Tesis Lengkap

  • Uploaded by: SutanTio Eka Purwanto
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Tesis Lengkap as PDF for free.

More details

  • Words: 36,285
  • Pages: 168
Loading documents preview...
A. PENDAHULUAN

Secara teoretis kebebebasan dalam beragama memang mendapat jaminan perlindungan dari negara. Namun pada praktiknya masih ditemukan banyak pelanggaran terhadap pasal-pasal maupun nilai-nilai tersebut. Misalnya, pasca reformasi kondisi seperti ini sebenarnya sudah mulai terlihat, negara lebih banyak disibukkan dengan isu-isu politik seputar kekuasaan. Dari pemerintah pusat hingga daerah belum tampak ada program serius untuk menjembatani komunikasi antarumat beragama. Isu politis lebih dianggap penting daripada menjaga kerukunan umat beragama, padahal agama juga bisa disalahgunakan sebagai alat untuk merusak suatu sistem dalam masyarakat, termasuk negara. Secara khusus, distorsi terhadap pasal-pasal konstitusi maupun jaminan filosofis dan moral tentang kebebasan untuk beragama/berkeyakinan juga terjadi di desa Batu Hapu, kecamatan Hatungun, kabupaten Tapin, provinsi Kalimantan Selatan. Umat Kristen yang berada di desa Batu Hapu merupakan salah satu jemaat lingkungan yang berada dalam wilayah resort GKE Banjarmasin dan secara khusus merupakan jemaat binaan dari jemaat GKE Binuang. Jemaat Kristen di Batu Hapu merupakan pecahan dari jemaat GKE Binuang (terbentuk antara tahun 1971-an), setelah berdirinya Gereja GKE Binuang pada 04 Juni 1969 di kecamatan Binuang.1 Lokasi desa Batu Hapu berjarak ± 11 km dari kecamatan Binuang, dapat ditempuh melalui akses jalan darat. Jumlah umat Kristen yang ada di sana ± 24 1

Berdasarkan Arsip “Sejarah Berdirinya Gereja TransAD Binuang”, yang didokumentasikan pada 11 Mei 2000.

1

jiwa (8 KK)2, sedangkan secara umum jumlah masyarakat desa Batu Hapu ± 1801 jiwa (1094 KK) dengan mayoritas penduduknya beragama Islam.3 Jemaat ini dilayani oleh Pendeta yang menetap di kecamatan Binuang dan dibantu dengan 3 (tiga) orang Penatua yang merupakan penduduk setempat. Jenis pelanggaran yang terjadi berupa tindakan diskriminasi terhadap orangorang Kristen yang ada di wilayah desa Batu Hapu oleh umat Islam. Hal tersebut berdampak terhadap eksistensi umat Kristen di desa Batu Hapu pada tingkat Kabupaten, yang mengakibatkan izin untuk mendirikan bangunan Gereja tidak dapat dikeluarkan Pemkab Tapin. Sempat terjadi penolakan pembangunan Gereja oleh beberapa tokoh Islam, termasuk aparat pemerintah desa. Namun demikian dengan bersikukuh, gedung Gereja tetap dibangun oleh warga Jemaat tetapi dengan perizinan sebagai tempat tinggal. Untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, Majelis berkoordinasi dengan Polsek setempat agar mengawal setiap jadwal peribadatannya. Sikap diskriminasi lainnya turut dirasakan oleh anak-anak yang beragama Kristen di sekolah, mereka tidak mendapatkan pelajaran agama Kristen. Akibatnya mereka harus belajar diluar jam sekolah, ke Gereja yang berada di desa Padang Sari kecamatan Binuang. Kemudian, adanya pengurangan nilai terhadap siswa/i yang beragama Kristen dalam mata pelajaran agama sering terjadi. Salah seorang murid pernah mengatakan bahwa guru pendidikan agama Islam tidak

2

Berdasarkan data pada Profil Jemaat GKE Batu Hapu, yang disampaikan oleh Pnt.Supriadi. Berdasarkan wawancara singkat dengan salah satu Aparatur Pemerintahan desa Batu Hapu (SEKDES), pada Jumat 27/10/17 pkl 19:30 wita. 3

2

setuju kalau nilai siswa/i yang beragama Kristen lebih tinggi daripada siswa/i yang beragama Islam dan nampaknya hal tersebut dibiarkan oleh pihak sekolah.4 Dalam pergaulan kaum muda/i Kristen dengan umat Islam, terutama yang perempuan cenderung kurang suka bergaul dengan kaum muda di lingkungannya karena mereka kerap kali kurang sopan dalam bertutur kata. Dalam lingkungan kerja (sebagai aparatur pemerintahan desa), bagi perempuan yang beragama Kristen diwajibkan memakai jilbab ketika masuk kantor, dengan dalih aturan. 5 Tidak jauh berbeda dengan yang laki-laki, mereka juga diwajibkan mengikuti tradisi dalam Islam misalnya pada bulan puasa mereka juga diwajibkan untuk membayar zakat.6 Berdasarkan fenomena tersebut, telah terjadi diskriminasi kebebasan beragama di desa Batu Hapu. Hal tersebut nampaknya sudah diketahui oleh aparatur desa/kecamatan setempat, namun belum mendapatkan perhatian serius. Seharusnya pihak-pihak tersebut sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat, tidak melakukan pembiaran terhadap fenomena tersebut.7 Pada sisi lain dapat dikatakan juga bahwa umat Kristen di Batu Hapu belum sepenuhnya dewasa dalam iman maupun wawasan kekristenannya. Misalnya sikap para Penatua yang masih sangat bergantung dengan keberadaan Pendeta 4

Wawancara singkat dengan beberapa anak SHM di Jemaat Lingkungan Batu Hapu pada Minggu 07/01/ 2018. 5 Hal tersebut disampaikan oleh ibu Estu Wilujeng pada Senin, 05/02/2018. Beliau salah satu pegawai di kantor desa Batu Hapu. 6 Hal tersebut disampaikan oleh bapak Joko Pitono pada Senin, 29/01/2018. 7 Bdk. Mengacu pada Peraturan Bersama MENAG dan MENDAGRI No. 9 & 8 tahun 2006 Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, Dan Pendirian Rumah Ibadat. Pada Bab II, pasal 6, ayat (1), huruf (d) dan (e). Kemudian pasal 7, ayat (1), huruf (a), (b), (c); ayat (2) huruf (a), (b).

3

untuk melayani. Bahkan apabila Pendeta berhalangan hadir, para Penatua tidak ada yang berani menggantikan untuk berkhotbah. Selain itu, mereka juga tidak terlalu mempermasalahkan apabila ada salah satu anggota keluarganya menikah dengan pemeluk agama lain lalu berpindah agama. Gereja memang bukan Kerajaan Allah, namun Gereja ada di dunia sebagai tanda dan instrumen dari Kerajaan Allah yang akan datang. Gereja menjadi tanda bahwa keselamatan itu ada, apabila di dalamnya tanda-tanda Kerajaan Allah nampak dengan jelas, yaitu perdamaian, keadilan, kebenaran, dan kehidupan baru dalam cinta kasih. Kesemuanya itu harus nampak dalam kehidupan Gereja dan bermasyarakat.8 Akan tetapi hal tersebut akan terasa timpang apabila keberadaan Jemaat9 tidak diakui dalam komunitas setempat, karena bisa saja upaya Jemaat dalam rangka mewartakan kasih-Nya dicurigai sebagai strategi licik dalam memurtadkan pemeluk agama mayoritas. Kebebasan berkeyakinan/beragama secara substantif dipandang sebagai hak individu yang tidak bisa dikurangi dan tidak bisa ditunda pemenuhannya (non derogable rights). Oleh karena itu, kebebasan beragama baik untuk individu maupun bagi kelompok harus dijamin pemenuhannya oleh negara. 10 Prinsip nonderogable rights menegaskan hak yang bersifat absolut dan oleh karenanya tidak dapat ditangguhkan atau ditunda dalam situasi kondisi apapun.

8

Bdk. Widi Artanto, Menjadi Gereja Missioner Dalam Konteks Indonesia, Edisi Revisi, (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2008), 61. 9 Kata "Jemaat" dapat dipakai untuk menunjuk kepada Gereja lokal (Mat 18:17; Kis 15:4) atau kepada Gereja yang universal (Mat 16:18; Kis 20:28; Ef 2:21-22). 10 Davis Derek H, “The Evolution of Religious Liberty as a Universal Human Rights”, (dipublikasikan kembali 5 Desember 2006).

4

Persoalan intoleransi harus mendapat perhatian lebih dari Pemerintah. Kasus-kasus keagamaan harus segera diselesaikan untuk menunjukkan komitmen Pemerintah dalam menghargai/mendukung kebebasan beragama. Pemerintah pun perlu membuat roadmap khusus terkait penyelesaian berbagai persoalan intoleransi beragama. Dalam hal ini aparatur desa/kecamatan setempat harus mampu bersikap adil terhadap setiap warganya, termasuk pada umat Kristen yang berada di desa Batu Hapu. Dalam situasi ini diperlukan adanya kesadaran dalam membangun relasi yang harmonis antar sesama pemeluk agama. Pergumulan saat ini adalah bagaimana kita berupaya untuk menghadirkan kasih Kristus, agar diterima ditengah-tengah masyarakat yang majemuk. Oleh karenanya diperlukan adanya pendekatan yang bersifat bottom-up.11 Pendekatan tersebut, misalnya rekonsiliasi dan dialog bersama yang dilakukan bersama-sama untuk menemukan bagaimana kasih Allah sebagai suatu kebenaran yang melingkupi seluruh umat manusia.12 Dialog yang dimaksud bukanlah dialog doktrin melainkan dialog konkret tentang masalah-masalah

kemanusiaan

(humanisme).

Humanisme

ini

merupakan

perwujudan autentik dari hidup beragama yang memperoleh wajah ilahimanusiawi dan manusiawi-ilahi.13 Dialog dalam bentuk aksi bersama terhadap masalah-masalah kemanusiaan merupakan bentuk perjumpaan yang relevan dan efektif dalam masyarakat yang majemuk seperti saat ini. 11

Bdk. Aristarchus Sukarto, “Pemikiran Kembali Kristologi untuk Menyongsong Dialog Kristen-Islam di Indonesia” Jurnal Teologi dan Gereja Penuntun Vol 4, No 13 (1997/1998): 23-24. 12 Bdk. Widi Artanto, Menjadi Gereja Missioner Dalam Konteks Indonesia, Edisi Revisi (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2008), 320. 13 John Campbell-Nelson. et al editor, Mengupayakan Misi Gereja yang Kontekstual. Studi Institut Misiologi Persetia 1992 (Jakarta: Persetia, 1995), 85-86.

5

Di sepanjang sejarahnya, Gereja bertumbuh dan berkembang dalam konteks riilnya. Kesulitan, tantangan, pertumbuhan, penyebaran, pembangunan Jemaat, dan perpecahan internal selalu menjadi bagian dari narasi eklesiologis pada tanah tempat “Gereja” hidup dan pada waktu ketika “Gereja” berproses. Maka dari itu sebagai umat Kristen yang diutus di tengah-tengah dunia, umat Kristen di Batu Hapu seharusnya mampu merefleksikan iman Kristennya sebagai bentuk kesaksian yang utuh dalam proses memberitakan kasih Kristus. Hal ini sesuai dengan pengertian ‘beriman untuk hidup’ yang menunjukkan bahwa dengan keteguhan iman, mereka memiliki keyakinan yang kuat bahwa kesaksiannya dalam memperjuangkan komunitasnya, dapat hidup14 di tengah-tengah kaum mayoritas. Dalam kesaksian tersebut mereka harus mampu berkontekstualisasi, sehingga keberadaannya sebagai suatu komunitas atau lembaga Kristen dapat di terima di tengah-tengah komunitas agama lain. Paradigma ini menekankan bahwa pemilik misi adalah Allah (Missio Dei) yang tujuannya keselamatan semua orang. Gereja bukan pemilik misi melainkan yang mendapat misi. Bukan hanya para klerus saja, melainkan kaum awam juga mendapat tugas pengutusan.15 Situasi

problematis

ini

mendorong

penulis

untuk

menggali

dan

membahasnya secara lebih mendalam. Dalam hal ini penulis mengangkat judul tesis Beriman Untuk Hidup (Gerakan Misi dalam Konteks Kerukunan Antar Umat Beragama di Desa Batu Hapu Kabupaten Tapin). 14

Dalam konteks ini, “hidup” dipahami sebagai adanya pengakuan terhadap eksistensi umat Kristen di Batu Hapu oleh kaum mayoritas, yang juga memiliki pola interaksi oikumenis dengan pemeluk agama lain. 15 J.B. Banawiratma, “Misi, Globalisasi dan Kaum Miskin di Indonesia” Jurnal Teologi Proklamasi, Ed 8 ( 2006): 42.

6

B. Rumusan Masalah Dari latar belakang tersebut, tampaklah situasi problematis yaitu kesenjangan antara yang ideal dalam hal ini peranan pemerintahan setempat (Desa dan Kecamatan) sebagai oknum yang mendapat tugas dalam pemeliharaan kerukunan umat beragama16 dengan fakta empirik17 yaitu tindakan diskriminasi terhadap umat Kristen di desa Batu Hapu. Berdasarkan uraian diatas maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana agar gerakan misi dapat menciptakan relasi dialogis dalam konteks kerukunan antar umat beragama di desa Batu Hapu kabupaten Tapin. Adapun pertanyaan penelitian yang diajukan dalam penelitian ini, sebagai berikut: 1. Bagaimana perlakuan Pemerintah dan kaum Muslim terhadap umat Kristen dan bagaimana sikap umat Kristen di desa Batu Hapu di antara kaum Muslim? 2. Bagaimana dampak positif dan negatif yang diakibatkan dari interaksi umat Kristen di desa Batu Hapu dalam konteks relasinya dengan umat Islam dan Pemerintah? 3. Bagaimana paradigma misi Kristen yang ideal dalam membangun relasi dialogis sebagai upaya membangun interaksi yang baik dengan pemeluk agama lain? 16

Bdk. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri, Nomor 9 Tahun 2006. Pada BAB II Tentang Tugas Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama. Pasal 4 ayat 1; Pasal 6 ayat 1 butir a, c, d, e; Pasal 7 ayat 1 butir a, b, c; ayat 2 butir a, b. 17 Fakta empirik, yaitu didasarkan pada observasi dan akal sehat yang hasilnya tidak bersifat spekulasi (menduga-duga). Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta: Kanisisius, 1998), 24.

7

4. Bagaimana aksi Gereja sebagai komunitas hamba yang misioner agar dapat bersinergi dengan pihak-pihak terkait, dalam menanggulangi pelanggaran pada pasal-pasal konstitusi maupun jaminan filosofis dan moral terhadap kebebasan untuk beragama?

C. Tujuan Penulisan Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan ini adalah : 1. Mendeskripsikan perlakuan pemerintah dan kaum Muslim terhadap umat Kristen dan bagaimana sikap umat Kristen di desa Batu Hapu diantara kaum Muslim. 2. Mengidentifikasi dan mengkaji dampak positif negatif yang diakibatkan dari interaksi umat Kristen di desa Batu Hapu dalam konteks relasinya dengan umat Islam dan pemerintah. 3. Mendiskusikan paradigma misi Kristen yang ideal dalam membangun relasi dialogis sebagai upaya membangun interaksi yang baik dengan pemeluk agama lain. 4. Merumuskan aksi Gereja sebagai komunitas hamba yang misioner agar dapat bersinergi dengan pihak-pihak terkait, dalam menanggulangi pelanggaran pada pasal-pasal konstitusi maupun jaminan filosofis dan moral terhadap kebebasan untuk beragama/berkeyakinan.

D. Batasan Masalah

8

Dalam tulisan ini, cakupan masalah penelitian fokus pada berbagai fenomena yang terjadi dalam relasi umat beragama di desa Batu Hapu, perlakukan dan kebijakan pemerintah terhadap Gereja dan orang Kristen serta pendekatan misi dialogis dan konstruktif sebagai upaya menciptakan toleransi dalam konteks kerukunan antar umat beragama di desa Batu Hapu Kabupaten Tapin Provinsi Kalimantan Selatan.

E. Asumsi dan Hipotesa Penulis berasumsi bahwa telah terjadi pelanggaran terhadap pasal-pasal konstitusi18 maupun jaminan filosofis dan moral terhadap kebebasan untuk beragama/berkeyakinan yang terjadi di desa Batu Hapu, kecamatan Hatungun, kabupaten Tapin, provinsi Kalimantan Selatan. Dengan adanya perlakuan diskriminasi terhadap umat Kristen yang ada di wilayah desa Batu Hapu oleh umat Islam setempat. Hal tersebut dikhawatirkan berdampak pada eksistensi umat Kristen di desa Batu Hapu di tingkat Kabupaten. Pada akhirnya kesenjangan ini apabila terus dibiarkan maka berpotensi merusak nilai kebhinekaan di Indonesia, khususnya di kabupaten Tapin. Untuk menyikapi permasalahan tersebut, umat Kristen di desa Batu Hapu, perlu merumuskan misi kontesktual yang relevan dan kerjasama demi kepentingan pembangunan bersama dengan seluruh elemen masyarakat. Sehingga nantinya dapat terjalin suatu relasi dialogis, harmonis, dan saling menerima satu sama lain 18

Bdk. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri, Nomor 9 & 8 Tahun 2006. Pada BAB II Tentang Tugas Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama. Pasal 4 ayat (1); Pasal 6 ayat (1) butir (a), (c), (d), (e); Pasal 7 ayat (1) butir (a), (b), (c); ayat (2) butir (a), (b). Lihat juga, UUD 1945 pasal 28 E ayat 1, pasal 29 ayat 2, UU HAM pasal 4 no.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan pasal 22 UU HAM.

9

sebagai bagian dari warga masyarakat desa Batu Hapu. Disamping itu juga, diperlukan adanya perhatian dan koordinasi dari pihak-pihak terkait seperti pemerintah desa, Kecamatan, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan seluruh warga masyarakat desa Batu Hapu.

F. Signifikansi Penulisan 1. Manfaat penulisan ini dari segi akademik untuk menganalisis strategi misi yang relevan sebagai kesaksian kepada orang-orang diluar kekristenan, sebagai suatu upaya dalam membangun relasi yang dialogis ditengahtengah tantangan yang timbul akibat interaksi kekristenan dengan agama lain. 2. Memberi masukan kepada Gereja dalam mengembangkan relasi dialogis, khususnya berkaitan dengan komunikasi kelompok minoritas dalam penanganan konflik antar umat beragama dengan kelompok dominan. 3. Sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan program pascasarjana Magister Teologi. G. Tinjauan Pustaka Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa acuan sebagai berikut. No 1

Nama Peneliti Nurbayati19

Judul Kampanye Toleransi Beragama Oleh Jemaat Ahmadiyah Indonesia (Studi Deskriptif tentang Kampanye Sosial

Hasil Penelitian Fokus penelitian pada Tesis ini mengacu pada sikap/reaksi dari Jamaah Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang menjadi korban intoleransi, khususnya yang berada di Yogyakarta. Statemen sesat yang terus dilekatkan pada kelompok tersebut memicu terjadinya konflik antara pengikut dan

19

Nurbayati, “Kampanye Toleransi Beragama Oleh Jemaat Ahmadiyah Indonesia (Studi Deskriptif tentang Kampanye Sosial yang Dilaksanakan oleh Badan Penyelenggara Tasyakur Daerah Yogyakarta tahun 2014-2015)”, Tesis (Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2016).

10

Tahun

yang Dilaksanakan oleh Badan Penyelenggara Tasyakur Daerah Yogyakarta tahun 2014-2015)

2

Rina Hermawati20

penentang JAI. Selain ajaran yang dinilai keluar dari syariat Islam, tidak adanya upaya membangun komunikasi antara pengikut JAI dengan masyarakat umum ditengarai sebagai pemicu terjadinya konflik serta keberpihakan pemerintah dalam mendiskreditkan pengikut JAI. Berangkat dari fakta empirik serta regulasi pemerintah yang dianggap mendiskreditkan kelompok ini, JAI pada akhirnya mengambil inisiasi untuk melakukan komunikasi terbuka dengan masyarakat Indonesia dengan jalan kampanye. Dalam upayanya agar dapat diterima, JAI melibatkan unsur materi-materi toleransi seperti toleransi beragama, berbudaya, dan bermasyarakat untuk dapat lebih dalam lagi menggugah rasa kemanusiaan dan kebangsaan partisipan kampanye. Toleransi Antar Hasil riset ini secara eksplisit fokus pada relasi antar Umat Beragama di umat beragama yang berada di kota Bandung. Dari hasil Kota Bandung riset ini disimpulkan bahwa antara penganut agama mayoritas (Islam), pada umumnya tidak keberataan hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain, bahkan dikatakan bahwa toleransi antarumat beragama di kota Bandung berada pada kondisi yang baik. Namun konflik antarumat beragama, pada umumnya terjadi ketika memasuki ranah persoalan perizinan pembangunan rumah ibadat. Sementara, ranah perizinan berada dalam kewenangan pemerintah. Hal ini berarti bahwa ada persoalan regulasi yang juga perlu dibenahi oleh pemerintah. Mengingat isu tentang perizinan sangat rentan dipolitisasi oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, sehingga kepastian regulasi dan prosedur perizinan perlu disosialisasikan dan diberlakukan secara tegas oleh pemerintah tanpa membeda-bedakan agama. Tabel I. Acuan tinjauan pustaka

Penelitian dalam penulisan ini akan fokus untuk menganalisis bagaimana misi kontekstual yang efektif dalam melakukan pendekatan terhadap umat Islam yang berada di desa Batu Hapu, Kabupaten Tapin, Provinsi Kalimantan Selatan. Selain itu penelitian ini juga akan memaparkan unsur-unsur misiologis yang bisa ditawarkan sebagai salah satu acuan dalam merespon isu-isu konflik antara umat beragama.

20

Rina Hermawati, “Toleransi Antar Umat Beragama di Kota Bandung”, Indonesian Journal of Anthropolgy, volume 1 (Desember 2016).

11

2016

2016

Dalam penelitian yang dilakukan oleh Nurbayati (2016) dan Rina Hermawati (2016) tidak ada memaparkan bagaimana unsur-unsur misi yang dapat berperan sebagai kesaksian kepada orang-orang diluar kekristenan, dalam membangun relasi yang dialogis. Masing-masing hanya memaparkan cara-cara pendekatan komunikatif secara umum tanpa memuat nilai-nilai kekristenan.

H. Kerangka Teoritis Kajian teori yang digunakan dalam tulisan ini, terdiri dari kajian teori tentang perjumpaan 2 (dua) agama impor yang sejak masa Portugis (1511-1799) saling bersaing dalam menunjukkan eksistensinya di Nusantara. Jan Sihar Aritonang (Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia: 2004), menyatakan kedua agama ini sejak awal perjumpaannya, persepsi mereka satu sama lain lebih banyak negatifnya. Hal ini dikarenakan warisan yang diterima masing-masing pihak sumbernya dari luar, sehingga pada akar rumput dari tiap pemeluk agama ini kurang begitu mendapat informasi yang jelas mengenai doktrin agamanya. Kalaupun ada, pada umumnya doktrin yang didapat berasal dari para pemuka agama masing-masing, yang bisa saja doktrin tersebut sudah terkontaminasi dengan unsur-unsur kepentingan pribadi atau golongan. Selain itu proses perjumpaan kedua agama ini di Timur Tengah dan Eropa selama sekitar sembilan abad sebelum masuk di Indonesia, perjumpaannya lebih banyak diwarnai dengan peperangan. Antara lain Perang Salib (abad ke-12), hal ini telah menjadi beban sejarah bagi kedua belah pihak. Stigma yang dilekatkan pihak yang satu kepada pihak yang lain terus terjaga, bahkan hingga masa kini. Ditambah lagi

12

dengan adanya golongan konservatif dari intern tiap agama, yang secara militan menyuarakan doktrin agamanya. Senada dengan teori sebelumnya, Widi Artanto (Menjadi Gereja Misioner: 2008), menurutnya perjumpaan Islam dan Kristen di Indonesia terjadi diberbagai aspek kehidupan manusia. Namun hingga saat ini masih terdapat masalah lama yang belum selesai, yaitu mengenai cara penyebaran agama. Adanya upaya dari penguasa untuk menjembatani permasalahan tersebut melalui dialog, kadang kala tidak/belum berakhir dengan baik. Hal ini disebabkan dengan adanya gerakan dari tiap agama yang masih terjebak pada peningkatan kuantitas ke dalam organisasi atau kelembagaan agama. Secara khusus dalam kekristenan, acap kali orang-orang diluar kekristenan mengenal kekristenan dari kelompok-kelompok yang agresif, sehingga menimbulkan isu kristenisasi diantara pemeluk agama Islam. Padahal kesalahpahaman itu akan sangat mengganggu usaha-usaha dialog yang bertujuan untuk memelihara stabilisasi maupun toleransi antar umat beragama. Pandangan lain dari David Jacobus Bosch (Transformasi Misi Kristen: 2012), seakan memaklumkan adanya gesekan dari kedua agama ini, Bosch dalam bukunya menyatakan bahwa bila satu agama pergi, yang lainnya akan menggantikannya. Bisa jadi gesekan antara dua agama ini salah satu tujuannya adalah saling menghilangkan agama yang satu dan menggantikannya dengan agamanya. Namun dalam mentransformasikan misi pada masa kini, hendaknya dapat dipahami bahwa perjumpaan antar agama harus didasarkan pada pengalaman spiritual pribadi dan klaim-klaim kebenaran yang kukuh, tanpa menyalahkan atau mereduksi klaim kebenaran yang juga terdapat dalam agama

13

lain. Secara khusus, misi tidak boleh diarahkan ataupun ditafsirkan untuk mengkristenkan pemeluk agama lain, karena bisa saja agama-agama lain merupakan ‘jalan keselamatan lain’ yang Allah sediakan bagi manusia.

I. Metode Penelitian a. Sifat Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research), sehingga metode penelitian21 yang digunakan dalam mengungkap objek pada penelitian ini adalah dengan menggunakan metode penelitian kualitatif. Metode kualitatif menurut Sugiyono, dimaksudkan untuk mendapatkan data yang mendalam dari wujud data dengan kandungan maknanya.22 Metodelogi kualitatif didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.23 Penelitian deskriptif bertujuan untuk mencari informasi aktual secara rinci yang menggambarkan gejala yang ada, mengidentifikasi masalah dan praktek yang berlaku, membuat evaluasi, menentukan sesuatu yang dilakukan oleh orang lain dalam menghadapi masalah

21

Metode (Yunani: methodos) merupakan cara yang teratur untuk mencapai suatu maksud yang diinginkan. Oleh sebab itu, metode dapat diartikan sebagai cara mendekati, mengamati, dan menjelaskan suatu gejala dengan menggunakan landasan teori. Metode penelitian merupakan cara dan prosedur yang sistematis dan terorganisir untuk menyelidiki suatu masalah tertentu dengan maksud mendapatkan informasi untuk digunakan sebagai solusi atas masalah tersebut. Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial (Bandung: Refika Aditama, 2010), 12-13. 22 23

Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif (Bandung: Alva Beta CV, 2008), 205. Lexy J. Maleong, Metodologi Penelitian kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996), 4.

14

yang sama dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan dimasa yang akan datang. Dalam hal ini, penelitian kualitatif dilakukan penulis untuk memperoleh informasi mengenai permasalahan terkait relasi umat Kristen di desa Batu Hapu dengan pemeluk agama lain.

b. Jenis Penelitian Sedangkan jenis penelitian ini termasuk jenis penelitian studi kasus (case study). Studi kasus adalah bagian dari metode kualitatif yang hendak mendalami suatu kasus tertentu secara lebih mendalam dengan melibatkan pengumpulan beraneka sumber informasi. Studi kasus ini merupakan studi kasus yang deskriptif yaitu bertujuan menggambarkan suatu gejala, fakta atau realita. 24

c. Tipe Pendekatan Penelitian ini menggunakan pendekatan fenomenologi. Karena terkait langsung dengan gejala-gejala yang muncul akibat adanya interaksi umat kristen dengan pemeluk agama lain yang sama-sama berada di desa Batu Hapu. Penelitian yang menggunakan pendekatan fenomenologis berusaha untuk memahami makna peristiwa serta interaksi pada orang-orang dalam situasi tertentu. Pendekatan ini menghendaki adanya sejumlah asumsi yang berlainan dengan cara yang digunakan untuk mendekati perilaku orang dengan maksud menemukan fakta atau penyebab.25

24

J.R. Raco, Metode Penelitian Kualitatif Jenis, Karakteristik dan Keunggulannya (Jakarta : PT. Grasindo, 2010), 49-50. 25 Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama terj. Tim Studi Agama Drikarya (Yogyakarta: Kanisius, 1995), 21.

15

Peneliti berusaha memahami subjek dari sudut pandang subjek itu sendiri, dengan tidak mengabaikan membuat penafsiran, dengan membuat skema konseptual. Peneliti menekankan pada hal-hal subjektif, tetapi tidak menolak realitas di sana yang ada pada manusia dan yang mampu menahan tindakan terhadapnya. Dengan demikian penelitian yang akan dilakukan lebih banyak menganalisis bagaimana persepsi dan perlakukan umat Muslim dan pemerintah daerah terhadap umat Kristen dan upaya pendekatan yang dilakukannya di desa Batu Hapu.

d. Satuan Pengamatan Sumber-sumber data dalam tulisan ini diperoleh melalui data-data primer dan data sekunder. Adapun teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan melalui metode Sampling Purposive, yaitu pengambilan sampel yang dikehendaki. Sampling purposive dilakukan dengan mengambil orang yang terpilih oleh peneliti menurut ciri-ciri spesifik yang dimiliki oleh sampel itu.26 Sedangkan yang dijadikan populasi27 dalam penelitian ini adalah warga desa Batu Hapu dengan karakter sebagai berikut : 1. Warga Desa Batu Hapu dari kelompok Kristen dan agama lain 2. Jenis kelamin laki-laki dan perempuan Sampel28 pada penelitian ini adalah warga desa Batu Hapu yang memiliki karakteristik sebagai berikut : 26

Saifuddin Azwar, Metode Penelitian (Jakarta, 2001), 79. Populasi adalah keseluruhan individu atau objek yang diteliti yang memiliki beberapa karakteristik yang sama. Latipun, Psikologi Eksperimen (Jakarta, 1999), 41. 28 Sampel adalah sebagian dari populasi, karena sampel merupakan bagian dari populasi, tentulah harus memiliki ciri-ciri yang dimiliki oleh populasinya. Ibid, 79. 27

16

1. Warga Desa Batu Hapu dari kelompok Kristen dan agama lain 2. Jenis kelamin laki-laki dan perempuan 3. Telah menetap di desa Batu Hapu minimal 2 tahun 4. Usia telah mencapai 25-45 tahun 5. Aparatur Sipil Negara (desa/Kecamatan), FKUB tingkat kecamatan 6. Tokoh masyarakat/agama (tiap agama), dan pemuka desa Adapun orang-orang yang memiliki kriteria di atas sebanyak 20 orang (7 orang dari umat Kristen dan 7 orang dari agama lain, 6 orang ASN Desa/Kecamatan), dan 20 orang inilah yang dijadikan peneliti sebagai sampel penelitian. Adapun alasan peneliti menggunakan kriteria di atas adalah No

1 2 3

4 5

Umat Kristen

Penganut Agama Lain (Islam)

Komunitas yang merasakan langsung dampak dari interaksi dengan penganut agama lain Jenis kelamin laki-laki dan perempuan, karena mereka memiliki peranan yang sama sebagai warga desa Telah menetap minimal 2 tahun, karena warga yang menetap kurang dari 2 tahun tergolong penduduk baru sehingga kurang begitu mengetahui/merasakan dampak dari interaksi dengan pennganut agama lain yang ada di desanya Usia telah mencapai 25-45 tahun, karena usia kurang dari 25 adalah dewasa awal. Sehingga pengalamannya dirasakan masih kurang Tokoh masyarakat/agama, dan pemuka desa, karena jabatan ini memiliki peranan penting dalam masyarakat dan sering berada dibarisan terdepan ketika berhadapan dengan berbagai macam persoalan di desa

Komunitas yang merasakan langsung dampak dari interaksi dengan umat Kristen Jenis kelamin laki-laki dan perempuan, karena mereka memiliki peranan yang sama sebagai warga desa Telah menetap minimal 2 tahun, karena warga yang menetap kurang dari 2 tahun tergolong penduduk baru sehingga kurang begitu mengetahui dampak dari interaksi yang sudah terjadi dengan umat Kristen yang ada di desanya Usia telah mencapai 25-45 tahun, karena usia kurang dari 25 adalah dewasa awal. Sehingga pengalamannya dirasakan masih kurang Aparatur Sipil Negara (Desa/Kecamatan), FKUB tingkat Kecamatan, karena jabatan ini memiliki peran penting dalam masyarakat sekaligus merupakan perpanjangan tangan PEMKAB

Tabel II. Klasifikasi kriteria responden

e. Tempat dan Waktu Penelitian

17

Penulis mengadakan penelitian di wilayah desa Batu Hapu, kecamatan Hatungun, kabupaten Tapin, provinsi Kalimantan Selatan. Jadwal dan waktu dalam penelitian ini dilakukan pada Desember 2017 s/d Januari 2018.

f. Metode Pengumpulan Data 1. Observasi Terlibat (Partisipant Observation) Pengamatan adalah alat pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat secara sistematik gejala-gejala yang diamati.29 Pada metode ini, penulis turun ke lapangan untuk mengamati secara langsung fenomena-fenomena sosial yang terjadi sebagai dampak dari interaksi antara umat Kristen dan penganut agama lain yang berada di desa Batu Hapu. 2. Interview Teknik wawancara yang digunakan penulis adalah wawancara mendalam. Wawancara mendalam (in–depth interview) adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan (interaksi sosial) dengan menggunakan pedoman (guide) wawancara.30 Seluruh wawancara didasarkan pada suatu sistem atau daftar pertanyaan yang ditetapkan sebelumnya oleh interviewer. Penelitian yang menggunakan jenis wawancara ini bertujuan mencari jawaban terhadap hipotesis kerja. Adapun sampel yang akan diwawancarai merupakan penduduk desa Batu Hapu berdasarkan kriteria yang sudah ditetapkan penulis sebelumnya. 29

Joko Subagio, Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek (Jakarta: Rineka Cipta, 1997),

39. 30

Bdk. Lexy J. Maleong, Metodologi Penelitian kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996), 161.

18

3. Studi Pustaka Studi pustaka dikerjakan penulis dengan cara mengumpulkan beberapa sumber tertulis dari macam-macam literatur yang memiliki kaitan dengan kepentingan penulisan. 4. Dokumentasi Teknik pengumpulan data dengan dokumentasi ialah pengambilan data yang diperoleh melalui dokumen-dokumen yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti notulen dan sebagainya.31

g. Teknik Analisis Data Analisis data merupakan proses mencari dan mengatur secara sistematis transkrip wawancara, catatan lapangan dan bahan-bahan lain yang telah dihimpun oleh peneliti untuk menambah pemahaman peneliti sendiri dan untuk memungkinkan peneliti melaporkan apa yang telah ditemukan pada pihak lain. Oleh karena itu, analisis dilakukan melalui kegiatan menelaah data, menata, membagi menjadi satuan-satuan yang dapat dikelola, mensintesiskan, mencari pola, menemukan apa yang bermakna, dan apa yang akan diteliti dan diputuskan peneliti untuk dilaporkan secara sistematis.32 Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis data kualitatif deskriptif. Data yang telah dikumpulkan dalam berbagai cara seperti observasi,

31

Ibid, 161. Matthew B. Milles, dan A. Michael Hunberman, Analisis Data Kualitatif (Jakarta: UI Press, 1992), 15. 32

19

wawancara, atau intisari rekaman diproses melalui perencanaan, pengetikan atau pengaturan kembali, yakni dengan menggunakan tiga langkah33, yaitu; 1. Reduksi data; adalah proses pemilihan, perumusan, perhatian, penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data “kasar” yang muncul dari catatan tertulis di lapangan. Dalam arti, reduksi data merupakan bentuk analisis untuk menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang data yang tidak dibutuhkan, dan mengorganisasikannya, sehingga kesimpulan akhir dapat dirumuskan. Menyeleksi data secara ketat, membuat ringkasan dan rangkuman inti, merupakan kegiatan-kegiatan mereduksi data. Dengan demikian reduksi data ini akan berlangsung secara terus menerus selama penelitian berlangsung.34 2. Penyajian data; penyajian sebagai sekumpulan informasi tersusun, yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Hal ini dimaksudkan untuk memaparkan data secara rinci dan sistematis setelah dianalisis kedalam format yang telah dipersiapkan. Namun data yang disajikan masih dalam bentuk data sementara untuk kepentingan peneliti untuk pemeriksaan lebih lanjut secara cermat, sehingga diperoleh tingkat keabsahannya.35 3. Penarikan kesimpulan (verifikasi); hal ini dimaksudkan untuk memberi arti atau memakai data yang diperoleh baik melalui observasi, wawancara, maupun dokumentasi.36 Kesimpulan, dalam hal ini dimaksudkan untuk pencarian makna data beserta penjelasannya dan makna-makna yang muncul dari data yang diperoleh dilapangan untuk menarik kesimpulan yang tepat dan benar. 33

Ibid, 15. Ibid, 16. 35 Ibid, 17. 36 Ibid, 21. 34

20

Teknik yang dipakai untuk memperoleh keabsahan data melalui teknik triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Diluar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu. Teknik triangulasi yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan melalui sumber lainnya. 37 Ada tiga

teknik

trianggulasi dalam penelitian yaitu:38 a. Trianggulasi dengan sumber, metode ini membandingkan dan mengecek balik derajat kepercayaan suatu informasi yang diperoleh melalui waktu dan alat pertanyaan yang berbeda. Penerapan metode ini dicapai dengan cara: 1. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara; 2. Membandingkan apa yang dikatakan orang didepan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi; 3. Membandingkan apa yang dikatakan orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakannya sepanjang waktu; 4. Membandingkan keadaan dan perspektif dengan berbagai pendapat dan pandangan rakyat biasa, orang berpendidikan menengah atau berpendidikan tinggi dan orang pemerintahan. b. Trianggulasi dengan metode, dalam teknik ini terdapat dua strategi, yaitu : 1. Pengecekan derajat kepercayaan temuan hasil penelitian dalam prosedur pengumpulan data. 2. Pengecekan derajat kepercayaan sumber data dengan metode yang sama. 37

Lexy J. Maleong, Metodologi Penelitian kualitatif (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996),

103. 38

Ibid, 178.

21

c. Trianggulasi dengan teori, dalam penggunaan teknik ini peneliti akan melakukan pengecekan dengan membandingkan teori yang sepadan melalui rival explanation (penjelasan banding), dan hasil studi ini akan dikonsultasikan lebih lanjut dengan subyek studi sebelum peneliti anggap cukup. Namun pada penelitian ini penulis hanya menggunakan dua macam teknik triangulasi dalam menganalisis data-data penelitian, yaitu teknik triangulasi dengan teori dan triangulasi dengan sumber.

J. Kerangka Penulisan

PENDAHULUAN Bagian pendahuluan dalam tulisan ini memuat beberapa bahasan yang meliputi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penulisan, batasan masalah, asumsi, hipotesa, signifikansi penulisan, tinjauan pustaka, kerangka teoritis, metode penelitian, dan kerangka penulisan.

BAB I GAMBARAN UMUM INTERAKSI UMAT BERAGAMA DI DESA BATU HAPU Bab ini akan menguraikan bagaimana gambaran umum masyarakat desa Batu Hapu termasuk umat Kristen yang ada, bagaimana persepsi warga desa Batu Hapu terhadap umat Kristen yang ada, pandangan pihak aparatur pemerintahan desa maupun pihak terkait terhadap umat Kristen di desa Batu Hapu, lalu bagaimana pola interaksi yang telah terjalin antar warga maupun dampak positif negatif yang timbul akibat interaksi umat Kristen dengan umat Islam. 22

BAB II TINJAUAN TEORI PARADIGMA MISI KONTEKSTUAL Bab II akan menguraikan apa saja yang merupakan unsur-unsur paradigma misi kontekstual menurut para teolog seperti; David J. Bosch, Widi Artanto, dan Jan S. Aritonang, menggali sumber-sumber teologis misi dalam naskah PL dan PB sebagai acuan eksegese misi kontesktual, kemudian dasar yuridis yang menjamin dan melindungi kebebasan semua orang untuk beragama maupun beribadah.

BAB III ANALISIS KONTEKS DAN MISI GEREJA Bab III akan menguraikan hasil analisis antara teori dan realita interaksi Islam dan Kristen di desa Batu Hapu dalam rangka merancang kembali konsep paradigma misi yang ideal sebagai model interpretasi dalam mewujudkan komitmen Gereja untuk terlibat dalam misi Allah, mendiskusikan beberapa pendekatan oikumenis agar kekristenan di Batu Hapu dapat diterima sebagai bagian yang integral di masyarakat desa Batu Hapu, bagaimana seharusnya umat beragama membangun persepsi dalam menciptakan relasi yang dialogis, beberapa upaya dan strategi yang harus dilakukan semua pihak dalam rangka merawat keberagaman dalam kerukunan antar umat beragama di desa Batu Hapu.

PENUTUP Bagian ini berisi refleksi teologis dan merupakan kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan berikut saran bagi pihak-pihak terkait yang memiliki peran sebagai peace keeper dalam konteks interaksi antar umat beragama.

23

BAB I GAMBARAN UMUM INTERAKSI UMAT BERAGAMA DI DESA BATU HAPU

Dalam bab ini penulis akan memaparkan hasil penelitian di lapangan mengenai interaksi Kristen dan Islam di desa Batu Hapu. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara kualitatif (qualitative interview). Dalam teknik ini, peneliti melakukan wawancara terstruktur dan tidak terstruktur dengan responden.39 Penulis juga memaparkan gambaran umum warga masyarakat di desa Batu Hapu. Bagaimana persepsi umat Islam, pandangan aparatur pemerintahan desa dan aparatur pemerintahan kecamatan terhadap umat Kristen di desa Batu Hapu, kemudian interaksi positif negatif yang telah terjalin antar warga berikut dampak dari interaksi tersebut. Dibagian akhir bab ini penulis memaparkan seperti apa tantangan umat Kristen dalam interaksinya dan upaya mereka dalam membangun kerukunan dengan umat Islam. Jumlah responden40 yang diwawancarai berjumlah 20 (dua puluh) orang responden, yang terdiri dari 7 orang umat/tokoh Kristen, 7 orang umat/tokoh Islam, dan 6 orang dari aparatur pemerintah desa/kecamatan.

A. REALITA MASYARAKAT 39

Bdk. John W. Creswell, Research Design – Pendekatan Metode Kualitatif, Kuantitatif, dan Campuran, Edisi 4 (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016), 254. 40 Data responden terdapat pada lampiran III.

24

1. Gambaran Umum Masyarakat Hatungun adalah salah satu kecamatan yang terletak di Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan, Indonesia. Hantungun merupakan hasil pemekaran dari kecamatan Binuang. Desa Batu Hapu adalah salah satu desa yang terdapat di wilayah administratif kecamatan Hatungun. Selain itu terdapat delapan desa lain yang berada di wilayah kecamatan Hatungun yaitu: Asam Randah, Bagak, Burakai, Hatungun, Kambang Kuning, Matang Batas, Tarungin, dan Pandulangan.

a. Keadaan Geografi41 Desa Batu Hapu merupakan daerah yang berada di dataran tinggi dengan kordinat 3°07'42.2" LS 115°10'25.5" BT, dengan ketinggian 30-90 mdpl, topografi 0-60%, jenis tanah podsolik merah kuning42 dan aluvial43, curah hujan 1300-3900 mm/tahun, jumlah hari hujan 257 hari/tahun, bulan basah 25,5/hari, bulan kering 10,09/hari, pH tanah 5,5 - 6,5, kelembaban udara 70-80%, suhu rata-rata 25-30 C.

41

Berdasarkan wawancara mendalam dengan SEKDES desa Batu Hapu (Bpk.Mardiono), pada Kamis, 07/12/2017 dengan menunjukkan profil desa tahun 2017. 42 Tanah podsolik merah kuning atau sering disingkat PMK adalah tanah yang terbentuk karena curah hujan yang tinggi dan suhu yang sangat rendah dan juga merupakan jenis tanah mineral tua yang memiliki warna kekuningan atau kemerahan. Oleh Aulialia dalam https://ilmugeografi.com/ilmu-bumi/tanah/tanah-podsolik-merah-kuning diakses pada Sabtu, 14/04/2018 pukul 11:50 wita. 43 Tanah aluvial merupakan jenis tanah yang terbentuk dari endapan, baik endapan di sungai maupun danau. Endapan tanah yang ada di sungai maupun danau ini banyak dimanfaatkan untuk lahan pertanian. Secara umum tanah ini ada yang memiliki tekstur kasar dan halus. Oleh Fly Geost dalam www.geologinesia.com/2018/01/tanah-aluvial.html?m=1 diakses pada Sabtu, 14/04/2018 pukul 12:21 wita.

25

Gambar I. Peta Desa Batu Hapu44

No. 1.

2. 4. 5. 6.

Kondisi dan Peruntukan Lahan Tanah Kering Tegal/lading Pemukiman Pekarangan Tanah Persawahan Sawah irigasi ½ teknis Sawah tadah hujan Tanah Perkebunan Luas Kuburan Luas Pekarangan Luas Taman Perkantoran Luas Pekuburan Luas Prasarana umum lainnya

Luas Wilayah

Keterangan

1.897,75 ha 40.733 ha 150 ha

Total luas keseluruhan 42.788,25 ha

25 ha/m2 75 ha 1.797,75 ha 1 ha/m2 150 ha 5 ha/m2 0,5 ha/m2 1 ha/m2 3 ha

Total luas keseluruhan 100 ha -

Tabel III. Wilayah desa Batu Hapu

Warga desa Batu Hapu, memanfaatkan kekayaan alam yang ada untuk menunjang kehidupan mereka. Misalnya untuk berkebun, menanam tanaman 44

Foto scan dari arsip yang diperlihatkan oleh PJS Camat Hatungun (Bpk. Joko Legawes) di Kantor Kecamatan, pada Sabtu, 03/03/2018.

26

produktif seperti pohon karet, pohon jati, pohon petai, dan tanaman sayuran. Wilayah perairan dimanfaatkan hanya untuk mengairi areal persawahan. Selain digunakan sebagai areal perkebunan warga (pribadi), areal lain yang dekat dengan perbukitan dimanfaatkan warga sebagai wilayah tambang batu gunung. Warga desa menambang batu gunung dengan cara dibakar seharian. Sedangkan peralatan yang digunakan masih tradisional seperti linggis, cangkul, dan palu godam. Kegiatan ini sudah dikerjakan sejak lama dan memang diketahui oleh pejabat desa maupun Kecamatan. Namun dampak dari kegiatan tambang batu gunung ini, merusak lingkungan. Terdapat banyak lubang bekas galian, bahkan ada beberapa bukit yang dihancurkan guna mengambil bebatuannya. Padahal wilayah desa Batu Hapu dikenal memiliki destinasi wisata perbukitan batu kapur dan goa. Secara keseluruhan luas wilayah desa Batu Hapu 42.788,25 ha, jarak tempuh dari Kecamatan Hatungun sejauh 2 km, 31 km dari Kabupaten Tapin (Rantau), dan 96,3 km dari Banjarmasin45. Secara administratif Desa Batu Hapu dibagi menjadi 12 RT dan 4 RW. Sebelah Utara Sebelah Selatan Sebelah Timur Sebelah Barat

: Desa Banta / Kec. Salam Babaris : Desa Tarungin : Desa Banta / Kab. Banjar : Kec. Binuang

Tabel IV. Batas wilayah desa Batu Hapu

b. Keadaan Demografi46

45

Estimasi jarak berdasarkan citra satelit Imagery DigitalGlobe, Map data Google 2018. Berdasarkan wawancara mendalam dengan SEKDES desa Batu Hapu (Bpk.Mardiono), pada Kamis, 07/12/2017 dengan menunjukkan profil desa tahun 2017. 46

27

Tabel V. Jumlah jiwa berdasarkan jenis kelamin

No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Jenis Petani Buruh Tani Montir Pedagang Keliling PNS TNI Pensiunan PNS/TNI/POLRI Pengusaha kecil dan menengah

Jumlah (org) 500 59 4 4 13 2 3 5

Tabel VI. Jenis mata pencaharian / profesi

Tabel VII. Jumlah jiwa berdasarkan agama

No 1. 2. 3.

Tingkat Pendidikan SR SD SLTP / SMP

Jumlah 6 orang 269 orang 453 orang

28

4. 5. 6.

SLTA /SMA D3 S1

62 orang 5 orang 3 orang

Tabel VIII. Penduduk berdasarkan Pendidikan47

c. Sarana dan Prasarana Desa48 Di wilayah desa Batu Hapu terdapat sarana peribadatan bagi tiap warganya, terdapat 2 bangunan Mesjid, 11 bangunan Langgar/Mushalla, dan 1 Gereja. Sedangkan untuk menunjang pelayanan kesehatan, desa Batu Hapu dilengkapi dengan 1 bangunan Poskesdes, 1 bangunan Posyandu Lansia, dan 1 bangunan Posyandu Balita. Untuk menunjang kegiatan pendidikan, maka di desa Batu Hapu terdapat sarana pendidikan antara lain, 1 bangunan TK, 1 bangunan TK Al-Quran, 2 bangunan SDN, dan 1 bangunan PAUD. Walaupun sarana pendidikan di desa Batu Hapu hanya sampai jenjang SD, namun ada sebagian penduduk yang melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi di luar daerah. Bangunan rumah warga desa Batu Hapu hampir seluruhnya permanen dan tiap kepala keluarga rata-rata memiliki lahan perkebunan karet sekitar 1 ha. Selain itu ada beberapa warga yang memiliki banyak hak penguasaan tanah dan kebetulan lokasi tanahnya memiliki kandungan batu bara. Biasanya mereka akan menjual lokasi tanah tersebut pada perusahaan batu bara yang juga bersedia membeli dengan harga tinggi. Dalam rangka menggerakkan ekonomi warga agar lebih maju lagi, di desa Batu Hapu juga dilengkapi dengan beberapa sarana penggerak ekonomi, antara 47

Berdasarkan wawancara mendalam dengan SEKDES desa Batu Hapu (Mardiono), pada Kamis, 07/12/2017 dengan menunjukkan profil desa tahun 2013. 48 Berdasarkan wawancara mendalam dengan SEKDES desa Batu Hapu (Mardiono), pada Kamis, 07/12/2017 dengan menunjukkan profil desa tahun 2017.

29

lain 5 kelompok Usaha Simpan Pinjam perempuan, 30 bangunan toko, 1 bangunan KSP-UP2K PKK, dan 1 bangunan UPPKS.

d. Jemaat Kristen Umat Kristen yang berada di desa Batu Hapu, merupakan binaan dari Jemaat GKE Binuang. Jadwal peribadatan umum hari Minggu dilaksanakan pada pukul 08:00 wita, namum pada pukul 07:00 wita terlebih dahulu dilaksanakan kegiatan Sekolah Hari Minggu, sedangkan ibadah rumah tangga dilaksanakan 2 kali dalam sebulan.

No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.

Kelengkapan KK SIDI Jiwa Penatua Diakon Guru SHM Rumah Pembinaan / Pos PI Pastori Kebun

Jumlah 8 20 24 3 1 1 1

Keterangan Laki-laki: 8 orang; Perempuan: 12 orang Laki-laki: 10 orang; Perempuan: 14 orang Alamat: Jl. Samping Goa, RT 12, RW 3 Dalam proses pembangunan Karet

Tabel IX. Data umat Kristen di desa Batu Hapu

2. Persepsi Umat Islam Terhadap Umat Kristen Persepsi terhadap umat Kristen di desa Batu Hapu dari warga dan beberapa aparatur pemerintahan yang beragama Islam bervariasi. Penulis juga menggali pemahaman responden dari kelompok Islam terhadap regulasi pemerintah yang berkaitan dengan relasi antar umat beragama, dalam Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 8 dan 9 tahun 2006. Karena informasi tersebut akan membantu penulis untuk mendalami bagaimana nantinya arah persepsi responden, khususnya yang beragama Islam. 30

Ketika wawancara berlangsung, baik terstruktur maupun non-struktur, penulis juga menemukan adanya inkonsistensi dari tiap responden dalam memberikan keterangan.

a. Warga Desa Responden yang diambil adalah warga desa Batu Hapu yang beragama Islam. Hampir semua tidak pernah mendengar mengenai Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 8 dan 9 tahun 2006. Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat, hanya ada 2 orang responden yang menyatakan pernah mendengar peraturan tersebut. Dalam keterangannya Ismawanto dan Karisma menyatakan pernah mendengar/mengetahui tentang peraturan tersebut, namun ketika ditanyai lebih lanjut darimanakah informasi tersebut didapatkan, masing-masing memberikan keterangan : “Di Rantau (dari Bupati), sewaktu apel gabungan dengan Bupati”49 “Pernah mendengar, lupa dari siapa”50 Dari 2 orang yang menyatakan pernah mendengar peraturan tersebut, terlihat bahwa mereka nampaknya tidak terlalu memahami apa dan bagaimana isi dari peraturan yang dimaksud penulis. Sedangkan 5 orang lainnya menyatakan tidak pernah mendengar perihal peraturan tersebut. Namun dalam wawancara

49 50

Berdasarkan wawancara dengan Ismawanto, pada Selasa, 02/01/2018. Berdasarkan wawancara dengan Karisma, pada Jumat, 12/01/2018.

31

mendalam, salah satu responden yaitu Dwi51 mengatakan hal yang berbeda, dirinya mengatakan : “...itu aturan mendirikan bangunan untuk sembahyang kan? Kalau aturan itu pernah dulu ada dari ORMAS Islam sosialisasi, katanya kalau umat lain jemaahnya tidak sampai 90 KK tidak boleh mendirikan bangunan sembahyang...” Pernyataan tersebut berbeda dengan pernyataan sebelumnya, dimana yang bersangkutan menyatakan tidak tahu mengenai peraturan tersebut. Berdasarkan hemat penulis informasi tersebut tidak tepat, jika mengacu pada Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 8 dan 9 tahun 2006. Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat. Maka jumlah jiwa yang diperbolehkan untuk mendirikan bangunan rumah ibadah adalah 90 orang, bukan 90 KK.52 Sedangkan ketika penulis menanyakan apa maksud dari ‘toleransi antar umat beragama’, seluruh responden agak lama berpikir dan ketika penulis menggantinya dengan kalimat ‘kerukunan antar umat beragama’ barulah masingmasing responden merespon dengan jawaban masing-masing, antara lain : “Tidak mengganggu ibadah orang lain”53 51

Responden adalah ketua RT 12, dimana wilayah tersebut terdapat 7 KK warga Kristen tinggal. Informasi direkam pada Sabtu, 13/01/2018 antara pukul 17:33 wita. 52 Bdk. Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 8 dan 9 tahun 2006. Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat. Pasal (14), ayat(2), butir (a) yang berbunyi “daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3)”. 53 Berdasarkan wawancara dengan Mu’at, pada Jumat, 29/12/2017.

32

“Menghormati orang kalau mau sembahyang”54 “Semua orang beragama hidup rukun”55 “Tidak memusuhi agama lain (Kristen dan yang tidak punya agama)”56 “Saling membantu kalau yang lain punya hajatan”57 “Menjaga kerukunan di desa Batu Hapu”58 “Menjaga keaman desa dari fitnah / hasutan”59 Dari setiap pernyataan tersebut memperlihatkan bahwa rata-rata responden adalah orang yang menjaga relasi baik dengan umat Kristen. Ketika ditanyakan mengenai anggota keluarga yang beragama lain, hanya ada 2 responden yaitu Mu’at dan Katimin yang memiliki keluarga yang beragama Kristen, dan masingmasing menyatakan bahwa tetap rukun satu sama lain, walaupun agama mereka berbeda. Dibagian lain masing-masing responden menyatakan tidak pernah berselisih paham/bertengkar dengan umat Kristen dan juga masing-masing responden tidak pernah diajak maupun ditawari oleh penduduk yang beragama Kristen, untuk keluar dari agama Islam. Namun pernyataan yang berubah dilontarkan oleh Katimin, terkait perselisihan dengan umat Kristen : “...pernah ribut dengan wong (orang) Kristen, masalah batas tanah. Itu pak Karyadi (red. salah satu warga desa yang pernah beragama Kristen dan sekarang masuk Islam) pernah mencabut batas tanah kami, katanya itu miliknya buat dibikin Gereja”60 Namun berdasarkan penuturan yang bersangkutan, permasalahan tersebut sudah diselesaikan secara kekeluargaan, sehingga tidak sampai menimbulkan keributan antar umat beragama. Kemudian ketika penulis menanyakan perihal 54

Berdasarkan wawancara dengan Ismawanto, pada Selasa, 02/01/2018. Berdasarkan wawancara dengan Dwi, pada Rabu, 03/01/2018. 56 Berdasarkan wawancara dengan Rudiath, pada Kamis, 04/01/2018. 57 Berdasarkan wawancara dengan Katimin, pada Minggu, 07/01/2018. 58 Berdasarkan wawancara dengan Pitoyo, pada Kamis, 11/01/2018. 59 Berdasarkan wawancara dengan Karisma, pada Jumat, 12/01/2018. 60 Berdasarkan wawancara mendalam dengan Katimin, pada Selasa, 09/01/2018. 55

33

umat Kristen yang ada di desa Batu Hapu, maka seluruh responden menjawab demikian : “Mereka baik, menghargai kami sebagai umat Islam”61 “Baik”62 “Baik, mau membantu kalau ada hajatan”63 “Tidak mengganggu, karena mereka juga saudara kita”64 “Mereka warga desa Batu Hapu”65 “Menghargai yang Islam, mau ikut kalau ada acara di desa”66 “Cukup membantu kalau ada acara Maulid Nabi”67 Berdasarkan informasi dari masing-masing responden, nampaknya warga desa yang beragama Islam menerima dengan baik keberadaan umat Kristen, dan umat Kristen juga mampu berbaur dengan baik di lingkungannya. Kemudian, responden dari kelompok Islam tidak merasa terganggu dengan keberadaan umat Kristen. Sedangkan untuk mengamati pemahaman responden mengenai peraturan pendirian rumah ibadah dan peran serta Pemerintah dalam memelihara kerukunan umat melalui pertemuan rutin, maka hanya ada 3 responden yaitu Mu’at, Ismawanto, dan Karisma yang menyatakan pernah mengikuti pertemuan tersebut. Para responden juga sepakat untuk bersedia hidup berdampingan dengan umat Kristen, bahkan ketika berbicara masalah pendirian rumah ibadah (Gereja), mereka tidak mempermasalahkan pembangunan tersebut.

b. Aparatur Pemerintah 61

Berdasarkan wawancara dengan Mu’at, pada Jumat, 29/12/2017. Berdasarkan wawancara dengan Ismawanto, pada Selasa, 02/01/2018. 63 Berdasarkan wawancara dengan Dwi, pada Rabu, 03/01/2018. 64 Berdasarkan wawancara dengan Rudiath, pada Kamis, 04/01/2018. 65 Berdasarkan wawancara dengan Katimin, pada Minggu, 07/01/2018. 66 Berdasarkan wawancara dengan Pitoyo, pada Kamis, 11/01/2018. 67 Berdasarkan wawancara dengan Karisma, pada Jumat, 12/01/2018. 62

34

Tidak begitu jauh berbeda dengan para aparat pemerintahan desa maupun Kecamatan, mengenai Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 8 dan 9 tahun 2006. Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat, hanya Jaenuri (KADES), Winarsih (bendahara UP2K), Yani (bendahara TP PKK), dan Joko Legawes (PJS Camat) yang menyatakan pernah mendengar perihal peraturan tersebut, selebihnya menyatakan belum pernah mendengar. Sedangkan mengenai sosialisasi peraturan tersebut pada warga masyarakat, masing-masing responden yang menyatakan pernah mendengar peraturan tersebut, menyatakan : “Sudah pernah, sewaktu MUSRENBANG tahun 2015”68 “Sudah, oleh Pak KADES”69 “Sudah pernah, pertemuan rutin di kantor desa”70 “Sudah disosialisasikan kepada para RT dan RW se-wilayah Kecamatan Hatungun, supaya diteruskan kepada warganya”71 Seberapa sering informasi tersebut disampaikan pada warga masyarakat, maka hanya KADES dan PJS Camat yang paling mengetahuinya dan masingmasing menyatakan : “Pernah, kalau tidak salah ada 3 kali sosialisasi”72 “Sesuai instruksi Bupati ada beberapa kali, tapi setiap ada kesempatan kami sosialisasikan lagi, agar menjaga kerukunan umat beragama”73

68

Berdasarkan wawancara dengan Jaenuri, pada Sabtu, 13/01/2018. Berdasarkan wawancara dengan Winarsih, pada Kamis, 18/01/2018. 70 Berdasarkan wawancara dengan Yani, pada Jumat, 19/01/2018. 71 Berdasarkan wawancara dengan Joko Legawes, pada Sabtu, 03/03/2018. 72 Ibid. Jaenuri, pada Sabtu, 13/01/2018. 73 Ibid. Joko Legawes, pada Sabtu, 03/03/2018. 69

35

Sedangkan Winarsih, hanya melontarkan pernyataan bahwa sosialisasi tersebut merupakan tugas KADES. Kemudian mengenai kekerasan, penolakan, kerusuhan antara umat beragama di desa Batu Hapu, apakah pernah terjadi maka hanya Jaenuri dan Joko Legawes dalam pernyataannya menyebutkan bahwa : “Pernah, tapi dari orang di luar desa Batu Hapu, ribut masalah perempuan (laki-lakinya Kristen, perempuannya beragama Islam)”74 “Pernah, dari orang luar, kalau warga Batu Hapu rukun saja”75 Informasi dari Jaenuri76 permasalahan tersebut terjadi antara tahun 2011. Permasalahan tersebut sebenarnya hanya merupakan bentuk kesalahpahaman antar warga, khususnya pemuda desa Batu Hapu. Perempuan (suku Jawa, Islam) penduduk desa Batu Hapu, berpacaran dengan seorang laki-laki (suku Batak, Kristen). Laki-laki ini bekerja di salah satu perusahaan tambang batu bara yang berkantor di wilayah kecamatan Binuang dan secara kebetulan lokasi tambangnya berdekatan dengan desa Batu Hapu, ia sendiri tinggal di Binuang. Perempuan tersebut merupakan salah satu kembang desa yang banyak menarik hati para pemuda di desa Batu Hapu. Akan tetapi, karena laki-laki Kristen ini bekerja di perusahaan tambang batu bara, maka perempuan tersebut lebih memilih laki-laki Kristen. Di wilayah kecamatan Hatungun dan kecamatan Binuang, bekerja di perusahaan tambang batu bara merupakan pekerjaan idaman yang dianggap mampu mengubah status sosial keluarga bagi warga disekitarnya. Karena laki-laki ini sering bertamu ke rumah perempuan tersebut, maka ada beberapa pemuda desa yang merasa iri. Sehingga pada suatu kesempatan, 74

Berdasarkan wawancara dengan Jaenuri, pada Sabtu, 13/01/2018. Berdasarkan wawancara dengan Joko Legawes, pada Sabtu, 03/03/2018. 76 Berdasarkan wawancara mendalam dengan Jaenuri, pada Kamis 12/04/2018. Responden enggan menyebutkan siapa saja nama orangnya. 75

36

beberapa pemuda desa Batu Hapu menjegat dan mengancam laki-laki tersebut. Entah bagaimana selanjutnya, beberap waktu kemudian laki-laki tersebut datang ke desa Batu Hapu dengan membawa kawan-kawannya yang bekerja di tambang batu bara mencari beberapa pemuda yang mengancamnya. Karena merasa kampungnya diserang oleh orang luar, keluarga dari salah satu pemuda desa Batu Hapu (yang kebetulan adalah Ustadz/guru ngaji), merasa tidak terima. Apalagi setelah mengetahui bahwa yang datang menyerang adalah orang Batak dan beragama Kristen. Masih berdasarkan penuturan dari Jaenuri, perusahaan tambang batu bara yang ada di wilayah kecamatan Hatungun dan kecamatan Binuang hampir seluruh jabatan penting dipegang oleh orang-orang Batak. Sedangkan masyarakat desa (termasuk Batu Hapu) paling tinggi hanya sebagai pengawas lapangan, selebihnya adalah karyawan biasa. Permasalahan tersebut hampir melebar menjadi keributan antar desa, bahkan warga desa Batu Hapu (sebagian saja) sudah sempat menutup jalan areal pertambangan yang melintasi desa mereka. Sedangkan menurut Joko Legawes 77, isunya bahwa orang-orang Batak hendak menganiaya salah satu warga desa Batu Hapu. Selain itu ada oknum lain yang memperkeruh suasana dengan menyebarkan berita kalau sekelompok Kristen Batak mau mengkristenan keluarga si ‘anu’, ada yang menghina agama Islam, Batak mau memukuli orang Jawa, dan orang Batak membawa lari anak gadis keluarga si ‘anu’. Penyelesaian masalah waktu itu tidak sampai melibatkan aparat kepolisian, yang terlibat camat Hatungun, kepala desa Batu Hapu, RT setempat, dan pemuka agama Islam. 77

Berdasarkan wawancara mendalam dengan Joko Legawes, pada Rabu 11/04/2018. Pada waktu itu beliau masih menjabat sebagai SEKCAM Hatungun.

37

Dari informasi yang dihimpun, penulis tidak menemukan adanya akibat dari permasalahan tersebut terhadap umat Kristen di desa Batu Hapu. Sehingga ketika kejadian tersebut, umat Kristen tidak mendapat reaksi negatif dari umat Islam di desa Batu Hapu. Melalui informasi yang disampaikan Jaenuri dan Joko Legawes, permasalahan tersebut sudah diselesaikan secara kekeluargaan antara warga desa, pihak keluarga pemuda desa Batu Hapu, pihak perusahaan, dan kelompok Batak. Kemudian mengenai ada atau tidaknya laporan keberatan terhadap kegiatan ibadah agama Kristen, hanya Jaenuri yang menyatakan pernah ada laporan keberatan terkait kegiatan ibadah umat Kristen sedangkan responden lainnya menyatakan tidak ada. Ketika dikonfirmasi ulang kepada Jaenuri 78 mengenai laporan keberatan tersebut, beliau ternyata tidak mengetahui secara persis bagaimana kejadiannya. Dirinya menyampaikan bahwa pada waktu itu ia hanya mendengar dari beberapa orang tetangga. Ketika penulis mencoba melacak informasi tersebut, penulis mendapatkan sedikit informasi dari Pnt.Catur Wituhu 79 beliau mengatakan bahwa benar pernah ada laporan keberatan dari KADES Batu Hapu sebelumnya (Bpk. Moh.Kandam) kepada pihak Kecamatan terhadap kegiatan peribadatan umat Kristen. Namun kejadian tersebut sudah cukup lama, yaitu sekitar tahun 1997. Karena yang melaporkan keberatan terhadap kegiatan peribadatan umat Kristen adalah KADES, maka ibadah di bangunan pos PI yang ke-2 terpaksa dihentikan dan hanya dilaksanakan di Gereja GKE Binuang. Adapun bangunan pos PI yang sekarang adalah bangunan yang ke-3, didirikan 78

Berdasarkan wawancara mendalam dengan Jaenuri, pada Kamis 12/04/2018. Pada waktu itu beliau masih belum menjabat sebagai KADES Batu Hapu. Ketika penulis menanyakan keberadaan para tetangga yang disebutkan, responden mengatakan bahwa mereka sudah pindah dari desa Batu Hapu. 79 Berdasarkan wawancara mendalam dengan Pnt.Catur Wituhu, pada Jumat 13/04/2018.

38

pada tahun 1997. Sedangkan bangunan yang ke-2 dibangun pada tahun 1982, dan bangunan yang pertama dibangun pada tahun 70an. Baik bangunan yang pertama, kedua, dan ketiga berbentuk rumah dengan perizinan sebagai tempat tinggal. Ketika penulis menanyakan keberadaan Moh.Kandam pada informan, beliau mengatakan bahwa yang bersangkutan rupanya telah lama meninggal dunia. Bahkan anggota keluarganya yang lain tidak tinggal lagi di desa Batu Hapu. Menurut pengakuan Pnt.Catur Wituhu, Moh.Kandam memang tidak menyukai keberadaan umat Kristen di desa Batu Hapu. Selanjutnya penulis tidak mendapatkan informasi tambahan terkait hal tersebut, karena informan yang mengetahuinya terbatas bahkan agak lupa. Apabila

terjadi

konflik

antar

umat

beragama,

bagaimana

penanggulangannya, tiap responden menyatakan : “Kami akan kumpulkan ke balai desa, secara kekeluargaan saja, malu kalau sampai masalahnya keluar”80 “Selesaikan secara kekeluargaan, kalau perlu bawa ke Polsek Hatungun”81 “Bawa ke balai desa atau lapor Polisi”82 “Selesaikan dengan baik, lapor ke KADES dan Pak Camat”83 “Kalau bisa, secara kekeluargaan saja, tidak perlu ribut-ribut”84 “Kami akan damaikan secara kekeluargaan, bila perlu melibatkan KADES maupun aparat keamanan”85 Jika dilihat dari pernyataan tiap responden, maka sebagai aparatur pemerintahan mereka memiliki sikap yang baik sebagai pengayom masyarakat, karena

lebih

mengedepankan

aspek

kekeluargaan

dan

terbuka

dalam

menyelesaikan masalah di wilayah kerja mereka. Sedangkan mengenai 80

Berdasarkan wawancara dengan Jaenuri, pada Sabtu, 13/01/2018. Berdasarkan wawancara dengan Mardiono, pada Senin, 15/01/2018. 82 Berdasarkan wawancara dengan Salbiyah, pada Selasa, 16/01/2018. 83 Berdasarkan wawancara dengan Winarsih, pada Kamis, 18/01/2018. 84 Berdasarkan wawancara dengan Yani, pada Jumat, 19/01/2018. 85 Berdasarkan wawancara dengan Joko Legawes, pada Sabtu, 03/03/2018. 81

39

dialog/pertemuan khusus menyangkut umat beragama di wilayah kecamatan Hatungun, bisa dikatakan bahwa pemerintah desa maupun Kecamatan belum/tidak memiliki agenda yang rutin terkait pertemuan tersebut. Hal ini dinyatakan oleh masing-masing responden sebagai berikut : “Pertemuan resmi belum pernah, tapi kalau sambil kumpul-kumpul sewaktu ada acara / kegiatan bisa juga”86 “Tidak pernah, pernah di Kabupaten di Rantau”87 “Pernah, sewaktu acara Maulid di Mesjid”88 “Pernah diundang, tapi tidak ikut”89 “Tidak pernah”90 “Mungkin sebelumnya pernah”91 Jika Salbiyah menyatakan bahwa pernah mengetahui/mengikuti dialog antar umat beragama di wilayah kecamatan Hatungun, maka bisa jadi informasi tersebut terbatas hanya untuk umat Islam saja karena dialog tersebut dilaksanakan ketika ada acara keagamaan mereka. Kemudian, Jaenuri menyatakan tidak pernah ada pertemuan resmi, pertemuan hanya dilaksanakan ketika ada kegiatan lain, maka kemungkinan besar dialog khusus terkait kerukunan umat beragama bukan menjadi pokok topik untuk dibicarakan. Padahal idealnya topik tersebut harus mendapatkan perhatian dan porsi khusus dalam sebuah diskusi/pertemuan khusus juga. Pada lain kesempatan, penulis mendiskusikan pernyataan dari Salbiyah dan Jaenuri pada Pnt.Supriadi. Terkait informasi dari Jaenuri yang menyatakan bahwa dalam setiap kesempatan selalu ada dialog khusus, dirinya menyatakan : 86

Ibid. Jaenuri, pada Sabtu, 13/01/2018. Ibid. Mardiono, pada Senin, 15/01/2018. 88 Ibid. Salbiyah, pada Selasa, 16/01/2018. 89 Ibid. Winarsih, pada Kamis, 18/01/2018. 90 Ibid. Yani, pada Jumat, 19/01/2018. 91 Ibid. Joko Legawes, pada Sabtu, 03/03/2018. 87

40

“...itu cuma ngomong-ngomong biasa aja. Kalau kumpul sama KADES ya pas ada kerja bakti atau rapat di desa, mana pernah ngomong-ngomong masalah peraturan, dialog agama, paling ngomong biasa aja”92 Kemudian menanggapi informasi dari Salbiyah, dirinya mengakui memang dalam setiap pengajian Islam khususnya di Binuang yang hadir banyak pejabat desa, kelurahan, kecamatan, dan orang penting. Sehingga bisa saja dalam acara pengajian tersebut ada pertemuan/dialog khusus umat beragama. Namun yang sangat disayangkan, bahwa umat Kristen Batu Hapu dipastikan tidak ada yang hadir karena memang tidak pernah diundang. Sedangkan untuk acara-acara pengajian di desa Batu Hapu, memang tidak pernah ada sesi khusus mengenai dialog antar umat Islam dan Kristen. Selain itu, fakta bahwa di wilayah kecamatan Hatungun (dalam hal ini di desa Batu Hapu) aparatur pemerintahnya belum memiliki agenda rutin terkait pertemuan antar umat beragama, didukung juga dengan pernyataan beberapa responden demikian : “Ada, tapi kalau ke desa belum pernah”93 “Ada, di Kabupaten, biasanya tiap tahun ada”94 “Ada, tapi di Rantau”95 “Ada agenda rutin setiap tahun, biasanya pembicaranya dari Banjarmasin, FKUB Kabupaten dan undangan”96 Kemudian ketika penulis menanyakan perihal pendataan umat beragama di wilayah kecamatan Hatungun dan secara khusus yang berada di wilayah desa Batu Hapu, bahwa pendataan antara tahun 2014-2016 hanya ada 2 (dua) agama di

92

Berdasarkan wawancara mendalam dengan Pnt.Supriadi, pada jumat 13/04/2018. Ibid. Jaenuri, pada Sabtu, 13/01/2018. 94 Ibid. Mardiono, pada Senin, 15/01/2018. 95 Ibid. Winarsih, pada Kamis, 18/01/2018. 96 Ibid. Joko Legawes, pada Sabtu, 03/03/2018. 93

41

wilayah desa Batu Hapu yaitu Islam dan Kristen 97, walaupun Jaenuri menyatakan bahwa masih ada penganut agama lain yang tinggal di daerah pegunungan selain Islam dan Kristen. Dibagian akhir dalam wawancara terstruktur, penulis menanyakan pada responden perihal pembangunan rumah ibadah untuk umat Kristen, respon tiap responden berbeda, antara lain : “Kalau didirikan di tanah pribadi, silahkan saja, tapi tetap ada laporan ke desa dan ke Kecamatan”98 “Kalau itu baik, boleh saja, jangan sampai kita membiarkan warga yang Kristen tidak punya tempat sembahyang”99 “Harus sesuai aturan, kalau jemaahnya sedikit di rumah saja bisa dibuat sembahyang”100 “Tidak menghalangi, karena itu haknya mereka”101 “Tidak tahu, kalau ada ijin dari Pak KADES bisa”102 “Aturannya ada jelas, tapi kalau itu tergantung tetangganya saja, kalau kami menjaga ketertiban saja”103 Dari pernyataan masing-masing responden, hanya Mardiono dan Winarsih yang memandang pendirian rumah ibadah untuk umat Kristen dari segi kemanusiaan karena hal itu merupakan kebutuhan umat Kristen sehingga tidak perlu dipersulit dengan berbagai aturan, walaupun sebenarnya sudah ada peraturan yang mengaturnya. Sedangkan menurut 4 responden lainnya, tidak juga menyatakan penolakan dan persetujuan. Dilihat dari cara mereka merespon pertanyaan penulis, jawaban mereka agak berat untuk menyatakan setuju namun

97

Jumlah penduduk desa Batu Hapu berdasarkan agama, dapat dilihat dalam Tabel 5. Ibid. Jaenuri, pada Sabtu, 13/01/2018. 99 Ibid. Mardiono, pada Senin, 15/01/2018. 100 Ibid. Salbiyah, pada Selasa, 16/01/2018. 101 Ibid. Winarsih, pada Kamis, 18/01/2018. 102 Ibid. Yani, pada Jumat, 19/01/2018. 103 Ibid. Joko Legawes, pada Sabtu, 03/03/2018. 98

42

merasa tidak enak hati menyatakan tidak setujunya. Sehingga pernyataan mereka terkesan saling melempar wewenang.

3. Interaksi Antar Umat Sebagai sesama warga masyarakat di wilayah kecamatan Hatungun dan secara khusus sebagai warga desa Batu Hapu, maka sudah sepantasnya tiap warga memiliki tugas dan tanggung jawab untuk sama-sama memelihara kerukunan antar warga. Namun tidak hanya antar warga saja, karena wilayah desa Batu Hapu terdapat 2 (dua) kelompok pemeluk agama maka sudah menjadi kewajiban bersama bagi mereka untuk menciptakan dan menjaga interaksi yang baik antar umat beragama. Dari hasil wawancara dan pengamatan penulis, antara umat Islam dan Kristen di desa Batu Hapu, rupanya sudah ada interaksi yang dibangun dan dijaga oleh masing-masing umat. Berikut uraian mengenai interaksi positif dan negatif yang mewarnai hubungan kedua keompok agama ini.

a. Interaksi Positif Berdasarkan informasi dari responden yang berasal dari umat Kristen dan Islam, kedua kelompok agama ini memiliki interaksi yang baik satu sama lain. Misalnya saja, hal tersebut nampak pada partisipasi wanita dalam pembangunan, di antaranya melalui Program Terpadu Peningkatan Peranan Wanita Menuju Keluarga Sehat dan Sejahtera (Program Terpadu P2WKSS)104 yang dilaksanakan 104

Program Terpadu P2WKSS ini dilaksanakan ditingkat desa di antaranya di Desa Batu Hapu Kecamatan Hatungun, hal ini berdasarkan Keputusan Bupati Tapin Tapin Nomor : 188.45/097/KUM/2013 tanggal 16 Mei 2013. Berdasarkan penuturan Bpk. Mardiono (SEKDES Batu Hapu) melalui wawancara mendalam, di kediamannya pada Selasa, 30/01/2018 antara pukul 17:45 wita.

43

di desa Batu Hapu dan program ini berafiliasi dengan TP-PKK Kecamatan. Keikutsertaan umat Kristen (khususnya yang perempuan) juga diakui oleh beberapa responden yang menyatakan : “Ikut membangun desa tidak usah membedakan agama, sama-sama menanam tanaman obat, aktif di kegiatan PKK”105 “Aktif di ibu-ibu PKK, yang laki-laki biasanya hadir di acara selamatan”106 “Sama-sama aktif di kegiatan PKK di desa atau di Kabupaten”107 Di desa Batu Hapu, para warganya memiliki kebiasaan yang cukup unik. Dimana ketika hari besar agamanya (misalnya Natal atau Idul Fitri), mereka tidak merayakan layaknya masyarakat perkotaan (open house), warga desa Batu Hapu terlihat santai saja layaknya hari-hari biasa. Namun ketika memasuki tahun baru (biasanya 01 Januari), warga desa Batu Hapu yang beragama Islam dan Kristen sama-sama merayakan pergantian tahun dengan beberapa perayaan layaknya menyambut hari raya keagamaan masing-masing. Hal ini menurut Supriadi 108 merupakan tradisi yang sudah sejak lama ada di desa Batu Hapu, sehingga setiap warganya sama-sama juga merayakan ‘hari rayaan’ tanpa membawa agamanya masing-masing, karena perayaan tersebut bersifat umum. Momen lain bentuk interaksi umat Islam dan Kristen ketika masing-masing agama merayakan hari besar agamanya, misalnya ketika memasuki bulan Desember pada perayaan Natal Jemaat. Umat Islam juga ikut terlibat dalam kerja bakti bersama warga yang beragama Kristen, bahkan yang beragama Islam juga ikut hadir dalam perayaan Natal Jemaat. Hal tersebut juga diikuti oleh warga desa 105

Ibid. Salbiyah, pada Selasa, 16/01/2018. Ibid. Winarsih, pada Kamis, 18/01/2018. 107 Ibid. Yani, pada Jumat, 19/01/2018. 108 Pnt. Supriadi, adalah ketua jemaat GKE lingkungan desa Batu Hapu. Dalam wawancara mendalam, pada Senin, 01/01/2018. 106

44

Batu Hapu yang beragama Kristen, ketika warga yang beragama Islam mengadakan acara/kegiatan keagamaan (biasanya perayaan Maulid Nabi Muhammad), warga desa yang beragama Kristen juga ikut dalam kerja bakti bahkan dalam perayaan tersebut. Hal ini dibenarkan juga melalui pernyataan dari beberapa responden : “Saling bantu, saling silaturahmi kalau tahun baru, saling menghadiri acara agama, yang Islam ikut Natalan, yang Kristen ikut bantu kalau ada selamatan / acara Maulidan”109 “Saling bantu, saling menghadiri acara keagamaan”110 “Mengunjungi umat lain, ikut menghadiri acara agama lain”111 “Baik, mau membantu kalau ada hajatan”112 “Menghargai yang Islam, mau ikut kalau ada acara di desa”113 “Cukup membantu kalau ada acara Maulid Nabi”114 Kemudian interaksi lain yang saling menguntungkan antara umat Islam dan Kristen di Batu Hapu, dalam hal bisnis. Sebagian besar mata pencaharian warga desa Batu Hapu adalah petani karet dan penambang batu gunung. Interaksi ini terjalin melalui beberapa warga Kristen yang memiliki lahan tambang batu gunung, perkebunan karet, dan sebagai pembeli (juragan) karet. Tentu saja umat Islam yang ingin berbisnis baik dalam hal jual beli maupun ikut bekerja, mereka akan saling berhubungan dengan baik satu sama lain. Sebaliknya dengan umat Kristen yang tidak memiliki kebun karet maupun lahan tambang batu gunung, ada juga yang bekerja pada umat Islam yang memiliki kebun karet maupun lahan tambang batu gunung.

109

Ibid. Mardiono, pada Senin, 15/01/2018. Berdasarkan wawancara dengan Sukadi, pada Sabtu, 23/12/2017. 111 Berdasarkan wawancara dengan Wusono Adi, pada Rabu, 27/12/2017. 112 Ibid. Dwi, pada Rabu, 03/01/2018. 113 Ibid. Pitoyo, pada Kamis, 11/01/2018. 114 Ibid. Karisma, pada Jumat, 12/01/2018. 110

45

Selanjutnya interaksi lain yang saling menguntungkan antar umat Islam dan umat Kristen, ketika memasuki musim tanam padi. Ada tradisi yang mereka bawa dari tanah Jawa, yang disebut Andipan. Dalam tradisi ini tiap warga yang memiliki lahan persawahan dan akan menanam padi, maka ia akan meminta bantuan warga desa untuk bersama-sama menanam padi. Kemudian apabila ada warga lain yang hendak menanam padi maka orang yang sudah ditolong tadi memiliki kewajiban untuk ikut membantu proses penanaman padi tersebut. Dalam tradisi Andipan ini warga yang membantu tidak meminta bayaran dan kebiasaan ini melibatkan banyak orang tanpa melihat perbedaan agama. Terkait adanya interaksi positif antara umat Islam dan Kristen di desa Batu Hapu, maka ada beberapa responden yang menyatakan bahwa hal tersebut bisa saja merupakan upaya mereka sebagai umat Kristen dalam menjaga kerukunan dengan umat Islam, hal tersebut tertuang dalam beberapa pernyataan, antara lain : “Saling tolong / bantu tanpa pilih-pilih (ringan tangan)”115 “Saling tolong menolong (gotong royong)”116

b. Interaksi Negatif Bagian lain yang memang tidak masuk dalam wawancara terstruktur (panduan wawancara), ketika penulis berusaha menggali kemungkinan adanya dampak negatif terkait interaksi antara umat Islam dan Kristen di desa Batu Hapu. Maka penulis memperoleh informasi tersebut dari beberapa responden melalui wawancara mendalam.

115 116

Berdasarkan wawancara dengan Catur Wituhu, pada Senin, 11/12/2017. Ibid. Sukadi, pada Sabtu, 23/12/2017.

46

Misalnya dalam pendidikan, ada beberapa umat Kristen di desa Batu Hapu yang memiliki anak usia sekolah di tingkat SD, sedangkan tingkat yang lebih tinggi rata-rata disekolahkan di kota Banjarbaru. Anak-anak pada tingkat SD inilah yang mendapatkan perlakuan yang kurang menyenangkan. Teman-teman sekelas mereka yang beragama Islam sering mengolok-olok dengan kalimat “Kristen... Kafir... Masuk neraka... Makan Babi...” 117 pada anak-anak yang beragama Kristen. Kemudian ada beberapa orang guru sekolah ketika mengajar juga membanding-bandingkan (menyalahkan) agama Kristen. Anak-anak yang beragama Kristen tidak memiliki guru mata pelajaran agama Kristen di sekolah. Sehingga mereka harus belajar diluar jam sekolah di Gereja yang berada di desa Padang Sari kecamatan Binuang. Ditambah lagi dengan adanya pengurangan nilai terhadap siswa/i yang beragama Kristen dalam mata pelajaran agama sering terjadi. Salah seorang murid pernah mengatakan bahwa guru pendidikan agama Islam tidak setuju kalau nilai siswa/i yang beragama Kristen lebih tinggi daripada siswa/i yang beragama Islam dan nampaknya hal tersebut disetujui oleh pihak sekolah.118 Menurut Joko Pitono dan Supriadi tindakan seperti itu sangat tidak baik, apalagi yang merasakan ketimpangan tersebut adalah anak-anak yang masih berproses dalam kedewasaan. Tentunya hal tersebut akan berakibat buruk bagi pertumbuhan anak-anak yang beragama Kristen. Misalnya karena terlalu sering diolok-olok oleh teman sekolahnya, bisa saja anak akan bertumbuh menjadi

117

Wawancara singkat dengan beberapa anak SHM di Jemaat Lingkungan Batu Hapu pada Minggu 07/01/2018. 118 Ibid

47

orang-orang yang tidak memiliki rasa percaya diri, sedangkan mereka adalah cikal bakal penerus Gereja (umat Kristen) di desa Batu Hapu.119 Dalam lingkungan kerja (sebagai aparatur pemerintahan desa), bagi perempuan yang beragama Kristen diarahkan secara lisan memakai jilbab ketika masuk kantor maupun ketika mengikuti kegiatan di luar desa. 120 Tidak jauh berbeda dengan yang laki-laki, mereka juga diwajibkan mengikuti tradisi dalam Islam misalnya pada bulan puasa mereka juga diwajibkan untuk membayar zakat.121 Hal tersebut sebenarnya sangat ditentang oleh Supriadi selaku Penatua, beliau menyatakan bahwa sebagai orang Kristen “bisa saja berbaur namun tetap tidak melupakan jati diri ...”. Dirinya menambahkan, walaupun terlihat sepele (khususnya penggunaan jilbab) hal itu bisa berdampak pada ketidak jelasan jati diri mereka sebagai orang Kristen dan bisa saja dianggap oleh sebagian orang, yang bersangkutan sudah mualaf.

119

Hal tersebut disampaikan dalam wawancara mendalam oleh bapak Joko Pitono dan Supriadi pada Senin, 29/01/2018. 120 Hal tersebut disampaikan oleh ibu Estu Wilujeng pada Senin, 05/02/2018 dalam sebuah wawancara mendalam. Beliau adalah salah satu pegawai di kantor desa Batu Hapu. 121 Ibid, Joko Pitono pada Senin, 29/01/2018.

48

Gambar II. Warga Kristen yang memakai jilbab (no. 1 dan no 2)

Dalam pergaulan kaum muda/i Kristen dengan umat Islam, terutama yang perempuan cenderung kurang suka bergaul dengan pemuda di lingkungannya karena mereka kerap kali kurang sopan dalam bertutur kata. Sehingga hal tersebut mengakibatkan para pemudi Kristen terlihat sombong, tidak mau berbaur dengan pemudanya. Kemudian berdasarkan penuturan dari Supriadi122, bahwa bangunan Rumah Pembinaan Kristen (pos PI) yang saat ini dipakai sebagai tempat ibadah masih belum memiliki IMB. Padahal menurut penuturannya, seluruh dokumen yang diperlukan untuk menerbitkan IMB sudah disampaikan ke desa (pada KADES) sejak tahun 2008, namun hingga sekarang belum ada kejelasannya. Bahkan ketika ditanyakan di Kecamatan, mereka belum menerima dokumen atau rekomendasi dari pihak desa. Tidak patah semangat di tahun 2013, dirinya melalui bantuan kerabat yang bekerja di kantor kecamatan Hatungun kembali mengirimkan dokumen yang diperlukan untuk menerbitkan IMB langsung ke Kecamatan tanpa melalui desa dan hingga sekarang123 masih belum ada jawaban dari pihak Kecamatan. Masih menurut Supriadi124, bahwa IMB sangat diperlukan supaya keberadaan bangunan tersebut tidak diusik oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, khususnya jika mereka sudah tidak ada lagi. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari seluruh responden yang beragama Islam, mereka tidak pernah mendapatkan atau mengalami adanya interaksi yang tidak menyenangkan/intimidasi dari umat Kristen. Penulis 122

Disampaikan Pnt.Supriadi dalam wawancara mendalam, pada Senin, 01/01/2018. Hingga tahun 2018 dan Camat yang dimaksud sudah berganti dengan Camat yang baru. 124 Ibid. Pnt.Supriadi, pada Senin, 01/01/2018. 123

49

memaklumi hal tersebut, karena memang jumlah umat Kristen lebih sedikit dibandingkan dengan umat Islam.

B. DAMPAK, TANTANGAN, DAN UPAYA Adanya interaksi negatif antara Islam dan Kristen di desa Batu Hapu, secara khusus dampaknya memang sangat dirasakan oleh umat Kristen. Kelompok Kristen yang merasakan akibat dari interaksi negatif tersebut antara lain; anakanak, aparatur desa, dan pengurus Gereja (Penatua). Anak-anak diperhadapkan pada tantangan yang sangat berat, pada usia yang masih sangat muda mereka

sudah menerima

perlakuan yang kurang

menyenangkan dari sekolah. Padahal sekolah seharusnya menjadi tempat yang menyenangkan bagi anak-anak dalam proses pembentukan karakter secara formal. Olok-olok dari kawan sekolah dan tindakan pilih kasih guru yang mengajar, dikhawatirkan akan membentuk karakter tidak percaya diri. Salah satu anak SHM, Revina (kelas 5 SD) mengaku bahwa dirinya pernah dihina di kelasnya karena dia beragama Kristen. Kemudian anak lainnya, Nita (kelas 5 SD) pernah mendapat perlakuan kurang menyenangkan dari wali kelasnya. Nilai ulangan agama Kristen mendapat angka 90, tetapi di rapor berubah menjadi 70. Begitu pula dengan umat Kristen yang bekerja sebagai aparatur pemerintahan desa, khususnya ibu-ibu yang harus menggunakan busana muslim (jilbab) di kantor ataupun ketika ada pertemuan. Pada kesempatan yang berbeda, Firmaningsih125 menyatakan bahwa memang tidak dipaksakan untuk mengenakan 125

Disampaikan dalam wawancara mendalam, pada Selasa, 03/04/2018. Beliau adalah istri dari Pnt.Catur Wituhu (lht. Gambar 2, no 2).

50

jilbab. Namun pada setiap kesempatan teman-teman sekerja dan atasan seringkali menyindir (memaksa secara halus) supaya beliau mau menggunakan jilbab. Terkadang juga mereka mengatakan “supaya serasi... supaya sama... supaya keliatan seragam... biar kompak” sehingga beliau merasa tidak enak dan akhirnya terpaksa memakai jilbab. Tidak jauh berbeda dengan Estu Wilujeng126 dirinya mengakui bahwa merasa tidak nyaman saja kalau tidak memakai jilbab, karena kawan sekantor tidak terlalu mau dekat dengannya. Setelah dirinya mengenakan jilbab, perlakuan kawan-kawannya menjadi lebih akrab. Mereka berdua juga mengakui merasa tidak enak dengan warga Kristen yang lain, karena berpakaian seperti umat Islam. Mengenai hal tersebut Pnt.Supriadi pernah mengingatkan agar tidak takut menolak ajakan memakai jilbab, supaya orang lain tahu kalau mereka non-muslim. Mengenai bangunan rumah Pembinaan Kristen (pos PI) yang hingga saat ini belum memiliki IMB, Jemaat Batu Hapu cukup merasa khawatir. Menurut pengakuan Pnt.Catur Wituhu, memang saat ini KADES, pemuka agama Islam, dan Camat tidak mempermasalahkan adanya bangunan pos PI tersebut. Akan tetapi dirinya tidak berani menjamin bagaimana tahun-tahun selanjutnya, apabila mereka sudah tidak ada lagi. Kemudian bagaimana apabila pimpinan desa, Kecamatan, dan pemuka agama Islam berganti dengan orang-orang yang tidak menyukai adanya Kekristenan di desa Batu Hapu. Berbeda dengan para muda/i yang beragama Kristen terutama pemudinya, tidak terlalu merasakan dampak dari interaksi negatif tersebut. Hal ini dikarenakan

126

Disampaikan dalam wawancara mendalam, pada Selasa, 03/04/2018 (lht. Gambar 2, no 1).

51

setelah lulus di tingkatan SMP maupun SMA, rata-rata mereka melanjutkan pendidikannya di luar desa Batu Hapu. Menurut informasi dari salah satu orang tua murid 127 terkait pengurangan nilai di sekolah, hal tersebut dikarenakan tidak adanya guru sekolah yang beragama Kristen. Sehingga anak-anak yang beragama Kristen tidak terawasi atau paling tidak jika ada, guru tersebut bisa membantu mengurus nilai-nilai pelajaran agama di sekolah. Masih menurut orang tua murid128 terjadinya pengurangan nilai pelajaran agama dikarenakan lingkungan sekolah mayoritas beragama Islam. Mengenai hal tersebut, dirinya pernah protes/menanyakan pada pihak sekolah (wali kelas, guru yang lain, bahkan kepala sekolah) namun hanya sebatas didengarkan saja tanpa ada perbaikan. Kemudian mengenai pakaian muslim (jilbab) dalam lingkungan kerja, salah satu129 aparatur desa menyampaikan bahwa dia terikat peraturan dan kebiasaan ibu-ibu lain yang menggunakan jilbab di lingkungan kerja. Dirinya juga mengakui bahwa memang tidak memiliki keberanian untuk bicara dengan atasan suapaya yang beragama Kristen tidak perlu menggunakan jilbab. Selain itu memang keluarganya tidak mempermasalahkan penggunaan jilbab sewaktu di kantor, selain itu suaminya adalah mantan pemeluk Islam yang pindah ke Kristen. Menurut Pnt.Supriadi130 kesulitan dalam memperjuangkan IMB bagi rumah Pembinaan Kristen (pos PI) dikarenakan hanya Penatua (pengurus Gereja) saja yang mengupayakannya. Sedangkan warga jemaat yang lain hanya melihat 127

Berdasarkan wawancara mendalam dengan Estu Wilujeng, pada Minggu, 15/04/2018. Berdasarkan wawancara mendalam dengan Dwi Ekanewati, pada Minggu, 15/04/2018. 129 Ibid. Estu Wilujeng, pada Minggu, 15/04/2018. 130 Berdasarkan wawancara mendalam dengan Pnt.Supriadi, pada Minggu, 15/04/2018. 128

52

bahkan tidak terlalu mempedulikan hal tersebut. Dirinya juga mengatakan bisa saja hal itu karena pengaruh pendidikan mereka yang kurang. Selain itu dirinya juga mengakui, kalau kesulitan tersebut dikarenakan keterlibatannya dalam politik / PILKADES di tahun 2016 lalu. Calon KADES yang dijagokan olehnya dan memiliki kontrak politik bersedia membantu mengurus perijinan bangunan ibadah, tidak terpilih. Sedangkan menurut Pnt.Catur Wituhu131 sulitnya memiliki IMB tersebut dikarenakan mereka tidak memiliki jaringan (orang dalam) di PEMKAB Tapin. Namun dengan keterbatasan yang ada, umat Kristen di desa Batu Hapu tetap berupaya agar dampak-dampak negatif tersebut dapat diminimalkan dengan tetap mengusahakan membangun kerukunan dengan umat Islam. Hal tersebut tertuang melalui beberapa pernyataan responden, ketika penulis menanyakan bagaimana upaya mereka dalam membangun dan menjaga relasi dengan umat Islam. Masingmasing responden menyatakan : “Ikut membaur, namun tidak melupakan jati diri, Pendeta diminta untuk tidak menyinggung umat Islam dalam khotbahnya, terutama ketika Natal”132 “Saling tolong / bantu tanpa pilih-pilih (ringan tangan)”133 “Saling menghargai satu sama lain”134 “Mendekati perangkat desa, mau membantu jika diperlukan”135 “Saling menghargai, tidak membedakan, jangan memulai keributan / masalah dengan pemeluk agama lain”136 “Saling tolong menolong (gotong royong)”137 “Saling menghargai”138 131

Berdasarkan wawancara mendalam dengan Pnt.Catur Wituhu, pada Minggu, 15/04/2018. Berdasarkan wawancara dengan Pnt.Supriadi, pada Selasa, 12/12/2017. 133 Berdasarkan wawancara dengan Pnt.Catur Wituhu Adi, pada Senin, 11/12/2017. 134 Berdasarkan wawancara dengan Joko Pitono, pada Kamis, 14/12/2017. 135 Berdasarkan wawancara dengan Sih Fatmo Adi, pada Rabu, 20/12/2017. 136 Berdasarkan wawancara dengan Estu Wilujeng, pada Kamis, 21/12/2017. 137 Ibid. Sukadi, pada Sabtu, 23/12/2017. 138 Ibid. Wusono Adi, pada Rabu, 27/12/2017. 132

53

Tentunya setiap upaya tersebut tidak serta merta langsung menghilangkan dampak-dampak yang timbul akibat dari interaksi negatif dengan umat Islam di desa Batu Hapu. Namun dengan kegigihan dan iman, maka bisa saja seluruh dampak negatif tersebut berbuah toleransi yang sangat tinggi di desa Batu Hapu. Karena toleransi antar umat beragama harus tercermin pada tindakan-tindakan atau perbuatan yang menunjukkan umat saling menghargai, menghormati, menolong, mengasihi, dan lain-lain. Termasuk di dalamnya menghormati agama dan iman orang lain, menghormati ibadah yang dijalankan oleh orang lain, tidak merusak tempat ibadah, tidak menghina ajaran agama orang lain, serta memberi kesempatan kepada pemeluk agama menjalankan ibadahnya.

54

BAB II TINJAUAN TEORI PARADIGMA MISI KONTEKSTUAL

Dalam bab ini penulis akan menguraikan apa saja unsur-unsur paradigma misi menurut pemikiran beberapa teolog (Jan Sihar Aritonang, Widi Artanto, dan David Jacobus Bosch). Bagian ini juga akan menggali sumber-sumber teologis misi dalam naskah Kitab Suci sebagai acuan eksegese misi kontesktual. Pada bagian lain, penulis juga akan memaparkan dasar-dasar yuridis terkait relasi antar umat beragama termasuk regulasi dalam pembangunan rumah ibadah berdasarkan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 8 dan 9 tahun 2006.

A. PARADIGMA MISI, DAHULU DAN KINI

55

Misi adalah tugas total dari Allah yang mengutus Gereja demi keselamatan dunia. Gereja diutus ke dalam dunia untuk mengasihi, melayani, mengajar, berkhotbah, menyembuhkan dan membebaskan. Penginjilan adalah keterlibatan dalam kesaksian tentang apa yang sudah, sedang, dan akan dilakukan Allah sehingga memperoleh respon berupa pertobatan yang merupakan transformasi total dari respon seluruh sikap dan gaya hidup manusia yang terus berlangsung seumur hidup. Jadi, misi tidak sama dengan penginjilan, namun penginjilan adalah bagian yang integral dari misi. Misi lebih luas dari penginjilan.139 Setiap agama selalu mempunyai unsur pemberitaan, sebab dengan cara demikianlah agama-agama itu tersebar. Yesus menolak sikap yang tidak memperlihatkan konsistensi antara apa yang dikatakan dengan apa yang dilakukan atau dengan kata lain keterpisahan antara bentuk dan isi ajaran agama. Tidak hanya terpaku pada kehidupan agamawi yang formalitas dan legalitas saja, kita akan terperangkap dalam kekakuan-kekakuan iman yang pada akhirnya akan bermuara pada banyak pertentangan.140 Dalam melakukan misi tidak hanya berfokus pada Pekabaran Injil tetapi juga melakukan pelayanan secara jasmani. 141 Tujuan tertinggi dari misi Allah yang membawa syalom itu adalah “Kerajaan Allah” atau pemerintahan Allah yang membawa kemuliaan bagi nama-Nya yang merupakan fokus utama dari karya dan pernyataan diri-Nya.142

139

E. Ef. Tarigan, Peluang Misi dalam Konteks Kemajemukan Bangsa dalam Iman dan Paradoks (Jakarta: CV. Mulya Sari, 2002), 4. 140 A. A. Yewangoe, Agama dan Kerukunan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 96. 141 Theodorus Kabbong, Pemahaman Pekabaran Injil dalam Konteks Pluralis di Indonesia dalam Agama dan Praktis (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004), 186. 142 Yakob Tomatala, Teologi Misi (Jakarta: YT Graduate Schol Of Leadership, 2003), 24-25.

56

Menurut penulis, gerakan misi sudah dimulai sejak manusia mengenal dan mempelajari agama. Adanya interaksi antar umat beragama (positif atau negatif) merupakan dampak gerakan misi dari masing-masing pemeluk agama. Pada hakikatnya misi merupakan upaya tiap pemeluk agama untuk mempromosikan keunggulan-keunggulan dari agamanya. Namun adakalanya ketika memasuki skala yang lebih luas, maka upaya tersebut bisa dianggap sebagai suatu gangguan atau ancaman bagi kelompok (agama) tertentu. Oleh karena itu paradigma misi tiap zaman mengalami transformasi, menyesuaikan waktu dan tempat dimana misi itu berlangsung dengan pemeluk agama lain. Berikut ini merupakan paradigma misi menurut pandangan beberapa tokoh, yang telah berkembang sejalan dengan perkembangan sejarah misi itu sendiri:

1. Jan S. Aritonang143 Jan Sihar Aritonang (Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia: 2004), mengemukakan bahwa konflik (fisik, literatur, ideologi) bukan satusatunya ‘warna’ dalam hubungan Kristen-Islam, nuansa konflik kepentingan merupakan faktor yang sangat kuat mempengaruhi perjumpaan kedua agama ini, sehingga berdampak juga pada misi masing-masing agama. Aritonang mencatat perjumpaan awal Islam-Kristen terjadi pada zaman Portugis, Spanyol, dan VOC. Setelah itu, perjumpaan berlanjut pada masa Hindia Belanda dengan tokoh-tokoh seperti CL Coolen (1775-1873), FL Anthing (1820-1883), Ibrahim Tunggul Wulung (± 1885), dan Kiai Sadrach (1835-1924). Di masa Hindia Belanda ini, 143

Hasil resume penulis terhadap buku Jan S. Aritonang, Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004).

57

Aritonang menguraikan politik Islam pemerintah kolonial termasuk politik etis yang memberi dampak pada hubungan Kristen-Islam dengan munculnya berbagai organisasi politik dan agama seperti Sarekat Islam, Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, Persatuan Islam, Jong Islamieten Bond, Partai Arab Indonesia, Majelis Islam A’laa Indonesia, termasuk juga beberapa organisasi dan tokoh Kristen seperti Rencono Budiyo dan Mardi Pracoyo, Perserikatan Kaum Christen (PKC), dan Partai Kaum Masehi Indonesia (PKMI). Aritonang mencatat perjumpaan Islam-Kristen pada masa Orde Lama, di antaranya menyangkut tentang pemberontakan DI/TII/NII, perdebatan di Konstituante, dan masalah penyiaran agama. Sementara pada masa Orde Baru dicatat beberapa hal, seperti SKB No 1/1969 tentang pembangunan rumah ibadah144, RUU Perkawinan 1973, perkawinan beda agama, RUU Pendidikan Nasional, RUU Peradilan Agama, serta rangkaian kerusuhan dan perusakan Gereja. Perjumpaan di era reformasi ditandai dengan rangkaian kerusuhan di Kupang, Poso, Ambon-Maluku, Kalimantan, rangkaian ledakan bom di beberapa Gereja, isu Piagam Jakarta, serta UU Pendidikan Nasional tahun 2003. Melalui pemaparan J.S.Aritonang, penulis melihat bahwa dalam setiap perjumpaan antara Kristen dan Islam di Indonesia adakalanya mengalami situasi pasang surut. Ada banyak titik singgung negatif yang muncul oleh karena 144

Aritonang menyebutkan bahwa MENDIKBUD di era Soeharto, Daoed Joesoef, seorang Muslim yang saleh, pernah memprotes SKB 1969. Dalam memoar 2006, Joesoef menulis percakapannya dengan Soeharto tentang aturan itu. Dia berkata pada Soeharto bahwa aturan itu tidak akan menciptakan “kerukunan umat beragama.” Dia berpendapat, aturan itu akan menyediakan “dasar formal bagi para sektarian ekstrem” untuk menindas minoritas agama di Indonesia dan akan menciptakan ketidak setaraan diantara warga negara Indonesia. Joesoef minta Soeharto membatalkan aturan itu. Namun Soeharto tak merespons usulan tersebut. Joesoef menyesali birokrat dan politisi Kristiani tak ada yang menentang SKB itu.

58

persoalan politik, ekonomi, hukum, masalah teologi seperti misi, bahkan yang sepele dan tidak punya hubungan langsung dengan masalah agama. 145 Tetapi, ada juga relasi yang baik antara dua agama ini terutama ketika mereka sama-sama berjuang demi kemerdekaan bangsa dan dalam upaya menyingkirkan PKI. Aritonang juga mengutip pendapat Peter L. Berger yang mengatakan bahwa tantangan modernitas terhadap agama ada dua, yaitu sekularisasi dan keagamaan. Dalam kenyataannya masyarakat modern tidak selalu mengalami sekularisasi jika yang dimaksud dengan istilah ini, bahwa agama hanya menjadi persoalan pribadi. Di banyak tempat termasuk Amerika, agama adalah persoalan publik. Tantangan yang lebih berat terhadap agama justru keragaman agama. Menurutnya dalam menghadapi tantangan keragaman, para penganut agama bisa memilih salah satu dari tiga sikap: 1. Reconquista atau penaklukan keragaman kepada kesatuan; 2. Mengasingkan diri dari hiruk-pikuk keragaman; 3. Membuka diri untuk berdialog. Semua pilihan mengandung risiko, tetapi dialog nampaknya adalah pilihan yang tepat dan realistis. Sistem politik demokratis yang kita pilih saat ini tentu telah membuka pintu dialog itu selebar-lebarnya. Namun jika dilihat pada masa sekarang, tentunya akan menimbulkan pertanyaan dapatkah kiranya dialog melahirkan sikap yang positif terhadap keragaman dan usaha yang sungguhsungguh untuk mengelola keragaman itu demi tercapainya bangsa yang damai 145

Misalnya perjumpaan pada era reformasi (1998-2003). Kerusuhan yang terjadi di sekitar jalan Ketapang Jakarta pada tanggal 21/22 November 1998. Perkelahian ini dipicu oleh perkelahian sejumlah pemuda setempat dengan para preman, (sebagian berasal dari suku Ambon, sebagian lagi dari kalangan Batak dan Timor Timur) yang menjaga lokasi tempat hiburan bola tangkas (judi) Mickey Mouse Enko di jalan K.H. Zainul Arifin no.11, kawasan Ketapang – Jakarta Barat. Penyebabnya antara lain karena berebut lahan parkir maupun karena ada di antara penduduk muslim yang merasa terganggu oleh tempat perjudian itu.

59

dan berkeadilan? Jika mengacu pada toleransi maupun saling menghormati antar sesama pemeluk agama, maka interfaith merupakan langkah handal yang dapat dilakukan untuk membangun hubungan dan kerjasama yang baik antara pemeluk agama Islam dan Kristen. Selain itu perlu dilihat juga (kemungkinan) dari usaha-usaha teologis untuk membangun hubungan Kristen-Islam yang lebih baik, dari sudut sosialnya perlu dikembangkan bersama paham pluralisme. Dalam mengembangkan ini, kita mengenal dua istilah yang membenarkan usaha membangun hubungan antar agama, yaitu; pertama, menuntut pemahaman yang benar mengenai keberadaan agama lain, dan kedua, komitmen kepada iman sendiri. Perpaduan kedua hal ini menjadikan kita seorang beragama yang terbuka, beragama secara sosial, atau yang berarti antar agama. Maka, paradigma ini bisa dipertimbangkan atau menjadi dasar untuk membangun paham pluralisme. Hal yang terungkap secara eksplisit dalam kajian Aritonang tentang perjumpaan Islam dan Kristen di Indonesia dari abad ke-16 sampai abad ke-21 adalah posisi agama yang lebih sering menjadi sarana kepentingan politik sesaat. Sehingga mengakibatkan munculnya rasa saling curiga dan perbedaan persepsi antar dua agama yang berbeda ini. Rasa saling curiga dan perbedaan persepsi inilah yang akhirnya membawa bentuk-bentuk perjumpaan yang keras (hard encounter) antara Islam dan Kristen selama ini di Indonesia. Namun pada bagian akhir, Aritonang setidaknya mengusulkan paradigma baru dalam bermisi: pertama, agar umat Kristen dan Islam berlomba-lomba mengungkapkan keberagamannya secara kontekstual dan tidak terus-menerus

60

mengikatkan diri secara kaku dengan tradisi dan warisan, entah dari Barat atau Timur Tengah. Kedua, agar umat Kristen dan Islam, terus membangun kesediaan untuk mengakui keterbatasan masing-masing dalam hal agama, bahkan dalam memahami wahyu, firman, dan kehendak Tuhan. Dengan demikian, bisa membebaskan diri dari sikap mutlak-mutlakan. Ketiga, agar umat Kristen dan Islam tidak terus-menerus membenarkan diri dalam setiap permasalahan. Masingmasing pihak diharapkan bersedia mendengar dan memahami permasalahan, pemikiran, dan perasaan partner dialog. Keempat, agar umat Kristen dan Islam bersedia memperkuat komitmen untuk melanjutkan dialog secara mandiri, dan karena itu tidak perlu bergantung pada pemerintah, yang pada masa lalu sering kali terasa berlebihan. Kelima, agar umat Kristen dan Islam bersedia secara bersama-sama melihat keadaan dan permasalahan bangsa ini. Keenam, agar umat Kristen dan Islam bersedia belajar terus-menerus dari sejarah, termasuk hal-hal yang pahit dan kurang menyenangkan dan dari kesalahan yang dilakukan pada masa lalu. Ada ungkapan akhir dalam buku ini yang patut direnungkan secara seksama yakni, "ada banyak pengalaman keseharian dalam diri kita masing-masing untuk tidak terlalu sulit membangun hubungan yang saling menghargai dan saling menghormati, tanpa harus kehilangan identitas dan integritas. Namun kemudian dalam skala yang lebih luas, hubungan itu menjadi terganggu ketika agama dijadikan alat politik. Oleh karena itu, sebaiknya agama tidak menjadi pijakan, apalagi kendaraan untuk berkecimpung di dunia politik praktis."

61

Tidak ada cara yang lebih praktis untuk membangun rasa saling memahami, selain kedua agama ini memiliki kemauan baik untuk saling mendengar. Jika keduanya tidak siap dan tidak mau berjumpa dengan iman lain dengan sikap pengertian dan penghargaan, maka hambatan yang ada selama ini tidak akan berubah, kecuali mungkin akan bertambah buruk.

2. David J. Bosch146 David Jacobus Bosch (Transformasi Misi Kristen: 2012) mendefinisikan kata “misi” memiliki pengertian yang cukup luas. Sebagai umat Kristen, bermisi merupakan kewajiban untuk mengabarkan berita kebenaran kepada segala bangsa. Kata misi dapat juga diartikan sebagai pengutusan para misionaris ke suatu daerah demi melakukan kegiatan penginjilan. Secara teologis, misi juga mengandung arti penyebaran dan perluasan firman Allah kepada orang-orang yang belum mengenal Allah. Lalu yang menjadi pertanyaan siapa sebenarnya yang memiliki kuasa untuk mengutus? Dalam makalah pada Konferensi Brandenburg tahun 1932, Karl Barth menjadi salah satu teolog pertama yang mengartikulasikan misi sebagai suatu aktivitas Allah sendiri. Pemikirannya telah mempengaruhi Konferensi IMC di Willingen tahu 1952, dengan konsep Missio Dei. Misi dipahami berasal dari Allah sendiri. Menurut Barth konsep misi harus diletakkan dalam konteks Tritunggal, maksudnya Allah Bapa mengutus Anak-Nya, Allah Bapa dan Anak mengutus Roh Kudus, akhirnya diperluas dengan menjadi Bapa, Anak, dan Roh Kudus mengutus 146

Hasil resume penulis terhadap buku David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012).

62

Gereja ke dalam dunia. Konferensi itu, menegaskan tentang misi sebagai partisipasi di dalam pengutusan oleh Allah. Inisiatif misi datang dari Allah sendiri. Setelah Willingen, konsep Missio Dei perlahan-lahan mengalami modifikasi yang maksudnya bahwa keprihatinan Allah ditujukan kepada dunia, maka seluruh dunia pun seharusnya menjadi cakupan Missio Dei. Misi adalah tindakan Allah yang berpaling kepada dunia, dihubungkan dengan penciptaan, pemeliharaan, penebusan, dan penggenapan. Misi berlangsung dalam sejarah manusia yang biasa, bukan secara eksklusif di dalam dan melalui Gereja. Misi Allah lebih besar dari misi Gereja. Missio Dei adalah kegiatan Allah yang merangkul baik Gereja maupun dunia dan di dalamnya Gereja memperoleh hak istimewa untuk berperan serta. Pengertian yang sangat luas, istilah “misi” adalah Allah yang Maha Kuasa sebagai pengutus dan orang-orang yang diutus diberi tugas untuk melaksanakan kehendak-Nya. Tugas pokok dari kehadiran Gereja di tengah kemajemukan agama adalah bersaksi, menyatakan pengakuan imannya dihadapan dunia, agar semua manusia mengerti, mengetahui, mengenal, dan menerima Yesus Kristus sebagai Juruselamatnya. Dalam situasi dan kondisi pluralitas agama-agama sekarang ini, tentu bukan dengan sikap eksklusif melainkan inklusif yang dialogis dan terbuka terhadap agama-agama lain. Setiap manusia mempunyai kesempatan untuk mengenal Yesus Kristus sebagai Tuhan dan Juruselamat, sehingga sudah semestinya Gereja hadir bukan hanya untuk dirinya sendiri dan tidak untuk anggota-anggotanya saja. Untuk memberikan kesaksian yang penuh tentang Injil haruslah dengan peduli pada

63

gerakan humanisme, misalnya situasi orang yang kelaparan, sakit, korban-korban HAM, dll. Kehadiran Gereja di tengah kemajemukkan agama sebagai kesaksian bukan untuk membuat konflik, tetapi hadir dengan pertalian kebersamaan melalui pergaulan sehari-hari dan kesaksian itu membuahkan perdamaian. Oleh karena itu, sudah seharusnya setiap orang Kristen memberlakukan kebaikan Tuhan di dalam pergaulannya sehari-hari dengan siapapun dan kapanpun. Justru dengan tindakan dan pergaulan baik yang terjadi itu akan menghasilkan atau membuahkan saling kenal, pengertian, perluasan wawasan, saling koreksi, dan saling berkemauan untuk melakukan yang terbaik demi kepentingan bersama. Itulah kehadiran Gereja yang menjadi saksi dalam kemajemukan agama, bukan menarik orang yang beragama lain untuk menjadi Kristen (Kristenisasi). Itulah misi Kristen bukan hanya pemberitaan Injil. Misi pada hakikatnya untuk menaklukkan dan menyingkirkan, dimana Kekristenan dipahami sebagai sesuatu yang unik, eksklusif, unggul, pasti, normatif dan mutlak, satu-satunya agama yang mempunyai hak Ilahi untuk eksis dan memperluas dirinya. Namun tidak dapat dipungkiri kalau Kekristenan berada diantara para penganut agama lain, sehingga misi tidak harus lagi dipahami sebagai upaya untuk mengeliminasi agama-agama lain. Karena (bisa saja) ada kasih karunia yang menyelamatkan di dalam agama-agama lain, tetapi kasih karunia ini adalah dari Kristus. Hal ini menjadikan orang-orang beragama lain sebagai “orang-orang Kristen anonim” dan memberi kepada agama-agama mereka suatu tempat yang positif dalam rencana penyelamatan Allah. Mereka adalah

64

“jalan-jalan keselamatan yang biasa”, yang terlepas dari jalan keselamatan yang khusus dari Israel dan Gereja. Di dalam yang terakhir itulah mereka menemukan penggenapan. Apabila suatu agama diperhadapkan dengan agama-agama yang lain, hal ini tentu akan menimbulkan persoalan, karena akan terjadi benturan-benturan dalam klaim kebenarannya yang dianggap kebenaran final. Oleh karena itu, kebenaran ini tidak dapat digantikan dengan totalitas kebenaran atau pendapat-pendapat yang menjiwai agama-agama lain. Justru karena itu timbul persoalan, maka dialog sangatlah diperlukan. Skala prioritas yang seharusnya dijadikan acuan adalah bagaimana kita bisa hidup bersama, damai, dan lestari. Pada intinya, gerakan seperti ini adalah berita sukacita untuk semua orang, bahkan untuk seluruh dunia dengan segala isinya. Dalam rangka membangun relasi dengan agama-agama lain, maka hubungan yang dialogis sangatlah berperan untuk membangun relasi ini. Diharapkan dari setiap agama-agama untuk saling membuka diri atas kepercayaan agama lain, tidak saling mereduksi hakikat kebenaran yang ada dalam kepercayaan orang lain (penganut agama lain) namun tetap menghormatinya. Bagi orang Kristen, hal ini seharusnya merupakan sesuatu yang sudah sewajarnya, karena dua alasan: iman Kristen adalah agama kasih karunia (yang dengan cumacuma diterima) dan ia menemukan pusatnya, sampai pada batas yang luas, pada salib (yang juga menghakimi orang Kristen).

65

3. Widi Artanto147 Widi Artanto (Menjadi Gereja Misioner: 2008), mengungkapkan bahwa sejak dalam pemahaman konseptual mengenai misi saja, Gereja-gereja sering “salah kaprah” dan tidak jelas bagaimana formatnya. Pemahaman yang salah kaprah dan tidak jelas mengenai “misi” atau “misioner” itu tercermin dan berdampak dalam implementasi karya misi Gereja yang seringkali juga tidak jelas dan salah kaprah, dalam artian tidak tepat dan tidak relevan dengan konteks Indonesia.148 Artanto mengutip pendapat Aristarchus Sukarto, yang menyatakan bahwa kehadiran Gereja-gereja di Indonesia dalam bentuk dan fungsinya seolah tidak dirasakan oleh masyarakat, akibatnya kehadiran misionernya menjadi tidak jelas. Tampaknya pemahaman misiologis Gereja masih mengacu kepada pemahaman abad ke-19, di antaranya dengan memandang dirinya sebagai umat yang terpilih atau yang paling baik untuk membawa manusia menjadi Kristen. Gereja atau Kekristenan masih dipandang sebagai pusat dunia, pusat untuk memperoleh kebahagiaan berikut keselamatan dan harus menjadi pusat perhatian. Menurut penulis, sebaiknya pola pikir missioner tersebut harus diperbaharui atau dikaji ulang secara kontekstual dengan pendekatan, metode, dan tujuan yang relevan serta efektif. Sehingga bersifat dinamis dan mampu melihat realita serta 147

Hasil resume penulis terhadap buku Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner Dalam Konteks Indonesia. Edisi revisi (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2008). 148 Misalnya, pengaruh dualisme yang masih cukup kuat (Misi menjadi Misi rohani). Gereja masih dilihat dan dipahami sebagai lembaga kerohanian saja yang tidak patut atau tidak perlu mengurusi soal-soal ‘duniawi’, umpamanya masalah-masalah sosial, ekonomi, kebudayaan, dan politik. Pemahaman yang berat sebelah ini sangat tidak memuaskan dalam konteks Indonesia. Apabila Gereja mengurusi soal-soal ‘duniawi’, maka Gereja semacam itu akan dianggap ‘keluar dari bidangnya’.

66

inspiratif terhadap perkembangan atau masalah dalam kehidupan masyarakat masa kini. Gereja harus meninggalkan eksklusivitasnya, karena Kekristenan di Indonesia merupakan bagian dari bangsa Indonesia sendiri. Misi Kristen di Indonesia sudah seharusnya tidak lagi menggunakan identitas Barat. Wajah misi yang lama tidak dapat digambarkan sebagai satu wajah saja, karena dalam sejarah misi nampak dengan jelas terjadinya pergeseran paradigma misi. Dalam era tertentu terdapat beberapa tema dan corak yang mempunyai tekanan berbeda-beda berkaitan dengan pengertian, motivasi, tujuan, dan strategi misi Kristen pada masa lalu. Misalnya saja corak misi dalam pemahaman yang lama, antara lain; Foreign Mission yang Berwajah Kolonial, Misi ‘Civilization’, Misi Penaklukan (penganut) Agama-agama lain, Misi Sebagai Church Planting dan Church Growth, dan Misi Individulistis. Menurut Widi Artanto, wajah misi dalam pemahaman yang lama sangat identik dengan politik kepentingan orangorang Barat. Hal tersebut mengakibatkan tujuan misi masih belum mampu menyentuh banyak orang, secara khusus orang-orang di Indonesia. Setelah berakhirnya dominasi politik Barat maka dimulailah sebuah era baru. Era baru ini ditandai dengan munculnya krisis dan perubahan-perubahan yang begitu cepat dalam abad ke-20. Artanto mengutip pendapat David J. Bosch yang menyebutkan bahwa ada sejumlah faktor yang mendorong terjadinya krisis dalam misi Gereja, yaitu: Perkembangan ilmu teknologi yang menyuburkan sekularisme; “dechristianized” di Barat dalam kehidupan Gereja maupun dunia misi; Barat bukan lagi ‘negara-negara Kristen’ karena sudah dipenuhi oleh orangorang beragama lain juga; terjadinya kesenjangan ekonomi antara negara kaya

67

(Kristen) dan negara miskin (non-Kristen); Munculnya teologi baru dan kontekstual dari Dunia Ketiga, dan Gereja di Dunia Ketiga menuntut otonominya dihargai sehingga ‘wilayah misi’ berubah. Agar suatu teologi yang relevan dapat disampaikan secara efektif di tengahtengah masyarakat maka ‘inkarnasi’ berita Alkitab dalam proses kontekstualisasi teologi harus memperhatikan sistem sosial yang berlaku saat itu. Sehingga berita Alkitab itu menjadi ‘berita baru’ yang lebih bermakna dan diterima oleh sistem sosial yang berlaku disitu. Pendekatan yang digunakan dalam penafsiran adalah pendekatan hermeneutika temu-lintas-teks (cross-textual interpretation). Cara baru membaca Alkitab ini adalah menafsirkan praksis kehidupan sehari-hari dengan pertolongan Alkitab. Widi Artanto telah membagi lima tema dan corak misi yang dapat dijadikan dasar untuk membangun teologi misi Gereja, yaitu: Misi Penciptaan, Misi Pembebasan (Eksodus), Misi Kehambaan, Misi Rekonsiliasi, dan Misi Kerajaan Allah. Lima tema dan corak misi tersebut mencerminkan elemen dasar, motif dan tujuan misi. Dasar misi Gereja adalah misi Kerajaan Allah, sedangkan keempat tema dan corak yang lain adalah motif-motif pokok dari misi Gereja. Motif misi yang luas, bahkan universal adalah misi Penciptaan; Motif misi dalam diri Gereja sendiri dan sikap terhadap orang lain adalah misi Kehambaan; Motif yang dinamis dalam action yang nyata adalah misi Eksodus, sedangkan konsep misi dalam konteks pluralis adalah misi Rekonsiliasi. Istilah

rekonsiliasi

mengandung

arti

perdamaian

atau

kerukunan.

Rekonsiliasi dalam Gereja harus dinyatakan pada umat manusia di dunia ini

68

bahkan dengan seluruh alam semesta. Misi rekonsiliasi yang dilaksanakan oleh Gereja dalam konteks kemiskinan dan keberagaman di Asia menunjukkan dua aspek, yaitu aspek kemanusiaan dan aspek dialog. Misi Rekonsiliasi kemanusiaan selalu mengundang partisipasi dan keterlibatan Gereja yang aktif seperti Yesus sendiri telah menderita dan disalib sebagai wujud keterlibatan-Nya dalam misi rekonsiliasi Allah. Gereja missioner adalah bagian integral misi yang ditujukan kepada dunia namun misi bukan urusan Gereja semata. Tetapi juga merupakan misi para anggotanya di tengah-tengah masyarakat. Karena itulah Gereja tidak menjadikan dirinya sebagai pusat dan tujuan misi, tetapi menghayati spiritualitas transformatif dengan Kerajaan Allah sebagai sumber misi dan menjadikan Kerajaan Allah sebagai arah, tujuan seluruh gerak dan kehidupannya. Oleh karena itu misi Gereja missioner adalah misi Allah sendiri yang tampil dalam lima corak dan tema misi (Misi Penciptaan, Misi Pembebasan, Misi Kehambaan, Misi Rekonsiliasi dan Misi Kerajaan Allah). Implementasi Misi Rekonsiliasi berkaitan dengan pemulihan relasi antar manusia dalam konteks perdamaian dan keadilan. Widi Artanto menyebutkan beberapa implementasi misi rekonsiliasi yang dapat diupayakan Gereja-Gereja di Indonesia, antara lain: a. Penginjilan bukan bertujuan untuk pertambahan anggota, melainkan pemenuhan Kerajaan Allah, karena karya Allah hasilnya tidak dapat diukur secara kuantitas. Penginjilan harus dimulai dengan kesaksian hidup pribadi orang-orang Kristen yang menunjukkan cara hidup beriman, berpengharapan,

69

dan mengasihi. Penginjilan bukanlah misi tunggal Gereja dalam konteks pluralitas agama dan kemiskinan di Indonesia. b. Misi Gereja harus dimulai dengan pertobatan Gereja itu terlebih dahulu. Rekonsiliasi di dalam Gereja adalah bagian integral dari misi ini agar upaya yang dilakukan di tengah-tengah masyarakat memiliki kredibilitas karena Gereja konsisten dan konsekuen terhadap komitmen misinya. c. Keadilan tidak dapat dipisahkan dari perdamaian karena keadilan yang terlepas dari perdamaian hanya hanya akan menimbulkan masalah baru, yaitu terulangnya penindasan dengan wajah baru. Kebencian dan balas dendam dapat dihindari dari dalam konflik ketidakadilan bila sejak semula tujuan perjuangan keadilan bukanlah balas dendam, melainkan keadilan dalam perdamaian dan perdamaian dalam keadilan. d. Secara teologis, dialog adalah jembatan untuk menghubungkan Gereja dengan pluralitas agama di Indonesia sehingga misi ekumene memperoleh makna yang kontekstual. Ekumenisme di Indonesia tidak dapat dibatasi pada hubungan antar Gereja, tetapi harus diperluas menjadi hubungan antar agama agar dapat menjadi suatu basis yang benar-benar serius bagi kerjasama pembangunan masyarakat. Ada beberapa bentuk dialog yang dapat dilakukan Gereja bersama golongan agama lain di Indonesia: i. Dialog kehidupan antarumat beriman, Gereja memotivasi dan mendukung dialog kehidupan yang terjadi antara umat beragama di lingkungan masing-

70

masing. Gereja membuka wawasan dan pemahaman anggota-anggota dan menolong mereka untuk siap mengembangkan dialog kehidupan. ii. Dialog teologis antar iman, dapat diprakarsai oleh pemimpin agama. Dialog yang diadakan secara intelektual yang diisi juga dengan dialog pengalaman spiritual pesertanya. Bertujuan untuk menghayati dan memahami makna teologis dari kehadiran agama-agama lain agar sifat intelektual dan spiritual saling melengkapi. Sehingga perasaan curiga dan klaim-klaim yang bersifat emosional dapat dikendalikan. iii. Dialog dalam aksi bersama, bentuk kerja sama ini membuka peluang untuk bersama-sama menjawab berbagai masalah kemanusiaan yang dihadapi masyarakat Indonesia. Di sinilah letak spiritualitas kehambaan 149, karena dalam dialog dan bekerja sama, semua pihak terutama Gereja harus menghargai kemampuan orang lain untuk berjuang dalam kebersamaan. Dari visi iman Kristen, tujuan dialog dalam aksi adalah kehadiran Kerajaan Allah di bumi Indonesia dengan keadilan, perdamaian, kesejahteraan, dan keutuhan ciptaan sebagai tanda-tandanya. Pemaparan Artanto secara umum ini sesungguhnya mengingatkan kembali akan konsep yang digagas oleh D.R. Maitimoe (Pembangunan Jemaat Misioner: 1978), kurang lebih dua dekade sebelum Artanto. Dalam konsep yang ia kembangkan, Maitimoe sangat menekankan pentingnya: (1) peranan dan gerakan Gereja untuk mengabarkan Injil yang melampaui tembok Gereja, menjangkau 149

Artanto menyebutkan bahwa pada posisi ini Gereja menjadikan sesama dan dunia yang penuh keprihatinan sebagai pusat perhatiannya. Orientasi kehambaan bukan ke atas, melainkan ke bawah, seperti yang dilakukan Kristus sebagai Hamba Tuhan.

71

kemana saja, dan kepada siapa saja; kemudian (2) partisipasi warga jemaat sebagai ujung tombak kehidupan Gereja yang misioner, baik dalam wadah kategorinya maupun secara fungsional. Dari sini terlihat bagaimana “ide dasar” misioner yang dipaparkan Maitimoe itu juga ada pada Artanto. Hanya saja memang pemaparan Artanto lebih komprehensif dan aplikatif untuk konteks Indonesia. Ini tercermin dari adanya perhatian terhadap konteks kerusakan alam atau juga penegakan HAM, sesuatu yang tidak disinggung sama sekali oleh Maitimoe. Hal ini tentunya wajar, karena zaman terus bergerak dan berubah sehingga selalu muncul bentuk-bentuk keprihatian baru yang tentunya mengarahkan kita untuk selalu terbuka pada segala perubahan konsep atau gagasan yang kita pegang selama ini.

B. UNSUR-UNSUR TEOLOGIS MISI Kabar Baik (Karunia Keselamatan) yang dibawa dan diwartakan oleh Kristus merupakan berita sukacita dan damai sejahtera yang harus diberitakan kepada semua manusia di muka bumi ini. Memberitakan Injil adalah tanggung jawab semua orang percaya150, sebab Amanat Agung ini merupakan tugas yang bersifat imperatif. Hal ini menjelaskan bahwa misi menjadi tanggung jawab setiap umat Kristen, karena tema utama seluruh isi Alkitab adalah misi Allah, yaitu rencaan dan tindakan Allah untuk menyelamatkan manusia dari kuasa dosa melalui pengurbanan Kristus.

150

Bdk. Dalam Matius.28:17-20; Markus.16:14-18; Lukas.24:44-49; Yohanaes.20:19-23; Kisah Para Rasul.1:8.

72

Secara teologis, misi berarti pengutusan keluar kepada banga-bangsa di dunia. Dengan tujuan untuk menyampaikan berita keselamatan dan kesukaan (Injil) datangnya Kerajaan Allah dalam Tuhan Yesus Kristus. Dilakukan baik melalui pemberitaan secara lisan maupun melalui pelayanan diakonal yang bersifat kesaksian dan pelayanan secara keseluruhan. Billy Graham mengatakan: “Kita harus betul-betul sadar akan segala sesuatu yang tercakup dalam misi penginjilan, dan akan pentingnya misi seperti yang ditekankan dalam Alkitab. Kita juga harus betul-betul sadar akan pentingnya panggilan untuk menjadi penginjil”.151 Misi Kristen adalah usaha yang berdasarkan Alkitab, untuk itu pada bagian ini akan diuraikan tentang dasar-dasar teologi misi yang didasarkan pada beberapa hal, antara lain: 1. Misi Dalam Perjanjian Lama Dalam Perjanjian Lama (PL) tidak terdapat suatu penegasan yang secara jelas untuk melaksanakan Pekabaran Injil (Misi) kepada bangsa-bangsa. David J. Bosch menyebutkan bahwa dalam PL tidak ada petunjuk bahwa orang-orang percaya dari perjanjian yang lama diutus oleh Allah untuk melintasi batas-batas geografis, keagamaan dan sosial guna memenangkan banyak orang ke dalam iman kepada Allah.152 Sedangkan David R. Brougham mengatakan bahwa “Perjanjian Lama adalah buku misi”.153 Kendatipun demikian, PL merupakan bagian yang asasi bagi pemahaman kita tentang misi di dalam PB.

151

Billy Graham, Beritakan Injil (Bandung: Literatur Baptis, 1992), 36. Bdk. David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen, ... 24. 153 David Royal Brougham, Merencanakan Misi Lewat Gereja – Gereja Asia (Malang: Gandum Mas, 2001), 13. 152

73

Dasar dari misi Kristen adalah rencana Allah yang dinyatakan dalam Alkitab. Allah mempuyai rencana indah dan mulia untuk kebaikan manusia, sebab itu Ia menciptakan manusia menurut gambar dan citra-Nya.154 Sehingga manusia itu memiliki anugerah yang mulia dari Allah. Rencana Allah bagi manusia supaya manusia hidup kudus, sebab Dia yang menciptakan manusia adalah kudus. Bagian utama rencana dari penciptaan Allah atas manusia supaya manusia taat berbakti155 dan beribadah156 hanya kepada Allah. Semua rencana didesain-Nya dengan beraturan dan tertib bahkan menurut hemat penulis, rencana itu telah dipersiapkan jauh sebelum manusia diciptakan. Apabila rencana tersebut mengalami gangguan maka sebagai Allah yang Maha Kuasa, Ia tentu tidak akan membiarkan gangguan apapun menggagalkan rencanaNya. Dengan kedaulatan dan kemahakuasaan-Nya pastilah Ia melakukan suatu tindakan untuk meluruskan kembali rencana-Nya. Ternyata benar, bahwa ada gangguan terhadap rencana-Nya yang mulia dan agung tersebut, masuknya dosa oleh Iblis ke dalam alam semesta yang merusak tatanan yang telah direncanakan Allah.157 Manusia jatuh dalam dosa, hidup terpisah dari Allah dan yang paling menyedihkan manusia tidak dapat lagi memilih untuk melakukan kehendak Allah. Namun demikian, misi Allah tidak dimulai setelah kejatuhan manusia dalam dosa. Melainkan misi itu dimulai dari rencana Allah yang kekal sejak semula. Sesuai dengan rencana Allah semula,

154

Bdk. Kejadian.1:26 – 27. Bdk. Kejadian.2:15 – 16. 156 Bdk. Kejadian.4:3 – 4. 157 Bdk. Kejadian 3. 155

74

maka Ia melakukan suatu tindakan untuk meluruskan (mengembalikan) manusia kepada tatanan yang di kehendaki-Nya, yaitu keselamatan bagi manusia. Di dalam Kejadian 3:15, tersirat janji Allah untuk memulihkan hubungan dengan manusia yang sudah rusak karena dosa supaya kembali kepada-Nya. Berita ini merupakan misi Allah bagi umat manusia dalam mematahkan perlawanan si iblis, diantara keturuanan wanita (Tuhan Yesus Kristus) terhadap keturunan ular (iblis). Berikut juga nubuatan bahwa akan lahir Juruselamat melalui seorang wanita158 serta kemenangan atas maut demi keselamatan umat manusia159. Bagian lain dari janji Allah untuk memanggil kembali manusia yang berdosa, tersirat dalam pemanggilan Abraham yang pertama. Abraham sangat memahami apa yang terkandung dalam panggilannya yang dibuktikan dengan ketaatannya160 pada perintah Allah161. William Dyrness dalam pengamatannya berpendapat: “The Old Testament prepares a universal message which in the New Testament will be a universal mission.”162 Memang pada zaman PL belum terlihat sebagai Gereja yang bersifat missioner, hanya kadang kala tugas panggilan itu dinampakkan secara individual, misalnya melalui Abraham, Musa, Yunus dan nabi-nabi yang lain. Bosch berpendapat bahwa: 158

Bdk. Yesaya.7:14. Bdk. Yesaya.53:5; Matius.1:20-23; Kisah Para Rasul.26:18; Roma.5:18-19; 16:20; I Yoh. 3:8; Wahyu.20:10. 160 Bdk. Kejadian.12:4-9. 161 Bdk. Kejadian.12:1-3. 162 David J. Hesselgrave, Communicating Christ – Cross Culturally (Malang: Literatur SAAT, 2004), 77 mengutip William A. Dyrness, Themes in Old Testament Theology (Downers Grove, Illinois, USA: InterVarsity Press, 1980), 200. 159

75

“Kitab Yunus tidak ada hubungannya dengan misi di dalam pengertian katanya yang umum. Nabi tersebut diutus ke Niniwe bukan untuk memberitakan keselamatan kepada orang-orang yang tidak percaya, melainkan untuk memberitakan penghukuman. Ia sendiripun tidak tertarik pada misi, ia hanya tertarik pada kehancuran.”163 Pada titik ini, ketegangan dialektis PL antara penghakiman dan belas kasihan yang diterima oleh Israel maupun oleh bangsa-bangsa muncul. Deutero Yesaya (Yes.45-55) dan Yunus melukiskan kedua sisi dari mata uang yang sama. Yunus melambangkan umat Israel yang membelokkan pemilihan mereka menjadi sebuah kesombongan. Kitab yang singkat itu tidak bermaksud menjangkau dan menobatkan bangsa-bangsa bukan Yahudi, sebaliknya tujuannya adalah pertobatan dan perubahan hati Israel dan kontras dari kemurahan Allah dengan perspektif dari bangsa-Nya sendiri. Sebaliknya, deutero Yesaya, khususnya dalam metafora hamba yang menderita, melukiskan gambaran tentang Israel yang sudah menjadi penerima penghakiman dan murka Allah, dan yang kini, justru dalam kelemahan dan kerendahannya, menjadi saksi bagi kemenangan Allah. Pada saat perendahan Israel yang paling rendah dan keputusasaan, kita melihat bangsa-bangsa menghampiri Israel dan mengaku, “TUHAN yang setia, ... Yang Maha Kudus, Allah Israel, yang memilih engkau” (Bdk. Yes.49:7).164 Secara garis besar janji Allah pada Abraham dapat di bagi dalam tiga bagian yaitu: (1) Negeri yang akan ditunjukkan165. Sebuah janji mengenai daerah kekuasaan yang akan dimiliki Abraham dan akan di wariskan kepada keturunannya. Janji ini penegasan bahwa melalui Abraham, Allah hendak mengumpulkan bangsa-bangsa dalam satu daerah kekuasaan-Nya melalui 163

Bdk. David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen, ... 24. Lihat juga, Yesaya.45:22; 51:5. 165 Bdk. Kejadian.11:31; 12:1. 164

76

Abraham. (2) Keturunannya menjadi bangsa yang besar166. Allah memberkati Abraham dengan keturunan yang akan menjadi bangsa yang besar dengan tujuan mempengaruhi bangsa lain agar menyembah Allah Abraham. (3) Berkat melimpah sampai ke semua bangsa167. Abraham di berkati dengan sangat berlimpah oleh Allah dengan maksud memperkenalkan diri-Nya pada bangsabangsa, agar menyembah dan percaya pada Tuhan Allah yang di sembah dan di layani oleh Abraham. Demikian halnya dengan iman Israel, saripati iman ini adalah keyakinan yang kuat bahwa Allah telah menyelamatkan para nenek moyang dari Mesir, memimpin mereka sepanjang padang gurun dan menempatkan mereka di tanah Kanaan. Mereka menjadi suatu umat, karena campur tangan Allah. Lebih dari itu, Allah telah mengadakan perjanjian dengan mereka di Gunung Sinai dan perjanjian ini menentukan seluruh sejarah mereka sesudah itu. Di Israel sejarah merupakan arena kegiatan Allah, fokusnya terletak pada apa yang Allah telah, sedang, dan masih akan lakukan, sesuai dengan kehendak-Nya yang telah dinyatakan-Nya. 168 Dengan kata lain, Ia menyingkapkan diri-Nya sebagai Allah Abraham, Ishak dan Yakub, sebagai Allah yang telah aktif di dalam sejarah lampau bangsa Israel. Menyadari panggilan ini Israel bukan saja merupakan bangsa yang ditugaskan Allah untuk memerangi bangsa-bangsa lain. Tetapi sekaligus menjadi motivator untuk menarik bangsa-bangsa yang ditaklukkannya agar dapat menyampaikan seruan pertobatan kepada Allah Israel169. Henk Venema, mengatakan bahwa: 166

Bdk. Kejadian.17:5. Bdk. Kejadian.12:2-3. 168 Bdk. David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen, ... 24 – 25. 169 Bdk. Yesaya.60:3-4 “Bangsa-bangsa berduyun-duyun datang kepada terangmu, dan Rajaraja kepada cahaya yang terbit bagimu. Angkatlah mukamu dan lihatlah ke sekeliling, mereka 167

77

“Dengan pemanggilan Abram, Tuhan mengambil kembali inisiatif dari tangan manusia. Tuhan mengambil kembali kontrol atas langit dan bumi. Tuhan menyatakan diri lagi sebagai Raja segala bangsa dan melanjutkan rencana-Nya. Pemanggilan Abram adalah bukti kuasa Tuhan.”170 Misi berpusat dan berasal dari Allah (Missio Dei), yang merupakan inti dari rencana-Nya yang kekal bagi manusia dan segenap ciptaan-Nya. 171 Hal ini menjelaskan bahwa misi itu dimulai dari dan dalam rencana kekal Allah. George William Peters mengatakan bahwa: “God is God of mission He wants mission, He orders missions, He creates missions, He demands a mission, He makes mission work through His Son, He makes the real mission by sending the Holy Spirit. Biblical Christianity and mission is inseparable.”172 Dari pernyataan di atas dapat dipahami bahwa kekristenan Alkitabiah adalah misi yang memberitakan syalom Allah untuk menarik kembali seluruh ciptaanNya yang berdosa (Bdk. Kejadian.3). Kekristenan adalah misi dan misi adalah kekristenan itu sendiri. Implikasinya, kekristenan yang tidak menjalankan misi Amanat Agung adalah kekristenan seperti tubuh tanpa roh adalah mati dan seperti iman tanpa disertai perbuatan.173 Misi dalam Perjanjian Lama bersifat sentripetal (dari luar ke pusat), dalam pengertian bangsa-bangsa datang kepada Israel sehingga mereka dapat mengenal serta menyembah Tuhan yang benar. Pengalaman/peristiwa sejarah bangsa Israel merupakan persiapan misi keluar (sentrifugal) dalam PB.

semua berhimpuan kepadamu…” Yesaya 62:2 “Maka bangsa-bangsa akan melihat kebenaranmu, dan semua raja akan melihat kemuliaanmu,...”. 170 Henk Venema, Injil Untuk Semua Orang – Pembimbing ke Dalam Ilmu Misiologi (Jakarta: Bina Kasih, 1997), 79. 171 Yakob Tomatala, Teologi Misi (Malang: Gandum Mas, 1987), 25. 172 George W. Peters, A Biblical Theology Of Missions (Chicago: Moody Publishers, 1984), 346. 173 Bdk. Yakobus.2:26.

78

2. Misi Dalam Perjanjian Baru Amanat yang diberikan Tuhan Yesus Kristus untuk memuridkan segala bangsa akan tetap berlaku sampai akhir zaman. Amanat Agung ini merupakan tugas inti dari misi, yaitu “menjadikan murid” dari segala suku bangsa. Fokus inti misi “menjadikan murid” akan melibatkan dan menggerakkan umat Allah untuk pergi sebagai bentuk ketaatan kepada-Nya, yaitu memberitakan Injil. Kekristenan bersifat Kristosentris. Keempat Injil menyajikan catatan yang autentik mengenai pribadi, kehidupan, perkataan, dan karya Kristus. Injil Matius menyebut-Nya sebagai “Mesias”174, “Allah dan Raja segala raja” 175. Injil Markus mengatakan Yesus sebagai “Anak Manusia”176, dan “pelayan”177. Sementara itu dalam Injil Lukas menegaskan Yesus sebagai “yang telah diurapi” 178, “pembebas”179, dan “tabib”180. Sedangkan Injil Yohanes menekankan keilahian Kristus sebagaimana nyata dari penggunaan frasa-frasa seperti “Firman itu adalah Allah”181, “Juruselamat dunia”182, “Anak Allah”, “Tuhan dan Allah”183. Yesus Kristus adalah tokoh utama dalam dunia PB, misi kedatangan-Nya ke dunia sebagai manusia adalah menyelamatkan manusia dari kuasa dosa. Yesus tidak sekedar menyelamatkan manusia dari kuasa dosa, melainkan Ia datang (misi) ke dunia untuk menebus manusia yang telah tergadai oleh dosa dan 174

Bdk. Matius. 16:16. Bdk. Matius.1:1; 2: 1-12; 9:27; 28 : 18. 176 Bdk. Markus.2: 28; 8: 38. 177 Bdk. Markus.10 : 45. 178 Bdk. Lukas.4 : 18. 179 Bdk. Lukas.4 : 19. 180 Bdk. Lukas.5 : 31 -32. 181 Bdk. Yohanes.1 : 1. 182 Bdk. Yohanes.4 : 42. 183 Bdk. Yohanes.20 : 28. 175

79

mengutus mereka anak-anak tebusan-Nya untuk terlibat dalam rencana misi-Nya. Yesus dan segala perintah-Nya tidak terpisahkan dari diri-Nya, karena itu perintah Tuhan Yesus adalah dasar yang kuat bagi misi Kristen. Perintah agung Tuhan Yesus untuk melaksanakan misi disebut dengan Amanat Agung.184 Tentang perintah Amanat Agung sebagai dasar misi Kristen, Tomatala menjelaskan dalam tulisannya dengan mengatakan: “Perintah Amanat Agung menunjukkan tugas inti dari misi, yaitu ‘menjadikan murid’ dari segala suku bangsa. Menjadikan murid adalah fokus inti misi dengan dinamika yang melibatkan dan menggerakkan umat Allah dalam tanggung jawab berikut ini: pertama, pergi, sebagai proses pelaksanaan startegi dan tanda taat kepada Allah untuk memberitakanh Injil. Kedua, baptis, yaitu proses inkorporasi ke dalam wadah umat Allah untuk diteguhkan menjadi anggota Gereja. Ketiga, ajar, sebagai proses konseptualisasi yang menunjang pemahaman, perubahan, dan pendewasaan hidup serta peran umat Allah ”.185 Paradigma misi dari era Gereja awal dapat dilihat dalam pemikiran dan praktek misi yang terkandung dalam Matius, Lukas, Kisah Para Rasul, dan tulisan Paulus. Kitab-kitab tersebut dianggap sudah dapat mewakili pemikiran misiologis dari abad pertama. Matius sebagai seorang Yahudi, dimana dia berada dalam suatu lingkungan misioner yang khas pada abad pertama. Sehingga muncul “Amanat Agung” yang memberi pengaruh pada abad-abad selanjutnya. Lukas yang juga menulis Kisah Para Rasul, menunjukkan kesatuan antara misi Yesus dan misi Gereja awal. Sedangkan Paulus adalah ‘Rasul untuk orang non Yahudi’ yang memberi pengaruh sangat besar terhadap pemikiran dan praktik misi Gereja awal.186

184

Bdk. Amanat Agung yang tertulis dalam Matius.28:18 – 20. Ibid. Yakob Tomatala, Teologi Misi,... 55. 186 Bdk. Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner,... 31. 185

80

a. Paradigma Misi Menurut Matius187 1) Menjadi murid berarti menjadi orang Kristen yang hidup dalam kasih dan keadilan. Kemuridan melibatkan suatu komitmen terhadap Kerajaan Allah dengan melaksanakan keadilan, kasih, dan kesetiaan kepada seluruh kehendak Allah. Misi tidak dipersempit menjadi suatu kegiatan yang menyadarkan manusia-manusia baru dengan jaminan keselamatan kekal. Namun sejak semula keterlibatan misi membuat orang-orang percaya sensitif terhadap kebutuhan orang lain, memberikan mata dan hati untuk mengenal ketidakadilan, penderitaan, penindasan, maupun keadaan yang menyedihkan dari mereka yang terbuang. 2) Matius mengkombinasikan pendekatan pastoral dan propetis dalam misi untuk orang-orang Yahudi dan non-Yahudi, karena Allah tidak membatalkan perjanjian-Nya dengan umat pilihan. Gereja ditemukan di mana murid-murid hidup dalam komunitas yang melaksanakan kehendak Bapa. 3) Walaupun dalam Matius tidak dapat ditemukan begitu saja suatu teori misi yang valid dan universal. Namun terdapat suatu dasar dan arah yang dinyatakan Matius, bahwa melalui dan di dalam Yesus, pelayanan, kematian, dan kebangkitan-Nya, terbukalah jalan misi kepada orangorang non-Yahudi.

b. Paradigma Misi Menurut Lukas188

187 188

Bdk. David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen, ... 87 – 123. Bdk. David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen, ... 130 – 176.

81

1) Menurut Lukas, melalui Roh Kudus, Kristus yang bangkit hadir dalam komunitas Kristen dan tidak berhenti pada peristiwa Pentakosta. Tekanan pada Roh Kudus dan peranan-Nya begitu menonjol karena Lukas melihat realisasi misi Yesus dalam misi Gereja pada saat itu dalam bimbingan dan prakarsa, serta kuasa Roh Kudus. 2) Kesaksian adalah aspek yang sangat penting dalam paradigma misi menurut Lukas. Rasul-rasul adalah mereka yang menjadi saksi Kristus, terutama saksi kebangkitan-Nya. Tujuan misi adalah pertobatan individu dan pengampunan dosa, serta keselamatan. Namun pertobatan individu bukanlah tujuan pada diri-Nya sendiri karena ia menggerakkan orang percaya masuk dalam komunitas Kristen yang pada gilirannya bertanggung jawab terhadap mereka yang berada di luar komunitas. 3) Keselamatan sebagai tujuan misi mempunyai dimensi ekonomis, sosial, politik, fisik, psikologis, dan spiritual. Hal ini nampak dalam tulisan dan perhatian Lukas terhadap relasi orang kaya dan orang miskin. Lukas mempunyai minat yang kuat terhadap keadilan ekonomi karena ia melihat pelayanan Yesus terarah kepada kondisi riil dari orang miskin, buta, dan orang tertindas. 4) Unsur yang menonjol lainnya adalah perdamaian dan rekonsiliasi, hal ini nampak dalam tema-tema penghapusan balas dendam dan cinta kepada musuh. Perdamaian atau rekonsiliasi bagi Lukas adalah bagian integral dari misi Gereja di tengah-tengah dunia.

82

5) Unsur terakhir adalah penderitaan dalam misi seperti nampak dalam kata ‘martyr’ yang mengandung makna kesediaan untuk berkorban. Mulai dari Yesus, Stefanus, dan Paulus, mereka digambarkan sebagai saksisaksi (martyr-martyr) yang mengalami penderitaan sebagai bagian dari misi.

c. Paradigma Misi Menurut Paulus189 1) Keberadaan Gereja adalah suatu konsekuensi dari misi Paulus dalam dunia yang terbagi secara kultural, religius, ekonomis, dan sosial. Setiap orang dibaptis dalam Kristus tidak lagi dibagi dan dibedabedakan. Tiap anggota menemukan identitas mereka dalam Yesus Kristus, lebih daripada di dalam ras, budaya, kelas sosial, atau jenis kelamin. 2) Misi Paulus yang menekankan misi kepada non-Yahudi tidak menutup pintu terhadap orang Yahudi itu sendiri, karena Gereja yang terdiri dari

orang

Kristen

Yahudi

dan

non-Yahudi

adalah

suatu

pengembangan dan interpretasi yang segar dari apa yang dimengerti oleh Judaisme sebagai ‘Israel baru’ atau lebih tepat ‘Israel yang diperluas’. Kedua golongan ini dipersatukan di dalam Gereja. 3) Pemahaman misi Paulus terkait erat dengan konteks parusia Kristus yang diharapkan segera datang. Namun karena belum terjadi, hal itu justru menimbulkan semangat misi yang didorong oleh tanggung jawab besar atas keprihatinan hidup orang lain dalam waktu yang 189

Bdk. David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen, ... 268 – 282.

83

dipahami begitu sempit. Paulus juga menekankan suatu etika yang aktif dalam partisipasi orang Kristen dalam dunia yang ditebus Allah. Kekuatan untuk melayani Kristus dalam hidup sehari-hari merupakan kesaksian di tengah dunia ‘sekuler’ saat itu. Tetapi Paulus juga menolak suatu sikap yang menekankan partisipasi yang terlalu banyak dalam dunia karena pengharapan terhadap parusia yang segera. 4) Dimensi penderitaan merupakan dimensi yang penting dalam teologi misi Paulus, karena praktek misi akan berbenturan dengan kekuasaan dan kekuatan zaman yang menyebabkan penderitaan. Kesediaan untuk menderita dalam kelemahan ini sama sekali bukan kekalahan yang tidak ada artinya.190 5) Bagi Paulus tujuan misi bukanlah Gereja itu sendiri, tetapi rekonsiliasi antara Allah dan dunia. Karena di dalam Kristus, Allah mendamaikan diri-Nya tidak hanya dengan Gereja tetapi dengan dunia. Itulah sebabnya Paulus menyebutkan “semua bangsa” dalam Roma.1:5, sebagai sasaran paling luas dari misi yang diterimanya dari Kristus. Donald Guthrie, mengatakan bahwa Yesus Kristus memandang misi-Nya sebagai sesuatu yang melibatkan orang lain. Hal ini dengan ringkas dikemukakan dalam Yohanes.17:19, dimana Yesus berdoa: “Aku menguduskan diri-Ku bagi mereka, supaya merekapun dikuduskan dalam kebenaran”. Ia tidak hanya berbuat

190

Paulus merefleksikan ‘penderitaan’ melalui suatu dialektika yang sangat indah dalam II Korintus.4:8; 6:8 -10; dan berpuncak dalam II Kor.12:9-10.

84

sesuatu demi/untuk mereka melainkan Ia berbuat sesuatu yang melibatkan mereka.191 Berita utama dalam Perjanjian Baru bahwa Allah Perjanjian Lama yang mengabarkan Injil itu telah datang dalam rupa seorang manusia. Sehingga Ia dapat memberikan keselamatan kepada ciptaan yang dahulu memilih untuk tidak taat kepada-Nya. Tetapi ada lebih dari itu. Kepada mereka yang menerima keselamatan dari Penebus Ilahi yang diutus Allah, diberikan satu tugas untuk mengabarkan ‘berita’ itu keseluruh dunia. Misi dalam Perjanjian Baru bersifat sentrifugal (dari pusat ke luar), yang berarti bahwa dari Gereja atau dari Israel kabar keselamatan akan dibawa keluar kemudian harus disampaikan ke segala bangsa.192 Tidak ada keselamatan tanpa penderitaan Yesus Kristus. Semua ini tergenapi di dalam Yesus Kristus yang bersedia menjadi kurban bagi umat manusia yang berdosa. Misi sedunia adalah kehendak Allah, oleh karena itu setiap orang Kristen harus terlibat dan mengambil bagian dalam pekerjaan yang mulia ini.

3. Teologi Konvergensi Di tengah-tengah pluralitas ini, agenda yang dirasa sangat urgen adalah bagaimana menciptakan sebuah hubungan yang harmonis, terutama bagi para pemeluk agama yang berbeda. Kerukunan antar umat beragama menjadi tujuan utama, karena tidak dipungkiri lagi bahwa perbedaan agama terkadang sering 191 192

Donald Guthrie, Teologia Perjanjian Baru 2 (Malang: Gandum Mas, 1978), 87. Bdk. Lukas.24:47.

85

memunculkan konflik, meskipun terkadang juga faktor-faktor struktural yang lain juga ikut berperan. Di sini, penulis akan menguraikan teologi konvergensi sebagai upaya meretas kerukunan antar umat beragama. Kata “konvergensi” berasal dari kata “converge” yang berarti bertemu, berkumpul atau berjumpa. Selanjutnya kata ini menjadi “convergence” yang berarti tindakan bertemu, bersatu di satu tempat, pemusatan pandangan mata ke suatu tempat yang amat dekat,193 atau menuju ke suatu titik pertemuan atau memusat.194 Dengan demikian yang dimaksud teologi konvergensi di sini adalah upaya untuk memahami agama dengan melihat intisari persamaan atau titik temu dari masing-masing agama untuk dapat diintegrasikan. Dalam perkembangan saat ini, teologi konvergensi disebut juga dengan istilah teologi global atau teologi universal. Tujuan dari teologi konvergensi ialah ingin menyatukan unsur esensial dalam agama-agama sehingga tidak tampak lagi perbedaan yang prinsipil. Dalam kondisi demikian, agama dan penganutnya dapat dipersatukan dalam konsep teologi universal dan umatnya dapat dipersatukan dalam satu umat beragama. Teologi ini, mengajak para penganut agama-agama dapat menyatu, bukan hanya dalam tataran praksis tetapi juga dalam pandangan teologisnya. Terkait hal ini, lantas muncul pertanyaan di manakah letak titik temu keyakinan agamaagama itu untuk mencapai sebuah konvergensi agama? Dalam hal ini perlu

193

John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1994),

145. 194

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cet. IV (Jakarta: Balai Pustaka, 1995), 249.

86

mengetahui terlebih dahulu perbedaan antara faith (iman) dengan beliefe (kepercayaan). Di dalam faith agama-agama dapat disatukan, sedang dalam belief tidak dapat disatukan. Belief seringkali normatif dan intoleran, bersifat historik yang mungkin secara konseptual berbeda dari satu generasi ke generasi yang lain. 195 Yang menjadi kategori religius sentral dalam semua agama adalah “iman”, bukan “kepercayaan.” Iman-lah yang mengarahkan terjadinya suatu relasi personal dengan Tuhan, sementara kepercayaan berasal dari iman, sebagai ekspresi intelektual dari iman. “Percaya kepada Tuhan” tidak memiliki makna yang sama dengan “Beriman kepada Tuhan.” Contoh praktis teologi ini, jika dikaitkan antara agama yang satu dengan yang lain secara belief, memang nampak sekali perbedaan di antara agama-agama tersebut. Namun, pada hakikatnya agama-agama tersebut menyatu dalam faith, yaitu mengakui adanya Tuhan sebagai Sang Pencipta. Mungkin cara-cara beragama mereka berbeda satu sama lain, namun pada hakikatnya mereka tetap beriman dan mengabdi kepada Tuhan Yang Maha Esa. Teologi konvergensi antar agama ini dapat dianalogikan dengan sebuah sungai dengan anak-anak sungainya. Agama-agama dapat digambarkan sebagai sungai-sungai di mana banyak cabang atau anak-anak sungai mengalir. Lalu ada beberapa tempat tertentu yang berfungsi sebagai titik pertemuan dari anak-anak sungai tersebut, kemudian mereka harus terus mengalir lagi secara terpisah. Sebagaimana sebuah sungai dan anak-anak sungainya, proses mengalir agama195

Phillip C. Almound and Wilfred Cantwel Smith, “As Theologian of Religions” in Harvard Teological Review. Vol. 76 , Number 03 (July, 1983), 335.

87

agama memiliki karakter yang bergerak, yang bergantung pada keadaan dan kompleksitas anak-anak sungai yang berpartisipasi di dalamnya. Jadi, semua agama dunia membentuk suatu koherensi (pertalian) atau suatu konvergensi yang mempersatukan (a uniting convergence). Dalam belief, Yang Maha Kuasa dipahami oleh berbagai penganut agama secara berbeda dan bermacam-macam. Namun semuanya tetap mengacu pada satu keyakinan (faith) bahwa ada sesuatu Yang Maha Kuasa itulah yang disebut transcendental focus.196 Teologi konvergensi tidak hendak mencampuradukkan antara ajaran dan tata cara ibadah agama yang satu dengan agama yang lain. Teologi konvergensi hanya menawarkan solusi untuk meredam ataupun mengatasi gejolak konflik antar umat beragama melalui usaha-usaha mencari titik temu antar agama melalui kesamaan faith. Teologi konvergensi tetap mengharuskan tiap-tiap pemeluk agama untuk menjalankan ibadahnya sesuai dengan syariat agamanya masing-masing. Namun, ketika berada pada tataran kehidupan praksis di masyarakat, perbedaan-perbedaan cara beragama itu tidak boleh menjadi penghalang dalam mewujudkan masyarakat beragama yang rukun dan harmonis. Dalam tataran praksis di masyarakat, kesamaan faith-lah yang harus dijadikan patokan bahwa pada hakikatnya tiap-tiap umat beragama adalah umat yang satu, yakni umatnya Tuhan Yang Maha Esa. Teologi konvergensi tentunya harus dibarengi dengan sikap inklusif dari para penganut agama. Pemahaman yang holistik terhadap teologi konvergensi oleh para pemeluk agama baik dari level elit sampai pada level akar rumput dalam masyarakat akan mampu menciptakan kerukunan antar umat beragama.

196

Ibid

88

C. DASAR YURIDIS Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki banyak keanekaragaman budaya maupun agama. Setiap pulau, penduduknya memiliki konsep berpikir yang berbeda-beda, terkait politik, sosial, budaya, maupun agama. Selain mengatur secara konstitusi, Indonesia juga merupakan negara yang menjamin dan melindungi warga negaranya untuk menjalankan kewajiban dalam beragama. Jaminan dan perlindungan tersebut tertuang dalam UUD 1945 pasal 28 E ayat 1, pasal 29 ayat 2, UU HAM pasal 4 no.39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, dan pasal 22 UU HAM. Sehingga dapat dipahami bahwa, Negara Kesatuan Republik Indonesia menjamin kebebasan beragama setiap orang dan hak setiap orang untuk beribadah sesuai dengan agamanya. Hal ini tercermin dari beberapa pasal dalam peraturan perundang-undangan berikut ini:197 1. Pasal 28 E ayat (1) UUD 1945 “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih

pendidikan

kewarganegaraan,

dan

memilih

pengajaran, tempat

memilih

tinggal

di

pekerjaan, wilayah

memilih

negara

dan

meninggalkannya, serta berhak kembali.” 2. Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk

agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.” 197

R, Soesilo, KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (Bogor: Politeia, 1996), 32 – 33.

89

3. Pasal 4 UU HAM No. 39 Tahun 1999 tentang HAM “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.” 4. Pasal 22 UU HAM (1) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. (2) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Sayangnya, UU HAM tidak ada memberikan sanksi bagi orang yang melanggar ketentuan dalam Pasal 22 UU HAM. Akan tetapi, bagi orang yang menghalang-halangi kegiatan ibadah yang dilakukan di tempat ibadah, dapat dijerat dengan Pasal 175 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP): “Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan merintangi pertemuan keagamaan yang bersifat umum dan diizinkan, atau upacara keagamaan yang diizinkan, atau upacara penguburan jenazah, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.” Mengenai Pasal 175 KUHP ini, R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan:

90

1. “pertemuan umum agama” adalah semua pertemuan yang bermaksud untuk melakukan peribadatan agama; 2. “upacara agama” adalah kebaktian agama yang diadakan baik di Gereja, Mesjid, atau di tempat-tempat lain yang lazim dipergunakan untuk itu; 3. “upacara penguburan jenazah” adalah baik yang dilakukan waktu masih ada di rumah, baik waktu sedang berada di perjalanan ke kubur, maupun di makam tempat mengubur. Lebih lanjut, R. Soesilo mengatakan bahwa syarat yang penting adalah bahwa “pertemuan umum agama” tersebut tidak dilarang oleh Negara. Jadi pada dasarnya Negara menjamin kebebasan semua orang untuk beribadah menurut agamanya masing-masing. Akan tetapi memang mengenai pelanggaran atas Pasal 22 UU HAM, tidak ada ketentuan sanksinya. Ketentuan dalam KUHP pun terlihat kurang mengakomodasi perbuatan seseorang yang melarang orang lain melaksanakan ibadah agamanya dalam hal pelaksanaan ibadah tersebut dilakukan secara individu (bukan dalam bentuk kebaktian atau ibadah yang dilakukan bersama-sama dengan orang lain dalam suatu tempat ibadah).198 5. PBM No 8 dan 9 Tahun 2006 Agar diperoleh rumusan misi kontekstual yang menyentuh dan aplikatif, khususnya dalam relasi antara umat Kristen dan Islam di Batu Hapu, maka sangat diperlukan pemahaman yang lebih luas mengenai makna toleransi/kerukunan. Seperti yang tercantum dalam PBM No 8 dan 9 tahun 2006, pada Bab I, Ketentuan Umum pasal 1 dijelaskan bahwa: 198

Ibid, R, Soesilo, KUHP Serta Komentar-Komentarnya,... 34.

91

“Kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.” Dalam hal ini penulis memahami bahwa, kerukunan umat beragama berarti antara pemeluk-pemeluk agama yang berbeda bersedia secara sadar hidup rukun dan damai. Hidup rukun dan damai dilandasi oleh toleransi, saling pengertian, saling menghormati, saling menghargai dalam kesetaraan dan bekerjasama dalam kehidupan sosial di masyarakat. Termasuk di dalamnya menghormati agama dan iman orang lain, menghormati ibadah yang dijalankan oleh orang lain, tidak merusak tempat ibadah, tidak menghina ajaran agama orang lain, serta memberi kesempatan kepada pemeluk agama menjalankan ibadahnya. Dalam regulasi ini juga ada mengatur tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat. Pada beberapa pasal dan ayat terdapat aturan yang memberikan ruang bagi masyarakat, terkait bidang keagamaan. Misalnya dalama Bab III tentang Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), pada Pasal 9, ayat 2, menyatakan bahwa yang menjadi tugas dan wewenang FKUB kabupaten/kota, antara lain : a. Melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat; b. Menampung aspirasi ormas keagamaan dan aspirasi tokoh masyarakat;

92

c. Menyalurkan aspirasi ormas keagamaan dan masyarakat dalam bentuk rekomendasi sebagai bahan kebijakan walikota/bupati; d. Melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat; dan e. Memberikan rekomendasi tertulis atas permohonan pendirian rumah ibadat. Kemudian dalam Bab IV tentang Pendirian Rumah Ibadat, secara khusus dalam Pasal 13, Pasal 14, dan Pasal 15 yang masing-masing berbunyi demikian :

Pasal 13 : 1) Pendirian rumah ibadat didasarkan pada keperluan nyata dan sungguh-sungguh berdasarkan komposisi jumlah penduduk bagi pelayanan

umat

beragama

yang

bersangkutan

di

wilayah

kelurahan/desa. 2) Pendirian rumah ibadat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tetap menjaga kerukunan umat beragama, tidak mengganggu ketentraman dan ketertiban umum, serta mematuhi peraturan perundang-undangan. 3) Dalam hal keperluan nyata bagi pelayanan umat beragama di wilayah keluarahan/desa sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak terpenuhi, pertimbangan komposisi jumlah penduduk digunakan batas wilayah kecamatan atau kabupaten/kota atau provinsi.

93

Pasal 14 : 1) Pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan administratif dan persyaratan teknis bangunan gedung. 2) Selain memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pendirian rumah ibadat harus memenuhi persyaratan khusus meliputi: a. Daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3); b. Dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 (enam puluh) orang yang disahkan oleh lurah/kepala desa; c. Rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota; dan d. Rekomendasi tertulis FKUB kabupaten/kota. 3) Dalam hal persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf (a) terpenuhi sedangkan persyaratan huruf (b) belum terpenuhi, pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi tersedianya lokasi pembangunan rumah ibadat. Pasal 15 : Rekomendasi FKUB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) huruf (d) merupakan hasil musyawarah dan mufakat dalam rapat FKUB, dituangkan dalam bentuk tertulis.

94

Sebagai warga negara Indonesia, sudah seharusnya untuk memahami setiap peraturan perundang-undangan tersebut. Perundang-undangan tersebut sudah sangat jelas menyatakan bahwa Negara menjamin setiap umat beragama (khususnya yang diakui oleh Negara) untuk memiliki hak dalam menjalankan agamanya. Namun tentunya ada banyak faktor yang bisa saja mengakibatkan halhal tersebut belum/tidak dipahami oleh warga desa Batu Hapu. Sehingga walaupun ada jaminan dari Negara, dampak negatif dari interaksi antar umat beragama masih ada di wilayah tersebut.

95

BAB III ANALISIS KONTEKS DAN MISI GEREJA

Pada bagian ini penulis menguraikan hasil analisis antara konteks dan teori, supaya Gereja mampu merancang kembali konsep paradigma misi yang ideal sebagai model interpretasi dalam mewujudkan komitmen Gereja untuk terlibat dalam misi Allah, secara khusus di desa Batu Hapu. Kemudian rumusan kontekstualisasi misi Gereja. Oleh karena itu yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah memahami kembali dan masuk ke dalam konteks, terutama bagaimana persepsi umat Islam terhadap umat Kristen di desa Batu Hapu. Selain itu umat Kristen di desa Batu Hapu harus mampu mengembangkan pemahaman mereka terhadap kemajemukan beragama, agar nantinya mereka jua mampu merumuskan upaya-upaya kontesktual dalam menghadapi dampak dari relasi negatif yang selama ini berlangsung. Dalam bab ini penulis akan menguraikan beberapa pendekatan oikumenis yang dilakukan agar kedepannya tidak ada lagi relasi negatif antar kedua agama ini, bagaimana seharusnya umat beragama membangun persepsi dalam menciptakan relasi yang dialogis, beberapa upaya sepatutnya dilakukan semua pihak dalam rangka merawat keberagaman dalam kerukunan antar umat beragama di desa Batu Hapu.

96

A. ANALISIS TEORI DAN KONTEKS Menurut Norman E. Thomas, pengertian misi merupakan usaha untuk menghasilkan terobosan terhadap batas-batas antara iman kepada Yesus Kristus dan ketiadaannya.199 Gereja yang ber-misi harus mampu menunjukkan kepeduliannya pada suatu realitas hidup dan dalam konteks masyarakat yang majemuk. Karena itu, sebutan “Gereja Misioner” harus memperhitungkan realitas hidup dan konteks masyarakat dimana kita tinggal dan berada. Dalam hal ini secara khusus, warga desa Batu Hapu yang majemuk memiliki dua wajah, pertama, kehidupan beragama masyarakat pluralitas dengan perspektif ideologi masing-masing. Kedua, sebagian masyarakatnya masih belum terbiasa dengan teologi agama-agama dan kurangnya pendidikan formal yang dimiliki. Sehingga sebagai Gereja (institusi maupun individual) yang ber-misi, pendekatan yang digunakan harus mampu menyentuh realitas hidup warga desa di Batu Hapu secara keseluruhan. Hasil penelitian yang sudah dijabarkan pada bab sebelumnya akan menjadi bahan acuan dalam analisis teoretis dan realita yang terjadi. Bagian ini akan memaparkan beberapa bagian yang menjadi tujuan penulisan tesis ini.

1. Persepsi Umat Islam Persepsi adalah proses yang digunakan individu untuk mengelola dan menafsirkan kesan indera mereka dalam rangka memberikan makna kepada lingkungan mereka. Meski demikian, apa yang dipersepsikan seseorang dapat 199

Norman E. Thomas, Teks-teks Klasik Tentang Misi dan Kekristenan Sedunia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998) xiii.

97

berbeda dari kenyataan objektif. Tidak selalu berbeda, namun sering terdapat ketidaksepakatan.200 Mengapa persepsi umat Islam penting dalam studi ini dan umat Kristen di desa Batu Hapu? Semata-mata karena perilaku manusia didasarkan pada persepsi mereka mengenai apa realitas yang ada, bukan mengenai realitas itu sendiri. Dunia seperti yang dipersepsikan adalah dunia yang penting dari segi perilaku. Sehingga persepsi, sedikit banyak akan mempengaruhi pola-pola interaksi antara Islam dan Kristen di desa Batu Hapu, baik kini ataupun nanti. Pada umumnya persepsi umat Islam (masyarakat umum dan aparatur pemerintah desa/kecamatan) terhadap umat Kristen di desa Batu Hapu, cukup baik. Bahkan dalam beberapa kesempatan penulis menjumpai adanya kerja sama dalam kehidupan bermasyarakat. Namun ketika berbicara masalah keyakinan (agama), hanya pemanis kata yang nampak sedangkan sikap seakan tidak disepadankan dengan ucapan. Sebagai dasar dalam mendalami persepsi umat Islam terhadap umat Kristen di Batu Hapu, penulis memulai dengan pengetahuan warga desa tentang Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No 8 dan 9 tahun 2006 (PBM 2006). Mengapa penulis memilih PBM 2006 tersebut, padahal ada juga beberapa peraturan lain yang sudah disebutkan sebelumnya? Menurut penulis, PBM 2006 ini merupakan pedoman bersama yang secara khusus ditujukan bagi umat beragama dalam mempersepsikan agama lain sebagai bagian dari keutuhan dan keragaman NKRI. Selain itu PBM 2006, memuat kandungan konsep kerukunan hidup umat beragama yang mencakup tiga kerukunan (Trilogi 200

Sito Meiyanto, Persepsi, Nilai, dan Sikap (Yogyakarta: Literatur FK-UGM, tt), 3.

98

Kerukunan), yaitu; (1) kerukunan intern umat beragama; (2) kerukunan antar umat beragama; dan (3) kerukunan antar umat beragama dengan Pemerintah.201 Dari total 13 orang responden yang berasal dari umat Islam, 7 orang menyatakan belum pernah mendengar PBM 2006 dan 6 orang pernah mendengar/mengetahui. Mereka (6 orang) yang pernah mendengar/mengetahui peraturan tersebut terdiri dari 4 orang perangkat desa, 1 orang PJS Camat, dan 1 orang warga biasa. Melalui wawancara mendalam, masing-masing menyatakan bahwa informasi tersebut diperolah bukan melalui program/sosialisasi yang diatur oleh pemerintah.202 Dalam PBM 2006, pada Bab I, Ketentuan Umum pasal 1, ayat 1 dan ayat 2 dijelaskan bahwa: (1). Kerukunan umat beragama adalah keadaan hubungan sesama umat beragama yang dilandasi toleransi, saling pengertian, saling menghormati, menghargai kesetaraan dalam pengamalan ajaran agamanya dan kerjasama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945; (2). Pemeliharaan kerukunan umat beragama adalah upaya bersama umat beragama dan Pemerintah di bidang pelayanan, pengaturan, dan pemberdayaan umat beragama. Bab 1, Pasal 1, ayat 1 dan ayat 2, memberikan petunjuk yang jelas bahwa sebagai umat beragama harus saling mengerti (menghormati) dan kerukunan umat 201

Harus diakui juga walaupun PBM No. 8 dan 9 tahun 2006 dibuat sedemikian rupa, dengan maksud dan tujuan yang baik. Masih terdapat kekuraangan di dalamnya, sangat terbuka kemungkinan dipersepsikan tidak pada hakikatnya. Sehingga mengakibatkan multi tafsir yang pada akhirnya menimbulkan perdebatan baru. Perdebatan biasanya timbul mengenai pemilihan anggota FKUB yang ujung-ujungnya berdampak pada pendirian rumah ibadat. Dalam hal pemilihan anggota FKUB, secara otomatis agama mayoritas memiliki kursi/suara terbanyak dan tentunya akan mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan. 202 Bdk. PBM No. 8 dan 9 Tahun 2006 Bab III tentang FKUB Pasal 9, ayat 2, poin d, yang berbunyi “melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat”.

99

beragam merupakan tugas bersama. Dengan mengacu pada keterangan sampel, penulis berasumsi bahwa warga desa Batu Hapu belum memiliki informasi yang memadai perihal PBM 2006. Padahal PBM 2006 tersebut merupakan salah satu instrumen

(dasar)

bagi

pemerintah

maupun

warga

masyarakat

dalam

menempatkan dirinya pada kemajemukan agama. Pada sisi lain pengetahuan mengenai PBM 2006 ini juga akan mempengaruhi persepsi umat beragama. PBM 2006 ini dikeluarkan sebagai salah satu upaya Pemerintah Pusat untuk menghindari terjadinya konflik yang dapat mengganggu kerukunan umat beragama, ketentraman, dan ketertiban masyarakat. Apabila umat Islam di desa Batu Hapu kurang memahami PBM 2006 ini, maka bisa saja mereka akan melihat bahwa agamanya paling unggul, yang pada akhirnya mereka bisa berbuat sewenang-wenang terhadap umat agama lain. Pada akhirnya juga akan turut mempengaruhi kebijakan-kebijakan yang diambil oleh aparat pemerintahannya.203 Masih seputar PBM 2006, pada bagian lain berdasarkan hasil wawancara penulis menemukan realita bahwa dari pihak pemerintahan (desa dan kecamatan) ternyata belum memiliki agenda rutin mensosialisasikan PBM tersebut.204 Minimnya pengetahuan akan PBM 2006 bisa jadi dikarenakan tidak adanya sosialisasi rutin, baik dari pihak yang berwenang dan dalam hal ini FKUB. Hal lainnya yaitu materi PBM 2006 belum diketahui sebelumnya dan kalaupun ada sosialisasi di Kabupaten, minat responden untuk mendalami PBM 2006 masih 203

Hal ini sejalan dengan pemikiran Aritonang yang menyebutkan bahwa perjumpaan Islam dan Kristen sangat dipengaruhi oleh perkembangan konstelasi dan kebijakan politik dalam beberapa aspek. Sehingga masing-masing agama ini mengklaim bahwa keberadaannya merupakan perwujudan dan ketaatan langsung terhadap amanat Ilahi. Akibatnya kelompok agama ini berlomba-lomba dalam klaim kebenaran atas agamanya. 204 Ibid. PBM No. 8 dan 9 Tahun 2006 Bab III tentang FKUB Pasal 9.

100

kurang. Pengetahuan tentang PBM 2006 merupakan salah satu indikator tingkat penguasaan materi peraturan tersebut yang selanjutnya akan menjadi modal dalam proses penyebarluasan informasi kepada umat di sekelilingnya. Penulis berasumsi apabila pengetahuan masyarakat desa Batu Hapu tentang PBM 2006 cukup memadai, setidaknya mereka mampu mengidentifikasi masalah yang menjadi penyebab menurunnya kerukunan beragama dalam masyarakat, serta membuat solusinya. Sehingga dampak akibat relasi negatif antar umat Islam dan Kristen di Batu Hapu, setidaknya dapat diantisipasi. Menurut hemat penulis PBM 2006 sebagai instrumen dasar bagi kehidupan beragama, secara garis besar berdasarkan objeknya memiliki tujuan pokok, antara lain ;

No 1. 2.

Objek Kerukunan Umat Beragama (KUB) Tugas Kepala Daerah dalam memelihara KUB

3.

Pemberdayaan FKUB

4.

Pendirian Rumah Ibadat

Tujuan Mampu mengidentifikasi ciri-ciri KUB Mampu mengidentifikasi sebagian kecil tugas Kepala Daerah dalam pemeliharaan KUB Mampu menjelaskan sebagian kecil: makna FKUB; tugas FKUB; keanggotaan dan kepemimpinan FKUB; dewan penasehat FKUB Mampu mengidentifikasi sebagian kecil: penyebab masalah dalam pendirian rumah ibadat; prinsip dan syarat pendirian rumah ibadat, syarat penggunaan bangunan non rumah ibadat untuk rumah ibadat; upaya penyelesaian perselisihan akibat pendirian rumah ibadat

Tabel X. Tujuan pokok PBM 2006

Umat Islam di desa Batu Hapu memang menyatakan kesediaannya untuk hidup rukun dan mau berdampingan dengan umat Kristen. Kerukunan tersebut ditunjukkan melalui beberapa kesempatan yang memang pernah penulis amati dan ikuti juga. Misalnya kerjasama antar warga dalam menyusun tenda ketika perayaan Natal, Maulidan, secara bergilir menanam dan panen padi, dan beberapa kegiatan sosial lainnya.

101

Dalam literatur ilmu sosial, kerukunan diartikan dengan istilah integrasi yang berarti kerukunan merupakan kondisi, proses tercipta, dan terpeliharanya pola-pola interaksi yang beragam diantara unit-unit yang otonom. Kerukunan mencerminkan hubungan timbal balik yang ditandai oleh sikap saling menerima, saling mempercayai, saling menghormati, menghargai, dan sikap saling memaknai kebersamaan. Dalam pengertian sehari-hari kata rukun dan kerukununan adalah damai dan perdamaian. Dalam konteks di desa Batu Hapu, kerukunan hanya dipergunakan dan berlaku dalam dunia pergaulan dan akan berbeda ketika memasuki ranah agama. Bila kata kerukunan ini dipergunakan dalam konteks yang lebih luas, seperti antar golongan atau antar bangsa, pengertian rukun ditafsirkan menurut tujuan, kepentingan dan kebutuhannya, sehingga dapat disebut kerukunan sementara. Kerukunan sementara adalah kerukunan yang dituntut oleh situasi, misalnya lomba kebersihan desa. Bila tujuan bersama itu telah selesai dicapai, maka keadaan kembali seperti sebelumnya. Kerukunan antar umat beragama bukan berarti merelatifkan agama-agama yang lain dan melebur kepada satu totalitas (sinkretisme agama). Melainkan sebagai cara atau sarana untuk mempertemukan, mengatur hubungan luar antara orang yang tidak seagama atau antara golongan umat beragama dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Secara sederhana, penulis mengartikan toleransi atau sikap toleran sebagai sikap menghargai terhadap kemajemukan. Dengan kata lain sikap ini bukan saja untuk mengakui eksistensi dan hak-hak orang lain, bahkan lebih dari itu, terlibat dalam usaha mengetahui dan memahami adanya kemajemukan.

102

Dengan demikian toleransi dalam konteks ini berarti kesadaran untuk hidup berdampingan dan bekerjasama antar pemeluk agama yang berbeda-beda. Sebab hakikat toleransi terhadap agama-agama lain merupakan satu prasyarat utama bagi setiap individu yang ingin kehidupan damai dan tenteram, maka dengan begitu akan terwujud interaksi dan kesepahaman yang baik di kalangan masyarakat beragama. Berbeda dengan dampak kurang menyenangkan yang dirasakan oleh umat Kristen di desa Batu Hapu akibat adanya interaksi negatif dengan umat Islam. Misalnya pengurangan nilai agama, memakai jilbab, dan belum diterbitkannya IMB gedung pembinaan Kristen (pos PI). Secara garis besar memang dampak dari interaksi negatif tidak dirasakan oleh umat Islam, bahkan bisa saja mereka merasa tidak perlu memusingkannya. Dalam hal ini, umat Islam di desa Batu Hapu yang sudah menjalin kerukunan dengan umat Kristen sebaiknya juga memperhatikan dampak-dampak terkait interaksi negatif yang sudah disebutkan sebelumnya. Karena apabila umat Islam bersedia hidup berdampingan (rukun), maka sudah sepatutnya juga mereka bertoleransi dengan umat Kristen di desa Batu Hapu. Menurut penulis, toleransi dan kerukunan antar umat beragama bagaikan dua sisi mata uang yang tak bisa dipisahkan satu sama lain. Kerukunan berdampak pada toleransi

atau

sebaliknya

toleransi

menghasilkan

kerukunan,

keduanya

menyangkut hubungan antar sesama manusia. Secara garis besar penulis melihat bahwa umat Islam mempersepsikan umat Kristen di desa Batu Hapu berdasarkan kondisi maupun kebutuhan mereka. Apabila umat Kristen dianggap mampu memberi keuntungan tertentu (misalnya,

103

ekonomi) atau kedua umat ini memiliki tujuan bersama maka bisa saja keduanya senantiasa menjaga kerukunan. Namun adakalanya umat Islam akan sulit bertoleransi apabila umat Kristen berbicara atau mengusahakan kepentingan kelompoknya sebagai umat beragama. Padahal akan lebih baik apabila kedua agama ini, khususnya umat Islam bersedia mempersepsikan umat Kristen sebagai bagian dari kerabat mereka yang juga harus dihormati. Penulis melihat bahwa masih ada hal-hal lain yang memerlukan perhatian bersama bagi kedua kelompok agama ini.205 Misalnya masalah lingkungan hidup, dimana beberapa lahan di wilayah desa Batu Hapu menjadi lokasi tambang batu gunung dan tambang batu bara yang berpotensi merusak lingkungan disekitarnya. Selain itu adanya masalah lain yang berkaitan dengan agama, jika akhir-akhir ini isu agama menjadi topik yang hangat di antara Islam dan Kristen. Akan sangat bijaksana apabila kedua kelompok agama ini membentengi generasi muda mereka agar tidak mudah terpengaruh dengan isu-isu perpecahan yang berkedok agama, melalui pendidikan karakter dan perilaku hidup toleran dengan umat lain. Sehingga pada akhirnya nanti (baik dengan istilah kerukunan atau toleransi) kedua kelompok agama ini mampu menciptakan kerukunan hakiki yang berkesinambungan. Sedangkan kerukunan hakiki adalah kerukunan yang didorong oleh kesadaran dan hasrat bersama demi kepentingan bersama. Jadi kerukunan

205

Sikap seperti ini mesti digemakan sebagai bentuk keteladanan Gereja terhadap perutusan Kristus itu. Gereja ada bukan untuk mencari kemegahan dan sukses dirinya sendiri, tetapi ada bagi mereka yang membutuhkan. Keprihatinan dan keterlibatan Gereja dalam masalah yang menyentuh kebutuhan dasar manusiawi ini berlandaskan pada kehendak Kristus untuk menyelamatkan semua orang. “... Aku datang supaya mereka memperoleh hidup dan mempunyainya dalam segala kehidupan” (Yoh 10:10). Bdk. David J. Bosch, Transformasi Misi Kristen, 668.

104

hakiki adalah kerukunan murni, mempunyai nilai dan harga yang tinggi, bebas dari segala pengaruh dan kemunafikan.

2. Interaksi Islam dan Kristen Desa Batu Hapu Menurut data riset dan pemantauan kebebasan beragama/berkeyakinan yang dilakukan oleh SETARA Institute sejak tahun 2007, umat Kristen menjadi “langganan” sebagai korban terbesar pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan.206 Tidak jauh berbeda dengan yang dialami oleh sebagian umat Kristen di desa Batu Hapu. Walaupun kedua agama ini dalam beberapa kesempatan mampu menjalin kerjasama dan kerukunan, pada bagian lain rupanya masih ada relasi negatif. Relasi negatif inilah yang menurut penulis berpotensi mencemari kerukunan yang sudah dijalin oleh kedua kelompok agama ini. Sebagai kelompok minoritas, umat Kristen di desa Batu Hapu tentunya tidak akan bisa terlalu berbuat banyak selain berusaha bertahan dengan membiarkan bahkan mengikuti hal tersebut berlangsung. Jan S. Aritonang (Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia: 2004), menyampaikan bahwa sejak awal perjumpaan Islam Kristen pada abad 16 (yang ditandai oleh kedatangan Portugis kemudian Spanyol) dan khususnya sejak kedatangan Belanda/VOC pada awal abad 17, hubungan kedua umat agama itu sudah ditandai oleh ketegangan, konflik, dan beragam peristiwa kekerasan. Ini disebabkan oleh salah pengertian, rasa curiga, dan penolakan antara satu terhadap yang lain. Bentuk-bentuk kekerasan yang berakar pada agama dan yang menyatu dengan alasan sosial-politik juga sering terjadi. Di zaman kolonialisme, ini 206

Halili, Supremasi Intoleransi (Jakarta: Pustaka Masyarakat SETARA, 2016), 86.

105

ditandai oleh berbagai kerusuhan atau peperangan bersenjata antara penguasa kolonial dan rakyat pribumi. Konflik yang terjadi antara Islam Kristen di desa Batu Hapu, bukanlah konflik

berdarah

maupun

penghancuran

tempat/rumah

ibadah.

Penulis

berpendapat bahwa konflik antara kedua agama ini merupakan pelecehan sosial (social abuse) yang berpotensi menjadi konflik di desa Batu Hapu. Memang harus dipahami bersama bahwa manusia adalah makhluk sosial, ia memerlukan tidak hanya manusia lain tetapi juga lingkungan secara keseluruhan. Dengan demikian, interaksi menjadi keniscayaan. Interaksi antar manusia, kelompok atau antarnegara tidak pernah steril dari kepentingan, penguasaan, permusuhan bahkan penindasan. Interaksi bermuatan konflik pada prinsipnya setua sejarah kemanusiaan. Karena itu, manusia merupakan makhluk konflik (homo conflictus), yaitu makhluk yang selalu terlibat dalam perbedaan, pertentangan, dan persaingan baik sukarela maupun terpaksa.207 Persepsi lain umat Islam yang penulis analisis melalui wawancara mendalam antara lain; salah paham, rasa curiga, berat sebelah, dan (berpotensi pada) penolakan terhadap umat Kristen di desa Batu Hapu. Menurut penulis hal yang disebutkan itu merupakan unsur-unsur terjadinya serangkaian relasi negatif antar kedua agama ini.208 207

Susan, Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer, Cet.2 (Jakarta: Kencana, 2010), 8. 208 Aritonang menyebutkan bahwa sejak Orde Lama hingga Orde Baru, pernah terjadi kecurigaan Islam yang menuding kalangan Kristen sedang menyusun rencana untuk menasranikan (memurtadkan) Jawa dalam tempo 20 tahun dan seluruh Indonesia dalam 50 tahun. Belum lagi pasca peristiwa G30S/PKI konversi agama terjadi secara besar-besaran. Pada masa tersebut jutaan orang dibaptis menjadi Kristen dalam waktu yang singkat, dapat diduga dampaknya tentu kuantitas umat Kristen bertambah secara signifikan. Bdk. Aritonang, Sejarah Perjumpaan, 344, 361, 382, 413.

106

Salah pengertian yang terjadi pada umat Kristen, umat Islam beranggapan bahwa sebagai mayoritas di wilayah desa Batu Hapu termasuk dalam lingkungan kerja (pemerintahan) maka peraturan yang berlaku haruslah senantiasa bercorak Islami. Misalnya, penggunaan pakaian muslim (jilbab) baik di lingkungan kerja (khususnya pemerintahan) dianggap hal yang biasa. Dalam kasus di desa Batu Hapu, umat Islam berusaha menyepadankan kebiasaan dalam agamanya pada umat Kristen dengan mengintimidasi secara halus agar mau mengikuti kebiasaan tersebut.209 Berikut kebiasaan membayar zakat (memasuki bulan puasa) yang dibebankan pada tiap rumah tangga.210 Penulis berpendapat apabila umat Islam mau belajar memahami umat Kristen maka mereka tidak akan berniat sedikitpun untuk menyepadankan Kekristenan dengan praktik kehidupan dalam Islam. Karena bagi umat Kristen, hal tersebut bisa saja merupakan sebuah teror psikis bagi mereka. Tidak berbeda dengan anak-anak Kristen yang mengalami sikap berat sebelah dari pihak guru maupun kawan-kawan satu sekolah yang beragama Islam.211 Misalnya, pengurangan nilai mata pelajaran pendidikan agama dan kawan satu sekolah yang mengejek dengan melontarkan kalimat tidak pantas nampaknya belum mendapat perhatian dari pihak sekolah. Ketiadaan guru agama 209

Padahal berdasarkan pada Lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2016 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 60 Tahun 2007 Tentang Pakaian Dinas Pegawai Negeri Sipil di Lingkungan Departemen Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah, tidak ada menyebutkan pemakaian jilbab diwajibkan bagi pegawai wanita yang bukan Islam. Dalam http://www.edukasippkn.com/2017/01/pakaian-dinas-pns-asntahun-2017.html diakses pada Kamis, 26/04/2018 pada pukul 13:22 wita. 210 Bdk. Wawancara mendalam dengan Joko Pitono pada Senin, 29/01/2018. 211 Teman-teman mereka yang beragama Islam sering mengolok-olok dengan kalimat “Kristen... Kafir... Masuk neraka... Makan Babi...” Bdk. Wawancara singkat dengan beberapa anak SHM di Jemaat Lingkungan Batu Hapu pada Minggu 07/01/2018.

107

Kristen atau paling tidak ada guru yang beragama Kristen dianggap sebagai alasan diskriminasi terhadap anak-anak tersebut tidak mendapat perhatian dari pihak sekolah.212 Mengenai ketiadaan guru yang mengajar pendidikan agama Kristen, penulis memakluminya karena memang jumlah anak beragama Kristen seluruhnya hanya berjumlah 5 orang siswa.213 Sedangkan mengenai kalimatkalimat tidak pantas yang digunakan untuk mengejek anak-anak yang beragama Kristen, penulis melihat hal tersebut sebagai salah satu faktor pembentuk karakter sikap intoleransi. Penulis berpendapat bahwa bagaimana pun atau dengan alasan apa pun, intoleransi adalah suatu pandangan dan sikap negatif yang berakibat buruk. Buruk bagi pihak yang menerima perlakuan intoleran maupun pelakunya, apalagi jika intoleransi itu diwujudkan dengan sikap diskriminatif serta kekerasan. Bagi pihak korban, tentu ada ketidaknyamanan dan bahkan penderitaan, material maupun mental-psikologis, bahkan sampai korban jiwa. Apalagi, jika direnungkan dengan akal sehat, apakah Tuhan memang menghendaki sikap intoleran itu atau sebenarnya tidak. Tentu setiap orang beragama akan setuju untuk mengatakan bahwa Tuhan tentu tidak menghendaki sikap intoleran yang berakibat tidak adanya damai sejahtera bagi semua. Perlu dipahami juga secara bersama, bahwa pluralitas sudah merupakan realitas mutlak dalam masyarakat dan intoleransi sangat tidak dibenarkan bagi kemanusiaan. Maka sikap toleranlah yang perlu ada dan diutamakan di dalam 212

Bdk. wawancara mendalam dengan Estu Wilujeng dan Dwi Ekanewati, pada Minggu, 15/04/2018. 213 Pada tahun 2010, Menteri Agama Suryadharma Ali mengeluarkan instruksi yang mengharuskan sekolah untuk menyediakan salah satu guru dari enam agama yang diakui secara resmi di setiap sekolah yang memiliki setidaknya 15 siswa yang menganut salah satu agama yang resmi. Aturan ini mengecualikan siswa dari kelompok keyakinan minoritas untuk memiliki pendidikan tentang agama mereka sendiri.

108

kehidupan umat beragama. Toleransi dalam konteks relasi Islam dan Kristen di desa Batu Hapu dapat terwujud apabila kedua kelompok agama ini mau menerima, menghargai, dan menghormati keberadaan, hak hidup dan beraktivitas umat agama lain dengan tanpa syarat, bersedia untuk hidup berdampingan, saling membantu dan bekerja sama secara aktif dan dinamis untuk kepentingan dan manfaat yang dirasakan bersama, yaitu kedamaian, ketenteraman serta kemajuan dan kemakmuran bersama. Ketika umat Kristen mampu melakukan hal-hal tersebut, disinilah makna misi kehambaan Gereja menyentuh dan menjadi kesaksian bagi umat lain.214 Walaupun secara material, anak-anak beragama Kristen di desa Batu Hapu tidak dirugikan namun yang pasti mereka akan mengalami tekanan secara psikologis. Tekanan psikologis yang dirasakan oleh para penerus bangsa (NKRI) dan agama (Kekristenan) dalam jangka waktu yang lama dikhawatirkan akan merusak moral, rasa percaya diri, dan karakter mereka.215 Peranan pihak sekolah, terutama guru sangat penting dalam setiap proses pendidikan dan pembentukan intelektual secara formal bagi para peserta didiknya, tanpa memandang latar belakang agama. Para guru seharusnya mengajarkan nilai-nilai moral, praktik hidup bertoleransi, dan makna kebhinekaan kepada peserta didiknya. Bukannya malah membiarkan bibit-bibit karakter intoleransi menggerogoti pemikiran anakanak didik mereka. 214

Widi Artanto menyimpulkan bahwa misi kehambaan dalam Yesaya 42 menekankan presensia (kehadiran dan hidup) yang dinamis di tengah-tengah mereka yang lain. Presensia dengan demikian tidak bisa dikatakan pasif sama sekali karena si hamba harus hidup "berlaku adil, mencintai kesetiaan, dan hidup dengan rendah hati". 215 Bdk. American Psychiatric Association, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Edition, Text Revision (Washington DC: American Psychiatric Association, 2000), 90.

109

Kalau melihat cara pandang umat Islam terhadap Kristen di desa Batu Hapu yang pada umumnya masih menaruh kecurigaan dan sikap apatis. Belum lagi adanya berita dari berbagai media yang terang-terangan memperlihatkan bagaimana tokoh umat Islam konservatif menyerukan ketidaksenangan pada kekristenan216, berpotensi mempengaruhi umat ini untuk menaruh sikap apatis pada umat Kristen. Bahkan bisa saja nantinya secara serampangan umat Islam menyimpulkan bahwa orang-orang Kristen sebagai kafir, sesat, musyrik, dan sebutan yang tidak baik lainnya. Penulis berpendapat bahwa dipersulitnya pemberian ijin bangunan (IMB) untuk gedung pembinaan Kristen (pos PI) di desa Batu Hapu bisa jadi dikarenakan adanya kecurigaan orang-orang Islam yang berpengaruh, baik di desa maupun sebagai aparatur pemerintahannya. Mereka beranggapan bahwa di desa mereka akan dibangun tempat untuk memurtadkan (Kristenisasi) 217 orang-orang Islam.

216

Sebagai perbandingan, tentunya umat Kristen masih ingat, pada Desember 2016 yang lalu Rizieq Shihab dari ormas FPI (Front Pembela Islam) dalam sebuah dakwah menyinggung mengenai kelahiran Yesus Kristus, dengan mengatakan “...kalau Tuhan beranak, bidannya siapa...”. Salah satu sumber video dari https://www.youtube.com/watch?v=H7LdbSDPRg4 diakses pada Kamis, 26/04/2018 pada pukul 20:09 wita. 217 Sebagai perbandingan , misalnya ada beberapa organisasi Islam merasa khawatir dengan apa yang disebut “Kristenisasi” di Indonesia. Adanya sebuah video berjudul “Save Maryam” yang berdurasi ± 4 menit, diunggah pada Juli 2012, memuat keterangan bahwa ada “dua juta Muslim pindah agama dari Islam setiap tahun” menjadi Kristen. Penulis tidak mendapati dasar/data dari klaim ini. Link video http://www.youtube.com/watch?v=6E9NcbVa4FU&fb_source=message, diakses pada Kamis, 26/04/2018, pukul 20:40 wita. Bahkan statment yang lebih pedas dilontarkan oleh Sekjen Forum Umat Islam (FUI) KH Muhammad Al-Khaththath yang menegaskan bahwa Indonesia berada dalam kondisi darurat pemurtadan. Dirinya menyatakan “Sekarang ini di Indonesia sudah dalam taraf darurat pemurtadan menurut informasi dari Mabes Polri, yang murtad di Indonesia ini 2,7 juta orang per tahun, orang Islam pindah ke Kristen, jumlah itu tidak sedikit” Dalam http://www.panjimas.com/news/2014/10/27/fui-indonesia-darurat-pemurtadanbocoran-mabes-polri-27-juta-orang-murtad-tiap-tahun/ diakses pada Jumat, 27/04/2018 pada pukul 10:13 wita.

110

Selain itu penulis menilai bahwa kecurigaan yang tidak mendasar tersebut mempengaruhi kebijakan pemerintahan setempat dalam memberikan rekomendasi IMB

pada

tingkat

atas.

Memang

harus

diakui,

adanya

serangan

informasi/pengaruh luar penuh kebencian dari tokoh Islam konservatif yang selalu mencurigai umat Kristen berpotensi memberi pengaruh pada persepsi umat Islam di desa Batu Hapu. Sehingga mereka ikut-ikutan mencurigai tetangga mereka yang beragama Kristen. Selain itu tingkat pendidikan warga desa Batu Hapu memang masih dibawah rata-rata218, yang berarti bisa saja mereka kurang memahami praktik hidup toleransi antar umat beragama. Pada akhirnya nanti sikap kecurigaan yang berlebihan terhadap umat Kristen akan berujung pada penolakan kekristenan. Namun penulis tetap yakin bahwa warga desa, khususnya umat Islam di desa Batu Hapu tidak memiliki/menaruh kecurigaan yang berlebihan pada umat Kristen. Karena berdasarkan pengalaman penulis, pada perayaan Natal Jemaat (2015-2017) umat Islam mau membantu persiapan acara (misalnya, ikut mendirikan tenda) dan mau menghadiri undangan perayaan Natal. Berdasarkan penuturan Pnt.Supriadi219 pihaknya sudah mengusahakan IMB tersebut sejak tahun 2008, namun sampai sekarang (2018) bahkan sampai beberapa kali pejabat desa dan kecamatan berganti, izin tersebut tidak kunjung dikeluarkan. Padahal para pengurus Gereja (Penatua) di desa Batu Hapu, sangat berharap pemerintah dapat mengakomodasi permohonan mereka. Pada bagian lain, penulis beranggapan bahwa memang untuk mendapatkan IMB tersebut 218 219

Lihat Tabel VIII. Penduduk berdasarkan Pendidikan. Bdk. Wawancara mendalam dengan Pnt.Supriadi, pada Senin, 01/01/2018.

111

sangat mustahil. Jika mengacu pada PBM 2006, Bab IV tentang Pendirian Rumah Ibadat, Pasal 14, ayat (2), poin (a), yang menyatakan syarat khusus pendirian rumah ibadat bahwa pengguna rumah ibadat minimal berjumlah 90 orang. Sedangkan saat ini, umat Kristen di desa Batu Hapu hanya berjumlah 24 jiwa 220 tentunya harapan untuk memiliki IMB akan kandas karena berbenturan dengan PBM 2006. Akan tetapi walaupun PBM 2006 ini dianggap sebagai salah satu instrumen pemelihara kerukunan antar umat beragama, pada bagian lain Persekutuan Gerejagereja di Indonesia menganggap PBM 2006 ini lebih represif daripada aturan 1969. Mereka terutama menentang ketentuan yang memberi wewenang pemerintah daerah punya hak menyetujui atau menolak izin membangun rumah ibadah. Hal tersebut juga bertentangan dengan Undang-Undang Pemerintahan Daerah 2004 yang menegaskan bahwa masalah agama adalah ranah pemerintah pusat.221 Sekalipun pemuka Kristiani merasa keberatan, secara politik mereka tak punya pilihan dengan menyetujui tanpa bisa dibantah. Kendati berusaha keras agar pasal-pasal yang dimuat PBM 2006 itu lebih ramah, termasuk ketentuan persyaratan khusus yang pada akhirnya tetap tercantum dalam keputusan tersebut. Pada gilirannya, mereka minta pemerintah menyediakan tempat ibadah ketika mereka mendapatkan masalah memperoleh izin mendirikan rumah ibadah.222

220

Lihat Tabel IX. Data umat Kristen di desa Batu Hapu. Diatur dalam UU No.32 Tahun 2004, Bab III tentang Pembagian Urusan Pemerintahan, Pasal 10, Ayat (1), dan Ayat (3). 222 Tertuang dalam laporan tahunan yang diterbitkan oleh Human Rights Watch, Atas Nama Agama – Pelanggaran Terhadap Minoritas di Indonesia (USA: HRW, 2013), 35. 221

112

Menurut hemat penulis, PBM 2006 ini bertentangan dengan UU Pemerintahan Daerah No.32 tahun 2004.223 Dalam prakteknya, cukup banyak pejabat daerah mengabaikan undang-undang tersebut dengan membuat berbagai ketentuan lokal, tingkat Provinsi hingga Kabupaten, yang isinya lebih banyak menuruti kelompok-kelompok Islam. Melalui hal tersebut penulis melihat ada peluang lain bagi umat Kristen di desa Batu Hapu untuk memperoleh IMB. Berdasarkan hemat penulis, dalam pelaksanaan PBM 2006 di lapangan masih terdapat celah bagi kelompok minoritas, yaitu “kebijakan”. Terlebih apabila pejabat daerah tersebut mau berlaku adil kepada warganya, ia bisa saja mengeluarkan kebijakan khusus untuk menerbitkan IMB dengan dasar “keperluan nyata...” pemeluk agama yang bersangkutan.224 Mengingat bahwa di wilayah kecamatan Hatungun, dari sembilan desa yang ada hanya di desa Batu Hapu yang terdapat umat Kristen. Sehingga kebutuhan akan rumah ibadah yang memiliki legalitas oleh negara merupakan keperluan nyata bagi mereka. Agama Kristen telah berhubungan dengan agama Islam selama lebih dari berabad-abad, satu rentang waktu yang begitu panjang dan terus menerus dalam hubungan itu telah menjadi saksi dari berbagai perubahan dan naik turunnya batas-batas kebudayaan dan teritorial antara keduanya. Aritonang menyebutkan bahwa perjumpaan keduanya diwarnai dengan periode panjang konfrontasi sekaligus kerjasama yang produktif, namun yang dominan dalam hubungan antara tradisi keimanan ini adalah permusuhan, kebencian, dan kecurigaan. Sikap tersebut melahirkan ketegangan-ketegangan antara kedua komunitas (Kristen dan 223 224

Ibid. UU No.32 Tahun 2004. Bdk. PBM No. 8 dan 9 Tahun 2006, Bab IV, Pasal 13, Ayat (1).

113

Islam) yang antara lain disebabkan karena kedua pemimpin komunitas tersebut gagal untuk mengontrol fanatisme keagamaan di antara penganutnya. Masalah lain yang berpotensi untuk memecah belah karakter dan kegiatan missionaris (dakwah) baik Islam maupun Kristen, yaitu klaim kebenaran bahwa ajaran merekalah yang paling benar yang diterima oleh Yang Maha Kuasa. Pada sisi lain, hubungan ekonomi dan sosial dari Kristen dan Islam di desa Batu Hapu nampak saling berkawan dan menghormati. Responden dari umat Kristen di desa Batu Hapu, menyatakan bahwa mereka tidak pernah mendapat perlakuan yang kurang menyenangkan dari umat Islam.225 Kemudian mengenai kegiatan peribadatan umat Kristen, mereka juga menyatakan tidak pernah mengalami gangguan atau penolakan dari umat Islam di sekitar mereka. 226 Akan tetapi berdasarkan data yang dihimpun, penulis menilai bahwa pada umumnya umat Islam di desa Batu Hapu kurang toleran terkait pendirian rumah ibadah. Dari keseluruhan responden yang beragama Islam, ternyata ada beberapa orang merasa keberatan jika di daerahnya dibangun rumah ibadah agama lain Penulis menilai bahwa umat Kristen di desa Batu Hapu bersikap defensif (yang berarti bisa juga inklusif) terhadap benturan relasi negatif dari umat Islam. Umat Kristen di desa Batu Hapu selalu mempersepsikan umat Islam dengan baik, walaupun dalam beberapa hal mereka agak dirugikan. Sikap defensif dari umat

225

Bdk. wawancara mendalam dengan Estu Wilujeng dan Dwi Ekanewati, pada Minggu, 15/04/2018. Dalam keterangannya mereka menyatakan bahwa pernah protes/menanyakan pada pihak sekolah terkait pengurangan nilai mata pelajaran agama, anak-anak mereka namun belum mendapat respon positif dari pihak sekolah. 226 Bdk. wawancara mendalam dengan Jaenuri, pada Kamis 12/04/2018 dan Pnt.Catur Wituhu, pada Jumat 13/04/2018. Mereka menyatakan bahwa pernah ada laporan keberatan terhadap kegiatan kekristenan oleh KADES Batu Hapu (Moh.Kandam) waktu itu.

114

Kristen dapat juga diartikan sebagai salah satu upaya mereka dalam menjaga eksistensinya di tengah-tengah umat Islam. Melalui data-data yang diperoleh, penulis melihat bahwa masih ada sisi positif yang memang tidak bisa diungkapkan secara verbal maupun tulisan dari kedua kelompok agama ini. Umat Islam dalam beberapa hal masih menaruh rasa percaya (trust) pada umat Kristen di desa Batu Hapu, begitu juga sebaliknya. Hal tersebut nampak dalam kerukunan yang terjalin melalui pergaulan mereka, terutama ketika memiliki keperluan yang sama atau ketika mereka dipersatukan dalam budaya kesukuan mereka. Misalnya ketika saling membalas gotong royong tanam padi dan panen padi (Andipan), budaya dari Jawa yang mereka bawa ke desa Batu Hapu. Orang-orang Kristen di desa Batu Hapu mau bergaul, berinteraksi, dan berteman dengan orang Islam. Kenapa? Karena orang Kristen adalah minoritas. Hal ini sejalan dengan teori Peter Blau yang mengatakan: “...semakin besar ukuran suatu kelompok maka semakin kecil kemungkinan anggota kelompok tersebut berhubungan dengan kelompok lain.”227 Ini juga berarti, semakin kecil ukuran suatu kelompok (dalam hal ini umat Kristen di desa Batu Hapu) maka semakin besar kemungkinannya anggota kelompok tersebut berinteraksi dengan anggota kelompok lain. Dalam bekerja, budaya ataupun kehidupan bertetangga (sosial), mau tidak mau kelompok minoritas akan bertemu dengan kelompok mayoritas. Namun secara lebih mendalam hal ini belum menjamin akan terciptanya trust terhadap kelompok mayoritas maupun sebaliknya. 227

Bdk. Jonathan Turner, The Structure of Sociological Theory, Sixth Edition (Belmont, CA: Wadsworth Publishing Company, 1998), 535 – 536.

115

Selain melihat dari segi mayoritas minoritas, tingginya perilaku inklusif terhadap agama lain dari orang Kristen dibandingkan dengan perilaku orang Islam bisa dilihat dari ada atau tidaknya famili yang beragama lain. Dari data didapatkan bahwa seluruh responden yang beragama

Kristen (7 orang),

mempunyai famili yang beragama Islam. Sedangkan dari seluruh responden yang beragama Islam (13 orang) hanya 2 orang yang mempunyai famili beragama Kristen. Dari kenyataan ini jelas bisa dimengerti bahwa orang yang mempunyai famili agama lain tentulah akan lebih banyak berinteraksi dengan agama lain (minimal berinteraksi dengan famili tersebut). Dalam hal ini, umat Kristen di desa Batu Hapu lebih banyak memiliki famili agama lain dibandingkan dengan umat Islam. Dengan demikian bisa dijelaskan bahwa orang-orang Kristen lebih banyak dalam berinteraksi dengan agama lain dibandingkan dengan umat Islam di desa Batu Hapu. 3. Dampak Interaksi Negatif Diskriminasi agama berarti merendahkan seseorang atau kelompok tertentu karena agama mereka atau memperlakukan orang berbeda karena apa yang mereka percaya atau tidak percaya. Seseorang dapat mengalami diskriminasi agama, karena mereka adalah pengikut agama yang berbeda atau pengikut denominasi yang berbeda dalam agama tertentu, atau karena praktek-praktek keagamaan mereka berbeda dari mayoritas. Agama dan kaitannya dengan masyarakat mempunyai dampak yang positif berupa daya penyatuan dan dampak negatif berupa daya pemecahan. Daya pengikat dari agama dapat dilihat pada ritual atau ibadat yang menimbulkan

116

solidaritas sosial melalui pengalaman bersama menjalankan ritual dan ibadah tersebut serta manfaat-manfaat baik yang dirasakan dari solidaritas tersebut.228 Agama dapat menjadi sumber pemicu perpecahan ketika masing-masing penganutnya mengklaim bahwa ajaran yang dibawa oleh agamanya adalah yang paling benar, sehingga mereka merasa wajib untuk menyebarluaskan kebenaran yang diyakini itu.229 Persepsi bahwa “aku” berbeda dengan “mereka” muncul karena adanya cara pandang negatif seseorang terhadap sebuah perbedaan, baik perbedaaan ras, agama, sosial, maupun budaya. Cara pandang yang berbeda tersebut dapat menimbulkan tindakan diskriminasi. Tindakan diskriminasi dalam cakupan yang lebih sempit juga dapat dijumpai di lingkungan sekolah. Tindakan diskriminasi di sekolah terjadi karena peserta didik kurang begitu memahami rasa saling menghargai dan menghormati sebuah perbedaan. Penulis mengindikasikan bahwa diskriminasi yang dialami oleh umat Kristen di desa Batu Hapu seperti dalam tabel berikut: No 1.

Kelompok Anak-anak SD

Jenis Diskriminasi Pelaku Pengurangan nilai mata pelajaran Pihak sekolah/oknum agama guru Ada yang berkata-kata tidak Teman satu sekolah pantas/menghina

2.

Ibu-ibu

3.

Pengurus Gereja

Mengenakan pakaian muslim (jilbab) di lingkungan kerja IMB gedung pembinaan Kristen (pos PI) belum/tidak dikeluarkan

Atasan / rekan sekerja Aparatur pemerintahan

Tabel XI. Jenis diskriminasi yang dialami umat Kristen

228

Nurcholis Madjid, Pandangan Dunia Al-Qur’an: Ajaran Tentang Harapan Kepada Allah dan Seluruh Ciptaan, dalam Ahmad Syafii Maarif & Said Tuhulelei Penyunting, AlQur’an dan Tantangan Modernitas. Cet. II (Yogyakarta: SIPRESS, 1993), 174. 229 Bdk. George Lindbeck, The Nature of Doctrine: Religions and Theology In a Postliberal Age (London: SPCK, 1984), 49.

117

Menurut

pandangan

penulis,

sikap

diskriminasi

tentunya

sangat

bertentangan dengan kaidah keislaman seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad.230 Karena sikap diskriminasi menunjukan martabat yang rendah bagi pelakunya dan akan memicu munculnya perilaku buruk lainya yang dilarang oleh ajaran agama manapun. Sikap diskriminatif yang dilakukan oleh “oknum” guru, rekan kerja, aparatur pemerintahan, maupun anak-anak yang beragama Islam sangat tidak dibenarkan apapun alasannya. Diskriminasi bisa berarti bahwa si pelaku mengabaikan hak dan kewajiban yang seharusnya diperoleh si objek. Dalam konteks ini, hak dan kewajiban umat Kristen untuk mendapat perlakuan yang baik ketika di sekolah, lingkungan kerja dan legalitas sarana ibadah nampaknya sengaja diabaikan oleh “oknum” umat Islam di desa Batu Hapu. Walaupun tidak menutup kemungkinan semua umat Islam di sana bisa saja merupakan “oknum”nya. Berdasarkan analisis penulis ada beberapa dampak buruk dari diskriminasi yang dilakukan “oknum” umat Islam, terhadap umat Kristen di desa Batu Hapu, antara lain : 1) Memicu munculnya sektarianisme. Setiap agama tentu melarang umatnya hanya mementingkan kelompoknya. Seluruh agama mengakui adanya

230

Rasulullah SAW memiliki sifat tidak suka berdebat, tidak banyak bicara, tidak mencampuri urusan-urusan yang bukan urusan beliau. Rasulullah SAW tidak pernah mendiskreditkan orang lain dan tidak pernah mengatakan sesuatu melainkan kata-kata yang akan memberikan pahala. Dikutip oleh, St. Aisyah BM, “Konflik Sosial Dalam Hubungan Antar Umat Beragama” Jurnal Dakwah Tabligh Vol.15, No.2 (Desember 2014): 191, dalam Edy A. Effendi, Islam dan Dialog Budaya, Cet. I (Jakarta: Puspa Swara, 1994), 79.

118

keragaman suku, ras, dan jenis kelamin, agar di antara mereka saling mengenal dan bersatu untuk membangun peradaban. 2) Memunculkan

permusuhan

antar

kelompok.

Menganggap

bahwa

kelompoknya lebih unggul dan merendahkan kelompok lain. Berpotensi menjadi pemicu perseteruan antar kelompok. Keadaan ini sangat ironi jika dilakukan/terjadi di kalangan generasi muda (anak-anak). 3) Mengundang masalah sosial baru yang dapat memancing konflik horizontal231 di tengah masyarakat. 4) Menciptakan penindasan dalam kehidupan akibat adanya perasaan lebih dan sentimen terhadap kelompok, sehingga hak-hak kelompok lain diabaikan. 5) Keadilan sulit untuk ditegakan, sebab suatu kelompok dalam pengambilan keputusan hanya didasarkan pada pertimbangan yang subjektif. 6) Sikap diskriminasi dapat menghancurkan sendi-sendi kehidupan sosial, yang berakibat pada perpecahan. Apabila kebijakan diskriminatif dan pembiaran sistematis tersebut terus dibiarkan, oleh pihak sekolah, atasan/rekan kerja, maupun aparatur pemerintahan maka cepat atau lambat umat Kristen di desa Batu Hapu tidak lagi memiliki jaminan kemanan dan hak beragama. Pembiaran tersebut juga akan memberikan akibat

buruk

bagi

kelompok

Kristen.

Misalnya

anak-anak

merasa

minder/kehilangan percaya diri, tidak mau bergaul, bahkan bisa terisolasi dari 231

Konflik horizontal merupakan terminologi konflik yang terjadi antar individu atau kelompok organisasi (sosial maupun keagamaan). Konflik ini dapat terjadi sebagai akibat dari kurangnya komunikasi antara kedua belah pihak, benturan persepsi yang dapat berupa benturan pendapat, atau faktor yang paling penting yaitu perbedaan yang mencolok. Dalam https://id.wikipedia.org/wiki/Konflik_horizontal, diakses pada Sabtu, 28/04/2018 pada pukul 13:23 wita.

119

pergaulan apabila diperhadapkan dengan ujaran kebencian (kata-kata tidak pantas) dari teman-temannya yang beragama Islam. Sedikit banyak mempengaruhi prestasi anak di sekolah, dengan adanya pengurangan nilai pada salah satu mata pelajaran maka akan mempengaruhi keseluruhan hasil belajar anak. David J. Bosch menyebutkan bahwa ‘misi’ memiliki pengertian yang cukup luas, sebagai umat Kristen bermisi merupakan kewajiban untuk mengabarkan berita kebenaran terhadap segala bangsa. Kata misi dapat juga diartikan sebagai pengutusan para misionaris ke suatu daerah demi melakukan kegiatan penginjilan. Secara teologis misi juga mengandung arti penyebaran dan perluasan firman Allah kepada orang-orang yang belum mengenal Allah. Pengertian yang sangat luas, istilah misi adalah Allah yang Maha Kuasa sebagai pengutus dan orang-orang yang diutus diberi tugas untuk melaksanakan kehendak-Nya. Penulis sependapat dengan pernyataan Bosch, bagi penulis sebagai umat Kristen seharusnya kita memikul tugas pengutusan sebagai ‘misionaris’ dimanapun Allah menempatkan kita untuk berkarya/bekerja tanpa ragu. Misalnya memikul tugas pengutusan dalam konteks relasi umat beragama di Batu Hapu, tidak melulu harus berkhotbah panjang lebar. Melainkan bisa dilakukan dengan meneladani sikap hidup seperti Kristus telah hidup. Para ibu-ibu yang terpaksa harus mengenakan jilbab (apapun alasannya), cepat atau lambat akan kehilangan kepercayaan dirinya bahkan identitasnya sebagai orang Kristen. Menurut penulis, keharusan mengikuti kebiasaan (misalnya, berpakaian) umat Islam, bisa saja merupakan suatu upaya untuk

120

menutupi keberadaan umat Kristen di desa Batu Hapu.232 Bahkan bisa juga memicu konflik intern dengan pengurus Gereja, karena dianggap tidak setia pada komitmen imannya sebagai orang Kristen. Firman Tuhan menyerukan bahwa siapa yang hidup di dalam Dia, ia wajib hidup seperti Kristus telah hidup (Bdk. 1 Yohanes 2:6). Firman Tuhan juga menekankan pentingnya menunjukkan identitas sebagai orang Kristen. Sebagai orang Kristen, maka identitas Kristen yang harus dikenakan antara lain: 1. Terlibat dalam pemberitaan Injil (Bdk. Kis.11:20). Memberitakan Injil tentang Kristus adalah Amanat Agung Tuhan bagi setiap orang percaya. Memberitakan Injil dapat dilakukan di manapun dan kapanpun. Memberitakan Injil tidak harus di atas mimbar, melainkan bisa dilakukan dengan praktek hidup berdasarkan nilai-nilai kekristenan. 2. Memiliki kesetiaan (Bdk. Kis.11:23). Sebagai orang Kristen, maka merupakan kewajiban untuk setia mengikut Kristus di segala keadaan dan memiliki roh yang terus berkobar untuk memberitakan Injil. Walaupun identitas sebagai orang Kristen tidak melulu harus diperlihatkan melalui penampilan fisik. Namun adakalanya orang lain pada umumnya (orang Islam) melihat identitas kekristenan seseorang melalui penampilan fisiknya, misalnya cara berpakaian.233 Kemudian, kemungkinan adanya salah persepsi dari 232

Sebagai perbandingan, bagaimana apabila umat Islam disuruh memakai kalung/tanda Salib. Tentu hanya segelintir umat Islam saja (kaum agamawan terpelajar) yang mengerti makna Salib bagi orang Kristen dan belum tentu juga mereka mau memakainya. Malahan bagi kelompok Islam konservatif, tanda Salib identik dengan simbol kekristenan. Lalu apakah mereka bisa merasa nyaman apabila memakai simbol tersebut? Mungkin saja mereka merasa tidak nyaman dengan hal itu. 233 Perempuan Kristen di Indonesia tidak memakai jilbab, kecuali suster/biarawati di kalangan Katolik walaupun yang digunakan adalah tudung/tutup kepala, tidak sama dengan jilbab versi

121

kalangan Islam, terutama mereka yang kurang memiliki wawasan terhadap budaya jilbab, malah bisa dianggap sebagai pelecehan agama atau penyesataan akidah (iman) karena melihat hari ini pakai jilbab besoknya masuk ke Gereja. Hal lain yang juga harus menjadi perhatian dalam etika berpakaian, terutama bagi kaum perempuan. Hendaknya menggunakan pakaian yang sepantasnya tidak terpengaruh sekularisme, agar tidak menjadi batu sandungan. Mengenai rumah ibadah, sejarah agama-agama telah mencatat bagaimana rumah ibadah berperan dalam menjalankan fungsi sosial dan bahkan pengembangan sumberdaya manusia. Dinamika dari rumah ibadah terletak pada fungsinya yang sangat multidimensi. Karena rumah ibadah menjadi simbol di mana potensi umat dipresentasikan dan pemusatan kegiatan keagamaan lainnya. Dalam konteks masyarakat yang beragam, keberadaan rumah ibadah sangat memungkinkan untuk membuka semangat kebersamaan yang kondusif untuk melanjutkan kehidupan bersama. Namun sebaliknya juga mungkin dapat menimbulkan, tumbuhnya kecurigaan di antara umat beragama yang berbeda. Pendirian rumah ibadah masih menjadi persoalan sensitif dalam hubungan antarumat beragama. Keberadaan rumah ibadah juga dipandang sebagai simbol kekuatan komunitas para penggunanya. Sehingga pembangunan rumah ibadah seakan menjadi simbol “kemenangan” agama tertentu, sementara bagi kelompok yang lain seakan menjadi simbol “perlawanan” bagi yang lainnya. Terkait pemberian IMB gedung pembinaan Kristen (pos PI) di desa Batu Hapu, kendala berat yang harus dihadapi adalah jumlah pengguna rumah ibadah. Sedangkan mengenai dukungan dari agama lain, nampaknya bisa saja diusahakan Islam.

122

dengan upaya-upaya tertentu. Misalnya dengan pendekatan solidaritas sebagai sesama suku Jawa atau atas nama kemanusiaan dan lain sebagainya. Selain itu peranan FKUB kabupaten Tapin, hendaknya segera turun tangan membantu pengurusan IMB bagi umat Kristen di desa Batu Hapu. Mereka sebagai wadah aspirasi umat beragama harus bisa mengakomodasi masalah perizinan ini. Sejatinya semua agama (khususnya yang diakui di Indonesia) mengajarkan kedamaian. Namun adakalanya ajaran damai tiap agama belum/tidak dipahami oleh “oknum” pemeluk agama. Sehingga nilai-nilai kegamaan yang luhur seakan diabaikan dan tidak menjadi landasan sikap dalam kehidupan bermasyarakat. Adanya diskrepansi antara ajaran Islam yang luhur, yang tidak mengenal diskriminasi, yang menghormati hak asasi, yang mendorong keadilan, musyawarah, bertoleransi, yang mengkampanyekan penghargaan pada keragaman dengan kenyataan historik, bagi Nurcholish Madjid disebabkan karena umat Islam “menyandera” ajaran luhur tersebut. Padahal sejatinya, seperti diakui Ghulam Farid Malik: “Islam is religion of peace and justice, not permit extremism, violence or terrorism in all spheres of life.” Sementara kedamaian, seperti dinyatakan John C.Raines, hanya bisa dicapai dengan bekerja untuk keadilan itu sendiri, “If you want peace, work for justice.”234

4. Toleransi yang Tertunda Pada bagian sebelumnya penulis sudah mengulas apa saja dampak relasi negatif antara Islam-Kristen di desa Batu Hapu dan beberapa hal lain yang 234

Nurcholis Madjid, “Politik Bahasa dalam Bahasa Politik Islam” dalam Islamika, Jurnal Dialog Pemikiran Islam, No.5 (1994): 56.

123

berkaitan dengan itu. Diskriminasi yang dialami oleh umat Kristen merupakan permasalahan yang pada umumnya terjadi pada komunitas minor dan mayor. Memang harus diakui bahwa perjumpaan antara agama-agama di Nusantara, pada khususnya di desa Batu Hapu tidak akan pernah terhindar dari permasalahan mengenai rumah ibadah. Dalam kehidupan sosial pada umumnya umat beragama bersedia hidup rukun satu sama lain. Namun sikap yang lain biasanya akan ditunjukkan oleh pemeluk agama yang menjadi mayoritas di suatu wilayah, apabila ada pemeluk agama lain hendak mendirikan rumah ibadah. Selain rumah ibadah, permasalahan lain seperti yang sudah disebutkan penulis sebelumnya pada umumnya juga dapat menjadi warna-warni dari perjumpaan kedua kelompok agama ini. Ada banyak faktor yang sebenarnya bisa menjadi pemicu hal tersebut. Dalam konteks desa Batu Hapu pemicunya bisa jadi dikarenakan faktor pendidikan235, mata pencaharian (ekonomi), sosialisasi/pertemuan formal antar kelompok agama, kurang memahami toleransi, dan pengaruh negatif dari luar. Namun diantara faktor-faktor tersebut, menurut penulis yang sulit dideteksi adalah pengaruh negatif dari luar, seperti pemberitaan dari berbagai sumber (berita online236, media cetak, televisi, selebaran, buku-buku, dll) yang mempersepsikan umat Kristen dengan jelek, penuh kebencian, dan intimidasi. Sumber-sumber 235

Berdasarkan profil desa tahun 2013, total warga desa Batu Hapu yang tingkat pendidikannya sampai SLTA/SMA berjumlah 62 orang, lalu SLTP/SMP berjumlah 453 orang, kemudian SD 269 orang, dan SR 6 orang. Sedangkan untuk tingkat D3 dan S1 berjumlah 8 orang dan itupun bukan penduduk asli, melainkan para PNS yang ditugaskan di Kecamatan dan Desa. 236 Sebagai perbandingan, seperti yang dilansir dari situs-situs berikut; https://www.nahimunkar.org; http://www.panjimas.com/; https://www.voa-islam.com/; https://www.kiblat.net/; https://baitulmaqdis.com/; https://www.hidayatullah.com/; jika diamati ada beberapa berita yang bersifat menghasut/menggiring opini publik untuk memusuhi umat Kristen. Namun penulis berpendapat hal tersebut sarat akan muatan politik.

124

tersebut pada umumnya tidak berdasarkan data-data faktual, melainkan lebih pada sentimen negatif dari kelompok konservatif. Pada akar rumput hal-hal tersebut bisa saja dianggap sebagai suatu kebenaran atau dalil yang harus dituruti. Terkait masalah IMB, dengan mengacu pada jumlah penduduk beragama Kristen di desa Batu Hapu (tahun 2018), peluang untuk memperoleh IMB gedung pembinaan Kristen (pos PI) nampaknya memerlukan waktu yang tidak sebentar.237 Terkecuali

ada

kemungkinan

lain,

di

antaranya;

(1)

adanya

perpindahan/pertambahan kelompok Kristen dari luar masuk ke desa Batu Hapu dalam jumlah besar; (2) pejabat setempat/FKUB mengambil kebijakan lokal dengan melihat bahwa legalitas rumah ibadah merupakan kebutuhan nyata umat Kristen; dan (3) umat Islam dalam jumlah besar bersedia pindah ke agama Kristen. Meskipun bagian yang terakhir ini agak mustahil. Namun selama penulis ditugaskan di wilayah pelayanan desa Batu Hapu (sejak 2015), sudah ada 2 jiwa yang dikristenkan. Memang harus diakui bahwa PBM 2006 ini ditujukan untuk mencegah konflik sosial. Namun PBM 2006 adalah produk manusia yang bisa saja salah, sehingga kapan saja bisa direduksi atau direvisi berdasarkan tuntutan keadaan. Selain itu, berdasarkan data dari responden hal lain yang memungkinkan dipersulitnya IMB, karena adanya unsur kepentingan politis di desa Batu Hapu.238 Para pejabat negara maupun lokal (sudah menjadi rahasia umum), selalu memanfaatkan sentimen agama untuk menaikkan popularitas mereka di panggung 237

Bdk. PBM No 8 dan 9 tahun 2006. Pasal (14), ayat(2), butir (a) yang berbunyi “daftar nama dan Kartu Tanda Penduduk pengguna rumah ibadat paling sedikit 90 (sembilan puluh) orang yang disahkan oleh pejabat setempat sesuai dengan tingkat batas wilayah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3)”. 238 Bdk. Wawancara mendalam dengan Pnt.Supriadi, pada Minggu, 15/04/2018.

125

politik, misalnya berpihak pada keingian kelompok mayoritas. Dalam konteks desa Batu Hapu, “oknum” intoleran seolah mendapat angin segar dan ruang terbuka untuk melakukan sikap kurang menyenangkan terhadap umat Kristen.

5. Perjuangan yang Berkelanjutan Sebagai kelompok minoritas, umat Kristen di desa Batu Hapu, mau tidak mau, suka atau tidak suka mereka harus menunjukkan (mempraktekkan) gaya hidup rendah hati239 namun tidak malu dan tetap dengan jati diri sebagai orang Kristen. Hal tersebut dapat dipandang sebagai salah satu upaya dalam membendung dampak dari interaksi negatif dengan umat Islam. Widi Artanto menyimpulkan sikap tersebut juga menandakan bahwa umat Kristen sebagai Gereja yang misioner, harus terbuka dan mau melakukan dialog, serta bekerjasama dengan sesama yang dipakai Allah untuk mewujudkan Kerajaan-Nya di dunia ini. Selain itu, perlu juga dilakukan upaya-upaya lain yang melibatkan semua pihak. Dengan tujuan agar kelompok umat beragama di desa Batu Hapu menjadi insan yang lebih arif dalam menyikapi perbedaan. Bukan dengan maksud untuk mencari kelompok atau agama mana yang paling benar. Sejalan dengan pemikiran Artanto, menurut hemat penulis maka upayaupaya tersebut, bisa dimulai dengan : Pertama, meyakini perbedaan sebagai suatu keniscayaan hidup, hal ini merupakan elemen penting yang harus disadari oleh setiap umat manusia. Berbeda

239

Bdk. Ayat-ayat Alkitab yang berbicara tentang kerendahan hati, antara lain : Amsal.16:18; 29:23; 1 Petrus.5:5 – 6; Lukas.18:1 – 4; Matius.18:4; 23:12; 1 Korintus.10:12.

126

paham adalah suatu realita sosial yang tidak bisa dihindari oleh kelompok masyarakat beragama dimanapun. Kedua, lebih mengedepankan nilai-nilai persamaan dalam setiap perbedaan. Sudah menjadi ketetapan Tuhan, bahwa setiap manusia memiliki beragam perbedaan, berbeda kondisi fisik, sifat, pemahaman, suku, bahasa, agama dan lainnya. Namun demikian Tuhan juga telah memberikan kesamaan universal bagi segala ciptaan-Nya. Seseorang yang kerap kali melihat orang lain dari dimensi perbedaan, maka segera dia akan menemukan banyak perbedaan. Akan tetapi sebaliknya, jika cara pandangnya dimulai dari nilai-nilai persamaan, maka dia akan mendapati bahwa dirinya sama. Ketiga, melalui sikap mengedepankan budaya dialog yang konstruktif. Upaya positif ini seharusnya disadari oleh siapa saja. Dengan kata lain, semua umat beragama harus meyakini akan kekuatan dialog dalam menyelesaikan segala bentuk perbedaan. Keempat, adanya kesepakatan dan komitmen bersama untuk menjadikan Pancasila, Undang-Undang Dasar, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI sebagai instrumen pemersatu dari keberagaman. Kelima, adanya campur tangan para pemimpin agama. Dalam perspektif sosial, negara ini sebenarnya masih diuntungkan dengan masih kuatnya budaya menghormati para pemimpin agamanya masing-masing. Keenam, upaya selanjutnya yang perlu diagendakan adalah edukasi berkelanjutan di lembaga pendidikan, organisasi kemasyarakatan maupun lembaga pemerintahan. Memudarnya sikap menghargai perbedaan dinilai akibat

127

dari minimnya pesan-pesan toleransi yang diajarkan pada lembaga-lembaga tersebut. Ketujuh, menghentikan segala bentuk ujaran-ujaran kebencian maupun politisasi agama. Dalam kaitannya dengan fase ini adalah segala jenis aktivitas yang mengajak orang lain untuk membenci agama, suku, atau bangsa lain. Sedangkan mengenai IMB gedung pembinaan Kristen (pos PI) yang terkendala masalah jumlah penggunanya. Menurut hemat penulis, kendala utamanya ada pada PBM 2006 khususnya pada beberapa pasal dan ayat yang terindikasi mengabaikan kearifan lokal wilayah tertentu. Dalam hal ini izin pembangunan rumah ibadah sebaiknya disederhanakan saja, mengingat tiap daerah memiliki karakteristik sosial dan budaya yang berbeda. Penyederhanaan lebih mengacu kepada UUD 1945 Pasal 29 dan HAM yang sebelumnya juga mengatur hal yang sama. Peraturan apapun yang ada dibawahnya harus mendukungnya, bukan mengaburkan tujuan dan rohnya. Kepala Daerah beserta DPRD di tingkat apapun tidak boleh tunduk kepada tuntutan golongan tertentu dengan alasan apapun, karena akan mencederai rasa keadilan. Bagaimanapun kebijakan pemerintah, umumnya atas desakan akar rumput di wilayahnya. Jadi kalau akar rumput bisa diajak berkomunikasi, tidak menutup kemunginan bukan sekedar mengurus izin saja yang mudah, melainkan diskriminasi yang ada bisa dihilangkan. Pada intinya kerjasama yang tulus harus dibangun demi tercipta dan terjaganya keharmonisan antar pemeluk agama.

B. PENDEKATAN OIKUMENE

128

Dalam konteks di desa Batu Hapu, penulis lebih menekankan betapa perlunya penguatan dari dalam, agar umat Kristen memiliki kesadaran dan kerangka berpikir oikumene240. Melalui kesadaran ini umat Kristen diharapkan mampu membangun relasi yang lebih peduli pada seluruh ciptaan Allah, dimana didalamnya terdapat denominasi Gereja, agama-agama lain, maupun lingkungan hidup. Persaudaraan di antara umat manusia tidak harus dikaitkan dengan agama masing-masing. Setiap manusia memiliki kodrat transenden yang sama, meyakini otoritas Allah dan beriman kepada-Nya. Oleh karena itu, segala bentuk perbuatan diskriminatif yang disebabkan oleh perbedaan-perbedaan yang kasat mata, sama sekali tidak sesuai dengan kehendak Allah. Sebagai kelompok yang dianggap minoritas, maka umat Kristen di desa Batu Hapu terlebih dahulu harus memiliki komitmen iman di dalam Kristus (Bdk. Ibrani.11:1). Kemudian sebagai bagian dari GKE, mereka harus memperkuat relasi intern maupun dengan denominasi241 Gereja lain yang ada di wilayah kabupaten Tapin. Gerakan ini bertujuan untuk membangun ikatan persaudaraan Kristen yang solid, secara khusus di kabupaten Tapin. Kesatuan Kristen pertamatama bukanlah persatuan karena keseragaman tetapi persatuan dalam Roh. Hidup dan bertumbuh dalam Roh berarti memiliki hati yang terbuka untuk hidup dalam kasih persaudaraan yang ekumenis. Roh itu juga yang membakar hati setiap orang 240

Gerakan Oikumene adalah suatu sikap iman yang mendorong Gereja-gereja untuk berjalan bersama-sama pada satu jalan dan arah yang sama. Eka Darmaputera, Berbeda Tapi Bersatu (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1974), 53. 241 Terdapat 8 gedung Gereja di kabupaten Tapin yang tersebar di beberapa Kecamatan, terdiri dari denominasi berbeda (GKE, GBI, Katolik, dan GPPS). Berdasarkan pemaparan H.M.Fadhly Mansoer (Ketua FKUB Prov.KALSEL) dalam Kegiatan Pembinaan KUB di Kabupaten Tapin pada 01/09/2016.

129

beriman supaya tetap hidup dan bersemangat untuk bersaksi di tengah-tengah dunia. Untuk berperan aktif sebagai Tubuh Kristus yang esa, Gereja perlu membuka diri bekerjasama dengan berbagai denominasi yang ada. Kerjasama tersebut bukan hanya dalam melaksanakan program-program pelayanan di tengah masyarakat tetapi kerjasama spiritualitas yang saling memperkaya pemahaman, pendalaman relasi secara personal dan komunal, berdoa bersama-sama, dan jaringan kerja yang transformatif. Pada hakikatnya kita membutuhkan rekan sepelayanan dari berbagai denominasi untuk melaksanakan misi Allah di tengah dunia ini. Apabila Gereja-gereja dalam praktik masih mempertahankan temboktembok denominasinya, saling bersaing dan menganggap dirinya lebih baik, bagaimana Gereja mampu berperan secara konstruktif di tengah masyarakat yang lebih kompleks dan beragam? Sikap Gereja-gereja yang eksklusif dan menganggap dirinya lebih rohani (superior) merupakan sikap yang jauh dari spiritualitas iman Kristen. Salah satu indikator pertumbuhan kehidupan rohani umat Kristen, sebenarnya terletak pada kesaksian hidup. Disinilah letak dan pentingnya aksi Gereja di bidang marturia atau kesaksian. Sebab, marturia itu sendiri adalah landasan tumbuhnya Gereja yang hidup. Maka aktivitas dan pelayanan Gereja hendaklah menunjukkan dirinya sebagai ”kesaksian yang hidup”. Memang pada awalnya tujuan gerakan oikumene pertama-tama untuk membuka dinding-dinding pemisah antar Gereja agar tercipta kesatuan (kerjasama

130

antar denominasi).242 Namun tidak dapat dibantah bahwa Gereja (umat Kristen) berada diantara kemajemukkan agama, strata sosial, ekonomi, dan budaya yang berbeda. Sehingga gerakan oikumene Gereja harus mampu beradaptasi sesuai dengan keberadaannya. Lalu apa tindakan Gereja? Penulis melihat bahwa peluang terbesar bagi Gereja (secara institusi) di desa Batu Hapu adalah mempertahankan anggotaanggotanya dengan pelayanan yang semakin menumbuhkan iman Jemaat, disini peran “ajarlah mereka” dalam pesan Kristus sangat bermakna besar (Bdk. Matius.28:20). Gereja harus mendidik anggotanya agar menghindari kegoyahan iman. Dengan demikian setidaknya Gereja masih bisa bertahan dan tetap menjalankan fungsinya sebagai terang dan sumber rekonsiliasi bagi dunia, khususnya di desa Batu Hapu. Langkah mendidik Jemaat ini juga untuk menghindari kenyataan bahwa banyaknya anggota Gereja yang melepas imannya demi dunia ini. Misi Amanat Agung yang sepertinya sulit terealisasi di desa Batu Hapu, tetap akan terwujud jika Gereja melakukan pengajaran dan pendidikan yang intens terhadap anggota-anggotanya yang ada. Sehingga kesadaran dan keberanian akan tumbuh dari Jemaat untuk memperlihatkan identitas imannya pada umat Islam. Kekristenan adalah iman yang eksklusif. Kekristenan bersandar pada kebenaran berdasarkan kesaksian Kitab Suci bahwa Yesus Kristus adalah satu-

242

Harus diakui juga bahwa masalah intern kekristenan pada umumnya masih seputaran pada ‘wilayah penginjilan’. Masih ada beberapa denominasi Gereja yang mengklaim bahwa ada daerah tertentu yang menjadi ‘wilayah penginjilan’nya dan menganggap Gereja lain sebagai pesaing dalam mengumpulkan umat.

131

satunya Tuhan dan Juruselamat.243 Kendatipun iman Kristen itu bersifat eksklusif, sebagai umat Kristen tidak sepantasnya apabila bersikap arogan dan sombong rohani. Untuk menjadikan pluralitas agama sebagai media

integrasi sosial dalam kerangka memperkokoh persatuan dan kesatuan antara umat beragama, maka harus ada upaya Gereja atau umat Kristen merubah sikap dan pandangan yang semula eksklusif menjadi sikap dan pandangan keberagamaan yang pluralis atau inklusif. Sebagai ‘eklesia’ (Gereja) menurut 1 Petrus.2:9, umat Kristen dipanggil keluar dari kegelapan menuju terang-Nya yang ajaib. Dipanggil keluar dari sifat ekslusivisme menjadi inklusif, agar menjadi garam dan terang dunia (Bdk. Mat.5:13-14). Artinya pandangan

eksklusif Gereja atau umat Kristen ditempatkan pada konsep iman dan kepercayaan. Sedangkan sikap inklusif Gereja atau umat Kristen berada pada ranah saling terbuka dengan agama lain dalam bidang sosial, kemanusiaan, dan keadilan. Keterbukaan kekristenan terhadap agama-agama lain juga membuka kemungkinan terciptanya relasi dinamis yang harmonis. Oleh sebab itu, dialog antar agama sangat berperan sebagai salah satu cara menghadapi gesekan dengan umat Islam. Alasan pentingnya dialog antar agama dilakukan adalah: Pertama, melalui dialog para pemuka agama akan berusaha untuk saling kenal satu dengan yang lain. Mereka akan berusaha untuk saling tukar informasi tentang agama masing-masing, sehingga mereka saling kenal satu dengan yang 243

Bdk. Kis.2:36; 4:12; 1 Tim.2:5; Yoh.17:3; Flp.2:9-11. Ayat-ayat Alkitab tersebut menunjukkan finalitas Kristus, sehingga iman Kristen bersifat mutlak (eksklusif).

132

lain. Dialog antar agama bukan untuk tempat saling berapologetika, berdebat, menyampaikan dakwah atau penginjilan. Kedua, setelah saling kenal maka diharapkan adanya saling pengertian atau memahami. Pengertian ini dapat terjadi apabila tokoh (termasuk umat) agamaagama saling mendengarkan satu dengan yang lain, dalam rangka mengantisipasi saling curiga satu dengan yang lain. Ketiga, meningkatkan toleransi antar umat agama di dalam kehidupan bermasyarakat yang majemuk. Toleransi akan terlihat sangat indah apabila dilakukan oleh kelompok agama mayoritas terhadap yang minoritas. Toleransi ini dapat tercapai, bila tiap agama saling kenal, mengerti, memahami, dan menganggap agama-agama lain sebagai saudara. Keempat, merupakan tempat terjadinya perjumpaan agama pada masa kini. Perjumpaan agama-agama dalam sejarah, khususnya Islam dan Kristen pada umumnya kurang baik. Kecenderungan perjumpaannya dimulai dengan konflik, misalnya perang salib. Melalui perjumpaan ini diharapkan kelompok umat beragama yang berbeda dapat saling belajar dari sejarah kelam masa lalu dan mampu memikirkan cara-cara terbaik membangun keharmonisan melalui perjumpaan masa kini. Kelima, perdamaian. Hans Kung mengatakan: “These days, nobody would seriously dispute to the fact that peace in the world very much depends on peace among various religious.”244 Ia mengungkapkan bahwa perdamaian dalam dunia dapat terjadi bila agama-agama berdamai. Sebab agama juga menjadi salah satu penyebab 244

Hans Kung, Christianity and the World Religious—Path of Dialogue with Islam, Hinduism and Buddhi (New York: Doubleday, 1986), 441.

133

timbulnya kekacauan/konflik. Demikian halnya saat ini, konflik (kekerasan fisik maupun sarkasme) atas nama Tuhan sangat rawan terjadi, salah satu bentuk fisik yang kelihatan adalah dengan pengrusakan rumah-rumah ibadah.

C. RANCANG BANGUN PERSEPSI Persepsi dapat diartikan sebagai cara berpikir/respon seseorang terhadap suatu objek atau permasalahan tertentu yang dia lihat. Sering kali persepsi dapat pula diartikan sebagai sebuah prasangka terhadap suatu hal. Dalam kehidupan sehari-hari perbedaan persepsi sering kali menimbulkan permasalahan bahkan terkadang menimbulkan perpecahan antara kedua belah pihak yang berbeda persepsi. Pada umumnya tidak semua umat Islam di desa Batu Hapu mempersepsikan umat Kristen dengan baik, bahkan begitu pula sebaliknya. Penulis menyoroti beberapa dampak terkait relasi negatif antar kedua kelompok agama ini. Pertama-tama adalah soal isu Kristenisasi. Walaupun isu ini tidak terlalu menjadi topik utama yang mewarnai relasi Islam dan Kristen di desa Batu Hapu. Harus dimengerti juga bahwa penyebaran agama adalah sesuatu yang alamiah. Islam sendiri menjadi begitu banyak pemeluknya melalui penyebaran ajarannya ke seluruh dunia. Dengan kata lain, adalah lazim bila setiap komunitas agama berharap bahwa ada peningkatan jumlah umatnya. Bila pemeluk Islam percaya bahwa ajaran yang diyakininya akan menyelamatkan umat manusia, tentu bisa dimengerti bila ia berharap orang lain mau menerima kebenaran keyakinannya, demikian pula dengan umat Kristen.

134

Kedua, kalaupun ada upaya menyebarkan ajaran Kristen saat ini tentu saja konteksnya berbeda dengan Kristenisasi di masa penjajahan Belanda. Di masa itu, hubungan antara penjajah dan kaum pribumi (orang-orang Islam) tidak simetris. Dengan demikian, Kristenisasi di masa penjajahan bisa nampak tidak layak karena melibatkan hubungan kekuasaan dan pemaksaan. Di masa ini, ketika kelompok Islam berdiri sejajar dengan kelompok Kristen, persoalan relasi kekuasaan itu tidak lagi perlu dikhawatirkan. Ketiga, dan yang terpenting adalah, menganggap Gereja sebagai bagian dari Kristenisasi tentu saja adalah tuduhan yang sama sekali tidak pantas. Gereja dibutuhkan oleh umat Kristen untuk beribadah. Gereja juga memiliki fungsi sosial (pelayanan dan pendidikan), sama halnya juga dengan Mesjid yang bukan hanya berfungsi sebagai tempat salat. Secara umum, Indonesia adalah negara yang dibangun oleh jutaan manusia yang memiliki latar belakang keagamaan dan keyakinan yang sangat beragam. Negara ini akan damai bila masing-masing kelompok tak memandang kelompok lain sebagai lawan yang mengancam. Bila isu Kristenisasi terus didengungkan, maka umat Islam akan memandang seluruh umat Kristen sebagai ancaman. Persepsi yang akan tumbuh adalah kebencian dan kecurigaan. Pada akhirnya nanti bisa saja yang dilarang bukan lagi Gereja, tapi bisa jadi juga hak hidup mereka yang beribadah di dalamnya. Sama seperti ungkapan ini: satu musuh terlalu banyak, seribu teman terlalu sedikit. Kita tidak boleh membiarkan dan menyepelekan kehadiran musuh (oknum intoleran), walaupun seorang. Dari sinilah semestinya kita berpijak bagaimana

135

caranya mengukur kerukunan umat beragama (KUB). Bukan pada skala yang sedikit atau banyak, rendah atau tinggi. Tapi pada bagaimana menciptakan zero tolerance terhadap intoleransi agama. Mengapa demikian? Sebab, hadirnya satu orang intoleran sudah cukup untuk merusak tatanan KUB. Seorang intoleran bisa melakukan bom bunuh diri di tengah kerumunan atau bisa melakukan propaganda permusuhan dari forum ke forum, dari satu tempat ibadah ke tempat ibadah yang lain. Lantas bagaimana caranya menumbuhkan zero tolerance terhadap intoleransi agama? Hal yang paling pokok adalah menumbuhkan kesadaran pluralisme. Sayangnya, banyak kalangan, terutama para tokoh dan ahli agama (khususnya kalangan konservatif), yang menyamakan pluralisme dengan sinkretisme, atau menyamaratakan semua agama. Menurut Diana L. Eck245 pluralisme berbeda dengan sinkretisme. Sinkretisme menyamakan dan mencampuradukkan kebenaran agama. Sedangkan pluralisme merupakan sikap saling menghormati di atas basis saling menghargai perbedaan dan keunikan masing-masing tradisi agama. Kita menghormati dan menghargai kebenaran suatu agama, sama sekali berbeda dengan mengakui kebenaran agama tersebut, atau menyamakan agama tersebut dengan agama yang kita yakini. Setiap pemeluk agama sudah pasti meyakini kebenaran agamanya. Karena adanya keyakinan itulah, maka siapa pun akan marah atau setidaknya tersinggung, jika kebenaran agama yang diyakininya diusik, dicemooh atau dihina. Maka jika 245

Diana L. Eck, Encountering God: A Spiritual Journey from Bozeman to Banaras (USA: Beacon Press, 2003), 20 – 21.

136

ingin membangun KUB, jangan sekali-kali mengusik, apalagi menghina, agama yang diyakini orang lain. Salah satu cara mengukur KUB yang valid adalah bukan dengan meminta pendapat seseorang atau kelompok tentang hal itu. Tetapi dengan mendeteksi ada atau tidak adanya orang yang menganggap agama atau keyakinan orang lain tidak boleh ada atau layak dihina dengan menyebutnya kafir atau sesat. Pada saat persepsi seperti ini masih ada, maka pada saat itulah KUB belum ada. Penolakan atau pelarangan terhadap pendirian rumah ibadah, pada dasarnya bersumber dari anggapan bahwa agama, selain yang menjadi mayoritas tidak boleh ada. Oleh karena itu, upaya membangun sarana dan tempat atau rumah ibadah bagi mereka pun harus dicegah. Pelarangan atas pendirian rumah ibadah merupakan ironi bagi umat beragama. Jika semua umat beragama meyakini bahwa agama yang dipeluknya mengajarkan kebaikan dan perbaikan, semestinya tidak ada penolakan atau pelarangan atas pendirian rumah ibadah. Semakin banyak rumah ibadah di suatu tempat, tentunya akan semakin baik suasana kehidupan dan moral masyarakatnya. Jadi, jika rumah ibadah diyakini sebagai sarana untuk memperbaiki perilaku dan karakter umat beragama, mengapa pendiriannya harus ditolak dan dilarang? Konstitusi kita, khususnya Pasal 29 ayat 2 UUD 1945, dengan jelas menyebutkan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan keyakinannya itu. Semua aturan main yang berlaku di Negeri ini, dari ketetapan MPR, Undang-Undang, Keputusan Presiden, Peraturan Pemerintah, hingga

137

Peraturan Menteri dan Peraturan Daerah, tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Maka,

selain

mengembangkan

terus

kesadaran

pluralisme,

untuk

menumbuhkan zero tolerance terhadap intoleransi agama, harus ada peninjauan kembali (koreksi) terhadap semua aturan main yang mengatur tentang kehidupan beragama. Ketentuan yang melarang pendirian rumah ibadah, misalnya, harus dicabut atau dianggap tidak berlaku karena bertentangan dengan UUD 1945. Selama masih ada aturan main tentang kehidupan beragama yang bertentangan dengan Pasal 29 ayat 2 UUD 1945, maka selama itulah KUB masih bermasalah.

D. SUMBANGSIH PEMIKIRAN Keberadaan Gereja yang hidup dan bergerak merupakan bagian terpenting dari kegiatan bermisi. Kegiatan misi oleh Gereja merupakan kegiatan yang juga melibatkan banyak orang, karena salah satu tujuan lokal dari misi adalah berdampak baik bagi komunitas setempat. Oleh karena itu dalam rangka menggerakkan umat Kristen di desa Batu Hapu dalam kegiatan bermisi, maka penulis menawarkan beberapa pemikiran aplikatif dalam rangka membangun toleransi antar umat beragama.

1. Fungsionalitas Gereja Secara teologis, hidup bersama dalam komunitas merupakan dasar penting dalam membangun relasi satu dengan yang lain sebagai sesama umat ciptaan

138

Allah. Gereja mengemban tugas dan panggilan misionernya bukan hanya sebatas memberitakan Injil (Bdk. Matius.28:19-20), tetapi menjadi garam dan terang bagi dunia (Bdk. Matius.5:13-16).246 Fungsionalitas Gereja adalah alat bukan tujuan, hakikat Gereja dihadirkan oleh Allah untuk ikut berpartisipasi dalam misi Allah kepada dunia ini. Dunia dalam seluruh dimensinya, baik ekonomi, sosial, budaya, bahkan politik247 yang selama ini dilihat sebagai bidang yang ‘kotor’, adalah sasaran dari misi Allah itu. Inti misi Allah itu adalah misi Kristus, yaitu apa yang telah dikerjakan oleh Allah di dalam Kristus. Tujuan Kristus datang ke dunia untuk menyatakan dan menjadi perwujudan betapa besarnya kasih Allah pada dunia ini kemudian juga melaksanakan tugas penyelamatan bagi seluruh umat manusia. Karena itulah, maksud kedatangan Yesus ke dunia bukanlah mendirikan agama baru atau Gereja tertentu. Karena itu konsep bahwa misi Gereja yang paling utama adalah mendirikan atau membesarkan institusi Gereja, kurang bersesuaian dengan kondisi saat ini. Untuk melaksanakan Missio Dei, maka Kristus mendirikan Gereja dan mengutusnya ke dalam dunia (Bdk. Yoh.20:21). Karena Kristus yang mendirikan Gereja, maka hanya Dialah satu-satunya yang menjadi dasar hidup bergereja. Dialah pemilik, pendiri, dan kepala Gereja (Bdk. I Kor.3:11). Tetapi Yesus mendirikan Gereja bukan sebagai tujuan, tapi sebagai alat. Ibaratnya surat, pengirimnya adalah Allah, isinya adalah pemberitahuan tentang 246

Bdk, Widi Artanto, Menjadi Gereja Yang Misioner dalam Konteks Indonesia (Jogyakarta: Kanisius, 1997), 113. 247 Eka Darmaputera, “Fungsi Sosial-Politik (Jabatan) gerejawi”, Penuntun Vol 1, No. 3 (AprilJuni, 1995), 287. Pada bagian ini, Eka menjelaskan tanggung jawab politik Gereja. Bagi Eka, Gereja (institusi) tidak boleh berpolitik praktis, tetapi Gereja mempunyai tanggung jawab di bidang politik, bahkan seorang Pendeta sebaiknya tidak usah ikut dalam politik praktis.

139

kasih-Nya dan tawaran keselamatan dari-Nya, tujuannya pada dunia bukan Gereja. Tugas Gereja sangatlah penting, sebagai “Pengantar Pesan” (Bdk. Rom.10:13-15). Sebagai pengantar pesan (Gereja) yang baik maka ia harus tetap setia mengantarkan isi surat (Kasih Allah) dari pengirimnya (Allah), kepada alamat (dunia) yang ditujuinya, tidak menambah, mengurangi, atau menyimpan surat itu untuk dirinya sendiri (Bdk.Yoh.3:16). Subjek sekaligus penentu dalam Missio Dei hanyalah Allah. Makna dan identitas Gereja lebih secara fungsional, yaitu harus membawa manfaat, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tapi terutama bagi dunia ini. Gereja tidak punya arti, walaupun ia besar, termegah, terkaya, kalau manfaatnya itu dirasakannya sendiri. Untuk melaksanakan misi Allah dan melanjutkan misi Kristus di dunia, maka Gereja ditugaskan untuk bersaksi, bersekutu, dan melayani (Tri Panggilan Gereja). Ada tugas keluar dan ada tugas ke dalam. Ketiga tugas ini tidak bisa dipisah-pisahkan, tapi satu kesatuan yang utuh. Persekutuan yang harus dibina adalah persekutuan yang bersaksi dan melayani; Kesaksian yang harus dilaksanakan adalah kesaksian oleh persekutuan dan kesaksian yang dibarengi oleh pelayanan; Pelayanan adalah pelayanan di dalam dan oleh persekutuan dan pelayanan yang merupakan kesaksian. Semua tri panggilan Gereja ini berdiri atas dasar Kristus sendiri (Bdk. I Kor.3:11). Tugas Gereja bukan meng-Kristenkan, tapi meng-Kristuskan.248 Umat Kristen di desa Batu Hapu seharusnya mampu menghadirkan diri sebagai komunitas percontohan, yaitu sebagai suatu gerakan moral bagi keadilan, 248

Sinaga M.L., Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 260-273.

140

kebenaran, dan kebebasan dalam keberpihakannya bersama rakyat kecil. Integritas moral dan spiritual Gereja harus nampak dalam kehadirannya bersama semua komponen umat beragama. Gereja harus terbebas dari eksklusivisme dan mulai dengan sigap, peka terhadap persoalan yang terjadi di masyarakatnya karena ia adalah bagian yang integral dari masyarakatnya. Lebih berorientasi kepada yang fungsional bukan formalistik. Gereja tidak lagi hadir sebagai kekuatan yang eksklusif dan ekspansif melainkan inklusif, inspiratif, dan rekonsiliatif. Ia adalah hamba yang siap mengabdi bagi semua orang.249 Misalnya di desa Batu Hapu, daerah pegunungan yang memiliki kekayaan alam melimpah dan sebagai objek wisata batu alam (goa Batu Hapu) terancam rusak. Hal ini dikarenakan adanya penambangan batu bara dalam skala besar dan usaha tradisional sebagian masyarakatnya sebagai penambang batu gunung. Kegiatan tersebut rupanya dilakukan dengan cara-cara destruktif, misalnya penggunaan dinamit, penggundulan hutan, penggalian perbukitan, maupun pencemaran sumber air. Kemudian perlakuan anak-anak sekolah yang kurang memahami perbedaan (mengacu pada perlakuan anak-anak Islam di sekolah), menunjukkan bahwa nilai-nilai luhur keagamaan masih belum menyentuh kehidupan mereka secara mendalam. Nilai-nilai luhur agama merupakan benteng pertahan moral, yang membentengi para penerus dari kerusakan maupun penyimpangan moral ketika mereka bermasyarakat. Maka sebagai Gereja yang inspiratif dan rekonsiliatif, pelayanannya harus mempunyai perspektif ekologis yang memadai. Gereja melalui pelayanannya 249

Bdk. Eka Darmaputera, Iman dan Tantangan Zaman (Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2003), 71 – 76.

141

mengajar warga masyarakat (setidaknya dimulai dari umat Kristen dulu) untuk memiliki kesadaran ekologis. Pelayanan ini seharusnya mampu mengubah pola pikir masyarakat terhadap alam, alam dimanfaatkan dengan penuh persahabatan, tidak memakai cara-cara destruktif dalam mengelola hasil alam. Gereja juga bisa memprakarsai berbagai program bersama pemerintah setempat, misalnya kegiatan-kegiatan yang menumbuhkan nilai-nilai kebersamaan, contohnya lomba kebersihan antar RT atau RW. Apabila nilai-nilai kebersamaan tumbuh dan berakar, setidaknya akan menjadi teladan bagi generasi muda yang pada akhirnya nanti membentengi moral mereka dari pengaruh negatif maupun isu-isu perpecahan lainnya. Hal ini dapat juga dimulai dari diri sendiri bukan secara massal, misalnya mempraktikkan sikap hidup yang berdasarkan Injil. Sebagai kelompok minoritas di desa Batu Hapu, kualitas hidup sebagai orang Kristen harus nampak, menjadi nilai lebih yang dapat menarik (memberkati) orang lain. Karena itu Gereja tidak boleh terjebak dalam usaha yang hanya memperjuangkan kepentingannya sendiri, tetapi bersama-sama berjuang bagi keadilan, kebenaran, kebebasan, perdamaian, bagi semua orang, bagi seluruh bangsa ini.250 Selain itu, perlu juga keterlibatan para pemuka agama dari kedua kelompok agama di desa Batu Hapu. Karena pemuka agama memiliki peran penting dalam penyebaran agama dan bertanggung jawab dalam pembinaan kerohanian masingmasing anggotanya di desa Batu Hapu. Idealnya sebagai role model mereka harus bisa memberi contoh positif kepada anggotanya mengenai nilai-nilai luhur agama, praktik hidup bertoleransi, maupun keberagaman dalam beragama 250

Millard J. Erickson, Theologi Kristen, Vol 3 (Malang: Gandum Mas, 2004), 323.

142

(inklusivisme). Sehingga nantinya apa yang dilakukan dan diajarkan akan menjadi pedoman bagi anggotanya. Namun harus diakui juga walaupun pemuka agama diharapkan mampu membawa anggotanya pada tatanan nilai-nilai luhur agama, tetap terbuka kemungkinan mereka akan membelokan nilai-nilai tersebut ke arah yang salah. Dalam perspektif lain, eksklusivisme dalam diri setiap pemeluk agama tidak bisa dihilangkan sepenuhnya. Walaupun dalam relasi sosialnya dia sering berbicara mengenai inklusivitas dan pluralisme. 2. Gereja Misioner Dalam rangka mengupayakan interaksi positif antar umat Islam dan Kristen di desa Batu Hapu tetap terjaga, maka dipandang perlu untuk membangun pendekatan-pendekatan persuasif demi terciptanya masyarakat beragama yang rukun. Adapun upaya-upaya tersebut, antara lain : 1. Mengadakan pembinaan pada generasi muda, jika perlu live in (tinggal bersama) atau semacam pertukaran pelajar. Dalam hal ini para tokoh agama bisa saling bersinergi kemudian melibatkan peranan FKUB. Anak-anak umat Islam belajar tentang kekristenan begitu juga sebaliknya. Melalui pembinaan ini generasi muda akan belajar konsep pluralisme. Namun menurut hemat penulis, pluralisme pertama-tama bukan bicara soal persamaan, seperti: semua agama mengajarkan hal yang baik, tujuan kita sama menuju sorga, kita berjuang untuk kebaikan bersama, dst. Jika bicara soal persamaan ini semua orang juga sudah tahu. Anak-anak akan belajar sedikit ilmu jika dimulai dari sini. Penulis menawarkan metode lain, anak-anak terlebih dahulu belajar mengenai perbedaan. Teknisnya, fasilitator memisahkan anak-anak Kristen

143

dan Islam. Anak-anak yang Kristen belajar tentang apa itu Islam, misalnya: Apa pokok ajaran Islam? Bagaimana ritual mereka? Peran Muhammad dalam Islam? Apa peran Islam dalam kebangsaan? Bagaimana Islam memandang keberagaman agama? Apa peran ORMAS Islam? dst. Tujuan menyasar generasi muda adalah untuk memberikan pengetahuan khususnya perihal fenomena keberagaman dibidang agama yang membawa konsekuensi kerawanan memicu konflik. Maka dipandang penting memberikan informasi yang benar dan tepat kepada generasi muda agar mampu memahami esensi perbedaan

sebagai

kekayaan

peradaban

berbangsa

dan

bernegara.

Pengetahuan akan keragaman bangsa Indonesia yang demikian kaya harus dijadikan potensi membangun peradaban bangsa itu sendiri, bukan disikapi secara sempit karena perbedaan sudut pandang dan ritus. Apakah setelah kegiatan ini yang Kristen menjadi Islam, dan yang Islam menjadi Kristen? Pada akhirnya setelah mereka mengenal perbedaan-perbedaan itu, mereka menjadi tahu dan bisa saling menghargai. Mereka semua masuk sejenak untuk melihat “yang lain”, namun kemudian keluar dengan perspektif dan wawasan yang lebih dalam tentang agamanya masing-masing. 2. Akan lebih baik apabila kedua kelompok agama selalu mengamalkan kebiasaan hidup rukun sebagai sesama warga masyarakat desa Batu Hapu dalam seluruh aspek kehidupannya. Namun apabila ‘agama sebelah’ kurang berinisiatif, sebagai umat Kristen yang diberkati maka mereka bisa terlebih dahulu memulainya. Masalah kerukunan beragama tidak gampang dibangun seperti pembangunan fisik dan tidak dapat dihitung secara eksak, namun

144

harus dimulai dalam setiap kesempatan karena kerukunan itu akan selalu berubah-ubah, dari rukun berubah menjadi tidak rukun, karenanya kerukunan itu harus dibangun terus menerus. 3. Bagi para pemangku jabatan (atasan) di pemerintahan hendaknya juga bisa memahami keberagaman para rekan kerjanya, termasuk bagaimana kebiasaan dalam agama mereka. Tidak harus memaksakan (dengan cara apapun) untuk mengikuti kebiasaan yang bersifat keagamaan khususnya di wilayah kerja, berpedoman saja pada peraturan pemerintah. Bagi umat Kristen sebaiknya jangan malu atau segan untuk menunjukkan identitas kekristenan diantara umat

Islam.

Menunjukkan

identitas

kekristenan

bukan

merupakan

pelanggaran hukum bahkan dilindungi undang-undang, jadi mengapa mesti malu dan takut. 4. Antara umat Islam dan Kristen membangun rasa saling pengertian. Memahami bukan berarti menyetujui, saling memahami adalah kesadaran bahwa nilai-nilai mereka dan kita berbeda dan mungkin saling melengkapi serta memberi kontribusi terhadap relasi yang dinamis. Agama mempunyai tanggung jawab membangun landasan etnis untuk bisa saling memahami diantara entitas-entitas agama dan budaya yang plural multikultural. 5. Menjunjung tinggi sikap saling menghargai. Dengan desain pembelajaran semacam ini, diharapkan akan tercipta sebuah proses pembelajaran yang mampu menumbuhkan kesadaran pluralis dalam setiap individu. Jika desain semacam ini dapat terimplementasi dengan baik, harapan terciptanya

145

kehidupan yang damai, penuh toleransi, dan tanpa konflik akan lebih cepat terwujud. 6. Didalam sebuah kelembagaan hendaknya tidak lagi dikenal adanya asumsi mayoritas maupun minoritas, tetapi lebih mendekatkan persatuan atas dasar kebenaran dan cinta kasih, sehingga keharmonisan dalam kehidupan bermasyarakat, kerja, dan beragama dapat terwujud setiap saat Terkait permasalahan IMB gedung pembinaan Kristen (pos PI) yang tak kunjung dikeluarkan, maka umat Kristen di desa Batu Hapu setidaknya mampu mempertimbangkan atau mengusahakan beberapa faktor berikut; Faktor pertama adalah dukungan dari pemerintah setempat dan aparat kepolisian. Kedua instansi ini memiliki wewenang untuk menerima atau menolak pengajuan izin pendirian Gereja dan menghentikan massa yang ingin mengganggu proses pembangunan Gereja. Maka dari itu umat Kristen di desa Batu Hapu terlebih dahulu melakukan koordinasi dengan Majelis Resort, agar dari sana dapat diatur pengadministrasian maupun hal-hal yang dianggap perlu. Faktor kedua adalah dukungan dari tokoh agama setempat. Misalnya, panitia pembangunan Gereja mendekati seorang tokoh atau pemuka agama Islam yang cukup berpengaruh di daerah itu. Melalui pendekatan ini diharapkan dapat menciptakan hubungan baik dan pada akhirnya melalui tokoh ini, ia akan membantu menyuarakan aspirasi umat Kristen pada jamaah/umat Islam yang lain. Faktor ketiga adalah keberhasilan dialog dengan masyarakat Islam di daerah sekitar. Hal ini bertujuan untuk menghindari kesalahpahaman dan untuk menegaskan bahwa Gereja dibangun bukan untuk kegiatan kristenisasi semata 146

melainkan sebagai sarana peribadatan dan proses belajar mengajar umat Kristen. Penegasan tersebut bertujuan untuk meyakinkan masyarakat sekitar, bahwa pembangunan gereja tidak dimaksudkan untuk memurtadkan umat Islam. Faktor keempat adalah membangun relasi dengan ORMAS Islam yang moderat, misalnya NU (Nahdatul Ulama). Apabila sudah terbangun relasi yang baik antara keduanya, maka bisa saja nantinya ORMAS Islam arus utama ini ikut menuntut agar pemerintah daerah dan kepolisian menjamin hak memperoleh IMB serta mengedukasi umat Islam yang lain untuk secara aktif mendukung hak ini. Dari keempat faktor yang sudah disebutkan diatas ada faktor kunci yang sangat menentukan, yaitu dialog. Dalam dialog hendaknya dikembangkan juga strategi baru yang lebih efisien, dialogis, variatif, membumi, egaliter, dan demokratis tanpa diskriminatif. Langkah-langkah yang bisa diusahakan, misalnya: 1. Dialog antar pemuka agama, elit politik, dan kalangan pers, 2. Dialog antara cendekiawan agama, 3. Dialog antara guru-guru dan dosen agama, 4. Dialog antara penyiar agama, 5. Dialog antar mahasiswa (pemuda) dan tokoh pemuda, elit ORMAS keagamaan, 6. Dialog

kerjasama

kemitraan

dengan

pengusaha,

ORMAS

keagamaan/NGO, 7. Temu wawasan antar pemuka-pemuka agama pusat dan daerah. Umat Kristen di desa Batu Hapu harus mampu melihat atau menciptakan sebuah momentum dalam dialog atau dialog dalam momentum. Para tokoh agama 147

(maupun umat) tidak lagi memandang perbedaan-perbedaan dalam tatanan dogmatis maupun ritus. Sudah saatnya mereka bergerak bersama untuk memikirkan persoalan-persoalan yang masih membebani bangsa ini. Kemudian bersama Pemerintah membentengi bangsa ini dari paham-paham terosisme dan membangun masyarakat agamis yang humanis.

148

PENUTUP

Bagian ini merupakan refleksi teologis, kesimpulan dari penelitian yang telah dilakukan dan saran bagi pihak-pihak terkait yang memiliki peran sebagai peace keeper dalam konteks interaksi antar umat beragama.

A. REFLEKSI TEOLOGIS Gerak pengutusan Kristus adalah gerak sentrifugal, yaitu gerak pelayanan yang semakin meluas. Karena itu pelayanan Gerejawi tidak berfokus pada dirinya sendiri.

Pelayanan

Gerejawi

merupakan

media

pembinaan,

pelatihan,

pengembangan karakter, dan pendalaman spiritualitas agar Jemaat dimampukan untuk melayani lingkup yang lebih luas yaitu dunia di sekitar. Pelayanan Gerejawi yang hanya berpusat pada dirinya sendiri merupakan gerak pengutusan yang bersifat sentripetal belaka, sehingga mengembangkan sikap egoistis dan egosentrisme. Warga Kristen di desa Batu Hapu mengajarkan bahwa kesetiaan kepada Kristus memang mahal harganya. Memikul salib tidaklah mudah, meskipun begitu mereka tetap bertahan dan hidup dalam iman kekristenan diantara mayoritas umat Islam di desa Batu Hapu. Berbagai macam intimidasi yang dialami dari orang dewasa hingga anak-anak, tidak mampu mengubah iman Kristen mereka. Namun seiring berjalannya waktu, adakalanya langkah mereka terhalang bahkan tantangan yang dihadapi semakin berat. Bagi mereka yang imannya lemah, situasi berat yang dihadapi bisa saja akan mempengaruhi hati dan pikiran mereka, 149

sehingga tidak sedikit dari mereka yang tergoncang dan menjadi tawar hati (Bdk. Amsal.24:10: "Jika engkau tawar hati pada masa kesesakan, kecillah kekuatanmu"). Dalam situasi yang demikian warga Kristen di desa Batu Hapu tetap hidup di dalam iman kepada Kristus. Inilah kunci untuk dapat bertahan di tengah tantangan, datang kepada Bapa Sorgawi, berdoa dan memohon pertolongan-Nya. "Karena itu marilah kita menghadap Allah dengan hati yang tulus ikhlas dan keyakinan iman yang teguh, oleh karena hati kita telah dibersihkan dari hati nurani yang jahat dan tubuh kita telah dibasuh dengan air yang murni." (Ibrani.10:22). Tanpa iman tak seorang pun dapat bertahan hidup dengan benar, sebab selama di dunia ini kita takkan bisa menghindarkan diri dari berbagai pencobaan, tekanan, himpitan, masalah, sakit-penyakit dan sebagainya. Iman bukanlah tindakan nekat atau gambling! "Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat." (Ibrani.11:1). Meski berada di tengah tantangan yang berat sekali pun, orang yang memiliki iman tidak akan pernah menyerah kepada tantangan atau keadaan yang ada, apalagi sampai putus pengharapan, sebab ia berkeyakinan bahwa "Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberi kekuatan kepadaku." (Filipi 4:13). Demikian pula halnya dengan kehidupan orang yang percaya kepada Kristus. Kekuatan kita untuk bertahan di tengah terjangan badai hidup tidak terletak dalam diri kita, melainkan berasal dari Allah yang berdiam di dalam diri kita. Kita tidak terbebas dari pukulan-pukulan yang dilontarkan oleh kehidupan

150

ini maupun dari badai yang sudah pasti mengancam stabilitas hidup kita. Namun, dengan keyakinan penuh dalam kuasa-Nya untuk menopang kita, kita dapat berkata bersama Paulus, “Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak terjepit; kami habis akal, namun tidak putus asa; kami dianiaya, namun tidak ditinggalkan sendirian, kami dihempaskan, namun tidak binasa” (2 Kor.4:8-9). Dalam era globalisasi, agama-agama tetap memainkan peranan penting agar masyarakat tidak hanyut dalam arus fundamentalisme dan liberalisme, karena keduanya tidak peduli dengan eksistensi orang lain. Jika agama-agama tidak dapat berdialog, maka kekerasan atas nama agama dapat mencederai kesatuan bangsa dan menciptakan ketakutan dalam masyarakat. Pluralisme agama menjadikan dikotomi mayoritas – minoritas tidak relevan lagi, sebab semua umat beragama berpotensi sama baiknya membangun kehidupan bersama dengan damai dalam bingkai ke-bhineka-an. Sebagai pengikut Kristus, umat Kristen seharusnya meneladani sikap-Nya. Mengalah untuk menang selayaknya menjadi sikap umat Kristen di mana pun berada, khususnya mereka yang sedang mengalami intoleransi, diskriminasi, penghambatan, dan penganiayaan oleh pihak yang punya kekuatan dan kekuasaan sosial politik. Di dalam menghadapi situasi yang sudah tidak dapat diubah dan tidak ada pilihan lain, maka sikap mengalah dan pasrah pada Allah adalah pilihan yang mulia. Sikap ini menunjukkan bahwa umat Kristen setia dan taat pada Tuhan, serta memiliki cinta kasih yang tulus ikhlas. Sikap ini menunjukkan kemenangan terhadap dunia yang jahat.

151

Akan berbeda hasil dan penilaiannya apabila sikap yang dipilih dalam menghadapi tantangan dengan berkeras hati, apalagi dengan kekerasan. Bayangkan apa yang akan terjadi ketika Yesus ditangkap kemudian Simon Petrus dengan agresif menghunus pedang dan memotong telinga Malkhus (hamba Imam Besar), lalu Yesus membiarkannya atau tidak menenangkan para murid-Nya lalu tidak menyembuhkan telinga si korban itu, tetapi sebaliknya Ia melawan dan melakukan kekerasan? Tentu akan terjadi kerusuhan (keributan) dan jatuh korban yang lebih banyak.251 Yesus juga akan dinilai tidak taat pada rencana Allah. Ini tidak benar dan karena itu Ia tidak melakukannya. Yesus mengalah-pasrah dan ketika mengakhiri hidup-Nya di kayu salib, Ia berkata “Ya Bapa, ke dalam tangan-Mu Kuserahkan nyawa-Ku” (Lukas.23:46). Pada akhirnya, Yesus Kristus menang atas dunia maupun maut dan perbuatannya diingat sepanjang masa sebagai sebuah kemuliaan. Iman Kristen mengajarkan umatnya untuk menjadi berkat bagi manusia, alam semesta dan demi kemuliaan Tuhan. Karena itu, yang baik dan benar adalah tugas itu dilakukan bukan dengan kekerasan dan kemenangan dengan mengorbankan orang lain, tetapi dengan damai, penuh kasih, setia dan kepasrahan kepada Tuhan.

Kesimpulan Beberapa kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut :

251

Bdk. Matius.26:47-56; Markus.14:43-52; Lukas.22:47-53; Yohanes.18:1-11.

152

1. Inti dari misi Gereja adalah mewartakan bahwa Yesus Kristus adalah penebus bagi umat manusia. Karunia keselamatan itu diwartakan melalui pengajaran, kematian, dan kebangkitan-Nya. Gereja mengemban tugas dan panggilan misionernya bukan hanya sebatas memberitakan Injil (Bdk. Matius.28:19-20), tetapi menjadi garam dan terang bagi dunia (Bdk. Matius.5:13-16). 2. Misi merupakan upaya tiap orang untuk mempromosikan keunggulankeunggulan dari agamanya. Namun adakalanya upaya tersebut dianggap sebagai suatu ancaman bagi kelompok (agama) tertentu. Oleh karena itu paradigma misi tiap zaman mengalami penyesuaian berdasarkan waktu dan tempat. 3. Warga desa Batu Hapu yang majemuk memiliki dua wajah, pertama, kehidupan beragama masyarakat pluralitas dengan perspektif ideologi berbeda. Kedua, sebagian masyarakatnya masih belum terbiasa dengan teologi agama-agama dan kurangnya pendidikan formal yang dimiliki. 4. Persepsi umat Islam terhadap umat Kristen di desa Batu Hapu, cukup baik. Toleransi sosial yang terjalin misalnya kesediaan umat Islam untuk hidup berdampingan dengan umat Kristen, turut berpartisipasi mempersiapkan acara keagamaan (Natal), bahkan bersedia hadir di acara tersebut. Berbeda dengan toleransi beragama, masih terdapat diskriminasi pada beberapa relasi yang berdampak kurang baik bagi umat Kristen. 5. Konflik yang terjadi antara Islam dan Kristen di desa Batu Hapu, bukanlah konflik berdarah maupun penghancuran tempat/rumah ibadah. Konflik antara kedua agama ini misalnya sarkasme dikalangan pelajar, pengurangan nilai

153

mata pelajaran agama, bujukan memakai jilbab, IMB terkendala, dan pengaruh informasi luar dari kelompok Islam konservatif. Hal tersebut merupakan pelecehan sosial (social abuse) yang berpotensi menjadi konflik di desa Batu Hapu. 6. Terkait pemberian IMB gedung pembinaan Kristen (pos PI) di desa Batu Hapu, kendala yang dihadapi adalah jumlah pengguna rumah ibadah. Sedangkan mengenai dukungan dari agama lain, nampaknya bisa saja diusahakan dengan upaya-upaya tertentu. 7. Fungsionalitas Gereja adalah alat bukan tujuan, hakikat Gereja dihadirkan oleh Allah untuk ikut berpartisipasi dalam misi Allah kepada dunia ini (Bdk. Yoh.20:21). Dunia dalam seluruh dimensinya, baik ekonomi, sosial, budaya, bahkan politik yang selama ini dilihat sebagai bidang yang ‘kotor’, adalah sasaran dari misi Allah itu. 8. Diperlukan kesadaran atau kerangka berpikir oikumene dalam rangka menghayati iman Kristen. Hal ini bertujuan agar umat Kristen nantinya mampu membangun relasi yang lebih peduli pada seluruh ciptaan Allah, dimana didalamnya terdapat denominasi Gereja, agama-agama lain, maupun lingkungan hidup. 9. Gereja perlu membuka diri bekerjasama dengan berbagai denominasi yang ada. Pada hakikatnya kita membutuhkan rekan sepelayanan dari berbagai denominasi untuk melaksanakan misi Allah di tengah dunia ini. 10. Keterbukaan kekristenan terhadap agama-agama lain juga membuka kemungkinan terciptanya relasi dinamis yang harmonis. Oleh sebab itu,

154

dialog antar agama sangat berperan sebagai salah satu cara menghadapi gesekan dengan umat Islam. 11. Penolakan atau pelarangan terhadap pendirian rumah ibadah, pada dasarnya bersumber dari ketidaksiapan suatu agama berjumpa dengan agama lain. Jika semua umat beragama meyakini bahwa agama yang dipeluknya mengajarkan kebaikan dan perbaikan, semestinya tidak ada penolakan atau pelarangan atas pendirian rumah ibadah. 12. Pluralisme agama menolong kita untuk rendah hati, menyadari bahwa sikap superioritas tidak bermanfaat untuk memahami orang maupun agama lain. Allah mengasihi semua manusia tanpa terkecuali, karenanya kita harus menjadi sesama atau menjadi sahabat bagi saudara-saudara kita yang berkepercayaan lain (Bdk. Lukas.10:25-37). Pluralisme agama bukan berarti percampuran (sinkretisme). 13. Dalam rangka mengupayakan interaksi positif antar umat Islam dan Kristen di desa Batu Hapu tetap terjaga, maka dipandang perlu untuk membangun pendekatan-pendekatan persuasif demi terciptanya masyarakat beragama yang rukun. Misalnya dengan mengadakan pembinaan pada generasi muda tentang konsep pluralisme, belajar berinisiatif mengamalkan kebiasaan hidup rukun sebagai sesama warga masyarakat desa Batu Hapu dalam seluruh aspek kehidupannya, para pemangku jabatan tidak memaksakan kebiasaan agama tertentu dalam lingkungan kerja terhadap rekan kerja yang berbeda agama, umat Kristen tidak malu menunjukkan identitas imannya dihadapan umat Islam, membangun sikap saling pengertian satu sama lain, menjunjung tinggi

155

sikap saling menghargai, dan lebih mendekatkan persatuan atas dasar kebenaran dan cinta kasih. 14. Mengenai IMB gedung pembinaan Kristen (pos PI) yang tak kunjung dikeluarkan, maka umat Kristen di desa Batu Hapu setidaknya mampu mempertimbangkan beberapa faktor berikut; mengusahakan dukungan dari pemerintah setempat dan aparat kepolisian, mencari dukungan dari tokoh agama (Islam) setempat, berdialog dengan komunitas agama-agama yang ada, dan membangun relasi dengan ORMAS Islam yang moderat, misalnya NU (Nahdatul Ulama). 15. Menjadi manusia Indonesia berarti menjadi manusia yang sanggup hidup dalam perbedaan dan bersikap toleran (sosial dan agama). Bersikap toleran berarti bisa menerima perbedaan dengan lapang dada, menghormati hak pribadi dan sosial pihak yang berbeda dalam menjalani kehidupan mereka. 16. Dialog antar agama, walaupun masih banyak mengalami kesulitan, hadir sebagai suatu proses menuju kehidupan bersama yang lebih baik. Dialog hidup adalah salah satu bagian penting dalam menjalin relasi dengan saudarasaudara yang tidak seagama, karena lebih memungkinkan untuk membangun hidup bersama penuh kedamaian dan persaudaraan.

Saran Pada akhirnya nanti diperlukan kesadaran bersama sebagai umat beragama untuk mengakhiri perdebatan mengenai perbedaan-perbedaan doktrin maupun ritual keagamaan. Bahwa ada hal-hal lain yang lebih penting untuk didiskusikan

156

bersama dalam rangka mencari solusi terhadap ancaman keutuhan NKRI yaitu, paham radikalisme, terorisme, masalah lingkungan hidup, maupun pergeseran moral spiritual generasi muda. Kesadaran tersebut hendaknya dapat dimulai dengan melakukan dialog antar pemeluk agama dan menanamkan sikap optimis terhadap tujuan untuk mencapai kerukunan antar umat beragama. Kerukunan umat beragama merupakan hubungan yang dilandasi dengan toleransi, saling pengertian, saling menghormati, saling menghargai dalam kesetaraan pengamalan ajaran agamanya dan kerja sama dalam kehidupan masyarakat dan bernegara. Oleh karena itu, dipandang perlu untuk memberikan rekomendasi saransaran yang konstruktif kepada semua pihak terkait, khususnya yang memiliki peran sebagai peace keeper dalam konteks interaksi umat beragama. a. Aparatur Pemerintahan 1) Pemerintah perlu tanggap dalam menyikapi setiap persoalan yang terjadi di tengah masyarakat, misalnya permasalahan ekonomi, politik, dan sosial. Keterlambatan pemerintah dalam mengatasi masalah tersebut akan memperlebar konflik internal yang dikhawatirkan juga akan mengancam kerukunan umat beragama. 2) Tegakkan hukum sesuai dengan prinsip keadilan, ke-bhineka-an dan kesetaraan. Penegakkan hukum ditujukan kepada siapapun yang melakukan pelanggaran, apapun agama dan keyakinannya. Ketegasan terhadap kelompok intoleran yang melakukan tindak kekerasan atas nama agama. 157

3) Pemerintah diharapkan membuat metode sosialisasi yang efektif dalam menyampaikan pesan PBM 2006, agar tepat sasaran kepada seluruh lapisan masyarakat maupun seluruh struktur pemerintahan. 4) Memasifkan pendidikan multikultural. Pendidikan yang menghargai dan menjunjung tinggi keragaman budaya, etnis, suku, dan agama. Penghormatan dan penghargaan seperti ini merupakan sikap yang sangat penting untuk disosialisasikan kepada masyarakat terutama generasi muda. 5) Meninjau kembali efektivitas implementasi PBM 2006 yang dirasakan kurang efektif, khususnya bagi agama minoritas. Pemerintah harus mempertimbangkan faktor apa saja yang menjadikan pendirian suatu rumah ibadah “sangat dibutuhkan” selain mengacu pada peraturan khusus yang terdapat dalam PBM 2006. b. Forum Kerukunan Umat Beragama Kabupaten 1) Memiliki agenda rutin melakukan dialog dengan pemuka agama dan tokoh masyarakat, melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan dan kebijakan di bidang keagamaan yang berkaitan dengan kerukunan umat beragama dan pemberdayaan masyarakat. 2) FKUB diharapkan dapat membantu pemerintah daerah guna melokalisir gangguan KUB agar tidak menyebar, meredamnya dan mencarikan solusi jangka pendek maupun jangka panjang melalui proses negosiasi dan mediasi. FKUB secara aktif melakukan deteksi dini dan pemetaaan terhadap potensi ganguan KUB dalam wilayahnya.

158

3) Bersinergi bersama tokoh-tokoh agama untuk berperan membina maupun mengembangkan sikap kerukunan dan keharmonisan dalam kehidupan kerukunan intern umat beragama. 4) Melayani dan menyediakan fasilitas kehidupan beragama antara lain berupa rumah-rumah ibadah, kitab-kitab suci, penataran dan peningkatan mutu bagi ORMAS keagamaan yang ada. Pada sisi lain hal itu juga diarahkan untuk membagun kesadaran para pemeluk agama agar dilain waktu mampu mengadakan sendiri kebutuhan-kebutuhan tersebut. 5) Pemberdayaan kader-kader dan tokoh-tokoh dari masing-masing agama secara internal, termasuk para penyiar agama (da’i, muballigh, misionaris, rohaniawan dan semacamnya) dalam rangka pengembangan wawasan keagamaan yang inklusif dan meminimalkan sikap beragama yang eksklusif dan ekstrim. c. Umat Kristen 1) Membangun saling percaya antar umat beragama. Rasa saling percaya adalah salah satu modal sosial terpenting dalam penguatan masyarakat. 2) Kekristenan sepatutnya diwarnai dengan cinta kasih, keadilan, dan perdamaiaan melalui praktik hidupnya. Apabila hal itu dilakukan, Gereja sudah memberitaan Injil pada orang-orag diluar kekristenan. 3) Gereja harus memahami dan mengerti tentang keberadaan, dasar-dasar kehidupan agama lain dan sedapat mungkin mengenal ajaran agama lain. Gereja dan orang kristen dapat mengambil sikap praksis, bagaimana hidup

159

bersekutu, melayani, dan bersaksi di tengah-tengah kemajemukan agama dan penganut agama lain. 4) Gereja dapat menjadi mediator dan fasilitator untuk membuka dialog teologis tentang kemajemukan agama. Gereja harus memahami bahwa agama-agama lain tidak asing bagi orang Kristen. Berdasarkan Matius.20:28, Yesus Kristus telah tersalib, bukan hanya bagi orang Kristen tetapi juga bagi dunia. Sikap teologis ini menjadi sentral dalam membangun relasi diantara kemajemukan agama. 5) Membangun teologi agama-agama. Refleksi teologi yang dibangun dalam hal ini dapat dilakukan melalui sharing (pengalaman iman) yang dapat memperkaya satu dengan yang lain. Teologi ini dibangun bukan atas dasar pandangan yang merendahkan atau mencemoohkan pandangan golongan lain. Sikap “melihat-lihat” Kitab Suci tiap agama sangat penting sebelum menafsirkan makna yang tersirat didalamnya. Sehubungan dengan hal itu maka sikap rendah hati dan keterbukaan perlu juga dikembangkan.

d. Umat Islam 1) Membangun saling percaya antar umat beragama. Rasa saling percaya adalah salah satu modal sosial terpenting dalam penguatan masyarakat. 2) Meningkatkan kesadaran toleransi sosial dalam bermasyarakat, tanpa membedakan agama. Toleransi yang paling hakiki adalah sikap

160

kebersamaan antara penganut keagamaan dalam praktek sosial, kehidupan bertetangga dan bermasyarakat. 3) Mau memenghargai dan saling belajar dari keunggulan maupun kebaikan pihak lain, sehingga terjadi saling tukar pengalaman untuk mencapai tujuan bersama. 4) Menghindari pikiran dan sikap menghina dan menjelek-jelekkan agama atau menghujat Tuhan yang menjadi keyakinan agama lain. Dalam surat Al-An'am (6); ayat 108, Allah berfirman, "Dan janganlah kamu memaki sesembahan-sesembahan yang mereka sembah,... karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan,.... ". 252 Tak ada salahnya jika etika berdakwah sedikit meniru etika periklanan. Salah satu etika yang jamak disepakati dalam kegiatan menawarkan sebuah produk ini adalah di samping tidak memaksa konsumen untuk membeli produk tertentu, juga larangan menghina atau menjelek-jelekkan produk lain. Jika hal itu dilanggar, tentu akan ada protes dan dapat berakibat pada pengaduan pencemaran nama baik/penistaan agama. 5) Meningkatkan hubungan melalui komunikasi. Komunikasi merupakan faktor yang penting untuk mewujudkan kerukunan ditengah masyarakat. Untuk membangun sikap toleran juga diperlukan komunikasi yang intensif diantara umat beragama. e. Pihak Sekolah

252

Dalam https://tafsirq.com/6-Al-An'am/ayat-108 dan http://www.quran30.net/2014/04/suratal-anaam-ayat-1-165.html diakses pada Sabtu, 12/05/2018.

161

1) Guru selayaknya memahami perbedaan yang paling mendasaar antara anak didiknya dan menjadi motivator dalam mengembangkan sikap anti diskriminasi. 2) Guru sepatutnya mempunyai kepekaan yang tinggi terhadap gejala-gejala yang mengakibatkan terjadinya diskriminasi, baik dikelas maupun di luar kelas, besar atau kecil dan apapun bentuknya tanpa menyingung kelompok-kelompok tertentu. 3) Memberikan sangsi (teguran) bagi anak didik yang intoleran dan penghargaan bagi yang telah mengamalkan sikap anti diskriminasi. 4) Sekolah menjadi lembaga publik yang (sangat) tepat untuk menjelaskan apa makna dan pentingnya kemajemukan dan tenggang rasa antarsesama. Ini karena di sekolahlah pola pikir sekaligus pola interaksi anak yang tidak seragam (heterogen) itu mulai hadir dan terbentuk. Sekolah dengan demikian menjadi “ruang strategis” untuk membentuk mental atau bagi tumbuhnya watak keberagaman yang kuat. 5) Ada tiga cara bagaimana mengajarkan toleransi pada anak didik sebagai berikut: a) perkenalkan keragaman, dimulai dengan memberi pengertian bahwa ada beragam suku, agama, dan budaya. Meskipun orang lain memiliki agama atau suku yang berbeda, manusia sebenarnya sama dan tidak boleh dibeda-bedakan;

162

b) ajarkan anak didik bahwa perbedaan yang ada, jangan disikapi dengan kebencian, karena kebencian akan membuat sedih dan menyakiti orang lain; c) memberi contoh, guru tidak hanya mengajar lewat kata-kata, tetapi juga contoh nyata. f.

Warga Masyarakat

1) Semua agama nampaknya memiliki roh fundamentalisme, oleh sebab itu perlu dengan bijaksana menempatkan eksistensi keagamaanya dengan tetap menghargai kemajemukan. Dalam hal ini tidak ada sikap untuk merendahkan satu dengan yang lain, sebab jika terjadi demikian maka itu sama artinya dengan merendahkan Sang Pencipta. 2) Sebagai umat beragama yang baik dan demi memelihara kerukunan, ketertiban, dan keamanan maka hendaknya tidak boleh terpancing dengan isu-isu yang tidak bertanggung jawab. 3) Hal terbaik yang harus dilakukan jika terjadi perselisihan antar umat beragama adalah perlunya penyelesaian konflik melalui dialog. Setiap penganut agama juga harus benar-benar memahami bahwa perselisihan justru membuat kerukunan umat beragama menjadi goyah. Keputusan yang telah dihasilkan dari penyelesaian secara dialog juga harus dipatuhi semua pihak. Prinsipnya, jalan damai merupakan cara yang terbaik menyelesaikan perselisihan. 4) Suatu komunitas umat beragama boleh bersikap fanatik terhadap agamanya, namun tidak diperkenankan fanatik yang membabi buta atau 163

fanatik negatif yang kemudian memunculkan sikap truth claim, merasa agamanya paling benar dan yang lain adalah salah. 5) Fokus pada peningkatan kerjasama sosial kemasyarakatan untuk menanggulangi

masalah-masalah kemanusiaan maupun sosial lainnya.

Selain itu perlu juga membangun kerjasama lintas sektoral, lintas agama, dan lintas daerah/wilayah untuk mewaspadai atau mengantisipasi munculnya konflik-konflik baru, khususnya di daerah-daerah rawan.

164

Daftar Pustaka _____________, Alkitab. Jakarta: LAI, 2005. _____________, Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka, 2001. _____________, Iman dan Tantangan Zaman. Jakarta: BPK-Gunung Mulia, 2003. Almound, C Phillip. and Smith, Cantwel, Wilfred. “As Theologian of Religions” in Harvard Teological Review. Vol. 76 , Number 03, July 1983. Aritonang, Jan S. Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004. Artanto, Widi. Menjadi Gereja Misioner Dalam Konteks Asia, Edisi Revisi. Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2008. Azwar, Saifuddin. Metode Penelitian. Jakarta, 2001. Bosch, David J. Transformasi Misi Kristen – Sejarah Teologi Misi yang Mengubah dan Berubah. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012). Brougham, R David. Merencanakan Misi Lewat Gereja – Gereja Asia. Malang: Gandum Mas, 2001. Creswell, John W. Research Design – Pendekatan Metode Kualitatif, Kuantitatif, dan Campuran, Edisi 4. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2016. Darmaputera, Eka. Berbeda Tapi Bersatu. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1974. Dhavamony, Mariasusai. Fenomenologi Agama terj. Tim Studi Agama Drikarya. Yogyakarta: Kanisius, 1995. Dyrness, William A. Themes in Old Testament Theology. Downers Grove, Illinois, USA: InterVarsity Press, 1980. Erickson, Millard J. Theologi Kristen, Vol 3. Malang: Gandum Mas, 2004. Graham, Billy. Beritakan Injil. Bandung: Literatur Baptis, 1992. Guthrie, Donald. Teologia Perjanjian Baru 2. Malang: Gandum Mas, 1978. Halili. Supremasi Intoleransi. Jakarta: Pustaka Masyarakat SETARA, 2016. Hesselgrave, David J. Communicating Christ – Cross Culturally. Malang: Literatur SAAT, 2004. Kabbong, Theodorus. Pemahaman Pekabaran Injil dalam Konteks Pluralis di Indonesia dalam Agama dan Praktis. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004. Kung, Hans. Christianity and the World Religious—Path of Dialogue with Islam, Hinduism and Buddhi. New York: Doubleday, 1986. L. Eck, Diana. Encountering God: A Spiritual Journey from Bozeman to Banaras. USA: Beacon Press, 2003. Latipun. Psikologi Eksperimen. Jakarta, 1999. Lindbeck, George. The Nature of Doctrine: Religions and Theology In a Postliberal Age. London: SPCK, 1984. Lumintang, Stevril I. Teologi Abu-Abu Pluralisme Agama. Malang: Gandum Mas, 2004. M.L Sinaga. Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.

165

Madjid, Nurcholis. Pandangan Dunia Al-Qur’an: Ajaran Tentang Harapan Kepada Allah dan Seluruh Ciptaan, dalam Ahmad Syafii Maarif & Said Tuhulelei Penyunting, AlQur’an dan Tantangan Modernitas. Cet. II. Yogyakarta: SIPRESS, 1993. Maleong, Lexy J. Metodologi Penelitian kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1996. Meiyanto, Sito. Persepsi, Nilai, dan Sikap. Yogyakarta: Literatur FK-UGM, tt. Meyer, Robert G. Case Studies in Abnormal Behavior, Seventh Edition. Amerika Serikat: Pearson Education, Inc, 2006. Milles, Matthew B. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: UI Press. 1992. Nawawi, Hadari. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Kanisisius, 1998. Nelson, Campbell John. Mengupayakan Misi Gereja yang Kontekstual. Studi Institut Misiologi Persetia. Jakarta: Persetia, 1995. Newbigin, Lesslie. Injil dalam Masyarakat Majemuk. Jakarta: BPK. Gunung Mulia, 1999. Peters, George W. A Biblical Theology Of Missions. Chicago: Moody Publishers, 1984. Raco, JR. Metode Penelitian Kualitatif Jenis, Karakteristik dan Keunggulannya. Jakarta : PT. Grasindo, 2010. Rakhmat, Ioanes. Pluralitas Agama, Dialog dan Perspektif Kristiani dalam Fundamentalisme, Agama-agama dan Teknologi. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1993. Shihab, Alwi. Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Cet 1. Bandung: Mizan, 1997. Silalahi, Ulber. Metode Penelitian Sosia. Bandung: Refika Aditama, 2010. Soesilo, R. KUHP Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1996. Subagio, Joko. Metode Penelitian Dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta, 1997. Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alva Beta CV, 2008. Susan. Pengantar Sosiologi Konflik dan Isu-Isu Konflik Kontemporer, Cet.2. Jakarta: Kencana, 2010. Tarigan, E. Ef. Peluang Misi dalam Konteks Kemajemukan Bangsa dalam Iman dan Paradoks. Jakarta: CV. Mulya Sari, 2002. Thomas, Norman E. Teks-teks Klasik Tentang Misi dan Kekristenan Sedunia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1998. Tomatala, Yakob. Teologi Misi. Jakarta: YT Graduate Schol Of Leadership, 2003. Turner, Jonathan. The Structure of Sociological Theory, Sixth Edition. Belmont, CA: Wadsworth Publishing Company, 1998. Venema, Henk. Injil Untuk Semua Orang – Pembimbing ke Dalam Ilmu Misiologi. Jakarta: Bina Kasih, 1997. Wahono, S. Wismoady. Pro-Eksistensi. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001. Yewangoe, A. A. Agama dan Kerukunan. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.

166

Jurnal Banawiratma, J.B. “Misi, Globalisasi dan Kaum Miskin di Indonesia” Jurnal Teologi Proklamasi, Ed 8. 2006. BM, St. Aisyah. “Konflik Sosial Dalam Hubungan Antar Umat Beragama” Jurnal Dakwah Tabligh Vol.15, No.2 (Desember 2014), dalam Edy A. Effendi, Islam dan Dialog Budaya, Cet. I. Jakarta: Puspa Swara, 1994. Darmaputera, Eka. “Fungsi Sosial-Politik (Jabatan) gerejawi”, Penuntun Vol 1, No. 3 April-Juni, 1995. Derek H, Davis. “The Evolution of Religious Liberty as a Universal Human Rights” dipublikasikan kembali, 5 Desember 2006. Hermawati, Rina. “Toleransi Antar Umat Beragama di Kota Bandung”, Indonesian Journal of Anthropolgy, volume 1. Desember 2016. Madjid, Nurcholis. “Politik Bahasa dalam Bahasa Politik Islam” dalam Islamika, Jurnal Dialog Pemikiran Islam, No.5, 1994. Sukarto, Aristarchus. “Pemikiran Kembali Kristologi untuk Menyongsong Dialog Kristen-Islam di Indonesia” Jurnal Teologi dan Gereja Penuntun Vol 4, No 13. 1997/1998. Tesis Nurbayati, “Kampanye Toleransi Beragama Oleh Jemaat Ahmadiyah Indonesia (Studi Deskriptif tentang Kampanye Sosial yang Dilaksanakan oleh Badan Penyelenggara Tasyakur Daerah Yogyakarta tahun 2014-2015)”. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2016. Surat Keputusan, Dokumen, Laporan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri; No 8, No 9 tahun 2006. Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat. Laporan tahunan yang diterbitkan oleh Human Rights Watch, Atas Nama Agama – Pelanggaran Terhadap Minoritas di Indonesia. USA: HRW, 2013. American Psychiatric Association, Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Edition, Text Revision. Washington DC: American Psychiatric Association, 2000. Arsip “Sejarah Berdirinya Gereja TransAD Binuang”. Profil Jemaat GKE Batu Hapu. Laporan H.M.Fadhly Mansoer (Ketua FKUB Prov.KALSEL) dalam Kegiatan Pembinaan KUB di Kabupaten Tapin pada 01/09/2016.

167

Situs Internet Citra satelit Imagery DigitalGlobe, Map data Google 2018. Diakses pada Sabtu, 26/03/2018 pukul 08:45 wita. https://ilmugeografi.com/ilmu-bumi/tanah/tanah-podsolik-merah-kuning diakses pada Sabtu, 14/04/2018 pukul 11:50 wita. www.geologinesia.com/2018/01/tanah-aluvial.html?m=1 diakses pada Sabtu, 14/04/2018 pukul 12:21 wita. http://www.edukasippkn.com/2017/01/pakaian-dinas-pns-asn-tahun-2017.html diakses pada Kamis, 26/04/2018 pada pukul 13:22 wita. https://www.youtube.com/watch?v=H7LdbSDPRg4 diakses pada Kamis, 26/04/2018 pada pukul 20:09 wita. http://www.youtube.com/watch?v=6E9NcbVa4FU&fb_source=message diakses pada Kamis, 26/04/2018, pukul 20:40 wita. http://www.panjimas.com/news/2014/10/27/fui-indonesia-darurat-pemurtadanbocoran-mabes-polri-27-juta-orang-murtad-tiap-tahun/ diakses pada Jumat, 27/04/2018 pada pukul 10:13 wita. https://id.wikipedia.org/wiki/Konflik_horizontal diakses pada Sabtu, 28/04/2018 pada pukul 13:23 wita. https://tafsirq.com/6-Al-An'am/ayat-108 diakses pada Sabtu, 12/05/2018. http://www.quran30.net/2014/04/surat-al-anaam-ayat-1-165.html diakses pada Sabtu, 12/05/2018. https://www.nahimunkar.org http://www.panjimas.com/ https://www.voa-islam.com/ https://www.kiblat.net/ https://baitulmaqdis.com/ https://www.hidayatullah.com/

168

Related Documents

Tesis Lengkap
February 2021 0
Tesis
January 2021 4
Tesis
January 2021 5
Tesis
January 2021 5
Tesis
March 2021 0
Laporan Lengkap
February 2021 1

More Documents from "Sakti Priyanto"