Ikhtisar Penanaman Modal

  • Uploaded by: Dwinanto Perakoso
  • 0
  • 0
  • March 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Ikhtisar Penanaman Modal as PDF for free.

More details

  • Words: 111,703
  • Pages: 560
Loading documents preview...
Gita Wirjawan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal

Ikhtisar Ketentuan Penanaman Modal

Lebih jauh, Ikhtisar Ketentuan Penanaman Modal juga dilengkapi dengan informasi lain seperti: berbagai istilah dan pengertian pokok; kebijakan umum di bidang penanaman modal; fasilitas penanaman modal; pengaturan penanaman modal pada sektor-sektor tertentu; perjanjian penanaman modal; dan bahkan mekanisme penyelesaian sengketa. Meskipun dipahami bahwa spektrum kegiatan dan pengaturan penanaman modal sangat luas dan menjangkau multi sektor, namun tim penyusun melalui konsultasi dengan BKPM dan NLRP mengupayakan penyusunan Ikhtisar ini secara concise (singkat namun padat dan komprehensif). Tim Penyusun

Setiabudi Building 2; 2nd floor, Suite 207D H.R. Rasuna Said Kav 62, Jakarta 12920 Phone: [62-21] 5290 6813 | Fax: [62-21] 5290 6824 www.nlrp.org

34608100150

PENANAMAN MODAL

Ikhtisar Ketentuan Penanaman Modal dirancang sebagai suatu dokumen yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk memperoleh informasi pokok terkait dengan peraturan perundang-undangan di bidang Penanaman Modal. Agar Ikhtisar Ketentuan Penanaman Modal ini mudah dimanfaatkan oleh siapa saja, tidak terbatas pada BKPM serta Instansi Pemerintah Lainnya, namun juga berbagai kalangan lain seperti dunia usaha, perseorangan, konsultan dan bahkan peneliti, maka susunan Ikhtisar Ketentuan dirancang tidak berdasarkan alfabetis, namun didasarkan atas tahapan-tahapan kegiatan penanaman modal, sejak pra penanaman modal, selama kegiatan penanaman modal sampai dengan pasca kegiatan penanaman modal.

IKHTISAR KETENTUAN

Ikhtisar Ketentuan Umum ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada semua pihak yang membutuhkan informasi mengenai ketentuan penanaman modal, baik para perumus kebijakan, pembuat peraturan perundang-undangan, pelaksana, penanam modal atau calon penanam modal, konsultan penanaman modal, peneliti, maupun pihak terkait lainnya. Ketentuan yang terdapat dalam Ihktisar Ketentuan Umum Penanaman Modal ini mencakup peraturan perundang-undangan yang masih berlaku hingga saat ini.

IKHTISAR KETENTUAN PENANAMAN MODAL Dilengkapi dengan dasar peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal

Penerbit The Indonesia Netherlands National Legal Reform Program (NLRP) Setiabudi Building 2, 2nd floor, Suite 207D Jl. H.R. Rasuna Said Kav 62, Jakarta 12920

IKHTISAR KETENTUAN PENANAMAN MODAL Penyusun Prof.Dr. IBR Supancana, SH, MH. Dr. I B Wyasa Putra, SH., MHum. Frida Sugondo, SE.Ak. Maman Usman R, SH. Susy Sulistyani, BA

Editor: Sebastian Pompe Gregory Churchill Mardjono Reksodiputro Binziad Kadafi Fritz Edward Siregar Design & Setting: Fruit Indonesia PT Buah Karya Gemilang [email protected]

Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Diterbitkan pertama kali oleh Nasional Legal Reform Program , Jakarta, 2010

Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun (seperti cetak, fotokopi, mikrofilm, VCD, CD-ROM, dan rekaman suara) tanpa izin tertulis dari Penerbit.

Sanksi Pelanggaran Pasal 72 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. (1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). (2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta Isi di luar tanggung jawab Percetakan

KATAPENGANTAR Dengan hormat, National Legal Reform Program (NLRP) dibentuk dengan tujuan mendukung pemerintah dan masyarakat Indonesia dalam upaya memperkokoh Indonesia sebagai negara hukum, terutama upaya meningkatkan kepastian hukum dan memajukan lembaga-lembaga hukum. Peningkatan kepastian hukum serta kinerja, keterbukaan, dan akuntabilitas lembaga-lembaga hukum diharapkan menyumbang langsung kepada upaya pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk mencapai pengentasan kemiskinan, perbaikan iklim usaha, dan pertumbuhan ekonomi. Dalam rangka mencapai tujuan tersebut, NLRP bekerja sama dengan berbagai pihak, baik kalangan lembaga negara/pemerintah, maupun universitas dan masyarakat sipil, telah menyelenggarakan dan membantu kegiatan pembaruan hukum di Indonesia. Salah satu keluaran dari kegiatan tersebut merupakan suatu seri dokumen regulatory manual atau ikhtisar ketentuan pada bidang hukum tertentu yang memiliki dampak pada investasi dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Untuk tahap pertama NLRP bersama dengan Hukumonline, Pusat Kajian Regulasi dan Indonesia Working Group for Forestry Finance berhasil menyusun Ikhtisar Ketentuan Penanaman Modal, Ikhtisar Ketentuan Pasar Modal, Ikhtisar Ketentuan Persaingan Usaha dan Ikhtisar Ketentuan Pencegahan & Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Ikhtisar ketentuan dirancang sebagai suatu dokumen yang dapat dijadikan acuan untuk memperoleh informasi pokok terkait dengan peraturan perundang-undangan baik yang berupa undang-undang, peraturan pemerintah, dan peraturan presiden, maupun peraturan menteri, peraturan komisi atau lembaga, petunjuk teknis, peraturan pelaksanaan serta surat pada bidang yang bersangkutan. Agar ikhtisar ketentuan ini mudah dimanfaatkan oleh siapa saja, maka tidak disusun berdasarkan alfabetis, namun disusun secara sistematis berdasarkan proses. Ikhtisar ketentuan tentu saja tidak dimaksudkan untuk menjadi landasan bagi pemberlakuan suatu peraturan atau sebagai rujukan penafsiran, tetapi lebih merupakan cara penerbitan yang memudahkan pihak-pihak yang berkepentingan dalam memahami ketentuan hukum. Untuk mempermudah proses penelusuran, ikhtisar ketentuan ini juga dilengkapin dengan CD e-regulatory manual software berisi semua ketentuan yang diikhtisarkan serta perangkat lunak penemuan kembali yang dapat dipasang pada komputer atau notebook. NLRP mengucapkan terima kasih kepada Pimpinan serta seluruh jajaran Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), Badan Pengawas Pasar Modal & Lembaga Keuangan (BAPEPAMLK) dan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Republik Indonesia yang secara proaktif mendukung terwujudnya Ikhtisar Ketentuan ini. Kami anggap bahwa penerbitan peraturan perundang-undangan dengan cara ikhtisar ketentuan merupakan terobosan besar dalam upaya penyediaan informasi hukum kepada publik dan kami berharap agar Ikhtisar Ketentuan serupa dapat disusun di lembaga Negara lainnya. Kami persembahkan karya ini kepada Ibu Pertiwi Indonesia.

Hormat kami,

Sebastiaan Pompe Program Manager

PENGANTAR

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal mengamanatkan bahwa penanaman modal harus menjadi bagian dari penyelenggaraan perekonomian nasional sebagai upaya untuk menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pembangunan ekonomi nasional yang berkelanjutan, meningkatkan kapasitas dan kemampuan teknologi nasional, serta mewujudkan kesejahteraan masyarakat dalam suatu sistem perekonomian yang berdaya saing. Indonesia sebagai salah satu negara tujuan penanaman modal menghadapi tantangan berat dalam menarik penanaman modal, mengingat semakin ketatnya persaingan negara-negara tujuan penanaman modal, terutama akibat krisis ekonomi dan keuangan global yang berdampak pada turunnya aliran penanaman modal asing. Berdasarkan data dari United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), akibat krisis keuangan negara-negara maju maka total modal global turun dari US$ 1,7 Triliun pada tahun 2008 menjadi di bawah US$ 1,2 Triliun pada tahun 2009. Namun diperkirakan aliran modal global pada tahun 2010 ini akan secara perlahan meningkat kembali mencapai nilai US$ 1,4 triliun dan berlanjut hingga mencapai US$ 1,8 Triliun pada tahun 2011. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) sebagai lembaga yang mempunyai tugas dan fungsi mengoordinasikan kebijakan penanaman modal, harus dapat meningkatkan daya saing Indonesia di antara negara-negara tujuan penanaman modal lainnya. Berbagai kebijakan umum di bidang penanaman modal telah ditempuh untuk menarik kegiatan penanaman modal, antara lain berupa pemberian insentif penanaman modal, penataan regulasi serta memberikan pelayanan prima di bidang penanaman modal, pengembangan berbagai kawasan ekonomi beserta berbagai fasilitasnya, mendorong partisipasi Usaha Mikro Kecil Menengah dan Koperasi (UMKMK), mendorong penanaman modal dalam pembangunan infrastruktur dengan pola kemitraan antara Pemerintah dan Badan Usaha (public-private partnership). Penataan peraturan perundang-undangan dilakukan secara sistematis melalui agenda reformasi peraturan perundang-undangan yang diarahkan kepada pembenahan peraturan perundangundangan guna mengatasi hambatan-hambatan dalam kegiatan penanaman modal. Harmonisasi dan sinkronisasi peraturan perundang-undangan baik vertikal maupun horizontal, serta penyederhanaan peraturan perundang-undangan (deregulasi) dilakukan agar dapat mengurangi rantai birokrasi yang terlalu panjang. Upaya pemberian pelayanan prima di bidang penanaman modal diwujudkan dengan penerapan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di Bidang Penanaman Modal yang didukung dengan Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE) serta penerapan reformasi birokrasi, akan meningkatkan kualitas pelayanan perizinan dan nonperizinan di bidang penanaman modal dan diharapkan dapat mengurangi biaya dalam memulai usaha. Untuk menciptakan kenyamanan dan keamanan dalam penanaman modal, dalam UndangUndang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, Pemerintah memberikan jaminan dan perlindungan penanaman modal, dalam bentuk kebebasan berusaha, repatriasi modal dan

v

keuntungan dalam mata uang asing, perlakuan yang sama, tidak akan ada nasionalisasi atau ekspropriasi (kecuali atas kepentingan nasional dan berdasarkan Undang-Undang), termasuk perlindungan hak kekayaan intelektual. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka disusunlah buku Ikhtisar Ketentuan Umum di Bidang Penanaman Modal, yang disusun dari proses penelitian yang mendalam atas berbagai peraturan perundang-undangan yang tersebar dan lintas sektor. Inti dari Ikhtisar Ketentuan Umum di Bidang Penanaman Modal ini adalah informasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kegiatan penanaman modal yang disusun secara sistematis dan tematis atas segala aspek kegiatan penanaman modal pada setiap tahapan kegiatannya. Dalam Ikhtisar Ketentuan Umum ini terdapat informasi tentang : istilah dan pengertian terkait penanaman modal; asas dan tujuan; kebijakan umum penanaman modal; koordinasi dan pelaksanaan kebijakan penanamna modal; pembentukan badan usaha; tata cara dan persyaratan penanaman modal; fasilitas penanaman modal; pengembangan kawasan untuk menarik penanaman modal; penanaman modal pada sektor-sektor tertentu; perjanjian penanaman modal; jaminan dan perlindungan penananaman modal; serta penyelesaian sengketa penanaman modal. Ikhtisar Ketentuan Umum ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada semua pihak yang membutuhkan informasi mengenai ketentuan penanaman modal, baik para perumus kebijakan, pembuat peraturan perundang-undangan, pelaksana, penanam modal atau calon penanam modal, konsultan penanaman modal, peneliti, maupun pihak terkait lainnya. Ketentuan yang terdapat dalam Ihktisar Ketentuan Umum di Bidang Penanaman Modal ini mencakup peraturan perundang-undangan yang masih berlaku hingga saat ini. Secara khusus kami mengucapkan terima kasih kepada National Legal Reform Program (NLRP) yang telah membiayai dan kepada Center for Regulatory Research (Pusat Kajian Regulasi) sebagai pelaksana penyusunan Ikhtisar Ketentuan Penanaman Modal.

Jakarta, Agustus 2010

Gita Wirjawan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal

vi

PEDOMAN PENGGUNA (USER’S GUIDE) Ikhtisar Ketentuan Penanaman Modal dirancang sebagai suatu dokumen yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk memperoleh informasi pokok terkait dengan peraturan perundang-undangan di bidang Penanaman Modal. Agar Ikhtisar Ketentuan Penanaman Modal ini mudah dimanfaatkan oleh siapa saja, tidak terbatas pada BKPM serta Instansi Pemerintah Lainnya, namun juga berbagai kalangan lain seperti dunia usaha, perseorangan, konsultan dan bahkan peneliti, maka susunan Ikhtisar Ketentuan dirancang tidak berdasarkan alfabetis, namun didasarkan atas tahapan-tahapan kegiatan penanaman modal, sejak pra penanaman modal, selama kegiatan penanaman modal sampai dengan pasca kegiatan penanaman modal. Lebih jauh, Ikhtisar Ketentuan Penanaman Modal juga dilengkapi dengan informasi lain seperti: berbagai istilah dan pengertian pokok; kebijakan umum di bidang penanaman modal; fasilitas penanaman modal; pengaturan penanaman modal pada sektor-sektor tertentu; perjanjian penanaman modal; dan bahkan mekanisme penyelesaian sengketa. Meskipun dipahamai bahwa spektrum kegiatan dan pengaturan penanaman modal sangat luas dan menjangkau multi sektor, namun tim penyusun melalui konsultasi dengan BKPM dan NLRP mengupayakan penyusunan Ikhtisar ini secara Concise (singkat namun padat dan komprehensif). Bagi pengguna yang ingin memahami berbagai istilah, singkatan, akronim dan pengertian terkait dengan penanaman modal,maka akan secara mudah memperolehnya pada: daftar singkatan dan akronim;pada Bab I tentang Istilah dan Pengertian; serta pada lampiran tentang Glosarium (Glossary). Selain itu, Azas dan Tujuan dalam pengaturan kegiatan penanaman modal dapat dibaca pada Bab II. Informasi tentang Kebijakan Umum Penanaman Modal dapat ditemukan pada Bab III. Di samping Kebijakan Dasar Penanaman Modal, Bab III juga memuat informasi tentang kebijakan lain, seperti: peningkatan iklim investasi dan iklim usaha; pengembangan bidang usaha; upaya mendorong partisipasi UMKM; jaminan dan perlindungan penanaman modal; kebijakan mendorong pembangunan infrastruktur dengan pola kemitraan; pemberian fasilitas penanaman modal, baik fiskal maupun non-fiskal; pengembangan kawasan ekonomi beserta berbagai fasilitasnya; serta bentuk-bentuk pembatasan pengendalian dan pengawasan penanaman modal. Aspek koordinasi, baik dalam hal kebijakan maupun pelaksanaan serta pelayanan penanaman modal, dapat ditemukan pada Bab IV. Aspek koordinasi yang dicakup tidak terbatas yang bersifat horisontal, namun juga yang bersifat vertikal, seperti antara Pemerintah dengan Pemerintah Propinsi, maupun Kabupaten/Kota. Mengingat kegiatan penanaman modal melekat erat dengan keterlibatan badan usaha, maka hal-hal yang terkait dengan bentuk usaha, prosedur pendirian badan usaha, perizinan yang diperlukan, pengakuan sampai dengan pengakhiran badan usaha, dapat ditemukan pada Bab V. Demikian pula tata cara dan persyaratan penanaman modal, sejak pendaftaran, izin prinsip, izin usaha, perluasan, perubahan dan pengakhiran, semuanya dirumuskan secara rinci pada Bab VI.

vii

Berbagai fasilitas penanaman modal, baik fiskal dan non-fiskal diuraikan secara rinci pada Bab VII. Selanjutnya pada Bab VIII disajikan informasi tentang pengaturan kegiatan penanaman modal pada berbagai kawasan beserta berbagai fasilitasnya, seperti pada: kawasan ekonomi khusus; kawasan pengembangan ekonomi terpadu; kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas; kawasan industri; kawasan berikat serta kawasan Timur Indonesia. Guna memperoleh informasi tentang pengaturan kegiatan penanaman modal pada sektorsektor tertentu, dapat dibaca pada Bab IX, baik pada sektor infrastruktur yang menjadi prioritas dalam pembangunan, maupun pada sektor-sektor strategis lainnya seperti: pangan; kehutanan; kepariwisataan; minyak dan gas bumi; mineral dan batubara; serta perdagangan. Sangat dipahami bahwa kegiatan penanaman modal selalu terkait dengan perjanjian/ kontrak, yang meliputi perjanjian antar negara; negara dengan subjek hukum bukan negara; maupun subyek hukum bukan negara satu sama lain. Dari sisi pihaknya, perjanjian juga dapat bersifat bilateral, multilateral dan regional. Di samping itu menurut sifatnya perjanjian dapat bersifat publik, privat maupun komersial berdimensi publik. Hal-hal dan pengaturan mengenai perjanjian/kontrak di bidang penanaman modal disajikan secara ringkas tapi lengkap dalam Bab X. Bagi investor, adanya jaminan dan perlindungan penanaman modal akan memberikan rasa aman dan nyaman dalam kegiatan penanaman modal. Lebih jauh, kepastian tentang jaminan dan perlindungan penanaman modal akan membawa kontribusi terhadap kepastian berusaha, karena segala sesuatunya menjadi lebih predictable. Hal-hal tentang jaminan dan perlindungan penanaman modal, baik jenisnya maupun jangka waktunya dapat ditemukan pada Bab XI. Adanya suatu kejelasan mengenai mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif, efisien, singkat dan dapat ditegakkan pelaksanaannya, merupakan kebutuhan bagi kegiatan penanaman modal. Hal mana disajikan pada Bab XII. Semua informasi yang diperlukan, seperti sumber, jenis, para pihak, dasar hukum, tata cara penyelesaian sengketa sampai dengan penegakannya digambarkan secara rinci pada Bab XII. Untuk mengetahui peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam Ikhitisar Ketentuan Penanaman Modal ini, dapat ditemukan pada lampiran tentang daftar peraturan yang disajikan secara sistematis, hirarkhis dan kronologis. Sementara itu lampiran tentang index akan mempermudah pembaca untuk menelusuri pada halaman mana saja pada Ikhtisar Ketentuan ini kata-kata atau istilah tertentu dapat ditemukan. Akhirnya, kami ucapkan selamat menggunakan Ikhtisar ketentuan Penanaman Modal ini, semoga membawa manfaat bagi kita semua dan terutama bagi upaya meningkatkan transparansi dalam rangka meningkatkan iklim penanaman modal di Indonesia.

viii

DAFTAR SINGKATAN DAN AKRONIM ACIA

:

ASEAN Comprehensive Investment Agreement

BUMD

:

Badan Usaha Milik Daerah

ADR

:

Alternative Dispute Resolution

BUMN

:

Badan Usaha Milik Negara

AIA

:

ASEAN Investment Agreement

CSR

:

Corporate Social Responsibility

AMDAL

:

Analisis Mengenai Dampak Lingkungan

CV

:

Commanditaire Vennootschap

APBN

:

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara

DB

:

Dispute Board

DIPER

:

Data Induk Perusahaan

API

:

Angka Pengenal Importir

DPIL

:

Daerah Pabean Indonesia Lainnya

API-P

:

Angka Pengenal Importir Produsen

DSU

:

Dispute Settlement Understanding

APIT

:

Angka Pengenal Importir Terbatas

EOI

:

Exchange of Information

API-U

:

AngkaPengenal Importir Umum

EPTE

:

Entreport Produksi Tujuan Ekspor

ASEAN

:

Association of SouthEast Asian Nations

ESDM

:

Energi dan Sumber Daya Mineral

ASKRINDO

:

Asosiasi Kredit Indonesia

ETP

:

Entreport Tujuan Pameran

BAPEPAM-LK

:

Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan

Fa

:

Firma

FLA

:

Finance Lease Agreement

GB

:

Gudang Berikat

HAM

:

Hak Asasi Manusia

HGB

:

Hak Guna Bangunan

HGU

:

Hak Guna Usaha

HKI

:

Hak atas Kekayaan Intelektual

HO

:

Hinder Ordonantie

ICC

:

International Chamber of Commerce

ICSID

:

International Center for Settlement of Investment Disputes

BKC

:

Barang Kena Cukai

BKP

:

Barang Kena Pajak

BKPM

:

Badan Koordinasi Penanaman Modal

BLU

:

Badan Layanan Umum

BM

:

Bea Masuk

BPJT

:

Badan Pengatur Jalan Tol

BPN

:

Badan Pertanahan Nasional

BTBMI

:

Buku Tarif BeaMasuk Indonesia

ix

IMB

:

Izin Mendirikan Bangunan

Keselamatan, Pertahanan dan Keamanan, Lingkungan Hidup, Moral/Budaya

IMTA

:

Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing

INPRES

:

Instruksi Presiden

KP

:

Kuasa Pertambangan

IP

:

Importir Produsen

KPKER

:

IPR

:

Izin Pertambangan Rakyat

Kantor Pelayanan Kemudahan Ekspor Regional

IT

:

Importir Terdaftar

KPPA

:

IUI

:

Izin Usaha Industri

Kantor Perwakilan Perusahaan Asing

IUKU

:

Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum

KTI

:

Kawasan Timur Indonesia

KTP

:

Kartu Tanda Pengenal

LHP

:

Laporan Hasil Pemeriksaan Proyek

LKPM

:

Laporan Kegiatan Penanaman Modal

LPEI

:

Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia

LPND

:

Lembaga Pemerintah Non-Departemen

LPS-E

:

Lembaga Pemeriksaan Surveyor-Ekspor

MENKO

:

Menteri Koordinator

MIGA

:

Multilateral

IUP

:

Izin Usaha Pertambangan

IUPHHK-HTI

:

Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu - Hutan Tanaman Industri

IUPK JIEPA

: :

Izin Usaha Pertambangan Khusus Japan-Indonesia Economic Partnership Agreement

KAPET

:

Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu

KB

:

Kawasan Berikat

KBLI

:

Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia

KEPPRES

:

Keputusan Presiden

KEK

:

KI

Investment Guarantee Agency NIK

:

Nomor Induk Kepabeanan

NIPER

:

Nomor Induk Perusahaan

NPWP

:

Nomor Pokok Wajib Pajak

Kawasan Ekonomi Khusus

NSW

:

National Single Window

:

Kawasan Industri

PBB

:

KITE

:

Kemudahan Impor Tujuan Ekspor

Pajak Bumi dan Bangunan

PDKB

:

KK

:

Kontrak Karya

Pengusaha di Kawasan Berikat

K3LM

:

Kesehatan,

PDKPM

:

Perangkat Daerah Kabupaten/Kota

x

bidang Penanaman Modal

Barang Mewah P3B

:

Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Perseroan Terbatas

PDPPM

:

Perangkat Daerah Provinsi bidang Penanaman Modal

PT

:

PEB

:

Pemberitahuan Ekspor Barang

PTSP

:

RIB

:

Rencana Impor Barang

RIBP

:

Rencana Impor Barang Perubahan

RKL

:

Rencana Pengelolaan Lingkungan

RPL

:

Rencana Pemantauan Lingkungan

RPTKA

:

Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing

RUPS

:

Rapat Umum Pemegang Saham

SITU

:

Surat Izin Tempat Usaha

SIUP

:

Surat Izin Usaha Perdagangan

SKB

:

Surat Keterangan Bebas

SPIPISE

:

Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik

SPM

:

Surat Perintah Membayar

PEBT

:

Pemberitahuan Ekspor Barang Tertentu

PERPRES

:

Peraturan Presiden

PERPPU

:

Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang

PIB

:

Pemberitahuan Impor Barang

PKB

:

Pengusaha Kawasan Berikat

PKP2B

:

Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara

Pelayanan Terpadu Satu Pintu

PMA

:

Penanaman Modal Asing

PMDN

:

Penanaman Modal Dalam Negeri

POKJA PEPI

:

Kelompok Kerja Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi

PP

:

Peraturan Pemerintah

PPA

:

Power Purchase Agreement

SPPH

:

PPAT

:

Pejabat Pembuat Akte tanah

Surat Pernyataan Pelepasan Hak

SPT

:

PPh

:

Pajak Penghasilan

Surat Pemberitahuan Tahunan

PPK-BLU

:

Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum

SSB

:

Surat Sanggup Bayar

Tbk

:

Terbuka

TDP

:

Pajak Pertambahan Nilai

Tanda Daftar Perusahaan

TKA

:

Tenaga Kerja Asing

Pajak Penjualan

TKI

:

Tenaga Kerja

PPN PPnBM

: :

xi

Indonesia TKWNAP

:

Tenaga Kerja Warganegara Asing Pendatang

TPS

:

Tempat Penimbunan Sementara

TPT

:

Tekstil dan Produk Tekstil

TPT

:

Tanda Pendaftaran Tipe

TRIMS

:

Trade Related Aspects of Investment Measures

UKL

:

Upaya Pengelolaan Lingkungan

UMKMK

:

Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi

UPL

:

Upaya Pemantauan Lingkungan

UU

:

Undang-Undang

UUG

:

Undang-Undang Gangguan

WNI

:

Warganegara Indonesia

WP

:

Wajib Pajak

WP

:

Wilayah Pertambangan

WUP

:

Wilayah Usaha Pertambangan

WPN

:

Wilayah Pencadangan Negara

WPR

:

Wilayah Pertambangan Rakyat

WTO

:

World Trade Organization

xii

BAB I ISTILAH DAN PENGERTIAN I.1 Modal

3

I.1.1

Modal dalam negeri

3

I.1.2

Modal aing

3

I.2

Penanaman Modal

4

I.2.1

Penanaman modal dalam negeri

5

I.2.2

Penanaman modal asing

6

I.3

Penanam Modal

6

I.3.1

Penanam modal dalam negeri

7

I.3.2

Penanam modal asing

7

I.4 Divestasi

7

I.5

Perizinan dan Non-Perizinan

7

I.5.1

Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)

8

I.5.2

Sistem Pelayanan Informasi Dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE)

8

I.5.3

Pendaftaran Penanaman Modal

8

I.5.4

Perluasan Penanaman Modal

9

I.5.5

Pendaftaran Perluasan Penanaman Modal

9

I.5.6

Izin Prinsip Penanaman Modal

9

I.5.7

Izin Prinsip Perluasan Penanaman Modal

9

I.5.8

Izin Prinsip Perubahan Penanaman Modal.

9

I.5.9

Izin Usaha.

9

I.5.10

Izin Usaha Perluasan

10

I.5.11

Izin Usaha Penggabungan Perusahaan Penanaman Modal (Merger)

10

I.5.12

Izin Usaha Perubahan

10

I.5.13

Angka Pengenal Importir (API)

10

I.5.13.1

Angka Pengenal Importir Produsen (API-P)

10

I.5.13.2

Angka Pengenal Importir Umum (API-U)

11

I.5.14 I.5.15 I.5.16

Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA)

11

Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA)

11

Hak AtasTanah.

12

I.5.17

Hak Guna Usaha

I.5.18

12

Hak Guna Bangunan

I.5.19

12

Hak Pakai

12

I.6

Kerjasama Pemerintah dan Swasta

12

I.7

Otonomi Daerah

13

I.8

Pemerintah

13

I.8.1

Pemerintah

13

I.8.2

Pemerintah Daerah

14

I.9

Koordinasi Penanaman Modal

14

I.9.1

Badan Koordinasi Penanaman Modal

14

I.9.2

Perangkat Daerah Provinsi Bidang Penanaman Modal (PDPPM

15

I.9.3

Perangkat Daerah Kabupaten/Kota Bidang Penanaman Modal (PDKPM)

15

I.10

Pendelegasian Wewenang

15

I.11

Pelimpahan Wewenang

16

I.12 Penugasan

16

I.13 Penghubung

16

I.14



Pengendalian

17

I.15



Pemantauan

17

I.16



Pembinaan

17

I.17



Pengawasan

17

Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LPKM)

18

I.18

xiv

BAB II ASAS DAN TUJUAN

II.1 Asas

21

II.1.1

21

Kepastian Hukum

II.1.2 Keterbukaan

21

II.1.3 Akuntabilitas

21

II.1.4

21

Perlakuan Yang Sama dan Tidak Membedakan Asal Negara

II.1.5 Kebersamaan

21

II.1.6

22



Efisiensi Berkeadilan

II.1.7 Berkelanjutan

22

II.1.8

22

Berwawasan Lingkungan

II.1.9 Kemandirian

22

II.1.10

Keseimbangan Kemajuan dan Kesatuan Ekonomi Nasional

23

II.2

Tujuan Penyelenggaraan Penanaman Modal

23

II.2.1

Meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi Nasional

23

II.2.2

Menciptakan Lapangan Kerja

23

II.2.3

Meningkatkan Pembangunan Ekonomi Berkelanjutan

23

II.2.4

Meningkatkan Kemampuan Daya Saing Dunia Usaha Nasional

24

II.2.5

Meningkatkan Kapasitas dan Kemampuan Teknologi Nasional

24

II.2.6

Mendorong Pengembangan Ekonomi Kerakyatan

24

II.2.7

Mengolah Ekonomi Potensial Menjadi Kekuatan Ekonomi Riil dengan Menggunakan Dana yang Berasal, Baik Dari Dalam Negeri Maupun Dari Luar Negeri

25

II.2.8

Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat

25

BAB III KEBIJAKAN UMUM PENANAMAN MODAL

III.1.



III.2 III.2.1. III.2.1.1

Kebijakan Dasar Penanaman Modal

III.2.1.2 III.2.1.3 III.2.1.4 III.2.2.

Peningkatan Iklim Investasi dan Iklim Usaha Memperkuat Kelembagaan Pelayanan Investasi Penyusunan Peraturan Perundang-undangan yang Terkait dengan Penanaman Modal Percepatan Pendirian Perusahaan dan Izin Usaha Peningkatan Ekspor dan Investasi Peningkatan Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara On-line Sinkronisasi Peraturan Pusat dan Daerah

III.3

Pengembangan Bidang Usaha (DNI)

29 29 29 29 31 32 32 32 34

III.4 Pembatasan III.4.1 Pembatasan III.4.1.1 Pembatasan Bidang Usaha yang Tertutup bagi Penanam Modal Asing III.4.1.2 Pembatasan Kepemilikan Saham Asing III.4.1.3 Kewajiban Divestasi

35 35 35 36 36

III.5

Mendorong Partisipasi Usaha Mikro, Kecil dan Menengah dan Koperasi

37

III.6 III.6.1 III.6.2 III.6.3 III.6.4 III.6.5 III.6.6 III.6.7

Memberikan Jaminan dan Perlindungan Penanaman Modal Jaminan untuk Memperoleh Perlakuan yang Sama dan Adil Jaminan untuk Melakukan Transfer dan Repatriasi dalam Valuta Asing Jaminan untuk Tidak Melakukan Nasionalisasi, Eksproriasi dan Konfiskasi Perlindungan Atas Hak yang Diperoleh Perlindungan Atas Harta Benda, termasuk Hak Atas Kekayaan Intelektual Perlindungan Investor Asing Atas Keadaan-keadaan Tertentu Perlindungan Atas Resiko Non-Komersial

38 38 38 39 40 40 40 40

III.7. III.7.1. III.7.2. III.7.2.1 III.7.2.2 III.7.2.3 III.7.2.4 III.7.2.5

Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus Beserta Berbagai Fasilitasnya Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kawasan Berikat (Bonded Zone) dan Tempat Penimbunan Berikat Pengertian Kawasan Berikat (KB) Penetapan Kawasan Berikat (KB) Persyaratan Fisik KB Harus Memenuhi Pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPBm) Peraturan-peraturan Terkait dengan KB

41 41 43 43 44 44 45 45

III.7.3. Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu III.7.4. Kawasan Timur Indonesia III.7.4.1 Kebijakan dan Strategi Nasional Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia III.7.4.2 Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia

45 46

III.7.4.3

47

Fungsi Dewan

46 46

III.7.5.

Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas

47

III.7.6

Kawasan Industri

50

III.8 III.8.1 III.8.2 III.8.3 III.8.4 III.8.5 III.8.6

Mendorong Pembangunan Infrastruktur Kerjasama Pemerintah dan Swasta Dalam Penyediaan Infrastruktur Percepatan Penyediaan Infrastruktur Dana Pembangunan Infrastruktur Penyertaan Modal Negara Bagi Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur Jaminan dan Perlindungan Bagi Penanaman Modal di Bidang Infrastruktur Pengelolaan Oleh Badan Layanan Umum

50 50 52 53 54 55 56

III.9 Pemberian Fasilitas Fiskal III.9.1 Ketentuan Umum Insentif Perpajakan/Fiskal di Bidang Penanaman Modal III.9.1.1 Yang berhak memperoleh fasilitas perpajakan III.9.1.2 Kriteria minimal penanaman modal yang memperoleh fasilitas III.9.2 Pajak Penghasilan (PPh) III.9.2.1 Beberapa Pengertian Dasar III.9.2.2 Bidang-bidang Usaha Tertentu yang Memperoleh Fasilitas PPh III.9.2.3 Fasilitas PPh yang Diberikan III.9.2.4 Ketentuan-ketentuan tentang Fasilitas PPh yang terkait dengan

57

III.9.3. III.9.4. III.9.5. III.9.6.

60 60 61 61 61

Penanaman Modal Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Pembebasan atau Keringanan Bea Impor Barang Modal dan Bahan Baku Penyusutan atau Amortisasi Dipercepat

III.10 Pemberian Insentif Non-Fiskal III.10.1. Fasilitas Hak-hak Atas Tanah III.10.2. Fasilitas Pelayanan Imigrasi III.10.2.1. Fasilitas Pelayanan Keimigrasian bagi Penanam Modal Asing Dapat Berbentuk III.10.2.2. Peraturan Lain Terkait III.10.3. Fasilitas Perizinan Impor III.10.3.1 Kemudahan Pelayanan dan/atau perizinan atas fasilitas perizinan impor dapat diberikan untuk impor III.10.3.2 Ketentuan Impor Barang Modal Bukan Baru

xvii

57 58 58 58 58 59 59

62 62 64 64 64 64 64 65

III.10.3.3 Yang Berhak Mengimpor Barang Modal Bukan Baru III.10.3.4 Peraturan Lain yang Terkait III.10.4 Fasilitas Percepatan Memulai Usaha III.10.5 Fasilitas Percepatan Pelayanan Investasi III.10.5.1 Pelayanan Terpadu Stau Pintu di Bidang Penanaman Modal III.10.5.1.1 Pengertian III.10.5.1.2 Tujuan III.10.5.1.3 Lembaga/Instansi yang Berwenang III.10.5.1.4 Ruang Lingkup III.10.5.2 Pengertian Perizinan III.10.5.3 Pengertian Non-perizinan III.10.5.4 Pengertian Pendelegasian Wewenang III.10.5.5 Pengertian Pelimpahan Wewenang III.10.5.6 Pengertian Penugasan III.10.5.7 Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi (SPIPISE) III.10.5.7.1 Pengertian SPIPISE III.10.5.7.2 Pengertian Portal SPIPISE III.10.5.7.3 Maksud Peraturan Tentang SPIPISE III.10.5.7.4 Tujuan SPIPISE III.10.5.7.5 Ruang Lingkup SPIPISE III.10.5.7.6 Peraturan Lain terkait III.10.6 Kemudahan Dalam Penggunaan Tenaga Kerja Asing III.10.6.1 Hak Perusahaan Penanaman Modal III.10.6.2 Kemudahan Pelayanan dan/atau Perizinan atas Fasilitas Keimigrasian III.10.6.3 Fasilitas Keimigrasian bagi Penanam Modal Asing III.10.6.4 Peraturan Lain Terkait III.10.7 Kepemilikan Saham Asing yang Lebih Besar III.10.8 Bidang Usaha yang Lebih Terbuka III.10.8.1 Pengertian

65 65 66 67 67 67 67 67 68 68 68 68 68 69 69 69 69 69 70 70 70 71 71 71 71 72 72 73 73

III.10.8.2 Kriteria III.10.8.3 Peraturan Lain yang Terkait

73 73

III.11 Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal III.11.1 Pengendalian III.11.1.1 Pengertian III.11.1.2 Maksud III.11.1.3 Tujuan III.11.1.4 Sasaran III.11.1.5 Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal III.11.2 Pengawasan III.11.2.1 Pengertian III.11.2.2 Pelaksanaan III.11.2.3 Lingkungan

73 73 73 74 74 74 74 75 75 75 75

xviii

BAB IV KOORDINASI DAN PELAKSANAAN KEBIJAKAN PENANAMAN MODAL

IV.1

Uraian Singkat Koordinasi Kebijakan Penanaman Modal

79

IV.2

Mekanisme Koordinasi Pada Tingkat Kementerian Teknis/LPND

81

IV.2.1 Bentuk-Bentuk Kegiatan Penanaman Modal Yang Merupakan Kewenangan Pemerintah

81

IV.2.2

82

Mekanisme Koordinasi Antara BKPM dengan Menteri Teknis/Kepala LPND

IV.2.2.1 Pendelegasian atau Pelimpahan Wewenang

82

IV.2.2.2 Penunjukan Penghubung

83

IV.2.2.3 Rekomendasi

83

IV.2.2.4 Koordinasi

83

IV.2.3

84

Bentuk-bentuk Koordinasi antara BKPM dengan Menteri Teknis/Kepala LPND

IV.3 Mekanisme Koordinasi pada Tingkat Pemerintah Daerah (Provinsi, Kabupaten/Kota)

85

IV.3.1

85

Bentuk-Bentuk Kegiatan Penanaman Modal Yang Merupakan Kewenangan Pemerintah Provinsi, Kabupaten/Kota

IV.3.1.1 Penyelenggaraan Penanaman Modal yang Ruang Lingkupnya Lintas Kabupaten/Kota menjadi Urusan Pemerintah Provinsi

86

IV.3.1.2 Penyelenggaraan Penanaman Modal yang Ruang Lingkupnya Berada Dalam Satu Kabupaten/Kota menjadi Urusan Pemerintah Kabupaten/Kota

87

IV.3.2

Mekanisme Koordinasi antara BKPM dengan PDPPM dan PDKPM

88

IV.4

Promosi Investasi

89

IV.4.1

Pejabat Promosi Investasi di Luar Negeri

89

IV.4.2

Tugas dan Fungsi

89

IV.5

Mekanisme Pelayanan

90

IV.5.1

Jenis-jenis Pelayanan Penanaman Modal

90

IV.5.1.1 Pelayanan Perizinan

90

IV.5.1.2 Pelayanan Non-Perizinan

91

IV.5.2

Mekanisme Pelayanan Penanaman Modal

91

IV.6

Pemanfaatan Teknologi untuk Pelayanan Informasi dan Perizinan

92

IV.6.1

Maksud dan Tujuan Penyelenggaraan SPIPISE

93

IV.6.1.1 Maksud Penyelenggaraan SPIPISE

93

IV.6.1.2 Tujuan Penyelenggaraan SPIPISE

93

IV.6.2

93

Bentuk-bentuk SPIPISE

IV.6.2.1 Subsistem Informasi Penanaman Modal

93

IV.6.2.2 Subsistem Pelayanan Penanaman Modal

94

IV.6.2.3 Subsistem Pendukung

95

IV.6.3

96

Hak Akses

IV.6.3.1 Informasi yang dapat Diakses

96

IV.6.3.2 Syarat-syarat Untuk Memperoleh Hak Akses

96

IV.6.3.3 Persetujuan Hak Akses

97

IV.6.3.4 Kerahasiaan Hak Akses

98

IV.6.4

99

Koordinasi Penyelenggaraan SPIPISE.

xx

BAB V PEMBENTUKAN BADAN USAHA

V.1

Bentuk-bentuk Badan Usaha

103

V.1.1 Perorangan

103

V.1.1.1 V.1.1.2

103

Pengusaha dan Pembantu-pembantunya (Pekerja) Pengusaha dengan Pihak Ketiga

103

V.1.2 Perserikatan

104

V.1.2.1

Firma

104

V.1.2.2

Persekutuan Komanditer/CV

106

V.1.3.

Perseroan Terbatas

107

V.1.3.1

Tertutup

107

V.1.3.2

Terbuka

107

V.1.4

Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

108

V.1.4.1

Perseroan

108

V.1.4.2

Perusahaan Umum (Perum)

109

V.1.5

Kantor Cabang, Kantor Perwakilan dan Agen dari Perusahaan Asing

111

V.2

Prosedur dan Syarat Pendirian Perseroan Terbatas

114

V.2.1

Perusahaan penanaman modal asing

114

V.2.1.1

Permohonan kepada BKPM

114

V.2.1.2

Bentuk Badan Usaha yang ditetapkan

114

V.2.1.3

Fasilitas

115

V.2.2

Perusahaan penanaman modal dalam negeri

115

V.2.3

Syarat-syarat Pendirian Perseroan Terbatas

116

Perizinan yang Diperlukan

122

V.3 V.3.1



Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP)

122

V.3.2

Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)

124

V.3.3

Surat Keterangan Domisili

126

V.3.4

Pendaftaran

126

V.3.5

Izin Prinsip

126

V.3.6

Izin Usaha

127

V.4



V.5 V.6



Jangka Waktu

127

Pengakuan Terbentuknya Badan Usaha

127

Pengakhiran Badan Usaha

129

V.6.1

Karena Merger/Penggabungan

129

V.6.2

Karena Konsolidasi/Peleburan

130

V.6.3

Karena Kepailitan yang Diikuti Pembubaran Badan Usaha

131

V.6.4

Karena Likuidasi

131

xxii

BAB VI TATA CARA DAN PERSYARATAN PENANAMAN MODAL VI.1 Memulai Usaha Penanaman Modal VI.1.1 Pendaftaran Penanaman Modal VI.1.1 1 Penanaman modal dalam negeri (PMDN) VI.1.1.1.1 Bentuk Badan Usaha VI.1.1.1.2 Prosedur dan Tata Cara VI.1.1.2 Penanaman modal asing (PMA)

135 135 135 135 135 137

VI.1.1.2.1 Bentuk Badan Usaha VI.1.1.2.2 Prosedur dan Tata Cara VI.1.2 Bidang-bidang Usaha Penanaman Modal VI.1.2.1 Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) VI.1.2.2 Tujuan, Prinsip Dasar, Persyaratan VI.1.2.3 Publikasi VI.1.2.4 Daftar Bidang Usaha yang Tertutup VI.1.2.5 Daftar Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan VI.1.3 Izin Prinsip VI.1.3.1 Izin Prinsip bagi Perusahaan PMA VI.1.3.2 Izin Prinsip bagi Perusahaan PMDN VI.1.3.3 Pengembangan Usaha VI.1.3.3.1 Izin Prinsip Perluasan VI.1.3.3.2 Izin Prinsip Perubahan VI.1.3.4 Pengalihan Kepemilikan Saham Asing VI.1.4 Persyaratan Penanaman Modal VI.1.4.1 Penggunaan Tenaga Kerja VI.1.4.1.1 Tenaga Kerja Indonesia VI.1.4.1.2 Tenaga Kerja Asing VI.1.4.2 Penggunaan Tanah VI.1.4.3 Penolakan Penanaman Modal dan Kemungkinan Solusi

137 137 138 138 139 139 140 140 143 144 146 149 150 152 155 157 157 157 158 163 165

VI.2 Tahapan Komersial Kegiatan Penanaman Modal VI.2.1 Pengertian Izin Usaha VI.2.2 Jenis-jenis Izin Usaha dan Formulir Permohanan yang Digunakan VI.2.2.1 Izin Usaha untuk dapat Memulai Pelaksanaan Kegiatan Operasi/Produksi VI.2.2.2 Izin Usaha Perluasan VI.2.2.3 Izin Usaha Bagi Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri yang Tidak Memerlukan Fasilitas dan Tidak Memiliki Pendaftaran Penanaman Modal VI.2.2.4 Izin Usaha Penggabungan Perusahaan Penananaman Modal (Merger) VI.2.2.5 Izin Usaha Perubahan VI.2.3 Persyaratan Izin Usaha

165 165 166 166 166 167 167 168 168

VI.2.3.1 Syarat Untuk Izin Usaha, Izin Usaha Perluasan dan Izin Usaha bagi Perusahaan penanaman modal dalam negeri yang Tidak Memerlukan Fasilitas dan Tidak Memiliki Pendaftaran Penanaman Modal VI.2.3.2 Izin Usaha Penggabungan Penanaman Modal (Merger) VI.2.4 Persetujuan Izin Usaha VI.2.4.1 Jangka Waktu Penerbitan Izin Usaha VI.2.4.2 Bentuk-bentuk Izin Usaha VI.2.5 Jangka Waktu Izin Usaha VI.2.6 Ketentuan Perpajakan VI.2.6.1 Ketentuan Umum Perpajakan (KUP) VI.2.6.2 Pajak Penghasilan (PPh) VI.2.6.3 Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) VI.2.6.4 Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) VI.2.6.5 Bea Meterai VI.2.6.6 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah VI.2.7 Pembatasan Penanaman Modal VI.2.7.1 Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Terbuka dengan Persyaratan untuk Kegiatan Penanaman Modal VI.2.7.2 Keharusan untuk Membentuk Perusahaan Patungan di Bidang penanaman modal asing VI.2.7.3 Keharusan Divestasi VI.2.7.4 Pembatasan Terhadap Hak Atas Tanah

VI.3 Perluasan Penanaman Modal VI.3.1 Tata Cara Perluasan Penanaman Modal VI.3.1.1 Pengertian VI.3.1.2 Pendaftaran VI.3.1.3 Permohonan Izin Prinsip Perluasan VI.3.1.4 Permohonan Izin Usaha Perluasan VI.3.2 Syarat Perluasan VI.3.2.1 Izin Prinsip Perluasan VI.3.2.1.1 Syarat VI.3.2.1.2 Ketentuan Lain VI.3.2.2 Izin Usaha Perluasan VI.3.2.2.1 Syarat-syarat yang Harus Dipenuhi pada Mengajukan Permohonan Usaha Perluasan VI.3.2.2.2 Ketentuan VI.3.3 Persetujuan Perluasan VI.3.3.1 Izin Prinsip Perluasan Penanaman Modal VI.3.3.2 Izin Usaha Perluasan Penanaman Modal VI.3.4 Insentif Bagi Perluasan

xxiv

169 170 171 171 171 172 172 172 174 176 179 180 183 184 184 185 186 187

188 188 188 189 189 189 189 189 190 191 191 Izin 191 193 193 194 195 195

VI.4 Perubahan Penanaman Modal VI.4.1 Permohonan Perubahan Penanaman Modal VI.4.1.1 Mengajukan Pendaftaran Penanaman Modal VI.4.1.2 Mengajukan Izin Prinsip Perubahan

195 195 196 196

VI.4.1.3 Mengajukan Izin Usaha Perubahan VI.4.2 Jenis-jenis Perubahan Penanaman Modal VI.4.2.1 Terkait dengan Perubahan Izin Prinsip VI.4.2.1.1 Perubahan Ketentuan Bidang Usaha termasuk Jenis dan Kapasitas Produksi

196 197 197

VI.4.2.1.2 Perubahan Penyertaan Modal dalam Perseroan VI.4.2.1.3 Perubahan Jangka Waktu Penyelesaian Proyek VI.4.2.1.4 Perubahan Lain-lain Terkait Izin Prinsip VI.4.2.2 Terkait dengan Perubahan Izin Usaha VI.4.2.2.1 Perubahan Lokasi Proyek VI.4.2.2.2 Perubahan Jenis/Diversifikasi Produksi VI.4.2.2.3 Perubahan Penyertaan dalam Modal Perseroan VI.4.2.2.4 Perpanjangan Izin Usaha VI.4.2.2.5 Perubahan Lain-lain Terkait Izin Usaha VI.4.2.3 Pengalihan Kepemilikan Saham Asing VI.4.2.4 Penggabungan Perusahaan Penanaman Modal (Merger) VI.4.2.5 Perubahan Terkait Fasilitas Fiskal dan Non-Fiskal VI.4.2.5.1 Fasilitas Bea Masuk Atas Impor Mesin VI.4.2.5.2 Fasilitas Bea Masuk Atas Impor Barang dan Bahan VI.4.2.5.3 Angka Pengenal Importir Produsen (API-P) VI.4.2.5.4 Rencana PenggunaanTenaga Kerja Asing (RPTKA) VI.4.3 Syarat Umum Perubahan Penanaman Modal VI.4.3.1 Perubahan Izin Prinsip, Syarat VI.4.3.2 Perubahan Izin Usaha, Syarat VI.4.3.3 Penggabungan Perusahaan Penanaman Modal (Merger), Syarat VI.4.3.4 Perubahan Terkait Fasilitas Fiskal dan Non-Fiskal VI.4.3.4.1 Fasilitas Bea Masuk atas Impor Mesin, Syarat VI.4.3.4.2 Fasilitas Bea Masuk Atas Impor Barang dan Bahan, Syarat VI.4.3.4.3 Angka Pengenal Importir Produsen (API-P), Syarat VI.4.3.4.4 Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA), Syarat VI.4.4 Persetujuan Perubahan Penanaman Modal VI.4.4.1 Perubahan Izin Prinsip VI.4.4.2 Perubahan Izin Usaha VI.4.4.3 Penggabungan Perusahaan Penanaman Modal (Merger) VI.4.4.4 Perubahan Fasilitas Fiskal dan Non-Fiskal VI.4.4.4.1 Fasilitas Bea Masuk Atas Impor Mesin VI.4.4.4.2 Fasilitas Bea Masuk Atas Impor Barang Dan Bahan

xxv

197 197 198 198 199 199 199 199 201 201 201 202 203 204 204 204 204 205 205 206 208 208 208 210 210 211 212 212 213 214 214 214 215

VI.4.4.4.3 Angka Pengenal Importir Produsen (API-P) VI.4.4.4.4 Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) VI.4.5 Penolakan Terhadap Perubahan Penanaman Modal

215 216 216

VI.5 Pengakhiran Kegiatan Penanaman Modal VI.5.1 Karena Habisnya Cadangan VI.5.2 Karena Berakhirnya Jangka Waktu VI.5.3 Karena Pencabutan Izin VI.5.4 Karena Penghentian Sementara

216 216 217 217 218

VI.5.5 Karena Pembekuan Kegiatan Usaha VI.5.6 Karena Sanksi Administrasi VI.5.7 Karena Pailit VI.5.7.1 Diusulkan oleh Perusahaan VI.5.7.2 Diajukan oleh Pihak Ketiga VI.5.8 Karena Akuisisi, Merger dan Konsolidasi VI.5.8.1 Akuisisi VI.5.8.2 Merger VI.5.8.3 Konsolidasi VI.5.9 Karena Tercapainya Tujuan Penanaman Modal

219 219 220 220 220 221 221 221 222 222

xxvi

BAB VII FASILITAS PENANAMAN MODAL

VII.1 Fasilitas Fiskal VII.1.1 Kriteria Bidang Usaha yang Memperoleh Fasilitas VII.1.2 Tata Cara Memperoleh Fasilitas VII.1.3 Pajak Penghasilan (PPh) VII.1.3.1 Bidang Usaha Tertentu yang Memperoleh Fasilitas VII.1.3.2 Bidang Usaha Tertentu dan Daerah Tertentu yang Memperoleh Fasilitas VII.1.3.3 Bentuk Fasilitas yang Diberikan kepada Penanaman Modal VII.1.3.3.1 Fasilitas Bagi Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu VII.1.3.3.2 Fasilitas bagi WP Badan Dalam Negeri yang Berbentuk PT VII.1.3.3.3 Fasilitas Bagi Kegiatan Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan VII.1.4 Pajak Pertambahan Nilai (PPN) VII.1.4.1 Jenis Barang dan Jasa yang Tidak Dikenai PPN VII.1.4.2 Bentuk Fasilitas VII.1.4.2.1 Fasilitas Atas Impor dan Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis VII.1.4.2.2 Fasilitas Bagi Kegiatan Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan VII.1.4.2.3 Fasilitas Atas Impor Barang yang Dipergunakan Untuk Kegiatan Usaha Hulu Eksplorasi Minyak dan Gas Bumi serta Kegiatan Usaha Eksplorasi Panas Bumi VII.1.4.2.4 Fasilitas di Kawasan Bebas VII.1.4.2.5 Fasilitas Dalam Rangka Program Restrukturisasi Mesin Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT)

227 227 228 230 230 231 231 232 234 235 238 238 239 239 241

241 244 245

VII.1.5 Pajak Bumi dan Bangunan VII.1.6 Masa Pembebasan Pajak (Tax Holiday) VII.1.7 Prevention of Double Taxation Agreement (Persetu- juan Penghindaran Pajak Berganda) dan Prevention of Tax Avoid- ance Agreement (Perjanjian Pencegahan Pengelakan Pajak) VII.1.8 Pembebasan Impor Barang Modal dan Bahan Baku VII.1.9 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

248 260

VII.2 VII.2.1 VII.2.2 VII.2.3 VII.2.4 VII.2.5 VII.2.6 VII.2.7

262 262 265 268 270 271 273 276

Fasilitas Non-Fiskal Fasilitas Hak atas Tanah Fasilitas Pelayanan Keimigrasian Angka Pengenal Impor (API) Adanya Entreport Produksi Tujuan Ekspor (EPTE) Fasilitas Kredit dan Asuransi Ekspor Draw-Back Facilities (Fasilitas Pengem- balian Bea Masuk) Fasilitas Perizinan Impor

245 246 247

VII.2.8 Fasilitas Percepatan Memulai Usaha

276

VII.2.9 Fasilitas Percepatan Pelayanan Investasi VII.2.10 Kepemilikan Saham VII.2.11 Bidang Usaha yang Lebih Luas

278 280 282

xxviii

BAB VIII PENGEMBANGAN KAWASAN UNTUK MENARIK INVESTASI

VIII.1. Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) VIII.1.1 Fungsi, Bentuk dan Kriteria KEK VIII.1.1.1 Fungsi VIII.1.1.2 Bentuk VIII.1.1.3 Kriteria VIII.1.2 Pembentukan KEK VIII.1.2.1 Pengusulan VIII.1.2.2 Proses Penetapan VIII.1.2.3 Pembangunan dan Pengoperasian VIII.1.3 Kelembagaan KEK VIII.1.3.1 Dewan Nasional VIII.1.3.1.1 Pembentukan, Kedudukan, dan Tugas VIII.1.3.1.2 Susunan Organisasi VIII.1.3.1.3 Sekretariat VIII.1.3.1.4 Tata Kerja VIII.1.3.2 Dewan Kawasan VIII.1.3.2.2 Susunan Organisasi VIII.1.3.2.3 Sekretariat VIII.1.3.2.4 Tim Ahli VIII.1.3.2.5 Tata Kerja VIII.1.3.3 Administrator VIII.1.3.4 Pembiayaan VIII.1.3.5 Badan Usaha Pengelola VIII.1.3.6 Peraturan Terkait Lainnya VIII.1.4 Lalu Lintas Barang, Karantina, dan Devisa VIII.1.4.1 Lalu Lintas Barang VIII.1.4.2 Karantina VIII.1.4.3 Devisa VIII.1.5 Fasilitas dan Kemudahan VIII.1.5.1 Perpajakan, Kepabeanan dan Cukai VIII.1.5.2 Pajak Daerah dan Distribusi Daerah VIII.1.5.3 Pertanahan. Perizinan, Keimigrasian, dan Investasi VIII.1.5.4 Fasilitas dan Kemudahan Lain VIII.1.5.5 Ketenagakerjaan

285 285 285 285 286 286 286 287 287 289 289 289 290 291 293 294 295 295 296 296 297 299 299 299 299 299 300 300 300 300 302 302 302 303

VIII.2 Kawasan Berikat (Bonded Zones) VIII.2.1 Pembentukan Kawasan Berikat (KB) dan Persetujuan Penyelenggara Kawasan Berikat (PKB) dan Pengusaha di Kawasan Berikat (PDKB) VIII.2.2 Kewajiban, Larangan dan Tanggung Jawab PKB dan PDKB VIII.2.3 Perpajakan, Kepabeanan dan Cukai

304 304 310 314

VIII.2.4 VIII.2.5 VIII.2.6 VIII.2.7 VIII.2.8

Pemasukan Barang Pengeluaran Barang Ketentuan Lainnya Pekerjaan Subkontrak Audit, Pembekuan dan Pencabutan Persetujuan PKB/PDKB

320 323 328 332 335

VIII.3 VIII.3.1 VIII.3.2 VIII.3.2.1 VIII.3.2.2 VIII.3.3 VIII.3.4

Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) Kriteria KAPET Kelembagaan Kapet Badan Pengembangan Badan Pengelola Penetapan KAPET sebagai Kawasan Berikat Fasilitas Perpajakan dan Kepabeanan

341 341 341 341 342 343 343

VIII.4

Kawasan Timur Indonesia

351

VIII.4.1 Kelembagaan VIII.4.2 Cakupan Kawasan Timur Indonesia VIII.4.3 Peraturan Terkait Lainnya

351 353 353

VIII.5 Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas VIII.5.1 Dasar Hukum VIII.5.2 Batas, Kegiatan, Kedudukan Hukum, Jangka Waktu VIII.5.2.1 Batas VIII.5.2.2 Kegiatan VIII.5.2.3 Kedudukan Hukum VIII.5.2.4 Jangka Waktu VIII.5.3 Kelembagaan VIII.5.4 Fungsi VIII.5.5 Perizinan VIII.5.6 Lalu Lintas Barang, Karantina, Devisa, Keimigrasian, Pelayaran dan Penerbangan VIII.5.6.1 Lalu Lintas Barang VIII.5.6.2 Karantina VIII.5.6.3 Devisa VIII.5.6.4 Keimigrasian VIII.5.6.5 Pelayaran dan Penerbangan VIII.5.7 Peraturan Terkait Lainnya

353 353 354 354 354 354 355 355 356 357 357

VIII.6 VIII.6.1

Kawasan Industri (Industrial Estates) Pembangunan Kawasan Industri

xxx

357 358 358 359 359 359

362 362

VIII.6.2 Fasilitas/Kemudahan VIII.6.3 Kewajiban Lokasi VIII.6.4 Kegiatan dan Luas Lahan VIII.6.5 Perizinan VIII.6.5.1 Izin Usaha Kawasan Industri VIII.6.5.2 Izin Lokasi Kawasan Industri VIII.6.5.3 Izin Perluasan Kawasan Industri VIII.6.5.4 Izin Tetap Parsial VIII.6.5.5 Hak Penggunaan Atas Tanah VIII.6.6 Kewajiban Kawasan Industri dan Perusahaan Industri, Tata Tertib Kawasan Industri VIII.6.6.1 Kewajiban Kawasan Industri VIII.6.6.2 Kewajiban Perusahaan Industri VIII.6.6.3 Tata Tertib Kawasan Industri VIII.6.7 Tim Nasional Kawasan Industri

xxxi

363 363 364 364 364 366 366 366 368 368 368 369 370 371

BAB IX PENANAMAN MODAL PADA SEKTOR-SEKTOR TERTENTU IX.1.

Penanaman Modal Pembangunan Infrastruktur

375

IX.1.1.

Transportasi

375

IX.1.1.1

Jalan Tol

375

IX.1.1.1.1

Ketentuan Umum

375

IX.1.1.1.2

Penyelenggaraan Jalan Tol

375

IX.1.1.1.3

Pengaturan Jalan Tol

375

IX.1.1.1.4

Pembinaan Jalan Tol

376

IX.1.1.1.5

Pengusahaan Jalan Tol

376

IX.1.1.1.6

Saham yang Dapat Dimiliki Asing

376

IX.1.1.1.7

Pengawasan Jalan Tol

377

IX.1.1.1.8

Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT)

377

IX.1.1.1.9

Hak dan Kewajiban Badan Usaha Jalan Tol

377

IX.1.1.1.10 Peraturan-peraturan Terkait dengan Penanaman Modal di Jalan Tol

377

IX.1.1.2

Pelabuhan

378

IX.1.1.2.1

Pengertian Pelabuhan

378

IX.1.1.2.2

Jenis Pelabuhan

379

IX.1.1.2.3

Tatanan Kepelabuhanan Nasional

379

IX.1.1.2.4

Penyelenggara Pelabuhan

380

IX.1.1.3

Bandar Udara

380

IX.1.1.3.1

Batasan/Pengertian

380

IX.1.1.3.2

Tatanan Kebandarudaraan

380

IX.1.1.3.3

Kegiatan Pengusahaan di Bandar Udara

381

IX.1.1.3.4

Kepemilikan Saham Asing pada Pembangunan dan Pengoperasian Bandar Udara

381

IX.1.1.4

Kereta Api

382

IX.1.1.4.1 Batasan/Pengertian

382

IX.1.1.4.2 Jaringan Pelayanan Perkeretaapian

382

IX.1.1.4.3 Angkutan Kereta Api

382

IX.1.1.4.4 Peraturan yang Terkait

382

IX.1.2.

Energi (Pembangkit Listrik)

383

IX.1.2.1

Pengertian Ketenagalistrikan

383

IX.1.2.2

Kebijakan di Bidang Ketenagalistrikan

383

IX.1.2.3

Tujuan

383

IX.1.2.4

Pengusahaan

383

IX.1.2.5 Usaha Ketenagalistrikan

384

IX.1.2.6 Perizinan

384

IX.1.2.7 Fasilitas Bagi Penanaman Modal di Bidang Ketenagalistrikan

384

IX.1.2.8 Jaminan Bagi Penanaman Modal di Bidang Ketenagalistrikan

385

IX.1.2.9

386

Percepatan Pembangunan Ketenagalistrikan

IX.1.2.10 Peraturan-peraturan Terkait

387

IX.1.3.

Komunikasi dan Informasi

387

IX.1.3.1

Kebijakan

387

IX.1.3.2

Batasan dan Pengertian

387

IX.1.3.3

Asas dan Tujuan

387

IX.1.3.4 Penyelenggaraan Telekomunikasi

388

IX.1.3.5 Perizinan

388

IX.1.3.6 Hak dan Kewajiban Penyelenggara

389

IX.1.3.7 Peraturan-peraturan yang Terkait

390

IX.2.

Pangan

390

IX.2.1

Kebijakan

390

IX.2.2

Istilah dan Pengertian

390

IX.2.3

Maksud Pengaturan Usaha Budi Daya Tanaman

391

IX.2.4

Pelaku Usaha Budi Daya Tanaman

391

IX.2.5

Syarat Permohonan Perizinan

391

IX.2.6

Kewajiban Kerjasama bagi Penanam Modal Asing

392

IX.2.7

Pembinaan

393

IX.2.8

Sanksi Administratif

393

IX.2.9

Peraturan Lain yang Terkait

393

IX.3.

Kehutanan

394

IX.3.1. Kebijakan

394

IX.3.2. Batasan dan Pengertian

394

IX.3.3. Asas dan Tujuan

394

IX.3.4. Fungsi Hutan

395

IX.3.5. Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan

395

IX.3.6. Pihak yang Dapat Memperoleh Izin Usaha

396

IX.3.7. Hak dan Kewajiban Pemegang Izin Usaha

397

IX.3.8. Pendanaan dan Prasarana

397

IX.3.9. Peraturan-peraturan yang Terkait

398

IX.4.

399

Kepariwisataan

IX.4.1. Kebijakan

399

xxxiii

IX.4.2. Istilah dan Pengertian

399

IX.4.3. Asas dan Tujuan

399

IX.4.4. Ruang Lingkup Pembangunan Kepariwisataan

400

IX.4.5. Ruang lingkup Usaha Kepariwisataan

400

IX.4.6. Hak dan Kewajiban Pengusaha Pariwisata

401

IX.4.7. Gabungan Industri Pariwisata

402

IX.4.8. Tenaga Kerja Ahli WNA

402

IX.4.9. Insentif bagi Pengusaha dalam Pembangunan Pariwisata

403

IX.5.

Minyak Dan Gas Bumi

403

IX.5.1.

Kebijakan

403

IX.5.2.

Batasan dan Pengertian

403

IX.5.3.

Asas dan Tujuan

404

IX.5.4.

Pengusahaan

405

IX.5.5.

Kontrak Kerjasama

406

IX.5.6.

Izin Usaha Hilir

407

IX.5.7.

Kaitan dengan Hak Atas Tanah

407

IX.5.8.

Ketentuan Peralihan bagi Kontraktor bagi Hasil yang Ada pada Saat UU ini Berlaku

408

IX.5.9.

Ketentuan-ketentuan Terkait

408

IX.6.

Mineral dan Batubara

409

IX.6.1.

Kebijakan

409

IX.6.2.

Batasan dan Pengertian

409

IX.6.3.

Asas dan Tujuan

410

IX.6.4.

Wilayah Pertambangan

410

IX.6.5.

Usaha Pertambangan

410

IX.6.6.

Izin Usaha Pertambangan

411

IX.6.7.

Pihak yang Dapat Memperoleh Izin Usaha Pertambangan

411

IX.6.8.

Persyaratan Perizinan

411

IX.6.9.

Hak Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan IUPK

411

IX.6.10

Jaminan Bagi Pemegang Izin Usaha Pertambangan Eksplorasi Khusus (IUPK)

412

IX.6.11

Berakhirnya Izin Usaha

412

IX.6.12

Usaha Jasa Pertambangan

412

IX.6.13

Penggunaan Tanah untuk Kegiatan Usaha Pertambangan

413

IX.7.

Perdagangan

413

IX.7.1.

Penerbitan Usaha Izin Perdagangan (SIUP)

413

xxxiv

IX.7.1.1

Kebijakan

413

IX.7.1.2

Istilah dan Pengertian

414

IX.7.1.3

Jenis-jenis SIUP

414

IX.7.2.

Penyelenggaraan Pendaftaran Perusahaan

415

IX.7.2.1

Kebijakan

415

IX.7.2.2 Istilah dan Pengertian

415

IX.7.2.3 Kewajiban, Waktu dan Tempat Pendaftaran

416

IX.7.2.4 Perubahan, Pembatalan dan Penghapusan

416

IX.7.2.5 Pelayanan Informasi Perusahaan

417

IX.7.3.

417

Percepatan Pelayanan Perizinan dan Non-perizinan untuk Memulai Usaha

IX.7.3.1 Kebijakan

417

IX.7.3.2 Istilah dan Pengertian

418

IX.7.3.3 Penyelenggaraan Pelayanan Perizinan dan Non-Perizinan

418

IX.7.3.4 Standar Waktu Pelayanan dalam Rangka Percepatan Pelayanan Perizinan dan Non-Perizinan

419

IX.7.3.5 Pembinaan dan Pengawasan

419

xxxv

BAB X PERJANJIAN PENANAMAN MODAL X.1. Menurut Pihaknya X.1.1. Bilateral X.1.1.1 Perjanjian Bilateral Tentang Promosi dan Perlindungan Penanaman Modal X.1.1. 2 Perjanian Tentang Pencegahan Pajak Berganda dan Penghindaran Pajak X.1.2. Multilateral. X.1.2.1 Perjanjian Tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing (New York Convention on Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards of 1958 X.1.2.2 Perjanjian Tentang Penyelesaian Sengketa Antara Negara dengan Subyek Hukum bukan Negara di Bidang Penanaman Modal (Convention on the Settlement of Investment Disputes between States and National of Other States of 1966 X.1.2.3 Perjanjian Pembentukan MIGA (Convention on Multilateral Investment Guaranteen Agency of 1985 X.1.2.4 Trade Related of Aspect of Investment (TRIMS) of the WTO Agreement of 1994 X.1.3. Regional X.1.3.1 Asean Comprehensive Invesment Agreement of 2009 X.1.3.2 Agreement on Establishing the ASEAN- Australia-New Zealand Free Trade Area : Investment Chapter X.1.3.3 Agreement on Investment of the Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation Between the ASEAN and the People’s Republic of China X.1.3.4 Agreement on Investment Under the Framework Agreement on Comprhensive Economic Cooperation Among The Goverments of the Member countries of the ASEAN and the Republic of Korea

423 423 423

X.2. Menurut Sifatnya X.2.1. Publik X.2.1.1 Jaminan dan Perlindungan Penanaman Modal X.2.1.2 Pencegahan Pajak Berganda dan Penghasilan Pajak X.2.2. Privat X.2.2.1 Energy Sales Contract/Power Purchase Agreement X.2.2.2. Joint Venture Agreement X.2.3. Kontrak Komersial Berdimensi Publik X.2.3.1 Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol X.2.3.2 Kontrak Karya Bidang Mineral dan Batubara X.2.3.3 Production Sharing Contract

430 430 430 430 430 430 430 431 431 432 433

X.3. Menurut Bidang/Obyeknya X.3.1. Perdagangan dan Investasi X.3.1.1 Perjanjian Kemitraan di Bidang Ekonomi (Economic Partnership Agreement) X.3.1.2 Perjanjian Bantuan Teknis (Technical Assistance Agreement ) X.3.2. Perbankan

435 435 435 435 435

424 425

425

426 426 427 427 427 428 429

429

X.3.2.1 Syndicated Loan Agreement X.3.2.2 Loan Agreement with Pledge of Shares X.3.3. Perpajakan X.3.4. Pertambangan X.3.4.1 Production Sharing Contract (Oil and Gas) X.3.4.2 Contract of Works (Energy and Mineral Resources) X.3.5. Ketenagakerjaan X.3.5.1 Perjanjian Kerja Bersama X.3.5.2 Perjanjian Alih Daya (Outsourcing) X.3.6. Bantuan Teknis

435 435 436 436 436 436 436 436 437 437

X.4.

437

Akibat Perjanjian/Kontrak Privat

xxxvii

BAB XI JAMINAN DAN PERLINDUNGAN PENANAMAN MODAL XI.1.

Jenis-Jenis Jaminan

441

XI.1.1. Jaminan atas Kebebasan Melakukan Transfer dan Repatriasi

441

XI.1.2. Jaminan Kebebasan Bertransaksi/Mengalihkan Aset yang Dimiliki

441

XI.1.3. Jaminan Atas Perlakuan yang Sama

441

XI.1.4. Jaminan Kepastian Hukum, Kepastian Berusaha dan Keamanan Berusaha

442

XI.1.5. Jaminan Pengadaan Tanah

442

XI.1.6. Jaminan atas Kerugian yang Mungkin Timbul

443

XI.1.6.1 Revenue Shortfall Guarantee

443

XI.1.6.2 Dana Penjamin Infrastruktur

443

XI.1.6.3 Surat Jaminan/Dukungan Pemerintah

445

XI.1.6.4 Alokasi Resiko (Risk Sharing)

445

XI.2.

Jenis-Jenis Perlindungan

445

XI.2.1.

Perlindungan Terhadap Nasionalisasi dan Pengambilalihan Hak Kepemilikan

446

XI.2.2.

Perlindungan atas Hak-Hak yang Diperoleh (Acquired Rights)

446

XI.2.3.

Perlindungan atas Resiko Non-Komersial

446

XI.2.4.

Perlindungan dan Penegakan atas Hak-Hak Kekayaan Intelektual

447

XI.2.5.

Perlindungan Hukum

447

XI.3.

Jangka Waktu Jaminan dan Perlindungan Penanaman Modal

448

BAB XII PENYELESAIAN SENGKETA PENANAMAN MODAL XII.1. Sumber Sengketa Penanaman Modal XII.1.1. Kebijakan dari Host-Country XII.1.2. Pelanggaran Kewajiban yang Dilakukan Host-Country XII.1.3. XII.1.4. XII.1.5. XII.1.6. XII.1.7.

Pelanggaran Kewajiban oleh Home Country Pelanggaran Kewajiban Counter-Part dari Host-Country Pelanggaran Kewajiban oleh Investor Pelanggaran oleh Masyarakat Lemahnya Penegakan Hukum

451 451 451 453 453 453 454 454

XII.2. XII.2.1 XII.2.2 XII.2.3

Jenis-Jenis Sengketa Penanaman Modal Sengketa Administratif Sengketa Hukum Sengketa Teknis

454 454 455 455

XII.3. XII.3.1. XII.3.2. XII.3.3. XII.3.4.

Para Pihak Dalam Sengketa Penanaman Modal Antar Negara Negara dengan Subyek Hukum Bukan Negara Subyek Hukum Bukan Negara Satu Sama Lain Investor dengan Masyarakat Setempat

455 455 455 456 456

XII.4. Sumber Hukum Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal XII.4.1. Hukum Internasional XII.4.2. Hukum Nasional

456 456 457

XII.5. Tata Cara Umum Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal XII.5.1. Penyelesaian melalui Proses Ajudikasi XII.5.1.1 Penyelesaian melalui Litigasi XII.5.1.2 Penyelesaian melalui Arbitrase XII.5.2. Penyelesaian melalui Proses Non-Ajudikasi XII.5.2.1 Penyelesaian melalui Proses Negosiasi XII.5.2.2 Penyelesaian melalui Proses Mediasi XII.5.2.3 Penyelesaian melalui Proses Konsiliasi XII.5.2.4 Penyelesaian melalui Proses Jasa Baik (Good Offices) XII.5.2.5 Penyelesaian melalui Proses Komisi Pencari Fakta (Commision of Inquiry) XII.5.2.6 Penyelesaian melalui Proses Board Rules XII.5.3. Penyelesaian melalui Proses Gabungan Ajudikasi dan Non-Ajudikasi XII.5.3.1 Court-Annexed Mediation XII.5.3.2 Mediation-Arnitration XII.5.3.3 Concilliation-Arbitration

458 458 458 458 458 458 458 459 459 459 460 460 460 460 460 461

XII.6.

Tata Cara Penyelesaian Sengketa Antar Negara Di Bidang Penanaman Modal

XII.6.1.

Penyelesaian melalui Jalur Diplomatik

XII.6.2. XII.6.3. XII.6.4.

Penyelesaian melalui Mahkamah Arbitrase Permanen Penyelesaian melalui Mahkamah Internasional Penyelesaian melalui Dispute Settlement Body dari WTO

XII.7. XII.7.1. XII.7.2. XII.7.3. XII.7.4.

Tata Cara Penyelesaian Sengketa Antara Negara Dengan Subyek Hukum Bukan Negara di Bidang Penanaman Modal Penyelesaian melalui ICSID Penyelesaian melalui MIGA Penyelesaian Secara Damai (Amicable) di Luar Pengadilan Penyelesaian melalui Pengadilan

XII.8. XII.8.1. XII.8.2. XII.8.3. XII.8.3.1 XII.8.3.2 XII.8.4. XII.8.5. XII.8.5.1

Tata Cara Penyelesaian Sengketa Antara Subyek Hukum Bukan Negara Satu Sama Lain di Bidang Penanaman Modal Penyelesaian Secara Damai (Amicable) secara Musyawarah (ADR) Penyelesaian melalui Arbitrase Internasional Penyelesaian melalui Arbitrase Nasional Pengertian Arbitrase Tata Cara Arbitrase Penyelesaian melalui Dispute Board Rules Penyelesaian melalui Lembaga Peradilan Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan. XII.8.5.2 Gugatan Perdata, yang pada tingkat pertama masuk kekuasaan pengadilan negeri, harus dimasukkan dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau oleh wakilnya menurut Pasal 123, kepada Ketua Pengadilan Negeri di daerah hukum siapa Tergugat bertempat diam atau tidak diketahui tempat diamnya, tempat tinggal sebetulnya. XII.8.5.3 Wewenang mengadili

XII.9.

461 461 461 461 462 462 463 464 464

464 464 465 465 465 465 466 466 466

466

467

XII.9.1. XII.9.2. XII.9.3.

Tata Cara Penyelesaian Sengketa Antara Investor Dengan Masyarakat Setempat Di Bidang Penanaman Modal Penyelesaian Secara Damai (Amicable), Secara Musyawarah (ADR) Penyelesaian Melalui Lembaga Arbitrase Ad-Hoc Penyelesaian melalui Lembaga Peradilan

468 468 468 468

XII.10. XII.10.1. XII.10.1.1 XII.10.1.2 XII.10.1.3 XII.10.2. XII.10.2.1

Penegakan Hukum Atas Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal Tata Cara Pelaksanaan Putusan Atas Putusan Lembaga Peradilan Atas Putusan Arbitrase Asing Atas Putusan Arbitrase Dalam Negeri Syarat-syarat Bagi Pelaksanaan Putusan Atas Putusan Lembaga Peradilan

469 469 469 471 471 472 472



xl

XII.10.2.2 Atas Putusan Arbitrase Asing XII.10.2.3 XII.10.3. XII.10.3.1 XII.10.3.2

Atas Putusan Arbitrase Nasional Pembatalan Putusan Putusan Lembaga Peradilan Putusan Arbitrase

473 474 474 474 475

DAFTAR PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG DIGUNAKAN DALAM IKHTISAR KETENTUAN BIDANG PENANAMAN MODAL

Undang-Undang

479

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

481

Peraturan Pemerintah

482

Peraturan Presiden

485

Keputusan Presiden

486

Instruksi Presiden

486

Peraturan Menteri

487

Keputusan Menteri

491

Peraturan Kepala BKPM

492

Peraturan Lain

493

Instrumen Internasional

494

xlii

ISTILAH DAN PENGERTIAN

I.1 1. Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007

MODAL Adalah aset dalam bentuk uang atau bentuk lain yang bukan uang yang dimiliki oleh penanam modal yang mempunyai nilai ekonomis.

tentang Penanaman Modal 2. Pasal 1 angka 7 Peraturan Presiden No. 76 Tahun 2007 tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal

I.1.1 1. Pasal 1 angka 9 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007

Modal dalam negeri

Adalah modal yang dimiliki oleh negara Republik Indonesia, perseorangan warga negara Indonesia, atau badan usaha yang berbentuk badan hukum atau tidak berbadan hukum.

2. Pasal 1 angka 9 Peraturan Presiden No. 76 Tahun 2007

I.1.2 1. Pasal 1 angka 8 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 2. Pasal 1 angka 8

Modal asing

Adalah modal yang dimiliki oleh negara asing, perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, badan hukum asing, dan/atau badan hukum Indonesia yang sebagian atau seluruh modalnya dimiliki oleh pihak asing.

Peraturan Presiden No. 76 Tahun 2007

3

I.2 1. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007

PENANAMAN MODAL Adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanam modal dalam negeri maupun penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia.

2. Pasal 1 angka 7 Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2008 tentang Pedoman Pemberian Insentif dan Pemberian Kemudahan Penanaman Modal di Daerah 3. �������������������� Pasal 1 angka 1 Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal; 4. Pasal 1 angka 1 Peraturan Presiden No. 76 Tahun 2007 5. Pasal 1 angka 8 Peraturan Menteri Perdagangan No. 45/M-DAG/PER/ 9/2009 tentang Angka Pengenal Importir (API) 6. Pasal 1 angka 1 Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal

4

Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2007 jo. No. 62 Tahun 2008

Adalah investasi berupa aktiva tetap berwujud termasuk tanah yang digunakan untuk kegiatan utama usaha, baik untuk penanaman modal baru maupun perluasan dari usaha yang telah ada.

tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di DaerahDaerah Tertentu

I.2.1 1. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007

Penanaman modal dalam negeri

Adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal dalam negeri dengan menggunakan modal dalam negeri.

2. Pasal 1 angka 2 Peraturan Presiden No. 76 Tahun 2007 3. Pasal 1 angka 9 Peraturan Menteri Perdagangan No. 45/M-DAG/PER/ 9/2009 4. Pasal 1 angka 3 Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

5

I.2.2

Penanaman modal asing

Adalah kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan penanam modal dalam negeri.

1. Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 2. Pasal 1 angka 2 Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009 3. Pasal 1 angka 3 Peraturan Presiden No. 76 Tahun 2007 4. Pasal 1 angka 10 Peraturan Menteri Perdagangan No. 45/M-DAG/PER/ 9/2009) 5. Pasal 1 angka 2 Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

I.3 1. Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007

PENANAM MODAL Adalah perseorangan atau badan usaha yang melakukan penanaman modal yang dapat berupa penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing.

2. Pasal 1 angka 8 Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2008 3. Pasal 1 angka 3 Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009 4. Pasal 1 angka 4 Peraturan Presiden No. 76 Tahun 2007 5. Pasal 1 angka 4 Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

6

I.3.1

Penanam modal dalam negeri

Adalah perseorangan warga negara Indonesia, badan usaha Indonesia, negara Republik Indonesia, atau daerah yang melakukan penanaman modal di wilayah negara Republik Indonesia.

1. Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 2. Pasal 1 angka 5 Peraturan Presiden No. 76 Tahun 2007

I.3.2

Penanam modal asing

Adalah perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, dan/atau pemerintah asing yang melakukan penanaman modal di wilayah negara Republik Indonesia.

1. Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 2. Pasal 1 angka 6 Peraturan Presiden No. 76 Tahun 2007

I.4

DIVESTASI Divestasi (saham) adalah jumlah saham asing yang harus ditawarkan untuk dijual kepada peserta Indonesia.

Pasal 1 angka 8, Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Minerba

I.5 1. Pasal 1 angka 5 Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang

PERIZINAN DAN NON-PERIZINAN Perizinan adalah segala bentuk persetujuan untuk rnelakukan penanaman modal yang dikeluarkan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang memiliki kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Penanaman Modal 2. Pasal 1 angka 6 Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

7

1. Pasal 1 angka 6 Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009

Non-perizinan adalah segala bentuk kemudahan pelayanan, fasilitas fiskal, dan informasi mengenai penanaman modal, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2. Pasal 1 angka 6 Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Jenis-jenis Perizinan dan Non-Perizinan I.5.1 1. Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 2. Pasal 1 angka 4 Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009

Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP)

Adalah kegiatan penyelenggaraan suatu perizinan dan non-perizinan yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan nonperizinan yang proses pengelolaannya dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya dokumen yang dilakukan dalam satu tempat.

3. Pasal 1 angka 5 Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

I.5.2

1. Pasal 1 angka 16 Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009 2. Pasal 1 angka 51 Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun

Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik (SPIPISE)

Adalah Sistem Elektronik pelayanan Perizinan dan Non-perizinan yang terintegrasi antara BKPM dengan Kementerian/Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) yang memiliki kewenangan perizinan dan non-perizinan, Perangkat Daerah Provinsi Bidang Penanaman Modal dan Perangkat Daerah Kabupaten/ Kota bidang Penanaman Modal DKPM.

2009

I.5.3 Pasal 1 angka 10 Peraturan Kepala BKPM

Pendaftaran Penanaman Modal

Adalah bentuk persetujuan awal Pemerintah sebagai dasar memulai rencana penanaman modal.

No. 12 Tahun 2009

8

I.5.4 Pasal 1 angka 8 Peraturan Kepala BKPM

Perluasan Penanaman Modal

Adalah penambahan kapasitas produksi melebihi kapasitas produksi yang telah diizinkan.

No. 12 Tahun 2009

I.5.5 Pasal 1 angka 12 Peraturan Kepala BKPM

Pendaftaran Perluasan Penanaman Modal

Adalah bentuk persetujuan awal Pemerintah sebagai dasar memulai rencana perluasan penanaman modal.

No. 12 Tahun 2009

I.5.6 Pasal 1 angka 14 Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Adalah izin untuk memulai kegiatan penanaman modal di bidang usaha yang dapat memperoleh fasllitas fiskal dan dalam pelaksanaan penanaman modalnya memerlukan fasilitas fiskal. I.5.7

Pasal 1 angka 16 Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

aturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

aturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Izin Prinsip Perubahan Penanaman Modal

Adalah izin untuk melakukan perubahan atas ketentuan yang telah ditetapkan dalam Izin Prinsip/lzin Prinsip Perluasan sebelumnya. I.5.9

Pasal 1 angka 22 Per-

Izin Prinsip Perluasan Penanaman Modal

Adalah izin untuk memulai rencana perluasan penanaman modal di bidang usaha yang dapat memperoleh fasilitas fiskal dan dalam pelaksanaan penanaman modalnya memerlukan fasilitas fiskal. I.5.8

Pasal 1 angka 18 Per-

Izin Prinsip Penanaman Modal

Izin Usaha

Adalah izin yang wajib dimiliki perusahaan untuk melaksanakan kegiatan produksi/operasi komersial baik produksi barang maupun jasa sebagai pelaksanaan atas Pendaftaran/Izin Prinsip/Persetujuan penanaman modalnya, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan sektoral.

9

I.5.10 Izin Usaha Perluasan Pasal 1 angka 24 Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Adalah izin yang wajib dimiliki oleh perusahaan untuk melaksanakan kegiatan produksi/operasi komersial atas penambahan kapasitas produksi melebihi kapasitas produksi yang telah diizinkan, sebagai pelaksanaan atas Izin Prinsip Perluasan/Persetujuan Perluasan, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan sektoral. I.5.11 Izin Usaha Penggabungan Perusahaan Penanaman Modal (Merger)

Pasal 1 angka 26 Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Adalah izin yang wajib dimiliki oleh perusahaan yang meneruskan kegiatan usaha (surviving company) setelah terjadinya merger, untuk melaksanakan kegiatan produksi/ operasi komersial perusahaan merger. I.5.12 Izin Usaha Perubahan

Pasal 1 angka 29 Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Adalah izin yang wajib dimiliki oleh perusahaan untuk melakukan perubahan ketentuan yang telah ditetapkan dalam Izin Usaha/Izin Usaha Perluasan sebelumnya sebagai akibat dari perubahan yang terjadi dalam pelaksanaan kegiatan penanaman modal. I.5.13 Angka Pengenal Impor (API)

Pasal 1 angka 2 Peraturan Men-

Angka Pengenal Impor selanjutnya disingkat API adalah tanda pengenal sebagai importir

teri Perdagangan No. 45/M-DAG/ PER/9/2009 tentang Angka Pengenal Importir (API)

I.5.13.1 Angka Pengenal Importir Produsen (API-P) Pasal 3 ayat 3 Peraturan Menteri Perdagangan No. 45/M-DAG/ PER/9/2009

Adalah tanda pengenal yang diberikan kepada importir yang melakukan impor barang untuk dipergunakan sendiri dan/ atau untuk mendukung proses produksi dan tidak diperbolehkan untuk memperdagangkan atau memindahtangankan kepada pihak lain.

10

Pasal 1 angka 3 Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Adalah angka pengenal yang dipergunakan sebagai izin untuk memasukkan (impor) mesin/peralatan dan barang dan bahan untuk dipergunakan sendiri dalam proses produksi perusahaan penanaman modal yang bersangkutan. I.5.13.2 Angka Pengenal Importir Umum (API-U)

Pasal 3 ayat 2 Peraturan Menteri Perdagangan No. 45/M-DAG/ PER/9/2009

Adalah tanda pengenal yang diberikan kepada importir yang melakukan impor barang untuk keperluan kegiatan usaha dengan memperdagangkan atau memindahtangankan barang kepada pihak lain. I.5.14 Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA)

Pasal 1 angka 37 Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Adalah pengesahan rencana jumlah, jabatan dan lama penggunaan tenaga kerja asing yang diperlukan sebagai dasar untuk persetujuan pemasukan tenaga kerja asing dan penerbitan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA). I.5.15 Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA)

Pasal 1 angka 39 Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Adalah izin bagi perusahaan untuk mempekerjakan tenaga kerja warga negara asing dalam jumlah, jabatan dan periode tertentu.

I.5.16 Hak Atas Tanah Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996

Adalah hak sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah

11

I.5.17 Hak Guna Usaha Adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam Pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan.

Pasal 28 ayat 1 UndangUndang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokokpokok Agraria

I.5.18 Hak Guna Bangunan Adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) tahun.

Pasal 35 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

I.5.19 Hak Pakai Adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-Undang ini.

Pasal 41 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960

I.6 Pasal 1 angka 5 & 6 Peraturan Presiden No. 13 Tahun 2010 tentang Peruba-

KERJASAMA PEMERINTAH DAN SWASTA Proyek Kerjasama adalah Penyediaan Infrastruktur yang dilakukan melalui Perjanjian Kerjasama atau pemberian Izin Pengusahaan antara Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah dengan Badan Usaha.

han Atas Peraturan Presiden Nomor 67 Tahun 2005 Tentang Kerjasama Pemerintah Dengan

Perjanjian Kerjasama adalah kesepakatan tertulis untuk Penyediaan Infrastruktur antara Menteri/ Kepala Lembaga/ Kepala Daerah dengan Badan Usaha yang ditetapkan melalui pelelangan umum.

Badan Usaha Dalam Penyediaan Infrastruktur

12

I.7

OTONOMI DAERAH Adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

1. Pasal 1 angka 11 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 2. Pasal 1 angka 5 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 jo. No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintah- an Daerah

I.8

PEMERINTAH I.8.1 Pemerintah

1. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 jo. No. 12 Tahun 2008

Adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2. Pasal 1 angka 12 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 3. Pasal 1 angka 13 Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009 4. Pasal 1 angka 48 Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

13

I.8.2 Pemerintah Daerah Adalah Gubernur, Bupati atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

1. Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 jo. No. 12 Tahun 2008 2. Pasal 1 angka 13 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 3. Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2008 4. Pasal 1 angka 14 Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009 5. Pasal 1 angka 49 Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

I.9

KOORDINASI PENANAMAN MODAL 1.9.1

Pasal 1 angka 15 Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009

Pasal 1 angka 50 Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Badan Koordinasi Penanaman Modal

Adalah Lembaga Pemerintah Non Departemen yang bertanggung jawab di bidang Penanaman Modal, yang dipimpin oleh seorang kepala yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden. Adalah Lembaga Pemerintah Non Departemen yang bertanggung jawab di bidang penanaman modal, yang dipimpin oleh seorang kepala yang berada di bawah dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

14

I.9.2

Perangkat Daerah Provinsi Bidang Penanaman Modal (PDPPM)

Adalah unsur pembantu kepala daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi, dengan bentuk sesuai dengan kebutuhan masingmasing pemerintah provinsi, yang menyelenggarakan fungsi utama koordinasi di bidang Penanaman Modal di pemerintah provinsi.

1. Pasal 1 angka 7 Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009 2. Pasal 1 angka 42 Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

I.9.3

Perangkat Daerah Kabupaten/Kota Bidang Penanaman Modal (PDKPM)

Adalah unsur pembantu kepala daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/ kota, dengan bentuk sesuai dengan kebutuhan masing-masing pemerintah kabupaten/ kota, yang menyelenggarakan fungsi utama koordinasi di bidang Penanaman Modal di pemerintah kabupaten/kota.

1. Pasal 1 angka 8 Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009 2. Pasal 1 angka 43 Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

I.10 1.Pasal 1 angka 9 Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009

PENDELEGASIAN WEWENANG Adalah penyerahan tugas, hak, kewajiban, dan pertanggungjawaban perizinan dan nonperizinan, termasuk penandatanganannya atas nama pemberi wewenang, oleh:

2. Pasal 1 angka 44 Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

a. Menteri Teknis/Kepala LPND kepada Kepala BKPM sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal; b. Gubernur kepada Kepala PDPPM; c. Bupati/Walikota kepada KepaIa PDKPM, yang ditetapkan dengan uraian yang jelas.

15

I.11

PELIMPAHAN WEWENANG Adalah penyerahan tugas, hak, kewajiban, dan pertanggungjawaban perizinan dan non-perizinan, termasuk penandatanganannya atas nama penerima wewenang, oleh:

1. Pasal 1 angka 10 Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009 2. Pasal 1 angka 45

a. Menteri Teknis/Kepala LPND kepada Kepala BKPM sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (2) UndangUndang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, atau b. Kepala BKPM kepada gubernur sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (8) Undang- Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal,yang ditetapkan dengan uraian yang jelas.

Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

I.12

Adalah penyerahan tugas, hak, wewenang, kewajiban, dan pertanggungjawaban, termasuk penandatanganannya atas nama penerima wewenang, dari Kepala BKPM kepada pemerintah kabupaten/ kota untuk melaksanakan urusan pemerintahan di bidang penanaman modal yang menjadi kewenangan Pemerintah berdasarkan hak substitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (8) Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yang ditetapkan dengan uraian yang jelas.

1. Pasal 1 angka 11 Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009 2. Pasal 1 angka 46 Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

I.13 1. Pasal 1 angka 12 Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009 2. Pasal 1 angka 47 Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

PENUGASAN

PENGHUBUNG Adalah pejabat pada kementerian/LPND, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota yang ditunjuk untuk membantu penyelesaian perizinan dan non-perizinan, memberi informasi, fasilitasi, dan kemudahan di bidang penanaman modal yang menjadi kewenangan Menteri Teknis/Kepala LPND, gubernur atau bupati/walikota dengan uraian tugas, hak, wewenang, kewajiban, dan pertanggungjawaban yang jelas.

16

I.14

PENGENDALIAN Adalah kegiatan untuk melakukan pemantauan, pembinaan dan pengawasan agar pelaksanaan kegiatan penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 1 angka 3, Peraturan Kepala BKPM No. 13 Tahun 2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Kepala BKPM No. 7 Tahun 2010

I.15

PEMANTAUAN Adalah kegiatan yang dilakukan untuk memantau perkembangan pelaksanaan kegiatan penanaman modal yang telah mendapat penanaman modal dan/atau izin prinsip penanaman modal dan/ atau surat persetujuan penanaman modal dan/ atau izin usaha dan melakukan evaluasi atas pelaksanaannya.

Pasal 1 angka 4, Peraturan Kepala BKPM No. 13 Tahun 2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Kepala BKPM No. 7 Tahun 2010

I.16

PEMBINAAN Adalah kegiatan bimbingan kepada penanam modal untuk merealisasikan penanaman modalnya dan fasilitas penyelesaian masalah/hambatan atas pelaksanaan kegiatan penanaman modal

Pasal 1 angka 5, Peraturan Kepala BKPM No. 13 Tahun 2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Kepala BKPM No. 7 Tahun 2010

I.17 Pasal 1 angka 6, Peraturan Kepala BKPM No. 13 Tahun 2009 sebagaimana telah diubah dengan Per-

PENGAWASAN Adalah upaya atau kegiatan yang dilakukan guna mencegah dan mengurangi terjadinya penyimpangan atas pelaksanaan penanaman modal serta pengenaan sanksi terhadap pelanggaran/penyimpangan atas ketentuan peraturan perundang-undangan.

aturan Kepala BKPM No. 7 Tahun 2010

17

I.18 Pasal 1 angka 40 Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009 Pasal 1 angka 16 Peraturan Kepala BKPM No. 13 Tahun 2009 jo. No. 7 Tahun 2010

LAPORAN KEGIATAN PENANAMAN MODAL (LKPM) Adalah laporan berkala mengenai perkembangan kegiatan perusahaan dan kendala yang dihadapi penanam modal. Adalah laporan secara berkala mengenai perkembangan kegiatan perusahaan dan kendala yang dihadapi penanam modal dalam bentuk dan tata cara sebagaimana diatur dalam Peraturan ini.

18

ASAS DAN TUJUAN

II.1

ASAS II.1.1

Pasal 3 Ayat {1} huruf a, UndangUndang No. 25 Tahun 2007

Kepastian Hukum

Asas kepastian hukum adalah asas dalam negara hukum yang meletakkan hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai dasar dalam setiap kebijakan dan tindakan dalam bidang penanaman modal. II.1.2 Keterbukaan

Pasal 3 Ayat {1} huruf b, UndangUndang No. 25 Tahun 2007

Asas keterbukaan adalah asas yang terbuka terhadap hak masyarakat untuk memperoleh informasi yang benar, jujur, dan tidak diskriminatif tentang kegiatan penanaman modal.

Pasal 2 ayat (3), Undang-Undang No. 14 Tahun 2008

Setiap Informasi Publik harus dapat diperoleh setiap Pemohon Informasi Publik dengan cepat dan tepat waktu, biaya ringan, dan cara sederhana. II.1.3 Akuntabilitas

Pasal 3 Ayat {1} huruf c, UndangUndang No. 25 Tahun 2007

Asas akuntabilitas adalah asas yang menentukan bahwa setiap kegiatan dan hasil akhir dari penyelenggaraan penananam modal harus dipertanggungjawabkan kepada masyarakat atau rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. II.1.4

Pasal 3 Ayat {1} huruf d, UndangUndang No. 25 Tahun 2007

Perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara

Asas perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara adalah asas perlakuan pelayanan non diskriminasi berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan, baik antara penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing maupun antara penanam modal dari satu negara asing dan penanam modal dari negara asing lainnya. II.1.5 Kebersamaan

Pasal 3 Ayat {1} huruf e, UndangUndang No. 25 Tahun 2007

Asas kebersamaan adalah asas yang mendorong peran seluruh penanam modal secara bersamasama dalam kegiatan usahanya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.

21

II.1.6 Pasal 3 Ayat {1} huruf f, UndangUndang No. 25 Tahun 2007

Efisiensi Berkeadilan

Asas efisiensi berkeadilan adalah asas yang mendasari pelaksanaan penanaman modal dengan mengedepankan efisiensi berkeadilan dalam usaha untuk mewujudkan iklim usaha yang adil, kondusif, dan berdaya saing. II.1.7 Berkelanjutan

Pasal 3 Ayat {1} huruf f, UndangUndang No. 25 Tahun 2007

Asas berkelanjutan adalah asas yang secara terencana mengupayakan berjalannya proses pembangunan melalui penanaman modal untuk menjamin kesejahteraan dan kemajuan dalam segala aspek kehidupan, baik untuk masa kini maupun yang akan datang.

Pasal 1 angka 3, Undang-Undang No. 32 Tahun 2009

Asas berkelanjutan juga dapat ditemui dalam Undang-Undang mengenai Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menekankan bahwa pembangunan berkelanjutan adalah upaya sadar dan terencana yang memadukan aspek lingkungan hidup, sosial, dan ekonomi ke dalam strategi pembangunan untuk menjamin keutuhan lingkungan hidup serta keselamatan, kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa depan. II.1.8

Berwawasan lingkungan

Pasal 3 Ayat {1} huruf f, UndangUndang No. 25 Tahun 2007

Asas berwawasan lingkungan adalah asas penanaman modal yang dilakukan dengan tetap memerhatikan dan mengutamakan perlindungan dan pemeliharaan lingkungan hidup.

Pasal 45 huruf b Undang-Undang No. 32 Tahun 2009

Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia serta pemerintah daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah wajib mengalokasikan anggaran yang memadai untuk membiayai: program pembangunan yang berwawasan lingkungan hidup. II.1.9 Kemandirian

Pasal 3 Ayat {1} huruf i, UndangUndang No. 25 Tahun 2007

Asas kemandirian adalah asas penanaman modal yang dilakukan dengan tetap mengedepankan potensi bangsa dan negara dengan tidak menutup diri pada masuknya modal asing demi terwujudnya pertumbuhan ekonomi.

22

II.1.10

Kesatuan

kesatuan ekonomi nasional. II.2

TUJUAN PENYELENGGARAAN PENANAMAN MODAL II.2.1

Meningkatkan Pertumbuhan Ekonomi Nasional

Salah satu kebijakan pemerintah khususnya dibidang penanaman modal yang ditujukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional adalah ditetapkan dan dikembangkannya kawasan ekonomi khusus yang dimaksudkan untuk pengembangan ekonomi di wilayah tertentu yang bersifat strategis bagi pengembangan ekonomi nasional dan untuk menjaga keseimbangan kemajuan suatu daerah. Dalam hal ini, pemerintah berwenang menetapkan kebijakan penanaman modal tersendiri. II.2.2

Pasal 10, UndangUndang No. 25 Tahun 2007

dan

Asas keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional adalah asas yang berupaya menjaga keseimbangan kemajuan ekonomi wilayah dalam

Pasal 3 Ayat {1} huruf j, UndangUndang No. 25 Tahun 2007

Pasal 13 UndangUndang No. 25 Tahun 2007

Keseimbangan Kemajuan Ekonomi Nasional

Menciptakan Lapangan Kerja

Tujuan ini tercermin pada salah satu ketetapan yang mengharuskan perusahaan penanaman modal dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja mengutamakan tenaga kerja warga negara Indonesia dan diwajibkan meningkatkan kompetensi tenaga kerja warga negara Indonesia melalui pelatihan kerja serta mewajibkan bagi perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja asing untuk menyelenggarakan pelatihan dan melakukan alih teknologi kepada tenaga kerja warga negara Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. II.2.3

Meningkatkan Pembangunan Ekonomi

Berkelanjutan Pasal 15 huruf b, Undang-Undang No. 25 Tahun 2007

Kebijakan yang terkait secara langsung dengan konsep pembangunan ekonomi berkelanjutan antara lain tercermin dalam ketetapan yang mewajibkan penanam modal untuk melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR).

23

Pasal 16 huruf b, c, dan d, Undang-Undang No. 25 Tahun 2007

Kebijakan lain yang juga terkait hal ini adalah mengenai tanggung jawab penanam modal untuk menanggung dan menyelesaikan segala kewajiban dan kerugian jika penanam modal menghentikan atau meninggalkan atau menelantarkan kegiatan usahanya secara sepihak, ikut serta untuk menciptakan iklim usaha persaingan yang sehat, mencegah praktik monopoli, serta menjaga kelestarian lingkungan hidup II.2.4

Paragraph 10 Penjelasan Undang-Undang No. 25 Tahun 2007

Meningkatkan Kemampuan Daya Saing Dunia Usaha Nasional

Hal ini sejalan dengan upaya untuk mendorong perekonomian Indonesia menuju perekonomian global serta untuk mengantisipasi berbagai konsekuensi yang harus dihadapi terkait keikutsertaan Indonesia dalam berbagai kerja sama internasional yang terkait dengan penanaman modal, baik secara bilateral, regional maupun multilateral (World Trade Organization/WTO). II.2.5

Pasal 10 ayat (4), Undang-Undang No. 25 Tahun 2007

Meningkatkan Kapasitas dan Kemampuan Teknologi Nasional

Tujuan ini tercermin secara kongkrit dalam rumusan kebijakan di bidang penanaman modal, khususnya mengenai kewajiban perusahaan penanaman modal yang mempekerjakan tenaga kerja asing untuk menyelenggarakan pelatihan dan melakukan alih teknologi kepada tenaga kerja warga negara Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. II.2.6

Pasal 13 UndangUndang No. 25 Tahun 2007

Mendorong Pengembangan Ekonomi Kerakyatan

Tujuan ini tercermin pada kebijakan yang memberikan perlindungan terhadap pelaku usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, dimana pemerintah diwajibkan menetapkan bidang usaha yang dicadangkan untuk usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi serta bidang usaha yang terbuka untuk usaha besar dengan syarat harus bekerja sama dengan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi. Di samping itu, pemerintah diwajibkan pula untuk melakukan pembinaan dan pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi melalui program

24

kemitraan, peningkatan daya saing, pemberian dorongan inovasi dan perluasan pasar, serta penyebaran informasi yang seluas-luasnya.

Konsiderans menimbang huruf c, Undang-Undang No. 25 Tahun 2007

II.2.7

Mengolah ekonomi potensial menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan dana yang



berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri Hal ini tercermin pada konsideran menimbang yang menyebutkan bahwa untuk mempercepat pembangunan ekonomi nasional dan mewujudkan kedaulatan politik dan ekonomi Indonesia diperlukan peningkatan penanaman modal untuk mengolah potensi ekonomi menjadi kekuatan ekonomi riil dengan menggunakan modal yang berasal, baik dari dalam negeri maupun dari luar negeri

II.2.8

Meningkatkan Kesejahteraan Masyarakat

Tujuan ini tercermin dalam Pasal 33 ayat (3) UndangUndang Dasar 1945 yang menyebutkan bahwa Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesarbesarnya kemakmuran rakyat.

25

26

KEBIJAKAN UMUM PENANAMAN MODAL

27

III.1

KEBIJAKAN DASAR PENANAMAN MODAL a.

Pasal 4 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3), Undang-Undang No. 25 Tahun 2007

Pemerintah menetapkan penanaman modal untuk:

kebijakan

dasar

1.   Mendorong terciptanya iklim usaha nasional yang kondusif bagi penanaman modal untuk penguatan daya saing perekonomian nasional; dan 2. Mempercepat peningkatan penanaman modal. b. Dalam menetapkan kebijakan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah: 1.   Memberi perlakuan yang sama bagi penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional; 2. Menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha, dan keamanan berusaha bagi penanam modal sejak proses pengurusan perizinan sampai dengan berakhirnya kegiatan penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan 3.   Membuka kesempatan bagi perkembangan dan memberikan perlindungan kepada usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi. c.     

III.2 Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2007 tentang Percepatan Pengembang-an Sektor Riil dan Pember- dayaan UKM

Kebijakan dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diwujudkan dalam bentuk Rencana Umum Penanaman Modal.

PENINGKATAN IKLIM INVESTASI DAN IKLIM USAHA III.2.1

Memperkuat Kelembagaan Pelayanan Investasi

III.2.1.1 Penyusunan peraturan perundang- undangan yang terkait dengan Penanaman Modal:

29

Undang-Undang No. 25 Tahun 2007

a.

Undang-Undang tentang Penanaman Modal

Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009

b.

Peraturan Presiden tentang Tata Cara Pelaksanaan dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu

Peraturan Presiden No. 76 Tahun 2007

c.

Peraturan Presiden tentang persyaratan bidang usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan sebagai dasar penetapan daftar bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan

Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2010

d.

Peraturan Presiden tentang daftar bidang usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan

Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/ Kota

e.

Peraturan Pemerintah tentang pembagian kewenangan antara pusat dan daerah

Peraturan Presiden No. 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional

f.

Menyusun Kebijakan Industri Nasional

g.

Menyusun Kebijakan Umum Penanaman Modal

Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2007 jo. Peraturan Pemerintah No. 62 Tahun 2008 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/ atau Daerah-daerah Tertentu

h.

Merumuskan pemberian fasilitas fiskal bagi Penanam Modal dengan kriteria tertentu dalam bentuk keringanan beberapa pajak dan bea masuk

Undang-Undang No. 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus

i.

Merumuskan Kebijakan Penanaman pada Kawasan Ekonomi Khusus.

30

Modal

1. Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba menggantikan Peraturan Pemerintah No.16 Tahun 1997

j. 

Mengubah Ketentuan tentang Waralaba

2. Peraturan Menteri Perdagangan No. 31 Tahun 2008 tentang Penyelengga-raan Waralaba

III.2.1.2

Percepatan Pendirian Perusahaan dan Izin Usaha

Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009

a. 

Penyederhanaan prosedur

Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009

b.

Mengubah proses berurutan menjadi paralel

Pasal 6, Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri No. 69 Tahun 2009, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. M.HH-08. AH.01.01. 2009, Menteri Perdagangan No. 60/M-DAG/ PER/12/ 2009, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Per.30/MEN/ XII/ 2009, dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No. 10 Tahun 2009 tentang Percepatan Pelayanan Perizinan dan Nonperizinan untuk Memulai Usaha

c.

Menetapkan waktu maksimum selama 17 hari untuk memperoleh ijin memulai usaha, dengan uraian sebagai berikut : - pemakaian nama perusahaan dan pengesahan sta¬tus badan hukum, pendaftaran dan pengumuman perseroan terbatas dalam Berita Negara, seluruhnya paling lama 8 (delapan) hari kerja; - Penerbitan NPWP dan NPPKP di Ditjen Pajak paling lama 1 (hari) kerja; - penerbitan SIUP dan TDP di Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dilakukan secara simultan paling lambat 3 (tiga) hari kerja; dan - penerbitan surat keterangan pelaporan ketenagakerjaan diperusahaan oleh Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, dan sertifikasi kepesertaan Jaminan Sosial Tenaga Kerja paling lama 5 (lima) hari kerja.

31

1. Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2006

III.2.1.3

Peningkatan ekspor dan investasi

2. Keputusan Presiden No. 87 Tahun 2003 tentang Tim Nasional Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi sebagaimana Diubah dengan Keputusan Presiden No. 8 Tahun 2008 3. Keputusan Menko Perekonomian tentang Pembentukan Pokja PEPI

III.2.1.4 Peningkatan Pelayanan Perizinan Investasi Secara On-line: Peraturan Kepala BKPM No. 14 Tahun 2009

a.

c. 

secara on-line di Batam Mensosialisaikan sistem pelayanan informasi dan perizinan investasi secara on-line Mengoperasikan sistem pelayanan informasi dan perizinan investasi on-line secara nasional.

d. e. 

1.Peraturan Pemerintah 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelengga-raan Pemerintahan Daerah

dan

Bentuk tim mengenai pengembangan sistem pelayanan informasi dan perizinan investasi secara on-line Menyusun program aplikasi sistem pelayanan informasi dan perizinan investasi secara on-line Mengoperasikan pilot project penerapan sistem pelayanan informasi dan perizinan investasi

b.

III.2.2

Informasi

Sinkronisasi Peraturan Pusat dan Daerah

Peninjauan perda-perda yang menghambat investasi. Terhadap Peraturan Daerah yang dianggap menghambat investasi dan menciptakan ekonomi biaya tinggi (high-cost economy), maka dapat ditinjau dan/ atau dicabut.

32

2. Peraturan Mendagri dan No. 53 Tahun 2007 tentang Pembatalan Perda dan Peraturan Kepala Daerah Konsiderans Menimbang, Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Wewenang Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten / Kota Pasal 1 angka 5, Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007

a.   Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah/Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota diperlukan untuk melaksanakan ketentuan Pasal 14 ayat (3) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Pasal 30 ayat (9) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. b. 

Urusan Pemerintahan adalah fungsi-fungsi pemerintahan yang menjadi hak dan kewajiban setiap tingkatan dan/atau susunan pemerintahan untuk mengatur dan mengurus fungsi-fungsi tersebut yang menjadi kewenangannya dalam rangka melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat.

Pasal 2 ayat (1), Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007

c.  

Urusan Pemerintahan terdiri atas urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan.

Pasal 2 ayat (2), Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007

d.

Urusan Pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah meliputi: politik luar negeri; pertahanan; keamanan; yustisi; moneter dan fiskal; serta agama

Pasal 2 ayat (3) dan (4), Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007

e.

Urusan pemerintahan yang dibagi bersama antar tingkatan dan/atau susunan pemerintahan adalah semua urusan pemerintahan di luar urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah. Urusan pemerintahan yang dapat dibagi tersebut terdiri dari 31 (tiga puluh satu) bidang urusan pemerintahan.

33

f.

Lampiran P, Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007

Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Penanaman Modal terdiri dari 2 (dua) Sub-Bidang, yaitu SubBidang Kebijakan Penanaman Modal dan Sub-Bidang Pelaksanaan Kebijakan Penanaman Modal. SubBidang Pelaksanaan Kebijakan Penanaman Modal terdiri dari Sub-sub Bidang: Kerjasama Penanaman Modal; Promosi Penanaman Modal; Pelayanan Penanaman Modal; Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal; Pengelolaan Data dan Sistem Informasi Penanaman Modal; Penyebarluasan, Pendidikan dan Pelatihan Penanaman Modal.

III.3 Pasal 12, UU No.25 Tahun 2007.

PENGEMBANGAN BIDANG USAHA III.3.1 Pada prinsipnya, semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan. Kriteria dan persyaratan bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan serta daftar bidang usaha yang tertutup dan yang terbuka dengan persyaratan masing-masing akan diatur dengan Peraturan Presiden. Pemerintah menetapkan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan berdasarkan kriteria kepentingan nasional, yaitu perlindungan sumber daya alam, perlindungan, pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, pengawasan produksi dan distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi modal dalam negeri, serta kerja sama dengan badan usaha yang ditunjuk Pemerintah. III.3.2 Peraturan-peraturan terkait lainnya pengembangan bidang usaha, antara lain adalah:

34

tentang

a. 

b.

III.4

Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2010 tentang Bidang-bidang Usaha Yang Tertutup dan Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal. Peraturan Presiden No. 76 Tahun 2007 tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal

PEMBATASAN III.4.1 Pembatasan

Pasal 12 ayat (2) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007

III.4.1.1 Pembatasan Bidang Usaha yang Tertutup bagi penanam modal asing adalah: a.   Produksi senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang; b.   Bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan Undang-Undang.

Pasal 12 ayat (3) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007

Pemerintah berdasarkan Peraturan Presiden menetapkan bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal, baik asing maupun dalam negeri, dengan berdasarkan kriteria kesehatan, moral, kebudayaan, lingkungan hidup, pertanahan dan keamanan nasional, serta kepentingan nasional lainnya.

Pasal 8-10 Peraturan Presiden No. 76 Tahun 2007

Ketentuan serupa namun lebih rinci tentang Kriteria Bidang Usaha yang Tertutup terdapat pada Bab V Pasal 8-10, Peraturan Presiden No. 76 Tahun 2007 tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal

1.Pasal 13 ayat (5) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 2. Kriteria yang sama tentang Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan terdapat pada Bab VI dan Bab VII, pasal 11-12, Peraturan Presiden No. 76 Tahun 2007 3. Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2010

Pemerintah menetapkan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan berdasarkan kriteria kepentingan nasional, yaitu perlindungan sumber daya alam, perlindungan, pengembangan usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi, pengawasan produksi dan distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi modal dalam negeri, serta kerjasama dengan badan usaha yang ditunjuk oleh Pemerintah.

35

III.4.1.2

Pembatasan Kepemilikan Saham Asing

Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2010

Kepemilikan saham asing bervariasi antara 49% sampai dengan 100%, tergantung kepada Bidang Usaha, Sektor maupun Lokasinya.

Pasal 5 Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2010

Dalam hal terjadi perubahan kepemilikan modal akibat penggabungan, pengambilalihan, atau peleburan dalam perusahaan penanaman modal yang bergerak di bidang usaha yang sama, berlaku ketentuan sebagai berikut: a.   Batasan kepemilikan modal penanam modal asing dalam perusahaan penanaman modal yang menerima penggabungan adalah sebagaimana yang tercantum dalam surat persetujuan perusahaan tersebut. b.  Batasan kepemilikan modal penanam modal asing dalam perusahaan penanaman modal yang mengambil alih adalah sebagaimana tercantum dalam surat persetujuan perusahaan tersebut. c.   Batasan kepemilikan modal penanam modal asing dalam perusahaan baru hasil peleburan adalah sebagaimana ketentuan yang berlaku pada saat terbentuknya perusahaan baru hasil peleburan dimaksud. III.4.1.3

Pasal 97 ayat (1) s.d Ayat (6), Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba

Kewajiban Divestasi

a.     Modal asing pemegang IUP dan IUPK setelah 5 (lima) tahun sejak berproduksi wajib melakukan divestasi sahamnya, sehingga sahamnya paling sedikit 20% (dua puluh persen) dimiliki peserta Indonesia.

b.    Divestasi saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara langsung kepada peserta Indonesia yang terdiri atas Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau pemerintah daerah kabupaten/kota, BUMN, BUMD, atau badan usaha swasta nasional. c.     Dalam hal Pemerintah tidak bersedia membeli saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ditawarkan kepada pemerintah daerah provinsi atau pemerintah daerah kabupaten/kota.

36

d.   

Apabila pemerintah daerah provinsi atau pemerintah daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak bersedia membeli saham, ditawarkan kepada BUMN dan BUMD dilaksanakan dengan cara lelang.

e.     Apabila BUMN dan BUMD sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak bersedia membeli saham, ditawarkan kepada badan usaha swasta nasional dilaksanakan dengan cara lelang. f.     Penawaran saham sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 90 (sembilan puluh) hari kalender sejak 5 (lima) Tahun dikeluarkannya izin Operasi Produksi tahap penambangan. III.5

MENDORONG PARTISIPASI USAHA MIKRO, KECIL, MENENGAH DAN KOPERASI

Pasal 13 ayat (1) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007

Pemerintah wajib menetapkan bidang usaha yang dicadangkan untuk usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi serta bidang usaha yang terbuka untuk usaha besar dengan syarat harus bekerjasama dengan usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi.

Pasal 13 ayat (2) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007

Pemerintah melakukan pembinaan dan pengembangan usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi melalui program kemitraan, peningkatan daya saing, pemberian dorongan inovasi dan perluasan pasar, serta penyebaran informasi yang seluas-luasnya. Peraturan-peraturan terkait lainnya yang mendorong Usaha Mikro, Kecil, Menengah dan Koperasi, antara lain: a.     Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah; b. Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di bidang Penanaman Modal. c. Instruksi Presiden No. 10 Tahun 1999 tentang Pemberdayaan Usaha Menengah;

37

d.

Peraturan Menteri Keuangan No. 12/ PMK.06/2005 tentang Pendanaan Kredit Usaha Mikro dan Kecil; e.     Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan; f.  Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2010; g.   Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2007, terkait Akses Pembiayaan terhadap UMKM dan Koperasi; h. Aturan tentang KUR; i.  Aturan tentang Akses Pasar III.6.

MEMBERIKAN JAMINAN PENANAMAN MODAL III.6.1 Jaminan Sama dan Adil

Untuk

DAN

PERLINDUNGAN

Memperoleh Perlakuan yang

Pasal 4 ayat (2), huruf a, terkait Dengan Kebijakan Dasar Penanaman Modal, UndangUndang No. 25 Tahun 2007

III.6.1.1 Pemerintah memberi perlakuan yang sama bagi penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional.

Pasal ayat (1), Undang-Undang No. 25 Tahun 2007.

III.6.1.2 Pemerintah memberikan perlakuan yang sama kepada semua penanam modal yang berasal dari negara manapun yang melakukan kegiatan penanaman modal di Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. III.6.1.3 Peraturan lain yang terkait dengan jaminan perlakuan yang sama: a. Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tentang Ratifikasi WTO Agreement; b.   Perjanjian Bilateral di Bidang Promosi dan Perlindungan Penanaman Modal yang Sudah Diratifikasi Indonesia. III.6.2 Jaminan Untuk Melakukan Transfer dan Repatriasi dalam Valuta Asing

Pasal 8 ayat (3), Undang-Undang No. 25 Tahun 2007

Penanam Modal diberi hak untuk melakukan transfer dan repatriasi dalam valuta asing, antara lain terhadap: a. Modal; b. Keuntungan, bunga pendapatan lain;

38

bank,

deviden,

dan

c.

Dana yang diperlukan untuk:

1. Pembelian bahan baku dan penolong, barang setengah jadi, atau barang jadi, atau; 2. Penggantian barang modal dalam rangka melindungi kelangsungan hidup penanaman modal. d. Tambahan dana yang diperlukan bagi pembiayaan penanaman modal; e. Dana untuk pembayaran kembali pinjaman (funds for repayment of loans); f. Royalti atau biaya yang harus dibayar; g. Pendapatan dari perseorangan warganegara asing yang bekerja dalam perusahaan penanaman modal h. Hasil penjualan atau likuidasi penanaman modal; i. Kompensasi atas kerugian; j. Kompensasi atas pengambilalihan; k.     Pembayaran yang dilakukan dalam rangka bantuan teknis, biaya yang harus dibayar untuk jasa teknis dan manajemen, pembayaran yang dilakukan di bawah kontrak proyek, dan pembayaran hak atas kekayaan intelektual; dan l. Hasil penjualan aset. III.6.3 Jaminan untuk Tidak Nasionalisasi, Ekspropriasi dan Konfiskasi

Melakukan

Pasal 7 ayat (1), Undang-Undang No. 25 Tahun 2007

III.6.3.1 Pemerintah tidak akan melakukan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan penanam modal, kecuali dengan Undang-Undang

Pasal 7 ayat (2), Undang-Undang No. 25 Tahun 2007

III.5.3.2 Dalam hal Pemerintah melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambil alihan hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah akan memberikan kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan harga pasar.

Klausula standard pada perjanjian bilateral di bidang promosi dan perlindungan penanaman modal

III.6.3.3 Larangan untuk melakukan tindakan nasionalisasi dan pengambilalihan kecuali untuk kepentingan publik dari Negara tuan rumah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dalam hal terpaksa dilakukan tindakan tersebut maka harus disertai dengan ganti rugi sesuai dengan nilai pasar pada saat itu. Ganti rugi tersebut harus diberikan tanpa ditunda-tunda.

39

III.6.4 Pasal 4 ayat (2) huruf b, terkait kebijakan dasar penananaman modal, UndangUndang No. 25 Tahun 2007

Perlindungan Atas Hak-Hak yang Diperoleh

III.6.4.1 Pemerintah menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha, dan keamanan berusaha bagi penanam modal sejak proses pengurusan perizinan sampai dengan berakhirnya kegiatan penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. III.6.4.2 Instrumen Internasional yang terkait perlindungan atas Hak-hak yang Diperoleh (Acquired Rights) a. Doktrin Hukum Internasional; b. Hukum Kebiasaan Internasional III.6.5 Perlindungan Atas Harta Hak Atas Kekayaan Intelektual

Pasal 14 huruf a, Undang-Undang No. 25 Tahun 2007

Benda, Termasuk

III.6.5.1 Setiap penanam modal berhak mendapat kepastian hak, hukum, dan perlindungan. III.6.5.2 Perlindungan atas HAKI tersebar pada beberapa peraturan perundangan di bidang HAKI, baik Hak Cipta, Paten, Merek Dagang, Desain Industri, Rahasia Dagang, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu. III.6.6 Perlindungan Investor Asing Atas Keadaankeadaan Tertentu

Ketentuan ini merupakan Ketentuan Baku pada perjanjian bilateral tentang promosi dan perlidungan penanaman modal

Kewajiban dari negara pihak untuk memberikan ganti rugi yang diderita oleh investor asing karena keadaan-keadaan tertentu seperti perang, konflik bersenjata, negara dalam keadaan darurat, revolusi, pemberontakan, kerusuhan dan lainlain dimana ganti rugi yang diberikan sama perlakuannya dengan perlakuan terhadap badan hukum dari negara tuan rumah. III.6.7

Convention on Multilateral Investment Guaranty Agency, Tahun 1985 yang telah diratifikasi oleh Indonesia.

Perlindungan atas Resiko Non-komersial

Yang termasuk dalam pengertian resiko nonkomersial (non-commercial risk) adalah persoalanpersoalan seperti: currency transfer; expropriation and similar measures; breach of contract; and war and civil disturbances.

40

III.7

PENGEMBANGAN KAWASAN EKONOMI KHUSUS BESERTA BERBAGAI FASILITASNYA III.7.1

Kawasan Ekonomi Khusus (KEK)

Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007

III.7.1.1 Untuk mempercepat pengembangan ekonomi di wilayah tertentu yang bersifat strategis bagi pengembangan ekonomi nasional dan untuk menjaga keseimbangan kemajuan suatu daerah, dapat ditetapkan dan dikembangkan kawasan ekonomi khusus.

Konsiderans Menimbang huruf b, Undang-Undang No. 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus

III.7.1.2 Untuk mempercepat pengembangan ekonomi di wilayah tertentu yang bersifat strategis bagi pengembangan ekonomi nasional dan untuk menjaga keseimbangan kemajuan suatu daerah dalam kesatuan ekonomi nasional, perlu dikembangkan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK).

Pasal 1ayat (1), Undang-Undang No. 39 Tahun 2009

III.7.1.3 Kawasan Ekonomi Khusus, yang selanjutnya disebut KEK, adalah Kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperolah fasilitas tertentu.

Pasal 1 ayat 7, Undang-Undang No. 39 Tahun 2009

III.7.1.4 Pelaku usaha adalah perusahaan yang berbentuk badan hukum, tidak berbadan hukum atau usaha orang perorangan yang melakukan kegiatan usaha di KEK.

Pasal 2, UndangUndang No. 39 Tahun 2009

III.7.1.5 KEK dikembangkan melalui penyiapan kawasan yang memiliki keunggulan geo ekonomi dan geo strategi dan berfungsi untuk menampung kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan daya saing internasional.

Pasal 30 s/d 39 Undang-Undang No. 39 Tahun 2009

III.7.1.6 Fasilitas dan Kemudahan diberikan bagi Kegiatan Usaha di KEK, meliputi: a.   b.

yang

Fasilitas maupun tambahan fasilitas PPh; Kepada penanam modal di KEK dapat diberikan pengurangan PBB sesuai dengan ketentuan perundang-undangan;

41

c. 

Bagi impor barang ke KEK diberikan fasilitas berupa: penangguhan bea masuk, pembebasan cukai sepanjang merupakan bahan baku atau bahan penolong produksi, tidak dipungut Peraturan Pemerintahan dan PPnBM untuk barang kena pajak, tidak dipungut PPh Impor; d.    Setiap wajib pajak yang melakukan kegiatan usaha di KEK diberikan insentif berupa pembebasan atau keringanan pajak dan retribusi daerah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan; e.  Di KEK diberikan kemudahan untuk memperoleh hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; f.       Di KEK diberikan kemudahan dan keringanan di bidang perizinan usaha, kegiatan usaha, perindustrian, perdagangan, kepelabuhanan dan keimigrasian bagi orang asing pelaku bisnis, serta diberikan fasilitas keamanan; g.      Di KEK tidak diberlakukan ketentuan yang mengatur bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal, kecuali yang dicadangkan untuk UMKM dan Koperasi. Diktum Kedua, Keputusan Menko Perekonomian selaku Ketua Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional No. Kep-33 /M. Ekon /05/ 2008 tentang Tim Nasional Kawasan Ekonomi Khusus di Indonesia, Keputusan Presiden No. 12 Tahun 2006 tentang Komite Pengarah Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus di Pulau Batam, Bintan dan Karimun

III.7.1.7 Tim Nasional Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus Indonesia (Timnas Pengembangan KEKI) mempunyai tugas: a.   Melakukan evaluasi serta perumusan kebijakan dan strategi nasional pengembangan kawasan ekonomi khusus; b.   Melakukan kajian terhadap wilayah yang dapat dipertimbangkan untuk dikembangkan sebagai kawasan ekonomi khusus dengan berbagai variannya; c.   Melakukan kajian terhadap kebutuhan prasarana dan sarana, insentif dan aturanaturan pelaksana lainnya yang diperlukan bagi terwujudnya suatu kawasan ekonomi khusus dengan berbagai variannya; d.  Memfasilitasi pembentukan Tim Pengembangan dan Pengelolaan Kawasan di daerah-daerah yang akan ditetapkan sebagai kawasan ekonomi khusus;

42

e.  

f.   

Melakukan evaluasi dan monitoring pelaksanaan pengembangan kawasan ekonomi khusus di daerah, serta mengkaji dan mengusulkan kebijakankebijakan lain yang masih diperlukan; Melakukan evaluasi serta perumusan kebijakan dan strategi pengembangan wilayah berdasarkan rencana

tata ruang wilayah nasional; g.   Melakukan tugas terkait lainnya berdasarkan arahan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 2005 tentang Perubahan Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2003 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah di Kawasan Berikat dan Industri Pulau Batam

III.7.2 Kawasan Berikat (Bonded Zone) dan Tempat Penimbunan Berikat

III.7.2.1 Pengertian Kawasan Berikat (KB) Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1996 tentang Tempat Penimbunan Berikat sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1997

Adalah suatu bangunan, tempat, atau kawasan dengan batas-batas tertentu yang di dalamnya dilakukan kegiatan usaha industri pengolahan barang dan bahan, kegiatan rancang bangun, perekayasaan, penyortiran, pemeriksaan awal, pemeriksaan akhir, dan pengepakan atas barang dan bahan asal impor atau barang dan bahan dari dalam Daerah Pabean Indonesia Lainnya (DPIL), yang hasilnya terutama untuk tujuan ekspor.

43

III.7.2.2 Penetapan Kawan Berikat (KB) Keputusan Menteri Keuangan No. 291/ KMK.05/ 1997 jo. No. 547/KMK.01/ 1997 jo. No. 292/ KMK.01/ 1998 jo. No. 349/KMK.01/ 1999 jo. No. 94/ KMK.05/ 2000 jo. No.  37/ KMK.04/ 2002 jo. No. 587/ PMK. 04/ 2004 jo. No. 101 / PMK.04/ 2005

Penetapan suatu kawasan atau tempat sebagai Kawasan Berikat (KB) serta pemberian persetujuan Penyelenggaraan Kawasan Berikat (PKB) atau PKB merangkap Pengusaha di Kawasan Berikat (PDKB) dilakukan dengan Keputusan Menteri. Perusahaan yang dapat diberikan persetujuan sebagai PKB adalah perusahaan:

a.

Dalam rangka Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN); b. Dalam rangka Penanaman Modal Asing (PMA), baik sebagian atau seluruh modal sahamnya dimiliki oleh peserta asing; c. Non PMA/PMDN yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT); d. Koperasi yang berbentuk badan hukum; atau e. Yayasan III.7.2.3 Persyaratan Fisik KB Harus Memenuhi: Pasal 13 Keputusan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai No. KEP63/BC/ 1997 jo. No. KEP-3/BC/2002

a.  

b. 

Lokasi KB dapat langsung dimasuki dari jalan umum dan dapat dilalui oleh kendaraan pengangkut barang.

Lokasi KB tidak boleh berhubungan langsung dengan bangunan lain. c.   Lokasi KB mempunyai fasilitas sistem satu pintu utama untuk pemasukan dan pengeluaran barang ke dari KB. d.  Lokasi KB mempunyai pagar keliling dengan ketinggian vertikal sekurangkurangnya 2,5 meter. e.   Menyediakan ruangan yang memadai bagi petugas Bea dan Cukai dalam melakukan pekerjaan di KB dan pos penjagaan di pintu utama. f. Memasang papan nama yang dapat dibaca dan tampak jelas di depan perusahaan

44

III.7.2.4 Pungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPBm) Pasal 2, PP No. 30 Tahun 2005 tentang Perubahan PP No. 63 Tahun 2003 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah di Kawasan Berikat dan Industri Pulau Batam

Dalam rangka menunjang ekspor, PPN dan/atau PPBm tidak dipungut atas: a.

b.

Penyerahan Barang Kena Pajak kepada Pengusaha sepanjang Barang Kena Pajak tersebut digunakan untuk menghasilkan Barang Kena Pajak yang diekspor; dan Impor Barang Kena Pajak yang dilakukan oleh Pengusaha sepanjang Barang Kena Pajak tersebut digunakan untuk menghasilkan Barang Kena Pajak yang diekspor.

III.7.2.5 Peraturan-peraturan terkait dengan KB, antara lain: a.  

b. 

III.7.3 Pasal 1, Keputusan Presiden No. 150 Tahun 2000 tentang Kawasan Pengembang-an Ekonomi Terpadu

Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 1996 tentang Perlakuan Perpajakan bagi Pengusaha Kena Pajak Berstatus Entrepot Produksi untuk Tujuan Ekspor (EPTE) dan Perusahaan Pengolahan di Kawasan Berikat (KB) Keputusan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai No. KEP-3/BC/1997 jo. No. KEP-03/BC/ 2002 Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu III.6.3.1 Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu merupakan wilayah geografis dengan batas-batas tertentu yang memenuhi persyaratan:

a.    Memiliki potensi untuk cepat tumbuh; b.     Mempunyai sektor unggulan yang dapat menggerakkan pertumbuhan ekonomi di wilayah sekitarnya; dan atau c.     Memiliki potensi pengembangan investasi yang besar. 1. Pasal 1-5, Keputusan Presiden No. 150 Tahun 2000

III.7.3.2 Kepada Pengusaha di Kawasan Berikat, untuk selanjutnya disebut PDKB, di dalam wilayah KAPET dapat diberikan fasilitas perpajakan berupa Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, dan Pajak Penjualan Barang Mewah tidak dipungut.

45

2. Pasal 3, Keputusan Menteri Keuangan RI No. 11/KMK. 04/2001 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan No. 200/ KMK . 04/ 2000 tentang Perlakuan Perpajakan dan Kepabeanan di Kawasan Pengembang-an Ekonomi Terpadu Keputusan Presiden No. 44 Tahun 2002 tentang Dewan Pengembang-an Kawasan Timur Indonesia

III.7.4

Kawasan Timur Indonesia

III.7.4.1 Kebijakan dan Strategi Nasional Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia Konsiderans menimbang, Inpres No. 7 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Kebijakan dan strategi Nasional Pembangun-an Kawasan Timur Indonesia

Dalam rangka melaksanakan percepatan pembangunan serta mewujudkan kesetaraan akses ekonomi, sosial dan keberdayaan masyarakat antar Kawasan Barat dengan Kawasan Timur Indonesia dan antar Kawasan di wilayah timur Indonesia, Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia telah menyusun Kebijakan dan Strategi Nasional Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia yang perlu ditindaklanjuti dengan rencana tindak berupa program dan kegiatan untuk pembangunan di segala bidang.

III.7.4.2 Pasal 1 dan 2, Keputusan Presiden No. 44 Tahun 2002 tentang Dewan Pengembang-an Kawasan Timur Indonesia

Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia

Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia, yang selanjutnya disebut Dewan, adalah suatu wadah koordinasi di tingkat pusat yang mempunyai tugas merumuskan dan menetapkan kebijakan strategis dan program prioritas untuk meningkatkan pembangunan di Kawasan Timur Indonesia beserta penentuan tahapan dan prioritas pelaksanaannya.

46

III.7.4.3 Fungsi Dewan Untuk melaksanakan tugasnya, Dewan mempunyai fungsi: a. Menghimpun pemikiran serta saran dari berbagai kalangan yang diperlukan dalam rangka perumusan kebijakan strategis dan program

b. c.

d.

e.

prioritas pelaksanaan pembangunan Kawasan Timur Indonesia; Mengkaji potensi pembangunan Kawasan Timur Indonesia; Merumuskan dan menetapkan kebijakan strategis dan program prioritas, serta penentuan tahapan dan prioritas pembangunan Kawasan Timur Indonesia; Mengevaluasi kebijakan strategis dan program prioritas pembangunan Kawasan Timur Indonesia baik yang telah atau sedang dilaksanakan oleh lembaga/ instansi terkait; Mengelola sistem informasi Kawasan Timur Indonesia

III.7.5 Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Alinea 4 Penjelasan Umum, UndangUndang No. 44 Tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang No. 1 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi UndangUndang

III.7.5.1 Berhubung kebutuhan pengaturan mengenai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas sudah sangat mendesak dalam upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi nasional, Pemerintah telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang No. 1 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang-Undang.

47

Pasal 2. Perraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang No. 1 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang No. 1 Tahun 2000

III.7.5.2 Batas-batas Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas baik daratan maupun perairannya ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah tentang Pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas.

Pasal 3, Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang No. 1 Tahun 2007

III.7.5.3 Di dalam Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dilakukan kegiatankegiatan di bidang ekonomi, seperti sektor perdagangan, maritim, industri, perhubungan, perbankan, pariwisata, dan bidang-bidang lain yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah tentang Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.

Pasal 1 ayat (3), Peraturan Menteri Keuangan No. 47/ PMK. 04/2009 tentang Tata Cara Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari Kawasan yang telah Ditunjuk sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas

III.7.5.4 Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, yang selanjutnya disebut Kawasan Bebas, adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari Daerah Pabean, sehingga bebas dari pengenaan bea masuk, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Cukai.

48

Konsiderans Menimbang huruf b, Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 12/M-DAG/ PER/3/2009 tentang Pelimpahan Kewenangan Penerbitan Perizinan di Bidang Perdagangan Luar Negeri Kepada Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Bintan, dan Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Karimun

III.7.5.5 Dalam rangka mendukung percepatan pengembangan pembangunan dan kegiatan usaha di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Bintan, dan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Karimun, perlu pelimpahan kewenangan penerbitan perizinan di bidang perdagangan luar negeri kepada Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Bintan, dan Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Karimun.

III.7.5.6 Beberapa peraturan terkait dengan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, antara lain: a.    Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2009 tentang Perlakuan Kepabeanan, Perpajakan dan Cukai serta Pengawasan atas Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari serta berada di kawasan yang telah ditunjuk sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas; b.     Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Karimun; c.     Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Bintan; d.    Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam; e.     Peraturan Presiden No. 30 Tahun 2008 tentang Dewan Nasional Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas;

49

f.      Peraturan Kepala BKPM No. 5 Tahun 2010 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Pendaftaran Penanaman Modal kepada Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan

g.    

III.7.6

Pelabuhan Bebas Bintan Wilayah Kabupaten Bintan, Kepala badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Bintan Wilayah Kota Tanjung Pinang dan Kepala badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Karimun. Peraturan Kepala BKPM No. 6 Tahun 2010 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Izin Usaha Dalam Rangka Penanaman Modal kepada Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Bintan Wilayah Kabupaten Bintan, Kepala badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Bintan Wilayah Kota Tanjung Pinang dan Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Karimun. Kawasan Industri

Pasal 20 UndangUndang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian

III.7.6.1 Pemerintah dapat menetapkan wilayahwilayah pusat pertumbuhan industri serta lokasi bagi pembangunan industri sesuai dengan tujuannya dalam rangka perwujudan Wawasan Nusantara, yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

Pasal 11, Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri

III.7.6.2 Perusahaan di dalam Kawasan Industri dapat diberikan fasilitas Kepabeanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang Kepabeanan III.8

MENDORONG PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR III.8.1 Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur

50

Konsiderans Menimbang, angka 1, Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2005 jo. Peraturan Presiden No. 13 Tahun 2010 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur

III.8.1.1 Ketersediaan Infrastruktur yang memadai dan berkesinambungan merupakan kebutuhan mendesak untuk mendukung pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka peningkatan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat, serta untuk meningkatkan daya saing Indonesia dalam pergaulan global.

Konsiderans Menimbang, angka 2, Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2005 jo. Peraturan Presiden No. 13 Tahun 2010

III.8.1.2 Untuk mempercepat pembangunan infrastruktur, dipandang perlu mengambil langkahlangkah yang komprehensif guna menciptakan iklim investasi untuk mendorong keikutsertaan badan usaha dalam penyediaan infrastruktur berdasar prinsip usaha secara sehat.

Pasal 3, Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2005 jo Peraturan Presiden No. 13 Tahun 2010

III.8.1.3 Tujuan kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha dalam penyediaan infrastruktur adalah: a.     Mencukupi kebutuhan pendanaan secara berkelanjutan dalam penyediaan infrastruktur melalui pengerahan dana swasta; b.    Meningkatkan kuantitas, kualitas dan efisiensi pelayanan melalui persaingan sehat; c.    

Meningkatkan kualitas pengelolaan dan pemeliharaan dalam penyediaan infrastruktur; d.    Mendorong digunakannya prinsip pengguna membayar pelayanan yang diterima, atau dalam hal-hal tertentu mempertimbangkan kemampuan membayar pengguna. Pasal 4 ayat (1) , Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2005 jo Peraturan Presiden No. 13 Tahun 2010

III.8.1.4 Jenis Infrastruktur yang dikerjasamakan: a.     Infrastruktur transportasi meliputi: pelabuhan laut, sungai atau danau, bandar udara, jaringan rel dan stasiun kereta api; b.     Infrastruktur jalan, meliputi jalan jembatan tol; c.   Infrastruktur perairan, meliputi pembawa air baku; d.  Infrastruktur air minum yang bangunan pengambilan air baku, transmisi, jaringan distribusi, pengolahan air minum;

51

tol dan saluran meliputi jaringan instalasi

e.     Infrastruktur air limbah yang meliputi instalasi pengolah air limbah, jaringan pengumpul dan jaringan utama, dan sarana persampahan yang meliputi pengangkut dan tempat pembuangan; f.     Infrastruktur telekomunikasi, meliputi jaringan telekomunikasi; g.     Infrastruktur ketenagalistrikan, meliputi pembangkit, transmisi atau distribusi tenaga listrik; dan h.   Infrastruktur minyak dan gas bumi meliputi pengolahan, penyimpanan, pengangkutan, transmisi, atau distribusi minyak dan gas bumi. III.8.2

Percepatan Penyediaan Infrastruktur

Konsiderans Menimbang huruf a, Peraturan Presiden No. 42 Tahun 2005 tentang Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur

III.8.2.1 Dalam rangka mengkoordinasikan percepatan pembangunan infrastruktur untuk pemulihan ekonomi nasional, dengan Keputusan Presiden No. 81 Tahun 2001 tentang Komite Kebijakan Percepatan Pembangunan Infrastruktur, telah dibentuk Komite Kebijakan Percepatan Pembangunan Infrastruktur.

Konsiderans Menimbang huruf b, Peraturan Presiden No. 42 Tahun 2005

III.8.2.2 Untuk lebih mengefektifkan koordinasi dalam rangka percepatan penyediaan infrastruktur dimaksud, dipandang perlu menyempurnakan tugas dan fungsi serta keanggotaan Komite dimaksud.

Pasal 2, Peraturan Presiden No. 42 Tahun 2005

III.8.2.3 Tugas Komite Penyediaan Infrastruktur:

Kebijakan

Percepatan

a.     Merumuskan strategi dalam rangka koordinasi pelaksanaan percepatan penyediaan infrastruktur; b.     Mengkoordinasikan dan memantau pelaksanaan kebijakan percepatan penyediaan infrastruktur oleh Menteri terkait dan Pemerintah Daerah; c.     Merumuskan kebijakan pelaksanaan kewajiban pelayanan (public service obligations) dalam percepatan penyediaan infrastruktur; d.    Menetapkan upaya pemecahan berbagai permasalahan yang terkait dengan percepatan penyediaan infrastruktur.

52

III.8.3

Dana Pembangunan Infrastruktur

Pasal 1 ayat (2), Peraturan Menteri Keuangan No. 100/ PMK. 010/ 2009 tentang Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur

III.8.3.1 Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur adalah badan usaha yang khusus didirikan untuk melakukan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana pada proyek infrastruktur.

Pasal 2 ayat (1), Peraturan Menteri Keuangan No. 100/ PMK.010/ 2009

III.8.3.2 Kegiatan Usaha Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur meliputi: a.     Pemberian pinjaman langsung (direct lending) untuk pembiayaan infrastruktur; b.     Refinancing atas infrastruktur yang telah dibiayai pihak lain; c.     Pemberian pinjaman subordinasi (subordinated loans) yang berkaitan dengan Pembiayaan Infrastruktur.

Pasal 2 ayat (2), Peraturan Menteri Keuangan No. 100/ PMK. 010/ 2009

III.8.3.3 Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur dapat pula melakukan: a.     Pemberian dukungan kredit (credit enhancement), termasuk penjaminan untuk pembiayaan infrastruktur; b.     Pemberian jasa konsultasi (advisory services); c.     Penyertaan modal (equity investment); d.    Upaya mencarikan swap market yang berkaitan dengan Pembiayaan Infrastruktur; dan/atas e.     Kegiatan atau pemberian fasilitas lain yang terkait dengan Pembiayaan Infrastruktur setelah memperoleh persetujuan Menteri.

1. Pasal 1 ayat (1), Peraturan Menteri Keuangan No. 119/PMK.05/ 2006 tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan dan Pengelolaan Dana Dukungan Infrastruktur

III.8.3.4 Dana Dukungan Infrastruktur adalah dana yang disediakan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam rangka penyediaan infrastruktur yang dipergunakan sebagai dana bergulir dalam bentuk pola kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha.

53

2. Keputusan Menteri Keuangan No. 26/ KMK. 01/ 2008 tentang Penggunaan Dana Dukungan Infrastruktur pada Rekening Induk Dana Inveestasi Pusat Investasi Pemerintah; 3. Keputusan Menteri Keuangan No. 44/ KMK. 05/ 2007 tentang Penetapan Persetujuan Investasi Pemerintah atas Penyaluran Dana Dukungan Infrastruktur dan Besaran Nilai Tambah serta Prosentase Bagi Hasil Keuntungan atas Nilai Tambah dan Pengembalian Pokok Dana Dukungan Infrastruktur yang disalurkan Badan Investasi Pemerintah kepada Badan Pengatur Jalan Tol; Pasal 1, Peraturan Pemerintah No. 75 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2007 tentang Penyertaan Modal Negara RI untuk Pendirian Perseroan (Persero) di Bidang Pembiayaan Infrastruktur Diktum Pertama, Keputusan Menteri Keuangan No. 26/ KMK 01/2008

III.8.4 Penyertaan Modal Pembiayaan Infrastruktur

Negara Bagi Perusahaan

Dana Dukungan Infrastruktur pada Rekening Induk Dana Investasi Pusat Investasi Pemerintah digunakan untuk investasi jangka panjang dalam bentuk Investasi Langsung dan Surat Berharga, baik yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dengan infrastruktur.

54

III.8.5 Jaminan dan Perlindungan Bagi Penanaman Modal di Bidang Infrastruktur Konsiderans Menimbang huruf a, Keputusan Menteri Keuangan No. 518/KMK.01/ 2005 tentang Pembentukan Komite Pengelolaan Resiko atas Penyediaan Infrastruktur Konsiderans Menimbang huruf c, Keputusan Menteri

III.8.5.1 Dalam rangka mendukung penyediaan infrastruktur yang memadai dan berkesinambungan perlu dilakukan pengelolaan terhadap resiko yang dihadapi oleh Pemerintah dalam penyediaan infrastruktur tersebut.

III.8.5.2 Bahwa untuk itu perlu dibentuk suatu Komite Pengelolaan Resiko atas Penyediaan Infrastruktur, yang akan melaksanakan fungsi pengelolaan resiko atas penyediaan infrastruktur sampai dengan terbentuknya unit kerja dimaksud.

Keuangan No. 518/ KMK.01/ 2005 Angka kedua Keputusan Menteri Keuangan No. 518/ KMK.01/ 2005

III.8.5.3 Tugas Komite adalah: a.     Melakukan pengkajian terhadap kelayakan permintaan dukungan Pemerintah atas pelaksanaan kerjasama penyediaan infrastruktur; b.   Menetapkan kriteria pemenuhan perjanjian kerjasama dalam penyediaan infrastruktur; c.     Memonitor secara aktif pelaksanaan kerjasama penyediaan infrastruktur yang membutuhkan dukungan Pemerintah; d.    Mengevaluasi secara berkesinambungan biaya dan pengeluaran operasi yang wajar terhadap suatu proyek penyediaan infrastruktur dalam kurun waktu tertentu e.     Melakukan koordinasi dengan instansi-instansi terkait baik di dalam maupun di luar lingkungan Departemen Keuangan sehubungan dengan kegiatan penyediaan infrastruktur, termasuk apabila terjadi kegagalan pemenuhan perjanjian kerjasama; f.      Memberikan rekomendai kebijakan pengelolaan resiko atas penyediaan infrastruktur kepada Menteri Keuangan; g.     Mempersiapkan unit kerja di bawah Menteri Keuangan yang akan melaksanakan tugas dan fungsi pengelolaan resiko atas penyediaan infrastruktur;

55

h.     Melaksanakan tugas-tugas lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, yang berkaitan dengan pengelolaan resiko atas penyediaan infrastruktur. III.8.5.4

Peraturan-peraturan lain yang terkait dengan

Pemberian Jaminan di bidang Pembangunan Infrastruktur: a.   Peraturan Pemerintah No. 91 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 86 Tahun 2006 tentang Pemberian Jaminan Pemerintah untuk Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik yang Menggunakan Batubara; b.     Peraturan Presiden No. 29 Tahun 2009 tentang Pemberian Jaminan dan Subsidi Bunga oleh Pemerintah Pusat dalam Rangka Percepatan Penyediaan Air Minum; c.     Peraturan Presiden No. 103 Tahun 2006 tentang Pemberian Jaminan Pemerintah untuk Pembangunan Proyek Monorail Jakarta; d.    Peraturan Menteri Keuangan No. 146/ PMK.01/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Jaminan Pemerintah untuk Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik yang Menggunakan Batubara; e.     Peraturan Menteri ESDM No. 044 Tahun 2006 tentang Pembelian Tenaga Listrik dalam Rangka Percepatan Diversifikasi Enerji untuk Pembangkit Tenaga Listrik ke Batubara melalui Pemilihan Langsung; f.      Keputusan Menteri Keuangan No. 518/ KMK.01/2005 tentang Pembentukan Komite Pengelolaan Resiko atas Penyediaan Infrastruktur III.8.6 Pasal 1 ayat (1), Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Pelayanan Umum

Pengelolaan oleh Badan Layanan Umum

III.8.6.1 Badan Layanan Umum, yang selanjutnya disebut BLU, adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip-prinsip efisiensi dan produktivitas.

56

III.8.6.2 Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, yang selanjutnya disebut Peraturan PemerintahK-BLU, adalah Pola Pengelolaan Keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat

Pasal 1 angka 2, Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2005

dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini, sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan keuangan negara pada umumnya. III.8.6.3 Badan Layanan Umum (BLU) bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa dengan memberikan fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan berdasarkan prinsip ekonomi dan produktivitas, dan penerapan praktek bisnis yang sehat.

Pasal 2, Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2005

III.8.6.4 Peraturan-peraturan lain yang terkait dengan BLU, antara lain: a.     Peraturan Menteri Keuangan No. 109/ PMK.05/2007 tentang Dewan Pengawas Badan Layanan Umum; b.     Peraturan Menteri Keuangan No. 119/ PMK.05/2007 tentang Persyaratan Administratif dalam rangka Pengusulan dan Penetapan Satuan Kerja Instansi Pemerintah untuk Menerapkan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum; c.     Peraturan Menteri Keuangan No. 1005/ PMK.05/2006 tentang Penetapan Badan Investasi Pemerintah pada Departemen Keuangan sebagai Instansi Pemerintah yang Menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum III.9

PEMBERIAN FASILITAS FISKAL III.9.1 Ketentuan Umum Fiskal di Bidang Penanaman Modal

57

Insentif Perpajakan/

Pasal 18 ayat 2, Undang-Undang No. 25 Tahun 2007

III.9.1.1 Yang berhak memperoleh fasilitas perpajakan: a.   Penanam modal yang melakukan perluasan usaha; atau b.  Penanam modal yang melakukan penanaman modal baru.

Pasal 18 UndangUndang No. 25 Tahun 2007

III.9.1.2 Kriteria minimal penanaman modal yang memperoleh fasilitas: a.   b.   c.   d.  e.   f.   

Menyerap banyak tenaga kerja; Termasuk skala prioritas tinggi; Termasuk pembangunan infastruktur Melakukan alih teknologi; Melakukan industri pionir; Berada di daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah perbatasan, atau daerah lain yang dianggap perlu; g.   Menjaga kelestarian lingkungan hidup; h.   Melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan dan inovasi; i.    Bermitra dengan usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi; j.    Industri yang menggunakan barang modal atau mesin atau peralatan yang diproduksi di dalam negeri. III.9.2 Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/ atau Daerah-daerah Tertentu

Pajak Penghasilan (PPh)

III.9.2.1 Beberapa Pengertian Dasar

III.9.2.1.1 Bidang-bidang usaha tertentu adalah bidang usaha di sektor kegiatan ekonomi yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional. Pasal 1 angka 5, Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2007

III.9.2.1.2 Daerah-daerah tertentu adalah daerah yang secara ekonomis mempunyai potensi yang layak dikembangkan

58

Lampiran I, Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2007 jo. Peraturan Pemerintah No. 62 Tahun 2008

III.9.2.2 Bidang-bidang Usaha tertentu yang memperoleh Fasilitas PPh: a.   Kelompok industri makanan lainnya; b.   Kelompok industri tekstil dan industri pakaian jadi; c.   Kelompok industri bubur kertas (pulp), kertas dan kertas karton/paper board; Kelompok industri bahan kimia industri; Kelompok industri barang-barang kimia lainnya; Kelompok industri karet dan barang dari karet; Kelompok industri barang-barang dari porselin; Kelompok logam dasar besi dan baja; Kelompok industri logam dasar bukan besi; Kelompok industri mesin dan perlengkapannya; Kelompok industri motor listrik, generator dan transformator; l.    Kelompok industri elektronika dan telematika; m. Kelompok industri alat angkut darat; n.   Kelompok industri pembuatan dan perbaikan kapal dan perahu; o.   Industri pembuatan logam dasar bukan besi; p.  Pengembangan peternakan; q.   Usaha pemanfaatan hutan tanaman IUPHHKHTI (HTI); r.    Penambangan dan pemanfaatan batubara mutu rendah; s.   Pengusahaan tenaga panas bumi; t.    Kelompok industri susu dan makanan dari susu; u.  Pengilangan minyak bumi; v.   Pembangunan kilang mini gas bumi; w. Kelompok industri serat buatan. d.  e.   f.    g.   h.   i.    j.    k.  

Pasal 2 ayat (2), Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2007

III.9.2.3 Fasilitas PPh yang diberikan: a.   Pengurangan penghasilan netto sebesar 30% dari jumlah penanaman modal, dibebankan selama 6 (enam) tahun masing-masing 5% per tahun; b.   Penyusutan dan amortisasi yang dipercepat; c.   Pengenaan PPh atas dividen yang dibebankan kepada subyek pajak luar negeri sebesar 10%, atau tarif yang lebih rendah menurut Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku; d.  Kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 (lima) tahun tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun.

59

III.9.2.4 Ketentuan-ketentuan tentang PPh yang terkait dengan Penanaman Modal:

fasilitas

a.   Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2007 sebagaimana diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 62 Tahun 2008 tentang Pemberian Fasilitas PPh untuk Bidang-bidang Tertentu dan Sektor-sektor Tertentu; b.   Peraturan Pemerintah No. 81 Tahun 2007 tentang Penurunan Tarif Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang berbentuk Perseroan Terbuka; c.   Peraturan Menteri Keuangan No. 16/ PMK/ Tahun 2007 tentang Pemberian Fasilitas PPh untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau Daerah-daerah Tertentu; d.  Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal. III.9.3 Pasal 1 dan 2 Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 2007 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2001 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai

Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

III.9.3.1 Atas impor dan penyerahan barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis berupa barang modal berupa mesin dan peralatan pabrik, baik dalam keadaan terpasang maupun terlepas, tidak termasuk suku cadang, yang diperlukan secara langsung dalam proses menghasilkan Barang Kena Pajak, oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak tersebut, dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).

III.9.3.2 Ketentuan Lain tentang PPN di Bidang Penanaman Modal:

60

Fasilitas

a.  

Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2001 tentang Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (lihat Pasal 1 ayat 1a dimana Barang Modal termasuk Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis, lihat juga pasal 2 ayat (1) a.

b.   Peraturan Pemerintah No. 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa yang Tidak Dikenakan PPN; III.9.4 Pasal 18 ayat 4, huruf f, Undang-Undang No. 25 Tahun 2007

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)

Bentuk fasilitas yang dapat diberikan kepada penanaman modal dapat berupa “Keringanan Pajak Bumi dan Bangunan, khususnya untuk bidang usaha tertentu, pada wilayah atau daerah atau kawasan tertentu”. III.9.5 Pembebasan atau Keringanan Barang Modal dan Bahan Baku

Pasal 18 ayat 4, huruf b dan c, UndangUndang No. 25 Tahun 2007

Impor

Bentuk fasilitas yang diberikan kepada penanaman modal dapat berupa: b.  

c.  

III.9.6 Pasal 18 ayat 4, huruf e Undang-Undang No. 25 Tahun 2007

Bea

Pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang modal, mesin atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri; Pembebasan atau keringanan bea masuk bahan baku atau bahan penolong untuk keperluan produksi untuk jangka waktu tertentu dan persyaratan tertentu.

Penyusutan atau Amortisasi Dipercepat

Bentuk fasilitas yang diberikan kepada penanaman modal dapat berupa:

61

e.

Penyusutan atau amortisasi yang dipercepat.

Ketentuan serupa terdapat pada Pasal 2 ayat (2) b, Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2007 jo. Peraturan Pemerintah No. 62 Tahun 2008 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha tertentu dan/ atau di Daerah-daerah Tertentu III.10

PEMBERIAN FASILITAS NON-FISKAL III.10.1

Pasal 22 ayat (1), Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, sudah dicabut dengan Keputusan Mahkamah Konstitusi

Fasilitas Hak-hak atas Tanah

III.10.1.1 Kemudahan pelayanan dan/ atau perizinan hak atas tanah baik HGU, HGB dan Hak Pakai dapat diberikan dan diperpanjang di muka sekaligus dan dapat diperbarui kembali atas permohonan penanam modal.

Dalam perkembangannya, ketentuan mengenai perpanjangan dimuka terhadap hak atas tanah, telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi yang diajukan oleh beberapa LSM. Dalam amar putusannya No. 21-22/PUU-VI/2007 Tentang Uji Material UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (PM) terhadap UUD 1945, Mahkamah Konstitusi membatalkan hanya sebagian dari ketentuan Pasal 22 ayat (1) UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, khususnya menyangkut perpanjangan dimuka sekaligus. Dengan demikian, maka ketentuan mengenai perpanjangan hak atas tanah kembali pada peraturan perundangundangan yang mengatur sebelumnya, antara lain PP No. 40 Tahun 1996 dan Perpres No. 34 Tahun 1992 serta peraturan pelaksanaannya. Mahkamah Konstitusi dalam amar putusannya menyimpulkan bahwa terhadap Pasal 22 UU No. 25 Tahun 2007 sepanjang menyangkut “dimuka sekaligus atau sekaligus dimuka”, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Oleh karenanya bunyi pasal 22 diubah menjadi sebagai berikut : Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a dapat diberikan dan diperpanjang dan dapat diperbarui kembali atas permohonan penanam modal.

62

Hak atas tanah dapat diberikan dan diperpanjang untuk kegiatan penanaman modal, dengan persyaratan antara lain: a. penanaman modal yang dilakukan dalam jangka panjang dan terkait dengan perubahan struktur perekonomian Indonesia yang lebih berdaya saing; b. penanaman modal dengan tingkat risiko penanaman modal yang memerlukan pengembalian modal dalam jangka panjang sesuai dengan jenis kegiatan penanaman modal yang dilakukan; c. penanaman modal yang tidak memerlukan area yang luas; d. penanaman modal dengan menggunakan hak atas tanah negara;dan e. penanaman modal yang tidak mengganggu rasa keadilan masyarakat dan tidak merugikan kepentingan umum. Konsiderans Menimbang, Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1992 tentang Pemanfaatan Tanah Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan untuk Usaha Patungan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing

III.10.1.2 Untuk lebih meningkatkan minat dan investasi di berbagai bidang usaha, dipandang perlu untuk melakukan langkah-langkah penyempurnaan kembali terhadap ketentuan mengenai pemanfaatan tanah hak guna usaha dan hak guna bangunan untuk usaha patungan dalam rangka penanaman modal asing.

Pasal 1 ayat (4), Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1992

III.10.1.3 Hak Guna Usaha diberikan untuk jangka waktu 35 (tiga puluh lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun, sepanjang perusahaan yang bersangkutan masih menjalankan usahanya dengan baik, dan dapat diperbarui lagi

Pasal 2 ayat (1), Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1992

III.10.1.4 Hak Guna Usaha yang dipegang oleh Perusahaan Patungan dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hak tanggungan

Pasal 2 ayat (2), Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1992

III.10.1.5 Perusahaan Patungan sebagai pemegang Hak Guna Usaha dapat memindah tangankan Hak Guna Usahanya setelah terlebih dahulu mendapat izin dari Kepala Badan Pertanahan Nasional.

63

Pasal 3 ayat (1) Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1992

III.10.1.6 Hak Guna Bangunan dapat diberikan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan ketentuan tanah yang dimohon tersebut terletak di luar areal yang sudah ada Hak Guna Usahanya. III.10.1.7 Peraturan lain yang terkait dengan fasilitas tanah dalam Penanaman Modal: a.   Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai b.   Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 jo. Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. c.   Peraturan BPN No. 3 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 . III.10.2 Fasilitas Pelayanan Imigrasi

Pasal 23 ayat (3) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007

III.10.2.1 Fasilitas Pelayanan Keimigrasian penanam modal asing dapat berbentuk:

bagi

a.   Izin tinggal terbatas; b.   Alih status izin tinggal terbatas; c.   Izin masuk kembali beberapa kali (multiple entry) untuk izin tinggal terbatas; d.  Izin masuk kembali beberapa kali untuk izin tinggal tetap. III.10.2.2 Peraturan lain yang terkait: a.   Undang-Undang No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian; b.   Perpu No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian; c.   Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2005 tentang Visa, Izin Masuk dan Keimigrasian III.10.3 Pasal 24 UndangUndang No. 25 Tahun 2007

Fasilitas Perizinan Impor

III.10.3.1 Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan atas fasilitas perizinan impor dapat diberikan untuk impor:

64

a.  

Barang yang selama tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur perdagangan barang; b.   Barang yang tidak memberikan dampak negatif terhadap keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, dan moral bangsa; c.   Barang dalam rangka relokasi pabrik dari luar negeri ke Indonesia; d.  Barang modal atau bahan baku untuk kebutuhan sendiri. III.10.3.2

Ketentuan Impor Barang Modal Bukan Baru

Konsiderans Menimbang, huruf a, Peraturan Menteri Perdagangan No. 63/M-DAG/PER/12/ 2009 tentang Ketentuan Impor Barang Modal Bukan Baru

Ketentuan Impor Barang Modal Bukan Baru merupakan kebijakan untuk membantu beberapa sektor industri yang masih lemah kemampuan daya belinya untuk melakukan penyediaan barang modal, dalam hal ini Barang Modal Bukan Baru agar mampu dijangkau oleh sektor industri termaksud

Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Perdagangan No. 63 M-DAG/ PER /12 / 2009

Barang Modal Bukan Baru adalah barang yang masih layak dipakai atau untuk direkondisi, remanufakturing, diguna-fungsikan kembali dan bukan skrap.

Pasal 2ayat 1 Peraturan Menteri Perdagangan No. 63 M-DAG/ PER /12 / 2009

III.10.3.3 Yang berhak Bukan Baru adalah:

mengimpor Barang Modal

a.     Perusahaan pemakai langsung b.     Perusahaan rekondisi; dan/atau c.     Perusahaan remanufakturing III.10.3.4

Peraturan lain yang terkait:

a.      Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Iklim Investasi b.      Peraturan Menteri Perdagangan dan Industri No. 19 Tahun 2010 tentang Daftar Mesin, Barang dan Bahan Produksi dalam negeri untuk pembangunan atau pengembangan industri dalam rangka penanaman modal.

65

c.      Peraturan Menteri Keuangan No. 176/ PMK 0.1.1/2009 tanggal 16 November 2009 tentang Pembebasan Bea Masuk atas Impor Mesin serta Bahan untuk Pembangunan atau Pengembangan Industri Dalam Rangka Penanaman Modal; d.      Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 49/ M-DAG/ Per/12/2007 tentang Ketentuan Impor Barang Modal Bukan Baru III.10.4 Fasilitas Percepatan Memulai Usaha Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Iklim Investasi

III.10.4.1 Mempersingkat pelayanan memulai usaha dari 90 (sembilan puluh) hari menjadi 40 (empat puluh) hari dan bahkan menjadi 17 (tujuh belas) hari.

III.10.4.2 Peraturan lain yang terkait dengan fasilitas percepatan memulai usaha: a.   Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas; b.   Peraturan Menteri Perindustrian RI No. 16/ M/M-IND/Per/2/2010 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perindustrian RI No. 147/M-IND/ Per/10/2009 tentang Pendelegasian Kewenangan Pemberian Izin Usaha Industri, Izin Perluasan, Izin Usaha Kawasan Industri, dan Izin Perluasan Kawasan Industri Dalam Rangka Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal; c.   Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 55/ M-DAG/PER/10/2009 tentang Pendelegasian Wewenang Penerbitan Surat Izin Usaha Penjualan Langsung kepada BKPM dalam Rangka Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal. d.  Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan Ham, Menteri Perdagangan, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (No. 69 Tahun 2009; No. M.HH-08.AH.01.01.2009; No. 60/M-DAG/ PER/12/2009; No. Per.03/MEN/ XII/2009; No. 10 Tahun 2009) tentang Percepatan Pelayanan Perizinan dan Non Perizinan untuk Memulai Usaha.

66

III.10.5 Fasilitas Percepatan Pelayanan Investasi III.10.5.1 Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Penanaman Modal III.10.5.1.1 Pasal 1 angka 4, Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal

Bidang

Pengertian

Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) adalah kegiatan penyelenggaran suatu perizinan dan non-perizinan yang mendapatkan pendelegasian atau pelimpahan wewenang dan lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan non-perizinan yang proses pengelolaannya dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya dokumen yang dilakukan dalam satu tempat.

III.10.5.1.2

Tujuan

Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007

Pelayanan Terpadu Satu Pintu bertujuan membantu penanam modal dalam memperoleh kemudahan pelayanan, fasilitas fiskal, dan informasi mengenai penanaman modal.

Pasal 3 Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009

Tujuan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) adalah untuk membangun penanaman modal dalam memperoleh kemudahan pelayanan, fasilitas dan informasi mengenai penanaman Modal, dengan cara mempercepat, menyederhanakan pelayanan, dan meringankan atau menghilangkan biaya pengurusan perizinan dan non-perizinan. III.10.5.1.3

Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007

Lembaga/Instansi yang Berwenang

Pelayanan Terpadu Satu Pintu dilakukan oleh lembaga atau instansi yang berwenang di bidang penanaman modal yang mendapatkan pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan non-perizinan di tingkat pusat atau lembaga atau instansi yang berwenang mengeluarkan perizinan dan non-perizinan di propinsi atau kabupaten/kota.

67

III.10.5.1.4 Pasal 4, Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009

Ruang Lingkup PTSP mencakup pelayanan untuk semua jenis perizinan dan non-perizinan di bidang penanaman modal yang diperlukan untuk melakukan Penanaman Modal. III.10.5.2

Pasal 1 angka 5 Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009

Pengertian Non-perizinan

Adalah segala bentuk kemudahan pelayanan, fasilitas fiskal, dan informasi mengenai Penanaman Modal, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. III.10.5.4

Pasal 1 angka 9, Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009

Pengertian Perizinan

Adalah segala bentuk persetujuan untuk melakukan penanaman modal yang dikeluarkan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang memiliki kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. III.10.5.3

Pasal 1 angka 6 Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009

Ruang Lingkup

Pengertian Pendelegasian Wewenang

Adalah penyerahan tugas, hak, kewajiban, dan pertanggung-jawaban perizinan dan non-perizinan, termasuk penandatanganannya atas nama pemberi wewenang oleh: a.      Menteri Teknis/Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) kepada Kepala BKPM; b.      Gubernur kepada Kepala Perangkat Daerah Provinsi bidang Penanaman Modal (PDP PM); atau c.       Bupati/Walikota kepada Kepala Perangkat Daerah Kabupaten/Kota bidang Penanaman Modal (PDKPM), yang ditetapkan dengan uraian yang jelas. III.10.5.5

Pasal 1 angka 10, Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009

Pengertian Pelimpahan Wewenang

Adalah penyerahan tugas, hak, kewajiban dan pertanggungjawaban perizinan dan non-perizinan, termasuk penandatangannya atas nama penerima wewenang, oleh: a.      Menteri Teknis/Kepala LPND kepada Kepala BKPM sebagaimana diatur dalam Pasal 26 ayat (2) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal; atau

68

b.      Kepala BKPM kepada Gubernur sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (8) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, yang ditetapkan dengan uraian yang jelas. III.10.5.6 Pasal 1 angka 11 Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009

Pengertian Penugasan

Adalah penyerahan tugas, hak, wewenang, kewajiban dan pertanggung-jawaban, termasuk penandatangannya atas nama penerima wewenang, dan Kepala BKPM kepada pemerintah kabupaten/kota untuk kewenangan Pemerintah berdasarkan hak substitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (8) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang ditetapkan dengan uraian yang jelas. III.10.5.7 Sistem Pelayanan Perizinan Investasi (SPIPISE) III.10.5.7.1

Pasal 1 angka 16, Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009. Definisi yang sama terdapat pada Pasal 1 ayat 13 dari Peraturan Kepala BKPM No. 14 Tahun 2009 tentang SPIPISE

Pengertian SPIPISE

Pengertian Portal SPIPISE

Adalah piranti lunak berbasis situs (website) yang merupakan gerbang informasi dan pelayanan perizinan dan non-perizinan penanaman modal di Indonesia. III.10.5.7.3

Pasal 2, Peraturan Kepala BKPM No. 14 Tahun 2009

dan

Adalah sistem pelayanan perizinan dan non-perizinan yang terintegrasi antara BKPM dengan Kementerian/LPND yang memiliki kewenangan perizinan dan non-perizinan, PDPPM dan PDKPM.

III.10.5.7.2 Pasal 1 ayat 14, Peraturan Kepala BKPM No. 14 Tahun 2009

Informasi

Maksud

peraturan

tentang SPIPISE

Adalah untuk mengatur penanam modal, penyelenggara PSTP di bidang Penanaman Modal, serta instansi teknis dalam mengajukan permohonan, atau penyelenggaraan perizinan dan non-perizinan dengan SPIPISE.

69

Pasal 3, Peraturan Kepala BKPM No. 14 Tahun 2009

III.10.5.7.4 Tujuan SPIPISE adalah untuk mewujudkan: a.     Penyelenggaraan PTSP sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009 tentang PTSP di bidang Penanaman Modal; b.     Pelayanan perizinan dan non-perizinan yang mudah, cepat, tepat, transparan, dan akuntabel; c.     Integrasi data dan pelayanan perizinan dan non-perizinan; d.    Keselarasan kebijakan dalam pelayanan penanaman modal antar sektor dan pusat dengan daerah.

Pasal 4 ayat (1), Peraturan Kepala BKPM No. 14 Tahun 2009

III.10.5.7.5

Ruang Lingkup SPIPISE terdiri dari:

a.     Subsistem Informasi Penanaman Modal; b.     Subsistem Pelayanan Penanaman Modal; c.     Subsistem Pendukung III.10.5.7.6

Peraturan lain terkait:

a.     Instruksi Presiden No. 6 tahun 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah; b.     Peraturan Kepala BKPM No. 11 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pembinaan dan Pelaporan Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal; c.     Peraturan Kepala BKPM No. 14 Tahun 2009 tentang Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik.

70

III.10.6 Pasal 10 ayat (2), Undang-Undang No. 25 Tahun 2007

Kemudahan Dalam Penggunaan Tenaga Kerja Asing

III.10.6.1

Hak Perusahaan Penanaman Modal

Perusahaan Penanaman Modal berhak menggunakan tenaga ahli warganegara asing untuk jabatan dan keahlian tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pasal 23 ayat (1) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007

III.10.6.2 Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan atas fasilitas keimigrasian dapat diberikan untuk: a.   b. 

c.  

Pasal 23 ayat (3) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007

Penanaman modal yang membutuhkan tenaga kerja asing dalam merealisasikan penanaman modal Penanaman modal yang membutuhkan tenaga kerja asing yang bersifat sementara dalam rangka perbaikan mesin, alat bantu produksi lainnya, dan pelayanan purna jual; dan Calon penanam modal yang akan melakukan penjajakan penanaman modal.

III.10.6.3 Fasilitas keimigrasian bagi penanam modal asing yaitu: a.  

Pemberian izin tinggal terbatas bagi penanam modal asing selama 2 (dua) tahun;

b.  

Pemberian alih status izin tinggal terbatas bagi penanam modal menjadi izin tinggal tetap dapat dilakukan setelah tinggal di Indonesia selama 2 (dua) tahun berturut-turut; Pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal terbatas dengan masa berlaku 1(satu) tahun diberikan untuk jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan terhitung sejak izin tinggal terbatas diberikan;

c.  

Pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal terbatas dengan masa berlaku 2 (dua) tahun diberikan untuk jangka waktu 24 (dua puluh empat) bulan terhitung sejak izin tinggal terbatas diberikan; dan

71

d. 

Pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal tetap diberikan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan terhitung sejak izin tinggal tetap diberikan.

III.10.6.4 Peraturan lain terkait: a.   Keputusan Presiden No. 75 Tahun 1995 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Warganegara Asing Pendatang; b. 

III.10.7

Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Per. 02/Men/III/2008 tentang Prosedur Mempekerjakan Ekspatriat. Kepemilikan Saham Asing yang Lebih Besar

Konsiderans Menimbang huruf a, Peraturan Pemerintah No. 83 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1994 tentang Kepemilikan Saham dalam Perusahaan yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing

III.10.7.1 Dalam rangka lebih meningkatkan kegiatan penanaman modal, khususnya penanaman modal asing ke Indonesia, diperlukan adanya kejelasan kebijakan penanaman modal yang menjamin kepastian hukum maupun memberikan kemudahan bagi penanaman modal asing.

Pasal 9 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 83 Tahun 2001

III.10.7.2 Badan hukum asing dapat membeli saham perusahaan baik yang didirikan dalam rangka penanaman modal asing, yang didirikan dalam rangka penanaman modal dalam negeri, maupun perusahaan yang bukan didirikan dalam rangka penanaman modal asing ataupun penanaman modal dalam negeri yang belum atau telah berproduksi komersial.

Pasal 9 ayat (2), Peraturan Pemerintah No. 83 Tahun 2001

III.10.7.3 Pembelian saham perusahaan yang didirikan baik dalam rangka penanaman modal asing maupun penanaman modal dalam negeri hanya dapat dilakukan apabila bidang usahanya pada saat pembelian saham terbuka bagi penanaman modal asing.

72

III.10.7.4 Pembelian saham dilakukan melalui pemilikan langsung dan/atau pasar modal dalam negeri.

Pasal 9 ayat (3), Peraturan Pemerintah No. 83 Tahun 2001

III.10.7.5 Peraturan lain yang terkait kepemilikan saham asing: Perpres No. 36 Tahun 2010, khususnya pada lampiran III.10.8

Bidang Usaha yang Lebih Terbuka

III.10.8.1

Pengertian

Semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan.

Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007

III.10.8.2

Kriteria

Pemerintah menetapkan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan berdasarkan kriteria kepentingan nasional, yaitu perlindungan sumber daya alam, perlindungan, pengembangan usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi, pengawasan produksi dan distribusi, peningkatan kapasitas teknologi, partisipasi modal dalam negeri, serta kerjasama dengan badan usaha yang ditunjuk oleh Pemerintah.

Pasal 12 ayat (5) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007

III.10.8.3

Peraturan-peraturan lain yang terkait:

a.     Peraturan Presiden No. 76 Tahun 2007 b.    Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2010 III.11

Pasal 1 ayat (3), Peraturan Kepala BKPM No. 13 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal jo. Peraturan Kepala BKPM No. 7 Tahun 2010

PENGENDALIAN PELAKSANAAN PENANAMAN MODAL III.11.1 Pengendalian III.11.1.1 Pengertian Adalah kegiatan untuk melakukan pemantauan, pembinaan dan pengawasan agar pelaksanaan kegiatan penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

73

Pasal 2 ayat (1) Peraturan Kepala BKPM No. 13 Tahun 2009 jo Peraturan Kepala BKPM No. 7 Tahun 2010

III.11.1.2 Maksud Maksud pengendalian pelaksanaan penanaman modal adalah melaksanakan pemantauan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penanaman modal sesuai dengan hak, kewajiban dan tanggung jawab penanam modal.

Pasal 2 ayat (2), Peraturan Kepala BKPM No. 13 Tahun 2009 jo Peraturan Kepala BKPM No. 7 Tahun 2010

III.11.1.3 Tujuan Tujuan pengendalian pelaksanaan penanaman modal adalah: a.   Memperoleh data perkembangan realisasi penanaman modal dan informasi masalah dan hambatan yang dihadapi oleh perusahaan; b.   Melakukan bimbingan dan fasilitasi penyelesaian masalah dan hambatan yang dihadapi oleh perusahaan; c.   Melakukan pengawasan pelaksanaan ketentuan penanaman modal dan penggunaan fasilitas fiskal serta melakukan tindak lanjut atas penyimpangan yang dilakukan oleh perusahaan.

Pasal 2 ayat (3), Peraturan Kepala BKPM No. 13 Tahun 2009 jo. Peraturan Kepala BKPM No. 7 Tahun 2010

III.11.1.4

Sasaran

Sasaran pengendalian pelaksanaan penanaman modal adalah tercapainya kelancaran dan ketepatan pelaksanan penanaman modal serta tersedianya data realisasi penanaman modal III.11.1.5 Pengendalian Modal, yaitu: a.  

Realisasi

b.  

Pelaksanaan

Peraturan Kepala BKPM No. 13 Tahun 2009 jo.Peraturan Kepala BKPM No. 7 Tahun 2010

74

Pelaksanaan

Penanaman

Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 11 Tahun 2006 tentang Jenis Rencana Usaha dan atau Kegiatan yang Wajib dilengkapi dengan Analisis mengenai Dampak Lingkungan Hidup

c.  

III.11.2

Lingkungan

Pengawasan

III.11.2.1 Pasal 1 angka 6, Peraturan Kepala BKPM No. 13 Tahun 2009 jo. Peraturan Kepala BKPM No. 7 Tahun 2010

Pengawasan adalah upaya atau kegiatan yang dilakukan guna mencegah dan mengurangi terjadinya penyimpangan atas pelaksanaan penanaman modal serta pengenaan sanksi terhadap pelanggaran/penyimpangan atas ketentuan peraturan perundang-undangan. III.11.2.2

Pasal 6 huruf c, Peraturan Kepala BKPM No. 13 Tahun 2009 jo.Peraturan Kepala BKPM No. 7 Tahun 2010

Pengertian

Pelaksanaan

Pengawasan dilakukan melalui: a. Penelitian dan evaluasi atas informasi pelaksanaan ketentuan penanaman modal dan fasilitas yang telah diberikan.

b. Pemeriksaan di lokasi proyek penanaman modal c. Tindak lanjut terhadap penyimpangan atas ketentuan penanaman modal.

III.11.2.3 Pasal 10 ayat (3) huruf a, Peraturan Kepala BKPM No. 13 Tahun 2009 jo. Peraturan Kepala BKPM No. 7 Tahun 2010

Lingkungan

Dalam hal-hal tertentu, baik BKPM maupun PDPPM dapat langsung melakukan pemantauan, pembinaan, dan pengawasan dalam hal terjadinya pencemaran lingkungan yang membahayakan keselamatan masyarakat.

75

Pasal 1 angka 1, Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup

Oleh karenanya setiap penanam modal yang hendak melaksanakan kegiatan penanaman modal diwajibkan untuk melaksanakan terlebih dahulu studi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL). Analisis mengenai dampak lingkungan hidup (AMDAL) adalah kajian mengenai dampak besar dan penting suatu usaha dan/atau kegiatan yang direncanakan pada lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses pengambilan keputusan tentang penyelenggaraan usaha dan/atau kegiatan.

76

KOORDINASI DAN PELAKSANAAN KEBIJAKAN PENANAMAN MODAL

77

IV.1

Pasal 27, UndangUndang No. 25 Tahun 2007

URAIAN SINGKAT PENANAMAN MODAL

KOORDINASI

KEBIJAKAN

Pemerintah mengkoordinasi kebijakan penanaman modal, baik koordinasi antar instansi pemerintah, antar instansi pemerintah dengan Bank Indonesia, antar instansi pemerintah dengan pemerintah daerah, maupun antar pemerintah daerah. Koordinasi pelaksanaan kebijakan penanaman modal dilakukan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), yang dipimpin oleh seorang Kepala dan bertanggung jawab langsung kepada Presiden serta diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.

Pasal 28, UndangUndang No. 25 Tahun 2007

Dalam rangka koordinasi pelaksanaan kebijakan dan pelayanan penanaman modal, BKPM mempunyai tugas dan fungsi sebagai berikut: a. melaksanakan tugas dan koordinasi pelaksanaan kebijakan di bidang penanaman modal; b. mengkaji dan mengusulkan kebijakan pelayanan penanaman modal; c. menetapkan norma, standar, dan prosedur pelaksanaan kegiatan dan pelayanan penanaman modal; d. mengembangkan peluang dan potensi penanaman modal di daerah dengan memberdayakan badan usaha; e. membuat peta penanaman modal Indonesia; f. mempromosikan penanaman modal; g. mengembangkan sektor usaha penanaman modal melalui pembinaan penanaman modal, antara lain meningkatkan kemitraan, meningkatkan daya saing, menciptakan persaingan usaha yang sehat, dan menyebarkan informasi yang seluas-luasnya dalam lingkup penyelenggaraan penanaman modal; h. membantu penyelesaian berbagai hambatan dan konsultasi permasalahan yang dihadapi penanam modal dalam menjalankan kegiatan penanaman modal;

79

i.

mengoordinasi penanam modal dalam negeri yang menjalankan kegiatan penanaman modalnya di luar wilayah Indonesia; dan j. mengkoordinasi dan melaksanakan pelayanan terpadu satu pintu. Selain tugas koordinasi sebagaimana diuraikan di atas, Badan Koordinasi Penanaman Modal bertugas melaksanakan pelayanan penanaman modal berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan Pasal 29, UndangUndang No. 25 Tahun 2007

Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya serta pelayanan terpadu satu pintu, Badan Koordinasi Penanaman Modal harus melibatkan perwakilan secara langsung dari setiap sektor dan daerah terkait dengan pejabat yang mempunyai kompetensi dan kewenangan.

Pasal 1 angka 7 Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009, ketentuan yang sama diatur juga dalam Pasal 5 ayat (1) Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Penyelenggaraan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di bidang penanaman modal oleh pemerintah provinsi dilaksanakan oleh Perangkat Daerah Provinsi bidang Penanaman Modal (PDPPM) adalah unsur pembantu kepala daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi, dengan bentuk sesuai dengan kebutuhan masing-masing pemerintah provinsi, yang menyelenggarakan fungsi utama koordinasi di bidang Penanaman Modal di pemerintah provinsi.

Pasal 1 angka 8 Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009, ketentuan yang sama diatur juga dalam Pasal 5 ayat (1) Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Penyelenggaraan PTSP di bidang penanaman modal oleh

Pasal 45 Peraturan Presiden No. 90 Tahun 2007

Dalam mengkoordinasikan pelaksanaan kebijakan penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, BKPM mengadakan rapat-rapat koordinasi dengan perwakilan secara langsung dari sektor dan daerah terkait secara berkala atau sewaktu-waktu apabila dibutuhkan. Untuk kepentingan koordinasi tersebut, BKPM dapat mengikutsertakan atau mengundang pihakpihak lain yang diperlukan sesuai dengan kebutuhan.

Pemerintah Kabupaten/Kota dilaksanakan oleh Perangkat Daerah Kabupaten/Kota bidang Penanaman Modal (PDKPM) adalah unsur pembantu kepala daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah kabupaten/kota, dengan bentuk sesuai dengan kebutuhan masing-masing pemerintah kabupaten/kota, yang menyelenggarakan fungsi utama koordinasi di bidang Penanaman Modal di pemerintah kabupaten/kota

80

IV.2

MEKANISME KOORDINASI PADA TINGKAT KEMENTERIAN TEKNIS/LPND IV.2.1 Bentuk-bentuk Kegiatan Penanaman Modal Yang Merupakan Kewenangan Pemerintah, antara lain:

Pasal 30 ayat (7) Undang-Undang No. 25 Tahun 2007, ketentuan serupa dapat dilihat pula pada Pasal 8 ayat (1), Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009, Pasal 3 ayat (2) Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

a. b.

Penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya lintas provinsi; dan Urusan pemerintahan di bidang Penanaman Modal, yang meliputi: 1. Penanaman Modal terkait dengan sumber daya alam yang tidak terbarukan dengan tingkat risiko kerusakan lingkungan yang tinggi; 2. Penanaman Modal pada bidang industri yang merupakan prioritas tinggi pada skala nasional; 3. Penanaman Modal yang terkait pada fungsi pemersatu dan penghubung antar wilayah atau ruang lingkupnya lintas provinsi; 4. Penanaman Modal yang terkait pada pelaksanaan strategi pertahanan dan keamanan nasional; 5. Penanaman Modal Asing dan Penanam Modal yang menggunakan modal asing, yang berasal dari pemerintah negara lain, yang didasarkan perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah dan pemerintah negara lain; dan 6. Bidang Penanaman Modal lain yang menjadi urusan Pemerintah menurut Undang-Undang.

Pasal 30 ayat (8), Undang-Undang No. 25 Tahun 2007

Dalam urusan pemerintahan di bidang penanaman modal yang menjadi kewenangan Pemerintah, Pemerintah menyelenggarakannya sendiri, melimpahkannya kepada gubernur selaku wakil Pemerintah, atau menugasi pemerintah kabupaten/kota.

81

IV.2.2 Mekanisme Koordinasi antara BKPM dengan Menteri Teknis/Kepala LPND Pasal 9, Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009

Menteri Teknis/Kepala LPND yang diberikan kewenangan untuk menerbitkan Perizinan dan Non-perizinan di bidang Penanaman Modal, menetapkan jenis-jenis perizinan dan non-perizinan untuk penyelenggaraan PTSP di bidang Penanaman Modal, dengan tetap memperhatikan penyederhanaan tanpa mengurangi faktor keselamatan, keamanan, kesehatan, dan perlindungan lingkungan dari kegiatan Penanaman Modal, mengacu kepada standar yang ditetapkan oleh lembaga/instansi yang berwenang. Adapun perizinan dan non-perizinan tersebut ditetapkan dalam bentuk petunjuk teknis meliputi: persyaratan teknis dan non-teknis; tahapan memperoleh Perizinan dan Nonperizinan; serta mekanisme pengawasan dan sanksi

Pasal 29, Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Perusahaan penanaman modal yang memerlukan perizinan dan non-perizinan yang masih menjadi kewenangan departemen/instansi teknis di pusat, perizinannya dapat diajukan melalui PTSP BKPM, yang difasilitasi oleh penghubung departemen/instansi teknis yang ditempatkan di PTSP BKPM. Pelaksanaan PTSP di bidang penanaman modal, dilakukan dalam bentuk: IV.2.2.1 Pendelegasian atau Pelimpahan Wewenang

Pasal 7 ayat (2) huruf a, Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009

a.

Pendelegasian atau Pelimpahan Wewenang dari Menteri Teknis/Kepala LPND yang memiliki kewenangan Perizinan dan Nonperizinan yang merupakan urusan Pemerintah di bidang Penanaman Modal kepada BKPM.

b.

Pendelegasian atau pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud di atas diatur dalam bentuk peraturan Menteri Teknis/Kepala LPND yang di dalamnya mengatur tentang pemberian hak substitusi kepada Kepala BKPM.

82

Pasal 1 angka 9, Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009

c.

Lebih jelasnya, istilah pendelegasian wewenang sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009 adalah penyerahan tugas, hak, kewajiban, dan pertanggung jawaban Perizinan dan Nonperizinan, termasuk penanda-tanganannya atas nama pemberi wewenang, oleh: Menteri Teknis/Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen (LPND) kepada Kepala BKPM; Gubernur kepada kepala PDPPM; atau Bupati/Walikota kepada Kepala PDKPM.

IV.2.2.2

Penunjukkan Penghubung

Pasal 7 ayat (2) huruf b, Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009

a.

Penunjukan Penghubung oleh Menteri Teknis/ Kepala LPND, Gubernur atau Bupati/Walikota yang berwenang mengeluarkan Perizinan dan Non-perizinan di bidang Penanaman Modal untuk kepentingan koordinasi dengan BKPM.

Pasal 1 angka 12, Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009

b.

Penghubung adalah pejabat pada Kementerian/ LPND, pemerintah provinsi, atau pemerintah kabupaten/kota yang ditunjuk untuk membantu penyelesaian Perizinan dan Nonperizinan, memberi informasi, fasilitasi, dan kemudahan di bidang Penanaman Modal yang menjadi kewenangan Menteri Teknis/Kepala LPND, Gubernur atau Bupati/Walikota dengan uraian tugas, hak, wewenang, kewajiban, dan pertanggungjawaban yang jelas.

Pasal 7 ayat (5), Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009

IV.2.2.3 Kepala BKPM memberikan rekomendasi kepada Menteri Teknis/Kepala LPND, untuk mendapatkankan perizinan dan non-perizinan yang berdasarkan Undang-Undang tidak dilimpahkan.

Pasal 8 ayat (4) Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009

IV.2.2.4 Untuk kepentingan kegiatan penananam modal asing dan penanaman modal yang menggunakan modal asing, Kepala BKPM berkoordinasi dengan Menteri/Pimpinan Instansi terkait untuk menginventarisasi perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah dan pemerintah negara lain di bidang Penanaman Modal.

83

IV.2.3 Bentuk-bentuk Koordinasi antara BKPM dengan Menteri Teknis/Kepala LPND Dalam perkembangannya antara BKPM dengan kementerian sektoral, telah ditandatangani pendelegasian wewenang dari Menteri Teknis terkait kepada Kepala BKPM dalam rangka pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu, dalam bentuk: a.

b.

c.

d.

e.

84

Keputusan  Menteri Pertanian Republik Indonesia No. 3480/Kpts/Hk.300/10/2009 tentang Pendelegasian Wewenang Pemberian Usaha di Bidang Pertanian dalam Rangka Penanaman Modal kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal. Peraturan Menteri Perhubungan No. KM. 83 Tahun 2009 tentang Pendelegasian Wewenang Pemberian Izin Usaha di Bidang Transportasi dalam Rangka Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal. Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral No. 05 Tahun 2010 tentang Pendelegasian Wewenang Pemberian Izin Usaha di Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral dalam Rangka Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia No. 24/Prt/M/2009 tentang Pendelegasian Wewenang Pemberian Izin Usaha di Bidang Pekerjaan Umum dalam Rangka Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia No. 55/M-DAG/PER/10/2009 tentang Pendelegasian Wewenang Penerbitan Surat Izin Usaha Penjualan Langsung kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Dalam Rangka Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal

f.

g.

h.

i.

IV.3

Peraturan Menteri Perindustrian Republik Indonesia No. 16/M-Ind/Per/2/2010 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perindustrian No. 147/M-Ind/ Per/110/2009 tentang Pendelegasian Kewenangan Pemberian Izin Usaha Industri, Izin Perluasan, Izin Usaha Kawasan Industri, dan Izin Perluasan Kawasan Industri dalam Rangka Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika No. 50/Per/M/Kominfo/12/2009 tentang Pendelegasian Wewenang Pemberian Izin Usaha di Bidang Komunikasi dan Informatika dalam Rangka Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. P.01/Menhut-II/2010 tentang Pendelegasian Wewenang Pemberian Izin Usaha di Bidang Kehutanan dalam Rangka Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal. Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata No. PM.59/HK.501/MKP/2009 tentang Pendelegasian Wewenang Pemberian Ijin Usaha dibidang Kebudayaan dan Pariwisata Dalam Rangka Penanaman Modal Kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal.

MEKANISME KOORDINASI PADA TINGKAT PEMERINTAH DAERAH (PROVINSI/KABUPATEN/KOTA) V.3.1 Bentuk-bentuk Kegiatan Penanaman Modal yang merupakan kewenangan Pemerintah Provinsi, Kabupaten/ Kota

85

Pasal 32, Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009

Perangkat Daerah Provinsi bidang Penanaman Modal (PDPPM) dan Perangkat Daerah Kabupaten/Kota bidang Penanaman Modal (PDKPM) merupakan perangkat daerah yang menyelenggarakan fungsi utama koordinasi di bidang Penanaman Modal pada pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota. Adapun fungsi dimaksud antara lain adalah: a. Melaksanakan koordinasi pelaksanaan kebijakan di bidang Penanaman Modal di daerah; b. Mengkaji dan mengusulkan kebijakan pelayanan Penanaman Modal di daerah; c. Memberikan insentif daerah dan/atau kemudahan Penanaman Modal di daerah; d. Membuat peta Penanaman Modal daerah; e. Mengembangkan peluang dan potensi Penanaman Modal di daerah dengan memberdayakan badan usaha; f. Mempromosikan Penanaman Modal daerah; g. Mengembangkan sektor usaha Penanaman Modal daerah melalui pembinaan Penanaman Modal, antara lain meningkatkan kemitraan, meningkatkan daya saing, menciptakan persaingan usaha yang sehat, dan menyebarkan informasi yang seluas-luasnya dalam lingkup penyelenggaraan Penanaman Modal; dan h. Membantu penyelesaian berbagai hambatan dan konsultasi permasalahan yang dihadapi Penanam Modal dalam menjalankan kegiatan Penanaman Modal di daerah. Terkait kebijakan otonomi daerah, penyelenggaraan penanaman modal berdasarkan wilayah dan kewenangannya terbagi atas:

Pasal 30 ayat 5, Undang-Undang No. 25 Tahun 2007

IV.3.1.1 Penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya lintas kabupaten/kota menjadi urusan pemerintah provinsi.

86

Pasal 5, Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

a.

Penyelenggaraan PTSP di bidang penanaman modal oleh pemerintah provinsi dilaksanakan oleh PDPEPM dalam bentuk pendelegasian wewenang pemberian perizinan dan nonperizinan atas urusan pemerintah di bidang penanaman modal yang menjadi kewenangan pemerintah provinsi.

Pasal 1, Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009, diuraikan pula pada Pasal 1 angka 42, Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Pasal 11 ayat (3), Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009

b.

Perangkat Daerah Provinsi bidang Penanaman Modal (PDPPM) adalah unsur pembantu kepala daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi, dengan bentuk sesuai dengan kebutuhan masingmasing pemerintah provinsi, yang menyelenggarakan fungsi utama koordinasi di bidang Penanaman Modal di pemerintah provinsi.

Adapun bentuk-bentuk kegiatan penanaman modal yang merupakan kewenangan pemerintah provinsi, antara lain: a.

Urusan pemerintah provinsi di bidang Penanaman Modal yang ruang lingkupnya lintas kabupaten/kota berdasarkan peraturan perundang-undangan mengenai pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dan pemerintahan daerah provinsi; dan

b.

Urusan Pemerintah di bidang Penanaman Modal yang diberikan Pelimpahan Wewenang kepada Gubernur

Pasal 30 ayat 6, Undang-Undang No. 25 Tahun 2007

IV.3.1.2 Penyelenggaraan penanaman modal yang ruang lingkupnya berada dalam satu kabupaten/ kota menjadi urusan pemerintah kabupaten/kota.

Pasal 7, Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Penyelenggaraan PTSP di bidang penanaman modal oleh pemerintah Kabupaten/kota dilaksanakan oleh PDKPM dalam bentuk pendelegasian wewenang pemberian perizinan dan non-perizinan atas urusan pemerintah di bidang penanaman modal yang menjadi kewenangan pemerintah Kabupaten/Kota kepada PDKPM.

87

Pasal 12 ayat (3), Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009

Adapun bentuk-bentuk kegiatan penanaman modal yang merupakan kewenangan pemerintah Kabupaten/kota, antara lain: a. Urusan pemerintah kabupaten/kota di bidang Penanaman Modal yang ruang lingkupnya berada dalam satu kabupaten/ kota berdasarkan peraturan perundang-undangan tentang pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dan pemerintahan kabupaten/kota; dan Urusan Pemerintah di bidang Penanaman Modal yang diberikan Penugasan kepada pemerintah kabupaten/kota.

b.

IV.3.2 Mekanisme Koordinasi antara BKPM dengan PDPEPM dan PDKPM Pasal 31 Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009

IV.3.2.1 Dalam rangka koordinasi pelaksanaankebijakan dan pelayanan Penanaman Modal di PTSP, BKPM melaksanakan koordinasi dengan Kementerian Teknis/ LPND, PDPE PEM, dan PDKPM.

Pasal 13, Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009

IV.3.2.2 Adapun koordinasi tersebut antara lain dalam bentuk:

Diatur pula dalam Pasal 30 (8) UndangUndang No. 25 Tahun 2007

a.

Penyelenggaraan PTSP di bidang Penanaman Modal yang menjadi urusan pemerintah dan dalam realisasinya dapat dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah, berdasarkan hak substitusi yang diperoleh dari Menteri Teknis terkait/ Kepala LPND, BKPM dapat memberikan Pelimpahan Wewenang kepada Gubernur atau memberikan sebagai Penugasan kepada pemerintah kabupaten/kota.

Ketentuan mengenai kualifikasi PTSP dapat dilihat pada Pasal 5 ayat 1 dan 2, Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009

b.

Pelimpahan Wewenang kepada Gubernur atau Penugasan kepada pemerintah kabupaten/ kota didasarkan atas kualifikasi PTSP di bidang Penanaman Modal

c.

Adapun Pelimpahan Wewenang kepada Gubernur atau Penugasan kepada pemerintah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud di atas ditetapkan dengan Peraturan Kepala BKPM.

88

IV.4

PROMOSI INVESTASI Dalam rangka meningkatkan kegiatan investasi asing, pemerintah telah mengamanatkan penunjukkan dan penempatan pejabat promosi investasi Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) di luar negeri yang diatur dalam Peraturan Kepala BKPM No. 2 Tahun 2009 tentang Penempatan Pejabat Promosi Investasi Badan Koordinasi Penanaman Modal di Luar Negeri

Pasal 28 ayat (1) huruf f, UndangUndang No 25 Tahun 2007

Ketentuan ini sejalan dengan salah satu tugas dan fungsi BKPM dalam mengoordinasi pelaksanaan kebijakan dan pelayanan penanaman modal, yaitu mempromosikan penanaman modal.

Paragraf 5 penjelasan Undang-Undang No. 25 Tahun 2007.

Di samping itu, Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal juga mengamanatkan kepada pemerintah daerah bersama-sama dengan instansi atau lembaga, baik swasta maupun Pemerintah, harus lebih diberdayakan lagi, baik dalam pengembangan peluang potensi daerah maupun dalam koordinasi promosi dan pelayanan penanaman modal.

Pasal 28 ayat (1) huruf f, UndangUndang No. 25 Tahun 2009

Adapun tugas dan fungsi dari pejabat promosi BKPM yang ditempatkan di luar negeri

Pasal 2, Peraturan Kepala BKPM No. 2 Tahun 2009

IV.4.1 Pejabat Promosi Investasi di Luar Negeri bertugas untuk melaksanakan kegiatan teknis operasional investasi secara proaktif, efektif dan efisien IV.4.2

Tugas dan fungsi:

a.

b.

Melakukan promosi dan komunikasi serta memberikan bimbingan dan konsultasi investasi kepada investor potensial. Melaksanakan dan memfasilitasi pengiriman misi investasi ke Indonesia serta menerima misi investasi dari Indonesia ke negara setempat

89

c.

Melaksanakan pemantauan minat penanaman modal (market intelligence) dan kebijakan penanaman modal di negara setempat. d. Menyebarluaskan informasi tentang kebijakan penanaman modal dan peluang penanaman modal di negara setempat

e.

Melakukan tugas koordinasi dan sinkronisasi implementasi penanaman modal dengan perwakilan republik Indonesia dan instansi negara setempat serta instansi terkait di Indonesia. Melaksanakan tugas lain atas petunjuk Kepala BKPM.

f.

IV.5

MEKANISME PELAYANAN IV.5.1 Jenis-jenis Pelayanan Penanaman Modal IV.5.1.1

Pasal 13 ayat (2), Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Pelayanan Perizinan

a. b. c. d. e.

Pendaftaran penanaman modal Izin prinsip penanaman modal Izin prinsip perluasan penanaman modal Izin prinsip perubahan penanaman modal Izin usaha, izin usaha perluasan, izin usaha penggabungan perusahaan penanaman modal (merger) dan izin usaha perubahan. Izin lokasi Persetujuan pemanfaatan ruang Izin mendirikan bangunan (IMB) Izin gangguan (UUG/HO) Surat izin pengambilan air bawah tanah Tanda daftar perusahaan Hak atas tanah Izin-izin lainnya dalam rangka pelaksanaan penanaman modal

f. g. h. i. j. k. l. m.

90

IV.5.1.2 Pasal 13 ayat (3), Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

a. b. c. d. e. f. g. h. i.

Pasal 14 ayat (2), Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Pelayanan Non-perizinan Fasilitas bea masuk atas impor mesin Fasilitas bea masuk atas impor barang dan bahan Usulan untuk mendapatkan fasilitas pajak penghasilan (PPh) Angka Pengenal Importir Produsen (API-P) Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) Rekomendasi Visa untuk Bekerja (TA.01) Izin mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) Insentif daerah Layanan informasi dan layanan pengaduan

Sebagai catatan, bahwa terhadap beberapa perizinan dan non-perizinan sebagaimana dimaksud di atas, diantaranya menyangkut: Izin Lokasi, Persetujuan Pemanfaatan ruang, Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Izin Gangguan (UUG/HO), Surat Izin Pengambilan Air Bawah Tanah, Tanda Daftar Perusahaan, Hak Atas Tanah, Izin-izin lainnya dalam rangka pelaksanaan penanaman modal dan insentif daerah, pedoman dan tata cara permohonannya mengikuti ketentuan yang dikeluarkan oleh instansi teknis/Kepala LPND terkait, Gubernur, Bupati/Walikota. IV.5.2 Mekanisme Pelayanan Penanaman Modal

Pasal 15 ayat (1), Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Penanam modal dapat mengajukan permohonan perizinan dan non-perizinan penanaman modal baik secara manual maupun melalui secara elektronik melalui SPIPISE, kepada PTSP BKPM, PTSP PDPPM atau PTSP

Pasal 15 ayat (2), Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Menyangkut perizinan: Izin Lokasi, Persetujuan Pemanfaatan Ruang, Izin Mendirikan Bangunan (IMB), Izin Gangguan (UUG/HO), Surat Izin Pengambilan Air Bawah Tanah, Tanda Daftar Perusahaan, Hak Atas Tanah, dan Izin-izin lainnya dalam rangka pelaksanaan penanaman modal, penanam modal dapat mengajukan permohonan kepada masing-masing PTSP PDPPM atau PTSP PDKPM sesuai kewenangannya.

91

Pasal 15 ayat (3), Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Penanam modal dapat mengajukan permohonan secara pararel untuk berbagai perizinan dan non-perizinan yang tidak berkaitan, dengan hanya menyampaikan satu berkas persyaratan permohonan melalui SPIPISE.

Pasal 15 ayat (4), Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Penanam

Pasal 29, Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Perusahaan penanaman modal yang memerlukan perizinan dan non-perizinan yang masih menjadi kewenangan departemen/instansi teknis di pusat, permohonannya dapat diajukan melalui PTSP BKPM, yang prosesnya akan difasilitasi oleh penghubung departemen/instansi teknis yang ditempatkan di PTSP BKPM.

modal

yang

hendak

menyampaikan

permohonan melalui SPIPISE wajib menyampaikan formulir permohonan, kesepakatan para pemegang saham yang telah dicatat (waarmerking) oleh notaris, surat-surat pernyataan dan surat kuasa asli, pada saat: a. Penanam modal mengirimkan permohonan melalui SPIPISE, atau b. Penanam modal mengambil perizinan dan non-perizinan yang telah diterbitkan oleh PTSP.

IV.6

PEMANFAATAN TEKNOLOGI UNTUK PELAYANAN INFORMASI DAN PERIZINAN

Pasal 19, Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009

Pemerintah telah merumuskan pemanfaatan teknologi informasi yang disediakan secara khusus bagi penanam modal (investor), penyelenggara PTSP, serta instansi teknis terkait dalam upaya memaksimalkan pelayanan baik dalam bentuk perizinan maupun non-perizinan. Penyelenggaraan PTSP di bidang Penanaman Modal didukung oleh SPIPISE

Pasal 1 angka 16, Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009, diatur pula dalam Pasal 1 angka 13, Peraturan Kepala BKPM No. 14 Tahun 2009

Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik yang selanjutnya disingkat SPIPISE adalah sistem pelayanan Perizinan dan Non-perizinan yang terintegrasi antara BKPM dengan Kementerian/ LPND yang memiliki kewenangan Perizinan dan Nonperizinan, PDPPM dan PDKPM.

92

Pasal 36 ayat (5), Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009, ketentuan yang sama diatur pula pada Pasal 42, Peraturan Kepala BKPM No. 14 Tahun 2009

Penyelenggaraan PTSP dengan dukungan SPIPISE diberlakukan secara bertahap sesuai dengan kemampuan dan berlaku sepenuhnya paling lambat 36 (tiga puluh enam) bulan sejak Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009 mulai berlaku yaitu tanggal 23 Juni 2009. Dengan demikian, maka SPIPISE harus sudah mulai beroperasi mulai tanggal 23 Juni 2012. IV.6.1

Pasal 2, Peraturan Kepala BKPM No. 14 Tahun 2009

Maksud dan Tujuan Penyelenggaraan SPIPISE:

IV.6.1.1 Maksud dari penyelenggaraan SPIPISE adalah untuk mengatur penanam modal, penyelenggara PTSP di bidang penanaman modal, serta instansi teknis dalam mengajukan permohonan, atau penyelenggaraan perizinan dan non-perizinan dengan SPIPISE IV.6.1.2 Tujuan yang hendak dicapai melalui penyelenggaraan SPIPISE antara lain adalah: a. Merealisasikan pelaksanaan Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal b. Mewujudkan pelayanan perizinan dan non-perizinan yang mudah, cepat, tepat, transparan dan akuntabel. c. Mewujudkan integrasi data dan pelayanan perizinan dan non-perizinan d. Mewujudkan kebijakan dalam pelayanan penanaman modal antar sektor dan pusat dengan daerah.

Pasal 4, Peraturan Kepala BKPM No. 14 Tahun 2009

IV.6.2 IV.6.2.1

Bentuk-bentuk SPIPISE Subsistem Informasi Penanaman Modal

Pada subsistem ini tersedia informasi secara lengkap mengenai hal-hal yang berkaitan dengan penanaman modal, antara lain menyangkut: a. Peraturan perundang-undangan di bidang Penanaman Modal b. Potensi dan peluang penanaman modal;

93

c.

Daftar bidang usaha tertutup dan daftar bidang usaha terbuka, jenis, tata cara proses permohonan, biaya dan waktu pelayanan perizinan dan non-perizinan yang terbuka dengan persyaratan; Tata cara pencabutan perizinan dan non-

d.

perizinan; Tata cara penyampaian laporan kegiatan penanaman modal; Tata cara pengaduan terhadap pelayanan penanaman modal; Data referensi yang digunakan dalam pelayanan perizinan dan non-perizinan penanaman modal Data perkembangan penanaman modal, kawasan industri, harga utilitas, upah dan tanah; Informasi perjanjian internasional di bidang penanaman modal.

e. f. g.

h.

i.

IV.6.2.2 Subsistem Pelayanan Penanaman Modal. merupakan sistem elektronik yang menyediakan: IV.6.2.2.1 Pelayanan perizinan dan non-perizinan: Pasal 19 ayat 2, Peraturan Kepala BKPM No. 14 Tahun 2009

a. Penanam Modal dapat mengajukan pendaftaran penanaman modal melalui SPIPISE dilengkapi dengan dokumen pendukung secara elektronik

Pasal 20, Peraturan Kepala BKPM No. 14 Tahun 2009

b.

94

Permohonan perizinan dan non-perizinan diajukan oleh penanam modal yang telah memiliki hak akses melalui SPIPISE kepada PTSP sesuai dengan kewenangannya, dilengkapi dengan dokumen pendukung elektronik, yang mengacu pada Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009, selanjutnya PTSP yang berwenang akan menerbitkan tanda terima setelah permohonan dinyatakan lengkap dan benar

Pasal 21, Peraturan Kepala BKPM No. 14 Tahun 2009

c.

PTSP yang berwenang akan menyampaikan perizinan dan non-perizinan secara elektronik ke account penanam modal atau melalui e-mail setelah seluruh persyaratan dinyatakan terpenuhi. Adapun dokumen cetak yang telah ditandatangani oleh kepala BKPM/PDPPM/ PDKPM/instansi terkait dapat diambil oleh penanam modal atau oleh kuasanya dengan menunjukkan tanda terima. Apabila dokumen perizinan/ non-perizinan tidak diambil, maka dalam waktu 14 hari akan dikirimkan melalui pos ke alamat korespondensi.

Pasal 22, Peraturan Kepala BKPM No. 14 Tahun 2009

IV.6.2.2.2 Pelayanan Penyampaian Laporan Kegiatan Penananaman Modal (LKPM). Penanam modal dapat menyampaikan LKPM secara elektronik melalui SPIPISE kepada BKPM/PDPPM/PDKPM sesuai kewenangannya dengan mengacu pada Peraturan Kepala BKPM No. 13 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal IV.6.6.2.3 Pelayanan pencabutan perizinan dan non-perizinan

serta pembatalan

IV.6.2.2.4 Pelayanan pengenaan dan pembatalan sanksi IV.6.2.2.5 Aplikasi antarmuka SPIPISE dan sistem pada instansi teknis dan/ atau instansi terkait dengan penanaman modal IV.6.2.2.6 Penelusuran proses pelayanan permohonan perizinan dan non-perizinan IV.6.2.2.7

Jejak audit (audit trail)

IV.6.2.3 Subsistem Pendukung terdiri dari sistem elektronik, antara lain: a. Pengaturan penggunaan jaringan elektronik b. Pengelolaan keamanan sistem elektronik dan jaringan elektronik c. Pengelolaan informasi yang ditampilkan dalam NSWi d. Pengaduan terhadap pelayanan perizinan dan nonperizinan dan masalah dalam penggunaan SPIPISE e. Pelaporan perkembangan penanaman modal dan perangkat analisis pengambilan keputusan yang terkait dengan penanaman modal

95

f.

Pengelolaan pengetahuan sebagai pendukung analisis dalam pengambilan putusan pengembangan kebijakan penanaman modal Penyediaan panduan penggunaan SPIPISE

g.

IV.6.3 Hak Akses Pasal 1 angka 19, Peraturan Kepala BKPM No. 14 Tahun 2009

Hak akses adalah hak yang diberikan oleh pengelola SPIPISE kepada pengguna yang telah memiliki identitas pengguna dan kode akses untuk menggunakan layanan yang tersedia pada SPIPISE. Adapun manfaat serta ketentuan yang harus dipenuhi oleh user untuk dapat mengakses SPIPISE adalah sebagai berikut: IV.6.3.1

Informasi yang dapat diakses:

Pasal 8 ayat (1), Peraturan Kepala BKPM No. 14 Tahun 2009

a.

Untuk Subsistem Informasi penanaman modal, semua orang dapat mengakses tanpa harus memiliki Hak Akses

Pasal 8 Ayat (2), Peraturan Kepala BKPM No. 14 Tahun 2009

b.

Untuk Subsistem Pelayanan penanaman modal, hanya dapat diakses oleh Pengguna yang telah memiliki Hak Akses, dikecualikan terhadap pelayanan pendaftaran penanaman modal, dapat diakses tanpa menggunakan Hak Akses

Pasal 8 ayat (4), Peraturan Kepala BKPM No. 14 Tahun 2009

c.

Untuk

IV.6.3.2 Lampiran II, Peraturan Kepala BKPM No. 14 Tahun 2009

Subsistem

Pendukung, pengguna

SPIPISE hanya dapat memanfaatkan layanan pengaduan terhadap layanan perizinan dan non-perizinan serta layanan panduan penggunaan SPIPISE Syarat-syarat untuk memperoleh Hak Akses

Untuk mendapatkan hak akses SPIPISE, Investor harus mengajukan secara langsung ke BKPM, atau PDPPM, atau PDKPM yang telah menggunakan SPIPISE, dengan mengisi formulir Permohonan Hak Akses.

96

Pasal 9, Peraturan Kepala BKPM No. 14 Tahun 2009

Adapun dipenuhi a. b. 1.

2.

3.

IV.6.3.3

syarat-syarat administratif yang harus antara lain adalah: Tanda pengenal pemohon berupa KTP/ Paspor Bukti sebagai pimpinan perusahaan atau badan usaha atau koperasi, seperti: Akta atau akta terakhir yang mencantumkan susunan direksi badan usaha yang dilengkapi dengan pengesahan atau persetujuan oleh departemen yang membidangi masalah hukum Tanda daftar di Pengadilan bagi badan usaha yang tidak berbadan hukum atau usaha perseorangan, atau Pengesahan akte pendirian koperasi dari kementerian/dinas yang membidangi koperasi. Persetujuan Hak Akses

Lampiran I, Peraturan Kepala BKPM No. 14 Tahun 2009

Penanam Modal dapat mengajukan permohonan untuk mendapatkan hak akses diwakili oleh pihak lain dengan memberikan surat kuasa asli bermeterai cukup dilengkapi dengan identitas diri jelas dari penerima kuasa

Lihat lampiran III, Peraturan Kepala BKPM No. 14 Tahun 2009

Apabila berdasarkan hasil penilaian yang telah dilakukan oleh BKPM, PDPPM, atau PDKPM terhadap permohonan Hak Akses yang diajukan oleh penanam modal telah memenuhi persyaratan, maka akan diterbitkan Hak Akses berupa surat persetujuan secara otomatis oeh SPIPISE Berikut beberapa hal yang harus diperhatikan oleh pemilik Hak Akses (investor) dalam hal telah disetujuinya permohonan Hak Akses oleh penyelenggara SPIPISE:

Pasal 9 ayat (8), Peraturan Kepala BKPM No. 14 Tahun 2009

a.

Pada saat persetujuan untuk memperoleh Hak Akses telah diberikan oleh BKPM, PDPPM, atau PDKPM, maka pada saat itu pula Pemohon/investor akan memperoleh Akun Penanam Modal

Pasal 9, ayat 12, Peraturan Kepala BKPM No. 14 Tahun 2009

b.

Penanam modal dapat mengajukan perubahan atau pengalihan Hak Akses yang telah dimiliki pada kantor yang menerbitkan Hak Akses.

97

Pasal 11, ayat 2, Peraturan Kepala BKPM No. 14 Tahun 2009

c.

Hak Akses tidak dapat dipindahtangankan tanpa pemberitahuan kepada BKPM, PDPPMM atau PDKPM dengan dilengkapi surat kuasa atau surat keterangan penunjukkan.

Pasal 20 ayat (2), Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009

d.

Perizinan

dan

non-perizinan berupa

dokumen elektronik yang digunakan untuk memenuhi syarat dalam melaksanakan kegiatan melalui SPIPISE, merupakan alat bukti hukum yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang informasi dan transaksi elektronik IV.6.3.4

Kerahasiaan Hak Akses

Pasal 9, ayat 10 dan 11, Peraturan Kepala BKPM No. 14 Tahun 2009

a.

Penanam Modal wajib mengganti kode akses dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) hari setelah hak akses diberikan. Apabila hal ini tidak dilakukan, maka secara otomatis hak akses akan di non-aktifkan

Pasal 11 ayat 1, Peraturan Kepala BKPM No. 14 Tahun 2009

b.

Pemilik hak akses wajib menjaga keamanan dan kerahasiaan kode akses yang dimilikinya

c.

Hak akses berlaku secara hukum sebagai bentuk pemberian persetujuan secara elektronik yang bobot tanggung jawabnya setara dengan tanda tangan tertulis.

Pasal 11 ayat (4), Peraturan Kepala BKPM No. 14 Tahun 2009

d.

Dalam hal terjadinya penyalahgunaan hak akses oleh pihak lain yang disebabkan oleh pemindah-tanganan tanpa pemberitahuan kepada BKPM, PDPPM atau PDKPM, segala akibat dari tindakan yang telah dilakukan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemilik hak akses.

Pasal 18 ayat (3), Peraturan Kepala BKPM No. 14 Tahun 2009

e.

Hal ini mengingat nomor perusahaan yang telah diperoleh penanam modal pada saat mengajukan permohonan untuk memperoleh hak akses berlaku sebagai identitas penanam modal

98

Pasal 22, huruf g, Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009

f. Sebagai pengelola SPIPISE, BKPM berkewajiban untuk menjamin keamanan dan kerahasiaan data dan informasi yang disampaikan Kementerian/LPND, PDPPM, dan PDKPM melalui SPIPISE

Pasal 24 ayat (3), Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009

g.

Pasal 23, Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009

IV.6.4

Kementerian/LPND, PDPPM, dan PDKPM sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab atas data dan informasi yang disampaikan kepada BKPM melalui SPIPISE. Koordinasi Penyelenggaraan SPIPISE:

a.

Kementerian Teknis/LPND yang memiliki kewenangan Perizinan dan Non-perizinan yang merupakan urusan Pemerintah di bidang Penanaman Modal membuka akses sistem informasi Penanaman Modal yang dikelolanya dan secara bertahap mengintegrasikan dengan SPIPISE.

b.

Kementerian Teknis/LPND yang memiliki kewenangan Perizinan dan Non-perizinan yang merupakan urusan Pemerintah di bidang Penanaman Modal yang belum memberikan Pendelegasian Wewenang atau Pelimpahan Wewenang kepada Kepala BKPM: 1. Menetapkan tingkat layanan (Service Level Arrangement, yang selanjutnya disingkat SLA); dan 2. Menggunakan standar data referensi yang ditetapkan SPIPISE Kementerian Teknis/LPND yang memiliki kewenangan Perizinan dan Non-perizinan yang merupakan urusan Pemerintah di bidang Penanaman Modal menyampaikan dan membuka akses informasi Perizinan dan Nonperizinan terkait dengan Penanaman Modal meliputi jenis, persyaratan teknis, mekanisme, biaya, dan SLA serta informasi potensi Penanaman Modal kepada BKPM.

c.

99

Pasal 22 huruf d, Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009

d.

PDPPM dan PDKPM yang menyelenggarakan PTSP di bidang Penanaman Modal menggunakan standar data referensi yang ditetapkan SPIPISE serta menyampaikan dan membuka akses informasi Perizinan dan Non-perizinan terkait dengan Penanaman Modal yang meliputi jenis, persyaratan teknis, mekanisme, biaya dan SLA serta informasi potensi Penanaman Modal daerah kepada BKPM.

e.

Kementerian Teknis/LPND, PDPP, dan PDKPM menyediakan perangkat pendukung untuk pengolahan data, jaringan, dan keterhubungan (interkoneksi) SPIPISE di lingkungan masing-masing.

f.

Dalam rangka menerima permohonan untuk mendapatkan Perizinan dan Non-perizinan di bidang Penanaman Modal, PDPPM dan PDKPM menggunakan aplikasi otomasi proses kerja (business process) pelayanan Perizinan dan Non-perizinan SPIPISE.

g. Agar terlaksananya penyelenggaraan SPIPISE, BKPM mengemban tugas untuk melakukan koordinasi dan sinkronisasi pertukaran data dan informasi secara langsung (online) di antara Kementerian/ LPND, PDPPM dan PDKPM yang menggunakan SPIPISE.

100

PEMBENTUKAN BADAN USAHA

101

V.1

BENTUK-BENTUK BADAN USAHA V.1.1

Perorangan

Tidak ada dasar hukum yang secara jelas mendefinisikan tentang Badan Usaha Perorangan, namun dalam prakteknya badan usaha perorangan mudah ditemukan dalam kegiatan usaha skala kecil. Untuk menafsirkan istilah badan usaha perorangan, setidaknya dapat dilihat pada dua aspek yang diatur dalam KUHPer yaitu aspek hukum dengan pembantu-pembantunya dan aspek hukum dengan pihak ketiga. V.1.1.1

Pengusaha dan Pembantu-pembantunya (Pekerja)

Pasal 1794 KUHPerdata

Pemberian kuasa terjadi dengan cuma-cuma kecuali jika diperjanjikan sebaliknya. Jika dalam hal yang terakhir upahnya tidak ditentukan dengan tegas, si kuasa tidak boleh meminta upah yang lebih daripada yang ditentukan oleh Pasal 411 untuk wali.

KUHPerdata Bab V Buku I dan Bab XVI Buku III

Hubungan hukum antara pengusaha dan pekerja diatur dalam KUHPer, dalam ketentuan ini dikatakan bahwa hubungan hukum tersebut bersikap rangkap, yakni hubungan pemberi kuasa dengan hubungan perburuhan. V.1.1.2

Pasal 1365 KUHPerdata

Pengusaha dengan Pihak Ketiga

Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.

103

Pasal 1367 KUHPerdata

Jika perbuatan itu dilakukan para pembantu si pengusaha, maka pihak ketiga dapat mengajukan tuntutan berdasarkan kepada pengusaha untuk mempertanggungjawabkan kerugian yang dideritanya. Seseorang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan oleh orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya. V.1.2

Perserikatan

V.1.2.1

Firma

Pasal 16 KUHD

Firma adalah suatu bentuk persekutuan bisnis yang terdiri dari dua orang atau lebih dengan nama bersama yang tanggung jawabnya terbagi rata tidak terbatas pada setiap pemiliknya. Perusahaan Firma ialah persekutuan yang didirikan untuk menjalankan perusahaan di bawah satu nama bersama.

Pasal 17 dan 18 KUHD

Setiap pihak yang berada dalam persekutuan sama-sama memiliki hak menjalankan perusahaan

Pasal 30 ayat (1) KUHD

Nama firma dari perusahaan yang sudah bubar masih bisa digunakan dengan syarat: a. Dalam perjanjian pendirian perusahaan firma yang telah bubar tersebut terdapat ketentuan yang mengizinkan nama perusahaan itu dipakai b. Para pendiri firma yang telah bubar memberikan izin menggunakan nama firma mereka oleh pihak lain. c. Dalam kasus bubarnya firma karena meninggalnya salah satu atau seluruh, terdapat izin sikap yang tidak keberatan menggunakan nama firma tersebut dari ahli waris; d. Penggunaan nama firma tersebut hars dikuatkan dengan pernyataan dalam akta notaris; dan/atau e. Harus diiringi dengan pendaftaran dan pengumuman akta notaris oleh para sekutu.

104

Pasal 32 dan 35 KUHD dan juga dalam pasal 1339 KUHPerdata

Semua anggota sekutu mempunyai hak yang sama sehingga semua anggota berhak memutuskan segala persoalan yang terdapat dalam persekutuan berdasarkan musyawarah untuk mufakat dalam batas keleluasaan yang diberikan seturut perjanjian pendirian persekutuan firma. Merupakan kekuasaan tertinggi persekutuan Firma

Pasal 27 KUHD

Terkait Pendirian Firma, hal-hal yang harus dimuat dalam akta pendirian perusahaan firma, antara lain menyangkut: a. Nama lengkap, pekerjaan, dan tempat tinggal para sekutu firma; b. Menyebutkan nama firma dengan membubuhkan keterangan apakah persekutuan itu bersifat umum, atau hanya terbatas pada suatu cabang perusahaan yang khusus; c. Menunjukkan nama-nama yang termasuk dalam persekutuan yang tidak diberi hak kuasa menandatangani perjanjian bagi persekutuan firma; d. Saat mulai berlaku dan berakhirnya persekutuan; e. Hal-hal lain yang termaksud dalam perjanjian bersama berhubungan dengan hak pihak ketiga kepada para sekutu; dan/atau f. Harus diberi tanggal pada hari akta pendirian persekutuan firma itu ke Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat untuk didaftarkan.

Pasal 22 KUHD

a.

Pembuatan akta pendirian. Langkah awal mendirikan badan usaha berbentuk firma adalah dibuat akta pendirian. Akta ini harus dibuat di hadapan notaris.

Pasal 23 KUHD

b.

Pendaftaran ke Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat. Akta pendirian yang sudah dibuat harus didaftarkan ke Kepaniteraan Pengadilan Negeri tempat Firma itu beralamat

Pasal 28 KUHD

c.

Diumumkan dalam Berita negara Republik Indonesia (BNRI). Firma berdiri secara resmi setelah didaftarkan di Berita Negara Republik Indonesia dan diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Adapun prosedur yang harus ditempuh adalah sebagai berikut:

105

V.1.2.2 Pasal 19 KUHD

Persekutuan Komanditer/CV

CV atau Commanditaire Vennootschaap adalah badan usaha yang didirikan dan dimiliki oleh dua orang atau lebih untuk mencapai tujuan bersama dengan tingkat keterlibatan yang berbeda-beda diantara anggotanya. Ketentuan-ketentuan yang terkait dengan kegiatan CV, antara lain adalah:

Pasal 1625 KUHPerdata

a.

Pemasukan modal dapat berupa barang, uang, dan tenaga (fisik dan/atau pikiran).

Pasal 1633 dan 1634 KUHPerdata

b.

Pembagian laba dan rugi. Bila terdapat laba, maka sekutu komanditer mendapat bagian sebesar yang telah diatur dalam perjanjian pendirian. Jika tidak ada perjanjian yang mengatur tentang hal itu, maka yang berlaku ketentuan dalam pasal 1633 KUHPerdata.

c.

Bila badan CV mengalami kerugian, sekutu komanditer dibebani juga membayar kerugian. Biaya yang dibebani kepada sekutu komanditer tidak boleh melebihi jumlah pemasukannya.

Pasal 18 KUHD juga dalam pasal 1131 dan 1132 KUHPerdata

d.

Sekutu kerja dibebani pembayaran kerugian dalam jumlah yang tidak terbatas. Bahkan harta kekayaan sendiri dapat menjadi jaminan bagi seluruh kerugian persekutuan.

Pasal 1625 KUHPer jo pasal 20 ayat (3) KUHD

e.

Kedudukan sekutu komanditer mengenai laba dan rugi persekutuan tidak boleh dibebani lebih dari jumlah nominal sahamnya. Dan tidak boleh dituntut untuk menambah pemasukannya dan tidak dapat diminta mengembalikan keuntungan yang pernah diterimanya; dan

Pasal 20 ayat (2) KUHD

f.

Pengurusan yang dilakukan sekutu komanditer dilarang, meskipun terdapat surat kuasa. Bila hal ini dilanggar, maka sekutu komanditer yang bersangkutan terkena sanksi sesuai yang terdapat dalam pasal 21 KUHD.

106

Adapun prosedur pendirian CV adalah sebagai berikut: Pasal 23-24 KUHD

a.

Mendaftarkan akta pendiriannya kepada panitera Pengadilan Negeri setempat. Dalam pendaftaran tersebut para pihak yang termasuk dalam keanggotaan CV mendaftar akta pendirian CV atau dapat juga berupa ikhtisar resminya saja

Pasal 28 KUHD

b.

Mengumumkan akta pendirian atau ichtisar resmi. Para pendiri CV wajib mengumumkan ikhtisar resmi akta pendirian CV dalam Tambahan Berita Negara RI

Pasal 19-20 KUHD

Pihak yang bertanggung jawab dan berurusan dengan urusan di luar adalah sekutu kerja atau sekutu komanditer. Namun pihak sekutu komanditer bertanggung jawab juga ke luar, bila sekutu komanditer tersebut melanggar pasal 20 KUHD. Wewenang sekutu komanditer hanya tertuju pada urusan intern persekutuan CV.

V.1.3

Perseroan Terbatas

V.1.3.1 Pasal 1 angka 1, Undang-Undang No. 40 Tahun 2007

Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya. V.1.3.2

Pasal 1 angka 7 dan 8, UndangUndang No. 40 Tahun 2007

Tertutup

Terbuka

Perseroan Terbuka adalah Perseroan Publik atau Perseroan yang melakukan penawaran umum saham, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. Perseroan Publik adalah Perseroan yang memenuhi kriteria jumlah pemegang saham dan modal disetor sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang pasar modal.

107

Pasal 24 ayat 1, Undang-Undang No. 40 Tahun 2007

Perseroan yang modal dan jumlah pemegang sahamnya telah memenuhi kriteria sebagai Perseroan Publik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal, wajib mengubah anggaran dasarnya dari status perseroan tertutup menjadi terbuka dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak terpenuhi kriteria tersebut.

Pasal 24 ayat 2, Undang-Undang No. 40 Tahun 2007

Direksi Perseroan Tbk wajib mengajukan pernyataan pendaftaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.

Pasal 25 ayat 1, Undang-Undang No. 40 Tahun 2007

Perubahan anggaran dasar mengenai status Perseroan yang tertutup menjadi Perseroan Terbuka mulai berlaku sejak tanggal: a.

efektif pernyataan pendaftaran yang diajukan kepada lembaga pengawas di bidang pasar modal bagi Perseroan Publik; atau dilaksanakan penawaran umum, bagi Perseroan yang mengajukan pernyataan pendaftaran kepada lembaga pengawas di bidang pasar modal untuk melakukan penawaran umum saham sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.

b.

V.1.4 Pasal 1 angka 1, Undang-Undang No. 19 Tahun 2003

Badan Usaha Milik Negara (BUMN)

Badan Usaha Milik Negara, yang selanjutnya disebut BUMN, adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. V.1.4.1

Pasal 1 angka 2, Undang-Undang No. 19 Tahun 2003

Perseroan

Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi salam saham yang seluruh atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimilikinya oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utama mengejar keuntungan.

108

Pasal 11, UndangUndang No. 19 Tahun 2003

Terhadap Persero berlaku segala ketentuan dan prinsip-prinsip yang berlaku bagi perseroan terbatas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas.

Pasal 12, UndangUndang No. 19 Tahun 2003

Maksud dan tujuan pendirian Persero adalah: a. b.

menyediakan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan berdaya saing kuat; mengejar keuntungan guna meningkatkan nilai perusahaan

Pasal 14 ayat 1, Undang-Undang No. 19 Tahun 2003

Menteri bertindak selaku RUPS dalam hal seluruh saham Persero dimiliki oleh negara dan bertindak selaku pemegang saham pada Persero dan perseroan terbatas dalam hal tidak seluruh sahamnya dimiliki oleh negara.

Pasal 1 angka 3, Undang-Undang No. 19 Tahun 2003

Perusahaan Perseroan Terbuka, yang selanjutnya disebut Persero Terbuka, adalah Persero yang modal dan jumlah pemegang sahamnya memenuhi kriteria tertentu atau Persero yang melakukan penawaran umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.

Pasal 34, UndangUndang No. 19 Tahun 2003

Bagi Persero Terbuka berlaku ketentuan UndangUndang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara dan Undang-Undang No.1 Tahun 1995 sepanjang tidak diatur lain dalam peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal. V.1.4.2

Pasal 1 angka 4, Undang-Undang No. 19 Tahun 2003

Perusahaan Umum (Perum)

Perusahaan Umum, yang selanjutnya disebut Perum, adalah BUMN yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan.

109

Pasal 36, UndangUndang No. 19 Tahun 2003

Maksud dan tujuan Perum adalah menyelenggarakan usaha yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang berkualitas dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan yang sehat. Untuk mendukung kegiatan dalam rangka mencapai maksud dan tujuan di atas, dengan persetujuan Menteri, Perum dapat melakukan penyertaan modal dalam badan usaha lain.

Pasal 37, UndangUndang No. 19 Tahun 2003

Organ Perum adalah Menteri, Direksi dan Dewan Pengawas.

Pasal 38 ayat 1, Undang-Undang No. 19 Tahun 2003

Menteri memberikan persetujuan atas kebijakan pengembangan usaha Perum yang diusulkan oleh Direksi.

Pasal 38 ayat 1, Undang-Undang No. 19 Tahun 2003

Menteri memberikan persetujuan atas kebijakan pengembangan usaha Perum yang diusulkan oleh Direksi. Menteri tidak bertanggung jawab atas segala akibat perbuatan hukum yang dibuat Perum dan tidak bertanggung jawab atas kerugian Perum melebihi nilai kekayaan negara yang telah dipisahkan ke dalam Perum, kecuali apabila Menteri: a.

b. c.

baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan Perum semata-mata untuk kepentingan pribadi; terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perum; atau langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan menggunakan kekayaan Perum.

110

V.1.5 Kantor Cabang, Kantor Perwakilan dan Agen dari Perusahaan Asing Pasal 1, Kepres No. 90 Tahun 2000

Kantor Perwakilan Perusahaan Asing adalah kantor yang dipimpin oleh satu atau lebih perorangan warga negara asing atau warga negara Indonesia yang ditunjuk oleh perusahaan asing atau gabungan perusahaan asing di luar negeri sebagai perwakilannya dengan maksud untuk: a. b.

mengurus kepentingan perusahaan atau perusahaan-perusahaan afiliasinya; dan atau mempersiapkan pendirian dan pengembangan usaha perusahaan penanaman modal asing, di Indonesia atau di negara lain dan Indonesia.

Pasal 1, Keputusan Kepala BKPM No. 22 Tahun 2001

Kantor Perwakilan Perusahaan Asing, selanjutnya disebut Kantor adalah kantor perwakilan yang didirikan oleh perusahaan asing atau beberapa perusahaan asing di luar wilayah Indonesia dengan maksud untuk mengurus kepentingan perusahaan atau perusahaanperusahaan afiliasi di Indonesia dan/atau di negara lain dan/atau mempersiapkan pendirian dan pengembangan usaha perusahaan penanaman modal asing di Indonesia dan/ atau di negara lain.

Pasal 1 angka 1, Peraturan Menteri Perdagangan No. 10 Tahun 2006

Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing adalah perorangan Warga Negara Indonesia atau Warga Negara Asing yang ditunjuk oleh Perusahaan Asing atau Gabungan Perusahaan Asing di luar negeri sebagai perwakilannya di Indonesia.

Pasal 2, Kepres No. 90 Tahun 2000

Kantor perwakilan perusahaan asing menetapkan tempat kedudukannya di salah satu ibukota propinsi.

Pasal 3, Kepres No. 90 Tahun 2000

Perizinan yang diperlukan untuk kantor perwakilan perusahaan asing dan perorangan warga negara asing yang bekerja untuk kantor tersebut, dikeluarkan oleh Menteri Negara/Kepala Badan Penanaman Modal dan Pembinaan Badan Usaha Milik Negara.

111

Pasal 2, Keputusan Kepala BKPM No. 22 Tahun 2001

Kantor dipimpin oleh seorang atau lebih warga negara asing atau warga Negara Indonesia yang bertindak sebagai pengelola kantor berdasarkan surat penunjukan (letter of appointment) yang dibuat oleh perusahaan asing atau gabungan perusahaan asing di luar wilayah Indonesia. Adapun ketentuan yang harus diperhatikan oleh kantor perwakilan perusahaan asing adalah sebagi berikut: a.

b.

c.

Pasal 2, Peraturan Menteri Perdagangan No. 10 Tahun 2006

Kegiatan kantor sebatas pada peranannya sebagai pengawas, penghubung, koordinator, dan mengurus kepentingan perusahaan atau perusahaan-perusahaan afiliasinya di Indonesia dan atau negara di luar Indonesia. Kantor tidak akan mencari sesuatu penghasilan dari sumber di Indonesia termasuk tidak dibenarkan melaksanakan kegiatan atau melakukan sesuatu perikatan/transaksi penjualan dan pembelian barang atau jasa dengan perusahaan atau perorangan di dalam negeri. Kantor tidak akan ikut serta dalam bentuk apapun dalam pengelolaan sesuatu perusahaan, anak perusahaan atau cabang perusahaan yang ada di Indonesia.

Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing di Indonesia dapat berbentuk Agen Penjualan (Selling Agent) dan/ atau Agen Pabrik (Manufactures Agent) dan/atau Agen Pembelian (Buying Agent).

112

Pasal 3, Peraturan Menteri Perdagangan No. 10 Tahun 2006

Pasal 4, Peraturan Menteri Perdagangan No. 10 Tahun 2006

Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing dapat: a. melakukan kegiatan memperkenalkan, mempromosikan dan memajukan pemasaran barang-barang yang dihasilkan oleh Perusahaan Asing atau Gabungan Perusahaan Asing di luar negeri yang menunjuknya, serta memberikan keterangan-keterangan atau petunjuk-petunjuk bagi penggunaan dan pengimporan barang kepada perusahaan/ pemakai di dalam negeri; b. melakukan penelitian pasar dan pengawasan penjualan di dalam negeri dalam rangka pemasaran barang dari Perusahaan Asing atau Gabungan Perusahaan Asing di luar negeri yang menunjuknya; c. melakukan penelitian pasar atas barangbarang yang dibutuhkan oleh Perusahaan Asing atau Gabungan Perusahaan Asing di luar negeri yang menunjuknya dan menghubungkan serta memberikan keterangan-keterangan dan petunjuk-petunjuk tentang syarat-syarat pengeksporan barang kepada perusahaan di dalam negeri; d. menutup kontrak untuk dan atas nama perusahaan yang menunjuknya dengan perusahaan di dalam negeri dalam rangka ekspor. Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing dilarang melakukan kegiatan perdagangan dan transaksi penjualan, baik dari tingkat permulaan sampai dengan penyelesaiannya seperti mengajukan tender, menandatangani kontrak, menyelesaikan klaim dan sejenisnya.

113

V.2

PROSEDUR DAN SYARAT PENDIRIAN PERSEROAN TERBATAS

V.2.1

Perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA)

V.2.1.1

Permohonan kepada BKPM

Pasal 16 ayat 1, Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Penanaman Modal Asing yang akan melakukan penanaman modal di Indonesia mengajukan permohonan pendaftaran ke PTSP BKPM, sebelum atau sesudah berstatus badan usaha.

Pasal 16 ayat 2 dan 3, Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Pendaftaran yang diajukan sebelum berstatus badan hukum perseroan terbatas, wajib ditindaklanjuti dengan pembuatan akta pendirian perseroan terbatas. Paling lambat dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal diterbitkannya pendaftaran, apabila akta pendirian belum dibuat maka persetujuan penanaman modal dianggap batal demi hukum. Pendaftaran yang diajukan setelah akta pendirian perseroan terbatas atau setelah perusahaan berstatus badan hukum perseroan terbatas, berlaku sampai dengan perusahaan memiliki izin prinsip atau perusahaan siap beroperasi/produksi komersial. V.2.1.2

Bentuk Badan Usaha yang ditetapkan

Pasal 5 ayat 2, Undang-Undang No. 25 Tahun 2007, Ketentuan serupa diatur pula dalam Pasal 11 ayat 1, Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Penanaman modal asing harus dalam bentuk Perseroan Terbatas berdasarkan Hukum Indonesia dan berkedudukan di wilayah negara Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang

Pasal 1 angka 1, Undang-Undang No. 40 Tahun 2007

Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya.

114

V.2.1.3

Fasilitas

Pasal 17 ayat 1, Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Perusahaan penanaman modal asing yang telah berstatus badan hukum perseroan terbatas, yang bidang usahanya dapat memperoleh fasilitas fiskal wajib memiliki izin prinsip.

Pasal 17 ayat 2, Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Terhadap perusahaan penanaman modal asing yang telah berstatus badan hukum perseroan terbatas yang belum melakukan pendaftaran, dapat langsung mengajukan izin prinsip untuk memperoleh fasilitas fiskal Fasilitas sebagaimana dimaksud di atas antara lain dalam bentuk:

Pasal 18, Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

a. Fiskal, terdiri dari: 1. Fasilitas bea masuk atas impor mesin 2. Fasilitas bea masuk atas impor barang dan bahan 3. Usulan untuk mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan (PPh) b.

Non fiskal, terdiri dari: 1. Angka Pengenal Importir Produsen (API-P) 2. Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) 3. Rekomendasi visa untuk bekerja (TA.01)4. Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA).

V.2.2 (PMDN) Pasal 5 ayat 1, Undang-Undang No. 25 Tahun 2007.

Perusahaan penanaman modal dalam negeri

Penanaman Modal Dalam Negeri dapat dilakukan dalam bentuk badan hukum, tidak berbadan hukum atau usaha perorangan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Ketentuan serupa diatur juga pada Pasal 11 ayat 2, Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009.

115

Pasal 19 ayat 4 dan 5, Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Perusahaan PMDN dapat mengajukan pendaftaran di PTSP BKPM, PDPPM atau PDKPM sesuai kewenangannya, apabila diperlukan dalam pengurusan perizinan pelaksanaan penanaman modalnya, dengan melampirkan syarat-syarat: a. b. V.2.3

Akta dan pengesahan pendirian perusahaan atau KTP bagi perusahaan perorangan, dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). Syarat-syarat Pendirian Perseroan Terbatas

Pasal 7 ayat 1, Undang-Undang No. 40 Tahun 2007

Perseroan didirikan oleh 2 (dua) orang atau lebih dengan akta notaris yang dibuat dalam bahasa Indonesia.

Pasal 7 ayat 5, Undang-Undang No. 40 Tahun 2007

Setelah Perseroan memperoleh status badan hukum dan pemegang saham menjadi kurang dari 2 (dua) orang, dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan terhitung sejak keadaan tersebut pemegang saham yang bersangkutan wajib mengalihkan sebagian sahamnya kepada orang lain atau Perseroan mengeluarkan saham baru kepada orang lain.

Pasal 8 ayat 1 dan 2, UndangUndang No. 40 Tahun 2007

Akta pendirian memuat anggaran dasar dan keterangan lain berkaitan dengan pendirian Perseroan, di antaranya: a. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal, dan kewarganegaraan pendiri perseorangan, atau nama, tempat kedudukan dan alamat lengkap serta nomor dan tanggal Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum dari pendiri Perseroan; b. nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, pekerjaan, tempat tinggal, kewarganegaraan anggota Direksi dan Dewan Komisaris yang pertama kali diangkat; c. nama pemegang saham yang telah mengambil bagian saham, rincian jumlah saham, dan nilai nominal saham yang telah ditempatkan dan disetor.

116

Pasal 15 ayat 1, Undang-Undang No. 40 Tahun 2007

Anggaran dasar sebagaimana dimaksud di atas, sekurangkurangnya memuat: a. b.

nama dan tempat kedudukan Perseroan; maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan;

c. d.

jangka waktu berdirinya Perseroan; besarnya jumlah modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor; jumlah saham, klasifikasi saham apabila ada berikut jumlah saham untuk tiap klasifikasi, hak-hak yang melekat pada setiap saham, dan nilai nominal setiap saham; nama jabatan dan jumlah anggota Direksi dan Dewan Komisaris; penetapan tempat dan tata cara penyelenggaraan RUPS; tata cara pengangkatan, penggantian, pemberhentian anggota Direksi dan Dewan Komisaris; tata cara penggunaan laba dan pembagian dividen.

e.

f. g. h. i. Pasal 15 ayat 3, Undang-Undang No. 40 Tahun 2007

Di lain hal, Anggaran Dasar tidak boleh memuat: a. b.

Pasal 9 ayat 1, Undang-Undang No. 40 Tahun 2007

Untuk memperoleh Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan, pendiri bersamasama mengajukan permohonan melalui jasa teknologi informasi sistem administrasi badan hukum secara elektronik kepada Menteri dengan mengisi format isian yang memuat sekurang-kurangnya: a.

Pasal 5 ayat 1, Undang-Undang No. 40 Tahun 2007

ketentuan tentang penerimaan bunga tetap atas saham; dan ketentuan tentang pemberian manfaat pribadi kepada pendiri atau pihak lain.

Nama dan tempat kedudukan Perseroan

Perseroan mempunyai nama dan tempat kedudukan dalam wilayah negara Republik Indonesia yang ditentukan dalam anggaran dasar.

117

b. Pasal 6, UndangUndang No. 40 Tahun 2007 dengan penjelasannya

Jangka waktu berdirinya Perseroan

Perseroan didirikan untuk jangka waktu terbatas atau tidak terbatas sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar. Apabila Perseroan didirikan untuk jangka waktu terbatas, lamanya jangka waktu tersebut harus disebutkan secara tegas, misalnya untuk waktu 10 (sepuluh) tahun, 20 (dua puluh) tahun, 35 (tiga puluh lima) tahun, dan seterusnya. Demikian juga apabila Perseroan didirikan untuk jangka waktu tidak terbatas harus disebutkan secara tegas dalam anggaran dasar. c.

Pasal 2, UndangUndang No. 40 Tahun 2007

Maksud dan tujuan serta kegiatan usaha Perseroan

Perseroan harus mempunyai maksud dan tujuan serta kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, ketertiban umum, dan/atau kesusilaan. d.

Jumlah modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor:

Pasal 32 ayat 1, Undang-Undang No. 40 Tahun 2007

1. Modal dasar. Modal dasar Perseroan paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah).

Pasal 32 ayat 2, Undang-Undang No. 40 Tahun 2007

Undang-Undang yang mengatur kegiatan usaha tertentu dapat menentukan jumlah minimum modal Perseroan yang lebih besar daripada ketentuan modal dasar diatas.

Pasal 33 ayat 1, Undang-Undang No. 40 Tahun 2007

2. Modal ditempatkan. Paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari modal dasar harus ditempatkan dan disetor penuh.

Pasal 33 ayat 1, Undang-Undang No. 40 Tahun 2007

3. Modal disetor. Paling sedikit 25% (dua puluh lima persen) dari modal dasar harus ditempatkan dan disetor penuh.

118

Pasal 33 ayat 2, Undang-Undang No. 40 Tahun 2007

Modal ditempatkan dan disetor penuh dibuktikan dengan bukti penyetoran yang sah.

e.

Alamat lengkap Perseroan

Pasal 5 ayat 2, Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 dengan penjelasannya

Perseroan mempunyai alamat lengkap sesuai dengan

Pasal 9, UndangUndang No. 40 Tahun 2007

Dalam hal pendiri tidak mengajukan sendiri permohonan untuk memperoleh badan hukum perseroan, pendiri hanya dapat memberi kuasa kepada notaris. Adapun pengisian format isian sebagaimana dimaksud di atas, harus didahului dengan pengajuan nama Perseroan.

tempat kedudukannya. Tempat kedudukan Perseroan sekaligus merupakan kantor pusat Perseroan. Perseroan dalam hal ini wajib mempunyai alamat sesuai dengan tempat kedudukannya yang harus disebutkan, antara lain dalam surat-menyurat dan melalui alamat tersebut Perseroan dapat dihubungi.

Ketentuan mengenai pemakaian nama perseroan terbatas diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 1998. Pasal 10 UndangUndang No. 40 Tahun 2007

Permohonan untuk memperoleh pengesahan badan hukum Perseroan, harus diajukan kepada Menteri paling lambat 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal akta pendirian ditandatangani, dilengkapi keterangan mengenai dokumen pendukung. Jika format isian telah dilengkapi dengan data pendukung, maka Menteri langsung menyatakan tidak berkeberatan atas permohonan yang bersangkutan secara elektronik. Selanjutnya dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pernyataan tidak berkeberatan oleh Menteri, pemohon yang bersangkutan wajib menyampaikan secara fisik surat permohonan yang dilampiri dokumen pendukung. Apabila semua persyaratan telah dipenuhi secara lengkap, paling lambat 14 (empat belas) hari, Menteri menerbitkan keputusan tentang pengesahan badan hukum Perseroan yang ditandatangani secara elektronik.

119

Apabila persyaratan tentang jangka waktu dan kelengkapan dokumen pendukung tidak terpenuhi, Menteri langsung memberitahukan hal tersebut kepada pemohon secara elektronik, dan pernyataan tidak berkeberatan oleh Menteri menjadi gugur. Dalam hal pernyataan tidak berkeberatan gugur, pemohon dapat mengajukan kembali permohonan untuk memperoleh Keputusan Menteri. Apabila permohonan untuk memperoleh Keputusan Menteri tidak diajukan dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari, akta pendirian menjadi batal sejak lewatnya jangka waktu tersebut dan Perseroan yang belum memperoleh status badan hukum bubar karena hukum dan pemberesannya dilakukan oleh pendiri. Pasal 29 ayat 2, Undang-Undang No. 40 Tahun 2007

Tahapan selanjutnya setelah diperolehnya status badan hukum perseroan, maka akan dilakukan daftar perusahaan yang dilakukan oleh Menteri yang memuat data tentang perseroan antara lain adalah: a.

nama dan tempat kedudukan, maksud dan tujuan serta kegiatan usaha, jangka waktu pendirian, dan permodalan; b. alamat lengkap Perseroan; c. nomor dan tanggal akta pendirian dan Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan; d. nomor dan tanggal akta perubahan anggaran dasar dan persetujuan Menteri; e. nomor dan tanggal akta perubahan anggaran dasar dan tanggal penerimaan pemberitahuan oleh Menteri; f. nama dan tempat kedudukan notaris yang membuat akta pendirian dan akta perubahan anggaran dasar; g. nama lengkap dan alamat pemegang saham, anggota Direksi, dan anggota Dewan Komisaris Perseroan; h. nomor dan tanggal akta pembubaran atau nomor dan tanggal penetapan pengadilan tentang pembubaran Perseroan yang telah diberitahukan kepada Menteri; i. berakhirnya status badan hukum Perseroan; j. neraca dan laporan laba rugi dari tahun buku yang bersangkutan bagi Perseroan yang wajib diaudit.

120

Pasal 29 ayat 3, Undang-Undang No. 40 Tahun 2007

Data Perseroan sebagaimana dimaksud di atas akan dimasukkan dalam daftar Perseroan pada tanggal yang bersamaan dengan tanggal: a.

b. c.

Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan, persetujuan atas perubahan anggaran dasar yang memerlukan persetujuan; penerimaan pemberitahuan perubahan anggaran dasar yang tidak memerlukan persetujuan; atau penerimaan pemberitahuan perubahan data Perseroan yang bukan merupakan perubahan anggaran dasar.

Pasal 3, Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri No. 69 Tahun 2009,

Lebih jelasnya, syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pemohon yang hendak mendirikan perusahaan, antara lain:

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. M.HH-08. AH.01.01.2009 ,

a.

Menteri Perdagangan No. 60/MDAG/Per/12/2009,

d.

Menteri Tenaga Kerja dan TransmigrasiNo.Per.30/ MEN/XII/2009 dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No. 10 Tahun 2009 tentang Percepatan Pelayanan Perijinan dan Non Perijinan Untuk Memulai Usaha

b. c.

e. f. g. h. i.

Pendaftaran nama perusahaan dan pembuatan akta pendirian perusahaan Pengesahan status badan hukum Pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Pendaftaran dan pengumuman Perseroan Terbatas dalam Berita Negara Pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Nomor Pengusaha Kena Pajak (NPPKP) Pengurusan Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP) Pengurusan Tanda Daftar Perusahaan (TDP) Pendaftaran Wajib Lapor jketenagakerjaan di perusahaan. Pendaftaran untuk program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek)

121

Adapun standard waktu pelayanan penerbitan syaratsyarat sebagaimana dimaksud di atas adalah sebagai berikut:

Pasal 6 ayat 2, Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri No. 69 Tahun 200, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. M.HH-08. AH.01.01.2009 ,

a.

Menteri Perdagangan No. 60/MDAG/Per/12/2009,

b. c.

Menteri Tenaga Kerja dan TransmigrasiNo.Per.30/ MEN/XII/2009 dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No. 10 Tahun 2009 tentang Percepatan Pelayanan Perijinan dan Non Perijinan Untuk Memulai Usah

d.

V.3

PERIZINAN YANG DIPERLUKAN

V.3.1 Pasal 1 angka 4, Peraturan Menteri Perdagangan No. 36 Tahun 2007, diubah dengan Peraturan Menteri Perdagangan No. 46/M-DAG/ PER /9/2009 tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan

Pemakaian nama perusahaan dan pengesahan status badan hukum, pendaftaran dan pengumuman perseroan terbatas dalam berita Negara, pembayaran PNBP melalui Bank seluruhnya paling lama 8 (delapan) hari kerja. Penerbitan NPWP dan NPPKP di Ditjen Pajak paling lama 1 (satu) hari kerja. Penerbitan Surat Ijin Usaha Perdagangan (SIUP) dan Tanda Dafar Perusahaan (TDP) di pemerintah Provinsi, Kabupaten/ Kota dilakukan secara simultan paling lama 3 (tiga) hari kerja dan Penerbitan Surat Keterangan pelaporan ketenagakerjaan di perusahaan oleh Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/ Kota dan Sertifikat kepesertaan Jaminan Sosial Tenaga Kerja paling lama 5 (lima) hari kerja.

Surat Izin Usaha dan Perdagangan (SIUP)

Surat Izin Usaha Perdagangan yang selanjutnya disebut SIUP adalah surat izin untuk dapat melaksanakan kegiatan usaha perdagangan, yang selanjutnya disebut SIUP.

122

Pasal 3 dan 4, Peraturan Menteri Perdagangan No. 36 Tahun 2007 jo Peraturan Menteri Perdagangan No. 46/M-DAG/ PER/9/2009

SIUP berdasarkan kebutuhannya, terdiri dari: a.

b.

c.

d.

Pasal 11 ayat 1, Peraturan Menteri Perdagangan No. 36 Tahun 2007 jo Peraturan Menteri Perdagangan No. 46/M. DAG/ PER/9 /2009

SIUP Kecil wajib dimiliki oleh Perusahaan Perdagangan dengan modal dan kekayaan bersih (netto) seluruhnya lebih dari Rp. 50.000.000.- (lima puluh juta rupiah), sampai dengan paling banyak Rp. 500.000.000 (lima ratus juta rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. SIUP Menengah wajib dimiliki oleh Perusahaan Perdagangan dengan modal dan kekayaan bersih (netto) lebih dari Rp. 500.000.000,(lima ratus juta rupiah) sampai dengan paling banyak Rp. 10.000.000.000,- (sepuluh miliar rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. SIUP Besar wajib dimiliki oleh Perusahaan Perdagangan dengan modal dan kekayaan bersihnya lebih dariRp. 10.000.000.000,(sepuluh miliar rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha. SIUP Mikro, apabila dikehendaki oleh pelaku usaha mikro yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 50.000.000,- (Lima puluh juta rupiah) tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.

Adapun prosedur untuk mengajukan SIUP adalah dengan mengisi formulir SP-SIUP yang diajukan kepada Pejabat Penerbit SIUP dengan menggunakan formulir dalam Lampiran I serta melampirkan dokumen persyaratan sebagaimana ditentukan dalam Lampiran II Peraturan Menteri Perdagangan No. 36 Tahun 2007 tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan.

123

Pasal 16 , Peraturan Menteri Perdagangan No. 36 Tahun 2007 jo Peraturan Menteri Perdagangan No. 46/M-DAG/ PER/9/2009

Setiap Perusahaan Perdagangan yang mengajukan permohonan SIUP baru tidak dikenakan retribusi. Retribusi dapat dikenakan kepada Perusahaan Perdagangan pada saat melakukan pendaftaran ulang, perubahan dan/atau penggantian SIUP yang hilang atau rusak. Retribusi sebagaimana dimaksud diatas, dibebaskan bagi Perusahaan Perdagangan Mikro. Besaran pengenaan retribusi, ditetapkan melalui Peraturan Daerah provinsi atau kabupaten/kota setempat dengan tanpa memberatkan pelaku usaha. Pemerintah daerah provinsi, pemerintah daerah kabupaten/kota harus mencantumkan besaran retribusi pada papan pengumuman yang ditempatkan di setiap Kantor Dinas yang bertanggungjawab di bidang perdagangan atau Kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu V.3.2

Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)

Pasal 1 angka 6, Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 jo No. 9 Tahun 1994 jo No. 16 Tahun 2000 jo No 28 Tahun 2007

Nomor Pokok Wajib Pajak adalah nomor yang diberikan kepada Wajib Pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas Wajib Pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

Pasal 2 ayat 1, Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 jo No. 9 Tahun 1994 jo No. 16 Tahun 2000 jo No 28 Tahun 2007

Setiap Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan wajib mendaftarkan diri pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak dan kepadanya diberikan Nomor Pokok Wajib Pajak.

Pasal 2 ayat 2, Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 jo No. 9 Tahun 1994 jo No. 16 Tahun 2000 jo No 28 Tahun 2007

Setiap Wajib Pajak sebagai Pengusaha yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, wajib melaporkan usahanya pada kantor Direktorat Jenderal Pajak yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan Pengusaha, dan tempat kegiatan usaha dilakukan untuk dikukuhkan menjadi Pengusaha Kena Pajak.

124

Pasal 2 ayat 4, Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 jo No. 9 Tahun 1994 jo No. 16 Tahun 2000 jo No 28 Tahun 2007

Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau mengukuhkan Pengusaha Kena Pajak secara jabatan apabila Wajib Pajak atau Pengusaha Kena Pajak tidak melaksanakan kewajibannya.

Pasal 2 ayat 4a, Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 jo No. 9 Tahun 1994 jo No. 16 Tahun 2000 jo No 28 Tahun 2007

Kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang diterbitkan Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau yang dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak secara jabatan dimulai sejak saat Wajib Pajak memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan, paling lama 5 (lima) tahun sebelum diterbitkannya Nomor Pokok Wajib Pajak dan/atau dikukuhkannya sebagai Pengusaha Kena Pajak.

Pasal 2 ayat 6, Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 jo No. 9 Tahun 1994 jo No. 16 Tahun 2000 jo No 28 Tahun 2007

Penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak dilakukan oleh Direktur Jenderal Pajak apabila:

Pasal 2 ayat 7, Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 jo No. 9 Tahun 1994 jo No. 16 Tahun 2000 jo No 28 Tahun 2007

a.

diajukan permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak oleh Wajib Pajak dan/atau ahli warisnya apabila Wajib Pajak sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan; b. Wajib Pajak badan dilikuidasi karena penghentian atau penggabungan usaha; c. Wajib Pajak bentuk usaha tetap menghentikan kegiatan usahanya di Indonesia; atau d. dianggap perlu oleh Direktur Jenderal Pajak untuk menghapuskan Nomor Pokok Wajib Pajak dari Wajib Pajak yang sudah tidak memenuhi persyaratan subjektif dan/atau objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Direktur Jenderal Pajak setelah melakukan pemeriksaan harus memberikan keputusan atas permohonan penghapusan Nomor Pokok Wajib Pajak daiam jangka waktu 6 (enam) bulan untuk Wajib Pajak orang pribadi atau 12 (dua belas) bulan untuk Wajib Pajak badan, sejak tanggal permohonan diterima secara lengkap.

125

V.3.3

Surat Keterangan Domisili

Pasal 5 ayat 1, Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 dengan Penjelasan

Perseroan mempunyai nama dan tempat kedudukan dalam wilayah negara Republik Indonesia yang ditentukan dalam anggaran dasar. Tempat kedudukan Perseroan sekaligus

Pasal 5 ayat 1, Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 dengan penjelasan

Perseroan mempunyai alamat lengkap sesuai dengan tempat kedudukannya. Perseroan wajib mempunyai alamat sesuai dengan tempat kedudukannya yang harus disebutkan, antara lain dalam surat-menyurat dan melalui alamat tersebut Perseroan dapat dihubungi.

Pasal 5 ayat 3, Undang-Undang No. 40 Tahun 2007

Dalam surat-menyurat, pengumuman yang diterbitkan oleh Perseroan, barang cetakan, dan akta dalam hal Perseroan menjadi pihak harus menyebutkan nama dan alamat lengkap Perseroan.

merupakan kantor pusat Perseroan.

V.3.4 Pasal 1 angka 10 dan 12 Peaturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009.

Pendaftaran

Dalam kegiatan penanaman modal, ada dua jenis pendaftaran penanaman modal, yaitu: a. Pendaftaran Penanaman Modal adalah bentuk persetujuan awal Pemerintah sebagai dasar memulai rencana penanaman modal. b. Pendaftaran Perluasan Penanaman Modal adalah bentuk persetujuan awal Pemerintah sebagai dasar memulai rencana perluasan V.3.5

Pasal 1 angka 14, Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Izin Prinsip

Izin Prinsip adalah adalah izin untuk memulai kegiatan penanaman modal di bidang usaha yang dapat memperoleh fasilitas fiskal dan dalam pelaksanaan penanaman modalnya memerlukan fasilitas fiskal.

126

V.3.6

Izin Usaha

Izin Usaha adalah izin yang wajib dimiliki perusahaan untuk melaksanakan kegiatan produksi/operasi komersial baik produksi barang maupun jasa sebagai pelaksanaan

Pasal 1 angka 22, Peraturan Kepala BKPM No. 12 tahun 2009

atas pendaftaran/izin prinsip/persetujuan penanaman modalnya (yang diperoleh pada saat mengajukan permohonan penanaman modal dan pembentukan badan hukum), kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan sektoral. Permohonan izin prinsip diajukan kepada PTSP BKPM

V.4

JANGKA WAKTU

Pasal 6, UndangUndang No. 40 Tahun 2007 dengan penjelasannya

a.

Perseroan didirikan untuk jangka waktu terbatas atau tidak terbatas sebagaimana ditentukan dalam anggaran dasar. Apabila Perseroan didirikan untuk jangka waktu terbatas, lamanya jangka waktu tersebut harus disebutkan secara tegas, misalnya untuk waktu 10 (sepuluh) tahun, 20 (dua puluh) tahun, 35 (tiga puluh lima) tahun, dan seterusnya. Demikian juga apabila Perseroan didirikan untuk jangka waktu tidak terbatas harus disebutkan secara tegas dalam anggaran dasar.

Pasal 31-35 KUHD mengenai pembubaran Firma

b.

Jangka waktu firma tergantung dari persetujuan yang disepakati oleh sekutunya.

Pasal 31 KUHD

c.

Jangka waktu CV tergantung penetapan anggaran dasarnya (akta pendirian)

V.5

Pasal 7 ayat 4, Undang-Undang No. 40 Tahun 2007

PENGAKUAN TERBENTUKNYA BADAN USAHA

a.

Perseroan memperoleh status badan hukum pada tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum Perseroan.

127

Pasal 30, UndangUndang No. 40 Tahun 2007

Menteri mengumumkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia: 1. Akta Pendirian Perseroan beserta Keputusan Menteri mengenai pengesahan badan hukum perseroan; 2. Akta Perubahan Anggaran Dasar Perseroan beserta Keputusan Menteri. 3. Akta Perubahan Anggaran Dasar yang telah diterima pemberitahuannya oleh Menteri. Pengumuman dalam tambahan berita negara dilakukan oleh Menteri dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal diterbitkannya Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud diatas.

Pasal 28 KUHD

b.

Mengumumkan akta pendirian atau ikhtisar resmi. Para pendiri CV wajib mengumumkan Republik Indonesia.

Pasal 28 KUHD

c.

Pengesahan Firma sebagai badan hukum diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia (BNRI). Firma berdiri secara resmi setelah didaftarkan di Berita Negara Republik Indonesia dan diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.

Pasal 35 ayat 2, Undang-Undang No 19 Tahun 2003

d.

Perum yang telah didirikan memperoleh status badan hukum sejak diundangkannya Peraturan Pemerintah tentang pendiriannya.

128

V.6

Pasal 142 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007

PENGAKHIRAN BADAN USAHA

Pembubaran Perseroan terjadi: a. b. c. d.

e.

f.

berdasarkan keputusan RUPS; karena jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar telah berakhir; berdasarkan penetapan pengadilan; dengan dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan; karena harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang; atau karena dicabutnya izin usaha Perseroan sehingga mewajibkan Perseroan melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 29 ayat (2) huruf i, UndangUndang No. 40 Tahun 2007

Daftar perseroan diselenggarakan oleh Menteri yang salah satunya memuat data tentang berakhirnya status badan hukum perseroan.

Pasal 143, Undang-Undang No. 40 Tahun 2007

Pembubaran Perseroan tidak mengakibatkan Perseroan kehilangan status badan hukum sampai dengan selesainya likuidasi dan pertanggungjawaban likuidator diterima oleh RUPS atau pengadilan. Sejak saat pembubaran pada setiap surat keluar Perseroan dicantumkan kata “dalam likuidasi” dibelakang nama Perseroan. V.6.1

Karena Merger/Penggabungan

129

Pasal 3, Peraturan Pemerintah No.27 Tahun 1998

Penggabungan dan peleburan yang dilakukan tanpa likuidasi dapat mengakibatkan: a.

b.

Pemegang Saham Perseroan yang menggabungkan diri atau yang meleburkan diri menjadi pemegang saham perseroan yang menerima penggabungan atau perseroan hasil peleburan; dan Aktiva dan passiva perseroan yang menggabungkan diri atau yang meleburkan diri, beralih karena hukum kepada perseroan yang menerima penggabungan atau perseroan hasil peleburan.

Pasal 152 ayat (5) s.d (8), UndangUndang No. 40 Tahun 2007

Menteri mencatat berakhirnya status badan hukum Perseroan dan menghapus nama Perseroan dari daftar Perseroan, setelah likuidator atau kurator telah memenuhi ketentuan yang ditetapkan. Ketentuan ini mengakibatkan berakhirnya status badan hukum Perseroan karena adanya merger/penggabungan perusahaan.

Pasal 1 ayat (1) Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), No. 1 Tahun 2009 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pra-Notifikasi Penggabung-an, Peleburan dan Pengambil-alihan

Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan/Badan Usaha atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan/Badan Usaha lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan/Badan Usaha yang menggabungkan beralih karena hukum kepada Perseroan/Badan Usaha yang menerima Penggabungan dan selanjutnya Perseroan/Badan Usaha yang menggabungkan diri berakhir karena hukum

V.6.2 Pasal 23, Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1998

Karena Konsolidasi/Peleburan

Perseroan yang meleburkan diri bubar terhitung sejak tanggal Akta Pendirian perseroan hasil peleburan disahkan oleh Menteri.

130

Pasal 152 ayat (5) s.d (8), UndangUndang No. 40 Tahun 2007

Menteri mencatat berakhirnya status badan hukum Perseroan dan menghapus nama Perseroan dari daftar Perseroan, setelah likuidator atau kurator telah memenuhi ketentuan yang ditetapkan. Ketentuan ini mengakibatkan berakhirnya status badan hukum Perseroan karena adanya konsolidasi/peleburan perusahaan.

Pasal 1 ayat (1) Peraturan KPPU, No. 1 Tahun 2009

Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan/Badan Usaha atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Perseroan/Badan Usaha baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Perseroan/Badan Usaha yang meleburkan diri dan Perseroan/Badan Usaha yang meleburkan diri berakhir karena hukum V.6.3 Karena Kepailitan yang Diikuti Pembubaran Badan Usaha

Pasal 142 ayat (1) huruf d dan e, Undang-Undang No. 40 Tahun 2007

Pembubaran Perseroan dapat terjadi karena: a.

b.

V.6.4

dicabutnya kepailitan berdasarkan putusan pengadilan niaga yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, harta pailit Perseroan tidak cukup untuk membayar biaya kepailitan; harta pailit Perseroan yang telah dinyatakan pailit berada dalam keadaan insolvensi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Karena Likuidasi

131

Pasal 152 ayat (1) s.d (5), UndangUndang No. 40 Tahun 2007

Likuidator bertanggung jawab kepada RUPS atau pengadilan yang mengangkatnya atas likuidasi Perseroan yang dilakukan. Kurator bertanggung jawab kepada hakim pengawas atas likuidasi Perseroan yang dilakukan. Likuidator wajib memberitahukan kepada Menteri dan mengumumkan hasil akhir proses likuidasi dalam Surat Kabar setelah RUPS memberikan pelunasan dan pembebasan kepada likuidator atau setelah pengadilan menerima pertanggungjawaban likuidator yang ditunjuknya. Menteri mencatat berakhirnya status badan hukum Perseroan dan menghapus nama Perseroan dari daftar Perseroan, setelah ketentuan pelaksanaan likuidasi dipenuhi.

Pasal 152 ayat (7) dan (8), UndangUndang No. 40 Tahun 2007.

Pemberitahuan dan pengumuman oleh likuidator dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal pertanggungjawaban likuidator atau kurator diterima oleh RUPS, pengadilan atau hakim pengawas. Menteri mengumumkan berakhirnya status badan hukum Perseroan dalam Berita Negara Republik Indonesia.

132

TATA CARA DAN PERSYARATAN PENANAMAN MODAL

133

134

VI.1

MEMULAI USAHA PENANAMAN MODAL VI.1.1

Pendaftaran Penanaman Modal

VI.1.1.1

Penanaman modal dalam negeri (PMDN)

VI.1.1.1.1 Pasal 11 ayat 2 Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No. 12 Tahun 2009 tentang Pedoman Dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal

Bentuk Badan Usaha

Penanaman modal dalam negeri dapat dilakukan dalam bentuk badan usaha yang berbentuk badan hukum, tidak berbadan hukum atau usaha perseorangan, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

VI.1.1.1.2 Pasal 16 ayat 6 Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No. 12 Tahun 2009

Pasal 33 Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No. 12 Tahun 2009

Prosedur dan Tata Cara

Perusahaan penanaman modal dalam negeri dapat mengajukan Pendaftaran di PTSP BKPM, PTSP PDPPM, atau PTSP PDKPM sesuai kewenangannya, apabiIa diperlukan dalam pengurusan perizinan peIaksanaan penanaman modaInya. Permohonan Pendaftaran disampaikan ke PTSP BKPM, PTSP PDPPM, atau PTSP PDKPM sesuai kewenangannya dan dapat diajukan oleh: a. b.

c.

pemerintah negara lain dan/ atau warga negara asing dan/ atau badan usaha asing; pemerintah negara lain dan/ atau warga negara asing dan/ atau badan usaha asing bersama dengan warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia; perseorangan warga negara Indonesia dan/atau badan usaha Indonesia Iainnya.

Permohonan Pendaftaran dengan menggunakan formulir Pendaftaran, sebagaimana tercantum dalam Lampiran I, dalam bentuk hardcopy atau softcopy berdasarkan investor module BKPM, dengan dilengkapi persyaratan bukti diri pemohon:

135

a.

b. c.

d. e.

f.

g.

h.

i.

surat dari instansi pemerintah negara yang bersangkutan atau surat yang dikeluarkan oleh kedutaan besar/kantor perwakilan negara yang bersangkutan di Indonesia untuk pemohon adalah pemerintah negara lain; rekaman paspor yang masih berlaku untuk pemohon adalah perseorangan asing; rekaman Anggaran Dasar (Article of Association dalam Bahasa Inggris atau terjemahannya dalam Bahasa Indonesia dari penterjemah tersumpah untuk pemohon adalah untuk badan usaha asing; rekaman KTP yang masih berlaku untuk pemohon adalah perseorangan Indonesia; rekaman Akta Pendirian perusahaan dan perubahannya beserta pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM untuk pemohon adalah badan usaha Indonesia; rekaman NPWP baik untuk pemohon adalah perseorangan Indonesia maupun badan usaha Indonesia; permohonan pendaftaran ditandatangani di atas meterai cukup oleh seluruh pemohon (bila perusahaan belum berbadan hukum) atau oleh direksi perasahaan (bila perusahaan sudah berbadan hukum); Surat Kuasa asli bermeterai cukup untuk pengurusan permohonan yang tidak diIakukan secara langsung oleh pemohon/ direksi perusahaan; Ketentuan tentang surat kuasa diatur dalam PasaI 63 Peraturan ini.

Pendaftaran diterbitkan dalam 1 (satu) hari kerja sejak diterimanya permohonan yang lengkap dan benar. Bentuk Pendaftaran tercantum dalam Lampiran II.

136

VI.1.1.2

Penanaman modal asing (PMA)

VI.1.1.2.1 Bentuk Badan Usaha Pasal 11 ayat 1 Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No. 12 Tahun 2009

Penanaman modal asing harus dalam bentuk perseroan terbatas berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah Negara Republik Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang. VI.1.1.2.2 Prosedur dan Tata Cara

Pasal 16 ayat 1-5 Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No. 12 Tahun 2009

Penanam modal asing yang akan melakukan penanaman modal di Indonesia mengajukan permohonan Pendaftaran ke PTSP BKPM, sebelum atau sesudah berstatus badan hukum perseroan terbatas. Pen d a fta r a n y an g di a j u k a n s e be l u m be rs t a t u s badan h u ku m p e rs e ro a n t e rba t a s , wajib d i ti n d a kla n ju ti de n ga n p e m bu a t a n akta p en d i r i a n p er se ro a n t e rb a t a s . Pendaftaran yang tidak ditindaklanjuti paling lambat dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal diterbitkannya Pendaftaran, dinyatakan batal demi hukum. Apabila sebelum jangka waktu 6 (enam) bulan terdapat perubahan ketentuan yang terkait dengan bidang usaha, maka Pendaftaran yang telah diterbitkan dinyatakan batal demi hukum apabila bertentangan dengan ketentuan baru. Pendaftaran yang diajukan setelah akta pendirian perseroan terbatas atau setelah perusahaan berstatus badan hukum perseroan terbatas, berlaku sampai dengan perusahaan memiliki Izin Prinsip atau perusahaan siap beroperasi/ produksi komersial.

137

VI.1.2

Bidang-bidang Usaha Penanaman Modal

VI.1.2.1 Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) Pasal 16-17 Peraturan Presiden No. 76 Tahun 2007 tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal

Bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan disusun dengan menggunakan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) pada tingkatan yang paling rinci yang dimungkinkan oleh ketersediaan KBLI, atau dengan menggunakan gabungan metode klasifikasi lain pada tingkatan yang paling rinci yang dimungkinkan. Daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan dievaluasi dan disempurnakan secara berkala sesuai dengan perkembangan ekonomi dan kepentingan nasional berdasar kajian, temuan dan usulan penanam modal. Penyusunan bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan dikoordinasikan oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian yang kemudian ditetapkan dalam Peraturan Presiden. Menteri atau Pimpinan instansi terkait mengusulkan bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan beserta alasan pendukung kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dengan menggunakan kriteria dan pertimbangan berdasar Peraturan Presiden ini. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian membentuk tim untuk menilai, menyusun, mengevaluasi dan menyempurnakan daftar bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan. Badan Koordinasi Penanaman Modal bertanggung jawab dalam mengkoordinasikan pelaksanaan Peraturan Presiden ini.

138

Pasal 1-3 Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik No. 57 Tahun 2009 tentang Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia

Untuk keseragaman konsep, definisi, dan klasifikasi lapangan usaha, setiap kegiatan ekonomi dikelompokkan dalam Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia. Pengelompokan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia sebagaimana tersebut dalam Lampiran Peraturan ini. Dengan berlakunya Peraturan ini, maka Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia yang ada sebelumnya dinyatakan tidak berlaku. VI.1.2.2

Pasal 3-7 Peraturan Presiden No. 76 Tahun 2007

Tujuan, Prinsip Dasar, Persyaratan

Daftar bidang usaha yang tertutup dan daftar bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan merupakan rujukan penanam modal dalam melakukan pilihan bidang usaha kegiatan penanam modal. Pilihan bidang usaha menjadi persyaratan bentukan badan usaha yang berbadan hukum bagi penanam modal, terutama bagi penanam modal asing sebelum melakukan kegiatan penanaman modal di Indonesia. Penentuan bidang usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan menggunakan prinsip­-prinsip dasar: a. Penyederhanaan; b. Kepatuhan terhadap perjanjian atau komitmen internasional; c. Transparansi; d. Kepastian hukum; e. Kesatuan wilayah Indonesia sebagai pasar tunggal. VI.1.2.3 Publikasi

Pasal 10 ayat 2 Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No. 12 Tahun 2009

Penanam modal yang akan melakukan kegiatan penanaman modal harus memperhatikan peraturan perundang-undangan yang menyatakan bidang usaha atau jenis usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan.

139

Pasal 2 Peraturan Presiden No. 76 Tahun 2007 Pasal 8-10 Peraturan Presiden No. 76 Tahun 2007

VI.1.2.4 Daftar Bidang Usaha yang Tertutup Bidang usaha yang tertutup merupakan jenis usaha tertentu yang dilarang diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal. Bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal, baik asing maupun dalam negeri ditetapkan dengan berdasarkan kriteria Kesehatan, Keselamatan, Pertahanan dan Keamanan, Lingkungan Hidup dan Moral/ Budaya (K3LM) dan kepentingan nasional lainnya. Kriteria K3LM dapat dirinci antara lain: a. b. c. d. e. f.

g. h.

Memelihara tatanan hidup masyarakat; Melindungi keaneka ragaman hayati; Menjaga keseimbangan ekosistem; Memelihara kelestarian hutan alam; Mengawasi penggunaan Bahan Berbahaya Beracun; Menghindari pemalsuan dan mengawasi peredaran barang dan/atau jasa yang tidak direncanakan; Menjaga kedaulatan negara, atau Menjaga dan memelihara sumber daya terbatas.

Bidang usaha yang dinyatakan tertutup berlaku secara nasional di seluruh wilayah Indonesia baik untuk kegiatan penanaman modal asing maupun untuk kegiatan penanaman modal dalam negeri.

Pasal 1 Peraturan Presiden No.36 Tahun 2010

Bidang usaha yang tertutup merupakan bidang usaha tertentu yang dilarang diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal. Daftar bidang usaha yang tertutup adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran I. V I .1.2.5 D a ftar Bi d a n g Us a h a ya n g Te rbu k a d en g a n Per sy a r a t a n

Pasal 2 Peraturan Presiden No. 76 Tahun 2007

Bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan adalah jenis usaha tertentu yang dapat diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal dengan persyaratan tertentu.

140

Pasal 11-12 Peraturan Presiden No. 76 Tahun 2007

Pemerintah menetapkan bidang usaha yang dicadangkan untuk UMKMK dan bidang usaha yang terbuka dengan syarat kemitraan. Penentuan bidang usaha yang dicadangkan untuk UMKMK dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundangundangan, tanpa diharuskan menjadi bagian dari daftar bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan bidang usaha yang dicadangkan untuk UMKMK. Bidang usaha berdasarkan pertimbangan kewajaran dan kelayakan “economies of small scale” apabila diusahakan oleh UMKMK, menjadi bagian dari daftar bidang usaha terbuka dengan persyaratan bidang usaha yang dicadangkan untuk UMKMK. Proses penetapan daftar bidang usaha yang dicadangkan untuk UMKMK dilaksanakan berdasarkan usulan Menteri Teknis yang terkait dengan bidang usaha tersebut, setelah berkoordinasi dengan Kementerian Negara Koperasi Usaha Kecil, dan Menengah, dengan memperhatikan prioritas program pembinaan UMKMK. Bidang usaha yang terbuka dengan syarat kemitraan merupakan usaha yang dilakukan dalam bentuk kerjasama antara UMKMK dengan usaha besar disertai pembinaan dan pengembangan oleh usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan. Bidang usaha yang mewajibkan kemitraan penanam modal skala besar dengan UMKMK dapat dilakukan dengan pola inti plasma, sub kontraktor, dagang umum, keagenan dan bentuk lainnya, tanpa ada perubahan kepemilikan UMKMK, serta dilaksanakan berdasarkan perjanjian tertulis, yang merupakan persyaratan bagi penanam modal skala besar untuk dapat membentuk badan usaha yang berbentuk badan hukum. Di samping kemitraan dalam bidang usaha yang dicadangkan untuk UMKMK, kemitraan dapat dilakukan oleh penanam modal skala besar dengan UMKMK dalam bidang usaha sesuai dengan izin usahanya sebagai persyaratan Perizinan untuk beroperasi/ berproduksi komersial.

141

Pasal 2 Peraturan Presiden No 36 Tahun 2010

Bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan adalah bidang usaha tertentu yang dapat diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal dengan syarat tertentu, yaitu bidang usaha yang dicadangkan untuk Usaha Mikro, Kecil, Menengah, dan Koperasi, bidang usaha yang dipersyaratkan dengan kemitraan, bidang usaha yang dipersyaratkan kepemilikan modalnya, bidang usaha yang dipersyaratkan dengan lokasi tertentu, dan bidang usaha yang dipersyaratkan dengan perizinan khusus. Daftar bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran II Peraturan Presiden ini. Persyaratan tersebut merupakan persyaratan bagi pembentukan badan usaha yang berbadan hukum Indo­ nesia bagi penanam modal khususnya penanam modal asing sebelum melakukan kegiatan penanaman modal di Indonesia.

Pasal 3 Peraturan Presiden No 36. Tahun 2010

Penananam modal pada bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan harus memenuhi perysaratan lokasi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang tata ruang dan lingkungan hidup. Dalam hal izin penanaman modal telah ditetapkan lokasi usahanya dan penanam modal bermaksud memperluas usaha dengan melakukan kegiatan usaha yang sama di luar lokasi yang sudah ditetapkan dalam izin penanaman modal tersebut, penanam modal harus memenuhi persyaratan lokasi. Untuk memenuhi persyaratan lokasi, penanam modal tidak diwajibkan untuk mendirikan badan usaha baru atau mendapatkan izin usaha baru, kecuali ditentukan lain oleh Undang-Undang.

Pasal 2A Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2010

Penanaman modal pada bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan harus memenuhi persyaratan lokasi sebagaimana diatur dalam peraturan perundang‑ undangan yang berlaku di bidang tata ruang dan lingkungan hidup.

142

Dalam hal izin penanaman modal telah ditetapkan lokasi usahanya dan penanam modal bermaksud memperluas usaha dengan melakukan kegiatan usaha yang sama di luar lokasi yang sudah ditetapkan dalam izin penanaman modal tersebut, penanam modal harus memenuhi persyaratan lokasi. Untuk memenuhi persyaratan lokasi, penanam modal tidak diwajibkan untuk mendirikan badan usaha baru atau mendapatkan izin usaha baru. VI.1.3 Pasal 13 Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Izin Prinsip

Jenis pelayanan penanaman modal: a. b.

Pelayanan perizinan; Pelayanan non-perizinan.

Jenis perizinan penanaman modal: a. b. c. d. e.

f. g. h. i. j. k. l. m.

Pendaftaran Penanaman Modal; Izin Prinsip Penanaman Modal; Izin Prinsip Perluasan Penanaman Modal; Izin Prinsip Perubahan Penanaman Modal; Izin Usaha, Izin Usaha Perluasan, Izin Usaha Penggabungan Perusahaan Penanaman Modal (Merger) dan Izin Usaha Perubahan; lzin Lokasi; Persetujuan Pemanfaatan Ruang; Izin Mendirikan Bangunan (IMB); Izin Gangguan (UUG/HO); Surat lzin Pengambilan Air Bawah Tanah; Tanda Daftar Perusahaan (TDP); Hak atas tanah; Izin-izin lainnya dalam rangka pelaksanaan penanaman modal.

143

Jenis-jenis pelayanan non-perizinan dan kemudahan lainnya, antara lain: a. b. c. d. e. f. g. h. i. VI.1.3.1 Pasal 17 Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Fasilitas bea masuk atas impor mesin; Fasilitas bea masuk atas impor barang dan bahan; Usulan untuk mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan (PPh) Badan; Angka Pengenal Importir Produsen (API-P); Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA); Rekomendasi Visa Untuk Bekerja (TA. 01); Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA); Insentif daerah; Layanan informasi dan layanan pengaduan. Izin Prinsip bagi Perusahaan PMA

Perusahaan penanaman modal asing yang telah berstatus badan hukum perseroan terbatas yang bidang usahanya dapat memperoleh fasilitas fiskal dan dalam pelaksanaan penanaman modalnya membutuhkan fasilitas fiskal, wajib memiliki Izin Prinsip Penanaman Modal. Perusahaan penanaman modal asing sebagaimana dimaksud di atas yang belum melakukan Pendaftaran, dapat langsung mengajukan permohonan lzin Prinsip. Perusahaan penanaman modal asing yang bidang usahanya tidak memperoleh fasilitas fiskal dan/atau dalam pelaksanaan penanaman modalnya tidak membutuhkan fasilitas fiskal, tidak diwajibkan memiliki Izin Prinsip. Permohonan Izin Prinsip diajukan kepada PTSP BKPM.

Pasal 34 Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Permohonan Izin Prinsip bagi perusahaan penanaman modal asing yang bidang usahanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) dan ayat (3) disampaikan ke PTSP BKPM dengan menggunakan formulir Izin Prinsip, sebagaimana tercantum dalam Lampiran III dalam bentuk hardcopy atau softcopy berdasarkan investor module BKPM.

144

Permohonan Izin Prinsip dilengkapi persyaratan sebagai berikut: a.

Bukti diri pemohon 1. pendaftaran bagi badan usaha yang telah melakukan pendaftaran; 2. rekaman Akta Pendirian perusahaan dan perubahannya; 3. rekaman Pengesahan Anggaran Dasar Perusahaan dari Menteri Hukum dan HAM; 4. rekaman Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP). b. Keterangan rencana kegiatan, berupa: 1. uraian proses produksi yang mencantumkan jenis bahan baku dan dilengkapi dengan diagram alir (flow chart); 2. uraian kegiatan usaha sektor jasa. c. Rekomendasi dari instansi pemerintah terkait, bila dipersyaratkan; d. Permohonan Izin Prinsip disampaikan oleh direksi perusahaan ke PTSP BKPM; e. Permohonan yang tidak secara langsung disampaikan oleh direksi perusahaan ke PTSP BKPM harus dilampiri surat kuasa asli; f. Ketentuan tentang surat kuasa diatur dalam Pasal 63.up [bagi perusahaan yang diwajibkan AMDAL atau Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL)/ Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL)]; f. Menteri Negara Koperasi dan Pengusaha Kecil dan Menengah (bagi bidang usaha yang diwajibkan bermitra); g. Gubernur Bank Indonesia; h. Kepala Badan Pertanahan Nasional (bagi penanaman modal yang akan memiliki lahan); i. Duta Besar Republik Indonesia di negara asal penanam modal asing; j. Direktur Jenderal Pajak;

145

k. l. m. n. o. p.

Direktur Jenderal Bea dan Cukai; Direktur Jenderal Teknis yang bersangkutan; Gubernur yang bersangkutan; Bupati/Walikota yang bersangkutan; Kepala PDPPM; Kepala PDKPM.

Izin Prinsip diterbitkan selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya permohonan dengan lengkap dan benar. Bentuk Izin Prinsip tercantum dalam Lampiran IV. VI.1.3.2 Pasal 19 Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Izin Prinsip bagi Perusahaan PMDN

Perusahaan penanaman modal dalam negeri yang bidang usahanya dapat memperoleh fasilitas fiskal dan dalam pelaksanaan penanaman modalnya memerlukan fasilitas fiskal, wajib memiliki Izin Prinsip. Perusahaan penanaman modal dalam negeri yang bidang usahanya tidak memperoleh fasilitas fiskal dan/ atau dalam pelaksanaan penanaman modalnya tidak memerlukan fasilitas fiskal, tidak diwajibkan memiliki Izin Prinsip. Permohonan Izin Prinsip diajukan ke PTSP BKPM, PTSP PDPPM, atau PTSP PDKPM sesuai dengan kewenangannya. Perusahaan penanaman modal dalam negeri dalam pengurusan perizinan pelaksanaan penanaman modalnya wajib memiliki: a.

b.

Akta dan pengesahan pendirian perusahaan atau Kartu Tanda Penduduk (KTP) bagi perusahaan perorangan, dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);

Perusahaan penanaman modal dalam negeri dapat melakukan Pendaftaran apabila diperlukan dalam pengurusan perizinan pelaksanaan penanaman modalnya.

146

Pasal 35 Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Permohonan Izin Prinsip untuk perusahaan penanaman modal dalam negeri diajukan oleh: a. b.

Perseorangan warga negara Indonesia; Perseroan Terbatas (PT) dan/atau perusahaan nasional yang seluruh sahamnya dimiliki oleh warga negara Indonesia; c. Commanditaire Vennootschap (CV), atau Firma (Fa), atau Usaha Perseorangan; d. Koperasi; e. Yayasan yang didirikan oleh warga negara Indonesia/perusahaan nasional yang seluruh sahamnya dimiliki oleh warga negara Indonesia; atau f. Badan Usaha Milik Negara (BUMN), atau Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Permohonan Izin Prinsip disampaikan oleh pemohon ke PTSP BKPM, PTSP PDPPM atau PTSP PDKPM sesuai kewenangannya dengan menggunakan formulir Izin Prinsip, sebagaimana tercantum dalam Lampiran III dalam bentuk hardcopy atau softcopy berdasarkan investor module BKPM. Permohonan Izin Prinsip dilengkapi persyaratan sebagai berikut: a.

bukti diri pemohon: 1. pendaftaran bagi badan usaha yang telah melakukan pendaftaran; 2. rekaman Akta Pendirian perusahaan dan perubahannya untuk PT, CV, Fa atau rekaman Anggaran Dasar bagi Badan Usaha Koperasi; 3. rekaman pengesahan Anggaran Dasar Perusahaan dari Menteri Hukum dan HAM atau pengesahan Anggaran Dasar Badan Usaha Koperasi oleh instansi yang berwenang; 4. rekaman KTP untuk perseorangan; 5. rekaman NPWP. b. keterangan rencana kegiatan, berupa: 1. uraian proses produksi yang mencantumkan jenis bahan baku dan dilengkapi dengan diagram alir (flow chart); 2. uraian kegiatan usaha sektor jasa.

147

c. d.

e.

rekomendasi dari instansi pemerintah terkait apabila dipersyaratkan; permohonan yang tidak secara langsung disampaikan oleh pemohon ke PTSP harus dilampiri surat kuasa asli; Ketentuan tentang surat kuasa diatur dalam Pasal 63.P PDPPM.

Izin Prinsip diterbitkan selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya permohonan dengan lengkap dan benar. dengan tembusan kepada: a. b. c.

Menteri Dalam Negeri; Menteri Keuangan; Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia u.p. Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum; d. Menteri yang membina bidang usaha penanaman modal yang bersangkutan; e. Menteri Negara Lingkungan Hidup [bagi perusahaan yang diwajibkan AMDAL atau Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL)/ Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL); f. Menteri Negara Koperasi dan Pengusaha Kecil dan Menengah (bagi bidang usaha yang diwajibkan bermitra); g. Gubernur Bank Indonesia; h. Kepala Badan Pertanahan Nasional (bagi penanaman modal yang akan memiliki lahan) i. Direktur Jenderal Pajak; j. Direktur Jenderal Bea dan Cukai; Atas permohonan tersebut, diterbitkan Izin Prinsip k. Direktur Jenderal Teknis yang bersangkutan; l. Gubernur yang bersangkutan; m. Bupati/Walikota yang bersangkutan; n. Kepala BKPM (khusus bagi Izin Prinsip Penanaman Modal yang dikeluarkan oleh PTSP PDPPM dan PTSP PDKPM); o. Kepala PDPPM (khusus bagi Izin Prinsip Penanaman modal yang dikeluarkan oleh PTSP BKPM dan PTSP PDKPM); dan/atau

148

p.

Kepala PDKPM (khusus bagi Izin Prinsip Penanaman modal yang dikeluarkan oleh PTSP BKPM dan PTSP PDPPM).

Izin Prinsip diterbitkan selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya permohonan dengan lengkap dan benar. Bentuk Izin Prinsip tercantum dalam Lampiran IV. VI.1.3.3 Pasal 21-22 Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Pengembangan Usaha

Perusahaan penanaman modal dapat melakukan pengembangan usaha di bidang-bidang usaha sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengembangan usaha dapat merupakan perluasan usaha atau penambahan bidang usaha. Perusahaan yang kegiatan usaha awalnya memililki Izin Prinsip dapat melakukan perluasan usaha dengan kewajiban memiliki Izin Prinsip Perluasan. Perusahaan yang kegiatan usaha awalnya tidak memililki Izin Prinsip dapat melakukan perluasan usahanya dengan mengajukan Pendaftaran Perluasan, apabila diperlukan. Perusahaan yang kegiatan usaha awalnya memiliki atau tidak memiliki Izin Prinsip dapat melakukan penambahan bidang usaha atau jenis produksi: a.

b.

di bidang usaha yang dapat memperoleh fasilitas fiskal, dengan wajib memiliki Izin Prinsip atas tambahan bidang usaha/jenis produksinya; di bidang usaha yang tidak memperoleh fasiIitas fiskal, dapat mengajukan Pendaftaran atas tambahan bidang usaha/ jenis produksinya, apabiIa diperlukan.

Perusahaan penanaman modal yang akan melakukan perluasan usaha di bidang yang dapat memperoleh fasilitas fiskal dan berada di lokasi yang sama dengan usaha sebelumnya, terlebih dahulu wajib memiliki Izin Usaha atas kegiatan usaha sebelumnya.

149

Dalam hal perusahaan penanaman modal melakukan perluasan di lokasi yang berbeda dengan usaha sebelumnya, permohonan perluasan dapat diajukan tanpa dipersyaratkan memiIiki Izin Usaha terIebih dahulu alas kegiatan usaha sebelumnya. Atas rencana perluasan, permohonan Izin Prinsip Perluasannya diajukan ke PTSP BKPM, PTSP PDPPM, atau PTSP PDKPM sesuai kewenangannya. VI.1.3.3.1 Izin Prinsip Perluasan Pasal 36 Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Permohonan Izin Prinsip Perluasan, diajukan dengan menggunakan formulir Izin Prinsip Perluasan sebagaimana tercantum dalam Lampiran V, dalam bentuk hardcopy atau softcopy berdasarkan investor module BKPM, dengan dilengkapi persyaratan: a. b.

rekaman Izin Usaha, bila diperlukan; rekaman Akta Pendirian dari perubahannya, dilengkapi dengan pengesahan dan Departemen Hukum dan HAM; c. keterangan rencana kegiatan, berupa: 1. Uraian proses produksi yang mencantumkan jenis bahan baku dan dilengkapi dengan diagram alir (flow chart); 2. Uraian kegiatan usaha sektor jasa. d. rekaman Izin Prinsip dan/atau perubahannya. e. dalam hal terjadi perubahan penyertaan dalam modal perseroan yang mengakibatkan terjadinya perubahan persentase saham antara asing dan Indonesia dalam modal perseroan atau terjadi perubahan nama dan negara asal pemegang saham, perusahaan harus menyampaikan:

150

1. Kesepakatan perubahan komposisi saham antara asing dan Indonesia dalam perseroan yang dituangkan dalam bentuk rekaman Risalah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)/ Keputusan Sirkular yang ditandatangani oleh seluruh pemegang saham dan telah dicatat (waarmerking) oleh Notaris atau rekaman Pernyataan Keputusan Rapat/Berita Acara Rapat dalam bentuk Akta Notaris, yang memenuhi ketentuan Pasal 21 dan Bab VI Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dilengkapi dengan bukti diri pemegang saham baru; 2. Kronologis penyertaan dalam modal perseroan sejak pendirian perusahaan sampai dengan permohonan terakhir. f. Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM); g. Permohonan Izin Prinsip Perluasan: 1. disampaikan oleh direksi perusahaan ke PTSP BKPM, PTSP PDPPM, atau PTSP PDKPM sesuai kewenangannya; 2. permohonan yang tidak secara langsung disampaikan oleh direksi perusahaan ke PTSP BKPM, PTSP PDP PM, atau PTSP PDKPM harus dilampiri surat kuasa; 3. Ketentuan tentang surat kuasa diatur dalam Pasal 63. Atas permohonan tersebut, diterbitkan lzin Prinsip Perluasan dengan tembusan kepada pejabat Instansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) bagi penanaman modal asing dan Pasal 35 ayat (4) bagi penanaman modal dalam negeri. Izin Prinsip Perluasan diterbitkan selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya permohonan dengan lengkap dan benar. Bentuk Izin Prinsip Perluasan tercantum dalam Lampiran VI.

151

VI.1.3.3.2 Izin Prinsip Perubahan Pasal 37-42 Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Penanaman modal asing dan penanaman modal dalam negeri dapat mengubah: a. b. c.

ketentuan bidang usaha termasuk jenis dan kapasitas produksi, dan/ atau; penyertaan modal dalam perseroan; jangka waktu penyelesaian proyek. yang tercantum daIam Izin Prinsip atau Izin Prinsip Perluasan.

Atas perubahan tersebut, perusahaan harus memiliki Izin Prinsip Perubahan. Permohonan Izin Prinsip Perubahan diajukan ke PTSP BKPM, PTSP PDPPM, atau PTSP PDKPM sesuai kewenangannya. Perubahan penyertaan dalam modal perseroan yang wajib memiliki Izin Prinsip Perubahan meliputi perubahan persentase kepemilikan saham asing serta perubahan nama dan negara asal pemilik modal asing. Pada Perusahaan Terbuka (Tbk): a.

b.

wajib memiliki Izin Prinsip Perubahan apabila perubahan terjadi pada saham pendiri/ pengendali yang dimiliki sekurangkurangnya 2 (dua) tahun dan dilakukan di pasar modal dalam negeri; tidak diwajibkan memiliki Izin Prinsip Perubahan apabila perubahan terjadi atas saham yang berada dalam kelompok saham masyarakat.

Jangka waktu penyelesaian proyek ditetapkan paling lama 5 (lima) tahun sejak tanggal diterbitkannya Izin Prinsip Penanaman Modal.

152

Apabila diperlukan, jangka waktu penyelesaian proyek dapat diberikan perpanjangan tambahan waktu penyelesaian proyek. Perusahaan penanaman modal yang telah memiliki Izin Prinsip dan telah maupun yang belum merealisasikan fasilitas fiskal/non-fiskal atau telah memiliki Izin Usaha, dapat mengubah lokasi proyek penanaman modalnya. Atas perubahan tersebut, perusahaan mengajukan permohonan Izin Prinsip Perubahan ke PTSP di lokasi yang baru dengan melampirkan surat rekomendasi pindah lokasi dari PTSP penerbit Izin Prinsip penanaman modalnya. Perusahaan yang bidang usahanya merupakan kewenangan Pemerintah dan akan melakukan perubahan lokasi proyek penanaman modalnya, melaporkan perubahan lokasi proyek tersebut ke PTSP BKPM. Perubahan atas ketentuan yang tercantum dalam Pendaftaran atau Izin Prinsip selain yang dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1), perusahaan harus melaporkan perubahan tersebut ke PTSP yang menerbitkan Pendaftaran/Izin Prinsip dengan menggunakan formulir sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIIIA. Berdasarkan laporan tentang perubahan, PTSP penerbit izin prinsip penanaman modal atau pendaftaran penanaman modal menerbitkan surat telah mencatat perubahan tersebut, sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIIIB. Permohonan Izin Prinsip Perubahan Penanaman modal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1), dengan menggunakan formulir Izin Prinsip Perubahan sebagaimana tercantum dalam Lampiran IX, dalam bentuk hardcopy atau softcopy berdasarkan investor module BKPM dan dilengkapi persyaratan: a. b.

rekaman Izin Prinsip Penanaman Modal yang dimohonkan perubahannya; rekaman Akta Pendirian dan perubahannya, dilengkapi dengan pengesahan dari Departemen Hukum dan HAM;

153

c.

untuk perubahan bidang usaha (jenis/ kapasitas produksi) dilengkapi dengan: 1. keterangan rencana kegiatan, berupa uraian proses produksi yang mencantumkan jenis bahan baku dan dilengkapi dengan diagram alir (flow chart);

2. rekomendasi dari instansi pemerintah terkait, bila dipersyaratkan. d. untuk perubahan Penyertaan dalam modal perseroan (persentase kepemilikan saham asing) dilengkapi dengan: 1. kesepakatan para pemegang saham tentang perubahan persentase saham antara asing dan Indonesia dalam perseroan yang dituangkan dalam bentuk rekaman Risalah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)/ Keputusan Sirkular yang ditandatangani oleh seluruh pemegang saham dan telah dicatat (waarmerking) oleh Notaris atau rekaman Pernyataan Keputusan Rapat/Berita Acara Rapat dalam bentuk Akta Notaris, yang memenuhi ketentuan Pasal 21 dan Bab VI Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dan dilengkapi dengan bukti diri pemegang saham baru; 2. kronologis penyertaan dalam modal perseroan sejak pendirian perusahaan sampai dengan permohonan terakhir; 3. khusus untuk Perusahaan Terbuka (Tbk), permohonan dilengkapi dengan persyaratan sesuai ketentuan perundangan di pasar modal. e. untuk perubahan jangka waktu penyelesaian proyek dilengkapi dengan alasan perubahan; f. Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) periode terakhir; g. Permohonan Izin Prinsip Perubahan Penanaman Modal: 1. disampaikan oleh direksi perusahaan ke PTSP BKPM, PTSP PDPPM, atau PTSP PDKPM sesuai kewenangannya; 2. permohonan yang tidak secara langsung disampaikan oleh direksi perusahaan ke PTSP BKPM, PTSP PDPPM, atau PTSP PDKPM harus dilampiri surat kuasa;

154

3. Ketentuan tentang surat kuasa diatur dalam Pasal 63. Atas permohonan tersebut, diterbitkan Izin Prinsip Perubahan Penanaman Modal dengan tembusan kepada pejabat Instansi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (3) bagi penanaman modal asing dan Pasal 35 ayat (4) bagi penanaman modal dalam negeri. Izin Prinsip Perubahan Penanaman Modal diterbitkan selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya permohonan yang lengkap dan benar. Bentuk Izin Prinsip Perubahan Penanaman Modal tercantum dalam Lampiran X. VI.1.3.4

Pengalihan Kepemilikan Saham Asing

Perusahaan penanaman modal dalam negeri yang tidak memiliki Izin Prinsip dan belum memiliki Izin Usaha atau belum memiliki Izin Prinsip, yang akan melakukan perubahan penyertaan dalam modal perseroan karena masuknya modal asing yang mengakibatkan seluruh/ sebagian modal perseroan menjadi modal asing, wajib melakukan Pendaftaran penanaman modalnya sebagai akibat dari perubahan yang terjadi ke PTSP BKPM. Perusahaan penanaman modal dalam negeri yang telah memiliki Izin Prinsip atau Izin Usaha, akan melakukan perubahan penyertaan dalam modal perseroan karena masuknya modal asing yang mengakibatkan seluruh/ sebagian modal perseroan menjadi modal asing, wajib mengajukan permohonan Izin Prinsip atau Izin Usaha atas penanaman modalnya sebagai akibat dari perubahan yang terjadi ke PTSP BKPM. Untuk perusahaan penanaman modal dalam negeri, yang bidang usahanya merupakan kewenangan pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota, sebelum mengajukan permohonan Izin Prinsip atau Izin Usaha ke PTSP BKPM dipersyaratkan melampirkan Surat Pengantar dari PTSP PDPPM atau PTSP PDKPM tentang rencana masuknya modal asing sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIIA.

155

Dalam hal Surat Pengantar dari PTSP PDPPM atau PTSP PDKPM belum diterbitkan dalam jangka waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja, perusahaan dapat melampirkan tanda terima pengajuan permohonan dimaksud. Atas permohonan pendaftaran, PTSP BKPM menerbitkan:

a. Pendaftaran apabila bidang usaha dan persentase kepemilikan saham asing memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan; b. Surat Penolakan Pendaftaran, apabila bidang usaha dan persentase kepemilikan saham asing tidak memenuhi ketentuan perundangundangan sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIIB. Perusahaan penanaman modal asing yang memiliki Pendaftaran dan akan melakukan perubahan penyertaan dalam modal perseroan karena keluarnya seluruh modal asing yang mengakibatkan seluruh modal perseroan menjadi modal dalam negeri, wajib melakukan pendaftaran penanaman modalnya sebagai akibat dari perubahan yang terjadi ke PTSP BKPM, PTSP PDPPM, atau PTSP PDKPM sesuai kewenangannya.

156

Perusahaan penanaman modal asing yang memiliki lzin Prinsip atau Izin Usaha, dan akan melakukan perubahan penyertaan dalam modal perseroan karena keluarnya seluruh modal asing yang mengakibatkan seluruh modal perseroan menjadi modal dalam negeri, wajib mengajukan permohonan Izin Prinsip atau Izin Usaha penanaman modalnya sebagai akibat dari perubahan yang terjadi ke PTSP BKPM, PTSP PDPPM, atau PTSP PDKPM sesuai kewenangannya. Untuk perusahaan penanaman modal asing dengan bidang usaha yang merupakan kewenangan pemerintah provinsi dan/atau pemerintah kabupaten/kota, sebelum melakukan Pendaftaran maupun pengajuan permohonan Izin Prinsip atau Izin Usaha ke PTSP PDPPM, PTSP PDKPM dipersyaratkan melampirkan Surat Pengantar dari PTSP BKPM tentang rencana keluarnya seluruh modal asing. VI.1.4 VI.1.4.1

Persyaratan Penanaman Modal Penggunaan Tenaga Kerja

VI.1.4.1.1 Tenaga Kerja Indonesia Pasal 10 UndangUndang No. 25 Tahun 2007

Perusahaan penanaman modal dalam memenuhi kebutuhan tenaga kerja harus mengutamakan tenaga kerja warga negara Indonesia. Perusahaan penanaman modal wajib meningkatkan kompetensi tenaga kerja warga negara Indonesia melalui pelatihan kerja sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Perusahaan penanaman modal yang mempekerjakan tenaga kerja asing diwajibkan menyelenggarakan pelatihan dan melakukan alih teknologi kepada tenaga kerja warga negara Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

157

Pasal 2-5 Keputusan Presiden No. 75 Tahun 1995 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang

Setiap pengguna TKWNAP wajib mengutamakan penggunaan Tenaga Kerja Indonesia di semua bidang dan jenis pekerjaan yang tersedia. Pemilik modal perusahaan penanaman modal yang didirikan dalam bentuk patungan antara modal asing dengan modal Warga Negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia, atau pada perusahaan penanaman modal yang didirikan dengan seluruh modalnya dimiliki oleh Warga Negara Indonesia/dan atau badan hukum Indonesia, penunjukan Direksi dan Komisaris sesuai kesepakatan para pihak. Jabatan Komisaris pada perusahaan yang didirikan bukan dalam rangka Undang-Undang Penanaman Modal, hanya terbuka bagi Tenaga Kerja Indonesia. Khusus untuk jabatan Direktur yang membidangi Personalia, perusahaan wajib menggunakan Tenaga Kerja Indonesia.

VI.1.4.1.2 Tenaga Kerja Asing Pasal 10 UndangUndang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal

Perusahaan penanaman modal berhak menggunakan tenaga ahli warga negara asing untuk jabatan dan keahlian tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

158

Pasal 2-4 Keputusan Presiden No. 75 Tahun 1995

Apabila bidang dan jenis pekerjaan yang tersedia belum atau tidak sepenuhnya dapat diisi oleh Tenaga Kerja Indonesia, pengguna TKWNAP dapat menggunakan TKWNAP. Jabatan Direksi dan Komisaris pada perusahaan penanam modal yang didirikan dengan seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh Warga Negara Asing dan/ atau badan hukum asing, atau pada perusahaan penanaman modal yang didirikan dengan seluruh modalnya dimiliki oleh Warga Negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia, terbuka bagi TKWNAP sampai batas waktu tertentu. Jabatan Komisaris tidak berlaku bagi perusahaan penanaman modal yang didirikan dengan seluruh modalnya dimiliki oleh Warga Negara Indonesia. Pemilik modal perusahaan penanaman modal yang didirikan dengan seluruh modalnya dimiliki oleh Warga Negara Asing dan/ atau badan hukum asing, dapat menunjuk sendiri TKWNAP sebagai Direksi dan Komisaris perusahaannya. Jabatan Direksi pada perusahaan yang didirikan bukan dalam rangka Undang-Undang Penanaman Modal, terbuka bagi TKWNAP.

Pasal 7-9 Keputusan Presiden No. 75 Tahun 1995

Pengguna TKWNAP wajib memiliki Rencana Penggunaan TKWNAP termasuk Direksi Komisaris yang disahkan oleh Menteri Tenaga Kerja atau Pejabat yang ditunjuk. Izin mempekerjakan TKWNAP diberikan oleh Menteri Tenaga Kerja atau Pejabat yang ditunjuk.

159

TKWNAP dan Direksi/Komisaris memiliki Izin Kerja TKWNAP dari Menteri Tenaga Kerja atau Pejabat yang ditunjuk. Tata cara untuk memperoleh pengesahan Rencana Pembangunan TKWNAP, Izin Mempekerjakan TKWNAP dan Izin Kerja diatur lebih lanjut oleh Menteri Tenaga Kerja dengan memperhatikan pendapat Menteri terkait. Setiap pengguna TKWNAP wajib melaksanakan program penggantian TKWNAP ke Tenaga Kerja Indonesia. Dalam rangka pelaksanaan program tersebut, pengguna TKWNAP wajib: a.

menunjuk Tenaga Kerja Indonesia sebagai Tenaga Pendamping pada jenis pekerjaan yang dipegang oleh TKWNAP. b. menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan bagi Tenaga Kerja Indonesia yang dipekerjakan, baik sendiri maupun menggunakan jasa pihak ketiga. Tenaga Pendamping harus tercantum dengan jelas dalam Rencana Penggunaan TKWNAP dan dalam struktur jabatan perusahaan. Biaya untuk penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan dibebankan pada pengguna TKWNAP dan tidak dibebankan ulang pada Tenaga Kerja Indonesia. Pengguna TKWNAP wajib melaporkan program kepada Menteri Tenaga Kerja.

160

pelaksanaan

Pasal 10-12 Keputusan Presiden No. 75 Tahun 1995

Pengguna TKWNAP dikenakan pungutan pada setiap TKWNAP yang dipekerjakannya dan tidak lagi dikenakan pungutan lainnya yang berkaitan dengan penggunaan TKWNAP. Pungutan digunakan untuk membantu penyelenggaraan pelatihan Tenaga Kerja Indonesia yang ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja.

Besarnya pungutan ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja dengan memperhatikan pendapat Menteri Keuangan. Pengguna TKWNAP yang tidak mematuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden ini dan peraturan pelaksanaannya, dikenakan sanksi pencabutan Keputusan Pengesahan Rencana Penggunaan TKWNAP dan/atau Izin Mempekerjakan TKWNAP. TKWNAP yang tidak mematuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden ini dan peraturan pelaksanaannya, dikenakan sanksi pencabutan Izin Kerja TKWNAP. Pasal 2-4 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER. 02/MEN/ III/ 2008 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing

Pemberi Kerja TKA meliputi: a.

b. c. d. e. f.

Kantor perwakilan dagang asing, kantor perwakilan perusahaan asing atau kantor perwakilan berita asing yang melakukan kegiatan di Indonesia; Perusahaan swasta asing yang berusaha di Indonesia; Badan usaha pelaksana proyek pemerintah termasuk proyek bantuan luar negeri; Badan usaha yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia; Lembaga-lembaga sosial, pendidikan, kebudayan atau keagamaan; Usaha jasa impresariat.

161

Pemberi kerja yang akan mempekerjakan TKA harus memiliki RPTKA, yang digunakan sebagai dasar untuk mendapatkan IMTA. Pemberi kerja wajib mengikutsertakan TKA dalam program asuransi sosial tenaga kerja dan/atau asuransi jiwa. Pasal 56 Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Perusahaan penanaman modal dan Kantor Perwakilan Perusahaan Asing (KPPA) yang akan mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (TKA) harus memperoleh Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA). Permohonan untuk memperoleh pengesahan RPTKA diajukan kepada PTSP-BKPM dengan menggunakan formulir RPTKA sebagaimana tercantum dalam Lampiran XXXIII, dengan dilengkapi persyaratan: a.

b.

c. d. e.

f.

g.

162

rekaman Pendaftaran Penanaman Modal/Izin Prinsip Penanaman Modal/Izin Usaha yang dimiliki; rekaman akta pendirian perusahaan yang telah disahkan oleh Departemen Hukum dan HAM dan perubahannya terkait dengan susunan direksi dan komisaris perusahaan; keterangan domisili perusahaan dari Pemerintah Daerah setempat; bagan struktur organisasi perusahaan; surat penunjukan tenaga kerja Indonesia sebagai pendamping tenaga kerja asing yang dipekerjakan; rekaman bukti wajib lapor ketenagakerjaan yang masih berlaku berdasarkan UndangUndang No. 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan; rekomendasi dari Direktur Jenderal terkait, khusus bagi jabatan antara lain di Sub-sektor Migas, Pertambangan Umum [Kontrak Karya (KK), Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan Kuasa Pertambangan (KP)] dan Listrik dan Sub-sektor Jasa Pelayanan Medik;

h. i.

j.

permohonan ditandatangani oleh direksi perusahaan; Surat Kuasa bermeterai cukup untuk pengurusan permohonan yang tidak dilakukan oleh direksi perusahaan; Ketentuan tentang surat kuasa diatur dalam Pasal 63.

Atas permohonan RPTKA, diterbitkan pengesahan RPTKA yang ditandatangani oleh pejabat Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang ditempatkan di PTSP BKPM dalam bentuk Surat Keputusan Pengesahan RPTKA, dengan tembusan kepada: a. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi; b. Kepala BKPM; c. Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan; d. Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja; e. Kadisnakertrans Provinsi; f. Kepala PDPPM Surat Keputusan Pengesahan RPTKA diterbitkan selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya permohonan yang lengkap dan benar. Bentuk Surat Keputusan Pengesahan RPTKA tercantum dalam Lampiran XXXIV. VI.1.4.2 Pasal 1 Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1992 tentang Pemanfaatan Tanah Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan untuk Usaha Patungan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing

Penggunaan Tanah

Dalam Usaha Patungan dalam rangka Penanaman Modal Asing, Hak Guna Usaha atas tanah dapat diberikan kepada Perusahaan Patungan. Peraturan Patungan sebagai pemegang Hak Guna Usaha harus berbentuk badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Permohonan untuk memperoleh Hak Guna Usaha diajukan oleh Perusahaan Patungan calon pemegang Hak Guna Usaha.

163

Hak Guna Usaha diberikan untuk jangka waktu paling lama 35 (tiga puluh lima) tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 25 (dua puluh lima) tahun, sepanjang perusahaan yang bersangkutan masih menjalankan usahanya dengan baik, dan dapat diperbaharui lagi. Pasal 2 Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1992

Hak Guna Usaha yang dipegang oleh Perusahaan Patungan dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan. Perusahaan Patungan sebagai pemegang Hak Guna Usaha dapat memindahtangankan Hak guna Usahanya setelah terlebih dahulu mendapat izin dari Kepala Badan Pertanahan Nasional. Izin tersebut termasuk pemindahtanganan saham-saham Perusahaan Pemegang Hak Guna Usaha. Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud di atas dapat menjadi alasan bagi Pemerintah untuk meninjau kembali Hak Guna Usaha yang bersangkutan.

Pasal 3 Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1992

Dalam hal Perusahaan Patungan memerlukan tanah untuk keperluan emplasemen, bangunan pabrik, gudang, perumahan karyawan dan bangunan-bangunan lainnya, maka kepada usaha patungan tersebut dapat diberikan Hak Guna Bangunan atas tanah yang bersangkutan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan ketentuan tanah yang dimohon tersebut terletak di luar areal yang sudah ada Hak Guna Usahanya. Dalam hal tanah yang dikehendaki untuk diberikan dengan Hak Guna Bangunan atas nama Perusahaan Patungan tersebut termasuk dalam areal yang sudah ada Hak Guna Usahanya, maka status haknya harus tetap Hak Guna Usaha dan tidak dapat diberikan Hak Guna Bangunan.

164

Pasal 4 Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1992

Hak Guna Usaha yang telah diberikan kepada Perusahaan Patungan akan dibatalkan apabila tanah Hak Guna Usaha tersebut tidak diusahakan secara layak sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.

Pasal 7 Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1992

Tata cara permohonan, perpanjangan dan pembaharuan Hak Guna Usaha diatur oleh Kepala Badan Pertanahan Nasional.

VI.1.4.3 Penolakan Kemungkinan Solusi Pasal 23 ayat 5 Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No. 12 Tahun 2009

Modal

dan

Atas permohonan pendaftaran, PTSP BKPM menerbitkan: a.

b.

VI.2

Pendaftaran apabila bidang usaha dan persentase kepemilikan saham asing memenuhi ketentuan peraturan perundangundangan; Surat Penolakan Pendaftaran, apabila bidang usaha dan persentase kepemilikan saham asing tidak memenuhi ketentuan perundangundangan sebagaimana tercantum dalam Lampiran VIIB.

TAHAPAN KOMERSIAL KEGIATAN PENANAMAN MODAL VI.2.1

Pasal 1 angka 26, Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Penanaman

Pengertian Izin Usaha

Izin Usaha adalah izin yang wajib dimiliki perusahaan untuk melaksanakan kegiatan produksi/operasi komersial baik produksi barang maupun jasa sebagai pelaksanaan atas pendaftaran/izin prinsip/persetujuan penanaman modalnya (yang diperoleh pada saat mengajukan permohonan penanaman modal dan pembentukan badan hukum), kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan sektoral. Ketentuan ini mengikat pula terhadap perusahaan penanaman modal dalam negeri yang tidak memerlukan fasilitas dan tidak memiliki pendaftaran penanaman modal.

165

Untuk memperoleh Izin Usaha, perusahaan penanaman modal dapat mengajukan permohonan kepada kantor Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) yang menerbitkan pendaftaran/izin prinsip/izin prinsip perluasannya. VI.2.2 Jenis-jenis Izin Usaha dan Formulir Permohanan yang Digunakan VI.2.2.1 Izin Usaha untuk dapat memulai pelaksanaan kegiatan operasi/produksi Izin usaha ini harus dimiliki oleh perusahaan penanaman modal yang telah memiliki pendaftaran/Izin Prinsip/Surat Persetujuan Penanaman Modal sebelum melaksanakan kegiatan operasi/produksi komersial, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan sektoral.

Lampiran XIII dan XIV, Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Adapun formulir permohonan yang ditentukan oleh BKPM untuk mengajukan Izin Usaha ini adalah dengan mengisi formulir Izin Usaha yang telah disediakan, yaitu: Lampiran XIII (Untuk kegiatan usaha yang berlokasi di luar Kawasan Industri) dan Lampiran XIV (Untuk kegiatan usaha yang berlokasi di Kawasan Industri) VI.2.2.2

Pasal 1 angka 22 Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Izin Usaha Perluasan

Izin Usaha Perluasan adalah izin yang wajib dimiliki oleh perusahaan untuk melaksanakan kegiatan produksi/ operasi komersial atas penambahan kapasitas produksi melebihi kapasitas produksi yang telah diizinkan, sebagai pelaksanaan atas Izin Prinsip Perluasan/Persetujuan Perluasan, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan sektoral. Dengan demikian, perusahaan penanaman modal yang hendak mengajukan Izin Usaha Perluasan harus memiliki Izin Prinsip Perluasan/Persetujuan Perluasan terlebih dahulu.

166

Lampiran XIII dan XIV, Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Untuk memperoleh Izin Usaha Perluasan, perusahaan penanaman modal dapat mengajukan permohonan dengan mengisi formulir Izin Usaha Perluasan yang telah disediakan, yaitu: Lampiran XIII (Untuk kegiatan usaha yang berlokasi di luar kawasan industri) dan Lampiran XIV (untuk kegiatan usaha yang berlokasi di Kawasan Industri). VI.2.2.3 Izin Usaha bagi perusahaan penanaman modal dalam negeri yang tidak memerlukan fasilitas dan tidak memiliki pendaftaran penanaman modal

Pasal 44 ayat (3) Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Terhadap perusahaan penanaman modal dalam negeri yang tidak memerlukan fasilitas dan tidak memiliki pendaftaran penanaman modal berlaku ketentuan yang sama, yaitu harus mengajukan Izin Usaha dengan prosedur dan tata cara yang sama dengan perusahaan penanaman modal pada saat akan melaksanakan kegiatan operasi/produksi komersial, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan sektoral.

Lampiran XIII dan XIV, Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Formulir permohonan yang ditentukan oleh BKPM untuk mengajukan Izin Usaha ini adalah dengan mengisi formulir Izin Usaha yang telah disediakan, yaitu: Lampiran XIII (Untuk kegiatan usaha yang berlokasi di luar kawasan industri) dan Lampiran XIV (untuk kegiatan usaha yang berlokasi di Kawasan Industri). VI.2.2.4 Izin Usaha Penggabungan Perusahaan Penananaman Modal (Merger)

Pasal 1 angka 26, Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Izin Usaha Penggabungan Perusahaan Penananaman Modal (Merger) adalah izin yang wajib dimiliki oleh perusahaan yang meneruskan kegiatan usaha (surviving company) setelah terjadinya merger, untuk melaksanakan kegiatan produksi/operasi komersial perusahaan setelah terjadinya merger.

167

Lampiran XV, Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Perusahaan Penanaman Modal yang masing-masing telah memiliki Izin Usaha dan kemudian melakukan penggabungan perusahaan (Merger) dapat langsung mengajukan Permohonan Izin Usaha Penggabungan Perusahaan Penanaman Modal dengan mengisi formulir Izin Usaha Penggabungan Perusahaan Penanaman Modal (Merger) VI.2.2.5

Izin Usaha Perubahan

Pasal 1 angka 29, Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Izin Usaha Perubahan adalah izin yang wajib dimiliki oleh perusahaan untuk melakukan perubahan ketentuan yang telah ditetapkan dalam izin usaha/izin usaha perluasan sebelumnya, sebagai akibat dari adanya perubahan yang terjadi dalam pelaksanaan kegiatan penanaman modal.

Pasal 44 ayat (5), Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Perusahaan penanaman modal yang telah memiliki izin usaha dapat melakukan perubahan terhadap ketentuan yang tercantum dalam izin usahanya, antara lain menyangkut: a. perubahan lokasi proyek; b. perubahan jenis produksi/diversifikasi produksi tanpa menambah mesin/ peralatan dalam lingkup Klasifikasi Baku Lapangan Usaha yang sama; c. penyertaan dalam modal Perseroan. d.

Lampiran VIIA dan VIIB, Formulir Laporan Perubahan, Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

izin Usaha dengan mengajukan permohonan Izin Usaha Perubahan.

Terhadap berbagai perubahan lainnya di luar keempat perubahan di atas, perusahaan penanaman modal harus melaporkan perubahan dimaksud dengan menggunakan Surat Pemberitahuan, berdasarkan laporan perusahaan tersebut, PTSP menerbitkan Surat telah mencatat perubahan. VI.2.3

168

Persyaratan Izin Usaha

Pasal 45 ayat (3), Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Pada saat perusahaan penanaman modal mengajukan berbagai bentuk Izin Usaha, di samping menyampaikan formulir yang telah disediakan, juga melampirkan berbagai data dan informasi yang dibutuhkan untuk melengkapi dokumen yang dipersyaratkan untuk diberikannya persetujuan Izin Usaha yang dimohonkan. VI.2.3.1 Syarat Untuk Izin Usaha, Izin Usaha Perluasan dan Izin Usaha bagi perusahaan penanaman modal dalam negeri yang tidak memerlukan fasilitas dan tidak memiliki pendaftaran penanaman modal

Pasal 63 Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

a.

b.

c.

d. e.

Laporan Hasil Pemeriksaan Proyek (LHP), untuk permohonan Izin Usaha atau Izin Usaha Perluasan, yang kegiatan usahanya memerlukan fasilitas bea masuk atas impor barang dan bahan Rekaman akta pendirian dan pengesahan serta akta perubahan dan pengesahan dari Departemen Hukum dan HAM. Rekaman Pendaftaran/Izin Prinsip/Izin Prinsip Perluasan/Surat Persetujuan Penananaman Modal/Izin Usaha dan/ atau Surat Persetujuan Perluasan Penananam Modal/Izin Usaha Perluasan yang dimiliki. Rekaman NPWP. Bukti penguasaan atau penggunaan tanah

atas nama: 1. rekaman setifikat Hak Atas Tanah atau akta jual beli tanah oleh PPAT, atau 2. rekaman perjanjian sewa-menyewa tanah. f. Bukti penguasaan atau penggunaan gedung atau bangunan: 1. rekaman Izin Mendirikan Bangunan (IMB), atau 2. rekaman akta jual beli/perjanjian sewamenyewa gedung/bangunan. g. Rekaman Izin Gangguan (UUG/HO) atau rekaman Surat Izin Tempat Usaha (SITU) bagi perusahaan yang berlokasi di luar Kawasan Industri.

169

h. i.

j.

k.

Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) periode terakhir; Rekaman persetujuan atau pengesahan nalisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau rekaman persetujuan/ pengesahan dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL). Persyaratan lain sebagaimana diatur dalam peraturan instansi teknis terkait dan/atau peraturan Daerah setempat. Surat Kuasa bermeterai cukup untuk pengurusan permohonan yang tidak dilakukan secara langsung oleh direksi perusahaan.

VI.2.3.2 Izin Usaha Penggabungan Penanaman Modal (Merger) a.

b.

c.

d.

170

Rekaman Akta Pendirian Perusahaan dan perubahannya dengan pengesahan dari Departemen Hukum dan HAM untuk masing-masing perusahaan; Kesepakatan seluruh pemegang saham masing-masing perusahaan baik perusahaan yang meneruskan kegiatan (surviving company) maupun perusahaan yang menggabung (merging company) tentang persetujuan penggabungan perusahaan dalam bentuk Akta Pemyataan Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham yang memenuhi ketentuan Bab VI Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Kesepakatan seluruh pemegang saham perusahaan yaitu perusahaan yang meneruskan kegiatan (surviving company) dan perusahaan yang menggabung (merging company) tentang rencana penggabungan perusahaan (merger plan) dalam bentuk akta merger yang telah disetujui oleh Menteri Hukum dan HAM. Rekaman Izin Usaha, Izin Prinsip/Surat Persetujuan Penanaman Modal dan perubahannya dari masingmasing perusahaan;

e.

f.

g. VI.2.4

Rekaman Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) periode terakhir bagi perusahaan yang meneruskan kegiatan usaha (surviving company). Surat Kuasa bermeterai cukup untuk pengurusan permohonan yang tidak dilakukan secara langsung oleh direksi perusahaan. Ketentuan tentang surat kuasa.

Persetujuan Izin Usaha

VI.2.4.1

Jangka Waktu Penerbitan Izin Usaha

Pasal 45 Ayat (8), Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Izin Usaha diterbitkan selambatnya 7 (tujuh) hari sejak diterimanya permohonan yang lengkap dan benar oleh Kantor PTSP. Izin Usaha dimaksud antara lain: a. Izin Usaha untuk dapat memulai pelaksanaan kegiatan operasi/produksi b. Izin Usaha Perluasan, dan c. Izin Usaha Penggabungan Perusahaan Penanaman Modal (Merger)

Pasal 45 ayat (9), Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Sementara untuk Izin Usaha Perubahan diterbitkan selambatnya 5 (lima) hari sejak diterimanya permohonan yang lengkap dan benar oleh Kantor PTSP. VI.2.4.2

Pasal 45 ayat (7), Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Bentuk-bentuk Izin Usaha

Izin Usaha yang telah di setujui oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal akan dituangkan dalam suatu Surat Keputusan pemberian Izin Usaha, yang tembusannya disampaikan kepada: a. Menteri yang membina bidang usaha penanaman modal yang bersangkutan b. Kepala BKPM (bagi Izin Usaha yang diterbitkan PTSP di PDPPM atau PTSP di PDKPM) c. Direktur Jenderal Teknis yang bersangkutan d. Direktur Jenderal Pajak e. Gubernur yang bersangkutan f. Kepala PDPPM (bagi Izin Usaha yang diterbitkan PTSP di BKPM atau PTSP di PDKPM)

171

g.

Kepala PDKPM (bagi Izin Usaha yang diterbitkan PTSP di BKPM atau PTSP di PDPEPM)

Adapun bentuk keputusannya dapat dilihat pada: a.

Lampiran XVI A, Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Penanaman Modal (untuk Izin Usaha dan Izin Usaha Perluasan); Lampiran XVI B, Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Penanaman Modal (untuk Izin Usaha Penggabungan Perusahaan Penanaman Modal (Merger); dan Lampiran XVI C, Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Penanaman Modal (untuk Izin Usaha Perubahan).

b.

c.

VI.2.5 Pasal 44 ayat (6), Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Jangka Waktu Izin Usaha

Izin Usaha berlaku sepanjang perusahaan masih melakukan kegiatan usaha, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan sektoral. VI.2.6

Ketentuan Perpajakan

VI.2.6.1 UNDANG-UNDANG No. 6 Tahun 1983 jo. No. 9 Tahun 1994 jo. No. 16 Tahun 2000 jo. No. 28 Tahun 2007 tentang Kententuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

Ketentuan Umum Perpajakan (KUP)

KUP pada dasarnya memuat hal-hal sebagai berikut: a.

Kewajiban Wajib Pajak, yang meliputi: 1. Mendaftarkan diri untuk memiliki NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak) atau NPPKP (Nomor Pokok Pengusaha Kena Pajak); 2. Mengambil sendiri, mengisi dan memasukkan Surat Pemberitahuan (SPT) ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) tepat pada waktunya; 3. Menghitung dan membayar sendiri pajaknya dengan benar (self assessment dan self payment);

172

4. Menyelenggarakan pembukuan atau pencatatan; 5. Apabila da pemeriksaan harus memberikan keterangan yang diperlukan, memberikan/ meminjamkan pembukuan/pencatatan, memberi bantuan guna kelancaran pemeriksaan. b. Hak Wajib Pajak, yang meliputi: 1. M en u n da p e m a s u k a n S P T Ta h u n a n ; 2. Membetulkan/mengoreksi SPT Tahunan; 3. Mengajukan permohonan untuk menunda pembayaran pajak atau mengurangi besarnya angsuran pajak; 4. Meminta restitusi/kompensasi atas kelebihan pembayaran pajak; 5. Mengajukan permohonan penghapusan sanksi administrasi; 6. Mengajukan keberatan atas suatu ketetapan pajak; 7. Mengajukan banding ke Badan Peradilan Pajak. c.

Wewenang Pemerintah sebagai pemungut pajak, yang meliputi: 1. Menerbitkan surat ketetapan pajak; 2. Melakukan penagihan pajak; 3. Mengadakan pemeriksanaan dan melakukan penyidikan.

d. Kewajiban Pemerintah sebagai pemungut pajak, yang meliputi: 1. Memberikan bimbingan, penerangan dan penyuluhan kepada Wajib Pajak; 2. Menerbitkan NPWP dan NPPKP; 3. Mengeluarkan surat keputusan pajak; 4. Menjaga kerahasiaan data dan informasi Wajib Pajak. e. Ketentuan mengenai sanksi administrasi dan sanksi pidana atas pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan perpajakan.

173

VI.2.6.2 Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 jo No. 7 Tahun 1991 jo No. 10 Tahun 1994 jo No. 17 Tahun 2000 jo No. 36 Tahun 2008 Tentang Pajak Penghasilan

Pajak Penghasilan (PPh)

Daftar Tarif PPh dan Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) a. Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri Lapisan Penghasilan Kena Pajak Sampai dengan Rp. 50.000.000,Diatas Rp. 50.000.000,- s/d. Rp. 250.000.000,Diatas Rp. 250.000.000,- s/d. Rp. 500.000.000,Diatas Rp. 500.000.000,-

Tarif Pajak 5% 15%

Tarif Dividen (bersifat final) Tidak memiliki NPWP (Untuk PPh Pasal 21)

10% 20% lebih tinggi dari yang seharusnya 100% lebih tinggi dari yang seharusnya Gratis

Tidak mempunyai NPWP untuk yang dipungut /potong (Untuk PPh Pasal 23) Pembayaran Fiskal untuk yang punya NPWP b.

30%

Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dan Bentuk Usaha Tetap

Tahun 2009 2010 dan selanjutnya PT yang 40% sahamnya diperdagangkan di Bursa Efek

Peredaran bruto s/d. Rp. 50.000.000.000

174

25%

Tarif Pajak 28% 25% 5% lebih rendah dari yang seharusnya Pengurangan 50% dari yang seharusnya

c. Penghasilan Tidak Kena Pajak No

Keterangan

Setahun

1.

Diri Wajib Pajak Pajak Orang Pribadi

Rp 15.840.000,

2.

Tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin

Rp 1.320.000,-

3.

Tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami.

Rp 15.840.000,-

4.

Tambahan untuk setiap anggota keturunan sedarah semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat yang diatnggung sepenuhnya , maksimal 3 orang untuk setiap keluarga

Rp 1.320.000,-

Kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/atau di daerahdaerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional dapat diberikan fasilitas perpajakan dalam bentuk: a.

pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari jumlah penanaman yang dilakukan; b. penyusutan dan amortisasi yang dipercepat; c. kompensasi kerugian yang lebih lama, tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun; dan d. pengenaan Pajak Penghasilan a t a s dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 sebesar 10% (sepuluh persen), kecuali apabila tarif menurut perjanjian perpajakan yang berlaku menetapkan lebih rendah.

175

Ketentuan mengenai perpajakan bagi bidang usaha pertambangan minyak dan gas bumi, bidang usaha panas bumi, bidang usaha pertambangan umum termasuk batubara, dan bidang usaha berbasis syariah diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp. 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp. 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah). VI.2.6.3 Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 jo. No. 11 Tahun 1994 jo No. 18 Tahun 2000 jo. No. 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah

PPN dikenakan atas: a. b. c. d.

e. f. g. h.

penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha; impor Barang Kena Pajak; penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha; pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; ekspor Barang Kena Pajak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak; dan ekspor Jasa Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.

Jenis barang yang tidak dikenai PPN adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut: a.

b.

176

barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya; barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;

c.

d.

makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan uang, emas batangan, dan surat berharga.

Ketentuan mengenai perpajakan bagi bidang usaha pertambangan minyak dan gas bumi, bidang usaha panas bumi, bidang usaha pertambangan umum termasuk batubara, dan bidang usaha berbasis syariah diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah. Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp. 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) yang dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp. 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah). Jenis jasa yang tidak dikenai PPN adalah jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j.

k. l.

jasa pelayanan kesehatan medis; jasa pelayanan sosial; jasa pengiriman surat dengan perangko; jasa keuangan; jasa asuransi; jasa keagamaan; jasa pendidikan; jasa kesenian dan hiburan; jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan; jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri; jasa tenaga kerja; jasa perhotelan;

177

m.

n. o. p. q.

jasa yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum; jasa penyediaan tempat parkir; jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam; jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan jasa boga atau katering.

Di samping pengenaan PPN, dikenai juga PPnBM terhadap: a.

b.

penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan barang tersebut di dalam Daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya; dan impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah.

PPnBM dikenakan hanya 1 (satu) kali pada waktu penyerahan Barang Kena Pajak yang tergolong mewah oleh pengusaha yang menghasilkan atau pada waktu impor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah. Tarif PPN adalah 10% (sepuluh persen). Tarif PPN sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas: a. b. c.

ekspor Barang Kena Pajak Berwujud; ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan ekspor Jasa Kena Pajak.

Tarif pajak dapat diubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen), yang perubahan tarifnya diatur dengan Peraturan Pemerintah. Tarif PPnBM ditetapkan paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi 200% (dua ratus persen). Ekspor Barang Kena Pajak yang tergolong mewah dikenai pajak dengan tarif 0% (nol persen).

178

Ketentuan mengenai kelompok Barang Kena Pajak yang tergolong mewah yang dikenai PPnBM diatur dengan Peraturan Pemerintah. Ketentuan mengenai jenis barang yang dikenai PEPnBM diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. PPN yang terutang dihitung dengan cara mengalikan tarif dengan Dasar Pengenaan Pajak yang meliputi Harga Jual, Penggantian, Nilai Impor, Nilai Ekspor, atau nilai lain. Ketentuan mengenai nilai lain diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan. VI.2.6.4 Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Pasal 3, 5, 6, 7 Undang-Undang No. 12 Tahun 1985 jo. No. 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan

Objek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan adalah objek pajak yang: a.

b. c.

d.

e.

digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan; digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu; merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak; digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik; digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.

Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan sebesar Rp. 8.000.000,- (delapan juta rupiah) untuk setiap Wajib Pajak.

179

Tarif pajak yang dikenakan atas obyek pajak adalah sebesar 0,5% (lima persepuluh persen). Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Jual Obyek Pajak. Dasar penghitungan pajak adalah Nilai Jual Kena Pajak yang ditetapkan serendah-rendahnya 20% (dua puluh persen) dan setinggi-tingginya 100% (seratus persen) dari Nilai Jual Obyek Pajak. Besarnya pajak yang terhutang dihitung dengan cara mengalikan tarif pajak dengan Nilai Jual Kena Pajak. Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2002 tentang Penetapan Besarnya Nilai Jual Kena Pajak untuk Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan

Objek pajak perkebunan, kehutanan dan pertambangan sebesar 40% (empat puluh persen) dari Nilai Jual Objek Pajak. Objek pajak lainnya: a.

b.

sebesar 40% (empat puluh persen) dari Nilai Jual Objek Pajak apabila Nilai Jual Objek Pajaknya Rp. 1.000.000.000,(satu miliar rupiah) atau lebih; sebesar 20% (dua puluh persen) dari Nilai Jual Objek Pajak apabila Nilai Jual Objek Pajaknya kurang dari Rp. 1.000.000.000,(satu miliar rupiah)

VI.2.6.5 Bea Meterai Undang-Undang No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Materai dan Besarnya Batasan Pengenaan Harga Nominal yang Dikenakan Bea Materai

Dokumen yang dikenakan Bea Meterai: a.

Surat perjanjian dan surat-surat lainnya (antara lain Surat Kuasa, Surat Hibah, Surat Pernyataan) yang dibuat dengan tujuan untuk digunakan sebagai alat pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan/ keadaan yang bersifat perdata. b. Akta-akta Notaris termasuk salinannya c. Akta-akta yang dibuat Pejabat Pembuat Akta Tanah termasuk rangkap-rangkapnya d. Surat yang memuat jumlah uang yaitu: 1. Yang menyebutkan penerimaan uang; 2. Yang menyatakan pembukuan uang atau penyimpanan uang dalan rekening bank

180

3. Yang berisi pemberitahuan saldo rekening di bank 4. Yang berisi pengakuan bahwa utang uang seluruhnya/sebagian telah dilunasi/ diperhitungkan. e. Surat berharga seperti wesel, promes, aksep dan cek f. Dokumen yang akan digunakan sebagai alat pembuktian di muka pengadilan: 1. Surat-surat biasa dan surat-surat kerumahtanggaan 2. Surat-surat yang semula tidak dikenakan Bea Meterai berdasarkan tujuannya, jika digunakan untuk tujuan lain/ digunakan oleh orang lain, lain dari maksud semula Tarif Bea Meterai: a.

Tarif Bea Meterai Rp. 6.000 untuk dokumen huruf a, huruf b, huruf e, dan huruf f (Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2000) b. Untuk dokumen huruf d dan e dikenakan: 1. Nominal sampai Rp. 250.000 tidak dikenakan Bea Meterai 2. Nominal antara Rp. 250.000 sampai Rp. 1.000.000 dikenakan Bea Meterai Rp. 3.000 3. Nominal diatas Rp. 1.000.000 dikenakan Bea Meterai Rp. 6.000 c. Cek dan Bilyet giro dikenakan Bea Meterai dengan tarif sebesar Rp. 3.000 tanpa batas pengenaan besarnya harga nominal (Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2000) d. Efek dengan nama dan dalam bentuk apapun yang mempunyai harga nominal sampai dengan Rp. 1.000.000 dikenakan Bea Meterai Rp. 6.000

181

Bukan Objek/Tidak Dikenakan Bea Meterai: a. Dokumen yang berupa: 1. Surat Penyimpanan Barang 2. Konsemen 3. Surat angkutan penumpang dan barang 4. Keterangan pemindahan yang dituliskan diatas dokumen sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b dan c 5. Bukti untuk pengiriman dan penerimaan barang 6. Surat Pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim 7. Surat-surat lainnya yang dapat disamakan dengan surat-surat sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai huruf f. b. Segala bentuk ijasah c. Tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan, dan pembayaran lainnya yang ada kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran itu. d. Tanda bukti penerimaan uang negara dari kas negara, kas pemerintah daerah dan bank. e. Kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat disamakan dengan itu dari kas negara, kas pemerintah daerah dan bank. f. Tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi. g. Dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada penabung oleh bank, koperasi dan badan-badan lainnya yang bergerak di bidang tersebut. h. Surat gadai yang diberikan oleh perusahaan umum pegadaian. i. Tanda pembagian keuntungan atau bunga dari efek, dengan nama dan dalam bentuk apapun.

182

VI.2.6.6 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang dapat dipungut terdiri dari: a. Pajak Daerah 1. Pajak Provinsi terdiri dari: a. Pajak Kendaraan Bermotor; b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor; c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; d. Pajak Air Permukaan; dan e. Pajak Rokok. 2. Pajak Kabupaten/Kota terdiri dari: a. Pajak Hotel; b. Pajak Restoran; c. Pajak Hiburan; d. Pajak Reklame; e. Pajak Penerangan Jalan; f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan; g. Pajak Parkir; h. Pajak Air Tanah; i. Pajak Sarang Burung Walet; j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. b. Retribusi Daerah 1. Retribusi Jasa Umum terdiri dari: a. Retribusi Pelayanan Kesehatan; b. Retribusi Pelayanan Persampahan/ Kebersihan; c. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan Sipil; d. Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat; e. Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum; f. Retribusi Pelayanan Pasar; g. Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor; i. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta; j. Retribusi Penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus;

183

k. l. m. n.

Retribusi Pengolahan Limbah Cair; Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang; Retribusi Pelayanan Pendidikan; dan Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi. 2. Retribusi Jasa Usaha terdiri dari: a. Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah; b. Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan; c. Retribusi Tempat Pelelangan; d. Retribusi Terminal; e. Retribusi Tempat Khusus Parkir; f. Retribusi Tempat Penginapan/ Pesanggrahan/Villa; g. Retribusi Rumah Potong Hewan; h. Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan; i. Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga; j. Retribusi Penyeberangan di Air; dan k. Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah. 3. Retribusi Perizinan Tertentu terdiri dari: a. Retribusi Izin Mendirikan Bangunan; b. Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol; c. Retribusi Izin Gangguan; d. Retribusi Izin Trayek; dan e. Retribusi Izin Usaha Perikanan. VI.2.7

Pembatasan Penanaman Modal

VI.2.7.1 D aftar Bidang Usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan untuk kegiatan penanaman modal Pasal 10 ayat (1) Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Semua bidang usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan yang penetapannya diatur dengan peraturan perundang-undangan.

Pasal 1 Peraturan Presiden No. 76 Tahun 2007

Bidang usaha yang tertutup merupakan bidang usaha tertentu yang dilarang diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal.

184

Bidang usaha yang tertutup untuk penanaman modal, baik asing maupun dalam negeri ditetapkan dengan berdasarkan kriteria kesehatan, keselamatan, pertahanan dan keamanan, lingkungan hidup dan moral/ budaya (K3LM) dan kepentingan nasional lainnya. Lampiran I Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2010

Secara umum, daftar bidang usaha yang tertutup bagi kegiatan penanaman modal sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2010 meliputi sektor-sektor: a. Pertanian b. Kehutanan c. Perindustrian d. Perhubungan e. Komunikasi dan Informatika f. Kebudayaan dan Pariwisata Uraian secara rinci mengenai daftar bidang usaha yang tertutup bagi kegiatan penanaman modal dapat dilihat pada Lampiran I Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2010. tentang Daftar Bidang Usaha yang tertutup dan terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal. VI.2.7.2 Keharusan untuk membentuk perusahaan patungan di bidang penanaman modal asing

Lampiran II, Perpres No. 36 Tahun 2010

Ketentuan tentang keharusan untuk mendirikan perusahaan patungan, tercermin pada daftar bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan yang disahkan oleh pemerintah dalam Perpres No. 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang tertutup dan bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan di bidang Penanaman Modal.

Kepemilikan saham asing dalam perusahaan patungan tersebut, bervariasi antara 49% sampai dengan 95%, tergantung kepada bidang usaha, sektor maupun lokasinya.

185

Pasal 5 Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1994

Perusahaan penanaman modal asing, agar dapat melakukan kegiatan usaha yang tergolong penting bagi negara dan menguasai hajat hidup rakyat banyak diantaranya bidang pelabuhan, produksi dan transmisi serta distribusi tenaga listrik untuk umum, telekomunilasi, pelayaran, penerbangan, air minum, kereta api umum, pembangkit tenaga atom dan mass-media, pendiriannya harus dalam bentuk usaha patungan dengan peserta Indonesia. Adapun saham peserta Indonesia dalam perusahaan patungan yang akan didirikan, harus berjumlah sekurang-kurangnya 5% (lima persen) dari seluruh modal disetor perusahaan pada waktu pendirian VI.2.7.3

Keharusan Divestasi

Keharusan divestasi oleh perusahaan penanaman modal asing diatur dalam beberapa peraturan perundangundangan, seperti pada Undang-Undang, Peraturan Pemerintah maupun Keputusan Presiden, diantaranya: a. Pasal 112 UndangUndang No. 4 Tahun 2009

Menyangkut bidang pertambangan

1. Dalam Undang-Undang Minerba ditentukan bahwa setelah 5 (lima) tahun berproduksi, badan usaha pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang sahamnya dimiliki oleh asing wajib melakukan divestasi saham pada Pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta nasional 2. Demikian pula halnya dengan ketentuan dalam Peraturan Presiden mengenai Kontrak Karya, ditentukan bahwa perusahaan kontraktor swasta yang merupakan perusahaan penanaman modal asing yang seluruh modalnya dimiliki warga negara dan/atau badan hukum asing, menjual sebagian sahamnya kepada warga negara dan/atau badan hukum Indonesia, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

186

Pasal 3 ayat 1-2, Keputusan Presiden No. 75 Tahun 1996

3. Perusahaan Kontraktor Swasta wajib menyerahkan sebesar 13,50% dari hasil produksi batubaranya kepada Pemerintah secara tunai atas harga pada saat berada di atas kapal (Free on Board) atau pada harga setempat (at salepoint). Dalam hal pengusahaan pertambangan dilakukan dengan cara bawah tanah dan atau batubara yang diproduksi ternyata bermutu rendah, besarnya hasil produksi batubara yang harus diserahkan kepada Pemerintah sebagaimana dimaksud diatas, dapat dipertimbangkan kembali berdasarkan hasil kajian yang diajukan oleh perusahaan Kontraktor Swasta. b.

Menyangkut kepemilikan saham

Pasal 7 Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1994

1. Perusahaan yang seluruh modalnya dimiliki oleh Warga Negara dan/atau badan hukum asing, dalam jangka waktu paling lama lima belas tahun sejak berproduksi komersial menjual sebagian sahamnya kepada warga negara Indonesia dan/atau melalui hukum Indonesia melalui pemilikan langsung atau melalui pasar modal dalam negeri.

Pasal 5 ayat 1 a, Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1992 jo Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1993

2. Terhadap perusahaan PMA yang didirikan di kawasan berikat, dalam jangka waktu 5 tahun terhitung sejak perusahaan berproduksi komersial, sekurangkurangnya 5% (lima persen) dari seluruh nilai modal sahamnya wajib dijual kepada Warga Negara Indonesia atau badan hukum yang modal sahamnya dimiliki oleh Warga Negara Indonesia, sebagai peserta Indonesia. VI.2.7.4

Pembatasan Terhadap Hak Atas Tanah

Pembatasan terhadap hak atas tanah bagi perusahaan penanaman modal asing, setidaknya terkait dengan hal-hal sebagai berikut: Pasal 2 dan 3 PP No. 40 Tahun 1996

a.

Hak Guna Usaha (HGU)

Yang dapat mempunyai HGU adalah: - Warga negara Indonesia. - Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

187

Terhadap pemegang HGU yang tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana dimaksud diatas, dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan HGU itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Apabila dalam jangka waktu satu tahun ketentuan tersebut tidak dilaksanakan, maka HGU hapus karena hukum dan tanahnya menjadi tanah negara. Luas minimum tanah yang dapat diberikan dengan HGU adalah lima hektar.

Pasal 5PP No. 40 Tahun 1996

Luas maksimum tanah yang dapat diberikan dengan HGU kepada perorangan adalah dua puluh lima hektar. b.

Pasal 19 dan 20, PP No. 40 Tahun 1996

Hak Guna Bangunan (HGB)

Yang dapat menjadi pemegang HGB adalah warga negara Indonesia. Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Terhadap pemegang HGB yang tidak lagi memenuhi syarat sebagaimana dimaksud diatas, dalam jangka waktu satu tahun wajib melepaskan atau mengalihkan HGB itu kepada pihak lain yang memenuhi syarat. Apabila dalam jangka waktu satu tahun ketentuan tersebut tidak dilaksanakan, maka HGB hapus karena hukum dan tanahnya menjadi tanah Negara VI.3

PERLUASAN USAHA PENANAMAN MODAL VI.3.1

Tata Cara Perluasan Usaha Penanaman Modal

VI.3.1.1 Pasal 1 angka 8, Pasal 21 ayat (2), Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Pengertian

Perluasan penanaman modal adalah penambahan kapasitas produksi melebihi kapasitas produksi yang telah diizinkan. Dalam melaksanakan perluasan penanaman modal, perusahaan penanam modal harus memiliki izin-izin yang ditetapkan oleh pemerintah, diantaranya: Izin Prinsip Perluasan, Izin Usaha Perluasan dan izin lainnya yang ditetapkan.

188

VI.3.1.2 Pasal 21 ayat 4, Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Pendaftaran

Perusahaan yang kegiatan awalnya tidak memiliki izin prinsip dapat melakukan perluasan usahanya dengan mengajukan pendaftaran perluasan, apabila diperlukan VI.3.1.3

Permohonan Izin Prinsip Perluasan

Pasal 1 angka 15, Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Permohonan Izin Prinsip Perluasan adalah permohonan yang disampaikan oleh perusahaan untu mendapatkan izin dari pemerintah dalam memulai rencana perluasan penanaman modal

Lampiran V, Keputusan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Untuk memperoleh izin ini, perusahaan penanaman modal dapat mengajukan permohonan Izin Prinsip Perluasan penanaman modal kepada pemerintah melalui PTSP BKPM, PTSP PDPPM atau PTSP PDKPM dengan mengisi formulir Izin Prinsip Perluasan VI.3.1.4

Pasal 1 angka 23, Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Lampiran XVI A, Keputusan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Permohonan Izin Usaha Perluasan

Permohonan Izin Usaha Perluasan adalah permohonan yang disampaikan oleh perusahaan pada saat perusahaan telah siap melaksanakan kegiatan produksi/operasi komersial atas penambahan kapasitas produksi melebihi kapasitas produksi yang telah diizinkan, sebagai pelakasanaan atas izin prinsip perluasan yang dimiliki oleh perusahaan, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan sektoral Di samping Izin Prinsip Perluasan sebagaimana diuraikan di atas, perusahaan penananam modal yang hendak melaksanakan perluasan usaha harus pula memiliki Izin Usaha Perluasan. Adapun izin usaha perluasan dapat diajukan kepada pemerintah melalui PTSP BKPM, PTSP PDPPM atau PTSP PDKPM dengan mengisi formulir Izin Usaha Perluasan VI.3.2

Syarat Perluasan

Berdasarkan uraian mengenai prosedur pengajuan izin perluasan penanaman modal sebagaimana dimaksud di atas, perusahaan penanaman modal yang hendak melakukan kegiatan perluasan penanaman modal harus memiliki berbagai izin yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Adapun izin-izin dimaksud beserta persyaratannya adalah sebagai berikut: VI.3.2.1

Izin Prinsip Perluasan

189

Pasal 1angka 16 Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Pasal 36 ayat (1), Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Izin prinsip perluasan penanaman modal adalah izin untuk memenuhi rencana perluasan penanaman modal di bidang usaha yang dapat memperoleh fasilitas fiskal dan dalam pelaksanaan penanaman modalnya memerlukan fasilitas fiskal. VI.3.2.1.1 Syarat Persyaratan yang harus dipenuhi dalam permohonan Izin Prinsip Perluasan, antara lain: a. b.

Rekaman Izin Usaha, bila diperlukan; Rekaman Akta Pendirian dan perubahannya, dilengkapi dengan pengesahan dari Departemen Hukum dan HAM c. Keterangan rencana kegiatan, berupa: 1. Uraian proses produksi yang mencantumkan jenis bahan baku dan diIengkapi dengan diagram alir (flow chart); 2. Uraian kegiatan usaha sektor jasa. d. Rekaman Izin Prinsip dan/ atau perubahannya. e. Dalam hal terjadi perubahan penyertaan dalam modal perseroan yang mengakibatkan terjadinya perubahan prosentase saham antara asing dan Indonesia daIam modal perseroan atau terjadi perubahan nama dan negara asal pemegang saham, perusahaan harus menyampaikan: 1. kesepakatan perubahan komposisi saham antara asing dan Indonesia dalam perseroan yang dituangkan dalam bentuk rekaman Risalah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)/ Keputusan Sirkular yang ditandatangani oleh seluruh pemegang saham dan telah dicatat (waarmerking) oleh notyaris atau rekaman Pernyataan Keputusan Rapat/Berita Acara Rapat dalam bentuk Akta Notaris, yang memenuhi ketentuan pasal 21 dan Bab VI No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, diIengkapi dengan bukti diri pemegang saham baru;

190

2. Kronologis penyertaan dalam modal perseroan sejak pendirian perusahaan sampai dengan permohonan terakhir. f. Laporan Kegiatan Penanaman modal (LKPM); g. Permohonan Izin Prinsip Perluasan: 1. disampaikan oleh direksi perusahaan ke PTSP BKPM, PTSP PDPPM atau PTSP PDKPM sesuai kewenangannya; 2. permohonan yang tidak secara Iangsung disampaikan oIeh direksi perusahaan ke PTSP BKPM, PTSP PDPPM atau PTSP PDKPM harus dilampiri surat kuasa. VI.3.2.1.2 Pasal 21 ayat (3), Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Pasal 21 ayat (4), Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Ketentuan lain

Ketentuan lain terkait Izin Usaha yang juga perlu diperhatikan sebelum mengajukan perluasan penanaman modal, yaitu: a.

Perusahaan yang kegiatan usaha awalnya memiliki izin prinsip diwajibkan untuk memiliki izin prinsip perluasan sebelum mengajukan perluasan penanaman modal.

a.

Sementara terhadap perusahaan yang kegiatan usaha awalnya tidak memiliki izin prinsip dapat melakukan perluasan usahanya dengan mengajukan pendaftaran perluasan, apabila diperlukan.

VI.3.2.2 Pasal 1 angka 24, Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Izin Usaha Perluasan

Izin Usaha Perluasan adalah izin yang wajib dimiliki perusahaan untuk melaksanakan kegiatan produksi/ operasi komersial atas penambahan kapasitas produksi melebihi kapasitas produksi yang telah diizinkan, sebagai pelaksanaan atas izin prinsip perluasan, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan sektoral. VI.3.2.2.1 Syarat-syarat yang harus dipenuhi pada mengajukan permohonan Izin Usaha Perluasan adalah:

191

Pasal 45 ayat (3), Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

a.

b.

c.

d. e. 1. 2. f. 1. 2. g.

h. i.

j.

k.

192

Usaha Perluasan, yang kegiatan usahanya memerlukan fasilitas bea masuk atas impor barang dan bahan. Rekamana akta pendirian dan pengesahan serta akta perubahan dan pengesahan dari Departemen Hukum dan HAM. Rekaman pendaftaran/Izin Prinsip/Izin Prinsip Perluasan/Surat Persetujuan Penananaman Modal/Izin Usaha dan/ atau Surat Persetujuan Perluasan Penananam Modal/Izin Usaha Perluasan yang dimiliki. Rekaman NPWP. Bukti penguasaan/ penggunaan tanah atas nama: rekaman setifikat Hak Atas Tanah atau akta jual beli tanah oleh PPAT, atau rekaman perjanjian sewa-menyewa tanah. Bukti penguasaan/ penggunaan gedung/ bangunan: rekaman Izin Mendirikan Bangunan (IMB), atau rekaman akta jual beli/perjanjian sewamenyewa gedung/ bangunan. Rekaman Izin Gangguan (UUG/HO) atau rekaman Surat Izin Tempat Usaha (SITU) bagi perusahaan yang berlokasi di luar Kawasan Industri. Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) periode terakhir; Rekaman persetujuan/ pengesahan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau rekaman persetujuan/ pengesahan dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL). Persyaratan lain sebagaimana diatur dalam peraturan instansi teknis terkait dan/ atau peraturan Daerah setempat; Surat Kuasa bermeterai cukup untuk pengurusan permohonan yang tidak dilakukan secara langsung oleh direksi perusahaan

VI.3.2.2.2

Ketentuan lain

Ketentuan lain mengenai Izin Usaha yang juga perlu diperhatikan sebelum mengajukan perluasan penanaman modal, yaitu: Pasal 22 ayat (1), Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

a.

Perusahaan penanaman modal yang akan melakukan perluasan usaha di bidang yang dapat memperoleh fasilitas fiskal dan berada di lokasi yang sama dengan usaha sebelumnya, terlebih dahulu wajib memiliki izin usaha atas kegiatan usaha sebelumnya.

Pasal 22 ayat (2) angka 15, Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

b.

Sementara terhadap perusahaan penanaman modal yang akan melakukan perluasan usaha di bidang yang memperoleh fasilitas fiskal akan tetapi menggunakan lokasi yang berbeda dengan usaha sebelumnya, maka permohonan dapat diajukan tanpa dipersyaratkan memiliki izin usaha terlebih dahulu atas kegiatan usaha sebelumnya.

VI.3.3

Persetujuan Perluasan

BKPM akan menerbitkan izin perluasan penanaman modal kepada perusahaan penanaman modal yang mengajukan izin perluasan apabila telah dipenuhinya data dan informasi yang dipersyaratkan.

193

VI.3.3.1 1. Pasal 34 ayat (3) bagi PMA 2. Pasal 34 ayat (4) bagi PMDN, Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Dapat dilihat pada Lampiran VI Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009, yang tembusannya disampaikan kepada: a.

Menteri Dalam Negeri

b. c. d. e.

Menteri Keuangan Menteri Hukum dan HAM Adminisfrasi Hukum dan Umum; Menteri yang membidangi usaha penanaman modal yang bersangkutan Menteri Negara Lingkungan Hidup (bagi perusahaan yang diwajibkan AMDAL atau Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL)/ Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) Menteri Negara Koperasi dan Pengusaha Kecil dan Menengah (bagi bidang usaha yang diwajibkan bermitra Gubemur Bank Indonesia Kepala Badan Pertanahan Nasional (bagi penanaman modal yang akan memi1iki lahan) Duta Besar RI di negara asal penanam modal asing (Bagi perusahaan PMA) Direktur Jenderal Pajak DirekturJenderal Bea dan Cukai Direktur Jenderal Teknis yang bersangkutan Gubernur yang bersangkutan Bupati/Walikota yang bersangkutan

f.

g.

h. i. j. k. l. m. n. o. p.

q.

r.

Pasal 36 ayat (3), Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Izin Prinsip Perluasan Penanaman Modal

kepala BKPM (khusus bagi Izin Prinsip Penanaman Modal yang dikeluarkan oleh PTSP PDPPM dan PTSP PDKPM) Kepala PDPPM khusus bagi Izin Prinsip Penanaman modal yang dikeluarkan oleh PTSP BKPM dan PTSP PDKPM; dan/atau Kepala PDKPM (khusus bagi Izin Prinsip Penanaman Modal yang dikeluarkan PTSP BKPM dan PTSP PDPPM

Izin Prinsip Perluasan diterbitkan selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak diterimanya permohonan dengan lengkap dan benar.

194

VI.3.3.2

Izin Usaha Perluasan Penanaman Modal

Dapat dilihat pada Lampiran VI Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009, yang tembusannya disampaikan kepada:

Pasal 45 ayat (7), Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

a. b. c. d. e. f. g.

Menteri yang membina bidang usaha penanaman modal yang bersangkutan Kepala BKPM (bagi Izin Usaha yang diterbitkan PTSP di PDPPM atau PTSP di PDKPM) Direktur Jenderal Teknis yang bersangkutan Direktur Jenderal Pajak Gubernur yang bersangkutan Kepala PDPPM (bagi Izin Usaha yang diterbitkan PTSP di BKPM atau PTSP di PDKPM)

Izin Usaha Perluasan diterbitkan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya permohonan dengan lengkap dan benar.

Pasal 45 ayat (8), Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

VI.3.4

Insentif Bagi Perluasan a.

b.

VI.4

Pembebasan Bea Masuk atas pengimporan mesin, barang dan bahan sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Keuangan No. 176/PMK.011/2009. Pengurangan Pajak Penghasilan (PPh) Badan untuk Penanaman Modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/ atau di daerah-daerah tertentu, sesuai Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2007 jo No. 62 Tahun 2008

PERUBAHAN KETENTUAN PENANAMAN MODAL VI.4.1

Permohonan Perubahan Penanaman Modal

Perubahan Penanaman Modal merupakan perubahan atas ketentuan yang telah ditetapkan baik dalam izin prinsip maupun izin usaha. Dengan demikian perusahaan penanaman modal baik PMA maupun PMDN yang hendak mengajukan perubahan penanaman modal harus merubah izin prinsip/ izin prinsip perluasan maupun izin usaha/izin usaha perluasan sesuai dengan kebutuhan kepada PTSP BKPM, PTSP PDPPM atau PTSP PDKPM sesuai kewenangannya.

195

Adapun untuk mengajukan permohonan perubahan sebagaimana dimaksud di atas, mekanisme yang harus ditempuh oleh perusahaan penanaman modal antara lain: VI.4.1.1

Mengajukan Pendaftaran Penanaman Modal

Pasal 24 ayat 1, Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Perusahaan penanaman modal asing yang memiliki pendaftaran dan akan melakukan perubahan penyertaan dalam modal perseroan karena keluarnya seluruh modal asing yang mengakibatkan seluruh modal perseroan menjadi modal dalam negeri, wajib melakukan pendaftaran penanaman modalnya sebagai akibat dari perubahan yang terjadi pada PTSP BKPM, PDPPM atau PDKPM sesuai kewenangannya.

Pasal 1 angka 10, Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Pendaftaran penanaman modal adalah bentuk persetujuan awal pemerintah sebagai dasar memulai rencana penanaman modal.

Lampiran I, Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Perusahaan penanaman modal yang akan mengajukan pendaftaran penanaman modal dapat mengisi formulir pendaftaran yang telah disediakan. VI.4.1.2

Mengajukan Izin Prinsip Perubahan

Pasal 1 angka 14, Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Izin Prinsip Perubahan merupakan izin untuk melakukan perubahan atas ketentuan yang telah ditetapkan dalam izin prinsip/izin prinsip perluasan

Lampiran IX, Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Untuk mengajukan Izin Prinsip Perubahan, perusahaan penanaman modal harus mengisi formulir Izin Prinsip Perubahan yang telah disediakan. VI.4.1.3

Pasal 1 angka 29 Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Mengajukan Izin Usaha Perubahan

Izin Usaha Perubahan adalah izin yang wajib dimiliki oleh perusahaan untuk melakukan perubahan ketentuan yang telah ditetapkan dalam izin usaha/izin usaha perluasan sebelumnya sebagai akibat dari perubahan yang terjadi dalam pelaksanaan kegiatan penanaman modal

196

Pasal 45 ayat (5) Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Untuk mengajukan Izin Usaha Perubahan, perusahaan penanaman modal harus menyampaikan Surat Pernohonan dengan dilengkapi data pendukung atas perubahan yang diajukan.

Lampiran XV, Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Terhadap rencana Perubahan Izin Usaha Penggabungan Perusahaan Penanaman Modal (merger), perusahaan yang akan melakukan merger dapat mengajukan permohonan dengan menggunakan formulir yang telah disediakan VI.4.2

Jenis-Jenis Perubahan Penanaman Modal

Pada dasarnya pengajuan perubahan penanaman modal akan mengakibatkan perubahan terhadap berbagai perizinan yang telah dimiliki oleh perusahaan. Berikut pengklasifikasian jenis-jenis perubahan penanaman modal: VI.4.2.1 Pasal 37 ayat (1) Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Terkait dengan Perubahan Izin Prinsip

Jenis-jenis perubahan yang dapat diusulkan oleh perusahaan penanaman modal, terkait perubahan izin prinsip, antara lain menyangkut: VI.4.2.1.1 Perubahan ketentuan jenis dan kapasitas produksi

Lampiran yang harus dilengkapi pada saat mengajukan Permohonan Izin Prinsip Perubahan

bidang usaha termasuk

Untuk perubahan bidang usaha termasuk jenis dan kapasitas produksi, perusahaan penanaman modal harus menyampaikan: a.

Keterangan rencana kegiatan, berupa uraian proses produksi yang mencantumkan jenis bahan baku dan dilengkapi dengan diagram alir (flow chart); dan

b.

Rekomendasi dari instansi pemerintah terkait, bila dipersyaratkan.

VI.4.2.1.2 Perubahan penyertaan modal

197

dalam perseroan

Menyangkut perubahan penyertaan modal dalam perseroan, perusahaan penanaman modal wajib memiliki Perubahan Izin Prinsip dalam hal: Pasal 34 ayat (1) Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009, ketentuan serupa diatur juga dalam Pasal 24 ayat (2)

a.

Pasal 34 ayat (2) Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

b.

Pasal 34 ayat (2) Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Terjadinya perubahan prosentase kepemilikan saham asing serta perubahan nama dan negara asal pemilik modal asing.

Terjadinya perubahan pada saham pendiri/ pengendali pada perusahaan terbuka yang dimiliki sekurang-kurangnya dua tahun dan dilakukan di pasar modal dalam negeri.

Sementara terhadap perubahan atas saham yang berada dalam kelompok saham masyarakat pada perusahaan terbuka (Tbk) tidak diwajibkan memiliki Izin Prinsip Perubahan. VI.4.2.1.3 Perubahan jangka waktu penyelesaian proyek

Pasal 39, Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Jangka waktu penyelesaian proyek pada umumnya ditetapkan paling lama 5 (lima) tahun sejak tanggal diterbitkannya Izin Prinsip. Namun apabila diperlukan, jangka waktu tersebut dapat diperpanjang. VI.4.2.1.4 Perubahan lain-lain terkait izin prinsip

Lampiran VIII A, Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Terhadap perubahan lain dalam izin prinsip/izin prinsip peluasan diluar ketiga perubahan diatas (Perubahan bidang usaha, Perubahan penyertaan modal dan Perubahan jangka waktu penyelesaian proyek) kepada perusahaan penanaman modal diwajibkan untuk melaporkan perubahan tersebut kepada PTSP yang menerbitkan izin prinsip dengan menggunakan formulir yang telah disediakan.

Lampiran VIII B, Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009) (ketentuan ini diatur dalam Pasal 41, Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Atas laporan tersebut kantor PTSP akan menerbitkan surat telah mencatat perubahan tersebut

198

VI.4.2.2 Pasal 44 ayat (5) Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Terkait dengan Perubahan Izin Usaha

Jenis-jenis perubahan yang dapat diusulkan oleh perusahaan penanaman modal, terkait perubahan izin Usaha, antara lain menyangkut: VI.4.2.2.1

Pasal 40 ayat (1), Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Perubahan Lokasi Proyek

Perusahaan penanaman modal yang telah memiliki izin prinsip, yang sudah maupun belum merealisasikan fasilitas fiskal/ non-fiskal atau telah memiliki izin usaha, dapat mengubah lokasi proyek penanaman modalnya. VI.4.2.2.2 Perubahan Jenis/Diversifikasi Produksi Perubahan ini dilakukan tanpa menambah mesin/peralatan dalam lingkup klasifikasi Baku Lapangan Usaha yang sama VI.4.2.2.3

Perubahan penyertaan dalam modal perseroan

Perubahan penyertaan dalam perseroan ini terbagi atas dua jenis penyertaan, yaitu penyertaan pada perusahaan PMA dan penyertaan pada perusahaan PMDN. Hal-hal yang perlu diperhatikan pada saat pelaksanaan penyertaan modal pada kedua perusahaan penanaman modal tersebut adalah sebagai berikut: a. Perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN): Pasal 23 ayat (2), Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

1. Perusahaan PMDN yang telah memiliki izin prinsip atau Izin Usaha dan akan melakukan perubahan penyertaan dalam modal perseroan karena masuknya modal asing yang mengakibatkan seluruh/ sebagian modal perseroan menjadi modal asing, wajib mengajukan permohonan izin prinsip atau izin usaha atas penanaman modalnya sebagai akibat dari perubahan yang terjadi ke PTSP BKPM

199

Pasal 23 ayat (2), Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

2. Sebelum mengajukan permohonan izin prinsip atau izin usaha atas penanaman modalnya sebagai akibat dari perubahan yang terjadi, perusahaan PMDN yang bidang usahanya merupakan kewenangan pemerintah provinsi dan / atau pemerintah kabupaten/ kota, dipersyaratkan melampirkan surat pengantar dari PTSP PDPPM atau PTSP PDKPM tentang rencana masuknya modal asing. Surat pengantar dimaksud dapat dilihat pada Lampiran VII A Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009. 3. Jika dalam jangka waktu 10 hari PTSP terkait belum menerbitkan surat pengantar, perusahaan penanaman modal dapat mengajukan izin prinsip/ izin usaha dengan melampirkan tanda terima pengajuan permohonan dimaksud. b. Perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA): 1. Perusahaan PMA yang telah memiliki izin prinsip atau Izin Usaha dan akan melakukan perubahan penyertaan dalam modal perseroan karena keluarnya seluruh modal asing yang mengakibatkan seluruh modal perseroan menjadi modal dalam negeri, wajib mengajukan permohonan izin prinsip atau izin usaha atas penanaman modalnya sebagai akibat dari perubahan yang terjadi ke PTSP BKPM, PTSP PDPPM atau PTSP PDKPM sesuai kewenangannya

200

2. Sebelum mengajukan permohonan izin prinsip atau izin usaha atas penanaman modalnya sebagai akibat dari perubahan yang terjadi, perusahaan PMDN yang bidang usahanya merupakan kewenangan pemerintah provinsi dan/ atau pemerintah kabupaten/ kota, dipersyaratkan melampirkan surat pengantar dari PTSP PDPPM atau PTSP PDKPM tentang rencana keluarnya seluruh modal asing. Surat pengantar dimaksud dapat dilihat pada Lampiran VII A Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009.

Pasal 24 ayat (3), Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

VI.4.2.2.4 Pasal 44 ayat (6), Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009.

Perpanjangan izin usaha

Izin usaha berlaku sepanjang perusahaan masih melakukan kegiatan usaha, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan sektoral. VI.4.2.2.5 Perubahan lain-lain terkait izin usaha

Pasal 45 ayat (6), Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Terhadap perubahan lain dalam izin usaha/izin usaha peluasan di luar keempat perubahan diatas (Perubahan Lokasi proyek, Perubahan Jenis Produksi, Perubahan Penyertaan Modal Perseroan dan perubahan yang diakibatkan oleh perpanjangan izin usaha) kepada perusahaan penanaman modal diwajibkan untuk melaporkan perubahan dengan Surat Pemberitahuan kepada kantor PTSP yang berwenang. Atas laporan tersebut kantor PTSP akan menerbitkan surat telah mencatat perubahan.

VI.4.2.3

Pengalihan Kepemilikan Saham Asing

Di luar perubahan yang terkait dengan izin prinsip dan izin usaha sebagaimana telah diuraikan di atas, terhadap kepemilikan saham asing ada ketentuan yang harus diperhatikan, yaitu:

201

Pasal 23 ayat (1), Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

a. Perusahaan penanaman modal dalam negeri yang tidak memiliki izin prinsip dan belum memiliki izin usaha atau belum memiliki izin prinsip dan akan melakukan perubahan penyertaan dalam modal perseroan karena masuknya modal asing yang mengakibatkan seluruh/ sebagian modal perseroan menjadi modal asing, wajib melakukan pendaftaran penanaman modalnya sebagai akibat dari perubahan yang terjadi ke PTSP BKPM

Pasal 24 ayat (1), Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

b. Perusahaan penanaman modal asing yang memiliki pendaftaran dan akan melakukan perubahan penyertaan dalam modal perseroan karena keluarnya seluruh modal asing yang mengakibatkan seluruh modal perseroan menjadi modal dalam negeri, wajib melakukan pendaftaran penanaman modalnya sebagai akibat dari perubahan yang terjadi kepada PTSP BKPM, PTSP PDPPM, atau PTSP PDKPM sesuai kewenangannya. VI.4.2.4

Penggabungan Perusahaan Penanaman Modal (Merger)

Pasal 1 angka 26, Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Izin Usaha Penggabungan Perusahaan Penanaman Modal (Merger) adalah izin yang wajib dimiliki oleh perusahaan yang meneruskan kegiatan usaha (surviving company) setelah terjadinya merger, untuk melaksanakan kegiatan produksi/operasi komersial perusahaan merger.

Pasal 26 ayat (1), Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Adapun merger dapat dilakukan baik antar perusahaan

Pasal 1 angka 1, Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1994 tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambil-alihan Perseroan Terbatas

Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah ada dan selanjutnya perseroan yang menggabungkan diri menjadi bubar.

PMA atau antar Perusahaan PMDN, maupun antara perusahaan PMA dengan PMDN

202

Pasal 26 ayat (4) Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Dalam hal perusahaan yang melakukan merger memiliki lebih dari satu kegiatan usaha dan salah satu kegiatan usahanya masih dalam tahap pembangunan, maka: a.

Atas kegiatan yang telah memiliki izin usaha, perusahaan yang meneruskan (surviving company) harus mengajukan Izin Usaha Penggabungan Perusahaan Penanaman Modal (merger). b. Atas kegiatan yang masih dalam tahap pembangunan, apabila kegiatan dimaksud berada pada: 1. Perusahaan surviving company, maka dalam melaksanakan kegiatannya cukup menggunakan izin prinsip/izin prinsip perluasan yang telah dimiliki. 2. Perusahaan yang menggabung (merging company), maka perusahaan surviving company harus mengajukan izin prinsip/ izin prinsip perluasan. c.

VI.4.2.5 Pasal 27 ayat (3) Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009.

Untuk kegiatan yang masih dalam tahap pembangunan namun tidak memerlukan fasilitas fiskal, perusahaan yang meneruskan kegiatan (surviving company) dapat melakukan pendaftaran atau langsung mengajukan permohonan Izin Usaha/Izin Usaha Perluasan apabila telah siap berproduksi/operasi komersial. Perubahan terkait fasilitas fiskal dan non-fiskal

Terkait pemanfaatan fasilitas yang dapat diperoleh perusahaan penanaman modal, dapat diajukan perubahan kepada PTSP BKPM antara lain menyangkut: Perubahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) dan perubahan/perpanjangan Angka Pengenal Importir Terbatas (APIT).

203

VI.4.2.5.1 Fasilitas Bea Masuk Atas Impor Mesin Pasal 47, Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009. Formulir yang digunakan untuk mengajukan permohonan perubahan ini adalah sebagaimana pada pada Lampiran XIX, peraturan kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Permohonan perubahan atau penambahan fasilitas bea masuk atas impor mesin bagi perusahaan penanaman modal yang telah mendapatkan surat persetujuan fasilitas bea masuk, diajukan kepada PTSP BKPM dengan menggunakan formulir pada Lampiran XIX perihal permohonan perubahan/ penambahan atas fasilitas impor mesin dan mengisi daftar mesin.

VI.4.2.5.2 Fasilitas bea masuk atas impor barang dan bahan Pasal 51 ayat (1), Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Permohonan Persetujuan Perubahan/Penambahan Fasilitas Bea Masuk Atas Impor Barang dan bahan bagi perusahaan penanaman modal yang telah mendapat Surat Persetujuan Fasilitas, diajukan kepada PTSP-BKPM dengan menggunakan formulir permohonan perubahan/ penambahan persetujuan fasilitas atas impor barang dan bahan sebagaimana tercantum dalam Lampiran XXV Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009.

VI.4.2.5.3 Angka Pasal 55 ayat (2), Pertauran Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009.

Pengenal

Importir Produsen (API-P)

Perusahaan penanaman modal yang hendak melakukan perubahan API-P mengajukan permohonan perubahan kepada PTSP BKPM dengan menggunakan formulir API-P dan kartu API-P, sebagaimana tercantum dalam Lampiran XXXI dan Lampiran XXXII, Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009. VI.4.2.5.4 Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA)

Pasal 57 ayat (1) s.d (3), Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009.

Perusahaan penanaman modal yang hendak merubah RPTKA mengajukan perubahan kepada PTSP-BKPM apabila lokasi kerjanya lintas provinsi atau PTSP-PDPPM apabila lokasi kerjanya dalam 1 (satu) wilayah provinsi dengan menggunakan formulir RPTKA sebagaimana tercantum dalam Lampiran XXXIII, peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009.

204

Adapun Perubahan RPTKA yang dapat diusulkan antara alian meliputi: perubahan jabatan, lokasi dan jumlah tenaga kerja asing VI.4.3

Syarat Umum Perubahan Penanaman Modal

Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh perusahaan penanaman modal pada saat mengajukan perubahan ke PTSP terkait adalah: VI.4.3.1 Perubahan Izin Prinsip, syarat yang harus dipenuhi: Pasal 42 ayat (1), Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

a.

Rekaman Izin Prinsip Penanaman Modal yang dimohonkan perubahannya; b. Rekaman Akta Pendirian dan perubahannya, dilengkapi dengan pengesahan dari Departemen Hukum dan HAM; c. Untuk perubahan bidang usaha (jenis/ kapasitas produksi) dilengkapi dengan: 1. keterangan rencana kegiatan, berupa uraian proses produksi yang mencantumkan jenis bahan baku dan dilengkapi dengan diagram alir (flow chart); 2. rekomendasi dari instansi pemerintah terkait, bila dipersyaratkan. d. Untuk perubahan Penyertaan dalam modal perseroan (persentase kepemilikan saham asing) dilengkapi dengan: 1. kesepakatan para pemegang saham tentang perubahan persentase saham antara asing dan Indonesia dalam perseroan yang dituangkan dalam bentuk rekaman Risalah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)/Keputusan Sirkular yang ditandatangani oleh seluruh pemegang saham dan telah dicatat (waarmerking) oleh Notaris atau rekaman Pernyataan Keputusan Rapat/Berita Acara Rapat dalam bentuk Akta Notaris, yang memenuhi ketentuan Pasal 21 dan Bab VI Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dan dilengkapi dengan bukti diri pemegang saham baru

205

2. kronologis penyertaan dalam modal perseroan sejak pendirian perusahaan sampai dengan permohonan terakhir; 3. khusus untuk perusahaan terbuka (Tbk), perrnohonan dilengkapi dengan persyaratan sesuai ketentuan perundangan di pasar modal. e. untuk perubahan jangka waktu penyelesaian proyek dilengkapi dengan alasan perubahan; f. Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) periode terakhir; g. Permohonan Izin Prinsip Perubahan Penanaman Modal: 1. disampaikan oleh direksi perusahaan ke PTSP BKPM, PTSP PDPPM, atau PTSP PDKPM sesuai kewenangannya; 2. permohonan yang tidak secara langsung disampaikan oleh direksi perusahaan ke PTSP BKPM, PTSP PDPPM, atau PTSP PDKPM harus dilampiri surat kuasa; 3. ketentuan tentang surat kuasa diatur dalam Pasal 63 Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009 VI.4.3.2 Perubahan Izin Usaha, syarat yang harus dipenuhi: 1. Pasal 45 ayat (3), Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009 2. Pasal 63 Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

a.

b.

c.

d.

206

Laporan Hasil Pemeriksaan Proyek (LHP), untuk permohonan Izin Usaha atau Izin Usaha Perluasan, yang kegiatan usahanya memerlukan fasilitas bea masuk atas impor barang dan bahan. Rekamana akta pendirian dan pengesahan serta akta perubahan dan pengesahan dari Departemen Hukum dan HAM. Rekaman Pendaftaran/Izin Prinsip/Izin Prinsip Perluasan/Surat Persetujuan Penanaman Modal/Izin Usaha dan/atau Surat Persetujuan Perluasan Penananam Modal/Izin Usaha Perluasan yang dimiliki. Rekaman NPWP.

e. 1. 2. f. 1. 2. g.

h. i.

j.

k.

Bukti penguasaan/penggunaan tanah atas nama: rekaman setifikat Hak Atas Tanah atau akta jual beli tanah oleh PPAT, atau rekaman perjanjian sewa-menyewa tanah Buktipenguasaan/penggunaan gedung/ bangunan: rekaman Izin Mendirikan Bangunan (IMB), atau rekaman akta jual beli/perjanjian sewamenyewa gedung/bangunan. Rekaman Izin Gangguan (UUG/HO) atau rekaman Surat Izin Tempat Usaha (SITU) bagi perusahaan yang berlokasi di luar Kawasan Industri. Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) periode terakhir; Rekaman persetujuan/pengesahan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) atau rekaman persetujuan/pengesahan dokumen Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL). Persyaratan lain sebagaimana diatur dalam peraturan instansi teknis terkait dan/atau peraturan Daerah setempat; Surat Kuasa bermeterai cukup untuk pengurusan permohonan yang tidak dilakukan secara langsung oleh direksi perusahaan.

207

VI.4.3.3 Penggabungan Perusahaan Penanaman Modal (Merger), syarat yang harus dipenuhi antara lain: 1.Pasal 45 ayat (4), Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

a.

2. Pasal 63 Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

b.

c.

d.

e.

f. VI.4.3.4

Rekaman Akta Pendirian Perusahaan dan perubahannya dengan pengesahan dari Departemen Hukum dan HAM untuk masingmasing perusahaan; Kesepakatan seluruh pemegang saham masing-masing perusahaan baik perusahaan yang meneruskan kegiatan (surviving company) maupun perusahaan yang menggabung (merging company) persetujuan penggabungan perusahaan daIam bentuk akta Pemyataan Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham yang memenuhi ketentuan Bab VI UndangUndang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Kesepakatan seluruh pemegang saham perusahaan yaitu perusahaan yang meneruskan kegiatan (surviving company) dan perusahaan yang menggabung (merging company) tentang rencana penggabungan perusahaan (merger plan) dalam bentuk akta merger yang telah disetujui oleh Menteri Hukum dan HAM. Rekaman Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) periode terakhir bagi perusahaan yang meneruskan kegiatan usaha (surviving company). Surat Kuasa bermeterai cukup untuk pengurusan permohonan yang tidak dilakukan secara Iangsung oleh direksi perusahaan. Ketentuan tentang surat kuasa. Perubahan terkait fasilitas fiskal dan non-fiskal

VI.4.3.4.1 Fasilitas Bea Masuk atas impor mesin, syarat yang harus dipenuhi antara lain:

208

Pasal 47 ayat (1), Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009.

a. b. c. d. e. f. g.

h. i. j.

k. l.

m.

n. o.

p.

Alasan perubahan atau penambahan fasilitas atas impor mesin. Daftar mesin dan disket (soft copy) daftar mesin (berdasarkan investor module BKPM); NPWP yang dimiliki; Nomor pengukuhan pengusaha kena pajak Nomor induk kepabeanan (NIK); Angka Pengenal Impor (API/ API-P); Uraian proses produksi yang mencantumkan jenis bahan baku dilengkapi dengan diagram alir (flow chart) khusus industri pengolahan; Kalkulasi kebutuhan kapasitas mesin produksi di dalam izin prinsip penanaman modal; Data teknis atau brosur mesin Izin prinsip penanaman modal, khusus penunjang pertambangan diperlukan kontrak kerja dengan pemilik kuasa pertambangan (KP) disertai rekamanan Kuasa Pertambangan (RKP); Laporan kegiatan penanaman modal (LKPM) periode terakhir; Rekaman surat persetujuan keringanan/ pembebasan bea masuk atas impor mesin yang dimiliki; Laporan penjelasan realisasi impor mesin dengan menyampaikan bukti-bukti berupa semua pemberitahuan impor barang (PIB) yang telah diberikan persetujuan pengeluaran barang oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai; Permohonan ditandatangani di atas materai cukup oleh direksi perusahaan; Surat kuasa bermeterai cukup untuk pengurusan permohonan yang tidak secara langsung dilakukan oleh direksi perusahaan; Ketentuan tentang surat kuasa sebagaimana diatur dalam Pasal 63 Peraturan kepala BKPM No. 12 Tahun 2009.

209

VI.4.3.4.2 Fasilitas bea masuk atas impor barang dan bahan, syarat yang harus dipenuhi antara lain: Pasal 51 ayat (1), Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

a. b.

c. d. e. f.

g.

Alasan perubahan atau penambahan Fasilitas Bea Masuk Atas Impor Barang dan bahan; Rekaman pemberitahuan impor barang (PIB) untuk Barang dan bahan yang sudah direalisasi atau faktur pembelian atas mesin dalam negeri; Rekaman Surat Persetujuan (SP) Fasilitas bea masuk atas impor mesin; Rekaman Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) periode terakhir; Permohonan ditandatangani di atas meterai cukup oleh direksi perusahaan; Surat Kuasa bermeterai cukup untuk pengurusan permohonan yang tidak dilakukan secara langsung oleh direksi perusahaan; Ketentuan tentang surat kuasa sebagaimana diatur dalam Pasal 63 Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009;

VI.4.3.4.3 Angka Pengenal Importir Produsen (API-P), syarat yang harus dipenuhi antara lain: Pasal 55 ayat (3), Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009.

a.

Angka Pengenal Importir Produsen (API-P) lama asli; b. surat keterangan kehilangan dari kepolisian apabila kartu API-P lama hilang; c. rekaman akta pendirian dan perubahannya yang terkait dengan susunan direksi terakhir serta pengesahan dari Departemen Hukum dan HAM; d. rekaman surat keterangan domisili kantor pusat perusahaan yang masih berlaku dari kantor kelurahan setempat/fotokopi perjanjian sewa/kontrak tempat berusaha; e. rekaman Pendaftaran/Izin Prinsip Penanaman Modal/ Surat Persetujuan yang dimiliki; f. rekaman Izin Usaha yang dimiliki; g. rekaman NPWP Perusahaan sesuai dengan domisili;

210

i.

j.

k.

l. m.

n.

Pasfoto terakhir dengan latar belakang warna merah masing-masing Pengurus atau Direksi Perusahaan 2 (dua) lembar ukuran 3x4 cm; rekaman Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) yang masih berlaku bagi penandatangan dokumen impor warga negara asing (WNA) dan rekaman Kartu Tanda Penduduk bagi Warga Negara Indonesia (WNI); Surat Kuasa (dari direksi) apabila penandatangan dokumen impor (kartu API-P) bukan direksi; permohonan ditandatangani di atas materai cukup oleh direksi perusahaan; Surat Kuasa bermaterai cukup untuk pengurusan permohonan yang tidak dilakukan secara langsung oleh direksi perusahaan; Ketentuan tentang surat kuasa sebagaimana diatur dalam Pasal 61 Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009.

VI.4.3.4.4 Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA), syarat yang harus dipenuhi antara lain: Pasal 57 ayat (4), Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009.

a.

rekaman Surat Keputusan Pengesahan RPTKA yang sudah dimiliki. b. rekaman Pendaftaran Penanaman modal/Izin Prinsip Penanaman modal/ Izin Usaha yang dimiliki; c. rekaman akta pendirian perusahaan yang telah disahkan oleh Departemen Hukum dan HAM dan perubahannya terkait dengan susunan direksi dan komisaris perusahaan; d. keterangan domisili perusahaan dari Pemerintah Daerah setempat; e. bagan struktur organisasi perusahaan; f. surat penunjukan tenaga kerja Indonesia sebagai pendamping tenaga kerja asing yang dipekerjakan; g. rekaman bukti wajib lapor ketenagakerjaan yang masih berlaku berdasarkan UndangUndang No. 7 Tahun 1941 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan;

211

h.

i. j.

k.

VI.4.4

rekomendasi dari Direktur Jenderal terkait, khusus bagi jabatan antara lain di Subsektor Migas, Pertambangan Umum [Kontrak Karya (KK), Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) dan Kuasa Pertambangan (KP)] dan Listrik dan Subsektor Jasa Pelayanan Medik; permohonan ditandatangani oleh direksi perusahaan; Surat Kuasa bermeterai cukup untuk pengurusan permohonan yang tidak dilakukan oleh direksi perusahaan; ketentuan tentang surat kuasa sebagaimana diatur dalam Pasal 63 Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009.

Persetujuan Perubahan Penanaman Modal

BKPM akan menerbitkan izin perubahan kepada perusahaan penanaman modal yang mengajukan perubahan penanaman modal apabila telah dipenuhinya data dan informasi yang dipersyaratkan VI.4.4.1 Pasal 34 ayat (3) bagi PMA dan Pasal 34 ayat (4) bagi PMDN, Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Perubahan Izin Prinsip

Dapat dilihat pada Lampiran X Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009, yang tembusannya disampaikan kepada: a. b. c. d. e. f.

g.

h.

212

Menteri Dalam Negeri; Menteri Keuangan; Menteri Hukum dan HAM; Administrasi Hukum Umum; Menteri yang membidangi usaha penanaman modal yang bersangkutan; Menteri Negara Lingkungan Hidup (bagi perusahaan yang diwajibkan AMDAL atau Upaya Pengelolaan Lingkungan (UKL)/ Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL); Menteri Negara Koperasi dan Pengusaha Kecil dan Menengah (bagi bidang usaha yang diwajibkan bermitra; Gubemur Bank Indonesia;

i. j. k. l. m. n. o. p.

q.

r.

Pasal 42 ayat (3), Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Izin Prinsip Perubahan diterbitkan selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya permohonan dengan lengkap dan benar. VI.4.4.2

Pasal 45 ayat (7), Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Kepala Badan Pertanahan Nasional (bagi penanaman modal yang akan memi1iki lahan); Duta Besar RI di negara asal penanam modal asing (Bagi perusahaan PMA) Direktur Jenderal Pajak; Direktur Jenderal Bea dan Cukai; Direktur Jenderal Teknis yang bersangkutan; Gubernur yang bersangkutan; Bupati/Walikota yang bersangkutan; Kepala BKPM (khusus bagi Izin Prinsip Penanaman Modal yang dikeluarkan oleh PTSP PDPPM dan PTSP PDKPM); Kepala PDPPM khusus bagi Izin Prinsip Penanaman modal yang dikeluarkan oleh PTSP BKPM dan PTSP PDKPM; dan/atau Kepala PDKPM (khusus bagi Izin Piinsip Penanaman Modal yang dikeluarkan PTSP BKPM dan PTSP PDPPM).

Perubahan Izin Usaha

Dapat dilihat pada Lampiran VIC Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009, yang tembusannya disampaikan kepada: a.

Pasal 45 ayat (9), Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Menteri yang membina bidang usaha penanaman modal yang bersangkutan b. Kepala BKPM (bagi Izin Usaha yang diterbitkan PTSP di PDPPM atau PTSP di PDKPM) c. Direktur Jenderal Teknis yang bersangkutan d. Direktur Jenderal Pajak e. Gubernur yang bersangkutan f. Kepala PDPPM (bagi Izin Usaha yang diterbitkan PTSP di BKPM atau PTSP di PDKPM) g. Kepala PDKPM (bagi Izin Usaha yang diterbitkan PTSP di BKPM atau PTSP di PDPPM) Izin Usaha Perubahan diterbitkan selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja sejak diterimanya permohonan dengan lengkap dan benar.

213

VI.4.4.3 Lampiran XVI B Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Penggabungan Perusahaan Penanaman Modal (Merger)

Dapat dilihat pada Lampiran XVI B Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009, yang tembusannya disampaikan kepada: a. b. c. d. e. f. g.

VI.4.4.4 VI.4.4.4.1 Pasal 47 ayat (2) dan (4) Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009.

Perubahan fasilitas fiskal dan nonfiskal Fasilitas Bea Masuk atas

impor mesin

Bentuk surat persetujuan perubahan/penambahan fasilitas bea masuk atas impor mesin dapat dilihat pada lampiran XX, Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009, yang tembusannya disampaikan kepada: a. b. c. d. e. f. g. h.

Pasal 47 ayat (3), P��� ���� eraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009.

Menteri yang membina bidang usaha penanaman modal yang bersangkutan Kepala BKPM (bagi Izin Usaha yang diterbitkan PTSP di PDPPM atau PTSP di PDKPM); Direktur Jenderal Teknis yang bersangkutan; Direktur Jenderal Pajak; Gubernur yang bersangkutan; Kepala PDPPM (bagi Izin Usaha yang diterbitkan PTSP di BKPM atau PTSP di PDKPM); Kepala PDKPM (bagi Izin Usaha yang diterbitkan PTSP di BKPM atau PTSP di PDPPM).

Menteri Keuangan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Direktur Jenderal Pajak Direktur Jenderal terkait Kepala PDPPM Kepala PDKPM Kepala Kantor Pelayanan Bea Cukai setempat. Surat persetujuan akan dilampiri daftar mesin.

Surat persetujuan perubahan fasilitas bea masuk atas impor mesin, diterbitkan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak diterimanya permohonan yang lengkap dan benar.

214

VI.4.4.4.2 Pasal 51 ayat (2) dan (4), Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009.

Fasilitas bea masuk atas impor barang dan bahan

Bentuk surat persetujuan perubahan/penambahan fasilitas bea masuk atas impor barang dan bahan dapat dilihat pada lampiran XXVI, Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009, yang tembusannya disampaikan kepada: a. b. c. d. e. f. g.

Menteri Keuangan Direktur Jenderal Bea dan Cukai Direktur Jenderal Pajak Direktur jenderal terkait Kepala PDPPM Kepala PDKPM Kepala Kantor Pelayanan Bea Cukai setempat.

Surat persetujuan akan disertai dengan lampiran daftar barang dan bahan. Pasal 51 ayat (3), Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009.

Surat persetujuan perubahan fasilitas bea masuk atas impor barang dan bahan, diterbitkan selambat-lambatnya 7 hari sejak diterimanya permohonan yang lengkap dan benar. VI.4.4.4.3

Angka Pengenal Importir Produsen (API-P)

Bentuk surat persetujuan perubahan API-P dapat dilihat pada Lampiran XXXII, Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009 Pasal 55 ayat (5), Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009.

Perubahan API-P diterbitkan selambat-lambatnya 4 (empat) hari kerja sejak diterimanya permohonan yang lengkap dan benar.

215

VI.4.4.4.4

Bentuk surat keputusan perubahan RPTKA dapat dilihat pada Lampiran XXXIV, Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009, yang tembusannya disampaikan kepada:

Pasal 57 ayat (9), Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009.

a. b. c.

Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi; Kepala BKPM; Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan; Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja; Kadisnakertrans Provinsi Kepala PDPPM.

d. e. f.

Surat persetujuan perubahan penggunaan tenaga kerja asing, diterbitkan selambat-lambatnya 3 (tiga) hari sejak diterimanya permohonan yang lengkap dan benar.

Pasal 57 ayat (4), Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009.

VI.4.5

Penolakan Terhadap Perubahan Penanaman Modal

Terhadap permohonan pendaftaran yang diajukan oleh perusahaan penanaman modal untuk merubah kepemilikan dari PMDN menjadi PMA, PTSP BKPM akan mengeluarkan surat penolakan pendaftaran jika bidang usaha dan prosentase kepemilikan saham asing tidak memenuhi ketentuan perundang-undangan. Bentuk surat penolakan dimaksud dapat dilihat pada Lampiran VII B Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009. (Ketentuan lebih detail mengenai bidang usaha ini diatur dalam Peraturan Presiden No. 36. Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal)

Pasal 23 ayat (5) huruf b, Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009,

VI.5

PENGAKHIRAN KEGIATAN PENANAMAN MODAL VI.5.1

Pasal 1 angka 27, Undang-Undang No. 4 Tahun 2009

Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA)

Karena Habisnya Cadangan

Kegiatan pascatambang, yang selanjutnya disebut pascatambang, adalah kegiatan terencana, sistematis, dan berlanjut setelah akhir sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan untuk memulihkan fungsi lingkungan alam dan fungsi sosial menurut kondisi lokal di seluruh wilayah penambangan.

216

Pasal 123, UndangUndang No. 4 Tahun 2009

Apabila IUP atau IUPK berakhir, pemegang IUP atau IUPK wajib menyerahkan seluruh data yang diperoleh dari hasil eksplorasi dan operasi produksi kepada Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya. VI.5.2

Pasal 117 huruf a, Undang-Undang No. 4 Tahun 2009

Karena Berakhirnya Jangka Waktu

Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) berakhir karena dikembalikan VI.5.3

Karena Pencabutan Izin

Pasal 117 huruf b, Undang-Undang No. 4 Tahun 2009

Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) berakhir karena dicabut

Pasal 119, UndangUndang No. 4 Tahun 2009

IUP atau IUPK dapat dicabut oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya apabila: a.

b.

c.

pemegang IUP atau IUPK tidak memenuhi kewajiban yang ditetapkan dalam IUP atau IUPK serta peraturan perundang-undangan; pemegang IUP atau IUPK melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini; atau pemegang IUP atau IUPK dinyatakan pailit.

Pasal 1 angka 22 Peraturan Kepala BKPM No.13 Tahun 2009

Pencabutan adalah tindakan administratif yang dilakukan BKPM, PDPPM, atau PDKPM sesuai dengan kewenangannya yang mengakibatkan tidak berlakunya Pendaftaran Penanaman Modal yang telah ada kegiatan nyata dan/atau Izin Usaha.

Pasal 19 ayat (1) Perkep BKPM No.13 Tahun 200

BKPM, PDPPM, atau PDKPM melakukan pencabutan terhadap Pendaftaran Penanaman Modal/Izin Prinsip Penanaman Modal/ Persetujuan Penanaman Modal atau Izin Pendirian Kantor Perwakilan Perusahaan asing yang telah dilaksanakan dalam bentuk kegiatan nyata atau Izin Usaha yang diterbitkan.

Pasal 19 ayat (7) Perkep BKPM No.13 Tahun 2009

BKPM atau PDPPM atau PDKPM melakukan pencabutan Pendaftaran Penanaman Modal/Izin Prinsip Penanaman Modal/Persetujuan Penanaman Modal atau Izin Usaha yang diterbitkannya atas penyimpangan yang dilakuan perusahaan berdasarkan BAP.

217

Pasal 19 ayat (8) Perkep BKPM No.13 Tahun 2009

Pencabutan Pendaftaran Penanaman Modal/Izin Prinsip Penanaman Modal/Persetujuan Penanamana Modal atau Izin Usaha diterbitkan dalam jangka waktu 10 (sepuluh) hari kerja.

Pasal 19 ayat (9) Perkep BKPM No.13 Tahun 2009

Bentuk pencabutan Pendaftaran Penanaman Modal/Izin Prinsip Penanaman Modal/Persetujuan Penanamana Modal atau Izin Usaha sesuai dengan Lampiran XV.

Pasal 8 PerKep BKPM Nomor 14 Tahun 2009

Penanam modal dapat mengakses sistem elektronik mengenai pencabutan dan pembatalan perizinan dan non perizinan, dalam Subsistem Pelayanan Penanaman Modal dengan menggunakan hak akses.

Pasal 6 huruf a, Keputusan Kepala BKPM No. 22 Tahun 2001

Izin kegiatan Kantor perwakilan perusahaan asing berlaku untuk seterusnya, kecuali: dicabut karena tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Pemerintah. VI.5.4

Pasal 113 ayat 1, Undang-Undang No. 4 Tahun 2009

Karena Penghentian Sementara

Penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan dapat diberikan kepada pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) apabila terjadi: a. b.

c.

Pasal 114, UndangUndang No. 4 Tahun 2009

keadaan kahar; keadaan yang menghalangi sehingga menimbulkan penghentian sebagian atau seluruh kegiatan usaha pertambangan; apabila kondisi daya dukung lingkungan wilayah tersebut tidak dapat menanggung beban kegiatan operasi produksi sumber daya mineral dan/atau batubara yang dilakukan di wilayahnya.

Jangka waktu penghentian sementara karena keadaan kahar dan/atau keadaan yang menghalangi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1) diberikan paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang paling banyak 1 (satu) kali untuk 1 (satu) tahun.

218

Pasal 115, UNDANGUNDANG No. 4 Tahun 2009

Terhadap penghentian sementara kegiatan usaha pertambangan karena keadaan kahar, kewajiban pemegang IUP dan IUPK terhadap Pemerintah dan pemerintah daerah tidak berlaku. Sementara terhadap penghentian sementara yang disebabkan oleh keadaan yang menghalangi kegiatan usaha pertambangan dan karena kondisi daya dukung lingkungan wilayah tidak dapat mendukung kegiatan pertambangan, kewajiban pemegang IUP dan IUPK terhadap Pemerintah dan pemerintah daerah tetap berlaku. VI.5.5

Pasal 1 angka 19 Peraturan Kepala BKPM No.13 Tahun 2009

Karena Pembekuan Kegiatan Usaha

Pembekuan kegiatan usaha adalah tindakan administratif yang dilakukan BKPM, PDPPM, atau PDKPM sesuai dengan kewenangannya yang mengakibatkan dihentikannya kegiatan perusahaan untuk sementara waktu. VI.5.6

Karena Sanksi Administratif

Pasal 18 ayat (1) Perkep BKPM No.13 Tahun 2009

BKPM, PDPPM, atau PDKPM melakukan pembatalan terhadap Pendaftaran Penanaman Modal/Izin Prinsip Penanaman Modal/Persetujuan Penanaman Modal atau Izin Pendirian Kantor Perwakilan Perusahaan asing yang diterbitkannya yang tidak dilaksanakan dalam bentuk kegiatan nyata.

Pasal 20 Perkep BKPM No.13 Tahun 2009

BKPM atau PDPPM atau PDKPM sesuai dengan Pendaftaran Penanaman Modal/Izin Prinsip Penanaman Modal/Persetujuan Penanaman Modal atau Izin Usaha yang diterbitkan dapat mengenakan sanksi administratif kepada perusahaan yang tidak memenuhi kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dan Pasal 5 Peraturan Kepala BKPM No. 13 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal dan menyalahgunakan fasilitas penanaman modal.

219

Pasal 21 Perkep BKPM No.13 Tahun 2009

Sanksi administratif sebagai berikut:

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004

c.

pembekuan kegiatan usahadan/atau fasilitas penanaman modal, atau pencabutan kegiatan usaha dan/atau fasilitas penanaman modal.

Karena Pailit

Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas Diusulkan oleh Perusahaan

RUPS untuk menyetujui Penggabungan, Peleburan, Pengambilalihan, atau Pemisahan, pengajuan permohonan agar Perseroan dinyatakan pailit, perpanjangan jangka waktu berdirinya, dan pembubaran Perseroan dapat dilangsungkan jika dalam rapat paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili dalam RUPS dan keputusan adalah sah jika disetujui paling sedikit 3/4 (tiga perempat) bagian dari jumlah suara yang dikeluarkan, kecuali anggaran dasar menentukan kuorum kehadiran dan/atau ketentuan tentang persyaratan pengambilan keputusan RUPS yang lebih besar. VI.5.7.2

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 37 Tahun 2004

bertahap

peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha,

VI.5.7.1 Pasal 89 ayat (1) Undang-Undang No. 40 Tahun 2007

secara

a. b.

d.

VI.5.7

dilaksanakan

Diajukan oleh Pihak Ketiga

Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.

220

Pasal 31 UndangUndang No. 37 Tahun 2004

Putusan pernyataan pailit berakibat bahwa segala penetapan pelaksanaan Pengadilan terhadap setiap bagian dari kekayaan Debitor yang telah dimulai sebelum kepailitan, harus dihentikan seketika dan sejak itu tidak ada suatu putusan yang dapat dilaksanakan termasuk atau juga dengan menyandera Debitor.

Pasal 119 huruf c, Undang-Undang No. 4 Tahun 2009

IUP atau IUPK dapat dicabut oleh Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya apabila pemegang IUP atau IUPK dinyatakan pailit. VI.5.8

Karena Akuisisi, Merger Dan Konsolidasi

VI.5.8.1 Pasal, 1 angka 11 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007, Pasal 1 angka 3 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1998

Akuisisi

Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham Perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Perseroan tersebut. VI.5.8.2

Merger

Pasal, 1 angka 9 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007, Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1998

Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.

Pasal 18 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1998

Bubarnya perseoran karena penggabungan berlaku: a.

Apabila penggabungan perseroan dilakukan dengan melakukan perubahan anggaran dasar yang memerlukan persetujuan menteri, maka perseroan yang menggabungkan diri bubar, terhitung sejak tanggal persetujuan Menteri atas perubahan Anggaran Dasar.

221

b.

c.

VI.5.8.3 Pasal, 1 angka 10 UNDANG-UNDANG No. 40 Tahun, Pasal 1 angka 2 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1998

Apabila penggabungan disertai perubahan Anggaran Dasar yang tidak memerlukan persetujuan Menteri, maka perseroan yang menggabungkan diri bubar, terhitung sejak tanggal pendaftaran Akta Penggabungan dan akta perubahan Anggaran Dasar perseroan dalam Daftar Perusahaan. Apabila penggabungan perseroan dilakukan dengan tanpa disertai perubahan Anggaran Dasar, maka perseroan yang menggabungkan diri bubar, terhitung sejak tanggal penandatanganan Akta penggabungan. Konsolidasi

Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua Perseroan atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Perseroan baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan passiva dari Perseroan yang meleburkan diri dan status badan hukum Perseroan yang meleburkan diri berakhir karena hukum.

VI.5.9

Karena Tercapainya Tujuan Penanaman Modal

Pasal 33 ayat (3), Undang-Undang No. 25 Tahun 2007

Dalam hal penanam modal yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan perjanjian atau kontrak kerja sama dengan Pemerintah melakukan kejahatan korporasi berupa tindak pidana perpajakan, penggelembungan biaya pemulihan, dan bentuk penggelembungan biaya lainnya untuk memperkecil keuntungan yang mengakibatkan kerugian negara berdasarkan temuan atau pemeriksaan oleh pihak pejabat yang berwenang dan telah mendapat putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap, Pemerintah mengakhiri perjanjian atau kontrak kerja sama dengan penanam modal yang bersangkutan.

Pasal 1444 KUHPerdata

Jika barang tertentu yang menjadi pokok persetujuan musnah, tak dapat diperdagangkan, atau hilang hingga tak diketahui sama sekali apakah barang itu masih ada, atau tidak, maka hapuslah perikatannya, asal barang itu musnah atau hilang di luar kesalahan debitur dan sebelum dia lalai menyerahkannya.

222

Bahkan meskipun debitur lalai menyerahkan suatu barang, yang sebelumnya tidak ditanggung terhadap kejadiankejadian yang tak terduga, perikatan tetap hapus jika barang itu akan musnah juga dengan cara yang sama di tangan kreditur, seandainya barang tersebut sudah diserahkan kepadanya. Debitur diwajibkan membuktikan kejadian tak terduga yang dikemukakannya. Dengan cara bagaimanapun suatu barang hilang atau musnah, orang yang mengambil barang itu sekali-kali tidak bebas dan kewajiban untuk mengganti harga. Pasal 1445 KUHPerdata

Jika barang yang terutang musnah, tak lagi dapat diperdagangkan, atau hilang di luar kesalahan debitur, maka debitur, jika ia mempunyai hak atau tuntutan ganti rugi mengenai barang tersebut, diwajibkan memberikan hak dan tuntutan tersebut kepada kreditur.

223

224

FASILITAS PENANAMAN MODAL

225

226

VII.1 Pasal 18 ayat 1-2 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal

FASILITAS FISKAL Pemerintah memberikan fasilitas kepada penanam modal yang melakukan penanaman modal. Fasilitas penanaman modal dapat diberikan kepada penanaman modal yang: a. b.

Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan No. 24/PMK.011/ 2010 tentang Pemberian Fasilitas Perpajakan dan Kepabeanan untuk Kegiatan Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan

melakukan perluasan usaha; atau melakukan penanaman modal baru.

Untuk kegiatan pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan dapat diberikan fasilitas perpajakan dan kepabeanan berupa: a. b. c. d.

fasilitas fasilitas fasilitas fasilitas

PPh; PPN; Bea Masuk; pajak ditanggung Pemerintah.

VII.1.1 Kriteria Bidang Usaha yang Memperoleh Fasilitas Pasal 18 ayat 3 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007

Penanaman modal yang mendapat fasilitas adalah yang sekurang-kurangnya memenuhi salah satu kriteria berikut ini: a. b. c. d. e. f.

g. h. i. j.

menyerap banyak tenaga kerja; termasuk skala prioritas tinggi; termasuk pembangunan infrastruktur; melakukan alih teknologi; melakukan industri pionir; berada di daerah terpencil, daerah tertinggal, daerah perbatasan, atau daerah lain yang dianggap perlu; menjaga kelestarian lingkungan hidup; melaksanakan kegiatan penelitian, pengembangan, dan inovasi; bermitra dengan usaha mikro, kecil, menengah atau koperasi; atau industri yang menggunakan barang modal atau mesin atau peralatan yang diproduksi di dalam negeri.

227

VII.1.2 Tata Cara Memperoleh Fasilitas Pasal 17-19 Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Permohonan Penanaman Modal

Perusahaan penanaman modal asing yang telah berstatus badan hukum perseroan terbatas dan perusahaan penanaman modal dalam negeri yang bidang usahanya dapat memperoleh fasilitas fiskal (seperti fasilitas bea masuk atas impor mesin; fasilitas bea masuk atas

Pasal 46-48 Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Permohonan fasilitas bea masuk atas impor mesin bagi perusahaan penanaman modal yang telah mendapat Izin Prinsip Penanaman Modal, baik dari PTSP BKPM, PTSP PDPPM, atau PTSP PDKPM diajukan kepada PTSP BKPM dengan menggunakan formulir permohonan fasilitas atas impor mesin dan mengisi daftar mesin, sebagaimana tercantum dalam Lampiran XVII.

impor barang dan bahan; usulan untuk mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan (PPh) badan) dan dalam pelaksanaan penanaman modalnya membutuhkan fasilitas fiskal, wajib memiliki Izin Prinsip Penanaman Modal dengan mengajukan permohonan kepada PTSP BKPM, PTSP PDPPM, atau PTSP PDKPM sesuai dengan kewenangannya.

Waktu berlakunya pemberian fasilitas bea masuk atas impor mesin diberikan selama 2 (dua) tahun sejak diterbitkan dan dapat diperpanjang sesuai dengan ketentuan. Permohonan Perubahan/Penambahan Fasilitas Bea Masuk atas impor mesin bagi perusahaan penanaman modal yang telah mendapat Surat Persetujuan Fasilitas Bea Masuk diajukan kepada PTSP BKPM dengan menggunakan formulir permohonan perubahan/penambahan atas fasilitas impor mesin dan mengisi daftar mesin sebagaimana tercantum dalam Lampiran XIX. Permohonan Persetujuan Perpanjangan Waktu Pengimporan mesin bagi perusahaan penanaman modal yang telah mendapat Surat Persetujuan Fasilitas Bea Masuk, diajukan kepada PTSP BKPM dengan menggunakan formulir permohonan perpanjangan waktu pengimporan mesin, sebagaimana tercantum dalam Lampiran XXI. Pasal 50-53 Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Permohonan Fasilitas bea masuk atas impor Barang dan bahan bagi perusahaan penanaman modal yang telah mendapat persetujuan fasilitas pembebasan atas impor mesin diajukan ke PTSP BKPM dengan menggunakan formulir permohonan persetujuan fasilitas atas impor barang dan bahan, sebagaimana tercantum dalam Lampiran XXIII.

228

Perusahaan yang telah memiliki Izin Usaha, diberikan fasilitas bea masuk atas pengimporan barang dan bahan untuk kebutuhan 2 (dua) tahun produksi dengan waktu pengimporan diberikan sekaligus selama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang pengimporan selama 1 (satu) tahun sejak berakhirnya Surat Persetujuan Fasilitas Pengimporan Barang dan Bahan. Perusahaan yang menggunakan mesin produksi dalam negeri dengan Tingkat Komponen Dalam Negeri sekurangkurangnya 30% (tiga puluh persen), diberikan fasilitas bea masuk atas pengimporan barang dan bahan untuk kebutuhan 4 (empat) tahun dengan waktu pengimporan diberikan sekaligus selama 4 (empat) tahun terhitung sejak tanggal keputusan fasilitas bea masuk atas impor barang dan bahan, dan tidak dapat diperpanjang. Permohonan Persetujuan Perubahan/Penambahan Fasilitas Bea Masuk Atas Impor Barang dan Bahan bagi perusahaan penanaman modal yang telah mendapat Surat Persetujuan Fasilitas, diajukan kepada PTSP BKPM dengan menggunakan formulir permohonan perubahan/ penambahan persetujuan fasilltas atas impor barang dan bahan, sebagaimana tercantum dalam Lampiran XXV. Perusahaan yang telah memperoleh fasilitas bea masuk atas impor barang dan bahan, apabila belum menyelesaikan impornya dalam waktu 2 (dua) tahun diberikan perpanjangan waktu pengimporan selama 1 (satu) tahun terhitung sejak berakhirnya masa berlaku fasilitas barang dan bahan. Permohonan Persetujuan Perpanjangan Waktu Pengimporan barang dan bahan bagi perusahaan penanaman modal yang telah mendapat Surat Persetujuan Fasilitas Penanaman modal, diajukan kepada PTSP BKPM dengan menggunakan formulir permohonan perpanjangan waktu pengimporan barang dan bahan, sebagaimana tercantum dalam Lampiran XXVII. Perusahaan penanaman modal yang bergerak di bidangbidang usaha tertentu dan/atau di daerah-daerah tertentu, dapat diberikan usulan untuk medapatkan fasilitas pajak penghasilan badan.

229

Permohonan usuIan untuk mendapatkan fasilitas pajak penghasilan badan bagi perusahaan penanaman modal, wajib pajak dalam negeri perseroan terbatas dan koperasi diajukan kepada PTSP BKPM dengan menggunakan formulir Permohonan Usulan Fasilitas Pajak Penghasilan (PPh) Badan, sebagaimana tercantum dalam Lampiran XXIX. VII.1.3 Lampiran I Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2007 jo. No. 62 Tahun 2008 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/ atau di Daerah-Daerah Tertentu

Pajak Penghasilan (PPh)

VII.1.3.1 a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. o. p. q. r. s. t. u. v. w.

Bidang Usaha Tertentu yang Memperoleh Fasilitas: Pengembangan Peternakan Usaha Pemanfaatan Hutan Tanaman IUPHHK-HTI (HTI) Penambangan dan Pemanfaatan Batubara Mutu Rendah (Low Rank Coal) Pengusahaan Tenaga Panas Bumi Kelompok Industri Susu dan Makanan dari Susu Kelompok Industri Makanan Lainnya Kelompok Industri Tekstil dan Industri Pakaian Jadi Kelompok Industri Bubur Kertas (Pulp), Kertas dan Kertas Karton (Paper Board) Pengilangan Minyak Bumi (Oil Refinary) Pembangunan kilang mini gas bumi (Industri Pemurnian dan Pengolahan Gas Bumi) Kelompok Industri Bahan Kimia Industri Kelompok Industri Barang-Barang Kimia Lainnya Kelompok Industri Serat Buatan Kelompok Industri Karet dan Barang dari Karet Kelompok Industri Barang-Barang dari Porselin Kelompok Industri Logam Dasar Besi dan Baja Kelompok Industri Logam Dasar Bukan Besi Kelompok Industri Mesin dan Perlengkapannya Kelompok Industri Motor Listrik, Generator, dan Transformator Kelompok Industri Elektronika dan Telematika Kelompok Industri Alat Angkut Darat Kelompok Industri Pembuatan dan Perbaikan Kapal dan Perahu Industri Pembuatan Logam Dasar Bukan Besi

230

Lampiran II Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2007 jo. No. 62 Tahun 2008

VII.1.3.2 Bidang Usaha Tertentu dan Daerah Tertentu yang Memperoleh Fasilitas: a. b. c. d. e. f. g . h. i . j. k. l. m. n. o.

Pasal 18-20 UndangUndang No. 25 Tahun 2007

Pengembangan Tanaman Pangan Pengembangan Budidaya Hortikultura Kelompok Industri Pengolahan Makanan Ke l o m p o k I n d u s t r i Pe n g o l a h a n S D A berbasis Agro Kelompok lndustri Kulit, Barang dari Kulit, dan Alas Kaki Kelompok lndustri Kemasan dan Kotak dari Kertas dan Karton Kelo mp o k I n du s t ri Ba ra n g da ri P l a s t i k Kelompok Industri Semen, Kapur, dan Gips Kelo mp o k I n d u s t ri Ak u m u l a t o r L i s t ri k d a n B a tu Ba t e ra i Kelompok Industri Pembuatan dan Perbaikan Kapal dan Perahu Kelo mp o k I n du s t ri F u rn i t u r Penangkapan Ikan di Laut dan Pengolahannya (Usaha Terpadu) Penangkapan Crustacea Laut dan Pengolahannya (Usaha Terpadu) Penangkapan Mollusca Laut dan Pengolahannya (Usaha Terpadu) Transhipment Port

VII.1.3.3 Bentuk Fasilitas yang diberikan kepada penanaman modal dapat berupa: a.

b.

c.

pajak penghasilan melalui pengurangan penghasilan neto sampai tingkat tertentu terhadap jumlah penanaman modal yang dilakukan dalam waktu tertentu; pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang modal, mesin, atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri; pembebasan atau keringanan bea masuk bahan baku atau bahan penolong untuk keperluan produksi untuk jangka waktu tertentu dan persyaratan tertentu;

231

d. pembebasan atau penangguhan Pajak Pertambahan Nilai atas impor barang modal atau mesin atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri selama jangka waktu tertentu; e. penyusutan atau amortisasi yang dipercepat; dan f. keringanan Pajak Bumi dan Bangunan, khususnya untuk bidang usaha tertentu, pada wilayah atau daerah atau kawasan tertentu. Fasilitas diberikan berdasarkan kebijakan industri nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah dan tidak berlaku bagi penanaman modal asing yang tidak berbentuk perseroan terbatas Pasal 18 Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009

Perusahaan penanaman modal asing yang telah berstatus badan hukum perseroan terbatas dapat memperoleh fasilitas fiskal antara lain: a. b. c.

fasilitas bea masuk atas impor mesin; fasilitas bea masuk atas impor barang dan bahan; usulan untuk mendapatkan fasilitas Pajak Penghasilan (PPh) badan.

VII.1.3.3.1 Fasilitas bagi Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu Pasal 1 angka 4 dan 5 Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2007 jo. No. 62 Tahun 2008

Pengertian:

Pasal 31A UndangUndang No. 7 Tahun 1983 jo. No. 7 Tahun 1991 jo. No. 10 Tahun 1994 jo. No. 17 Tahun 2000 jo. No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan

Kepada Wajib Pajak yang melakukan penanaman modal di bidang-bidang usaha tertentu dan/ atau di daerah-daerah tertentu yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional dapat diberikan fasilitas perpajakan dalam bentuk:

a.

Bidang-bidang usaha tertentu adalah bidang usaha di sektor kegiatan ekonomi yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional. b. Daerah-daerah tertentu adalah daerah yang secara ekonomis mempunyai potensi yang layak dikembangkan.

a.

pengurangan penghasilan neto paling tinggi 30% (tiga puluh persen) dari jumlah penanaman yang dilakukan;

232

b. c. d.

Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2007 jo. No. 62 Tahun 2008

Kepada Wajib Pajak badan dalam negeri berbentuk perseroan terbatas dan koperasi yang melakukan penanaman modal pada bidang-bidang usaha tertentu sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I atau bidang-bidang usaha tertentu dan daerah-daerah tertentu sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II, dapat diberikan fasilitas Pajak Penghasilan berupa: a.

b. c.

d.

Pasal 1 Peraturan Menteri Keuangan No. 16/PMK.03/ 2007 tentang Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/ atau di Daerah-Daerah Tertentu

penyusutan dan amortisasi yang dipercepat; kompensasi kerugian yang lebih lama, tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun; dan pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 sebesar 10% (sepuluh persen), kecuali apabila tarif menurut perjanjian perpajakan yang berlaku menetapkan lebih rendah.

pengurangan penghasilan neto sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah Penanaman Modal, dibebankan selama 6 (enam) tahun masingmasing sebesar 5% (lima persen) per tahun; penyusutan dan amortisasi yang dipercepat; pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen yang dibayarkan kepada Subjek Pajak Luar Negeri sebesar 10% (sepuluh persen), atau tarif yang lebih rendah menurut Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku; dan kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 (lima) tahun tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun.

Kepada Wajib Pajak Badan dalam negeri yang berbentuk Perseroan Terbatas atau koperasi, baik yang baru berdiri maupun yang telah ada, yang melakukan penanaman modal, baik untuk penanaman modal baru maupun perluasan dari usaha yang telah ada pada bidang-bidang usaha tertentu dan/atau daerah-daerah tertentu, dapat diberikan fasilitas Pajak Penghasilan. Fasilitas Pajak Penghasilan adalah sebagai berikut: a.

pengurangan penghasilan neto sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah penanaman modal, dibebankan selama 6 (enam) tahun masingmasing sebesar 5% (lima persen) per tahun.

233

b. c.

d.

penyusutan dan amortisasi yang dipercepat. pengenaan Pajak Penghasilan atas dividen yang dibayarkan kepada Subjek Pajak luar negeri sebesar 10% (sepuluh persen), atau tarif yang lebih rendah menurut Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku. kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 (lima) tahun tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun.

VII.1.3.3.2 Fasilitas bagi WP Badan Dalam Negeri yang berbentuk PT: Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 81 Tahun 2007 tentang Penurunan Tarif Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang Berbentuk Perseroan Terbuka; Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan No. 238/PMK.03/ 2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan dan Pengawasan Pemberian Penurunan Tarif bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang Berbentuk Perseroan Terbuka

a.

b.

c.

Pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan No. 238/PMK.03/ 2008

Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang berbentuk Perseroan Terbuka dapat memperoleh penurunan tarif Pajak Penghasilan sebesar 5% (lima persen) lebih rendah dari tarif tertinggi Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan Dalam Negeri sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b UndangUndang Pajak Penghasilan. Penurunan Tarif Pajak Penghasilan diberikan kepada Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang berbentuk Perseroan Terbuka apabila jumlah kepemilikan saham publiknya 40% (empat puluh persen) atau lebih dari keseluruhan saham yang disetor dan saham tersebut dimiliki paling sedikit oleh 300 (tiga ratus) Pihak, di mana masing-masing Pihak hanya boleh memiliki saham kurang dari 5% (lima persen) dari keseluruhan saham yang disetor. Ketentuan ini harus dipenuhi oleh Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang berbentuk Perseroan Terbuka dalam waktu paling singkat 6 (enam) bulan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun pajak

Wajib Pajak harus melampirkan surat keterangan dari Biro Administrasi Efek pada Surat Pemberitahuan Tahunan PPh WP Badan dengan melampirkan formulir X.H.1-6 sebagaimana diatur dalam Peraturan Bapepam dan LK Nomor X.H.1 untuk setiap tahun pajak terkait. Surat keterangan dibuat untuk setiap tahun pajak dengan mencantumkan nama Wajib Pajak, Nomor Pokok Wajib Pajak, Tahun Pajak serta menyatakan bahwa dalam waktu paling singkat 6 (enam) bulan dalam jangka waktu 1 (satu) tahun pajak:

234

a.

b.

Pasal 6-7 Peraturan Menteri Keuangan No. 238/PMK.03/ 2008

Saham Wajib Pajak dimiliki oleh publik paling sedikit 40% (empat puluh persen) dari keseluruhan saham yang disetor; dan Saham Wajib Pajak yang dimiliki oleh publik dimiliki paling sedikit oleh 300 (tiga ratus) pihak dan masing-masing pihak hanya memiliki saham kurang dari 5% (lima persen) dari keseluruhan saham yang disetor.

Dasar perhitungan besarnya angsuran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 ayat (1) Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dan perubahannya, untuk satu tahun pajak berikutnya setelah Wajib Pajak mendapatkan fasilitas berupa penurunan tarif Pajak Penghasilan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 81 Tahun 2007 adalah Surat Pemberitahuan Tahunan PPh WP Badan tahun pajak yang mendapatkan fasilitas. Contoh perhitungan besarnya angsuran PPh Pasal 25 dan contoh kondisi Wajib Pajak yang memenuhi dan tidak memenuhi kriteria tercantum dalam Lampiran II Peraturan Menteri Keuangan ini, yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri Keuangan ini.

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE42/PJ / 2009 tentang Penyampaian dan Penegasan atas Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 238/PMK.03/ 2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan dan Pengawasan Pemberian Penurunan Tarif bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang Berbentuk Perseroan Terbuka

Penurunan tarif bagi Wajib Pajak badan dalam negeri yang berbentuk Perseroan Terbuka dilaksanakan dengan cara self assessment melalui Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan (SPT). Dengan demikian, Wajib Pajak tidak perlu menyampaikan permohonan untuk dapat memperoleh penurunan tarif tersebut. Selain melampirkan surat keterangan dari Biro Administrasi Efek, Wajib Pajak tetap wajib melampirkan dokumen sebagai mana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 181/ PMK. 03/2007 tentang Bentuk dan Isi Surat Pemberitahuan, serta Tata Cara Pengambilan, Pengisian, Penandatanganan, dan Penyampaian Surat Pemberitahuan. VII.1.3.3.3 Fasilitas bagi Kegiatan Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan

235

Pasal 1 angka 4 dan 5 Peraturan Menteri Keuangan No. 24/ PMK.011/ 2010

Sumber Energi Terbarukan adalah sumber energi yang dihasilkan dari sumber daya energi yang berkelanjutan jika dikelola dengan baik, antara lain panas bumi, angin, bioenergi, sinar matahari, aliran dan terjunan air, serta gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut. Energi Terbarukan adalah energi yang berasal dari Sumber Energi Terbarukan.

Pasal 3-4 Peraturan Menteri Keuangan No. 24/PMK.011/ 2010

Fasilitas bagi Kegiatan Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan adalah: a.

pengurangan penghasilan neto sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah Penanaman Modal, dibebankan selama 6 (enam) tahun masingmasing sebesar 5% (lima persen) per tahun; penyusutan dan amortisasi yang dipercepat, sebagai berikut:

b.

Kelompok Aktiva

Masa

Tarif Penyusutan

dan Amortisasi

Tetap Berwujud

Manfaat Menjadi

Berdasarkan

Metode

Garis Lurus

Saldo Menurun

I. Bukan Bangunan: Kelompok I

2 tahun

50%

Kelompok II Kelompok III Kelompok IV

4 tahun 8 tahun 10 tahun

25% 2,5% 10%

100% (dibebankan sekaligus) 50% 25% 20%

II. Bangunan: Permanen Tidak Permanen

10 tahun 5 tahun

10% 20%

-

c.

d.

Pengenaan Pajak Penghasilan atas deviden yang dibayarkan kepada Subjek Pajak Luar Negeri sebesar 10% (sepuluh persen), atau tarif yang lebih rendah menurut Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku; dan Kompensasi kerugian yang lebih lama dari 5 (lima) tahun tetapi tidak lebih dari 10 (sepuluh) tahun dengan ketentuan sebagai berikut:

236

1. tambahan 1 (satu) tahun: apabila penanaman modal baru dilakukan pada bidang-bidang usaha tertentu di kawasan industri dan kawasan berikat; 2. tambahan 1 (satu) tahun: apabila mempekerjakan sekurang-kurangnya 500 (lima ratus) orang tenaga kerja Indonesia selama 5 (lima) tahun berturut-turut; 3. tambahan 1 (satu) tahun: apabila penanaman modal baru memerlukan investasi /pengeluaran untuk infrastruktur ekonomi dan sosial di lokasi usaha paling sedikit sebesar Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar) rupiah; 4. tambahan 1 (satu) tahun: apabila mengeluarkan biaya penelitian dan pengembangan di dalam negeri dalam rangka pengembangan produk atau efisiensi produksi paling sedikit 5% (lima persen) dari investasi dalam jangka waktu 5 (lima) tahun; dan/atau 5. tambahan 1 (satu) tahun: apabila menggunakan bahan baku dan/atau komponen hasil produksi dalam negeri paling sedikit 70% (tujuh puluh persen) sejak tahun ke 4 (empat). Tata cara pemberian fasilitas PPh dilaksanakan sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu dan peraturan pelaksanaannya, beserta perubahannya. Atas impor barang berupa mesin dan peralatan, baik dalam keadaan terpasang maupun terlepas, tidak termasuk suku cadang, yang diperlukan oleh pengusaha di bidang pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22 impor. Pengecualian dari pemungutan PPh Pasal 22 impor dilakukan secara otomatis tanpa menggunakan Surat Keterangan Bebas (SKB).

237

VII.1.4

Pajak Pertambahan Nilai (PPN)

VII.1.4.1 Pasal 4A, 16B Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 jo. No. 11 Tahun 1994 jo. No. 18 Tahun 2000 jo. No. 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah

Jenis Barang dan Jasa yang Tidak Dikenai PPN

Jenis barang yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai adalah barang tertentu dalam kelompok barang sebagai berikut: a. b. c.

d.

barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya; barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak; makanan dan minuman yang disajikan di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau katering; dan uang, emas batangan, dan surat berharga.

Jenis jasa yang tidak dikenai Pajak Pertambahan Nilai  adalah jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j.

k. l. m.

jasa pelayanan kesehatan medis; jasa pelayanan sosial; jasa pengiriman surat dengan perangko; jasa keuangan; jasa asuransi; jasa keagamaan; jasa pendidikan; jasa kesenian dan hiburan; jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan; jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri; jasa tenaga kerja; jasa perhotelan; jasa yang disediakan oleh Pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara umum;

238

n. o. p. q.

jasa penyediaan tempat parkir; jasa telepon umum dengan menggunakan uang logam; jasa pengiriman uang dengan wesel pos; dan jasa boga atau catering.

Pajak terutang tidak dipungut sebagian atau seluruhnya atau dibebaskan dari pengenaan pajak, baik untuk sementara waktu maupun selamanya, untuk: a. b. c. d.

e.

VII.1.4.2

kegiatan di kawasan tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean; penyerahan Barang Kena Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu; impor Barang Kena Pajak tertentu; pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; dan pemanfaatan Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean. Bentuk Fasilitas

VII.1.4.2.1 Fasilitas atas Impor dan Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis Pasal 1-2 Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2001 jo. No. 43 Tahun 2002 jo. No. 46 Tahun 2003 jo. No. 7 Tahun 2007 jo. No. 31 Tahun 2007 tentang Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai

Atas impor dan penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis berupa barang modal berupa mesin dan peralatan pabrik, baik dalam keadaan terpasang maupun terlepas, tidak termasuk suku cadang, yang diperlukan secara langsung dalam proses menghasilkan Barang Kena Pajak, oleh Pengusaha Kena Pajak yang menghasilkan Barang Kena Pajak tersebut dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

239

Pasal 1, 2, 4 Keputusan Menteri Keuangan No. 155/KMK.03/ 2001 jo. No. 363/ KMK.03/ 2002 No. 371/KMK.03/ 2003 tentang Pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai yang Dibebaskan atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis

Atas impor dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis berupa barang modal berupa mesin dan peralatan pabrik yang tidak terpisahkan dan merupakan satu kesatuan untuk mengoperasikan pabrik, yang digunakan secara langsung dalam proses menghasilkan Barang Kena Pajak, oleh Pengusaha Kena Pajak yang

Pasal 5, 7 Keputusan Menteri Keuangan No. 155/KMK.03/ 2001 jo. No. 363/ KMK.03/ 2002 No. 371/ KMK.03/ 2003

Untuk memperoleh fasilitas pembebasan Pajak Pertambahan Nilai, khusus bagi Pengusaha Kena Pajak yang mengimpor dan/atau menerima penyerahan Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat strategis, diwajibkan mempunyai Surat Keterangan Bebas Pajak Pertambahan Nilai yang dikeluarkan oleh Dirjen Pajak.

menghasilkan Barang Kena Pajak tersebut, baik dalam keadaan terpasang maupun terlepas, tidak termasuk suku cadang, dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

Permohonan untuk memperoleh Surat Keterangan Bebas Pajak Pertambahan Nilai diajukan kepada Dirjen Pajak dengan melampirkan dokumen impor dan/atau dokumen pembelian yang bersangkutan. Atas impor Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai tidak diperlukan Surat Setoran Pajak. Pemberitahuan Impor Barang (PIB) atas impor Barang Kena Pajak Tertentu diberikan cap “Dibebaskan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001” oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Atas permohonan Surat Keterangan Bebas Pajak Pertambahan Nilai, Dirjen Pajak memberikan keputusan dalam jangka waktu 5 (lima) hari kerja setelah surat permohonan diterima lengkap. Pajak Masukan atas impor dan/ atau atas perolehan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang digunakan untuk menghasilkan Barang Kena Pajak Tertentu yang bersifat strategis yang atas penyerahannya dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai, tidak dapat dikreditkan.

240

VII.1.4.2.2 Fasilitas bagi Kegiatan Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan Pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan No. 24/PMK.011/ 2010

Fasilitas PPN untuk kegiatan pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan adalah pembebasan dari pengenaan PPN atas impor Barang Kena Pajak yang bersifat strategis berupa mesin dan peralatan, baik dalam keadaan terpasang maupun terlepas, tidak termasuk suku cadang, yang diperlukan oleh pengusaha di bidang pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk menghasilkan Barang Kena Pajak. Tata cara pembebasan dari pengenaan PPN dilaksanakan sesuai ketentuan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2001 tentang Impor dan/ atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai dan peraturan pelaksanaannya, beserta perubahannya. VII.1.4.2.3 Fasilitas atas Impor Barang yang dipergunakan untuk Kegiatan Usaha Hulu Eksplorasi Minyak dan Gas Bumi serta Kegiatan Usaha Eksplorasi Panas Bumi

Pasal 1-2 Peraturan Menteri Keuangan No. 21/PMK.011/ 2010 tentang Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah atas Impor Barang untuk Kegiatan Usaha Hulu Eksplorasi Minyak dan Gas Bumi serta Kegiatan Usaha Eksplorasi Panas Bumi untuk Tahun Anggaran 2010

Pajak Pertambahan Nilai terutang atas impor barang yang dipergunakan untuk kegiatan usaha hulu eksplorasi minyak dan gas bumi serta kegiatan usaha eksplorasi panas bumi oleh pengusaha di bidang kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi atau pengusaha di bidang kegiatan usaha panas bumi, ditanggung Pemerintah. Pajak Pertambahan Nilai ditanggung Pemerintah diberikan pagu anggaran sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang No. 47 Tahun 2009 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2010 beserta perubahannya.

Pajak Pertambahan Nilai ditanggung Pemerintah diberikan terhadap barang yang nyata-nyata dipergunakan untuk kegiatan usaha hulu eksplorasi minyak dan gas bumi serta kegiatan usaha eksplorasi panas bumi dengan ketentuan sebagai berikut: a.

barang tersebut belum dapat diproduksi di dalam negeri;

241

b.

c.

barang tersebut sudah diproduksi di dalam negeri namun belum memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan; atau barang tersebut sudah diproduksi di dalam negeri namun jumlahnya belum mencukupi kebutuhan industri.

Kegiatan usaha hulu eksplorasi minyak dan gas bumi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan minyak dan gas bumi di wilayah yang ditentukan. Kegiatan usaha eksplorasi panas bumi adalah rangkaian kegiatan yang meliputi penyelidikan geologi, geofisika, geokimia, pengeboran uji, dan pengeboran sumur eksplorasi yang bertujuan untuk memperoleh dan menambah informasi kondisi geologi bawah permukaaan guna menemukan dan mendapatkan perkiraan potensi panas bumi. Pasal 3-4 Peraturan Menteri Keuangan No. 21/PMK.011/ 2010

Pengusaha sebagaimana dimaksud di atas meliputi: a.

b.

Pengusaha di bidang kegiatan usaha hulu minyak dan gas bumi yang mengikat kontrak kerjasama dengan Pemerintah Republik Indonesia setelah berlakunya Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Pengusaha di bidang kegiatan usaha panas bumi yang telah mengikat kontrak dengan Pemerintah Republik Indonesia atau mendapat Izin Usaha Pertambangan Panas Bumi setelah tanggal 31 Desember 1994, atau pengusaha di bidang panas bumi yang mendapatkan penugasan untuk melakukan survei pendahuluan dari Pemerintah Republik Indonesia.

Barang sebagaimana dimaksud di atas adalah barang-barang yang tercantum dalam Pemberitahuan Pabean Impor yang telah mendapatkan nomor pendaftaran dari Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai atau Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai pelabuhan pemasukan sejak berlakunya Peraturan Menteri Keuangan ini.

242

Pasal 5-6 Peraturan Menteri Keuangan No. 21/PMK.011/ 2010

Permohonan untuk mendapatkan Pajak Pertambahan Nilai ditanggung Pemerintah atas impor barang yang dipergunakan untuk kegiatan usaha hulu eksplorasi minyak dan gas bumi diajukan kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai dilampiri dengan Rencana Impor Barang (RIB) yang telah disetujui dan ditandasahkan oleh Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). Permohonan untuk mendapatkan Pajak Pertambahan Nilai ditanggung Pemerintah atas impor barang yang dipergunakan untuk kegiatan usaha eksplorasi panas bumi diajukan kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai dilampiri dengan Rencana Impor Barang (RIB) yang telah disetujui dan ditandasahkan oleh Direktur Jenderal Mineral Batubara dan Panas Bumi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, memperhatikan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1). RIB paling sedikit memuat elemen data sebagai berikut: a. Nomor dan Tanggal RIB; b. Nama Perusahaan Kontraktor; c. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); d. Alamat; h. Pos Tarif; i. Uraian Barang; j. Negara Asal Barang; k. jumlah/Satuan Barang; l. Perkiraan Harga/Nilai Impor; m. Jenis Kegiatan (eksplorasi atau eksploitasi); dan n. Pimpinan Perusahaan Kontraktor. Pengajuan permohonan dilakukan dalam 1 (satu) RIB bersamaan dengan pengajuan permohonan pembebasan bea masuk sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 177/PMK.011/2007 tentang Pembebasan Bea Masuk atas Impor Barang untuk Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi serta Panas Bumi beserta perubahannya. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai setelah menerima dokumen permohonan, selanjutnya membubuhkan cap “P PN DITANGGUNG PEMERINTAH EKS PMK 24/PMK.011/2010” pada semua lembar Pemberitahuan Pabean Impor dan Surat Setoran Pajak.

243

Berdasarkan dokumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Direktur Jenderal Pajak mengajukan permintaan kepada Direktur Jenderal Anggaran untuk menerbitkan Surat Perintah Membayar (SPM) Nihil.

VII.1.4.2.4 Fasilitas di Kawasan Bebas Pasal 6 Peraturan Menteri Keuangan No. 45/PMK.03/ 2009 jo. No. 240/PMK.03/ 2009tentang Tata Cara Pengawasan, Pengadministrasian, Pembayaran, serta Pelunasan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Pengeluaran dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dari Kawasan Bebas ke Tempat Lain dalam Daerah Pabean dan Pemasukan dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dari Tempat Lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Beba

Pemasukan Barang Kena Pajak dari Tempat Lain Dalam Daerah Pabean atau dari Tempat Penimbunan Berikat ke Kawasan Bebas melalui pelabuhan atau bandar udara yang ditunjuk, tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Penyerahan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud dan/ atau Jasa Kena Pajak dari Tempat Lain Dalam Daerah Pabean atau dari tempat Penimbunan Berikat ke Kawasan Bebas, tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai.

244

VII.1.4.2.5 Fasilitas dalam rangka Program Restrukturisasi Mesin Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Surat Menteri Keuangan kepada Badan Pengurus Nasional Asosiasi Pertekstilan Indonesia (BPNAPI) No. S-459/ MK.03/ 2008 tentang Keringanan Pajak terhadap Dana Program Peningkatan Teknologi Industri Tekstil dan Produk Tekstil

Dalam rangka program restrukturisasi mesin industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT), perusahaan pertekstilan yang mengajukan bantuan peningkatan teknologi mesin pertekstilan mendapatkan dua fasilitas, yakni pembebasan Bea Masuk (BM) impor mesin sebagai barang modal dan penghapusan PPN 10%. Perusahaan pertekstilan (wajib pajak) yang hendak mengajukan permohonan pembebasan PPN impor permesinan harus memiliki Surat Keterangan Bebas (SKB) yang diterbitkan Kepala Kantor Pelayanan Pajak di lokasi wajib pajak (perusahaan) terdaftar. VII.1.5

Keputusan Menteri Keuangan No. 748/ KMK.04/1990 tentang Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Bagi Investasi Di Wilayah Tertentu

Pajak Bumi dan Bangunan

Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan bagi wajib Pajak yang melakukan investasi/penanaman modal baru dan perluasan, yang dilakukan di wilayah-wilayah: a. Propinsi Kalimantan Barat b. Propinsi Kalimantan Timur c. Propinsi Kalimantan Selatan d. Propinsi Kalimantan Tengah e. Propinsi Sulawesi Utara f. Propinsi Sulawesi Tengah g. Propinsi Sulawesi Selatan h. Propinsi Sulawesi Tenggara i. Propinsi Nusa Tenggara Timur j. Propinsi Nusa Tenggara Barat k. Propinsi Timor Timur l. Propinsi Maluku m. Propinsi Irian Jaya terhitung sejak tanggal 1 Januari 1990, diberikan pengurangan sebesar 50% (lima puluh persen) dari Pajak Bumi dan Bangunan yang terutang, selama 8 (delapan) tahun sejak diperolehnya izin peruntukan tanah.

245

Pengenaan pajak sebagaimana dimaksud di atas hanya berlaku untuk investasi di bidang: a. Pertanian b. Pekerbunan c. Peternakan d. Perikanan e. Pertambangan f. Kehutanan g. Perindustrian h. Real Estate/Industrial Estate i. Perhotelan dan Pengembangan Jasa Kepariwisataan j. Prasarana dan sarana ekonomi serta jasa angkutan darat, laut dan udara Bagi perusahaan yang melakukan perluasan, pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana dimaksud di atas hanya berlaku dalam hal besarnya perluasan sekurangkurangnya 30% (tiga puluh persen) dari investasi yang sudah dilakukan sampai dengan akhir tahun pajak sebelum tahun pajak di mana perluasan tersebut dilakukan, di wilayahwilayah dan di bidang-bidang sebagaimana dimaksud di atas. VII.1.6

Masa Pembebasan Pajak (Tax Holiday)

Kebijakan Tax Holiday sebenarnya sudah tidak lagi diterapkan di Indonesia sejak dilakukannya perubahan/ reformasi pertama atas Undang-Undang Perpajakan Tahun 1983. Pemerintah menilai bahwa kebijakan tersebut selain diskriminatif juga tidak memberikan dampak yang signifikan bagi pengembangan investasi di Indonesia. Pada tahun 1996, masalah tax holiday kembali muncul dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1996 tentang fasilitas pajak ditanggung oleh Pemerintah atas WP tertentu. Fasilitas perpajakan menurut Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1996 tidak dapat diberikan kepada perusahaanperusahaan yang memperoleh fasilitas perpajakan sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 1994 dan Keputusan Presiden No. 89 Tahun 1996 jo. No. 9 Tahun 1998 ataupun sebaliknya.

246

Dalam Pasal 31A Undang-Undang No. 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan, Pemerintah meniadakan tax holiday dan menggantinya dengan pemberian insentif PPh. Pasal 18 ayat 5 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007

Pembebasan atau pengurangan pajak penghasilan badan dalam jumlah dan waktu tertentu hanya dapat diberikan kepada penanaman modal baru yang merupakan industri pionir, yaitu industri yang memiliki keterkaitan yang luas, member nilai tambah dan eksternalitas yang tinggi, memperkenalkan teknologi baru, serta memiliki nilai strategis bagi perekonomian nasional. VII.1.7 Prevention of Double Taxation Agreement (Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda) dan Prevention of Tax Avoidance Agreement (Perjanjian Pencegahan Pengelakan Pajak)

Pasal 32A UndangUndang No. 7 Tahun 1983 jo. No. 7 Tahun 1991 jo. No. 10 Tahun 1994 jo. No. 17 Tahun 2000 jo. No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan

Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-51/PJ/2009 tentang Pelaksanaan Permintaan Informasi ke Luar Negeri Dalam Rangka Pencegahan Penghindaran dan Pengelakan Pajak

Indonesia telah memiliki 58 Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) yang di dalamnya memuat tentang pelaksanaan pertukaran informasi/EOI (exchange of information), kecuali P3B RI-Saudi Arabia.

Peraturan Terkait Lainnya: a.

b.

c.

Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER61/PJ/2009 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-62/ PJ/2009 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-67/ PJ/2009 tentang Tata Cara Pertukaran Informasi Berdasarkan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B)

247

d.

VII.1.8 Pasal 18 UndangUndang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE114/ PJ/2009 tentang Pelaksanaan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-61/PJ/2009 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dan Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. PER-62/PJ/2009 tentang Pencegahan Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda Pembebasan Impor Barang Modal dan Bahan Baku

Bentuk fasilitas yang diberikan kepada penanaman modal dapat berupa: a.

b.

c.

d.

e. f.

pajak penghasilan melalui pengurangan penghasilan netto sampai tingkat tertentu terhadap jumlah penanaman modal yang dilakukan dalam waktu tertentu; pembebasan atau keringanan bea masuk atas impor barang modal, mesin, atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri; pembebasan atau keringanan bea masuk bahan baku atau bahan penolong untuk keperluan produksi untuk jangka waktu tertentu dan persyaratan tertentu; pembebasan atau penangguhan Pajak Pertambahan Nilai atas impor barang modal atau mesin atau peralatan untuk keperluan produksi yang belum dapat diproduksi di dalam negeri selama jangka waktu tertentu; penyusutan atau amortisasi yang dipercepat; dan keringanan Pajak Bumi dan Bangunan, khususnya untuk bidang usaha tertentu, pada wilayah atau daerah atau kawasan tertentu.

248

Pasal 6 Peraturan Menteri Keuangan No. 24/PMK.011/ 2010

Fasilitas Bea Masuk untuk kegiatan pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan adalah fasilitas pembebasan Bea Masuk sebagaimana diatur dalam: a.

b.

Pasal 1-2 Peraturan Menteri Perindustrian No. 19/M-IND/ PER/2/ 2010 tentang Daftar Mesin, Barang, dan Bahan Produksi Dalam Negeri untuk Pembangunan atau Pengembangan Industri Dalam Rangka Penanaman Modal

Peraturan Menteri Keuangan Nomor 176/ PMK.011/ 2009 tentang Fasilitas Pembebasan Bea Masuk Atas Impor Mesin Serta Barang dan Bahan untuk Pembangunan atau Pengembangan Industri Dalam Rangka Penanaman Modal, beserta perubahannya; Peraturan Menteri Keuangan Nomor 154/ PMK.011/ 2008 tentang Pembebasan Bea Masuk Atas Impor Barang Modal Dalam Rangka Pembangunan dan Pengembangan Industri Pembangkit Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum, beserta perubahannya.

Importasi mesin, barang dan bahan yang sudah diproduksi di dalam negeri tidak diberikan fasilitas pembebasan bea masuk sebagaimana diatur oleh Menteri yang membidangi urusan keuangan, kecuali mesin, barang dan bahan dimaksud memenuhi ketentuan sebagai berikut: a. b.

belum memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan; atau jumlah belum memenuhi kebutuhan industri.

Daftar mesin, barang dan bahan yang sudah diproduksi di dalam negeri tersebut sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini, merupakan acuan dalam pemberian fasilitas pembebasan bea masuk sebagaimana diatur oleh Menteri yang membidangi urusan keuangan, serta ditinjau setiap 1 (satu) tahun sejak tanggal diundangkan Peraturan Menteri ini. Apabila dalam hal jangka waktu tersebut terlewati dan daftar pengganti belum diundangkan, berlaku daftar mesin, barang dan bahan produksi dalam negeri sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Menteri ini. Fasilitas pembebasan bea masuk diberikan setelah memperoleh pertimbangan teknis dari Direktur Jenderal Pembina Industri yang bersangkutan.

249

Pasal 2-6 Peraturan Menteri Perindustrian No. 09/M-IND/PER/ 1/ 2010 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Pertimbangan Teknis/ Rekomendasi atas Impor Barang Modal Bukan Baru bagi Perusahaan Rekondisi dan Perusahaan Remanufakturing

Setiap Perusahaan rekondisi atau Perusahaan remanufakturing yang akan melakukan impor barang modal bukan baru wajib memiliki Pertimbangan Teknis/ Rekomendasi dari Kementerian Perindustrian. Pertimbangan Teknis/Rekomendasi diterbitkan oleh Direktur Pembina Industri yang bersangkutan sesuai dengan jenis industri yang dibina. Permohonan Pertimbangan Teknis/Rekomendasi disampaikan kepada Direktur Jenderal Pembina Industri dengan melampirkan dokumen sebagai berikut: a.

Copy Izin Usaha Industri yang kegiatan usahanya melakukan rekondisi atau remanufakturing; b. Rencana impor barang modal bukan baru yang meliputi jumlah, jenis, spesifikasi teknis dan nomor pos tarif/HS sepuluh digit; c. Hasil Survey kemampuan Perusahaan rekondisi atau Perusahaan remanufakturing; d. Bukti surat pemesanan dari pemakai dalam negeri; dan e. Bukti pemyataan kemampuan pelayanan purna jual. Pelaksanaan survey kemampuan dan pelayanan purna jual Perusahaan rekondisi atau Perusahaan remanufakturing dilakukan oleh Surveyor Independen yang memiliki Surat Izin Usaha Jasa Survey dan menjadi anggota IFIA (International Federation of Inspection Agency). Paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak diterima permohonan yang lengkap dan benar, Direktur Pembina Industri menerbitkan atau menolak Pertimbangan Teknis/ Rekomendasi. Biaya pelaksanaan survey dibebankan kepada Perusahaan rekondisi atau Perusahaan remanufakturing yang bersangkutan dengan besaran nilai yang ditentukan berdasarkan asas manfaat. Ketentuan pelaksanaan survey diatur lebih lanjut dalam pedoman teknis yang ditetapkan dengan Peraturan Direktur Jenderal Pembina Industri sesuai dengan jenis industri yang dibina.

250

Pasal 1 dan 2 Peraturan Menteri Keuangan No. 110/ PMK.010/2005 tentang Tata Cara Pemberian Pembebasan dan/atau Keringanan Bea Masuk dan Pembebasan dan/atau Penundaan Pajak Pertambahan Nilai atas Impor Barang Dalam Rangka Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara

Atas impor barang dalam rangka Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara diberikan pembebasan dan/ atau keringanan Bea Masuk. Pembebasan atau penundaan PPN atas impor barang dalam rangka Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara hanya dapat diberikan kepada kontraktor yang kontraknya mencantumkan pembebasan atau penundaan PPN atas impor barang dalam rangka Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara. Pemberian pembebasan Bea Masuk dan/atau pembebasan atau penundaan PPN diberikan melalui Masterlist yang ditetapkan oleh Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal atau pejabat yang ditunjuknya atas nama Menteri Keuangan. Masterlist sebagaimana dimaksud di atas paling sedikit memuat elemen data sebagai berikut: a. Nomor dan tanggal Masterlist; b. Nama Perusahaan Kontraktor; c. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); d. Alamat; e. Dasar Kontrak; f. Kantor Pelayanan Bea dan Cukai Tempat Pemasukan Barang; g. Jenis, Jumlah dan Satuan Barang; h. Spesifikasi Barang; i. Perkiraan Harga/ Nilai Impor; j. Negara Asli; k. Jenis Fasilitas Bea Masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor. Dalam penerbitan Masterlist atas barang dalam rangka Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal harus memperhatikan Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara yang menjadi dasar penerbitan Masterlist. Masterlist dibuat paling sedikit 4 (empat) rangkap dengan peruntukan sebagai berikut: Rangkap 1 (satu): Kontraktor Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara;

251

Rangkap 2 (dua): Direktur Jenderal Pajak; Rangkap 3 (tiga): Direktur Jenderal Bea dan Cukai; Rangkap 4 (empat): Kepala Badan Kordinasi Penanaman Modal. Penyelesaian formalitas Pabean atas impor barang dilaksanakan di Kantor Pelayanan Bea dan Cukai di Pelabuhan yang tercantum dalam Masterlist. Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan No. 176/PMK.011/ 2009 tentang Pembebasan Bea Masuk atas Impor Mesin serta Barang dan Bahan untuk Pembangunan atau Pengembangan Industri dalam rangka Penanaman Modal

Atas impor mesin, barang dan bahan yang dilakukan oleh Perusahaan yang melakukan kegiatan usaha di bidang: a. b.

industri yang menghasilkan barang; dan/atau industri yang menghasilkan jasa, dapat diberikan pembebasan bea masuk.

Pembebasan bea masuk diberikan sepanjang mesin, barang dan bahan tersebut: a. b.

c.

belum diproduksi di dalam negeri; sudah diproduksi di dalam negeri namun belum memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan; atau sudah diproduksi di dalam negeri namun jumlahnya belum mencukupi kebutuhan industri,

berdasarkan daftar mesin, barang dan bahan yang ditetapkan oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang perindustrian atau pejabat yang ditunjuk, setelah berkoordinasi dengan instansi teknis yang terkait.

252

Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan No. 176/PMK.011/ 2009

Pembebasan bea masuk atas impor mesin untuk pembangunan industri diberikan untuk jangka waktu pengimporan selama 2 (dua) tahun terhitung sejak berlakunya keputusan pembebasan bea masuk dan dapat diperpanjang sesuai dengan jangka waktu pembangunan industri tersebut sebagaimana tercantum dalam surat persetujuan penanaman modal. Perusahaan yang telah menyelesaikan pembangunan industri serta siap produksi, kecuali bagi industri yang menghasilkan jasa, dapat diberikan pembebasan bea masuk atas impor barang dan bahan untuk keperluan produksi paling lama 2 (dua) tahun, sesuai kapasitas terpasang dengan jangka waktu pengimporan selama 2 (dua) tahun terhitung sejak berlakunya keputusan pembebasan bea masuk.

Perusahaan yang telah memperoleh fasilitas tetapi belum merealisasikan seluruh importasi barang dan bahan dalam jangka waktu 2 (dua) tahun, dapat diberikan perpanjangan waktu importasi selama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal berakhirnya fasilitas pembebasan bea masuk. Pasal 4 Peraturan Menteri Keuangan No. 176/PMK.011/ 2009

Pembebasan bea masuk atas impor mesin dalam rangka pengembangan industri, diberikan untuk jangka waktu pengimporan selama 2 (dua) tahun terhitung sejak berlakunya keputusan pembebasan bea masuk dan dapat diperpanjang sesuai dengan jangka waktu pengembangan industri tersebut sebagaimana tercantum dalam surat persetujuan penanaman modal. Perusahaan yang telah menyelesaikan pengembangan industri, kecuali bagi industri yang menghasilkan jasa, sepanjang menambah kapasitas paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari kapasitas terpasang, dapat diberikan pembebasan bea masuk atas barang dan bahan untuk keperluan tambahan produksi paling lama 2 (dua) tahun, untuk jangka waktu pengimporan selama 2 (dua) tahun sejak berlakunya keputusan pembebasan bea masuk. Perusahaan yang telah memperoleh fasilitas pembebasan bea masuk tetapi belum merealisasikan seluruh importasinya dalam jangka waktu 2 (dua) tahun, dapat diberikan perpanjangan waktu importasi selama 1 (satu) tahun terhitung sejak tanggal berakhirnya fasilitas pembebasan bea masuk.

253

Pasal 5 Peraturan Menteri Keuangan No. 176/PMK.011/ 2009

Perusahaan yang melakukan pembangunan atau pengembangan, kecuali bagi industri yang menghasilkan jasa, dengan menggunakan mesin produksi buatan dalam negeri paling sedikit 30% (tiga puluh persen) dari total nilai mesin, atas impor barang dan bahan dapat diberikan pembebasan bea masuk untuk keperluan produksi/ keperluan tambahan produksi selama 4 (empat) tahun sesuai kapasitas terpasang, dengan jangka waktu pengimporan selama 4 (empat) tahun terhitung sejak berlakunya keputusan pembebasan bea masuk. Penggunaan dan komposisi mesin produksi dalam negeri dinyatakan oleh menteri yang bertanggung jawab di bidang perindustrian atau pejabat yang ditunjuk.

Pasal 6 Peraturan Menteri Keuangan No. 176/PMK.011/ 2009

Fasilitas pembebasan bea masuk tidak berlaku untuk industri perakitan kendaraan bermotor kecuali industri komponen kendaraan bermotor.

Pasal 7-8 Peraturan Menteri Keuangan No. 176/PMK.011/ 2009

Untuk mendapatkan fasilitas pembebasan bea masuk atas impor mesin, barang dan bahan untuk pembangunan dan pengembangan industri, perusahaan mengajukan permohonan yang ditandatangani oleh pimpinan Perusahaan kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal

Pasal 14 Peraturan Menteri Keuangan No. 176/PMK.011/ 2009

Perusahaan yang mendapatkan pembebasan bea masuk, harus menyampaikan laporan kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal mengenai realisasi impor mesin, barang dan bahan yang mendapat pembebasan bea masuk untuk pembangunan atau pengembangan.

254

Pasal 2-4 Peraturan Menteri Perdagangan No. 63/M-DAG/ PER/12/ 2009 tentang Ketentuan Impor Barang Modal Bukan Baru

Barang modal bukan baru hanya dapat diimpor oleh: a. b. c.

perusahaan pemakai langsung; perusahaan rekondisi; dan/atau perusahaan remanufakturing.

Barang modal bukan baru yang dapat diimpor oleh perusahaan meliputi Pos Tarif/HS yang tercantum dalam Lampiran I. Setiap pelaksanaan impor barang modal bukan baru harus mendapat persetujuan impor terlebih dahulu dari Direktur Impor dengan melampirkan persyaratan. Impor barang modal bukan baru yang telah mendapat persetujuan impor harus dilakukan pemeriksaan teknis terlebih dahulu oleh Surveyor di negara asal muat barang oleh Surveyor yang ditetapkan Menteri. Pemeriksaan teknis meliputi: a. b. c.

kelayakan pakai barang modal bukan baru; spesifikasi teknis yang mencakup nomor Pos Tarif/HS barang modal bukan baru; dan jumlah dan nilai barang modal bukan baru.

Hasil pemeriksaan teknis oleh Surveyor dituangkan ke dalam Certificate of Inspection yang menyatakan: a. b. c.

barang modal bukan baru tersebut masih layak dipakai atau untuk difungsikan kembali; bukan skrap; dan keterangan jumlah, nilai, dan spesifikasi teknis.

Certificate of Inspection wajib dilampirkan sebagai dokumen pelengkap pabean dalam penyelesaian kepabeanan di bidang impor. Atas pelaksanaan pemeriksaan teknis, surveyor memungut biaya dari importir.

255

Pasal 7 Peraturan Menteri Perdagangan No. 63/M-DAG/ PER/12/ 2009

Importir yang telah mendapatkan persetujuan impor barang modal bukan baru wajib menyampaikan laporan realisasi (sebagaimana tercantum dalam Lampiran II) secara tertulis kepada Direktur Impor, Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri setiap 3 (tiga) bulan, paling lama tanggal 15 bulan berikutnya dari setiap bulan realisasi pelaksanaan impor.

Pasal 8 Peraturan Menteri Perdagangan No. 63/M-DAG/ PER/12/ 2009

Dalam rangka pengembangan ekspor dan investasi, termasuk kegiatan relokasi industri (bedol pabrik), pembangunan infrastruktur, dan untuk tujuan ekspor, persetujuan impor barang modal bukan baru yang tidak termasuk dalam Lampiran I Peraturan Menteri ini dapat diberikan oleh Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri atas nama Menteri.

Pasal 9 Peraturan Menteri Perdagangan No. 63/M-DAG/ PER/12/ 2009

Barang modal dalam keadaan bukan baru yang diimpor oleh PDKB dan telah digunakan selama lebih dari 2 (dua) tahun dapat dipindahtangankan kepada perusahaan lain di DPIL

Pasal 2-7 Peraturan Menteri Keuangan No. 154/PMK.011/ 2008 jo. No. 128/ PMK.011/ 2009 tentang Pembebasan Bea Masuk Atas Impor Barang Modal Dalam Rangka Pembangunan dan Pengembangan Industri Pembangkit Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum

Atas impor barang modal diberikan fasilitas pembebasan bea masuk. Pembebasan bea masuk atas impor barang modal diberikan terhadap barang yang nyata-nyata dipergunakan untuk industri pembangkit tenaga listrik dengan ketentuan sebagai berikut: a. b.

c.

Barang tersebut belum dapat diproduksi di dalam negeri;         Barang tersebut sudah diproduksi di dalam negeri namun belum memenuhi spesifikasi yang dibutuhkan; atau         Barang tersebut sudah diproduksi di dalam negeri namun jumlahnya belum mencukupi kebutuhan industri.   

256

Barang asal impor di dalam kontraknya harus mencantumkan klausul tidak termasuk bea masuk. Pembebasan bea masuk untuk industri pembangkit tenaga listrik dapat diberikan kepada badan usaha sebagai berikut: a. b.

c.

d.

PT. Perusahaan Listrik Negara (Persero) (PT. PLN (Persero); Pemegang IUKU (Izin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum) yang memiliki daerah usaha; Pemegang IUKU untuk usaha pembangkit tenaga listrik yang mempunyai perjanjian jual beli tenaga listrik (Power Purchase Agreement (PPA) dengan PT. PLN (Persero) yang menyatakan seluruh listrik yang dihasilkan akan dibeli oleh PT. PLN (Persero), atau perjanjian Sewa Guna Usaha (Finance Lease Agreement /FLA) dengan PT. PLN (Persero); atau Pemegang IUKU untuk usaha pembangkit tenaga listrik yang mempunyai perjanjian jual beli (P A) dengan pemegang IUKU yang memiliki daerah usaha, yang menyatakan seluruh listrik yang dihasilkan akan dibeli oleh pemegang IUKU yang memiliki daerah usaha.

Untuk mendapatkan pembebasan bea masuk atas impor barang modal, badan usaha sebagaimana dimaksud di atas mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai, sesuai contoh format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran I Peraturan Menteri Keuangan ini. Permohonan yang diajukan oleh PT. PLN (Persero), dilampiri dengan:    a.

b. c.

Rencana Impor Barang (RIB) kebutuhan proyek yang telah disetujui dan ditandasahkan oleh Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral; Akte Pendirian Badan Usaha; dan  Nomor Identitas Kepabeanan (NIK).

257

Permohonan yang diajukan oleh badan usaha, dilampiri dengan: a.

Perjanjian jual beli listrik (PPA) atau perjanjian sewa guna usaha (FLA) dengan PT. PLN (Persero), bagi pemegang IUKU untuk usaha pembangkit tenaga listrik yang bekerjasama dengan PT. PLN (Persero); b. Perjanjian jual beli listrik (PPA) dengan pemegang IUKU yang memiliki daerah usaha bagi pemegang IUKU untuk usaha pembangkit tenaga listrik yang bekerjasama dengan pemegang IUKU yang memiliki daerah usaha; c. IUKU; d. Rencana Impor Barang (RIB) kebutuhan proyek yang telah disetujui dan ditandasahkan oleh Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, sesuai contoh format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran II Peraturan Menteri Keuangan ini; e. Akte Pendirian Badan Usaha; dan  f. Nomor Identitas Kepabeanan (NIK). Atas permohonan tersebut, Direktur Jenderal Bea dan Cukai memberikan persetujuan atau penolakan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap.         Dalam hal permohonan disetujui, Direktur Jenderal Bea dan Cukai atas nama Menteri Keuangan menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan mengenai pembebasan bea masuk atas impor barang modal dalam rangka pembangunan dan pengembangan industri pembangkit tenaga listrik untuk kepentingan umum.           Dalam hal permohonan tidak disetujui, Direktur Jenderal Bea dan Cukai atas nama Menteri Keuangan menerbitkan surat penolakan dengan menyebutkan alasan-alasan penolakan. Realisasi impor barang berdasarkan RIB, dilakukan paling lama 24 (dua puluh empat) bulan sejak tanggal keputusan pemberian pembebasan bea masuk.

258

Realisasi impor dapat diperpanjang paling lama 12 (dua belas) bulan sejak berakhirnya jangka waktu realisasi impor dengan mengajukan permohonan perpanjangan realisasi impor sesuai contoh format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran III Peraturan Menteri Keuangan ini. Permohonan yang diajukan oleh badan usaha, dilampiri dengan: a. b. c.

Fotokopi Nomor Identitas Kepabeanan (NIK); Fotokopi Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP); Fotokopi Angka Pengenal Importir (API/ APIT/API-P); d. Fotokopi Surat Keputusan Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (2); dan e. Rencana Impor Barang Perubahan (RIBP) yang telah disetujui dan ditanda sahkan oleh Direktur Jenderal Listrik dan Pemanfaatan Energi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, sesuai contoh format sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran V Peraturan Menteri Keuangan ini; Permohonan diajukan dalam rentang masa berlaku Surat Keputusan Menteri Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2). Atas permohonan tersebut, Direktur Jenderal Bea dan Cukai memberikan persetujuan atau penolakan dalam jangka waktu paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak permohonan diterima secara lengkap. Dalam hal permohonan disetujui, Direktur Jenderal Bea dan Cukai atas nama Menteri Keuangan menerbitkan Keputusan Menteri Keuangan mengenai pembebasan bea masuk atas impor barang modal dalam rangka pembangunan dan pengembangan industri pembangkit tenaga listrik untuk kepentingan umum. Dalam hal permohonan tidak disetujui, Direktur Jenderal Bea dan Cukai atas nama Menteri Keuangan menerbitkan surat penolakan dengan menyebutkan alasan-alasan penolakan.

259

Ketentuan mengenai tata cara pengajuan permohonan, format keputusan pemberian pembebasan bea masuk, dan tata cara pelaporan realisasi impor, diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai. Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan ini akan dievaluasi dalam jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun sejak Peraturan Menteri Keuangan ini ditetapkan. VII.1.9

Pajak Daerah dan Retribusi Daerah

Pasal 176 UndangUndang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

Pemerintah daerah dalam meningkatkan perekonomian daerah dapat memberikan insentif dan/atau kemudahan kepada masyarakat dan/atau investor yang diatur dalam Perda dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2008 tentang Pedoman Pemberian Insentif dan Pemberian Kemudahan Penanaman Modal di Daerah

Pemberian insentif dapat berbentuk: a. b. c. d.

pengurangan, keringanan, atau pembebasan pajak daerah; pengurangan, keringanan, atau pembebasan retribusi daerah; pemberian dana stimulan; dan/atau pemberian bantuan modal.

Pemberian kemudahan dapat berbentuk: a. b. c. d. e.

penyediaan data dan informasi peluang penanaman modal; penyediaan sarana dan prasarana; penyediaan lahan atau lokasi; pemberian bantuan teknis; dan/atau percepatan pemberian perizinan.

Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2008

Pemberian kemudahan penanaman modal dalam bentuk percepatan pemberian perizinan diselenggarakan melalui pelayanan terpadu satu pintu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 5 Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2008

Pemberian insentif dan pemberian kemudahan diberikan kepada penanam modal yang sekurang-kurangnya memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut:

260

a.

memberikan kontribusi bagi peningkatan pendapatan masyarakat; b. menyerap banyak tenaga kerja lokal; c. menggunakan sebagian besar sumberdaya lokal; d. memberikan kontribusi bagi peningkatan pelayanan publik; e. memberikan kontribusi dalam peningkatan Produk Domestik Regional Bruto; f. berwawasan lingkungan dan berkelanjutan; g. termasuk skala prioritas tinggi; h. termasuk pembangunan infrastruktur; i. melakukan alih teknologi; j. melakukan industri pionir; k. berada di daerah terpencil, daerah tertinggal, atau daerah perbatasan; l. mela ksa n a k a n k e gi a t a n pe n e l i t i a n , p en g emb a n ga n , da n i n o v a s i ; m. bermitra dengan usaha mikro, kecil, menengah, atau koperasi; atau n. industri yang menggunakan barang modal, mesin, atau peralatan yang diproduksi di dalam negeri. Pasal 7-9 Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2008

Ketentuan mengenai pemberian insentif dan pemberian kemudahan penanaman modal diatur dengan Perda, yang sekurang-kurangnya memuat: a. b. c. d.

e. f.

tata cara pemberian insentif dan pemberian kemudahan; kriteria pemberian insentif dan pemberian kemudahan; dasar penilaian pemberian insentif dan pemberian kemudahan; jenis usaha atau kegiatan penanaman modal yang diprioritaskan memperoleh insentif dan kemudahan; bentuk insentif dan kemudahan yang dapat diberikan; dan pengaturan pembinaan dan pengawasan.

Pemberian insentif dan pemberian kemudahan penanaman modal kepada penanam modal ditetapkan dengan Keputusan Kepala Daerah.

261

VII.2

FASILITAS NON-FISKAL VII.2.1

Pasal 21-22 UndangUndang No. 25 Tahun 2007

Fasilitas Hak atas Tanah

Selain fasilitas fiskal, Pemerintah memberikan kemudahan pelayanan dan/atau perizinan kepada perusahaan penanaman modal untuk memperoleh: a. b. c.

hak atas tanah; fasilitas pelayanan keimigrasian; dan fasilitas perizinan impor.

Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan hak atas tanah sebagaimana dimaksud di atas dapat diberikan dan diperpanjang dan dapat diperbarui kembali atas permohonan penanam modal. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21- 22/PUUV/2007, terhadap Pasal 22 Undang-undang No. 25 Tahun 2007 sepanjang menyangkut “dimuka sekaligus atau sekaligus dimuka”, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Oleh karenanya bunyi pasal 22 diubah menjadi sebagai berikut: Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 huruf a dapat diberikan dan diperpanjang dan dapat diperbarui kembali atas permohonan penanam modal. Hak atas tanah dapat diberikan dan diperpanjang untuk kegiatan penanaman modal, dengan persyaratan antara lain: a.

b.

c. d.

penanaman modal yang dilakukan dalam jangka panjang dan terkait dengan perubahan struktur perekonomian Indonesia yang lebih berdaya saing; penanaman modal dengan tingkat risiko penanaman modal yang memerlukan pengembalian modal dalam jangka panjang sesuai dengan jenis kegiatan penanaman modal yang dilakukan; penanaman modal yang tidak memerlukan area yang luas; penanaman modal dengan menggunakan hak atas tanah negara; dan

262

e.

penanaman modal yang tidak mengganggu rasa keadilan masyarakat dan tidak merugikan kepentingan umum.

Hak atas tanah dapat diperbarui setelah dilakukan evaluasi bahwa tanahnya masih digunakan dan diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat, dan tujuan pemberian hak. Pemberian dan perpanjangan hak atas tanah yang diberikan dan yang dapat diperbarui dapat dihentikan atau dibatalkan oleh Pemerintah jika perusahaan penanaman modal menelantarkan tanah, merugikan kepentingan umum, menggunakan atau memanfaatkan tanah tidak sesuai dengan maksud dan tujuan pemberian hak atas tanahnya, serta melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan. Pasal 11 ayat (1), PP No. 40 Tahun 1996

Untuk kepentingan penanaman modal, permintaan perpanjangan atau pembaharuan Hak Guna Usaha dapat dilakukan sekaligus dengan membayar uang pemasukan yang ditentukan untuk itu pada saat pertama kali mengajukan permohonan Hak Guna Usaha.

Pasal 28 ayat (1), PP No. 40 Tahun 1996

Untuk kepentingan penanaman modal, permintaan perpanjangan dan pembaharuan Hak Guna Bangunan dapat dilakukan sekaligus dengan membayar uang pemasukan yang ditentukan untuk itu pada saat pertama kali mengajukan permohonan Hak Guna Bangunan

Pasal 48 ayat (1), PP No. 40 Tahun 1996

Untuk kepentingan penanaman modal, permintaan perpanjangan dan pembaharuan Hak Pakai dapat dilakukan sekaligus dengan pembayaran uang pemasukan yang ditentukan untuk itu pada saat pertama kali mengajukan permohonan Hak Pakai.

Pasal 1, Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1996tentang Pemilikan rumah tempat tinggal atau hunian milik orang asing yang berkedudukan di Indonesia

Orang asing yang berkedudukan di Indonesia dapat memiliki sebuah rumah untuk tempat tinggal atau hunian dengan hak atas tanah tertentu. Orang asing yang berkedudukan di Indonesia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah orang asing yang kehadirannya di Indonesia memberikan manfaat bagi pembangunan nasional.

263

Peraturan-peraturan terkait lainnya: a. b.

c.

d. e.

f.

g.

h.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan UndangUndang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendafaran Tanah Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden No 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi Keputusan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 21 Tahun 1994 tentang Tata Cara Perolehan Tanah bagi Perusahaan dalam rangka Penanaman Modal Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2 Tahun 1993 tentang Tata cara Perolehan Izin Lokasi dan Hak atas Tanah bagi Perusahaan dalam rangka Penanaman Modal

264

VII.2.2 Pasal 21, 23 UndangUndang No. 25 Tahun 2007

Fasilitas Pelayanan Keimigrasian

Pemerintah memberikan kemudahan pelayanan dan/ atau perizinan kepada perusahaan penanaman modal untuk memperoleh: a. b. c.

hak atas tanah; fasilitas pelayanan keimigrasian; dan fasilitas perizinan impor.

Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan atas fasilitas keimigrasian dapat diberikan untuk: a.

b.

c.

penanaman modal yang membutuhkan tenaga kerja asing dalam merealisasikan penanaman modal; penanaman modal yang membutuhkan tenaga kerja asing yang bersifat sementara dalam rangka perbaikan mesin, alat bantu produksi lainnya, dan pelayanan purna jual; dan calon penanam modal yang akan melakukan penjajakan penanaman modal.

Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan atas fasilitas keimigrasian yang diberikan kepada penanaman modal diberikan setelah penanam modal mendapat rekomendasi dari Badan Koordinasi Penanaman Modal. Untuk penanam modal asing diberikan fasilitas, yaitu: a. b.

pemberian izin tinggal terbatas bagi penanam modal asing selama 2 (dua) tahun; pemberian alih status izin tinggal terbatas bagi penanam modal menjadi izin tinggal tetap dapat dilakukan setelah tinggal di Indonesia selama 2 (dua) tahun berturut-turut;

265

c.

d.

e.

pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal terbatas dan dengan masa berlaku 1 (satu) tahun diberikan untuk jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan terhitung sejak izin tinggal terbatas diberikan; pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal terbatas dan dengan masa berlaku 2 (dua) tahun diberikan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan terhitung sejak izin tinggal terbatas diberikan; dan pemberian izin masuk kembali untuk beberapa kali perjalanan bagi pemegang izin tinggal tetap diberikan untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan terhitung sejak izin tinggal tetap diberikan.

Pemberian izin tinggal terbatas bagi penanam modal asing dilakukan oleh Direktorat Jenderal Imigrasi atas dasar rekomendasi dari Badan Koordinasi Penanaman Modal. Pasal 2 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. M-06.IL.01.10 Tahun 2006 tentang Penetapan Fasilitas Khusus di Bidang Keimigrasian pada Kawasan Ekonomi Khusus

Seluruh KEK ditetapkan sebagai daerah yang memperoleh fasilitas khusus di bidang keimigrasian.

Pasal 5 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. M-06.IL.01.10 Tahun 2006

Kewenangan Pejabat Imigrasi meliputi: a.

b. c.

pemberian persetujuan Visa Tinggal Terbatas kepada perwakilan RI di luar negeri kecuali pemohon visa pemegang paspor kebangsaan dari negara imigratoir rawan; pemberian dan perpanjangan Izin Tinggal Terbatas; dan pemberian multiple re‑entry permit dan exit permit only.

266

Dalam hal terdapat lebih dari satu Kepala Kantor Imigrasi pada KEK, untuk efisiensi dan efektifitas, Pejabat Imigrasi berwenang untuk mengatur dan memberikan kuasa pemberian perizinan keimigrasian pada Kantor Imigrasi di mana orang asing berada. Pasal 6-9 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. M-06.IL.01.10 Tahun 2006

Pejabat Imigrasi dapat memberikan persetujuan Visa Tinggal Terbatas kepada orang asing yang bermaksud tinggal terbatas di KEK dalam rangka: a. b. c. d. e.

penanaman modal; bekerja sebagai tenaga ahli; mengikuti suami/istri pemegang Izin Tinggal Terbatas; mengikuti orang tua bagi anak sah berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun; memiliki rumah bagi orang asing dan/atau lanjut usia sesuai ketentuan yang berlaku.

Pejabat Pemberi Visa pada Perwakiian Republik Indonesia di luar negeri setelah memperoleh persetujuan dari Pejabat Imigrasi dapat memberikan visa tinggal terbatas untuk jangka waktu: a.

b.

paling lama 1 (satu) tahun, kepada orang asing untuk masuk ke KEK bagi yang memiliki paspor kebangsaan; atau paling lama 2 (dua) tahun, kepada orang asing untuk masuk ke KEK bagi yang memiliki paspor kebangsaan sebagai penanam modal.

Pejabat pemberi Visa pada perwakilan Republik Indonesia di luar negeri atas kuasa sendiri berwenang memberikan Visa Kunjungan Beberapa Kali Perjalanan (Multiple Visa) yang berlaku 1 (satu) tahun bagi orang asing untuk jangka waktu tinggal di KEK paling lama 60 (enam puluh) hari terhitung sejak tanggal Izin Masuk. Ketentuan tersebut berlaku bagi orang asing yang berkunjung untuk keperluan penjajakan atau pengembangan usaha di KEK.

267

Bagi orang asing, yang merupakan warga negara dari negara‑negara yang memperoleh fasilitas Bebas Visa Kunjungan Singkat (BVKS) dapat diberikan Visa Kunjungan Saat Kedatangan/Visa On Arrival untuk jangka waktu 7 (tujuh) hari dalam rangka melakukan pekerjaan singkat guna pengembangan KEK. Pasal 10-11 Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. M-06.IL.01.10 Tahun 2006

Izin Tinggal Terbatas yang diberikan oleh Kepala Kantor Imigrasi atas nama Pejabat Imigrasi pada KEK, diberikan paling lama 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang paling banyak 5 (lima) kali berturut‑turut dan setiap kali perpanjangan untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun, terhitung sejak tanggal diberikan Izin Masuk ke wilayah Republik Indonesia. Izin Tinggal Terbatas yang diberikan oleh Kepala Kantor Imigrasi atas nama Pejabat Imigrasi pada KEK kepada penanam modal untuk paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang paling banyak 2 (dua) kali berturut‑turut dan setiap kali perpanjangan untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun. Izin Keimigrasian yang diberikan oleh Unit Pelayanan Investasi Terpadu berlaku di seluruh KEK. Orang asing yang mendapatkan Izin Keimigrasian dapat masuk atau keluar wilayah Republik Indonesia melalui seluruh Tempat Pemeriksaan Imigrasi. VII.2.3

Pasal 2-3 Peraturan Menteri Perdagangan No. 45/M-DAG/ PER/9/ 2009 tentang Angka Pengenal Importir (API)

Angka Pengenal Impor (API)

Impor hanya dapat dilakukan oleh importir yang memiliki API, yang terdiri dari Angka Pengenal Importir Umum (APIU) dan Angka Pengenal Importir Produsen (API-P). API-U diberikan kepada importir yang melakukan impor barang untuk keperluan kegiatan usaha dengan memperdagangkan atau memindahtangankan barang kepada pihak lain. API-P diberikan kepada importir yang melakukan impor barang untuk dipergunakan sendiri dan/atau untuk mendukung proses produksi dan tidak diperbolehkan untuk memperdagangkan atau memindahtangankan kepada pihak lain.

268

Pasal 4 Peraturan Menteri Perdagangan No. 45/M-DAG/ PER/9/ 2009

Kewenangan penerbitan API berada pada Menteri. Menteri mendelegasikan kewenangan penerbitan: a.

API-U kepada Kepala Dinas Provinsi.

b.

API-P bagi badan usaha atau kontraktor di bidang energi, minyak dan gas bumi, mineral serta pengelolaan sumber daya alam lainnya yang melakukan kegiatan usaha, berdasarkan perjanjian kontrak kerja sama dengan Pemerintah Republik Indonesia kepada Direktur Jenderal. API-P bagi perusahaan penanaman modal asing dan perusahaan penanaman modal dalam negeri kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). API-P selain untuk badan usaha atau kontraktor dan perusahaan penanaman modal kepada Kepala Dinas Provinsi.

c.

d.

Penerbitan API-P oleh Kepala Dinas Provinsi hanya untuk importir pemilik izin usaha dibidang industri atau izin usaha lain yang sejenis yang diterbitkan oleh instansi/dinas teknis yang berwenang. Penerbitan API ditandatangani untuk dan atas nama Menteri. Pasal 5-6 Peraturan Menteri Perdagangan No. 45/M-DAG/ PER/9/ 2009

Setiap importir hanya dapat memiliki 1 (satu) jenis API, yang berlaku untuk setiap kegiatan impor di seluruh wilayah Indonesia dan berlaku untuk kantor pusat dan seluruh kantor cabangnya yang memiliki kegiatan usaha sejenis. API berlaku selama importir masih menjalankan kegiatan usahanya. Importir pemilik API wajib melakukan pendaftaran ulang di instansi penerbit setiap 5 (lima) tahun sejak tanggal penerbitan, paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja setelah masa 5 (lima) tahun.

269

Pasal 16-17 Peraturan Menteri Perdagangan No. 45/M-DAG/ PER/9/ 2009

Pasal 19 Peraturan Menteri Perdagangan No. 45/M-DAG/ PER/9/ 2009

Bentuk API-U dan API-P tercantum dalam Lampiran V, Lampiran VI, Lampiran VII, dan Lampiran VIII. API-U berwarna biru muda dan API-P berwarna hijau muda dengan logo Departemen Perdagangan. Perusahaan pemilik API-U atau API-P wajib melaporkan realisasi impor baik dalam hal terealisasi atau tidak terealisasi, sekali dalam 3 (tiga) bulan. Perusahaan pemilik API-U atau API-P wajib melaporkan setiap perubahan yang terkait dengan data API-U atau API-P paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak terjadi perubahan kepada instansi penerbit API, dengan tembusan kepada Direktur Impor dan Kepala Dinas Kabupaten/Kota di lokasi importir berdomisili. VII.2.4

Adanya Entreport Produksi Tujuan Ekspor (EPTE)

Pasal 34 Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 1996 tentang Tempat Penimbunan Berikat

Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, semua Entrepot Produksi untuk Tujuan Ekspor dinyatakan sebagai Kawasan Berikat.

Pasal 2-3 Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 1996 tentang Perlakuan Perpajakan bagi Pengusaha Kena Pajak Berstatus Entrepot Produksi untuk Tujuan Ekspor (EPTE) Dan Perusahaan Pengolahan di Kawasan Berikat (KB)

Atas impor barang modal, barang dan/atau bahan dari luar daerah pabean ke dalam EPTE/KB diberikan penangguhan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

Penyerahan Barang Kena Pajak antar Pengusaha Kena Pajak EPTE, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang tidak dipungut. Penyerahan Barang Kena Pajak oleh produsen dari Daerah Pabean Indonesia lainnya kepada perusahaan berstatus EPTE dan/atau Perusahaan Pengolahan di Kawasan Berikat untuk diolah lebih lanjut, diberikan perlakukan perpajakan yang sama dengan perlakuan perpajakan terhadap barang yang diekspor.

270

VII.2.5 Pasal 3, 5, 6 UndangUndang No. 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia

Fasilitas Kredit dan Asuransi Ekspor

Dalam rangka mendorong ekspor, Pemerintah menyediakan 2 (dua) macam jaminan: a.

b.

Jaminan Kredit Ekspor, pada dasarnya menjamin pelunasan kredit apabila nasabah (eksportir) mengalami kesulitan. Asuransi Ekspor, pada dasarnya menjamin bahwa eksportir akan memperoleh pembayaran apabila pembeli di luar negeri ingkar bayar atau apabila pembayaran oleh pembeli di luar negeri tidak dapat ditransfer ke Indonesia.

Dengan adanya fasilitas ini, maka setiap pemberian Kredit Ekspor wajib ditutup dengan jaminan Kredit Ekspor kepada PT. ASKRINDO (Asuransi Kredit Indonesia) senilai plafon kredit, yang preminya ditanggung oleh Bank Indonesia dan Bank Pelaksana, masing-masing sebesar 50%. Komoditi yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan dan/atau tagihan-tagihan yang bersumber dari hasil ekspor tetap merupakan agunan kredit. Dengan demikian, Jaminan Kredit Ekspor adalah sarana yang disediakan oleh Pemerintah untuk menutup pertanggungan atas risiko kemacetan Kredit yang mungkin dihadapi oleh Bank dalam memberikan Kredit Ekspor, sedangkan Asuransi Ekspor adalah sarana yang disediakan oleh Pemerintah untuk menutup pertanggungan atas resiko kurang atau tidak adanya pembayaran dari Importir di luar negeri yang mungkin dihadapi oleh Eksportir. Pembiayaan Ekspor Nasional bertujuan untuk menunjang kebijakan Pemerintah dalam rangka mendorong program ekspor nasional dan diberikan dalam bentuk Pembiayaan, Penjaminan dan/atau Asuransi. Pembiayaan Ekspor Nasional dapat dilaksanakan berdasarkan Prinsip Syariah, diberikan kepada badan usaha baik badan usaha yang berbentuk badan hukum maupun tidak berbentuk badan hukum termasuk perorangan, dapat berdomisili di dalam atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia.

271

Pembiayaan diberikan dalam bentuk pembiayaan modal kerja dan/atau investasi. Pasal 7 UndangUndang No. 2 Tahun 2009 Indonesia

Bentuk Penjaminan meliputi: a.

b.

c.

d.

Pasal 8 UndangUndang No. 2 Tahun 2009

Penjaminan bagi Eksportir Indonesia atas pembayaran yang diterima dari pembeli barang dan/atau jasa di luar negeri; Penjaminan bagi importir barang dan jasa Indonesia di luar negeri atas pembayaran yang telah diberikan atau akan diberikan kepada Eksportir Indonesia untuk pembiayaan kontrak Ekspor atas penjualan barang dan/atau jasa atau pemenuhan pekerjaan atau jasa yang dilakukan oleh suatu perusahaan Indonesia; Penjaminan bagi Bank yang menjadi mitra penyediaan pembiayaan transaksi Ekspor yang telah diberikan kepada Eksportir Indonesia; dan/atau Penjaminan dalam rangka tender terkait dengan pelaksanaan proyek yang seluruhnya atau sebagian merupakan kegiatan yang menunjang Ekspor.

Asuransi dapat diberikan dalam bentuk: a. b. c. d.

Asuransi atas resiko kegagalan Ekspor; Asuransi atas resiko kegagalan bayar; Asuransi atas investasi yang dilakukan oleh perusahaan Indonesia di luar negeri; dan/atau Asuransi atas resiko politik di suatu negara yang menjadi tujuan ekspor

Pasal 9, 12 UndangUndang No. 2 Tahun 2009

Pembiayaan Ekspor Nasional dilakukan oleh lembaga keuangan yang didirikan khusus untuk itu, yaitu Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI), yang berfungsi mendukung program ekspor nasional melalui Pembiayaan Ekspor Nasional.

Pasal 15 UndangUndang No. 2 Tahun 2009

LPEI dapat memberikan fasilitas Asuransi kepada Eksportir dalam hal lembaga asuransi ekspor tidak dapat memenuhi permintaan fasilitas asuransi bagi Eksportir atau dalam rangka memenuhi ketentuan yang dipersyaratkan oleh pembeli di luar negeri.

272

Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1982 tentang Pelaksanaan Ekspor, Impor dan/atau Lintas Devisa

Untuk pengembangan ekspor barang bukan minyak dan gas bumi disediakan kredit ekspor, jaminan kredit ekspor, dan asuransi ekspor dengan syarat-syarat lunak. Gubernur Bank Indonesia mengeluarkan peraturan pelaksanaan kredit ekspor. Fasilitas jaminan kredit ekspor dan asuransi ekspor disediakan oleh Pemerintah. Menteri Keuangan setelah mendengar pendapat Menteri Perdagangan dan Koperasi, menetapkan penyediaan jaminan kredit ekspor dan asuransi ekspor. V I I .2.6 D ra w -B a ck F a c il it i e s ( F a s i l i t a s Pe n ge m b a li a n B ea M a su k)

Pasal 2 Keputusan Menteri Keuangan No. 615/KMK.01/ 1997 tentang Pembebasan dan Pengembalian Bea Masuk dan/ atau Cukai serta Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Tidak Dipungut atas Impor Barang dan/ atau Bahan untuk Diolah, Dirakit atau Dipasang pada Barang Lain dengan Tujuan untuk Diekspor dan Pengawasannya

Terhadap barang dan/atau bahan asal impor untuk diolah, dirakit, dan/atau dipasang pada barang lain dengan tujuan untuk diekspor dapat diberikan fasilitas pembebasan dan PPN dan PPn BM tidak dipungut. Terhadap barang dan/atau bahan asal impor untuk diolah, dirakit, dan/atau dipasang pada barang lain yang telah dibayar BM dan/atau Cukainya dan telah diekspor dapat diberikan pengembalian. Terhadap barang hasil olahan yang bahan bakunya berasal dari impor yang diserahkan ke Kawasan Berikat dapat diberikan pembebasan, PPN dan PPn BM tidak dipungut dan pengembalian. Terhadap hasil produksi sampingan, sisa hasil produksi, barang jadi yang rusak dan bahan rusak yang bahan bakunya dari impor dapat dijual ke dalam daerah pabean Indonesia lainnya dengan membayar BM dan/atau Cukai serta PPN dan PPn BM.

273

Pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan No. 615/KMK.01/ 1997

Pemberian fasilitas pembebasan, dan PPN dan PPnBM tidak dipungut, dilaksanakan oleh Kepala Bapeksta Keuangan atau Kepala Kantor Pelayanan Kemudahan Ekspor Regional (KPKER) atas nama Menteri Keuangan. Pemberian fasilitas pengembalian dilaksanakan oleh Kepala Bapeksta Keuangan atas nama Menteri Keuangan. Dikecualikan dari ketentuan ini adalah pemberian pembebasan dan PPN dan PPnBM tidak dipungut di Tempat Penimbunan Berikat.

Pasal 4 Keputusan Menteri Keuangan No. 615/KMK.01/ 1997

Untuk mendapatkan fasilitas pembebasan, PPN dan PPnBM tidak dipungut atau pengembalian, Perusahaan wajib memiliki Nomor Induk Perusahaan (NIPER) yang diterbitkan Bapeksta Keuangan. Untuk mendapatkan NIPER, Perusahaan mengajukan Data Induk Perusahaan (DIPER) kepada Bapeksta Keuangan dengan menggunakan formulir DIPER sebagaimana contoh dalam Lampiran I.

Pasal 5 Keputusan Menteri Keuangan No. 615/KMK.01/ 1997

Untuk memperoleh fasilitas pembebasan dan PPN dan PPnBM tidak dipungut, harus memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1.

2.

3.

mengajukan permohonan kepada Kepala Bapeksta Keuangan di Jakarta atau Kepala KPKER yang telah ditentukan. diajukan oleh produsen yang mengimpor barang atau bahan dan mengeskpor hasil produksinya atau produsen yang menyerahkan hasil produksinya ke Kawasan Berikat untuk diolah, dirakit atau dipasang pada barang lain. terhadap barang dan/atau bahan yang di impor untuk diolah, dirakit, atau dipasang pada barang lain harus diekspor seluruhnya (100%).

274

Pasal 11-13, 15 Keputusan Menteri Keuangan No. 615/ KMK.01/ 1997

Pengembalian dapat diberikan kepada: a. b. c.

produsen yang mengekspor sendiri hasil produksinya (Produsen Eksportir); produsen yang menyerahkan hasil produksinya ke Kawasan Berikat; produsen yang hasil produksinya diekspor oleh eksportir dengan menggunakan Surat Pernyataan Pelepasan Hak (SPPH) kepada produsen sebagaimana contoh dalam Lampiran VIII dan/atau Lampiran VIII B.

Untuk memperoleh pengembalian harus memenuhi: a.

barang telah diekspor: 1. telah diperiksa Surveyor yang ditunjuk oleh pemerintah; 2. tanggal Laporan Pemeriksaan Suveyor - Ekspor (LPS-E) tidak melebihi 12 (dua belas) bulan terhitung sejak tanggal B/L atau AWB atau dokumen pengangkutan lain yang disamakan, sampai dengan tanggal permohonan diterima Bapeksta Keuangan. 3. impor telah dilakukan selama-lamanya 24 (dua puluh empat) bulan sebelum pengapalan barang ekspor.

b.

barang yang dimasukkan ke Kawasan Berikat: 1. telah diperiksa oleh Pejabat Bea dan Cukai. 2. tanggal nota pemeriksaan Pejabat Bea dan Cukai tidak melebihi 12 (dua belas) bulan terhitung sejak tanggal pemeriksaan sampai dengan tanggal permohonan diterima Bapeksta Keuangan.

Permohonan pengembalian diajukan kepada Kepala Bapeksta Keuangan di Jakarta atau Kepala KPKER yang telah ditentukan, dengan menggunakan formulir B sebagaimana contoh dalam Lampiran IX.

275

Dalam hal permohonan disetujui, pemohon wajib menyimpan dan memelihara dokumen, buku-buku dan catatan secara rinci sehubungan dengan fasilitas pengembalian yang diterimanya selama 10 (sepuluh) tahun pada tempat usahanya. VII.2.7 Pasal 24 UndangUndang No. 25 Tahun 2007

Kemudahan pelayanan dan/atau perizinan atas fasilitas perizinan impor dapat diberikan untuk impor: a.

b.

c. d.

VII.2.8 Pasal 2-8 Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri No. 69 Tahun 2009, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. M.HH08.AH.01.01. 2009, Menteri Perdagangan No. 60/M-DAG/ PER/12/ 2009, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Per.30/ MEN/ XII/ 2009, dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No. 10 Tahun 2009 tentang Percepatan Pelayanan Perizinan dan NonPerizinan untuk Memulai Usaha

Fasilitas Perizinan Impor

barang yang selama tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur perdagangan barang; barang yang tidak memberikan dampak negatif terhadap keselamatan, keamanan, kesehatan, lingkungan hidup, dan moral bangsa; barang dalam rangka relokasi pabrik dari luar negeri ke Indonesia; dan barang modal atau bahan baku untuk kebutuhan produksi sendiri. Fasilitas Percepatan Memulai Usaha

Peraturan Bersama Menteri ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dalam penyelenggaraan pelayanan perizinan dan non-perizinan untuk memulai usaha yang lebih cepat, tepat, mudah, dan transparan. Setiap warga negara baik penduduk sebagai orang perseorangan maupun kelompok, berhak mendapatkan pelayanan perizinan dan non-perizinan untuk memulai usaha yang lebih cepat, tepat, mudah dan transparan. Pelayanan perizinan dan non-perizinan untuk memulai usaha meliputi: a. Pendaftaran nama perusahaan dan pembuatan akta pendirian perusahaan; b. Pengesahan status badan hukum; c. Pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP);

276

d. e.

f.

Pendaftaran dan Pengumuman perseroan terbatas dalam Berita Negara; Pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP); Pengurusan Surat Izin Usaha Perdagangan

(SIUP); g. Pengurusan Tanda Daftar Perusahaan (TDP); h. Pendaftaran Wajib Lapor Ketenagakerjaan di perusahaan; i. Pendaftaran untuk program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek). Penyelenggara pelayanan melakukan percepatan penyelenggaraan pelayanan perizinan dan non-perizinan sebagaimana dimaksud di atas. Gubernur dan Bupati/Walikota bertanggung jawab terhadap percepatan penyelenggaraan pelayanan perizinan dan non-perizinan memulai usaha di daerah. Untuk percepatan penyelenggaraan perizinan dan non perizinan di daerah dilakukan melalui penyelenggaraan pelayanan terpadu satu pintu; Provinsi dan Kabupaten/Kota yang belum membentuk pelayanan terpadu satu pintu wajib segera membentuk pelayanan terpadu satu pintu sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Setiap penyelenggaraan pelayanan wajib memberikan pelayanan berdasarkan standar waktu pelayanan. Standar waktu pelayanan meliputi: a. pemakaian nama perusahaan dan pengesahan sta¬tus badan hukum, pendaftaran dan pengumuman perseroan terbatas dalam Berita Negara, pembayaran PNBP melalui Bank seluruhnya paling lama 8 (delapan) hari kerja; b. Penerbitan NPWP dan NPPKP di Ditjen Pajak paling lama 1 (hari) kerja;

277

c.

d.

penerbitan SIUP dan TDP di Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dilakukan secara simultan paling lambat 3 (tiga) hari kerja; dan penerbitan surat keterangan pelaporan ketenagakerjaan di perusahaan oleh Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, dan sertifikasi kepesertaan Jaminan Sosial Tenaga Kerja paling lama 5 (lima) hari kerja.

Biaya pengurusan pelayanan perizinan dan non perizinan memulai usaha sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Menteri Dalam Negeri melakukan pembinaan dan pengawasan umum terhadap penyelenggaraan percepatan pelayanan perizinan dan non perizinan. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Perdagangan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal melakukan pembinaan dan pengawasan teknis terha¬dap penyelenggaraan percepatan pelayanan perizinan dan non perizinan. VII.2.9

Fasilitas Percepatan Pelayanan Investasi

Pasal 26 UndangUndang No. 25 Tahun 2007

Ketentuan mengenai tata cara dan pelaksanaan pelayanan terpadu satu pintu diatur dengan Peraturan Presiden.

Pasal 2-4 Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal

Penyelenggaraan PTSP di bidang Penanaman Modal berdasarkan asas: a. kepastian hukum; b. keterbukaan; c. akuntabilitas; d. perlakuan yang sama dan tidak membedakan asal negara; e. efisiensi berkeadilan.

278

Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di bidang Penanaman Modal bertujuan untuk membangun Penanaman Modal dalam memperoleh kemudahan pelayanan, fasilitas, dan informasi mengenai Penanaman Modal, dengan cara mempercepat, menyederhanakan pelayanan, dan meringankan atau menghilangkan biaya pengurusan Perizinan dan Nonperizinan. Ruang lingkup PTSP di bidang Penanaman Modal mencakup pelayanan untuk semua jenis Perizinan dan Nonperizinan di bidang Penanaman Modal yang diperlukan untuk melakukan kegiatan Penanaman Modal. Pasal 6, 7, 10 Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009

PTSP di bidang Penanaman Modal diselenggarakan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Penyelenggaraan PTSP di bidang Penanaman Modal oleh Pemerintah dilaksanakan oleh BKPM, sedangkan penyelenggaraan PTSP di bidang Penanaman Modal oleh Pemerintah Daerah dilaksanakan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.

Pasal 14 Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009

Permohonan untuk mendapatkan Perizinan dan Nonperizinan di bidang Penanaman Modal diajukan kepada BKPM, PDPPM atau PDKPM, sesuai kewenangannya dan dapat disampaikan secara manual, atau elektronik melalui SPIPISE (Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik).

Pasal 16, 18, 19, 31 Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009

Kepala BKPM melakukan pembinaan atas penyelenggaraan PTSP di bidang Penanaman Modal di PDPPM dan PDKPM berdasarkan kualifikasi PTSP. Pemerintah membentuk Tim Pertimbangan PTSP di bidang Penanaman Modal. Penyelenggaraan PTSP di bidang Penanaman Modal didukung oleh SPIPISE. Dalam rangka koordinasi pelaksanaan kebijakan dan pelayanan Penanaman Modal di PTSP, BKPM melaksanakan koordinasi dengan Kementerian Teknis/ LPND, PDPPM, dan PDKPM

279

Peraturan Terkait Lainnya: Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil Dan Menengah VII.2.10

Kepemilikan Saham

Pasal 1 Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1994 jo. No. 83 Tahun 2001 tentang Pemilikan Saham dalam Perusahaan yang didirikan dalam rangka Penanaman Modal Asing

Persetujuan penanaman modal asing diberikan dalam rangka mendirikan perusahaan penanaman modal asing yang berbentuk Perseroan Terbatas menurut Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.

Pasal 2 Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1994 jo. No. 83 Tahun 2001

Penanaman modal asing dapat dilakukan dalam bentuk: a.

b.

Patungan antar modal asing dengan modal yang dimiliki warga negara Indonesia dan/ atau badan hukum Indonesia/atau Langsung, dalam arti seluruh modalnya dimiliki oleh warga negara dan/atau badan hukum asing.

Jumlah modal yang ditanamkan dalam rangka penanaman modal asing ditetapkan sesuai dengan kelayakan ekonomi kegiatan usahanya. Pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1994 jo. No. 83 Tahun 2001

Kepada perusahaan yang didirikan dalam rangka penanaman modal asing diberikan izin usaha untuk jangka waktu 30 (tiga puluh) tahun terhitung sejak perusahaan berproduksi komersial. Izin usaha dapat diperbarui oleh Menteri Negara Penggerak Dana Investasi/Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal, apabila perusahaan masih tetap menjalankan usahanya yang bermanfaat bagi perekonomian dan pembangunan nasional. Menteri Negara Penggerak Dana Investasi/Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal menetapkan lebih lanjut ketentuan tentang perbaruan izin usaha setelah mendengar pertimbangan Menteri terkait.

280

Pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1994 jo. No. 83 Tahun 2001

Kegiatan usaha perusahaan dalam rangka penanaman modal asing dapat berlokasi di seluruh wilayah Republik Indonesia.

Pasal 8-9 Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1994 jo. No. 83 Tahun 2001

Di samping melakukan penambahan modal saham dalam perusahaan sendiri, perusahaan yang didirikan dalam rangka penanaman modal asing yang telah berproduksi komersial dapat pula:

Bagi daerah yang telah ada Kawasan Berikat atau Kawasan Industri, lokasi kegiatan perusahaan tersebut diutamakan di dalam Kawasan tersebut.

a. b.

mendirikan perusahaan baru; dan/atau membeli saham perusahaan yang didirikan dalam rangka penanaman modal dalam negeri dan/atau perusahaan yang didirikan bukan dalam rangka penanaman modal asing ataupun penanaman modal dalam negeri yang telah berdiri, baik yang telah atau belum berproduksi komersial melalui pasar modal dalam negeri.

Badan hukum asing dapat membeli saham perusahaan baik yang didirikan dalam rangka penanaman modal asing, yang didirikan dalam rangka penanaman modal dalam negeri, maupun perusahaan yang didirikan bukan dalam rangka penanaman modal asing ataupun penanaman modal dalam negeri yang belum atau telah berproduksi komersial. Pembelian saham perusahaan yang didirikan baik dalam rangka penanaman modal dalam negeri maupun bukan dalam rangka penanaman modal dalam negeri hanya dapat dilakukan apabila bidang usahanya pada saat pembelian saham terbuka bagi penanaman modal asing. Pembelian saham Perusahaan dilakukan melalui pemilikan langsung dan/atau pasar modal dalam negeri dan tidak mengubah status perusahaan.

281

VII.2.11 Pasal 12 UndangUndang No. 25 Tahun 2007

Bidang Usaha yang Lebih Luas

Semua bidang usaha atau jenis usaha terbuka bagi kegiatan penanaman modal, kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan tertutup dan terbuka dengan persyaratan. Bidang usaha yang tertutup bagi penanam modal asing adalah: a. b.

produksi senjata, mesiu, alat peledak, dan peralatan perang; dan bidang usaha yang secara eksplisit dinyatakan tertutup berdasarkan Undang-Undang.

282

PENGEMBANGAN KAWASAN UNTUK MENARIK INVESTASI

283

VIII.1

KAWASAN EKONOMI KHUSUS (KEK) VIII.1.1

Fungsi, Bentuk dan Kriteria KEK

VIII.1.1.1 Fungsi Pasal 2 UndangUndang No. 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus

KEK dikembangkan melalui penyiapan kawasan yang memiliki keunggulan geo-ekonomi dan geostrategi dan berfungsi untuk menampung kegiatan industri, ekspor, impor, dan kegiatan ekonomi lain yang memiliki nilai ekonomi tinggi dan daya saing internasional.

Pasal 31 UndangUndang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal

Untuk mempercepat pengembangan ekonomi di wilayah tertentu yang bersifat strategis bagi pengembangan ekonomi nasional dan untuk menjaga keseimbangan kemajuan suatu daerah dapat ditetapkan dan dikembangkan kawasan ekonomi khusus. Pemerintah berwenang menetapkan kebijakan penanaman modal tersendiri di kawasan ekonomi khusus. VIII.1.1.2 Bentuk

Pasal 3 UndangUndang No. 39 Tahun 2009

KEK terdiri atas satu atau beberapa Zona: a. b. c. d. e. f. g.

pengolahan ekspor; logistik; industri; pengembangan teknologi; pariwisata; energi; dan/atau ekonomi lain

Di dalam KEK dapat dibangun fasilitas pendukung dan perumahan bagi pekerja. Di dalam setiap KEK disediakan lokasi untuk usaha mikro, kecil, menengah (UMKM), dan koperasi, baik sebagai Pelaku Usaha maupun sebagai pendukung perusahaan yang berada di dalam KEK.

285

kegiatan

VIII.1.1.3 Kriteria Pasal 4 UndangUndang No. 39 Tahun 2009

Lokasi yang dapat diusulkan untuk menjadi KEK harus memenuhi kriteria: a.

sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah dan tidak berpotensi mengganggu kawasan lindung; pemerintah provinsi/kabupaten/kota yang bersangkutan mendukung KEK; terletak pada posisi yang dekat dengan jalur perdagangan internasional atau dekat dengan jalur pelayaran internasional di Indonesia atau terletak pada wilayah potensi sumber daya unggulan; dan mempunyai batas yang jelas.

b. c.

d. VIII.1.2

Pembentukan KEK

VIII.1.2.1 Pengusulan Pasal 5-6 UndangUndang No. 39 Tahun 2009

Pembentukan KEK diusulkan kepada Dewan Nasional oleh: a. b. c.

Badan Usaha; pemerintah kabupaten/kota; atau pemerintah provinsi.

Usulan yang diajukan oleh Badan Usaha, usulan disampaikan melalui pemerintah provinsi setelah memperoleh persetujuan pemerintah kabupaten/kota. Usulan yang diajukan oleh pemerintah kabupaten/kota, usulan disampaikan melalui pemerintah provinsi. Usulan yang diajukan oleh pemerintah provinsi, usulan disampaikan setelah mendapat persetujuan pemerintah kabupaten/kota. Usulan harus memenuhi kriteria, serta dilengkapi persyaratan paling sedikit: a.

b. c.

peta lokasi pengembangan serta luas area yang diusulkan yang terpisah dari permukiman penduduk; rencana tata ruang KEK yang diusulkan dilengkapi dengan peraturan zonasi; rencana dan sumber pembiayaan;

286

d.

e. f.

analisis mengenai dampak lingkungan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; hasil studi kelayakan ekonomi dan finansial; dan jangka waktu suatu KEK dan rencana strategis.

VIII.1.2.2 Proses Penetapan Pasal 7-9 UndangUndang No. 39 Tahun 2009

Dewan Nasional dapat menyetujui atau menolak usulan pembentukan KEK setelah melakukan pengkajian atas usulan. Dalam hal Dewan Nasional menyetujui pembentukan KEK, Dewan Nasional mengajukan rekomendasi pembentukan KEK kepada Presiden. Dalam hal Dewan Nasional menolak usulan pembentukan KEK, penolakan disampaikan kepada pengusul disertai dengan alasan. Pembentukan KEK ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Dalam hal tertentu, Pemerintah dapat menetapkan suatu wilayah sebagai KEK tanpa melalui proses pengusulan. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan KEK diatur dengan Peraturan Pemerintah. VIII.1.2.3 Pembangunan dan Pengoperasian

Pasal 10-13 UndangUndang No. 39 Tahun 2009

Berdasarkan penetapan, pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota menetapkan Badan Usaha untuk membangun KEK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penetapan dilaksanakan oleh: a. b.

pemerintah provinsi dalam hal lokasi KEK berada pada lintas kabupaten/ kota; dan pemerintah kabupaten/kota dalam hal lokasi KEK berada pada satu kabupaten/kota.

287

Dalam hal usulan berasal dari Badan Usaha, pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota menunjuk langsung Badan Usaha pengusul untuk membangun KEK. KEK harus siap beroperasi dalam waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak ditetapkan. Dalam jangka waktu 3 (tiga) tahun, Dewan Nasional melakukan evaluasi setiap tahun. Hasil evaluasi disampaikan kepada pengusul untuk ditindaklanjuti. Dalam hal setelah 3 (tiga) tahun KEK belum siap beroperasi, Dewan Nasional: a. melakukan perubahan atas usulan sebelumnya; b. memberikan perpanjangan waktu paling lama 2 (dua) tahun; dan/atau c. mengambil langkah penyelesaian masalah pembangunan KEK. Dalam hal perpanjangan waktu KEK belum siap beroperasi karena bukan dari kelalaian atau karena force majeure, Dewan Nasional dapat memberikan perpanjangan waktu setelah mendapat pertimbangan dari Dewan Kawasan. Ketentuan lebih lanjut mengenai perpanjangan waktu diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pembiayaan untuk pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur di dalam KEK dapat berasal dari: a. Pemerintah dan/atau pemerintah daerah; b. swasta; c. kerja sama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan swasta; atau d. sumber lain yang sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dewan Nasional dapat menetapkan kebijakan tersendiri dalam kerjasama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan swasta dalam pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur di dalam KEK.

288

Pengelolaan aset hasil kerjasama Pemerintah, pemerintah daerah, dan swasta dapat dilakukan sesuai dengan analisis kelayakan ekonomi dan finansial. VIII.1.3 Pasal 14 UndangUndang No. 39 Tahun 2009

Kelembagaan KEK

Dalam menyelenggarakan pengembangan KEK, dibentuk Dewan Nasional dan Dewan Kawasan. Dewan Nasional terdiri atas Menteri dan Kepala Pemerintah non-kementerian. Dewan Kawasan terdiri atas wakil Pemerintah dan wakil Pemerintah Daerah. VIII.1.3.1 Dewan Nasional

Pasal 15-18 UndangUndang No. 39 Tahun 2009

VIII.1.3.1.1 Pembentukan, Kedudukan, dan Tugas Dewan Nasional KEK dibentuk dengan Keputusan Presiden. Dewan Nasional bertanggung jawab kepada Presiden.

1. Pasal 17-18 Undang-Undang No. 39 Tahun 2009 2. Pasal 3 Peraturan Presiden No. 33 Tahun 2010 tentang Dewan Nasional dan Dewan Kawasan Kawasan Ekonomi Khusus

Dewan Nasional bertugas: a. b.

menyusun Rencana Induk Nasional KEK; menetapkan kebijakan umum serta langkah strategis untuk mempercepat pembentukan dan pengembangan KEK; c. menetapkan standar infrastruktur dan pelayanan minimal dalam KEK; d. melakukan pengkajian atas usulan suatu wilayah untuk dijadikan KEK; e. memberikan rekomendasi pembentukan KEK; f. mengkaji dan merekomendasikan langkah pengembangan di wilayah yang potensinya belum berkembang; g. menyelesaikan permasalahan strategis dalam pelaksanaan, pengelolaan, dan pengembangan KEK; dan

289

h.

memantau dan mengevaluasi keberlangsungan KEK serta merekomendasikan langkah tindak lanjut hasil evaluasi kepada Presiden, termasuk mengusulkan pencabutan status KEK.

Dalam melaksanakan tugas, Dewan Nasional dapat: a.

meminta penjelasan Dewan Kawasan dan Administrator mengenai pelaksanaan kegiatan; meminta masukan dan/atau bantuan instansi Pemerintah, pemerintah daerah, atau para ahli sesuai dengan kebutuhan; dan/atau melakukan kerja sama dengan pihak lain sesuai dengan kebutuhan.

b.

c.

Pasal 1 Peraturan Presiden No. 33 Tahun 2010

Dalam menyelenggarakan pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus, dibentuk Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus, yang selanjutnya dalam Peraturan Presiden ini disebut dengan Dewan Nasional. VIII.1.3.1.2

Pasal 16 ayat 1 Undang-Undang No. 39 Tahun 2009

Pasal 4 -5 Peraturan Presiden No. 33 Tahun 2010

Susunan Organisasi

Dewan Nasional diketuai oleh menteri yang menangani urusan pemerintahan di bidang perekonomian dan beranggotakan menteri dan kepala lembaga pemerintah non-kementerian. Susunan organisasi Dewan Nasional terdiri atas Ketua dan Anggota. Dewan Nasional diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, dan beranggotakan Menteri/Pimpinan Lembaga yang sekurang-kurangnya menangani urusan pemerintahan di bidang pembinaan pemerintahan daerah, keuangan, perindustrian, pekerjaan umum, perdagangan, perhubungan, tenaga kerja, perencanaan pembangunan nasional, dan koordinasi penanaman modal. Ketua dan Anggota Dewan Nasional ditetapkan oleh Presiden. Dewan Nasional dalam merumuskan kebijakan dapat membentuk Tim Pelaksana.

290

Tim Pelaksana beranggotakan pejabat eselon I dari Kementerian dan Lembaga Pemerintah Non Kementerian terkait. Tugas dan keanggotaan Tim Pelaksana ditetapkan lebih lanjut oleh Ketua Dewan Nasional VIII.1.3.1.3 Pasal 16 ayat 2 dan 3 Undang-Undang No. 39 Tahun 2009

Sekretariat

Dalam melaksanakan tugas, Dewan Nasional membentuk Sekretariat Dewan Nasional. Ketentuan mengenai keanggotaan, tata kerja, dan kesekretariatan Dewan Nasional diatur dengan Peraturan Presiden.

Pasal 6-15 Peraturan Presiden No. 33 Tahun 2010

Untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas Dewan Nasional, dibentuk Sekretariat Dewan Nasional. Sekretariat Dewan Nasional secara teknis operasional berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Ketua Dewan Nasional dan secara administratif berkedudukan di Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Sekretariat Dewan Nasional mempunyai tugas menyelenggarakan dukungan dan pelayanan teknis operasional dan administratif kepada Dewan Nasional, serta pembinaan terhadap seluruh unsur dalam lingkungan Sekretariat Dewan Nasional. Dalam menyelenggarakan tugas, Sekretariat Dewan Nasional menyelenggarakan fungsi: a. pemberian dukungan teknis operasional kepada Dewan Nasional; b. pemberian pelayanan administrasi penyusunan rencana dan program kerja Dewan Nasional; c. penyelenggaraan kegiatan koordinasi, sinkronisasi, dan integrasi administrasi kegiatan dan tindak lanjut pelaksanaan tugas Dewan Nasional; d. pemberian pelayanan administrasi kerja sama Dewan Nasional dengan lembaga pemerintah dan pihak lain yang terkait; e. pemberian pelayanan pengumpulan, pengolahan, dan penyajian data serta penyusunan laporan kegiatan Dewan Nasional; dan

291

f. penyelenggaraan administrasi keanggotaan Dewan Nasional serta pembinaan organisasi, administrasi ketatausahaan, kepegawaian, keuangan, sarana dan prasarana Sekretariat Dewan Nasional. Sekretariat Dewan Nasional dipimpin oleh seorang Sekretaris. Sekretaris Dewan Nasional dijabat oleh seorang Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang merupakan jabatan struktural eselon IIa. Sekretaris Dewan Nasional diangkat dan diberhentikan oleh Ketua Dewan Nasional. Sekretariat Dewan Nasional terdiri atas paling banyak 4 (empat) Bagian. Masing-masing Bagian terdiri atas paling banyak 3 (tiga) Sub Bagian. Bagian sebagaimana dimaksud di atas dipimpin oleh Kepala Bagian yang merupakan jabatan struktural eselon IIIa. Sub Bagian sebagaimana dimaksud di atas dipimpin oleh Kepala Sub Bagian yang merupakan jabatan struktural eselon IVa. PNS yang ditempatkan pada Sekretariat Dewan Nasional berstatus diperbantukan. PNS sebagaimana dimaksud di atas, diberhentikan dari jabatan organik di instansi induknya. Proses kepangkatan PNS sebagaimana dimaksud di atas, dilakukan oleh instansi induk yang bersangkutan sesuai peraturan perundang-undangan. PNS sebagaimana dimaksud di atas, diberhentikan dengan hormat sebagai PNS apabila telah mencapai batas usia pensiun dan diberi hak-hak kepegawaian sesuai peraturan perundang-undangan. Rincian tugas, fungsi, susunan organisasi dan tata kerja Sekretariat Dewan Nasional ditetapkan lebih lanjut oleh Ketua Dewan Nasional setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara.

292

Hak keuangan dan fasilitas lainnya bagi Sekretaris Dewan Nasional, Pejabat dan Pegawai pada Sekretariat Dewan Nasional, ditetapkan oleh Ketua Dewan Nasional setelah mendapat persetujuan dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang keuangan dan Menteri yang bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara. Segala biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas Sekretariat Dewan Nasional berasal dari: a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; dan b. sumber lain yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sekretaris Dewan Nasional merupakan Kuasa Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Barang pada satuan kerja. Pasal 16 -17 Peraturan Presiden No. 33 Tahun 2010

VIII.1.3.1.4

Tata Kerja

Dewan Nasional bersidang paling kurang 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun. Sidang Dewan Nasional dipimpin oleh Ketua Dewan Nasional dan dihadiri para anggota. Dewan Nasional dapat mengundang Menteri, Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian, Gubernur, Bupati/ Walikota atau pejabat tertentu, serta unsur-unsur lain yang terkait untuk hadir dalam sidang Dewan Nasional, dan mengikut sertakannya dalam upaya pengembangan KEK. Tata tertib persidangan dan tata cara pengambilan keputusan Dewan Nasional diatur lebih lanjut oleh Ketua Dewan Nasional. Dewan Nasional mengadakan rapat konsultasi dan/atau koordinasi dengan Ketua Dewan Kawasan paling kurang 1 (satu) kali dalam 2 (dua) tahun.

293

VIII.1.3.2 Dewan Kawasan 1. Pasal 19 UndangUndang No. 39 Tahun 2009 2. Pasal 18 Peraturan Presiden No. 33 Tahun 2010 1. Pasal 21 UndangUndang No. 39 Tahun 2009 2. Pasal 19 Peraturan Presiden No. 33 Tahun 2010

Dewan Kawasan dibentuk pada setiap provinsi yang sebagian wilayahnya ditetapkan sebagai KEK. Dewan Kawasan diusulkan oleh Dewan Nasional kepada Presiden untuk ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Dewan Kawasan bertanggung jawab kepada Dewan Nasional. Dewan Kawasan mempunyai tugas membantu Dewan Nasional dalam: a. melaksanakan kebijakan umum yang telah ditetapkan oleh Dewan Nasional untuk mengelola dan mengembangkan KEK di wilayah kerjanya; b. membentuk Administrator KEK di setiap KEK; c. mengawasi, mengendalikan, mengevaluasi, dan mengoordinasikan pelaksanaan tugas Administrator KEK dalam penyelenggaraan sistem pelayanan terpadu satu pintu dan operasionalisasi KEK; d. menetapkan langkah strategis penyelesaian permasalahan dalam pelaksanaan kegiatan KEK di wilayah kerjanya; e. menyampaikan laporan pengelolaan KEK kepada Dewan Nasional setiap akhir tahun; dan f. menyampaikan laporan insidental dalam hal terdapat permasalahan strategis kepada Dewan Nasional. Dalam melaksanakan tugasnya, Dewan Kawasan wajib menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi dengan Dewan Nasional.

Pasal 22 UndangUndang No. 39 Tahun 2009

Dalam melaksanakan tugas, Dewan Kawasan dapat: a. meminta penjelasan Administrator KEK mengenai pelaksanaan sistem pelayanan terpadu satu pintu serta pengawasan dan pengendalian operasionalisasi KEK; b. meminta masukan dan/atau bantuan kepada instansi Pemerintah atau para ahli sesuai dengan kebutuhan; dan/atau c. melakukan kerja sama dengan pihak lain sesuai dengan kebutuhan.

294

VIII.1.3.2.2

Pasal 20 UndagUndang N0. 39 Tahun 2009

Susunan Organisasi

Dewan Kawasan terdiri atas ketua, yaitu gubernur, wakil ketua, yaitu bupati/walikota, dan anggota, yaitu unsur Pemerintah di provinsi, unsur pemerintah provinsi, dan unsur pemerintah kabupaten/kota. Dalam melaksanakan tugas, Dewan Kawasan membentuk Sekretariat Dewan Kawasan. Ketentuan mengenai keanggotaan, tata kerja, dan kesekretariatan Dewan Kawasan diatur dengan Peraturan Presiden.

Pasal 20 Peraturan Presiden No. 33 Tahun 2010

Susunan Organisasi Dewan Kawasan meliputi Ketua, yaitu gubernur, Wakil Ketua, yaitu bupati/walikota, dan Anggota. Anggota Dewan Kawasan terdiri dari: a. unsur pemerintah di provinsi yang menangani urusan pemerintahan di bidang perpajakan, kepabeanan, pertanahan, dan keimigrasian; b. unsur pemerintah daerah yang menangani urusan perekonomian dan perencanaan pembangunan daerah di pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/ kota. VIII.1.3.2.3

Pasal 21-24 Peraturan Presiden No. 33 Tahun 2010

Sekretariat

Dalam mendukung pelaksanaan tugasnya, Dewan Kawasan membentuk Sekretariat Dewan Kawasan. Sekretariat Dewan Kawasan berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Ketua Dewan Kawasan. Sekretariat Dewan Kawasan mempunyai tugas menyelenggarakan dukungan dan pelayanan teknis operasional dan administratif kepada Dewan Kawasan. Dalam menyelenggarakan tugas, Sekretariat Dewan Kawasan menyelenggarakan fungsi: a. memberikan dukungan teknis operasional kepada Dewan Kawasan; b. memberikan pelayanan administrasi dalam penyusunan rencana dan program kerja Dewan Kawasan;

295

c. menyelenggarakan kegiatan koordinasi, sinkronisasi, dan integrasi administrasi kegiatan dan tindak lanjut pelaksanaan tugas Dewan Kawasan; d. memberikan pelayanan administrasi dalam kerja sama Dewan Kawasan dengan lembaga pemerintah dan pihak lain yang terkait; e. menyelenggarakan pelayanan kegiatan pengumpulan, pengolahan, dan penyajian data serta penyusunan laporan kegiatan Sekretariat Dewan Kawasan; dan f. menyelenggarakan kegiatan administrasi keanggotaan Dewan Kawasan serta melaksanakan pembinaan organisasi, administrasi kepegawaian, keuangan, sarana dan prasarana Sekretariat Dewan Kawasan. Sekretariat Dewan Kawasan secara ex-officio dilaksanakan oleh unit kerja/perangkat daerah provinsi yang menangani tugas dan fungsi di bidang investasi atau perdagangan. Sekretariat Dewan Kawasan dipimpin oleh seorang Sekretaris yang dalam melaksanakan tugasnya bertanggung jawab kepada Ketua Dewan Kawasan. VIII.1.3.2.4

Pasal 25 Peraturan Presiden No. 33 Tahun 2010

Apabila dipandang perlu, Dewan Kawasan dapat membentuk Tim Ahli, yang susunan keanggotaannya ditetapkan oleh Ketua Dewan Kawasan. VIII.1.3.2.5

Pasal 26-27 Peraturan Presiden No. 33 Tahun 2010

Tim Ahli

Tata Kerja

Dewan Kawasan bersidang paling kurang 1 (satu) kali dalam 3 (tiga) bulan. Sidang Dewan Kawasan dipimpin oleh Ketua Dewan dan dihadiri para anggota. Dewan Kawasan dapat mengundang Lembaga, Bupati/ Walikota atau pejabat tertentu, serta unsur-unsur lain yang terkait untuk hadir dalam sidang Dewan Kawasan, dan mengikut sertakannya dalam upaya pengembangan KEK di wilayahnya. Tata tertib persidangan dan tata cara pengambilan keputusan Dewan Kawasan diatur lebih lanjut oleh Ketua Dewan Kawasan. Segala biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas Administrator berasal dari: a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; dan b. Sumber lain yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

296

Segala biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas Sekretariat Dewan Kawasan berasal dari: a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; dan b. sumber lain yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

VIII.1.3.3 Administrator Pasal 23-24 UndangUndang No. 39 Tahun 2009

Administrator KEK bertugas: a.

b. c.

melaksanakan pemberian izin usaha dan izin lain yang diperlukan bagi Pelaku Usaha yang mendirikan, menjalankan, dan mengembangkan usaha di KEK; melakukan pengawasan dan pengendalian operasionalisasi KEK; dan menyampaikan laporan operasionalisasi KEK secara berkala dan insidental kepada Dewan Kawasan.

Pelaksanaan pemberian izin dilakukan melalui pelayanan terpadu satu pintu. Dalam melaksanakan tugas, Administrator KEK: a.

b.

Pasal 28-34 Peraturan Presiden No. 33 Tahun 2010

memperoleh pendelegasian atau pelimpahan wewenang di bidang perizinan dari Pemerintah dan pemerintah daerah; dan dapat meminta penjelasan kepada Badan Usaha dan/atau Pelaku Usaha di KEK mengenai kegiatan usahanya.

Pada setiap wilayah yang ditetapkan sebagai KEK, Dewan Kawasan membentuk Administrator. Administrator bertanggung jawab kepada Ketua Dewan Kawasan. Administrator yang dibentuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1), ditetapkan sebagai Perangkat Daerah oleh Gubernur dalam hal KEK berada pada lintas kabupaten/kota, atau Bupati/Walikota dalam hal KEK berada pada kabupaten/kota.

297

Administrator mempunyai tugas membantu Dewan Kawasan dalam: a. melaksanakan pemberian izin usaha dan izin lain yang diperlukan bagi Pelaku Usaha yang mendirikan, menjalankan, dan mengembangkan usaha di KEK; b. melakukan pemonitoran dan pengendalian operasionalisasi KEK; dan c. menyampaikan laporan operasionalisasi KEK secara berkala dan insidental kepada Dewan Kawasan. Administrator dipimpin oleh seorang Kepala Administrator yang berasal dari PNS. Kepala Administrator merupakan jabatan setara eselon IIb. Administrator terdiri atas: a. Sekretariat; b. Bidang Perizinan; dan c. Bidang Pemonitoran dan Pengendalian. Pegawai Administrator berasal dari unsur PNS. PNS yang ditempatkan pada Administrator berstatus diperbantukan. PNS sebagaimana dimaksud di atas diberhentikan dari jabatan organik di instansi induknya tanpa kehilangan status sebagai PNS. Proses kepangkatan PNS sebagaimana dimaksud di atas dilakukan oleh instansi induk yang bersangkutan, sesuai peraturan perundang-undangan. PNS sebagaimana dimaksud di atas yang berhenti atau telah berakhir masa baktinya, kembali kepada instansi induknya apabila belum mencapai pensiun. PNS sebagaimana dimaksud di atas diberhentikan dengan hormat sebagai PNS apabila telah mencapai batas usia pensiun dan diberi hak-hak kepegawaian, sesuai peraturan perundang-undangan. Hak keuangan dan fasilitas lainnya bagi Kepala dan Pegawai Administrator diberikan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Segala biaya yang diperlukan bagi pelaksanaan tugas Administrator berasal dari: a. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah; dan b. Sumber lain yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

298

VIII.1.3.4 Pembiayaan Pasal 25 UndangUndang No. 39 Tahun 2009

Dewan Nasional, Dewan Kawasan, dan Administrator KEK memperoleh pembiayaan yang berasal dari: a. Pemerintah dan/atau pemerintah daerah; dan b. sumber lain yang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai pembiayaan diatur dengan Peraturan Pemerintah. VIII.1.3.5 Badan Usaha Pengelola

Pasal 26 UndangUndang No. 39 Tahun 2009

Pelaksanaan pemberian izin dilakukan melalui pelayanan terpadu satu pintu. Penyelenggaraan kegiatan usaha di KEK dilaksanakan oleh Badan Usaha yang ditetapkan sebagai pengelola KEK, berupa: a. Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah; b. Badan Usaha koperasi; c. Badan Usaha swasta; atau d. Badan Usaha patungan antara swasta dan/ atau koperasi dengan Pemerintah, dan/atau pemerintah provinsi, dan/atau pemerintah kabupaten/kota. VIII.1.3.6 Peraturan Terkait Lainnya Keputusan Presiden No. 12 Tahun 2006 tentang Komite Pengarah Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus di Pulau Batam, Pulau Bintan dan Pulau Karimun. VIII.1.4

Lalu Lintas Barang, Karantina, dan Devisa

VIII.1.4.1 Lalu Lintas Barang

299

Pasal 27 UndangUndang No. 39 Tahun 2009

Ketentuan larangan atau pembatasan impor dan ekspor yang diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan berlaku di KEK. Barang yang terkena ketentuan pembatasan impor dan ekspor dapat diberikan pengecualian dan/atau kemudahan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Lalu lintas barang ke KEK dan dari KEK berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan. VIII.1.4.2 Karantina

Pasal 28 UndangUndang No. 39 Tahun 2009

Ketentuan mengenai karantina manusia, hewan, ikan, dan tumbuh-tumbuhan yang diatur dalam peraturan perundangundangan tetap berlaku di KEK. VIII.1.4.3 Devisa

Pasal 29 UndangUndang No. 39 Tahun 2009

Mata uang rupiah merupakan alat pembayaran yang sah di KEK. Pemasukan dan pengeluaran mata uang rupiah antara KEK dan luar negeri tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan. Mata uang asing hanya dapat dijualbelikan di KEK melalui bank atau pedagang valuta asing yang telah mendapat izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Semua transaksi perdagangan internasional dalam valuta asing di KEK yang dilakukan melalui bank hanya dapat dilakukan oleh bank yang telah mendapat izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

VIII.1.5

Fasilitas dan Kemudahan

VIII.1.5.1 Perpajakan, Kepabeanan dan Cukai Pasal 30-34 UndangUndang No. 39 Tahun 2009

Setiap wajib pajak yang melakukan kegiatan usaha di KEK diberikan fasilitas Pajak Penghasilan (PPh) dan dapat diberikan tambahan fasilitas PPh sesuai dengan karakteristik Zona sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

300

Fasilitas perpajakan juga dapat diberikan dalam waktu tertentu kepada penanam modal berupa pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Impor barang ke KEK dapat diberikan fasilitas berupa: a. b.

c.

d.

penangguhan bea masuk; pembebasan cukai, sepanjang barang tersebut merupakan bahan baku atau bahan penolong produksi; tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atau Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) untuk barang kena pajak; dan tidak dipungut PPh impor.

Penyerahan barang kena pajak dari tempat lain di dalam daerah pabean ke KEK dapat diberikan fasilitas tidak dipungut PPN dan PPnBM berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Penyerahan barang kena pajak dari KEK ke tempat lain di dalam daerah pabean sepanjang tidak ditujukan kepada pihak yang mendapatkan fasilitas PPN dikenakan PPN atau PPN dan PPnBM sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Barang asal impor yang dikeluarkan dari KEK dengan tujuan diimpor untuk dipakai, sepanjang pengeluaran tersebut tidak ditujukan kepada pihak yang memperoleh fasilitas pembebasan atau penangguhan bea masuk, cukai, atau pajak dalam rangka impor: a. b. c.

dipungut bea masuk; dilunasi cukainya untuk barang kena cukai; dan dikenakan PPN, atau PPN dan PPnBM, serta PPh impor berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan. Barang yang dikeluarkan dari KEK dengan tujuan untuk diekspor diberlakukan ketentuan ekspor berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

301

VIII.1.5.2 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Pasal 35 UndangUndang No. 39 Tahun 2009

Setiap wajib pajak yang melakukan usaha di KEK diberikan insentif berupa pembebasan atau keringanan pajak daerah dan retribusi daerah serta kemudahan lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. VIII.1.5.3 Pertanahan, Perizinan, Keimigrasian, dan Investasi

Pasal 36-39 UndangUndang No. 39 Tahun 2009

Di KEK diberikan kemudahan untuk memperoleh hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Badan Usaha yang telah memperoleh tanah di lokasi yang sudah ditetapkan sebagai KEK berdasarkan Peraturan Pemerintah diberikan hak atas tanah. Di KEK diberikan kemudahan dan keringanan di bidang perizinan usaha, kegiatan usaha, perindustrian, perdagangan, kepelabuhan, dan keimigrasian bagi orang asing pelaku bisnis, serta diberikan fasilitas keamanan. Kemudahan dan keringanan tersebut ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Di KEK tidak diberlakukan ketentuan yang mengatur bidang usaha yang terbuka dengan persyaratan di bidang penanaman modal, kecuali yang dicadangkan untuk UMKM dan koperasi. VIII.1.5.4 Fasilitas dan Kemudahan Lain

Pasal 40 UndangUndang No. 39 Tahun 2009

Selain pemberian fasilitas dan kemudahan sebagaimana diatur dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 39, Zona yang berada di dalam KEK dapat diberikan fasilitas dan kemudahan lain. Ketentuan mengenai fasilitas dan kemudahan lain diatur oleh instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

302

VIII.1.5.5 Ketenagakerjaan Pasal 41-47 UndangUndang No. 39 Tahun 2009

Izin mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (TKA) yang mempunyai jabatan sebagai direksi atau komisaris diberikan sekali dan berlaku selama TKA yang bersangkutan menjadi direksi atau komisaris. Penggunaan tenaga kerja di KEK mengutamakan warga negara Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Di KEK dibentuk Lembaga Kerja Sama Tripartit Khusus oleh gubernur, yang terdiri atas unsur Pemerintah, unsur pemerintah daerah, unsur serikat pekerja/serikat buruh, dan unsure asosiasi pengusaha. Di KEK dibentuk Dewan Pengupahan oleh gubernur, terdiri atas unsur Pemerintah, unsur pemerintah daerah, unsur serikat pekerja/ serikat buruh, unsur asosiasi pengusaha, tenaga ahli, dan perguruan tinggi. Penetapan dan pemberlakuan upah minimum ditetapkan dan diatur oleh gubernur. Untuk perusahaan yang mempunyai lebih dari 1 (satu) serikat pekerja/serikat buruh, dapat dibentuk 1 (satu) forum serikat pekerja/serikat buruh pada setiap perusahaan.

303

Pada perusahaan yang telah terbentuk serikat pekerja/ serikat buruh dibuat Perjanjian Kerja Bersama (PKB) antara serikat pekerja/serikat buruh dan pengusaha. Dalam PKB disepakati: a. b.

jenis pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain; dan bentuk hubungan kerja yang didasarkan perjanjian kerja untuk waktu tertentu dan untuk waktu tidak tertentu.

Dalam hal perusahaan melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan, dapat dilakukan dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk jangka waktu paling lama 2 (dua) tahun dan dapat diperpanjang untuk sekali paling lama 1 (satu) tahun. Perjanjian kerja waktu tertentu tidak dapat dilakukan pembaruan. VIII.2

KAWASAN BERIKAT (BONDED ZONES) VIII.2.1 Pembentukan Kawasan Berikat (KB) dan Persetujuan Penyelenggara Kawasan Berikat (PKB) dan Pengusaha di Kawasan Berikat (PDKB)

Pasal 2-5 Keputusan Menteri Keuangan No. 291/KMK.05/ 1997 jo. No. 547/ KMK.01/ 1997 jo. No. 292/KMK.01/ 1998 jo. No. 349/ KMK.01/ 1999 jo. No. 94/KMK.05/ 2000 jo. No. 37/ KMK.04/2002 jo. No. 587/ PMK.04/ 2004 jo. No. 101 / PMK.04/ 2005

Penetapan suatu kawasan atau tempat sebagai KB serta pemberian persetujuan PKB atau PKB merangkap PDKB dilakukan dengan Keputusan Menteri. Bentuk Keputusan pemberian persetujuan adalah sebagaimana contoh dimaksud dalam Lampiran 1 Keputusan ini. Di dalam KB dapat dilakukan kegiatan usaha pergudangan atau penimbunan barang. Tata cara pendirian dan tata laksana pemasukan barang ke dan dari pergudangan atau penimbunan di KB dilakukan sesuai Keputusan Menteri Keuangan No. 399/KMK.01/ 1996 tentang Gudang Berikat.

304

Pembukuan, catatan, dan dokumen KB yang berkaitan dengan pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari KB harus dipisahkan dengan pembukuan, catatan, dan dokumen yang berkaitan dengan pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari pergudangan di KB. Perusahaan yang dapat diberikan persetujuan sebagai PKB adalah perusahaan: a.

Dalam rangka Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN); b. Dalam rangka Penanaman Modal Asing (PMA), baik sebagian atau seluruh modal sahamnya dimiliki oleh peserta asing; c. Non PMA/PMDN yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT); d. Koperasi yang berbentuk badan hukum; atau e. Yayasan. Untuk mendapatkan persetujuan PKB, perusahaan telah mempunyai kawasan yang berlokasi di kawasan industri. Dalam hal kawasan yang dimiliki perusahaan berada di dalam daerah yang tidak mempunyai kawasan industri, maka kawasan tersebut harus termasuk di dalam kawasan peruntukan industri yang ditetapkan Pemerintah Daerah Tingkat II. Dalam hal suatu perusahaan telah memiliki industri sebelum ditetapkannya keputusan ini, perusahaan industri yang bersangkutan dapat ditetapkan menjadi PKB yang merangkap sebagai PDKB. Permohonan persetujuan PKB, diajukan oleh pengusaha kepada Menteri melalui Direktur Jenderal setelah fisik bangunan berdiri dengan menggunakan surat permohonan sebagaimana contoh dalam Lampiran 1A Keputusan ini. Perusahaan yang akan menyelenggarakan KB dapat mengajukan permohonan persetujuan PKB sebelum fisik bangunan berdiri dengan menggunakan contoh pada Lampiran I Keputusan ini.

305

KB yang penyelenggaraannya dilakukan oleh PKB dapat diperuntukkan bagi satu perusahaan atau lebih yang melakukan kegiatan industri pengolahan. Pengusaha yang telah mendapatkan persetujuan PDKB atau persetujuan berusaha di Kawasan Berikat dari PKB wajib memberitahukan kepada Direktur Jenderal melalui PKB dalam waktu 14 (empat belas) hari sebelum memulai kegiatannya, dan menggunakan Lampiran II Keputusan ini. Direktur Jenderal memberitahukan kepada Kepala Kantor tentang PDKB dengan menggunakan contoh pada Lampiran III Keputusan ini. Pasal 7-11 Keputusan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai No. KEP-63/BC/ 1997 jo. No. KEP-03/BC/ 2002 tentang Tata Cara Pendirian dan Tata Laksana Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari Kawasan Berikat

Perusahaan yang dapat diberikan persetujuan sebagai PKB adalah perusahaan: a.

dalam rangka Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN); b. dalam rangka Penanaman Modal Asing (PMA), baik sebagian atau seluruh modal sahamnya dimiliki oleh peserta asing; c. non PMA/PMDN yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT); d. koperasi yang berbentuk badan hukum; atau e. yayasan. Perusahaan dapat bertindak sebagai: a. PKB; b. PKB merangkap PDKB di sebagian wilayah KB; atau c. PKB merangkap PDKB di seluruh wilayah KB. Perusahaan yang bertindak sebagai PKB atau PKB merangkap PDKB harus berlokasi di Kawasan Industri. Dalam hal kawasan yang dimiliki perusahaan berada di dalam daerah yang tidak mempunyai kawasan industri, maka kawasan tersebut termasuk di dalam kawasan peruntukan industri yang ditetapkan Pemerintah Daerah Tingkat II.

306

Perusahaan yang berlokasi di luar kawasan industri atau kawasan peruntukan industri yang telah melaksanakan kegiatan industri sebelum ditetapkannya Keputusan ini dapat ditetapkan sebagai PKB merangkap PDKB. Penetapan suatu bangunan, tempat atau kawasan sebagai KB serta pemberian persetujuan sebagai PKB atau PKB merangkap PDKB dilakukan dengan Keputusan Presiden. Permohonan persetujuan diajukan oleh pengusaha kepada Presiden melalui Menteri setelah fisik bangunan berdiri dengan menggunakan contoh dalam Lampiran I Keputusan Menteri Keuangan No. 291/KMK.05/1997. Terhadap permohonan tersebut, Direktur Jenderal atau pejabat yang ditunjuk melakukan penelitian terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen. Dalam hal permohonan telah lengkap dan benar, Direktur Jenderal menyampaikan berkas permohonan kepada Menteri untuk diteruskan kepada Presiden. Permohonan yang kurang lengkap dibuatkan pemberitahuan kekuranglengkapan permohonan kepada yang bersangkutan dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh Lampiran I C Keputusan ini. Tata cara permohonan pemberian persetujuan sebagai PKB atau PKB merangkap PDKB diatur lebih lanjut dalam Lampiran I Keputusan ini. Pengusaha yang akan menyelenggarakan KB dapat mengajukan permohonan persetujuan sebagai PKB atau PKB merangkap PDKB sebelum fisik bangunan pabrik berdiri dengan menggunakan contoh dalam Lampiran I Keputusan Menteri Keuangan No. 291/KMK.05/1997. Terhadap permohonan tersebut, Direktur Jenderal atau pejabat yang ditunjuk melakukan penelitian terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen.

307

Dalam hal permohonan telah lengkap dan benar, Direktur Jenderal menyampaikan berkas permohonan kepada Menteri untuk diteruskan kepada Presiden. Permohonan yang kurang lengkap dibuatkan pemberitahuan kekurang lengkapan permohonan kepada yang bersangkutan dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh Lampiran I C Keputusan ini. Pembuatan Berita Acara Pemeriksaan lokasi sebagaimana contoh lampiran I B Keputusan ini dilakukan oleh Kepala Kantor setempat berdasarkan permohonan yang bersangkutan setelah fisik bangunan selesai dan KB siap beroperasi selambat-lambatnya 2 (dua) tahun sejak diberikannya persetujuan PKB. Tata cara permohonan pemberian persetujuan sebagai PKB atau PKB merangkap PDKB diatur lebih lanjut dalam Lampiran II Keputusan ini.

Pasal 13 Keputusan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai No. KEP63/BC/ 1997 jo. No. KEP-3/BC/2002

KB harus memenuhi persyaratan fisik meliputi: a.

b. c.

d.

e.

f.

Lokasi KB dapat langsung dimasuki dari jalan umum dan dapat dilalui oleh kendaraan pengangkut barang. Lokasi KB tidak boleh berhubungan langsung dengan bangunan lain. Lokasi KB mempunyai fasilitas sistem satu pintu utama untuk pemasukan dan pengeluaran barang ke dari KB. Lokasi KB mempunyai pagar keliling dengan ketinggian vertikal sekurang-kurangnya 2,5 meter. Menyediakan ruangan yang memadai bagi petugas Bea dan Cukai dalam melakukan pekerjaan di KB dan pos penjagaan di pintu utama. Memasang papan nama yang dapat dibaca dan tampak jelas di depan perusahaan.

308

Pasal 14-15 Keputusan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai No. KEP-63/BC/ 1997 jo. No. KEP-3/BC/2002

Pengusaha yang akan melakukan kegiatan usaha industri sebagai PDKB dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sebelum memulai kegiatannya wajib memberitahukan kepada Direktur Jenderal melalui PKB dengan menggunakan contoh dalam Lampiran II Keputusan Menteri Keuangan No. 291/KMK.05/1997. PKB sebelum memberikan rekomendasi berkewajiban untuk melakukan penelitian kelengkapan persyaratan yang diwajibkan kepada PDKB yang akan melakukan kegiatan usaha industri di KB yang diselenggarakannya. Terhadap pemberitahuan tersebut, Direktur Jenderal atau Pejabat yang ditunjuk melakukan penelitian terhadap kelengkapan dan kebenaran dokumen yang dipersyaratkan. Terhadap PDKB yang telah memenuhi persyaratan, Direktur Jenderal memberitahukan kepada Kepala Kantor dengan menggunakan contoh dalam Lampiran III Keputusan Menteri Keuangan No. 291/KMK.05/1997. Tata cara persetujuan PDKB untuk melakukan kegiatan ditetapkan lebih lanjut dalam Lampiran III Keputusan ini. Bangunan PDKB harus memenuhi persyaratan fisik meliputi: a.

b.

Memiliki tempat penimbunan bahan baku, tempat pengolahan, tempat penimbunan barang jadi, tempat penimbunan barang sisa hasil pengolahan dan/atau potongan serta tempat penimbunan barang rusak atau busuk. Memasang papan nama yang dapat dibaca dan tampak jelas dimuka perusahaan.

309

VIII.2.2 Pasal 6-8 Keputusan Menteri Keuangan No. 291/KMK.05/ 1997 jo. No. 547/ KMK.01/ 1997 jo. No. 292/KMK.01/ 1998 jo. No. 349/ KMK.01/ 1999 jo. No. 94/KMK.05/ 2000 jo. No. 37/ KMK. 04/2002 jo. No. 587/ PMK.04/ 2004 jo. No. 101/ PMK.04/ 2005

Kewajiban, Larangan dan Tanggung Jawab PKB dan PDKB

Kewajiban PKB: a.

b. c.

d.

e. f.

g. h.

Membuat pembukuan atau catatan serta menyimpan dokumen impor atas barang modal dan peralatan yang dimasukkan untuk keperluan pembangunan/ konstruksi dan peralatan Peraturan Kepalantoran KB. Menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan. Memberikan persetujuan PDKB atau persetujuan berusaha kepada pengusaha yang melakukan kegiatan usaha di KB yang dikelolanya. Memasang tanda nama perusahaan dan nomor/ tanggal persetujuan PKB yang dimiliki ditempat yang dapat dilihat umum dengan jelas. Melaporkan kepada Kepala Kantor apabila terdapat PDKB yang tidak beroperasi. Menyimpan dan memelihara dengan baik pada tempat usahanya buku dan catatan serta dokumen yang berkaitan dengan kegiatan usahanya dalam kurun waktu 10 (sepuluh) tahun. Menyediakan ruangan dan sarana kerja untuk Pejabat Bea dan Cukai. Menyerahkan dokumen yang berkaitan dengan kegiatan KB apabila dilakukan Audit oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan/atau Direktorat Jenderal Pajak.

PKB dilarang memindahkan barang modal atau peralatan asal impor yang dipergunakan untuk membangun konstruksi serta peralatan Peraturan Kepalantoran tanpa persetujuan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Kewajiban PDKB: a.

Membuat pembukuan atau catatan serta menyimpan dokumen atas pemasukan, pemindahan dan pengeluaran barang dan/ atau bahan di KB.

310

b. Menyelenggarakan pembukuan tentang pemasukan, pemindahan, dan pengeluaran barang dan/atau bahan ke dan dari KB sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan. c. Memberi kode untuk setiap jenis barang sesuai dengan sistem pembukuan perusahaan secara konsisten. d. Menyimpan dan memelihara dengan baik pada tempat usahanya buku dan catatan serta dokumen yang berkaitan dengan kegiatan usahanya dalam kurun waktu 10 (sepuluh) tahun. e. Menyediakan ruangan dan sarana kerja untuk Pejabat Bea dan Cukai. f. Menyerahkan dokumen yang berkaitan dengan kegiatan KB apabila dilakukan Audit oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan/ atau Direktorat Jenderal Pajak. g. Membuat dan mengirim laporan 3 (tiga) bulanan kepada Kepala Kantor selambatlambatnya tanggal 10 bulan berikutnya tentang persediaan bahan baku, barang dalam proses dan barang jadi dengan menggunakan contoh pada Lampiran IV A, IV B dan IV C Keputusan ini. PDKB dilarang memindahkan barang modal atau peralatan pabrik asal impor yang berhubungan langsung dengan kegiatan produksi PDKB tanpa persetujuan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. PKB dan PDKB bertanggung jawab terhadap BM, Cukai, PPN, PPnBM, dan PPh Pasal 22 Impor yang terutang atas barang yang dimasukkan atau dikeluarkan dari KB. PKB dan PDKB dibebaskan dari tanggung jawab sebagaimana tersebut di atas dalam hal barang yang ada di KB: a. b. c. d. e.

musnah tanpa sengaja; dan/atau diekspor; dan/atau diekspor kembali ; dan/atau diimpor untuk dipakai; dan/atau dimasukkan ke KB lainnya.

311

Pasal 16-20 Keputusan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai No. KEP-3/BC/1997 jo. No. KEP-03/BC/2002

PKB berkewajiban untuk melaksanakan ketentuan sebagai berikut: a.

b. c. d.

e.

Membuat pembukuan atau catatan serta menyimpan dokumen impor atas barang modal dan peralatan yang dimasukkan untuk keperluan pembangunan/ konstruksi dan peralatan Peraturan Kepalantoran KB; Menyelenggarakan pembukuan sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan; Memberikan rekomendasi kepada PDKB yang akan melakukan kegiatan usaha di KB; Memasang tanda nama perusahaan dan nomor/ tanggal persetujuan PKB yang dimiliki ditempat yang dapat dilihat umum dengan jelas; Melaporkan kepada Kepala Kantor apabila terdapat PDKB yang tidak beroperasi.

PDKB berkewajiban untuk melaksanakan ketentuan sebagai berikut: a.

Membuat pembukuan atau catatan serta menyimpan dokumen atas pemasukan, pemindahan dan pengeluaran barang dan/atau bahan di KB; b. Menyelenggarakan pembukuan tentang pemasukan, pemindahan, dan pengeluaran barang dan/atau bahan ke dan dari KB sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan; c. Memberi kode untuk setiap jenis barang sesuai dengan sistem pembukuan perusahaan secara konsisten; d. Memasukkan kembali barang sisa dan/atau potongan hasil pekerjaan subkontrak. PKB dan PDKB berkewajiban menyimpan dan memelihara dengan baik pada tempat usahanya buku dan catatan serta dokumen yang berkaitan dengan kegiatan usahanya dalam kurun waktu 10 (sepuluh) tahun. PKB dan PDKB berkewajiban menyediakan ruangan dan sarana kerja untuk Pejabat Bea dan Cukai.

312

PDKB wajib membuat laporan 3 (tiga) bulanan tentang persediaan bahan baku, barang dalam proses, dan barang jadi dengan menggunakan formulir sebagaimana contoh Lampiran IV A, IV B, dan IV C Keputusan Menteri Keuangan No. 291/KMK.05/1997. Laporan 3 (tiga) bulanan dikirim kepada Kepala Kantor selambatlambatnya tanggal 10 bulan April, Juli, Oktober, dan Januari. PKB dan PDKB wajib menyerahkan dokumen yang berkaitan dengan kegiatan KB apabila dilakukana udit oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan/atau Direktorat Jenderal Pajak. Pasal 21-22 Keputusan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai No. KEP-3/BC/1997 jo. No. KEP-03/BC/2002

PKB dilarang memindahkan barang modal atau peralatan dan peralatan Peraturan Kepalantoran tanpa persetujuan Direktur Jenderal atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk. PDKB dilarang memindahkan barang modal atau peralatan pabrik yang dipergunakan secara langsung dalam proses produksi PDKB serta barang dan/atau bahan tanpa persetujuan Direktur Jenderal atau Pejabat Bea dan Cukai yang ditunjuk. Barang yang dilarang untuk diimpor tidak diperbolehkan untuk dimasukkan ke KB.

Pasal 23 Keputusan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai No. KEP3/BC/1997 jo. No. KEP-03/BC/2002

PKB dan PDKB bertanggung jawab terhadap BM, Cukai, P PN, PPnBM, dan PPh Pasal 22 Impor yang terutang atas barang yang dimasukkan atau dikeluarkan dari KB. PKB dan PDKB dibebaskan dari tanggung jawab dalam hal barang yang ada di KB: a. b. c. d. e.

musnah tanpa sengaja; dan/atau diekspor; dan/atau diekspor kembali; dan/atau diimpor untuk dipakai; dan/atau dimasukkan ke KB lainnya.

313

VIII.2.3 Pasal 2-4 Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2003 jo. No. 30 Tahun 2005 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah di Kawasan Berikat (Bonded Zone) Daerah Industri Pulau Batam

Perpajakan, Kepabeanan dan Cukai

Dalam rangka menunjang ekspor, Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut atas: a.

b.

Penyerahan Barang Kena Pajak kepada Pengusaha sepanjang Barang Kena Pajak tersebut digunakan untuk menghasilkan Barang Kena Pajak yang diekspor; dan Impor Barang Kena Pajak yang dilakukan oleh Pengusaha sepanjang Barang Kena Pajak tersebut digunakan untuk menghasilkan Barang Kena Pajak yang diekspor.

Atas penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau impor Barang Kena Pajak selain yang dimaksud di atas dan atas penyerahan Jasa Kena Pajak di/ke Kawasan Berikat (Bonded Zone) Daerah Industri Pulau Batam, terutang Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, yang pengenaannya dilakukan secara bertahap, dengan ketentuan sebagai berikut: a.

Untuk tahap pertama, terhitung mulai tanggal 1 Januari 2004, Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah dikenakan atas: 1. impor dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak berupa: a) kendaraan bermotor, berupa segala jenis kendaraan bermotor baik beroda 2 (dua) atau lebih; b) rokok dan hasil tembakau lainnya; dan c) minuman yang beralkohol. 2. pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Kawasan Berikat (Bonded Zone) Daerah Industri Pulau Batam dan/ atau Pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Kawasan Berikat (Bonded Zone) Daerah Industri Pulau Batam.

314

b.

c.

Untuk tahap kedua, terhitung mulai tanggal 1 Maret 2004, Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan Atas Barang Mewah dikenakan atas impor dan/atau penyerahan Barang Kena Pajak berupa barang-barang elektronik, berupa segala jenis barang elektronik yang menggunakan tenaga baterai maupun listrik. Untuk tahap selanjutnya, penetapan jenis Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak yang akan dikenakan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan Atas Barang Mewah selain Barang Kena Pajak sebagaimana dimaksud pada angka 1 dan angka 2 dilakukan dengan Peraturan Menteri Keuangan paling lama setiap 6 (enam) bulan.

Pasal 2-3 Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 1996 tentang Perlakuan Perpajakan bagi Pengusaha Kena Pajak Berstatus Entrepot Produksi untuk Tujuan Ekspor (EPTE) dan Perusahaan Pengolahan di Kawasan Berikat (KB)

Atas impor barang modal, barang dan/atau bahan dari luar daerah pabean ke dalam EPTE/KB diberikan penangguhan Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.

Pasal 14, 16-17 Keputusan Menteri Keuangan No. 291/ KMK.05/ 1997 jo. No. 547/KMK.01/ 1997 jo. No. 292/KMK.01/ 1998 jo. No. 349/ KMK.01/ 1999 jo. No. 94/KMK.05/ 2000 jo. No. 37/KMK.04/2002 jo. No. 587/PMK.04/ 2004 jo. No. 101/ PMK.04/ 2005

Terhadap impor barang, pemasukan Barang Kena Pajak (BKP), pengiriman hasil produksi, pengeluaran barang, penyerahan kembali BKP, peminjaman mesin, pemasukan Barang Kena Cukai (BKC) ke dan/atau dari KB diberikan fasilitas sebagai berikut:

Penyerahan Barang Kena Pajak antar Pengusaha Kena Pajak EPTE, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah yang terutang tidak dipungut. Penyerahan Barang Kena Pajak oleh produsen dari Daerah Pabean Indonesia lainnya kepada perusahaan berstatus EPTE dan/atau Perusahaan Pengolahan di Kawasan Berikat untuk diolah lebih lanjut, diberikan perlakukan perpajakan yang sama dengan perlakuan perpajakan terhadap barang yang diekspor.

a.

Atas impor barang modal atau peralatan dan peralatan Peraturan Kepalantoran yang semata-mata dipakai oleh PKB termasuk PKB merangkap sebagai PDKB diberikan penangguhan Bea masuk (BM), tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 Impor.

315

b.

c.

d.

e.

f.

g.

h.

i. j.

k.

Atas impor barang modal dan peralatan pabrik yang berhubungan langsung dengan kegiatan produksi PDKB yang semata-mata dipakai di PDKB diberikan penangguhan BM, tidak dipungut PPN, PPnBM dan PPh Pasal 22 Impor. Atas impor barang dan/atau bahan untuk diolah di PDKB diberikan penangguhan BM, pembebasan Cukai, tidak dipungut PPN, PPnBM dan PPh Pasal 22 Impor. Atas pemasukan BKP dari DPIL ke PDKB untuk diolah lebih lanjut, tidak dipungut PPN dan PPnBM. Atas pengiriman barang hasil produksi PDKB ke PDKB lainnya untuk diolah lebih lanjut, tidak dipungut PPN dan PPnBM. Atas pengeluaran barang dan/atau bahan dari PDKB ke perusahaan industri di DPIL atau PDKB lainnya dalam rangka subkontrak, tidak dipungut PPN dan PPnBM. Atas penyerahan kembali BKP hasil pekerjaan subkontrak oleh Pengusaha Kena Pajak di DPIL atau PDKB lainnya kepada Pengusaha Kena Pajak PDKB asal, tidak dipungut PPN dan PPnBM. Atas peminjaman mesin dan/atau peralatan pabrik dalam rangka subkontrak dari PDKB kepada perusahaan industri di DPIL atau PDKB lainnya dan pengembaliannya ke PDKB asal, tidak dipungut PPN dan PPnBM. Atas pemasukan BKC dari DPIL ke PDKB untuk diolah lebih lanjut, diberikan pembebasan Cukai. Penyerahan barang hasil olahan produsen pengguna fasilitas Bapeksta Keuangan dari DPIL untuk diolah lebih lanjut oleh PDKB diberikan perlakuan perpajakan yang sama dengan perlakuan terhadap barang yang diekspor. Pengeluaran barang dari KB yang ditujukan kepada orang yang memperoleh fasilitas pembebasan atau penangguhan BM, Cukai dan Pajak dalam rangka impor, diberikan pembebasan BM, pembebasan Cukai, tidak dipungut PPN, PPnBM dan PPh Pasal 22 Impor.

316

l.

Atas pemasukan alat pengemas (packing material) dan alat bantu pengemas dari DPIL ke KB untuk menjadi satu kesatuan dengan barang hasil olahan PDKB, tidak dipungut PPN dan PPnBM.

Barang-barang asal impor berupa makanan dan/atau minuman yang dimaksudkan untuk dikonsumsi di dalam KB atau barang impor lainnya selain dimaksud pada ketentuan di atas wajib dilunasi BM, Cukai, PPN, PPnBM, dan PPh Pasal 22 Impor sesuai tata laksana kepabeanan di bidang impor dan cukai di Kantor Pabean sebelum dimasukkan ke dalam KB. Atas pengeluaran barang yang telah diolah oleh PDKB ke DPIL dikenakan BM, Cukai, PPN, PPnBM dan PPh Pasal 22 Impor sepanjang terhadap pengeluaran tersebut tidak ditujukan kepada pihak yang memperoleh fasilitas pembebasan atau penangguhan BM, cukai, dan pajak dalam rangka impor. Dasar penghitungan pungutan negara atas pengeluaran barang adalah sebagai berikut: a.

b.

c. d.

BM berdasarkan tarif bahan baku dengan pembebanan dan kurs valuta asing yang berlaku pada saat dikeluarkan dari PDKB dan nilai pabean bahan baku pada saat diimpor ke PDKB; Apabila pembebanan tarif BM untuk bahan baku lebih tinggi dari pembebanan tarif BM untuk barang hasil olahan, BM didasarkan pada pembebanan tarif BM barang hasil olahan yang berlaku pada saat dikeluarkan dari PDKB; Cukai berdasarkan ketentuan perundangundangan cukai yang berlaku; PPHN, PPnBM dan PPh Pasal 22 berdasarkan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.

Pemeriksaan pabean di KB dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

317

Pasal 2, 5, 24 Keputusan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai No. KEP-3/BC/1997 jo. No. KEP-03/BC/2002

Atas impor barang modal atau peralatan untuk pembangunan/ konstruksi dan peralatan Peraturan Kepalantoran yang sematamata dipakai oleh PKB termasuk PKB merangkap sebagai PDKB diberikan penangguhan Bea Masuk (BM), tidak dipungut Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 Impor. Atas impor barang modal dan peralatan pabrik yang dipergunakan secara langsung dalam proses produksi di PDKB diberikan penangguhan BM, tidak dipungut PPN, PPnBM dan PPh Pasal 22 Impor. Atas impor barang dan/atau bahan untuk diolah di PDKB diberikan penangguhan BM, pembebasan Cukai, tidak dipungut PPN, PPnBM dan PPh Pasal 22 Impor. Atas pemasukan Barang Kena Pajak (BKP) dari Daerah Pabean Indonesia Lainnya (DPIL) ke PDKB untuk diolah lebih lanjut atau mesin dan/atau peralatan pabrik yang dipergunakan secara langsung dalam proses produksi di PDKB, tidak dipungut PP dan PPnBM. Atas pengiriman barang hasil produksi PDKB ke PDKB lainnya untuk diolah lebih lanjut, tidak dipungut PPN dan PPnBM. Atas pengeluaran barang dan/atau bahan dari PDKB ke perusahaan industri di DPIL atau PDKB lainnya dalam rangka subkontrak, tidak dipungut PPN dan PPnBM. Atas penyerahan kembali BKP hasil pekerjaan subkontrak oleh Pengusaha Kena Pajak di DPIL atau PDKB lainnya kepada Pengusaha Kena Pajak PDKB asal, tidak dipungut PEPN dan PPnBM. Atas peminjaman mesin dan/atau peralatan pabrik dalam rangka subkontrak dari PDKB kepada perusahaan industri di DPIL atau PDKB lainnya dan pengembaliannya ke PDKB asal, tidak dipungut PPN dan PPnBM. Atas pemasukan Barang Kena Cukai (BKC) dari DPIL ke PDKB untuk diolah lebih lanjut, diberikan pembebasan Cukai. Penyerahan barang hasil olahan produsen pengguna fasilitas Bapeksta Keuangan dari DPIL untuk diolah lebih lanjut oleh PDKB diberikan perlakuan perpajakan yang sama dengan perlakuan terhadap barang yang diekspor.

318

Pengeluaran barang dari KB yang ditujukan kepada orang yang memperoleh fasilitas pembebasan atau penangguhan BM, Cukai, dan pajak dalam rangka impor diberikan pembebasan atau penangguhan BM, pembebasan Cukai, tidak dipungut PPN, PPnBM dan PPh Pasal 22 impor. Barang-barang asal impor berupa makanan dan/atau minuman yang dimaksudkan untuk dikonsumsi di dalam KB atau barang impor lainnya selain dimaksud pada ketentuan di atas wajib dilunasi BM, Cukai, PPN, PPnBM, dan PPh Pasal 22 Impor sesuai tata laksana kepabeanan di bidang impor dan cukai di Kantor Pabean sebelum dimasukkan ke dalam KB. Perusahaan yang telah mendapat persetujuan PKB atau PKB merangkap PDKB dapat memasukan barang modal dan/ atau peralatan untuk keperluan pembangunan/ konstruksi, perluasan dan peralatan Peraturan Kepalantoran KB dengan diberikan penangguhan BM, tidak dipungut PPN, PPn BM dan PPh Pasal 22 Impor dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan kepada Direktur Jenderal. Permohonan harus memuat sekurang-kurangnya: a. b.

Nomor dan tanggal pemberian persetujuan PKB atau PKB merangkap PDKB; Daftar rincian barang yang dibutuhkan meliputi jumlah, jenis/tipe dan nilai pabean.

Atas permohonan yang disetujui oleh Direktur Jenderal diterbitkan keputusan penangguhan BM, tidak dipungut PPN, PPn BM dan PPh Pasal 22 Impor. Keputusan dikirimkan oleh Direktur Jenderal kepada Kepala Kantor tempat pemasukan barang dan yang mengawasi KB yang bersangkutan. Pelaksanaan impor barang sebagaimana dimaksud di atas diberlakukan tata laksana kepabeanan di bidang impor dan diselesaikan di kantor tempat pemasukan barang.

319

VIII.2.4 Pasal 9 Keputusan Menteri Keuangan No. 291/KMK.05/ 1997 jo. No. 547/ KMK.01/ 1997 jo. No. 292/KMK.01/ 1998 jo. No. 349/ KMK.01/ 1999 jo. No. 94/KMK.05/ 2000 jo. No. 37/KMK.04/2002 jo. No. 587/PMK.04/ 2004 jo. No. 101/ PMK.04/ 2005

Pemasukan Barang

Pemasukan barang impor berupa barang modal atau peralatan yang dipergunakan untuk pembangunan/ konstruksi, perluasan, penyelenggaraan kantor KB diberlakukan ketentuan tata laksana kepabeanan di bidang impor. Pemasukan barang modal atau peralatan pabrik yang dipergunakan secara langsung dalam proses produksi, barang dan/atau bahan ke KB dapat dilakukan dari: a. Tempat Penimbunan Sementara; b. Gudang Berikat; c. KB lainnya; d. PDKB dalam satu KB; e. Produsen pengguna fasilitas Bapeksta Keuangan; f. Daerah Pabean Indonesia Lainnya (DPIL). Barang impor yang terkena peraturan larangan impor tidak diperbolehkan dimasukkan ke KB. Pemasukan barang impor tidak dilakukan pemeriksaan fisik kecuali terdapat hasil intelijen tentang adanya pelanggaran ketentuan kepabeanan yang dinyatakan dalam surat perintah tertulis dari Direktur Jenderal. Pemasukan barang impor tidak diberlakukan ketentuan tata niaga di bidang impor. Pemasukan barang impor mempergunakan dokumen BC 2.3 yang dilampiri dengan B/L atau AWB, Invoice, Packing List dan dokumen pendukung lainnya.

Pasal 25-32 Keputusan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai No. KEP-3/BC/1997 jo. No. KEP-03/BC/2002

Pemasukan barang modal dan peralatan pabrik yang dipergunakan secara langsung dalam proses produksi, barang dan/atau bahan untuk diolah ke KB, dapat dilakukan dari: a. b. c. d. e.

Tempat Penimbunan Sementara (TPS); Gudang Berikat (GB); KB lainnya; PDKB dalam satu KB; Produsen pengguna fasilitas Bapeksta Keuangan; f. DPIL.

320

Pemasukan barang asal impor oleh PDKB dari TPS ke KB dilakukan dengan menggunakan formulir BC 2.3 dilampiri dengan Bill of Lading atau Airway Bill, Invoice, Packing List dan dokumen pendukung lainnya. Tata cara pemasukan barang asal impor oleh PDKB dari TPS ke KB diatur lebih lanjut dalam Lampiran IV Keputusan ini. Pengangkutan barang sebagaimana dimaksud di atas dilakukan penyegelan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Atas pemasukan barang sebagaimana dimaksud di atas tidak dilakukan pemeriksaan fisik kecuali terdapat hasil intelijen tentang adanya pelanggaran ketentuan kepabeanan yang dinyatakan dalam surat perintah tertulis dari Direktur Jenderal. Pemasukan barang oleh PDKB dari GB ke KB dilakukan dengan menggunakan formulir BC 2.3 dilampiri Invoice, Packing List dan dokumen pendukung lainnya. Pengangkutan barang sebagaimana dimaksud di atas dilakukan penyegelan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Atas pemasukan barang sebagaimana dimaksud di atas tidak dilakukan pemeriksaan fisik kecuali terdapat hasil intelijen tentang adanya pelanggaran ketentuan kepabeanan yang dinyatakan dalam surat perintah tertulis dari Direktur Jenderal. Tata cara pemasukan barang dari GB ke KB diatur lebih lanjut dalam Lampiran V Keputusan ini. Pemasukan barang dari KB lainnya ke KB dilakukan dengan menggunakan formulir BC 2.3 dilampiri kontrak. Atas pemasukan barang sebagaimana dimaksud di atas dilakukan penyegelan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Atas pemasukan barang sebagaimana dimaksud di atas tidak dilakukan pemeriksaan fisik kecuali terdapat hasil intelijen tentang adanya pelanggaran ketentuan kepabeanan yang dinyatakan dalam surat perintah tertulis dari Direktur Jenderal.

321

Tata cara pemasukan barang dari KB lainnya ke KB diatur lebih lanjut dalam Lampiran VI Keputusan ini. Pemasukan barang antar PDKB dalam satu KB dilakukan dengan menggunakan formulir BC 2.3 dilampiri kontrak. Tata cara pemasukan barang antar PDKB dalam satu KB diatur lebih lanjut dalam Lampiran VII Keputusan ini. Pemasukan atau penyerahan barang hasil olahan produsen pengguna fasilitas Bapeksta Keuangan untuk diolah lebih lanjut oleh PDKB diberikan perlakuan perpajakan yang sama dengan perlakuan perpajakan terhadap barang yang diekspor. Pemasukan atau penyerahan barang hasil olahan produsen pengguna fasilitas Bapeksta Keuangan untuk diolah lebih lanjut oleh PDKB dilakukan dengan menggunakan formulir BC 4.0 dilampiri faktur pajak dan dokumen pendukung lainnya. Atas pemasukan barang sebagaimana dimaksud di atas dilakukan pemeriksaan fisik oleh Pejabat Bea dan Cukai di KB. Hasil pemeriksaan dituangkan dalam formulir BC 4.0 dan diberi cap “Fasilitas Bapeksta Keuangan”. Dalam hal hasil pemeriksaan sesuai, Pejabat Bea dan Cukai di KB memberi persetujuan masuk dengan mencantumkan tanggal dan jam masuk serta tanda tangan, nama terang, dan NIP pada BC 4.0. Dalam hal hasil pemeriksaan tidak sesuai, Pejabat Bea dan Cukai di KB melaporkan hal tersebut kepada Kepala Kantor untuk dilakukan penyelidikan sesuai ketentuan yang berlaku. Tata cara pemasukan barang hasil olahan produsen pengguna fasilitas Bapeksta Keuangan ke KB diatur lebih lanjut dalam Lampiran VIII Keputusan ini.

322

Pemasukan barang modal dan peralatan pabrik yang dipergunakan secara langsung dalam proses produksi dan pemasukan barang dan/atau bahan dari DPIL ke KB dilakukan dengan menggunakan formulir BC 4.0 dilampiri dengan faktur pajak dan dokumen pendukung lainnya. Atas pemasukan barang sebagaimana dimaksud di atas tidak dilakukan pemeriksaan fisik kecuali terdapat hasil intelijen tentang adanya pelanggaran ketentuan kepabeanan yang dinyatakan dalam surat perintah tertulis dari Direktur Jenderal. Tata cara pemasukan barang dari DPIL ke KB diatur lebih lanjut dalam Lampiran IX Keputusan ini. VIII.2.5 Pasal 10 Keputusan Menteri Keuangan No. 291/KMK.05/ 1997 jo. No. 547/ KMK.01/ 1997 jo. No. 292/KMK.01/ 1998 jo. No. 349/ KMK.01/ 1999 jo. No. 94/KMK.05/ 2000 jo. No. 37/KMK.04/2002 jo. No. 587/PMK.04/ 2004 jo. No. 101/ PMK.04/ 2005

Pengeluaran Barang

Pengeluaran barang hasil olahan PDKB dapat dilakukan dengan tujuan: a. Ekspor; b. KB lainnya; c. PDKB dalam satu KB; d. Entrepot Tujuan Pameran (ETP); atau e. DPIL. Pengeluaran barang dilakukan dengan menggunakan PEB/ PEBT (BC 3.0/BC 3.1) dan formulir BC 2.3 dan diberlakukan ketentuan tata laksana kepabeanan di bidang ekspor. Pengeluaran barang asal impor yang tidak diolah di KB dan akan diekspor kembali dilakukan dengan menggunakan PEBT dan formulir BC 2.3. Pengeluaran barang hasil pengolahan dari KB ke KB lainnya untuk diolah lebih lanjut dilakukan dengan menggunakan formulir BC 2.3. dilampiri kontrak pembelian. Pengeluaran barang hasil pengolahan dari PDKB ke PDKB lainnya dalam satu KB untuk diolah lebih lanjut atau untuk pengepakan hasil produksi, dilakukan dengan menggunakan formulir BC 2.3. dilampiri kontrak pembelian.

323

Pengeluaran barang hasil olahan dari PDKB ke ETP, dilakukan dengan menggunakan BC 2.3. Pengeluaran barang yang telah diolah oleh PDKB dengan tujuan DPIL, dapat dilakukan dengan menggunakan Pemberitahuan Impor Barang (PIB/BC 2.0/BC 2.5) sesuai dengan tata laksana kepabeanan di bidang impor dengan ketentuan sebagai berikut: a.

Pengeluaran barang ke DPIL diberikan dalam jumlah: 1. sebanyak-banyaknya 50% dari jumlah nilai hasil produksi tahun berjalan, untuk barang yang tidak memerlukan proses lebih lanjut dan dapat berfungsi sendiri tanpa bantuan barang lainnya serta digunakan oleh konsumen akhir; 2. sebanyak-banyaknya 60% dari jumlah nilai hasil produksi tahun berjalan, untuk barang selain sebagaimana dimaksud dalam huruf 1; b. Pengeluaran barang ke DPIL sebanyak-banyaknya 75% dari jumlah nilai hasil produksi tahun berjalan, diberikan khusus kepada PDKB yang hasil produksinya digunakan untuk mensuplai perusahaan pertambangan, minyak dan gas, serta PDKB yang bergerak di bidang industri perminyakan dan gas, Peraturan Kepalapalan di dalam negeri dan industri oleochemical. c. Selisih nilai hasil produksi dari barang yang dikeluarkan sebagaimana tersebut pada butir a dan b, dikeluarkan untuk diekspor, diolah lebih lanjut ke perusahaan-perusahaan yang menggunakan fasilitas Kemudahan Impor Tujuan Ekspor (KITE), dan/atau ke PKB/PDKB lain atau dimusnahkan di bawah pengawasan DJBC. d. Pelanggaran terhadap ketentuan pada butir a dan b, dikenakan sanksi berupa: 1. pengurangan jumlah prosentase penjualan ke DPIL untuk periode tahun berikutnya; 2. pencabutan daftar putih PDKB dan/atau tidak dapat mengajukan permohonan persetujuan daftar putih selama satu tahun; dan/atau

324

3. pembekuan izin PDKB berdasarkan rekomendasi dari Kepala Kantor yang mengawasi PDKB yang bersangkutan. Pengeluaran barang tidak dilakukan pemeriksaan fisik kecuali terdapat hasil intelijen tentang adanya pelanggaran ketentuan kepabeanan yang dinyatakan dalam surat perintah tertulis dari Direktur Jenderal. Pasal 13 Keputusan Menteri Keuangan No. 291/ KMK.05/1997 jo. No. 547/ KMK.01/1997 jo. No. 292/KMK. 01/1998 jo. No. 349/ KMK.01/1999 jo. No. 94/ KMK.05/2000 jo. No. 37/KMK .04/2002 jo. No. 587/PMK.04/ 2004 jo. No. 101/ PMK.04/ 2005

Pengeluaran mesin dan/atau peralatan pabrik dari KB dengan tujuan untuk direparasi di luar negeri dapat dilaksanakan dengan menggunakan PEBT dan formulir BC 2.3.

Pasal 33-39 Keputusan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai No. KEP-3/BC/1997 jo. No. KEP-03/BC/2002

dilakukan dengan tujuan:

Dalam hal reparasi dilakukan di DPIL dapat dilaksanakan dengan menggunakan formulir BC 2.3 dengan mempertaruhkan jaminan dan dilakukan pemeriksaan fisik. Mesin dan/atau peralatan yang direparasi harus dimasukkan kembali ke dalam KB selambat-lambatnya 12 (dua belas) bulan sejak bulan pengeluaran mesin dan/atau peralatan dari KB.

a. Ekspor; b. KB lainnya; c. PDKB lainnya pada satu KB; d. Entrepot untuk Tujuan Pameran (ETP); atau e. DPIL. Pengeluaran barang hasil olahan PDKB untuk diekspor dilakukan dengan menggunakan Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB)/Pemberitahuan Ekspor Barang Tertentu (PEBT) dilampiri formulir BC 2.3. Pejabat Bea dan Cukai di KB berdasarkan pemberitahuan ekspor melakukan pengawasan atas pelaksanaan stuffing dan melakukan peneraan segel pada peti kemas/kemasan barang, mencatat nomor dan jenis segel pada formulir BC 2.3 dan memberikan catatan nomor dan tanggal BC 2.3 pada PEB/PEBT. Pengeluaran barang hasil olahan PDKB dari suatu KB dapat Persetujuan muat diberikan oleh Pejabat Bea dan Cukai di KB.

325

Pejabat Bea dan Cukai di Pelabuhan Muat/TPS mencocokkan nomor peti kemas/kemasan barang dengan data yang tercantum pada formulir BC 2.3. Tata cara pengeluaran barang hasil olahan PDKB untuk diekspor diatur lebih lanjut dalam Lampiran X Keputusan ini. Pengeluaran barang hasil olahan dari KB ke KB lainnya untuk diolah lebih lanjut atau untuk pengemas hasil produksi dilakukan dengan menggunakan formulir BC 2.3 dilampiri kontrak. Pengeluaran barang sebagaimana dimaksud di atas dilakukan penyegelan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Atas pengeluaran barang sebagaimana dimaksud di atas tidak dilakukan pemeriksaan fisik kecuali terdapat hasil intelijen tentang adanya pelanggaran ketentuan kepabeanan. Tata cara pengeluaran barang hasil olahan dari KB ke KB lainnya diatur lebih lanjut dalam Lampiran VI Keputusan ini. Pengeluaran barang hasil olahan dari PDKB ke PDKB lainnya dalam satu KB untuk diolah lebih lanjut atau untuk pengemas hasil produksi dilakukan dengan menggunakan formulir BC 2.3 dilampiri kontrak. Tata cara Pengeluaran barang antar PDKB dalam satu KB diatur lebih lanjut dalam Lampiran VII Keputusan ini. Barang hasil olahan PDKB dalam suatu KB dapat dipamerkan ke ETP dan harus dikembalikan ke KB asal dalam jangka waktu selambat-lambatnya satu bulan setelah pameran selesai. Pengeluaran barang hasil olahan PDKB dari suatu KB yang akan dipamerkan ke ETP dilakukan dengan menggunakan formulir BC 2.3 yang dilampiri dengan rincian dan golongan barang berikut nilai pabeannya. Pemasukan kembali barang yang telah selesai dipamerkan dari ETP ke KB asal dilakukan dengan menggunakan formulir BC 2.3 dilampiri formulir BC 2.3 asal barang. Pengangkutan barang sebagaimana dimaksud di atas dilakukan penyegelan oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

326

Atas pemasukan barang sebagaimana dimaksud di atas dilakukan pemeriksaan fisik oleh Pejabat Bea dan Cukai di KB. Tata cara pengeluaran barang hasil olahan dari KB ke ETP dan pemasukan kembali barang dari ETP ke KB asal diatur lebih lanjut dalam Lampiran XI Keputusan ini. Pengeluaran barang yang telah diolah oleh PDKB ke DPIL hanya dapat dilakukan setelah ada realisasi ekspor dan/ atau pengeluaran ke PDKB lain. Barang yang akan dikeluarkan ke DPIL diberikan dalam jumlah: a.

b.

Untuk barang yang tidak memerlukan proses lebih lanjut, dapat berfungsi sendiri tanpa bantuan barang lainnya dan digunakan oleh konsumen akhir sebanyak-banyaknya 50%; Barang selain sebagaimana dimaksud dalam huruf a sebesar 100% darl nilai realisasi ekspor dan/atau pengeluaran PDKB lainnya.

Perhitungan didasarkan pada PEB dan/atau dokumen pengeluaran ke KB lain (formulir BC 2.3) dalam jangka waktu tidak lebih dari 1 (satu) tahun sejak tanggal pendaftaran PEB dan/atau formulir BC 2.3 tersebut. Terhadap barang asal impor yang telah diolah oleh PDKB yang akan dikeluarkan ke DPIL, dilakukan pemeriksaan pabean. Pengeluaran barang sebagaimana dimaksud di atas dilakukan dengan menggunakan Pemberitahuan Impor Barang (PIB) sesuai dengan tata laksana kepabeanan di bidang impor. Atas pengeluaran barang tersebut dikenakan BM, Cukai, PPN, PPnBM dan PPh Pasal 22 impor sepanjang terhadap pengeluaran tersebut tidak ditujukan kepada pihak yang memperoleh fasilitas penangguhan atau pembebasan BM, Cukai atau pajak dalam rangka Impor.

327

Dasar perhitungan pungutan negara adalah sebagai berikut: a.

b. c. d.

e.

Bea Masuk berdasarkan tarif bahan baku dengan pembebanan yang berlaku pada saat diimpor untuk dipakai dan nilai pabean yang terjadi pada saat barang dimasukkan ke KB; Cukai berdasarkan ketentuan perundangundangan cukai yang berlaku; PPN dan PPnBM berdasarkan harga penyerahan; PPh Pasal 22 Impor berdasarkan harga penyerahan, untuk olahan yang bahan baku seluruhnya berasal dari impor PPh Pasal 22 impor terhadap pengeluaran barang hasil olahan yang berasal dari bahan baku impor dan bahan baku lokal, berdasarkan tarif dikalikan dengan prosentase kandungan bahan baku Impor dikalikan harga penyerahan.

Perubahan persentase dari nilai ekspor ditetapkan oleh Menteri. Pengeluaran barang asal impor yang tidak diolah di KB untuk tujuan diekspor kembali dilakukan dengan menggunakan formulir PEBT dilampiri BC 2.3. Tata cara pengeluaran barang sebagaimana dimaksud di atas diatur lebih lanjut dalam Lampiran XII Keputusan ini. VIII.2.6 Pasal 15 Keputusan Menteri Keuangan No. 291/ KMK.05/1997 jo. No. 547/ KMK.01/1997 jo. No. 292 /KMK..01/ 1998 jo. No. 349 / KMK.01/ 1999 jo. No. 94/ KMK.05/ 2000 jo. No. 37 / KMK.04/2002 jo. No. 587/ PMK. 04/2004 jo. No. 101/ PMK.04/2005

Ketentuan Lainnya

Mesin dan/atau peralatan pabrik yang dipergunakan dalam kegiatan produksi di PDKB dapat diganti dengan ketentuan bahwa mesin dan/atau peralatan yang diganti tersebut: a. b. c.

d.

diekspor kembali; dan/atau dipindahtangankan kepada PDKB lain; dan/ atau dikeluarkan ke DPIL dengan membayar BM, PPN, PPnBM, dan PPh Pasal 22 Impor berdasarkan harga transaksi sepanjang telah memenuhi tata laksana kepabeanan di bidang impor; dan/atau dimusnahkan dibawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

328

Pasal 22, 23, 23A Keputusan Menteri Keuangan No. 291/ KMK.05/1997 jo. No. 547/KMK.01/1997 jo. No. 292/ KMK.01/1998 jo. No. 349/ KMK.01/1999 jo. No. 94/KMK .05/2000 jo. No. 37/ KMK.04/2002 jo. No. 587/PMK.04/2004 jo. No. 101/ PMK.04/2005

Atas barang dan/atau bahan yang berada di PDKB yang rusak atau busuk, PDKB wajib: a. b. c.

mengekspor kembali; dan/atau memusnahkan di bawah pengawasan Kepala Kantor; dimasukan untuk dipakai berdasarkan harga penyerahan.

Barang sisa dan/atau potongan dari PDKB dapat: a.

b.

dikeluarkan ke DPIL dengan melunasi BM, Cukai, PPN, PPnBM, dan PPh Pasal 22 Impor sepanjang telah memenuhi ketentuan tata laksana kepabeanan di bidang impor dan cukai dengan menggunakan pemberitahuan pabean; dan/atau dimusnahkan di bawah pengawasan Pejabat Bea dan Cukai yang mengawasi KB yang bersangkutan.

Atas barang modal dan peralatan pabrik asal impor milik PKB dan/atau PDKB, apabila telah melampaui jangka waktu 2 (dua) tahun sejak dimasukkan ke kawasan berikat dapat dipindahtangankan ke Daerah Pabean Indonesia Lainnya dengan tanpa kewajiban membayar bea masuk. Pemindahtanganan barang modal dan peralatan pabrik sebelum jangka waktu 2 (dua) tahun sejak dimasukkan ke kawasan berikat, dikenakan: a.

b.

bea masuk berdasarkan nilai pabean barang modal dan peralatan pabrik pada saat dimasukkan ke Kawasan Berikat; dan bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan dari bea masuk yang seharusnya dibayar yang dihitung sejak bulan diajukan permohonan pengeluaran dari kawasan berikat sampai dengan genap 2 (dua) tahun sejak dimasukkan ke kawasan berikat.

Bagian dari bulan sebagaimana dimaksud pada huruf b dihitung sebagai satu bulan penuh.

329

Pasal 3, 4, 6 Keputusan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai No. KEP-3/BC/1997 jo. No. KEP-03 /BC/2002

Pemasukan dan pengeluaran barang impor ke dan dari KB hanya dapat dilakukan setelah mendapat persetujuan dari Pejabat Bea dan Cukai. Mesin dan/atau peralatan pabrik yang dipergunakan dalam kegiatan produksi di PDKB dapat diganti dengan ketentuan bahwa mesin dan/atau peralatan yang diganti tersebut: a. b. c.

d.

diekspor kembali; dan/atau dipindahtangankan kepada PDKB lain; dan/atau dikeluarkan ke DPIL dengan membayar BM, PPN, PPnBM, dan PPh Pasal 22 Impor berdasarkan harga transaksi sepanjang telah memenuhi tata laksana kepabeanan di bidang impor; dan/atau dimusnahkan dibawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Barang yang dikeluarkan dari KB untuk diekspor diberlakukan tata laksana kepabeanan di bidang ekspor. Pasal 43 Keputusan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai No. KEP63/BC/ 1997 jo. No. KEP-03/BC/ 2002

Mesin dan/atau peralatan pabrik yang dipergunakan secara langsung dalam proses produksi di PDKB dapat diganti dengan ketentuan bahwa mesin dan/atau peralatan yang diganti tersebut: a. b. c.

d.

Pasal 49-52 Keputusan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai No. KEP-63/BC/ 1997 jo. No. KEP-03/BC/ 2002

diekspor kembali; dan/atau dipindahtangankan kepada PDKB lain; dan/atau dikeluarkan ke DPIL dengan membayar BM, PPN, PPnBM, dan PPh Pasal 22 Impor sepanjang telah memenuhi ketentuan di bidang impor; dan/atau dimusnahkan dibawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Konsolidasi barang ekspor asal KB dapat dilakukan di: a. Kawasan Berikat; b. TPS; c. Tempat lain diluar Kawasan Pabean. Konsolidasi dilaksanakan dengan pengawasan Bea dan Cukai.

330

Pengusaha Konsolidasi bertanggung jawab atas pelaksanaan konsolidasi barang ekspor. Tata cara konsolidasi barang ekspor diatur lebih lanjut dalam Lampiran XV Keputusan ini. Pemasukan dan pengeluaran peti kemas kosong ke dan dari KB dilakukan oleh PDKB dengan menggunakan pemberitahuan sebagaimana contoh dalam Lampiran XVI A Keputusan ini. Tata cara pemasukan dan pengeluaran peti kemas kosong diatur lebih lanjut dalam Lampiran XVI Keputusan ini. Atas barang dan/atau bahan yang berada di PDKB yang rusak atau busuk, PDKB wajib: a. b. c.

mengekspor kembali; dan/atau memusnahkan di bawah pengawasan Kepala Kantor; dan/atau dimasukan untuk dipakai berdasarkan harga penyerahan.

Barang sisa dan/atau potongan dari PDKB dapat: a.

b.

Dikeluarkan ke DPIL dengan melunasi BM, Cukai, PPN, PPnBM, dan PPh Pasal 22 Impor sepanjang telah memenuhi ketentuan tata laksana kepabeanan di bidang impor dan cukai dengan menggunakan pemberitahuan pabean; dan/atau Dimusnahkan di bawah pengawasan Pejabat Bea dan Cukai yang mengawasi KB yang bersangkutan.

331

VIII.2.7 Pasal 11, 11A, 12, 18 Keputusan Menteri Keuangan No. 291/ KMK.05/1997 jo. No. 547/ KMK.01/1997 jo. No. 292/ KMK.01/1998 jo. No. 349 /KMK.01/1999 jo. No. 94/ KMK.05/2000 jo. o. 37/KMK. 04/2002 jo. No. 587/ PMK.04/ 2004 jo. No. 101/ PMK.04/ 2005

Pekerjaan Subkontrak

Pengeluaran barang dan/atau bahan dari KB, yang berkaitan dengan sebagian kegiatan pengolahan, kecuali pekerjaan pemeriksaan awal, pemeriksaan akhir, sortasi dan pengepakan, yang disubkontrakkan kepada perusahaan industri yang berada di KB lainnya atau DPIL, dapat dilakukan oleh PDKB. Pengeluaran dilaksanakan dengan menggunakan formulir BC 2.3 dengan melampirkan perjanjian subkontrak yang bersangkutan. Untuk subkontrak yang berkaitan dengan perusahaan di DPIL, pengeluaran barang dilakukan pemeriksaan fisik dan dapat dilaksanakan setelah dipertaruhkan jaminan yang dapat berupa jaminan tunai, jaminan bank, customs bond, dan Surat Sanggup Bayar (SSB) bagi perusahaan yang tergolong dalam Daftar Putih. Pekerjaan yang disubkontrakkan harus diselesaikan selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari sejak pengeluaran barang dan/atau bahan dari KB. Pengusaha di Kawasan Berikat dapat menerima pekerjaan subkontrak dari DPIL. Untuk dapat melakukan pekerjaan subkontrak harus mendapat persetujuan dari Kepala Kantor Pelayanan Bea dan Cukai. Mesin dan/atau peralatan pabrik yang akan dipergunakan untuk mengerjakan pekerjaan subkontrak dapat dipinjamkan oleh PDKB kepada PDKB lainnya atau Subkontraktor di DPIL untuk jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan dan dapat diperpanjang untuk paling lama 2 (dua) kali 12 (dua belas) bulan. Atas pengeluaran mesin dan/atau peralatan pabrik yang dipinjamkan kepada subkontraktor di DPIL dilakukan pemeriksaan fisik dan PDKB wajib mempertaruhkan jaminan. PDKB dapat dimasukkan di dalam Daftar Putih apabila telah memenuhi persyaratan: a.

Selama 12 (dua belas) bulan berturut-turut tidak pernah melakukan pelanggaran;

332

b. c.

Selalu memenuhi kewajiban pabean dan perpajakan dengan baik dan tepat waktu; Hasil post audit menunjukkan profil perusahaan baik.

Daftar Putih dapat diberikan kepada perusahaan yang baru berdiri berdasarkan permohonan PDKB yang bersangkutan. PDKB dapat dikeluarkan dari Daftar Putih apabila di kemudian hari ternyata telah melakukan pelanggaran salah satu dari persyaratan yang ditetapkan. Pasal 40-41 Keputusan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai No. KEP-63/BC/ 1997 jo. No. KEP-03/BC/ 2002

PDKB dapat mensubkontrakkan sebagian dari kegiatan pengolahannya kepada PDKB lain dalam satu KB, KB lainnya atau perusahaan industri di DPIL, kecuali pekerjaan pemeriksaan awal, pemeriksaan akhir, penyortiran dan pengepakan. Pekerjaan subkontrak meliputi seluruh jenis produk dan harus diselesaikan selambat-lambatnya 60 (enam puluh) hari sejak dikeluarkannya barang dan/atau bahan dari KB. Pekerjaan subkontrak harus dilakukan berdasarkan perjanjian subkontrak yang sekurang-kurangnya memuat uraian pekerjaan yang dilakukan, jangka waktu, jumlah barang dan/atau bahan yang diterima dari PDKB dan jumlah hasil pekerjaan yang dikembalikan kepada PDKB termasuk barang sisa dan/atau potongan. Penyerahan pekerjaan subkontrak kepada perusahaan industri yang berada di DPIL harus disertai surat pernyataan dari pelaksana subkontrak tentang kesediaan untuk dilakukan audit oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan jaminan yang diserahkan kepada Bendaharawan Bea dan Cukai atau Pejabat yang ditunjuknya berupa: a. b. c.

d.

Jaminan tunai; atau Jaminan bank; atau Customs Bond yang dikeluarkan oleh Perusahaan Asuransi yang disetujui Menteri Keuangan; atau Surat Sanggup Bayar (SSB) bagi perusahaan yang tergolong dalam daftar putih yang ditetapkan Menteri.

333

Penyerahan barang dan/atau bahan dilakukan dengan menggunakan formulir BC 2.3. Terhadap penyerahan barang dan/atau bahan yang akan diserahkan kepada pelaksana subkontrak di DPIL dilakukan pemeriksaan fisik oleh Pejabat Bea dan Cukai di KB. Penyerahan kembali barang hasil pekerjaan subkontrak kepada PDKB pemberi pekerjaan subkontrak dilakukan dengan menggunakan formulir BC 2.3. Terhadap penyerahan kembali barang hasil pekerjaan subkontrak dilakukan pemeriksaan fisik oleh Pejabat Bea dan Cukai di KB. Tata cara pengeluaran barang dalam rangka subkontrak dan pemasukan kembali barang hasil pekerjaan subkontrak diatur lebih lanjut dalam Lampiran XIII Keputusan ini. PDKB dapat digolongkan dalam Daftar Putih apabila telah memenuhi persyaratan: a. b. c.

Selama 12 (dua belas) bulan berturut-turut tidak pernah melakukan pelanggaran; Selalu memenuhi kewajiban pabean dan perpajakan dengan baik dan tepat waktu; Hasil post audit menunjukkan profil perusahaan baik.

Daftar Putih dapat diberikan kepada perusahaan yang baru berdiri berdasarkan permohonan PDKB yang bersangkutan. PDKB sebagaimana dimaksud di atas dapat dikeluarkan dari Daftar Putih apabila di kemudian hari ternyata telah melakukan pelanggaran salah satu dari persyaratan yang ditetapkan. Pasal 42 Keputusan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai No. KEP63/BC/ 1997 jo. No. KEP-03/BC/ 2002

Mesin dan/atau peralatan pabrik yang akan dipergunakan untuk mengerjakan pekerjaan subkontrak, dapat dipinjamkan oleh PDKB kepada PDKB lainnya atau pelaksana sub kontrak di DPIL untuk jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan dan dapat diperpanjang untuk paling lama 2 (dua) kali 12 (dua belas) bulan.

334

Pengeluaran mesin dan/atau peralatan pabrik kepada pelaksana sub kontrak di DPIL dilakukan dengan menggunakan Formulir BC 2.3 dan wajib mempertaruhkan jaminan kepada Bendaharawan Bea dan Cukai atau Pejabat yang ditunjuknya. PDKB dapat mengeluarkan mesin dan/atau peralatan pabrik ke DPIL dengan tujuan untuk direparasi/ diperbaiki dengan menggunakan Formulir BC 2.3 dan menyerahkan jaminan kepada Bendaharawan Bea dan Cukai atau Pejabat yang ditunjuknya. Reparasi/perbaikan diizinkan untuk jangka waktu paling lama 12 (dua belas) bulan sejak mesin dan/atau peralatan pabrik dikeluarkan dari KB. Pengeluaran mesin dan/atau peralatan pabrik dari KB ke luar negeri dengan tujuan reparasi/perbaikan dilakukan dengan menggunakan PEBT dan Formulir BC 2.3. Tata cara pengeluaran dan pemasukan kembali mesin dan/ atau peralatan pabrik sebagaimana dimaksud di atas diatur lebih lanjut dalam Lampiran XIV Keputusan ini. VIII.2.8 Pasal 19-21 Keputusan Menteri Keuangan No. 291/ KMK.05/1997 jo. No. 547/KMK.01/1997 jo. No. 292/ KMK.01/1998 jo. No. 349/ KMK.01/1999 jo. No. 94 /KMK. 05/2000 jo. No. 37/ KMK.04/2002 jo. No. 587 /PMK.04/2004 jo. No. 101/ PMK.04/2005

Audit, Pembekuan dan Pencabutan Persetujuan PKB/ PDKB

Untuk pengamanan hak keuangan negara dan menjamin dipenuhinya ketentuan-ketentuan kepabeanan dan cukai yang berlaku, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melakukan audit atas pembukuan, catatan, dan dokumen KB yang berkaitan dengan pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari KB dan pemindahan barang di dalam KB, serta pencacahan sediaan barang. Berdasarkan hasil audit kedapatan selisih kurang jumlah dan/atau jenis barang atau ditemui adanya penggunaan yang tidak sesuai dengan peruntukannya, PKB dan/atau PDKB bertanggung jawab atas pelunasan BM, Cukai, PPN, PPnBM, PPh Pasal 22 Impor yang terutang dan sanksi administrasi berupa denda sebesar seratus persen dari pungutan negara yang terutang.

335

Apabila hasil pemeriksaan kedapatan selisih lebih jumlah dan/atau jenis barang maka dilakukan pemeriksaan lebih lanjut sesuai ketentuan yang berlaku. Dalam hal hasil audit kepabeanan yang dilaksanakan oleh Direktur Jenderal menunjukkan adanya pelanggaran atas ketentuan kepabeanan yang mengakibatkan kerugian hak keuangan negara, Menteri dapat membekukan persetujuan PKB atas saran Direktur Jenderal. Pembekuan persetujuan PKB dapat dilakukan juga dalam hal PKB tersebut: a. b.

Berada dalam pengawasan kurator sehubungan dengan utangnya; atau Menunjukkan ketidakmampuan dalam penyelenggaraan KB.

Pembekuan persetujuan dapat diubah menjadi pencabutan bilamana PKB: a.

tidak dapat melunasi utangnya dalam jangka waktu yang ditetapkan; atau b. tidak mampu lagi mengusahakan KB. Persetujuan PKB yang dibekukan dapat diberlakukan kembali bilamana PKB: a. b.

telah melunasi utangnya; atau telah mampu kembali mengusahakan KB.

Persetujuan PKB dicabut dalam hal: a.

b. c. d.

dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut selama berlakunya persetujuan, sama sekali tidak melakukan kegiatan; persetujuan usaha industri sudah tidak berlaku lagi; dinyatakan pailit berdasarkan keputusan pengadilan; bertindak tidak jujur dalam usahanya;

336

e. f.

setelah proses pembekuan, tidak melaksanakan kewajiban yang diharuskan; atas permohonan sendiri.

Pencabutan persetujuan ditetapkan oleh Menteri. Barang modal atau peralatan dan/atau peralatan Peraturan Kepalantoran yang menjadi milik PKB, dalam waktu 30 hari sejak tanggal pencabutan persetujuan harus: a. b. c.

d.

diekspor kembali; dipindahtangankan kepada PKB lain; dikeluarkan ke DPIL dengan membayar BM, PPN, PPnBM, dan PPh Pasal 22 Impor sepanjang telah memenuhi tata laksana kepabeanan di bidang impor dan cukai; atau dimusnahkan dibawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Dalam hal jangka waktu tersebut tidak dipenuhi oleh PKB, barang yang bersangkutan dinyatakan sebagai barang tidak dikuasai. Persetujuan PDKB dapat dicabut apabila: a.

b. c. d. e.

dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut selama berlakunya persetujuan, sama sekali tidak melakukan kegiatan usaha industri untuk tujuan ekspor; persetujuan usaha industri sudah tidak berlaku lagi; dinyatakan pailit oleh pengadilan; bertindak tidak jujur dalam usahanya; persetujuan PKB dicabut.

Pencabutan persetujuan dilakukan PKB atas perintah Direktur Jenderal atas nama Menteri. Barang modal atau peralatan untuk pembangunan/ konstruksi dan/atau barang dan/atau bahan milik PDKB, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pencabutan persetujuan harus:

337

a. b. c.

d.

diekspor kembali; dipindahtangankan kepada PDKB lain; dikeluarkan ke DPIL dengan membayar BM, PPN, PPnBM, dan PEh Pasal 22 Impor sepanjang telah memenuhi tata laksana kepabeanan di bidang impor; atau dimusnahkan dibawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Dalam hal jangka waktu tersebut tidak dipenuhi oleh PDKB, barang yang bersangkutan dinyatakan sebagai barang tidak dikuasai. Pasal 12 Keputusan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai No. KEP63/BC/ 1997 jo. No. KEP-03/BC /2002

Pengusaha pemegang persetujuan PKB atau PKB merangkap PDKB yang tidak memulai pekerjaan fisik bangunan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan atau tidak menyelesaikan fisik bangunan dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak diberikannya persetujuan PKB atau PKB merangkap PDKB, maka terhadap persetujuan PKB atau PKB merangkap PDKB dapat dicabut dan barang yang telah diimpor diselesaikan dengan cara: a. b. c.

Pasal 44-48 Keputusan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai No. KEP-63/BC/ 1997 jo. No. KEP-03/BC/ 2002

diekspor kembali; dipindahtangankan kepada PKB lain; dikeluarkan ke DPIL dengan membayar BM, PPN, PPnBM, dan PPh Pasal 22 Impor sepanjang telah memenuhi ketentuan tata laksana kepabeanan di bidang impor.

Untuk pengamanan hak keuangan negara dan menjamin dipenuhinya ketentuan-ketentuan kepabeanan dan cukai yang berlaku, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai melakukan audit atas 21 pembukuan, catatan, dan dokumen PKB dan PDKB yang berkaitan dengan pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari KB, pemindahan barang dalam KB serta pencacahan sediaan barang. Apabila berdasarkan hasil audit kedapatan selisih kurang jumlah dan/atau jenis barang atau ditemui adanya penggunaan yang tidak sesuai dengan peruntukannya, PKB dan/atau PDKB bertanggung jawab atas pelunasan BM, Cukai, PPN, PPBM, PPh Pasal 22 Impor yang terhutang dan sanksi administrasi berupa denda sebesar seratus persen dari pungutan negara yang terutang.

338

Apabila hasil pemeriksaan terdapat selisih lebih jumlah dan/ atau jenis barang maka dilakukan pemeriksaan lebih lanjut sesuai ketentuan yang berlaku. Dalam hal hasil audit kepabeanan yang dilaksanakan oleh Direktur Jenderal menunjukkan adanya pelanggaran atas ketentuan kepabeanan yang mengakibatkan kerugian hak keuangan negara, Menteri dapat membekukan persetujuan PKB atas saran Direktur Jenderal. Persetujuan PKB dibekukan bilamana PKB tersebut: a. b.

Berada dalam pengawasan kurator sehubungan dengan utangnya; atau Menunjukkan ketidakmampuan dalam penyelenggaraan KB.

Pembekuan persetujuan dapat diubah menjadi pencabutan bilamana PKB: a. b.

tidak dapat melunasi utangnya dalam jangka waktu yang ditetapkan; atau tidak mampu lagi mengusahakan KB.

Persetujuan dapat diberlakukan kembali bilamana PKB: a. b.

telah melunasi utangnya; atau telah mampu kembali mengusahakan KB.

Persetujuan PKB dicabut dalam hal: a.

b. c. d. e. f.

Dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut selama berlakunya persetujuan, PKB sama sekali tidak melakukan kegiatan; Persetujuan usaha industri sudah tidak berlaku lagi; PKB mengalami pailit berdasarkan keputusan pengadilan; PKB bertindak tidak jujur dalam usahanya; Setelah proses pembekuan, tidak melaksanakan kewajiban yang diharuskan; Atas permohonan PKB yang bersangkutan.

Pencabutan persetujuan dilakukan oleh Presiden.

339

Dalam hal persetujuan PKB dicabut, barang modal atau peralatan dan/atau peralatan Peraturan Kepalantoran yang terdapat di KB dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pencabutan persetujuan harus: a. b. c.

d.

diekspor kembali; dan/atau dipindahtangankan kepada PKB lain; dan/ atau dikeluarkan ke DPIL dengan membayar BM, PPN, PPHnBM, dan PPHh Pasal 22 Impor sepanjang telah memenuhi tata laksana kepabeanan di bidang impor; dan/atau dimusnahkan dibawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud di atas tidak dipenuhi oleh PKB, barang yang bersangkutan dinyatakan sebagai barang tidak dikuasai. Persetujuan PDKB dicabut apabila: a.

b. c. d. e. f.

Dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan berturut-turut selama berlakunya persetujuan, PDKB sama sekali tidak melakukan kegiatan usaha industri untuk tujuan ekspor; Persetujuan usaha industri sudah tidak berlaku lagi; PKB mengalami pailit berdasarkan keputusan pengadilan; PKB bertindak tidak jujur dalam usahanya; Persetujuan PKB dicabut; Atas permohonan PDKB yang bersangkutan.

Pencabutan persetujuan dilakukan oleh PKB atas perintah Direktur Jenderal atas nama Menteri. Dalam hal persetujuan PDKB dicabut, barang modal atau peralatan dan/atau barang dan/atau bahan yang terdapat di KB dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal pencabutan persetujuan harus: a. b.

diekspor kembali; dan/atau dipindahtangankan kepada PDKB lain; dan/atau

340

c.

d.

dikeluarkan ke DPIL dengan membayar BM, PPN, PPnBM, dan PPh Pasal 22 Impor sepanjang telah memenuhi tata laksana kepabeanan di bidang impor; dan/atau dimusnahkan dibawah pengawasan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.

Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud di atas tidak dipenuhi oleh PDKB, barang yang bersangkutan dinyatakan sebagai barang tidak dikuasai. VIII.3

KAWASAN PENGEMBANGAN EKONOMI TERPADU (KAPET) VIII.3.1

Pasal 1 Keputusan Presiden No. 150 Tahun 2000 tentang Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu

Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu merupakan wilayah geografis dengan batas-batas tertentu yang memenuhi persyaratan: a. b.

c.

VIII.3.2

Pasal 2-4 Keputusan Presiden No. 150 Tahun 2000

Kriteria KAPET

memiliki potensi untuk cepat tumbuh; dan/ atau mempunyai sektor unggulan yang dapat menggerakkan pertumbuhan ekonomi di wilayah sekitarnya; dan/atau memiliki potensi pengembalian investasi yang besar. Kelembagaan KAPET

VIII.3.2.1 Badan Pengembangan Penetapan kebijakan dan pelaksanaan koordinasi kegiatan pembangunan di KAPET dilakukan oleh Badan Pengembangan KAPET. Badan Pengembangan KAPET mempunyai tugas sebagai berikut: a.

b.

memberikan usulan kepada Presiden untuk kawasan yang akan ditetapkan sebagai KAPET setelah memperhatikan usulan dari Gubernur yang bersangkutan; merumuskan dan menetapkan kebijakan dan strategi nasional untuk mempercepat pembangunan KAPET;

341

c.

d. e.

merumuskan kebijakan yang diperlukan untuk mendorong dan mempercepat masuknya investasi dunia usaha di KAPET; mengkoordinasikan penyusunan dan pelaksanaan rencana kegiatan pembangunan KAPET; memfasilitasi pelaksanaan kegiatan pembangunan KAPET.

Dalam menjalankan tugasnya Badan Pengembangan KAPET dibantu oleh Tim Teknis yang diketuai oleh Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah. Susunan anggota Tim Teknis ditetapkan lebih lanjut oleh Ketua Badan Pengembangan KAPET setelah mempertimbangkan masukan dari Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah selaku Ketua Tim Teknis. VIII.3.2.2 Badan Pengelola Pasal 5-6 Keputusan Presiden No. 150 Tahun 2000

Kegiatan pengelolaan KAPET dilakukan oleh Badan Pengelola KAPET, yang diketuai oleh Gubernur dari wilayah tempat KAPET yang bersangkutan. Dalam melaksanakan tugas sehari-hari, Ketua Badan Pengelola KAPET dibantu oleh Wakil Ketua Badan Pengelola KAPET sebagai Pelaksana Harian, yang bertugas mengelola KAPET secara profesional. Wakil Ketua dan Anggota Badan Pengelola KAPET diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur dari wilayah tempat KAPET yang bersangkutan. Dalam melaksanakan tugasnya, Badan Pengelola dapat menggunakan tenaga ahli profesional. Badan Pengelola KAPET membantu Pemerintah Daerah memberi pertimbangan teknis bagi permohonan perizinan kegiatan investasi pada KAPET. Pembinaan teknis terhadap Badan Pengelola KAPET dilakukan oleh Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah selaku Ketua Tim Teknis Badan Pengembangan KAPET.

342

VIII.3.3 Penetapan KAPET sebagai Kawasan Berikat Pasal 7 Keputusan Presiden No. 150 Tahun 2000

Untuk mengembangkan KAPET sebagai pusat pertumbuhan ekonomi, beberapa wilayah dalam KAPET dapat ditetapkan sebagai Kawasan Berikat sesuai ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku. Seluruh pengurusan perizinan bagi kepentingan pengusaha yang melakukan kegiatan usaha di Kawasan Berikat, dilakukan oleh Pengusaha Kawasan Berikat. VIII.3.4

Pasal 1-2 Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2000 jo. No. 147 Tahun 2000

Fasilitas Perpajakan dan Kepabeanan

Kepada Pengusaha yang melakukan kegiatan usaha di dalam Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu diberikan perlakuan di bidang Pajak Penghasilan sebagai berikut: a.

Pengurangan penghasilan neto sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah penanaman modal yang dilakukan; Pilihan untuk menerapkan penyusutan dan/atau amortisasi yang dipercepat, sebagai berikut: Kompensasi kerugian fiskal, mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai paling lama 10 (sepuluh) tahun; Pengenaan Pajak Penghasilan atas Deviden yang dibayarkan kepada Subyek Pajak luar negeri sebesar 10% (sepuluh persen), atau tarif yang lebih rendah menurut Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku.

b. c.

d.

Masa Kelompok Harta

Manfaat menjadi

Tarif Penyusutan dan Amortisasi Berdasarkan Metode Garis Lurus

Saldo Menurun

I. Bukan Bangunan atau Harta Tak Berwujud: Kelompok I

2 tahun

50%

100%

Kelompok II Kelompok III

4 tahun

25%

50%

8 tahun

12,5%

25%

Kelompok IV

10 tahun

10%

20%

Permanen

10 tahun

10%

-

Tidak Permanen

5 tahun

20%

-

II. Bangunan:

343

Kepada Pengusaha di Kawasan Berikat, untuk selanjutnya disebut PDKB, di dalam wilayah KAPET dapat diberikan fasilitas perpajakan berupa Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut atas: a. impor barang modal atau peralatan lain oleh PDKB yang berhubungan langsung dengan kegiatan produksi; b. impor barang dan/atau bahan untuk diolah di PDKB; c. pemasukan Barang Kena Pajak dari Daerah Pabean Indonesia Lainnya, untuk selanjutnya disebut DPIL, ke PDKB untuk diolah lebih lanjut; d. pengiriman barang hasil produksi PDKB ke PDKB lainnya untuk diolah lebih lanjut; e. pengeluaran barang dan/atau bahan dari PDKB ke perusahaan industri di DPIL atau PDKB lainnya dalam rangka subkontrak; f. penyerahan kembali Barang Kena Pajak hasil pekerjaan subkontrak oleh Pengusaha Kena Pajak di DPIL atau PDKB lainnya kepada Pengusaha Kena Pajak PDKB asal; g. peminjaman mesin dan/atau peralatan pabrik dalam rangka subkontrak dari PDKB kepada perusahaan industri di DPIL atau PDKB lainnya dan pengembaliannya ke PDKB asal. Pasal 1 Keputusan Menteri Keuangan No. 200/KMK.04/ 2000 jo. No. 11/ KMK.04/2001 tentang Perlakuan Perpajakan dan Kepabeanan di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu

Kepada Pengusaha yang melakukan kegiatan usaha dan berdomisili di dalam Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu diberikan fasilitas Pajak Penghasilan berupa: a.

Pengurangan penghasilan netto sebesar 30% (tiga puluh persen) dari jumlah penanaman modal yang dilakukan, yang dapat dinikmati selama 6 (enam) tahun terhitung sejak tahun dimulainya produksi komersial, yaitu sebesar 5% (lima persen) setiap tahun dari jumlah realisasi penanaman modal baik dalam aktiva tetap yang dapat disusutkan maupun yang tidak dapat disusutkan;

344

b.

Pilihan untuk menerapkan penyusutan dan/atau amortisasi yang dipercepat, sebagai berikut: Masa

Kelompok Harta

Manfaat menjadi

Tarif Penyusutan dan Amortisasi Berdasarkan Metode Garis Lurus

Saldo Menurun

I. Bukan Bangunan atau Harta Tak Berwujud: Kelompok I

2 tahun

50%

100%

Kelompok II Kelompok III

4 tahun

25%

50%

8 tahun

12,5%

25%

Kelompok IV

10 tahun

10%

20%

Permanen

10 tahun

10%

-

Tidak Permanen

5 tahun

20%

-

II. Bangunan:

c.

d.

Kompensasi kerugian fiskal, mulai tahun pajak berikutnya berturut-turut sampai paling lama 10 (sepuluh) tahun; Pengenaan Pajak Penghasilan Pasal 26 atas Dividen sebesar 10% (sepuluh persen), atau tarif yang lebih rendah menurut Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda yang berlaku.

Kepada Pengusaha yang melakukan kegiatan usaha sebagai Penyelenggara Kawasan Berikat (PKB)/Pengusaha di Kawasan Berikat (PDKB) di dalam wilayah KAPET dapat diberikan pembebasan PPh Pasal 22 impor atas: a.

b.

c.

impor barang modal atau peralatan untuk pembangunan/perluasan Kawasan Berikat dan peralatan Peraturan Kepalantoran yang semata-mata dipakai oleh PKB; impor barang modal dan peralatan pabrik yang berhubungan langsung dengan kegiatan produksi PDKB yang semata-mata dipakai di PDKB; impor barang dan/atau bahan untuk diolah di PDKB.

345

Pasal 2 Keputusan Menteri Keuangan No. 200/KMK.04/ 2000 jo. No. 11/ KMK.04/ 2001

Kepada PDKB di dalam wilayah KAPET dapat diberikan fasilitas perpajakan berupa Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah tidak dipungut atas: a.

b. c.

d. e.

f.

g.

impor barang modal atau peralatan lain yang berhubungan langsung dengan kegiatan produksi PDKB yang semata-mata dipakai di PDKB; impor barang dan/atau bahan untuk diolah di PDKB; pemasukan Barang Kena Pajak dari Daerah Pabean Indonesia lainnya, untuk selanjutnya disebut DPIL, ke PDKB untuk diolah lebih lanjut; pengiriman barang hasil produksi PDKB ke PDKB lainnya untuk diolah lebih lanjut; pengeluaran barang dan/atau bahan dari PDKB ke Perusahaan industri di DPIL atau PDKB lainnya dalam rangka sub-kontrak; penyerahan kembali Barang Kena Pajak hasil pekerjaan sub-kontrak oleh Pengusaha Kena Pajak di DPIL atau PDKB lainnya kepada Pengusaha Kena Pajak PDKB asal; peminjaman mesin dan/atau peralatan pabrik dalam rangka sub-kontrak dari PDKB kepada perusahaan industri di DPIL, atau PDKB lainnya dan pengembaliannya ke PDKB asal.

Kepada Pengusaha yang melakukan kegiatan usaha sebagai PKB di dalam wilayah KAPET dapat diberikan fasilitas berupa PPN dan PPnBM tidak dipungut atas impor barang modal atau peralatan untuk pembangunan/konstruksi/ perluasan Kawasan Berikat dan peralatan Peraturan Kepalantoran yang semata-mata dipakai oleh PKB yang bersangkutan.

346

Pasal 3 Keputusan Menteri Keuangan No. 200/KMK.04/ 2000 jo. No. 11/ KMK.04/2001

Kepada Pengusaha yang melakukan kegiatan usaha sebagai PKB/ PKB merangkap PDKB di dalam wilayah KAPET diberikan fasilitas kepabeanan berupa penangguhan Bea Masuk atas impor: a. barang modal atau peralatan untuk pembangunan/ konstruksi/perluasan Kawasan Berikat dan peralatan Peraturan Kepalantoran yang semata-mata dipakai oleh PKB; b. barang modal dan peralatan pabrik yang berhubungan langsung dengan kegiatan produksi PDKB yang semata-mata dipakai di PDKB; serta c. barang dan/atau bahan untuk diolah di PDKB. Kepada Pengusaha industri dan Pengusaha industri jasa tertentu sebagaimana tersebut dalam lampiran Keputusan Menteri ini yang melakukan kegiatan usaha dalam rangka pembangunan/pengembangan industri/industri jasa di dalam wilayah KAPET tetapi berada di luar Kawasan Berikat diberikan fasilitas yang meliputi: a.

b.

c.

keringanan Bea Masuk atas impor mesin yang terkait langsung dengan kegiatan industri/ industri jasa sehingga tarif akhir Bea Masuknya menjadi 5% (lima persen); dalam hal tarif Bea Masuk atas mesin sebagaimana dimaksud huruf a yang tercantum dalam Buku Tarif Bea Masuk Indonesia (BTBMI) 5% (lima persen) atau kurang, maka yang berlaku adalah tarif Bea Masuk dalam BTBMI; keringanan Bea Masuk sebagaimana dimaksud huruf a diberikan untuk jangka waktu pengimporan selama 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal keputusan keringanan Bea Masuk.

Atas impor suku cadang dan komponen dari mesin tidak diberikan keringanan Bea Masuk.

347

Kepada Pengusaha industri yang telah mendapatkan keringanan Bea Masuk, kecuali Pengusaha Industri jasa, diberikan fasilitas yang meliputi: a.

b.

c.

dalam rangka pembangunan industri diberikan keringanan Bea Masuk atas impor barang dan bahan untuk keperluan produksi 4 (empat) tahun sesuai kapasitas terpasang sehingga tarif akhir Bea Masuknya menjadi 5% (lima persen) dengan jangka waktu pengimporan selama 4 (empat) tahun terhitung sejak tanggal keputusan keringanan Bea Masuk atas barang dan bahan; dalam rangka pengembangan industri diberikan keringanan Bea Masuk atas impor barang dan bahan untuk keperluan tambahan produksi 4 (empat) tahun sesuai kapasitas terpasang sehingga tarif akhir Bea Masuknya menjadi 5% (lima persen), apabila Pengembangan menambah kapasitas sekurangkurangnya 30% (tiga puluh persen) dari besarnya kapasitas terpasang dengan jangka waktu pengimporan selama 4 (empat) tahun terhitung sejak tanggal keputusan keringanan Bea Masuk atas barang dan bahan; dalam hal tarif Bea Masuk atas barang dan bahan sebagaimana dimaksud huruf a dan b yang tercantum dalam BTBMI 5% (lima persen) atau kurang, maka yang berlaku adalah tarif Bea Masuk dalam BTBMI.

Permohonan untuk memperoleh penangguhan dan/atau keringanan Bea Masuk disampaikan kepada Direktur Jenderal Bea dan Cukai atau pejabat yang ditunjuk dengan disertai: a. b.

Surat Penunjukan Pelaksana Proyek dari Badan Pengelola KAPET; Daftar Barang Impor yang telah diketahui oleh Badan Pengelola KAPET.

348

Pasal 2-3 Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai No. Kep-54/ BC/ 1999 tentang Tata Laksana Pemberian Penangguhan dan/ atau Pembebasan Bea Masuk atas Impor Barang ke Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet)

Pengusaha yang melakukan kegiatan usaha di KB sebagai PKB/PKB merangkap PDKB dan PDKB di dalam wilayah KAPET, diberikan fasilitas berupa penangguhan Bea Masuk atas impor: a.

barang modal atau peralatan Peraturan Kepalantoran yang semata-mata dipakai oleh PKB/PKB merangkap sebagai PDKB; b. barang modal dan peralatan yang berhubungan langsung dengan kegiatan produksi PDKB yang semata-mata dipakai di PDKB; serta c. barang dan/atau bahan diolah di PDKB. Pengusaha yang melakukan kegiatan usaha di dalam wilayah KAPET tetapi berada di luar KB diberikan pembebasan bea masuk atas impor mesin, meliputi: a. b.

mesin yang terkait langsung dengan kegiatan industri/industri jasa; suku cadang dan komponen dari mesin sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam jumlah yang tidak melebihi 10% (sepuluh persen) dari harga mesin.

Terhadap pengusaha yang telah mendapat pembebasan bea masuk atas impor mesin dapat diberikan pembebasan atas impor barang dan bahan untuk keperluan 4 (empat) tahun sesuai kapasitas terpasang dengan jangka waktu pengimporan selama 4 (empat) tahun terhitung sejak tanggal keputusan pembebasan Bea Masuk. Pasal 2-3 Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai No. Kep-54/ BC/ 1999 tentang Tata Laksana Pemberian Penangguhan dan/ atau Pembebasan Bea Masuk atas Impor Barang ke Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet)

Pengusaha yang melakukan kegiatan usaha di KB sebagai PKB/PKB merangkap PDKB dan PDKB di dalam wilayah KAPET, diberikan fasilitas berupa penangguhan Bea Masuk atas impor: a.

b.

c.

barang modal atau peralatan Peraturan Kepalantoran yang semata-mata dipakai oleh PKB/PKB merangkap sebagai PDKB; barang modal dan peralatan yang berhubungan langsung dengan kegiatan produksi PDKB yang semata-mata dipakai di PDKB; serta barang dan/atau bahan diolah di PDKB.

349

Pengusaha yang melakukan kegiatan usaha di dalam wilayah KAPET tetapi berada di luar KB diberikan pembebasan bea masuk atas impor mesin, meliputi: a. b.

mesin yang terkait langsung dengan kegiatan industri/industri jasa; suku cadang dan komponen dari mesin sebagaimana dimaksud dalam huruf a dalam jumlah yang tidak melebihi 10% (sepuluh persen) dari harga mesin.

Terhadap pengusaha yang telah mendapat pembebasan bea masuk atas impor mesin dapat diberikan pembebasan atas impor barang dan bahan untuk keperluan 4 (empat) tahun sesuai kapasitas terpasang dengan jangka waktu pengimporan selama 4 (empat) tahun terhitung sejak tanggal keputusan pembebasan Bea Masuk. Pasal 4, 7 Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai No. Kep-54/ BC/ 1999

Untuk memperoleh penangguhan bea masuk atas impor barang modal atau peralatan, peralatan Peraturan Kepalantoran dan barang atau bahan, pengusaha mengajukan permohonan penetapan sebagai KB dan persetujuan sebagai PKB atau PKB merangkap PDKB atau PDKB kepada Direktur Jenderal u.p. Direktur Fasilitas Kepabeanan dengan disertai surat Penunjukkan Pelaksana Proyek dari Badan Pengelola KAPET. Permohonan untuk memperoleh pembebasan bea masuk atas mesin, suku cadang atau komponen disampaikan kepada Direktur Jenderal u.p. Direktur Fasilitas Kepabeanan sebagaimana contoh Lampiran III Keputusan ini, dilampiri Daftar Kelengkapan Permohonan Pembebasan Bea Masuk atas Impor Mesin, Suku Cadang dan Komponen/Barang dan Bahan sebagaimana contoh Lampiran IIIA Keputusan ini.

350

VIII.4

KAWASAN TIMUR INDONESIA VIII.4.1 Kelembagaan

Pasal 1-2 Keputusan Presiden No. 44 Tahun 2002 tentang Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia

Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia, yang selanjutnya disebut Dewan, adalah suatu wadah koordinasi di tingkat pusat yang mempunyai tugas merumuskan dan menetapkan kebijakan strategis dan program prioritas untuk meningkatkan pembangunan di Kawasan Timur Indonesia beserta penentuan tahapan dan prioritas pelaksanaannya. Untuk melaksanakan tugasnya, Dewan mempunyai fungsi: a.

b. c.

d.

e.

Pasal 5-8 Keputusan Presiden No. 44 Tahun 2002

Menghimpun pemikiran serta saran dari berbagai kalangan yang diperlukan dalam rangka perumusan kebijakan strategis dan program prioritas pelaksanaan pembangunan Kawasan Timur Indonesia; Mengkaji potensi pembangunan Kawasan Timur Indonesia; Merumuskan dan menetapkan kebijakan strategis dan program prioritas, serta penentuan tahapan dan prioritas pembangunan Kawasan Timur Indonesia; Mengevaluasi kebijakan strategis dan program prioritas pembangunan Kawasan Timur Indonesia baik yang telah atau sedang dilaksanakan oleh lembaga/instansi terkait; Mengelola sistem informasi Kawasan Timur Indonesia.

Pelaksanaan tugas Dewan sehari-hari dilakukan oleh Ketua Harian Dewan, dibantu oleh Wakil Ketua Harian Dewan. Dalam melaksanakan tugas dan fungsi, Ketua Harian Dewan dapat: a.

melaksanakan koordinasi dengan para menteri yang memimpin Departemen dan Menteri Negara yang terkait dengan pelaksanaan tugas dan fungsi Dewan;

351

b.

c.

d.

melakukan konsultasi dan kerjasama dengan instansi Pemerintah dan Pemerintah Daerah, serta meminta masukan informasi dan kajian dari kekuatan-kekuatan sosial politik, tokoh masyarakat dan para pakar dan praktisi di bidangnya, serta pihak lain yang dianggap perlu; membentuk Kelompok Kerja, dan Tim Ad-Hoc untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas dan fungsi Dewan; melakukan koordinasi dengan lembagalembaga lain yang terkait dengan pengembangan Kawasan Timur Indonesia.

Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, Dewan dibantu oleh sebuah Sekretariat Dewan yang dipimpin oleh Sekretaris Jenderal dan bertanggung jawab kepada Ketua Harian Dewan. Organisasi dan tata kerja Sekretariat Dewan ditetapkan oleh Ketua Harian Dewan. Dewan mengadakan rapat koordinasi sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam setiap 3 (tiga) bulan. Setiap keputusan Dewan adalah mengikat untuk ditindaklanjuti oleh lembaga/instansi terkait dan Pemerintah Daerah. Pelaksanaan Keputusan Dewan dikoordinasikan oleh Kementerian Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia dengan lembaga/instansi terkait dan Pemerintah Daerah.

352

VIII.4.2

Cakupan Kawasan Timur Indonesia

Kawasan Timur Indonesia meliputi Propinsi:

Pasal 3 Keputusan Presiden No. 44 Tahun 2002

a. Kalimantan Barat; b. Kalimantan Tengah; c. Kalimantan Selatan; d. Kalimantan Timur; e. Nusa Tenggara Barat; f. Nusa Tenggara Timur; g. Sulawesi Utara; h. Sulawesi Tengah; i. Sulawesi Selatan; j. Sulawesi Tenggara; k. Gorontalo; l. Maluku; m. Maluku Utara; n. Papua VIII.4.3 Peraturan Terkait Lainnya Instruksi Presiden No. 7 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Kebijakan Dan Strategi Nasional Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia VIII.5

KAWASAN PERDAGANGAN BEBAS DAN PELABUHAN BEBAS VIII.5.1 a.

b.

Dasar Hukum Undang-Undang No. 44 Tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang-Undang Undang-Undang No. 37 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2000 Tentang Kawasan Perdagangan Bebas Dan Pelabuhan Bebas Sabang Menjadi Undang-Undang

353

VIII.5.2 Batas, Kegiatan, Kedudukan Hukum, Jangka Waktu VIII.5.2.1 Batas Pasal 2 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang No. 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi UndangUndang

Batas-batas Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas baik daratan maupun perairannya ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah tentang Pembentukan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.

Kawasan

VIII.5.2.2 Kegiatan Pasal 3 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2000

Di dalam Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dilakukan kegiatan-kegiatan di bidang ekonomi, seperti sektor perdagangan, maritim, industri, perhubungan, perbankan, pariwisata, dan bidang-bidang lain yang ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah tentang pembentukan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.

VIII.5.2.3 Kedudukan Hukum Pasal 4 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2000

Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas merupakan wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang pembentukannya dengan Peraturan Pemerintah.

354

VIII.5.2.4 Jangka Waktu Pasal 5 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2000

Jangka waktu suatu Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas adalah 70 (tujuh puluh) tahun terhitung sejak ditetapkan sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas.

VIII.5.3 Kelembagaan Pasal 6-8 Peraturan Pemerintah Pengganti UNDANGUNDANG No. 1 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2000

Presiden menetapkan Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas di daerah, yang selanjutnya disebut Dewan Kawasan. Ketua dan anggota Dewan Kawasan ditetapkan oleh Presiden atas usul Gubernur bersama-sama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Masa kerja Ketua dan Anggota Dewan Kawasan selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Dewan Kawasan membentuk Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang selanjutnya disebut Badan Pengusahaan. Kepala dan Anggota Badan Pengusahaan ditetapkan oleh Dewan Kawasan. Masa kerja Kepala dan Anggota Badan Pengusahaan selama 5 (lima) tahun dan dapat diangkat kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Badan Pengusahaan bertanggung jawab kepada Dewan Kawasan. Ketentuan mengenai struktur organisasi, tugas dan wewenang Kepala, Wakil Kepala, dan Anggota Badan Pengusahaan, diatur lebih lanjut dengan Keputusan Ketua Dewan Kawasan.

355

Dewan Kawasan mempunyai tugas dan wewenang menetapkan kebijaksanaan umum, membina, mengawasi dan mengkoordinasikan kegiatan Badan Pengusahaan. Kepala Badan Pengusahaan mempunyai tugas dan wewenang melaksanakan pengelolaan, pengembangan, dan pembangunan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas sesuai dengan fungsi-fungsi Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Dalam melaksanakan kegiatan pengelolaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, Badan Pengusahaan mempunyai wewenang untuk membuat ketentuan-ketentuan sepanjang tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini serta peraturan perundang-undangan lain yang berlaku. VIII.5.4 Fungsi Pasal 9 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2000

Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas mempunyai fungsi sebagai tempat untuk mengembangkan usaha-usaha di bidang perdagangan, jasa, industri, pertambangan dan energi, transportasi, maritim dan perikanan, pos dan telekomunikasi, perbankan, asuransi, pariwisata dan bidang-bidang lainnya, meliputi: a.

b.

kegiatan manufaktur, rancang bangun, perekayasaan, penyortiran, pemeriksaan awal, pemeriksaan akhir, pengepakan, dan pengepakan ulang atas barang dan bahan baku dari dalam dan luar negeri, pelayanan perbaikan atau rekondisi permesinan, dan peningkatan mutu; penyediaan dan pengembangan prasarana dan sarana air dan sumber air, prasarana dan sarana perhubungan termasuk pelabuhan laut dan bandar udara, bangunan dan jaringan listrik, pos dan telekomunikasi, serta prasarana dan sarana lainnya.

356

VIII.5.5 Perizinan

Pasal 10 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2000

Untuk memperlancar kegiatan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, Badan Pengusahaan diberi wewenang mengeluarkan izin-izin usaha dan izin usaha lainnya yang diperlukan bagi para pengusaha yang mendirikan dan menjalankan usaha di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas melalui pelimpahan wewenang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

VIII.5.6 Lalu Lintas Barang, Karantina, Devisa, Keimigrasian, Pelayaran dan Penerbangan VIII.5.6.1 Lalu Lintas Barang Pasal 11 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2000

Barang-barang yang terkena ketentuan larangan, dilarang dimasukkan ke Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas hanya dapat dilakukan oleh pengusaha yang telah mendapat izin usaha dari Badan Pengusahaan. Pengusaha hanya dapat memasukkan barang ke Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas yang berhubungan dengan kegiatan usahanya. Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas melalui pelabuhan dan bandar udara yang ditunjuk dan berada di bawah pengawasan pabean diberikan pembebasan bea masuk, pembebasan pajak pertambahan nilai, pembebasan pajak penjualan atas barang mewah, dan pembebasan cukai. Pemasukan dan pengeluaran barang ke dan dari Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas ke Daerah Pabean diberlakukan tata laksana kepabeanan di bidang impor dan ekspor dan ketentuan di bidang cukai.

357

Pemasukan barang konsumsi dari luar Daerah Pabean untuk kebutuhan penduduk di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas diberikan pembebasan bea masuk, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah, dan cukai. Jumlah dan jenis barang yang diberikan fasilitas ditetapkan oleh Badan Pengusahaan. VIII.5.6.2 Karantina Pasal 12 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2000

Peraturan perundang-undangan karantina manusia, hewan, ikan dan tumbuh-tumbuhan untuk wilayah Indonesia tetap berlaku di dalam Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Badan Pengusahaan dapat bekerja sama dengan pejabatpejabat instansi yang berwenang, untuk melancarkan pemeriksaan dan kerja sama lainnya.

VIII.5.6.3 Devisa Pasal 13 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2000

Mata uang Rupiah adalah alat pembayaran yang sah di seluruh Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Pemasukan dan pengeluaran mata uang Rupiah antar Daerah Pabean ke dan dari Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas tunduk pada peraturan-peraturan yang ditetapkan Pemerintah, sedangkan pemasukan dan pengeluaran mata uang Rupiah antara Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas dengan luar negeri tunduk kepada peraturan umum yang berlaku di Daerah Pabean. Mata uang asing dapat diperjualbelikan di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas melalui bank atau pedagang valuta asing yang mendapat izin sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku. Di dalam Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas, semua transaksi perdagangan internasional dilakukan dalam valuta asing oleh bank yang mendapat izin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

358

VIII.5.6.4 Keimigrasian Pasal 14 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2000

Peraturan perundang-undangan di bidang keimigrasian Republik Indonesia tetap berlaku di dalam Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas. Pemberian kemudahan/fasilitas keimigrasian bagi orang asing pelaku bisnis perdagangan bebas pada Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas diatur dengan Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia.

VIII.5.6.5 Pelayaran dan Penerbangan Pasal 15 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2000

Badan Pengusahaan, dengan persetujuan Dewan Kawasan dapat mengadakan peraturan di bidang tata tertib pelayaran dan penerbangan, lalu lintas barang di pelabuhan dan penyediaan fasilitas pelabuhan, dan lain sebagainya serta penetapan tarif untuk segala macam jasa sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

VIII.5.7 Peraturan Terkait Lainnya a.

b.

c. d.

e.

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2009 tentang Perlakuan Kepabeanan, Perpajakan, dan Cukai serta Pengawasan atas Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari serta Berada di Kawasan yang telah ditunjuk sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Bintan Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Karimun

359

f.

Keputusan Presiden No. 9 Tahun 2008 tentang Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam Keputusan Presiden No. 10 Tahun 2008 tentang Dewan Kawasan Perdagangan Bebas

g.

h.

i.

j.

k.

l.

m.

dan Pelabuhan Bebas Bintan Keputusan Presiden No. 11 Tahun 2008 tentang Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Karimun Peraturan Presiden No. 30 Tahun 2008 tentang Dewan Nasional Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas) Keputusan Presiden No. 152 Tahun 2000 tentang Pembentukan Tim Pengkajian Pengembangan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Peraturan Menteri Perindustrian No. 18/M-IND/ PER/ 2/2010 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Pertimbangan Teknisi Rekomendasi Bidang Perindustrian kepada Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Bintan Dan Karimun Peraturan Menteri Keuangan No. 45/ PMK.03/2009 jo. No. 240/PMK.03/2009 tentang Tata Cara Pengawasan, Pengadministrasian, Pembayaran, serta Pelunasan Pajak Pertambahan Nilai dan/ atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Pengeluaran dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dari Kawasan Bebas ke Tempat Lain dalam Daerah Pabean dan Pemasukan dan/ atau Penyerahan Barang Kena Pajak dan/ atau Jasa Kena Pajak dari Tempat Lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas Peraturan Menteri Keuangan No. 46/ PMK.04/2009 jo. No.  241/PMK.03/2009 tentang Pemberitahuan Pabean dalam rangka Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari Kawasan yang telah ditunjuk sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas

360

n.

o.

p.

q.

r.

Peraturan Menteri Keuangan No. 47/ PMK.04/2009 jo. No.  242/PMK.03/2009 tentang Tata Cara Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari Kawasan yang telah ditunjuk sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Peraturan Menteri Keuangan No. 103/ PMK.04/2006 tentang Penggunaan Pemberitahuan Pabean Single Administrative Document di Pulau Batam, Bintan dan Karimun Peraturan Kepala BKPM No. 5 Tahun 2010 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Pendaftaran Penanaman Modal kepada Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Bintan Wilayah Kabupaten Bintan, Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Bintan Wilayah Kota Tanjung Pinang dan Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Karimun Peraturan Kepala BKPM No. 6 Tahun 2010 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Izin Usaha Dalam Rangka Penanaman Modal kepada Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Bintan Wilayah Kabupaten Bintan, Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Bintan Wilayah Kota Tanjung Pinang dan Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Karimun Peraturan Kepala BKPM No. 15 Tahun 2009 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Pendaftaran Penanaman Modal di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam kepada Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam

361

s.

VIII.6

Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai No. P-16/ BC/2005 jo. No. P-18/BC/2005 tentang Tata Cara Pendirian, Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari Tempat Penimbunan Berikat di Pulau Batam, Bintan dan Karimun

KAWASAN INDUSTRI (INDUSTRIAL ESTATES)

VIII.6.1

Pembangunan Kawasan Industri

Pasal 20 UndangUndang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian Pedoman Teknis kawasan industry untuk selanjutnya diatur dalam Peraturan Menteripein No. 35/M. IND /Per/III/2010 tentang Pedoman Teknis Kawasan Industri

Pemerintah dapat menetapkan wilayah-wilayah pusat pertumbuhan industri serta lokasi bagi pembangunan industri sesuai dengan tujuannya dalam rangka pewujudan Wawasan Nusantara, yang diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 2-3 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri

Pembangunan Kawasan Industri bertujuan untuk: a. b.

mengendalikan pemanfaatan ruang; meningkatkan upaya pembangunan industri yang berwawasan lingkungan; c. mempercepat pertumbuhan industri di daerah; d. meningkatkan daya saing Industri; e. meningkatkan daya saing investasi; dan f. memberikan kepastian lokasi dalam perencanaan dan pembangunan infrastruktur, yang terkoordinasi antar sektor terkait. Pembangunan Kawasan Industri di wilayah lintas provinsi dilakukan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Pembangunan Kawasan Industri di wilayah Provinsi DKI Jakarta dilakukan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Ibukota Negara.

362

VIII.6.2 Fasilitas/Kemudahan Pembangunan Kawasan Industri di wilayah lintas kabupaten/ kota dilakukan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi. Pembangunan Kawasan Industri di wilayah kabupaten/ kota dilakukan sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota. Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2009

Dalam rangka optimalisasi pemanfaatan Kawasan Industri, gubernur atau bupati/walikota memberikan: a. b.

c. d.

Pasal 11-12 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2009

insentif dan kemudahan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; kemudahan dalam perolehan/pembebasan lahan pada wilayah daerah yang diperuntukkan bagi pembangunan Kawasan Industri; pengarahan kegiatan Industri ke dalam Kawasan Industri; dan/atau pelayanan terpadu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Perusahaan di dalam Kawasan Industri dapat diberikan fasilitas kepabeanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepabeanan. Fasilitas perpajakan terhadap Kawasan Industri dan Perusahaan Industri di dalam Kawasan Industri diberikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan. VIII.6.3 Kewajiban Lokasi

Pasal 7-8 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2009

Perusahaan Industri yang akan menjalankan Industri setelah Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku, wajib berlokasi di Kawasan Industri. Kewajiban berlokasi di Kawasan Industri dikecualikan bagi: a.

Perusahaan Industri yang menggunakan bahan baku dan/atau proses produksinya memerlukan lokasi khusus.

363

b. c.

Industri mikro, kecil, dan menengah. Perusahaan Industri yang akan menjalankan Industri dan berlokasi di daerah kabupaten/ kota yang belum memiliki Kawasan Industri atau yang telah memiliki Kawasan Industri namun seluruh kavling industri dalam kawasan industrinya telah habis.

Jenis Industri yang memerlukan lokasi khusus, serta industri mikro, kecil, dan menengah ditetapkan oleh Menteri. Perusahaan Industri yang akan melakukan perluasan dengan menambah lahan melebihi ketersediaan lahan Kawasan Peruntukan Industri, wajib berlokasi di Kawasan Industri. VIII.6.4 Pasal 9-10 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2009

Kegiatan dan Luas Lahan

Selain kegiatan Industri, setiap Perusahaan Industri di dalam Kawasan Industri dapat melakukan kegiatan penyimpanan barang, yang juga dapat dilakukan oleh perusahaan jasa penyimpanan barang dan dilakukan sesuai ketentuan dengan peraturan perundang-undangan. Perusahaan Industri wajib memiliki Izin Usaha Industri atau Tanda Daftar Industri yang diterbitkan oleh Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/ kota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Luas lahan Kawasan Industri paling rendah 50 (lima puluh) hektar dalam satu hamparan. Luas lahan Kawasan Industri Tertentu untuk Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah paling rendah 5 (lima) hektar dalam satu hamparan. VIII.6.5 Perizinan VIII.6.5.1 Izin Usaha Kawasan Industri

Pasal 13, 15-16 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2009

Setiap kegiatan usaha Kawasan Industri wajib memiliki Izin Usaha Kawasan Industri.

364

Untuk memperoleh Izin Usaha Kawasan Industri, Perusahaan Kawasan Industri wajib memperoleh Persetujuan Prinsip sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kawasan Industri yang telah memperoleh Persetujuan Prinsip dalam batas waktu 2 (dua) tahun wajib melaksanakan: a. b. c. d.

penyediaan/penguasaan tanah; penyusunan rencana tapak tanah; pematangan tanah; penyusunan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan mendapatkan pengesahan; e. perencanaan dan pembangunan prasarana dan sarana penunjang termasuk pemasangan instalasi/peralatan yang diperlukan; f. penyusunan Tata Tertib Kawasan Industri; g. pemasaran kaveing Industri; dan h. penyediaan, pengoperasian, dan/atau pemeliharaan pelayanan jasa bagi Perusahaan Industri di dalam Kawasan Industri. Batas waktu untuk mempersiapkan pembangunan Kawasan Industri hanya dapat diperpanjang untuk satu kali dengan batas waktu paling lama 2 (dua) tahun. Izin Usaha Kawasan Industri diberikan kepada Perusahaan Kawasan berdasarkan Hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Perusahaan Kawasan Industri dapat berbentuk: a. b. c.

Badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah; Koperasi; atau Badan usaha swasta.

Perusahaan Kawasan Industri yang telah memiliki Izin Usaha Kawasan Industri dapat menunjuk pihak lain untuk melakukan pengelolaan Kawasan Industri, dengan pemberitahuan kepada pemberi Izin Usaha Kawasan Industri. Penunjukkan pengelolaan Kawasan Industri kepada pihak lain tidak mengurangi tanggung jawab Perusahaan Kawasan Industri yang bersangkutan.

365

VIII.6.5.2 Izin Lokasi Kawasan Industri Pasal 14 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2009

Perusahaan Kawasan Industri yang telah memperoleh Persetujuan Prinsip wajib memperoleh Izin Lokasi Kawasan Industri dengan mengajukan permohonan kepada: a. b. c.

bupati/walikota untuk Kawasan Industri yang lokasinya di wilayah satu kabupaten/ kota; gubernur untuk Kawasan Industri yang lokasinya lintas kabupaten/kota; atau Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk Kawasan Industri yang lokasinya lintas provinsi.

Pemberian Izin Lokasi Kawasan Industri kepada Perusahaan Kawasan Industri dilakukan berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah yang ditetapkan pemerintah daerah setempat. VIII.6.5.3 Izin Perluasan Kawasan Industri Pasal 17 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2009

Perusahaan Kawasan Industri yang telah memperoleh Izin Usaha Kawasan Industri dan telah beroperasi, serta akan melakukan perluasan Kawasan Industri wajib memperoleh Izin Perluasan Kawasan Industri terlebih dahulu. Izin Usaha Kawasan Industri dan Izin Perluasan Kawasan Industri diberikan oleh pejabat yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Usaha Kawasan Industri dan Izin Perluasan Kawasan Industri diatur dengan Peraturan Menteri. VIII.6.5.4 Izin Tetap Parsial

Pasal 2 Surat Keputusan Menteri Perindustrian No. 26/M/SK/2/ 1992

Pemberian Izin Tetap Parsial diberlakukan sama dengan pemberian Izin Tetap Kawasan Industri sebagaimana diatur dalam Pasal 9 Surat Keputusan Menteri Perindustrian No. 291/M/ SK/10/1989.

366

Pemberian Izin Tetap Parsial dapat diberikan secara bertahap dari sebagian tanah sedikitnya seluas 20% dari luas tanah dalam Izin Lokasi dengan luas tanah sedikitnya 50 (lima puluh) Ha yang berupa kesatuan blok-blok sesuai dengan rencana tapak yang sudah disahkan oleh Pemerintah Daerah. Permohonan Izin Tetap Parsial dapat diberikan apabila telah memenuhi persyaratan tambahan sebagai berikut: a.

b. c.

d.

e.

f.

mengisi formulir Model PMK II sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Menteri Perindustrian No. 291/M/SK/10/1989; telah memiliki Rencana Tapak Parsial yang sudah disahkan oleh Pemerintah Daerah; telah memperoleh konfirmasi dari Kantor Pertanahan di Daerah bahwa tanah yang dimohonkan sudah dibebaskan dan bebas dari gugatan pihak lain; telah mulai menyusun AMDAL dan menyatakan bahwa yang bersangkutan akan melaksanakan segala kewajiban pengelolaan lingkungan seperti yang akan direkomendasikan dalam RKL/RPL yang sudah disahkan oleh Komisi Pusat AMDAL Departemen Perindustrian; tanah yang dimohonkan secara fisik sudah dapat digunakan oleh perusahaan industri untuk mulai melakukan persiapan-persiapan pembangunan industrinya; sudah ada Berita Acara Pemeriksaan Lapangan oleh Pejabat yang ditunjuk.

Izin Tetap Parsial dinyatakan tidak berlaku apabila dalam waktu 12 (dua belas) bulan sejak diterbitkan Izin Tetap Parsial, Perusahaan Kawasan Industri belum menyelesaikan AMDAL, RKL/RPL serta belum menyusun TATA TERTIB Kawasan Industri.

367

VIII.6.5.5 Hak Penggunaan atas Tanah Pasal 18-19 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2009

Perusahaan Kawasan Industri yang telah memperoleh Izin Usaha Kawasan Industri dapat diberikan Hak Guna Bangunan atas tanah yang telah dikuasai dan dikembangkan. Hak Guna Bangunan Kawasan Industri dapat dipecah menjadi Hak Guna Bangunan untuk masing-masing kaveling. Pemecahan Hak Guna Bangunan menjadi Hak Guna Bangunan untuk masing-masing kaveling dilakukan dan menjadi tanggung jawab Perusahaan Kawasan Industri. Ketentuan dan tata cara pemberian Hak Guna Bangunan dan pemecahan Hak Guna Bangunan untuk masing-masing kaveling dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Kawasan Industri yang dikembangkan oleh badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang telah memperoleh Izin Usaha Kawasan Industri dapat diberikan Hak Pengelolaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Di atas Hak Pengelolaan dapat diberikan Hak Guna Bangunan berdasarkan usul pemegang Hak Pengelolaan. Hak Guna Bangunan sebagaimana dimaksud di atas dapat diberikan untuk masing-masing kaveling atau gabungan beberapa kaveling. VIII.6.6 Kewajiban Kawasan Industri dan Perusahaan Industri, Tata Tertib Kawasan Industri VIII.6.6.1 Kewajiban Kawasan Industri

Pasal 20-22 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2009

Perusahaan Kawasan Industri wajib menyediakan lahan bagi kegiatan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah. Kawasan Industri wajib memiliki Tata Tertib Kawasan Industri.

368

Tata Tertib Kawasan Industri paling sedikit memuat informasi mengenai: a. hak dan kewajiban masing-masing pihak; b. ketentuan yang berkaitan dengan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup sesuai hasil studi Analisis Dampak Lingkungan, Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkungan; c. ketentuan peraturan perundang-undangan yang terkait; dan d. ketentuan lain yang ditetapkan oleh pengelola Kawasan Industri. Kawasan Industri wajib memfasilitasi perizinan dan hubungan Industrial bagi Perusahaan Industri yang berada di Kawasan Industri. Kawasan Industri wajib memenuhi pedoman teknis Kawasan Industri. Ketentuan mengenai Peraturan Menteri.

pedoman

teknis

diatur

dengan

VIII.6.6.2 Kewajiban Perusahaan Industri Pasal 23-24 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2009

Perusahaan Industri di dalam Kawasan industri wajib memiliki: a. b.

Upaya Pengelolaan Lingkungan; dan Upaya Pemantauan Lingkungan.

Perusahaan Industri di dalam Kawasan Industri yang mengelola atau memanfaatkan limbah bahan berbahaya dan beracun wajib menyusun Analisis Mengenai Dampak Lingkungan dan mendapat pengesahan. Perusahaan Industri di dalam Kawasan Industri dikecualikan dari perizinan yang menyangkut Gangguan, Lokasi, dan pengesahan rencana tapak tanah.

369

Setiap Perusahaan Industri di kawasan Industri wajib: a. b.

c.

d.

memenuhi semua ketentuan perizinan dan Tata Tertib Kawasan Industri yang berlaku; memelihara daya dukung lingkungan di sekitar kawasan termasuk tidak melakukan pengambilan air tanah; melakukan pembangunan pabrik dalam batas waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak pembelian lahan; dan mengembalikan kavling Industri kepada Perusahaan Kawasan Industri apabila dalam batas waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud pada huruf c tidak melakukan pembangunan pabrik.

Tata cara pengembalian kaveling Industri diatur lebih lanjut dalam Tata Tertib Kawasan Industri masing-masing Kawasan Industri. VIII.6.6.3 Tata Tertib Kawasan Industri Pasal 3 Surat Keputusan Menteri Perindustrian No. 26/M/SK/2/ 1992

Tata Tertib Kawasan Industri disusun oleh Perusahaan Kawasan Industri berdasarkan pada: a. Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pembangunan dan pengusahaan Kawasan Industri, pembangunan dan pengoperasian industri di dalam kawasan industri serta pengelolaan lingkungan hidup; b. Semua rekomendasi tentang pengelolaan lingkungan dan pengendalian dampak yang tercantum dalam RKL/RPL; c. Rencana pengembangan perusahaan Kawasan Industri. Tata Tertib Kawasan Industri wajib memperoleh pengesahan dari Pemerintah Daerah Tingkat II.

370

Perusahaan Kawasan Industri bertanggung jawab atas dilaksanakannya Tata Tertib Kawasan Industri oleh Perusahaan Industri di dalam Kawasan Industri. Perusahaan Kawasan Industri dapat melakukan Perjanjian Penggunaan Tanah Industri di dalam Kawasan Industri dengan pihak Perusahaan industri dengan melampirkan Tata Tertib Kawasan Industri. VIII.6.7 Tim Nasional Kawasan Industri Pasal 25 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2009

Timnas-KI bertugas: a.

memberikan usulan dan masukan kepada Menteri sebagai bahan penyusunan perumusan kebijakan; b. melakukan pengawasan pelaksanaan pengembangan Kawasan Industri; c. melakukan koordinasi dengan instansi Pemerintah terkait dan/atau pemerintah daerah serta Perusahaan Kawasan Industri; d. melakukan evaluasi perkembangan Kawasan Industri; dan/atau mengusulkan patokan harga jual atau sewa kaveling dan/atau bangunan Industri di Kawasan Industri; dan e. mengusulkan patokan harga jual atau sewa kaveling dan/atau bangunan industri di Kawasan Industri. Keanggotaan Timnas-KI terdiri dari unsur Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota dan perhimpunan Kawasan Industri, Kamar Dagang dan Industri yang diangkat dan ditetapkan oleh Menteri. Timnas-KI wajib melaporkan tugasnya kepada Menteri paling lama 1 (satu) kali setiap 6 (enam) bulan.

371

372

PENANAMAN MODAL PADA SEKTOR - SEKTOR TERTENTU

373

374

IX.1

PENANAMAN MODAL PEMBANGUNAN INRASTRUKTUR IX.1.1 Transportasi IX.1.1.1.

Jalan Tol

IX.1.1.1.1. Ketentuan Umum Pasal 1 angka 2, Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol

Jalan tol adalah jalan umum yang merupakan bagian sistem jaringan jalan dan sebagai jalan nasional yang penggunanya diwajibkan membayar tol.

Pasal 1 angka 5, Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2005

Badan usaha di bidang jalan tol yang selanjutnya disebut badan usaha, adalah badan hukum yang bergerak di bidang pengusahaan jalan tol.

Pasal 1 angka 8, Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2005

Ruas jalan tol adalah bagian atau penggal dari jalan tol tertentu yang penggunaannya dapat dilakukan oleh badan usaha tertentu. IX.1.1.1.2 Penyelenggaraan Jalan Tol

Pasal 2 ayat (1),Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2005

Penyelenggaraan jalan tol dimaksudkan untuk mewujudkan pemerataan pembangunan dan hasilhasilnya serta keseimbangan dalam pengembangan wilayah dengan memperhatikan keadilan, yang dapat dicapai dengan membina jaringan jalan yang dananya dari pengguna jalan. IX.1.1.1.3 Pengaturan Jalan Tol

Pasal 9 ,Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2005

Pengaturan jalan tol meliputi perumusan kebijakan perencanaan, penyusunan perencanaan umum, dan pembentukan peraturan perundang-undangan.

375

IX.1.1.1.4 Pembinaan Jalan Tol Pasal 15-18, Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2005

Pembinaan jalan tol terdiri atas: a.

Pedoman dan standar teknis;

b. c. d.

Pelayanan; Pemberdayaan; Penelitian dan pengembangan

IX.1.1.1.5 Pengusahaan Jalan Tol

Bab V, Pasal 19-68, Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2005 jo. Peraturan Pemerintah No. 144 Tahun 2009

Pengusahaan jalan tol meliputi pendanaan, perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi, peng-operasian dan atau pemeliharaan yang dapat dilakukan oleh Pemerintah dan/atau Badan Usaha yang memenuhi persyaratan.

Pasal 19 -68 Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2005 jo. Peraturan Pemerintah No. 144 Tahun 2009

Hal-hal yang terkait pengusahaan jalan tol: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j.

Bentuk pengusahaan; Pendanaan; Persiapan pengusahaan; Perencanaan teknis; Pengadaan tanah; Pelaksanaan konstruksi; Pengoperasian; Pemeliharaan; Pelelangan pengusahaan jalan tol; Perjanjian pengusahaan jalan tol; dan tarif tol

IX.1.1.1.6 Saham yang Dapat Dimiliki Asing Lampiran Peraturan Presiden No. 77 Tahun 2007

Saham yang dapat dimiliki asing dalam pengusahaan jalan tol (KBLI 45221) adalah maksimal 95% (sembilan puluh lima persen).

376

IX.1.1.1.7 Pengawasan Jalan Tol Pasal 69 ayat (1), Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2005

Pengawasan jalan tol dilakukan untuk mewujudkan tertib pengaturan, pembinaan dan pengusahaan jalan tol.

Pasal 69 ayat (2), Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2005

Pengawasan jalan tol terdiri dari pengawasan umum dan pengawasan pengusahaan jalan tol.

Pasal 70 ayat (1), Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2005

Pengawasan umum meliputi pengawasan terhadap penye-lenggaraan jalan tol, pengembangan jaringan jalan tol, fungsi dan manfaat jaringan jalan tol, dan kinerja jaringan jalan tol.

Pasal 71 ayat (1), Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2005

Pengawasan pengusahaan jalan tol meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan kewajiban perjanjian pengusahaan jalan tol. IX.1.1.1.8 Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT)

Pasal 74, Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2005

BPJT mempunyai wewenang melakukan sebagian pengaturan, pengusahaan dan pengawasan Badan Usaha Jalan Tol untuk memberikan manfaat yang maksimal bagi negara dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. IX.1.1.1.9 Hak dan Kewajiban Badan Usaha Jalan Tol

Pasal 91, Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2005

Badan usaha jalan tol wajib mengusahakan agar jalan tol selalu memenuhi syarat kelayakan untuk dioperasikan.

Pasal 89, Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2005

Badan Usaha berhak untuk menolak masuknya dan/ atau mengeluarkan pengguna jalan tol yang tidak memenuhi ketentuan batasan terberat di gerbang terdekat dari jalan tol. IX.1.1.1.10 Peraturan-peraturan terkait dengan penanaman modal di bidang Jalan Tol:

377

a. b.

c. d.

e.

f.

IX.1.1.2

Undang-Undang No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol jo. Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2009 Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 jo. No. 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum Keputusan Menteri Keuangan No. 44/ KMK. 05/2007 tanggal 19 Januari 2007 tentang Penetapan Persetujuan Investasi Pemerintah atas Penyaluran Dana Dukungan Infrastruktur dan Besaran Nilai Tambah serta Prosentase Bagi Hasil Keuntungan atas Nilai Tambah dari Pengembalian Pokok Dana Dukungan Infrastruktur yang disalurkan Badan Investasi Pemerintah kepada Badan Pengatur Jalan Tol Keputusan Menteri Keuangan No. 791/KMK. 02/2006 tentang Penetapan Badan Pengatur Jalan Tol pada Departemen Pekerjaan Umum sebagai Instansi Pemerintah yang menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Pelayanan Umum Pelabuhan

IX.1.1.2.1 Pengertian Pelabuhan 1.Pasal 1 angka 16, Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran; 2. Pasal 1 ayat 1, Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan

Pelabuhan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan/ atau perairan dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan pengusahaan yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, naik turun penumpang, dan/atau bongkar muat barang, berupa terminal dan tempat berlabuh kapal yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan pelayaran dan kegiatan penunjuang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra-dan antar moda transportasi.

378

1.Pasal 1 angka 14 Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 2. Pasal 1 ayat 29, Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2009

Pasal 1 ayat 30, Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2009

Kepelabuhanan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi pelabuhan untuk menunjang kelancaran, keamanan, dan ketertiban arus lalu lintas kapal, penumpang dan/atau barang, keselamatan dan keamanan berlayar, tempat perpindahan intra-dan/atau antar moda serta mendorong perekonomian nasional dan badan usaha pelabuhan adalah badan usaha yang kegiatan usahanya khusus di bidang pengusahaan terminal dan fasilitas pelabuhan lainnya. Konsesi adalah pemberian hak oleh penyelenggara pelabuhan kepada badan usaha pelabuhan untuk melakukan kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan tertentu dalam jangka waktu tertentu dan kompensasi tertentu. IX.1.1.2.2 Jenis Pelabuhan terdiri atas:

Pasal 6 ayat 1,2 dan 3, Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2009

a.

b.

Pelabuhan laut (terdiri dari pelabuhan utama, pelabuhan pengumpul, dan pelabuhan pengumpan); Pelabuhan sungai dan danau.

IX.1.1.2.3 Tatanan Kepelabuhanan Nasional Pasal 1 angka 15, Undang-Undang No. 17 Tahun 2008

Tatanan Kepelabuhan Nasional adalah suatu sistem kepelabuhanan yang memuat peran, fungsi, jenis, hirarki pelabuhan, rencana induk pelabuhan nasional, dan lokasi pelabuhan serta keterpaduan intra dan antar moda serta keterpaduan dengan sektor lainnya.

Pasal 3 ayat (2), Peraturan Pemerintah No.61 Tahun 2009

Tatanan kepelabuhanan nasional merupakan sistem kepelabuhanan secara nasional yang menggambarkan perencanaan kepelabuhanan berdasarkan kawasan ekonomi, geografi, dan keunggulan komparatif wilayah, serta kondisi alam.

379

IX.1.1.2.4 Penyelenggara Pelabuhan Pasal 38 ayat 2, Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2009

Terdiri atas: a. Otoritas pelabuhan pada pelabuhan yang diusahakan secara komersial; b. Unit penyelenggara pelabuhan pada pelabuhan yang belum diusahakan secara komersial. IX.1.1.3 Bandar Udara IX.1.1.3.1 Batasan/Pengertian

Pasal 1 angka 33, Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan

Bandar udara adalah kawasan di daratan dan/ atau perairan dengan batas-batas tertentu yang digunakan sebagai tempat pesawat udara mendarat dan lepas landas, naik turun penumpang, bongkar muat barang, dan tempat perpindahan intra dan antar moda transportasi, yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan penerbangan, serta fasilitas pokok dan fasilitas penunjang lainnya.

Pasal 1 angka 43, Undang-Undang No. 1 Tahun 2009

Badan usaha bandar udara adalah badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan hukum Indonesia berbentuk perseroan terbatas atau koperasi yang kegiatan utamanya mengoperasikan bandar udara untuk pelayanan umum IX.1.1.3.2 Tatanan Kebandarudaraan

Pasal 193 ayat 2, Undang-Undang No. 1 Tahun 2009

Tatanan kebandarudaraan nasional merupakan sistem perencanaan kebandarudaraan nasional yang menggambarkan interdependensi, inter-relasi, dan sinergi antar unsur-unsur meliputi sumber daya alam, sumber daya manusia, geografis, potensi ekonomi, dan pertahanan keamanan dalam rangka mencapai tujuan nasional.

380

IX.1.1.3.3 Kegiatan pengusahaan di terdiri atas: Pasal 232 ayat (1), Undang-Undang No. 1 Tahun 2009

Pasal 232 ayat (2), Undang-Undang No. 1 Tahun 2009

a. b.

bandar udara

Pelayanan jasa kebandar udaraan; Pelayanan jasa terkait bandar udara.

Pelayanan jasa kebandar-udaraan meliputi: pelayanan jasa pesawat udara, penumpang, barang, dan pos yang terdiri atas penyediaan dan/ atau pengembangan: a. Fasilitas untuk kegiatan pelayanan pendaratan, lepas landas, manuver, parkir, dan penyimpanan pesawat udara; b. Fasilitas terminal untuk pelayanan angkutan penumpang, kargo, dan pos; c. Fasilitas elektronika, listrik, air, dan instalasi limbah buangan; dan d. Lahan untuk bangunan, lapangan, dan industri serta gedung atau bangunan yang berhubungan dengan kelancaran angkutan udara. IX.1.1.3.4 Kepemilikan saham asing pada pembangunan dan pengoperasian bandar udara

Pasal 237 ayat (1), UNDANG-UNDANG No. 1 Tahun 2009

Pengusahaan bandar udara yang dilakukan oleh badan usaha bandar udara, seluruh atau sebagian besar modalnya harus dimiliki oleh badan hukum Indonesia atau warganegara Indonesia.

Pasal 237 ayat (2), Undang-Undang No. 1 Tahun 2009

Dalam hal modal badan usaha bandar udara yang dimiliki oleh badan hukum Indonesia atau warganegara Indonesia terbagi atas beberapa pemilik modal, salah satu pemilik modal nasional harus tetap lebih besar dari keseluruhan pemegang modal asing.

Lampiran Peraturan Presiden No. 76 Tahun 2007

Saham yang dapat dimiliki asing dalam jasa kebandarudaraan (KBLI 63330) adalah maksimal 49% (empat puluh sembilan persen).

381

IX.1.1.4 Kereta Api IX.1.1.4.1 Batasan/Pengertian Pasal 1 angka 1, Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Kereta Api

Perkeretaapian adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas prasarana, sarana dan sumber daya manusia, serrta norma, kriteria, persyaratan, dan prosedur untuk menyelenggarakan transportasi kereta api.

Pasal 1angka 9, Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2009

Badan Usaha adalah badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan hukum Indonesia yang khusus didirikan untuk penyelenggaraan perkeretaapian. IX.1.1.4.2 Jaringan Pelayanan Perkeretaapian

Pasal 2 ayat (2), Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2009

Terdiri atas: a. b.

jaringan pelayanan perkeretaapian antar kota; jaringan pelayanan perkereta- apian perkotaan.

IX.1.1.4.3 Angkutan Kereta Api Pasal 111 ayat (1), Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2009

Pengoperasian kereta api antar kota dan kereta api perkotaan dilakukan oleh awak sarana perkeretaapian.

IX.1.1.4.4 Peraturan yang terkait: a. b. c.

382

Undang-Undang No. 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Perkeretaapian Peraturan Presiden No. 103 Tahun 2006 tentang Pemberian Jaminan Pemerintah untuk Pembangunan Proyek Monorail Jakarta

IX.1.2 Energi (Pembangkit Listrik) IX.1.2.1 Pasal 1 angka 1, Undang-Undang No. 30 Tahun 2009

Pengertian Ketenagalistrikan

Ketenagalistrikan adalah segala sesuatu yang menyangkut penyediaan dan pemanfaatan tenaga listrik serta usaha penunjang tenaga listrik. IX.1.2.2

Kebijakan di Bidang Ketenagalistrikan

Konsiderans Menimbang Huruf b, Undang-Undang No. 30 Tahun 2009

Listrik mempunyai peran yang sangat penting dan strategis dalam mewujudkan tujuan pembangunan nasional, maka usaha penyediaan tenaga listrik dikuasai oleh negara dan penyediaannya perlu terus ditingkatkan sejalan dengan perkembangan pembangunan agar tersedia tenaga listrik dalam jumlah yang cukup, merata dan bermutu.

Konsiderans Menimbang Huruf d, Undang-Undang No. 30 Tahun 2009

Penyediaan tenaga listrik bersifat padat modal dan teknologi dan sejalan dengan prinsip otonomi daerah dan demokratisasi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, maka peran pemerintah daerah dan masyarakat dalam penyediaan listrik perlu ditingkatkan. IX.1.2.3

Pasal 2 ayat (2), Undang-Undang No. 30 Tahun 2009

Pembangunan ketenagalistrikan bertujuan untuk menjamin ketersediaan tenaga listrik dalam jumlah yang cukup, kualitas yang baik, dan harga yang wajar dalam rangka meningkatkan kesejahteraan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata serta mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan. IX.1.2.4

Pasal 4 ayat (2), Undang-Undang No. 30 Tahun 2009

Tujuan

Pengusahaan

Badan usaha swasta, koperasi, dan swadaya masyarakat dapat berpartisipasi dalam usaha penyediaan tenaga listrik.

383

IX.1.2.5 Pasal 8 , UndangUndang No. 30 Tahun 2009

Usaha ketenagalistrikan terdiri atas: usaha penyediaan tenaga listrik; dan usaha penunjang tenaga listrik.

IX.1.2.6 Pasal 18, UndangUndang No. 30 Tahun 2009

Usaha Ketenagalistrikan

Perizinan

Usaha penyediaan tenaga listrik dan usaha penunjang tenaga listrik dilaksanakan setelah mendapatkan izin usaha.

IX.1.2.7 Fasilitas bagi penanaman modal di bidang ketenagalistrikan Pasal 2 Peraturan Presiden No. 72 Tahun 2006 tentang Tim Koordinasi Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik

Tim Koordinasi Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik (Tim Koordinasi), mempunyai tugas: a. mengambil langkah-langkah yang diperlukan bagi penyelesaian masalah yang berkaitan dengan pendanaan, pengadaan tanah, pembebasan dan kompensasi jalur transmisi, perizinan, perpajakan, kepabeanan, dan percepatan persetujuan Analisa mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) untuk pembangunan pembangkit tenaga listrik PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dalam rangka diversifikasi energi untuk pembangkit tenaga listrik yang menggunakan batubara; b. mengambil langkah-langkah yang diperlukan bagi penyelesaian masalah perizinan, proses pembelian tenaga listrik dari pembangkit tenaga listrik swasta; c. mengambil langkah-langkah kebijakan bagi tersedianya batubara untuk pembangunan pembangkit tenaga listrik; dan d. mengambil langkah-langkah kebijakan untuk penyesuaian jadwal operasi proyek.

384

Pasal 1 ayat 1 Peraturan Menteri ESDM No. 044 Tahun 2006 tentang Pembelian Tenaga Listrik dalam Rangka Percepatan Diversifikasi Energi untuk Pembangkit Tenaga Listrik ke Batubara melalui Pemilihan Langsung

Dalam rangka percepatan diversifikasi energi untuk pembangkit tenaga listrik ke batubara, Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan (PKUK) dapat melakukan pembelian energi listrik yang menggunakan bahan bakar batubara dari Koperasi, Badan Usaha Milik Daerah, swasta, swadaya masyarakat, dan perorangan selaku Pemegang lzin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentinga Umum melalui Pemilihan Langsung.

IX.1.2.8 Jaminan bagi penanaman modal di bidang ketenagalistrikan Pasal 1 Peraturan Presiden No. 86 Tahun 2006 jo. Peraturan Presiden No. 91 Tahun 2007 tentang Pemberian Jaminan Pemerintah untuk Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik yang menggunakan Batubara

Terhadap pinjaman yang dilakukan oleh PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) dalam rangka mendukung pembangunan Tenaga Listrik sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun Tahun 2006 tentang Penugasan Kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Untuk Melakukan Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik Yang Menggunakan Batubara, Pemerintah memberikan jaminan penuh terhadap pembayaran kewajiban PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) kepada Kreditor yang menyediakan pendanaan Kredit Perbankan. Jaminan pemerintah diberikan sepanjang telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri Keuangan No. 146/ PMK. 01/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Jaminan Pemerintah untuk Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik yang menggunakan Batubara

Jaminan Pemerintah diberikan atas kewajiban pembayaran utang PLN kepada kreditur Kredit Ekspor, sepanjang ketidakmampuan PLN membayar kewajiban tersebut adalah akibat dari kebijakan Pemerintah. Kebijakan sebagaimana dimaksud diatas, meliputi: a. b. c.

Kebijakan harga jual tenaga listrik; Kebijakan subsidi listrik dalam rangka kompensasi fungsi kemanfaatan umum; Kebijakan yang mempengaruhi pasokan dan harga batubara; dan

385

d.

IX.1.2.9

Kebijakan yang menghentikan atau menunda pelaksana dari/pembangunan proyek yang telah berjalan, yang mengakibatkan PLN tidak mampu membayar kewajibannya Percepatan pembangunan ketenagalistrikan

Pasal 1 Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2006 tentang Penugasan kepada PLN untuk melakukan Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik yang menggunakan Batubara

Pemerintah menugaskan kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero), yang selanjutnya disebut PT PLN (Persero), untuk menyelenggarakan pengadaan pembangunan pembangkit tenaga listrik yang menggunakan batubara di lokasi dan dengan jadwal operasi proyek sebagaimana tercantum dalam Lampiran Peraturan Presiden ini. Pengadaan pembangunan pembangkit tenaga listrik sebagaimana dimaksud di atas, termasuk pembangunan transmisi terkait.

Pasal 2 Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2006 tentang Penugasan kepada PLN untuk melakukan Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik yang menggunakan Batubara

Guna kepentingan Penyelenggaraan pengadaan pembangunan tenaga listrik yang menggunakan batubara: a.

Dalam hal PT PLN (Persero) melakukan pembangunan pembangkit tenaga listrik dengan biaya dari dana yang tidak mengikat, dilakukan melalui metode lelang terbuka. b. Dalam hal PT PLN (Persero) melakukan pembangunan pembangkit tenaga listrik dengan biaya dari dana yang mengikat, dapat dilakukan melalui metode pemilihan langsung. c. Dalam pelaksanaan pembangunan pembangkit tenaga listrik secara cepat, maka semua perizinan menyangkut Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), pembebasan dan kompensasi jalur transmisi, dan proses pengadaan tanah akan diselesaikan dalam jangka waktu paling lama 120 (seratus dua puluh) hari oleh instansi/ pejabat terkait yang berwenang sejak pertama kali diajukan.

386

IX.1.2.10 Peraturan-peraturan terkait dengan penanaman modal di bidang ketenagalistrikan: UndangUndang No. 30 Tahun 2007 tentang Energi IX.1.3 Komunikasi dan Informasi .

IX.1.3 .1

Konsiderans menimbang, huruf b, Undang-Undang No 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi

Bahwa penyelenggaraan telekomunikasi mempunyai arti strategis dalam upaya memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, memperlancar kegiatan pemerintahan, mendukung terciptanya tujuan pemerataan pembangunan dan hasilhasilnya, serta meningkatkan hubungan antar bangsa IX.1.3.2

Kebijakan

Batasan dan Pengertian

Pasal 1 angka 1, Undang-Undang No 36 Tahun 1999

Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman dan atau penerimaan dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektronik lainnya.

Pasal 1 angka 7, Undang-Undang No 36 Tahun 1999

Jasa telekomunikasi adalah layanan telekomunikasi untuk memenuhi kebutuhan bertelekomunikasi dengan menggunakan jaringan telekomunikasi.

Pasal 1 angka 8, Undang-Undang No 36 Tahun 1999

Penyelenggara telekomunikasi adalah perseorangan, koperasi, Badan Usaha Milik daerah (BUMD), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Swasta, Instansi Pemerintah, dan Instansi Pertahanan Keamanan Negara.

Pasal 1 angka 12, Undang-Undang No 36 Tahun 1999

Penyelenggaraan telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan atau pelayanan telekomunikasi sehingga memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi. IX.1.3.3

Pasal 2, UndangUndang No 36 Tahun 1999

Asas dan Tujuan

Telekomunikasi diselenggarakan berdasarkan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, kemitraan, etika, dan kepercayaan kepada diri sendiri.

387

Pasal 3, UndangUndang No 36 Tahun 1999

Telekomunikasi diselenggarakan dengan tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata, mendukung kehidupan ekonomi dan kegiatan pemerintahan, serta meningkatkan hubungan antar bangsa. IX.1.3.4

Penyelenggaraan Telekomunikasi

Pasal 7 ayat 1, Undang-Undang No 36 Tahun 1999

Penyelenggaraan telekomunikasi meliputi:

Pasal 8 ayat 1, Undang-Undang No 36 Tahun 1999

Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan/ atau jasa telekomunikasi dapat dilakukan oleh badan hukum yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu:

a. b. c.

a. b. c. d.



IX.1.3.5

Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi; Penyelenggaraan jasa telekomunikasi; Penyelenggaraan telekomunikasi khusus.

Badan Usaha Milik Negara (BUMN); Badan Usaha Milik Daerah (BUMD); Badan Usaha Swasta; atau Koperasi. Perizinan

Pasal 11 ayat 1, Undang-Undang No 36 Tahun 1999

Penyelenggaraan telekomunikasi dapat diselenggarakan setelah mendapat izin dari Menteri.

Pasal 11 ayat 2, Undang-Undang No 36 Tahun 1999

Izin diberikan dengan memperhatikan: a. b. c.

388

Tata cara yang sederhana; Proses yang transparan dan adil dan tidak diskriminatif; serta Penyelesaian dalam waktu singkat.

IX.1.3.6 Pasal 12 dan 13, Undang-Undang no 36 Tahun 1999

Hak Penyelenggara Telekomunikasi: a.

Memanfaatkan atau melintasi tanah negara dan atau bangunan yang dimiliki atau dikuasai Pemerintah;

b.

Hak di atas berlaku pula terhadap sungai, danau, atau laut, baik permukaan maupun dasar; Memanfaatkan atau melintasi tanah dan atau bangunan milik perseorangan untuk tujuan pembangunan, pengoperasian atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi setelah mendapat persetujuan diantara pihak

c.

Pasal 15 sampai dengan 20, Pasal 25 dan Pasal 26, Undang-Undang No 36 Tahun 1999

Hak dan Kewajiban Penyelenggara

Kewajiban Penyelenggara Telekomunikasi: a. b. c.

d. e.

f.

g.

h.

Memberikan ganti rugi atas kesalahan dan atau kelalaiannya; Memberikan kontribusi dalam pelayanan universal; Menyediakan pelayanan telekomunikasi bedasarkan prinsip: perlakuan yang sama, efisien, pemenuhan standar pelayanan; Merekam secara rinci pemakaian jasa telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna; Menjamin kebebasan penggunanya memilih jaringan telekomunikasi lain untuk pemenuhan kebutuhan telekomunikasi; Memberikan prioritas untuk pengiriman, penyaluran dan penyampaian informasi penting menyangkut: keamanan negara, keselamatan jiwa dan harta benda, bencana alam, mara bahaya, wabah penyakit; Setiap penyelenggaran jaringan telekomunikasi wajib menyediakan interkoneksi apabila diminta oleh penyelenggaran jaringan telekomunikasi lainnya; Wajib membayar biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi.

389

IX.1.3.7 Peraturan-Peraturan yang terkait Penanaman Modal di bidang Telekomunikasi: a. b. c.

d.

e.

IX.2

Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2000 tentang Penggunaan Spektrum frekuensi Radio dan Orbit Satelit; Peraturan Menteri Kominfo No. 02/ Per/M. Kominfo/3/2008 tentang Jasa Pembangunan Menara Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri No. 18 Tahun 2009, Menteri Pekerjaan Umum No. 07/PRT/M/2009, Menteri Komunikasi dan Informatika No. 19/Per/ M.Kominfo/03/2009, dan Kepala BKPM No. 3/P/2009 tanggal 30 Maret 2009 tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Bersama Menara Telekomunikasi.

PANGAN IX.2.1 Kebijakan

Alinea ke- 3 Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah No 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budi Daya Tanaman

Untuk menciptakan kepastian berusaha di bidang budi daya tanaman sehingga tercipta iklim usaha yang kondusif bagi para pelaku usaha.

IX.2.2 Istilah dan Pengertian Pasal 1 angka 1, Peraturan Pemerintah No 18 Tahun 2010

Usaha Budidaya Tanaman adalah serangkaian kegiatan pengembangan dan pemanfaatan sumber daya alam nabati melalui upaya manusia yang dengan modal, teknologi, dan sumber daya lainnya menghasilkan barang guna memenuhi kebutuhan manusia secara lebih baik.

390

Pasal 1angka 4, Peraturan Pemerintah No 18 Tahun 2010

Pelaku Usaha Budi Daya Tanaman yang selanjutnya disebut pelaku usaha adalah perorangan warganegara Indonesia atau badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia yang mengelola usaha budi daya tanaman. IX.2.3 Maksud Pengaturan Usaha Budi Daya Tanaman

Pasal 2 Peraturan Pemerintah No 18 Tahun 2010

a.

Mewujudkan kedaulatan dan ketahanan pangan; b. Menyediakan kebutuhan bahan baku industri; c. Meningkatkan pemberdayaan, pendapatan, dan kesejahteraan petani; d. Mendorong perluasan dan pemerataan kesempatan berusaha dan kesempatan bekerja; e. Meningkatkan perlindungan budidaya tanaman secara konsisten dan konsekuen dengan memperhatikan pelestarian sumber daya alam dan/atau lingkungan hidup; f. Memberikan kepastian berusaha bagi pelaku usaha budidaya tanaman. IX.2.4 Pelaku Usaha Budi Daya Tanaman

Pasal 5 Peraturan Pemerintah No 18 Tahun 2010

a. b.

Perorangan; dan Badan usaha yang berbentuk badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, meliputi: 1. Badan usaha milik Negara; 2. Badan usaha milik daerah; 3. Badan Usaha swasta; atau 4. Koperasi.

IX.2.5 Syarat Permohonan Perizinan Pasal 11 angka 1, Peraturan Pemerintah No 18 Tahun 2010

a. Akte pendirian perusahaan perubahannya yang terakhir; b. Nomor Pokok Wajib Pajak; c. Surat keterangan domisili;

391

dan

d. Rekomendasi kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota dan Bupati/Walikota untuk izin usaha tanaman yang diterbitkan oleh Gubernur; e. Rekomendasi kesesuaian dengan rencana makro pembangunan tanaman provinsi dari Gubernur untuk izin usaha tanaman yang diterbitkan oleh Bupati/ Walikota; f. Izin usaha dari Bupati/Walikota yang dilengkapi dengan peta calon lokasi dengan skala 1:100.000 atau 1: 50.000; g. Rekomendasi lokasi dari Pemerintah Daerah lokasi unit pengolahan; h. Jaminan Pasokan bahan baku yang diketahui oleh Bupati/Walikota; i. Rencana kerja pembangunan unit usaha budidaya tanaman; j. Hasil analisis mengenai dampak lingkungan atau upaya pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan di bidang lingkungan hidup; k. Pernyataan kesediaan untuk melakukan kemitraan. IX.2.6 Kewajiban Kerjasama bagi Penanam Modal Asing Pasal 15 Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 2010

a.

Penanam modal asing yang akan melakukan budidaya tanaman wajib bekerjasama dengan pelaku usaha budidaya tanaman dalam negeri dengan membentuk badan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. b. Batas penanaman modal asing untuk usaha budi daya tanaman sebagaimana dimaksud, maksimum 49% (empat puluh sembilan persen).

392

IX.2.7 Pembinaan Pasal 19 angka 1dan 2, Peraturan Pemerintah No 18 Tahun 2010

a. Bupati/Walikota dan Gubernur wajib melakukan pembinaan dan memberikan pelayanan dalam pelaksanaan budidaya tanaman; b. Pembinaan meliputi: pengaturan, pelayanan, pemberian izin, bimbingan, dan pengawasan terhadap proses kegiatan produksi dan penanganan pasca panen. IX.2.8 Sanksi Administratif

Pasal 22 angka 4, Peraturan Pemerintah No 18 Tahun 2010

Izin usaha budidaya tanaman dIcabut, apabila pelaku usaha budidaya tanaman: a.

Tidak melakukan kegiatan usaha selama 6 (enam) bulan berturut-turut sejak pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11; b. Melakukan pemindahtanganan izin, perubahan jenis tanaman, lokasi, dan/atau perluasan usaha sebelum memperoleh persetujuan pemberi izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; c. Tidak menyampaikan laporan kegiatan teknis usaha secara benar sebagaimana dimaksud pada Pasal 17; d. Tidak memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam pemberian izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18; e. Hak guna usaha atau hak atas tanah lain yang digunakan usaha budidaya tanaman dibatalkan atau dicabut atau tidak diperpanjang masa berlakunya. IX.2.9 Peraturan lain yang terkait: a. b.

Undang-Undang No 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman; Undang-Undang No 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman.

393

c.

IX.3

Instruksi Presiden No. 6 Tahun 1998 tentang PMA di Bidang Perkebunan Kelapa Sawit

KEHUTANAN IX.3.1 Kebijakan

Konsiderans Menimbang, huruf a, Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Bahwa hutan, sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai oleh Negara, memberikan manfaat serba guna bagi umat manusia, karenanya wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang. IX.3.2 Batasan dan Pengertian

Pasal 1 angka 1, Undang-Undang No. 41 Tahun 1999

Keh u ta n a n a d a l a h s i s t e m p e n gu ru s a n y a n g b er sa n g ku t p a u t d e n ga n h u t a n , k a w a s a n h u ta n , d a n h a s i l h u t a n y a n g d i s e l e n gga ra k a n seca r a ter p a d u.

Pasal 1 angka 2,Undang-Undang No. 41 Tahun 1999

Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.

Pasal 1 angka 7, Undang-Undang No. 41 Tahun 1999

Hutan produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan. IX.3.3 Asas dan Tujuan

Pasal 2, UndangUndang No. 41 Tahun 1999

Penyelenggaraaan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaam, keterbukaan, dan keterpaduan.

394

Pasal 3, UndangUndang No. 41 Tahun 1999

Penyelenggaraan kehutanan bertujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat berkeadilan dan berkelanjutan.

untuk yang

IX.3.4 Fungsi Hutan Pasal 6 UndangUndang No. 41 Tahun 1999

Hutan mempunyai 3 (tiga) fungsi, yaitu: a. b. c.

Fungsi konservasi; Fungsi lindung; dan Fungsi produksi.

IX.3.5 Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan Pasal 23, UndangUndang No. 41 Tahun 1999, sebagaimana dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan

Pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya.

Pasal 24, UndangUndangNo. 41 Tahun 1999

Pemanfaatan Kawasan Hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada taman nasional.

Pasal 25 UndangUndang No. 41 Tahun 1999

Pemanfaatan Hutan Pelestarian Alam dan Kawasan Hutan Suaka Alam serta Taman Buru diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku

Pasal 26 ayat 1, Undang-Undang No. 41 Tahun 1999

Pemanfaatan Hutan Lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu.

Pasal 26 ayat 2, Undang-Undang No. 41 Tahun 1999

Pemanfaatan Hutan Lindung dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu.

395

Pasal 28 ayat 1, Undang-Undang No. 41 Tahun 1999

Pemanfaatan Hutan Produksi dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu.

Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999

Pemanfaatan Hutan Produksi dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, izin pemungutan hasil dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu IX.3.6 Pihak yang Dapat Memperoleh Izin Usaha

Pasal 27 ayat 1,2, dan 3 Undang-Undang No. 41 Tahun 1999

Pada Hutan Lindung, izin usaha pemanfaatan kawasan dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu hanya dapat diberikan kepada perorangan dan koperasi, sementara itu izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan dapat diberikan kepada perorangan, koperasi, badan usaha milik swasta Indonesia dan badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.

Pasal 29 ayat 1,2,3,4, dan 5, Undang-Undang No.41 Tahun 1999

Pada Hutan Produksi, izin usaha pemanfaatan kawasan dan izin pemungutan hasil hutan hanya dapat diberikan kepada perorangan dan koperasi, sementara itu izin pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, dan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dapat diberikan kepada: perorangan, koperasi, badan usaha milik swasta Indonesia, dan badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.

Pasal 38 ayat 1, Undang-Undang No. 41 Tahun 1999

Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan hanya dapat dilakukan di dalam kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung.

396

Pasal 38 ayat 3 dan 4, Undang-Undang No. 41 Tahun 1999

Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan. Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan pertambangan terbuka. IX.3.7

dengan

pola

Hak dan Kewajiban Pemegang Izin Usaha

Pasal 30 UndangUndang No. 41 Tahun 1999

Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, baik BUMN, BUMD maupun Badan Usaha milik swasta wajib bekerjasama dengan koperasi dan masyarakat setempat.

Pasal 32, UndangUndang No. 41 Tahun 1999

Pemegang izin usaha berkewajiban untuk menjaga, memelihara dan melestarikan hutan tempat usahanya.

Pasal 35 ayat 1 dan 2, Undang-Undang No. 41 Tahun 1999

Setiap pemegang izin usaha pemanfaatan hutan, baik pada hutan lindung maupun hutan produksi, dikenakan iuran izin usaha, provisi, dana reboisasi, dan dana jaminan kinerja. Di samping itu wajib menyediakan dana investasi untuk biaya pelestarian hutan

Pasal 35 ayat 4, Undang-Undang No. 41 Tahun 1999

Setiap pemegang izin pemungutan hasil hutan hanya dikenakan provisi.

IX.3.8 Pendanaan dan Prasarana Pasal 57 ayat 1, Undang-Undang No. 41 Tahun 1999

Dunia usaha dalam bidang kehutanan wajib menyediakan dana investasi untuk penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, serta penyuluhan kehutanan.

397

IX.3.9 Peraturan-peraturan yang Terkait Penanaman Modal di Bidang Kehutanan a.

b. c.

d.

e.

f.

g.

h.

398

Undang-Undang No. 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang perubahan atas UndangUndang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang; Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan. Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2007 jo. Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2008 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan; Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2002 jo Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 2007 tentang Dana Reboisasi; Keputusan Presiden No. 41 Tahun 2004 tentang Perizinan atau Perjanjian di Bidang Pertambangan Yang Berada di Kawasan Hutan; Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2007 jo. Peraturan Menteri Kehutanan No. P.11/MenhutII/ 2008 tentang Tata Cara Pemberian Izin dan Perluasan Areal kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman Industri dalam Hutan Tanaman pada Hutan Produksi; Peraturan Menteri Kehutanan No. P.20/ Menhut-II/2007 jo Peraturan Menteri Kehutanan No. P.61/Menhut-II/ 2007 tentang Tata Cara Pemberian Izin Usaha Pemanfaatan hasil Hutan Kayu dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi melalui Permohonan.

IX.4

KEPARIWISATAAN IX.4.1 Kebijakan

Konsiderans Menimbang, huruf d, Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan

Pembangunan kepariwisataan diperlukan untuk mendorong pemerataan kesempatan berusaha dan memperoleh manfaat serta mampu menghadapi tantangan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global.

IX.4.2 Istilah dan Pengertian Pasal 1 angka 4, Undang-Undang No. 10 Tahun 2009

Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan Pariwisata dan bersifat multi dimensi dan multi disiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan Pengusaha.

Pasal 1 angka 7, Undang-Undang No. 10 Tahun 2009

Usaha pariwisata adalah usaha yang menyediakan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dan penyelenggara pariwisata.

Pasal 1 angka 9, Undang-Undang No. 10 Tahun 2009

Industri Pariwisata adalah kumpulan usaha pariwisata yang saling terkait dalam rangka menghasilkan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dalam penyelenggaraan pariwisata. IX.4.3 Asas dan Tujuan

Pasal 2 UndangUndang No. 10 Tahun 2009

Kepariwisataan diselenggarakan berdasarkan asas: a. Manfaat b. Kekeluargaan c. Adil dan Merata d. Keseimbangan e. Kemandirian f. Kelestarian g. Partisipatif h. Berkelanjutan i. Demokratis

399

j. Kesetaraan, dan k. Kesatua Pasal 4 UndangUndang No. 10 Tahun 2009

Kepariwisataan bertujuan untuk: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j.

Meningkatkan pertumbuhan ekonomi; Meningkatkan kesejahteraan rakyat; Menghapus kemiskinan; Mengatasi pengangguran; Melestarikan alam, lingkungan, dan sumber daya; Memajukan kebudayaan; Mengangkat citra bangsa; Memupuk rasa cinta tanah air; Memperkukuh jati diri dan kesatuan bangsa; dan Mempererat persahabatan bangsa.

IX.4.4 Ruang Lingkup Pembangunan Kepariwisataan Pasal 7 UndangUndang No. 10 Tahun 2009

Pembangunan kepariwisataan meliputi: a. b. c.

Industri Pariwisata Destinasi Pariwisata Pemasaran dan Kelembagaan Kepariwisataan

IX.4.5 Ruang Lingkup Usaha Pariwisata Pasal 14 ayat 1, Undang-Undang No. 10 Tahun 2009

Usaha pariwisata meliputi, antara lain: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j.

400

Daya tarik wisata Kawasan pariwisata Jasa transportai wisata Jasa perjalanan wisata Jasa makanan dan minuman Penyediaan akomodasi Penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi Penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi dan pameran Jasa informasi pariwisata Jasa konsultan pariwisata

k. Jasa pramuwisata l. Wisata tirta, dan m. Spa IX.4.6 Hak dan Kewajiban Pengusaha Pariwisata Pasal 22, UndangUndang No. 10 Tahun 2009

Setiap pengusaha pariwisata berhak: a. b. c. d.

Pasal 26, UndangUndang No. 10 Tahun 2009

Mendapatkan kesempatan yang sama dalam berusaha di bidang kepariwisataan; Membentuk dan menjadi anggota asosiasi kepariwisataan; Mendapatkan perlindungan hukum dalam berusaha; dan Mendapatkan fasilitas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Setiap pengusaha pariwisata berkewajiban: a.

Menjaga dan menghormati norma agama, adat istiadat, budaya, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat setempat; b. Memberikan informasi yang akurat dan dan bertanggung jawab; c. Memberikan pelayanan yang tidak diskriminatif; d. Memberikan kenyamanan, keramahan, perlindungan keamanan, dan keselamatan wisatawan; e. Memberikan perlindungan asuransi pada usaha pariwisata dengan kegiatan yang beresiko tinggi; f. Mengembangkan kemitraan dengan usaha mikro, kecil, dan koperasi setempat yang saling memerlukan, memperkuat, dan menguntungkan; g. Mengutamakan penggunaan produk masyarakat setempat, produk dalam negeri, dan memberikan kesempatan kepada tenaga kerja lokal; h. Meningkatkan kompetensi tenaga kerja melalui pelatihan dan pendidikan;

401

i. Berperan aktif dalam upaya pengembangan prasarana dan program pemberdayaan masyarakat; j. Turut serta mencegah segala bentuk perbuatan yang melanggar kesusilaan

k. l. m.

n.

dan kegiatan yang melanggar hukum di lingkungan tempat usahanya; Memelihara lingkungan yang sehat, bersih dan asri; Memelihara kelestarian lingkungan alam dan budaya; Menjaga citra negara dan bangsa Indonesia melalui kegiatan usaha kepariwisataan secara bertanggung jawab; dan Menerapkan standar usaha dan standar kompetensi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

IX.4.7 Gabungan Industri Pariwisata Pasal 50 ayat 1,Undang-Undang No. 10 Tahun 2009

Untuk mendukung pengembangan dunia usaha pariwisata yang kompetitif, dibentuk suatu wadah yang dinamakan Gabungan Industri Pariwisata Indonesia.

Pasal 50 ayat 2, Undang-Undang No. 10 Tahun 2009

Keanggotaan Gabungan Industri Pariwisata Indonesia terdiri atas: a. b. c. d.

Pengusaha pariwisata; Asosiasi usaha pariwisata; Asosiasi profesi; dan Asosiasi lain yang terkait dengan pariwisata

langsung

IX.4.8 Tenaga Kerja Ahli WNA Pasal 56 ayat 1, Undang-Undang No. 10 Tahun 2009

Pengusaha pariwisata dapat mempekerjakan warganegara asing sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

402

IX.4.9 Insentif Bagi Pengusaha dalam Pembangunan Pariwisata Pendanaan oleh pengusaha dan/atau masyarakat dalam pembangunan pariwisata diberikan insentif yang diatur dengan Peraturan Presiden.

Pasal 60, UndangUndang No. 10 Tahun 2009

IX.5

MINYAK DAN GAS BUMI IX.5.1 Kebijakan

Konsiderans Menimbang, huruf b, Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi

Bahwa minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan yang dikuasai oleh negara serta merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak dan mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional sehingga pengelolaannya harus dapat secara maksimal memberikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. IX.5.2 Batasan dan Pengertian

Pasal 1 angka 1, Undang-Undang No. 22 Tahun 2001

Minyak Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfir berupa fasa cair atau padat, termasuk aspal, lilin mineral atau ozokerit, dan bitumen yang diperoleh dari proses penambangan, tetapi tidak termasuk batubara atau endapan hidrokarbon lain yang berbentuk padat yang diperoleh dari kegiatan yang tidak berkaitan dengan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi.

Pasal 1 angka 2, Undang-Undang No. 22 Tahun 2001

Gas Bumi adalah hasil proses alami berupa hidrokarbon yang dalam kondisi tekanan dan temperatur atmosfer berupa fasa gas yang diperoleh dari proses penambangan Minyak dan Gas Bumi.

Pasal 1 angka 7, Undang-Undang No.22 Tahun 2001

Kegiatan Usaha Hulu adalah kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha Eksplorasi dan Eksploitasi

403

Pasal 1 angka 10, Undang-Undang No. 22 Tahun 2001

Kegiatan Usaha Hilir adalah kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan dan/atau Niaga.

Pasal 1 angka 17, Undang-Undang No. 22 Tahun 2001

Badan Usaha adalah perusahaan berbentuk badan hukum yang menjalankan jenis usaha bersifat tetap, terus menerus dan didirikan sesuai dengan peraturan perundangundangan yang berlaku serta bekerja dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pasal 1 angka 19, Undang-Undang No. 22 Tahun 2001

Kontrak Kerja Sama adalah Kontrak Bagi Hasil atau bentuk kontrak kerjasama lain dalam kegiatan Eksplorasi dan Eksploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Pasal 1 angka 20, Undang-Undang No. 22 Tahun 2001

Izin Usaha adalah izin yang diberikan kepada Badan Usaha untuk melaksanakan Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan dan/atau Niaga dengan tujuan memperoleh keuntungan dan/atau laba. IX.5.3 Asas dan Tujuan

Pasal 2 ayat 1, Undang-Undang No. 22 Tahun 2001

Penyelenggaraan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi yang diatur dalam Undang-Undang ini berasaskan

Pasal 3, UndangUndang No. 22 Tahun 2001

Penyelenggaraan kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi bertujuan:

ekonomi kerakyatan, keterpaduan, manfaat, keadilan, keseimbangan, pemerataan, kemakmuran bersama dan kesejahteraan rakyat banyak, keamanan, keselamatan, dan kepastian hukum, serta berwawasan lingkungan.

a.

404

Menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian kegiatan usaha Eksplorasi dan Eksploitasi secara berdaya guna, berhasil guna, serta berdaya saing tinggi dan berkelanjutan atas Minyak dan Gas Bumi milik negara yang strategis dan tidak terbarukan melalui mekanisme yang terbuka dan transparan;

b. Menjamin efektivitas pelaksanaan dan pengendalian usaha Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan Niaga secara akuntabel yang diselenggarakan melalui mekanisme persaingan usaha c.

d.

e.

f.

yang wajar, sehat dan transparan; Menjamin efisiensi dan efektivitas tersedianya Minyak Bumi dan Gas Bumi, baik sebagai sumber energi maupun sebagai bahan baku, untuk kebutuhan dalam negeri; Mendukung dan menumbuh-kembangkan kemampuan nasional untuk lebih mampu bersaing di tingkat nasional, regional dan internasional; Meningkatkan pendapatan negara untuk memberikan kontribusi yang sebesarbesarnya bagi perekonomian nasional dan mengembangkan serta memperkuat posisi industri dan perdagangan Indonesia; Menciptakan lapangan kerja, meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat yang adil dan merata, serta tetap menjaga kelestarian lingkungan hidup.

IX.5.4 Pengusahaan Pasal 5 UndangUndang No. 22 Tahun 2001

Kegiatan Usaha Minyak dan Gas Bumi terdiri atas: a. b.

Kegiatan Usaha Hulu, yang mencakup Eksplorasi, dan Eksploitasi; Kegiatan Usaha Hilir, yang mencakup Pengolahan, Pengangkutan, Penyimpanan, dan Niaga.

Pasal 6 ayat 1, Undang-Undang No. 22 Tahun 2001

Kegiatan Usaha Hulu dilaksanakan dan dikendalikan melalui Kontrak Kerja Sama.

Pasal 7 ayat 1, Undang-Undang No. 22 Tahun 2001

Kegiatan Usaha Hilir dilaksanakan dengan Izin Usaha.

405

Pasal 9, UndangUndang No. 22 Tahun 2001

Kegiatan Usaha Hulu dan Kegiatan Usaha Hilir dapat dilaksanakan oleh: a. b. c.

Badan Usaha Milik Negara Badan Usaha Milik Daerah Koperasi, usaha kecil

d.

Badan usaha swasta

IX.5.5 Kontrak Kerja Sama Pasal 11 ayat 3, Undang-Undang No. 22 Tahun 2001

Kontrak Kerja Sama memuat paling sedikit ketentuanketentuan pokok, yaitu: a. b. c. d. e. f. g.

h. i. j. k. l. m. n. o. p. q.

406

Penerimaan Negara Wilayah Kerja dan Pengembaliannya Kewajiban pengeluaran dana Perpindahan kepemilikan hasil produksi atas Minyak dan Gas Bumi Jangka waktu dan kondisi perpanjangan kontrak Penyelesaian perselisihan Kewajiban pemasokan Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk kebutuhan dalam negeri Berakhirnya kontrak Kewajiban pasca operasi pertambangan Keselamatan dan kesehatan kerja Pengelolaan lingkungan hidup Pengalihan hak dan kewajiban Pelaporan yang diperlukan Rencana pengembangan lapangan Pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri Pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat Pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia

IX.5.6 Izin Usaha Hilir Pasal 12 ayat 2, Undang-Undang No. 22 Tahun 2001

Izin Usaha yang diperlukan untuk kegiatan usaha Minyak Bumi dan/atau kegiatan usaha Gas Bumi dibedakan atas: a. b. c. d.

Izin Izin Izin Izin

Usaha Usaha Usaha Usaha

Pengolahan Pengangkutan Penyimpanan Niaga

IX.5.7 Kaitan dengan Hak Atas Tanah Pasal 33 ayat 2, Undang-Undang No. 22 Tahun 2001

Hak atas Wilayah kerja tidak meliputi hak atas tanah permukaan Bumi.

Pasal 33 ayat 3, Undang-Undang No. 22 Tahun 2001

Kegiatan Usaha Minyak dan Gas Bumi tidak dapat dilaksanakan pada: a.

b. c. d.

Pasal 34 ayat 1, Undang-Undang No. 22 Tahun 2001

Tempat pemakaman, tempat yang dianggap suci, tempat umum, sarana dan prasarana umum, cagar alam, cagar budaya, serta tanah milik masyarakat adat; Lapangan dan bangunan pertahanan negara serta tanah di sekitarnya; Bangunan bersejarah dan simbol-simbol negara; Bangunan, rumah tinggal, atau pabrik beserta tanah pekarangan sekitarnya, kecuali izin dari instansi Pemerintah, persetujuan masyarakat, dan perorangan yang berkaitan dengan hal tersebut.

Dalam hal Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap akan menggunakan bidang-bidang tanah hak atau tanah negara di dalam Wilayah Kerjanya, Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang bersangkutan wajib terlebih dahulu mengadakan penyelesaian dengan pemegang hak atau pemakai tanah di atas tanah negara, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

407

IX.5.8 Ketentuan Peralihan bagi Kontraktor Bagi Hasil yang Ada

Pasal 64, UndangUndang No. 22 Tahun 2001

Pada saat Undang-Undang ini berlaku: a.

b.

c.

d.

e.

Dengan terbentuknya Badan Pelaksana, semua hak, kewajiban, dan akibat yang timbul dari Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) antara Pertamina dan Pihak Lain beralih kepada Badan Pelaksana; Dengan terbentuknya Badan Pelaksana, kontrak lain yang berkaitan dengan kontrak sebagaimana tersebut pada huruf a antara Pertamina dan Pihak lain beralih kepada Badan Pelaksana; Semua kontrak sebagaimana dimaksud pada huruf a dan huruf b dinyatakan tetap berlaku sampai dengan berakhirnya kontrak yang bersangkutan; Hak, kewajiban dan akibat yang timbul dari kontrak, perjanjian atau perikatan selain sebagaimana dimaksud pada huruf a dan b tetap dilaksanakan oleh Pertamina sampai dengan terbentuknya Persero yang didirikan untuk itu dan beralih kepada Persero tersebut; Pelaksanaan perundingan atau negosiasi antara Pertamina dan Pihak Lain dalam rangka keja sama Eksplorasi dan Eksploitasi beralih pelaksanaannya kepada Menteri.

IX.5.9 Ketentuan-ketentuan terkait dalam Penanaman Modal pada sektor Minyak dan Gas Bumi: a.

b.

408

Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2004 jo Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2009 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi; Peraturan Pemerintah No. 36 Tahun 2004 jo Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 2009 tentang Kegiatan Usaha Hilir Minyak dan Gas Bumi;

c. d.

e.

f.

g.

IX.6

Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 2007 tentang Kegiatan Usaha Panas Bumi; Peraturan Menteri ESDM No. 1 Tahun 2008 tentang Pedoman Pengusahaan Pertambangan Minyak Bumi Pada Sumur Tua; Peraturan Menteri ESDM No. 3 Tahun 2008 tentang Pedoman dan tata Cara Pengembalian Wilayah Kerja yang tidak dimanfaatkan oleh Kontraktor Kerja Sama dalam rangka Peningkatan Produksi Minyak dan Gas Bumi; Peraturan Menteri ESDM No. 27 Tahun 2008 tentang Kegiatan Usaha Penunjang Minyak dan Gas Bumi; Peraturan Menteri ESDM No. 22 Tahun 2008 tentang Jenis Biaya-biaya untuk Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi yang tidak dapat dikembalikan kepada Kontraktor Kerjasama

MINERAL DAN BATUBARA IX.6.1 Kebijakan

Konsiderans Menimbang Huruf c, Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

Adanya kebutuhan peraturan perundang-undangan di bidang pertambangan mineral dan batubara yang dapat mengelola dan mengusahakan potensi mineral dan batubara secara mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien dan berwawasan lingkungan, guna menjamin pembangunan nasional secara berkelanjutan. IX.6.2 Batasan dan Pengertian

Pasal 1 angka 1, Undang-Undang No. 4 Tahun 2009

Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan pasca tambang.

409

Pasal 1 angka 6, Undang-Undang No. 4 Tahun 2009

Usaha Pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta pasca tambang. IX.6.3 Asas dan Tujuan

Pasal 2 UndangUndang No. 4 Tahun 2009

Pertambangan mineral dan/atau batubara dikelola berasaskan: a. b. c. d.

Manfaat, keadilan dan keseimbangan; Keberpihakan kepada kepentingan bangsa; Partisipatif, transparansi dan akuntabilitas; Berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

IX.6.4 Wilayah Pertambangan

Pasal 1 angka 29, Undang-Undang No.4 Tahun 2009 sebagaimana dijabarkan dalam Pasal 1 angka 8, Peraturan Pemerintah 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan

Wilayah pertambangan yang selanjutnya disebut WP, adalah wilayah yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional.

Pasal 13, UndangUndang No. 4 Tahun 2009

Wilayah Pertambangan terdiri dari: Wilayah Usaha Pertambangan (WUP); Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) dan Wilayah Pencadangan Negara (WPN). IX.6.5 Usaha Pertambangan

Pasal 34 ayat (1) dan (2), Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 sebagaimana dijabarkan dalam Pasal 4 Ayat 3, Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2010

Usaha pertambangan dikelompokkan atas pertambangan mineral (mineral radio aktif, mineral logam, pertambangan batuan) dan pertambangan batubara.

410

IX.6.6 Izin Usaha Pertambangan Pasal 36 ayat (1), Undang-Undang No. 4 Tahun 2009

Terdiri dari 2 (dua) tahap: a.

Izin Usaha Eksplorasi meliputi kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi dan studi kelayakan; b. Izin Usaha Produksi meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkutan dan penjualan. IX.6.7 Pihak yang Dapat Memperoleh Izin Usaha Pertambangan

Pasal 38, UndangUndang No. 4 Tahun 2009

Izin Usaha Pertambangan diberikan kepada: a. Badan usaha b. Koperasi, dan c. Perseorangan. IX.6.8 Persyaratan Perizinan

Pasal 64, UndangUndang No. 4 Tahun 2009

Badan usaha, koperasi dan perseorangan yang melakukan usaha pertambangan wajib memenuhi persyaratan administratif, persyaratan teknis, persyaratan lingkungan dan persyaratan finansial. IX.6.9 Hak Pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan IUPK

Pasal 90, 91 dan 92, Undang-Undang No. 4 Tahun 2009

a.

b.

Dapat melakukan sebagian atau seluruh tahapan usaha pertambangan, baik kegiatan eksplorasi maupun operasi produksi; Dapat memanfaatkan sarana dan prasarana umum untuk keperluan pertambangan setelah memenuhi ketentuan peraturan perundangundangan;

411

c.

Berhak memiliki mineral, termasuk mineral ikutannya, atau batubara yang telah diproduksi apabila telah memenuhi iuran eksplorasi atau iuran produksi, kecuali mineral ikutan radioaktif.

IX.6.10 Jaminan Bagi Pemegang Pertambangan Eksplorasi Khusus (IUPK) Pasal 77 ayat (1), Undang-Undang No. 4 Tahun 2009

a.

Pasal 94, UndangUndang No. 4 Tahun 2009

b.

Izin

Usaha

Setiap pemegang IUPK eksplorasi dijamin untuk memperoleh IUPK Operasi Produksi sebagi kelanjutan kegiatan usaha pertambangannya Pemegang IUP dan IUPK dijamin haknya untuk melakukan usaha pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan

IX.6.11 Berakhirnya Izin Usaha Pasal 117, UndangUndang No. 4 Tahun 2009

IUP dan IUPK berakhir karena: a. Dikembalikan b. Dicabut c. Habis masa berlakunya IX.6.12 Usaha Jasa Pertambangan:

Pasal 124 ayat (3) , Undang-Undang No. 4 Tahun 2009

a.

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

412

Konsultasi, perencanaan, pelaksanaan, dan pengujian peralatan di bidang: Penyelidikan umum Eksplorasi Studi kelayakan Konstruksi pertambangan Pengangkutan Lingkungan pertambangan Pasca tambang dan reklamasi, dan/atau Keselamatan dan kesehatan kerja

a.

Konsultasi, perencanaan, dan pengujian peralatan di bidang: 1. Penambangan, atau 2. Pengolahan dan pemurnian

IX.6.13 Penggunaan Tanah untuk Kegiatan Usaha Pertambangan Peraturan Menteri ESDM No. 25 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penetapan Kebijaksanaan Pembatasan Produksi Pertambangan Mineral Nasional IX.7

PERDAGANGAN IX.7.1 Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) IX.7.1.1

Kebijakan

Paragraph a Menimbang Peraturan Menteri Perdagangan No 36/M-Dag/ Per/9/2007 sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Perdagangan No .46/M-Dag/ Per/9/2009 tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan

Penerbitan SIUP sebagai legalitas usaha di bidang perdagangan, perlu diberikan kemudahan, keseragaman dan ketertiban sehingga dapat meningkatkan kelancaran pelayanan publik.

Paragraph b Menimbang Peraturan Menteri Perdagangan No 36/MDag/ Per/9/2007 sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Perdagangan No .46/M-Dag/ Per/9/2009

Untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif guna mendorong peningkatan investasi, perlu didukung dengan penyelenggaraan pelayanan penerbitan SIUP yang prima kepada dunia usaha.

413

IX.7.1.2

Istilah dan Pengertian

Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Perdagangan No 36/M-Dag/ Per/9/2007 sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Perdagangan No 46 Tahun 2009

Perdagangan adalah kegiatan usaha transaksi barang atau jasa seperti jual-beli, sewa-beli, sewa menyewa yang dilakukan secara berkelanjutan dengan tujuan pengalihan hak atas barang dan jasa dengan disertai imbalan atau kompensasi.

Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Perdagangan No 36/M-Dag/ Per/9/2007 diubah dengan Peraturan Menteri Perdagangan No .46/M-Dag/ Per/9/2009

Perusahaan perdagangan adalah setiap bentuk usaha yang menjalankan kegiatan usaha di sektor perdagangan yang bersifat tetap, berkelanjutan, didirikan, bekerja dan berkedudukan dalam wilayah negara Republik Indonesia, untuk tujuan memperoleh keuntungan atau laba.

Pasal 1 angka 3 Peraturan Menteri Perdagangan No 36/M-Dag/ Per/9/2007 sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Perdagangan No .46/M-Dag/ Per/9/2009

Surat Izin Usaha Perdagangan adalah surat izin untuk dapat melaksanakan kegiatan usaha perdagangan.

IX.7.1.3 Pasal 2 huruf 2 dan 3, Permedag No 36/MDag/ Per/9/2007 sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Perdagangan No .46/M-Dag/ Per/9/2009

a. b. c. d.

414

Jenis-jenis SIUP SIUP Mikro SIUP Kecil SIUP Menengah SIUP Besar

IX.7.2 Penyelenggaraan Pendaftaran Perusahaan IX.7.2.1

Kebijakan

Paragraph a Menimbang, Peraturan Menteri Perdagangan No 37 Tahun 2007 tentang Penyelenggara-an Pendaftaran Perusahaan

Bahwa untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif guna mendorong peningkatan investasi, perlu dilakukan perubahan terhadap ketentuan mengenai penyelenggaraan pendaftaran perusahaan.

Paragraph b Menimbang, Peraturan Menteri Perdagangan No 37 Tahun 2007

Bahwa untuk itu perlu disusun suatu pedoman penyelenggaraan pendaftaran perusahaan sebagai upaya peningkatan pelayanan prima kepada dunia usaha.

IX.7.2.2

Istilah dan Pengertian

Pasal 1 angka 1, Peraturan Menteri Perdagangan No 37 Tahun 2007

Daftar Perusahaan adalah daftar catatan resmi yang diadakan berdasarkan ketentuan Undang-Undang No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan (WDP) yang selanjutnya disebut Undang-UndangWDP dan/atau peraturan pelaksanaannya dan memuat hal-hal yang wajib didaftarkan oleh setiap perusahaan serta disahkan oleh pejabat yang berwenang dari Kantor Pendaftaran Perusahaan.

Pasal 1 ayat 2, Peraturan Menteri Perdagangan No 37 Tahun 2007

Tanda Daftar Perusahaan yang selanjutnya disebut TDP adalah surat tanda pengesahan yang diberikan oleh Kantor Pendaftaran Perusahaan kepada perusahaan yang melakukan pendaftaran perusahaan.

Pasal 1 angka 11, Peraturan Menteri Perdagangan No 37 Tahun 2007

Kantor Pendaftaran Perusahaan yang selanjutnya disebut Kperaturan Pemerintah adalah unit organisasi yang bertugas dan bertanggungjawab sebagai penyelenggaran wajib ditetapkan Menteri.

415

daftar

perusahaan

yang

IX.7.2.3

Kewajiban, Waktu dan Tempat Pendaftaran

Pasal 2 angka 1, Peraturan Menteri Perdagangan No 37 Tahun 2007

Setiap perusahaan yang berbentuk Perseroan terbatas (PT), Koperasi, Persekutuan Komanditer (CV), Firma (Fa), Perorangan dan Bentuk Usaha Lainnya (BUL), termasuk Perusahaan Asing dengan Status Kantor Pusat, Kantor Tunggal, Kantor Cabang, Kantor Pembantu, Anak Perusahaan, Agen Perusahaan, dan Perwakilan Perusahaan yang berkedudukan dan menjalankan usahanya di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib didaftarkan dalam daftar perusahaan.

Pasal 2 angka 2, Peraturan Menteri Perdagangan No 37 Tahun 2007

Perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 wajib melakukan pendaftaran dalam Daftar Perusahaan dalam jangka waktu 3 (tiga) bulan terhitung sejak perusahaan mulai menjalankan kegiatan usahanya.

Pasal 3 angka 1, Peraturan Menteri Perdagangan No 37 Tahun 2007

Pendaftaran perusahaan dilakukan pada Keputusan Pemerintah Kabupaten/Kota/ Kotamadya tempat kedudukan perusahaan yang bersangkutan.

IX.7.2.4

Perubahan, Pembatalan dan Penghapusan

Pasal 10 angka1, Peraturan Menteri Perdagangan No 37 Tahun 2007

Setiap perusahaan yang melakukan perubahan terhadap data yang didaftarkan wajib melaporkan perubahan data kepada KPP Kabupaten/Kota/Kotamadya setempat.

Pasal 12 , Peraturan Menteri Perdagangan No 37 Tahun 2007

Daftar perusahaan dan TDP dinyatakan batal, apabila perusahaan yang bersangkutan terbukti mendaftarkan data perusahaan secara tidak benar dan/atau tidak sesuai dengan izin teknis atau surat keterangan yang dipersamakan dengan itu, dengan menerbitkan Keputusan Pembatalan.

Pasal 14 Peraturan Menteri Perdagangan No 37 Tahun 2007

Perusahaan dihapus dari daftar perusahaan apabila terjadi hal-hal sebagai berikut: a. b. c.

416

Perubahan bentuk anggaran Pembubaran Perusahaan Perusahaan menghentikan segala kegiatan usahanya

d. Perusahaan berhenti akibat akta pendiriannya kadaluarsa atau berakhir, atau e. Perusahaan menghentikan kegiatannya atau bubar berdasarkan putusan Pengadilan Negeri. IX.7.2.5

Pelayanan Informasi Perusahaan

Pasal 17 angka 1, Peraturan Menteri Perdagangan No 37 Tahun 2007

KPP menyajikan informasi perusahaan sebagai sumber informasi resmi bagi semua Pihak yang berkepentingan.

Pasal 17 angka 2 , Peraturan Menteri Perdagangan No 37 Tahun 2007

Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 bersifat terbuka dan kepada semua pihak diberi kesempatan untuk melihat dan meminta informasi dalam bentuk salinan resmi dan/atau petikan resmi.

Pasal 17 angka 3 Peraturan Menteri Perdagangan No 37 Tahun 2007

Setiap permintaan informasi berupa salinan resmi dan/ atau petikan resmi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenakan biaya administrasi.

IX.7.3 Percepatan Pelayanan Perizinan dan Non-perizinan untuk Memulai Usaha IX.7.3.1

Huruf a dan b Konsiderans Menimbang Peraturan bersama Mendagri No 69 Tahun 2009, Menkumham No M.HH08.AH.01.01. 2009, Menteri Perdagangan No 60/M-DAG/ Per/12/ 2009, Menakertrans No Per 30/Men/ XII/2009, dan Menteri/Kepala BKPMNo 10 Tahun 2009 tentang Percepatan Pelayanan Perizinan dan Non Perizinan untuk Memulai Usaha selanjutnya disebut Peraturan Bersama

a.

b.

Kebijakan Bahwa untuk mewujudkan iklim usaha yang kondusif dalam rangka peningkatan investasi diperlukan perizinan dan nonperizinan memulai usaha yang lebih cepat, tepat, mudah dan transparan. Bahwa dalam rangka mewujudkan maksud sebagaimana huruf a diperlukan kepastian hukum dalam standar waktu pelayanan perizinan dan non-perizinan memulai usaha.

417

IX.7.3.2 Pasal 1 angka 1, 2 dan 3 Peraturan Bersama Peraturan bersama Mendagri No 69 Tahun 2009, Menkumham No M.HH-08.AH.01.01. 2009, Menteri Perdagangan No 60/MDag/ Per/12/ 2009, Menakertrans No Per 30/Men/ XII/2009, dan Menteri/Kepala BKPMNo 10 Tahun 2009

Istilah dan Pengertian:

a.

Pelayanan perizinan dan non-perizinan adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemberian izin usaha bagi setiap warganegara dan penduduk untuk melakukan usaha. b. Penyelenggara pelayanan perizinan dan non-perizinan yang selanjutnya disebut Penyelenggara adalah instansi pemerintah dan/atau pemerintah daerah yang dibentuk untuk kegiatan pelayanan pemberian usaha. c. Pelaksana Pelayanan perizinan dan non-perizinan yang selanjutnya disebut Pelaksana adalah pejabat, pegawai, petugas dan setiap orang yang bekerja di dalam organisasi penyelenggara yang bertugas melaksanakan tindakan serangkaian tindakan pelayanan perizinan. IX.7.3.3 Penyelenggaraan Pelayanan Perizinan dan Non Perizinan

Pasal 3 angka 2 Peraturan Bersama Mendagri No 69 Tahun 2009, Menkumham No M.HH-08.AH.01.01. 2009, Menteri Perdagangan No 60/MDag/ Per/12/ 2009, Menakertrans No Per 30/Men/ XII/2009, dan Menteri/Kepala BKPM No 10 Tahun 2009

Pelayanan perizinan dan non-perizinan untuk memulai usaha, meliputi: a.

Pendaftaran nama perusahaan dan pembuatan akta pendirian perusahaan b. Pengesahan status badan hukum c. Pembayaran Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) d. Pendaftaran dan Pengumuman Perseroan terbatas dalam Berita Negara e. Pendaftaran Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Nomor Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak (NPPKP) f. Pengurusan Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) g. Pengurusan tanda Daftar Perusahaan (TDP)

418

h. i.

Pendaftaran Wajib Lapor Ketenagakerjaan di Perusahaan Pendaftaran untuk program jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek)

IX.7.3.4 Standar Waktu Pelayanan dalam rangka Percepatan Pelayanan Perizinan dan Non Perizinan Pasal 6 angka 2 Peraturan Bersama Mendagri No 69 Tahun 2009, Menkumham No M.HH-08.AH.01.01. 2009, Menteri Perdagangan No 60/MDag/ Per/12/ 2009, Menakertrans No Per 30/Men/ XII/2009, dan Menteri/Kepala BKPM No 10 Tahun 2009

a. Pemakaian nama perusahaan dan pengesahan status badan hukum, pendaftaran dan pengumuman perseroan terbatas dalam Berita Negara, Pembayaran PNBP melalui Bank seluruhnya paling lama 8 (delapan) hari kerja; b. Penerbitan NPWP dan NPPKP di Ditjen Pajak paling lama 1 (satu) hari; c. Penerbitan SIUP dan TDP di Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota dilakukan secara simultan paling lama 3 (tiga) hari kerja; dan d. Penerbitan surat keterangan pelaporan ketenagakerjaan di perusahaan oleh Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota, dan sertifikasi kepesertaan Jaminan Sosial Tenaga Kerja paling lama 5 (lima) hari. IX.7.3.5 a.

b.

Pembinaan dan Pengawasan Menteri Dalam Negeri melakukan pembinaan dan pengawasan umum terhadap penyelenggaraan percepatan pelayanan perizinan dan non-perizinan; Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Perdagangan, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal melakukan Pembinaan dan Pengawasan teknis terhadap penyelenggaraan percepatan pelayanan perizinan dan non-perizinan.

419

420

PERJANJIAN PENANAMAN MODAL

421

X.1

MENURUT PIHAKNYA X.1.1 Bilateral X.1.1.1 Perjanjian Bilateral tentang Promosi dan Perlindungan Penanaman Modal

Ketentuan-ketentuan di atas disusun berdasarkan praktik perjanjian internasional di bidang promosi dan perlindungan penanaman modal yang telah dilakukan oleh Indonesia dengan lebih dari 60 negara yang telah diratifikasi berdasarkan Undang-Undang tentang Perjanjian Internasional

Ketentuan-ketentuan Pokok yang diatur: a. b.

c.

d.

e.

f.

Batasan-batasan yang terkait, seperti: investasi, investor, kebangsaan, perseroan dan wilayah; Kewajiban masing-masing pihak untuk mendorong dan menciptakan situasi yang favorable bagi investasi (penanaman modal), sesuai dengan hukum dan perundangundangan yang berlaku; Lingkup perjanjian, yang biasanya mengacu pada ketentuan hukum nasional masingmasing mengenai investasi; Kewajiban untuk memberikan ganti rugi yang diderita oleh investor asing karena keadaankeadaan tertentu seperti: perang, konflik bersenjata, negara dalam keadaan darurat, revolusi, pemberontakan, kerusuhan, dan lain-lain, dimana ganti rugi yang diberikan sama perlakuannya terhadap badan hukum dari negara tuan rumah; Larangan untuk melakukan tindakan nasionalisasi dan pengambilalihan kecuali untuk kepentingan publik dari negara tuan rumah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Dalam hal terpaksa dilakukan tindakan tersebut, maka harus disertai dengan ganti rugi sesuai dengan nilai pasar pada saat itu. Ganti rugi tersebut harus segera diberikan tanpa ditunda-tunda; Hak repatriasi modal, termasuk transfer keuntungan ke negara asal yang diberikan secara timbal balik;

423

g. Penyelesaian sengketa antara investor dengan negara tuan rumah, sejauh mungkin diselesaikan secara damai. Jika cara damai tidak dimungkinkan, maka penyelesaiannya dapat dilakukan baik melalui forum pengadilan negara yang memiliki yurisdiksi tersebut atau melalui ICSID sesuai dengan perjanjian internasional yang berlaku; h. Sengketa antar negara menyangkut interpretasi dan implementasi perjanjian, pada instansi bersama, diselesaikan melalui negosiasi diplomatik. Jika gagal, maka dapat dibentuk Mahkamah Arbitrase atau melalui Mahkamah Internasional. X.1.1.2 Perjanjian tentang Pencegahan Pajak Berganda dan Penghindaran Pajak Ketentuan-ketentuan di atas disarikan dari berbagai perjanjian bilateral di bidang Pencegahan Pajak Berganda dan Penghindaran Pajak yang ditandatangani dan diratifikasi Indonesia

Ketentuan-Ketentuan Pokok yang Diatur: a.

b. c.

d. e. f. g. h. i.

Pajak-pajak yang tercakup dalam perjanjian, meliputi anatara lain: penghasilan dari harta tak bergerak, laba usaha, deviden, bunga, royalti, keuntungan dari pemindahan harta, pekerjaan bebas, pensiun dan tunjangan hari tua, dan lain-lain; Subyek hukum yang tunduk pada perjanjian, yaitu: penduduk, bentuk usaha tetap; Ketentuan bahwa terhadap pajak yang sudah dikenakan di satu negara dapat dikreditkan di negara lainnya; Prinsip non-diskriminasi dalam pemberlakuan ketentuan perpajakan; Tata cara pengajuan keberatan; Pertukaran informasi; Pembebasan pajak terhadap staf diplomatik dan konsuler; Saat berlakunya persetujuan, biasanya setelah pertukaran instrumen ratifikasi; Berakhirnya persetujuan, biasanya mengacu pada pengakhiran oleh salah satu pihak.

424

X.1.2 Multilateral New York Convention 1958 diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1981.

X.1.2.1 Perjanjian tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing (New York Convention on Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards of 1958)

Ketentuan-ketentuan Pokok yang Diatur, antara lain: a.

b.

c.

d.

e.

Konvensi berlaku untuk keputusan arbitrase asing yang dibuat oleh arbitrase di luar Negara tempat keputusan tersebut akan diakui dan dilaksanakan; Keputusan arbitrase tersebut dibuat, baik oleh arbitrase permanen maupun arbitrase untuk suatu kasus khusus; Negara yang meratifikasi dapat menetapkan bahwa keputusan yang diakui adalah keputusan yang berkaitan dengan persoalan hukum yang termasuk dalam lapangan hukum komersial di Negara tersebut; Negara anggota Konvensi mengakui bahwa keputusan arbitrase yang sudah memenuhi syarat-syarat tertentu bersifat mengikat dan dapat dilaksanakan sesuai dengan kaidah dan aturan dari Negara dimana keputusan tersebut akan dilaksanakan; Pengakuan dan pelaksanaan arbitrase asing dapat ditolak atas permintaan salah satu pihak jika dipenuhi persyaratan, seperti: perjanjian arbitrase tidak sah, tidak ada pemberitahuan yang memadai tentang penunjukan arbiter, keputusan tersebut apa yang diminta untuk diputuskan, komposisi arbiter tidak sesuai dengan kesepakatan para pihak, keputusan tersebut belum mengikat atau dikesampingkan atau ditangguhkan oleh pihak yang berwenang.

425

ICSID Convention telah diratifikasi dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1968.

X.1.2.2 Perjanjian tentang Penyelesaian Sengketa antara Negara dengan Subyek Hukum bukan Negara di Bidang Penanaman Modal (Convention on the Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of Other States of 1966) Ketentuan-ketentuan Pokok yang Diatur, antara lain: a.

b.

c. d. e. f. g. h. MIGA Convention diratifikasi dengan Keputusan Presiden No. 31 Tahun 1986.

Tentang ICSID, baik dari aspek organisasi, biaya, status, kekebalan dan hakhak istimewanya. ICSID terdiri dari Administrative Council serta Sekretariat yang terdiri dari Panel of Conciliators and Arbitrators. ICSID mempunyai kedudukan penuh sebagai Subyek Hukum Internasional (International Legal Personality); Tentang yurisdiksi ICSID. Yurisdiksi ICSID meliputi sengketa hukum yang secara langsung timbul dari kegiatan investasi yang melibatkan host-country dengan warga/ badan hukum Negara lain yang merupakan investor di mana pihak yang bersengketa memberikan persetujuan; Tentang Konsiliasi; Tentang Arbitrase; Tentang Penggantian dan Diskualifikasi atas Konsiliator dan Arbiter; Tempat Penyelenggaraan; Sengketa antar Negara Anggota; Ketentuan Penutup dan tanda tangan.

X.1.2.3 Perjanjian Pembentukan MIGA (Convention on Multilateral Investment Guarantee Agency of 1985)

Ketentuan-ketentuan Pokok yang Diatur, antara lain: a. Pembentukan, Status, Maksud dan Batasan b. Keanggotaan dan Modal c. Pengoperasian d. Ketentuan tentang Keuangan e. Organisasi dan Pengelolaan

426

f. Voting dan adjustment of subscription g. Keistimewaan dan Kekebalan h. Pengunduran diri, penangguhan keanggotaan dan penghentian operasi i. Penyelesaian Sengketa j. Amandemen k. Ketentuan Akhir l. Annexes 1. Guarantees of sponsored investment under Act 24. 2. Penyelesaian sengketa antara Negara anggota dengan agensi (MIGA). WTO Agreement diratifikasi dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1994.

X.1.2.4 Trade Related of Aspect of Investment (TRIMS) of the WTO Agreement of 1994

TRIMS bukan merupakan dokumen yang komprehensif, hanya berkaitan dengan performance requirements dan hanya mengaitkan antara foreign direct investment dengan international trade in goods. X.1.3 Regional X.1.3.1 ASEAN Agreement of 2009

Comprehensive

Investment

ACIA merupakan perjanjian baru di bidang penanaman modal antar negara-negara anggota ASEAN yang lebih komprehensif dan merupakan penggabungan serta penyempurnaan dari perjanjian di bidang penanaman modal yang telah ada sebelumnya, yaitu ASEAN Investment Guarantee Agreement (ASEAN IGA) yang ditandatangani pada tahun 1987 dan ASEAN Investment Area (AIA) yang ditandatangani pada tahun 1998. Terdiri dari 3 Section, yaitu: Section A, Section B dan Section C ditambah 2 (dua) annexes yaitu annex 1 dan annex 2.

427

Pasal 1 -27

Section A berisi ketentuan-ketentuan umum seperti: tujuan, prinsip-prinsip utama, ruang lingkup berlakunya, batasan, perlakuan nasional (national treatment), most-favored-nation treatment, larangan performance requirement, manajemen senior dan dewan direksi, reservasi, modifikasi dan komitmen, perlakuan terhadap investasi, kompensasi dalam hal strife, transfer, ekspropriasi dan kompensasi, subrogasi, tindakan untuk mengamankan neraca pembayaran, pengecualian umum, pengecualian untuk keamanan, denial of benefits, formalitas khusus dan pengungkapan informasi, transparansi, entry, izin tinggal dan bekerja sementara bagi investor dan personil kunci, perlakuan khusus dan berbeda bagi negara-negara anggota baru ASEAN, promosi investasi, fasilitas investasi, perluasan integrasi ASEAN, serta sengketa diantara anggota ASEAN.

Pasal 28-4

Section B mengatur ketentuan-ketentuan tentang Sengketa antara Investor dengan suatu Negara Anggota ASEAN, yaitu: batasan, lingkup cakupan, konsiliasi, konsultasi, gugatan oleh investor dari suatu negara anggota, pengajuan gugatan/permohonan, syarat dan pembatasan dalam pengajuan permohonan, pemilihan arbiter, tata cara arbitrase, konsolidasi, laporan ahli, transparansi dalam proses berarbitrase, hukum yang berlaku, putusan (award).

Pasal 42-49

Section C mengatur hal-hal tentang: pengaturan kelembagaan, konsultasi oleh negara anggota, keterkaitan dengan perjanjian lainnya, annex, schedule dan instrumen lain dikemudian hari, amandemen, pengaturan transisi terkait dengan ASEAN IGA dan AIA Agreement, mulai berlakunya, deposit perjanjian. Annexes perjanjian terdiri dari Annex 1 tentang persetujuan tertulis, serta Annex 2 tentang ekspropriasi dan kompensasi X.1.3.2 Agreement on Establishing the ASEANAustralia-New Zealand Free Trade Area : Investment Chapter

428

Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2008 tentang Pengesahan Agreement On Trade In Services Of The Framework Agreement On Comprehensive Economic Co-Operation Between The Association Of Southeast Asian Nations And The People’s Republic Of China (Persetujuan Perdagangan Jasa Dalam Persetujuan Kerangka Kerja Mengenai Kerja Sama Ekonomi Menyeluruh Antara NegaraNegara Anggota Asosiasi Bangsa-Bangsa Asia Tenggara Dan Republik Rakyat China)

Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2010 tentang Pengesahan Agreement On Investment Under The Framework Agreement On Comprehensive Economic Cooperation Among The Governments Of The Member Countries Of The Association Of Southeast Asian Nations And The Republic Of Korea (Persetujuan Mengenai Penanaman Modal Berdasarkan Persetujuan Kerangka Kerja Mengenai Kerja Sama Ekonomi Menyeluruh Diantara PemerinTah Negara-Negara Anggota Perhimpunan Bangsa- Bangsa Asia Tenggara Dan Republik Korea)



X.1.3.3 Agreement on Investment of the Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation Between the ASEAN and the People’s Republic of China

X.1.3.4 Agreement on Investment Under the Framework Agreement on Comprhensive Economic Cooperation Among The Goverments of the Member countries of the ASEAN and the Republic of Korea

429

X.2

MENURUT SIFATNYA

X.2.1. Publik X.2.1.1 Jaminan dan Perlindungan Penanaman Modal Mengatur hak-hak dan kewajiban negara secara timbal balik terhadap kegiatan penanaman modal (investasi) yang dilakukan pada masing-masing negara terhadap penanaman modal yang dilakukan oleh penanam modal (investor) dari negara lain yang terikat dengan perjanjian ini. X.2.1.2 Pajak

Pencegahan

Pajak Berganda

dan Penghindaran

Merupakan perjanjian timbal balik antar negara dalam upaya mencegah pajak berganda dan penghindaran pajak. X.2.2 Privat X.2.2.1 Energy Purchase Agreement

Sales

Contract/Power

Merupakan kontrak penjualan daya listrik antara investor di bidang pembangkit listrik swasta sebagai seller dengan PLN buyer untuk selanjutnya daya listrik tersebut didistribusikan kepada masyarakat. X.2.2.2

Joint Venture Agreement

Merupakan kontrak antara partner asing (investor asing) dengan mitra lokalnya untuk membentuk perusahaan patungan di bidang penanaman modal. Ketentuan-ketentuan Pokok yang Diatur: a. b.

Identitas para pihak Pertimbangan pokok latar belakang kerjasama

430

c. d. e. f.

g. h. i. j. k. l. m. n. o. p.

Beberapa definisi Pembentukan perusahaan: tujuan, nama dan anggaran dasar Modal dan pembiayaan yang memuat kebutuhan biaya dan pendanaan, modal saham, tata cara penyetoran modal Pengelolaan dan pengoperasian perusahaan mencakup RUPS, dewan direksi, tata cara pengambilan keputusan dewan direksi, masalah keuangan perusahaan dan sistem pelaporannya, pengoperasian perusahaan dan mutual convenants. Wanprestasi (default) Pengakhiran kerjasama dan konsekuensinya Keadaan terpaksa (force majeure) Persetujuan pemerintah Jangka waktu berlakunya Fee and costs Pemberitahuan Hukum yang berlaku Penyelesaian sengketa Saat berlakunya

X.2.3 Kontrak Komersial Berdimensi Publik X.2.3.1 Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol 1. Undang-Undang No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan 2. Undang-Undang No. 18 Tahun 1989 tentang Jasa Konstruksi 3. Peraturan Pemerintah No 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol

Merupakan suatu perjanjian antara investor jalan tol dengan Badan Pengelola Jalan Tol (BPJT) selaku wakil Pemerintah dalam rangka pembangunan dan pengoperasian jalan tol melalui skema kerjasama Pemerintah dengan Swasta (Publik-Private Partnership). Ketentuan-ketentuan Pokok yang Diatur: a. Definisi, pengertian dan tanggal efektif b. Pengusahaan jalan tol c. Jaminan pelaksanaan d. Pengadaan tanah e. Pendanaan f. Perencanaan teknik g. Konstruksi jalan tol h. Pemeliharaan i. Jaminan pemeliharaan j. Pengoperasian jalan

431

4. Peraturan Presidens No. 67 Tahun 2005 jo. Peraturan Presidens No. 13 Tahun 2010 5. Peraturan Menteri No. 295/ PRT.M/2005 tentang BJPT

k. Tarif tol l. Asuransi m. Cidera janji perusahaan jalan tol n. Cidera janji pemerintah o. Nilai pekerjaan selesai dan uji tuntas p. Penggantian kepemilikan q. Perubahan hukum r. Keadaan kahar s. Berakhirnya pengusahaan jalan tol t. Pernyataan dan jaminan u. Pembebasan tanggung jawab v. Penyelesaian peselisihan w. Pengalihan hak dan kepemilikan sahan x. Adendum perjanjian y. Lampiran z. Pemberitahuan aa. bb. cc.

Pelepasan Hak Hukum yang berlaku dan domisili hukum Pemisahan ketentuan yang tidak dapat diterapkan dd. Keseluruhan perjanjian ee. Penutup X.2.3.2 Kontrak Karya Bidang Mineral dan Batubara 1.Keputusan Presiden No. 75 Tahun 1996 tentang Ketentuan –ketentuan pokok Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara

Adalah Kontrak antara Kontraktor (Investor) di bidang pertambangan mineral dan batubara dengan Instansi yang mewakili kepentingan Pemerintah dalam pengusahaan mineral dan batubara.

Ketentuan-ketentuan Pokok yang Diatur: a.

b. c. d.

Kontraktor yang bertanggung jawab atas pengelolaan pengusahaan pertambangan batubara Kontraktor menanggung resiko dan biaya Kewajiban kontraktor membuat rencana kerja dan anggaran tahunan kepada pemerintah Kewajian menyerahkan royanti pemerintah sebesar 13,5% dari hasil perusahaan secara tunai atas harga FOB at Sale Point

432

2. Keputusan Menteritamben No. 680K/29 /M.. PE/1997 jo. Keputusan Menteri ESDM No. 0057K/40/ MEM/2004 tentang Pelaksanaan Keputusan Presiden No. 75 Tahun 1996 3. Keputusan Menteri ESDM No. 1614 Tahun 2004 tentang Pedoman Pemrosesan Permohoan Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubar dalam rangka PMA.

e.

f.

g. h.

i.

j. k. l. m.

Untuk kalori rendah dan bawah tanah, royalti pemerintah dihitung atas dasar hasil kajian Kewajiban kontraktor membayar pajak, pungutan daerah dan biaya administrasi umum atas pelayanan pemerintah. Kewajiban kontraktor membayar iuran tetap (dead rent) Barang modal dan bahan yang diimpor dibebaskan dari bea masuk, pungutan impor, BBN. Kewajiban kontraktor untuk setiap tahun menyampaikan rencana kebutuhan barang modal dan bahan yang harus diimpor. Kewajiban investor/kontraktor membuat badan hukum Indonesia Kewajiban divestasi bagi PMA Kewajiban menggunakan produk dan jasa dalam negeri Ketentuan peralihan

X.2.3.3 Production Sharing Contract 1. Pasal 11 ayat (1),(2 ) dan (3) Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi 2. Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas 3. Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2004 diubah dengan Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2005.

Adalah Kontrak Kerjasama antara Kontraktor (Investor) dengan Instansi yang mewakili Pemerintah di bidang Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi (BPMigas).

Ketentuan-ketentuan Pokok yang Diatur:

a. b. c. d. e. f. g. h. i. j.

Penerimaan Negara Wilayah kerja dan pengembaliannya Kewajiban Pengeluaran dana Perpindahan kepemilikan hasil produksi atas minyak dan gas bumi Penyelesaian perselisihan Kewajiban pemasokan minyak bumi dan/ atau gas bumi untuk kebutuhan dalam negeri Berakhirnya kontrak Kewajiban pasca operasi pertambangan Keselamatan dan kesehatan kerja Pengelolaan lingkungan hidup

433

k. l. m. n.

Pengalihan hak dan kewajiban Pelaporan yang diperlukan Rencana pengembangan lapangan Pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri

o.

Pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat Pengutamaan penggunaan TKI Jangka waktu KKS 30 (tiga puluh) tahun dapat diperpanjang 20 (dua puluh) tahun Jangka waktu eksplorasi 6 (enam) tahun ditambah perpanjangan 1 (satu) kali maksimal 4 (empat) tahun Pedoman, tata cara, syarat kontrak diatur dalam Peraturan Pemerintah.

p. q. r.

s.

Ketentuan-ketentuan Tambahan: a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k. l. m. n. o. p.

Jangka waktu kontrak Perpanjangan kontrak Amandemen kontrak Saat mulai kegiatan, paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari setelah tanggal efektif Kewajiban program eksplorasi yang pasti pada 3 (tiga) tahun pertama Pengakhiran oleh pemerintah dalam hal wanprestasi Pengalihan hak dan kewajiban kontaktor Kewajiban divestasi Kewajiban alokasi untuk dana pasca operasi Penggunaan bahasa Indonesia pada kontrak Pemberlakuan Hukum Indonesia pada kontrak Kewajiban pelaporan oleh kontraktor Kewajiban DMO Kewajiban laporan atas cadangan baru Mekanisme pelaksanaan penyerahan migas Kontrak jasa diatur khusus dalam Keputusan Menteri.

434

X.3

MENURUT BIDANG/OBYEKNYA X.3.1 Perdagangan dan Investasi X.3.1.1 Perjanjian Kemitraan di Bidang Ekonomi (Economic Partnership Agreement)

Contoh Japan-Indonesia Economic Partnership Agreement/ JIEPA yang sudah diratifikasi dengan Peraturan Presiden No 36 Tahun 2008

Perjanjian kemitraan yang bersifat luas dan komprehensif di bidang ekonomi, mencakup namun tidak terbatas pada: perdagangan barang, aturan asal barang, tata cara kepabeanan, penanaman modal, perdagangan jasa, pergerakan orang, energi dan sumber daya mineral, kekayaan intelektual, pengadaan barang dan jasa oleh Pemerintah, persaingan usaha (kompetisi), perbaikan lingkungan usaha dan promosi kepercayaan dunia usaha, kerjasama, dan penyelesaian sengketa. X.3.1.2 Perjanjian Asistance Agreement)

Bantuan

Teknis

(Technical

Merupakan perjanjian antar negara di bidang pemberian bantuan teknis untuk kegiatan-kegiatan tertentu. X.3.2 Perbankan X.3.2.1 Syndicated Loan Agreement

Merupakan perjanjian antara sindikasi bank sebagai lender dengan perusahaan tertentu sebagai borrower dalam rangka pembiayaan proyek (misalnya di bidang pembangunan infrastruktur). X.3.2.2 Loan Agreement with Pledge of Shares

Merupakan kontrak pemberian pinjaman di mana untuk menjamin pembayaran kembali atas hutangnya pihak peminjam (borrower) menggadaikan sahamnya kepada pemberi pinjaman (lender).

435

X.3.3 Perpajakan Tax Treaty merupakan perjanjian timbal balik antar negara dalam upaya mencegah praktik pembayaran pajak berganda dan/atau penghindaran pajak. X.3.4 Pertambangan X.3.4.1 Production Sharing Contract (Oil and Gas) Bersumber pada Undang-Undang No 22 Tahun 2001 mengenai Minyak dan Gas Bumi

Perjanjian/kontrak bagi hasil di bidang pengusahaan minyak dan gas bumi antara kontraktor (investor) dengan instansi yang mewakili kepentingan Pemerintah (BP Migas).

X.3.4.2 Contract Resources) Bersumber dari Undang-Undang No 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara

of Works (Energy and Mineral

Kontrak karya di bidang pengusahaan pertambangan mineral dan batubara antara kontraktor (investor) dengan instansi yang mewakili kepentingan Pemerintah Indonesia, baik pada tingkat Pusat, Provinsi maupun Kabupaten/Kota. X.3.5 Ketenagakerjaan X.3.5.1

Bersumber dari Pasal 1 angka 21, UndangUndang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenaga kerjaan

Perjanjian Kerja Bersama

Perjanjian kerja bersama adalah perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara serikat pekerja/ serikat buruh atau beberapa serikat pekerja/serikat buruh yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak

436

X.3.5.2

Perjanjian Alih Daya (Outsourcing)

Merupakan perjanjian/kontrak pengalihan pekerjaan tertentu dari perusahaan (prinsipal) kepada perusahaan lain untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berada di luar core kegiatan dari prinsipal.

Bersumber dari Undang-Undang No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan pasalpasal tertentu dari KUHPerdata

X.3.6

Bantuan Teknis

Technical Assistance Agreement (Perjanjian Bantuan Teknis) dalam kegiatan-kegiatan tertentu, baik yang dilakukan antar negara maupun yang dilakukan antara dua badan hukum bukan negara satu sama lain. X.4 Bersumber dari Pasal 1320 KUHPerdata tentang syaratsyarat sahnya perjanjian, dan Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat secara sah mengikat para pihaknya sebagai Undang-Undang

AKIBAT PERJANJIAN/KONTRAK PRIVAT Perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai UndangUndang Pelanggaran atas Perjanjian dapat dimintakan upaya penegakan hukumnya Setiap pelanggaran perjanjian (breach of contract) akan menimbulkan hak kepada pihak lainnya yang beritikad baik untuk mengajukan gugatan.

437

438

JAMINAN DAN PERLINDUNGAN PENANAMAN MODAL

439

XI.1

JENIS-JENIS JAMINAN XI.1.1 Jaminan Atas Transfer dan Repatriasi

Pasal 8 ayat (3), (4), dan(5) Undang-Undang No 25 Tahun 2007

Kebebasan

Penanam modal diberi hak sesuai dengan peraturan perundang-undangan, melakukan transfer dan repatriasi dalam valuta asing, termasuk namun tidak terbatas pada: modal; keuntungan; bunga bank; deviden; dana yang diperlukan untuk pembelian bahan baku dan bahan penolong, serta penggantian barang modal; tambahan dana bagi pembiayaan penanaman modal; dana untuk pembayaran kembali pinjaman; royalti atau biaya yang harus dibayar; pendapatan lain; hasil penjualan atau likuidasi penanaman modal; kompensasi atas kerugian; kompensasi atas pengambilalihan; pembayaran yang dilakukan dalam rangka bantuan teknis; hasil penjualan asset dan lain-lain. XI.1.2 Jaminan Kebebasan Mengalihkan Asset yang Dimiliki

Pasal 8 ayat (1) Undang-Undang No 25 Tahun 2007

Melakukan

Bertransaksi/

Penanam modal dapat mengalihkan asset yang dimilikinya kepada pihak yang diinginkan oleh penanam modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. XI.1.3

Jaminan atas Perlakuan yang Sama

Pasal 4 ayat 2 a dan Pasal 6 Undang-Undang No 25 Tahun 2007

Pemerintah memberi perlakuan yang sama bagi penanam modal dalam negeri dan penanam modal asing dengan tetap memperhatikan kepentingan nasional.

Penjelasan atas ketentuan pasal 4 ayat (2) huruf a, Undang-Undang No 25 Tahun 2007

Yang dimaksud dengan “perlakuan yang sama” adalah bahwa Pemerintah tidak membedakan perlakuan terhadap penanam modal yang telah menanamkan modalnya di Indonesia, kecuali ditentukan lain oleh ketentuan peraturan perundang-undangan.

441

XI.1.4 Jaminan Kepastian Hukum, Berusaha dan Keamanan Berusaha

Kepastian

Pasal 4 ayat 2 b Undang-Undang No 25 Tahun 2007

Pemerintah menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha, dan keamanan berusaha

Penjelasan pasal 14 huruf a, Undang-Undang No 25 Tahun 2007

Yang dimaksud dengan “kepastian hak” adalah jaminan Pemerintah bagi penanam modal untuk memperoleh hak sepanjang penanam modal telah melaksanakan kewajiban yang ditentukan.

Penjelasan atas pasal 14 huruf a, Undang-Undang No 25 Tahun 2007

Yang dimaksud dengan “kepastian hukum” adalah jaminan Pemerintah untuk menempatkan hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai landasan utama dalam setiap tindakan dan kebijakan bagi penanam modal.

bagi penanam modal sejak proses pengurusan perizinan sampai dengan berakhirnya kegiatan penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

XI.1.5 Jaminan Pengadaan Tanah Pasal 21 dan 22 Undang-Undang No 25 Tahun 2007

Pemerintah memberikan kemudahan pelayanan dan/atau perizinan kepada perusahaan penanam modal untuk memperoleh hak atas tanah. Hak atas tanah tersebut berupa Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai.

Pasal 2 ayat (2) No 36 Tahun 2005 jo Pasal 2 ayat (2) Peraturan Presiden No 65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum

Pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum selain oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah dilaksanakan dengan cara jual beli, tukar menukar atau cara lain yang disepakati.

442

Pemerintah siap menanggung kelebihan harga tanah yang dibebaskan dari harga tanah yang disepakati sebelumnya. Memberi kepastian kepada penanam modal dengan “land capping” atau membatasi harga tanah yang dibebaskan, kelebihan mana 90% ditanggung oleh Pemerintah dan hanya 10% dibebankan kepada penanam modal. Pemerintah membentuk Badan Layanan Umum (BLU) yang akan mengelola dana bergulir untuk pembebasan tanah. XI.1.6 Jaminan atas Kerugian yang Mungkin Timbul XI.1.6.1 Peraturan Pemerintah No 103 Tahun 2006 tentang Pemberian Jaminan Pemerintah untuk Pembangunan Proyek Monorail Jakarta

Bentuk jaminan yang diberikan oleh Pemerintah dalam hal pendapatan (“revenue”) yang diperoleh oleh investor berada di bawah dari angka pendapatan yang diperkirakan.

XI.1.6.2 Peraturan Pemerintah No 35 Tahun 2009 tentang Penyertaan Modal Negara RI untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di Bidang Penjaminan Infrastruktur

Revenue Shortfall Guarantee

Dana Penjaminan Infrastruktur

Penyertaan modal infrastruktur.

443

negara

bagi

penjaminan

Peraturan Presiden No 86 Tahun 2006 jo Peraturan Presiden No 91 Tahun 2007 tentang Pemberian Jaminan Pemerintah untuk Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik yang menggunakan Batubara

Pemberian jaminan Pemerintah bagi percepatan pembangunan pembangkit listrik yang menggunakan batubara.

Peraturan Pemerintah No 103 Tahun 2006 tentang Pemberian Jaminan Pemerintah untuk Pembangunan Proyek Monorail Jakarta

Pemberian jaminan Pemerintah bagi Pembangunan Monorail.

Konsiderans menimbang dan Pasal 6 Peraturan Menteri Keuangan No 38/PMK.01/ 2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengendalian dan Pengelolaan Risko atas Penyediaan Infrastruktur

Dalam rangka dukungan Pemerintah bagi keikutsertaan badan usaha dan meningkatkan investasi dalam penyediaan infrastruktur di Indonesia, perlu adanya petunjuk pelaksanaan dalam pengelolaan resiko atas penyediaan infrastruktur. Jenis-jenis resiko yang diatur pembagian risikonya antara Pemerintah dan Badan Usaha dalam penyediaan infrastruktur meliputi: resiko politik; resiko kinerja proyek; dan resiko permintaan.

1. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No 518/KMK.01/ 2005 tentang Pembentukan Komite Pengelolaan Resiko atas penyediaan Infrastruktur

Pembentukan Komite Pengelolaan Penyediaan Infrastruktur.

444

Resiko

atas

2. Peraturan Menteri Keuangan No 146/PMK.01/ 2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian jaminan Pemerintah untuk Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik yang Menggunakan Batubara XI.1.6.3

Surat Jaminan/Dukungan Pemerintah

Merupakan surat dukungan yang pada umumnya dikeluarkan oleh Menteri Keuangan (atas nama Pemerintah) yang menjamin pembelian atas daya yang dihasilkan oleh suatu proyek pembangkit listrik yang dibiayai oleh Badan Usaha sebagai hasil kerjasama dengan Pemerintah atau Pemerintah Daerah. XI.1.6.4

Alokasi Resiko (Risk Sharing)

Pasal 16 ayat (1) Peraturan Presiden No 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur

Resiko dikelola berdasarkan prinsip alokasi resiko antara Pemerintah (dalam hal ini Menteri/Kepala Lembaga/ Kepala Daerah) dan Badan Usaha secara memadai dengan mengalokasikan resiko kepada pihak yang paling mampu mengendalikan resiko dalam rangka menjamin efisiensi dan efektivitas dalam penyediaan infrastruktur.

Pasal 16 ayat (2) Peraturan Presiden No 67 Tahun 2005

Pengelolaan resiko dituangkan dalam Perjanjian Kerjasama.

XI.2

JENIS-JENIS PERLINDUNGAN

XI.2.1 Perlindungan Terhadap Nasionalisasi Pengambil- alihan Hak Kepemilikan

445

dan

Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No 25 Tahun 2007

Pemerintah tidak akan melakukan tindakan nasionalisasi atau pengambilalihan hak kepemilikan penanam modal, kecuali dengan Undang-Undang.

Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang No 25 Tahun 2007

Dalam hal Pemerintah melakukan tindakan nasionalisasi

Penjelasan atas pasal 7 ayat (2), Undang-Undang No 25 Tahun 2007

Yang dimaksud dengan “harga pasar” adalah harga yang ditentukan menurut cara yang digunakan secara internasional oleh penilai independen yang ditunjuk oleh para pihak.

Pasal 7 ayat (3) Undang-Undang No 25 Tahun 2007

Jika diantara kedua belah pihak tidak tercapai kesepakatan tentang kompensasi atau ganti rugi, penyelesaiannya dilakukan melalui “arbitrase”.

Penjelasan pasal 7 ayat (3), UndangUndang No 25 Tahun 2007

Yang dimaksud dengan “arbitrase” adalah cara penyelesaian suatu sengketa Perdata di luar pengadilan yang didasarkan pada kesepakatan tertulis para pihak yang bersengketa.

atau pengambilalihan hak, Pemerintah akan memberikan kompensasi yang jumlahnya ditetapkan berdasarkan “harga pasar “.

XI.2.2 Perlindungan atas Hak-hak yang Diperoleh (Acquired Rights) Konsep hak-hak yang diperoleh (aquired rights) tidak diatur secara tegas dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. XI.2.3 Perlindungan atas Resiko Non-Komersial Convention on Multilateral Investment Guarantee Agency/MIGA of 1985 yang telah diratifikasi Indonesia dengan Keputusan Presiden No 31 Tahun 1986

Resiko Non-Komersial meliputi: resiko atas transfer mata uang (currency transfer); resiko atas terjadinya pengambilalihan hak atau tindakan serupa lainnya (expropriation and similar measures); pelanggaran atas kontrak (breach of contract); serta perang dan kerusuhan sipil (war and civil disturbances).

446

Atas kesepakatan bersama, MIGA dan Host Country dapat memperluas cakupan Resiko Non-Komersial Hak Cipta Undang-Undang No 19 Tahun 2002); Merek (UndangUndang No 15 Tahun 2001); Paten (UndangUndang No 14 Tahun 2001); desain Industri (Undang-Undang No 31 Tahun 2000); Rahasia Dagang (UndangUndang No 30 Tahun 2000); Desain tata Letak Sirkuit Terpadu (Undang-Undang No 32 Tahun 2000

XI.2.4 Perlindungan Kekayaan Intelektual

dan

Penegakan

Hak-hak

XI.2.5 Perlindungan Hukum Pasal 14 huruf a, Undang-Undang No 25 Tahun 2007

Setiap penanam modal berhak mendapat kepastian hak, hukum dan perlindungan.

Yang dimaksud dengan “kepastian hak” adalah jaminan Pemerintah bagi penanam modal untuk memperoleh hak sepanjang penanam modal telah melaksanakan kewajiban yang ditentukan. Yang dimaksud dengan “kepastian hukum” adalah jaminan Pemerintah untuk menempatkan hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai landasan utama dalam setiap tindakan dan kebijakan bagi penanam modal. Penjelasan atas pasal 14 huruf a, Undang-Undang No 25 Tahun 2007

Yang dimaksud dengan “kepastian perlindungan” adalah jaminan Pemerintah bagi penanam modal untuk memperoleh perlindungan dalam melaksanakan kegiatan penanaman modal.

447

XI.3

JANGKA WAKTU JAMINAN PENANAMAN MODAL

DAN

PERLINDUNGAN

Pasal 4 ayat 2 b Undang-Undang No 25 Tahun 2007

Pemerintah menjamin kepastian hukum, kepastian berusaha, dan keamanan berusaha bagi penanam modal sejak proses pengurusan perizinan sampai dengan berakhirnya kegiatan penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

448

PENYELESAIAN SENGKETA PENANAMAN MODAL

XII.1

SUMBER SENGKETA PENANAMAN MODAL

XII.1.1 Kebijakan dari Host Country Kebijakan yang berpotensi menimbulkan sengketa, meliputi namun tidak terbatas pada: a. b.

Kebijakan di bidang Fiskal Kebijakan di bidang Pengelolaan Hutang Luar Negeri c. Kebijakan di b idang Mata Uang d. Kebijakan di bidang Pertanahan e. Kebijakan di bidang Kepemilikan f. Kebijakan di bidang Pengelolaan Kekayaan Negara g. Kebijakan di bidang Ketenagakerjaan h. Kebijakan di bidang Perdagangan dan Industri i. Kebijakan di bidang Administrasi Pemerintahan j. Kebijakan di bidang Perlindungan Usaha Kecil dan Menengah k. Kebijakan di bidang Pelayanan Publik l. Dan lain-lain XII.1.2 Pelanggaran Kewajiban yang Dilakukan Host-Country Bentuk-bentuk kewajiban yang mungkin dilanggar oleh Host-Country meliputi namun tidak terbatas pada: a. b.

Kewajiban memberikan perlakuan yang sama; Kewajiban melindungi hak-hak yang diperoleh oleh orang asing (acquired rights of the aliens), termasuk investor asing beserta hak miliknya; c. Kewajiban menghormati hak-hak kontraktual investor asing sesuai dengan kegiatan yang dilakukan; d. Kewajiban untuk memberikan kebebasan melakukan repatriasi modal dan keuntungan;

451

e.

Kewajiban untuk menyediakan mekanisme penyelesaian sengketa yang efektif, adil dan menjamin kepastian hukum; Dan lain-lain

f.

Tindakan lain dari host-country yang dianggap merupakan pelanggaran adalah kegiatan pengambilalihan atas aset atau kepemilikan asing dalam berbagai variasi situasi sebagai berikut: a. b.

Penjualan kepemilikan secara paksa; Penjualan saham secara paksa dari suatu kegiatan Penanaman Modal Asing melalui mekanisme korporasi; c. Tindakan Pribumisasi; d. Pengambilalihan kendali manajemen atas kegiatan Penanaman Modal Asing; e. Membujuk pihak lain untuk mengambil alih kepemilikan asing secara fisik; f. Kegagalan memberikan perlindungan ketika terjadi gangguan terhadap kepemilikan investor asing; g. Keputusan administratif yang membatalkan lisensi dan perizinan yang diperlukan oleh investor asing dalam melakukan kegiatan usaha; h. Pengenaan pajak secara berlebihan; i. Expolsion terhadap investor asing secara bertentangan dengan ketentuanketentuan Hukum Internasional; j. Tindakan pelecehan seperti pembekuan bank account atau mendorong pemogokan, lock-out serta tindakantindakan lain yang menyebabkan kelangkaan tenaga kerja.

452

XII.1.3 Pelanggaran Kewajiban Home-Country Bentuk kemungkinan pelanggaran oleh home-country untuk memenuhi kewajiban internasionalnya dapat meliputi: a. Gagal melaksanakan kewajiban mengarahkan agar kegiatan investor asal home-country memperhatikan kewajiban internasional home-country, serta tidak melanggar kedaulatan negara tuan rumah dan hak-hak sah dari mitra lokalnya maupun masyarakat di tempat melakukan kegiatan penanaman modal; b. Gagal menetapkan aturan-aturan yang mengikat badan hukum nasionalnya yang melakukan kegiatan penanaman modal asing di negara lain untuk memperhatikan: lingkungan hidup, hak-hak asasi manusia, demokrasi, dan lain-lain. XII.1.4 Pelanggaran Kewajiban Counter-Part dari Host Country a. b.

Pelanggaran ketentuan-ketentuan kontraktual Melakukan pengambilalihan secara tidak sah

XII.1.5 Pelanggaran Kewajiban Investor a.

Pelanggaran ketentuan-ketentuan ketenagakerjaan b. Pelanggaran HAM c. Pelanggaran kewajiban Community Development dan Corporate Social Responsibility d. Dan lain-lain

453

XII.1.6 Pelanggaran oleh Masyarakat a.

Pengambilalihan dan perusakan fasilitas serta aset investor asing; Pemblokadean ke wilayah fasilitas atau kepemilikan asing; Main hakim sendiri; Dan lain-lain.

b. c. d.

XII.1.7 Lemahnya Penegakan Hukum a. b. c. d. XII.2

Lemahnya penegakan atas kontrak; Lemahnya perlindungan atas hak kepemilikan asing; Lemahnya keamanan dan ketertiban; Dan lain-lain

dan

JENIS-JENIS SENGKETA PENANAMAN MODAL XII.2.1 Sengketa Administratif

Pasal 1 angka 4, UU No. 5 Tahun 1986 sebagaimana telah diubah dengan UU No 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara

Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku.

Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

454

XII.2.2 Sengketa Hukum Sengketa hukum biasanya timbul karena tidak diakomodasikannya kepentingan salah satu pihak atau pihak ketiga lainnya dalam suatu kegiatan penanaman modal. Berdasarkan pihaknya, sengketa ini dapat terjadi antara investor dengan Negara tuan rumah (house country); sengketa antar negara; investor dengan masyarakat setempat; antara investor dengan mitra lokal; sengketa kewenangan (antara pemerintah pusat dan daerah, antar pemerintah daerah, antar instansi pemerintah pusat) yang berdampak pada kegiatan penanaman modal; dan lain-lain. XII.2.3 Sengketa Teknis Sengketa teknis biasanya terkait dengan hubungan kontraktual. Sengketa ini dapat terjadi karena adanya pelanggaran terhadap ketentuan kontrak kerjasama yang telah disepakati oleh keduabelah pihak yang bekerjasama, pada saat implementasi kontrak. XII.3

PARA PIHAK DALAM SENGKETA PENANAMAN MODAL XII.3.1 Antar Negara Pada umumnya menyangkut perbedaan interpretasi dan implementasi atas perjanjian bilateral di bidang promosi dan perlindungan penanaman modal serta perjanjian lain seperti: ketentuan-ketentuan TRIMS dari WTO Agreement, perjanjian tentang pencegahan pajak berganda dan penghindaran pajak, perjanjian kemitraan ekonomi, dan lain-lain XII.3.2 Negara dengan Subyek Hukum Bukan Negara Sengketa ini pada umumnya timbul antara host-country dengan investor asing yang melakukan penanaman modal pada host-country.

455

XII.3.3 Subyek Hukum Bukan Negara Satu Sama Lain Sengketa diantara para mitra usaha (counter-parts) biasanya ditimbulkan oleh perbedaan interpretasi dan pelaksanaan kontrak antara investor dengan mitra lokalnya XII.3.4 Investor dengan Masyarakat Setempat Sengketa antara investor dengan masyarakat setempat pada umumnya ditimbulkan oleh ketidakpuasan masyarakat setempat terhadap kegiatan investor pada wilayah mereka yang dapat ditimbulkan oleh berbagai faktor, antara lain: kegiatan investasi yang menimbulkan dampak kerugian kepada masyarakat setempat; terjadinya pelanggaran HAM oleh investor; ganti rugi lahan yang sangat rendah; tidak terserapnya masyarakat pada lapangan kerja yang disediakan oleh investor, dan lain-lain. XII.4

SUMBER HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA XII.4.1 Hukum Internasional a. b.

c. d.

e. f. g.

New York Convention on Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award of 1958; Convention on the Settlement of Investment Disputes Between States and Nationals of Other States of 1966; Convention on Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA) of 1985; WTO Agreement of 1994, khususnya Dispute Settlement Understanding (DSU) yang berkaitan dengan TRIMS (Trade Related Aspects of Investment Measures); UNCITRAL Arbitration Rules of 1976; UNCITRAL Conciliation Rules of 1980; UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration;

456

h.

i. j. k. l.

UNCITRAL Model Law on International Commercial Conciliation with Guide to Enactment and Use of 2002; UNCITRAL Notes on Organizing Arbitral Proceeding of 1996; ICC Dispute Board Rules of 2003; ICC Rules of Arbitration of 2003 ; ICSID Rules of Procedure for Conciliation Proceedings.

XII.4.2 Hukum Nasional a. b.

c.

d.

e.

f.

g.

h.

Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal; Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa; Undang-Undang No. 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum; Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan WTO Agreement of 1994, termasuk annex tentang TRIMS; Undang-Undang No. 5 Tahun 1968 tentang Persetujuan atas Konvensi tentang Penyelesaian Perselisihan antara Negara dan Warganegara Asing tentang Penanaman Modal (Convention on Settlement of Disputes between States and Nationals of Other States); Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1981 tentang Pengesahan Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards; Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing; Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 jo No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan Mahkamah Agung Republik Indonesia

457

XII.5

TATA CARA UMUM PENYELESAIAN SENGKETA PENANAMAN MODAL XII.5.1 Penyelesaian melalui Proses Ajudikasi XII.5.1.1

Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Penyelesaian melalui proses litigasi dilakukan melalui lembaga peradilan, baik nasional (misal peradilan umum maupun peradilan niaga) maupun internasional (misal melalui Mahkamah Internasional atau Mahkamah Khusus). XII.5.1.2

Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Penyelesaian melalui Proses Litigasi

Penyelesaian melalui Arbitrase

Penyelesaian sengketa melalui proses pemeriksaan dan pengambilan putusan oleh arbiter tunggal atau majelis arbiter dari lembaga arbitrase, baik oleh lembaga arbitrase yang berlingkup nasional maupun internasional, demikian pula lembaga arbitrse yang bersifat permanen maupun sementara (ad-hoc). XII.5.2 Penyelesaian melalui Proses Non-Ajudikasi XII.5.2.1

Center for Dispute Resolution, UTS, Australia.

Negotiation is a process in which two or more parties try to resolve differences, solve problems and reach agreements. XII.5.2.2

Center for Dispute Resolution, UTS, Australia.

Penyelesaian melalui Proses Negosiasi

Penyelesaian melalui Proses Mediasi

Mediation is a structured negotiation process in which a neutral third party, the mediator, who is independent of the parties, assist them to agree on their own solution to their dispute by assisting them systematically to isolate the issues in dispute, to develop options for their resolution and to reach an agreement which accommodates the interest of all disputants as much as possible.

458

XII.5.2.3 Article 1 of the Regulations on Procedure of International Conciliation adopted by Institute of International Law.

Penyelesaian melalui Proses Konsiliasi

Conciliation is a method for the settlement of international disputes of any nature according to which a Commission is set up by the parties, either on a permanent basis or an ad-hoc basis to deal with a dispute, proceeds to the impartial examinationof the dispute and attempts to define the terms of a settlement susceptible of being accepted by themor of affording the Parties, with a view to its settlement, such aid as they may have requested. XII.5.2.4 Penyelesaian (Good Offices)

melalui Proses

Jasa

Baik

Pada Good Offices pihak ketiga hanya memfasilitasi para pihak yang bersengketa untuk berunding, sementara pihak ketiga tersebut tidak ikut serta dalam perundingan. Tugas pihak ketiga akan berakhir pada saat para pihak yang bersengketa dapat berkomunikasi atau memulai perundingan. XII.5.2.5 Penyelesaian melalui Proses Pencari Fakta (Commission of Inquiry)

Komisi

The inquiry is a procedure of peace settlement of disputes in which the parties set up a commission of enquiry with the task to determine the facts which underlies the controversy. These facts are founded on the basis of documents, local inspections, expertises, hearing of evidence, etc. and laid down in a report to the parties.

459

XII.5.2.6 ICC Dispute Board Rules of 2004, with its Standard ICC Dispute Board Clauses and Model Dispute Board Agreements

Penyelesaian melalui Proses Board Rules

Dispute Boards (DBs) are normally set up at the outset of a contract and remain in place and are remunerated throughout its duration. Comprising one or three members thouroughly acquainted with the contract and its performace, the DB informally assist the parties, if they so desire, in resolving disagreements arising in the course of the contract and it makes recommendations or decisions regarding disputes referred to it by any of the parties. DBs have become a standard dispute resolution mechanism for contractual disputes arising in the course of mid or long term contracts.

XII.5.3 Penyelesaian melalui Ajudikasi dan Non-Ajudikasi XII.5.3.1

Peraturan Mahkamah Agung No 1 Tahun 2008

Proses

Gabungan

Court-Annexed Mediation

Metode penyelesaian sengketa melalui proses mediasi di pengadilan.

XII.5.3.2

Mediation-Arbitration

Med-Arb is a dispute resolution process which combines some of the features of both mediation and arbitration. Most Med-Arb proceedings call for a third party to first mediate as many issues as possible and then, by permission of the parties, to arbitrate those that remains. XII.5.3.3

Conciliation-Arbitration

Merupakan proses gabungan antara penyelesaian melalui konsiliasi dengan proses arbitrase

460

XII.6

TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA ANTAR NEGARA DI BIDANG PENANAMAN MODAL XII.6.1 Penyelesaian melalui Jalur Diplomatik Penyelesaian melalui jalur diplomatik dapat dilakukan baik secara langsung maupun secara tidak langsung (dalam hal diantara kedua negara yang bersengketa tidak memiliki hubungan diplomatik). XII.6.2 Penyelesaian melalui Mahkamah Arbitrase Permanen (Permanent Court of Arbitration) Beberapa perjanjian bilateral di bidang promosi dan perlindungan penanaman modal mengacu penyelesaian sengketa kepada Mahkamah Arbitrase Permanen. XII.6 3 Penyelesaian melalui Mahkamah Internasional Penyelesaian melalui Mahkamah Internasional dapat dilaksanakan, baik atas dasar kesepakatan kedua negara pada perjanjian tentang promosi dan perlindungan penanaman modal, maupun pada perjanjian khusus untuk menyerahkan pemeriksaan dan putusan atas sengketa diantara kedua negara melalui Mahkamah Internasional. XII.6.4 Penyelesaian melalui Dispute Settlement Body dari WTO

WTO Agreement Diratifikasi dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1994

Dispute Settlement Understanding dari WTO memberi pilihan bagi penyelesaian sengketa antar negara dalam kerangka WTO, khususnya yang berkaitan dengan TRIMS (Trade Related Aspects of Invesment Measures). Pelaksanaannya dilakukan oleh Dispute Settlement Body, baik melalui proses konsultasi, panel, maupun appelate body.

461

XII.7

TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA ANTAR NEGARA DENGAN SUBYEK HUKUM BUKAN NEGARA DI BIDANG PENANAMAN MODAL XII.7.1 Penyelesaian melalui ICSID

ICSID Convention telah diratifikasi dengan Undang-UndangNo.5 Tahun 1968

ICSID (International Center for Settlement of International Disputes) didirikan atas dasar Convention on the Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of Other States of 1966 (ICSID Convention). ICSID menyediakan berbagai fasilitas/kemudahan bagi konsiliasi dan arbitrase menyangkut sengketa investasi antara Negara (Host-Country) dengan badan hukum/ lain.

Pasal 18-24 Convention on Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of Other States/ICSID Convention

ICSID mempunyai kedudukan penuh sebagai subyek hukum internasional (international legal personality) dan karenanya memiliki kapasitas untuk: membuat kontrak; memperoleh atau melepas kekayaan baik bergerak maupun tidak bergerak; menjalankan proses hukum serta menikmati imunitas dan memiliki hak-hak privileges.

Pasal 25 ICSID Convention

Yurisdiksi ICSID meliputi sengketa hukum yangsecara langsung timbul dari kegiatan investasi yang melibatkan host-country dengan warganegara/badan hukum negara lain yang merupakan investor dimana pihak yang bersengketa memberikan persetujuan tertulis bagi penyelesaian sengketa melalui ICSID.

Pasal 50 dan 51 ICSID Convention

Dalam hal penyelesaian melalui arbitrase, maka pihak yang dikalahkan dapat mengajukan pembatalan (annulment), apabila diajukan pembatalan maka harus dibentuk Ad-Hoc Committee dan Majelis Arbiter baru; atas keputusan majelis arbiter yang baru juga dapat dimintakan pembatalan (annulment) kembali; yang selanjutnya dibentuk Ad-Hoc Committee baru lagi yang harus memutus pada tingkat akhir.

462

Pasal 52 ICSID Convention

Pengajuan pembatalan (annulment) sebagaimana dimaksud di atas dapat dilakukan dengan alasan-alasan sah, yaitu:

a. Majelis Arbiter dibentuk secara tidak wajar/layak; b. Majelis telah bertindak melebihi wewenangnya; c. Telah

terjadi korupsi yang dilakukan oleh salah seorang/lebih anggota majelis;

d. Telah

terjadi penyimpangan yang serius terhadap kaidah atau prosedur fundamental yang berlaku. Pasal 53-55 ICSID Convention

Keputusan (award) ICSID bersifat mengikat bagi para pihak yang bersengketa dan bersifat final serta tidak ada upaya hukum lain (remedy) yang bisa ditempuh atas keputusan tersebut kecuali sebagaimana yang ditetapkan oleh ketentuan Konvensi (ICSID). Setiap negara anggota wajib mengakui dan melaksanakan putusan ICSID. XII.7.2 Penyelesaian melalui MIGA

MIGA Convention telah diratifikasi dengan Kepres No. 31 Tahun 1986

MIGA (Multilateral Investment Guarantee Agency) didirikan berdasarkan Convention on Multilateral Investment Guarantee Agency of 1985, selanjutnya disebut MIGA Convention. MIGA yang didirikan oleh Bank Dunia (World Bank) dirancang sebagai suatu subyek hukum internasional yang berfungsi di satu sisi mendorong investasi serta pada sisi lain melindungi kepentingan investor atas resiko non-komersial (non-commercial risk) yang ditimbulkan dari kegiatan investasi (penanaman modal). Non-commercial risk tersebut meliputi persoalan-persoalan seperti: currency transfer; expropriation and similar measures; breach of contract; and war and civil disturbances.

463

Konvensi MIGA mengatur mekanisme penyelesaian sengketa, baik melalui negosiasi, konsiliasi maupun arbitrase. Dalam hal cara-cara penyelesaian sengketa tersebut tidak berhasil, maka penyelesaian sengketa dapat diserahkan kepada ICSID.

Annex II MIGA Convention

XII.7.3 Penyelesaian Secara Damai (Amicable) di Luar Pengadilan Sengketa antara Host-Country dengan investor asing juga dapat diselesaikan melalui mekanisme ADR di luar pengadilan, baik melalui negosiasi maupun mediasi, jasa baik pihak ketiga maupun Komisi Pencari Fakta. XII.7.4 Penyelesaian melalui Lembaga Peradilan Dalam hal terjadi sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan penanam modal, penyelesaian sengketa dapat dilakukan melalui pengadilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 32 ayat 2, Undang-Undang No. 25 Tahun 2007

XII.8

TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA SUBYEK HUKUM BUKAN NEGARA SATU SAMA LAIN DI BIDANG PENANAMAN MODAL XII.8.1 Penyelesaian Secara Damai (Amicable) Secara Musyawarah/Alternative Dispute Resolution (ADR)

Pasal 1 angka 10 Undang-Undang No 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yaitu penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.

464

XII.8.2 Penyelesaian melalui Arbitrase Internasional Center for Dispute Resolution, UTS, Australia

Arbitration is widely used in commercial and personal injury disputes. It involves the submission of a dispute to a third party who renders a decision after hearing arguments and reviewing the evidence. XII.8.3 Penyelesaian melalui Arbitrase Nasional XII.8.3.1

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No .30 Tahun 1999

Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa Perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. XII.8.3.2

Pasal 27-51 Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Pengertian Arbitrase

a. b. c. d. e.

Tata Cara Berarbitrase

Sifat pemeriksaan Bahasa yang dipergunakan Hak dan kesempatan yang sama Keterlibatan pihak ketiga Kebebasan para pihak untuk menentukan cara arbitrase f. Keputusan provisional g. Perpanjangan waktu tugas arbiter atau majelis arbitrase h. Penggunaan arbitrase nasional atau internasional i. Pemeriksaan lisan dan tertulis j. Tempat arbitrase dan pemeriksaan saksi k. Ketentuan tentang permohonan arbitrase l. Jawaban oleh termohon m. Gugurnya permohonan n. Perdamaian o. Pemeriksaan terhadap pokok sengketa p. Jangka waktu pemeriksaan secara keseluruhan q. Saksi dan saksi ahli r. Berita acara pemeriksaan

465

XII.8.4 Penyelesaian melalui Dispute Board Rules (ICC) Dispute Board Rules of ICC of 2004 yang dilengkapi dengan Standard ICC Dispute Board Clauses dan Model Dispute Board Agreement

Dispute Board Rules (DBs) are normally set up at the outset of a contract and remain in place and are remunerated throughout its duration. Comprising one or three members thoroughly acquainted with the contracts and its performance, the DB informally assist the parties, if they so desire, in resolving disagreements arising in the course of the contract and it makes recommendations or decisions regarding disputes referred to it by any of the parties. DBs have become a standard dispute resolution mechanism for contractual disputes arising in the course of mid-or long term contracts. XII.8.5 Penyelesaian melalui Lembaga Peradilan

Pasal 4, UndangUndang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

XII.8.5.1 Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.

Pasal 118 ayat (1), Reglement Indonesia yang diperbaharui Tahun 1941 No. 44, Bab Kesembilan, Perihal Mengadili Peraturan Kepalara Perdata yang harus diperiksa oleh Pengadilan Negeri

XII.8.5.2 Gugatan Perdata, yang pada tingkat pertama masuk kekuasaan pengadilan negeri, harus dimasukkan dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau oleh wakilnya menurut Pasal 123, kepada Ketua Pengadilan Negeri di daerah hukum siapa Tergugat bertempat diam atau tidak diketahui tempat diamnya, tempat tinggal sebetulnya.

466

Penjelasan Pasal 118 ayat (1), RIB

Istilah “Perkara Perdata” sebagaimana dijelaskan di atas mengandung pengertian: 1. Hukum Perdata Material dan 2. Hukum Perdata Formal. Hukum perdata material adalah kumpulan peraturan-peraturan hukum yang mengatur perhubungan-perhubungan antara orang-orang atau badan-badan hukum satu sama lain, yang timbul dari perhubungan pergaulan masyarakat, seperti misalnya peraturan tentang jualbeli, sewa-menyewa, gadai, perseroan dagang, kawin, perceraian, dan lain-lain. Sementara Hukum Perdata Formal adalah lebih kepada prosedur atau tata cara mengajukan guagatan ke pengadilan negeri.

XII.8.5.3

Wewenang mengadili

Pasal 50, UndangUndang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Sistem Peradilan Umum sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004

a.

Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan pekara pidana dan perkara perdata di tingkat pertama.

Pasal 51 ayat (1), Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Sistem Peradilan Umum sebagaimana diubah dengan UndangUndang Nomor 8 Tahun 2004

b.

Pengadilan Tinggi bertugas dan berwenang mengadili Perkara Pidana dan Perkara Perdata di tingkat banding.

Pasal 28, UndangUndang No. 14 Tahun 1985 tanggal 30 Desember 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana diubah dengan UndangUndang Nomor 5 Tahun 2004 jo Undang-Undang No. 3 Tahun 2009

c.

Mahkamah Agung bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus: Permohonan Kasasi, Sengketa tentang kewenangan mengadili dan Permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

467

XII.9

TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA ANTARA INVESTOR DENGAN MASYARAKAT SETEMPAT DI BIDANG PENANAMAN MODAL XII.9.1 Penyelesaian Secara Secara Musyawarah (ADR)

Damai

(Amicable),

Dapat dilakukan baik melalui proses negosiasi (secara langsung atau tidak langsung), melibatkan pihak ketiga dalam proses mediasi, konsiliasi, komisi pencari fakta, komite jasa baik maupun melalui pendapat ahli, serta Board Rules. XII.9.2

Penyelesaian melalui Lembaga Arbitrase Ad-Hoc

Mengingat sengketa antara investor dengan masyarakat setempat biasanya teidak terkait dengan kontrak dan tidak selalu berada pada lingkup kegiatan perdagangan, namun lebih banyak menyangkut kasus– kasus di bidang lingkungan hidup, hak-hak asasi manusia, dan lain-lain, maka bagi penyelesaiannya dapat dibentuk suatu mahkamah arbitrase yang bersifat sementara (ad-hoc) yang keanggotaannya dapat terdiri dari wakil pemerintah, wakil investor dan wakil masyarakat setempat. Yang secara khusus ditunjuk untuk memeriksa dan memutus.

XII.9.3 Pasal 4, UndangUndang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Penyelesaian melalui Lembaga Peradilan

Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Pengadilan membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan.

468

XII.10

PENEGAKAN HUKUM ATAS PENYELESAIAN SENGKETA PENANAMAN MODAL XII.10.1 Tata Cara Pelaksanaan Putusan XII.10.1.1 Atas Putusan Lembaga Peradilan

Pasal 195, Herzein Inlandsch Reglement (H.I.R), Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (R.I.B.)

Hal menjalankan keputusan pengadilan negeri, dalam Peraturan Kepalara yang pada tingkat pertama diperiksa oleh pengadilan negeri, adalah atas perintah dan dengan pimpinan ketua pengadilan negeri yang pada tingkat pertama memeriksa Peraturan Kepalara itu, menurut cara yang diatur dalam ketentuan dibawah berikut ini: a.

b.

c.

Jika hal itu harus dilakukan sekaligus atau sebagian, di luar daerah hukum pengadilan negeri yang tersebut di atas, maka ketuanya meminta bantuan ketua pengadilan yang berhak, dengan surat demikian juga halnya di luar Jawa-Madura. Ketua pengadilan negeri yang bantuannya diminta, berlaku sebagai ditentukan pada ayat di atas ini juga, jika nyata padanya, bahwa hal menjalankan keputusan itu harus terjadi sekaligus atau sebagian di luar daerah hukumnya pula. Bagi ketua pengadilan negeri yang diminta bantuannya oleh rekannya dari luar Jawa dan Madura, berlaku peraturan dalam bahagian ini, tentang segala perbuatan yang akan dilakukan disebabkan perintah ini.

469

a.

b.

c.

Pasal 191, Reglemen untuk acara hukum untuk daerah luar Jawa dan Madura, (Reglement tot Regeling Van Het Rechtswezen in de Gewesten Buiten Java En Madura. (RBg.), (S. 1927-227.)

Ketua yang diminta bantuannya itu, memberitahukan dalam dua kali dua puluh empat jam, segala daya upaya yang telah diperintahkan dan kemudian tentang kesudahannya kepada ketua pengadilan negeri yang pada tingkat pertama, memeriksa Peraturan Kepalara itu. Perlawanan terhadap keputusan, juga dari orang lain yang menyatakan bahwa barang yang disita miliknya, dihadapkan serta diadili seperti segala perselisihan tentang upaya paksa yang diperintahkan oleh pengadilan negeri, yang dalam daerah hukumnya terjadi penjalanan keputusan itu. Dari perselisihan yang timbul dari keputusan tentang perselisihan itu ketua pengadilan negeri memberitahukan dengan surat tiaptiap kali dalam tempo dua kali dua puluh empat jam kepada ketua pengadilan negeri, yang pada tingkat pertama memeriksa Peraturan Kepalara itu.

Pengadilan negeri dapat memerintahkan pelaksanan putusannya meskipun ada perlawanan atau banding jika ada bukti yang otentik atau ada surat yang ditulis dengan tangan yang menurut ketentuan-ketentuan yang berlaku mempunyai kekuatan pembuktian, atau karena sebelumnya sudah ada keputusan yang mempunyai kekuatan hukum yang pasti, begitu juga jika ada suatu tuntutan sebagian yang dikabulkan atau juga mengenai sengketa tentang hak besit (KUHPerd. 548 dst.; Rv. 53 dst.) Pelaksanaan sementara sekali-kali tidak boleh meluas sampai ke soal penyanderaan. (IR. 180; RB9. 242.)

Pasal 54 ayat (2), Undang-Undang No. 48 Tahun 2009

a. Wewenang Pelaksanaan putusan pengadilan dalam Peraturan Kepalara perdata dilakukan oleh panitera dan juru sita dipimpin oleh ketua pengadilan.

470

Pasal 54, UndangUndang No. 48 Tahun 2009

b.

Pengawasan pelaksanaan putusan

Ketua pengadilan wajib mengawasi pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dan dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. XII.10.1.2 Atas Putusan Arbitrase Asing

Pasal III New York Convention on Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award of 1958 yang telah diratifikasi dengan Keputusan Presiden No 34 Tahun 1981

a.

Prinsip Pengakuan dan Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing

Pasal 67 ayat 1, Undang-Undang No 30 Tahun 1999

b.

Pasal 65 UndangUndang No 30 Tahun 1999

c. Wewenang

Negara pihak mengakui bahwa putusan arbitrase asing sebagai putusan yang mengikat dan menegakkannya pada wilayah negaranya sesuai dengan tata cara yang berlaku di wilayah negara tersebut.

Pengajuan Permohonan Pelaksanaan

Permohonnan pelaksanaan putusan Arbitrase Internasional dilakukan setelah putusan tersebut diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Jakarta Pusat.

Yang berwenang menangani masalah pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. XII.10.1.3 Atas Putusan Arbitrase Dalam Negeri a.

Pengajuan Permohonan Pelaksanaan

Dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal putusan ditetapkan, lembar asli atau salinan otentik putusan arbitrase diserahkan dan didaftarkan oleh arbiter atau kuasanya kepada Panitera Pengadilan Negeri.

471

b. Wewenang Wewenang untuk pelaksanaan putusan ada pada ketua Pengadilan Negeri. XII.10.2 Syarat-syarat bagi Pelaksanaan Putusan XII.10.2.1 Pasal 184, Herzein Inlandsch Reglement (H.I.R), Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (R.I.B.)

Atas Putusan Lembaga Peradilan

Keputusan harus berisi keterangan ringkas, tetapi yang jelas gugatan dan jawaban, serta dasar alasan-alasan keputusan itu: begitu juga keterangan, yang dimaksud pada ayat keempat pasal 7. Reglemen tentang Aturan Hakim dan Mahkamah serta Kebijaksanaan Kehakiman di Indonesia dan akhirnya keputusan pengadilan, negeri tentang pokok Peraturan Kepalara dan tentang banyaknya biaya, lagi pula pemberitahuan tentang hadir tidaknya kedua belah fihak pada waktu mengumumkan keputusan itu. Di dalam keputusan-keputusan yang berdasarkan pada aturan Undang-Undang yang pasti, maka aturan itu harus disebutkan. Keputusan-keputusan itu ditandatangani oleh ketua dan panitera.

Pasal 180, Herzein Inlandsch Reglement (H.I.R), Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (R.I.B.)

Ketua pengadilan negeri dapat memerintahkan supaya keputusan itu dijalankan dahulu biarpun ada perlawanan atau bandingan, jika ada surat yang syah, suatu surat tulisan yang menurut aturan yang berlaku dapat diterima sebagai bukti atau jika ada hukuman lebih dahulu dengan keputusan yang sudah mendapat kekuasaan pasti, demikian juga jika dikabulkan tuntutan dahulu, lagi pula di dalam perselisihan tentang hak kepunyaan. Akan tetapi hal menjalankan dahulu, keputusan ini sekali-kali tidak dapat menyebabkan orang disanderakan.

472

Pasal 195, Reglemen untuk acara hukum untuk daerah luar Jawa dan Madura, (Reglement tot Regeling Van Het Rechtswezen in de Gewesten Buiten Java En Madura. (RBg.), (S. 1927-227.)

Keputusan hakim harus memuat secara singkat tetapi jelas tentang apa yang dituntut serta jawabannya, begitu pula tentang dasar-dasar keputusan itu dan apa yang dimaksud dalam Pasal 7 RO. dan akhirnya putusan pengadilan negeri mengenai gugatan pokoknya serta biayanya dan mengenai para pihak mana yang hadir pada waktu putusan diucapkan. Keputusan yang didasarkan atas peraturan perundangundangan yang pasti harus menyebutkan peraturanperaturan itu. (RO. 7, 30 dst.; Rv. 61.) Surat-surat keputusan ditandatangani oleh ketua dan panitera. (RO. 43;IR. 184.) XII.10.2.2 Atas Putusan Arbitrse Internasional

Pasal 66 UndangUndang No. 30 Tahun 1999

Putusan Arbitrase Internasional hanya diakui serta dapat dilaksanakan di wilayah hukum Republik Indonesia, apabila memenuhi syaratsyarat sebagai berikut: a.

b.

c.

d.

Putusan Arbitrase Internasional dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase di suatu negara yang dengan negara Indonesia terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral, mengenai pengakuan dan pelaksanaan putusan Arbitrase internasional. Putusan Arbitrase sebagaimana dimaksud terbatas pada putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup perdagangan. Putusan Arbitrase Internasional dimaksud hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum. Putusan Arbitrase Internasional dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh eksekuator dari Ketua Pengadilan Negeri jakarta Pusat.

473

e.

Putusan Arbitrase Internasional dimaksud menyangkut negara Republik Indonesia sebagai salah satu pihak dalam sengketa, hanya dapat dilaksanakan setelah memperoleh Eksekuator Mahkamah Agung Republik Indonesia yang selanjutnya dilimpahkan kepada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

XII.10.2.3 Atas Putusan Arbitrase Nasional Pasal 59 ayat 3 Undang-Undang No 30 Tahun 1999

Arbiter atau kuasanya wajib menyerahkan putusan dan lembar asli pengangkatan sebagai arbiter atau salinan otentiknya kepada Panitera Pengadilan Negeri. XII.10.3 Pembatalan Putusan XII.10.3.1 Putusan Lembaga Peradilan

Pasal 13, UndangUndang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali Undang-Undang menentukan lain. Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud di atas mengakibatkan putusan batal demi hukum.

Pasal 15, ayat (5) dan ayat (6) Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan Peraturan Kepalara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berPeraturan Kepalara.

474

Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud di atas, putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 70 UndangUndang No 30 Tahun 1999.

XII.10.3.2 Putusan Arbitrase

Terhadap putusan arbitrase para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut: a.

Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, dakui palsu atau dinyatakan palsu; b. Setalah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan; atau c. Putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan sengketa.

475

476

DAFTAR PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG DIGUNAKAN DALAM IKHTISAR KETENTUAN BIDANG PENANAMAN MODAL

477

478

UNDANG-UNDANG 1.

Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

2.

Undang-Undang No. 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah

3.

Undang-Undang No. 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus

5.

Undang-Undang No. 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan

7.

Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan

9.

Undang-Undang No. 2 Tahun 2009 tentang Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia

11.

Undang-Undang No. 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

13.

Undang-Undang No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran

4.

Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

6.

Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Distribusi Daerah

8.

Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

10.

Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan

12.

Undang-Undang No. 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah

14.

Undang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

15.

Undang-Undang No. 44 Tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang-Undang

16.

Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas

18.

Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

20.

Undang-Undang No. 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian

22.

Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

24.

Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan

17.

Undang-Undang No. 30 Tahun 2007 tentang Energi

19.

Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal

21.

Undang-Undang No. 38 Tahun 2004 tentang Jalan

23.

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

25.

Undang-Undang No. 19 Tahun 2004 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.

479

41 Tahun 1999 tentang Kehutanan menjadi Undang-Undang 26.

Undang-Undang No. 18 Tahun 2004 tentang PerkebunanUndang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

27.

Undang-Undang No. 8 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 2 Ta-

28.

Undang-Undang No. 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung

30.

Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

32.

Undang-Undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi

34.

Undang-Undang No. 14 Tahun 2001 tentang Paten

hun 1986 tentang Peradilan Umum

29.

Undang-Undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara

31.

Undang-Undang No. 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta

33.

Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 tentang Merek

35.

Undang-Undang No. 37 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang menjadi Undang-Undang

36.

Undang-Undang No. 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas menjadi Undang-Undang

37.

Undang-Undang No. 32 Tahun 2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

39.

Undang-Undang No. 30 Tahun 2000 tentang Rahasia Dagang

38.

Undang-Undang No. 31 Tahun 2000 tentang Desain Industri

40.

Undang-Undang No. 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman

41.

Undang-Undang No. 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah

42.

Undang-Undang No. 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

44.

Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

46.

Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

48.

Undang-Undang No. 11 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah

43.

Undang-Undang No. 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

45.

Undang-Undang No. 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi

47.

Undang-Undang No. 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan

480

49.

Undang-Undang No. 10 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-

50.

Undang-Undang No. 9 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

52.

Undang-Undang No. 7 Tahun 1991 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

54.

Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung

56.

Undang-Undang No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan

58.

Undang-Undang No. 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah

60.

Undang-Undang No. 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

62.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1968 tentang Penyelesaian Perselisihan antara Negara dan Warganegara Asing mengenai Penanaman Modal

64.

Reglemen Indonesia yang diperbarui (RIB), Herziene Indonesisch Reglement (HIR)

Undang No. 7 Tahun 1991

51.

Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia)

53.

Undang-Undang No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum

55.

Undang-Undang No. 13 Tahun 1985 tentang Bea Meterai

57.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian

59.

Undang-Undang No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

61.

Undang-Undang No. 3 Tahun 1982 tentang Wajib Daftar Perusahaan

63.

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria

65.

Reglemen Indonesia yang diperbarui (RIB), Het Herziene Indonesisch Reglement, Reglemen tentang melakukan tugas kepolisian, mengadili perkara perdata dan penuntutan hukuman bagi bangsa Indonesia dan bangsa Timur Asing di Jawa dan Madura

66.

Reglemen Hukum Acara untuk daerah luar Jawa dan Madura, Reglement Tot Regeling Van Het Rechtswezen Buiten Java En Madura (RBg), Staatsblad 1927-227

68.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), Burgerlizk Wetboek voor Indonesie (BW), Staatsblaad 1847 No. 23 Tahun 1847

67.

Kitab Undang-undang Hukum Dagang (KUHD), Wetboek van Koophandel voor Indonesie (WvK), Staatsblad 1847-23

69.

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata, Reglement op de Rechtvordering, Staatsblad 1847-52 jo. 1849-63

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG (PERPU) 1.

Perpu No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian

481

2.

Perpu No. 1 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 36 Tahun 2000 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas

3.

Perpu No. 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

4.

Perpu No. 2 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang

PERATURAN PEMERINTAH 1.

Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral Dan Batubara

3.

Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan

5.

Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 2009 tentang Penyelenggaraan Perkeretaapian

7.

Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol

2.

Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan

4.

Peraturan Pemerintah No. 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan

6.

Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi

8.

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2009 tentang Kawasan Industri

9.

Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2009 tentang Perlakuan Kepabeanan, Perpajakan dan Cukai serta Pengawasan atas Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari serta berada di Kawasan yang telah ditunjuk sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas

10.

Peraturan Pemerintah No. 75 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2007 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia untuk Pendirian Perusahaan Perseroan (Persero) di Bidang Pembiayaan Infrastruktur

11.

Peraturan Pemerintah No. 62 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu

12.

Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 2008 tentang Pedoman Pemberian insentif dan Pemberian Kemudahan Penanaman Modal di Daerah

14.

Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2007 tentang Penyertaan Modal Negara RI untuk Pendirian Perseroan (Persero) di Bidang Pembiayaan Infrastruktur

16.

Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Karimun

13.

Peraturan Pemerintah No. 81 Tahun 2007 tentang Penurunan Tarif Pajak Penghasilan bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang berbentuk Perseroan Terbuka

15.

Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 2007 tentang Kegiatan Usaha Panas Bumi

17.

Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan

482

Pelabuhan Bebas Bintan 18.

Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2007 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam

19.

Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun 2007 tentang Waralaba

20.

Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota

21.

Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 2007 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2001 tentang Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai

22.

Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2001 tentang Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak tertentu yang bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai

23.

Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 2007 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu

24.

Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan

26.

Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2005 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1994 tentang Visa, Izin masuk dan Izin Keimigrasian

25.

Peraturan Pemerintah No. 79 Tahun 2005 tentang Pedoman Pembinaan dan Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah

27.

Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2003 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah di Kawasan Berikat dan Industri Pulau Batam

28.

Peraturan Pemerintah No. 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum

30.

Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi

29.

Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 2005 tentang Jalan Tol

31.

Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2003 tentang Perlakuan Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Barang Mewah di Kawasan Berikat dan Industri Pulau Batam

32.

Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2003 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2001 tentang Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai

33.

Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 2002 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2001 tentang Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai

34.

Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2002 tentang Penetapan Besarnya Nilai Jual Kena Pajak untuk Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan

483

35.

Peraturan Pemerintah No. 83 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham dalam Perusahaan Yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing

36.

Peraturan Pemerintah No. 12 Tahun 2001 tentang Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis Yang Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai

37.

Peraturan Pemerintah No. 147 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2000 tentang Perlakuan Perpajakan di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu

38.

Peraturan Pemerintah No. 144 Tahun 2000 tentang Jenis Barang dan Jasa Yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan Nilai

40.

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 2000 tentang Perubahan Tarif Bea Meterai dan Besarnya Batasan Pengenaan Harga Nominal yang Dikenakan Bea Meterai

42.

Peraturan Pemerintah No. 15 Tahun 1999 tentang Bentuk-bentuk Tagihan Tertentu Yang Dapat Dikompensasikan Sebagai Setoran Saham

44.

Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 1998 tentang Pemakaian Nama Perseroan Terbatas

46.

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

39.

Peraturan Pemerintah No. 52 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi

41.

Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 2000 tentang Perlakuan Perpajakan di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu

43.

Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1998 tentang Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas

45.

Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan

47.

Peraturan Pemerintah No. 40 Tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai atas Tanah

48.

Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 1996 tentang Perlakuan Perpajakan bagi Pengusaha Kena Pajak Berstatus Entrepot Produksi untuk Tujuan Ekspor (EPTE) Dan Perusahaan Pengolahan di Kawasan Berikat (KB)

49.

Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1995 tentang Izin Usaha Industri

51.

Peraturan Pemerintah No. 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham dalam Perusahaan Yang Didirikan Dalam Rangka Penanaman Modal Asing

50.

Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 1994 tentang Visa, Izin masuk dan Izin Keimigrasian

52.

Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1993 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1986 tentang Jangka Waktu Izin Perusahaan Penanaman Modal Asing

53.

Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1993 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1992 tentang Persyaratan Pemilikan Saham dalam Perusahaan Penanaman Modal Asing

54.

Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 1992 tentang Persyaratan Pemilikan Saham dalam Perusahaan Penanaman Modal Asing

55.

Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1986 tentang Jangka Waktu Izin Perusahaan Pena-

484

naman Modal Asing 56.

Peraturan Pemerintah No. 1 Tahun 1982 tentang Pelaksanaan Ekspor, Impor dan/atau Lintas Devisa

PERATURAN PRESIDEN 1.

Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2010 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal

2.

Peraturan Presiden No. 13 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur

3.

Peraturan Presiden No. 29 Tahun 2009 tentang Pemberian Jaminan dan Subsidi Bunga oleh Pemerintah Pusat Dalam Rangka Percepatan Penyediaan Air Minum

5.

Peraturan Presiden No. 30 Tahun 2008 tentang Dewan Nasional Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas

4.

Peraturan Presiden No. 27 Tahun 2009 tentang Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal

6.

Peraturan Presiden No. 28 Tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional

7.

Peraturan Presiden No. 91 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No. 86 Tahun 2006 tentang Pemberian Jaminan Pemerintah untuk Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik yang Menggunakan Batubara

8.

Peraturan Presiden No. 90 Tahun 2007 tentang Badan Koordinasi Penanaman Modal

9.

Peraturan Presiden No. 76 Tahun 2007 tentang Kriteria dan Persyaratan Penyusunan Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal

10.

Peraturan Presiden No. 103 Tahun 2006 tentang Pemberian Jaminan Pemerintah untuk Pembangunan Proyek Monorail Jakarta

12.

Peraturan Presiden No. 72 Tahun 2006 tentang Tim Koordinasi Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik

11.

Peraturan Presiden No. 86 Tahun 2006 tentang Pemberian Jaminan Pemerintah untuk Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik yang menggunakan Batubara

13.

Peraturan Presiden No. 71 Tahun 2006 tentang Penugasan kepada PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) untuk Melakukan Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik yang Menggunakan Batubara

14.

Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum

15.

Peraturan Presiden No. 67 Tahun 2005 tentang Kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur

17.

Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum

16.

Peraturan Presiden No. 42 Tahun 2005 tentang Komite Kebijakan Percepatan Penyediaan Infrastruktur

485

KEPUTUSAN PRESIDEN 1.

Keputusan Presiden No. 11 Tahun 2008 tentang Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Karimun

3.

Keputusan Presiden No. 9 Tahun 2008 tentang Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam

5.

Keputusan Presiden No. 12 Tahun 2006 tentang Komite Pengarah Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus

7.

Keputusan Presiden No. 44 Tahun 2002 tentang Dewan Pengembangan Kawasan Timur Indonesia

9.

Keputusan Presiden No. 150 Tahun 2000 tentang Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu

11.

Keputusan Presiden No. 75 Tahun 1996 tentang Ketentuan Pokok Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara

13.

Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1992 tentang Pemanfaatan Tanah Hak Guna Usaha dan Hak Guna Bangunan untuk Usaha Patungan Dalam Rangka Penanaman Modal

15.

Keputusan Presiden No. 34 Tahun 1981 tentang Pengesahan “Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award”

2.

Keputusan Presiden No. 10 Tahun 2008 tentang Dewan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Bintan

4.

Keputusan Presiden No. 8 Tahun 2008 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden No. 3 Tahun 2006 tentang Tim Nasional Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi

6.

Keputusan Presiden No. 87 Tahun 2003 tentang Tim Nasional Peningkatan Ekspor dan Peningkatan Investasi

8.

Keputusan Presiden No. 152 Tahun 2000 tentang Pembentukan Tim Pengkajian Pengembangan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas

10.

Keputusan Presiden No. 90 Tahun 2000 tentang Kantor Perwakilan Perusahaan Asing

12.

Keputusan Presiden No. 75 Tahun 1995 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang

14.

Keputusan Presiden No. 31 Tahun 1986 tentang Pengesahan Convention Establishing The Multilateral Investment Guarantee Agency

INSTRUKSI PRESIDEN 1.

Instruksi Presiden No. 6 Tahun 2007 tentang Kebijakan Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah

3.

Instruksi Presiden No. 7 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Kebijakan dan Strategi Nasional Percepatan Pembangunan Kawasan Timur Indonesia

5.

Instruksi Presiden No. 6 Tahun 1998 tentang Penanaman Modal Asing di Bidang Perkebunan Kelapa Sawit

2.

Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2006 tentang Paket Kebijakan Perbaikan Iklim Investasi

4.

Inpres No. 10 Tahun 1999 tentang Pemberdayaan Usaha Menengah

486

PERATURAN MENTERI 1.

Peraturan Menteri Keuangan No. 24/PMK.011/2010 tentang Pemberian Fasilitas Perpajakan dan Kepabeanan untuk Kegiatan Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan

2.

Peraturan Menteri Keuangan No. 21/PMK.011/2010 tentang Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah atas Impor Barang untuk Kegiatan Usaha Hulu Eksplorasi Minyak dan Gas Bumi serta Kegiatan Usaha Eksplorasi Panas Bumi untuk Tahun Anggaran 2010

3.

Peraturan Menteri Perindustrian No. 19/M-IND/PER/2/2010 tentang Daftar Mesin, Barang, dan Bahan Produksi Dalam Negeri untuk Pembangunan atau Pengembangan Industri Dalam Rangka Penanaman Modal

4.

Peraturan Menteri Perindustrian No. 18/M-IND/PER/2/2010 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Pertimbangan Teknisi Rekomendasi Bidang Perindustrian kepada Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Bintan Dan Karimun

5.

Peraturan Menteri Perindustrian No. 16/M-IND/PER/1/2010 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perindustrian No. 147/M-IND/PER/10/ 2009 tentang Pendelegasian Kewenangan Pemberian Izin Usaha Industri, Izin Perluasan, Izin Usaha Kawasan Industri, dan Izin Perluasan Kawasan Industri Dalam Rangka Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal

6.

Peraturan Menteri Perindustrian No. 09/M-IND/PER/1/2010 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Pertimbangan Teknis/ Rekomendasi atas Impor Barang Modal Bukan Baru bagi Perusahaan Rekondisi dan Perusahaan Remanufakturing

7.

Peraturan Menteri Kehutanan No. P.01/Menhut-II/2010 tentang Pendelegasian Wewenang Pemberian Izin Usaha di Bidang Kehutanan Dalam Rangka Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal

8.

Peraturan Menteri Keuangan No.  242/PMK.03/2009 tentang Tata Cara Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari Kawasan yang telah ditunjuk sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas

9.

Peraturan Menteri Keuangan No.  241/PMK.03/2009 tentang Pemberitahuan Pabean dalam rangka Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari Kawasan yang telah ditunjuk sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas

10.

Peraturan Menteri Keuangan No. 240/PMK.03/2009 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan No. 45/PMK.03/2009 tentang Tata Cara Pengawasan, Pengadministrasian, Pembayaran, serta Pelunasan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Pengeluaran dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dari Kawasan Bebas ke Tempat Lain dalam Daerah Pabean dan Pemasukan dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dari Tempat Lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas

11.

Peraturan Menteri Keuangan No. 176/PMK.011/2009 tentang Pembebasan Bea Masuk atas Impor Mesin serta Barang dan Bahan untuk Pembangunan atau Pengembangan Industri Dalam Rangka Penanaman Modal

12.

Peraturan Menteri Perindustrian No. 147/M-IND/PER/10/2009 tentang Pendelegasian Kewenangan Pemberian Izin Usaha Industri, Izin Perluasan, Izin Usaha Kawasan Industri, dan Izin Perluasan Kawasan Industri Dalam Rangka Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal

487

13.

Peraturan Menteri Keuangan No. 128/PMK.011/2009 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan No. 154/PMK.011/2008 tentang Pembebasan Bea Masuk atas Impor Barang Modal Dalam Rangka Pembangunan dan Pengembangan Industri Pembangkit Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum

14.

Peraturan Menteri Keuangan No. 100/PMK.010/2009 tentang Perusahaan Pembiayaan Infrastruktur

15.

Peraturan Menteri Perhubungan No. KM.83 Tahun 2009 tentang Pendelegasian Wewenang Pemberian Izin Usaha di Bidang Transportasi Dalam Rangka Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal

16.

Peraturan Bersama Menteri Dalam Negeri No. 69 Tahun 2009, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. M.HH-08.AH.01.01.2009, Menteri Perdagangan No. 60/M-DAG/ PER/12/2009, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Per.30/MEN/XII/2009, dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No. 10 Tahun 2009 tentang Percepatan Pelayanan Perizinan dan Non-Perizinan untuk Memulai Usaha

17.

Peraturan Menteri Perdagangan No. 63/M-DAG/PER/12/2009 tentang Ketentuan Impor Barang Modal Bukan Baru

18.

Peraturan Menteri Perdagangan No. 55/M-DAG/PER/10/2009 tentang Pendelegasian Wewenang Penerbitan Surat Izin Usaha Penjualan Langsung Kepada Badan Koordinasi Penanaman Modal Dalam Rangka Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal

19.

Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika No. 50/PER/M.KOMINFO/ 12/2009 tentang Pendelegasian Kewenangan Pemberian Izin Usaha di Bidang Komunikasi dan Informatika Dalam Rangka Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) di Bidang Penanaman Modal kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal

20.

Peraturan Menteri Keuangan No. 47/PMK.04/2009 tentang Tata Cara Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari Kawasan yang telah ditunjuk sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas

21.

Peraturan Menteri Perdagangan No. 46/M-DAG/PER/9/2009 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan No. 36 Tahun 2007 tentang Penerbitan Surat Ijin Usaha Perdagangan

22.

Peraturan Menteri Keuangan No. 46/PMK.04/2009 tentang Pemberitahuan Pabean dalam rangka Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari Kawasan yang telah ditunjuk sebagai Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas

23.

Peraturan Menteri Perdagangan No. 45/M-DAG/PER/9/2009 tentang Angka Pengenal Importir (API)

24.

Peraturan Menteri Keuangan No. 45/PMK.03/2009 tentang Tata Cara Pengawasan, Pengadministrasian, Pembayaran, serta Pelunasan Pajak Pertambahan Nilai dan/atau Pajak Penjualan atas Barang Mewah atas Pengeluaran dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dari Kawasan Bebas ke Tempat Lain dalam Daerah Pabean dan Pemasukan dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dari Tempat Lain dalam Daerah Pabean ke Kawasan Bebas

488

25.

Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 24/PRT/M/2009 tentang Pendelegasian Wewenang Pemberian Izin Usaha di Bidang Pekerjaan Umum Dalam Rangka Pelaksanaan Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal kepada Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal

26.

Peraturan Menteri Perdagangan RI No. 12/M-DAG/PER/3/2009 tentang Pelimpahan Kewenangan Penerbitan Perizinan di Bidang Perdagangan Luar Negeri Kepada Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Bintan, dan Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Karimun

27.

Peraturan Menteri Perindustrian No. 05/M-IND/PER/1/2009 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perindustrian No. 66/M-IND/PER/9/2008 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Izin Usaha Industri Dan Izin Perluasan Dalam Rangka Penanaman Modal

28.

Peraturan Menteri Keuangan No. 238/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan dan Pengawasan Pemberian Penurunan Tarif bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang Berbentuk Perseroan Terbuka

29.

Peraturan Menteri Keuangan No. 154/PMK.011/2008 tentang Pembebasan Bea Masuk atas Impor Barang Modal Dalam Rangka Pembangunan dan Pengembangan Industri Pembangkit Tenaga Listrik Untuk Kepentingan Umum

30.

Peraturan Menteri Perindustrian No. 66/M-IND/PER/9/2008 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Izin Usaha Industri dan Izin Perluasan Dalam Rangka Penanaman Modal

31.

Peraturan Menteri Perindustrian No. 41/M-IND/PER/6/2008 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pemberian Izin Usaha Industri, Izin Perluasan dan Tanda Daftar Industri

33.

Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 27 Tahun 2008 tentang Kegiatan Usaha Penunjang Minyak dan Gas Bumi

32.

Peraturan Menteri Perdagangan No. 31/M-DAG/PER/8/2008 tentang Penyelenggaraan Waralaba

34.

Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 25 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penetapan Kebijakan Pembatasan Produksi Pertambangan Mineral Nasional

35.

Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 22 Tahun 2008 tentang Jenisjenis Biaya Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi yang tidak dapat dikembalikan kepada Kontraktor Kontrak Kerjasama

36.

Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER/02/MEN/III/2008 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing

37.

Peraturan Menteri Komunikasi dan Informasi No. 02/PER/M.KOMINFO/3/2008 tentang Pedoman Pembangunan dan Penggunaan Menara Bersama Telekomunikasi

38.

Peraturan Menteri Keuangan No. 119/PMK.05/2007 tentang Persyaratan Administratif Dalam Rangka Pengusulan dan Penetapan Satuan Kerja Instansi Pemerintah untuk Menerapkan Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum

39.

Peraturan Menteri Keuangan No. 109/PMK.05/2007 tentang Dewan Pengawas Badan Layanan Umum

40.

Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 53 Tahun 2007 tentang Pengawasan Peraturan Daerah dan Peraturan Kepala Daerah

489

41.

Peraturan Menteri Perdagangan No. 49/M-DAG/PER/12/2007 tentang Ketentuan Impor Barang Modal Bukan Baru

42.

Peraturan Menteri Perdagangan No. 36/M-DAG/PER/9/2007 tentang Penerbitan Surat Izin Usaha Perdagangan

43.

Peraturan Menteri Keuangan No. 16/PMK.03/2007 tentang Pemberian Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-Daerah Tertentu

44.

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. M.01-Iz.01.10 Tahun 2007 tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Menteri Kehakiman No. M.02-Iz.01.10 Tahun 1995 tentang Visa Singgah, Visa Kunjungan, Visa Tinggal Terbatas, Izin Masuk, dan Izin Keimigrasian

45.

Peraturan Menteri Keuangan No. 1005/PMK.05/2006 tentang Penetapan Badan Investasi Pemerintah pada Departemen Keuangan sebagai Instansi Pemerintah yang Menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum

46.

Peraturan Menteri Keuangan No. 146/PMK.01/2006 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian Jaminan Pemerintah untuk Percepatan Pembangunan Pembangkit Tenaga Listrik yang Menggunakan Batubara

47.

Peraturan Menteri Keuangan No. 136/PMK.05/2006 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan No. 119/PMK.05/2006 tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan dan Pengelolaan Dana Dukungan Infrastruktur

48.

Peraturan Menteri Keuangan No. 119/PMK.05/2006 tentang Tata Cara Penyediaan, Pencairan dan Pengelolaan Dana Dukungan Infrastruktur

49.

Peraturan Menteri Keuangan No. 103/PMK.04/2006 tentang Penggunaan Pemberitahuan Pabean Single Administrative Document di Pulau Batam, Bintan dan Karimun

50.

Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 044 Tahun 2006 tentang Pembelian Tenaga Listrik Dalam Rangka Percepatan Diversifikasi Energi untuk Pembangkit Tenaga Listrik ke Batubara melalui Pemilihan Langsung

51.

Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 11 Tahun 2006 tentang Jenis Rencana Usaha dan/atau Kegiatan yang wajib dilengkapi dengan Analisis mengenai Dampak Lingkungan Hidup

52.

Peraturan Menteri Perdagangan No. 11/M-DAG/PER/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Tanda Pendaftaran Agen atau Distributor Barang dan/ atau Jasa

53.

Peraturan Menteri Perdagangan No. 10/M-DAG/PER/3/2006 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penerbitan Surat Izin Usaha Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing

54.

Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. M-06.IL.01.10 Tahun 2006 tentang Penetapan Fasilitas Khusus di Bidang Keimigrasian pada Kawasan Ekonomi Khusus

55.

Peraturan Menteri Keuangan No. 110/PMK.010/2005 tentang Tata Cara Pemberian Pembebasan dan/atau Keringanan Bea Masuk dan/atau Penundaan Pajak Pertambahan Nilai Atas Impor Barang Dalam Rangka Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara

56.

Peraturan Menteri Keuangan No. 101/PMK.04/2005 tentang Perubahan Ketujuh atas Keputusan Menteri Keuangan No. 291/KMK.05/1997 tentang Kawasan Berikat

57.

Peraturan Menteri Keuangan No. 12/PMK.06/2005 tentang Pendanaan Kredit Usaha Mikro dan Kecil

490

58.

Peraturan Menteri Keuangan No. 587/PMK.04/2004 tentang Perubahan Keenam atas Keputusan Menteri Keuangan No. 291/KMK.05/1997 tentang Kawasan Berikat

60.

Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2 Tahun 1993 tentang Tata Cara Memperoleh Izin Lokasi dan Hak atas Tanah bagi Perusahaan Dalam Rangka Penanaman Modal

59.

Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 2 Tahun 1999 tentang Izin Lokasi

KEPUTUSAN MENTERI 1.

Keputusan Menteri Keuangan No. 239/KMK.01/2008 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan No. 44/KMK.05/2007 tentang Penetapan Persetujuan Komite Investasi Pemerintah atas Penyaluran Dana Dukungan Infrastruktur dan Besaran Nilai Tambah serta Prosentase Bagi Hasil Keuntungan atas Nilai Tambah dari Pengembalian Pokok Dana Dukungan Infrastruktur yang disalurkan Badan Investasi Pemerintah kepada Badan Pengatur Jalan Tol

2.

Keputusan Menteri Perekonomian selaku Ketua Badan Koordinasi Tata Ruang Nasional No. Kep-33/M.Ekon/05/2008 tentang Tim Nasional Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus di Indonesia

3.

Keputusan Menteri Keuangan No. 26/KMK.01/2008 tentang Penggunaan Dana Dukungan Infrastruktur pada Rekening Induk Dana Investasi Pusat Investasi Pemerintah

4.

Keputusan Menteri Keuangan No. 44/KMK.05/2007 tentang Penetapan Persetujuan Komite Investasi Pemerintah atas Penyaluran Dana Dukungan Infrastruktur dan Besaran Nilai Tambah serta Prosentase Bagi Hasil Keuntungan atas Nilai Tambah dari Pengembalian Pokok Dana Dukungan Infrastruktur yang disalurkan Badan Investasi Pemerintah kepada Badan Pengatur Jalan Tol

5.

Keputusan Menteri Keuangan No. 791/KMK.02/2006 tentang Penetapan Badan Pengatur Jalan Tol pada Departemen Pekerjaan Umum sebagai Instansi Pemerintah yang menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Pelayanan Umum

6.

Keputusan Menteri Keuangan No. 518/KMK.01/2005 tentang Pembentukan Komite Pengelolaan Risiko atas Penyediaan Infrastruktur

7.

Keputusan Menteri Keuangan No. 371/KMK.03/2003 tentang Perubahan Kedua atas Keputusan Menteri Keuangan No. 155/KMK.03/2001 tentang Pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai Yang Dibebaskan atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis

8.

Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 370/KMK.03/2003 tentang Pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai Yang Dibebaskan Atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu dan/atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu

9.

Keputusan Menteri Keuangan No. 363/KMK.03/2002 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan No. 155/KMK.03/2001 tentang Pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai Yang Dibebaskan atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu Yang Bersifat Strategis

10.

Keputusan Menteri Keuangan No.   37/KMK.04/2002 tentang Perubahan Kelima atas Keputusan Menteri Keuangan No. 291/KMK.05/1997 tentang Kawasan Berikat

11.

Keputusan Menteri Keuangan No. 155/KMK.03/2001 tentang Pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai yang Dibebaskan atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak

491

Tertentu yang Bersifat Strategis 12.

Keputusan Menteri Keuangan No. 11/KMK.04/2001 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan No. 200/KMK.04/2000 tentang Perlakuan Perpajakan dan Kepabeanan di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu

13.

Keputusan Menteri Keuangan No. 200/KMK.04/2000 tentang Perlakuan Perpajakan dan Kepabeanan di Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu

14.

Keputusan Menteri Keuangan No. 94/KMK.05/2000 tentang Perubahan Keputusan Menteri Keuangan No. 291/KMK.05/1997 tentang Kawasan Berikat, sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 349/ KMK.01/1999

15.

Keputusan Menteri Keuangan No. 349/KMK.01/1999 tentang Perubahan Keputusan Menteri Keuangan No. 291/KMK.05/1997 tentang Kawasan Berikat, sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 292/KMK.01/1998

16.

Keputusan Menteri Keuangan No. 292/KMK.01/1998 tentang Perubahan Keputusan Menteri Keuangan No. 291/KMK.05/1997 tentang Kawasan Berikat, sebagaimana telah disempurnakan dengan Keputusan Menteri Keuangan No. 547/KMK.01/1997

17.

Keputusan Menteri Keuangan No. 615/KMK.01/1997 tentang Pembebasan dan Pengembalian Bea Masuk dan/atau Cukai serta Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah Tidak Dipungut atas Impor Barang dan/atau Bahan untuk Diolah, Dirakit atau Dipasang pada Barang Lain dengan Tujuan untuk Diekspor dan Pengawasannya

18.

Keputusan Menteri Keuangan No. 547/KMK.01/1997 tentang Penyempurnaan Keputusan Menteri Keuangan No. 291/KMK.05/1997 tentang Kawasan Berikat

20.

Keputusan Menteri Keuangan No. 291/KMK.05/1997 tentang Kawasan Berikat

19.

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 402/MPP/11/1997 tentang Ketentuan Perizinan Usaha Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing

21.

Surat Keputusan Menteri Perindustrian No. 26/M/SK/1992 tentang Tata Cara Pemberian Izin Tetap Parsial dan Penyelenggaraan Tata Tertib di Kawasan Industri

PERATURAN KEPALA BKPM 1.

Peraturan Kepala BKPM No. 7 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Peraturan Kepala BKPM No. 13 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal

2.

Peraturan Kepala BKPM No. 6 Tahun 2010 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Izin Usaha Dalam Rangka Penanaman Modal kepada Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Bintan Wilayah Kabupaten Bintan, Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Bintan Wilayah Kota Tanjung Pinang dan Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Karimun

3.

Peraturan Kepala BKPM No. 5 Tahun 2010 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Pendaftaran Penanaman Modal kepada Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam, Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Bintan Wilayah Kabupaten Bintan, Kepala

492

Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Bintan Wilayah Kota Tanjung Pinang dan Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Karimun 4.

Peraturan Kepala BKPM No. 15 Tahun 2009 tentang Pelimpahan Wewenang Pemberian Pendaftaran Penanaman Modal di Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam kepada Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam

5.

Peraturan Kepala BKPM No. 14 Tahun 2009 tentang Sistem Pelayanan Informasi dan Perizinan Investasi secara Elektronik

7.

Peraturan Kepala BKPM No. 12 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Penanaman Modal

6.

Peraturan Kepala BKPM No. 13 Tahun 2009 tentang Pedoman dan Tata Cara Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal

8.

Peraturan Kepala BKPM No. 11 Tahun 2009 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pembinaan dan Pelaporan Pelayanan Terpadu Satu Pintu di Bidang Penanaman Modal

9.

Peraturan Kepala BKPM No. 4/P/Tahun 2009 tentang Perubahan atas Peraturan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal No. 90/SK/2007 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Koordinasi Penanaman Modal

10.

Peraturan Kepala BKPM No. 2 Tahun 2009 tentang Penempatan Pejabat Promosi Investasi Badan Koordinasi Penanaman Modal di Luar Negeri

11.

Peraturan Kepala BKPM No. 1 Tahun 2009 tentang Penetapan Indikator Kinerja Utama di Lingkungan Badan Koordinasi Penanaman Modal

PERATURAN LAIN Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik Peraturan Kepala Badan Pusat Statistik No. 57 Tahun 2009 tentang Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak 1.

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-51/PJ/2009 tentang Pelaksanaan Permintaan Informasi ke Luar Negeri Dalam Rangka Pencegahan Penghindaran dan Pengelakan Pajak

2.

Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-42/PJ/2009 tentang Penyampaian dan Penegasan atas Pelaksanaan Peraturan Menteri Keuangan No. 238/PMK.03/2008 tentang Tata Cara Pelaksanaan dan Pengawasan Pemberian Penurunan Tarif bagi Wajib Pajak Badan Dalam Negeri yang Berbentuk Perseroan Terbuka

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Presiden No. 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan

493

Untuk Kepentingan Umum, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden No. 65 Tahun 2006

Peraturan/Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai 1.

Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai No. P-18/BC/2005 tentang Perubahan atas Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai No. P-16/BC/2005 tentang Tata Cara Pendirian, Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari Tempat Penimbunan Berikat di Pulau Batam, Bintan dan Karimun

2.

Peraturan Direktur Jenderal Bea dan Cukai No. P-16/BC/2005 tentang Tata Cara Pendirian, Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari Tempat Penimbunan Berikat di Pulau Batam, Bintan dan Karimun

3.

Keputusan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai No. KEP-03/BC/2002 tentang Perubahan Keputusan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai No. KEP-63/BC/1997 tentang Tata Cara Pendirian dan Tata Laksana Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari Kawasan Berikat

4.

Keputusan Direktur Jenderal Bea dan Cukai No. KEP-54/BC/1999 tentang Tata Laksana Pemberian Penangguhan dan/atau Pembebasan Bea Masuk atas Impor Barang ke Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET)

5.

Keputusan Direktur Jenderal Bea Dan Cukai No. KEP-63/BC/1997 tentang Tata Cara Pendirian dan Tata Laksana Pemasukan dan Pengeluaran Barang ke dan dari Kawasan Berikat

Peraturan Mahkamah Agung Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing

Peraturan Kepala Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) No. 1 Tahun 2009 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pra-Notifikasi Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan

INSTRUMEN INTERNASIONAL 1.

Convention on Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards of 1958 (New York Convention)

2.

Convention on the Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of Other States of 1966 (ICSID)

3.

Convention on the Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of Other States of 1966 (ICSID), Conciliation Rules

4.

Convention on the Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of Other States of 1966 (ICSID), Arbitration Rules

5.

Convention Establishing Multilateral Investment Guarantee Agency of 1985 (MIGA)

494

6.

Trade Related of Aspect of Investment (TRIMS) of the WTO Agreement of 1994

7.

ASEAN Comprehensive Investment Agreement of 2009

8.

The Framework Agreement for the ASEAN Investment Agreement 1998 as Amended in 2001 (The Framework Agreement)

9.

United Nation Commission on International Trade (UNCITRAL), Arbitration Rules of 1976

10.

United Nation Commission on International Trade (UNCITRAL), Conciliation Rules of 1980

11.

United Nation Commission on International Trade (UNCITRAL), Model Law on International Commercial Arbitration of 2006

12.

United Nation Commission on International Trade (UNCITRAL), Model Law on International Commercial Conciliation with Guide to Enactment and Use of 2002

13.

United Nation Commission on International Trade (UNCITRAL) Notes on Organizing Arbitral Proceeding of 1996

14.

International Chamber of Commerce (ICC), Dispute Board Rules of 2003

15.

International Chamber of Commerce (ICC), Rules of Arbitration of 2003

495

496

GLOSARIUM (GLOSSARY)

497

498

Alternative Dispute Resolution (ADR) adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yaitu penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli.

Akuisisi (Pengambilalihan) adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham Perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas perseroan tersebut.

Alokasi Resiko (Risk Sharing) adalah resiko yang dikelola berdasarkan prinsip alokasi resiko antara pemerintah (dalam hal ini Menteri/Kepala Lembaga/Kepala Daerah) dan Badan Usaha secara memadai dengan mengalokasikan resiko kepada pihak yang paling mampu mengendalikan resiko dalam rangka menjamin efisiensi dan efektivitas dalam penyediaan infrastruktur

Amortisasi adalah pengurangan nilai aktiva tidak berwujud, seperti merk dagang, hak cipta, dan lain-lain, secara bertahap dalam jangka waktu tertentu pada setiap periode akuntansi.

Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa Perdata di luar pengadilan yang didasarkan pada kesepakatan tertulis para pihak yang bersengketa.

Angka Pengenal Importir Terbatas (APIT) adalah angka pengenal impor yang dipergunakan sebagai izin untuk memasukkan (impor) barang untuk dipergunakan bagi pemakaian sendiri.

Angka Pengenal Importir Terbatas Produsen (API-P) adalah angka pengenal yang dipergunakan sebagai izin untuk memasukkan (impor) mesin/peralatan dan barang dan bahan untuk dipergunakan sendiri dalam proses produksi perusahaan penanaman modal yang bersangkutan.

Angka Pengenal Importir Terbatas Umum (API-U) adalah angka pengenal yang dipergunakan sebagai izin untuk memasukkan (impor) barang untuk keperluan kegiatan usaha dengan memperdagangkan atau memindahtangankan barang kepada pihak lain.

Badan Layanan Umum (BLU) adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip-prinsip efisiensi dan produktivitas.

499

Badan Usaha Milik Negara (BUMN) adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.

Barang Modal Bukan Baru adalah barang yang masih layak dipakai atau untuk direkondisi, remanufakturing, digunakan kembali dan bukap skrap.

Bidang-Bidang Usaha Tertentu adalah bidang usaha di sektor kegiatan ekonomi yang mendapat prioritas tinggi dalam skala nasional.

Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan adalah jenis usaha tertentu yang dapat diusahakan sebagai kegiatan penanam modal dengan persyaratan tertentu

Bidang Usaha yang Terbuka dengan Syarat Kemitraan adalah usaha yang dilakukan dalam bentuk kerjasama antara UMKMK dengan usaha besar diserai pembinaan dan pengembangan oleh usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat dan saling menguntungkan

Bidang Usaha yang Tertutup adalah jenis usaha tertentu yang dilarang diusahakan sebagai kegiatan penanaman modal oleh penanam modal

Commanditaire Venootschap (CV) adalah badan usaha yang didirikan dan dimiliki oleh dua orang atau lebih untuk mencapai tujuan bersama dengan tingkat keterlibatan yang berbedabeda diantara anggotanya.

Commission of Inquiry adalah tata cara penyelesaian sengketa secara damai dimana para pihak membentuk suatu komisi pencari fakta dengan tugas menetapkan fakta-fakta yang menjadi dasar dari kontroversi. Fakta-fakta tersebut ditemukan atas dasar dokumen, inspeksi lapangan, keahlian, pemeriksaan barang bukti, dll. dan kemudian merumuskannya dalam suatu laporan kepada para pihak.

Conciliation-Arbitration merupakan proses gabungan antara penyelesaian melalui konsiliasi dengan proses arbitrase.

Corporate Social Responsibility (CSR) adalah suatu tindakan atau konsep yang dilakukan oleh perusahaan (sesuai kemampuan perusahaan tersebut) sebagai bentuk tanggung jawab

500

terhadap sosial/lingkungan sekitar dimana perusahaan berada.

Court-Annexed Mediation adalah penyelesaian sengketa melalui proses mediasi di pengadilan.

Daerah-daerah Tertentu adalah daerah yang secara ekonomis mempunyai potensi yang layak dikembangkan.

Dana Dukungan Infrastruktur adalah dana yang disediakan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam rangka penyediaan infrastruktur yang dipergunakan sebagai dana bergulir dalam bentuk pola kerjasama Pemerintah dengan Badan Usaha.

Deregulasi adalah adalah kebijakan pemerintah untuk mengurangi/meniadakan aturan administratif yang mengekang kebebasan gerak modal, barang, dan jasa.

Dewan Kawasan Perdagangan Bebas (KPB) adalah dewan yang bertugas dan berwenang menetapkan kebijaksanaan umum, membina, mengawasi, dan mengkoordinasi kegiatan Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas di daerah.

Dispute Board Rules umumnya dibentuk pada awal kontrak dan tetap berlaku selama jangka waktu kontrak. Terdiri dari satu atau tiga anggota yang memahami secara penuh isi kontrak serta pemenuhan kontrak, DB secara informal membantu para pihak, jika diperlukan dalam menyelesaikan/memecahkan ketidaksepakatan yang timbul terkait dengan kontrak serta memberi rekomendasi atau putusan atas sengketa yang diajukan kepadanya oleh salah satu pihak. DB telah menjadi suatu mekanisme penyelesaian sengketa yang standard bagi sengketa-sengketa kontraktual yang timbul pada kontrak-kontrak jangka menengah maupun jangka panjang.

Divestasi adalah adalah kewajiban penjualan saham oleh perusahaan asing yang telah beroperasi selama jangka waktu yang telah ditetapkan, kepada Pemerintah, Pemerintah Daerah, badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, atau badan usaha swasta nasional.

Ekonomi Biaya Tinggi adalah proses ekonomi di suatu daerah atau negara yang memerlukan atau mengeluarkan biaya yang lebih tinggi dari seharusnya akibat adanya pemberlakuan tarif yang lebih tinggi atau pungutan liar yang seharusnya tidak ada serta sebagai akibat “budaya korupsi”.

501

Ekspropriasi adalah pencabutan hak milik perorangan untuk kepentingan umum yang disertai pemberian ganti kerugian.

Energy Sales Contract (Power Purchase Agreement) merupakan kontrak penjualan daya listrik antara investor di bidang pembangkit listrik swasta sebagai seller dengan PLN buyer untuk selanjutnya daya listrik tersebut didistribusikan kepada masyarakat.

Entreport Produksi Tujuan Ekspor (EPTE) adalah suatu tempat atau bangunan dari suatu perusahaan industri dengan batas-batas tertentu yang di dalamnya diberlakukan ketentuanketentuan khusus di bidang pabean, perpajakan dan tata niaga impor, yang diperuntukan bagi pengolahan barang dan/atau bahan yang berasal dari luar daerah pabean Indonesia, Kawasan Berikat, EPTE lainnya, atau dari dalam daerah pabean Indonesia lainnya, yang hasilnya terutama untuk tujuan ekspor.

Entreport untuk Tujuan Pameran (ETP) adalah suatu bangunan atau kawasan dengan batasbatas tertentu yang didalamnya dilakukan kegiatan usaha penyelenggaraan pameran barang hasil industri asal impor dan/atau barang hasil industri dari dalam Daerah Pabean yang penyelenggaraannya bersifat internasional.

Equal Treatment adalah perlakuan yang sama yang diberikan oleh negara tuan rumah (host country), baik terhadap penanam modal asing maupun penanam modal dalam negeri.

Fasilitas Penanaman Modal adalah keringanan yang diberikan oleh pemerintah kepada pelaku usaha yang memenuhi kriteria penerima fasilitas penanaman modal pada bidangbidang yang telah ditentukan oleh pemerintah.

Fasilitas Pengembalian Bea Masuk (Draw-Back Facilities) adalah salah satu fasilitas yang diberikan kepada importir untuk memperoleh pembebasan bea masuk dan atau penangguhan bea masuk.

Fasilitas Kegiatan Usaha di KEK adalah fasilitas yang diberikan bagi kegiatan usaha di KEK berupa tambahan fasilitas PPh, pengurangan PBB, penangguhan bea masuk, pembebasan cukai, tidak dipungut PPN dan PPnBM untuk barang kena pajak, tidak dipungut PPh Impor, diberikan insentif berupa pembebasan atau keringanan pajak dan restribusi daerah, kemudahan untuk memperoleh hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Firma adalah suatu bentuk persekutuan bisnis yang terdiri dari dua orang atau lebih dengan nama bersama yang tanggung jawabnya terbagi rata tidak terbatas pada setiap pemi-

502

liknya. Perusahaan firma adalah persekutuan yang didirikan untuk menjalankan perusahaan di bawah satu nama bersama.

Fiskal adalah penerimaan negara sebagai bagian dari dana untuk membiayai pembangunan.

Good Offices merupakan penyelesaian dimana pihak ketiga hanya memfasilitasi para pihak yang bersengketa untuk berunding, sementara pihak ketiga tersebut tidak ikut serta dalam perundingan. Tugas pihak ketiga akan berakhir pada saat para pihak yang besengketa dapat berkomunikasi atau memulai perundingan.

Gudang Berikat (GB) adalah suatu bangunan atau tempat dengan batas-batas tertentu yang di dalamnya dilakukan kegiatan usaha penimbunan, pengemasan, penyortiran, pengepakan, pemberian merek/label, pemotongan, atau kegiatan lain dalam rangka fungsinya sebagai pusat distribusi barang-barang asal impor untuk tujuan dimasukkan ke Daerah Pabean Indonesia lainnya (DPIL), Kawasan Berikat (KB) atau direekspor tanpa adanya pengolahan.

Hak Akses adalah hak yang diberikan oleh pengelola SPIPISE kepada pengguna yang telah memiliki identitas pengguna dan kode akses untuk menggunakan layanan yang tersedia pada SPIPISE.

Hak Guna Bangunan adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 tahun.

Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu paling lama 25 tahun.

Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan ketentuan-ketentuan Undang-Undang

Hak-hak yang Diperoleh (Acquired Rights) adalah hak yang diperoleh oelh penanam modal yang harus dilindungi dan dihormati oleh negara tuan rumah dalam hal adanya perubahan kebijakan dan regulasi.

503

Hak Repatriasi Modal adalah hak transer keuntungan ke negara asal yang diberikan secara timbal balik.

Harga Pasar (Market Value) adalah harga yang ditentukan menurut cara yang digunakan secara internasional oleh penilai independen ang ditunjuk oleh para pihak.

Host-Country (Negara Tuan Rumah Investasi) adalah negara tempat kegiatan penanaman modal dilakukan, juga dikenal sebagai “capital importing country”.

Insentif Fiskal adalah adalah kemudahan yang diberikan oleh Pemerintah/Negara dalam rangka mengundang investasi, antara lain berupa: PPh, PPN dan PPnBM, PBB, dan bea masuk atas impor dengan tarif yang lebih rendah atau diberikan fasilitas pembebasan.

Insentif Non-Fiskal adalah kemudahan yang diberikan oleh Pemerintah/Negara dalam rangka mengundang investasi, antara lain dalam bentuk: jaminan keamanan dalam berusaha, penghapusan perda yang dapat menciptakan high cost economy dan tekanan-tekanan sosial politik dan kemudahan pelayanan perizinan.

Insentif Penanaman Modal adalah dukungan dari pemerintah daerah kepada penanam modal dalam rangka mendorong peningkatan penanaman modal di daerah.

International Center for Settlement of Investment Disputes (ICSID) adalah lembaga internasional otonom yang didirikan berdasarkan Konvensi Penyelesaian Perselisihan Penanaman Modal antara Negara dengan subjek hukum bukan negara dari negara lain. Tujuan utama pembentukan ICSID adalah untuk memfasilitasi proses konsiliasi dan arbitrase menyangkut sengketa internasional di bidang penanaman modal

Investasi Langsung adalah suatu kegiatan yang dilakukan baik oleh orang pribadi (natural person) maupun badan hukum (judicial person) dalam upaya untuk meningkatkan dan atau mempertahankan nilai modalnya, baik yang berbentuk uang tunai (cash money), peralatan (equipment), aset tak bergerak, hak atas kekayaan intelektual maupun keahlian.

Izin Gangguan (HO) adalah izin yang diperlukan untuk mendirikan tempat tempat usaha yang dijalankan secara teratur dalam suatu bidang tertentu dengan maksud mencari keuntungan dengan mempergunakan mesin mesin ataupun segala sesuatu yang dapat menimbulkan gangguan alam sosial dan lingkungan Izin Usaha adalah izin yang wajib dimiliki perusahaan untuk melaksanakan kegiatan produk-

504

si/operasi komersial baik produksi barang maupun jasa sebagai pelaksanaan atas pendaftaran/izin prinsip/persetujuan penanaman modalnya (yang diperoleh pada saat mengajukan permohonan penanaman modal dan pembentukan badan hukum), kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan sektoral. Ketentuan ini mengikat pula terhadap perusahaan penanaman modal dalam negeri yang tidak memerlukan fasilitas dan tidak memiliki pendaftaran penananam modal

Izin Usaha Penggabungan Perusahaan Penanaman Modal (Merger) adalah izin yang wajib dimiliki oleh perusahaan yang meneruskan kegiatan usaha (surviving company) setelah terjadinya merger, untuk melaksanakan kegiatan produksi/ operasi komersial perusahaan setelah terjadinya merger.

Izin Usaha Perluasan adalah izin yang wajib dimiliki oleh perusahaan untuk melaksanakan kegiatan produksi/operasi komersial atas panambahan kapasitas produksi melebihi kapasitas produksi yang telah diizinkan, sebagai pelaksanaan atas izin prinsip perluasan/persetujuan perluasan, kecualiditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan sektoral.

Izin Usaha Pertambangan (IUP) izin untuk melaksanakan usaha pertambangan.

Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) adalah izin untuk melaksanakan usaha pertambangan di wilayah izin usaha pertambangan khusus.

Izin Usaha Perubahan adalah izin yang wajib dimiliki oleh perusahaan untuk melakukan perubahan ketentuan yang telah ditetapkan dalam izin usaha/izin usaha perluasan sebelumnya, sebagai akibat dari adanya perubahan yang terjadi dalam pelaksanaan kegiatan penanaman modal.

Jaminan dan Perlindungan Penanaman Modal adalah jaminan yang mengatur hak-hak dan kewajiban negara secara timbal balik terhadap kegiatan penanaman modal (investasi) yang dilakukan pada masing-masing negara terhadap penanam modal yang dilakukan oleh penanam modal (investor) dari negara lain yang terikat dengan perjanjian ini,

Jaminan Kredit Ekspor adalah sarana yang disediakan pemerintah untuk menutup pertanggungan atas resiko kemacetan kredit yang mungkin dihadapi oleh Bank dalam memberikan Kredit Ekspor.

Jaminan dan Perlindungan Penanaman Modal yaitu mengatur hak-hak dan kewajiban negara secara timbal balik terhadap kegiatan penanaman modal yang dilakukan pada masing-

505

masing negara terhadap penanaman modal yang dilakukan oleh penanam modal dari negara lain yang terikat dengan perjanjian ini.

Joint Venture Agreement (JVA) merupakan kontrak antara partner asing (investor asing) dengan mitra lokalnya untuk membentuk perusahan patungan di bidang penanam modal.

Juncto atau jo biasanya dipergunakan untuk menunjuk keterkaitan suatu peraturan dengan peraturan lainnya yang relevan. Lebih jelasnya dalam pengertian yang sederhana jo adalah “sebagaimana dimaksud”

Kantor Perwakilan Perusahaan Asing adalah kantor perwakilan yang didirikan oleh perusahaan asing atau beberapa perusahaan asing di luar wilayah Indonesia dengan maksud untuk mengurus kepentingan perusahaan atau perusahaan-perusahaan afiliasi di Indonesia dan/ atau di negara lain dan/atau mempersiapkan pendirian dan pengembangan usaha perusahaan penanaman modal asing di Indonesia dan/atau di negara lain.

Kawasan Berikat (Bonded Zone) adalah suatu bangunan, tempat, atau kawasan dengan batas-batas tertentu yang di dalamnya dilakukan kegiatan usaha industri pengolahan barang dan bahan, kegiatan rancang bangun, perekayasaan, penyortiran, pemeriksaan awal, pemeriksaan akhir, dan pengepakan atas barang dan bahan asal impor atau barang dan bahan dari dalam Daerah Pabean Indonesia Kainnya (DPIL), yang hasilnya terutama untuk tujuan ekspor.

Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) adalah kawasan dengan batas tertentu dalam wilayah negara kesatuan Republik Indonesia yang ditetapkan untuk menyelenggarakan fungsi perekonomian dan memperoleh fasilitas tertentu.

Kawasan Industri adalah kawasan yang ditetapkan Pemerintah pada wilayah-wilayah pusat pertumbuhan industri serta lokasi bagi pembangunan industri sesuai dengan tujuannya dalam rangka perwujudan Wawasan Nusantara yang diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah dan dapat diberikan fasilitas Kepabeanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang Kepabeanan

Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET) merupakan wilayah geografis dengan batas-batas tertentu yaitu: memiliki potensi untuk cepat tumbuh; dan/atau mempunyai sektor unggulan yang dapat menggerakan pertumbuhan ekonomi di wilayah sekitarnya; dan/ atau memiliki potensi pengembalian investasi yang besar.

506

Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas adalah suatu kawasan yang berada dalam wilayah hukum negara kesatuan Republik Indonesia yang terpisah dari daerah Pabean, sehingga bebas dari Pengenaan Bea Masuk, Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan atas Barang Mewah dan Cukai.

Kawasan Timur Indonesia adalah meliputi daerah propinsi: Nusa Tenggara Barat; Nusa Tenggara Timur; Irian Jaya; Maluku; Maluku Utara; Sulawesi Utara; Sulawesi Tengah; Sulawesi Selatan; Sulawesi Tenggara; Kalimantan Timur; Kalimantan Selatan; Kalimantan Tengah; Kalimantan Barat.

Kemudahan Penanaman Modal adalah penyediaan fasilitas dari pemerintah daerah kepada penanam modal untuk mempermudah setiap kegiatan penaman modal dalam rangka mendorong peningkatan penanaman modal di daerah.

Kegiatan Usaha Hilir adalah kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan usahan pengolahan, pengangkutan, penyimpanan dan/atau niaga.

Kegiatan Usaha Hulu adalah kegiatan usaha yang berintikan atau bertumpu pada kegiatan usaha eksplorasi dan eksploitasi.

Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasann Hakim Pengawas.

Konsiliasi adalah upaya penyelesaian sengketa melalui pihak ketiga yang netral tetapi lebih aktif dari mediasi. Penyelesaian sengketa model konsiliasi mengacu pada pola proses penyelesaian sengketa secara konsensus antar pihak, dimana pihak ketiga yang netral (konsiliator) dapat berperan secara aktif  maupun pasif, dan para pihak yang bersengketa  harus menyatakan persetujuan atas usulan pihak ketiga tersebut serta menjadikannya sebagai kesepakatan penyelesaian sengketa

Konsolidasi (peleburan) adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua perseroan atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu perseroan baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan passiva dari perseroan yang meleburkan diri dan status badan hukum perseroan yang meleburkan diri berakhir karena hukum.

Kontrak Karya di Bidang Mineral dan Batubara adalah kontrak antara kontraktor di bidang pertambangan mineral dan batubara dengan instansi yang mewakili kepentingan pemerintah dalam pengusahaan mineral dan batubara

507

Kontrak Kerjasama (KKS Migas) adalah kontrak bagi hasil atau bentuk kerjasama lain dalam kegiatan eksplorasi dan eksploitasi yang lebih menguntungkan negara dan hasilnya dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat

Kontrak Komersial Berdimensi Publik adalah suatu kontrak bisnis dimana salah satu pihak adalah pemerintah. Pemerintah dan aparat hukumnya subyek hukum yang mewakili dimensi publik, yang merupakan sumber hukum administrasi negara, tapi hubungannya bersifat privat/perdata (hubungan kesederajatan).

Liberalisasi adalah proses pengurangan dan pada akhirnya penghapusan semua hambatan tarif dan non-tarif secara sistematis antar negara sebagai mitra dagang

Masa Pembebasan Pajak (Tax Holiday) adalah pembebasan pajak bagi wajib pajak tertentu dan periode tertentu

Mediasi adalah cara penyelesaian dengan melibatkan pihak ketiga, yaitu pihak ketiga yang dapat diterima (acceptable) artinya para pihak yang bersengketa mengizinkan pihak ketiga untuk membantu para pihak yang bersengketa dan membantu para pihak untuk mencapai penyelesaian. Meskipun demikian, akseptabilitas tidak berarti bahwa para pihak selalu berkehendak untuk melakukan atau menerima sepenuhnya apa yang dikemukakan oleh pihak ketiga.

Mediation-Arbitration adalah proses penyelesaian sengketa yang menggabungkan antara proses mediasi dengan proses arbitrase. Pada awalnya para mediator yang juga adalah para arbiter memanggil para pihak untuk melakukan proses mediasi guna mencapai kesepakatan atas isu-isu tertentu, selanjutnya isu-isu yang tidak dapat disepakati diserahkan kepada majelis arbiter untuk diperiksa dan diputus.

Merger (Penggabungan) adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan passiva dari perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.

Multilateral Investment Guarantee Agency (MIGA) suatu subyek hukum internasional yang berfungsi di satu sisi mendorong investasi serta pada sisi lain melindungi kepentingan investor atas resiko non-komersial (non-commercial risk) yang ditimbulkan dari kegiatan investasi (penanaman modal). Non-commercial risk tersebut meliputi persoalan-persoalan seperti: transfer dalam nilai tukar asing; pengambilalihan kepemilikan (ekspropriasi) dan tindakan serupa; pelanggaran kontrak; serta perang dan huru-hara sipil.

508

Nasionalisasi adalah pencabutan hak milik secara menyeluruh atas perusahaan-perusahaan modal asing atau tindakan-tindakan yang mengurangi hak menguasai atau mengurus perusahaan.

Negosiasi adalah adalah komunikasi dua arah yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki berbagai kepentingan yang sama atau berbeda

Nilai Pasar (Market Value) adalah harga dari suatu transaksi yang memenuhi unsur-unsur: pembeli dan penjual berkehendak melakukan transaksi; dalam keadaan pasar terbuka; penjual dan pembeli mempunyai pengetahuan, pengalaman dan informasi yang cukup mengenai obyek yang ditransaksikan; jangka waktu penawaran mencukupi; pembelian/penjualan istimewa diabaikan.

Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah nomor yang diberikan kepada wajib pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.

Non-Perizinan adalah segala bentuk kemudahan pelayanan, fasilitas fiskal, dan informasi mengenai penanaman modal, sesuai dengan peraturan perundang-undangan

Pajak Berganda adalah bentuk pembebanan pajak dan pungutan lainnya lebih dari satu kali, yang dapat berganda atau lebih atas suatu fakta fiskal.

Pajak Bumi dan Bangunan adalah pajak negara yang dikenakan terhadap bumi dan/atau bangunan berdasarkan Undang-Undang No. 12 Tahun 1985, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 1994

Pajak Daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaran pemerintah Daerah dan Pembangunan Daerah.

Pajak Penghasilan adalah pajak yang dibebankan/dikenakan atas penghasilan perorangan, perusahaan atau badan hukum lainnya

Pajak Penjualan Barang Mewah adalah pajak yang dikenakan/dibebankan atas penyerahan

509

barang kena pajak yang tergolong murah yang dilakukan oleh Pengusaha yang menghasilkan barang kena pajak yang tergolong mewah di dalam daerah Pabean dalam kegiatan usaha atau pekerjaaannya, impor barang kena pajak yang tergolong mewah

Pajak Pertambahan Nilai adalah pajak yang dikenakan atas penyerahan Barang Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha; impor barang Kena Pajak; penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha; pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean di dalam Daerah Pabean; atau ekspor Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak

Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) adalah kegiatan penyelenggaraan suatu perizinan dan non-perizinan yang mendapat pendelegasian atau pelimpahan wewenang dari lembaga atau instansi yang memiliki kewenangan perizinan dan non-perizinan yang proses pengelolaannya dimulai dari tahap permohonan sampai dengan tahap terbitnya dokumen yang dilakukan dalam satu tempat.

Perangkat Daerah Kabupaten/Kota Bidang Penanaman Modal (PDKPM) adalah unsur pembantu kepala daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan derah kabupaten/kota, dengan bentuk sesuai dengan kebutuhan masing-masing pemerintah kabupaten/kota, yang menyelenggarakan fungsi utama koordinasi di bidang penanaman modal di pemerintah kabupaten/kota.

Perangkat Daerah Provinsi bidang Penanaman Modal (PDPPM) adalah unsur pembantu kepala daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah provinsi, dengan bentuk sesuai dengan kebutuhan masing-masing pemerintah provinsi, yang menyelenggarakan fungsi utama koordinasi di bidang penanaman modal di pemerintah provinsi;

Pelimpahan Wewenang adalah penyerahan tugas, hak, kewajiban serta pertanggungjawaban perizinan dan non-perizinan, termasuk penanda-tanganannya atas nama penerima wewenang oleh Menteri Teknis/Kepala LPND kepada Kepala BKPM atau Kepala BKPM kepada Gubernur.

Pembekuan Kegiatan Usaha adalah tindakan administratif yang dilakukan BKPM. PDPPM, atau PDKPM sesuai dengan kewenangannya yang mengakibatkan dihentikannya kegiatan perpusahaan untuk sementara waktu.

Pencabutan Penanaman Modal adalah tindakan yang dilakukan BKPM, PDPPM atau PDKPM sesuai dengan kewenangannya yang mengakibatkan tidak berlakunya Pendaftaran Penanaman Modal yang telah ada kegiatannya dan/atau Izin Usaha.

510

Pendelegasian Wewenang adalah penyerahan tugas, hak, kewajiban serta pertanggungjawaban perizinan dan non-perizinan, termasuk penandatangannya atas nama pemberi wewenang oleh Menteri Teknis/Kepala Lembaga Pemerintah non Departemen kepada Kepala BKPM, gubernur kepada Kepala PDPPM atau bupati/walikota kepada kepala PDKPM yang ditetapkan dengan uraian yang jelas.

Penugasan adalah penyerahan tugas, hak, wewenang, kewajiban dan pertanggungjawaban, termasuk penandatangannya atas nama penerima wewenang, dari Kepala BKPM kepada pemerintah kabupaten/kota untuk melaksanakan urusan pemerintahan di bidang penanaman modal yang menjadi kewenangan pemerintah.

Pengendalian adalah kegiatan untuk melakukan pemantauan, pembinaandan pengawasan agar pelaksanaan kegiatan penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan

Pengusahaan Jalan Tol meliputi pendanaan, perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi, pengoperasian dan/atau pemeliharaan yang dapat dilakukan oleh pemerintah dan/atau badan usaha yang memenuhi persyaratan.

Penyelenggaraan Telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan telekomunikasi sehingga memungkinkan terselenggarakannya telekomunikasi

Penyelenggaraan Jalan Tol dimaksudkan untuk mewujudkan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya serta keseimbangan dalam pengembangan wilayah dengan memperhatikan keadilan, yang dapat dicapai dengan membina jaringan jalan yang dananya dari pengguna jalan.

Perizinan adalah segala bentuk persetujuan untuk melakukan penanaman modal yang dikeluarkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang memiliki kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan

Perjanjian Alih Daya (Outsourcing) merupakan perjanjian/kontrak pengalihan pekerjaan tertentu dari perusahaan (prinsipal) kepada perusahaan lain untuk melakukan pekerjaanpekerjaan tertentu yang berada di luar core kegiatan dari prinsipal

Perjanjian Bantuan Teknis merupakan perjanjian antar negara di bidang pemberian bantuan teknis untuk kegiatan-kegiatan tertentu.

511

Perjanjian Kerja Bersama merupakan standar kontrak kerja antara perusahaan selaku pemberi kerja dengan pekerja yang melindungi secara adil dan seimbang kepentingan masingmasing pihak.

Perjanjian Kemitraan di Bidang Ekonomi adalah suatu perjanjian yang bersifat luas dan komprehensif di bidang ekonomi, mencakup namun tidak terbatas pada perdagangan barang, tata cara kepabeanan, penanaman modal, perdagangan jaa, pergerakan orang, enerji dan sumber daya mineral, kekayaan intelektual, pengadaan barang dan jasa oleh pemerintah, persaingan usahan (kompetisi), perbaikan lingkungan usaha dan promosi kepercayaan dunia usaha, kerjasama, dan penyelesaian sengketa.

Perjanjian Pengusahaan Jalan Tol adalah suatu perjanjian antara investor jalan tol dengan Badan Pengelola Jalan Tol (BPJT) selaku wakil pemerintah dalam rangka pembangunan dan pengoperasian jalan tol melalui skema kerjasama pemerintah dengan swasta (Public-PrivatePartnership).

Perluasan Penanaman Modal adalah penambahan kapasitas produksi melebihi kapasitas produksi yang diizinkan.

Perseroan Terbuka adalah perseroan publik yang melakun penawaran umum saham, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undagnan di bidang pasar modal yang memenuhi kriteria jumlah pemegang saham dan modal disetor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal

Perseroan Terbatas Tertutup adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam UndangUndang serta peraturan pelaksanaannya.

Perusahaan Perseroan (Persero) adalah badan usaha milik negara yagn berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruhnya atau paling sedikit 51% (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanyanya adalah mengejar keuntungan

Perusahaan Perseroan Terbuka (Persero Terbuka) adalah persero yang modal dan jumlah pemegang sahamnya memenuhi kriteria tertentu atau persero yang melakukan penawaran umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.

512

Perusahaan Umum (Perum) adalah badan usaha milik negara yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham, yang bertujuan untuk kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan sekaligus mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan.

Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing adalah perorangan warga negara Indonesia atau warga negara asing yang ditunjuk oleh perusahaan asing atau gabungan perusahaan asing di luar negeri sebagai perwakilannya di Indonesia.

Production Sharing Contract adalah kontrak kerjasama antara kontraktor (investor) dengan intansi yang mewakili pemerintah di bidang pengusahaan minyak dan gas bumi (BP Migas)

Public Service Obligation adalah kewajiban penanam modal untuk melayani jasa/kegiatan di daerah/wilayah yang meskipun tidak memenuhi kelayakan komersial tapi diperlakukan untuk melayani kepentingan masyarakat setempat

Rencana Umum Penanaman Modal (RUPM) adalah penjabaran kebijakan dasar di bidang penanaman modal

Repatriasi Modal dan Keuntungan adalah hak yang dimiliki oleh penanam modal asing untuk mentransfer kembali ke negaranya, baik modal maupun keuntungan yang diperoleh dari kegiatan penanaman modal di negara lain.

Resiko Non-Komersial (Non-Commercial Risk) adalah persoalan-persoalan seperti: transfer dalam nilai tukar asing (currecy transfer); pengambilalihan kepemilikan (expropriation) dan tindakan serupa (similar measures); pelanggaran kontrak (breach of contract); serta perang dan huru-hara sipil (war and civil disturbances).

Retribusi Daerah adalah Pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk Kepentingan orang pribadi/badan.

Revenue Shortfall Guarantee adalah bentuk jaminan yang diberikan oleh pemerintah dalam hal pendapatan yang diperoleh oleh investor berada di bawah dari angka pendapatan yang diperkirakan.

513

Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) adalah surat izin untuk dapat melaksanakan kegiatan usaha perdagangan

Surat Izin Tempat Usaha (SITU) adalah pemberian izin tempat usaha kepada orang pribadi atau badan di lokasi tertentu yang dapat menimbulkan gangguan dan atau kerugian dan atau bahaya

Surat Jaminan/Dukungan Pemerintah merupakan surat dukungan yang pada umumnya dikeluarkan oleh Menteri Keuangan (atas nama Pemerintah) yang menjamin pembelian atas daya yang dihasilkan oleh suatu proyek pembangkit listrik yang dibiayai oleh Badan Usaha sebagai hasil kerjasama dnegan Pemerintah atasu Pemerintah Daerah.

Surat Persetujuan Penanaman Modal adalah persetujuan yang dberikan oleh pemerintah kepada penanam modal yang telah mengajukan penanaman modal, untuk memperoleh berbagai fasilitas yang telah ditetapkan. Syndicated Loan Agreement adalah perjanjian antara sindikasi bank sebagai lender dengan perusahaan tertentu sebagai borrower dalam rangka pembiayaan proyek (misalnya di bidang pembangunan infrastruktur)

SPIPISE adalah Sistem Perlayanan Informasi dan Perizinan Investasi Secara Elektronik adalah sistem elektronik pelayanan perizinan dan non-perizinan yang terintegrasi antara BKPM, Kementrian/Lembaga Pemerintah Non Departemen yang memiliki kewenangan perizinan dan non-perizinan, PDPPM dan PDKPM

Tatanan Kebandarudaraan adalah sistem perencanaan kebandarudaraan nasional yang menggabarkan interdepensi, interrelasi dan sinergi atar unsur-unsur meliputi sumber daya alam, sumber daya manusi, geografis, ptensi ekonomi, dan pertahanan keamanan dalam rangka pencapai tujuan nasional.

Tatanan Kepelabuhanan Nasional adalah suatu sistem kepelabuhanan yang memuat peran, fungsi, jenis, hirarki kepelabuhanan, rencana induk pelabuhan nasional dan lokasi pelabuhan serta keterpaduan intra dan antar moda serta keterpaduan dengan sekotr lainnya.

Technical Assistance Agreement adalah perjanjian teknis dalam kegiatan-kegiatan tertentu dari perusahaan (prinsipal) kepada perushaan lain untk melakukan pekerjaan-pekerjaan tertentu yang berada di luar core kegiatan dari prinsipal.

514

Tempat Penimbunan Berikat adalah Bangunan dan/atau lapangan atau tempat lain yang disamakan dengan itu di Kawasan Pabean untuk menimbun barang impor atau ekspor termasuk barang berbahaya, merusak atau yang karena sifatnya dapat mempengaruhi barang-barang lain, atau yang memerlukan instalasi/pelayanan khusus, sementara menunggu pemuatan atau pengeluarannya, baik di dalam atau di luar area pelabuhan yang digunakan untuk menimbun barang impor atau ekspor sementara menunggu pemuatan atau pengeluarannya.

Tempat Penimbunan Sementara (TPS) adalah adalah Bangunan dan/atau lapangan atau tempat lain yang disamakan dengan itu di Kawasan Pabean untuk menimbun barang impor atau ekspor termasuk barang berbahaya, merusak atau yang karena sifatnya dapat mempengaruhi barang-barang lain, atau yang memerlukan instalasi/ pelayanan khusus, sementara menunggu pemuatan atau pengeluarannya, baik di dalam atau di luar area pelabuhan yang digunakan untuk menimbun barang impor atau ekspor sementara menunggu pemuatan atau pengeluarannya.

Tim Nasional Kawasan Industri adalah tim nasional yang bertugas mmberikan usulan dan masukan kepada Menteri sebagai bahan penyusunan perumusan kebijakan, melakukan pengawasan pelaksanaan pengembangan kawasan industri, serta melakukan koordinasi dengan instansi pemerintah terkait dan/atau pemerintah daerah serta perusahaan kawasan industri.

Usaha Ketenagalistrikan adalah usaha penyediaan tenaga listrik dan usaha penunjang tenaga listrik

Usaha Pariwisata adalah usaha yang menyediakan barang dan/atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dan penyelenggara pariwisata.

Usaha Pertambangan adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan serta pasca tambang.

Urusan Pemerintahan adalah fungsi-fungsi pemerintahan yang menjadi hak dan kewajiban serta tingkatan dan/atau susunan pemerintahan untuk mengatur dan mengurus fungsi-fungsi tersebut yang menjadi kewenangannya dalam rangka melindungi, melayani, memberdayakan, dan menyejahterakan masyarakat.

World Trade Organization (WTO) atau organisasi perdagangan dunia merupakan satu-satunya badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antar negara.

515

Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui suatu persetujuan yang berisi aturanaturan dasar perdagangan internasional sebagai hasil perundingan yang telah ditandatangani oleh negara-negara anggota. Persetujuan tersebut merupakan kontrak antar negara-anggota yang mengikat pemerintah untuk mematuhinya dalam pelaksanaan kebijakan perdagangannya. Walaupun ditandatangani oleh pemerintah, tujuan utamanya adalah untuk membantu para produsen barang dan jasa, eksportir dan importer dalam kegiatan perdagangan

516

Gita Wirjawan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal

Ikhtisar Ketentuan Penanaman Modal

Lebih jauh, Ikhtisar Ketentuan Penanaman Modal juga dilengkapi dengan informasi lain seperti: berbagai istilah dan pengertian pokok; kebijakan umum di bidang penanaman modal; fasilitas penanaman modal; pengaturan penanaman modal pada sektor-sektor tertentu; perjanjian penanaman modal; dan bahkan mekanisme penyelesaian sengketa. Meskipun dipahami bahwa spektrum kegiatan dan pengaturan penanaman modal sangat luas dan menjangkau multi sektor, namun tim penyusun melalui konsultasi dengan BKPM dan NLRP mengupayakan penyusunan Ikhtisar ini secara concise (singkat namun padat dan komprehensif). Tim Penyusun

Setiabudi Building 2; 2nd floor, Suite 207D H.R. Rasuna Said Kav 62, Jakarta 12920 Phone: [62-21] 5290 6813 | Fax: [62-21] 5290 6824 www.nlrp.org

34608100150

PENANAMAN MODAL

Ikhtisar Ketentuan Penanaman Modal dirancang sebagai suatu dokumen yang dapat dijadikan sebagai acuan untuk memperoleh informasi pokok terkait dengan peraturan perundang-undangan di bidang Penanaman Modal. Agar Ikhtisar Ketentuan Penanaman Modal ini mudah dimanfaatkan oleh siapa saja, tidak terbatas pada BKPM serta Instansi Pemerintah Lainnya, namun juga berbagai kalangan lain seperti dunia usaha, perseorangan, konsultan dan bahkan peneliti, maka susunan Ikhtisar Ketentuan dirancang tidak berdasarkan alfabetis, namun didasarkan atas tahapan-tahapan kegiatan penanaman modal, sejak pra penanaman modal, selama kegiatan penanaman modal sampai dengan pasca kegiatan penanaman modal.

IKHTISAR KETENTUAN

Ikhtisar Ketentuan Umum ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada semua pihak yang membutuhkan informasi mengenai ketentuan penanaman modal, baik para perumus kebijakan, pembuat peraturan perundang-undangan, pelaksana, penanam modal atau calon penanam modal, konsultan penanaman modal, peneliti, maupun pihak terkait lainnya. Ketentuan yang terdapat dalam Ihktisar Ketentuan Umum Penanaman Modal ini mencakup peraturan perundang-undangan yang masih berlaku hingga saat ini.

IKHTISAR KETENTUAN PENANAMAN MODAL Dilengkapi dengan dasar peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal

Related Documents


More Documents from ""