Mekanisme Ketoksikan Xenobiotik

  • Uploaded by: maharany dinda
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Mekanisme Ketoksikan Xenobiotik as PDF for free.

More details

  • Words: 6,188
  • Pages: 21
Loading documents preview...
Tugas Farmakologi dan Toksikologi Mekanisme Ketoksikan dan Antidot Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Farmaologi dan Toksikologi

Dosen Pengampu : Ika Puspita Dewi., M.Biomed.,Apt

1. 2. 3. 4. 5. 6.

Disusun Oleh : Tazkiyatul fithriyah Chrisma enggar priyayi Dinda maharany Tiya novitasari Nuriyah Ridhowati Nurfarah A.B

172210101014 172210101065 172210101072 172210101074 172210101123 172210101134

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS JEMBER 2019

Merkuri Mekanisme reaksi : Pengaruh utama yang ditimbulkan oleh merkuri didalam tubuh adalah menghalangi kerja enzim dan merusak membran sel, keadaan itu disebabkan karena kemampuan merkuri dalam membentuk gugus yang mengandung belerang(s) yang terdapat dalam protein, enzim atau membrane sel. Keracunan yang bersumber dari senyawa merkuri biasanya melalui saluran pernapasan, disebabkan karena senyawa-senyawa alkil-merkuri mempunyai rantai pendek yang mudah menguap, yang masuk besama jalur pernapasan akan mengisi ruang-ruang dan organ pernapasan dan berkaitan dengan darah. Jenis dan bahaya merkuri terhadap kesehatan, yaitu : 1. Merkuri elemental (Hg) Uap merkuri yang terhirup paling sering menyebabkan keracunan, sedangkan unsur Merkuri yang tertelan ternyata tidak menyebabkan efek toksik karena absorpsinya yang rendah kecuali jika ada fistula atau penyakit inflamasi gastrointestinal atau jika merkuri tersimpan untuk waktu lama di saluran gastrointestinal. Merkuri yang masuk kedalam tubuh melalui Intravena dapat menyebabkan emboli paru. Karena bersifat larut dalam lemak, merkuri elemental ini mudah melalui sawar otak dan plasenta. Di otak ia akan berakumulasi di korteks cerebrum dan cerebellum dimana ia akan teroksidasi menjadi bentuk merkurik (Hg++ ) ion merkurik ini akan berikatan dengan sulfhidril dari protein enzim dan protein seluler sehingga menggangu fungsienzim dan transport sel. Pemanasan logam merkuri membentuk uap merkuri oksida yang bersifat korosif pada kulit, selaput mukosa mata, mulut, dan saluran pernafasan. 2. Merkuri inorganic Sering diabsorpsi melalui gastrointestinal, paru-paru dan kulit. Pemaparan dalam jangka pendek dengan kadar yang tinggi dapat menyebabkan gagal ginjal sedangkan pada pemaparan jangka panjang dengan dosis yang rendah dapat menyebabkan proteinuri, sindroma nefrotik dan nefropati yang berhubungan dengan gangguan imunologis. 3. Merkuri organic Merkuri organic terutama bentuk rantai pendek alkil (metil merkuri) dapat menimbulkan degenerasi neuron di korteks cerebri dan cerebellum dan mengakibatkan parestesi distal, ataksia, disartria, tuli dan penyempitan lapang pandang. Metil merkuri mudahpula melalui plasenta dan berakumulasi dalam fetus yang mengakibatkan kematian dalam kandungan dan cerebral palsy. Antidotum : Obat yang biasa diberikan dalam keracunan merkuri adalah dimercapol (BAL), DPENICILLAMINE atau succimer (DMSA). Untuk mengikat racun yang masih ada di dalam saluran pencernaan, pasien juga dapat diberikan arang aktif. Mekanisme Antidotum : mekanisme antidotum dari merkuri yaitu membentuk kompleks inert baik untuk antidotum BAL atau D-PENICILLAMINE. Karbon aktif akan menyerap racun di dalam saluran cerna.

Nikotin Mekanisme reaksi : Keracunan nikotin dapat terjadi bila cairan nikotin tertelan atau adanya kontak langsung dengan kulit. Uap dari rokok elektrik bisa menempel pada pakaian, karpet, dan kain lainnya. Hal ini dapat menyebabkan keracunan. Umumnya hal ini lebih sering terjadi pada anak-anak. Orang yang bekerja dengan produk berbasis nikotin, seperti pabrik rokok atau tembakau lebih rentan terhadap risiko ini. kandungan nikotin 30 sampai 60 miligram dapat menyebabkan kematian pada orang dewasa. Nikotin

akan mempengaruhi kondisi psikologi, sistem syaraf, serta aktivitas dan fungsi otak, baik pada perokok aktif maupun pasif. Nikotin menstimulasi pelepasan acetylcholine, serotonin, hormon‐hormon pituitary, dan epinephrine. Nikotin yang terdapat dalam asap rokok dapat masuk ke paru-paru, kemudian masuk ke dalam aliran darah dan selanjutnya dibawa ke otak. Otak manusia memiliki reseptor penerima nikotin yang disebut Nicotinic Cholinergic Receptors (nicotinic acetylcholine receptors atau nAChRs). Bentuk reseptor penerima ini seperti struktur membran sel, yang akan membuka bila ada invasi dari molekul tertentu. Ikatan nikotin pada permukaan di antara dua subunit reseptor ini membuka jalur, yang memungkinkan masuknya ion sodium atau kalsium. Masuknya dua kation ini dalam sel langsung mengaktifkan tegangan saluran kalsium yang mengijinkan masuknya kalsium lebih banyak. Salah satu efek dari masuknya kalsium di dalam sel saraf adalah dilepasnya neurotransmiter (Benowitz, 2010). Salah satu neurotransmitter yang dilepas adalah dopamin. Senyawa kimia ini bekerja menstimulasi perasaan bahagia pada seseorang dan efek yang lebih kuat sama seperti rangsangan memicu rasa lapar. Sebelum dopamin dikeluarkan, nikotin terlebih dahulu telah mengaktivasi glutamin, yakni neurotransmitter yang memfasilitasi pelepasan dopamin dan pelepasan asam γ-aminobutirik (GABA) yang menghambat aktivasi dari dopamin. Eksperimen yang pernah dilakukan pada seekor tikus menunjukkan pemberian nikotin akan memberi pengaruh terhadap pengeluaran dopamin di daerah-daerah tertentu otak, seperti area mesolimbic dan cortex frontal (Benowitz, 2010). Waktu yang dibutuhkan nikotin untuk mencapai otak sekitar sepuluh menit setelah seseorang merokok (NIH, 2011). Dengan paparan nikotin yang berulang pada seorang perokok, kemampuan adaptasi otak terhadap nikotin mulai meningkat. Saat kemampuan adaptasi meningkat, jumlah unit-unit reseptor nAChR juga meningkat. Selanjutnya aktivasi VTA dan neuron-neuron di nucleus accumbens akan meningkat (Benowitz, 2010). Karena perasaan senang terjadi, manusia cenderung ingin mengulangi kejadian (merokok) itu terus menerus. Berdasarkan mekanisme aksi toksik, nikotin masuk dalam mekanisme langsung karena sasaran aksi berbahaya zat nikotin membran sel, DNA, dalam hal ini sel saraf sehingga menimbulkan efek ketergantungan. Nikotin masuk dalam mekanisme tempat aksi selektif. Antidotum : arang aktif Mekanisme Antidotum : Karbon aktif akan mengikat nikotin dan mengeluarkannya dari saluran cerna.

Methanol Mekanisme reaksi : Methanol akan memberikan efek bukan hanya mempengaruhi kerja saraf seperti ethanol, tetapi sampai mematikan (merupakan racun) sehingga penting bagi seorang farmasis ataupun siapa saja untuk mengetahui dan mempelajari toksisitas pada senyawa methanol. Methanol termasuk golongan racun sangat berbahaya. Dengan dosis 30 mililiter saja yang dikonsumsi dapat menyebabkan kebutaan permanen karena kerusakan dari serat saraf mata. Pada dosis 100 mL methanol ini dapat menyebabkan kematian. Methanol sendiri sebenarnya bukanlah bahan beracun, namun dalam perjalanannya dia mengalami metabolisme (penguraian zat) menjadi formaldehyde selanjutnya diurai lagi menjadi asam format ( formic acid ) oleh enzym alcohol dehydrogenase. Asam format inilah yang mempunyai daya rusak yang kuat pada hati ( lever ) dan ginjal ( kidney ). Sebagian besar korban meninggal diakibatkan karena gagal hati dan gagal ginjal.

Perubahan dari formaldehid menjadi asam format sangat cepat, dengan waktu-paruh selama 12 menit, sehingga tidak sampai terjadi akumulasi formaldehid dalam tubuh. Asam format selanjutnya dapat diubah menjadi 10-formiltetrahidrofolat yang dapat dimetabolisme lebih lanjut menjadi karbon dioksida sebagai upaya detoksifikasi dari tubuh. Kecepatan perubahan asam format menjadi metabolitnya tergantung ketersediaan tetrahidrofolat dalam hati. Namun demikian, waktu paruh asam format di dalam tubuh cukup panjang, yaitu sampai 20-24 jam. Asam format inilah yang akan menyebabkan berbagai efek toksik pada tubuh. Minum metanol, walaupun dalam jumlah sedikit, dapat berbahaya dan menyebabkan gangguan kesehatan serius, meliputi koma, kejang, dan kebutaan, bahkan kematian. Metanol juga toksik/beracun jika dihirup atau terkena mata, karena dapat merusak penglihatan. Terdapat variasi signifikan pada manusia mengenai dosis toksik maupun dosis letal (yg menyebabkan kematian) akibat metanol. Sebuah studi menyebutkan bahwa dosis letal minimal adalah berkisar 300-1000 mg/kg BB. Antidotum : Cara detoksifikasi metanol adalah dengan menggunakan etanol dan sodium bikarbonat. Mekanisme Antidotum : Etanol memiliki afinitas (kemampuan mengikat) enzim alkohol dehidrogenase 10-20 kali lebih kuat daripada metanol, sehingga mengurangi pembentukan asam format sebagai hasil metabolisme metanol. Etanol dapat diberikan secara per-oral dengan konsentrasi sampai 40%, atau melalui intravena dengan konsentrasi 10% dalam 5% dekstrosa. Sedangkan sodium bikarbonat digunakan untuk mengurangi metabolik asidosis akibat asam format.

Karbon monoksida Mekanisme reaksi Keracunan gas Karbondioksida adalah keadaan darurat yang menyebabkan asfiksia dan asidosis sehingga mengakibatkan gangguan metabolism sel. CO2 dianggap sebagai racun inhalasi yang potensial. Dalam keadaan berat dapat terjadi kematian. Karbon monoksida akan menyebabkan asfikasia karena berkurangnya jumlah O2 diudara pernapasan dan proses ini pada tahap awal akan dipercepat dengan adanya efek langsung CO2 pada pusat pernapasan sehingga akan menyebabkan makin cepat dan dalamnya pernapasan, sehingga tingkat keracunan perinhalasi tadi makin berat. Saat karbonmonoksida berada dalam tubuh terdapat beberapa mekanisme keracunan antara lain: 1. Berikatan dengan Hemoglobin Saat Co2 terinhalasi maka ia akan mengambil posisi oksigen yang berikatan dengan Hemoglobin, dimana normalnya Hemoglobin akan mengangkut oksigen keseluruh tubuh. Ikatan karbon monoksida dengan hemoglobin memiliki afinitas 200-300 kali dibandingkan ikatan oksigen dengan Hemoglobin sehingga terjadi perubahan reversible berupa perpindahan oksigen dari molekul hemoglobin. Efeknya kumulatif dan bertahan lama. Menyebabkan kekurangan pengangkutan oksigen ke jaringan. Selain itu, pembentukan COHb menyebabkan Hb meningkat oksigen lebih ketat. Sehingga terjadi pergeseran kurva diasosiasi oksigen-hemoglobin ke kiri yang berarti tekanan oksigen jaringan berada pada tingkat terendah, sehingga oksigen yang dilepaskan ke jaringan menurun yang berlanjut pada hipoksia. Depresi miokard, vasodiatasi perifer, dan distrimia ventrikel berperan dalam terjadi hipotensi, penurunan perfusi jaringan dan selanjutnya hipoksia jaringan. 2. Berikatan dengan kompleks sitokrom oksidase sehungga terjadi pencampuran efektif intra sel

Saat karbon monoksida berikatan dengan sitrokron oksidasi, terjadi disfungsi mitokondria sehingga oksidasi mitokondria untuk menghasilkan ATP berkurang. Terjadi pembebasan nitrit oksidasi dais el platelet dan endotel menjadi bentuk radikal bebas peroksinitrit. Lebih lanjut mengaktifkan enzim mitokondrial dan merusak endotel vascular diotak. Hasil akhir berupa lipid peroksidase diotak yang dimulai pada fase reperfusi sehingga terjadi demieliminasi reversible dari lipid sistem saraf pusat. Intoksida CO juga bisa menyebabkan stress oksidatif pada sel, dengan menghasilkan oksigen radikal yang mengkonversi xantin dehirognase menjadi xanthin oksidasi. 3. Berikatan dengan myoglobin membentuk karboksi myoglobin (COMb) CO juga memiliki afinitas tinggi terhadap myoglobin, dan berikatan secara langsung dengan otot jantung dan skelet yang menyebabkan toksisitas secara langsung, ikatan CO dengan myoglobin dapat mengganggu cardiac output dan menimbulkan iskemia serebral. Ditemukan gejala yang lambat muncul akibat terpapar kembali CO dengan peningkatan kadar COHb. Hal ini dikarenakan lambatnya pelepasan ikatan CO dengan myoglobin setelah berikatan dengan Hb. Antidotum : Oksigen Mekanisme antidotum : Keracunan karbon monoksida (CO) - O2 : reaksi oksidasi sehingga membentuk CO2

Fe / Besi Mekanisme reaksi Tempat pertama dalam tubuh yang mengontrol pemasukkan Fe adalah usus halus. Bagian dari usus ini berfungsi untuk absorpsi dan sekaligus ekskresi Fe yang tidak diserap. Besi dari usus diabsorpsi dalam bentuk feritin, dimana bentuk ferro lebih mudah diabsorpsi daripada bentuk ferri. Feritin masuk kedalam darah berubah bentuk menjadi transferin. Dalam darah tersebut besi berstatus sebagai besi bervalensi tiga (trivalent) yang kemudian ditransfer ke hati dan limpa yang kemudian disimpan dalam organ tersebut sebagai cadangan dalam bentuk feritin dan hemosiderin. Toksisitas terjadi bilamana terjadi kelebihan (kejenuhan) dalam ikatan tersebut. Toksisitas akut Fe pada anak terjadi karena anak memakan sekitar 1 g Fe dan mungkin lebih banyak. Kandungan asupan besi pada anak secara normal adalah sekitar 10-20 mg/kg berat badan. Setiap tahun dilaporkan sekitar 2500 kasus keracunan Fe pada anak dibawah umur 6 tahun dan merupakan salah satu kasus keracunan yang terbanyak yang menyebabkan kematian pada anak. Antidotum : Deferoksamin Mekanisme Antidotum : Deferoksamin sebagai khelator dapat mengikat ferrum dari usus sehingga mencegah absorpsi ferrum oleh dinding usus. urin harus dimonitor dimana urin berwarna merah-orange menunjukkan adanya eksreksi dari ferrum-komplek kelasi

Isoniazid (INH) Mekanisme reaksi Mekanisme kerja isoniazid belum tentu diketahui, tetapi ada beberapa hipotesis(dugaan blum di buktikan) yang diajukan, di antaranya efek pada lemak, biosintesis asam nukleat dan glikolisis. Ada pendapat bahwa efek utamanya ialah menghambat asam mikolat (mycolicic acid) yang merupakan unsur penting dinding dinding sel mikrobacterium.

Mekanisme ketoksikan Isoniazid : 1. Overdosis Akut Isoniazid menghasilkan efek toksik akut dengan mengurangi brain piridoksal 5-fosfat , yang merupakan bentuk aktif dari vitamin B6 dan merupakan kofaktor penting bagi enzim asam glutamat dekarboksilase. Hal ini menunjukan level yang rendah dari SSP gammaaminobutyric acid (GABA), yang merupakan inhibitor neurotransmitter (menghambat zat kimia yang di lepaskan ujung akson ke celah sinaps), yang menyebabkan terjadinya kejang. 2. Toksisitas Kronis Neuritis perifer/Pheripheralneuritis (radang saraf tepi) dengan penggunaan kronis diperkirakan terkait dengan piridoksin. 3. Farmakokinetik Kadar puncak isoniazid tercapai satu sampai dua jam setelah konsumsi, meskipun efek toksik dapat mulai muncul lebih cepat. Obat mudah berdifusi ke seluruh cairan tubuh dan jaringan, dengan konsentrasi terbesar terjadi di hati dan mengakibatkan aktivitas kejang. Antidotum : Piridoksin Mekanisme Antidotum : Toksisitas akut INH terjadi karena berkurangnya pyridoxal-5’-phospate, berkurangnya sintesis gamma-aminobutyric acid (GABA), meningkatnya eksisitas serebral, dan kejang. Mekanisme kerja dari kejang disebabkan INH berkaitan dengan berkurangnya ketersediaan GABA, yang merupakan inhibitor utama neurotransmitter pada sistem saraf pusat (SSP), juga kenaikan jumlah glutamat, neurotransmitter eksitasi utama. Metabolit INH menginhibisi langsung enzim fosfokinase. Enzim ini merubah piridoksin (vitamin B-6) menjadi bentuk aktifnya, pyridoxal-5’-fosfat, kofaktor kunci pada produksi GABA. Deplesi pada piridoksin menyebabkan gangguan pada glutamat dan homeostasis GABA sehingga terjadi eksitasi berlebihan pada lingkungan otak.

Tetrasiklin Mekanisme reaksi a. Menghambat sintesis protein bakteri pada ribosomnya b. Paling sedikit terjadi 2 proses masuknya antibiotik kedalam ribosom bakteri gram – c. Pertama difusi pasif melalui kanal hidrofilik d. Kedua, melalui sistem transport aktif e. Setelah masuk Antibitotik berikatan secar reversible dengan ribosom 30s dan mencegah ikatan tRNA aminoasil pada kompleks mRNA-ribosom f. Hal tersebut akan mencegah perpanjangan rantai peptide dan akibatnya sintesis protein berhenti Antidotum : Tetrasiklin Mekanisme antidotum : Kemampuan bakteoriostatik tetrasiklin dilakukan dengan cara mengikat secara reversibel subunit 30S ribosom, sehingga mencegah sintesis protein dan menghambat perutumbuhan sel bakteri. Selain itu, antibotik ini juga bisa merubah membran sitoplasmik bakteri sehingga terjadi kebocoran intraseluler.

Morfin Mekanisme Antidotum : Efek pada sistema pernafasan berupa depresi pernafasan, yang sering fatal dan menyebabkan kematian. Efek ini umumnya terjadi beberapa saat setelah pemberian intravenosa atau sekitar satu jam setelah disuntikkan intramuskuler. Efek ini meningkat pada penderita asma, karena morfin juga menyebabakan terjadinya penyempitan saluran pernafasan. Efek pada sistema saluran pencernaan umumnya berupa konstipasi, yang terjadi karena morfin mampu meningkatkan tonus otot saluran pencernaan dan menurunkan motilitas usus. Pada sistema urinarius, morfin dapat menyebabkan kesulitan kencing. Efek ini timbul karena morfin mampu menurunkan persepsi terhadap rangsang kencing serta menyebabkan kontraksi ureter dan otot- otot kandung kencing. Efek toksik terkait dengan tindakan yang berbeda dari obat ini pada berbagai reseptor opiat di SSP. Respon klinis analgesia, euforia, depresi pernafasan, dan miosis diyakini hasil dari pendudukan preseptor. Jenis berbeda hasil analgesia ketika K-reseptor yang terlibat, dan efek psikogenik, seperti dysphoria, delusi, dan halusinasi, akibat dari aksi opioid di o-reseptor. Efek morfin terjadi pada susunan syaraf pusat dan organ yang mengandung otot polos. Morfin adalah agonis opioid yang memiliki afinitas terbesar pada reseptor μ. Reseptor ini merupakan reseptor opioid analgesik mayor. Reseptor μ dapat ditemukan di otak (amigdala posterior, hipotalamus, talamus, dan nukleus kaudatus), saraf tulang belakang, dan jaringan lain di luar SSP (vaskular, jantung, paru-paru, sistem imun, dan saluran pencernaan). Ikatan morfin dan reseptor opioid menyebabkan beberapa efek pada SSP yaitu, inhibisi transmisi sinyal nyeri, mengubah respons terhadap nyeri, menimbulkan efek analgesik, depresi napas, sedasi, supresi batuk, dan miosis. Hal ini akan menyebabkan inhibisi aktivitas adenylyl cyclase, penutupan kanal ion Ca2+, pembukaan kanal ion K+, serta aktivasi phosphokinase C (PKC) dan phospholipase C-β (PLCβ). Menutupnya kanal ion Ca2+ akan menghambat pelepasan neurotransmiter oleh neuron presinaps. Sedangkan pembukaan kanal ion K+ akan memicu hiperpolarisasi yang menghambat neuron postsinaps. Selain pada SSP, morfin juga bekerja pada sistem gastrointestinal. Efek yang ditimbulkan berupa spasme spinkter Oddi dan penurunan gerakan peristaltik. Pada otot polos sistem kemih dapat terjadi spasme. Morfin juga menyebabkan vasodilatasi yang memicu hipotensi, flushing, mata merah, dan berkeringat. Pada sistem endokrin, morfin mampu menghambat sekresi adrenocorticotropic hormone (ACTH), kortisol, dan luteinizing hormone (LH). Sementara itu, produksi hormon lainnya justru meningkat, misalnya prolaktin, growth hormone (GH), insulin, dan glukagon. Antidotum : Naloxone merupakan salah satu obat opiat antagonis. Mekanisme reaksi : Naloxone akan menjadi antagonis kompetitif pada reseptor opioid.

Kafein Mekanisme reaksi Kafein adalah senyawa alkaloida turunan xantine (basa purin) yang berwujud kristal berwarna putih. Kafein atau 1,3,7 trimetilsantin mempunyai struktur kimiawi yang berkaitan dengan beberapa

metabolit penting, seperti adenin, guanin, santin, dan asam urat. Tanaman yang mengandung kadar kafein tinggi antara lain kopi (Coffea arabica), teh (Camellia sinensis), coklat (Theobroma cacao), dan kola (Cola acuminata). Kafein dapat mempengaruhi otak melalui dua mekanisme yaitu menginduksi vasokontriksi pembuluh darah otak sehingga menyebabkan berkurangnya aliran darah ke otak dan yang kedua adalah meningkatkan konsumsi glukosa pada beberapa daerah hipoperfusi yaitu pada sel monoamin di daerah substansia nigra, raphe medialis dan dorsalis, serta lokus sereleus. Hal tersebut dapat mempengaruhi perilaku dan fisik dari pengonsumsi kafein. Pada manusia, kematian akibat keracunan kafein jarang terjadi. Namun reaksi yang tidak diinginkan telah terlihat pada penggunaan kafein 1 g yang menyebabkan kadar dalam plasma di atas 30 μg/ml. Gejala permulaan berupa sukar tidur, gelisah dan eksitasi yang dapat berkembang menjadi delirium ringan. Gangguan sensoris berupa tinitus dan kilatan cahaya sering dijumpai. Otot rangka menjadi tegang dan gemetar, sering pula ditemukan takikardi dan ekstrasistol dan pernapasan menjadi lebih cepat. Intoksikasi ringan kafein ditandai dengan keluhan tidak dapat tidur, gelisah, tidak suka makan, muntah, kekurangan cairan, berdebar-debar, tekanan darah sedikit naik, sesak napas ringan, hiperaktif, mudah tersinggung, kecurigaan, dan cemas. Sedangkan pada intoksikasi berat dapat terjadi takiaritmia, hipertensi yang jelas, demam, kejang, delirium, dan psikosis dengan gambaran paranoid. Toleransi dapat terjadi pada pemakaian kafein secara teratur dan ketergantungan secara psikologis jelas ada. Antidotum : propanolol dan esmolol

Warfarin Mekanisme reaksi Warfarin merupakan turunan kumarin yang sudah biasa diresepkan sebagai antikoagulan oral untuk mengobati atau mencegah penyakit-penyakit trombotik, diantaranya myocardial infarction, ischemic stroke, venus thrombosis,heart valve replecement dan atrial fibrillat. warfarin mempunyai rentang terapeutik yang sempit dan memberikan perbedaan respon yang besar diantara individu atau pasien. Warfarin yang digunakan bersamaan dengan NSAID dapat berbahaya. Dalam sirkulasi warfarin akan terikat dengan albumin. Sehingga bila warfarin diberikan bersamaan dengan NSAID yang juga terikat kuat pada protein albumin maka Warfarin akan terlepas dari ikatan tersebut. kadar warfarin bebas dalam darah meningkat (96-98%). Hal ini dapat meningkatkan resiko terjadinya pendarahan. Antidotum : vitamin K

Malation Mekanisme reaksi Malation adalah bahan pestisida yang dapat untuk mengendalikan nyamuk A. aegypti, nyamuk culex quin quefasciatus dan nyamuk Anopheles sp di dalam dan di luar ruangan. Malation termasuk golongan organofosfat parasimpatomimetrik, yang berarti berikatan irreversible dengan enzim kolinesterase pada sistem saraf serangga. Akibatnya, otot tubuh serangga mengalami kejang, kemudia lumpuh, dan akhirnya mati. Malation digunakan dengan cara pengasapan

Mekanisme masuknya pestisida ke dalam tubuh melalui tiga cara, yaitu melalui penghirupan, pencernaan dan kulit. Pestisida terdistribusi ke seluruh jaringan terutama sistem saraf pusat. Beberapa diantaranya mengalami biotransformasi, dirubah menjadi intermediet yang lebih toksik (paraoxon) sebelum dimetabolisir (Lu, 1995). Semuanya mengalami degradasi hydrolysis di dalam hati dan jaringanjaringan lain, biasanya dalam waktu hitungan jam setelah absorbsi Antidotum : atropin sulfat pralidoksim

Benzodiazepin Mekanisme reaksi Benzodiazepin adalah jenis obat yang memiliki efek sedatif atau menenangkan. Benzodiazepin diresepkan bagi mereka yang cemas atau tertekan dan dapat digunakan dalam pengobatan jangka pendek pada beberapa masalah tidur tertentu. Benzodiazepin meningkatkan aksi penghambatan neurotransmitter gamma-aminobutyric acid (GABA). Mereka juga menghambat sistem saraf lainnya dengan mekanisme yang tidak didefinisikan dengan baik. Hasilnya adalah depresi umum dari refleks tulang belakang dan sistem pengaktif retikuler. Ini dapat menyebabkan koma dan pernapasan berhenti. a. Perhentian pernapasan lebih mungkin terjadi dengan benzodiazepin kerja pendek seperti triazolam (Halcion), alprazolam (Xanax), dan midazolam (Versed). b. Penangkapan kardiopulmoner telah terjadi setelah injeksi cepat diazepam, mungkin karena efek depresan SSP atau karena efek toksik dari propilen glikol pengencer. c. Farmakokinetik. Sebagian besar agen ini sangat terikat protein (80-100%). Waktu untuk memuncak tingkat darah, waktu paruh eliminasi, dan ada atau tidaknya metabolit aktif. Antidotum : flumazenil

Asbes Mekanisme reaksi : Asbes merupakan campuran silikat anorganik yang memiliki serat yang kuat dan berstruktur kristal. Serat tersebut bersifat tahan panas dan sangat tahan lama.Serat asbes cenderung mudah patah, menjadi debu, tersebar di udara serta lengket pada pakaian maupun tubuh manusia. Serat asbes umumnya berukuran 3 sampai 20 micron, sehingga tidak dapat terlihat secara kasat mata. Tetapi bila diperbesar melalui mikroskop electron, bentuk dari serat asbes adalah lancip dan tajam. Debu asbes dapat menempel pada kulit dan menimbulkan gatal-gatal (iritasi). Ketika digaruk atau digosok, debu tadi dapat dengan mudah masuk ke dalam tubuh melalui lubang pori-pori untuk kemudian berkembang menjadi kanker kulit. Serat-serat asbestos dengan diameter kurang dari 3 milimikron yang terinhalasi akan menembus saluran napas dan tertahan dalam paru-paru. Sifatnya yang tahan lama yang menyebabkan serat-serat asbes akan tinggal di dalam tubuh manusia selama bertahuntahun. Serat asbes dapat mengakibatkan gangguan pneumokoniosis pada paru-paru yang lebih dikenal dengan sebutan asbestosis, yaitu gangguan pada paru-paru karena penyerapan jangka panjang serat asbes dan sudah cukup dikenal di kalangan praktisi kesehatan kerja maupun kesehatan lingkungan. Partikel inorganik, yang terinhalasi, seperti asbes, silika dapat merusak paru-paru melalui pembentukan radikal bebas. penyakit karena asbes antara lain adalah:



Asbestosis yaitu luka pada paru-paru hingga kesulitan bernafas dan dapat mengakibatkan kematian.  Mesothelioma, sejenis kanker yang menyerang selaput pada perut dan dada, muncul gejalanya setelah 20-30 tahun sejak pertama kalimenghirup serat asbes.  Kanker paru-paru, biasanya asbes putih penyebab utama penyakit kanker paru-paru Antidotum : Tidak ada antidot yang khusus untuk ketoksikan asbes namun pengobatan umdumnya bersifat simptomatis, yaitu mengurangi gejala. Obat lain yang diberikan bersifat suportif. Kebanyakan penderita digunakan terapi kombinasi, yang disebut terapi multimodal. Penanganan klasik seperti pembedahan, kemoterapi dan radioterapi tidak terlalu berefek terhadap penyembuhan penyakit dan kemampuan hidup. Pembedahan radikal seperti pleuropneumonektomi; sebagai single-modality treatment, juga tidak menunjukkan perbaikan terhadap kemampuan hidup. Strategi terapi terbaru coba digunakan dengan dasar imunoterapi atau terapi gen. Gama interferon dipakai secara intrapleura hasilnya cukup baik pada penyakit dengan stadium terbatas. Mekanisme kerja antitumor dari gamma interferon adalah kompleks, antara lain: (Roggli et al, 1994) efek antiproliferatif langsung pada sel tumor, (Abraham, 1994) aktivasi makrofag pleura yang menjadi sitotoksik untuk sel tumor, dan aktivasi limfosit T dan sel pembunuh natural oleh sitokin yang dilepaskan oleh makrofag (Karjalainen, 1994)

Aflatoksin Mekanisme Reaksi Aflatoksin merupakan segolongan senyawa toksik yang berasal dari fungi yang dikenal mematikan dan karsinogenik bagi manusia dan hewan. flatoksin mengakibatkan aflatoksikosis pada manusia atau ternak karena menghirup atau mengkonsumsi makanan atau pakan terkontaminasi aflatoksin dalam kadar yang tinggi. Spesies penghasilnya adalah fungi jenis kapang dari genus Aspergillus, terutama A. flavus. Aflatoksin B1, senyawa yang paling toksik, berpotensi menyebabkan kanker, terutama kanker hati. Serangan toksin yang paling ringan adalah lecet (iritasi) ringan akibat kematian jaringan nekrosis. Pemaparan pada kadar tinggi dapat menyebabkan sirosis, karsinoma pada hati, serta gangguan pencernaan, penyerapan bahan makanan, dan metabolisme nutrien. Ketoksikan terjadi di hati akan direaksi menjadi epoksida yang sangat reaktif terhadap senyawa-senyawa di dalam sel. Efek karsinogenik terjadi karena basa N guanin pada DNA akan diikat dan mengganggu kerja gen. Jenis Aflatoxin :  Aflatoxin B1 & B2 : dihasilkan oleh aspergillus flavus dan parasiticus  Aflatoxin G1 & G2 : dihasilkan oleh aspergillus parasiticus  Aflatoxin M1 : adalah metabolit dari aflatoxin B1 pada manusia dan hewan  Aflatoxin M2 : adalah metabolit dari aflatoxin B2 pada susu sapi yang makan makanan terkontaminasi oleh jamur  Aflatoxicol  Aflatoxin Q1 Antidotum : Salah satu enzim yang berfungsi untuk menangkal benda asing yang masuk ke dalam tubuh adalah glutation peroksidase (GSH-Px). Enzim ini dimiliki secara alami oleh tubuh untuk mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh sisa metabolisme tubuh yang bersifat radikal bebas. Enzim GSH-Px ini

juga dikenal dapat mencegah aflatoksikosis, makin tinggi GSH-Px yang dihasilkan makin tinggi level aflatoksin yang dapat ditekan.

Karbon Tetraklorida (CCl4) Mekanisme reaksi Karbon tetraklorida (CCl4) merupakan xenobiotik yang lazim digunakan untuk menginduksi peroksidadi lipid dan keracunan. Dalam endoplasmik retikulum hati CCl4 dimetabolisme oleh sitokrom P450 2E1 (CYP2E1) menjadi radikal bebas triklorometil (CCl3). Triklorometil dengan oksigen akan membentuk radikal triklorometilperoxi yang dapat menyerang lipid membran endoplasmik retikulum dengan kecepatan yang melebihi radikal bebas triklorometil. Selanjutnya triklorometilperoxi menyebabkan peroksidasi lipid sehingga mengganggu homeostasis Ca2+, dan akhirnya menyebabkan kematian sel.Tingkat toksisitas hati dapat dilihat dari parameter biokimia seperti enzim AST, ALT, ALP, Bilirubin, dan kadar protein total.  Alanin Transaminase merupakan enzim sitosol dan terlibat dalam glukoneogenesis. Peningkatan kadar ALT dalam darah terutama disebabkan oleh kerusakan sel hati dan sel otot rangka. Kerusakan hepatosit diawali dengan perubahan permeabilitas membran yang diikuti dengan kematian sel.  Aspartat Transaminase juga merupakan enzim yang terlibat dalam glukoneogenesis, terdapat di dalam sitosol serta mitokondria sel hati, otot rangka, otot jantung, dan eritrosit. Peningkatan AST dalam darah disebabkan oleh kerusakan hati yang parah dan disertai nekrosis, sehingga enzim dari mitokondria juga ikut keluar sel.  Alkalin Fosfatase merupakan enzim yang berperan dalam mempercepat hidrolisis fosfat organik dengan melepaskan fosfat anorganik. Enzim ini terdapat dalam banyak jaringan, terutama di hati, tulang, mukosa usus, dan plasenta. Peningkatan ALP terjadi akibat adanya kolestasis, dan pada obstruksi intra maupun ekstrabiliar enzim ini akan meningkat 3-10 kali dari nilai normal sebelum timbul ikterus.  Bilirubin merupakan pigmen empedu yang berasal dari sel eritosit tua yang dihancurkan di limpa serta dari sumber-sumber lain seperti mioglobin dan sitokrom. Faktor penyebab peningkatan kadar bilirubin total adalah kebocoran bilirubin dari sel-sel hati atau sel duktuli sehingga bilirubin bisa masuk ke dalam aliran darah dan dapat memasuki semua cairan tubuh seperti cairan otak, cairan asites atau mewarnai kulit, sclera dan lain-lain. mengganggu fungsi hati dalam metabolisme bilirubin.  Kadar protein total secara keseluruhan menurun. Jika sel-sel hati mengalami kerusakan maka kemampuan hati dalam mensintesis protein juga akan turun. Karbon tetraklorida (CCl4) merupakan penyebab kerusakan hati yang ditandai dengan peradangan akut pada sel-sel hati, yakni terjadinya nekrosis serta steatosis pada bagian sentral lobus. Steatosis merupakan gambaran patologi yang ditandai dengan akumulasi lemak di dalam sel hati yang disebabkan oleh gangguan pada metabolisme lipid di hati. Karbon tetraklorida (CCl4) antara lain akan meningkatkan kadar bilirubin total, enzim ALT, AST, dan ALP, sebaliknya kadar protein total dalam serum akan menurun. daya proteksi suatu senyawa terhadap CCl4 dinilai dari kemampuannya dalam menghambat peroksidasi lipid, menekan aktivitas enzim ALT dan AST, dan meningkatkan aktivitas enzim antioksidan. Antidotum: GSH

Mekanisme antidotum : glutation (GSH) merupakan antioksidan yang penting dalam menetralisir radikal bebas. Kadar GSH tertinggi terdapat di dalam hati. Sebagai antioksidan, GSH terlibat langsung dan berpartisipasi aktif dalam penghancuran senyawa radikal bebas.

Amfetamin Mekanisme reaksi Amfetamin merupakan campuran dari isomer d-amfetamin (dekstro-amfetamin) dan lamfetamin (levo-amfetamin). D-amfetamin bekerja dengan cara membebaskan klopamin ke celah sinaptik, sedangkan l-amfetamin bekerja dengan cara membebaskan norepineprin. L-amfetamin memiliki aktivitas yang lebih lemah karena pada l-amfetamin memiliki halogen sterik yang lebih besar dibandingkan dengan d-amfetamin utnuk berikatan dengan reseptor. Mekanisme kerja amfetamin pada susunan syaraf dipengaruhi oleh pelepasan biogenic aine yaitu dopamine, norepinefrin, ataupun serotonin atau pelepasan ketiganya dari tempat penyimpanan pada prasinap yang terletak pada akhiran syaraf.  Pada dopamine, didapati bahwa amfetamin menghambat re-uptake dopaminergic dan sinapstrosom di hipotalamus dan secara langsung melepaskan dopamine yang baru disintesa.  Pada norepineprin, kerja amfetamin memblok re-uptake norepinefrin dan juga menyebabkan pelepasan norepinefrin baru, penambahan atau pengurangan karbon diantara cincin fenil dan nitrogen sehingga melemahkan efek amfetamin pada pelepasan norepinefrin.  Pada serotonin, derivate metamfetamin dengan elektron kuat yang menarik pergantian pada cincin fenil akan mempengaruhi sistem seratogenik. Sehingga, dapat disimpulkan bahwa ketiga kerja reseptor biogenik tersebut saling mempengaruhi satu sama lain. Faktor-faktor yang mempengaruhi toksisitas amfetamin adalah sebagai berikut:  Konsentrasi obat: umumnya, kecepatan obat bertransformasi bertambah apabila konsentrasi obat meningkat. Hal ini berlaku sampai titik dimana konsentrasi menjadi tinggi sehingga seluruh molekul enzim yang melakukan metabolisme berikatan terus menerus dengan obat dan tercapai kecepatan biotransformasi yang konstan.  Fungsi hati: pada gangguan fungsi hati, metabolisme berlangsung lebih cepat atau lebih lambat, sehingga efek obat menjadi lebih lemah atau kuat dari yang diharapkan.  Usia: pada orang lanjut usia, banyak proses fisiologis telah mengalami kemunduran antara lain fungsi ginjal, enzim-enzim hati, jumlah albumin serum berkurang. Hal ini menyebabkan terhambatnya biotransformasi obat yang berakibat keracunan.  Genetik: orang-orang dengan faktor genetik tertentu, misalnya enzim untuk asetilasi sufanamida atau INH, yang mengakibatkan metabolisme obat lembat  Pemakaian obat lain: Terutama pada obat bersifat lipofil atau larut lemak dapat menstimulir pembentukan dari aktivitas enzim-enzim hati. Hal ini disebut induksi enzim. Sebaliknya, dikenal pula obat yang menghambat atau menginaktifasi enzim hati yang biasa disebut inhibisi enzim. Efek yang timbul dari penggunaan amfetamin adalah cenderung hiperaktif, merasa gembira, meningkatkan percaya diri, namun cenderung paranoid dan menimbulkan halusinasi. Disisi lain amfetamin memiliki dampak jangka pendek maupun jangka panjang yang negatif. Apabila penggunaan mengalami putus zat, maka efek yang ditimbulkan adalah perubahan alam perasaan, rasa lelah, letih, ganggguan tidur, dan mimpi yang bertambah sehingga menggangu kenyamanan tidur, dan mimpi yang

betambah. Pengaruh jangka panjang amfetamin adalah akan menurunnya daya tahan tubuh terhadap infeksi dan penyakit, kekurangan gizi, mengalami gangguan jiwa (delusi, halusinasi, paranoid, tingkah laku aneh), dan ketergantungan. Antidotum : Atropin

SIANIDA Mekanisme ketoksikan Ketoksikan sianida ditentukan oleh jenis, pengaruh terhadap organisme hidup, dan konsentrasi yang umumnya dilihat dari kemampuannya melepaskan ion CN‒ yang berada dalam kesetimbangan dengan HCN yang toksik. Reaksi antara ion sianida dan air ditunjukkan oleh dalam reaksi di bawah ini: CN‒ + HOH → HCN + OH‒ Ketoksikan sianida umumnya berhubungan dengan pembentukan kompleks dengan logam yang berperan sebagai kofaktor enzim. Enzim Fe(III) sitokrom-oksidase adalah salah satu contoh enzim dalam proses respirasi yang dihambat oleh sianida (Pitoi, no date). Sianida dapat berikatan dan menginaktifkan beberapa enzim, terutama yang mengandung besi dalam bentuk Ferri (Fe3+) dan kobalt. Kombinasi kimia yang dihasilkan mengakibatkan hilangnya integritas struktural dan efektivitas enzim. Sianida dapat menyebabkan terjadinya hipoksia intraseluler melalui ikatan yang bersifat ireversibel dengan cytochrome oxidase a3 di dalam mitokondria. Cytochrome oxidase a3 berperan penting dalam mereduksi oksigen menjadi air melalui proses oksidasi fosforilasi. Ikatan sianida dengan ion ferri pada cytochrome oxidase a3 akan mengakibatkan terjadinya hambatan pada enzim terminal dalam rantai respirasi, rantai transport elektron dan proses osksidasi forforilasi. Fosforilasi oksidatif merupakan suatu proses dimana oksigen digunakan untuk produksi adenosine triphosphate (ATP). Suplai ATP yang rendah ini mengakibatkan mitokondria tidak mampu untuk mengekstraksi dan menggunakan oksigen, sehingga walaupun kadar oksigen dalam darah normal tidak mampu digunakan untuk menghasilkan ATP. Sehingga terjadi pergeseran dalam metabolisme sel yaitu dari aerob menjadi anaerob. Penghentian respirasi aerobik juga menyebabkan akumulasi oksigen dalam vena. Hasil dari metabolisme aerob ini berupa penumpukan asam laktat yang pada akhirnya akan menimbulkan kondisi metabolik asidosis.

Antidot -

Kit antidot sianida (kombinasi dari 3 jenis antidot yang bekerja sinergis yaitu amyl nitrite, sodium nitrite, dan sodium thiosulfate)

-

Hidroxokobalamin (Cahyawati et al., 2017).

Mekanisme Antidot Salah satu kunci keberhasilan terapi keracunan sianida adalah penggunaan antidot sesegera mungkin dengan pengalaman empiris tanpa harus mengetahui kondisi kesehatan detail pasien terlebih dahulu (Cahyawati et al., 2017).

TIMBAL Mekanisme ketoksikan Absorpsi timbal terutama melalui Gastrointestinal (salurancerna), saluran nafas dan kulit. Pb organik mula-mula terdistribusi di jaringan lemak, terutama dalam ginjal dan hati. Kemudian Pb mengalami redistribusi kedaiam tulang, gigi dan rambut. Sejumlah kecil Pb anorganik ditimbun daiam otak, yang sebagian besarnya berada di substansia grisea danganglia basal. Dalam sirkulasi, hampir semua Pb anorganik terikat dengan eritrosit dan bila kadar Pb reiatif tinggi daiam sirkulasi barulah ditemukan dalam plasma. Toksisitas Pb dihasilkan dari interaksi Pb dengan gugus sulfidril dan ligan-ligan yang lain pada enzimenzim dan makromolekul yang lain. Organ target utama Pb adalah sistem hematopoetik, sistem sarafpusat, sistem saraf tepi, dan ginjal. Pb menghambat sintesis heme melalui inhibisi daminol evulinat dehidratase (ALAD), ferokelatase, dan penggunaan koproporfirin. Ini akan menyebabkan akumulasi asam levulinat, koproporfirin dan protoporfirin IX serta Fe non heme dalam eritrosit. Penghambatan sintesis heme ditunjukan dengan terjadinya anemia. Pb juga menginhibisi enzim pirimidin-5'-nukleotiaase yang dapat meningkatkan kerapuhan eritrosit. Indikasi tercemar oleh Pb terlihat dalam urin adanya asam levulinat (ALA). Pb dapat merusak arteriol dan kapiler, sehingga menyebabkan edema serebral dan kemunduran neuronal. Secara klinis kerusakan ini menyebabkan ataksia, koma dan kejang (Masalah, 2007). Mekanisme toksisitas Pb berdasarkan organ yang dipengaruhinya, misalnya pada sistem haemopoietik, di mana Pb menghambat sistem pembentukan hemoglobin (Hb) sehingga menyebabkan anemia. Pada sistem saraf, Pb dapat menyebabkan kerusakan otak dengan gejala epilepsi, halusinasi,

kerusakan otak besar, dan delirium. Pada sistem urinaria, Pb bisa menyebabkan lesi tubulus proksimalis, lengkung henle, serta menyebabkan aminosiduria. Pada sistem pencernaan, Pb dapat menyebabkan kolik dan konstipasi. Pada sistem kardiovaskular, Pb dapat menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah. Pada sistem reproduksi, Pb dapat menyebabkan keguguran, tidak berkembangnya sel otak embrio, kematian janin waktu lahir, serta hipospermia dan teratospermia pada pria dan pada sistem endokrin, Pb dapat menyebabkan gangguan fungsi tiroid dan fungsi adrenal.

Antidot - Karbon aktif - Terapi kelasi dengan EDTA Mekanisme Antidot - Mengonsumsi karbon aktif dapat membantu mengikat timbal di dalam saluran pencernaan untuk dikeluarkan bersama dengan tinja.

-

Terapi kelasi dengan EDTA dilakukan untuk mengikat timbal dalam darah dengan memberi obat calcium disodium ethylenediaminetetraacetic acid (EDTA) dalam bentuk suntikan ke pembuluh darah.

PARACETAMOL

Mekanisme ketoksikan Parasetamol dapat menyebabkan kerusakan pada hati karena pada hati enzim P-450 akan dioksidasi menjadi suatu metabolit reaktif yang bersifat toksik yaitu NABKI (N-asetil-pbenzokuinonimina).

Kehepatoksikan parasetamol terjadi karena terbentuknya metabolit reaktif di dalam hati. Parasetamol di dalam hati mengalami metabolisme, sebagian besar parasetamol akan dikonjugasi dengan asam glukuronat dan asam sulfat. Sisanya oleh enzim sitokrom P450 mikrosomal dioksidasi sehingga membentuk suatu metabolit elektrofil N-asetil-p-benzokuinonimina (NABKI) yang bersifat hepatotoksik (Vega, 2010). Hipotesis mekanisme toksisitas parasetamol dibagi menjadi 2 yaitu melalui antaraksi kovalen dan antaraksi nirkovalen. Antaraksi kovalen, terjadi karena pemberian parasetamol dosis toksik akan menguras kandungan GSH sehingga NABKI akan berikatan secara kovalen dengan makromolekul protein sel hati, yang mengakibatkan terjadinya kerusakan sel. Sedangkan antaraksi nirkovalen, melibatkan pembentukan radikal bebas NABKI, pembangkitan oksigen reaktif, anion superoksida serta gangguan homeostatis Ca, yang semuanya akan menyebabkan terjadinya kematian sel. Pada keadaan nekrosis, sel-sel hati pecah sehingga enzim glutamat piruvat transaminase (GPT) yang terdapat dalam sel hati akan keluar masuk aliran darah di sekitar vena sentralis sehingga terjadi kenaikan aktivitas GPT melebihi normal (Vega, 2010).

Dalam jumlah kecil, (5-10%) dioksidasi oleh cytochrome P-450 (CYP)-bergantung pada jalurnya (biasanya CYP2E1 dan CYP2A4) menjadi metabolit yang toksik, yaitu N-acetyl-p-benzoquinoneimine (NAPQI). NAPQI didetoksifikasi oleh glutathion melalui urin atau empedu, kemudian sisanya yang merupakan metabolit toksik tersebut mengikat hepatosit dan menyebabkan nekrosis sel hati. Karena metabolit toksik yang terbentuk relatif sedikit dan persediaan glutathion yang cukup, Parasetamol relatif aman digunakan pada dosis terapi. Keracunan parasetamol disebabkan karena akumulasi dari salah satu metabolitnya yaitu N-acetyl-p-benzoquinoneimine (NAPQI), yang dapat terjadi karena overdosis, pada pasien malnutrisi, atau pada peminum alkohol kronik.

Antidot -

N-asetilsistein Karbon aktif Methionin p.o

Mekanisme Antidot N-asetilsistein bekerja mensubstitusi glutation, meningkatkan sintesis glutation dan meningkatkankonjugasi sulfat pada parasetamol. Pemberian antidot (N-asetilsistein) dilakukan setelah mendapatkan hasil konsentrasi parasetamol dalam plasma pada pasien maksimal 4 jam setelah parasetamol ditelan. Bila kadar serum parasetamol di atas garis toksik maka N-asetilsistein dapat mulai diberikan dengan loading dose 140mg/kg BB secara oral, lalu dosis berikutnya 40 mg/kg BB diberikan setiap 4 jam. Terapi asetilsistein paling efektif bila diberikan dalam waktu 8-10 jam pasca penelanan parasetamol. Mempertimbangkan riwayat alergi terhadap N-asetilsistein, terutama pada asthma bronkiale (‘Mekanisme Keracunan Paracetamol’, no date). Methionin p.o, juga bisa digunakan sebagai antidotum yang efektif,tetapi absorbsi lebih lambat dibandingkan dengan N-asetilsistein. Memberikan arang aktif dengan dosis 100 gram dalam 200 ml air untuk orang dewasa dan larutan 1 g/kg bb untuk anak-anak. http://ik.pom.go.id/v2015/artikel/Mengatasikeracunanparasetamol.pdf

ARSENIK (As) Mekanisme ketoksikan Pembakaran fosil terutama batu bara, mengeiuarkan As203 ke lingkungan, dimana sebagian besar akanmasuk ke daiam perairan alami. Arsen terdapat di alam bersama-sama dengan mineral fosfat dan dilepas ke lingkungan bersama-sama dengan senyawa fosfat. Arsen daiam bentuk As3+ disebut Arsenit dan daiam bentuk As5+ disebut Arsenat. Arsenit (As3+) larut daiam lipid dan dapat diabsorpsi melalui pencernaan, inhalasi dan kontak langsung dengan kulit. Sebagian besar As di tubuh disimpan dalam hati, ginjal, jantung dan paru. Keracunan akut menimbulkan gejala muntaber disertai darah, koma dan kematian. Keracunan kronis dapat menimbulkan ikterus, pendarahan pada ginjal, dan kanker kulit. Arsenat daiam sel merupakan uncoupier (pemutus rangkaian) pada proses fosforilasi oksidatif. Mekanisme kerjanya adalah dengan cara substitusi kompetitif arsenat dengan fosfat anorganik (Pi) sehingga terbentuk ester arsenat yang cepat dihidrolisis (arsenolisis).

Arsenit anorganik (arsen trivalen), terutama mengikat gugus sulfidril(-SH). Sehingga Arsen trivalen menghambat aktifitas enzim yang mengandung gugus -SH. Sistem piruvat dehidrogenase sensttif terhadap Arsen trivalen karena interaksinya dengan aua kelompok sulfidril dari asam lipoat akan membentuk cincinyang stabi!. Efek Arsen anorganik terhadap darah yaitu dapat mempengaruhi sumsum tulang dan mengubah komposisi sel darah, terhadap hati menyebabkan nekrosis sentral dan sirosis hati. Pengaruh arsen terhadap ginjal menyebabkan kerusakan pembuluh, tubulus dan glomerulus ginjal (Masalah, 2007).

Signifikansi keterpaparan manusia oleh arsenik akibat digunakannya pembasmi hama, parasit, atau rumput liar pada bidang pertanian yang terakumulasi dalam tanah (Budiyanto, 2011).

Antidot -

dimercaprol (BAL) Glutathione peroxidase dimaval (DMPS) meso 2,3 dimercaptosuccinate acid (DMSA)

Mekanisme Antidot (Belum ditemukan mekanisme antidot untuk Arsenik)

Daftar Pustaka Anonim. 2016. Merkuri Dan Dampaknya Terhadap Kesehatan Manusia. Jakarta: Badan POM Palar, Heryando. 1990. Pencemaran Dan Toksikologi Logam Berat. Jakarta : Rineka Cipta Benowitz, N. L. 2010. Nicotine Addiction. The New England Journal of Medicine, 362 (24). Food and Drug Administration. Budiyanto, F. (2011) ‘SUMBER , TOKSISITAS DAN SIFAT DI ALAM Oleb Fitri Budiyanto "’, XXXVI, pp. 23–30. Cahyawati, P. N. et al. (2017) ‘Keracunan Akut Sianida’, 1(1), pp. 80–87. Eaton, D. L. , and Groopman J. D. 1994. TheToxicology of Aflatoxins. Academic Press,Inc, California. p. 309 -312 Ernst, Armin; Zibrak, Joseph D. 1998. Carbon Monoxide Poisoning. The New England Journal Of Medicine. Volume 339. No 2 Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.1995. Farmakologi dan Terapi edisi 4. Jakarta: GayaBaru. Government of South Australia. Asbestos in the Workplace. South Australia: Safe Work SA. 2012 Holland JP. Asbestos in Hazardous Materials Toxicology, Editors: JB Sullivan and GR Krieger. USA:Williams and Wilkins. 1992. Kazan AL. Killing the Future: Asbestos use in Asia. London-England: IBAS. 2007. 5. Kearney. T.E. 2007. Benzodiazepines (Diazepam, Lorazepam, and Midazolam) in Poisoning & Drug Overdose Fifth Ed. Olson, K.R., et al. (Eds.). McGraw-Hill Companies, Inc. New York:/Lange Medical Books. Liem, Andrian. 2010. Pengaruh Nikotin Terhadap Aktivitas Dan Fungsi Otak Serta Hubungannya Dengan Gangguan Psikologis Pada Pecandu Rokok. Yogyakarta : Buletin Psikologi Masalah, L. B. (2007) ‘BAB I’, pp. 1–5. ‘Mekanisme Keracunan Paracetamol’ (no date). Palar, Heryando. 2004. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Jakarta: Rineka Cipta. Pitoi, M. M. (no date) ‘Sianida : Klasifikasi , Toksisitas , Degradasi , Analisis ( Studi Pustaka ) a Jurusan’.

Putri, Noisca, dkk. 2012. Monitoring Terapi Warfarin pada Pasien Pelayanan Jantung pada Rumah Sakit di Bandung Warfarin Therapy Monitoring of Cardiac Care Patients in Hospital in Bandung. Jurnal Farmasi Klinik Indonesia. Vol.1(3) Untung, Kasumbogo. 2004. Dampak Pengendalian Hama Terpadu terhadap Pendaftaran dan Penggunaan Pestisida di Indonesia. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia. Vol.10 (1): 1 – 7 Vega, D. (2010) ‘EFEK HEPATOPROTEKTIF EKSTRAK ETANOL 50% JAMUR LINGZHI (Ganoderma lucidum) PADA TIKUS JANTAN YANG DIINDUKSI PARASETAMOL’. Yeomans MR, Jackson A, Lee MD, Nesic J, Durlach PJ. Expression of flavour preferences conditioned by caffeine is dependent on caffeine deprivation state. Psychopharmagology 2000; 150: 208-15.

Related Documents


More Documents from "evanregar"