Mekanisme Kerja Teratogen Dalam Tubuh Maternal

  • Uploaded by: Silmy Aulia
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Mekanisme Kerja Teratogen Dalam Tubuh Maternal as PDF for free.

More details

  • Words: 2,033
  • Pages: 11
Loading documents preview...
MEKANISME KERJA TERATOGEN MAKALAH Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Teratologi Yang dibina oleh Ibu Dra. Amy Tenzer, M.S.

Oleh Offering HK-2013 / Kelompok 5 Khoirum Mawarti Qoni’atul Munawaroh 130342615349

UNIVERSITAS NEGERI MALANG FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM JURUSAN BIOLOGI Februari 2016

BAB I PENDAHULUAN

BAB II KAJIAN TEORI A. Teratogenik Teratogenesis adalah pembentukan cacat bawaan. Kelainan ini sudah diketahui selama beberapa dasawarsa dan merupakan penyebab utama morbiditas serta mortalitas pada bayi lahir. Hubungan antara cacat bawaan dan zat kimia tidak diduga waktu itu karena para ahli toksikologi percaya bahwa dalam tubuh terdapat mekanisme perlindungan alami seperti detoksifikasi, eliminasi dan barier plasentayang dapat melindungi embrio jika ibunya terpajan zat kimia. Sebaliknya, diketahui bahwa mekanisme perlindungan alami tidak efektif melawan radiasi ion, virus, dan kekurangan gizi (Lu, 1995). Sadler (2006) mengemukakan prinsip dasar berkaitan dengan kelainan yang dipengaruhi oleh teratogenik, sebagai berikut: a. Tingkat perkembangan mudigah (embrio) menentukan kepekaan terhadap faktor-faktor teratogenik. b. Pengaruh faktor teratogenik tergantung pada genotip. c. Zat teratogenik bekerja dengan cara khusus pada segi tertentu metabolisme sel. Penggunaan obat pada saat perkembangan janin dapat mempengaruhi struktur janin pada saat terpapar. Mekanisme berbagai obat yang menghasilkan efek teratogenik disebabkan oleh beberapa faktor: a. Obat dapat bekerja langsung pada jaringan ibu dan juga secara tidak langsung mempengaruhi jaringan janin. b. Obat mengganggu aliran oksigen atau nutrisi lewat plasenta sehingga mempengaruhi janin. c. Obat juga dapat memberikan efek langsung pada proses diferensiasi pada jaringan janin yang sedang berkembang. d. Diferensiasi zat esensial yang dibutuhkan janin juga berperan penting terhadap terjadinya abnormalitas (Zakiah & Farn, 2011). Pada dasarnya teratogen memberikan pengaruh terhadap terjadinya embriogenesis dengan menyebabkan mutasi gen, kerusakan kromosom atau nondisjunction pengurangan atau adanya hambatan prekursor maupun substrat, kekurangan sumber energi, hambatan enzim, adanya perubahan pada membran sel (Edwards and Marshall, 1986). Keadaan tersebut memicu kematian sel, berkurangnya pembelahan sel, kegagalan interaksi antar sel, gangguan migrasi sel, hingga menyebabkan abnormalitas suatu embrio. Terdapat beberapa hal yang mempengaruhi terjadinya teratogenesis, diantaranya:

1) Spesifisitas agen, beberapa agen dapat bersifat teratogenik dibandingkan yang lainnya. Tetapi, ada pula agen yang hanya bersifat teratogenik pada spesies tertentu. Misalnya, talidomid memicu terjadinya fokomelia pada primata tetapi tidak pada rodentia. Pada spesies tertentu, teratogen ini dapat mempengaruhi sistem organ dengan tetap mempertimbangkan waktu pemberian teratogen tersebut (Friedman and Jan, 2010). 2) Dosis, dosis tinggi dari teratogen yang diberikan pada hewan coba pada umumnya dipandang lebih berbahaya dibandingkan dosis rendah, hal ini tidak selalu benar. Pada waktu tertentu, embrio dapat merespon teratogen melalui salah satu dari 3 cara; 1) pada dosis rendah, tidak ada pengaruh; 2) pada dosis sedang, terbentuk melformasi organ; dan 3) pada dosis tinggi embrio bisa saja mati, disebabkan oleh adanya organ yang terserang teratogen yang tidak dikenal (Garfield and Eugene, 1986). Efek teratogenik tersebut tentu dipengaruhi oleh tahap perkembangan embrio saat pemberian zat teratogen. 3) Tahap Perkembangan embrio, tahap embriogenesis merupakana tahapan penting bagi suatu embrio untuk terpajan teratogen. Menurut Germain et al., (1985) Embrio pada umumnya resisten terhadap teratogen selama minggu pertama kehidupan, yakni 2 minggu setelah terjadinya konsepsi. Namun, efek teratogenik yang besar dapat menyebabkan kematian embrio. 4) Genotip, genotip parental dan fetus merupakan faktor pendukung yang dapat mempengaruhi teratogenesis. 5) Interaksi obat, pemberian dua obat secara bersamaan akan memberikan efek teratogenik yang berbeda dibandingkan pemberian obat secara terpisah. B. Senyawa Teratogen Selain faktor zat kimia masih banyak faktor yang dapat memicu terjadinya perkembangan abnormal pada janin bila dimasukkan pada hewan uji selama masa bunting. Beberapa faktor tersebut adalah kekurangan diet, infeksi virus, ketidakseimbangan hormonal dan berbagai kondisi stress. Meskipun banyak zat kimia yang diketahui akan mampu menyebabkan perubahan teratogenik dalam diri hewan laboratorium, ternyata hanya beberapa senyawa yang dapat menimbulkan efek yang sama pada manusia. Beberapa zat yang bersifat teratogenik pada spesies hewan laboratorium menurut Loomis (1987) adalah sebagai berikut:

a) Radiasi Ion, sebagaimana terapi radiasi yang banyak dilakukan pada metode pengobatan saat ini ternyata dapat menyebabkan perubahan dalam struktur kimia basa nitrogen sehingga embrio lebih rentan mengalami kerusakan DNA. b) Logam Berat, dapat meningkatkan risiko kecacatan seperti cerebral plsy dan gangguan neurologis tertentu. c) Infeksi Virus d) Lingkungan e) Komponen Kimia Obat, penggunaan senyawa kimia saat ini sudah sangat ditemui sehingga ada beberaoa bahan kimia bersifat teratogenik seperti isotretionin, kaptopril, hormon androgenikm analapril. C. Cara Kerja Teratogen Beberapa jenis zat kimia telah terbukti bersifat teratogen pada hewan coba. Menurut Lu (1995) Beragamnya sifat zat kimia teratogen melibatkan beberapa mekanisme tertentu, yaitu:  Gangguan terhadap asam nukleat, 

banyak zat kimia yang mempengaruhi

replikasi dan transkripsi asam nukleat atau translasi RNA. Kekurangan pasokan energi dan osmolaritas, teratogen tertentu dapat mempengaruhi pasokan energi yang dipakai untuk metabolisme dengan cara langsung mengurangi persediaan substrat atau bertindak sebagai analog atau antagonis vitamin, asam amino esensial dan lainnya. Selain itu, zat penyebab hipoksia (CO, CO2) dapat bersifat teratogen dengan mengurangi oksigen dan mungkin juga dapat menyebabkan ketidakseimbangan osmolaritas. Hal ini



dapat menyebabkan kelainan bentuk dan iskemia jaringan. Penghambat enzim, penghambatan enzim seperti 5-flourourasil dapat menyebabkan cacat karena mengganggu diferensiasi dan pertumbuhan sel melalui penghambatan timidilat sintase, 6-aminokotinamid menghambat

glukosa 6-fosfat dehidrogenase. Pada dasarnya mekanisme kerja teratogen dibedakan menjadi 3, yaitu: mekanisme kerja teratogen dalam tubuh maternal, mekanisme kerja teratogen dalam plasenta dan mekanisme kerja teratogen dalam tubuh embrio. Berikut ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai ketiga mekanisme tersebut. 1. Mekanisme Kerja Teratogen dalam Tubuh Maternal

2. Mekanisme Kerja Teratogen dalam Plasenta Plasenta memegang peranan yang penting dalam penggunaan dan metabolisme obat. Plasenta memiliki sifat selektif untuk mentransfer obat secara perlahan atau secara cepat dari ibu ke janin tergantung pada variabel, seperti kualitas aliran darah uteroplasenta, berat molekul dari substansi dalam obat (bahan yang berat molekulnya lebih kecil dapat melintasi plasenta lebih mudah), kadar ionisasi dari molekul-molekul obat (bahan yang lebih mudah terionisasi akan lebih mudah menembus plasenta), dan derajat kemampuan ikatan obat dengan protein plasma plasenta (obat-obat yang mudah berikatan tidak mudah menembus plasenta) melawan kemampuannya untuk berikatan dengan plasma protein janin. Selain itu, plasenta juga memiliki aktivitas enzimatik tersendiri dalam biotransformasi suatu obat yang dapat mempengaruhi janin (Hayes dan Kee, 1993). Gambaran anatomi plasenta ditunjukkan oleh Gambar 1. berikut.

Gambar 1. Struktur Anatomi Plasenta Sumber: http://www.tulane.edu/ Placental and Fetal Membranes Total Menurut Katzung (1998), terdapat dua mekanisme yang memberikan perlindungan janin dari obat dalam sirkulasi darah maternal : a). Plasenta berperan baik sebagai membran permeabel dan sebagai tempat metabolisme beberapa obat yang melaluinya. Beberapa jenis reaksi oksidasi aromatik yang berbeda telah terjadi dalam jaringan plasenta. Sebaliknya, kapasitas metabolisme plasenta ini akan menyebabkan terbentuknya atau meningkatnya jumlah metabolit yang toksik. b). Obat yang telah melewati plasenta masuk dalam sirkulasi janin melalui vena umbilikus, kira-kira 40-60 persen aliran darah vena umbilikus masuk kedalam hati janin,

sisanya tidak lewat hati dan masuk dalam sirkulasi umum janin. Obat yang masuk sirkulasi hati, sebagian dapat dimetabolisme sebelum masuk sirkulasi janin. Selain mekanisme perlindungan pada plasenta tersebut, diketahui bahwa penggunaan obat pada wanita hamil perlu diperhatikan karena dalam plasenta obat mengalami proses biotransformasi,

sehingga

dapat

menyebabkan

teratogenik

atau

dismorfogenik.

Biotransformasi atau metabolisme obat ialah proses perubahan struktur kimia obat yang terjadi dalam tubuh dan dikatalis oleh enzim. Pada proses ini molekul obat diubah menjadi lebih polar, artinya lebih mudah larut dalam air dan kurang larut dalam lemak sehingga lebih mudah diekskresi melalui ginjal. Selain itu, pada umumnya obat menjadi inaktif, sehingga biotransformasi sangat berperan dalam mengakhiri kerja obat. Tetapi, ada obat yang metabolitnya sama aktif, lebih aktif, atau tidak toksik. Ada obat yang merupakan calon obat (prodrug) justru diaktifkan oleh enzim biotransformasi ini. Metabolit aktif akan mengalami biotransformasi lebih lanjut dan/atau diekskresi sehingga kerjanya berakhir. Enzim yang berperan dalam biotransformasi obat dapat dibedakan berdasarkan letaknya dalam sel, yakni enzim mikrosom yang terdapat dalam retikulum endoplasma halus (yang pada isolasi in vitro membentuk mikrosom), dan enzim non-mikrosom. 3. Mekanisme Kerja Teratogen dalam Tubuh Embrio Toksisitas pada embrio ditunjukkan dengan adanya penurunan berat badan embrio yang tidak dapat bertahan hidup (Lu,1995). Berikut ini penjabaran dari pernyataan tersebut: 1) Toksisitas pada masa perkembangan dan pertumbuhan Perkembangan embrio meliputi proses proliferasi, diferensiasi, migrasi sel dan organogenesis. Proses tersebut berlangsung secara berurutan dan saling berhubungan satu sama lain dan dikendalikan oleh isyarat yang berisi informasi dan dicetak oleh DNA (Ngatijan, 1990). 2) Penghambatan perkembangan embrio Embriogenesis yang normal berakhir dengan terbentuknya individu baru yang bentuk dan strukturnya sama seperti induknya, tapi embriogenesis yang abnormal berakhir dengan terbentuknya individu bervariasi (Wilson, 1973). Bentuk anggota tubuh normal dapat tercapai apabila kematian apoptotik terjadi pada lokasi tertentu pada anggota tubuh (Zakeri dan Ahuja, 1994). Dasar perkembangan abnormal diantaranya, malformasi, pertumbuhan terhambat, penurunan fungsi, dan kematian. Suatu embrio yang terkena pengaruh toksik senyawa tertentu dapat mengalami perubahan sitologis yang akhirnya menjadi fetus yang cacat, hal ini disebabkan oleh: 1. Gerakan Morfogenesis Terhalang

Gerakan morfogenesis adalah gerakan sel dari satu bagian embrio menuju bagian tertentu sel sebagai orgen, yang berperan dalam gerakan ini adalah mikrotubuli atau mikrofilamen sebagai sitoskeleton yang menyebabkan gerakan morfogenesis terhenti sehingga tidak terjadi agregasi sel yang mengakibatkan timbulnya kelainan perkembangan. 2. Hambatan Proliferasi Sel Proliferasi sel terjadi dengan jalan mitosis. Kecepatan proliferasi merupakan fungsi kecepatan pertumbuhan. Pembelahan sel yang terhambat menyebabkan pertumbuhan menjadi lambat. Sebaliknya bila pembelahan berlangsung dengan cepat dapat mengakibatkan gigantisme bahkan proliferasi sel tidak terkendali sehingga menyebabkan kanker (Ritter, 1977). 3. Biosintesis Protein Berkurang Selama proses perkembangan, terjadi diferensiasi dari sel-sel yang sama menjadi bermacam-macam sel atau jaringan. Terjadinya diferensiasi karena adanya protein baru yang khusus untuk masing-masing sel atau jaringan. Sintesis protein melalui RNA itulah yang menentukan jenis protein baru tersebut. Agen kimia yang menghambat sintesis protein bekerja sebagai teratogen karena menghambat diferensiasi sel dan mengakibatkan kematian sel (Umansky, 1996). 4. Kegagalan Interaksi Sel Pada proses morfogenesis, terjadi interaksi antar sel atau jaringan yang dikenal dengan istilah induksi. Apabila tidak terjadi interaksi secara normal dapat menyebabkan morfogenesis yang menyimpang sedhingga berpotensi menyebabkan kematian embrio (Ritter, 1977). 5. Kematian Sel yang Berlebih Kematian sel dalam tubuh embrio menyebabkan pertumbuhan terhambat. Apabila terlalu banyak sel yang mati, maka dapat menyebabkan kekerdilan. Jika sel yang mati berada dalam organ tertentu maka organ tersebut tidak dapat terbentuk sempurna, misalnya: kematian sel setempat dapat menyebabkan deformasi di bagian wajah, misalnya bibir sumbing.

6. Gangguan Mekanis atau Fisik Luka pada embrio dapat menyebabkan kelainan perkembangan.Tekanan hidrostatis cairan amnion, tekanan mekanik embrio menyebabkan perubahan arah pertumbuhan.

Robert (1971) dan Wilson (1973) menyatakan bahwa teratogenitas dapat bersifat genetik dan bukan genetik. Teratogenitas genetik merupakan kelainan yang terjadi akibat mutasi gen, kelainan kromosom dan perubahan fungsi asam nukleat. Teratogenitas yang bukan bersifat genetik disebabkan karena kekurangan energi, hambatan yang sifatnya enzimatik, perubahn permeabilitas membran dan tidak seimbangnya tekanan osmotik membran sel.

BAB III KESIMPULAN Kesimpulan dari makalah ini adalah sebagai berikut: 1. Plasenta berperan baik sebagai membran permeabel dan sebagai tempat metabolisme beberapa obat yang melaluinya selain itu, dalam plasenta obat mengalami proses biotransformasi, sehingga dapat menyebabkan teratogenik atau dismorfogenik. 2. Suatu embrio yang terkena toksikan dapat menjadi fetus yang cacat karena adanya gerakan morfogenesis yang terhalang, hambatan proliferasi sel, biosintesis protein berkurang, kegagalan interaksi sel, kematian sel berlebih, dan adanya gangguan mekanis atau fisik.

DAFTAR RUJUKAN Edwards and Marshall, J. 1986. "Hyperthermia as a Teratogen: A Review of Experimental Studies and Their Clinical Significance." Teratogenesis, Carcinogenesis, and Mutagenesis 6: 563–82 Friedman and Jan, M. 2010. "The Principles of Teratology: Are They Still True?" Birth Defects Research Garfield and Eugene, 1986. "Teratology Literature and the Thalidomide Controversy." In Essays of an Information Scientist. Philadelphia: ISI Press, 404–12. Germain, Mary-Ann, William, S., Webster, and Marshall J. Edwards. 1985. "Hyperthermia as a Teratogen: Parameters Determining Hyperthermia-Induced Head Defects in the Rat." Teratology 31, 265–72. (Online). (http://www.tulane.edu/), diakses pada 23 Februari 2016. Kee, J. L. dan E. R. Hayes. 1993. Farmakologi: Pendekatan Proses Keperawatan. Penerjemah: Anugrah, P. Jakarta: Penerbit EGC. Loomis TA. (1987). Essential of toxicology: 3rd ed. Philadelpia. Lu, Frank C. 1995. Toksikologi Dasar, Asas, Organ Sasaran dan Penilaian Resiko: edisi II. UI Press: Jakarta: hal. 154-168. Katzung, G. Bertram. 1998. Farmakologi Dasar dan Klinik: Edisi keenam. EGC:Jakarta. Kee, J. L. dan E. R. Hayes. 1993. Farmakologi: Pendekatan Proses Keperawatan. Penerjemah: Anugrah, P. Jakarta: Penerbit EGC. Ritter, E.J. 1977. Altered Biosynthesis In: Hand Book of Teratology .Vol. 2. Edited by J.G Wilson and FC Fraster. New York: lenum Press. Sadler, T. W. 2006. Embriologi Kedokteran. Edisi ke-10. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran. Zakeri, Z.F &. Ahuja, H.S. 1994. “Apoptotic Cell Death in The Limb and Its Relationship to Pattern Formation”. Biochem. Cell Biol., 72 : 603-613.

Related Documents


More Documents from "elis anggeria"