Mereka Belajar Dari Pengalaman (kisah Sukses Pengusaha Bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan)

  • Uploaded by: ivan ara
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Mereka Belajar Dari Pengalaman (kisah Sukses Pengusaha Bidang Pertanian, Peternakan, Perikanan) as PDF for free.

More details

  • Words: 22,394
  • Pages: 86
Loading documents preview...
mereka

belajar

di lapang

an

no:01 |

50.000

rp

Pendiri Bambang Ismawan Pemimpin Umum Bambang Ismawan Wakil Pemimpin Umum Koeswandi Pemimpin Redaksi Onny Untung Redaktur Pelaksana Karjono, Utami Kartika Putri Redaksi Syah Angkasa, Sardi Duryatmo, Evy Syariefa Firstantinovi, Dian Adijaya Susanto, Destika Cahyana, Laksita Wijayanti, Rosy Nur Apriyanti, Lastioro Anmi Tambunan, Vina Fitriani, Imam Wiguna, Hermansyah, Kiki Rizkika Sekretaris Redaksi Mimin Suyatmin Artistik Antonius Riyadi, Edi Amd, Satrio Wibowo, Bahrudin, Hernawan Nugroho, Andri Sitepu, Kukuh Hariyanto Konsultan Grafis Tonny Parhansyah Dokumentasi Indira Kelana Devi, Agus Untung Suropati Penerbit PT Trubus Swadaya Direktur Onny Untung Pemasaran PT Trubus Media Swadaya Direktur Tinus Lingga Iklan Kinanti Roospitasari (Koordinator), Supri Handoyono, Mahar Prabowo, Hawari Hamiddudin Distribusi Kosim (Kepala), Eddy Sunarto, Hudi Utomo

Alamat Redaksi dan Perpustakaan

Wisma Hijau, Jl. Raya Bogor Km 30 Mekarsari, Cimanggis, Depok - 16952 Telp : (021) 8729060, 87701748 Faks : (021) 8729059 E-mail: [email protected]; Homepage: www.trubus-online.com; Alamat Distribusi dan Iklan : Jl. Gunung Sahari III/7, Jakarta Pusat 10610 Telp. : (021) 4262318 (direct), 4204402, 4255354 (hunting), Fax. (021) 4269263; Bank: BRI Veteran No. RC. 314603099; Bank BCA Cabang Samanhudi a.n. Majalah Trubus (YSTM) No. Rek. 4770040111 Giro Pos : Rekening Giro dan Cek Pos No. A. 12.676; Alamat Surat : Kotak Pos 1456, Jakarta 10014; Harga per Eksemplar : Rp50.000,-.

CARA BERLANGGANAN

Kalau di kota Anda tidak ada agen toko buku yang menjual TRUBUS, Anda bisa berlangganan langsung dengan mengirimkan uang melalui pos wesel atau transfer ke Bank BCA Cab. Samanhudi a.n. PT Trubus Media Swadaya No. 4770091000. Kirimkan bukti transfer atau resi wesel ke Bagian Sirkulasi Majalah Trubus, Jl. Gunung Sahari III/7 Jakarta 10014 Tromol Pos 1456. Majalah akan dikirim dengan pos biasa ke alamat. Harga tersebut belum termasuk ongkos kirim. (Ongkos kirim Jawa/Madura Rp41.000,-; Sumatera Rp48.500,-; Kalimantan/Bali Rp50.000,-; Lombok/NTT/NTB Rp55.500,-; Sulawesi Rp52.500,-; Maluku/Irian(Papua) Rp64.000,-.

TOKO-TOKO TRUBUS

1. Toko Trubus Gunung Sahari, Jl. Gunung Sahari III/7 Jakarta Pusat, 021-4204402; 2. Kebun Pembibitan Trubus Cimanggis, Desa Mekarsari, Kecamatan Cimanggis, Depok, 021-8721201-04; 3. Toko Trubus Makro, Jl. Lingkar Luar Selatan Kav. 5-6 Pasar Rebo - Jakarta Timur, 021-9239845; 4. Toko Trubus Bintaro Jaya Sektor IX, samping Bank Universal, 021-7450761; 5. Toko Trubus Cikarang, Jl. Raya Industri, samping Hompimpa, Lippo Cikarang, 021-89909872; 6. Toko Trubus Daan Mogot, Jl Ruko Daan Mogot Baru samping Rs. Hermina, 021- 9188493; 7. Toko Trubus Ungaran, Jl. Merapi No. 17 Ungaran, 024- 6922976; 8. Toko Trubus Yogyakarta, Jl. Raya Godean Km. 5 Ps. Tlogorejo, 0274- 7104303; 9. Toko Trubus Semarang, Jl. Pamularsih No. 101 Semarang, 024-70718601 10. Toko Trubus Purwokerto, Jl. Menteri Sumpeno No. 10 (Depo Pelita) Sokaraja, 0281-6844218.

PENCETAK

PT DIAN RAKYAT. Isi di luar tanggung jawab percetakan.

4

Topik 6 8 14 20 24 28 32 36 40 42 46 52 56 60 64 68 72 76 80 84

Mereka Tidak Takut Lelah dan Rugi Mubin Usman Di Antara Buah dan Bensin Legawa Hamijaya Dokter Polisi di Kebun Duren Imron Khudori Juragan Adenium yang Besar di Jalan Eddy Sutioso Metamorfosis Pride of Sumatera Li Shih Hua Pelopor Ekspor Bulan Taiwan Pramote Rojruangsang Kisah Laki-laki Variegata Bangun Dioro Sersan di Kandang Kambing Daun Penjemput Maut Budiyanto Tasma Gudang Reptil Dunia Vichai Pinyawat Kegilaan Bersama Burung Kh Fuad Affandi Agribisnis dan Agama Priatmana Muhendi Kesetiaan pada Tomat Darren Chandra Setelah Timah Terbitlah Rempah Jap Khiat Bun Bersandar pada Ikan Hias Djuju Antony Tetap Diskus, Bukan yang Lain JB Hariantono Ketika Bangkir Terpikat sang Ratu Jesda Attavichit Kolonel Tertawan Cupang Suluh Eko Prabowo Makmur Karena Lobster Bukan karena Lampu Aladin

Cover: Mereka Belajar di Lapangan Foto: Onny Untung Koleksi: Yui Po Chen Lokasi: Tian-Wei, Chung-Hua, Taiwan Desain: Edi Amd TRUBUS GOLD EDITION - I

a

merek

r belajaan ng

di lapa

Mereka Tidak

Takut

Lelah & Rugi Jakarta membara. Asap mengepul dari gedung-gedung yang terbakar. Barang dagangan dijarah. Kerusuhan Mei 1998 itulah yang mengubah kehidupan Handry Chuhairy. “Dari 5 toko, cuma 1 yang tersisa,” ujar manajer operasional pasar swalayan Sabar Subur itu. Stres dan putus asa membuncah di benak alumnus Universitas Tarumanagara itu.

Dukadirinya.

lara itu tidak ia biarkan membenamkan Semangat bertahan di tengah kesulitan segera dibangkitkan. Ia pun rajin berselancar di dunia maya. Di malam-malam yang hening berkali-kali matanya menyinggahi situs berisi aneka warna bunga dan daun. “Saya senang tanaman,” ungkap sarjana Ekonomi itu. Hobi yang terpupuk sejak dahulu itulah yang mendorongnya untuk berkecimpungan di dunia tanaman hias, saat bisnis ritelnya terpuruk. Adenium dan aglaonema pilihan pertama. Sembilan tahun berlalu. Handry kini menjelma sebagai pekebun andal. Ia kerap diundang untuk

6

berbicara di berbagai pelatihan aglaonema. Adenium, yang juga menjadi pilihannya sejak pertama kali terjun ke pertanian, memenuhi nurserinya di Tangerang. Bisnis ritelnya pun bangkit kembali. Tiga dari empat toko yang dulu terbakar berhasil dibangun kembali. “Anggap saja kebun itu ganti toko yang kelima,” katanya sambil tertawa terbahak-bahak saat dihubungi via telepon. Jauh sebelum Handry terjun ke bisnis tanaman, di Lembang Rizal Djaafarer sudah mengibarkan benderanya. Selama 28 tahun komunitas tanaman mengenal pria santun itu sebagai pakar kaktus TRUBUS GOLD EDITION - I

jangan menanyakan waktu yang tepat untuk dan phalaenopsis. Bisnis kaktusnya bermula memerah kambing pada Greg, menanyakan pH setelah ia berhasil menyilangkan aneka kaktus. air untuk koi pada Bangun Dioro, menanyakan Kepiawaian itu membuat Rizal bingung lantaran kaktus pada Jap Khiat Bun. Mereka tidak akan jumlah koleksinya membeludak. Iseng-iseng bisa menjawab. Itu karena ketiganya fokus di para kaktus itu dijual di pameran. Hasilnya luar bidang masing-masing. biasa. Jadi, Rizal muda memutuskan, kaktuslah Kerja keras, fokus, dan konsistensi itu ternyata kehidupannya. Ia hengkang dari bangku terakhir tidak cukup. Dinding terjal lain yang masih di Fakultas Pendidikan Teknik Kejuruan Jurusan harus dilalui –dan setiap saat siap menghadang Arsitektur, IKIP Bandung. lagi—ialah rugi. Sekitar Rp100-juta uang Handry Rizal Djaafarel dan Handry Chuhairy bagian Chuhairy amblas sejak main aglaonema. dari orang nonpertanian yang berkebun dan Sedangkan Imron Khudori sempat terimpit hutang terbilang sukses di mata orang banyak. Sekadar Rp150-juta. Bisnis pelepah pisangnya terpuruk menyebut nama, ada Jaka Dhama Limbang, sehingga ia terpaksa menjadi pedagang keliling jebolan Fakultas Teknik Universitas Trisakti yang tanaman hias, sebelum nasibnya memperdalam ilmu pascapanen berubah menjadi bandar besar dan mampu memproduksi aneka adenium. mesin pertanian. Jauh melintasi Bagaimana Masuknya para pemain lautan, di Kaohsiung, Taiwan Li duduk berlatar belakang nonpertanian itu Shih Hua setiap hari menyibukkan memberikan fenomena menarik diri memonitor pertumbuhan perkaranya seperti yang terlihat di kebun phalaenopsisnya. Alumnus sehingga para durian Bernard Sadhani. Pekebun Business Adminstration, Taichung pemain tanaman durian jebolan Teknik Sipil ITB itu University itu kini berubah menjadi memperlakukan durian seperti tiang eksportir kelas dunia. yang semula listrik atau jalan raya. Kontraktor Lantas, apakah yang berlatar tidak mengerti sipil itu memakai theodolit saat belakang pertanian tidak ada yang menanam durian. Sejauh mata sukses? Tidak juga. Sebut saja seluk-beluk memandang, jejeran pohon durian Wildan Mustofa, jebolan Fakultas pertanian bisa di Cikalong Kulon, Cianjur, itu terlihat Pertanian Jurusan Ilmu Tanah lurus dengan tinggi seragam. IPB yang berkebun kentang di eksis? Eka Nun di Desa Cisarua, Kecamatan Pangalengan. Nama lain ialah Budianta, sang Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, Gregori Garnadi Hambali, lulusan Priatmana Muhendi pernah gagal Biologi University of Birmingham, penyair yang permintaan besar untuk Inggris, breeder kawakan yang senang menulis memenuhi tomat. Soalnya, tomat yang ia diacungi jempol oleh pemain kumpulkan dari petani di sekitarnya tanaman dunia. mempunyai beragam bentuk, ukuran, dan *** jawabannya, warna. Sarjana Manajemen itu Bagaimana duduk perkaranya “Karena mereka pun kemudian menularkan ilmu sehingga para pemain tanaman pada petani. Ia yang semula tidak mengerti seluktidak tahu apa- manajemennya menganjurkan ada kerjasama beluk pertanian bisa eksis? Eka apa, tapi suka.” pengaturan masa tanam dan jenis. Budianta, penyair yang senang Kini, di desa itu dapat diperoleh menulis menjawabannya, “Karena tomat dalam jumlah besar dengan mereka tidak tahu apa-apa, tapi keseragaman tinggi, tidak campur aduk bulat, suka.” Lantaran tidak tahu apa-apa, setiap saat lonjong, merah atau kuning. tanaman itu diperhatikan sehingga tumbuh baik. Ketekunan yang digabung dengan tekad dan Terjemahan di lapangan dari ucapan Eka kesabaran memang modal besar yang diperlukan Budianta itu ialah disiplin. Ambil contoh Bangun untuk terjun di agribisnis. Dua puluh satu tahun Dioro. Jika pada malam hari telinganya terusik lalu Jap Khiat Bun mencari cacing di sungai lengkingan kambing, maka esok paginya ia Jakarta yang kotor dan berbau “Semua sungai akan menjadi penghulu, mengawinkan kambing. dan selokan sudah saya datangi untuk diambil Kambing melengking pertanda birahi. Jika masa cacingnya,” katanya. Eksportir ikan hias terbesar kawin ditunda, Bangun Dioro harus menunggu 21 di Indonesia itu tekun, belajar pada para ahli. hari lagi. Itu artinya ia kehilangan waktu 5 bulan Dia menjalankan prinsip Sin Yung: kepercayaan untuk bisa memerah susu kambing. dan kejujuran. Tanpa itu semua tak ada yang Bertanyalah tentang tanaman pada Greg. langgeng. Itulah yang dilaksanakan secara Bertanyalah tentang kambing pada Bangun Dioro. konsisten oleh mereka yang sukses belajar di Bertanyalah tentang ikan hias pada Jap Khiat Bun. lapangan. (Onny Untung) Ketiga orang itu pasti tahu jawabannya. Namun, TRUBUS GOLD EDITION - I

7

mubin usman:

Dari atas rel kereta api, Mubin Usman mulai membangun mimpi: hidup lebih baik ketimbang sekadar menjadi petani padi sawah seperti sang ayah. Pilihan jatuh pada bisnis buah yang dalam hitungannya lebih mendatangkan rupiah. Sebuah keputusan tepat.

mereka

belajar

di lapan

gan

8

TRUBUS GOLD EDITION - I

a merek

beplaanjagarn

Foto-foto: Evy Syariefa

di la

Di bengkel yang kini serbamodern

Medali dari Presiden Megawati

10

Derurel

kereta api melintas di atas di dekat kawasan kampus Universitas Indonesia, Depok, selalu membangkitkan memori Mubin Usman. Hampir setengah abad lalu, di atas angkutan umum massal itu kelahiran Depok 59 tahun silam itu menggantungkan harapan. Di sebuah stasiun sederhana— sekarang Stasiun Pondokcina—saat jarum jam baru bergulir ke angka 3 dari tengah malam Mubin menunggu kereta. Sepur itu akan mengantarkan ke tempat tujuan: Pasar Manggarai, Jakarta Selatan. Terlambat sedikit saja, kereta pertama yang berhenti di stasiun pada pukul 04.30 pergi meninggalkan. Di stasiun itu, Mubin muda yang baru lulus Sekolah Rakyat tidak bertangan hampa. Di dalam 2 pikulan yang ditanggung sendiri sembari menyusuri jalan tanah dari rumah di kawasan Kober—berjarak

kira-kira 1 km—menumpuk pepaya jinggo—mirip jenis bangkok sekarang—hasil panen di kebun. Begitu kereta tiba, tanggungan diikat menggantung di jendela. Setelah siap, dengan sigap anak ke-3 dari 12 bersaudara itu melompat masuk.

Jago silat

Itulah awal hari Mubin. Di M a n g g a r a i ,    p e p a y a — k a d a n g kadang dilengkapi pisang, jeruk, atau rambutan—sudah ditunggu para tengkulak. Tawar-menawar harga terjadi sampai tercapai kesepakatan: isi pikulan berpindah pada tengkulak yang paling berani memberi harga mahal. N a m u n ,   t a k    s e l a l u    r u p i a h didapat. Kerap terjadi, baru saja ia turun dari kereta, beberapa orang mengerubungi. Bukan untuk membeli,  tapi meminta paksa TRUBUS GOLD EDITION - I

buah yang dibawa. Kalau sudah begitu, mau tak mau Mubin mesti m e n g e l u a r k a n    “ i l m u n g o t o t ” .    “ B a r a n g yang mereka ambil, saya rebut lagi. Kalau mereka masih memaksa ya terpaksa mesti berantem dulu,” kata laki-laki yang besar di kebun bersama sang ayah—Haji Usman—itu. Untung sebagai anak lelaki Betawi, Mubin dibekali ilmu beladiri. Kalau sudah begitu, niat berjualan urung dilaksanakan. Sukses menjual isi tanggungan bukan berarti aman-aman saja. Buah yang jadi rupiah “menggoda” preman pasar buat meminta “uang jago”. Lagi-lagi Mubin mesti beradu nyali dengan para pemalak. “Kondisi di pasar memang begitu. Nyawa jadi taruhan,” tuturnya. Toh, pria gemar bercelana komprang, baju pangsi, dan sarung dibelit di pinggang bila ke pasar itu pantang mundur.

Bibit buangan

Hasilnya, berbekal uang hasil penjualan, Mubin pulang ke Depok. Namun, sesuai pesan Haji Usman pikulan tak boleh kosong. “Jadi saya bawa sampah pasar—waktu itu tanpa plastik dan barang lain yang sulit urai, red—buat dijadikan pupuk,” ujar ayah 3 anak itu. Tiba di rumah, Mubin memilah-milah sampah, memasukkan ke dalam lubang, menimbun dengan tanah supaya jadi kompos. Kompos—berbarengan dengan kotoran sapi dan kambing yang diternak di dekat rumah— dipakai sebagai pupuk ribuan pepaya di lahan 3.000 m2 yang jadi komoditas andalan. Pepaya dipilih karena cepat panen. Dari sisa sampah pasar, muncul bibit buahbuahan. “Di situ kan ada biji durian, mangga, rambutan. Semua tumbuh,” tutur Mubin. Bibit-bibit yang jumlahnya makin banyak itu dikumpulkan. Lalu dimasukkan ke dalam keranjang bambu kecil—sekarang polibag—sebelum diletakkan berkelompok di antara barisan pepaya. Durian dengan durian, mangga dengan mangga, rambutan dengan rambutan, jeruk dengan jeruk. Bibit lantas disambung dengan entres jenis unggul—ilmu yang didapat dari ayah. Entres didapat dari pohon-pohon milik tetangga di dekat-dekat rumah. Maklum Depok dulu memang dikenal sebagai sentra buah-buahan. Hasil sambungan ditanam di lahan kebun orangtua yang masih kosong. Lagi-lagi penanaman massal. “Supaya kalau nanti panen hasilnya banyak. Jadi bisa membanjiri pasar,” kata pria yang tak lulus Sekolah Menengah Pertama itu. TRUBUS GOLD EDITION - I

Strateginya memang jitu. Mubin jadi bisa memasok massal ke pasar buah. “Kadangkadang ada orang y a n g    b e l i    b u a h m e n a n y a k a n ,    s a y a punya bibitnya tidak. Nah, besok saya tinggal bawa bibit yang ada di kebun,” tutur pria yang beribadah haji pada 1996 itu. Dari sanalah cikal-bakal usaha pembibitan buah-buahan unggul yang hingga kini bertahan.

Presiden Soeharto

Rintisan sejak puluhan tahun silam itu Trubus masih bisa saksikan di nurseri Wijaya Tani—nama kebun bibit milik Mubin sekarang—di kawasan Margonda, Depok. Di dekat saung, Mubin menunjuk tabulampot mangga dalam drum besar berumur lebih dari 30 tahun. Diameter batang bawah mencapai 30 cm, tajuk pendek karena rutin dipangkas. “Ini sudah saya sambung berulang-ulang dengan jenis berbeda. Awalnya indramayu, lalu okyong, sekarang nangklangwan,”

Lengkeng, cerita manis bibit buah

Dari lahan seluas 100m2 di pinggir jalan, bisnis Mubin Usman menggurita jadi 4 kebun bibit dan bengkel modern, serta toko ban ternama.

Waktu menerima penghargaan dari Gubernur Jawa Barat

papar kakek 3 cucu itu fasih menyebut 2 varietas mangga introduksi asal Thailand. Mubin memang inovatif. Sejak punya lahan sendiri—pada 1972 menempati tanah seluas kirakira 100 m2 di pinggir Jalan Margonda berpisah dengan orangtua—ia rajin mengumpulkan jenisjenis buah unggul. Dalam sebuah foto jepretan 1980-an, Mubin mejeng dengan jambu biji bangkok. Waktu itu ia satu-satunya pemilik jambu bongsor itu.

11

a merek

beplaanjagarn

di la

Di depan kios bensin sekaligus kebun bibit

Bibit didapat dari sebuah pameran di kawasan Ancol, Jakarta Utara, pada 1982 berbarengan dengan lengkeng diamond river, mangga khioe sawoi dan okyong, serta durian monthong. Pada pameran yang diikuti oleh peserta mancanegara itu, Presiden Soeharto—yang membuka acara—berpidato, “Bangsa Indonesia harus berdikari.” Buat Mubin, itu berarti punya  kebun  buah  dan pembi bitan  sendiri. Barang introduksi boleh masuk, tapi hanya dalam bentuk tanaman induk. Di tanahair, bibit diperbanyak, lalu ditanam supaya hasilnya bisa dipanen dan dikirim ke pasar. Apalagi waktu itu, Mubin melihat buah impor mulai berdatangan.

Unggul

N i a t     i t u diwujudkan dengan mengumpulkan bibit buah unggul dari kampung ke kampung. Pun hasil introduksi, meski

Belimbing dewa, salah satu andalan

Waktu wisata belanja ke Thailand

12

sesaat. Bisnis bibit jeruk runtuh lantaran penyakit Citrus Vein Phloem Degeneration (CVPD) mewabah. “Orang takut tanam jeruk,” keluh pria yang pada awal membuka kios otomotif sering menyewa ojek untuk belanja onderdil ke Kota itu. Bangkrut, laki-laki yang menikah pada 1971 itu mulai lagi dari awal dengan memperbanyak mangga, rambutan, dan belimbing. S e b a g i a n     d i t a n a m sendiri untuk dipanen buahnya. Itu pun bukan tanpa   risiko.  Waktu awal menanam pepaya dan jeruk di kebun o r a n g t u a ,     r i b u a n tanaman siap panen dimusnahkan karena peraturan pemerintah. Bencana alam pun jadi hambatan. Banjir besar setinggi 1 m pernah meluluh-lantakan tanaman pepaya. Toh, Mubin berani menerima tantangan itu. Pilihannya ternyata tepat. Dari kebun belimbing dewa dan jambu biji daging merah, pria yang kios bensinnya berkembang jadi toko oli, bisnis cuci motor, dan toko ban itu memasok tengkulak di Pasarminggu, Jakarta Selatan—Mubin pindah ke sini pada 1972 karena pasar Manggarai dibubarkan—dan Citayam, Bogor. B e l a k a n g a n     b a n y a k pekebun yang mengikuti jejak sehingga belimbing dewa dan jambu biji merah jadi komoditas andalan Depok. Mubin pun berbangga hati. Dua komoditas itu dilepas sebagai varietas unggul nasional oleh menteri pertanian atas namanya—ditambah kecapi

harganya waktu itu, “Ngga cukup kalau ngga jual 1 ekor kambing,” selorohnya. Di kebun kecilnya, bibit-bibit itu dikumpulkan, diperbanyak, dan dijual. Terkadang Mubin memikul bibit hingga ke kampung-kampung memenuhi pesanan pelanggan. Bibit laris-manis karena waktu itu masih jarang hasil perbanyakan dengan cara vegetatif—umumnya bibit asal biji. Lantaran banyak pembeli menanyakan bibit jeruk, Mubin berkonsentrasi memperbanyak bibit anggota famili Rutaceae itu. “Ternyata memang laku banyak,” kata pria yang sembari merawat bibit juga membuka kios bensin di lokasi sama. Sayang bulan madu perniagaan bibit jeruk hanya bertahan TRUBUS GOLD EDITION - I

ratu jaya. Malah belimbing dewa menjuarai Lomba Buah Unggul Nasional Trubus untuk kategori buah bintang pada 2003—2005. Gara-gara itu pula, pria yang kios bensinnya menjelma jadi bengkel besar itu semakin terkenal sebagai penyedia bibit dan buah unggul. Sebuah penghargaan Satyalancana Wira Karya dari Presiden Megawati diberikan pada acara Pekan Nasional Kontak Tani Nelayan Andalan (Penas KTNA) di Manado pada 2004. Kehormatan lain, penghargaan sebagai perintis lingkungan hidup dari Gubernur Jawa Barat atas jasa mengubah daerah aliran sungai Ciliwung menjadi sentra belimbing.

Pingpong manis

Manisnya bisnis bibit pun dirasakan kembali. Saat tren lengkeng dataran rendah menyeruak di tanahair, laki-laki yang tinggal di kawasan elit Depok itu panen order. Tabulampot lengkeng diamond river dan pingpong yang dimiliki sejak lama laris-manis dengan harga fantastis. Padahal, dulu tidak ada yang melirik. Toh, Mubin belajar dari pengalaman. Keuntungan penjualan bibit diinvestasikan. “Jual bibit itu harus bisa nyimpen duit, karena bisa jadi hari ini laku, besok-besok sampai sebulan ngga ada yang beli,” selorohnya.

TRUBUS GOLD EDITION - I

Kini jejak kesuksesan pria yang berkeliling Eropa atas undangan sebuah perusahaan ban itu masih terekam jelas di nurserinya. Di Wijaya Tani, Trubus melihat deretan tabulampot buah naga; polibag-polibag bibit lengkeng diamond river, pingpong, dan itoh; mangga okyong, nam dok mai, khioe sawoi, erwin, dan lancetila; kelapa pandanwangi; kecapi bangkok; dan durian monthong—sekadar menyebut contoh jenis introduksi. Sebagian besar dibawa dalam bentuk biji waktu perjalanan ke luar negeri. Terakhir, pada perjalanan ke Thailand untuk ke-7 kali, pemilik toko ban terbaik se-Indonesia pada 1994 itu memboyong bibit nangka berdaging merah dan mayongchid—gandaria manis. Mereka bersanding dengan rambutan rapiah, belimbing dewa, jambu biji daging merah, jeruk siem, kedondong, dan sawo kecik lokal. Hasil perbanyakan itu untuk memasok pedagang di seputaran Jabotabek hingga kota-kota di luar Jawa. Belakangan, Mubin aktif mengikuti ekshibisi. Di sana rupiah dari bibit buah mengalir lebih deras— sama seperti ketika musim tanam buah-buahan datang pada penghujan. Mobil bak terbuka dari kebunnya pun masih rutin memasok Pasarminggu dan Citayam. Dari bisnis di pinggir rel, kebun bibit Mubin menyebar di 4 tempat. Dari kios bensin tepi jalan, menggurita jadi bengkel ternama. Buat Mubin, hidup di antara buah dan bensin. (Evy Syariefa)

Kecapi ratujaya, varietas unggul nasional

Dulu satusatunya pemilik jambu biji bangkok

13

legawa hamijaya:

KD

Dokter Polisi di

ebun

uren

“Mohon maaf! Praktek libur, besok buka kembali.” Tulisan itu terpampang di pintu gerbang. Libur bukan karena hari besar, tapi sang dokter gigi akan mengontrol kebun durian yang tiba masa panen.

14

TRUBUS GOLD EDITION - I

mereka

belajar

di lapan

gan

Siawi yang bikin penasaran

a merek

beplaanjagarn

Foto-foto: Karjono, Edi Amd, Koleksi Legawa

di la

Karena durian, berani tinggalkan pasien

Denganpenghasilan

Sikepel

Dukungan istri penting

16

pernyataan itu artinya Rp6- juta yang biasa didapat setiap kali praktek hilang. Namun, AKP drg Legawa Hamijaya seperti tak acuh. Ia malah memilih pergi ke kebun durian. “Kalau itu rezeki saya, tidak akan lari ke mana. Mereka (para pasien, red) sangat fanatik, besok sore pasti akan kembali,” jawabnya ringan. Legowo—begitu pria bertubuh gempal itu disapa—memang punya profesi ganda. Selain bertugas sebagai dokter di Kepolisian, ia menggeluti agribisnis. Dunia pertanian bagi Legowo bukan barang baru. Ayahnya di Yogyakarta yang mengelola beberapa hotel mempunyai puluhan hektar tanaman salak. Jadi, meski kuliahnya di kedokteran gigi, perkembangan pertanian tak luput dari perhatian. Apalagi setiap bulan ia rutin membaca majalah Trubus yang diakui banyak menampilkan kisah sukses petani-petani di dalam dan luar negeri.. “Komoditas-komoditas yang potensial dikembangkan pun diperkenalkan di majalah,” ujarnya. Selepas lulus dari Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Gadjah Mada pada 1999 dengan mendapat predikat lulusan 5 tercepat—ditempuh

selama 5 tahun—Legowo masuk pendidikan PPSS (Perwira Polisi Sumber Sarjana) di Semarang. Pada 2000 pemerintah langsung menempatkannya sebagai dokter polisi di Provinsi Lampung. Hari-hari Legowo di Bumi Ruwa Jurai itu tentu dilalui dengan kesibukan melayani sesama anggota polisi dan masyarakat umum. “Pulang malem terus, malah kadang sampai pagi karena harus memvisum mayat,” tutur kelahiran Yogyakarta 7 Januari 1975 itu. Namun, naluri bisnis bungsu dari 8 bersaudara itu tidak bisa disembunyikan. Ketika melihat pasokan sayuran di pasar-pasar seputaran

TRUBUS GOLD EDITION - I

Bandarlampung kurang, di benaknya langsung terbersit niat untuk menjadi petani. Dengan lahan sewaan ia sempat beberapa kali menanam caisim, pakcoy, dan cabai, sebelum akhirnya diputuskan untuk ditinggalkan. “Tanaman sayuran harus ditangani intensif, sementara saya tidak punya banyak waktu. Lagi pula harga fluktuatif,”  imbuhnya.

Beli kebun

Tak berhasil mengatasi keterbatasan waktu, pemuda yang piawai memainkan berbagai alat musik tradisional Jawa dan modern itu mengubah strategi. Legowo menganalisis, “Sayuran potensial diusahakan, tapi yang cocok bagi saya mungkin tanaman tahunan, seperti buah-buahan.” Minat ke arah itu sebetulnya sudah muncul sejak kedatangan di Lampung. Mata bisnis pehobi

renang itu mengincar lahan di perbukitan yang berjarak sekitar 10 km dari rumah, tepatnya di daerah Sukadanaham. Di lokasi itu tumbuh beragam tanaman buahbuahan, termasuk durian yang menjadi buah unggulan Lampung. Bahkan dari sanalah duriandurian enak berasal. Motivasi Legowo untuk menguasai lahan kian besar. Kebetulan, rezeki dari buka praktek di rumah cukup untuk menutup 10 hektar lahan yang ditawarkan pemiliknya, Rp17-juta/ha. Kebun yang dibeli awal 2001 itu berisi tanaman kakao mencapai luasan 6 ha (4 hektar sudah berproduksi), durian 2 hektar, dan sisanya 2 hektar, campur aduk: ada alpukat, kelapa, petai, cengkih, singkong, dan tanaman semusim seperti padi dan ubijalar. Kala musim panen, “Saya senang bisa mengundang teman-teman kantor dan karib kerabat untuk makan buah-buahan sepuasnya di kebun,” tutur Legowo. Dokter yang minikahi Retno Anmi pada 2002 itu belum berniat menjual hasil kebun dengan alasan perlu promosi dulu. Toh menurutnya untuk makan bisa mengandalkan gaji sang istri yang berprofesi dokter umum di sebuah rumasakit di Lampung. Barulah sejak 2003, seiring dengan aliran biaya yang dikeluarkan untuk membenahi TRUBUS GOLD EDITION - I

kebun, Legowo mulai mengeksploitasinya. Ia menempatkan 2 karyawan yang bertugas merawat kebun dengan sistem bagi hasil. “Lumayan, tidak sekadar menutup biaya, tapi ada kelebihan,” ucapnya. Bagaimana tidak, setiap tahunnya dari kakao diperoleh pemasukkan bersih Rp12-juta—Rp15-juta, durian Rp18-juta, dan cengkih Rp14-juta. Itu belum termasuk penjualan dari petai, alpukat, dan kelapa.

Fokus ke durian

Ciptakan kebanggaan pada diri pekerja

Keberhasilan AKP

Yang menggembirakan, maniadrg Legawa Hamijaya mania durian di Lampung kian mengenal kualitas durian dari beragribisnis tak lepas kebunnya. Oleh karena itulah dari ilmu polisi yang dengan bermodal 160 pohon durian jenis lokal berumur 20—30 tahun, diterapkan. Kebunnya Legowo membangun kios di depan aman dari penjarahan rumah dan sekaligus membuka kebunnya untuk dikunjungi para karena teman-teman penikmat raja buah itu. Embelsekantor sering embel durian jatuhan dan dijual diajak nongkrong dengan harga kiloan, Rp5.000/ kg, Lembah Durian—nama farmsambil menikmati nya—ramai dikunjungi saat musim lezatnya durian. Siapa buah tiba. “Banyak sekali yang datang, yang tidak gentar sampai-sampai ada yang tidak berhadapan dengan kebagian,” kata ayah 2 putra itu. Harap mafhum durian yang jatuh sekompi polisi? Ilmu tidak bisa diatur. Jika sudah begitu polisi pula yang mereka rela menginap, menunggu sampai buah berduri tajam itu jatuh. bisa meningkatkan Pernah kejadian seorang konsumen produktivitas pekerja. fanatik dengan membawa tenda dari rumah, menginap sehari semalam di bawah pohon demi sebutir siawi. Siawi salah satu jenis durian yang diunggulkan memang sangat istimewa. Daging kuning, kering, berasa manis legit, dan daging lembut. Padahal, menurut Legowo minimal ada 6 jenis lain yang tidak kalah enak. Sebut saja sikoneng, siorens, dan silodong. Atas dasar itulah pria yang kerap mengikuti pelatihan budidaya durian dan 3 kali studi banding ke Thailand itu akan lebih serius menangani durian. Kalau selama ini pemupukan dan pengendalian hama penyakit dilakukan apa adanya, ke depan ditingkatkan. Dengan begitu tingkat kerontokan buah bisa ditekan, sehingga akan lebih banyak lagi buah-buah beraroma tajam itu yang bisa dijual. Legowo menghitung ketika buah baru seukuran telur jumlahnya tidak kurang dari 6.000 butir, tapi yang bertahan hingga matang cuma 2.000 butir. Perluasan areal penanaman pun tengah direncanakan. Tanah-tanah di sekeliling kebun Sikoneng

17

a merek

beplaanjagarn

di la

Yang berbakat seni pun bisa jadi polisi

sedikit demi sedikit dibebaskan serta bibitbibit durian unggul lokal dari berbagai daerah dikumpulkan. “Saya pilih durian lokal sesuai permintaan pasar. Monthong di Lampung kurang laku. Dulu hanya saya bagi-bagikan ke teman,” katanya. Menurutnya pangsa pasar durian sangat besar sehingga ia tidak takut kesulitan pasar, “Asal berkualitas dan dipanen jatohan, konsumen datang sendiri ke kebun.”

Ilmu polisi

Populer sebagai pekebun duren ketimbang polisi

Tidak hanya pandai menari Legowo kecil dekat dengan pertanian

18

kebun ditutup. Padahal, “Biaya yang dikeluarkan untuk intel tidak seujung kuku dibanding kerugian yang ditimbulkan,” kata polisi yang punya keahlian berkuda itu. Para pekerja di Lembah Durian bisa loyal dan produktif, “Itu juga ilmu polisi,” lanjut Legowo. Mantan penari di Keraton Yogyakarta itu membuat loyal para pekerja dengan menepati apa-apa yang sudah disepakati bersama—misal soal bagi hasil—membantu saat keluarganya ditimpa musibah, dan ditanamkan kebanggaan pada diri masing-masing pekerja. Makanya, embel-embel dokter selalu melekat ketika menyebut kebun yang sering dipakai berkemah anak-anak Sekolah Dasar itu: “Kebun durian dr Legowo”. Merawat durian di seorang yang berprofesi dokter bagi pekerja punya nilai prestisius tersendiri. Nah, untuk memacu produktivitas, perwira menengah dari batalion Wira Dharmasthi itu selalu menghindari hubungan terlalu akrab antarsesama pekerja. Ia ciptakan persaingan dengan cara “mengadu domba”, tapi terkendali. Misalnya sesekali mengajak salah satu pekerja makan di tempat mewah. Saat itu pula dikorek informasi dengan mengumpan “bola” asutan yang seolaholah dilontarkan pekerja yang tidak diajak makan. Dengan cara itu potret keseharian aktivitas di kebun terlihat dan masing-masing pekerja akan giat bekerja karena khawatir dilaporkan. Pantaslah banyak pelaku agribisnis yang meraih sukses justru tidak berlatar belakang ilmu pertanian, seperti AKP drg Legowo. Di kantornya ia lebih dikenal sebagai pekebun duren, tapi di kebun duren juga disegani karena bisa mengangkat senjata. Yang penting tidak diumpat pasien yang tak tahan menahan sakit giginya karena harus menunggu sampai besok. (Karjono)

Keberhasilan Legowo beragribisnis tidak lepas dari ilmu polisi yang diterapkan. Kebunnya aman dari penjarahan dan para pekerja tetap loyal meski kegiatan sehari-hari tak ditangani langsung. Kuncinya? Ia mengutarakan, membawa-bawa teman sekantor ke kebun bukan tanpa maksud. “Di sini masih banyak preman. Tapi kalau sekompi orang-orang berpakaian cokelat (polisi, red) sering mondar-mandir di kebun, apa mereka tidak takut?” tuturnya. Ia juga tak segan-segan menyebar intel jika ada 1—2 butir durian dicuri, supaya si pelaku jera. Menurut Legowo, intel itu juga disebar untuk mengawasi pekerja. Banyak kasus penyelewengan penggunaan pupuk di kebun-kebun tetangga oleh pekerjanya. Seyogyanya 2 kuintal pupuk diaplikasikan pada tanaman, tapi karena merasa tidak ada yang mengawasi hanya dipakai separuhnya. Separuhnya lagi masuk kantong alias dijual. Akibatnya fatal, tanaman tidak bisa berbuah optimal, pemasukan sedikit, lama-lama TRUBUS GOLD EDITION - I

a merek

beplaanjagarn

di la

imron khudori:

Juragan Adenium yang Besar di Jalan

Tujuh tahun silam Imron Khudori hanya pengumpul pelepah pisang. Tak lama berselang menjadi bos pelepah beromzet Rp160-juta/minggu. Sayang, pada 2003 perniagaan itu berakhir dengan 1 kata: bangkrut!

Denganmembuka

modal Rp200-ribu ia bangkit usaha baru. Kini Imron terkenal sebagai juragan adenium Gresik beromzet Rp35-juta/minggu. Inilah suasana ruang pamer adenium seluas 2000 m2 milik Imron di Kabupaten Gresik, Jawa Timur, setiap akhir pekan. Jalan selebar 4 m yang membelah kebun disesaki kendaraan roda 4 seperti Honda Odyssey dan Toyota Innova. Di luar kebun 2  Panther keluaran terbaru diparkir di seberang. “Itu pelanggan yang datang untuk berburu kamboja jepang,” kata Imron. Pelanggan biasanya kolektor adenium dari berbagai kota di Jawa Timur seperti Surabaya, Situbondo, dan Ponorogo. Di sisi kiri-kanan jalan kebun berjajar pilar-pilar berjarak 1 m. Di atasnya bertengger 18 Adenium obesum berdiameter bonggol di atas 60 cm dan

20

TRUBUS GOLD EDITION - I

TRUBUS GOLD EDITION - I

21

a merek

beplaanjagarn

Foto-foto: Destika Cahyana

di la

Kebun transit hanya 2.000 m2

Bonggol buruan kolektor

22

bertabur bunga. Mereka seolah menyambut kedatangan pelanggan yang bersedia meminang. Di balik tanaman berukuran besar terhampar ribuan obesum semaian biji maupun grafting berukuran 15—25 cm. “Perputaran tanaman sangat cepat. Saya tak tahu persis jumlah tanaman saat ini. Nurseri ini seperti kebun transit saja,” kata pemilik Vivin Indah Nurseri itu. Dari nurseri yang dibangun pada Maret 2006 itu seminggu 2 kali dikirim 800—3.000 adenium berbagai ukuran ke Bali. Total penjualan setiap pengiriman berkisar Rp15juta—Rp30-juta. Maklum, selain melayani pembelian eceran ke kalangan kolektor, Imron melayani pembelian partai. “Sebetulnya pangsa terbesar saya pemesan dalam partai besar,” ujar ayah 2 anak itu. Pengiriman partai dengan pick up dan truk pun

kerap dilakukan ke Yogyakarta, Pati, Purwodadi, Wonogiri, Banyuwangi, dan Jember. Dalam sebulan omzet berputar di kisaran Rp140- juta.

Baru kenal

Sejatinya, pria lulusan Sekolah Menengah Atas itu tak pernah bermimpi menjadi juragan adenium. Empat tahun lalu ia tak mengenal sama sekali kamboja jepang. Perkenalannya bermula saat Imron meminjam uang Rp400-ribu pada seorang kerabat untuk berburu pelepah pisang ke Malang dan Blitar. “Saya ingin mencoba memulai lagi bisnis pelepah pisang yang ambruk di awal 2003,” katanya. Sayang, selama berputar-putar di 2 kota itu dengan Honda Supra X keluaran 2002 yang digebernya dari Gresik, ia tak menemukan pelepah pisang yang dicari. Uang dikantong pun menipis dipakai berkeliling. “Yang tersisa hanya Rp200-ribu,” ujar ayah 2 anak itu. Lantaran TRUBUS GOLD EDITION - I

bisnis pelepah pisang sebelum dihadang pailit. “Semangat berubah pada diri Imron sangat kuat,” ujar Tjandra. Tengok saja perjalanan usahanya yang bermula dari pengambil dan penjemur pelepah pisang, berubah menjadi pengepul, hingga menjadi bos pelepah pisang Gresik, yang mengirim bahan baku furniture itu ke Cirebon. Sebagai bos besar, Imron mengirim 20—40 ton pelepah pisang kering dengan menggunakan 3 truk gandeng. Dengan harga jual Rp4.200 per kg, Imron mengambil laba Rp500 per kg. Ketika itu setiap minggu mengantongi laba Rp10- juta— Rp20- juta. Tak ada yang takut diomeli istri karena uang tak menjadi menyangka, dari perniagaan pelepah kering barang, maka sisa uangnya dibelikan 3 Adenium yang dianggap tak berharga itu ternyata bernilai obesum berdiameter 20 cm seharga Rp150-ribu. puluhan juta rupiah. Maklum, kala itu di Blitar dan sekitarnya—seperti Sayang, bulan madu dengan pelepah pisang Kediri—banyak pekebun menanam adenium. terhenti karena pabrik di Cirebon meminta standar Sesampainya di rumah, Nurhidayah, sang istri yang lebih tinggi. Pelepah mesti kering dan hanya bisa menggelengkan kepala kesal melihat putih. Imron mengalami kesulitan Imron membelanjakan uang yang tersisa karena pelepah yang dibeli Adenium hanya untuk 3 bonggol adenium. dari petani kerap kurang Hanya sehari di rumah Imron itulah yang kering. Penyusutan bermain ke seorang teman mencapai 50%. Warna menjadi napas di desanya. Tak dinyana kusam. Kontrak kehidupan Imron Khudori. Ia pun sahabatnya itu menyukai 300 ton pelepah adenium bawaan Imron dan pisang kering per tak sengaja berbisnis tanaman berani membeli 3 tanaman 4 bulan pun diputus. itu seharga Rp1,2- juta. “Gila hias itu. Uang tersisa Rp200.000 “Karena tak diterima laku dijual hampir 10 kali dibelanjakan untuk membeli 3 pot pabrik, pelepah lipat. Bisnis apa pun tak ada pisang dalam 1 truk yang untungnya sebesar adenium. Tiba di rumah tanaman gandeng dibakar,” ini,” ujar Imron mengenang itu diminati temannya dan laku ujar Imron. Hutang perkenalannya dengan Rp150-juta pun Rp1,2-juta. Sejak itulah adenium. Mulai saat itulah Imron menghantui kehidupan berburu adenium kecil-kecilan Imron di awal 2003. ia menekuni bisnis selama 6 bulan. Hampir setiap hari Selama setengah tahun adenium. ia mencari adenium ke Mojosari dan kehidupan Imron kembali Krian, Jawa Timur, senilai Rp200-ribu. seperti sepuluh tahun silam, kala Lalu melepasnya ke orang yang sama dengan ia masih menjadi penghubung antara nilai Rp600-ribu. pembeli dan penjual kendaraan roda dua. Setengah tahun berjalan Imron memberanikan “Pokoknya sulit. Kalau tak ingat keluarga ingin diri berburu ke Banyuwangi dan Probolinggo berhenti hidup,” katanya. Layaknya calo ia ke dengan menyewa pick up. Setiap pekan ia belanja sana ke mari mencari pembeli dan “nongkrong” Rp2-juta dan melepasnya dengan harga Rp6-juta. di warung kopi mencari sesuap nasi untuk Pasar dicari dengan cara door to door ke nurserimenghidupi keluarga. Beruntung kehidupan tak nurseri di berbagai wilayah di Jawa Tengah. menentu itu berbuah setelah dirinya bertemu Sebut saja Yogyakarta, Grobogan, dan Pati. “Ia dengan adenium pada pertengahan 2003 benar-benar hidup dan besar di jalanan. Beli di di Blitar. Jawa Timur, jual ke Jawa Tengah. Beli-jual begitu Kini saat Trubus berkunjung ke nurserinya seterusnya,” kata Tjandra Ronywidjaja, pemain akhir Februari 2007, Imron bukanlah raja jalanan adenium di Ponorogo. Baru setelah malangyang mengais kehidupan ke sana ke mari. Setiap melintang di jalanan selama 2 tahun Imron hari ia duduk di nurserinya sambil menghisap membuka nurseri sebagai kebun transit. Sampoerna Mild dan menyeruput kopi hitam. Sesekali ia menerima telepon dan short message service (SMS) dari pelanggan adenium di berbagai kota. Kesibukannya baru bertambah Sukses Imron di bisnis adenium itu seolah saat akhir pekan untuk melayani hobiis yang mengulang keberhasilannya membangun datang. (Destika Cahyana)

Pelepah pisang TRUBUS GOLD EDITION - I

Sang istri tak lagi kecewa dengan adenium

Metamorfosis pelepah pisang ke adenium

23

a merek

beplaanjagarn

di la

eddy sutioso:

Metamorfosis Pride of Sumatera

Berawal dari kematian 6 pot aglaonema pride of sumatera dan lady valentine, Eddy Sutioso jadi tertantang menggeluti dunia tanaman hias. Dua tahun berselang pengusaha restoran jepang itu bermetamorfosis menjadi pemilik pasar swalayan tanaman hias.

Bukandisebut tragedi. Dua tahun lalu kota

tanpa alasan kematian sri rejeki itu

Surabaya diselimuti tren aglaonema. Eddy pun kepincut mengoleksi sepot pride of sumatera dan lady valentine masing-masing seharga Rp200-ribu. Dua jenis itu dipilih lantaran disebut orang sebagai hibrida terbandel. Namun, apa lacur. Sri rejeki itu hanya bertahan 1 bulan karena daun terbakar. “Saya kalang kabut, istri saya pasti marah. Uang Rp400-ribu terbuang percuma,” katanya.

24

Kemarahan istri tercinta dihindari dengan membeli tanaman serupa setiap kali koleksinya mati. Tercatat 6 kali berturut-turut ayah Samanta Sicilillya dan Timothy Edison itu mengganti 2 sri rejeki itu. “Habis setiap bulan pasti mati. Saya mesti cepat-cepat membeli,” ujar pengusaha pasar swalayan makanan jepang di Surabaya itu. Pengalaman selama setengah tahun itu membuatnya tersadar. Aglaonema tak boleh terkena sinar matahari langsung. Ternyata benar. TRUBUS GOLD EDITION - I

TRUBUS GOLD EDITION - I

25 Foto-foto: Karjono & Destika

a merek

beplaanjagarn

di la

Setelah sang ratu daun ditaruh di tempat teduh dan dirawat intensif, hasilnya aglaonema tumbuh subur. Sejak itulah Eddy berburu jenis lain yang lebih mahal. Berbarengan dengan itu pula sarjana Akuntansi Universitas Jayabaya itu kepincut adenium. Pilihan pada mawar gurun itu berlangsung mulus karena sukulen itu tahan banting meski terjemur sinar matahari dan tak disiram 3—4 hari. Pada bulan pertama, koleksinya berlipat dari 10 menjadi 20—30 tanaman. “Karena tak mudah mati, saya ketagihan berburu,” tuturnya. Nurseri dari ujung barat hingga timur Jawa sudah disambangi.

Terlengkap

Kini cerita aglaonema dan adenium itu berbuah manis. Eddy bukan lagi hobiis kelas teri. Saat wartawan Trubus, Karjono dan Destika Cahyana berkunjung ke nurseri pada Desember 2006 dan Januari 2007, hobi itu telah jadi bisnis yang melesat. “Setiap bulan 1 kontainer tanaman hias dari Thailand datang. Itu karena permintaan kian besar,” katanya. Komoditas yang dipasarkan tak hanya aglaonema dan adenium, tapi juga plumeria, caladium, palem janggut, dan pachypodium. Bahkan, untuk caladium Eddy disebut-sebut sebagai orang pertama yang mengadopsi teknik sungkup massal ala Thailand. Penelusuran Trubus, kini teknik itu menginspirasi pekebun noncaladium. Misalnya, pekebun sansevieria di Solo.

Tersedia lengkap: flora dan fauna

“Setiap bulan 1 kontainer tanaman hias datang dari Thailand. Itu karena permintaan yang memang besar,” ujarnya. 26

Konsep pasar swalayan yang serbaada pun diterapkan di ruang pamer nurseri. Di atas lahan seluas 250 m2—bekas restoran—ia memajang alat pertanian dan satwa. Sementara halaman samping dan belakang seluas 8.000 m2 dibagi 2: nurseri tanaman hias dan kandang satwa. Makanya berkunjung ke sana ibarat memasuki kebun binatang dan kebun raya sekaligus. Selain menikmati keindahan anthurium dan aglaonema, TRUBUS GOLD EDITION - I

pengunjung disuguhi merdunya kicauan lovebird dan kenari. Desisan ular sanca yang tengah beristirahat pun terdengar. Pasar swalayan serupa di Bandung dan Jakarta hanya memilih 1 dari 2 segmen: tanaman atau satwa. Sukses Eddy memadukan tanaman hias dan satwa itu bukan kebetulan belaka. Sejatinya 11 tahun silam ia pernah membangun farm perkutut ternama di Surabaya, Santa Bird Farm. Ia terkenal karena getol mengoleksi indukan asal Thailand: ada 80 pasang. Banyak anakan dari farm-nya merebut juara di arena kontes. Sayang, bisnis itu terhenti pada 2002 karena menurunnya tren kerabat merpati itu. Selepas bermain perkutut, Eddy tergila-gila pada ayam serama, lovebird, makaw, dan parot. Menurut Eddy, pasar di dunia tanaman hias dan satwa masih terbentang luas. Dengan sistem promosi sederhana—memasang iklan di majalah dan tabloid, serta memasang spanduk besar—ia meraup pasar lokal hingga nasional. Pelanggan luar Jawa pun berhasil digaetnya. Pengelolaan kebun dan kandang dilakukan profesional. Ia mempekerjakan 6 dokter hewan dan 5 insinyur pertanian dari 28 pegawai.

Penghias restoran

Showroom berbendera Santa Pet Store & Nursery itu sebetulnya tak sengaja didirikan. Ketika itu, 1,5 tahun silam koleksi aglaonema dan adenium terlalu banyak di halaman rumah. Ia pun memindahkan koleksi ke 4 restoran—ala Jepang, Amerika, Meksiko, dan Indonesia—miliknya yang tersebar di Surabaya sebagai penghias. Tak disangka banyak pelanggan yang melirik tanaman. Lantaran tak berniat menjual, Eddy kerap menyebut angka semaunya agar mereka tak membeli. Anehnya, angka jutaan rupiah yang disebutkan tak membuat pelanggan urung membeli. “Kalau dihitung-hitung, keuntungan dari tanaman jauh lebih besar ketimbang dari makanan,” katanya. Naluri bisnis Eddy pun terusik. Ia menghubungi 2 nurseri besar di Jakarta menawarkan diri berbisnis ala franchise. Sayang, niatnya ditolak mentah-mentah karena Eddy dianggap awam di bidang tanaman. Gagal membuka franchise, pada Juni 2006 suami Kristin Setiawan itu nekat menyulap restoran di bilangan TRUBUS GOLD EDITION - I

Restoran dan distributor makanan jepang bisnis utama Eddy

HR Muhammad, Surabaya, menjadi showroom tanaman hias dan satwa. “Kalau tak nekat begini tak jadi-jadi. Padahal, bisnis restoran kian turun karena banyak saingan,” ujar Eddy. Sebagai permulaan tanaman dipasok dari sahabatnya di Jakarta. Sebanyak 200—300 aglaonema tanpa nama dipamerkan di restoran. Ternyata dalam hitungan hari 20—30% sri rejeki itu ludes terjual. “Anehnya, meski baru terjual 1/3, modal sudah tertutup. Teman saya sampai bingung karena pembayaran dilunasi tak sampai seminggu,” tutur Eddy. Di saat itu pula kolega lain menitipkan 1.000 Adenium obesum. Dalam waktu sebulan habis tak tersisa. Sebanyak 500 Adenium arabicum setinggi 40 cm pun turut menambah se “Pasar di dunia mangat  Eddy.  Pasalnya, sepot tanaman hias arabicum  bisa  terjual  hingga   Rp18-juta.  Penjualan di bulan masih terbentang pertama itu membuat Eddy  meningkatkanperburuannya. luas. Asalkan kita I a    m e n g a m b i l    t a n a m a n mau berpromosi,” langsung  dari Thailand sebagai katanya. pusat produksi adenium dan aglaonema. Kini  sejak  setahun  terakhir kesibukan Eddy sedikit berubah. Bila sebelumnya sepulang dari kantor berkutat dengan tanaman sebagai hobiis. Sekarang ia berkutat dengan tanaman sebagai mesin pencetak rupiah Palem yang andal. Matinya pride of sumatera dan janggut 2 m lady valentine menjadi guru terbaik untuk didatangkan memahami tanaman. (Destika Cahyana) dari Thailand

27

a merek

lajar

be ngan di lapa

li shih hua:

Pelopor Ekspor Bulan Taiwan

Tiga puluh tahun silam, Li Shih Hua hanya karyawan yang tugasnya menawarkan alat-alat pertanian kepada klien dari berbagai negara. Selang 5 tahun, ia mulai mengekspor anggrek bulan dari kebun sendiri.

B e r s e t e l a n b e r g a r i s      b i r u b a j u      o l a h r a g a

Li Shih Hua, pelopor ekspor phalaenopsis Taiwan



dongker, abu-abu, dan putih, Li Shih Hua memeriksa bibit phalaenopsis dalam botol yang terletak di kiri pintu masuk greenhouse. Sesekali tangan kanannya mengangkat botol tersebut sembari mengecek kondisi akar. Lalu langkahnya dilanjutkan ke deretan anggrek yang tengah memamerkan bunga di atas rak besi setinggi 75 cm beralaskan asbes. Puas meninjau kebun seluas 1 ha di Madao, Tainan, Taiwan, alumnus Business Administration, Taichung University, itu menyambangi ruangan yang berada tepat di samping kantornya. Di sana sekitar 3 pegawai sedang mengeluarkan bibit anggrek dari pot. Lalu membersihkannya dari media sphagnum moss. Phalaenopsis itu siap dikirim ke pelanggan di Jepang, Korea, Amerika, Singapura, dan Indonesia. Pada 2006, Li berhasil menangguk omzet sekitar US$60-juta. Dua puluh tujuh tahun silam, jangan harap melihat Li di nurseri. Waktu itu ia sedang sibuksibuknya jadi agen promosi alat-alat pertanian di perusahaan tempat bekerja. Sebuah profesi yang dilakoni selama 10 tahun. Pekerjaan itu TRUBUS GOLD EDITION - I

Foto-foto: Onny Untung dan Sardi Duryatmo

Sarjana Administrasi Bisnis ini semula tak tahu dunia anggrek bulan. Namun, ia belajar tanpa henti, seperti pasar swalayan 7 Eleven yang buka 24 jam tujuh hari sepekan. Hasilnya ia menjadi penganggrek papan atas. Setidaknya 140 hibrida hasil silangannya terdaftar di Royal Horticulture Society, Inggris. TRUBUS GOLD EDITION - I



a merek

lajar

be ngan di lapa

Hasilkan lebih dari 140 hibrida baru

pula yang membuka mata Li untuk mencari usaha sendiri. “Waktu itu, klien saya dari Jepang mengatakan kalau sebenarnya Taiwan berpotensi mengembangkan phalaenopsis. Iklimnya cocok dan biaya produksinya lebih murah dibandingkan Jepang,” kisah ayah 3 anak itu. Di Formosa, anggrek bulan memang bukan tanaman baru. Waktu itu sudah banyak hobiis dan penyilang. “Namun, belum ada yang berpikir untuk menjadikannya sebagai bisnis ekspor,” ujar general manager Shih Hua Orchids. Ketika itu,

di Taiwan Orchid Grower Association itu telaten mempelajari anggrek. Berpuluh buku tentang anggrek ia lahap setiap hari. “Saya belajar seperti 7 eleven 11,” katanya. Perusahaan ritel itu buka 24 jam sehari dan 7 hari seminggu. Tak ada waktu luang untuk bersantai. “Mungkin kalau waktu itu belum menikah, tak akan ada yang mau sama saya karena lebih memilih belajar anggrek,” ujarnya sambil tersenyum. Bukti keseriusan Li, ia sampai memanggil guru dari Jepang untuk mengajari merawat anggrek selama

merawat phalaenopsis hanya sebagai hobi. Naluri bisnisnya mendorong Li menerjuni dunia anggrek. Li memilih phalaenopsis lantaran Taiwan memiliki jenis anggrek bulan lebih banyak daripada negara lain. Pantas, Sekitar 17—18 tahun lalu Taiwan disebut sebagai kingdom of phalaenopsis.

2 tahun. Pada hari Li bekerja, kebun anggrek dirawat ayah dan saudaranya. Li pun menjalin kontrak kerja dengan rekan dari Jepang. Selama 4 tahun, Li hanya bisa menjual anggrek ke negeri Sakura. Itulah ekspor pertama phalaenopsis Taiwan. Yang diekspor, seedling dan tanaman remaja belum berbunga. Supaya lebih dikenal di dunia internasional, Li menyertakan label nurseri pada setiap anggrek yang dikirim ke Jepang. Keuntungannya, siapa pun pembelinya jadi tahu anggrek itu hasil budidaya di Taiwan. Usaha itu pun berbuah hasil. Kurang dari 4 tahun, Li kebanjiran order dari negara lain. Setahun merawat phalenopsis, Li mulai menyilangkan. Buah tak jadi dan corak jenis baru jelek, kegagalan yang lazim. Namun, ia pantang menyerah. Kerja kerasnya pun berbuah manis. Li “melahirkan” phalaenopsis putih dengan splash

Guru dari Jepang

Omzet mencapai US$60-juta pada 2006



Bermodalkan tabungan dan pinjaman dari bank senilai NT3-juta, dengan kurs sekarang setara Rp840-juta, Li membangun laboratorium, greenhouse, dan kebun seluas 1.000 m2. Li tak perlu susah payah mendapatkan modal dari bank, karena perusahaan tempat ia bekerja menjamin semuanya. Selama 6 bulan Li bekerja di 2 tempat. Tiga hari di kantor dan sisanya, 4 hari dihabiskan di kebun. Sepulang kantor, koordinator operasi

TRUBUS GOLD EDITION - I

ungu di pinggir kelopak bunga. Hingga kini minimal 140 hibrida hasil silangan Li terdaftar di Royal Horticultural Society di Inggris.

Omzet

Lima tahun ekspor berjalan, Li berhasil melunasi utang. Kesuksesan Li menginspirasi banyak orang untuk membuka kebun phalaenopsis untuk pasar ekspor. Selama 20 tahun berjalan, mantan staf promosi perusahaan alat pertanian

Sekitar 40-juta anggrek bulan. Itulah jumlah anggrek bulan yang diekspor Li per tahun. Anggrek bulan hasil kultur jaringan itu mengisi pasar Asia Timur, Asia Tenggara, dan Eropa. Untuk memperluas pasar, ia juga membuka kebun seluas 18 ha di Cina. Penganggrek papan atas itu juga mendaftarkan 140 hibrida hasil silangannya.

TRUBUS GOLD EDITION - I

itu berhasil mengekspor lebih dari 60-juta seedling dan tanaman remaja. Awalnya, pangsa terbesar ke Jepang sebesar 90% dari total ekspor. Kini Jepang tinggal 20%, Korea (60%), Amerika (10%), dan sisanya ke negara lain. Total penjualan per tahun 40-juta tanaman. Hingga 7 tahun lalu Li memegang 15% dari seluruh volume ekspor phalaenopsis Taiwan, sekarang hanya 3%. “Meski menurun dari segi pangsa pasar total, tapi untuk volume penjualan terus meningkat,” katanya.

Terbukti ayah 3 anak itu melebarkan sayap ke Cina sejak 6 tahun lalu. Di negeri Tirai Bambu, Li membangun kebun seluas 18 ha secara bertahap. Dari sana, ia memproduksi 10-juta seedling/tahun lewat kultur jaringan. Jumlah itu untuk memenuhi pasar Eropa. Pantas bila Li dianugerahi banyak penghargaan sebagai pelopor ekspor phalaenopsis. Dua di antaranya menorehkan kebanggaan. Yaitu penghargaan Moufan dari menteri pertanian Taiwan pada 1996 karena kecakapan bisnisnya. Kedua, Shen Nung Juang (Juang =penghargaan, red) yang didapat pada 4 Februari 1997 dan diberikan presiden Taiwan. Setiap tahun hanya 10 orang dari sekitar 2-juta pekebun di Taiwan yang menerima penghargaan itu. Buat Li, sukses pun mengalir dari phalaenopsis. (Rosy Nur Apriyanti)

Rutin mengecek kesehatan anggrek bulan



a merek

beplaanjagarn

di la

pramote rojruangsang:

Kisah

Laki-laki Variegata

Di tanahair, namanya populer sebagai penyilang aglaonema kawakan. Di negeri asal—Thailand—Pramote Rojruangsang justru lebih dikenal sebagai pencinta variegata. Lebih dari 20 tahun alumnus Dusit Building Contraction, Bangkok, itu mengoleksi tanaman belang. Kini ia tengah kepincut sansevieria mutasi.

Agave variegata

Jumat,tersungging

1 Desember 2006. Senyum cerah di bibir Pramote Rojruangsang. Aglaonema variegata silangan kelahiran Bangkok 10 Maret 1955 itu didapuk jadi yang terbaik di kelas hibrid baru pada kontes di Suan Luang, Bangkok. Itu kali pertama sri rejeki nonmerah menyabet juara di kelas bergengsi itu. Pada kontes memperingati ulang tahun ke-80 Raja Bhumibhol Adulyadej, hibrida variegata bernama suvarnabhumi—artinya tanah emas—memutus tradisi dominasi aglaonema merah. “Ini barang istimewa,” ujar Dr Surawit Wannakrairoj, ketua juri. Selama ini belum ada sri rejeki variegata hasil kerja manusia. Suvarnabhumi berwarna dasar hijau dengan pulasan perak di bagian tengah dan kuning di tepi. Hibrida itu lahir dari penyilangan induk betina Aglaonema cochinchinensis variegata dengan jantan normal bernama golden bay. “Saya beruntung,” kata Tjiew—begitu Pramote biasa disapa. Dari puluhan ribu tanaman, hanya suvarnabhumi yang stabil.

Tukang kontruksi

Kemenangan ratu daun belang itu kian mengukuhkan pamor Tjiew sebagai penyilang

32

TRUBUS GOLD EDITION - I

Kalau menilik latar belakang pendidikannya, Tjiew mestinya bukanlah penghulu aglaonema. Pendidikan formal ditempuh di Dusit Building Contraction, Bangkok— mendalami ilmu kontruksi. Empat tahun berkutat dengan teori bangun-membangun gedung, jalan, dan jembatan ternyata tak membuat pria murah senyum itu jadi kontraktor. Di tengah masa pendidikan, Tjiew malah masuk ke bisnis tanaman hias.

TRUBUS GOLD EDITION - I

aglaonema kawakan. Di tanahair, nama anak ke-3 dari 10 bersaudara itu identik dengan dud unyamanee. Yang disebut terakhir, salah satu siamese rainbow merah pertama yang hadir di Indonesia. Daunnya cantik dengan paduan warna hijau bersaput bintik-bintik merah pekat. Aglaonema yang lahir pada awal 2000-an itu sempat merajai kontes di Suan Luang. Prestasi itu dilanjutkan waktu berkompetisi di lomba tanaman hias di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, pada 2004. Meski harus puas di posisi ke-2 di bawah tiara karena kurang rimbun, dud unyamanee menjadi perintis masuknya aglaonema negeri Siam. Di tanahair kebanggaan Tjiew itu jadi incaran para hobiis. Karya fenomenal lain, aglaonema berwarna kuning solid. Daunnya membentuk hati sempurna. Sosok kompak dan rimbun. Ia dikenal dengan sebutan aglaonema sultan brunei. Musababnya, Sultan Hasanal Bolkiah, penguasa negeri kaya minyak itu, yang mengoleksi dengan bandrol ratusan juta rupiah. Tjiew juga melahirkan emerald dragon—punya garis seperti lipstik di tepi, maneerattana—paduan warna hijau, merah muda,

Koleksi variegata sejak 20 tahun silam

33

a merek

beplaanjagarn

Kiri-kanan (atas) Sansevieria pinguicula mutasi, pachypodium kristata, aglaonema suvarnabhumi, Sansevieria hallii variegata

jingga, dan perak, serta maneerungrueang— merah polos dengan lis hijau di tepi daun— sekadar untuk menyebut contoh. Kalau menilik latar belakang pendidikannya, Tjiew mestinya bukanlah penghulu aglaonema. Pendidikan formal ditempuh di Dusit Building Contraction, Bangkok—mendalami ilmu kontruksi. Empat tahun berkutat dengan teori bangun-membangun gedung, jalan, dan jembatan ternyata tak membuat pria murah senyum itu jadi kontraktor. Di tengah masa pendidikan, Tjiew malah masuk ke bisnis tanaman hias.

Sambang darah belang

Uniknya teman-teman mengenal pria bersahaja itu sebagai pencinta tanaman variegata. S e b u t a n variegata man alias laki-laki variegata pun disematkan. K e b u n seluas 90 rai—

Tjiew

lebih

tapi hanya 10 rai, setara 1,5 ha, yang terisi tanaman hias—di Klongluang, Pathumtani, menegaskan itu. Di kiri-kanan jalan masuk ke kebun yang berbatu selebar 4 m berjejer pandan bali variegata, pohon pisang berdaun belang hijau kuning, dan sejenis walisongo variegata. Masuk ke kebun pemandangan tanaman belang terhampar. Di dekat pintu belakang rumah ada nolina belang, plumeria berdaun hijau berbercak putih dan kuning, dendrobium berdaun dan berbunga variegata, palem belang, dan pakupakuan variegata. Bahkan rumput dan semak di dekat parit pun berkelir hijau-putih. Dari kebun Tjiew-lah sambang darah variegata yang banyak dipakai sebagai ornamen taman di Indonesia berasal. Gara-gara tanaman belang, Tjiew jadi kerap berkeliling negara. Dari situ, ia kenal d e n g a n kolektorkolektor tanahair. Pisang berdaun

Dud unyamanee

34

TRUBUS GOLD EDITION - I

Foto-foto: Onny Untung & Evy Syariefa

di la

merah dari Indonesia jadi koleksi istimewa. Sebetulnya tak melulu tanaman belang yang digilai. “Saya suka tanaman aneh-aneh,” kata pria yang kerap mengendarai skuter kecil untuk berkeliling kebun itu.

Kutu loncat

Pantas bila pemilik Unyamanee Garden itu kepincut tanaman hias. Tjiew remaja sering ikut ayahnya keluar-masuk hutan mencari tanaman koleksi. Makanya agave, philodendron, anthurium, sansevieria, dan beragam jenis anggrek jadi kawan karib sedari kecil. Tertular dari sang ayah, Tjiew mulai mengoleksi sendiri. Pilihan jatuh pada bonsai. Beragam jenis dikumpulkan dari berbagai pelosok negeri. Berkali-kali lomba diikuti dan jadi juara. Lamakelamaan justru Tjiew yang diminta menjadi juri—aktivitas yang masih dilakoni hingga 2 tahun silam. Bosan bermain bonsai, anggrek kantong semar paphiopedilum dilirik. “Tapi kalau mau menjual harus mengurus izin CITES (Convention on International Trade in Endangered Species, red). Repot, jadi saya stop,” kata pria yang melancong ke berbagai negara ditemani Piya Subhaya-achin—alias Pic, adik ipar—yang fasih berbahasa Inggris. Garagara kerap mengurus CITES, Tjiew kenal dengan TRUBUS GOLD EDITION - I

Dr Surawit Wannakrairoj—sekarang presiden Ornamental Plants Variety Developer Club. Ibarat kutu loncat, ia kembali berpindah. Tanaman variegata jadi pilihan berikut. Mulailah perburuan lintas negara dilakukan. Perkenalan dengan Usa Wongsomboon— pasangan hidup—membawa Tjiew terjun ke aglaonema—tanaman yang sudah dikenal ketika masih sering keluar-masuk hutan. Berkat kerabat caladium itu nama Tjiew berkibar hingga ke Indonesia. Sukses mencetak aglaonemaaglaonema juara, pemilik toko di pasar tanaman hias Chatuchak, Bangkok, itu kehilangan tantangan. “Tak ada lagi yang menarik di aglaonema. Menghasilkan yang merah itu gampang,” kata Tjiew. Akhirnya sansevieria belang-lah yang memikat Tjiew. Kini hari-hari kontraktor tak kesampaian itu diisi dengan melongok satu per satu pot lidah mertua. “Pic, yang ini anaknya muncul!” begitu teriakan Tjiew pada sang adik ipar suatu pagi. (Evy Syariefa)

Perkenalan dengan Usa Wongsomboon— pasangan hidup—membawa Tjiew terjun ke aglaonema— tanaman yang sudah dikenal ketika masih sering keluarmasuk hutan.

35

a merek

beplaanjagarn

di la

bangun dioro:

Sersan di Kandang

Kambing

Lelaki muda itu meninggalkan bedeng meski tengah sakit. Kemarin maut merenggut nyawa Tismo, rekannya sesama kuli bangunan, setelah demam tinggi. Ia berjalan kaki sekitar 30 km dari Pasteur ke Ciroyom. Di sana ia menjual 2 celana dan 2 kaos— semua bekas—kepada pedagang loak Rp8.000. Uang itu untuk makan siang.

Daritruk ke Karawang, Jawa Barat. Di kota Bandung, kuli bangunan itu menumpang

36

Lumbung Padi, ia menjadi kernet. Setelah 2 bulan bekerja, ia minta gaji untuk membeli baju. “Saya hanya punya 2 baju. Kalau yang satu dipakai, satunya lagi dijemur,” katanya. Namun, sang majikan menolak memberi hak lelaki muda itu. Oleh karena itu ia beralih “profesi” menjadi pembantu rumah tangga. Pekerjaan utamanya mengepel, memandikan anjing, dan belanja kebutuhan pokok di pasar. Siapa duga 17 tahun kemudian Bangun Dioro— si lelaki muda yang dulu kuli bangunan itu— sukses beternak kambing di Cijeruk, Kabupaten Bogor. Luas lahannya 9 ha, 4 ha di antaranya sebagai padang rumput untuk memasok pakan.

TRUBUS GOLD EDITION - I

Tanda telinga untuk mencegah kawin sedarah

a merek

beplaanjagarn

di la

Sersan Satu Bangun Dioro, peternak kambing sukses di Bogor

Meski punya 6 mobil, Bangun Dioro lebih senang berangkat kerja naik keretaapi. Jika terpaksa naik mobil, ia tak pernah memarkir mobil di kantor, tapi di stasiun terdekat dari tempat kerja. Itu cermin betapa rendah hatinya dia.

sanen. Hasilnya menggembirakan: produksi susu rata-rata 2,5 liter selama laktasi dan rasanya gurih, manis, dan kental. Hasil silangan Bangun kini diminati banyak peternak. Namun, ia masih menahan dan terus memperbanyaknya. Jumlah silangan hasil tangan dingin Bangun itu mencapai puluhan ekor.

Sersan kambing

Ia mengelola lebih dari 300 kambing terdiri atas 150 peranakan ettawa (PE) dan masing-masing 50 ekor sanen, silangan boer, dan jawa randu. PE dan sanen kambing perah; boer dan jawa randu, pedaging. Dari jumlah itu ia memerah rata-rata 50 liter susu setiap hari. Menurut peternak terbaik se-Jawa Barat itu susu PE lebih kental, gurih, dan manis. Sementara susu sanen, “Ibarat sayuran kurang garam,” katanya. Itulah sebabnya, konsumen lebih tertarik susu PE. Meski demikian ia menjual susu PE dan sanen dengan harga sama Rp15.000 per liter. Artinya, omzet Bangun dari penjualan susu kambing mencapai Rp750.000 sehari atau Rp22,5- juta per bulan. Dari sisi produksi, PE relatif rendah hanya 1,5 liter; sanen, 3 liter selama masa laktasi atau 4 bulan. Oleh karena itu sejak 2002 Bangun mengawinsilangkan, pejantan PE dan betina

38

Sukses Bangun Dioro tak diraih begitu saja. Ia mengawali beternak kambing sejak tinggal di barak tentara di daerah Ciluer, Kotamadya Bogor. Di sana ia mengelola 16 kambing. Pada 27 September 1997 ia pindah ke Cijeruk merawat 8 PE terdiri atas 7 betina dan 1 jantan. Saat itu susu kambing mulai diterima masyarakat. Soal kepindahannya itu, rekannya berujar, “Untuk apa pindah dari mes. Di mes makan apa saja ada.” Setahun kemudian ia kembali membeli 20 indukan PE hingga jumlah kambingnya beranak-pinak. Pria kelahiran 4 Desember 1971 itu juga membina kelompok peternak di kampung halamannya, Desa Gumelar, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Bahkan, pemberdayaan masyarakat meluas hingga sekecamatan. Pantas bila Gumelar kini dikenal sebagai sentra kambing berkualitas. Dari para plasma itulah ia menjual ratarata 400  kambing per pekan. Menjelang Idul Adha seperti awal Desember 2006, volume penjualan TRUBUS GOLD EDITION - I

melonjak hingga 700 ekor. Belum lagi penjualan sapi yang mencapai 25 ekor mempergemuk rekening pria ramah itu. Harga jual seekor kambing boer minimal Rp1-juta. Bila ia mengutip 20% sebagai laba, setidaknya pendapatannya mencapai Rp80- juta dari pemasaran 400 kambing per pekan. Ia memasarkan beragam kambing ke berbagai daerah di Indonesia seperti Lampung yang hingga kini menyerap 8.000 ekor dan Tangerang 2.000 ekor. Sukses beternak kambing menyebabkan rekanrekannya di kantor Markas Besar Angkatan Darat menjuluki Bangun sebagai Serka. Sersan Kepala? Bukan! Namun, Sersan Kambing. Pangkatnya kini baru Sersan Satu. Bila tak ada aral, Serka yang sebenarnya—Sersan Kepala—akan diraihnya pada 2008.

Kuli panggul

Tentara yang menjadi kebanggaan Bangun itu sejatinya bukan cita-citanya. Setelah menjadi kernet dan pembantu rumahtangga di Karawang, ia pindah ke Pondoklabu, Jakarta Selatan, sebagai pedagang ketoprak. Penganan khas Jakarta itu habis terjual pada pukul 10.00. Untuk mencari kegiatan lain, ia mendatangi preman di Pasar Induk Kramatjati, Jakarta Timur. Ia memang kerap ke pasar induk seluas 14 ha itu untuk belanja ketupat, taoge, dan bahan ketoprak lain. Di sana ia mengutarakan keinginannya menjadi kuli panggul dan diluluskan. Berbagai komoditas pertanian yang bobotnya hingga sekuintal dipanggulnya. Pekerjaan ganda—tukang ketoprak sekaligus kuli panggul—dijalani selama 2 tahun. Suatu ketika ia melihat para tentara yang berlatih merayap di Resimen Induk Daerah Militer Jaya Raya (Rindam Jaya) di Condet, Jakarta Timur. Hatinya berdesir. Dengan takut, ia mendatangi pos jaga dan bertanya bagaimana prosedur menjadi tentara. Maka pada 1993 mulailah alumnus SMA Diponegoro Ajibarang, Banyumas, itu mengenakan pakaian loreng. Di lembaga itulah ia ditempa untuk tak gampang menyerah. “Saya banyak belajar dari ilmu tentara. Tentara itu disiplin segala sesuatunya diatur,” ujar anak ke-7 dari 8 bersaudara itu. Ilmu tentara yang menonjol antara lain disiplin. Oleh karena itu ketika malam ia mendengar lengkingan tinggi—tanda betina berahi—keesokan paginya ia mengecek: di mana kambing itu? Hari itu juga ia harus mengawinkan mereka. “Jika tidak, artinya saya harus menunggu 21 hari lagi. Sebab, masa subur kambing TRUBUS GOLD EDITION - I

betina setiap 21 hari. Bila itu terjadi, saya menunggu 5 bulan lagi untuk memerah susu,” kata pria yang masih kuat mengangkat barbel 25 kg seratus kali. Kambing bunting selama 4 bulan. Ia juga menerapkan disiplin ketika cempe—anak kambing—itu lahir. Begitu muncul, ia segera memisahkan cempe sebelum induk menjilati bulu anaknya. Dengan begitu antara induk dan cempe belum ada “ikatan batin” sehingga keduanya tidak  stres. Kedisiplinan itu juga diterapkan kepada para kambingnya. Lihatlah setiap pukul 07.00 dan 16.00 begitu pintu kandang dibuka, satwa yang menjadi simbol kota Guangzhou, Cina, itu antre. Mereka berbaris rapi di sebuah lorong yang didesain khusus oleh Bangun. Lorong itu sepanjang 25 m. Lebarnya hanya memuat seekor. Ketika kambing paling depan diperah, lainnya menunggu giliran.

Susu sapi untuk anak kambing

Ceplin (3 tahun) hasil silangan PE dan sanen diminati peternak

39

a merek

beplaanjagarn

di la

Wakil Kepala Staf Angkatan Darat Letnan Jenderal Hery Cahyana pernah menghubungi Bangun Dioro lewat telepon dengan memanggil, “Ngun.” Bangun sangsi dan berujar, “Wakasad apa, jam segini kok kelayapan.” Dalam tradisi militer, pemanggilan nama hanya berlaku untuk teman seangkatan. Setelah telepon dimatikan dan ajudan jenderal menelepon Bangun, jadilah peternak kambing yang tentara itu ketakutan. Ia segera minta maaf. Hery Cahyana bertelepon hanya ingin bertanya soal ternak kambing.

Silangan sanen dan ettawa

40

Foto-foto: Sardi Duryatmo

Diam. Selesai perah, kambing kembali ke kandang dan baris di belakangnya maju. Begitu seterusnya. Sangat tertib laiknya tentara. Pantas kandang kambingnya bersih karena secara teratur dibersihkan. Tak ada bau apak atau prengus khas kambing sama sekali. Suami Lia Yuliawati itu tak canggung-canggung membersihkan kotoran, memerah susu, atau merawat cempe. Jika sewaktu-waktu diperlukan, tentulah ia berujar tegas, “Siap! Laksanakan! (Sardi Duryatmo)

Daun Penjemput Maut Bedug magrib baru terdengar. Bangun Dioro, peternak di Cijeruk, Bogor, menyuapkan sesendok kolak untuk berbuka puasa. Lalu, tiba-tiba ia mendengar kambing-kambingnya merintih. Ia meletakkan mangkuk dan berlari ke kandang. Benar saja, ratusan kambing menungging karena keracunan daun singkong. Ia mengambil suntikan dan dengan gerak cepat mendatangi setiap kandang untuk menyuntikkan zat antiracun dari Jerman. Petang itu 30 kambing tak terselamatkan karena sianida dalam daun singkong. Seorang karyawan yang baru bekerja 2 hari memberikan daun segar. Padahal, semestinya daun dilayukan sebelum diberikan. Pada 2004, nyawa 16 kambingnya juga melayang akibat pergantian musim. Peranakan Ettawa (PE) memang rentan pada setiap pergantian musim. Pneumonia dan skabies beberapa ancaman pada musim itu. (Sardi Duryatmo)

TRUBUS GOLD EDITION - I

a merek

lajar

be ngan di lapa

budiyanto tasma:

Gudang

Reptil

Dunia

Ular-ular hasil tangkaran Budiyanto Tasma menjadi andalan pusat penjualan reptil terbesar dunia, Bushmaster Reptile, Amerika Serikat. Karyanya yang spektakuler, Morelia viridis kuning keemasan bertabur mutiara menggegerkan dunia reptil.

D u a p u l u h perlakuan lima

Budiyanto Tasma, penangkaran ular prosfektif



tahun

silam ayahnya dianggap terlalu kejam. Bukan hanya makian yang diterima setiap hari. Namun, juga perintahnya kadang membahayakan. Keruan bocah yang baru lulus SMA itu memvonis: orangtua tak sayang kepadanya. Kini setelah menjadi eksportir reptil nomor 1 di tanahair, Budiyanto Tasma, nama bocah itu, berbalik sangat hormat dan menyanjung sang ayah. “Ayah dulu mendidik sangat keras, tapi sekarang saya bisa merasakan hasilnya,” ucap pria bertubuh besar itu. Budiyanto Tasma ingat betul, pada suatu pagi ia diperintahkan ayahnya, Harun Tasma, memindahkan burung kakatua dari kandang ke dalam sangkar untuk dijemur. Sebanyak 10 kakatua harus rampung dipindah dalam waktu 20 menit. Artinya setiap ekor hanya diberi jatah 2 menit hingga pindah tempat. Apa yang terjadi? “Jangankan 10 ekor, memindahkan 1 ekor saja sulitnya minta ampun. Tangan saya berdarahdarah dipatuk,” kenang Budiyanto Tasma. TRUBUS GOLD EDITION - I

Melihat tangan anaknya dipenuhi luka dan mengucurkan darah, Harun Tasma malah marah, “Kalau kamu mau menerjuni sesuatu, harus tahu dulu ilmunya!” Pria yang berprofesi sebagai eksportir burung, ikan, dan reptil pada 1970-an itu lalu mencontohkan cara menangkap burung berparuh bengkok. Betul, hanya dalam hitungan kurang dari 10 menit, semua burung sudah pindah ke sangkar dan tidak satu patukan pun mendarat di tangan Harun Tasma. Tak hanya itu, Budiyanto Tasma kecil dididik sangat keras. Tiada hari tanpa kerja, begitu prinsip sang ayah. Setiap hari pria kelahiran Jakarta 27 Mei 1963 itu harus bangun pukul 03.00 dan baru beristirahat pukul 19.00. Kegiatan membersihkan kandang, memandikan burung, memberi pakan, hingga mempersiapkan dan mengantar satwa-satwa ke bandara untuk diekspor ia jalani. Pantaslah dengan rutinitas yang ditekuni 8 tahun, Budiyanto Tasma sangat paham seluk-beluk memperdagangkan ikan, burung, dan reptil klangenan. TRUBUS GOLD EDITION - I

Tangkar python

Pada 1990, ayah 3 putra itu berniat membuka usaha sendiri. Komoditas yang dipilih tidak jauh dari kegiatan yang dilakukan ayahnya: reptil. “Kebetulan waktu itu ekspor reptil mulai ramai. Toh soal mengurus surat perizinan saya bisa tangani sendiri,” katanya. Akhirnya dengan hanya bermodal sebidang tanah seluas 3.000 m2 di Bogor, ia mulai menangkarkan python. Menurutnya, python salah satu ular kebanggaan Indonesia yang bisa menjadi komoditas ekspor potensial. Dengan 9 jenis yang tersebar di Papua dan Sumatera, Indonesia gudang python terlengkap di dunia. Python banyak diminta hobiis reptil mancanegara karena corak tubuhnya sangat cantik dan beragam. Sejak itulah induk-induk python dikumpulkan dari berbagai pulau dan dipasang-pasangkan dalam kandang penangkaran. Harapan tinggal harapan. Ternyata menangkarkan ular bertemperamen kalem itu

Morelia viridis, tak ada duanya di dunia



a merek

lajar

be ngan di lapa

"Penangkaran = bisnis nyawa. Nyawa pemberian Yang di Atas. Maka saya tak ngotot penuhi permintaan pasokan reptil yang demikian banyak," ujar Budiyanto.

tidak mudah. Musababnya setiap tahap dibayangi kendala. Contoh, untuk mengadaptasikan ular dari kehidupan liar ke kandang saja tidak mudah. Ular kerap tidak mau makan dan akibatnya mati. Belum lagi proses mengawinkan, penetasan, dan pembesaran yang membutuhkan ilmu khusus. Setelah 10 tahun jatuh-bangun menguji coba, Budiyanto Tasma sampai pada kesimpulan, “Penangkaran tak mungkin berhasil.” Ketukan palu tanda penutupan penangkaran hampir dijatuhkan. Puluhan kandang nyaris disingkirkan. Namun, di tengah keputusasaan itu Budiyanto bertemu dengan seseorang yang mengusai ilmu penangkaran ular. Kerja sama pun dijalin. Masalahmasalah dalam penangkaran mulai teratasi. Tingkat keberhasilan penetasan yang semula 15% (dari 20 butir yang menetas hanya 3 butir, red), kini mendekati 100%. Dan anak- anak ular yang dibesarkan tumbuh sehat hingga mencapai ukuran siap ekspor.

Gagal lagi

Sedikit demi sedikit ekspor yang semula mengandalkan tangkapan alam tergantikan hasil tangkaran. “Kalau bergantung pada tangkapan alam, lama-lama habis,” ungkap lelaki setinggi

185 cm dan bobot 140 kg itu. Lagi pula ekspor hasil buruan dibatasi kuota. CV Terraria Indonesia— nama perusahaan yang dipimpin Budiyanto— hanya kebagian jatah 20% dari total ekspor reptil Indonesia, meski kemampuannya mencapai 35— 45%. Berbeda dengan hasil tangkaran, tidak ada pembatasan jumlah. Kurun waktu 2002—2004 tercatat 12.000— 13.000 ular hasil tangkaran perusahaan berpusat di Desa Curug, Kecamatan Gunungsindur, Kabupaten Bogor, itu berhasil diekspor ke mancanegara. Sayang, bulan madu ekspor ular itu hanya sekejap. “Pada 2005 produksi turun drastis. Ular-ular yang baru menetas anusnya keluar. Dari 900 ekor, rusak 300,” tutur suami dari Cerylia itu. Ular-ular yang rusak itu otomatis tidak bisa diekspor. Apalagi peraturan perdagangan internasional melarang penjualan ular-ular yang kurang sehat. Makanya bersama teman bisnisnya, dokter hewan dari Rusia, Budiyanto pontang-panting mencari cara untuk menekan angka kerusakan bayi-bayi ular. Sukses? Terjadi penurunan yang signifikan, pada 2006 hanya 150-an yang rusak dan baru belasan ekor hingga pertengahan 2007. Diduga tikus yang diumpankan kekurangan vitamin. “Nutrisi yang diberikan pada tikus ternyata penting karena akan berdampak pada ular-ular,” ucap Budiyanto. Beralasan jika sekarang 3.500 indukan tikus yang dipelihara sebagai sumber pakan turut dimanjakan. Binatang pengerat yang beranak setiap 2 minggu itu diberi pelet yang diformulasi khusus, beragam vitamin, dan dipantau kesehatannya. Menurut Budiyanto setiap bulan tikus-tikus putih—dua jenis: besar dan kecil—yang dipeliharanya itu menghabiskan 2 ton pelet senilai Rp10-juta. Itu belum termasuk vitamin dan obatobatan. Sebagai pakan utama, tikus memang tidak bisa dipisahkan dari penangkaran ular.

Berserah diri

Kurakura, masih tangkapan alam



Budiyanto menghadapi musibah itu dengan tulus. “Ini bisnis nyawa. Nyawa-nyawa ular pemberian Yang di Atas. Jadi saya serahkan sepenuhnya kepadaNya,” ungkap ketua Asosiasi Reptil Indonesia sejak 2000 hingga sekarang itu. Itulah sebabnya ia tak terlalu ngotot untuk memenuhi permintaan pasokan dari Bushmaster Reptil, pusat penjualan reptil terbesar di dunia yang bermarkas di Amerika Serikat. “Busmaster akan mengambil berapa pun stok yang ada, tapi tidak boleh menjualnya ke orang lain,” kata pehobi jalan-jalan itu meniru ucapan pemimpin tertinggi Busmaster ketika bertandang ke tempat penangkaran. TRUBUS GOLD EDITION - I

Toh hingga kini bisnisnya masih bergulir. Ekspor reptil dilakukan Budiyanto 2 minggu sekali. Tidak hanya ular tapi juga reptil-reptil lain seperti cecak, cecak terbang, tokek, soa payung, kura-kura, dan kadal. Reptil-reptil itu semua asal tangkapan alam, kecuali ular. Volumenya fluktuatif, tergantung stok. Ular berkisar 25—150 ekor, sedangkan cecak dan tokek masing-masing 500 dan 200 ekor per pengiriman. Cecak dimanfaatkan untuk pakan bayi-bayi ular. Reptil lainnya hanya sebagai pelengkap. Perkembangbiakan ular musiman. Wajar jika volume ekspornya fluktuatif. Di penangkaran, ular yang memasuki masa dewasa, berumur 2,5—3 tahun, bertelur pada Mei. Setiap induk bertelur sekali setahun dengan jumlah telur 20—30 butir. Telur-telur itu akan menetas 60— 100 hari kemudian. Bayi-bayi ular butuh perawatan selama 1—1,5 bulan, atau sudah 5—6 kali makan dan sekali ganti kulit, sebelum siap diekspor. Ular-ular dewasa jarang diminta

pasar, apalagi yang sudah tidak produktif, umur di atas 5 tahun. Berdasarkan  penuturan Budiyanto harga ekspor ular berkisar  US$50—US$200/ekor, tergantung jenis. Lembaran dolar bakal mengalir lebih deras bila yang diekspor jenis-jenis langka. “Karena tidak ada standar harganya,” ujar Budiyanto. Contoh yang paling gres hasil silangan sendiri yang diidam-idamkan sejak 7 tahun lalu: Morelia viridis kuning bertabur mutiara. “Harganya sukasuka karena tidak dipunyai penangkar-penangkar lain di dunia,” kata warga Bumi Serpong Damai, Tangerang itu. Boleh jadi itu adalah imbalan bagi Budiyanto yang memegang teguh prinsip tiada hari tanpa kerja keras dari sang ayah dan menyerahkan hasilnya kepada Yang Maha Kuasa. (Karjono)

Dipasok ke Bushmaster Reptile di Amerika Serikat

Tikus-tikus turut dimanjakan

TRUBUS GOLD EDITION - I

Foto-foto: Karjono dan CV Terraria Indonesia

Makian dan perlakuan kejam sang ayah berbuah manis di kemudian hari. Dolar terus mengalir seiring telur-telur yang menetas menjadi bayi-bayi ular mungil. “Saya menaruh hormat kepada ayah yang telah mendidik dengan keras, hingga bisa menjadi eksportir reptil seperti sekarang ini,” ungkap Budiyanto Tasma. 

a merek

beplaanjagarn

di la

vichai pinyawat:

Kegilaan Bersama

Burung

Ia manut saat sang kakek mendapuk menjadi manajer produksi minyak kelapa. Sejak itu selama 40 tahun tiada waktu tanpa urusan kelapa. Saat kejenuhan melanda, ia lari ke burung. Kini ia melewatkan waktu di ruang kerja berisi pesawat TV 24 inci, menikmati penampilan macaw-macawnya lewat CCTV.

Ramphastos toco alias toco toucan (kiri) Blue-and-yellow macau (Ara ararauna), salah satu koleksi Vichai (kanan)

46

TRUBUS GOLD EDITION - I

TRUBUS GOLD EDITION - I

47

a merek

beplaanjagarn

di la

Nama Vichai membumbung tinggi lewat perkutut

Selamabagai

Warna bulu yang eksotis membuat Vichai jatuh hati

15 tahun Vichai merasa hidupnya terpenjara. Pagi hari ia sudah disibukkan membaca setumpuk laporan. Diselingi kunjungan ke pabrik, siang hari dihabiskan memimpin rapat-rapat manajemen. Usai menjamu para rekanan bisnis, larut malam ia baru menjumpai anak dan istri yang sudah lelap tidur. Begitu terus berulang hingga nyaris tidak ada waktu untuk melepas penat. Bagi keluarga, Vichai ditakdirkan menjadi pria pilihan. Sejak lama ayah dan kakeknya memberi perhatian lebih. Sedari kecil naluri bisnis Vichai sudah mencuat ketimbang saudara sekandung. Vichai kecil tampak sering menjajakan penganan kue basah di sekolahnya. “Untuk menabung supaya bisa membeli burung-burung kecil,” katanya. Gelatik adalah burung incarannya.

Miliaran

Siapa sangka 30 tahun berlalu hobi mengoleksi burung kian mencorong. “Saya memilih pensiun untuk

48

menikmati hobi ini,” katanya. Vichai pun tak segan menghamburkan Rp20-miliar untuk koleksi-koleksi burungnya. Hari-hari Vichai kini sudah benar-benar habis mengurusi burung. Salah satu rutinitasnya menerawang layar televisi 24 inci di ruang kerja. Di layar itu terpampang aktivitas blue and gold makaw Ara araruna dalam 2 kandang berbeda. “Mary sudah mau bercumbu belum?” katanya Blue and gold makaw bernama Mary itu memang kesayangan Vichai. Betina makaw berumur 4 tahun itu selalu dinanti-nanti agar segera bertelur. Sayang, sang jantan seringkali ogah-ogahan mencumbunya. Yang tampak si jantan sering mematuk kepala Mary. Balasannya Mary memilih menyingkir ke dalam sarang. “Sudah setahun dipasangkan belum terlihat kecocokan,” katanya. Tampaknya Vichai perlu bersabar lebih lama. Makaw besar itu hanya satu dari puluhan jenis koleksi Vichai. Boleh jadi salah satu terlengkap di dunia. Jenisnya beragam. Mulai dari makaw besar, mini, hingga hibrida ada di sana. Sebut saja jenis makaw besar seperti blue throated macaw Ara gloucogularis, buffon macaw A. ambigua, dan scarlet macaw A. macaw. Atau jenis mini seperti hahn’s macaw A. nobilis nobilis dan severe macaw A. severa. Tak kalah cantik jenis-jenis hibrida seperti maui sunset makaw yang bulunya kuning keemasan layaknya warna matahari tenggelam. Memang tak semua makaw itu diunduh untuk kawin. Maklum tak semua jenis itu memiliki pasangan. “Yang jumlahnya banyak hanya blue TRUBUS GOLD EDITION - I

makaw sekitar 6 pasang,” katanya. Dengan jumlah itu Vichai dapat menggonta-ganti pasangan bila salah satu di antara mereka tidak cocok. “Untuk Mary, jantannya yang ditukar-tukar sampai ada yang cocok,” kata penggemar bonsai itu.

Kolektor sejati

pun mengincar tangkaran Vichai. Sejarah pernah mencatat nama Jonny Gunawan sebagai kolektor lokal pertama yang menebus kung Vichai, perkutut permata hijau dengan emas 3 kg. “Dialah (Jonny, red) yang membuat bisnis perkutut di sini ramai,” kata godfather perkutut Bangkok itu.

Ditangkarkan

Hampir sepanjang waktu pemilik VP House Farm di kawasan Meenburi, Bangkok, itu bergelut dengan koleksi burungnya. Rumahnya seluas 2.500 m2 itu disulap menjadi taman burung mini. Ratusan kandang berukuran 2 m x 1 m x 2 m menempel kokoh di tembok yang mengitari rumah. Ada pula kandang-kandang besar yang luasnya mencapai 30 m2. Di sana Vichai menyimpan aneka jenis burung rangkong. Ayah 2 putra itu juga membuat kolam seluas 100 m2 dan dihuni macam-macam angsa. “Saya juga memiliki ratusan perkutut unggul,” ungkapnya. Koleksi burung-burung itu tidak sekaligus terkumpul. Tiga puluh lima tahun lalu ia memulai dengan mengoleksi ayam bantam. Ayam kecil berbobot 500 g itu dipelihara karenaBangkok saat itu dilanda demam adu ayam. “Saya sering menang kalau lomba. Yang berkesan menjadi juara di King’s Cup 1972,” tutur Vichai bangga menunjukkan koleksi-koleksi piala kejuaraan di sebuah lemari jati besar.

Di sela-sela kesibukannya mencetak perkutut superunggul, sejak 1995 Vichai mengumpulkan anggota keluarga Psitacidae seperti loriket, parkit, dan makaw. “Burung-burung itu benar-benar eksotis. Warnabulunya sangat cantik,” katanya. Salah satu penyedia hewan langka terbesar di Bangkok, Classica co. inc didatangi. Tak jarang Vichai terbang ke berbagai negara seperti Belanda, Jerman, Austria, Filipina, bahkan Madagaskar, sematamata untuk melengkapi koleksinya.  Belakangan keluarga  Cacatuidiae seperti kakatua raja Probosciger atterimus, kakatua raja Cacatua goffini turut di koleksi. “Saya juga punya cenderawasih asal Papua,”  ujar nya m e n u n j u k

Di tengah kesukaan menyabung ayam itu, perkutut mulai dilirik. Suatu ketika Vichai benarbenar dibuat terkesima begitu mendengar alunan suara kung di rumah koleganya. “Burung apa ini? Bagus sekali suaranya,” katanya. Sepuluh pasang nuklaw jawa—sebutan perkutut di Thailand— dibeli. Sejak itu pelan-pelan koleksi 200 ayam bantamnya mulai disingkirkan. Sebagian dijual, sisanya diberikan kepada teman. Nama Vichai akhirnya membumbung tinggi karena perkutut juga. Setelah sukses menangkarkan, koleksinya pun berulang-ulang menjuarai lomba bergengsi King’s Cup. Sebut saja Pharao V yang darahnya menitis pada Susi Susanti, perkutut legendaris di tanahair pada 2000. Ring VP seolah jaminan menang kontes. Hobiis Indonesia

s e p a s a n g Paradisea   apoda itu. Favoritnya karena mahal dan langka adalah leadbeather c o c k a t o o     C a c a t u a leadbeateri asal Austria yang ditebus Rp250-juta/ekor. Koleksinya yang nyaris lengkap dan beragam burung yang hampir punah, membuat hunian Vichai kerap didatangi peneliti burung mancanegara dan pejabat CITES. “Mereka datang untuk mendokumentasi dan memonitor perkembangan burung-burung yang saya

TRUBUS GOLD EDITION - I

Demi sepasang loriket langka, Vichai Pinyawat pergi ke Antananarivo, Madagaskar. Klangenan berjambul bak cenderawasih itu ditebus Rp300-juta. Predikat kolektor burung dunia pun melekat padanya.

Loriket langka asal Madagaskar yang mencapai harga ratusan juta rupiah

49

a merek

beplaanjagarn

di la

Sepasang anggota keluarga Psittacidae tengah ditangkarkan

Peluang bisnis burung hiias cukup bagus sehingga Vichai menangkarkannya

50

beli,” kata penggemar musik klasik karya Beethoven dan Covosky itu. Lantaran kolega-kolega dari Asia dan Eropa yang datang dan tertarik ingin memiliki koleksinya, naluri bisnis Vichai bangkit. “Tunggu hasil anakannya,” katanya setiap kali para kolega itu memaksa beli. Kakatua menjadi sasaran pertama ditangkarkan lantaran Vichai beranggapan semua orang suka. Hasilnya sejauh ini lumayan. Setelah berkali-kali gagal, beberapa jenis kakatua seperti kakatua raja mau juga bertelur. “Tidak ada teknik khusus, hanya memanipulasi kandang mirip habitat aslinya,” ujarnya. Vichai benar-benar total mengejar semua informasi setelah mutung menangkarkan makaw. “Burung ini sungguh sulit, padahal yang berminat mulai banyak,” ujarnya. Bersama anaknya, Chai Pinyawat, ia tak segan mendatangi penangkarpenangkar makaw sukses di Spanyol dan Filipina. “Ternyata ada yang salah dengan pemeliharaan di kandang selama ini,” tuturnya. Kandang yang baik itu perlu terpapar matahari sehingga makaw doyan kawin.

Tugas merawat burung-burung itu dilakukan 2 pekerjanya. Vichai sendiri lebih fokus pada penangkaran sekaligus pengecekan kandang. “Saya baru tidur sekitar pukul 22.00 setelah berkeliling ke semua kandang,” kata penggemar Mercedes Benz itu. Saat matahari mulai naik, sekali lagi Vichai berkeliling lalu melihat polah Mary dari layar televisinya. Tak ada tanda-tanda kejenuhan di sana. (Dian Adijaya S Peliput: Lastioro Anmi Tambunan)

TRUBUS GOLD EDITION - I

kh fuad affandi:

Agribisnis Agama

Dari pintu ke pintu di sepanjang Jambi hingga Medan, KH Fuad Affandi menjual sepatu bikinan perajin Cibaduyut. Ia meninggalkan tanah kelahiran di Ciwidey, Bandung. “Saya melakukan itu untuk bertani,” kata lulusan Sekolah Dasar itu. Sesekali kecil, tapi lebih kerap besar. Dari lahan 6 ha dan pekebun plasma, ia memasok 3,5 ton sayuran per hari ke pasar swalayan di Bandung dan Jakarta.

Pekerjaantidak

52

sebagai penjual sepatu pernah terbesit di benak Fuad sebelumnya. Kakeknya KH Mansyur pendiri Pondok Pesantren (Ponpes) Al Ittifaq di Rancabali, Kabupaten Bandung. Sementara ayahnya, KH Rivai mandor perkebunan dan pemimpin pondok pesantren. Mereka orang terpandang di Ciwidey. Tanah pun belasan hektar. “Tapi jangan pernah berharap dapat memakai tanah abah,” kata Fuad meniru ucapan sang  ayah. Saat itu ia baru mudik setelah bertahun-tahun nyantri di Ponpes Al  Hidayah, Lasem, Rembang, Jawa Tengah. Sang ayah sakit-sakitan dan saudara sekandung sepakat menunjuknya sebagai pemimpin baru pesantren. Hasrat berkebun yang sudah lama terpendam langsung bergejolak ketika ia menerima jabatan itu. “Saat itu banyak penduduk menanam sayuran hanya untuk keperluan sendiri. Seandainya bisa dijual lebih baik lagi,” ujar penerima Satya Lencana Wirakarya dari Presiden Republik Indonesia pada 2003 itu. Oleh karena itu, suami Hj Sa’dah itu mengajak pemuda dan petani berdiskusi soal agribisnis. Namun, hasilnya “Mereka tetap yakin dengan yang sudah berjalan saat itu,” katanya. TRUBUS GOLD EDITION - I

mereka

belajar

di lapan

gan

a merek

beplaanjagarn

Foto-foto: Dian Adijaya Susanto

di la

KH Fuad Affandi ustadz sekaligus pengusaha agribisnis

Saya melihat sebuah kenyataan. Tak ada tanah yang sesubur Indonesia, tapi tak ada orang yang semalas bangsa ini. 54

Memberi bukti contoh paling pas. Namun, belum-belum kesulitan menghadang. Selain tidak punya uang dan lahan, meminjam tanah dari orangtua pun sulit. “Harus punya tanah sendiri,” ujar peraih Kalpataru kategori penyelamat lingkungan pada 2005 itu. Karena itu, pada 1990 Fuad mendelegasikan tampuk kepemimpinan pondok kepada saudara sepupu, KH Saefuddin. Ayah 5 putri itu kemudian berdagang sepatu ke Sumatera. Selama 3 tahun ia menapaki jalur Jambi—Medan, menawarkan sepatu ke setiap toko yang dijumpainya.

Diancam golok

Kerja keras berdagang itu berbuah 6 hektar tanah. “Saat itu harga tanah di desa murah. Satu tombak (14 m2, red) seharga satu bungkus rokok, Rp800,” katanya. Lahan itu kemudian ditanami tomat dan kubis secara bertahap. Setiap kali panen, Fuad menjual hasilnya ke pasar Ciwidey. “Sejak itu mudah menganjurkan pekebun menanam karena ada bukti untungnya,” ujar kelahiran 20 Juni 1948 itu. Sayang, malang tak dapat ditolak. Saat pekebun mulai panen, harga kedua komoditas itu justru anjlok.

Harga jual tomat cuma Rp500; kubis, Rp300 per kg. Padahal, biaya produksi masingmasing Rp1.500 dan Rp700 per kg. “Petani marah sampai-sampai saya sempat diancam dengan golok,” katanya. Meski tertekan, Fuad tetap merintis usaha pemasaran sayuran itu. “Siapa lagi yang bisa menyejahterakan kami, kalau bukan diri kami sendiri,” ungkapnya. Untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas tanaman, Fuad rajin mengunjungi balai penelitian dan perguruan tinggi di Bandung dan Bogor. “Mereka sampai hafal wajah dan suara saya,” kata Fuad. Pasar mulai terbuka saat Fuad diutus sebagai wakil pekebun asal Jawa Barat dalam pertemuan agribisnis di Departemen Pertanian Jakarta, pada awal 1990. Dua petinggi pasar swalayan Hero di Jakarta menemui Fuad di sebuah ruang pertemuan. Nasib baik memang berpihak pada Fuad. Ia akhirnya memasok beragam sayuran ke Hero. Namun, manajer Hero Suryadarma Ali—kini menteri Negara Urusan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah—sempat marah lantaran barang dikirim dalam karung. “Masak kamu kirim seperti ini,” ujar Fuad menirukan ucapan Suryadarma. TRUBUS GOLD EDITION - I

Saat itu Fuad memang belum menguasai teknik sortir dan pengemasan. “Mereka lantas mengirim sarjana untuk mengajari kami,” katanya. Setelah berjalan beriringan selama beberapa tahun, Fuad melebarkan sayap dengan memasok pasar swalayan lain seperti Makro, Matahari, Giant, Yogya, dan Superindo. Pasar-pasar swalayan itu menyerap 27 sayuran produksinya seperti kol, buncis, dan babycorn. Total jenderal volume pasokan 3,5 ton sehari. Sekitar 1 ton hasil produksi sendiri; 2,5 ton hasil panen 400 pekebun plasma di sekitar Ponpes. Dari volume itu jenis sayuran yang paling banyak diminta adalah wortel sekitar 20% dan buncis 35%.

Didik santri

Fuad memang berhasil mengubah paradigma, Ponpes bukan sekadar tempat memperdalam ilmu agama. “Bertani itu ilmu. Apa yang membuat bahagia dunia dan akhirat? Ilmu,” katanya. Lulusan Sekolah Dasar itu mencontohkan saat dirinya mau menerima tawaran pemerintah untuk mengenyam ilmu bercocok tanam pada 1987 di Universitas Wageningen, Belanda. “Saya mensyukuri ilmu bertambah. Namun, saya melihat sebuah kenyataan. Tak ada tanah yang sesubur Indonesia, tapi tak ada orang yang semalas bangsa ini,” ujarnya berapi-api. Kajian itu mendorongnya memanfaatkan segala sesuatu yang bernilai guna. Limbah hasil sortasi sayur dan dapur, misalnya, diolah menjadi pupuk dan pakan ternak. Pria 59 tahun itu juga memberdayakan para santri. “Semua santri juga harus memiliki keahlian,” kata Fuad. Lihat saja santri setingkat Sekolah Dasar dididik mengurus budidaya tanaman, kambing, ternak sapi, dan kolam ikan. Sejalan waktu, Ponpes Al Ittifaq (secara harfiah berarti kerja sama) mendapat banyak dukungan seperti dari Departemen Pertanian, Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Perdagangan, dan Kementrian Negara Urusan Koperasi dan UKM. Bahkan perguruan tinggi seperti Universitas Padjadjaran dan Insitut Pertanian Bogor sering mengadakan kerja sama di bidang teknologi dan

TRUBUS GOLD EDITION - I

penelitian. Tak jarang para mahasiswa menyusun Kubis dari plasma siap tesis dan skripsi setelah meriset di lembaga disortir dan pendidikan itu. dikirim ke pasar Selain itu Al Ittifaq juga menyelenggarakan swalayan pelatihan pertanian bagi pekebun, pegawai, dan kelompok masyarakat lain. “Untuk pelatihan agribisnis, pemerintah menetapkan pusatnya di sini,” ujar Fuad. Tiga tahun terakhir, Al Ittifaq meluluskan 1.000 peserta. Amanat besar itu membuat pesantren yang berdiri Lahan 6 ha yang pada 1 Februari 1934 itu membangun lahan praktek seluas 1.000 m2 dan kini digunakan asrama berkapasitas 150 peserta. untuk budidaya Materi pelatihan yang ditawarkan beragam: usaha pertanian terpadu, sayuran diperoleh kewirausahaan, manajemen agribisnis, dari berdagang dan hama penyakit tanaman. Menurut Fuad setiap kegiatan sepatu selama pelatihan yang berlangsung 3 hari— 3 tahun. Ustadz 3 bulan itu selalu melibatkan 3 pekebun sebagai fasilitator dan satu penyuluh. yang berbisnis itu “Diharapkan materi yang kami berikan memasok 3,5 ton bisa maksimal,” kata Fuad yang juga mendirikan klinik konsultasi sayuran sehari. agribisnis itu. Menurut mantan Omzetnya mencapai gubernur Jawa Barat, HR Nuriana, Rp175-juta Al Ittifaq sebagai Ponpes terpadu karena menggabungkan agama dan sebulan. Pasokan agribisnis. “Saat beragribisnis saya rutin itu terpenuhi tidak akan bertanya kamu agamanya apa,” ujarnya. karena manajemen Itu ditunjukkan Fuad dengan budidaya yang mengangkat asisten bidang teknologi yang beragama non-Islam. Asisten itu bagus. mengajarkan santri bercocok tanam seperti di Taiwan dan membuat pupuk seperti di Belanda. Para asisten itu juga menentukan suksesnya Fuad yang mencicipi pahit getir Limbah sayur menjajakan sepatu demi bercocok tanam. Kini dimanfaatkan sebuah kakinya masing-masing berpijak di atas sebagai pakan ternak agribisnis dan agama. (Dian Adijaya Susanto)

55

a merek

beplaanjagarn

di la

priatmana muhendi:

Kesetiaan pada

Tomat ”Saya terlalu berani dan kurang perhitungan.” Kalimat penuh sesal itu diucapkan Priatmana Muhendi yang dililit utang Rp400-juta. Usianya masih muda, 27 tahun, tapi utangnya menggunung.

Kisahmengantongi

Priatmana Muhendi spesialis pekebun tomat

56

tragis itu bermula di Bandung. Begitu gelar sarjana—ia mengenyam pendidikan manajemen—Priatmana menjadi kontraktor: membangun perkantoran, jalan raya, hingga saluran irigasi di berbagai kota. Lima tahun lamanya ia bergelut dengan semen, pasir, dan aspal. Hasilnya, utang Rp400-juta melilitnya. Pada 1995 Priatmana Muhendi meninggalkan Bandung. Ia kembali ke Desa Cisarua, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi. Di desa berhawa sejuk pada ketinggian 1.200 m dpl itu ia menggantungkan harapan pada kentang. Ia mengebunkan kentang granola di lahan 1,5 ha. Sulung 5 bersaudara itu memilih komoditas Solanum tuberosum lantaran harganya relatif stabil, saat itu Rp1.500 per kg. Betul, memang ketika panen ia memperoleh harga bagus, Rp1.800 per kg. Sayang, produktivitas jeblok. Priatmana hanya menuai total 12 ton umbi sehingga omzetnya Rp21,6-juta. Padahal, produktivitas rata-rata kentang granola sekitar 22 ton per ha. Mestinya, Priatmana mampu memanen 30  ton dari lahan 1,5 ha. Harap mafhum, itulah TRUBUS GOLD EDITION - I

Dua belas tahun membudidayakan tomat sehingga ia hafal betul selukbeluk penanganan sayuran buah itu. Kualitas tomat yang dihasilkan pun prima dan ditunjang sortasi ketat menjadikan harga yang diterima Priatmana lebih tinggi ketimbang harga tomat pekebun lain.

TRUBUS GOLD EDITION - I

pengalaman pertama berkebun sayuran. Penyebab rendahnya produksi lantaran, ”Serangan Lyriomiza huidobrensis,” katanya. Musim tanam berikutnya, alumnus Institut Koperasi Indonesia (Ikopin) Bandung itu membudidayakan kerabat kentang, tomat, di lahan 4 ha. Dewi Fortuna belum juga menghampiri Priatmana. Harga sayuran buah anggota famili Solanaceae itu cuma Rp200 per kg.

Kubis

Meski harga fluktuatif: tomat selalu diusahakan Priatmana (Foto-foto: Sardi Duryatmo, Imam Wiguna, & Destika Cahyana)

Ia akhirnya tahu, penyebab kegagalannya tak cuma harga yang terjun bebas, tapi cara budidaya yang keliru. ”Penanganan tomat dan kentang berbeda. Tomat butuh tenaga kerja lebih banyak untuk mengikat batang, merompes (menghilangkan tunas air, red),” ujarnya. Dari Rp100-juta modal yang ia cemplungkan, hanya kembali Rp5-juta. Kegagalan beruntun itu hampir saja mendorong Priatmana ke jurang putus asa. ”Saya tak tahu harus berbuat apa? Apa yang harus saya kerjakan?” katanya. Untunglah keluarga menguatkannya. Pria kelahiran Cianjur 8 Februari 1968 itu pergi ke Lembang, Pangalengan, dan Garut—semua sentra sayuran di Jawa Barat. Di sentra-sentra

57

a merek

beplaanjagarn

di la

(Dari kiri ke kanan): Hamparan tanaman kentang, kubis, dan tomat: komoditas yang diusahakan Priatmana

58

Spesialis tomat

sayuran itulah Priatmana melihat komoditas yang disemaikan. Pada umumnya cabai. Ia juga mengecek benih yang banyak terjual di berbagai toko. Dari pelacakan itu ia memutuskan untuk menanam kubis di lahan 2 ha. Di sekitar Sukabumi, kubis lazim ditanam pada September-Oktober. Namun, Priatmana menanamnya pada Juli ketika persediaan air untuk penyiraman menipis. Itulah sebabnya ia menyiram dengan gembor hingga pukul 21.00. Pekebun tak perlu menyiram kubis bila menanam pada Oktober saat musim hujan. Kerja kerasnya tak sia-sia. Produtivitas tanaman anggota famili Cruciferaceae itu

Tomat komoditas andalan Priatmana untuk meraup laba. Menurut Priatmana apel cinta— julukan untuk tomat—mempunyai keistimewaan komparatif. ”Tomat yang ditanam di Sukabumi lebih baik ketimbang yang ditanam di daerah lain: Pangalengan, Lembang, atau Malang. Bentuk, warna, rasa, kekerasan, daya tahan lebih baik. Daya tahan, misalnya, di suhu ruang paling cepat 2 minggu. Itu karena pengaruh agroklimat dan jenis tanah,” katanya. Alasan kedua, pasar juga menginginkan tomat.

mencapai 2 kg per krop. Artinya, dari total populasi 25.000 tanaman per ha ia menuai 50 ton. Kebetulan juga saat itu harga kerabat sawi itu melambung hingga Rp1.800 per kg. Priatmana menangguk omzet Rp180-juta. Padahal, biaya produksi tak sampai Rp1.000/kg. Laba berkebun kubis itu sebagian digunakan untuk menyicil utang yang Rp400-juta. Laba demi laba berkebun sayuran itu juga digunakan untuk memperluas lahan hingga kini menjadi 12 ha. Di sana pria 39 tahun itu menanam tomat, sawi putih, kubis, buncis, dan labu siam yang bukan berasal dari Thailand, tapi Brazil. Selain tomat, komoditas-komoditas itu hanya sebagai selingan. Maksudnya, sebagai tanaman rotasi untuk memutus siklus hama dan penyakit tanaman tomat.

Rata-rata luasan penanaman tomat 3 ha per bulan. Total populasi 16.000 per ha dan produktivitas 2 kg per tanaman. Ia menerapkan sortasi amat ketat. Untuk kelas A: tomat tanpa cacat, maksimal 10 buah per kg, dan tingkat kematangan 75%. Sementara kelas B terdiri atas 10—14 buah; C, 15—18 buah/kg. Kualitas A untuk memasok berbagai pasar swalayan di Jakarta; kelas B dan C ke pasar induk. ”Saya mempunyai standar prosedur untuk sortasi yang sulit diterapkan di tempat lain karena kebiasaan orang menyimpan tomat apkir di bagian tengah. Saya ingin memberikan yang terbaik kepada konsumen, membangun citra yang baik dengan sortasi ketat,” ujar pehobi bulutangkis itu. Wajar jika Priatmana dan kelompok taninya selalu mendapatkan TRUBUS GOLD EDITION - I

menentukan harga. Dengan demikian posisi tawar pekebun menjadi lebih kuat.

Memberi contoh

Kerabat cabai itulah yang tetap dikembangkan Priatmana sepanjang tahun. Entah musim kemarau, maupun musim hujan. Harga tinggi atau anjlok, tomat selalu ditanam. Ia rutin memasok pasar swalayan 20—30 ton per bulan dan 10 ton ke Pasar Induk Kramatjati, Jakarta Timur, per hari. Pasokan itu baru memenuhi 70% permintaan. Tak semua permintaan dipenuhi lantaran ia lebih mengejar kualitas. Menurut pemilik Primatani itu biaya produksi budidaya tomat intensif hanya Rp2.000 per tanaman. Itu berarti untuk menghasilkan sekilo tomat ia mengucurkan biaya Rp1.000. TRUBUS GOLD EDITION - I

Pada 24 April 2007 harga jual di tingkat pekebun Rp3.500 per kg. Dengan volume penjualan 10  ton,  ia yang mempekerjakan 84 karyawan itu memperoleh omzet Rp35-juta sehari. Belum lagi penjualan ke pasar swalayan yang harganya lebih tinggi. Jika harganya Rp3.500 per kg, tambahan omzetnya Rp105-juta sebulan. Memang tak selamanya harga tomat bagus. Di pasaran harga komoditas itu amat fluktuatif. Beberapa kali ayah satu anak itu menjual tomat dengan harga Rp200. Oktober 2006, misalnya, ia cuma mendapat harga Rp400 per kg. Meski demikian ia tetap Tanpa mengusahakan tomat pada periode tanam berikutnya. ”Saya ingin menjadi pengalaman, spesialis tomat,” ujarnya. Pantas bila Priatmana ayah dari Pridia Septa Azizah (5 tahun) itu hafal betul seluk-beluk tomat. menekuni bisnis Untuk kawasan Goalpara, Sukabumi, kontraktor. misalnya, pekebun mesti mengurangi pupuk nitrogen dan menambah unsur Hasilnya belitan fosfor agar kualitas buah bagus. utang Rp400Hasil pengamatan itu tak hanya dinikmati sendiri, tapi ia juga juta. Dengan membagikan kepada 45 anggota mengebunkan Kelompok Tani Goalpara yang ia tomat utang pimpin. Begitu terpilih menjadi ketua, ia mengatur pola tanam segunung itu dan keseragaman varietas. Itulah lunas hanya sumbangan Ilmu Manajemen untuk dunia agribisnis yang ia geluti. dalam beberapa Pengaturan pola tanam agar tahun. pasokan tidak berlebih. Sementara keseragaman varietas supaya bila ada peningkatan permintaan, kelompok itu dapat memenuhinya dengan standar tinggi. Ia pernah gagal memasok tomat ketika produksi anggota dikumpulkan ternyata ada yang bulat, lonjong, ada yang merah, dan kuning. Itulah sebabnya ia harus memberi contoh seperti  pada kasus sortir. Pekebun lazim menyelipkan tomat apkir di bagian tengah keranjang. Dengan contoh, perilaku itu dapat diubah. Harap mafhum, “Pekebun itu harus kadeuleu, karampa, dan karasa. Pertama harus melihat dulu, lalu merabaraba, dan merasakan hasilnya. Dengan cara itu baru bisa berubah. Contoh paling nyata dalam soal pestisida. Petani serta-merta akan ikutan menggunakan merek tertentu jika ada petani lain yang sukses,” katanya. Begitu pula sukses Priatmana berkebun tomat, memberikan inspirasi kepada pekebun-pekebun lain. Menjadi pekebun tomat memang, ”Sudah jadi pilihan hidup saya. Saya harus mampu bertahan dan menghidupi keluarga,” ujarnya. Termasuk melunasi utang Rp400-juta pada 2000 dari hasil penjualan tomat. (Sardi Duryatmo)

59

Foto-foto: Sardi Duryatmo, Imam Wiguna, & Destika Cahyana

harga lebih baik dibanding tomat-tomat lain. Selisihnya Rp200—Rp500 per kg. ”Dengan grading seperti itu ternyata pasar bicara lain,” katanya. Artinya, dengan sortir ketat demi kualitas, tomat apkir mungkin lebih banyak. Namun, hilangnya tomat itu tergantikan dengan harga yang lebih tinggi. Itu memang tidak serta-merta diperoleh. Ia mesti membangun komitmen dalam waktu panjang, bertahun-tahun. Kini citra tomat sukabumi berkualitas bagus tertanam kuat di pasar. Obsesinya, pola market driven berubah menjadi product driven atau kualitas harus

a merek

beplaanjagarn

di la

darren chandra:

Setelah

Timah Terbitlah Rempah Bertahun-tahun Darren Chandra tinggal di Sydney, Australia, untuk belajar Manajemen di University of New South Wales. Begitu pulang, ayahnya menempatkan Darren di Tanjungbalai Karimun, Kepulauan Riau, yang senyap. “Setiap hari saya ingin menangis,” katanya.

Satu-satunya

Kesinambungan ekspor lada berkat kemitraan dengan pekebun

60

h i b u r a n bagi Darren Chandra adalah atraksi monyet yang berloncatan di cabang-cabang pepohonan. Jafar Chan, ayah Darren, mengelola PT Karimun Timah yang menggeluti bisnis dan eksplorasi bahan solder itu. Lokasi penambangan di Tanjungbalai Karimun. Kelima kakak Darren sudah mengelola perusahaan masing-masing. Jadilah Jafar mengirim Darren ke Tanjungbalai Karimun. Untunglah kesedihan bungsu 6 bersaudara itu tak berlarut-larut. Di sana selama 5 tahun, Darren muda belajar pertambangan dari para karyawan senior. Ketika ayahnya menjual PT Karimun Timah pada 1982, Darren membangun perusahaan pertambangan baru: PT Sumber Alam Peleng. Darren mengeksplorasi mika, mineral mirip kaca antara lain untuk isolasi listrik dan batu cermin. Lokasi penambangan di Peleng, pulau terbesar di gugus Kepulauan Banggai, Provinsi Sulawesi Tengah. Ia kemudian juga menambang emas. Ke mana pun bereksplorasi, Darren senantiasa mewajibkan karyawannya untuk membuat laporan vegetasi di sekitar lokasi. Perusahaan itu mencari sumber tambang baru ke berbagai pelosok di

17  provinsi. Pantas, bila Darren menyimpan banyak informasi soal komoditas hasil bumi. Contoh di Nusa Tenggara Timur, hasil bumi yang menonjol adalah jambu mete dan cendana. Sementara Aceh menyimpan pinang. Semula laporan itu cuma tersimpan di rak arsip. Namun, pada 1991 ketika dunia pertambangan melesu diikuti kasus emas Busang, Kalimantan Timur, Darren teringat laporan itu. Ia membukabuka kembali arsip lawas. Saat itulah terbersit di benaknya untuk membuat diversifikasi usaha. Maka sejak 1992 pria 55 tahun itu merintis perniagaan rempah-rempah dan hasil bumi lain.

9 komoditas

Pasar ekspor terkuak setelah ia berkali-kali mendatangi kedutaan besar India di Jakarta. Negeri Anak Benua itu meminta pinang. Buah Areca catechu itu berkhasiat antidepresi, meningkatkan kekebalan tubuh, dan penurun panas. Darren memang tak mengebunkan anggota famili Palmae itu. Pasokan pinang diperoleh dari Aceh dan Sumatera Barat. Volume ekspor perdana 20 ton pinang dikapalkan ke TRUBUS GOLD EDITION - I

Foto-foto: Sardi Duryatmo & Destika Cahyana

Darren Chandra eksportir rempah-rempah ke Korea Selatan

Dokumentasi yang baik tentang jenis-jenis tanaman perkebunan dan rempah menjadi inspirasi Darren Chandra untuk berbisnis. Ketika dunia pertambangan yang digeluti melesu, jadilah ia mengekspor beragam komoditas seperti pinang, kayumanis, dan kapulaga.

TRUBUS GOLD EDITION - I

negeri di wilayah Asia Selatan itu. Setelah itu pasar melebar ke Korea Selatan. Negeri Ginseng itu meminta beragam komoditas seperti pinang, cengkih, daun nilam kering, lada hitam, dan kayumanis yang dikirim dalam sebuah kontainer. Jenis permintaan biasanya berubah setiap bulan. Misalnya, pada bulan ini sang importir meminta kayumanis, cengkih, dan pinang; bulan berikutnya, lada hitam dan daun nilam. Darren senantiasa mengirimkan komoditas itu dalam kontainer 40 feet berkapasitas 22—25 ton. Alasannya, biaya pengiriman lebih murah. Biaya pelayaran Jakarta—Pelabuhan Busan, Korea Selatan, yang ditempuh 7 hari sekitar Rp8-juta per kontainer. Bandingkan dengan biaya kontainer 20 feet yang mencapai Rp5-juta. Lagi pula bila masih ada tempat kosong di kontainer itu, biasanya importir Korea minta komoditas lain hingga kontainer itu penuh. Saat ini Darren mengekspor 9 komoditas untuk melayani permintaan 3 importir di Korea. Mereka pada umumnya perusahaan farmasi yang memproduksi beragam obat berbahan herba. Lima komoditas unggulan adalah pinang,

61

a merek

beplaanjagarn

di la

Dari kiri ke kanan: cengkih, kapulaga, kayumanis, dan biji pinang

cengkih, nilam, kapulaga, dan kayumanis. Volume ekspor pinang rata-rata 10 ton per importir atau total 40 ton untuk 3 importir per bulan. Sementara volume ekspor cengkih rata-rata 5 ton per importir per bulan, daun nilam (10 ton), kapulaga (10 ton), dan kayumanis (20 ton). Di luar itu masih ada gaharu, lada hitam, dan secang. Sembilan komoditas itu dikapalkan 2 kali per bulan. Menurut Darren harga jual pinang ke mancanegara sekitar US$1,5 setara Rp13.000/kg. Dengan volume 40 ton sebulan, omzet Darren dari perniagaan pinang mencapai setengah miliar rupiah. Belum lagi dari perdagangan komoditas lain yang mencapai puluhan ton. Tentu saja rekeningnya kian gemuk.

Strategi

Pala, salah satu komoditas ekspor andalan

62

Rahasia sukses ayah 2 anak itu berbisnis rempah antara lain tepat waktu mengirim barang dan menjaga kualitas. Itulah sebabnya, importir di sana merekomendasikan nama Darren ke importir lain. Semula Darren hanya memasok 1 importir, kemudian menjadi 3 importir. Imbas lain, mereka membayar lebih dulu sebelum barang yang dikirim Darren tiba di Pelabuhan Busan, Korea Selatan. Kiat sukses lain, ia konsisten bekerja sama dengan para pengepul di berbagai daerah. Di

satu provinsi, Darren hanya menjalin kerja sama dengan seorang pengepul untuk mencegah persaingan dan konflik antarpengepul. Harap mafhum, Darren memang tak mengelola kebun sendiri sehingga kesinambungan pasokan praktis mengandalkan mereka. Oleh karena itu bila ada orang lain menawarkan harga lebih rendah daripada harga yang disodorkan pengepul, ia menolak. Belum lama ini, misalnya, ada yang menawarkan kapulaga seharga Rp75.000/ kg; dari pengepul langganannya, Rp80.000. Darren tetap memilih kapulaga dari pengepul, meski lebih mahal. “Kenapa harus ambil risiko? Saya untung sedikit ngga apa apa, yang penting tak ada komplain (dari Korea),” katanya. Bahkan, ayah 2 anak itu memberikan uang muka kepada para pengepul untuk pengadaan rempah-rempah. Selain itu ia juga konsisten menjaga mutu. Jika tak sesuai dengan spesifikasi yang ditetapkan, Darren tak segan untuk menolak pasokan.

Tak terlayani

Menggeluti bisnis rempah-rempah bukan sepi kendala. Pada mulanya sekitar 50% pasokan pengepul ditolak akibat tak sesuai dengan standar mutu. Untuk mengatasinya, Darren mengirim orang khusus ke berbagai TRUBUS GOLD EDITION - I

sentra rempah-rempah. Selama sebulan, orang itu mendidik pengepul untuk menyortir sesuai standar mutu yang ditetapkan. Contoh, standar mutu pinang adalah good cut mencapai 90:10. Artinya dari 2 kg contoh biji buah pinang yang dipotong, 90% lolos sortir dan hanya maksimal 10% rusak. Hingga 2 tahun pertama, ia pontang-panting mendidik pengepul. Hasilnya, kini sekitar 90% pasokan pengepul sesuai standar mutu. Hambatan lain, kesulitan mencari komoditas tertentu. Pria kelahiran Bireun, Nanggroe Aceh Darussalam, 11 Agustus 1952 itu kesulitan mencari pasokan. Bayangkan, importir membutuhkan rutin biji teratai Nymphaea sp hingga 20 ton per bulan. “Kita mau cari di mana? Dua ton saja susah, meski harganya amat bagus,” katanya. Ada lagi permintaan ajek berupa rumput teki Cyperus rotundus juga 20 ton per bulan. “Satu ton saja setengah mati, kan? Saya hubungi teman-teman di berbagai daerah, tapi tak sanggup.” Belum lagi permintaan puluhan ton masing-masing daun bambu dan akar alang-alang. Untuk daun bambu, misalnya, ia menyebarkan informasi kepada beberapa pengepul di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur untuk mencarinya. Syaratnya tanaman berbatang hijau dan daun tanpa bulu. Sayang, upaya itu juga gagal. Peluang di depan mata itu akhirnya sirna. TRUBUS GOLD EDITION - I

Masalah lain, meski Darren tepat waktu mengirim barang dan menjaga kualitas, tetapi satu per satu 4 importir Korea membangun perwakilan di Jakarta. Itu kejadian pada 2004. Mereka memutus rantai tataniaga dengan mencari sendiri komoditas ekspor di Indonesia. Wajar bila 3 tahun lalu volume ekspor Darren 2—3 kali lipat ketimbang volume saat ini. Dari 7 importir, kini tersisa 3 importir yang rutin dipasok Darren. Mereka produsen obat terbesar di Korea. Toh, Darren tak ciut nyali. Ia tengah membangun strategi merebut pasar. Tahun depan selama 6 bulan, ia berencana memasarkan beragam komoditas ekspor jauh lebih murah ketimbang harga yang ditawarkan 4 mantan importir yang pernah dipasoknya itu. Ia tak mengambil untung serupiah pun. Itu memungkinkan lantaran ada subsidi silang dari penjualan batubara yang juga digeluti  Darren. Dengan begitu ia berharap, importir-importir di Korea beralih kepadanya. Ratusan produsen herba di sana sudah ia kantongi. Perusahaanperusahaan itu terkonsentrasi di Jekidong, sejam jalan darat dari Seoul. Ia bergairah merebut pasar lantaran prospek perniagaan rempahrempah di pasar dunia tetap mencorong. (Sardi Duryatmo)

Permintaan rutin 20 ton biji teratai/bulan belum terlayani

63

a merek

beplaanjagarn

di la

jap khiat bun:

Bersandar Pada Ikan Hias

Dua puluh satu tahun silam ia selalu datang ke tubir sungai itu. Setiap datang setiap kali pula matanya sesaat menyapu lingkungan sungai itu. Lalu, ia menceburkan diri ke dalam sungai yang berlumpur hitam dan bau busuk menyengat dari buangan limbah rumah tangga.

Botia (atas)

Angel fish

64

Saatlelaki itu cepat mengayunkan ayakan setengah tubuhnya terendam, tangan

untuk mendongkel lumpur dengan harapan: mendapat cacing darah dan kutu air. Lelaki itu memang sudah menjadikan sungai yang terletak di belakang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo di Salemba, Jakarta Pusat, itu sebagai sumber nafkah. Sebelumnya, selama bertahun-tahun, ia menekuni profesi sebagai tukang parkir, penjual petasan, hingga kepala bagian mesin pemintal di satu pabrik tekstil di Kota Hujan, Bogor. Di antara penuh sesak penumpang buskota, cacing dan kutu air yang disimpan dalam kalengkaleng susu itu dijaga agar tidak tercecer. Satwasatwa kecil itu sebagian dijual untuk menutupi biaya hidup sehari-hari. Sisanya dipakai di rumah untuk menggemukkan puluhan kongo, cupang, dan oskar. TRUBUS GOLD EDITION - I

"Bisnis ikan hias itu tidak ada matinya."

TRUBUS GOLD EDITION - I

65

a merek

beplaanjagarn

di la

Arapaima komoditas harapan ekspor

Siapa duga kini lelaki itu—Jap Khiat Bun— menjadi salah satu eksportir ikan hias terbesar di tanahair. Ribuan kotak kaca berukuran 90 cm x 60 cm x 60 cm dan belasan kolam semen seluas 8—10 m2 mengisi farmnya di Cibinong, Bogor. Dari sana sekitar 200 jenis ikan hias dikirim ke berbagai negara tujuan di Asia, Eropa, dan Amerika. “Pengiriman dapat mencapai 1.600 boks per bulan,” katanya.

banyak orang asing datang untuk bertransaksi ikan hias. “Saya jadi tanya-tanya tentang prospek ikan hias,” kata ayah 2 putra itu. Salah satu kenalan, Mr Fan Choo Lon, kini presiden ekspor-impor ikan hias Singapura, ikut mendorongnya mengekspor ikan. “Dia bilang bisnis ikan hias itu tidak ada matinya,” tutur Jap. Saat rasa yakin itu tumbuh, Jap malah kebingungan memilih jenis ikan yang diusahakan.

Enam puluh persen ikan-ikan yang diekspor itu asli dari perairan Indonesia. Salah satu yang diminati pembeli mancanegara adalah Botia macracantha dari sungai-sungai di Sumatera dan Kalimantan. Menurut Jap ikan itu disukai karena coraknya cantik. Kuning belang-belang hitam. “Ikan ini pasti menjadi unggulan setiap eksportir di tanahair,” kata peraih Entrepreneur Agribusiness Award 2004 itu.

Fan Choo Lon pula kemudian menyarankan menernakkan kongo tetra Phenacogrammus interuptus dan rumynose Petitella georgiae. “Ikan itu katanya sedang populer. Saat pulang saya beli masing-masing 10  induk,” katanya. Lima bulan dipelihara, Jap pun dapat memperbanyak ikan-ikan itu. “Saat ikan besar saya kontak teman Singapura itu, apakah mau beli? Ternyata mereka mau,” ujar penggemar golf itu. Usaha Jap Khiat Bun mulai meningkat. Jumlah akuariumnya terus bertambah mencapai ratusan buah. Ia pun memutuskan keluar dari pekerjaannya untuk dapat memburu cacing lebih banyak. Punggung kakinya sampai menghitam diserang eksim berat karena sering berendam di lumpur. “Semua sungai dan selokan di Jakarta sudah pernah saya datangi untuk diambil cacingnya,” ujar ayah 2 putra itu yang h i n g g a    k i n i    b e r u p a y a m e n c a r i     k e s e m b u h a n penyakit itu sampai ke Singapura dan Cina.

Aquarama

Jap tak pelit berbagi ilmu

66

Nasib baik itu tidak bisa lepas dari profesi terakhir Jap sebagai kepala bagian mesin pemintal di pabrik tekstil. Setelah bekerja selama 3 tahun, Jap menjadi andalan pabrik itu. “Saya menjadi orang lokal paling ahli mengoperasikan mesin pemintal,” katanya. Prestasi itu  diganjar d e n g a n     s e r i n g dikirimnya  Jap b e r t u g a s    k e Cina, Hongkong, dan Singapura. “Perusahaan ingin ilmu mesin saya bertambah,” k a t a n y a . Hal  itu  seiring dengan pemulangan bertahap para teknisi mesin asing di pabrik itu. Suatu ketika Jap yang sedang bertugas di Singapura menyinggahi pameran ikan hias internasional, Aquarama’79. Ia takjub menyaksikan

Berkualitas

Berguru pada orang yang lebih t a h u     m e n j a d i pelajaran berharga. J a p    m e n y a d a r i ungkapan itu karena ia tidak   memiliki p e n g a l a m a n    d i bidang   perikanan. Ahli-ahli budidaya dan p e n y a k i t    i k a n    s e r i n g didatanginya.  Termasuk TRUBUS GOLD EDITION - I

Foto-foto: Dian Adijaya S

Ribuan akuarium berisi ikan siap ekspor

membeli majalah ikan luar negeri. “Segala sesuatu perlu totalitas. Untuk ikan saya harus tahu dari A sampai Z-nya,” katanya. Jap pun tak segan pergi berminggu-minggu untuk mencari jenis ikan hias baru hingga ke pedalaman Papua. “Potensi ikan hias kita sungguh luar biasa,” tambahnya. Terbukti keragaman dan kualitas ikan hasil tangkaran dan mitra Jap sangat bagus. “Sampai saat ini saya hampir belum pernah merugi karena ikan sakit,” katanya. Bagi pembeli luar negeri, ikan asal farmnya, CV Maju Aquarium, menjadi jaminan mutu. “Mereka bilang ikan dari saya meski murah tapi kualitasnya baik,” katanya. Wajar permintaan deras kini mengalir dari negara-negara maju seperti Jepang, Perancis, Belgia, hingga Amerika  Serikat. Sebagai eksportir besar Jap tak pelit berbagi ilmu. “Saya belajar cara menghasilkan cacing yang baik di Cina,” ujarnya. Ilmu itu kemudian secara getok tular menyebar ke peternak bloodworm di Bandung. “Saya juga punya kepentingan karena bila panen mereka bagus dapat diambil untuk diekspor,” tuturnya. Kesibukan Jap Khiat Bun belakangan meningkat setelah memelihara arwana superred dan golden crossback asal Malaysia. “Ikan-ikan ini memiliki pasar sangat bagus,” ujar pemilik izin ekspor arwana itu. Miliaran rupiah sudah dirogohnya hampir 3 tahun terakhir ini untuk dapat menangkarkan kedua jenis ikan kahyangan itu di Cikaret, Bogor. Hasilnya cukup memuaskan. TRUBUS GOLD EDITION - I

Beberapa induk superred di kolam seluas 100 m2 sudah ada yang menggendong telur. Menurut Jap Khiat Bun jalan sukses yang diraihnya karena ia benar-benar menjalankan prinsip Sin Yung, kepercayaan dan kejujuran. “Tanpa itu semua tak ada usaha yang bisa langgeng,” katanya. Seperti lelaki yang dua puluh tahun silam menceburkan diri ke sungai berbau, kepercayaan pada sang cacing kemudian menggiringnya menjadi eksportir besar. (Dian Adijaya S)

Bagi Jap Aquarama ajang intip ikan-ikan bakal tren

67

a merek

beplaanjagarn

di la

djudju antony:

Tetap

Diskus Bukan

Yang Lain Dihantam demam lou han, Djudju Antony sempat limbung. Keteguhan hatinya untuk tetap bermain diskus berbuah manis: popularitas dan uang tentunya.

Bocah

laki-laki 6 tahun itu selalu menantikan datangnya musim kemarau. Ketika itu sungai kecil di kebun orangtuanya menyusut, hampir kering. Setiap pulang sekolah, masih mengenakan seragam, ia ke sana untuk menangkap ikan gabus. Teriknya sengatan matahari tidak ia hiraukan. Kegemaran Djudju Antony menangkap ikan mengantarkannya menuju gerbang kesuksesan. Empat puluh tujuh tahun kemudian, bocah itu menjelma menjadi peternak diskus sukses. Diskus hasil tangkarannya berkualitas tinggi. Wajar jika segudang gelar bergengsi diraih di berbagai kontes diskus. Kesuksesan itu memang tidak muncul tibatiba. Sebelum beternak diskus, selama puluhan tahun ia bekerja sebagai produser di salah satu perusahaan rekaman tanahair. Sejak 1976, ia memproduseri lagu-lagu barat. Namun, pada 1981 Amerika Serikat menetapkan peraturan: semua lagu barat tidak boleh sembarangan

68

TRUBUS GOLD EDITION - I

Berawal dari hobi, ia jadi peternak diskus sukses. Padahal, bekal di tangan hanya ijazah Sekolah Teknik Menengah dan pengalaman sebagai produser kaset lagu-lagu india. direkam, harus ada izin dari pemegang hak cipta. Sejak itu, ia pun memutuskan beralih memproduseri lagu-lagu india. Selama 17 tahun, perusahaan rekamannya berkembang pesat. Lagu-lagu india yang ia produseri banyak digemari. Karena peraturan pemerintah mensyaratkan Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) tidak boleh lagi dilanggar, ia pun pergi ke India untuk membeli hak cipta lagu. Sayang, India enggan menjual hak ciptanya. Dampak krisis moneter pada 1997, nilai rupiah jadi kecil. Ditambah penolakan India menjual hak cipta lagu, Djudju mengundurkan diri dari TRUBUS GOLD EDITION - I

dunia rekaman. ”Pusing! Saya juga sudah tua, lebih baik pensiun saja,” katanya. Masa pensiun ia habiskan menggeluti hobinya memelihara burung. Puluhan muraibatu dan cucakrawa ia pelihara. Selama setahun kegiatan alumnus Sekolah Teknik Menengah di Bandung itu hanya bercengkerama dengan burung-burung kesayangan. Kejenuhan pun mulai melanda. ”Saya kan biasa banyak kegiatan, tiba-tiba harus terhenti, rasanya bosan,” tuturnya. Atas saran adiknya, Toto, Djudju akhirnya memutuskan untuk membuka peternakan ikan hias. ”Kebetulan dari kecil saya memang hobi ikan,” kata pria kelahiran 1955 itu. Memilih jenis ikan hias yang akan diternakan bukan perkara mudah. Beragam ikan hias sudah pernah ia pelihara. Sebut saja platy, cupang, black molly, dan manfish. Pikirannya lalu tertuju pada sosok ikan hias yang termasuk sulit dibudidayakan: diskus. ”Berhasil bertelur 3—5 butir saja, saya sudah bangga,” ujar Djudju. Ia pun menjatuhkan pilihan pada ikan yang menurutnya memiliki gaya berenang paling anggun itu.

Gaya berenang diskus anggun, Djudju jatuh cinta

69

a merek

beplaanjagarn

di la

Sebanyak 70% hasil ternakan berkualitas baik untuk ekspor

Berburu indukan

(Kiri) Dari wadah plastik anakan berkualitas dibesarkan

Selain indukan, Djudju juga membeli diskusdiskus kecil berukuran 1,5—2 cm untuk dijual ke peternak-peternak di tanahair. ”Setelah besar, saya beli kembali, lalu dijual lagi ke luar negeri,” paparnya. Saat ini ia mengelola 80 indukan terdiri atas 40 betina dan 40 jantan. Dari jumlah itu ia menuai 200 burayak per bulan. Setelah dibesarkan selama 3—6 bulan, diskus-diskus itu siap dijual. Menurut Djudju, persentase untuk menghasilkan diskus berkualitas bisa mencapai 70%. Ikan berciri warna cerah dan bentuk tubuh bulat itu mengisi pasar ekspor. Sementara 30%, sisanya, kualitas B yang dicirikan warna kurang tajam. Setiap pekan ia mengekspor 200—300 ekor ke Malaysia dan Singapura. Untuk melebarkan sayap, ayah 3 putri itu rajin menyambangi pameran-pameran ikan hias. Setidaknya ekshibisi di Singapura, Malaysia, Jerman, Hongkong, dan Cina rutin ia ikuti. Hasilnya, pemain-pemain diskus top dunia berhasil ia kenali. Salah satunya Bing Seto,

Foto-foto: Lani Marliani

Tepat pada 1998, Djudju mengubah haluan dari seorang produser kaset menjadi peternak diskus. Dibantu adiknya ia mulai mengumpulkan indukan-indukan diskus berkualitas. Untuk tujuan itu ia tidak sungkan-sungkan mengobokobok peternakan diskus di Jakarta dan Bandung. Bahkan ia pun rela pergi ke Malaysia, karena berdasarkan informasi dari teman pusat diskus ada di sana. Tak tanggung-tanggung, ratusan juta rupiah ia gelontorkan untuk membeli indukan. Jenis yang ia beli di Malaysia pun dipilih yang eksklusif: leopard dan leopard snake. ”Harganya sangat mahal. Ukuran 2 inci saja dijual Rp2-juta,” ujarnya. Memperolehnya pun tidak mudah, karena jarang ada yang rela melepas jenis itu. Wajar saja karena persediaan memang terbatas. Di Malaysia pula ia berkenalan dengan para peternak diskus. Dari mereka, Djudju banyak belajar mengenai diskus, malah sempat menjalin kerja sama, sampai bisa membeli diskus di Vietnam.

(Kanan) Budidaya sendiri, jamin ketersediaan pakan

70

TRUBUS GOLD EDITION - I

peternak andal di San Fransisco, Amerika Serikat. Merasa tidak memiliki latar belakang pendidikan perikanan, Djudju tidak segan-segan belajar mengenai seluk-beluk diskus kepadanya. Bahkan berkat Bing Seto, yang juga dikenal sebagai juri diskus internasional, Djudju berhasil memasarkan diskusnya hingga ke Amerika. Kegigihannya untuk terus belajar membuahkan hasil. Diskus hasil tangkarannya semakin diakui oleh peternak dalam dan luar negeri. Buktinya, ikan-ikan tangkarannya berhasil menjuarai berbagai kontes baik tingkat nasional maupun internasional. Contoh, leopard snake hasil tangkaran Marina Diskus, nama farmnya, meraih grand champion di Indofish 2004. Kepiawaian Djudju berefek diundang menjadi juri di berbagai kontes diskus. Terakhir ia menjadi juri di kontes diskus Singapura dan Jepang pada 2003—2004.

Dihantam lou han

Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih. Ketika usahanya tengah meningkat pesat, pada 2002 demam lou han melanda hobiis ikan hias di Indonesia. ”Saya sampai lemes sekali,” kata pria pehobi balap motor itu. Saat itu permintaan anjlok. Bahkan permintaan dari Singapura dan Malaysia sampai tidak ada sama sekali. Namun, kondisi itu tidak lantas membuat Djudju patah arang. Ia tetap menekuni diskus, walaupun kondisi penjualannya terpuruk. ”Saya sudah menghabiskan banyak uang untuk diskus, jadi saya pun berharap dapat uang dari sini,” ujarnya. Oleh karena itu, akuarium di rumahnya tidak pernah kosong. Selalu ada diskus di TRUBUS GOLD EDITION - I

Leopard snake diminati hobiis

sana, meski tidak sebanyak waktu masih berjaya dulu. Kesabaran Djudju berbuah manis. Masa kejayaan lou han hanya bertahan 2 tahun. Kini hobiis kembali menggemari diskus. Wujudnya, baru-baru ini Singapura minta rutin dikirim 1.000 ekor per bulan. Jenisnya antara lain angel diamond, leopard snake, dan snake skin. Belum lagi permintaan dari Yogyakarta, Bandung, dan Jakarta yang mencapai 100—200 ekor/minggu. ”Untuk lokal masih bisa dipenuhi, tapi untuk luar negeri masih belum sanggup,” ujar pria yang kini mengembangkan usahanya dengan menjadi peternak ulat jerman. Di farm-nya di bilangan Kemanggisan, Jakarta Barat, Djudju tengah menyiapkan lebih dari 100 akuarium untuk pemijahan dan pembesaran diskus. Ikan-ikan berkualitas pun didatangkan. ”Semoga Juni nanti, sudah bisa ada kiriman ke luar,” ujarnya. Kesetiaannya pada diskus pun membuahkan hasil manis. (Lani Marliani)

71

a merek

beplaanjagarn

di la

yb hariantono:

Ketika Bankir

Terpikat sang Ratu Tidak percuma YB Hariantono rajin mengunjungi farm-farm besar di luar dan dalam negeri. Ilmu yang diperolehnya melambungkan pria 41 tahun itu sebagai pencetak maskoki terbaik.

Ketat seleksi calon indukan

72

TRUBUS GOLD EDITION - I

Ryukin, tampil prima di tangan Hari

Sore

i t u    s e l e p a s    p u l a n g    b e k e r j a . YB Hariantono duduk bersimpuh di sisi kolam berukuran 1 m x 1 m sambil membuka sepatu. Suara aerator yang memancarkan air ke kolam terdengar bergemericik. Kedua tangan Senior Vice President Head, Information Technology, Permata Bank itu sesekali membelaibelai maskoki. Perlahan Carrasius auratus itu diangkat, lalu diceburkan kembali. “Kalau sudah berada di kolam, semua kepenatan hilang,” tutur kelahiran Malang itu. Kecintaan pada maskoki membuat Hari— panggilan akrab YB Hariantono—menyulap lahan seluas 500 m2 itu untuk kolam. Sebanyak 50 kolam beragam ukuran, 1 m x 1 m, 2 m x 3 m, dan 6 m x 6 m di bilangan Ciputat, Jakarta Selatan, itu menghampar mendominasi pandangan. Di beberapa kolam terlihat maskoki lionhead, mutiara, ranchu, oranda, dan tossa berenang mengibaskan siripnya. Mereka menantikan butiran pelet dan belaian sayang Hari. TRUBUS GOLD EDITION - I

Total ada 200—300 induk dan 20.000 bibit yang dipelihara. Setiap kolam dihuni 50 maskoki, 20—30 di antaranya lionhead. Hari lebih menyukai lionhead lantaran sosoknya molek. “Jambulnya juga bagus dan terkesan unik,” tambah ayah 1 putri itu.

Tugas kantor

Alumnus Teknik Elektro, Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya itu mulai tertarik pada maskoki sejak 1998. Ketika itu, Hari ditugaskan ke Singapura dari perusahaan tempat bekerja. Untuk memanfaatkan waktu senggang ia berjalan-jalan ke sebuah toko ikan hias terkenal di negeri Singa itu. Di sana, pria yang hobi fotografi itu melihat maskoki beragam bentuk dan warna dipajang dalam akuarium. “Semuanya tampil molek,” ungkapnya. Setiap hari selama di Singapura, Hari selalu meluangkan waktu untuk melihat-lihat ikan gembul itu. Dari toko ke toko ikan hias ia masuki. Hari

73

a merek

beplaanjagarn

Foto-foto: Dok. Trubus

di la

50 kolam maskoki milik Hari di Ciputat, Tangerang

rela berjam-jam berdiri di depan akuarium hanya untuk memperhatikan gerak-gerik ikan. “Sampai lupa waktu,” katanya. Apalagi jika maskoki yang diperhatikan menunjukkan sikap bersahabat, ia merasa berat untuk meninggalkannya. Setelah tiba di tanahair, kecintaan terhadap maskoki kian memuncak. Perburuan ke farmfarm di dalam dan luar negeri dilakoni. Bahkan, ia rela mengambil cuti hanya karena ingin datang ke tempat penangkaran maskoki di Bandung dan Tulungagung. “Saya juga pernah datang ke NK Farm di Thailand, Fermilion Goldfish Club di Singapura, dan Patrick Tan Kee Beng di Malaysia (farm-farm besar maskoki, red),” ucap pria berkulit putih itu. Tak heran

kemampuan Hari untuk melihat maskoki bagus semakin terasah. Ia mampu membedakan maskoki kualitas kontes dan kualitas pasar dalam sekejap.

Diserbu hobiis

Di tengah kesibukannya sebagai bankir, ayah dari Fredrica Cynthia Dewi itu semakin getol merawat maskoki. Sehabis pulang kerja tidak jarang Hari nyemplung ke kolam. Menyipon, memberi pakan, dan mengecek kesehatan adalah pekerjaan rutin sehari-hari. “Pokoknya minimal sejam saya luangkan waktu untuk merawat maskoki,” tuturnya.

Maskokimaskoki ini memberikan ketenangan pada Hari

74

TRUBUS GOLD EDITION - I

Aktivitas itu makin intensif menjelang penyelenggaraan kontes. “Sebulan sebelum kontes, saya sudah mempersiapkan ikan,” papar Hari. Ia punya trik khusus untuk membuat warna maskoki lebih cemerlang. Air kolam dikondisikan ditumbuhi lumut sehingga terlihat menghijau. Menurut Hari, lumut bermanfaat untuk mencerahkan warna ikan. Tidak hanya itu, ikan yang akan dikonteskan pakannya harus diperhatikan. Hari memberikan cacing sutera yang telah direndam selama 1 hari dalam bak agar betul-betul bersih dari kotoran pembawa penyakit. Sebagai pelengkap, pelet berprotein tinggi diberikan 2—3 kali sehari. Pemberian pakan distop 1—2 hari sebelum kontes. Tujuannya agar maskoki bergerak a t r a k t i f    d a n    t i d a k mudah stres. Dengan perawatan seperti itu maskokimaskoki selalu tampil prima. Tubuh bongsor d e n g a n    b e n t u k proporsional. Warna ngejreng. Sirip ekor dan dayung seimbang sehingga gaya renangnya juga stabil. Selanjutnya bisa ditebak maskoki hasil polesan ahli teknologi informasi perbankan itu kerap meraih gelar terhormat di arena kontes. Lionhead baret misalnya, berhasil meraih predikat juara ke-1 sekaligus menyabet gelar grand champion pada kontes Ikan Hias Nasional di Taman Akuarium Air Tawar, TMII, pertengahan 2000. Sayang, sejak 2002, suami Maya Dewi itu jarang ikut lomba lantaran waktunya tersita pada pekerjaan. Namun, nama Hari sebagai peternak maskoki berkualitas semakin mencuat. Tak heran

TRUBUS GOLD EDITION - I

banyak hobiis yang mencari maskoki datang ke farm-nya. “Saya sampai kelimpungan memenuhi permintaan mereka,” tuturnya. Hari menyebut setiap bulannya hanya bisa melempar 100—200 maskoki karena sebagian besar untuk dipelihara sendiri. Meski begitu dari perniagaan ikan yang dijual seharga Rp2.000—Rp30.000/ekor, paling tidak ia bisa mengantongi pendapatan sebesar Rp6-juta/bulan.

Juri kontes

Kepiawaian Hari mencetak maskoki kontes berujung pada seringnya mendapat undangan untuk menjadi juri lomba. Sebut saja pada Mei 2007, Hari jadi juri kontes m a s k o k i    d i Aquarama Singapura. Di dalam negeri tidak terhitung berapa kali ia didaulat sebagai pengadil ratu ikan hias air tawar itu. Misalnya pada akhir 2006, Hari dipercaya menjadi koordinator juri kontes maskoki Jack Aqua Zoo 2006 di ITC Permata Hijau, Jakarta Selatan.

Disiplin ilmu yang tidak sesuai bukan halangan bagi Hari. Dengan belajar dan belajar di lapangan, jadilah ia yang terdepan untuk urusan maskoki Keahlian Hari mencetak dan menilai maskoki kontes sepintas datang begitu saja. Padahal, puluhan hingga ratusan juta rupiah mungkin sudah nyemplung untuk maskoki. Di awal memelihara, banyak maskoki mati. Nyawa maskoki termahal, ranchu berukuran 15—25 cm yang dibeli dari Thailand pada 2000 senilai Rp5-juta melayang gara-gara terserang parasit cerodakvirus. Musibah lain terjadi pada awal 2001. Saat itu 50 maskoki jenis baru berharga Rp300.000— Rp400.000/ekor dari Cina meregang nyawa. Lalu terakhir pada 2003, ia kembali ketiban sial. Sebanyak 40 maskoki berukuran 15—25 cm senilai Rp12-juta tak terselamatkan karena peralihan musim. Toh buat Hari, itu sebanding dengan pamor sebagai peternak maskoki ternama di tanahair. Kepuasannya hanya satu. “Ketenangan saat berada di tepi kolam,” imbuhnya. (Hermansyah)

75

a merek

beplaanjagarn

di la

jesda attavichit:

Kolonel Tertawan

Cupang Rumah berdinding putih di kawasan elit Sukhumvit, Bangkok, Thailand, itu penuh akuarium. Seekor halfmoon merah solid mengembangkan ekor 180o. Plakat steel blue berenang hilir-mudik. Itu baru sebagian kecil cupang koleksi Kolonel Jesda Attavichit— presiden Thailand Betta Club.

Pemandangan

Jesda juga dinobatkan sebagai presiden tissue culture anggrek Thailand

Halfmoon merah jadi andalan

76

di ruang dalam seperti menegaskan itu hunian seorang penggila cupang. Rak 4 tingkat setinggi 2 m dipenuhi 120 akuarium berisi plakat hijau, halfmoon biru, dan serit merah. Setumpuk poster berisi ragam cupang ternakan Thailand berserakan di atas meja makan selebar 1,5 m dan panjang 2,5 m. Lima belas akuarium kosong menggantikan posisi toples-toples berisi camilan. Akuarium sepertinya jadi “perabot” utama rumah itu. Di dapur —t e m p a t aktivitas memasak—ada 6 akuarium dijejerkan di dekat tempat piring. Isinya halfmoon longtail berwarna merah-putih dan solid merah yang jadi juara National Betta Competition di Singapura. Kotak kaca berisi serit juga mendiami

kamar tidur alumnus sekolah angkatan darat. Itu lantaran Jesda sangat mengagumi keindahan dari kibasan serit.

Cetak juara

Kesibukan ayah 2 anak itu makin menggila menjelang kontes di luar negeri. Dua munggu sebelum lomba Jesda rajin memberikan vitaman guna menambah stamina dan memperkuat sirip. Pemberiannya dibarengi pakan pelet seminggu sekali. Agar sisa pakan tak mengendap dan jadi biang penyakit, setiap hari 100% air rutin diganti. “Serit membutuhkan air soft dengan kadar kapur rendah,” ujar Jesda. Berbeda dengan plakat yang menyukai air berkapur tinggi. Perbedaan itu membuat Jesda rajin mengecek kesadahan air menggunakan hardnessmeter. TRUBUS GOLD EDITION - I

Ia rela berbagi kabin Ford XLT hitam metalik dengan kantongkantong plastik dalam dus. Itu supaya cupang seharga ratusan ribu rupiah tiba di negara tujuan dengan selamat.

Sebelum berangkat ke bandara, ia mengemas satu per satu cupang yang akan berlaga. Cupang dimasukkan dalam kantong plastik berukuran 20 cm x 40 cm, lalu diberi oksigen. Setelah itu kantong diikat rapat, dan dimasukkan dalam tas yang cukup tebal. Jesda pun rela berbagi tempat di mobil kesayangan dengan cupang-cupang yang akan berlaga. Tujuannya supaya anggota famili Osphronemidae itu merasa nyaman. Toh susah-payah itu terbayar tunai. Cupangcupang sang kolonel kerap menyabet kampiun di arena lomba. Sebut saja plakat hijau, serit dasar merah gelap, dan serit merah terang. Plakat hijaunya berhasil merajai kelas green/terquoise pada 6th National Betta Competition di Singapura. Tak hanya di Singapura, ia pun berhasil menyabet 5 piala dari 7 cupang yang ikut lomba di Aquafair Malaysia 2006.

Selalu antar cupang ke kontes

Spesies langka

Namun, bukan berarti Jesda terhindar dari petaka. Suatu waktu serit crowntail kesayangannya patah lantaran salah memasukkan air. “Air yang TRUBUS GOLD EDITION - I

77

a merek

beplaanjagarn

di la

Beragam piala kejuaraan internasional

Plakat steel blue

78

dimasukkan berkapur tinggi menyebabkan serit patah atau tidak mengembang,” kata Jesda. Ia pun bergegas terbang ke Indonesia untuk mendapatkan penggantinya. Demi kesempurnaan serit cupang, Jesda rela membawa sampel air yang dipakai para peternak cupang di Slipi, Jakarta Barat, ke negerinya 2 tahun silam. Air asal ledeng itu diuji di salah satu laboratorium di Bangkok. Setelah hasil uji keluar, Jesda memutuskan mengganti air ledengnya dengan air lebih soft. Kini ekor serit yang berkerut-merut menjadi tegak dan lurus. Selain itu, demi mendapatkan seekor cupang spesies, pemilik usaha kecantikan itu rela naik bus selama 10 jam dari Bangkok ke Chiang Mai. Musababnya penerbangan saat itu penuh. Tiba di Chiang Mai, ia harus menumpang ojek menembus dinginnya malam menuju sungai, habitat cupang itu. Cupang

spesies ini langka. Saya memburunya bukan untuk lomba, tapi sekadar koleksi,” katanya. Keesokan hari Jesda kembali ke Bangkok dengan cupang yang terbungkus dalam kardus berlapis kantong plastik. Supaya tidak punah, cupang hasil tangkapan itu dikawinkan setelah seminggu disehatkan dalam larutan garam. Cupang itu kemudian bergabung dengan cupang-cupang lain menempati bak di depan rumah. “Perkawinan yang baik saat musim panas tiba, yakni Januari sampai Oktober,” ujar Jesda. Untuk menghasilkan cupang juara, perlu betina yang berkualitas. “Warna cerah, ekor mengembang, dan berumur 4  bulan,” kata pria kelahiran Bangkok itu. Syarat lain, harus seukuran dengan jantan. Perkawinan dilakukan pukul 08.00—10.00. Sekali pijah, betina menghasilkan 1.000 anakan. Dua hari kemudian, jantan dan burayak dipindah ke bak semen. Burayak diberi daphnia sehari sekali. TRUBUS GOLD EDITION - I

“Sudah waktunya untuk menyalurkan hobi,” ujarnya. Pada 2003, sang kolonel pun memilih pensiun dari profesi yang digeluti selama 30 tahun dan berkonsentrasi pada cupang.

Presiden

Pergantian air dilakukan 2 pekan berikutnya. Saat burayak berukuran 0,5 cm, induk jantan dipindah ke dalam akuarium. Setelah berumur 5 minggu, burayak hidup mandiri dalam akuarium. Sampai berumur lebih dari 3 bulan cupang-cupang itu diberi pelet berprotein tinggi agar staminanya kuat.

Pilih cupang

Kepiawaian Jesda merawat kerabat gurami itu patut diacungi jempol. Maklum ayah 2 anak itu sejatinya jebolan Ilmu Administrasi Bisnis dari Shenandoah College and Conservatory of Music, Virginia, Amerika Serikat. Jesda kenal cupang dari sang ayah. Namun, dahulu hanya cupang aduan. Lincahnya gaya renang cupang adu itu membuat Jesda kepincut. Sayang, saat melenjutkan kuliah di negeri Paman Sam ia harus meninggalkan cupang. Sekembali ke Thailand, pengagum pantaipantai di Bali itu malah masuk ke kedinasan angkatan darat yang jadi tradisi keluarga. Cupang pun semakin ditinggalkan. “Latihannya berat. TRUBUS GOLD EDITION - I

Pilihan itu rupanya tak salah. Prestasi demi prestasi mengantarkan Jesda ke kursi presiden pertama Thailand Betta Club (TBC). Itu jabatan ke-2 selain presiden di klub anggrek yang juga ia rintis. Jabatan presiden TBC dipegang selama 2 tahun. Tak puas bermain di lokal, bersama-sama peternak kawakan lain di Thailand, ia memperjuangkan TBC menjadi anggota International Betta Congress (IBC). Keanggotaan itu membuat cupang-cupang Thailand lebih dikenal oleh dunia sekaligus dapat mengikuti kontes berskala internasional. Hasilnya TBC masuk dalam area 6 meliputi Asia Pasifik dan bergabung bersama Australia, Indonesia, Filipina, Malaysia, Singapura, dan Vietnam. Jam terbang Jesda sebagai juri internasional pun melesat. Ia kerap diundang menjadi penilai dalam kontes-kontes di Australia, Indonesia, dan Singapura. Sembari itu, Jesda mengintip ilmu di masing-masing negara. Tak lupa ia memboyong induk-induk berkualitas untuk mencetak cupang juara. Pantas di masa pensiun, prestasi sang kolonel justru kian mencorong. (Lastioro Anmi Tambunan)

Deretan akuarium di teras rumah

Halfmoon merah putih

79

Foto-foto: Lastioro Anmi Tambunan

Tak ada waktu mengurus cupang,” kenangnya. Kerapkali, pria yang hobi merawat anggrek itu harus menginap di markas jika ada tamu penting kenegaraan. Dari profesi perwira di angkatan darat selama 30 tahun itu, harta dan jabatan memang dekat dengan anak bungsu dari 2 bersaudara itu. Namun, kerinduan pada cupang terus mengentak-entak. Pada 2003, Jesda memutuskan pensiun. “Sudah waktunya untuk menyalurkan hobi,” kata pemilik rumah mewah yang disewakan seharga Rp32-juta per bulan itu. Jesda pun berburu indukanindukan berkualitas langsung ke habitat asal. Thailand sumber plakat dan halfmoon, Indonesia gudangnya serit.

a merek

beplaanjagarn

di la

suluh eko prabowo:

Makmur karena Lobster Empat tahun lalu, jadwalnya ajek: mendorong pintu besi toko telepon seluler setiap pukul 09.00. Kini, Suluh Eko Prabowo mengelola 50 kolam lobster yang memberikan omzet Rp10-juta/bulan.

Diitu, Eko menyortir lobster hasil budidaya.

kolam yang rata-rata berukuran 2 m x 1 m

Ia mencemplungkan diri ke kolam untuk mengangkat bibit berumur 2 bulan. Bibit yang dipanen mesti sehat, warna cerah, dan ukuran proporsional. Dari sebuah kolam, rata-rata ia mendapatkan 33 ekor. Artinya, dari 90 kolam ia memanen sekitar 2.970 ekor per hari. Si capit merah lolos sortir dimasukkan ke kotak plastik berlapis koran. Kapasitasnya 5—10 ekor. Kemudian ia memasukkan kotak plastik itu ke dalam boks styrofoam. Agar dapat menuai 3.000 lobster per bulan, alumnus Teknik Industri, Universitas Katolik Atmajaya Yogyakarta itu menerapkan manajemen budidaya. Eko menebar 10—15 induk di setiap kolam. Sekali penebaran rata-rata 30 kolam. Interval penebaran sekitar 2 bulan. Untuk menghindari inses alias kawin sedarah, Eko mencari induk dari berbagai tempat.

80

TRUBUS GOLD EDITION - I

“Jualan telepon seluler yang dirintis 4 tahun silam ditinggalkan. Kini, ia membesarkan lobster air tawar karena keuntungannya lebih tinggi.”

Seekor induk betina menghasilkan 500 telur. Dua bulan berselang anakan lobster siap jual. Dengan demikian, ia menuai rata-rata 100 ekor per hari atau 3.000 ekor per bulan. Itulah Eko, mantan penjual telepon seluler di Yogyakarta. Saat masih bekerja, penghasilannya paling Rp1,5-juta/bulan. “Saat pertama kali main lobster hanya dapat Rp500.000—600.000/bulan,” ucap Eko. Itu diperoleh dari penjualan 250— 300 bibit per bulan berukuran 3—5 cm seharga Rp2.000/ekor. Eko tidak putus asa. “Saya harus berani mengambil risiko,” katanya. Sebab itu, ia terus mencari peluang pasar lewat buku, majalah, dan internet. Di samping itu, Eko sering bertanya dan meminta saran peternak lain yang tergabung dalam Asosiasi Peternak Lobster Air Tawar Indonesia (Aplati) Yogyakarta.

Di kamar

Menurut Eko, ketertertarikan pada lobster muncul saat Trubus mengupas lobster pada 2002. TRUBUS GOLD EDITION - I

81

a merek

beplaanjagarn

di la

Kiri-kanan (atas) Bibit lobster berukuran 5 cm. Ada 90 kolam lobster milik Eko di Kalasan Yogyakarta dan Farm lobster milik Eko seluas 350 m2

Induk siap pijah

82

“Berbisnis losbter lebih prospektif. Sebagai ikan konsumsi yang tidak ada habisnya,” tuturnya. Awalnya Eko mendapatkan lobster dari kerabatnya di Yogyakarta yang lebih awal menekuni. Tiga set induk dibeli seharga Rp6-juta—Rp7-juta. Selanjutnya, induk redclaw itu ditangkarkan dalam 3 akuarium berukuran 1 m x 0,5 m x 0,3 m yang ditaruh di depan kamar rumah seluas 24 m2. Dua bulan dipelihara Cherax quadricarinatus itu mulai tampak ada yang menggendong telur. Dari satu akuarium setidaknya Eko mendapat

300—500 telur. Setelah dibesarkan menjadi bibit berukuran 5 cm, ia baru berani menjual. Mulanya, Eko mendapat permintaan dari seorang kenalan di Yogyakarta. Sebanyak 100—300 bibit senilai Rp500.000—Rp700.000 habis terjual. Sejak itu pangsa pasar Eko semakin meluas hingga Jepara, Magelang, Bojonegoro, Purworejo, Purwokerto, dan Probolinggo. Dari penjualan itu, Eko meraup keuntungan bersih rata-rata Rp1juta/bulan. Laba itu dipakai lagi untuk menambah akuarium serta membangun kolam baru di Klaten dan Yogyakarta seluas 350 m2. Setiap bulan Eko memanen 3.000 bibit ukuran 3—5 cm yang dipelihara selama 2 bulan. Menurut Eko, biaya produksi kecil, hanya Rp500/ekor. Dari penjualan rutin itu pendapatan Eko mencapai Rp4,5-juta/bulan. Jumlah itu di luar penjualan induk siap pijah berumur 6 bulan. Satu set induk—3 jantan dan 5 betina—dilepas seharga Rp300.000. Pria 28 tahun itu mampu menjual 20 set induk/bulan ke beberapa plasma. “Biaya produksi untuk menghasilkan induk hanya Rp20.000/ekor,” katanya. Wajar kantongnya kian tebal dengan pemasukan tambahan sebesar Rp5,6-juta/bulan. “Terbukti saya bisa hidup makmur dari lobster,” ungkapnya. TRUBUS GOLD EDITION - I

Kesuksesan itu bukan tanpa duri. Pada Desember 2003, Eko merugi Rp2-juta— Rp3-juta setelah 3 set induk dan 100 bibit mati. Penyebabnya sisa pakan cacing sutra membusuk hingga air kolam tercemar. Seperti ikan konsumsi lain, kualitas air merupakan kunci sukses budidaya. Idealnya pH air 6,5—7 dan suhu berkisar 24—260C. Ketersediaan oksigen terlarut sekitar 4 ppm. “Kekurangan oksigen terlarut menghambat pertumbuhan redclaw,” papar Eko. Amonia juga harus rendah bahkan jika perlu tidak ada. Awal 2004 adalah tahun kelabu bagi Eko. Itu karena 300—450 bibit yang ditebar meregang nyawa. “Akibat sibuk melayani pelanggan, kolam lupa dikuras sehingga kotoran menumpuk dan menimbulkan cendawan di sekujur tubuh redclaw,” ucap pehobi bulutangkis itu. Uang sebesar Rp3-juta—Rp4-juta pun amblas. Itu bukan kerugian terakhir. Pertengahan 2005, Eko mengalami musibah lebih besar setelah kehilangan 250 induk. Total kerugian mencapai Rp15-juta. Musababnya, fogging atau pengasapan lantaran Yogyakarta saat itu terjangkit wabah penyakit demam berdarah. Eko yang terlambat pulang usai mengantarkan TRUBUS GOLD EDITION - I

pesanan ke pelanggan mendapati sisa-sisa fogging meracuni 30 akuarium yang masuk melalui saluran filter air. “Bak disambar petir, cobaan itu datang secara tiba-tiba,” kata pria kelahiran 22 Maret 1979 itu. Meski demikian, Eko tetap yakin lobster menjadi jalan hidupnya. Makanya ia berani memutuskan diri keluar dari pekerjaan sebagai pengawas penjualan telepon seluler. (Hermansyah)

Foto-foto: Hermansyah

Banyak kendala

Bibit dan calon induk berkualitas siap jual

83

Bukan

Lampu karena

Aladin

Mereka berenam belas mempunyai kesamaan: sukses di bidang agribisnis dan tak pernah belajar ilmu pertanian secara formal. Mereka juga tak mempunyai lampu aladin. Sukses mereka antara lain lantaran berguru di lapangan: di kebun sayuran, kolam gurami, kebun anggrek, atau lahan pertanian lain.

mereka

belajar

di lapan

gan

84

TRUBUS GOLD EDITION - I

a merek

beplaanjagarn

di la

Memang p e r t a n i a n .    A d a    y a n g

banyak jalan menuju dunia

merencanakan untuk menggeluti agribisnis seperti Tatang Hadinata. Alumnus Teknik Institut Teknologi Bandung itu semula berbisnis bidang periklanan dan jasa konstruksi. “Suatu saat saya tak mampu lagi bersaing di properti,” kata Tatang visioner. Pada 1983 ia meninggalkan dunia konstruksi dan beralih ke agribisnis. Selain itu ada pula yang tak sengaja menggeluti agribisnis seperti Rizal Djaafarer. Namanya identik dengan kaktus dan anggrek bulan. Awal ketertarikan sulung 8 bersaudara itu terhadap agribisnis saat melihat foto-foto kaktus di lembaran majalah. Ketertarikannya itu mendorong Rizal membeli, merawat, dan memperbanyak kaktus. Ketika populasi tanaman gurun kian banyak itulah ia tergelitik untuk menjualnya. Saat itu Rizal yang mahasiswa Universitas Pendidikan Indonesia (dulu IKIP Bandung) merambah jagat agribisnis.

86

Jatuh-bangun

Keruan saja orangtua Rizal keberatan karena lebih menginginkan anaknya menyelesaikan kuliah hingga meraih gelar sarjana. Harapan lain orangtuanya, Rizal kembali ke kampung halaman di Rengat, Provinsi Riau, menjadi pegawai negeri sipil, seperti ayahnya. Namun, kelahiran 14 Desember 1953 itu bergeming. Ia telanjur jatuh cinta pada dunia agribisnis. U n t u k    m e n g g e l u t i agribisnis tak selalu mulus. Apalagi jika sebelumnya, orang itu menduduki jabatan penting dengan gaji memadai. Lihatlah Aris Budiman ketika menyampaikan rencana berhenti bekerja pada ibunya. Sang bunda berujar sengit, “Bocah edan!” Begitu juga 4 kakak Aris Budiman, menolak rencana itu. Pada 1993 Adeng—sapaan pria 37 tahun itu—menempati pos penting, kepala cabang Yogyakarta dan Jawa Tengah sebuah perusahaan elektronik terkemuka. TRUBUS GOLD EDITION - I

Gajinya yang 8 digit sejatinya lebih dari cukup untuk hidup di Yogyakarta yang biaya hidupnya relatif rendah. Toh, tanpa restu ibu, Aris Budiman menerjuni bisnis adenium. Restu akhirnya turun juga ketika ia meraih sukses berbisnis mawar gurun. Pendapatannya minimal 10 kali lipat lebih besar ketimbang gaji yang dulu diterima. “Ibu sekarang senang. Sebulan sekali ia datang ke Watu Putih,” ujar Adeng. Watu Putih nama nurseri milik Adeng di Kaliurang, Yogyakarta. Ibu mana yang tak bahagia berjalan di antara elok bunga adenium bermekaran? Apalagi jika bunga itu juga mendatangkan rezeki bagi anaknya. Sukses mereka tak datang seketika. Berbagai hambatan menghadang saat mereka menjemput sukses. “Tapi apakah tidak sebaiknya kita mencari jalan keluar, bukannya kabur?” ujar JK Soetanto yang sohor sebagai pekebun melon dan semangka bermutu. Mantan pebisnis jasa konstruksi itu beberapa kali mengalami kegagalan saat mengebunkan bawang putih seluas 10 ha. Dari Rp50-juta modal yang ditanam, cuma kembali Rp2,5-juta. Kegagalan yang acap disebut sukses tertunda itu wajar saja. “Masuk dunia pertanian itu harus diterjuni sendiri. Kapital tak kalah penting karena pasti gagal dulu,” kata Soetanto. Mengapa kegagalan itu terjadi? Antara lain karena minimnya pengetahuan pertanian akibat mereka tak pernah

Citra asal Indonesia dikembangkan di Thailand

Foto-foto: Destika Cahyana, Dian Adijaya Susanto, Evy Syariefa, & Dok Trubus

belajar ilmu pertanian secara formal. “Pupuk NPK saja waktu itu saya tak tahu,” kata Soetanto jujur. Pernah melon produksinya ditolak pedagang pasar tradisional. “Ini mah bukan melon, tapi cucunya melon,” kata pedagang seperti diulangi Soetanto itu. Ukuran melon itu memang mungil akibat salah memilih lokasi tanam. Tatang Hadinata yang kini sohor sebagai pekebun sayuran hidroponik itu sempat pula emosi pada awal beragribisnis. Musababnya puluhan kilogram wortel hanya dihargai Rp10.000. “Kalau cuma segitu ya dimakan saja, enggak usah dijual,” kata Tatang kecewa. Ia pun meninggalkan pasar Ramayana, Bogor, dan pulang membawa umbi Daucus carrota. Jika akhirnya sukses, itu lantaran mereka tak larut dalam kesedihan dan kekecewaan. Dari kegagalan itu mereka justru berguru. Lalu menemukan jawaban: mengapa gagal? Bagaimana mencegahnya? Ada yang bilang itulah SPP yang harus dibayarkan ketika mereka “kuliah” di lapangan. Berikut 16 pelaku agribisnis di berbagai sektor pertanian yang mendulang sukses setelah jatuh-bangun. Di luar sana masih banyak kisah sukses lain yang belum Trubus tampilkan. Urutan berikut bukan bentuk pemeringkatan, tapi hanya berdasarkan alfabetis. TRUBUS GOLD EDITION - I

87

a merek

beplaanjagarn

di la

Aris Budiman Bonsai Lalu Adenium

Menyebut Aris Budiaman identik dengan adenium. Kamboja jepang memang andalan bisnis nurseri Watu Putih, milik Adeng—sapaan pria kelahiran Pekalongan 27 Desember 1970 itu. Alumnus Jurusan Akuntansi STIE YKPN Yogyakarta itu menangguk omzet ratusan juta rupiah per bulan dari penjualan adenium yang digeluti sejak 1998. Sukses Adeng antara lain lantaran kerja keras: siang-malam men-training mawar gurun.

Bernard Sadhani Kontraktor Berbisnis Durian

Lima belas tahun silam, kontraktor itu mengebunkan durian monthong di Desa Murnisari, Kecamatan Mande, Kabupaten Cianjur. Dari luasan 14 ha, ia rata-rata menuai 50 ton per tahun. Selain itu alumnus Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung itu juga mengelola 15 ha kebun durian, lokasinya 3 km dari kebun pertama. “Enam tahun pertama saya gagal. SPP sekolah saya lebih dari Rp500-juta,” katanya.  Itu  untuk  mengatasi  serangan Phytophthora palmivora dan mengganti bibit.

Boedi Mranata Tergiur Liur Walet

Saat hendak “beternak” walet, keluarga besar Boedi menentangnya. Alasannya karena mitos, mengembangkan walet butuh tumbal: salah satu anggota keluarganya bakal mati. Namun, kini 21 tahun kemudian puluhan rumah walet kelahiran Banyuwangi 56 tahun lalu itu tersebar di berbagai lokasi seperti Bali, Jepara, dan Banten. Liur-liur walet itulah yang mendatangkan dolar ke rekening doktor Biologi alumnus Universiteit Hamburg, Jerman.

Budi Dharmawan Di Cengkih Kita Jaya

Purnawirawan perwira Angkatan Laut itu pemilik PT Zanzibar Cengkeh. Itulah salah satu perkebunan cengkih terluas di Indonesia, 2.300 ha tersebar di berbagai lokasi. Alumnus Teknik Mesin Institut Teknologi Bandung itu juga membidani PT Hortimart Utama yang memproduksi bibit tanaman buah. Ia juga membudidayakan lengkeng itoh, rambutan, pepaya, dan buah naga yang diminati pasar Semarang. Kiprah agribisnisnya dimulai pada 1970.

88

TRUBUS GOLD EDITION - I

Chandra Gunawan Hendarto

Menjual Kemolekan Bunga

“Adenium marak karena jasa Chandra. Ia pendobrak pasar adenium di tanahair,” ujar Handry Chuhairy, pebisnis adenium di Tangerang. Di bawah bendera nurseri Godongijo, alumnus University of San Fransisco itu memperkenalkan (kembali) mawar gurun. Kini banyak hobiis yang tergila-gila kemolekan bunga dan bonggol adenium yang diperkenalkan Chandra pada 1992. Sebelumnya ia lebih dikenal sebagai pebisnis reptil.

Gregori Garnadi Hambali Kebanggaan Selembar Daun

Mengubah warna menjadi bisnis menggiurkan. Itulah Gregori Garnadi Hambali yang sukses menyilangkan  Aglaonema  rotundum  dan A. commutatum tricolor dan menghasilkan pride of sumatera berdaun merah pada 1982. Semula daundaun aglaonema spesies senantiasa berwarna hijau. Sejak kelahiran pride of sumatera, hibrida baru bermunculan dari tangan dingin alumnus Biologi University of Birmingham itu. Greg pekerja keras: sehari ia menyilangkan 1.000 tanaman.

JK Soetanto

Jambu Citra dan Melon Eksklusif Pria kelahiran Semarang itu berlatar belakang pendidikan Teknik Sipil alumnus Institut Teknologi Bandung. Soetanto (59) mengelola mangga arumanis, khioe sawoi, serta jambu air pink rose apple dan citra seluas 60 ha. Ayah 2 anak itu juga memproduksi melon bermutu. Semua unit usahanya di bawah naungan PT Bogatani. Salah satu kiat bisnisnya, menghasilkan produk bermutu dan mampu membaca keinginan pasar karena intens beragribisnis sejak 1982.

Mikhael Wuryaning Setyawati

Merias Bisnis Mahkota Dewa

Buah mahkota dewa seukuran bola pingpong andalan Ning Harmanto—begitu perempuan 50 tahun itu disapa—meraup laba. Omzet puluhan juta rupiah per bulan berkat perniagaan anggota famili Thymelaeceae itu yang sohor sebagai panasea. Profesi lulusan Akademi Bahasa Asing itu semula merias pengantin. Namun, dari Semper, Jakarta Utara, ia mengendalikan bisnis mahkota dewa yang dirintis sejak 1999.

TRUBUS GOLD EDITION - I

89

a merek

beplaanjagarn

di la

Muhammad Suwed Jalan Hidup Persia

Cikal-bakal bisnis Muhammad Suwed dari rumah kontrakan di Yogyakarta pada 1988. Saat itu ia masih mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional Veteran, tak pernah belajar formal cara membiakkan kucing. Sekarang ia mengelola cattery Ganswed bersama istri Jalilah Ganis di Ciawi, Kabupaten Bogor. Di atas lahan 1.300 m2 itu mereka menghasilkan persia-persia berkualitas yang acap menjuarai kontes.

Pami Hernadi Setia pada Kaktus

Bagi Pami komoditas andalan untuk meraup laba adalah kaktus dan sukulen. Sejak 1975 alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Parahyangan itu menggeluti kaktus. Di Lembang, Bandung, pemilik nurseri Venita itu menyediakan 1.500  jenis  kaktus,  65  spesies  echevaria, 100 spesies haworthia, 150 spesies agave, dan 100 spesies aloe.

Prakoso Heryono Bibit Buah Unggul

“Ayah kecewa, saya menjadi petani,” ujar Prakoso Heryono. Ia belajar ilmu hukum di Universitas Islam Sultan Agung, Semarang. Namun, setelah melihat kemajuan pertanian Thailand, ia seperti terpanggil untuk menggeluti agribisnis. Sekarang Nonot—sapaan kelahiran Yogyakarta 4 November 1958 itu—sohor sebagai penyedia puluhan jenis bibit tanaman buah bermutu sejak 15 tahun lalu. Sayang, ayahnya yang polisi itu tak sempat melihat kejayaan Nonot beragribisnis.

Rizal Djaafarer

Bulan Bercahaya di Langensari “Saya sedih ketika membeli anggrek Phalaenopsis violacea di Taiwan, ternyata berasal dari Kalimantan,” ujar pemilik Rizal Orchids di Langensari, Lembang. Keprihatinannya diwujudkan dengan menyilang-nyilangkan anggrek bulan. Ketika orang lain terbuai mimpi, Rizal malah terjaga untuk menyilangkan anggrek. Hingga kini sarjana muda Pendidikan Teknik Arsitektur alumnus Universitas Pendidikan Indonesia itu menghasilkan 1.300 hibrida. Hasil silangannya diminati penganggrek berbagai negara seperti Jerman, Belanda,dan Jepang.

90

TRUBUS GOLD EDITION - I

Sujadi

Dari Guru ke Gurami Jika terus mengabdi sebagai guru mungkin Sujadi bagai Umar Bakri seperti dalam lagu Iwan Fals. Ia tak perlu pakai sepeda butut, tetapi ke mana pun pergi tersedia mobil di rumahnya. Profesi guru agama di SD Karangkemiri, Cilacap, memang ditinggalkannya dan beralih menjadi peternak gurami pada 1990. Pria 52 tahun itu mengelola 45 kolam masing-masing seluas 400—500 m2.

Suwarso Pawaka Durian Unggul Jatuhan

Tujuh tahun pascapensiun, perwira menengah TNI Angkatan Darat itu membuka kebun durian di Cihideung, Kabupaten Bogor. Sebagian varietas yang ditanam di kebun Warso farm itu adalah monthong dan sitokong. Di kebun itulah belum lama ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menggelar konferensi pers.

Tatang Hadinata

Sayuran Ekslusif dan Bunga Potong Sayuran paprika, tomat, shisito alias cabai jepang, dan kyuri, serta bunga krisan dan mawar potong sebagian tambang rupiah Tatang Hadinata. Ia mengadopsi teknologi hidroponik untuk membudidayakan sayuran eksklusif. PT Saung Mirwan yang ia dirikan sejak 1983 mengelola lahan 10 ha dan menjalin kemitraan dengan puluhan pekebun.

Vincent Edi Yasin Liukan Bisnis Naga

Sarjana Teknik itu mengelola 5 ha kebun buah naga di Pacet, Mojokerto. Buah kerabat kaktus itu kini mengisi pasar Surabaya dan sekitarnya. Selain itu pengusaha sukucadang kendaraan bermotor itu juga mengebunkan durian dan beragam sayuran. Vincent membuka kebun pada 2002. Dunia agribisnis ibarat magnet yang terus menarik mereka. Pada mulanya kegagalan membudidayakan beragam komoditas memang sulit ditepis. Namun, di ujung getir itu mereka mencecap manisnya beragribisnis. Sukses mereka bukan dengan menggosok lampu aladin, tapi berkat cucuran keringat. (Sardi Duryatmo) TRUBUS GOLD EDITION - I

91

Related Documents


More Documents from "Jual Foredi Resmi Jambi"