Mekanisme Koma.pdf

  • Uploaded by: netifarhatii
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Mekanisme Koma.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 3,659
  • Pages: 22
Loading documents preview...
TINJAUAN PUSTAKA

KOMA

Oleh : Yoppy Wijaya, S.Ked 00700056

Pembimbing : Dr. Thomas J. S., Sp. S.

SMF ILMU PENYAKIT SARAF RSU USD GAMBIRAN KEDIRI KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA 2007

1

KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena rahmatNya maka kami dapat menyelesaikan refrat yang berjudul Koma. Refrat ini kami buat sebagai tugas dalam menjalankan kepaniteraan klinik di SMF Ilmu Penyakit Saraf RSU-USD Gambiran Kediri. Dalam kesempatan ini kami juga menyampaikan banyak terima kasih kepada pembimbing kami Dr. Thomas, Sp.S yang sudah membimbing sejak awal hingga selesainya refrat ini. Kami menyadari bahwa refrat ini jauh dari sempurna, hal ini karena kurangnya pengalaman dan pengetahuan kami. Untuk itu kami sangat berterima kasih bila pembaca sudi memberikan kritik dan saran. Akhir kata semoga refrat ini bermanfaat dan dapat menambah informasi dan pengetahuan.

2007

Penyusun

i

2

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR DAFTAR ISI BAB I

PENDAHULUAN

BAB II

PATOFISIOLOGI

BAB III

ETIOLOGI

BAB IV

DIAGNOSA DAN GAMBARAN KLINIS

BAB V

PENATALAKSANAAN DAN PROGNOSIS

BAB VI

KESIMPULAN

BAB VII DAFTAR PUSTAKA

Ii

3

BAB I. PENDAHULUAN Koma merupakan penurunan kesadaran yang paling rendah atau keadaan ‘unarousable unresponsiveness’, yaitu keadaan dimana dengan semua rangsangan, penderita tidak dapat dibangunkan 2,6. Dalam bidang neurology, koma merupakan kegawat daruratan medik yang paling sering ditemukan/dijumpai. Koma bukanlah suatu penyakit, melainkan suatu keadaan klinik tertentu yang disebabkan oleh berbagai faktor serta membutuhkan tindakan penanganan yang cepat dan tepat, dimana saja dan kapan saja. Oleh karena itu pekerja di bidang medis sangat perlu untuk memahami dan mengetahui setiap tindakan yang perlu dilakukan dalam penangan koma 1,3,6.

4

BAB II. PATOFISIOLOGI RANGSANGAN 2,3,4,5,6

Spesifik

Substansia retikularis (lintasan spesifik)

Thalamus (inti intralaminar)

Korteks (area spesifik)

Respon spesifik

Non-spesifik

substansia retikularis (Diffuse ascending reticular system)

Thalamus (inti intralaminar)

Korteks (seluruh bagian) kewaspadaan/kesadaran

Kesadaran dibagi dua yaitu kualitas dan derajat kesadaran. Jumblah (kuantitas) input/rangsangan menentukan derajat kesadaran, sedangkan kualitas kesadaran ditentukan oleh cara pengolahan input yang menghasilkan output SSP. Pada topik koma kita lebih menitikberatkan kepada derajat dari kesadaran4. Berdasarkan skema diatas kita dapat melihat bahwa input/rangsangan dibagi dua, spesifik dan non-spesifik. Input spesifik merujuk kepada perjalanan impuls aferen yang khas dimana menghasilkan suatu kesadaran yang khas pula. Lintasan yang digunakan impuls-impuls tersebut dapat dinamakan lintasan yang menghubungkan suatu titik pada tubuh dengan suatu titik di daerah korteks primer (penghantarannya berlangsung dari titik ke titik), yang berarti bahwa suatu titik pada kulit yang dirangsang mengirimkan impuls yang akan diterima oleh sekelompok neuron dititik tertentu daerah reseptif somatosensorik primer. Setibanya impuls aferen di tingkat korteks terwujudlah suatu kesadaran akan suatu modalitas perasaan yang spesifik,

5

yaitu perasaan nyeri di kaki atau di wajah atau suatu penglihatan, penghiduan atau suatu pendengaran tertentu. Input yang bersifat non-spesifik adalah sebagian dari impuls aferen spesifik yang disalurkan melalui lintasan aferen non-spesifik (lintasan ini lebih dikenal sebagai “diffuse ascending reticular system”) yang terdiri dari serangkaian neuron-neuron di substansia retikularis medulla spinalis dan batang otak yang menyalurkan impuls aferen ke thalamus (inti intralaminar). Inti intralaminar yang menerima impuls non-spesifik tersebut akan menggalakkan

dan

memancarkan

impuls

yang

diterimanya

menuju/merangsang/menggiatkan seluruh korteks secara difuse dan bilateral sehingga timbul kesadaran/kewaspadaan. Karena itu, neuron-neuron inti intralaminar disebut “neuron penggalak kewaspadaan”, sedangkan neuron-neuron diseluruh korteks serebri yang digalakkan disebut “neuron pengemban kewaspadaan” 2,3,4,5. Apabila terjadi gangguan sehingga kesadaran menurun sampai derajat yang terendah, maka koma yang dihadapi dapat terjadi oleh sebab ‘neuron pengemban kewaspadaan sama sekali tidak berfungsi (koma kortikal bihemisferik)’ atau oleh sebab ‘neuron penggalak kewaspadaan tidak berdaya untuk mengaktifkan neuron pengemban kewaspadaan (koma diensefalik)’ 4. Dari penjelasan diatas kita dapat melihat bahwa berdasarkan susunan anatomi, koma dibagi menjadi 2 yaitu; koma kortikal bihemisferik dan koma diensefalik 1,3,4.

1. Koma kortikal bihemisferik 1,4. Neuron merupakan satuan fungsional susunan saraf. Berbeda secara struktur, metabolisme dan fungsinya dengan sel tubuh lain. Pertama, neuron tidak bermitosis. Kedua, untuk metabolismenya neuron hanya menggunakan O2 dan glukosa saja. Sebab bahan baku seperti protein, lipid, polysaccharide dan zat lain yang biasa digunakan untuk metabolisme sel tidak dapat masuk ke neuron karena terhalang oleh ‘blood brain barrier’. Angka pemakaian glukosa ialah 5,5 mg/100 gr jaringan otak/menit. Angka pemakaian O2 ialah 3,3 cc/100 gr jaringan otak/menit.

6

Glukosa yang digunakan oleh neuron 35% untuk proses oksidasi, 50% dipakai untuk sintesis lipid, protein, polysaccharide, dan zat-zat lain yang menyusun infrastruktur neuron, dan 15% untuk fungsi transmisi. Hasil akhir dari proses oksidasi didapatkan CO2 dan H2O serta ATP yang

berfungsi

mengeluarkan

ion

Na

dari

dalam

sel

dan

mempertahankan ion K di dalam sel. Bila metabolisme neuron tersebut terganggu maka infrastruktur dan fungsi neuron akan lenyap, bilamana tidak ada perubahan yang dapat memperbaiki metabolisme. Koma yang bangkit akibat hal ini dikenal juga sebagai Koma Metabolik. Yang dapat membangkitkan koma metabolik antara lain: - Hipoventilasi

- Anoksia iskemik. - Anoksia anemik. - Hipoksia atau iskemia difus akut. - Gangguan metabolisme karbohidrat. - Gangguan keseimbangan asam basa. - Uremia. - Koma hepatik - Defisiensi vitamin B.

2. Koma diensefalik. Koma akibat gangguan fungsi atau lesi struktural formation retikularis di daerah mesensefalon dan diensefalon (pusat penggalak kesadaran). Secara anatomik koma diensefalik dibagi menjadi 2 bagian utama yaitu koma akibat lesi supratentorial dan lesi infratentorial.

7

Lesi supratentorial. Proses desak ruang supratentorial, lama kelamaan mendesak hemisferium kea rah foramen magnum, yang merupakan satu-satunya jalan keluaruntuk suatu proses desak didalam ruang tertutup seperti tengkorak. Karena itu batang otak bagian depan (diensefalon) mengalami distorsi dan penekanan. Saraf-saraf otak mengalami penarikan dan menjadi lumpuh dan substansia retikularis mengalami gangguan. Oleh karena itu bangkitlah kelumpuhan saraf otak yang disertai gangguan penurunan derajat kesadaran. Kelumpuhan saraf otak okulomotorius dan trokhlearismerupakan cirri bagi proses desak ruang supratentorial yang sedang menurun ke fossa posterior serebri. Yang dapat menyababkan lesi supratentorial antara lain; tumor serebri, abses dan hematoma intrakranial.

Lesi infratentorial. Ada 2 macam proses patologik dalam ruang infratentorial (fossa kranii posterior). Pertama, proses diluar batang otak atau serebelum yang mendesak system retikularis. Kedua, proses didalam batang otak yang secara langsung mendesak dan merusak system retikularis batang otak. Proses yang timbul berupa (i).penekanan langsung terhadap tegmentum mesensefalon (formasio retikularis). (ii) herniasi serebellum dan batang otak ke rostral melewati tentorium serebelli yang kemudian menekan formation retikularis di mesensefalon. (iii) herniasi tonsiloserebellum ke bawah melalui foramen magnum dan sekaligus menekan medulla oblongata. Secara klinis, ketiga proses tadi sukar dibedakan. Biasanya berbauran dan tidak ada tahapan yang khas. Penyebab lesi infratentorial biasanya GPDO di batang otak atau serebelum, neoplasma, abses, atau edema otak.

8

BAB III. ETIOLOGI Penyebab koma secara garis besar dapat disingkat/dibuat jembatan keledai menjadi kalimat “SEMENITE”. Selain itu ada juga beberapa buku yang menggunakan jembatan keledai yang berbeda tetapi memiliki pengertian yang sama. Dari jembatan keledai ini kita juga dapat membedakan manakah yang termasuk ke dalam koma bihemisferik ataupun koma diensefalik 1,2. S ; Sirkulasi – gangguan pembuluh darah otak (perdarahan maupun infark) E ; Ensefalitis – akibat infeksi baik oleh bakteri, virus, jamur, dll M ; Metabolik – akibat gangguan metabolic yang menekan/mengganggu kinerja otak. (gangguan hepar, uremia, hipoglikemia, koma diabetikum, dsb). E ; Elektrolit – gangguan keseimbangan elektrolit (seperti kalium, natrium). N ; Neoplasma – tumor baik primer ataupun sekunder yang menyebabkan penekanan

intracranial.

Biasanya

dengan

gejala

TIK

meningkat

(papiledema, bradikardi, muntah). I ; Intoksikasi – keracunan. T ; Trauma – kecelakaan. E ; Epilepsi.

9

BAB IV. DIAGNOSA & GAMBARAN KLINIS Untuk mendiagnosis koma atau penurunan kesadaran tidaklah sulit. Yang menjadi masalah adalah apa yang menjadi penyebab koma tadi dan bagaimana situasi koma yang sedang dihadapinya ( tenang, herniasi otak, atau justru agonia). Untuk mencapai tujuan tersebut, maka harus dimulai dengan anamnesia, dilanjutkan dengan pemeriksaan intern, pemeriksaan neurologis, dan pemeriksaan tambahan sesuai dengan kebutuhan.

1. Anamnesa. Karena penderita terganggu kesadarannya, maka harus diambil heteroanamnesis dari orang yang menemukan penderita atau mengetahui kejadiannya. Hal yang harus diperhatikan antara lain: - Penyakit penderita sebelum koma. - Keluhan penderita sebelum tidak sdar - Obat yang digunakan. - Apa ada sisa obat, muntahan, darah, dsb didekat penderita saat ia ditemukan tidak sadar. - Apakah koma terjadi secara mendadak atau perlahan?. Gejala apa saja yang nampak oleh orang-orang disekitarnya?. - Apakah ada trauma sebelumnya - Apakah penderita mengalami inkontinensia urin dan feses.

2. Pemeriksaan intern/fisik. a. Tanda-tanda vital. b. Bau nafas penderita (amoniak, aseton, alcohol, dll) c. Kulit ; turgor (dehidrasi), warna (sianosis - intoksikasi CO, obat-obatan), bekas injeksi (morfin), luka-luka karena trauma. d. Selaput mukosa mulut (adanya darah atau bekas minum racun).

10

*Opistotonus (meningitis), *Miring kanan/kiri (tumor fossa

e. Kepala; posterior).

*Apakah keluar darah atau cairan dari telinga/hidung?. *Hematom disekitar mata (Brill hematoma) atau pada mastoid (Battle’s sign). *Apakah ada fraktur impresi?. f. Leher; Apakah ada fraktur? Jika tidak, periksa kaku kuduk. g. Thorax; paru & jantung. h. Abdomen; Hepar (koma hepatik), ginjal (koma uremik), retensi urin (+/-). i. Ekstrimitas; sianosis ujung jari, edema pada tungkai.

3. Pemeriksaan neurologis. a. Pemeriksaan kesadaran; digunakan Glasgow Coma Scale (GCS). b. Pemeriksaan untuk menetapkan letak proses / lesi.

*) Observasi umum. 

Perhatikan

gerakan

menguap,

menelan,

mengunyah,

membasahi bibir. Bila (+), prognosis cukup baik. 

Perhatikan gerakan multifokal dan berulang kali (myoclonic jerk). Disebabkan oleh gangguan metabolik.



Lengan dan tungkai. ( i ).Lengan keadaan flexi (decorticated rigidity)gangguan di hemisfer, batang otak masih baik. ( ii ). Lengan dan tungkai extensi (deserebrate rigidity)kerusakan di batang otak.

*) Pola pernafasan. 

Pernafasan Cheyne-Stokes (Periodic breathing).: Terjadi keadaan apnea, kemudia timbul pernafasan yang berangsur-angsur bertambah

besar amplitudonya. Setelah mencapai suatu

puncak, akan menurun lagi proses di hemisfer dan/batang otak bagian atas. 

Hiperventilasi neurogen sentral (kussmaul) : Pernfasan cepat dan dalam



disebabkan

gangguan

di

tegmentum

(antara

11

mesenfalon dan pons). Letak prosesnya lebih kaudal dari pernafasan cheyne-stokes, prognosisnya juga lebih jelek. 

Pernafasan apneustik : Terdapat suatu inspirasi yang dalam diikuti oleh

poenghentian

ekspirasi

selama

beberapa

saat. 

Gangguan di pons. Prognosis lebih jelek daripada hiperventilasi neurogen sentral karena prosesnya lebih kaudal. 

Pernafasan ataksik : Terdiri dari pernafasan yang dangkal, cepat, dan tidak teratur  Terganggunya formation retikularis di bagian dorsomedial dan medulla oblongata. Terlihat pada keadaan agonal karenanya sering disebut sebagai tanda menjelang ajal.

*). Kelainan pupil. Untuk menentukan letak kelainan di batang otak, yang harus diperhatikan adalah (1)besarnya, (2)bentuknya, (3)refleks pupil. Jangan menggunakan midriatikum karena akan menghilangkan refleks pupil. Kelainan gerakan dan/atau kedudukan bola mata dapat menunjukkan topical dari lesi : 

Lesi di hemisfer  Deviation Conjugee (mata melihat kearah hemisfer yang terganggu), pupil & refleks cahaya normal.



Lesi di thalamus  Kedua bola mata melihat kearah hidung. Kadang hemianestesia (badan, tungkai, wajah). Dystonic posture (lengan dalam posisi aneh)



Lesi di pons  Kedua bola mata di tengah, tidak ada gerakan walau

dengan

perubahan

posisi

(doll’s

eye

maneuver

abnormal), pupil pinpoint, refleks cahaya (+), kadang ada ocular bobbing. 

Lesi di serebelum  Bola mata ditengah, pupil besar, bentuk normal, refleks cahaya (+) normal. Sering karena perdarahan yang meningkatkan TIK, sehingga mengganggu N.VI.



Gangguan N.Okulomotorius  Pupil anisokor, refleks cahaya negative (pada pupil yang lebar), sering disertai ptosis. Gangguan pada N.III sering merupakan tanda pertama akan

12

terjadinya herniasi tentorial. Adanya perdarahan atau edema di daerah supratentorial akan mendorong lobus temporalis ke bawah. Desakannya akan menekan N.III, yang bila proses berlanjut akan menekan batang otak, dan menyebabkan kematian.

*) Refleks sefalik 

Refleks pupil ; Terdapat 3 refleks (cahaya, konsensual, konvergensi). Konvergensi sulit diperiksa pada penderita dengan kesadaran menurun. Oleh karena itu pada penderita koma hanya dapat diperiksa refleks cahaya dan konsensual. Bila refleks cahaya terganggu  gangguan di mesensefalon.



Doll’s eye phenomenon

 gangguan di pons (refleks

okulo-sefalik negative). 

Refleks okulo-vestibular  menggunakan tes kalori. Jika ( -) berarti terdapat gangguan di pons.



Refleks kornea  merangsang kornea dengan kapas halus akan menyebabkan penutupan kelopak mata. Bila negative berarti ada kelainan di pons.



Refleks muntah  sentuhan pada dinding faring belakang. Refleks ini hilang pada kerusakan di medula oblongata.

*). Reaksi terhadap rangsangan nyeri. Tekanan pada supraorbita, jaringan bawah kuku tangan, sternum. Rangsangan tersebut akan menimbulkan refleks sbb: 

Abduksi  fungsi hemisfer masih baik (high level function).



Menghindar (Flexi dan aduksi)  hanya ada low level function.



Flexi ada gangguan di hemisfer.



Extensi kedua lengan dan tungkai gangguan di batang otak.

13

Secara garis besarnya, pemeriksaan untuk menentukan letak lesi dapat dilihat pada kolom dibawah ini, dimana masing-masing lesi memiliki gejala tertentu / gejala yang khas secara klinis 1,2,3,4,7. Hemisfer Breathing (pernapasan) Reaktivitas dan ukuran pupil

Diencefalon

Midbrain (mesensefalon)

Cheyne stokes

Cheyne stokes

Kussmaul

 Deviation conjugee  Refleks cahaya normal  Φ normal

Bola mata melihat kearah hidung Pupil kecil Refleks cahaya (–)

 Pupil dilatasi Φ 4-5mm  Unreaktif

Pons Kussmaul / apneustik

Medulla oblongata Ataksik

 kedua mata diam di tengah  unreaktif pupil tidak bergerak  no eye movement  pupil pin point  refleks cahaya (+) minimal

Okulo-auditorik refleks

(–)

(–)

Okulo-vestibular refleks

(–)

(–)

Refleks kornea

(–)

(–)

Refleks muntah Sikap tubuh

(–) Decorticated rigidity

Withdrawal / decorticate

Decerebrate rigidity

Decerebrate rigidity

(–)

# semakin ke kanan, prognosa semakin buruk #

14

*). Fungsi traktus piramidalis. Merupakan saluran saraf terpanjang, sehingga apabila terjadi kerusakan struktur susunan saraf pusat amat sering terganggu. Bila traktus piramidalis tidak terganggu, kemungkinan besar kelainan disebabkan oleh gangguan metabolisme. Adanya gangguan pada traktus piramidalis dapat diketahui dengan adanya: 

Paralisis (kelumpuhan)



Refleks

tendinei

(otot)



bila

traktus

piramidalis

terganggu, akan terdapat penurunan refleks sisi kontralateral. (penurunan refleks tendon hanya sementara, pada akhirnya refleksnya meningkat). 

Refleks patologik (+)positif.



Tonus  pada fase akut terjadi penurunan tonus kontralateral. Bila lesi piramidalis sudah lama, tonus akan meningkat (pada umumnya kita hanya menemukan peningkatan tonus).

*). Pemeriksaan laboratorium. Darah rutin, fungsi ginjal (BUN, serum kreatinin), fungsi hati (LFT, SGOT, SGPT), elektrolit, glukosa darah. Liquor serebrospinalis harus diperiksa bila diduga ada infeksi intarakranial (meningitis, meningoensefalitis). Kontraindikasi LP dalah peningkatan tekanan intracranial. Pada pemeriksaan liquor serebrospinalis harus diperhatikan: 

Warna ; normalnya jernih. Bila ada perdarahan, dihitung jumblah eritrosit. o < 50/mm  kemungkinan suatu emboli. o 1000/mm  kemungkinan perdarahan intraserebral. o 10.000/mm kemungkinan infark haemorhage. o 25.000/mm  kemungkinan perdarahan subarakhnoid.

15



Jumblah sel ; Normal < 5/m. o Bila meningkat meningitis/meningoesefalitis. o Peningkatan mononuclear menunjukkan adanya meningitis serosa, yang dapat disebabkan oleh TB, virus, atau jamur. o Peningkatan sel polimorfonuklear meningitis purulenta.



Protein ; Kadar protein liquor normalnya 0,15-0,45 g/l. Meningkat pada keradangan/perdarahan.



Glukosa ; kadar glukosa liquor normalnya 2/3 kadar glukosa darah. Kadar glukosa yang menurun  ada infeksi (TBC, bacterial).



Bakteriologi ; Pemeriksaan pengecatan gram dan kultur bila dicurigai adanya infeksi intracranial.



Pemeriksaan khusus ; o

Keganasan  sitologi

o

TB  pengecatan ziehl-nelson

o

neurosifilis VDRL / TPHA.

*). Pemeriksaan dengan alat. 

CT scan – merupakan pemeriksaan yang paling sering atau umum digunakan



Oftalmoskop : Pada setiap penderita koma, fundus okuli harus diperiksa untuk melihat adanya (1).papiledema. (2).tanda-tanda arteriosclerosis pembuluh darah di retina. (3).Tuberkel di koroidea.



Elektroensefalografi (EEG) ; untuk melihat kelainan difus atau fokal. Harus dibandingkan antara hemisfer kiri dan kanan. Serial EEG diperlukan untuk evaluasi penderita koma.



Eko-ensefalografi ; menggunakan gelombang ultrasound. Midline echo pada orang normal menandakan posisi ventrikel III. Yang perlu diperhatikan adalah dorongan dari midline echo untuk menentukan lateralisasi.



Doppler ( B scan) ; alat untuk mengukur kecepatan aliran darah di arteria karotis dan pembuluh darah kolateral (temporalis,orbita). Pemeriksaan ini penting untuk mengetahui adanya stenosis pada arteri.

16



Arteriografi ; pemeriksaan invasive dengan memasukkan kontras ke dalam pembuluh darah. Hanya dilakukan pada pasien dengan dugaan kelainan pembuluh darah



MRI (magnetic resonance imaging).

Gambaran klinik. Dipandang dari penampilan klinik, penderita koma dapat bersikap tenang seakan akan tidur pulas atau bersikap gelisah, banyak gerak, dan/atau berteriak. Manifestasi klinik penurunan kesadaran bervariasi, bergantung pada penyakit yang mendasarinya atau komplikasi yang muncul setelah terjadinya penurunan kesadaran.. Gejala klinik yang dapat menyertai koma antara lain; demam, gelisah, kejang, muntah, retensi lendir atau sputum di tenggorokkan, retensi atau inkontinensia urin, hipertensi, hipotensi, takikardi, bradikardi, takipnea, dispnea, edema fokal atau anasarka, ikterus, sianosis, pucat, perdarahan subkutis, dan sebagainya. Pada lesi intrakranial dapat terjadi hemiplegia, defisit nervi kranialis, kaku kuduk, deviasi mata, perubahan diameter pupil, edema papil. Pada trauma kapitis dapat terjadi braile hematoma, hematoma belakang telinga (battle sign), perdarahan telinga dan hidung, dan likorea. Koma kortikal bihemisferik  disebut juga “koma metabolik”, dimana pada koma jenis ini terdapat penyakit primer yang mendasari (penyakit non-saraf) timbulnya koma. Gejala klinisnya : ‘organic brain syndrome’ dan gangguan neurologist yang bilateral. Koma diensefalik  timbul akibat gangguan fungsi atau lesi struktur formation retikularis (batang otak) akibat proses desak ruang. Gejala klinisnya : semua manifestasi gangguan neurologik menunjukkan ciri lateralisasi seperti hemiparese, anisokor, dll 1,3,4,7.

Diagnosis banding koma 2: (1). Afasia global akut – pada keadaan ini penderita tidak mengerti dan tidak dapat berbicara, tetapi refleks-refleks sefalik lainnya masih baik. (2). Lock in syndrome – pada sindroma ini didapatkan paralysis keempat ekstrimitas, penderita tidak dapat berbicara, tetapi penderita masih dapat melakukan kedipan dan gerakan bola mata. Gerakan ini dapat dipakai untuk berkomunikasi. Sindroma ini dijumpai pada lesi di mesensefalon.

17

BAB V. PENATALAKSANAAN & PROGNOSIS Penatalaksanaan penderita koma secara umum harus dikelola menurut prinsip 5 B yaitu 1,2,4,7 : 1.

Breathing  Jalan napas harus bebas dari obstruksi. Posisi penderita miring agar lidah tidak jatuh kebelakang, serta bila muntah tidak terjadi aspirasi. Bila pernapasan berhenti segera lakukan resusitasi.

2.

Blood  Diusahakan tekanan darah cukup tinggi untuk mengalirkan darah ke otak. Tekanan darah yang rendah berbahaya untuk susunan saraf pusat. Komposisi kimiawi darah

dipertahankan

semaksimal

mungkin,

karena

perubahan-perubahan tersebut akan mengganggu perfusi dan metabolisme otak. 3.

Brain  Usahakan untuk mengurangi edema otak yang timbul.

Bila

penderita

kejang

sebaiknya

diberikan

difenilhidantoin 3 dd 100 mg atau karbamezepin 3 dd 200 mg per os atau nasogastric. Bila perlu difenilhidantoin diberikan intravena secara perlahan. 4.

Bladder  Harus diperhatikan fungsi ginjal, cairan, elektrolit, dan miksi. Kateter harus dipasang kecuali terdapat inkontinensia urin ataupun infeksi.

5.

Bowel  Makanan penderita harus cukup mengandung kalori dan vitamin. Pada penderita tua sering terjadi kekurangan albumin yang memperburuk edema otak, hal ini harus cepat dikoreksi. Bila terdapat kesukaran menelan dipasang sonde hidung. Perhatikan defekasinya dan hindari terjadi obstipasi.

18

Penatalaksanaan berdasarkan etiologi, secara singkat akan diuraikan berdasarkan urutan SEMENITE ;2 1. Sirkulasi a. Perdarahan subaranoidal  Asam traneksamat 4 dd 1 gr iv perlahan-lahan selama 2 minggu, dilanjutkan peroral selama 1 minggu untuk mencegah kemungkinan rebleeding. Nimodipin (ca blocker) untuk mencegah vasospasme. Setelah 3 minggu sebaiknya dilakukan arteriografi untuk mencari penyebab perdarahan, dan bila mungkin diperbaiki dengan jalan operasi. b. Perdarahan intraserebral  Pengobatan sama seperti diatas. Pembedahan hanya dilakukan bila perdarahan terjadi di lokasi tertentu, misalnya serebelum. c. Infark otak  keadaan ini dapat disebabkan oleh karena trombosis maupun emboli. Pengobatan infark akut dapat dibagi dalam 3 kelompok : 

Pengobatan terhadap edema otak, mis. Dengan mannitol



Pengobatan untuk memperbaiki metabolisme otak, mis. Dengan citicholine / codergocrine mesylate / piracetam



Pemberian

obat

antiagregasi

trombosit

dan

antikoagulan. Penatalaksanaan secara lebih detil mengenai gangguan sirkulasi dapat dibaca pada tulisan-tulisan lain mengenai CVA. 2. Ensefalomeningitis. Meningitis purulenta  antibiotic Meningitis tuberkulosa  dipakai kombinasi INH, rifampisin, kanamisin, dan pirazinamide. 3. Metabolisme. Koma karena gangguan metabolime harus diobati penyakit primernya. Penatalaksanaannya terletak di bagian penyakit dalam. 4. Elektrolit dan endokrin. Bagian penyakit dalam. Kalium selain menyebabkan gangguan saraf juga dapat menyebabkan gangguan jantung. 19

5. Neoplasm. Dilakukan oleh ahli bedah saraf. 6. Intoksikasi penderita koma karena intoksikasi diberikan activator metabolic dan diuresis paksa untuk mengeluarkan penyabab intoksikasi. Bila memungkinkan berikan antidotnya. 7. Epilepsi 8. o Secara umum, pengobatan dilakukan bila terdapat minimum 2 x bangkitan dalam setahun. Tegakkan diagnosis, jelaskan kepada keluarga penderita seputar tujuan pengobatan dan efek samping. o Sesuaikan jenis obat dengan jenis serangan epilepsy yang di jumpai, sebaiknya MONOTERAPI. o Mulailah dengan dosis rendah yang dinaikkan bertahap sampai tercapai dosis efektif. o Bila perlu penggantian obat, obat pertama diturunkan secara bertahap dan naikkan obat kedua bertahap. o Jika serangan tetap tidak terkontrol meskipun sudah mendapat monoterapi / terapi optimal, sebaiknya rujuk ke spesialis saraf. o Pada status epileptikus : 

Bayi dan anak ; dosis 15-20 mg / kgBB i.v  pemberian secara perlahan-lahan kurang dari 1-3 mg / kgBB / menit.



Dewasa : dosis 10-15 mg / kgBB perlahan-lahan < 50 mg / menit  disusul dengan dosis rumatan 3-4 x 100 mg / hari, oral / i.v

Prognosis. Prognosis jelek bila didapatkan gejala-gejala seperti di bawah ini lebih dari 3 hari: 1. Adanya gangguan fungsi batang otak, seperti doll’s eye phenomenon negative, refleks kornea negative, refleks muntah negative. 2. Pupil lebar tanpa adanya refleks cahaya. 3. GCS yang rendah (1-1-1).

20

BAB VI. KESIMPULAN

1) Koma bukanlah suatu penyakit, melainkan suatu keadaan klinik tertentu yang disebabkan oleh berbagai faktor. 2) Kesadaran / kewaspadaan berhubungan dengan impuls non-spesifik. 3) Neuron-neuron inti intralaminar disebut “neuron penggalak kewaspadaan”, sedangkan neuron-neuron diseluruh korteks serebri yang digalakkan disebut “neuron pengemban kewaspadaan” 4) koma yang dihadapi dapat terjadi oleh sebab ‘neuron pengemban kewaspadaan sama sekali tidak berfungsi (koma kortikal bihemisferik)’ atau oleh sebab ‘neuron penggalak kewaspadaan tidak berdaya untuk mengaktifkan neuron pengemban kewaspadaan (koma diensefalik)’. 5) Penyebab koma secara garis besar dapat disingkat “SEMENITE”. 6) Diagnosa berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, pemeriksaan neurology, dan pemeriksaan tambahan berupa pemeriksaan laborat dan pemeriksaan dengan alat (CT-scan, dll). 7) DD koma ; afasia global akut dan lock in syndrome. 8) Penatalaksanaannya berdasarkan 5B dan etiologi.

21

BAB VII. DAFTAR PUSTAKA

1. Harsono (ed.) 2005 buku ajar Neurologis klinis, cetakan ketiga. Penerbit Gajah Mada University Press. 2. Prof. Dr. dr. B. Chandra, Neurologi Klinik, Kepala Bagian Ilmu Penyakit Saraf FK.Unair / RSUD Dr. Soetomo Surabaya,. 3. Priguna Sidharta, M. D., Ph. D. , Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi, Dian Rakyat. 4. Sidharta, Priguna, dan Mardjono, Mahar 2004 Neurologis Klinis Dasar. Penerbit Dian Rakyat. 5. J.G.Chusid, Neuroanatomi Korelatif dan Neurologi Fungsional. Diterjemahkan oleh dr. Andri Hartono, Gadjah Mada University press, cetakan ke empat 1993. 6. Prof.DR.dr. S.M. Lumbantobing (ed. 2005) Neurologi Klinik, pemeriksaan fisik dan mental, cetakan ketujuh. Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. 7. Rifat Naghmi, BSo, MD, Coma: quick evaluation and management 8. Dr. Manfaluthi, SpS, Dr. Nizar Yamani, SpS, Dr. Lina Soertidewi, SpS, dan kawan-kawan PERPEI (Perhimpunan Penanggulangan Epilepsi Indonesia) cabang jakarta, Buku Panduan / Modul Penanggulangan Epilepsi Mudah Aman & Sederhana (EMAS), tahun 2004, PERPEI.

22

Related Documents


More Documents from "evanregar"

Mekanisme Koma.pdf
February 2021 3