Dugong Bukan Putri Duyung

  • Uploaded by: Didi Sadili
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Dugong Bukan Putri Duyung as PDF for free.

More details

  • Words: 31,099
  • Pages: 138
Loading documents preview...
i

DUGONG BUKAN PUTRI DUYUNG

Anugerah Nontji

ii

SEKAPUR SIRIH

Dugong (Dugong dugon) adalah hewan mamalia laut yang makanannya adalah lamun (seagrass). Hewan ini sangat sering diasosiasikan dengan dongeng atau legenda tentang putri duyung, yang biasanya ditampilkan sebagai sosok manusia setengah ikan dengan kepala gadis cantik berambut panjang sampai pada bagian pinggang dan bagian bawahnya berupa ikan sampai ke ekor. Dongeng putri duyung (Inggeris: mermaid) terdapat di berbagai penjuru dunia dengan berbagai variasinya. Demikian lekatnya cerita tentang keduanya hingga orang sering salah pengertian. Setiap ada berita tentang hewan dugong tertangkap orang lalu mengharapkan dapat melihat wujud wanita setengah ikan. Padahal keduanya sangat berbeda. Dugong ada di dunia nyata, sedangkan putri duyung ada dalam dunia dongeng atau legenda. Pada mulanya dugong tersebar luas di perairan tropis dan subtropis di kawasan Indo-Pasifik. Tetapi kini persebarannya semakin menciut saja. Oleh IUCN (International Union for the Conservation of Nature) dugong telah dinyatakan “vulnerable to extinction” atau “rentan punah”. Di Indonesia, banyak perairan pantai yang dulu dikenal dihuni oleh dugong, sekarang sudah tak terdengar beritanya lagi. Di satu pihak, dugong telah dilindungi oleh Undang-Undang No. 7 (1999) tentang Konservasi Flora dan Fauna, tetapi di lain pihak tidak terdengar adanya upaya nyata untuk menyelamatkan hewan langka ini di Indonesia secara komprehensif. Lembaga pemerintah yang terkait dengan urusan konservasi meskipun telah menetapkan kebijakan dan rencana aksi penyelamatan dugong, namun implementasinya tampaknya belum tampak nyata. Sejumlah ilmuwan Indonesia bersama rekan-rekan mereka dari Belanda, yang mempunyai perhatian dalam masalah dugong, telah memprakarsai serangkain seminar tentang dugong Indonesia, dan berakhir dengan disusunnya naskah konsep “National Conservation Strategy and Action Plan for Dugong in Indonesia” di tahun 2009 dalam dua volume (de Iongh dkk., 2009 a, 2009 b). Naskah ini kemudian dimutakhirkan dan disusun dalam Bahasa Indonesia dalam satu volume (Hutomo dkk., 2012). Tetapi naskah itu lebih merupakan naskah akademis. Belum ada langkah-langkah yang konkret untuk menindak-lanjuti konsep itu. Penulis mengamati bahwa informasi tentang dugong ini dalam Bahasa Indonesia masih sangat langka. Padahal informasi itu sangat penting untuk mendukung upaya penyelamatan hewan langka itu. Oleh sebab itu, penulis dengan segala keterbatasannya, mencoba mengumpulkan berbagai informasi tentang dugong, dan mencoba menuliskannya dalam gaya populer agar dapat lebih komunikatif dengan masyaratakat luas. Pada mulanya penulis membuat artikel-artikel pendek dan lepas-lepas tentang berbagai aspek tentang dugong dan berbagi (sharing) dengan rekan-rekan penulis. Ternyata kemudian banyak rekan-rekan yang menyarankan agar artikeliii

artikel itu dihimpun dan dibukukan. Terdorong atas saran rekan-rekan itu, penulis pun mencoba menyusun buku ini. Penulis menyadari bahwa buku ini hanya memuat hal-hal umum tentang dugong yang mungkin menarik bagi masyarakat umum. Oleh sebab itu bagi mereka, yang ingin mengkaji masalah dugong dengan lebih mendalam, penulis menyertakan Daftar Pustaka yang mungkin dapat membantu sebagai arahan untuk rujukannya. Penulis mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan, terutama dari Kelompok “Sahabat Dugong” dan Yayasan Lamina yang telah memberikan masukan dan dorongan dalam proses penulisan buku ini. Seperti kata pepatah, Tak ada gading yang tak retak, penulis menyadari bahwa buku ini bukanlah tanpa kekurangan. Untuk itu segala saran perbaikan dan penyempurnaan akan disambut dengan gembira.

Jakarta, April 2015 Penulis

Anugerah Nontji

iv

DAFTAR ISI

Halaman SEKAPUR SIRIH ……………………………………………………………………..

i

DAFTAR ISI …………………………………………………………………………

iii

A.

1

DUGONG ……………………………………………………………………… 1.

Dugong: Ciri umum ……………………………………………………...

2

2.

Kerabat dugong …………………………………………………………..

7

3.

Evolusi Sirenia ………………………………………………………........

11

4.

Sebaran …………………………………………………………………...

14

5.

Sensus ……………………………………………………………………

20

6.

Melacak sang pengembara ……………………………………………….

25

7.

Herbivor spesialis lamun …………………………………………………

29

8.

Perilaku makan …………………………………………………………..

33

9.

Ritual perkawinan ………………………………………………………..

36

10.

Kegiatan harian …………………………………………………………..

39

11.

Pemanfaatan ……………………………………………………………...

44

12.

Wisata renang bersama dugong: Mungkinkah? …………………………...

48

13.

Ancaman

…………………………………………………………….......

51

14.

Penyakit …………………………………………………………………..

57

15.

Sayang anak …...…………………………………………………………

59

16.

Suara dugong …………………………………………………………......

63

17.

Hidup dalam kolam ………………………………………………….......

67

18.

Padang lamun habitat dugong ................…………………………….......

72

19.

Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Dugong di Indonesia …………...

79

20.

Dugong menjadi ikon Kabupaten Bintan .………………………………..

85

21.

Jelmaan leluhur Orang Bajo ……………………………………………...

89

22.

Kisah pemburu dugong dari Bintan ……………………………………..

94 v

23

“Mayangsari” si dugong dari Fakfak ………………………………..........

99

24

Dugong dalam seni lukis ………………………………………………….

104

25.

Pentas dugong ………………………………… ………….......................

108

26.

Kasus hukum Dugong vs Rumsfeld …..…………………………………

110

PUTRI DUYUNG ……………………………………………………………...

115

27.

Ragam putri duyung ……………………………………………………...

116

28.

Heboh putri duyung ………………………………………………….......

120

DAFTAR PUSTAKA …….…………………………………………………………..

125

B.

vi

A. DUGONG

1

1. DUGONG: CIRI UMUM

I

stilah “dugong” sering dikacaukan dengan istilah lain seperti “ikan duyung” dan “putri duyung”. Dalam khasanah ilmiah, istilah “dugong” adalah satwa mamalia yang hidup di perairan laut dangkal yang makanannya boleh dikatakan eksklusif lamun (seagrass). Nama ilmiahnya adalah “Dugong dugon”. Istilah “dugong” itu diambil dari bahasa Tagalog, “dugong”, yang bersumber dari bahasa Melayu, “duyung” atau “duyong” yang berarti “perempuan laut”. Istilah ini mungkin didasarkan pada banyaknya cerita atau dongeng lama tentang mahluk laut yang bentuknya setengah manusia (biasanya putri cantik) dan setengah ikan. Kisah tentang “putri duyung” sudah sangat populer di masyarakat kita. Banyak dongeng yang menceritakan bahwa satwa dugong itu leluhurnya adalah manusia. Di mancanegara pun banyak dongeng tentang mahluk laut yang setengah perempuan dan setengah ikan. Dalam bahasa Inggris istilah yang populer untuk manusia setengah ikan ini adalah ”mermaid”. Konon dongeng tentang “mermaid” ini bersumber dari para pelaut zaman dahulu yang melihat satwa dugong di permukaan laut dari kejauhan, dengan sedikit imajinasi, tampak mirip seperti seorang perempuan yang bisa memeluk dan menyusui anaknya seperti manusia. Kekacauan istilah yang juga banyak terjadi ialah anggapan dugong itu adalah ikan, seperti sering kita jumpai istilah “ikan duyung”. Padahal dugong bukanlah ikan yang mempunyai ciri bernapas dengan insang, dan umumnya bersisik.

Gambar 1.1 . Dugong dugon. (Engel 1970)

Karena banyaknya kekacauan istilah ini, maka penulis menyarankan agar istilah “dugong” digunakan hanya dalam pengertian satwa mamalia laut. Sedangkan istilah “ikan duyung” dan “putri duyung” digunakan untuk merujuk pada tokoh dalam kisah dongeng atau legenda yang dalam istilah Inggris dikenal dengan “mermaid”.

2

Di Indonesia dugong diberi nama beragam di berbagai daerah. Di masyarakat Melayu disebut “duyung” atau “duyong”. Di tempat lain di Sumatra disebut juga “babi laut”. Di Sulawesi Selatan disebut “ruyung”, sedangkan di masyarakat Suku Bajo di Torosiaje (Gorontalo) disebut “dio”. Dalam klasifikasi hewan, dugong termasuk dalam Class Mammalia yang dicirikan dengan hewan yang menyusui anaknya, dan di bawah Ordo Sirenia yang dicirikan dengan mammalia laut yang herbivor. Di bawah Ordo Sirenia hanya ada dua kelompok yakni Familia Dugongidae dan Trichechidae. Di bawah Familia Dugongidae sekarang hanya terdapat satu spesies yakni Dugong dugon. Kerabat terdekatnya sesama Dugongidae adalah Hydrodamalis gigas yang telah punah di abad 18. Kerabat lainnya di bawah Trichechidae adalah genus Trichechus yang lebih dikenal dengan nama Manatee yang hidup dari perairan pantai hingga di perairan tawar, dan mkanannya pun lebih beragam dibandingkan dengan Dugong.

Gambar 1.2 . Detail mata dugong yang kecil. Sebelah kiri atas adalah lubang telinga. (www.robertosozzani.it)

Dugong pertama kali diklasifikasi oleh Műller di tahun 1776 dengan nama Trichechus dugon, dan kemudian direvisi oleh oleh Lacépède yang mengubah namanya menjadi Dugong dugon.

Gambar 1.3 . Lubang hidung dugong yang mempunyai katup yang dapat kedap (www.robertosozzani.it)

Dugong dugon dalam tampilan fisiknya bentuknya seperti ikan yang tambun, tanpa sirip punggung, dilengkapi dengan ekor yang pipih, horizontal dan bentuknya bercabang seperti ekor paus dan lumba-lumba. Bila ekornya diayunkan naikturun akan memberi daya dorong baginya untuk berenang maju ke depan, sedangkan bila dipelintir untuk gerakan membelok.

Panjang dugong dewasa jarang melebihi 3 meter dengan berat sampai sekitar 420 kg. Tetapi rekor dugong terberat tercatat sebesar 1.016 kg dengan panjang 4,06 m di pantai Saurashtra, di bagian sebelah barat India. Dugong betina cenderung sedikit lebih besar dari yang jantan. Kulit dugong tebal dan halus dengan warna pucat ketika masih bayi, dan berubah menjadi warna abu-abu gelap kecoklatan di bagian punggungnya menjelang dewasa dan bagian perut dengan warna yang lebih terang. Warna dugong dapat berubah dengan pertumbuhan alga di kulitnya. 3

Kadang-kadang teritip (Balanus) ikut pula menempel di permukaan kulitnya. Sekujur tubuhnya diliputi dengan rambut-rambut halus dan pendek. Moncongnya yang tebal berbentuk bagai tapal kuda, menghadap ke bawah dengan bibir tebal yang ditumbuhi bulu-bulu kasar bagai sikat (bristles). Bulu-bulu kasar ini merupakan organ yang sangat sensitif yang digunakannya untuk mencari makan.

Gambar 1.4 . Kiri: Moncong dugong dengan bibir atas yang tebal dipenuhi bulu sikat (bristles) yang sensitif. Kanan: Detail bulu sikat pada moncong dugong. (www.arkive.org) Dugong mempunyai sepasang sirip yang tebal dan bertulang bagai lengan dan jari-jari, yang dapar berfungsi sebagai dayung penyeimbang bila berenang. Bila dugong mencari makan di dasar laut, sirip tebalnya dapat menopang tubuhnya untuk merayap ketika mencari makan. Di ketiak kedua siripnya terdapat puting susu, yang sangat penting untuk menyusui anaknya. Lubang hidungnya terdapat di bagian atas kepalanya, dan mempunyai katup yang dapat menutup dengan kedap bila dugong menyelam. Bila dugong naik ke permukaan untuk menarik napas, hanya ujung lubang hidungnya yang muncul di permukaan. Dugong dapat menyelam selama 3 – 5 menit untuk kemudian naik lagi ke permukaan untuk bernapas.

Gambar 1.5 . Puting susu pada ketiak sirip dugong betina (www.uq.edu.au)

Mata dugong berukuran kecil, dan di dalam air yang acapkali keruh, pandangannya sangat terbatas. Bila diangkat keluar dari air, dugong dapat mengeluarkan cairan yang dikenal sebagai “air mata duyung”. 4

Telinga dugong tidak mempunyai cuping dan berukuran kecil yang terletak di bagian kiri dan kanan kepalanya. Dugong dapat mendengar suara dengan baik di dalam air.

Gambar 1.6 . Perbedaan dugong betina dan jantan dilihat dari pososi relatif antara umbilicus, celah genital (celah vagina atau celah penis) dan dubur (anus).

Dari tampak luarnya, sukar membedakan dugong betina dan jantan, karena bentuk luarnya boleh dikatakan sama (monomorphic). Salah satu petunjuk untuk membedakan jenis kelaminnya adalah posisi celah kelaminnya (genital aperture) terhadap anus dan pusar (umbilicus). Pada yang betina, celah kelaminnya (vagina) terletak lebih dekat ke anus. Alat kelamin jantan (penis) dugong berada dalam perut (abdominal) dan baru dikeluarkan lewat celah penis bila sang dugong dalam kondisi birahi.

Otak dugong mempunyai berat maksimum 300 g, atau sekitar 0,1 % dari berat total tubuhnya. Paru-parunya berukuran sangat panjang, yang dapat melanjut sampai dekat ginjalnya. Ginjalnya sendiri juga sangat memanjang yang sesuai untuk fisiologinya menghadapi lingkungan yang berkadar garam. Bila terluka, darah dugong akan cepat membeku. Kerangka dugong mempunyai 57 sampai 60 tulang belakang (vertebrae). Tengkoraknya berbentuk unik, gigi seri depan bagi yang jantan dapat memanjang, mencuat keluar dan membentuk gading. Susunan gigigeliginya sangat sesuai untuk mencari makan dan mencabut lamun Gambar 1.7. Kerangka dugong. (www.arkive.org) makanannya dari dasar laut. Siripnya mempunyai tulang dengan susunan bagai jari-jari. Dugong mengalami pachyostosis, yakni kondisi dimana tulang-tulang iga dan tulang-tulang panjang lainnya biasanya padat dan hanya mengandung sedikit sumsum. Tulang5

tulang berat ini (yang merupakan terberat di antara semua hewan), berfungsi sebagai ballast atau pemberat yang memudahkannya menyelam dan mencari makan di dasar laut. Dugong dapat mempunyai usia yang panjang sampai lebih 70 tahun. Dugong mulai dapat melahirkan anak pada usia 10 – 17 tahun, namun ada juga yang menyebutkan dapat sedini 6 tahun. Usia kehamilan dugong adalah sekitar 13 – 15 bulan. Setiap melahirkan akan menghasilkan hanya satu anak. Bayi dugong berukuran besar, ketika baru dilahirkan panjangnya berukuran 1,1 – 1,2 m Gambar 1.8 . Detail gading dugong dengan berat sekitar 27 – 35 kg. Anak dugong (www.robertosozzani.it) menyusu pada ibunya sampai usia usia 14 – 18 bulan. Selain menyusu, dugong juga sudah dikenalkan oleh ibunya untuk memakan lamun sesaat setelah dilahirkan

Gambar 1.9. Foto udara menunjukkan satu kawanan dugong dengan jumlah individu yang cukup besar di Teluk Moreton, Australia (Hodgson, 2007)

Dugong sering dijumpai hidup soliter (sendiri), tetapi kadangkala juga dalam kelompok kawanan (herd) kecil sebanyak 5 – 10 individu. Di Australia, satu kawanan dugong bisa sampai puluhan individu atau lebih. Kawanan dugong dengan jumlah individu tertinggi yang pernah tercatat adalah di Teluk Persia yang terdiri dari 670 individu. Tetapi tampaknya tidak terdapat ikatan sosial terstruktur yang kuat di antara individu dalam kawanan tersebut. Terjadinya kawanan yang besar bisa terjadi pada saat makan bersama pada suatu padang lamun Tiap individu dapat bebas keluar dari kawanannya. Ikatan yang kuat terdapat hanyalah antara induk dan anak. Anak dugong selalu berada dekat induknya sampai menjelang dewasa.

6

2. KERABAT DUGONG

D -

alam klasifikasi hewan, dugong termasuk Class Mammalia yang mempunyai karakterisktik menyusui anaknya. Di bawah Class Mammalia dugong tergolong dalam Ordo Sirenia. Seluruh anggota Ordo Sirenia mempunyai ciri yang khas sebagai berikut:

seluruh masa hidupnya berada dalam air; makanan utamanya adalah tumbuhan; mempunyai badan besar, berbentuk seperti ikan, tetapi dengan ekor yang pipih mendatar; tidak mempunyai kaki belakang; kaki depan telah telah mengalami modifikasi sebagai sirip(flipper); hewan betina mempunyai sepasang kelenjar susu, masing-masing di ketiak sirip.

Gambar 2.1. Hubungan kekerabatan Dugong 7

Dugong dugon adalah satu-satunya spesies yang masih eksis di bawah suku (Familia) Dugongidae. Spesies lainnya dari suku Dugongidae ini adalah Hydrodamalis gigas, yang juga dikenal sebagai Steller’s sea cow atau sapi laut Steller. Tetapi spesies ini telah punah di abad 18 hanya sekitar 30 tahun sejak pertama kali ditemukan.

Punahnya Hydrodamalis gigas (Sapi Laut Steller)

Hydrodamalis gigas atau yang juga dikenal dengan Steller’s sea cow atau Sapi Laut Steller adalah kerabat dekat Dugong dugon, satu-satunya spesies selain dugong yang bernaung di bawah suku Dugongidae. Hewan ini merupakan raksasa laut yang bisa tumbuh sampai berukuran panjang 10 meter dengan bobot 6.000 kg. Jenis ini telah punah karena perburuan berlebihan (over-hunting) yang dilakukan oleh para pemburu anjing laut (sealers) dari Eropa di tahun 1768, kurang dari 30 tahun setelah hewan ini pertama kali ditemukan oleh para pemburu Rusia. Populasi hewan ini dulunya pernah terdapat di pesisir Pasifik, yang terbentang dari Meksiko sampai ke Jepang, tetapi berangsur-angsur semakin terdesak dan akhirnya hanya terdapat di perairan dingin Laut Bering, antara daratan semenanjung Kamchatka dan Kanada. Sapi laut ini hidup dari makanannya yang berupa kelp atau ganggang laut yang bisa tumbuh sangat lebat di laut yang dingin dan dangkal di perairan itu. Hewan raksasa ini sudah beradaptasi sepenuhnya di lingkungan dangkal sedemikian rupa hingga ia sudah kehilangan kemampuan untuk menyelam. Oleh karena itu, raksasa ini menjadi sasaran empuk untuk diburu dan dibantai oleh para pemburu untuk menjadi sumber pangan. Punahnya sapi laut ini merupakan rekaman pertama punahnya species mamalia laut di abad-abad terakhir ini.

8

Spesies lainnya di bawah Ordo Sirenia yang masih hidup sekarang berada di bawah suku (Familia) Trichechidae, yang dikenal dengan nama umum manatee atau sea cow (sapi laut). Tidak seperti ekor dugong, ekor manatee tidak bercabang, tetapi berbentuk bundar pipih bagaikan dayung.

Gambar 2.2. West Indian Manatee (Trichechus manatus)

Manatee Trichechus manatus, dikenal sebagai West Indian Manatee. Hewan ini dapat tumbuh sampai panjang 3,3 meter, yang hidup di perairan tenggara Amerika Serikat, pantai timur Meksiko, Amerika Tengah, Greater Antilles (West Indies), dan sepanjang pantai utara dan timur Amerika Selatan. Hewan ini hidup di perairan laut, perairan tawar atau payau, dan memakan beragam tumbuhan laut sampai tumbuhan air tawar.

Trichechus inunguis atau Amazonian Manatee, hidup di perairan tawar di Sungai Amazon dan anak-anak sungainya di Amerika Selatan. Jenis manatee ini adalah yang mempunyai ukuran terkecil di antara anggota Familia Trichecidae (panjang sampai 2,8 meter), kulitnya halus, tak mempunyai kuku di ujung siripnya, dan makanannya adalah tumbuhan air tawar, baik yang mengapung di permukaan maupun rumput-rumputan akuatik yang hidup di tepian perairan.

Gambar 2.3. Amazonian Manatee (Trichechus inunguis)

Trichechus senegalensis (West African Manatee) hidup di perairan pantai, estuaria, hingga sungaisungai di Afrika Barat, dan bisa berukuran panjang 3 – 4 meter. Hewan ini lebih banyak memakan tumbuhan yang menjuntai ke perairan seperti mangrove dari pada tumbuhan akuatik. Suatu hal yang menarik bahwa paus dan lumba-lumba adalah mamalia laut, seperti juga pada dugong. Tetapi ternyata kekerabatan mereka jauh dari dugong. Dugong dan Sirenia pada umumnya, dari segi evolusinya, ternyata lebih dekat kekerabatannya dengan gajah. Dalam sejarah evolusinyanya, memang nenek moyang dugong bermula dari hewan daratan pemakan tumbuhan, seperti halnya Gambar 2.4. West African Manatee (Trichechus senegalensis)

9

gajah, yang kemudian perlahan-lahan beralih ke pantai dan beradaptasi hidup sebagai hewan akuatik pemakan tumbuhan di perairan dangkal. Sistem pencernaan dugong lebih mirip dengan sistem pencernaan gajah, seperti pada Gajah Afrika, Loxodonta africana.

Gambar 2.5. Sebaran Sirenia di dunia

10

3. EVOLUSI SIRENIA

D

ari segi evolusi, Ordo Sirenia yang paling primitif adalah Prorastomus yang diperkirakan hidup mulai di awal kala Eosin, sekitar 50 juta tahun lalu. Kajian fossil menunjukkan bahwa hewan purba ini adalah herbivor berkaki empat, berukuran kurang lebih sebesar babi, yang bisa hidup di darat maupun di dalam air. Hewan ini dipercaya sebagai awal perkembangan evolusi Sirenia selanjutnya.

Gambar 3.1. Atas: Fossil Prorastomus, yang merupakan Sirenia primitif herbivor, yang mempunyai empat kaki, dan dapat hidup di darat dan di dalam air, dari kala Eosin, sekitar 50 juta tahun lalu (www.cnrs.fr/Domning) . Bawah: Gambar rekaan bentuk Prorastomus (www.palaeocritti.com)

Pada akhir kala Oligosin (25 juta tahun lalu) perjalanan evolusi Sirenia menuju keanekaragaman hayati yang makin beragam namun kemudian menyusut kembali terutama karena pengaruh perubahan global iklim dan laut. Pada akhir kala ini juga mulai berkembang Familia Dugongidae yang telah sepenuhnya berciri akuatik (hidup dalam air) yang mempunyai bentuk stream-line, dengan dilengkapi sirip (flipper) yang kuat, dan tanpa kaki belakang. Kaki 11

belakangnya sudah sangat tereduksi dalam bentuk tulang yang sangat kecil dan internal, dan tak lagi berfungsi (vestigial). Sementara itu ekornya telah berkembang menjadi pipih horizontal yang bila diayunkan akan menjadi sumber tenaga penggerak utamanya. Fossil tertua Dugong ditemukan dari era sekitar 25 juta tahun lalu. Sementara itu di awal kala Miosin, sekitar 16 juta tahun lalu, berkembang pula Metaxytherium yang kaki belakangnya juga telah mengalami reduksi menjadi vestigial, yang evolusinya mengarah ke terbentuknya sapi laut Hydrodamalis gigas (Steller’s sea cow). Hydrodamalis gigas ini merupakan spesies kerabat terdekat dugong (Dugong dugon) yang telah punah sejak pertengahan abad 18.

Gambar 3.2. Fossil Metaxytherium, sekitar 16 juta tahun lalu, yang merupakan pendahulu Hydrodamalis gigas (Steller’s sea cow), yang sudah tak mempunyai kaki dan hidup sepenuhnya sebagai hewan akuatik. (www.edwardtbabinski.us/manatee) Manatee (Trichechidae) merupakan sempalan dari Dugongidae yang mulai berkembang sekitar akhir kala Eosin atau awal kala Oligosin (kurang lebih 38 juta tahun lalu). Ribodon adalah bentuk primitif dari Trichechus (manatee) yang menyebar sampai ke perairan laut Amerika Utara. Rekaman fossilnya menunjukkan telah tereduksinya kaki belakang secara ekstrim hingga hanya meninggalkan bagian yang sangat kecil dan yang sudah tak berfungsi, yang mencerminkan perubahan morfologi yang sangat signifikan dari kehidupan darat ke kehidupan akuatik.

Gambar 3.3. Evolusi Sirenia dari hewan berkaki empat menjadi hewan akuatik sepenuhnya yang bersirip dan berekor untuk berenang. (Domning, 2000)

Garis besar perubahan morfologi Sirenia dalam proses evolusi dari yang berkaki empat hingga menjadi satwa akuatik yang tak berkaki, disajikan dalam Gambar 3.3 . 12

Gambar 3.4. Bagan menunjukkan kala geologi dan hubungan filogenetik 3. EVOLUSI beberapa genera dari Ordo Sirenia yang penting. (Domning, 2000) 13

4. SEBARAN

D

ugong (Dugong dugon) hanya terdapat di daerah tropis dan subtropis di kawasan IndoPasifik, kurang lebih antara 30o Lintang Utara sampai 30o Lintang Selatan. Sebarannya cukup luas, meliputi 48 negara dari pesisir timur Afrika sampai Vanuatu di sebelah tenggara Papua New Guinea (Marsh dkk, 2002). Diperkirakan sebanyak 85.000 ekor dugong dunia berada di perairan pesisir Australia. Ini mungkin mencakup sekitar 75 % dari seluruh populasi dugong yang ada dunia, bahkan mungkin lebih. Populasi terbesar kedua terdapat di Teluk Arabia dengan perkiraan populasi di tahun 1987 sekitar 7,310 ekor dugong. Di daerah lainnya populasinya sedikit dan terpisah-pisah.

Gambar 4.1. Sebaran dugong (Dugong dugon) di dunia terbatas di derah tropis dan subtropis kawasan perairan Indo-Pasifik. (Marsh dkk, 2002) Penetapan sebaran dugong di tiap negara sukar dilaksanakan. Banyak informasi mengenai sebaran dugong didasarkan pada kisah (anecdotal) yang diceriterakan oleh penduduk setempat. Meskipun demikian tampaknya terdapat kecenderungan umum bahwa di banyak tempat populasi dugong semakin berkurang dibandingkan beberapa dekade lalu. Di beberapa daerah seperti di 14

Mauritius, Maladewa (Maladives), Cambodia dan sebagian Filipina bahkan diperkirakan mungkin dugong telah punah (Marsh dkk, 2002). Belakangan ini telah dikembangkan teknik yang dapat diterapkan untuk penelitian struktur populasi genetik dugong yang didasarkan pada DNA mitokondria. Teknik ini menghasilkan indeks yang baik untuk penentuan struktur populasi dugong. DNA mitokondria dapat diturunkan hanya lewat betina dan dapat digunakan untuk memperkirakan aliran gen yang dimediasi oleh betina. Penelitian dengan teknik ini menunjukkan bahwa haplotype dugong dari Asia Tenggara (Indonesia, Thailand dan Filipina) umumnya berbeda dengan yang ada di Australia, dengan daerah tumpang tindih di Ashmore Reef, antara Australia Barat dan Timor. Kenyataan ini menggambarkan terjadinya (atau pernah pada masa lalu) pertukaran genetik terbatas antara populasi dugong Australia dan Asia (Marsh dkk, 2002).

Gambar 4.2. Sebaran dugong yang telah diketahui di Indonesia (modifikasi dari de Iongh, 1997) Lalu dimana sajakah dugong dapat dijumpai di Indonesia? Pertanyaan ini tak selalu mudah untuk dijawab. Ini disebabkan karena belum ada survei yang menyeluruh tentang sebaran populasi dugong di Indonesia. Kalau pun akan diadakan tentu bukanlah hal yang mudah untuk mencakup perairan Indonesia yang demikian luasnya. Ada sebagian informasi yang jelas tentang keberadaan dugong, tetapi banyak pula informasi yang didasarkan pada cerita atau kisah yang diriwayatkan oleh penduduk setempat, atau bersifat anecdotal. Mungkin benar bahwa dulu di situ pernah ada atau banyak dugong, tetapi kini sudah sangat jarang ditemui, atau mungkin malah telah punah di lokasi setempat. Marsh (2002) misalnya menyebutkan bahwa pada tahun 1970-an diperkirakan jumlah populasi dugong di Indonesia adalah sekitar 10.000 ekor, sedangkan pada tahun 1994 diperkirakan sekitar 1.000 ekor. Namun ini tak bisa ditafsirkan sebagai bukti yang kongkrit berkurangnya populasi dugong, karena banyak didasarkan pada asumsi-asumsi dan 15

informasi anecdotal. Dari berbagai informasi yang ada tampaknya terdapat kecenderungan umum bahwa jumlah populasi dugong di banyak daerah di Indonesia memang semakin mengalami penyusutan drastis meskipun sulit untuk dikuantifikasikan . Di sekitar Sumatra, de Iongh (2009) mengemukakan ditemukannya tulang-belulang dugong di pemukiman penduduk Pulau Siberut (sebelah barat Sumatra), yang digantung di rumah-rumah penduduk sebagai azimat untuk menolak bala, dan gading dugong yang diukir indah, yang merupakan simbolisasi leluhur mereka. Tetapi apakah sekarang dugong masih ada disana, merupakan pertanyaan yang belum terjawab dengan tuntas. Di Kepulauan Riau, tepatnya di Pulau Bintan, dalam kurun waktu 2008 – 2011, ketika Program Konservasi Lamun (TRISMADES, Trikora Seagrass Management Demonstration Site) dilaksanakan, telah dilaporkan empat kasus dugong terjerat masuk dalam jaring nelayan setempat. Upaya penyelamatan telah diusahakan dengan melepaskannya kembali ke laut, namun tak semua berhasil. Dalam empat kasus di atas, tiga dugong dapat diselamatkan dan dilepas kembali ke laut, hanya satu yang mati tak terselamatkan.

Gambar 4.3 . Dugong terjerat dalam jaring nelayan di Pulau Bintan, Kep. Riau, tetapi berhasil dilepas kembali ke laut. (Dok. TRISMADES)

Di Pulau Bangka, dugong dijumpai baik di Bangka Utara maupun Bangka Selatan. Bagi penduduk setempat, daging dugong rasanya lezat dan harganya pun sangat tinggi. Telah dilaporkan bahwa dugong dijual bebas di pasar, meskipun sebenarnya hewan ini telah dilindungi undangundang. Di Jawa, Marsh dkk (2002) dan de Iongh (1997) menyebutkan bahwa dugong ditemukan di perairan Taman Nasional Ujung Kulon, pantai Cilegon, Teluk Banten, pantai sebelah selatan Cilacap, Segara Anakan, dan di sebelah tenggara Blambangan, di ujung timur Pulau Jawa.

Gambar 4.4. Dugong di jual bebas di pasar, di Pulau Bangka. (M. Adrim)

Di Kalimantan, telah dilaksanakan kajian tentang dugong di Teluk Balikpapan oleh tim dari Leiden University, Belanda. 16

Mereka dapat merekam perjumpaan dengan dugong disana, dan sejumlah jalur bekas makan (feeding trail) dugong di teluk itu (De Iongh dkk, 2006). Mereka juga menemukan dugong di Pulau Derawan. Selain itu Marsh dkk (2002) juga menyebutkan keberadaan dugong di Kotawaringin dan Teluk Kumai di pesisir selatan Kalimantan. Tahun 2008 ditemukan 16 ekor dugong di Teluk Kumai, menurut Kepala Bidang Perikanan Budidaya setempat (Kompas.com) Di Sulawesi Utara dugong dapat dijumpai di sekitar padang lamun Wawontulap, di dekat Taman Nasional Laut Bunaken, LSM “Kelola” yang mengkaji dugong di sekitar perairan Sulawesi Utara menyatakan bahwa diperkirakan masih ada sekitar 1.000 dugong di sekitar perairan itu (Marsh dkk, 2002). Di pantai utara Sulawesi, di Blongko, juga telah dilaporkan keberadaan dugong, demikian pula di Pulau Mantehage . Pada tahun 1997 satu perusahan perikanan Taiwan dilaporkan menangkap dugong sebanyak sembilan ekor dari Selat Lembeh. Di desa binaan COREMAP di Kabupaten Buton juga ditemukan dugong terperangkap dalam sero tahun 2008 (www.maruf.wordpress.com). Di tahun 1975 tim dari Jaya Ancol Oceanarium (kini Gelanggang Samudra Ancol) menangkap lima ekor dugong di pantai Potondo, dibagian selatan Sulawesi Selatan (Allen dkk, 1975). Pada saat itu di daerah ini diperkirakan terdapat sekitar 15 ekor dugong. Selain itu di dekat Makassar, di Pulau Barang Lompo juga pernah ditangkap dugong (Erftemeijer dkk, 1993).

Gambar 4.5. Dugong di Pulau Derawan, Kalimantan Timur. (Christianen, 2008)

Di Bali, dugong dilaporkan pernah terlihat oleh para peselancar dekat Uluwatu dan Padangpadang, di pantai selatan, sementara penduduk setempat melaporkan bahwa ada seekor dugong yang tiap hari datang ke pantai itu.

Gambar 4.6. Dugong tertangkap di desa binaan COREMAP di Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara, 2008. (www.maruf.wordpress.com)

Di Nusa Tenggara Timur, beberapa laporan menyebutkan bahwa dugong dijumpai di perairan Taman Nasional Komodo, di Selat Lintah yang berada di antara Pulau Sumbawa dan Flores. Dugong juga pernah dilaporkan tertangkap di Teluk Kupang dan sekitar Pulau Rote. Suatu kajian di Pulau Rote tahun 2004 mengungkapkan bahwa menurut penduduk setempat, sampai dua 17

atau tiga dekade sebelumnya, dugong masih sering mereka jumpai, tetapi sekarang makin jarang dan hampir tak pernah lagi ditemui. Padahal di daerah ini penduduk lokal tidak mempunyai kebiasaan berburu dugong. Makin menghilangnya dugong di kawsan itu diperkirakan sebagai akibat eksploitasi perikanan yang terus meningkat. Di Maluku, Marsh dkk (2002) dan de Iongh (1997) menyebutkan bahwa dugong dilaporkan keberadaanya antara lain di Kepulauan Aru, Kepulauan Lease (Ambon, Haruku, Saparua, Nusa Laut), Seram, dan di Halmahera. Informasi anecdotal menyiratkan bahwa populasi dugong di Kepulauan Aru pernah sangat tinggi di masa lalu. Compost (1980) pernah melaporkan bahwa tangkapan dugong per tahun di Aru mencapai 545 sampai 1.020 ekor pada akhir tahun 1970-an, dan pada masa itu dugong dinyatakan masih cukup banyak. Tetapi Brasseur & de Iongh (1991) melaporkan bahwa hanya 59 – 90 dugong yang tertangkap di timur Kepulauan Aru di tahun 1989, dan jumlah tangkapan ini terus berkurang menjadi 29 – 36 dugong di tahun 1990. Gambar 4.7. Anak-anak nelayan akrab Kejadian yang sama juga terjadi di Kepulauan bermain dan bercanda dengan dugong di Lease. Survei udara yang dilaksanakan di Tobelo, Halmahera Utara. (Dok. P2O – LIPI) tahun 1990 dan 1992 di Kepulauan Lease mengindikasikan bahwa populasi dugong di perairan ini diperkirakan antara 22 hingga 37 ekor (de Iongh dkk, 1995). Tetapi Moss & van der Wal (1998) meperkirakan bahwa tak lebih dari 10 ekor dugong lagi yang hidup di Kepuluan Lease. Perkiraan ini didasarkan pada observasi feeding trail dugong dan wawancara dengan warga setempat. Nelayan lokal juga menyebutkan bahwa dugong dijumpai di pesisir utara dan timur Pulau Seram. Sementara itu survei yang dilaksanakan oleh Pusat Penelitian Oseanografi - LIPI menemukan dugong di Tobelo (Halmahera Utara), yang sering akrab bermain dengan anak-anak nelayan. Gambar 4.8 . Dugong korban pembantaian di Aru, Maluku Tenggara. (de Iongh, 1996)

Di Papua, dugong dilaporkan terdapat di sekitar Biak, seperti Pulau-Pulau Padaido, di pantai Sorong, di pantai 18

Fakfak, Taman Nasional Laut Teluk Cederawasih dan Taman Nasional Wasur (Marsh dkk, 2002). Populasi kecil dugong juga dilaporkan terdapat di bagian utara Papua Barat di Kepulauan Raja Ampat.

Gambar 4.9. Dugong di pantai Kiat, Fakfak, Papua (antropologifoto.blogspot.com)

19

5. SENSUS

U

ntuk pengelolaan sumberdaya di suatu perairan tentulah sangat penting informasi tentang jumlah populasi sumberdaya tersebut dalam kurun waktu tertentu. Dalam kaitannya dengan dugong, pertanyaannya adalah dapatkah kita memperkirakan seberapa besar populasi dugong yang ada di suatu perairan? Bisakah dilakukan semacam sensus untuk populasi dugong? Tentu saja pertanyaan ini tidak mudah dijawab. Apalagi dugong adalah hewan yang hidup dalam laut yang tidak selalu menetap, dan tak selalu mudah pula dijumpai. Para ahli mencoba mencari berbagai jalan keluar untuk itu. Salah satunya adalah dengan melakukan survei udara, yakni dengan menggunakan pesawat terbang yang menyisir luasan pantai tertentu dengan mencoba mencacah jumlah dugong yang dapat diamati dari udara. Teknik survei udara ini kini dipandang sebagai yang terbaik untuk mendapatkan data populasi dugong di suatu daerah. Tentu saja teknik survei udara ini mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihannya adalah karena dapat dengan cepat mendapatkan informasi dalam luas kawasan tertentu. Namun juga harus dipertimbangkan berbagai faktor yang dapat mempengaruhi tingkat keakurasiannya. Lebih dari itu, teknik ini tentu saja biayanya mahal.

Gambar 5.1. Survei udara dilaksanakan dengan pesawat terbang sepanjang jalur yang direncanakan, dengan kecepatan dan ketinggian terbang yang telah ditetapkan. Beberapa periset duduk di sebelah kiri dan kanan pesawat merekam jumlah dugong yang dijumpai sepanjang jalur yang dilalui (Lawler dkk, 2002)

Teknik survei udara ini didasarkan pada rekaman sensus dugong oleh periset yang terbang dalam jalur yang telah ditentukan, dengan kecepatan dan ketinggian terbang yang telah ditetapkan. Teknik ini mulai digunakan pada tahun 1970an, kemudian lebih disempurnakan pada tahun 1980an.

Teknik survei udara untuk mencacah jumlah dugong di suatu perairan pernah dilaksanakan di Kepulauan Lease di Maluku, yang mencakup perairan sekitar Ambon, Haruku, Saparua dan Nusa Laut. Survei ini dilaksanakan pada tahun 1990 dan 1992 dalam kerjasama Pusat Studi Lingkungan Universitas Pattimura 20

(Ambon) dan Leiden University, Amsterdam (Belanda) sebagai bagian dari Dugong Management and Conservation Project yang dibiayai oleh European Development Fund.

Gambar 5.2 . Pesawat terbang Piper Aztec disiapkan untuk survei udara untuk sensus dugong di Kepulauan Lease, Maluku.(de Iongh)

Untuk keperluan ini digunakan pesawat ringan Piper Aztec yang menyisir perairan sepanjang jalur yang telah ditetapkan, dengan ketinggian terbang 135 m, dan kecepatan 180 km/jam. Jalur selebar 200 m di kiri dan kanan lintasan penerbangan diamati dengan cermat dan direkam banyaknya dugong yang terlihat. Selain itu juga diamati perjumpaan dengan hiu, lumba-lumba, penyu dan paus. Survei dilaksanakan di delapan lokasi di Kepulauan Lease.

Dari hasil survei udara ini tercatat bahwa pada penerbangan pertama (19 Desember 1990) dijumpai 17 ekor dugong dengan seekor anakan, sedangkan pada penerbangan kedua (6 Agustus 1992) dijumpai 10 ekor dan tak dijumpai adanya anakan. Anakan dugong biasanya mudah dikenali karena selalu didampingi dan dikawal ketat oleh induknya sampai menjelang dewasa. Dari survei itu, diperkirakan populasi maksimum dugong di perairan ini berkisar 22 – 37 ekor. Survei udara untuk merekam populasi dugong telah juga dilaksanakan di banyak negara lain. Survei udara diperairan Australia Utara mengindikasikan bahwa populasi dugong di perairan ini jauh lebih besar dari yang diamati di perairan Kepulauan Lease, Maluku. Laju perjumpaan dugong dalam survei udara di Kepulauan Lease adalah 5 – 11 dugong/jam, yang boleh dikatakan sebanding dengan hasil survei serupa di tempat lain seperti di Palau 5,4 dugong/jam, di Selat Torres (sebelah selatan Papua) 9,2 dugong /jam, dan di Filipina 1,9 dugong/jam. Di perairan sekitar Johor, Malaysia, juga telah diadakan survei udara pada bulan Juli 2010 yang mengindikasikan adanya dugong di perairan ini sejumlah 20 individu saja.

Gambar 5.3 . Sekawanan dugong beserta anaknya di lihat dari udara,.(www.static.panoramic.com)

21

Gambar 5.4. Hasil survei udara untuk dugong di Kepualuan Lease tahun 1990 dan 1992. Angka Rumawi menunjukkan lokasi observasi. Angka pembilang (atas) menujukkan jumlah dugong dewasa dan anakan yang dijumpai dalam survei tahun 1990, sedangkan penyebut (bawah) untuk survei tahun 1992. (de Iong dkk, 1995)

Gambar 5.5. Tampilan sebagian padang lamun di zona pasangsurut pantai timur Ambon, yang merupakan habitat dugong, dari hasil survei udara (de Iongh) 22

Australia telah lebih maju dalam pengembangan teknik survei udara untuk merekam populasi dugong. Disana telah dikembangkan berbagai model matematik dengan memasukkan berbagai faktor yang dapat mempengaruhi ketepatan observasi dugong, misalnya faktor kekeruhan air, kedalaman, peluang luput dari pengamatan, dan lain-lain (Pollock dkk, 2004). Kini survei udara sudah dijadikan standar dalam sensus dugong di banyak negara. Perkembangan survei dugong selain dilakukan dengan pesawat terbang ─ baik pesawat dengan sayap tetap (fixed wing) maupun dengan helikopter ─ juga telah dilakukan dengan pesawat “microlight” yang sangt kecil. Survei udara semacam ini tentulah mempunyai risiko atas keamanan penerbang dan petugas survei. Dalam kenyataannya memang telah terjadi beberapa kecelakaan di manca negara dalam upaya survei udara untuk mengkaji dugong dan satwa laut lainnya. Oleh sebab itu University of Queensland, Australia, sejak tahun 2008 telah memprakarsai pengembangan pesawat udara tanpa awak yang disebut UAV (Unmanned Aerial Vehicle) atau drone yang dilengkapi dengan kamera untuk tujuan khusus survei sumberdaya hayati laut, seperti paus, dugong dan penyu. Diharapkan dengan pengembangan UAV ini akan dapat dihindari risiko keamanan dan lebih menjamin keselamatan bagi para peneliti, dan selain itu juga dapat lebih menekan biaya survei. Kembali pada masalah di Indonesia. Tentulah timbul pertanyaan seberapa jauh kemungkinan penerapan survei udara ini dapat dilaksanakan secara luas di perairan Indonesia yang sedemikian luasnya, sementara di lain pihak dugong telah dilaporkan dari berbagai penjuru negeri ini dalam jumlah yang terus semakin menyusut.

Gambar 5.6 . Pesawat tak berawak UAV (Unmanned Aerial Vehicle) atau drone dengan panjang 3 m yang dikembangkan oleh University of Queensland untuk survei dugong dan lingkungn laut (www.seagrasswatch.org)

Para ahli mencoba mencari alternatif lain, yang mungkin lebih layak (feasible) dilaksanakan di negara yang sedang berkembang, yakni dengan pengikut sertaan masyarakat lokal. Survei lewat wawancara masyarakat tentang pengetahuan dan perjumpaan mereka dengan dugong di berbagai penjuru Indonesia diharapkan dapat membantu untuk mendapat gambaran umum tentang seberapa besar kekayaan kita akan dugong yang kian hari kian terancam punah. Dalam pertemuan di Sarawak, Malaysia, bulan Juli 2011 yang lalu misalnya, negara-negara Asia Tenggara bersepakat untuk menganut teknik baku dalam penyusunan kuesioner dan wawancara untuk survei dugong di kawasan ini. Selain itu 23

telah dipertimbangkan pula metode pendugaan besar populasi dugong dengan mengkaji jejak jalur makan (feeding trail) yang ditinggalkan dugong di suatu padang lamun. Di samping itu para ilmuwan Jepang juga telah mengembangkan alat AUSOMS-D (Automatic Underwater Sound Monitoring System for Dugong) yang dapat mendeteksi karakteristik suara dugong dalam air dan arahnya, dengan harapan alat ini dapat digunakan untuk memperkirakan besarnya populasi dugong dan perilakunya di suatu daerah dengan tidak mengintervensi atau mengganggu kehidupan dugong.

24

6. MELACAK SANG PENGEMBARA

B

agaimana perilaku satwa dalam alam, dimana dan kemana saja satwa itu mengembara, dan apa yang mendorong gerakan pengembaraan itu, selalu menjadi perhatian bagi periset dan pemerhati lingkungan. Informasi mengenai gerakan pengembaraan satwa ini penting untuk mendasari kebijakan pengelolaan dan konservasinya. Untuk satwa laut seperti dugong, tentu saja melacak (tracking) pergerakannya lebih sulit dilaksanakan. Di daratan, pelacakan gerakan pengembaraan satwa telah banyak dilaksanakan dengan menggunakan teknik pelacakan dengan satelit (satellite tracking). Hal ini telah menginspirasi para periset laut untuk juga mencobanya di lingkungan laut untuk melacak pergerakan dugong. Pelacakan satelit untuk dugong telah dimulai dikembangkan sekitar awal tahun 1990an. Pelacakan pergerakan atau pengembaraan dugong dengan satelit telah dilaksanakan di Indonesia pada tahun 1994 di Kepulauan Lease yang mencakup perairan Ambon, Haruku, Saparua dan Nusa Laut. Upaya pelacakan dugong dengan satelit di perairan ini merupakan upaya pertama di kawasan katulistiwa. Dugong mulanya dicari dan digiring masuk ke dalam jaring yang direntang panjang. Pada dugong yang baru tertangkap itu segera dipasangi semacam gelang pada pangkal ekornya yang terhubung dengan tali nilon ke alat pemancar yang dapat mengapung di permukaan (floating transmitter). Pemancar ini dilengkapi dengan antenna untuk komunikasi dengan satelit. Segera setelah pemancar itu terpasang, dugong dilepaskan kembali ke alam aslinya dan bebas berenang semaunya. Kemana pun sang dugong pergi, disitu transmitter itu setia menemani untuk memberikan informasi tentang keberdaannya.

Gambar 6.1. Penangkapan seekor dugong betina untuk dipasangi transmitter untuk pelacakan pengembaraannya di perairan Kepulauan Lease, Maluku. Hewan ini dapat dilacak sampai sekitar sembilan bulan. (de Iongh)

Pemancar itu secara berkala dapat mengirim data tentang posisinya dan data suhu sampai selama daya tahan baterainya, yang bisa sampai setahun atau lebih. Perkembangan teknologi mutakhir memungkinkan penentuan posisinya dengan lebih 25

akurat dengan GPS (Global Positioning System). Data-data ini dikirimkan ke satelit yang selanjutnya diteruskan ke stasiun bumi untuk diolah lebih lanjut di pusat studi tertentu. Satelit NOAA 11 dan 12 yang dimanfaatkan dalam pelacakan ini mengorbit pada ketinggian 820 km di atas bumi dengan kecepatan 28.000 km/jam. Satelit-satelit ini melintas dengan rata-rata tujuh kali tiap hari di atas daerah pengamatan. Dengan demikian dugong dapat dilacak keberadaannya dari waktu ke waktu.

Gambar 6.2. Pemasangan transmitter apung pada pangkal ekor dugong untuk melacak gerakan pengembaraannya. (Marsh & Rathbun, 1990)

Gambar 6.3. Satelit NOAA 11 yang mengorbit mengelilingi bumi pada ketinggian 820 km dari bumi membantu dalam pelacakan pengembaraan dugong.

Dalam eksperimen di Kepulauan Lease (Maluku) itu, empat ekor dugong yang dilacak dengan satelit dapat diikuti lintasannya sampai selama 41 sampai 285 hari (de Iongh dkk, 1998). Dari hasil pelacakan itu ternyata bahwa dugong-dugong itu pada malam hari tampaknya lebih suka mendekat dan beraktivitas didaerah dangkal dekat pantai. Mungkin untuk mencari makan. Ternyata pula bahwa tiap dugong mempunyai pola pengembaraan yang sangat individualistik. Tak ada pola yang berlaku umum. Salah satunya yang masih remaja, terdeteksi tiba-tiba melesat ke utara menuju ke Pulau Seram sampai sejauh 65 km dalam empat hari. Ada pula yang sering bolak-balik dari satu pulau ke pulau lainnya. Selain itu ada yang sempat mengelilingi Pulau Haruku dan Saparua dengan beberapa kali singgah sampai beberapa waktu lamanya di suatu daerah untuk kemudian melanjutkan lagi pengembaraannya. Jarak yang ditempuhnya, berkisar sekitar 17 sampai 65 km dari tempat asal semula dilepaskan sampai ditemukan kembali. Kecepatan renangnya dalam pengembaraan itu rendah, hanya sekitar 0,2 hingga 0,7 km/jam. 26

Gambar 6.4. Posisi dan arah gerak pengembaraan salah seekor dugong yang terlacak dengan satelit di Kepulauan Lease, Maluku. (de Iongh dkk., 1998) Dalam pengembaraannya itu, dugong dapat tinggal sampai beberapa waktu lamanya di suatu daerah inti yang merupakan “home range” tempatnya mencari makan, yang umumnya banyak mengandung jenis-jenis lamun kesukaannya seperti Halophila, Cymodocea, Syringodium dan Thalassia. Luasan “home range” itu berkisar 4 hingga 43 km2. Setelah itu ia dapat melanjutkan lagi pengembaraannya ke lokasi lainnya. Adalah menarik membandingkan hasil pelacakan ini dengan apa yang telah dilaksanakan di Australia. Pelacakan dugong dengan satelit di negeri ini sudah lebih banyak dilakukan, misalnya di kawasan Great Barrier Reef. Kajian-kajian pelacakan dengan satelit disana mengindikasikan bahwa dugong mempunyai daya ingat yang sangat kuat, yang dapat membimbingnya kembali ke tempat khusus yang sama setelah mengembara sampai ratusan kilometer jauhnya. Tampaknya dugong dalam pengembaraannya bisa megetahui dengan pasti dimana sumber makanan banyak tersedia di tempat yang jauh dan jalan tercepat menuju ke sana. Dalam pengembaraan jarak jauhnya, dugong dapat berenang dengan kecepatan 1,1 sampai 3,6 km/jam. Dalam beberapa kasus dapat dijumpai dugong yang mengembara sampai sejauh 900 km.

27

Namun kadang kala dijumpai pula dugong mengembara dalam jarak yang sangat jauh dengan alasan yang tak jelas. Pernah seekor dugong misalnya, dijumpai tiba di pulau kecil terpencil Cocos (Keeling) di Samudra Hindia di tahun 2002, padahal padang lamun terdekat dari sini adalah di Indonesia yang jaraknya sekitar 1.000 km. Ini merupakan rekor terpanjang yang pernah tercatat untuk dugong. Tentu ini juga merupakan hal yang luar biasa karena dalam perjalanan panjangnya itu ia menempuh perairan samudra yang dalamnya lebih 4.000 m hingga tak mungkin mendapatkan makanan lamun. Selain itu, perjalanan panjang itu tentu juga rawan dengan serangan predator.

Gambar 6.5. Seekor dugong jantan tiba di perairan dekat Cocos (Keeling), pulau kecil dan terpencil di Samudra Hindia di tahun 2002. Padang lamun terdekat berada di Indonesia sejauh sekitar 1000 km dari sini. (Sheppard, 2006) Di Indonesia yang berciri tropis tak terdapat perubahan suhu permukaan laut yang signifikan dalam seluruh tahun. Tetapi di pantai Queensland, Australia, yang terpengaruh oleh perubahan suhu musiman, pola pengembaraan dugong akan menyesuaikan dengan pola sebaran suhu permukaan laut. Dugong cenderung akan mengikuti suhu permukaan laut yang lebih nyaman untuknya. Mengingat dugong mampu untuk melakukan perjalanan jarak jauh, yang bisa saja melintasi batas-batas yurisdiksi antar negara, maka untuk konservasi dugong yang telah terancam punah ini, perlu diupayakan kerjasama lintas negara yang bertetangga.

28

7. HERBIVOR SPESIALIS LAMUN

D

alam dunia hewan, pemakan tumbuhan lazim disebut herbivor. Dugong (Dugong dugon) dikenal sebagai mamalia laut satu-satunya yang hidupnya herbivor, dan sangat bergantung pada tumbuhan lamun (seagrass). Kerabat dekat dugong, manatee (Trichechus), yang masih sama-sama dibawah keluarga (familia) Dugongidae, lingkup hidupnya lebih luas, tidak saja di laut tetapi juga sampai ke perairan payau dan perairan tawar. Manatee termasuk herbivor pula, tetapi jenis makanannya jauh lebih beragam dari dugong.

Gambar 7.1. Dugong sedang merumput di dasar laut. Siripnya yang kuat bagaikan menopang tubuhnya untuk merangkak di dasar. Dugong mencongkel lamun sampai keakar-akarnya untuk dimakan. (noblebrute.com)

Dugong termasuk sangat pemilih dalam urusan makan. Dari sekitar 20 jenis lamun yang dikenal di perairan Asia, hanya sekitar 13 jenis yang terdapat di Indonesia. Tetapi yang menjadi makanan favorit dugong lebih terbatas. Tidak seperti hewan herbivor lainnya yang lebih menyukai tumbuhan yang berserat atau berselulose, dugong lebih memilih jenis tumbuhan lamun yang lembut dan mudah dicerna, tetapi mempunyai nilai gizi tinggi. Berbeda dengan penyu yang memakan lamun hanya pada bagian daunnya saja, dugong mencongkel dan menggali seluruh tumbuhan lamun, sampai ke akar-akarnya, untuk dimakan.

Dugong lebih menyukai jenis-jenis lamun pioneer seperti genus Halophila dan Halodule, yang bagian atasnya (bagian daun) mempunyai kandungan N (nitrogen) yang tinggi dan rendah serat, dan bagian bawah tanahnya (berupa rhizoma atau rimpang dan akar) yang banyak mengandung karbohidrat dan berenergi tinggi. Strategi dugong dalam urusan makan ini memang lebih memaksimalkan nilai gizi dari pada kuantitas bahan yang dimakan. Padang lamun (seagrass bed) yang lebih disukainya untuk mencari makan biasanya bukanlah padang lamun yang lebat dan sangat rimbun, seperti padang Enhalus (setu pita) yang dirajai 29

oleh satu jenis saja dengan daun-daun yang panjang bagai pita. Meskipun demikian Enhalus tak ditolaknya. Jenis-jenis lamun pioneer berdaun kecil seperti Halophila dan Halodule yang lebih disukai dugong biasanya tumbuh baik di perairan dangkal yang terlindung dengan dasar pasir atau lumpur, di zone pasang surut (intertidal) atau bawah pasang surut (sub-tidal).

Gambar 7.2. Lamun dengan vegetasi tunggal Halophila ovalis (kiri) dan Halodule uninervis (kanan), yang merupakan makanan favorit dugong.

Kajian oleh de Iongh (1997) di Kepulauan Lease (Maluku) menunjukkan kesukaan atau preferensi dugong atas lamun adalah dalam urutan sebagai berikut: Halophila ovalis > Halodule uninervis > Cymodocea rotundata >Cymodocea serrulata > Thalassia hemprichii.

Gambar 7.3. Lamun Halodule uninervis mempunyai bagian di bawah tanah berupa rhizoma atau rimpang dan akar dengan massa yang besar (kiri) dan bagian di atas tanah berupa daun dengan massa yang lebih kecil (kanan). Keseluruhannya menjadi makanan kesukaan dugong (de Iongh dkk, 2009)

30

Pada padang lamun dengan vegetasi campuran (terdiri dari banyak jenis lamun), tentulah agak sulit bagi dugong untuk memilah jenis lamun individual kesukaannya. Dalam kondisi seperti itu dugong dapat memakan beberapa jenis lamun dalam sekali sesi menyelam. Anak dugong yang baru lahir segera menetek pada ibunya. Tetapi dalam usia dini, beberapa minggu setelah lahir, anak dugong sudah mulai belajar memakan lamun. Susu ibu yang bergizi dan berenergi tinggi memang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan sang anak. Anak dugong menyusui pada ibunya sampai usia sekitar 18 bulan, tetapi selanjutnya hidupnya bergantung pada lamun. Dugong yang dipelihara dalam kolam, sampai batas-batas tertentu, dapat menyesuaikan diri dengan jenis makanan yang disajikan. Dugong yang dipelihara di SeaWorld Indonesia Ancol misalnya, secara rutin diberi makanan berupa lamun Syringonium isoetifolium yang dipanen dari Teluk Banten. Meskipun makanan utama dugong adalah lamun, namun sekali-sekali ada juga hewan-hewan invertebrata yang masuk dalam menu makanannya. Tetapi hewan itu bukanlah sengaja dicari sebagai makanannya. Ketika lamun dicongkel sampai ke akar-akarnya terkadang terikut pula beberapa jenis hewan invertebrata. Dari pengkajian isi perut dugong diperoleh pula informasi bahwa alga kadang kala masuk juga sebagai makanan dugong. Namun diperkirakan dugong baru memakan alga bila stok makanan lamun berkurang dalam alam. Atau lebih sebagai makanan suplemen.

Gambar 7.4. Dugong dapat juga memakan hewan invertebrata, meskipun bukan sebagai makanan utamanya (de Iongh, 2009)

Penelitian di perairan subtropis di Moreton Bay, Australia, menunjukkan bahwa dugong disana dapat juga aktif mencari makanan berupa hewan invertebrata, manakala pilihan makanan utamanya berupa lamun berkurang. Namun diduga hal ini tak terjadi pada dugong di perairan tropis, karena di perairan tropis keanekaragaman jenis lamun lebih bervariasi untuk menjadi pilihan makanannya. Berbeda dengan hewan herbivor lainnya, sistem percernaan dugong tergolong sebagai hind gut fermenter yang berarti bahwa pencernaan anaerobik oleh mikroba terjadi di caecum atau di bagian terakhir dari usus besar. Ini membuat masa retensi (retention time) yakni lamanya makanan menempuh perjalanan dari mulut hingga ke dubur (anus) menjadi sangat lama, bisa sampai 144 – 166 jam (Lanyon & Marsh, 1995). Jauh lebih lama dibandingkan dengan hewan herbivor lainnya. Dari kajian anatomi atas jasad dugong yang mati di Jaya Ancol Oceanarium 31

(sekarang Gelanggang Samudra Ancol) tahun 1975, Allen dkk (1976) menunjukkan bahwa seekor dugong betina dengan panjang 2,6 m, berat 250 kg, mempunyai panjang usus kecil 6,9 m dan usus besar 14 m, atau total panjang usus sekitar 20 m, berarti sekitar 8 kali panjang badannya.

32

8. PERILAKU MAKAN

D

ugong sebagai mamalia laut yang herbivor mancari makanan kesukaannya berupa lamun di dasar laut. Untuk melaksanakan tugas utamanya ini, dugong dilengkapi dengan struktur mulut yang yang sangat khas sesuai untuk keperluan itu. Mulut dugong pada dasarnya berupa moncong (muzzle) menghadap ke bawah yang sangat sesuai baginya untuk mencari makanan di dasar laut. Moncong dugong mempunyai bibir atas dan bawah yang amat tebal, dipenuhi dengan bulu sikat (bristles) yang kasar dan pendek yang merupakan organ pengindera yang sangat peka untuk dapat mengetahui dan menentukan makanannya yang berupa lamun. Ketika merangkak di dasar laut mencari makan, dugong lebih banyak diarahkan oleh penginderaan lewat bulu sikatnya itu. Selain bibir tebal dan lentur itu mulut dugong dilengkapi pula dengan susunan perangkat gigi-geligi yang sesuai untuk mendapatkan makanan di dasar laut dengan menggali, mencongkel dan mencabut seluruh tumbuhan lamun untuk disantap.

Gambar 8.1. Kiri: Moncong (muzzle) dugong yang terdiri dari bibir atas dan bawah yang tebal dan dipenuhi bulu sikat (bristles), dan rongga mulut disertai horny pad (de Iongh, 2009). Kanan: Posisi moncong dugong dilihat dari bawah (Marsh, 1989) Susunan gigi-geligi dugong mempunyai rumus (2.0.3.3)/ (3.1.3.3) yang bermakna bahwa separuh rahang atas mempunyai dua gigi seri (incisor), tiga geraham depan (premolar) dan tiga geraham (molar), sedangkan separuh rahang bawah mempunyai tiga gigi seri, satu taring (canine), tiga geraham depan dan tiga geraham. Pada dugong jantan, gigi serinya dapat tumbuh mencuat keluar (bisa sampai sekitar 15 cm) bagaikan gading, yang diperkirakan berperan untuk menggali makanannya. Pada yang betina, gading ini tidak tumbuh, atau hanya terdapat kecil pada betina 33

yang sudah tua. Gigi geraham depan dan gerahamnya tidak tumbuh dan praktis tidak berfungsi karena lamun makanannya tidak dikunyah tetapi langsung ditelan. Di rahang atasnya terdapat struktur horny pad yang tebal, yang akan mendorong lamun masuk ke dalam rongga mulutnya. Lamun yang telah diperoleh biasanya diguncang-guncang dulu untuk melepaskan sedimen yang melekat sebelum ditelan. Ketika merumput di dasar laut mencari makan, dugong bagaikan merangkak dengan ditopang oleh siripnya yang kuat dan tebal. Perilaku makan merangkak dan mencabut seluruh tumbuhan lamun sampai ke akar-akarnya akan meninggalkan jejak atau jalur memanjang di dasar laut yang dikenal sebagai feeding trail. Mencongkel lamun sampai ke akar-akarnya ini menimbulkan kepulan sedimen saat dugong merumput. Jalur feeding trail yang diakibatkannya bisa merupakan jalur sederhana atau pun membentuk jalur-jalur yang rumit yang merefleksikan kegiatan merumput dugong dan kawanannya. Pada saat surut rendah jalur feeding trail ini dapat lebih mudah terlihat. Pada kesempatan lain, apabila dugong tidak bisa mencongkel seluruh lamun sampai ke akar-akarnya, dugong tersebut hanya akan memetik dan memakan bagian daun diatas permukaan dasar saja. Dengan demikian sedimen tidak sampai teraduk, tidak menimbulkan kepulan sedimen, dan tidak meninggalkan jejak feeding trail. Lamun yang telah diperoleh, biasanya diguncang-guncang dulu hingga sedimen yang melekat pada lamun bisa terlepas, sebelum ditelan. Dalam pemeriksaan isi perut dugong, sedikit sekali ditemukan komponen pasir atau sedimen.

Gambar 8.2. Lukisan menunjukkan dugong setelah mencabut lamun dari dasar laut. Lamun diguncangguncang dulu untuk dibersihkan dari sedimen sebelum ditelan. (wallcoo.net)

Dugong umumnya mencari makan di perairan dangkal, kadangkala tak lebih dalam dari dua kali panjang tubuhnya, atau pada kedalaman tak lebih dari 10 m. Ini disebabkan karena dugong tak dapat menyelam lama, tidak seperti kebanyakan mamalia laut lainnya. Tiap 3 – 5 menit ia sudah harus naik ke permukaan untuk menarik napas. Namun acapkali dijumpai pula adanya kekecualian dimana dugong dilaporkan bisa mencari makan di dasar laut sampai pada kedalaman sekitar 30 m. 34

Dugong biasanya mencari makan baik di siang hari maupun di malam hari. Kajian-kajian dengan metode akustik telah menegaskan hal ini. Kajian di Teluk Moreton, Australia, menunjukkan bahwa dugong menghabiskan 41 % dari seluruh waktu kegiatannya untuk mencari makan atau merumput (Hodgson, 2004) Suatu hal yang menakjubkan bahwa dugong dapat berkelana hingga jarak yang jauh dan dalam waktu lama, namun ia bisa kembali lagi ke tempat asal semula. Di duga bahwa dugong mempunyai kemampuan daya ingat atau memori spasial yang sangat kuat yang membimbingnya dalam pengembaraannya. Hobbs dkk (2007) menyatakan bahwa dugong dalam pengembaraan jarak jauhnya tampaknya telah mengetahui dimana lokasi sumber makanan lamun yang jauh itu berada dan bagaimana jalan tercepat menuju ke situ.

Gambar 8.3. Kiri: Jejak jalur makan (feeding trail) dugong yang memanjang di antara vegetasi lamun Halophila sp. Kanan: Feeding trail dugong yang kompleks. Kajian yang dilakukan oleh Preen (1995) di Australia menunjukkan bahwa kawanan besar dugong dapat memanipulasi suatu padang lamun untuk merangsang pertumbuhan lamun muda yang menjadi kesukaaan mereka, kegiatan yang disebut sebagai cultivation grazing. Kawanan besar dugong itu mendatangi dan merumput di area padang lamun yang sama secara reguler, dan ini akan menjamin pertunasan dan pertumbuhan kembali jenis-jenis lamun pioneer kesukaannya yang berkalori tinggi dan rendah kandungan seratnya. Di Indonesia tidak dijumpai kawanan dugong dalam julah besar dan cultivation grazing, tetapi de Iongh dkk (2007) menemukan di Kepulauan Lease (Maluku) dugong dapat kembali merumput ke area yang sama.

35

9. RITUAL PERKAWINAN

K

awin dan melahirkan anak merupakan syarat mutlak untuk kelangsungan hidup suatu spesies. Demikian pula bagi dugong (Dugong dugon). Panjang usia seekor dugong diperkirakan dapat sampai lebih 70 tahun. Dugong mulai memasuki usia dewasa pada usia sekitar delapan hingga sepuluh tahun, yang tergolong lebih tua dibandingkan dengan banyak hewan-hewan lainnya. Namun, kapan persisnya dugong pertama kali dapat melahirkan masih sering diperdebatkan. Ada yang menyebutkan dugong pertama kali dapat melahirkan pada usia 10 – 17 tahun, yang lain menyebutkan dapat sedini enam tahun. Terdapat sejumlah bukti bahwa dugong pada usia lanjutnya semakin berkurang fertilitas atau kesuburannya. Meskipun dugong dapat berusia panjang, namun selama masa hidupnya dugong dapat melahirkan hanya beberapa kali saja. Itu pun setiap melahirkan hanya menghasilkan satu anak saja. Dugong menghabiskan usia yang sangat lama untuk mengasuh anaknya sampai anaknya bisa hidup mandiri menjelang dewasa. Diperkirakan dugong baru dapat melahirkan lagi setelah tiga sampai tujuh tahun kemudian setelah melahirkan. Itulah sebabnya kelahiran seekor anak dugong mempunyai arti yang sangat menentukan untuk melanjutkan kehidupan generasi berikutnya, dan sangat bermakna penting dalam upaya konservasi dugong. Perkawinan dugong dilaksanakan oleh jantan dan betina dewasa. Namun dari tampak luarnya, sangat sukar membedakan yang mana yang jantan atau betina karena morfologi luar keduanya sangat mirip (monomorphic). Dugong jantan mempunyai organ kelamin yang abdominal atau dalam perut, hingga tak terlihat. Bila ia sedang bergairah seksual, baru penisnya akan ditonjolkan keluar lewat celah penis. Kapan musim kawin bagi dugong masih sering diperdebatkan, mungkin akan berbeda untuk lokasi yang berlainan. Menurut Marsh (1989), pengamatan di Australia menunjukkan dugong jantan yang reproduktif bisa terdapat sepanjang tahun, namun kegiatan reproduktif yang aktif akan lebih banyak terjadi antara bulan Juni dan Januari. Bagaimana perilaku kawin (mating behavior) pada dugong masih menyisakan sejumlah perdebatan. Soalnya mengamati perilaku dugong yang sedang menjalani ritual perkawinan tidak mudah diamati dalam alam. Diperkirakan ritual perkawinan dugong akan bervariasi menurut lokasi.

36

Gambar 9.1. Tahap-tahap ritual perkawinan dugong. a (1) Membuntuti: pejantan mengikuti betina dari belakang; b (2) Mendekati dan merangsang: pejantan mendekati betina dan mencium perutnya; c (3) Berpasangan: pejantan dan betina berenang paralel; d (4) Kopulasi: air tersibak karena kopulasi; e. Pejantan mendekati kembali sang betina dan mencium bagian perutnya; f. Pejantan berkopulasi dengan betina dengan posisi perut ketemu perut, dan menggunakan siripnya untuk memeluk betina; g. Betina berenang pergi dan dikejar oleh pejantan; h. Pejantan mendekati lagi sang betina dan mencium perutnya; i. (5) Berpisah: pejantan dan betina berpisah setelah menarik napas di permukaan. Gambar ini dibuat berdasarkan hasil fotografi (Ilustrasi oleh Mr. Cheevin Montriwat, dari Adulyanukosol dkk 2007) Pengamatan yang dilaksanakan oleh Adulyanukosol dkk (2007) di perairan dangkal Pulau Talibong, Thailand, mungkin dapat memberikan gambaran bagaimana ritual perkawinan dugong di peraiaran tropis Asia Tenggara. Pengamatannya dilakukan dengan survei udara dengan merekam gambar gerakan dugong dalam suatu ritual perkawinan. Kajiannya menunjukkan pola ritual perkawinan dugong dapat dibagi dalam lima tahap. Tahap 1 membuntuti: pejantan berenang membuntuti terus sang betina dari belakang. Tahap 2 mendekati 37

dan merangsang: pejantan mendekati dan mencium bagian perut dan vagina sang betina untuk merangsang. Tahap 3 berpasangan: pejantan dan betina berenang paralel satu dengan lainnya, perut ketemu perut, atau punggung ketemu punggung. Tahap 4 kopulasi: pejantan menyetubuhi (kopulasi) sang betina. Tahap 5 berpisah: pejantan dan betina berenang saling menjauhi dengan arah yang bebeda. Kelima tahap ritual perkawinan itu diilustrasikan dalam Gambar 9.1. Apa yang digambarkan oleh Adulyanusokol dkk (2007) di Thailand tampaknya berbeda dengan dekripsi mengenai perilaku kawin dugong di Australia. Di Moreton Bay, Queensland, (Australia) misalnya, Preen (1989) mengemukakan beberapa dugong jantan saling bersaing keras untuk dapat mengawini betina yang sedang berahi (in oestrus). Persaingan ini dapat disertai pertarungan atau laga yang sengit di antara para pejantan. Setiap pejantan mencoba untuk berkopulasi dengan betina. Lain lagi yang dilaporkan oleh Anderson (1997) di Shark Bay (Australia Barat). Disini ada satu lokasi Gambar 9.2. Beberapa dugong pejantan berusaha tertentu yang dihuni oleh segerombolan memeluk dan berkopulasi dengan seekor betina. dugong pejantan. Masing-masing (Lukisan oleh Lucy Smith). www.what-whenmempunyai wilayah teritorial yang how.com/marinemammals/dugong ) dijaga dan dipertahankan dari pendatang, dengan melakukan bebagai tingkah laku yang unik seperti berguling di dasar, berenang dengan perut ke atas, naik-turun, jungkir-balik dan sebagainya. Aktivitas ini juga bagai pameran / display untuk menarik perhatian betina. Betina yang sedang berahi yang mendatangi lokasi ini akan menjadi bulan-bulanan para pejantan. Bergantian dan berebutan para pejantan berkopulasi dengan sang betina, hingga lebih menjamin terjadinya pembuahan (conception). Perilaku kawin dugong seperti ini bersifat polyandrous (seekor betina dikawini oleh beberapa pejantan). Lokasi ekslusif untuk pertemuan jodoh ini disebut lek, dan aktivitas para pejantan untuk bersaing menarik perhatian dan mengawini sang betina di lokasi ini disebut lekking. Menanggapi adanya informasi yang sangat berbeda tentang ritual perkawinan dugong ini, beberapa ilmuwan berpendapat bahwa hal ini mungkin akibat masih sangat kurangnya penelitian dalam alam dengan teknik yang lebih akurat hingga tampaknya masih sulit untuk memberikan kesimpulan tentang kecenderungan umum aktivitas ritual perkawinan dugong.

38

10. KEGIATAN HARIAN

A

pa saja kegiatan dugong sehari-hari merupakan pertanyaan yang menarik. Untuk menjawab pertanyaan itu tentulah tidak mudah. Penelitian mengenai hal itu pun masih sangat terbatas. Pengamatan langsung di lapangan terkendala karena kondisi alam tempat kehidupan dugong umumnya kurang mendukung. Dugong umumnya hidup di perairan dangkal yang biasanya keruh, hingga menyulitkan pengamatan langsung di alam. Salah satu penelitian mengenai kegiatan atau perilaku harian dugong telah dilakukan oleh Hodgson (2004) di periaran Moreton Bay, Australia. Teluk ini diketahui masih banyak mempunyai dugong. Tetapi lokasi geografinya sudah agak ke selatan, masuk daerah subtropis. Oleh karena itu hasil penelitiannya dapat dikatakan lebih mewakili perairan setempat. Bagaimana sifat perilaku harian dugong di perairan tropis seperti Indonesia, belum tentu sama persis. Untuk menegaskannya tentu masih diperlukan penelitian. Meskipun demikian hasil penelitian Hodgson (2004) itu sedikitnya telah menguak sejumlah informasi menarik tentang kegiatan harian dugong dalam alam. Untuk penelitian itu, Hodgson memasang peralatan TDR (Timed Depth Recorder) pada dugong yang dapat mencerminkan kegiatan dugong pada berbagai kedalaman seiring dengan perjalanan waktu. Penelitiannya juga dilengkapi dengan pengamatan dari udara dengan menggunakan balon helium yang dipasangi kamera (Blimp-cam) yang dapat dikontrol dari jauh. Beberapa cuplikan hasilnya disampaikan di bawah ini. Perilaku harian dugong di alam dalam garis besarnya dapat dibagi dalam enam kategori, yakni: 1) Merumput (feeding), 2) menjelajah (travelling), 3) istirahat (resting), 4) sosialisasi (socializing), 5) menjungkir (rolling), dan 6) ke permukaan (surfacing). Kegiatan merumput atau makan di dasar laut merupakan kegiatan yang paling utama. Makanan favoritnya adalah lamun (seagrass), terutama jenis yang berdaun kecil seperti Halophila ovalis dan Halodule uninervis. Dugong memakan

Gambar 10.1. Dugong sedang merumput di dasar substrat. (www.arkive.org)

39

Gambar 10.2. Pola kegiatan ke permukaan (surfacing), merumput (feeding), dan menjelajah (travelling) pada dugong (Hodgson, 2004)

Gambar 10.3. Pola perilaku dugong dinyatakan dalam persen dari seluruh waktu kegiatan hariannya. (Hodgson, 2004) lamun tidak saja bagian daun dan batangnya, tetapi juga bagian akar dan rimpangnya yang banyak mengandung nutrisi yang berenergi tinggi. Untuk itu dugong mendongkel, menggali dan mencabut tumbuhan lamun sampai ke akar-akarnya, dan menyebabkan dasar substrat berkepul. Kegiatan merumput dengan perilaku seperti itu dapat meninggalkan jejak atau jalur-jalur bekas 40

galian di dasar laut yang memanjang yang dikenal sebagai feeding trail. Dalam keadaan tertentu dugong juga dapat memakan bagian daun dan batang saja hingga dasar substrat dasar tak teraduk. Dugong merumput baik pada siang hari maupun pada malam hari. Penelitian di Moreton Bay menunjukkan bahwa merumput atau mencari makan di dasar laut menghabiskan waktu yang terpanjang dalam kegiatan harian dugong. Sekitar 41 % waktu hariannya dihabiskan untuk merumput atau makan di dasar laut. Ini berarti sekitar 10 jam tiap hari dihabiskan untuk merumput. Tampaknya ini kurang lebih seimbang dengan herbivor besar di darat. Hewan ternak seperti sapi dan domba misalnya, menghabiskan waktu sekitar 8 sampai 10 jam tiap hari untuk merumput. Menjelajah (travelling) yakni berenang dari satu tempat ke tempat lainnya merupakan kegiatan yang menghabiskan waktu terlama kedua , yakni sekitar 32 % dari seluruh waktu kegiatan hariannya. Berenang menjelajah ini dapat dilakukan pada kedalaman tertentu atau dapat juga menyusur sedikit di atas dasar substrat. Berenang menjelajah ini dapat dilaksanakan dengan kecepatan lambat, Gambar 10.4. Dugong sedang menjelajah sedang, atau pun cepat. Dalam kecepatan dengan berenang tenang lambat, buntutnya berayun sangat pelan, sedangkan dalam kecepatan tinggi buntutnya berayun cepat untuk memberikan dorongan kuat ke arah depan. Renang dengan kecepatan lambat di atas dasar dapat ditafsirkan untuk mengamati lokasi yang sesuai untuk disinggahi merumput.

Gambar 10.5. Dugong sedang menjungkir (rolling) 41

Istirahat (resting), bagi dugong menghabiskan waktu sekitar 7 % dari seluruh kegiatan hariannya. Kegiatan istirahat ini dapat dilakukan di permukaan, di lapisan tengah kolom air, ataupun di dasar substrat. Ada informasi (Anderson, 1998) bahwa dugong istirahat pada siang hari, terutama pada jam 10.00 sampai jam 13.00, dan sekali lagi pada malam hari. Dugong istirahat hanya bila saat laut sedang tenang. Dugong lebih banyak menghabiskan waktu istirahat di permukaan dari pada di lapisan tengah kolom air atau di dasar substrat. Istirahat di dasar substrat adalah yang paling sedikit dilakukan. Masa istirahat di permukaan merupakan saat yang rentan untuk tertabrak oleh lalu-lintas kapal cepat karena dugong tak dapat menghindar dengan segera. Sosialisasi (socialization) (6 % dari keseluruhan kegiatan hariannya) merupakan kegiatan yang berkaitan dengan interaksi dalam kawanan dugong. Untuk daerah yang tak mempunyai kawanan (herd) yang besar, kegiatan ini sulit teramati.

Gambar 10.6. Kiri: Dugong naik ke permukaan untuk bernapas. Kanan: Dugong menyelam kembali setelah bernapas di permukaan. (www.arkive.org) Menjungkir (rolling), dilakukan dugong dengan berenang menjungkir. Adakalanya tingkah seperti ini dilakukan dengan berjungkir balik, dan menggosok-gosokkan punggungnya ke dasar substrat. Diduga perilaku ini dimaksudkan untuk menghilangkan parasit yang mungkin menempel di tubuhnya. Penelitian di Moreton Bay menunjukkan perilaku semacam ini menghabiskan sebanyak 1 % dari seluruh waktu kegiatan harian dugong. Ke permukaan (surfacing) dilakukan dugong dengan berenang ke permukaan hingga menyembulkan hidungnya ke atas paras laut untuk bernapas kemudian menyelam kembali. Biasanya hanya lubang hidungnya dan sedikit bagian kepalanya yang keluar dari permukaan, hingga acapkali sulit untuk dilihat. Setelah mengeluarkan dan menarik napas yang dalam selama beberapa detik, dugong akan menyelam kembali meneruskan kegiatannya. Dugong naik ke permukaan untuk bernapas kurang lebih setiap tiga hingga lima menit menyelam. Penelitian di 42

Moreton Bay, menunjukkan dugong menghabiskan waktu di permukaan (ke dan dari permukaan) sebanyak 8 % dari seluruh kegiatan hariannya. Yang menarik bahwa dugong yang mempunyai anak, biasanya keduanya naik ke permukaan secara bersamaan (sinkron) untuk bernapas. Untuk itu biasanya sang anak dugong digendong menempel di punggung ibunya dan naik bersamaan ke permukaan.

43

11. PEMANFAATAN

D

ugong dimanfaatkan orang untuk berbagai keperluan, yang bisa berbeda-beda dari satu daerah ke daerah lainnya. Hampir semua bagian dugong dapat dimanfaatkan, mulai dari kulitnya, daging dan lemaknya, tulangnya, giginya yang berupa gading, hingga semua isi perutnya. Namun umumnya dugong dimanfaatkan untuk keperluan konsumsi, obat-obatan, pernak-pernik hiasan, dan untuk berbagai keperluan budaya dan religi masyarakat setempat. Pemanfaatan dugong untuk konsumsi (daging dan lemaknya) merupakan pemanfaatan yang terbesar, baik dugong hasil perburuan, maupun dari yang tak sengaja tertangkap dalam jaring atau alat tangkap perikanan lainnya. Di beberapa daerah seperti di Kepulauan Aru (Maluku Tenggara), dugong dulu banyak diburu tetapi belakangan ini kegiatan itu telah sangat berkurang atau berhenti.

Gambar 11.1. Perburuan dugong untuk konsumsi dilegalkan bagi penduduk asli di Selat Torres (antara Papua dan Australia) tetapi hanya untuk kebutuhan budaya dan religi masyarakat setempat. (www.arkive.org) Ada berbagai persepsi orang tentang rasa daging dugong. Banyak yang menyatakan bahwa rasa daging dugong itu lezat bagaikan daging sapi, dan menyehatkan karena dugong hanya memakan tumbuhan. Ada pula anggapan bahwa menyantap daging dugong dapat menambah daya tahan tubuh dan kegairahan seksual. Tetapi di pihak lain, ada pula kelompok masyarakat tertentu yang menolak memakan daging dugong karena alasan kepercayaan. Di daerah dengan adat yang masih kuat, dugong tidak dipotong sembarangan, karena ada ketentuan adat tentang cara-cara memotongnya dan membagikan dagingnya ke masyarakat. Namun di beberapa tempat, seperti di Aru (Maluku) dan di Torosiaje (Gorontalo) ketentuan adat 44

semacam itu sudah mulai terkikis dan tidak lagi digubris , terimbas oleh pengaruh kehidupan modern. Di Aru, daging dugong juga dibuat dendeng untuk cadangan keperluan masa depan. Di Australia, meskipun dugong telah dilindungi, namun masih dikecualikan bagi penduduk asli (indigenous people) di Selat Torres (antara Papua New Guinea dan Australia), yang memanfaatkan daging dugong untuk keperluan budaya dan religi masyarakat setempat. Bagi penduduk asli disana, berburu dugong merupakan ekspresi penting bagi identitas etnik mereka. Namun perburuan itu hanya dapat dilakukan dengan teknik penangkapan dugong yang tradisional (dengan perahu tak bermesin dan tombak), tidak dengan teknologi maju dan tidak untuk tujuan ekonomi. Menjelang upacara adat kebesaran mereka, lebih banyak dugong yang ditangkap disana.

Gambar 11.2. Tulang-tulang dugong digantung di rumah penduduk di Siberut (sebelah barat Sumatra) untuk menolak bala. (de Iongh)

Di Laut Merah (Saudi Arabia dan sekitarnya) yang juga banyak dihuni oleh dugong, daging dugong dimanfaatkan antara lain untuk mengobati penyakit ginjal dan perut kembung, sedangkan lemaknya bisa untuk memasak, untuk minyak urut (massage) dan untuk lampu penerang. Di China minyak dugong digunakan untuk obat melancarkan peredaran darah.

Gambar 11.3. Kiri: Asyik merokok dengan pipa dugong. (de Iongh). Kanan atas: Pipa rokok dari tulang iga dugong, dari Derawan (W. Kiswara). Kanan bawah: pipa rokok dari bahan gading dugong, dari Dobo. (W. Kiswara)

Kulit dugong cukup tebal dan kuat hingga dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Di Aden dan Djibouti (Laut Merah) kulit dugong digunakan untuk membuat sandal, sedangkan di zaman dulu juga untuk perisai atau tameng dan helm bagi para prajurit. Di PNG (Papua New Guinea) peduduk asli menggunakan kulit dugong untuk pembuatan genderang.

45

Tulang dan gading dugong dimanfaatkan untuk berbagai keperluan antara lain untuk pipa rokok yang mungkin masih dapat ditemui dijual di beberapa toko cenderamata. Pipa rokok yang terbuat dari gading dugong berwarna kekuning-kuningan dihargai sangat mahal. Gading dugong dijual di Tual (Kepulauan Kei) dan Ambon sampai seharga Rp 350.000 per batang di tahun 1998 (Moss dan van der Wal, 1998). Gading dugong yang bagus memang bisa merupakan barang mewah yang membanggakan. Para sheikh dan emir di Bahrain (Teluk Arab) menggunakan gading dugong untuk gagang belati (Marsh dkk, 2002). Di Pulau Siberut (sebelah barat Sumatra) tulang-tulang dugong digantung di rumah penduduk yang dipercaya dapat sebagai jimat untuk menolak bala, sedangkan di Kepulauan Andaman, tulang tengkorak dan rahang dugong digantung di atas dapur perapian yang dipercaya baunya akan menarik satwa buruan hingga lebih memudahkan perburuan. Di Kenya (pantai timur Afrika) tulang dugong dihancurkan Gambar 11.4. Patung berupa tepung dan dipanaskan. Menghirup uap dari tulang leluhur dari Tanimbar dugong yang dipanaskan itu dipercaya dapat menyembuhkan (Maluku Tenggara) terbuat berbagai penyakit, dari sakit gigi hingga sakit saat melahirkan. dari gading dugong. (de Di sana gading dugong dijadikan berbagai bentuk pernik Iongh) perhiasan atau dikalungkan pada anak kecil untuk melindunginya dari ruh jahat yang mungkin mengganggu. Di Jepang, dugong hanya terdapat di Okinawa, di Samudra Pasifik. Disini tulang iga dugong menjadi bahan untuk kesenian ukir-ukiran. Bentuk ukiran yang paling populer adalah ukiran berbentuk kupu-kupu yang dipercaya dapat membawa ruh orang yang meninggal menuju ke alam lainnya. Sementara itu penduduk di Tanimbar (Maluku Tenggara) membuat ukiran artisktik dari gading dugong yang melambangkan leluhur mereka.

Gambar 11.5. Minyak wangi “Air Mata Duyung” yang dulu banyak dipasarkan. (de Iongh).

Salah satu pemanfaatan dugong yang terkenal di Indonesia (juga di Filipina dan Malaysia) adalah air mata dugong. Apabila dugong diangkat keluar dari air, maka kelenjar air matanya akan mengelurkan cairan yang dikenal sebagai “air mata duyung”. Banyak kalangan percaya bahwa “air mata duyung” ini dapat dijadikan sebagai pengasih (pemelet) untuk menarik lawan jenis. “Air mata duyung” ini dapat dicampur dengan parfum dan bila digunakan disertai jampi46

jampi tertentu dapat membuat lawan jenis jatuh hati (kepelet). Entah sampai berapa jauh hal ini bisa jadi kenyataan. Sampai beberapa waktu lalu minyak wangi “Air Mata Duyung” masih ada dijual di pasar-pasar dalam botol-botol kecil. Sekarang penjualan parfum macam ini sudah tidak dijumpai lagi. Suatu survei yang baru-baru ini dilaksanakan di Bali tentang perdagangan barang-barang yang berasal dari satwa yang dilindungi (Nijman & Nekaris, 2014) mengemukakan data yang sangat mencengangkan. Bagian-bagian dugong ternyata masih banyak yang di perdagangkan di tokotoko herbal dan kerajinan mencakup tulang iga, tulang punggung, gading dugong (untuk berbagai produk seperti ukiran-ukiran), air mata dugong, dan lemak dugong. Harga yang termahal adalah ukiran gading dugong untuk gagang keris yang dijual dengan harga sampai 150 USD, sedangkan pipa rokok dari gading dugong dihargai 10 – 30 USD di tahun 2013.

Gambar 11.6. Gagang keris berukir indah dari bahan gading dugong dijual di Bali dengan harga sampai 150 USD di tahun 2013. (Nijman & Nekaris, 2013).

47

12. WISATA RENANG BERSAMA DUGONG: MUNGKINKAH?

B

oleh dikatakan dugong (Dugong dugon) telah dilindungi di semua negera yang mempunyai dugong. Meskipun demikian populasi dugong masih saja menghadapi berbagai ancaman dari kegiatan manusia seperti peruburuan, tertangkap tak sengaja (incidental) dalam jaring nelayan, pencemaran lingkungan atau karena habitatnya berupa padang lamun telah makin rusak. Belakangan ini timbul gagasan: apakah dugong dapat dimanfaatkan dengan tidak perlu menangkap hewan yang sudah sangat langka itu. Misalnya, dapatkah dikembangkan wisata renang bersama dugong? Apakah ini langkah yang bijak dalam pemanfaatan dugong secara berkelanjutan? Belakangan ini beberapa negeri seperti Vanuatu, Sabah (Malaysia), Filipina telah mengembangkan kegiatan wisata “Swim with dugong”. Kegiatan ini umumnya dikemas dalam paket ekowisata yang seyogyanya berorientasi pada prinsip kelestarian alam. Pertanyaannya: benarkah kegiatan itu dapat menjamin kelestarian dan eksistensi dugong dalam jangka panjang? Di Vanuatu, negeri kecil di Samudra Pasifik itu, acara wisata “Swim with dugong” makin populer. Di salah satu lokasi di Port Resolution misalnya, penduduk lokal dapat memanggil dugong dengan terlebih dahulu beramai-ramai menepuk-nepuk permukaan laut. Dugong-dugong ini dianggap “jinak”, dan telah terbiasa dengan kehadiran manusia dan perahu. Atraksi yang sangat menarik adalah dengan memberikan kesempatan kepada wisatawan untuk berenang bersama dugong, bahkan wisatawan dapat mengeluselus sang dugong sambil menyelam. Berenang bersama dugong di alam yang sesungguhnya tentulah merupakan pengalaman yang sangat mengesankan.

Gambar 12.1. Wisata “Swim with dugong” di Vanuatu yang makin populer. (seapics.com)

Di Pulau Mantanani (Sabah, Malaysia), juga telah dikembangkan acara ekowisata dugong. Ada seekor dugong jantan yang hidup soliter, dinamai “Nicky”, yang sudah akrab dengan manusia, bahkan sering diajak “bermain” bersama wisatawan. Dugong itu pun menjadi bintang fotogenik yang digandrungi wisatawan. Tetapi acapkali dugong jantan itu menunjukkan perilaku yang tak 48

lazim, yakni mencoba mencumbu (mating) wisatawan wanita, sebagaimana diungkapkan oleh Rajamani (2008). Perilaku yang tak lazim ini dapat juga dilihat di Youtube: “Dugong loves Lidy”. Perilaku dugong yang sudah tak takut lagi dengan manusia dan perahu motor, justru dipandang bisa menimbulkan potensi petaka, yakni tertabraknya dugong oleh perahu motor, atau cedera karena hantaman baling-baling perahu motor. Dugong harus sering ke permukaan untuk bernapas. Kalau pun ia naik kepermukaan hanya lubang hidungnya yang tersembul ke atas permukaan hingga sulit terlihat Gambar12.2. Perilaku dugong jantan yang jelas. Di samping itu dugong berenang dengan tak lazim di Pulau Mantanani (Sabah), sangat lambat. Akan sulit baginya untuk mencoba mencumbu wisatawan wanita. menghindar bila ada perahu motor cepat menuju (Youtube: “Dugong loves Lidy”) ke arahnya. Beberapa dugong ditemukan yang punggungnya menampilkan bekas luka bergaris dalam, mengindikasikan kemungkinan karena terhantam oleh lunas atau baling-baling perahu motor. Di samping itu, perilaku dugong juga belum sepenuhnya dipahami. Rajamani (2009) misalnya menyebutkan dapat juga terjadi dugong merasa terganggu, yang kemudian berbalik menyerang manusia seperti yang pernah terjadi di Vanuatu.

Gambar 12.3. Anak-anak nelayan di Tobelo (Halmahera Utara) akrab bermain dengan dugong. (Dok. Puslit Oseanografi LIPI)

Di Indonesia belum cukup terdengar adanya program pengembangan wisata dugong, meskipun potensinya ada. Di Tobelo (Halmahera Utara) misalnya anak-anak nelayan telah terbiasa bermain dan bercanda dengan dugong. Bila anak-anak nelayan itu bermain di pantai, dugong datang dan ikut bergabung bermain dan bercanda dengan anak-anak. Dapatkah hal semacam ini, bercanda dengan dugong, dikembangkan sebagai objek wisata yang ramah lingkungan? Selain itu, di Fak-Fak (Papua Barat) telah dirintis adanya Lokasi Wisata 49

Dugong, di Kampung Kiat. Tetapi belum jelas apakah disana dikembangkan juga kegiatan wisata renang bersama dugong. Di Australia, program “Swim with dugong” ditanggapi dengan hati-hati. Marsh dkk (2002) masih mempertanyakan dampak dari kegiatan semacam ini bagi keselamatan dugong dalam jangka panjang. Tampaknya untuk ini masih diperlukan kajian yang lebih mendalam.

50

13. ANCAMAN

D

ugong hidup di perairan dangkal dekat pantai yang merupakan bagian laut yang paling dinamis dan sangat dipengaruhi oleh berbagai kegiatan manusia. Oleh karenanya dugong akan banyak menerima tekanan atau dampak dari kegiatan manusia, baik secara langsng maupun tak langsung. Ancaman antropogenik (dari kegiatan manusia) ini ditambah lagi dengan karakteristik dugong yang berumur panjang, usia tinggi baru dapat hamil, tiap kelahiran hanya menghasilkan satu anak, dan masa mengasuh anak yang sangat lama membuat dugong menghadapi kondisi yang sulit untuk mempertahankan keberlanjutan hidupnya menghadapi tekanan antropogenik. Suatu studi simulasi populasi dugong mengindikasikan bahwa kalaupun pertumbuhan dugong sangat ideal dan alami, tanpa gangguan manusia, pertumbuhan populasi dugong tidak akan lebih dari 5 % (Marsh dkk, 2002). Jadi bila sedikit saja populasi dugong dewasa berkurang akibat penangkapan, atau karena hilangnya habitat, atau menurunnya kualitas lingkungannya akan dapat mengacam kelestariannya. Selain dampak antropogenik, ada pula dampak negatif yang bisa ditimbulkan oleh faktor alami, seperti badai atau siklon yang menghantam dan memporak-porandakan suatu perairan pantai. Tetapi umumnya faktor alami ini jauh lebih sedikit frekuensi kejadiannya dibandingkan dengan faktor antropogenik. Ancaman antropogenik terhadap dugong bisa bersifat langsung misalnya karena sengaja diburu, tertangkap secara tak sengaja dalam kegiatan perikanan, atau karena akibat penggunaan teknik perikanan yang destruktif seperti penggunaan bahan peledak dan racun. Ancaman tak langsung misalnya karena makin menyusutnya luas padang lamun atau makin terdegradasinya kondisi lingkungan padang lamun yang menjadi habitat dugong akibat meningkatnya kekeruhan air dan pencemaran. Perburuan dugong telah dilakukan sejak awal sejarah interaksi manusia dengan dugong. Sejak dulukala dugong dianggap dapat menjadi sumber makanan, obat-obatan, dan berbagai keperluan ritual budaya. Hingga kini tak ada data yang terpercaya yang dapat digunakan untuk menyebutkan secara kuantitatif seberapa jauh populasi dugong di Indonesia telah berkurang dalam beberapa dekade terakhir ini. Di tahun 1970-an misalnya, diperkirakan populasi dugong di Indonesia ada sebanyak 10.000 ekor, sedangkan di tahun 1994, diperkirakan sebanyak 1.000 ekor saja (Marsh dkk 2002). Namun angka-angka ini hanyalah perkiraan kasar saja yang tentu masih perlu diklarifikasi. Di lain pihak, kisah-kisah anekdotal (yang dikisahkan oleh masyarakat pesisir) dari berbagai penjuru tanah air menunjukkan kecenderugnan umum yang konsisten, bahwa populasi dugong ini sudah sangat menyusut dimana-mana. Di beberapa daerah, 51

masyarakat setempat sudah semakin jarang melihat bahkan ada yang sudah tak pernah lagi menemui dugong di perairan mereka dalam dekade terakhir ini. Salah satu contoh bentuk ancaman dari perburuan ini terhadap populasi dugong setempat adalah di perairan Kepulauan Aru (Maluku Tenggara) dimana masyarakat disana dulunya mempunyai tradisi berburu dugong dengan menggunakan harpun (harpoon) yang dihunjamkan ke tubuh dugong yang sedang berenang di permukaan. Mata harpun yang telah menancap ke tubuh dugong berujung dengan tali panjang yang dimainkan oleh nelayan hingga dugong mati lemas.

Gambar 13.1. Perburuan dugong secara tradisional. Kiri atas: mata harpun yang dapat dilepas. Kiri bawah: Dugong yang telah tertikam harpun dimainkan dengan tali oleh nelayan hingga dugong mati lemas. Kanan: dugong diangkat naik ke perahu. Kasus di Selat Torres. (www.arkive.org) Dugong diburu terutama untuk mendapatkan dagingnya untuk konsumsi dan gadingnya yang mahal untuk diperdagangkan atau untuk pipa rokok. Compost (1980) memperkirakan bahwa pada akhir tahun 1970 dugong di perairan Aru (Maluku) ada sebanyak 545 hingga 1.020 ekor, dan pada saat itu dugong disebutkan “masih cukup banyak” di perairan Aru. Kemudian Brasseur 52

dan de Iongh (1991) melaporkan bahwa dugong di perairan Aru tertangkap hanya sebanyak 5990 ekor di tahun 1989, dan angka ini turun lagi menjadi 29-36 di tahun 1990. Estimasi ini berdasarkan hasil dari survei wawancara yang dilakukan di 14 desa di pantai timur Aru (Moss & van der Wal, 1998). Di perairan Kepulauan Lease yang terdiri dari empat pulau utama (Ambon, Haruku, Saparua, Nusa Laut) telah dilakukan survei udara untuk memperkirakan populasi dugong di tahun 1990 dan 1992 (de Iongh dkk, 1995) yang menunjukkan bahwa populasi dugong di perairan ini diperkirakan minimum sekitar 22-37 ekor. Kemudian Moss & van der Wal (1998) menyebutkan bahwa jumlahnya disana tinggal 10 ekor yang didasarkan dari survei feeding trail dugong di padang lamun dan wawancara dengan penduduk. Gading dugong dijual dengan harga yang sangat tinggi di Tual (Pulau Kei, Maluku Tenggara) dan di Ambon, sampai seharga Rp 350.000 sebatang (Moss & vander Wal, 1998) yang nilainya lebih tinggi dari pendapatan bulanan rata-rata seorang nelayan. Harga pasar yang tinggi ini merangsang nelayan untuk masih terus memburu dugong, meskipun sekarang kegiatan ini sudah jauh berkurang bahkan sebenarnya telah dilarang sesuai dengan Undang-Undang No. 7 tahun 1999 tentang Konservasi Flora dan Fauna. Ancaman langsung lainnya terhadap dugong yang juga sering dijumpai adalah terperangkapnya dugong dalam alat tangkap perikanan seperti jaring pasang surut dan sero. Sebenarnya dugong disini tidaklah dimaksud untuk sengaja ditangkap tetapi dugong itu masuk dan terjerat atau terperangkap dalam alat perikanan. Apabila dugong terjerat dan tak bisa menarik napas ke permukaan maka ia akan mati. Yang lebih sulit dikontrol adalah dugong yang terperangkap dalam jaring insang (gill net) dan jaring hiu (shark net) yang biasanya dioperasikan oleh perusahan industri perikanan. Jaring hiu memang tidak dimaksudkan untuk menangkap dugong, tetapi acapkali dugong terperangkap di dalamnya. Kajian di Kepulauan Aru menunjukkan meningkatnya penggunaan jaring hiu sejalan dengan makin berkurangnya tangkapan dugong. Dalam tahun 1979 misalnya, di perairan timur Kepulauan Aru dilaporkan 80 hingga 200 dugong tertangkap dalam jaring hiu, sedangkan dalam 1989 berkurang menjadi 20 – Gambar 13.2. Dugong muda terjerat dalam jaring nelayan. (www.arkive.org)

53

40 ekor saja. Selain itu telah dilaporkan pula eksploitasi dugong dalam tahun 1979 dan 1980 yang menyebutkan lebih 500 dugong yang tertangkap tiap tahun di delapan daerah di Maluku dengan menggunakan jaring hiu oleh kapal perikanan Taiwan ( de Iongh & Wenno, 1992). Ancaman langsung lainnya adalah tertabrak oleh kapal atau perahu motor cepat. Dugong pada umumnya tak dapat berenang cepat, dan karenanya bila ia sedang di permukaan untuk menarik napas maka akan sulit baginya untuk mengelak apabila didekati atau dihampiri oleh kapal atau perahu motor yang sedang melaju cepat. Dugong dapat tertabrak oleh badan kapal atau teriris oleh putaran baling-baling kapal. Kasus terjadinya tabrakan terhadap dugong oleh kapal pernah dilaporkan terjadi di Balikpapan dan Ambon. Potensi ancaman tertabrak oleh kapal ini perlu diwaspadai di jalur-jalur pelayaran yang ramai. Selat Singapur misalnya, merupakan salah satu jalur navigasi yang terpadat di dunia yang dilintasi oleh sekitar 600 kapal tiap hari (Marsh dkk, 20020 ). Padahal selat yang sempit ini dibatasi di sebelah utaranya oleh Singapur, dan Johor (Malaysia) dan di sebelah selatan dengan Pulau Batam dan Pulau Bintan (Kepulauan Riau), daerah yang semula dikenal mempunyai dugong. Apakah dugong di daerah ini dapat menjelajah melintas selat yang sempit dan ramai itu belum diketahui, tetapi potensi ancaman tertabrak itu perlu diwaspadai.

Gambar 13.3. Induk dan anak dugong korban tertabrak kapal cepat, dengan tubuh yang teriris oleh baling-baling kapal . Kasus di Moreton Bay, Australlia (Groom dkk. 2004)

Ancaman tak langsung terhadap dugong terutama disebabkan karena luas habitatnya berkurang (loss of habitat) dan atau terdegradasinya kualitas lingkungan habitatnya. Pembangunan konstruksi pantai, misalnya pembangunan pelabuhan, pemukiman, fasilitas wisata dapat melenyapkan luasan padang lamun sebagai habitat utama dugong, atau menyebabkan kekeruhan air yang pada gilirannya akan menghambat pertumbuhan lamun yang menjadi tumpuan hidup dugong. Pembangunan kawasan industri dan pelabuhan di Teluk Banten, misalnya telah melenyapkan sekitar 30 % luas lamun dari teluk tersebut (Tomascik dkk, 1997). Selain itu habitat dugong juga dapat terdegradasi karena terjadinya pencemaran air, baik yang bersumber dari daratan maupun dari kegiatan di laut. Sumber pencemaran dari darat bisa dari limbah industri, pertanian, pemukiman, pertambangan, sedangkan dari kegiatan laut misalnya karena terjadinya tumpahan minyak di laut. 54

Di Papua Barat pembalakan (logging) dan pertambangan menimbulkan ancaman terhadap padang lamun dan biota laut lainnya. Di Taman Nasional Teluk Cenderawasih misalnya, dugong semakin jarang dijumpai karena habitatnya mengalami degradasi karena sedimentasi yang diakibatkan oleh kegiatan pembabatan hutan (Marsh dkk, 2002). Pembangunan fasilitas wisata yang tak ramah lingkungan di kawasan pantai dapat juga menimbulkan dampak negatif terhadap habitat padang lamun. Di Bintan misalnya, perusahan wisata membangun penginapan dan restoran langsung di atas hamparan padang lamun. Selain itu pertambangan pasir dan bauksit di daerah ini juga memberikan dampak terhadap padang lamun di perairan pesisir. Kecelakaan kandasnya kapal tanker atau tabrakan di laut dapat menyebabkan Gambar 13.4. Pembalakan (logging) dapat pencemaran minyak yang sangat luas meningkatkan sedimentasi dan mengancam dampaknya terhadap biota dan lingkungan kehidupan lingkungan pantai, termasuk habitat perairan laut. Kandasnya supertanker dugong . (Dok. TRISMADES) Showa Maru di Selat Singapur pada bulan Januari 1975 yang menumpahkan sekitar 5000 ton minyak mentah merupakan bencana lingkungan laut yang dampaknya meluas menimpa tiga negara bertetangga: Singapur, Indonesia, dan Malaysia. Yang lebih mutakhir adalah tabarakan antara kapal supertanker Evoikos dan Orapin Global, juga di Selat Singapur, pada 15 Oktber 1997, menumpahkan 28.500 ton minyak mentah ke laut dan menimbulkan pencemaran massif pada ekosistem mangrove dan ekosistem terumbu karang di sekitarnya. Pencucian air balas kapal tanker juga dapat merupakan ancaman. Karena lemahnya pengawasan di laut, sering terjadi kapal pengangkut minyak mentah mencuci air balasnya dengan membuang langsung ke laut secara ilegal. Minyak mentah yang terbuang ke laut mengalami degradasi dan sebagian akan terdampar berupa gumpalan-gumpalan minyak (tar ball) yang hitam mencemari pantai, dan dapat merusak ekosistem padang lamun. Pencemaran pantai oleh gumpalan minyak ini sering terjadi di pantai Pulau Bintan dan Pulau Batam. Ancaman dari fenomena alami terhadap dugong dapat terjadi misalnya karena badai siklon tropis yang dahsyat yang dapat memporak-porandakan lingkungan pantai. Dampaknya bisa bersifat langsung karena mematikan dugong, ataupun tak langsung karena menghancurkan padang lamun yang menjadi tumpuan hidup dugong. Siklon tropis ini tidak terjadi di jalur khatulistiwa seperti Indonesia, tetapi umumnya pada jalur antara lintang 10 o sampai 30o baik Lintang Utara maupun 55

Lintang Selatan (Nontji, 2007). Pantai utara Australia, Filipina dan Bangladesh merupakan daerah langganan dilanda bencana siklon tropis. Siklon “Kathy” misalnya, dengan kekuatan angin 185 km/jam menghantam pantai Teluk Carpentaria (Northern Territory, Australia) di tahun 1984, mengakibatkan lebih 27 ekor dugong terdampar ke arah darat sampai ke atas zona pasang surut (Marsh, 1989). Kasus lainnya di tahun 1992, Teluk Hervey (Australia) dilanda banjir besar diikuti siklon dahsyat selama tiga minggu, menyebabkan hancurnya lebih dari 1.000 km2 padang lamun karena sedimentasi yang berat, yang mengakibatkan banyak dugong mati kelaparan (ditemukan sebanyak 99 bangkai dugong). Banyak pula dugong yang hijrah ke tempat lain sampai sejauh 900 km. Diperkirakan akan diperlukan waktu sekitar 25 tahun untuk pulih kembalinya dugong di teluk ini seperti sedia kala (Preen & Marsh, 1995).

56

14. PENYAKIT

P

ada bulan Juli 1975 satu tim survei dari Oceanarium Jaya Ancol (sekarang Gelanggang Samudra Jaya Ancol) dipimpin oleh Dr. R. Singgih melakukan penangkapan dugong di Desa Potondo, di bagian selatan Sulawesi Selatan (Allen dkk, 1976). Dalam kurun 22 Juli sampai 28 September dapat tertangkap lima ekor dugong hidup-hidup dengan menggunakan jaring nilon yang panjangnya 350 m, dan bermata jaring 15 cm. Dugong-dugong ini kemudian di bawa ke Oceanarium Jaya Ancol, Jakarta, untuk dipelihara dalam kolam akuarium. Di “rumah”nya yang baru ini para dugong diberi makan lamun Zostera, sawi, pek cay, kacang panjang, kangkung, dan eceng gondok. Tetapi yang mau dimakan oleh dugong hanyalah lamun dan sedikit sawi. Ternyata kemudian tak ada dugong yang bisa bertahan dalam usia panjang dalam kolam. Satu persatu mati. Tetapi dengan otopsi, berbagai pengetahuan baru bisa juga diperoleh, terutama mengenai anatomi bagian dalam dugong. Salah satu hasil yang menarik yakni kesimpulan bahwa kematian dugong itu terutama karena malnutrisi (salah gizi) yang parah, karena makanan yang tak cocok dan stress berkepanjangan di lingkungan baru.

Gambar 14.1. Dugong mati terdampar di pantai timur Australia, yang diduga karena terserang penyakit. (www.fraser coast chronicle.com.au)

57

Tetapi dari pemeriksaan itu ditemukan pula bahwa dugong dihinggapi oleh berbagai parasit yang dapat mengganggu kesehatan dugong. Ternyata berbagai parasit seperti cacing pipih (trematoda) dijumpai bersarang di saluran hidungnya. Dalam dua kasus, cacing-cacing itu menyebabkan tererosinya lapisan mukosa sekitar hidung sampai ke sekitar larynx (tenggorokan). Cacing trematoda lainnya, Opisthotrema dujonis, menyerang saluran eustachia (eustachian tube) yang terhubung ke indera pendengar. Dalam ususnya juga dijumpai parasit cacing trematoda Indosolenorchis hirudinaceus. Rupanya dugong dari alam ini rentan dengan serangan parasit cacing trematoda. Ternyata dugong memang dapat terinfeksi oleh berbagai jenis parasit, tidak saja oleh cacing tetapi juga oleh protozoa dan bakteri. Sejenis protozoa Cryptosporidium misalnya, ditemukan menyerang saluran pernapasan dan saluran pencernaan pada dugong dari Teluk Hervey, Australia (Marsh dkk, 2002). Tetapi belum diketahui apakah protozoa Cryptosporidium itu menjalani seluruh siklus hidupnya dalam tubuh dugong ataukah terinfeksi dari sumber luar lainnya. Pemeriksaan atas enam jasad dugong yang ditemukan mati di Townsville, Australia, tahun 1999 menunjukkan adanya infeksi bakteri dan cacing. Banyak parasit yang diidentifikasi sebagai Cochleotrema indicum dapat dikeluarkan dari dalam organ hati dugong itu, sedangkan cacing Paradujardina halicoris ditemukan di lambungnya. Dua dugong lainnya diduga mati karena peritonitis akut dengan abses pada usus kecilnya. Laporan lain berdasarkan hasil necropsy dugong yang sakit dan yang mati menunjukkan bahwa 30 % dari 80 dugong yang mati dalam kurun 1996 hingga 2000 disebabkan karena penyakit. Suatu hipotesis menyebutkan bahwa mortalitas dugong berkaitan dengan dampak negatif dari perubahan abnormal curah hujan terhadap kualitas lamun yang pada gilirannya akan menyebabkan menurunnya kondisi kesehatan dugong. Belum lama berselang, 25 September 2011, terbetik berita dari Australia, bahwa dugong ditemukan mati terdampar di pantai Teluk Hervey. Pemeriksaan sementara menunjukkan bahwa lambung dugong itu penuh dengan lamun, jadi kematiannya dapat dipastikan bukan karena kelaparan. Tetapi apa penyebabnya belum dapat dipastikan, meskipun kuat dugaan kemungkinan disebabkan oleh penyakit. Dugong yang mati dan terdampar di pantai di kawasan tropis mengalami proses pembusukan atau dekomposisi yang sangat cepat. Oleh karenanya, biasanya sulit menetapkan apa yang menyebabkan kematian dugong itu. Pemeriksaan pasca kematian (postmortem) pada seekor dugong yang mati terdampar di pantai Johor (Malaysia) pada bulan Mart 1999, didiagnose sebagai akibat suppurative bronchopneumnia yakni penyakit yang menyerang saluran pernapasan. Kasus lain menunjukkan kematian yang disebabkan karena septicaemia, akibat kehadiran bakteri patogen dalam darah (UNEP/CMS, 2011). 58

15. SAYANG ANAK

S

etelah ritual perkawinan dugong usai, maka dimulailah tahap kehamilan yang akan memakan waktu yang cukup panjang, sekitar 13 – 14 bulan. Janin dalam kandungan sang ibu akan berkembang dengan cepat. Dugong biasanya mencari tempat yang dangkal untuk proses melahirkan anaknya. Ada beberapa keuntungan dengan pemilihan tempat dangkal ini, karena dengan demikian anak yang dilahirkan nanti akan dapat dengan mudah dan segera menghirup udara di permukaan yang merupakan tarikan napasnya yang pertama dalam kehidupannya. Selain itu, di perairan dangkal akan lebih aman dari ancaman predator alami, seperti hiu. Pengamatan oleh Marsh (1989) dalam dua kasus yang diamatinya menunjukkan dugong pada saat melahirkan boleh dikatakan dalam keadaan terdampar atau kandas di pantai. Bayi dugong yang baru lahir umumnya sudah berukuran besar dengan panjang sekitar 1,1 - 1,2 m dengan berat sekitar 27 – 35 kg. Dapat dibayangkan betapa kritisnya kondisi ibu dugong saat

Gambar 15.1. Seekor dugong betina tertangkap dan dibantai di perairan dangkal Halmahera Timur, Juli 2011. Dari perutnya dapat dikeluarkan seekor bayi dugong. Gambar menunjukkan bayi dugong masih dengan sebagian ari-ari (umbilical cord) yang tadinya menghubungkannya dengan plasenta dalam rahim si ibu. Diduga induk dugong ini menepi ke perairan dangkal untuk melahirkan. (Foto: Ivan Silaban) 59

melahirkan bayinya yang demikian besar ukurannya. Memilih tempat melahirkan di pantai yang dangkal mungkin lebih aman terhadap predator alami, namun belum tentu aman dari ancaman manusia. Satu kasus di Desa Wailukum, Halmahera Timur, di bulan Juli 2011, seekor dugong yang merapat ke pantai yang diduga untuk melahirkan, dijumpai oleh penduduk setempat, dan tanpa ampun dugong yang malang itupun ditangkap dan dibantai. Dari perutnya dapat dikeluarkan seekor bayi dugong yang sebenarnya sebentar lagi akan lahir. Pada bayi dugong itu masih melekat sebagian ari-ari (umbilical cord) yang semula terhubung ke plasenta dalam rahim sang ibu (Gambar 15.1.). Setiap bayi dugong yang baru lahir secepatnya diangkat oleh ibunya ke permukaan untuk segera menghirup udara untuk bernapas, yang merupakan tahap awal terpenting dalam kehidupan sang bayi. Sejak itu terjalin hubungan yang sangat akrab antara ibu dan anak sampai jangka waktu yang sangat panjang. Begitu lahir, anak dugong mulai belajar menetek pada ibunya. Puting susu ibunya terletak di ketiak sirip kiri dan kanan. Si anak juga telah mulai diajarkan memakan lamun dalam usia sedini mungkin, sebagai makanan suplemen. Tetapi nutrisi dari susu ibunya merupakan sumber gizi yang berenergi tinggi yang sangat penting untuk mempercepat pertumbuhan sang anak. Pada usia remaja (pubertal) panjang dugong sudah bisa mencapai 2,4 m dengan berat 248 kg (Marsh, 1989)

Gambar 15.2. Anak dugong menetek pada ibunya saat ibunya sedang makan (a) dan saat ibunya berenang ke permukaan untuk bernapas (b). (Hodgson 2004) Bagaimana perilaku menetek anak dugong dalam alam tentulah bukan hal mudah untuk diamati. Hodgson (2004, 2007) menggunakan teknologi “Blimp-cam” untuk memantau perilaku dugong dan anaknya. “Blimp-cam” adalah balon helium yang dipasangi kamera video, yang dihubungkan ke perahu riset, dan di perahu terdapat monitor yang dapat mengamati apa yang 60

terekam oleh video pada saat yang sama (real time). “Blimp-cam” mengudara pada ketinggian sekitar 50 m di atas muka laut, dan arah lensa dapat dikendalikan jarak jauh (remote control) dari perahu. Dengan teknologi ini Hodgson (2004) dapat merekam berbagai perilaku induk dugong beserta anaknya. Ketika anak dugong menetek pada ibunya, posisi si anak menyudut kurang lebih horizontal dengan punggung ke atas (bukan dengan perut ke atas atau terlentang, seperti banyak diperkirakan sebelumnya), dan moncongnya menempel ke ketiak sirip dada ibunya, tempat adanya puting susu. Si anak dugong bisa menetek baik dari puting di ketiak sebelah kiri ataupun sebelah kanan. Apabila sang ibu mencari makan di dasar laut, atau naik ke permukaan untuk bernapas atau melakukan penjelajahan sang anak terus saja menempel seolah-olah “menggantung” pada ketiak ibunya. Yang menarik bahwa untuk bernapas ke permukaan selalu dilakukan secara bersamaan (sinkron) oleh sang ibu dan anaknya. Kadang kala si anak digendong dengan menempel langsung di punggung sang ibu untuk bersama-sama naik ke permukaan untuk bernapas. Anak dugong tidak pernah berada jauh dari ibunya. Komunikasi antara keduanya bisa melalui penglihatan, atau suara, dan yang tak kalah penting juga adalah lewat kontak langsung lewat persentuhan tubuh atau bagian tubuh. Anak dugong yang masih muda selalu berada dekat ibunya, kalau di samping sering menyentuh sirip ibunya untuk meyakinkan kedekatannya dengan si ibu. Atau dalam kesempatan lain sang anak menunggangi dan menempel langsung di punggung induknya, bagaikan digendong kemana-mana. Gambar 15.3. Anak dugong tak pernah jauh dari ibunya. Bahkan sering menempel di punggung ibunya, bagaikan digendong kemana-mana. (http://em.wikipedia.org )

Selama dalam asuhan ibunya, anak dugong mulai belajar untuk mengetahui jenis-jenis lamun yang bisa dimakan, pengetahuan yang sangat penting untuk kelanjutan hidupnya kelak.

Di Thailand, Adulyanukosol dkk (2007) mengamati perilaku dugong lewat survei udara dengan pesawat “microlight” dan berhasil merekam dengan kamera berbagai perilaku hubungan induk dugong dan anaknya. Suatu kenyataan yang menarik dari kajian itu bahwa ibu dugong dijumpai dapat berenang terlentang sambil memeluk anaknya yang baru lahir dengan kedua siripnya. Posisi ini mengingatkan kita pada cerita-cerita dongeng yang mengisahkan “putri duyung” yang dengan penuh kasih sayang memeluk dan meneteki anaknya. Setelah si anak dugong bernapas ke 61

permukaaan, ia kembali dipeluk oleh ibunya. Tampaknya sang ibu senang bercanda dengan anaknya sambil melatihnya dengan berbagai kemampuan. Anak dugong akan menetek pada ibunya sampai usia 14 – 18 bulan, suatu jangka waktu yang cukup panjang dibandingkan dengan hewan menyusui lainnya. Setelah itu ia masih terus hidup tak jauh dari ibunya sampai menjelang usia dewasa. Dugong mulai hidup independen setelah diasuh oleh ibunya selama rata-rata tujuh tahun. Keeratan hubungan antara ibu dan anak ini, di lain pihak dapat juga berpotensi menuai petaka. Seekor anak dugong yang terjerat dalam jaring nelayan misalnya, ibunya yang setia dan sayang anak tetap tidak akan meninggalkannya. Si ibu akan terus berenang mondar-mandir di sekitarnya menunggu anaknya dapat terlepas. Apabila ini dijumpai oleh seorang nelayan, maka akan sangat mudah baginya untuk menangkap dan membunuh sang ibu dugong yang malang. Sebaliknya bila sang ibu yang terperangkap, maka si anak yang masih kecil dan sangat bergantung pada susu ibunya akan terancam kelangsungan hidupnya.

Gambar 15.4. Induk dugong memeluk anaknya dengan siripnya. Ilustrasi oleh Cheevin Montravit berdasarkan hasil fotografi survey udara. (Adulyanukosol dkk, 2007)

62

16. SUARA DUGONG

J

aques-Yves Costeau, oseanografer kenamaan Perancis, menerbitkan bukunya yang tersohor berjudul “The Silent World: A Story of Undersea Discovery and Adventure” tahun 1953. Tahun 1956 ia kemudian meluncurkan film dokumenter yang juga tak kalah populernya berjudul: “The Silent World” (“Le Monde du Silence”) yang merupakan film pertama yang menggunakan sinematografi bawah air. Dunia bawah air di laut digambarkan sebagai dunia yang penuh hiruk-pikuk tetapi senyap tanpa bunyi atau suara. Namun kini gambaran seperti itu telah berubah. Ternyata dunia bawah laut bukanlah dunia yang sunyi senyap. Tak semua suara atau bunyi dalam laut dapat tertangkap oleh indra pendengaran manusia. Manusia hanya dapat mendengar suara atau bunyi dalam frekuensi antara 20 Hz (Herz) sampai 20 kHz (kilo Herz). Bunyi dengan frekuensi lebih rendah dari 20 Hz disebut infrasound, sedangkan yang lebih tinggi dari 20 kHz sebagai ultrasound. Banyak hewan yang menghasilkan bunyi dan berkomunikasi dengan frekuensi yang tak terdengar oleh manusia. Di darat pun kita menjumpai hal yang sama. Kelelawar misalnya dapat mendengar bunyi dengan frekuensi 3000 Hz sampai 120 kHz, tikus antara 1000 Hz sampai 100 kHz, anjing hingga lebih 40 kHz. Peralatan modern kini seperti hydrophone dapat menangkap bunyi atau suara yang dihasilkan oleh hewan-hewan dalam laut. Perambatan bunyi di dalam media air laut jauh lebih baik dari di udara. Kecepatan rambat bunyi dalam media air laut adalah sekitar 1500 m/detik bergantung sebaran suhu dan salinitas (kadar garam) dalam laut, sedangkan dalam udara kecepatan rambat bunyi adalah sekitar 330 m/detik. Bunyi dalam laut dapat merambat hingga jarak yang sangat jauh. Itu pula sebabnya dalam komunikasi bawah laut, bunyi atau suara lebih berperan dalam komunikasi antar hewan dari pada lewat penglihatan atau visual. Paus sudah terkenal menghasilkan bunyi yang beragam karakteristiknya untuk berkomunikasi. Bagaimana dengan dugong? Ternyata dugong pun dapat menghasilkan beragam suara yang diyakini sebagai cara untuk berkomunikasi yang efektif. Hal ini penting misalnya untuk menjaga hubungannya dengan anaknya atau individu lain dalam kelompoknya, memberi peringatan waspada bila ada ancaman, mempertahankan wilayah dan sebagainya. Suara dugong umumnya dihasilkan dari getaran pada pangkal tenggoroknya (larynx). Suara dugong dipancarkan dan disalurkan lewat media air laut yang kemudian dapat ditangkap oleh dugong lainnya dengan indra pendengarannya berupa telinga. Telinga dugong tidak bercuping, terdapat kecil di bagian kepala, sedikit dibelakang matanya. 63

Penelitian oleh Anderson dan Barclay (1995) di Shark Bay, Ausralia Barat, menunjukkan bahwa dugong menghasilkan berbagai jenis suara misalnya suara mencicit (chirp-squeak) seperti bunyi tikus atau anak ayam yang baru lahir, suara menggongong (bark), atau suara yang memanjang bagai resonansi suatu benda (trill). Suara mencicit dipancarkan pada frekuensi 3 – 18 kHz dengan durasi sekitar 60 ms (millisecond). Suara menggonggong dengan frekuensi 500 – 2200 Hz dengna durasi 30 – 120 ms, dan trill pada 740 Hz dalam pita (band) 3 – 18 kHz dengan durasi 30 – 120 ms. Suara mencicit lebih berfungsi untuk penentuan jarak (ranging) atau pengenalan objek, suara menggonggong menunjukkan perilaku agresif atau untuk mempertahankan wilayah, sedangkan suara panjang trill untuk fungsi afiliatif atau perkawanan yang berkaitan dengan pergerakan yang sedang diperagakan.

Gambar 16.1. Kiri: Bagian larynx (pangkal tenggorok) pada Ordo Sirenia yang menghasilkan gelombang suara. (Reidenberg & Laitman, 2010). Kanan: Lubang telinga dugong di belakang mata yang menerima gelombang suara (Dok. TRISMADES) Di Sea World Indonesia, Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta, telah diadakan penelitian oleh Khalifa (2011) yang merekam suara dugong dalam kolam akuarium dengan menggunakan omnidirectional hydrophone. Ia menunjukkan bahwa dugong dalam kolam disini menghasilkan lima kelompok jenis suara yakni mencicit (chirp) pada frekuensi 3000 – 7500 Hz, mengonggong kecil (1000 – 1200 Hz), menggongong keras (350 – 750 Hz), trill yang memanjang (250 – 700 Hz), dan mendengkur (snore) dalam frekuensi berkisar 50 – 1400 Hz. Dapat ditunjukkan bahwa suara yang dikeluarkan oleh dugong dipicu oleh stimulus dari luar, misalnya dengan adanya seseorang atau benda asing yang belum dikenal sebelumnya. 64

Pembersihan kolam akuarium oleh petugas yang tidak biasa melakukan tugas disitu misalnya, menyebabkan dugong segera mengeluarkan suara mencicit (chirp). Kejadian ini menunjukkan reaksi dugong untuk melindungi wilayahnya dari benda asing yang belum dikenal oleh dugong (yakni si petugas yang tidak biasa membersihkan kolam akuarium).

Gambar 16.2. Sonogram yang menggambarkan suara menggonggong oleh dugong dalam kolam akuarium di Sea World Indonesia, Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta. (Khalifa, 2011)

Suara gonggongan disuarakan oleh dugong ketika pertama kali melihat alat hydrophone yang di pasang di dalam kolam, benda yang asing baginya. Beberapa kali suara gonggongan itu disalakkan untuk mengawasi benda asing itu.

Gambar 16.3. AUSOMS-D (Automatic Underwater Sound Monitoring System for Dugong), alat untuk mendeteksi karakteristik dan arah suara dugong di lapangan. (Ichikawa dkk, 2005)

Gambar 16.4. Konsep jaringan monitoring AUSOMS-D untuk mendeteksi gerakan dugong berdasarkan suara dugong. (Ichikawa dkk 2005) 65

Penelitian tentang suara dugong di Thailand oleh peneliti Jepang (Ichikawa dkk 2005) menunjukkan bahwa suara mesin kapal atau perahu motor menimbulkan suara latar dengan frekuensi di bawah 5 kHz yang bisa mengganggu komunikasi akustik dugong. Tetapi penelitian itu menunjukkan bahwa dalam keadaan demikian dugong dapat mengubah frekuensi suaranya ke frekuensi yang lebih tinggi untuk menghindari interferensi akustik pada bunyi atau suara yang saling tumpang tindih itu. Dalam penelitian itu juga dikembangkan alat AUSOMS-D (Automatic Underwater Sound Monitoring Symtem for Dugong) yang dapat merekam bukan saja karakteristik suara dugong tetapi juga arah datangnya suara. Alat ini terdiri atas dua set hydrophone yang terpisah satu sama lain sekitar 2 m, dan tabung kedap tekanan yang berisi berbagai alat pendukung. Dengan perkembangan perangkat ini, maka lebih terbuka kemungkinan menduga besarnya populasi dugong di suatu perairan dan pola pergerakannya dengan sama sekali tidak mengintervensi atau mengganggu kehidupan dugong itu.

66

17. HIDUP DALAM KOLAM

M

emelihara dugong dalam kolam atau akuarium, bukanlah hal yang mudah dan tentu saja sangat mahal. Dewasa ini hanya ada sekitar lima ekor dugong yang dipelihara di seluruh dunia. Salah satunya adalah di Sea World Indonesia, Ancol, Jakarta. Selain itu ada juga di Underwater World Singapur, di Toba Aquarium, Jepang, dan di Sydney Aquarium, Australia. Sampai sekarang belum pernah ada usaha yang berhasil menangkarkan atau membiakkan dugong dalam kolam pemeliharaan. Seekor dugong memang baru dewasa untuk kawin setelah berusia belasan tahun, sedangkan mendapatkan pasangan yang sesuai pun sangat langka. Itu pun tak menjamin dugong dapat kawin dan berbiak dalam kolam. Oleh sebab itu ada kalangan yang tak setuju bila dugong yang sudah terancam punah itu dipelihara dalam kolam. Tempatnya yang terbaik adalah di alam liar, tempat lingkungan hidupnya yang asli. Namun ada satu kasus di pantai Singapur, ditemukan seekor dugong yang masih bayi di tahun 1998. Ibunya telah mati terjerat jaring. Ternyata sang anak itu masih menyusu dan sangat bergantung pada ibunya. Bila dilepaskan kembali ke laut lepas, ia pasti akan mati tak dapat bertahan hidup. Oleh sebab itu tak ada jalan lebih baik, kecuali mencoba menyelamatkannya di kolam akuarium. Dalam kolam, ia diberi susu artifisial dengan formula tertentu, dan perlahan mulai diperkenalkan pula dengan makanan berupa lamun. Hingga kini dugong itu masih hidup dalam kolam selama lebih sepuluh tahun. Gambar 17.1 . Kolam dugong selalu menjadi daya Dugong yang dipelihara di Sydney tarik bagi pengunjung. (Sea World Indonesia) Aquarium juga berasal dari bayi dugong yang piatu, yang dapat diselamatkan dari pantai Queensland. Kini dugong itu telah mencapai usia remaja dalam kondisi sehat. Demikian pula dalam satu kasus di Indonesia. Seekor dugong muda jantan tertangkap di Bojonegara, Banten, tahun 1999. Kondisi kesehatan menjadi pertimbangan utama pada waktu itu, apakah dugong itu harus dilepas, dikembalikan lagi ke laut atau sebaiknya dipelihara. 67

Keputusan tentang ini di keluarkan oleh BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam). Upaya penyelamatan kemudian segera diupayakan, dengan segera membawa dugong itu dalam kotak yang disiapkan khusus, kemudian dikirim untuk dipelihara di SeaWorld Indnesia, Ancol, Jakarta. Dugong itu, diberi nama “Si Dul”.

Gambar 17.2. Dugong di kolam pertunjukan SeaWorld Indonesia, Ancol (Jakarta), diberi makan lamun Syringodium isoetifolium. (SeaWorld Indonesia) Kehadiran dugong dalam kolam pertunjukan selalu merupakan daya tarik yang besar bagi pengunjung akuarium. Banyak pengunjung terdorong oleh rasa ingin tahu, seperti apa itu tampang “putri duyung”, apakah secantik seperti yang sering didongengkan? Kenyataannya yang mereka saksikan adalah satwa ini wajahnya jauh dari bayangan kecantikan seorang putri. Meskipun demikian, kenyataan itu bisa menimbulkan pula kekaguman atas adanya satwa yang

Gambar 17.3 . Nelayan mengumpulkan lamun Syringodium isoetifolium di perairan Banten untuk pasokan pakan bagi dugong di Sea World Indonesia, Ancol, Jakarta. (Foto: Wawan Kiswara, 1998) 68

sangat luar biasa ini, yang banyak mempunyai kesamaan dengan manusia. Saat-saat pemberian makan biasanya sangat ditunggu oleh para pengunjung. Bagaimanakah seekor dugong menjalani kehidupan hariannya dalam kolam peliharaan di Sea World Indonesia? Tentulah persyaratan penting dan paling utama adalah menjaga lingkungannya agar tetap sehat. Kolam atau akuarium dengan kapasitas volume 28 m 3 yang menampung dugong ini harus memenuhi standar internasional. Air yang mengisi kolam berasal dari Teluk Jakarta yang telah diproses. Diperlukan sirkulasi air yang terus-menerus selama 24 jam, dilengkapi saringan pasir (sand filter) untuk menjamin kejernihan air, serta ozone. Kualitas air kolam harus selalu dipantau secara berkala mencakup parameter fisika, kimia dan biologi seperti kondisi bakteriologi. Pembersihan kolam harus dijaga setiap hari. Selain itu dugong juga diberi makanan berupa lamun Syringonium isoetifolium, dan tak lupa pula makanan tambahan/ suplemen untuk menjaga daya tahan tubuhnya.

Gambar 17.4. Pemeriksaan kesehatan dugong dilakukan secara rutin dengan berbagai peralatan kedokteran modern di SeaWorld Indonesia, Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta. (Sea World Indonesia) Tiap hari seekor dugong di Sea World Indonesia dapat menghabiskan lebih 20 kg lamun. Makanan dugong adalah lamun segar Syringonium isoetifolium yang dipanen dan dipasok secara rutin dari pantai Bojonegara, Banten. Pertumbuhannya terus dipantau. Misalnya pada pada saat baru dipelihara tahun 1999, panjang si “Dul” baru 160 cm dengan berat 72 kg, kemudian pada bulan November 2005 panjang tubuhnya sudah mencapai 197 cm dengan berat 83,5 kg. Pemeriksaan kesehatan juga dijalani secara rutin termasuk kesehatan jantung, pernapasan dan aspek medis lainnya dengan peralatan kedokteran modern seperti ECG, USG, radiologi, dan lainnya. Kini kita mengetahui bahwa laju denyut jantung dugong adalah sekitar 45 denyut/menit, sedangkan suhu normalnya sekitar 31,4 oC. 69

Lalu apa saja kegiatan dugong sehari-hari dalam kolam? Sebuah kajian oleh Khalifa (2011) di Sea World Indonesia menunjukkan bahwa dugong melakukan kegiatan yang dapat dikelompokkan dalam tujuh jenis kegiatan yakni: makan, bernapas, istirahat, jelajah, menggaruk, flatus (mengeluarkan gas dari anus), dan defekasi (mengeluarkan kotoran/ tinja). Pada malam hari dugong lebih aktif melakukan kegiatan makan (disuapi petugas, makan di dasar, atau makan di permukaan). Kegiatan makan pada malam hari ini sesuai dengan kebiasaannya di alam. Pada pagi hari kegiatan didominasi dengan istirahat dan jelajah. Kegiatan Gambar 17.5. Perilaku istirahat dugong di dasar naik ke permukaan untuk bernapas kolam akuarium Sea World Indonesia, Ancol. dilakukan 3 – 5 menit sekali. Siang (Khalifa, 2011) hari banyak digunakan untuk istirahat di dasar. Kegiatan jelajah adalah berenang dan menyelam berkeliling untuk bernapas dan mencari makanan. Kegiatan menggaruk dilakukan dengan menggesek badannya ke dasar atau dinding akuarium untuk membantu membersihkan tubuhnya dari kotoran atau parasit, yang biasanya dilakukan pada pagi hari. Flatus dapat dikerjakan bersamaan dengan kegiatan lain. Defekasi atau membuang tinja tidak dilakukan dalam waktu khusus. Apabila dalam keadaan sehat tinjanya berupa padatan, sedangkan bila mendapat gangguan pencernaan tinjanya bisa berupa cairan (diare). Dalam kajian di Sea World Indonesia (Khalifa, 2011) juga tercatat bahwa dugong menghasilkan bunyi atau suara yang beragam, misalnya bunyi mencicit (seperti bunyi tikus atau ciap-ciap anak ayam yang baru lahir), menggonggong, atau mendengkur panjang. Ternyata bahwa suara yang dihasilkan oleh dugong itu merupakan respon terhadap rangsangan yang diterimanya, seperti adanya benda asing di sekitarnya*. Sebenarnya pengetahuan kita untuk memelihara dugong dalam kolam akuarium sudah banyak kemajuan dibandingkan saat-saat awal percobaan memelihara dugong dalam kolam. Tahun 1975, misalnya Jaya Ancol Oceanarium (kini Gelanggang Samudra Ancol), mencoba memelihara dugong dalam kolam, dengan mula-mula menangkap lima ekor dugong dari pantai selatan __________ *Catatan: Sea World Indonesia di Ancol telah ditutup sejak 27 September 2014 oleh PT Pembangunan Jaya Ancol. Penutupan ini terkait masalah sengketa kontrak perjanjian antara kedua belah pihak

70

Sulawesi Selatan. Dugong-dugong itu dibawa ke Jakarta dan dicoba dipelihara dalam kolam akuarium yang berdiameter 7,5 m, dengan memberi berbagai jenis makanan. Dengan pertimbangan bahwa dugong itu herbivor maka selain makanan berupa lamun Zostera sp., diberi pula makanan berupa sawi, pek cay, kacang panjang, kangkung, eceng gondok. Malang bahwa dugong itu akhirnya satu per satu mati dalam waktu yang tidak lama dan pemeriksaan autopsi menunjukkan bahwa kematiannya terutama karena malnutrisi alias salah gizi (Allen dkk, 1976). Di Australia, di Sydney Aquarium telah dibangun kolam khusus yang luas, Mermaid Pool, untuk pemeliharaan dan sekaligus untuk pertunjukan dugong bagi publik. Sesekali dipertunjukkan seorang wanita berdandan bagaikan “putri duyung” menyelam ke dalam kolam, dan bercanda dengan dugong. Suatu upaya untuk menjembatani putri duyung dari dunia dongeng dengan satwa dugong dari dunia nyata, untuk tujuan pendidikan dan pariwisata.

Gambar 17.6. Seorang wanita berperan dan berkostum sebagai “mermaid” atau “putri duyung” bercanda dengan dugong di Mermaid Pool, Sydney Aquarium, Australia. Upaya menjembatani persepsi “putri duyung” dari dunia dongeng dengan satwa dugong dari dunia nyata. (www.blackmermaidproductions.blogspot.com)

71

18. PADANG LAMUN HABITAT DUGONG

D

ugong adalah satu-satunya mamalia laut yang hidupnya sepenuhnya tergantung pada keberadaan lamun dan padang lamun. Lamun merupakan makanan eksklusif bagi dugong. Namun apa yang dimaksud sebagai lamun sering belum dipahami secara benar oleh sebagian masyarakat kita. Lamun (seagrass) sering dikacaukan dengan rumput laut (seaweed). Lamun adalah tumbuhan tingkat tinggi yang berbunga (Angiospermae) yang telah beradapatasi sepenuhnya untuk hidup terbenam dalam laut sedangkan rumput laut yang lazim pula disebut sebagai ganggang atau alga adalah tumbuhan yang tak berbunga, tak mempunyai akar dan daun yang nyata, perbiakannya secara pertunasan (vegetatif) atau dengan spora. Istilah “lamun” mulai digunakan dalam literatur bahasa Indonesia sekitar pertengahan tahun 1980-an yang berasal dari kata “lamun” yang digunakan oleh masyarakat di Teluk Banten untuk merujuk semua jenis “seagrass”. Masyarakat di Pulau-Pulau Seribu menyebutnya “samo-samo”, di Kotania (Seram) disebut “lalamong”, dan di Kepulauan Riau disebut “settu”.

Gambar 18.1. Jenis-jenis lamun yang umum terdapat di Indonesia. (Dok. TRISMADES)

Tumbuhan lamun terdiri dari rimpang (rhizome), daun dan akar. Rimpang merupakan batang yang terbenam dalam sedimen dan merayap secara mendatar, serta berbuku-buku. Pada buku-buku tersebut tumbuh batang pendek yang tegak ke atas, berdaun dan bebunga. Pada buku tumbuh pula akar. Dengan rimpang dan akarnya 72

inilah tumbuhan lamun dapat menancapkan diri dengan kokoh di dasar laut hingga tahan terhadap hempasan gelombang dan arus. Sebagian besar lamun berumah dua, artinya dalam satu tumbuhan hanya ada bunga jantan saja atau bunga betina saja. Sistem pembiakannya bersifat khas karena mampu melakukan penyerbukan di dalam air (hydrophylous pollination) . Buahnya pun terbenam di dalam air.

Gambar 18.2 . Berbagai variasi tipe komunitas lamun di padang lamun pantai timur Pulau Bintan, Kepulauan Riau. (Dok. TRISMADES) Lamun umumnya tumbuh di perairan dangkal yang relatif tenang dengan dasar pasir, pasir berlumpur, lumpur, atau kerikil, yang selalu tergenang saat air surut. Tumbuhan ini dapat dijumpai sampai kedalaman sekitar 40 m. Lebih dalam dari itu kondisi cahaya sudah redup dan tak memadai untuk memungkinkan tumbuhan itu melaksanakan proses fotosintesis.

Gambar 18.3 . Hamparan padang lamun yang luas saat surut rendah di Pulau Bintan, Kep. Riau (Dok. TRISMADES).

Berbeda dengan tumbuhan berbunga di darat yang jenisnya sangat banyak, lamun di laut jenisnya sangat sedikit. Di Indonesia terdapat hanya sekitar 13 jenis saja yang tergolong dalam dua suku dan tujuh marga. Dalam suku Hydrocharitaceae terdapat tiga marga yakni Enhalus, Thalassia, dan Halophila, sedangkan dalam suku Potamogetonaceae terdapat marga 73

Cymodocea, Halodule, Syringodium dan Thalassodendron. Adapun yang disebut “padang lamun” adalah hamparan dasar laut yang didominasi oleh vegetasi lamun. Padang lamun merupakan ekosistem yang kompleks, karena di dalamnya terdapat banyak ragam biota yang saling berinteraksi satu dengan lainnya. Padang lamun bisa berada di dekat ekosistem mangrove sedang sebelah luarnya bertumpang tindih sebagian dengan ekosistem terumbu karang. Pada hakikatnya antara ketiga ekosistem ini (mangrove, padang lamun, terumbu karang) terdapat interkoneksi dalam pertukaran energi, materi dan hara.

Gambar 18.4. Jaringan pakan (food web) yang disederhanakan untuk suatu ekosistem padang lamun. (Fortes, 1990) Komunitas lamun di suatu padang lamun dapat terdiri dari vegetasi tunggal yakni hanya terdiri dari hanya satu jenis saja, atau bisa juga berupa vegetasi campuran yang terdiri dari beberapa jenis . Pada saat surut rendah purnama sebagian padang lamun bisa terpapar (exposed), tersembul ke permukaan laut, dan terlihat bagaikan padang rumput yang amat luas. Padang lamun ini merupakan ekosistem yang sangat tinggi produktivtas organiknya. Di situ hidup bermacam-macam biota laut seperti krustasea, moluska, cacing, dan juga ikan. Ada yang hidup menetap di padang lamun ini, ada pula sebagai pengunjung yang setia. Beberapa jenis ikan 74

misalnya, berkunjung ke padang lamun untuk mencari makan atau unuk memijah. Berbagai biota laut yang mempunyai nilai ekonomi menggunakan daerah padang lamun ini sebagai tempat asuhan (nursery ground), antara lain ikan beronang (Siganus sp.). Serasah daun lamun menjadi sumber makanan bagi beragam hewan yang hidup di dasar laut seperti teripang, kepiting, bulu babi, ataupun bagi hewan-hewan kecil lainnya yang hidup diantara partikel-partikel sedimen (meiofauna). Lamun juga merupakan makanan penting bagi penyu, terutama bagi penyu hijau (Chelonia mydas) yang menyukai lamun marga Cymodocea, Thalassia dan Halophila. Dugong memakan lamun tidak saja bagian yang di atas permukaan sedimen tetapi juga sampai ke akar-akarnya yang banyak mengandung nutrisi. Oleh sebab itu bekasnya mencari makan akan meninggalkan jejak di dasar laut berupa jalur-jalur memanjang yang disebut feeding trail. Struktur mulutnya sesuai untuk menggali dan mencabut lamun yang menjadi kesukaannya. Tidak semua jenis lamun sama disukai oleh dugong. Penelitian yang dilakukan di Pulau-Pulau Lease (Ambon, Haruku, Saparua, Nusa Laut) menunjukkan bahwa dugong menyukai makanan lamun dengan urutan favorit sebagai berikut: Halophila ovalis > Halodule uninervis > Cymodocdea rotundata > Cymodocea serrulata > Thalassia hemprichii (de Iongh, 1997). Dalam kolam pertunjukan di Sea World Indonesia, Ancol (Jakarta), dugong diberi makan lamun Syringodium isoetifolium.

Gambar 18.5. Berbagai aktivitas manusia yang dapat mengancam padang lamun. Kiri: pembangunan konstruksi fisik di pantai. Kanan: Pembangunan hotel dan restoran terapung di atas padang lamun. (Dok. TRISMADES) Luas padang lamun di Indonesia diperkirakan sekitar 30.000 km 2, tetapi kini telah berkurang sekitar 30 – 40 % karena terjadinya berbagai tekanan dan gangguan terhadap lingkungan padang lamun terutama karena ulah manusia (tekanan antropogenik). Kegiatan pembangunan berbagai konstruksi pantai misalnya menyebabkan hilangnya luasan padang lamun atau kondisi lingkungannya terdegradasi karena sedimentasi. Pembangunan kawasan dan industri dan pelabuhan di Teluk Banten misalnya telah melenyapkan sekitar 30 % luas padang lamun di teluk 75

tersebut (Tomascik dkk, 1997). Contoh tekanan lainnya adalah penambangan bauksit dan pasir di Bintan yang telah memberikan dampak sedimentasi terhadap padang lamun. Di Gugus Pulau Pari (DKI Jakarta) luas padang lamun berkurang sebanyak 678.300 m2 dari tahun 1999 sampai tahun 2004 (Mujizat Kawaroe).

Gambar 18.6. Luas padang lamun di Pulau Pari berkurang sebesar 678.300 m 2 dari tahun 1999 sampai 2004. (sumber: Mujizat Kawaroe) 76

Perkembangan pemukiman di kawasan pesisir dapat menimbulkan masalah eutrofikasi atau pengayaan hara berlebihan di perairan pantai hingga dapat merangsang pertumbuhan alga yang melimpah yang dapat menggangu lingkungan. Pengembangan pariwisata bahari yang tak terkendali dapat pula menjadi sumber lain tekanan pada padang lamun. Di Pulau Bintan misalnya, untuk kepentingan pariwisata dibangun hotel dan restoran terapung di laut, tepat di atas hamparan padang lamun. Meskipun telah terjadi berbagai tekanan terhadap ekosistem padang lamun, namun belakangan ini telah timbul pula kesadaran untuk menjaga dan melestarikan padang lamun. Program TRISMADES (Trikora Seagrass Management Demonstration Site) di pantai timur Pulau Bintan (Kepulauan Riau) misalnya, membangun kesadaran lingkungan di kalangan masyarakat dan mendorong kerjasama masyarakat dan Pemerintah Daerah yang kemudian berhasil menetapkan beberapa Daerah Perlindungan Padang Lamun (DPPL), yang Gambar 18.7. Konsep Daerah merupakan luasan padang lamun tertentu yang tak Perlindungan Padang Lamun: daerah boleh diganggu oleh siapapun, untuk menjamin yang dibebaskan dari segala aktivitas pertumbuhan alami sumberdaya laut setempat. manusia. (Dok. TRISMADES) Hanya biota yang melimpah keluar dari DPPL yang dapat dipanen. Pengelolaannya dilakukan sendiri oleh masyarakat setempat.

Gambar 18.8. Peta sebaran lamun di pantai timur Pulau Bintan. Kiri: Persentase tutupan lamun. Kanan: Jumlah jenis lamun. (Dok. TRISMADES) 77

Dalam dekade terakhir ini penelitian lamun telah mulai berkembang di Indonesia, baik di lembaga penelitian maupun di perguruan tinggi. Penelitian tidak saja mengenai aspek biologi dan ekologi lamun tetapi juga aspek terapannya. Pemetaan dengan memanfaatkan teknologi pengideraan jauh (remote sensing) dan Sistem Informasi Geografi (SIG) telah membuka cakrawala baru dalam memahami lingkungan pesisir, dan telah digunakan untuk berbagai keperluan antara lain untuk mendukung penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah sebagaimana telah diterapkan di Kabupaten Kepulauan Riau.

Gambar 18.9. Penelitian padang lamun .(Dok. TRISMADES)

78

19. STRATEGI DAN RENCANA AKSI KONSERVASI DUGONG DI INDONESIA

D

ugong (Dugong dugon) semula tersebar mulai dari pesisir timur Afrika, Teluk Arabia, India, Asia Tenggara, Australia, Vanuatu hingga Jepang, yang meliputi 48 negara. Tetapi boleh dikatakan di semua negara, populasi dugong mendapat tekanan terutama dari kegiatan manusia, baik secara langsung maupun tak langsung. Akibatnya di seluruh tempat sebaran dugong, populasinya telah menyusut drastis. Di banyak negara, populasi dugong yang tersisa tinggal populasi kecil-kecil yang saling terpisah atau bahkan telah punah setempat seperti yang terjadi di Mauritius, Maladewsa (Maladives), Cambodia, dan sebagian Filipina. Kondisi demikian menimbulkan keprihatinan di berbagai kalangan internasional, hingga IUCN (International Union for the Conservation of Nature) menyatakan dugong dalam kondisi “Vulnerable to Extinction” atau “Rentan Punah” (IUCN, 2006). Demikian pula oleh CITES (Convention on International Trade of Wild Fauna and Flora) dugong dimasukkan dalam Appendix I yang berarti tidak boleh diperdagangkan secara internasional (CITES, 2007). Indonesia sendiri telah memberikan perhatian, dengan telah diterbitkannya Undang-Undang No. 7 (1999) tentang Konservasi Flora dan Fauna, yang menyatakan secara langsung bahwa dugong di dilindungi di Indonesia. Ada beberapa peraturan perundangan lainnya yang berkaitan dengan itu, diantaranya Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang konservasi sumberdaya hayati dan ekosistemnya; Undang-Undang No. 24 tahun 1992 tentang perencanaan tata ruang; UndangUndang No. 5 tahun 1994 tentang ratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Keanekaragaman Hayati (Convention on Biological Diversity); Undang-Undang No. 23 tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup; dan Undang-Undang No. 27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Bentuk lain dari peraturan selain UndangUndang adalah berbagai Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden dan Keputusan Menteri. Meskipun berbagai peraturan perundangan telah dikeluarkan, namun rinciannya yang operasional dalam bentuk kebijakan, strategi dan rencana aksi khusus untuk konservasi dugong di Indonesia baru dikonsepkan pada tahun 2009 dalam dokumen berjudul National Conservation Strategy and Action Plan for the Dugong in Indonesia (de Iongh dkk, 2009a, 2009b). Konsep ini (disingkat NCSAPDI) disusun sebagai tindak lanjut dari konsep Dugong Status Report and Action Plan for Countries and Territories yang disiapkan oleh Marsh dkk (2002). Penyusunan konsep NCSAPDI mendapat dukungan pendanaan dari UNEP Regional Sea Programme, Conservation on Migratory Species (CMS), Ocean Park Conservation Foundation, Hongkong (OPFC), Netherlands Committee Ecosystem Grants Programme (EGP) dan the Regional 79

Network for Indigenous Peoples in South East Asia (RNIP), sebagai suatu kerjasama IndonesiaBelanda. Pusat Penelitian Oseanografi LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) di Jakarta bertindak sebagai sebagai mitra di Indonesia, sedangkan Institute of Environmental Science, Leiden, Belanda, sebagai koordinator di pihak Belanda. Konsep NCSAPDI ini terdiri dari dua volume yakni Scientific Report dan Strategy Report, yang kemudian direvisi dalam Bahasa Indonesia dengan volume tunggal berjudul Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Dugong di Indonesia (Hutomo dkk., 2012), disingkat SRAKDI. Adapun “visi” SRAKDI dapat didefinisikan sebagai berikut: “Terwujudnya sistem pengelolaan populasi dugong yang optimal dan lestari di Indonesia, untuk kesejahteraan masyarakat secara luas, terutama masyarakat pesisir”. Pendekatan menuju sasaran idealistik ini dilakukan melalui satu rangkaian tindakan yang disebut sebagai “misi”. Secara singkat “misi” dari pelestarian dan pengelolaan dugong adalah sebagai berikut: a) Melindungi, mengelola dan memanfaatkan populasi dugong secara rasional dan berkelanjutan dengan menjaga keseimbangan antara pemanfaatan dan pelestarian; b) Mengembangkan sistem pengelolaan dan pelestarian dengan kerja sama antar institusi yang terkait dan pemangku kepentingan, dengan prioritas ekonomi nasional, masyarakat lokal dan pembangunan berkelanjutan. c) Meningkatkan kesadaran dan kerja sama antar pemangku kepentingan dalam pengelolaan populasi dugong dan ekosistem lamun, dan pembangunan rencana pengelolan berbasis masyarakat; d) Mengembangkan mekanisme dan prinsip-prinsip pengelolaan dan pelestarian, yang didasarkan pada “pendekatan ekosistem” yang mencakup data ilmiah dan pengetahuan lokal, yang menghasilkan pelestarian dan bentuk pemanfaatan berkelanjutan yang sesuai dengan daya dukung ekosistem. Kebijakan umum untuk konservasi dan pengelolaan populasi dugong di Indonesia dapat didefinisikan sebagai berikut : “Mengelola dan memanfaatkan secara berkelanjutan populasi dugong dan habitatnya, berdasarkan asas keseimbangan antara pemanfaatan dan pelestarian yang dirancang dan dilaksanakan secara terpadu dan sinergis oleh pemerintah, pemerintah daerah, masyarakat, swasta, perguruan tinggi dan organisasi non-pemerintah”. Strategi 1. Tingkatkan perlindungan dugong baik di dalam maupun di luar Kawasan Konservasi Laut. Di Indonesia telah ditetapkan sejumlah Taman Nasional dan Kawasan Konservasi Laut Daerah. Namun, tak semua kawasan konservasi itu mempunyai populasi dugong. Di lain pihak banyak daerah yang tidak termasuk dalam kawasan konservasi tetapi di dalamnya terdapat dugong. Oleh 80

karena itu perlindungan dugong baik di dalam maupun di luar kawasan konservasi harus diupayakan dan ditingkatkan. Rencana Aksi 1. Tingkatkan upaya perlindungan dugong di Kawasan Konservasi Laut yang telah ada seperti di Taman Nasional dan Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) dimana dugong ditemukan, dengan meningkatkan pengelolaan bersama (co-management) dan kepemilikan bersama (co-ownership) sumberdaya laut dan pesisir, oleh semua kalangan pemangku kepentingan. 2. Tetapkan situs suaka dugong atau daerah perlindungan panduan (pilot) dugong yang dikelola masyarakat, di daerah yang saat ini belum dilindungi dan dikelola. 3. Tetapkan larangan penggunaan jaring insang (gill net) dan pukat (trawl). Kedua alat tangkap ini merupakan ancaman utama terhadap dugong yang tidak bisa diabaikan, Oleh karena itu, penting dilakukan langkah-langkah yang tegas untuk mengurangi ancaman dari alat perikanan tersebut, baik di dalam maupun di luar kawasan konservasi laut yang di dalamnya terdapat dugong. 4. Berikan insentif dan alat tangkap alternatif kepada nelayan jaring insang. Apabila jaring insang dilarang maka perlu diberikan insentif bagi nelayan yang meninggalkan penggunaan alat tangkap yang destruktif itu, dan dibantu mencarikan alat tangkap alternatif. Biaya yang terkait (insentif, alat tangkap alternatif) harus dimasukkan dalam manajemen nasional dan daerah. 5. Kembangkan kerjasama konservasi dugong dengan negara tetangga. Distribusi dugong tidak dibatasi oleh batas administrasi negara. Dugong secara alami dapat berpindah dari perairan suatu negara ke negara lainnya. Karenanya perlu didorong kerjasama konservasi dugong dengan negara tetangga seperti dengan Filipina, Malaysia dan Australia. 6. Integrasikan aktivitas dan tindakan konservasi dugong dengan pengelolaan pesisir yang sudah ada. Contohnya, peluang untuk memasukkan konservasi dugong ke dalam Strategi Nasional Pengelolaan Terpadu Wilayah Pesisir yang diterapkan di beberapa propinsi. Kegiatan konservasi juga dapat diterapkan dengan kerjasama antara LSM nasional dan internasional yang bergiat di kawasan pantai, (seperti WWF, TNC, WCS, Yayasan Terangi). Terdapat kesempatan lebih besar untuk mempromosikan kegiatan konservasi dan pemantauan dalam area yang lebih luas melalui kolaborasi dengan sektor pariwisata, misalnya di Bali, Lombok, Sulawesi Utara (Bunaken), Maluku (Banda) dan Papua (Teluk Cendrawasih). 7. Dorong pendirian Kelompok Kerja Daerah untuk konservasi dugong di tiap propinsi panduan untuk memfasilitasi pengembangan dan pelaksanaan konservasi dugong. 8. Kembangkan program kemitraan (twinning) antara Indonesia dan Australia dalam pengendalian jaring yang terbuang.

81

Gambar 19.1. Beberapa kasus tertangkanya dugong dengan tak sengaja (accidental catch) pada alat tangkap perikanan di Pulau Bintan, Kepulauan Riau.

Strategi 2. Tingkatkan kesadaran masyarakat Masalah konservasi populasi dugong dan habitatnya masih belum banyak mendapat perhatian dan pemahaman, baik di kalangan instansi pemerintah, perguruan tinggi, swasta ataupun masyarakat umum. Oleh sebab itu diperlukan upaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat secara luas hingga dapat mendukung upaya konservssi dugong. Rencana Aksi 1. Prakarsai kampanye kesadaraan masyarakat lewat berbagai kegiatan. Terdapat kebutuhan untuk memprakarsai pendidikan lokal dan kampanye kesadaran yang menargetkan semua pemangku kepentingan dalam suatu daerah. Informasi dapat disebarkan melalui berbagai media nasional atau daerah dan lewat promosi pendidikan kebudayaan seperti wayang, poster, video, dan perlombaan. Informasi seharusnya disebarkan melalui instansi pemerintahan yang terkait dan jejaring kerja yang ada. Dampak dari kampanye pendidikan kelautan/ dugong terhadap persepsi dan perilaku 82

masyarakat setempat harus dimonitor dan dievaluasi. Pengembangan berbagai materi pendidikan antar daerah juga direkomendasikan. 2. Tetapkan dugong sebagai ikon atau “flagship species” . Sehubungan dengan kondisi dugong di Indonesia yang semakin langka dan terancam punah, propinsi dan daerah harus didorong untuk mengadopsi dugong sebagai ikon atau “flagship species”. Pengangkatan status dugong juga dapat dilakukan untuk meningkatkan kesadaran dan memperoleh dana penting untuk tindakan konservasi.

Strategi 3. Tingkatkan kapasitas daerah dalam penegakan hukum. Salah satu masalah dalam konservasi sumberdaya hayati adalah lemahnya kemampuan penegakan hukum. Luasnya wilayah yang harus diawasi dan keterbatasan kemampuan untuk penegakan hukum menjadi masalah yang gawat. Untuk itu perlu diambil langkah-langkah untuk meningkatkan kapasitas daerah dalam penegakan hukum. Rencana Aksi 1. Berikan pelatihan teknis dan sarana (kapal/mesin, kendaraan, radio, bahan bakar dan pemeliharan) kepada instansi pemerintah daerah yang terkait dalam penegakan hukum, memonitor aktivitas ilegal dan meningkatkan kesadaran di daerah kunci di daerah. 2. Maksimalkan efektifitas pengawasan dan pemantauan kegiatan illegal di sepanjang pantai, dengan melibatkan operator pariwisata, jasa penerbangan komersial dan pribadi, LSM dan komunitas lokal.

Strategi 4. Lakukan penelitian, survei dan pemantauan populasi dugong. Informasi mengenai distribusi dugong dan perilakunya masih sangat terbatas. Padahal informasi itu sangat dibutuhkan untuk pengelolaan populasi dugong. Oleh sebab itu perlu didorong pengembangan kemampuan untuk melaksanakan penelitian, survei dan pemantauan populasi dugong. Rencana Aksi 1. Lakukan survei udara secara kuantitatif di daerah, dengan menggunakan metode yang telah dikembangkan untuk tujuan ini. 2. Laksanakan survei udara tahunan di daerah yang diprioritaskan untuk menentukan jumlah dan kecenderungan populasi. Survei ini dapat dikombinasikan dengan survei spesies laut lainnya (contoh : penyu, paus) untuk memaksimalkan efesiensi dan berbagi sumberdaya dan biaya. 3. Prakarsai program pemantauan hasil tangkap, dengan penekanan pada hasil tangkap dengan jaring insang (gillnet), kapal pukat dan jebakan pagar/ sero . Kegiatan ini dapat 83

4.

5.

6.

7.

dilaksanakan dengan kerjasama instansi pemerintah, perguruan tinggi, lembaga penelitian, dan komunitas lokal. Partisipasi nelayan lokal untuk menjadi “masyarakat pemantau” dapat didorong pengembangannya. Prakarsai program pelacakan dugong dengan satelit. Pergerakan atau perpindahan dugong dapat dilacak dengan teknologi satelit. Jalur pergerakannya dapat dideteksi dalam skala halus untuk pergerakan jarak jauh. Terkait dengan tujuan ini dapat bekerjasama dengan para ahli dari Australia untuk metode tangkap dan tangkap- kembali (capture and recapture) serta perlengkapan penanda yang paling tepat. Hal ini sebaiknya dikordinasikan secara regional. Petakan habitat lamun dan monitor kesehatan dan daya dukungnya di daerah kunci dugong (key dugong areas). Padang lamun merupakadan habitat utama dugong, dan beberapa jenis lamun merupakan makanan utamanya. Oleh karena itu perlu dipetakan habitat lamun dan memantau kesehatannya serta daya dukungnya. Dirikan dan kembangkan Database Dugong Nasional. Untuk tujuan pengelolaan populasi dugong, sangat diperlukan informasi dugong yang dapat diandalkan. Database dugong nasional dimaksudkan untuk dapat menyimpan dan menyebarkan berbagai informasi dugong yang dapat dipercaya. Kembangkan sistem pemantauan kelimpahan dugong di daerah panduan (pilot). Data pemantauan dapat digunakan di masa depan untuk penaksiran Red List (species yang terancam punah).

Strategi 5. Kembangkan jejaring kerja (networking) di kalangan praktisi konservasi umum dan peneliti. Banyak pihak yang terkait langsung ataupun tak langsung dengan konservasi dugong. Oleh sebab itu perlu dikembangkan jejaring kerja (networking) di kalangan pemangku kepentingan terutama di kalangan praktisi dan peneliti. Rencana Aksi 1. Manfaatkan situs Sirenian International yang telah menyediakan server [email protected] yang dapat menjadi forum bermanfaat bagi para ilmuwan, praktisi konservasi dan pihak lain yang berminat untuk saling bertukar pendapat dan pengalaman serta dalam penyebaran berbagai informasi tentang dugong. 2. Kembangkan jejaring dengan organisasi yang terlibat dalam implementasi konservasi dugong. Organisasi pemerintah yang memiliki jangkauan luas dan LSM dapat dilibatkan dalam pelaksanaan strategi dan proyek panduan. Contohnya adalah Pemerintahan Daerah, LSM internasional (WWF, CI, WCS, IUCN), LSM lokal (Yayasan Terangi,) dan Lembaga Sosial Masyarakat lainnya. 84

20. DUGONG MENJADI IKON KABUPATEN BINTAN

M

asalah konservasi dugong dan habitatnya masih belum banyak mendapat perhatian dan pemahaman, baik di kalangan instansi pemerintah, perguruan tinggi, swasta ataupun masyarakat umum. Oleh sebab itu diperlukan upaya untuk meningkatkan kesadaran dan kepedulian masyarakat secara luas agar upaya konservasi dugong bisa mendapat dukungan. Salah satu kegiatan penyadaran masyarakat untuk konservasi dugong telah diupayakan di Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau. Kegiatan ini bernaung di bawah Proyek TRISMADES (Trikora Seagrass Management Demonstration Site) yang mendapat dukungan pendanaan dari UNEP – GEF South China Sea Project, dengan lembaga penyelenggara LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dan unit pelaksana di daerah adalah BAPPEDA (Badan Perencana Pembangunan Daerah) Kabupaten Bintan. Proyek ini berlangsung dari tahun 2007 hingga 2010. Meskipun Proyek ini dititik beratkan pada pengelolaan padang lamun, namun karena lamun merupakan habitat dugong, maka upaya penyelamatan dugong juga mendapat perhatian penting dalam kegiatan ini. Penyadaran masyarakat (Public Awareness) merupakan salah satu komponen kegiatan Proyek ini.

Gambar 20.1. Siluet dugong di menara listrik saluran udara tegangan tinggi (sutet) di kawasan Lagoi, Bintan, Kepulauan Riau. (Dok. TRISMADES)

Penyadaran masyarakat dianggap perlu karena tanpa dukungan dan peran masyarakat suatu program tidak akan berjalan optimal. Pertemuan dan diskusi langsung dengan masyarakat setempat sangat perlu diadakan, agar masyarakat mendapat informasi mengenai program yang akan dilaksanakan. Pertemuan dengan masyarakat ini tidak cukup sekali saja, tetapi dapat beberapa kali dengan topik yang berbeda dan saling melengkapi. Masyarakat juga diajak bersama terjun ke lapangan agar dapat menyaksikan dan merasakan 85

langsung apa yang telah didiskusikan. Informasi yang cukup dan yang dapat dipahami memberi motivasi pada anggota masyarakat untuk mendukung, bahkan juga ikut berpartisipasi. Bahan-bahan untuk penyadaran disiapkan dalam berbagai bentuk untuk disebar-luaskan seperti poster, booklet, brosur, kalender, sticker, kaus T-shirt, topi, dan berbagai produk lainnya yang berisikan pesan-pesan untuk melestarikan lingkungan padang lamun dan biotanya termasuk dugong. Pada momen-momen tertentu baliho berukuran besar juga dipasang di tempat-tempat strategis. Peran media cukup strategis. Oleh sebab itu pada setiap kesempatan, media selalu diajak untuk berpartisipasi dan menyebarluaskan informasi. Kerjasama dengan RRI (Radio Republik Indonesia) Stasiun Bintan, juga dikembangkan. Secara berkala diadakan program siaran interaktif dengan Gambar 20.2 . Poster para pendengar hingga informasi tentang padang lamun Selamatkan Dugong di Bintan. dan dugong makin tersebar dan dipahami. Unsur budaya (Dok. TRISMADES) setempat juga mendapat perhatian, misalnya dengan mengangkat kesenian berbalas pantun dengan tema konservasi padang lamun dan dugong. Agar segala informasi tentang kegiatan program ini dapat pula menjangkau liputan nasional dan dunia internasional, telah dikembangkan situs web yang bilingual, berbahasa Indonesia dan Inggeris. Untuk lebih membuka akses informasi kepada masyarakat, di tiap desa binaan dibentuk Pondok Informasi yang berisikan buku-buku dan bahan-bahan lainnya yang dipandang dapat memberi informasi lebih luas tentang laut pada umumnya, dan lamun serta dugong pada khususnya.

Gambar 20.3. Pemenang Sayembara Karya Tulis dalam peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia dan International Year of Biodiversity 2010. (Dok. TRISMADES)

Siswa sekolah juga menjadi sasaran untuk penyadaran. Lomba karya tulis diselenggarakan dan diikuti dengan antusias oleh para siswa dari berbagai kota dan desa. Hari Lingkungan Hidup Sedunia 2010 disambut dengan hangat yang 86

sekaligus menandai kegiatan peringatan International Year of Biodiversity 2010 yang diikuti dengan berbagai kegiatan siswa, dan pengumuman pemenang sayembara karya tulis yang bertemakan konservasi lamun. Dukungan Pemda Kabupaten Bintan dalam hal ini sangat signifikan. Bupati Kabupaten Bintan (M. Anshar), dalam kesempatan tersebut mengumumkan Keputusan Bupati No. 257/VI/2010, tanggal 3 Juni 2010 yang antara lain berbunyi: “ ... menetapkan dugong, beserta habitatnya ekosistemnya, sebagai hewan yang perlu dijaga kelestariannya dari kepunahan...”.

Gambar 20.4. Bupati Kabupaten Bintan, M. Anshar (kiri atas), menyaksikan langsung upaya melepas dugong yang semula terperangkap dalam jaring nelayan, kembali ke alam laut bebas. (Dok. TRISMADES) Kampanye penyadaran masyarakat ini juga membuahkan hasil lainnya. Kepala Desa dari empat desa di pantai timur Bintan, masing-masing menetapkan Perdes (Peraturan Desa) yang 87

menyangkut Daerah Perlindungan Padang Lamun (DPPL) atau “seagrass sanctuary” yang dikelola sendiri oleh masyarakat. Dampak kampanye penyadaran yang gencar ini tercermin pula dari keikutsertaan nyata masyarakat setempat untuk menyelamatkan dugong di perairan Bintan. Kalau sebelumnya setiap dugong yang tertangkap, langsung dibantai untuk konsumsi, maka kini masyarakat bergotong royong untuk segera menyelamatkan dugong yang masuk dalam jaring ikan dan segera melepaskannya kembali ke laut. Dalam periode tiga tahun (2007 – 2010) terdapat empat kasus tertangkapnya dugong dalam jaring nelayan, hanya satu yang tak tertolong. Yang lainnya dapat diselamatkan, dilepaskan kembali ke laut.

Gambar 20.5. Cinderamata melambangkan dugong sebagai ikon atau “Flagship species” Kabupaten Bintan (Dok. TRISMADES)

Suatu momen yang menarik ketika terbetik berita ada dugong terjebak dalam jaring nelayan, maka Bupati Bintan sendiri (M. Anshar) langsung bergegas ke pantai untuk ikut melepas kembali sang dugong ke laut. Peristiwa ini tentu menjadi berita positif yang diangkat di media.

Berdasar pada berbagai pengalaman itu dan Keputusan Bupati No. 257/VI/2010, tanggal 3 Juni 2010 maka Pemda Kabupaten Bintan telah menetapkan dugong sebagai ikon atau “flagship species” untuk kabupaten ini. Berbagai jenis cinderamata bermotif dugong telah dikembangkan oleh masayrakat sebagai bahan promosi pariwisata. Berbagai kegiatan pariwisata mengangkat pula tema penyelamatan dugong. Di Desa Teluk Bakau, gerbang desa dibangun dengan motif dugong. Semuanya dengan semangat mendukung penyelamatan dugong.

Gambar 20.6. Gerbang Desa Teluk Bakau, Bintan, dengan motif dugong. (Dok. TRISMADES)

88

21. JELMAAN LELUHUR ORANG BAJO

D

i pantai Propinsi Gorontalo terdapat perkampungan suku Orang Bajo, masyarakat yang dulu terkenal sebagai pengelana laut (sea nomad). Lebih tepatnya, kampung Orang Bajo itu bernama Torosiaje, di Kabupaten Pahuwato, Kecamatan Popayato, yang menghadap ke Teluk Tomini. Dulu Orang Bajo hidup berumah di atas perahu, dan sering berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Kini mereka sudah mulai banyak yang hidup menetap di pantai, tetapi tetap mempertahankan berumah panggung di atas air. Perubahan ini tak ayal menimbulkan pula perubahan dalam budaya mereka.

Gambar 21.1. Kampung Orang Bajo di Torosiaje, Gorontalo. (www.griyawisata.com) Adalah Francois-Robert Zacot, antropolog Perancis yang pernah hidup bersama Orang Bajo Torosiaje selama bertahun-tahun, yang berhasil mengungkapkan berbagai aspek kehidupan Orang Bajo dalam bukunya: Orang Bajo (2008). Ungkapannya mengenai persepsi Orang Bajo terhadap dugong sangat menarik. Disana orang menyebut dugong dengan nama dio. 89

Suatu hari seluruh kampung Torosiaje heboh. Seekor dio (dugong) tertangkap masuk dalam jaring nelayan, peristiwa yang sudah bertahun-tahun tidak lagi terjadi di kampung mereka. Semua orang ingin tahu apa yang terjadi, dan akan diapakan dio yang baru tertangkap itu. Sebagian orang lanjut usia masih mengingat kepercayaan lama tentang dio dan bagaimana seharusnya memperlakukan dio itu sesuai adat. Sementara itu banyak pula generasi baru yang sudah tak mengerti lagi soal adat itu.

Gambar 21.2. Dio (dugong ) itu, yang buntutnya telah dipotong, digotong ke atas panggung untuk diupacarakan. (Francois-Robert Zacot, 2008) Dalam budaya lama, dio dan Orang Bajo itu dianggap bersaudara. Sebuah kisah menceriterakan bagaimana ibu dari tiga anak, yang dicederai oleh suaminya pergi ke sebuah pantai dan kemudian berubah menjadi dio. Beberapa saat sebelum menjelma menjadi dio, ia memohon kepada ketiga anaknya untuk pergi ke tempat dimana nanti ada seekor dio yang tertangkap. Ketiga anak itu harus meminta sebagian isi perut dio itu pada saat dipotong-potong. Demikianlah, ketika mereka melihat ada dio tertangkap, mereka meminta usus dio itu. Pada saat mereka menerima potongan isi perut tersebut, mereka menemukan semua permata milik ibunya dan tahulah mereka bahwa dio itu sesungguhnya adalah jelmaan dari ibu mereka. Orang Bajo melihat tanda-tanda “manusia” pada dio. Bagi mereka, dio merupakan jelmaan manusia dan masih memiliki ciri-ciri manusia: berkaki, bertangan, berjari dan mempunyai puting susu. Dio betina menyusui anaknya dan mendekapnya seperti seorang ibu menyusui anaknya. Selain wujud tubuh itu, dio juga mempunyai tingkah laku seperti manusia. Anak dio selalu dijaga 90

ketat oleh induknya hingga menjelang dewasa. Kemanapun anak dio berada, disitu selalu ada ibu yang menjaganya. Itu adalah saat-saat ketika anak dio mendapatkan pendidikan, meniru dan belajar dari ibunya bagaimana berperilaku agar selamat dalam menempuh kehidupan dalam alam yang selalu penuh tantangan. Ketika seekor anak dio tertangkap oleh manusia, ibunya tak akan pergi jauh tetapi selalu berenang berputar-putar dekat sekitarnya seolah-olah cemas dengan nasib anaknya, menunggu anaknya terlepas. Tetapi justru karena perilaku itu pula, setelah anak dio ditangkap akan jauh lebih mudah kemudian orang menangkap atau menombak induknya.

Gambar 21.3. Dio (dugong) dipotong-potong sesuai dengan peraturan adat. (Francois-Robert Zacot, 2008) Ada teknik tertentu untuk menangkap dio di kalangan Orang Bajo Torosiaje yaitu dengan memperhatikan ketajaman pendengaran hewan ini. Orang boleh bercakap-cakap, tetapi tak boleh menggaruk-garuk badan, atau menyerempetkan kayu dayung atau membenturkannya ke tepi perahu. Dio dipercaya dapat mendengar dengan sangat baik dalam air, tetapi tidak di udara. Konon ada orang-orang yang tahu bagaimana memburunya yang dapat merasakan kehadirannya dari jauh. Ketika dio itu muncul ke permukaan untuk menarik napas, itulah kesempatan terbaik untuk menombak sang dio dengan serampang atau harpun (harpoon). Kini Orang Bajo Torosiaje 91

sudah lama meninggalkan kebiasaan berburu dio itu. Namun sekali-sekali ada juga dio yang tersesat masuk terperangkap dalam jaring ikan yang dipasang oleh nelayan. Bagi orang Bajo, daging dio itu bersih dan enak karena hewan ini makan rerumputan laut atau lamun, dan tidak makan kotoran seperti ikan. Meskipun dio telah mati tertangkap, namun tidaklah sembarangan hewan itu boleh dipotongpotong. Ada ketentuan adat yang harus diikuti. Biasanya ada orang tua yang dianggap lebih faham yang memberikan arahan bagaimana memotongnya, dan bagaimana membagi-bagi daging yang telah dipotong itu kepada pihak yang berhak menurut adat dan juga kepada penduduk. Usus dio yang panjang dan berukuran besar (bisa berdiameter sekitar 10 cm) akan dibuang ke laut. Tetapi seorang nenek tua memintanya. Ia lalu membersihkan usus itu dengan mengurutnya hingga seluruh isi usus itu keluar. Rupanya ia masih mengharapkan hal seperti yang sering didengarnya dalam dongeng zaman dahulu, bahwa ada permata yang mungkin masih tersisa dalam usus mahluk jelmaan leluhur itu. Agar tetap mematuhi adat, anggota-anggota dewan adat setempat semestinya mengenakan kemeja panjang. Dahulu, rombongan yang dikelilingi oleh gadis-gadis yang membawa payung terbuka akan mengantarkan potongan daging dio itu kepada Kepala Adat. Sekarang aturan pemotongan dio itu masih tetap ditaati, tetapi tak ada lagi rombongan yang datang, dan tak ada lagi kemeja panjang yang dikenakan disertai gadis pembawa payung. Masyarakat Orang Bajo Torosiaje kini berangsur-angsur berubah dalam kehidupan dan budaya mereka, terimbas oleh kehidupan budaya modern. Kepala Adat kini sudah tidak lagi berperan penting dalam kehidupan masyarakat yang makin meninggalkan budaya tradisionalnya. Kini masyarakat diharuskan mempunyai Kepala Desa sesuai ketentuan yang diarahkan oleh Pemerintah. Kepala Adat yang dulu sangat dihormati dan berwibawa dalam setiap langkah ritual budaya, kini tersisihkan dengan adanya Kepala Desa yang ditentukan dalam sistem pemerintahan sekarang ini. Upacara adat masih diteruskan tetapi lebih bersifat basa-basi dan superfisial, tidak lagi menyentuh roh tradisi adat yang dulu pernah melekat erat pada masyarakat Bajo. Sebenarnya mitos tentang dugong sebagai jelmaan atau reinkarnasi manusia juga terdapat di berbagai daerah lain di Indonesia, seperti di Pulau Lembata (Nusa Tenggara Timur), Arakan Wawontulap (Sulawesi Utara) dan banyak daerah lainnya lagi. Di daerah dimana kepercayaan ini masih sangat kuat, biasanya masyarakatnya tidak melakukan perburuan dugong, malah ikut melindungi dugong. Di Pantai Meko, Flores, misalnya pada tahun 1998 seekor dugong terdampar ke pantai tetapi dapat diselamatkan berkat kepercayaan itu. Setelah tiga hari, dugong itu dapat diselamatkan dan dikembalikan ke laut dengan bantuan masyarakat setempat. 92

Mitos dan kepercayaan tentang dugong sebagai jelmaan manusia juga terdapat di negara lain. Salah satu contoh, kisah di negeri jiran Sabah, Malaysia. Di Pulau Banggi dan Mantanani (bagian utara Sabah) masyarakat menceritakan secara konsisten mitos tentang asal usul dugong. Dikisahkan bahwa mitos ini bermula dari suatu pulau kecil (Tawi-Tawi, bagian selatan Filipina) yang dikenal sebagai “Tempat Keramat Putri Duyung”. Mitos itu menceritakan tentang seorang putri bernama “Si Duyung” yang sedang hamil dan mengidam berat untuk menyantap lamun. Sang Putri kemudian pergi ke pantai dan tak henti-hentinya menyantap lamun hingga akhirnya tungkainya terbelit oleh lamun dan tak bisa terlepas lagi. Tungkainya pun akhirnya menyatu dan berubah bentuk menjadi seperti ekor ikan. Demikianlah sang putri kemudian berubah menjadi dugong dan tak pernah kembali lagi ke darat (Rajamani, 2009).

93

22. KISAH PEMBURU DUGONG DARI BINTAN

S

uku Orang Laut dikenal sebagai masyarakat yang kehidupan dan budayanya sangat lekat dengan laut. Mereka dulunya hidup di pantai-pantai sekitar Riau, Lingga hingga ke Johor. Dulu Orang Laut berumah di atas perahu dalam kelompok-kelompok yang sering berpindah dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Dari sejak lahir hingga akhir hayatnya mereka selalu di perahu. Hingga sekarang ini kehidupan manusia perahu Orang Laut ini masih bisa dijumpai di pesisir utara Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Pengelana laut semacam ini di daerah lain dikenal sebagai Orang Bajo.

Gambar 22.1. Kampung suku Orang Laut di Desa Berakit (Pulau Bintan) yang terdiri dari rumah panggung di atas air. Di sebelah kanan tampak sebuah gereja. (Dok. TRISMADES)

94

Namun belakangan ini sebagaian masyarakat Orang Laut telah menjalani perubahan. Sebagian mereka sudah ada yang hidup menetap di pantai, tetapi masih terus melanjutkan cara hidup mereka dengan membuat rumah-rumah panggung di atas air. Salah satunya dapat kita jumpai di Desa Berakit, bagian timur laut Pulau Bintan. Masyarakat Orang Laut ini hidupnya terutama dari perikanan. Berbeda dengan nelayan umumnya di Kepulauan Riau yang beragama Islam, Orang Laut di desa ini umumnya beragama Katolik.

Gambar 22.2. Pak Boncet, Kepala Suku Orang Laut di Desa Berakit (Pulau Bintan) menunjukkan harpun (harpoon) yang dulu biasa digunakannya untuk berburu dugong. Mata harpun itu bisa dilepas. (Dok. TRISMADES) Pak Boncet (nama baptisnya adalah Bonifacius), adalah kepala suku Orang Laut, Ia telah kenyang menjalani hidup di laut sekitar perairan Bintan, dan kini usianya telah senja. Ia dulu masih mengalami saat-saat dimana kaumnya hidup sepenuhnya di atas perahu, dari sejak lahir hingga lanjut usia, berpindah-pindah dari satu lokasi ke lokasi lainnya. Baru di saat belakangan ini ia menetap di pantai Desa Berakit disertai masyarakat pengikutnya. Berangsur kehidupan masyarakat Orang Laut ini beralih ke kehidupan menetap yang tentu akan mengubah budaya mereka. Anak-anak mereka kini telah mengenal sekolah. Dari Pak Boncet, banyak kisah menarik yang dapat dikorek tentang bagaimana pandangan Orang Laut terhadap dugong. Dari aspek ilmiah, dugong hanya dikenal ada satu spesies saja, yakni Dugong dugon. Tetapi Pak Boncet bisa mengungkapkan bahwa di sekitar perairan Berakit 95

(Bintan utara) ditemukan dua kelompok dugong, yang disebutnya sebagai “duyung beremban” dan “duyung buntal”. “Duyung beremban ukurannya lebih besar dari duyung buntal”, katanya. “Duyung beremban hidupnya agak jauh dari pantai sedangkan duyung buntal lebih ke dekat pantai. Duyung buntal sering dijumpai di perairan Berakit sedangkan duyung beremban di perairan sebelah luar di sekitar Laut Lobam, Pulau Tunjuk”, tuturnya lebih lanjut.

Gambar 22.3. Seekor dugong yang masih muda mati terjerat dalam jaring Pak Boncet di pantai Desa Berakit, Pulau Bintan. (Dok. TRISMADES) Dulu Pak Boncet sering juga berburu dugong, tetapi kebiasaan itu sudah lama ia tinggalkan. Ia masih menyimpan sarampang atau harpun (harpoon) yang dulu biasa digunakannya untuk menombak dugong. “Kini tidak mudah lagi menjumpai duyung di laut”, katanya. Dugong bernafas dengan paru-paru, oleh karenanya setiap 3- 5 menit ia harus naik ke permukaan untuk menghirup nafas dari udara. Saat itulah dugong mungkin dapat terlihat menyembul di permukaan. Tetapi penciumannya sangat tajam, yang dapat menghidu bau manusia dari jarak yang sangat jauh. Bila ia mencium bau manusia, ia segera menghindar, menjauh. Oleh sebab itu, untuk bisa mendekat ke dugong kita harus berada di bawah angin agar bau kita, manusia, tidak tercium olehnya. Demikian kisah Pak Boncet. Dulu, dugong memang sesekali diburu oleh nelayan untuk berbagai keperluan. Dagingnya tak berserat, dan konon rasanya pun enak (bagi yang suka tentu). Lemaknya dapat digunakan untuk mendapatkan minyak. Gigi dugong jantan yang dewasa bisa membentuk gading yang bisa dibuat pipa rokok yang teramat mahal. Air mata dugong dikumpulkan dan dipercaya dapat digunakan sebagai pengasih untuk memikat lawan jenis. Dagingnya juga konon berkhasiat sebagai obat kuat (aphrodisiac). 96

Tetapi kini, dengan munculnya generasi baru, dengan pendidikan yang tidak lagi seperti generasi pendahulunya, pandangan terhadap dugong juga mulai berubah. Dalam empat tahun terakhir ini, empat ekor dugong terperangkap dalam alat tangkap perikanan mereka. Seekor kemudian mati, tak terselamatkan. Tetapi yang lainnya masih tertolong, dapat diselamatkan dan dikembalikan lagi ke laut lepas, tidak lagi dibunuh untuk konsumsi.

Gambar 22.4. Rumah perahu Orang Laut yang sering berpindahpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Lokasi di Desa Berakit, Pulau Bintan, Kepulauan Riau, tahun 2008. (Dok. TRISMADES) Di lain tempat, di Desa Air Klubi, Kecamatan Bintan Timur, ada pula seorang bernama Pak Musa (61) yang dikenal sebagai pemburu dugong. Lokasi perburuan dugong Pak Musa berada di sekitar Pulau Pangkil, salah satu pulau paling selatan di Kecamatan Bintan Timur. Seperti halnya Pak Boncet dari Desa Berakit, Pak Musa ini juga termasuk suku Orang Laut yang dulunya hidup sebagai pengembara laut (nomaden). Ia dikenal sangat ahli dalam menombak dugong. Setiap lontaran tombaknya tak pernah meleset, pasti mengenai dugong sasarannya. Ia menyatakan dalam setahun ia dapat menombak dugong antara empat sampai lima ekor. Bila induk dugong telah mati ditombak, maka anaknya yang masih menyusui, akan sangat mudah ditangkap.

97

Gambar 22.5. Pak Musa, pemburu dugong dari Desa Air Klubi, Bintan, Kepulauan Riau. (didisadili.blogspot.com)

Bulan Mei 2013 lalu, Pak Musa menombak seekor induk dugong dan menangkap anaknya. Anak dugong yang masih hidup itu dibeli oleh seeorang seharga Rp 4.500.000 sedangkan daging dugong yang berasal dari induk yang ditombak dijual ke pasar seharga Rp 30.000/kg. Ada informasi bahwa anak dugong yang masih hidup itu dibeli oleh seseorang dari Batam, yang tak jelas untuk keperluan apa. Kalau semua ini benar maka maka akan makin terancamlah kehidupan dan kelestarian dugong di perairan ini. Kasus ini telah menjadi perhatian Dinas Kelautan dan Perikanan setempat dan Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan, Kementerian Kelautan dan Perikanan.

98

23. “MAYANGSARI”, SI DUGONG DARI FAKFAK

A

lain Compost adalah seorang fotografer kenamaan asal Perancis yang lama bermukim di Bogor, yang menitik-beratkan karyanya pada fotografi alam sekitar, terutama flora dan fauna serta lingkungannya. Karya-karya fotografinya yang mengagumkan telah banyak menghiasi berbagai media baik di Indonesia maupun di manca negara. Suatu waktu di pertengahan tahun 1960-an, dalam perjalanannya untuk membuat foto-foto hutan di Indonesia bagian timur ia sempat singgah di Fakfak di jazirah Kepala Burung, Papua. Seperti biasa, dalam setiap tiba di suatu daerah yang “baru”, ia menyempatkan diri untuk putar-putar kota sambil tanya sana-sini jika ada hal yang menarik untuk menjadi objek fotografinya. Dari ekplorasinya itu, ia kemudian menemukan di desa Kiat dekat Fakfak ada hal yang sangat menarik yakni adanya keluarga yang hidup di pantai, yang mengadopsi seekor dugong sebagai anggota keluarganya, yang kisahnya kemudian diangkat dalam majalah Femina. Adalah keluarga Sirajudin, asal dari Goa Makassar, yang hidup di pantai itu yang menjadi sorotan kisahnya kali ini. Keluarga Sirajudin ketika itu telah tiga tahun menjalin “ikatan keluarga” dengan seekor dugong yang semula tertangkap di pantai desanya. Dugong itu masih anakan, ibunya telah mati. Demikianlah dugong piatu itu pun kemudian dipelihara dan diperlalukan sebagai “anak angkat” yang sangat dikasihi dan mendapatkan perlakuan istimewa dalam keluarga Sirajudin. Perlakuan istimewa yang diberikan terhadap dugong itu didasarkan pada kenyataan bahwa dugong itu mempunyai banyak kemiripan dengan manusia. Meskipun orang menyebutnya ikan duyung, namun pada hakekatnya ia bukanlah ikan, tetapi hewan yang menyusui anaknya dan bernapas dengan menghirup udara dengan paru-parunya. Siripnya bagaikan jari-jari manusia yang telah diliputi selaput kulit. Pada induk dugong terdapat juga puting susu atau tetek di ketiak siripnya untuk menyusui anaknya. Karena dugong bernapas dengan menghirup udara, maka dugong dapat berada di luar air dalam waktu yang lama. Dengan dasar pemahaman itu, dugong piatu yang malang itu diasuh oleh keluarga Sirajudin. Tiap menjelang malam dugong yang masih anakan itu digotong masuk ke dalam rumah dengan menggunakan tandu. Di dalam rumah, sang dugong mendapat perlakuan dan perhatian dengan penuh kasih oleh seluruh anggota keluarga, termasuk dua orang anak asli Sirajudin. Sehelai tikar dihamparkan untuk sang dugong berbaring. Selimut juga disediakan untuk menutupi tubuhnya bila diperlukan. Ketika seluruh keluarga Sirajudin makan malam dengan bersila di atas tikar, sang dugong si “anak angkat” itu hadir juga, disuapi susu botol oleh Zaenah, istri Sirajudin. 99

Tampaknya semua penghuni rumah itu menikmati suasana kekeluargaan yanga akrab ini. Pada pagi keesokan harinya, sang dugong dikembalikan lagi ke dalam laut di habitat aslinya. Demikianlah kehidupan rutin yang dialami oleh sang dugong yang telah menjadi “anak angkat” keluarga Sirajudin.

Gambar 23.1. Dugong, “anak angkat” Sirajudin, dibawa dengan tandu dari laut ke dalam rumah atau sebaliknya. (Femina/ Alain Compost)

Gambar 23.2. Keluarga Sirajudian makan malam bersama dugong “anak angkat”nya. (Femina/ Alain Compost) 100

Gambar 23.3. Zaenah, istri Sirajudin, memberi susu botol pada dugong “anak angkat”nya sejak masih kecil. (Femina/ Alain Compost) Keluarga Sirajudin juga memahami bahwa dugong dalam kehidupan aslinya di laut, makanan utamanya adalah tumbuhan lamun (seagrass). Oleh sebab itu Sirajudin sering membawa “anak angkat”nya itu ke padang lamun yang baik dengan menggunakan perahu sampai jarak yang cukup jauh dari rumahnya. Ternyata kemudian dugong di bawah asuhan keluarga Sirajudin telah tumbuh dengan baik hingga dewasa. Belum lama ini diberitakan (lifestyle.okezone.com, 20 Feb. 2014) Sirajudin mengklaim bahwa ia telah memelihara dugong itu selama 22 tahun. Dugong yang pada awal diasuhnya masih batita yang kecil dan masih diberi susu botol, kini telah tumbuh menjadi satwa dewasa berukuran besar. Diperkirakan bobotnya mencapai beberapa ratus kilogram dengan panjang total sekitar 3 meter. Dugong itu pun sudah mempunyai nama yakni “Mayangsari”. Nama itu diberikan kepada si dugong belasan tahun lalu, sewaktu Fakfak berulang tahun, artis Ibukota, Mayangsari, yang menghibur kota Fakfak sempat datang ke Desa Kiat untuk melihat sosok dugong ini.

Gambar 23.4. Penanda lokasi wisata dugong di kampung Kiat, Fakfak. (antropologifoto.blogspot.com)

101

Gambar 23.5. Dugong “Mayangsari” di Desa Kiat, Fakfak, yang telah berusia lebih 22 tahun dan berukuran sangat besar (antropologifoto.blogspot.com) Kini “Mayangsari” menjadi objek observasi bagi wisatawan yang berkunjung ke daerah ini. Karena biasanya wisatawan tidak memiliki waktu terlalu lama maka “Mayangsari” dijaga dalam lingkungan khusus agar mudah dipanggil. Untuk memanggilnya, Sirajuddin akan memukulmukul permukaan air di pantai depan rumahnya dan berteriak memanggil “Mayangsari”. Dalam beberapa waktu hingga kurang lebih satu jam, dugong ini akan muncul dan menghampirinya di tepi pantai. Karena “Mayangsari” masih biasa bermain dengan kawanannya, dugong ini sering pula dijemput dengan sampan untuk dibawa ke tepi pantai. “Mayangsari” senang bermain di air dengan memeluk manusia, tetapi karena bobot dan ukurannya yang begitu besar, dipeluk seekor duyung bukan berarti sebuah kemesraan melainkan bisa membahayakan karena siapapun yang dipeluknya mungkin akan dibawa bermain di bawah permukaan air. Untuk dapat melihat dugong “Mayangsari”, pengunjung harus membayar donasi sebesar Rp1 juta bila tidak perlu mengangkatnya ke pantai. Bila ingin melihat dugong ini meneteskan air 102

mata di tepi pantai, donasi meningkat menjadi Rp2 juta, karena harus melibatkan masyarakat sekitar untuk menggotongnya keluar dari air. Karena bobotnya yang sangat berat diperlukan sekitar 20 orang untuk menggotongnya. Dugong yang keluar dari air akan mengeluarkan air mata yang dipecaya dapat memberi khasiat sebagai obat pengasih (pemelet). Karena keterlibatan dan perhatiannya yang luar biasa pada dugong, Pak Sirajudin kini dikenal luas dengan nama julukan “Papa duyung” dan istrinya sebagai “Mama duyung”.

103

24. DUGONG DALAM SENI LUKIS

unung kapur (karst) itu terletak dekat Ipoh City, negeri Perak, Malaysia, menghadap ke Selat Malaka. Sepasukan tentara Inggeris di bawah pimpinan Letnan R.L. Rawlings dari Batallion Kedua 6th QEO Gurkha Rifles sedang melakukan patroli rutin di wilayah itu di tahun 1959. Saat berpatroli itu mereka memasuki sebuah gua yang sekarang lebih dikenal dengan nama Gua Tambun.

G

Gambar 24.1. Lukisan gua (cave painting) di Gua Tambun, Perak , Malaysia, menampilkan gambar dugong yang diperkirakan dibuat sekitar 5000 tahun lalu. (www.malaysia-traveller.com) Mereka sangat terkejut bahwa di dalam gua ini ternyata terdapat lukisan gua (cave painting). Di dinding gua itu terdapat banyak lukisan yang kemudian dikenali sebagai hasil karya dari masyarakat lokal yang hidup disitu pada masa Neolithic (zaman batu baru) sekitar 5000 tahun lalu. Lukisan gua itu dibuat dengan menggunakan bahan haematite (oksida besi) semacam bahan pewarna yang banyak terdapat di sekitar lokasi ini. Lukisan-lukisan itu umumnya berwarna keunguan hingga merah bata gelap. Ada sekitar 30 jenis objek yang terlukis di dinding gua itu 104

dalam berbagai ukuran, seperti manusia, babi hutan, rusa, tapir, dugong dan berbagai bentuk abstrak. Apa tujuan dan makna dari lukisan itu belum jelas benar. Yang sangat menarik bahwa di gua ini terdapat lukisan dugong (Gambar 24.1) yang ternyata merupakan lukisan dugong yang tertua yang pernah diketahui di dunia selama ini. Tak jauh di kaki gua ini ditemukan sejumlah kerang-kerangan, yang menunjukkan bahwa dulu kala sekitar tempat ini pernah merupakan laut. Hal ini juga menunjukkan bahwa telah ada interaksi antara manusia dan dugong di kawasan ini sejak ribuan tahun lalu. Lain lagi yang ditemukan di Indonesia. Seorang benama Samuel Fallours, kelahiran Inggeris, berdinas sebagai serdadu kompeni Belanda (VOC) yang bertugas di Ambon. Di samping tugas sebagai serdadu, ia juga sebagai pelukis resmi untuk kompeni. Ia membuat banyak lukisan cat air tentang berbagai satwa lokal dari Ambon, termasuk hewan-hewan laut yang ternyata sangat berbeda dengan fauna yang umum di Eropa. Beberapa lukisannya yang eksotik itu menjadi koleksi para hartawan di Belanda.

Gambar 24.2. Lukisan Samuel Fallours berjudul “Sirenne”, yang pertama kali diterbitkan tahun 1719. (www.siratus.com) Tahun 1719 ia menerbitkan buku karyanya berjudul “Poissons, Ecrevisses et Crabes de Diverses Couleurs et Figures Extraordinaires” (Ikan, Udang dan Ketam dengan Aneka Warna dan Bentuk yang Luar Biasa). Ia mengklaim lukisan-lukisannya didasarkan pada kenyataan sebenarnya yang ada di alam sekitar Ambon. Salah satunya berjudul “Sirenne” (Gambar 24.2). Fallours menyatakan bahwa ia telah mengamati satu mahluk aneh yang disebutnya sebagai “Sirenne”, yang dicoba pelihara dalam suatu bak sampai akhirnya mati setelah empat hari 105

kemudian. Disebutkan bahwa mahluk aneh ini tertangkap di Pulau Buru yang masih termasuk Propinsi Ambon ketika itu. Panjangnya adalah 59 inci (sekitar 1,5 m) dan bentuknya memanjang. Kadang kala mahluk itu mengeluarkan suara mencicit seperti suara tikus. Telah dicoba untuk memberinya makan berupa ikan kecil, kerang, ketam, dan lain-lain, tetapi ditolaknya. Setelah kematiannya, ditemukan tinja seperti kotoran kucing di dasar bak. Kini kita bisa saja mempertanyakan keakuratan lukisan mahluk “Sirenne” karya Fallours itu. Tetapi bagaimanapun, itu adalah lukisan tertua yang diketahui di Indonesia yang dikaitkan dengan dugong. Di Selat Torres, antara Papua New Guinea dan Australia, terdapat populasi dugong yang terbesar di dunia. Penduduk asli setempat mempunyai budaya yang kuat terkait dengan dugong. Bahkan dugong diakui sebagai identitas etnik mereka oleh Pemerintah Australia. Oleh sebab itu penangkapan dugong oleh penduduk Selat Torres masih diizinkan dengan catatan khusus untuk keperluan budaya mereka. Penangkapan dugong dibolehkan hanya dengan teknik tradisional, dan sama sekali tidak untuk kepentingan ekonomi. Meskipun demikian, belakangan ini terdapat indikasi bahwa populasi dugong disana semakin menyusut. Kondisi ini menjadi keprihatinan seniman tradisional mereka yang dituangkan dalam seni grafis (Gambar 24.3).

Gambar 24.3. Lukisan tradisional tentang dugong oleh penduduk asli Selat Torres. (www.aboriginalartprints.co.au) 106

Lukisan di atas menggambarkan bahwa dahulu, leluhur penduduk Selat Torres memandang dugong seagai mahluk sakral. Dugong ditangkap hanyalah untuk tujuan-tujuan tertentu misalnya untuk berbagai upacara ritual, inisiasi, serta untuk kesehatan dan pengobatan. Namun sekarang penduduk makin khawatir akan kelestarian satwa itu yang terancam karena perburuan berlebihan, dan karena degradasi kualitas lingkungan. Dalam lukisan itu, pelukis menggambarkan di keempat pojoknya simbol yang mewakili sumberdaya yang sering dijumpai di habitat dugong. Di bagian atas terpampang simbol leluhur mereka yang dulu hidup sebagai pemburu tradisional. Lukisan mengenai para pemburu itu mereprenstasikan alasan untuk melakukan perburuan dugong yakni untuk upacara inisiasi dan untuk pengobatan. Keenam anak panah yang mengarah ke dugong, pada kedua sisi lukisan, menggambarkan perburuan dugong yang berlebihan (over hunting). Pemburu yang di sebelah kanan tampak sedang mencari dugong tetapi sia-sia menemukannya. Gambar di bagian tengah melambangkan pemburu generasi muda dengan bingung menanyakan pada generasi tua mengapa tak ada lagi dugong yang bisa ditemui. Dugong dalam ukuran besar digambarkan merambah ke berbagai lokasi untuk mencari makan. Di sudut bawah digambarkan anak panah dengan pangkal tak berujung yang melambangkan ketidak-pastian keberlanjutan hidup dugong, sedangkan busur pelangi melambangkan kedamaian bagi dugong yang bebas berenang ke tempat lain. Lukisan ini merupakan salah satu karya yang mendapat penghargaan dalam National Indigenous Art Awards di Northern Territory, Darwin, Australia. Di Kabupaten Bintan (Kepulauan Riau) lain lagi. Disana dugong telah dinyatakan sebagai ikon atau “flagship species” yang melambangkan semangat untuk melindungi dan melestarikan dugong di kawasan tersebut. Dugong kemudian menjadi bahan penyadaran publik yang sangat penting. Masyarakat ikut berpartisipasi dalam berbagai kegiatan untuk promosi perlindungan dan penyelamatan dugong. Salah satu yang menarik bahwa pada pertengahan 2012, Batik Dugong Bintan dengan berbagai variasinya diluncurkan oleh Pemda Kabupaten Bintan, yang merupakan kreasi seni batik lokal dengan dugong sebagai objek utama. Lukisan dugong dengan teknik batik ini ditampilkan dalam berbagai variasi bentuk produk, untuk promosi konservasi dugong. Gambar 24.4. Salah satu tampilan Batik Dugong Bintan, Kepulaan Riau. (Dok. TRISMADES) 107

25. PENTAS DUGONG

D

ugong tidak terdapat hidup dalam laut Korea. Negeri ginseng ini berada di luar wilayah sebaran dugong dunia. Namun dalam Yeosu International Expo 2012, Korea Selatan, yang diselenggarakan dari bulan Mei hingga Agustus, ditampilkan “Dugong” dalam bentuk gabungan karya seni dan teknologi audio-visual dan panggung yang sangat spektakuler dan kolosal. Yeosu Intenational Expo 2012 diikuti oleh lebih seratus negara peserta, dengan mengusung tema “The Living Ocean and Coast”. Indonesia juga ikut serta dengan menggelar Anjungan Indonesia. Dalam ajang Yeosu International Expo 2012 ini, Korea dengan penuh kebanggaan dan percaya diri memamerkan capaian-capaian teknologinya yang canggih yang terkait dengan masalah kelautan. Tema yang diusung mencerminkan keprihatinan akan kehidupan di samudra dan pantai, yang sekarang kelestariannya semakin terancam dalam lingkup global. Dalam kaitan ini dugong diangkat sebagai simbol, karena dugong merupakan mamalia laut yang telah berada dalam ancaman kepunahan. Pusat atraksi dalam expo ini adalah di “Theme Pavillion” yang merupakan anjungan raksasan dan indah yang dibangun lepas pantai. Di anjungan inilah ditampilkan “dugong” dalam bentuk capaian hasil gabungan teknologi dan seni, yang menjadi salah satu atraksi yang paling menarik dalam expo ini. Pengunjung yang datang akan disuguhi tayangan tentang kehidupan dugong dalam teknik animasi digital 3D di layar kolosal. “Dugong” yang ditampilkan dalam pertunjukan ini dapat melakukan hubungan interaktif dengan penonton. Ketika penonton telah duduk di tempat masing-masing, sang “dugong” mulai menyapa penonton dan berkomunikasi secara interaktif dalam bahasa Korea. Ungkapan bahasa yang digunakan sang “dugong” penuh jenaka yang menghibur. Sang “dugong” menceritakan pula bahwa dugong merupakan mamalia laut yang hidup dari lamun (seagrass). Bahwa dugong sekarang distribusinya di dunia semakin menciut, dan kehidupannya semakin terancam. Tanpa kepedulian kita semua, dugong semakin cepat terdorong ke jurang kepunahan. Pertunjukan dengan teknologi canggih ini juga menceritakan hubungan akrab antara seorang bocah dengan seekor dugong. Pada sekuens terakhir, pemeran bocah itu tampil dalam wujud nyata di atas pentas, dengan tampilan persis seperti dalam tampilan digital. Ia pun menyapa dugong artifisial yang sontak muncul mengapung dan melayang di atas panggung. Dengan demikian pertunjukan digital yang baru saja usai itu seolah hidup dan berkelanjutan dalam kenyataan yang sebenarnya. Sungguh suatu pesan konservasi yang apik, dikemas dalam teknologi canggih. 108

Gambar 25.1. “Dugong” yang dipentaskan di “Theme Pavillion”, di Yeosu International Expo 2012, Korea. (Foto: Augy Syahailatua)

109

26. KASUS HUKUM DUGONG vs RUMSFELD

D

ugong (Dugong dugon) telah dinyatakan rentan punah (vulnerable) oleh IUCN (International Union for the Conservation of Nature). Usaha konservasinya menjadi perhatian dan sekaligus juga tantangan di seluruh dunia. Perjuangan untuk membela dan melestarikan dugong di Okinawa (Jepang) merupakan contoh kasus yang sangat menarik, sampai menyeret Menteri Pertahanan (Secretary of Defense) Donald Rumsfeld dan Departemen Pertahanan (Department of Defense) Amerika Serikat, sebagai pihak tergugat di pengadilan federal Amerika Serikat. Adapun pihak yang bertindak sebagai penggugat dalam legal action ini adalah dugong Okinawa (Dugong dugon) dan kawan-kawan (sejumlah organisasi seperti federasi pengacara, organisasi lingkungan, dan berbagai institusi yang bergiat dalam konservasi hayati). Pulau Okinawa merupakan pulau kecil dan merupakan satu-satunya pulau di bawah pemerintahan Jepang yang mempunyai dugong. Dugong Okinawa mempunyai beberapa keunikan. Dilihat dari persebaran dugong di dunia, Okinawa merupakan lokasi dugong pada garis lintang paling utara. Di pulau ini jumlah dugong diperkirakan Gambar 26.1. “Dugong vs Rumsfeld”. (www.atimes.com) tidak lebih dari 50 ekor. Karena pulau ini telah terpisah sejak jutaan tahun lalu dari daratan utama Jepang dan benua Asia, maka secara genetik dugong Okinawa telah berkembang menjadi suatu kelompok tersendiri. Dugong mempunyai nilai kultural yang sangat dijunjung tinggi oleh penduduk Okinawa. Sejak zaman kekaisaran Ryuku dahulu kala, dugong mendapat tempat yang istimewa. Daging dugong dimakan, tetapi terutama untuk dipersembahkan sebagai makanan istana bagi para bangsawan. Berbagai bagian tubuh dugong seperti kulit, daging, lemak dan tulangnya dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Dugong dipandang dapat memberi isyarat apabila tsunami akan tiba.Terdapat kepercayaan bahwa manusia dan dugong mempunyai leluhur yang sama. Selain itu dugong juga digunakan dalam ritual religi di kuil-kuil kuno. 110

Di lain pihak Pulau Okinawa merupakan lokasi pangkalan militer Amerika Serikat yang terbesar di Pasifik. Untuk menunjang politik global Amerika Serikat, Pulau Okinawa menjadi pangkalan militer strategis yang dapat dengan mudah menjangkau negara-negara Pasifik Barat. Setelah Perang Dunia II berakhir, AS tidak serta merta meninggalkan seluruh daratan Jepang. Telah disepakati Traktat Keamanan (Security Treaty) antara Jepang dan Amerika Serikat yang memberikan konsesi pada Amerika Serikat untuk dapat menggunakan sebagian dari Pulau Okinawa ini untuk kepentingan militer. Tetapi Traktat itu meninggalkan sejumlah isu yang

Gambar 26.2. Warga setempat memprotes rencana pembangunan pangkalan udara marinir dengan memblokade pantai dan mendirikan tenda-tenda di depan US Marine Corps Facilities di Teluk Henoko, Okinawa. Gambar menunjukkan suasana pada salah satu tenda pemrotes. (Tanji, 2008) belum terpecahkan misalnya bagaimana penanganan dampak lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan militer. Sementara itu, dalam kenyatannya pagelaran militer AS telah menimbulkan sejumlah masalah pencemaran dan berbagai bencana lainnya termasuk juga meningkatnya kasus kriminal oleh anggota militer AS. Dengan telah berakhirnya Perang Dingin maka banyak warga Jepang mulai bersikap kritis terhadap keberadaan pangkalan militer AS di Okinawa. Unjuk rasa dan protes atas keberadaan pangkalan AS gencar dilakukan oleh warga Okinawa yang memuncak di tahun 1995.

111

Untuk meredam krisis ini maka dibentuklah Special Action Committee on Okinawa (SACO). Setelah mengadakan studi yang intensif, SACO membuat laporan akhir di tahun 1996, dengan rekomendasi mengurangi kekuatan militer, yakni melepas 21 % luas lahan yang digunakan militer AS di Okinawa untuk dikembalikan ke Pemerintah Jepang, termasuk pangkalan udara Futenma, yang selama ini dioperasikan sebagai pangkalan udara marinir. Warga Okinawa tentu saja menyambut gembira keputusan ini

Gambar 26.3. Kapal Coast Guard Jepang menghadapi aksi demonstrasi kapal-kapal pemrotes yang menentang rencana pembangunan pangkalan udara marinir yang berpotensi menumpas dugong di Teluk Henoko (Okinawa), Mei 2007. (Tanji, 2008) Tetapi ternyata kegembiraan itu hanya sekejap, karena ternyata kemudian pada bulan September 1997, SACO mengajukan kompensasi, dengan merelokasi pangkalan udara marinirnya ke pantai Henoko, dekat pangkalan marinir Camp Schwab. Lokasi untuk pembangunan pangkalan udara marinir ini direncanakan dibangun di lepas pantai Henoko dengan luas mimimum 1500 m x 800 m. Disinilah timbul masalah, karena ternyata perairan Henoko ini merupakan hamparan terumbu karang dan padang lamun yang juga merupakan rumah bagi dugong. Kegiatan pembangunan fasilitas pangkalan udara marinir di perairan ini diprediksi akan merusak ekosistem terumbu karang dan padang lamun, dan akan mengancam kehidupan dugong. Dugong yang sudah sangat 112

terancam di perairan ini diyakini akan punah, hilang lenyap untuk selamanya bila pembangunan pangkalan udara marinir itu direalisasikan. Dari kondisi inilah kemudian timbul reaksi keras dari berbagai pihak, untuk berjuang bahu-membahu menyelamatkan kehidupan dugong, dan menentang rencana pembangunan relokasi pangkalan udara marinir AS di daerah ini. Sementara perlawanan penduduk Okinawa terus makin kencang, Pemerintah Pusat di Jepang sendiri lebih cenderung untuk mendahulukan kepentingan militer dari pada melestarikan dugong. Ketika diadakan referendum di Okinawa pada bulan Desember 1997 untuk menentukan apakah penduduk lebih pro-dugong atau pro-pangkalan, ternyata 53 % penduduk Okinawa pro-dugong. Unjuk rasa memprotes rencana pembangunan relokasi pangkalan pun marak dimana-mana. Solidaritas yang mendukung konservasi dugong Okinawa meluas dengan unjuk rasa besarbesaran baik di Jepang maupun di AS. Tahun 2003 timbul gagasan untuk meneruskan perjuangan membela dugong ini lewat legal action dengan menggugat Menteri Pertahanan AS (Secretary of Defense), ketika itu Donald Rumsfeld, dan Department of Defense (DoD) di Pengadilan Federal di California. Bahwasanya DoD telah melanggar Undang-Undang Konservasi Historis Nasional Amerika Serikat (US National Historic Preservation Act/ NHPA). Pihak penggugat utama dalam legal action ini adalah dugong Okinawa (Dugong dugon) bersama sejumlah organisasi pengacara serta berbagai organsiasi lingkungan. Karena itu, kasus ini dikenal sebagai kasus Dugong vs Rumsfeld. Pihak penggugat berargumen bahwa rencana pembangunan fasilitas pangkalan udara marinir di lepas pantai itu tidak mempertimbangkan dampak lingkungan yang dapat diakibatkan oleh pembangunan itu. Selain itu Undang-Undang NHPA melarang setiap proyek AS, termasuk yang di luar negeri, melakukan tindakan yang dapat merusak “properti” yang bernilai sejarah dan budaya. Pihak tergugat menafsirkan bahwa “dugong” tidaklah termasuk dalam pengertian “properti” sebagai yang dimaksud dalam NHPA. Padahal sementara itu dugong terdaftar dalam undang-undang di Jepang sebagai “natural monument” , karena mempunyai nilai kultural yang tinggi bagi masyrakat Okinawa, dan karenanya pula melarang setiap kegiatan yang mengganggu kehidupan dugong serta lingkungannya. Pada akhirnya Pengadilan Federal AS menetapkan memenangkan gugatan dugong Okinawa dan kawan-kawan. Perjuangan lewat legal action disertai dengan tekanan massa lewat unjuk rasa yang masif akhirnya membuat rencana pembangunan pangkalan udara maritim di Henoko dibekukan tahun 2005. Tetapi masalah ini belum berakhir. Tahun 2006, Pemerintah Jepang dan AS bersepakat untuk kembali mengajukan “Roadmap for Realignment Implementation” yang memasukkan pertimbangan lingkungan dalam pembangunan pangkalan udara marinir. Namun dalam implementasinya terdapat penyimpangan hingga kembali meletupkan gelombang protes besarbesaran. Penduduk Okinawa sebagai pemrotes melaksanakan aksi blokade pantai sekitar pangkalan marinir AS, bertahan dengan tenda-tenda tanpa lelah hingga waktu yang berkepanjangan. Demikian pula aksi protes dilaksanakan di laut dengan kapal-kapal dengan penuh risiko. Greenpeace, organisasi pembela lingkungan yang terkenal galak, ikut serta dan 113

meneriakkan motto: “Marine conservation. Not conservation of the Marines”. Kemelut ini pun akhirnya diajukan lagi ke pengadilan federal AS tahun 2008 dengan pihak tergugat Robert Gates, sebagai Menteri Pertahanan (Secretary of Defense) AS ketika itu dan US Department of Defense (DoD), sedangkan pihak penggugat adalah dugong Okinawa dan kawan-kawan. Kasus ini dikenal dengan kasus Dugong vs Gates, dan ditutup dengan keputusan Pengadilan yang memenangkan pihak penggugat (dugong dan kawan-kawan). Kasus ini merupakan hal luar biasa yang bisa menjadi pembelajaran penting, bagaimana masalah konservasi dugong yang pada mulanya sebenarnya bersifat lokal dapat terangkat menjadi masalah yang menjadi perhatian besar sampai melibatkan dua negara adidaya dunia, Amerika Serikat dan Jepang. Bahwa upaya penyelamatan dugong tidak saja menyangkut konservasi fisik satwa semata, tetapi dapat menjangkau aspek-aspek yang jauh lebih luas sampai ke ranah sosial, budaya, hukum, pertahanan-keamanan, lingkungan dan politik.

114

B. PUTRI DUYUNG

115

27. RAGAM PUTRI DUYUNG

D

alam bahasa Indonesia, istilah duyung dapat mempunyai dua makna. Pertama, sebagai hewan mamalia herbivor yang hidup dalam laut yang makanan utamanya adalah lamun (seagrass). Hewan ini dalam literatur ilmiah dikenal sebagai Dugong dugon, dan dalam istilah populernya sebagai dugong. Kedua, sebagai sosok dalam mitologi atau legenda yang biasanya digambarkan sebagai mahluk setengah manusia dan setengah ikan yang hidup di laut. Separuh bagian atas biasanya digambarkan berupa perempuan cantik dengan rambut tergerai, sedangkan separuh bagian bawahnya berupa ikan yang berujung dengan ekor. Oleh sebab itu, sosok dalam dongeng itu biasa pula disebut sebagai putri duyung, yang dalam bahasa Inggeris disebut mermaid. Dongeng tentang putri duyung (mermaid) telah ada sejak ribuan tahun lalu, dan terdapat di berbagai penjuru dunia dengan berbagai variasinya. Kisah pertama mengenai putri duyung ini bisa dilacak dari sekitar 1.000 tahun SM dalam mitologi Assyria. Dewi Atargatis, ibu dari Ratu Semiramis, disebut jatuh cinta kepada seorang gembala dari kalangan manusia yang fana. Suatu hari, tanpa sengaja, sang dewi membunuh gembala itu. Karena malu, Atargatis mencoba bunuh diri dengan terjun ke laut untuk mengubah diri menjadi seekor ikan. Tetapi, laut tak dapat mengubah dirinya sepenuhnya karena ia masih memiliki kekuatan sebagai dewi. Akhirnya, hanya separuh tubuhnya yang berubah menjadi ikan. Bagian atas sampai ke pinggang tetap menampilkan wujudnya yang cantik, sedangkan bagian ke bawah berubah menjadi ikan. Kisah dari Assyria ini mungkin menjadi dasar munculnya legenda mengenai putri duyung (mermaid) di berbagai penjuru dunia. Suatu legenda yang populer di Yunani menceritakan tentang saudara perempuan Iskandar Agung (Alexander the Great) yang bernama Thessalonike, yang berubah menjadi putri duyung setelah meninggal. Sebagai putri duyung ia hidup di perairan Aegea, dan bila ada kapal yang mendekat ia akan menanyakan pada para pelaut: “Apakah Iskandar Agung masih hidup?”. Jawaban yang benar untuk pertanyaan itu haruslah: “Ya, Baginda masih hidup dan memerintah, dan telah menaklukkan dunia”. Jawaban seperti itu akan membuatnya terhibur, jadi laut akan dibuatnya teduh dan kepada pelaut disampaikannya ucapan selamat jalan. Tetapi jika jawabannya salah, maka ia akan marah dan laut dibuatnya dilanda badai dahsyat yang akan menyengsarakan setiap awak di atas kapal. Dalam mitologi Yunani lainnya, disebutkan adanya putri-putri duyung cantik yang dikenal sebagai Siren, yang menghuni suatu pantai. Suara dan nyanyian mereka sangat merdu dan memukau, hingga para pelaut yang mendengarnya tergoda untuk mendekat dan akhirnya

116

kapalnya akan kandas dan karam di pantai para Siren itu. Tetapi pahlawan Yunani, Ulysses, dapat berlayar lewat perairan itu dengan selamat karena ia menyumbat telinga semua rekannya dengan lilin dan ia sendiri mengikatkan dirinya di puncak tiang kapal, hingga dengan demikian ia dapat mendengar nyanyian merdu para Siren tetapi ia sendiri tidak terpengaruh untuk mendekat. Menurut legenda yang lain, diceritakan para Argonaut dapat Gambar 27.1. Nyanyian merdu para putri duyung pula selamat dari para Siren karena Siren memukau para pelaut untuk mendekat dan Orpheus - yang ada di kapal itu - akhirnya karam di pantai. dapat pula menyanyi bahkan melebihi kemerduan nyanyian para Siren. Merasa dikalahkan oleh Orpheus, akhirnya para Siren itu menceburkan diri ke laut dan lenyap. Di beberapa daerah, manusia setengah ikan tidak selalu digambarkan berupa putri duyung (mermaid) dengan paras yang cantik, tetapi ada juga sebagai pangeran duyung (merman). Salah satu kisah dari Russia menggambarkan kehidupan putri duyung (mermaid) dan pangeran duyung (merman) dalam kehidupan dalam air (Gambar 26.2). Kisah atau ceritera rakyat (folklore) tentang putri duyung memang banyak sekali variasinya yang terdapat di berbagai penjuru dunia. Tetapi tak selalu hal itu diungkapkan dalam bentuk kisah. Ada banyak ungkapan tentang putri duyung itu yang ditampilkan dalam bentuk seni rupa, baik berupa lukisan ataupun patung. Belakangan ini media film juga ikut meramaikan cerita yang berkaitan dengan putri duyung. Gambar 27.2 . Putri dan Pangeran Duyung (mermaid and merman). Lukisan dari Rusia, 1866. (uk.ask.com)

Tema putri duyung (mermaid) sejak dulu menjadi objek lukisan para seniman. Mungkin ribuan karya 117

lukisan yang indah dengan tema putri duyung bertebaran di seluruh penjuru dunia. Salah satunya misalnya karya John Wiliam Waterhouse (1900).

Gambar 27.3 . Kiri: Lukisan “Mermaid” karya John William Waterhouse, tahun 1900. (en.wikipedia.com). Atas: Lukisan Nignyo atau putri duyung karya Katsushika Hokusai, Jepang tahun 1808. (id.wikipedia.org)

Salah satu karya sastra yang sangat terkenal tentang putri duyung adalah karya sastrawan Denmark, Hans Christian Andersen, berjudul “The Little Mermaid” yang diciptakannya pada tahun 1836. Karyanya ini sangat menarik dan telah mengilhami seniman lain untuk menciptakan

Gambar 27.4 . Kiri: Patung perunggu “The Little Mermaid” di depan pelabuhan Copenhagen, Denmark. Kanan: Cuplikan film animasi “The Little Mermaid” produksi Walt Disney. Keduanya diilhami dongeng tentang putri duyung karya sastrawan Denmark, Hans Christian Andersen.

118

karya seni dalam bentuk berbeda. Di depan pelabuhan Copenhagen (Denmark) misalnya, terpajang patung putri duyung dari perunggu, yang duduk di atas batu. Patung “The Little Mermaid” ini karya pemahat Edward Eriksen diresmikan tahun 1913, dan kini menjadi ikon Copenhagen. Mirip dengan patung di Copenhagen itu, di pantai Shamila, Songkhla (Thailand) juga terdapat patung perunggu putri duyung yang duduk di atas batu, sedang menyisir rambutnya. Di Indonesia pun, ada patung putri duyung di halaman Resor Putri Duyung di pantai Ancol, Jakarta Utara. Kisah putri duyung pun merambah ke media film dan televisi. Salah satu yang belakangan ini sangat populer adalah film animasi berjudul “The Little Mermaid” yang diproduksi oleh Walt Disney. Film ini pernah meraih dua Academy Award tahun 1990. Di Indonesia juga pernah diproduksi film berjudul “Putri Duyung” di tahun 1985, yang dibintangi Eva Arnaz dan Barry Prima. Film ini mengisahkan kisah cinta seorang pelaut dengan seorang gadis, tetapi ternyata kemudian bahwa gadis itu bukanlah manusia normal, tetapi adalah putri duyung. Dalam sinetron pun tema putri duyung pernah diangkat di Indonesia, misalnya sinetron “Putri Duyung” yang dibintangi Ayu Azhari yang ditayangkan SCTV tahun 1999, dan lainnya “Putri Duyung Marina” yang dibintangi Dhini Aminati dan Dimas Seto yang ditayangkan Indosiar tahun 2010.

Gambar 27.5 . Kiri: Patung putri duyung di pantai Shamila, Songkhla (Thailand). (tripcolor.com). Kanan: Patung putri duyung di Resor Putri Duyung, Ancol, Jakarta. (prontohotel.com)

119

28. HEBOH PUTRI DUYUNG

D

ongeng tentang putri duyung (mermaid) sebagai mahluk setengah manusia (biasanya digambarkan sebagai putri cantik) dan setengah ikan telah dikisahkan sejak ribuan tahun lalu di berbagai penjuru dunia dengan berbagai variasinya. Tak ayal, hal ini sering menimbulkan tanda tanya, apakah putri duyung itu memang benar ada wujudnyanya, atau pernah ada, atau hanya sekedar mitos belaka. Pertanyaan semacam ini sering menimbulkan rasa penasaran bagi banyak orang hingga berkembanglah banyak cerita atau berita simpang siur yang kontroversial tentang hal ini. Christopher Columbus dalam pelayarannya yang terkenal “menemukan” benua Amerika melaporkan bahwa ketika berada di perairan Haiti pada tanggal 8 Januari 1493 ia sempat melihat tiga “mermaid” muncul naik ke permukaan laut. Tetapi ia memberikan kesaksiannya bahwa “mermaid” yang disaksikannya itu ternyata wajahnya jauh dari kecantikan seorang putri seperti yang sering didongengkan. Kini orang menduga bahwa apa yang dilihat oleh Columbus itu kemungkinan besar adalah sepupu dugong yakni manatee (Trichechus manatus) atau West Indian manatee yang memang menghuni kawasan itu. Di masa maraknya perkembangan Darwinisme di dunia Barat di abad 19, banyak kalangan yang menduga kemungkinan adanya temuan-temuan hewan baru atau mungkin monster yang belum pernah dikenal sebelumnya. Rasa penasaran untuk mencari dan menghadirkan putri duyung (mermaid) dalam wujud yang nyata menjadi dambaan banyak orang. Tetapi sejalan dengan itu berkembanglah pula berbagai tipuan dan kepalsuan yang membohongi masyarakat seolah-olah mermaid itu memang nyata, ada wudjud fisiknya. Berita paling heboh tentang keberadaan wujud nyata putri duyung berkembang di pertengahan tahun 1840-an lalu yang populer dikenal sebagai skandal “Feejee Mermaid”. Adalah P.T. Barnum yang mengangkat dan mempopulerkan ditemukannya “Feejee Mermaid” ini. Adapun yang dimaksud dengan “Feejee Mermaid” adalah hewan yang telah dikeringkan yang menampilkan wujud separuh manusia dan separuh ikan. Wajah mermaid yang mirip manusia itu bukannya cantik malah lebih memberikan kesan menyeramkan dan menakutkan. Barnum mendapatkan mermaid itu dari pelaut yang konon asalnya dari Feejee (Fiji). Ia melakukan promosi yang gencar dan menyelenggarakan pameran keliling di bebebara kota di Amerika untuk meyakinkan masyarakat bahwa mermaid itu mempunyai wujud yang nyata. Dari kegiatan itu tentu saja ia dapat meraup keuntungan finansial yang besar. Sempat para ilmuwan menantangnya untuk membuktikan keaslian mermaidnya itu. Tetapi Barnum tak kehabisan akal. Ia pun mencari dukungan dari ilmuwan lainnya yang dikenal sebagai Dr. J. Griffin yang disebut sebagai penemunya (ternyata kemudian bahwa Griffin adalah doktor gadungan). Pertunjukan dan 120

pameran “Feejee Mermaid” itu berakhir dengan terbongkarnya tipuan besar itu. Ternyata bahwa “Feejee Mermaid” itu sebenarnya terdiri dari tengkorak dan badan monyet (ada yang menyebutkan dari orang utan) yang dipadukan dengan bagian bawahnya dari ikan salmon besar, tetapi teknik penggabungannya begitu cermat hingga sangat sulit melihat sambungannya. Di kemudian hari, museum Barnum itu terbakar dan ikut melenyapkan “Feejee Mermaid” yang pernah tercatat sebagai salah satu hoax (tipuan besar) yang paling heboh yang pernah dikenal di dunia. Sampai lebih seratus tahun sesudahnya orang masih memperbincangkan hoax konyol itu. Di belakang hari, muncul banyak lagi tiruan-tiruan “Feejee Mermaid” dengan berbagai versinya. termasuk yang dipamerkan dalam museum “Ripleys’s Believe It Or Not”.

Gambar 28.1. Kiri: “Feejee Mermaid” dalam pameran yang menghebohkan di tahun 1842 (gioclairval.blogspot.com). Kanan: detail tampilan “Feejee Mermaid” (commons.wikipedia.org). Mengapa hoax semacam itu masih terus saja terjadi? Bella Galil dari National Institute of Oceanography, Israel, yang banyak menulis tentang mahluk laut yang sering dimitoskan, merujuk pada adanya perasaan yang terpendam jauh dalam diri kita yang kadang mengimajinasikan ditemukannya temuan-temuan mahluk baru yang menghebohkan dari alam sekitar. Ketika daratan sudah habis dijelajahi maka orang berharap hanya dari laut peluang itu masih terbuka, karena masih banyak bagian laut yang belum tereksplorasi dan masih diliputi misteri. 121

Dalam kenyataannya memang kadang kala dari laut terungkap temuan-temuan spektakuler yang menghebohkan dunia, seperti kasus ditemukannya ikan Coelacanth. Pada tahun 1938 dunia tibatiba digemparkan dengan ditemukannya seekor ikan Coelacanth yang hidup di perairan bagian timur Afrika Selatan. Mulanya ikan Coelacanth dipercaya sebagai ikan purba yang hidup sekitar 400 juta tahun lalu. Diperkirakan ikan ini telah punah sekitar 80 juta tahun lalu yang diketahui dari jejak hidupnya yang terekam berupa fossil. Tetapi tiba-tiba seekor Coelacanth hidup ditemukan di abad modern ini, yang tentu saja menghebohkan dunia ilmu pengetahuan. Setelah itu ditemukan lagi beberapa ekor fossil hidup ikan sejenis di sekitar tempat temuan awalnya. Tahun 1998 dunia ilmu pengetahuan sekali lagi digemparkan dengan ditemukannya ikan Coelacanth lainnya di perairan Sulawesi Utara yang terpisah sekitar 10.000 km dari Afrika timur. Jadi banyak yang percaya bahwa laut masih menyimpan misteri yang sewaktu-waktu dapat menghadirkan mahluk atau monster yang di luar dugaan.

Gambar 28.2 . Foto “mermaid” yang konon terdampar di pantai Chennai, India, oleh hempasan gelombang tsunami Desember 2004, yang tersebar lewat jaringan email (youtube.com). Tanggal 26 Desember 2004 terjadi tsunami besar di Samudra Hindia yang meluluh-lantakkan pantai Aceh. Gelombang dahsyat tusnami itu juga merambat dan melanda pantai beberapa negara lainnya seperti Thailand, India, Srilanka. Beberapa saat setelah itu, terbetik berita heboh yang segera mendunia bahwa ada putri duyung alias mermaid yang terdampar oleh hempasan gelombang dahsyat tsunami di pantai Marina Beach, Chennai, pantai timur India. Berita itu menyebutkan bahwa mermaid itu, yang dalam bahasa Tamil setempat disebut “Kadal Kanni”, telah dipreservasi di Egmore Museum di bawah pengamanan ketat. Di era digital sekarang ini berita heboh yang disertai foto mermaid yang terdampar itu segera tersebar mendunia lewat jaringan internet. Tak kurang koran The Sunday Times di Singapura mengangkat berita itu dengan judul: “Mermaid or Man-Made?”. Berita itu segera mengharuskan Professor Peter Ng, 122

Direktur Raffles Museum of Biodiversity Research, Singapura, angkat bicara. Penelitian Peter Ng atas foto yang tersebar luas itu menyimpulkan bahwa “tsunami mermaid” itu tak lain dari tipuan belaka. Beberapa alasan yang dikemukakannya antara lain bahwa foto itu menunjukkan sampel yang telah mengering yang mengindikasikan telah ada perlakuan taxidermi (taxidermi adalah teknik pengeringan dan pengawetan hewan dalam bentuk yang menyerupai bentuk aslinya seperti yang lazim ditemui di museum zoologi). Kalau memang benda itu baru terdampar seharusnya wujudnya tidak kering tetapi agak basah dan mulai menunjukkan gejala membusuk. Tulang lengannya tak cocok dengan rongga tempat kedudukannya di bagian dada, hingga dengan konstruksi seperti itu, mahluk itu pasti tak dapat bergerak dan tak dapat hidup dalam air. Kesimpulannya, spesimen dalam foto itu adalah hasil rekayasa menyambungkan tengkorak kepala monyet dan ikan pada bagian bawahnya. Setelah dikonfirmasi ke Chennai, ternyata Museum Egmore itu memang ada disana, tetapi lebih dikenal sebagai Government Museum, dan pejabat museum setempat membantah adanya “tusnami mermaid” yang disimpan di bawah pengawasan ketat di museum itu. Dr Terence Sim dari School of Computing NUS (National University of Singapore) juga menganalisis foto heboh itu. Ternyata bahwa foto itu menunjukkan arah bayangan yang ditimbulkan dari ekor tak sama dengan arah bayangan dari anggota lainnya, hingga dapat disimpulkan bahwa ini adalah hasil rekayasa foto semata. Lalu dari mana sumber tipuan besar lewat email ini? Penelusuran lewat Internet Service Provider (ISP) juga tak berhasil mengungkap dari mana asal mula tipuan besar yang konyol ini. Tetapi heboh putri duyung (mermaid) tak kunjung berakhir. Yang paling hangat belum lama ini adalah tayangan televisi dengan judul “Mermaid: the Body Found” yang disiarkan melalui

Gambar 28.3 . Cuplikan tayangan televisi berjudul “Mermaid: the Body Found” dari Discovery Channel. (www.press.discovery.com) 123

saluran televisi Animal Planet (27 Mei 2012) dan Discovery Channel (17 Juni 2012) dengan durasi kurang lebih dua jam. Tayangan ini dikemas dengan memadu fakta dan teori ilmiah dan fiksi (science fiction) menjadi suatu rangkaian liputan bergaya dokumenter yang menggambarkan adanya wujud mermaid yang setengah manusia – setengah ikan yang hidup dalam laut, dengan judulnya yang sangat provokatif. Dengan merujuk berbagai temuan sejarah di berbagai penjuru dunia dan fakta serta teori ilmiah, film ini berspekulasi tentang adanya mahluk mermaid yang hidup di bagian laut-dalam yang sukar dicapai oleh manusia. Pada awal evolusi hayati manusia bukankah bisa terjadi sempalan evolusi menuju ke terbentuknya mahluk mirip manusia yang kemudian hidup dan beradaptasi sepenuhnya dalam lingkungan perairan laut? Tayangan “Mermaid: the Body Found” tentu saja menghebohkan. Masyarakat luas mempertanyakan apakah tayangan itu dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya. Pihak Discovery Channel sendiri menyatakan bahwa film itu adalah “science fiction” tetapi didasarkan pada berbagai bukti yang nyata serta teori-teori ilmiah. Masyarakat dunia banyak yang bingung dengan keterangan ini. Sebagian menyatakan bahwa film itu adalah tayangan yang menyesatkan, tetapi sebagian lainnya masih mempertanyakan, betulkah mermaid ada wujudnya? Ribuan pertanyaan semacam itu dialamatkan ke NOAA (National Oceanic and Atmospheric Adminstration) sebagai lembaga yang paling berwibawa dalam hal kelautan di Amerika Serikat. Pada akhirnya NOAA pada tanggal 1 Juli 2012 mengeluarkan pernyataan dan klarifikasi bahwa; “... no evidence of aquatic humanoids have ever been found” (tak ada bukti bahwa mahluk air menyerupai manusia yang pernah ditermukan). Putri duyung alias mermaid rupanya dari zaman dulukala hingga abad digital sekarang ini masih saja bisa menghebohkan.

124

DAFTAR PUSTAKA

Adam, S. 1998. Vanuatu. Dugong-human interaction in Vanuatu. Sirenews, No. 30, October 1998. Adulyanukosol, K., S. Thongsukdae, T. Hara, N. Arai and M. Tsuchiya. 2007. Observations of dugong reproductive behavior in Trang Province, Thailand, further evidence of intraspecific variation in dugong behavior. Marine Biology, 15 (5): 1887 – 1891. Allen, J.F., M.M., Lepes, I.T., Budiarso, Sumitro, and D. Hammond. 1976. Some observations on the biology of the dugong (Dugong dugon) from the waters of South Sulawesi. Aquatic Mammals, 4 (2): 33-48. Anderson, P. K. 1997. Shark Bay dugongs in summer. I. Lek mating. Behavior, 134 (5/6): 493 – 462. Anderson, P. K. and R. M. R. Barclay. 1995. Acoustic signals of solitary dugongs: Physical characteristics and behavioral correlates. Journal of Mammalogy, 76 (4): 1226 – 1237. Anderson, P.K. 1981. The behaviour of the Dugong (Dugong dugon) in relation to conservation and management. Bulletin of Marine Science, 3 (3): 640-647. Anderson, P.K. 1986. Dugongs of Shark Bay, Australia - Seasonal Migration, Water Temperature and Forage. National Geographic Research, 2 (4): 473-490. Anderson, P.K. 1998. Shark Bay dugongs (Dugong dugon) in summer II: Foragers in a Halodule dominated community. Mammalia, 62 (3): 409-425. Azkab, M. H. 1998. Duyung Sebagai Pemakan Lamun. Oseana, 23 (3 dan 4) : 35 – 39. Bertram, G.C.L. and C.K.R. Bertram. 1973. The modern Sirenia: Their distribution and Status. Bio. J. Linn. Soc. 5: 297-338. Bleakley, C. and S.Wells. 1995. Marine region 13, East Asian Seas. Chris Bleakley and Sue Wells. Australian Government, Department of the Environment and Water Resources: 107-140. Brasseur, S. and H. H. de Iongh. 1972. Survey of the dugong in Moluccas and the recolonization of their feeding tracks. Amsterdam, AIDEnvironment: 65 pp. Brownell, R.L. Jr., P.K. Anderson, R.P. Owen, and K.Ralls. 1981. The status of dugongs at Palau, an isolated island group. In : Marsh (ed.) The Dugong, p. 11-23. Proceedings of a Seminar/Workshop held at James Cook University of North Queensland, Australia. CITES. 2007. The CITES Appendices I, II and III. The Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora. Coral Reef Rehabilitation and Management Project (COREMAP). Internet: www.coremap.or.id Compost, A. 1980. Pilot survey of exploitation of dugong and sea turtle in the Aru Islands. Jakarta, Yayasan Indonesia Hijau: 63 pp. 125

de Bruijn P. 2002. An ecological study of a recently discovered population of dugongs (Dugong dugon Müller, 1776) and its interactions with seagrassbeds in Balikpapan Bay, East Kalimantan, Indonesia. Final report at Institute of Environmental Sciences, Student Report. Leiden University. de Iongh, H. H. 1996a. Plant-Herbivore Interactions Between Seagrasses and Dugongs in a Tropical Small Island Ecosystem. PhD. Diss., University Nijmegen: 205 pp. de Iongh, H. H. 1996b. Current status of dugongs in Aru, East Indonesia. In: The Aru Archipelago: Plants, Animals, People and Conservation. Publication No. 30 of the Netherlands Commission for International Nature Protection, H.P. Nooteboom (ed.): 7586. de Iongh, H. H. 1997. Current status of dugongs in Indonesia. In: T. Tomascik, A. J. Mah, A. Nontji & M. K. Moosa (eds.) The Ecology of the Indonesian Seas, Part II, Dalhousie University, Periplus Edition: 1158 – 1166. de Iongh, H. H., B. Bierhuizen, and B. van Orden. 1997. Observations on the behaviour of the dugong (Dugong dugon Müller, 1776) from waters of the Lease Islands, eastern Indonesia. Contributions to Zoology, 67 (1): 71-77. de Iongh, H. H., W. Kiswara, and W. Kustiawan. 2006. Dugong grazing patterns and interaction with traditional conservation (Sasi Laout) Indonesia: A review. Journal of Natural and Life Sciences, 1 (1): 1-10. de Iongh, H. H., W. Kiswara, W. Kustiawan and P.E. Loth. 2007. A review of research on the interaction between Dugongs (Dugong dugon, Müller 1776) and intertidal seagrass beds in Indonesia. Hydrobiologia, 591 (1) : 73-83. de Iongh, H. H., P. Langeveld, and M. van der Wal. 1998. Movement and home ranges of dugongs around the Lease Islands, East Indonesia. Marine Ecology, 19 (3): 179-193. de Iongh, H. H., M. Hutomo, M. Moraal and W. Kiswara. 2009 a. National conservation strategy and action plan for the dugong in Indonesia. Part I. Scientific Report, Institute of Environmental Sciences Leiden and Research Centre for Oceanography, Jakarta: 38 pp. de Iongh, H. H., M. Hutomo, M. Moraal and W. Kiswara. 2009 b. National conservation strategy and action plan for the dugong in Indonesia. Part II. Strategy Report, Institute of Environmental Sciences Leiden and Research Centre for Oceanography, Jakarta: 31 pp. de Iongh, H. H., M. Moraal, and C. Souffreau. 2006. Dugong Survey of Derawan Island and Adang Bay, East Kalimantan, Indonesia. Sirenews, no 46. de Iongh, H. H., and G. Persoon. 1991. Dugong management and conservation project. Environmental Study Center of the Pattimura University (PPLH), Ambon and AID Environment, Amsterdam: 2-56. de Iongh, H. H., B. Wenno, B. Bierhuizen, and B. van Orden. 1995. Aerial survey of the Dugong (Dugong dugon Műller 1776) in coastal waters of the Lease Islands, East Indonesia. Australian Journal of Freshwater and Marine Research, 46: 759–761. de Iongh, H. H., B. Wenno and E. Meelis. 1995. Seagrass distribution and seasonal changes in relation to dugong grazing in the Moluccas, East Indonesia. Aquatic Botany 50:1-19. 126

Dermawan, A. (Editor). 2003. Pedoman Pengelolaan dan Konsevasi Biota Laut Duyung dan Habitatnya. Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, Direktorat Jenderal Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan: 43 pp. Duarte, C.M. 2002. The future of seagrass meadows. Environ. Conserv. 29: 192–206. Engel, L. 1970. The Sea. Time-Life Books, New York. Erftemeijer, P.L., A. Djunarli, and W. Moka. 1993. Stomach content analysis of a Dugong (Dugong dugon) from South Sulawesi, Indonesia. Aust. J. Mar. Freshw. Res., 44: 229– 233. Erftemeijer, P.L., and P.M.J. Herman. 1994. Seasonal changes in environmental variables, biomass, production and nutrient contents in two contrasting tropical intertidal seagrass beds in South Sulawesi (Indonesia). Oecologia 99: 45–59. Forth, G. 1988. Apes and Dugongs: Common mythological themes in diverse Southeast Asian Communities. Contributions to Southeast Asian Ethnography. Further studies of religions and world views: 189-229. Green, E.P., and F.T. Short. 2003. The Seagrasses of Indonesia. World Atlas of Seagrasses. In: Green, E.P. and F.T. Short, ( eds). Berkeley, USA: UNEP World Conservation Monitoring Centre, Cambridge: 171-183. Hendrokusumo, S., Sumitro and Tas’an. 1976. The distribution of the Dugong dugon in Indonesian waters and report regarding the care of these animals in the Jaya Ancol Oceanarium Jakarta, Indonesia, Jaya Ancol Oceanarium: 24 pp. Hishimoto, Y., K. Ichikawa, T. Akamatsu, and N. Arai. 2005. The acoustical characteristics of dugong calls and behavioral correlates observed in Toba Aquarium. The 6th SEASTA 2000 Workshop: 25 – 28. Hobbs, J.P.P.A., A.J. Frisch, J. Hender, and J.J. Gilligan. 2007. Long-distance oceanic movement of a solitary Dugong (Dugong dugon) to the Cocos (Keeling) islands. Aquatic Mammals 33 (12): 175-178. Hodgson, A. 2007. Technical note. “Blimp-Cam”: Aerial video observations of marine animals. Marine Technology Society Journal 41 (2): 39 – 43. Hodgson, A. J. 2004. Dugong behaviour and responses to human influences. PhD thesis, James Cook University,Townsville, Ausralia. Hutomo, M., H. H. de Iongh, W. Kiswara and M. Moraal. 2012. Strategi dan Rencana Aksi Konservasi Dugong di Indonesia. Pusat Penelitian Oseanografi - LIPI dan Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan Ditjen KP3K – KKP: 95 hlm. Ichikawa, K., C. Tsutsumi, T. Akamatsu, T. Shinke, N. Arai, and T. Hara. 2005. Acoustic detection of dugong using automatic underwater sound monitoring system (AUSOMSD). Proceedng of the 5th SEASTAR 2000 Workshop: 83-86. ISC. 2003. Policy, Strategy and Action Plan for Management of Seagrass Ecosystems in Indonesia. Indonesian Seagrass Committee, UNEP-GEF Project: Revising Environmental Degradation in South China Sea and Gulf of Thailand, Jakarta: 13 pp. IUCN. 2006. IUCN Red List of Threatened Species. Gland, Switzerland, IUCN. 127

Kataoka, T., T. Mori, Y. Wakai, J.A.M. Palma, A.A.S.P. Yaptinchay, R.R.,DeVeyra, R.B. Trono. 1995. Dugong of the Philippines. A report of the Joint Dugong Research Conservation Program. 1-167. Philippines Japan, Pawikan Conservation ProjectProtected Areas and Wildlife Bureau Department of Environment and Natural Resources. Toba Aquarium. Khalifa, M. A. 2011. Tingkah laku dan karakteristik suara Dugong dugon di SeaWorld Indonesia, Taman Impian Jaya Ancol, Jakarta. Skripsi, Institut Pertanian Bogor, Departemen Ilmu dan Teknik Kelautan, Fakultas Perikanandan Kelautan. Kreb, D., and Budiono. 2005. Cetacean diversity and habitat preference in tropical waters of east Kalimantan, Indonesia. The Raffles Bulletin of Zoology 53 (1): 149-155. Kuriandewa, T.E., W. Kiswara, M. Hutomo, and S. Soemodihardjo. 2003. The seagrasses of Indonesia. In: Green, E.P., Short, F.T. (eds.), World Atlas of Seagrasses, University of California Press, Berkeley USA : 171-182 Lanyon, J.M. 1991. The nutritional ecology of the dugong (Dugong dugon) in tropical North Queensland. Department of Ecology and Evolutionary Biology, Monash University, Australia. Dissertation: 325 pp. Lanyon, J.M., and H. Marsh. 1995. Digesta passage times in the Dugong. Australian Journal of Zoology 43 (2): 119-127. Lapian, A. B. 2009. Orang Laut, Bajak Laut, Raja Laut. Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX. Komunitas Bambu, Ecole Francaise d’Extreme-Orient, Jakarta: 282 pp. Lawler, I., H. Marsh, B. McDonald and T. Stokes. 2002. Dugongs in the Great Barrier Reef. Current State of Knowledge. CRC, Reef Research Centre. Lomolino, M.V. and K.C. Ewel. 1984. Digestive efficiencies of the West Indian manatee (Trichechus manatus). Florida Scientist 47: 176–179. Macdonald, N. 2011. Dugong dugon. (On Line). Animal diversity web. Acccessed Dec. 30, 2011. http://animaldiversity.ummz.umrichedu/site/accounts/information/Dugong.dugon.html . Marsh, H. 1989a. Chapter 57 – Dugongidae: 1 – 18. In: Walton, D. W. & B. J. Richardson (eds.). Fauna of Australia vol 1 B Mammalia. CSIRO Pubisihing/ Australian Biological Resources Study (ABRS): 827 pp. Marsh, H. 1989b. Mass stranding of dugongs by a tropical cyclone in Nothern Australia. Marine Mammal Science 5 (1): 78-84. Marsh, H., G.E. Heinsohn, and L.M. Marsh. 1984. Breeding cycle, life history and population dynamics of the dugong, Dugong dugon (Sirenia: Dugongidae). Australian Journal of Zoology, 32 (6): 767-788. Marsh, H., T.J. O’Shea, and J. E. Reynolds III. 2011. Ecology and conservation of the Sirenia: dugongs and manatees. Cambridge University Press: xvi + 521 pp. Marsh, H., H. Penrose, C. Eros, and J. Hugues. 2002. Dugong Status Report and Action Plan for Countries and Territories. UNEP. Early Warning and Assessment Report Series: 162 pp. 128

Marsh, H. and G.B. Rathburn. 1990. Development and application of conventional and satellite tracking techniques for studying dugong movements and habitat use. Aust. Wildl. Res. 17: 83-100. McKenzie, L.J., R.L. Yoshida, J.E. Mellors, and R.G. Coles. 2006. Seagrass-watch Monitoring Report Indonesia, p. 228. Internet: www.seagrasswatch.org Moss, S. M. and M. van der Wal. 1998. Rape and run in Maluku: Exploitation of living marine resources in Eastern Indonesia. Cakalele 9 (2): 85 – 97. Mustika, P.L.K. 2005. Linking the two seas: Lessons learned from Savu Sea (Indonesia) for marine mammal conservation in Timor Sea. Contribution to Pacem in Maribus XXXI Conference 31 October – 3 November 2005, Internet: www.ioinst.org/templates/ioinst/Docs/PIM31/TOP5/mustika.pdf Nijman, V, and K.A.I. Nekaris. 2014. Trade in Wildlife in Bali, Indonesia, for Medical and Decorative Purposes. TRAFFIC Bulletin Vol. 26. No. 1: 31 – 36. Nishiwaki, M., and H. Marsh. 1985. Dugong Dugon (Müller, 1776). Handbook of Marine Mammals. London, p. 23. Nontji, A. 2007. Laut Nusantara. Cetakan kelima. Penerbit Djambatan: 372 pp. Novaczek, I. and I. Harkes. 1998. An institutional analysis of Sasi Laut in Maluku, Indonesia. WP No. 39, ICLARM, Manila, Philippines. Novaczek, I., J. Sopacua, and I. Harkes. 2001. Fisheries management in Central Maluku, Indonesia, 1997-1998. Marine Policy 25: 239-249. Persoon, G., H. de Iongh, and B. Wenno. 1996. Exploitation, management and conservation of marine resources: the context of the Aru Tenggara Marine Reserve (Moluccas, Indonesia). Ocean & Coastal Management 32: 97-122. Petocz, R.G. 1989. Conservation and development in Irian Jaya. A Strategy for Rational Resource Utilization. E. J. Brill, Leiden, xxii + 218 pp. Pietsch, T.W. 1991. Samuel Fallours and his “Sirene” from the Province of Ambon. Archives of Natural History 18 (1): 1-25. Pollock, K.H., H. Marsh, I. R. Lawler, and M. W. Aldridge. 2004. Improving the accuracy of aerial surveys for dugongs. Final Report, AFMA/JCU, Canberra, Australia. Preen, A. 1989. Technical Report Dugongs, Volume 1: The Status and Conservation of Dugongs in the Arabian Region. Meteorological and Environmental Protection Administration (MEPA), Ministry of Defence & Aviation Kingdom of Saudi Arabia. MEPA Coastal and Marine Management Series: 200 pp. Preen, A. 1993. Interactions between dugongs and seagrasses in a subtropical environment. PhD Thesis, Department of Zoology, James Cook University of N. Queensland, Australia: 392 pp. Preen, A. 1995a. Impacts of dugong foraging on seagrass habitats: Observational and experimental evidence for cultivational grazing. Marine Ecology Progress Series, 124: 201213. Preen, A. 1995b. Satellite tracking of dugongs in northern Australia. Sirenews 22: 3–4. 129

Preen, A. 1995c. Diet of dugongs: are they omnivores? Journal of Mammalogy, 76 (1): 163171. Preen, A. And H. Marsh. 1995. Response of dugongs to large-scale loss of seagrass from Hervey Bay, Queensland, Australia. Wildl. Res., 22: 507 – 519. Preen, A. R., W. J. Lee Long, and R. G. Coles. 1995. Flood and cyclone related loss and potential recovery of more than 1000 km2 of seagrass in Hervey Bay (Queensland, Australia). Aquatic Botany, 52: 3 -12. Preen, A., H. Marsh, and G.E. Heinsohn. 1989. Technical Report Dugongs, Volume 2: Recommendations for the conservation of dugongs in the Arabian Region. Meteorological & Environmental Protection Administration (MEPA), Ministry of Defence & Aviation, Kingdom of Saudi Arabia. MEPA Coastal and Marine Management series, p. 43. Rajamani, L. 2008. Using community information to assist in dugong conservation efforts in Sabah, Malaysia. Paper submitted at the Workshop on Dugong Conservation Strategy and Action Plan for Indonesia, 3-4 December 2008, Manado. Rathburn, G.B., R.L. Brownell, K. Ralls, and J. Engbring. 1988. Status of dugongs in waters around Palau. Mar. Mammal Sci. 4: 265–270. Reidenberg, J. S. and J. T. Laitman. 2010. Generation of sound in marine mammals. In : S. W. Brudzynski (ed.), Handbook of Mammalian Vocalization. Elsevier Inc. Oxford: 451-465. Salm, R. 1984. Marine Conservation Atlas of Indonesia. WWF publication. Salm, R.V., and J.R. Clark 1984. Marine and Coastal Protected Areas: A guide for Planners and Managers. IUCN Wortkshop, World Congress on National Parks, Bali, Indonesia, 301 pp. Salm, R.V., and M. Halim. 1984. Conservation Data Atlas. Planning for the Survival of Indonesia’s Seas and Coasts: 41 pp. Sheppard, J. 2006. Dugongs are both loons & homebodies. Australian Science: 23 – 25. Singleton, J., and R. Sulaiman. 2002. Environmental Assessment Study - Komodo National Park Indonesia. Indonesia, The Nature Conservancy SE Asia Centre for Marine Protected Areas Staff : 29. Stapel, J., T.L. Aarts, B.H.M. van Duynhoven, J.D. de Groot, P.H.W. van den Hoogen, and M.A. Hemminga. 1996. Nutrient uptake by leaves and roots of the seagrass Thalassia hemprichii in the Spermonde Archipelago Indonesia. Mar. Ecol. Prog. Ser. 134: 195– 206. Tanji, M. 2008. US Court rules in the “Okinawa Dugong” case. Implications for US basis overseas. Critical Asian Studies, 40: 475 - 487. Tas’an, Sumitro, and S. Hendrokusumo. 1979. Some biological notes of two male dugongs in captivity at the Jaya Ancol Oceanarium, Jakarta. Jakarta, Jaya Ancol Oceanarium: 29 pp. Tjhin, I. 2001. News update on captive dugong in Indonesia. Sirenews 36: 13 – 19. Tomascik, T., A.J. Mah, A. Nontji, and M.K. Moosa. 1997. The Ecology of the Indonesian Seas. The Ecology of Indonesia Series, Volume VIII, Part Two. Periplus Edition: 643-1388. 130

Trono, R.B. 1995. Results of a dugong (Dugong dugon) survey in the Phillipines. Proceedings Mermaid Symposium, 15-17 November, Toba, Japan, p. 36. UNEP/CMS. 2011. Report on UNEP/CMS Southeast Asia Regional Meeting on Dugongs and Workshop on Developing Strandardised Analysis Protocols for Dugong Questionaire Survey Project Data for South East Asia Region. Lawas, Sarawak, Malaysia, 26-29 July 2011. WWF. 1981. Conservation Indonesia, Newsletter of the World Wildlife Fund Indonesia Program. WWF Indonesia, p. 24. WWF. 2004. Eastern African Marine Ecoregion. Towards a Western Indian Ocean Dugong Conservation Strategy: The Status of Dugongs in the Western Indian Ocean Region and Priority Conservation Actions. Muir, C.Ngusaru, A. Mwakanema, L. Dar es Salam, Tanzania, WWF, 68 p. Zacot, F. R. 2008. Orang Bajo: Suku Pengembara Laut – Pengalaman Seorang Antropolog. KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), Forum Jakarta-Paris, Ecole francaise d’ExtremeOrient: 482 pp.

131

Anugerah Nontji lahir di Makassar, 16 Oktober 1940. Pendidikan terakhir ditempuhnya di IPB (Institut Pertanian Bogor) dengan meraih gelar Doktor dalam bidang Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (1985). Kariernya dimulai sebagai peneliti di Lembaga Penelitian Laut tahun 1964 sampai akhirnya pensiun di tahun 2005. Pernah menjabat sebagai Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Oseanologi LIPI (1993-1996), Deputi Ilmu Pengetahuan Alam LIPI (1996-2001), ketua ISOI (Ikatan Sarjana Oseanologi Indonesia) (1984-1987). Penghargaan yang pernah diterimanya antara lain Sarwono Prawirohardjo Award dari LIPI atas kontribusinya dalam pengembangan ilmu pengetahuan alam (2003), dan Lifetime Achievement Award for Better Understanding of Indonesian Seas dari ISOI (2013). Email: [email protected].

132

Related Documents


More Documents from "Lina Noviana Jumsiah"