Tembang Tanpa Syair - 02

  • Uploaded by: agungriyadi
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tembang Tanpa Syair - 02 as PDF for free.

More details

  • Words: 33,785
  • Pages: 167
Loading documents preview...
2

TEMBANG TANPA SYAIR Mas Gunggung

*** untuk apa ilmu silat kalau itu menjauhkan diri dari Tuhan dari ketentraman dari persatuan dengan kehidupan yang sesungguhnya lebih baik tidak usah dipelajari lebih baik tidak usah diajarkan lebih baik tidak usah diberitahu tembang ini tanpa syair dibuat dari renungan untuk mencari sampai mendapatkan tindakan yang benar dengan mata hati tembang ini tanpa syair biar saja dibaca oleh burung biar saja dibaca oleh ikan biar saja dibaca oleh angin biar saja ditemukan oleh mata oleh hati oleh mata hati *** Jakarta, 2011 2

Daftar Isi

Prolog .....................................................................................................................................2 Bab 15 Hidup Dan Mati ....................................................................................................4 Bab 16 Eureka! ................................................................................................................. 24 Bab 17 Tradisional Dan/Atau Modern ........................................................................ 36 Bab 18 Fenomena Regenerasi Sel ................................................................................. 47 Bab 19 Persiapan Pertandingan Pertamaku ................................................................. 59 Bab 20 Pertandingan Itu Bukan Pertarungan .............................................................. 77 Bab 21 Kesadaran Yang Menembus Ambang Batas ................................................ 101 Bab 22 Kesadaran Jiwa ................................................................................................. 121 Bab 23 Siapa Memahami Apa ...................................................................................... 140 Bab 24 Siapa Mengolah Apa ........................................................................................ 154

3

BAB 15

HIDUP DAN MATI Aku berjalan bersama Dewi menuju tempat parkir mall. Tempat parkir mobil itu berjarak kira-kira dua puluh meter dari pintu keluar mall arah sebelah kiri. Kami harus melewati parkiran motor terlebih dahulu, kemudian melewati KFC, dan sebuah masjid yang cukup besar. Setelah itu, barulah parkir mobil. Selesai menonton film Spiderman, aku mengantar Dewi. Menurut Dewi, supirnya sudah menunggu di parkiran mobil. Ini pertama kalinya aku menonton bioskop bersama seorang gadis. Hatiku masih berbunga-bunga. Aku yakin hati Dewi pun sama. Kami berjalan beriringan. "Mau dianter ga pulangnya?", tanya Dewi. Ia menatapku lembut. Tatapan ini tidak pernah aku lupakan. Aku tersenyum. "Ga usah. Kamu dulu saja ga apa-apa. Kebetulan aku mau ada perlu untuk ke Gramedia dulu. Mau lihat-lihat buku.", jawabku lembut. Hatiku sebenarnya ingin bersamanya, tapi aku belum berani. Aku berikan alasan untuk ke Gramedia dulu untuk menolak halus ajakannya. Istilah anak-anak muda zaman sekarang itu „jaim‟ alias „jaga image‟. "Yeee, kok ga bilang dari tadi sih?", ucap Dewi sambil cemberut. Bibirnya agak manyun. Wajahnya menjadi lucu. Ia menghentikan langkahnya. "Iya iya, nanti lain kali kita jalan-jalan ke Gramedia ya.", jawabku sambil tertawa kecil. 4

Aku kemudian berdiri di depannya. "Jangan marah ya...", pintaku lembut. Sambil kedua telapak tanganku aku rapatkan di depan wajah membentuk posisi memohon. "Huh!", jawab Dewi. Ia membuang wajahnya ke arah kiri. Mukanya masih cemberut, bibirnya juga masih agak manyun. Dewi ternyata manja. "Iya... iya... gue janji. Nanti, gue akan ajak ke Gramedia... Ok?", ucapku sambil tanganku membentuk simbol V dengan jari telunjuk dan jari tengah. Aku menegakkan punggung, wajah kubuat serius seperti sedang upacara bendera. Dewi mulai melunak, ia menoleh ke arahku. "Beneran ya? Awas loh kalau bohong!", tanya Dewi. Telunjuk tangan kanannya kini sedang menunjuk keningku. "I swear... by the moon and the stars in the skies. And I swear like the shadow that‟s by your side...", jawabku sambil bernyanyi sekenanya saja lagu 'I Swear' dari Backstreet Boys sambil memasang tampang serius. Nada suaraku memang asal saja, yang penting liriknya benar. "Iiiih.. ga usah nyanyi deh! Jelek tau! Minggir sana!", ucap Dewi geram. Ia mencubit lenganku. Menyuruhku minggir karena memang aku sengaja menghalangi jalannya. Tanpa menunggu jawaban dariku, ia langsung melangkah maju sambil menggerakkan bahunya untuk menggeser posisi berdiriku. Aku otomatis tergeser ke samping kanan. Ia berjalan melewatiku. Berjalan dengan cepat sambil kepalanya sedikit menengadah dengan manja. Di depan, tidak jauh dari tempatku berdiri, terlihat mobil Toyota Avanza warna silver metalik.

5

Aku meringis. Cubitan itu cukup keras, meski tidak menyakitkan. Aku mengikuti Dewi dari belakang, berjalan menuju mobil. Supir Dewi yang sedang duduk kemudian berdiri dengan tergesa setelah melihat kedatangan Dewi. Kami berhenti di dekat pintu belakang mobil. Pak Supir itu tersenyum padaku. Akupun tersenyum membalasnya. Ia kemudian segera membuka pintu mobil untuk Dewi dengan sedikit membungkukkan badan. "Silahkan Neng", ucap pak supir. Aku melihat Dewi masuk ke dalam mobil. Setelah itu pak supir menutupkan pintu untuknya dan kemudian menuju tempat duduknya. Pintu kaca mobil tempat Dewi duduk terlihat membuka perlahan. "Gue pulang dulu ya A.", tanya Dewi sambil menatapku. "Iya... hati-hati di jalan. Sampai ketemu nanti ya...", jawabku sambil mengangguk. Dewi juga mengangguk. Tangan kanannya kemudian membentuk isyarat seolah sedang menelpon. Aku paham maksudnya, yakni bahwa aku harus menelponnya. Perlahan, kaca mobil itu kembali tertutup. Suara mesin mobil yang baru dinyalakan pun terdengar. Aku mundur beberapa langkah, mengambil jarak aman dan memberikan ruang pada mobil Dewi. Aku naik ke trotoar. Aku melihat Dewi dari balik kaca belakang mobil. Ia melambai ke arahku sambil tangannya sesekali membentuk simbol gerakan sedang menelpon yang berarti aku harus menelponnya nanti. Aku juga kemudian balas melambai padanya 6

sambil tersenyum dan mengangguk. Setelah melihat anggukanku, barulah Dewi kembali duduk seperti biasa. Perlahan, mobil itupun melaju. Aku hanya menatap bagian belakang dari mobil itu yang makin lama makin menjauh. Aku bersiap untuk pulang. Perjalanan dari mall ini ke rumahku sekitar tiga puluh menitan dengan dua kali naik angkutan umum. Pertama, aku harus naik angkutan umum 06 dan turun di pasar Gunung Sari. Lokasi yang dekat dengan pertarungan pertamaku dahulu. Setelah itu aku melanjutkan naik angkutan umum 04 menuju depan jalan rumahku. Angkutan umum 06 itu memang sering berhenti cukup lama di depan mall ini. Aku melihat kondekturnya berteriak ke arahku sambil melambaikan tangannya. "Nol enam! Nol enam! Nol enam!", teriak pak kondektur. Aku mengangguk. Kondektur itu langsung mendekatiku, lalu tangannya seolah melindungiku dan membimbingku untuk masuk. Entah melindungi dari apa. Aku tersenyum. Barangkali, itu kebiasaan yang berlaku untuk para kondektur. Seolah memberi tanda kalau itu adalah penumpangnya, kondektur lain tidak boleh mengambilnya. Aku berjalan mendekati tempat duduk di samping supir yang kosong. Kondektur itu kemudian membukakan pintu untukku, mempersilahkanku untuk duduk. Aku menurut dan duduklah kini disamping pak supir yang tersenyum ke arahku. Uuh, nyaman juga ternyata dibukakan pintu oleh orang lain. Mungkin, ini juga yang dirasakan oleh Dewi saat ia dibukakan pintu mobilnya oleh supir. Tidak berapa lama, kondektur itu langsung melompat dan bergantungan di samping pintu masuk angkutan umum di sebelah kiri. "Tariiiik piiiiiiir!", teriak pak kondektur. 7

Mobil angkutan umum 06 pun melaju. Aku paling suka duduk di depan, sebelah pak supir. Alasannya, karena aku senang mempelajari bagaimana cara seorang supir mengemudikan kendaraannya. Aku memperhatikan bagaimana gerakan kakinya, koordinasi antara tangan dan kaki, melihat bagaimana cara dia berhenti, cara melaju, cara berganti kopling, dan sebagainya. Meski belum punya mobil, aku yakin suatu hari nanti pengetahuan ini akan berguna untukku. Kira-kira lima belas menitan berlalu. "Kiri.. kiri... stop di depan pak!", pintaku pada pak supir. Aku melihat pasar Gunung Sari di depanku. Ia pun melambatkan kendaraannya. Berhenti kira-kira tiga puluh meter dari pasar itu. Aku membuka pintu mobil dan bersiap untuk turun. Tidak lupa aku memberikan uang dua ribu rupiah sebagai ongkos. Pak kondektur kemudian menutupkan pintu depan untukku. Mobilpun kembali melaju. Aku berhenti tepat di depan tempat dimana dulu aku mengalami pertarungan pertamaku. Aku masih teringat, beberapa bulan yang lalu tempat ini menjadi saksi bisu perkelahianku. Pohon yang sama. Tanah yang sama. Ruko yang sama. Parkiran yang sama. "Itu dia orangnya!!!", teriak seseorang membuyarkan lamunanku. Aku terkejut. Dari arah kiri aku melihat ada dua pemuda orang berjalan mendekatiku. Salah satunya menunjuk ke arahku. Di belakangnya juga terlihat ada tiga orang pemuda 8

lagi berjalan. Hidung salah satunya terlihat diperban dengan kain kasa dan dibalut oleh plester. Semuanya total ada lima orang. "Itu dia bang orangnya! Orang itu yang sudah menghajar adik abang!", teriak pemuda yang menunjuk itu. Aku masih ingat wajahnya. Ia adalah pemuda yang dulu pingsan saat aku pukul ulu hatinya. Lima orang kini sudah berdiri berjejer di depanku. Salah satu pemuda, yang badannya cukup besar bertanya. "Apa benar orang ini yang pernah memukulmu?", tanpa pemuda itu. Ia menoleh ke arah kanan, ke arah pemuda yang hidungnya diperban. Pemuda yang hidungnya diperban itupun mengangguk. "Benar bang! Dia orangnya! Kita hajar saja bang! Beri dia pelajaran!", ucap pemuda yang hidungnya diperban itu semangat. Ia juga menunjuk ke arahku. "Sabar kak... ada apa ini?", tanyaku pada yang badannya terlihat paling besar. Aku memberanikan bertanya, meskipun aku tahu ketiga orang itu adalah pemuda yang dulu pernah mengeroyokku dan kalah. Rupanya mereka dendam dan menungguku di tempat yang sama. Mereka tahu aku sering lewat situ. "Udah bang, ga usah pake jawab segala! Kita beresin aja nih orang!", ucap salah satu pemuda lainnya dengan lantang. Kelima orang itu kini mengambil jarak satu sama lain. Beberapa melingkariku dari belakang. Aku mulai waspada. Dalam posisi seperti ini sangat berbahaya bagiku mendapati lawan yang melingkari dari depan dan belakang. Aku harus mengambil posisi dimana semuanya terlihat olehku. Pandanganku menyapu ke sekeliling, 9

berusaha mencari celah dan juga mencari jarak yang terdekat. Aku melihat pemuda yang ulu hatinya pernah aku serang berada paling dekat denganku. "Hajaaar!", teriak pemuda di belakangku. Teriakan itu menjadi reflek bagiku untuk bergerak menyerang pemuda yang terdekat. Tubuh pemuda itu sedikit terbuka. Aku menggunakan gerak langkah serangan bernama Jlontrotan, yakni tendangan samping dengan sisi telapak kaki sedemikian rupa dengan kombinasi langkah lebar. Sasaranku adalah ulu hati pemuda itu. DUESSS! "Aaaakkh!", teriak pemuda yang terdekat denganku. Ia terpelanting dan bergulingan di tanah. Tangannya memegangi perutnya. Ia tampak sangat kesakitan. Hanya beberapa detik mengaduh, kemudian ia pingsan. Aku terkejut. Tendanganku mengenainya. Rasanya biasa saja, tapi ia terpental cukup jauh dengan sangat kesakitan seperti itu. Aku melihat ada celah kosong saat pemuda itu terpelanting. Secepatnya aku berlari keluar dari jarak kepungan mereka. Aku berlari menuju tembok salah satu ruko yang dijadikan usaha cuci cetak film. "Kurang ajar! Kepuuuung!", teriak salah satunya. Ia tidak mempedulikan temannya yang sudah pingsan. Keempat pemuda itupun berlari ke arahku. Lariku terhenti saat berada di depan tembok. Aku lalu membalik badan. Di belakangku ini ada sebuah tembok. Pemuda-pemuda itu sudah tidak bisa lagi mengelilingiku dari belakang. 10

Keempat pemuda itupun berhenti kira-kira dua meter dariku. Mereka saling mengambil jarak satu sama lain. Bagian bawah pusarku menghangat. Hangatnya naik hingga ke dada. Lalu perlahan merambati leher, kepala, serta kedua lengan dan kakiku. Kewaspadaanku meningkat. Aku tahu ini sudah bukan main-main lagi. Meski demikian, aku berusaha untuk tenang, agar konsentrasiku tidak buyar. Salah seorang pemuda itu mendekatiku dengan cepat, dan kemudian berusaha memukulku dengan pukulan melingkar. Ia rupanya akan menyasar pelipis kiriku. Sebelum tangannya mengeluarkan pukulan, aku maju satu langkah menyongsongnya, kemudian melakukan serangan tangan tangkisan bernama Tangkisan Atas dengan sisi telapak tangan kiriku bersamaan dengan tangan kananku melakukan Sodokan Atas dengan lintasan dari bawah ke arah dagu menggunakan telapak tangan kanan. TAKK!! DHEESS!! Pemuda itu terangkat hampir satu meter! Lehernya agak tertekuk ke belakang. Aku melihat ada cucuran darah menetes. Ia jatuh cukup keras ke tanah dengan kepala bagian belakang dulu. Dan terdiam. Tak ada suara lagi. Hanya terlihat ada darah keluar dari mulut dan hidungnya. Ia pingsan seketika. Eh, aku kembali terkejut. Tak kusangka seranganku berakibat sangat fatal terhadapnya. "Sialan lu! Kita habisi saja bang!", teriak salah satu pemuda. Ia terlihat memasukkan tangannya di balik bajunya, lalu mengeluarkan sebuah benda seperti bulan sabit yang masih terbungkus. Ia dengan cepat membuka bungkusnya. Ia mengeluarkan sebuah senjata. Clurit! Senjata itu berkilauan terkena pantulan cahaya matahari. 11

Pemuda yang hidungnya diperban juga mengikutinya. Ia mengambil sesuatu dari balik bajunya, lalu mengeluarkan benda yang sama. Sedangkan pemuda yang satunya lagi terlihat mundur. Ia terlihat waspada dan menjaga kedua temannya. Entah apa yang direncanakannya. Di hadapanku kini sudah ada dua orang pemuda bersenjatakan clurit. "Uuh, bagaimana ini?", gumamku dalam hati. "Mampus luh!!!", teriak pemuda di sebelah kiriku sambil menyabetkan clurit ke arahku. Ia yang paling dekat denganku. Jaraknya denganku sekitar satu meteran saja. Tebasannya sedikit menyilang, ia rupanya ingin menyasar leherku. Ia benar-benar ingin menghabisiku. Ini gawat! Tanpa berpikir panjang, aku gerakkan tangan kiriku menangkis tebasan clurit itu dengan sebelumnya aku kepalkan tangan kiriku dengan keras agar otot-ototku mengejang. Seluruh lengan kiriku terasa sangat panas. Aku menutup jalur lintasan clurit ke arah leher dengan lengan kiriku sambil terkepal. CRAK! Aku merasakan tanganku membentur cluritnya. Aku tidak tahu di bagian yang mana benturan itu terjadi. Sesaat, gerakannya menjadi terhenti. Ruang waktu sesaat itu aku gunakan dengan cepat untuk menyerang balik. Kepalan tanganku bergerak lurus menyasar wajahnya. Aku menggunakan serangan tangan bernama Pukulan Datar. DHUES! 12

Pukulan lurusku mengenai wajahnya. Pemuda itu terdorong mundur satu langkah sambil mengaduh. Tangan kirinya terlihat memegangi hidungnya. "Uuuukh!", teriak pemuda itu kesakitan. Matanya terlihat terpejam. Aku tidak mau menunggu ia siap kembali. Aku bergerak maju, mengikuti langkah mundurnya. Ia kini berada dalam jarak serangku. Langsung saja aku melakukan Tendangan Sabit kaki kanan ke arah pinggang kirinya. Keras, cepat, bertenaga. BUKK! Tubuhnya tertekuk. Clurit di tangan kanannya terlepas. Ia mengaduh perlahan sebelum jatuh, dan pingsan. Aku kembali mengambil posisi siap. Jarakku dengan tembok bertambah renggang. "Sialan lu! Mampus lu!", teriak pemuda yang hidungnya diperban. Ia langsung menebaskan clurit itu ke arahku. Cepat sekali. Aku tidak sempat melihat arah clurit itu. Yang aku tahu lengan kiri atasku terasa agak panas. Aku hanya merasakan agak perih pada lengan kiriku. Aku langsung mundur dan mengambil jarak. Rasa sakit itu tak begitu kurasakan karena pikirannya terfokus pada pertarungan ini. Aku langsung mengambil posisi aman di dekat tembok. Pemuda itu terlihat mengayun-ayunkan cluritnya. Ia menyeringai, dan bersiap untuk menyerang lagi. Aku waspada. Pemuda ini terlihat memiliki dasar ilmu beladiri. Serangannya cepat dan terarah. 13

Bagian bawah pusarku semakin memanas. Panasnya kini menjalari dadaku. Aku mengarahkan hawa panas itu memutar ke bawah tulang ekor, melewati tulang belakang, terus hingga ke leher, dan berhenti di kepala bagian belakang yang dekat dengan sambungan leher atas. Aku pusatkan disitu. Aku hanya merasakan kepala belakangku menghangat. Pandangan mataku menjadi semakin jernih. Suara-suara di telingaku mulai mengecil, menghilang. Aku berada dalam keheningan. Efek „lambat‟-pun kembali muncul. Gerakan ayunan clurit pemuda itu terlihat 'melambat' dalam pandangan mataku. Aku bisa melihat jelas arah ayunannya, bahkan gerakan bibir pemuda itupun terlihat. Sekelilingku seolah menjadi 'melambat'. Aku hanya melihat ia mengatakan "Mati!" dengan mengayunkan cluritnya mengarah ke perutku dari kiri ke kanan. Lintasan clurit itu 'terlihat' begitu jelas dan lambat. Aku jadi punya cukup waktu untuk menghindarinya. Aku menggeser kaki kananku ke belakang, sambil menarik perutku agar menjauh dari jarak jangkauan cluritnya. Merasa serangannya gagal, pemuda itu kembali menebaskan cluritnya ke tubuhku. Ia memutar pergelangannya, mengubah arah clurit menyilang ke atas. Lintasannya berubah, dari bawah ke atas. Putaran pergelangannya begitu 'terlihat' oleh mataku. Tak menunggu ia selesai melakukan serangan, aku langsung melangkah maju, memutar pinggang, dan merapatkan tubuhku di depannya dengan posisi dan arah yang sama dengannya. Punggungku kini berada dekat sekali dengan dadanya sementara tangan kananku masih memegang pergelangan tangan pemuda itu. Aku langsung memutarkan tubuhku ke arah kiri dengan cepat sambil menarik tangannya. Pemuda itu ikut berputar dengan keras. Punggungnya mengenai tembok di belakangku. Keras sekali. Kepalanya menghantam tembok dengan cukup keras. BUKKK! "Aduuh!", ia berteriak kesakitan. 14

Seranganku tidak berhenti sampai disitu saja, aku menggerakkan kaki kiriku mendekatinya dan langsung menyarangkan Sodokan Datar tangan kanan ke arah dada pemuda itu. DUKK! CLANG! Telapakku masih menempel di dadanya. Tak terdengar suara mengaduh. Hanya bunyi clurit yang jatuh saja yang terdengar. Aku melihatnya lemas dan tiba-tiba ia jatuh terduduk, kakinya lurus dengan pinggang tertekuk. Kepalanya juga tertekuk menunduk. Aku hanya melihat ada darah yang keluar dari sudut bibirnya. Aku kembali terkejut. Eh, apa ini? Saat melakukan Sodokan Datar tadi, aku merasakan telapak tanganku seperti mengeluarkan 'sesuatu'. Entah apa itu. Seperti panas yang berlebih, atau … entahlah, aku tidak tahu. Biar sajalah. Sudah empat orang aku rubuhkan. Tinggal satu orang lagi. Aku langsung memutar badan. Bersiap. Siaga. Waspada. Pemuda yang terakhir ini berjalan mendekatiku. Ia tampak begitu tenang. Di tangannya kini tergenggam kayu pemukul baseball. Aku tidak tahu darimana ia dapatkan. Pemukul baseball itu terlihat keras dan kokoh.

15

"Lu bener-bener kudu dimatiin!", ucap pemuda itu dengan tenang. Ia memukul telapak tangan kirinya perlahan berkali-kali dengan kayu pemukul baseball itu. Aku merasakan ada yang hangat dan menetes dari ujung jari tangan kiriku. Aku melirik … darah. Rupanya serangan clurit itu membuatku terluka. Meski tidak terasa perih, tapi darah itu rupanya sejak tadi menetes. Pandanganku mulai berkunangkunang. Aku harus segera menyelesaikan pertarungan ini. Pemuda itu semakin mendekatiku. Kira-kira jarak satu meteran, ia menebaskan kayu pemukul baseball itu ke arah kepalaku dengan lintasan vertical dari atas ke bawah. Secara reflek aku menahannya dan menangkapnya dengan Tangkisan Silang Atas, yakni menggunakan dua telapak tangan yang disilangkan berhadapan setinggi kepala. Bersamaan dengan itu kaki kananku bergerak mengayun menendang keras dari bawah ke atas mengarah ke selangkangan pemuda itu. PLAKK!! DHEG! "Uuugh!", pemuda itu mengaduh. Kayu pemukul baseball itupun terlepas. Matanya mendelik. Beberapa detik kemudian, ia terjatuh dan bergulingan di tanah sambil kedua tangannya memegang kemaluannya. Mulutnya tidak henti mengaduh. Beberapa saat kemudian, gerakannya terhenti. Ia pingsan. Tubuhku masih terasa begitu panas. Hawa panas ini menjalar kemana-mana. Pandangan mataku menyapu ke sekeliling. Aku hanya melihat lima orang pemuda yang terbaring pingsan. Sementara tangan kiriku masih mengeluarkan darah. Tetesannya terasa di ujung jari. Pandangan mataku juga mulai bertambah berkunang-kunang. 16

Tiba-tiba aku melihat pintu jendela ruko terbuka. Seorang wanita melambaikan tangannya kepadaku. Aku menoleh. "Dik, sini! Masuk saja dulu", pinta wanita itu dari jendela yang terbuka. Ia kemudian menunjuk pada arah pintu masuk ruko. Kelihatannya ia menyaksikan perkelahianku dengan para pemuda itu dari balik jendela ruko. Aku berjalan mendekati pintu yang ditunjuk oleh wanita itu. Beberapa saat kemudian pintu itupun terbuka. Wanita tadi terlihat mempersilahkanku masuk. "Duduk saja dulu, Dik. Tunggu sebentar ya...", ucap wanita itu. Aku menurut. Aku duduk di kursi putar di depan kaca etalase samping kasir. Wanita itu terlihat berjalan masuk. Beberapa saat kemudian ia keluar sambil membawa segelas air teh dan sepotong kain yang agak basah. "Ini, diminum saja dulu teh manisnya. Habiskan saja.", pinta wanita itu. Ia kemudian meletakkan gelas berisi teh manis itu di atas kaca etalase di depanku. Lalu duduk disampingku. "Terima kasih mbak", jawabku. Aku mengambil gelas berisi teh manis itu dengan tangan kananku, lalu meminumnya. Aku benar-benar menghabiskannya. Perkelahian itu membuatku haus. "Bersihkan juga darahmu dengan kain ini, Dik", ucap wanita itu. Aku menganguk. Lalu mengambil sepotong kain yang agak basah itu. Aku bersihkan darah yang keluar dari lengan kiriku bagian atas. Aku melihat pada sisi pergelangan tangan kiriku bagian luar. Ah, sobek. Terlihat cukup lebar. Tapi sama 17

sekali tidak mengeluarkan darah. Darah hanya keluar dari luka di lengan kiri atas. Itu juga sobek. Tapi tidak panjang. Tubuhku masih terasa panas. Hawa panas itu masih merambati tubuhku. Keringat juga masih menetes. "Mbak melihat perkelahianmu, Dik. Berandalan itu memang sering membuat ulah. Sudah banyak yang menjadi korban. Kebanyakan rata-rata dimintai uang, atau diambil benda-benda yang berharga. Kamu termasuk hebat juga bisa merobohkan semuanya.", lanjut wanita itu sambil tersenyum. "Ah, saya mungkin kebetulan sedang beruntung saja mbak. Yang tiga itu dulu pernah berkelahi juga dengan saya mbak. Rupanya mereka dendam, dan membawa teman-temannya untuk mengeroyok saya. Alhamdulillah Tuhan masih melindungi saya mbak.", ucapku. "Mbak, boleh pinjam telponnya tidak? Saya ingin menelpon saudara saya.", pintaku. "Oh, silahkan … silahkan. Pakai saja, Dik.", jawab wanita itu. Ia kemudian berdiri dan berjalan menuju kasir. Ia mengambil gagang telpon dan memberikannya kepadaku. Aku menerimanya dengan tangan kanan. "Berapa nomornya, Dik?", tanya wanita itu. "Tiga dua satu satu empat lima", jawabku. Aku menempelkan gagang telpon itu ke telingan kananku. Terdengar nada ketika tombol nomor ditekan, kemudian diikuti oleh nada sambung. Beberapa saat kemudian, seorang wanita menyahut. "Halo..." "Kak Yani, ini Aa. Ada Mas Ade gak?", tanyaku. 18

"Ada apa A?", tanya wanita yang dipanggil 'Kak Yani' itu. "Dateng aja dulu ya kesini, samping pasar Gunung Sari. Di ruko Cirebon Indah, tempat cuci cetak foto. Nanti anter Aa ke rumah sakit ya. Sekarang ya kak...", ucapku. "Ya udah, kamu tunggu saja disitu. Nanti kakak sama Mas Ade kesitu.", jawab Kak Yani. Nada suaranya terdengar agak cemas. "Iya kak, makasih ya...", lanjutku. Aku kemudian memberikan gagang telpon itu kembali ke wanita di belakang kasir. Ia menerimanya, dan mengembalikan ke posisinya. "Terima kasih mbak", ucapku. "Iya, sama-sama.", ucap wanita itu. Tubuhku sudah tidak sepanas tadi rasanya. Sudah mulai agak baikan. Air teh manis itu cukup memulihkan tenagaku. Pandanganku yang tadinya berkunangkunang, kini sudah normal lagi. "Ah, bagaimana caraku bilang sama ayah ya? Ini parah sekali kejadiannya.", gumamku dalam hati. Meski aku tahu ayahku sangat bijaksana, tapi tetap saja ada kekhawatiran dan ketakutan dalam hatiku karena aku lagi-lagi melanggar nasehat ayah untuk tidak berkelahi. Lima menit berlalu, kakakku belum datang. Aku lebih baik keluar saja.

19

"Mbak, sekali lagi terima kasih ya atas bantuannya. Saya keluar dulu, barangkali kakak saya sudah datang dan mencari saya.", ucapku. Aku langsung berdiri dan berjalan menuju pintu keluar yang masih terbuka. "Oh ya sudah Dik, tidak apa-apa. Cepat sembuh ya Dik...", ucap wanita itu. Ia kemudian berjalan mengantarku sampai pintu. Setelah keluar kira-kira tiga langkah, aku melihat wanita itu kembali menutup pintu. Aku melihat ke sekeliling. Para pemuda itu masih tergeletak pingsan. Timbul iba di hatiku. Aku bimbang, apakah aku harus menolongnya lagi atau tidak? Para pemuda ini sudah dua kali melakukan hal jahat terhadapku. Ah, sudahlah, lebih baik aku tolong saja. Aku mantapkan niatku. Aku dekati pemuda dengan hidung diperban yang tergeletak di depan tembok. Aku menunduk, membungkuk, lalu mencubit urat besar di ketiaknya sebalah kanan dan kiri secara bergantian. Kemudian menotok dua titik di pungunggnya dekat dengan leher. Terakhir, aku menepuk-nepuk punggungnya. Ia pun tersadar. Kepalanya menggeleng beberapa kali. Matanya kemudian melihatku. Ia terkejut, dan bergerak mundur dengan beringsut. "Ampunn.. ampunnn!", ucap pemuda itu memohon. Tangannya bergerak menutupi wajahnya untuk melindungi kalau-kalau aku memukulnya. Aku berdiri. "Ini terakhir kalinya gue melihat lu seperti ini! Pergi sana! Bawa temen-temen lu dari sini!", ucapku agak keras. Ia semakin ketakutan. Ia makin beringsut mundur. 20

"I...iya.. ampuun..!", jawab pemuda itu. TIINN... TIIN...! Suara klakson motor terdengar jelas. Aku menoleh. Terlihat seorang laki-laki yang berbadan cukup besar memarkirkan motornya di samping pohon dipinggir jalan. Wajahnya agak persegi. Tubuhnya cukup kekar, terlihat cukup rutin berolah raga. Laki-laki itu kemudian berjalan tergesa ke arahku. "A, ada apa ini?", tanyanya. "Ga apa-apa mas Ade. Cuman berantem aja...", jawabku pada laki-laki itu. Laki-laki itu adalah Mas Ade. Ia adalah suami dari Kak Yani yang tidak lain adalah kakak dari ayahku. Orangnya sangat baik dan penyabar. "Mas, Aa minta tolong untuk dianterin ke rumah sakit ya. Ini harus dijahit nih kayaknya.", pintaku pada mas Ade sambil menunjukkan luka sobek pada lengan kiriku. "Ya ampuun! Ya udah, cepetan kita ke rumah sakit.", jawab mas Ade. Ia terlihat khawatir. Lalu langsung balik badan menuju motor. Ia tidak mempedulikan para pemuda yang tergeletak di tanah itu. Aku mengikutinya. Mas Ade sampai lebih dulu. Ia langsung naik dan menyalakan motornya. "Mas, tolong jangan bilang-bilang sama ayah ya... Nanti bilang saja jatuh dari motor atau gimana gitu...", pintaku. Aku tahu alasanku ini konyol, tapi kalau mas Ade yang bilang, ayah biasanya percaya. Aku berharap semoga saja ayah percaya. "Iya, udah cepetan naik... itu harus dijahit...!", ucap mas Ade. 21

Aku menurut. Aku langsung melompat ke belakang mas Ade. Motor itupun melaju, menuju rumah sakit untuk menjahit luka sobek di lengan kiriku. Aku menoleh. Pandanganku hampa. Ada banyak yang berkecamuk di pikiranku. Pertarungan ini benar-benar pertarungan hidup dan matiku. Melawan lima orang dengan tiga orang bersenjata. Dua orang malah bersenjata tajam. Aku bersyukur bisa lolos dari maut, meskipun mendapat luka akibat sabetan clurit. Aku teringat kembali pertarunganku tadi. Beberapa kali aku menggunakan gerakan silatku, sesuai dengan apa yang dulu dilatih oleh ayah. Beberapa malah tidak sama sekali. Seperti misalnya saat aku berusaha membanting dengan memutar, atau saat aku menahan pukulan kayu baseball sambil menendang kemaluan. Itu keluar begitu saja. Naluriku bergerak begitu saja mengikuti kata hatiku. Yang kurasakan tadi, ketika berada diantara hidup dan mati, tubuhku seperti melebur. Mengeluarkan potensi yang dirasa diperlukan di dalam pertarungan itu. Hawa panas yang biasanya teratur bisa aku salurkan, saat itu mengalir ke seluruh tubuhku tanpa henti. Bisa aku gunakan semaunya. Aku mengeluarkan apa yang hatiku ingin keluarkan. Meski demikian, ada hal yang agak mengherankanku. Yakni saat aku melakukan serangan pada lawan, aku merasa memukul atau menendang biasa saja. Tapi efek yang ditimbulkannya sangat luar biasa. Lawan terpental, lawan pingsan, bahkan mengaduh dengan sangat kesakitan. Efek seranganku ini berbeda sekali ketika pertama kali aku berkelahi melawan tiga pemuda. Dimana pada pemuda yang ketiga, pukulanku nyaris tidak menimbulkan efek apapun. Sakitpun tidak. Pemuda itu dulu masih bisa tersenyum saat menerima pukulanku. Tapi saat ini benar-benar berbeda. Aku merasa ada 'sesuatu' pada pukulanku. Apalagi saat aku melakukan Sodokan Datar pada dada pemuda dengan hidung diperban itu. Rasanya ada yang memancar keluar dari telapak tanganku. Tapi aku masih belum tahu apa itu. Tidak sama dengan getaran yang selama ini aku pancarkan saat berlatih Tutup Mata bersama ayah. Agak berbeda rasanya. 22

Uuh, banyak pertanyaanku. Aku ingin bertanya pada ayah. Nanti, setelah selesai menjahit luka sobek ini. Aku teringat ucapan ayah. "Nak, saat nanti kamu berada dalam hidup dan mati, maka pada saat itu kamu akan mengetahui betapa berharganya silat yang kamu pelajari ini. Apabila kamu bisa tertolong dan menolong dengannya. Meski demikian, tetaplah bijak dengan silatmu. Belajar silat, belajarlah bijaksana…", ucap ayah. Aku tersenyum. Membenarkan ucapan ayah. ***

23

BAB 16

EUREKA! Aku duduk di dalam ruangan rumah sakit. Di depanku berdiri seorang laki-laki yang cukup berumur mengenakan baju putih bersih. Aku melihat tulisan nama kecil di dada kirinya bertuliskan "dr. Bagyo". "Coba kepalkan tanganmu", tanya dokter Bagyo. Aku menurut, meski aku tidak mengerti maksudnya. Tangan kiriku aku kepalkan perlahan, lalu semakin keras. "Cukup...", pinta dokter Bagyo. "Memangnya kenapa dok?", tanyaku memberanikan diri. "Kamu beruntung, Dik. Kalau saja sobek ini lebih dalam sedikit saja, maka otot dan uratmu pasti akan putus. Tanganmu tidak akan bisa menggenggam erat lagi seperti tadi.", jawab dokter Bagyo. Dheg... Jantungku berdegup kencang. Aku terkejut. "Alhamdulillah ya Allah, Engkau masih melingdungi hamba...", gumamku dalam hati. Aku bersyukur karena luka tebasan clurit ini tidak sampai mengenai otot dan urat lenganku. Kalau lebih dalam sedikit saja, maka tanganku ini akan menjadi cacat. 24

"Perkiraan ada delapan jahitan luar dan sebelas jahitan dalam. Termasuk ada empat jahitan di lengan kiri bagian atas. Tanganmu nanti akan dibius lokal dulu sebelum dijahit.", ucap dokter Bagyo. Aku mengangguk. Aku tidak tahu bagaimana rasanya dijahit pada kulit. Ini termasuk pengalaman pertamaku. Aku melihat dokter Bagyo mengambil beberapa peralatan, lalu diletakkan disamping kursi tempatku duduk. Ada sebuah nampan dari logam yang di dalamnya terdapat gunting, jarum suntik, alat jahit khusus, kain kasa, kapas, dan beberapa benda lain yang asing yang aku tidak tahu fungsinya untuk apa. Dokter Bagyo mengambil sebuah jarum suntik yang masih dibungkus plastik steril dengan tangan kanannya. Ia sobek pinggirannya, lalu mengeluarkan isinya. Jarum suntik itu masih terbungkus pada ujungnya. Dokter Bagyo kemudian membuka tutupnya dan membuangnya ke tempat sampah tidak jauh dari situ. Ia kemudian mengambil sebuah benda kecil berbentuk seperti botol yang berisi cairan berwarna kekuningan. Mengangkatnya dengan tangan kiri, lalu ujung jarum di tangan kanannya ditusukkan ke tengah botol kecil tersebut. Tangan kirinya menahan botol kecil dan ujung jarum suntiknya, sementara tangan kanannya menarik pangkal jarum suntiknya sehingga isi dari botol yang berupa cairan berwarna kekuningan itu berpindah ke dalam badan jarum suntik. Beberapa tetes cairannya terlihat keluar dari ujung jarum suntik. "Tahan sedikit ya, Dik...", ucap dokter Bagyo. Aku melihat dokter Bagyo menyuntikkan di beberapa titik di dekat luka sobek di dekat pergelangan tangan bagian atas. Rasanya seperti digigit semut. Tidak menyakitkan. Selesai menyuntik, aku melihat dokter Bagyo meletakkan kembali suntikannya di nampan logam di samping kursiku. Ia lalu mengambil jarum jahit khusus. Bentuknya kotak, dengan ujungnya digunakan untuk menjahit dengan cara 25

yang khas dan tidak menyakitkan. Setidaknya, begitulah penjelasan yang aku ketahui dari buku. Di zaman sekarang, proses menjahit luka sobek sudah tidak menggunakan jarum tradisional lagi seperti halnya jarum yang digunakan untuk menjahit baju. Tetapi sudah menggunakan alat khusus yang lebih mudah dan efektif. Tentunya dengan tidak menyakitkan pasien karena kecepatan dan keakuratan proses menjahit. Kira-kira sepuluh detik kemudian, pergelangan tanganku sudah mulai terasa kebas. Terasa seperti menebal. Aku mulai tidak bisa merasakan apa-apa di sekitar pergelangan tangan itu. Dokter Bagyo kemudian memulai proses menjahit lukaku. Luka sobek luar dan dalam. Sebelas jahitan dalam, dan delapan jahitan luar. Persis seperti yang diperkirakannya. Proses menjahit luka sobek ini sama sekali tidak terasa sakit. Hanya terasa seperti digigit oleh semut. Sekitar dua menitan saja luka sobekku sudah dijahit dan tertutup kembali. Jahitannya rapi. Bentuk lukaku terlihat seperti hewan lipan. Dokter Bagyo meletakkan alat jahit di atas nampan logam, lalu mengambil kembali jarum suntik yang berisi obat bius lokal. "Tahan sedikit sekali lagi ya, Dik...", ucap dokter Bagyo mengulangi. Ia kemudian menyuntikkan di beberapa titik di dekat luka sobek lengan kiri bagian atas. Luka itu tidak selebar seperti luka di pergelangan tangan atas. Cukup empat jahitan saja kata dokter Bagyo. Lengan kiriku bagian atas terasa kebas. Sama seperti tadi. Aku melihat dokter Bagyo kembali mengambil alat jahit yang sama, kemudian mulailah proses menjahit luka dimulai. Hanya beberapa detik saja proses jahit selesai. Ia kemudian meletakkan kembali alat jahit di nampan logam untuk kemudian mengambil kapas dengan sebuah capit logam kecil, mencelupkan kapas tersebut pada cairan obat berwarna 26

coklat tua dan berbau menyengat. Kapas itu kemudian ditempel-tempelkan diatas luka jahitku. Membiarkan obatnya menutupi permukaan luka. Ia melakukan hal yang sama pada bagian atas lenganku. Menempel-nempelkan kapas yang sudah basah oleh cairan obat itu beberapa kali. Setelah dirasa cukup, ia meletakkan kembali kapas dan capit logam di atas ke nampan. Ia kemudian mengambil sebuah kain kasa dan plester. Kain kasa itu berbentuk persegi panjang. Ukurannya sudah terpotong rapi sedemikian rupa. Dokter Bagyo kemudian memasang kain kasa dan plester itu di atas luka jahit tanganku kemudian merekatkan plesternya. Ia melakukan hal yang sama untuk luka di lengan atasku. Tidak berapa lama, semua luka sudah tertutup. "Sudah selesai, Dik...", ucap dokter Bagyo. "Sementara ini jangan sampai kena air dulu untuk luka-luka ini. Kira-kira tiga harian. Nanti saya akan memberikan resep obat yang dioleskan sehari tiga kali pada luka jahitnya. Obat itu akan mempercepat menutupnya luka.", lanjut dokter Bagyo. Aku mengangguk. Dokter Bagyo kemudian berjalan menuju wastafel, membersihkan tangannya dengan air dan mencucinya dengan sabun antiseptik. Setelah itu ia kembali berjalan menuju meja dan mulai menuliskan resep. Oh iya, di ruangan itu aku hanya berdua saja dengan dokter Bagyo. Sementara Mas Ade sendiri menunggu di luar. "Ada pantangan makan tidak Dok?", tanyaku. Dokter Bagyo menoleh ke arahku. 27

"Sementara ini sih belum ada. Tapi kalau mau lebih cepat sembuhnya, sementara hindari dulu makan telur ayam.", jawab dokter Bagyo sambil memberikan secarik kertas yang berisi resep obat untuk lukaku. "Nanti tebus resep ini di apotik di luar ya, Dik", lanjut dokter Bagyo. "Iya Dok, terima kasih.", ucapku sambil menerima kertas resep tersebut. Dokter Bagyo tersenyum. "Sama-sama Dik. Semoga cepat sembuh ya...", ucap dokter Bagyo. "Terima kasih...", jawabku kembali. Aku langsung berdiri dari kursi dan berjalan menuju pintu keluar. Pintu itu dibuka dengan digeser ke samping kanan, dan menutup kembali secara otomatis. Aku kemudian keluar. Aku melihat mas Ade menungguku di kursi panjang yang memang disediakan di depan ruangan periksa. Ia kemudian berdiri dan menghampiriku. "Udah selesai A?", tanya mas Ade. "Sudah mas.", jawabku. "Gimana kata dokternya?", tanya mas Ade kembali. "Delapan jahitan luar, sebelas jahitan dalam untuk pergelangan tangan ini. Dan empat jahitan luar untuk lengan atas ini mas. Tapi ngga apa-apa kok. Alhamdulillah tidak sampe kena otot dan urat. Kalau sampe kena, tangan ini jadi cacat.", jawabku sambil tersenyum pahit. "Duh, alhamdulillah kalau begitu. Kalau sampe cacat ya gawat. Haduuh… itu jahitannya banyak amat?!", ucap mas Ade. Ia terkejut. 28

Aku hanya tersenyum. "Buat kenang-kenangan mas. Buat nanti cerita sama anak cucu…", jawabku sekenanya sambil bergurau. Aku duduk di kursi panjang. Mas Ade mengikutiku, dan ia duduk disampingku. "Mas, nanti kalau ayah nanya, bilang aja Aa jatuh dari motor ya. Jangan bilang Aa berkelahi.", pintaku. "Ya udah, nanti mas yang akan ngomong sama ayah. Aa tenang saja.", jawab mas Ade berusaha menenangkanku. Aku merasa sedikit lebih lega. Batinku menjadi lebih tenang. Setidaknya, aku dibantu oleh mas Ade untuk menjelaskan asal luka ini. Meskipun aku tahu, sulit bagiku untuk membohongi ayah. Kalaupun ayah mendesak, aku terpaksa akan mengatakan yang sebenarnya. Tapi kalau tidak, ya aku tidak akan memulai pembicaraan yang mengarah ke penyebab luka ini. "Kita pulang saja sekarang...", ucap mas Ade. Aku mengangguk. Mas Ade kemudian bangun dan berjalan menuju tempat parkiran motor. Aku mengikutinya dari belakang. Aku mengingat kembali perkelahian tadi. Aku sendiri masih belum mengerti mengapa tebasan clurit yang begitu keras dan cepat itu hanya menyebabkan luka luar saja. Otot dan uratku sama sekali tidak terpotong. Pada saat itu aku hanya mengejangkan tangan kiriku semaksimal mungkin saat menangkis tebasan clurit. Temasuk juga saat tebasan yang kedua yang mengarah pada lengan atasku. Apakah ada pengaruh dari melakukan pengejangan otot? Ditambah lagi saat kemudian aku 29

merasa berada dalam kondisi hidup dan mati, aku benar-benar merasakan seolah seluruh jiwa raga ini melebur jadi satu. Setiap aliran hawa di tubuhku begitu terasa. Mengalir, dari bawah pusar, lalu ke dada, lalu ke jantung, kemudian menyebar ke seluruh tubuh. Terasa benar. Lebur. Membaur. Mengalir. Menjadi satu. Aku teringat, kalau selama enam bulan terakhir ini aku sudah dilatih olah nafas untuk Power oleh ayah. Olah nafas ini disebut dengan Olah Nafas Pengolahan, terdiri dari empat belas bentuk sedemikian rupa dengan teknik nafas berbasis dadaperut. Satu bulan pertama ayah melatihku tanpa menggunakan beban pemberat. Seminggu sekali aku berlatih olah nafas jenis ini. Setelah dirasa cukup, di bulan kedua ayah melatihku dengan menggunakan tambahan beban berupa batu bata yang sudah di cor semen. Beratnya sekitar dua kilogram. Berlatih dengan menggunakan beban pemberat ini ternyata jauh lebih melelahkan, tapi juga menghasilkan kekuatan dan daya lentur otot yang lebih baik. Dua bulan aku dilatih seperti ini dengan durasi seminggu sekali. Di bulan keempat, ayah mengganti bebanku dengan dua buah pot semen yang ujungnya berlubang lima sedalam satu ruas jari. Beratnya sekitar enam kilogram. Tiga kali lipat dari yang pertama. Aku harus mencengkram pot tersebut dengan masing-masing satu ruas jari saja. Pada pelatihan untuk beban ini, ayah juga memberikan tambahan berupa bentuk Petruk, yakni berdiri dengan satu salah satu kaki sedikit tertekuk dimana kaki yang satunya lagi diangkat dan ditekuk ke arah lutut sementara satu jari menyentuh tembok untuk menjaga keseimbangan. Jari yang tidak menyentuh tembok kemudian digunakan untuk mencengkram satu pot. Dilakukan bergantian untuk kanan dan kiri. Bentuk tambahan berikutnya adalah bentuk kopstand, yakni berdiri terbalik dengan kepala dibawah yang sedikit ditahan 30

oleh tumpuan kedua lengan. Kurang lebih dua bulanan aku dilatih olah nafas pengolahan plus beban seperti itu. Tepat di bulan keenam, ayah mengganti bebannya dengan menggunakan rautan bambu selebar lengan dengan panjang kirakira lima puluh sentimeter. Di tengah rautan bambu itu digantungi pot semen seberat kira-kira enam kilogram. Pada penggunaan beban yang ini, bentuknya masih sama dengan yang sebelumnya, hanya berbeda pada bagaimana cara mengejangkan tangannya. Kalau sebelum penggunaan beban rautan bambu, aku cukup dengan kejang-kendor saja. Maka pada rautan bambu itu aku harus mencengkram dan memutarnya keatas dan kebawah berkali-kali. Ini jauh lebih menguras tenaga. Aku sendiri tidak mengetahui ada apa dibalik setiap latihan itu. Yang aku rasakan hanyalah kebugaran pada tubuh ini. Otot-otot semakin kuat dan kokoh, tapi juga semakin lentur. Nafasku semakin panjang dan dalam. Dan di dalam tubuh ini terasa seperti ada „sesuatu‟. Rasanya, aliran hawa hangat yang dulu sering aku rasakan menjadi semakin kuat dan tebal. Menjadi semakin terasa. Aku pernah menanyakan tujuan dari latihan itu pada ayah. Dijawab oleh ayah kalau nanti saat liburan, barulah ayah akan menjelaskannya. Sekarang ini kebetulan sudah liburan sekolah, dua minggu pula. Tapi aku mengalami perkelahian yang tidak aku kehendaki sehingga harus mendapatkan dua puluh tiga jahitan. Kalau ayah mengajakku di awal liburan ini bisa gawat karena lukaku pasti belum sembuh benar. Berdasarkan pengalaman dari liburan tahun sebelumnya, ayah biasanya mengajak liburan kalau tidak di tengah waktu, ya di akhir waktu liburan. Lamanya antara tiga sampai lima hari. Lokasi biasanya di alam terbuka. Seringkali di daerah pegunungan. Beberapa kali pernah di daerah pinggiran pantai. Liburanku dengan ayah selalu diisi dengan latihan silat. 31

Aku tidak pernah menolaknya karena aku memang suka. Mungkin, cara ayah mengajariku silat begitu berbeda, begitu menarik, sehingga aku jadi suka. Banyak hal-hal di dalam silat yang berguna bagi kehidupanku. Ayah selalu mengingatkan, kalau silat janganlah dijadikan tontonan, tetapi jadikanlah bagian dari tuntunan. Silat harus bisa menjadikan diri lebih baik dari sebelumnya. Silat harus bisa menjadikan diri kita bijaksana. Begitu kata ayah. "Uuh, bagaimana ini? ", gumamku dalam hati. Aku harus secepatnya mengobati luka ini. Paling tidak, aku masih punya tiga sampai lima hari sebelum nanti ayah mengajakku berlibur. Lamunanku dibuyarkan oleh suara mas Ade. "Sudah sampe rumah A. Ayah keliatannya belum datang tuh. Mobilnya belum ada.", ucap mas Ade. Benar, mobil ayah tidak terlihat di garasi, berarti ayah belum datang. Aku langsung melompat turun. "Terima kasih ya mas…”, ucapku. "Iya… Masuk gih sana…”, jawab mas Ade. Aku melihat mas Ade memarkirkan motornya di garasi. Aku berjalan menuju depan pintu rumah. Sesampainya di depan, aku membungkuk untuk melepas sepatuku dan meletakkannya pada rak sepatu di samping kanan pintu. Kemudian bergegas masuk ke dalam menuju kamarku.

32

Saat berjalan itu aku tiba-tiba teringat ucapan ayah. Ucapan yang sepertinya bisa menjadi petunjuk agar aku cepat pulih dari luka sobek ini. "Getaran adalah gelombang. Gelombang adalah getaran. Getaran dari sukma sejati. Gelombang dari sukma sejati. Seni ini sangat istimewa. Mengembangkan ini akan membuka cakrawala pengetahuan beladiri yang sama sekali baru. Akan membuka ranah pengetahuan baru. Sebuah evolusi yang benar-benar evolusi. Bukan sekedar pengembangan, tetapi benar-benar evolusi. Belum pernah dibukukan sebelumnya. Belum pernah dipikirkan sebelumnya. Gabungan tradisional dengan modern. Satu ruang tumbuh yang baru. Yang suatu hari nanti akan kamu tempati, asalkan kamu masih di jalan pendekar dan ilmuwan.", ucapan ayah terngiang di telingaku. "Tradisional … Modern …", ucapku perlahan. "Jalan pendekar … jalan ilmuwan …", ucapku kembali dengan perlahan. Ah, itu dia jawabannya! Eureka! Aku urungkan untuk masuk ke kamarku, tapi berbelok berjalan lebih cepat menuju ruang perpustakaan. Itu adalah ruang perpusatakaan keluarga. Dibuat sedemikian rupa oleh ayah untuk penghuni keluarga atau siapapun yang senang membaca. Di kepalaku kini sudah terpikirkan sesuatu. Aku harus mencobanya. Harus. Sesampainya di ruang perpustakaan, terlihat ada lima lemari buku yang cukup besar. Masing-masing lemari itu terbuat dari kayu jati tebal dan tingginya kira-kira tiga meter. Masing-masingnya terdiri dari empat sekat yang dibatasi oleh papan kayu. Lebar sekatnya kira-kira satu setengah meter. Setiap sekatnya berisi kumpulan 33

dari buku-buku pengetahuan. Ada Agama, Biologi, Kimia, Fisika, Matematika, Kedokteran, Psikologi, Militer, Komputer, Majalah, Komik, Novel, dan banyak lagi. Kebanyakan buku-buku itu dibeli oleh ayah. Jumlahnya mencapai ratusan. Aku senang berada di ruang perpustakaan itu karena aku banyak menemukan hal baru. Aku banyak menemukan pengetahuan baru. Buku benar-benar merupakan gudang ilmu. Dan niat kita membacanya adalah kuncinya. Di depan lemari-lemari tersebut ada sebuah meja bundar yang di atasnya terdapat beberapa pulpen dan kertas-kertas kosong. Seperti yang saat ini ada di kepalaku. Sepertinya aku ingin mencoba suatu pendekatan untuk mempercepat memulihkan jahitan pada luka ini. Tiba-tiba aku teringat dengan sel batang atau sel punca, atau juga disebut dengan stem cell. Aku pernah membaca di salah satu buku di ruang perpustakaan kalau sel batang ini sangat unik. Sifatnya hanya dua, yang pertama adalah tetap menjadi sel batang saja dan yang kedua adalah dapat menjadi sel lain yang berbeda. Kalau ia ditempelkan pada sel jantung maka ia akan menjadi sel jantung, kalau ia ditempelkan pada sel kulit maka ia akan menjadi sel kulit, kalau ia ditempelkan pada jaringan tissue otot, maka ia akan menjadi jaringan tissue otot, demikianlah seterusnya. Ia akan menjadi apa dimana ia ditempelkan. Sel ini pada awalnya ditemukan dan dikembangkan dari placenta. Sehingga tidak heran penelitian awalnya sangat banyak ditentang oleh agamawan karena dianggap „jahat‟ sebab harus mengorbankan bayi hanya untuk mengambil placenta-nya agar bisa digunakan untuk penelitian. Belakangan juga diketahui letak konsentrasi sel batang tersebut pada tubuh manusia, meskipun tidak sebanyak seperti pada placenta. Akan tetapi, beberapa tahun kemudian, salah seorang professor dari Jepang berhasil menemukan bahwa sel batang juga ternyata bisa dikembangkan dari jaringan di bawah kulit. Penelitian ini membawanya mendapatkan hadiah Nobel. Aku langsung mencari buku yang berhubungan dengan informasi mengenai sel batang ini. Pandanganku tertumbuk pada sebuah buku berwarna ungu yang bertuliskan “STEM CELL”. Aku langsung mengambilnya. 34

Aku membuka buku itu. Membolak-balik halamannya. Mencoba mencari informasi yang berhubungan dengan lokasi-lokasi konsentrasi sel batang di dalam tubuh manusia. Ketemu! Aku mengambil pulpen dan secarik kertas dari atas meja. Menuliskan lokasi konsentrasi sel batang dalam tubuh manusia. Setelah itu meletakkan kembali buku itu di tempatnya. Aku kemudian bergegas berjalan menuju kamar. "Tradisional … modern …", ucapku kembali sambil tersenyum. Aku bersiap-siap untuk melakukan sesuatu yang „baru‟ dalam hidupku. ***

35

BAB 17

TRADISIONAL DAN/ATAU MODERN Kamarku berukuran empat kali lima meter. Cukup besar. Ada cukup ruang bagiku untuk berlatih sendiri di kamar. Temboknya berwarna putih. Sebuah jam dinding berwarna biru terpaku di tembok di atas lemari agak sedikit ke atas. Letak kamarku berada di samping kamar adikku, Ayu, dan agak jauh sedikit dari kamar adik-adikku yang lainnya yakni Bayu dan Taufan. Di dalam kamar aku langsung membuka baju. Dengan bertelanjang dada aku mengambil posisi duduk sila. Aku merapatkan kedua tanganku, memejamkan mata, kemudian berdoa agar diberikan kemudahan. Kemudian aku kembali membuka mata, bersiap untuk memulai latihan olah nafas yang disebut dengan Nafas Pembersih, yakni salah satu bagian olah nafas dari latihan Getaran tingkat dasar. Aku tidak perlu melakukan pemanasan lagi, karena pertarungan tadi cukup membuat tubuhku menjadi panas. Aku membaca ulang tulisan pada secarik kertas yang kugunakan sebelumnya untuk mencatat lokasi konsentrasi sel batang atau sel punca atau stem cell. Tulisan yang aku sadur sebagian dari buku stem cell dan sebagian dari jurnal ilmiah dari dr. Shinya Yamanaka. Ada beberapa alasan mengapa stem cell merupakan calon yang bagus dalam terapi berbasis sel. Pertama, stem cell tersebut dapat diperoleh dari pasien itu sendiri. Artinya transplantasi dapat bersifat autolog sehingga menghindari potensi rejeksi. Berbeda dengan transplantasi organ yang membutuhkan organ donor yang sesuai (match), transplantasi stem cell dapat dilakukan tanpa organ donor yang sesuai. Kedua, mempunyai kapasitas proliferasi yang besar sehingga dapat diperoleh 36

sel dalam jumlah besar dari sumber yang terbatas. Misalnya pada luka bakar luas, jaringan kulit yang tersisa tidak cukup untuk menutupi lukanya. Dalam hal ini terapi stem cell sangat berguna. Ketiga, mudah dimanipulasi untuk mengganti gen yang sudah tidak berfungsi lagi melalui metode transfer gen. Keempat, dapat bermigrasi ke jaringan target dan dapat berintegrasi ke dalam jaringan dan berinteraksi dengan jaringan sekitarnya. Stem cell dapat ditemukan dalam berbagai jaringan tubuh. Salah satunya ada pada stem cell dewasa, yang diambil dari jaringan dewasa yakni pertama pada sumsum tulang, kedua pada susunan syaraf pusat, ketiga pada adiposit atau jaringan lemak, keempat pada otot rangka, dan kelima pada pankreas. Pada lokasi-lokasi itulah nanti getarannku akan kupakai untuk 'memancing' stem cell untuk kemudian diarahkan pada luka sobek di lengan kiriku. Aku mulai dari Nafas Pembersih berdasakan empat penjuru mata angin seperti yang pernah diajarkan oleh ayah. Mulai dari arah Selatan, Timur, Utara, dan Barat. Arah Selatan dan Utara berhawa dingin. Arah Timur dan Barat berhawa panas. Selatan dan Utara membersihkan kepala dan badan sedangkan Timur dan Barat membersihkan tangan dan kaki. Pertama, aku menghadap ke Selatan. Saat itu aku harus melakukan visualisasi seperti ada aliran 'air dingin' yang dijatuhkan pada ubunubun hingga kemudian 'membersihkan' rongga kepala hingga pangkal leher. Setelah dirasa cukup, kemudian bergeser ke arah kiri menghadap Timur. Saat itu aku harus melakukan visualisasi seperti ada aliran panas yang masuk ke pangkal lenganku hingga ujung jari. Setelah dirasa cukup, kemudian bergeser ke arah kiri menghadap Utara. Saat itu aku harus melakukan visualisasi seperti ada 'air dingin' yang masuk mulai dari pangkal leher hingga ke pinggang untuk membersihkan area tersebut. Setelah dirasa cukup, kemudian bergeser ke arah kiri menghadap Barat. Saat itu aku harus melakukan visualisasi seperti ada aliran panas yang masuk mulai dari pangkal kaki hingga ke ujung jari kaki. Setelah dirasa cukup, kembali bergeser ke arah kiri hingga balik lagi pada arah selatan.

37

Bagaimana memahami rasa inderawi pada 'dingin' dan 'panas'? Dulu, kira-kira sepuluh tahunan yang lalu saat ayah pertama kali mengajariku, tanganku diminta untuk menyentuh es batu terlebih dahulu sambil mengatakan kalau nanti rasa seperti inilah yang coba dimunculkan. Tanganku benar-benar disentuhkan ke es batu beberapa detik. Tentu saja rasanya sangat dingin. Dinginnya merambat perlahan dari telapak tangan yang menyentuh es batu itu ke arah lengan. Menjalar seperti rambatan tetumbuhan. Seperti itulah nanti rasa dinginnya kata ayah. Sedangkan untuk hawa panas, ayah dulu membawa lilin kemudian menyalakannya. Telapak tanganku diminta didekatkan ke arah api lilin hingga hanya berjarak satu ruas jari saja. Tentu saja rasanya mula-mula hangat kemudian memanas. Merambati telapak tanganku hingga ke lengan. Menjalar seperti rambatan tetumbuhan juga. Seperti itulah nanti rasa awal yang harus aku rasakan saat berlatih nafas pembersih ini. Kemudian, saat kemudian usiaku bertambah, dan aku baru sudah masuk SMU, pada suatu latihan yang sama, ayah mengatakan bahwa 'dingin' dan 'panas', janganlah sekedar dirasakan oleh panca indera saja, tetapi juga harus memahami makna dari itu. Saat menghadap ke Selatan, kepalaku 'dibersihkan' dengan hawa dingin. Sedangkan saat menghadap ke Utara, badanku juga 'dibersihkan' dengan hawa dingin. Ayah mengatakan kalau kepala dan badan itu tempat dimana pikiran dan hati berada. Pikiran, nalar, otak, berada di kepala. Sedangkan hati,, berada di badan. 'Membersihkan' ini juga harus membersihkan hakekat dari keduanya, mendinginkan keduanya. Dingin. Tenang. Bersih. "Kepala tidak boleh 'panas', dan hati juga tidak boleh 'panas'. Kalaupun hati terpaksa 'panas', maka kepala harus tetap 'dingin'. Kalau dua-duanya 'panas', maka akan hilanglah kontrol diri. Hilanglah apa yang disebut dengan sisi kemanusiaan kita. Kita sudah bukan manusia lagi. Dan itu tidak boleh terjadi.", kata ayah. 38

"Memahami Nafas Pembersih tidak sekedar pada hasil akhir dari manfaat nafas jenis ini, atau yang berhubungan dengan kesadaran inderawi saja pada apa yang bisa dihasilkan darinya, akan tetapi lebih jauh lagi menyelami filosofi apa yang bisa didapatkan dari nafas pembersih yang berguna untuk membuat hidup kita menjadi lebih baik dan bijak.", lanjut ayah. Saat ini, aku baru memahami ucapan ayah. Sembilan menit berlalu. Aku sudah selesai melakukan nafas pembersih. Pikiran dan hatiku sudah sangat tenang. Tubuh ini juga rasanya ringan. Telinga seperti mendengar suara yang lebih jelas dan jernih dari biasanya. Pandangan mata juga menjadi lebih 'terang'. Aku memejamkan mata, memusatkan diri pada niat dan konsentrasi. Bawah pusarku mulai menghangat. Aku 'tarik' tenaga getaranku menuju dada, merasakan dadaku mulai menghangat. Setelah itu aku alirkan tenaga getaran ini pada jantung terlebih dahulu, kemudian pada lokasi-lokasi stem cell ini berada sambil memperkuat niat dan konsentrasi untuk 'membawa' stem cell ini pada kedua luka sobek di lengan kiriku. Terakhir, aku berkonsentrasi pada seluruh bagian kulit tubuhku, untuk kemudian mencoba 'menarik' stem cell dari kulit yang dialiri tenaga getaran ini yang nantinya akan diarahkan pada dua luka sobek di lengan kiriku itu. Seluruh kulitku serasa dirambati ribuan semut yang berjalan. Perlahan. Merambati. Setelah itu, luka sobek ini terasa agak berasa 'gatal' seperti digigiti semut. 'Gatal' yang tidak ingin digaruk. Aku tidak tahu berapa lama melakukan ini .Yang jelas, aku 39

benar-benar 'tenggelam' pada aktivitas ini. Keringatku juga cukup banyak keluar dari tubuhku ini. Aku baru membuka mata setelah menginginkannya. Artinya, tubuhku sudah merasa cukup untuk itu. Aku menoleh ke arah jam dinding, ternyata sudah lima belas menit aku melakukan ini. Lumayan lama juga, gumamku dalam hati. Luka sobekku ini mulai berasa nyaman. Aku tutup kembali latihan kali ini dengan Nafas Pengendapan, menarik kembali tenaga yang sudah dikeluarkan, kemudian menyimpannya kembali di bawah pusar sambil menyisakan sedikit untuk dialirkan ke dada agar tubuhku menjadi lebih segar. Setelah itu berdoa, berterima kasih kepada Allah atas segala nikmat-Nya. Aku berdiri. Berjalan menuju lemari baju yang disampingnya ada tempat untuk menggantungkan handuk. Ada dua handuk disitu, terdiri dari satu handuk besar dan satu handuk kecil. Tangan kananku meraih handuk kecil, lalu aku bersihkan badanku, terutama yang berkeringat, dengan handuk tersebut. Setelah itu aku berjalan menuju lemari, membuka pintu lemari, untuk kemudian mengambil kaos berlengan panjang dan memakainya. Segar sekali rasanya tubuh ini. Tiba-tiba terdengar suara-suara aneh di perutku. Ah, tampaknya perutku sudah mulai berontak untuk diisi nih. Aku berjalan menuju pintu kamar, membukanya, dan berjalan keluar menuju dapur. Sambil berjalan, aku melihat adikku, Ayu, sedang bermain bersama Bayu dan Taufan. "Kakaaak… sini… ikutan main gak Kak?", tanya Ayu. Aku menggeleng, sambil kedua ujung telunjuk tanganku mengarah ke perutku sendiri. 40

"Nggak Yu, nanti saja ya mainnya. Kakak lapar nih. Mau makan dulu di dapur…", jawabku. Aku melihat Ayu kembali bermain bersama adik-adiknya. Aku meneruskan langkahku menuju dapur. Bersiap untuk makan karena perut ini rupanya sudah mulai berontak. Wajar saja, setelah mengalami pertarungan hidup dan mati sebelumnya aku baru meminum segelas teh manis saja. Ditambah lagi latihan nafas pembersih yang hampir setengah jam, benar-benar membuat perutku seperti 'protes' untuk diisi. Sesampainya di dapur, aku melihat mbak Juju sedang mencuci piring. Mbak Juju diperbantukan oleh bundaku untuk beres-beres rumah. Aku tidak pernah sampai hati menyebutnya 'pembantu' sebab meskipun ia orang lain, tapi ia bagian dari keluargaku kini, yang juga ikut menjaga rumah dalam porsinya yang sudah ditentukan. Aku lebih suka menyebutnya dengan istilah 'mbak'. Usianya kira-kira tiga puluh tahunan, berasal dari salah satu kampung yang agak jauh di Jawa Barat. Dapur itu ukurannya agak besar, kira-kira lima kali enam meter. Terdapat kaca yang mengarah ke halaman pada beberapa sisinya. Di tengahnya ada meja makan, tempat aku dan anggota keluarga yang lain makan. Meja makan itu berbentuk persegi empat, dengan empat kursi yang mengelilinginya. Meskipun kami sebenarnya memiliki ruang makan keluarga sendiri yang letaknya terpisah dari situ. Mbak Juju melihatku. Ia bergegas mencuci bersih tangannya, berbalik badan, dan menyapaku. "Mau makan A?", tanyanya sambil tangannya berusaha di lap dengan kain yang diikatkan di pinggangnya. Aku mengangguk. "Iya mbak. Laper nih perut. Ada masakan apa mbak hari ini?", jawabku. 41

"Ada semur telur dan tahu A. Tempe goreng juga ada, tapi keliatannya tadi habis karena dimakan sama Ayu. Mbak goreng dulu ya sebentar.", ucap mbak Juju. Mbak Juju kemudian menyalakan kompor yang letaknya tidak jauh dari tempat mencuci piring, mengambil sebuah penggorengan, lalu mengisinya dengan minyak secukupnya. Ia lalu berjalan menuju lemari pendingin, membuka pintunya, dan mengeluarkan tempe mentah yang sudah dipotong-potong kecil. Berjalan kembali menuju tempat penggorengan. Lalu berdiri disitu, menunggu minyaknya panas. Aku sendiri langsung duduk mengambil kursi yang terdekat. Sambil menunggu mbak Juju selesai menggoreng tempe, aku terpikirkan aktivitasku sebelum ini. Pandanganku aku arahkan pada salah satu kaca di depan. Aku menyentuhkan ujung siku kedua lenganku di atas meja sambil telapak tanganku menahan daguku. Sikap ini adalah sikap seperti sedang merenung. Mataku terpejam. Yang baru aku lakukan barusan saat dikamar adalah berusaha untuk mengobati sendiri luka sobek ini dengan menggunakan pendekatan tradisional dan modern. Aku menganggap latihan silatku ini adalah tradisional, dan pengetahuan mengenai stem cell atau sel batang ini adalah modern. Setidaknya, begitulah saat ini yang ada di pikiranku. Dianggap tradisional karena latihan seperti itu tidak berhubungan dengan ilmu pengetahuan modern. Seringkali tidak tahu alasannya mengapa begini dan mengapa begitu. Bahkan seringkali juga tidak bisa dijelaskan dengan rasio. Sedangkan stem cell atau sel batang dihasilkan dari penelitian para ilmuwan dengan berdasarkan prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah modern di abad 20 saat ini. Dheg… Tiba-tiba hatiku seperti dipalu godam. 42

Aku tiba-tiba teringat ucapan ayah mengenai kesadaran inderawi dan kesadaran rasional. Ingatanku juga melayang pada saat ayah selesai melatih olah nafas Pengolahan dengan menggunakan beban bambu raut yang ditengahnya digantung sebuah pot kecil dari semen seberat empat kilogram. Saat itu ayah berdiskusi denganku. "Nak, orang-orang zaman sekarang menggolongkan silat ini sebagai tradisional. Termasuk latihan olah nafasmu barusan. Sedangkan apa yang dihasilkan di zaman sekarang dianggap sebagai modern. Menurutmu, benarkah demikian nak?", tanya ayah kepadaku. Aku menggeleng. "Aa belum begitu mengerti yah…", jawabku. "Ketahuilah nak, silat adalah ilmu pengetahuan. Meskipun orang-orang modern tidak berani mengakuinya demikian. Silat itu dapat mengungkap pengetahuan akan banyak hal. Ia seringkali dianggap tradisional, hanya karena ia kebanyakan berasal dari kampung, tertutup, diturunkan dari generasi ke generasi yang umumnya secara tutur atau lisan, sedikit tulisan, dan seringkali susah dijelaskan dengan menggunakan metode-metode ilmiah pada saat ini. Padahal ilmu pengetahuan yang dihasilkan dari silat ini sudah melampaui zamannya, sudah lebih dulu diketahui sebelum ilmu pengetahuan modern berhasil menemukannya. Silat itu sendiri sudah merupakan teknologi 'modern' dalam bentuknya yang lain.", ucap ayah. "Sebagai contoh, ilmu getaran untuk tutup mata yang sudah pernah ayah ajarkan. Ilmu itu sudah lebih dulu ditemukan sebelum pengetahuan modern memahami konsep remote sensing, sebelum pengetahuan modern memahami bahwa atom suatu benda itu menyimpan karakteristik berupa warna, bentuk, sifat, dan informasi lainnya, atau sebelum konsep dualisme sifat pada Fisika Kuantum bisa diterima secara umum. Dan ada banyak hal lain lagi yang sudah ditemukan 43

lebih dulu oleh ilmu silat ini. Ia sesungguhnya sudah modern pada zamannya. Ia sudah melampaui zamannya.", lanjut ayah. "Eh, bener juga…", gumamku dalam hati. Aku mengangguk. Membenarkan ucapan ayah. "Sudah belajar apa saja kamu sampai sejauh ini di sekolah?", tanya ayah. "Banyak yah. Aa belajar matematika, fisika, akuntansi, kimia, biologi, sejarah, olahraga, dan banyak lagi yah…", jawab Aa. "Benar nak, kamu hidup dengan belajar banyak hal. Di sekolah, sebagian besar kamu belajar hal-hal yang mengasah logika, nalar, otak. Hal-hal yang kebanyakan mengajarkan pada rasionalitas. Dimulai dari kesadaran inderawi, dan berujung pada kesadaran rasional. Pada akhirnya nanti, pengetahuanmu ini diharapkan akan mengerucut menjadi 'sesuatu'. Ingin menjadi apa nantinya pengetahuan dari kesadaran rasionalmu, ingin digunakan untuk apa nantinya pengetahuanmu, semua tergantung pada ini..", ucap ayah sambil ujung empat jari tangan kanannya ditempelkan ke tengah dadanya sambil sedikit ditepuk-tepuk perlahan. "Pengetahuan itu nantinya akan bergantung pada hati, bergantung pada rasa, bergantung pada mata hati. Jika baik hatimu, maka baik pula lisanmu, baik pula tindakanmu, baik pula pada apa yang dihasilkan dari pengetahuanmu, serta baik pula apa-apa yang dihasilkan dari kombinasi diantaranya. Efeknya baik pula pada apa-apa yang dirasakan oleh sekitarmu serta alam raya ini. Demikian juga sebaliknya nak.", lanjut ayah. "Ilmu silat sesungguhnya adalah ilmu pengetahuan modern. Sama sekali bukanlah tradisional dalam gambaran yang dibayangkan oleh orang-orang modern zaman sekarang.", ucap ayah menambahkan.

44

"Pengetahuan modern, memungkinkan kamu menjelaskan sesuatu. Sedangkan ilmu silat, memungkinkan kamu merasakan sesuatu. Pengetahuan modern memberimu penjelasan pada suatu fenomena. Ilmu silat memberimu fenomena itu. Lebih jauh lagi ia bahkan memberimu rasa pada fenomena tersebut, sesuatu yang seringkali ilmu pengetahuan modern lupakan. Ilmu silat, merupakan bagian dari pengetahuan rasa pada suatu fenomena. Sebagian fenomena sudah bisa dijelaskan pada zaman sekarang, tapi sebagian lagi belum. Yang belum bisa dijelaskan, bukanlah berarti bahwa keilmuan silat itu klenik atau misterus atau ajaib atau bahkan aneh dan tidak rasional, akan tetapi ilmu pengetahuan modern itulah yang perlu waktu untuk bisa menjelaskannya. Sebab sebagai bagian dari hukum Allah di alam ini, sebagian sudah bisa dijelaskan oleh pengetahuan manusia, tapi sebagian lagi belum. Yang jelas, akan ada masa dimana ia akan bisa dijelaskan oleh suatu ilmu pengetahuan modern nantinya. Masa itu akan datang, suatu hari nanti. Pada saat itu, tabir akan terbuka…", tambah ayah. "Ingatlah nak, tidak penting bagaimana kamu menafsirkan modern dan tradisional. Karena tradisional tidaklah sepenuhnya 'tradisional', dan modern tidaklah benar-benar 'modern'. Bahkan banyak beladiri yang mengklaim modern tetapi kehilangan ruh pada 'rasa'. Definisi seperti itu lebih baik disingkirkan. Ambil manfaat dari keduanya. Ambil apinya, jangan abunya. Yang jelas, ketahuilah bahwa siapapun yang bersungguh-sungguh berusaha 'membaca' fenomena alam, apakah dari pendekatan fisika, kimia, biologi, matematika, medis, maupun bagian dari suatu seni beladiri, baik pada dirinya sendiri ataupun pada orang lain, niscaya akan makin menyaksikan kebesaran ilahi. Berpeluang mendapat hidayah, makin tebal keimanannya.", tegas ayah. Aku menunduk. Hatiku bergetar mengingat ucapan ayah. "Sudah siap A.", ucap mbak Juju membuyarkan lamunanku. Mbak Juju kemudian menghidangkan sepiring nasi yang berisi lauk pauk semur telur dan tahu, tidak lupa ada tiga potong tempe goreng. Setelah itu mengambil teh botol dari lemari pendingin dan meletakkannya disamping piring. 45

"Iya mbak, terima kasih.", jawabku sambil mengangkat kepalaku. Melihat sepiring nasi dengan semur telur kesukaanku, hasrat makanku menjadi menggebu. Tanpa menunggu lagi, langsung aku santap hidangan di atas meja.

***

46

BAB 18

FENOMENA REGENERASI SEL Malam ini adalah malam ketiga di liburanku. Tiga hari ini pula aku selalu memakai kaos lengan panjang saat di rumah. Aku tidak ingin ayah atau bundaku khawatir dengan luka sobekku. Tiga hari pula aku selalu berlatih pengobatan dengan caraku sendiri. Luka ini sudah mulai merapat. Lengan kiriku sudah mulai berani terkena air. Jujur, aku sendiri heran mengapa lukaku bisa cepat merapat seperti ini. Aku hanya mencoba melakukan apa yang bisa aku lakukan. Aku coba gabungkan pengetahuan mengenai tenaga getaranku dengan ilmu pengetahuan modern berbasis stem cell atau sel batang atau yang sering disebut dengan sel punca. Mencoba mengalirkan stem cell itu pada kedua lukaku. Nyatanya berhasil. Meski aku tidak bisa menjelaskan mengapa bisa begitu. Meski aku juga tidak tahu apa benar stem cell itu yang membuat lukaku menjadi cepat merapat. Tapi nyatanya demikian. Luka ini sudah mulai kering. Sudah mulai merapat. Lebih cepat dari yang diperkirakan. Obat dari dokter masih tersisa banyak. Malam ini, tempat jam sembilan malam, ayah mengajakku berlatih di halaman setelah siang tadi ayah mengatakan kalau ada sesuatu yang harus aku pelajari. Siang tadi, aku sedang menonton televisi di ruang keluarga. Dari balik kaca ruang tamu, aku melihat ayah berbicara dengan mas Ade di depan teras rumah. Pembicaraan itu tampak serius. Mas Ade pasti memberitahu lukaku ini, dan aku yakin mas Ade juga melindungiku dengan tidak mengatakan kejadian yang sebenarnya bahwa luka yang kudapat ini adalah hasil dari perkelahian di jalanan. Saat itu aku melihat ayah hanya tersenyum mendengar penjelasan dari mas Ade meskipun aku tidak tahu apa yang dijelaskan oleh mas Ade. Setelah selesai menjelaskan, ayah berdiri dan berjalan masuk ke rumah, menghampiriku. Aku langsung balik badan dan kembali menonton televisi, pura-pura tidak melihat ayah. 47

Ayah duduk di samping tempat dudukku. "Nanti malam, jam sembilan, kita latihan di halaman. Ada yang ingin ayah ajarkan padamu...", ucap ayah. Aku mengangguk. "Iya yah...", jawabku. Aku masih di kamar, memandangi jam dinding yang menunjukkan pukul delapan lebih empat puluh lima menit. Masih ada waktu lima belas menit lagi sebelum aku berlatih bersama ayah di halaman. Aku melepas perban yang digunakan untuk membalut luka sobek di lengan kiriku. Terlihat luka itu kini benarbenar sudah mulai merapat. Aku sengaja melepasnya karena kalau berlatih bersama ayah dan perban itu masih aku pakai, tentu akan terlihat, dan ayah tentu akan bertanya. Setidaknya, dengan melepas perban itu, suasana halaman yang agak gelap bisa menyamarkan kulit ini. Setelah mengganti celana dengan celana hitam latihan, aku berjalan mendekati pintu kamar. Membukanya, dan kemudian berjalan santai menuju ruang tamu yang terbuka. Aku melihat ayah sudah berada di halaman. Ayah tampak sedang duduk bersila. Matanya terpejam. Nafasnya halus, teratur. Aku berjalan mendekati ayah. Lalu duduk di depan ayah, berjarak kira-kira dua meteran. Ayah kemudian membuka mata. "Bagaimana lukamu?", tanya ayah. Benar saja. Ayah pasti akan bertanya masalah ini.

48

"Sudah mendingan yah. Sudah diobati. Sekarang sudah mulai merapat dan sudah mulai kering.", jawabku. Hatiku masih agak khawatir kalau-kalau nanti ayah menanyakan penyebab dari luka ini. "Ya sudah. Kalau begitu, dalam dua atau tiga hari ke depan ini kamu akan ayah ajarkan teknik olah nafas untuk regenerasi sel tubuh", ucap ayah. Dheg... Aku terkejut. Teknik olah nafas untuk regenerasi sel tubuh? "Me...me...memangnya ada yah yang seperti itu?", tanyaku dengan sedikit kebingungan. "Tentu saja ada nak... Silat yang ayah ajarkan ini istimewa loh. Salah satu seni yang tidak kalah istimewa dengan yang lain. Meski kebanyakan sedikit yang mau peduli dengan keistimewaannya karena rata-rata malas untuk memikirkan dan merenungkan, apalagi melatihnya secara rutin.", jawab ayah dengan tersenyum. Aku menjadi bersemangat. Ini luar biasa! Aku tidak tahu kalau ada keilmuan pada silat yang ayah ajarkan yang fungsinya untuk regenerasi sel tubuh. Aku sendiri sebelumnya sudah mencoba teknikku sendiri berdasarkan pada pengetahuan stem cell yang pernah aku baca di perpustakaan. Itu kemudian memberikanku ide untuk mencoba sendiri gabungan antara tenaga getaran dengan pengetahuan stem cell. Dengan rasa penasaran yang besar, aku ingin tahu bagaimana teknik olah nafas untuk regenerasi sel yang nanti akan ayah ajarkan. "Ambil jarak. Berdoa terlebih dahulu, kemudian lakukan Nafas Pembinaan, tapi cukup bentuk Nafas Garuda saja. Lakukan tiga kali. Tidak perlu pengejangan maksimal, terutama pada lengan kirimu.", pinta ayah. 49

Aku menurut. Aku mundur dengan beringsut beberapa langkah, kupejamkan mataku, lalu mengambil sikap berdoa. Setelah itu barulah melakukan olah nafas yang disebut dengan Nafas Pembinaan. Olah nafas ini terdiri dari empat bentuk utama. Boleh dilakukan dengan posisi duduk, atau posisi berdiri dengan kuda-kuda rendah. Bentuk pertama disebut dengan Bentuk Garuda. Gerakannya adalah merapatkan kedua telapak tangan di depan dada dengan kedua siku yang diangkat sejajar. Badan tegak. Nafasnya berdesis keras sehingga menimbulkan bunyi "cesssssssssss". Bungkukkan badan, lalu buang nafas sampai 'habis', sampai sudah tidak bisa lagi menghembuskan nafas. Setelah itu tahan tiga sampai lima detik dalam kondisi 'kosong'. Selanjutnya tarik nafas dari hidung sambil badan kembali ditegakkan. Nafas yang dihirup, 'ditelan' dan di tahan di dada. Saat menahan nafas ini, kedua telapak tangan saling mendorong kuat, keras, bertenaga sambil telapak tangan yang bersentuhan tadi didorongkan ke depan perlahan sekali sembari otot-otot lengan dikejangkan dengan kuat. Dorong sampai maksimal, sampai kedua lengan menjadi lurus ke depan dengan telapak tangan terbuka menghadap ke depan. Setelah itu, gerakkan ke samping badan dengan lengan tetap lurus dan telapak tangan tetap terbuka ke depan. Gerakkan perlahan, sejajar bahu hingga melewati bahu, hingga tidak bisa lagi digerakkan. Yakni saat otot bahu sudah mencapai titik akhir pergerakan. Biasanya otot bahu akan saling berdekatan. Tahan beberapa detik, lalu gerakkan kembali ke depan hingga kedua tangan lurus. Rapatkan kedua telapak tangan secara perlahan bersamaan dengan menekuk siku yang harus tetap sejajar sehingga kedua telapak tangan yang tadi dirapatkan mulai mendekat ke dada. Telapak tangan ini saling mendorong. Kuat, keras, bertenaga. Dekatkan ke arah dada, lalu kendorkan dan buang nafas kembali. Aku melakukan itu sebanyak tiga kali, secara maksimal, seperti yang diminta oleh ayah. 50

Seluruh tubuhku kini sudah mulai menghangat Aku membuka mataku. "Bagus, nak. Sekarang, buka telapak tanganmu dan letakkan punggung tanganmu di atas lutut. Atur agar sudut yang dibentuk pada masing-masing tengah telapak tanganmu mengarah pada ulu hatimu.", pinta ayah. Aku menurut. Aku buka telapak tanganku, punggung telapak tanganku aku letakkan di atas lutut, kemudian aku atur sedemikian rupa sudutnya agar mengarah pada ulu hatiku. “Bagus. Sekarang, pejamkan matamu … seluruh tubuh harus rileks, tanpa ada pengejangan …”, ucap ayah. Aku mulai memejamkan mata. “Pola nafas menggunakan nafas segitiga yakni interval antara buang, tahan, dan tarik harus sama, harus teratur, harus berada dalam keteraturan. Ingat, konsentrasi pada nafasmu.”, lanjut ayah. “Buang nafas perlahan dari mulut … sampai habis … lalu tarik perlahan dari hidung. Perlahan … dihayati … rasakan benar nafasmu .. .turunkan ke bawah pusar, tahan sebentar … lalu naikkan ke ulu hati … naikkan lagi ke pangkal tenggorokan … naikkan lagi ke titik diantara dua mata … naikkan lagi ke ubun-ubun … lalu buang nafas perlahan dari mulut. Tarik nafas lagi perlahan dari hidung … konsentrasikan pada ubun-ubun … lalu turunkan ke otak kecil bagian belakang … tahan sebentar disana … lalu turunkan ke leher … turun lagi ke menyusuri tulang belakang … turunkan lagi ke 51

pinggang … turunkan lagi hingga ke ujung tulang ekor … buang nafas perlahan dari mulut. Tarik nafas lagi perlahan dari hidung … konsentrasikan pada ujung tulang ekor … lalu naikkan ke pinggang … naikkan lagi menyusuri tulang belakang … naikkan lagi ke leher … naikkan lagi ke otak kecil bagian belakang … tahan sebentar disana … lalu naikkan lagi ke ubun-ubun … lalu buang nafas perlahan dari mulut. Tarik nafas lagi perlahan dari hidung … konsentrasikan pada ubun-ubun … lalu turunkan ke titik diantara dua mata … turunkan lagi ke tenggorokan … turunkan lagi ke ulu hati … lalu turunkan lagi ke bawah pusar … tahan sebentar disana … lalu buang nafas perlahan dari mulut.”, jelas ayah. Aku mengikuti setiap instruksi dari ayah. Menarik nafas, lalu menurunkannya ke bawah pusar, naik lagi pada lokasi-lokasi yang disebutkan oleh ayah. Terasa sekali ada „sesuatu‟ yang „berjalan‟ pada setiap titik lokasi yang disebut oleh ayah. Seperti memutari tubuhku, lalu mengalir dan seperti „berpencar‟ ke seluruh tubuh. Rasanya, setiap sel-sel tubuh ini „terisi‟ oleh sesuatu. Baru satu putaran saja sudah menghasilkan kesegaran yang luar biasa. “Lakukan seperti itu terus hingga ayah bilang cukup…”, lanjut ayah. Aku menurut. Rasanya sungguh sangat nyaman. Aku tenggelam dalam konsentrasi melakukan olah nafas ini. Entah berapa lama, aku tidak tahu. Yang jelas, ini benar-benar sangat nyaman sekali. Setiap titik yang dilewati oleh aliran nafas ini benar-benar membawa kesegaran yang luar biasa. “Cukup … sudah tujuh menit … bukalah matamu …”, ucap ayah. 52

Aku membuka mata. Entah apakah perasaanku saja atau bagaimana, tapi pandangan mata ini terasa lebih terang dari biasanya. Pendengaranku juga serasa lebih tajam. Tujuh menit ini benar-benar membuat tubuhku bugar dan segar luar biasa. “Bagaimana perasaanmu?”, tanya ayah. “Nyaman sekali yah … “, jawabku. “Bagus. Sekarang kamu lakukan yang sama seperti tadi, tetapi ditambah dengan visualisasi. Setiap kali kamu menarik nafas, bayangkan juga seolah ada „air dingin‟ yang masuk ke tubuhmu, dan setiap jalur yang dilewati oleh „air dingin‟ bayangkan menjadi terang seperti lampu halogen, seperti lampu neon yang berwarna putih terang. Paham?”, tanya ayah. Aku mengangguk. Aku memejamkan mataku. “Ingat, konsentrasilah pada nafasmu … ikhlas …”, ucap ayah. Aku tidak menjawab, tapi lebih tenggelam pada konsentrasiku. Hening. Menghayati. Merasakan. Ikhlas. 53

Aku tarik nafas perlahan dari hidung, lalu menurunkannya ke bawah pusar sambil membayangkan „air dingin‟ memasuki tubuhku ini. Setelah itu melakukan visualisasi seperti lampu halogen atau lampu neon berwarna putih terang pada setiap titik yang dilewati. Pertama adalah bawah pusar. Dalam keheninganku, aku „melihat‟ bawah pusarku menyala putih terang. Lalu aku naikkan ke ulu hati, menyala pada jalur, menyala pada ulu hati. Uuh, terang sekali. Persis seperti lampu neon. Naik lagi ke tenggorokan, naik lagi ke titik diantara dua mata, naik lagi ke ubun-ubun. Lalu aku buang nafas karena memang itu sudah batas maksimum dari menahan nafasku. Uuh, jalur yang dilewatinya benar-benar menjadi sangat terang. Aku bisa „melihatnya‟. Setelah kemudian menarik nafas yang kedua, aku konsentrasikan pada ubun-ubun, lalu turun ke otak kecil bagian belakang, tahan sebentar disana, lalu turun lagi, terus, terus, terus, pada lokasi yang sudah disebutkan oleh ayah. Dengan visualisasi ini, rasanya sungguh sangat berbeda. Aku bisa „melihat‟ bagian depan dan tubuhku „menyala‟ terang. Pendarannya kemudian seperti merambat mengisi ke samping kanan dan kiri tubuhku. Perlahan lahan tapi pasti, warna putih itu menyebar hingga memenuhi tubuh ini. Rasanya menjadi sangat sangat nyaman. Entah berapa lama aku tenggelam dalam latihan ini. Aku benar-benar bisa merasakan aliran darah ini mengalir, jantung, lengan, tenggorokan, ulu hati, kaki, ubun-ubun, otak kecil, kepala, semua bagian ini rasanya dipenuhi oleh sensasi yang luar biasa. Kulitku seperti dirambati ribuan semut. “Bagus. cukup, nak… sudah sembilan menit. Selesaikan putarannya hingga kembali ke bawah pusar.”, ucap ayah. Aku membuka mata perlahan. Benar-benar tidak terasa sudah sembilan menit aku melakukan ini. Tubuhku jauh lebih segar dan bugar. Sama seperti yang pertama tadi, hanya bedanya ketika ditambah dengan visualisasi, efeknya menjadi dua bahkan tiga kali lipat. Ayah juga 54

dulu pernah menjelaskan kalau visualisasi itu jangan dianggap remeh. Visualisasi, meskipun hanya berada dalam pikiran, tetapi dapat memiliki efek pada tubuh fisik. “Bagaimana?”, tanya ayah sambil tersenyum. “Istimewa yah!”, jawabku dengan mantap. Tangan kananku reflek mengepal dengan ibu jari terbuka yang membentuk simbol „hebat!‟. “Tidakkah kamu menyadari sesuatu nak?”, tanya ayah kembali. Keningku berkerut. “Eh … apa ya?”, gumamku dalam hati. “Tidakkah kamu perhatikan, bahwa jalur yang dilintasi oleh latihan oleh nafas untuk regenerasi sel ini adalah jalur-jalur yang juga merupakan titik-titik konsentrasi dari sel punca atau sel batang atau stem cell?”, ucap ayah. Dheg… Aku terkejut. Benar juga. Setelah aku pikir-pikir, ternyata jalur ini memang jalur yang merupakan lokasi tempat titik-titik konsentrasi dari sel batang yang baru saja aku pelajari dua hari yang lalu. “Ayah tahu juga mengenai sel batang ini?”, tanyaku. “Tentu saja nak. Dan bukankah kamu juga sudah pernah mencoba memanfaatkannya?”, ucap ayah. Aku kembali terkejut. 55

“Kok ayah bisa tahu?”, tanyaku keheranan. “Tentu saja tahu. Buku mengenai stem cell yang ada di perpustakaan belum kamu letakkan kembali ke tempatnya. Dari situ ayah jadi tahu kalau kamu berusaha melakukan sesuatu dengan lukamu ini. Dan dua hari ini ayah lihat kamu sudah tidak memakai perban lagi. Itu menandakan kamu ada kemajuan di dalam memanfaatkan potensi keilmuan yang kamu miliki. Ayah sendiri tidak tahu bagaimana caramu melakukannya, tapi nyatanya kamu berhasil.”, jawab ayah. Tebakan ayah sangat tepat. “Benar yah, Aa coba untuk menggabungkan pengetahuan getaran Aa dengan pengetahuan mengenai sel batang ini. Barangkali saja bisa dimanfaatkan untuk mengobati luka sobek ini. Alhamdulillah ada perkembangan yang baik yah…”, ucapku agak berhati-hati. Jujur aku masih agak khawatir kalau-kalau nanti ayah menanyakan bagaimana luka itu bisa terjadi. “Tapi Aa tidak tahu kalau ternyata ada olah nafas untuk regenerasi sel seperti yang tadi ayah ajarkan…”, lanjutku. “Hehehe, apa kamu pikir silat ayah ini hanya berisi tata gerak dan getaran tutup mata saja?”, ucap ayah sambil tersenyum. Aku tersenyum sambil menggaruk kepalaku yang tentu saja sama sekali tidak gatal dengan tangan kiriku. “Kalau kamu perhatikan, bahwa pengetahuan mengenai konsep regenerasi sel ternyata sudah jauh ditemukan oleh pengetahuan silat dibanding dengan riset mengenai hal yang sama yang terjadi baru-baru ini. Jalur-jalur yang dilewati pada 56

olah nafas ini ternyata merupakan jalur-jalur yang merupakan titik-titik konsentrasi dari sel batang.”, tanya ayah. “Silat sudah menemukannya, melakukan riset secara unik, dan bahkan sudah memanfaatkannya terlebih dahulu.”, lanjut ayah. Aku melihat ayah mengangkat kepalanya sedikit dan memandang ke langit. “Meski demikian, ilmu pengetahuan silat belumlah bisa menjelaskan mengenai fenomena ini secara gamblang. Sebab memang sifatnya bukan memberimu penjelasan yang rinci seperti halnya ilmu pengetahuan modern, tapi memberimu pengetahuan untuk merasakan fenomena tersebut. Harus dianalisa terlebih dahulu secara multidisiplin, barulah akan tergambar dengan jelas bagaimana fenomena ini bisa terjadi bagaimana ia bisa dijelaskan oleh ilmu pengetahuan modern. Pengetahuan modern menggunakan nalar. Sedangkan silat menggunakan nalar dan rasa. Kalau penggunaan nalarmu tidak dibarengi rasa, maka hasil yang kamu capai tidak mendapatkan ridho Yang Maha Kuasa, meskipun memberikan nilai guna bagi orang lain. Kalau penggunaan otakmu tidak dibarengi hati, maka akan menjadi otakatik, membodohi orang-orang. Harus ada keselarasan antara nalar dan rasa, antara otak dan hati. Kalau nalar tidak pas, jangan teruskan. Kalau hati tidak yakin, tunda dulu. Kalau mantap dua-duanya, barulah dilanjutkan. ”, lanjut ayah. Aku terdiam beberapa saat, mencoba merenungi ucapan ayah. “Bagaimana cara silat menemukan hal-hal seperti ini yah?”, ucapku memberanikan bertanya. Ayah kemudian menatapku. Ia tersenyum. 57

“Cara silat menemukan hal-hal seperti itu bukan dengan pendekatan rasional semata, tetapi lebih dari itu, yakni dari pendekatan spiritual, dari tumbuhnya kesadaran spiritual sehingga terjadi „kontak‟ antara dirinya dengan Tuhannya melalui mata hati sehingga ia bisa membaca „tanda-tanda‟ yang diberikan oleh Tuhannya pada dirinya, dan pada alam sekitar. Barangkali, dengan cara seperti itulah, dengan mengharap tuntunan ilahi melalui mata hati, apa-apa yang dihasilkan oleh „teknologi‟ silat ini dikemudian hari bisa ditemukan juga oleh ilmu pengetahuan modern yang kemudian memberimu pengetahuan untuk menjelaskan fenomena ini.”, jawab ayah. Aku menunduk. Membenarkan ucapan ayah. “Kita sudahi dulu latihan kali ini. Ingat, latihlah olah nafas tadi setiap ada kesempatan. Itu akan sangat membantumu untuk pengobatan luka di lenganmu itu. Jangan lupa berdoa dulu, berterima kasihlah kepada Allah SWT, Sang Maha Pemberi.”, lanjut ayah. “Sertakan Allah dalam setiap aktivitasmu, nak.”, tutup ayah. Aku mengangguk. Menurut. Kepalaku menunduk. Batinku menjadi lebih tenang.

***

58

BAB 19

PERSIAPAN PERTANDINGAN PERTAMAKU KRIIIING…! Dering telpon di ruang tamu terdengar begitu nyaring. Aku sendiri sedang berada di dalam kamar, sedang di kursi belajar sambil membaca-baca buku Kimia. Aku mengenakan celana pendek santai model Hawaii yang agak panjang dengan kaos putih bermotif abstrak. Suara telpon itu terdengar, tapi tidak membuatku tertarik untuk keluar kamar. Aku hanya melihat dari celah pintu kamarku yang agak sedikit terbuka. Aku menoleh ke arah jam dinding, ternyata sudah pukul empat sore. Seorang perempuan paruh baya berkaos lengan panjang dan berkebaya batik berlari-lari kecil dari arah dapur menuju sumber suara. Ia langsung meraih gagang telpon dan mengangkatnya. Dia adalah mbak Juju. “Assalamualaikum…”, sapa mbak Juju. “Waalaikum salam… Aa ada mbak?”, ucap suara di seberang telpon. “Oh ada. Sebentar saya panggilkan ya, Dik?”, jawab mbak Juju. Mbak Jujur meletakkan gagang telpon dalam posisi terbuka di samping pesawat telpon. Kemudian aku melihatnya berlari kecil menuju kamarku dan mengetuk pintunya perlahan. “A, ada telpon dari temannya.”, ucap mbak Juju. 59

Aku bangkit dari tempat dudukku. “Iya mbak, terima kasih.”, jawabku sambil berjalan menuju pintu dan membukanya. Aku melihat mbak Juju membalikkan badan dan kembali lagi ke ruang dapur. Aku berjalan perlahan menuju meja kecil tempat pesawat terlpon itu diletakkan. Saat berjalan, sekilas dari sudut mataku aku melihat ke ruang perpustakaan. Aku melihat ayah sedang membaca buku disana. Sesampainya di depan meja kecil tempat pesawat telpon diletakkan, aku segera mengambil gagang telpon tersebut lalu mendekatkannya di telingaku. “Assalamualaikum…”, tanyaku ramah. “Waalaikum salam. Halo Aa, ini Mita.”, jawab suara merdu di ujung telpon. Ia adalah Mita, wakil ketua OSIS di sekolahku. Ia gadis super gaul dan super sibuk. Tingginya semampai, rambut pendek, bahkan sering kali dipotong cepak. Sedikit agak tomboy. Kulit sawo matang dan berkacamata. “Oh iya Mit, ada apa nih?”, tanyaku kembali. “Gini A, kita ada masalah sedikit nih. Masih ingat khan kalau sekolah kita ikut pertandingan pencak silat antar pelajar di acara POPKOTA?”, ucap Mita. “Iya masih lah Mit. Khan gue yang bantu ngetik proposal pengajuan ke kepala sekolah waktu itu. Yang ikut khan si Pipit sama si Roni ya?”, jawabku. “Iya bener. Tapi ada masalah nih A. Masalahnya si Roni mendadak sakit. Kakaknya tadi nelpon. Mana pertandingannya lusa. Jadi kita kekurangan orang. Gue bingung nih A.”, ucap Mita. 60

“Lho kok bisa? Trus gimana donk jadinya?”, tanyaku. “Ya tadi sih udah laporan sama Pak Toto. Katanya harus cari penggantinya secepatnya. Sayang banget kalo ga ada gantinya karena sekolah udah keluarin dana untuk dua orang. Gue udah coba nanya ke si Adi, tapi pas gue telpon ke rumahnya, eh udah liburan sama keluarganya. Tinggal elu doank nih kayaknya.. Elu juga khan belajar silat, gimana kalau elu aja yang gantiin si Roni? Mau ya A, pliiiisss…?”, rayu Mita dengan nada memelas. “Waduh, gue sih mau mau aja Mit. Tapi gue belum pernah ada pengalaman yang kayak gini nih…”, jawabku jujur. Memang benar, aku sendiri belum pernah ada pengalaman bertanding itu seperti apa. Aku memang pernah mengalami pertarungan, perkelahian, bahkan yang terakhir malah pertarungan antara hidup dan mati. Selain itu, aku hanya berlatih sparring bersama ayah di rumah. “Udah deeh ga apa-apa ya A. Yang penting jangan sampe kosong aja… Plis banget ya A…”, rayu Mita sekali lagi. “Hmmm gimana ya Mit? Gue coba tanya ayah dulu deh. Soalnya minggu ini ayah ngajak liburan ke gunung nih. Satu jam lagi gue kabarin ya Mit…”, jawabku. “Ya udah deh. Tapi beneran ya A, nanti lu kontak gue ya.”, ucap Mita. “Iya…iya, bener. Nanti satu jam lagi gue pasti telpon elu. Gue mau nanya ama ayah dulu kapan berangkat liburannya.”, jawabku mantap. “Ya udah, makasih ya A. Semoga bisa … pliiiissss…”, rayu Mita sambil memelas sekali lagi. Entah sudah berapa kali dia merayu seperti ini. Kasihan juga sih. Aku tidak tega mendengarnya. 61

“Ok. Gue pasti telpon elu. Gue tutup dulu ya Mit. Assalamualaikum…”, jawabku. “Waalaikumsalam…”, tutup Mita sambil juga menutup percakapan kita. Aku meletakkan kembali gagang telponnya. Lalu duduk disamping meja telpon. Aku berpikir apakah akan aku penuhi keinginan Mita atau tidak? Aku memandangi tangan kiriku, luka sobek ini sudah sembuh, sudah merapat dengan sempurna. Jujur, hatiku sih ingin. Meskipun aku tidak yakin bisa atau tidaknya. Sebab pasti nanti disana aku bisa ketemu sama Dewi. Dewi pasti akan ikut, karena ia juga tim dari sekolah bersama Mita dan yang lainnya. Ah, daripada bingung, lebih baik aku temui ayah. Aku ingin bertanya kapan kira-kira ayah akan mengajakku liburan. Kalau waktunya masih lama, aku akan menggantikan Roni sebagai wakil pesilat dalam pertandingan pencak silat antar pelajar. Tapi kalau tidak, terpaksa aku harus menolak permintaan Mita. Aku mantapkan hatiku, lalu segera berdiri dan berjalan menuju ke ruang perpustakaan. Aku melihat ayah sedang membaca buku. Hanya terlihat punggungnya saja karena ayah memutar kursinya ke arah berlawanan. Aku langsung duduk di salah satu kursi yang ada di depan meja baca, tepat di depan ayah. Suara derit kursi terdengar, aku melihat ayah memutar badannya lalu tersenyum. Ia menutup buku yang sedang dibacanya, dan meletakkannya di meja di depannya. Aku memulai terlebih dahulu percakapan dengan ayah. “Yah, maaf Aa ganggu. Gini yah, tadi Mita, wakil ketua OSIS telpon Aa. Katanya salah satu pesilat wakil dari sekolah Aa mendadak sakit.”, ucapku langsung to the point atau langsung mengarah pada pokok persoalan. “Tidak apa-apa. Terus gimana?”, tanya ayah. 62

“Anu… yah, Mita minta Aa buat gantiin pesilat yang sakit itu. Tapi Aa belum mengatakan iya atau tidak karena khan nanti ayah mau ajak Aa liburan.”, jawabku lugas. “Oh, bagus itu A. Itu bisa jadi pengalamanmu bertanding. Diambil aja peluangnya. Ngomong-ngomong, kapan pelaksanaannya?”, ucap ayah. “Lusa yah. Makanya Aa mau nanya dulu sama ayah.”, jawabku. “Ya sudah tidak apa-apa. Kita geser saja liburannya setelah pertandingan ini. Bagaimana?”, tanya ayah. “Kalau ayah mengizinkan ya Aa sih mau yah…”, jawabku. “Tentu saja ayah mengizinkan, nak. Sudah, sana telpon temanmu, bilang kalau kamu bersedia menggantikan pesilat yang sakit tadi.”, ucap ayah sambil tersenyum ke arahku. Aku senang sekali mendengarnya. Aku langsung berdiri dari kursi dan berterima kasih pada ayah. “Terima kasih ya yah…”, ucapku sambil tersenyum sumringah. Ayah tidak menjawab. Ia hanya mengangguk. Tapi itu sudah cukup bagiku. Aku membalikkan badan, lalu berjalan cepat menuju meja tempat pesawat telpon diletakkan. Aku angkat gagang telponnya, lalu segera menelpon Mita. Gagang telpon itu aku dekatkan ke telingan kiriku, sambil aku jepit dengan bahu dan tangan kiriku mengangkat pesawat telponnya bersamaan dengan tangan kananku memutar nomor Mita. Dua enam tiga kosong dua kosong. 63

Beberapa detik kemudian terdengar nada tunggu di telinga kiriku. “Halo… assalamualaikum…”, terdengar suara merdu. Itu pasti suara Mita. “Waalaikumsalam… Mit, ini gue…”, ucapku. “Iya A. Gimana A jadinya? Udah kasih tau ayahmu belum?”, tanya Mita. “Sudah Mit. Ayah mengizinkan, dan kebetulan liburannya digeser beberapa hari ke depan.”, jawabku. “Horeeee…! Sip lah kalau begitu! Tengkyu berat nih A!”, ucap Mita kegirangan. “Oh iya A, sore ini ada latihan bersama di sekolah. Barangkali saja mau ketemuan sama Pipit dulu buat ngobrol-ngobrol…”, lanjut Mita. “Oh ya? Baguslah kalau begitu. Gue segera kesana aja. Gue juga mau nanyananya dulu sama Pipit nih mengenai aturan pertandingannya…”, ucapku. “Ya udah nanti gue sms-in si Pipit ya. Kasih tau dia kalau dia jangan pulang dulu karena elu mau dateng kesitu. Gue juga nanti nyusul kesitu…”, jawab Mita. “Ok Mit. Thanks yak… Assalamualaikum…”, ucapku menutup pembicaraan. “Waalaikumsalam…”, jawab Mita. Aku tutup gagang telponnya, lalu kembali berjalan menuju kamar. Di dalam kamar, aku segera mengganti celana pendekku dengan celana silat berwana hitam yang tergantung di dinding kamar. Celana silat ini sudah lusuh. Warnanya juga sudah mulai pudar. Jahitan di ujungnya malah beberapa sudah 64

terkelupas. Meskipun belum ada yang sobek. Setelah selesai mengganti celana, aku langsung keluar kamar dan berjalan menuju ruang perpustakaan menemui ayah. Di dalam ruang perpustakaan, aku melihat ayah sedang menulis sesuatu. Aku kemudian berjalan mendekatinya. Melihatku mendekat, ayah menghentikan aktivitasnya. “Ayah, sore ini ada latihan bersama di sekolah. Aa pamit izin mau kesana dulu ya yah. Sekalian mau nanya-nanya sama Pipit.”, tanyaku. “Baiklah. Ayah izinkan. Kamu sudah makan belum?”, jawab ayah. “Terima kasih ya yah. Aa masih belum lapar yah, nanti saja makannya sepulang dari sekolah yah”, ucapku. “Ok. Hati-hati saja di jalannya ya…”, tanya ayah. Aku mengangguk mantap. Dan langsung balik kanan berjalan meninggalkan ruang perpustakaan. Aku sempat melirik, dan melihat ayah kembali melanjutkan aktivitasnya. Aku berjalan keluar ruang tamu dan menuju garasi. Disana ada sebuah sepeda gunung yang sering aku gunakan. Warnanya coklat tua. Joknya terbuat dari karet yang cukup tebal tapi empuk. Warnanya hitam. Aku langsung mengambil sepeda gunungku, mengayuhnya perlahan keluar dari garasi menuju pintu keluar rumah. Aku berhenti sejenak dan turun dari sepeda sesaat setelah keluar dari pintu keluar rumah untuk menutup kembali pintunya. Setelah itu barulah aku mengambil kembali sepeda gunungku dan mengayuhnya dengan kecepatan yang cukup tinggi menuju sekolah.

65

Jarak dari rumahku ke sekolah kira-kira sepuluh menit dengan naik sepeda berkecepatan sedang. Atau tiga puluh menit kalau berjalan kaki. Atau lima menit saja kalau naik motor. Harus melewati jalan raya, sebuah jembatan, dan sebuah perempatan lampu merah di dekat mall yang terbesar di kotaku. Belok ke kanan, lalu melewati pasar Gunung Sari. Kira-kira seratus meter, barulah terlihat sekolahku. Aku harus memutar karena posisiku berada di seberangan sekolahku. Letak putarannya persis di dekat sekolahku. Biasanya disitu dijaga oleh pak polisi untuk mengatur lalu lintas. Tapi sore ini tidak terlihat ada pak polisi disitu. Aku sudah sampai ke depan sekolahku. Pintu gerbang sekolahku terbuka lebar. Terlihat beberapa siswa yang sedang berjalan keluar. Aku belok kanan, menuju gerbang dalam sekolah, di dekat tempat parkir kendaraan siswa. Aku masuk ke dalam menuju lapangan di dekat masjid. Aku parkirkan sepeda gunungku di tempat parkir depan masjid. Pandanganku menyapu ke sekeliling. Di ujung lapangan, aku melihat Pipit. Ia tampaknya sedang berlatih sendirian. Terlihat ia sedang melakukan shadow boxing atau tarung bayangan. Aku berjalan menghampirinya. Pipit tampaknya belum melihatku. Kira-kira berjarak lima meteran, aku langsung duduk saja disitu di atas aspal lapangan. Tidak jauh dari situ, aku melihat ada beberapa siswa yang sedang berlatih olahraga bola voli. “Hei…”, sapaku terlebih dahulu sambil tersenyum. Mendengar suaraku, ia menoleh dan menghentikan kegiatannya. Lalu berjalan mendekatiku. Dan ia juga duduk di depanku. “Eh kamu A. Tadi si Mita udah sms gue. Dia minta maaf kayaknya ga bisa dateng sore ini. Tapi dia udah cerita kalau elu nanti bakalan gantiin si Roni.”, ucap Pipit sambil ia meluruskan kakinya.

66

“Iya nih. Jujur gue blom paham peraturan pertandingannya kayak apa nih?”, tanyaku. “Lho, elu gak nanya sama bokap?”, jawab Pipit keheranan. Aku menggeleng. “Belum. Hehehe. Nanya sama elu ajalah. Elu khan udah pernah ikut pertandingan silat.”, ucapku sambil tertawa kecil. “Dasar!”, ucap Pipit. “Ya peraturannya banyak. Tapi sederhananya sih begini, yang boleh diserang itu bawah leher hingga pinggang. Disitu nanti ada point untuk tendangan dan pukulan. Tendangan bernilai dua, dan pukulan bernilai satu. Ada sih kombinasinya dengan langkah sebagai nilai plus. Tapi ya daripada elu ribet hafalinnya, pokoknya inget itu aja dulu deh. Tendangan nilainya dua, pukulan nilainya satu. Trus kalau elu berhasil jatuhin lawan, elu dapet nilai tiga. Tapi jatuhinnya ga boleh lebih dari tiga detik ya. Dah gitu aja gampangnya.”, lanjut Pipit. Aku mengangguk. “Trus ada yang lainnya ga?”, tanyaku. “Ya ada nilai hukuman. Kalau elu melanggar. Pelanggarannya juga ya ada banyak juga. Mukul muka, ga boleh. Matahin sendi, ga boleh. Nusuk leher, ga boleh. Lari keluar lapangan, ga boleh. Dan ada juga yang laennya. Duh, gini aja deh, elu download aja peraturan pertandingan silat dari internet. Ada kok disana. Nah, baca deh ntar malem. Ok?”, ucap Pipit sambil senyum. “Yeee.. kalo gitu mah gue ga usah nanya ama elu lagi atuh neng…”, jawabku sekenanya aja. 67

“Hahaha, ya emang gitu. Baca aja ya, tapi jangan lupa, download dulu…”, ucap Pipit sambil tertawa. Pipit kemudian kembali berdiri. “Mau ikut latihan bareng?”, tanya Pipit. Aku menggeleng. Awalnya sih ingin berlatih bareng sama Pipit, tapi mendengar penjelasan mengenai peraturan pertandingan tadi, aku tiba-tiba jadi tidak ingin berlatih bersama Pipit. “Nggak Pit, terima kasih. Gue balik dulu aja ya. Gue mau download dulu peraturan pertandingannya.”, jawabku. Aku juga ikut berdiri. “Ok. Besok ada technical meeting sekalian penimbangan jam dua siang. Kata Mita, ntar kumpul dulu di sekolah ya. Trus nanti berangkat kesananya bareng.”, ucap Pipit. “Sip! Thanks yak...”, jawabku. Aku langsung berjalan kembali menuju area parkir di depan masjid sekolah. Mengambil sepedaku lalu bersiap mengayuhnya kembali untuk pulang. “… Mukul muka, ga boleh. Matahin sendi, ga boleh…”, aku terngiang ucapan Pipit. “Hmmm… sepertinya ribet juga nih …”, gumamku dalam hati.

68

Aku membayangkan, kalau gerakan silat yang diajarkan ayah tentunya akan berkurang banyak sekali karena peraturan ini. Gerakan-gerakan serangan yang diajarkan ayah, hampir sebagian besar mengarah pada daerah-daerah mematikan. Sasarannya merupakan sasaran yang tampaknya tidak diizinkan di dalam peraturan pertandingan silat. Kalau muka saja tidak boleh diserang, berarti serangan-serangan seperti Sodokan Melingkar, Sodokan Atas, Ujung Siku Ke Atas, Totokan, Tebangan, Tebasan, dan yang lainnya praktis tidak bisa dipergunakan. Terutama serangan-serangan dengan sasaran pada leher dan kepala. Kalau pematahan sendi juga tidak diizinkan, berarti gerakan-gerakan serangan kaki seperti Pengkalan, Trap Samping, Cecakan, Pancer, dan yang lainnya juga praktis tidak bisa digunakan. Termasuk di dalamnya tangkisan tangan bernama Patah Tebu atau pengembangan dari Sautan. Pengkalan, merupakan salah satu bentuk serangan kaki dengan alat penyasar ujung tumit yang digerakkan dari bawah ke atas dengan memutar badan, sasarannya adalah selangkangan. Trap Samping, merupakan salah satu bentuk serangan kaki dengan alat penyasar berupa sisi telapak kaki seperti halnya yang digunakan pada Tendangan Samping tetapi dengan sasaran persendian lutut. Fungsinya untuk mematahkan lutut atau tulang kering lawan. Cecakan, merupakan salah satu bentuk serangan kaki dengan alat penyasar berupa sisi telapak kaki seperti halnya yang digunakan pada Tendangan Samping tetapi dilakukan dengan posisi berjongkok dan sedikit melompat ke depan dengan masih tetap berjongkok. Fungsinya untuk mematahkan sendi lutut atau menghancurkan tulang kering atau untuk menjatuhkan musuh secara menyakitkan pada serangan bawah. Pancer, merupakan gerakan yang mengangkat lutut setinggi pinggang bersamaan dengan menutupkan ujung siku dari atas ke bawah ke arah lutut. Kalau yang melakukan kaki kanan, maka gerakan ujung siku yang menutupnya juga tangan 69

kanan. Kalau diterapkan untuk menangkis, maka bentuk ini bisa digunakan untuk mematahkan persendian siku pada tangan maupun persendian lutut pada kaki. Patah Tebu, merupakan salah satu bentuk serangan tangan tangkisan dengan alat penyasar punggung tangan bagian luar sambil membentuk kepalan. Yang disasar biasanya serangan tangan lawan dan serangan kaki lawan, terutama pada daerah persendian besar yakni sendi siku dan sendi lutut. Setelah punggung tangan bagian luar mengenai serangan lawan, maka tangan yang satunya akan melakukan tangkapan dengan punggung tangan bagian dalam dan melakukan pematahan secara berlawanan. Sautan, merupakan salah satu bentuk serangan tangan tangkisan dengan alat penyasar punggung tangan bagian luar sambil meluruskan seluruh jari-jari sehingga telapak tangannya menghadap ke atas. Setelah punggung tangan bagian luar mengenai sasaran, maka dilakukan putaran kecil pada siku dan pergelangan tangan sambil mengganti posisi telapak tangan yang tadinya menghadap ke atas menjadi menghadap ke bawah sehingga terjadi kondisi seperti melibat. Kalau diterapkan pada serangan tangan, maka ini bisa digunakan untuk mematahkan persendian siku. “Uuh, banyak juga sepertinya yang tidak bisa dipergunakan…”, gumamku dalam hati. Tapi untuk lebih jelasnya, aku ingin download terlebih dahulu peraturan pertandingannya. Agar aku tahu sejauh mana gerakan-gerakan silatku direduksi oleh peraturan pertandingan tersebut, sekaligus aku berusaha untuk menyesuaikan dengan peraturannya. Aku memacu sepeda gunungku lebih cepat. Rasanya sudah tidak sabar untuk mengetahui peraturan pertandingan silat secara lebih detail. Belok kanan dan kiri hingga akhirnya masuk ke jalan utama menuju rumahku. Aku kurangi kecepatanku. Berbelok sekali lagi menuju Gang Delapan, lalu sampailah aku di depan rumah. Masuk lewat halaman, dan aku parkir sepeda gunungku di garasi. 70

Turun dari sepeda, aku segera berjalan menuju kamar. Di kamar, aku duduk di depan meja belajar sambil memandangi laptopku. Aku sudah menyalakan modem untuk koneksi internet, dan bersiap untuk mendownload peraturan pertandingan silat seperti yang disarankan Pipit tadi di sekolah. Aku buka portal pencari yang sudah cukup terkenal, Google, lalu mulai memasukkan kata kunci pencarian. Tidak berapa lama, beberapa tautan pun terlihat. Aku memilih beberapa tautan yang teratas, sepertinya itu mengarah pada informasi peraturan pertandingan silat. Benar saja, pada salah satu tautannya mengarahkanku untuk mengunduh sebuah dokumen elektronik dalam format PDF yang dipublikasikan oleh seseorang. Aku tidak tahu siapa. Aku coba untuk mengunduhnya. Sambil menunggu proses unduh selesai, punggungku kusandarkan pada kursi sambil memandang keluar jendela. Aku melihat ayah sedang menyirami tanaman di halaman sambil posisi kakinya terkadang membentuk kuda-kuda rendah. Ayah mengenakan kaos coklat dengan celana silat hitam. Aku tersenyum melihatnya. Ayah memang seperti itu. Ia menjadikan aktivitas hariannya sebagai latihan. Katanya, latihan itu harus sebanyak kita makan nasi, dan latihan bisa dalam bentuk kegiatan sehari-hari. Tergantung niatnya saja, kata ayah. Aku menoleh kembali ke arah laptopku. Hanya butuh kurang lebih satu menitan saja file tersebut berhasil diunduh. Aku langsung membukanya dan melihat isinya. Halaman demi halaman aku baca. “Hmmm… seperti itu ya …”, gumamku dalam hati. Ada beberapa hal yang aku mengerti, dan ada beberapa hal yang aku tidak mengerti. Ah, rasanya aku harus bertanya pada ayah. 71

Aku langsung beranjak dari kursiku. Dengan masih membiarkan laptopku menyala, aku berjalan keluar kamar menuju halaman dimana ayah masih menyirami tanaman. Aku berjalan mendekatinya, lalu berhenti kira-kira dua meter di dekat ayah. Ada beberapa ranting kayu kecil di dekat kaki ayah dan di beberapa tempat. “Yah, anu … begini, ayah paham ga mengenai peraturan pertandingan silat?”, tanyaku. Ayah menoleh ke arahku, lalu tersenyum. “Ayah tahu nak, tetapi ayah tidak memahami seluruhnya.”, jawab ayah. Aku melihat ayah meletakkan ember air yang digunakan untuk menyirami tanaman. Ayah kemudian mendekatiku. “Bagaimana kalau kita coba saja?”, tanya ayah. “Dicoba? Maksudnya gimana yah? Aa belum ngerti…”, jawabku. “Ya kita coba latih tanding saja sekarang…”, ucap ayah. Ayah lalu membungkuk dan mengambil ranting kayu kecil di dekatnya. Menggoreskan sedikit pada tanah halaman, membentuk lingkaran selebar kira-kira lima meter. Setelah itu membuang kembali ranting kayu tersebut. Ayah menepuk-nepuk telapak tangannya, membersihkan debu-debu yang menempel disitu. Kemudian berdiri tegak menatapku. Aku kini berada di dalam salah satu sisi lingkaran yang dibuat oleh ayah. “Jangan keluar dari lingkaran ini. Serang ayah dengan yang kamu bisa…”, lanjut ayah. 72

Aku melihat ayah memasang sikap pasang pesilat. Aku menurut. Akupun memasang sikap pasang pesilat. Aku melihat ayah mendekat, lalu menendang lurus ke arah perutku. Secara reflek aku menangkis dengan tangkisan bawah lalu melangkah maju mendekat dan melakukan pukulan lurus ke arah muka. Cepat, keras, dan bertenaga. TAPP! Ayah menangkap pukulanku dengan telapak tangan kanannya yang terbuka sambil wajahnya miring sedikit sehingga lintasan pukulanku keluar dari jalur. Gerakanku terhenti. “Serangan seperti ini tidak diizinkan! Pukulan Datar ini boleh, tapi lintasannya yang tidak boleh…”, ucap ayah. Selesai berbicara, tangan yang memegang kepalan tanganku kemudian menyentak keras sehingga aku terdorong mundur. Ayah kemudian merangsek maju dengan membuka serangan menggunakan Tendangan Depan kaki kanan. Aku mundur dua langkah agar keluar dari jangkauannya. Tidak berhenti sampai disitu, ayah kemudian masih menyerang dengan Tendangan Sabit ke arah pinggangku. Tendangan Sabit ini menggunakan alat penyasar punggung kaki. Keras, cepat, dan bertenaga. Aku kembali mundur satu langkah, menjauhi jangkauan serangan kaki ayah. 73

Aku melihat ayah tersenyum. Tangannya melambai ke arahku, memintaku untuk mendekat. Ah, mendekat? Mataku melihat ke bawah, oh… benar juga, aku saat ini berada di luar lingkaran. Berarti aku sudah keluar dari lingkaran. “Memutarlah nak. Melingkar. Jangan sampai keluar dari batas lingkaran. Kalau kamu seperti ini, akan kena tegur dari wasit nantinya…”, ucap ayah. Aku mengangguk. Dan berjalan kembali masuk ke dalam area lingkaran. Ayah mundur dua langkah dan kembali memasang sikap pasang pesilat. Aku bersiap dengan sikap pasang pesilat. Melangkah perlahan mendekati ayah. Setelah aku perkirakan berada dalam jarak serang, kemudian aku melakukan serangan yang disebut dengan Jlontrotan, yakni serangan kaki menggunakan sisi telapak kaki dalam bentuk tendangan samping sambil melangkah jauh setengah atau satu langkah. Aku melihat ayah menggeser tubuhnya dengan ringan. Pergelangan kaki kirinya diputar ke arah dalam, sambil kaki kanannya digeser mengikuti arah putaran pergelangan kaki kiri sehingga posisi tubuhnya kini memotong kakiku yang kini berada di depannya. Gerakan ini disebut dengan Geser Depan Dalam. Seranganku luput. Ayah kini berada dekat sekali dengan kakiku. Ini bahaya. Secara reflek aku langsung melanjutkan dengan serangan bernama Keprukan menggunakan tangan kiri, yakni mengepalkan kepalan tangan sambil digerakkan dari bawah ke atas secara melingkar dan kembali lagi ke bawah melalui putaran siku, segera setelah kaki kananku menyentuh tanah. Alat penyasarnya adalah punggung lengan atau punggung kepalan tangan. Sasarannya bahu dekat ke leher. Cepat, keras, bertenaga. 74

TAPP! Ayah kembali menahan seranganku, dan menangkap dengan telapak tangan kiri di dekat leher ayah. Kalau tidak berhasil ditahan, tentu serangan Keprukan itu akan mengenai leher dengan keras. Gerakanku terhenti. “Serangan ini tidak boleh… Bentuk maupun lintasannya dilarang!”, ucap ayah. Telapak tangan ayah kembali menyentak keras dan membuatku terdorong mundur. Ayah kemudian berdiri tegak, kedua tangannya menjuntai ke samping. Tampaknya ayah ingin menyudahi latih tanding kali ini. Melihat ayah sudah tidak dalam sikap pasang pesilat lagi, aku juga mengikutinya. Aku kembali berdiri tegak dengan posisi santai. “Kamu tidak bisa menggunakan semua gerakan yang sudah ayah ajarkan. Kamu harus memilih dan memilahnya, gunakan yang diizinkan saja. Gunakan yang diperbolehkan seperti yang peraturan pertandingan itu nyatakan.”, ucap ayah. Aku terdiam. Ucapan ayah seperti yang sudah aku perkirakan sebelumnya saat bersepeda menuju rumah. Aku harus memilih gerakan-gerakan yang diizinkan. “Yah, apakah Aa bisa menang?”, tanyaku berusaha memupus kebimbangan. Ayah tersenyum. Lalu berjalan mendekatiku, dan menepuk-nepuk pundak kananku dengan tangan kanannya. 75

“Ayah tidak tahu nak. Kamu cari tahu sendiri besok… Menang kalah tidaklah penting. Yang paling penting adalah lakukan saja yang terbaik. Masih ada waktu besok untukmu berlatih dan menyesuaikan dengan peraturan pertandingan itu. Gunakan waktumu sebaik-baiknya, dan lakukan yang terbaik.”, jawab ayah sambil berjalan melewatiku. Aku menunduk. Dari sudut mata, aku melihat ayah berjalan menjauh meninggalkanku sendiri di dalam lingkaran. “Baiklah yah, akan Aa coba …”, gumamku dalam hati.

***

76

BAB 20

PERTANDINGAN ITU BUKAN PERTARUNGAN Siang ini suasana agak mendung. Awan berarak terlihat begitu jelas. Sinar matahari seolah tertahan, tidak mampu menembus awan yang agak menghitam. Angin berhembus agak kencang. Cukup dingin. Dedaunan melambai dan berkibar karena hembusannya. Sebuah gedung olahraga kokoh tetap tegak berdiri. Gedung itu cukup besar, luas, dan lebar. Tak goyah oleh angin, tak lekang oleh hujan. Dibatasi oleh pagar yang tinggi. Terdapat sebuah pintu gerbang utama di depannya. Pintu gerbang utama itu cukup lebar, dan terbagi menjadi dua, yakni sebelah kanan dan kiri. Yang sebelah kanan untuk pengunjung masuk, yang sebelah kiri untuk pengunjung keluar. Di depan gerbang utama tempat pengunjung masuk, terdapat sebuah spanduk besar yang bertuliskan "Selamat Bertanding Para Pesilat. Junjung Tinggi Sportifitas!". Ya, gedung itu digunakan sebagai tempat pertandingan pencak silat antar pelajar sekolah menengah umum. Tempatku berlaga untuk pertama kalinya. Di depan gerbang utama, kira-kira empat atau lima meter, terlihat banyak pedagang yang menjajakan dagangannya. Ada banyak sekali penjual makanan dan minuman. Beberapa menjual cinderamata atau souvenir yang unik-unik. Agak menjauh sedikit, terlihat sebuah patung besar yang disekelilingnya terdapat kolam air. Patung itu menampilkan sosok Bima sedang mencengkram ular raksasa yang melilit tubuhnya. Di luar gedung, setelah masuk dari pintu gerbang utama, terlihat banyak sekali orang yang lalu lalang. Rata-rata remaja. Banyak juga yang masih mengenakan seragam sekolah putih abu-abu. Ada juga terlihat yang menggunakan seragam perguruan silat masing-masing. Ada yang merah-merah, ada yang putih merah, ada 77

yang biru hitam, ada yang biru putih, dan banyak lagi. Mereka keluar masuk gedung melalui pintu masuk utama dalam gedung. Pintu masuk utama itu terbagi menjadi delapan bagian. Empat pintu dipergunakan sebagai pintu masuk, dan empat pintu dipergunakan sebagai pintu keluar. Masing-masing dinomori dengan nomor satu sampai delapan. Aku dan Pipit sedang berada dekat dengan pintu masuk utama nomor satu. Di dekat pintu itu terdapat area kosong yang cukup luas. Aku sendiri sedang duduk bersila, sementara Pipit sedang melakukan pemanasan ringan. Terlihat Pipit sedang melakukan tendangan-tendangan ringan, beberapa kali melakukan gerakan menghindar, tangkisan, dan juga bantingan. Kemarin, setelah melakukan technical meeting dan pengundian, aku mendapat nomor sembilan dan aku masuk ke kelas D. Di kelas itu, terdapat kira-kira empat pertandingan untuk mencapai final. Aku sendiri akan tanding pertama. Aku memandang jam tangan di lengan kiriku, sudah pukul dua belas lewat empat puluh menit. Acara pertandingan akan dilaksanakan pukul satu tepat siang ini. Mataku kupejamkan. Aku tenggelam dalam alam pikiranku. Membayangkan sedang berada di arena pertandingan, melakukan tangkisan, hindaran, serangan, bantingan, tendangan, dan sebagainya. Ini adalah shadow boxing, tetapi dalam pikiran. Tangan dan kakiku bergerak-gerak sedikit, perlahan, setiap kali pikiranku 'melakukan' sesuatu. Di dalam alam pikiranku, aku mencoba melakukan serangan tangan dan kaki yang tidak dilarang, dengan bentuk dan arah lintasan yang diizinkan. Entah berapa lama aku melakukan ini, hingga akhirnya aku tersadarkan oleh suara tepuk tangan yang bergemuruh dari dalam gedung. Terdengar suara musik gending, disertai dengan ucapan pembuka dari pembawa acara yang bersiap untuk melanjutkan acara. Aku membuka mata. 78

Aku melihat Pipit juga sudah siap-siap. Keringatnya memenuhi wajahnya. Ia menyeka dengan handuk kecil yang berada di pinggangnya. "Sudah mau mulai A. Yuk, kita masuk...", ucap Pipit sambil berjalan menuju pintu masuk utama gedung. Aku mengangguk. Aku berdiri, menepuk-nepuk celana belakangku yang agak berdebu dengan telapak tangan kananku, lalu berjalan mengikuti Pipit. Sesampainya di dalam, kami disambut oleh suara gegap gempita teriakan membahana dari para penonton. Ruangan dalam gedung terlihat megah. Di tengahnya terdapat dua lapangan pertandingan silat berbentuk karpet persegi berwarna hijau yang memiliki area lingkaran di tengahnya. Di salah satu ujung terluarnya, terlihat papan bertuliskan "ARENA 1" dan "ARENA 2". Arena 1 diperuntukkan bagi pesilat wanita, sedangkan Arena 2 diperuntukkan bagi pesilat pria. Di kedua sudut arena, terdapat warna Merah dan Biru. Yakni tempat dimana para pesilat yang akan berlaga berada. Pertandingan menggunakan aturan IPSI. Setiap pesilat akan menggunakan pelindung tubuh yang disebut dengan Body Protector. Body Protector ini akan dipakaikan di tubuh pesilat dan diikat secukupnya dengan sabuk berwarna Merah atau Biru sesuai dengan sudut dimana pesilat tersebut berada. Para penonton sendiri berada di luar pertandingan, dibatasi oleh pagar setinggi satu meteran. Setiap kursi penonton semakin meninggi pada setiap barisnya. Jadi, akan mudah bagi para penonton untuk menyaksikan apa yang ada di tengah gedung tersebut. Aku tersenyum. Pandanganku menoleh ke kanan, lokasi dimana tim sekolahku berada. Agak sedikit ke atas terdapat sebuah spanduk yang bertuliskan tim sekolahku "VIVA SMANDA!". Aku dan Pipit segera naik ke atas melalui tangga 79

kecil yang ada. Terlihat ada Pak Toto, pembina Pencak Silat sekolahku. Beliau melambaikan tangannya ke arahku. "A, sini ... cepetan! Kamu sudah mau tampil bentar lagi ...", ucap Pak Toto. Aku melompat kecil dan langsung duduk di samping Pak Toto. Sementara Pipit duduk agak jauh, berada disebelah teman-temannya. "Sudah siap belum?", tanya Pak Toto. Aku mengangguk. "Insya Allah siap pak...", jawabku mantap. "Ya sudah, kalau begitu, nih ganti bajumu ...", ucap Pak Toto sambil memberikan sebuah seragam silat hitam. Aku menurut. Aku menerima seragam silat berwarna hitam yang diberikan oleh Pak Toto, lalu meletakkannya disamping. Baju seragam silat itu berwarna hitam polos, berlengan panjang. Tidak ada tanda-tanda pengenal di dada kanan dan kirinya. Standar saja. Polos. Aku langsung ganti baju disitu. Ah, laki-laki ini, praktis dan cepat. Tidak perlu ke kamar ganti lagi. "Jangan lupa, pakai juga pelindung kemaluanmu... Pakai sana di kamar ganti, jangan disini!", ucap Pak Toto sambil menyikutku agak keras, tapi tidak menyakitkan. Aku meringis. 80

"Siap pak! Hehehe...", jawabku sambil langsung berjalan cepat menuruni tangga dan segera menuju ke kamar ganti. Di kamar ganti, aku memakai pelindung kemaluan. Sesuai dengan peraturan pertandingan, maka pesilat diwajibkan menggunakan pelindung kemaluan. Tujuannya jelas, agar kemaluan pesilat tidak terkena efek serangan yang membahayakan. Meskipun tetap saja masih bisa kena tendang, tetapi dengan adanya pelindung ini, diharapkan efeknya tidak begitu fatal. Kurang dari satu menit aku sudah selesai memakai pelindung tersebut. Aku berjalan menuju tempat duduk Pak Toto. Aku juga melihat Pak Toto sudah mulai turun dari tangga dan berjalan ke arahku. Beliau membawa sebuah termos yang di dalamnya berisi air, handuk kecil yang cukup dingin, dan es batu. "Kita ke Arena 2... Pertandinganmu sudah akan dimulai...", ucap Pak Toto. Aku mengikuti Pak Toto dari belakang. Berjalan melewati beberapa orang yang melintas ke arahku, melewati beberapa meja panitia, dan akhirnya sampai di pinggir Arena 2, pada sudut Merah. Tidak berapa jauh, aku juga melihat lawan tandingku sedang berjalan menuju sudut Biru. Lawan tandingku memiliki tinggi badan sedikit di atasku. Badannya agak lebih besar dariku. Berambut cepak. Terlihat kekar. Ia diiringi oleh dua orang pendamping. Aku tersenyum. Aku membungkuk, mengambil Body Protector yang ada disitu untuk kemudian memasangnya di tubuhku. Pak Toto membantuku dari belakang, sambil beliau mengikatkan sabuk berwarna merah. Sabuk itu diikat agak kencang. Aku menggerakkan tubuhku ke kanan dan ke kiri, mencoba menyesuaikan dengan 81

bentuk Body Protector yang terpasang. Mengatur posisi lengan dan kaki agar enak digunakan untuk memukul dan menendang. Setelah dirasa cukup nyaman, aku berdiri menghadap lawan tandingku. Memandanginya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Pak Toto sendiri mengeluarkan air minum dari termos kecil yang dibawanya, lalu memberikannya kepadaku. "Nih, minum aja sedikit ...", ucap Pak Toto sambil menyodorkan sebotol air minum. Aku menurut. Aku meminumnya sedikit. Air putih itu segar sekali rasanya, melewati tenggorokanku. Di depan, aku melihat lawan tandingku juga sudah siap. Wasit yang memimpin pertandingan juga sudah berada pada posisinya, termasuk juga posisi tiga juri penilai yang sudah menempati posisinya masing-masing. Aku membalik tubuh, dan berhadapan dengan Pak Toto. Sementara kedua tangan Pak Toto memegang bahuku. "Berdoa dulu...", ucap Pak Toto perlahan. Aku menurut. Aku menundukkan kepalaku, lalu memejamkan mata. Berdoa kepada Allah SWT, agar diberikan kemudahan dan diberikan yang terbaik. "Dari Arena Satu, panggilan Pesilat dari Sudut Merah...", ucap panitia melalui pengeras suara.

82

Aku membuka mata, lalu mengangguk mantap kepada Pak Toto. Aku langsung balik badan, dan kemudian berlari kecil perlahan menuju tengah arena. Melakukan penghormatan kepada para juri dan wasit serta ketua pertandingan. Setelah itu kembali pada posisiku di sudut Merah. Pandangan mataku menatap tajam pada lawan tandingku di depan. "Dari Arena Satu, panggilan Pesilat dari Sudut Biru...", ucap panitia melalui pengeras suara. Aku melihat lawan tandingku melakukan hal yang sama. Wasit kemudian memberikan aba-aba agar aku dan lawan tandingku saling mendekat ke tengah arena. Setelah itu kami bersalaman terlebih dahulu. Sambil bersamalam, wasit kemudian memberikan pengarahan dan nasehat. "Pesilat, bertanding yang sportif. Gunakan teknik-teknik yang bersih. Daerah yang boleh diserang adalah ini dan ini. Leher tidak boleh diserang. Kepala juga demikian.", ucap wasit pertandingan sambil tangannya memberikan batasan area serang yakni tubuh mulai dari bagian pinggang ke atas hingga ke bawah leher, rusuk atau samping, juga termasuk punggung. Wasit memberikan kode tangan berupa empat jari sambil memberitahu bahwa maksimal serangan adalah empat kali serangan, setelah itu harus dihentikan atau wasit yang akan menghentikannya. Wasit juga memeriksa pelindung kemaluan kami, dan memeriksa kuku kami, memastikan kalau tidak ada kuku yang panjang. Setelah pemeriksaan selesai dilakukan, wasit kemudian memberikan aba-aba kepada para juri. "Juri satu... Juri dua... Juri tiga...", ucap wasit dengan mantap sambil matanya memandang tajam bergiliran pada setiap juri. Para juri yang disebutnya juga memberikan kode bahwa mereka telah siap. Wasit kemudian meminta kedua pesilat mundur dua langkah. Aku segera melompat kecil untuk mundur dua langkah. Bersiap dengan sikap pasang pesilat. 83

"Sikap pasang! ... Mulai!", ucap wasit dengan lantang. Pertandinganpun dimulai seiring dengan bunyi gong yang ditabuh. Aku melangkah perlahan mendekati lawan. Tanganku tetap bergerak membentuk kembangan silat. Pandangan mataku tajam menatap lawan. Kira-kira berjarak satu meteran, lawanku berhenti dan bersiap dengan kuda-kuda kiri depan. Aku juga ikut berhenti, lalu mengatur jarak dengan posisi kuda-kuda yang sama. Tiba-tiba, lawan menendang dengan kaki kanannya dengan cepat ke arahku. Tendangan yang lurus, mengarah ke perut. Keras, cepat, tapi tidak melecut. Secara reflek, aku mundur setengah langkah sambil menggunakan gerak langkah yang disebut dengan Simpir. Yakni dengan menggeser kaki depan ke belakang melewati lutut depan yang sedikit ditekuk sehingga kaki kiriku yang tadinya di depan kini berada di belakang kaki kanan. Tendangan lawan tidak mengenai tubuhku. Karena menendang keras, lepas, tapi tanpa melecut, maka tendangan lawan terbawa sendiri oleh arus tenaganya. Segera setelah kaki kanannya menyentuh matras, kaki kiriku yang dalam posisi Simpir langsung menendang dengan tendangan samping menggunakan sisi telapak kaki, mengarah ke dada lawan. Posisiku ini pas sekali untuk membalas serangan. BUKK! Tendangan Samping kaki kiriku telak mengenai dada lawan. Keras, cepat, bertenaga. Melecut. Ia mengaduh dan terdorong mundur. Mukanya tampak pucat. Bersamaan dengan kaki kiriku yang menapak matras, posisiku hanya berjarak setengah langkah saja. Aku susul dengan melangkah maju dengan geser sambil 84

tangan kananku melakukan Pukulan Datar ke arah dada. Keras, cepat, bertenaga, sambil memutar pinggang. Tenaga putaran dari pinggang. Melesak. Wungkul. Membatu. BHEG! Pukulanku telak bersarang di dadanya. Ia terjatuh. "Berhenti!", teriak wasit lantang sambil tangannya menghentikan gerakanku. Lalu wasit memberikan kode untuk nilai jatuhan. Beberapa penonton bertepuk tangan. Melihat lawan masih tergeletak dan terus memegangi dadanya, wasit memberiku kode dengan tangannya agar menuju ke sudut netral. Aku menurut. Aku berjalan menuju sudut netral. Lalu duduk dengan meluruskan kaki. Aku menoleh, melihat lawanku di matras kesakitan sambil memegangi dadanya. Wasit sudah berada disampingnya, memeriksanya. Setelah itu menghitung satu sampai sepuluh. Saat hitungan dimulai, lawanku terlihat mulai berhenti mengaduh. Dengan masih memegangi dadanya, ia terlihat mencoba berdiri, meskipun agak limbung. Hitungan wasit sudah mencapai tujuh, dan lawanku masih saja limbung sambil tangannya masih memegangi dadanya. Tepat di hitungan kesepuluh, wasit memberikan kode untuk menghentikan pertandingan.

85

Wasit kemudian menepuk kedua telapak tangannya perlahan, memberi kode kepadaku agar mendekat. Aku menurut. Berdiri dari sudut netral, kemudian berjalan mendekati wasit. Aku berdiri disamping kanan wasit. Pergelangan tangan kiriku dipegangnya. "Pertandingan ini dimenangkan oleh pesilat dari ... sudut merah ... dengan menang teknik!", ucap panitia melalui pengeras suara dengan lantang. Tepat setelah panita mengucapkan '...sudut merah', wasit mengangkat pergelangan tanganku tinggi. Memberi tanda bahwa akulah pemenang pada pertandingan tersebut. Aku kemudian memberi hormat pada ketua pertandingan, kepada wasit dan juri, dan juga kepada tim lawan tandingku. Setelah itu balik badan dan kembali ke sudut merah. Terlihat Pak Toto mengacungkan kedua ibu jarinya ke arahku, memberi tanda 'jempol' yang menandakan 'hebat'. Sesampainya di sudut Merah, aku langsung disambut dengan pelukan oleh Pak Toto. "Mantap A!", ucap Pak Toto sambil membuka ikatan sabuk merah dan kemudian membuka Body Protector di tubuhku. "Minum dulu ...", lanjut Pak Toto sambil mengambil sebotol air mineral dari termos kecil. Pak Toto juga mengambil handuk kecil dari termos yang berisi es batu untuk kemudian menempelkannya pada wajahku. Dingin sekali handuk ini. Menyegarkan. Body protector dan sabuk merah sudah terlepas dari tubuhku. Pak Toto berjalan meninggalkan arena pertandingan. Akupun mengikuti dari belakang. Aku melihat ke arah tim sekolahku, semua girang dan berteriak senang. Mereka 86

meneriakkan yel-yel semangat. Bersuka cita karena aku menang pada pertandingan pertama. Aku naik tangga menuju tempat dudukku. Beberapa teman menyalamiku dan mengucapkan selamat. "Selamat ya! Hebat, kamu bisa menang teknik. Lawanmu KO!", ucap Pipit sambil menyalamiku. "Ah, cuman kebetulan aja...", jawabku merendah. "Huh, kebetulan apanya? Itu seranganmu telak dan bersih banget kenanya... Gak mungkin kalau kebetulan!", lanjut Pipit. Aku hanya tersenyum. Memang benar. Saat kemudian aku berhadapan tadi, aku seperti bisa merasakan lawan akan menendangku. Sehingga aku bisa melakukan antisipasi dengan mundur setengah langkah dengan gerak langkah bernama Simpir. Saat kemudian kaki lawan menyentuh matras, pada saat itulah aku seperti merasa ada getaran dari sentuhan kaki lawan dengan matras. Getaran itu membuatku segera menggerakkan kakiku untuk melakukan tendangan samping dengan tempo yang bersamaan dengan sentuhan telapak kaki lawan ke matras. Akibatnya, lawan mengalami kesulitan mengatur gerakan berikutnya karena ritme gerakannya sama dengan gerakanku. Demikian juga saat lawan terdorong mundur dengan tendangan sampingku. Gerakan mundur lawan itu juga sekaligus menimbulkan getaran di tubuhku untuk menggerakkan tubuhku mengikuti arah lawan sehingga lagi-lagi ritme gerakan lawan denganku menjadi sama. Mengalir. 87

Mengikuti. Pukulan lurus yang aku sarangkan di dadanya benar-benar pukulan yang keras, membatu. Plus ditambah lagi tenaga dari putaran pinggang. Meskipun pukulanku mengenai body protector lawan, tetapi terasa seperti ada yang 'menembus'. Aku juga masih belum paham apa itu. Yang aku lihat adalah efek dari pukulanku ini cukup menyakitkan bagi lawan. Aku menoleh ke arah kanan. Dari kejauhan kulihat lawan tandingku sedang membuka baju. Saat baju dibuka, terlihat ada warna yang agak menghitam di dadanya. Salah seorang temannya mengusapnya dengan salep atau balsem. Lalu menyuruhnya duduk. Aku mengerutkan kening. Separah itukah? Arena 2 yang tadi digunakan untuk pertandingan pertamaku, saat ini diisi oleh nomor pertandingan berikutnya. Kemungkinan aku sendiri akan tampil dalam satu atau dua jam berikutnya. Sambil menunggu, aku menyaksikan laga dari arena satu dan arena dua. Pipit sendiri belum turun untuk laga. Menurut Pak Toto, Kemungkinan dalam dua atau tiga jam lagi atau setelah Maghrib nanti. Menurut Pak Toto juga aku akan tanding sebanyak empat kali agar mencapai final. Pertandingan ketiga sudah akan masuk ke semi final. "Pada Arena satu ... dikarenakan pesilat Rangga kelebihan berat badan, maka pertandingan kelas D antara Pesilat Rangga dengan Pesilat Akbar tidak dapat dilanjutkan. Selanjutnya, agar dipersiapkan pesilat Akbar untuk partai berikutnya.", terdengar suara panitia melalui pengeras suara. "Eh... itu khan kamu A. Lawanmu kelebihan berat badan. Kamu langsung naik ke partai berikutnya karena lawanmu itu mendapat Bye. Kamu tanding lagi nih...", sahut Pak Toto sambil memandang ke catatan kecil yang berisi daftar pertandingan dan skema pertandingan di tangan kanannya.

88

"Ganti baju dulu. Siap-siap dulu sana...!", lanjut Pak Toto sambil memandang ke arahku. Aku menurut. Aku segera kembali mengganti baju dengan seragam silat hitam-hitam pemberian pak Toto. "Berarti kamu sudah masuk semi final nih. Karena diatasmu ini dapat Bye. Kamu akan ketemu sama juara satu tahun lalu A.", ucap Pak Toto sambil tangannya melingkari skema pertandinganku. Aku berdiri dan melakukan pemanasan kecil. Meregangkan tangan dan kakiku, melakukan beberapa tendangan dan pukulan ringan. Aku melihat Pak Toto menyiapkan handuk kecil dan memasukkannya pada termos kecil. "Ayo A, kita turun...", ucap Pak Toto sambil berjalan menuruni tangga. Aku mengangguk, dan berjalan di belakang Pak Toto menuju Arena 2, menuju sudut Merah yang sebelumnya aku gunakan untuk laga pertama. Terlihat juga lawanku berjalan menuju sudut Biru. Ia tampak sepantaran denganku. Gerakannya terlihat cukup lincah. Wasit dan juri juga terlihat sudah menempati posisinya masing-masing. Setelah selesai memasang Body Protector, para pesilat dipanggil secara bergantian ke tengah arena. Wasit kemudian memberikan pengarahan singkat, meminta pesilat untuk saling bersalaman, memeriksa apakah pelindung kemaluan dipakai atau tidak, memeriksa kuku, dan memastikan pesilat berada dalam kondisi yang layak. Setelah itu wasit memberikan aba-aba kepada para juri bahwa pertandingan siap dimulai. 89

Aku mundur dua langkah. Bersiap dengan sedikit kembangan, lalu siap dengan sikap pasang pesilat. Lawanku juga terlihat demikian. "Pesilat... mulai!", teriak wasit bersamaan dengan bunyi gong yang dibunyikan dengan keras. Aku melangkah perlahan menuju tengah arena. Lawanku juga demikian. Kami berhenti pada jarak serang masing-masing. Lawanku melakukan pancingan dengan menggerakkan tangan kirinya. Aku tidak terkecoh. Pada gerakan tangan pancingan yang ketiga, tiba-tiba ia menyerangku dengan tendangan sampingnya yang cepat. Aku melangkah mundur. Tendangan itu luput. Lawanku melanjutkan dengan tendangan depan lurus, mengarah ke perut. Tendangan yang cepat. Aku terpaksa harus menangkisnya. PLAK! Telapak tangan kiriku menangkis tendangan depannya keras. Aku agak terdorong mundur setengah langkah. Belum sempat aku menggeser langkahku, lawan sudah kembali menyerang dengan menyarangkan pukulan lurusnya. Uh, aku belum sempat menghindar. BUKK! Pukulan lurus lawan mengenai dadaku dengan telak. Keras. Aku terdorong mundur lagi setengah langkah. "Berhenti!", teriak wasit sambil tangan kanannya direntangkan ke depan menghentikan aktivitas pesilat. Wasit memberikan aba-aba agar aku masuk kembali 90

ke lingkaran arena dan memintaku agar mencoba untuk bermain melingkar. Oh, rupanya salah satu kakiku sudah keluar dari lingkaran. Lawanku kali ini memang agak berbeda. Kualitas tendangannya, bentuk, dan kecepatannya memang lain dibanding lawan pertamaku sebelumnya. Aku berjalan kembali ke tengah, mengatur jarak. "Pesilat ... mulai!", teriak wasit. Aku melangkah maju perlahan, mendekati lawan. Aku melihat lawanku juga melakukan hal yang sama. Kami berhenti di dekat tengah lingkaran arena. Uh, lawanku melakukan gerakan tangan tipuan lagi seperti tadi. Hm, kali ini aku tidak akan terkecoh. Gerakan tangan tipuan pertama, aku masih diam. Gerakan tangan tipuan kedua, aku juga masih diam. Tepat setelah lawan ingin melakukan gerakan tipuan yang ketiga, aku menyerang terlebih dahulu dengan tendangan depan. Cepat, keras, bertenaga. Lawanku terlihat terkejut. Ia berusaha mundur sambil menangkis sekenanya. PLAK! Tendangan depanku berhasil ditangkisnya. Karena terkejut, lawan tampaknya menangkis sekenanya saja. Terlihat ada celah di pinggang kirinya. Aku tidak mau menunggu terlalu lama, segera setelah kakiku menyentuh matras, aku langsung arahkan tendangan sabit kaki kanan ke pinggang lawan yang terbuka. BUKK! Tendangan Sabit masuk dengan telak ke pinggang lawan. Tubuhnya agak menekuk sedikit. Aku susul dengan Pukulan Datar, lurus, disertai putaran pinggang ke arah dada. 91

BHEGG! Pukulan Datar masuk dengan telak. Lawan terdorong setengah langkah. Aku bersiap melanjutkan serangan dengan Tendangan Depan, lurus. "Berhenti!", teriak wasit. Tangannya menghentikanku dengan posisi kaki agak naik sedikit. Tendanganku tertahan. Aku menurut. Wasit terlihat menggerakkan tangannya agar meminta lawanku bergerak melingkar. Ternyata kaki lawanku sudah keluar dari lingkaran arena pertandingan. Pantas saja dihentikan oleh wasit. Aku memutar badan. Menunggu lawanku yang berjalan ke tengah arena. Setelah itu wasit kembali memulai pertandingan. "Pesilat ... mulai!", teriak wasit. Tanganku bergerak membentuk kembangan, sambil melangkah maju perlahan. Aku melihat wajah lawanku agak meringis. Aku tidak tahu apakah tendanganku atau pukulanku yang membuatnya meringis. Tapi sekarang, ia tidak terlihat agresif seperti awal tadi. Sambil melangkah perlahan, aku memperhatikan kedipan matanya. Satu kedip, lima detik. Satu kedip berikutnya, lima detik. Saat masuk ke jarak serang, dan tepat setelah kedipan ketiga, aku bergerak cepat menyamping, memotong, diagonal, ke arah kanan lawan, keluar dari jarak serangan lurusnya, persis setelah matanya terpejam beberapa saat. Saat ini, aku berada dalam posisi agak menyamping. Kaki kiriku aku sabetkan dengan menggunakan Tendangan Sabit ke dada lawan. BHUGG! 92

Tendangan Sabitku mengenai dadanya. Suaranya keras. Lawanku terdorong mundur satu langkah lebih. Ia meringis kesakitan. Aku ingin mengejarnya, tapi tibatiba terdengar bunyi gong yang nyaring. "Berhenti!", teriak wasit sambil menghentikan pertandingan. Ronde pertama selesai. Aku kembali ke sudut Merah. Terlihat Pak Toto sedang mengeluarkan handuk kecil dingin dari termos es dan kemudian memberiku air putih yang tidak terlalu dingin dari botol. Aku meminum sedikit, membasahi tenggorokanku. Sementara Pak Toto menyeka dahiku dengan handuk kecil dingin tersebut. Setelah itu memasukkan kembali handuk ke dalam termos es. "Ronde pertama kamu sudah menang A. Main seperti tadi saja. Pertahankan!", ucap Pak Toto perlahan sambil kedua tangannya memijiti bahuku perlahan. Aku mengangguk. Tidak berapa lama, wasit kembali memberikan aba-aba kepada kedua pesilat agar kembali ke arena. "Ok sip! Ronde dua ya...", ucap Pak Toto. "Siap!", jawabku perlahan. Aku berbalik, dan kembali berjalan ke tengah arena. Wasit memberikan aba-aba 'ronde kedua' dengan tangannya sambil membentuk simbol 'dua' dengan jarinya. Aku mundur satu langkah, menjauh dari tengah arena, dan bersiap dengan memasang kembangan.

93

"Pesilat ... mulai!", teriak wasit bersamaan dengan bunyi gong pada ronde kedua ini. Aku berjalan perlahan ke tengah arena. Lawanku juga melakukan hal yang sama. Tapi, ia tampak lebih sigap kali ini. Gerakannya lebih mantap. Setelah masuk pada jarak serang, tiba-tiba lawan menyerang dengan tendangan depan kaki kanan lurus yang mengarah ke perut. Cepat, keras, dan tiba-tiba. Aku terkejut, menggeser kaki kananku ke samping sambil tangan kiriku melakukan gerak tangan Tangkisan Bawah. PLAK!! Tendangan lurus lawan berhasil aku tangkis. Keras. Tendangan itu terhenti, dan kakinya kembali menjejak matras. Tiba-tiba lawan melanjutkan serangan dengan tendangan sabit menggunakan kaki kirinya segera setelah kaki kanannya menyentuh matras. Rupanya ia melihat dadaku terbuka saat menangkis tadi. Cepat sekali putarannya. Posisiku tidak memungkinkan untuk mundur saat ini. Secara reflek, aku menahan tendangan sabit kaki kirinya dengan kedua tanganku yang dirapatkan di depan dada agak maju sedikit. BHUGG! Aku terdorong mundur. Tendangan sabit kiri lawan itu keras sekali. Meski tidak mengenai dadaku karena aku tahan dengan kedua lenganku tapi efek benturannya membuatku terdorong hingga dua langkah. Serangan lawan tadi tidak membuahkan nilai, karena tendangannya berhasil aku tahan dengan kedua lenganku. Tapi tak urung membuat suasan menjadi semakin 'panas'. Aku kembali melangkah perlahan sambil tanganku membentuk sikap kembangan. Aku mendekati lawan, dan terhenti kira-kira satu meteran di dekat lingkaran dalam arena. Posisiku kini pada kuda-kuda kiri depan yang ringan. 94

Pusarku kini mulai menghangat. Aliran hangatnya naik ke dada. Lawanku kemudian menurunkan kedua lengannya ke bawah, ia melonggarkan badannya dan tampak lunglai. Ia bersikap seolah sedang memberi tubuhnya untuk diserang. Beberapa detik kemudian, lawan tiba-tiba mencoba menyerangku dengan melakukan pukulan lurus dengan tangan kanannya ke arah dada sambil kaki digeser maju. Pukulan ini cepat sekali, tiba-tiba, dan keras. Aku terkejut. Tanpa disadari, tangan kiriku naik dan menangkis dengan gerak tangkisan bernama Tangkisan Atas, yakni tangkisan menggunakan sisi telapak tangan. Bersamaan dengan itu tangan kananku secara reflek juga melakukan gerak tangan serangan bernama Sodokan Atas, yakni serangan dengan telapak tangan dengan lintasan dari bawah ke atas yang menyasar rahang lawan. Keras, cepat, bertenaga. PLAK!! DHAKK!! Mataku hanya menyaksikan tubuh lawan terangkat ke atas setinggi satu jengkal dengan kepala yang tertekuk ke belakang. Setelah itu lawanku ambruk di depanku tak berkutik. Ia pingsan. Aku tertegun. Gerakanku terhenti pada posisi telapak tangan yang masih menghadap ke atas, masih membentuk serangan Sodokan Atas. "Berhenti!", teriak wasit. Ia kemudian memberikan aba-aba kepadaku untuk menuju sudut netral. Aku menurut, dan berjalan menuju sudut netral. Setelah itu aku duduk disitu sambil meluruskan kaki. Aku masih terkejut. Aku menoleh, melihat wasit sedang memeriksa lawanku. Terlihat ada darah disudut bibir lawanku. Ia masih tergeletak di atas matras tak sadarkan diri. Kemudian wasit meminta tim dokter untuk masuk. Terlihat seorang berpakaian putih yang tampaknya seorang dokter memasuki arena pertandingan ditemani dengan seorang panitia. Dokter ini kemudian memeriksa 95

pesilat yang terbaring. Setelah itu, tangannya memberikan aba-aba untuk meminta tandu. Dokter ini kemudian berdiri dan memberitahu wasit kalau tampaknya pertandingan tidak mungkin dilanjutkan, dan pesilat ini harus dirawat. Beberapa saat kemudian, empat orang panitia datang dengan membawa tandu. Setelah melepas body protector pesilat yang terbaring, dua orang kemudian membopongnya menaiki tandu yang sudah dipersiapkan. Kemudian membawa keluar pesilat ke ruang perawatan. Sementara itu wasit terlihat sedang berembuk dengan ketua pertandingan. Tidak berapa lama, wasit kemudian kembali ke tengah arena dan memintaku untuk berdiri dan mendekatinya. Aku menurut. Aku berdiri dan mendekati wasit. Setelah itu wasit memegang pergelangan tangan kiriku dengan tangan kanannya. Ia terdiam. Tampaknya menunggu informasi dari ketua pertandingan. "Karena Pesilat sudut merah melakukan kesalahan teknik, maka pertandingan ini dimenangkan oleh pesilat dari sudut biru!", ucap ketua pertandingan lewat pengeras suara. Wasit kemudian melepaskan pegangan tangannya. Aku kemudian memberikan penghormatan kepada ketua pertandingan, para juri, dan kembali ke tempatku. Tim pendamping lawan sudah tidak terlihat lagi, mereka kelihatannya menuju ruang perawatan untuk melihat kondisi pesilatnya. Aku berjalan ke tempat Pak Toto, yang tampaknya mukanya terlihat datar-datar saja. Di depannya, aku hanya bisa berucap dua kata. "Maaf, pak", ucapku lirih. 96

"Tidak apa-apa. Kamu sebenarnya sudah menang nilai. Tapi ya sudahlah, itu sudah terjadi. Mungkin saja itu reflekmu melakukan seperti itu.", jawab pak Toto. Aku merasakan ada nada kekecewaan pada ucapannya. Jujur, saat itu memang aku merasa serangan lawan benar-benar sebagai ancaman bagiku. Serangan pukulan lurus yang cepat, keras, dan tiba-tiba itu dianggap sebagai ancaman bagi tubuh ini sehingga secara reflek, naluriku bergerak sendiri untuk mempertahankan diri. Yang keluar adalah gerakan-gerakan silat yang dulu diajarkan oleh ayah. Gerakan-gerakan yang memang mematikan. Keluar begitu saja, tanpa aku kehendaki. Keluar begitu saja dari hati ini. Meskipun satu hari sebelumnya, aku sudah berusaha untuk mencoba agar tidak melakukan gerakan serangan yang dilarang, tapi pada prakteknya tetap saja terhadi hal-hal yang diluar kehendakku. Pak Toto membantuku melepas ikatan sabuk merah dan body protector. Setelah itu menepuk-nepuk bahuku. "Kamu sudah berusaha yang terbaik. Tidak apa-apa.", ucap Pak Toto. Aku tersenyum pahit. "Iya pak.", jawabku perlahan. Pak Toto kemudian berjalan keluar dari arena. Aku mengikutinya dari belakang. Sesampainya di tempat dimana teman-teman sekolahku berkumpul, aku langsung disoraki. Sebagian ada yang tertawa, sebagian ada juga yang memberiku selamat. "Wuiiih... Mantap A! Ga apa-apa kalah juga, yang penting sudah bikin KO lawan!", ucap Tri, salah seorang temanku dari lain kelas. 97

"Gila lu! Itu lawan sampe terangkat gitu. Parah! Hahahaha", ucap Wahyu, salah seorang teman kelasku. Sementara Pipit aku lihat hanya geleng-geleng kepala saja sambil tersenyum. Aku duduk disamping Pak Toto, tapi agak mundur sedikit sambil aku sandarkan bahuku pada undakan tangga kursi di belakangku. Aku masih tidak habis pikir, kenapa aku bisa melakukan serangan seperti itu. Aku tidak menghendakinya, tapi tubuh ini melakukan gerakan itu sendiri secara reflek tanpa sadar. Mataku aku pejamkan. Aku teringat ucapan ayah dua hari yang lalu. "Nak, tata gerak yang kamu latih secara berulang-ulang itu akan menjadi memori gerak, kemudian menjadi reflek, dan akhirnya menjadi nalurimu sendiri. Ia akan melekat di sanubari dan menjadi perbendaharaan gerakmu yang akan keluar dengan sendirinya manakala tubuhmu mengalami ancaman.", ucap ayah yang terngiang dalam ingatanku. "Pertandingan, bukanlah pertarungan hidup dan mati. Ia adalah olahraga, salah satu aspek yang diangkat oleh silat. Tentunya ada batasan-batasan yang dibuat sedemikian rupa agar tidak mencederai yang bertanding. Aturan dibuat sedemikian rupa, yang walaupun terkesan menghilangkan ciri khas perguruan mereka yang ikut, akan tetapi sudah disepakati bersama bahwa demikianlah pemodelannya. Mereka yang mengikutinya harus mematuhi apa yang sudah disepakati. Tidak hanya silat, semua jenis pertandingan beladiri tentu memiliki aturan yang khas. Aturan yang dibuat demi keselamatan yang bertanding. Kalau kamu melanggar aturan ini, maka pertandingan akan dihentikan.", lanjut ayah. "Yah, bagaimana kalau pertandingan yang dibuat yang tidak ada aturannya?", tanyaku. 98

Ayah tersenyum, lalu tertawa kecil. "Kalau pertandingan yang tidak ada aturannya ya itu namanya pertarungan. Semua teknik diizinkan. Kalau sudah demikian, peluang menangmu akan lebih besar karena gerakan silatmu adalah gerakan yang diluar aturan-aturan itu.", jawab ayah. "Yah, apakah Aa bisa menang pada pertandingan nanti?", tanyaku pada ayah. "Ayah tidak tahu, nak. Kamu jalani saja sendiri. Sejujurnya, rentang waktu kamu belajar silat dengan ayah dibandingkan persiapan pertandingan pertamamu jelas jauh lebih lama waktumu belajar silat bersama ayah. Tentu saja, reflekmu yang terbentuk bukanlah menyesuaikan dengan aturan pertandingan itu. Kalau melihat ini, peluang 'menang dalam laga'-mu besar. Jangan salah ya, ayah katakan peluang 'menang dalam laga', dan bukan peluang menang dalam pertandingan atau menjadi juara. Hehehe", jawab ayah. Aku hanya tersenyum. "Besok, kamu cukup melakukan pertarungan bayangan dalam pikiranmu. Lakukan itu seharian. Gerakan yang kamu keluarkan pada pertarungan bayangan dalam pikiranmu adalah gerakan yang diizinkan dalam aturan pertandingan. Setidaknya, itu akan bisa menahanmu untuk melakukan gerakan yang dilarang, walaupun tidak sepenuhnya.", lanjut ayah sambil tersenyum kecil. Aku membuka mata seiring dengan suara gegap gempita yang membahana di dalam gedung. "Benar sekali yah. Aku memang kalah dalam pertandingan ini, tapi aku menang dalam laga.", gumamku dalam hati. Aku tersenyum. 99

Setelah pertandingan ini berakhir, ada sesuatu yang ingin aku tanyakan pada ayah.

***

100

BAB 21

KESADARAN YANG MENEMBUS AMBANG BATAS Sore itu di teras rumah, menjelang maghrib, aku sedang duduk santai sambil aku melihat adik-adikku sedang bermain di halaman. Mereka saling berkejaran. Terlihat Ayu sedang berlari mengejar Bayu. Ayu memakai kaos berwarna merah muda dengan celana pendek merah muda juga. Sedangkan Bayu memakai kaos merah sepakbola dengan celana pendek warna merah. Kaos tim nasional Garuda, kebanggaan Indonesia. Sesekali mereka tertawa, terjatuh, bangun lagi, dan kemudian kembali saling berkejaran. "Bayu ... ayo kejaaar...!", teriak Ayu sambil berlari. "Iyaaa...!", jawab Bayu sambil mulai mengejar. Mereka kemudian tertawa-tawa riang. Aku tersenyum melihat tingkah mereka. Teringat dulu masa kecilku yang tidak pernah bermain berlari-larian seperti itu. Kata ayah, waktu kecil aku cukup pendiam, tapi aku memperhatikan sekeliling. Ayah pernah berkata kalau masa kecil adalah masa penuh pembelajaran, dan merupakan masa yang penuh hikmah. Anak-anak, tidak pernah mengenal kata menyerah dalam belajar. Mereka selalu mencoba hal yang baru. Meskipun terjatuh, mereka akan bangun dan mencoba lagi. Kalaupun terjatuh lagi, maka mereka tetap akan bangun lagi. Demikian seterusnya. Ada semangat di dalam diri setiap anak yang tidak pernah mati. Seperti itulah seharusnya kita dalam hidup ini, kata ayah. "Hei, ngelamun aja...", tegur ayah sambil menepuk pundakku. 101

Aku menoleh. "Nggak yah, lagi ngeliat Ayu sama Bayu main yah.", jawabku. Ayah kemudian duduk di samping kananku. "Gimana dengan pertandinganmu tadi?", tanya ayah. "Anu... kalah yah. Tapi dapet medali Perunggu.", jawabku malu-malu sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal. "Bagaimana kalahnya?", tanya ayah kembali. Keningnya berkerut. "Anu.. yah, sebenarnya di ronde pertama sudah menang nilai. Tapi itu yah, di ronde kedua, Aa ga sengaja melakukan Sodokan Atas ke rahang lawan karena lawan tiba-tiba melakukan serangan pukulan dengan mendadak. Aa tangkis pake Tangkisan Atas dengan bersamaan melakukan Sodokan Atas pada rahangnya yang terbuka. Trus kena diskualifikasi karena dianggap melakukan kesalahan teknik yang berat.", jawabku sambil tersenyum. Ayah tersenyum. "Bagaimana dengan lawanmu?", tanya ayah. "Dia ditandu keluar arena yah. Pingsan. Aa gak tau seperti apa karena tidak melihat ke ruang perawatan.", jawabku. "Kenapa kamu bisa melakukan itu?", tanya ayah. "Aa sendiri ngga begitu mengerti yah. Gerakan itu keluar sendiri yah karena menganggap serangan pukulan yang tiba-tiba dari lawan itu sebagai ancaman. Dan 102

ya gitu deh akhirnya. Bener seperti yang ayah bilang waktu itu, kalau tata gerak yang dilatih selama ini akan menjadi perbendaharaan naluri. Keluar begitu saja dalam bentuknya yang menyesuaikan dengan keadaan yang mengancam diri.", jawabku. "Benar nak. Memang demikianlah adanya. Disitulah manfaat utama dari belajar tata gerak. Semakin sering dilatih, ia akan semakin menyatu dengan jiwa raga. Melekat di sanubari. Jadi, memang belajar gerak itu perlu bagi seorang pesilat. Dan tentu saja, berlatih gerak harus terus dilatih, diulang-ulang, dan diresapkan maknanya. Jangan bosan untuk diulang-ulang. Kamu memang bisa meniru gerakan lain dalam sekejap. Tetapi tetap saja, akan berbeda pada mereka yang melatihnya terus menerus dan pada mereka yang melatihnya dengan pemahaman.", ucap ayah. Aku mengangguk, membenarkan ucapan ayah. "Oh iya, besok pagi kita ke Gunung Ciremai. Kita akan latihan di gunung. Kamu dan ayah saja. Kita akan melakukan latihan alam. Lima hari berturut-turut. Tapi malam ini kita akan latihan sebentar. Ada yang ingin ayah ceritakan padamu.", lanjut ayah. Aku mengangguk. "Asyik yah! Latihan di gunung?", jawabku dengan girang. Pandangan mataku berbinar. Ayah mengangguk. "Benar, nak. Kita akan latihan di gunung. Ya sudah, ayah masuk dulu. Sudah mau maghrib. Kita sholat dulu. Suruh adik-adikmu masuk.", pinta ayah. Ayah kemudian berdiri, memutar badan, dan berjalan masuk ke dalam rumah. Aku mengangguk. 103

"Ayuuuu...! Bayuuuu...! sudah mau maghrib nih. Ayo masuuk..!", teriakku kepada adik-adikku yang sedang bermain di halaman. "Yaah.. kakaak...", jawab Ayu sambil cemberut. Mukanya terlihat lucu, tapi tetap manis. Bayu tidak menjawab apa-apa. Dia hanya berdiri saja. Nafasnya terengah-engah setelah berlarian. Tidak berapa lama, terdengar suara adzan Maghrib berkumandang. "Tuh khaan, sudah maghrib. Ayo sini masuk.", ucapku mengulangi. "Iya kak!", jawab Ayu lantang. "Iya kak!", jawab Bayu juga dengan lantang hampir bersamaan dengan jawaban Ayu. Mereka berlari cepat menuju ke arahku. Melewatiku, dan langsung masuk ke dalam rumah. Aku berdiri, balik badan, dan berjalan perlahan masuk ke dalam rumah. Tidak lupa aku tutup pintu depan yang terbuka. Bersiap untuk melakukan sholat maghrib. *** Aku sudah berdiri di halaman, menghadap ke kaca jendela. Dari luar kaca jendela, aku melihat kalau jam sudah menunjukkan pukul delapan lewat lima menit. Aku memakai kaos putih lengan pendek dan celana silat berwarna hitam. Saat ini, aku sedang melakukan peregangan statis di halaman. Sambil menunggu ayah, aku lenturkan terlebih dahulu beberapa bagian dari tubuhku. Kepala, leher, lengan, bahu, pinggang, paha, lutut, kaki, persendian, semuanya. Termasuk juga melakukan 104

posisi 'split' yakni posisi merengganggkan kaki selebar-lebarnya hingga semua menempel ke lantai. Tidak berapa lama, aku melihat ayah sedang berjalan keluar dari pintu depan dan menuju ke arahku. Ayah memakai kaos berwarna hitam lengan pendek, juga dengan celana silat berwarna hitam. Ayah berhenti kira-kira dua meter di depanku. "Sudah selesai peregangannya?", tanya ayah. Aku mengangguk. "Sudah yah.", jawabku. "Kalau begitu, duduklah dulu.", pinta ayah. Ayah kemudian duduk di depanku dengan posisi bersila. Aku menurut, dan duduk di depan ayah dengan posisi yang sama. "Nak, sebelum besok kita mulai latihan di alam terbuka, ada yang ingin ayah ceritakan padamu. Rasanya, usiamu sudah cukup untuk memahami ini. Termasuk juga ayah lihat pengalamanmu sudah mulai terbentuk.", ucap ayah. Ayah tersenyum. "Kisah ini terjadi dua belas tahun yang lalu. Ya, tepat dua belas tahun yang lalu. Ayah tidak akan pernah bisa melupakannya. Saat dimana ayah masih muda, masih enerjik, dan suka dengan pengakuan akan kehebatan. Saat itu, ayah berlatih seperti minum obat. Sehari bisa tiga kali. Melakukan olah nafas hampir tiap hari. Bahkan pernah melakukan olah nafas pengolahan selama tiga bulan full. Beberapa keilmuan pamungkas berhasil dikuasai, dan juga pernah dipraktekkan terhadap manusia. Halhal yang membuat ayah merasa menjadi manusia super. Menjadi seperti manusia 105

setengah dewa. Merasa hebat, dan ingin sekali diakui. Saat itu, ayah suka sekali dengan pertarungan. Hampir tiap bulannya ayah mencoba apa yang sudah pernah ayah pelajari. Ayah praktekkan. Tidak tanggung-tanggung, ayah datangi preman terminal. Berkelahi disana. Menang. Beberapa bulan kemudian, ketika muncul preman-preman baru, ayah ajak mereka berkelahi. Dan menang lagi. Perkelahian ini bukanlah pertandingan. Sama sekali tidak ada aturan. Yang berdiri terakhir adalah yang menang. Pernah juga ayah menantang seorang praktisi beladiri Jepang, seorang anak tentara. Sabuk coklat. Kami berkelahi di sawah. Disaksikan seorang teman. Dan ayah menang. Dia luka parah. Kemudian ayah kembali terlibat perkelahian dengan seorang warga keturunan yang sudah sabuk hitam beladiri dari Korea. Kami berkelahi di sawah juga, dan ayah menang lagi. Silat ini sungguh sangat istimewa dan sekaligus sangat mematikan, ketika dipelajari dengan sungguh-sungguh. Entahlah, sudah berapa kali ayah berkelahi. Hampir semuanya ayah menangkan. Kondisi itu bikin ayah jadi terlena, benar-benar terlena...", lanjut ayah. Aku melihat ayah menghela nafas. Tersenyum, tapi hambar. "Masih ingat khan, kalau dulu Aa pernah bertanya mengenai bekas luka di tubuh ayah ini?", ucap ayah sambil membuka kaosnya. Di bagian depan tubuh ayah terdapat beberapa luka bekas jahitan yang sudah mengering. Termasuk di pingganggnya. Ayah kemudian memutar badannya. Terlihatlah punggungnya. Punggung ayah juga terdapat beberapa bekas jahitan yang membekas. Ada yang pendek, dan ada yang cukup panjang. Ayah kembali memutar badan, dan memakai kembali kaosnya. "Itulah salah satu yang didapat dari petualangan ayah, nak. Sesuatu yang tidak ayah harapkan terjadi padamu. Bahkan sampai rumah ayah dulu, didatangi oleh beberapa tentara. Mereka mencari-cari ayah beberapa kali. Akhirnya, kakekmu yang 106

repot. Bahkan beberapa anggota suatu beladiri asing juga pernah mendatangi rumah ayah. Kakekmu kembali dibuat repot untuk menjelaskan.", ucap ayah sambil tersenyum hambar. Aku kini mengerti asal luka di tubuh ayah. Selama ini, setiap berlatih bersama ayah sambil bertelanjang dada, aku sering melihat luka-luka itu. Tapi tidak pernah aku pertanyakan serius. Pernah suatu hari aku bertanya pada ayah mengapa tubuhnya cukup banyak luka seperti itu. Tapi ayah hanya menjawab dengan senyum. Kalaupun dijawab, selalu saja jawabannya adalah 'nanti ayah akan ceritakan. Kalau saatnya tiba'. Selalu saja seperti itu. Akhirnya aku tidak berani bertanya lagi. "Uh, bandel juga ayah waktu mudanya...", gumamku dalam hati. Ayah kemudian memandang ke langit. Wajahnya terlihat serius. "Tapi, dari semua pertarungan dalam hidup ayah, hanya satu yang begitu membekas. Yakni, ketika ayah dikalahkan oleh seseorang...", ucap ayah. "Ayah... ayah dikalahkan?", tanyaku dengan heran. Keningku berkerut. "Benar. Ayah dikalahkan dengan telak. Sangat telak. Dikalahkan oleh seorang kakek tua, yang bahkan tanpa pertarungan sama sekali. Kekalahan yang kemudian mengubah hidup ayah, mengubah cara pandang ayah terhadap hidup ini.", jawab ayah. Ayah tersenyum, masih dengan wajah menghadap ke langit. Pandangannya terlihat seperti sedang menerawang jauh. Entah apa yang ada di pikiran ayah saat ini. Terlihat sekali, ayah begitu mengingat keadaan itu. "Ba... bagaimana ayah dikalahkan yah?", tanyaku kembali dengan penasaran. Ayah menggerakkan kepalanya, dan memandang ke arahku. 107

"Dua belas tahun yang lalu, ayah mendatangi sebuah daerah di lereng gunung Ciremai. Daerah itu letaknya agak keatas dari arah Linggar Jati. Disekitarnya agak tinggi. Di bawahnya ada sungai panjang mengalir dengan batu-batu besar. Sungai yang panjang sekaligus cukup lebar. Arusnya cukup deras sehingga ombak yang terbentuk juga lumayan. Saat itu, ayah sedang ingin melatih sebuah keilmuan yang disebut dengan Bayu Seto.", ucap ayah. "Bayu Seto? Apa itu yah?", tanyaku keheranan. Ayah tersenyum. "Saat itu ayah sedang berhasrat untuk melatih keilmuan ini dengan memukul ombak, dengan memecah ombak. Singkatnya, ia merupakan sebuah metode pukulan yang kalau dihantamkan pada manusia bisa membuat kerusakan yang parah, bisa membuat terpental hingga enam meter lebih. Dan bisa juga dipergunakan untuk memukul benda mati dari jarak jauh. Batu-batu sungai yang besar itu ingin ayah jadikan sasaran latihan. Setidaknya, begitulah dulu ayah memandangnya.", lanjut ayah. "Oh, ada yang seperti itu yah?", tanyaku sekali lagi. "Tentu saja, nak. Silatmu ini memiliki lebih dari dua puluhan keilmuan pamungkas. Belum termasuk keilmuan lain yang muncul akibat proses pencarian dari yang lain.", jawab ayah. "Saat itu, ayah sedang duduk di samping sungai. Bermeditasi sebentar. Tiba-tiba bahu ayah serasa ditepuk perlahan oleh seseorang. Tepukan itu sangat lembut. Ayah langsung menoleh. Kaget, karena tiba-tiba ada seorang kakek tua berpakaian hitam di samping ayah. Wajahnya agak tirus. Ayah langsung meloncat cepat dan membentuk jarak sekitar dua meteran. Rambutnya agak panjang beriap. Seperti agak kurang terurus, tapi terkesan cukup rapih. Ayah sama sekali tidak menyadarinya, 108

tidak merasakannya. Heran. Padahal saat itu tingkat getaran ayah pada aspek kepekaan sudah sangat baik. Tapi kakek tua itu tidak terdeteksi sama sekali. Muncul saja tiba-tiba. Kemudian, terjadilah percakapan diantara kita.", lanjut ayah. Aku mendengarkan cerita ayah dengan serius. *** "Siapa kakek ini? Kenapa bisa ada disini?", tanyaku keheranan. "Pentingkah kamu tahu siapa aku, Nak?", ucap kakek itu dengan mimik datar. Ia kemudian mengangkat sedikit dagunya. Mengangkat dagu itu artinya menunjukkan suatu sikap kejumawaan. Sikap yang merendahkan lawan bicara didepannya. Darah mudaku langsung 'mendidih'. "Tentu saja penting. Sebab aku ingin berlatih disini!", jawabku dengan sedikit keras. "Kalahkan kakek dulu! Kalau kamu menang, kamu boleh berlatih disini. Tapi kalau kamu kalah, kamu juga boleh berlatih disini!", ucap kakek tua itu sambil matanya tajam menatapku. Aku mengkerutkan keningku. Ucapannya plin-plan, tidak jelas. Kalau menang, aku boleh berlatih disini. Kalau kalah juga. Lalu apa gunanya mengalahkannya. Kakek tua itu kini berkacak pinggang. Sikap ini jelas sangat merendahkanku. "Kakek tua, aku tidak tahu siapa namamu. Tapi ketahuilah, aku tidak mudah untuk dikalahkan! Apa kakek tua ingin mencobaku?", tanyaku mantap. 109

"Sehebat apa ilmumu?", jawab kakek tua itu. Dagunya masih sedikit terangkat. Dadanya malah semakin dibusungkan. Aku tidak suka dengan sikapnya. Emosiku mulai tersulut. Meski demikian, aku masih mencoba bersabar. "Maaf kakek tua, aku tidak biasa ribut dengan orang yang lebih tua. Perhatikan saja ini!", lanjutku. Aku langsung siaga. Kedua tanganku bersedekap di depan dada. Aku memejamkan mata beberapa detik. Mengerahkan tenagaku, dan mengalirkannya ke dada. Membuka mata perlahan sambil kemudian tanganku menunjuk pada kupukupu yang berwarna hitam yang kebetulan sedang hinggap di salah satu pohon kecil di dekatku. Meski tanganku menunjuk, tapi mataku masih tetap mengawasi kakek tua itu. Khawatir ia akan menyerangku tiba-tiba. Jarak dengan pohon itu kira-kira empat meteran. Telunjuk kananku menunjuk dengan mantap ke arah kupu-kupu itu. Getaranku mengalir dari bawah pusar, melewati dada, menuju jantung, mengalir ke lengan kanan, dan kemudian berkumpul di ujung telunjuk. Telunjuk terasa menghangat, menebal, dan sedikit kebas. Tenaganya menggumpal dan melontar, mengarah tepat pada kupu-kupu tersebut. Tenaganya mengenai kupu-kupu itu yang langsung terjatuh. Mati. Tidak puas dengan kupu-kupu, aku kembali menunjuk pada sisi sungai dimana beberapa ekor ikan sedang berenang. Telunjuk kananku kembali mengarah pada salah satu ikan yang terbesar. Aku 'tembakkan' kembali tenaga getaranku kearah ikan tersebut. Hanya sepersekian detik saja, ikan tersebut langsung mengambang. Mati. "Masihkah ingin melawanku, kakek tua?", tanyaku dengan santai. Kini aku mengangkat sedikit daguku. 110

"Boleh juga. Tapi itu belum seberapa...", ucapnya santai. Ucapan santai itu dengan nada merendahkan. Benar-benar membuatku gerah. Darah mudaku kembali 'mendidih'. Aku mundur dua langkah. Mengangkat tangan kiriku ke atas sambil telapak terbuka menghadap ke depan. Sementara tangan kananku mengepal ringan disamping pinggang kanan. Aku melakukan gerakan pembuka Bayu Seto. Sasaranku adalah batu kali yang cukup besar yang letaknya agak di tengah sungai. Jaraknya kira-kira tiga meteran. Keningku berkerut, konsentrasiku meningkat. Pusar ini menghangat. Aku menyerap energi alam dengan tangan kiriku. Memutar telapak tangan perlahan sambil diturunkan perlahan. Energi alam masuk ke lengan kiriku bersamaan dengan putaran lenganku. Mengalir menuju bawah pusar. Setelah dirasa cukup, kemudian ujung siku kiri aku gerakkan mendekat ke pinggang kiri hingga menempel, sambil aku mengunci aliran energi alam yang masuk dengan mengepalkan tangan kiriku. Aliran energi alam yang masuk menjadi memusat. Mengalir ke bawah pusar. Menggumpal disitu. Digabungkan dengan tenaga getaranku untuk kemudian mengubah sifatnya. Bersamaan dengan itu, aku membuka kepalan tangan kananku perlahan. Memindahkan energi di bawah pusar tadi mengalir ke telapak tangan kanan yang terbuka. Menghubungkan rasa pada telapak tangan kanan dengan rasa pada bawah pusar berikut aliran yang ada. Perlahan telapak tangan terasa menghangat. Kemudian memanas, dan mulai terasa seperti 'menebal'. Aku mengalirkan semua energinya telapak tangan kananku. Setelah itu, langsung saja aku pukulkan lurus dengan cepat ke arah batu di tengah sungai sambil lengan kiriku ditarik ke pinggang kiri. Kesiuran anginnya terasa sekali. Tangan kananku agak bergetar karena aliran tenaga dari pusar yang mengalir menyentak. DRAKK!! Batu besar di tengah sungai itu hancur terbelah. 111

"Hmm, kemampuanmu lumayan!", ucap kakek tua itu. Aku yakin, mau tidak mau, ia akan memperhatikan. "Begini saja, bagaimana kalau kita ngobrol-ngobrol saja. Aneh ya, kakek tidak merasakan hawa permusuhan dari getaran tubuhmu. Bagaimana?", tanya kakek tua itu. Pandangannya menatap ke arahku dengan polos sambil tersenyum. Ini menjadi sedikit lucu karena tadi terlihat begitu serius dan terkesan jumawa, tapi tiba-tiba berubah drastis meskipun tangannya masih berkacak pinggang. Emosiku mereda. Aku memang tidak memiliki permusuhan dengan kakek tua ini. Meski tadi sempat tersulut, tapi itu semata-mata karena darah mudaku bergolak melihat sikapnya yang meremehkan dan merendahkanku. "Baiklah. Terserah kakek saja...", jawabku sekenanya. Kakek tua itu tidak menjawab. Ia berjalan agak menjauh dari pinggiran sungai. Lalu duduk di sebuah batu berukuran sedang. Tangannya menunjuk-nunjuk ke arahku, memberikan simbol agar aku duduk di dekat dia. Aku berjalan mengikutinya. Aku masih tetap menjaga jarak. Karena kakek tua ini bertingkah sangat aneh dan mencurigakan. Aku aku duduk pada salah satu batu yang berjarak kira-kira dua meteran dari tempat kakek tua itu duduk. Suasana hening selama beberapa saat. Hanya terdengar gemericik air sungai dan hempasan dedaunan yang terhembus angin. "Nak, kemampuanmu lumayan.", ucap kakek tua itu membuka percakapan. "Huh, akhirnya mau mengakui juga!", jawabku tegas. Aku tersenyum. 112

"Tapi sayang ... kamu tidak tahu arah matahari sehingga kamu tidak bisa membedakan pagi dan sore...", ucap kakek tua itu. "Maksud kakek apa?", jawabku penasaran. Keningku berkerut heran. Kakek tua itu mengatakan kalau aku tidak bisa membedakan pagi dan sore karena tidak tahu arah matahari. Ini sama saja artinya bahwa aku ini tidak tahu apaapa. "Lihatlah kupu-kupu malang itu? Ia mati sia-sia...", lanjut kakek tua. Wajahnya kini terlihat sedih. "Lihatlah ikan malang itu? Ia juga mati sia-sia...", tambah kakek tua. Wajahnya terlihat semakin sedih. "Bisakah kamu menghidupkannya kembali?", pinta kakek itu. Wajahnya serius memandang ke arahku. Eh, aku terkejut. Pertanyaan ini membuatku bingung. "Aku ... aku tidak bisa kek...", jawabku lirih. Spontan. "Kenapa tidak bisa? Bukankah kamu bisa mematikan, kenapa kamu tidak bisa menghidupkan?", tanya kakek itu lagi. Uh, aku benar-benar dibuat tidak berkutik dengan pertanyaannya. Kakek tua itu seperti memahami kebingunganku. "Nak, saat kakek melihat kemampuanmu tadi, tampaknya kamu sudah belajar banyak. Mungkin masih ada keilmuan lain yang kamu masih simpan yang belum 113

kamu tunjukkan. Kamu mungkin sudah melakukan banyak sekali latihan berat dalam hidupmu untuk mendapatkan semua itu. Tapi sepertinya ada yang kamu lupakan nak, yakni bahwa alam raya itu 'hidup'. Bagaimana kamu memahami kehidupan kalau kamu tidak menghargai kehidupan? Bagaimana kamu memahami nafas kalau kamu tidak menghargai nafas?", ucap kakek tua itu lirih sambil memandang ke arahku. "Ilmumu tidak asing bagi kakek tua ini. Sumbernya masih sama. Bayu Seto yang kamu tunjukkan sudah cukup lumayan. Tapi inti getarannya terlalu keras, terlalu panas. Masih terlalu liar. Masih belum seimbang. Masih belum berjiwa...", ucap kakek itu. "Apa maksud kakek?", tanyaku dengan heran. Keningku berkerut, mataku sedikit mendelik. Penasaran. Bagaimana ia mengerti yang aku lakukan adalah aplikasi Bayu Seto? Bagaimana ia mengerti mengenai getaran? Bagaimana ia bisa membaca isi hatiku? Uuh, banyak pertanyaan berkecamuk di hati ini. "Bayu Seto itu harusnya seperti ini...!", ucap kakek tua itu lantang sambil mendorongkan telapak tangannya ke depan. Ia tidak menjawab pertanyaanku tadi, tapi langsung menyerangku tiba-tiba. Telapak tangannya secara tiba-tiba mengarah tepat ke tengah dadaku! BRASS! Terasa kesiuran angin di depan dadaku dengan cepat. "Akhhh... apa-apaan ini kek...!", teriakku sambil terkejut yang amat sangat. Aku hanya berpikir kalau dadaku pasti akan hancur kalau terkena pukulannya. 114

Ini gawat, bahaya! Aku merasakan seperti ada sesuatu yang 'melewati' dadaku. Menembus ke belakang punggung. Tapi tenaga itu hanya lewat saja. Sama sekali tidak mencederai tubuhku. Tidak juga membuat efek penghancuran seperti saat aku menghantam batu di tengah sungai itu dengan tenaga yang sama. "Eh.... ini ... ini ... apa ini... bagaimana bisa...?", ucapku terbata-bata beberapa detik kemudian. Aku sangat terkejut. Heran. Tenaga yang dipakainya sama seperti yang aku lontarkan saat melakukan Bayu Seto. Aku bisa merasakannya saat ia menembus dadaku. Tapi saat menembus itu, terasa sangat berbeda. Seperti ada 'jiwa' di dalamnya. Mampu mengenaiku tanpa merusak, melewati benda tanpa menghancurkan. Tanpa sadar, tubuhku tiba-tiba menggigil seperti orang kedinginan. Keringat dinginku mengalir membasahi. "Si... si... siapa sebenarnya kakek ini?", tanyaku dengan masih terbata-bata. Aku berusaha menenangkan diri dari keterkejutan tadi. "Kakek bukan siapa-siapa nak... Barangkali, ini hanyalah jodoh saja sehingga kita bisa bertemu...", jawab kakek tua itu. Aku melihat kakek tua itu berdiri. Riapan rambut panjangnya tertiup angin. Wajahnya menjadi demikian berwibawa. Tidak seperti sebelumnya. Ia tampak begitu serius, dan berjalan mendekatiku. Kedua tangannya berada di pinggang bagian belakang. "Nak, tahukah kamu apa itu nafas?", tanya kakek tua itu kepadaku. 115

"Nafas adalah udara yang kita hirup...", jawabku memberanikan diri. "Kalau ia udara yang kita hirup, kenapa kalau ada orang yang mati tetap saja tidak bisa hidup lagi meskipun kita masukkan udara yang demikian banyak ke dalam tubuhnya. Atau bahkan memompa paru-parunya dengan udara. Ia masih tetap saja mati!", ucap kakek tua itu dengan nada meninggi. Ia tampak tidak suka dengan jawabanku. "Nak, kamu sudah punya kemampuan sejauh ini tapi kamu sama sekali tidak bisa menjawab apa itu nafas?!", lanjut kakek tua itu masih dengan nada yang meninggi. "Ma... maafkan saya kek...", jawabku sambil menundukkan kepala. "Aku sudah kalah...", gumamku dalam hati. Aku semakin menunduk, dan memejamkan mata. Entah mengapa aku jadi tidak mampu mengangkat daguku. Aku merasa tidak memiliki cukup tenaga untuk memandang wajah kakek tua di depanku ini. Mataku terpejam. Banyak pikiran berkecamuk di kepalaku. Aku hanya mendengar suara helaan nafas. "Kalau cucu muridku banyak yang seperti kamu, kakek tentu akan sangat kecewa sekali... Kamu memiliki keilmuan yang tidak memiliki jiwa. Sedangkan jiwa diperlukan bagi setiap yang 'hidup'. Agar hidup untuk menghargai yang hidup. Alam raya ini 'hidup'. Ia hidup dengan caraNya. Selama kamu belum bisa menyelami ini, maka kamu tidak akan bisa memahami intisari dari keilmuan silatmu ini... Nafas adalah jiwa ... 116

Camkan saja itu, nak.", lanjut kakek tua itu. Segera setelah ucapan terakhirnya itu, aku hanya merasakan ada kesiuran angin di depanku. Dheg. Hatiku seperti dipalu godam. Telingaku sangat jelas mendengar kalau kakek tua itu menyebut kata 'cucu murid'. "Kalau begitu ... kakek ini?", tanyaku sambil mengangkat wajah dan membuka mata. Kakek tua itu sudah tidak ada. "Eh, kemana kakek ini.", gumamku dalam hati. Aku menengok kanan dan kiri. Berdiri cepat. Lalu memandangi sekeliling tempat itu. Benar-benar tidak ada! Aku memejamkam mata, mencoba menajamkan rasa batin untuk 'mencari' kakek itu. Tidak terasa. Tidak ketemu. Tidak ada rasa getaran yang lain selain bendabenda yang ada disekitar tempat itu. Aku berjalan, dan duduk di tempat kakek tua sebelumnya duduk. Masih tergiang ucapannya. "Nafas adalah jiwa... Nafas adalah jiwa... Nafas adalah jiwa...", ucapku perlahan berulang-ulang. "Apa itu nafas? Apa itu jiwa?", lanjutku perlahan dan berulang-ulang. 117

Aku hanya mengulangi pertanyaan itu. Bertanya sendiri, berbicara sendiri. Kemudian tertunduk. Aku menenangkan diri. Memusatkan diri pada hati, pada mata hati. Perlahan, suara gemericik air sungai sudah tidak terdengar lagi. Suara hembusan angin juga sudah tidak terdengar. Suara dedaunan yang beterbangan tertiup angin juga sudah tidak terdengar. Angin yang menyentuh kulitku juga sudah tidak aku rasakan lagi. Suara-suara alam disekitarku mulai mengecil dan menghilang. Aku tenggelam, larut dalam keheningan. Entah berapa lama. Aku terbayang pertarunganku dengan para preman. Aku terbayang kupu-kupu yang mati. Aku terbayang ikan yang mati. Tiba-tiba tubuh ini serasa melebur. Menjadi satu. Luruh. Lebur. Luluh lantak. Kemudian, setiap tarikan nafas ini terasa begitu berbeda. Setiap hembusan nafas ini juga terasa begitu berbeda. Menarik, menahan, menghembuskan, rasanya menjadi begitu lain. Setiap aliran menuju sekujur tubuh ini, terasa sekali bedanya. Saat menarik nafas, menahannya, membiarkannya mengisi setiap sel tubuh ini. Setelah itu perlahan 'habis'. Lalu paru-paru mulai 'berontak', jantung mulai 'berontak', seluruh tubuh mulai 'berontak'. Seolah akan 'mati'. Aku hirup kembali nafas perlahan. Mulai bereaksi, mulai 'hidup'. Semua menjadi 'hidup' kembali. 118

Mataku menjadi terasa panas. Perlahan, setetes air mata merembes keluar dari sudut mataku yang terpejam. Lama kelamaan semakin deras. Tetesannya mengalir di leherku hingga ke dagu, hingga menetes di pahaku. Tetesan air mata itu kembali menyadarkanku. Kembali membawaku ke alam nyata. Indraku mulai mendengar kembali gemericik air. Mulai merasakan kembali hembusan angin menyentuh kulit. Mulai merasakan kembali siraman cahaya matahari pada tubuh ini. Aku merapatkan kedua tanganku. "Kakek... cucu murid mulai memahaminya... Terima kasih...", ucapku lirih. Aku membuka mata. Memandang ke sekeliling. Terasa sekali sangat berbeda dari sebelumnya. Memandang bebatuan, memandang air, memandang pepohonan, memandang ikan, memandang kupu-kupu, memandang dedaunan. Telapak yang menyentuh tanah, terasa begitu berbeda. Aku membungkukkan badan, melakukan penghormatan pada tempat itu. Aku kalah, hanya lewat tutur. Dari seorang kakek tua. Aku kalah, karena aku merasa bisa, bukan bisa merasa. *** "Demikianlahlah, nak.", ucap ayah selesai bercerita. Mata ayah terlihat berkaca-kaca. Tampaknya, ayah berusaha menahan agar air matanya tidak tumpah. Entah, aku tidak tahu sejauh apa pengalaman itu berbekas di hati ayah hingga pertama kalinya aku melihat ayah begitu serius dalam menceritakan 119

kisah hidupnya.

Aku mendengar dan mengingat semua penjelasan ayah. "Masih ingat mengenai kesadaran inderawi dan kesadaran rasional yang dulu pernah ayah jelaskan?", tanya ayah. Aku mengangguk. "Masih yah...", jawabku. "Tahap berikutnya untuk menembus ambang batas kesadaran rasional adalah tumbuhnya kesadaran jiwa. Dan malam inilah ayah akan memberimu pemahaman untuk itu... Ini akan menjadi kunci pembuka untuk latihan besok kita di gunung.", ucap ayah.

***

120

BAB 22

KESADARAN JIWA Malam ini angin berhembus agak kencang. Aku memandang ke langit, terlihat bulan yang bulatannya hampir sempurna. Cahaya pantulannya menerangi sekitar. Awan-awan juga tidak nampak adanya. Seolah tidak ingin mengganggu sinar rembulan yang menghampiri jagat ini. Suasana di halaman ini masih hening. Hanya ada ayah dan aku. Ayah juga terlihat masih memandangi rembulan. Cukup lama. "Yah, setelah itu apa yang ayah lakukan?", tanyaku memecah keheningan. Ayah menoleh ke arahku. "Ayah tidak melakukan apa-apa. Setelah itu ayah berhenti berlatih, dan lebih banyak merenung.", jawab ayah sambil tersenyum. "Ayah merenungi semuanya. Dari mulai diri ayah sendiri hingga ke alam sekitar. Dari mulai benda-benda yang besar, hingga benda-benda yang kecil, sangat kecil. Dari mulai yang tampak, hingga yang tidak tampak. Ayah membuka kembali buku catatan latihan ayah yang sudah kusam. Mengingat kembali dari mulai ayah berlatih pertama kali hingga terakhir. Mengingat kembali semua proses latihan. Mengingat semua pertarungan ayah, perkelahian ayah, bagaimana membuat repot kakekmu, bagaimana asal mula luka di tubuh ini, bagaimana cara ayah mendapatkan keilmuan, dan banyak lagi.

121

Setelah itu, ayah berhenti total. Tidak mau menyentuh sama sekali keilmuan ini.", lanjut ayah sambil memandangi kedua tangannya. Sinar bulan terlihat menerangi halaman sekitar rumah kami. Jelas sekali. Aku melihat kedua tangan ayah diputar sedikit hingga telapak tangannya menghadap ke langit. Kedua tangan ayah terlihat agak bergetar, kepala yang menunduk, dan mata yang terpejam. Suasana kembali hening. "Lalu kapan ayah mulai berlatih lagi setelah itu yah?", tanyaku memberanikan diri, sekaligus memecah keheningan yang ada. Ayah membuka mata, lalu menatap ke arahku. "Saat ayah melihatmu tidur nak. Saat itu, menjelang tengah malam, ayah menatap wajahmu saat tertidur. Disaat itulah batin ayah kemudian tergerak kembali setelah sekian lama ayah tidak merasakan getaran pada batin ini. Sorot wajahmu saat itu, wajah mungilmu, yang tertidur terlelap, memancarkan getaran ke batin ayah.", jawab ayah. "Sa... saat Aa tertidur?", tanyaku keheranan. Keningku agak sedikit mengkerut. "Benar nak, saat kamu tertidur. Memandangi wajah mungilmu. Saat itu, ayah merasa kalau ayah harus mewariskan keilmuan ini secara benar padamu. Kamulah pewaris keilmuan ini nantinya. Kamulah yang nanti akan membawa keilmuan ini menjadi lebih baik. Kamulah yang nanti akan menjadi generasi penerus setelah ayah. Meskipun kamu bukan pewaris berdasarkan darah keturunan, tapi kamu merupakan salah satu pewaris keilmuan. Semua yang belajar keilmuan silat ini, adalah merupakan pewaris keilmuan. Kamu yang nanti akan menjaga dan melestarikan keilmuan ini. Kamu yang nanti akan melatihnya dengan cara baik. Dan kamu juga 122

yang nanti akan mewariskannya kembali pada orang yang tepat.", jawab ayah sambil menatapku. "Ilmu silat ini sangat berharga nak... jangan kamu lupakan dan sia-siakan...", lanjut ayah dengan serius. Aku mengangguk setuju. "Setelah itu, apa yang ayah lakukan yah?", tanyaku kembali. "Setelah itu, sambil merenung, ayah membuka kembali buku-buku catatan latihan ayah. Ayah mengulangi kembali latihan ayah dari nol. Ayah mengulangi kembali latihan ayah dari dasar. Ya... dari tingkat dasar. Latihan yang sama, tetapi dilakukan dengan pemahaman yang sama sekali baru.", jawab ayah. "Dari mulai tata gerak, tata nafas, getaran, naluri, keilmuan pamungkas, semuanya. Ayah merenungi pada setiap bentuk yang ada. Mengulangnya. Bagaimana saat tidak menggunakan olah nafas, dengan menggunakan olah nafas, kemana aliran tenaganya, kemana aliran getarannya, dan banyak lagi. Satu persatu ayah bedah dan renungi. Hingga kemudian masuk pada tahap getaran alam. Bagaimana sinkronisasi dengan getaran alam, bagaimana memanfaatkan getaran alam, dan bagaimana memanipulasi getaran alam.", lanjut ayah. "Memanipulasi getaran alam?", tanyaku spontan. "Benar nak. Saat ingin masuk pada tahap keilmuan pamungkas, kamu harus mengenali getaran dirimu sendiri. Ini adalah tahap getaran pribadi. Tahap dimana kamu mengenali tenaga getaran milikmu. Setelah kamu merasakan benar, memahaminya, barulah naik pada tahap dimana kamu akan berkenalan dengan getaran alam semesta. Bumi, langit, air, angin, batu, kayu, dan banyak lagi. Tahap dimana kamu mulai 'melepas' getaran pribadimu untuk kemudian 'bersinggungan' 123

dengan getaran alam. Pada tahap ini, kamu akan menyadari bahwa tubuhmu ternyata memiliki banyak kelebihan.", jawab ayah. "Anu.. yah, apakah getaran itu tidak sama dengan latihan getaran Aa selama ini?", tanyaku. Ayah tersenyum, dan kemudian menunjuk ke teras depan dimana terdapat sebuah meja yang diatasnya masih ada gelas yang berisi bekas kopi yang suka ayah minum. "Kamu baru ayah ajarkan getaran untuk tutup mata. Kalau dibuat pemisalan, getaranmu itu saat ini bagaikan secangkir kopi di atas meja itu nak... Persis seperti itulah getaran untuk tutup mata.", jawab ayah. "Maksudnya yah?", ucapku dengan sedikit heran. "Getaran untuk tutup mata, itu bisa diibaratkan seperti secangkir air yang diambil dari lautan yang luas. Air itu kemudian kamu olah dan kamu tambahkan sedikit kopi dan gula secukupnya, lalu diaduk, hingga kemudian menjadi segelas kopi manis yang bisa dinikmati. Meskipun airnya sedikit, tetapi setelah diolah dan ditambahkan unsur lain, maka menjadi luar biasa rasanya, bukan? 'Air' itu, meski sedikit, mampu melahirkan hal-hal yang fenomenal yang sebelumnya barangkali tidak bisa dibayangkan oleh orang-orang. Bukankah kamu sudah merasakan manfaatnya?", lanjut ayah sambil tersenyum. Secara reflek, aku mengangguk dan membenarkan ucapan ayah. "Eh benar juga", gumamku dalam hati. "Ketika kemudian getaran itu dikembangkan, hingga kemudian masuk pada getaran alam, maka pada saat itulah kamu akan menyadari potensi dirimu yang sesungguhnya. Ada potensi yang bisa membuatmu menjadi rendah hati atau malah 124

takabur. Seperti pisau bermata dua. Kalau salah di dalam menggunakan, maka efeknya akan mencederai diri sendiri dan bahkan orang-orang di sekitarmu. Tapi kalau benar digunakan, maka ia bisa membawa kebaikan pada dirimu dan juga orang lain.", lanjut ayah. "Aa masih belum mengerti yah...", tanyaku spontan. "Tidak apa-apa nak. Tidak perlu semua hal kamu harus mengerti pada satu saat dengan cepat. Nanti, akan ada masanya kamu akan memahami sendiri. Berdasarkan pengetahuan dan kesadaranmu sendiri. Yang ayah lakukan saat ini adalah memberikan pemahaman dasar. Agar kamu nanti tidak salah langkah. Sebab hal ini nantinya akan menjadi peletak dasar untuk masuk pada tahap yang lebih tinggi, sekaligus juga sebagai pembentukan mental dan karakter dirimu. Seperti halnya kamu mempelajari ilmu pengetahuan dasar di sekolah. Pengetahuan dasar seperti itu, kelak akan berguna saat kamu belajar pengetahuan lanjutan mengenainya. Pada getaran alam, kamu harus melewati tahap getaran pribadi. Setelah itu kamu akan masuk pada tahap merasakan getaran alam semesta. Terakhir, adalah tahap penyatuan dengan getaran alam semesta. Pada tahap ini, kamu akan mempunyai kemampuan untuk melakukan manipulasi terhadap alam.", jawab ayah. "Perhatikan ini...", lanjut ayah. Aku melihat kedua mata ayah dipejamkan, tangannya mengembang ke samping dengan rileks. Telapak tangannya terbuka menghadap ke langit. Wajahnya menjadi sangat serius. Aku menunggu apa yang akan terjadi. Satu menit. Dua menit. 125

Tiga menit. Empat menit. Lima menit. Ayah hanya pada posisi seperti itu saja. Wajahnya memancarkan ketenangan tapi serius. Suasana alam terasa hening. Sinar rembulan sudah tidak terlihat lagi di halaman. Ayah kemudian membuka mata, dan tersenyum. "Sudah selesai nak...", ucap ayah. Aku heran. "Selesai apanya yah?", tanyaku penasaran. "Lihatlah ke langit... ", jawab ayah sambil tangannya menunjuk ke atas. Aku menurut, dan memandang ke langit. Eh, aku benar-benar terkejut. Terlihat banyak sekali gumpalan awan diatas. Gumpalan awan itu menutupi sinar rembulan. Berarak. Awan-awan ini seperti awan menjelang turun hujan. Aku melihat ayah membuka telapak tangan ke atas, sambil menengadahkan kepalanya, memejamkan mata, dan tersenyum. "Sebentar lagi akan turun rintik hujan...", lanjut ayah. Aku penasaran. Apa benar seperti yang dikatakan ayah, sebentar lagi akan turun hujan. 126

Dheg. Benar saja. Tidak berapa lama setelah ayah berkata seperti itu, wajahku terkena titik-titik air hujan yang jatuh dari langit. Ini benar-benar rintik hujan! Meskipun masih rintik kecil, tapi ini benar-benar hujan. Aku melihat ke sekeliling. Tetesan air hujan itu benar-benar mengenai alam sekitar. Ini nyata. Bagaimana bisa? Setelah itu, aku melihat ayah mengangkat kedua tangannya lurus dengan telapak tangan terbuka. Lalu menggerakkan perlahan sekali turun ke samping. Ini seperti bentuk nafas garuda, tetapi dilakukan dengan mengangkat tangan keatas dan dengan lintasan ke samping badan. Ayah melakukan itu lima sampai tujuh kali. Lalu kembali tersenyum ke arahku. "Sebentar lagi rintik hujan ini akan berhenti...", ucap ayah sambil menatapku. Aku penasaran. Aku melihat ke langit. Uuh, kini awannya sudah tidak berkumpul lagi. Tapi sudah bergeser, beberapa malah terlihat membuka. Bulan yang tadi terhalang oleh kumpulan awan ini, sekarang terlihat kembali dengan jelas. Sinarnya menyeruak dan menerangi kembali sekitar. Rintik hujanpun perlahan mulai berhenti. "Yah... itu... itu... bagaimana bisa yah?", tanyaku keheranan. "Menarik, bukan?", ucap ayah sambil tersenyum. Aku masih penasaran, bagaimana itu bisa terjadi. "Itulah nak. Saat kamu bisa berinteraksi dengan alam semesta, kamu akan bisa memanipulasinya. Itu hanya sebagian kecil saja. Ada banyak hal lain yang bisa dilakukan. Kemampuan seperti itu benar-benar membuat manusia bisa terlena. Kalau tidak diiringi dengan pemberian filosofi dan nilai-nilai yang benar, dengan 127

kerendahan hati, maka kemampuan seperti itu hanya akan membawamu pada kesombongan. Sesuatu yang tidak ayah harapkan terjadi padamu kelak.", jawab ayah. "Perhatikan langit itu, apa yang kamu lihat?", tanya ayah. "Ada bulan, awan, bintang-bintang yang bersinar yah...", jawabku. "Kalau yang lebih jauh dari itu?", tanya ayah. "Ada matahari, ada batu-batu meteor, ada sinar kosmik, nebula, planet-planet lain, satelit planet, dan banyak lagi yah.", jawabku berdasarkan pengetahuan yang aku dapat di sekolah. "Apakah kamu melihat sinar kosmik, nebula, batu-batu meteor, atau planetplanet lain dengan matamu?", tanya ayah. "Tidak yah. Aa tahu itu dari buku yang dipelajari di sekolah pada mata pelajaran Fisika yah", jawabku. "Benar nak. Pada kesadaran tingkat pertama, yakni kesadaran inderawi, manusia berusaha memahami benda-benda langit sekadar dengan mata dan telinganya. Hasilnya, manusia mengenal berbagai macam bintang di langit, matahari, bulan, dan sejumlah meteor yang jatuh ke bumi. Banyak manfaat yang telah diambil manusia lewat kesadaran inderawi ini. Di antaranya, manusia pada abad-abad yang lalu bisa menentukan arah perjalanannya dengan berpedoman pada rasi bintang yang dikenalnya. Ia tahu arah utara, barat, selatan dan timur, berdasar posisi bintang-bintang itu. Manfaat lainnya lagi, mereka bisa menentukan pergerakan waktu dalam skala yang sederhana, berdasar posisi matahari dan bulan yang terlihat dari bumi. Dan lain sebagainya.", ucap ayah. 128

Aku mengangguk. "Menurutmu, yang bergerak itu bumi mengelilingi matahari atau matahari mengelilingi bumi?", tanya ayah. Aku tersenyum. "Tentu saja yang bergerak itu bumi mengelilingi matahari yah...", jawabku dengan yakin. Tentu saja aku yakin, karena pengetahuan ini aku dapat dari sekolah. "Benar nak. Tapi tahukah, bahwa dulu manusia menganggap matahari berkeliling bumi. Sebagaimana juga bulan mengelilingi bumi. Kenapa demikian? Karena begitulah memang yang kelihatan dari permukaan planet bumi. Padahal, kelak terbukti, ternyata matahari bukan mengelilingi bumi sebagaimana kita lihat, melainkan justru bumilah yang mengelilingi matahari. Kefahaman dan kesadaran bahwa bumi mengelilingi matahari itulah yang lebih mendekati kenyataan. Dan, untuk memperoleh kefahaman bahwa bumi mengelilingi matahari, manusia tidak bisa hanya mengandalkan panca inderanya, melainkan dengan menggunakan berbagai pengamatan tidak langsung dengan menggunakan teknologi yang di dalamnya melibatkan berbagai rumus matematika. Manusia telah melakukan pemahamannya dengan menggunakan fungsi akal yang lebih tinggi, lewat analisa perhitungan, dan imajinasi yang lebih abstrak. Coba bayangkan, mata kita jelas-jelas melihat bahwa matahari bergerak mengelilingi bumi, setiap hari dari timur ke barat. Tapi akal kita justru membantahnya, dan mengatakan bahwa yang berputar berkeliling justru adalah bumi terhadap matahari. Hasilnya, bisa bertolak belakang sama sekali!", jawab ayah.

129

"Ah... benar sekali! Mengapa aku tidak pernah terpikirkan sampai kesitu ya?", gumamku dalam hati. Aku kemudian reflek menggaruk-garuk kepalaku yang tentu saja tidak gatal. "Demikian pula, ketika kita mencoba memahami hamparan permukaan bumi. Orang zaman dahulu meyakini bahwa bumi ini datar. Karena memang begitulah yang tampak oleh mata kita. Tetapi, perjalanan Columbus berkeliling dunia menggunakan kapal lautnya telah merubah pemahaman itu. Ternyata bumi kita ini bulat. Manusia hewan, tumbuhan dan berbagai isi bumi sekadar 'hinggap' saja di permukaannya. Bukti itu, kini tidak bisa dibantah lagi ketika manusia bisa memotret planet bumi dari satelit. Bumi memang berbentuk bola, bulat, tapi tidak bulat utuh, melainkan seperti bulat telur yang membentuk wujud geospherical, yang mengambang dan melesat di awang-awang. Sekali lagi manusia dihadapkan pada dua pemahaman yang sangat berbeda, ketika menggunakan tingkat kesadaran yang berbeda. Yang pertama sekadar menggunakan indera mata, dan yang kedua menggunakan rasio secara empirik. Hasilnya, radikal berbeda.", lanjut ayah. Aku mengangguk. "Terbukti bahwa penggunaan rasio jauh lebih unggul dibandingkan pemahaman inderawi yang demikian terbatas. Ada potensi 'imajinasi' dan 'analisa' yang tidak dimiliki oleh kesadaran tingkat pertama. Dengan potensi imajinasi serta analisa itulah manusia memiliki 'mata imajiner' yang memiliki ketajaman dan sudut pandang yang jauh lebih luas ketimbang mata kepala.", ucap ayah. "'Mata imajiner' alias kesadaran rasional sangat bermanfaat untuk melihat realitas yang bersifat fisik, dalam skala yang lebih luas, yang berada di luar jangkauan panca indera. Pada kondisi itu, tiba-tiba manusia bisa melihat sesuatu yang berada di balik penglihatan matanya, saat menggunakan kesadaran rasionalnya. 130

Tetapi, 'mata imajiner' memiliki keterbatasannya ketika digunakan untuk menangkap 'makna' yang tersimpan di dalamnya. Makna yang terkandung di dalam pesan penciptaan. Makna yang menjurus kepada adanya Dzat yang Tiada Berhingga, yang menampilkan Kecerdasan Tiada Terkira.", lanjut ayah. "Memiliki keterbatasan?", tanyaku dengan penasaran. "Benar nak. 'Mata imajiner' alias kesadaran rasional juga ternyata tidak sanggup melihat adanya 'sesuatu' dibalik obyek-obyek yang mereka amati di alam ini. Bahwa semua proses berjalan demikian teratur dan seimbang dengan tujuan yang sama yakni membentuk dan memfasilitasi adanya kehidupan.", jawab ayah. "Kesadaran rasional, hanya mampu menangkap hal-hal yang bersifat materialistik belaka.", lanjut ayah. "Tahukah kamu kenapa demikian?", tanya ayah. Aku menggeleng. "Karena sebenarnya, 'mata imajiner' alias kesadaran rasional adalah sekedar kepanjangan fungsi dari mata kepala, yang dilengkapi dengan analisa-analisa empiris. Dilengkapi dengan berbagai peralatan bantu. Tapi, substansinya masih sama ia 'melihat' dengan 'mata fisiknya'. Maka, tentu saja, ia hanya bisa menangkap hal-hal yang bersifat fisik juga. Padahal, makna yang terkandung di balik realitas itu bersifat non fisik. Yaitu, sebuah 'kefahaman' yang sangat abstrak. Yang lebih dekat kepada 'rasa'. Dan ini adalah objek dari indera ke enam yang disebut hati.", jelas ayah.

131

"Jadi, pada tingkat kesadaran yang lebih tinggi, manusia hanya bisa memperoleh makna itu ketika ia menggunakan hatinya sebagai sensor. Bukan lagi mata fisik...", lanjut ayah. Aku mengangguk. Rasanya aku mulai memahami sesuatu. Ayah terdiam. Menghela nafas perlahan sambil memejamkan mata. Aku melihat ayah menarik nafas perlahan, sambil tersenyum, dadanya mengembang, lalu membuang nafas perlahan, sambil tersenyum, dadanya mengempis. Kira-kira empat sampai lima kali ayah melakukan itu. Nafasnya ringan sekali, wajahnya ceria, seolah tersenyum pada alam, seolah tersenyum pada dirinya, dan seolah tersenyum pada semuanya. Damai. Aku bisa merasakan getaran damai yang memancar dari tubuh ayah. "Inilah tingkat kesadaran jiwa. Sebuah kesadaran yang dibangun berdasarkan penglihatan mata hati. Sebuah proses untuk mencari sampai mendapatkan tindakan yang benar dengan menggunakan mata hati.", ucap ayah. "Ketajaman mata hati atau kesadaran jiwa ini semakin sempurna jika seseorang mencapainya secara bertahap, mulai dari kesadaran inderawi, kesadaran rasional dan kemudian kesadaran jiwa. Sebab, munculnya kesadaran pada tingkat yang lebih tinggi itu selalu dipicu oleh memuncaknya kesadaran yang lebih rendah. Sebagai contoh, munculnya kesadaran rasional adalah ketika pemahaman inderawi sudah mentok, tidak mampu lagi. Ketika mata sudah tidak tahu lagi apa yang terjadi di pusat matahari, maka di situlah terjadi stimulasi terhadap kesadaran rasional untuk berkembang. Maka, manusia lantas menggunakan potensi rasionalitasnya untuk mengungkapkan rahasia yang ada di pusat matahari itu. Bahwa di sana ada proses pembangkitan energi panas yang luar biasa dahsyat yang disebut sebagai reaksi Termonuklir.

132

Demikian pula, ketika mata fisik sudah tidak mampu lagi melihat sebabmusabab terjadinya keseimbangan yang mengikat dan menggerakkan benda-benda raksasa di alam semesta, maka kesadaran rasional terpicu untuk mengambil alih peran indera yang terbatas itu. Dan muncullah kesimpulan-kesimpulan ilmiah yang menjelaskan terjadinya keseimbangan gravitasi di seluruh penjuru langit. Kita, lantas berada dalam kesadaran rasional tentang kenyataan tersebut. Begitu pula dengan kesadaran jiwa, ia baru akan muncul ketika terpicu oleh ketidak mampuan kesadaran rasional dalam memahami kenyataan yang terhampar di hadapannya. Selama seseorang masih merasa bisa memahami kenyataan ini dengan Kesadaran yang lebih rendah maka ia akan menyombongkan diri tentang kemampuan itu. Pada saat yang bersamaan ia tidak akan pernah beranjak dari kesadaran rendahnya menuju kesadaran yang lebih tinggi.", lanjut ayah. Aku menunduk. Mencoba menyelami ucapan ayah. Suasana menjadi hening. Angin seolah berhenti berhembus. "Perkembangan ilmu pengetahuan empirik yang semakin memuncak di abadabad terakhir ini, sebenarnya telah menstimulasi munculnya kesadaran jiwa. Kemampuan mata imajiner manusia mulai menemukan batasnya. Yang dibalik batas itu, manusia mulai merasa tidak tahu apa-apa. Ada suatu rahasia besar yang 'menakutkan', yang berada diluar jangkauan kemampuan manusia. Perkembangan ilmu pengetahuan yang bergerak ke segala arah kehidupan telah menemukan ketidak terbatasan yang mengerikan. Baik yang berkait dengan pemahaman alam makro, alam mikro, maupun yang terkait dengan proses-proses kehidupan. Pada skala makrokosmos, misalnya, manusia kini dihadapkan pada "Kebesaran Misterius' yang tiada bandingnya. Dulu, manusia hanya mengenal dunia sebagai 133

lingkungan dimana ia menjalani hidup. la menganggap dunia hanya sebesar daerah tempat tinggalnya. Seiring dengan perjalanan hidupnya, manusia lantas memahami tentang pulau dan benua yang ditempatinya. Semakin meluas, manusia memahami bahwa bumi ini bulat. Dan akhirnya, manusia memperoleh kefahaman bahwa bumi hanyalah sebuah planet kecil dari triliunan benda langit yang terhampar di seluruh penjuru alam semesta. Tiba-tiba manusia memperoleh kesadaran, tentang keberadaan nya yang demikian kecil di hamparan 'padang pasir' semesta raya. Dimana bumi hanya bagaikan sebutir 'debu'. Dan di atas debu itulah lima miliar manusia hidup dengan segala kesombongannya. Kita tiba-tiba merasa ngeri sendiri. Demikian raksasanya jagad semesta raya. Sementara, bumi adalah satu-satunya planet yang dihuni oleh kehidupan. Selebihnya, belum diketemukan adanya kehidupan di planet-planet lain. Ya, lima miliar manusia hidup dalam kesendirian di jagad raya semesta, yang sampai sekarang tidak diketahui batasnya. Seluruh ilmuwan astronomi di muka bumi kini sedang terpaku memandang ke langit. Menatap penuh ngeri sekaligus kekaguman. Ngeri karena manusia begitu kecilnya dibandingkan dengan alam semesta yang berisi triliunan benda-benda angkasa seperti planet bumi atau bahkan banyak yang lebih besar dari bumi. Namun, kita juga kagum melihat pemandangan yang tiada tara itu. Triliunan matahari berserakan di angkasa semesta bagaikan pelita kecil-kecil yang dihamparkan dan ditata dengan indahnya, di dalam kegelapan ruang angkasa yang demikian raksasa. Di sela-sela pelita itu benda-benda angkasa lainnya menari-nari, bergerak melesat dengan kecepatan tinggi di orbit-orbit yang terjaga selama miliaran tahun. Jauh di luar batas usia peradaban manusia yang cuma berumur ribuan tahun. Hati kita jadi tercekat menyadari kenyataan ini. 134

Tiba-tiba manusia merasa tidak berdaya dan merasa tidak ada apa-apanya, berhadapan dengan kedahsyatan alam semesta. Kita ini kecil. Bahkan lebih kecil dari yang bisa kita bayangkan. Disinilah manusia terbentur pada suatu kenyataan, yang mencampakkan pada ketidakberdayaan rasionalnya. Ia tidak tahu dimana batas alam semesta yang demikian luas ini. Dan, di luar batas itu ada apa. Ia juga tidak tahu bagaimana triliunan benda-benda langit yang semuanya bergerak dan melesat dengan kecepatan tinggi itu bisa tertata demikian rapi dan indahnya dalam keseimbangan yang sempurna. Ia juga tidak tahu kapan terlahirnya alam semesta secara pasti, dengan cara bagaimana, berasal dari mana, serta apa pula yang akan terjadi kelak. Dan, masih begitu banyak pertanyaan yang tidak bisa terjawab dengan memuaskan. Semuanya membuat pandangan kita menjadi nanar dan lelah. Meskipun kita telah berulang-ulang mencoba memahaminya, tetap saja tidak bisa. Sebab kita hanya menggunakan 'mata imajiner' yang terbatas.", ucap ayah menjelaskan. Aku memejamkan mata. Aku mulai memahami maksud ayah. "Bukan hanya pada makrokosmos, pada alam mikrokosmos pun para ilmuwan menemukan batas yang tak kalah 'mengerikan'. Yang di balik batas itu manusia yang menyebut dirinya pakar, juga mulai tidak paham. Dulu, manusia mengatakan bahwa benda di alam semesta ini tersusun oleh bagian terkecil yang disebut atom. Kata atom memang berarti tidak bisa dibagi lagi. Berasal dari bahasa Yunani 'atomos' yang berarti tidak bisa dibagi lagi. Namun kemudian, manusia mulai tertipu, ketika menemukan kenyataan bahwa atom ternyata masih bisa dibagi menjadi inti atom dan elektron-elektron. Inti atom 135

bagaikan matahari dalam tata surya kita, sedangkan elektron bagaikan planetplanetnya. Semua benda ternyata tersusun dari inti dan elektron-elektron. Sampai di sini sebenarnya manusia mulai merasakan adanya misteri di balik inti atom. Benarkah inti atom juga tidak bisa dibagi lagi. Penemuan energi nuklir pada abad dua puluh membuktikan bahwa inti pun ternyata bisa dipecah lagi menjadi partikel-partikel sub atomik seperti proton dan neutron. Lebih jauh, kemudian diketahui bahwa neutron juga bisa dibagi menjadi proton dan elektron. Dan seterusnya kemudian diketahui bahwa bahwa partikel-partikel sub atomik itu terdiri dari 'pilinan' energi yang disebut sebagai Quark. Jadi sampai sekarang, para pakar atomik masih terbengong-bengong dengan kenyataan ini. Bahwa, ternyata benda di alam semesta ini bisa dibagi-bagi dalam ukuran yang tak terbatas kecilnya. Dan ketika dipecah-pecah lagi semakin kecil, tibatiba sifat bendanya hilang berubah menjadi energi. Hal ini mulai tampak pada elektron. Elektron adalah salah satu jenis partikel yang memiliki dua sifat yang membingungkan. Kadang tampak sebagai materi. Sedangkan pada waktu yang lain tampak sebagai energi. Ini, tentu saja sangat membingungkan. Karena, materi dan energi adalah dua eksistensi yang berlawanan. Bagaimana mungkin ada sesuatu yang bisa memiliki sifat berlawananan sekaligus. Materi adalah kuantitas, sedangkan energi adalah kualitas. Saking bingungnya mengklasifikasikan elektron ini kuantitas ataukah kualitas, akhirnya para pakar menyebutnya sebagai sifat dualitas. Jadi, dalam skala mikrokosmos pun manusia mengalami 'kebingungan' yang sangat substansial. Kemampuan mata imajiner dan kesadaran rasionalnya membentur dinding tebal yang tidak bisa ditembusnya. Tiba-tiba ada suatu batas yang di balik batas itu mereka tidak paham. Di saat itulah sebenarnya kesadaran rasional telah kalah dan memunculkan kesadaran baru, yaitu Kesadaran Jiwa atau kesadaran spiritual.", ucap ayah menjelaskan. 136

Dheg... Hati ini seperti dipalu godam. Tak terasa seluruh urat-urat dan syaraf di tubuhku menegang. Keringat dingin keluar. Aku mulai memahami ucapan-ucapan ayah. "Yah... a.. apakah akal saja tidak cukup yah?", tanyaku spontan. "Nak, ada akal yang belum sempurna, dan ada akal yang sudah sempurna. Akal yang belum sempurna adalah akal yang belum bisa menangkap hikmah, sebagaimana akal yang sudah sempurna. Akal yang sempurna adalah yang telah bisa merangkaikan seluruh komponen akal yang berkaitan dengan panca inderanya, atau kesadaran inderawinya, berhubungan dengan khasanah keilmuan empirik, atau kesadaran rasionalnya, dan juga tersambung dengan hati sebagai sensor kepahaman, atau kesadaran jiwa. Kepahaman hati lebih bersifat holistik, atau menyeluruh. Di dalamnya terkandung makna-makna yakni mengamati dengan panca indera, berpikir secara rasional, dan memahami. Itulah yang disebut sebagai menggunakan akal.", jawab ayah sambil tersenyum. "Bagaimana mungkin kita bisa membuktikan keberadaan batas batas alam semesta, sementara usia peradaban manusia tidak cukup untuk membuktikannya? Bukankah alam semesta ini sudah berusia miliaran tahun, sementara peradaban manusia baru puluhan ribu tahun? Demikian pula, diameter alam semesta itu demikian besarnya, sehingga kalau pun ada batasnya kita tidak pernah bisa menjangkau wilayah yang berjarak miliaran tahun cahaya itu. Meskipun hanya lewat pandangan mata. Apalagi, ingin memahami apa-apa yang ada di luar batas alam semesta itu. Ada sesuatu yang 'Maha Besar' yang 137

menghadang 'penglihatan' kita lebih jauh yang sekedar menggunakan mata imajiner dan rasionalitas. Juga, agaknya kita tidak akan bisa membuktikan batas-batas mikrokosmos secara mendetil karena keterbatasan kemampuan peralatan dan 'penglihatan' manusia. Semakin kecil suatu benda, semakin sulit untuk menentukan posisinya. Ada suatu ketidakpastian yang demikian besar ketika kita ingin sekadar menentukan posisi suatu partikel, sebagaimana telah dibuktikan oleh Werner Heisenberg, salah seorang ilmuwan ternama, lewat teori Ketidakpastiannya. Apalagi, untuk membuktikan keberadaan benda terkecil, agaknya bakal menjadi mimpi belaka. Sebab pada skala terkecil keberadaan benda itu telah muncul kerancuan yang membingungkan antara materi dan energi. Antara kuantitas dan kualitas. Antara 'nyata' dan 'maya'. Bahkan antara 'ada' dan 'tiada'. Manusia dihadang oleh sesuatu yang 'Maha Halus' dan misterius untuk mengeksplorasi apa-apa yang ada di balik kehalusan struktur materi dan energi.", lanjut ayah. Aku merinding mendengar penjelasan ayah. "Nak, orang-orang yang hanya berkutat pada pemikiran materi dan energi belaka tidak akan pernah menemukan esensi kehidupan. Kita tidak pernah tahu kenapa jantung kita terus berdenyut sepanjang hayat. Kita juga tidak pernah tahu kenapa organ-organ seperti paru-paru, liver, ginjal, sumsum tulang belakang, otot, darah, sel beserta kromosom, rantai genetika, dan lain sebagainya mesti ada. Kita juga tidak tahu kenapa kita bisa berpikir, memahami, menganalisa, dan menyimpulkan. Dan yang lebih misterius lagi kenapa kita memiliki 'kehendak' untuk hidup, untuk beraktivitas, untuk menjalani kebaikan dan keburukan. Dan seterusnya, dan seterusnya. Dari manakah munculnya kehendak itu? 138

Di sini, kembali kita dihadang oleh sebuah kekuatan yang "Maha Hidup' dan 'Maha Berkehendak' yang menjadi sumber dari kehidupan itu sendiri. Mata imajiner dan rasio kita lagi-lagi tidak mampu menangkap 'sosok' di balik kehidupan itu. Kecuali kita menggunakan mata hati dalam memahaminya. Mata hati bekerja tidak hanya berdasarkan inderawi. Juga tidak hanya bekerja berdasarkan ilmu empirik. Tapi bersandar pada kejujuran dan rendah hati, kehendak menuju pada kebenaran.", lanjut ayah. Aku menjadi semakin tertunduk. Aku seperti masuk ke alam lain saat mendengar dan mencoba memahami penjelasan ayah. Rasanya, setiap angin yang menyentuh kulit ini menjadi begitu terasa. Bahkan suara-suara di sekelilingpun terasa semakin jernih dan jelas. "Kesadaran jiwa, memang sangat berkait dengan kejujuran hati. Bukan sekadar kepintaran dan kecerdasan pikiran. Hati yang jujur dan hati yang mencari kebenaran, dengan diawali dengan niat yang bersih. Itulah kuncinya. Sepintar apa pun, kalau hatinya 'buta', tidak akan bisa melihat kenyataan.", ucap ayah. Aku merasakan pundakku ditepuk perlahan oleh ayah. "Itulah kesadaran jiwa, yakni sebuah kesadaran yang demikian tajam... luas... sekaligus lembut...", ucap ayah. Aku membuka mataku. Aku melihat ayah menatapku dengan lembut. "Apa yang kamu dengar malam ini, renungkanlah, resapkanlah. Karena nanti ini akan menjadi kunci pembuka latihanmu besok di gunung.", ucap ayah.

*** 139

BAB 23

SIAPA MEMAHAMI APA Pagi ini suasana alam benar-benar indah. Di kanan kiri terlihat pepohonan hijau nan rindang. Gunung Ciremai pun terlihat begitu kokoh berdiri. Terdapat awan yang mengelilingi puncaknya. Menambah keanggunan gunung. Apalagi sinar mentari yang menyeruak menyinari dengan tegas, seakan tak mau dihalangi, seakan tak mampu dihalangi. Di depan, kendaraan dari arah yang berlawanan melintas. Membelah angin. Aku duduk bersama ayah di dalam mobil Suzuki Karimun Estillo hitam yang sedang melaju. Ayah sendiri yang menyetir mobilnya. Pagi ini kami akan menuju gunung, tempat dimana kami akan berlatih. Entah latihan seperti apa, aku sendiri tidak tahu. Kami membawa cukup banyak barang-barang. Aku sendiri tidak tahu barang-barang apa yang dibawa oleh ayah. Saat aku menanyakannya, hanya dijawab bahwa barang-barang ini nanti akan berguna untuk latihanku. Setelah kurang lebih hampir dua jam perjalanan, mobil yang aku tumpangi berbelok ke kanan, menuju arah Linggarjati. Jalanan cukup sepi. Udara juga lebih dingin dari sebelumnya. Tidak berapa lama, mobil pun berbelok ke kiri, memasuki sebuah jalan kecil yang hanya cukup untuk satu mobil saja. "Sebentar lagi sampai...", ucap ayah sambil tetap menyetir. Aku mengangguk. Mataku masih melihat kesana-kemari. Pemandangan indah ini sungguh sangat luar biasa. Perumahan penduduk pun sepertinya sudah mulai jarang. 140

Kira-kira sepuluh menitan kemudian ayah berbelok ke arah kanan. Dan menghentikan mobilnya persis di dekat sebuah pohon besar. Di sekitar pohon itu terdapat area yang cukup luas untuk parkir mobil. Tidak nampak ada perumahan penduduk didekat ayah berhenti. Hanya ada pohon-pohon pinus, dan pohon-pohon lain. Di belakang pepohonan besar itu ada sebuah gundukan tanah yang cukup tinggi, menghalangi pandanganku untuk melihat ada apa di belakangnya. Hanya terlihat ada jalan setapak yang tampaknya juga jarang dilewati manusia. Aku membuka pintu mobil, lalu keluar dari mobil. Berdiri tegak, memejamkan mata, dan menghirup udara pagi yang sangat menyegarkan. Paru-paruku terisi penuh oleh udara. Rasanya benar-benar segar. Daun-daun yang menghijau, beberapa semak masih agak basah oleh embun. Aku menoleh ke arah ayah. Aku melihat ayah juga sudah keluar dari mobil dan sudah mulai membuka bagian belakang dari mobil untuk mengeluarkan barangbarang. Setelah semua barang dikeluarkan dan diletakkan di tanah, ayah kemudian mendekatiku. "Disinilah tempatnya kita akan berlatih...", ucap ayah. "Sebelumnya, kita berdoa dulu kepada Allah SWT agar memberikan kita keselamatan dan kemudahan di dalam berlatih. Setelah itu, tebarkan dulu getaran sebagai salam damai dan niat baik untuk alam disini.", lanjut ayah. Aku mengangguk. Meskipun aku belum paham mengapa harus menebarkan getaran dengan salam damai dan niat baik. Dengan masih tetap berdiri, aku merapatkan kedua tanganku. Menarik nafas halus, perlahan, dan kemudian memejamkan mata untuk berdoa kepada Allah SWT. Aku melihat ayahpun melakukan hal yang sama. 141

Setelah itu aku menebarkan getaran ke sekeliling dengan rasa damai dan persahabatan untuk alam disitu, sesuai dengan apa yang ayah perintahkan. Aku bisa merasakan hawa getaran ayah di dekatku. Perlahan, aku membuka mata. Eh, kok rasanya alam menjadi semakin jernih saja. Apakah ini perasaanku saja atau bagaimana? Setelah berdoa dan menebarkan getaran sebagai salam damai ini, rasanya agak berbeda dibanding saat aku datang tadi. Aku melihat ayah tersenyum. "Alam menerima kita...", ucap ayah. Aku belum mengerti maksud ayah dengan mengatakan 'alam menerima kita'. "Bukankah saat kita sudah datang kesini, alam juga sudah menerima kita?", gumamku dalam hati. Tampaknya ayah memahami kebingunganku. Ia menepuk pundakku. "Nanti... kamu akan mengerti...", ucap ayah sambil tersenyum. "Ayo, sekarang bantu ayah untuk memasang tenda...", lanjut ayah. "Ok yah...", jawabku dengan bersemangat. Aku membantu ayah memasang tenda yang ukurannya sedang, cukup untuk tidur dua atau tiga orang. Menyiapkan hal-hal lain seperti memasang perapian, merapihkan tanah, dan sebagainya. Kira-kira satu jam kemudian semua persiapan telah selesai. Aku duduk di dekat tenda. Dahiku agak berkeringat, meski tidak banyak. Rasa lelah yang sedikit ini dikalahkan oleh suasana alam yang luar biasa segar. 142

"Alhamdulillah... selesai...", ucap ayah. Ayah juga duduk di dekat tenda. Tangannya kemudian meraih sebotol air mineral, kemudian melemparkannya kepadaku perlahan. Aku menangkapnya dengan sigap, dan langsung membuka tutup botol. Meminumnya. Air mineral yang aku minum memasuki tenggorokanku dengan lancar. Menambah kesegaran tubuh ini. Aku meneguk beberapa kali, hingga lebih dari setengahnya. Setelah itu aku membersihkan beberapa tetesan air dari sudut bibirku dengan lengan kananku. Tanpa sadar, mataku memandang ke samping kanan tenda, disitu aku melihat ada beberapa benda. Sebagian nampak asing, dan sebagian lagi tidak. Ada besi untuk dudukan saat melakukan pematahan, ada juga beberapa gagang pompa besi berwarna hijau bertuliskan R3, bahkan lampu neon panjang berwarna putih juga ada. Ada beberapa kertas warna, dan tutup mata seperti kacamata tetapi terbuat dari kain berwarna hitam pekat. Ada juga lakban berwarna hitam dan kapas. Yang menarik, aku melihat ada mainan anak berbentuk angka dan huruf. Mainan yang sering aku lakukan waktu kecil, saat aku belajar mengenali huruf dan angka. "Bagaimana? Sudah siap untuk latihan?", tanya ayah sambil menatapku. Aku mengangguk dengan semangat. "Siap yah!", jawabku dengan mantap. "Baiklah kalau begitu. Hingga menjelang maghrib ini, kita akan berlatih Nafas Pengolahan, kemudian dilanjutkan dengan Nafas Pembinaan. Tapi kamu akan melakukannya dengan pemahaman.", ucap ayah. "Dengan pemahaman?", tanyaku dengan wajah heran.

143

"Benar. Nanti, ayah akan membagi dua. Pertama, kamu melakukan empat belas bentuk Nafas Pengolahan dengan urutan seperti biasa dimana masing-masing bentuk kamu lakukan satu kali. Kamu melakukan seperti biasa, dari mulai bentuk kesatu, kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya hingga bentuk keempatbelas.", jawab ayah. "Kedua, pada bentuk Nafas Pengolahan yang sama, kamu akan melakukannya dengan urutan terbalik. Mulai dari bentuk keempatbelas, ketigabelas, keduabelas, kesebelas, dan seterusnya hingga bentuk kesatu. Ayah juga akan memandumu dengan memberimu aba-aba. Paham?", ucap ayah. Aku mengangguk. "Setelah itu, ayah akan menjelaskan makna dari Nafas Pengolahan. Makna ini akan menjadi kunci pembuka untuk pemahamanmu pada bentuk nafas jenis ini.", lanjut ayah. "Anu... yah... Aa masih belum mengerti, apa maksudnya dengan pemahaman?", tanyaku. Jujur, aku masih belum mengerti maksud ayah. Aku melihat ayah tersenyum. "Seberapa sering kamu melakukan Nafas Pembinaan?", tanya ayah. "Sering yah. Hampir tiap hari Aa melakukan latihan Nafas Pembinaan.", jawabku. "Tahukah kamu mengapa bentuk nafas pembinaan yang pertama, yakni bentuk Garuda, seperti itu gerakannya?", tanya ayah. Dheg... 144

Aku terkejut. "Eh, benar juga. Aku melakukan itu tiap hari, tapi aku tidak paham mengapa bisa begitu?", gumamku dalam hati. Aku menggeleng. "Aa belum tahu yah...", jawabku spontan. "Daripada bingung, coba kamu lakukan dulu Nafas Pembinaan, tapi cukup bentuk Garuda saja.", pinta ayah. Aku mengangguk. Aku maju beberapa langkah, lalu duduk sila dengan tubuh menghadap ke arah ayahku. Kedua telapak tangan aku rapatkan di depan dada. Saling mendorong, kemudian membungkukkan badan sambil membuang nafas dari hidung hingga 'habis', dan menahannya beberapa detik sebelum kemudian menarik nafas kembali dari hidung bersamaan dengan tubuhku aku tegakkan kembali. Setelah itu aku melakukan bentuk nafas garuda, yakni bentuk pertama dari olah nafas Pembinaan. Terdengar jelas suara tulang pangkal lengan dan siku yang berderak. Saat tangan terbuka merentang penuh, terasa juga derak tulang dada ini berbunyi. Krrk... krrk.. krrtk..kkkrtk.. Kira-kira satu menit aku melakukan bentuk ini. Dan diakhiri dengan merapatkan kembali telapak tangan di depan dada untuk kemudian melepasnya perlahan sambil membuang nafas. Aku membuka mata. Keringat sebesar jagung membasahi dahiku. "Bisakah kamu menjelaskan apa dibalik bentuk ini, nak?", tanya ayah. 145

Aku menggeleng. "Aa hanya bisa menjelaskan bentuknya saja yah. Arah lintasannya, bentuk tangannya, gerakannya, dan pola nafasnya. Tapi apa dibalik itu, Aa tidak tahu yah...", jawabku malu-malu. "Benar nak, hingga pada tahap itu, kamu sudah benar. Kamu sama sekali tidak salah. Akan tetapi, akan jauh lebih baik kalau kamu memiliki dasar pijakan mengapa itu kamu lakukan. Dasar pijakan ini akan bermanfaat untuk naik ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Ketahuilah, saat kamu melakukan Nafas Garuda tadi, terjadi banyak hal pada tubuhmu. Terutama pada aliran tenaga getaran. Saat kamu menekan kedua telapak tangan di depan dada, saling mendorong dengan kuat, maka terjadi 'penutupan' pada simpul dadamu, pada pangkal lengan, pada siku, hingga pada pergelangan tangan. Kamu 'mengunci' lokasi tersebut. Tapi sebaliknya, pada simpul punggungmu terjadi 'pembukaan'. Itulah sebabnya, saat pertama kali kamu menarik nafas, kamu harus menekan dengan kuat kedua telapak tanganmu di depan dada sebelum melakukan bentuk ini. Saat kemudian tanganmu mendorong perlahan ke depan, saat itu terjadi 'ledakan' tenaga pangkal lenganmu, dan pada siku. Simpul-simpul lengan yang semula kamu 'kunci', kamu coba untuk 'buka'. Aliran 'ledakan' tenaga yang terjadi di dalam ini terus menjalar hingga ke pergelangan tangan. Itulah yang menjadi penyebab timbulnya bunyi derak pada tulangmu tadi. Dalam bahasa Biologi, terjadi pelepasan ATP yang diatas normal pada kondisi ini. Ketika tanganmu terbuka sempurna ke depan selebar bahu, maka seluruh simpul pada lengan menjadi 'terbuka' penuh. Akibatnya, aliran tenagamu mengalir deras dari pangkal lengan, siku, hingga ke pergelangan tangan. Agar aliran ini tidak 'menembus' keluar telapak tangan, maka kamu 'menguncinya' dengan cara menarik pergelangan tanganmu ke belakang. Efeknya, aliran tenaga hanya mencapai pangkal pergelanganmu saja. Aliran tenaga pada kondisi ini bersumber pada simpul punggungmu yang sedang 146

'terbuka'. Kamu akan merasa tanganmu menjadi demikian bertenaga, keras, panas, pada seluruh bagiannya. Luar dan dalam. Saat kamu merentangkan tanganmu kesamping dengan perlahan, dadamu akan terbuka. Disini akan terjadi kondisi 'pembukaan' pada simpul dada yang tadinya 'tertutup'. Simpul dadamu akan mulai mengalirkan tenaga pada pangkal lengan, siku, hingga pergelangan tangan. Tidak hanya itu, terjadi juga 'pancaran' dari simpul dadamu ke arah depan. Terjadi kondisi dua kali aliran, yakni dari simpul punggung yang masih terbuka, dan dari simpul dada yang baru terbuka. Ini akan menyebabkan aliran tenaga pada lenganmu menjadi hampir dua kali lipat. Pada rentangan tangan yang bergerak ke samping, terus hingga ke belakang hingga mencapai batas maksimal gerakan rentangan tanganmu akan menyebabkan simpul punggungmu mulai 'menutup'. Dan simpul punggungmu akan tertutup secara penuh saat rentangan tanganmu mencapai batas maksimal dimana kamu sudah tidak bisa merentangkan tanganmu lagi. Saat itu, kamu 'mengunci' simpul punggung. Sebaliknya, kondisi puncak ini menyebabkan dadamu menjadi demikian terbuka lebar, dan itu artinya terjadi 'pembukaan' pada simpul dadamu secara maksimal. Aliran tenaga pada lenganmu sepenuhnya berasal dari simpul dada ini. Itulah sebabnya pada kondisi puncak batas rentangan tanganmu di belakang ini, kamu harus menahan dulu beberapa detik. Tujuannya agar aliran tenaga dari simpul dadamu yang 'terbuka' penuh bisa mengalir maksimal dan pancaran getaran dari simpul dadamu memancar ke depan. Setelah itu, kamu kembali menutupkan rentangan tanganmu perlahan ke depan hingga sejajar dengan bahu. Pada kondisi ini, kamu perlahan 'membuka' kembali simpul punggungmu sekaligus perlahan 'menutup' simpul dadamu. Pada kondisi ini, aliran tenaga menjadi hampir dua kali lipat pada lenganmu, yakni yang berasal dari simpul punggung yang mulai 'terbuka' dan simpul dada yang mulai 'menutup'. Terakhir, kamu menarik kembali kedua tanganmu dengan merapatkan telapak tangan pada dada. Pada kondisi ini, kamu mulai 'mengunci' atau 'menutup' simpulsimpul pada lenganmu sekaligu juga simpul dadamu mulai 'tertutup' sepenuhnya, 147

sedangkan simpul punggungmu mulai 'terbuka' kembali. Lenganmu yang menekuk pada siku juga sekaligus 'menutup' atau 'mengunci' simpul pada siku, pergelangan, dan pangal lengan. Efeknya, aliran tenagamu menjadi tertarik ke dalam dan memusat di dalam tubuhmu. Paham?", jawab ayah dengan gamblang. Aku terkejut, sekaligus gembira mendengar penjelasan ayah. Ini sesuatu yang baru buatku. Wajahku tampak berbinar. Mendengar penjelasan ayah, rasanya aku mulai menangkap dan memahami sesuatu. "Aa paham yah!", jawabku dengan lantang. "Jelaskan...", pinta ayah. "Ini seperti kondisi 'kosong' dan 'isi' Saat pertama, aliran tenaga berasal dari simpul punggung yang 'terbuka'. Kemudian, terjadi hampir dua kali lipat aliran tenaga, yakni dari simpul punggung yang masih 'terbuka' dan simpul dada yang mulai 'terbuka'. Ini seperti kondisi 'kosong' pada simpul dada, dan 'isi' penuh pada simpul punggung. Pada gerakan rentangan bentuk garuda, terjadi kondisi 'isi' hampir dua kali lipat akibat kedua simpul yang 'terbuka' dan 'mulai membuka'. Pada bentuk rentangan tangan maksimal ke belakangan, simpul dada menjadi 'isi' penuh sedangkan simpul punggung menjadi 'kosong'. Saat mulai menutupkan kembali ke bentuk awal, terjadi kondisi 'isi' hampir dua kali lipat akibat kedua simpul yang 'terbuka' dan 'mulai membuka'. Terakhir, saat kembali ke bentuk awal, maka simpul dada kembali menjadi 'kosong' dan simpul punggung kembali menjadi 'isi'. Terjadi kondisi 'kosong-isi-kosong' pada simpul dada, dan kondisi 'isi-kosongisi' pada simpul punggung. Atau bisa juga 'tutup-buka-tutup' pada simpul dada, dan 148

'buka-tutup-buka' pada simpul punggung. Atau barangkali bisa juga disebut dengan 'kunci-buka-kunci' pada simpul dada, dan 'buka-kunci-buka' pada simpul punggung. Sementara aliran tenaganya mengalir penuh pada lengan hingga ke pergelangan. Dua kali dengan tingkat aliran tenaga hampir dua kali lipat dari dua simpul besar, yakni punggung dan dada. Pertama, saat membuka rentangan tangan, dan kedua saat menutup rentangan tangan. Tenaga tidak sampai keluar memancar karena 'dikunci' oleh gerakan pergelangan tangan yang ditarik ke belakang secara maksimal.", jawabku dengan bersemangat. "Bagus! Kamu sudah mulai memahami...", ucap ayah sambil tersenyum. "Ini hebat sekali yah!!", lanjutku sambil mengepalkan tangan. Semangatku bergelora. Ini benar-benar luar biasa. Aku seperti memahami sesuatu. Rasanya, aku memandang nafas pembinaan pada bentuk garuda ini menjadi berbeda. Ini benar-benar lain. Luar biasa. Dengan kunci pembuka penjelasan dari ayah ini, aku jadi bisa mengetahui bagaimana bentuk selanjutnya dari nafas pembinaan, yakni bentuk nafas Dorong Tarik, bentuk nafas Kombinasi Dorong Tarik, dan nafas Listrik. "Ayah coba test kamu... Kalau yang terjadi pada nafas garuda itu 'kosong-isikosong' atau 'tutup-buka-tutup' pada simpul dada dan 'isi-kosong-isi' atau 'bukatutup-buka' pada simpul punggung, itu artinya hanya satu kali simpul dada menjadi terbuka. Sedangkan simpul punggung mengalami dua kali kondisi terbuka. Bukankah ini tidak seimbang?", tanya ayah. Aku mengangguk mantap.

149

"Benar yah. Itu memang bisa disebut tidak seimbang. Tetapi, pada bentuk nafas pembinaan selanjutnya, yakni bentuk nafas Dorong Tarik, simpul dada-lah yang pertama kali dibukan dan digunakan untuk mengalirkan tenaga pada lengan. Nafas Dorong Tarik, dimulai dengan posisi tangan mengepal di samping pinggang dengan kepalan menghadap ke atas. Dada terbuka lebar, sedangkan punggung 'menutup', yakni otot belikat yang saling berdekatan. Bukankah ini berarti simpul dada yang 'terbuka' dan simpul punggung yang 'tertutup'. Sementara siku tertekuk menyebabkan terjadinya 'penguncian' pada siku dan pergelangan tangan. Pengejangan pada otot sayap, menyebabkan 'penguncian' pada lengan. Selanjutnya, kedua tangan yang mengepal ini didorongkan perlahan ke depan sambil diputar perlahan. Ketika mendorongkan kedua kepalan ini hingga tercapai kondisi lurus sempurna, akan terjadi 'pembukaan' pada simpul punggung dimana simpul dada sendiri menjadi 'menutup'. Aliran tenaga mengalir dari simpul dada, mengalir hingga ke ujung kepalan. Karena pergelangan tangan tidak ditarik seperti halnya pada nafas Garuda, maka aliran tenaga terus mengalir hingga ke kepalan tangan. Dan 'pengunciannya' adalah pada bentuk kepalan itu sendiri, yakni pada jari-jari tangan. Sehingga tidak memancar keluar. Kemudian gerakan kembali ke bentuk awal, yakni dengan menarik kembali kedua kepalan tangan ke samping pinggang. Ini akan membalik keadaan sebelumnya dan mulai 'membuka' kembali simpul dada dan 'menutup' simpul punggung. Jadi, kekurangan pembukaan simpul dada pada bentuk nafas Garuda menjadi tergantikan pada bentuk selanjutnya, yakni nafas Dorong Tarik. Pada bentuk nafas Garuda, pembukaan dimulai dari simpul punggung terlebih dahulu, sedangkan pada bentuk selanjutnya yakni nafas Dorong Tarik, pembukaan dimulai dari simpul dada terlebih dahulu. Ini akan mencapai kondisi keseimbangan pada 'kosong-isi' di kedua simpul.", jawabku dengan bersemangat. Aku mulai memahaminya. Aku melihat ayah mengangguk. 150

"Bagus, lalu bagaimana pada bentuk selanjutnya?", tanya ayah memancingku. "Pada bentuk selanjutnya, yakni bentuk Kombinasi Dorong Tarik, karena merupakan gabungan dari bentuk Garuda dan bentuk Dorong Tarik, maka akan terjadi kondisi yang seimbang yah!", jawabku mantap. "Tepat sekali!", ucap ayah. "Bagaimana dengan bentuk terakhir, yakni bentuk nafas Listrik?", tanya ayah. "Khusus untuk nafas Listrik, kedua simpul terbuka semua yakni simpul dada dan punggung. Tidak terjadi gerakan untuk 'menutup' atau 'membuka' simpulsimpul tersebut. Tapi justru yang terjadi adalah aliran tenaga dari kedua simpul pada kedua lengan dan seluruh tubuh. Kedua tangan ditekuk semua di depan dada. Ini sama dengan 'mengunci' aliran tenaga ke lengan. Jadi, jelas ini sudah seimbang yah...", jawabku. Aku melihat ayah mengangguk setuju. "Benar sekali, nak. Kesimpulannya, empat bentuk olah nafas pada Nafas Pembinaan ini sudah membawa keseimbangan yang baik. Silat yang kamu pelajari ini sangat istimewa. Luar biasa, bukan?", jawab ayah. Aku mengangguk. "Ini memang luar biasa yah...", ucapku membenarkan. "Sekarang, coba kamu lakukan sekali lagi Nafas Pembinaan empat bentuk, yakni bentuk Garuda, bentuk Dorong Tarik, bentuk Kombinasi Dorong Tarik, dan bentuk Listrik. Lakukan masing-masing satu kali saja. Lakukan dengan pemahaman...", pinta ayah. 151

Aku mengangguk. Bersemangat. Aku memulai nafas Pembinaan empat bentuk seperti yang diperintahkan ayah. Saat aku melakukan ini, rasanya benar-benar berbeda. Olah nafas yang sama, nafas Pembinaan, yang sering aku lakukan hampir setiap hari, rasanya menjadi begitu lain setelah mendengar penjelasan ayah. Rasanya benar-benar berbeda. Sungguh sangat berbeda. Ini luar biasa. Kira-kira tujuh menitan, aku sudah selesai melakukan olah nafas ini. Tubuhku terasa begitu segar. "Berbeda bukan rasanya saat kamu melakukan tanpa pemahaman dan dengan pemahaman?", tanya ayah sambil tersenyum. Aku mengangguk. "Sangat berbeda yah...", jawabku. "Tapi kenapa ayah tidak pernah menjelaskan ini sejak awal?", lanjutku. "Tentu saja tidak nak. Ketahuilah, yang ayah ajarkan dulu padamu adalah metode klasik yang umumnya terjadi pada hampir semua beladiri tradisional. Dikatakan klasik karena murid melakukan latihan tanpa penjelasan lengkap dari gurunya. Alasannya karena yang berlatih adalah tubuh dan 'rasa'-nya. Hal itu ibarat masuk ke ruangan gelap. Sampai sang murid menemukan sendiri pintu ke ruangan berikutnya. Kalau tidak latihan, tentu saja tidak mampu mendekat ke pintu selanjutnya, ya tidak akan dibukakan pintu.

152

Ketika rasa sudah muncul, tentu saja penjelasan detail akan sangat mudah ditangkap dan dimaknai. Seperti halnya ketika kamu bisa menjawab pertanyaan ayah barusan. Tentunya setelah kamu melakukan olah nafas pembinaan sekian banyak, tubuhmu akan membentuk 'rasa' yang kamu ketahui sendiri. Meskipun seringkali menjadi pertanyaan, tapi 'rasa' ini akan tetap tinggal pada dirimu. Beberapa mungkin buntu pada penjelasan. Tetapi, ketika ketemu dengan 'pintu' yang cocok, maka semua itu akan mengalir lancar. Hanya masalah waktu saja. Kalau bicara waktu, tentu saja bicara kesabaran. Sabar ataukah tidak kamu berlatih hingga tubuhmu menemukan 'rasa'. Itulah sistem klasik nak.", ucap ayah. Aku mengangguk. "Nanti, akan menjadi sangat menarik ketika kamu melakukan olah nafas ini dengan getaran... Yang tadi itu hanyalah salah satu dari sekian banyak penjelasan dari sebuah sudut pandang. Ada sudut pandang yang lain saat nanti ayah jelaskan nanti. Kita akan bahas itu berikutnya. Sekarang, istirahat dulu. Sudah menjelang Dhuhur. Selepas sholat, kita lanjutkan untuk latihan selanjutnya...", ucap ayah. "Baiklah yah...", jawabku.

***

153

BAB 24

SIAPA MENGOLAH APA Kami baru saja selesai melaksanakan sholat Dhuhur di samping tenda. Mengambil air wudhu di sungai di belakang tenda tempat aku dan ayah menginap. Aku harus melewati jalan setapak dulu sekitar lima puluh meteran, barulah menemukan sungai. Sungai yang cukup lebar, dengan aliran air yang cukup deras. Riak gelombangnya terlihat sekali. Meskipun deras, tapi air sungai itu jernih sekali, dan dingin menyegarkan. Bebatuan di dasarnya terlihat jelas. Beberapa ikan terlihat berenang kesana kemari. Pohon-pohon besar mengelilingi sungai, seolah ingin melindungi sungai itu. Tidak jauh dari sungai itu, terlihat ada sebuah air terjun kecil. Meski kecil, tapi curahan airnya tampak kuat. Di dekatnya terdapat batu-batuan sebesar kerbau. Untuk mencapai batu besar di dekat air terjun kecil itu, seseorang tampaknya harus berenang atau berjalan dengan meniti bebatuan kecil yang menyembul. Tempat yang memang indah. Benar-benar indah. Ayah kemudian berjalan menuju depan pintu masuk tenda, lalu duduk pada tikar yang tadi kami gunakan untuk beristirahat. Sementara aku sendiri berjalan lebih ke depan, kemudian duduk bersila menghadap ayah. "Mari kita teruskan nak...", ucap ayah. Aku mengangguk. 154

"Kembali pada Nafas Pembinaan tadi. Kalau kamu perhatikan, terjadi kondisi buka-tutup pada simpul punggung dan simpul dada. Terjadi juga kondisi 'kuncilepas' pada sendi lengan, sendi siku, dan pergelangan tangan, hingga jari. Ini terjadi pada tiga bentuk pertama, yakni bentuk Garuda, Dorong Tarik, dan Kombinasi Dorong Tarik. Sedangkan pada nafas Listrik, kamu membuka simpul dada dan simpul punggung. Kedua simpul ini dibiarkan terbuka. Sehingga tidak heran, setelah kamu melakukan olah nafas ini, maka tubuhmu akan terasa segar, seolah teraliri oleh energi yang besar. Kamu menjadi bersemangat dan 'hidup'. Pada empat bentuk nafas pembinaan ini, tenagamu mengalir tiada henti di seluruh tubuh bagian atas dengan cara 'menutup' dan 'membuka' dua simpul besar, yakni dada dan punggung. Disitulah sumber utama tenagamu berasal saat melatih nafas jenis ini. Kemudian kamu mengolahnya dengan menggerakkan kedua tanganmu mengikuti setiap bentuk yang ada. Aliran ini kamu kendalikan dengan cara mengunci atau membuka persendian pada lengan. Sehingga tenaganya akan mengikuti bagaimana posisi dan bentuk tanganmu itu, bagaimana kamu melakukan 'buka' dan 'kunci' pada persendian, dari mulai pangkal lengan, siku, pergelangan tangan, hingga jari-jari. Perlu kamu ketahui nak, meski tanpa pengejanganpun, kalau kamu melakukan dengan benar, maka lenganmu akan mengeras dengan sendirinya. Keras luar dan dalam. Tubuhmu akan terbiasa dengan ledakan-ledakan tenaga di dalam tubuh. Otot dan syarafmu akan terbentuk dengan alamiah. Nadimu juga akan semakin menguat dan semakin lancar. Dengan olah nafas ini, kamu dikatakan sedang membina tubuh bagian atas. Menyiapkan kedua simpul besar agar bisa menghasilkan tenaga, dan mengalirkan pada bagian tangan yang mengikuti bentuk gerakan. Efeknya, akan ada pancaran getaran dari simpul dadamu dan punggungmu akibat kamu buka. Pada beberapa kasus, seseorang yang baru melakukan ini, bisa saja tiba-tiba mengalami kondisi seperti terpental ke belakang atau seperti terdorong ke depan, dan beberapa bisa saja pingsan karenanya. Sebab pancaran getaran ini nyata. Bisa berinteraksi dengan alam. Terutama ketika yang melakukannya benar155

benar konsentrasi dan menghayati. Itulah sebabnya dulu, saat kamu pertama kali belajar olah nafas ini, ayah memintamu untuk melakukan ini dengan posisi duduk. Setelah mulai terbiasa dan mulai bisa beradaptasi, barulah dilakukan dengan berdiri.", lanjut ayah. Aku mengangguk paham. Aku mulai memahami mengapa dulu ayah menyuruhku melakukan nafas pembinaan ini dengan duduk. Meskipun saat itu tidak ada yang terjadi apapun padaku seperti yang ayah khawatirkan. Setelah sekian waktu, barulah aku diperbolehkan melakukan dengan berdiri. Rupanya ada sesuatu yang ditimbulkan dari olah nafas jenis ini. "Anu... yah, tadi kalo tidak salah ayah bilang melakukan nafas pembinaan dengan getaran. Itu maksudnya gimana yah?", tanyaku memberanikan diri. "Begini, ada bentuk olah nafas yang kasar, ada yang halus. Ada yang tanpa getaran, dan ada yang dengan getaran. Akan berbeda nanti pada pemahamannya. Saat ini, pemahaman seperti tadi itu dulu yang kamu harus resapkan dan ingat baikbaik. Nanti, saat kamu sudah memahami getaran, ayah akan menjelaskan dengan pemahaman yang baru.", jawab ayah. Aku mengerutkan kening. "Jadi, maksud ayah, bentuknya sama tapi pemahamannya yang berbeda?", tanyaku kembali. Ayah tersenyum. "Benar nak. Bentuk yang sama, tapi dengan pemahaman yang berbeda. Ketika masuk pada pemahaman yang berbeda, maka hasil akhirpun bisa menjadi sedemikian berbeda. Ketika masuk pada kesadaran yang berbeda, maka hasil akhir 156

bisa secara radikal berbeda. Seperti halnya saat ayah menjelaskan mengenai kesadaran inderawi, kesadaran rasional, dan kesadaran jiwa. Seperti yang ayah jelaskan sebelumnya kalau seorang yang belajar beladiri akan merasakan olah rasa dan olah raga menjadi satu kesatuan. Dan memang olah rasa bukanlah matematika, sebab ilmu beladiri disebut 'Martial Art' dan bukan Martial Science.", jawab ayah. Aku mengangguk, mulai memahami penjelasan ayah. "Ada yang ingin ditanyakan lagi?", tanya ayah. "Anu... yah, dimana posisi mengolah itu terjadi?", aku kembali bertanya. "Ketahuilah nak, saat kamu melakukan bentuk nafas jenis ini, terutama dengan pengerasan maksimal pada bentuknya, maka udara yang kamu hirup akan cepat habis. Bisa tiga sampai lima kali lipat dari biasanya. Karena terjadi pengejangan otot maksimal. Kamu hanya menggunakan sedikit sekali udara yang tersisa untuk melakukan olah nafas jenis ini. Hal ini menyebabkan yang kamu olah pada saat nafas dada-perut benar-benar energi tubuh, dan bukan lagi sekedar perpindahan udara semata. Apa yang dihasilkan darinya adalah aktifnya secara dahsyat simpul utama perut yang dibawah pusar dan simpul dada, serta yang berada diantara itu.", jawab ayah. "Ada lagi?", tanya ayah. Aku menggeleng. "Belum yah. Sejauh ini Aa cukup bisa memahami penjelasan ayah.", jawabku. "Baiklah. Jika tidak ada yang ingin ditanyakan lagi, kita akan mulai dengan Nafas Pengolahan. Ayah rasa, ayah harus menjelaskan ini terlebih dahulu, karena ini 157

akan menjadi dasar dari latihan pembentukan tenagamu. Sesuatu yang nanti kamu manfaatkan ke depannya.", ucap ayah. "Nafas Pengolahan, kalau dilihat dari sifatnya akan terbagi menjadi tiga tahap, yakni tahap 'membuka', tahap 'menutup', dan tahap dinamis atau 'buka-tutup'. Tahap 'membuka' ada pada level yang disebut dengan level Dasar. Meliputi empat belas bentuk olah nafas yang dimulai dari urutan bentuk pertama, kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya hingga bentuk keempat belas. Tahap 'menutup' ada pada level yang disebut dengan level Balik. Meliputi empat belas bentuk olah nafas level dasar yang dimulai dengan urutan terbalik yakni urutan bentuk keempatbelas, ketigabelas, keduabelas, kesebelas, dan seterusnya hingga bentuk kesatu. Plus ditambah beberapa bentuk tambahan. Tahap dinamis atau tahap 'buka-tutup' ada pada level yang disebut dengan level Kombinasi dan level Khusus. Agak berbeda pada level Khusus, ada pengembangan lain berupa spesialisasi pada bentuk yang spesifik. Ayah akan jelaskan nanti, saat kamu masuk ke dalamnya agar tidak bingung.", lanjut ayah. "Sampai sini bisa dipahami?", tanya ayah. Aku mengangguk. "Paham yah...", jawabku singkat. "Level Dasar, mengapa disebut dengan tahap 'membuka'? Yakni karena bentuk dan posisi gerakan saat melakukan ini tidak memiliki gerakan untuk 'mengunci' aliran tenaga, baik pada simpul kecil pada tubuh maupun pada simpul besar. Lengan yang lurus, kaki yang lurus, tulang punggung yang menekuk ke dalam dan keluar, serta posisi tubuh yang lurus karena ditopang tangan, semuanya dilakukan dengan 'membuka' simpul-simpul tubuh. Aliran tenaga akan mengalir ke seluruh tubuh dan 158

bahkan memancar keluar. Pada level Dasar tingkat akhir, diperlukan medium beban berupa batu bata atau beton cor berbentuk batu bata yang harus kamu cengkram dengan keras. Beratnya minimal dua kilogram. Kamu sudah pernah merasakan ini, bukan?", ucap ayah. Aku mengangguk. "Berikutnya, level Balik. Mengapa disebut dengan tahap 'menutup'? Pertama, karena urutan olah nafasnya dimulai dari yang paling akhir, atau bentuk keempat belas, dan diakhiri dengan bentuk kesatu. Ini bermakna sebagai proses pembalikan. Kedua, karena bentuk dan posisi gerakan saat melakukan ini memiliki gerakan untuk 'mengunci' aliran tenaga. Aliran tenaga akan memusat ke dalam. Tidak lagi keluar seperti halnya pada level dasar. Pada level ini, kamu harus menggunakan medium beban berupa pot yang terbuat dari beton cor yang berlubang lima untuk ujung jari tanganmu mencengkram. Yang masuk pada lubang pada pot ini hanyalah satu ruas jarimu saja. Beratnya delapan kilogram. Level Kombinasi, mengapa disebut dengan tahap dinamis atau 'buka-tutup'? Yakni karena bentuk ini semuanya dilakukan dengan 'membuka' dan 'menutup' simpul pada lengan, dengan cara menggerakkan tangan sesuai dengan bentuk gerakan secara dinamis. Pada level ini tahap awal, kamu harus menggunakan medium berupa halter pinggir seberat empat belas kilogram. Kamu menggerakkan lenganmu ke atas, ke bawah, dengan interval tertentu dan sesuai dengan bentuknya. Seperti orang yang sedang melakukan olahraga angkat berat. Tapi bedanya, bebannya tidak seluruhnya kamu angkat, tapi kamu olah di lenganmu secara berulang-ulang. Saat lengan mengangkat beban, maka siku akan tertekuk, dan ini disebut dengan 'menutup' atau 'mengunci', sedangkan saat lenganmu turun ke bawah, maka siku akan lurus, dan ini disebut dengan 'membuka'. Jadi, akan terjadi kondisi 'buka-tutup'. Itulah tahap dinamis.", ucap ayah. Aku mendengarkan dengan serius. 159

"Anu... yah, bagaimana dengan level Khusus?", tanyaku memberanikan diri. Ayah tersenyum. "Itu nanti saja, kalau sudah saatnya...", jawab ayah. Aku ikut tersenyum sambil garuk-garuk kepala yang tidak gatal. "Setiap bentuk pada nafas pengolahan ini, dilakukan dengan menahan nafas dan mengalirkan nafas pada dada dan perut secara bergantian. Setiap kondisi menahan nafas di dada ataupun di perut disebut dengan saf. Lama setiap saf pada mulanya lima sampai tujuh detik. Batas maksimal tujuh saf, artinya total menahan nafas menjadi tiga puluh lima atau empat puluh sembilan detik, terdiri dari empat saf dada serta tiga saf perut. Kondisi dada-perut ini, akan menyebabkan simpul utama perut dan simpul dada menjadi sangat aktif. Juga termasuk simpul yang berada diantaranya.", ucap ayah. "Kalau fungsinya beban sendiri bagaimana yah?", tanyaku penasaran. Aku melihat ayah memandang ke sekeliling, lalu menunjuk sebuah batu yang berukuran agak besar di dekat pohon pinus, agak jauh dari tenda kami. Aku menoleh pada arah yang ditunjuk oleh ayah. "Nak, batu itu kira-kira beratnya sekitar sepuluh kilogram. Ayah minta kamu pindahkan batu itu kesini, lalu pindahkan kembali ke posisi semula. Lakukan terus selama lima belas menit. Ayah akan menghitung waktunya, dan menghitung berapa kali kamu memindahkan batu itu ke tempatnya semula.", pinta ayah.

160

Aku mengkerutkan kening. Meski aku tidak tahu apa maksud ayah, tapi aku menuruti apa yang ayah mau. "Baiklah yah... Akan Aa coba...", jawabku mantap. Aku berdiri dan membalik badan. Dari sudut mata, aku melihat ayah melihat pada jam tangan yang ada di lengan kirinya. Mungkin ayah sedang mengatur waktu menggunakan stopwatch. "Mulai...!", ucap ayah. Aku segera berjalan cepat ke arah batu yang diminta ayah. Mengangkatnya, lalu memindahkannya ke dekat tenda. "Satu...", ucap ayah. Setelah itu, mengangkatnya kembali, lalu memindahkannya ke tempat semula. "Dua...", ucap ayah. Ayah menghitung 'satu' saat aku mengangkat batu dan memindahkannya ke dekat tenda. Lalu menghitung 'dua' saat aku mengangkat batu dan mengembalikannya ke tempat semula. Kemudian aku mengangkatnya lagi, memindahkannya ke dekat tenda. Mengangkatnya kembali, lalu memindahkannya ke tempat semula. Terus saja seperti itu. Aku tidak tahu sudah berapa lama, yang aku dengar hanyalah hitungan ayah. "Dua puluh lima... Lumayan...!", ucap ayah dengan bersemangat. Keringatku sudah bercucuran. Bajuku juga sudah basah oleh keringat. Nafasku juga mulai agak tersengal-sengal. 161

"Cukup...! Sudah lima belas menit...", lanjut ayah. "Uuuh... akhirnya selesai juga...", gumamku dalam hati. Aku langsung duduk, meluruskan kaki, dan berbaring di tanah dengan terlentang. Mataku terpejam dengan tangan terentang. Aku istirahat sambil mengatur nafasku. Perlahan, aku mulai mengatur irama nafasku, mencoba untuk menormalkan kembali. Menyentuhkan ujung jari tengah dan ujung ibu jari untuk merasakan detak nadi di tubuhku. Setelah beberapa tarikan nafas, aku merasakan nadiku mulai berangsur normal. Nafasku juga sudah tidak tersengal-sengal seperti tadi. Aku mengangkat tubuhku dan duduk, masih dengan kaki lurus. "Bagaimana rasanya?", tanya ayah sambil tersenyum. "Lumayan yah...", jawabku. sambil menyeka keringat di dahi menggunakan lengan kananku. "Dua puluh lima kali mengangkat batu seberat kira-kira sepuluh kilogram selama lima belas menit dengan lama waktu perjalanan sekitar dua puluh detik, itu sudah cukup bagus.", puji ayah. "Terima kasih yah. Tapi, maksudnya latihan tadi apa ya yah?", tanyaku penasaran. "Nak, pada saat kamu melakukan olah nafas pengolahan di tingkat dasar, lama waktu yang diperlukan untuk olah nafas pengolahan adalah sembilan ratus delapan puluh detik atau sekitar enam belas menit. Pada saat itu tubuhmu akan menahan beban total seberat kurang lebih lima puluh kilogram yang di dapat dari beban olah nafas yang kamu gunakan. Dalam setengah tahun, setidaknya kamu sudah melakukan empat puluh delapan kali nafas pengolahan. Kalau setiap kali melakukan olah nafas pengolahan tingkat dasar ini terjadi kondisi dimana tubuhmu menahan 162

beban total kurang lebih lima puluh kilogram, maka dalam waktu enam bulan, total beban yang tubuhmu terima adalah seribu dua ratus kilogram atau satu ton lebih!", jawab ayah. Eh, aku terkejut dengan penjelasan ayah. "Jadi, seharusnya batu seberat sepuluh kilogram itu bukan masalah besar bagi daya tahan otot di tubuhmu bukan?", lanjut ayah sambil tersenyum. "Sekarang, coba kamu rasakan tubuhmu sendiri. Apakah sudah terasa lemas atau tidak?", tanya ayah. Penasaran dengan ucapan ayah, aku berdiri, lalu mengepalkan kedua tanganku dengan keras. Mencoba memukul pada udara kosong perlahan. Menghirup nafas perlahan, mengulanginya lagi, lalu kembali merasakan tubuhku. "Oh, benar juga ya...", gumamku dalam hati. "I... iy... iya yah. Kok badan Aa rasanya masih segar yah... Tadi memang nafas agak tersengal, tapi tidak lama. Setelah mengatur irama nafas, Aa sudah pulih lagi. Kok bisa ya yah?", jawabku dengan heran. "Hehehe, tentu saja nak. Begitulah manfaat yang didapat dari latihan olah nafas ini. Itu baru latihan olah nafas untuk tingkat dasar. Kalau tingkat balik, tidak kurang dari lima hingga sepuluh ton tubuhmu akan beradaptasi terhadap beban. Pada tingkat kombinasi lebih ekstrem lagi, yakni tidak kurang dari dua puluh ton otot tubuhmu beradaptasi dengan tekanan. Nah, kamu bisa bayangkan, kalau kamu rutin melatih olah nafas pengolahan seperti ini, bukankah tubuhmu menjadi sangat luar biasa? Kamu ingin belajar apa saja juga jadi lebih mudah. Karena cadangan tenaga di tubuhmu sangat lebih dari cukup. Daya tahan ototmu menjadi sangat prima.", ucap ayah. 163

Aku tertegun dengan penjelasan ayah. Memang benar, kalau semua ini dilakukan dengan baik, tentu hasilnya akan sangat maksimal. "Jadi, apabila ada truk bermuatan batu dengan berat total empat ratus kilogram, maka seorang yang rutin melatih olah nafas pengolahan level kombinasi awal harus bisa memindahkannya sendirian dalam waktu lima belas menitan saja. Dan apabila ada sebuah truk bermuatan batu dengan berat total satu ton, maka seorang yang rutin melatih olah nafas pengolahan levek kombinasi akhir harus bisa memindahkannya sendirian dalam waktu kurang lebih tiga puluh menitan saja. Kenapa? Karena tubuhnya terbiasa terlatih untuk menahan beban seberat hampir empat ratus kilogram dalam waktu lima belas menitan saja. Hal ini dikarenakan karena memang jumlah pelatihan olah nafas pada tingkat yang lebih tinggi akan meningkat pada repetisi dan jumlahnya sehingga jumlah berat beban yang diterima tubuh juga menjadi lebih extreem.", lanjut ayah. "He... hebat yah...!", ucapku spontan. Rasanya adrenalin di tubuh ini meningkat mendengar penjelasan ayah. Seluruh sel-sel darahku serasa bergolak. Aku melihat ayah menghela nafas. "Masalahnya adalah, sedikit sekali mereka yang mau melewati tahap latihan ini. Kebanyakan sudah menganggap berat pelatihan olah nafas seperti ini. Hingga akhirnya, tujuan utama terbentuknya tenaga tidak tercapai. Tentu saja hal ini akan menurunkan standar kualitas keilmuan itu sendiri", ucap ayah sambil tersenyum hambar. Aku mengangguk. Memahami sepenuhnya ucapan ayah.

164

"Aa akan mengingatnya yah... Dan akan rajin melatihnya...!", jawabku bersemangat. "Harus nak! Janganlah kamu sia-siakan manfaat nyata dari latihan olah nafas jenis ini nak.", lanjut ayah. Pandangannya menatap ke arahku. Aku mengangguk mantap sekali lagi. "Sekedar tambahan saja, bahwa di dalam standar sport modern saat ini, ada yang disebut dengan latihan Isometric Exercize, Dynamic Tension Exercise, Plyometric Exercize, juga ada Altitude Training Exercise. Pahami juga mengenai ini nak. Setidaknya berguna untuk tambahan pengetahuanmu dan menguatkan apa yang kamu latih. Lebih jauh lagi, ia bisa membuka cakrawala baru berpikirmu dalam menganalisa keilmuan silatmu ini.", ucap ayah. "Oh, itu apa yah?", tanyaku penasaran. Ini pengetahuan baru bagiku. "Itu adalah istilah-istilah pada pelatihan sport modern yang merupakan hasil penelitian dari suatu diskursus keilmuan modern yang sudah teruji baik pada konsep, hasil, maupun proses. Disadari benar bahwa pasti ada keterkaitan antara diskursus keilmuan modern tersebut dengan beladiri. Perjalanan panjang dari beladiri, meski tanpa embel-embel ilmiah, disadari atau tidak dan diakui atau tidak ternyata banyak diadopsi sebagai pengetahuan dasar dalam membentuk keilmuan modern di dalam sports. Sehingga memahami karakteristik sebagian unsurnya akan bisa membuka jalan pengetahuan baru yang bisa saja buntu. Bahwa disadari atau tidak, tak pernah ada keilmuan di dunia ini yang sempurna. Kesempurnaan adalah mutlak milik Allah. Meski demikian, kita tidak perlu menutup diri terhadap pengetahuan luar yang dirasa bisa menjadi pelengkap pengetahuan beladiri yang kita geluti. Sebab pada intinya, pengetahuan itu seperti puzzle. Terkadang, salah satu potongannya berada pada pengetahuan pada disiplin ilmu lain 165

sehingga ketika dirangkai utuh, maka wujud dari puzzle tersebut akan terlihat nyata.", jawab ayah. "Untuk menguasai suatu seni, seperti misalnya seni beladiri, tentunya olah rasa yg paling berperan utama. Tetapi setelah kita menguasai seni tersebut, kita tetap bisa menggunakan pendekatan ilmu pengetahuan modern, seperti Physiology, untuk memahami bagaimana mekanisme bekerjanya. Misalnya untuk memahami bagaimana sistem motorik, otot, dan sistem syaraf tubuh bekerja pada saat melakukan suatu gerakan atau jurus tertentu. Physiology modern bisa sangat membantu dalam hal ini. Dari pemahaman sistem motorik dan sistem syaraf tubuh ini para ahli Physiologi Exercise merancang suatu metode latihan modern. Beberapa metode latihan beladiri tradisional juga mulai banyak diteliti Ahli Physiology Exercise misalnya dalam metode latihan moderna. Latihan seperti Nafas 'TO' atau 'tenaga otomatis' dikenal dgn Dynamic Tension, latihan statis seperti nafas pengolahan dikenal dengan Isometric Exercise, sedang untuk mendapatkan explosive power dikenal Plyometric Exercise. Metode Latihan modern ini sangat terukur sifatnya Praktisi beladiri itu seperti pembalap, di sirkuit ketika sedang balapan atau latihan balapan ya tidak perlu memusingkan mekanisme cara kerja mobil. Tetapi jika sedang tidak balapan ya tidak ada salahnya belajar jadi montir supaya tahu sedikit bagaimana cara kerja mobil. Keahlian balap memang tidak bisa diukur secara matematis tetapi kekuatan mesin mobil tetap masih bisa diukur secara matematis. Iya khan?", ucap ayah sambil bertanya. Tampaknya ayah ingin menguji logikaku. Aku mengangguk dengan wajah heran. Memahami ucapan ayah. Meskipun ada beberapa hal yang aku tidak mengerti. "Hahaha. Sudahlah... nanti kita bahas lagi dengan detail mengenai istilah-istilah tadi. Ayo, lebih baik kita latihan saja. Agar tubuh dan rasa-mu bisa lebih baik. Sebab, 166

nanti malam, kita akan masuk pada dasar-dasar getaran...", lanjut ayah sambil tertawa. "Siap...!", jawabku dengan mantap.

***

167

Related Documents


More Documents from "leobudis24"

Tembang Tanpa Syair - 02
February 2021 2
Tembang Tanpa Syair - 01
February 2021 5