Lp Edema Paru

  • Uploaded by: MuhammadNoorIfansyah
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Lp Edema Paru as PDF for free.

More details

  • Words: 3,328
  • Pages: 20
Loading documents preview...
LAPORAN PENDAHULUAN EDEMA PARU KARDIOGENIK A. PENGERTIAN Edema Paru Kardiogenik adalah edema paru yang disebabkan oleh meningkatnya

tekanan hidrostatik

meningkatnya

tekanan

vena

kapiler

yang

pulmonalis.

disebabkan karena

Edema

Paru

Kardiogenik

menunjukkan adanya akumulasi cairan yang rendah protein di interstisial paru dan alveoli ketika vena pulmonalis dan aliran balik vena di atrium kiri melebihi keluaran ventrikel kiri. B. Etiologi dan Patofi siologi Edema paru kardiogenik atau edema volume overload terjadi karena peningkatan tekanan hidrostatik dalam kapiler paru yang menyebabkan peningkatan filtrasi cairan transvaskular. Ketika tekanan interstitial paru lebih besar daripada tekanan pleural maka cairan bergerak menuju pleura visceralis yang menyebabkan efusi pleura. Sejak permeabilitas kapiler endothel tetap normal, maka cairan edema yang meninggalkan sirkulasi memiliki kandungan protein yang rendah. Peningkatan tekanan hidrostatik di kapiler pulmonal biasanya berhubungan dengan peningkatan tekanan vena pulmonal akibat peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri dan tekanan atrium kiri. Peningkatan ringan tekanan atrium kiri (18 – 25 mmHg) menyebabkan edema di perimikrovaskuler dan ruang intersisial peribronkovaskular. Jika tekanan atrium kiri meningkat lebih tinggi (>25) maka cairan edema akan menembus epitel paru, membanjiri alveolus (gambar 2.4B). Kejadian tersebut akan menimbulkan lingkaran setan yang terus memburuk oleh proses sebagai berikut (Lorraine et al, 2005; Maria, 2010) : 1. Meningkatnya

kongesti

paru akan

menyebabkan

desaturasi,

menurunnya pasokan oksigen miokard dan akhirnya semakin memburuknya fungsi jantung. 2. Hipoksemia dan meningkatnya

cairan

di

paru

menimbulkan

vasokonstriksi pulmonal sehingga meningkatkan tekanan ventrikel kanan. Peningkatan tekanan ventrikel kanan melalui mekanime

interdependensi

ventrikel

ventrikel kiri. 3. Insufisiensi sirkulasi

akan

akan

semakin

menyebabkan

menurunkan asidosis

fungsi

sehingga

memperburuk fungsi jantung. Penghapusan cairan edema dari ruang udara paru tergantung pada transpor aktif natrium dan klorida melintasi barier epitel alveolar. Bagian utama reabsorbsi natrium dan klorida adalah ion channelsepitel yang terdapat pada membran apikal sel epitel alveolar tipe I dan II serta epitel saluran nafas distal. Natrium secara aktif ditranspor keluar ke ruang interstitial dengan cara Na/ K-ATPase yang terletak pada membran basolateral

sel

tipe

II.

Air

secara

pasif

mengikuti,

kemungkinan

melalui aquaporins yang merupakan saluran air yang ditemukan terutama pada epitel alveolar sel tipe I (Lorraine et al, 2005).

Gambar Patofisiologi Edema Paru (dikutip dari Lorraine et al, 2005) Edema paru akut kardiogenik ini merupakan bagian dari spektrum klinis Acute Heart Failure Syndrome (AHFS). AHFS didefinisikan sebagai munculnya gejala dan tanda secara akut yang merupakan sekunder dari fungsi jantung yang tidak normal (Maria, 2010).

Secara patofisilogi edema paru kardiogenik ditandai dengan transudasi cairan

dengan

kandungan

protein

yang

rendah

ke

paru

akibat terjadinya peningkatan tekanan di atrium kiri dan sebagian kapiler paru. Transudasi ini terjadi tanpa perubahan pada permiabilitas atau integritas dari membran alveoli-kapiler dan hasil akhir yang terjadi adalah penurunan kemampuan difusi, hiposemia dan sesak nafas (Harun dan Sally, 2009). Seringkali keadaan ini berlangsung dengan derajat yang berbedabeda. Dikatakan pada stage 1 distensi dan keterlibatan pembuluh darah kecil

di

paru

akibat

peningkatan

tekanan

di

atrium

kiri,

dapat

memperbaiki pertukaran udara diparu dan meningkatkan kemampuan difusi dari gas karbon monoksida. Pada keadaan ini akan terjadi sesak nafas saat melakukan aktivitas fisik dan disertai ronkhi inspirasi akibat terbukanya saluran nafas yang tertutup (Harun dan Sally, 2009). Apabila keadaan berlanjut hingga derajat berikutnya atau stage 2, edema interstitial diakibatkan peningkatan cairan pada daerah interstitial yang longgar dengan jaringan perivaskular dari pembuluh darah besar, hal ini akan mengakibatkan hilangnya gambaran paru yang normal secara radiografik dan petanda septum interlobuler (garis Kerley B). Pada derajat ini akan terjadi kompetisi untuk memperebutkan tempat antara pembuluh darah, saluran nafas dan peningkatan jumlah cairan didaerah di interstitium yang longgar tersebut, dan akan terjadi pengisian di lumen saluran nafas yang kecil yang menimbulkan refleks bronkokonstriksi. Ketidakseimbangan antara ventilasi dan perfusi akan mengakibatkan terjadinya hipoksemia yang berhubungan dengan ventilasi yang semakin memburuk. Pada keadaan infark miokard akut misalnya, beratnya hipoksemia berhubungan dengan tingkat peningkatan tekanan baji kapiler paru. Sehingga seringkali ditemukan manifestasi klinis takipnea (Harun dan Sally, 2009). Pada proses yang terus berlanjut atau meningkat menjadi stage 3 dari edema paru tesebut, proses pertukaran gas sudah menjadi abnormal, dengan hipoksemia yang berat dan seringkali hipokapnea. Alveolar yang sudah terisi cairan ini terjadi akibat sebagian besar saluran nafas yang

besar terisi cairan berbusa dan mengandung darah, yang seringkali dibatukkan keluar oleh si pasien. Secara keseluruhan kapasitas vital dan volume paru semakin berkurang di bawah normal. Terjadi pirai dari kanan ke kiri pada intrapulmonal akibat perfusi dari alveoli yang telah terisi cairan. Walaupun hipokapnea yang terjadi pada awalnya, tetapi apabila keadaan semakin memburuk maka dapat terjadi hiperkapnea dengan asidosis respiratorik akut apalagi bila pasien sebelumnya telah menderita penyakit paru obstruktif kronik. Dalam hal ini terapi morfin yang telah diketahui

memiliki

efek

depresi

pada

pernafasan,

apabila

akan

dipergunakan harus dengan pemantau yang ketat (Harun dan Sally, 2009). Edema

paru

kardiogenik

disebabkan

oleh

peningkatan

tekanan

hidrostatik maka sebaliknya edema paru nonkardiogenik disebabkan oleh peningkatan permeabilitas pembuluh darah paru yang menyebabkan meningkatnya cairan dan protein masuk ke dalam intersisial paru dan alveolus (Gambar 2.4C). Cairan edema paru nonkardiogenik memiliki kadar protein tinggi karena membran pembuluh darah lebih permeabel untuk dilewati oleh molekul besar seperti protein plasma. Banyaknya cairan edema tergantung pada luasnya edema interstitial, ada atau tidak adanya cidera pada epitel alveolar dan kemampuan dari epitel alveolar untuk secara aktif mengeluarkan cairan edema alveolar. Edema paru akibatacute lung injury dimana terjadi cedera epitel alveolar yang menyebabkan

penurunan

kemampuan

alveolar (Lorraine et al, 2005; Maria, 2010).

untuk

menghilangkan

cairan

Manifestasi klinis Edema Paru secara spesifik juga dibagi dalam 3 stadium: Stadium 1.

Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan memperbaiki pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi gas CO. Keluhan pada stadium ini mungkin hanya berupa adanya sesak napas saat bekerja. Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan kelainan, kecuali mungkin adanya ronkhi pada saat inspirasi karena terbukanya saluran napas yang tertutup pada saat inspirasi. Stadium 2. Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial.Batas pembuluh darah paru menjadi kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa interlobularis menebal (garis Kerley B). Adanya penumpukan cairan di jaringan kendor inter-sisial, akan lebih memperkecil saluran napas kecil, terutama di daerah basal oleh karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi refleks bronkhokonstriksi.Sering terdapat takhipnea.Meskipun hal ini merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel kiri, tetapi takhipnea juga membantu memompa aliran limfe sehingga penumpukan cairan intersisial diperlambat.Pada pemeriksaan spirometri hanya terdapat sedikit perubahan saja. Stadium 3. Pada stadium ini terjadi edema alveolar.Pertukaran gas sangat terganggu, terjadi hipoksemia dan hipokapnia.Penderita nampak sesak sekali dengan batuk berbuih kemerahan. Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun dengan nyata. Terjadi right-to-left intrapulmonary shunt.Penderita biasanya menderita hipokapnia, tetapi pada kasus yang berat dapat terjadi hiperkapnia dan acute respiratory acidemia.Pada keadaan ini morphin hams digunakan dengan hati-hati (Ingram and Braunwald, 1988). Edema Paru yang terjadi setelah Infark Miokard Akut biasanya akibat hipertensi kapiler paru. Kadang kadang penderita dengan Infark Miokard Akut dan edema paru, tekanan kapiler pasak parunya normal; hal ini mungkin disebabkan lambatnya pembersihan cairan edema secara radiografi meskipun tekanan kapiler paru sudah turun atau kemungkinan lain pada beberapa penderita terjadi peningkatan permeabilitas alveolar-kapiler paru sekunder oleh karena adanya isi sekuncup yang rendah seperti pada cardiogenic shock lung. C. Diagnosis Tampilan

klinis

edema

paru

kardiogenik

dan

nonkardiogenik

mempunyai beberapa kemiripan. 1. Anamnesis Anamnesis dapat menjadi petunjuk ke arah kausa edema paru, misalnya adanya riwayat sakit jantung, riwayat adanya gejala yang sesuai dengan gagal jantung kronis. Edema paru akut kardiak, kejadiannya sangat cepat dan terjadi hipertensi pada kapiler paru secara

ekstrim.

Keadaan

ini

merupakan

pengalaman

yang

menakutkan bagi pasien karena mereka batuk-batuk dan seperti seseorang yang akan tenggelam (Harun dan Sally, 2009; Maria, 2010).

2. Pemeriksaan fisik Terdapat takipnea, ortopnea (manifestasi lanjutan). Takikardia, hipotensi atau tekanan darah bisa meningkat. Pasien biasanya dalam posisi duduk agar dapat mempergunakan otot-otot bantu nafas dengan lebih baik saat respirasi atau sedikit membungkuk ke depan, akan terlihat retraksi inspirasi pada sela interkostal dan fossa supraklavikula yang menunjukkan tekanan negatif intrapleural yang besar dibutuhkan pada saat inspirasi, batuk dengan sputum yang berwarna kemerahan (pink frothy sputum) serta JVP meningkat. Pada pemeriksaan paru akan terdengar ronki basah setengah lapangan paru atau lebih dan terdapat wheezing. Pemeriksaan jantung dapat ditemukan gallop, bunyi jantung 3 dan 4. Terdapat juga edema perifer, akral dingin dengan sianosis (Harun dan Sally, 2009; Maria, 2010). 3. Laboratorium Pemeriksaan

laboratorium

yang

relevan

diperlukan

untuk

mengkaji etiologi edema paru. Pemeriksaan tersebut diantaranya pemeriksaan hematologi / darah rutin, fungsi ginjal, elektrolit, kadar protein, urinalisa, analisa gas darah, enzim jantung (CK-MB, troponin I) dan Brain Natriuretic Peptide(BNP). BNP dan prekursornya Pro BNP dapat digunakan sebagai rapid test untuk menilai edema paru kardiogenik

pada

berhubungan ventricular

kondisi

gawat

dengan pulmonary

end-diastolic pressure

darurat. artery dan left

Kadar

BNP

plasma

occlusion pressure, left ventricular

ejection

fraction. Khususnya pada pasien gagal jantung, kadar pro BNP sebesar 100pg/ml akurat sebagai prediktor gagal jantung pada pasien dengan efusi pleura dengan sensitifitas 91% dan spesifisitas 93% (Lorraine et al, 2005; Maria, 2010). Richard dkk melaporkan bahwa nilai BNP dan Pro BNP berkorelasi dengan LV filling Pressure (Pasquate et al, 2004). Pemeriksaan BNP ini menjadi salah satu test diagnosis rutin untuk menegakkan gagal jantung kronis berdasarkan pedoman diagnosis dan terapi gagal jantung kronik Eropa dan

Amerika. Bukti penelitian menunjukkan bahwa Pro BNP/BNP memiliki nilai prediksi negatif dalam menyingkirkan gagal jantung dari penyakit lainnya (AHA, 2009). 4. Radiologis Pada foto thorax menunjukkan jantung membesar, hilus yang melebar, pedikel vaskuler dan vena azygos yang melebar serta sebagai tambahan adanya garis kerley A, B dan C akibat edema interstisial atau alveolar seperti pada gambaran ilustrasi 2.5 (Cremers et al, 2010; Harun dan Sally, 2009). Lebar pedikel vaskuler < 60 mm pada foto thorax Postero-Anterior terlihat pada 90% foto thorax normal dan lebar pedikel vaskuler > 85 mm ditemukan 80% pada kasus edema paru. Sedangkan vena azygos dengan diameter > 7 mm dicurigai adanya kelainan dan dengan diameter > 10mm sudah pasti terdapat kelainan, namun pada posisi foto thorax terlentang

dikatakan

abnormal

jika

diameternya

>

15

mm.

Peningkatan diameter vena azygos > 3 mm jika dibandingkan dengan foto thorax sebelumnya terkesan menggambarkan adanya overload cairan (Koga dan Fujimoto, 2009). Garis kerley A (gambar 2.6) merupakan garis linear panjang yang membentang dari perifer menuju hilus yang disebabkan oleh distensi saluran anastomose antara limfatik perifer dengan sentral. Garis kerley B terlihat sebagai garis pendek dengan arah horizontal 1-2

cm

yang

terletak

dekat

sudut

kostofrenikus

yang

menggambarkan adanya edema septum interlobular. Garis kerley C berupa garis pendek, bercabang pada lobus inferior namun perlu pengalaman untuk melihatnya karena terlihat hampir sama dengan pembuluh darah (Koga dan Fujimoto, 2009). Gambaran foto thorax dapat dipakai untuk membedakan edema paru kardiogenik dan edema paru non kardiogenik. Walaupun tetap ada keterbatasan yaitu antara lain bahwa edema tidak akan tampak secara radiologi sampai jumlah air di paru meningkat 30%. Beberapa masalah tehnik juga dapat mengurangi sensitivitas dan

spesifisitas rontgent paru, seperti rotasi, inspirasi, ventilator, posisi pasien dan posisi film (Lorraine et al, 2005; Maria, 2010).

Tabel Beda Gambaran Radiologi Edema Paru Kardiogenik dan Non Kardiogenik (dikutip dari Lorraine et al, 2005) NO

Gambaran

Edema

Edema Non

. 1

Radiologi Ukuran Jantung

Kardiogenik Normal atau

Kardiogenik Biasanya

2

Lebar pedikel

membesar Normal atau

Normal Biasanya normal

3

Vaskuler Distribusi

melebar Seimbang

Normal/seimban

4

Vaskuler Distribusi Edema

rata / Sentral

g Patchy

atau

Ada

perifer Biasanya

tidak

Ada

ada Biasanya tidak

Ada

ada Biasanya tidak

Tidak selalu ada

ada Selalu ada

5

Efusi pleura

6

Penebalan

7

Peribronkial Garis septal

8

Air bronchogram

Gambar Ilustrasi Radiologi Edema Paru Akut Kardiogenik (dikutip dari Cremers et al, 2010)

Gambar

Gambaran

Radiologi

Edema

Paru

Akut

Kardiogenik

(dikutip dari Koga dan Fujimoto, 2009) 5. Ekokardiografi Pemeriksaan

ini

merupakan gold

standard untuk

mendeteksi

disfungsi ventrikel kiri. Ekokardiografi dapat mengevalusi fungsi miokard

dan

fungsi

katup

sehingga

dapat

dipakai

dalam

mendiagnosis penyebab edema paru (Maria, 2010). 6. EKG Pemeriksaan EKG bisa normal atau seringkali didapatkan tandatanda iskemia atau infark miokard akut dengan edema paru. Pasien dengan krisis hipertensi gambaran ekg biasanya menunjukkan gambaran hipertrofi ventrikel kiri. Pasien dengan edema paru kardiogenik

tetapi

yang

non

iskemik

biasanya

menunjukkan

gambaran gelombang T negatif yang lebar dengan QT memanjang yang khas, dimana akan membaik dalam 24 jam setelah klinis stabil dan menghilang dalam 1 minggu. Penyebab dari non iskemik ini

belum diketahui tetapi beberapa keadaan yang dikatakan dapat menjadi penyebab, antara lain: iskemia sub-endokardial yang berhubungan

dengan

peningkatan

tekanan

pada

dinding,

peningkatan akut dari tonus simpatis kardiak atau peningkatan elektrikal akibat perubahan metabolik atau ketokolamin (Harun dan Sally, 2009). 7. Kateterisasi pulmonal Pengukuran tekanan baji pulmonal (Pulmonary artery occlusion pressure /

PAOP)

dianggap

sebagai

pemeriksaan gold

standard untuk menentukan penyebab edema paru akut. Lorraine dkk

mengusulkan

suatu

algoritma

pendekatan

klinis

untuk

membedakan kedua jenis edema tersebut (Gambar 2.7). Disamping itu, ada sekitar 10% pasien dengan edema paru akut dengan penyebab multipel. Sebagai contoh, pasien syok sepsis dengan ALI, dapat

mengalami

kelebihan

cairan

karena

resusitasi

yang

berlebihan. Begitu juga sebaliknya, pasien dengan gagal jantung kongesti dapat mengalami ALI karena pneumonia (Lorraine et al, 2005; Maria, 2010).

Gambar Algoritma untuk Differensiasi Klinis Antara Edema Paru Kardiogenik dan Non Kardiogenik(dikutip dari Lorraine et al, 2005)

D. Penatalaksanaan

Gambar

Algoritma

Penatalaksanaan

Kardiogenik (dikutip dari ESC, 2012)

Edema

Paru

Akut

Keterangan: 1.

Pada pasien yang telah mendapatkan pengobatan diuretik, dosis yang direkomendasikan sebesar 2,5x dari dosis oral yang biasanya

2.

diberikan. Dapat dulang jika diperlukan. O2 saturasi dengan pulse oximeter

<90

font="font"

nbsp="nbsp">atau PaO2 <60 dapat="dapat" diberikan="diberikan" hipoksemia="hipoksemia" mmhg="mmhg"

kpa="kpa"

oksigen="oksigen"

mengobati="mengobati" po="po"

span="span"

untuk="untuk">2 < 90%), yang terkait dengan peningkatan risiko mortalitas jangka pendek. Oksigen tidak boleh digunakan secara rutin

pada

pasien

non-hipoksemia

karena

menyebabkan

3.

vasokonstriksi dan penurunan curah jantung Biasanya dimulai dengan O2 40–60%, dititrasi sampai SpO2 >90%;

4.

hati-hati pada pasien yang mempunyai resiko retensi CO2. Contoh, pemberian morfin 4–8 mg ditambah metocloperamide 10 mg; obeservasi adanya depresi pernafasan, dapat diulang jika

5.

diperlukan. Akral dingin, tekanan darah rendah, produksi urine yang sedikit,

6.

bingung/kesadaran menurun, iskemia miokardial. Contoh, mulai pemberian infus dobutamine 2.5 μg/kg/menit, dosis dinaikkan 2x lipat tiap 15 menit tergantung respon (titrasi dosis dibatasi jika terdapat takikardia, aritmia atau iskemia). Dosis >20 μg/kg/menit jarang sekali diperlukan. Bahkan dobutamine mungkin memiliki aktivitas vasodilator ringan sebagai akibat dari stimulasi

7.

beta-2 adrenoseptor. Pasien harus diobservasi ketat secara reguler (gejala, denyut dan ritme jantung, SpO2, tekanan darah sistolik, produksi urine) sampai

8.

stabil dan pulih. Contoh, mulai pemberian infus NGT 10 μg/menit dan dosis dinaikkan 2x lipat tiap 10 menit tergantung respon (biasanya titrasi naiknya dosis dibatasi oleh hipotensi). Dosis >100 μg/min jarang

9.

sekali dipelukan. Respon yang adekuat ditandai dengan berkurangnya dypsnea, diuresis yang adekuat (produksi urine >100 mL/jam dalam 2 jam pertama), peningkatan saturasi O2 (jika hipoksemia) dan biasanya

terjadi penurunan denyut jantung dan frekuensi pernafasan yang seharusnya terjadi dalam 1-2 jam pertama. Aliran darah perifer juga dapat meningkatkan seperti yang ditandai oleh penurunan vasokonstriksi kulit, peningkatan suhu kulit, dan perbaikan dalam warna kulit. Serta adanya penurunan ronkhi. 10. Setelah pasien nyaman dan diuresis yang stabil telah dicapai, ganti terapi iv dengan pengobatan diuretik oral. 11. Menilai gejala yang relevan dengan

HF

(dyspnea,

ortopnea, paroxysmal nocturnal dyspnoea), komorbiditas (misalnya nyeri dada akibat iskemia miokard), dan efek samping pengobatan (misalnya

simptomatik

hipotensi).

Menilai

tanda-tanda

kongesti/edema perifer dan paru, denyut dan irama jantung, tekanan darah, perfusi perifer, frekuensi pernapasan, serta usaha pernapasan. EKG (ritme / iskemia dan infark) dan kimia darah / hematologi (anemia, gangguan elektrolit, gagal ginjal) juga harus diperiksa. Pulse oximetry (atau pengukuran gas darah arteri) harus diperiksa dan diperiksakan ekokardiografi jika belum dilakukan. 12. Produksi urine < 100 mL/jam dalam 1–2 jam pertama adalah respon awal pemberian diuretik iv yang tidak adekuat (dikonfirmasi melalui kateter urine). 13. Pada pasien dengan tekanan darah masih rendah / shock, dipertimbangkan diagnosis alternatif (emboli paru misalnya), masalah mekanis akut, dan penyakit katup yang berat (terutama stenosis aorta). Kateterisasi arteri paru dapat mengidentifikasi pasien dengan tekanan pengisian ventrikel kiri yang tidak adekuat ( lebih tepat dalam menyesuaikan terapi vasoaktif). 14. Balon pompa intra aorta atau dukungan sirkulasi mekanik lainnya harus

dipertimbangkan

pada

pasien

yang

tidak

terdapat

kontraindikasi. 15. CPAP or NIPPV harus dipertimbangkan pada pasien yang tidak terdapat kontraindikasi. Ventilasi non-invasif continuous positive airway pressure (CPAP) dan non-invasive intermittent positive pressure ventilation (NIPPV) mengurangi dyspnea dan meningkatkan nilai fisiologis tertentu (misalnya saturasi oksigen) pada pasien dengan edema paru akut.

Namun, penelitian RCT(Randomized controled trial) besar yang terbaru menunjukkan bahwa ventilsasi non-invasif atau invasif tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap penurunan angka kematian bila dibandingkan dengan terapi standar, termasuk nitrat (dalam 90% dari pasien) dan opiat (di 51% dari pasien). Hasil ini berbeda dengan penelitian dari metaanalisis sebelumnya dengan studi yang lebih kecil. Ventilasi Non-invasif dapat digunakan sebagai terapi tambahan untuk meringankan gejala pada pasien dengan edema paru dan gangguan pernapasan parah atau pada pasien

yang

farmakologis.

kondisinya

gagal

Kontraindikasi

untuk

membaik

dengan

terapi

penggunaan ventilasi

non

invasif meliputi hipotensi, muntah, kemungkinan pneumotoraks, dan depressed consciousness. 16. Dipertimbangkan

untuk

dilakukan

pemasangan

intubasi

endotrakeal dan ventilasi invasif jika hipoksemia memburuk, gagal upaya

pernapasan,

meningkatnya

kebingungan

/

penurunan

tingkat kesadaran , dll 17. Meningkatkan dosis loop diuretik hingga setara dengan furosemide 500 mg (≥ dosis 250 mg harus diberikan melalui infus lebih dari 4 jam). 18. Jika tidak ada respon terhadap penggandaan dosis diuretik meskipun

tekanan

pengisian

ventrikel

kiri

adekuat

(baik

disimpulkan atau diukur secara langsung) maka mulai infus dopamin 2,5 μg / kg / menit. Dosis yang lebih tinggi tidak dianjurkan untuk meningkatkan diuresis. 19. Jika langkah 17 dan 18 tidak menghasilkan diuresis yang adekuat dan pasien tetap terjadi edema paru maka ultrafiltrasi terisolasi venovenous harus dipertimbangkan. Tabel

Rekomendasi

Penatalaksanaan

Kardiogenik (dikutip dari ESC, 2012)

Edema

Paru

Akut

DAFTAR PUSTAKA

1.

AHA. 2009 Focused Update: ACCF/AHA Guidelines for the Diagnosis

and Management of Heart Failure in Adults. Circulation 2009, 119:19772016: 2.

Alasdair et

al. Noninvasive

Ventilation

In

Acute

Cardiogenic

Pulmonary Edema. N Engl J Med 2008;359:142-51. 3.

Cremers et al. 2010. Chest X-Ray Heart Failure. The Radiology

Assistant.

(Online).

Tersedia:Http://www.radiologyassistant.nl/en/p4c132f36513d4/ chest-xray-heart-failure.html. (24 November 2012) 4.

Daulat. Tatalaksana Gagal Jantung Akut. 2009. In: Sudoyo

AW,

Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th Ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p. 1515-1519 5.

Dickstein et al. The Task Force for the Diagnosis and Treatment of

Acute and Chronic Heart Failure 2008 of the European Society of Cardiology. Developed in Collaboration with the Heart Failure Association of the ESC (HFA) and Endorsed by the European Society of Intensive Care Medicine (ESICM). Eur J Heart Fail 2008;10:933–989. 6.

ESC. 2008. Guidelines for the Diagnosis and Treatment of Acute

and Chronic Heart Failure 2008. European Heart Journal (2008) 29, 2388– 2442 doi:10.1093/eurheartj/ehn309 7.

ESC. 2012. Guidelines for the Diagnosis and Treatment of Acute

and Chronic Heart Failure 2012. European Heart Journal (2012) 33, 1787– 1847 doi:10.1093/eurheartj/ehs104

8.

Gheorghiade Metal. Acute Heart Failure Syndromes: Current State

and Framework for Future Research. AHA 2005; 112; 3958-3968. 9.

Gray et al. Multicentre Randomised Controlled Trial of The Use of

Continuous Positive Airway Pressure and Non-Invasive Positive Pressure Ventilation in The Early Treatment of Patients Presenting to the Emergency Department with Severe Acute Cardiogenic Pulmonary Oedema: the 3CPO trial.Leeds.Health Technology Assessment 2009; Vol. 13: No. 33 10. Harun S dan Sally N. Edema Paru Akut. 2009. In: Sudoyo

AW,

Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku ajar ilmu penyakit dalam. 5th Ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p. 1651-1653 11. Koga dan Fujimoto. Kerley’s A, B and C Lines. NEJM. 360;15 nejm.org april 9, 2009 12. Lorraine et

al. Acute

Pulmonary

Edema. N

Engl

J

Med.

2005;353:2788-96. 13. Maria I. 2010. Penatalaksanaan Edema Paru pada Kasus VSD dan Sepsis VAP.Anestesia & Critical Care.Vol 28 No.2 Mei 2010.52 14. McCance KL. 2006. Structure and Function of The Cardiovascular and Lymphatic Systems. In: McCance KL, Huether SE. Pathophysiology: The Biologic Basis for Disease in Adults and Children. USA: Elsevier Mosby; p. 1075. 15. Pasquate et al. Plasma surfactant B : A novel Biomarker in Chronic Heart Failure. Circulation 2004 : 110 : 1091-1096

16. Soemantri. 2011. Cardiogenic Pulmonary Edema. Naskah Lengkap PKB XXVI Ilmu Penyakit Dalam 2011. FKUNAIR-RSUD. DR Soetomo Surabaya, hal 113-19 17. Ursella et al. The Use of Non-Invasive Ventilation in The Treatment of Acute Cardiogenic Pulmonary Edema. European Review for Medical and Pharmacological Sciences. 2007; 11: 193-205 Email This

Related Documents

Lp Edema Paru
February 2021 0
Lp Edema Paru
February 2021 0
Lp Edema Paru
February 2021 0
Askep Edema Paru
February 2021 0
Lp Tb Paru
January 2021 1
Lp Tb Paru
January 2021 1

More Documents from "Aq Sheradika Bukan Shandika"

Lp Edema Paru
February 2021 0