Fatwa Kontemporer Penguasa Era Ini.pdf

  • Uploaded by: Abu Abdillah
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Fatwa Kontemporer Penguasa Era Ini.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 17,656
  • Pages: 147
Loading documents preview...
i ABUL FATIH RISTIYAN

--------------------------------------------------------------------

FATWA ULAMA’ SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER --------------------------------------------------------------------

MA’HAD AL-MUHANDIS

ii

Judul Asli FATWA ULAMA’ SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER Penulis Abul Fatih Ristiyan Penyunting Tim Ma’had Al-Muhandis Cetakan Pertama, Juli 2016 Desain Cover Ma’had Al-Muhandis Setting Tim Ma’had Al-Muhandis Penerbit Ma’had Al-Muhandis Jalan Jurang Gang Mama Uar no. 18 RT 2 RW 5 Pasteur Sukajadi Bandung 40161 Telp. 085722973852 Email : [email protected]

All Right Reserved Dianjurkan memperbanyak buku ini ke dalam bentuk apapun dengan menjaga amanah ilmiah di dalamnya dan tanpa mengubah apapun kecuali seizin penerbit.

iii

KATA PENGANTAR Alhamdulillah, semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah pada Rasulullah berserta keluarganya dan para sahabatnya, serta orang-orang yang mengikuti mereka sampai hari kiamat. Aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah Ta’ala, dan bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Amma ba’du. Sesungguhnya

di

antara

nikmat

terbesar

yang

dikaruniakan Allah kepada hamba-Nya adalah nikmat Islam dan Sunnah, yang dengan keduanya kita terhindar dari kekafiran dan kesesatan. Abul ‘Aliyah : berkata: “Saya telah membaca ayat-ayat muhkam sejak sepuluh tahun yang lalu sepeninggal Rasulullah ‫ﷺ‬. Allah telah menganugerahkan kepadaku dua nikmat, saya tidak tahu manakah yang lebih utama, yakni, menunjukkan kepadaku

hidayah

kepada

Islam,

ataukah

tidak

menjadikanku pengikut Haruriyah (Khawarij).” [As Siyar, 4/212]

iv

Adanya fitnah yang melanda kaum muslimin berupa munculnya kaum khawarij yang senantiasa bangkit di setiap zaman, tentunya membuat kita khawatir akan terjerumus ke dalam kelompok yang telah disebut Rasulullah sebagai yang terburuk di kolong langit ini. Terlebih

pada

masa

sekarang,

kaum

khawarij

menampakkan wujud mereka dalam bentuk yang serupa dengan Ahlus Sunnah, baik dalam penampilan fisik maupun dalam sebagian besar pemikiran. Di antara mereka ada yang banyak dikenal sebagai seorang da’i salafi namun ternyata menyimpan ideologi khawarij yang berbahaya, yang siap untuk disebarkan kepada umat secara halus. Oleh karena itu kami berharap buku ini dapat menjelaskan sedikit mengenai yang kami ketahui dari fatwa-fatwa para ulama kibar Ahlus Sunnah yang mu’tabar terkait syubhatsyubhat da’i yang terkontaminasi pemikiran Khawarij, sehingga akan terang bagi kita bersama, mana yang haq untuk diikuti dan mana yang batil untuk dihindari.

v

Akhirul kalam, kami memohon kepada Allah Ta’ala agar menjadikan amalan kami ini murni mengharap ridha-Nya, tanpa dicampuri oleh noda syirik sekecil dzarrah-pun.

Tasikmalaya, 1 Ramadhan 1237 H

Abul Fatih Ristiyan

vi

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR

iii

DAFTAR ISI

vi

BAB 1 – PENGUASA YANG TIDAK BERHUKUM DENGAN HUKUM ALLAH -

Fatwa Syaikh Ibnu Baaz : Apakah Pemerintah Negara Yang Berhukum Buatan Juga Wajib ditaati?

-

2

Fatwa Syaikh Ibnu Baaz : Pemerintah Kuwait Yang Berhukum Buatan Juga Termasuk Ulil Amri?

-

Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin : Apakah Pemerintah Al Jazair Termasuk Ulil Amri?

-

4

6

Fatwa Syaikh Shalih Al Fauzan : Apakah Pemerintah Yang Tidak Berhukum dengan Hukum Allah Termasuk Ulil Amri?

-

8

Fatwa Syaikh Sulaiman Ar Ruhaily : Pembagian Ulil Amri Syar’i dan Non-Syar’i

10

vii

-

Fatwa Syaikh Ibrahim Ar Ruhaily : Apakah Pemerintah Indonesia adalah Ulil Amri yang ditaati?

-

15

Fatwa Syaikh Shalih Al Fauzan : Sebutan Jaamiyah dan Madakhilah Untuk Mereka yang Taat Kepada Penguasa

17

BAB 2 – SEPUTAR NEGERI ISLAM -

Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin

20

-

Fatwa Syaikh Ibnu Baaz

23

BAB 3 – HUKUM MEMBERONTAK KEPADA PENGUASA -

Fatwa Syaikh Ibnu Utsaimin

26

-

Pemberontakan hanya dengan senjata?

32

-

Mengkritik Penguasa di atas Mimbar

36

BAB 4 – SYUBHAT DAN JAWABANNYA -

Syubhat Pertama : Taatilah Selama Mereka Menegakkan Kitabullah

-

42

Syubhat Kedua : Masalah Memberontak adalah Khilafiyah bukan Ijma’

47

viii

-

Syubhat Ketiga : Ulama’ ada yang Membolehkan Pemberontakan

-

Syubhat

Keempat

51 :

Pemberontakan

Dilakukan Sebagian Salaf -

Juga 68

Syubhat Kelima : Fatwa Syaikh Ibnu Baaz Tentang Penyerangan Ke Negara Yang Berhukum Buatan

-

76

Syubhat Keenam : Fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah

Tentang

Memerangi

Mumtani’ah KESIMPULAN

Thaifah 108 116

LAMPIRAN -

Hadits Seputar Muamalah dengan Penguasa 119

-

Ijma’ Ulama’ dari Masa Ke Masa tentang Keharaman Memberontak Kepada Penguasa Muslim

TENTANG MA’HAD AL-MUHANDIS

123 136

1

BAB 1 PENGUASA YANG TIDAK BERHUKUM DENGAN HUKUM ALLAH

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

2

Fatwa Syaikh Ibnu Baaz Negara Yang Berdasar Undang-Undang Buatan, Apakah Pemerintahnya Ditaati?

Fadhilatusy Syaikh 'Abdul 'Aziz bin Baaz ditanya: "Bagaimana hukumnya menetapkan undang-undang buatan? Apakah boleh beramal dengannya? Dan apakah penguasa yang berbuat demikian dikafirkan?" Beliau menjawab: "Jika undang-undang tersebut menyepakati syariat, maka tidak mengapa. Semisal menetapkan undang-undang untuk ketertiban jalan yang bermanfaat bagi kaum muslimin dan hal-hal lainnya yang memberi manfaat bagi kaum muslimin, dan tidak ada di dalamnya yang bertentangan

dengan

syariat,

melainkan

sekedar

memudahkan urusan kaum muslimin, maka tidak mengapa. Sedangkan undang-undang yang menyelisihi syariat maka

tidak

boleh

menetapkannya.

Sekiranya

ia

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

3

menetapkan undang-undang yang mencakup tidak adanya hukum had untuk pezina, atau tidak ada had untuk pencuri, atau tidak ada had untuk peminum miras, maka ini adalah undang-undang yang batil. Jika dia menghalalkan (istihlal) perbuatan itu, maka dia kafir disebabkan

perbuatannya

menghalalkan

apa

yang

menyelisihi nash dan ijma', dan demikian juga menghalalkan setiap apa yang Allah haramkan dari halhal yang Dia haramkan secara kesepakatan, maka dia kafir disebabkan hal tersebut." Soal:

"Bagaimana

berinteraksi

dengan

penguasa

semacam ini?" Jawab: "Kita taati dia dalam perkara ma'ruf, dan tidak

dalam

perkara

maksiat,

sampai

Allah

mendatangkan penggantinya."1

1

Sumber: http://www.binBaaz.org.sa/node/8371

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

4

Fatwa Syaikh Ibnu Baaz Apakah Pemerintah Kuwait yang Tidak Berhukum dengan Hukum Allah Termasuk Ulil Amri?

Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Baaz ditanya: “Apakah pemerintahan negeri Kuwait itu ulil amri yang wajib ditaati sementara diketahui mereka tidaklah berhukum dengan hukum syariat?” Beliau menjawab: “Ya, mereka adalah ulil amri. Juga yang seperti mereka di negeri Kuwait, Yordania, dan negeri Suriah, mereka adalah waliyyul amr yang wajib untuk ditaati dalam kebaikan sebagaimana sabda Nabi, "Hanyalah ketaatan itu dalam perkara yang ma'ruf," mereka ditaati dalam hal yang ma'ruf dan tidak boleh seorang pun ditaati dalam kemaksiatan, tidak mereka dan tidak pula selain mereka.

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

5

Jika mereka mengatakan, "Minumlah khamr!" Maka jangan menaati mereka. Jika mereka mengatakan, "Makanlah riba!" Maka janganlah menaati mereka. Jika mereka mengatakan, "Bersujudlah!" Maka janganlah menaati mereka. Adapun jika mereka memerintahkan dengan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, atau memerintahkan dengan sesuatu yang berfaidah bagi kaum Muslimin atau hal yang menjauhkan keburukan, maka wajib menaati mereka, atau peraturan lalu lintas agar manusia tak bertabrakan dan saling membahayakan satu sama lain."2

2

Sumber: http://ia902603.us.archive.org/31/items/3anjary_bin_Baaz_hokam _alkuwait/3anjary_bin_Baaz_0.mp3

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

6

Fatwa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin Apakah Pemerintah Aljazair adalah Ulil Amri, Padahal Mereka Berhukum Dengan Selain Hukum Allah?

Berkaitan dengan negara Aljazair, Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin ditanya mengenai sekelompok pemuda yang baru keluar dari penjara dan mereka mengkafirkan pemerintah Aljazair karena berhukum dengan hukum buatan manusia. Syaikh menjelaskan bahwa selama penguasa masih shalat, maka mereka muslim dan tidak boleh dikafirkan. Mereka adalah penguasa syar'i dan bai'at diberikan kepada mereka (‫ وهو حاكم شرعي‬،‫)فله بيعة‬ Adapun berkaitan dengan undang-undang buatan, maka Syaikh menjelaskan bahwa yang benar darinya harus diterima, dan yang keliru darinya jika memungkinkan bisa didiskusikan kembali dengan ahlul hal wal ‘aqd dan para ahli di bidangnya, jika tidak maka yang keliru harus ditolak.

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

7

Kemudian Syaikh bertanya: "Berapa lama Aljazair di bawah penjajahan Perancis?" "130 tahun" "130 tahun! Baik. Mungkinkan mengubah undangundang yang dibuat Perancis ini dalam waktu antara sore sampai paginya? Tidak mungkin!" Maka yang paling penting sekarang bagimu adalah memadamkan fitnah ini semampumu, dengan segenap kemampuanmu, kita memohon kepada Allah agar Dia melindungi kita dari kejelekan fitnah-fitnah"3

3

Fatawa Al ‘Ulama Al Akabir FiiMaa Uhdhira min Dima’in fi Aljazair, hal. 138 Fatwa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin ini mengajak kita untuk berpikir bahwa keadaan pemimpin sekarang bukanlah sebagai pencetus undang-undang buatan, melainkan hanya suksesor dari pendahulunya. Seandainya mereka dikenai pasal “mengganti syariat”, tentunya hal ini tidak pada tempatnya.

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

8

Fatwa Syaikh Shalih Al Fauzan Apakah Pemerintah yang Tidak Berhukum dengan Hukum Allah Termasuk Ulil Amri?

Syaikh Shalih Al Fauzan ditanya: “Apakah prinsip ini, khusus untuk untuk penguasa yang berhukum dengan syariat Allah sebagaimana negeri kita yang diberkahi ini, ataukah umum untuk pemerintah kaum muslimin bahkan yang tidak berhukum dengan syariat Allah dan menggantinya dengan qawanin wadh'iyyah (hukum buatan manusia) ?” Beliau menjawab: “Allah 'Azza Wajalla berfirman: ‫وأولي األمر منكم‬ "Dan ulil amri di antara kalian" [QS An Nisa 59] Maksudnya, dari kaum muslimin. Maka jika dia penguasa itu muslim, tidak kafir kepada Allah dan juga tidak melakukan salah satu dari pembatal-pembatal

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

9

keislaman, maka dia adalah ulil amri yang wajib ditaati. Na'am.”4

4

Sumber: http://www.alfawzan.af.org.sa/node/13289

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

10

Fatwa Syaikh Sulaiman Ar Ruhaily Pembagian Ulil Amri Syar’i dan Non-Syar’i

Syaikh Sulaiman Ar Ruhaili ditanya: “Bagaimana hukumnya, membagi pemerintah muslim saat ini dengan: syar'i dan tidak syar'i, berdasarkan pada penerapan "hukum yang diturunkan Allah" ?” Jawab: “Pembagian ulil amri kepada ulil amri syar'i dan tidak syar'i, aku sudah isyaratkan pada pelajaran hari kemarin. Aku jelaskan bahwa nash-nash dan kalam dari ahlus sunnah wal jama'ah menunjukkan bahwa pembagian penguasa dari segi karakteristik mereka, hanya ada tiga jenis: muslim adil, muslim zhalim, dan kafir. Dan pembagian-pembagian selain daripada ini, tidak ditemukan dalam nash-nash dan kalam ahlus sunnah wal jama'ah. Dari sisi terikatnya hukum-hukum terhadap mereka, dibagi menjadi dua: muslim dan kafir.

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

11

Sedangkan pembagian pemerintah syar'i dan tidak syar'i, maka pembagian ini tidak benar. Tidak ditemukan sandarannya dalam nash-nash syariat, dan juga tidak ada sandarannya dari kalam para salaf. Bahkan pada hakikatnya ini adalah pijakan yang berbahaya. Karena hal ini akan membuat terlantar nashnash yang berkaitan dengan penguasa di masyarakat. Maka kita amati pandangan ini, dan kita temukan bahwa jika pandangan ini diterapkan pada kondisi saat ini, akan kita lihat bahwa seluruh pemerintah kaum muslimin adalah tidak syar'i. Karena yang memiliki pandangan seperti ini mengatakan -menurut pengakuan mereka- : tidak ada penguasa yang berhukum dengan syariat Allah di zaman ini. Dan karena dasarnya tidak syar'i, maka mereka memperlakukan penguasa seperti perlakuan terhadap penguasa kafir, yang mana hanya mendengar dan taat hanya berdasar pada mashlahat dunia saja. Dan ini pijakan yang berbahaya.

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

12

Maka pembagian seperti ini, tidak ditemukan dalilnya di nash-nash syariat maupun kalam para salaf, bahkan ini akan menelantarkan nash dan prinsip ahlus sunnah dalam bab ini.5 Sebagian dari mereka berdalil dengan perkataan Imam Asy Syaukani dalam Fathul Qadir (2/166) ketika menjelaskan ayat tentang ketaatan kepada ulil amri: ‫ وكل من كانت له والية‬، ‫ والقضاة‬، ‫ والسالطين‬، ‫ األئمة‬: ‫وأولي األمر هم‬ ‫شرعية ال والية طاغوتية‬ "Ulil amri di antara kalian, mereka adalah: Para sultan, hakim, dan setiap yang mempunya kekuasaan syar'i, bukan kekuasaan thaghuti" Lalu dengan itu mereka berkesimpulan bahwa Imam Asy Syaukani membagi penguasa menjadi syar'iy dan non syar'iy, dan memberi keterangan bahwa penguasa syar'i adalah penguasa yang berhukum dengan syariat dan yang tidak syar'i adalah yang berhukum dengan hukum thaghut (hukum buatan).

5

Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=XbnYJWB_wHk

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

13

Padahal tidak perlu jauh-jauh melakukan takwil ke sana, karena beliau langsung menjelaskan makna kalimat tersebut tepat setelah kutipan di atas: ‫ فال‬، ‫ وينهون عنه ما لم تكن معصية‬، ‫ طاعتهم فيما يأمرون به‬: ‫والمراد‬ ‫ كما ثبت ذلك عن رسول هللا صلى هللا‬، ‫طاعة لمخلوق في معصية هللا‬ ‫عليه وسلم‬ "Maksudnya adalah: Taat kepada mereka dalam yang diperintahkan kepada mereka dan yang dilarang, selama bukan dalam kemaksiatan. Maka tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam kemaksiatan kepada Allah. Sebagaimana telah shahih hal ini dari Rasulullah." Di kitab yang sama, (2/160) beliau (Imam Asy Syaukani) telah menjelaskan makna thaghut, yaitu: ‫ أو م اي في معصية هللا‬، ‫ هما كل معبود من دون هللا‬: ‫وقيل‬ "Dikatakan juga bahwa thaghut adalah setiap yang disembah selain Allah, atau yang ditaati dalam bermaksiat kepada Allah." Sehingga makna yang benar dari wilayah (kekuasaan) syar'i, adalah kekuasaan yang dibatasi oleh syariat, yakni tidak

melanggar

perintah

dan

larangan

syariat.

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

14

Sedangkan kekuasaan thaghuti adalah kekuasaan yang melampaui batas, yaitu ketika ia ditaati dalam perkara yang melanggar syariat. Dengan demikian menjadikan perkataan Imam Asy Syaukani di atas sebagai dalil pembagian penguasa syar'i dan non-syar'i adalah mengada-ada dan jauh dari kebenaran. Imam Ibnul Qayyim mengatakan : “Thagut adalah segala sesuatu yang menyebabkan seorang hamba melebihi batasannya, baik itu sesuatu yang diibadahi, diikuti, atau ditaati.”

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

15

Fatwa Syaikh Ibrahim Ar Ruhaily Apakah Pemerintah Indonesia adalah Ulil Amri yang Ditaati?

Tanya jawab bersama Syaikh Prof. Dr. Ibrahim bin Amir bin Ali Ar Ruhaili (Profesor Fakultas Dakwah dan Ushuluddin, Universitas Islam Madinah, Bidang Aqidah) di Solo, Jawa Tengah, Indonesia pada 29 Juli 2015. Pertanyaan: ”Wahai Syaikh, siapakah ulil amri itu? apakah ulil amri itu hanya pimpinan pusat saja, dan bukan termasuk pejabat di bawahnya, seperti gubernur atau lainnya. Karena pertanyaan ini terkait dengan ketaatan kepada ulil amri, bolehkah seseorang tidak taat kepada presiden atau kepada selainnya (pejabat di bawah presiden)?” Jawab: “Ketaatan kepada ulil amri diberikan kepada orang yang memiliki kekuasaan. Maka ulil amri adalah pemimpin umum di suatu negeri, seperti di negara ini (Indonesia),

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

16

presiden

adalah

ulil

amri.

Dan

juga

termasuk

bawahannya seperti menteri dan kepala bagian dan pejabat DPR dan semua pejabat pemerintahan. Mereka semua adalah ulil amri sehingga wajib didengar dan ditaati selama bukan dalam perkara maksiat.” 6

6

https://www.youtube.com/watch?v=UwY0cJ4Bp7w

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

17

Fatwa Syaikh Shalih Al Fauzan Sebutan Jaamiyah dan Madakhilah untuk Mereka yang Menyuruh Taat Kepada Penguasa

Syaikh Shalih Al Fauzan ditanya: “Semoga Allah membaguskan Anda, ya Syaikh. Saya punya teman yang tidak mau menyebutkan tentang hakhak penguasa dan hadits tentang mendengar dan taat pada pemimpin, karena takut disebut oleh penuntut ilmu lain dengan sebutan Jaamiy dari firqah Jaamiyah (pengikut Syaikh Muhammad Aman Al Jaami). Apakah yang dilakukan teman saya itu benar, dengan alasan bahwa "Aku tidak ingin ada orang yang menyerang kehormatanku" ?” Jawab: "Alhamdulillah. Ini adalah pujian bagi mereka yang dilabeli dengan Jaamiyah lantaran mereka orang yang mengajak kepada mendengar dan taat pada penguasa, serta mengikuti Sunnah Rasulullah -shallallahu 'alahi

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

18

wasallam- dan melarang perpecahan... Ini adalah pujian bagi mereka yang disebut dengan Jaamiyah, maka engkau teruslah untuk seperti itu, dan julukan-julukan itu tidak perlu merisaukanmu, tinggalkan julukan-julukan seperti itu dan label-label yang buruk.. Wallahu a'lam, Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Nabi kita

Muhammad,

dan

kepada

keluarganya

serta

sahabatnya."

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

19

BAB 2 SEPUTAR NEGERI ISLAM

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

20

Fatwa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin Patokan Penamaan Negeri Islam

"Sebagian orang menyangka bahwa yang disebut negara Islam adalah yang berhukum dengan syariat, dan ini karena kebodohannya.. Sebab yang dinamakan negara Islam adalah yang di dalamnya tegak syiar-syiar Islam." Syarh Shahih Al Bukhari 2/625

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

21

Fatwa Ibnu ‘Utsaimin Apakah Negara Aljazair Negeri Islam?

Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin ditanya: "Apakah benar Anda mengatakan untuk terus menerus berkonfrontasi melawan pemerintah Aljazair?" Beliau menjawab: "Aku tidak mengatakan apa-apa tentang itu." Penanya: "Dalam keadaan yang kacau dan semakin memanas seperti ini, apakah disyariatkan untuk berhijrah ke negeri kafir?" Beliau menjawab: "Yang wajib adalah bersabar. Karena negeri Aljazair adalah negeri Islam. Di sana adzan dikumandangkan untuk memanggil orang shalat, di sana ditegakkan shalat

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

22

jumat dan shalat berjama'ah. Maka yang wajib adalah bersabar, sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya"7

7

Fatwa dinukil dari Madarikun Nazhar, hal 435 terbitan Darul Furqan. Perlu diketahui bahwa Aljazair adalah negara yang tidak berhukum dengan syariat Islam meskipun mayoritas penduduknya adalah muslim.

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

23

Fatwa Syaikh Ibnu Baaz Negeri Islam yang Terdapat Praktek Kesyirikan

Syaikh Ibn Baaz ditanya: “Terkait status negeri-negeri Islam kebanyakannya terdapat praktek kesyirikan dan di dalamnya terdapat pula

bangunan

(kubur)

bagi

orang

sholeh.

Pertanyaannya, apakah ini disebut negeri Islam ataukah tidak?” Syaikh menjawab: “Semoga Allah memberi mereka petunjuk. Hal ini tergantung dari pengamatan. Jika syiar kekafiran dominan di dalamnya, maka ia negeri kafir. Dan jika dominan syiar Islam di dalamnya, maka ia negeri Islam. Berdasarkan apa yang tampak dan yang dominan di dalamnya.” Penanya:

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

24

“Mereka shalat, mereka puasa, dan mereka juga punya masjid..” Syaikh: “Yang dominan di dalamnya, maka itulah hukumnya.” Penanya: “Mayoritasnya muslimin, wahai Syaikh, Islam.” Syaikh: “Kalau begitu dominan di dalamnya nama Islam, shalat, dan selainnya di antara syi'ar-syi'ar Islam, maka namanya negeri Islam walaupun penguasanya kafir.” Penanya: “Jazakallahu khaira”8

8

Sumber: https://archive.org/details/bin-Baaz-darulislam

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

25

BAB 3 SEPUTAR HUKUM PEMBERONTAKAN

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

26

Fatwa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin Apakah Boleh Memberontak Jika Diperkirakan Kerusakannya Kecil?

Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin membacakan pertanyaan: “Seorang

penuntut

ilmu

berkata

bahwa

boleh

memberontak kepada waliyyul amr yang fasik, akan tetapi dengan dua syarat: Pertama, ada kekuatan untuk memberontak. Kedua, bisa memastikan bahwa kerusakan yang ditimbulkan lebih kecil dari mashalatnya. Ia mengatakan bahwa ini manhaj salaf! Kami berharap pencerahan atas masalah ini lantaran dia menyebut "fasik" bukan mengatakan: "Kami tidak memandang ada padanya kekufuran yang nyata", mohon perjelas yang masih jadi kebingungan bagi kami, semoga Allah menjaga Anda. Dia juga mengatakan bahwa masalah pengkafiran penguasa yang tidak berhukum dengan selain hukum

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

27

yang diturunkan Allah merupakan ijtihadiyah! Dia mengatakan bahwa sesungguhnya kebanyakan dari para imam salaf mengkafirkan orang yang tidak berhukum dengan apa yang Allah turunkan secara mutlak, yakni, tidak merincinya. Soal ini penting sekali, karena beberapa pemuda dari negara lain menghubungiku dan berharap jawabannya pada malam ini.” Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menjawab: “Katakan pada mereka - barakallahu fiikum- : Orang ini tidak tahu manhaj salaf sedikitpun! Salaf bersepakat bahwa tidak boleh memberontak penguasa yang baik maupun yang jahat. Dan bahwa jihad bersama mereka adalah wajib, juga berhari raya bersama mereka, dan shalat jumat di belakang mereka. Mereka yang dahulu shalat mengimami manusia. Jika mereka ingin lebih tahu tentang hal ini, silakan merujuk pada Al Aqidah Al Wasithiyyah, dimana disebutkan

bahwa

Ahlus

Sunnah

wal

Jama'ah

berpandangan untuk berhaji, berjihad, dan berhari raya

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

28

bersama penguasa yang baik maupun yang jahat. Ini ungkapan beliau rahimahullah. Maka katakan padanya yang mengatakan bahwa ini termasuk manhaj salaf, bahwa dia ini di antara dua hal: Dia berdusta atas nama salaf, atau dia bodoh terhadap madzhab salaf! Pepatah mengatakan: “Jika engkau tidak tahu, maka itu musibah. Jika engkau tahu, maka itu musibah yang lebih besar!” Katakan padanya juga, bahwa Rasulullah -shallallahu 'alaihi wasallam- bersabda: ‫كفرا بَوا ًحا عندكم فيه من هللا برها‬ ً ‫إال أن تروا‬ "..Kecuali jika kalian melihat padanya kekufuran yang nyata yang kalian punya buktinya di sisi Allah" Maka bagaimana bisa saudara kita ini mengatakan bahwa manhaj salaf adalah memberontak kepada penguasa yang fasik? Mereka ini menyelisihi kalam Rasulullah secara jelas. Kemudian saudara kita ini juga kenyataannya, tidak faham realita! Bahwa mereka yang memberontak kepada

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

29

kerajaan, baik yang karena agama maupun karena duniawi, apakah keadaan berubah dari yang buruk menjadi lebih baik?? ... (Tidak), Selamanya. Bahkan dari yang tadinya buruk menjadi jauh lebih buruk, dan lihatlah sekarang negeri-negeri itu seluruhnya berubah keadaannya menjadi sesuatu yang lain. Adapun mengenai mereka yang berhukum dengan selain hukum Allah, maka ini juga tidak benar bahwa kebanyakan salaf mengkafirkan secara mutlak. Bahkan telah masyhur dari Ibnu 'Abbas bahwa mereka itu kufrun duna kufrin (kafir yang tidak mengeluarkan seseorang dari

agama),

dan

ayatnya

ada

tiga,

seluruhnya

membicarakan satu: kafir, zhalim, dan fasik. Dan kalamullah tidaklah saling mendustakan satu sama lain! Maka setiap ayat mengandung makna yang sesuai dengan yang disifatnya. Ayat yang menyebut tentang kafir, mengandung penjelasan mengenai hal yang membuatnya menjadi kafir. Ayat yang menyebut tentang zhalim mengandung penjelasan mengenai hal yang membuatnya menjadi zhalim. Ayat yang menyebut

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

30

tentang fasik mengandung penjelasan mengenai hal yang membuat pelakunya menjadi fasik. Engkau paham.. Maka engkau nasehati saudarasaudaramu itu, penuntut ilmu yang mengatakan itu ke penuntut ilmu lainnya: Bertakwalah kepada Allah atas dirimu sendiri! Jangan menyesatkan kaum muslimin: Besok memberontak kepada penguasa lalu merusak! Atau menggambarkan kepada ikhwan yang multazim pada agamanya, dengan gambaran yang tidak benar. Semuanya disebabkan fatwa yang tidak benar. Engkau paham? Baik”.9 Fadhilatusy Syaikh Shalih Al Luhaidan -anggota majelis ulama kibar Arab Saudi ditanya: “Ahsanallah ilaikum, penanya ini berasal dari Mesir, ia berkata: Ahsanallah ilaikum, wahai Syaikh kami.. Apakah memberontak kepada waliyyul amr itu haram

9

Sumber: Syarah As Siyasah Asy Syar'iyyah oleh Ibnu Taimiyyah. Audio: http://ia700809.us.archive.org/11/items/Hokkam_Khorog/Othaym en_Khorog.mp3

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

31

secara

dzat-nya

(lidzatihi)

ataukah

karena

dia

menimbulkan kerusakan yang besar? Beliau menjawab: Hal tersebut haram secara dzat-nya (lidzatihi) dan juga karena kerusakannya. Engkau tidak akan menemui sesuatu yang Allah dan Rasul-Nya haramkan kecuali pasti pengharaman itu untuk kebaikan manusia.10

10

Audio: http://ia700809.us.archive.org/11/items/Hokkam_Khorog/Luhayda n_Khorog.mp3

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

32

Apakah yang Disebut Pemberontakan Itu Hanya Dengan Senjata?

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin setelah membawakan kisah Dzul Khuwaishirah, membawakan kesimpulan: ‫ ويكون بالقول‬،‫وهذا أكبر دليل على أن الخروج على اإلمام يكون بالسيف‬ ‫والكالم‬ "Ini adalah sebesar-besar dalil yang menunjukkan bahwa pemberontakan itu kadang dengan pedang, dan kadang dengan perkataan.."11 Syaikh Shalih Al Fauzan ketika ditanya tentang itu, juga memberikan jawaban yang sama: ،‫ وهذا أشد الخروج‬،‫الخروج على األئمة يكون بالخروج عليهم بالسيف‬ ،‫ وعلى المنابر‬،‫ والكالم فيهم في المجالس‬،‫ وشتمهم‬،‫بسبهم‬ ِّ :‫ويكون بالكالم‬ ‫ وين َِّقص قدر الوالة‬،‫يهيج الناس ويحثهم على الخروج على ولي األمر‬ ِّ ‫هذا‬ ‫ نعم‬،‫ فالكالم خروج‬،‫ هذا خروج‬،‫عندهم‬ 11

Ta’liq beliau atas Raf'ul Asathin fi Hukmil Ittishal bi Salathin, Asy Syaukani, hal. 33

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

33

"Pemberontakan kepada pemimpin kadang dengan pedang, dan ini yang paling berat, kadang dengan perkataan, yaitu dengan mencaci mereka, menghina mereka, dan membicarakan mereka di majelis-majelis dan mimbar, hal ini akan memprovokasi manusia dan menghasut mereka untuk memberontak pada ulil amri, dan merendahkan kedudukan mereka di sisi mereka, dan ini termasuk pemberontakan. Maka, benar, dengan berkata-kata pun termasuk pemberontakan."12 Syaikh 'Abdul 'Aziz Ar Rajihi ditanya: ‫ أم يكون باللسان أيضا؟ ك َمن‬،‫هل الخروج على الحكام يكون بالسيف فقط‬ ‫ أو َمن يطالب بتغيير المنكرات عالنية عن طريق اإلعالم‬،‫ينتقد الظلم مثال‬ ‫والقنوات الفضائية؟‬ "Apakah pemberontakan terhadap penguasa itu hanya dengan pedang saja, ataukah juga dengan lisan? Seperti mereka yang mengkritik kezhaliman, atau mereka yang menuntut pemberantasan kemungkaran secara terangterangan, melalui media massa dan tivi kabel?” 12

http://www.alfawzan.af.org.sa/node/4898

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

34

Jawaban beliau: ‫ ويكون أيضا بذكر‬،‫ الخروج على الوالة يكون بالقتال وبالسيف‬، ‫نعم‬ ‫ أو في اإلنترنت؛ في الشبكة‬،‫ أو فوق المنابر‬،‫المعايب ونشرها في الصحف‬ ‫ ثم تكون سببا في‬،‫تبغض الناس في الحكام‬ ِّ ‫أوغيرها؛ ألن ذكر المعايب هذه‬ ‫الخروج عليهم‬. ‫ لما خرج عليه (الثوار) نشروا‬-‫رضي هللا عنه‬- ‫أمير المؤمنين عثمان‬ ‫معايبه أوال بين الناس‬ "Benar, pemberontakan bisa melalui senjata, dan juga bisa

dengan

menyebutkan

aib-aib

penguasa

dan

menyebarkannya melalui surat kabar, atau di atas mimbar, atau melalui internet, jaringan/web atau selainnya. Hal ini karena menyebutkan aib-aib akan membuat masyarakat menjadi marah terhadap penguasa, kemudian menjadi sebab terjadinya pemberontakan terhadap mereka. Para pemberomtak Amirul Mukminin 'Utsman radhiyallahu

'anhu-,

mereka

memulainya

-

dengan

menyebarkan aib-aib beliau kepada masyarakat... *kemudian Syaikh menyebutkan contoh-contoh isu yang disebarkan para pemberontak 'Utsman*

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

35

‫ فإذا نشرت‬،‫ هذا نوع من الخروج‬،‫ينشر المعايب‬ ‫فال يجوز لإلنسان أن‬ َ ،‫ والمجالت‬،‫ وفي الصحف‬،‫ على المنابر‬-‫معايب الحكام والوالة‬- ‫المعايب‬ ‫ فخرج الناس‬،‫أبغض الناس الوالة وألَّبوهم عليهم‬ ،‫وفي الشبكة المعلوماتية‬ َ ‫عليهم‬ Maka tidak boleh bagi seseorang untuk menyebarkan aib, karena hal ini termasuk jenis pemberontakan juga. Ketika aib-aib disebarkan di atas mimbar, atau di surat kabar dan majalah, atau di situs berita, maka masyarakat akan marah dan menghasut untuk melawan pemerintah, maka mereka pun memberontak padanya."13

13

Syarh Al Mukhtar fi Ushul As Sunnah hal. 289

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

36

Mengkritik Penguasa di Atas Mimbar, Ataukah di Depan Mereka?

Syaikh Muhammad bin Shalih Al 'Utsaimin dalam khutbah Jum'ah beliau yang bertema fitnah koran dan majalah, mengatakan: ‫ وال‬، ‫إن مخاطبة المسؤولين في الدولة من على هذا المنبر ال يقتضيه العقل‬ ‫ ألنه‬، ‫يأمر به الشرع‬ ‫ "من‬: ‫ وما ال يجدي شيئا فقد قال النبي صلى هللا عليه وسلم‬، ‫ال يجدي شيئا‬ ‫حسن إسالم المرء تركه ما ال يعنيه" وقال "من كان يؤمن باهلل واليوم‬ ‫"اآلخر فليقل خيرا أو ليصمت‬ "Membicarakan aparat pemerintahan di atas mimbar adalah tindakan yang tidak didukung akal sehat dan tidak diperintahkan oleh syariat. Cara seperti itu tidak ada gunanya. Dan segala sesuatu yang tidak gunanya termasuk dalam sabda Nabi: "Di antara tanda kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya" dan sabda Nabi:

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

37

"Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaknya berkata yang baik atau diam"14 Terdapat teladan dari beliau –rahimahullah- dalam hal ini, ketika beliau ditanya sekumpulan pemuda yang beringas dan konyol: "Mengapa kalian tidak membantah pemerintah dan menjelaskan kesalahan mereka kepada rakyat?" Dengan lembut dan santun beliau menjawab: "Nasehat sudah diberikan....Demi Allah, saya beritahukan kepada Anda yaa akhi Fulan, dan juga kepada seluruh hadirin bahwa menjelaskan (secara terbuka) apa yang kami lakukan terhadap pemerintah akan menimbulkan dua kerusakan: Pertama: Seorang insan tentu khawatir dirinya terjangkiti riya' sehingga terhapus pahala amalnya. Kedua: Sekiranya pemerintah tidak mengindahkannya maka akan menjadi alasan bagi masyarakat untuk

14

Fatwa Haula Fitan Al Jaraa-id wal Majallat

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

38

menentang pemerintah. Mereka akan bergolak dan terjadilah kerusakan yang sangat besar!"15 Di tempat lain, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin mengatakan: "Sesungguhnya mengingkari kemungkaran yang tersebar adalah hal yang dituntut dan tidak ada masalah dalam hal ini. Tapi yang menjadi masalah dalam pembahasan kita adalah pengingkaran terhadap seorang penguasa, seperti jika seseorang berpidato di masjid, kemudian ia berkata misalnya, “Negara (pemerintahnya) ini telah berbuat zhalim”, “Pemerintah telah melakukan (kesalahan)”, ia terus berbicara tentang kemungkaran penguasa dengan cara terang-terangan ini, padahal para penguasa tersebut tidak hadir dalam majelis itu. Jelas berbeda jika pemimpin atau penguasa yang ingin engkau nasihati itu ada di hadapan Anda dan ketika dia tidak ada. Karena semua pengingkaran secara terangterangan yang dilakukan oleh generasi Salaf terjadi langsung di hadapan pemimpin atau penguasa. Bedanya, jika ia hadir, memungkinkan baginya untuk membela 15

Dari kaset As-ilah Haula Lajnah Huquq Asy Syar'iyyah

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

39

diri dan menjelaskan sisi pandangnya, dan bisa jadi ia yang benar dan kita yang salah. Akan tetapi jika ia tidak hadir, tentunya ia tidak bisa membela diri dan ini termasuk kezhaliman. Maka wajib bagi setiap kita untuk tidak berbicara tentang kejelekan seorang penguasa tatkala ia tidak hadir. Olehnya, jika engkau sangat menginginkan

kebaikan

(bagi

seorang

penguasa)

pergilah kepadanya, temuilah ia, lalu nasihati secara empat mata."16 Di kesempatan lain, beliau menjelaskan: "Tidak boleh bagi kita untuk berbicara di depan umum yang menimbulkan efek kebencian terhadap pemerintah, dan termasuk apa saja yang membuat orang murka kepada mereka, karena pada hal semacam ini terdapat kerusakan yang besar. Bagi seseorang, ini tampak seperti bentuk

semangat,

kebenaran menyampaikan

secara

dan

termasuk

menyampaikan

terang-terangan.

kebenaran

tidaklah

Padahal

dilakukan

di

belakang layar.

16

Lihat Liqo’ Al-Babil Maftuh, pertemuan ke-62, hal. 46

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

40

Menyampaikan kebenaran di depan penguasa itu caranya adalah dia ada di depanmu dan engkau sampaikan: "Anda melakukan ini dan itu, sedangan itu tidak boleh.. Tinggalkan itu.. atau.. Hal ini wajib..". Adapun jika engkau berbicara mencela pemerintah di belakangnya serta

mengumpatnya,

maka

hal

ini

bukanlah

menyampaikan kebenaran. Bahkan hal ini termasuk kerusakan. Ini termasuk hal yang akan mengobarkan kebencian dan pembangkangan terhadap mereka, dan hal itu bisa mengarah kepada yang lebih besar lagi yaitu pemberontakan terhadap mereka.. wal 'iyadzu billah.."17 Syaikh Muqbil Al Wadi’iy menjelaskan: “Patut

dibedakan

antara

mengingkari

kebijakan-

kebijakan pemerintah yang menyelisihi al Qur'an dan sunnah di atas podium dengan melakukan agitasi agar rakyat memberontak terhadap pemerintah. Agitasi untuk memberontak itu tidak diperbolehkan kecuali jika kita melihat pemerintah memiliki kekafiran yang nyata.”18

17 18

Syarh Riyadhis Shalihin 3/668 Tuhfatul Mujib hal 170

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

41

BAB 4

SYUBHAT DAN JAWABANNYA

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

42

Syubhat Pertama Pemahaman Terhadap Hadits “Taatilah Selama Mereka Menegakkan Kitabullah”

Sebagian orang menganggap bahwa ketaatan kepada ulil amri itu hanya di Negara yang berhukum dengan syariat Islam berdasarkan hadits: ‫إن أمر عليكم عبد مجدي يقودكم بكتاب هللا فاسمعوا له وأطيعوا‬ “Jika seorang budak memerintah kalian berpegang pada Kitabullah, maka dengarkanlah dan taatlah..”19 Maka kemudian mereka berkesimpulan bahwa syarat seseorang bisa dianggap ulil amri yang wajib ditaati adalah ketika dia menjadikan Al-Quran dan Sunnah sebagai

sumber

tertinggi

dari

undang-undang

pemerintahannya. Selain itu, bukan ulil amri yang wajib ditaati sebagai bentuk pengamalan perintah agama.

19

HR. Muslim no. 1838

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

43

Telah berlalu fatwa dari para ulama sebagai bantahan akan hal tersebut. Akan tetapi sebagai pelengkap perlu diketengahkan di sini jawaban untuk syubhat di atas. Al Atsram, salah seorang sahabat dan murid Imam Ahmad bin Hanbal, menjelaskan: “Dan diriwayatkan oleh Harb bin Syaddad, dari Yahya bin Abi Katsir, dari ‘Amru bin Zainab, dari Anas, dari Nabi ‫ﷺ‬, beliau bersabda: ‫ال طاعة لمن عصى هللا عز وجل‬ ‘Tidak ada ketaatan pada orang yang bermaksiat kepada Allah’. Lahiriyah hadits-hadits ini nampak berselisihan sehingga ahlul bid’ah berusaha mentakwilkannya. Adapun Ahlus Sunnah, maka mereka meletakkanya semua hadits-hadits itu sesuai tempat, sedangkan maknanya menurut mereka adalah berdekatan. Sedangkan ahlul bid’ah, mereka mentakwilkannya sebagian hadits-hadits ini dalam rangka memisahkan diri dari para pemimpin dan keluar ketaatan terhadap

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

44

mereka. Padahal yang benar, bahwasanya hadits-hadits tersebut saling menafsirkan satu sama lain, serta saling membenarkan satu sama lain: - Hadits Ummul Hushain, dipersyaratkan padanya: ‘Menuntun kalian dengan Kitabullah’ - Hadits ‘Ali radhiyallahu ‘anhu yang telah ditafsirkan ketika Rasulullah bersabda : ‘Ketaatan itu hanyalah dalam hal yang ma’ruf saja’; - Hadits Ibnu ‘Umar yang telah juga ditafsirkan bahwasanya : ‘diwajibkan taat selama tidak diperintah kemaksiatan’. Begitu pula dengan hadits Abu Sa’id. Adapun hadits Ibnu Mas’ud dan Anas, keduanya ditakwilkan oleh ahlul bid’ah, dimana mereka berkata: “Tidakkah kalian melihat beliau ‫ ﷺ‬bersabda : ‘Tidak ada ketaatan terhadap orang yang bermaksiat kepada Allah ‘azza wa jalla’? Jika pemimpin itu bermaksiat, maka tidak ada ketaatan padanya sedikitpun meskipun ia mengajak pada ketaatan!” Padahal

sebenarnya,

hadits

yang

samar

harus

dikembalikan pada yang merinci. Maka tidak boleh

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

45

menjadikan teks lahiriyah hadits ini untuk lebih diikuti daripada hadits-hadits tersebut. Bahkan yang benar mesti mengembalikannya

pada

hadits-hadits

yang

jelas

maknanya, sehingga sabda beliau: ‘tidak ada ketaatan terhadap

orang

yang

bermaksiat

kepada

Allah’,

maksudnya bahwasanya tidak boleh taat dalam kemaksiatan,

seperti

keseluruhan

hadits-hadits

lainnya.”20 Begitu pula As Sindi, menjelaskan hadits ini: ‫يقودكم بكتاب هللا فيه إشارة إلى أنه ال طاعة له فيما يخالف حكم هللا تعالى‬ .‫وهللا أعلم‬ "Memerintahmu dengan Kitabullah", di dalamnya terdapat isyarat bahwa tidak ada ketaatan kepadanya ketika menyelisihi hukum Allah Ta'ala. Wallahu a'lam."21 Dengan penjelasan kedua ulama di atas maka jelas sudah bahwa hadits yang mereka bawakan pada dasarnya menafsirkan hadits mengenai ketaatan kepada penguasa

20 21

Nasikhul Hadits wa Mansukhuhu, hal 249 Hasyiyyah Sunan An Nasai, 7/154

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

46

dalam hal ma’ruf, dan tidak mentaati mereka dalam hal munkar. Begitu pula penafsiran Al Quran surat An Nisa ayat 59 tentang perintah taat kepada ulil amri setelah penyebutan taat

kepada

Allah

dan

Rasul-Nya,

para

ulama

menjelaskan bahwa maknanya adalah ketaatan pada perkara ma’ruf dan tidak taat pada perkara maksiat, sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits di atas. Hal ini dapat dibaca pada kitab-kitab tafsir semisal Tafsir Ibnu Katsir tentang ayat tersebut. Sehingga tidak benar jika ditafsirkan bahwa ketika ulil amri tidak berhukum dengan syariat kemudian boleh tidak taat dalam semua perkara.

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

47

Syubhat Kedua Masalah Pemberontakan Adalah Khilafiyah, Bukan Ijma’

Demikianlah yang mereka katakan. Padahal sudah menjadi hal yang diketahui bahwa penyelisihan terhadap salah satu pokok dari aqidah Ahlus Sunnah tidak diperhitungkan sebagai perbedaan pendapat. Seandainya seorang ulama atau imam menyelisihi salah satu pokok aqidah Ahlus Sunnah, maka tidaklah kemudian menjadi khilafiyah. Karena ijma' dalam perkara aqidah berbeda dengan ijma' dalam perkara fiqih. Syaikh Shalih Alusy Syaikh menjelaskan: "Ijma' yang disebutkan dalam perkara aqidah berbeda dengan ijma' dalam perkara fiqih. Ijma' dalam masalah aqidah artinya, tidak ditemukan seorangpun dari para imam hadits dan sunnah menyebutkan pendapat selain pendapat tersebut dan merajihkannya (memilih yang terkuat), inilah makna ijma', sehingga jika ada yang menyelisihinya

maka

tidaklah

terhitung

sebagai

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

48

khilafiyah,

karena hal

tersebut

terhitung sebagai

penyelisihan terhadap ijma', maka tidaklah dianggap pendapat yang berbeda dengannya. Sebagai contoh, bahwa para ulama ber-ijma' bahwa Allah Jalla wa 'Alaa memiliki "shurah" (bentuk), oleh sebab tidak ada perselisihan di antara mereka atas perkara tersebut, seluruhnya menyebutkan hal yang sama. Kemudian Ibnu Khuzaimah -rahimahullah ta'ala rahmatan wasi'atan- lalu menafikkan hadits tentang "shurah",

dan

menakwilkannya,

yakni

hadits

"Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dengan bentuk Ar Rahman", dan membawa hadits "Allah menciptakan Adam atas bentuk-Nya", dengan penakwilan "dengan selain bentuk Ar Rahman", serta mengingkarinya. Dan ini dihitung sebagai bentuk ketergelinciran beliau, dan tidaklah dikatakan "Ini berbeda dengan ijma'", atau dikatakan "Ini adalah pendapat yang kedua". Maka ijma' dalam perkara aqidah artinya, bahwa Ahlus Sunnah wal Jama'ah berturut-turut menyebutkan tentang hal ini tanpa perselisihan di antara mereka.

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

49

Misalnya, masalah memberontak ke penguasa zhalim yang muslim. Hal ini terdapat perselisihan di kalangan sebagian tabi'in, yang berujung pada beberapa peristiwa, dan juga tabi'ut tabi'in, sedangkan masalah ini disebutkan sebagai ijma'. Dikatakan: Ahlus Sunnah wal Jama'ah telah bersepakat bahwa wajib mendengar dan taat, serta tidak memberontak kepada penguasa zhalim, meskipun terdapat perselisihan di kalangan tabi'in dan tabi'ut tabi'in. Meskipun demikian, perselisihan ini ada sebelum ditetapkannya hal ini sebagai aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah. Ketika aqidah ini dijelaskan, ditetapkan, dan diperjelas oleh para imam, dan dikuatkan pula oleh dalildalil, maka para imam pun mengikutinya dan juga ahlul hadits tanpa adanya perselisihan di antara mereka. Maka dalam masalah ini, khususnya sebagai bantahan kepada mereka dari kalangan tabi'in dan tabiu'ut tabi'in yang menempuh jalan ini, karena hal ini menyelisihi dalil-dalil,

dan

penyelisihan

mereka

ini

tidaklah

dianggap, karena menyelisihi dalil, dan Ahlus Sunnah wal Jama'ah juga menentang pendapat ini.

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

50

Ringkasnya: Bahwa ijma' maknanya adalah berturutturutnya para ulama menyebutkan masalah aqidah, jika mereka menyebutkannya secara berturut-turut tanpa adanya perselisihan, maka dikatakan: Ahlus Sunnah berijma' atasnya.”22 Mereka

yang menggugat

ijma’

tentang larangan

pemberontakan ini, dikhawatirkan mempunyai maksud terselubung yang hanya Allah kemudian mereka yang tahu. Oleh sebab itu Syaikh Shalih Al Fauzan ketika ditanya: ‫بعض طلبة العلم يقول أن مسألة الخروج على ولى األمر مسألة خالفية؟‬ “Sebagian penuntut ilmu yang mengatakan bahwa masalah memberontak penguasa adalah khilafiyah?” Beliau menjawab: ‫هذا ليس ب الب علم هذا طالب فتنة‬ “Mereka bukan penuntut ilmu, tapi pencari fitnah.”23

22 23

Syarh Aqidah Thahawiyah 1/127 Mafhum Al Bai’at 32

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

51

Syubhat Ketiga Bagaimana Dengan Para Ulama Yang Membolehkan Pemberontakan?

Inilah yang membuat mereka menolak ijma’ yang telah dinukil oleh puluhan ulama dari generasi ke generasi. Memang tidak dipungkiri bahwa setelah masa tabi’in dan tabi’ut tabi’in, ada beberapa ulama yang secara lahiriyah membolehkan pemberontakan ke penguasa zhalim yang muslim, di antaranya. 1. Imam Abu Hanifah 2. Ibnu Hazm Al Andalusi 3. Al Mawardi 4. Abul Abbas Al Qurthubi Al Asy’ari Dengan adanya ulama-ulama di atas, maka terdapat dua syubhat yang mereka lemparkan: Bukankah itu artinya ijma’ telah batal? Dan apakah ulama-ulama di atas khawarij? Pertanyaan pertama telah terjawab di bab

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

52

sebelumnya. Sedangkan pertanyaan kedua, perlu dibahas satu persatu di antara para ulama di atas. 1. IMAM ABU HANIFAH Riwayat

bahwa

beliau

berpendapat

bolehnya

memberontak cukup banyak, bahkan oleh sebab itu beliau disebut sebagai murji’ah. Telah diriwayatkan dari Abu Ishaq Al Fazari: Aku mendengar Sufyan dan Al Auza’i berkata: “Sesungguhnya di antara perkataan murji’ah adalah bolehnya memberontak dengan pedang”24 Beliau mengatakan: “Abu Hanifah berpemahaman murji’ah, ia berpendapat bolehnya memberontak dengan senjata”25 Beliau juga bercerita: “Aku meriwayatkan kepada Abu Hanifah sebuah hadits tentang larangan memberontak, lalu ia menjawab: Ini hadits yang diada-adakan.”26

24

As Sunnah oleh Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, 1/217 idem, 1/207 26 idem 25

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

53

Imam Al Ajurry bertanya kepada Imam Abu Dawud: “Apakah

Abu

Hanifah

berpendapat

bolehnya

memberontak?” Abu Dawud menjawab: “Benar”.27 Dan telah dinukil pengingkaran mereka terhadap pendapat Abu Hanifah ini. Di antaranya: Ibnul Mubarak bercerita: Suatu hari aku menyebut Abu Hanifah di sisi Al Auza’i, maka ia berpaling dariku, maka aku pun mengingatkannya. Kemudian ia berkata: Engkau datang kepada orang yang membolehkan mengangkat

senjata

kepada

umat

Muhammad



shallallahu ‘alaihi wasallam- lalu menyebut namanya di depan kami?”28 Beliau juga bercerita: “Aku berada di sisi Al Auza'i lalu aku memuji Abu Hanifah, maka ia pun diam dariku. Menjelang berpisah aku berkata padanya "Berilah aku wasiat", maka ia menjawab: "Tanpa diminta pun aku ingin menasehatimu. Aku

27 28

mendengar

engkau

memuji

laki-laki

yang

Sualat Al Ajurry lil Imam Abi Dawud, hal. 264 Tarikh Baghdad 13/396

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

54

membolehkan mengangkat senjata ke umat?" Maka aku menjawab: "Kenapa engkau tidak memberitahuku?" Beliau menjawab: "Aku tidak meninggalkan hal itu"29 Jadi jelas di sini bahwa posisi Imam Abu Hanifah dalam pendapatnya tersebut sebagai posisi seorang ulama yang tergelincir dalam kesalahan, bukan termasuk yang pendapatnya

terhitung

sebagai

khilafiyah

yang

ditoleransi, sebagaimana pendapat beliau yang lain dan sebagian ahnaf (pengikut hanafiyah) yang mengeluarkan amalan dari cakupan iman, sehingga mereka disebut murjiatul fuqaha. Akankah kita mengatakan bahwa hal ini termasuk khilafiyah dalam perkara iman? Tentu tidak. Terlebih lagi, terdapat riwayat bahwa Imam Abu Hanifah meninggal dalam keadaan telah menyepakati aqidah Ahlus Sunnah. Di antaranya adalah yang diriwayatkan oleh Imam Abu Ja’far Ath Thahawi dalam Aqidah Ath Thahawiyah:

29

Tarikh Abi Zur’ah Ad Dimasyqi, 1/506

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

55

"Disebutkan di sini penjelasan mengenai aqidah Ahlus Sunnah wal Jama'ah di atas madzhab ahli fiqih umat ini: Abu Hanifah An Nu'man bin Tsabit Al Kufi, dan Abu Yusuf Ya'qub bin Ibrahim Al Anshari, dan Abu Abdillah Muhammad ibn Al Hasan Asy Syaibani, semoga Allah meridhai mereka semua, dan penjelasan tentang yang mereka yakini dari pokok agama ini yang disyariatkan oleh Rabb semesta alam: ... Dan kami berpendapat untuk tidak memberontak imam dan ulil amri kami walaupun

mereka

zhalim,

dan

kami

tidak

mendoakan kejelekan bagi mereka, dan kami tidak mencabut ketaatan kami pada mereka walaupun sejengkal, dan kami berpendapat bahwa ketaatan kepada mereka adalah ketaatan kepada Allah 'azza wajalla

yang

wajib,

memerintahkan

kepada

selama

mereka

maksiat.

Dan

tidak kami

mendoakan untuk mereka kebaikan dan kemaafan."30 Ibnu Dimyathi juga meriwayatkan hal yang sama: “Abu Hanifah berkata: Dan kami berpendapat untuk tidak memberontak kepada para imam dan penguasa 30

Al ‘Aqidah Ath Thahawiyah, hal. 47

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

56

kami walaupun mereka zhalim kepada kami, dan kami mendoakan kebaikan untuk mereka.”31 Ini pula yang dinukil Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Fatawa Hamawiyah beliau, dari Abu Muthi’ Al Balkhi,

ia

berkata

kepada

Abu

Hanifah:

“Apa

pendapatmu tentang orang melakukan amar ma'ruf nahi munkar, kemudian orang-orang mengikutinya, kemudian ia keluar dari jama'ah (memberontak), apakah engkau berpendapat demikian?” Abu Hanifah menjawab: “Tidak.” Aku berkata: “Kenapa? Padahal Allah memerintahkan amar ma'ruf nahi munkar, dan ia sebuah kewajiban?” Abu Hanifah menjawab: “Memang demikian. Akan tetapi apa yang mereka rusak lebih banyak daripada apa yang mereka perbaiki, yaitu tumpahnya darah dan dihalalkannya yang haram.”32

31 32

Al Mustafad min Dzail Tarikh Baghdad (2/51) Al Fatawa Al Hamawiyah Al Kubra, hal. 320-321

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

57

Ini pula yang diyakini oleh Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz ketika menjelaskan riwayat tersebut. Beliau mengatakan: ‫ ويقول‬، ‫ولهذا أنكر أبو حنيفة على هؤالء الذين يخرجون على السل ان‬ ‫ والدعوة‬، ‫ فالواجب عليهم إنكار المنكر‬. ‫أنهم يفسدون أكثر مما يصلحون‬ ‫ ولقتل‬، ‫ أما الخروج بالسالح لقتل المسلمين‬. ‫إلى الخير لكن بغير السالح‬ ‫ وعمل‬، ‫أولياء األمور بزعمهم أنهم ينكرون المنكر ؛ فهذا عمل الخوارج‬ .‫المعتزلة الذين أفسدوا أكثر مما يصلحون‬ “Karena itulah Abu Hanifah mengingkari mereka yang keluar dari ketaatan kepada penguasa. Dan mengatakan bahwa yang mereka rusak lebih banyak daripada yang mereka perbaiki. Maka wajib nahi munkar kepada penguasa, dan mendakwahkan mereka kepada kebaikan, tanpa mengangkat senjata. Pemberontakan dengan senjata dengan membunuh kaum muslimin, dan memerangi penguasa dengan alasan bahwa mereka mengingkari kemungkaran, maka ini amalan khawarij dan amalan mu'tazilah yang lebih banyak merusak daripada memperbaiki."33 33

Ta’liqat ‘Ala Ar Risalah Al Hamawiyah Al Kubra, hal. 86

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

58

2. IMAM AL MAWARDI Dalam Al Ahkam As Sulthaniyah hal. 27, beliau berpendapat bahwa seorang imam yang fasik maka kepemimpinannya tidak sah, dan harus diturunkan. Sebelumnya

perlu

diketahui

bahwa

menurunkan

penguasa yang fasik dengan pedang merupakan madzhab Mu’tazillah, Zaidiyah, Khawarij, dan banyak dari orangorang Murji’ah sebagaimana yang disebutkan oleh Imam Abul Hasan Al Asy’ari.34 Sebagian ulama mensifati Imam Al Mawardi dengan I’tizal atau mu’tazili, semisal: Ibnu Shalah: “Dirinya sendiri shaduq (terpercaya), akan tetapi ia seorang mu’tazili”35 Az Zarkili: “Ia condong ke madzhab Mu’tazilah.36 Ibnu Hajar: “Dirinya sendiri shaduq (terpercaya), akan tetapi ia seorang mu’tazili. Selesai. Akan tetapi tidak layak memutlakkan sebutan I’tizal baginya.”37 34

Maqalat Al Islamiyyin, hal. 139 Mizan Al I’tidal oleh Adz Dzahabi, 3/155 36 Al A’lam oleh Az Zarkili, 4/327 35

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

59

Syaikh Shalih Alusy Syaikh ditanya: “Apa aqidah Al Mawardi, dan bagaimana pendapat Anda tentang kitab beliau "Al Ahkam As Sulthaniyah"?” Jawab: Al Mawardi seorang Asy'ari, dan dituduh berpaham Mu'tazilah. Beliau mempunyai kitab tafsir An Nukat wal 'Uyun, dicetak di Kuwait kemudian di selainnya. Belau dituduh berpaham Mu'tazilah di beberapa masalah dan di sebagian masalah lain beliau bermadzhab Asy'ari. Adapun kitabnya Al Ahkam As Sulthaniyah dalam perkara imamah dan amar ma'ruf nahi munkar, terdapat kekeliruan, tidak sesuai dengan perincian madzhab salaf.”38 Imam An Nawawi sebagai sesama ulama Syafi’iyyah telah membantah pendapat Al Mawardi ini di dalam Syarh Shahih Muslim: “Adapun memberontak kepada penguasa, maka haram berdasarkan ijma' kaum muslimin, walaupun mereka

37 38

Lisanul Mizan, 2/216 http://saleh.af.org.sa/node/46

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

60

fasik dan zhalim. Telah jelas banyak hadits yang semakna dengan yang aku katakan, dan Ahlus Sunnah berijma' bahwa penguasa tidaklah diturunkan dengan sebab kefasikan. Adapun pendapat yang disebutkan di kitab-kitab (Syafi'iyyah)

fiqih

milik

bahwa

ia

sebagian

ashhab kami

dilengserkan

karena

kefasikan, dan juga pendapat ini diriwayatkan dari Mu'tazilah, maka kelirulah orang yang berpendapat demikian, karena menyelisihi ijma'.”39 3. IMAM IBNU HAZM Imam Ibnu Hazm Al Andalusi mengatakan: ‫وذهبت طوائف من أهل السنة وجميع المعتزلة وجميع الخوارج والزيدية‬ ‫إلى أن سل السيوف في األمر بالمعروف والنهي عن المنكر واجب إذا لم‬ ‫يكن دفع المنكر إال بذلك‬ “Sebagian Ahlus Sunnah, dan seluruh Mu’tazilah, serta seluruh Khawarij dan Zaidiyah berpendapat bahwa mengangkat pedang dalam rangka amar ma’ruf nahi

39

Syarh An Nawawi ‘ala Shahih Muslim, 12/229

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

61

munkar wajib dilakukan jika tidak ada cara lain untuk menolak kemungkaran kecuali dengan itu.”40 Pertama yang perlu diketahui adalah bahwa Ibnu Hazm adalah ulama besar, fuqaha dari Andalus yang banyak mendapat pujian ulama karena keluasan ilmunya serta ketajaman argumennya. Namun, beliau bukanlah ulama yang aqidah diambil darinya. Syaikh Shalih Alusy Syaikh ditanya: “Apakah Ibnu Hazm termasuk Ahlus Sunnah wal Jama'ah?” Beliau menjawab: “Tidak, Ibnu Hazm bukanlah seorang Sunni, beliau punya madzhab tersendiri. Ibnu Abdil Hadi dan selainnya menganggapnya Jahmiyah, sebagian yang lain menganggapnya termasuk filosof, maksudnya, terpengaruh filsafat. Dalam masalah aqidah ia tercampur, tidak mengikuti suatu madzhab tertentu di antara madzhab

yang ada.

Ada aqidah Jahmiyah, ada

Asy'ariyah, dan ada Filsafat. Bercampur-campur.”41

40 41

Al Fishal fil Milal Wan Nihal, 4/171 Syarh Ath Thahawiyah, hal. 75

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

62

Begitu pula yang dikatakan para ulama lain mengenai kekeliruan-kekeliruan Ibnu Hazm dalam masalah aqidah, seperti Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, dan selain mereka. Kedua, Ibnu Hazm di situ menukil bahwa sebagian Ahlus Sunnah berpendapat bolehnya khuruj. Jika kita menengok sejarah, memang benar bahwa ada ulama salaf yang membolehkan khuruj di era Ibnul Asy’ats. Akan tetapi hal tersebut merupakan kekeliruan ijtihad yang tidak membuat mereka keluar dari nama Ahlus Sunnah. Sedangkan madzhab mereka tidaklah kemudian menjadi pendapat yang dinisbatkan kepada Ahlus Sunnah. Ibnu Hajar mengatakan: “Pendapatnya menyatakan bolehnya keluar mengangkat senjata terhadap para pemimpin yang zhalim. Maka, ini adalah madzhab sebagian orang-orang salaf dahulu. Akan tetapi kemudian ada sebuah ketetapan untuk meninggalkan hal itu, karena justru menimbulkan dampak yang lebih fatal. Apa yang terjadi dalam

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

63

peristiwa Al-Harrah dan Ibnul-Asy’ats menjadi pelajaran yang baik bagi orang yang mau mengambil pelajaran”42 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan: "Di antara pokok Ahlus Sunnah adalah menetapi Al Jama'ah dan tidak memberontak kepada para pemimpin, dan tidak berkecimpung dalam perang ketika terjadi fitnah. Adapun pengikut hawa nafsu seperti Mu'tazilah, maka

mereka

menjadikan

pemberontakan

kepada

penguasa sebagai pokok agama mereka.."43 Ketiga, Ibnu Hazm berpendapat seperti itu karena menganggap

hadits

yang

melarang

perang

telah

ada

saling

dimansukh atau dihapus: Secara

lahiriyah,

bertentangan.

hadits-hadits

Maka

benarlah

yang bahwa

sebagiannya

menasakh (menghapus) hadits yang lain, tidak mungkin selain itu. Maka perlu dilihat yang manakah yang menasakh di antara keduanya, dan kami temukan bahwa hadits-hadits yang melarang perang itu ada di masa-masa 42 43

Tahdzib At Tahdzib 2/28 Al Istiqamah 2/348

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

64

awal Islam, tanpa keraguan. Maka hadits yang lain yang menyuruh perang adalah syariat tambahan, dan hadits lama telah mansukh (dihapus) dan diangkat hukumnya ketika Rasulullah menyebutkan hadits-hadits ini. Maka tidak dibenarkan mengambil yang mansukh dengan meninggalkan yang nasikh, dan mengambil yang ragu dan meninggalkan yang yakin..”44 Tentu saja ini dakwaan yang tidak benar, karena tidak pernah ada yang mengatakan demikian dari kalangan ahli hadits dan riwayat. Syaikhul Islam menyebutkan alasan Ibnu Hazm ini sebagai salah satu udzur bagi mereka yang membolehkan khuruj. Kata beliau: “Di antara mereka ada yang berperang dengan meyakini pemikiran yang penyelisih sunnah menyeru padanya seperti orang-orang yang ikut perang Jamal dan Shiffin, serta Hirrah dan Jamajim, serta yang lainnya. Akan tetapi mereka mengira bahwa mereka berperang untuk mencapai mashlahat yang dicari, lalu mereka tidak mendapatkannya dan malah kerusakan lebih besar dari yang sebelumnya. Maka jelaslah bagi mereka pada 44

Al Fishal, 4/133

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

65

akhirnya, apa yang ditunjukkan oleh Asy Syaari' (Allah) pada awalnya. Dan di antara mereka ada yang belum sampai padanya nash-nash

dari

syariat,

atau

mereka

tidak

menganggapnya shahih. Di antara mereka juga, ada yang menganggap nash tentang itu telah mansukh, semisal Ibnu Hazm...”45

4. ABUL ABBAS AL QURTHUBI Beliau mengatakan: “Kalau pemimpin itu tak mau menegakkan pondasi agama seperti penegakan shalat, puasa Ramadhan, pelaksanaan

hukum

hudud,

bahkan

melarang

pelaksanaan itu, atau dia malah membolehkan minum khamer, zina serta tidak mencegahnya maka tak ada perbedaan pendapat bahwa dia harus diturunkan.”46

45 46

Minhajus Sunnah, 4/538 Al Mufhim 4/39

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

66

Mereka mengambil perkataan beliau sebagai dalil bahwa penguasa yang tidak menegakkan hukum hudud, harus diturunkan. Hal ini dapat dijawab bahwa apa yang disebutkan beliau di atas menunjukkan perkara-perkara yang merupakan pembatal iman, seperti meninggalkan shalat dan puasa, menghalalkan khamr dan perzinaan. Dengan demikian perkataan beliau tentang meninggalkan hukum hudud juga dibawa kepada istihlal (penghalalan) untuk tidak berhukum dengan hukum Allah. Dengan ini pula kita membawa perkataan beliau agar sesuai dengan sabda Rasulullah ‫ ﷺ‬mengenai larangan memberontak pada penguasa selama ia masih shalat dan hanya boleh ketika ia telah terjatuh pada kekafiran yang nyata. Seandainya pun kita bawa perkataan beliau kepada wajib diturunkannya pemimpin karena tidak menegakkan hudud, maka itu dalam konteks kenegaraan dimana ahlul hal wal ‘aqd mempunyai kekuasaan untuk melakukan itu, bukan dalam konteks pemberontakan.

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

67

Pertanyaan selanjutnya, dengan pendapat para ulama di atas yang membolehkan memberontak kepada penguasa zhalim, apakah mereka termasuk Khawarij, Mu’tazilah, atau ahlul bid’ah? Ini akan dibahas pada bab selanjutnya.

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

68

Syubhat Keempat Jika Memberontak Adalah Ciri Khawarij, Maka Apakah Para Salaf yang Memberontak Juga Khawarij?

Syubhat ini pernah dikemukakan oleh salah seorang tokoh yang tersesat di masa Imam Ahmad bernama Al Karabisi ketika ia membela Al Hasan bin Shalih yang berpendapat bolehnya memberontak penguasa zhalim. Ibnu Rajab menceritakan bahwa Al Marrudzi, salah seorang murid Imam Ahmad bin Hanbal, bercerita: “Aku menemui Al Karabisi saat ia masih dalam keadaan lurus, membela sunnah, dan menampakkan dukungan kepada Abu 'Abdillah (yakni, Imam Ahmad). Aku katakan padanya: "Sungguh orang-orang ingin memperlihatkan kitab Al Mudallisin ini kepada Abu 'Abdillah (Imam Ahmad). Maka sebaiknya engkau menyesal telah menulis kitab ini, atau aku akan melaporkan ini kepada beliau."

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

69

Maka Al Karabisi menjawab: "Sungguh Abu 'Abdillah (Imam Ahmad) adalah seorang yang soleh. Orang semisal beliau telah dikaruniai kemampuan untuk menemukan

kebenaran.

Aku

setuju

kitab

ini

diperlihatkan padanya. Abu Tsaur, Ibnu 'Aqil, dan Hubaisy menyuruhku untuk menghancurkan kitab ini, tapi aku menolaknya dan malah kukatakan kepada mereka: Aku akan semakin gencar mempromosikan kitabku ini!" Al Marrudzi melanjutkan ceritanya: “Maka ia pun tetap bersikeras menolak untuk rujuk dari kitab tersebut. Maka kitab itupun didatangkan ke Abu 'Abdillah (Imam Ahmad) dalam keadaan tidak tahu kitab itu dikarang oleh siapa. Ternyata isi kitab tersebut terdapat celaan terhadap Al A'masy (seorang ulama hadits, pen) dan dukungan terhadap Al Hasan bin Shalih. Dikatakan di kitab tersebut: ‫ إن الحسن بن صالح كان يرى رأي الخوارج فهذا ابن الزبير قد‬:‫إن قلتم‬ ‫خرج‬

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

70

"Jika engkau mengatakan bahwa Al Hasan bin Shalih itu berpemikiran Khawarij, maka tengoklah bahwa Ibnuz Zubair

(seorang

shahabat

Nabi)

pun

ternyata

memberontak!" Setelah dibacakan kepada Imam Ahmad, maka beliau pun berkomentar: "Buku ini berisi kompilasi bagi para penyelisih sunnah yang mereka tidak mampu berhujjah. Ingatkan orang akan bahaya buku ini, dan larang mereka membacanya!"”47 Perlu diketahui

bahwa tidak setiap orang

yang

menyelisihi pokok aqidah Ahlus Sunnah langsung dikatakan keluar dari Ahlus Sunnah dan masuk ke lingkaran Ahlul Bid’ah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan: “Dan semisal mereka yang bid'ah-nya tidak memecah belah

jama'ah

kaum

muslimin

serta

tidak

pula

membangun loyalitas dan permusuhan di atasnya, maka itu termasuk kekeliruan, dan Allah mengampuni orang yang beriman atas kesalahan mereka yang 47

Syarh 'Ilal At Tirmidzi 2/893

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

71

semisal itu. Hal ini terjadi pada banyak ulama salaf dan imam mereka. Mereka punya perkataanperkataan yang dilontarkan atas dasar ijtihad yang menyelisihi apa yang telah ditetapkan dalam Al Quran dan Sunnah. Berbeda dengan orang yang mendukung apa yang sesuai dengan mereka dan memusuhi yang menyelisihinya dan memecah

belah

jama'ah

kaum

muslimin,

lalu

mengkafirkan dan memfasikkan yang menyelisihinya pada masalah-masalah ijtihadiyah, dan menghalalkan untuk memerangi yang menyelisihi mereka, maka mereka itu termasuk pemecah belah dan penyelisih.”48 Syaikhul Islam juga mensyaratkan sampainya dalil kepada seseorang sehingga ia boleh disebut mubtadi’ (ahli bid’ah), beliau mengatakan: “Seorang imam di masa lampau bisa jadi keliru namun ia diampuni karena hujjah belum sampai kepadanya. Adapun yang sudah sampai kepadanya hujjah, 48

tidaklah

diampuni

sebagaimana

yang

Majmu’ Fatawa 3/349

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

72

pertama tadi. Maka dari itu orang yang telah sampai kepadanya hadits-hadits tentang adzab kubur namun mengingkarinya, maka ia dikatakan sebagai mubtadi' (ahli bid'ah), sedangkan 'Aisyah radhiyallahu ‘anha dan yang semisal beliau yang tidak tahu bahwa orang mati itu mendengar di kuburnya, tidaklah disebut mubtadi'. Ini adalah pokok yang penting, maka renungkanlah karena akan sangat bermanfaat.”49 Syaikh

Muhammad

bin

Shalih

Al

‘Utsaimin

menjelaskan: “Adapun kekeliruan

dalam masalah aqidah, jika

kekeliruan itu menyelisihi jalan salaf, maka tidak diragukan lagi bahwa itu sebuah kesesatan. Akan tetapi tidaklah pelakunya dihukumi sesat sampai ditegakkan hujjah padanya. Maka jika tegak hujjah namun ia tetap pada kekeliruan dan kesesatannya, maka barulah ia disebut mubtadi' yang menyelisihi al haq.”50

49 50

Majmu’ Fatawa 6/16 Kitabul ‘Ilm, hal 135

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

73

Sebuah

contoh,

Imam

Ibnu

Khuzaimah,

beliau

tergelincir dalam masalah “shurah”, yaitu pada sabda Rasulullah: ‫ورتِ ِه‬ َ ‫ق آ َد َم‬ َ َ‫إِن ّللاَ َخل‬ ُ ‫علَى‬ َ ‫ص‬ “Sesungguhnya Allah menciptakan Adam dalam bentukNya” Beliau berpendapat bahwa dhamir (kata ganti) pada kata shuratihi (bentuk-nya), itu kembali kepada Nabi Adam, sehingga hadits tersebut dimaknai dengan: Allah menciptakan Adam dalam bentuk Adam. Padahal Imam Ahmad mengatakan: “Siapa yang mengatakan bahwa Adam diciptakan dalam bentuk Adam, maka dia seorang Jahmi (pengikut Jahmiyah)!” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan tentang hal ini: “Tidak ada perbedaan pendapat di antara tiga generasi terbaik salaf bahwa kata ganti di situ kembali kepada Allah”

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

74

Telah dinukil ijma’ bahwa kata ganti di situ kembali kepada Allah, dan inilah yang sesuai dengan Al Quran dan Sunnah. Akan tetapi hal tersebut tidaklah menjadikan Ibnu Khuzaimah dikeluarkan dari barisan Ahlus Sunnah dan diberi label mubtadi’ atau Ahlul Bid’ah, karena kekeliruan beliau dalam berijtihad. Imam Adz Dzahabi mengatakan: “Ibnu Khuzaimah adalah seseorang yang mempunyai kehormatan tinggi dan kemuliaan di hati orang-orang, karena keilmuan dan agamanya, serta ittiba'-nya kepada Sunnah. Beliau mengarang kitab besar At Tauhid, akan tetapi

melakukan

takwil

terhadap

hadits

tentang

"shurah". Dan orang yang melakukan takwil terhadap sebagian sifat Allah itu dimaafkan. Adapun salaf, maka mereka tidak terjatuh dalam takwil. Seandainya setiap kesalahan dalam ijtihadnya, padahal keimanannya benar dan keinginannya kuat untuk mengikuti kebenaran, lalu kita tinggalkan dia dan kita

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

75

bid'ah-kan, maka tentu akan sedikit sekali ulama dan imam yang selamat.”51 Secara ringkas kita katakan: Kekeliruan para imam yang disebutkan di atas adalah ketergelinciran yang dimaafkan karena ijtihad mereka. Sedangkan kewajiban bagi kita adalah mengenali kekeliruan mereka, untuk tidak kita ikuti. Siapa yang telah mengetahui kekeliruan mereka namun masih mengikuti kekeliruan itu, maka ia sesungguhnya ia bukan sedang mengikuti para ulama tersebut, namun mengikuti hawa nafsunya. Na’udzubillahi min dzalik wan as-aluhus salamah wal ‘afiyah.

51

Siyar A’lam An Nubala 14/374-375

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

76

Syubhat Kelima Fatwa Syaikh Ibnu Baaz Mengenai Penyerangan ke Negara yang Berhukum dengan Undang-Undang Buatan

Dalam kitab yang dihimpun berjudul Al Fawaid Al Ilmiyyah min Ad Durus Al Baaziyah, Syaikh Bin Baaz ditanya: “Penulis mengatakan: Maka Allah memerintahkan untuk memerangi mereka untuk bertauhid dan meninggalkan syirik, serta menegakkan syi'ar-syi'ar agama yang lahiriyah, maka jika mereka melakukannya, mereka bebas. Dan sekiranya mereka menolak bertauhid atau menolak sesuatupun darinya, maka perang akan terus dilangsungkan karenanya menurut kesepakatan.” Syaikh menjawab: “Benar.

Maka

sekiranya

mereka

katakan:

Kami

menyembah Allah, akan tetapi mereka tidak puasa ramadhan, mereka diperangi. Atau mereka katakan: Kami melakukan ini, akan tetapi tidak berhaji padahal

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

77

mampu, mereka diperangi jika mereka masih bersikeras atas hal tersebut. Demikian juga seandainya mereka menolak kecuali syirik, mereka diperangi sampai mereka menyembah Allah saja dan meninggalkan kesyirikan. Nas-alullah Al 'Afiyah. Maka seandainya ada jihad yang benar pada masa sekarang, wajib untuk memerangi negeri-negeri arab seluruhnya, sampai mereka mentauhidkan Allah, sampai mereka berhukum dengan syariat Allah. Akan tetapi dimana jihad?!! Allahul musta'an, maka kesyirikan terjadi, dan ketaatan pada penguasa selain Allah pun terjadi. Maka kelompok-kelompok ini wajib diperangi baik yang di Mesir, Syam, dan Irak, dan setiap tempat yang di situ syariat ditelantarkan. Maka wajib diperangi sampai menegakkan syariat. Kalau bukan ini, maka itu. Antara kalian tegakkan syariat, dan kalian tetap di negeri-negeri kalian, dengan harta kalian, dan posisi kalian. Maka tuntutan kita adalah seperti apa yang dikatakan sahabat

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

78

kepada Romawi dan Persia, yaitu tuntutan untuk menegakkan perintah Allah, sekiranya kalian telah menegakkannya maka kami akan kembali.”52 Dari perkataan beliau yang kami tebalkan, mereka (penebar syubhat –red-) berkesimpulan bahwa sekedar berhukum

dengan

hukum

buatan

membolehkan

penguasa untuk diserang dan diberontak, baik ia masih muslim atau terjatuh dalam kekafiran. Hal itu jelas keliru, karena perkara yang difatwakan oleh Syaikh Ibn Baaz adalah tentang status kekafiran dari penguasanya, bukan mengenai perbuatannya berhukum dengan selain hukum Allah. Karena jelas bahwa darah seorang muslim tidaklah halal ditumpahkan kecuali atas sebab-sebab yang telah dijelaskan oleh syariat, salah satunya adalah kekafiran. Rasulullah bersabda: ، ‫س ِبالن ْف ِس‬ ْ ‫ام ِرئ ُم‬ ُ ‫ الث ِِّي‬: ‫س ِلم إِال ِب ِإحْ دَى ث َ َالث‬ ْ ‫َال يَ ِحل َد ُم‬ ُ ‫ َوالن ْف‬، ‫ب الـزانِ ْي‬ ‫ع ِة‬ َ ‫ق ِل ْلجـَ َما‬ ُ ‫َوالت ِاركُ ِل ِد ْينِ ِه ا ْلـ ُمـفَ ِار‬

52

Al Fawaid Al 'Ilmiyyah min Ad Durus Al Baaziyah, 3/108-111

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

79

“Tidak halal darah seorang muslim, kecuali karena salah satu dari tiga hal: orang yang berzina padahal ia sudah menikah,

membunuh

jiwa,

dan

orang

yang

meninggalkan agamanya lagi memisahkan diri dari jama’ah kaum muslimin”.53 Beliau juga bersabda: ‫من غير دينه فاضربوا عنقه‬ “Barangsiapa mengubah agamanya (murtad), maka bunuhlah ia.”54 Dan itu pula yang disabdakan Rasulullah sebagai penyebab bolehnya seorang penguasa diturunkan. Kata beliau: “Jangan, sampai kalian melihat kekufuran yang nyata” Berikut perkataan Syaikh Ibn Baaz yang mereka jadikan dalil dalam hal ini: Beliau ditanya: “Apabila di suatu negeri telah menyebar kesyirikan dan berhukum dengan hukum thaghut maka dari mana jihad harus dimulai dalam hal ini?” 53 54

HR Al Bukhari no. 6878 dan Muslim no. 1676 HR Malik no. 1219

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

80

Beliau menjawab: “Pertama yang harus dilakukan adalah menasahati para penguasa dan membimbing mereka pada kebenaran dengan menjelaskan kepada mereka kewajiban mereka untuk menegakkan syariat Allah sampai mereka kembali pada kebenaran. Kalau mereka enggan menerima dan bersikeras kufur kepada Allah serta tidak mau berhukum dengan syariat Allah maka kaum muslimin dan negeri islam di sekitarnya yang telah berhukum dengan syariat boleh berjihad melawan mereka. Demikian pula kekuatan dalam negeri sendiri berupa tentara muslim dan orangorang kuat yang mampu menggulingkan kepemimpinan orang yang telah kafir tersebut boleh melakukannya sampai diganti dengan sistem Islam. Nabi ‫ ﷺ‬bersabda, “Akan ada pemimpin diantara kalian yang kalian ketahui dan kalian ingkari.” Mereka (Para sahabat) bertanya, “Apakah kita boleh memerangi mereka?” Beliau menjawab, “Tidak, selama mereka masih menegakkan shalat di tengah kalian.”

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

81

Dan beliau juga bersabda, “Sampai kalian melihat adanya kekufuran yang bisa kalian pertanggungjawabkan di sisi Allah dengan hujjah yang jelas”55 Dari fatwa di atas sebenarnya sudah jelas bahwa hukum asalnya para penguasa tersebut tidaklah kafir. Setelah ditegakkan hujjah kepada mereka, dan dituntut untuk menegakkan hukum Allah kemudian tidak mau, dan bersedia perang untuk mempertahankan hukum buatan, maka barulah mereka kafir dan diperangi. Kekufuran mereka bukan karena perbuatan berhukum kepada selain hukum Allah, akan tetapi karena penentangan (juhud) mereka terhadap syariat, atau karena mereka menolak kewajiban berhukum dengan syariat bagi diri mereka (imtina’). Penjelasan kedua istilah ini akan ada pada bab selanjutnya. Untuk menunjukkan mauqif dari Syaikh Ibn Baaz yang lebih menyeluruh, kita akan menyimak dialog antara beliau dengan Dr. Salman Al Audah, Syaikh Ibn Jibrin, dan yang lainnya. Dialog tersebut direkam dalam sebuah 55

https://www.youtube.com/watch?v=pI9f3OXhzbc

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

82

kaset yang diberi judul Ad Dam'ah Al Baaziyah (Air Mata Syaikh Bin Baaz), karena dalam rekaman tersebut Syaikh

Bin

Baaz

menangis

mengenang

gurunya

terdahulu, Syaikh Muhammad bin brahim Alusy Syaikh. Dialog dimulai dengan pembahasan mengenai hukum meninggalkan shalat. Lalu Syaikh Ibnu Jibrin berkata tentang tafsir Ibnu Abbas untuk ayat:

‫ومن لم يحكم بما أنزل هللا فأولئك هم الكافرون‬ “Barangsiapa yang tidak berhukum dengan hukum yang diturunkan Allah, maka ia termasuk orang-orang kafir.” Yaitu kufrun duna kufrin (kekufuran yang tidak mengeluarkan pelakunya dari agama). Syaikh

Ibn

Baaz

mengatakan:

“Jika

ia

tidak

menganggapnya halal, yaitu semisal memutuskan hukum karena

disuap,

atau

memutuskan

hukum

untuk

musuhnya, atau sebaliknya, untuk temannya, maka ini yang disebut kufrun duna kufrin. Adapun jika ia menganggap halalnya meninggalkan syariat maka ia kafir. Akan tetapi jika karena suap maka tidak kafir

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

83

akbar yang mengeluarkan dari agama. Semisal yang dikatakan Ibnu Abbas, Mujahid, dan selainnya.” Kemudian seorang hadirin berkata: “Ini masalah yang cukup besar. Semoga Allah memaafkan Anda. Masalah tabdil (mengganti) hukum syariat dengan qawanin (undang-undang buatan).” Syaikh Bin Baaz menjawab: “Ini termasuk pembahasan jika ia melakukannya karena menganggapnya halal” Hadirin menjawab: “Ia mengaku bahwa ia tidak menganggapnya halal?” Syaikh menjawab:

‫إذا فعلها مستحال لها يكفر وإذا فعلها لتأويل إلرضاء قومه أو لكذا وكذا‬ ‫ ولكن يجب على المسلمين قتاله إذا كان عندهم‬، ‫يكون كفرا دون كفر‬ ‫ من غير دين هللا بالزكاة أو غيرها يقاتل حتى يلتزم‬، ‫قوة حتى يلتزم‬ “Jika ia melakukannya karena menganggapnya halal, maka dikafirkan. Jika ia melakukan itu karena takwil atau untuk menyenangkan kaumnya, atau yang lainnya, maka itu kufrun duna kufrin. Akan tetapi wajib bagi kaum muslimin untuk memeranginya jika ada pada

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

84

mereka kekuatan sampai ia iltizam dengan syariat. Siapa saja yang mengubah agama Allah, baik itu dalam masalah zakat atau yang lainnya, maka ia diperangi sampai ia iltizam.”56 Kemudian hadirin memberi contoh mengganti hukuman hudud dengan penjara, atau mengganti hukuman mati dengan ta’zir, dan membuat pasal-pasal tentangnya. Maka Syaikh Ibnu Baaz mengatakan: "Hukum asalnya adalah orang tersebut tidak dikafirkan sampai ia menganggap halal perbuatannya. Maka bisa jadi maksiat, atau dosa besar yang mengharuskan hukuman. Tapi ia

56

Rasulullah bersabda: ‫من غير دينه فاضربوا عنقه‬

”Barangsiapa mengubah agamanya (murtad), maka bunuhlah ia.” Menunjukkan bahwa Syaikh Ibn Baaz memaksudkan negara tersebut diperangi karena penguasanya murtad, bukan sekedar karena berhukum dengan undang-undang buatan tanpa peduli ia telah kafir atau tidak. Telah banyak fatwa beliau seputar penguasa yang berhukum dengan qawanin wadh’iyyah (hukum buatan) bahwa mereka muslim dan ditaati. Hal ini akan semakin jelas jika kita menyimak bagian akhir dialog ini mengenai kapan mereka diperangi. Adapun tentang pengertian iltizam akan ada pembahasan tersendiri insya Allah di bab berikutinya.

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

85

tetap berupa kufur yang tidak mengeluarkan dari agama kecuali jika dia istihlal." Kemudian

penanya

bertanya:

"Kecuali

jika

ia

menganggap halal? Padahal itu perkara batin, bagaimana kita mengetahui darinya?" Syaikh Bin Baaz menjawab: ‫ إذا ادعى أنه يستحله‬، ‫ إذا ادعى ذلك‬، ‫هذا هو‬ "Itulah, yaitu jika ia mengakuinya, jika ia mengakui halalnya perbuatan tersebut.." Kemudian pembahasan berlanjut mengenai tasyri’ ‘aam (menetapkan hukum yang berlaku untuk umum) dengan tabdil (mengganti) syariat. Syaikh Ibn Baaz mengatakan, jika hukum pengganti itu ia nisbatkan (diaku) sebagai syariat Islam, maka kafir. Jika tidak dinisbatkan kepada Islam, sekedar mengganti hukum saja, maka kafir kecil, tidak mengeluarkan seseorang dari agama. Salman Al Audah bertanya: “Apakah tidak dibedakan? Antara memutuskan hukum pada satu kasus tertentu,

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

86

dengan membuat undang-undang yang berlaku umum bagi manusia?”57 Syaikh menjawab: “Jika ia menisbatkan hukum tersebut sebagai bagian dari syariat, maka ia kafir. Adapun jika ia tidak

menganggapnya

bagian

dari

syariat,

ia

melakukannya karena hukum tersebut menurutnya baik untuk masyarakat, tapi tidak diaku bahwa itu dari Allah dan Rasul-Nya, maka itu sebuah kejahatan (dosa besar), namun bukan kufur akbar menurut keyakinanku.”58

57

Keputusan hukum pada kasus tertentu diistilahkan dengan qadhiyyah mu’ayyanah, sedangkan membuat undang-undang istilahnya tasyri’ ‘aam. 58

Tampak dari jawaban ini bahwa Syaikh Ibn Baaz tidak membedakan antara qadhiyyah mu’ayyanah dan tasyri’ ‘aam. Perkara yang dijadikan pembeda adalah mengenai apakah ia menisbatkan hukum buatan itu ke syariat, ataukah tidak. Ini sesuai dengan yang dikatakan para ulama sebelum beliau. Ibnul ‘Arabi mengatakan: ‫ وإن حكم به هوى و‬.‫إن حكم بما عنده على أنه من عند هللا فهو تبديل له يوجب الكفر‬ ‫معصية فهو ذنب تدركه المغفرة على أصل أهل السنة في الغفران للمذنبين‬ "Jika dia berhukum dengan hukum dari dirinya sendiri dengan anggapan bahwa ia dari Allah maka ia adalah tabdil (mengganti hukum Allah) yang mewajibkan kekufuran baginya. Dan jika dia berhukum dengan hukum dari dirinya sendiri karena hawa nafsu dan maksiat, maka ia adalah dosa yang masih bisa diampuni sesuai

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

87

Salman Al Audah menjawab: “Akan tetapi wahai Syaikh, Ibnu Katsir dalam Al Bidayah wan Nihayah menukil ijma’ bahwa itu kufur akbar.”

dengan pokok Ahlus Sunnah tentang ampunan bagi orang-orang yang berdosa.” (Ahkamul Qur’an 2/624). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan: ‫ أو حرم الحالل المجمع عليه أو بدل الشري‬، ‫اإلنسان متى حلل الحرام المجمع عليه‬ ‫ كان كافرا مرتدا باتفاق الفقهاء‬، ‫المجمع عليه‬ “Ketika seseorang menghalalkan yang disepakati haram, atau mengharamkan yang disepakati halal, atau mengganti syariat yang disepakati, maka ia kafir murtad menurut kesepakatan ahli fiqih.” (Majmu’ Fatawa 3/267) ‫ وهو الكذب على هللا ورسوله صلى هللا عليه وسلم أو على الناس‬: ‫الشري المبدل‬ ‫بشهادات الزور ونحوها والظلم البين فمن قال إن هذا من شري هللا فقد كفر بال نزاي‬ “Syariat yang diganti: ia merupakan kedustaan atas nama Allah dan Rasul-Nya ‫ﷺ‬, atau terhadap manusia dengan persaksian palsu atau semisalnya, dan termasuk kezhaliman yang nyata. Maka siapa yang mengatakan “Ini syariat dari Allah” maka ia telah kafir tanpa perselisihan.” (idem, 3/268) Perkataan Ibnul ‘Arabi ini dinukil oleh Al Qurthubi dalam Al Jami’ beliau (6/191), dan kembali dinukil oleh Al ‘Allamah Asy Syinqithi dalam Adhwa’ul Bayan (2/103).

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

88

Syaikh menjawab: “Mungkin maksudnya jika ia menisbatkannya kepada syariat.”59 Salman Al Audah menjawab: “Tidak! Ibnu Katsir mengatakan: Siapa yang berhukum dengan selain syariat Allah semisal syariat yang telah dihapus (mansukh), maka ia kafir. Maka bagaimana dengan yang berhukum 59

Ihtimal (kemungkinan) yang dibawakan Syaikh Ibnu Baaz atas ijma’ yang dinukil di atas barangkali berasal dari kalam Ibnu Katsir sebelumnya tentang asal muasal hukum Yasiq, bagaimana ia dianggap sebagai wahyu ilahi. Ibnu Katsir menceritakan: ‫ وقد ذكر‬،‫ ويحمل على بعير عندهم‬،‫وأما كتابه الياسا فإنه يكتب في مجلدين بخط غليظ‬ ،‫بعضهم أنه كان يصعد جبال ثم ينزل ثم يصعد ثم ينزل مرارا حتى يعيى ويقع مغشيا عليه‬ ‫ويأمر من عنده أن يكتب ما يلقى على لسانه حينئذ فإن كان هذا هكذا فالظاهر أن‬ ،‫ قال أكبر مقدميهم الذين قدموا إلى الشام‬... ‫الشي ان كان ين ق على لسانه بما فيها‬ ‫ هذان آيتان عظيمتان‬:‫ فقال‬.‫وهو يخاطب رسل المسلمين ويتقرب إليهم بأنا مسلمون‬ ‫ محمد وجنكسخان‬،‫جاءا من عند هللا‬ “Adapun kitabnya yaitu Alyasa ditulis dalam dua jilid dengan tulisan tebal, dipikul oleh keledai. Sebagian mereka bercerita bahwa ia naik gunung kemudian turun, kemudian naik, lalu turun, begitu seterusnya sampai ia lelah dan pingsan, kemudian menyuruh orang yang di dekatnya untuk menulis apa yang didiktekan pada lisannya ketika itu. Kalau memang seperti itu, maka jelas bahwa setan-lah yang sebenarnya mendikte lisannya tentang yang ia ucapkan.... Pembesar mereka tedahulu saat datang ke negeri Syam ketika berbicara kepada utusan-utusan kaum muslimin dan mendekat kepada mereka serta mengaku bahwa mereka adalah kaum muslimin, mereka mengatakan: ‘Dua orang ini adalah ayat terbesar yang datang dari sisi Allah’, mereka adalah Muhammad dan Jenghis Khan...”

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

89

dengan selain itu, dari buah pemikiran manusia, maka tidak diragukan bahwa ia murtad.”60

60

Perkataan Ibnu Katsir yang dimaksud adalah:

‫فمن ترك الشري المحكم المنزل على محمد بن عبد هللا خاتم االنبياء وتحاكم إلى غيره‬ ‫ فكيف بمن تحاكم إلى الياسا وقدمها عليه ؟ من فعل ذلك كفر‬،‫من الشرائع المنسوخة كفر‬ .‫بإجماي المسلمين‬ Barangsiapa yang meninggalkan syari’at-syari’at yang diturunkan kepada Muhammad bin ‘Abdillah, penutup para nabi, dan sekaligus berhukum dengan syari’at-syari’at yang mansukh, maka ia kafir. Lantas, bagaimana dengan orang yang berhukum kepada Alyasa dan lebih mengutamakannya daripada hukum Allah? Siapa saja yang berbuat demikian, maka ia kafir berdasarkan ijma’ kaum muslimin" (Al Bidayah wan Nihayah, 13/139). Dari perkataan beliau di atas sebenarnya sudah jelas bahwa Ibnu Katsir menambahkan qarinah (keterangan) bahwa mereka mengutamakan hukum buatan mereka daripada hukum Allah. Para ulama telah merinci bahwa orang yang berhukum dengan selain hukum Allah dengan keyakinan bahwa hukum buatan lebih baik daripada hukum Allah, maka ia kafir. Sebagaimana Ibnu Katsir sendiri meriwayatkan rincian keadaan orang yang berhukum dengan selain hukum Allah: ‫ { َو َم ْن لَ ْم يَحْ ُك ْم بِ َما أَنز َل ّللاُ فَأُولَئِكَ ُه ُم‬:‫ قوله‬،‫ عن ابن عباس‬،‫وقال علي بن أبي طلحة‬ .‫ ومن أقر به ولم يحكم فهو ظالم فاسق‬.‫ من جحد ما أنزل هللا فقد كفر‬:‫ا ْلكَاف ُِرونَ } قال‬ .‫رواه ابن جرير‬ ‘Ali bin Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas mengenai firman-Nya : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir; ia berkata : Barangsiapa yang mengingkari apa yang telah diturunkan Allah, berarti ia benar-benar kafir. Sedangkan

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

90

Syaikh

Ibn

Baaz

menjawab:

"Kalaupun

beliau

mengatakan seperti itu, Ibnu Katsir tidaklah maksum dari kekeliruan. Ini perlu telaah lebih lanjut. Beliau dan selain beliau kadang keliru. Banyak yang diklaim ijma' namun ternyata bukan."61

barangsiapa yang mengakuinya, namun tidak menjalankannya, maka adalah orang yang zhalim lagi fasiq. Riwayat Ibnu Jarir” [Tafsir Ibnu Katsir, 3/119]. 61

Barangkali karena ketiadaan kesempatan untuk memeriksa klaim Salman Al Audah, beliau kemudian mengatakan hal di atas. Pada kenyataannya, jika ijma’ tersebut dipahami secara lahiriyahnya saja maka akan bertentangan dengan apa yang dijelaskan oleh para salaf semisal Ibnu ‘Abbas dan yang lainnya bahwa orang yang sekedar berhukum dengan selain hukum Allah tidaklah terjatuh dalam kufur akbar. Membawa ijma’ yang dinukil Ibnu Katsir kepada tabdil seperti yang dilakukan Syaikh Bin Baaz, atau dengan juhud adalah lebih sesuai dan bebas dari tanaqudh (kontradiksi) antar kalam beliau sendiri. Ibnu Katsir mengatakan: ‫ّللاُ َفأ ُ ْو َلـئِكَ ُه ُم ا ْلكَاف ُِرونَ ﴾ ألنهم جحدوا حكم هللا قصدا ً منهم‬ ِّ ‫﴿ َو َمن ل ْم يَحْ كُم بِ َما أَنزَ َل‬ ‫ ﴿فَأ ُ ْو َلـئِكَ هُم الظا ِل ُمون﴾ ألنهم لم ينصفوا المظلوم من الظالم‬: ‫ وقال ههنا‬،ً‫وعنادا ً وعمدا‬ ‫ فخالفوا وظلموا وتعدوا‬،‫في األمر الذي أمر هللا بالعدل والتسوية بين الجميع فيه‬ “Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir’ (QS Al Maaidah: 44). Yang demikian itu karena mereka mengingkari (juhud) dan menentang (‘inad) hukum Allah secara sengaja. Sedangkan dalam ayat ini Allah Ta’ala berfirman :Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

91

Syaikh Ibn Jibrin mengatakan: "Mereka menjadikannya pengganti bagi syariat dan mengatakan bahwa hukum mereka lebih baik darinya dan lebih utama bagi manusia, dan menisbatkan hukum itu termasuk dalam hukumhukum syariat.” Syaikh Ibn Baaz menjawab: “Hal itu kekufuran dengan sendirinya. Jika ia berkata bahwa hukumnya lebih baik daripada syariat, atau seperti syariat, atau mengatakan bolehnya berhukum dengan selain hukum Allah, maka itu kufur akbar.” Seorang

hadirin

mengkafirkan

berkomentar:

pemerintahan

"Mereka

mengatakan

yang

demikian:

Pemerintahannya kafir, namun kami tidak mengkafirkan perorangan" Syaikh Ibn Baaz menjawab: "Jika ia menganggap halal berhukum dengan selain hukum Allah walaupun dia mereka itu adalah orang-orang yang zhalim (QS Al Maaidah: 45). Yang demikian itu karena mereka tidak berlaku adil kepada yang dizhalimi atas tindakan orang zhalim dalam perkara yang telah diperintahkan Allah untuk ditegakkan keadilan, dan (memberlakukan) secara sama di antara semua umat manusia. Namun mereka menyalahi dan berbuat zhalim” [Tafsir Ibnu Katsir 3/120].

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

92

perorangan, kafir. Fulan dikatakan kafir jika ia menghalalkan berhukum dengan selain hukum Allah atau menghalalkan zina maka dia kafir dengannya. Seperti mereka yang dikafirkan para sahabat Nabi karena meninggalkan agama. Musailamah dikafirkan secara ta'yin, Thulaihah sebelum taubatnya juga dikafirkan, begitu pula yang mengolok-olok agama ia kafir secara ta'yin, dan orang-orang yang dalam dirinya ada pembatal Islam dikafirkan. Adapun dibunuh/diperangi, maka itu perkara lain. Harus diminta taubat sebelum dibunuh." Seorang hadirin menjawab: "Akan tetapi jika ia menisbatkannya pada syariat, bukankah ia dihukumi sebagai seorang pendusta?" Syaikh Ibn Baaz menjawab: “Termasuk pendusta.” Kemudian pembicaraan beralih ke pertanyaan seputar ditinggalkannya sebagian hudud di masa khalifah 'Umar ketika paceklik. Lalu berlanjut ke pembahasan ayat. Salman Al 'Audah bertanya: “Semoga Allah menjaga Anda. Apa petunjuk bahwa dalam ayat "Mereka itulah orang-orang kafir", yang dimaksud adalah kufur kecil?

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

93

Apa yang memalingkannya, padahal ia menunjukkan pembatasan?” Syaikh Ibn Baaz: "Yaitu jika ia menghalalkannya, menurut pendapat yang benar. Jika tidak istihlal, maka semisal yang dikatakan Ibnu Abbas yaitu kufur kecil. Jika tidak, maka asalnya adalah mereka kafir." Seorang peserta diskusi mengatakan: "Tidak ada dalil dalam perkataan Ibnu 'Abbas tentang istihlal..." Salman Al Audah menimpali: "Betul, apa yang menjadikannya dipalingkan dari makna lahiriyahnya?" Syaikh Ibn Baaz menjawab: "Karena ia menghalalkan perbuatannya. Pada dasarnya ayat ini tentang orang kafir, yang

berhukum

dengan

selain

hukum

Allah.

Menghukumi halalnya bangkai, menghukumi yang semisalnya, apakah ketika Zaid atau Amru menghukumi karena disuap, kemudian kita katakan dia kafir? Tentu tidak kafir dengan itu. Atau memutuskan hukum dengan membunuh Zaid tanpa alasan yang dibenarkan karena hawa nafsunya, maka tidak dikafirkan dengannya..... Maka

berdasarkan

kaidah,

menghalalkan

dan

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

94

mengharamkan ada perkaranya sendiri... Misalnya pezina, apakah dikafirkan?" Salman Al Audah menjawab: "Tidak kafir" Syaikh Ibn Baaz: "Jika ia menghalalkannya?" Salman Al Audah menjawab: "Kafir" Syaikh Ibn Baaz: "Nah, itu dia." Salman Al Audah dan yang lainnya bersamaan menjawab: "Dikafirkan walaupun dia sendiri tidak berzina." Syaikh Ibn Baaz membenarkan: "Walaupun dia sendiri tidak berzina" Salman Al Audah: "Samahatul Walid, kita kembali ke nash ayat "Siapa yang tidak berhukum dengan yang diturunkan Allah", maka hukum kafir itu terkait dengan "meninggalkan hukum". Syaikh Ibn Baaz menjawab: "Berhukum dengan selain hukum Allah di situ di bawa ke makna jika ia menghalalkannya."

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

95

Salman Al Audah bertanya: "Pembatasan istihlal itu datang dari mana?" Maka Imam Ibn Baaz menjawab: "Dari dalil lain yang menunjukkan kepadanya, yang menunjukkan bahwa maksiat itu tidak mengkafirkan pelakunya, selama tidak menghalalkannya maka tidak kafir." Kemudian Syaikh kembali menjelaskan tentang pembeda kita dengan khawarij bahwa Ahlus Sunnah meyakini pelaku dosa besar tidak kafir. Sedangkan jika mereka menghalalkan perbuatan dosa besar itu maka mereka kafir. Kemudian Salman Al Audah mengatakan: “Anda mengatakan bahwa masalah pengkafiran pelaku maksiat dan dosa besar. Hal ini bukan titik perselisihan.” Syaikh

Ibn

Baaz

permasalahan Khawarij.

menjawab:

Khawarij.

Mereka

Inilah

Tidak, sebab

meninggalkan

ini

adalah

munculnya

perincian

dan

mengambil mutlak-nya saja, lalu mengkafirkan manusia. Nabi ‫ ﷺ‬berkata "Mereka melesat keluar dari Islam lalu tidak kembali lagi"

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

96

Salman menjawab: "Pezina dan pencuri, Samahatusy Syaikh..." Syaikh Ibn Baaz memotong: "Mereka kafir menurut Khawarij" Salman Al Audah meneruskan: "Ya, menurut Khawarij. Akan tetapi Ahlus Sunnah bersepakat bahwa mereka itu ahli maksiat.." Syaikh Ibn Baaz mengatakan: "Selama ia tidak menghalalkannya" Salman Al Audah menyelesaikan kalimatnya: "...Tidak keluar dari Islam.." Syaikh Ibn Baaz: "Selama ia tidak menghalalkannya.." Salman

Al

Audah

menjawab:

"Selama

tidak

menghalalkannya, iya.. Maka mereka (Ahlus Sunnah) membedakan orang yang bermaksiat yang kemudian dihukumi sebagai fasik atau orang yang berkurang imannya, dengan orang yang menjadikan maksiat itu sebagai

undang-undang

yang

diwajibkan

kepada

manusia (tasyri' 'aam, -pent). Karena mereka berkata:

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

97

Tidaklah

tergambarkan

dari

tindakannya

yang

menjauhkan dari syariat, lalu membuat undang-undang yang mengikat bagi negaranya, walaupun ia mengatakan tidak menghalalkannya.. Tidaklah terbayangkan hal itu kecuali bahwa ia sebenarnya menghalalkannya atau menganggapnya lebih baik bagi masyarakat atau semisalnya.. Dan itu berbeda dengan orang yang memutuskan

hukum

pada

kasus

tertentu

karena

kekerabatan atau karena suap (qadhiyyah mu’ayyanah, pent)"62 Syaikh Ibn Baaz menjawab: Cukuplah kaidah: Lazimul hukmi laisa bihukmin (Konsekuensi hukum bukanlah hukum itu sendiri). Boleh jadi orang yang berhukum karena hawa nafsunya atau karena kekerabatan itu dikatakan

bahwa

ia

menghalalkannya63.

Lazim

62

Mirip dengan yang dikatakan oleh narapidana bom Cimanggis, Aman Abdurrahman: “Membedakan antara tasyri’ ‘aam atau pembabatan syariat dengan qadhiyyah mu’ayyanah adalah Aqidah Ahlis Sunnah Wal Jama’ah”. 63 Maksudnya, seandainya tasyri’ ‘aam itu melazimkan istihlal, maka qadhiyah mu’ayyanah pun berkemungkinan sama. Keduanya bisa saja melazimkan istihlal. Akan tetapi lazimul hukmi laisa bihukmin. Kita tidak bisa menghukumi sesuatu berdasarkan lazimnya. Sehingga tetap yang dihukumi adalah perbuatannya, bukan kesimpulan atau tafsiran konsekuensi dari perbuatan tersebut.

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

98

(konsekuensi)-nya memang demikian. Akan tetapi untuk apa perlu ditanya? Konsekuensi dari suatu hukum itu bukanlah hukum itu sendiri. Itu terkait antara dirinya dengan Allah. Adapun antara dia dengan manusia, maka wajib bagi kaum muslimin jika ada negara muslim yang kuat untuk memeranginya, agar ia berhukum dengan hukum Allah. Ia diperangi sebagaimana diperanginya orang-orang murtad. Karena pembelaannya atas hukum selain hukum Allah itu seperti pembelaan mereka yang menolak membayar zakat, bahkan lebih besar. Ia kafir karena hal tersebut. Syaikh Taqiyyuddin (Ibnu Taimiyyah, -pent) rahimahullah telah menegaskan hal ini. Beliau berkata: Perangnya adalah perang melawan orang murtad, bukan perang terhadap ahli maksiat jika mereka membela kebatilan mereka. Beliau menyebutkan ini dalam kitab As Siyasah.. Bukan, bukan di situ. Di Fathul Majid, aku kira di bab..." Salman menimpali: Di Majmu' Fatawa beliau ketika berbicara tentang Tartar.." Syaikh Ibn Baaz menjawab: Ya, sepertinya ketika membicarakan Tartar. Beliau rahimahullah menyebutkan

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

99

bahwa perang terhadap mereka bukan perang terhadap ahli maksiat tapi perang terhadap orang-orang yang murtad, karena pembelaan mereka (Tartar) terhadap maksiat seperti pembelaan mereka terhadap penolak zakat di masa Ash Shiddiq, sama persis." 64 Salman Al Audah mengatakan: “Semoga Allah menjaga Anda, sekarang terkait dengan penolak zakat. Jika mereka diperangi, maka mereka diperangi karena kekafiran." Syaikh Ibn Baaz: "Tidak diragukan lagi"

64

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata:

‫كل طائفة ممتنعة عن التزام شريعة من شرائع اإلسالم الظاهرة المتواترة ; من هؤالء‬ ‫القوم وغيرهم فإنه يجب قتالهم حتى يلتزموا شرائعه وإن كانوا مع ذلك ناطقين‬ ‫بالشهادتين وملتزمين بعض شرائعه كما قاتل أبو بكر الصديق والصحابة رضي هللا عنهم‬ ‫مانعي الزكاة‬ “Setiap kelompok yang menolak (imtina’) untuk iltizam dengan satu syariat di antara syariat-syariat Islam lahiriyah yang mutawatir, mereka atau selainnya, wajib untuk memerangi mereka sampai mereka iltizam terhadap syariat-syariat-Nya, walaupun mereka mengucapkan syahadatain dan iltizam terhadap sebagian syariat lain, sebagaimana Abu Bakr Ash Shiddiq dan para shahabat memerangi penolak zakat” (Majmu’ Fatawa 28/502) Penjelasan tentang thaifah mumtani’ah ini insya Allah ada di bab berikutnya.

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

100

Salman Al Audah: "Karena penolakannya (imtina'), ia diperangi karenanya." Syaikh

Ibn

Baaz:

"....

(kalimat

tidak

jelas)...

pembelaannya terhadap hukum selain hukum Allah.." Salman Al Audah: "Itu dalil bahwa dia juhud (menentang) terhadap kewajibannya.." Syaikh Ibn Baaz: “Jika ia membela diri untuk berhukum dengan selain hukum Allah, dan mengatakan: Aku tidak mau kembali,

maka

ini

pembelaan orang

yang

menganggap halal (istihlal), dia menjadi kafir. Seorang hadirin berkata: "Mereka itu dipastikan siap mati untuk itu.." Syaikh Ibn Baaz: "Jika yang terjadi demikian, maka mereka kafir. Jika terjadi dikatakan pada mereka: Berhukumlah dengan apa yang diturunkan Allah, kalau tidak, kami akan memerangi kalian.. Jika setelah itu mereka tetap enggan, maka mereka kafir. Itu adalah prasangka tentang keadaan mereka." Penanya berkata: "Itu prasangka tentang mereka.."

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

101

Syaikh Ibn Baaz: "Tidak diragukan lagi. Prasangka atas keadaan mereka adalah seperti itu. Akan tetapi, cukuplah bahwa hukum itu tidak dibangun di atas prasangka.. Prasangka atas penguasa Mesir dan selainnya adalah prasangka kejelekan dan kekufuran. Akan tetapi, cukuplah

seseorang

bersikap

hati-hati

dari

mengatakannya kafir, kecuali jika memang benar diketahui ia menghalalkannya (istihlal). Kita memohon keselamatan kepada Allah." Syaikh kemudian bertanya apakah ada pertanyaan lain atau sudah selesai, lalu sebagian menjawab, mereka menunggu izin dari beliau. Syaikh lalu mengatakan bahwa ini perkara penting dan setiap orang hendaknya berusaha keras dalam menelitinya. Kemudian dialog berlanjut. Salman Al Audah berkata: "Apakah Anda menganggap bahwa masalah ini ijtihadiyah? Syaikh Ibn Baaz menjawab: Demi Allah inilah yang aku yakini dari nash-nash, yakni dari kalam ahli ilmu yang terkait dengan pembeda antara Ahlus Sunnah dengan

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

102

Khawarij dan Mu'tazilah, khususnya Khawarij. Bahwa perbuatan maksiat tidaklah membuat kafir kecuali jika pelakunya menghalalkannya atau membelanya sampai rela berperang." Seorang hadirin berkata: "Samahatusy Syaikh, jika saya katakan: Seandainya mereka disurati dan dituntut untuk menegakkan syariat namun tidak mau kembali, apakah dihukumi kafir?" Syaikh Ibn Baaz: "Jika ia bersedia perang, maka iya. Namun jika ia tidak bersedia perang untuk itu, maka tidak." Penanya berkata: "Jika ia dituntut untuk itu.." Syaikh Ibn Baaz: "Jika aku menuntut Zaid maka aku katakan padanya: (kalimat tidak jelas yang menurut pentranskrip bermakna pengharusan)... dengan zakat walaupun dipukul.. Adapun jika rela berperang demi menolaknya, maka kafir." Penanya berkata: Akan tetapi yang menuntut ini posisinya lemah dan bisa saja malah diperangi."

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

103

Syaikh Ibn Baaz: "Walaupun demikian, ia tidak dikafirkan kecuali dengan ini (rela perang). Selama sekedar menolak, maka ia dihukum ta'zir, dan diambil darinya harta jika ada kemampuan. Jika tidak ada kemampuan maka diperangi jika ada daulah yang mampu memerangi, maka ia diperangi." Penanya berkata: "Bukan itu maksudnya, akan tetapi yang dituntut untuk berhukum dengan syariat Allah kemudian dia enggan?" Syaikh Ibn Baaz: "Diajak perang. Jika ia menyambut, maka ia kafir. Jika tidak mau berperang, maka ia tidak dikafirkan, dan hukumnya adalah sebagai ahli maksiat." Syaikh Ibn Jibrin mengatakan: "Siapa yang memerangi mereka?" Syaikh Ibn Baaz: "Negeri muslim yang lain." Seorang hadirin bertanya: "Jika tidak ada negara muslim?" Syaikh Ibn Baaz: "Tetap pada keadaannya yang semula, antara dia dan Allah"

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

104

Syaikh Ibn Jibrin: "Sebagian negeri bersikap bermudahmudahan" Syaikh Ibn Baaz: "Allahul musta'an.." Salman Al Audah bertanya: "Samahatusy Syaikh, Syaikh Muhammad bin Ibrahim dalam risalahnya menyebutkan bahwa negara yang berhukum dengan hukum buatan adalah negeri kafir yang wajib untuk hijrah darinya." Syaikh Ibn Baaz menjawab: "Karena di negeri tersebut secara terbuka banyak kejelekan, kekufuran, dan kemaksiatan." Salman Al Audah: "yang mereka berhukum dengan hukum buatan" Syaikh Ibn Baaz: "Aku sudah membaca Risalah beliau semoga Allah mengampuninya, dan beliau berpendapat bahwa kondisi lahiriyah mereka adalah kekufuran. Karena perbuatan mereka membuat undang-undang adalah

indikator

bahwa

mereka

ridha

dan

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

105

menghalalkannya. Ini lahiriyah perkataan beliau di risalahnya, Semoga Allah merahmatinya.65 Akan tetapi aku sendiri bersikap tawaqquf (tidak sepakat) tentangnya. Bahwa tidaklah cukup hal tersebut

65

Sebenarnya Syaikh Muhammad bin Ibrahim di tempat lain merinci hal ini, yaitu di Fatawa beliau (1/80): ‫ ونبذ ما خالفها من‬،‫ والتقيد بها‬،‫ من تحكيم شريعته‬:‫وكذلك تحقيق معنى محمد رسول هللا‬ ‫ والتي من حكم بها‬،‫القوانين واألوضاع وسائر األشياء التي ما أنزل هللا بها من سلطان‬ ‫يعني القوانين الوضعية أو حاكم إليها؛ معتقدا صحة ذلك وجوازه؛ فهو كافر الكفر الناقل‬ ‫ فإن فعل ذلك بدون اعتقاد ذلك وجوازه؛ فهو كافر الكفر العملي الذي ال ينقل عن‬،‫عن الملة‬ ”.‫الملة‬ “Dan demikian pula termasuk pemurnian makna syahadat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah rasul Allah, yaitu berhukum dengan syariat beliau, berpegang teguh dengannya dan mengesampingkan undang-undang yang menyelisihinya dan segala aturan yang tidak diturunkan oleh Allah. Seseorang yang berhukum atau meminta hukum suatu perkara dengan undang-undang buatan manusia dengan meyakini bolehnya hal tersebut, maka dia telah kafir dan keluar dari agama. Namun apabila dia melakukannya tanpa meyakini bahwa hal tersebut halal dan boleh, maka dia melakukan kufur amali yang tidak mengeluarkan pelakunya dari Islam”. Syaikh Shalih Al Fauzan mengkonfirmasi hal ini di dalam muqaddimah beliau atas kitab At Tahrir fi Bayan Al Hukmi Takfir: ‫وكالمه األول محمول على هذا‬ “Perkataan Syaikh Muhammad bin Ibrahim yang pertama dibawa kepada perkataan beliau yang ini.”.

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

106

sebelum diketahui bahwa ia menghalalkannya. Adapun sekedar berhukum dengan selain hukum Allah, atau memerintah dengan

dengannya,

hal

tersebut.

maka

tidaklah

Sebagaimana

dikafirkan

orang

yang

memerintah dengan dengan hukum itu atas Fulan, atau membunuh Fulan, tidaklah ia dikafirkan, kecuali ia menghalalkannya. Al Hajjaj bin Yusuf, ia tidak dikafirkan karenanya. Walaupun dia membunuh apa yang ia bunuh, selama tidak menghalalkannya. Karena pada dirinya ada syubhat. Begitu pula Abdul Malik bin Marwan, Mu'awiyah, dan yang lainnya, mereka tidak dikafirkan karena ketiadaan istihlal. Padahal membunuh itu dosanya lebih besar daripada berzina dan berhukum dengan suap.." Seorang hadirin berkata: "Sekedar keberadaan seseorang di negeri kafir tidak mengharuskannya hijrah.." Syaikh Ibn Baaz memotongnya: "Masalah hijrah ada perinciannya. Siapa yang bisa menampakkan agamanya, maka tidak harus. Jika lemah dalam menampakkan

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

107

agamanya, maka harus hijrah. Kecuali golongan yang lemah..."66 Demikian dialog bersama Syaikh Ibn Baaz yang terkait dengan masalah berhukum dengan selain hukum Allah. Maka tampak jelas bahwa beliau mengaitkan antara penyerangan terhadap suatu negeri dengan status kekafiran penguasanya, bukan sekedar karena berhukum dengan hukum buatan.

66

Audio: https://www.youtube.com/watch?v=d5FuFxea5iE

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

108

Syubhat Keenam Fatwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tentang Memerangi Thaifah Mumtani’ah

Terdapat perkataan Ibnu Taimyyah yang dijadikan dalil oleh mereka, yaitu perkataan beliau di Majmu’ Fatawa: “Setiap kelompok yang menolak tunduk (thaifah mumtani’ah ‘an iltizam) pada syariat Islam yang tampak dan mutawatir dari kaum tersebut (Tartar) ataupun kelompok lain maka wajib diperangi sampai mereka mau tunduk kepada syariat Islam, meskipun mereka telah mengucapkan syahadat dan tunduk pada sebagian syariat yang lain.” Dengan perkataan beliau ini diambil kesimpulan bahwa tanpa peduli kafir atau tidak, penguasa yang tidak berhukum dengan syariat harus diperangi. Untuk menjawabnya, mari kita kutip dahulu secara penuh tanya jawab beliau di kitab tersebut. Pertanyaan:

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

109

“Apa yang dikatakan oleh para fuqaha terkait Tartar pada tahun 699 H, dimana mereka melakukan hal-hal seperti

pembunuhan

kaum

muslimin,

melecehkan

mereka, menghancurkan masjid-masjid termasuk Baitul Maqdis, mengambil harta kaum muslimin dan baitul mal, mengambil tawanan laki-laki yang muslim dan mengeluarkan mereka dari negeri mereka. Di saat yang sama, mereka berpegang pada dua kalimat syahadat dan mengklaim haramnya memerangi mereka dengan alasan bahwa mereka mengikuti pokok agama Islam. Apakah mereka boleh atau wajib diperangi, yang manakah? Dan dari sudut mana kebolehan atau kewajiban tersebut? Berilah kami fatwa, semoga Allah memberi Anda pahala.” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjawab: ‫الحمد هلل كل طائفة ممتنعة عن التزام شريعة من شرائع اإلسالم الظاهرة‬ ‫المتواترة ; من هؤالء القوم وغيرهم فإنه يجب قتالهم حتى يلتزموا شرائعه‬ ‫وإن كانوا مع ذلك ناطقين بالشهادتين وملتزمين بعض شرائعه كما قاتل أبو بكر‬ ‫الصديق والصحابة رضي هللا عنهم مانعي الزكاة‬

“Alhamdulillah.

Setiap

kelompok

yang

menolak

(imtina’) untuk tunduk (iltizam) pada syariat Islam

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

110

lahiriyah dan mutawatir dari kaum tersebut (Tartar) ataupun kelompok lain maka wajib diperangi sampai mereka mau tunduk (iltizam) kepada syariat Islam, meskipun mereka telah mengucapkan syahadat dan tunduk pada sebagian syariat yang lain, sebagaimana Abu Bakr Ash Shiddiq memerangi orang-orang yang menolak membayar zakat.”67 Dari sini sudah jelas bahwa mereka itu diperangi karena telah murtad karena penolakan (imtina’) mereka terhadap kewajiban. Syaikhul Islam berkata: ‫وقد اتفق الصحابة واألئمة بعدهم على قتال مانعي الزكاة وإن كانوا‬ ‫ وهؤالء لم يكن لهم شبهة‬. ‫يصلون الخمس ويصومون شهر رمضان‬ ‫سائغة فلهذا كانوا مرتدين وهم يقاتلون على منعها وإن أقروا بالوجوب‬ ‫كما أمر هللا‬ “Para sahabat dan imam setelah mereka telah sepakat mengenai diperanginya penolak bayar zakat walaupun mereka shalat lima waktu dan puasa di bulan Ramadhan. Tidak ada dalam diri mereka syubhat yang bisa dimaklumi, maka dari itu mereka murtad dan mereka 67

Majmu’ Fatawa 28/502-503

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

111

diperangi karena penolakannya itu, walaupun mereka meyakini wajibnya hal sebagai perintah Allah.”68 Timbul pertanyaan: Bagaimana bisa meyakini wajibnya zakat itu tetap membuat mereka murtad? Hal ini akan jelas jika kita menyimak penjelasan Syaikhul Islam mengenai macam-macam hukum tentang kekafiran orang yang meninggalkan shalat. Beliau membaginya menjadi tiga: 1. Juhud alias mengingkari kewajibannya. Maka ini kekafiran menurut kesepakatan ulama. 2.

Imtina'.

Artinya,

dia

tidaklah

mengingkari

kewajibannya, akan tetapi ia menolak untuk terikat dengan syariat itu. Beliau mengatakan: ‫ أن ال يجحد وجوبها لكنه ممتنع من التزام فعلها كبرا أو حسدا‬: ‫والثاني‬ ‫ اعلم أن هللا أوجبها على المسلمين والرسول‬: ‫أو بغضا هلل ورسوله فيقول‬ ‫صادق في تبليغ القرآن ولكنه ممتنع عن التزام الفعل استكبارا أو حسدا‬ ‫للرسول أو عصبية لدينه أو بغضا لما جاء به الرسول فهذا أيضا كافر‬ ‫باالتفاق‬

68

Majmu’ Fatawa 28/519

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

112

“Jenis yang kedua: Ia tidak mengingkari kewajibannya, akan tetapi ia menolak untuk iltizam (terikat) dengannya karena sombong atau hasad atau kebencian kepada Allah dan Rasul-Nya, seperti perkataan: Aku tahu bahwa Allah mewajibkannya atas kaum muslimin, dan Rasulullah jujur menyampaikan Al Quran. Akan tetapi ia menolak untuk meng-iltizam perbuatan itu karena sombong atau hasad kepada Rasulullah atau fanatik agamanya, atau benci kepada yang dibawa Rasul, maka ini juga kafir menurut kesepakatan. 3. Malas. Dia tidak juhud, dan dia juga iltizam, akan tetapi dia malas. Beliau menjelaskan: ‫ أن يكون مقرا ملتزما ؛ لكن تركها كسال وتهاونا ؛ أو اشتغاال‬: ‫والثالث‬ ‫بأغراض له عنها فهذا مورد النزاي‬ “Ketiga: Ia meyakini wajibnya, dan juga meyakini kewajiban itu bagi dirinya (multazim), akan tetapi ia meninggalkannya karena malas dan menganggapnya ringan, atau karena kesibukan memalingkannya, maka ini diperselisihkan hukumnya.”69 69

Majmu’ Fatawa 20/98

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

113

Syaikh Shalih Alusy Syaikh menjelaskan mengenai iltizam dan imtina’ ini: ‫ ومن أهمها لفظا االلتزام واالمتناي؛ ألن‬،‫أن هناك ألفاظ تتصل بهذا البحث‬ ‫االلتزام واالمتناي راجع إلى االعتقاد‬ “Terdapat lafazh-lafazh terkait dengan pembahasan ini, yang paling penting di antaranya adalah iltizam dan imtina’. Karena kedua istilah ini kembali kepada keyakinan di hati.” ‫ وليس االمتناي هنا‬،‫ واالمتناي معناه رد الحكم‬،‫وااللتزام معناه قبول الحكم‬ ‫ فاالمتناي يقابل في‬،‫ بمعنى منع‬،‫ امتنع من أداء كذا‬،‫ال ائفة الممتنعة‬ ‫ وااللتزام معناه القبول وهو غير الجحد؛ يعني‬،‫نصوص أهل العلم بااللتزام‬ ‫ يعني أن يكون مخاطبا بهذا‬،‫القبول هو أن يكون ملتزما بهذا‬ “Iltizam maknanya adalah menerima hukum tersebut (qubul). Sedangkan imtina’ maknanya menolak hukum tersebut. Dan bukanlah imtina’ di sini, Ath Thaifah Al Mumtani’ah, menolak melakukan demikian dengan makna “menolak”, karena imtina’ dalam nash-nash para ulama itu antonim (lawan kata) dari iltizam. Iltizam itu maknanya menerima untuk dirinya sendiri, tanpa

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

114

mengingkari kewajibannya (juhud). Iltizam artinya: ia menganggap dirinya diwajibkan untuk itu.” Beliau selanjutnya memberi contoh: “Semisal kita katakan Fulan multazim terhadap hukumhukum syariat, Fulan multazim dengan keharaman berzina. Lalu ia berzina. Apa beda keduanya? Bedanya yaitu jika ia iltizam dengan keharaman zina, artinya ia berkata: Betul, saya termasuk dalam obyek aturan Allah mengenai haramnya zina. Maka ketika ia melakukan zina, ia termasuk pelaku dosa besar (tidak kafir, -pent).” Adapun jika ia mengatakan “Aku tidaklah yang termasuk yang diharamkan untuk berzina” sebagaimana keadaan orang yang menikahi istri ayahnya di zaman Nabi ‫ﷺ‬, sebagaimana dikenal di hadits Abu Burdah, maka Nabi mengutus orang untuk memenggal lehernya dan mengambil seperlima hartanya. Apakah karena ia istihlal dengan perbuatannya? Tidak. Para ulama mengatakan, hal itu karena ia tidak iltizam dengan hukum.”70

70

Nawaqidhul Iman ‘Inda Ahlis Sunnah, hal. 25

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

115

Dengan demikian jelas sudah bahwa tidak benar berdalil dengan perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah di atas, dan juga perkataan Syaikh Ibn Baaz sebelumnya untuk mengatakan bahwa penguasa yang tidak berhukum dengan syariat wajib diperangi tanpa peduli apakah dia muslim ataukah kafir. Karena yang menjadi sebab diperanginya mereka adalah kekafiran mereka sebagaimana hal ini sesuai dengan hadits-hadits Rasulullah mengenai haramnya darah seorang muslim kecuali sebab-sebab tertentu yang salah satunya adalah riddah (murtad). Dan sesuai dengan hadits Rasulullah bahwa seorang penguasa tidaklah diperangi kecuali jika telah kafir.

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

116

KESIMPULAN

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

117

1. Pemerintah muslim yang berhukum dengan selain hukum Allah, termasuk yang di negara kita Indonesia, selama: - tidak menghalalkan perbuatan mereka, atau - menganggap hukum warisan tersebut lebih baik atau sama baiknya dengan syariat, atau - menisbatkan hukum itu kepada syariat, maka mereka tidaklah dikafirkan. Mereka adalah ulil amri yang ditaati dalam perkara ma’ruf, dan tidak ditaati dalam perkara maksiat.

2. Memberontak kepada penguasa muslim yang adil maupun zhalim adalah haram berdasarkan nash dan juga ijma’ para ulama.

Segala puji bagi Allah, atas nikmat-Nya lah sempurna segala kebaikan.

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

118

LAMPIRAN

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

119

Hadits Seputar Muamalah Dengan Penguasa

1. Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda, ‫شب ًْرا‬ َ ‫يره‬ َ ‫ار‬ ْ َ‫ش ْيئًا يَك َْر ُههُ فَ ْلي‬ ِ َ‫ق ا ْل َج َماعَة‬ َ َ‫صبِ ْر فَ ِإنهُ َم ْن ف‬ ِ ‫َم ْن َرأَى ِم ْن أَ ِم‬ ‫فَ َماتَ فَ ِميتَة جَا ِه ِلية‬ “Barangsiapa yang melihat sesuatu yang ia benci pada pemimpinnya, maka hendaklah ia bersabar, karena sesungguhnya barangsiapa yang memisahkan diri dari jama’ah kemudian ia mati, maka matinya adalah mati jahiliyah.” [HR Al Bukhari dan Muslim]

2. Beliau ‫ ﷺ‬juga bersabda, ‫سو َل هللاِ قَا َل‬ َ ‫إِن ُك ْم‬ ُ ‫ورا ت ُ ْن ِك ُرونَهَا قَالُوا فَ َما تَأ ْ ُم ُرنَا َيا َر‬ ً ‫ست َ َر ْونَ بَ ْعدِي أَث َ َرة َوأ ُ ُم‬ ‫سلُوا ّللاَ حَق ُك ْم‬ َ ‫أَدوا إِلَي ِْه ْم حَق ُه ْم َو‬ “Sesungguhnya kalian akan melihat pada pemimpin kalian kecurangan dan hal-hal yang kalian ingkari”. Mereka bertanya, “Apa yang engkau perintahkan kepada

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

120

kami wahai Rasulullah?” Beliau menjawab: “Tunaikan hak mereka (pemimpin) dan mintalah kepada Allah hak kalian.” [HR Al Bukhari dan Muslim]

3. Beliau ‫ ﷺ‬juga bersabda, ‫يه ْم ِرجَال‬ ْ ‫َاى َوالَ َي‬ َ ‫سن ِتى َو‬ ُ ‫ستَنونَ ِب‬ ِ ‫س َيقُو ُم ِف‬ َ ‫َيكُونُ َب ْعدِى أ َ ِئمة الَ َي ْهت َ ُدونَ ِب ُهد‬ ْ َ‫ْف أ‬ ِ ‫وب الش َي‬ ِ‫سو َل ّللا‬ ُ ‫صنَ ُع يَا َر‬ َ ‫ان إِ ْنس َقا َل قُ ْلتُ َكي‬ ُ ُ‫قُلُوبُ ُه ْم قُل‬ ِ ‫ين فِى ُجثْ َم‬ ِ ‫اط‬ َ‫ب َظه ُْركَ َوأ ُ ِخذَ َمالُك‬ ْ َ ‫إِ ْن أَد َْركْتُ ذَ ِلكَ قَا َل ت‬ َ ‫ير َو ِإ ْن ض ُِر‬ ِ ‫س َم ُع َوت ُ ِ ي ُع ِلألَ ِم‬ ‫س َم ْع َوأ َ ِط ْع‬ ْ ‫فَا‬ “Akan ada sepeninggalku para penguasa yang tidak meneladani

petunjukku

dan

tidak

mengamalkan

sunnahku, dan akan muncul diantara mereka orang-orang yang hati-hati mereka adalah hati-hati setan dalam jasad manusia.” Aku (Hudzaifah) berkata, “Bagaimana aku harus bersikap jika aku mengalami hal seperti ini?” Rasulullah

shallallahu’alaihi

wa

sallam

bersabda,

“Engkau tetap dengar dan taat kepada pemimpin itu, meskipun punggungmu dipukul dan hartamu diambil, maka dengar dan taatlah.”

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

121

[HR. Muslim]

4. Ubadah bin Shamit radhiyallahu’anhu berkata, ‫علَ ْينَا أَ ْن‬ َ َ‫سو ُل ّللاِ صلى هللا عليه وسلم فَبَايَ ْع َناه فَكَانَ فِي َما أَ َخذ‬ ُ ‫َدعَانَا َر‬ ‫س ِرنَا َوأَثَ َرة‬ َ ‫ع ِة ِفى َم ْن‬ َ ‫ع َلى الس ْم ِع َوال ا‬ َ ‫بَايَعَنَا‬ ُ ‫ش ِ نَا َو َمك َْر ِهنَا َو‬ ْ ُ‫س ِر َنا َوي‬ ْ ‫ع‬ َ َ ‫علَ ْينَا َوأ َ ْن الَ نُنَ ِاز‬ ِ‫ي األ َ ْم َر أَ ْهلَهُ َقا َل إِال أَ ْن تَ َر ْوا ُك ْف ًرا بَ َوا ًحا ِع ْن َد ُك ْم ِمنَ ّللا‬ ‫ِفي ِه بُ ْر َهان‬ “Rasulullah ‫ ﷺ‬menyeru kami, lalu kami pun membai’at beliau, maka diantara yang beliau ambil perjanjian atas kami adalah, kami membai’at beliau untuk senantiasa mendengar dan taat kepada pemimpin, baik pada saat kami senang maupun susah; sempit maupun lapang, dan dalam keadaan hak-hak kami tidak dipenuhi, serta agar kami tidak berusaha merebut kekuasaan dari pemiliknya. Beliau bersabda: Kecuali jika kalian telah melihat kekafiran yang nyata, sedang kalian memiliki dalil dari Allah tentang kekafirannya.” [HR Al Bukhari dan Muslim]

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

122

5. Wail bin Hujr radhiyallahu’anhu berkata, َ‫سأَلَهُ فَقَا َل أَ َرأَيْتَ ِإ ْن كَان‬ َ ‫سو َل ّللاِ صلى هللا عليه وسلم َو َر ُجل‬ َ ُ ‫س ِم ْعتُ َر‬ ‫سو ُل ّللاِ صلى هللا عليه‬ َ ْ َ‫علَ ْينَا أ ُ َم َرا ُء يَ ْمنَعُونَا حَقنَا َوي‬ ُ ‫سأَلُونَا حَق ُهم َفقَا َل َر‬ ‫علَ ْي ُك ْم َما ُح ِ ِّم ْلتُ ْم‬ َ ‫علَي ِْه ْم َما ُح ِ ِّملُوا َو‬ َ ‫س َمعُوا َوأَ ِطيعُوا فَ ِإن َما‬ ْ ‫وسلم ا‬ “Aku mendengar seseorang bertanya kepada Rasulullah ‫ﷺ‬, “Apa pendapatmu jika para pemimpin kami tidak memenuhi hak kami namun tetap meminta hak mereka?” Maka Rasulullah ‫ ﷺ‬bersabda, “Dengar dan taati penguasa kalian, karena sesungguhnya dosa mereka adalah tanggungan mereka dan dosa kalian adalah tanggungan kalian.” [HR Muslim dan At Tirmidzi]

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

123

Ijma’ Ulama dari Masa ke Masa Mengenai Haramnya Memberontak ke Penguasa Muslim 1. Anas bin Malik (w. 93 H) “Para pembesar dari kalangan sahabat Nabi telah melarang kami dengan mengatakan: “Janganlah kalian mencela pemimpin-pemimpin kalian, janganlah kalian dengki kepada mereka dan janganlah membenci mereka, bertaqwalah

kepada

Allah

dan

bersabarlah,

sesungguhnya perkara ini sudah dekat.”” (As Sunnah, Ibn Abi ‘Ashim 2/448)

2. Ahmad bin Hanbal (w. 241 H) "Telah bersepakat 70 orang dari kalangan tabi'in dan imam kaum muslimin dan imam para salaf dan ahli fikih di berbagai masa, bahwa sunnah yang Rasulullah wafat di atasnya.... Sabar di bawah bendera penguasa baik ia adil maupun zhalim dan tidak memberontak para pemimpin dengan pedang walaupun mereka zhalim."

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

124

(Jalaul 'Ainain fi Muhakamah Al Ahmadain, hal. 226)

3. Imam Al Bukhari (w. 256 H) "Aku bertemu lebih dari seribu orang dari kalangan ahli ilmu dari Hijaz, Mekkah, Madinah, Kufah, Bashrah, Wasith, Baghdad, Syam, dan Mesir. Aku bertemu dengan mereka berulang-ulang kurun demi kurun Aku bertemu dengan mereka dan mereka tersebar lebih dari 46 tahun...Lalu aku tidak melihat satu pun di antara mereka yang berbeda pendapat tentang hal ini: ..." "...Dan kita tidak merebut kekuasaan dari para pemiliknya (penguasa)… dan tidak membolehkan untuk mengangkat pedang kepada umat Muhammad.." (Syarh Ushul I'tiqad Ahlis Sunnah 1/172-176)

4. Ibnu Abi Hatim Ar Razi, Abu Hatim, dan Abu Zur'ah "Aku bertanya kepada ayahku (Abu Hatim Ar Razi) dan Abu Zur'ah tentang pendapat Ahlus Sunnah seputar prinsip-prinsip agama dan tentang ajaran yang mereka

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

125

dapati dari para ulama di seluruh negeri, dan tentang apa yang mereka yakini dari hal tersebut?" Maka mereka berdua menjawab: "Kami mendapati para ulama di seluruh negeri, di Hijaz, Irak, Syam, dan Yaman, maka diantara pendapat mereka adalah…" "...Dan kami tidak membolehkan pemberontakan kepada para penguasa, dan tidak juga berperang tatkala terjadi fitnah. Kami mendengar dan taat kepada orang yang telah Allah jadikan sebagai penguasa urusan kami, dan kami tidak mencabut tangan kami dari ketaatan kepadanya…" (Syarh Ushul I'tiqad Ahlis Sunnah 1/176-177)

5. Abul Hasan Al Asy'ari (w. 324 H) "Ijma' ke empat puluh lima: Mereka (para salaf) bersepakat untuk senantiasa setia mendengar dan taat kepada para penguasa kaum muslimin, dan barang siapa yang berhasil menguasai pemerintahan kaum muslimin baik dengan cara yang diridhai atau dengan cara kudeta dan akhirnya kekuasaan berada padanya –sama saja

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

126

apakah ia baik ataupun jahat- maka tidak boleh untuk memberontak dengan mengangkat senjata kepadanya baik ia berlaku jahat atau adil. Dan wajib untuk berperang bersama mereka (para penguasa) melawan musuh…" (Risaalah ila Ahli Ats Tsughur hal. 168)

6. Al Muzanni Asy Syafi’i (w. 264 H) ".. Mentaati pemerintah dalam perkara yang diridhai oleh Allah 'azza wa jalla dan menjauhi perintah yang dimurkai

Allah

memberontak

serta

kepada

meninggalkan

pemerintah

apabila

perbuatan mereka

melakukan kezaliman dan bertaubat kepada Allah azza wa jalla mudah-mudahan dengan itu Allah akan lembutkan hati mereka terhadap rakyat... Ini adalah perkataan dan perbuatan yang disepakati oleh para imam terdahulu yang diberi petunjuk.." (Syarhus Sunnah oleh Al Muzanni, hal 84, 89)

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

127

7. Ibnu Baththah Al 'Ukbari (w. 387 H) Ulama dari kalangan ahli fiqih, ahli ilmu, ahli ibadah dan ahli zuhud dari generasi awal umat ini sampai masa kita sekarang ini telah bersepakat untuk: Shalat jumat, shalat 'Idul Fitri dan 'Idul Adha, mabit di Mina, wukuf di Arafah, dan berperang bersama setiap pemimpin yang adil maupun yang fajir... Mendengar dan taat kepada yang berkuasa walaupun ia seorang budak Habasyah. Kecuali dalam maksiat kepada Allah Ta'ala, maka tidak ada ketaatan kepada makhluk ketika itu. (Al Ibanah Ash Shughra hal. 279)

8. Ibnul Mundzir (w. 318 H) "Pendapat para ahli ilmu adalah: Bolehnya laki-laki yang dirampas hartanya untuk membela dirinya sebagaimana telah

disebutkan

sebelumnya,

jika

dimaksudkan

kezhaliman itu tanpa perincian. Hanya saja, setiap yang meriwayatkan pendapat itu dari ulama hadits bersepakat atas pengecualian kebolehan itu jika pelakunya adalah penguasa, lantaran riwayat-riwayat yang ada mengenai

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

128

perintah sabar atas kezhaliman penguasa dan larangan untuk memberontak kepada mereka." (Fathul Baari 5/124)

9. Abu Ja'far Ath Thahawi (w. 321 H) "Dan kami berpendapat untuk tidak memberontak imam dan ulil amri kami walaupun mereka zhalim, dan kami tidak mendoakan kejelekan bagi mereka, dan kami tidak mencabut

ketaatan

kami

pada

mereka

walaupun

sejengkal, dan kami berpendapat bahwa ketaatan kepada mereka adalah ketaatan kepada Allah 'azza wajalla yang wajib, selama mereka tidak memerintahkan kepada maksiat. Dan kami mendoakan untuk mereka kebaikan dan kemaafan." (Al ‘Aqidah Ath Thahawiyah, hal. 47)

10.

Abu 'Utsman Ash Shabuni (w. 449 H)

“Ashabul hadits berpandangan untuk mendirikan shalat Jum’at, shalat dua hari raya, ataupun shalat-shalat yang

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

129

lainnya, bersama pemimpin yang baik ataupun yang fajir... Mereka juga berpendapat wajibnya mendoakan kebaikan dan taufiq untuk mereka dan perbaikan untuk rakyat... Mereka juga memandang tidak bolehnya memberontak dengan pedang kepada penguasa baik mereka dipandang adil ataupun zhalim dan sewenangsewenang” ('Aqidah Salaf Ashabul Hadits, hal. 106)

11. Ibnu Abdil Barr (w. 463 H) "Firqah-firqah

Mu’tazilah

dan

seluruh

Khawarij

berpendapat untuk menentang penguasa yang zhalim. Adapun Ahlus Sunnah maka mereka berkata, "Yang merupakan pilihan yaitu hendaknya sang penguasa adalah utama, adil, dan baik. Namun jika tidak demikian kenyataannya, maka sabar untuk taat kepada penguasa yang zhalim lebih utama daripada memberontak kepadanya…" (Syarh Al Muwaththa' li Az-Zarqani 3/12)

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

130

12.

Ibnul Qaththan Al Fasi (w. 628 H)

Mereka (para salaf) bersepakat untuk senantiasa setia mendengar dan taat kepada para penguasa kaum muslimin, dan barang siapa yang berhasil menguasai pemerintahan kaum muslimin baik dengan cara yang diridhai atau dengan cara kudeta dan akhirnya kekuasaan berada padanya –baik ia adalah orang baik maupun jahat- maka tidak boleh untuk memberontak dengan mengangkat senjata kepadanya baik ia berlaku jahat atau adil..” (Al Iqna' fi Masail Al Ijma' 1/61)

13.

An Nawawi (w. 676 H)

“Adapun memberontak kepada penguasa, maka haram berdasarkan ijma' kaum muslimin, walaupun mereka fasik dan zhalim. Telah jelas banyak hadits yang semakna dengan yang aku katakan, dan Ahlus Sunnah berijma' bahwa penguasa tidaklah diturunkan dengan

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

131

sebab kefasikan. Adapun pendapat yang disebutkan di kitab-kitab

fiqih

milik

sebagian

ashhab

kami

(Syafi'iyyah) bahwa ia dilengserkan karena kefasikan, dan juga pendapat ini diriwayatkan dari Mu'tazilah, maka kelirulah orang yang berpendapat demikian, karena menyelisihi ijma'.” (Syarh An Nawawi ‘ala Shahih Muslim, 12/229)

14.

Ibnu Taimiyyah (w.728 H)

"Oleh karenanya telah menjadi ketetapan ahlus sunnah untuk

meninggalkan

peperangan

dalam

fitnah,

berdasarkan hadits-hadits yang shahih yang sah dari Nabi ‫ ﷺ‬dan mereka menyebutkan semua ini sebagai aqidah mereka dan mereka memerintahkan untuk bersabar atas kejahatan para pemimpin dan tidak memerangi mereka. Meskipun ada sekian banyak ahlul ‘ilmi waddin yang ikut serta dalam peperangan karena fitnah." (Minhajus Sunnah 4/529)

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

132

15.

Ibnu Qayyim Al Jauziyah (w. 751 H)

Dan kami telah menyebutkan di awal kitab ini sejumlah perkataan-perkataan Ahlus Sunnah dan Ahlul Hadits yang merupakan kesepakatan mereka sebagaimana dihikayatkan oleh Al Asy'ari dari mereka. Dan kami menghikayatkan

kesepakatan-kesepakatan

mereka

sebagaimana dihikayatkan oleh Harb –sahabat Imam Ahmad- dari mereka secara tekstual. Ia berkata…, "Ini adalah madzhab Ahlul Ilmi, Pengikut Atsar, dan Ahlus Sunnah yang berpegang teguh dengan sunnah yang merupakan panutan sejak zaman para sahabat Nabi hingga hari ini. Dan aku telah mendapati orang-orang yang aku temui yaitu para ulama darii penduduk Hijaz, Syam, dan selain mereka berada di atas madzhab ini. Maka barangsiapa yang menyelisihi sesuatu dari madzhab ini atau mencela madzhab ini atau mencela pengucapnya maka dia adalah mubtadi' (ahli bid'ah) yang keluar dari jama'ah, telah melenceng dari manhaj Ahlus Sunnah dan jalan kebenaran…"

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

133

"Dan jihad berjalan tegak bersama para penguasa baik mereka adalah penguasa yang baik ataupun yang fajir. Hal ini tidak dibatalkan dengan kezhaliman orang yang zhalim dan tidak juga keadilan seorang yang adil. Demikian juga shalat Jum'at, shalat 'Ied, dan haji dilaksanakan bersama penguasa meskipun mereka tidak baik… dan tunduk kepada orang yang telah dijadikan Allah sebagai penguasa urusan kalian. Janganlah engkau mencabut tangan dari ketaatan kepadanya

dan

janganlah

engkau

memberontak

kepadanya dengan pedang hingga Allah menjadikan bagi engkau kemudahan dan jalan keluar. Dan janganlah engkau memberontak kepada penguasa dan hendaknya engkau mendengar dan taat dan tidak membatalkan bai'atmu kepadanya. Barangsiapa yang melakukan hal ini maka dia adalah pelaku bid'ah, penyelisih, dan telah memisahkan diri dan sunnah dan jama'ah. Dan jika sang penguasa memerintahmu untuk melakukan perkara yang ada kemaksiatan kepada Allah maka janganlah sampai engkau mentaatinya dan tidak boleh bagimu untuk

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

134

memberontak kepadanya dan mencegah hak sang penguasa". (Hadi Al Arwaah 1/287-288)

16.

Al Husain bin Muhamad Ath Thibi (w.743 H)

"Adapun memberontak dan memerangi para penguasa, maka hukumnya haram sesuai dengan kesepakatan kaum muslimin, walaupun mereka itu orang-orang yang fasik dan zhalim. Ahlus Sunnah sepakat bahwa seorang penguasa

tidak

boleh

digulingkan

dengan

sebab

kefasikannya, karena akan menimbulkan berbagai macam fitnah, tertumpahnya darah, dan terjadinya perpecahan di antara kaum muslimin, sehingga kejelekan yang diakibatkan oleh pemberontakan tersebut lebih besar daripada sebelumnya." (Al Kasyif 'an Haqaiq As Sunan 7/181)

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

135

17.

Ibnu Hajar Al ‘Asqalani (w. 852 H)

"Pendapatnya (Al Hasan bin Shalih) menyatakan bolehnya keluar mengangkat senjata terhadap para pemimpin yang zhalim. Maka, ini adalah madzhab sebagian

orang-orang

salaf

dahulu.

Akan

tetapi

kemudian ada sebuah ketetapan untuk meninggalkan hal itu, karena justru menimbulkan dampak yang lebih fatal. Apa yang terjadi dalam peristiwa Al-Harrah dan IbnulAsy’ats menjadi pelajaran yang baik bagi orang yang mau mengambil pelajaran" (Tahdzib At Tahdzib 2/28) "Para ahli fiqih telah bersepakat atas wajibnya taat kepada penguasa yang memenangkan pemberontakan dan jihad bersama mereka. Dan ketaatan pada mereka lebih baik daripada memberontak kepadanya karena akan menumpahkan darah dan memberi kesempatan pada orang-orang awam untuk menduduki jabatan." (Fathul Bari 13/7)

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

136

TENTANG MA’HAD AL-MUHANDIS Segala pujian hanya milik Allah. Shalawat serta salam semoga terlimpah kepada Nabi Muhammad beserta keluarga dan sahabat beliau. Amma ba’du Karena pertolongan dari Allah azza wajalla, kemudian kerja keras dari teman-teman pengurus dan bantuan dari para donatur, kini Ma’had Al-Muhandis telah memasuki tahun ketiga berdiri. Segala puji hanya milik Allah, berbagai kegiatan telah dilakukan untuk menegakkan agama Allah. Dan semoga Allah senantiasa berikan kekuatan untuk terus berjuang di atas jalan-Nya. Dalam bidang penerbitan, Ma’had Al-Muhandis telah menerbitkan beberapa buku : 1. Terjemah Al Arba’un An Nawawiyah 2. Lentera Penuntut Ilmu 3. Kaidah-Kaidah Penulisan 4. Belajar Ilmu Hadits Untuk Pemula Metode Tanya Jawab 5. Fatwa Ulama Seputar Penguasa di Era Kontemporer

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

137

Semua itu tak tercapai kecuali karena kehendak Allah azza wajalla, kemudian bantuan dari kaum muslimin. Oleh karena itu kami mengajak kepada anda semua untuk membantu berjalannya dakwah dan programprogram di dalamnya. Allah subhanahu wata’ala berfirman : َ‫َو َما أ َ ْنفَ ْقت ُ ْم ِم ْن ش َْيء فَ ُه َو يُ ْخ ِلفُهُ ۖ َوه َُو َخي ُْر الر ِازقِين‬ “Dan apa saja yang kamu infakkan, Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi rizki yang terbaik” [Saba’/34 : 39] Oleh karenanya, kami membuka kesempatan bagi kaum muslimin yang ingin berdonasi untuk keberlangsungan dakwah. Donasi bisa melalui : Rekening Mandiri 1370010757249 a/n Danang Choirul Abdillah Konfirmasi transfer donasi melalui SMS/WA ke 085722973852, contoh : Abdullah_10 juta Semoga Allah yang membalas seluruh kebaikan para muhsinin dengan surga yang kekal.

FATWA ULAMA SEPUTAR PENGUASA DI ERA KONTEMPORER

Related Documents


More Documents from "Fbrnt Prsla"