Laporan Kasus Difteri Michael Final Revisi.docx

  • Uploaded by: Michael Hostiadi
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Laporan Kasus Difteri Michael Final Revisi.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 7,521
  • Pages: 47
Loading documents preview...
LAPORAN KASUS TONSILITIS DIFTERI

Disusun oleh: dr. Michael Hostiadi

Pembimbing: dr. Husnul Asariati, Sp. A., M. Biomed dr. Wildan Aulia Firdaus

RSUD KOTA MALANG PROGRAM DOKTER INTERNSIP INDONESIA PERIODE OKTOBER 2017-OKTOBER 2018

LAPORAN KASUS TONSILITIS DIFTERI

Disusun oleh: dr. Michael Hostiadi

Malang, Desember 2017 Telah disetujui

Pendamping

dr. Wildan Aulia Firdaus

Pembimbing

dr. Husnul Asariati, Sp. A., M. Biomed

1|

DAFTAR ISI DAFTAR ISI ................................................................................................. 2 BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................ 3 BAB II. LAPORAN KASUS ....................................................................... 5 2.1 Identitas Pasien .......................................................................................... 5 2.2 Data Dasar .................................................................................................. 6 2.3 Pemeriksaan Fisik ..................................................................................... 8 2.4 Pemeriksaan Penunjang .......................................................................... 11 2.5 Diagnosis .................................................................................................. 12 2.6 Penatalaksanaan ....................................................................................... 12 2.7 Prognosis .................................................................................................. 13 2.8 Follow Up ................................................................................................. 13 BAB III. PEMBAHASAN ......................................................................... 21 3.1 Definisi ..................................................................................................... 21 3.2 Epidemiologi ............................................................................................ 21 3.3 Etiologi ..................................................................................................... 22 3.4 Manifestasi Klinis ................................................................................... 25 3.5 Cara Penularan ......................................................................................... 27 3.6 Patofisiolofi .............................................................................................. 27 3.7 Histopatologi ............................................................................................ 30 3.8 Pemeriksaan Penunjang .......................................................................... 32 3.9 Diagnosa Banding ................................................................................... 33 3.10 Penatalaksanaan .................................................................................... 34 3.11 Pencegahan ............................................................................................ 39 3.12 Komplikasi ............................................................................................. 40 3.13 Prognosis ................................................................................................ 40 BAB IV. KESIMPULAN ........................................................................... 42 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 44

2|

BAB I PENDAHULUAN

Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang sangat menular, disebabkan oleh karena toxin dari bakteri dengan ditandai pembentukan pseudomembran pada kulit dan atau mukosa dan penyebarannya melalui udara. Penyebab penyakit ini adalah Corynebacterium Diphteriae, dimana manusia merupakan salah satu reservoir dari bakteri ini. (1) Pemeriksaan yang khas menunjukkan pseudomembran yang khas yang terdapat pada daerah diatas tonsil dan meluas ke struktur yang berdekatan. Membran tampak kotor dan berwarna putih yang dapat menyebabkan penyumbatan karena peradangan tonsil. Perdarahan dapat terjadi jika dilakukan pengangkatan membran. Sediaan apus nasofaring dan tonsil diperoleh dan diletakkan dalam medium transport yang kemudian dibiakkan pada agar MacConkey atau media Loeffler. Strain yang diduga kemudian diuji untuk toksigenitas. Diagnosa dibuat lebih awal dan penanganan dimulai segera ketika diketahui bahwa terjadi epidemic difteri. Bayi baru lahir biasanya membawa antibody secara pasif dari ibunya yang biasanya akan hilang pada usia 6 bulan, oleh karena itu bayi-bayi diwajibkan di vaksinasi, yang mana vaksinasi ini telah terbukti mengurangi insidensi penyakit tersebut. (1,5) Penanganan penyakit terdiri dari dua fase : (1) Penggunaan antitoksin spesifik dan (2) eliminasi organisme penyebab dari orofaring. Sebelum antitoksin diberikan, sebaiknya dilakukan uji sensitivitas terhadap serum. Komplikasi dari difteri dapat menyebabkan obstruksi jalan napas dan membutuhkan trakeostomi. Kegagalan jantung dan paralisis otot dapat terjadi dan peradangan dapat menyebar ke telinga, menyebabkan otitis media dan juga dapat menyebar ke paru-paru menyebabkan pneumonia.

3|

Walaupun difteri sudah jarang di berbagai tempat di dunia, tetapi kadang-kadang masih ada yang terkena oleh penyakit tersebut. Di Indonesia difteri banyak terdapat di daerah berpenduduk padat dan keadaan lingkungan yang buruk dengan angka kematian yang cukup tinggi, 50% penderita difteri meninggal dengan gagal jantung. Kejadian luar biasa ini dapat terjadi terutama pada golongan umur rentan yaitu bayi dan anak. Tapi akhir-akhir ini berkat adanya Program Pengembangan Imunisasi (PPI) maka angka kesakitan dan kematian menurun secara drastis. (3)

4|

BAB II LAPORAN KASUS 2.1 Identitas Pasien

5|

Nama

: An. AT

Tanggal Lahir

: 15 Juli 2005

Umur

: 12 tahun 4 bulan

Jenis Kelamin

: Laki-Laki

Agama

: Islam

Suku

: Jawa

Alamat

: Jl. Tutut RT:03, RW:07, Arjowinangun

Nama Ayah

: Tn. S

Umur

: 33 tahun

Agama

: Islam

Pendidikan

: SD

Pekerjaan

: Kuli

Nama Ibu

: Ny. S

Umur

: 30 Tahun

Pendidikan

: SD

Agama

: Islam

Bangsal

: IRNA 3 / Isolasi

No.RM

: 11705xxx

Masuk RS

: 07/11/2017

2.2 Data Dasar 1. Anamnesis pasien mengeluhkan myeri telan dan demam ringan sejak sabtu sore (4 november 2017), hari senin pasien diperiksakan ke puskesmas, dicurigai difteri lalu dilakukan swab tenggorok, hasil (+) difteri.

Keluhan utama

: Nyeri Telan

Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke IGD tanggal 7 November 2017 pukul 14.20, dengan keluhan myeri telan dan demam ringan sejak sabtu sore (4 november 2017), hari senin pasien diperiksakan ke puskesmas, dicurigai difteri lalu dilakukan swab tenggorok, hasil (+) difteri. Pasien tidak menyadari adanya keluarga/ tetangga/ teman sekolah dengan keluhan yang serupa. Saat ini sekolah sedang di screening oleh puskesmas. Batuk (-), BAB & BAK normal, makan & minum masih bisa namun nafsu makan menurun, sesak (-), dada berdebar (-), tidur mengorok hilang timbul.

Riwayat Penyakit Dahulu : Pasien sering mengalami nyeri telan.

Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada keluarga yang mengalami keluhan serupa.

Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Pertumbuhan : Berat badan lahir 3200 gr. Berat badan saat ini 34 kg Usia saat ini 12 tahun 4 bulan

6|

Perkembangan : Motorik Kasar  Berdiri

: 10 bulan

 Jalan

: 1 tahun

Anak sampai saat ini sudah bisa berlari, meloncat, dan menaiki tangga.

Motorik Halus 

Saat ini anak sudah dapat mencoret coret apabila diberikan kertas dan pensil

Bahasa 

Anak sudah dapat menggunakan beberapa kalimat untuk penggunaan sehari-hari

Sosial dan Kemandirian 

Saat ini anak sudah bisa mengenakan baju sendiri dan menaikkan celana sendiri, namun belum dapat mengancing dan mengikat tali sepatu sendiri

KESAN: Pertumbuhan dan perkembangan sesuai dengan usia

Riwayat Makan dan Minum Anak : Ibu mengaku memberikan ASI disertai susu formula sampai usia 2 tahun, saat ini anak sudah makan nasi dengan frekuensi 3 kali sehari. Kesan

: Kualitas dan kuantitas makanan cukup

Riwayat Imunisasi :

7|

BCG

: 1x (usia 2 bulan), scar (+) di lengan kanan atas

Hep B

: 3x (diberikan saat pasien usia 0, 2, 4 bulan)

Polio

: 3x (diberikan saat pasien usia 0, 2, 4 bulan)

DPT

: 3x (diberikan saat pasien usia 2, 4, 6 bulan)

Kesan

: Imunisasi dasar sesuai dengan jadwal KMS.

2.3 Pemeriksaan Fisik a. Pemeriksaan Umum Keadaan umum

: Cukup

Kesadaran

: GCS 4-5-6

Frek. Nadi

: 110x/menit

Frek. Pernafasan

: 26x/menit

Suhu aksila

: 37,7 o C

Saturasi Oksigen

: 99%

Waktu pengisian kembali kapiler : < 2 detik

BB Sekarang : 34 kg TB Sekarang : 148 cm Usia

: 12 tahun 4 bulan

BBI : 40 kg Status gizi : 34 kg/40kg x 100% = 85% Kesan: Anak dengan Gizi kurang

Kepala/leher : a/i/d/c/: -/-/-/Kulit

8|

: turgor kulit normal, tidak sianosis, tidak ikterus

Kelenjar limfe : tidak terdapat pembesaran kelenjar getah bening Otot

: tidak ada atrofi otot, tidak ada kekakuan otot leher

Tulang

: tidak ada deformitas

Sendi

:tidak

ada

deformitas,

tidak

ada

tanda-tanda

peradangan.

b. Pemeriksaan Khusus 1. Kepala Bentuk

: normosefal

Rambut

: hitam, lurus, tidak mudah dicabut.

Mata

: konjungtiva tidak anemis , sklera tidak ikterik, tidak terdapat oedem periorbita, reflek cahaya +/+ , air mata +/+.

Hidung

: tidak ada sekret, mukosa tidak hiperemis, tidak ada pernapasan cuping hidung.

Telinga

: tidak ada sekret, tidak ada darah, tidak bau

Mulut

: phariynx

hiperemis

(+),

tonsil

T3/T3,

pseudomembran (+)

2. Leher Bentuk

: Simetris

Kelenjar limfe

: lnn. Colli membesar (-), nyeri tekan (-), bull

neck (-).

3. Dada Bentuk normal, simetris, tidak ada ketertinggalan gerak, tidak ada retraksi. a. Jantung : Inspeksi Palpasi

: iktus kordis tidak tampak : iktus

kordis

teraba

midclavicula sinistra Perkusi

9|

: redup

ics

IV

− Batas kanan atas

: sela iga II garis parasternal kanan.

− Batas kanan bawah : sela iga IV garis parasternal kanan. − Batas kiri atas

: sela iga II garis parasternal kiri.

− Batas kiri bawah

: sela

iga

IV

garis

midklavikula kiri. Auskultasi

: S1S2 tunggal, regular, tidak ada suara

tambahan.

b. Paru Kanan

Kiri

I : simetris, retraksi (-)

I : simetris, retraksi (-)

P : sde

P : sde

P : Sonor

P : Sonor

A :Ves +/+ Rh (-) ; Wh (-)

A :Ves +/+ Rh (-) ; Wh (-)

4. Perut Inspeksi

: permukaan dinding distended (-)

Auskultasi

: bising usus positif normal

Perkusi

: timpani

Palpasi

: soepel,nyeri tekan (-), nyeri ketok ginjal (-) tidak ada pembesaran hati, tidak ada pembesaran lien.

5. Anogenital

: anus (+), genital laki-laki, Pembesaran pada skrotum kanan, transiluminasi -

6. Anggota gerak

: Atas

: Akral hangat di kedua ekstremitas, edema di kedua ekstremitas (-)

Bawah : Akral hangat di kedua ekstremitas, edema di kedua ekstremitas (-)

10 |

7. Pemeriksaan Neurologis GCS

: 4-5-6

Meningeal sign

: Kaku kuduk (-), Brudzinski 1(-), Brudzinski 2 (-), Brudzinski 3 (-), Brudzinski 4 (-)

Kekuatan otot

: tidak ada lateralisasi

Refleks fisiologis : Triseps reflex (+N) biseps reflex (+N) Refleks patologis

: Hoffman (-) Tromner (-) chaddoks (-) Babinski (-)

2.4 Pemeriksaan Penunjang Laboratorium (07 November 2017)

JENIS PEMERIKSAAN

NILAI

NORMAL

Hemoglobin

12.5

11-16 gr/dL

Lekosit

7.60 x 109/L

4,3-11,3 x109/L

Hematokrit

37.8 %

31-43 %

Trombosit

255x 103/dl

150-450 x103/dL

MCV

86

75-91

MCH

28.5

24-30

MCHC

33.2

31-37

Limfosit

22.3%

30-45

Monosit

6.7 %

2-8

Granulosit

71%

Jumlah Sel Darah

Indeks

Differential

Jumlah Total Sel Lymp

1.60 ribu/uL

Total Monosit

0.50 ribu/uL

11 |

2.5 Diagnosis susp. Diphteriae

2.6 Penatalaksanaan IGD Inj Antrain 3x400 mg IVFD D5NS 21 tpm makro MRS di ruang isolasi Lapor foto tonsil via WA

Konsul dr. Agung Sp.A IVFD D5NS 21 tpm makro IV Cefotaxime

3 x 1 gram

IV antrain

3 x 400 mg

IV ranitidine

2 x 40 mg

IV ondancentron 3 x 4 mg (bila muntah) P/O syr eritromicin 4x12 cc

12 |

Diit Nasi Lunak Pindah ruangan isolasi

2.7 Prognosis Dubia ad Bonam

2.8 Follow Up rabu, 08 November 2017 S : nyeri telan (+), demam (-), batuk (-), sesak (-), pilek (-), pusing (-), dada nyeri (-) O : KU : cukup ; Kesadaran: CM Nadi: 88x/menit, kuat angkat, regular Suhu: 36.8 oC

RR: 22 x/menit SpO2 : 98 % Kepala: normocephali

Mata : CA-/-, SI -/-, mata cowong -/Telinga: nyeri tarik -/-, liang telinga lapang +/+, secret -/Mulut : phariynx hiperemis (+), tonsil T3/T3, pseudomembran (+) Thorax: simetris, retraksi (-) Cor

: BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)

Pulmo:Suara napas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-, inspiratory crackles -/Abdomen : supel, BU (+) N, turgor baik Ekstremitas: akral hangat +/+, CRT <2” A : Diphteriae Tonsilitis P : IVFD D5NS 21 tpm makro IV Cefotaxime

3 x 1 gram

IV antrain

3 x 400 mg

IV ranitidine 2 x 40 mg IV ondancentron

3 x 4 mg (bila muntah)

P/O syr eritromicin 4x12 cc Diit Nasi Lunak

13 |

Tunggu ADS dari dinas kesehatan

Kamis, 09 November 2017 S : nyeri telan (+) berkurang, demam (-), batuk (-), sesak (-), pilek (-), pusing (-), dada nyeri (-), nafsu makan membaik. O : KU : cukup ; Kesadaran: CM Nadi: 84 x/menit, kuat angkat, regular Suhu: 36 oC

RR: 22 x/menit SpO2 : 98 % Kepala: normocephali

Mata : CA-/-, SI -/-, mata cowong -/Telinga: nyeri tarik -/-, liang telinga lapang +/+, secret -/Mulut : phariynx hiperemis (+), tonsil T3/T3, pseudomembran (+) Thorax: simetris, retraksi (-) Cor

: BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)

Pulmo:Suara napas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-, inspiratory crackles -/Abdomen : supel, BU (+) N, turgor baik Ekstremitas: akral hangat +/+, CRT <2” A:

Diphteriae Tonsilitis

P : IVFD D5NS 21 tpm makro IV Cefotaxime

3 x 1 gram

IV antrain

3 x 400 mg

IV ranitidine 2 x 40 mg IV ondancentron

3 x 4 mg (bila muntah)

P/O syr eritromicin 4x12 cc Diit Nasi Lunak ADS 40.000 IU (-)

Jumat, 10 November 2017 S : nyeri telan (+) berkurang, demam (-), batuk (-), sesak (-), pilek (-), pusing (-), dada nyeri (-), nafsu makan membaik.

14 |

O : KU : cukup ; Kesadaran: CM Nadi: 88 x/menit, kuat angkat, regular Suhu: 36.2 oC

RR: 22 x/menit SpO2 : 98 % Kepala: normocephali

Mata : CA-/-, SI -/-, mata cowong -/Telinga: nyeri tarik -/-, liang telinga lapang +/+, secret -/Mulut : phariynx hiperemis (+), tonsil T3/T3, pseudomembran (+) Thorax: simetris, retraksi (-) Cor

: BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)

Pulmo: Suara napas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-, inspiratory crackles -/Abdomen : supel, BU (+) N, turgor baik Ekstremitas: akral hangat +/+, CRT <2” A:

Diphteriae Tonsilitis

P : IVFD D5NS 21 tpm makro IV Cefotaxime

3 x 1 gram

IV antrain

3 x 400 mg (k/p)

IV ranitidine 2 x 40 mg IV ondancentron

3 x 4 mg (bila muntah)

P/O syr eritromicin 4x12 cc Diit Nasi Lunak ADS 40.000 IU (-) EKG hari perawatan ke - 5

Sabtu, 11 November 2017 S : nyeri telan (+) berkurang, demam (-), batuk (-), sesak (-), pilek (-), pusing (-), dada nyeri (-), nafsu makan membaik, setelah masuk ADS pasien mengeluh dingin O : KU : cukup ; Kesadaran: CM Nadi: 95 x/menit, kuat angkat, regular RR: 22 x/menit

15 |

Suhu: 36.3 oC

SpO2 : 98 % Kepala: normocephali Mata : CA-/-, SI -/-, mata cowong -/Telinga: nyeri tarik -/-, liang telinga lapang +/+, secret -/Mulut : phariynx hiperemis (+), tonsil T3/T3, pseudomembran (-) Thorax: simetris, retraksi (-) Cor

: BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)

Pulmo:Suara napas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-, inspiratory crackles -/Abdomen : supel, BU (+) N, turgor baik Ekstremitas: akral hangat +/+, CRT <2” A:

Diphteriae Tonsilitis

P : IVFD D5NS 21 tpm makro IV Cefotaxime

3 x 1 gram

IV antrain

3 x 400 mg

IV ranitidine 2 x 40 mg IV ondancentron

3 x 4 mg (bila muntah)

P/O syr eritromicin 4x12 cc Diit Nasi Lunak ADS 40.000 IU (+) masuk dengan metode bedreska mulai pk 17.0022.00

Senin, 13 November 2017 S : nyeri telan (-), demam (-), batuk (-), sesak (-), pilek (-), pusing (-), dada nyeri (-), nafsu makan membaik O : KU : cukup ; Kesadaran: CM Nadi: 83 x/menit, kuat angkat, regular RR: 21 x/menit

Suhu: 35.8 oC

SpO2 : 98 % Kepala: normocephali Mata : CA-/-, SI -/-, mata cowong -/Telinga: nyeri tarik -/-, liang telinga lapang +/+, secret -/-

16 |

Mulut : phariynx hiperemis (-), tonsil T3/T3, pseudomembran (-) Thorax: simetris, retraksi (-) Cor

: BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)

Pulmo:Suara napas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-, inspiratory crackles -/Abdomen : supel, BU (+) N, turgor baik Ekstremitas: akral hangat +/+, CRT <2” A:

Diphteriae Tonsilitis

P : IVFD D5NS 7 tpm makro IV Cefotaxime

3 x 1 gram

IV antrain

3 x 400 mg (k/p)

IV ranitidine

2 x 40 mg

IV ondancentron

3 x 4 mg (k/p)

P/O syr eritromicin 4x12 cc Salep hidrocortison 2 x ue Diit Nasi Lunak Swab tenggorokan senin 13-11-2017 dan selasa 14-11-2017 ECG senin 13-11-2017 -> susp. myocarditis

17 |

Selasa, 14 November 2017 S : nyeri telan (-), demam (-), batuk (-), sesak (-), pilek (-), pusing (-), dada nyeri (-), nafsu makan membaik O : KU : cukup ; Kesadaran: CM Nadi: 75 x/menit, kuat angkat, regular Suhu: 36 oC

RR: 20 x/menit SpO2 : 98 % Kepala: normocephali

Mata : CA-/-, SI -/-, mata cowong -/Telinga: nyeri tarik -/-, liang telinga lapang +/+, secret -/Mulut : phariynx hiperemis (-), tonsil T3/T3, pseudomembran (-) Thorax: simetris, retraksi (-) Cor

: BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)

Pulmo:Suara napas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-, inspiratory crackles -/Abdomen : supel, BU (+) N, turgor baik Ekstremitas: akral hangat +/+, CRT <2” A:

Diphteriae Tonsilitis

P : IVFD D5NS 7 tpm makro IV Cefotaxime

3 x 1 gram

IV antrain

3 x 400 mg (k/p)

IV ranitidine

2 x 40 mg

IV ondancentron

3 x 4 mg (k/p)

P/O syr eritromicin 4x12 cc Salep hidrocortison 2 x ue Diit Nasi Lunak Besok tanya hasil swab, bila hasil negative boleh KRS

Rabu, 15 November 2017 S : nyeri telan (-), demam (-), batuk (-), sesak (-), pilek (-), pusing (-), dada nyeri (-), nafsu makan membaik. O : KU : cukup ; Kesadaran: CM

18 |

Nadi: 89 x/menit, kuat angkat, regular Suhu: 36,5 oC

RR: 20 x/menit SpO2 : 98 % Kepala: normocephali

Mata : CA-/-, SI -/-, mata cowong -/Telinga: nyeri tarik -/-, liang telinga lapang +/+, secret -/Mulut : phariynx hiperemis (-), tonsil T3/T3, pseudomembran (-) Thorax: simetris, retraksi (-) Cor

: BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)

Pulmo:Suara napas vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-, inspiratory crackles -/Abdomen : supel, BU (+) N, turgor baik Ekstremitas: akral hangat +/+, CRT <2” A:

Diphteriae Tonsilitis

P : IVFD D5NS 7 tpm makro IV Cefotaxime

3 x 1 gram

IV antrain

3 x 400 mg (k/p)

IV ranitidine

2 x 40 mg

IV ondancentron

3 x 4 mg (k/p)

P/O syr eritromicin 4x12 cc Salep hidrocortison 2 x ue Diit Nasi Lunak Hasil swab senin 13-11-2017 dan selasa 14-11-2017 negatif, pasien KRS

19 |

20 |

BAB III PEMBAHASAN

III.1. Definisi Difteri adalah infeksi akut yang disebabkan oleh Corynebacterium Diphteriae. Infeksi biasanya terdapat pada faring, laring, hidung dan kadang pada kulit, konjungtiva, genitalia dan telinga. Infeksi ini menyebabkan gejala-gejala lokal dan sistemik, efek sistemik terutama karena eksotoksin yang dikeluarkan oleh mikroorganisme pada tempat infeksi.(5,6)

III.2 Epidemiologi Sebelum era vaksinasi, difteria merupakan penyakit yang sering menyebabkan kematian. Namun sejak mulai diadakannya program imunisasi DPT (di Indonesia pada tahun 1974), maka kasus dan kematian akibat difteria berkurang sangat banyak. Angka mortalitas berkisar 5-10%, sedangkan angka kematian di Indonesia menurut laporan Parwati S. Basuki yang didapatkan dari rumah sakit di kota Jakarta (RSCM), Bandung (RSHS), Makasar (RSWS), Senmarang (RSK), dan Palembang (RSMH) rata-rata sebesar 15%.(12) Difteria adalah penyakit yang jarang terjadi, biasanya menyerang remaja dan orang dewasa. Di Amerika Serikat selama tahun 1980-1996 terdapat 71% kasus yang menyerang usia kurang dari 14 tahun. Pada tahun 1994 terdapat lebih dari 39.000 kasus difteria dengan kematian 1100 kasus, sebagian besar menyerang usia lebih dari 15 tahun. Di Ekuador, Amerika Selatan, pada tahun 1993-1994 terjadi ledakan kasus sebesar 200 kasus, yang 50%-nya adalah anak berusia 15 tahun atau lebih.1 Dari tahun 1980 sampai 2010, 55 kasus difteri dilaporkan CDC Nasional dilaporkan Penyakit Surveillance System. Sebagian besar kasus (77%) menyerang usia 15 tahun dan lebih ,empat dari lima kasus fatal terjadi di kalangan anak-anak yang tidak divaksinasi, kasus fatal yang kelima adalah seorang laki-laki, dalam 75 tahun kembali ke Amerika Serikat dari negara dengan penyakit endemic.9 21 |

Difteri tetap endemik di banyak bagian dunia berkembang, termasuk beberapa negara Karibia dan Amerika Latin, Eropa Timur, Asia Tenggara, dan Afrika. 9Dari wabah ini mayoritas kasus telah terjadi di kalangan remaja dan orang dewasa, bukan anak-anak. Karena, banyak dari remaja dan orang dewasa belum menerima vaksinasi rutin anak atau dosis booster toksoid difteri. (11) Di Indonesia, dari data lima rumah sakit di Jakarta, Bandung, Makassar, Semarang, dan Palembang, Parwati S.Basuki melaporkan angka yang berbeda. Selama tahun 1991-1996, dari 473 pasien difteria, terdapat 45% usia balita, 27% usia kurang dari 1 tahun, 24% usia 5-9 tahun, dan 4% usia diatas 10 tahun. Berdasarkan suatu KLB difteria di kota Semarang pada tahun 2003, dilaporakan bahwa dari 33 pasien sebanyak 46% berusia 15-44 tahun serta 30% berusia 5-14 tahun.1 Khusus provinsi Sumatera Selatan, selama tahun 2003-2009 penemuan kasus difteri cenderung terjadi penurunan, kasus terbanyak pada tahun 2007 (12 kasus) dan terendah pada tahun 2003 (2 kasus), meskipun demikian Sumatera Selatan merupakan provinsi terbesar kedua untuk kasus difteri pada tahun 2008. (12) Meskipun difteri sekarang dilaporkan hanya jarang di Amerika Serikat, di era prevaccine, penyakit ini adalah salah satu penyebab paling umum dari penyakit dan kematian pada anak-anak.(11)

III.3 Etiologi Difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphteriae, kuman ini dikenal juga dengan sebagai basil Klebs-Löffler, karena ditemukan pada tahun 1884 oleh bakteriolog Jerman, Edwin Klebs (1834-1912) dan Friedrich Löffler (1852-1915). Ada tiga strain C. diphtheriae yang berbeda yang dibedakan oleh tingkat keparahan penyakit mereka yang disebabkan pada manusia yaitu gravis, inter-medius, dan mitis. Ketiga subspesies sedikit berbeda dalam morfologi koloni dan sifat-sifat biokimia. Perbedaan virulensi dari tiga strain dapat dikait-kan dengan kemampuan relatif mereka untuk memproduksi toksin difteri (baik kualitas dan kuantitas), dan tingkat pertumbuhan masing-masing. Strain gravis memiliki waktu generasi (in 22 |

vitro) 60 menit; strain intermedius memiliki waktu generasi sekitar 100 menit, dan mitis memiliki waktu generasi sekitar 180 menit. Dalam tenggorokan (in vivo), tingkat pertumbuhan yang lebih cepat memungkinkan organisme untuk menguras pasokan besi lokal lebih cepat dalam menyerang jaringan. (2,3) III.3.1 Klasifikasi Kingdom

: Bakteri

Filum

: Actinobacteria

Kelas

: Actinobacteria

Order

: Actinomycetales

Keluarga

: Corynebacteriaceae

Genus

: Corynebacterium

Spesies

: C. diphtheriae

Sub spesies

:

a. C. diptheriae gravis b. C. diptheriae mitis c. C.diptheriae intermedius (2) III.3.2 Morfologi Bakteri ini berbentuk batang ramping berukuran 1,5-5 um x 0,5-1 um, tidak berspora, tidak bergerak, termasuk Gram positif, memiliki banyak bentuk (polymorph), memfermentasi glukosa, menghasilkan eksotoksin, dan tidak tahan asam. Bersifat anaerob fakultatif, namun pertumbuhan maksimal diperoleh pada suasana aerob. Ciri khas C. diphteriae adalah pembengkakan

23 |

tidak teratur pada salah satu ujungnya, yang menghasilkan bentuk seperti "gada" (club shape). Di dalam batang tesebut (sering di dekat ujung) secara tidak beraturan tersebar granula-granula. Granula ini di-kenal dengan nama granula metakromatik Babes-Ernest. Dengan pewarnaan Neisser, tubuh bakteri berwarna kuning atau coklat muda sedangkan granulanya berwarna biru violet. Preparat yang dibuat langsung dari spesimen yang baru diambil dari pasien, letak bakteri seperti huruf - huruf L, V, W, atau tangan

yang

jarinya terbuka atau sering dikenal sebagai susunan

sejajar/paralel/palisade/sudut tajam huruf V, L, Y/tulisan Cina. (2,3) Penyebab difteri adalah Corynebacterium diphteriae merupakan basil gram positif (basil aerob), tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada pemanasan 60ºC, tahan dalam keadaan beku dan kering.

Organisme

tersebut

paling

mudah

pada media yang mengandung penghambat tertentu yang pertumbuhan

mikroorganisme lain

(Tellurite).

ditemukan memperlambat Koloni-koloni

Corynebacterium diphteriae berwarna putih kelabu pada medium Loeffler.(5,7) Kuman Corynebacterium diphteriae, kuman yang termasuk Gram positif dan hidung di saluran nafas bagian atas yaitu hidung, faring dan laring. Tidak semua orang yang terinfeksi oleh kuman ini akan menjadi sakit. Keadaan ini tergantung pada titer anti toksin dalam darah seseorang. Titer anti toksin sebesar 0,03 satuan per cc darah dapat dianggap cukup memberikan dasar imunitas. Hal inilah yang dipakai pada tes Schick.(1)

24 |

III.4 Manifestasi Klinis Biasanya pembagian dibuat menurut tempat atau lokalisasi jaringan yang terkena infeksi.Pembagian berdasarkan berat ringannya penyakit juga diajukan

oleh

Beach,

dkk

(1950)

sebagai

berikut

:

1. Infeksi ringan bila pseudomembran hanya terdapat pada mukosa hidung dengan gejala hanya nyeri menelan. 2.

Infeksi sedang bila pseudomembran telah menyerang sampai faring

(dinding belakang rongga mulut) sampai menimbulkan pembengkakan pada laring. 3. Infeksi berat bila terjadi sumbatan nafas yang berat disertai dengan gejala komplikasi seperti miokarditis (radang otot jantung), paralisis (kelemahan anggota gerak) dan nefritis (radang ginjal).(6) Masa inkubasi difteri adalah 2-5 hari (berkisar, 1-10 hari). Penyakit ini dapat melibatkan hampir semua membrane mukosa. Gambaran klinik tergantung pada lokasi anatomi yang dikenai. Beberapa tipe difteri berdasarkan lokasi anatomi adalah pasien : 1. Difteri hidung Yang mana pada awalnya meneyerupai common cold, dengan gejala pilek ringan tanpa atau disertai gejala sistemik ringan. Infeksi nares anterior (lebih sering pada bayi) menyebabkan rhinitis erosif, purulen, serosanguinis dengan pembentukan membrane. Ulserasi dangkal nares luar dan bibir sebelah dalam adalah khas. Pada pemeriksaan tampak membrane putih pada daerah septum nasi. Absorbsi toksin sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat dibuat.(7) 2. Difteri faring dan tonsil Paling sering dijumpai (kurang lebih 75%). Gejala mungkin ringan. Hanya berupa radang pada selaput lender dan tidak membentuk pseudomembran sedangkan diagnosis dapat dibuat atas dasar hasil biakan yang positif. Dapat sembuh sendiri dan memberikan imunitas pada penderita. Pada penyakit yang lebih berat, mulainya seperti radang akut tenggorok

25 |

dengan suhu yang tidak terlalu tinggi, dapat ditemukan pada pseudomembran yang mula-mula hanya berupa bercak putih keabu-abuan yang cepat meluas ke nasofaring atau ke laring. Dapat ditemukan pula napas berbau dan timbul pembengkakan kelenjar regional sehingga leher tampak seperti leher sapi (bull neck). Brennernan dan Mc Quarne (1956) menyatakan bahwa setiap bercak keputihan diluar tonsil dapat dianggap sebagai difteria, sedangkan Herdarshee menegaskan lebih lanjut bahwa setiap membrane yang menutupi dinding posterior faring atau menutupi seluruh permukaan tonsil baik satu maupun

kedua

sisi

dapat

dinggap

sebagai

difteria.(6)

Dapat terjadi salah menelan dan suara serak serta stidor insprasi walaupun belum terjadi sumbatan faring. Hal ini disebabakan oleh paresis palatum mole. Pada pemeriksaan darah dapat terjadi penurunan kadar hemoglobin dan leukositisis, polimofonukleus, penurunan jumlah eritrosit dan kadar albumin, sedangakan pada urin mungkin dapat ditemukan albuminaria ringan. Pada difteri jenis ini juga akan tampak membran berwarna putih keabu abuan kotor di daerah rongga mulut sampai dengan dinding belakang mulut (faring).(6) 4. Difteri laring Gejalanya antara lain, tidak bisa bersuara, sesak, nafas berbunyi, demam sangat tinggi sampai 40 derajat celsius, sangat lemah, kulit tampak kebiruan, pembengkakan kelenjar leher. Difteri jenis ini merupakan difteri paling berat karena bisa mengancam nyawa penderita akibat gagal nafas. Lebih sering sebagai penjalaran difteria faring dan tonsil ( 3 kali lebih banyak ) daripada primer mengenai laring. Gejala gangguan napas berupa suara serak dan stidor inspirasi jelas dan berat dapat timbul sesak napas hebat, sinosis dan tampak retraksi suprastemal serta epigastrium. Pembesaran kelenjar regional akan menyebabkan bull neck ( leher sapi ). Pada pemeriksaan laring tampak kemerahan, sembab, banyak secret dan permukaan ditutupi oleh pseudomembran. (6)

26 |

5. Difteri kutaneus dan vaginal Gejala berupa luka mirip sariawan pada kulit dan vagina dengan pembentukan membran diatasnya. Namun tidak seperti sariawan yang sangat nyeri, pada difteri, luka yang terjadi cenderung tidak terasa apa apa.(6)

III.5 Cara penularan Sumber penularan penyakit difteri ini adalah manusia, baik sebagai penderita maupun sebagai carier . Cara penularannya yaitu melalui kontak dengan penderita pada masa inkubasi atau kontak dengan carier. Caranya melalui pernafasan atau droplet infection. Masa inkubasi penyakit difteri ini 2 – 5 hari, masa penularan penderita 2-4minggu sejak masa inkubasi, sedangkan masa penularan carier bisa sampai 6 bulan. Penyakit difteri yang diserang terutama saluran pernafasan bagian atas. (3) Kontaminasi barang pribadi yang dipakai bersamaan, seperti handuk, sendok,gelas yang belum dicuci, mainan dan lain-lain. (3) Orang yang telah terinfeksi difteri dan belum diobati dapat menulari orang lain yang nonimmunized selama enam minggu, bahlan jika mereka belum menunjukan gejala apapun. (3)

III.6 Patofisiologi Setelah terinhalasi, Corynebacterium diphtheriae implantasi di atas mukosa dari saluran nafas atas dan menghasilkan eksotoksin yang kuat menyebabkan nekrosis dari epitel mukosa di ikuti oleh eksudat fibrinopuluren yang tebal yang membentuk pseudomembran abu-abu kotor yang klasik dan superfisial dari difteri. (8) Kerja dari eksotoxins banyak mengubah sinyal intraseluler atau jalur peraturan. Sebagian besar memiliki enzimatis aktif (A) subunit dihubungkan oleh jembatan disulfida untuk subunit B yang mengikat reseptor pada permukaan sel dan memberikan subunit A ke dalam sitoplasma sel dengan endositosis . Dalam sitoplasma, ikatan disulfida toksin berkurang dan patah,

27 |

melepaskan fragmen A. enzimatis aktif amino Dalam kasus racun diptheria subunit A mengkatalisis transfer adenosin difosfat (ADP)-ribosa dari nikotinamida adenin dinukleotida (NAD) untuk protein EF-2 (suatu faktor elongasi yang sangat penting untuk sintesis polipeptida), sehingga menonaktifkan . Satu molekul toksin sehingga dapat membunuh sel dengan ADP-ribosylating lebih dari 106 EF-2 molekul. Corynebacterium diphtheriae menguraikan seperti racun untuk menciptakan lapisan sel-sel mati di tenggorokan, di mana bakteri outgrows kompetisi. Sayangnya, penyebaran yang lebih luas dari toksin difteri menyebabkan manifestasi penyakit serius melalui disfungsi saraf dan miokard. (8) Virulensi utama organisme terletak pada kemampuannya untuk menghasilkan eksotoksin 62-kd ampuh polipeptida, yang menghambat sintesis protein dan menyebabkan nekrosis jaringan lokal. Toksin difteri, yang disekresi oleh strain racun dari C diphtheriae, adalah polipeptida tunggal Mr. 58.342. Strain racun dari C diphtheriae membawa gen struktural tox ditemukan di corynebacteriophages lisogenik beta-tox +, gamma-tox +, dan omega-tox +.(8) Strain yang sangat beracun memiliki 2 atau 3 gen + tox dimasukkan ke dalam genom. Ekspresi gen diatur oleh host dan kandungan zat besi. Dengan adanya konsentrasi rendah besi, regulator gen dihambat, sehingga produksi toksin meningkat. Toksin diekskresikan dari sel bakteri dan mengalami pembelahan untuk membentuk 2 rantai, A dan B, yang diselenggarakan bersama oleh ikatan disulfida merantaikan antara residu sistein pada posisi 186 dan 201. Bersamaan dengan meningkatnya konsentrasi toksin, efek toksin melampaui area lokal karena distribusi toksin oleh sirkulasi. Toksin diphtheriae tidak memiliki target organ tertentu, tetapi miokardium dan perifer saraf yang paling sering terkena. (8) Dalam beberapa hari pertama infeksi saluran pernapasan, sebuah koagulum nekrotik padat organisme, sel epitel, fibrin, leukosit, eritrosit dan bentuk, dan menjadi pseudomembran abu-abu kecoklatan yang melekat. Sulit untuk dipindahkan dan submukosa membengkak dan berdarah. Kelumpuhan dari langit-langit dan hipofaring adalah efek awal lokal toksin. Penyerapan 28 |

toksin dapat menyebabkan nekrosis tubulus ginjal, trombositopenia, kardiomiopati, dan demielinasi saraf. Karena kardiomiopati dan demielinasi saraf dapat terjadi 2-10 minggu setelah infeksi mukokutan, mekanisme patofisiologis meruapakan mediasi imunologi pada beberapa pasien. (8,9) Dalam deskripsi klasik dari difteri, fokus utama dari infeksi amandel atau faring di lebih dari 90% pasien; hidung dan laring adalah situs yang paling umum berikutnya. Setelah masa inkubasi rata-rata 2-4, tanda-tanda hari lokal dan gejala peradangan berkembang. Demam jarang lebih tinggi dari 39 ° C (9) Ciri khas dari penyakit ini ialah pembekakan di daerah tenggorokan, yang berupa reaksi radang lokal, dimana pembuluh-pembuluh darah melebar mengeluarkan sel darah putih sedang sel-sel epitel disitu rusak, lalu terbentuklah

disitu

membaran

putih

keabu-abuan(psedomembrane).

Membran ini sukar diangkat dan mudah berdarah. Di bawah membran ini bersarang kuman difteri dan kuman-kuman ini mengeluarkan exotoxin yang memberikan gejala-gejala yang lebih berat dan Kelenjer getah bening yang berada disekitarnya akan mengalami hiperplasia dan mengandung toksin. Eksotoksin dapat mengenai jantung dapat menyebabkan miyocarditis toksik atau mengenai jaringan perifer sehingga timbul paralisis terutama pada otototot pernafasan. Toksin ini juga dapat menimbulkan nekrosis fokal pada hati dan ginjal, malahan dapat timbul nefritis interstisial. Penderita yang paling berat didapatkan pada difterifauncial dan faringea karena terjadi penyumbatan membran pada laring dan trakea sehingga saluran nafas ada obstruksi dan terjadi gagal napas, gagal jantung yang bisa mengakibatkan kematian, ini akibat komplikasi yang sering pada bronkopneumoni. (10)

Organ-organ tubuh yang tergabung (10) 

Kelenjar Getah bening : Jaringan limfoid baik di kelenjar getah bening regional dan sistemik (seperti dalam limpa) mengalami hiperplasia dengan pengembangan pusat-pusat germinal yang menonjol dan biasanya nekrotik di bagian tengah.

29 |



Jantung: Toksin Difteri sangat beracun ke miokardium. Pada tahap awal, terjadi edema interstisial, pembengkakan berawan dari serat miokard, dan akumulasi butiran sitoplasma denda lipid terlihat mikroskopis. Kemudian perubahan ini menjadi luas dan lebih berat. Serat miokard akhirnya mengalami nekrosis, dan miokarditis interstisial fokus dengan eksudasi sel mononuklear terjadi. Keterlibatan jantung, baik secara akut dalam bentuk kolaps kardiovaskuler atau sebagai aritmia atau lebih kronis dalam bentuk gagal jantung kongestif, adalah ancaman yang paling umum untuk kehidupan di difteri.



Ginjal: Sebuah nefritis, nonspesifik interstisial non supuratif adalah sering pada difteri dan diyakini bertanggung jawab atas proteinuria sering diamati. Lesi ginjal biasanya sembuh sepenuhnya pada pasien yang sembuh.



Hati: Hati yang khas diperbesar, hepatosit menunjukkan pembengkakan berawan dan nekrosis kurang umum fokus.



Saraf: Toksin Diphtherial memiliki afinitas khusus untuk saraf perifer. Efek racun yang diwujudkan dalam degenerasi atau bahkan kerusakan selubung mielin. Silinder Axis mengalami nekrosis pembengkakan dan jarang. Efek lumpuh neuropati difteri sering tajam terlokalisasi. Kelumpuhan otot-otot sukarela dari langit-langit mulut dapat menghasilkan kualitas hidung yang aneh dari suara dan kecenderungan untuk memuntahkan cairan melalui hidung.



Hipofaring:

keterlibatan

Hypopharyngeal

dapat

menyebabkan

pneumonia aspirasi. 

Mata: Keterlibatan otot luar mata dapat menghasilkan diplopia, dan keterlibatan dari badan siliar dapat mengakibatkan cacat akomodasi visual.

III.7 Histopatologi Gambaran histopatologi Mukosa skuamosa faring ditutupi secara tebal dengan material basofilik yang pucat ( pseudomembran ). Inflamasi sedang submukosa terlihat disini. 30 |

Elektor mikograf scanning dari bentuk club batang tanpa flagella atau kapsul, konsisten

dengan

spesies

Corynebacterium

("coryne"

berarti

cluPseudomembrane )

Sejumlah besar bakteri Gram positif batang yang melekat di dalam pseudomembran

31 |

III.8 Pemeriksaan Penunjang 1. Bakteriologik. Preparat apusan kuman difteri dari bahan apusan mukosa hidung dan tenggorok (nasofaringeal swab). 2. Kultur lesi tenggorokan dibutuhkan untuk diagnose klinis, untuk isolasi primer menggunakan agar Loeffler, atau agar tellurite Tinsdale. 3. Menyusul isolasi awal C.diphteriae dapat diidentifikasi sebagai mitis, intermedius, atau biotipe gravis berdasar fermentasi karbohidrat karbohidrat dan hemolisis pada agar pelat darah domba. Strain ditentukan secara in vitro dan in vivo. 4. Darah

lengkap

:

Hb,

leukosit,

hitung

jenis

leukosit,

eritrosit,trombosit,LED 5.

Urin lengkap : protein dan sedimen

6.

Ureum dan kreatinin (bila dicurigai ada komplikasi ginjal)

7.

EKG secara berkala untuk mendeteksi toksin basil menyerang sel otot jantung dilakukan sejak hari 1 perawatan lalu minimal 1x seminggu, kecuali bila ada indikasi biasa dilakukan 2-3x seminggu.

8. Tes schick: Uji Schick ialah pemeriksaan untuk mengetahui apakah seseorang telah mengandung antitoksin. Pada seseorang yang tidak mengandung antitoksin, akan timbul vesikel pada bekas suntikan dan hilang setelah beberapa minggu. Pada yang mengandung antitoksin rendah, uji Schick dapat positif, pada bekas suntikan timbul warna merah kecoklatan dalam 24 jam. Uji Schick dikatakan negatif bila tidak didapatkan reaksi apapun pada tempat suntikan dan ini terdapat pada orang dengan imunitas atau mengandung antitoksin yang tinggi. Positif palsu terjadi akibat reaksi alergi terhadap protein antitoksin yang akan menghilang dalam 72 jam. Uji ini berguna untuk mendiagnosis kasus-kasus difteri ringan dan kasuskasus yang mengalami kontak dengan difteri, sehingga diobati dengan sempurna. Cara melakukan Schick test ialah, sebanyak 0,1 ml toksin difetri disuntikkan intrakutan pada lengan klien, pada lengan yang lain disuntikkan

32 |

toksin yang sudah dipanaskan (kontrol). Reaksi dibaca pada hari ke-45, hasilnya positif bila terjadi indurasi eritema yang diameternya 10 mm atau lebih pada tempat suntikkan. Hasil positif berarti adanya antitoksin difteri dalam serumnya (menderita difteri). Perlu diperhatikan bahwa hasil positif ini bisa juga ditimbulkan oleh reaksi alergi terhadap toksin, tapi hal ini dapat dibedakan yaitu reaksi eritema dan indurasinya menghilang dalam waktu 48-72 jam. Sedangkan yang positif karena adanya antitoksin akan menetap selama beberapa hari.(2) 9. Tes hapusan specimen Diambil dari hidung, tenggorokan dan terdapat lesi mukokutan lain, berguna untuk identifikasi tempat spesies, uji toksigenitas dan kerentanan anti mikroba sebagai medikasi. (2)

III.9 Diagnosis Banding 1. Difteria Hidung, diagnosis bandingnya: 

common cold Bila sekret yang dihasilkan purulent :



sinusitis



adenoiditis



benda asing dalam hidung



snuffles (lues congenital).

2. Difteria Faring,diagnosis bandingnya: 

Pharingitis oleh streptococcus



Tonsillitis membranosa akut



Mononucleosis infeksiosa,



Tonsillitis membranosa non-bakteria



Tonsillitis herpetika primer



Moniliasis



Blood dyscrasia



Pasca tonsilektomi

3. Difteria Laring, diagnosis bandingnya: 33 |



Laryngitis



Laringo-trakeo bronkitis



Spasmodic croup



Angioneurotic edema pada laring



Benda asing dalam laring.



Akut epiglotitis

4. Difteria Kulit, diagnosis bandingnya: 

impetigo



infeksi kulit yang disebabkan oleh streptokokus atau stafilokokus. (1)

III.10 Penatalaksanaan Semua kasus yang memenuhi kriteria di atas (probable difteri) harus diperlakukan sebagai difteri sampai terbukti bukan. Pengobatan Tujuan pengobatan penderita difteri adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah dan mengusahakan agar penyulit yang terjadi minimal, mengeliminasi C. diphtheriae untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteri. Umum Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorok negatif 2 kali berturut-turut dengan jarak 24 jam. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3 minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan serta diet yang adekuat.

Khusus 1. Antitoksin: Anti Diphtheria Serum (ADS) Antitoksin diberikan segera setelah ditegakkan diagnosis difteri. Dengan pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita

34 |

kurang dari 1%, namun dengan penundaan lebih dari hari ke-6, angka kematian ini bisa meningkat sampai 30%. Tabel 1. Dosis ADS

Dosis ADS (KI)

Cara pemberian

Difteri hidung

20.000

Intramuskular

Difteri tonsil

40.000

Intramuskular atau Intravena

Difteri faring

40.000

Intramuskular atau Intravena

Difteri laring

40.000

Intramuskular atau Intravena

Kombinasi lokasi di atas

80.000

Intravena

Difteri + penyulit, bullneck

80.000-100.000

Intravena

Terlambat berobat (> 72

80.000-100.000

Intravena

80.000-100.000

Intravena

Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit Tipe Difteri

jam), lokasi dimana saja Pembengkakan difus pada leher/bull neck delayed diagnosed/berobat (dengan lokasi dimana saja), difteri dengan komplikasi dan/atau systemic disease

Sumber CDC Protocl 03/36/214-Revised dan Krugman, 1992 dengan modifikasi

Serum antidifteri merupakan serum heterolog, maka dapat menimbulkan reaksi anafilaktik. Untuk mencegah hal tersebut, maka dilakukan hal-hal berikut(6,8) : 

Pengawasan tanda vital dan reaksi lainnya seperti perluasan membran, selama dan sesudah pemberian terutama sampai 2 jam setelah pemberian serum.



Adrenalin 1:1000 dalam dalam semprit harus selalu disediakan untuk menanggulangi reaksi anafilaktik (dosis 0,01 cc/kg BB intramuskuler, maksimal diulang tiga kali dengan interval 5 - 15 menit).

35 |



Sarana dan penanggulangan reaksi anafilaktik harus tersedia.



Uji kepekaan, yang terdiri dari : o Tes kulit Anti difteri serum 0,1 cc diencerkan dengan perbandingan 1:10 dalam NaCl 0,9% disuntikkan intrakutan. Hasilnya dibaca setelah 15-20 menit. Dianggap positif bila teraba indurasi dengan diameter paling sedikit 10 mm. o Tes mata Satu tetes anti difteri serum yang telah diencerkan dengan perbandingan 1:10 dalam NaCl 0,9% diteteskan pada salah satu kelopak mata bagian bawah. Satu tetes NaCl 0,9% digunakan sebagai kontras pada mata lainnya untuk perbandingan. Hasilnya dilihat setelah 15 – 20 menit kemudian. Dianggap positif bila ada tanda konjungtivitis ( merah, bengkak, lakrimasi ). Apabila terjadi konjungtivitis diobati dengan adrenalin 1:1000. Bila salah satu tes kepekaan positif, maka ADS tidak diberikan secara

sekaligus (single dose) tetapi secara bertahap, yaitu dengan dosis yang ditingkatkan secara perlahan-lahan (desensitisasi / Besredka) dengan interval 15 menit.

36 |

Jika uji sinsitivitas negative: diberikan melalui infus (Drip) : 

Pasang infus D5 ¼ Saline 200 cc + ADS dosis sesuai dengan berat ringan difteri yang dialami, kemudian diberikan harus habis dalam waktu 2 jam.

Bila terjadi alergi selama pemberian melalui infus/dripp maka tetesan diperlambat dan bila masih alergi pemberian diganti dengan cara BESREDKA.

Efek samping yang bisa terjadi pada pemberian antitoksin ini adalah (7) : 1.

Reaksi anafilaktik jarang terjadi, tetapi bila ada timbulnya dengan segera atau dalam waktu beberapa jam sesudah suntikan.

2.

Serum Sickness

dapat timbul 7 - 10 hari setelah suntikan dan

dapat berupa kenaikan suhu, gatal-gatal, eksantema, sesak nafas dan gejala alergi lainnya. Reaksi ini jarang terjadi bila menggunakan serum yang telah dimurnikan. 3.

Demam dengan menggigil yang biasanya timbul setelah pemberian serum secara intravena.

4.

Rasa nyeri pada tempat suntikan yang biasanya timbul pada penyuntikan serum dalam jumlah besar. Reaksi ini biasanya terjadi dalam 24 jam.

2. Antibiotik Antibiotik diberikan untuk membunuh bakteri dan menghentikan produksi toksin. Penisilin prokain 25.000 - 50.000 U/kgBB/hari (maksimum 1,2 juta U/hari) selama 14 hari. Bila terdapat riwayat hipersensitivitas penisilin diberikan eritromisin 40 mg/kgBB/hari (maksimum 2 g/hari) dibagi 4 dosis, interval 6 jam selama 14 hari.

37 |

3. Kortikosteroid Kortikosteroid diberikan untuk kasus difteri yang disertai dengan gejala obstruksi saluran napas bagian atas (dapat disertai atau tidak bullneck) dan bila terdapat penyulit miokarditis. Prednison 2 mg/kgBB/hari selam 2 minggu kemudian diturunkan bertahap 4. Trakeostomi Bila tampak kegelisahan, iritabilitas serta gangguan pernapasan yang progresif merupakan indikasi tindakan trakeostomi. 5. Pengobatan kontak Kontak erat adalah orang serumah atau orang lain yang memiliki kontak erat satu rumah, guru, petugas kesehatan yang terpapar dengan sekret nasofaring, orang-orang yang menggunakan perangkat masak atau makan minum yang sama dan pengasuh anak yang terinfeksi. Pada orang yang mengalami kontak tanpa memandang status imunisasi seyogyanya diimunisasi sampai hal-hal berikut dilakukan yaitu (a) Biakan hidung dan tenggorok (b) Semua kontak dipantau apakah timbul gejala selama masa inkubasi, 7 sampai 14 hari (c) Anak yang telah mendapat imunisasi dasar diberikan booster toksoid difteri, yang belum diimunisasi segera melengkapi imunisasi. 6. Pengobatan karier Karier adalah mereka yang tidak menunjukkan keluhan tanda dan gejala difteri, tetapi pada kultur swab tenggorok ditemukan basil difteri dalam nasofaringnya. Pengobatan untuk karier adalah benzatin penisilin G 600.000 unit untuk anak <30 kg dan 1,2 juta unit untuk anak > 30 kg, atau eritromisin 40-50 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis selama 7 hari, maksimum (1 gram/hari). Pemantauan dilakukan sampai ada hasil kultur, jika masih positif, antibiotik diberikan lebih lama.

38 |

III.11 PENCEGAHAN

1. Isolasi Penderita Penderita difteria harus di isolasi dan baru dapat dipulangkan setelah pemeriksaan

sediaan

langsung

menunjukkan

tidak

terdapat

lagi

Corynebacterium Diphtheriae (1,2,6)

2.Imunisasi Imunisasi adalah cara terbaik untuk mencegah difteri. Vaksin difteri umumnya dikombinasikan dengan vaksin tetanus dan pertusis. Ada empat jenis kombinasi vaksin difteri, tetanus dan pertusis : DTaP, Tdap, DT, dan Td. DT tidak mengandung pertusis, dan digunakan sebagai pengganti DTaP untuk anak-anak yang tidak dapat mentoleransi vaksin pertusis. Td adalah vaksin tetanus-difteri yang diberikan kepada remaja dan orang dewasa sebagai booster setiap 10 tahun, atau bila terpapar tetanus dalam kondisi tertentu.

Tdap mirip dengan Td tetapi juga mengandung perlindungan

terhadap pertusis. (10,11) Imunisasi DTaP untuk bayi dan anak-anak umumnya lima kali umumnya diberikan pada 2, 4, dan 6 bulan, dengan dosis keempat yang diberikan antara 15-18 bulan, dan dosis kelima pada usia 4-6 tahun. Karena kekebalan terhadap difteri berkurang seiring dengan waktu, maka pemberian booster dianjurkan.(10,11,18)

.

39 |

III.12 Komplikasi Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah miokarditis. Biasanya jelas didapatkan pada hari ke 10 – 14 tetapi dapat dijumpai sepanjang minggu 1 – 6, biarpun setelah gejala tonsillitis menghilang. Risiko cardiac toxicity terkait dengan derajat tonsillitis sendiri. Kelainan EKG yang tidak signifikan ditemukan pada 20 – 30% pasien, tetapi disosiasi atrioventrikular, complete heart block, dan aritmia ventricular bisa terjadi dan biasa diasosiasi dengan tingkat kematian yang tinggi. Gagal jantung juga bisa terjadi.(1,2) Toksisitas system saraf bisa terjadi pada pasien dengan kasus tonsillitis difteria berat2. Toksin difteri mengakibatkan demyelinating polyneuropathy yang mengenai saraf cranial dan perifer. Kesan toksin biasanya bermula pada minggu 1 infeksi dengan kehilangan akomodasi ocular dan bulbar palsy, mengakibatkan disfagia serta regurgitasi nasal. Bisa juga didapatkan suara parau dan kelumpuhan otot pernafasan. Neuropati perifer pula terlihat sepanjang minggu 3 – 6. Neuropati terjadi secara motorik dan sensorik, walaupun symptom motorik lebih dominan. Resolusi terjadi dalam masa beberapa minggu (2,3,4) Komplikasi yang paling berat melibatkan penutupan jalan nafas oleh pseudomembran yang mengakibatkan gejala sumbatan. Semakin muda usia pasien makin cepat pula timbul komplikasi ini. Selain itu bisa timbul gejala albuminuria sebagai akibat komplikasi ke ginjal yang menyebabkan nefritis. (4,6,21)

III.13. Prognosis Prognosis tergantung kepada 

Virulensi kuman



Lokasi dan perluasan membrane



Kecepatan terapi



Status kekebalan

40 |



Umur penderita,karena makin muda umur anak prognosis makin buruk.



Keadaan umum penderita,misalnya prognosisnya kurang baik pada penderita gizi kurang



Ada atau tidaknya komplikasi

Secara umum, pasien dengan tonsillitis difteri tanpa komplikasi yang berespon baik terhadap pengobatan memiliki prognosis yang baik. Penyembuhan bisa mengambil masa yang lama dan kadar kematian adalah 5 – 10% bagi semua kasus difteri respiratorik. (5,20,21)

41 |

BAB IV KESIMPULAN Difteri merupakan penyakit yang harus di diagnosa dan di terapi dengan segera, oleh karena itu bayi-bayi diwajibkan di vaksinasi. Dan ini telah terbukti dalam mengurangi insidensi penyakit tersebut, walaupun difteri sudah jarang di berbagai tempat di dunia tetapi kadang-kadang masih ada yang terkena penyakit ini. Penyebab dari penyakit difteri ini adalah C diphtheriae yang merupakan kuman gram (+), ireguler,tidak bergerak, tidak berspora, bersifat leomorfik dan memperlihatkan bentuk seperti tulisan China.Masa inkubasi kuman ini 2-5 hari, dengan gejala klinis berupa sakit tenggorokan ringan, panas badan 38,9ºC. Penyakit ini diklasifikasikan menurut lokasi membran yaitu difteri nasal, difteri tonsil dan faring, difteri laring, difteri kulit, difteri vulvovaginal, difteri konjungtiva, dan difteri telinga, akan tetapi yang paling terseringa adalah difteri tonsil faring. Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian antitoksin sangat mempengaruhi prognosa penderita. Diagnosa pasti dari penyakit ini adalah isolasi C. Diphtheriae dengan bahan pemeriksaan membran bagian dalam (kultur). Dasar dari therapi ini adalah menetralisir toksin bebas dan eradikasi C. diphtheriae dengan isolasi, antibiotik dan ADS. Antibiotok penisilin dan eritromisin sangat efektif untuk kebanyakan strain C. diphtheriae. Prognosis umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan penyebaran membran, status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis, dan perawatan umum.

42 |

Pencegahan secara umum dilakukan dengan menjaga kebersihan dan memberi pengetahuan tentang bahaya difteri bagi anak dan juga dengan pemberian imunisasi DPT 0,5 mL intramuscular untuk anak kurang dari 7 tahun dan pemberian DT 0,5 mL intramuscular untuk anak lebih dari 7 tahun.

43 |

BAB V Daftar Pustaka

1.

Tonsil.

Available

at

http://www.vbook.pub.com/doc/58952076/Tonsil.

Accesed

at

November, 25 2017. 2.

Tonsil.

Availabe

at

http://www.vbook.pub.com/doc/38304135/Referat-Tonsil-It-IsKronis-Rendy. Accesed at November, 25 2017. 3.

Tonsil.

Available

at

http://www.vbook.pub.com/doc/47784138/TONSIL.

Accesed

at

November, 25 2017. 4.

Tifus,

Tonsilitis,

dan

Difteri.

Available

at

:

http://www.vbook.pub.com/doc/92802818/TIPUS-TONSILITISDIFTERI. Accesed at November, 25 2017. 5.

Difteria.

Availabe

at

:

http://www.blogdokter.net/2007/09/30/difteri-difteria/. Accesed at November, 25 2017 6.

Difteriae.

Available

at

http://referensikedokteran.blogspot.com/2010/07/referatdifteri_18.html. Accesed at November, 25 2017. 7.

Kumar V, Abbas AK, Fausto N, Mitchell R. Basic of Pathology. 8ed. Elsevier.United Kingdom:2008

8.

Demirci CS, Abuhammour W. Pediatric Diphhteria. Available at :

http://emedicine.medscape.com/article/963334-

overview#showall. Accesed at November, 25 2017. 9.

The Histopathology of Tonsilitis Diphtheria. Available at : http://www.histopathology-india.net/Dipth.htm.

Accesed

at

November, 25 2017. 10.

CDC.DiphtheriaEpidemiology and Prevention of VaccinePreventable

44 |

Diseases.Edisi

12.2011,diakses

dari

http://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/dip.html.

Accesed

at November, 25 2017. 11.

CDC.Diphtheria.Edisi

5.2011,

diakses

dari

http://www.cdc.gov/vaccines/pubs/surv-manual/chpt01-dip.html. Accesed at November, 25 2017. 12.

Zieve

D,

Kaneshiro

NK.

Diphtheria.

Available

http://www.umm.edu/ency/article/001608trt.htm.

at:

Accessed

November 25th 2017. 13.

Dale DC. Infections Due to Gram Positive Bacilli. In: In Infectious Diseases: The Clinician's Guide to Diagnosis, Treatment, and Prevention. 16th ed. WebMD Corporation; 2007.

14.

Guy AM. Diphtheria in Emergency Medicine Medication. Available

at:

http://emedicine.medscape.com/article/782051-

medication#1. Accessed November 25th 2017. 15.

Demirci CS. Pediatric Diphtheria Treatment & Management. Available

at:

http://emedicine.medscape.com/article/963334-

treatment#showall. Accessed November 25th 2017. 16.

Rusmarjono, Efiaty AS. Faringitis,tonsillitis dan hipertrofi adenoid. Dalam : Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Editor : Afiaty AS,Iskandar N,Bashiruddin J, Restuti RD. Edisi ke-6. Jakarta : Balai Penerbit FK UI.2008; hal 221-222.

17.

Egyptian Company for Production. Diphtheria Anti-Toxin Serum (Equine).

Available

at:

http://www.egyvac.com/egyproducts/Diphtheria%20AntiToxin.htm. Accessed November 25th 2017. 18.

Biofarma.

Serum

Anti

http://www.biofarma.co.id/index.

Difteri.

Available

at:

php/detil/items/serum-anti-

diptheri.html. Accessed November 25th 2017. 19.

RxMed The Comprehensive Resource for Physician, Drugs and Ilness Information. Diphtheria Antitoxin (Equine). Available at: http://www.rxmed.com/b.main/b2.

45 |

pharmaceutical/b2.1.monographs/CPS-%20Monographs/CPS%20%28General%20

Monographs-

%20D%29/Diphtheria%20Antitoxin.html. Accessed November 25th 2017. 20.

American Academy of Pediatrics. Red book: 2006 Report of the Commitee on Infectious Diseases. 27th ed. American Academy of Pediatrics; 2006.

21.

Doerr

S.

Diphtheria.

http://www.emedicinehealth.com

Available

at:

/diphtheria/page9_em.htm.

Accessed November 25th 2017. 22.

Centers for Disease Control and Prevention. Diphtheria, Tetanus, and

Pertussis

Vaccines.

Available

http://www.cdc.gov/vaccines/vpd-vac/diphtheria/ default.htm#vacc. Accesed November 25th 2017.

46 |

at:

Related Documents

Laporan Kasus Difteri
January 2021 3
Laporan Kasus Difteri
January 2021 1
Laporan Kasus
February 2021 1
Laporan Kasus Glaukoma
February 2021 1
Laporan Kasus Forensik
February 2021 1

More Documents from "Brian Depamede"