Bab I Farkol Anastesi

  • Uploaded by: yuyun anugrah
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Bab I Farkol Anastesi as PDF for free.

More details

  • Words: 2,170
  • Pages: 13
Loading documents preview...
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Sistem saraf pusat merupakan pusat pengaturan informasi, dimana seluruh aktivitas tubuh dikendalikan oleh sistem saraf pusat. Sistem saraf pusat terdiri atas otak dan sumsum tulang belakang. Otak dilingdungi oleh tengkorak dan sumsum tulang belakang dilindungi oleh ruas-ruas tulang belakang. Otak dan sumsum tulang belakang dibungkus oleh selaput meningia yang melindungi sistem saraf halus, membawa pembuluh darah, dan dengan mensekresi sejenis cairan yang disebut serebrospinal, selaput meningia dapat memperkecil benturan dan guncangan. Meningia terdiri ata tiga lapisan, yaitu piamater, arachnoid, dan duramater. Susunan saraf pusat berkaitan dengan sistem saraf manusia yang merupakan suatu jaringan saraf yang kompleks, sangat khusus dan saling berhubungan satu dengan yang lain. Fungsi sistem saraf antara lain : mengkoordinasi, menafsirkan dan mengontrol interaksi antara individu dengan lingkungan sekitarnya. Stimulan sistem saraf pusat (SSP) adalah obat yang dapat merangsang serebrum medula dan sumsum tulang belakang. Stimulasi daerah korteks otakdepan oleh se-nyawa stimulan SSP akan meningkatkan kewaspadaan, pengurangan kelelahan pikiran dan semangat bertambah. Contoh senyawa stimulan SSP yaitu kafein dan amfetamin. Sistem saraf dapat dibagi menjadi sistem saraf pusat atau sentral dan sistem saraf tepi (SST). Pada sistem syaraf pusat, rangsang seperti sakit, panas, rasa, cahaya, dan suara mulamula diterima oleh reseptor, kemudian dilanjutkan ke otak dan sumsum tulang belakang. Rasa sakit disebabkan oleh perangsangan rasa sakit diotak besar. Sedangkan analgetik narkotik menekan reaksi emosional yang ditimbulkan rasa sakit tersebut. Sistem syaraf pusat dapat ditekan seluruhnya oleh penekan saraf pusat yang tidak spesifik, misalnya sedatif hipnotik.

1

1.2 Tujuan Praktikum 1. Mengenal

tahap tahap manifestasi anastesi umum dan tahap tahap

pemulihan dari anastesi umum 2. Mampu menganalisa perbedaan anastesi oleh berbagai bahan

2

BAB II LANDASAN TEORI Obat anestesi umum adalah obat atau agen yang dapat menyebabkan terjadinya efek anestesia umum yang ditandai dengan penurunan kesadaran secara bertahap karena adanya depresi susunan saraf pusat. Menurut rute pemberiannya, anestesi umum dibedakan menjadi anestesi inhalasi dan intravena. Keduanya berbeda dalam hal farmakodinamik maupun farmakokinetik (Ganiswara, 1995). Tahap-tahap penurunan kesadaran dapat ditentukan dengan pengamatan yang cermat terhadap tanda-tanda yang terjadi, terutama yang berhubungan dengan koordinasi pusat saraf sirkulasi, respirasi, musculoskeletal dan fungsi-fungsi otonom yang lain pada waktu-waktu tertentu. Beberapa anestetik umum berbeda potensinya berdasarkan sifat farmakokinenik dan farmako dinamik yang berbeda pula. Selain itu sifat farmasetika obat juga mempengaruhi potensi anestesinya. Potensi anestetik yang kuat dapat disertai dengan potensi depresi sususan saraf pusat yang kuat, sehingga perlu dilakukan pemantauan yang ketat, untuk menghindari turunnya derajat kesadaran sampai derajat kematian. ( Ganiswara, 1995 ). Eter (dietil eter, zaman dahulu dikenal sebagai sulfuric eter karena diproduksi melalui reaksi kimia sederhana antara etil alkohol dengan asam sulfat) digunakan pertama kali tahun 1540 oleh Valerius Cordus, botani Prusia berusia 25 tahun. Eter sudah dipakai dalam dunia kedokteran, namun baru digunakan sebagai agen anestetik pada manusia di tahun 1842, ketika Crawford W. Long dan William E. Clark menggunakannya pada pasien. Namun penggunaan ini tidak dipublikasikan. Empat tahun kemudian, di Boston, 16 Oktober 1846, William T. G. Morton memperkenalkan demostrasi publik penggunaan eter sebagai anestetik umum (Morgan dan Mikhail, 2002). Eter dapat dimasukkan kedalam derivat alkohol dimana H dari R-O-[H] digantikan oleh gugus R lainnya. Eter adalah oksida organik yang berstrukur: [R]-C-O-C-[R] Eter tidak berwarna, berbau menyengat, cairan yang mudah menguap. Titik didihnya adalah 36,2°C. Cara pembuatan yang paling umum adalah dengan

3

dehidrasi alkohol bersama asam sulfat (Collins, 1996). Alkohol (etanol; C2H5OH) ialah suatu molekul kecil, larut dalam air, dan diserap dengan sempurna dari saluran pencernaan. Uap etanol dapat juga diserap melalui paruparu. Adanya makanan dalam usus memperlambat serapan. Distribusinya cepat, konsentrasi dalam jaringan lebih kurang sama dengan konsentrasi plasma. Kadar puncak dalam darah dapat dicapai dalam 30 menit. Lebih 90% alkohol yang dikonsumsi dioksidasi dalam hati, sisanya dieksresikan dalam paru-paru dan urin. Seorang dewasa dapat memetabolisme 7-10 gram (0,15-0,22 mmol) alkohol setiap jam (Ganiswara, 1995) Alkohol-alkohol lain yang berhubungan dengan etanol digunakan secara luas dalam pelarut industri dan kadang-kadang menyebabkan keracunan hebat.

4

BAB III METODE KERJA

3.1 Alat dan Bahan 1. Tikus 4 ekor 2. Obat : eter, kloroform, dan etanol absolut 3. Toples kaca dengan tutup, kapas, dan peralatan lainnya

3.2 Cara Kerja 1. Tiap kelompok mahasiswa bekerja dengan 4 ekor tikus 2. Pada masing masing tikus, amati dan catat hal hal berikut sebelum pemberian anastesi umum a. Kelakuan

umum

tikus

(

tahan

nafas,

gelisah/tidak

gelisah,

bersuara,salivasi,dan gejala gejala lain). b. Laju dan ritme jantung ( gunakan stetoskop/ stopwatch) c. Laju dan sifat pernafasan (gunakan stopwatch) d. Ukuran pupil mata e. Suhu rektal f. Tonus otot kerangka g. Reflek reflek (konjungtiva, kornea,pupil mata, nyeri) 3. Masukkan tikus kedalam toples kaca yang didalamnya diberi kapas yang sudah ditetesi dengan eter, kloroform atau etanol absolut. 4. Catat setiap perubahan yang terjadi pada masing masing tikus. 5. Setelah dicapai tingkat anastesi untuk pembedahan , pemberiaan anastesi dihentikan. 6. Perhatikan dan catat tahap tahap pemulihan kesadaran tikus. 7. Buatlah table pengamatan selengkap mungkin sehingga saudara dapat membahas dan menarik kesimpulan dari percobaan ini dan terlihat korelasi antara gejala yang muncul dengan tahap dan tingkat anastesi yang dicapai.

5

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 HASIL PENGAMATAN Kelompok 1 Eter Waktu Efek 10” Gelisah 21”

Lemas, tidak bisa berdiri

52”

Napas tidak beraturan

1’10”

Napas berangsur hilang 2’10” Mati

Kelompok 2 Etanol 95% Waktu Efek 45” Mata kedipkedip 50” Mata sayu

Kelompok 3 Eter Waktu Efek 19” Pupil Mengecil 30” Gerakan melambat

1’38” Pupil

47”

Kaku

50”

Mulai pingsan

Mengecil 2’

Jilat-jilat tangan

2’50” Gelisah dan

oleng 3’27” Napas lebih cepat 12’

Denyut mulai normal 15’ Kulit sekitar hidung memucat 15’45” Nafas lebih cepat 17’37” Nafas melemah Dikeluarkan 19’ Tikus pipis 21’ Normal

1’37”

Mata mulai terbuka 1’50” Mata normal

Kelompok 4 Etanol 95% Waktu Efek 1’42” Pupil mata mengecil 3’28” Gelisah, bergidik, tangan tremor 4’20” Diam ditempat, pupil mengecil 6’45” Mata tertutup 10’35” 13’11”

14’50” Kepala bergerak 18’ 2’14” Mulai mencoba bangun 20’ 2’32” Berdiri (belum stabil) 21’10” 3’37” Bisa jalan normal

1’59”

Tidak respon rangsangan Nafas tersendat, pupil membesar Nafas sangat berat Muka membiru Masih sadar Nafas mulai normal

6

4.2 PEMBAHASAN Pada praktikum anastesi digunakan eter dan etanol sebagai obat anastesi. Anestetik umum adalah senyawa obat yang dapat menimbulkan anestesi atau narkosa, yakni suatu keadaan depresi umum yang bersifat reversible dari banyak pusat sistem saraf pusat, dimana seluruh perasaan dan kesadaran ditiadakan, agak mirip dengan pingsan (Tim Penyusun. 2012: 21). Obat-obat anastetik ini di berikan sebagai uap melalui saluran nafas. Keuntungan dari metode ini adalah resopsi yang cepat melalui paru-paru seperti juga eksresinya melalui alveoli. Jenis anestesi ini meliputi halotan,

enfluran,

isofluran,

dan sevofluran,

eter,

klorofom. Eter merupakan cairan transparan, tidak berwarna, bau khas, rasa manis dan membakar. Sangat mudah menguap dan sangat mudah terbakar. Sedangkan etanol juga meruapakan cairan tidak berwarna, mudah menguap, bau khas, rasa panas. Eter mempunyai sifat analgesik dan anestetik, selama anestesi eter meningkatkan produksi katekolamin oleh kelenjar adrenal sehingga denyut jantung meningkat, eter memnyunyai sifat relaksan otot dan relaksasi uterus, etei merupakan bronchodilatator (Santosa). Sedangkan pada etanol, Mekanisme seluler yang berlangsung adalah penghambatan asupan kalsium, sehingga mengurangi pelepasan transmitter, dan juga penguatan transmisi GABA inhibitif. Pada praktikum, etanol dimasukkan kedalam toples yang berisi kapas lalu tikus dimasukkan kedalam toples dan ditutup. Tujuan penggunaan kapas ini karena etanol merupakan jenis anastesi inhalasi dan mudah menguap, sehingga penggunaan kapas bertujuan agar etanol terserap dikapas dan etanol dapat mengisi ruangan dalam toples. Pada praktikum ini dilakukan pengujian obat-obat anastetik umum menggunakan etanol 96% dan eter. Dalam perbandingan ini dilakukan antara kelompok 1 dan kelompok 3 yaitu eter 50 ml, kelompok 2 etanol 96% sebanyak 200ml, dan kelompok 4 etanol 96% sebanyak 200 ml dimana ketiganya dilakukan sampai pada tahap ketiga kecuali kelompok 1. Pada percobaan kali ini mengenai obat-obat anastetik umum, kelompok kami menggunakan alkohol sebagai obat anastetik umum yang akan diujikan kepada hewan percobaan yaitu tikus. Alkohol

7

bersifat anastetik (menekan SSP), sehingga kemampuan berkonsentrasi, daya ingat, dan kemampuan mendiskriminasi terganggu dan akhirnya hilang. Efek alkohol dalam keadaaan puasa memiliki kadar puncak dalam darah dapat dicapai dalam 30 menit. Dengan adanya makanan dalam usus memperlambat penyerapan. Distribusinya cepat, konsentrasi dalam jaringan lebih kurang sama dengan konsentrasi plasma serta memiliki volume distribusi 0,7l/kg (Katzung, 1997). Hasil yg didapatkan dari kelompok 2 berdasarkan pengamatan yaitu pada detik ke 45 sudah menimbulkan respon dari hewan percobaan yaitu mata berkedip-kedip. Tikus hampir tidak sadarkan diri pada waktu ke 1 menit 38 detik. Hal ini ditunjukan dengan mengecilnya pupil mata yang disebut dengan fase analgesia. Kemudian pada waktu ke 2 menit 50 detik tikus gelisah dan mulai kehilangan keseimbangan (terlihat oleng), pada menit ke 3’ 27” nafas tikus lebih cepat dan inilah yang disebut fase eksitasi. Selanjutnya dilanjutkan dengan respon seperti mata sayu, pupil mengecil, menjilat tangan, nafas cepat, gelisah. Respon ini terjadi sampai menit ke 15 dan termasuk ke dalam tahap II anastesi umum karena hal ini sesuai dengan literatur yaitu hilangnya kesadaran dan refleks bola mata dan pernapasan mulai tidak teratur (kadang-kadang hilang) terjadi pada tahap II. Pada menit ke 12’ denyut jantung mulai normal kembali, menit ke 15’ kulit disekitar hidung mulai memucat dan 17’37’’ nafas melemah inilah fase pembedahan. Selanjutnya pada menit ke 21 tikus kembali normal, respon ini termasuk ke dalam tahap III. Berdasarkan literatur, tahap III dimulai dengan adanya timbul kembali pernapasan yang teratur dan berlangsung sampai pernapasan spontan hilang. Kemudian tikus dikeluarkan dari toples untuk tahap pemulihan. Namun, pada praktikum kali ini tidak terlihat tanda-tanda respon yang termasuk ke dalam tahap I yaitu tidak lagi merasakan nyeri (analgesia), tetapi masih tetap sadar dan dapat mengikuti perintah. Hal ini dikarenakan tidak dapat terdeteksi secara fisik apakah tikus masih sadar dan dapat mengikuti perintah atau tidak. Pada kelompok 1 digunakan eter hingga stadium 4, pada detik ke 10 tikus terlihat gelisah, pada detik ke 21 tikus terlihat lemas tidak bisa berdiri, pada detik ke 52 nafas terlihat tidak beraturan pada menit ke 2 10 detik terjadi kematian pada tikus yabg berarti sudah mencapai stadium 4 dari anestesi, namun dari hasil ini tidak 8

tercatat stadium 3 dari tahap anastesi yang di tandai dengan pernafasan yang teratur dan relaksasi otot rangka, refleks mata menurun secara progresif sehingga gerakan mata menghilang pada tahap ini pembedahan dapat berlangsung. Pada kelompok 3 menggunakan eter agak lebih cepat mengalami perubahan. Hal ini ditandai dengan mengecilnya pupil mata tikus pada waktu ke 19 detik. Pada saat ini tikus dalam fase analgesia. Kemudian tikus mengalami tubuh kaku pada 47’’ dan mulai pingsan atau hilang kesadaran pada detik ke 50’’. Inilah yang disebut fase eksitasi. Kemudian pada menit ke 1’37’’ mata tikus mulai terbuka, mulai mencoba bangun pada menit ke 2’14’’dan bisa berjalan normal kembali pada menit ke 3’37’’. Inilah yang disebut fase pembedahan. Kemudian tikus dikeluarkan dari toples untuk pemulihan. Sedangkan pada kelompok 4 menggunakan etanol 96% pupil mata mengecil pada waktu ke 1 menit 42 detik (fase analgesia). Tikus mengalami gelisah pada menit ke 3’28’’ dan kemudin menutup mata pada menit ke 6’45’’. Pada menit ke 10’35’’ tidak ada respon terhadap rangsangan (fase eksitasi). Muka mulai membiru saat menit ke 20’ dan kemudian nafas mulai normal kembali pada menit ke 21’10’’ (fase pembedahan). Dari 3 perbandingan pengamatan kelompok 2,3 dan 4 dapat diketahui bahwa eter lebih cepat memberikan efek anastesi terhadap tikus dari pada etanol 96%, dan range waktu dari fase anastesi ke fase ketiga yaitu pembedahan eter lebih cepat dari pada etanol. Hubungan dengan literatur (FK UI. 2007) yang menyatakan bahwa obat-obatan seperti eter memang pernah digunakan sebagai anestetik inhalasi, sedangkan alkohol kurang efektif digunakan sebagai anestetik inhalasi dan itu terbukti di percobaan di mana alkohol memberikan onset yang cukup panjang sehingga dalam keadaan darurat dapat membahayakan pasien. Namun dikatakan bahwa eter memiliki efek merusak hati dengan pembentukan metabolit sekunder sehingga penggunaannya dihentikan. Pada kelompok 2 dan 4 yang keduanya menggunakan etanol 96% perbedaan waktu dikarenakan faktor kesalahan yang terjadi yaitu seperti tidak kesesuaian volume pemberian obat dan bobot mencit sehingga efek yang ditimbulkan obat kurang maksimal dan berbeda-

9

beda. Faktor lain juga mungkin disebabkan oleh ketidaktelitian pengamatan oleh praktikan sehingga respon, onset, dan durasi yang dicatat kurang tepat.

10

BAB V KESIMPULAN

Tahap (stadium) anastesi dibagi 4 yaitu tahap I berdasarkan pengmatan ditandai dengan mata berkedip-kedip, tikus hampir tidak sadarkan diri, dan mengecilnya pupil. Pada tahap II ditandai dengan tikus gelisah, kehilangan keseimbangan, napas lebih cepat, dan mata sayup. Pada tahap III ditandai dengan denyut jantung mulai normal kembali, kulit disekitar hidung mulai memucat dan nafas melemah dan selanjutnya tikus kembali normal. Pada tahap IV napas tidak beraturan dan menimbulkan kematian. pada praktikum menggunakan bahan eter dan etanol. Eter lebih cepat memberikan efek anastesi terhadap tikus dari pada etanol 96%, dan range waktu dari fase anastesi ke fase ketiga yaitu pembedahan eter lebih cepat dari pada etanol.

11

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Farmakologi Dan Teraupetik. 2007. Farmakologi dan Terapi Edisi 5. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Diakses dari http://www.medicinestuffs.com/2014/02/dasar-anestesi-umum-part2.html?m=1 pada tanggal 23 Mei 2017 Katzung, B. 1997. Farmakologi Dasar dan Klinik edisi IV. Jakarta: EGC M, Ayu Lailatul. TT. Anestesi Eter pada Hewan Kelinci. Diakses dari http://www.academia.edu/12351463/ANESTESI_ETER_PADA_HEWAN _KELINCI pada tanggal 21 Mei 2017 Santoso, Agus Budi. TT. Anestesiologi. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

12

LAMPIRAN

Tikus sebelum diberikan obat

menyiapan eter dan memasukan tikus

Kemudian diamati prilaku tikus sampai tahap pembedahan

13

Related Documents

Bab I Farkol Anastesi
January 2021 0
Bab I - Matekim I
February 2021 0
Bab I Pendahuluan
January 2021 1
Bab I Pendahuluan
January 2021 1
Bab I Pendahuluan
January 2021 0
Bab I Pendahuluan
January 2021 1

More Documents from "Riski Nur Faidah Kiki"