Emha Esai

  • Uploaded by: hartoyo_kdr
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Emha Esai as PDF for free.

More details

  • Words: 9,906
  • Pages: 23
Loading documents preview...
Yang Menang Harus Bangsa Indonesia (Tulisan ke-1 dari 10) Muhammad Ainun Nadjib • 6 Des 2016 Pustaka Emha, Tajuk Beberapa bulan terakhir ini bangsa Indonesia seperti sedang suntuk bermain togel: 411, 1911, 212, 412, 1012 dan mungkin akan berlanjut ke situasi yang bukan dramatisasi harmoni angka-angka, malah mungkin benturan antara angka dengan angka. Mungkin bangsa Indonesia sedang mencari dirinya sendiri. Sedang melacak kembali siapa sebenarnya mereka, dari berbagai view nilai, konteks, titik berat, gravitasi eksistensi dan pemetaan sejarah, cara pandang, sisi pandang, sudut pandang, jarak pandang, bahkan resolusi pandang. Masing-masing kelompok merasa apa yang dilakukannya adalah kebenaran. Masing-masing golongan meyakini bahwa merekalah gravitasi nasionalisme Indonesia, wajah merekalah yang benar-benar Bhinneka Tunggal Ika. Dan sesama massa yang meneriakkan “NKRI harga mati” akan bertabrakan. Yang memekikkan “Allahu Akbar” mengepalkan tinju ke massa di seberang yang juga memekikkan “Allahu Akbar”. Pada mulanya, setiap pergerakan, setiap peristiwa, unjuk eksistensi, perjuangan dan jihad, berderap dengan tema “benar atau salah” dan atau “baik atau buruk”. Setibanya di jalanan dan lapangan, titik berat tematik bergeser menjadi “kalah atau menang”. Lapangan dan jalanan juga ikut menjelma jadi Padang Kurusetra. Hanya saja Bharata Yudha belum akan berlangsung, karena Arjuna sedang berdebat dengan Prabu Krisna, sais kereta perangnya. Sementara Adipati Karna sudah mantap dan sejak jauh sebelumnya sudah menguasai medan perang, secara teritorial, stok mesiu, gelar dan strategi perang, maupun kelimpahan dapur umumnya. Sedangkan Panglima Drestajumena masih sibuk menoleh ke kanan ke kiri, ke depan dan ke belakang, merasakan ke mana angin bertiup. Adapun para Punakawan, Semar Gareng Petruk Bagong duduk bersila bercengkerama di gelaran tikar awan di angkasa, bersama Wisanggeni (Wasi’un Ghoniyyun) yang dilarang ikut perang. Terkadang Ontoseno juga muncul dari bawah tanah ikut nimbrung. Terkadang mereka menangis bersama, gero-gero menangisi “Ibu Pertiwi sudah tidak berkenan mengayomi lagi”. Di saat lain mereka tertawa terpingkal-pingkal: “Pemerintah kok merasa Negara. Pedang kok dipakai mencangkul. Keris kok dilecehkan….”. Negara tanpa kaji (presisi), Bangsa kehilangan aji (harga diri), Satria sirna nyali (keberanian revolusi). Mudah-mudahan tidak terlalu jauh simbolisme dalam tulisan ini. Saya yakin semua memiliki daya assosiasi, proyeksi dan identifikasi dari perumpamaan-perumpamaan ini ke peta fakta kenegaraan dan kebangsaan yang sedang sangat nyata mengepung kita. 411, 1911, 212, 412, 1012 dan berikut-berikutnya adalah saling-silang atau silang sengkarut bias dan dispresisi. Di arena yang sangat gaduh itu terdengar suara-suara berseliweran tantang menantang, kutuk mengutuk yang disamarkan, serta kebencian dan permusuhan yang dieufemisasikan. Kata-kata kebenaran dan kepahlawanan diteriakkan oleh semua dan masing-masing. Semua berkata sama, tetapi produknya bukan “benere bebarengan” (benarnya bareng-bareng, benarnya semua orang, kebenaran kolektif koordinatif), melainkan “benere dhewe” (benarnya sendiri-sendiri), sehingga semua pihak terdesak mundur ke belakang, menjauh dari “bener sing sejati” (benar yang sejati): misalnya “yang menang harus Bangsa Indonesia”.

Ada yang sangat meyakini “benar atau salah” dan “baik atau buruk” tanpa sadar bahwa langkahnya adalah “kalah atau menang”. Yang sadar bahwa gerakannya adalah “kalah atau menang”, tidak lengkap juga pemahamannya pada momentum-momentum dan konteks mikro atau makronya: tidak punya presisai apakah ia sedang menang atau kalah, sedang mulia ataukah hina, seharusnya malu ataukah bangga, semestinya rendah hati ataukah jumawa. Masing-masing nggembol potensi dan kadar “mbegugug ngutowaton” ( pokoknya saya yang pasti benar) serta “adigang adigung adiguna” (menerjang, menaklukkan, menguasai). Secara sederhana bangsa Indonesia, sebagai warganegara, sebagai rakyat maupun sebagai manusia, sedang diaduk-aduk oleh lipatan-lipatan masalah, krusialitas dan khaos nilai, tikungan dan telikungan pemaknaan atas segala sesuatu yang berlangsung. Tidak mengerti beda antara hemat dengan pelit. Antara konsisten dengan tidak moveon. Antara istiqamah dengan kepala batu. Antara kebenaran Quran dengan relativitas tafsirnya. Antara ramah tamah dengan taktik penipuan. Antara sopan santun dengan penjebakan. Antara blusukan dengan penaklukan. Antara Malaikat dengan Iblis. Karena Malaikat tidak punya keperluan untuk menyamar jadi Iblis. Sedangkan Iblis sangat tekun mempelajari teknik perilaku, strategi komunikasi, hingga performa dan pencitraan, yang tujuannya membuat manusia menyangka ia adalah Malaikat. Bahkan para pemimpin ketika berkata dan berbuat, tidak recheck apakah yang diekspresikannya itu nasionalisme Indonesia, ataukah garis tugas korpsnya, kepentingan golongannya, kenyamanan jalan kariernya, ataukah nafsu pribadinya. Yang paling bencana adalah kalau ada pemimpin yang “tidak mengerti dan tidak mengerti bahwa ia tidak mengerti”, karena ia hanya digerakkan oleh Siluman yang sangat mengerti, dan mengerti bahwa mereka mengerti. Padahal harapan rakyat minimal ada pemimpin yang “tidak mengerti tapi mengerti bahwa ia tidak mengerti”. Atau mending “yang mengerti tapi tidak mengerti bahwa ia mengerti”. Syukur yang “mengerti dan mengerti bahwa ia mengerti”.

Nggedein Hati Rakyat (Tulisan ke-2 dari 10) Muhammad Ainun Nadjib • 7 Des 2016 Pustaka Emha, Tajuk Kenapa yang menang harus Bangsa Indonesia? Beberapa abad yang lalu kita hidup berserak-serak di kepulauan Nusantara. Kita adalah gerombolan-gerombolan yang berjarak satu sama lain, secara teritorial maupun budaya. Kita bersuku-suku, berkubu-kubu, berkoloni-koloni. Nenek moyang kita hidup menjadi bagian dari Kraton-kraton, Perdikan-perdikan, komunitas-komunitas. Kemudian datang musuh dari Barat “mempersatukan” kita sampai menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. VOC dan Kerajaan Belanda “berjasa” mempersatukan kita. 3,5 abad tamu tak diundang dari Eropa itu “mendidik” kita untuk menyadari betapa pentingnya bersatu. Persatuan dan Kesatuan yang lahir ruhnya pada 1928 dan lahir jasadnya pada 1945 itu, kemudian menjalani kegembiraan dan ujian dari era ke era, dari pemerintahan ke pemerintahan. Dan tatkala hari ini kita melewati tahun ke-71, tiba-tiba muncul kecemasan tentang langgengnya persatuan dan kesatuan itu, serta ganjalan di pikiran tentang semakin luntur dan nadirnya kedaulatan bernegara dan berbangsa kita.

Sekian kali berkumpulnya rakyat di Jakarta dan beberapa wilayah lainnya, dengan bendera dan bunyi teriakan apapun, pada hakekatnya mencerminkan bahwa kita semua masih belum berhasil ber-Negara dan mengalami sejumlah degradasi nilai yang mendasar dalam ber-Bangsa. Yang tampak di permukaan boleh kemarahan, permusuhan atau tuntutan-tuntutan, tetapi pasti itu semua mencerminkan bahwa rakyat Indonesia semakin merasa tidak aman. Tidak aman dengan harta tanah airnya, tidak aman eksistensinya, tidak aman tiang hak-haknya, tidak aman martabatnya, tidak aman masa kini dan masa depannya. Saya yakin bahwa Pemerintah, wakil-wakil rakyat, pasukan-pasukan Pagar Negara, tokoh-tokoh Bangsa, pimpinan Parpol dan Ormas, kaum cerdik pandai, pemuka Agamaagama, serta semua yang berdiri di panggung nasional, hari ini sangat diperlukan untuk mengemukakan kepada rakyat Indonesia bahwa kedaulatan NKRI tidak terancam dan masa depan rakyat tidak buram. Perlu menjelaskan dengan bahasa rakyat bahwa Tanah Air ini tidak sedang digerogoti oleh siapapun. Tidak sedang dijaring secara strategis untuk direbut dan dijadikan bukan milik Bangsa Indonesia lagi. Tidak sedang dijajah, terserah dengan penjajahan model yang tradisional atau yang supra-modern. Tidak dirongrong, direkayasa, ditaklukkan, bahkan mungkin dimusnahkan pada beberapa hal. Yang lebih urgen lagi adalah beliau-beliau para pemuka Bangsa, juga institusi pemerintahan di lini yang manapun, termasuk lembaga-lembaga sosial dan keagamaan, membuktikan kepada rakyat bahwa mereka bukan bagian dari perongrongan itu. Bukan petugas dari program penjajahan itu. Tidak dibeli untuk mengeksekusi penghancuran itu. Tidak sedang berbuat selingkuh terhadap nasionalisme. Tidak menyembah dan mematuhi pemilik dan penyedia modal. Jika hal itu tidak segera dilakukan, maka akan sempurna proses yang mengembalikan Bangsa Indonesia menjadi bersuku-suku dan berkubu-kubu. Baik suku dan kubu berdasarkan kepentingan politik pragmatis. Atau berdasarkan persaingan akses terhadap pusat-pusat modal. Berdasarkan perbedaan identitas dan pendapat. Berdasarkan khilafiyah, tafsir dan jenis egosentrisme yang lain. Bahkan sudah semakin nyata di depan mata betapa kondisi pecah belah itu sampai mendetail hingga ke subsuku sub-kubu bahkan sub-sub-sub. Kita tidak bisa terus menerus menyebarkan pandangan bahwa perang suku hanya terjadi di sebuah pulau di sana, karena di Jakarta, Pulau Jawa dan wilayah-wilayah lain, setiap hari berlangsung perang suku dan perang kubu, yang variabelnya sangat kompleks, detail kepingan-kepingannya yang menyakitkan mata, hati dan pikiran. Dan kapasitas berpikir Bangsa Indonesia, termasuk kaum terpelajarnya, semakin tidak mencukupi untuk sanggup menampung, mewadahi, mengurai, mengidentifikasi, mempetakan dan menganalisisnya. Terlebih lagi untuk kemudian melahirkan formula-formula solusinya. Presiden dengan seluruh perangkat kepemerintahannya harus mengagendakan upaya perampingan rumusan atas komplikasi permasalahan dahsyat yang sedang sangat diduka-deritai oleh rakyat. Bertahun-tahun saya berkeliling ke pelosok-pelosok, dalam seminggu rata-rata saya bertemu dengan sekitar 50.000 orang yang berkumpul di alunalun, lapangan, jalanan atau sawah. Mereka sangat sedih dan kesepian. Hati mereka menanggung beban yang pikiran mereka tak sanggup mengurainya. Pikiran mereka tersandung-sandung, terbentur-bentur dan buntu. Saya tidak mampu membantu bangsa ini kecuali sebatas membesarkan hati mereka, mencarikan lubang-lubang dari dimensi

kehidupan yang luas ini untuk bergembira. Kemudian entah bagaimana membuat mereka optimis ke masa depan. Tulisan ini harus sangat panjang untuk mengakomodasi seluruh konteks yang dimaksudkannya. Tapi karena keterbatasan ruangan, saya shortcut saja ke satu tema yang tidak populer. Yakni prinsip “Manunggaling Kawula Gusti”. Manunggal itu bersatu, menyatu, menjadi seakan satu. Kawula itu rakyat. Gusti itu Tuhan. Di dalam jiwa Presiden dan Pemerintah, rakyat menyatu dengan Tuhan. Kalau Tuhan diingkari, rakyat menderita dan bisa marah. Kalau rakyat disakiti, Tuhan marah dan bertindak. Rakyat Indonesia sangat ndemenakke: patuh, tertib, ikhlas, sangat sabar dan amat sedikit menuntut. Itu membuat mereka menjadi kekasih-kekasih Allah. Siapapun jangan menyakiti kekasih Allah. Kita semua punya anak cucu dan tidak tahu bagaimana besok pagi.

Organisme Rakyat dan Ummat Islam (Tulisan ke-3 dari 10) Muhammad Ainun Nadjib • 8 Des 2016 Pustaka Emha, Tajuk Dari Pulau Seribu hingga 411 dan 212 saya menemukan, menyaksikan dan merasakan dengan penuh sukacita dan rasa syukur, bahwa ternyata Allah tidak meninggalkan rakyat kecil dan Ummat Islam Indonesia. Allah tidak membiarkan mereka yang sejak lama pikirannya galau dan hatinya amat sengsara ini sendirian dalam kesepian.

Ini bukan “haqqulyaqin” dan ”‘ilmulyaqin”. Ini “’ainulyaqin” dan “ruhulyaqin”. Saya tidak kaget dan mungkin justru gembira kalau siapapun menganggap ini romantik, klenik, tahayul atau halusinasi. Allah sungguh mememperlihatkan bahwa Ia “fa’-‘alul-lima yurid”, Maha Mengerjakan apa yang Ia kehendaki. Tidak ada selain Allah yang mampu menciptakan trigger atau momentum sangat sederhana beberapa detik di Pulau Seribu, sesudah sekian kali desing mercon kekurang-beradaban dan bom kebrutalan tidak menghasilkan letusan apapun. Kalau Anda tuan rumah 212, sejauh-jauhnya Anda berani memperkirakan dan menyiapkan akomodasi untuk hanya 150 ribu orang. Tetapi jutaan Malaikat menyusupi kalbu sekian juta manusia untuk “yadkhuluna fi dinillahi afwaja” berduyun-duyun dari tempat yang sangat jauh berkumpul di suatu area. Murni, sejati, suci. Tanpa kesulitan dan kemacetan, dibanding tersiksanya lalu lintas mudik hari raya yang hanya seper-50 atau seper-100 massanya dibanding 212. Makanan dan minuman berlimpah ruah dinikmati oleh manusia yang jumlahnya lebih 3.000 kali lipat dibanding penumpang Kapal Nabi Nuh. Persis seperti hidangan (al-maidah) ajaib yang tiba-tiba tersuguhkan di bilik kecil Siti Maryam dalam kelipatan sekian juta. Silakan meneliti ribuan macam lagi “fi’lullah”, kerja tangan Allah, asal dimaksudkan demi rasa syukur dan penyadaran bahwa kehidupan ini tidak sesederhana dan tidak se-teknismateriil yang kita sangka. Dan ini semua saya tuturkan tidak untuk rasa bangga dan sesumbar. Justru yang terpenting dari paparan ini adalah satu prinsip bahwa “Nabi Musa jangan menyangka mampu membelah samudera”. Tidak ada tongkat sakti. Tidak ada makhluk sakti, tidak pun Nabi, Rasul, Wali, Sayyid, Syarif, Habib, Jin, Asif bin Barkhiyah yang memindahkan Istana Balqis lebih cepat dari sekedipan mata, ataupun para Malaikat. Allah memerintahkan kepada Musa “belahlah laut dengan tongkatmu”, sekaligus memerintahkan kepada air laut “membelahlah begitu disentuh oleh tongkat Musa”.

Nabi Musa tidak bisa menjamin bahwa kalau besok sorenya ia pukulkan lagi tongkat itu maka air lautan akan terbelah. Sebagaimana mukjizat apapun yang terjadi pada semua Nabi Rasul, itu semua bukanlah kehebatan mereka, melainkan pinjaman dan perkenan dari Allah kepada siapapun saja yang dikehendaki oleh-Nya. Semoga presisi ilmu hikmah yang demikian, yang lahir di kesadaran dan nurani para pemimpin dan pekerja amal saleh 212. Ada yang mengatakan “kalau ingin melihat buih, lihatlah Monas 212”. Saya takdhim kepada buih. Saya ngeri kepada buih tatkala ia ditiup oleh Tuhan dan menenggelamkan pulau-pulau. Saya berempati kepada buih yang menjadi buih karena dibuihkan oleh desain-desain besar cakar Iblis global dan Dajjal nasional. Jika Allah mencintai mereka karena dibuihkan oleh sesamanya, kemudian buih-buih itu dihamparkan dan menenggelamkan Nusantara — maka biarlah saya kehilangan apapun saja, asal diperkenankan menjadi bagian dari buih itu. Karena tak ada yang lebih nikmat dari kemesraan cinta-Nya. Buih-buih 212 itu hanyalah cipratan kecil dari suatu organisme besar rakyat Indonesia dan Ummat Islam. Tidak ada organisasi apapun dengan kemampuan mobilisasi secanggih apapun, yang bisa menciptakan keindahan karya 212. Itu organisme, ciptaan Allah, yang penuh rahasia, pada yang tampak mata maupun yang tersamar dan tersembunyi. Organisme makhluk adalah “tajalli” Allah itu sendiri, dengan memilih siapapun dan apapun untuk dijadikan medium atau sarana untuk memanifestasikan “innallaha ‘ala kulli syai-in qodir”-Nya. Andaikan memang khusus di era sekarang ini ada Iblis global mempekerjakan Dajjal nasional untuk mengincar penaklukan atas tanah air Indonesia, rakyatnya dan Ummat Islam, insya Allah tidak rumit untuk mewujudkannya di ranah organisasional, di level tata kelola formal kenegaraan dan kepemerintahan, secara sistemis dan strategis. Tidak terlalu pelik untuk “berunding”, mengendalikan, mengintervensi, mengamandemen, memotong, menyunat, membuat legalitas baru untuk kepentingan dan keuntungan sesuai desain, program dan proyek. Asalkan Tuhan dianggap bukan faktor, bisa mudah digambar mapping hajatan itu. Sepanjang diyakini bahwa organisme rakyat dan Ummat Islam adalah khayalan dan omong kosong, maka buldozer penaklukan tak ada kendala untuk dijalankan. Sepanjang Pancasila dipercaya sebagai hanya basa basi, dan Ketuhanan Yang Maha Esa sekadar ungkapan sopan santun, maka jalanan mulus tanpa batu-batu pengganjal. Asalkan diteguhkan ilmu dan pengetahuan bahwa Allah tidak benar-benar ada, apalagi bekerja, berperan dan men-support para kekasih-Nya — maka program the show of Iblis dan Dajjal must go on. Tidak perlu terpengaruh halusinasi yang mengatakan bahwa Negara dan Pemerintah adalah organisasi, sedangkan rakyatnya, terutama yang menghampar luas di bawah, adalah organisme. Bahwa NU, terutama PBNU, misalnya, adalah organisasi. Tetapi Nahdliyin adalah organisme. Bahkan kaum elit, kelas menengah dan terpelajar tertata dalam skema organisasi, tetapi rakyat kecil adalah organisme. Organisasi dilaksanakan oleh manusia, mengacu pada syariat organisme “alam” yang sempurna. Tetapi organisme rakyat dan Ummat Islam Indonesia, pelaku utamanya bukanlah mereka. Ada Maha Subjek yang memperjalankan mereka berpuluh-puluh abad lamanya dalam ketangguhan dan misteri. *****

Menang Kalah, Hina Berkah (Tulisan ke-4 dari 10) Muhammad Ainun Nadjib • 9 Des 2016 Pustaka Emha, Tajuk Ada hal yang dikelola dengan harus mengetatkan “batasan”. Hal lain yang disikapi justru dengan membuka dan melonggarkan “luasan”. Kalau terbalik, solusi menjadi bumerang. Hukum “jumatan di jalan protokol” bisa terbalik antara view luasan dengan batasan. Maka disiapkan “ushulul-fiqh”: kemudaratan kecil boleh dilakukan untuk menghindarkan kemudaratan besar. Maka pindah ke Monas.

Dulu Salvador Dali Spanyol bikin lukisan surealis “Jam Meleleh”: bulatan jam dinding yang terbuat dari logam diletakkan di tepian meja, separuh terbaring di permukaannya, separuh lagi meleleh ke samping seakan-akan ia lembaran kain. Atau “Potret Diri”: profil wajah Dali yang berupa topeng, dengan dua mata yang hanya berupa lubang, serta leher yang sekaligus menjadi tubuhnya, badan hingga kaki. Surealisme melanggar logika: tulang punggung dari prinsip ilmu. Secara fisika, logam meleleh itu tidak logis dan tidak mungkin terjadi, kecuali pada suhu yang melelehkannya. Jamnya Dali utuh padat logamnya, tetapi bersifat seperti kain. Juga menentang pengetahuan dan ilmu jika wajah berupa topeng, matanya dua lubang, badannya hanya leher, dengan pangkalnya menjadi kaki yang berpijak di lantai. Artinya, keindahan lukisan Dali hanya bisa dinikmati jika kita membebaskan diri dari “luasan” prinsip ilmu, bahkan mungkin juga moral. Harus ketat “batasan” pada surealisme itu. Hidup adalah getaran atau dialektika antara batasan dengan luasan, antara cembung dengan cekung, antara melampiaskan dengan mengendalikan, antara dunia dengan akhirat. Getaran itu mengalir sepanjang kehidupan, aliran itu bergetar sepanjang zaman. Hukum berpegang pada “batasan”, ilmu mengembarai “luasan”. Jam logam padat yang meleleh itu dalam proyeksi ilmu sosial bisa berarti pelanggaran atas regulasi, penyelewengan dana suatu program ke wilayah yang tidak berhak untuk memperoleh dana itu. Dalam aturan moral yang cairpun itu pengingkaran atau kemungkaran. Apalagi kalau konteksnya adalah hukum yang padat: posisi benar atau salah dalam suatu kasus hukum tidak boleh dilelehkan. Sumpah jabatan tidak boleh meleleh. Aturan birokrasi tidak boleh dibelokkan seperti kain dilipat. Batasan harus diketatkan. 411-212 melihat BTP dengan batasan ataukah luasan? Ia adalah beberapa detik AlMaidah 51, ataukah ia “jari-jari kecil dari tangan besar”? Tetapi jari-jari kecil itupun adalah sebuah keseluruhan pada dirinya sendiri, suatu atmosfir, suhu, tekstur perilaku dengan tajaman-tajaman yang amat melukai. Ia bisa merupakan ujung salah satu pisau di genggaman tangan raksasa. Presiden bergumam: Susah menangani urusan Ahok, sebab sudah menjadi soal “roso”. Hukum bisa memakai “batasan”, tapi nanti dia dihukum atau dibebaskan, sama-sama akan memunculkan “luasan”. “Roso” itu menyebar seperti asap, dihisap mendalam sampai relung kalbu. Berseliweran dan mendengung-dengung di luasan ruang kemanusiaan, moral, psikologi, hati, perasaan, harga diri, psikologi Ummat Islam yang “lingsem karena kecenthok”, bahkan ke hakikat hubungan antara BTP sebagai buruh bayaran dengan rakyat yang menggajinya. Apalagi ada “luasan” bahwa penistaan satu ayat adalah juga penistaan atas seluruh isi Kitab. Penistaan atas Kitab Suci Agama apapun adalah penistaan atas Pancasila, yang sudah terlanjur disebut “sakti”. Sampai ke UUD 45 dan perkara amandemen semenamena atasnya. Pun kesepakatan konstitusional NKRI. Bahkan juga penistaan atas darah

dan kesengsaraan para pejuang yang merintis berdirinya Negara ini: sebagaimana peran leluhur itu diisyaratkan melalui anak 11 tahun dari Ciamis yang jalan kaki ke Monas “berjihad menggantikan almarhum Bapak saya”. Belum lagi kalau “luasan” ternyata melibatkan makhluk-makhluk yang bukan manusia. Sementara manusia menyangka hanya mereka saja yang hidup di bumi dan langit. Dan para penjajah menyangka mereka hanya berurusan dengan jumlah dan angka-angka. Himpunan hamba-hamba Allah di 411 dan 212 mungkin terlalu suntuk, spontan, sibuk, tergopoh-gopoh dan berjejal-jejal pikirannya sehingga tidak memperhatikan “batasan” dan “luasan” dari tema yang dikibarkannya. Sehingga tidak merasa mengalami antiklimaks begitu Presiden tiba-tiba muncul, menjadi pahlawan fatamorgana. Mereka terlalu khusyuk dalam “batasan”. Meneriakkan “Allahu Akbar” gembira atas hadirnya Presiden, padahal koordinatnya ada di “luasan” permasalahan kompleks rakyat Indonesia. Mereka bersujud di sajadah Al-Maidah 51, tidak sadar di belakang punggungnya ada monster raksasa, ada urusan pengikisan kedaulatan rakyat Indonesia atas tanah airnya, atas NKRI-nya, atas harta kekayaannya, serta atas martabat kebangsaan dan kemanusiaannya. Pengamat politik membaca: “Beruntung Presiden Jokowi bisa menutup langkah berlebihan aparatnya dengan membuat keputusan politik yang ciamik”. Serta, “Jokowi, orang ini bukan hanya bernyali, tapi ahli strategi, di samping itu dia bukan tipe yang mau dilayani. Lihatlah dia membawa payung sendiri padahal Wiranto sang menteri dipayungi….akan tetapi yang lebih penting Jokowi betul-betul menerapkan ujaran orang Jawa, menang tanpa ngasorake…” Bacalah kalimat-kalimat analisis itu dengan tema batasan dan luasan. “Beruntung”? Kalau temanya keuntungan, maka yang beruntung haruslah seluruh bangsa Indonesia. Tapi siapa maksudnya yang beruntung di kalimat itu? Pemerintah? Massa 212 yang tatkala 411 tak ditemuinya? Dan, “Ciamik”? Ciamik menurut dan bagi siapa? Kalimat dan kata ini diucapkan pada posisi suatu pihak ataukah pada koordinat dan lingkup NKRI? “Menang tanpa ngasorake”? Siapa yang menang dan siapa yang kalah? Siapakah di antara semua pihak yang berhak menang kecuali nasionalisme dan keutuhan NKRI? Apakah itu menangnya Iblis mempengaruhi Adam, sesudah masuk surga melalui mulut Naga yang menguap, kemudian keluar lewat duburnya dan menemui Adam dengan performa samaran? Lantas menggiringnya dari surga ke bumi? Apakah itu menangnya rombongan penipu yang mendatangi rumahmu, berpakaian keindahan, berperilaku kebaikan, serta bertutur kata kebenaran? Yang membuatmu terpikat dan mengucapkan takbir? Yang secara kasat mata mereka tidak merendahkan (ngasorake), tetapi sesudahnya engkau baru sadar bahwa telah dihancurkan? Jika engkau yang kalah, sebagaimana Bapa Adam yang juga dikelabui, maka engkau mulia, karena berposisi ditipu. Andaikan massa 212 kalah karena dibodohi, maka mereka berhak atas berkah Tuhan karena posisinya bukan membodohi. Sementara siapapun yang menang karena membodohi dan memperangkap, itu kemenangan yang hina. *****

Daur Pancasila dan Tajalli Tuhan (Tulisan ke-5 dari 10) Muhammad Ainun Nadjib • 10 Des 2016 Pustaka Emha, Tajuk

Sejumlah peristiwa besar dialami oleh bangsa Indonesia akhir-akhir ini. Saya tidak tahu apakah bangsa Indonesia butuh memaknainya atau tidak. Butuh mempelajarinya, belajar darinya, mengambil ilmu dan hikmahnya, atau tidak, untuk keperluan masa depannya. Saya bukan faktor apapun dalam seluruh peristiwa penting itu. Tetapi karena saya rakyat, saya ikut ditimpa. Sehingga mau tak mau saya harus melakukan peneguhan nilai atas semua itu. Maka saya memberlakukan pada diri saya sendiri beberapa prinsip. Pertama, di setiap kejadian, benda, getaran, aliran dan apa saja, harus diteliti dengan kelembutan dan kejernihan mana yang kerjaan manusia dan mana yang tajalli rahasia Tuhan. Khususnya apa saja yang “min haitsu la yahtasibu”, yang “di luar perhitungan mereka”. Bagi yang berbuat baik bisa optimis dengan itu, bagi yang sedang menjahati sesamanya ada perlunya waspada dengan itu. Kedua, puncak cita-cita dan perjuangan bangsa Indonesia adalah Sila-5: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Jadi untuk proses peneguhan itu, hulu dan hilirnya haruslah keadilan. Ketiga, karena saya penikmat Pancasila, maka saya mengambil kunci sikap dari Sila-1, melalui jalur informasi Agama yang saya peluk: “Janganlah kebencianmu kepada suatu kaum membuatmu bersikap tidak adil”. Ditambah bentangan cakrawala probabilitas dinamisnya: “Sesuatu yang kau benci mungkin itu baik bagimu, dan sesuatu yang kau cintai mungkin itu buruk bagimu”. Bisa berarti: “Bersiaplah, yang kamu sangka menang bisa kalah, yang kamu pikir kalah malah menang”. Sehingga saya wajib menghindari pola sikap “like and dislike”. Umpamanya pada 411212, saya harus berpandangan adil terhadap sisi positif maupun negatifnya. Demikian juga terhadap Polri, Pemerintah dan pihak manapun saja. Cara pandang yang paling mengerikan sehingga saya hindari adalah: “pihak yang saya sukai pasti baik 100%, sedangkan yang saya tentang pasti buruk 100%”. Keempat, saya melarang diri untuk melakukan pemihakan atau keberpihakan berdasarkan “identitas”, serta mewajibkan diri saya untuk berpihak berdasarkan “nilai”. Itu pun, demi Pancasila, harus nilai yang permanen, sejati dan abadi. Dan tak mungkin saya dapatkan itu kecuali dari Sila-1. Saya berpihak kepada syariat Allah yang sudah sejak awal penciptaan diberlangsungkan di alam raya dan diri manusia — misalnya aturan gravitasi, kepastian fajar dan senja, lahir dan mati — yang kemudian disempurnakan informasinya melalui Kitab Suci. Kalau saya ingin turut beramai-ramai menghancurkan Indonesia, saya akan rintis ketidakadilan sejak dari niat hati dan pola pikir. Sejak dari pikiran, saya harus tidak adil, curang, egosentris, dan mencari menangnya sendiri. Kemudian saya mencanggihkan manajemen saya, menumpuk modal, mendominasi akses-akses, menjaring apa saja dan memobilisir siapa saja, demi penguasaan saya atas Indonesia. Itu berarti, sejak dari awal berpikir, saya sudah menentang Tuhan, padahal Ia yang mewajibkan saya lahir di suatu petak Bumi dan menjadi Khalifah di tempat itu. Yang saya lakukan bukan mengkhalifahi Indonesia, bukan menyumbangkan perjuangan “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”, juga tidak merintis “mamayu hayuning bawana Indonesia”, “gemah ripah loh jinawi” dan “baldatun thayyibatun wa Rabbun Ghafur”. Melainkan menjalankan kekuasaan, penguasaan, penaklukan, penjajahan, kalau perlu pemusnahan. Tetapi kalau saya mau membangun kembali Indonesia dari kehancurannya, saya mendayagunakan Pancasila sebagai daur metodologis transformatif. Butir-butir

Pancasila tidak saya perlakukan sebagai pointers, melainkan sebagai skema dinamis, sebagai siklus teknologi sosial, atau daur pemberadaban Bangsa Indonesia. Misalnya, kalau Sila-5 “Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia” adalah goal yang belum pernah tercapai, masih impian, maka problemnya pasti terletak pada kinerja Penyelenggara Negara dan Pemerintah, yakni Sila-4. “Permusyawaratan dan Perwakilan” adalah pondasi pemahaman yang membedakan antara Negara dengan Pemerintah. Yang meniscayakan bahwa Pemerintah bukanlah Negara. Majelis Permusyawaratan adalah lembaga Negara, majelis-nya Rakyat. Sedangkan Dewan Perwakilan adalah bagian dari lembaga segitiga kepemerintahan. Permusyawaratan Rakyat adalah kebijakan “Keluarga”, sementara Dewan Perwakilan dan Pemerintah adalah petugas “Rumah tangga”. Sila-4 berisi kata-kata agung, sakral, kunci nilai, inti entitas dan mungkin terasa muluk: kerakyatan, hikmat, kebijaksanaan, permusyawaratan, perwakilan. Kata “kerakyatan” itu bahasa kesejatian, semacam hamparan tanah di mana pondasi keadilan dibangun. Kalau pakai asal usul epistemologis: “Hikmat Kebijaksanaan” adalah bahasa filosofi dan ilmu, bukan kosakata konstitusi dan hukum padat, melainkan mata airnya. Hikmat, hikmah, dengan famili epistemologis hakama, yahkumu, hukman, hakim: adalah presisi terhadap titik adil. Hikmah adalah pengelolaan peta masalah yang dijujuri dan diadili sampai ke tetesan esensial keadilan. Adapun kebijaksanaan adalah yang terlembut dari cinta. Adalah sentuhan paling indah dari kebersamaan nasionalisme. Permusyawaratan diwadahi oleh Majelis: tempat duduk para sesepuh rakyat di Lembaga Negara. Sedangkan keputusan-keputusan, kertas dan pena, terletak di atas Dewan, “Diwan”, atau meja, yang dilaksanakan oleh segitiga pemerintahan. Kalau Sila-4 masih gagal memproduksi Sila-5, maka salah satu diagnonisnya adalah Sila3 perlu dihitung dan dipertimbangkan kembali keberadaannya. Sila-3 adalah parpol, ormas, yang berdialektika dengan berbagai dimensi ketokohan nasional — yang memproduksi Tim Penyelenggara Negara dan Pemerintah. Kalau terbukti selama ini para subjek Sila-3 melakukan dan menghasilkan yang sebaliknya dari substansi “Persatuan Indonesia” — yakni justru menjadi sumber terpecah-belahnya rakyat, terkotak-kotaknya rakyat, tercerai-berainya manusia Indonesia — maka pasti ada yang salah pada aplikasi Sila-3. Dan kalau Sila-3 terbukti kontra produktif, maka mungkin dunia kependidikan, yakni Sila2, laboratorium pengolah anak-anak bangsa agar ber-“Kemanusiaan yang adil dan beradab”, yang juga gagal. Kemudian kalau ditelusuri sebab-akibatnya, mungkin karena Sila-1, “Ketuhanan Yang Maha Esa” belum sungguh-sungguh dijadikan pijakan nilai kehidupan Bangsa Indonesia. Kita masih “iseng” kepada Tuhan, sehingga maaf-maaf akan kita alami kejutan-kejutan sejarah. Maka Pancasila senantiasa perlu didaur ulang perwujudannya dengan memperhitungkan tajalli Tuhan di semua Sila. *****

Jihad Akbar dan Benteng Nusantara (Tulisan ke-6 dari 10) Muhammad Ainun Nadjib • 11 Des 2016 Pustaka Emha, Tajuk Saya bertamu ke rumah sahabat lama. Sejak hampir setengah abad silam kami sudah berteman baik. Seorang Cina Benteng atau Cina Pribumi. Yakni sedulur Cina yang merasa dirinya orang pribumi Indonesia, yang di hatinya melingkar benteng nasionalisme NKRI. Berbeda dari sedulur-sedulur lain yang benderanya adalah materialisme: tak

penting tinggal di mana, menyimpan uang di mana, yang penting cari laba. Labanya pun tak ada batasnya, kalau bisa seluruh Indonesia mereka genggam di tangannya. Dia agak kaget kali ini karena saya datang bersama sahabat yang dia belum kenal, yang berpakaian putih-putih dari bawah sampai ikat kepala. Tegang dia. Kami dipersilakan duduk, dia teriak ke belakang minta kopi. Saya memperkenalkan sahabat putih-putih ini, sambil membuka-buka Katalog 500 lukisan Indonesia koleksi Bung Karno, yang pamerannya gagal diselenggarakan karena keburu dilengserkan menyusul dibunuhnya John F. Kennedy. Dia lebih kaget lagi ketika tiba-tiba saya bertanya: “Karena pusing merasakan perkembangan akhir-akhir ini, bagaimana kalau saya jadi anti-Cina?”. Tentu saja dia terperangah. Dia seorang Ibu. Umurnya nenek-nenek. Pemerintah RI di awal kemerdekaan menganjurkan agar nama Tionghoanya diganti Indonesia. Maka ia mengubah namanya menjadi “Indonesia”. Panggilannya Ida. Sesudah salah tingkah beberapa saat oleh pertanyaan saya, ternyata akhirnya ia tertawa. Bahkan agak lama dan terkekeh-kekeh. “Kok Riko tertawa?”, saya bertanya. Riko itu (“o”nya dibaca seperti di kata Ponorogo, bukan Solo atau Oslo) dalam bahasa Jawa Timur berarti “Sampeyan” atau “Panjenengan” kalau di Yogya-Solo. Riko lebih kelas bawah, dusun atau sangat jalanan. Terkadang Riko diganti Ndiko. “Kalau anti-Cina, berarti itu bukan Ndiko”, katanya. “Maksud Riko?” “Ndiko kan pengecut, apalagi urusan sama Tuhan. Cina, Melayu, Jawa, Sunda, Madura, Barat, Arab sampai induknya dulu, Samawi dan Altai, kan karya Tuhan. Kalau membenci lukisan, berarti menyakiti pelukisnya” “Tapi kalau lukisannya buruk, kan kita jengkel pada pelukisnya” “Lukisan selalu ada yang bagus dan ada yang buruk. Mosok gara-gara lukisan jelek Ndiko jadi anti pelukisnya, tanpa memperhatikan lukisan lain yang bagus” “Jadi, kalau saya tidak anti-Cina”, kata saya, “siapa musuh kita sekarang ini menurut Riko? Beruang? Naga?” Si Benteng Pribumi itu menjawab serius: “Bangsa Indonesia tidak punya musuh, karena jiwa mereka mengayomi dan mengasuh, sehingga tidak memusuhi siapapun. Bangsa Indonesia sekarang ini sedang dimusuhi, didholimi, ditikam dari belakang, dijebak, dikempongi, dilucuti, dikuasai dengan siasat dan akal-akalan yang luar biasa, tetapi rakyat Indonesia tidak dendam, tidak pernah berpikir untuk membalas” “Apakah yang mendholimi kita itu bukan musuh kita?” “Yang harus kita tolak dan lawan adalah kedholimannya, keserakahannya, keculasannya, pelampiasan-pelampiasan nafsu dengan menjebak kita yang harus mengongkosinya” Saya tersenyum, tapi saya sembunyikan. Maksud saya memang supaya dia berceloteh banyak tentang “gambar besar”, supaya didengar oleh sahabat putih-putih saya. “Apa ini yang Riko sering omongkan tentang kapitalisme global, yang Gubernur Jendralnya di Indonesia adalah Sembilan Naga? “Ya terserah apa namanya” “Globalisasi?” “Itu cara mencapainya”

“Kapitalisme liberal?” “Itu genre mutakhirnya” Kemudian radio siaran sendiri dari mulutnya. Sambil mengelus-elus Tongkat Cheng Ho koleksi di rumahnya, saya mendengarkan sambil berharap sahabat putih-putih saya mendengarkannya juga. “Kapitalisme Global merupakan kekuatan organisasional yang menciptakan superorganisme sedunia, yang dikendalikan oleh sekelompok masyarakat dunia dengan satu tujuan yaitu menguasai dunia. Seluruh kekayaan bumi diupayakan menjadi miliknya, minimal di bawah kendalinya. Pada bentang panjang sejarah peradaban manusia, Kapitalisme Global sesungguhnya merupakan metamorfosa dari kekuatan-kekuatan besar penguasa bumi. Imperialisme dan Kolonialisme hanyalah merupakan satu babak pendahulu. Di abad gegap gempita sekarang ini, Kapitalisme Global semakin kuat dengan segala kelengkapan organnya. Bahkan Negara-negara besar dan maju tunduk menjalankan agendanya. Dan di era sekarang ini, di seluruh permukaan bumi ini, Indonesia adalah Negeri paling seksi untuk panggung konser kecerdasan para pelakunya. Pertama, karena kekayaan buminya yang melimpah. Kedua, jumlah warga negaranya yang besar. Dan untuk konteks Indonesia dengan bentuk Negara Kesatuan Republik (NKRI), kekuatan Kapitalisme Global menjalankan dua agenda besar yaitu Melemahkan Negara dan Melemahkan Rakyat. Karena bagi Kapitalisme Global, Negara harus tetap ada dan negara harus dipertahankan keberlangsungannya. Maka kita disuruh meneriakkan “NKRI Harga Mati”. Mengapa? Karena Negara merupakan bentuk pelembagaan atau institusionalisasi dari kedaulatan ummat manusia atau bangsa yang mendiami sebuah wilayah. Maka segenap aparatur pemegang mandat pengelola negara menjadi satu-satunya penguasa atas kedaulatan wilayah tersebut. Maka cukup dengan menguasai aparatur Negara, selesailah segala urusan. Pegang Presiden, Menteri, Gubernur, bahkan sampai Bupati, bola-bola pun masuk gawang. Karena itulah maka sistem apapun yang diterapkan oleh Negara — terserah mau demokrasi, teokrasi, monarki, atau khilafah — tidak jadi masalah asalkan Negara dipertahankan tetap ada, sesuai dengan formula mereka. Dalam hal ini Kapitalisme Global menjadi kekuatan bayangan di balik negara resmi. Dan aparatur resmi pengelola negara dijadikan Aparatur Pelaksana Kapitalisme Global….” Saya tidak cukup terpelajar untuk menjelaskan hal-hal begini, maka saya pinjam mulut sahabat saya. Sebenarnya secara pribadi saya cuek pada itu semua. Karena hidup ini saya jalani dengan prinsip puasa. Sangat menahan diri dan mengendalikan kemauan. Saya hidup dengan konsumsi minimal, terutama yang terkait dengan meterialisme. Juga saya tidak punya agenda, cita-cita, dan karier. Tidak membangun eksistensi, tidak mengejar jabatan dan harta benda. Tidak juga kagum kepada kepandaian atau kehebatan. Apalagi gaya hidup, pencitraan, profiling atau segala hal yang lucu dan lebay seperti itu. Dunia yang ini tidak terlalu memikat hati. Jadi musuh utama manusia sebenarnya adalah yang terletak di dalam jiwanya dan mengalir di darahnya sendiri, yaitu Materialisme, atau “hubbud-dunya wa karohiyatul maut”. Ummat Islam tahu, menurut Rasulullah, Jihad Akbar adalah “melawan nafsu” di dalam diri sendiri. Materialisme punya anak yang cerdas dan canggih, namanya

Kapitalisme Global. Ia “mengawini” ummat manusia yang Tuhannya adalah konsumtivisme-materiil, hedonisme, dan takhayul kemewahan. Kapitalisme Global juga tak perlu diboikot, yang perlu diboikot adalah jiwa materialisme di dalam diri manusia sendiri. *****

Dialektika Damai dan Keadilan (Tulisan ke-7 dari 10) Muhammad Ainun Nadjib • 12 Des 2016 Pustaka Emha, Tajuk Ummat Islam, terutama para pejuang 411-212 harus terus “waltandzur nafsun ma qaddamat lighod”, hendaklah melihat beragam kemungkinan yang bisa terjadi di depan. Tidak ada janji siapapun bahwa yang akan berlangsung adalah sebagaimana yang dikehendaki atau diperjuangkan untuk berlangsung. Tidak ada kepastian bahwa yang akan terjadi adalah yang secara logika dan hukum seharusnya terjadi. Tahap proses beralihnya shalat Jumat dari jalan protokol Thamrin-Sudirman ke Monas, antara lain dijembatani oleh asas ushulul-fiqh “mudarat kecil boleh dilakukan untuk menghindari mudarat besar”, atau “kalau ada dua mudarat berbenturan, wajib dipilih yang lebih kecil atau ringan”. Tahap saat-saat ini mungkin asas itu bisa dipertimbangkan juga: “kalau melepasnya untuk dihukum dianggap mudarat kecil, bisa dipertimbangkan, demi menghindarkan mudarat besar yang timbul kalau hal itu tak dilakukan”. Semua pihak yang berada dalam “tarik tambang” masalah itu sebaiknya berhitung lebih matang. Misalnya “sesuatu yang tidak kelihatan tidak berarti tidak ada”, “biasanya yang tak tampak mengendalikan yang tampak”, “ada kebenaran yang berwajah, ada kebenaran di balik wajah”, “setan sangat berperan tanpa pernah tampil, demikian juga Malaikat”. Hitung-hitung sambil belajar memahami bahwa musuh utama manusia adalah jiwa yang dipersempit oleh materialisme sehingga menjadi hanya nafsu. Materialisme adalah kalau ada kasus korupsi, yang kita sesali adalah uang atau barang yang hilang. Korupsi kita perlakukan sebagai kasus materialisme. Tidak kita pandang sebagai kasus moral dan kualitas kemanusiaan, yang membuat kita sedih kenapa manusia kok mencuri. Materialisme membuat manusia pandai melihat uang dan harta, tapi buta terhadap martabat hidup, karena tidak tampak oleh mata. Kaum materialis biasa merasa bangga ketika seharusnya merasa hina, atau malah melambai-lambaikan tangannya ketika semestinya merasa malu. Sikap materialistik adalah kalau ada tambang dirampok, kita merasa eman kehilangan gunung emasnya. Tidak kita pandang sebagai kasus martabat, di mana kedaulatan kita dilecehkan, wajah keIndonesiaan kita diludahi. Maka tatkala pantai direklamasi, dan pagar Negara atas hak milik tanah dan properti dirobohkan – tidak dirasakan sebagai penghinaan eksistensi dan pelecehan atas harga diri. Penuhanan materi adalah memilih pemimpin berdasarkan jumlah angka pemilih, bukan mengandalkan proses sosial yang mengidentifikasi potensi kepemimpinan seseorang, moralnya, integritasnya, kesetiaan kerakyatannya, atau kadar kasih sayang sosialnya. Skema materialisme dalam berpikir adalah mengakui kebesaran karya candi Borobudur, tapi tidak tahu siapa arsitek dan pekerjanya, yang tidak pernah menampilkan sosoknya. Prajurit tidak diakui bukti perjuangannya hanya pada meluncurnya peluru, sehingga senapannya harus tampak dan penembaknya harus nongol. Malaikat yang berperan sangat besar di 212 tidak diakui, karena yang dianggap berjuang hanyalah yang tampak

mata di Monas. Bahkan kaum materialis tidak tahu siapa yang menyutradarai seseorang menjadi Presiden. Juga tak bisa menganalisis pekikan gembira “Allahu Akbar” itu kemenangan bagi siapa serta kekalahan bagi pihak mana. Materialisme adalah menjalani Agama dengan mengonsep surga sebagai puncak limpahan kekayaan, sehingga bisa mengalami kemewahan materialistik, yang tidak tercapai dalam kehidupan di dunia. Penuhanan materi adalah beribadah dengan pelaksanaan syariat, tanpa titik berat hakikat. Adalah shalat untuk mendapatkan laba, dan bersedekah untuk memperoleh kelipatan dan penggandaan pahala. Yang itu semua dihitung dengan pola pikir materi, bukan perjuangan kerinduan untuk memperdalam kualitas cinta kepada Tuhan. Bukan “faman kana yarju liqo`a Robbihi”, mendambakan perjumpaan cinta dengan Sang Maha Kekasih. Tatkala sebagian kecil Ummat Islam berkumpul di Jakarta pada 411-212, yang menggetarkan semua pihak adalah jumlahnya. Karena penyembah materialisme hanya terlatih melihat angka, benda, dan jumlah. Hampir tak ada yang “kasyful hijab”, menguak rahasia kualitas nilai di baliknya. Juga jarang yang berpikir bahwa perhelatan cinta itu namanya sangat dilematis secara nilai dan ilmu. Misalnya, kalau tidak disebut “damai”, pasti salah. Tapi kalau disebut “damai”, tidak realistis. Sebab kedamaian itu produk keadilan. Damai tidak bisa berdiri sendiri, bukan program yang an sich. Damai itu akibat, dan sebabnya adalah keadilan. Jangan ajak orang berdamai sambil menganiayanya. Rangkullah untuk bekerja sama membangun keadilan, hasilnya adalah kedamaian. Wajah 411-212 membuktikan kepada dunia bahwa ia berlangsung damai, tulus, dan khusyuk. Bahkan ia dinamakan “super damai” karena mendalamnya niat untuk membuktikan jiwa damai Ummat Islam. Padahal asal-usulnya mereka berkumpul justru karena menuntut keadilan. Damai yang sejati, genuine, dan otentik terjadi kalau keadilan dilaksanakan. Bukan hanya “gambar kecil” Pulau Seribu, tapi terutama “gambar besar”: cacat Negara, krisis kepemimpinan yang sangat parah, ketidakseimbangan pemerintahan, ketimpangan ekonomi, terkikisnya martabat bangsa, multi-disharmoni dalam kehidupan bangsa dan masyarakat. Meskipun demikian, keadilan dan kedamaian memang bukan untuk dicapai, melainkan untuk dituju. Diperjuangkan. Terus diperjuangkan di jalan panjang. “Wa idza faraghta fanshab, wa ila Robbika farghab”. Selesai satu tahap, kerjakan berikutnya. Tapi berharapnya hanya kepada Allah, tidak kepada Pemerintah. *****

“Selamat Tinggal”, Kata Ibu Pertiwi (Tulisan ke-8 dari 10) Muhammad Ainun Nadjib • 13 Des 2016 Esai, Pustaka Emha Kalau pertengkaran nasional ini memang tak akan kita akhiri. Kalau saling curiga, benci, dan memusuhi ini tak kita upayakan bersama untuk selesai. Kalau tak henti-henti saling memunafiki, menikam dari belakang, lain mulut lain hati, saling hipokrit dan melamisi. Kalau kebiasaan tidak dewasa, mudah mengutuk, dan tradisi saling menghancurkan ini terus kita nikmati. Maka mungkin yang perlu kita siapkan adalah ucapan “Selamat Tinggal Ibu Pertiwi”. Mungkin dulu Bangsa Indonesia salah “akad nikah”nya. Bersumpah kita adalah Bhinneka, ada merah hijau kuning biru coklat dll, tapi kalau bicara warna dituduh rasis-

rasialis. Mata kita harus sempit dengan melihat hanya merah dan putih saja. Tapi kalau omong kulit putih, dituding SARA juga, hingga tinggal merah darah. Mungkin Tunggal Ika-nya agak masalah. Bhinneka harus hilang, tinggal Tunggal, dipimpin Ika. Harus ada satu yang dominan dan menguasai. Merah menghampar di seluruh Negeri, mempersilakan putih memimpin dan pegang kendali. Mungkin beda kalau “Bhinneka Manunggal Ika”. Manunggal itu kata kerja yang dinamis. Bangsa Indonesia tetap bhinneka, tapi mencari wilayah persatuan dan kesatuannya (manunggal) secara dinamis dan bertahap. Akan tetapi kalau kita meneruskan kehidupan berbangsa dan bernegara dengan meletakkan Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila, Rakyat, NKRI Harga Mati, Demokrasi, Persatuan Kesatuan, Kemajuan dan Pembangunan, dst sekadar untuk sarana prasarana pencapaian kepentingan pribadi dan golongan – ya nanti bukan hanya kita mengucapkan “Selamat Tinggal Ibu Pertiwi”. Bahkan sekarang Ibu Pertiwi sudah sangat sakit hati, mengurung diri di bilik sepi, dan tidak mau bicara sama sekali, kecuali di hatinya bergumam: “Selamat Tinggal”. Ibu Pertiwi berduka, mulutnya dikunci. Di forum Kenduri Cinta Jakarta, Juni 2015, saya coba uraikan; karena sejak berlakunya prinsip Globalisasi, dihapuslah konsep Pribumi. Karena skema Demokrasi, dirobohkanlah Pagar Negara, dan dihentikanlah romantisme Tanah Air dan Nagari. Ibu Pertiwi adalah seluruh Bumi. Setiap jengkal tanah di bumi adalah hak setiap manusia. Itulah sebabnya pemimpinmu membukakan lebar-lebar pintu pemilikan tanah dan properti di wilayah yang ia digaji untuk bertanggung jawab atasnya, untuk siapapun saja makhluk Bumi. Setiap Khalifah Bumi, atas SK dari Tuhan, berhak untuk membaringkan badan di petak tanah manapun di seantero bumi. Berhak memiliki tanah pijakannya, berhak membangun rumah di atasnya, berhak mendirikan usaha dan melebarkannya sesuai dengan kemampuan determinasi dan kreativitasnya. Tuhan menginformasikan di Surah Al-Anbiya 96-97 bahwa “…mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi…”. Kalau Anda menggambar Bumi dan Mata Angin, arah selatan di bawah, arah utara di atas. Migrasi massal, meskipun bertahap, dari utara ke “tanah tumpah darah”mu. Bisa 10 juta, hingga lebih dari 100 juta. Sembilan Naga mempanitiainya, dan saudaramu (“Akhuk”, “Akhok”) sendiri menjadi eksekutor garda depannya. Pemetaan Nasional, “Bun(i) Yan(i)” Nusantara direkonstruksi total menjadi Pemetaan Global. Informasi Tuhan itu menyebut “Hingga apabila dibukakan (tembok) Ya’juj dan Ma’juj”, dan tembok itu sudah dibuka total, penghuni yang semua dikurung di dalam tembok itu, kini menyebar ke seantero Bumi. Semua Negeri bergabung menjadi bagian dari Satu Dunia. Barangsiapa menolak atau melawan, akan dihancurkan. Barangsiapa mematuhi, akan dimakmurkan secara keduniaan. Dan Bangsa di kepulauan Nusantara sudah lama menyiapkan diri untuk memilih kemakmuran materialisme daripada prinsip nilai-nilai lainnya. Selamat datang Ya’juj dan Ma’juj, Gog Magog. Mereka berwajah lebar, berkulit terang, dan bermata mengincar. Menurut Muhammad Saw: “Kalian mengatakan tidak ada musuh. Padahal sesungguhnya kalian akan terus memerangi musuh sampai datangnya Ya’juj wa Ma’juj, lebar mukanya, kecil matanya, dan ada warna putih di rambut atas. Mereka mengalir dari tempat-tempat yang tinggi, seakan-akan wajah-wajah mereka seperti perisai”

Mereka adalah bagian dari Bangsa Altai, saudara termuda kita, yang dulu Jepang memanipulasi kita dengan term “Saudara Tua”. Padahal mereka adalah cucu bungsu kita. Mereka berkembang dari trah Yafits putra Nuh. Sedangkan Nabi Nuh dengan keluarga Samawinya di Turki, Iran, Arab, dll adalah cucu sulung kita. Kalau Negara membuka pintu rumah dan pagar tanah Nusantara, sesungguhnya ia sedang mengucapkan selamat datang kembali kepada cucu-cucunya. Mereka mudik berduyun-duyun kembali ke kampung halamannya. Dajjal sudah “nyingkal nggaru” alam pikiran bangsa-bangsa di dunia sejak Renaissance: “mensosialisasikan Neraka sebagai Surga, mewanti-wantikan Surga sebagai Neraka”, “membolak-balik hati dan pikiran manusia”, “mencuci jiwa dan kemanusiaan menjadi sempit, pendek, dan dangkal”. Siapapun jangan GR, hindari besar kepala. Kalau dunia memujimu (lembaga-lembaga internasional, negara-negara besar, atau malahan Palestina, dll), itu berasal dari akal pikiran yang sudah dibalik, atau ketidaklengkapan persepsi, atau bahkan siasat dan tipu daya. Kalau pakai term Tuhan: “mereka membisikkan perkataan-perkataan yang indah-indah untuk menipu manusia”, sehingga memunggungi hakiki kesejatian ruhani hidupnya, kemudian “kehidupan dunia dijadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir”. Kafir adalah yang memunggungi kesejatian dan keabadian. Tidak perlu mendramatisasikan “jaman edan”nya Ronggowarsito, sebab skala wawasannya ketika itu hanya seputar Solo dan Yogya. Juga Jongko Joyoboyo, sebab ia terjemahan Kitab Al-Asrar Persia. Jangan melankolik pula kepada “Satria Piningit”, sebab posisinya selalu “piningit”: tersembunyi. Begitu ia muncul, bukan “piningit” lagi. Pun Ratu Adil, sebab di peradaban Demokrasi, Raja dan Ratu itu halusinasi. Ratu Adil duduk kesepian di singgasana tersembunyi di dalam hati nuranimu sendiri. Mungkin secara simbolik masih bisa dimaknai term Kolobendu Kolosobo. Joko Linglung putra Lembu Peteng Ajisoko. Jumeneng “Petruk Dadi Ratu”. Meresmikan secara total Globalisasi, dengan menyempurnakan Kapitalisme Global. Goro-goro, letusan-letusan, hingga Perang Saudara. Kemudian “Wong Jowo Kari Separo, Cino Kari Sakjodo, Londo Gela-gelo”. Yang dimaksud Jowo bukan Suku Jawa, melainkan lingkup kebhinnekaan yang beribu kota di Pulau Jawa. “Kari Separo”. Tinggal separuh. Bisa badan atas saja atau badan bawah saja. Bisa lelaki saja dan perempuan saja. Bisa tinggal separuh nilai asli dan kepribumiannya. Tapi yang jelas yang tinggal separuh, tak punya kelengkapan untuk melanjutkan sejarah. Yang meregenerasi dan berpopulasi adalah yang “sejodo”. Lengkap ada lelaki ada perempuan. Sejodo tidak sama dengan dua orang. Bisa seratus juta orang, yang penting sejodo lelaki dan perempuan. Adapun “Londo Gela-gelo”, cukup duduk di kursi, pegang remote control, yang sudah didesain sejak hampir semilenium silam dan fixing-nya di abad 18. Bagi Ummat Islam, ada kalimat-kalimat jawaban untuk itu semua, tetapi saya bukan siapa-siapa di tengah kalian semua, sehingga perkenankan saya menyimpannya. *****

Ummat Islam Bela NKRI (Tulisan ke-9 dari 10) Muhammad Ainun Nadjib • 14 Des 2016 Pustaka Emha, Tajuk Kalau Allah menghidayahi dan memerintahkan Ummat Islam untuk berhimpun lagi pada suatu siang, saya berpendapat yang mereka lakukan adalah “Ummat Islam Bela NKRI”.

Membela kedaulatan NKRI adalah perwujudan yang membumi dari Bela-Islam pada koordinat ruang dan waktu yang terukur. Syariat Allah menakdirkan alias mewajibkan mereka lahir di Bumi Nusantara, NKRI merupakan rumah mereka, dan di situlah skala teritorial SK Allah Swt “Aku tetapkan Khalifah di bumi”. Bela NKRI adalah proporsi atau maqam ruang waktu Ummat Islam di teritorial tanah Nusantara ini. Islam bukan rumah, Islam adalah cahaya di kalbu Ummat Islam dan energi di akal pikiran mereka. Bela alam jangan sampai rusak adalah bela Islam. Merawat kebun, mendayagunakan sawah, memelihara lingkungan hidup, adalah bela Islam. Mempertahankan keluarga jangan sampai terseret menuju neraka, adalah bela Islam. Kalau itu semua bukan bela Islam, maka apa saja lingkup “rahmatan lil’alamin”? Termasuk Perlawanan terhadap penistaan Agama, adalah pembelaan terhadap NKRI, karena NKRI menjunjung Agama. Bela NKRI adalah bagian dari bela Islam. Para analis politik mendikotomikan antara “Nasionalis” dan “Islamis”, seolah-olah Ummat Islam anti-nasionalisme, dan kaum nasionalis pasti semuanya anti-Islam. Sebagaimana penyesatan cara berpikir yang mempertentangkan Demokrasi vs Islam dengan mengabaikan dimensi substansial keduanya. Maka Ummat Islam perlu berpikir lebih esensial dan substansial, agar tidak dipermainkan oleh siasat terminologi dan tipu daya teori-teori politik. NKRI bukan area permusuhan antara pemeluk Islam melawan atau dilawan oleh pemeluk Nasrani, Hindu, Budha, Konghucu. Bukan altar pertengkaran antara madzhab-madzhab dalam Islam, antara NU, Muhammadiyah, dan golongan apapun saja. Bukan tlatah pertempuran antara Jawa melawan atau dilawan oleh Sunda, Madura, Bugis, Batak, dan komunalitas apapun saja. NKRI adalah rumah besar tempat mereka hidup bersama, bergandeng tangan, menyusun mata rantai pertahanan dan dukung-mendukung kekuatan, untuk memastikan mereka tidak dijajah, ditipu daya, disiasati, dan diintervensi oleh racun kimia Dajjal dan tusuk jarum Ya’juj dan Ma’juj. Kalimat ini diucapkan oleh seorang yang lemah dan penakut, yang hidup sejak era Sukarno, Suharto, hingga kini, juga secara penakut dan tak berdaya. Sebagai penakut saya diam-diam memohon kepada Tuhan: “Sekerdil apapun, hamba memohon agar sekurang-kurangnya dijadikan semut kecil yang menempuh gunung dan lembah, mengangkut seperseratus tetes air, menuju tempat Sang Brahma Ibrahim dibakar oleh kuasa Firaun. Kalau semut masih terlalu tinggi kemuliaannya bagiku, jadikan aku lebih rendah, yakni Raqim si anjing di pintu Gua Kahfi. Kalau anjing masih sesuatu, sedangkan aku tak pernah mencapai sesuatu, maka rendahkanlah hamba menjadi hanya kaki anjing Kitmir itu: menjuntai di mulut Gua. Sehingga semua orang yang lewat menyangka Gua itu adalah sarang anjing, sampai mereka jijik untuk memasukinya, sehingga terlindunglah para Ashabul Kahfi penghuni Gua selama 309 tahun”. Kalau Ummat Islam membela Islam, mereka menjadi minoritas di NKRI. Tapi kalau mereka membela NKRI, mereka adalah mayoritas. Kalau mereka mempertahankan NKRI, mereka mungkin tetap diremehkan dan dihina-hina di permukaan bumi, tetapi mereka punya daya negosiasi ke langit. Cara berpikir materialisme dan pola pandang Demokrasi menitikberatkan realitas kehidupan manusia pada jumlah. Dan itu merupakan siasat sejarah untuk menyebarkan hiburan palsu kepada Ummat Islam yang diyakinkan bahwa mereka mayoritas di Indonesia. Manusia adalah binatang dengan anatomi tulang, gumpalan daging, aliran darah, bulatan kepala, tangan, kaki, dan bagian jasad lainnya. Sebagaimana binatang. Tetapi binatang

itu menjadi bernama manusia karena segumpal kalbu (huma cinta) dan akal (otak yang disentuh oleh pendaran gelombang hidayah Allah sehingga bisa berpikir). Dua itulah penggenggam “saham mayoritas” hakiki eksistensi manusia, di samping syahwat dan perutnya. Yang berkuasa adalah dua plus dua itu, sedangkan seluruh jasadnya adalah “pelengkap penderita” yang digerakkan dan dikendalikan. Jadi Ummat Islam sama sekali bukan mayoritas di Indonesia, kecuali dilihat dari cara berpikir materialisme dan pola pandang Demokrasi. Sebab mereka hanya jumlah. Mereka bukan pemilik modal mayoritas, bukan penentu langkah-langkah Republik, rendah daya negosiasinya terhadap kebijakan-kebijakan Pemerintah. Ummat Islam hanya keranjang sampah, hanya maf’ulun-bih (yang ditimpa). Pimpinan dan pejabat-pejabat Pemerintahan mungkin kebanyakan beragama Islam, tetapi belum tentu mereka adalah bagian yang kualitatif dan fungsional dari Islam. Beberapa hari yang lalu saya bertanya: “Kalau Ahok ditargetkan untuk bebas atau maksimal hukuman percobaan, apakah sudah disimulasi dengan matang probabilitas yang akan terjadi?”. Dijawab: “Sedang diolah. Segera akan ada paparan tentang itu”. Jawaban yang lebih saya tunggu adalah “Lho, siapa yang menargetkan ia bebas?”. Tapi bukan itu jawabannya, sehingga menjadi jelas informasinya. Ummat Islam perlu memperluas pandangannya ke hamparan persoalan NKRI hari ini hingga ke depan. Sesudah 411, saya berdoa agar dilangsungkan pertemuan kepemimpinan Ummat, di mana para pemimpin Islam berkumpul. Kemudian memperluasnya dengan pertemuan kepemimpinan rakyat dalam skala NKRI. Saya menyebutnya “Musyawarah Darurat Ummat Islam Indonesia”, kemudian “Kongres Darurat Musyawarah Rakyat Indonesia”. “Wahai saudaraku, 411 bukanlah gambaran keseluruhan Ummat Islam di negeri ini. 411 hanyalah PPPK darurat. Sekarang marilah wa amruhum syura bainahum di Rumah Sakit Sejarah NKRI, berunding mendiagnosis penyakit kita bersama, kemudian menyepakati terapi kolektif nasional untuk pengobatan dan pemulihan bertahap jangka pendek, menengah, dan panjang”. “Kita sedang dihajar oleh penguasa Dunia dan dimain-mainkan oleh stakeholders globalisme. Kita menyatukan haul, quwwah wa sulthan minallah, tidak untuk menghajar balik Dunia, melainkan menemukan formula yang tepat, dengan ta’rifi dan tahqiqi yang selembut-lembutnya, bagaimana rahmatan lil’alamin dibumikan. Kita diinjak-injak dan dihina, tetapi tidak merancang untuk menginjak-injak dan menghina balik. Melainkan duduk dan berdiri bersama dengan cuaca sikap la ikraha fiddin dan faman sya`a falyu`min waman sya`a falyakfur, di dalam prinsip universal al’adalah wal qisth”. Andaikan untuk menghindari “mudarat besar” shalat Jumat 212 tak bisa dipindah ke Monas, saya hampir usulkan “Mubahalah saja, semacam sumpah pocong berisiko kematian, antara Kapolri atau Ahok dengan Habib Rizieq”. Sebab toh mereka masingmasing sangat meyakini kebenaran yang diperjuangkannya. Tapi syukur, pada 212 tidak perlu ada “brubuh” maupun “sampyuh”. Ada seorang, yang saya memilih memanggilnya: Syarif, di depan namanya. Syarif beda dari Sayid atau Habib. Ia dicintai dan dibenci banyak orang. Front yang dipimpinnya sangat getol “amar makruf nahi munkar”, tapi dengan spektrum pemahaman yang formal, kurang substansial, komprehensif, dan tidak berskala makro struktural. Pun dengan cara “tabrak”, sehingga bikin pusing orang yang inginnya “bilhikmah walmauídhotil hasanah”. Itu membuat banyak pihak merasa gerah. Memang “teguh pendirian” bagi satu pihak,

bisa “keras kepala” bagi pihak lain. Kalangan tertentu memerlukannya, kalangan lain mengutuknya. Tapi Syarif ini bukan Wahabi, apalagi Takfiri, terlebih lagi ISIS, dan tidak ada sambungan dengan Syekh Bandar. Pun tidak terletak pada garis Ikhwanul Muslimun atau Hamas. Syarif tidak menemani para scholars Muslim seperti PKS, juga bukan kaum santri terpelajar seperti HTI. Ia dikepung anak-anak jalanan, putra-putri Betawi yang tercecercecer di jalanan, yang terdesak ke pinggir dari area urbanisasi, globalisasi, penggumpalan kapitalisme, hegemoni kaum pendatang di tanah Betawi. Ia menggendong kaum Dluafa dan Mustadl’afin. Ayyuhas-Syarif, sekarang seluruh rakyat NKRI adalah Dluafa dan Mustadl’afin. Bela NKRI, Rif. *

BANGSA YATIM PIATU (Tulisan ke-10 dari 10) Muhammad Ainun Nadjib • 19 Jan 2017 Esai, Pustaka Emha Bangsa Indonesia segera akan tiba pada salah satu puncak eskalasi pertengkarannya di antara mereka sendiri sesaudara. Salah satu hasil minimalnya nanti adalah tabungan kebencian, dendam dan permusuhan masa depan yang lebih mendalam. Maksimalnya bisa mengerikan. Kita sedang menanam dan memperbanyak ranjau-ranjau untuk mencelakakan anak cucu kita sendiri kelak. Masing-masing yang sedang bertengkar memiliki keyakinan atas kebenarannya dari sisinya masing-masing. Dan tidak perlu ada yang memperpanjang masalah serta menambah ranjau dengan mempersalahkan pihak yang ini atau yang itu. Minimal untuk sementara, ada baiknya menghindari ‘kenikmatan’ menuding “siapa yang salah”. Sebab kalau salah benar diposisikan pada subjek, kemudian yang ditegakkan adalah pro dan kontra pihak-pihak, maka semua akan terjebak situasi-situasi subjektif: kalau kita “pro” suatu pihak, maka ia “benar 100%”. Kalau kita “kontra” suatu pihak, maka ia “salah 100%”. Kita berada sangat jauh dari kedewasaan berpikir. Produknya adalah kita bermasalah terhadap dua hal: pertama, anak cucu kita akan kebingungan mempelajari sejarah “kebenaran melawan kebenaran” dan “kebaikan melawan kebaikan”. Kedua, kita mempertengkari hakiki kemanusiaan kita sendiri, sebab “setiap orang dan pihak ada benarnya ada salahnya”. Tidak bisa benar mutlak, tidak bisa salah absolut. Meskipun pahit dan tidak nyaman, tapi yang sekarang perlu dilakukan memang bukan mendiskusikan “siapa yang salah”, melainkan duduk bersama untuk secara jernih untuk menemukan “apa yang salah”. Itu meminta pengorbanan pada harga diri subjektif masing-masing. Sebab keselamatan sejarah Indonesia membutuhkan kejujuran, kejernihan, dan kejantanan untuk saling menemukan kesalahan diri dan kebenaran orang lain. Berpikir, Bersikap dan Bertindak NKRI Yang saya maksud “puncak eskalasi pertengkaran” adalah segera akan muncul adegan di panggung di mana “yang kuat mengalahkan yang lemah”. Seseorang mungkin akan menang di Pengadilan maupun di Pemilihan. Sebelum itu, faktor-faktor yang dianggap kontra-produktif terhadap kemenangan itu, mungkin akan dipastikan untuk dipadamkan, ditangkap, dipenjarakan, dibubarkan, diberangus atau dikebiri, minimal dieliminir.

Mungkin yang bisa terjadi adalah letupan pertengkaran kecil, tapi itu rintisan lebih mendalam untuk masa depan pertengkaran yang lebih besar. Pertanyaan yang muncul adalah: apa hebatnya bangsa Indonesia mengalahkan bangsa Indonesia? Kalau dalam hidup ini memang harus ada yang dimenangkan dan dikalahkan, apakah itu juga berlaku untuk sesama bangsa Indonesia? Itukah makna nilai Bhinneka? Kalau belajar dari filosofi Jawa: kegaduhan yang sekarang terjadi adalah “Sopo siro sopo ingsun” (siapa kamu siapa aku, emangnya kamu siapa!). Salah satu outputnya adalah “adigang adigung adiguna” (sok kamu ini, saya lindas!). Konstelasi dikotomisnya adalah “Habil dibunuh Qabil”. Hitam-putihnya adalah “Putih melindas Hitam”. Persoalannya: masing-masing merasa, yakin, dan memiliki argumentasi bahwa ia adalah Habil, yang merasa terancam oleh Qabil, sehingga mendahului untuk memberangus Qabil. Bahwa ia adalah Putih, yang merasa dimakari oleh Hitam, sehingga harus bersegera menumpas Hitam. Sementara yang ditumpas juga meyakini bahwa ia adalah “Habil yang dibunuh Qabil” dan “Putih yang diberangus oleh Hitam”. Mana Bapa Adam? Mana Ibu Hawa? Habil maupun Qabil adalah putra-putranya sendiri. Adam Hawa tidak berpikir bahwa Qabil adalah musuhnya, meskipun ia mengancam putranya yang lain. Yang mengancam dan diancam sama-sama anaknya. Adam Hawa mempelajari keduanya dengan sabar. Mencari cara agar Habil tidak dibunuh, tetapi cara yang dipilih bukan membunuh Qabil duluan sebelum ia membunuh Habil. “Positioning Adam” adalah berpikir dan bersikap NKRI. Kalau PDIP ada di latar belakang kekuasaan NKRI, maka diri PDIP adalah diri NKRI. PDIP mendayagunakan energinya untuk NKRI, bukan mengeksploitasi NKRI untuk PDIP. Siapapun saja yang duduk di Pemerintahan, dirinya adalah diri NKRI. Subjek primer di dalam kesadarannya adalah NKRI. Maka demikianlah pula berpikir dan bersikap, serta pengambilan keputusan tindakan-tindakannya. Bu Mega menghindari kosakata politik praktis. Tidak perlu menyebut kata “ideologi tertutup”, “makar”, cukup membatasi diri pada kata-kata kasih sayang, pengayoman, ekspresi keIbuan. Yang sedang mengemban amanat di Pemerintahan membersihkan hatinya dari paranoia merasa diancam, sehingga tidak menyimpulkan bahwa apa yang tidak sejalan dengan dia adalah musuh. Bahwa yang tidak sependapat adalah makar. Ia dan jajarannya dilantik untuk memprimerkan Bhinneka Tunggal Ika, bukan memelihara, mempertajam dan meraya-rayakan Bhinneka. Padahal tugasnya adalah mentunggalikakan Bhinneka. Yatim Piatu Tiada Tara Bangsa Indonesia adalah anak yatim piatu. Tidak punya Bapak yang disegani dan tidak ada Ibu yang dicintai. Saya coba menjelaskan hal ini melalui dua terminologi. Pertama, ketika lahir, NKRI memang lebih berpikir “membikin sesuatu yang baru” dan kurang berpikir “meneruskan yang sudah ada sebelumnya”. Kita memilih “Sejarah Adopsi” dan tidak merasa perlu menekuni “Sejarah Kontinuasi”. Kita dirikan “Negara” dan “Republik” dengan mengadopsi prinsip, tata kelola, sistem nilai, hingga birokrasi dan hukum. Kita meneruskan “mesin Belanda” meskipun dengan memastikan pengambilalihan kepemilikan. Kita tidak mengkreatifi kemungkinan formula yang otentik hasil karya kita sendiri yang merupakan kontinuitas-kreatif dari apa yang sudah dilakukan oleh nenek moyang kita. Sejak merdeka kita memang seolah-olah “sengaja” meninggalkan orangtua kita sendiri. Padahal Belanda sendiri, juga banyak Negara-negara Eropa lain, tetap berpijak pada Kerajaan “orangtua” mereka. Fakta yang itu justru tidak kita adopsi.

Juga tidak belajar kepada Majapahit, umpamanya. Kencanawungu atau kemudian Hayam Wuruk adalah Kepala Negara, Gajah Mada adalah Perdana Menteri. Kepala Negara bikin kebijakan dan sistem kontrol, Perdana Menteri berposisi eksekutif dalam kontrol Negara. Hari ini Kepala Pemerintahan kita adalah juga Kepala Negara. MK, KY, KPK, dll adalah lembaga Negara, tapi faktanya mereka berlaku sebagai lembaga Pemerintah, karena Bangsa Indonesia tidak merasa perlu membedakan antara Negara dengan Pemerintah. Negara adalah Bapak, Tanah Air adalah Ibu (Pertiwi). Negara adalah Keluarga, Pemerintah adalah Rumah Tangga. Manajemen Rumah Tangga adalah bagian dari manajemen Keluarga. PNS yang diganti namanya menjadi ASN, tidak beralih kesadaran bahwa mereka adalah abdi Negara, yang patuh kepada Undang-Undang Negara. Bukan abdi Pemerintah, yang taat kepada atasan. Kalau anak merasa ia adalah Bapak yang memiliki dan menguasai Ibu, maka sangat banyak pertanyaan yang mencemaskan atas NKRI hari ini dan di masa depan. Sekarang anak-anak sedang nikmat bertengkar, tidak ada Bapak yang mereka segani, tidak ada Ibu yang mereka cintai. Keluarga kita menjadi sangat rapuh, dan para tetangga mengincar kita, menginflitrasi kita, menusuk masuk ke tanah dan jiwa kita, menggerogoti hak milik kita untuk dijadikan milik mereka. Anak-anak gugup siang malam, tidak punya waktu yang tenang untuk merumuskan ketepatan pemahaman tentang nasionalisme NKRI, tentang SARA, tentang apa itu Agama sebenarnya. Justru semua itu dijadikan bahan pertengkaran tanpa hentihentinya. Anak-anak saling men-Qabil dengan merasa Habil. Bangsa Indonesia yatim piatu tiada tara. Indonesia (Kehilangan) Pusaka Kedua, di antara Bapak Ibu bangsa Indonesia yang Jawa memberi pesan tentang “Sandang Pangan Papan”, “Keris Pedang Cangkul”, “Gundul Pacul”, “Kawula Gusti”, dlsb. Pasti banyak sekali juga pesan-pesan dari nenek moyang Yang Sunda, Yang Minang, Yang Bugis, Yang Batak, Yang Sasak, Yang Madura dan ratusan lainnya — yang setelah merdeka semua itu kita sekunderkan, atau bahkan kita remehkan dan kita lupakan. Itu menyebabkan sekarang kita tidak lagi punya “pusaka”, dalam dimensi kejiwaan bangsa maupun dalam penerapan tata sistem, konstitusi dan hukum pengelolaan kebersamaannya. Sandang Pangan Papan tidak bisa dibalik. Lebih baik tidak makan asal tetap berpakaian. Bukan program makan melimpah dan tak apa telanjang karena pakaiannya dijual, karena martabat dan harga diri digadaikan. Manusia dipinjami hak milik oleh Tuhan: nyawa, martabat dan harta benda. Negara dan Pemerintah bertugas menjaga nyawa, martabat dan harta benda rakyatnya. Orang korupsi tidak terutama kita sesali hilang hartanya, tetapi kita prihatini kehancuran martabat hidup koruptornya. Demikian juga setiap langkah Negara dan Pemerintah: skala prioritasnya adalah nyawa, kemudianmartabat, lantas harta benda. Keris Pedang Cangkul sangat jelas. Rakyat pegang cangkul mencari penghidupan. Pemerintah pegang pedang untuk menjaga keamanan sawah yang dicangkul oleh rakyat. Pejabat tidak boleh menggunakan pedang untuk mencangkul. Pejabat dan pegawai bukan profesi, bukan alat mencari nafkah, sebab penghidupan mereka dijamin oleh Negara. Sementara Negara adalah keris, adalah Pusaka, ia perbawa, aura, hati nurani, ia “kasepuhan”, ia seperti Bapak Sepuh yang kita cium tangan dan lututnya. Karena

beliau sudah merdeka dari nafsu terhadap harta benda dan keduniaan. Itu yang bangsa Indonesia sekarang tidak punya dan tidak sadar untuk merasa perlu punya. Gundul Pacul, anak-anak hapal sampai sekarang. Pemerintah bertugas “nyunggi wakul”, memanggul bakul kesejahteraan rakyat, isinya harus disampaikan ke rakyat. Jangan sambil jelan ke rumah rakyat diambili sendiri isi bakul itu. Apalagi sampai menjual bakul-bakul ke tetangga. Negara mengontrol dan siap menghukum mereka. Tapi Bangsa Indonesia sedang tidak punya Negara kecuali hanya namanya, yang berdiri di depan hanya Pemerintah. Itupun tidak terdapat tanda bahwa prinsip Ki Hadjar Dewantara, pahlawanan nasional dan Bapak Pendidikan Nasional, dilaksanakan. Kita semakin tidak belajar kepada beliau. Karir adalah “ing ngarsa sung tulada”, berdiri paling depan untuk member teladan. Kemudian meningkat “ing madya mangun karsa”, menyatu dengan rakyat saling dukung mendukung dan menyebar motivasi. Puncak karier adalah “tut wuri handayani”. Orang besar bangsa Indonesia adalah yang berani dan ikhlas berada di barisan paling belakang, mendorong rakyat untuk terus maju dan berjuang. Kerajaan dan Sebab Akibat Yang di awal tulisan ini saya sebut sebagai “puncak eskalasi pertengkaran” adalah jika Pemerintah, yang bertindak atas nama Negara, menerapkan “ing ngarsa sung kuwasa”: berdiri paling depan dengan kekuasaan untuk menguasai, dan dengan kekuatan untuk mengalahkan. Kawula Gusti. Posisi manusia itu “ngawula” atau menghamba. Maka Sila-1 adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. Janji nasional untuk menghamba ke Tuhan. Dalam peradaban Kerajaan, Raja diverifikasi, dikwalifikasi kemudian dipercaya sebagai representasi dari Tuhan. Maka kawula, rakyat, menghamba kepada Raja, sebagai jalan menghamba kepada Tuhan. Rakyat bisa salah identifikasi, sejarah berisi Firaun sangat banyak. Tetapi tidak bisa lenyap naluri menghamba pada manusia. Ketika masuk era modern kita bilang “mengabdi kepada Negara, Bangsa dan Agama”. Tiga level itu adalah eskalasi menuju penghambaan kepada Tuhan. Rakyat kecil, kaum terpelajar, semua orang-orang hebat, berlomba-lomba menghamba kepada Tuhan melalui jabatan Staf Khusus atau Staf Ahli Presiden atau Menteri, jadi Komisaris BUMN, atau minimal dapat dana untuk proyek penghambaan kepada Tuhan. NKRI adalah Negara dengan sejumlah fakta kejiwaan dan perilaku Kerajaan. PDIP tetap disinggasanai dan diotoritasi langkah-langkahnya oleh Ratu Mega putri Raja Besar Bung Karno, berikut akan ke cucu beliau. Demokrat akan mencagubkan atau tidak keputusannya di tangan Raja SBY. Demikian juga tipologi perilaku pada Kerajaankerajaan lainnya, termasuk mobilisasi dan pencitraan yang berpangkal pada identifikasi “Satria Piningit”, atau juga rintisan Kerajaan Hary Tanoe. Bangsa Indonesia adalah hamba-hamba Allah yang setia. Bahwa wasilahnya, proses identifikasi dan kualifikasinya untuk menentukan mengabdi kepada Tuhan melalui Raja atau Presiden siapa — bisa keliru, itu persoalan lain. Dan ini bukanlah soal salah atau benar, bukan perkara baik atau buruk. Tetapi jelas ada yang perlu dihitung kembali, dipikirkan ulang, hal-hal yang menyangkut formula pengelolaan kesejahteraan rohani jasmani Bangsa Indonesia. Kita membutuhkan keselamatan masa depan dengan mempertanyakan kembali “cara pandang, sisi pandang, sudut pandang, jarak pandang dan resolusi pandang, bahkan

kearifan pandang”: terhadap NKRI dengan seluruh perangkat hardware maupun software-nya. Bhinneka harus kita tunggalika-kan, bukan memelihara dan memperuncing permusuhan di antara Bhinneka. Enam ragam pandang di atas berada dalam spektrum sebab pandang dan akibat pandang. Pemerintah merasa traumatik terhadap Islam adalah akibat yang ada sebabnya, terutama dari dunia global. Sikap keras 212 adalah akibat dari sebabnya. HRS, misalnya, bukan Iblis, Jkw atau TK, pun bukan Tuhan. Masing-masing manusia. Semua warga Bhinneka tidak bisa menunda iktikad baik dan kebijaksanaan untuk saling mempelajari sebab akibat dari seluruh yang dialaminya. Tidak bisa masing-masing egois merasa “kamilah Bhinneka Tunggal Ika, yang itu Kaum Intoleran”. Sila-5 belum kunjung tercapai, ada sebabnya, dan harus dicari di Sila-4: Pemerintahan dan Perwakilan yang kehilangan aspirasi dan rumusan Permusyawaratan. Mesin Sila-4 tidak memproduksi Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Ini mungkin juga akibat dari Sila-3 yang “bikin mesin pemerintahan” Sila-4. Parpol-parpol, Ormas-ormas dan ketokohan-ketokohan nasional mungkin tidak berdiri, berpikir, bersikap dan bertindak NKRI, melainkan menitik-beratkan pada kepentingan diri dan golongannya masingmasing. Jangan-jangan ini akibar dari sebab yang terletak pada Sila-2: pendidikan pemberadaban manusia Indonesia. Ada tumpukan masalah dan pertanyaan yang sangat serius terhadap dunia kependidikan nasional. Mungkin salah pijakan, salah niat, misalnya bahwa dunia kependidikan bukanlah urusan profesi di mana pelaku-pelakunya mencari nafkah penghidupan. Sebagaimana Pegawai bukanlah profesi, karena nafkahnya dijamin oleh Negara. Sekolah bukan perniagaan, Universitas bukan perusahaan. Sebagaimana juga perlu diarifi kembali bahwa kapitalisme jangan sampai menjadi titik berat pelaksanaan wilayah Pendidikan, Kebudayaan, Kesehatan dan Agama. Kalau Sila-5 tak tercapai karena kegagalan Sila-4, Sila-4 tidak produktif karena salah pilih oleh Sila-3, kalau Sila-3 bukan Persatuan Indonesia melainkan sumber perpecahan karena disorientasi Sila-2 – mungkin sekali sebab mendasarnya adalah karena seluruh petugas sejarah Bangsa Indonesia ini memang tidak serius dengan Sila-1. Mungkin benar parodi “Keuangan Yang Maha Esa”. Mungkin tak terhitung jumlah penistaan kita semua terhadap Pancasila, Agama dan Tuhan. Yang Tak Kita Ketahui Kegagalan simultan, sistemik, dan struktural mem-Pancasila-kan Indonesia itu hari ini menghasilkan keyatim-piatuan, ketiadaan Ibu dan Bapak, anak-anak menjadi liar oleh ketidakseimbangan berpikir untuk meng-NKRI-kan dirinya dan tindakan-tindakannya. Kita dikepung oleh fenomena Habil Qabil, terkikisnya martabat kebangsaan dan kemanusiaan, terampoknya harta benda Tanah Air. Untuk jangka pendek ke depan, secara pribadi saya mohon izin untuk mengemukakan kalimat sehari-hari. Bahwa kalau engkau bermasalah terhadap Tuhan, kalau Tuhan tidak kau perlakukan sebagai Subjek Utama sejarah hidupmu, maka syukur Tuhan masih bisa menunda bencana. Tapi kalau NKRI bukan konsiderasi primer langkah-langkahmu, maka tidak ada yang bisa menghindari bencana. Engkau yang kuat, yang terbaik bagimu bukan meng-kuat-i saudara-saudaramu sendiri. Kalau engkau berkuasa, jangan pikir yang selamat adalah meng-kuasa-i sesamamu. Engkau bisa mudah menguasai Pengurus NKRI, engkau bisa membeli lembagalembaga, menaklukkan Ormas-ormas. Tapi Pemerintah Indonesia berbeda dengan

Bangsa Indonesia, Bangsa Indonesia berbeda dengan Rakyat Indonesia, Rakyat Indonesia berbeda dengan hamba-hamba Tuhan di tanah air Indonesia. NU berbeda dengan Nahdliyin, Muhammadiyah berbeda dengan Muhammadiyin. Ormas-ormas Islam berbeda dengan Ummat Islam. Dan Ummat Islam berbeda dengan Islam. Ada yang bisa kau kalahkan, kau taklukkan, kau rampok, kau tindas dan perhinakan. Tapi ada yang tidak. Dan yang tidak bisa kau taklukkan itu adalah dimensi dan energi yang juga ada di semesta dan tanah yang disebut Indonesia. Ada yang sama sekali tak kita ketahui tentang besok pagi.

Related Documents