berkacak pinggang sambil matanya menatap ke arahku. 110

"Eh iya, maaf ... maaf...", ucapku berulang-ulang. Aaah, aku tersadar. Ternyata tangan kami masih saling berpegangan. Secara reflek aku menarik tanganku. Wajahku rasanya memerah. Dewi juga kelihatan tersenyum malu. Aku langsung berdiri. "Rin, gue gak apa-apa kok... Mungkin cuman kelelahan aja. Untung ada Aa", jawab Dewi perlahan. Ia menoleh ke arahku. "Hayoooo.... ehem ehem... suit suiiitt...!", goda gadis yang dipanggil Rin. Mungkin namanya Rini, atau Airin, ah aku tidak tahu. Di kemudian hari aku baru tahu kalau namanya Rini. "Mana dipanggilnya Aa pulaaaa...", ucap Rini sambil terus menggoda kami. Daripada aku bertambah grogi, lebih baik aku keluar saja dari ruangan kesehatan itu. Toh sudah ada Rini yang menemani. Setidaknya aku lebih tenang. "Gu...gue tinggal dulu ya...", ucapku pada mereka berdua. Aku bergegas akan meninggalkan tempat itu. Sesaat sebelum aku balik badan, Dewi kembali memegang tanganku. Hatiku dag dig dug kembali. "Terima kasih sekali lagi ya A", ucap Dewi sambil tersenyum. "I...iya Dew... Cepet sehat ya...", jawabku. Aku langsung melepaskan pegangannya dan langsung balik badan, berjalan dengan cepat menuju pintu keluar. Dari sudut mata, aku masih melihat Rini tertawa cekikikan. Barangkali ia merasa lucu melihat tingkahku yang grogi seperti ini. Uuuh,, aku memang grogi nih. Itulah perkenalan awalku dengan Dewi. 111

* "Iiih.. ditanya kok diem aja sih?", ucapan Dewi membuyarkan lamunanku. Aku menoleh ke arahnya. Wajah manis itu kembali terlihat. "Blom tau nih Dew. Biasanya sih ayah mengajakku untuk liburan. Blom tanya sama ayah nih.", jawabku. "Mmmmmm, kalau misalkan ... sore ini ... kita nonton mau gak?", tanya Dewi dengan perlahan. Dheg.. hatiku dag dig dug kembali. Menonton bersama Dewi? Sesuatu yang belum pernah aku pikirkan sebelumnya. "Bo... boleh aja. Tapi nanti ada yang marah ga?", jawabku sedikit terbata-bata. Dewi menggeleng. "Sini, pinjem pulpen ama kertas", pinta Dewi. Aku menurut. Meski aku tidak tahu apa yang akan dilakukannya. Aku mengeluaran pulpen hitam dengan secarik kertas lalu memberikannya pada Dewi. "Husss...! Jangan nyontek ya...! Sana..sana...", gurau Dewi sambil tangan kirinya melakukan gerakan untuk mengusir. Aku hanya melihat ia menuliskan sesuatu di secarik kertas itu, lalu melipatnya dan memberikannya padaku. "Nih... bacanya nanti saat Dewi keluar ya...", ucap Dewi. 112

Aku mengangguk. Aku melihat Dewi bangun dari tempat duduknya, lalu ia memutar badan dan beranjak pergi dengan centilnya. "Daahhh!", lanjut Dewi sambil tangannya melambai ke arahku. Aku hanya melihat ia berjalan dengan riang keluar dari ruangan kelas. Tiba-tiba bahu kananku disikut dengan perlahan oleh Risa. "Ehem... jadi juga nih kencan ama si Dewi?", goda Risa. Kelopak mata atasnya terlihat naik turun. Sambil mulutnya tersenyum lebar. Aku langsung menutup mulutku dengan satu jari telunjuk kanan, memberi isyarat kepadanya agar diam. "Sssst...!", ucapku perlahan. Risa paham isyarat ini. Dia lalu mengangkat dua ibu jarinya, memberikan isyarat 'TOP DAH!'. Ia cekikikan, dan langsung ngacir keluar ruangan. Dengan penasaran, aku membuka kertas yang dilipat tadi yang sudah ditulisi oleh Dewi. ------------------------------------------gue tunggu di halte depan sekolah sekarang! kita nomat di Studio 21 Cirebon Mall jam 2 ------------------------------------------113

Aku tersenyum. Eh, beneran jadi nonton nih sama Dewi. Nonton yang jam 2 nanti. Teman-teman biasa menyebut dengan istilah 'nomat' atau 'nonton hemat'. Karena pada jam 2 harga tiket lebih murah dari biasanya. Memang rata-rata yang menonton itu pelajar. Tak terasa, hatiku berbunga-bunga. Dengan sigap, aku langsung berjalan menuju pintu ruangan kelas. Menuruni tangga dari lantai dua, dan berjalan kembali menuju pintu gerbang sekolah. Halte sekolahku berada tepat di depan pagar sekolah, sebelah kiri dari pintu gerbang, berada pada trotoar pejalan kaki. Ada sebuah bangku panjang untuk duduk sekitar enam orang. Halte tersebut ditopang oleh dua pilar di sebelah kanan dan kirinya. Aku sudah melewati pintu gerbang sekolah. Kepalaku menoleh ke kiri, aku melihat Dewi sedang duduk di ujung bangku. Aku berjalan mendekatinya. Ia melihatku, dan melambaikan tangan ke arahku sambil tersenyum. Aku duduk di sampingnya. "Tunggu bentar ya..., sopir papah sedang jemput kesini. Nanti kita naik mobil saja.", ucap Dewi. Aku mengangguk. Kira-kira tiga puluh menitan kemudian, Dewi menunjuk ke seberang jalan. "Tuh, mobilnya datang...", ucap Dewi. Aku mengikuti arah telunjuk Dewi. Melihat ada sebuah mobil Toyota Avanza berwarna silver metalik yang sedang melintas di seberang. Kaca supir tidak ditutup. Supir itu terlihat melambai ke arah Dewi. 114

Dewi berdiri dan berjalan menuju pinggiran trotoar yang mengarah ke jalan raya. Akupun mengikutinya. Tidak berapa lama, mobil Toyota Avanza itu berhenti di depan kami. Dewi membuka pintu belakangnya, lalu ia langsung masuk. Aku sendiri masih berdiri di luar pintu yang terbuka. "Sini ... masuk...", pinta Dewi. Aku menurut. Aku masuk, dan duduk disamping Dewi. Pintu mobilpun aku tutup. Suasana menjadi lebih hening. "Ke Cirebon Mall ya pak", ucap Dewi kepada supirnya. "Iya Neng", jawab supir tersebut. Mobilpun melaju menuju Cirebon Mall. Lima belas menit kemudian kami sampai di depan Cirebon Mall. Dewi meminta untuk diturunkan di depan saja, sementara pak supirnya diminta untuk kembali ke tempat papahnya. Kami berjalan masuk ke dalam mall, lalu menaiki tangga berjalan. Di ujung tangga berjalan itu, tepatnya di lantai dua, terlihat tempat pembelian tiket bioskop di Studio 21. Dewi langsung menuju kesana dan membeli tiket sementara aku melihatmelihat poster film lain. Film yang ingin ditontonnya adalah Spiderman. Aku melihatnya memegang tiket, lalu ia berbalik ke arahku sambil melambai-lambaikan tiketnya sambil mulutnya berucap "Spiderman" tanpa suara, hanya gerak bibirnya saja. Ia berjalan mendekatiku. "Para penonton yang terhormat, pintu theater tiga telah dibuka. Anda dipersilahkan untuk masuk.", terdengar suara dari pengeras suara Studio 21. 115

"Eh, udah mau mulai nih A. Ayuk..!", tanya Dewi. Ia kemudian menarik tanganku. Kamipun masuk. Kami mendapat tiket dengan nomor kursi B2 dan B3. Aku sendiri duduk di nomor kursi B2, sedangkan Dewi duduk di nomor kursi B3. Letaknya agak di pojok, dekat dengan tembok bioskop. Lima menit kemudian lampu di dalam bioskop mulai dipadamkan. Suasana mulai gelap, pertanda film pun akan segera dimulai. Benar saja. Semburat cahaya dari atas terlihat, lalu film pun dimulai. Di dalam bioskop, hatiku tidak henti-hentinya dag dig dug. Apalagi saat tangan dewi memegang tanganku. Aku bertambah kikuk dan grogi. Ingin kulepas, tapi kok rasanya tidak kuasa. Hatiku merasa bahagia berpegangan tangan seperti ini. Meski ini baru pertama kalinya dalam hidupku sedekat ini bersentuhan dengan lawan jenis. "Uuh, kenapa bisa begini?", gumamku dalam hati. Deg ... deg ... deg ... Dewi semakin manja, ia melingkarkan lenganku di lenganku. Lalu bahunya ia senderkan di bahuku. Sentuhan ini membuatku benar-benar kacau. Aku mulai berkeringat dingin. Padahal saat itu ruangan bioskop cukup dingin. Tapi keringatku tak berhenti keluar. Deg ... deg ... deg Hatiku semakin tidak karuan. Keringatku bertambah banyak saja. Rasanya, aku ingin memeluknya saja. Atau ingin menciumnya saja. Uuh, darah mudaku bergejolak. Aku jadi mabuk kepayang. Hatiku berperang dengan keinginanku 116

sendiri. Ada sesuatu yang berontak di hatiku ini. Ada yang meronta, ada yang membantah, ada juga yang menginginkannya. Aku seperti dibisiki oleh seseorang, atau mungkin sesuatu, atau entahlah. Hati kecilku benar-benar seperti berkata, "jangan, belum waktunya, belum menjadi hak mu...". Aku terdiam. Tiba-tiba aku teringat pesan ayah. * "Nak, di dalam diri kita ini ada 'rasa' yang ada di dalam rasa. Sesuatu yang lebih murni. Ia adalah hati kecilmu. Ia adalah mata hati. Ia juga yang akan menuntunmu dalam kebenaran. Kalau kamu sudah merasakan itu, ikutilah nak. Maka kamu akan selamat.", ucap ayah. "Kapan itu akan muncul yah?", tanyaku. Aku tidak tahu apa yang ayah jelaskan, tapi aku berusaha mengingatnya. "Nanti, akan ada suatu masa dimana kamu merasakan benturan di hatimu. Antara ya dan tidak, antara mengikuti keinginan dan meninggalkan keinginan, antara maju dan mundur, antara harus dan biarkan, diantara suatu kebimbangan. Pada saat itu hati kecilmu akan membisikimu, memberi tahumu, memberimu alarm, pertanda. Kalau itu sudah kamu rasakan, ikutilah, karena ia adalah mata hati yang akan menuntunmu...", lanjut ayah. "Mencari sampai mendapat tindakan yang benar dengan menggunakan mata hati...", tegas ayah. Aku mengangguk, dan tertunduk. * 117

Setelah mengingat itu, aku jadi tenang. Aku jadi tahu apa yang harus aku lakukan. Aku menggeser tempat dudukku, lalu menepis halus tangan Dewi yang melingkar di lengan kananku. "Ssst... nanti gue ga bisa konsentrasi nih nontonnya...", ucapku perlahan. Berusaha agar Dewi tidak tersinggung dengan sikap penolakanku. "Iya deeeh... iyaaa...", jawab Dewi perlahan. Ia kemudian menarik tangannya yang melingkar di lenganku. Lalu duduk normal seperti biasa. Aku lega. Ayah, aku mulai mengerti arti dari rasa di dalam rasa. Aku mulai mengerti makna dari 'mata hati' yang dulu ayah jelaskan. ***

(bersambung ke Buku Kedua)

118

Related Documents


More Documents from "leobudis24"

Tembang Tanpa Syair - 02
February 2021 2
Tembang Tanpa Syair - 01
February 2021 5