Mekanisme Kerja Teratogen

  • Uploaded by: Gufron Alifi
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Mekanisme Kerja Teratogen as PDF for free.

More details

  • Words: 3,293
  • Pages: 17
Loading documents preview...
MEKANISME KERJA TERATOGEN MAKALAH UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH Teratologi Yang dibina oleh Dra. Amy Tenzer, M.Si.

Oleh : Kelompok 5 Gufron Alifi

(1603426062960)

Fatiyatur Rosyidah

(160342606212)

Lita Neldya Putri

(160342606223)

Offering GHK

UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM PROGRAM STUDI BIOLOGI Februari 2019

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang “Mekanisme Kerja Teratogen”. Meskipun dalam pembuatan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan. Kami juga ingin berterima kasih kepada Dosen Pembimbing kami dalam mata kuliah Teratologi yaitu Dra. Amy Tenzer, M.Si. yang telah banyak membantu dan memberi masukan kepada kami dalam menyelesaikan tugas ini. Kami juga sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam membantu menambah wawasan serta pengetahuan kita tentang Teratologi. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa didalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun. Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan dimasa depan

Penulis

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pada manusia, angka kematian yang ditimbulkan akibat adanya cacat lahir hampir terjadi di seluruh dunia, baik untuk orang Asia, Amerika, Afrika, Amerika Latin, Kaukasus dan pendududk asli Amerika (Salder, 1997). Cacat lahir merupakan angka tertinggi dalam menduduki tingkat kematian bayi di Amerika Serikat pada tahun 1988. Secara natural cacat itu sulit dipastikan apa penyebabnya yang khusus. Mungkin sekali gabungan atau kerja sama berbagai faktor genetis dan lingkungan. Secara eksperimental dapat dibuat cacat dengan mempergunakan salah satu teratogen dan mengontrol faktor lainnya. Teratogenesis adalah pembentukan cacat bawaan. Kelainan ini sudah diketahui selama beberapa dasawarsa dan merupakan penyebab utama morbiditas serta mortalitas pada bayi lahir. Hubungan antara cacat bawaan dan zat kimia tidak diduga waktu itu karena para ahli toksikologi percaya bahwa dalam tubuh terdapat mekanisme perlindungan alami seperti detoksifikasi, eliminasi dan barier plasenta yang dapat melindungi embrio jika ibunya terpajan zat kimia. Sebaliknya, diketahui bahwa mekanisme perlindungan alami tidak efektif melawan radiasi ion, virus, dan kekurangan gizi (Lu, 1995). Teratogenisitas didefinisikan sebagai kemampuan suatu zat eksogen (disebut teratogen) untuk menimbulkan malformasi kongenital yang tampak jelas saat lahir bila diberikan selama kehamilan. Pada dasarnya teratogen memberikan pengaruh terhadap terjadinya embriogenesis dengan menyebabkan mutasi gen, kerusakan kromosom atau nondisjunction pengurangan atau adanya hambatan prekursor maupun substrat, kekurangan sumber energi, hambatan enzim, adanya perubahan pada membran sel (Edwards, 1986). Keadaan tersebut memicu kematian sel, berkurangnya pembelahan sel, kegagalan interaksi antar sel, gangguan migrasi sel, hingga menyebabkan abnormalitas suatu embrio. Efek teratogen yang terjadi tergantung dari : kepekaan genetis janin, masa gestasi, dosis obat yang diberikan, serta kondisi ibu seperti umur, nutrisi, patologi.

Proses kerja teratogen menurut Yatim (1994) secara garis besar adalah sebagai berikut: mengubah kecepatan proliferasi sel, menghalangi sintesa enzim, mengubah permukaan sel sehingga agregasi tidak teratur, mengubah matriks yang mengganggu perpindahan sel-sel, serta merusak organizer atau daya kompetisi sel berespon. Untuk mengetahui mekanisme kerja teratogen pada tubuh maternal, plasenta dan tubuh embrio maka disusunlah makalah ini.

1.2 Rumusan Masalah 1. Bagaimana mekanisme kerja teratogen dalam tubuh maternal? 2. Bagaimana mekanisme kerja teratogen dalam tubuh plasenta? 3. Bagaimana mekanisme kerja teratogen dalam tubuh embrio?

1.3 Tujuan 1. Untuk mengetahui mekanisme kerja teratogen dalam tubuh maternal. 2. Untuk mengetahui mekanisme kerja teratogen dalam tubuh plasenta. 3. Untuk mengetahui mekanisme kerja teratogen dalam tubuh embrio.

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Mekanisme kerja teratogen dalam tubuh maternal Prinsip mekanisme menyatakan bahwa teratogen menghasilkan efeknya dengan mengganggu induksi atau diferensiasi. Berkurangnya ketersediaan prekursor, substrat, dan koenzim baik karena kekurangan gizi ibu atau karena agen yang mengganggu penyerapan nutrisi di seluruh membran (misalnya, kloramfenikol atau tetrasiklin) dapat mengakibatkan penurunan ketersediaan substrat yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan janin. Tetrasiklin dan kloramfenikol merupakan senyawa yang mempengaruhi fungsi subunit ribosom 30S atau 50S sehingga menyebabkan penghambatan sintesis protein yang reversible. Terlepas dari ketersediaan substrat yang telah disebutkan, beberapa agen dapat mengganggu metabolisme anaerob dan aerob (misalnya, 6-aminonicotionamide) sehingga mengurangi sel-sel energi yang mereka butuhkan untuk proliferasi dan migrasi. Beberapa agen juga dapat mengganggu enzim aktivitas seperti ornithine decarboxylase (misalnya, dioksin) yang mengakibatkan perkembangan abnormal. Karena embrio dan janin terutama terdiri dari cairan, perubahan tekanan cairan dan komposisi cairan yang berbeda dalam embrio juga dapat mengganggu proses perkembangan. Tidak selalu jelas apakah mekanisme untuk efek teratogenik melibatkan beberapa efek langsung pada conceptus atau yang muncul secara tidak langsung sebagai akibat dari beberapa pengaruh pada ibu. Misalnya, teratogen dapat menyebabkan ibu makan lebih sedikit atau dapat mengubah transportasi nutrisi dari saluran pencernaannya ke darahnya, dapat mengubah pembuluh darah rahimnya atau tonus atau suplai darahnya, atau dapat mengubah kelenjar endokrin yang mengakibatkan hormon abnormal. Mekanisme teratogen dalam tubuh maternal juga dapat melalui absorbs (penyerapan). Teratogen yang masuk ke dalam tubuh melalui mulut

kemudian akan diserap ke dalam darah melalui saluran pencernaan. Namun teratogen juga dapat masuk ke dalam tubuh melalui rute lain, seperti inhalasi (misal, merokok tembakau atau ganja), mengendus (misalnya, kokain), atau dengan injeksi intravena (misalnya, narkotika). Beberapa zat mempotensiasi aksi teratogen lain dengan memengaruhi ionisasi mereka di saluran pencernaan. Sebagai contoh, alkohol meningkatkan keasaman di lambung sehingga teratogen asam seperti diazepam diserap lebih cepat (MacLeod et al., 1977), sedangkan yang basa terionisasi dan diserap lebih lambat. Berikut adalah contoh mekanisme teratogen dari paparan zat kimia yang bekerja dalam tubuh maternal. Mekanisme keracunan pestisida dapat terjadi farmakokinetik dan farmakodinamik. Secara farmakokinetik inhibitor kolinesterase diabsorbsi secara cepat dan efektif melalui mulut, pernafasan, mata dan kulit. Setelah diabsorbsi sebagian besar dieksresikan dalam urin, hampir seluruhnya dalam bentuk metabolit. Metabolit dan senyawa aslinya di dalam darah dan jaringan tubuh terikat pada protein. Enzim-enzim hidrolitik dan oksidatif terlibat dalam metabolisme senyawa organofosfat dan karbamat. Selang waktu antara absorpsi dengn ekskresi bervariasi. Secara farmakodinamik yaitu Asetilkolin (ACh) adalah penghantar saraf yang berada pada seluruh sistem saraf pusat (SSP), saraf otonom dan saraf somatik. Setelah masuk ke dalam tubuh, pestisida golongan organofosfat dan karbamat akan mengikat enzim asetilkolinesterase (AChe) sehinga AChe menjadi inaktif dan terjadi akumulasi asetilkolin. Asetilkolin berikatan dengan reseptor muskarinik dan nikotinik pada sistem saraf pusat dan perifer. Kondisi ini menyebabkan timbulnya gejala keracunan yang berpengaruh pada seluruh tubuh dan berdampak luas (Gessel, T.A. dkk. 1990). Pestisida yang masuk ke dalam tubuh tubuh akan terakumulasi dalam jaringan tubuh, protein, lemak dan tulang. Pestisida yang larut dalam lemak, disimpan dalam tubuh untuk jangka waktu yang panjang. Kadar lemak ibu hamil yang tinggi menyebabkan pestisida akan terakumulasi dalam lemak yang pada akhirnya dapat mengganggu pertumbuhan dari janin yang sedang dikandungnya

(Bambang, dkk. 2013). Efek racun pestisida paling ditakuti karena dapat bersifat karsinogenik (pembentukan jaringan kanker pada tubuh), mutagenik (kerusakan genetik untuk generasi yang akan datang), dan teratogenic (kelahiran anak cacat dari ibu yang keracunan) dan Ibu Melahirkan Bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) (Girsang & Warlinson, 2009). Distribusi. Begitu teratogen memasuki darah, mereka mungkin menjadi "terikat" dengan protein plasma seperti albumin. Karena hanya teratogen yang tidak terikat yang dapat melewati membran seluler, pengikatan protein mempengaruhi teratogenisitas melalui pengaruhnya terhadap konsentrasi obat bebas yang tersedia untuk perjalanan ke janin. Pengikatan protein juga dapat meningkatkan

tingkat

pembersihan

teratogen

dari

darah

dengan

memindahkannya ke hati, di mana ia dilepaskan dari situs pengikatannya dan dimetabolisme. Ketika konsentrasi teratogen dalam darah berkurang, jumlah teratogen yang sebelumnya tidak aktif karena ikatan sekarang tersedia untuk masuk ke dalam sel. Akibatnya, meskipun pengikatan protein dapat menghilangkan sebagian teratogen dari sirkulasi bebas, pengikatan protein juga dapat memperpanjang durasi kerjanya karena molekul akan bergerak kembali ke sirkulasi bebas dari situs pengikatan ketika kadar darah menurun. Pengikatan protein akan mempengaruhi akses teratogen ke plasenta hanya ketika konsentrasinya dalam darah cukup rendah untuk memulai. Ketika tingkat puncak darah relatif tinggi, jumlah situs pengikatan menjadi cepat jenuh. Jumlah teratogen yang terikat dengan protein plasma kemudian maksimum, tetapi persentase aktual dari teratogen biasanya diabaikan dibandingkan dengan jumlah total teratogen yang bebas berdifusi melintasi membran sel.

Selama kehamilan, ikatan protein obat-obatan seperti Fenobarbital dan fenitoin menurun (Chen et al., 1982). Ini karena ada lebih sedikit albumin dalam darah selama kehamilan (D'Arcy & McElnay , 1982). Karena penurunan pengikatan protein maka harus ada kadar obat tidak terikat yang lebih tinggi pada wanita hamil dibandingkan dengan wanita tidak hamil . Ini berarti bahwa lebih banyak obat harus tersedia untuk perjalanan transplasenta ke janin daripada yang diperkirakan berdasarkan tingkat darah pada wanita yang tidak hamil. 2.2 Mekanisme kerja teratogen dalam tubuh plasenta Plasenta

merupakan

organ

sementara

dan

menjadi

tempat

berlangsungnya pertukaran fisiologik antara induk dan fetus yang bersifat permeabel (Junqueira et al , 1998). Fungsi utama plasenta yakni memungkinkan difusi bahan makanan dari darah ibu ke dalam darah fetus dan difusi hasil-hasil ekskresi dari fetus kembali ke dalam tubuh induk.

Gambar 1. Struktur Anatomi Plasenta (sumber : Researchget.net) Pada saat awal perkembangan janin, permeabilitas plasenta relatif sedikit dan luas permukaan plasenta masih kecil serta membran vili plasenta tebalnya belum mencapai minimal. Pada saat plasenta bertambah tua

permeabilitasnya meningkat secara progresif sampai akhir masa kehamilan. Setelah itu, permeabilitas mulai berkurang kembali. Peningkatan permeabilitas membran plasenta disebabkan penambahan luas permukaan membran plasenta dan penipisan progresif lapisan-lapisan vili (Siswosudarmo, 1988). Jalur utama transfer zat asing melalui plasenta adalah dengan difusi sederhana. Zat asing yang bersifat lipofilik lebih mudah menembus plasenta daripada zat nonlipofilik (Lenz &Knapp, 1962). Menurut Datu (2005) zat asing yang tidak terionisasi pada pH fisiologis akan lebih mudah berdifusi melalui plasenta dibandingkan zat asing yang bersifat asam atau basa. Faktor-faktor yang mempengaruhi transfer zat asing melalui plasenta antara lain adalah berat molekul zat asing, pH saat 50% zat asing terionisasi, dan ikatan antara zat asing dengan protein plasma (Krishnamurthy, 1983). Mekanisme transfer zat asing melalui plasenta dapat dengan cara difusi, baik aktif maupun pasif, transport aktif, fagositosis, dan pinositosis (Fraser, 1992). Plasenta memiliki sifat selektif untuk mentransfer obat secara perlahan atau secara cepat dari ibu ke janin tergantung pada variabel, seperti kualitas aliran darah uteroplasenta. Perpindahan obat lewat plasenta umumnya berlangsung secara difusi sederhana sehingga konsentrasi obat di darah ibu serta aliran darah plasenta akan sangat menentukan perpindahan obat lewat plasenta. Seperti juga pada membran biologis lain perpindahan obat lewat plasenta dipengaruhi oleh beberapa hal, yakni: 1.

Kelarutan dalam lemak. Obat yang larut dalam lemak akan berdifusi dengan mudah melewati plasenta masuk ke sirkulasi janin. Contohnya , thiopental, obat yang umum digunakan pada dapat menyebabkan apnea (henti nafas) pada bayi yang baru dilahirkan.

2.

Obat yang tidak terionisasi akan mudah melewati plasenta. Sebaliknya obat yang terionisasi akan sulit melewati membran Contohnya suksinil kholin dan tubokurarin yang juga digunakan pada seksio sesarea, adalah obat-obat yang derajat ionisasinya tinggi, akan sulit melewati plasenta sehingga kadarnya di

di janin rendah. Contoh lain yang memperlihatkan pengaruh kelarutan dalam lemak dan derajat ionisasi adalah salisilat, zat ini hampir semua terion pada pH tubuh akan melewati akan tetapi dapat cepat melewati plasenta. Hal ini disebabkan oleh tingginya kelarutan dalam lemak dari sebagian kecil salisilat yang tidak terion. Permeabilitas membran plasenta terhadap senyawa polar tersebut tidak absolut. Bila perbedaan konsentrasi ibu-janin tinggi, senyawa polar tetap akan melewati plasenta dalam jumlah besar. 3.

Obat dengan berat molekul 1 sampai dengan 500 Dalton akan mudah melewati pori membran bergantung pada kelarutan dalam lemak dan derajat ionisasi. Obat-obat dengan berat molekul 500-1000 Dalton akan lebih sulit melewati plasenta dan obat-obat dengan berat molekul >1000 Dalton akan sangat sulit menembus plasenta. Sebagai contoh adalah heparin, mempunyai berat molekul yang sangat besar ditambah lagi adalah molekul polar, tidak dapt menembus plasenta sehingga merupakan obat antikoagulan pilihan yang aman pada kehamilan.

4.

Ikatan protein: Hanya obat yang tidak terikat dengan protein (obat bebas) yang dapat melewati membran. Derajat keterikatan obat dengan protein, terutama albumin, akan mempengaruhi kecepatan melewati plasenta. Akan tetapi bila obat sangat larut dalam lemak maka ikatan protein tidak terlalu mempengaruhi,

misalnya

beberapa

anastesi

gas.

Obat-obat

yang

kelarutannya dalam lemak tinggi kecepatan melewati plasenta lebih tergantung pada aliran darah plasenta. Bila obat sangat tidak larut di lemak dan terionisasi maka perpindahaan nya lewat plasenta lambat dan dihambat oleh besarnya ikatan dengan protein. Perbedaan ikatan protein di ibu dan di janin juga penting, misalnya sulfonamid, barbiturat dan fenitoin, ikatan protein lebih tinggi di ibu dari ikatan protein di janin. Sebagai contoh adalah kokain yang merupakan basa lemah, kelarutan dalam lemak tinggi, berat molekul rendah (305 Dalton) dan ikatan protein plasma rendah (8-10%) sehingga kokain cepat terdistribusi dari darah ibu ke janin.

Menurut Katzung (1998), terdapat dua mekanisme yang memberikan perlindungan janin pada plasenta dari obat dalam sirkulasi darah maternal : a. Plasenta yang berperan sebagai penghalang semipermiabel juga sebagai tempat metabolisme beberapa obat yang melewatinya. Semua jalur utama metabolisme obat ada di plasenta dan juga terdapat beberapa reaksi oksidasi aromatik yang berbeda misalnya oksidasi etanol dan fenobarbital. Sebaliknya, kapasitas metabolisme plasenta ini akan menyebabkan terbentuknya atau meningkatkan jumlah metabolit yang toksik, misalnya etanol dan benzopiren. Dari hasil penelitian prednisolon, deksametason, azidotimidin yang struktur molekulnya analog dengan zat-zat endogen di tubuh mengalami metabolisme yang bermakna di plasenta. b. Obat-obat yang melewati plasenta akan memasuki sirkulasi janin lewat vena umbilikal. Sekitar 40-60% darah yang masuk tersebut akan masuk hati janin, sisanya akan langsung masuk ke sirkulasi umum janin. Obat yang masuk ke hati janin, mungkin sebagian akan

dimetabolisme sebelum masuk ke

sirkulasi umum janin, walaupun dapat dikatakan metabolisme obat di janin tidak berpengaruh banyak pada metabolisme obat maternal.Obat-obat yang bersifat teratogenik adalah asam lemah, misalnya talidomid, asam valproat, isotretinoin, warfarin. Hal ini diduga karena asam lemah akan mengubah pH sel embrio. Dan dari hasil penelitian pada hewan menunjukkan bahwa pH cairan sel embrio lebih tinggi dari pH plasma ibu, sehingga obat yang bersifat asam akan tinggi kadarnya di sel embrio. Meskipun terdapat mekanisme perlindungan pada plasenta, penggunaan obat pada wanita hamil perlu diperhatikan karena dalam plasenta obat mengalami proses

biotransformasi,

sehingga

dapat

menyebabkan

teratogenik

atau

dismorfogenik. Biotransformasi atau metabolisme obat ialah proses perubahan struktur kimia obat yang terjadi dalam tubuh dan dikatalis oleh enzim. Pada proses ini molekul obat diubah menjadi lebih polar, artinya lebih mudah larut dalam air dan

kurang larut dalam lemak sehingga lebih mudah diekskresi melalui ginjal. Selain itu, pada umumnya obat menjadi inaktif, sehingga biotransformasi sangat berperan dalam mengakhiri kerja obat. Tetapi, ada obat yang metabolitnya sama aktif, lebih aktif, atau tidak toksik. Ada obat yang merupakan calon obat (prodrug) justru diaktifkan oleh enzim biotransformasi ini. Metabolit aktif akan mengalami biotransformasi lebih lanjut dan diekskresi sehingga kerjanya berakhir.

2.3 Mekanisme kerja teratogen dalam tubuh embrio Toksisitas pada embrio ditunjukkan dengan adanya penurunan berat badan embrio yang tidak dapat bertahan hidup (Lu,1995). Berikut ini penjabaran dari pernyataan tersebut: 1) Toksisitas pada masa perkembangan dan pertumbuhan Perkembangan embrio meliputi proses proliferasi, diferensiasi, migrasi sel dan organogenesis. Proses tersebut berlangsung secara berurutan dan saling berhubungan satu sama lain dan dikendalikan oleh isyarat yang berisi informasi dan dicetak oleh DNA (Ngatijan, 1990). 2) Penghambatan perkembangan embrio Embriogenesis yang normal berakhir dengan terbentuknya individu baru yang bentuk dan strukturnya sama seperti induknya, tapi embriogenesis yang abnormal berakhir dengan terbentuknya individu bervariasi (Wilson, 1973). Bentuk anggota tubuh normal dapat tercapai apabila kematian apoptotik terjadi pada lokasi tertentu pada anggota tubuh (Zakeri dan Ahuja, 1994). Dasar perkembangan abnormal diantaranya, malformasi, pertumbuhan terhambat, penurunan fungsi, dan kematian. Suatu embrio yang terkena pengaruh toksik senyawa tertentu dapat mengalami perubahan sitologis yang akhirnya menjadi fetus yang cacat, hal ini disebabkan oleh: 1. Gerakan Morfogenesis Terhalang Gerakan morfogenesis adalah gerakan sel dari satu bagian embrio menuju bagian tertentu sel sebagai orgen, yang berperan dalam gerakan ini adalah

mikrotubuli atau mikrofilamen sebagai sitoskeleton yang menyebabkan gerakan morfogenesis terhenti sehingga tidak terjadi agregasi sel(pembekuan sel) yang mengakibatkan timbulnya kelainan perkembangan. 2. Hambatan Proliferasi Sel Proliferasi sel terjadi dengan jalan mitosis. Kecepatan proliferasi merupakan fungsi kecepatan pertumbuhan. Pembelahan sel yang terhambat menyebabkan pertumbuhan menjadi lambat. Sebaliknya bila pembelahan berlangsung dengan cepat dapat mengakibatkan gigantisme(kelebihan hormon) bahkan proliferasi sel tidak terkendali sehingga menyebabkan kanker (Ritter, 1977). 3. Biosintesis Protein Berkurang Selama proses perkembangan, terjadi diferensiasi dari sel-sel yang sama menjadi bermacam-macam sel atau jaringan. Terjadinya diferensiasi karena adanya protein baru yang khusus untuk masing-masing sel atau jaringan. Sintesis protein melalui RNA itulah yang menentukan jenis protein baru tersebut. Agen kimia yang menghambat sintesis protein bekerja sebagai teratogen karena menghambat diferensiasi sel dan mengakibatkan kematian sel (Umansky, 1996). 4. Kegagalan Interaksi Sel Pada proses morfogenesis, terjadi interaksi antar sel atau jaringan yang dikenal dengan istilah induksi. Apabila tidak terjadi interaksi secara normal dapat menyebabkan morfogenesis yang menyimpang sehingga berpotensi menyebabkan kematian embrio (Ritter, 1977). 5. Kematian Sel yang Berlebih Kematian sel dalam tubuh embrio menyebabkan pertumbuhan terhambat. Apabila terlalu banyak sel yang mati, maka dapat menyebabkan kekerdilan. Jika sel yang mati berada dalam organ tertentu maka organ tersebut tidak dapat

terbentuk

sempurna,

misalnya:

kematian

sel

setempat

menyebabkan deformasi di bagian wajah, misalnya bibir sumbing.

dapat

6. Gangguan Mekanis atau Fisik Luka pada embrio dapat menyebabkan kelainan perkembangan.Tekanan hidrostatis cairan amnion, tekanan mekanik embrio menyebabkan perubahan arah pertumbuhan. Robert (1971) dan Wilson (1973) menyatakan bahwa teratogenitas dapat bersifat genetik dan bukan genetik. Teratogenitas genetik merupakan kelainan yang terjadi akibat mutasi gen, kelainan kromosom dan perubahan fungsi asam nukleat. Teratogenitas yang bukan bersifat genetik disebabkan karena kekurangan energi, hambatan yang sifatnya enzimatik, perubahn permeabilitas membran dan tidak seimbangnya tekanan osmotik membran sel.

BAB III PENUTUP 3.1 Simpulan 1. Teratogen kemungkinan bekerja dengan cara mengganggu proses-proses patogenetik spesifik yang menyebabkan kematian sel, perubahan pertumbuhan jaringan, kelainan diferensiasi sel, atau gangguan terhadap perkembangan normal. 2. Pemaparan janin terhadap teratogen terjadi karena bahan-bahan tersebut dapat melewati plasenta dengan cara yaitu difusi sederhana, difusi terfasilitasi, transport aktif, pinositosis.Plasenta berperan baik sebagai membran permeabel dan sebagai tempat metabolisme beberapa obat yang melaluinya selain itu, dalam

plasenta obat mengalami proses biotransformasi, sehingga dapat

menyebabkan teratogenik atau dismorfogenik. 3. Embrio yang terkena suatu teratogen akan menyebabkan fetus yang cacat karena adanya gerakan morfogenesis yang terhalang, proliferasi sel terhambat, biosintesis protein berkurang, kegagalan interaksi sel, kematian sel yang berlebih, dan adanya gangguan mekanik.

DAFTAR RUJUKAN Bambang S., Onny S., Nur Endah W, 2013. Hubungan Paparan Pestisida pada Masa Kehamilan dengan

Kejadian Berat Badan Bayi Lahir Rendah (BBLR) di

Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia. Chen, C. P., D. R. Rao, G. R. Sunki, & W. M. Johnson. 1982. Effect of weaning and slaughter ages upon

rabbit meat production, body weight, feed efficiency

and mortality. J. Anim. Sci. 46: 573-577. D’Arcy PF & McElnay JC. 1982. Drug interactions involving the displacement of drugs from plasma

protein and tissue binding sites. Journal Pharmacology

and Therapeutics. Datu, A.R. 2005. ”Cacat Lahir Disebabkan oleh Faktor Lingkungan (Birth Defects Caused by Environmental Factors)”. Jmed Nus vol 26 no 3 Edwards and Marshall, J. 1986. "Hyperthermia as a Teratogen: A Review of Experimental Studies and Their Clinical Significance." Teratogenesis, Carcinogenesis, and Mutagenesis, 6: 563–82 Fraser, V.J. 1992. Prinsip-prinsip Terapi Antimicrobial. Yogyakarta : Yayasan Essentia Medica. Girsang, Warlinson. 2009. Dampak Negatif Penggunaan Pestisida. http://www.usitani. wordpress.com. Diakses tanggal 24 Februari 2019. Gossel, T.A. dkk. 1990. Principle of Clinical Toxicology. Second ED. New York: Raven Press. Junqueira, L.C., J. Carnairo., R.O. Keley. 1998. Histologi Dasar. Edisi 6. Jakarta : EGC. Katzung, G. Bertram. 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik: Edisi keenam. EGC:Jakarta.

Krishnamurthy, S. 1983. The Intriguing Biological Role of Vitamin E. J Chem Ed, 60: 465-467 Lenz, W., and Knapp, K. 1962. Thalidomid Embriopathy. Arch Environ Health. 5 : 100-105. Lu, f. C. 1995. Toksikologi Dasar Asas, Organ Sasaran, dan Penilaian Resiko. Jakarta: UI-PRESS Ritter, E.J. 1977. Altered Biosynthesis In: Hand Book of Teratology .Vol. 2. Edited by J.G Wilson and FC Fraster. New York: lenum Press. Sadler, T. W. 2006. Embriologi Kedokteran. Edisi ke-10. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. Siswosudarmo, R. 1988. Efek Samping Obat Terhadap Perkembangan Janin. Yogyakarta: Yayasan Melati Nusantara. Yatim, Wildan. 1994. Reproduksi dan embriologi. Penerbit Tarsito : Bandung Zakeri, Z.F &. Ahuja, H.S. 1994. “Apoptotic Cell Death in The Limb and Its Relationship to Pattern Formation”. Biochem. Cell Biol., 72 : 603-613.

Related Documents


More Documents from "Anonymous rfeqIS"