Metodologi_penelitian_filsafat.pdf

  • Uploaded by: ahmad rizq
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Metodologi_penelitian_filsafat.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 59,804
  • Pages: 253
Loading documents preview...
METODOLOGI PENELITIAN FILSAFAT

BUKU AJAR

METODOLOGI PENELITIAN FILSAFAT

Kontributor: Anton Bakker, Sutan Takdir Alisjahbana, M. Amin Abdullah, Toety Heraty Noerhadi, J. Sudarminta, P. Hardono Hadi M. Mukhtasar Syamsuddin, Reza A.A Wattimena

Editor: Reza A.A Wattimena

Universitas Gadjah Mada

Penerbit Kanisius

UNIKA Widya Mandala

Metodologi Penelitian Filsafat 072234 © 2011 Kanisius PENERBIT KANISIUS (Anggota IKAPI) Jl. Cempaka 9, Deresan, Yogyakarta 55281, INDONESIA Kotak Pos 1125/Yk, Yogyakarta 55011, INDONESIA Telepon (0274) 588783, 565996; Fax (0274) 563349 E-mail Website

: [email protected] : www.kanisiusmedia.com

Cetakan keTahun

3 13

Desain isi Desain cover

: G. Neno P. : Jaya Supeno

2 12

1 11

Diterbitkan dalam kerja sama dengan: Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala Surabaya

ISBN 978-979-21-2940-3 Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun, termasuk fotokopi, tanpa izin tertulis dari Penerbit Dicetak oleh Percetakan Kanisius Yogyakarta

PRAKATA

H

ubungan antara konsep-konsep metodologi dan metode dalam penelitian filsafat senantiasa membingungkan. Sering dijumpai seseorang menuliskan atau menggunakan istilah ‘metodologi’, sementara apa yang ia kerjakan dalam aktivitas penelitiannya sebetulnya menggambarkan metode. Sejatinya hal ini tidak perlu terjadi, lantaran jalinan sistemik yang berlangsung dalam baik perkembangan ilmu maupun aktivitas keilmuan, metodologi selalu lebih dahulu dan lebih fundamental sifatnya, jika dibandingkan dengan metode. Metodologi menyediakan dasar bagi metode. Logika atas posisi metodologis seorang peneliti dapat digambarkan dengan menjelaskan pandangan peneliti yang bersangkutan terhadap sifat dasar kenyataan. Posisi metodologis kaum positivis , misalnya, berbeda dengan kaum fenomenologis. Bagi kaum positivis, fakta adalah sumber yang menghadirkan obyek. Sedangkan bagi kaum fenomenologis, dunia sebagai fakta (setidak-tidaknya dunia yang dieksplorasi) merupakan suatu makna yang dibangun secara intersubyektif. Persoalan lain yang seringkali dijumpai adalah ketatnya pembagian metode kualitatif dan kuantitatif dalam dunia penelitian. Pembagian ini tidak perlu membingungkan, sebab dalam sebuah penelitian bidang filsafat, metode kualitatif dan kuantitaf dapat digunakan secara bersama



dan dalam tahap kegiatan penelitian yang sama. Pada suatu kegiatan penelitian, observasi misalnya, harus disikapi sebagai metode fundamental dalam pengumpulan data. Melalui observasi, baik langsung maupun tidak langsung, peneliti dalam bidang filsafat dapat mengumpulkan hasil observasi pribadinya dari responden. Model-model ini mungkin dengan sendirinya sudah memiliki struktur tertentu. Namun ketika peneliti melakukan pengumpulan data, peneliti dapat memunculkan struktur tersebut dari proses analisis filsafat yang akan dilakukan. Fenomena membingungkan seperti tadi, menyeruak kembali ketika rancangan penerbitan buku ajar ini dipersiapkan. Bedanya, kebingungan kali ini dialami dalam menentukan judul buku; apakah “Metodologi Penelitian Filsafat” ataukah “Metode Penelitian Filsafat”. Jadi bukan lantaran adanya kesalahkaprahan dalam memahami posisi metodologi dan metode, atau karena adanya ikatan ketat dalam dikotomi metodis penelitian kuantitatif dan kualitatif, tetapi karena bahan-bahan yang dikumpulkan bersumber dari artikel-artikel yang memang bertaut dengan metodologi pada satu bagian dan metode pada bagian yang lain. Demikian juga obyek material yang disasar dalam masing-masing artikel cukup bervariasi, dari corak kualitatif sampai kuantitatif. Al hasil buku ajar ini terbit dengan judul “Metodologi Penelitian Filsafat”, walaupun beberapa tulisan mengangkat “metode” dalam uraiannya. Alasan pertama, tentu karena secara paradigmatik, metodologi dipahami sebagai ilmu tentang metode yang jika coba dikaitkan dengan penelitian, maka dalam wacana filsafat, metodologi termasuk salah satu bagian pokok kajian, setidak-tidaknya dalam epistemologi dan filsafat ilmu pengetahuan. Alasan kedua dan tidak kalah pentingnya untuk dikemukakan adalah sebagian besar artikel dalam buku ajar ini bersumber dari makalah-makalah yang pernah dipresentasikan dalam sebuah simposium nasional bertema “Metodologi Penelitian Filsafat” yang diselenggarakan oleh Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada pada 29-30 Juni 1991di Yogyakarta.



Sesungguhnya, makalah-makalah simposium nasional itu bervariasi, dalam arti tidak seluruhnya berkaitan dengan metodologi penelitian filsafat saja, namun merambah ke wilayah penelitian agama, sosial, dan bahkan bidang ilmu alam. Untuk memenuhi relevansi dan keperluan khusus penerbitan buku ajar ini, maka sengaja dipilihkan makalahmakalah yang mengurai metodologi dan metode penelitian bidang ilmu filsafat. Hal lain, untuk memperluas horizon metodologis dalam dunia penelitian filsafat, dalam buku ajar ini ditambahkan dua artikel yang tidak bersumber dari simposium nasional di atas. Kedua artikel dimaksud, secara langsung berhubungan dengan “Metode Berfilsafat” yang masingmasing ditulis oleh Reza A.A. Wattimena dengan judul “Berbagai Bentuk Metode Berfilsafat: Sebuah Tinjauan Historis Sistematis dari Masa Yunani Kuno sampai Posmodernisme” dan oleh Mukhtasar Syamsuddin dengan judul “Metode Refleksi Fenomenologis Merleau-Ponty”. Akhirnya, diucapkan terima kasih kepada semua pihak yang mengijinkan makalah yang telah dipresentasikan pada simposium nasional tahun 1991 untuk diterbitkan melalui buku ajar ini. Demikian juga, tidak luput diucapkan terima kasih kepada Pimpinan Fakultas Filsafat UGM, Yogyakarta dan Fakultas Filsafat Widya Mandala, Surabaya yang telah bersama-sama mengupayakan penerbitan buku ajar ini yang sekaligus dapat menunjukkan jalinan kerjasama institusional dan komitmen kedua lembaga dalam mengembangkan pendidikan filsafat secara umum dan metodologi penelitian filsafat secara khusus di Indonesia.

Mukhtasar Syamsuddin



DAFTAR ISI Prakata

........................................................................................................................

5

Kebenaran dan Metodologi Penelitian Filsafat: Sebuah Tinjauan Epistemologi Oleh: P. Hardono Hadi ......................................................................................... 11 Metodologi Penelitian Filsafat Oleh: Toeti Heraty Noerhadi ............................................................................. 27 Metode Penelitian Filsafat: Belajar dari Filsuf Alfred N. Whitehead Oleh: J. Sudarminta ................................................................................................ 37 Penelitian pada Bidang IlmuFilsafat: Perbandingan Usulan Penelitian Oleh : Anton Bakker ............................................................................................ 55 Metode Filsafat dalam Tinjauan Ilmu Agama Oleh : M. Amin Abdullah ................................................................................... 75 Metoda Pengertian dan Antropologi Filsafat Oleh : S. Takdir Alisjahbana ............................................................................... 93



Metode Refleksi Fenomenologis Maurice Merleau-Ponty Oleh: Mukhtasar Syamsuddin............................................................................ 109 Berbagai Bentuk Metode Berfilsafat: Sebuah Tinjauan Historis Sistematis dari Masa Yunani Kuno sampai Posmodernisme Oleh: Reza A.A Wattimena ................................................................................ 127 Indeks ........................................................................................................................... 242 Biodata Penulis ......................................................................................................... 247



KEBENARAN DAN METODOLOGI PENELITIAN FILSAFAT: SEBUAH TINJAUAN EPISTEMOLOGI OLEH: P. HARDONO HADI

D

i dalam makalah ini, perhatian akan difokuskan pada masalah “kebenaran”, yang ditinjau secara epistemologis, dan “metodologi penelitian filsafat”. Karena “kebenaran” tersebut dibicarakan di dalam kerangka epistemologi, maka di dalam pendahuluan ini akan disajikan pengertian “epistemologi” dan “metodologi” secara singkat, agar pembicaraan kita menemukan fokusnya yang jelas. Epistemologi atau filsafat pengetahuan adalah cabang filsafat yang mempelajari kodrat dan ruang lingkup pengetahuan, pengandaianpengandaian dan dasarnya, serta pertanggungjawaban umum terhadap sebutan pengetahuan.2 Namun, kejelasan rumusan ini sendiri tergantung kepada pengertian pengetahuan. Maka untuk sementara kita menerima saja pengertian “pengetahuan” yang diterima umum sebagai kepercayaan yang terbukti benar.3 Tetapi di dalam definisi singkat ini pun masih terdapat 1 2 3

Prasarana dalam Simposium nasional Metodologi Penelitian Filsafat 27-28 Juni 1991, di Yogyakarta. Hamlyn, D.W., History of Epistemology, dalam Encyclopedia of Philosophy, vol. 3, ed. Paul Edwards, Macmillan Publishing Co., Inc & The Three Press, New York, 1967, hal. 8. Quinton, Anthony, “Knowledge and Belief” di dalam The Encyclopedia of Philosophy, vol. 4, hal. 345.



kekaburan mengenai maksud persis dari kata “bukti” dan “benar”. Bukti umumnya dituntut demi mendapatkan “kepastian” mengenai kebenaran yang dicapai. Dalam kaitan dengan ini, kita hanya akan membicarakan apa yang dimaksud dengan “kepastian” dalam kaitan langsungnya dengan kebenaran epistemologis. Kita tahu bahwa kata “benar” sendiri merupakan persoalan yang tidak begitu sederhana di dalam epistemologi. Untuk itu kita harus membicarakan masalah “kebenaran” ini. Selanjutnya, “metodologi”4 dalam arti ketat dapat dimengerti sebagai “ilmu atau deskripsi mengenai metode-metode atau prosedur yang digunakan di dalam suatu kegiatan tertentu”. Namun kata tersebut umumnya digunakan juga sebagai “suatu penyelidikan atau penelitian terhadap maksud-maksud tertentu, yaitu KONSEP, dan prinsip-prinsip penalaran ilmu tertentu, dan hubungan-hubungan antara bagian-bagian ilmu bersangkutan”. Dengan demikian metodologi suatu ilmu cakup “usaha-usaha untuk menganalisis dan menelaah tujuan, konsep-konsep pokok (misalnya: penjelasan, penyebaban, percobaan, probabilitas), metode-metode yang digunakan untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, pembagian ilmu tersebut di dalam cabang-cabangnya, hubungan antara cabang-cabang tersebut, dan sebagainya”. Maka pembicaraan kita pada kesempatan ini akan dipusatkan pada dua pokok masalah, yaitu “kebenaran” dan “metode penelitian filsafat” yang juga mencakup sebuah usulan.

Kebenaran5 Obyek Pengetahuan dan Kebenaran Obyektif Sebagaimana telah kita sebut di atas, menurut pendapat yang diterima banyak pihak, “pengetahuan” adalah “keyakinan yang terbukti benar”. “Kebenaran” umumnya dimengerti sebagai “kesesuaian antara 4 5

The Harper Dictionary of Modern Thought, ed. Alan Bullock and Oliver Stallubrass, Harper and Row, Publisher, New York, 1977, hal. 387 bdk. Gallagher, Kenneth T., The Philosophy of Knowledge, Fordham University Press, New York, 1982.



pikiran dan kenyataan”. Dari rumusan ini terdapat kesan, bahwa pikiran hanya pasif saja berdiri di depan obyek, dan menantikan obyek itu sendiri mengecap pikiran, dan pikiran tinggal menyetujuinya. Dalam pengertian ini, “mengetahui” disejajarkan dengan kegiatan “melihat”. Idea pengetahuan seperti menjadi jelas dalam fenomenologi yang dirintis Edmund Husserl. Husserl berusaha memasukkan segala yang telah diketahuinya dan konsep-konsep yang telah diterimanya ke dalam tanda kurung, atau menon-aktifkan konsep-konsep tersebut, agar apa yang ditangkapnya dari obyek benar-benar “obyektif ”, dan tidak dicemari oleh prasangka-prasangka “subyektif ” yang didapatkannya dari kegiatan di luar pengalaman obyek. Dengan kata lain, subyek harus mengerdilkan peranannya sampai sekecil mungkin, agar dapat menjadi pengamat murni atau subyek transsendental.6 Dasarnya adalah bahwa Husserl tidak mau terperangkap dalam Wishful Thinking, di mana subyek hanya menangkap pikirannya sendiri yang tidak berpijak pada kenyataan obyektif. “Pengetahuan” hanya dapat disebut pengetahuan, kalau pikiran mencapai kenyataan persis seperti apa adanya dicemari oleh pertimbangan subyek sendiri. Namun hal ini tidak sesuai dengan keyakinan Husserl sendiri, bahwa kesadaran selalu menyertakan obyek, yaitu kesadaran akan sesuatu. Seharusnya sudah menjadi jelas baginya, bahwa pikiran dengan kesadaran pasifnya tidak mempunyai sesuatu dihadapannya sebagai obyek. Di sinilah para eksistensialis menekankan, bahwa kesadaran sendiri muncul dari eksistensi dan kegiatan subyek di dalam interaksinya dengan obyek. Justru eksistensi inilah yang merupakan sumber bagi adanya datum atau obyek dihadapannya. Eksistensi memiliki prioritas logis dari pengetahuan. Kierkegaard menyatakan bahwa manusia adalah akal yang bereksistensi, bukan melulu akal.7 Dari pernyataan ini, Kierkegaard menyodorkan sekurang-kurangnya dua peringatan yang perlu 6 7

bdk. Husserl, Edmund, Ideas, General Introduction to Pure Phenomenology, trans. W.R Royoe Gibson: Colier Books, New York, 1962, hal.14. lih. Gallagher, Ibid. hal. 232.



diperhatikan. Yang pertama adalah bahwa subyektivitas merupakan bagian integral dan esensial dari kebenaran, bukan sesuatu yang mengancam dan menggerogoti kebenaran. Kalau subyektivitas dihapuskan, maka bukan hanya pengeruh-pengaruhnya yang dihilangkan, tetapi intellegibilitas secara keseluruhan terhapuskan. Yang kedua adalah bahwa kebenaran filosofis merupakan deskripsi arti dan nilai pengalaman subyek sendiri. Maka tidak ada kebenaran yang terlepas dari subyek. Mengenai hal terakhir ini kiranya juga mendapat kejelasan dan pandangan Marcel yang juga mirip dengan pandangan Kierkegaard tersebut. Dia membedakan antara masalah dan misteri.8 Masalah berhubungan dengan obyek, yaitu sesuatu yang eksternal dan berhadapan dengan subyek. Obyek ini karena berada di luar subyek bisa diselidiki secara lengkap dan utuh dari segala sudutnya. Sebagaimana nampak, misalnya, di dalam menghadapi masalah aljabar dan mesin. Data bisa diselidiki dan dipahami, tanpa melibatkan kekhasan subyek. Sebaliknya misteri merupakan persoalan yang tidak dapat dipisahkan dari subyek. Misteri adalah pertanyaan yang menyebabkan subyek terperangkap di dalamnya, misalnya saja kalau kita berbicara mengenai “Ada”, dengan sendirinya kita berada di dalamnya. Maka “Ada” tidak dapat diselidiki dari segala seginya olehnya subyek impersonal. Demikian juga pertanyaan mengenai “Aku”, “kebakaan jiwa”, “bukti adanya Allah”. Dengan demikian masalah selalu mempunyai solusi, asal saja teknik tepat yang diperlukan. Sedangkan datum bagi misteri tidaklah jelas dan terbedakan di dalam dirinya sendiri. Di dalam misteri pikiran berusaha untuk menemukan dan mengungkapkan partisipasinya yang telah ada sebelum kegiatan berpikir. Maka pikiran untuk mengekspresikan partisipasi tersebut haruslah kembali kepada partisipasi itu sendiri. Di sini Kierkegaard dan Marcel berbicara mengenai kriterium intellegibilitas. Mereka menekankan bahwa partisipasilah yang merupakan sumber arti. Kalau subyek begitu penting dalam pengertian 8

Lih. Gallagher, Ibid. hal. 236-246.



mengenai kebenaran, apakah ini berarti bahwa misteri tidak dapat didemonstrasikan, dan akibatnya tidak mungkinkah bahwa pengetahuan itu hanya merupakan ilusi? Marcel menjawab bahwa yang bersifat meta problematik dinyatakan sebagai sesuatu yang tidak dapat diragukan, tetapi hanya partisipan. Marcel memberi contoh bahwa pengalaman akan harapan atau kegembiraan hanya dimiliki oleh pribadi singular dengan keunikannya yang terlibat di dalamnya, bukan suatu obyek bagi pengamat logika-sensoris atau pengamat impersonal dan netral. Dia memperingatkan bahwa bila pengetahuan merupakan keterbukaan terhadap kenyataan, maka pengalaman yang menyangkut kebebasan pribadi juga harus termaksud di dalam pengetahuan. Tambahan lagi, tidak ada cara lain bagi pernyataan diri dari evidensi tersebut. Dengan demikian pertanyaan-pertanyaan mengenai Allah, kebebasan, kematian, serta semua pertanyaan yang termasuk di dalamnya tidak dapat diajukan dan dijelaskan oleh subyek impersonal. Dari sini kita diingatkan bahwa obyek pengetahuan adalah semua pengalaman, tidak hanya pengalaman inderawi dan juga tidak hanya yang dapat diperlakukan sebagai masalah. Sebab tidak sesuatupun dari pengalaman yang boleh disingkirkan dari filsafat.

Definisi-Kepastian-Esensi-dan konsep Umumnya diyakini bahwa pengetahuan inderawi hanyalah memberikan pengetahuan superfisial mengenai obyek. Sedangkan pengetahuan intelektual memberikan pengetahuan mendalam mengenai kodrat atau esensi tersebut. Yang sering terjadi di dalam menjelaskan esensi obyek adalah penyajian definisi-definisi istilah. Dengan mendefinisikannya dianggap esensi menjadi jelas. Dengan demikian ideal pengetahuan dianggap sebagai seperangkat definisi yang saling mengait, bersifat obyektif, dan tidak dapat ditukarkan. Selanjutnya dengan definisi-definisi tersebut diandaikan adanya pengetahuan yang menangkap dengan sempurna pengalaman-pengalaman kita.



Tetapi pengandaian tersebut menimbulkan kesulitan. Sebab “mengetahui” terlalu dianalogkan dengan melihat atau menangkap “isi” obyek. Meskipun analog ini bersifat spontan dan ada gunanya, namun jangkauannya amatlah terbatas. Sebab di dalam pengertian tersebut, ada perasaan bahwa dengan mengetahui esensi, saya harus mampu menybutkan sifat-sifat esensialnya, sebagaimana terjadi dengan melihat. Tetapi de facto kita tidak dapat menemukan sifat-sifat esensi yang dapat didaftar. Selanjutnya, anggapan bahwa mengetahui esensi diartikan sebagai tindakan menangkap “isi” obyek hanyalah mengacaukan masalah. Sebab kalau kita mengetahui isi, kita harus dapat menguraikan isi tersebut dan menelitinya. Padahal kita tidak dapat melakukan hal tersebut. Maka mengetahui tidak sama dengan melihat atau menangkap arti, dan mengetahui esensi tidak berarti mengerti dengan tepat kesamaan antara pikiran dan kenyataan. Maka pandangan bahwa mengetahui sama dengan mendefinisikan haruslah ditinggalkan. Sebab pengetahuan mengandaikan kedalaman, di mana pengetahuan mengenai esensi perlu memperlihatkan tahaptahap progresif menuju pemuasan. Pengetahuan mengenai esensi terletak pada pengendapan arti di dalam pengalaman, yang tidak dapat dicapai melalui definisi. Pengetahuan bukanlah definisi, karena definisi itu mati, sedangkan pengalaman hidup berkembang terus. Pengertian konsep pun harus dipertegas pula. Konsep atau ide adalah alat kreatif yang digunakan pikiran untuk menyesuaikan diri dengan pengalaman yang berkembang tersebut. Konsep bukanlah alat untuk melarikan diri dari waktu dengan masuk ke dalam kawasan abstraksi yang aman dan statis. Bagi manusia berpikir sama dengan berkomunikasi. Manusia menggunakan bahasa dan bahasa membuat obyektifikasi. Akibatnya tidak terhindarkan bahwa pikiran terperangkap di dalam bahasa dan kebudayaan yang telah dirumuskan secara obyektif. Tetapi kalau manusia hanya bertahan di dalam status quo yang telah diobyektifikasikan tersebut, tanpa menerapkan kembali dengan kritis konsep-konsep yang terumuskan di dalam bahasa ke dalam pengalaman,



maka pikiran berhenti dan macet, tidak mampu mendukung pengalaman yang utuh. Untuk itu perlu diingat bahwa mengetahui arti konsep berarti harus kembali kepada pengalaman yang diartikannya. Dengan demikian pemisahan antara pikiran dan pengalaman tidak masuk akal. Pikiran bukannya memasuki pengalaman dari luar, sebab pikiran telah berada di dalam pengalaman sejak awal. Perlu ditegaskan bahwa konsep merupakan kristalisasi pengalaman. Konsep harus menjelaskan pengalaman dan pengalaman menjiwai konsep. Kalau pengalaman selalu berkembang, maka konsep pun harus berkembang pula. Di dalam konteks ini kiranya cocok untuk berbicara mengenai pragmatisme. Bagi pragmatisme, kebenaran adalah sesuatu yang membawa hasil. Pertimbangan dianggap benar bila membawa hasil yang berguna. Bahkan dengan jelas James meletakkan kebenaran pada “nilai tukar” atau “cash value”9 sesuatu. Kalau hasilnya merugikan berarti pertimbangan tersebut salah. Pragmatisme yang dikembangkan William James dan John Dewey merupakan protes terhadap pengagungan pengetahuan yang mengorbankan arti tindakan. Dewey mempertanyakan mengapa Plato dan Aristoteles menekankan kontemplasi (theoria) sebagai kebaikan tertinggi bagi manusia, yang dianggap berpartisipasi di dalam kehidupan para dewa, sedangkan tindakan dianggap sebagai hal yang rendah bagi kehidupan sejati jiwa? Dewey menjawab sendiri dengan mengatakan bahwa filsafat muncul sebagai aturan untuk mencari rasa aman yang merupakan perhatian pokok manusia primitif. Dengan demikian, pengetahuan juga mencari kepastian demi rasa aman. Anggapan ini, bagi Dewey, merupakan hal yang salah sebab menghalangi manusia untuk mengadakan kontak dengan kekayaan pengalaman sendiri. Ide-ide kita harus merupakan aspek dari tindakan, yaitu konsepsi mengenai akibat-akibat yang mungkin muncul dari 9

James, William, Pragmatism and The Meaning of Truth, Cambridge, Harvard University Press, Massachusettes, 1975, hal. 31-276.



kegiatan kita. Ide-ide adalah hipotesis kerja. Atau rencana antisipatoris bagi tindakan.10 Tindakan harus berkembang menurut patokanpatokannya sendiri dan tidak dipaksa, untuk “menyesuaikan diri dengan apa yang telah ditetapkan di dalam struktur benda-benda”.11 Jasa James dan Dewey adalah membawa kita kembali kepada sifat terbuka dan menyadari belum selesainya pikiran kita. Pikiran manusia bukanlah bangunan abadi, dan ide tidak boleh diperlakukan sebagai sesuatu yang selesai dan tertutup bagi tes lebih lanjut. Dengan demikian, James dan Dewey memperingatkan pentingnya aspek historis dan sosial dari pengalaman manusia. Proses historis yang memampukan manusia menciptakan eksistensi bagi manusiawi bagi dirinya sendiri merupakan bagian integral dari pengahayatan secara kognitif mengenai dimensidimensi transenden kenyataan. Namun beberapa catatan perlu diarahkan kepada pragmatisme. Pertama, kita setuju bahwa harus sadar akan konsekuensi tindakan, sebab “kesadaran” merupakan hal yang tidak dapat diganggu gugat bagi pengetahuan. Tetapi pengetahuan tidak dapat direduksi seluruhnya kepada konsekuensi tindakan. Kedua, untuk menerapkan norma kebenaran pragmatis, kita harus tahu kapan kita mencapai konsekuensi subur. Implisit di dalamnya adalah pengertian mengenai jenis-jenis konsekuensi tertentu, yang dianggap subur di dalam dirinya sendiri. Pertimbangan kebenaran berdasarkan keberhasilan saja tidaklah cukup. Bukan karena keberhasilan yang menentukan kebenaran, tetapi kebenaranlah yang menentukan keberhasilan. Ketiga, cukup beralasan untuk mengatakan, bahwa pengetahuan yang saya maksudkan mungkin dipengaruhi oleh konsekuensi tindakan tertentu. Di sini nyata bahwa Dewey gagal membedakan antara kebenaran dan pengetahuan tentang kebenaran. Kebenaran tidak diberikan oleh tes, tetapi dinyatakan oleh tes, sehingga tidak diketahui. 10 11

Dewey, John, The Quest for Certainty: a Study of The Relation of Knowledge, Minton, Balch and Co., New York, 1929, hal. 167 Ibid. hal. 72.



Sebagai kesimpulan dari pembicaraan kita sejauh ini adalah, bahwa pengetahuan tentang essensi atau hakikat sesuatu perupakan produk dari interaksi kita yang terus menerus dengan pengalaman, dan belum seluruh esensi itu kita ketahui. Dari satu pihak, kita mengakui adanya essensi atau kodrat tertentu. Tetapi, dari pihak, hukum kodrat bukannya diperoleh dengan deduksi definisi. Dengan demikian rumusan “kebenaran sebagai kesesuaian antara pikiran dan kenyataan” harus dimengerti di dalam konteks tersebut.

Metodologi Penelitian Filsafat Obyek dan Tujuan Epistemologi Dari pembicaraan kita di atas, beberapa hal perlu dipegang teguh. Pertama, obyek pengetahuan adalah seluruh kenyataan di dalam pengalaman manusiawi. Di dalam istilah Marcel, obyek pengetahuan bukan hanya yang disebutnya “masalah”, tetapi juga “misteri”. Kedua, pengetahuan sendiri berarti keyakinan yang telah dibuktikan benar. Dan kebenaran selalu melibatkan subyek. Subyek tidak hanya bisa menjadi penonton pasif impersonal. Ketiga, pengetahuan tidak bisa diperoleh secara memadai hanya dari definisi konsep, sebab definisi merupakan abstraksi yag menyederhanakan masalah yang perlu diterangkan lebih lanjut. Maka pengertian mengenai kebenaran sebagai kesesuaian antara pikiran atau konsep dengan kenyataan harus dimengerti secara kreatif, sebab pengetahuan merupakan produk dari interaksi terus menerus antara keduanya. Maka yang terakhir, atau keempat deduksi definisi tidak dapat menolong untuk mengetahui kenyataan dengan tuntas. Konsep harus bersifat terbuka terhadap perkembangan, sebagaimana kenyataan pun berkembang. Hal-hal tersebut perlu diperhatikan di dalam penyusunan suatu metode penelitian filsafat. Tentu saja kecuali hal-hal tersebut masih perlu ditegaskan terlebih dahulu, filsafat dalam pengertian macam apakah yang mau dilengkapi dengan metode yang dimaksud. Hal pertama yang perlu



diperhatikan adalah menentukan tujuan filsafat. Tujuan filsafat di sini bisa dimengerti dalam dua arti. Pertama, tujuan dapat dimengerti dalam kaitan langsung dengan hasil atau produk. Hasil tersebut bisa berujud sebuah ontologi atau deskripsi metafisis, yaitu deskripsi mengenai kodrat terdalam dari kenyataan, atau filsafat dalam pengertian sebuah penyelidikan kritis yang merupakan sebuah mata ilmu yang menyelidiki macam-macam bentuk konkret dari kegiatan intelektual.12 Kalau filsafat dimaksudkan sebagai sebuah ontologi atau filsafat spekulatif, maka harus diperjelas lebih dahulu jangkauan yang menjadi bidang khususnya yang membedakan dari bidang ilmu lain. Dengan demikian sekurang-kurangya akan menjawab kekhawatiran yang menghantui beberapa pemikir yang menyatakan, bahwa bidang khusus ontologi akan habis digerogoti oleh ilmu-ilmu khusus. Sebab semakin banyak pertanyaan yang dimunculkan dan diusahakan oleh ontologi, menurut pendapat ini, telah diselidiki secara khusus oleh ilmuilmu tertentu. “Dengan demikian filsafat perlahan-lahan telah menggali kuburannya sendiri,”13 katanya. Sebaliknya, kalau penelitian filsafat itu dimaksudkan sebagai penyelidikan kritis, maka harus menjadi jelas kegiatan intelektual mana saja yang dijadikan sasaran penyelidikan. Dengan penyelidikan ini akan terjadi suatu analisis filsafat tertentu, entah itu berupa filsafat sejarah, filsafat sains, filsafat ilmu politik, filsafat bahasa, dst. Namun, kalau tujuan ini dikhususkan pada penyelidikan seperti ini, yang terjadi biasanya filsafat menjadi hamba ilmu tertentu, dan terlepas dari kontak kehidupan seharian. Akhirnya filsafat kehilangan bobotnya sendiri, dan tidak memberikan kebijaksanaan hidup, sebagaimana menjadi hal utama di dalam filsafat.

12 13

Anthony Quiton, Ibid., hal. 345. Passamore, John. Philosophy di dalam The Encyclopedia of Philosophy, ed. Paul Edwards, vol. 6, Macmillan Publishing Co., Inc. & The Free Press, New York, hal. 219.



Kalau kita masih berpegang bahwa filsafat tidak boleh mengeksklusikan sesuatu pun dari pengalaman, maka kedua tujuan tersebut harus tetap dirangkulnya. Dari satu pihak, filsafat harus selalu mengarahkan diri pada pengertian pengalaman manusiawi, sampai pada pengertian yang mendalam di dalam pemahaman yang utuh dan seimbang. Dari lain pihak, yang merupakan konsekuensi dari butir pertama, filsafat tidak boleh mengabaikan ilmu-ilmu lain. Filsafat harus melihat dengan kritis hasil dan proses yang terjadi dalam ilmu-ilmu lain, tetapi tidak hanya itu. Kedua, tujuan bisa dimengerti dalam kaitannya dengan sifat hasil tersebut. apakah hasilnya merupakan suatu deskripsi, preskripsi, atau rekonstruksi rasional.14 Deskripsionis berusaha untuk tidak memihak pada salah satu penalaran yang lain. Tugasnya hanyalah melukiskan bagaimana ahli-ahli di bidang maing-masing bernalar, misalnya bagaimana seorang ahli seni atau teolog atau sejarawan bernalar. Sebenarnya, penyelidikan kritis ini merupakan reaksi terhadap rasionalisme klasik, yang umumnya memberikan preskripsi mengenai bukti atau penjelasan atau pengetahuan yang sejati. Namun, kenyataan menjadi sangat sulit bagi deskripsionis untuk melakukan penelitian yang seutuhnya setia tanpa memberikan penelitian. Sebab untuk melakukan penelitian, dia harus menggunakan metode tertentu, dan metode tersebut harus diyakininya sebagai metode yang paling baik diantara kemungkinan-kemungkinan yang ada. Maka muncullah jenis ketiga yang disebut rekonstruksi rasional. Dari satu pihak, serorang rekonstruksionis menggunakan patokannya sendiri di dalam menentukan mana yang bisa disebut rasional atau irasional, sebagaimana dilaksanakan oleh preskripsionis. Namun dari lain pihak, dia tidak akan sewenang-wenang menyingkirkan penalaran-penalaran yang umumnya diakui atau menentukan secara a priori dan tegas mengenai syarat-syarat rasionalitas. 14

Ibid, hal. 224-225.



Sebuah Usulan Setelah kita berbicara mengenai obyek dan tujuan filsafat, serta bertolak dari pertimbangan-pertimbangan di atas, di sini diusulkan sebuah metode penelitian filsafat.15 Tentu saja tidak diasumsikan, bahwa usulan ini merupakan satu-satunya metode penelitian filsafat yang valid. Kita telah menyinggung di atas16 soal peranan konsep sebagai alat kreatif yang digunakan pikiran untuk menyesuaikan diri dengan pengalaman yang berkembang tersebut di dalam rangka menangkap makna pengalaman tersebut. Tetapi konsep bukanlah sesuatu yang kosong, yang dapat didefinisikan dan tinggal menerapkannya secara langsung terhadap pengalaman. Disinilah peranan “penelitian filsafat”, yaitu sebagai kegiatan yang diarahkan untuk membentuk konsep-konsep dan sekaligus untuk menguji kembali konsep-konsep tersebut di dalam penerapannya di dalam pengalaman. Lalu bagaimana konsep tersebut bisa dibentuk dan di cek kembali? Langkah pertama adalah mengadakan penelitian untuk mengamati, baik pengalaman langsung, maupun pendapat-pendapat yang telah ada. Berhubung dengan “penelitian” aliran-aliran filsafat atau pendapatpendapat yang telah ada, kita harus setia terhadap pendapat yang berkembang di sana, bukannya menginterpretasi demi maksud kita sendiri, entah untuk mendukung pendapat kita, atau pun untuk meruntuhkan pendapat yang ada. Sebab pada tahap ini kita berlaku sebagai seorang sejarawan filsafat, yang tidak boleh membelokkan maksud utama dari pemikiran atau aliran yang bersangkutan. Sedangkan kalau menganalisis pengalaman langsung, kita juga mempergunakan konsep yang telah ada. 15

16

Usulan ini didasarkan pada penelitian filsafat sebagai usaha untuk membentuk suatu sistem ide-ide umum yang bersifat koheren, logis, niscaya, yang dengannya setiap unsur pengalaman dapat ditafsirkan (Whitehead, Alfred North, Process and Reality, Corrected edition, ed. David Ray Griffin and Donald W. Sherburna, The Free Press, New York, 1979, hal. 3). P. 4 alinia 4.



Atau kita bisa menggabungkan konsep-konsep atau pendapat-pendapat yang ada, dan kita gunakan untuk menginterpretasi pengalaman. Tetapi kita telah melihat diatas, bahwa deskripsi atau laporan murni, baik itu mengenai pengalaman maupun pendapat-pendapat yang telah ada, kiranya tidak bisa dilaksanakan secara bersih dan murni tanpa keterlibatan subyektivitas kita sendiri. Maka mau tidak mau di dalam mengadakan pengamatan, secara langsung maupun tidak langsung, kita telah menggunakan patokan kita sendiri dengan mengadakan seleksi bahan, baik konsep maupun pengalaman yang dijadikan obyek penertian. Maka interpretasi yang secara implisit terlibat ini perlu diangkat kepermukaan kesadaran diri yang eksplisit. Dengan kata lain, di dalam pengamatan tersebut dicoba untuk merumuskan konsep yang tepat untuk menangkap arti pengalaman yang dimaksud pendapat-pendapat yang ada. Penangkapan ini hanya bisa terjadi dengan adanya “insight”. Insight ini tidak sama dengan proses induksi, tetapi diandaikan oleh induksi. Induksi tidak terjadi hanya dengan mengadakan penjumlahan secara kuantitatif mengenai pengalaman atau pun pendapat-pendapat yang ada. Bahkan insight, secara teoritis, bisa terjadi hanya dengan satu pengalaman atau satu pendapat. Tentu saja insight ini mengandaikan suatu sikap kritis yang bisa menilai pengalaman dan pendapat yang ada. Sifat kritis insight inilah yang mendasari penangkapan pengalaman di dalam konsep. Tetapi kita juga telah melihat, bahwa pengetahuan kita mengenai hakekat selalu berkembang. Maka kita pun tidak bisa memberikan suatu preskripsi mengenai apa yang seharusnya terjadi. Di dalam pengalaman hidup bersama, kita hanya bisa meyakini kebenaran berdasarkan gejala-gejala yang mendukung ke arah itu. Tidak ada kepastian yang mutlak bisa dipegang dan dipertahankan. Maka berhubungan dengan pengalaman, yang menurut istilah Marcel disebut “misteri”, hanya dialog yang terusmenerus dengan sikap terbuka dan keberanian untuk mencari bersama akan menuju kependekatan kepada kebenaran. Untuk itu, konsep yang kita hasilkan pun harus selalu terbuka terhadap perkembangan lebih



lanjut, bukannya dipatokan di dalam suatu definisi yang mutlak dan mati. Langkah kedua, konsep yang ditangkap dari pengalaman tertentu atau pendapat tertentu tersebut kemudian diperluas jangkauan penggunaannya. Dengan demikian konsep tertentu bisa mencakup pengalaman yang semakin kaya dan semakin luas. Tetapi proses generalisasi tersebut tidak begitu saja dapat dilakukan dengan sembarang pengalaman atau pendapat. Di sini diperlukan kreativitas pribadi di dalam menyusun sebuah sistem konsep secara tentatif. Sistem konsep tersebut diupayakan agar konsepkonsep yang terangkum bersifat koheren dan konsisten secara logis. Di sinilah peranan deduksi. Dengan demikian deduksi tidak digunakan untuk memahami pengalaman langsung dengan menariknya dari konsep, tetapi deduksi digunakan untuk menguji koherensi dan konsistensi logis darikonsep-konsep yang ada di dalam sistem tersebut. Langkah ketiga adalah menguji konsep-konsep dari sistem tersebut di dalam aplikasinya bagi pengalaman. Dengan terbentuknya suatu sistem konsep tidak berarti tugas filsafat telah selesai dan tinggal menerapkan konsep-konsep tersebut di dalam pengalaman. Setiap kali kita menggunakan konsep-konsep yang ada, kita pun harus selalu bersikap kritis dengan selalu bertanya, apakah memang konsep-konsep tersebut tepat dan berguna? Konsep-konsep yang ada harus bisa menerangkan dengan tepat pengalaman-pengalaman. Sebab kalau pengalaman tidak dapat diterangkan dengan konsep-konsep yang ada dan masih harus ‘import’ konsep dari sistem lain, maka sistem tersebut perlu diragukan kelengkapannya. Selanjutnya, tidak boleh ada satu konsep pun dari sistem tersebut yang tidak berfungsi di dalam menerangkan pengalaman dapat langsung disingkirkan dan dianggap tidak berguna. Kegiatan menguji konsep-konsep tersebut harus dijalankan terus-menerus. Dengan demikian sistem konsep tersebut selalu bersifat tentatif, yang artinya selalu bisa dikoreksi dan diperkaya lagi. Sebab pengalaman dan pengetahuan kita mengenai pengalaman pun selalu berkembang. Kentungan, 19 Juni 1991



Daftar Pustaka Dewey, John. The Quest for Certainty: a Study of The Relation of Knowledge, Minton. Balch and Co., New York, 1929. Gallagher, Kenneth T.. The Philosophy of Knowledge, Fordham University Press, New York, 1982. Hamlyn, D.W., History of Epistemology, dalam Encyclopedia of Philosophy, vol. 3. ed. Paul Edwards, Macmillan Publishing Co., Inc & The Three Press, New York, 1967. Hussrel, Edmund. Ideas, General Introduction to Pure Phenomenology, trans. W.R Royoe Gibson, Colier Books, New York, 1962. James, William, Pragmatism and The Meaning of Truth, Harvard University Press, Cambridge, Massachusettes, 1975. Passamore, John, Philosophy di dalam The Encyclopedia of Philosophy. ed. Paul Edwards, vol. 6, Macmillan Publishing Co., Inc. & The Free Press, New York. Quinton, Anthony. “Knowledge and Belief” di dalam The Encyclopedia of Philosophy vol. 4. Whitehead, Alfred North, Process and Reality, Corrected edition. ed. David Ray Griffin and Donald W. Sherburna, The Free Press, New York, 1979. The Harper Dictionary of Modern Thought. ed. Alan Bullock and Oliver Stallubrass, Harper and Row Publisher, New York, 1977.



METODOLOGI PENELITIAN FILSAFAT OLEH : TOETI HERATY NOERHADI

D

engan menyelenggarakan acara dengan pokok metodologi penelitian filsafat, secara gamblang telah dinyatakan, bahwa filsafat itu adalah suatu ilmu. Bagi mereka yang memang telah berkecimpung dalam bidang filsafat di berbagai lembaga Pendidikan Tinggi, hal ini tentu tidak diragukan lagi, apalagi bila kegiatan filsafat berlangsung dalam suasana dan sistim tertutup suatu masyarakat filsafat homogen, serta tidak dikaitkan pada disiplin atau ilmu lain. Untuk berfilsafat tanpa berdialog dengan ilmu-ilmu, di Indonesia agaknya merupakan suatu kemewahan, karena beberapa pertimbangan sebagai berikut : 1. kenyataan bahwa filsafat sebagai suatu disiplin ilmu baru memperoleh tempat kemudian diantara ilmu-ilmu lain, dan sebagai pendatang baru harus mempertanggung jawabkan kehadirannya. 2. bila kemudian menentukan ciri khas filsafat dan memberi penjelasan dengan membedakan apa yang disebutkan obyek materiil dan obyek formil, langsung akan mengakui bahwa filsafat sebenarnya hanya memiliki obyek formal, ialah pendekatan



sistematis dan radikal menelusuri sebab dan akibat yang mendasar dan terakhir (ultimate). 3. harus pula mempertanggungkan jawabkan “intervensi” pada ilmu-ilmu lain, karena filsafat dapat memilih obyek materiil atau sasaran kajian refleksif suatu tema khusus yang telah diklaim ilmu lain. t ditantang terus-menerus untuk menunjukkan dimana letak manfaat, filsafat, sedangkan bila menyatakan bahwa ciri khas justru terletak pada sifat tanpa berpamrih manfaat, semakin tampak citra angkuh - elitis, dalam posisi yang bahkan tampaknya terkucil secara esoterik atau parasitik. Mungkin tampaknya kontradiktif bahwa menganut dan memproklamirkan filsafat memerlukan pendekatan pada ilmu-ilmu, sambil menunjukkan bahwa sambil melangsungkan penelusuran mendasar, titik-titik persinggungan atau wilayah tumpang tindih dengan ilmu-ilmu dapat dijelaskan. Dalam sejarah perkembangan ilmu-ilmu, filsafatlah yang dianggap menjadi sumber, ilmu-ilmu, sedangkan kini filsafat kami anggap perlu berdialog dengan ilmu-ilmu. Suatu kerendahan hati diperlukan untuk tidak berkonfrontasi dengan ilmu-ilmu, menerima sementara temuan-temuannya, untuk kemudian mendudukkannya lewat refleksi kritis dalam suatu konteks pemahaman yang lebih luas dengan refleksi atas asumsi dan konsep-konsep dasar. Ini dapat dilakukan oleh filsafat, tapi ini pula tentu dilakukan oleh para ilmuwan sendiri, meskipun hanya oleh ilmuwan-ilmuwan partisan yang berminat pada kajian teoritis-kritis.

Metodologi dan Metode Metodologi perlu dijelasakan dahulu kedudukannya, baik dalam filsafat maupun dalam ilmu, tetapi secara etimologis dikembalikan pada istilah meta dan hodos, yang berarti melalui dan jalan, jadi berarti jalan



yang dilalui. Metoda ialah kegiatan yang dilaksanakan atau cara kerja yang ”semestinya” ditempuh pada setiap bidang ilmu, sesuai suatu sistim aturan tertentu. Dalam ilmu-ilmu obyek atau bidang penelitian menuntut metode yang sesuai, sehingga kita langsung akan dihadapi ketrampilan-ketrampilan atau teknik-teknik khusus yang diterapkan dan dikembangkan dalam suatu ilmu tertentu. Pada tempatnya disini disebut, bahwa suatu ilmu ditentukan terutama oleh metodanya. Kini kita beralih pada metodologi, dan dibandingkan dengan metode langsung tampil perbedaan dengan adanya pengertian (logos berarti kata atau teori) menunjuk pada teori tentang metode, khususnya metode yang ditempuh dalam ilmu-ilmu. Metodologi yang berarti teori tentang metode ini merupakan suatu bidang filsafat khususnya merupakan bagian dari logika. Pernyataan bahwa metodologi merupakan bagian dari logika mungkin tidak diterima luas, tetapi perlu difahami dalam arti menerima konsekuensinya, bahwa metodologi bersifat refleksi, teoritis tentang metode. Dengan demikian lebih cenderung merupakan ke aturan umum dan bukan teknik atau ketrampilan khusus yang dapat dianggap berlaku untuk semua ilmu (monometodologi) atau berbeda untuk berbagai kelompok ilmu (plurimetodologi) Satu catatan yang patut diperhitungkan ialah, bahwa metodologi ini kurang tampil peranannya selama kita meng”konsumsi” ilmu, yang berarti bahwa kita dalam proses edukatif berusaha memahami dan menyerap produk-produk keberhasilan ilmu. Bila kemudian kita dari konsumsi beralih pada partisipasi dalam pengembangan ilmu, dalam arti mulai menerapkannya misalnya dalam penelitian, metodologi, atau teori tentang metode, baru dipermasalahkan. Maka itulah penggunaan sebutan metodologi penelitian lebih umum dari pada sebutan metodologi ilmu. Pada filsafat ilmu pengetahuan sebagai kegiatan refleksi tentang ilmu pengetahuan, titik berat adalah pemahaman ciri-ciri khas ilmu pengetahuan diantara kegiatan-kegiatan lain, dan dengan demikian



berorientasi eksternal. Metodologi lebih berorientasi internal, karena mengadakan refleksi tentang cara kerja sesuai aturan-aturan yang harus diterapkan. Dengan demikian dapat difahami bahwa metodologi khusus bertumpu pada ciri pertama diantara ketiga ciri khas ilmu pengetahuan ialah 1) sifatnya yang teruji kebenarannya, 2) sifat sistematis dan 3) intersubyektivitas ilmu. Ciri pertamalah yang langsung terkait dengan metodologi (Beerling, 1986).

Metodologi Ilmu dan Metodologi Filsafat. Secara singkat refleksi perihal metode yang ditempuh berbagai ilmu dapat dirangkum dalam suatu bagan yang mencoba meletakkan metode empat kelompok ilmu secara berdampingan ialah ilmu-ilmu formal, kemudian ilmu-ilmu alam, ilmu-ilmu hayati, dan ilmu-ilmu sosial budaya, yang ketiganya masuk cakupan ilmu-ilmu empiris. Metodologi yang menjadi aturan umum ialah proses yang disebut siklus empiris dengan urutan observasi, induksi, deduksi, ujicoba, dan evaluasi. Urutan ini segera dapat disanggah dengan dengan catatan Hempel yang membedakan pendekatan induktivis sempit dan luas, karena induksi murni tidak terjadi, tetapi selalu didahului oleh unsur teori dalam keterkaitan teori dan empiri. Apalagi dengan berbagai gagasan Popper peranan induksi harus dihadapi dengan lebih kritis. Dalam metodologi ilmu gagasan-gagasan ini sudah diterima secara luas, sehingga siklus empiris De Groot dapat ditinggalkan, karena misalnya siklus menurut Wallace dianggap lebih tepat melalui tahap masalah-teori-hipotesaobservasi-generalisasi-evaluasi. Dengan mengetengahkan sekilas beberapa masukan metodologi ilmu-ilmu tersebut diatas, segera kita kini beralih ke metodologi filsafat yang langsung dapat dirangkum pula bertolak dari gabunganan antara disatu fihak metoda-metoda filsafat dengan metodologi penelitian filsafat ( A . Bakker).



Metode-Metode Penelitian Filsafat

Model

1. Metode Kritis Sokrates-Plato

1.a. Penelitian Historis: Faktual mengenai tokoh

2. Metode Intuitif: Platonis, Bergson

1.b. Penelitian Historis: faktual mengenai naskah atau buku

3. Metode Skolastik: Thomas Aquinas

1.c. Penenlitian Historis: faktual mengenai teks naskah

4. Metode Geometris: Rene Descarates

2. Penelitian mengenai suatu konsep sepanjang sejarah.

5. Metode Eksperimentil: David Hume

3. Penelitian Komparatif, eksistensialisme

6. Metode Kritis-Transendental: Immanuel Kant, Neo-Skolastik

4. Penelitian pandangan filosofis di lapangan

7. Metode Dialektis: Georfe Wilhelm, Friedrich Hegel.

5. Penelitian Sistematis-Refleksif

8. Metode Fenomenalogis

6.a. Penelitian mengenai masalah aktual

9. Metode analitika bahasa: Ladwig Wittgenstein

6.b. Penelitian mengenai teori ilmiah

Rangkuman diatas belum lengkap tanpa menyebutkan unsur-unsur metodis umum yang disebutkan pada penerapan 9 metoda tersebut diatas ialah: interpretasi, induksi, deduksi, koherensi intern, holistika, kesinambungan historis, idealisasi, komparasi, heoristika, bahasa inklusif atau analogal, dan deskripsi. Yang dapat dianggap sangat menarik adalah loncatan dari metodologi ilmu ke metodologi filsafat. “Siklus empiris diberi bentuk tersendiri



dalam penelitian filsafat, berhubungan dengan sifat-sifat obyek formal yang istimewa, yaitu manusia”.(A .Bakker, Metode-Metode Filsafat,hal 43). Penjelasan ini meletakkan jembatan antara ilmu-ilmu empiris dan filsafat yang lebih nyata lagi dalam rumusan tentang filsafat sebagai “eksplisitasi tentang hakekat realitas yang ada dalam kehidupan manusia. Itu meliputi hakekat manusia itu sendiri, hakekat semesta, bahkan hakekat Tuhan, baik menurut segi struktural, maupun menurut segi normatifnya”. (A. Bakker, Metode-Metode Filsafat) Yang sebaiknya kini direnungkan ialah, bahwa bangunan metodologi penelitian filsafat tersebut diatas bertolak dari rumusan filsafat yang sekaligus telah menentukan obyek materialnya ialah hakekat realitas dalam kehidupan manusia. Kini akan tampak suatu kontras dengan tanggapan lain oleh seorang ahli logika Bochenski yang membahas metoda-metoda filsafat dalam ilmu pengetahuan. Bila menganggap bahwa operasionalisasi filsafat harus memperhitungkan dialog dengan ilmu-ilmu, maka suatu titik tolak Bochenski adalah, bahwa metodologi dilihatnya sebagai bagian dari logika. Sedangkan pada uraian lain, metodologi lazim dianggap bagian dari epistemologi, serta bagian dari filsafat ilmu. Kesimpulan yang dapat ditarik adalah bahwa metodologi ini menemukan tempatnya, baik sementara dalam epistemologis secara umum (sebagai teori pengetahuan), kemudian dalam filsafat ilmu pengetahuan (sebagai ulasan tentang ilmu pengetahuan), maupun dalam logika, karena kembali pada aturan yang harus dapat dipertanggung jawabkan sebagai sistim logis). Pendekatan Bochenski tentang metodologi selanjutnya ialah bahwa dari sudut pandang filsafat metoda dapat dibedakan menurut : 1. metode fenomenologis: metoda memperoleh pengetahuan langsung, yang merupakan metoda deskripsi gejala kesadaran hasil suatu pencerapan intuitif.



2. metode semiotik: metoda penggunaan tanda-tanda sebagai suatu sistim untuk menyatakan pengetahuan sebagai kegiatan bersama dalam bahasa ilmiah. 3. metoda axiomatik: metoda deduktif penarikan kesimpulan sebagai pernyataan-pernyataan yang, bertolak dari pernyataan awal atau axioma. 4. metoda reduktif: metoda reduktif dibedakan dari metoda deduksi, dan mencakup baik metode induksi maupun metode historis. Pada metodologi Bochenski pembedaan ini berlangsung dengan menganggap, bahwa metodologi merupakan sub bagian dari logika, dan pembedaan metoda itu didasari peranan logika yang berbeda. Untuk memahami pembedaan diatas secara lebih cermat diperlukan logika yang lebih luas. Disamping itu telah dijabarkan pula suatu terminologi atau peristilahan yang dikembalikan pada prinsip-prinsip dasar filsafat, sehingga penggunaan bahasa dikembalikan pada: 1. Peristilahan ontologis: menganggap dunia terdiri dari bendabenda dengan sifat sifat, hubungan antara benda-benda tersebut. 2. Peristilahan psikologis: pengetahuan berlangsung sebagai proses psikologis individual mengenai suatu keadaan yang digambarkan. 3. Peristilahan epistemologis: menyangkut kebenaran atau ketidakbenaran sebagai kriterium keabsahan pengetahuan. Dengan menyebutkan prinsip-prinsip pembedaan dalam peristilahan demikian diharapkan kejelian selalu, bahwa pengetahuan adalah proses yang berlangsung psikologis individual tentang keadaan dunia yang digambarkan lewat sistem-sistem tanda yang menyatakan suatu, yang dinilai menurut kriteria kebenaran dan keabsahan.



Dalam dialog filsafat dengan ilmu-ilmu, ketentuan-ketentuan Bochenski ini dapat membantu untuk menelusuri masalah-masalah dalam berbagai ilmu kembali pada dasar-dasar baik ontologis, epistemologis, logis, dan aksiologis. Yang terakhir ini memang belum “disentuh” dan menjadi menarik, terutama dalam ungkapan Feyerabend yang mengembalikan kegiatan ilmu pada masalah kesejahteraan dan kemanusiaan, dan dalam konteks tersebut menyatakan:”Science is an essentially anarchicent enterprise: theoretically anarchism is more humanitarian and more likely to encourage progress than its law-and order alternatives”.

Penutup Beberapa butir perlu disebutkan untuk menutup uraian diatas ialah: 1. Mengingat berbagai penelitian filsafat di Indonesia sebaiknya dengan ilmu-ilmu atau upaya untuk pengkajian pandangan hidup tradisional di Indonesia secara metodis-sistematis. 2. Materi metodologi penelitian filsafat dalam buku A.Bakker memberikan model-model penelitian yang sangat membantu untuk penelitian filsafat, terutama karena penelitian bersifat baru dan mulai dilaksanakan pada penulisan skripsi para mahasiswa filsafat. 3. Metodologi penelitian tersebut bertolak dari pengertian filsafat yang mengambil obyek formal maupun material hakekat manusia, hal mana merupakan suatu yang masih dapat dipertanyakan. 4. Suatu alternatif dalam pendekatan dikemukakan dengan contoh Bochenski, sehingga metodologi tidak saja harus didudukkan dalam epistemologi dalam filsafat Ilmu pengetahuan, tetapi sebagai bagian dari bidang logika. Metodologi adalah teori tentang metoda, dan merupakan refleksi atas penerapan prinsipprinsip logis dalam metoda berbagai ilmu



5. Sesuai dengan pembagian filsafat menurut ontologi-epistemologi telah dijabarkan terminologi Bochenski yang menggarisbawahi kejelian metodologi dalam ilmu pengetahuan yang lewat sistem tanda-tanda bahasa ilmiah menggambarkan suatu dunia atau keadaan (Sachverhalt) menurut kriteria keabsahan atau kebenaran. 6. Sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan aksiologis ialah kesejahteraan dan kemanusiaan oleh Feyerabend dikemukakan suatu sikap fleksibilitas terhadap metoda sesuai dengan gagasan karyanya dengan judul “Against Method”.

Daftar Pustaka Beerling, Kwee,Mooij,Van Peurspn, “Pengantar Filsafat Ilmu”, Penerbit Tiara Wacana, Yogyakarta, 1986. Bakker, Anton, Metode-metode Filsafat, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986. ----------------, Drs Achmad Charris Zubair, Pustaka Filsafat, Yogyakarta, 1990. Feyerabend, Paul, “Against Method” Verso-London-New York, 1990. I.

M.Bochenski,” Wijsgerige methoden in the Wetenschap”,Utrecht-Aula-Boeken, Antwerpen, 1961.

modern

Paul Feyerabend, Thomas Kuhn, Imre Lakatos, Margaret Masterman, Karl Popper, Stephen Toulmin, John Watjins, L.Pearce Williams, “Criticsm and the growth of Knowledge”, Cambridge University Press, Cambridge, 1987. Wallace, Walter Jakarta,1990.

L.,Metoda Logika Ilmu Sosial, Bumi



Aksara

METODE PENELITIAN FILSAFAT: BELAJAR DARI FILSUF ALFRED N. WHITEHEAD OLEH: J. SUDARMINTA

S

etiap ilmu tumbuh dan berkembang berkat adanya penelitian. Hal yang sama berlaku pula untuk ilmu filsafat. Kendati metode penelitian dalam ilmu filsafat memiliki ciri-ciri umum keilmiahan yang relatif berlaku pula dari ilmu-ilmu yang lain, filsafat juga memiliki ciri khas yang membedakannya dari ilmu yang lain. Ciri khas yang membedakan suatu ilmu dari ilmu yang lain tidak terletak pada pertama-tama pada obyek material ilmu tersebut, melainkan lebih-lebih pada obyek formal atau metode kerjanya yang khas. Salah satu ciri khas yang membedakan ilmu filsafat dari ilmu-ilmu yang lain dari segi metode penelitiannya adalah keanekaragamannya. Kalau ilmu-ilmu lain, khususnya ilmu-ilmu empiris-eksperimental seperti sains, metodologi kerjanya cenderung bercorak tunggal, ilmu filsafat, dari hakekatnya sendiri bersifat majemuk. Karena tidak mungkin memaparkan secara rinci semua metode kerja filsafat yang sampai sekarang ada, maka pada kesempatan ini, untuk sekedar menyumbangkan gagasan tentang bagaimana penelitian filsafat dapat dan sebaiknya dilakukan, dalam makalah ini akan ditawarkan salah 17 18

Makalah untuk disajikan pada symposium Metodologi Penelitian Filsafat, pada tanggal 27-28 Juni 1991, di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Guru Besar Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.



satu model. Model yang akan penulis tawarkan disini memuat beberapa prinsip pokok yang inspirasi dasarnya penulis gali dari model berfilsafat sebagaimana dikemukakan oleh filsuf Alfred North Whitehead.

Pengalaman sebagai Sumber dan Muara Penelitian Prinsip metodis pertama dalam penelitian filsafat menurut model Whitehead adalah menjadikan pengalaman sebagai sumber dan muara penelitian filsafat. Seperti pernah dia nyatakan: “The true methode of discovery is like the flight of an airplane. It starts from the ground of particular observation: it makes a flight in the thin air of imaginative generalization; and it again lands for renewed observation rendered acute by rational interpretation.” (Whitehead 1979; hal. 5) Secara umum prinsip pertama ini sebenarnya berlaku pula untuk semua ilmu, khususnya ilmu-ilmu empiris, dan tidak dapat dikatakan merupakan metode yang khas berlaku untuk penelitian filsafat. Semua ilmu, khususnya yang empiris, selalu mendasaran kajiannya pada data pengalaman manusia yang diperoleh melalui observasi empiris. Peneliti pada semua ilmu induktif mendasarkan gejala-gejala partikular yang diamati dalam pengalaman, mencoba merumuskan teori, atau semacam hukum umum yang dapat menjelaskan gejala-gejala tersebut. Observasi guna memperoleh data selalu dilakukan oleh semua ilmu empirisn baik pada awal penelitian untuk merumuskan masalah dan mengajukan hipotesisn maupun pada akhirnya untuk melakukan pengujian empiris (entah itu melalui prinsip verifikasi maupun falsifikasi) atas hipotesis yang telah diajukan. Kalau prinsip pertama ini dalam arti tertentu juga berlaku untuk penelitian dalam ilmu-ilmu lain, lalu dimanakah letak kekhasan bagi penelitian filsafat? Kekhasan prinsip pertama tersebut bagi penelitian filsafat terletak pada pengertian pengalaman itu sendiri dan semacam generalisasi imajinatif yang dicoba untuk dirumuskannya. Pengertian



pengalaman ontologis penelitian filsafat mempunyai cakupan yang jauh lebih luas dan lebih mendalam dari pada pengertian pengalaman sebagai obyek ontologis penelitian ilmu-ilmu khusus seperti sains misalnya. Pengalaman dalam perspektifnya sebagai obyek ontologis penelitian sains hanya terbatas pada apa yang dapat diamati dan dicerap secara empiris melalui panca indera manusia. Sedangkan sebagai obyek ontologis penelitian filsafat, pengertian pengalaman mencakup seluruh realitas yang ada sejauh yang dapat dialami, dipikirkan, dan direfleksikan oleh akal budi manusia. Pengalaman dalam pengertian Whitehead selalu menyangkut keseluruhan kenyataan yang terlibat dalam proses terbentuknya apa yang dia sebut “actual entities”, yakni satuan-satuan aktual sebagai gumpalan pengalaman yang memadat secara perspektival seluruh kenyataan yang ada. Whitehead memang seorang empiris. Filsafat yang sejati baginya tidak dapat melulu bersifat spekulatif, tetapi harusah bertitik tolak pada pengalaman empiris, dan kemudian diuji kebenarannya berdasar sesuai tidaknya sistem pemikiran umum yang dirumuskannya dengan pengalaman empiris. Akan tetapi empirisme Whitehead tidak bersifat atomistik dan sensasionalistik, seperti empirisme John Locke ataupun David Hume. Empirisme Whitehead adalah empirisme radikal sebagaimana dimengerti oleh William James. Ciri khas empirisme radikal adalah pemahamannya tentang pengalaman secara holistik. Kenyataan pertama-tama dialami secara utuh atau menyeluruh dengan segala kekaburan kompleksitasnya, dan baru kemudian ada perincian lebih lanjut, guna memperoleh kejelasan dan ketetapan pengertian. Pernyataan berikut sedikit banyak menjelaskan hal ini: “Our datum is the actual world including ourselves; and this actual world spreads itself for observation in the quise of the topic of our immediate experience. The elucidation of immediate experience is the sole justification for any thought; and the starting-point of thought is the analytic observation of components of this experience. But we are not conscious of any clear-cut complete analysis of



immediate experience, in terms of the various details which comprise its definiteness. (Whitehead, 1979; hal. 4) Radikalitas empirisme Whitehead secara eksplisit terungkap dalam teori persepsinya yang dia sebut “causal efficacy” atau ”causal prehension” yang merupakan bentuk pencerapan secara paling dasariah atas dunia sekitar. (Whitehead, 1979; hal. 58, 121, 162-163). Whitehead membedakan tiga jenis persepsi. Persepsi berdasarkan pencerapan panca indera, yang oleh Whitehead disebut persepsi dalam bentuk “presentational immediacy”, hanyalah salah satu bentuk persepsi dari ketiga jenis yang ada (Whitehead, 1979; hal. 61-65, 123-127, 171-173). Yang dialami melalui persepsi dalam bentuk “presentational immediacy” tidak menyediakan diri bagi panca indera manusia. Empirisme atomistik dan sensasionalistik dari para empirisis Inggris menyamakan persepsi dengan persepsi inderawi atau “presentational immediacy”. Padahal, menurut Whitehead, jenis persepsi ini merupakan yang lebih dasariah, yakni persepsi dalam bentuk “causal efficacy”. Dalam persepsi macam ini, di mana obyek secara kausal dan intuitif dialami oleh subyek yang mencerapnya, obyek menyatakan diri dan ditangkap oleh subyek masih dalam keutuhannya dengan segala kekaburan dan kompleksitasnya, serta belum terdifferensiasi secara jelas dan tegas. Jenis persepsi yang ketiga oleh Whitehead disebut persepsi dalam bentuk “symbolic reference” atau “symbolic transference” (Whitehead, 1979; hal. 81, 121, 178-183). Jenis persepsi ini adalah yang lazim kita mengerti, dan merupakan perpaduan yang merupakan persepsi dalam bentuk “causal efficacy” dan “presentational immediacy”.19 19

Sebagai ilustrasi untuk mengerti jenis persepsi ketiga ini dapat diambil contoh berikut. Pengalaman saya berhadapan dengan benda padat, persegi empat, berkaki empat, dan berwarna coklat, membuat saya menyadari dan membuat pernyataan “ini sebuah meja”. Kesadaran dan pernyataan tersebut tidak hanya saya dasarkan atas pengamatan inderawi saja (baik itu menyangkut warna, bentuk, bau, halus, atau kasarnya benda itu), tetapi juga mengandaikan seluruh pengalaman masa lalu, baik dari benda di hadapan saya maupun dari diri saya sendiri. Kata “meja” merupakan simbol linguistis yang menunjuk atau “mereferensi” pada realitas tertentu yang saya alami di hadapan saya. Bahwa kata “meja” merupakan simbol linguistik yang menunjukan atau “mereferensi” pada realitas



Dengan menekankan pentingnya persepsi dalam bentuk “causal efficacy” Whitehead dapat dikatakan juga seorang intuisionis, seperti Bergson misalnya. Memang, berbeda dengan intuisionisme Bergson yang bernada anti-intelektualistik, intuisionisme Whitehead dicoba diadukan dengan rasionalisme. Ia menolak pandangan Bergson, bahwa akal budi dengan abstraksi formulanya cenderung membuat cacat (distortion) kenyataan yang kita tangkap secara utuh dengan intuisi. Kenyataan yang ditangkap secara utuh dengan segala kekaburan dan kompleksitasnya melalui intuisi haruslah dapat dijelaskan (kendati tidak pernah secara sungguh memadai) oleh akal budi. Untuk menghindarkan diri dari kekeliruan menyamakan kenyataan yang ada dengan apa yang dapat diketahui, Whitehead berpendapat, bahwa pengalaman itu selalu jauh lebih kaya daripada pengetahuan. Kalau kenyataan disamakan dengan apa yang dapat diketahui oleh manusia, dan yang dapat diketahui secara lebih sempit disamakan dengan apa yang tentangnya manusia dapat mendapatkan gagasan yang jelas dan tegas, maka kenyataan akan adanya yang Ilahi, adanya nilai-nilai, adanya arah, makna dan tujuan hidup, yang secara obyektif dialami manusia, akan tersingkir atau dianggap sebagai gejala subyektif belaka. Sejak Descartes dengan cogito-nya, yang memakai ada tidaknya idea atau gagasan yang jelas dan tegas (idea clara et distinct) sebagai tolak ukur apakah sesuatu itu sungguh nyata atau sekedar khayalan, filsafat modern telah menjadi berat sebelah oleh dominasi epistemologi. Apa yang dianggap nyata adalah apa yang dapat secara jelas dan tegas dapat diketahui, entah oleh intuisi akal budi (sebagaimana yang dipahami oleh rasionalisme), entah berdasarkan pengamatan inderawi (sebagaimana yang dipahami oleh empirisisme). Apa yang tidak dapat secara jelas dan tertentu yang saya hadapi sekarang, itu merupakan produk sosio-budaya (bahasa) saya. Dalam lingkungan sosio-budaya lain, realitas yang sama disebut dengan kata yang berbeda. Demikianlah, masa lalu beserta lingkungan hidup langsung saya dan orang yang saya berkomunikasi ikut terlibat dalam pernyataan di atas. Begitu pula masa lalu beserta lingkungan hidup langsung benda yang saya sebut “meja” itu, karena tidak semua benda yang saya sebut “meja” adalah persis sama dengan meja yang saya maksud.



tegas ditangkap oleh intuisi akal budi, ataupun yang tidak bisa diamati secara inderawi, dianggap tidak nyata, tidak obyektif, dan sekedar suatu penetapan sewenang-wenang oleh subyek. Dalam pandangan macam ini, kenyataan yang samar-samar dan tidak dapat sepenuhnya dibuat eksplisit, seperti kenyataan misteri, kenyataan yang bersifat ideal, dan masih merupakan kemungkinan (what is possible and potential), belum dianggap nyata. Padahal kenyataan Tuhan, kenyataan nilai-nilai, kenyataan makna, arah dan tujuan hidup manusia sangatlah erat terkait dengan hal-hal tersebut. Demikianlah, filsafat yang mau setia terhadap keutuhan dan kekayaan pengalaman dengan segala kompleksitasnya semestinya bersikap kritis terhadap pandangan macam itu. Kalau dinyatakan di atas bahwa prinsip metodis pertama penelitian filsafat semestinya berpangkal dan bermuara pada pengalaman, arti “pengalaman” disitu sekali lagi secara ontologis menyangkut seluruh kenyataan yang ada (dan menjadi), dan secara epistemologis tidak boleh dibatasi hanya pada hal-hal yang dapat diketahui secara alamiah dengan bukti-bukti empiris. Kenyataan yang ada (dan masih dalam proses menjadi) adalah lebih luas dari pada yang dapat diungkapkan secara logis dalam bahasa yang jelas dan lugas, apalagi hanya dibatasi pada apa yang dapat dikuantifikasi dalam bentuk angka-angka. Memang, agar supaya dimensi empiris dan dan induktif kajian filsafat tetap dijaga, sehingga teori atau kerangka pemikiran umum yang dirumuskan tidak melulu bersifat spekulatif dan deduktif saja, penelitian filsafat semestinya mengindahkan dan berdialog dengan ilmuilmu khusus, atau ilmu-ilmu positif. Seperti masih akan kita lihat dalam prinsip metodis ketiga nanti, penelitian fisafat perlu berdialog dengan sains, agama, dan seni. Supaya ada dasar empirism dan nantinya teori atau sistem pemikiran umum yang dirumuskannya dapat diterapkan pada pengalaman nyata. Whitehead misalnya juga menyarankanm agar kegiatan berfilsafat itu berangkat dari salah satu topik kepentingan manusiam sebagaimana ditemukan dalam fisika , psikologi, fisiologi,



estetika, kenyakinan-keyakinan etis, sosiologi, ataupun dalam bahasa sebagai gudang pengalaman manusia.20 Di atas sudah disinggung, bahwa selain pada perbedaan pengalaman, baik dalam dimensi ontologis, maupun epistemologisnya, perbedaan antara penelitian filsafat dan penelitian ilmu-ilmu lain yang bersifat khusus juga terletak dalam macam generalisasi imaginatif yang dicoba untuk dirumuskannya. Untuk menjelaskan hal ini baiklah kita masuki saja prinsip metodis yang kedua bagi penelitian fisafat dalam model pemikiran Whitehead. Yang diperlukan adalah usaha merumuskan suatu sistem pemikiran yang bersifat umum, menyeluruh, mendasar, terbuka dan dapat menjelaskan seluruh dimensi pengalaman manusia. Prinsip metodis kedua bagi penelitian filsafat ini dicoba ditarik dari apa yang oleh Whitehead sendiri dirumuskan secara lebih ketat dan lebih ambisius sebagai batasan pengertian untuk filsafat spekulatif. Ia merumuskan batasan pengertian filsafat spekuatif sebagai “the endeavour to frame a coherent , logical, necessary system of general ideas in terms of which every element of our experience can be interpreted” (Whitehead, 1979 : hlm. 3). Rumusan yang mencerminkan rasionalisme Whitehead ini, walaupun sebagai seorang rasionalis, dapat dikatakan rasionalistis yang moderat, karena ia sekaligus seorang empirisis yang ketat dan ambisius untuk merumuskan apa yang dapat dan semestinya dibuat oleh filsafat. Memang Whitehead sendiri memaksudkan rumusan tersebut dapat secara asimptotis didekati. Namun supaya lebih dekat dengan apa yang senyatanya dapat dibuat oleh filsafat, ada baiknya bahwa rumusan cita-cita itu dibuat lebih moderat.

20

“… the conditions of success of imaginative construction must be rigidly adhered to. In the first place this construction must have its origin in the generalization of particular factors discern in particular topics of human interest; for example, in physics, or in physiology, or in psychology, or in aesthetics, or in ethical beliefs, or in sociology, or in languages conceived as storehouses of human experience. In this way the prime requisite, that anyhow there shall be some importance application, is secured” (Whitehead, 1979: hal. 5).



Menyetujui pendapat Whitehead, filsafat semestinya berusaha merumuskan suatu sistem pemikiran yang bersifat umum atas dasar mana seluruh dimensi pengalaman kita sebagai manusia dapat dijelaskan. Berbeda dari kebanyakan filsuf modern yang menolak atau paling tidak mencurigai usaha filsafat untuk merumuskan suatu sistem pemikiran umum atas dasar mana seluruh dimensi pengalaman manusia hendak dicoba untuk dijelaskan, Whitehead tetap memilih kemungkinan, guna, dan pentingnya usaha tersebut. Sistem atas dasar pemikiran umum yang diusahakan perumusannya berdasarkan suatu generalisasi imaginatif atas ciri-ciri pokok atau struktur dasar yang ditemukan dalam salah satu dimensi pengalaman manusia dapat berfungsi sebagai pemberi visi menyeluruh (synoptic vision) kenyataan yang ada. Mendasari usahanya untuk merumuskan sistem pemikiran umum yang berfungsi sebagai pemberi visi menyeluruh tersebut adalah keyakinan Whitehead, bahwa “usaha-usaha fragmentaris dalam bentuk gerakan kritik historis dan filosofis atas pertanyaan-pertanyaan lepas (usaha yang keseluruhan cukup dominan dalam dua abad belakangan ini) sudah memberikan sumbangannya, dan kini perlu dilengkapi dengan usaha yang lebih gigih dari pemikiran konstruktif ”21. Di tempat lain ia juga mengatakan “Manusia dapat berkembang subur dalam tahap-tahap hidup yang lebih rendah melulu dengan cercah-cercah sinar pemikiran yang masih bersifat primitif. Akan tetapi pada waktu peradaban sudah mencapai puncaknya, tidak adanya suatu filsafat hidup yang mempersatukan dan tersebar ke seluruh warga masyarakat akan mengakibatkan kemerosotan, kejenuhan, dan kelesuan usaha”22. 21 22

“the movement of historical and philosophical, criticism of detached question, which on the whole has dominated the last two centuries, has done it’s work, and requires to be supplemented by a more sustained effort of constructive thought” (Whitehead, 1979, p.xiv) “Mankind can flourish in the lower stages of life with merely barbario flashes of thought. But when civilization culminates, the absence of a coordinating philosophy of life, spread through



Filsafat organisme Whitehead sendiri sebagai suatu filsafat spekulatif bermaksud untuk memenuhi kebutuhan akan filsafat hidup semacam itu. Sebagaimana diyatakan dalam bagian pengantar bukunya “Process and Reality”, salah satu motif dari suatu kosmologi yang lengkap, ke mana filsafat organisme dimaksudkan, adalah untuk “menyusun suatu sistem gagasan yang dapat memadukan kepentingan-kepentingan estetis, moral dan religius dengan konsep-konsep dunia yang berasal dari ilmu alam”. (Whitehead, 1979: hal. Xii). Pernyataan ini menggemakan kembali apa yang sebelumnya pernah dia nyatakan dalam bukunya “Science and The Modern World”, yakni bahwa merupakan tugas sekolah-sekolah filsafat abad ini untuk meyediakan suatu visi atau gambaran tentang dunia yang ditarik dari sains dan diintegrasikan dengan pengakuan akan pengalaman estetis, moral dan religius kita. (Whitehead, 1967: hal. 156, 181). Dalam usahanya untuk merumuskan suatu sistem pemikiran umum atas dasar mana unsur-unsur pengalaman yang bersifat partikular dapat dijelaskan atau diartikan, apa yang dibuat filsafat sebenarnya tidak jauh berbeda dari ilmu-ilmu khusus, seperti sains yang juga berusaha merumuskan teori dalam bentuk prinsip-prinsip atau hukum yang berlaku umum. Seperti sudah dikemukakan di atas, ciri yang membedakan filsafat dan sains terletak pada macam generalisasi imaginatif yang dicoba untuk dirumuskannya. Teori ilmiah, sebagai suatu generalisasi imaginatif pada sains, ruang lingkupnya terbatas pada macam-macam bidang penyelidikan khusus. Teori astronomi, misalnya keberlakuannya terbatas pada gejala-gejala perbintangan, teori fisika terbatas pada gejala-gejala pada taraf fisis, teori biologi terbatas pada gejala-gejala pada taraf biotis, dsb. Sedangkan sistem pemikiran umum sebagai generalisasi imaginatif pada filsafat tidak terbatas semacam itu. Ruang lingkup keberlakuan

out the community, spells decadence, boredom, and the slackening of effort” (Whitehead, 1967a: p. 98)



sistem pemikiran umum dalam filsafat lebih luas, dan mempunyai kadar keumuman atau tingkat universalitas yang lebih tinggi. Selain ruang lingkup keberlakuannya lebih luas dan kadar keumumannya lebih tinggi, sistem pemikiran umum yang dihasilkan oleh penelitian filsafat juga lebih bersangkut paut dengan pertanyaanpertanyaan yang lebih bersifat menyeluruh dan mendasar. Dengan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat menyeluruh tidak dimaksudkan bahwasanya filsafat tidak perduli akan perkara-perkara kecil dan detail. Dalam kajian analitisnya untuk memperoleh kejelasan konsep dan ketepatan penelitan, filsafat justru tidak jarang bergulat dengan perkaraperkara kecil dan detail. Akan tetapi pertanyaan-pertanyaan yang sekecil apapun dalam filsafat muncul dari dan berkaitan dengan pertanyaanpertanyaan yang begitu inklusif, sehingga sangat sulit ditentukan batasbatasnya. Pertanyaan semacam itu misalnya: “apa dan siapa itu manusia?”, “apa itu pengetahuan, dan bagaimana berdasarkan susunan kodrati akal budi manusia, proses, dan strukturnya secara hakiki dapat dijelaskan?”, “apa itu kebenaran dan apa tolak ukurnya?”, dsb. Sedangkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat mendasar dimaksudkan pertanyaan yang bermaksud mencari penjelasan yang paling dalam sampai ke hakikat sesuatu. Filsafat tidak hanya secara kritis bertanya tentang apa, siapa, bagaimana, di manan dan kapan untuk memperoleh jawaban yang melulu bersifat deskriptif, tetapi juga dan lebih-lebih tentang mengapanya sesuatu, sehingga diperoleh penjelasan yang tidak hanya dangkal-dangkal saja. Karena filsafat menggulati pertanyaan-pertanyaan yang bersifat menyeluruh dan mendasar inilah maka filsafat dapat menawarkan visi sinoptis atau visi menyeluruh yang diharapkan tidak hanya sekedar member pengetahuan, tetapi juga kebijaksanaan atau kearifan. Istilah”filsafat” sendiri, seperti sudah umum diketahui, secara harafiah berarti “cinta kebijaksanaan”. Untuk dapat menawarkan visi menyeluruh tentang realita yang tidak hanya memberi pengetahuan tetapi juga kebijaksanaan, kajian filsafat tidak dapat tidak mesti berhadapan dengan



pertanyaan-pertanyaan yang bersifat evaluatif dan dengan demikian masuk dalam hal-hal yang bersifat normatif. Untuk dapat menjelaskan atau mengartikan berbagai segi pengalaman hidup manusia, suatu sistem pemikiran umum yang dicoba untuk dirumuskan oleh filsafat perlu didasarkan atas pengenalan akan pengetahuan yang ada dan penilaian tentang derajat relevansi atau kepentingannya dalam rangka keseluruhan hidup manusia. Filsafat dari hakikatnya sebagai usaha rasional untuk menemukan arti dan makna yang dalam dari seluruh aspek pengalaman manusia atau mencari penjelasan tentang keseluruhan kenyataan, guna memperoleh kebijaksanaan hidup, sekaligus mempunyai fungsi kritisevaluatif terhadap macam-macam pengetahuan yang diberikan oleh ilmu-ilmu lain. Tentunya kritik dan evaluasi itu tidak mengenai kadar kebenaran internal keilmuannya (kecuali kalau si filsuf juga ahli dalam bidang ilmu yang bersangkutan), tetapi lebih dalam melihat fungsi dan kedudukannya dalam keseluruhan kenyataan. Hal itu misalnya dilakukan dengan menggali dasar-dasar ontologis, epistemologis, dan aksiologis pengetahuan yang diberikan oleh ilmu-ilmu tersebut. Dalam kaitan dengan dimensi aksiologis pengetahuan filsafat sendiri, karena filsafat mempunyai fungsi kritis-evaluatif, maka penelitian filsafat erat terkait dengan dunia nilai-nilai. Kalau dimensi aksiologis pengetahuan sains lebih-lebih terkait dengan penggunaan pengetahuan tesebut, sedangkan dimensi epistemologisnya dapat dikatakan relatif bebas nilai, pada pengetahuan filafat, dimensi epistemologisnya pun sudah mengandung suatu komitmen pada nilai-nilai tertentu. Sistem pemikiran yang diusahakan untuk dirumuskan oleh filsafat selain bersifat umum, menyeluruh, dan mendasar juga perlu bersifat terbuka. Seperti dinyatakan oleh Whitehead, filsafat memang perlu berusaha merumuskan sistem pemikiran umum yang sebaik mungkin dan secara gigih mencoba menjelaskan atau mengartikan setiap aspek pengalaman manusia atas sistem tersebut. (Whitehead, 1979: hal. 4). Akan tetapi perlu diakui, bahwa sistem yang terbaik manapun yang



dapat dirumuskan oleh filsafat selalu bersifat tentatif. Kebenaran sistem tersebut tergantung dari dapat digunakan tidaknya serta memadai tidaknya dalam mengartikan setiap aspek pengalaman manusia. Inilah sebabnya mengapa Whitehead mencirikan metode filsafat spekulatifnya sebagai suatu hipotesa kerja. Maksudnya adalah gagasan umum yang membimbing penelitian karena dapat dipakai “untuk mengkoordinasikan ungkapan-ungkapan pengalaman yang dewasa ini terdapat pada pembicaraan biasa, dalam lembaga-lembaga sosial, dalam kegiatan-kegiatan manusia, dan dalam prinsip-prinsip macam-macam sains, untuk membentangkan adanya keselarasan dan menunjukkan adanya ketidakseimbangan”. (Whitehead, 1967: hal. 222). Bagi Whitehead perlunya sistem pemikiran umum yang dirumuskan filsafat itu bersifat terbuka juga menjadi nyata dalam penolakannya terhadap apa yang dia sebut “dogmatic finality”, yang menurut dia tidak hanya menghinggapi filsafat dan teologi, tetapi tiga abad belakangan ini juga sains.23 Ia menyatakan bahwa dalam filsafat tidak ada perumusan prinsip pertama metafisik yang bersifat final. “Kategori-kategori metafisik bukanlah pernyataan-pernyataan dogmatis dari apa yang sudah dengan sendirinya; kategori-kategori itu merupakan perumusan tentatif dari generalitas yang bersifat ultim”. (Whitehead, 1979: hal. 8). Usaha filsafat untuk merumuskan hubungan-hubungan umum yang terwujud (exemplified) dalam fakta pengalaman merupakan usaha yang terus tanpa henti. Bagi Whitehead, “rasionalisme tidak pernah melepaskan statusnya sebagai petualanga eksperimental…rasionalisme merupakan petualangan dalam mencari kejelasan pemikiran, bersifat progresif dan tidak pernah final”. (Ibid. hal. 9). Sifat keterbukaan sistem pemikiran filsafat juga erat terkait dengan sikap filosofis sendiri yang merupakan “usaha gigih teru menerus untuk memperluas pengertian dari ruang lingkup penerapan 23

“During the medival apoch in Europe, the theologians were the chief sinners in respect to dogmatic finality. During the last three centuries, their bad preeminence in this habit passed to the men of science”. (Whitehead, 1967a: p. 145).



setiap gagasan yang masuk ke dalam pemikiran kita dewasa ini”. (whitehead, 1968: hal. 171). Setiap sistem pemikiran umum yang berhasil dirumuskan selalu bersifat sementara dan tidak pernah dapat diklaim sebagai kata akhir. Seperti pernah dinyatakan oleh Whitehead: “In its turn every philosophy will suffer a deposition”. (Whitehead, 1979: hal. 7).

Perlunya dialog dengan Sains, Agama, dan Seni. Prinsip metodis ketiga untuk suatu penelitian filsafat dalam model berfilsafat menurut Alfred North Whitehead adalah perlunya berdialog dengan sains, agama, dan seni. Di atas sudah dinyatakan, bahwa filsafat spekulatifnya yang disebut filsafat organisme merupakan suatu sistem pemikiran umum yang diharapkan dapat memadukan minat atau kepentingan-kepentingan estetis, moral, dan religius dengan konsepkonsep dunia yang berasal dari sains. Berkenaan dengan perlunya filsafat berdialog dengan sains, berbeda dengan kebanyakan filsuf eksistensialis yang menganggap bahwa fisafat tidak dapat mengharapkan apa-apa dari sains, Whitehead berpendapat, bahwa untuk membebaskan dirinya dari pemikiran-pemikiran yang terlalu abstrak dan kurang berdaya guna, maka filsafat perlu menjalin hubungan yang erat selain dengan agama juga dengan sains, baik sains kealaman maupun sosial. (Whitehead, 1979: hal. 15). Memang, berbeda dengan kaum positivistis yang cenderung menjadikan filsafat sebagai hamba sains, Whitehead kendati cukup bersikap positif terhadap sains juga cukup kritis terhadapnya. Ia menolak kecenderungan positivisme untuk memutlakkan sains sebagai satu-satnya bentuk pengetahuan yang benar dan obyektif seraya menganggap bentuk-bentuk pengetahuan yang lain sebagai tidak pernah dapat dinyatakan benar salahnya, karena melulu bersifat subyektif. Dalam hubungan dengan sains ini, menurut Whitehead, karena filsafat bukanlah salah satu cabang sains dengan salah satu bentuk abstraksi selektif tertntu, melainkan “The survey of science”, filsafat mepunyai tugas pokok sebagai pemberi kritik terhadap macam-



macam bentuk abstraksi yang dibuat oleh sains. Dalam pelaksanaan tugas ini filsafat memiliki fungsi ganda: 1) menyelaraskannya dengan keseluruhan pengalaman, dan itu dijalankan dengan memberikan status relatif yang sebenarnya dari ilmu-ilmu khusus sebagai abstraksi; dan 2) melengkapinya dengan secara langsung membandingkannya dengan penangkapan intuitif yang lebih lengkap terhadap seluruh kenyataan, dan dengan demikian menunjang perumusan sistem pemikiran yang lebih lengkap. (Whitehead, 1967: hal. 87). Khususnya dalam masa suatu spesialisasi sains sudah semakin berkembang dan bahaya fragmentarisme pengetahuan akibat reduksionisme semakin besar, filsafat diperlukan untuk memberi gambaran yang lebih utuh tentang kenyataan. Bagi Whitehead, sains dan filsafat merupakan “dua aspek yang berbeda dari satu usaha besar budi manusia yang sama”. (Whitehead, 1967a: hal. 140). Keduanya merupakan kegiatan khas manusia untuk megerti fakta-fakta individual yang bersifat konkret sebagai ilustrasi suatu prinsip umum yang bersifat abstrak. Suatu sistem pemikiran filosofis yang mempunyai maksud ambisius untuk memberi penjelasan menyeluruh (comprehensive) atas kenyataan, kendati tidak secara langsung berguna bagi sains, bukanlah sesuatu yang sama sekali tidak ada relevansinya untuk sains. Konsep-konsep yang digunakan dalam sains sebenarnya mengandung asumsi-asumsi metafisis tertentu yang diandaikan begitu saja. Menurut Whitehead, (Whitehead, 1968: hal. 172) ilmuwan (scientist) dan filsuf dapat dan perlu bekerja sama. Ilmuwan kadangkadang memerlukan ide baru yang dapat diinspirasikan oleh pemikiran spekulatif para filsuf. Sebaliknya para filsuf diterangi untuk dapat melihat makna sesuatu dengan memperhatikan kajian ilmiah tentang apa yang diakibatkannya. Berkenaan dengan perlunya filsafat berdialog dengan agama, Whitehead menyatakan, bahwa salah satu kenyataan hidup manusia yang perlu dikaji dan merupakan data pengalaman yang mesti diolah oleh suatu refleksi filsafat adalah agama (Whitehead, 1979: hal. 15-16). Baginya agama merupakan ungkapan salah satu bentuk pengalaman



manusia yang dasariah (“The expression of one type of fundamental experience of mindkind”-Whitehead, 1979: hal. 190). Bersama dengan sains, agama merupakan dua kekuatan umum yang mempengaruhi hidup manusia. Salah satu masalah yang dianggap penting dan perlu ditanggapi oleh generasi manusia abad ini adalah masalah hubungan sains dan agama. “Bila kita memikirkan apa itu agama bagi umat manusia, dan apa itu sains, bukanlah suatu hal yang dibesar-besarkan untuk mengatakan bahwa jalannya sejarah masa depan akan tergantung dari keputusan generasi sekarang tentang bagaimana hubungan antara keduanya dapat dijalin”. (Ibid., hal 181). Dalam usaha merumuskan jawaban bagaimana hubungan antara keduanya dapat dijalin tersebut, filsafat dapat memberikan subangannya. Dalam pandangan Whitehead, filsafat akan membebaskan dirinya dari cacat ketidakefektifannya (The taint of ineffectiveness), kalau menjalin hubungan yang erat dengan agama dan sains. Filsafat mencapai kepentingan utamanya, kalau berhasil memadukan keduanya dalam satu sistem pemikiran rasional. (Whitehead, 1979: hal. 15). Mengenai perlunya filsafat berdialog dengan seni, dalam pemikiran Whitehead hal itu dikaitkan dengan keyakinan, bahwa filsafat dalam sistem pemikiran umum yang dirumuskannya perlu merangkum seluruh aspek pengalaman manusia (termasuk di dalanya pengalaman akan nilai-nilai), dan tidak hanya terbatas pada minat kognitif saja. Whitehead sendiri mengambil pengalaman estetis sebagai model dasar untuk menjelaskan struktur dasar pengalaman. Ia menolak penafsiran intelektualistik terhadap pengalaman, yakni penfsiran yang menganggap pengalaman melulu sebagai bentuk awal dan pemberi materi untuk pengetahuan. Seperti sudah dikemukakan di atas, bagi Whitehead pengalaman itu jauh lebih kaya dan kompleks daripada pengetahuan. Selaras dengan paham pemikiran ini, fungsi pokok suatu pernyataan (proposition) bukanlah pertama-tama untuk ditetapkan benar salahnya, melainkan sebagai rangsangan untuk penghayatan rasa (The lure for feeling). Kategori “feeling” dalam filsafat Whitehead lebih primer atau mendasar dari pada ketegori “knowing”. Baginya keindahan merupakan



kategori yang lebih luas dan lebih dasariah dari pada kategori kebenaran. Dengan keindahan dia maksudkan “saling penyesuaian beberapa faktor dalam suatu kejadian pengalaman” (“the mutual adaptation of several factors in occasion of experience”-Whitehead, 1967a: hal 252). Karena pengalaman estetis menjadi simbol atau model dasar untuk menjelaskan pengalaman, maka bagi Whitehead, seni juga penting untuk diperhatikan dalam kegiatan berfilsafat. Dalam pandangannya seni merupakan salah satu unsur yang menandai peradaban manusia. Dia mengerti seni sebagai usaha untuk secara sengaja menyesuaikan apa yang nampak dengan realitas sebenarnya. (Whitehead, 1967a : hlm. 267). Tujuan karya seni adalah keindahan yang benar (truthful beauty), keindahan yang di dasarkan atas kenyataan pengalaman. Nilai karya seni dalam kehidupan manusia yang beradab terletak dalam fakta, bahwa karya tersebut mengungkapkan dan mengembangkan daya kreatifitas manusia yang dapat mengangkat dirinya mengatasi tuntutan-tuntutan biologis melulu. Bagi Whitehead salah satu sumbangan seni pada masyarakat adalah sifatnya yang spontan dan berani bertualang (spontaneity and adventurousness). Sikap advonturir (keberanian untuk mencoba yang baru) mesti menandai juga suatu masyarakat beradab. “Without adventure, civilization is in full decay”. (Whitehead, 1967a : hlm. 279). “Suatu bangsa mempertahankan gairah kekuatannya sejauh mengandung kontras yang sejati antara apa yang sudah terjadi dan apa yang masih mungkin; dan sejauh bangsa itu digerakkan oleh gairah kekuatannya untuk bertualang melewati batas-batas keamanan masa lampau”. (Ibid. hlm. 279). Modifikasi pola-pola yang sudah ada tidak kalah penting dari usaha untuk melestarikan tradisi. Whitehead menolak konsep peradaban yang hanya berorientasi ke belakang, yaitu konsep yang cenderung mengagungagungkan prestasi budaya masa lalu, dan menjadikannya sebagai model untuk ditiru. Dalam hal ini seni dengan sifatnya yang spontan dan berani



bertualang dapat menyadarkan kita, bahwa peradaban merupakan suatu proses aktif dan dinamis untuk mengembangkan daya kreatif manusia dalam mewujudkan niai-nilai kemanusiaan. Selain disadarkan bahwa dimensi dinamis dan kreatif manusia serta kenyataan sendiri, dalam dialog dengan seni, filsafat juga dapat menghindarkan diri dari apa yang oleh Whitehead disebut “The fallacy of the perfect dictionary” (Whitehead, 1968: hal. 173). Dengan sebutan ini dia maksudkan suatu keliruan berupa anggapan, bahwa manusia sudah secara sadar memiliki gagasan-gagasan pokok yang dapat dipakai untuk menjelaskan seluruh dimensi pengalamannya bahwa bahasa manusia, baik dalam masing-masing kata maupun dalam frasa, dapat secara eksplisit dan tepat mengungkapkan gagasan-gagasan tersebut. Anggapan tersebut menurut Whitehead telah memandulkan pemikiran filsafat, karena penelitiannya lalu hanya bergerak dalam ruang lingkup analisis linguistis untuk mencari ketepatan arti dan ekspresi, serta menolak segala bentuk pemikiran kreatif dan spekulatif. Filsafat memang perlu mengejar kejelasan dan ketepatan pengertian. Ia juga harus selalu tunduk pada fakta dan logika. Akan tetapi filsafat juga perlu memberi tempat pada bahasa simbol dan kiasan untuk meangkapnya selalu dituntut adanya “a leap of imagination”. Dalam arti ini maka, bagi Whitehead, filsafat itu berkerabat dengan puisi. Dalam keduanya ada referensi pada bentuk yang mengatasi arti langsung atau harafiah dari kata-kata yang digunakan. (Whitehead, 1968: hal. 174).

Daftar Pustaka Bakker, Dr. Anton & Zubair, Drs. Achmad Charris, Metodologi Penelitian Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1940. Moleong, M.A., Dr. Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Rosmadja Karya, Bandung, 1909. Laueur, S.J., Quentin, The Nature of Philosophical inquiry, Marquette University Press, Milwauke, 1989.



Suriasumantri, Jujun S, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1987. Whitehead, Alfred North, Science and the modern world, The Free Press, New York, 1967. _______________, Adventures of Ideas, The Free Press, New York, 1967a. _______________, Modes of Thought, The Free Press, New York, 1968. _______________, Procces and Reality, The Free Press, New York, 1979. _______________, The Function of Reason, The Free Press, New York, 1958.



PENELITIAN PADA BIDANG ILMU FILSAFAT: PERBANDINGAN USULAN PENELITIAN OLEH : ANTON BAKKER 

A

da suatu kesulitan konkret sekali yang dialami oleh seorang filsuf atau ahli filsafat yang ingin mengadakan penelitian ilmiah. Ia akan menghadapi formulir yang harus diisi untuk mengajukan usulannya. Tetapi bentuk formulir yang sifatnya umum itu tidak selalu dengan mudah dapat dicocokkan dengan metodologi seperti berlaku bagi penelitian di bidang ilmu filsafat. Maka berguna sekali untuk mengadakan pengkajian formulir usulan seperti berlaku umum, dan membandingkan bagianbagiannya yang relevan dengan tuntutan bagi suatu penelitian filosofis. Formulir yang dipergunakan disini sebagai pegangan pertama ialah USUL PROYEK PENELITIAN yang diajukan kepada Universitas Gajah Mada Yogyakarta (akan disingkatkan UPP), yang harus dialamatkan kepada Lembaga Penelitian UGM. Kemudian formulir itu akan dilengkapi dengan PETUNJUK PENULISAN USULAN PENELITIAN DAN TESIS (akan disingkatkan PPUPT), Fakultas Pasca Sarjana UGM Yogyakarta 1989). Pada umumnya kedua dokumen sesuai satu sama lain, walaupun urut-urutan bagian-bagiannya tidaklah 24

Makalah Simposium Metodologi Penelitian Filsafat dan Pertemuan Mahasiswa Filsafat se-Indonesia I 27-29 Juni 1991, Yogyakarta. Diselenggarakan oleh Fakultas Filsafat UGM dan Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga.



tepat sama. Dalam uraian ini akan dibicarakan satu persatu nomornomor yang langsung berhubungan dengan isi suatu penelitian ilmiah yang direncanakan, tetapi menurut urut-urutan yang agak bebas.

1. Permasalahan UPP :”(...)masalah yang mendorong diadakannya penelitian ini”. PPUPT :”(...)alasan-alasan mengapa masalah (...) menarik, penting, dan perlu diteliti.(...) kedudukan masalah dalam lingkup permasalahan yang lebih luas. “

1.1. Obyek Penelitian Jenis atau gejala-gejala obyek penelitian atau masalah yang diteliti, tergantung dari bidang ilmiah yang bersangkutan. Misalnya obyek penelitian di bidang ilmu eksakta akan berbeda dari suatu obyek pada bidang ilmu-ilmu sosial dan human. Akan tetapi kerap diasumsikan, bahwa penelitian akan dilakukan mengenai suatu masalah aktual dalam kenyataan, bahkan suatu masalah praktis, agar supaya dalam penelitian ilmiah itu dapat ditemukan jalan pemecahannya. Asumsi itu diperkuat dengan rumusan nomor tentang faedah penelitian (nanti nr.13). Pertama-tama harus diteliti asumsi tersebut yang kerap terjadi. Sekurang-kurangnya dalam UPP dan PPUPT tidak dikatakan apaapa tentang masalah yang ‘aktual’ atau ‘praktis’. Jadi sama sekali tidak ditentukan, bahwa masalah penelitian harus bersifat praktis saja. Memang harus disetujui, bahwa obyek penelitian itu harus memiliki relevansi bagi status ilmu terkait, atau bagi keadaan masyarakat pada saat sekarang. Namun kemungkinan bagi suatu penelitian teoritis tetap terbuka lebar, misalnya bagi teori matematika, atau bagi dasar-dasar ilmu-ilmu sosial, dan demikian juga bagi ilmu filsafat. Filsafat juga mulai mempunyai konsekuensi praktis di cabang epistemologi dan dalam etika. Akan tetapi sekurang-kurangnya bidang filsafat manusia, filsafat alam dunia, filsafat ketuhanan, dan khususnya ontologi, hanya membicarakan dasar-dasar kenyataan yang harus disebut teoritis.



Mungkin sekali dengan masalah ‘aktual’ dan ‘praktis’ juga dipikirkan masalah empiris. Kesulitannya ialah bahwa istilah ‘empiris’ kerap diandaikan hanya berarti satu hal, yaitu menurut ilmu empiris yang meneliti kenyataan yang dicerapkan. Akan tetapi empiri bagi ilmu eksakta itu berbeda sekali dengan empiris bagi ilmu sosial-humaniora. Dalam ilmu eksakta obyek penelitian adalah suatu bidang benda di luar manusia, atau bidang kebendaan di dalam manusia sendiri. Bidang itu dapat diobservasi dan dibuat obyek eksperimen. Obyeknya bahkan dapat dihancurkan dalam jalan penelitian. Akan tetapi ilmu sosial merupakan ilmu tentang perilaku manusia. Perilaku manusia itu memang dapat diobservasikan. Akan tetapi eksperimen-eksperimen dengan manusia hanya mungkin dilakukan dalam batas-batas yang sangat ketat, dan harus dilindungi oleh pertimbangan etis. Dan yang lebih penting lagi, perilaku manusia bukanlah saja suatu obyek yang dapat dihitung dan diklasifikasi, melainkan juga diresapi dengan ‘arti’ dan ‘nilai’, dan ‘maksud’, dan oleh karena itu harus dipahami (Verstehen) dalam interpretasi dan dialog[1]. Lebih lagi harus dipakai interpretasi atau hermeneutika dalam rangka ilmu-ilmu humaniora. Mereka pula meneliti obyek yang dapat diobservasikan, akan tetapi obyek itu merupakan suatu phenomenon of Geist[2], yang harus diterobos kulitnya untuk menemukan inti manusia yang diungkapkan di dalamnya. Ilmu filsafat sendiri pun merefleksikan data-data manusia, jadi hal-hal yang dapat diobservasikan. Akan tetapi khususnya refleksi filosofis itulah bertujuan menerobos segala selaput dan mencari intinya (perultimas causas). Maka penelitian filosofis pun tetap dapat disebut suatu penelitian tentang obyek empiris, akan tetapi menurut arti yang istimewa.

1.2. Aspek atau Hampiran terhadap Obyek Penelitian Ilmu-ilmu empiris meneliti korelasi antara variabel-variabel entah itu gejala-gejala fisik-biotik, atau antara fenomena-fenomena psikishuman. Dan kemudian mereka mungkin juga berusaha merumuskan suatu teori yang dapat menerangkan dengan paling baik segala



fenomena dan relasi-relasinya itu. Namun ada syarat, yaitu, agar teori tersebut memang terletak pada bidang formal ilmu itu, maka harus menyangkut obyek bidang terkait, misalnya pada bidang fisik mengenai waktu dan ruang dan daya-daya, atau pada bidang biotik berhubungan dengan hidup dan perkembangan dan antar relasi vital, atau pada bidang manusia tentang perilaku manusia dan komunikasinya. Filsafat mencari teori pula yang memberikan pemahaman bagi segala fenomena mendasar dalam atau sekitar eksistensi manusia. Namun teori filosofis pun terikat pada suatu obyek formal yang khas. Obyek itu bukanlah ‘ada’, atau Tuhan, atau suatu bidang tindakan manusia tertentu, melainkan adalah manusia menurut hakekatnya. Segala fenomena dan segala masalah yang muncul berhubungan dengan eksistensi manusia harus ditempatkan kembali dalam hubungannya dengan hakikat manusia itu, dan menurut kedudukannya dalam konteks itu. Maka penelitian filsafat tidak membatasi diri pada penelitian politik atau pendidikan atau kebudayaan begitu saja. Memang dapat berpangkal pada masalah konkret seperti itu [3], akan tetapi dititik di mana ilmu sosiologi dan pendidikan dan budaya berhenti, disitulah baru dimulai tugas ilmu filsafat. Filsafat berusaha menyelami dasar-dasar problematik yang ada, seperti misalny, apa itu materi ? Apakah yang menyebabkan manusia dapat dididik, dan manakah tujuan pendidikan itu ? Apakah kebudayaan lebih merupakan wujud ataukah roh? Jadi filsafat dapat juga disebut ilmu ‘empiris’, akan tetapi menurut arti serta khusus.

1.3. Faedah yang dapat Diharapkan UPP :”Faedah (...) [Untuk Pembangunan Negara dan Ilmu Pengetahuan].” PPUPT :(...)faedah bagi ilmu pengetahuan dan bagi pembangunan Negara dan Bangsa.”



Dari pemikiran yang disebut di atas dapat ditarik kesimpulan, bahwa dengan ‘faedah’ tidak hanya dimaksudkan hasil ‘siap pakai’. Juga penggalian teori atau dasar-dasar masalah,bahkan dimensi-dimensi historis yang memberikan pemahaman letaknya masalah dapat memberikan sumbangan penting untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan untuk pembangunan negara dan bangsa. Maka bagi penelitian filosofis, seorang peneliti harus berani menunjukkan faedah yang agak ‘jauh’ itu dengan jelas.

2. Tujuan atau Sasaran Penelitian UPP: “Keaslian penelitian [(...) beda penelitian ini dengan penelitianpenelitian yang telah disajikan dalam pustaka].” PPUPT: “Keaslian penelitian (...) masalah yang dihadapi belum pernah dipecahkan oleh peneliti terdahulu, atau (...)beda penelitian ini dengan yang sudah pernah dilakukan. “. “(...) secara spesifik tujuan yang ingin dicapai.” UPP menempatkan aspek keaslian sesudah Tinjauan Pustaka. PPUPT menempatkannya dalam uraian pertama tentang permasalahan, sebelum Tujuan penelitian. Perbedaan kedua formulir itu tidak perlu didiskusikan. Tetapi jikalau ingin menggambarkan keaslian dengan jelas, perlu juga diterangkan batas-batas keaslian penelitian terkait, dan pembatasan itu langsung berhubungan dengan Tujuan penelitian. Maka disini dibicarakan bersama-sama Keaslian dan Tujuan. Sebagai tujuan penelitian tidak cukuplah mengajukan alasan-alasan serupa dengan apa yang telah diuraikan dalam keterangan diatas tentang obyek penelitian dan khususnya tentang faedahnya. Dimaksudkan agar diterangkan level programatis dalam penelitian menurut luasnya, dan menurut kebaruannya. Misalnya peneliti dapat berencana membuat suatu pemecahan-permecahan yang telah diusahakan, dan perumusanperumusan masalah menurut pemahaman paling baru. Atau lebih jauh ia dapat memberikan evaluasi kritis terhadap usaha-usaha itu. Ia bisa berusaha membuat sintesis baru atas dasar pemikiran-pemikiran yang telah dikembangkan, dan manyatukannya dalam satu kesatuan



organis. Atau ia dapat merombak seluruh hampiran sampai sekarang, dan membuat pendobrakan pikiran yang mengubah cara meninjaunya. Beberapa kemungkinan tersebut dapat dilaksanakan dalam perspektif lebih historis, atau pula dalam rangka pemikiran yang lebih sistematis. Akan tetapi penelitian selalu harus menghasilkan salah satu butir baru yang membawa kemajuan ilmu, dan yang dengan demikian bermanfaat pula bagi pembangunan masyarakat entah bagaimana pun.

3. Tinjauan Pustaka UPP : “ (...) kepustakaan yang berhubungan dengan masalah’ yang diajukan. “ PPUPT : (...) hasil-hasil penelitian (...) oleh peneliti terdahulu dan yang ada hubungannya dengan penelitian yang akan dilakukan.. (...) bahwa permasalahan (...) belum terjawab atau belum terpecahkan secara memuaskan.” Oleh karena penelitian ilmiah mencari pengetahuan yang baru, maka kepustakaan harus memberikan informasi mengenai hal-hal yang diselidiki sekitar masalah ini, atau yang dapat membantu sebagai landasan untuk nanti merumuskan suatu teori lebih lengkap atau malahan baru. Penelitian bermaksud melampaui tinjauan pustaka itu, sebab mencari pemecahan masalah baru dengan bertitik pangkal dari data-data pengalaman, eksperimen-eksperimen, angket, dan wawancara. Dalam penelitian grounded kepustakaan tidak dipergunakan sebagai dasar yang telah dapat diandalkan untuk membangun lebih lanjut. Data-data, kategorisasi, dan parumusan teori yang dikumpulkan dari kepustakaan dipergunakan sebagai inspirasi bagi pencarian pribadi, tetapi sekaligus secara metodis dicurigai kebenarannya. Mereka hanya mau dipercaya, jikalau telah diadakan suatu penelitian baru menurut rencana sendiri, mungkin mengenai data-data yang sama. Tetapi ada ilmu-ilmu di mana justru penelitian, kepustakaan dan dokumen-dokumen merupakan inti penelitian, khususnya dalam bentuk



penelitian filosofis yang berciri historis. Dalam rangka proposal bagi penelitian semacam itu belum dapat diberikan keseluruhan kepustakaan dengan segala hasil penelitian, sebab dengan demikian telah akan disajikan laporan lengkap tentang penelitian seutuhnya. Padahal penelitian masih harus dimulai. Maka berhadapan dengan tugas menyusun usulan penelitian, peneliti tertawan dalam suatu lingkaran setan. Dari satu pihak penelitian dengan segala tuntutan waktu, energi, dan modal, baru dapat disetujui atas dasar suatu proposal. Akan tetapi penyusunan proposal dengan tinjauan pustaka telah mengandaikan pelaksanaan penelitian sampai selesai. Bagaimana dapat ditemukan tembusan, agar penelitian historis yang legitim itu dapat dilaksanakan?

4. Landasan Teori PPUPT: “Landasan teori dijabarkan dari tinjauan pustaka dan disusun (...) sebagai tuntunan untuk memecahkan masalah penelitian dan untuk merumuskan hipotesis.” Tesis:) “CATATAN: Untuk bidang-bidang ilmu tertentu mungkin landasan teori, hipotesis, dan rencana penelitian, atau mungkin salah satu (...) tidak ada (garis bawah dari penulis).” Bagian proposal mengenai landasan teori bagi penelitian baru berhubungan erat dengan penggunaan metodologi kuantitatif, seperti lazim dipakai dalam penelitian ilmu-ilmu eksakta, akan tetapi tidak jarang berlaku pula dalam ilmu-ilmu sosial. Dalam penelitian itu suatu teori ilmiah diasumsikan telah menjadi baku, seperti misalnya teori tentang listrik, atau tentang komposisi dan interaksi partikel-partikel subatomer. Dari teori itu dideduksikan suatu hukum lebih khusus bagi situasi dan kondisi tertentu, yang harus diselidiki kebenarannya dalam praksis. Maka hipotesis juga diturunkan dari landasan teori, dan penelitian tidak berbuat lain daripada memverifikasikan teori, atau paling-paling memodifikasikannya. Tidak pernah dapat memberikan



teori baru (4). Konstelasi itu berbeda sekali untuk metodologi kualitatif, seperti misalnya dikonkretkan dalam grounded method. Metode grounded itu mencurigai segala teori apriori, dan hanya rela menyusun teori, dan sedapat mungkin itulah teori baru, atas dasar data-data, kategorisasi sistematis, dan penarikan hipotesis-hipotesis. Jadi dalam hal demikian justru teori baku sendiri menjadi masalah atau obyek penelitian, dan bukanlah menjadi dasar. PPUPT secara eksplisit menyebut kemungkinan, bahwa landasan teori, hipotesis dan rencana penelitian, atau salah satunya, tidak ada. Namun catatan itu tidak akan memecahkan segala kesulitan, sebab mesti proposal yang diajukan untuk disetujui, jikalau tanpa dilengkapi dengan hal-hal tersebut, akan mengalami kesulitan. Maka secara praktis lebih baik mencari akomodasi dan penyesuaian menurut kekhasan obyek formal ilmu filsafat. Dan memang harus bertanya, apakah peneliti filsafat pun tidak memiliki latar belakang teoritis bagi rencana penelitiannya? Apakah memang tidak mempunyai harapan akan hasil penelitian tertentu? Apakah memang tidak mempunyai rencana mengenai langkahlangkah yang akan diambilnya dalam penelitian ? Dalam penelitian filosofis kerap diteliti teori seorang filsuf, dan dianalisis saja isi dan artinya. Teori seperti itu diuraikan dengan teliti, dan diperlihatkan implikasi-implikasi bagi hidup manusia dan masyarakat. Atau dapat juga penelitian tersebut ditinjau dari suatu buku. Dalam hal-hal itu, sesuai dengan tujuan, ingin diberikan suatu inventarisasi, atau evaluasi kritis, atau sintesis (baru), atau bahkan suatu interpretasi baru. Mungkin terjadi, bahwa disajikan suatu teori sebagai landasan bagi penggarapan tersebut. Akan tetapi dalam banyak kasus hanya akan dilakukan saja penelitian itu atas dasar pembacaan teliti terhadap naskah asli. Lalu memang tidak dapat diharapkan, bahwa diajukan suatu landasan teori. Lebih lagi terjadi demikian, andaikata ahli peneliti filsafat ingin mencari suatu teori atau pandangan sistematis serba baru, tidak ada



teori yang dapat diajukan sebagai dukungan. Semua teori dirasa kurang memuaskan dan kurang memadai. Paling-paling dapat diuraikan, dan diperlihatkan, dalam hal mana teori-teori yang telah tersedia itu kuat atau lemah, sehingga atas dasar analisis itu dengan mudah dapat diperlihatkan suatu pemecahan baru.

5. Hipotesis UPP : “ Hipotesis atau Keterangan empiris yang diharapkan [ Jabarkan dari tinjauan pustaka tentang perkiraan hasil yang akan diperoleh].” PPUPT: (...) pernyataan singkat yang disimpulkan dari landasan teori atau tinjauan pustaka dan merupakan jawaban sementara terhadap masalah (...), dan masih harus dibuktikan kebenarannya. “ Hipotesis dalam ilmu empiris diperoleh dengan beberapa cara. Cara pertama adalah deduksi dari teori yang sudah mapan, seperti disajikan dalam tinjauan pustaka, diambil alih dari tokoh-tokoh- lain, dan tidak usah dipersoalkan lagi. Dalam penelitian empiris yang dilaksanakan, akan diselidiki kebenaran hipotesis itu dalam kenyataan. Cara demikian dilawan oleh pelopor-pelopor metode grounded (5). Jikalau hipotesis yang dideduksikan itu ditemukan tidak cocok, maka penelitian dianggap gagal, habis perkara. Akan tetapi biasanya tidak akan dipertanyakan teori sendiri, sebab dianggap sudah menjadi baku. Padahal ketidakcocokan hipotesis itu memberikan pula informasi yang penting (6). Karl Popper sebetulnya telah mengajukan teori penelitian yang maju dengan lebih jauh. Setiap penelitian ilmiah harus mencoba menjatuhkan hukum-hukum dan teori-teori yang telah distabilkan (7). Tidak harus dicari verifikasi, melainkan falsifikasi. Jadi setiap peneliti ilmiah harus berciri seorang revolusioner yang berusaha menggoncangkan tatanan yang telah berlaku. Dalam metode grounded sudah lain fungsi hipotesis. Semulanya hipotesis ilmiah kerap berbentuk suatu firasat, atau semacam rasa tidak



enak dengan teori dan keterangan-keterangan yang telah diberikan sekitar salah satu masalah. Maka hipotosis diajukan sebagai suatu keragu-raguan terhadap ilmu yang sudah established. Peneliti ingin mencari suatu jalan baru (heuristika), misalnya dengan mempertanyakan asumsi-asumsi dasar teori tadi, atau dengan menemukan inkonsistensiinkonsistensi dalam teori yang telah diterima umum (8). Maka firasat itu dirumuskan sebagai suatu teori tandingan. Dan untuk menetapkan, apakah memang ada sesuatu yang tidak beres, atau yang tidak klop, diadakan suatu eksplorasi pertama, entah masih sangat informal atau sudah lebih formal. Jikalau kecurigaan dan firasat tadi memang ditemukan ada dasarnya , maka dimulai mengadakan penelitian secara resmi, dengan mengumpulkan data-data, diadakan komparasi, dan sebagainya. Dalam proses pengumpulan data-data dan pembentukan kategorisasi teratur, firasat pertama itu menjadi semakin mantap, telah mendapat kaki dan tangan, dan menjadi hipotesis yang semakin diartikulasikan. Kerap dikatakan, bahwa dalam filsafat tidak terdapat hipotesis, namun pernyataan itu perlu dikaji. Secara analogal dengan hipotesis ilmu eksakta yang dideduksikan dapat diturunkan salah satu konsekuensi logis dari konsepsi seorang pakar filsafat, yang harus mempunyai kebenaran, jikalau konsepsinya tentang manusia atau tentang Tuhan itu benar. Kemudian dapat diadakan pencarian pangukuhan hipotesis itu. Akan tetapi penelitian semacam itu tidak begitu lazim di ilmu filsafat. Yang lebih banyak dilakukan ialah inventarisasi, evaluasi, pembuatan sintesis, atau uraian konsepsi baru, seperti dirumuskan dalam rangka ‘tujuan’ penelitian. Jikalau mengadakan inventarisasi, penelitian kritis, mencari sintesis, atau konsepsi baru, biasanya telah ada suatu firasat atau konsepsi tentatif mengenai apa yang diharapkan akan menjadi hasil penelitian yang direncanakan. Firasat atau konsepsi tentatif seperti itu dapat saja diajukan sebagai hipotesis pokok yang mengarahkan penelitian. Prosedur ini memang tidak sesuai dengan pembentukan hipotesis dalam metodologi kuantitatif, akan tetapi lebih senada dengan hipotesis dulu



gaya grounded method. Dalam penelitian selanjutnya biasanya konsepsi tentatif itu menjadi semakin kuat atas dasar data-data yang dikumpulkan. Akan tetapi mungkin sekali pula, bahwa dalam perjalanan penelitian sendiri hipotesis itu harus dimodifikasi berkali-kali. Bahkan mungkin juga, bahwa pada akhir penelitian ternyata hipotesis semula salah sama sekali, dan bahwa terbuktilah justru sebaliknya. Dengan hasil demikian penelitian bukanlah gagal, melainkan harus disebut menjadi sukses besar, sebab suatu konsepsi yang ternyata hanya prasangka belaka telah difalsifikasi oleh data-data nyata.

6. Cara Penelitian 6.1. Rencana Penelitian PPUPT (tesis) : “(...) jembatan penghubung antara hipotesis dengan cara penelitian, (...) (yaitu) langkah-langkah yang akan diambil untuk membuktikan kebenaran hipotesis.” Di bidang ilmu eksakta seperti fisika dan teknik, seluruh cara menangani penelitian dapat membutuhkan set-up yang kompleks. Mungkin harus mencari cara pandekatan yang tertentu, atau uruturutan langkah-langkah yang tepat, atau konstelasi alat-alat yang relevan. Cara itu harus diterangkan dalam proposal. Ilmu-ilmu sosial juga perlu mendeskripsikan cara mendekati pribadi-pribadi atau kelompok yang diteliti. Harus diterangkan apakah memakai kelompok kontrol, dan manakah langkah-langkah yang akan diambil dalam mengumpulkan data. Dalam rencana penelitian bagi penelitian filosofis pula dapat diterangkan langkah-langkah yang akan diambil untuk mencapai apa yang telah ditunjukkan sebagai tujuannya. Pada umumnya langkahlangkah itu akan merupakan prosedur standar. Misalnya ada langkah mengumpulkan kepustakaan tertentu yang dapat diperincikan menurut jenis dan arahnya. Langkah kemudian adalah mengumpulkan dan mengolah informasi-informasi entah mengenai tokoh, atau mengenai



topik, atau mengenai suatu fenomena atau aktual di masyarakat, dan sebagainya. Sumber-sumber dapat diterangkan secara lebih terperinci, dapat dideskripsikan kekhususan yang harus diperhatikan pada masingmasing jenis sumber, dan kesulitan-kesulitan yang dapat ditemukan (9). Ada langkah mengadakan komparasi-komparasi dengan berbagai konsepsi filosofis. Ada juga langkah melokalisasikan topik, tokoh, atau situasi dalam lingkungan dan zamannya sendiri.

6.2. Bahan atau Materi UPP: “(...) bahan atau materi utama yang akan dipergunakan (...) dan sifat-sifat yang harus ditentukan.” PPUPT: “(...) populasi atau sampel,(...) dan sifat-sifat atau spesifikasi yang harus ditentukan. “ Ketentuan bahan atau materi dengan jelas menunjukkan macam penelitian tertentu. UPP seakan-akan secara eksklusif dimaksudkan bagi ilmu eksakta. PPUPT lebih menunjukkan ‘materi’ di bidang biotik, psikis, atau sosial-human. Bagi suatu penelitian filosofis, nomor tentang bahan atau materi ini entah dihilangkan saja, atau pula disesuaikan. Misalnya dapat diulang deskripsi yang telah diberikan dalam bagian ‘permasalahan’, jadi dengan singkat ditunjukkan tokoh, atau buku atau diberikan penggambaran fenomena-fenomena yang akan diselidiki.

6.3. Alat UPP: “(...) gambar dan uraian tentang alat utama: yang akan dipakai.“ PPUPT: “yang dipakai untuk menjalankan penelitian (...) dan kalau perlu disertai dengan gambar dan keterangan-keterangan.” 6.3.1. Alat ‘Fisik’ Nomor tentang alat ini mengandaikan, bahwa dalam penelitian dipakai salah satu alat pengukuran. Alat seperti itu terutama berlaku



bagi bidang eksakta, seperti fisika, kimia, teknik, atau misalnya pertanian. Mungkin juga berlaku bagi psikologi eksperimental. Kerap alat penelitian itu harus ditemukan dan dikonstruksikan secara khusus bagi penelitian aktual. Dalam banyak ilmu sosial alat yang digunakan lebih berbentuk sebuah tes, atau angket, atau casedescription. Dalam ilmu sejarah dipergunakan dokumen-dokumen dari arsip-arsip. Menurut cara bicara biasa sebetulnya dalam penelitian filsafat tidak dipergunakan alat. Dalamn penelitian kepustakaan tentu saja dipergunakan karya-karya tertulis sebagai alat penelitian, tetapi arti kata ‘alat’ sudah cukup luas. Dalam penelitian langsung mengenai kenyataan dapat dipergunakan angket, akan tetapi mutlak perlu pamakaian wawancara, dan observasi dan introspeksi langsung. Tidak terpakai alat pengumpulan atau alat pengukuran fisik sama sekali, sebab tidak cocok dengan obyek formal filsafat. 6.3.2. Logika dan Bahasa sebagai Alat Bagi penelitian filsafat dapat dipertanyakan, apakah logika mungkin merupakan suatu alat? Tetapi dalam hal logika pada umumnya sulit sekali ditunjukkan suatu kekhususan, sekurangkurangnya jikalau dimaksudkan cara berargumenntasi dan membuktikan kebenaran. Tentu saja jikalau dengan ‘logika’ dimaksudkan keseluruhan metodologi penelitian, segenap isi proposal ini lagi harus diperhitungkan, khususnya cara penelitian nanti (nr.64). Tetapi pada umumnya dapat diandaikan, bahwa selalu dan dimana-mana dipergunakan logika. Artinya tidak lain daripada menggunakan alat pikiran sehat. Mungkin hanya dalam aliran neopositivistis akan dipentingkan penggunaan logika matematis sebagai alat(?). Bagi penggunaan bahasa pada dasarnya berlakulah hal yang sama. Bahasa tidak dapat disebut sebagai ‘alat’ khusus, seperti dimaksudkan dalam nomor ini. Namun oleh karena penelitian



filsafat menurut abjek formalnya berbicara tentang manusia dan hakikatnya, maka pentinglah pemakaian deskripsi. Seperti dalam metodologi kualitatif diberikan tempat besar bagi deskripsi kasuskasus unik, demikian pula dalam penelitian filsafat diberi tempat luas bagi deskripsi, atau menceritakan tentang keunikan situasi dan orang. Tidak ada apa-apa yang dianggap sudah jelas atau sudah diketahui. Segala hal yang lazimp dilalaikan, atau bahkan tidak dilihat, oleh karena pendidikan dan kebudayaan harus ditatap kembali, dan digambarkan menurut apa adanya. Dalam usaha deskripsi tentang kasus-kasus unik demikian, dengan sendirinya bahasa filosofis itu akan lebih bersifat analogal daripada univokal. Artinya setiap segi atau unsur konkret merupakan penghayatan lain dan lain dari suatu struktur umum.

6.4. Cara Penelitian UPP: “(...) cara menjalankan penelitian dan (macam) data yang akan dikumpulkan.” PPUPT: “Jalan penelitian (...) tentang cara melaksanakan penelitian dan mengumpulkan data. 6.4.1. Induksi dan deduksi Secara kasar dapat dibedakan dua tipe ilmu fundamental, yakni menurut dua prosedur penelitian yang paling pokok(10). Ilmu yang satu berciri induktif, yaitu mengumpulkan data-data atas dasar pengalaman, observasi, introspeksi, eksperimentasi, dan sebagainya. Dari data-data singular mau ditemukan trend, atau kebiasaan, atau hukum, lebih umum untuk bidang tertentu. Ilmu yang kedua berciri deduktif, yaitu dari hukum-hukum umum diturunkan instansi-instansi yang khusus atau pula yang singular. Namun walaupun menurut kesan pertama ilmu-ilmu dapat dibagi dalam dua kelompok yang jelas, nyatanya setiap ilmu mempergunakan kedua ciri itu dalam kesatuan. Kesatuan kedua segi itu disebut



‘siklus empiris’ (11), tetapi sebenarnya tidak ada salah satunya yang mendahului yang lainnya. Mereka seakan-akan merupakan suatu lingkaran (12). Dalam UPP dan PPUPT diandaikan saja penggunaan proses empiris dalam pengumpulan data. Dan memang semua ilmu empiris menekankan penggunaan proses iduksi. Maka terutama proses pengumpulan data itu harus dideskripsikan di dalam proposal, dan harus ditunjukkan lebih lanjut gejala-gejala khusus bagi ilmu tersebut. Penelitian filosofis pun mempergunakan kedua proses, yakni induksi dan deduksi. Mereka saling mengandaikan dan saling melengkapi. Data-data diambil entah dari karya-karya filosofis yang diteliti, atau dari fenomena dan situasi yang direfleksi, dan metode mengumpulkannya dapat diterangkan dengan teratur. Akan tetapi pemahaman struktur-struktur dasar kenyataan yang dimiliki peneliti ikut secara aktif dalam seleksi dan sistematisasi spontan terhadap data-data itu. Kedua proses berhubungan dalam tegangan dialektis dengan pengaruh timbal balik di antaranya. Sebenarnya sebaiknya kesatuan kedua proses diterangkan dalam proposal. Akan tetapi mungkin sekali akan menimbulkan keragu-raguan bagi ahli-ahli yang harus memberikan penilaian bagi proposal filosofis itu. Maka dengan lebih praktis proses itu diterangkan saja seperti dibuat oleh Beerling (13), yaitu sebagai suatu urut-urutan yang satu sesudah yang lainnya. 6.4.2. Komparasi Bagi metodologi kuantitatif kerap tidak ada, atau akan terbatas sekali perbandingan-perbandingan yang dibuat. Paling-paling diadakan perbandingan dengan kelompok kontrol. Akan tetapi dalam metodologi kualitatif justru comparative analysis merupakan bagian esensial dalam pengumpulan data, dan khususnya dengan menentukan sifat-sifat khas bagi masing-masing kategori yang muncul dari data-data (14). Komparasi itu diadakan diantara



kelompok-kelompok, situasi-situasi, dan struktur-struktur, baik yang sangat serupa maupun yang sangat berbeda, untuk menemukan tidak hanya kesanaan, tetapi juga perbedaan diantaranya. Perbandingan yang paling penting untuk dipergunakan dalam bidang filsafat, adalah perbandingan di antara tokoh-tokoh, aliran-aliran, periode-periode, konsepsi-konsepsi, dan karya-karya. Bagi penelitian ilmiah di bidang filsafat, suatu perbandingan yang relevan akan menjadi esensial. Justru komparasi demikian menjamin tepatnya hasil pengumpulan data dengan klasifikasi dan sifat-sifatnya.

6.5. Variabel PPUPT: Variabel yang akan dipelajari dan data yang akan dikumpulkan,(...) termasuk jenis dan kisarannya. Dalam metode kuantitatif dari semula telah ditentukan variabelvariabel yang akan diteliti korelasinya. Sebaliknya dalam metode kualitatif, sama seperti terbentuknya hipotesis, juga penentuan variabel-variabel harus muncul dari proses empiris sendiri. Sudah ada variabel-variabel inti termuat dalam firasat masalah yang mendorong untuk mengadakan penelitian. Akan tetapi mungkin sekali, bahwa dalam perjalanan, penelitian sendiri persepsi pertama tentang variabelvariabel itu harus dirombak sama sekali, atau dikualifikasi secara substansial. Penelitian filsafat lebih sesuai dengan gaya metode kualitatif itu. Variabel-variabel dapat ditentukan dan dideskripsikan secara tentatif, akan tetapi mungkin mengalami suatu perubahan besar dalam proses penelitian. Asal dinamika itu diterima, pada permulaan penelitian itu, variabel-variabel yang relevan dapat disaring dari permasalahan seperti telah dirumuskan. Variabel-variabel itu diidentifikasi dengan cara agak terpisah, sehingga perbedaan satu sama lain menjadi jelas. Kemudian



tergantunglah dari data-data yang dikumpulkan, apakah variabelvariabel itu dipertahankan, diperluas, ataupun diganti sama sekali

6.6. Analisis Hasil UPP :(...) cara menganalisis hasil penelitian termasuk analisis kimia, fisis, mekanis, atau lainnya. PPUPT :”(...) model dan cara menganalisi hasil.” Bagi metode kuantitatif dalam ilmu eksakta dan ilmu sosial tersedialah banyak model dan alat untuk membuat analisis terhadap hasil pengumpulan data. Biasa sekali dipakai model statistik, atau tabel-tabel yang dibuat atas dasar penelitian yang lain bagi analisis data sosiologis atau hasil tes psikologis. Dalam metode kualitatif sudah agak berbedalah analisis data-data dan kategorisasinya. Hipotesis-hipotesis berusaha menyimpulkan segala pemahaman yang dilahirkan oleh pengumpulan data-data dan kategorisasinya menjadi sejumlah korelasi yang masih agak lain. Kemudian teori final menyatukan segala butir itu dalam suatu konsepsi menyeluruh, yang memberikan pemahaman bagi inti masalah, dan memberikan kedudukan proporsional bagi segala variasi yang ditemukan. Dalam penyatuan itu dipergunakan prinsip koherensi, totalisasi atau kelengkapan, dan kesuburan bagi pemahaman lebih lanjut (15). Penelitian filsafat mempergunakan beberapa prinsip bagi pengolahan hasil dari pangumpulan data yang paling karakteristik, yaitu secara meningkat, yakni koherensi, totalisasi atau holistika, dan idealisasi. Prinsip koherensi mungkin masih paling umum bagi semua usaha ilmiah. Segala konsep, bagian, oposisi, dan relasi, harus dapat diselaraskan satu sama lain, sehingga tidak terjadi kontradiksi atau inkonsistensi di antaranya. Prinsip ini mendapat bobot tambahan dalam kesatuan dengan prinsip kedua. Totalitas atau holistika menuntut pemahaman radikal dan prinsipal, sehingga (sesuai dengan obyek formal filsafat sendiri) teks, masalah, atau situasi dipandang



dalam hubungan dengan hakikat manusia (16). Prinsip ketiga, yaitu idealisasi, juga cukup khas bagi filsafat, walaupun tidak eksklusif. Pada umumnya filsafat, dengan segala pemahaman struktur-struktur kenyataan, bermuara dalam suatu etika, yaitu das Sollen bagi tindakan manusia sebagai manusia, tidak hanya secara umum, melainkan juga secara khusus dan terarah bagi setiap bidang yang dipertimbangkannya. Juga analisis filosofis terhadap suatu kebudayaan atau suatu etika bangsa memperlihatkan aspek idealisasi itu (17). Kerap aspek idealisasi itu dibatasi pada etika sosial. Akan tetapi sebenarnya juga filsafat kebudayaan filsafat sejarah harus mempunyai dimensi idealisasi itu. Dan tidak lupa juga epistemologi secara terbatas dikuasai oleh idealisasi filosofis.

7. Penutup Perbandingan antara segi-segi penelitian filsafat dengan formulir usulan yang berlaku umum memberikan kesempatan menyoroti kekhususan penelitian filsafat dibandingkan dengan penelitian di bidangbidang ilmiah lain. Walaupun terdapat banyak keserupaan, namun semua segi penelitian filsafat diwarnai secara khusus oleh obyek formal filsafat, dan oleh metode berpikir yang oleh karena itu berlaku pada ilmu filsafat. Asal kekhususan itu dihormati dan diberi tempat dan kesempatan oleh lembaga-lembaga ilmiah umum, maka bisa ditarik kesimpulan, bahwa memang ilmu filsafat memiliki metodologi penelitian tersendiri, dengan unsur-unsur khas seperti telah diuraikan tadi. Akan tetapi metodologi itu toh tidak begitu jauh berbeda dari metodologi di bidang-bidang lain, khususnya dengan metode kualitatif. Maka dialog dengan ilmu-ilmu lain tetap mungkin, bahkan sangat diperlukan. Yogyakarta, 25 Juni 1991 Dr. Anton Bekker

Catatan Kaki:



1. “In all thase instances is indeed reference to the observation of physical facts, but we do not observe actions qua actions artifacts, institutions qua institutions,” 2. Rickman, H.P, “Geisteswissenschaften’, dalam The Encyclopedia of Philosophy, ed. P Edwards, Macmillan, New York, 1967, jilid ke 3, hlm. 275-79 3. Misalnya dalam model “Penelitian (filosofis) mengenai Masalah Aktual”, A.Bakker dan A. Charris Zubair, Metodologi Penelitian Filsafat, Kanisius, Yogyakarta, 1990, hlm. 107. 4. B.G. Glaser and A.L Strauss, Penemuan Teori Graunded: Beberapa Strategi Penelitian Kualitatif, alih bab, Abd. Syukur Ibrahim dan Machrus Syamsuddin, Usaha Nasional, Surabaya, 1985, hlm 28-29. (Asli : The Discovery of Grounded Method ; Strategies for Kualitatife Research, Chicago, Aldina, 1967). 5. Ibidem 6. Van Peursen, C.A, Susunan Ilmu Pengetahuan, Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu, diterj. Oleh J.Drost, Gramedia, Jakarta, 1985, hlm 107. (asli; De Opbouw van de Wetenschap ; Een Inleiding in de Wetenschapsleer, Meppel, Boom. 1980) (Seri Filsafat atma Jaya 3). 7. Taryadi, Alfons, Epistemologi Pemecahan Masalah Menurut Karl R. Ropper, Gramedia, Jakarta, 1989, hlm 49ss. 8. Van Peursen, o.c., hlm 103 ss 9. Magnis–Suseno, F., Etika Jawa, Gramedia, Jakarta, 1954, hlm 10-11, (Asli ; Gevanische Ethik ; Strukturen either ostlichen Moral, 1980) 10. R.F. Beerling, S.L. Kwee,J.J.A. Mooij, dan C.A. Van Peursen, Pengantar Filsafat Ilmu, alih bab. Soejono Soemargono, Tiara



Wacana, Yogyakarta, 1986, bab 2 dan 3, (Asli : Inleiding tot de Wetenschapsleer, Utrecht, Bijleveld, 1970) 11. Beerling, o.c.,hlm 61ss 12. Misalnya contoh yang diberikan untuk ilmu hukum oleh K, Bertens, Filsafat Barat dalam Abad XX, jil.I, Jakarta, Gramedia, 1981, hlm 231. 13. Beerling, ibidem. 14. Glaser, o.c., hlm 161-194. 15. Bak Madison, G.B, The Hermeneutics of Postmodernity : Pi Gures and Themes, Indiana University Press, Bloomington, 1988, hlm 29-30. 16. “A Whole” menurut Ricoeur, P., Hermeneutics and the Human Sciences ; Essays on Language, Action and Interpretation, ed., trasl and introd, J.B.Thompson, repr. Cambridge University Press, Cambridge, 1982, hlm. 211. (Asli : 1981) 17. Magnis-Suseno, o.c., hlm 4.



METODE FILSAFAT DALAM TINJAUAN ILMU AGAMA OLEH : M. AMIN ABDULLAH

M

etode filsafat semakin hangat dibicarakan oleh para ilmuwan sosial, setelah metode yang dipergunakan dalam bidang ilmu-ilmu pastialam berkembang pesat dan menyelinap masuk ke dalam wilayah ilmuilmu sosial. Lingkaran Wina (Vienna Circle) adalah tonggak monumen sejarah bagi para filsuf yang ingin membentuk ‘unified science’, yang mempunyai program untuk menjadikan metode-metode yang berlaku dalam ilmu pasti-alam sebagai metode pendekatan dan penelitian ilmuilmu kemanusiaan, termasuk di dalamnya filsafat. 25 Gerakan para filsuf dalam Lingkaran Wina ini disebut oleh sejarah pemikiran sebagai positivisme-logis. Meskipun aliran pemikiran ini mendapat tantangan luas dari berbagai kalangan,tapi gaung pemikiran yang dilontarkan oleh aliran positivisme logis masih terasa hingga saat sekarang ini. Bukan karena pemikiran mereka yang patut dihidupkan kembali, tetapi implikasi pemikiran mereka setidaknya telah 25

Allan Janik dan Stephen Toulmin, Wittgenstein’s Vienna, Simon dan Schuster, New York, 1973, hal.208-9.Disampaikan dalam Siposium Metodologi Penelitian Filsafat, Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada dan Fakultas Ushuluddin, IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 27-28 Juni 1991.



membangkitkan kesadaran kita untuk memunculkan pertanyaan, apakah kehidupan manusia yang serba kompleks ini dapat dipecahkan lewat pendekatan positivistik, pemisahan yang lugas antara ‘teori’ dan ‘praxis’ antara ‘value’ dan ‘fact’, antara ‘scientism’ dan ‘hermeneutism’? Agaknya, tarik tambang antara metode penelitian filsafat yang bercorak positivisme-logik atau empirisisme-logik dengan metode pendekatan filosofis yang bercorak hermeneutik-praxis akan terus berlangsung sampai kapanpun jua, lantaran justru disitulah letak inti pergumulan keprihatinan manusia sekarang ini. Argumen yang dikemukakan oleh kedua aliran yang berhadapan itu barangkali sulit untuk dicerna oleh orang awam, tetapi secara diam-diam mereka telah mempunyai corak pemikiran yang terpolakan secara filosofis seperti tersebut di atas. Tindakan pemihakan kepada salah satu metode tersebut tidak akan pernah hilang dari sejarah pemikiran manusia. Kalangan para kritikus sosial merasakan, bahwa aspek pemihakan kaum ilmuwan dan intelektual kurang menggigit persoalan yang sebenarnya dihadapi oleh manusia. Hal demikian disebabkan, antaranya karena metode pendekatan yang biasa mereka gunakan cenderung untuk mengantarkan mereka untuk bersikap ‘neutral’ dan obyektif. Jika hal ini benar adanya, maka letak pertautan antara teori dan ‘praxis’, antara ‘obyektivitas ‘dan ‘subyektivitas, antara ‘metafisika’ dan ‘etika’, perlu untuk ditelaah ulang. Bentuk pemisahan atau pertautan antara keduanya penting untuk dikaji ulang, bukan sekedar untuk kepentingan studi itu sendiri, tetapi untuk menelaah bagaimana implikasi dan konsekuensi pemisahan atau pertautan antara keduanya terhadap bentuk struktur kehidupan pribadi dan sosial manusia, serta sejauh mana tingkat apresiasi mereka terhadap alam lingkungan sekitarnya . Tindakan memihak agaknya memang kurang begitu populer di kalangan para ilmuwan, politisi, filsuf dan teoritisi, karena dalam kata-kata ‘pemihakan’ terkandung makna ketidakmurnian, dan bias para ilmuwan. Obyektivitas (netral) dan bukan subyektif (pemihakan) yang selalu

dikejar oleh berbagai pendekatan positivistik dalam ilmu-ilmu pasti-alam dan juga dalam ilmu-ilmu kemanusiaan, termasuk di dalamnya filsafat, sosiologi, psikologi, ekonomi, antropologi, dan lain sebagainya. Para pendukung aliran positivisme-logik maupun empirisisme-logik dalam studi filsafat memang menghindari ‘subyektivitas’ sedapat-dapatnya, agar mereka memperoleh ‘esensi’ atau ‘hakekat’ persoalan secara obyektif. Barangkali mencari ‘esensi’, ‘substansi’, atau ‘hakekat’ itu sendiri tidaklah begitu perlu dikhawatirkan, karena itulah satu-satunya jalan yang perlu ditempuh untuk menemukan struktur fundamental dari semua fenomena dan pengalaman manusia dalam ilmu pengetahuan. Akan tetapi implikasi dan konsekuensi dari pengejaran target seperti itu dapat melebar dan menjebak para ilmuwan untuk bersikap ahistoris dalam melihat dan mendalami persoalan-persoalan manusia seutuhnya. Kristalisasi sikap seperti itu yang oleh para pengamat disebut scientism dan positivisme.26 Dalam hubungan ini, pembahasan metode filsafat agaknya relevan untuk dibicarakan lagi disini, mengingat bahwa perkembangan pemikiran filosofis, termasuk pembahasan metodologinya, sangat berpengaruh dalam bidang ilmu-ilmu yang lain. Setidaknya pembahasan ulang seperti itu adalah untuk menajamkan sikap kritis kita terhadap perkembangan pemikiran manusia modern. Apakah pengalaman konkret kehidupan sosial manusia dalam kehidupan sehari-hari mereka perlu dikurung, perlu disaring dan disaring ulang untuk mencapai titik esensi dengan meninggalkan historisitas dan kesejarahan manusia ? Hal ini akan semakin dirasakan pentingnya jika kita kaitkan dengan pendekatan agama, di mana faktor subyektifitas dan pemihakan tampak lebih menonjol dalam kehidupan beragama.27 Dalam makalah ini, kita akan meninjau serba sekilas apa yang terjadi dalam pergumulan filosofis yang menandai adanya ‘paradigm 26 27

Rorty, Richard, Philosophy and the Mirror of Nature, Princeton University, New-Jersey, 1979, hal. 379-94

Babour, Ian G., Issues in Science and Religion, Harper Torchbooks, Harper and Row,Publishers, New York, 1966, hal.190-4, 226-8.



shift’ dalam metode pemikiran filsafat abad 20 dari corak positivistik ke hermeuneutik. Kemudian akan kita lihat tinjauan ilmu agama terhadap pergumulan filosofis tersebut. Di samping tinjauan ilmu agama terhadap metode filsafat, kita juga akan melihat keprihatinan internal ilmu agama sendiri, karena pengaruh timbal balik oleh metode pemikiran filsafat aliran positivisme dan empirisisme dalam wilayah ilmu agama itu sendiri. Lantaran ‘agama’ mempunyai paradigma tersendiri, maka akan menarik untuk melihat bagaimana pandangannya terhadap pergumulan metodologis dalam bidang filsafat dan ilmu pengetahuan.

Paradigm Shift Dalam Metodologi Filsafat Mencari esensi dan substansi adalah obsesi para filsuf. Plato adalah sumber inspirasi utamanya. Bahwa diseberang sana ada ‘idea’ yang terpisah, yang tetap, yang obyektif, yang terlepas sama sekali dari kehidupan sehari-hari manusia. ‘Idea’ itu permanen, tidak berubah-ubah, transenden, dan itulah hakekat yang sesungguhnya. Kehidupan alam manusia yang berubah-rubah ini adalah tidak bisa dijadikan ukuran untuk melakukan suatu tindakan, karena sifafnya yang ‘unreal’ (tidak nyata) dalam dirinya sendiri. Mereka cuma sebagai penampakan dari ‘idea’ yang nyata tersebut. Alam materi adalah alam yang tiada artinya (non-Being). Dengan demikian, yang transenden diperlawankan secara tajam dengan yang imanen. Menurut pengamatan para filsuf pragmatis Amerika, ajaran inilah yang menjadi warna khas filsafat Eropa Continental sejak Yunani purba sampai Eropa modern. Dalam sejarah perkembangannya, metode pemikiran filosofis yang mengacu kepada idea yang obyektif dan permanen ini mendapat sumbangan yang sangat berharga dari August Comte dengan teori positivismenya. Metode yang berkembang sebagai antitesis dari pemikiran skolastik ini lalu berkembang dan bergabung menjelma menjadi warna yang paling mencolok bagi metode filsafat Eropa Kontinental yang bersifat esensialis, konstruksionis, dan positivis. Pengalaman dan tradisi Eropa ini dipertanyakan oleh pengalaman Amerika dibawah pemikiran



Charles Sanders Pierce, John Dewey, dan Whitehead. Namun sekarang ini, bukan hanya aliran pragmatisme Amerika saja yang mempertanyakan kecenderungan filsafat Eropa Kontinental, tetapi kritik tajam juga muncul dari benua Eropa sendiri lewat pemikiran-pemikiran Max Horkheimer (1595-1373), T.W Adorno (1903-1969), Herbert Marcuse (1898-1979) dan Juergen Habermas ( 1929 - ). Warisan metodologi filsafat Eropa dipertanyakan secara serius oleh aliran metodologi filsafat-Amerika, lantaran latar belakang sejarah mereka yang sangat berbeda. Eropa mewakili tradisi kuno, yang sudah established, kokoh, sudah terbentuk dan terpola, sedang Amerika adalah bentuk budaya yang sama sekali baru, yang sedang mencari bentuk dan identitas. Para filsuf Amerika sangat sadar akan adanya tantangantantangan sejarah yang sangat berbeda dari apa yang dialami oleh Eropa. Latar belakang sejarah yang berbeda ini menjadikan mereka mempunyai kesadaran metodologis-filosofis yang sangat berbeda. Agaknya, klaim yang menyatakan bahwa filsafat semata-mata ingin mengejar sesuatu yang bersifat ‘universal’, permanen, ‘obyektif ’, tanpa mengenal kondisi setempat adalah patah disini. Eropa mempertahankan bentuk yang ‘permanen’, ‘absolut’, ‘substansi’, ‘esensi’, yang tidak berubah-rubah. Sedang Amerika bergulat dengan ‘proses’ dan sejarah yang berubah-ubah. Latar belakang sejarah yang berbeda agaknya membentuk metodologi pemikiran dan penelitian filsafat yang berbeda pula 28. Hal ini penting untuk di garis bawahi, supaya kita tidak terlalu pesimis untuk mengembangkan metodologi pemikiran filosofis tersendiri, sehingga dapat memberikan andil dalam dialog budaya global, tanpa perlu harus meninggalkan ciri khas kepribadian dan kesejarahan kita. Untuk melihat berbagai kemungkinan itu, kita akan melihat terlebih dahulu pemikiran-pemikiran filosofis yang melatarbelakangi munculnya 28

Wolf-Gazo, Ernest, American Philosophy as Process Philosophy: On Pierce, Royce and Process in Community, (makalah belum diterbitkan-pada 1991).



‘paradigm shift’ dalam metodologi pendekatan filsafat, dari yang dulunya semata-mata memunculkan tokoh-tokoh esensialis, positivis, commensurealis, universalis, dan transendentalis ke arah pendekatan metodologis yang bercorak hermeneutik-historis-dialogis. Akan disebut di bawah ini beberapa tokoh filsuf yang mewakili munculnya paradigma baru dalam metodologi pendekatan filsafat.

Kembali ke Bahasa Sehari-hari: Sumbangan Filsafat Bahasa Dalam sejarah filsafat, metodologi yang dikedepankan oleh Wittgenstein mempunyai pengaruh yang kuat di dalam menciptakan ‘paradigm shift’ di lingkungan metode pemikiran filsafat. Dia meninggalkan ‘Picture Theory’ yang dipertahankan dalam Tractatus-Logico-Philosophicus. Dalam teorinya ini, dia beranggapan bahwa akal manusia adalah sebagai representasi dari pada alam. Antara akal dan alam harus ada hubungan yang tepat. Tugas akal tidak lain adalah untuk menggabarkan ‘external world’ dengan setepat-tepatnya. Antara yang benar dan yang salah dapat dengan mudah diketahui lewat prinsip verifikasi. Dengan berpedoman secara ketat kepada prinsip verifikasi seperti itu, maka banyak pengalaman manusia yang tereduksi, bahkan dihilangkan sama sekali. Pengalaman kejiwaan manusia yang sangat kaya tidak mendapat tempat yang sewajarnya dalam konteks verifikasi tersebut. Tetapi, dalam pemikiran periode pertama itu, Wittgenstein sendiri telah mentok dalam menghadapi kenyataan adanya ‘unsayable things’ atau pengalaman mistik. Ternyata pengalaman yang tak terkatakan ini tidak bisa dicakup dalam picture theory-nya.29 Lantaran mentok seperti itu, maka dalam karya berikutnya The Philosophical Investigations, dia merubah metode pendekatan filsafatnya. Dia ajukan teori ‘language game’ yang agaknya lebih bisa menampung segala macam pengalaman manusia yang amat kaya. Dalam teori terbarunya ini, tidak ada perngalaman manusia yang perlu dicoret lagi dari daftar pengalaman manusia. Semua pengalaman manusia adalah 29

Wittgenstein, Ludwig, Tractatus Logico Philosophicus, 6.522



‘meaningful’, termasuk didalamnya metafisika, etika, maupun agama. Cuma, wilayah permainan bahasanya yang berbeda. Wilayah permainan bahasa ilmu pengetahuan berbeda dari wilayah permainan bahasa agama. Kedua wilayah permainan bahasa ini tidak bisa dicampur aduk, apalagi kalau sampai yang satu menggeser yang lain. Ibarat orang main catur, jalannya pion adalah berbeda dari jalannya kuda. Masing-masing mempunyai wilayah keabsahannya sendiri. Jangan melamun akan adanya suatu pemahaman yang universal, yang menghilangkan warna dan ciri khas budaya masing-masing. Yang ada adalah family resemblance. Bahasa doa berbeda dari bahasa matematika. Bahasa menyuruh berbeda dari bahasa lelucon 30. Orisinalitas Wittgenstein terletak pada kreatifitasnya dalam membangun sistem metodologi filsafat yang baru. Dia terus terang mempertanyakan relevansi dan kegunaan metodologi yang selama itu berjalan. Sebelumnya filsafat identik dengan pencarian yang ‘absolut’, substantif, dan obyek yang paralel dengan mencari ilmu pengetahuan alam, seperti hukum alam yang ajek, materi, atom, dan energi. Dengan demikian dunia budaya dan sosial kemanusiaan tidak tersentuh. Wittgenstein membuka cakrawala baru dengan mengatakan, bahwa pengalaman manusia yang begitu kompleks dan luas, sehingga mustahil untuk dapat direduksi menjadi apapun. Metode ilmu pengetahuan yang berkembang pesat saat itu tidak dapat berpretensi untuk dapat menyelesaikan dan memahami kehidupan manusia yang amat kompleks. Usulan untuk membawa metode ilmu pengetahuan yang bersifat positivistik-empiris dalam kehidupan manusia ditolak oleh Wittgenstein, karena hal itu tidak sesuai dengan bidang kajian perilaku dan pengalaman manusia secara utuh.

30

Wittgenstein, Ludwig, The Philosophical Investigations, Basil Blackwel, Oxford, 1978, paragraf 23, h.11.



Wittgenstein mempertanyakan ambisi para filsuf aliran posivistik yang tergabung dalam Lingkaran Wina yang ingin menggunakan metode ilmu pengetahuan positif-verifikatif dalam bidang kajian ilmuilmu kemanusiaan. Metode ini tidak tepat, karena bidang garapnya adalah lain. Pengalaman manusia yang tidak dapat diverifikasi bukan berarti bahwa pengalaman itu meaningless. Dengan kata lain, pengalaman kejiwaan manusia tidaklah perlu diseret-seret ke dalam wilayah verifikasi ilmu pengetahuan yang empiris-positivistik, karena hal demikian akan menjadikan kehidupan manusia impoverished, tandus, dan mandul.

Masukan dari Filsafat Ilmu Perlunya perubahan wawasan metodologi penelitian filsafat yang bercorak positivistik ke humanistik-hermeneutik agaknya semakin menonjolkan sosoknya. Bahkan dalam bidang yang paling dekat dengan kulit positivisme sendiri, yakni ilmu pengetahuan, ternyata faktor subyektivitas manusia dan kesejarahannya perlu tetap diakui keabsahannya. Bukan hanya aspek logikanya yang terpokok, tetapi juga aspek subyektivitas-kesejarahan manusianya juga perlu digaris bawahi. Thomas Kuhn, sebagai orang yang menekuni sejarah ilmu pengetahuan, mengemukakan temuannya, bahwa antara satu teori ilmu pengetahuan, seperti teori pisika Aristoteles, adalah sulit sekali untuk dapat dibandingkan dengan teori fisika Newton. Demikian pula sulit untuk dibandingkan teorinya Newton dengan teori kuantum mekaniknya Einstein. Masing-masing punya ciri khas, sehingga sulit untuk di cari titik temu dari segi obyektivitas dan keuniversalannya. Bukan segi universalitas dan obyektivitas ilmu pengetahuan yang ditekankan disitu, tetapi yang ditonjolkan adalah kenyataan, bahwa teori ilmu pengetahuan yang satu dapat dikoreksi oleh teori ilmu pengetahuan yang lain.31

31

Khun, Thomas, The Structure of Scientific Revolotions, The University of Chicago Press, Second Edition, 1970. Juga Brown, Harold I., Perception, Theory and Commitment: The New Philosophy of Science, The University of Chicago Press,Chicago, 1977, h. 134-9



Jika hukum Newton (juga hukum-hukum sosial, ekonomi, psikologi) itu berlaku secara universal, tanpa mengenal keterbatasan manusia dalam menyusun teori itu, maka bagaimana dapat dimungkinkan teori Newton yang dulunya berlaku secara universal kemudian dapat digoyahkan oleh teori baru, yakni teori Einstein ? Lalu, apa arti obyektivitas dan universalitas dari pada teori yang dikemukakan oleh para pencetusnya? Paradigma hukum fisika yang dibangun oleh Newton ternyata lekang karena panas dan lapuk karena hujan. Bukankah itu pertanda bahwa obyektivitas tersebut cuma sebatas kemampuan manusia yang merumuskannya? Agaknya, obyektivitas dan universalitas hukum alam itu sangat tergantung dan terkondisikan oleh faktor sejarah dan kekuatan interpretasi manusia serta kreatifitas mereka sendiri.32 Jika memang begitu, lalu apa arti obyektivitas yang dijadikan acuan utama dari penelitian? Jika begitu keadaannya dalam ilmu alam, maka bagaimana halnya jika hal itu terjadi dalam ilmu-ilmu kemanusiaan ? Dengan munculnya Kuhn, ide commensurability menjadi kurang relevan. Kita perlu mencari model lain yang lebih tepat untuk mendekati suatu persoalan. Jika tidak, kita akan terjebak pada paradigma yang kita kira sangat layak, namun ternyata meleset sama sekali. Adanya normal dan revolutionary science sangat memberi inspirasi pada generasi ilmuwan berikutnya untuk merumuskan kembali paradigma metodologi penelitiannya. Ternyata adagium yang dilontarkan oleh golongan positivistik bahwa nothing new under the sun, karena semuanya telah ditemukan oleh para penemu teori-teori besar terdahulu, dapat dipatahkan. Adanya revolutionary science membuktikan, bahwa disana masih banyak ‘something new under the sun’. Hal itu sangat tergantung pada faktor subyektifitas, sejarah, dan kreativitas manusia dalam menatap tatanan kehidupan, masyarakat, dan alam yang sudah mapan. Harold I Brown malah menandaskan bahwa “any creative act is rational”.33

32 33

Brown, Harold. I., Ibid. h. 155 Ibid. h. 132



Kritik Ideologi Jalan masuk yang disumbangkan oleh filsafat bahasa dan filsafat ilmu kemudian diperlebar dan diperkeras oleh Juergen Habermas. Jangan dibayangkan adanya kesamaan titian jalan yang mereka lalui. Mereka mempunyai cara pendekatan kritis-filosofis yang berbeda dalam melihat persoalan aktual manusia. Titik kesamanaan pandangan mereka cuma terletak pada kesepakatan, bahwa metode pemikiran dan penelitian filsafat yang bersifat positivistik tidaklah tepat untuk mengkaji persoalan manusia yang kompleks. Kritik Habernas tidak lain adalah kritik terhadap scientism dan positivisme yang sudah berubah baju menjadi ‘ideologi’. Menurutnya, scientism dan positivisme sudah menjadi ideologi yang tertutup, lantaran ideologi ini berpegang teguh pada hukum yang positif-obyektif baik dalam ekonomi, sejarah, sosial, sehingga tidak fleksibel lagi, dan tidak kondusif untuk melakukan ‘paradigm shift’ dalam menatap realitas struktur sosial yang ada. Hukum sosial seperti survival for the fittest yang berlaku di banyak bidang kehidupan dianggap memang begitu adanya, sehingga mempengaruhi struktur kehidupan sosial ekonomi dalam masyarakat luas. Hukum tersebut dianggap obyektif, universal, dan perlu berlaku dimana-mana. Yang mempertanyakan validitas dan obyektivitas teori tersebut malah dituduh sebagai tidak ilmiah. Hukum yang dianggap obyektif tersebut terlepas dari basis sosial yang ada. Hukum-hukum itu terlepas dari kenyataan sosial dan berdiri sendiri. Hukum-hukum yang positif-obyektif mempunyai status seperti ‘idea’ Plato yang terlepas dari peristiwa keseharian manusia. Hukum-hukum dan teori-teori inilah yang dikejar oleh para ilmuwan alam dan sosial. Keyakinan yang dipegang teguh oleh para ilmuwan hampir dari segala cabang ilmu pengetahuan ini paralel saja dengan keyakinan para filsuf terhadap teori ‘Form’ atau ‘Idea’ Plato yang obyektif, permanen, transenden, perlu dan univesal, yang terlepas dari proses kesejarahan manusia. Ini mirip dengan transendentalisme Kant yang bersifat



‘necessary dan universal’ atau ‘roh absolut Hegel yang mengacu kepada masyarakat yang rasional’, atau positivisme Marx yang tidak mengenal fleksibilitas hukum sejarah untuk merubah nasib kaum proletar. Ada semacam keyakinan bahwa esensi yang dicari-cari oleh para filsuf atau hukum-hukum alam dan sosial yang dicari-cari oleh para ilmuwan, jika sudah ketemu, tidak dapat berubah dan memang tidak perlu dirubahrubah untuk disesuaikan dengan kebutuhan manusia. Jika masih dapat dirubah-rubah, maka hal demikian tidak obyektif lagi, tidak ilmiah, tidak transendental, dan tidak universal. Ternyata penonjolan secara tajam tuntutan atas sikap obyektif, positif, exact, lugas, dan dingin tanpa disadari membawa serta kecenderungan yang menepikan sikap subyektif dan sikap yang memihak. IImu-ilmu menjadi neutral dan kurang peduli dengan perkembangan masyarakat modern yang semakin teralienasi dari masyarakat sekitar dan lingkungannya. Karena netralitasnya itu, mereka merasa risi dan tidak terpangggil untuk melihat bangunan struktur masyarakat yang tidak adil. Hal demikian dianggap di luar bidang garap mereka. Dengan begitu, semacam ada keterputusan antara ilmu sebagai profesi dan tanggungjawab sosial maupun lingkungan para pencetusnya. Oleh karena itu, pertautan antara metafisika dan etika, antara teori dan praxis, memang hendak digalakkan kembali oleh para filsuf sekarang ini. Ilmu pengetahuan yang maju pesat tanpa keterikatan moral untuk memihak kepada alam lingkungan dan golongan manusia yang lemah menandakan ada something wrong dalam dasar logika, epistemologi, maupun ontologinya. Mekanisme kerja yang mempertautkan kembali antara keduanya sedang dicari-cari modus operandinya. Metafisika yang cenderung cuma berkehidupan kontemplatif, terlepas dari kepedulian sosial dan lingkungan alam sekitar, agaknya memang tidak banyak



bermanfaat untuk kehidupan secara utuh dan global diatas bumi yang semakin sempit ini. Masih jarang para filsuf yang mengkaji pertautan antara metafisika, dan etika. Karl Apel Otto dan Emmanuel Levinas34, untuk menyebut beberapa, juga Soedjatmoko,35 mencoba mendalami dan memecahkan masalah itu. Jika memang ke arah sana titik temu keprihatinan yang dicita-citakan pemikiran filosofis, maka hal itu agaknya pararel saja dengan apa digarap oleh penelitian agama. Meskipun yang terakhir ini belum lagi memunculkan konsep yang menggigit juga dalam hal etika kepemihakannya.

Tinjauan Ilmu Agama Apakah istilah tinjauan ini tepat atau tidak perlu kita pertimbangkan kemudian, karena menurut penulis antara paradigma metodologi penelitian dan pemikiran filsafat serta metodologi ilmu agama agaknya sama, tapi tidak serupa.36 Perlu dibedakan terlebih dahulu apa yang disebut dengan ilmu agama atau science of religion dari ‘teologi’. Acap kali para pakar ilmu agana mengklaim, bahwa bidang garap mereka bukanlah teologis semata, karena dalam science of religion ditonjolkan aspek pendekatan ilmiah terhadap fenomena keberagamaan manusia, baik lewat studi psikologi agama, sosiologi agama, fenomenologi agama, antropologi, dan sejarah agama.37 Mercia Eliade dalam The Quest yang mensitir Ninia-Smart, umpamanya, menuduh ahli-ahli psikologi dan sosiologi sebagai para reduksionis, lantaran tidak atau kurang memperhatikan faktor agama dalam kajian mereka 38.

34 35 36 37 38

Radnitzky, Gerard, Contemporary Schools of Metascience, Berlingska Boktryckereit, Swedia, 1970, hal. 160-85. Soedjatmoko, Etika Pembebasan, LP3ES, Jakarta, 1988. Ali, H.A. Mukti, Ilmu Perbandingan Agama, IAIN Sunan Kalijaga Press, Yogyakarta, tt., h.56. Ibid. hal. 55, 57. Smart, Ninian, The Science of Religion and the Socioloqy of of Knowledge: Some Methodological Questions, Princeton University Press, New Jersey, 1973, hal. 66



Para teolog terlebih-lebih lagi kurang simpati terhadap pendekatan ilmiah terhadap agama, karena mereka menganggap para ahli-ahli ilmu agama mereduksi agama sebagai hanya gejala-gejala sosial semata, sehingga aspek spiritualnya kurang mendapat prioritas.39 Peter L, Berger, sebagai contoh,dengan teori proyeksinya, juga disebut oleh Ninian Smart sebagai reduksionis.40 Jadi memang ada semacam ketegangan antara kaum teolog, baik di kalangan Katolik, Kristen, Islam, Buddha, Hindu dengan para ilmuwan agama di satu pihak, dan ketegangan serupa antara ahli-ahli ilmu agama dengan para ahli ilmu sosial di lain pihak. Pengaruh timbal balik antara metode filasafat dan metode ilmu agama sangat terlihat. Penulis melihat bahwa metode-metode filsafat yang mengejar ‘esensi’, ‘substansi’ dan ‘obyektifitas murni’ juga mengimbas kepada metodologi ilmu-ilmu agama. Pencarian esensi beragama manusia adalah sudut bidik utama para ilmuwan agama. Rudolf Otto dengan ‘sensus numinus-nya’, Ninian Smart dengan ‘Fokus’nya, Mercia Eliade dengan ‘essence of religion-nya’, Claas J Bleeker dengan ‘eidos’nya dan Joachim Wach dengan ‘ultimate reality’nya. Ninian Smart berpendapat begini, “the need for a transcendental focus to enter into descriptions of man’s …., but wrongly supposes that such descriptions must commit one to affirm the existence of a divine living”. 41 Joachim Wach sendiri secara ekplisit pernah mencurigai arah pendekatan ilmu-ilmu agama, terutama ilmu sejarah agama, yang mengarah kepada studi tentang hal-hal kurang bermanfaat dengan mengatakan: “There is a pathetic about the modern historians of religions who has strong words only when he wants to convince us that he 39

40 41

Ali, H.A. Mukti, “Penelitian Agama di Indonesia”, dalam Mulyanto Sumardi (ed.), Penelitian Agama, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1982, hal.23; Juga, Matulada, “Pene1itian Berbagai Aspek Keagamaan Dalam Kehidupan Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia”, ibid, hal. 56, 59. Smart, Ninian, Op.cit., hal.76. Ibid. hal. 57



has no convictions. His interest, so he says, is antiquarian or the result of sheer intlectual curiosity. He is neutral as far as religion is concerned”42. Suatu sindiran tajam yang mempertanyakan ke arah mana studi agama dan ilmu agama memihak. Transcendental focus adalah ciri khas ilmu-ilmu agama yang ingin dipertahankan di hadapan kajian para ilmuwan sosial yang biasa mereduksi agama hanya sebagai gejala-gejala sosial semata. Dengan begitu, ilmuwan agama, selain mempunyai ke tegangan metodologis dengan para teolog, juga mempunyai ketegangan yang sama dengan para ilmuwan sosial. Barangkali, atas keprihatinan ini, lalu Prof. Dr. H.A. Mukti Ali mengajukan rumusan metodologi penelitian ilmu agama yang bersifat ‘scientificcum-doctriner dengan harapan dapat menjembatani adanya ketegangan tersebut. Tanpa aspek doktrin, agama memang akan kehilangan nuansa dan ciri khas yang mewarnainya 43. Sudah barang tentu, banyak jasa ilmu-ilmu agama ini di dalam mengendorkan konflik-konflik teologis di antara para penganut agamaagama didunia. Uraian-uraian segar tentang agama dapat mengendorkan ketegangan urat saraf yang mengklaim kebenaran eksklusif setiap agama. Monopoli kebenaran agama itu dapat terkurangi dengan masukanmasukan yang disampaikan oleh pendekatan ilmu-ilmu agama. Terlepas dari jasa tersebut, dilihat dari tinjauan dan keterkaitannya dengan metodologi filsafat yang sedang mengalami ‘paradigm shift’ di atas, maka agaknya metodologi ilmu-ilmu agama yang menitikberatkan pada ‘transcendental focus’ adalah masih bercorak tradisional-positivistik. Kita menyadari betapa pentingnya penekanan terhadap aspek transendental ini, karena tanpa unsur transendental ini, agama akan kehilangan makna kedalamannya, namun serat benang merah dapat terlihat di situ. 42 43

Wech, Joachim, The Comparative Study of Religions, Columbia University Press, New York, 1958, h. 8. Ali, H.A. Mukti, Ilmu Perbandingan Agama, Op.cit. hal.64.



Metodologi pendekatan ilmu-ilmu agama, seperti halnya dalam studi filsafat, masih banyak memihak kepada dunia teori, dan bukan kepada praksis. Masih banyak memihak kepada dunia metafisika, dan bukan kepada etika. Jurang antara keduanya masih lebar. Dan justru pertautan antara teori dan praksis dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan yang sekarang ini ingin ditinjau kembali sebagai upaya awal untuk mengantisipasi jalan pemecahan terhadap struktur masyarakat yang timpang, serta ketimpangan dalam menatap alam lingkungan. Jika begitu keadaannya, apakah agama kehilangan aspek praksisnya? Suatu pertanyaan yang menarik untuk dikaji lebih lanjut. Bukankah agama sejak dulu sarat dengan nilai etika dan nilai-nilai yang memihak ? Jika kita kaji secara teliti buku-buku ilmu agama, agaknya kesan hilangnya aspek ‘praxis’, etika sosial, dan lingkungan dari agama sedikit banyak memang ada. Kesan ini setidaknya pernah digarisbawahi oleh Frank Whaling sebagai berikut: “However, two interesting lessons, relevant to this point, brought by the philosophy of science to the study of religion are : first, that ethics and evaluation are included within the wider framework of the study of science, whereas ethical and other valuejudgments are suspected by many scholars of religion and, second, that science is not afraid to see the whole scientific enterprise within a wider framework, whereas the study of religion has been more prone to confine its interest to matters relating to itself ” 44.

Dimensi Etika-Praksis dalam Agama Berbeda dari arus yang berkembang dalam studi ilmu agama tersebut di atas, sebagai bahan bandingan cukuplah menarik untuk mengkaji 44

Whaling, Frank, “Additional Mote on Philosophy of Science and the Study of Religion”, dalam Contemporary Approaches to the study of religion, Vol. I, Frank Whaling (ed.) Walter de Gruyer and Co, Berlin, 1983, hal. 387.



telaah Ian Barbour tentang kajian agama. Dalam membandingkan metode yang berlaku dalam dunia agama dan dunia ilmu pengetahuan, dia menggaris bawahi unsur ‘subyektivitas’ daripada agama (baca: bukan ilmu agama). Jika ditilik dari sudut penglihatan yang tidak tradisional, ilmu pengetahuan pada dasarnya tidak dapat menghindari unsur subyektivitas, sedangkan penghayatan agama sendiri adalah sarat dengan unsur subyektivitas. Dengan lain ungkapan, peran etika yang merubah dan memihak dan bukan metafisika yang kontemplatif-permanen-status quo juga digarisbawahi oleh agama. Perubahan dan pemihakan hanya bisa dimungkinkan dengan adanya aktivitas dan kreativitas manusia sebagai subyek, serta pengandaian adanya hukum-hukum sosial yang bisa dirubah. Perubahan struktur masyarakat yang timpang dan perubahan sikap terhadap alam lingkungan yang bersifat eksploitatif hanya bisa dimungkinkan, jika manusia sebagai subyek lebih memusatkan perhatian kepada unsur etika-praksis yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kreatibitas subyektif manusia. Metodologi pendekatan filsafat dan juga ilmu agama yang cenderung bercorak transendental-kontemplatifspekulatif tidak banyak berbuat disini, jika yang diacu cuma pada pencarian esensi, substansi, yang tidak berubah-rubah, yang permanen, yang absolut. Aspek transendental ini bermanfaat, jika ditempatkan pada ruang dan gerak inspirasi yang dapat memotivisir seseorang untuk berbuat sesuatu yang menyentuh persoalan nyata kehidupan manusia. Jika memang begitu, maka agama akan dapat memberi suasana yang kondusif bagi perubahan, karena sifat internalnya yang memihak kepada perubahan tingkah laku. Pemihakan terhadap perubahan struktur pemikiran filosofis yang lebih berorientasi kepada kepedulian sosial dan alam lingkungan di bawah terang agama agaknya lebih memberi prospek yang baik untuk mengantarkan ’paradigm shift’ dalam metodologi pendekatan filsafat dan ilmu pengetahuan. Apakah metode ilmu-ilmu agama yang masih paralel dengan metode penelitian dan pemikiran filsafat dapat melihat aspek praksis di bawah terang agama? Jika yang



dicari-cari ilmu-ilmu agama dan para teolog adalah cuma aspek transendental, telepas dari keterkaitan dan tinjauan praksisnya yang menyentuh persoalan umat manusia yang aktual, agaknya pendekatan metodologi ilmu-ilmu agama dan juga filsafat akan kehilangan aspek etika praksisnya yang berwawasan transformatif humanistik. Teori-teori ilmu agama, juga seperti halnya teori-teori filsafat, berpihak kepada siapa? Jika mereka memihak kepada pemahaman ‘ilmu untuk ilmu’, terlepas sama sekali dari subyektivitas yang aturannya memihak, maka secara tidak tersadari, filsafat dan ilmu-ilmu agama akan berwawasan scientism dan positivisme dengan mengambil jarak yang tegas dari kenyataan kesejarahan hidup manusia dan alam lingkungannya. Bagi beberapa pengamat sosial, bangunan struktur dunia ysng timpang, juga semakin rusaknya alam lingkungan di sekitar, adalah sebagai akibat ketidaklayakan metodologi ilmu pengetahuan yang tidak menpunyai muatan komitmen pemihakan yang jelas. Apakah bangunan struktur teori ilmu pengetahuan yang positif empiris, yang telah berjasa besar dalam sejarah peradaban manusia, perlu ditinjau ulang ? Apakah memang benar bahwa keterputusan ikatan antara ‘teori’ dan ‘praxis’, dan ketidakseimbangan antara metafisika dan etika sebagai sumber dari segala masalah? Kajian manusia perlu terus menerus menelaah ulang berbagai kemungkinan itu, dan telaah ulang seperti itu mengandaikan suatu keyakinan, bahwa paradigma metodologi ilmu pengetahuan dan filsafat tidaklah mesti baku, dan tidaklah mesti permanen. Justru perlunya perubahan paradigma wawasan metodologi yang dapat mempertautkan kembali antara teori dan praxis sedang dicari kemungkinannya, meskipun untuk tahap sekarang ini masih seperti orang mencari jarum di kegelapan malam.

Daftar Pustaka Ali, H.A. Mukti, “Penelitian Agama di Indonesia” dalam Mulyanto Sumardi (ed.), Penelitian Agama, Penerbit Sinar Harapan, Jakarta, 1982.



Babour, Ian G., Issues in Science and Religion, Harper Torchbooks, Harper and Row, Publishers, New York, 1966. Brown, Harold I., Perception, Theory, and Commitment: The New Philosophy of Science, The University of Chicago Press, Chicago, 1977. Janik, Allan dan Toulmin, Stepen, Wittgenstein’s Vienna, Simon and Schuster, New York, 1973. Khun, Thomas, The Structure of Scientific Revolutions, The University of Chicago Press, Second Edition, 1970. Radnitzky, Gerard, Contemporary Schools of Metascience, Berlingska Boktryckereit, Swedia, 1970. Rorty, Richard, Philosophy and the Mirror of Nature, Princeton University, New Jersey, 1979. Smart, Ninian, The Science of Religion and the Socioloqy of of Knowledge, Some Methodological Questions, Princeton University Press, New Jersey, 1973. Soedjatmoko, Etika Pembebasan, LP3RS, Jakarta, 1988. Wech, Joachim. The Comparative Study of Religions, Columbia University Press, New York, 1958. Wolf-Gazo, Ernest, American Philosophy as Process Philosophy : On Pierce, Royce and Process in Community, (makalah belum diterbitkan) Wittgenstein, Ludwig, The Philosophical Investigations, Basil Blackwel, Oxford, 1978. Whaling, Frank, “Additional Mote on Philosophy of Science and the Study of Religion”, dalam Contemporary Approaches to the Study of Religion, Vol. I, Frank Whaling (ed.) Walter de Gruyer and Co, Berlin, 1983.



METODA PENGERTIAN DAN ANTROPOLOGI FILSAFAT OLEH : S. TAKDIR ALISJAHBANA

F

ilsafat saya adalah filsafat tentang manusia sebagai makhluk yang berbeda dari hewan, yaitu yang menciptakan kebudayaan dan hidup dalam kebudayaan. Dengan demikian untuk dapat melukiskan manusia itu sebagai makhluk yang menciptakan kebudayaan dan hidup dalam kebudayaan, saya tidak dapat memakai metoda positif yang mengukur, menimbang, menghitung. Saya mesti menempuh jalan yang lain memakai metoda lain sesuai dengan manusia sebagai makhluk yang mempunyai susunan jiwa, yang saya namakan budi yang menciptakan budidaya atau kebudayaan, dan hidup dalam kebudayaan. Jelas jika dibandingkan dengan hewan, manusia itu makhluk yang jauh lebih bebas dalam segala kelakuannya, dan dalam kebebasannya itu ia mencipta, mengubah alam sekitarnya, dan menjadikannya suatu kenyataan baru yang kita namakan kenyataan budidaya atau kebudayaan. Untuk menyelidiki budi manusia dalam berbagai jenis ciptaannya yang sekaliannya kita simpulkan dalam perkataan kebudayaan, seperti sudah saya katakan, metoda ilmu obyektif yang menghitung, menimbang, dan mengukur tak dapat saya pakai. Saya sebagai manusia sendiri mesti memakai metoda yang saya namakan metoda mengerti yang diterjemahkan dalam bahasa Jerman verstehen. Sebabnya meskipun



saya dapat menghitung dan mengukur dan mempunyai statistik yang lengkap tentangnya, saya belum dapat mengerti manusia itu dalam perbuatannya setiap hari. Sebab manusia itu adalah makhluk yang dengan budinya berpikir, merasa, berimajinasi, mempunyai intuisi, mempunyai kepercayaan, bebas memilih, dan berbuat. Dalam unsurunsur dan kecakapan inilah saya hendak melukiskan rnanusia seperti telah saya lukiskan dalam buku saya Essay of a new Anthropology : Values as Integrating Forces in Personality Society and Culture yang dalam bahasa Indonesianya diterjemahkan dengan judul Antropologi Baru. Kalau saya membawa seekor kera ke dalam hutan yang asing bagi saya dan asing juga bagi kera itu karena sama-sama menghadapi suatu soal, yaitu soal bagaimana akan melanjutkan hidup dengan makan dalam hutan itu, sebab kami sama-sama tidak mengetahui buah-buahan yang ada dalam hutan itu. Kera itu dalam waktu yang tiada berapa lama akan dapat mengetahui buah apa yang akan dapat dimakannya, dan ia terus sekali makan buah itu oleh karena instingnya tajam. Yang dinamakan insting itu ialah kecakapan pada hewan itu untuk dapat dalam waktu yang pendek menyesuaikan dirinya kepada alam. Dalam hubungan ini dapat kita berkata, bahwa antara alam dengan hidup kera itu ada sesuatu yang saling isi mengisi, komplimenter. Kecakapan kera itu sesuai dengan kemungkinan-kemungkinan yang terdapat dalam alam, sehingga kera itu dapat hidup dengan mudah dalam alam disekitarnya. Sekaliannya itu diatur oleh susunan instingnya yang dengan cepat mengetahui kemungkinan-kemungkinan yang terdapat baginya disekitarnya. Pada saya sebagai manusia, insting itu tidak kuat dan telah diganti oleh pikiran, oleh kemungkinan membedakan dan memilih. Dengan demikian buah-buahan yang banyak dalam hutan itu mulailah saya perhatikan dan saya lihat. Yang indah rupanya, merah ranum, saya petik dan saya gigit. Tetapi apabila rasanya pahit, buah itu segera saya buang, saya pindah ke buah yang lain. Tetapi kalau buah itu sangat asam, maka saya buang pula. Demikian seterusnya saya memilih dan mencoba, sampai akhirnya saya mendapat buah yang enak rasanya dan baik khasiatnya bagi



saya. Sedangkan, kera itu setelah makan pergi meninggalkan hutan itu. Apabila ia lapar keesokan harinya ia datang kembali ke hutan itu untuk makan pula sepuas-puasnya. Berbeda dari kera itu, saya sebagai manusia yang mendapat buah yang enak itu tidak akan terus menerus mengulang-ulang datang ke pohon itu. Saya mendapat pikiran untuk mengambil biji buah itu, dan membawanya pulang untuk menanamnya dirumah dengan harapan pada suatu ketika, saya akan dapat memakan buah itu di rumah saya sendiri, tidak usah berulang-ulang masuk ke hutan yang jauh itu. Artinya pohon buah yang tumbuh dengan sendirinya di hutan sebagai bagian dari pada alam, saya tanam di rumah saya. Saya jaga sebaik-baiknya, supaya buahnya jauh lebih banyak, jauh lebih baik dari dalam hutan itu. Dengan kata yang lain sedangkan kera itu menghadapi alam itu dengan instingnya dan dengan demikian menyesuaikan dirinya kepada alam itu, saya menghadapi alam itu sebagai subyek yang menghadapi obyek. Saya mencoba, memilih, mengambil keputusan atasnya. Dengan kata lain, saya menilai isi alam itu, dan dari isi alam itu yang dapat saya pakai saya ambil buahnya saya makan. Kayunya saya potong supaya saya dapat membuat bermacam-macam benda dari padanya. Dengan kata lain, pohon itu saya jadikan sebagian dari kebudayaan ciptaan manusia. Pekerjaan saya berbeda dari kelakuan kera yang menurut pada instingnya. Manusia bisa menilai. Budi manusia itu menilai alam sekitarnya, termasuk juga manusia dan dirinya sendiri, dan atas dasar nilai dan penilaiannya itu bermacam-macam perbuatan, bermacam-macam tindakan yang dilakukannya, dan semuanya kita namakan kebudayaan. Tentulah nilai manusia itu tidak hanya satu saja, tetapi banyak dan beragam-ragam. Hal itu dapat saya tunjukkan dengan mengemukakan contoh. Kalau di kampus ini ada sebuah pohon yang istimewa, yang tak ada taranya, yang belum banyak orang melihatnya, mungkin seorang datang melihat pohon itu dan bertanya. “Pohon apakah itu?” Orang itu mau tahu dengan obyektif pohon apa itu. Dilihatnya daunnya,



kembangnya, buahnya dsb, dan akhirnya dapat diputuskannya, pohon itu masuk sesuatu jenis pohon-pohon yang biasanya dirumuskan dengan bahasa Latin. Seorang yang lain yang tahu, bahwa pohon itu khasiatnya yang lebih baik dari pada ginseng. Dia ingin sekali memiliki pohon itu atau sekurang-kurangnya mendapat bijinya atau mencangkoknya dengan maksud untuk mengembang biakannya, dan nanti dapat menjual hasilnya, dan dengan demikian mendapat uang, dan mungkin menjadi kaya raya. Orang itu menghendaki guna sebanyak-banyaknya dari pohon itu. Dia kita katakan melihat pohon itu sebagai obyek ekonomi. Tetapi mungkin juga pada suatu hari datang seorang Bali kesini, dan melihat pohon yang istimewa itu bangkit dalam hatinya untuk membuat sajian dan meletakkannya pada pohon itu. Pohon itu baginya merupakan obyek agama. Dengan meletakkan sajian di pohon itu, dia berhubungan dengan kegaiban yang menurut kepercayaannya terjelma oleh pohon itu. Seorang yang lain mungkin datang ke sana membawa cat, pensil, dan kanvasnya, dan mulailah melukis pohon itu. Ia adalah seorang seniman yang terpengaruh oleh ekspresi pohon itu, dan demikian dijadikannya pohon itu sebagai ciptaan seni. Dengan demikian kita telah melihat orang menilai pohon itu dengan 4 (empat) jenis nilai, yaitu pertama nilai teori yang dengan obyektif hendak mengindentitasnya, kedua nilai ekonomi yang berusaha mendapat guna dari padanya, ketiga nilai agama yang melihat penjelmaan kekudusan, kegaiban, dan kesucian dalam pohon itu, dan keempat nilai seni yang mengucapkan ke ekspresian atau keindahan. Keempat nilai itu masingmasing mempunyai obyeknya sendiri, mempunyai logikanya sendiri, mempunyai tujuannya sendiri, mempunyai motivasinya sendiri yang berbeda-beda. Dalam segala sesuatu lain yang kelihatan dapat dihargai oleh keempat nilai itu, dan logika yang berlainan pula dipakainya. Sementara itu keempat nilai ini ada pada semua orang. Di sisi keempat nilai ini, ada lagi dua nilai yang lain, yaitu hasil penilaian kita atas sesama manusia kita. Kita selalu mau lebih dari orang



lain. Kita girang apabila orang itu mengikuti kita, atau tunduk kepada kita. Nilai ini saya namakan nilai kuasa. Yang paling jelas penjelmaannya adalah dalam pemilihan umum, ketika golongan-golongan yang serta itu hendak merebut suara-suara dari pemilih, agar dapat memegang kekuasaan negara. Pada waktu yang demikian tidak seorangpun akan mengatakan, bahwa partai yang lain itu mungkin betul. Dalam perebutan kekuasaan itu, golongannya saja yang mungkin betul, dan dia berusaha sedapat mungkin menang dalam pemilihan itu, supaya dapat memegang kekuasaan, yaitu memerintah. Tetapi orang yang berkuasa pun ingin juga disayangi, dicintai, ingin mendapatkan sahabat, ingin bekerjasama dengan orang lain. Nilai ini saya namakan nilai solidaritas. Sedangkan nilai kuasa itu vertikal dari atas kebawah, nilai solidaritas adalah horizontal. Orang yang disahabati, dicintai, dengan siapa kita bergotong-royong, orang itu sama tingkatnya dengan kita. Kita girang dapat membantunya dan berbakti kepadanya. Demikian kita sekarang ini mempunyaj enam jenis nilai yang masingmasing mempunyai motivasi, mempunyai tujuan, mempunyai logikanya sendiri, dapat mudah dibedakan yang satu dengan yang lain. Keenam nilai ini ada pada tiap-tiap orang. Perbedaan antara seorang pribadi dengan pribadi yang lain bukan perbedaan tentang jumlah keenam nilai itu, tetapi adalah tentang susunan atau konfigurasi keenam nilai itu. Ada orang yang nilai terpentingnya adalah nilai teori atau ilmu, dan ia tertarik untuk menjadi ilmuwan. Sedangkan orang yang lain nilai tertingginya adalah nilai ekonomi. Dia mungkin menjadi saudagar, menjadi pedagang, atau menjadi pengusaha. Orang yang lain yang nilai terpentingnya adalah nilai kuasa. Orang yang demikian biasanya berusaha mendapatkan kekuasaan di negerinya. Sebenarnya mudah kita mengetahui bagaimana susunan nilai seseorang, yaitu dengan mengemukakan sejumlah pertanyaan yang masing-masing mengemukakan nilai-nilai yang enam itu. Dari jawab-jawab pertanyaan itu dapat kita mengetahui susunan nilai seseorang, nilai mana yang tinggi dan nilai mana yang rendah. Misalnya saya dapat memberikan sejuta



kepada beberapa orang. Bergantung kepada susunan nilai orang-orang itu, berbeda apa yang dilakukannya dengan uang itu. Yang nilai seninya kuat, mungkin dengan uang itu, ia akan membeli buku seni atau lukisan atau alat-alat musik dan sebagainya. Yang nilai agamanya besar, mungkin sekali uang yang di perolehnya itu disumbangkannya kepada masjid atau gerejanya. Sedangkan orang yang nilai kuasanya kuat, mungkin sekali sebagian dari uang itu disumbangkannya kepada partainya untuk membantu pemilihan umum yang ia sendiri salah seorang dari pada calon untuk anggota parlemen. Sedangkan orang yang nilai ilmunya tertinggi mungkin akan membeli buku-buku ilmu, atau memakai uang itu untuk melanjutkan pelajarannya, demikian seterusnya. Dan kalau sekalian pertanyaan itu sudah dijawab, dapat kita lihat dalam jawab orang-orang itu nilai mana yang dominan dalam jawab orang itu. Mungkin sekali bukan satu nilai yang kuat, tetapi dua nilai yang kuat. Sering sekali misalnya nilai ilmu itu berdekatan sama tinggi dengan nilai ekonomi, oleh karena kedua-duanya berdasarkan logika yang rasional, perhitungan, keobyektifan. Sering juga nilai agama sejalan dengan nilai seni, sebab kedua-duanya berdasarkan perasaan, intuisi, imajinasir, misalnya lagu dan tari-tari di pulau Bali sering sekali rapat hubungannya dengan kehidupan agama. Bukan hanya perbuatan manusia sebagai pribadi, yang bersifat kebudayaan berdasarkan sususunan nilai seseorang, tetapi kelompok manusia atau masyarakat pun berkelakuan berdasarkan susunan nilainilai masyarakat itu. Misalnya sebuah universitas adalah suatu kelompok atau masyarakat manusia yang nilai yang tertingginya adalah nilai teori atau nilai ilmu. Segala sesuatu hendaklah ditujukan untuk mencapai ilmu. Kalau ilmu tidak tercapai atau amat rendah mutunya, maka universitas itu dapat kita katakan gagal sebagai universitas. Tapi siapa mengatakan bahwa dalam sesuatu universitas itu tidak ada nilai ekonomi? Tentu saja universitas itu musti mendapat uang. Sebab hanya dengan uang, nilai ekonomi, universitas itu dapat menjalankan pendidikan ilmu sebaik-



baiknya, yaitu dengan menyediakan misalnya perpustakaan yang baik, dengan membayar dosen-dosennya dengan layak, demikian seterusnya. Sementara itu universitas itu musti mempunyai nilai seni, sekurangkurangnya bangunan-bangunannya mesti dibuat seindah mungkin, demikian juga tamannya, dll. Jelaslah bahwa universitas itu hanya dapat berjalan baik, apabila ada pimpinannya yang berkuasa mengambil keputusan, mengangkat pegawai, memecat pegawai yang bersalah, yang menyusun segala sesuatu supaya cita-cita yang tertinggi, yaitu ilmu, dapat tercapai. Tentu juga dalam universitas itu ada nilai solidaritas, yaitu antara karyawannya,antara dosen-dosennya, antara mahasiswa, malahan antara seluruh sivitas akademika sekaliannya musti ada kerjasama, tanggung jawab bersama, supaya universitas itu dapat menjadi universitas yang baik yang dapat mereka banggakan bersama. Tentang hal agama, tentu agak susah mengemukakannya, oleh karena agama itu akhir-akhirnya adalah soal pribadi. Meskipun di sisi itu ada beberapa universitas yang sengaja didirikan untuk mencapai ilmu dalam lingkungan kepercayaan agama. Ada universitas Islam, ada universitas Kristen, dan sebagainya. Bukan hanya individu atau kelompok masyarakat yang dengan konfigurasi nilai-nilai hidup dalam lingkungan, tetapi kita pun dapat membeda-bedakan konfigurasi nilai-nilai kebudayaan bangsa-bangsa. Di sini saya hendak mengemukakan konfigurasi nilai. Kebudayaan Eropa yang sekarang disebut juga kebudayaan moderen yang menyebar ke seluruh dunia. Dalam kebudayaan ini nilai ilmu atau nilai teorinya tinggi, juga tinggi nilai ekonominya. Kerjasama antara ilmu dan ekonomi melahirkan teknologi yang sangat maju. Kalau kita ambil negara Eropa, seperti Inggris, yang kita tahu bersifat demokrasi, kekuasaan adalah ditangan rakyat. Jadi penting sekali kedudukan solidaritas. Sedangkan raja Inggris itu sedikit sekali kekuasaannya. Bagaimana tentang keagamaan? Agama di Inggris sejak zaman Revolusi Perancis merupakan soal pribadi. Orang yang beragama



bermacam-macam agamanya. Malahan orang yang menolak agama pun terdapat di tanah Inggris. Seni di tanah inggris pada waktu ini bebas, dapat kita katakan berupa seni moderen, yaitu dalam seni lukisnya kelihatan kepada kita bermacam-macam eksperimen, demikian dalam musik dan tari-tarian, seperti The Beatles dan sebagainya. Juga bermacam-macam eksperimen nampak dalam puisi, drama, dan novel. Tetapi dalam seluruh kebudayaan itu dapat kita katakan kedudukan seni tidaklah sepenting kedudukan seni di pulau Bali yang rapat berhubungan dengan kehidupan agama dengan amat banyak upacaranya. Kalau saya buat suatu diagram maka rupa, konfigurasi susunan nilai kebudayaan Inggris itu adalah sebagai berikut (A):

Dalam kebudayaan Inggris yang berkuasa adalah nilai teori atau nilai ilmu dan nilai ekonomi yang keduanya maju terus, dan menghasilkan teknologi yang dahsyat. Kebudayaan Inggris sebagai bagian dari pada kebudayaan Eropa adalah bagian dari kebudayaan moderen yang bermula di zaman Renaissance yang saya klasifikasi sebagai kebudayaan progresif, sebab ilmu, teknologi, dan ekonomi maju terus. Sebagai contoh tipos kebudayaan yang lain saya ambil kebudayaan Jawa yang sama-sama kita tahu di Indonesia ini. Sebenarnya saya juga dapat mengambil contoh kebudayaan Bali. Kita tahu bahwa dalam kebudayaan kita pada umumnya, ilmu atau nilai teori yang menuju kepada pengetahuan yang obyektif tidak pernah berkembang di zaman yang lampau dan sampai sekarang pun ilmu itu masih rendah di negeri kita. Dalam kebudayaan Jawa malahan ada kecenderungan untuk menolak



sesuatu yang obyektif itu. Kita semuanya kenal akan ucapan yang sering terdengar dari orang Jawa: Ngono yo ngono, yen ojo ngono, meskipun kita tahu obyektifnya seperti itu, tapi janganlah lakukan seperti itu. Dan tentang nilai ekonomi, kita tahu bahwa pada umumnya rakyat kita miskin. Mereka tidak terlampau berusaha untuk memakai tenaga maupun waktunya untuk mengumpulkan kekayaan. Malahan kadangkadang ada kecenderungan untuk melihat rendah kepada kekayaan dunia itu. Berkumpul bersama-sama, yaitu nilai solidaritas, sering dianggap lebih penting dari makan, sehingga sering terdengar ucapan mangan ora mangan asal ngumpul. Jadi artinya berkumpul bersama-sama, yaitu nilai solidaritas, lebih penting dari nilai ekonomi, yaitu makan. Dan ada juga ucapan yang lain yang menunjukkan, bahwa bagi orang Jawa itu turun ke dunia ini bukanlah tujuannya untuk mengumpulkan kekayaan, ataupun untuk mengumpulkan uang dan harta. Kita turun ke bumi ini diibaratkan hanya untuk minum seteguk, dan sudah itu terus ke alam baka. Dengan demikian dapat kita mengerti, bagaimana lemahnya nilai ekonomi itu pada masyarakat Jawa, dan pada umumnya masyarakat kita seluruhnya. Tentang nilai solidaritas di desa-desa, nilai itu boleh dikatakan kuat, terbukti dalam kerjasama bertanam padi, dalam mengadakan perayaan, dan bermacam-macam upacara. Tetapi sementara itu dalam keseluruhan masyarakat Jawa lebih penting perhubungan antara atasan dan bawahan, seperti ternyata dalam bahasa Jawa yang boleh dikatakan sangat nyata bertingkat-tingkat. Orang yang rendah musti berjongkok memakai bahasa halus. Sedangkan orang yang diatas, kaum feodal maupun pembesarpembesar, memakai bahasa yang kasar. Jadi dengan demikian yang lebih menyolok dan lebih menentukan struktur masyarakat Jawa adalah nilai kuasa, sehingga bahasa yang bertingkat-tingkat itu membayangkan susunan masyarakat yang bertingkat-tingkat. Sekarang kita tiba kepada pertanyaan, bagaimanakah kedudukan agama dalam masyarakat Jawa? Kita tahu bahwa dalam masyarakat Jawa itu, ada kecenderungan kepada mistik yang sering disebut Kawulo Gusti , yaitu kesatuan manusia dan Tuhan. Di sisi itupun ada ucapan yang sering



dikemukakan oleh orang Jawa, yaitu sedoyo agami sami kemawon. Kalau dilihat dari jurusan mistik yang menghadapi kesatuan Tuhan yang maha Esa yang menjelma dalam khalikahnya, sesungguhnya semua agama itu sama. Ucapan itu boleh kita katakan menyatakan kesadaran mistik yang mendalam. Tetapi kalau kata itu menjadi ucapan sehari-hari, yaitu ucapan dangkal, maka agama itu menjadi remeh di hadapan semua agama, serta buat apa dipedulikan? Dengan demikian di Jawa Tengah, orang mungkin mudah berpindah dari agama yang satu kepada agama yang lain. Seperti kita tahu di Jawa Tengah itu selain agama Islam, penting juga agama Katolik dan Kristen, dan pada waktu yang kemudian ini agak tampil ke depan adalah agama Buddha. Dalam hubungan ini mungkin sekali berpindah dari agama yang satu ke agama yang lain menjadi tidak soal yang besar, seperti misalnya di daerah Banten atau di daerah Aceh . Dengan demikian dapatlah kita bertanya, apakah nilai yang tertinggi dalam kebudayaan Jawa? Dalam penyelidikan dan pemikiran saya kelihatan kepada saya, bahwa bangsa Jawa ini adalah bangsa seni. Siapa yang melihat tari Bedoyo dan tari Serimpi di Kraton Solo akan merasakan betapa halusnya kedua tari maupun lagu yang mengiringkannya. Demikian juga seni batik dan seni ukir klasik Jawa itu juga sangatlah halus. Sekarang kita melihat kehalusan batik Jawa itu mulai mengalami revolusi dengan menyerbunya dunia modern ke dalamnya, dan batik Jawa itu bukan lagi monopoli orang Jawa, tetapi sudah menjadi seni dunia modern dalam macam-macam bentuk yang kadang-kadang jauh sekali bedanya dari seni batik Jawa klasik yang halus dahulu. Demikianlah saya sampai kepada kesimpulan, bahwa kunci kebudayaan Jawa itu adalah perkataan halus yang banyak dipakai oleh orang Jawa. Malahan dalam bahasa Jawa, orang mengatakan bahwa seseorang anak Jawa yang belum mendapat kehalusan tata cara dan tata krama Jawa itu seseorang yang belum Jawa, durunq Jowo. Ucapan itu mungkin malahan diucapkan kepada anak sendiri yang berlaku bertentangan dengan tata cara dan tata krama Jawa. Ucapan tentang sesama seperti itu belum pernah saya dengar dalam kebudayaan lain.



Anaknya sendiri dapat dikatakannya belum Jawa. Cita-cita kesempurnaan dalam seluruh kebudayaan Jawa boleh dikatakan kehalusan orang Jawa, halus cara berjalan, halus pakaiannya, halus dia bercakap-cakap, apalagi halus seninya. Jadi dengan demikian dalam kebudayaan Jawa itu nilai yang tertinggi adalah nilai seni, nilai kuasa, dan nilai agama. Dengan mengetahui ketiga nilai itu, pola atau konfigurasi nilai-nilai kebudayaan Jawa yang dikuasai oleh nilai-nilai seni dan nilai agama dapat kita gambarkan diagramnya sebagai berikut :

Berbeda dari kebudayaan yang dikuasai oleh nilai ilmu dan nilai ekonomi, saya namakan kebudayaan ini kebudayaan ekspresif, yang bukan berdasarkan rasio yang ketat dan sangat logis berusaha memahami segala sesuatu dengan obyektif. Pada kebudayaan ekspresif ini, yang berkuasa adalah perasaan manusia, intuisi manusia, imajinasi manusia, dan kepercayaan manusia. Setelah menguraikan teori nilai yang berdasarkan budi manusia yang menciptakan kebudayaan, yaitu ciri istimewa dari manusia dibandingkan dengan hewan, sekarang ini saya hendak memaparkan tentang krisis masyarakat kebudayaan yang maha besar yang sedang kita alami sekarang ini, berkat kemajuan ilmu dan ekonomi yang melahirkan teknologi yang dahsyat yang melenyapkan jarak di dunia ini. Pada bulan Mei tahun yang lalu saya mengunjungi London. Jarak antara London dan Jakarta dengan kapal terbang hanya sepuluh atau sebelas jam. Pikirkan bagaimana pelautpelaut Inggris empat lima abad yang lalu mengunjungi Indonesia ini



dengan kapal layarnya yang rapuh berbulan-bulan di laut, menyeberangi Lautan Atlantik, mengelilingi Afrika, dan menyeberangi Samudera India, sebelum sampai ke Asia Tenggara ini. Dengan mesin terbang yang terbaru, jarak itu sudah dapat ditempuh dalam enam jam. Sedangkan kita tahu, bahwa roket dapat mengelilingi dunia dalam satu jam. Jadi mungkin sekali pada akhir abad ini atau permulaan abad yang akan datang, jarak antara London dan Indonesia ini akan dapat ditempuh dalam setengah jam. Kita semuanya tahu bahwa sekarang dengan radio dan telepon, kita dapat berbicara langsung dengan orang di London dalam beberapa menit. Demikian dunia sudah menjadi kecil. Dan dalam lenyapnya jarak dan waktu itu, tidak bisa tidak, semua kebudayaan bercampur aduk, saling pengaruh lebih-lebih dari di masa yang lampau. Kita sekarang berbicara dalam konteks sebuah universitas. Jelas universitas seperti yang ada sekarang ini adalah sesuatu yang baru dalam kebudayaan kita. Kita berkenalan dengan universitas dengan perantaraan orang Belanda yang kebudayaannya berpokok pada kebudayaan Renaissance, ketika manusia melepaskan dirinya dari agama, memegang nasibnya di tangannya sendiri, menyelidiki alam, menciptakan teknologi, dan mengembangkan ekonomi. Bangsa Belanda dari kebudayaan progresif yang berpokok pada ilmu, ekonomi, dan teknologi itu dengan mudah mengalahkan bangsa kita, meskipun bangsa Belanda itu adalah bangsa yang sangat kecil di Eropa. Kita sendiri mengalami di negeri kita sekarang, bahwa bangsa kita tidak puas lagi dengan kebudayaan ekspresifnya. Sejak Belanda membuka sekolahnya pada akhir abad yang lalu bagi orang Indonesia, kita lambat laun masuk ke dalam kebudayaan modern mempelajari ilmu, mempelajari ekonomi, dan mengembangkan teknologi. Sekarang ini universitas yang berasal dari Barat itu sudah menjadi sebagian dari kebudayaan kita, sama pentingnya dengan lembaga-lembaga agama kita, politik kita, dll. Berduyun-duyun orang masuk ke universitas, sehingga di Indonesia sekarang ini terdapat hampir seribu perguruan tinggi dengan muridnya yang sangat banyak. Di Jakarta saja terdapat lebih dari seratus perguruan



tinggi dengan hampir empat puluh universitasnya. Dengan demikian kebudayaan kita yang dikuasai oleh agama dan seni itu, yang bersifat ekspresif itu, lambat laun menjadi kebudayaan moderen yang progresif, meskipun harus kita akui, bahwa masyarakat dan kebudayaan kita sekarang masih terbelakang dalam dunia modern ini, kalau dibandingkan dengan masyarakat dan kebudayaan negara-negara maju seperti Eropa, Amerika dan Jepang. Kalau kita telah menguraikan teori budi manusia dan kebudayaan dengan metode verstehen atau mengerti ini, yaitu dengan menganalisa nilai-nilai manusia, tentu sekarang kita ingin mengetahui kemanakah kebudayaan Indonesia, malahan kebudayaan umat manusia menuju dalam mengecilnya dunia dan saling pengaruhnya kebudayaan ? Bagi kita di Indonesia, kita mesti memajukan bangsa kita tentang ilmu, teknologi, dan kemakmuran ekonomi, yaitu dalam lapangan nilai teori dan nilai ekonomi yang bersama-sama menghasilkan teknologi yang maju. Telah beberapa kali saya katakan, bahwa dalam hal ini kita masih terkebelakang, Tentang soal ilmu tentulah itu soal pendidikan, dan seperti kita tahu pendidikan di negeri kita masih terbelakang. Agaknya disini tempatnya kita menganjurkan pemerintah, supaya menaikkan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua kali dari sekarang, yaitu kirakira 12% dari seluruh anggaran, seperti yang dilakukan oleh Malaysia. Kalau mungkin tentu lebih baik lagi dinaikkan sampai 18% dari seluruh anggaran, seperti di lakukan oleh negara Singapura yang dalam hal ini amat maju. Selain daripada itu bahasa Indonesia kita sekarang ini adalah bahasa yang terbelakang, oleh karena sangat kurang buku bacaan yang bermutu tentang kemajuan ilmu, ekonomi, dan teknologi, pendeknya boleh dikatakan dalam segala lapangan kemajuan kebudayaan modern. Terjemahkan sebanyak mungkin buku-buku yang penting dari segala bahasa, sehingga orang Indonesia dapat berkembang ke segala penjuru dengan memakai bahasanya sendiri. Selain dari pada itu tentulah harus dikembangkan pelajaran bahasa Inggris, sebab dengan demikian,



mahasiswa maupun sarjana-sarjana kita dapat mencapai buku tentang kemajuan ilmu yang terakhir zaman sekarang. Perlu ditekankan disini, bahwa perpustakaan di negeri kita ini terlampau sedikit, dan sedikit pula buku-bukunya. Saya masih ingat perpustakaan di Malaysia pada Universiti Malaya mempunyai lebih dari sejuta buku. Sedangkan universitas di Singapura mempunyai lebih dari satu setengah juta buku. Kalau saya katakan disini, bahwa Library of Congress di Amerika mempunyai 36 juta buku, dapatlah kita sadari, bahwa perpustakaan yang ada di Indonesia ini semuanya terlampau kecil dan terlampau sedikit bukunya. Pada tingkat kemajuan bangsa kita sekarang ini, tak ada pilihan bagi kita dari mengirimkan sebanyak mungkin mahasiswa untuk belajar, yaitu merebut ilmu di luar negeri. Kita tahu bahwa Malaysia mempunyai 69.000 mahasiswa di luar negeri. Kita yang penduduk negerinya sepuluh kali penduduk negeri Malaysia harus mempunyai 690.000 mahasiswa di luar negeri, jika tidak hendak ketinggalan dari Malaysia. Berhubungan dengan inilah saya ingin mengusulkan, supaya sebagian daripada uang yang masuk ke Indonesia ini dari pariwisata dipakai untuk mengirimkan mahasiswa kita belajar ke luar negeri. Malaysia memberi pinjaman kepada tiap-tiap mahasiswa yang lulus dengan baik dalam universitas di Malaysia untuk melanjutkan pada universitas di luar negeri. Kalau ia nanti menyelesaikan pelajarannya pada universitas di luar negeri dengan berhasil baik, maka kepadanya diperkenankan membayar hutangnya hanya 25%. Soal yang amat penting bagi negeri kita tentulah soal ekonomi. Seperti jelas dalam uraian saya tentang kebudayaan ekspresif yang sangat menekankan seni, bangsa kita miskin di negeri sendiri dibandingkan dengan golongan Cina, golongan Arab, maupun golongan asing yang lain. Hal ini disebabkan oleh ketidaksanggupan bangsa kita mengembangkan tenaga, cara bekerja, maupun ambisi ekonominya di negerinya yang kaya, sehingga dengan mudah ia dikalahkan oleh golongan Cina, Arab dll yang lebih kuat nilai ekonominya. Hendaknya pendidikan Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, dan Sekolah Menengah



Atas kita dapat mengembangkan semangat ekonomi pada rakyat di desadesa yang pada umumnya hanya bertani, dan dalam bertani pun sangat tradisional. Dalam hal ini alangkah baiknya, kalau dalam memajukan ekonomi perorangan maupun koperasi di desa Pemerintah mempunyai target yang nyata. Saya hendak mengusulkan sebagai target yang pertama adalah supaya dalam lima tahun yang akan datang, koperasi dikembangkan, sehingga sekalian penggilingan padi di pulau Jawa misalnya ada ditangan koperasi. Kita tahu petani padi itu sangat rendah pendapatannya. Dalam karangan saya “Menyambut Bangkitnya Cendikiawan Islam”, saya tunjukkan, bahwa Islam itu adalah agama yang sangat menekankan ilmu, sehingga telah selayaknya ilmu itu dimasukkan ke masjid dengan perantaraan perpustakaan maupun kesempatan mempelajari ilmu. Pemeluk agama yang Nabinya adalah seorang saudagar sebenarnya tak pantas hidup dalam kemiskinan, sebab junjungannya sendiri memberi contoh tentang hidup berekonomi. Melanjutkan soal agama, sila yang pertama dari pancasila yang berbunyi Tuhan Yang Maha Esa, sebenarnya menganjurkan pemeluk berbagai-bagai agama mendekatkan diri bekerja sama dalam saling mengerti, oleh karena akhir-akhirnya sekalian pemeluk agama itu menghadapi kekudusan ilahi, kegaiban yang maha besar, dan dihadapannya semua umat manusia sama belaka. Tiba kepada nilai seni, saya berharap supaya seniman-seniman kita jangan terlampau banyak mengulang-ulang seni nenek moyang yang kita kagumi, tetapi mengolahnya dengan kreativitas, sehingga usaha nenek moyang itu mendapat jiwa modern yang luas dan penuh dinamika serta tanggung jawab, mendorong bangsa Indonesia merebut kemajuan dan kemakmuran dunia modern, dan bersama bangsa yang lain menciptakan dunia baru yang solider, aman, dan makmur dalam organisasi dunia yang baru. Pada pikiran saya tak dapat dielakkan, bahwa nasionalisme yang lama harus berubah. Malahan saya tidak keberatan memakai perkataan



post nasionalism, kalau kita hendak menyelamatkan umat manusia dalam perlombaan persenjataan yang bukan saja amat berat biayanya, dan mungkin mengancam umat manusia dengan kehancuran keseluruhan. Rasa saya tak ada salahnya, kalau golongan idealis mulai memikirkan tentang kemungkinan bangkitnya suatu federasi dunia, di mana kehidupan semua bangsa terjamin, dan umat manusia terlepas dari ancaman bahaya perlombaan persenjataan yang bukan saja amat berbahaya, tetapi menjadi beban yang amat berat bagi seluruh umat manusia.



METODE REFLEKSI FENOMENOLOGIS MAURICE MERLEAU-PONTY OLEH: MUKHTASAR SYAMSUDDIN

Pengantar; Mengapa Fenomenologi Merleau-Ponty? Relevansi filosofis yang implisit dalam judul “metode refleksi fenomenologis Merleau-Ponty” ini terletak pada tiga tautan terminologis. Pertama, metode refleksi yang dipahami sebagai “cara kerja” tipikal bagi pemikiran dan penelitian filsafat; Kedua, refleksi fenomenologis yang tujuannya identik dengan tugas filsafat dalam mengeksplisitasi realitas; dan Ketiga, fenomenologi Merleau-Ponty yang secara historis menjembatani keterputusan diskursus metafisik-epistemologis antara beberapa generasi filsafat kontemporer. Tulisan ini bermaksud mengurai ketiga tautan terminologis sekaligus untuk menjawab pertanyaan krusial; bagaimana menemukan makna otentik atau setidak-tidaknya realitas yang umumnya disangkakan bersifat obyektif dengan mengikuti hampiran fenomenologis yang ditawarkan Merleau-Ponty? Ada karakter khas yang terselip dalam diri MerleauPonty, ketika ia coba mengklaim refleksi fenomenologisnya sebagai metode berfilsafat. Kekhasan itu nampak dalam upayanya merumuskan fenomenologi dengan membongkar keyakinan-keyakinan epistemik 45

Dekan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.



pendahulu dan kompatriotnya, seperti Hegel dan Sartre, bahkan terhadap bangunan metafisik fenomenologi Husserl. Di balik pembongkaran epistemik dan metafisik itu, fenomenologi Merleau-Ponty mengguratkan sebuah penolakan atas dominasi filsafat Barat kontemporer yang menurutnya mengidap tendensi ganda, yaitu empirisisme pada satu sisi, dan intelektualisme pada sisi lain. Menghadapi dominasi tendensius itu, tidak berlebihan jika konseptualisasi fenomenologi yang berkarakter Merleau-Pontian melahirkan teori fenomenologi positif (Syamsuddin, 2010: 222). Edmund Husserl melalui dua karyanya; Cartesianische Meditationen dan Die Pariser Vorträge, mengurai metode refleksi fenomenologis dengan secara diametral memperhadapkan doktrin Descartes dan Kant, sehingga melahirkan pemahaman sintetik atas fenomenologi, dan kelak dikenal sebagai fenomenologi berhaluan Husserlian. Namun, berbeda dengan Husserl, Merleau-Ponty justru memahami fenomenologi sebagai cara berfilsafat, jadi lebih dari sekedar sebuah doktrin. Dalam “Phénoménologie de la Perception” misalnya, Merleau-Ponty (1945; ii) menyatakan; “La phenomenologie se laisse pratiquer et reconnaitre comme maniere ou comme style” yang secara garis besar berarti “fenomenologi dapat dipraktekkan dan dikenali sebagai cara atau gaya (berpikir). Istilah “berpikir” dalam pernyataan tersebut, oleh Priest (1998; 224), penerjemah karya MerleauPonty, diakui bahwa kata “berpikir” sengaja ditambahkan sendiri olehnya sekedar untuk menegaskan bahwa “cara” atau “gaya” yang dimaksud adalah cara atau gaya berpikir.

Persepsi di antara Pemikiran dan Kepercayaan Menggiring fenomenologi ke dalam ranah praktis-metodis identik dengan upaya “memperalat” fenomenologi demi sebuah keperluan; mengeksplisitasi asumsi-asumsi metafisik yang melandasi setiap realitas. Husserl melakukan itu dengan mengintroduksi reduksi transendental, tatkala ia menolak jawaban realisme atau obyektivisme atas pertanyaanpertanyaan metafisis tradisional. Penolakan Husserl ini secara logis sama



dengan pendirian Kant, ketika mengkritisi realisme metafisik. Tujuan Husserl sederhana. Melalui reduksi transendental, fenomenologi harus dapat diterima sebagai langkah awal yang menyegarkan filsafat; suatu keinginan yang secara logis sama dengan pemikiran Descartes dalam First Meditation. Bagi Merleau-Ponty, refleksi fenomenologis tidak dilakukan melalui cara-cara tekstual, sekalipun teks itu bersandar pada pemikiran Husserl, Heidegger, Sartre, dan bahkan pada pemikiran Merleau-Ponty sendiri. Kata Merleau-Ponty (1945: ii); “yang kita temukan dalam teks tidak lain adalah apa yang kita sendiri letakkan pada teks itu”. Mempelajari fenomena, apalagi jika dimaksudkan untuk menangkap makna yang otentik darinya tidak akan cukup memadai, jika hanya dilakukan melalui tindakan pembaca-an teks. Membaca, dipahami Merleau-Ponty sebagai fakta ontologis yang mengungkap bacaan sebagai obyek fisikal, sedangkan rangkaian tulisan yang terbaca tiada lain kecuali tanda-tanda yang melekat pada sebuah latar yang berwarna (dapat putih, hitam, merah, dan lain-lain). Kesejatian membaca terletak pada apa yang pembaca tambahkan melalui penyerapan tanda dan warna, sehingga diperoleh pengertian atas materi bacaan. Refleksi fenomenologis dilakukan melalui tindakan mempersepsi dunia secara baru; berpikir dengan menggunakan kesadaran, bukan dengan kepercayaan tentang apa yang dipersepsi. Persepsi dimiliki manusia dalam bentuk sensasi yang lahir melalui perasaan. Dalam hal ini pemikiran merupakan salah satu bentuk perluasan perasaan atas obyek yang dicerap melalui persepsi. Perluasan itu diistilahkan oleh MerleauPonty (1968; 34) sebagai tubuh yang bertindak, atau sebagai subyek atau tubuh yang hidup. Oleh karena itu tubuh harus dipahami sebagai unsur pokok yang menjadikan subyek dan obyek saling terkait, seperti yang dibayangkan oleh Sartre (Merleau-Ponty, 1964; 34). Untuk melakukan refleksi fenomenologis, meminjam istilah Husserl, diperlukan epoché dengan membuang rasa percaya yang melekat pada



persepsi. Fenomenologi tidak dapat dipelajari secara verbal dan melalui otoritas, karena dengan fenomenologi terjadi hubungan langsung antara subyek dengan dunia. Pengalaman subyek pun diperlukan untuk menerapkannya. Merleau-Ponty (1945: ii) kemudian mengemukakan bahwa ”kutipan pernyataan memiliki banyak kelemahan dibandingkan jika kita menggunakan fenomenologi dalam bentuknya yang konkret sesuai dengan keadaan nyata diri kita sendiri”. Sebuah kondisi yang niscaya bagi refleksi fenomenologis karena itu adalah keterlibatan manusia dalam menerapkannya. Pemahaman fundamental dan komprehensif atas karya-karya Husserl dan Heiddeger, tanpa disertai pengalaman subyek dalam merefleksikan dunia, tempat subyek melibatkan diri, tidak akan menunjukkan pemahaman baru sama sekali. Mengikuti epistemologi Cartesian yang dilengkapi dengan transendentalisme epistemologi kritis Kant, Merleau-Ponty memberi impresi, bahwa tanpa pengetahuan atas situasi psikologis seseorang secara benar, maka pertanyaaan yang benar tidak mungkin diajukan kepadanya. Dengan kata lain diperlukan kesadaran yang memungkinkan dunia dipahami sebagai obyek dari pengalaman. Pengertian reflektif atas dunia memunculkan pemahaman fenomenologis yang khas Merleau-Pontian, yaitu anggapan-anggapan Cartensianisme Husserl dan Kantianisme ternyata tidak seluruhnya bertaut secara konsisten, bahkan bertentangan pada sebagian seginya. Pernyataan bahwa “l’homme est au monde” (Merleau-Ponty, 1945: v) atau “manusia berada di dalam dunia” sengaja diungkap Merleau-Ponty untuk membedah keyakinan-keyakinan epistemologis Kartesianisme dan Transendentalisme Kant, sehingga sisi pertentangan antara keduanya menjadi terang. Pembedahan itu bisa dilihat di sini; bahwa Rene Decartes sesungguhnya menarik subyek dari dunia (istilah yang digunakan Merleau-Ponty adalah ‘délié’ yang mengandung pengertian “tidak terikat” atau “tidak tersentuh”); Merleau-Ponty lalu menggantikan tesis metafisik Rene Descartes yang mengatakan, bahwa seseorang secara mendasar merupakan substansi yang im-material dan pada prinsipnya



berada walaupun tidak secara fisik dalam kapasitasnya sebagai subyek. Subyek secara mendasar adalah subyek yang bertubuh dan berada di dalam dunia. Arti penting tubuh, atau tubuh sebagai subyek, menurut MerleauPonty (1964: 29), telah diremehkan oleh tradisi-tradisi filsafat, karena mematok tubuh sebagai tidak lebih dari sekedar obyek yang mentransendensi tugas-tugas pikiran. Dalam hal ini, pandangan MerleauPonty terkait erat dengan pengaruh persepsi dan cenderung menekankan kapasitas fundamental refleksi atas kandungan terdalam dunia, walaupun ia juga mengakui, bahwa persepsi secara intrinsik bersifat kognitif. Dalam karya pertamanya berjudul “La Structure du Comportement” (1942) atau “The Structure of Behavior” (1965), dapat ditemukenali bagaimana Merleau-Ponty memikirkan persoalan hubungan pikiran dan tubuh (Syamsuddin, 2010: 222). Subyek yang tidak bertubuh tidak akan mampu menangkap dan memahami dunia menurut Merleau-Ponty. Hal itu disebabkan oleh karena walaupun diri manusia bersifat fisik, namun ia mampu memahami obyek yang bersifat fisik pula. Dengan kata lain, manusia mampu memahami dunia, karena manusia menyadarinya. Apabila pernyataan ini benar, maka sesungguhnya jelas terjadi inkonsistensi, bahkan pertentangan dalam dualisme Kartesian; jika manusia memahami dunia, ia bukanlah substansi im-material, manusia memahami dunia, oleh karena itu manusia bukanlah substansi im-material. Ketika merespon karya Strawson (1959) berjudul “Individuals”, Merleau-Ponty mengungkapkan, bahwa untuk memberi gambaran mengenai perbedaan konseptual antara hal-hal yang bersifat im-material dan fisikal diperlukan suatu daya yang ia sebut sebagai prédicats humains, suatu sebutan yang dikenakan kepada potensi-potensi manusiawi yang melekat dalam diri-manusia sendiri. Selain itu bagi Merleau-Ponty, being-in-the-world (keberadaan di dalam dunia) merupakan kategori



eksistensial yang paling primordial, dan dengannya secara tegas dapat dibedakan antara im-material dan fisikal itu (Priest, 1991: 23). “Tubuh manusia adalah bagian dari dunia yang ril yang bereksistensi sebagai partes extra partes” menurut Merleau-Ponty (1964: 112). Berdasarkan pengertian itu, Merleau-Ponty menganggap logika transendental Kant juga tidak konsisten terhadap pengertian “being-inthe-world”, sebab dalam doktrin kritisisme Kant, dunia empiris dianggap tersusun atas bentuk-bentuk apriori intuisi, ruang dan waktu, serta oleh kategori-kategori. Artinya, dunia berada dianggap mendahului semua sintesis yang menyusun dunia itu sendiri; “akan menjadi artifisial jika dunia itu dianggap sebagai kumpulan beberapa sintesis” (Merleau-Ponty, 1945: iv). Artifisialitas yang dimaksud terkandung dalam kenyataan bahwa segala sesuatu yang berhubungan dengan pancaindra dan obyekobyek yang dihasilkan dari sintesis “tidak memiliki bentuk nyata” (Merleau-Ponty, 1945: iv). Sintesis Kantianisme merupakan proses yang tidak memiliki subyek fisik sebagaimana yang dipahami Merleau-Ponty. Seorang subyek yang memahami dunia fisik secara mendasar adalah subyek yang bertubuh, dan oleh karena itu, sintesis Kant yang tidak bertubuh juga merupakan pandangan yang tidak mungkin benar. Walaupun secara eksplisit Merleau-Ponty menolak dualisme pikirantubuh dari Cartesianisme, namun terdapat prinsip fundamental dalam epistemologi Kartesian, yaitu ajaran yang mengandung pemikiran, bahwa kepastian tentang dunia, sebagaimana menampak di hadapan manusia sangat tergantung pada keberadaan subyektif manusia, dan merupakan fakta tak terbantahkan. Nampaknya prinsip ini lahir secara konsisten dari pemikiran Rene Descartes sebagaimana tertuang melalui karyanya “Discours” dan “Meditation” (Priest, 1998: 30). Doktrin epistemologis Descartes, jelasnya berbunyi demikian; “tanpa saya ketahui bahwa saya berada dan tanpa saya ketahui bahwa saya berpikir maka saya tidak dapat mengetahui sesuatu secara pasti”. Inilah doktrin fondasionalisme epistemologi Descartes, sebuah doktrin yang diadaptasi Merleau-Ponty dari fondasionalisme Kantian menjadi fondasionalisme fenomenologis.



Adaptasi fondasionalisme fenomenologis Merleau-Ponty dengan fondasionalisme Kantian, walaupun tidak seluruhnya patuh pada ketentuan Descartes, mengandung keyakinan subyektif yang menunjuk kepada bentuk tunggal orang pertama dalam pembuktian paradigmatis benar-salahnya pernyataan; “saya berada” dan dalam pengakuan; “saya berpikir”. Pembuktian Kartesianisme dalam fondasionalisme fenomenologis dalam hal itu benar adanya menurut pernyataan MerleauPonty (2003: ix) sebagai berikut; “ I am the absolute source, my existence does not stem from my antecedents, from my metaphysical and social environment; instead it moves out towards them sustains them”. Secara sederhana, pernyataan Merleau-Ponty di atas dapat diartikan; “Saya merupakan sumber absolut, dan apabila saya merupakan dasar bagi sesuatu maka tidak ada sesuatu yang mendasari saya”. Pengertian “saya” sebagai sumber di sini lebih bersifat fenomenologis dari pada epistemologis atau metafisis. Merleau-Ponty mencoba menggambarkan dirinya dan dunia seperti adanya. Ia tidak menyatakan secara metafisis, bahwa seluruh keberadaan tergantung pada keberadaan dirinya. Ia memaknai dunia sebagaimana dunia itu hadir dalam kesadarannya yang tergantung pada keberadaannya sendiri. Jika dunia hadir di dalam kesadaran seseorang, maka hal itu menunjukkan bahwa seseorang itu secara logis berada. Merleau-Ponty tidak menunjukkan bahwa ia berada sebagaimana adanya, juga tidak berada oleh lingkungan sosial dan fisik karena menurut fenomenologi a fortiori yang dipahaminya. Fenomenologi memberikan deskripsi, bukan eksplanasi. Fenomenologi tidak mengandalkan eksplanasi sebab akibat yang ditarik dari hal-hal yang bersifat sosiologis dan fisik.

Refleksi melalui Kesadaran atas Dunia-Luar Bagaimana dengan “external world” (dunia-luar)? Dalam bingkai epistemologi Cartesianisme disinyalir, bahwa manusia dapat saja memiliki pengetahuan tentang dunia luar, apabila manusia mampu mengetahui



diri dan keadaan-keadaan psikologisnya. Tidak bisa dipastikan apakah pandangan ini tergolong Kantian atau bahkan bertentangan dengannya, sebab Kant sendiri menekankan, bahwa pengalaman atas dunia-luar dapat membenarkan pengalaman yang sifatnya internal, dan tidak sebaliknya. Walaupun demikian Descartes dan Kant memahami kesadaran manusia dalam batas-batas kesadaran yang bertumpu pada diri, sehingga berbeda dengan kerangka epistemologis yang dibangun oleh para filosof lain, seperti John Locke, Rene Descartes, Sartre, dan bahkan dengan karyakarya Merleau-Ponty sendiri yang merupakan hasil revisi. Pada prinsipnya pengetahuan tentang dunia-luar menurut doktrin Kartesianisme memerlukan klarifikasi logis, jika fenomenologi dipandang tergantung pada kesadaran. Merleau-Ponty menjelaskan dua kenyataan, yaitu kesadaran sebagai kesadaran-diri dan dengan kesadaran-diri itu, pengalaman tentang dunia-luar sangat mungkin diperoleh manusia. Berikut pengakuan Merleau-Ponty (2003: xi); “I could not possibly apprehend anything as existing unless I first of all exprienced myself as existing in the act of apprehending it”. Dari pengakuan Merleau-Ponty di atas, tidak juga begitu jelas apakah “saya yang mengalami diri saya itu menentukan persepsi saya atas suatu obyek”, ataukah “fakta ‘mengalami’ merupakan kondisi yang niscaya terjadi untuk mendukung saya mempersepsikan sesuatu secara utuh”. Jika subyek S misalnya, memahami x sebagai sesuatu yang eksis, maka setidak-tidaknya benar bahwa S mengetahui (atau percaya) bahwa x eksis dan S menyadari, bahwa x itu eksis. Bagi Merleau-Ponty, dalam kasus S memahami x sebagai sesuatu yang eksis, hal itu dapat dipahami sebagai berikut; “S memahami x sebagai eksis dapat secara valid mengantarkan S memahami S sebagai eksis”. Dari fakta S memahami x sebagai eksis, tidak berarti S menyadari sendiri eksistensinya. Pernyataan ini tentu saja benar secara logis, namun setiap pernyataan itu tidak ditopang oleh kesimpulan dari kesadaran ke kesadaran-diri. Jadi, harus ada premis tambahan yang



menerangkan, bahwa kesadaran-diri merupakan kondisi yang niscaya bagi suatu kesadaran. Merleau-Ponty berpendapat bahwa dunia yang dipersepsi adalah dunia yang terlintas dalam kesadaran sebelum menjadi fakta, dan yang selanjutnya diketahui sebagai cogitation (Merleau-Ponty, 2003: 435), suatu bentuk pengetahuan yang diperoleh manusia secara sadar yang memungkinkan bekerjanya dimensi pengalaman manusia dalam menangkap dan menyadari sesuatu. Prédicats humains dapat dipahami sebagai suatu hasil dari jalinan dialektis yang didominasi oleh fungsi-fungsi biologis. Dalam hal ini, jalinan dialektis merupakan domain kebudayaan yang obyeknya tidak dapat dimengerti secara langsung. Untuk mengenali karakter dialektis ini, Merleau-Ponty mengikuti uraian Hegel, yaitu bahwa karakter itu identik dengan “kerja” (Merleau-Ponty, 1965: 163). Sama dengan pemikiran Kojève (1969), Merleau-Ponty memahami “kerja” sebagai keadaan yang dibentuk oleh stimulus dan respon biologis yang memungkinkan terbentuknya kebudayaan. Dengan meminjam istilah Hegel, Aufhebung dapat menjadi unsur penentu untuk menghubungkan secara sintesis antara substansi pikiran dan tubuh. Ketika hubungan sintesis ini selesai, maka akan nampak dengan jelas suatu struktur yang menyusun hubungan antara pikiran dan tubuh yang juga menyangkut eksistensi keduanya. Merleau-Ponty (1965: 184) menegaskan bahwa ketika hal-hal yang bersifat fisik dibicarakan, maka hal itu harus dipahami sebagai suatu tindakan untuk memahami sesuatu yang berada di luar diri manusia. Seperti dikatakan oleh MerleauPonty dalam “Sens et Non-Sens” (1948) atau “Sense and Non Sense” (1971: 12), bahwa setiap kenyataan-luar harus dipahami melalui strukturalisasi yang melibatkan pergerakan tubuh dan fungsi-fungsi kejiwaannya. Dalam “The Structure of Behavior”, Merleau-Ponty (1965: 3) tegas menyatakan bahwa “tujuan kita adalah untuk mengerti hubungan antara kesadaran dengan alam, entah dengan hal-hal yang bersifat organik,



psikologis, ataukah dengan hal-hal yang bersifat sosial”. Ranah filosofis yang disentuh Merleau-Ponty ini terkait dengan pertanyaan tentang hubungan kesadaran dengan alam yang menurutnya telah didominasi oleh dua pendekatan utama, yaitu; pada satu sisi, pendekatan yang disebut sebagai objectivism yang dipahami sebagai naturalisme dalam filsafat, behaviorism dalam psikologi, dan mechanism dalam biologi. Pada sisi lain, pendekatan yang disebut intellectualism, yaitu suatu paham NeoKantianisme yang demikian berpengaruh di Prancis kala itu. Ketika Merleau-Ponty menegosiasikan gagasannya di antara tarikmenarik obyektivisme dan intelektualisme, sedikitpun ia tidak merujuk pada paham epistemologis tradisi Kantian, namun lebih mengikuti prinsip Phenomenology of Spirit dalam karya Hegel. Maka seperti Hegel, pemikiran Merleau-Ponty beranjak dari “bawah”, yaitu bahwa analisisnya cenderung menelisik lebih dalam, menjangkau domain-domain psikologis dan biologis yang bertujuan untuk mendemonstrasikan aktualitas hasil analisisnya dalam menemukan inkonsistensi dasar ontologis hubungan subyek-obyek. Jadi analisis Merleau-Ponty tidak bersandar pada subyektivitas yang memungkinkan munculnya obyektivitas, sebagaimana dilakukan oleh kaum obyektivis dan intelektualis. Fenomenologi Kant dan Hegel mewariskan seperangkat perbedaan antara subyektivitas dan obyektivitas. Bagi Merleau-Ponty, dunia bukanlah obyek sederhana sebagaimana manusia memandangnya. Dunia merupakan obyek pengalaman yang luas. Karena itu, totalitas dari apa yang membuat manusia berada di dunia bukanlah hasil dari pertentangan yang terjadi dalam diri orang tertentu dengan pengalaman orang lain. Lebih dari itu, dunia juga merupakan konteks bagi semua pemikiran dan tindakan subyek, seperti konstatasi Merleau-Ponty (2003: xi) berikut; “It is the natural setting of, and field for, all my thoughts and all my explicit perception”. Konstatasi itu hendak menegaskan, bahwa dunia mendahului semua pengetahuan, tidak saja secara kronologis, namun juga dalam



arti transendental. Keberadaaan dunia, karena itu merupakan kondisi yang niscaya bagi pengetahuan tentang dunia itu sendiri. MerleauPonty menolak epoché kaum Husserlian yang menghadirkan dunia dalam prasangka reduktif. Merleau-Ponty (2003: xi) menyatakan; “My sensation of redness is perceived as the manfisetation of a certain redness experienced, this in turn as the manifestation of a red surface, which is the manifestation of a piece of red cardboard, and this finally is the manifestation of outline of a red thing, namely this book”. Klarifikasi Merleau-Ponty terhadap pandangan Husserl di atas menunjukkan gagasan tentang hirarki ketergantungan antara strukturstruktur kesadaran berbeda-beda, seperti visualisasi berikut; 1. Sensasi tentang warna merah 2. Warna merah itu dialami 3. Permukaan warna merah 4. Isi permukaan yang berwarna merah 5. Obyek fisik yang berwarna merah Hanya terdapat satu warna merah. Isi persepsi yang mendeskripsikan warna merah dapat saja sama, namun dari segi cakupan hasil persepsi dapat berbeda; sempit atau luas. Semakin sempit deskripsi yang diberikan, semakin bersifat psikologis dan subyektif obyek yang dideskripsikan. Semakin luas deskripsi yang diberikan, semakin bersifat fisikal dan obyektif obyek yang dideskripsi. Di sini, ‘subyektif ’ dan ‘obyektif ’ dimaksudkan seperti dalam pengertian; x subyektif jika dan hanya jika x menyinggung aspek psikologis subyek, dan x obyektif jika dan hanya jika x secara independen terlepas dari psikologi subyek (Priest, 1998: 33).

Refleksi versus Reduksi Fenomenologis Bobot ontologis atau lebih tepat disebut sebagai indirect ontology fenomenologi Merleau-Ponty tertuang jelas dalam karyanya berjudul



“The Visible and The Invisible”. Dalam karya yang terdiri atas enam bab ini nampak, bahwa pemikiran Merleau-Ponty mengalami pergeseran; dari “fenomenologi kesadaran” menuju “fenomenologi ada”. Patut disayangkan karena menyusul kematian Merleau-Ponty, penggalian pokok soal “fenomenologi ada” tidak dapat berlangsung sampai tuntas. Meskipun demikian, melalui topic ‘L’Entrelacs--Le Chiasme’, salah satu bagian yang paling menarik dari karya “The Visible and The Invisible”, Merleau-Ponty membentang cakrawala pemahamannya atas implikasi “fenomenologi ada” dengan mengurai ‘Entrelacs’ yang berarti ‘intertwining’ (saling menjalin) dan ‘chiasme’ berarti ‘chiasmus’ (subyek tanpa terbebani oleh dualisme metafisik) (Syamsuddin, 2006: 170171). Bagaimana Merleau-Ponty menggunakan istilah-istilah itu untuk membuktikan adanya jalinan antara subyek dan obyek sebagaimana telah ia singgung dalam “Phenomenology of Perception”, hal itu tidak diuraikan secara jelas. Strukturasi penampakan (the appearance) kesadaran dari MerleauPonty tergantung di antara dua fakta tentang manusia sebagai subyek, yakni fakta kepentingan pragmatis dan diri-manusia bersifat fisikal yang di dalam karya-karya Husserl, baik “Ideen I” maupun “Ideen II” dan “Krisis”, kedua fakta itu dilihat sebagai sikap alami (natural). Secara krusial, Merleau-Ponty dalam strukturasinya menggantikan ego transendental dengan tubuh, yaitu tubuh sebagai subyek, bukan sebagai obyek. Juga bukan tubuh-tubuh lain, tapi tubuh manusia yang hidup. Melalui strukturasi, Merleau-Ponty lalu mengkritisi reduksi dalam ego transendental dari Husserl, karena secara jelas, Husserl membawa ego transendental yang natural itu ke wilayah diri empirik, seperti sinyalemen Merleau-Ponty (2003: vi) berikut; “In so far as I am a consciousness, that is, in so far as something has meaning for me, I am neither here nor there, neither Peter nor Paul”.



Sinyalemen tersebut sesungguhnya mengisyaratkan, bahwa reduksi transendental mengakibatkan sikap natural manusia justru ditenggelamkan. Walaupun diri-manusia eksis setelah reduksi, namun diri itu tidak lagi merupakan diri empiris, karena telah dihentikan oleh keharusan percaya terhadap semua fakta obyektif tentang dirinya. Diri fenomenologis dalam fakta obyektif inilah yang dimaksud sebagai ‘ego transendental’ yang diperkenalkan Husserl sebagai kutub subyektif kesadaran. Diakui oleh Merleau-Ponty, konsepsi Husserlian ini memang memerlukan pernyataan empiris, namun subyek transendental bukanlah tubuh dalam pengertian empiris. Meskipun menanggalkan ego transendental, Merleau-Ponty masih menerima hubungan diri-bukan diri atau subyek-obyek. Pemikiran tentang hubungan diri-bukan diri atau subyek-obyek pada karya Husserl “Cartesainische Meditationen” (1929), dijelaskan Merleau-Ponty (2003: xiii) sebagai berikut; “sebagai ego yang bermeditasi, saya dapat dengan tegas membedakan diri saya dari dunia dan dari segala sesuatunya”, dan selanjutnya dikatakan; “saya pasti tidak eksis sebagaimana sesuatu (bukan diri) saya eksis” (Merleau-Ponty, 2003: xiii). Dari singgungan ini, nampak bahwa refleksi fenomenologis tidak identik dengan reduksi fenomenologis, karena manusia dan obyek di dalam dunia secara kualitatif berbeda. Gagasan Merleau-Ponty dalam “Phenomenologie de la Perception” dipersembahkan untuk menggambarkan perbedaan kualitatif tersebut. Pada bagian pertama berjudul “The Thing and the Natural World” dari karya itu, secara logis, diperoleh gambaran tentang perbedaan kualitatif antara dunia dengan diri-manusia. Adapun perbedaan itu tidak memerlukan kesadaran. Bagi Merleau-Ponty, subyek dalam dunia adalah tubuh-subyek dan tubuh-subyek tidak menentang dirinya sendiri sebagai sebuah ‘obyek’. Sementara itu, bagi Husserl, semua pernyataan eksistensial atas ‘sesuatu’ ditenggelamkan oleh epoché, dan ego transendental tidak ditenggelamkan oleh reduksi. Walaupun Merleau-Ponty lebih



mempertahankan pandangannya untuk tetap berdasar pada subyek bersifat fisikal, bukan pada ego transendental, ia pun sebetulnya meneruskan tesis Husserl yang menyatakan, bahwa diri bukanlah sesuatu yang bersifat fisikal atau sebuah obyek. Dengan kata lain, walaupun dirimanusia bersifat fisikal, manusia bukanlah obyek fisikal, namun subyek fisikal. Bahasa merupakan elemen kualitatif yang memungkinkan reduksi fenomenologis terjadi. Ketika mulai menerbitkan “The Visible and The Invisible”, Merleau-Ponty berhadapan dengan paham linguistik Ferdinand de Saussure yang tertuang dalam tulisannya berjudul Course In General Linguistics. Akurasi interpretasi Saussure terhadap makna kata sangat problematis menurut Merleau-Ponty. Gagasan fundamental Saussure yang disasar oleh kritik Merleau-Ponty (1968: 23) adalah menyangkut struktur diakritikal bahasa yang menunjukkan, bahwa hubungan antara signifier dan signified bersifat arbitrer, misalnya dalam kata “kursi” (signifier) dengan konsep tentang “kursi” (signified). Bagi Merleau-Ponty, dalam hal penyusunan bahasa, antara signifier dan signified haruslah tetap bermakna menurut fungsinya masingmasing, dan makna itu lahir dari motivasi yang terkandung dalam signifier dan signified. Keduanya berhubungan secara motivasional. Hubungan ini tidak mungkin terjadi dalam pandangan Saussure, sebab jika dalam kata dan konsep melekat suatu motivasi, maka makna kata dan konsep mengalami penyimpangan. Alasan Saussure adalah bahwa dalam kenyataan terdapat banyak jenis bahasa, sehingga dapat dipastikan, bahwa hubungan antara kata dengan konsep tidak mungkin saling memberi motivasi (Syamsuddin, 2010: 228).

Penutup Transformasi obyek persepsi ke dalam pemikiran sangatlah ditentukan oleh kemampuan reflektif analitis yang dapat dilakukan melalui reduksi fenomenologis. Reduksi merupakan suatu tindakan yang dipercaya dapat menangkap makna yang terkandung secara implisit



dalam setiap fenomena yang diamati. Reduksi fenomenologis bersifat sangat ideal. Merleau-Ponty menolak gagasan Husserl yang menghendaki, bahwa subyek harus menyadari keberadaan obyek dengan cara mentransformasi pengalaman ke dalam pemikiran. Meskipun demikian MerleauPonty memahami reduksi sebagai suatu konsepsi pengenalan dunia melaui persepsi yang memadukan antara pengalaman dan pemikiran. Oleh karena itu, bagi Merleau-Ponty, reduksi tidaklah diperoleh dari penyatuan kesadaran dengan dunia yang berada di luar diri manusia, namun merupakan salah satu bentuk perhatian (intention) yang muncul dari dalam diri manusia. Karakter fundamental refleksi fenomenologis Merleau-Ponty yang mempertautkan dunia dengan relasi subyek-obyek, dan diri-bukan diri, terutama karena bertumpu pada dalil-dalil ke-tubuh-an yang hidup, harus diakui berdampak secara signifikan dalam perkembangan dan penelitian bidang ilmu sosiologi, psikologi, psikologi sosial, pendidikan, ilmu-ilmu kesehatan, dan berbagai bidang keilmuan sosial lainnya. Dari sudut pandang ini, pergeseran ke arah penggunaan metode kualitatif dalam penelitian ilmu-ilmu sosial, khususnya yang berkaitan dengan penelitian perilaku manusia, sebagaimana menggejala di tengah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memasuki abad ke-20, tidak dapat menafikan kontribusi yang diterima dari kebangkitan psikologi fenomenologis. Dalam penelitian psikologi fenomenologis ditemukan banyak jenis metode penelitian fenomenologis yang sama dengan fenomenologi dalam arti Merleau-Pontian. Hanya saja, dalam psikologi fenomenologis itu, pemahaman atas dunia pengalaman manusia dan situasinya lebih ditekankan. Oleh karena itu, metode-metode penelitian dalam psikologi fenomenologis seringkali menerapkan pertimbangan-pertimbangan naratif dan wawancara-wawancara kualitatif, sedangkan dalam fenomenologi Merleau-Pontian lebih pada refleksi personal peneliti.



Daftar Pustaka Bannan, John F., The Philosophy of Merleau-Ponty, Harcourt, Brace & World, Inc. Printed in U.S.A, 1967. Kojève, Alexander, Introduction to the Reading of Hegel, Basic Books, New York, 1969. Mattews, Eric, The Philosophy of Merleau-Ponty, Itacha, Montreal & Kingston: McGill-Queen’s University Press, 2002. Merleau-Ponty, Maurice, In Praise of Philosophy and Other Essays, John O’Neill (trans.), Northwestern University Press, Evanston, 1988. ------------------------------, Nature, Robert Northwestern University Press, Evanston, 2003.

Vallier

(trans.),

------------------------------, Phenomenology of Perception, trans. By Colin Smith, Routledge and Keegan Paul, New York, 2003. ------------------------------, Sense and Non Sense, Northwestern University Press, Evanston, 1971. ------------------------------, Signs, McCleary (trans.), Northwestern University Press, Evanston, 1964. ------------------------------, The Primacy of Perception: and Other Essays on Phenomenology, Psychology, the Philosophy of Art, History and Politics, Edie (ed.,), Northwestern University Press, Evanston, 1964. ------------------------------, The Structure of Behavior, A.L. Fisher (trans.), Matheun, London, 1965 ------------------------------, The Visible and the Invisible, Alponso Lingis (trans.), Northwestern University Press, Evanston, 1968. Priest, Stephen, Merleau-Ponty, Routledge, New York, 1998. ------------------, Theories of Mind, Penguin Books, London, 1991.



Strawson, Peter, Individuals, An Essay in Descriptive Metaphysics, Matheun, London, 1959. Syamsuddin, M. Mukhtasar, “Kritik Fenomenologis Merleau-Ponty atas Filsafat Pengetahuan” dalam Jurnal Peradaban Islam TSAQAFAH, ISID Gontor Ponorogo, vol. 6., Nomor 2., Oktober, 2010. --------------------------------------, Merleau-Ponty’s Solution to the Mind-Body Problem and Its Philosophical Implications in Toegye’s Concept of Self-Cultivation, Hankuk University of Foreign Studies, Korea, Disertasi Program Doktor, 2006.



BERBAGAI BENTUK METODE BERFILSAFAT: SEBUAH TINJAUAN HISTORIS SISTEMATIS DARI MASA YUNANI KUNO SAMPAI POSMODERNISME OLEH: REZA A.A WATTIMENA

T

ulisan ini merupakan sebuah tinjauan historis tentang berbagai model berfilsafat yang ada di dalam sejarah filsafat Barat. Tujuannya adalah memperkenalkan, menanggapi secara kritis, serta mengembangkan berbagai metode tersebut untuk memahami dan menjawab berbagai persoalan yang ada di dalam masyarakat kita, dan juga untuk melatih pola berpikir kita dalam aktivitas sehari-hari. Seperti yang tertulis pada judul, saya akan memaparkan model-model berfilsafat dari masa Yunani Kuno sampai posmodernisme.

1. Pencarian Archē dan Elenchus dalam Filsafat Yunani Kuno Sulit sekali menemukan catatan otentik mengenai filsafat sebelum Sokrates. Yang dapat ditemukan adalah potongan tulisan yang seolah tidak memiliki hubungan satu sama lain. Satu-satunya sumber yang cukup bisa diandalkan adalah tulisan-tulisan Aristoteles mengenai para filsuf sebelumnya. Ia juga dikenal sebagai sejarahwan filsafat sistematis pertama di dalam sejarah. Maka dari itu halangan pertama kita untuk 46

Dosen Filsafat Politik di Fakultas Filsafat UNIKA Widya Mandala, Surabaya.



bisa memahami filsafat Yunani Kuno adalah halangan penafsiran, karena kita hanya bisa mengandalkan tulisan-tulisan para filsuf setelahnya. Kita hanya bisa mengandalkan sumber sekunder. Yang kita miliki adalah kumpulan fragmen yang terobek dari naskah asli yang telah hilang. Akibatnya beragam penafsiran saling bertentangan tentang fragmen itu tidak didasarkan pada teks tulisan yang memadai, melainkan hanya copotan saja. Walaupun minimalis namun fragmenfragmen tulisan para filsuf sebelum Sokrates tetaplah sangat berharga. Beberapa kutipan menyiratkan makna yang sangat mendalam untuk bisa dipelajari dan direfleksikan. Dari situ kita bisa memahami bagaimana tokoh-tokoh awal filsafat dan sains ini memahami realitas yang ada di hadapan mereka. Berdasarkan teks-teks yang ada, kita dapat menarik kesimpulan, bahwa setidaknya ada dua kelompok filsuf yang dominan di dalam Filsafat Yunani Kuno. Mereka adalah para filsuf pra-Sokratik dan kaum sofis. Kedua kelompok filsafat ini memiliki ajaran yang berbeda, namun keduanya penting untuk dipahami, karena dari merekalah filsafat dan sains selanjutnya berkembang. Aristoteles menyebut para filsuf praSokratik pertama sebagai physiologoi (natural philosophers), atau para filsuf natural. Mereka hendak mencari prinsip terdasar (archē) dari seluruh realitas dengan menggunakan kosa kata naturalistik (naturalistic terms). Para filsuf natural ini berbeda dengan para pendahulunya yang lebih mengedepankan penjelasan-penjelasan mitologis (mythological explanations) dalam bentuk cerita dewa dan dewi. Walaupun sama-sama mencari prinsip dasar dari realitas dengan menggunakan kosa kata natural, para filsuf prasokratik seringkali terlibat dalam perdebatan tulisan, karena perbedaan pendapat. Perdebatan itu muncul karena masing-masing filsuf saling bersikap kritis satu sama lain. Dari sini kita bisa menarik kesimpulan, bahwa filsafat adalah suatu displin berpikir yang selalu melakukan kritik diri (self-critique), bahkan dari awal mula berdirinya. Tidak hanya itu mereka bahkan melakukan kritik tajam



terhadap cara berpikir mitologis yang dominan pada jamannya. Dengan kecenderungan untuk berpikir kritis seperti itu, muncullah para filsuf yang saling berdebat soal prinsip dasar yang menentukan seluruh realitas, yang juga bisa disebut sebagai archē. Para filsuf natural itu, yang juga bisa kita sebut sebagai para filsuf prasokratik, menjadikan seluruh alam semesta sebagai obyek penelitian mereka. Mereka berusaha memahami alam semesta bukan dengan menggunakan penjelasan mitologis, melainkan dengan penjelasanpenjelasan naturalistik (naturalistic explanations), seperti prinsip air, udara, api, dan atom. Dalam arti ini mereka juga bisa disebut sebagai para ilmuwan (scientist) pertama di dalam sejarah. Proses mendekati realitas dengan tujuan mencari prinsip terdasar (fundamental principle) yang menyatukan keseluruhan ini nantinya akan mempengaruhi para filsuf dan ilmuwan selanjutnya.

1.1. Archē Pada titik ini kita bisa mengajukan pertanyaan yang mendasar, apakah arti archē sebagai prinsip terdalam yang menyatukan (unifying principle) seluruh realitas ini?47 Dalam bahasa Yunani Kuno, Archē adalah prinsip. Archē juga dapat dimengerti sebagai sumber yang menciptakan (originating source), sebab (cause), prinsip pengetahuan (principle of knowledge), dan entitas dasar (basic entity). Konsep ini sangat penting di dalam metafisika, epistemologi, dan filsafat ilmu pengetahuan. Bahkan menurut Aristoteles setiap bentuk pengetahuan (knowledge) dan ilmu pengetahuan (science) (pengetahuan yang sudah tersistematisir) dirumuskan dan dikembangkan dengan berpegang pada prinsip (archai) yang terbatas pada bidangnya masing-masing. Dalam filsafat politik archē juga dapat dimengerti peraturan (rule) dan awal (beginning). Konsep archē sebagai awal juga berakar pada 47

Untuk seterusnya saya mengacu pada McKirahan, Richard, Routledge Encyclopedia of Philosophy, Routledge, London, 1998.



konsep asal usul (origin), titik mula (starting point), dan prinsip pertama (first principle). Dalam bahasa Yunani kata archē sendiri berasal dari kata archō (to begin) yang berarti untuk memulai atau untuk mengatur (to rule). Kata itu muncul di dalam tulisan-tulisan Homer. Dalam konteks politik yang lebih spesifik, archē bisa berarti kekuasaan (sovereignity), ruang (realm), dan otoritas (authority). Menurut McKirahan konsep archē secara definitif digunakan pertama kali oleh Anaximandros. Anaximandros menggunakan kata itu untuk menjelaskan konsepnya yang disebut sebagai apeiron, yakni unsur-unsur yang membentuk keseluruhan realitas. Di dalam bukunya yang berjudul Metaphysics, Aristoteles memperkenalkan enam penggunaan konsep archē. Saya hanya akan menjabarkan empat yang saya anggap penting. Yang pertama adalah sebagai suatu titik, di mana segala sesuatu yang lainnya, dalam arti benda-benda konkret lahiriah, muncul. Misalnya adalah fondasi dari rumah. Yang kedua adalah sebagai suatu titik, di mana segala sesuatu yang lainnya, dalam arti konseptual, muncul. Misalnya sebagai suatu titik, di mana gerakan berikutnya muncul. Yang ketiga adalah segala bentuk penyebab (cause) dan segala sifat-sifat dasar (nature) dari suatu benda, pikiran, tindakan, dan sebagainya. Dan yang keempat adalah archē sebagai benda yang bertujuan pada dirinya sendiri, seperti pengetahuan demi pengetahuan itu sendiri, dan bukan untuk tujuan lainnya. Seluruh filsafat sebelum Sokrates kiranya ditandai dengan suatu bentuk metode yang unik, yakni metode pencarian archē. Dalam arti ini archē dapat dipandang sebagai satu titik tolak bagi pengetahuan manusia untuk berkembang. McKirahan menyebutnya sebagai hipotesis yang tidak tidak dapat dibuktikan (unprovable hypotheses), namun harus selalu diandaikan. Cara berpikir ini juga dapat digunakan untuk mengembangkan persamaan di dalam matematika, maupun

sillogisme di dalam logika. Tanpa adanya hipotesis yang harus selalu diandaikan ini, pengetahuan tidak akan bisa mencapai level koherensi. Dan jika tidak koheren, maka itu tidak layak disebut pengetahuan.48 Dalam konteks filsafat prasokratik, archē berarti prinsip yang menyatukan keseluruhan realitas. Mereka berusaha mengabstraksi realitas sedemikian rupa, sehingga bisa terlihat unsur dasar pembentuk realitas tersebut. Inilah yang disebut sebagai metode pencaria archē. Dalam konteks pembelajaran metode ini bisa digunakan untuk memahami karakter dasar ataupun prinsip penyatu dari obyek yang ingin diteliti, seperti karakter dasar dari pikiran manusia, hasrat, masyarakat, alam, dan sebagainya. Pada hemat saya pencarian archē adalah suatu metode yang sangat radikal, yang hendak mengangkat akar-akar terdalam realitas, dan menegaskannya sebagai sebuah konsep yang dapat dipahami oleh akal budi (intelligible).

1.2. Elenchus sebagai Metode Sokratik49 Metode berfilsafat berikutnya yang dapat ditemukan pada filsafat Yunani Kuno adalah metode Sokratik (Socratic method). Menurut Nelson metode Sokratik adalah metode yang digunakan untuk mempelajari filsafat. Akan tetapi filsafat tidaklah sama seperti displin ilmu lainnya. Maka itu lebih tepat dikatakan, bahwa metode Sokratik bukanlah metode untuk belajar filsafat (learn philosophy), melainkan metode untuk berfilsafat (philosophizing). Apa sebenarnya perbedaan antara dua konsep itu? Yang pertama hendak mengajarkan kepada orang tentang apa itu filsafat. Sementara yang kedua adalah membuat orang mampu berfilsafat tentang tema-tema yang penting dalam hidupnya, sehingga ia bisa menjadi seorang filsuf. Secara historis Sokrates banyak bergulat soal isu-isu yang terkait dengan kehidupan manusia. Ia mempertanyakan soal-soal yang 48 49

Bdk, Wattimena, Reza A.A, Filsafat dan Sains, Grasindo, Jakarta, 2008. Untuk berikutnya saya mengacu pada Nelson, Leonard, Socratic Method and Critical Philosophy, Yale University Press, London, 1949.



terkait dengan kebaikan, moral, dan keadilan, serta menjadikan tema-tema itu bagian dari perdebatan yang menarik. Dalam konteks ini ia merumuskan semacam metode khusus yang disebut sebagai argumentasi dialektis (dialectical argument), atau secara khusus disebutnya sebagai elenchus yang berarti menguji (putting to test) atau pembuktian (refutation). Ia memberikan contoh metode itu, ketika ia berdebat dengan Meletus, salah seorang yang menuduh Sokrates melanggar hukum, dalam pengadilan Sokrates (the trial of Socrates). Meletus mengajukan argumen A. Ia merasa benar karena ia adalah ahli di bidang itu. Sokrates menanggapi argumen itu, melakukan klarifikasi, dan memperluas argumen yang diajukan Meletus. Setelah itu Sokrates meminta pendapat Meletus. Pada akhir argumen Sokrates berhasil membuktikan, bahwa argumen Meletus tidaklah konsisten. Sedangkan pengetahuan yang otentik haruslah konsisten. Pengetahuan yang otentik haruslah bebas dari kontradiksi diri (self-contradiction). Maka dari itu argumen Meletus sebenarnya tidak bisa diterima, karena tidak memiliki konsistensi dasar. Sokrates seringkali menggunakan gaya seperti ini untuk mengungkapkan kontradiksi di dalam argumen dari orang yang merasa dirinya paling ahli sekalipun, seperti para ahli agama, seorang jenderal, dan para guru retorika. Kelihatannya Sokrates hanya suka mengungkapkan kesalahan dari argumentasi teman bicaranya. Akan tetapi itu tidak sepenuhnya benar. Memang ia ingin menunjukkan kelemahan argumen teman debatnya, tetapi juga ingin membantu teman debatnya untuk melakukan pencarian lebih jauh demi mendapatkan pengetahuan yang lebih tepat. Dengan kata lain Sokrates ingin mencegah teman debat atau bicaranya untuk puas dengan kebenaran palsu (false truth). Sokrates tidak ingin teman debatnya menipu diri dengan menganggap hal yang salah sebagai benar. Tidak hanya dengan orang-orang yang merasa ahli, Sokrates juga banyak berdialog dengan orang-orang yang mencari kebenaran



dalam segala bidangnya, terutama dengan anak muda. Ia membantu mereka merumuskan konsep secara tepat tentang hal-hal yang penting dalam kehidupan, seperti kebaikan, keberanian, dan kerendahatian. Sokrates yakin bahwa hidup yang baik didasarkan pada pengertian yang baik. Orang yang baik adalah orang yang sungguh mengerti apa artinya baik. Inilah yang disebut sebagai intelektualisme etis di dalam pemikiran Sokrates. Dan pengertian yang baik adalah pengertian yang bebas dari kontradiksi (contradiction) ataupun inkonsistensi (inconsistency). Orang bisa belajar banyak hal, jika ia mampu peka pada kemungkinan kontradiksi yang ada di dalam pikiran, dan sedapat mungkin menghindarinya. Sokrates sangatlah tertarik berdiskusi soal keutamaan-keutamaan moral, seperti keberanian, kesetian, kejujuran, dan kualitas-kualitas yang memungkinkan persahabatan. Baginya sebelum orang masuk ke contoh, mereka harus dapat menjelaskan secara sistematis dan komprehensif tentang makna dari masing-masing keutamaankeutamaan moral tersebut. Makna yang sistematis dan komprehensif tersebut dianggap Sokrates sebagai satu konsep yang mampu mencakup beragam tindakan yang didasarkan pada masing-masing keutamaan moral yang ada. Itulah yang disebutnya sebagai definisi universal (universal definitions) yang dapat digunakan untuk mengecek berbagai tindakan yang ada, apakah sudah sesuai dengan keutamaan moral (moral virtue) atau tidak. Bahkan bisa juga dikatakan, bahwa Sokrates adalah pemikir pertama yang sangat tertarik pada definisi universal dari keutamaan-keutamaan moral manusia (universal definition of moral virtues). Metode pencarian definisi universal itulah yang kemudian dapat dianggap sebagai metode untuk memahami realitas khas Sokrates. Yang juga menarik adalah, Sokrates tidak pernah merasa, bahwa ia sudah mencapai pengertian yang universal dan terbaik tentang tema yang dibicarakannya. Sebaliknya pada akhir dialog, ia biasanya sampai pada kesimpulan, bahwa ia ternyata tidak akan dapat sampai pada



kebenaran absolut. Pengetahuan yang absolut benar tidak pernah dapat didapatkan. Dan setiap dialog selalu diakhiri dengan pertanyaan lebih jauh. Walaupun merasa belum sampai pada kebenaran yang absolut, Sokrates mengakui, bahwa proses dialog telah membuat manusia lebih dekat pada kebenaran. Inilah inti dari metode elenchus di dalam pemikiran Sokrates.

2. Logika Sebagai Metode di dalam Filsafat Abad Pertengahan Pada bagian sebelumnya kita sudah melihat bagaimana para pemikir Yunani Kuno memahami realitas. Mereka menggunakan metode yang unik, yang nantinya akan terus mempengaruhi cara berpikir kita sampai sekarang ini, yakni pencarian archē dan elenchus. Pada bab ini saya akan mengajak anda mencicipi cara para filsuf abad pertengahan memahami realitas. Pada bagian ini saya mengacu pada Routledge Encyclopedia of Philosophy, dan tulisan Ashworth mengenai bahasa dan logika di dalam filsafat abad pertengahan. Di dalam filsafat abad pertengahan, kita melihat berkembangnya suatu cara berpikir yang nantinya akan mempengaruhi perkembangan pengetahuan manusia secara signifikan, yakni metode berpikir deduktif (deductive method). Secara literal metode deduktif, atau yang banyak juga dikenal sebagai prinsip deduktif (deductive principle), adalah kemampuan orang untuk mengembangkan pengetahuannya dengan menarik kesimpulan dari pengetahuan-pengetahuan yang sebelumnya telah ia ketahui.50 Misalnya A mengetahui bahwa B, dan C adalah kesimpulan yang bisa ditarik secara deduktif dari B. Maka A mengetahui C. Cara berpikir ini disebut juga prinsip tertutup (closure principle). Artinya kesimpulan yang bisa ditarik tertutup hanya pada implikasi logis (logical implications), dan

50

Untuk bagian ini saya mengacu pada Brueckner, Anthony, Routledge Encyclopedia of Philosophy.



bukan yang lainnya. Contoh lainnya S mengenali P, dan S mengetahui bahwa Q adalah implikasi logis dari P. Maka S dapat mengenali Q. Prinsip ini dapat memastikan, bahwa pengetahuan yang diperoleh adalah pengetahuan yang sahih (valid knowledge). Prinsip semacam ini sangat berperan di dalam pembentukan pengetahuan melalui metode penelitian saintifik (scientific method). Cara berpikir deduktif ini mempengaruhi cara berpikir para filsuf abad pertengahan tentang konsep bahasa dan logika (logic). Dua konsep inilah yang akan menjadi fokus pembahasan di dalam bab ini.

2.1. Logika dan Bahasa di dalam Filsafat Abad Pertengahan Secara umum Filsafat Abad Pertengahan memiliki pemahaman yang menarik tentang konsep bahasa dan logika. Berdasarkan penelitian Ashworth pada masa itu, bahasa (language) dan logika dianggap memiliki tujuan yang jelas.51 Keduanya berfungsi untuk membentuk dan menyatakan kebenaran, sehingga orang bisa bergerak maju dalam membentuk pengetahuan baru. Kedua konsep ini menimbulkan perdebatan antara dua filsuf besar pada waktu itu, yakni Agustinus dan Thomas Aquinas. Agustinus tidak percaya akan kemampuan manusia untuk sampai pada pengetahuan yang tepat. Yang harus diingat adalah Agustinus adalah seorang ahli retorika. Ia sadar betul akan bahaya penggunaan bahasa untuk menyembunyikan atau justru melenyapkan kebenaran. Dan seperti yang dijelaskan oleh Ashworth, Agustinus pernah menulis, bahwa orang harus melepaskan diri dari bahasa sehari-hari, dan kemudian belajar langsung dari sumber kebenaran itu sendiri, yakni Tuhan. Ia adalah kebenaran agung yang sesungguhnya.52 Pandangan Aquinas berbeda dari Agustinus. Bagi Aquinas seperti dijelaskan oleh Ashworth, fungsi utama dari bahasa adalah untuk 51 52

Untuk bagian berikutnya saya mengacu pada Ashworth, E.J., “Language and Logic”, dalam The Cambridge Companions to Medieval Philosophy, A.S McGrade (ed), Cambridge University Press, Cambridge, 2006, hal. 73-96. Lihat, ibid, hal. 77.



mengetahui kebenaran melalui konsep-konsep yang dapat dirumuskan oleh akal budi manusia. Dalam aktivitas sehari-hari, bahasa juga memungkinkan terciptanya kehidupan sosial melalui komunikasi yang berguna antar manusia. Tidak hanya itu menurut Ashworth, masyarakat pun terbentuk di dalam bahasa melalui proses penuturan kebenaran (truth telling). Bahasa adalah perpanjangan tangan dari rasionalitas manusia. Dalam kerangka itu bahasa adalah sistem yang diatur oleh prinsip-prinsip tertentu, dan dapat dilepaskan dari konteks pembentukan bahasa, ataupun maksud dari penuturnya. Bahasa adalah kumpulan informasi yang dikumpulkan dan nantinya dirumuskan, guna membentuk suatu pengetahuan yang sistematis (scientia). Di dalam filsafat abad pertengahan, menurut Ashworth, bahasa tidak dapat dilepaskan dari logika. Keduanya terkait dengan kebenaran, walaupun dengan cara yang berbeda. Seorang filsuf Islam yang bernama Ibn Sina pernah berpendapat, bahwa fungsi logika adalah untuk mengantarkan manusia dari apa yang diketahui (known) menuju ‘yang tidak diketahui’ (the unknown). Artinya logika mengantar manusia untuk membuka tabir-tabir pengetahuan yang sebelumnya tidak diketahui. Di dalam proses itu, logika dapat mengantar manusia pada kebenaran yang sesungguhnya (genuine truth). Kebenaran itu tidaklah diciptakan oleh manusia, melainkan sudah tertanam di dalam tata alam semesta yang rasional (permanently and divinely instituted in the reasonable orders of things).53 Logika abad pertengahan difokuskan untuk membantu manusia melepaskan diri dari kesalahan berpikir (fallacies). Logika di dalam filsafat abad pertengahan berbeda dengan logika Aristotelian, yang berkembang pada masa Yunani Kuno. Pada masa abad pertengahan, logika yang berkembang tidak mengacu pada struktur formal silogisme a la Aristoteles untuk bisa sampai pada kebenaran. Logika yang dirumuskan Agustinus, misalnya, lebih banyak mengacu 53

Pendapat Agustinus seperti dikutip oleh Ashworth, ibid, hal. 78.



pada pemikiran Neoplatonik, yang melihat bahwa alam semesta bisa dipahami seluruhnya dengan mengabstraksi konsep jiwa (soul) sampai levelnya yang paling tinggi. Dengan jiwanya manusia bisa melihat seluruh realitas sebagai obyek yang dapat dipahami oleh akal budi (intelligible). Jiwa adalah suatu entitas yang melampaui bahasa. Dengan argumen yang kurang lebih sama, Agustinus hendak membuktikan keberadaan Tuhan, yakni sebagai entitas yang melampaui bahasa. Pada abad pertengahan ini jugalah berkembang suatu konsep yang dikenal juga sebagai dialektika (dialectica). Menurut Ashworth dalam arti umum, dialektika adalah logika (logica). Namun dalam arti sempit, setidaknya ada dua makna berbeda. Yang pertama adalah dialektika sebagai seni berdebat, seperti yang dipraktekkan kaum sofis. Dan yang kedua adalah dialektika sebagai seni untuk menemukan sintesis (synthesis) dari argumen-argumen yang berbeda. Marcus Iulius Cicero berpendapat bahwa dialektika adalah suatu metode berdebat yang baik. Agustinus pun berpendapat serupa. Ashworth juga menjelaskan beragam arti kata logika (logica). Kata itu berasal dari bahasa Yunani logos, yang berarti kata-kata (word) atau akal budi (reason). Dalam arti ini logika bisa juga disebut sebagai ilmu pengetahuan rasional (rational science). Seorang filsuf abad pertengahan bernama Boethius berpendapat, bahwa filsafat dapat dibagi menjadi tiga, yakni filsafat natural (natural philosophy), filsafat moral (moral philosophy), dan filsafat rasional (rational philosophy). Logika terletak di dalam ranah filsafat rasional. Logika juga dapat dianggap sebagai alat untuk berfilsafat. Di sisi lain para filsuf Romawi berpendapat, bahwa logika dapat dikategorikan sebagai bagian dari seni liberal (liberal art). Logika juga dapat dikategorikan sebagai trivium bersama dengan retorika dan grammar. Dari sini dapatlah disimpulkan, bahwa logika sekaligus bagian dari ilmu bahasa (dalam tradisi Romawi) dan filsafat rasional (dalam tradisi Boethius).54 54

Lihat, ibid, hal. 80.



Berdasarkan penelitian Ashworth pada abad ke 13 dan 14, logika mulai melulu dipahami sebagai filsafat rasional (rational philosophy). Artinya logika haruslah dibedakan dengan filsafat natural, yang sibuk untuk memahami gejala alamiah (natural phenomena). Logika lebih berurusan dengan penarikan kesimpulan (inference) serta metode berpikir, dan bukan soal gejala alamiah. Dalam arti ini logika dapat dikelompokkan bersama dengan retorika dan grammar, yakni sebagai ilmu bahasa. Argumen lain mengatakan bahwa logika tidak dapat disamakan dengan filsafat natural (yang nantinya berkembang menjadi ilmu pengetahuan seperti kita ketahui sekarang ini). Logika tidak berurusan dengan alam, melainkan dengan prinsip-prinsip universal (universal principles) yang mengatur argumen dan cara berpikir (reasoning). Jadi ranah penelitian logika bukanlah benda empiris, melainkan aktivitas pikiran manusia (human mind).

2.2. Logika Penarikan Kesimpulan Menurut Ashworth penarikan kesimpulan adalah konsep terpenting di dalam logika. Penarikan kesimpulan ini bisa juga disebut sebagai consequentia, atau inference. Hal ini menjadi penting untuk mencegah orang mengambil kesimpulan yang salah (fallacies) juga dengan berdasarkan pada premis yang salah. Di dalam ilmu pengetahuan maupun di dalam filsafat moral, orang dilatih untuk bertindak seturut dengan implikasi logis (logical implications) dari kondisi-kondisi yang ada. Misalnya orang baru bisa mengambil kesimpulan yang tepat, jika salah satu premis yang membentuk kesimpulan itu juga universal, (Andi orang Jawa. Semua orang Jawa berambut hitam. Maka Andi juga berambut hitam). Dan jika orang membuat janji, maka ia harus menepatinya. Itulah tindakan-tindakan yang mengikuti implikasi logis dari tindakan sebelumnya. Kesimpulan yang ditarik secara logis berarti kesimpulan yang sahih (valid). Kesimpulan sahih dalam arti ini adalah kesimpulan yang ditarik dari premis yang sudah terbukti benar. Maka kesimpulan



tersebut tidak mungkin salah, karena premis yang mendasarinya juga sudah terbukti benar. Namun menurut Ashworth ada dua masalah terkait dengan argumen ini. Yang pertama adalah fakta sederhana di dalam logika, bahwa apa yang logis belum tentu benar. Apa yang merupakan kesimpulan logis dari premis-premis yang sudah terbukti benar tidak menjamin kebenaran dari penarikan kesimpulan itu, melainkan hanya kesahihan logikanya. Coba kita ambil contoh yang paling sederhana. Andi orang Jawa. Semua orang Jawa berambut hitam. Lalu dapatlah ditarik kesimpulan bahwa Andi berambut hitam. Hal ini memang logis, namun apakah pasti benar? Permasalahan di atas coba diatasi dengan menambahkan satu kalimat, yakni “jika dan hanya jika” (if and if only). Namun menurut Ashworth hal ini pun bermasalah. Konsep “jika dan hanya jika” menandakan suatu kondisi. Artinya suatu teori atau pernyataan baru terbukti benar, jika kondisi-kondisi yang memungkinkanya juga ada. Misalnya saya berkata bahwa hari ini pasti hujan, ‘jika dan hanya jika’ awan berat karena air, dan siap menuang hujan ke daratan. Jika awan tidak berat karena air, maka hujan tidak akan terjadi. Ini adalah contoh yang sederhana. Permasalahan muncul ketika kita mencoba membahas teori yang lebih rumit. Misalnya pernyataan berikut; ekonomi pasar bebas hanya akan berjalan dengan baik, jika setiap orang bertindak dengan mengacu pada kepentingan diri yang tercerahkan (englighten self-interest). Masalahnya adalah cara berpikir dengan mengacu pada kepentingan diri yang tercerahkan hampir tidak mungkin terwujud secara murni di dalam realitas. Artinya pernyataan di atas sama sekali tidak bisa diterapkan pada realitas. Cara berpikir dengan menggunakan logika sebagai metode ini juga banyak diterapkan pada teologi, yakni upaya rasional manusia untuk memahami Tuhan. Dalam arti ini logika bukan soal pencarian kebenaran, melainkan suatu teknik berpikir untuk menarik kesimpulan



logis berdasarkan premis-premis yang bisa dipertanggungjawabkan. Memang dalam arti ini, seperti yang dikatakan oleh Agustinus, apa yang logis (logic) dan apa yang benar (truth) haruslah dibedakan. “Pengetahuan yang diperoleh dari penarikan kesimpulan logis, definisi, dan divisi”, demikian tulis Agustinus, “dapat memberikan bantuan besar di dalam proses pemahaman, selama orang tidak membuat kesalahan dengan berpikir bahwa dengan mempelajari itu sama dengan telah mempelajari kebenaran dari hidup yang suci.”55 Dari sini dapatlah disimpulkan, bahwa logika adalah alat berpikir, dan bukan tujuan dari filsafat abad pertengahan.

3. Metode Skeptisisme di dalam Filsafat Modern Pada bagian sebelumnya kita sudah melihat bagaimana para filsuf abad pertengahan menggunakan logika sebagai metode berpikir mereka. Logika nantinya akan menjadi fondasi kuat bagi perkembangan pemikiran di dalam ilmu pengetahuan. Pada bab ini dengan mengacu pada Stewart Cohen di dalam Routledge Encyclopedia of Philosophy, saya ingin memperkenalkan anda pada metode skeptisisme yang dominan pada awal filsafat modern.56 Secara umum skeptisisme adalah pandangan, bahwa orang tidak mungkin bisa sampai pada pengetahuan. Di dalam pandangan para pemikir skeptis yang lebih moderat, manusia masih bisa sampai pada pengetahuan, namun tidak akan pernah sampai pada kepastian. Di dalam pandangan yang lebih radikal, pengetahuan manusia tidak pernah bisa didasarkan pada argumen yang masuk akal. Dengan kata lain pengetahuan manusia itu irasional. Argumentasi adalah sekumpulan kata-kata kosong untuk membuktikan sesuatu yang memang tidak bisa dibuktikan. Pada level yang lebih luas, skeptisisme adalah suatu bentuk ketidakpercayaan pada cara mengetahui manusia. Misalnya ketidak55 56

Seperti dikutip Ashworth, ibid, hal. 81. Untuk bagian awal bab ini, saya mengacu pada Stewart Cohen dalam Routledge Encyclopedia of Philosophy.



percayaan pada ingatan sebagai sumber ingatan, karena ingatan sifatnya sangat rapuh dan subyektif.57 Ada juga para pemikir skeptis yang tidak percaya pada kepastian pengetahuan manusia tentang dunia di luar dirinya. Bagi mereka pengetahuan tentang dunia di luar diri manusia (external world) hanya sebentuk sensasi-sensasi saraf otak semata, dan bukan pengetahuan yang asli. Ada satu bentuk skeptisisme lainnya yang disebut sebagai solipsisme. Paham ini berpendapat bahwa yang ada hanyalah diri manusia dan keyakinan-keyakinan subyektifnya. Segala sesuatu di luar diri manusia tidak ada. Misalnya dunia di luar diri manusia itu sungguh ada, namun itu pun tetap tidak bisa diketahui.

3.1. Skeptisisme di dalam Sejarah Menurut Richard H. Popkin di dalam Routledge Encyclopedia of Philosophy, skeptisisme memiliki akar yang panjang dalam sejarah. Pada jaman Romawi Kuno, teks-teks Cicero, Sextus Empiricus, dan Diogenes sudah memuat argumen-argumen skeptisisme. Setidaknya ada dua bentuk skeptisisme, yakni ketidakpercayaan pada pada persepsi inderawi (sense perception) manusia untuk memperoleh pengetahuan, dan ketidakpercayaan pada kemampuan akal budi (reason) manusia untuk mencapai pengetahuan yang universal.58 Jika akal budi dan persepsi inderawi tidak bisa membawa manusia pada pengetahuan, maka manusia tidak memiliki lagi alat untuk bisa mengetahui sesuatu. Pengetahuan pun menjadi sesuatu yang tidak mungkin. Cara pandang ini memiliki implikasi moral tertentu. Jika manusia tidak bisa sampai pada pengetahuan, maka satu-satunya harapan adalah menyandarkan diri pada cara hidup dan aturan yang sudah mapan di dalam masyarakat. Daya dorong untuk mencapai kebenaran absolut menghilang, dan orang pun ‘dipaksa’ untuk hidup dalam harmoni dengan lingkungan sekitarnya. 57 58

Saya membahas problem ini dalam Wattimena, Reza A.A, “Ingatan Sosial, Trauma, dan Maaf ”, Jurnal Respons, Mikhael Dua (ed), Jakarta, Atma Jaya, 2009. Untuk bagian ini dan berikutnya saya mengacu pada Richard H. Popkin dalam Routledge Encyclopedia of Philosophy.



Berdasarkan penelitian Popkin kelahiran skeptisisme sebagai metode di abad pertengahan disebabkan oleh ditemukannya kembali teks-teks kuno. Teks-teks tersebut pertama kali ditemukan dan dikembangkan oleh para pemikir Humanis di Italia. Kemudian teksteks tersebut tersebar dan semakin berkembang di Eropa Barat dan Eropa Utara. Seperti sudah disinggung sebelumnya, teks-teks yang berpengaruh adalah tulisan Cicero, Diogenes, dan, yang terpenting, adalah tulisan Sextus Empiricus. Pada awalnya teks-teks tulisan Empiricus lebih dikenal sebagai teks-teks sejarah dan literatur biasa. Namun setelah terbit dua teks terjemahan milik Empiricus, yakni Outlines of Pyrrhonism dan Against the Professors, para filsuf pada waktu itu mulai menempatkan teks-teks itu sebagai teks yang memiliki problem filosofis. Dari penelitian Popkin ini dapatlah disimpulkan, bahwa konsep skeptisisme berkembang dari ditemukannya teks-teks kuno, yang kemudian membuka problemproblem filosofis baru pada abad ke 14 dan 15. Konsep skeptisisme juga berkembang dalam konteks tegangan dengan agama pada abad ke-14. Tokoh yang terkait adalah Girolamo Savonarola dan muridnya yang bernama Pico della Mirandola. Savonarola sendiri adalah seorang biarawan Dominikan sekaligus seorang guru filsafat di Florence. Ia menyarankan dilakukannya reformasi besar-besaran terhadap Gereja Katolik Roma pada waktu itu. Ia bahkan menyarankan orang membaca tulisan Sextus Empiricus sebagai perkenalan kepada iman Kristiani. Ia juga meminta temanteman biarawannya untuk menerjemahkan teks-teks Empiricus, sehingga bisa dibaca oleh banyak orang. Akan tetapi tulisan-tulisan Empiricus, berlawanan dengan cita-cita Savonarola, tidak pernah dijadikan salah satu teks Kristiani. Bahkan ia kemudian dituduh bidaah, dan dibakar pada 1498. Menurut penelitian Popkin cita-cita Savonarola sebenarnya sesuai dengan ajaran Kristiani. Dia dan muridnya yang bernama Pico sebenarnya hendak menyerang



semua bentuk pengetahuan yang ada dengan teori skeptisisme, supaya orang tidak lagi menyandarkan diri pada akal budinya, melainkan bersandar hanya sepenuhnya pada iman. Hal ini nantinya juga dipergunakan oleh para Rabi Yahudi untuk menjadikan Torah sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Melanjutkan cita-cita gurunya, Pico menyerang Filsafat Yunani Kuno dan pemikiran Aristoteles. Argumen Pico memiliki pengaruh sangat besar para para pemikir Renaissance nantinya. Pada masa reformasi Erasmus pernah melakukan debat keras melawan Martin Luther. Masa itu adalah masa yang penuh gejolak, akibat gelombang reformasi yang deras melanda Eropa. Pada 1511 dalam salah satu tulisannya yang berjudul In Praise of Folly, Erasmus menyerang semua bentuk pandangan skeptik. Baginya skeptisisme adalah sikap dogmatik untuk tidak mengatakan apapun tentang apapun juga. Artinya skeptisisme adalah ajaran yang kosong belaka. Pada bukunya yang berjudul Philosophia Christi, Erasmus menyetujui sepenuhnya ajaran Kristus sebagai satu-satunya kebenaran. Walaupun begitu ia tidak membangun sistem pemikiran apapun untuk mendasari argumennya itu. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Popkin, Erasmus awalnya setuju dengan kritik tajam yang dilontarkan oleh Luther pada Gereja Katolik. Namun dalam perjalanan Erasmus melihat sikap yang semakin lama semakin keras pada argumen dan tindakan Luther. Ia pun menarik dukungannya, dan tetap memilih untuk menjadi bagian dari Gereja Katolik. Ia kini berada pada posisi yang bertentangan Luther. Yang menarik adalah menurut Popkin, Erasmus justru menggunakan argumen skeptik untuk melawan Luther. Ia berpendapat bahwa tema perdebatannya dengan Luther terlalu sulit untuk dipahami oleh akal budi manusia. Kitab suci pun tidak bisa dijadikan acuan mutlak untuk soal-soal iman dan teologi yang mereka perdebatkan. Berdasar pada



argumen skeptik, bahwa manusia tidak mungkin bisa memahami sepenuhnya misteri Tuhan dan iman, Erasmus mengajak Luther untuk kembali pada pandangan tradisional, yakni pandangan Gereja Katolik, dengan penuh keterbukaan hati.59 Terlihat bahwa Erasmus menerapkan metode skeptisisme untuk membela pendiriannya. Popkin bahkan menyebutnya sebagai skeptisisme lembut (gentle scepticism). Namun Luther sama sekali tidak bisa menerima argumen itu. Baginya seorang Kristen tidak bisa sekaligus adalah seorang skeptik. Orang yang beragama Kristen, atau agama apapun, haruslah meyakini kebenaran yang terdapat di dalam agamanya. Jika tidak maka mereka akan terancam hukuman Tuhan, seperti yang dipercaya di dalam agamanya. “Iman dan skeptisisme sama sekali tidak cocok,” demikian tulis Popkin, “karena seorang Kristen haruslah bahagia di dalam ketegasannya.”60 Luther bahkan mengatakan bahwa Roh Kudus sama sekali tidak skeptik (Spiritus Sanctus non est scepticus). Di hari pengadilan akhir (judgment day), Erasmus harus mempertanggungjawabkan keraguannya di hadapan Tuhan. Menurut Popkin perdebatan antara Luther dan Erasmus meninggalkan kita satu pertanyaan filosofis yang penting, bagaimana menciptakan kriteria untuk menentukan kebenaran dalam konteks kebenaran religius? Di dalam sejarah Luther menantang kebenaran tradisi yang diajarkan oleh Gereja Katolik. Ia menolak mengakui otoritas iman dari Paus dan tradisi Gereja Katolik yang sudah berusia ratusan tahun. Sebagai gantinya ia ingin kembali mengacu pada Kitab Suci. Akan tetapi menurut Popkin, bukankah setiap orang membaca Kitab Suci dengan tafsiran dan gayanya masing-masing? Menjawab ini Luther mengatakan, bahwa tafsirannya langsung didasarkan dari inspirasi roh kudus. Akan tetapi bagaimana memastikan itu? Pada 59 60

Lihat, ibid. Ibid.



akhirnya Luther hanya mengacu pada keyakinan subyektifnya semata. Keyakinan subyektif yang dipercayainya sebagai bisikan roh kudus. Dari kisah di atas, kita bisa menyimpulkan, bahwa skeptisisme seringkali berperan besar di dalam perdebatan religius. Argumen yang ditawarkan biasanya begini, jika tidak ada yang dapat diketahui sepenuhnya oleh manusia, maka ia hanya perlu mempercayainya. Para pemikir reformis Protestan menggunakan argumen ini untuk melawan tradisi Gereja Katolik. Dan Gereja Katolik menggunakan argumen yang kurang lebih serupa melawan Calvinisme. Semua pihak kemudian menganjurkan fideisme, yakni iman merupakan sumber utama dari pengetahuan manusia. “Jika sikap skeptis terhadap pengetahuan tidak bisa diselesaikan dengan akal budi”, demikian Popkin, “maka ajaran agama haruslah diterima hanya dengan berdasar pada iman semata.”61 Tentu saja pandangan ini memiliki banyak kelemahan. Bagaimana mungkin orang bisa beriman tanpa menggunakan akal budinya? Jika itu terjadi bukankah agama lebih menjadi ilusi irasionil semata yang justru memperbodoh manusia? Bukankah orang akan begitu mudah menjadi fanatik terhadap agamanya sendiri, dan menutup mata atau bahkan menindas perbedaan yang ada? Pada hemat saya skeptisisme mengajarkan orang untuk bersikap kritis terhadap semua bentuk pengetahuan. Sikap kritis itu tidak bertujuan untuk membawa orang pada kebingungan, melainkan justru untuk menjernihkan pengetahuan orang tersebut. Inilah yang menjadi inti dari skeptisisme di dalam filsafat modern, yakni mengajarkan orang untuk berpikir kritis, sehingga ia bisa menemukan kebenaran yang sesungguhnya, dan tidak berpuas diri dengan kebenaran-kebenaran palsu.

3.2. Skeptisisme sebagai Metode62 Bapak dari filsafat modern adalah Rene Descartes. Ciri utama filsafatnya adalah refleksi yang mendalam dan berkelanjutan tentang 61 62

Ibid. Untuk berikutnya saya mengacu pada Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern, Gramedia, Jakarta, 2004, hal. 37-93.



tema kesadaran. Para filsuf setelah Descartes juga pada akhirnya menjadikan tema kesadaran sebagai tema refleksi filosofis mereka. Berdasarkan penelitian Budi Hardiman, Descartes memberikan suatu bentuk metode baru di dalam berfilsafat, yakni yang disebutnya sebagai metode skeptisisme, atau bisa juga disebut sebagai skeptisisme metodis. Tujuan dari metode ini adalah untuk mendapatkan kepastian dasariah dan kebenaran yang kokoh. Inilah tujuan utama filsafat menurut Descartes.63 Untuk mendapatkan kepastian dasariah dan kebenaran yang kokoh itu, Descartes mulai dengan meragukan segala sesuatu. Ia meragukan kepastian benda-benda material yang ada di sekitarnya, dan bahkan sampai meragukan keberadaan dirinya sendiri. Jika semua hal di dunia ini bisa diragukan, lalu apakah yang bisa dijadikan sebagai pegangan kokoh? Pada hemat Descartes satu hal setidaknya yang tidak bisa diragukan, yakni fakta bahwa saya sedang meragukan. Jadi walaupun seluruh dunia adalah hasil penipuan, namun fakta bahwa aku sedang meragukan seluruh dunia bukanlah sebuah penipuan. Inti dari sikap meragukan adalah berpikir, maka berpikir juga adalah sebuah kepastian dasariah yang tidak terbantahkan. Jelaslah bahwa keraguan Descartes tidak mengantarkannya pada kekosongan, melainkan justru membawanya pada kepastian yang tidak terbantahkan. Skeptisisme Descartes bisa juga disebut sebagai skeptisisme yang konstruktif (constructive skepticism). Cara berpikir skeptik yang lebih radikal dapat ditemukan pada seorang filsuf Inggris yang bernama David Hume. Dengan membaca tulisan-tulisan Hume, orang akan mendapatkan kesan, bahwa ia hendak menghancurkan filsafat. Namun menurut Budi Hardiman, tujuan dasar Hume bukanlah menghancurkan filsafat, melainkan mau melengkapi filsafat dengan sebuah metode berpikir yang ketat dan sistematis. Untuk itu Hume kemudian menggunakan cara 63

Lihat, ibid, hal. 38.



berpikir skeptisisme.64 Yang menjadi obyek utama kritik Hume adalah metafisika tradisional. Baginya metafisika bersifat sangat tidak pasti, dan melebih-lebihkan kemampuan akal budi manusia. Dalam arti ini metafisika bukan lagi sekedar merupakan penyelidikan terhadap realitas dengan menggunakan akal budi manusia, tetapi sudah menjadi mirip dengan mitos dan takhayul. Berdasarkan penelitian Budi Hardiman dapatlah disimpulkan, bahwa Hume ingin melakukan kritik tajam terhadap tiga bentuk pemikiran, yakni pandangan rasionalisme bahwa seluruh realitas terdiri dari unsur-unsur yang saling berhubungan, pemikiran-pemikiran religius, konsep sebab akibat yang berada di dalam ilmu pengetahuan, dan konsep substansi yang dianut oleh para pemikir empiris (meyakini bahwa sumber utama pengetahuan adalah pengalaman inderawi).65 Coba kita bahas tiga bentuk kritik ini satu per satu. Yang pertama, para pemikir rasionalis yakin, bahwa realitas itu adalah suatu substansi (substance). Artinya realitas adalah satu kesatuan yang bersifat utuh dan mutlak. Ide kesatuan itu biasanya muncul dari pengamatan. Jadi kesatuan adalah kesan yang muncul, ketika orang mulai secara detil mengamati sesuatu. Karena hanya didasarkan pada kesan, maka kesatuan, atau substansi, tidak lebih dari sekedar khayalan manusia semata. Substansi adalah kumpulan persepsi semata. Jadi seluruh realitas adalah kumpulan persepsi (a bundle of perceptions) manusia semata. Kritik kedua Hume yang sampai sekarang masih relevan adalah kritiknya terhadap kausalitas (sebab akibat). Konsep kausalitas mengandaikan bahwa jika peristiwa B terjadi tepat setelah peristiwa A, maka A pasti yang menyebabkan terjadinya B. Bagi Hume konsep sebab akibat di dalam kasus itu sama sekali tidak bisa dipastikan. Konsep kausalitas (causality) lebih didasarkan pada kebingungan 64 65

Lihat, ibid, hal. 87. Lihat, ibid, dst.



daripada kejernihan. Hume sendiri mengakui bahwa setiap peristiwa memiliki hubungan yang satu dengan yang lainnya. Namun hubungan itu tidak langsung bisa disimpulkan sebagai kausalitas. Yang bisa dilihat oleh manusia adalah urutan dari peristiwa, dan bukan kausalitas itu sendiri. Sedangkan konsep kausalitas tidak bisa dipastikan, terutama karena tidak bisa diamati secara langsung. Ungkapan terkenal Hume untuk kepercayaan manusia terhadap kausalitas adalah kausalitas sebagai kepercayaan naif (animal faith). Kritik ketiga Hume difokuskan pada agama. Baginya orang beragama haruslah menggunakan cara berpikir skeptisisme sehat, yakni cara berpikir yang meragukan berbagai aspek mitologis dan takhayul dari agama. Agama harus dikembalikan kepada karakternya yang rasional dan empiris. Di sisi lain Hume juga bersikap sangat kritis terhadap mukjizat. Ada beberapa argumen yang ditawarkannya. Yang pertama adalah bahwa mukjizat tidak pernah disaksikan oleh sekelompok orang-orang cerdas. Yang kedua Hume meyakini, bahwa orang memang suka pada peristiwa-peristiwa yang sensasional. Mukjizat adalah salah satunya. Namun hal itu sama sekali tidak membuktikan, bahwa mukjizat itu ada. Yang ketiga bagi Hume, mayoritas mukjizat terjadi, ketika ilmu pengetahuan belum berkembang. Dari sini dapatlah disimpulkan, bahwa mukjizat hanya menjadi obyek pikiran orang-orang yang sempit dan picik. Yang keempat bagi Hume, mukjizat terdapat di setiap agama, dan setiap agama mengklaim bahwa mukjizat merekalah yang paling benar. Hal ini sulitnya menemukan titik temu yang obyektif tentang konsep mukjizat. Dan yang kelima bagi Hume, banyak sejarahwan yang meragukan peristiwa-peristiwa di dalam sejarah yang dianggap mukjizat. Semakin mereka terlibat dalam penelitian yang semakin intensif, maka keraguan itu semakin besar. Dari sini dapatlah



disimpulkan, bahwa mukjizat lebih merupakan tafsiran subyektif dari orang-orang yang ingin memperkenalkan ajaran agama baru.66 Hume mengajak orang untuk kembali berpijak pada rasionalitas dan cara berpikir kritis. Kedua hal itu membuat orang tidak mudah percaya pada segala bentuk klaim-klaim kebenaran yang ada di masyarakat, termasuk klaim yang mengatasnamakan Tuhan. Metode skeptisisme yang ditawarkan Hume memang terdengar radikal. Namun niat dibaliknyalah yang harus kita hayati bersama, yakni pencarian kebenaran terus menerus, tanpa pernah terjebak pada klaim-klaim yang seringkali tidak memiliki dasar yang kuat.***

4. Filsafat Kritis Kant67 Pada bab sebelumnya saya sudah membahas mengenai metode skeptik yang kental di dalam filsafat modern. Filsuf yang secara khusus menggunakan metode ini adalah Rene Descartes dan David Hume. Inti dari skeptisisme adalah kecurigaan terhadap semua bentuk klaim pengetahuan tertentu. Dengan metode skeptisismenya filsafat modern mengajarkan kita untuk berani berpikir kritis untuk menantang semua klaim kebenaran dan pengetahuan yang muncul. Tujuannya adalah supaya kita bisa hidup dengan berpegang pada kebenaran yang otentik, dan bukan pada keyakinan-keyakinan tanpa dasar. Pada bagian ini saya ingin mengajak anda mencecap metode berpikir yang digunakan oleh Immanuel Kant di dalam filsafatnya. Sebagai teks pembantu saya menggunakan dua teks, yakni tulisan Jill Vince Buroker yang berjudul Kant’s Critique of Pure Reason dan tulisan saya sendiri dalam bentuk tesis S2 yang berjudul Pengandaian-pengandaian Metafisis di dalam Kritik Immanuel Kant terhadap Metafisika: Mempertimbangkan Kritik Karl Ameriks atas Kritik Immanuel Kant terhadap Metafisika.68 66 67 68

Lihat, Budi Hardiman, 2004, hal. 92-93. Uraian lengkap dapat dilihat di Wattimena, Reza, Filsafat Kritis Immanuel Kant, Evolitera, Jakarta, 2010. Lihat Buroker, Jill Vince, Kant’s Critique of Pure Reason, Cambridge University Press,



4.1. Proyek Kritik Kant Tujuan utama dari filsafat kritis Kant adalah untuk menunjukkan, bahwa manusia bisa memahami realitas alam (natural) dan moral dengan menggunakan akal budinya. Pengetahuan tentang alam dan moralitas itu berpijak pada hukum-hukum yang bersifat apriori, yakni hukum-hukum yang sudah ada sebelum pengalaman inderawi. Pengetahuan teoritis tentang alam berasal dari hukum-hukum apriori yang digabungkan dengan hukum-hukum alam obyektif. Sementara pengetahuan moral diperoleh dari hukum moral yang sudah tertanam di dalam hati nurani manusia. Kant menentang empirisme dan rasionalisme. Empirisme adalah paham yang berpendapat, bahwa sumber utama pengetahuan manusia adalah pengalaman inderawi, dan bukan akal budi semata. Sementara rasionalisme berpendapat bahwa sumber utama pengetahuan adalah akal budi yang bersifat apriori, dan bukan pengalaman inderawi. Bagi Kant kedua pandangan tersebut haruslah dikombinasikan dalam satu bentuk sintesis filosofis yang sistematis.69 Kant juga berpendapat bahwa moralitas memiliki dasar pengetahuan yang berbeda dengan ilmu pengetahuan (science). Oleh karena itu ia kemudian menulis Groundwork of the Metaphysics of Morals pada 1785, dan Critique of Practical Reason pada 1788. Pada 1790 Kant menulis Critiqe of the Power of Judgment. Di dalamnya ia menyentuh bidang estetika. Namun pada hemat saya, metode di dalam filsafat kritis Kant lebih nyata di dalam bukunya yang pertama, yakni Critique of Pure Reason yang saya terjemahkan menjadi Kritik atas Rasio Murni. Buku inilah yang kemudian menjadi acuan saya dan Buroker pada bagian ini.

69

Cambridge, 2006, dan Wattimena, Reza A.A, Pengandaian-pengandaian Metafisis di dalam Kritik Immanuel Kant terhadap Metafisika: Mempertimbangkan Kritik Karl Ameriks atas Kritik Immanuel Kant terhadap Metafisika, Jakarta, STF Driyarkara, 2009 (Tidak dipublikasikan). Lihat, Buroker, 2006, hal. 6.



Di dalam bagian pengantar dari Kritik atas Rasio Murni, Kant menyatakan bahwa “walaupun metafisika banyak dimaksudkan sebagai ratu dari ilmu-ilmu,70 tetapi rasionalitas metafisis kini dihadapkan pada sebuah pengadilan.”71 Sekali lagi, “kita harus menelusuri kembali langkah-langkah yang telah kita rumuskan.”72 Perdebatan di dalam refleksi metafisika telah membuat metafisika itu sendiri menjadi semacam medan pertempuran, di mana setiap pihak yang berperang tidak berhasil mendapatkan satu inci pun dari ‘teritori’ yang ada.73 Konsekuensinya metafisika kini ‘terombang ambing’ di antara dogmatisme dan skeptisisme. Metafisika telah menjadi pemikiran spekulatif yang meraba-raba secara acak.74 Melawan kecenderungan perdebatan metafisika pada jamannya itu, Kant merumuskan semacam Revolusi Copernican di dalam filsafat. “Selama ini telah diasumsikan bahwa semua pengetahuan kita harus menyesuaikan dirinya dengan obyek. Akan tetapi, sejak asumsi ini telah gagal menghasilkan pengetahuan metafisis, kita harus melakukan semacam penilaian apakah kita tidak akan lebih berhasil di dalam metafisika, …. Jika kita mengasumsikan bahwa obyeklah yang harus menyesuaikan diri dengan kesadaran kita…. Kita harus memulai tepat pada garis di mana hipotesis utama Copernicus bermula, yakni hipotesis tentang heliosentrisme…”75 70 71 72 73 74 75

Kant, Critique of Pure Reason, 1998, Aviii, hal. xxiii. Seluruh kerangka sub bab ini diinspirasikan dari pembacaan saya atas tulisan Sebastian Gardner, 1999, hal. 1-26. Kutipan dari tulisan Kant juga diambil dari tulisan Gardner ini. Ibid “…metaphysics is perpetually brought to a stand…” Ibid, dan lihat Gardner, 1999, hal. 1. “Ever and again, we have to retrace our steps…” Kant, Bxv. “The degree and quality of disagreement in metaphysics makes it a ‘battle ground, a site of ‘mock-combats’ in which ‘no participant has ever yet succeeded in gaining even so much as an inch of territory…” Bdk, Ibid. “…The peculiar instability of metaphysics stands in stark contrast to the security of mathematics and natural science, and leaves us with no choice but to conclude that metaphysics ‘has hitherto been a merely random grouping..” Ibid, Bxvi “…Hitherto it has been assumed that all our knowledge must conform to objects’, but since this assumption has conspicuously failed to yield any metaphysical knowledge, we ‘must therefore make trial whether we may not have more success in the tasks of metaphysics,



Untuk menjelaskan latar belakang pemikiran Kant, kerangka tulisan di dalam bagian ini diinspirasikan dari pembacaan saya terhadap tulisan Sebastian Gardner.76

4.2. Latar Belakang Historis Filsafat Kant dirumuskan dalam perdebatan dua pandangan besar pada waktu itu, yakni rasionalisme dan empirisme, khususnya rasionalisme G.W. Leibniz (1646-1716), dan empirisme David Hume (1711-1776). Kant dipengaruhi oleh mereka, tetapi mengkritik kedua pemikiran filsuf ini untuk menunjukkan kelemahan-kelemahan mereka, serta kemudian merumuskan pandangannya sendiri sebagai sintesis kritis dari keduanya, yakni filsafat transendental (transcendental philosophy). Dalam arti yang lebih luas, ia mau ‘melampaui’ posisi epistemologis dua paradigma yang saling beroposisi tersebut. Ini adalah intensi utama dari filsafat Kant, yakni sebuah tanggapan terhadap problem epistemologis yang terkait dengan proyek pencerahan yang mendominasi panggung filsafat abad ke delapan belas. Seperti lazimnya di dalam perumusan sejarah pemikiran, kesatuan ide pada Abad Pencerahan, atau yang banyak dikenal sebagai abad rasionalitas, hanya dapat dilihat tesis-tesis utamanya yang paling mendasar saja. Tentu saja masa itu penuh dengan ide-ide yang saling bertentangan yang tidak dapat begitu saja dirumuskan dalam satu tesis yang mau mencakup semuanya. Atas dasar itu dapat juga dikatakan, bahwa Pencerahan mengambil inspirasi utamanya dari kesuksesan revolusi sains pada abad XVI-XVII, serta untuk memperjuangkan apa yang sekarang ini telah dianggap ‘biasa’, yakni hak setiap orang untuk berpikir sendiri tentang hal-hal praktis maupun teoretis lepas dari tradisi atau otoritas eksternal tertentu. Rasionalitas sudah

76

if we suppose that objects must conform to our knowledge…we should than proceeding on the lines Copernicus primary hypothesis’, this being the hypothesis of heliocentrism…” Lihat, Gardner, 1999, hal. 2. “…this chapter traces the route which Kant arrived at his view that metaphysics constitutes a problem, and his view of what exactly the problem of metaphysics consist in..”



ada inheren di dalam diri manusia, dan tinggal digunakan untuk mencerahkan kehidupan sehari-hari mereka. Para pemikir Pencerahan hendak mempromosikan institusi sosial politik yang menghormati otonomi setiap orang, mendorong penelitian-penelitian saintifik, dan menunjang peningkatan pengetahuan pada umumnya. Asumsi mereka dari emansipasi intelektual, maka emansipasi politik akan terjadi. Pencerahan adalah seperti yang dirumuskan dalam sebuah esei untuk mendefinisikan hal tersebut, kemunculan manusia dari ketidakdewasaan yang dibuatnya sendiri. Semboyan utamanya adalah ‘Sapere Aude’ (Beranilah Berpikir Sendiri!). Seperti dikutip oleh Gardner, Kant menulis, “Masa dimana kita hidup adalah, dalam arti khusus, masa kritisme, dan untuk mengkritik apapun yang ada. Termasuk diantaranya adalah agama dengan kesuciannya, hukum yang telah terberi dengan kemuliaannya… haruslah mampu bertahan di hadapan ujian akal budi yang bebas dan terbuka.”77 Lebih jauh lagi para pemikir Pencerahan sangatlah yakin, bahwa kemajuan sudah merupakan bagian inheren di dalam karakter manusia itu sendiri, terutama kemajuan di dalam memahami dunianya melalui sains dan teknologi, seperti pada pencapaian luar biasa yang dirumuskan oleh Isaac Newton (1642-1727). Lambang kemajuan lainnya adalah semakin berkembangnya toleransi di dalam maupun maupun di antara agama-agama, semakin lenyapnya otoritas mutlak Gereja, perubahan tatanan sosial-politik yang berjalan paralel dengan perkembangan kaum borjuis, dan semakin runtuhnya tirani cara berpikir metafisisreligius yang banyak dikembangkan pada Abad Pertengahan. Semua

77

Kant, Axi[n], dalam Gardner, ibid, “our age is, en special degree, the age of criticism, and to criticism everything must submit. Religion through its sanctity, and law-giving through its majesty, may seek to exempt themselves from it. But they then awaken just suspicion, and cannot claim the sincere respect which reason accords only to that which has been able to sustain the test of free and open examination.”



hal ini menunjukkan bahwa sejarah telah bergerak ke arah kemajuan total yang tidak bisa lagi dihentikan oleh apapun atau siapapun. Secara umum Jerman tempat Kant lahir dan tinggal seumur hidupnya tidak berpartisipasi secara aktif di dalam proses Pencerahan. Proses pencerahan itu sendiri lebih banyak dipengaruhi oleh pemikiran John Locke (1632-1704) dan Newton. Para pemikir yang juga cukup berpengaruh pada masa itu adalah David Hume dan Adam Smith (1723-1790). Pada pertengahan abad ke-18, pusat gerakan pencerahan ini adalah Perancis, terutama di kalangan para pemikir Encyclopedie, di mana Denis Diderot dan Jean d’Alembert menjadi tokohnya. Banyak pemikir lain juga yang memberikan sumbangan besar bagi perkembangan mazhab tersebut. Mereka disebut The Philosophes. Di antaranya adalah Montesquieu(1689-1755), Voltaire (1694-1778), E. de Condillac (1715-1780), P. d’ Holbach (1723-1789), Jean-Jacques Rousseau (1712-1778), dan Condorcet (1743-1794). Di Jerman Pencerahan berjalan lambat. Hal ini terjadi karena kondisi masyarakat dan politiknya yang masih feodal pada masa itu, serta pemikiran rasionalisme yang sangat kuat pengaruhnya pada dunia akademik. Aliran yang dominan di Jerman pada waktu itu adalah rasionalisme Leibniz yang disebarluaskan oleh Christian Wolff (1679-1750) serta para pengikutnya. Wolff menafsirkan pemikiran Leibniz dengan cara yang sangat sistematis. Pada abad ke 18, filsafat Leibniz-Wolffian menjadi kurikulum standar di seluruh universitas Jerman. Tentu saja kritik dari berbagai pemikiran lainnya terhadap sistem pemikiran tersebut juga ada. Salah satunya adalah C. A Crussius (1715-1775). Ia menulis buku yang berjudul Popularphilosophie, yang merupakan kritik tajam terhadap rasionalitas Leibniz-Wolffian. Buku Popularphilosphie, tulis Kant dalam Kritik Atas Rasio Murni, secara megah menggambarkan bagaimana orang bisa berpikir secara bebas.78 Akan tetapi kritik tersebut masih tidak mampu membendung 78

Ibid, Bxiii, hal. xxxi., “…C.A Crucius… submitted the wolffian school to sharp criticism, and



dominasi rasionalisme di Jerman pada waktu itu. Dengan kata lain rasionalisme Leibniz sama sekali tidak menemukan lawan tanding pemikiran yang seimbang sampai Kant menuliskan Kritik Atas Rasio Murni pada akhir abad ke 18. Pada waktu Kant menulis buku tersebut, semangat Pencerahan mulai menurun. Setelah abad ke 18, para filsuf mulai berpikir bahwa humanisme universal, yang menjadi tesis dasar para pemikir Pencerahan, juga mempunyai sisi negatif, dan sisi negatifnya itu ternyata sangat besar. Humanisme universal di sini adalah paham yang menekankan, bahwa semua manusia itu memiliki harkat dan martabat yang setara, serta mampu untuk menentukan sikap dan pendapat mereka secara otonom dengan mengacu pada kapasitas rasio manusia yang bersifat universal.79 Di dalam kerangka pemikiran skolastisisme, pengetahuan tentang Tuhan dan pengetahuan tentang Kosmos saling melengkapi satu sama lain, dan tidak bisa dipisahkan. Thomisme menggabungkan teologi Kristen dengan filsafat alam Aristoteles dalam satu kesatuan wacana. Pada sains hal ini tidak lagi berlaku. Para saintis memandang alam secara mekanis, matematis, dan sama sekali bertolak belakang dari filsafat alam Aristoteles yang melihat alam secara metafisis sebagai kesatuan antara forma dan materi. Sains modern pada waktu itu mulai memberi peran yang berbeda pada Tuhan di dalam analisis mereka atas alam. Tuhan tidak lagi dipahami sebagai Tuhan yang berpartisipasi membentuk kehidupan dan sejarah manusia, tetapi Tuhan yang menciptakan dunia berdasarkan hukum-hukumnya, dan kemudian tidak lagi berpartisipasi di dalam dunia. Inilah yang disebut sebagai Deisme. Konsekuensinya agama pun mulai kehilangan legitimasinya, dan ditinggalkan. Akan tetapi beberapa pemikir Pencerahan tidak siap untuk menganut ateisme, dan lebih memilih untuk bersikap kritis terhadap

79

it later lost ground to popularphilosophie, an eclectic, intellectually flaccid movement hostile to its esotericism (dismissed…as a pretentiously free manner of thinking…)” Lihat, http://en.wikipedia.org/wiki/Humanism



Gereja Katolik dan Protestan pada waktu itu. Jadi para pemikir Pencerahan juga memiliki kecenderungan untuk memberikan landasan rasional terhadap agama. Hal inilah yang terjadi di Jerman, di mana tanda-tanda penolakan terhadap agama hampir tidak terlihat. Di Perancis para philosophes melakukan kritik tajam terhadap agama, dan kemudian menganut ateisme. Lepas dari perbedaan di antara mereka, para pemikir Pencerahan mengajukan satu pertanyaan yang sama, bagaimana pengetahuan akan alam dan pengetahuan akan Tuhan dapat disintesiskan? Salah satu jawaban yang dirumuskan adalah tanda bahwa alam ini memiliki keteraturan sudah merupakan bukti bagi eksistensi Tuhan. Tatanan alam yang sudah begitu teratur ini merupakan bukti nyata bagi eksistensi Tuhan. Akan tetapi penjelasan ini sama sekali tidak memuaskan, terutama bagi kalangan teolog, karena tidak sesuai dengan ajaran Kitab Suci. Sementara itu Deisme yang berpendapat, bahwa Tuhan telah menciptakan alam dengan hukum-hukumnya, dan kemudian Ia tidak berperan serta lagi, terlalu kering bagi iman Kristiani yang meyakini Tuhan berperan langsung di dalam sejarah manusia. Di samping itu deisme juga menolak wahyu yang justru menjadi sentral di dalam teologi Kristiani. Konflik antara sains dan agama pun tidak terelakkan lagi. Metafisika yang tadinya dianggap sebagai penjaga rasionalitas dan pengetahuan manusia secara keseluruhan kini mengalami keterpecahan dan kritik tajam dari berbagai penjuru. Tegangan antara para pemikir yang masih mempertahankan agama di satu sisi dan para ilmuwan sains di sisi lain mengkristal di dalam salah satu korespondensi yang ditulis oleh Leibniz pada 1717. Memang Leibniz dan Newton sama-sama mewakili kedua belah pihak yang saling berdebat. Mereka banyak berdebat di sekitar problematika bagaimana tepatnya manusia bisa mengetahui dunianya. Leibniz lebih memilih menggunakan metode deduktif. Metode ini terinspirasi dari Rene Descartes (1596-1650) yang menggunakan model matematika. Model ini dimulai dengan prinsip-prinsip abstrak



dan kemudian bergerak ke perumusan konkret. Kontras dengan itu Newton menggunakan metode induktif yang dimulai dari pengukuran kuantitatif dari fenomena yang ingin diselidiki, dan kemudian sampai pada prinsip-prinsip umum.80 Di dalam korespondensinya Leibniz berpendapat, bahwa model yang dikembangkan Newton tidaklah sesuai dengan prinsip rasionalitas yang mampu mengabstraksikan alam ke dalam prinsipprinsip utama. Sementara Newton sendiri berpendapat, bahwa model yang digunakannya adalah model saintifik yang sah secara ilmiah dan bisa dipertanggungjawabkan. Dengan demikian kedua pendekatan ini sangatlah berbeda, dan bahkan bertentangan. Metafisika, yang dirumuskan oleh Leibniz, dan sains, yang dirumuskan oleh Newton, tampak saling berkontradiksi satu sama lain. Sekali lagi metafisika tampak kembali dipertanyakan kredibilitasnya. Di sisi lain tesis yang paling ‘mengguncang’ filsafat, terutama epistemologi dan metafisika, pada waktu itu adalah skeptisisme empiris yang dirumuskan oleh David Hume. Keyakinan bahwa rasio manusia telah secara langsung memiliki kesesuaian dengan alam telah menjadi suatu anggapan banyak diterima oleh para pemikir Pencerahan. Humelah yang menolak tesis tersebut. Menurutnya ‘kepercayaan’ kita tentang adanya hukum-hukum di dalam alam tidak memiliki landasan rasional yang cukup memadai, sehingga pemahaman kita selama ini didasarkan tidak lebih hanya kepada ‘kebiasaan-kebiasaan’ semata. Hukum alam dengan demikian tidak lebih dari sekedar ‘kebiasaan’ yang telah sering kita lihat sebelumnya. Lebih dari itu Hume berpendapat, bahwa apa yang disediakan alam dan kemudian kita percayai sebagai suatu ‘kebiasaan’ hanya dapat diketahui melalui pengalaman. Dengan demikian kepercayaan religius 80

Lihat, Gardner, 1999, hal. 5. “Leibniz employed a deductive method, derived from Rene Descartes... and modeled on mathematics, which began with abstract general notions and worked down to concrete nature; Newton by contrast ascended from quantitative measurement of the phenomena of the first principles.”



sama sekali tidak mempunyai tempat. Metafisika spekulatif pun juga tidak mendapatkan tempat. “Setiap bentuk refleksi filsafat metafisis”, demikian tulis Hume, “haruslah kita buang ke dalam api! Karena itu mengandung tidak lebih dari sekedar ilusi.”81 Kesimpulan yang dirumuskan oleh Hume tersebut bisa kita cap sebagai paradoks, karena ia mengkritik metafisika dengan merumuskan metafisika baru, yakni metafisika yang didasarkan pada pengalaman. Yang jelas pada saat itu, Hume segera membutuhkan sebuah tanggapan dari para pemikir di jamannya. Secara khusus dalam bidang refleksi epistemologi, Kant hendak merumuskan sebuah jembatan raksasa untuk membuat sintesis antara rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme menyatakan bahwa sumber pengetahuan adalah rasio saja. Pengalaman empiris hanya menegaskan apa yang telah sebelumnya telah diketahui oleh rasio. Empirisme persis berpendapat sebaliknya: hanya segala sesuatu yang merupakan pengalaman inderawi sajalah yang bisa dijadikan sebagai dasar pengetahuan manusia. David Hume berdasarkan pandangan ini berpendapat, bahwa semua hal yang tidak dapat diketahui secara inderawi manusia adalah suatu bentuk kepercayaan saja, dan tidak bisa dijadikan pengetahuan yang sahih. Prinsip kausalitas misalnya bukanlah merupakan suatu kepastian, tetapi kemungkinan, yang didapatkan dari kebiasaan manusia saja.82 Di samping Hume para pemikir empirisme lainnya adalah Locke dan Berkeley. Mereka berargumentasi bahwa pengetahuan manusia berasal sepenuhnya dari pengalaman inderawi. Locke misalnya sangat menekankan pentingnya pengalaman inderawi untuk menginformasikan kepada apa yang sesungguhnya menjadi obyek 81 82

Lihat, Gardner, 1999, hal. 6. “…Every… school of metaphysics…should commit to the flames...” Bdk, Tjahjadi, 2004, hal. 281. “Adanya sebuah prinsip kausalitas, misalnya, tidak bisa diterima sebagai sebuah prinsip karena tidak bisa diindra. Dengan demikian, filsafat dan ilmu pengetahuan alam yang cara kerjanya mengandalkan prinsi-prinsip yang tidak bisa mencapai kepastian, namun hanya kemungkinan.”



pada dirinya sendiri. Ia juga berpendapat bahwa pikiran manusia adalah suatu kertas kosong, sebuah tabula rasa, yang diisi oleh ide melalui interaksinya dengan dunia. Pengalaman inderawi akan dunia mengajarkan semuanya, termasuk konsep identitas, sebab akibat, dan sebagainya. Kant sendiri nantinya berpendapat, bahwa tesis tentang pikiran sebagai tabula rasa ini tidaklah cukup untuk menjelaskan tentang kemampuan kita mengetahui obyek pengetahuan. Artinya ada suatu komponen di dalam pikiran kita yang memungkinkan kita mendapatkan pengetahuan melalui pengalaman inderawi. Di sisi lain Berkeley merumuskan fenomenalisme (phenomenalism). Berlawanan dari pemikiran Locke, ia mengajukan semacam tanggapan kritis terhadap paham yang berpendapat, bahwa indera kita mampu mengetahui obyek yang berada independen dari pikiran kita. Karena pikiran manusia hanya dapat mengetahui obyek yang dapat ditangkap oleh inderanya, demikian argumentasi Berkeley, maka manusia tidak dapat mengetahui obyek yang berada independen dari pikiran mereka. Lebih dari itu ia bahkan berpendapat bahwa obyek yang bersifat independen dari pikiran manusia sama sekali tidak dapat diketahui. Dari perspektif filsafat Kant, pemikiran Berkeley disebut juga sebagai idealisme material, yakni pandangan bahwa kita tidak dapat mengetahui obyek material yang ada di luar diri kita. Bagi Berkeley obyek material yang bersifat independen terhadap pikiran tidaklah dapat diketahui. Pengalaman inderawi hanya mampu menangkap gambaran-gambaran mental, dan bukan benda pada dirinya sendiri. Ia berpendapat bahwa penilaian kita akan suatu obyek adalah sungguhsungguh hanya merupakan penilaian terhadap gambaran-gambaran mental (mental images) ini, dan bukan subtansi yang memungkinkan gambaran-gambaran mental itu untuk ada. David Hume menegaskan apa yang sebelumnya telah dirumuskan oleh Berkeley dengan mempertanyakan seluruh kepercayaankepercayaan akal sehat kita tentang sumber pengetahuan manusia. Ia



berpendapat bahwa kita tidak dapat mengandaikan adanya justifikasi apriori ataupun aposteriori tentang beberapa kepercayaan fundamental akal sehat kita, seperti prinsip kausalitas yang menyatakan bahwa semua kejadian pasti memiliki sebab. Dengan tesis Hume tersebut, maka semakin jelaslah bahwa empirisme tidak dapat memberikan kita justifikasi epistemologis (epistemological justification) untuk semua klaim kausalitas yang selama ini dianggap tepat dan andaikan begitu saja.83 Kant sangat tidak setuju dengan semua pemikiran yang bersifat skeptis di atas. Di dalam bukunya yang berjudul Kritik atas Rasio Murni, ia mengajukan argumentasi-argumentasi untuk menunjukkan ketidaktepatan argumentasi para pemikir empiris, seperti Locke, Berkeley, dan Hume, karena semua refleksi dan analisis mereka mengandaikan hal-hal yang dalam pemikiran mereka justru ditolak. Bahkan setiap bentuk pengetahuan yang dapat kita ketahui haruslah mengandaikan klaim-klaim tersebut, dan tidak bisa tidak. Meskipun menaruh simpati besar terhadap refleksi para pemikir empirisme, ia tetap tidak puas dengan argumentasi mereka yang menyatakan, bahwa satu-satunya sumber pengetahuan adalah pengalaman inderawi. Para pemikir rasionalis seperti Descartes, Spinoza, dan Leibniz, mendekati problematika yang sama dengan sudut pandang yang berbeda. Bagi mereka pengetahuan tentang dunia luar, tentang jiwa, tentang diri, tentang Tuhan, etika, serta sains adalah ide yang sudah pasti berada inheren di dalam pikiran. Leibniz berpendapat bahwa dunia sudah dapat diketahui secara apriori melalui analisis ide-ide dan turunan atasnya secara logis. Pengetahuan dapat diperoleh cukup dengan menggunakan rasio saja. Pernyataan Descartes “aku berpikir 83

Lihat, Tjahjadi, hal. 281. “Adapun empirisme berpendapat sebaliknya. Sumber pengalaman hanyalah pengalaman inderawi sehingga hanya yang bisa diindra saja yang bisa dijadikan dasar pengetahuan. Berdasarkan pandangan ini, Hume, misalnya, mengatakan bahwa semua hal yang tidak bersifat inderawi hanya bisa diperkirakan atau diterima sebagai kepercayaan saja, tetapi tidak bisa dipastikan.”



maka aku ada” jelas menggambarkan kebenaran yang sangat diyakini oleh para pemikir rasionalis ini. Dengan berbekal pengetahuan yang pasti tentang keberadaan dirinya sendiri, Descartes berharap mampu membangun sebuah dasar yang kokoh bagi semua bentuk pengetahuan manusia. Baginya pengetahuan tentang obyek yang berada di luar dirinya adalah kombinasi antara kesadaran akan keberadaan dirinya sendiri (res cogitans dan res extensa) dan argumen bahwa Tuhan itu ada, serta tidak menipunya dengan semua bentuk pengetahuan yang masuk melalui indera. Kant juga banyak menyanggah argumentasi para pemikir rasionalis di dalam salah satu bagian Kritik atas Rasio Murni, yakni bagian antinomi-antinomi. Salah satu antinomi adalah tentang dunia. “Dunia memiliki awal di dalam waktu dan terbatas di dalam ruang” yang dihadapkan dengan argumen “Dunia tidak memiliki awal dan tidak terbatas di dalam ruang.”84 Ia berpendapat bahwa kedua argumen ini melambangkan kesalahpahaman metafisis di dalam seluruh pemikiran rasionalisme. Kedua argumen di atas tidak dapat dipertanggungjawabkan, karena keduanya beranggapan, bahwa bendapada-dirinya-sendiri dapat diketahui, yakni dunia sebagai benda-padadirinya-sendiri. Menurut Kant antinomi dapat dihilangkan, jika kita sungguh mengerti fungsi dan kapasitas sesungguhnya dari fakultas rasio kita yang berperan dalam menciptakan pengetahuan. Kita harus menyadari bahwa kita tidak dapat mengetahui benda-pada-dirinya-

84

Kant, 1998, A426/B 454 dalam http://www.iep.utm.edu/k/kantmeta.htm, “The First Antinomy argues both that the world has a beginning in time and space, and no beginning in time and space. The Second Antinomy’s arguments are that every composite substance is made of simple parts and that nothing is composed of simple parts. The Third Antinomy’s thesis is that agents like ourselves have freedom and its antithesis is that they do not. The Fourth Antinomy contains arguments both for and against the existence of a necessary being in the world. The seemingly irreconcilable claims of the Antinomies can only be resolved by seeing them as the product of the conflict of the faculties and by recognizing the proper sphere of our knowledge in each case. In each of them, the idea of “absolute totality, which holds only as a condition of things in themselves, has been applied to appearances”



sendiri, dan bahwa pengetahuan kita terbatas pada obyek yang dapat dialami secara inderawi. Proyek filsafat rasionalisme gagal, karena para pemikirnya tidak mempertimbangkan peran pengalaman empiris di dalam mengkonstruksi pengetahuan. Memang refleksi filosofis mereka tentang pengetahuan dapat menjelaskan beberapa aspek tentang isi dari pengetahuan kita. Akan tetapi mereka tidak akan mampu memberikan argumentasi yang koheren tentang klaim-klaim metafisis yang mereka rumuskan, baik itu tentang Tuhan, tentang Dunia, ataupun tentang Jiwa. Metafisika yang dibangun mereka inilah yang menjadi obyek kritik Kant nantinya. Walaupun ia sendiri nantinya akan terjebak pada pemikiran yang bersifat metafisis juga.85 Kant memilih menggunakan kata Kritik (critique) untuk bukubuku yang ditulisnya. ‘Kritik’ disini tidak melulu dimaksudkan sebagai evaluasi negatif akan suatu obyek tertentu, tetapi sebagai suatu refleksi kritis, dan hasilnya bisa saja positif, tetapi juga bisa negatif.86 Kata ‘murni’ (pure) adalah term teknis yang digunakan oleh Kant, dan berarti bahwa sesuatu itu tidak mengandung apapun yang berasal dari pengalaman inderawi. ‘Rasio’ disini juga dikatakan dalam arti teknis, yakni sebagai fakultas konseptual di dalam dimensi kognitif kita yang membantu kita memaknai pengalaman, namun tidak didapatkan dari pengalaman inderawi. Dalam bahasa Kant elemen konseptual tersebut bersifat apriori. Dengan demikian Kritik atas Rasio Murni adalah suatu penyelidikan filosofis (philosophical enquiry) terhadap fakultas kognitif kita untuk mengetahui realitas. Cara yang ditempuh yakni dengan pertama-tama membedakan antara rasio murni (pure reason) dengan pengalaman 85 86

Uraian ini didasarkan pada pembacaan saya atas http://www.iep.utm.edu/k/ kantmeta.htm

Lihat, Ibid, Bxxv-xxvi, dalam Gardner, 1999, hal. 23. “Critique does not for Kant imply a negative evaluation of its object: it means simply a critical enquiry, the results of which may equally be positive.”



inderawi (sense experience), dan kemudian melihat sejauh mana rasio kita mampu mengetahui hal-hal yang berada di luar pengalaman inderawi, seperti Tuhan dan Jiwa.87 Penilaian apakah kita dapat mengetahui obyek-obyek yang berada di luar pengalaman inderawi dilakukan oleh Kant pada setengah bagian kedua buku Kritik atas Rasio Murni, yakni setelah ia memberikan argumentasi yang mendetil tentang kondisikondisi apriori yang memungkinkan terjadinya pengetahuan. Argumentasi Kant memang tampak membingungkan, karena ia seolah menggunakan argumentasi yang lebih mengutamakan peran unsur apriori daripada kapasitas kognitif manusia. Memang klaim semacam itu tidak dapat dari ruang hampa, tetapi sudah selalu didukung oleh beberapa argumentasi yang cukup memadai. Ia menghabiskan banyak halaman di dalam buku Kritik atas Rasio Murni untuk membuktikan bahwa aspek kognitif manusia hanya mampu memproduki pengetahuan, jika ada pengandaian-pengandaian apriori yang sudah dipegang terlebih dahulu. Jika pengandaian apriori itu tidak ada, maka pengetahuan menjadi tidak mungkin. Di dalam bagian preface buku itu, Kant sangat yakin bahwa proses ‘pengadilan’ terhadap rasio itu akan mampu menyelesaikan berbagai problem metafisika yang ada sebelumnya.88 Hasil dari proses itu akan membuktikan, bahwa rasio manusia mampu mengetahui obyek yang berasal dari pengalaman inderawi, tetapi bukan obyek yang di luar pengalaman inderawi. Inilah inti kritik atas metafisika yang dirumuskannya. Salah satu cara yang ditempuhnya untuk menyelesaikan problem metafisis adalah dengan merumuskan semacam dasar guna membedakan antara penggunaan kapasitas rasio manusia yang legitim, dan penggunaannya yang tidak legitim. Dasar 87

88

Lihat, Ibid, Axii. Dalam Gardner, ibid, “So a critique of pure reason is a critical enquiry into our capacity to know anything by emplying our reason in isolation, i.e, without conjoining reason with sense experience; more specifically, it enquires into our capacity to know things lying beyond the bounds of sense experience, such as God and the Soul…” Lihat, Ibid, “…Kant gives firm indications in the Preface of the results that the tribunal will reach, and of the means by which the problem of metaphysics will be solved…”



ini adalah pengalaman inderawi. Artinya penggunaan rasio manusia menjadi sah, ketika diterapkan pada obyek yang dapat diketahui melalui pengalaman inderawi. Sebaliknya penggunaan rasio manusia menjadi tidak sah, ketika diterapkan untuk mengetahui obyek yang tidak dapat dialami secara inderawi. Batas-batas pengetahuan manusia, dengan demikian, adalah batas-batas pengalamannya. Apa yang dapat diketahui adalah apa yang dapat dialami secara inderawi, dan apa yang tidak dapat dialami secara inderawi tidaklah dapat diketahui. Akan tetapi disinilah letak ambiguitas argumentasi Kant, ia ingin membela metafisika dengan berpendapat, bahwa metafisika diperlukan untuk memberikan kerangka pada pengetahuan. Dengan kata lain pengalaman inderawi dapat menjadi pengetahuan, karena adanya prinsip-prinsip apriori yang bersifat metafisis, yakni yang tidak dapat dialami. Bahkan rasio manusia selalu memiliki kecenderungan untuk bertanya tentang halhal yang tak terkondisikan, yakni kecenderungan untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan metafisis. Akan tetapi ia kemudian menolak penggunaan rasio manusia untuk merefleksikan entitas-entitas yang berada di luar pengalaman inderawi, seperti refleksi tentang Tuhan, atau tentang Jiwa. Metafisika yang menjadi sasaran kritik Kant adalah metafisika tradisional, yakni pemikiran spekulatif yang bersifat transenden (trancendent experience metaphysics).89 Ia justru membela metafisika yang bersifat imanen yang memungkinkan pengalaman diolah menjadi pengetahuan, yakni metafisika pengalaman (metaphysics of experience).90 Dengan demikian 89 90

Lihat, Gardner, 1999, hal. 24. “The metaphysics that Kant attacks, charateristic of rationalism, is speculative or transcendent…, and that which he defends is immanent…., or the metaphysics of experience….” Lihat pemaparan menarik tentang proyek kritik Kant terhadap metafisika tradisional di dalam http://plato.stanford.edu/entries/kant-metaphysics/, “How are synthetic a priori propositions possible? This question is often times understood to frame the investigations at issue in Kant’s Critique of Pure Reason. In answer to it, Kant saw fit to divide the question into three: 1) How are the synthetic a priori propositions of mathematics possible? 2) How are the synthetic a priori propositions of natural science possible?



metafisika pengalaman mungkin, tetapi metafisika transenden tidaklah mungkin.

4.3. Struktur dari Kritik atas Rasio Murni Jika kita sekilas melihat susunan buku Kritik atas Rasio Murni, kita akan mendapat kesan bahwa buku itu adalah buku yang sangat kompleks, pengaturannya tidak transparan, dan setiap judul dari babbab yang ada di dalamnya tidak banyak menggambarkan isi dari bab. Memang arsitektur buku tersebut sungguh menggambarkan kerumitan pemikiran filsafatnya. Tiga ‘pilar’ utama dari buku itu adalah Transcendental Aesthetic, Transcendental Analytic, dan Transcendental Dialectic. Setiap bagian mengacu pada kapasitas rasio manusia yang berbeda dimensi dengan tingkat pengetahuan yang berbeda-beda pula. Bagian Aesthetic berkaitan dengan sensibilitas (kemampuan memperoleh pengalaman inderawi melalui intuisi, atau pengetahuan langsung), matematika, dan dengan geometri. Bagian ini mencakup pula analisis Kant tentang ruang dan waktu. Sementara itu bagian Analytic lebih banyak menganalisis tentang problem pemahaman (understanding), metafisika pengalaman (metaphysics of experience), dan ilmu-ilmu alam (natural science). Bagian Dialectic menganalisis kapasitas maksimal dari rasio manusia dan metafisika transenden (trancendent metaphysics). Bab ini terdiri dari tiga bagian, yakni metafisika tentang jiwa yang disebut Finally, 3) how are the synthetic a priori propositions of metaphysics possible? In systematic fashion, Kant responds to each of these questions. The answer to question one is broadly found in the Transcendental Aesthetic, and the doctrine of the transcendental ideality of space and time. The answer to question two is found in the Transcendental Analytic, where Kant seeks to demonstrate the essential role played by the categories in grounding the possibility of knowledge and experience. The answer to question three is found in the Transcendental Dialectic, and it is a resoundingly blunt conclusion: The synthetic a priori propositions that characterize metaphysics are not “really” possible at all. Metaphysics, that is, is inherently dialectical. Kant’s Critique of Pure Reason is thus as well known for what it rejects as for what it defends. Thus, in the Dialectic, Kant turns his attention to the central disciplines of traditional, rationalist, metaphysics — rational psychology, rational cosmology, and rational theology. Kant aims to reveal the errors that plague each of these fields.”



Kant sebagai psikologi rasional (rational psychology), metafisika tentang dunia sebagai keseluruhan yang disebutnya sebagai kosmologi rasional (rational cosmology), dan tentang Tuhan yang disebutnya sebagai teologi rasional (rational theology). Baik Analytic, Aesthetic, dan Dialectic berada pada bagian besar Trancendental Doctrine of Elements, karena masing-masing mengacu pada ‘elemen’ rasio yang berbeda. Aesthetic pada apa yang disebut Kant sebagai intuisi, Analytic pada konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang mendasarinya, dan Dialectic dengan apa yang disebutnya sebagai ideide regulatif (regulative ideas). Apa yang biasa dimengerti sebagai intelek kini dipisahkan olehnya menjadi pemahaman (understanding) dan rasio (reason). Bagian yang lebih pendek, yakni Trancendental Doctrine of Method, menyediakan pendasaran epistemologi dan metafisis bagi Kritik atas Rasio Murni dengan refleksi atas metode pendekatannya. Di dalamnya ada bagian The Canon of Pure Reason yang memberikan penegasan terhadap seluruh sistem filsafat kritis di dalam buku tersebut. Pengaturan bab-bab di dalam buku Kritik atas Rasio Murni dapat dimengerti lebih jelas, jika kita mengerti kesimpulan yang ditarik Kant tentang seluruh buku tersebut. Ada dua kesimpulan besar. Di satu sisi Aesthetic dan Analytic selalu berkaitan dengan obyek yang dapat diketahui. Dan di sisi lain, Dialectic berkaitan dengan obyek yang tidak dapat diketahui. Aesthetic dan Analytic lebih bersifat positif, karena lebih bertujuan untuk membuktikan bahwa kita dapat mengetahui obyek yang dapat dialami secara inderawi. Aesthetic banyak menganalisis pengalaman inderawi, terutama tentang kemungkinan pengetahuan akan obyek-obyek yang berada di dalam ruang dan waktu. Analytic lebih berada di level konseptual, termasuk tentang kategori subtansi dan kausalitas yang memungkinkan pengalaman diolah menjadi pengetahuan konseptual. Kedua bagian ini disebut juga sebagai metafisika pengalaman (metaphysics of experience). Sementara itu bagian Dialectic lebih bersifat negatif, karena lebih bertujuan untuk



membuktikan bahwa kita tidak dapat mengetahui obyek-obyek yang berada di luar pengalaman inderawi kita. Bagian ini mau menolak legitimasi metafisika, terutama metafisika transenden (trancendent metaphysics). Dari dua tipe metafisika ini, kita dapat mengenali ambiguitas kritik atas metafisika yang dirumuskan Kant. Ia menolak metafisika transenden, tetapi mengafirmasi metafisika pengalaman. Metafisika pengalaman ini paling jelas terdapat pada bagian Analytic. Dari pemaparan pada bab ini, kita dapat menarik setidaknya dua kesimpulan terkait dengan metode yang digunakan oleh Kant di dalam berfilsafat. Yang pertama adalah metode kritis untuk mencari kondisikondisi kemungkinan dari pengetahuan manusia. Kant tidak percaya begitu saja, bahwa manusia bisa mengetahui dunia luar. Maka itu ia menyelidiki terlebih dahulu, kondisi-kondisi macam apakah yang diperlukan, supaya manusia bisa sampai pada pengetahuan konseptual. Di dalam proses pencarian, ia menemukan setidaknya dua faktor, yakni kondisi-kondisi a priori di dalam pikiran manusia, dan benda-benda obyektif. Yang penting bagi kita adalah cara berpikir untuk mencari kondisi-kondisi kemungkinan dari keberadaan obyek yang kita pikirkan. Yang kedua adalah upaya Kant untuk menempatkan persoalan moralitas pada akal budi. Kant tidak melulu melompat ke dalam penjelasan-penjelasan teologis-agamis untuk menjelaskan fenomena moral manusia, melainkan berusaha menemukan pendasaran rasional atasnya. Metode pencarian dasar rasional itulah yang bisa dijadikan contoh untuk penyelidikan obyek-obyek lainnya, terutama yang terkait langsung dengan dimensi hakiki manusia. Dua metode yang diajarkan Kant, yakni metode pencarian kondisi-kondisi kemungkinan dan metode pencarian dasar rasional atas fenomena yang ingin diteliti, akan menjadi dasar bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan selanjutnya.

5. Metode Dialektika Pada bagian sebelumnya saya sudah menjabarkan garis besar proyek filsafat kritis Immanuel Kant. Inti dari metode berpikir yang diajarkan



Kant adalah pencarian kondisi-kondisi kemungkinan (conditions of possibility) dari pengetahuan manusia, dan pencarian dasar rasional dari fenomena yang hendak diteliti. Filsafat Kant sangat mempengaruhi para filsuf setelahnya. Salah satu filsuf yang sangat dipengaruhi oleh Kant, namun juga melakukan kritik tajam terhadap Kant, adalah Hegel. Pada bagian ini saya ingin mengajak anda mencecap sedikit gaya berpikir Hegel, terutama yang terkait dengan metodenya untuk memahami realitas. Sebagai pendasaran saya menggunakan teks tulisan Larry Krasnoff yang berjudul Hegel’s Phenomenology of Spirit.91

5.1. Latar Belakang Dunia kita sekarang ini sangat dipengaruhi oleh peradaban Eropa utara yang berkembang sejak 4 abad yang lalu. Pada tahun-tahun itu, Eropa telah berubah dari sebuah peradaban yang sangat bernuansa religius menjadi peradaban yang mengedepankan ilmu pengetahuan, militer, dan filsafat. Tiga hal itu mendorong terciptanya sebuah peradaban terbesar sepanjang sejarah manusia, yang kini pengaruhnya bisa dirasakan di seluruh dunia. Para filsuf menamakan gejala perkembangan pesat itu sebagai modernitas (modernity). Mengapa modernitas bisa terjadi, dan bagaimana prosesnya? Sampai sekarang para filsuf dan sejarahwan masih mencari jawaban yang paling tepat atas pertanyaan itu. Namun menurut penelitian Krasnoff, penelitian para ahli biasanya terpusat pada peristiwaperistiwa khusus tertentu, seperti Reformasi Protestan, perkembangan fisika modern melalui penemuan Galileo dan Newton, penemuan dan penaklukan benua Amerika, perdagangan bebas, kapitalisme, serta Revolusi Amerika dan Perancis. Apa sebenarnya dampak langsung dari peristiwa-peristiwa itu, sehingga pada akhirnya bisa mendorong terjadinya proses modernisasi?

91

Pada bab ini saya mengacu pada Krasnoff, Larry, Hegel’s Phenomenology of Spirit, Cambridge University Press, Cambridge, 2008.



Menurut Krasnoff jawaban atas pertanyaan itu terletak pada perubahan paradigma (paradigm change) di dalam memandang realitas. Alam dipandang sebagai alam obyektif yang bisa dipelajari dan digunakan untuk sepenuhnya kepentingan manusia. Agama dipandang bukan lagi sebagai urusan bersama, tetapi sebagai urusan privat. Agama dipisahkan dari urusan negara, dan didorong ke pinggir kehidupan politik. Politik pun tidak lagi didefinisikan sebagai upaya meraih kekuasaan sebesar mungkin untuk memperkaya diri, melainkan sebagai alat untuk menjaga dan mengembangkan hak-hak asasi manusia serta hak politik untuk memilih siapa yang berkuasa secara demokratis. Tiga pandangan itu kini sudah menyebar ke seluruh dunia, dan menjadi paradigma yang dominan. Namun sekarang ini banyak pemikir yang mempertanyakan, apakah modernitas adalah satu-satunya paradigma kehidupan yang bisa digunakan? Apakah tidak ada alternatif?92 Ada beberapa alternatif yang kiranya mungkin terjadi, seperti pemerintahan totaliter, baik atas nama agama ataupun ras dominan, masyarakat mistik yang menghormati alam namun lupa memanfaatkannya untuk kepentingan manusia, serta masyarakat tertutup yang menuntut kesamaan mutlak, tanpa menghormati perbedaan maupun hak-hak asasi manusia sedikitpun. Dalam arti ini seperti yang pernah ditulis Magnis-Suseno, demokrasi, yang merupakan esensi politik modernitas, adalah pilihan terbaik di antara semua alternatif yang ada. Tidak hanya itu menurut Winston Churchill, perdana menteri Inggris pada saat perang dunia kedua, demokrasi adalah bentuk politik terbaik dibanding bentuk-bentuk politik lainnya yang pernah dicoba di dalam sejarah manusia. Apakah modernitas adalah sesuatu yang baik secara moral? Bagi Krasnoff pertanyaan itu tidaklah relevan. Itu seperti bertanya apakah oksigen itu baik untuk manusia atau tidak? Tentu saja setiap orang 92

Bdk, ibid, hal. 1.



membutuhkannya. Dan orang tidak memiliki kemungkinan untuk memilih yang lain. Tidak hanya itu menurut Krasnoff, pertanyaan tentang apakah modernitas baik secara moral adalah pertanyaan yang problematis, karena modernitas telah merasuki sendi-sendi kehidupan masyarakat jaman sekarang sebegitu mendalam dan meluas. Setiap orang terpengaruh dengan caranya masing-masing. Setiap orang juga memaknainya dengan caranya sendiri-sendiri. Efek dari modernitas tidak bisa direduksi hanya dalam satu hal saja.93 Lalu apakah modernitas memiliki sisi buruk? Menurut Krasnoff sisi negatif dari modernitas terletak pada sisi ekonomi dan teknologinya. Yang pertama adalah kecenderungan modernitas untuk menerapkan paham kapitalisme secara berlebihan. Akibatnya adalah manusia dikorbankan dan dieksploitasi atas nama pengumpulan keuntungan dan modal yang lebih tinggi lagi. Teknologi membuat manusia menjadi tidak manusiawi. Hubungan manusia tidak lagi dilandasi ketulusan, melainkan melulu hubungan kebutuhan yang sifatnya instrumental, material, dan dangkal. Teknologi juga menghasilkan limbah yang pada akhirnya merusak ekosistem. Krisis global warming yang kita alami secara global sekarang ini adalah hasil dari penggunaan teknologi yang kelewat batas, dan akhirnya menghancurkan alam. Secara kultural modernitas juga seringkali meremehkan budaya-budaya lokal partikular yang memiliki cara berpikir berbeda. Hal ini tampak jelas di dalam arogansi negaranegara Eropa dan Amerika, ketika berhadapan dengan negara-negara Asia dan Afrika. Menurut Krasnoff sisi positif modernitas paling tampak pada aspek moral dan politik. Secara khusus modernitas mengedepankan dan mengembangkan kebebasan manusia sebagai individu. Pada masa sebelumnya cara berpikir dan pilihan manusia dibatasi oleh kelas sosial, tradisi, dan agama. Namun dengan berkembangnya 93

Lihat, ibid.



modernitas, manusia mulai menemukan dan berani mengedepankan kebebasannya. Dalam soal agama setiap orang berhak memutuskan agama apa yang mereka peluk. Tidak hanya itu setiap orang juga berhak mengekspresikan keyakinan agamanya, sejauh itu tidak melanggar kebebasan orang lain. Dalam hal politik setiap orang bebas untuk memilih penguasa manakah yang layak memerintah di sebuah negara. Dalam hal ekonomi setiap orang bebas untuk mengumpulkan harta kekayaan, sejauh dalam batas-batas hukum. Dan dalam hal budaya, setiap orang berhak hidup dengan caranya masing-masing, sejauh itu masih berada dalam batas-batas hukum dan tidak melanggar kebebasan orang lain.94 Tentu saja di dalam kenyataan, tidak ada satupun dari cita-cita ideal tersebut terwujud secara sempurna. Kebebasan manusia masih saja dikungkung oleh kekuatan-kekuatan budaya, ekonomi, dan politik yang tak terbendung oleh aspirasinya terhadap kebebasan. Namun seperti yang berulang kali ditulis oleh B. Herry Priyono di dalam berbagai tulisannya, cita-cita tidak akan lenyap hanya karena belum terwujud di dalam realitas, begitu pula cita-cita modernitas tentang kebebasan harus menjadi tujuan utama dari semua praktek politik, ekonomi, agama, dan budaya sekarang ini. Lalu apa arti pembicaraan tentang modernitas tersebut dengan Hegel, tokoh kita pada bagian ini? Pada hemat Krasnoff cita-cita modernitas tentang kebebasan terasa paling kental merasuk di dalam seluruh tubuh filsafat Hegel.95 Tulisan-tulisan Hegel menggambarkan bagaimana roh absolut bergerak di dalam sejarah untuk sampai pada kebebasan. Namun mengapa Hegel menjadikan tema kebebasan, yang merupakan esensi modernitas, di dalam filsafatnya? Menurut penelitian yang dilakukan Krasnoff, Hegel memilih kebebasan sebagai tema utama filsafatnya, karena ia pertama-tama 94 95

Bdk, ibid, hal. 2. Lihat, ibid, hal. 3.



terpesona oleh revolusi Perancis. Sebagai seorang pemuda yang lahir pada 1770, ia terpana oleh gelora kebebasan yang mewujud secara nyata di dalam revolusi Perancis. Ia sendiri adalah seorang anak pegawai negeri sipil rendahan dari Stuttgart. Walaupun miskin namun Hegel sangat cerdas. Pada 1788 ia masuk seminari (sekolah pendidikan calon imam di dalam Agama Katolik) di Universitas Tuebingen. Di sana ia bertemu dengan Friedrich Schelling (juga seorang filsuf Idealis Jerman yang cukup ternama) dan menjalin persahabatan dengannya. Schelling dan Hegel kini dikenal sebagai para filsuf Idealisme Jerman. Secara singkat Idealisme Jerman adalah paham filsafat yang berpendapat, bahwa realitas bukanlah material secara hakiki, melainkan bentukan dari konsep-konsep rasional yang terletak di dalam pikiran manusia. Konsep-konsep tersebut seperti aku murni, roh absolut, non-aku, dan sebagainya. Idealisme Jerman berkembang pada abad ke-18 di Jerman, namun pengaruhnya masih sangat terasa hingga sekarang ini. Masa Hegel hidup adalah masa yang penuh dengan tantangan. Revolusi Perancis dengan cita-cita kebebasan, persamaan, dan persaudaraan mengguncang tatanan monarki feodal sebelumnya. Walaupun pada masa itu Perancis adalah tempat yang penuh dengan gejolak, namun Jerman, tempat Hegel lahir dan tumbuh, tetap stabil seolah tidak terjadi apa-apa. Universitas Tübingen seolah tetap steril, jauh dari gejolak yang ditimbulkan oleh Revolusi Perancis dan gerakan filsafat Pencerahan. Memang pada waktu itu, Tübingen adalah universitas yang konservatif. Teks-teks filsafat Pencerahan yang kental dengan ide otonomi dan kebebasan individu dilarang untuk disebarkan. Tentu saja Hegel tidak mematuhi aturan yang aneh itu. Masalah yang langsung dihadapinya adalah, bagaimana menerapkan cara berpikir modern yang ditimbanya dari para filsuf Pencerahan di Jerman, yang pada masa itu relatif masih merupakan masyarakat tradisional? Pada masa yang sama, Inggris dan Perancis sudah menjelma menjadi negara modern. Di negara-negara itu, kebebasan sudah mulai menjadi bagian dari kehidupan individu dan kehidupan



sosial. Sebaliknya di Jerman orang berkumpul untuk berdiskusi soal filsafat Pencerahan pun kerap kali harus berbenturan dengan otoritas pemerintah. Dengan kata lain dapatlah dikatakan, bahwa pada masa itu, Jerman masih merupakan negara terbelakang. Namun Hegel akibat membaca secara intensif tulisan-tulisan Rousseau dan Kant berhasil menerobos keterbelakangan itu, dan akhirnya merumuskan filsafatnya sendiri secara kreatif.96 Menurut Krasnoff prinsip utama di dalam filsafat Hegel adalah subyektivitas (subjectivity). Hal ini menjadi jelas, jika orang berusaha membaca karya magnum opus Hegel yang berjudul Phenomenology of Spirit. Hegel sendiri mengatakan tujuan filsafatnya adalah untuk menggengam (grasp) dan mengekspresikan (express) subyektivitas.97 Artinya adalah tujuan dari suatu refleksi filosofis adalah untuk memahami karakter dasariah dari subyektivitas manusia. Tidak hanya itu filsafat pun sebenarnya adalah ekspresi dari subyektivitas manusia itu sendiri. Namun bentuk ekspresi yang bagaimana? Apa sebenarnya hakekat (nature) dari subyektivitas, dan bagaimana filsafat bisa mengekspresikannya?98

5.2. Subyektivitas di dalam Filsafat Hegel Di dalam filsafat tema subyektivitas adalah tema yang sudah berumur ratusan tahun, jauh sebelum masa hidup Hegel. Para filsuf modern seperti Kant dan Descartes merefleksikannya secara sistematis dan mendalam. Namun menurut Hegel refleksi filsafat tentang subyektivitas di dalam filsafat Kant maupun Descartes masih terjebak pada kesalahpahaman dan inkoherensi. Seperti yang ditulis oleh Krasnoff, bagi Descartes, subyektivitas adalah konsep yang bersifat kontemplatif. Fungsi konsep itu sendiri semata-mata hanya sebagai titik awal (starting point) untuk memberikan kepastian metodologis 96 97 98

Lihat, ibid, hal. 4. Seperti dikutip Krasnoff, ibid, hal. 62. Lihat, ibid.



(methodological certainty). Tidak ada kepastian apakah pikiranku memiliki hubungan langsung dengan realitas. Yang pasti adalah bahwa aku sedang berpikir (I am thinking), dan pikiran itu selalu mengarah pada sesuatu. Aku tidak pernah berpikir kosong, karena aku selalu berpikir tentang sesuatu. Namun menurut Krasnoff jika pikiran adalah soal individu subyektif semata, maka tidak ada kemungkinan untuk menilai, apakah pikiran itu tepat atau tidak. Jika argumen ini benar, lalu bagaimana hubungan antara pikiran, konsep, dan dunia fisik eksternal? Ini adalah pertanyaan yang langsung menjatuhkan seluruh sistem Cartesian. Bagi Descartes hubungan pikiran dengan dunia luar terletak pada fakta, bahwa Tuhan itu ada, dan Ia tidak mungkin menipu kita. Tentu saja argumen ini sama sekali tidak kuat, dan bahkan terkesan sangat dogmatis. Yang ingin dicapai Descartes adalah keketatan berpikir metodis di dalam filsafat. Namun kekuatan pendekatan Descartes ternyata juga mencerminkan kelemahannya. Filsafatnya tidak memberikan argumen yang cukup memadai tentang hubungan antara pikiran dan realitas fisik di luarnya. Seperti sudah disinggung pada bagian sebelumnya tentang metode skeptisisme, Hume adalah filsuf yang dengan keras mengajukan kritik kepada Descartes. Hume menolak mengakui adanya relasi sebab akibat yang nyata di dalam realitas. Ia juga menolak argumen, bahwa kita bisa sungguh sampai pada pengetahuan yang benar tentang realitas. Kant kemudian mencoba mengajukan kritik terhadap Hume dengan berargumen, bahwa pengetahuan yang tepat tentang dunia fisik itu mungkin, karena struktur akal budi internal manusia memungkinkan itu terjadi. Struktur akal budi internal itu disebut juga sebagai subyektivitas (subjectivity). Walaupun begitu Kant tidak menjadikan subyektivitas hanya sebagai titik awal yang sifatnya kontemplatif, seperti pada filsafat Descartes. Sebaliknya pada Kant konsep subyektivitas lebih bersifat aktif di dalam membentuk pengetahuan tentang dunia luar. Dalam arti ini tidaklah berlebihan jika dikatakan,



bahwa dunia bisa ada karena diketahui oleh manusia. Tanpa manusia tidak ada dunia.99 Inilah yang disebut Krasnoff sebagai konsep subyektivitas yang bersifat idealistik (idealist conception of subjectivity). Konsep subyek di dalam Kant melampaui konsep subyek di dalam filsafat Descartes, yang cenderung bersifat kontemplatif dan pasif semata. Dalam arti ini konsep subyek Kant dapat juga disebut konsep subyek yang aktif (active subject), terutama jika diperlawankan dengan konsep subyek di dalam filsafat Descartes yang cenderung pasif. Bagi Kant akal budi adalah fakultas di dalam diri manusia yang berfungsi untuk membentuk ide. Ide itu sendiri berasal sekaligus melampaui pengalaman inderawi. Salah satu yang menjadi acuan Kant adalah ide kebebasan (the idea of freedom). Ide kebebasan tidak pernah bisa dipahami secara empiris. Oleh karena itu pengetahuan manusia tentang kebebasan memiliki bentuk yang berbeda, jika dibandingkan dengan pengetahuan manusia mengetahui benda-benda fisik, seperti meja, kursi, mobil, dan sebagainya. “Akan tetapi dengan alasan ini,” demikian Krasnoff, “kita tidak dapat mengatakan bahwa ide kebebasan tidak mempunyai kenyataan..”100 Artinya adalah walaupun tidak memiliki dasar empirisfisik, dan tidak bisa menjadi obyek pengetahuan langsung manusia, ide kebebasan tetap dapat dipahami oleh manusia, walaupun dengan cara lain. Bagi Kant ide kebebasan sudah selalu diandaikan di dalam tindakan moral manusia sebagai mahluk yang rasional. Jika tidak diandaikan maka tindakan moral menjadi tidak mungkin. Sementara faktanya tindakan moral, seperti berbuat baik, itu mungkin, maka kebebasan pun tidak bisa dibantah keberadaannya. Filsafat Hegel dapat dianggap sebagai suatu upaya untuk melampaui konsep subyek di dalam filsafat Kant maupun Descartes. Seperti sudah disinggung sebelumnya, Hegel sangat mengagumi 99 Bdk, ibid, hal. 63. 100 Ibid, hal. 64.



Revolusi Perancis. Filsafatnya sendiri tidak bisa dilepaskan dari momen bersejarah tersebut. Di dalamnya ia melihat dorongan kekuatan kebebasan dari subyek untuk melawan semua bentuk kekuatan yang mengekangnya. Tentu saja banyak filsuf berharap supaya kekuatan kebebasan ini dapat diarahkan pada sesuatu yang sifatnya positif, seperti untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan moralitas misalnya. Akan tetapi seperti ditegaskan oleh Krasnoff, subyek yang bebas berarti ia tidak bisa ditentukan tindakan ataupun pilihannya ke depan. Jika ia bisa ditentukan, maka ia tidaklah bebas. Konsep subyek pada filsafat Descartes terjebak pada dirinya sendiri. Subyek menjadi koheren secara konseptual, namun tidak bisa diterapkan dalam konteks kehidupan nyata. Sementara subyek moral Kantian, yang menempatkan kebebasan sebagai pengandaian, tidak bisa dipastikan akan melulu bertindak secara moral. Hegel sendiri sebenarnya banyak sependapat dengan Kant. Namun begitu Hegel ingin menyelamatkan konsep subyek dari isolasi, seperti yang dialami konsep subyek di dalam filsafat Descartes. Hegel setuju bahwa subyektivitas manusia itu sifatnya aktif dan kreatif, serta mampu menolak semua tekanan dari luar. Setelah subyek melampaui semua kekangan yang menghambatnya, ia kemudian menjadi sadar diri (self-conscious), yakni sadar akan kesalahan dari tindakan ataupun pilihannya. Di dalam proses menyadari dirinya sendiri ini, subyek kemudian semakin mengetahui dan memahami dirinya sendiri (selfknowledge). Proses subyek untuk mengenali dirinya sendiri ini, menurut Hegel, mirip seperti pertarungan melawan dan bersama kematian itu sendiri (struggle with and against death). Kebebasan manusia sebagai subyek paling tampak di dalam kebebasannya menghadapi kematian. Selain itu kebebasan subyek paling tampak di dalam penegasan dirinya menghadapi tekanan sosial (social pressure). Namun begitu pernyataan



terakhir tampak mengandung setitik kontradiksi. Bukankah lingkungan sosial yang memberikan arti dan makna bagi kehidupan seseorang? Dan bukankah seperti yang dikatakan oleh Heidegger dengan lugas, bahwa kematianlah yang memberikan makna bagi kehidupan manusia? Dalam arti ini subyek selalu berada dalam tegangan untuk menjadi bebas di satu sisi, dan untuk mengikat dirinya pada komunitas sosialnya.101 Ia juga selalu berada dalam tegangan antara dorongan untuk memaknai hidup yang ada, dan kecemasan di dalam menghadapi kematian. Di dalam tegangan itulah subyek menyadari dirinya sendiri (self-realizing).

5.3. Hegel dan Dialektika102 Metode dialektik Hegel terdiri dari tiga tahap. Yang pertama adalah tesis, yakni membangun suatu pernyataan tertentu. Yang kedua adalah antitesis, yakni suatu pernyataan argumentatif yang menolak tesis. Dan yang ketiga adalah sintesis, yakni upaya untuk mendamaikan tegangan antara tesis dan antitesis. Biasanya para ahli mengaitkan konsep dialektika ini dengan filsafat Hegel, walaupun Hegel sendiri tidak pernah secara eksplisit menyatakan argumennya melalui konsep tesis, antitesis, dan sintesis. Sebaliknya Hegel justru menyatakan, bahwa ia mendapatkan argumen itu dari filsafat Kant. Lepas dari itu metode dialektik memang nantinya menjadi sangat populer di tangan para filsuf Idealisme Jerman, terutama di dalam pemikiran Hegel. Di dalam tulisan-tulisannya, Hegel memang tidak secara langsung menggunakan konsep tesis-antitesis-sintesis. Namun ia menggunakan logika yang kurang lebih sama di dalam tulisan-tulisannya. Ia kerap kali menggunakan konsep abstrak-negatif-konkret (abstract-negativeconcrete) untuk melukiskan cara berpikir dialektisnya tentang realitas. Beberapa kali ia menggunakan kata langsung-tidak langsung-konkret 101 Lihat, ibid, hal. 66. 102 Untuk berikutnya saya mengacu pada http://en.wikipedia.org/wiki/

Dialectic#Hegelian_dialectic



(immediate-mediated-conrete). Hegel memang menggunakan katakata yang berbeda untuk menegaskan metode berpikir dialektis yang digunakannya di dalam seluruh sistem filsafatnya. Coba kita bedah hal ini secara lebih mendalam. Di dalam rumusan tesis-antitesis-sintesis, kita tidak bisa mengerti secara logis mengapa tesis terkait dengan antitesis. Yang dikatakan oleh para komentator Hegel hanyalah di dalam tesis sudah langsung termuat antitesis. Namun apa sesungguhnya arti dari argumen itu? Coba kita lihat rumusan Hegel abstrak-negatif-konkret. Di dalam rumusan itu sudah diandaikan, bahwa tesis, yakni abstrak, memiliki kelemahan, yakni bahwa ia belum diuji di dalam realitas. Konsep abstrak belum memiliki aspek pengalaman, dan belum teruji di dalam kerasnya realitas. Di dalam tahap negatif, yang merupakan level antitesis, apa yang abstrak tadi diceburkan ke dalam realitas, dan berinteraksi dengan negativitas yang seringkali muncul di dalam pengalaman. Baru setelah itu abstrak dan negatif mengelami sintesis, dan menjadi konkret. Level konkret baru bisa dicapai, jika level negatif dan abstrak sudah dilampaui. Inilah esensi dari metode dialektis yang dapat ditemukan di dalam seluruh filsafat Hegel. Untuk menggambarkan konsep pelampauan negatif dan abstrak itu, Hegel menggunakan konsep Aufhebung, yang berarti ‘melampaui’ (overcoming). Secara kasar konsep melampaui itu bisa dianggap sebagai suatu upaya untuk menerjang batas-batas konsep yang ada sebelumnya, sambil tetap mengambil sisi positifnya yang tertinggal. Di dalam bukunya yang berjudul Ilmu Logika (Science of Logic), Hegel mencoba melukiskan proses dialektika untuk memahami keberadaan manusia. Keberadaan manusia pada awalnya adalah Ada (Being). Namun ada-murni (pure being) ternyata tidak dapat dibedakan dengan ketiadaan (Nothing). Sesuatu yang keberadaanya bersifat murni, yakni tidak tergantung pada realitas inderawi, juga secara logis dapat disamakan dengan tidak ada. Di dalam proses ada-murni, yang juga berarti ketiadaan, akan melampaui batas-batasnya sendiri,



dan kemudian bersatu di dalam ‘menjadi’ (becoming). Di dalam kosa kata teori dialektika Hegel, ada-murni adalah tesis. Ketiadaan adalah antitesis dari ada-murni. Dan menjadi (becoming) adalah sintesis dari ada-murni dan ketiadaan. Metode dialektika Hegel juga memiliki unsur kontradiksi yang sangat kuat. Baginya setiap tahap perkembangan realitas, mulai dari tesis, antitesis, dan sintesis, muncul dari kontradiksi yang kuat di dalam tahap sebelumnya. Seluruh sejarah dunia adalah sejarah dialektika dan kontradiksi. Dahulu kala pemerintahan yang ideal adalah pemerintahan monarki absolut dengan menjadikan satu raja sebagai acuan utama politik. Monarki absolut tersebut didasarkan pada dua asumsi, yakni legalitas perbudakan untuk memperoleh tenaga kerja manusia murah, dan asumsi bahwa rakyat adalah orang bodoh yang tidak mampu memimpin ataupun membuat keputusan untuk dirinya sendiri. Cara pandang itu mengalami kontradiksi, karena jika asumsi itu terwujud, maka negara justru tidak akan berkembang. Sekarang ini bentuk pemerintahan ideal adalah demokrasi dengan mengacu pada warga negara yang bebas dan cerdas. Dari contoh di atas dapatlah disimpulkan, bahwa kontradiksi tidaklah muncul dari luar tesis, melainkan justru dari dalamnya. Di dalam konsep monarki absolut sebagai acuan filsafat politik, sudah ada ‘anti’ dari monarki absolut itu sendiri. Antitesis sudah selalu terkandung di dalam tesis. Dan sintesis sudah selalu terkandung di dalam tesis dan antitesis. Dalam bahasa Hegel di dalam Ilmu Logika, di dalam Ada dan Ketiadaan sudah selalu terkandung ‘menjadi’. Lalu apa sebenarnya tujuan dari metode dialektika ini? Tujuan dasar dari dialektika adalah untuk menganalisis realitas pada dirinya sendiri, seturut geraknya sendiri, dan untuk memahami itu semua dalam terang akal budi. Konsep inti di dalam metode dialektika Hegel adalah negasi atas negasi (negation of the negation), atau yang ia sebut juga sebagai Aufhebung. Konsep ini diawali dengan



sebuah premis sederhana, bahwa segala sesuatu menjadi apa adanya, karena selalu berada di dalam relasi dengan yang lainnya, yang bukan sesuatu itu. Meja bisa ada dan diketahui oleh manusia, karena ada segala sesuatu yang bukan meja,. Meja menegasi segala sesuatu yang bukan meja, sehingga ia menjadi dirinya sendiri. Hegel mau mengajarkan kita untuk melihat realitas sebagai suatu proses. Proses tersebut melewati tahap-tahap tertentu yang kelihatannya penuh dengan negativitas. Namun negativitas itu sebenarnya merupakan antitesis yang nantinya akan ‘melampaui’ tesis dan antitesis sebelumnya. Seluruh realitas menurut Hegel bergerak dengan pola itu. Dan pada akhir sejarah, realitas akan mengalami sintesis absolut. Itulah akhir sejarah menurut Hegel. Seluruh proses ini disebutnya sebagai dialektika, dan unsur penting dari dialektika itu adalah kontradiksi dan negasi. Kontradiksi dan negasi itu memiliki unsur negativitas yang kuat, namun diperlukan untuk perkembangan realitas menuju sintesis absolut.

6. Metode Aphorisme di dalam Filsafat Nietzsche Pada bagian sebelumnya saya sudah menjabarkan metode dialektika di dalam filsafat Hegel. Hegel adalah seorang filsuf yang berpikir dan menyusun filsafatnya secara sistematis. Ia membangun sistem untuk memahami seluruh realitas, termasuk alam, manusia, dan sejarah. Pada kesempatan ini saya ingin memperkenalkan anda pada satu sosok filsuf yang sangat berlainan dengan Hegel, yakni Nietzsche. Berbeda dengan sistem filsafat Hegel, Nietzsche justru sangat anti sistem. Ia menulis dengan aphorisme, yakni dengan kalimat-kalimat pendek yang seolah tanpa hubungan satu sama lain, untuk menjabarkan pemikirannya. Argumennya juga tidak bertujuan untuk menciptakan pemahaman tertentu yang bersifat koheren ataupun sistematis. Bisa juga dikatakan Nietzsche ingin menghancurkan semua pemahaman lama yang bercokol di dalam filsafat. Ia berfilsafat dengan palu pemikiran untuk menghancurkan mitos dan cara berpikir kuno.



Pada bagian ini saya berfokus untuk menjelaskan cara berpikir khas Nietzsche, yakni nihilisme dan teknik berfilsafat dengan aphorisme. Sebagai acuan saya menggunakan tulisan Jill Marsden yang berjudul Nietzsche and the Art of Aphorism, dan tulisan Andreas Urs Sommer yang berjudul Nihilism and Skepticism in Nietzsche.103 Di dalam tulisantulisan filsafatnya, Nietzsche menegaskan, bahwa kebiasaan atau cara kita berpikir menentukan apa yang kita anggap sebagai pikiran. Semua bentuk cara berpikir, termasuk apa yang kita anggap sebagai sesuatu yang layak dipikirkan, dibentuk oleh kebiasaan. Cara kita memahami dan memaknai dunia juga terbentuk di dalam kebiasaan. Aristoteles sendiri pernah berkata, bahwa tidak ada yang lebih kuat daripada kebiasaan. Dan seperti yang pernah ditulis oleh Herry Priyono, orang tidak sadar akan kebiasaannya sama seperti ia tidak sadar akan bau mulutnya. Dalam arti ini kebiasaan menjadi halangan utama bagi orang untuk sampai pada kebenaran. Banyak orang menganggap begitu saja, bahwa apa yang telah mereka ketahui ataupun lakukan secara biasa itu sama dengan kebenaran. Padahal kebiasaan justru bisa menjadi halangan terbesar untuk melihat kebenaran. Dalam konteks inilah Nietzsche menempatkan filsafatnya, yakni sebagai kritik dari cara berpikir yang timbul atas dasar kebiasaan semata. Untuk melampaui kebiasaan cara berpikir yang terwujud nyata di dalam cara orang menulis dan mengungkapkan argumen, Nietzsche menggunakan aphorisme sebagai alat untuk melakukan kritik. Menurut Marsden aphorisme merupakan suatu cara untuk melepaskan diri dari keyakinan-keyakinan lama yang melulu didasarkan atas kebiasaan. Aphorisme adalah cara baru berfilsafat untuk melepaskan diri dari kategori-kategori pengetahuan manusia yang cenderung terkotak-kotak dan membatasi realitas. Cara berpikir tradisional yang kental terasa pada sains dan filsafat yang berpegang teguh pada rasionalitas justru membuat manusia tertutup dari kekayaan realitas dan kehidupan itu sendiri. Aphorisme menempatkan realitas 103 Pada bab ini saya mengacu pada kedua tulisan tersebut. Kedua tulisan itu dapat dilihat di Pearson, Keith Ansell, A Companion to Nietzsche, Blackwell, MA, 2006.



sebagai suatu teks yang terbuka, sekaligus membuka horison pemikiran baru yang kreatif dan inovatif.104 Aphorisme membuka ruang besar untuk ketidakpastian, agresivitas berpikir, dan ekspansi ide. Aphorisme menolak kepastian mutlak, ataupun dinding-dinding yang menghambat kreativitas berpikir. Seluruh proyek filsafat dengan menggunakan aphorisme ini haruslah ditempatkan sebagai kritik Nietzsche terhadap cara berpikir Platonisme (overcoming platonism) yang cenderung mengedepankan rasionalitas, pengendalian diri, dan kontrol terhadap realitas melalui pikiran, dan tujuan Nietzsche untuk mengevaluasi ulang seluruh nilai-nilai (reevaluation of all values) yang ada di dalam masyarakat. Pada hemat Marsden yang penting dari intensi Nietzsche bukanlah substansinya (substance) semata, yakni isi kritiknya yang memang sangat tajam, melainkan juga bentuk (form) dari cara berpikir yang melandasari kritik tersebut. Jika orang hanya berfokus pada isi kritik Nietzsche terhadap masyarakat pada jamannya, maka mereka hanya akan menemukan kritik klise yang seolah tanpa relevansi sekarang ini. Nietzsche melakukan kritik tajam terhadap budaya dan cara berpikir orang pada jamannya yang berfokus pada kontrol diri dan alam, sehingga melupakan daya-daya kehidupan yang sesungguhnya. Ia juga melakukan kritik tajam terhadap agama, yang dianggapnya menciptakan sekaligus melestarikan mentalitas dekaden. Yang menarik buat kita untuk memahami metode Nietzsche bukanlah isi dari kritik tersebut, melainkan caranya membentuk kritik. Dalam konteks inilah metode berfilsafat dengan menggunakan aphorisme bisa ditempatkan. Gaya berfilsafat dengan menggunakan aphorisme dapat dianggap sebagai kritik terhadap cara berpikir tradisional yang cenderung membatasi realitas dan kehidupan itu sendiri ke dalam konsep-konsep.

6.1. Nietzsche dan Aphorisme Menurut penelitian Marsden teks tulisan Nietzsche pertama yang menggunakan gaya aphorisme adalah Human, All too Human yang 104 Lihat, ibid, hal. 22.



ditulis pada 1878. Di dalam buku itu, Nietzsche menulis berdasarkan pengamatan yang tajam tentang manusia, namun tidak dengan gaya sistematis khas buku filsafat, melainkan dengan paragraf-paragraf pendek yang seolah terpecah dan tidak memiliki kaitan satu sama lain. Dalam arti harafiahnya aphorisme berarti ekspresi pemikiran singkat yang lugas tentang suatu bentuk kebenaran yang bersifat umum. Dengan demikian aphorisme bukanlah isi dari filsafat itu sendiri, melainkan gaya berfilsafat tentang suatu tema tertentu. Marsden juga menegaskan bahwa tidak semua tulisan Nietzsche menggunakan gaya aphorisme murni. Beberapa tulisan Nietzsche lainnya, seperti On the Genealogy of Morals, tidak menggunakan aphorisme murni, melainkan bab-bab (chapters).105 Menurut Marsden ada alasan medis di balik gaya berfilsafat Nietzsche yang menggunakan aphorisme. Seperti disinggung sebelumnya Human, All too Human adalah karya pertama Nietzsche yang menggunakan metode aphorisme. Pada waktu menulis buku itu, ia mengalami sakit berat, akibat terlalu lelah bekerja dan hidup yang tidak teratur. Kombinasi antara agresivitas pemikiran dan sakit fisik membuat Nietzsche memutuskan untuk melepaskan diri dari filsafat tradisional yang selama ini digelutinya, dan merambah ke wilayah pemikiran yang baru. Pada titik inilah ia kemudian berfilsafat mengenai tema-tema yang sensitif pada jamannya, dan dengan gaya yang kurang familiar, yakni berfilsafat dengan aphorisme. Marsden juga berpendapat bahwa gaya aphoristik sebenarnya dapat dirunut kembali ke jaman Yunani Kuno, tepatnya pada masa Hippokrates. Banyak penulis pada jaman itu, terutama yang mendedikasikan karyanya untuk mengembangkan pemikiran Hippokrates, menggunakan gaya aphorisme di dalam tulisan-tulisan mereka. Kumpulan tulisan untuk Hippokrates itu disebut juga sebagai The Corpus Hippocraticum. Di dalamnya tertulis aturan dan resep untuk 105 Lihat, ibid, hal. 23.



hidup sehat, mendiagnosis penyakit, dan hidup bahagia. Semua itu ditulis dengan menggunakan aphorisme. Aphorisme berbeda dengan logika. Logika seringkali berasal dari penalaran akal budi murni, tanpa perlu mengacu pada pengalaman konkret sehari-hari. Sebaliknya aphorisme justru dibentuk dari pengalaman dan eksperimen yang bersifat empiris. Tidak hanya itu aphorisme seringkali berbentuk resep-resep praktis untuk menjalani hidup secara bijak. Yang terakhir inilah yang ditawarkan oleh Nietzsche melalui aphorisme-aphorismenya. Jika ilmuwan kedokteran dahulu berkonsultasi ke tulisan-tulisan Hipokrates untuk mendiagnosis pasiennya, maka para filsuf bisa membaca Nietzsche sebagai upaya untuk mengobati diri dari penyakit kemalasan berpikir.106 Dengan demikian dapatlah disimpulkan, bahwa pada waktu Nietzsche mulai mengalami penyakit yang berat, ia juga mulai menulis dengan gaya yang berbeda, yakni gaya aphorisme. Memang ada hubungan antara penyakit beratnya dan cara ia berfilsafat, walaupun hubungan itu tidak selalu berupa hubungan sebab akibat. Bahkan menurut penelitian Marsden, Nietzsche seringkali menganggap penyakitnya sebagai musuh. Namun dalam pengertian Nietzsche, musuh bukanlah sesuatu yang harus dihancurkan, melainkan tetap diperlukan untuk menjaga dan mengembangkan vitalitas diri. Adanya musuh membuat orang selalu dalam keadaan waspada, dan siap setiap saat untuk bertindak serta mengembangkan dirinya. Cara berfilsafat dengan menggunakan aphorisme, dalam arti ini, dapatlah dipandang sebagai tanggapan Nietzsche pada penyakitnya. Ia tidak menganggap penyakit sebagai halangan untuk berpikir. Sebaliknya penyakit adalah musuh yang diperlukan, supaya ia tetap kritis dan tajam di dalam berpikir. Marsden bahkan berpendapat bahwa Nietzsche menggunakan penyakitnya secara tidak langsung untuk mengembangkan filsafatnya.

106 Bdk, ibid, hal. 24.



Banyak orang menganggap penyakit sebagai batu sandungan bagi kehidupan. Penyakit adalah kutukan yang harus dihindari ataupun dimusnahkan. Namun Nietzsche mengajarkan kepada kita, bahwa banyak hal buruk di dalam hidup sebenarnya bisa menjadi pelajaran yang berharga. Kejahatan dan penderitaan adalah bagian integral dari kehidupan. Dan dalam kerangka itu, manusia harus belajar memaknai penderitaan, kejahatan, dan kegagalan sebagai keniscayaan hidup. Justru di dalam tempaan penderitaanlah peradaban manusia bisa berkembang. Nietzsche menanggapi penderitaan yang ia alami langsung di dalam filsafatnya, terutama dengan metode aphorisme yang ia gunakan. Dengan itu ia mengubah pengalaman penderitaan yang bersifat personal menjadi refleksi filosofis yang indah sekaligus inspiratif. Penderitaan menjadi titik tolak bagi sebuah pemikiran filosofis yang menyegarkan. Semua ini membuat orang tidak akan menemukan gaya filsafat tradisional di dalam tulisan-tulisan Nietzsche. Anda tidak akan menemukan pepatah-pepatah bijak yang menenangkan hati di dalam tulisan Nietzsche. Seringkali ia memprovokasi anda untuk berpikir, dan untuk membalik semua kepercayaan yang telah anda pegang sebelumnya. Di dalam salah satu bagian, Nietzsche menulis bahwa kekuatan fisik dan jiwa manusia justru berkembang melalui luka (wound). Dapat juga dikatakan bahwa kekuatan yang membuat manusia bahagia adalah kekuatan yang sama, yang membuat manusia merasa menderita. Dengan aphorisme-aphorismenya Nietzsche mengajarkan kita untuk berpikir paradoksal. Ia melihat bahwa kekuatan manusia memiliki akar yang sama dengan kelemahannya. Dan justru di dalam kelemahannyalah manusia bisa sampai pada kekuatan puncaknya. Secara historis Nietzsche sangat dipengaruhi oleh Herakleitos, seorang filsuf Yunani Kuno pada masa sebelum Sokrates. Dengan aphorisme Herakleitos ingin melepaskan diri dari cara berpikir yang dipenjara oleh logika dan rasionalitas. Inilah yang ingin dilakukan Nietzsche. Herakleitos sendiri pernah menulis, “Anak panah adalah



hidup, namun kerja dari panah adalah kematian.”107 Aphorisme ini bisa ditafsirkan sebagai sebuah pernyataan, bahwa kehidupan dan kematian saling terkait satu sama lain. Tidak ada hidup yang sempurna tanpa cacat sedikit pun. Bahkan bisa dibilang bahwa hidup adalah anak panah yang menjadikan dirinya sendiri sebagai sasaran. Selain dari filsafat Herakleitos, Nietzsche juga dipengaruhi oleh Chamfort dan La Rochenfoucauld. Mereka adalah para pemikir Perancis. Dari La Rochenfoucauld ia belajar untuk mencintai paradoks. Sementara dari Chamfort ia belajar untuk menyampaikan argumen di dalam kalimat-kalimat pendek. Para filsuf Perancis juga mengajarkan Nietzsche untuk berpikir mengenai seni menjalani hidup (art of living). Di sisi lain Schopenhauer, filsuf Jerman di abad ke 19, juga sangat mempengaruhi Niezstsche, terutama di dalam konsepnya tentang kehendak untuk berkuasa. Di dalam filsafat yang cenderung didominasi oleh cara berpikir argumentatif, gaya filsafat dengan menggunakan aphorisme yang digunakan Nietzsche memang terdengar asing. Walaupun juga digunakan untuk mempersuasi pembaca supaya setuju dengannya, gaya aphorisme seringkali menciptakan ambiguitas dan bahkan kesalahpahaman dari pembacanya. Dengan ungkapan-ungkapan singkat, aphorisme bisa membuat pembacanya kaget dan bingung. Misalnya Nietzsche pernah menulis, “Jika anda melatih hati nurani anda, hati nurani itu akan mencium sekaligus menggigit anda.”108 Manusia seringkali, kata Nietzsche, “gemetar akibat hasrat.” Itulah secuil aphorisme khas Nietzsche. Seringkali ungkapan aphoristik tersebut lebih mirip puisi daripada sebuah tulisan filsafat. Tidak hanya itu aphorisme juga seringkali berupa dialog. Misalnya Nietzsche pernah menulis tentang dialog seorang petualang dengan bayangannya sendiri. 107 Dikutip oleh Marsden, ibid, hal. 25. 108 Ibid, hal. 26.



Aphorisme tidak bisa dibaca dengan cara seperti anda membaca buku teks. Di dalam buku teks, anda akan diminta mengikuti argumen demi argumen yang sifatnya sistematis secara sabar. Sementara ketika membaca aphorisme Nietzsche, anda perlu melakukan lompatan logika untuk memahaminya. Untuk membaca Nietzsche orang perlu melepaskan diri dari rasionalitas tradisional, dan mencoba memahami semangat pemberontakan yang dikobarkan olehnya. Aphorisme mengajak setiap pembacanya untuk peka pada kalimat-kalimat kecil yang seolah tanpa makna. Aphorisme juga mengajak pembacanya untuk peka pada misteri di balik makna yang tersirat di dalam tulisan. Tidak ada argumen inti yang eksplisit di dalam aphorisme. Orang perlu menggunakan imajinasi untuk menebak maksud di balik aphorisme yang dibacanya. Aphorisme mengajak kita untuk berpetualang ke ranah-ranah pemikiran baru yang belum terjamah sebelumnya. Kita tidak diajak untuk memahami teks semata, tetapi juga untuk membuka kemungkinan bagi sejuta penafsiran baru, ketika mulai membaca teks. Ketika mencoba membaca langsung teks-teks Nietzsche, orang akan merasa menemukan sesuatu, walaupun ia belum bisa merumuskannya secara tepat.109 Jika anda percaya bahwa filsafat haruslah bersifat sistematis dan rasional secara mutlak, maka anda pasti akan menganggap, bahwa aphorisme adalah suatu bentuk irasionalitas, atau bahkan pengkhianatan. Namun jika anda mencoba membaca aphorisme karya Nietzsche, anda akan ditantang untuk menggoyang nilai-nilai yang selama ini anda yakini. Dengan aphorismenya Niezsche mencoba untuk menerjang batas-batas pemikiran yang ada.

7. Fenomenologi Edmund Husserl Pada bagian sebelumnya kita sudah berdiskusi soal gaya aphorisme di dalam filsafat Nietzsche. Ia mengajarkan kita untuk berani menembus 109 Lihat, ibid, hal. 35.



batas-batas rasionalitas itu sendiri, dan membuka tabir-tabir pemikiran baru yang belum tersentuh sebelumnya. Pada bagian ini saya ingin mengajak anda berdiskusi mengenai metodologi berpikir di dalam filsafat Husserl, yang banyak juga dikenal sebagai fenomenologi. Metode ini sangat penting di dalam filsafat, dan juga di dalam penelitian ilmu-ilmu sosial. Di dalam pemikiran Husserl, fenomenologi tidak hanya berhenti menjadi metode, tetapi juga mulai menjadi ontologi. Muridnya yang bernama Heideggerlah yang nantinya akan melanjutkan proyek itu. Pada bagian ini saya mengacu pada tulisan David W. Smith tentang Husserl di dalam bukunya yang berjudul Husserl.110 Cita-cita Husserl adalah membuat fenomenologi menjadi bagian dari ilmu, yakni ilmu tentang kesadaran (science of consciousness). Akan tetapi pendekatan fenomenologi berusaha dengan keras membedakan diri dari pendekatan tradisional, psikologi, dan bahkan dari filsafat itu sendiri. Namun sampai sekarang definisi jelas dan tepat dari fenomenologi belum juga dapat dirumuskan dan dimengerti, bahkan oleh orang yang mengklaim menggunakannya. Oleh karena itu dengan mengacu pada tulisan Smith, saya akan coba memberikan definisi dasar tentang fenomenologi, sekaligus mencoba memberi contoh penerapannya. Setelah itu saya akan mengajak anda untuk memahami latar belakang teori fenomenologi Husserl yang memang secara langsung diinspirasikan oleh Frans Bretagno, terutama pemikirannya soal psikologi deskriptif. Lalu masih mengacu pada tulisan Smith, saya akan mengajak anda memahami teori tentang kesadaran, terutama konsep kuncinya yang disebut sebagai intensionalitas. Intensionalitas sendiri berarti kesadaran yang selalu mengarah pada sesuatu (consciousness on something), seperti kesadaran akan waktu, kesadaran akan tempat, dan kesadaran akan eksistensi diri sendiri.111

110 Pada bab ini saya mengacu pada Smith, David Woodruff, Husserl, London, Routledge, 2007. 111 Lihat, ibid, hal. 188.



Menurut Smith fenomenologi Husserl adalah sebuah upaya untuk memahami kesadaran sebagaimana dialami dari sudut pandang orang pertama. Secara literal fenomenologi adalah studi tentang fenomena, atau tentang segala sesuatu yang tampak bagi kita di dalam pengalaman subyektif, atau tentang bagaimana kita mengalami segala sesuatu di sekitar kita. Setiap orang pada dasarnya pernah melakukan praktek fenomenologi. Ketika anda bertanya “Apakah yang aku rasakan sekarang?”, “Apa yang sedang kupikirkan?”, “Apa yang akan kulakukan?”, maka sebenarnya anda melakukan fenomenologi, yakni mencoba memahami apa yang anda rasakan, pikirkan, dan apa yang akan anda lakukan dari sudut pandang orang pertama. Dengan demikian fenomenologi adalah upaya untuk memahami kesadaran dari sudut pandang subyektif orang terkait. Pendekatan ini tentu saja berbeda dengan pendekatan ilmu pengetahuan saraf (neuroscience), yang berusaha memahami cara kerja kesadaran manusia di dalam otak dan saraf, yakni dengan menggunakan sudut pandang pengamat. Neurosains lebih melihat fenomena kesadaran sebagai fenomena biologis. Sementara deskripsi fenomenologis lebih melihat pengalaman manusia sebagaimana ia mengalaminya, yakni dari sudut pandang orang pertama. Walaupun berfokus pada pengalaman subyektif orang pertama, fenomenologi tidak berhenti hanya pada deskripsi perasaan-perasaan inderawi semata. Pengalaman inderawi hanyalah titik tolak untuk sampai makna yang bersifat konseptual (conceptual meaning), yang lebih dalam dari pengalaman inderawi itu sendiri. Makna konseptual itu bisa berupa imajinasi, pikiran, hasrat, ataupun perasaan-perasaan spesifik, ketika orang mengalami dunianya secara personal. Jika fenomenologi berfokus pada pengalaman manusia, lalu apa kaitan fenomenologi dengan psikologi sebagai ilmu tentang perilaku manusia? Husserl sendiri merumuskan fenomenologi sebagai tanggapan kritisnya terhadap psikologi positivistik, yang menolak eksistensi kesadaran, dan kemudian menyempitkannya semata hanya pada soal



perilaku. Oleh sebab itu menurut Smith, fenomenologi Husserl lebih tepat disebut sebagai psikologi deskriptif, yang merupakan lawan dari psikologi positivistik. Di dalam fenomenologi konsep makna (meaning) adalah konsep yang sangat penting. “Makna”, demikian tulis Smith tentang Husserl, “adalah isi penting dari pengalaman sadar manusia..”112 Pengalaman seseorang bisa sama, seperti ia bisa sama-sama mengendari sepeda motor. Namun makna dari pengalaman itu berbeda-beda bagi setiap orang. Maknalah yang membedakan pengalaman orang satu dengan pengalaman orang lainnya. Suatu pengalaman bisa menjadi bagian dari kesadaran, juga karena orang memaknainya. Hanya melalui tindak memaknailah kesadaran orang bisa menyentuh dunia sebagai suatu struktur teratur (organized structure) dari segala sesuatu yang ada di sekitar kita. Namun begitu menurut Husserl, makna bukanlah obyek kajian ilmu-ilmu empiris. Makna adalah obyek kajian logika murni (pure logic). Pada era sekarang logika murni ini dikenal juga sebagai semantik (semantics). Maka dalam arti ini, fenomenologi adalah suatu sintesis antara psikologi, filsafat, dan semantik (atau logika murni). Bagi Husserl fenomenologi adalah suatu bentuk ilmu mandiri yang berbeda dari ilmu-ilmu alam maupun ilmu-ilmu sosial. Dengan fenomenologi Husserl mau menantang semua pendekatan yang bersifat biologis-mekanistik tentang kesadaran manusia, seperti pada psikologi positivistik maupun pada neurosains. Ia menyebut fenomenologi sebagai ilmu pengetahuan transendental (transcendental science), yang dibedakan dengan ilmu pengetahuan naturalistik (naturalistic science), seperti pada fisika maupun biologi. Dan seperti sudah disinggung sebelumnya, perbedaan utama fenomenologi dengan ilmu-ilmu alam, termasuk psikologi positivistik, adalah peran sentral makna di dalam pengalaman manusia (meaning in experience). Fenomenologi tidak mengambil langkah

112 Ibid, hal. 190.



observasi ataupun generalisasi di dalam penelitian tentang manusia, seperti yang lazim ditemukan pada psikologi positivistik. Cita-cita Husserl adalah mengembangkan fenomenologi sebagai suatu displin ilmiah yang lengkap dengan metode yang jelas dan akurat. Di dalam ilmu-ilmu alam, seperti kimia, fisika, dan biologi, kita mengenal adalah metode penelitian ilmu-ilmu alam yang sifatnya empiris dan eksperimental. Inti metode penelitian ilmu-ilmu alam adalah melakukan observasi yang sifatnya sistematis, dan kemudian menganalisisnya dengan suatu kerangka teori yang telah dikembangkan sebelumnya. Husserl ingin melepaskan diri dari cara berpikir yang melandasi metode penelitian semacam itu. Baginya untuk memahami manusia, fenomenologi hendak melihat apa yang dialami oleh manusia dari sudut pandang orang pertama, yakni dari orang yang mengalaminya. Di dalam kerangka berpikir ini, seorang ilmuwan sekaligus adalah sekaligus peneliti dan yang diteliti. Ia adalah subyek sekaligus obyek dari penelitian. Dan seperti sudah ditegaskan sebelumnya, fenomenologi adalah cara untuk memahami kesadaran manusia dengan menggunakan sudut pandang orang pertama. Namun menurut penelitian Smith, Husserl membedakan tingkat-tingkat kesadaran (state of consciousness). Yang menjadi fokus fenomenologi bukanlah pengalaman partikular, melainkan struktur dari pengalaman kesadaran, yakni realitas obyektif yang mewujud di dalam pengalaman subyektif orang per orang. Konkretnya fenomenologi berfokus pada makna subyektif dari realitas obyektif di dalam kesadaran orang yang menjalani aktivitas kehidupannya sehari-hari. Dalam kosa kata Husserl, “obyek kesadaran sebagaimana dialami.”113 Fenomenologi Husserlian adalah ilmu tentang esensi dari kesadaran. Namun apa sebenarnya yang dimaksud dengan esensi dari kesadaran? Berdasarkan penelitian Smith fenomenologi Husserl dibangun di atas setidaknya dua asumsi. Yang pertama, setiap pengalaman manusia 113 Ibid, hal. 191.



sebenarnya adalah satu ekspresi dari kesadaran. Seseorang mengalami sesuatu. Ia sadar akan pengalamannya sendiri yang memang bersifat subyektif. Dan yang kedua, setiap bentuk kesadaran selalu merupakan kesadaran akan sesuatu. Ketika berpikir tentang makanan, anda membentuk gambaran tentang makanan di dalam pikiran anda. Ketika melihat sebuah mobil, anda membentuk gambaran tentang mobil di dalam pikiran anda. Inilah yang disebut Husserl sebagai intensionalitas (intentionality), yakni bahwa kesadaran selalu merupakan kesadaran akan sesuatu. Tindakan seseorang dikatakan intensional, jika tindakan itu dilakukan dengan tujuan yang jelas. Namun di dalam filsafat Husserl, konsep intensionalitas memiliki makna yang lebih dalam. Intensionalitas tidak hanya terkait dengan tujuan dari tindakan manusia, tetapi juga merupakan karakter dasar dari pikiran itu sendiri. Pikiran tidak pernah pikiran itu sendiri, melainkan selalu merupakan pikiran atas sesuatu. Pikiran selalu memiliki obyek. Hal yang sama berlaku untuk kesadaran. Intensionalitas adalah keterarahan kesadaran (directedness of consciousness). Dan intensionalitas juga merupakan keterarahan tindakan, yakni tindakan yang bertujuan pada satu obyek. Namun Husserl juga melihat beberapa pengalaman konkret manusia yang tidak mengandaikan intensionalitas, seperti ketika anda merasa mual ataupun pusing. Kedua pengalaman itu bukanlah pengalaman tentang suatu obyek yang konkret. Namun pengalaman itu sangatlah jarang, kecuali anda yang menderita penyakit tertentu. Mayoritas pengalaman manusia memiliki struktur. Mayoritas pengalaman manusia melibatkan kesadaran, dan kesadaran selalu merupakan kesadaran atas sesuatu. Husserl menyebut setiap proses kesadaran yang terarah pada sesuatu ini sebagai tindakan (act). Dan setiap tindakan manusia selalu berada di dalam kerangka kebiasaan (habits), termasuk di dalamnya gerak tubuh dan cara berpikir.



Fenomenologi adalah analisis atas esensi kesadaran sebagaimana dihayati dan dialami oleh manusia, dan dilihat dengan menggunakan sudut pandang orang pertama. Fenomenologi menganalisis struktur dari persepsi, imajinasi, penilaian, emosi, evaluasi, dan pengalaman orang lain yang terarah pada sesuatu obyek di luar. Dengan demikian menurut Smith, fenomenologi Husserl adalah suatu penyelidikan terhadap relasi antara kesadaran dengan obyek di dunia luar, serta apa makna dari relasi itu. Konsep bahwa kesadaran selalu terarah pada sesuatu merupakan konsep sentral di dalam fenomenologi Husserl.114 Seperti sudah disinggung sebelumnya, fenomenologi adalah suatu refleksi atas kesadaran dari sudut pandang orang pertama. Konkretnya fenomenologi hendak menggambarkan pengalaman manusia sebagaimana ia mengalaminya melalui pikiran, imajinasi, emosi, hasrat, dan sebagainya. Dalam hal ini Husserl sangat berhutang pada Bretano. Bretano sendiri membedakan dua jenis psikologi, yakni psikologi deskriptif yang dikenal juga sebagai fenomenologi, dan psikologi genetis (genetic psychology). Psikologi deskriptif hendak memahami dinamika kehidupan mental manusia. Sementara psikologi genetis ingin memahami dinamika mental manusia dengan kaca mata ilmu-ilmu genetika yang sifatnya biologistik. Di dalam pemikiran Husserl, fenomenologi menjadi suatu displin yang memiliki status otonom. Ia pun merumuskannya secara lugas, yakni sebagai ilmu tentang esensi kesadaran. Dan berulang kali ia menegaskan, bahwa kesadaran manusia tidak pernah berdiri sendiri. Kesadaran selalu merupakan kesadaran atas sesuatu. Inilah yang disebut dengan intensionalitas, suatu konsep yang sangat sentral di dalam fenomenologi Husserl. Husserl kemudian mencoba mengembangkan teori intensionalitas ini. Setiap tindakan manusia selalu melibatkan kesadaran, dan kesadaran selalu merupakan kesadaran atas suatu obyek yang nyata di dunia. Manusia adalah subyek dan subyek selalu terarah pada suatu obyek yang nyata di 114 Lihat, ibid, hal. 193.



dunia. Obyek dari kesadaran dan tindakan manusia tidak pernah berada di dalam ruang kosong, melainkan selalu berada di dalam horison makna tertentu. Maka dari itu intensionalitas kesadaran selalu melibatkan relasi rumit antara subyek (manusia) yang sadar, tindakan, obyek, dan horison dari obyek tersebut. Relasi rumit di dalam intensionalitas kesadaran itulah yang menjadi dasar dari fenomenologi. Setelah menjadikan intensionalitas kesadaran sebagai dasar filsafatnya, Husserl kemudia menganalisis struktur-struktur dasar kesadaran secara detil, seperti persepsi, penilaian, tindakan, ruang, waktu, tubuh, keberadaan orang lain, dan sebagainya. Subyek (manusia) dan obyek selalu berada di dalam horison makna tertentu yang disebut Husserl sebagai dunia kehidupan (life-world). Secara singkat dunia kehidupan adalah dunia di sekeliling manusia yang dialaminya secara familiar di dalam kehidupan sehari-hari. Di dalam dunia kehidupan, manusia memperoleh makna dan identitasnya sebagai manusia. Dalam arti ini fenomenologi adalah suatu upaya untuk memahami kesadaran manusia dalam konteks kaitan dengan dunia kehidupannya. Fenomenologi Husserl hendak menganalisis dunia kehidupan manusia, sebagaimana ia mengalaminya secara subyektif maupun intersubyektif dengan manusia lainnya. Sebenarnya ia membedakan antara apa yang subyektif, intersubyektif, dan yang obyektif. Yang subyektif adalah pengalaman pribadi kita sebagai manusia yang menjalani kehidupan. Obyektif adalah dunia di sekitar kita yang sifatnya permanen di dalam ruang dan waktu. Dan intersubyektitas adalah pandangan dunia semua orang yang terlibat di dalam aktivitas sosial di dalam dunia kehidupan.115 Interaksi antara dunia subyektif, dunia obyektif, dan dunia intersubyektif inilah yang menjadi kajian fenomenologi. Fenomenologi membuka kesadaran baru di dalam metode penelitian filsafat dan ilmuilmu sosial. Kesadaran bahwa manusia selalu terarah pada dunia, dan keterarahan ini melibatkan suatu horison makna yang disebut sebagai 115 Lihat, ibid, hal. 234.



dunia kehidupan. Di dalam konteks itulah pemahaman tentang manusia dan kesadaran bisa ditemukan.

8. Fenomenologi Ontologi di dalam Pemikiran Martin Heidegger Pada bagian sebelumnya kita sudah berdiskusi sejenak mengenai fenomenologi yang dirumuskan Edmund Husserl. Ia merumuskan suatu cara untuk memahami realitas, terutama dengan menekankan fenomena keterarahan kesadaran pada obyek yang selalu berada di dalam konteks dunia kehidupan tertentu. Pada kesempatan ini saya ingin memperkenalkan anda pada pemikiran Martin Heidegger yang notabene adalah murid dari Husserl. Heidegger mengembangkan filsafat Husserl ke level ontologi, yakni refleksi mengenai realitas keseluruhan sebagai “Ada”. Sebagai acuan teks saya melihat pada tulisan Dorothea Frede yang berjudul The Questions of Being: Heidegger’s Project.116 Ingatkah anda metode elenchus khas Sokrates yang sudah diterangkan sebelumnya? Jika tidak coba lihat kembali ke bagian-bagian sebelumnya tulisan ini. Heidegger adalah seorang yang sangat ahli di dalam metode Sokratik. Di dalam kuliah-kuliahnya, ia seringkali mengajukan pertanyaan-pertanyaan tajam kepada para pendengar kuliahnya, supaya mereka menjadi bingung, dan mempertanyakan semua asumsi-asumsi pemikiran yang mereka miliki, serta dapat memulai diskusi dengan pemikiran terbuka. Proyek utama filsafat Heidegger adalah mempertanyakan makna “ada”. Konsep itu sendiri memang sudah menjadi bagian dari refleksi filsafat selama berabad-abad. Heideggerlah yang kemudian menggunakan kembali konsep tersebut di dalam filsafatnya. Namun apa sesungguhnya arti kata “ada”? Apa arti penting dari konsep itu? Di dalam filsafat Heidegger, kata itu sendiri memiliki beragam makna. Salah satu komentator otoritatif atas filsafat Heidegger yang bernama Hubert 116 Pada bab ini saya mengacu pada Frede, Dorothea, “The Questions of Being: Heidegger’s Project”, dalam The Cambridge Companion to Heidegger, Cambridge University Press, Cambridge, 1993.



Dreyfus pernah berpendapat, bahwa “ada” adalah latar belakang dari semua tindakan keseharian manusia yang dapat dipahami dengan akal budi. Thomas Sheehan -ahli Heidegger lainnya- berpendapat bahwa konsep “ada” merupakan konsep yang mencakup keseluruhan realitas. “Ada” adalah konsep yang ada di dalam setiap bentuk pengetahuan manusia tanpa terkecuali. Setiap pemikir besar biasanya memiliki satu ide dasar yang sifatnya revolusioner. Ide dasar ide dasar itu biasanya merupakan jawaban atas suatu pertanyaan yang juga tak kalah revolusioner. Pertanyaan itulah yang nantinya membimbing seluruh refleksi filosofis filsuf besar tersebut. Hal ini kiranya berlaku di dalam filsafat Heidegger. Menurut penelitian yang dibuat oleh Frede, pertanyaan yang menggantung di seluruh filsafat Heidegger sebenarnya adalah, apa maksud sesungguhnya dari konsep Ada? Di dalam filsafat pertanyaan ini berada di ranah ontologi, yakni penyelidikan tentang Ada yang merupakan dasar dari seluruh realitas. Maka dapat juga dikatakan, bahwa filsafat Heidegger berfokus pada ontologi. Namun ontologi Heidegger tidak sama dengan ontologi yang sudah ada sebelumnya. Searah dengan perjalanan waktu, makna dari pertanyaan tentang “ada” pun sudah berubah.117 Tentu saja bagi banyak orang, terutama yang tidak berkecimpung secara khusus di dalam dunia filsafat, pertanyaan yang diajukan Heidegger tampak agak bodoh. Jika ditelusuri secara mendalam, konsep “ada” sebenarnya ada di dalam setiap hal, seperti ada batu, ada manusia, ada hewan, dan sebagainya. Bahkan dapat dikatakan bahwa segala sesuatu yang menempati ruang dan waktu tertentu di alam semesta ini memiliki ada. Segala sesuatu berada. Lalu konsep “ada” manakah sebenarnya yang dimaksud Heidegger? Ataukah ia mencari “ada” yang mendasari seluruh realitas? Jika dilihat dari karya-karyanya, Heidegger hendak menemukan “ada” yang mendasar ada-ada lainnya, yang terdapat memang terdapat di semua hal. Maka dari itu pertanyaan tentang “ada” haruslah diubah 117 Lihat, Frede, 1993, hal. 41.



menjadi, apakah yang dimaksud dengan “ada” yang mendasari ada-ada lainnya di dalam realitas? Pada tulisan ini saya tidak mau, dan mampu, untuk menelusuri karya-karya Heidegger seutuhnya. Di dalam tulisan ini, saya akan mencoba memasuki ontologi Heidegger, yakni problem tentang “ada” yang digelutinya, sambil mencoba mengkaitkan dengan gurunya yang juga merupakan bapak fenomenologi, yakni Edmund Husserl. Selain itu Heidegger juga banyak mendasarkan pikirannya pada filsafat Yunani Kuno. Ia banyak mendapatkan inspirasi dari mereka di dalam prosesnya mempertanyakan makna ada, walaupun nantinya Heidegger akan mengembangkan rumusannya sendiri. Menurut penelitian Frede ketertarikan Heidegger pada masalah “ada” dan ontologi secara keseluruhan dimulai, ketika ia membaca tulisan Franz Brentano yang berjudul On the Several Sense of Being in Aristotle. Apa sebenarnya hubungan Heidegger dengan para filsuf Yunani Kuno, terutama di dalam prosesnya untuk memahami “ada”?

8.1. Heidegger Muda Salah seorang filsuf Yunani Kuno yang terbesar, Aristoteles, pernah berusaha mendefinisikan ontologi, yakni sebagai ilmu tentang “ada” (science of being).118 Bahkan sebelum filsafat Yunani Kuno berkembang, konsep “ada: sudah memperoleh porsi besar di dalam refleksi para pemikir. Mereka kerap menyebutnya sebagai “apa yang sesungguhnya”, atau “dasar”. Konsep “ada” melibatkan dua hal yang sangat penting di dalam diri seorang pemikir, yakni kemampuan berabstraksi, yakni menarik apa yang sama dari segala sesuatu yang berbeda di dalam realitas, dan kemampuan refleksi, yakni menilai diri sendiri dan berpikir secara mendalam. Para filsuf Yunani Kuno juga ingin bertanya, apakah “ada” itu sesuatu yang tunggal atau jamak? Apakah “ada” itu satu atau banyak? 118 Lihat, ibid, hal. 45.



Menurut Frede orang yang pertama kali mengajukan pertanyaan tentang “ada” secara sistematik adalah Plato. Ia melakukan perdebatan tentang konsep “ada” dengan para sofis, yakni para pengajar retorika. Kaum sofis sendiri tidak percaya adanya kebenaran mutlak. Bagi mereka segala sesuatu sifatnya relatif di muka bumi ini. Maka dari itu hal yang salah bisa jadi benar, dan sebaliknya, selama orang mampu memberikan argumentasi tentangnya. Bagi Plato sendiri problematika terkait dengan “ada” adalah problem gigantotnacbia, yang berarti problem para raksasa pemikiran. Heidegger sendiri sadar akan hal ini. Namun pemikir yang sungguh-sungguh memberikan pengaruh besar di dalam ontologi, ilmu tentang “ada”, adalah Aristoteles, murid Plato. Heidegger sendiri memang banyak berpijak pada pemikiran Aristoteles. Ia juga berpendapat bahwa seluruh sejarah pemikiran manusia adalah sejarah kelupaan akan “ada” (forgetfulness of being). Di dalam tulisan-tulisannya, Aristoteles membedakan beragam “ada” seturut kategori pengertiannya. Kategori utama adalah substansi (substance), yakni sesuatu yang sifatnya cukup diri yang tidak membutuhkan suatu apapun di luar dirinya. Beragam kategori lainnya berada di dalam ataupun dalam hubungan dengan substansi tersebut. Kategori-kategori itu adalah kuantitas, kualitas, relasi, ruang, waktu, tindakan, afeksi, posisi, dan kepemilikan. Misalnya anda melihat sebuah batu. Batu baru sungguh bermakna bagi manusia, jika ia dikenakan predikat. Dan setiap predikat selalu merupakan salah satu dari kategori-kategori “ada” lainnya, baik kuantitas, kualitas, ruang, dan sebagainya. Dalam arti ini menurut Aristoteles, kategori-kategori “ada” bukanlah ciptaan manusia, melainkan sudah selalu berada di dalam realitas yang tersusun secara logis. Kategori “ada” adalah realitas, dan bukan konstruksi pikiran manusia. Dengan posisinya itu Aristoteles dapat dikategorikan sebagai seorang realis metafisikus. Ia mengakui keberadaan obyektif dari kategori-kategori “ada”, maka ia disebut sebagai seorang realis. Dan ia menjadikan konsep “ada” sebagai pusat penyelidikannya, maka ia



disebut sebagai seorang metafisikus. Seluruh alam semesta menurutnya terdiri dari struktur-struktur obyektif dari “ada”. Inti dari struktur obyektif itu adalah substansi. Semua bentuk kategori lainnya menempel pada substansi tersebut. Dalam arti ini juga, tidak ada kesatuan utuh di dalam konsep “ada”, karena konsep “ada” itu sendiri terdiri dari substansi dan predikat-predikat dari substansi tersebut, seperti kualitas, kuantitas, dan sebagainya. Tidak ada kesatuan “ada” (unified of being). Yang ada adalah analogi dari berbagai bentuk kategori “ada”. Di dalam filsafat selanjutnya, konsep substansi menjadi tema sentral di dalam seluruh refleksi filsafat, terutama metafisika. Heidegger pun menjadi salah satu filsuf yang bergulat dengan tema ini. Baginya konsep “ada” di dalam filsafat Aristoteles masihlah kosong. Kekosongan itu diisi oleh para filsuf abad pertengahan dengan ajaran-ajaran Kristiani, seperti yang misalnya dilakukan dengan sangat mengagumkan oleh Thomas Aquinas. Pada filsuf neothomisme di abad kedua puluh juga masih mengacu pada Aristoteles di dalam refleksi mereka tentang substansi.119 Heidegger sendiri pun membutuhkan waktu lama untuk melampaui tradisi berpikir Aristotelian ini. Bahkan menurut Frede tulisan-tulisan Heidegger sebelum Being and Time, seperti pada The Doctrine of Judgment in Psychologism (yang merupakan disertasi doktoralnya) dan The Theory of Categories and Meaning of Duns Scotus, tidak menunjukkan orisinalitas ataupun pemikiran-pemikiran revolusioner. Andaikata ia puas dengan karya-karya itu, tentu saja namanya tidak akan dikenal sebagai salah satu filsuf terbesar sepanjang sejarah. Dan kita tentunya tidak akan menjadikan pemikirannya sebagai tema diskusi. Walaupun tidak dianggap sebagai sesuatu yang revolusioner, pemikiran-pemikiran Heidegger muda sebenarnya juga mengandung argumen yang kuat. Ia berpendapat bahwa makna dari kesadaran 119 Lihat, ibid, hal. 46.



manusia tidak akan pernah bisa didapatkan hanya dengan sekedar mengamati realitas dengan panca indera. Argumen ini membawanya kepada fenomenologi Edmund Husserl. Kesadaran manusia berbeda dengan apa yang disadarinya sebagai ada. Dalam hal ini kita perlu membedakan isi pikiran itu sendiri, dengan obyek dari pikiran tersebut. Orang bisa berpikir tentang makanan. Namun satu hal yang pasti, bahwa pikiran itu sendiri bukanlah makanan. Arti dari pikiran berbeda dengan tindak berpikir. Begitu pula konsep “ada” itu sendiri berbeda dengan ada-ada lainnya yang melekat di dalam segala sesuatu yang ada di dalam realitas. Sewaktu muda pikiran Heidegger belum menyentuh upaya untuk merumuskan konsep Ada sebagai sesuatu yang utuh dan universal. Ia masih melihat ada sebagai sesuatu yang melekat pada benda-benda lainnya. Perkembangan pesat di dalam pemikiran Heidegger muncul, ketika ia menyelesaikan karya keduanya, yakni tentang pemikiran Duns Scotus. Heidegger tertarik pada pemikiran Duns Scotus, karena ia adalah filsuf pertama yang menolak sistem kategori dan substansi Aristoteles. Bagi Scotus sistem Aristoteles tidaklah mencukupi untuk memahami konsep Tuhan. Memang Scotus adalah seorang filsuf abad pertengahan yang berusaha memberikan pemahaman rasional terhadap konsep Tuhan. Baginya Tuhan tidak sama dengan substansi. Kebaikan Tuhan juga tidak sama dengan kebaikan di dalam bendabenda lainnya. Menurut Heidegger pemikiran Scotus sudah membuka kemungkinan untuk mengembangkan refleksi tentang “ada” yang sama sekali baru. Dalam arti ini “ada” tidak hanya berlaku untuk benda-benda, tetapi juga untuk manusia. Dengan kata lain “ada” menjadi bagian dari seluruh realitas, termasuk realitas hakiki manusia. Pertanyaan tentang “ada” bergeser menjadi pertanyaan tentang relasi antara manusia dengan dunia. Bagi Scotus relasi antara dunia dan manusia melibatkan konsep subyektivitas. Subyektivitas membuat manusia mampu memaknai dunianya, dan proses pemaknaan itu



selalu melibatkan jaringan makna yang lebih luas. Tugas filsuf menurut Heidegger adalah menjelaskan jaringan makna yang melatarbelakangi tindak pemaknaan atas dunia tersebut. Jaringan makna itu adalah struktur dari realitas. Itulah “ada”.120 Namun menurut Scotus konsep “ada” berbeda-beda untuk setiap hal. Ia kemudian membedakan dua hal, yakni ada dari alam (being of nature) dan ada dari akal budi (being of reason). Dalam arti ini kebenaran yang ada di dalam akal budi tidak otomatis sama dengan kebenaran yang ada di dalam alam. Pikiran adalah penanda. Sementara benda di alam adalah petanda. Penanda dan petanda memang berhubungan, tetapi tidak selalu sama. Tanda untuk menunjukkan dilarang merokok tidak harus sama dengan orang yang ingin dilarang untuk merokok bukan? Dalam hal ini Heidegger sependapat dengan Scotus. Heidegger pun menolak teori cermin tentang realitas. Ia menolak bahwa pikiran kita sungguh mencerminkan apa yang ada di dalam realitas. Satu hal dari pemikiran Scotus yang kiranya sungguh mempengaruhi Heidegger adalah, bahwa walaupun pikiran dan realitas itu tidak selalu sama, namun keberadaan realitas itu sendiri ditentukan oleh pengertian subyek tentangnya. Inilah yang disebut sebagai subyektivitas yang obyektif (objective subjectivity). Yang obyektif adalah adalah yang diberikan sebagai obyektif (object-givenness) oleh bahasa kepada pikiran manusia. Di dalam karya terbesarnya yang berjudul Being and Time, Heidegger menitikberatkan keterkaitan antara bahasa, penafsiran, dan alam obyektif. Pemahaman manusia tidak pernah merupakan pemahaman tentang dunia pada dirinya sendiri, melainkan selalu sudah dijembatani oleh bahasa dan penafsiran. Dan penafsiran maupun bahasa selalu sudah tertanam di dalam jaringan makna kultural tertentu.

120 Lihat, ibid, hal. 49.



8.2. Being and Time Lalu apa beda filsafat Heidegger dengan filsafat tradisional lainnya yang banyak berbicara tentang “ada”? Ada jarak waktu 12 tahun, sebelum Heidegger menulis karya terbesarnya yang berjudul Being and Time dari karya sebelumnya. Menurut Frede gaya berfilsafat Heidegger di dalam Being and Time sangat dipengaruhi oleh pemikiran Edmund Husserl. Namun walaupun berhutang pada Husserl, Heidegger tetap memiliki banyak perbedaan argumen dengannya. Setidaknya ada dua bentuk pengaruh Husserl yang sangat jelas di dalam pemikiran Heidegger. Yang pertama Heidegger sendiri sudah mengakui, bahwa ia sangat terpengaruh oleh buku karangan Husserl yang berjudul Logical Investigations. Pada waktu ia bertemu secara langsung dengan Husserl, Heidegger kemudian menyadari betul peran fenomenologi di dalam persoalan tentang ada. Dalam arti ini bisa juga dikatakan, bahwa Being and Time adalah upaya Heidegger untuk menerapkan metode fenomenologi untuk memahami “ada”.121 Walaupun sudah dibahas pada bab sebelumnya, ada baiknya kita mengingat kembali inti dari fenomenologi Husserl. Salah satu konsep kunci di dalam fenomenologi Husserl adalah intensionalitas. Menurutnya setiap aktivitas manusia, baik fisik maupun mental, seperti berpikir, selalu mengarah pada suatu fenomena obyektif di luar dirinya. Dalam arti ini kesadaran tidak pernah kesadaran pada dirinya sendiri, melainkan kesadaran akan sesuatu. Setiap obyek di luar diri manusia hanya bisa dipahami sejauh obyek tersebut dipahami oleh kesadaran. Jika ingin memahami hakekat dari semua benda-benda yang ada di dunia, maka kita harus melihat kaitannya obyek itu dengan kesadaran manusia yang mempersepsinya. Husserl juga berpendapat bahwa isi dari kesadaran adalah sesuatu yang murni, atau yang disebutnya sebagai aku murni (pure I). Aku murni adalah dasar dari pengetahuan. Sementara fakta-fakta dunia 121 Bdk, ibid, hal. 52.



hanyalah kemungkinan. Jika kita ingin mengetahui hakekat dari obyek di luar diri kita, maka yang harus kita lakukan justru adalah memahami kesadaran yang membuat kita bisa mengetahui obyek tersebut. Husserl berpendapat bahwa inti dari filsafat bukalah obyek empiris, melainkan isi dari kesadaran manusia. Dalam arti ini filsafat, terutama fenomenologi Husserl, memang menjadi pendekatan yang berpusat pada ego manusia. Husserl dapat dianggap sebagai seorang filsuf subyektivis transendental (transcendental subjectivist). Subyektivisme transendental sendiri adalah paham yang berpendapat, bahwa subyektivitas merupakan sumber dari semua bentuk pengetahuan, pikiran, dan pengalaman manusia. Lalu dimanakah tempat dunia eksternal? Husserl masih memberikan tempat besar bagi dunia fisik eksternal. Namun di dalam fenomenologi, dunia eksternal berusaha ditunda terlebih dahulu, sehingga pemahaman subyek tentang dunianya bisa tampak. Yang menjadi fokus utama fenomenologi adalah pengalaman subyek dan isi kesadarannya, ketika berusaha memahami dunia. Heidegger setuju dengan Husserl, ketika ia menyatakan bahwa “ada” dari benda-benda terletak di dalam pengertian manusia tentang benda-benda tersebut. Namun setidaknya ada empat hal dari pemikiran Husserl yang tidak disetujui oleh Heidegger. Yang pertama adalah ia tidak setuju dengan kecenderungan Husserl untuk memusatkan seluruh analisisnya pada manusia sebagai subyek. Fakta bahwa manusia bisa sadar akan sesuatu tidak menjamin, bahwa ia memahaminya secara utuh. Di dalam tulisan-tulisannya, Heidegger menunjukkan bahkan pengetahuan manusia tentang dirinya sendiri juga bisa jatuh dalam kesalahan.122 Yang kedua Heidegger tidak setuju dengan konsepsi Husserl tentang “menaruh di dalam kurung”. Tidak mungkin manusia bisa menaruh di dalam kurung pertimbangan-pertimbangannya tentang dunia eksternal. Sebaliknya pertimbangan-pertimbangan itu 122 Lihat, ibid, hal. 53.



harusnya dijadikan bagian utuh dari proses penafsiran manusia atas dunianya. Yang ketiga menurut Heidegger, filsafat Husserl nantinya akan terkurung ke dalam subyektivisme, yakni paham yang berpendapat, bahwa dunia luar berada di dalam diri manusia. Memang Husserl mengatakan bahwa kesadaran selalu terarah pada obyek, dan keberadaan obyek sangatlah tergantung pada kesadaran manusia. Paham itu bisa dengan mudah digeser menjadi pernyataan, bahwa obyek, atau dunia luar itu sendiri, berada di dalam kesadaran manusia. Yang keempat bagi Heidegger, fenomenologi Husserl masih terjebak pada filsafat tradisional, yakni bahwa kesadaran adalah sesuatu yang bisa diselidiki dengan cara menciptakan refleksi yang berjarak dari manusia itu sendiri. Penolakan terhadap pandangan-pandangan Husserl ini membantu Heidegger merumuskan pandangannya sendiri di dalam karya terbesarnya, yakni Being and Time.123 Buku Being and Time memiliki dua proyek dasar. Yang pertama adalah proyek untuk merumuskan cara baru dalam menafsirkan seluruh sejarah filsafat. Yang kedua adalah klarifikasi konsep “ada” itu sendiri. Proyek yang kedua memang telah lama menjadi obsesi pribadi Heidegger. Dalam bahasa teknis Heidegger, kedua proyek itu disebut juga sebagai Ontological Analytic of Dasein as Laying Bare the Horizon for an Interpretation of the Meaning of Being in General dan Destroying the History of Ontology. Karena Heidegger sendiri memang terobsesi dengan proses untuk menghancurkan ontologi, maka saya, dengan mengacu pada Frede, akan menerangkan proyek ini terlebih dahulu. Tidak ada nuansa kekerasan di dalam pemikiran Heidegger, walaupun ia memang menggunakan kata Destruktion. Di dalam bahasa Jerman, arti kata itu agak berbeda dengan terjemahan Inggrisnya, yakni destruction. Kata Desttuktion lebih berarti suatu upaya untuk membuktikan adanya kesalahan berpikir di 123 Lihat, ibid.



dalam filsafat Kant, Descartes, dan Aristoteles. Kesalahan berpikir itu bukanlah sesuatu yang disengaja, namun memang tak terhindarkan. Menurut Heidegger seluruh sejarah metafisika dan ontologi di dalam filsafat barat mengalami apa yang disebutnya kelupaan akan “ada” (forgetfulness of being). Para filsuf berpikir bahwa “ada” itu tidak memiliki konsep yang konkret, dan juga bahwa “ada” hanya bisa dipahami melalui “pengada-pengada” (beings), seperti manusia, tuhan, konsep-konsep, dan sebagainya. Cara berpikir ini sebenarnya sudah dimulai sejak Aristoteles. Bagi Aristoteles segala sesuatu yang tidak memiliki kategori-kategori “ada”, seperti kualitas, kuantitas, substansi, dan sebagainya, berarti tidak bisa diketahui. Maka dari itu seperti sudah ditulis sebelumnya, “ada” hanya dapat diketahui melalui bendabenda konkret di dalam realitas.124 Heidegger juga tidak setuju dengan pandangan tradisional yang mengatakan, bahwa “ada” merupakan konsep yang independen dari pikiran manusia. Baginya inilah sebab kebuntuan berbagai refleksi filsafat tentang “ada” di dalam sejarah, yakni ketika “ada” dipandang sebagai obyek yang keberadaannya dapat dilepaskan dari manusia sebagai sosok pengamat. Filsafat Descartes dan Kant, yang memang sangat berpusat pada subyek, juga tidak mengurangi kesulitan di dalam memahami “ada” tersebut. Manusia seolah adalah subyek yang memandang dunia sebagai obyek secara berjarak. Jika manusia adalah subyek yang terpisah dari dunia sebagai obyeknya, maka bagaimana ia bisa tahu mengenai dunianya? Ini adalah salah satu tema penting di dalam epistemologi, yakni refleksi filsafat pengetahuan. Pertanyaan yang juga muncul dari argumen ini adalah, bagaimana kita bisa menjamin kebenaran, jika pengetahuan hanya merupakan impresi dari subyek atas dunia? Kant dengan filsafatnya hendak menjawab pertanyaan itu. Namun ia sendiri tampaknya masih terjebak pada konsep benda-pada-dirinya-sendiri. Konsep ini seolah tidak bisa 124 Lihat, ibid, hal. 60.



dipahami, karena berada di luar pemahaman manusia. Jadi walaupun konsep benda-pada-dirinya-sendiri tidak bisa diketahui, namun di dalam pemikiran Kant, konsep itu menempati peran yang sangat penting di dalam proses pembentukan realitas itu sendiri. Dengan tidak jelasnya konsep itu, bagi Heidegger, filsafat Kant belum secara radikal memberikan terobosan di dalam ontologi dan metafisika. Heidegger lebih jauh berpendapat, bahwa seluruh problem di dalam filsafat modern muncul, karena terpisahnya subyek, yakni manusia, dari obyek, yakni dunia yang dipersepsinya. Inilah yang disebut Heidegger sebagai ‘membelah dan menghancurkan fenomena’ (splitting asunder of the phenomena). Keterpisahan subyek manusia dan dunia obyektif yang dipersepsinya adalah penyebab utama dari begitu banyak problem di dalam filsafat yang tidak terselesaikan secara tuntas.125 Heidegger juga menyebut sikap ini sebagai sikap alamiah (natural way) yang mengisolasi obyek dari subyek, dan sebaliknya. Sikap berjarak memang diperlukan, baik di dalam refleksi filsafat yang mendalam maupun di dalam ilmu pengetahuan. Namun orang tetap harus ingat, bahwa sikap berjarak itu sifatnya artifisial, yakni hanya untuk memperoleh pengetahuan dari satu sisi saja, dan tidak dari keseluruhan aspek. Di dalam ilmu-ilmu positivis, seperti psikologi positivistik, seorang pengamat dianggap memiliki status istimewa terhadap obyek yang diamati. Cara pandang positivistik ini menganggap obyek, yang sering juga adalah manusia itu sendiri, adalah subyek yang tidak memiliki dunia (worldless). Cara pandang semacam inilah yang ingin ditentang secara keras oleh Heidegger. Baginya manusia yang merupakan subyek pengamat adalah bagian dari dunia yang sama dari obyek yang diamati, yakni dunia. Manusia adalah mahluk yang selalu ada di dunia (being in the world) bersama dengan benda-benda fisik maupun mahluk hidup lainnya. Konsekuensinya manusia adalah mahluk yang ada bersama 125 Lihat, ibid, hal. 61.



(being among) dan terlibat (involve) dengan dunia yang sudah selalu ada. Namun sampai akhir hidupnya, Heidegger tidak pernah menyelesaikan proyek destruksi metafisikanya. Buku yang membuat pemikirannya dikenal banyak orang, Being and Time, tidak pernah selesai. Niat Heidegger untuk melakukan destruksi metafisikaontologi, dan sekaligus mengajukan suatu cara baru untuk memahami “ada”, tampaknya memang tidak akan pernah tercapai. Pada bagian kedua Being and Time, ia sendiri berniat untuk membalikkan proyek buku itu, yakni menjadi Time and Being. Namun tampaknya ia tidak pernah bisa menyelesaikan proses penulisannya, dan segera beralih ke tema-tema filosofis lainnya. Di dalam Being and Time, Heidegger hendak memahami “ada” dari seluruh realitas dalam artinya yang paling dinamis, sesuai dengan perkembangan dan perubahan realitas itu sendiri. Di dalam metafisikaontologi tradisional, konsep “ada” tidak dipahami dalam temporalitas waktu. Padahal konsep waktu seperti yang selalu ditekankan Heidegger sangat terkait dengan konsep “ada” itu sendiri. Untuk mengubah pemahaman tentang “ada”, Heidegger lalu mencoba memahami “ada” melalui mahluk yang mampu memikirkan dan menanyakan “ada”, yakni manusia sendiri. Bagi Heidegger manusia bukanlah entitas yang terisolasi, ataupun tidak memiliki dunia sebagai latar belakangnya. Manusia adalah mahluk yang dari dasar dan hakekatnya sudah dibentuk oleh dunia. Dalam arti ini dapatlah dikatakan, bahwa modus mengada (modes of being) dari manusia adalah ada-bersama-dunia, ada-di-dalamdunia, dan sekaligus ada-disana. Namun ketiga modus mengada itu pun belum mencukupi. Modus mengada hanya berlaku untuk manusia yang menanyakan “ada”, dan bukan untuk “ada” itu sendiri. Di dalam Being and Time, Heidegger memang banyak menganalisis tentang manusia sebagai mahluk penanya “ada”, dan bukan “ada” itu sendiri.



Jika Heidegger tidak melanjutkan refleksi filsafatnya, maka sebenarnya ia tidak beranjak jauh dari pemikiran Husserl. Heidegger hanya melukiskan modus mengada manusia dalam kaitannya dengan dunia, tanpa menusuk langsung ke pertanyaan tentang “ada” itu sendiri, yang seharusnya menjadi inti dari proyek filosofisnya.126 Namun untungnya filsafat Heidegger maju lebih jauh. Ia pertama-tama memperkenalkan konsep perawatan/memelihara (care). Memelihara sendiri adalah relasi dasar antara manusia dengan alam. Karena manusia selalu berada di dalam relasi keterlibatan (involvement) dengan alam, maka sudah selayaknya ia ikut merawat dan memelihara alam itu sendiri. Tindak memelihara disini bukanlah tindakan amal, melainkan sudah melambangkan relasi fundamental antara manusia dengan alam, dan sebaliknya. Heidegger juga berpendapat bahwa manusia adalah bagian dari alam keseluruhan, karena ia selalu ada-di-dalam-dunia (being in the world). Jadi manusia dan alam berada di dalam kesatuan ontologis yang utuh serta tak terpisahkan. Maka dari itu sikap yang tepat dari manusia terhadap alam adalah sikap yang memperlakukan alam sebagai bagian dari diri manusia itu sendiri. “Kita”, demikian tulis Frede dalam tulisannya tentang Heidegger, “memproyeksikan diri kita sendiri, seluruh eksistensi kita, ke dalam dunia dan memahami diri kita dan semua hal di dunia ini dalam bentuk kemungkinan bentukan kita tentang diri kita sendiri.”127 Manusia dan alam adalah satu, karena gambaran tentang dunia adalah gambaran manusia tentang dunia. Kedua hal itu tidak bisa dipisahkan. Segala sesuatu bisa diketahui, karena manusia memaknainya. Dan makna itu bisa diterima, karena kita, manusia, adalah bagian dari pemaknaan itu sendiri. Di dalam dunia manusia membangun dan mencipta ulang dirinya sendiri. Segala sesuatu yang bermakna bagi 126 Lihat, ibid, hal. 63. 127 Ibid, hal. 64.



manusia juga sudah selalu terletak di dalam dunia. Manusia dan dunia adalah suatu proyek. Proyek adalah suatu harapan akan masa depan. Harapan akan masa depan itu tidak didasarkan pada kekosongan, melainkan pada pengertian kita tentang dunia yang ada sekarang ini. Masa lalu memang mempengaruhi manusia, namun manusia tetap terikat dan tertanam di dalam masa kini. Kekinian itulah dunia (world) yang mengikat dan memberikan makna bagi kehidupan kita seharihari. Manusia terhisap di dalam temporalitas kekinian, dan kekinian itulah yang mengikat manusia dengan dunia. Manusia selalu terlibat dengan dunia di dalam kekiniannya. Inilah inti dari konsep temporalitas (temporality) di dalam filsafat Heidegger. Dengan konsep itu ia tidak hanya mau mengatakan, bahwa manusia itu adalah mahluk yang hidup dalam waktu, atau memiliki intuisi tentang waktu, melainkan bahwa manusia hidup dalam tiga dimensi waktu sekaligus, yakni berharap untuk masa depan, mengingat apa yang sudah berlalu, dan terhisap serta terikat di dalam kekinian (presentness). Keserentakan dari ketiga momen itu, yakni yang lalu, sekarang, dan masa depan, itulah yang disebut sebagai temporalitas, menurut Heidegger. Dalam arti ini kekinian murni (here and now) adalah suatu ilusi, karena manusia tidak pernah berada di dalam kekinian murni, melainkan selalu sudah menghidupi dirinya dalam ketiga momen, yakni masa lalu, masa kini, dan masa depan.

8.3. Fenomenologi sebagai Ontologi Dalam arti apakah fenomenologi menjadi ontologi di tangan Heidegger? Fenomenologi adalah ilmu tentang fenomena. Secara spesifik fenomenologi ingin kembali kepada obyek itu sendiri. Artinya fenomenologi menolak semua rumusan teori, asumsi, maupun prasangka yang seringkali justru mengaburkan proses untuk mencapai pengetahuan. Fenomenologi ingin memahami esensi dari kesadaran manusia, sebagaimana dilihat dari sudut pandang orang pertama. Di



tangan Husserl fenomenologi menjadi suatu displin tersendiri yang berbeda dari ilmu-ilmu manusia lainnya. Heidegger melihat potensi besar di dalam fenomenologi. Namun ia tidak lagi menggunakannya semata untuk memahami esensi kesadaran manusia. Fokus dari filsafat Heidegger adalah untuk memahami “ada”. Jadi dia menerapkan fenomenologi untuk memahami “ada”. Dalam arti inilah fenomenologi berubah menjadi ontologi. Untuk memahami “ada” Heidegger awalnya mencoba memahami mahluk penanya “ada”, yakni manusia itu sendiri, yang selalu berelasi dengan dunia. Manusia dan dunia adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Manusia dan dunia itulah “ada” itu sendiri. “Ada” yang tidak terjebak pada ada-ada lainnya di dalam realitas, melainkan “ada” yang menjadi realitas itu sendiri. Filsafat Heidegger adalah suatu upaya untuk memahami “ada” yang menyingkapkan dirinya.

9. Teori Kritis Kontemporer Pada bagian sebelumnya kita sudah melihat bagaimana Heidegger, dengan menggunakan fenomenologi dan mengubahnya menjadi ontologi, berupaya untuk memahami “ada” yang adalah realitas itu sendiri. Filsafat Heidegger memang terkesan abstrak, dan tidak memiliki relevansi langsung untuk kehidupan. Namun sebenarnya Heidegger ingin mengajak kita untuk lebih memahami keterkaitan diri kita sebagai manusia dengan dunia dalam relasi yang sifatnya konstruktif dan positif. Manusia dan dunia adalah “ada” itu sendiri. Keduanya tak terpisahkan dan selalu hidup dalam relasi kesatuan yang utuh. Ontologi adalah penyelidikan rasional dan sistematis tentang “ada” itu sendiri, dan “ada” itu selalu melibatkan dunia, di mana manusia termasuk di dalamnya. Pada bagian ini saya ingin memperkenalkan anda dengan suatu tradisi berpikir yang disebut sebagai teori kritis. Teori kritis sifatnya angat konkret, karena langsung berhadapan dengan persoalan-persoalan sosial yang mendesak di dalam masyarakat. Sebagai acuan teks saya menggunakan tulisan Axel Honneth, yang banyak dianggap sebagai



tokoh teori kritis kontemporer, yang berjudul The Social Pathology of Reason: On the Intellectual Legacy of Critical Theory.128 Teori kritis memang mencapai puncak kejayaannya pada awal dan pertengahan abad kedua puluh. Sekarang ini banyak orang menganggapnya tinggal sekedar artifak yang tidak lagi relevan. Memang harus diakui banyak analisis tajam yang dibuat oleh para pemikir Teori Kritis pada awal abad kedua puluh sudah jauh terpisah dengan realitas sekarang ini. Namun sekarang ini banyak pemikir muda yang mendedikasikan karya-karya mereka untuk mengembangkan analisis teori kritis ini. Tokoh yang pertama kali mengembangkan teori kritis secara sistematis adalah Horkheimer dan Marcuse. Mereka adalah para filsuf kontemporer. Walaupun dapat dinilai sebagai bagian dari filsuf kontemporer, namun banyak analisis mereka sudah terasa ketinggalan jaman. Itulah yang menjadi pendapat Axel Honneth. Teori kritis tradisional yang dipelopori oleh Max Horkheimer dan Theodor Adorno banyak menjadikan filsafat Hegel dan Freud sebagai dasar pemikiran mereka. Di dalam tradisi berpikir semacam itu, akal budi (reason) masih menjadi titik tolak untuk membaca dan memahami gerak sejarah. Akal budi dianggap sebagai kemampuan universal manusia untuk bersikap kritis terhadap dinamika masyarakat. Akan tetapi keyakinan besar pada kemampuan akal budi tersebut tampak tidak lagi relevan sekarang ini. Banyak filsuf dan intelektual pada umumnya sekarang ini sudah mulai sadar akan pluralitas budaya, sekaligus pluralitas konsep akal budi itu sendiri. Di dalam wacana postmodernisme, akal budi dianggap merupakan salah satu narasi besar yang mengklaim dirinya universal. Padahal sebenarnya kemampuan dan isi dari akal budi sangatlah tergantung pada kultur yang sifatnya lokal dan partikular.129

128 Pada bab ini saya mengacu pada Honneth, Axel, “The Social Pathology of Reason: On the Intellectual Legacy of Critical Theory”, dalam Cambridge Companion to Critical Theory, Cambridge University Press, Cambridge, 2004, hal. 336. 129 Lihat, ibid, hal. 337.



Ciri khas dari Teori Kritis, yang banyak juga dikenal sebagai sekolah Frankfurt, adalah keyakinannya pada kemampuan rasio manusia untuk menyelesaikan masalah-masalah yang muncul di dalam kehidupan sosial. Namun ciri itu kini sudah banyak ditinggalkan, karena banyak filsuf tidak lagi yakin, bahwa akal budi mampu menyelesaikan semua persoalan kehidupan sosial manusia. Akal budi itu sifatnya partikular dan jamak. Tidak ada akal budi universal yang mampu menjadi titik tolak untuk pembebasan manusia, seperti yang dicita-citakan oleh Adorno dan Horkheimer. Salah satu alasannya adalah, karena akal budi manusia telah dipersempit menjadi melulu soal-soal teknis instrumental, dan telah kehilangan kemampuan kritisnya. Misalnya di dalam sistem masyarakat kapitalis, akal budi lebih banyak digunakan untuk mencari uang dengan berbagai cara, daripada digunakan untuk bersikap kritis guna mencegah dampak-dampak negatif dari kapitalisme itu sendiri. Secara umum dapatlah dikatakan, bahwa kecenderungan para filsuf sekarang ini tidak lagi ingin membuka struktur sosial yang tidak adil, melainkan ingin lebih memahami konsep keadilan yang memang seringkali sifatnya lokal dan partikular. Artinya ketidakadilan itu bukanlah sesuatu yang melulu universal, melainkan memiliki aspek lokal partikular yang harus dipahami terlebih dahulu. Jika proses pencerahan dan pembebasan hendak dilakukan, maka kita harus terlebih dahulu memahami ketidakadilan lokal yang terjadi, dan kemudian berusaha memberikan pengertian pada orang-orang yang tertindas tersebut untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Di dalam salah satu tulisannya, yang memang bertujuan untuk merumuskan proyek teori kritis secara baru, Axel Honneth hendak menantang pendekatan yang hanya berusaha memahami lokalitas dan partikularitas dari suatu gejala ketidakadilan sosial. Ia ingin merumuskan suatu teori kritis yang bersifat universal sekaligus historis. Untuk bisa mewujudkan proyek itu, ia kemudian menempuh tiga langkah. Yang pertama Honneth hendak menegaskan kembali ide-ide dasar teori kritis tradisional, terutama yang terkait dengan kritik terhadap kapitalisme.



Yang kedua ia juga ingin menegaskan, bahwa kapitalisme merupakan akar penyebab dari lemahnya cara berpikir kritis di dalam masyarakat. Dan yang ketiga ia ingin merumuskan suatu praksis politik yang tepat untuk menghadapi problem-problem yang muncul di dalam masyarakat kontemporer. Proyek besar dari Honneth adalah merumuskan suatu bentuk teori kritis yang relevan dan cocok dengan problem-problem yang dihadapi masyarakat sekarang ini. Dapat juga dibilang Honneth, dengan arah dan isi argumentasinya, adalah generasi ketiga teori kritis Frankfurt setelah Horkheimer dan Adorno (generasi pertama), serta Jürgen Habermas (generasi kedua). Pada dasarnya teori kritis adalah suatu gaya berpikir yang merentang ke berbagai bidang. Maka dari itu sangatlah sulit untuk menemukan satu kesatuan utuh di dalamnya. Namun menurut Honneth ada satu kesamaan yang mendasari seluruh pemikir di dalam ranah teori kritis, yakni sikap negatifnya pada realitas faktual. Artinya mayoritas pemikir teori kritis bersikap negatif dan curiga terhadap semua situasi sosial yang terjadi, bahkan yang tampak paling positif sekalipun. Honneth menyebut ini sebagai negativitas sosial (social negativism). Setiap kondisi sosial tidak pernah merupakan suatu situasi yang positif, karena selalu menyembunyikan ketidakadilan sosial. Di tangan Honneth teori kritis tidak lagi hanya berfokus soal keadilan sosial, tetapi juga pada soal keadilan kultural (terkait dengan konsep hidup yang baik), yakni iklim yang menghambar perkembangan kultural suatu masyarakat.130 Menurut Honneth teori kritis selalu melibatkan dua kategori analisis, yakni apa yang patologis (misalnya krisis di dalam masyarakat), dan apa yang tidak patologis (yang seharusnya terjadi). Horkheimer misalnya pernah merumuskan konsep organisasi yang tidak masuk akal (irrational organization). Adorno pernah merumuskan konsep dunia yang teradministrasi (administered world). Marcuse merumuskan konsep masyarakat satu dimensi (one dimensional society) dan konsep toleransi 130 Lihat, ibid, hal. 338.



represif (repressive tolerance). Dan Habermas kemudian merumuskan konsep kolonisasi dunia kehidupan (colonization of lifeworld). Semua konsep itu sebenarnya menggambarkan satu hal, bahwa masyarakat yang ada sekarang ini mengalami berbagai krisis dan masalah sosial. Bentuk krisis dan masalah sosial tersebut bisa diamati di dalam analisis-analisis para pemikir teori kritis, sesuai dengan gayanya masing-masing. Menurut Honneth ada satu hal yang kiranya bisa ditemukan di dalam pemikiran para filsuf tersebut, yakni mereka menjadikan lemahnya sikap kritis dan rasionalitas masyarakat sebagai sebab utama dari krisis sosial yang terjadi. “Mereka”, demikian Honneth, “menjaga relasi internal antara relasi-relasi patologis dan kondisi dari rasionalitas sosial.”131 Konsekuensi logisnya adalah bahwa sikap kritis dari rasionalitas masyarakat (social rationality) haruslah dibangkitkan ulang. Jika teori kritis generasi ketiga, yang berfokus pada masalah-masalah kontemporer hendak dirumuskan, maka konsep rasio kritis harus juga dirumuskan ulang sesuai kondisikondisi sekarang.132 Untuk membangkitkan rasio kritis guna menanggapi problemproblem sosial kontemporer, Honneth lalu menimba kembali ide-ide dari filsafat Hegel, terutama di dalam buku Hegel tentang filsafat politik, yakni Philosophy of Right. Menurut tafsiran Honneth buku Philosophy of Right tulisan Hegel mencoba menganalisis lenyapnya makna dari kehidupan politik pada masa itu. Dan bagi Hegel cara mengembalikan makna adalah dengan membangkitkan rasio obyektif di dalam sejarah. Rasio obyektif itu sudah ada, namun tertutup oleh hiruk pikuk sejarah dan krisis sosial yang terjadi. Konsep rasio di dalam filsafat Hegel, menurut Honneth, sangatlah komprehensif. Hegel berusaha menggabungkan konsep rasio universal yang bergerak di dalam sejarah dalam bentuk peradaban di satu sisi, dan tuntutan etika yang sifatnya lokal dan partikular di sisi lain. Setiap 131 Ibid. 132 Lihat, ibid, hal. 339.



orang diharapkan mampu mempertimbangkan aspek-aspek sejarah yang dominan pada situasi sekarang, dan mulai mengkaitkan aspek-aspek itu dengan nilai-nilai kehidupan yang lebih bersifat lokal dan partikular. Jika hal itu bisa dilakukan, maka mereka akan menjalani hidup yang bermakna. Hegel memberikan tempat bagi bentuk-bentuk pemikiran dominan, sekaligus bentuk-bentuk pemikiran yang sifatnya lokal. Yang terakhir ini disebut Hegel sebagai etika (ethics). Ia juga yakin bahwa semua krisis sosial terjadi, karena ketidakmampuan masyarakat menghidupi dan mengekspresikan nilai-nilai lokal yang mereka punyai. Mereka tidak mampu menegaskan dan mengekspresikan identitas lokal mereka. Honneth juga berpendapat bahwa suatu masyarakat bisa berkembang, jika mereka tetap menjadikan rasionalitas sebagai tolok ukur semua nilai dan keputusan sosial yang ada. Rasionalitas dapat menjadi dasar yang kokoh untuk memandu kehidupan orang-orang yang hidup di dalam masyarakat tersebut. Di dalam masyarakat kapitalis, rasionalitas disempitkan melulu menjadi soal cara untuk memperoleh dan mengembangkan modal. Dalam situasi ini rasionalitas tidak dijadikan titik tolak untuk membuat keputusan sosial, melainkan hanya disempitkan pada cara-cara untuk memperoleh keuntungan. “Setiap anggota masyarakat”, demikian tulis Honneth, “haruslah setuju bahwa untuk menciptakan kehidupan bersama yang berhasil dan tidak terdistorsi hanyalah mungkin jika semua anggota masyarakat mengarahkan diri mereka berdasarkan pada prinsip ataupun institusi yang dapat dimengerti sebagai tujuan rasional dari aktualisasi diri.”133 Krisis sosial terjadi ketika sebuah masyarakat kehilangan pijakannya terhadap rasionalitas untuk membuat keputusan yang terkait dengan kehidupan bersama.

133 Ibid, hal. 340.



Dengan demikian rasionalitas manusia yang bersifat universal dan etika kultural yang bersifat partikular harus bisa memperoleh tempat yang semestinya di dalam kehidupan sosial. Konsep rasionalitas universal memang terdengar abstrak. Akan tetapi konsep itu sebenarnya sangat mengakar di dalam aktivitas manusia, dan bahkan di dalam kemanusiaan itu sendiri. Horkheimer mempunyai dimensi itu di dalam filsafatnya, terutama ketika ia merumuskan pernyataan, bahwa manusia sudah pada dasarnya terarah untuk menguasai alam dengan menggunakan rasionalitasnya. Dan penguasaan itu memang ditujukan untuk mengembangkan kehidupannya. Salah satu pemikir teori kritis terbesar, Karl Marx, pernah menyatakan bahwa krisis sosial terjadi, karena rendahnya standar rasionalitas di dalam masyarakat. Di dalam masyarakat tersebut, rasionalitas disempitkan untuk semata-mata melakukan produksi. Rasio absen dari dimensi-dimensi kehidupan manusia lainnya. Rekan Horkheimer sekaligus salah satu tokoh teori kritis generasi pertama, yakni Herbert Marcuse, pernah mengajukan pendapat, bahwa rasionalitas universal manusia dapat ditemukan di dalam praksis estetika. Estetika adalah alat untuk menciptakan integrasi sosial, terutama integrasi sosial yang didasarkan pada identitas di dalam dunia kehidupan manusia, yang memang belum terstruktur menjadi sistem. Generasi kedua teori kritis, yakni Jürgen Habermas, menterjemahkan konsep rasionalitas universal di dalam filsafat Hegel menjadi proses komunikasi rasional untuk menemukan kesalingpengertian antara kedua belah pihak yang berbeda latar belakang tentang satu masalah sosial yang sama. Rasionalitas universal yang bergerak di dalam sejarah diterjemahkan di dalam proses komunikasi antar manusia yang melibatkan bahasa untuk mencapai kesepakatan rasional. Tokoh-tokoh yang saya sebutkan di atas, Karl Marx, Horkheimer, Adorno, Marcuse, dan Habermas, adalah tokoh-tokoh penting di dalam teori kritis, terutama teori kritis sekolah Frankfurt. Di balik semua teori mereka, ada satu ciri yang kurang lebih sama, yakni keyakinan akan peran rasionalitas universal manusia sebagai alat untuk mengembangkan



kehidupan sosial. Rasionalitas universal tersebut kemudian diterjemahkan dalam bentuk tindakan konkret manusia di dalam masyarakatnya. Kesatuan masyarakat yang adil dan makmur hanya dapat tercipta, jika rasionalitas sungguh mewujud nyata di dalam tindakan orang-orang yang hidup di dalamnya. “Proses menjauh dari dunia ideal yang dapat dicapai dengan aktualisasi sosial dari akal budi universal”, demikian tulis Honneth, “dapat disebut juga sebagai patologi sosial, karena di dalamnya tidak terjadi aktualisasi diri yang didasarkan pada intersubyektivitas.”134 Walaupun sama-sama mengandaikan kekuatan dari rasionalitas universal di dalam mengatasi masalah-masalah yang muncul di dalam kehidupan manusia, namun para filsuf teori kritis memiliki perbedaan di dalam pemahaman mereka soal rasionalitas universal tersebut. Horkheimer misalnya yakin bahwa rasionalitas memungkinkan orang untuk mengembangkan diri seutuhnya, dan mewujudkan semua potensi yang ia miliki semaksimal mungkin. Jika semua warga masyarakat hidup dan bertindak dengan rasionalitas, maka akan tercipta apa yang disebutnya sebagai komunitas orang-orang bebas (community of free human beings). Pandangan Habermas agak berbeda dengan Horkheimer. Horkheimer percaya bahwa rasionalitas bisa menjadi alat sekaligus tujuan. Sementara bagi Habermas rasionalitas hanyalah penjamin suksesnya proses komunikasi untuk mencapai kesepakatan. Rasionalitas sifatnya proseduralistik dan bukan substantif. Namun begitu para pemikir teori kritis kiranya juga yakin bahwa, selain kekuatan rasionalitas manusia, faktor kebebasan juga memainkan peranan penting. Kebebasan yang dimaksud disini adalah kebebasan yang sifatnya kooperatif (cooperative freedom). Ada dua hal yang terkandung di dalam konsep kebebasan ini. Yang pertama adalah bahwa orang memiliki kemampuan dan kemauan untuk memilih cara-cara yang dianggapnya perlu guna mewujudkan potensi-potensi dirinya semaksimal mungkin. Yang kedua kepenuhan potensi diri itu hanya bisa dicapai, jika secara 134 Ibid, hal. 341.



langsung beririsan dengan kebaikan seluruh masyarakat (common good). Kebaikan bersama seluruh masyarakat adalah kebaikan yang telah disepakati secara rasional oleh seluruh warga masyarakat yang memiliki kebebasan individual untuk mengembangkan potensi-potensi dirinya. Isu-isu yang dibuka oleh para pemikir teori kritis Frankfurt kini berlanjut di dalam perbebatan antara liberalisme dan komunitarianisme. Jürgen Habermas yang memang banyak dianggap sebagai tokoh terbesar teori kritis juga terlibat secara aktif di dalam perdebatan itu. Filsafat Habermas memang lebih kental nuansa liberalisme, terutama karena ia sangat menekankan pentingnya otonomi individu.135 Di dalam filsafatnya ia yakin, bahwa kebebasan individu haruslah berada dalam relasi dengan kebaikan bersama. Keduanya tidaklah bisa dipisahkan. Dalam arti ini filsafatnya lebih mendalam dan radikal daripada liberalisme, yang hanya menjadikan kebebasan individu sebagai titik tolak, tanpa ada usaha konkret untuk mengkaitkannya dengan kebaikan bersama. Kebaikan bersama itu biasanya tertanam di dalam keyakinan-keyakinan yang terdapat di dalam kehidupan sosial. Di dalam keyakinan-keyakinan itulah proses komunikasi bisa berlangsung. Dengan demikian proses komunikasi pertama-tama mengandaikan adanya kesamaan titik pijak sekaligus keberadaan individu yang memiliki kebebasan. Komunikasi memang menjadi tema utama filsafat Habermas, terutama komunikasi di dalam proses pembentukan hukum dan tata politik yang sah. Komunikasi mengandaikan konsep subyek yang bersifat intersubyektif. Artinya konsep subyek selalu terkait dengan subyeksubyek lainnya, dan tidak pernah berdiri sendiri. Konsep subyek ini tentunya berbeda dengan konsep subyek di dalam liberalisme. Di dalam liberalisme subyek dipandang sebagai sesuatu yang otonom, bebas, dan tidak terkait dengan subyek-subyek lainnya. Sementara di dalam tradisi

135 Lihat, Reza A.A Wattimena, Melampaui Negara Hukum Klasik, Kanisius, Yogyakarta, 2007.



teori kritis, subyek justru bisa mengembangkan dirinya, sejauh ia terlibat dan menghidupi nilai-nilai sosial yang ada di dalam masyarakatnya. Dalam konteks perdebatan liberalisme dan komunitarianisme, teori kritis memiliki posisi yang tegas, yang sekaligus membedakannya dari kedua aliran tersebut. Yang pertama teori kritis menegaskan pentingya aspek intersubyektif dari manusia. Artinya pengembangan diri yang maksimal hanya dapat terwujud, jika subyek selalu berada di dalam relasi dengan subyek-subyek lainnya. Jika setiap orang memiliki kesadaran akan intersubyektivitas di dalam dirinya, maka akan tercipta kerja sama di level sosial yang sungguh didasari oleh solidaritas. Sebuah komunitas yang didasari atas solidaritas yang otentik dari masing-masing warganya masih merupakan komunitas ideal cita-cita para pemikir teori kritis. Masyarakat atau komunitas semacam itu hanya bisa tercipta di dalam terang rasionalitas yang digunakan untuk menerangi kehidupan bersama. Teori kritis setidaknya memiliki tujuan dasar. Yang pertama adalah membongkar kesesatan-kesesatan berpikir dan bertindak di dalam masyarakat kapitalis, dan yang kedua adalah menawarkan sebuah teori untuk melakukan pembebasan dari kesesatan-kesesatan semacam itu. Dengan demikian teori kritis sungguh ingin menjadi suatu kritik sosial terhadap kapitalisme, sekaligus teori dengan maksud praktis untuk membebaskan masyarakat dari belenggu negatif kapitalisme yang menciptakan banyak krisis sosial. Proses pembebasan atau emansipasi tersebut ditempuh dengan pertama-tama mengacu pada kekuatan akal budi manusia. Rasionalitas dan penggunaannya secara maksimal di dalam kehidupan publik adalah kunci untuk melenyapkan penderitaan. Walaupun percaya pada kekuatan rasionalitas sebagai alat untuk memperbaiki krisis sosial, namun para pemikir teori kritis memiliki ciri khas mereka masing-masing. Mereka juga yakin bahwa bahkan di dalam keadaan krisis paling gawat sekalipun, manusia selalu bisa menggunakan rasionalitasnya. Namun rasionalitas itu tidak hanya mengenai akal, logika,



dan metode ilmiah semata. Seperti yang ditulis oleh Marcuse, dorongan kehidupan juga memilki aspek estetik yang melibatkan rasionalitas. Aspek estetik inilah yang memungkinkan manusia mengambil jarak dari krisis, dan kemudian melampauinya dengan menggunakan kekuatan rasionalitas. Tentu saja pendapat Marcuse tersebut sangatlah kontroversial. Aspek estetik seringkali tidak membawa manusia pada rasionalitas, namun justru menyesatkannya di dalam kebuntuan.136 Habermas mencoba menjawab kebuntuan yang diciptakan Marcuse. Bagi Habermas rasionalitas manusia paling tampak di dalam kemampuannya berkomunikasi melalui bahasa. Bahasa adalah medium rasionalitas, karena memungkinkan manusia berkomunikasi untuk mencapai kesalingpengertian bersama. Namun komunikasi itu harus memenuhi syarat terlebih dahulu, yakni bahwa proses itu dilakukan di dalam suasana kebebasan dan kesetaraan antar subyek. Krisis sosial pun juga bisa diselesaikan dengan menggunakan rasionalitas yang diterjemahkan di dalam komunikasi ini. Rasionalitas di dalam komunikasi ini, yang disebut Habermas sebagai rasionalitas komunikatif, adalah dasar dari semua proses pembebasan di dalam masyarakat yang tercengkeram oleh krisis sosial. Proyek besar teori kritis adalah pembebasan manusia dari belenggu-belenggu dirinya, baik belenggu sosial maupun individual. Dan proyek itu hanya dapat terwujud, menurut Habermas, jika bahasa sebagai alat komunikasi dapat digunakan sebaik-baiknya untuk menciptakan kesepakatan rasional tentang hal-hal yang terkait dengan kehidupan bersama. Dari sini dapatlah disimpulkan tiga konsep yang kiranya menjadi kunci dari seluruh teori kritis, yakni kritik atas kapitalisme, rasionalitas universal, dan cita-cita pembebasan. Menurut Honneth ketiga konsep itu haruslah diterjemahkan untuk membaca kondisi jaman sekarang ini, terutama jika kita secara konsisten mengacu pada dasar-dasar teori kritis

136 Lihat, Honneth, 2004, 356.



klasik, dan tetap mempertahankan semangatnya untuk menganalisis jaman ini.

10. Hermeneutika Hans Georg Gadamer Pada bagian sebelumnya kita sudah melihat inti dasar dari teori kritis yang menjadi salah satu pisau analisis sosial paling tajam di abad kedua puluh. Dan juga seperti sudah disebutkan sebelumnya, di samping beragam bentuk pemikiran yang ada di dalamnya, teori kritis memiliki satu pengandaian dasar, bahwa rasionalitas universal manusia mampu melakukan kritik atas kapitalisme, dan membebaskan manusia dari belenggu-belenggu sosial yang membuat manusia tidak mampu mengembangkan kemampuan dirinya semaksimal mungkin. Pada bagian ini saya ingin memperkenalkan sebuah metode yang sangat berkembang pada awal dan pertengahan abad kedua puluh, yakni hermeneutika, terutama hermeneutika yang dirumuskan oleh Hans Georg Gadamer. Dasar dari hermeneutika Gadamer adalah retorika dan filsafat praktis (etika). Di dalam sejarahnya retorika dan hermeneutika memang selalu terkait. Retorika adalah seni untuk memaparkan pengetahuan. Sementara hermeneutika adalah seni untuk memahami teks. Teks ini memang dalam bentuk tulisan. Akan tetapi teks juga bisa memiliki arti luas, yakni realitas itu sendiri. Dalam arti ini juga dapat dikatakan, bahwa hermeneutika dan retorika saling membutuhkan satu sama lain. Retorika mengandaikan orang memahami teks. Sementara pemahaman tidak boleh berhenti di dalam diri seseorang saja, melainkan juga dapat disampaikan dengan jernih kepada orang lain. Gadamer sendiri berulang kali menegaskan, bahwa hermeneutika dan retorika lebih merupakan seni, dan bukan ilmu pengetahuan. Di dalam beberapa tulisannya, termasuk Truth and Method, yang merupakan karya terbesarnya, Gadamer mencoba untuk melepaskan hermeneutika dari wilayah ilmu pengetahuan, terutama ilmu-ilmu sosial. Untuk melakukan itu ia kemudian kembali membaca tulisan-tulisan Plato. Menurut Gadamer hubungan antara pembaca dengan teks mirip seperti



hubungan dialog antara dua orang yang saling berbicara. Dalam arti ini dialog kehilangan dimensi rigorus saintifiknya, dan menjadi percakapan rasional untuk memahami suatu persoalan. Selain itu Gadamer juga membaca tulisan-tulisan Aristoteles, terutama pada bagian etika. Gadamer menjadikan etika sebagai dasar bagi hermeneutika. Tujuan utamanya tetap yakni melepaskan hermeneutika dari ilmu pengetahuan yang cenderung rigorus, saintifik, dan sifatnya instrumental.

10.1. Pengertian Sebagai Kegiatan Pikiran137 Jika membaca tulisan-tulisan Gadamer langsung, anda akan mendapatkan kesan, bahwa ia senang sekali bermain kreatif dengan bahasa untuk menciptakan pemahaman-pemahaman baru. Menurutnya bahasa tidak pernah bermakna tunggal. Bahasa selalu memiliki beragam makna, dan itu justru harus diakui dan dirayakan. Beragam makna di dalam bahasa menandakan adanya sesuatu yang bersifat esensial, tetap, dan universal di dalam bahasa itu sendiri. Artinya bahasa itu memiliki sesuatu yang sifatnya khas pada dirinya sendiri, dan lepas dari pikiran manusia. Di dalam bahasa terdapat pengertian, dan tugas hermeneutika adalah memahami pengertian tersebut, dan membuka kemungkinan bagi pemahaman-pemahaman baru. Berdasarkan penelitian Jean Grodin, hermeneutika, yakni proses untuk memahami teks, memiliki tiga arti. Hermeneutika selalu terkait dengan pengertian tentang realitas. Yang pertama pengertian selalu terkait dengan proses-proses akal budi (cognitive process). Untuk memahami berarti untuk menyentuhnya dengan akal budi. Untuk memahami berarti untuk melihatnya secara lebih jelas. Untuk memahami berarti untuk menggabungkan pengertian yang bersifat partikular dalam konteks yang lebih luas. Untuk memahami sesuatu 137 Pada bagian ini saya mengacu pada Grondin, Jean, “Gadamer’s Basic Understanding of understanding”, dalam Cambridge Companion to Gadamer, Cambridge University Press, Cambridge, hal. 36.



berarti untuk menggenggamnya dengan kekuatan akal budi. Inilah arti dasar dari hermeneutika sebagai proses untuk memahami sesuatu, atau memahami teks. Konsep pengertian atau pemahaman (understanding) juga bisa diterapkan untuk memahami realitas sosial. Inilah yang kiranya menjadi argumen utama Wilhelm Dilthey, seorang filsuf ilmu-ilmu sosial yang hidup pada abad ke-19. Di dalam proses memahami realitas sosial, setiap bentuk tindakan dan ekspresi seseorang selalu mencerminkan apa yang dihayatinya di dalam kehidupan. Inilah yang disebut Dilthey sebagai pengalaman hidup (life experience). Pengalaman hidup tersebut dapat dipahami melalui proses rekonstruksi ulang yang dilakukan peneliti melalui penelitiannya. Maka dari itu menurut saya, searah dengan penelitian Dilthey, ilmu-ilmu sosial tidak dapat menggunakan metode ilmu-ilmu alam, karena tujuan ilmu-ilmu alam bukanlah memami pengalaman hidup, melainkan mengkalkulasi, mengeksploitasi, dan memprediksi fenomena alamiah. Konsep pengertian sendiri memang sudah tertanam di dalam tradisi hermeneutika sejak lama. Di dalam tradisinya hermeneutika berfokus pada upaya untuk memahami teksteks kuno, terutama teks kitab suci. Konsep hermeneutika Gadamer juga berakar pada tradisi tafsir teks-teks kitab suci ini.

10.2. Pengertian sebagai Kegiatan Praktis Yang kedua hermeneutika selalu terkait dengan pengertian yang bersifat praktis. Dalam arti ini orang yang mengerti bukan hanya ia memahami pengetahuan tertentu, tetapi juga memiliki ketrampilan praktis untuk menerapkannya. Misalnya anda adalah seorang guru yang baik. Artinya anda tidak hanya memahami pengetahuan teoritis tentang cara mengajar dan arti pengajaran itu sendiri, tetapi mampu mengajar dengan baik. Seorang koki yang baik tidak hanya memahami konsep teoritis bumbu, tetapi juga mampu mengolahnya menjadi sebuah masakan yang enak. Untuk memahami sudah selalu mengandaikan mampu menerapkan.



Di dalam hidupnya manusia selalu mencari arah baru untuk dituju. Untuk menemukan arah yang tepat, manusia haruslah memiliki pengertian yang tepat tentang dirinya sendiri. Hanya dengan memahami diri secara tepatlah manusia bisa mewujudkan potensi-potensinya semaksimal mungkin. Di dalam proses merumuskan filsafatnya, Gadamer sangat terpengaruh pada filsafat Heidegger, terutama tentang fenomenologi adanya. Namun Gadamer tidak mengikuti jalur yang telah dirintis oleh Heidegger, yakni proses untuk memahami eksistensi ada melalui manusia. Gadamer memfokuskan hermeneutikanya lebih sebagai bagian dari penelitian ilmu-ilmu manusia. Untuk memahami manusia menurutnya, orang harus peduli dan mampu memaknai manusia tersebut dalam konteksnya. Kepedulian dan pemaknaan itu membuat tidak hanya teks yang menampilkan dirinya, tetapi juga si peneliti yang membentuk makna di dalam teks itu. Dapat juga dikatakan bahwa filsafat Gadamer lebih bersifat terapan, jika dibandingkan dengan filsafat Heidegger. Sifat praktis ini diperoleh Gadamer, ketika ia mulai secara intensif membaca tulisantulisan Aristoteles tentang kebijaksanaan praktis. Kebijaksanaan praktis juga melibatkan pengertian tertentu. Dalam konteks pengertian ini, penerapan adalah sesuatu yang amat penting. Penerapan adalah soal tindakan nyata. Bertindak baik tidak sama dengan memahami hakekat dari yang baik, seperti yang dilakukan Plato di dalam filsafatnya.138

10.3. Pengertian sebagai Kesepakatan Gadamer juga berpendapat bahwa pengertian selalu melibatkan persetujuan. Untuk mengerti berarti juga untuk setuju. Di dalam bahasa Inggris, kalimat yang familiar dapat dijadikan contoh adalah, “we understand each other”. Kata understand bisa berarti mengerti atau memahami, dan juga bisa berarti saling menyetujui atau menyepakati. Memang pengertian itu tidak seratus persen berarti persetujuan, 138 Lihat, ibid, hal. 40.



namun ada hal-hal mendasar yang telah disetujui sebelumnya, ketika orang mengerti. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Grondin, ada dua alasan yang mendorong Gadamer merumuskan pengertian sebagai bagian dari persetujuan. Yang pertama bagi Gadamer, untuk memahami berarti juga untuk merekonstruksi makna dari teks sesuai dengan yang dimaksud penulisnya. Di dalam proses pemahaman itu, pembaca dan penulis teks memiliki kesamaaan pengertian dasar (basic understanding) tentang makna dari teks tersebut. Misalnya saya membaca teks tulisan Immanuel Kant. Ketika membaca saya tidak hanya mencoba memahami secara pasif tulisan Kant, namun pemikiran saya dan pemikiran Kant bertemu dan menghasilkan persetujuan dasar. Pemahaman atau pengertian dasar (basic understanding) itu disebutnya sebagai sache, atau subyek yang menjadi tema pembicaraan. Sache inheren berada di dalam setiap proses pembacaan ataupun proses dialog. Dalam arti ini proses sache tidak lagi berfokus untuk membangkitkan maksud asli dari penulis teks, melainkan berfokus pada tema yang menjadi perdebatan yang seringkali berbeda dengan maksud asli si penulis teks. Di dalam hermeneutika tradisional, tujuan utamanya adalah membangkitkan maksud asli pengarang. Namun di dalam hermeneutika Gadamer, maksud asli pengarang hanyalah hal sekunder. Yang penting adalah apa yang menjadi tema utama pembicaraan. Dan tema utama pembicaraan (subject matter) itu dapat terus berubah. Maksud asli pengarang tetap ada. Namun kita hanya dapat mengerti maksud tersebut, jika kita memiliki beberapa pengertian dasar yang sama dengan pengarang. Namun tetaplah harus diingat, bahwa fokus dari hermeneutika, atau proses menafsirkan, menurut Gadamer, adalah untuk membangkitkan makna tentang tema utama pembicaraan, dan tidak semata-mata hanya untuk menjelaskan maksud asli dari penulis teks.139 139 Lihat, ibid, hal. 41.



Yang kedua menurut Gadamer, setiap bentuk persetujuan selalu melibatkan dialog, baik dialog aktual fisik, ataupun dialog ketika kita membaca satu teks tulisan tertentu. Di sisi lain persetujuan juga selalu melibatkan bahasa dan percakapan. Inilah yang disebut Gadamer sebagai aspek linguistik dari pengertian manusia (linguistic elements of understanding). Dalam arti ini untuk memahami berarti untuk merumuskan sesuatu dengan kata-kata, dan kemudian menyampaikannya dengan kejernihan bahasa. Bagi Gadamer elemen bahasa untuk mencapai pengertian ini sangatlah penting. Bahkan ia berpendapat bahwa pengalaman penafsiran (hermeneutic experience) hanya dapat dicapai di dalam bahasa. Maka perlulah ditegaskan bahwa bagi Gadamer, tindak memahami selalu melibatkan kemampuan untuk mengartikulasikannya di dalam kata-kata dan menyampaikannya di dalam komunikasi. Di dalam proses ini, peran bahasa sangatlah penting. Namun begitu bukankah tidak semua hal dapat disampaikan dengan kata-kata? Seringkali kita mengerti sesuatu, tetapi tidak bisa mengartikulasikannya secara jernih melalui bahasa. Misalnya saya mengerti sebuah simbol. Saya juga bisa memahami keindahan dari suatu karya seni. Saya juga bisa memahami keindahan suatu musik. Tidak hanya itu seringkali perasaan dan bahkan kebenaran itu sendiri tidak dapat dikurung di dalam rumusan kata-kata. Di dalam bukunya yang berjudul The Truth and Method, Gadamer berpendapat bahwa para seniman, termasuk pelukis, pematung, dan pemusik, tidak pernah mampu menyampaikan apa yang mereka pikirkan dan rasakan dengan menggunakan kata-kata. Sebaliknya bagi mereka kata-kata adalah sesuatu yang sifatnya reduktif, karena menyempitkan makna di dalam rumusan yang tidak dinamis. Jika bahasa tidak lagi bermakna, lalu bagaimana proses pengertian atau memahami bisa terjadi? Menurut Gadamer bahasa memiliki arti yang lebih luas daripada sekedar kata-kata. Dalam beberapa kasus tarian dan bahkan diam juga bisa menjadi sebentuk bahasa



yang menyampaikan pesan tertentu. Semua bentuk komunikasi itu bisa membuka ruang untuk penafsiran dari pendengar ataupun penerima pesan. Tentu saja orang bisa salah tangkap, sehingga tercipta kesalahpahaman. Namun hal itu terjadi, karena orang tidak mampu menyampaikan apa yang perlu disampaikan. Maka dari itu di dalam komunikasi, kita perlu memperhatikan juga apa yang tak terkatakan, di samping juga mendengarkan apa yang terkatakan. Dengan demikian walaupun sifatnya terbatas, namun bahasa, dalam arti luas, merupakan alat komunikasi yang universal untuk mencapai pemahaman.

10.4. Konsep Lingkaran Hermeneutis140 Gadamer juga dikenal dengan argumennya soal proses penafsiran, atau yang disebutnya sebagai lingkaran hermeneutis. Argumennya begini setiap bentuk penafsiran selalu mengandaikan pengertian dasar tertentu. Pengertian dasar itu disebut Gadamer sebagai antisipasi. Konsep lingkaran hermeneutis ini sangatlah dipengaruhi oleh filsafat Heidegger. Oleh karena itu konsep lingkaran hermeneutis yang dirumuskan Gadamer sangatlah berbau fenomenologi. Seperti sudah sedikit disinggung, menurut Gadamer, setiap bentuk penafsiran untuk memperoleh pemahaman selalu melibatkan pemahaman dasar lainnya. Artinya untuk memahami kita juga memerlukan pemahaman. Tentu saja dari sudut logika, hal ini tidak bisa diterima. Logika berpikir menolak sebuah penjelasan atas suatu konsep yang terlebih dahulu mengandaikan konsep tersebut, seperti untuk menafsirkan guna memahami sesuatu, orang perlu memiliki pemahaman. Namun jika dilihat secara fenomenologis, seperti yang dilakukan Heidegger dan Gadamer, hal itu mungkin. Dasar dari hermeneutika Gadamer adalah sebuah logika klasik, bahwa orang bisa memahami keseluruhan dengan terlebih dahulu memahami bagian-bagiannya. Hal yang sama dapat diterapkan untuk memahami suatu teks. Maksud utama dari keseluruhan teks dapat 140 Lihat, ibid, hal. 46.



dipahami dengan berpusat pada bagian-bagian teks tersebut, dan sebaliknya bagian-bagian teks itu dapat dipahami dengan memahami keseluruhan teks. Tujuan utama Gadamer adalah untuk memahami teks di dalam kerangka berpikir yang lebih menyeluruh, dan bukan hanya terjebak pada apa yang tertulis atau terkatakan saja. Teks harus ditempatkan dalam konteks yang lebih luas yang tentunya melibatkan teks-teks lainnya. Ini adalah salah satu kriteria untuk mendapatkan pemahaman yang tepat, menurut Gadamer.141 Pengandaian hermeneutika Gadamer adalah, bahwa keseluruhan (whole) dan bagian (parts) selalu koheren. Supaya dapat memperoleh pemahaman yang tepat, si pembaca teks haruslah memahami koherensi antara makna keseluruhan dan makna bagian dari teks tersebut. Setiap bentuk pemahaman juga mengandaikan adanya kesepakatan tentang tema apa yang sebenarnya ingin dipahami. Jika kesepakatan tentang tema apa yang sebenarnya sungguh dipahami ini tidak ada, maka proses penafsiran akan menjadi tidak fokus. Jika sudah begitu maka pemahaman yang tepat pun tidak akan pernah terjadi. Jika dilihat dengan kaca mata ini, maka konsep lingkaran hermeneutis yang dirumuskan Gadamer tetap mengandung unsur logika yang tinggi. Tidak hanya itu proses untuk memahami keseluruhan melalui bagian, dan sebaliknya, adalah proses yang berkelanjutan. Pemahaman adalah sesuatu yang harus terus menerus dicari, dan bukan sesuatu yang sudah ditemukan lalu setelah itu proses selesai. Dalam arti ini Gadamer memiliki perbedaan mendasar dari Heidegger. Obyek penelitian hermeneutik Heidegger adalah eksistensi manusia secara keseluruhan. Sementara obyek penelitian Gadamer lebih merupakan teks literatur. Gaya Heidegger adalah gaya eksistensialisme. Sementara Gadamer lebih berperan sebagai seorang filolog yang hendak memahami suatu teks kuno beserta kompleksitas yang ada di dalamnya. 141 Lihat, ibid, hal. 47.



Bagi Heidegger fokus dari pengertian manusia adalah untuk memahami masa depan dari eksistensi manusia. Sementara bagi Gadamer fokus dari pengertian adalah upaya untuk memahami masa lalu dari teks, serta arti sebenarnya dari teks tersebut. Juga bagi Heidegger proses menafsirkan untuk memahami sesuatu selalu mengandaikan pemahaman yang juga turut serta di dalam proses penafsiran tersebut. Artinya untuk memahami orang perlu untuk memiliki pemahaman dasar terlebih dahulu. Sementara bagi Gadamer konsep lingkaran hermeneutis mencakup pemahaman bagian-bagian melalui keseluruhan, dan sebaliknya. Maksud utuh dari teks dapat dipahami dengan memahami bagian-bagian dari teks tersebut. Dan sebaliknya bagian-bagian dari teks dapat dipahami dengan terlebih dahulu memahami maksud keseluruhan dari teks tersebut. Di sisi lain seperti sudah disinggung sebelumnya, fokus dari proses penafsiran (hermeneutika) dari Heidegger adalah eksistensi manusia. Sementara fokus dari hermeneutika Gadamer adalah teks literatur dalam arti sesungguhnya.142 Dalam arti ini fokus dari hermeneutika Heidegger adalah membentuk manusia yang otentik, yakni membantu menemukan tujuan dasar dari eksistensi manusia. Sementara bagi Gadamer fokus dari hermeneutika adalah menemukan pokok permasalahan yang ingin diungkapkan oleh teks. Namun keduanya sepakat bahwa musuh utama dari proses penafsiran untuk mencapai pemahaman adalah prasangka. Prasangka membuat orang melihat apa yang ingin mereka lihat, yang biasanya negatif, dan menutup mata mereka dari kebenaran itu sendiri, baik kebenaran di level eksistensi manusia, maupun kebenaran yang tersembunyi di dalam teks. Walaupun banyak memiliki perbedaan, namun Gadamer dan Heidegger setidaknya identik dalam satu hal, yakni bahwa proses lingkaran hermeneutik sangatlah penting di dalam pembentukan pemahaman manusia. Dengan demikian kita bisa memastikan, 142 Lihat, ibid, hal. 49.



bahwa walaupun filsafat Heidegger sangat mempengaruhi pemikiran Gadamer, namun keduanya tidaklah sama. Gadamer memang mendapatkan banyak sekali inspirasi dari Heidegger. Namun ia kemudian mengembangkannya serta menerapkannya pada hal yang lebih spesifik, yakni proses penafsiran tekstual di dalam literatur dan filsafat. Inilah inti dari Hermeneutika Gadamer. Ia memberikan kepada kita prinsip-prinsip untuk menafsirkan teks-teks dari masa lalu, maupun teks sebagai realitas yang kita hadapi dan alami seharihari.

11. Metode Dekonstruksi Jacques Derrida Pada bagian sebelumnya kita sudah berusaha memahami konsep hermeneutika di dalam filsafat Hans-Georg Gadamer. Baginya hermeneutika adalah suatu upaya untuk menafsirkan teks untuk mendapatkan pemahaman tertentu. Dua konsep yang kiranya menjadi inti di dalam hermeneutika Gadamer adalah konsep peleburan horisonhorison (fusion of horizons) dan konsep lingkaran hermeneutik. Konsep peleburan horison-horison berisi penjelasan Gadamer mengenai proses penafsiran yang melibatkan isi asli teks sekaligus pikiran maupun perasaan orang yang membacanya. Peleburan kedua hal ini menghasilkan suatu tafsiran yang menciptakan pemahaman yang baru. Pembaca dengan latar belakang historis maupun konseptualnya menyatu dengan teks yang juga memiliki makna dan latar belakangnya sendiri. Sementara konsep lingkaran hermeneutik berisi penjelasan Gadamer tentang proses memahami suatu teks. Baginya makna keseluruhan suatu teks hanya dapat dipahami dengan terlebih dahulu memahami bagian-bagian teks tersebut. Dan sebaliknya bagian-bagian di dalam teks tersebut hanya bisa dipahami dengan memahami keseluruhan maknanya. Pengandaian dari konsep ini adalah, bahwa keseluruhan dan bagian memiliki koherensi. Hal ini berlaku bahkan untuk teks-teks yang sekilas dibaca tampak tidak memiliki koherensi, seperti fragmenfragmen para filsuf Yunani Kuno, ataupun tulisan-tulisan aphoristik di



dalam filsafat Nietzsche. Gadamer menyediakan prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan bagi orang untuk membaca teks, memahaminya, dan kemudian mengembangkannya. Pada bagian ini saya akan memperkenalkan anda dengan metode dekonstruksi yang dirumuskan oleh Jacques Derrida. Sebagai acuan utama saya menyandarkan diri pada tulisan Nicholas Royle yang berjudul Derrida.143 Yang menarik dari pemikiran Derrida adalah kemampuannya untuk menggambarkan sekaligus mengubah pikiran kita tentang dunia, termasuk di dalamnya tentang kematian, kehidupan, budaya, filsafat, sastra, dan tentang politik. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Royle, filsafat Derrida setidaknya berdasarkan pada dua tujuan, yakni menggambarkan dan mengubah cara berpikir pembacanya ataupun pendengarnya. Tentu saja di dalam pandangan umum, tindak mengubah dan menggambarkan realitas adalah dua jenis tindakan yang berbeda. Untuk menggambarkan berarti untuk menyatakan apa adanya realitas yang ditemui, baik itu realitas alam maupun realitas sosial. Untuk menggambarkan berarti orang sudah terlebih dahulu mengandaikan adanya kondisi-kondisi obyektif nyata yang sudah ada sebelumnya (preexisting condition) di dalam realitas. Sebaliknya untuk mengubah orang perlu berpikir dengan cara yang berbeda. Namun bisakah pikiran yang berbeda juga mengubah realitas ke arah yang berbeda? Inilah pertanyaan yang kiranya menjadi titik awal yang pas untuk membahas pemikiran Derrida.144

11.1. Mengubah Teks Mengubah realitas menurut Derrida juga berarti mengubah teks, dan teks itu sendiri adalah realitas kehidupan manusia. Untuk mengubah realitas orang perlu terlebih dahulu mampu memahami 143 Pada bab ini saya mengacu pada Royle, Nicholas, Derrida, Routledge, London, 2003. 144 Lihat, ibid, hal. 21.



dan menggambarkan realitas. Ada keterkaitan yang mendalam antara menggambarkan (to describe) dan mengubah (to transform). Titik berangkat Derrida adalah teori tindakan tutur (speech act theory) yang banyak dikembangkan di dalam teori komunikasi maupun linguistik. Sebelum merumuskan pemikirannya sendiri secara orisinil, ia banyak mendalami teori tindakan tutur, terutama seperti yang dirumuskan oleh J.L Austin. Buku yang menjadi acuan utama Derrida adalah How to do Things with Words, karangan Austin. Menurut Austin setiap tindakan berbicara manusia dapat diartikan dengan dua cara, yakni secara konstatif, atau secara performatif. Pernyataan konstatif adalah pernyataan tentang fakta sebagaimana adanya. Biasanya pernyataan ini sifatnya deskriptif, yakni menggambarkan sesuatu secara langsung tanpa penilaian apapun. Misalnya saya sedang menulis di notebook. Atau anda sedang membaca tulisan ini. Kedua pernyataan itu adalah pernyataan konstatif. Di sisi lain pernyataan performatif adalah pernyataan yang tidak hanya melibatkan kata-kata, tetapi juga perbuatan yang menyertai kata-kata itu. Biasanya pernyataan performatif itu berbentuk janji, ancaman, doa, pengakuan, tantangan, taruhan, deklarasi perang, dan deklarasi. Dengan kata lain pernyataan performatif tidak hanya mau menggambarkan fakta, melainkan juga mau mengubahnya. Menyatakan secara performatif berarti menyatakan sekaligus melakukan sesuatu. Di dalam upacara pernikahan, mempelai pria dan wanita menyatakan bahwa mereka siap untuk selalu setia sampai mati, baik dalam kondisi susah maupun senang. Pernyataan “saya bersedia” tidak hanya berupa pemaparan atas keputusan masing-masing mempelai, tetapi juga pernyataan yang membuahkan tindakan. Dengan kata lain sejak hari itu, kedua mempelai siap untuk saling mencintai secara penuh satu sama lain. Hal yang sama kiranya berlaku untuk pernyataan perang. Sebuah negara yang menyatakan perang terhadap negara lain juga mengandaikan adanya tindakan nyata, seperti memobilisasi



pasukan, mengungsikan warga-warga di daerah berbahaya, dan sebagainya. Tulisan-tulisan Derrida seringkali berupa pembacaan ulang terhadap salah satu teks yang cukup berpengaruh di dalam sejarah filsafat. Di dalam proses pembacaannya, ia tidak hanya menggambarkan apa yang menjadi maksud asli pengarang teks, tetapi juga mengubah pemahaman kita tentang teks tersebut. Akan tetapi janganlah buruk sangka terlebih dahulu. Derrida adalah seorang pembaca yang sangat cermat. Ia sangat sabar meneliti teks-teks yang ia baca. Beberapa teks yang pernah dimaknainya kembali adalah tulisan Plato yang berjudul Phaedrus, tulisan Shakespeare yang berjudul Romeo and Juliet, tulisan Kafka yang berjudul Before the Law, dan bahkan American Declaration of Independence. Sekilas orang akan mengira, bahwa Derrida hanya menggambarkan kembali apa yang sudah tertulis di dalam teks. Namun pendapat ini hanya separuh benar. Ia memang seorang pembaca dan pengajar yang sangat tajam serta detil. Namun ia juga mengubah pemahaman kita tentang teks-teks yang ia baca. Ia menjauh dari tafsiran dominan, dan membuat tafsirannya sendiri atas teks-teks yang ia baca. Di tangan Derrida teks-teks kuno itu berubah menjadi suatu teks yang menyegarkan dan penuh dengan pemahaman-pemahaman baru yang sebelumnya tidak terpikirkan. Dapatlah dikatakan bahwa Derrida tidak hanya melakukan tindakan konstatif, yakni menggambarkan teks, tetapi juga tindakan performatif, yakni mengubah teks tersebut menjadi sesuatu yang baru.145

11.2. Dekonstruksi Dengan demikian Derrida tidak hanya menggambarkan maksud teks-teks yang dibacanya secara persis, tetapi juga mengubahnya menjadi teks yang memiliki makna baru. Dua konsep itu yakni 145 Lihat, ibid, hal. 22.



deskripsi/penggambaran (description) dan transformasi (transformation) dapat digabungkan menjadi dekonstruksi (deconstruction). Sekilas konsep dekonstruksi ini tampak aneh dan kontradiktif. Bagaimana mungkin membaca secara tepat, sekaligus mengembangkan makna teks dengan mengubahnya? Namun itulah yang kiranya dilakukan Derrida. Menurut penelitian Nicholas Royle, Derrida sendiri tidak begitu suka dengan kata tersebut. Konsep itu pun melepaskan diri dari Derrida, dan mulai menjadi sebuah paham, yakni sebuah isme. Sejak saat itu konsep dekonstruksi terus menjadi subyek perdebatan banyak pemikir lintas displin ilmu. Royle bahkan berpendapat bahwa kita dapat memahami filsafat Derrida tanpa menggunakan konsep dekonstruksi sama sekali. Memang hal itu akan sangat sulit, namun bukan berarti tidak mungkin. Di dalam kamus filsafat dan kamus Bahasa Inggris, seperti dikutip oleh Royle, dekonstruksi didefinisikan sebagai suatu tindakan untuk mengubah konstruksi dari suatu benda. Di dalam kamus filsafat, dekonstruksi didefinisikan sebagai suatu strategi analisis yang dikaitkan dengan filsuf Perancis, Jacques Derrida, yang bertujuan untuk membuka pengandaian-pengandaian metafisis yang sebelumnya tidak dipertanyakan, serta membuka kontradiksi internal di dalam filsafat maupun teori-teori bahasa. Royle sendiri mendefinisikan dekonstruksi sebagai sesuatu yang bukan seperti yang dipikirkan orang banyak, pengalaman akan yang tak mungkin (the impossible), cara berpikir untuk menggoyang apa yang sudah dianggap mapan, apa yang membuat identitas dari sesuatu itu juga sekaligus bukan merupakan identitas, dan masa depan yang masih belum ada itu sendiri.146 Tentu saja beragam definisi tersebut pasti membuat orang bingung. Namun Derrida sendiri tidak pernah secara jelas mendefinisikan arti dari konsep dekonstruksi. Ia hanya menerapkannya dan membiarkan pembacanya merumuskan sendiri. 146 Lihat, ibid, hal. 24.



Maka dapatlah dikatakan bahwa hakekat dari dekonstruksi itu sifatnya plural. Tidak ada satu definisi utuh yang bisa menjelaskan makna terdalam dari dekonstruksi. Dekonstruksi juga tidak hanya bergerak di tataran filsafat, melainkan juga menyentuh literatur, politik, seni, arsitektur, dan bahkan ilmu-ilmu alam. Di dalam kajian lintas ilmu, dekonstruksi dapat digambarkan sebagai suatu kekuatan untuk mengubah dan membelah kepastian dan pakem-pakem lama yang tidak lagi dipertanyakan. Di dalam tulisan-tulisannya, Derrida berulang kali menuliskan, bahwa kekuatan untuk mengubah dan membelah itu sebenarnya sudah terkandung di dalam teks itu sendiri. Yang ia lakukan hanyalah mengaktifkan kekuatan itu, dan kemudian menyebarkannya ke keseluruhan teks. Derrida mau melakukan de-sedimentasi terhadap teks, dan membuka kemungkinan-kemungkinan baru yang sebelumnya tidak terpikirkan. Dalam arti ini ia mau menciptakan gempa di dalam teks.

11.3. Dekonstruksi sebagai Gempa Tekstual Di dalam teks dekonstruksi hendak menciptakan gempa dengan terlebih dahulu mengungkapkan kontradiksi di dalam teks tersebut. Hal tersebut hanya bisa dilakukan, bila teks sudah dibaca dan dimengerti secara teliti. Sekecil apapun kontradiksi yang ada, tetap saja ia mampu membuka kemungkinan-kemungkinan baru yang sebelumnya tak terpikirkan bagi keseluruhan teks terkait. Di dalam proses penelusurannya terhadap teks-teks filsafat yang ada, Derrida tidak memperlakukan para filsuf sebelum dia sebagai individu, melainkan sebagai suatu teka teki yang harus dipahami dan kemudian dipecahkan. Inilah yang menyebabkan tulisan-tulisan Derrida terasa bagai labirin yang tak berujung. Ini juga yang menyebabkan sulitnya kita menentukan posisi khas Derrida. Setiap karyanya harus selalu ditempatkan pada situasi dan konteks yang tepat, yang melatarbelakangi teks tersebut. Dekonstruksi



yang diterapkan Derrida tidak mau memberikan pandangan umum mengenai filsafat, melainkan lebih tertarik bermain dengan detil-detil yang sebelumnya tidak diperhatikan. Bahkan satu kalimat kecil yang tampaknya tidak bermakna bisa menjadi titik tolak untuk mengubah makna keseluruhan teks. Derrida lebih jauh menambahkan, bahwa dekonstruksi sudah selalu berada di dalam teks itu sendiri. Dengan kata lain setiap teks sudah selalu memiliki potensi untuk medekonstruksi, atau men-destabilisasi, dirinya sendiri. Dengan dasar ini ia pernah menyatakan, bahwa segala sesuatu di dalam teks selalu bisa dipisah dan dibagi terus menerus. Tidak ada bagian dari teks yang sifatnya stagnan atau permanen. Tidak ada atom di dalam teks. Jika tidak ada kesatuan utuh yang sifatnya permanen di dalam teks, maka teks selalu bisa dibaca dan dimengerti dengan cara yang selalu berbeda. Tidak ada tafsiran dominan yang sifatnya otoritatif. Dengan ini kita bisa memahami beberapa konsep lainnya yang kiranya identik dengan pemikiran Derrida, yakni differance, jejak-jejak, dan iterabilitas. Kata differance adalah kata yang aneh. Kata ini tidak terdapat di dalam kamus bahasa manapun. Kata itu sendiri terdiri dari dua kata yakni untuk membedakan (to differ), dan untuk menunda kepastian (to defer). Kebenaran dan makna di dalam teks harus terus dibedakan dan ditangguhkan kepastiannya.147 Karena kebenaran selalu harus, dan mampu, ditangguhkan dan dibedakan terus menerus, maka kebenaran itu sendiri pada dasarnya tidak ada. Menurut Derrida yang bisa kita temukan dan ketahui adalah jejak-jejak dari kebenaran itu sendiri, dan bukan kebenarna pada dirinya sendiri. Inilah yang dimaksud dengan konsep jejak (trace) di dalam pemikiran Derrida. Sementara iterabilitas adalah kemampuan suatu teks untuk selalu dimaknai terus menerus di dalam konteks yang berbeda-beda. Teks adalah sesuatu yang lentur dan lincah. Teks adalah

147 Lihat, ibid, hal. 26.



tanda yang bisa terus diulang dan dibedakan sesuai dengan horison pembaca dan penafsirnya. Di dalam bukunya tentang Derrida, Royle mengajukan tesis, bahwa dekonstruksi Derrida adalah sebuah gempa tekstual. Tujuan utama dekonstruksi adalah untuk menggoyang, memindahkan, dan mengubah semua konsep bahasa, psikologis, tekstual, estetis, historis, etis, sosial, politik, dan bahkan religiusitas. Di dalam tulisannya tentang Plato, Derrida tidak hanya menggambarkan kembali apa yang ingin disampaikan oleh Plato, tetapi ia juga secara kreatif mengubah dan menafsirkan apa yang dimaksud Plato secara baru dan tak terduga. Hal yang sama juga diterapkannya pada tulisan-tulisan cerita pendek yang ditulis oleh Kafka, dan bahkan skenario drama yang ditulis oleh Shakespeare. Dalam arti ini dekonstruksi lebih dari sekedar metode, terutama jika metode dipahami secara sempit sebagai suatu cara untuk mendekati dan memahami realitas. Dekonstruksi adalah suatu upaya untuk memahami teks, baik teks literatur ataupun realitas itu sendiri, lalu mengubahnya untuk memperoleh makna yang baru. Royle bahkan menegaskan bahwa dekonstruksi itu memiliki sifat mistik untuk mengubah dan menggoyang kepastian makna teks.148 Derrida juga menambahkan bahwa inti dekonstruksi adalah mengaburkan perbedaan-perbedaan yang telah dibuat oleh manusia, terutama perbedaan yang sifatnya oposisi, seperti baik-buruk, adatidak ada, dan sebagainya. Tidak hanya itu dekonstruksi juga mau memahami arti kata ‘dan’ dengan cara berbeda. ‘Dan” fungsinya adalah membedakan sekaligus menambahkan; baik ‘dan’ buruk, Ani dan Dewi, makan nasi dan minum air. Lebih jauh Derrida juga menambahkan, bahwa karena kata ‘dan’ selalu memiliki dua arti, maka tidak ada kepastian di dalamnya. Dengan kata lain arti kata ‘dan’ tidaklah pernah stabil. ‘Dan’ bisa berarti oposisi sekaligus menambahkan. Karena itu oposisi dan menambahkan itu sifatnya saling terkait. Maka oposisi 148 Lihat, ibid.



tidak pernah stabil, karena itu memiliki potensi untuk mengubah, dan menambahkan apa yang sebelumnya tidak ada. Menurut Derrida setiap teks selalu sudah mengandung tegangan dan paradoks di dalamnya. Bahkan dapat juga dikatakan, yang terpenting di dalam teks adalah menemukan apa yang tak terkatakan, dan kemudian mengolahnya menjadi suatu pemaknaan yang baru. Di dalam pembacaannya terhadap tulisan-tulisan Austin, terutama yang terkait dengan linguistik (filsafat bahasa), Derrida menemukan kontradiksi di dalam konsep Austin mengenai pernyataan performatif. Bagi Derrida setiap bentuk pernyataan performatif, yakni pernyataan yang disertai dengan tindakan ataupun penegasan, selalu terkandung kemungkinan untuk tidak menjadi tindakan ataupun penegasan. Misalnya di dalam pernyataan “saya berjanji”, ada kemungkinan janji tersebut tidak akan terwujud, sehingga pernyataan itu tidak akan menjadi pernyataan performatif. Kemungkinan bahwa suatu pernyataan performatif tidak akan pernah menjadi tindakan bukanlah kemungkinan sampingan, melainkan sudah selalu merupakan kontradiksi di dalam pernyataan itu sendiri.149 Dekonstruksi adalah sebuah metode sekaligus melampaui metode itu sendiri. Dekonstruksi tidak hanya menggambarkan teks, baik teks literatur ataupun teks sebagai realitas, apa adanya, melainkan juga mau mengungkap kontradiksi yang terletak di dalam detil teks, sehingga pemaknaan dan arti baru yang sebelumnya tidak terungkapkan bisa tampil dan justru menjadi dominan. Dalam bahasa Derrida dekonstruksi hendak menemukan kontradiksi dan menggetarkan seluruh teks. Menurut Royle di dalam tulisannya tentang Derrida, dekonstruksi adalah sebuah gempa yang menggetarkan seluruh teks, dan mengubahnya ke arah yang sama sekali tidak terduga. Kemungkinan untuk melakukan dekonstruksi sudah selalu terkandung di dalam teks itu sendiri. Kemungkinan yang tampak seperti hantu, 149 Lihat, ibid, hal. 29.



namun sama nyatanya seperti teks itu sendiri. Dekonstruksi itu sendiri adalah teks. Beragam metode berfilsafat para filsuf Barat sejak masa Yunani Kuno sampai era pascamodernisme telah dijabarkan di atas. Tentu saja kita perlu untuk memahami berbagai bentuk metode tersebut secara akurat. Apa yang saya tulis hanya merupakan tafsiran atas teksteks asli maupun komentar dari para filsuf sepanjang sejarah. Untuk memperoleh pemahaman yang akurat, anda perlu untuk membaca teks asli secara langsung. Setelah itu anda perlu untuk menemukan kelemahan maupun kekuatan dari pemikiran filosofis tersebut. Pada titik ini anda, dan juga saya, bisa mengembangkannya lebih jauh. Ada dua cara yakni dengan menggabungkan beberapa metode berfilsafat yang sudah ada sebelumnya, seperti dekonstruksi dan fenomenologi, maupun dengan merumuskan sebuah metode berfilsafat yang sama sekali baru. Dengan cara inilah filsafat bisa berkembang, dan memberikan pencerahan pada kita.***

Daftar Pustaka Ashworth, E.J., “Language and Logic”, dalam The Cambridge Companions to Medieval Philosophy, A.S McGrade (ed), Cambridge University Press, Cambridge, 2006, Brueckner, Anthony, Routledge Encyclopedia of Philosophy Buroker, Jill Vince, Kant’s Critique of Pure Reason, Cambridge University Press, Cambridge, 2006 Cohen, Stewart dalam Routledge Encyclopedia of Philosophy. Frede, Dorothea, “The Questions of Being: Heidegger’s Project”, dalam The Cambridge Companion to Heidegger, Cambridge University Press, Cambridge, 1993.



Grondin, Jean, “Gadamer’s Basic Understanding of understanding”, dalam Cambridge Companion to Gadamer, Cambridge University Press, Cambridge Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern, Gramedia, Jakarta, 2004. Honneth, Axel, “The Social Pathology of Reason: On the Intellectual Legacy of Critical Theory”, dalam Cambridge Companion to Critical Theory, Cambridge University Press, Cambridge, 2004 Krasnoff, Larry, Hegel’s Phenomenology of Spirit, Cambridge University Press, Cambridge, 2008. McKirahan, Richard, Routledge Encyclopedia of Philosophy, Routledge, London, 1998. Pearson, Keith Ansell, A Companion to Nietzsche, Blackwell, MA, 2006. Popkin, Richard H. dalam Routledge Encyclopedia of Philosophy. Royle, Nicholas, Derrida, Routledge, London, 2003. Smith, David Woodruff, Husserl, London, Routledge, 2007. Wattimena, Reza A.A, Filsafat dan Sains, Grasindo, Jakarta, 2008. ------------------------ , “Ingatan Sosial, Trauma, dan Maaf ”, Jurnal Respons, Mikhael Dua (ed), Jakarta, Atma Jaya, 2009. ------------------------ , Melampaui Negara Hukum Klasik, Kanisius, Yogyakarta, 2007. -----------------------, Filsafat Kritis Immanuel Kant, Evolitera, Jakarta, 2010.



Internet: http://plato.stanford.edu/entries/kant-metaphysics/, “How are synthetic a priori propositions possible? http://en.wikipedia.org/wiki/Dialectic#Hegelian_dialectic



INDEKS

A Analisis 6, 20, 53, 63, 72, 73, 120, 160, 165, 171, 200, 219, 220, 222, 229, 244 Antropologi 9, 95, 96 Aphorisme 187, 188, 189, 190, 193, 194 Archē 129, 131 Aristoteles 17, 84, 129, 130, 131, 132, 139, 146, 159, 188, 204, 205, 206, 208, 212, 213, 230, 233 B Being and Time 207, 209, 210, 212, 215, 216 Berger 89 C Cicero 140, 144, 145 Comte 80 critique of pure reason 168 D Definisi 15 Dekonstruksi 239, 243, 244, 245, 247, 248, 249



Derrida 239, 240, 241, 242, 243, 244, 245, 246, 247, 248, 250 Descartes 41, 112, 113, 114, 116, 117, 118, 149, 150, 153, 161, 165, 179, 180, 181, 182, 212, 213 deskripsi 12, 14, 20, 21, 23, 31, 32, 67, 68, 117, 121, 196, 243 Dewey 17, 18, 25, 81 Dialektika 139, 140, 183, 185, 186, 187 Dialog 23, 32, 34, 49, 53, 57, 73, 81, 136, 194, 230, 234 Diogenes 144, 145 E Eksistensi 13, 18, 58, 119, 160, 196, 197, 216, 232, 238, 239 Elenchus 129, 133 Epistemologi 9, 11, 19, 74 F Filsafat Abad Pertengahan 136, 137 filsafat ilmu pengetahuan 6, 29, 32, 131 Filsafat Modern 143, 149, 250 Filsafat spekulatif 20, 43, 45 Fondasionalisme 116, 117 G Gadamer 229, 230, 232, 233, 234, 235, 236, 237, 238, 239, 240, 250 H Habermas 81, 86, 221, 222, 225, 226, 227, 228, 229 Hegel 31, 87, 112, 119, 120, 127, 173, 177, 178, 179, 182, 183, 184, 185, 186, 187, 220, 223, 225, 250 Heidegger 113, 183, 202, 203, 204, 205, 206, 207, 208, 209, 210, 211, 212, 213, 214, 215, 216, 217, 218, 219, 232, 233, 236, 238, 239, 249 Herakleitos 192, 193



Hermeneutika 57, 229, 230, 231, 232, 234, 237, 238, 239 hipotesis 18, 38, 61, 62, 63, 64, 65, 71, 72, 132, 133, 155 Honneth 219, 220, 221, 222, 223, 224, 225, 228, 229, 250 horison 188, 201, 202, 239, 246 Horkheimer 81, 219, 220, 221, 222, 224, 225, 226 Hume 31, 39, 150, 151, 152, 153, 156, 158, 162, 163, 164, 165, 180 Husserl 13, 112, 113, 114, 121, 122, 123, 124, 125, 195, 196, 197, 198, 199, 200, 201, 202, 204, 207, 209, 210, 211, 212, 216, 218, 250 I Ideologi 86 J James 17, 18, 25, 39 K Kant 31, 86, 112, 113, 114, 116, 118, 120, 153, 154, 155, 156, 157, 158, 159, 162, 163, 164, 165, 166, 167, 168, 169, 170, 171, 172, 173, 179, 180, 181, 182, 184, 212, 213, 214, 234, 249, 250 Karl Popper 35, 64 Kierkegaard 13, 14 Komunitarianisme 226, 227 Kontemplasi 17 L Leibniz 156, 158, 159, 161, 165 Levinas 88 Liberalisme 226, 227 Lingkaran Hermeneutis 236 Lingkaran Wina 77, 84 M Marcel 14, 15, 19, 23



Merleau-Ponty 7, 10, 111, 112, 113, 114, 115, 116, 117, 118, 119, 120, 121, 122, 123, 124, 125, 126, 127 Metafisika 78, 83, 87, 88, 91, 92, 93, 131, 150, 154, 155, 162, 168, 169, 170, 171, 172, 206, 213, 214, 215 Metodologi 5, 6, 7, 11, 12, 27, 29, 30, 31, 32, 33, 34, 35, 37, 55, 61, 62, 65, 68, 70, 73, 81, 82, 83, 84, 85, 88, 89, 90, 92, 93, 195 Modernitas 174, 175, 176, 177 N Nietzsche 187, 188, 189, 190, 191, 192, 193, 194, 195, 240, 250 O Ontologi 20, 35, 57, 195, 202, 203, 204, 205, 212, 213, 214, 215, 218, 219 P Plato 17, 31, 80, 86, 205, 230, 233, 242, 246, 247 Positivisme logis 77 Posmodernisme 7, 10, 129 Prinsip 12, 33, 35, 38, 42, 43, 45, 48, 50, 72, 82, 116, 120, 130, 131, 132, 133, 137, 138, 141, 161, 163, 164, 169, 171, 179, 224, 239, 240 R Realitas 32, 39, 41, 52, 86, 111, 112, 130, 131, 132, 133, 136, 139, 142, 150, 151, 153, 167, 173, 174, 177, 178, 180, 184, 185, 186, 187, 188, 189, 198, 202, 203, 204, 205, 206, 207, 208, 209, 213, 214, 215, 218, 219, 222, 230, 231, 239, 240, 241, 247, 248 Reduksi 112, 113, 122, 123, 124, 125 Rekonstruksi rasional 21 S Schopenhauer 193 Skeptik 146, 147, 150, 153



Skeptisisme 143, 144, 145, 146, 147, 148, 149, 150, 151, 152, 153, 155, 162, 180 Soedjatmoko 88, 94 Sokrates 31, 129, 130, 132, 134, 135, 136, 192, 202 Subyektivitas 14, 23, 78, 79, 84, 92, 93, 120, 179, 180, 181, 182, 208, 209, 211 T Teori 45, 61, 62, 74, 93, 218, 219, 220, 228 Teori kritis 219, 221, 222, 224, 225, 226, 227, 228, 229 Thomas Kuhn 35, 84 Transendental 87, 90, 92, 93, 112, 113, 116, 121, 122, 123, 124, 156, 198, 210, 211 V Variabel 58, 71 W Whitehead 9, 22, 25, 37, 38, 39, 40, 41, 42, 43, 44, 45, 47, 48, 49, 50, 51, 52, 53, 54, 81 Wittgenstein 31, 77, 82, 83, 84, 94 Y Yunani Kuno 7, 10, 129, 130, 131, 133, 136, 139, 146, 190, 192, 204, 205, 240, 249



BIODATA PENULIS

1. Anton Bakker Lahir di Amsterdam, 1931. Ia mengunjungi Indonesia pada tahun 1951, dan menyempatkan diri belajar bahasa dan kebudayaan Indonesia dengan fokus utama budaya Jawa. Selain itu Anton Bakker mendalami ilmu filsafat dan teologi di Yogyakarta sampai tahun 1964. Program doktor bidang filsafat ditempuh Anton Bakker pada Universitas Katolik Leuven, Belgia dan Sekolah Tinggi Filsafat Berchmanium, Nijmegen, Nederland. Pada tahun 1967, ia meraih gelar doktornya dengan disertasi yang mengangkat persoalan sekitar relasi metafisik dalam filsafat Thomisme. Setahun kemudian, tepatnya 1968, ia mengajar di jurusan Filsafat dan Sosiologi Pendidikan, IKIP Sanata Dharma, Yogyakarta. Sejak 1972, Anton Bakker mengabdikan dirinya sebagai dosen filsafat pada Fakultas Filsafat Unversitas Gadjah Mada Yogyakarta, dan menghasilkan banyak karya tulis, baik berupa diktat perkuliahan dalam berbagai cabang filsafat, maupun artikel-artikel ilmiah bidang filsafat manusia. Dua karya Anton Bakker yang terkait langsung dengan metodologi penelitian bidang filsafat adalah buku berjudul; Metode-Metode Filsafat (1984) dan Metodologi Penelitian Filsafat (1990) yang ditulis bersama Achmad Charris Zubair.



2. J. Sudarminta Dalam periode 1998-2007, J. Sudarminta adalah Ketua STF Driyarkara, Jakarta. Ia meraih gelar doktor dalam bidang filsafat di Fordham University, New York, Amerika Serikat dengan disertasi berjudul “Toward An Integrative View of Science and Value; A Study of Whitehead’s Philosophy of Organism As An Integral Worldview”. Ia menulis banyak makalah seminar dan diterbitkan dalam beberapa majalah. Ia juga menyumbangkan tulisan dalam buku Manusia Multi Dimensional (editor; Sastrapratedja, 1985) dan Pemuda dan Perkembangan Iptek dalam Perspektif Agama (editor; Musa Asy’arie, dkk., 1989). Karya tulis hasil terjemahannya terpublikasi melalui buku-buku antara lain; Ilmu Pengetahuan dan Kitab Suci (terjemahan karya Sean P. Kealy, 1994), Menuju Keselamatan Jasmani dan Rohani (terjemahan karya Louis Hughes, 1994), dan Kajian Tentang Manusia (terjemahan karya Michael Polanyi, 2001). Buku karya tulisnya sendiri, antara lain; Filsafat Proses: Sebuah Pengantar Sistematik Filsafat Alfred North Whitehead (1991) dan Epistemologi Dasar: Pengantar Filsafat Pengetahuan (2002). Buku hasil karya editingnya bersama Th. Hidya Tjaya, Sj.; Menggagas Manusia Sebagai Penafsir (2005), serta buku hasil karya editingnya sendiri; Dunia, Manusia, dan Tuhan (2005).

3. M. Amin Abdullah Selama dua periode (2002-2005 dan 2006-2010), ia menjabat sebagai Rektor Institut Agama Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, Yogyakarta. M. Amin Abdullah yang lahir pada 28 Juli 1953 di Margomulyo, Tayu, Pati, Jawa Tengah ini menyelesaikan Program Pendidikan Sarjana Muda (Bakalaureat) di Institut Pendidikan Darussalam (IPD) Pesantren Gontor (1977) dan Program Sarjana (1982) di Fakultas Ushuluddin, Jurusan Perbandingan Agama, IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Pada tahun 1985, ia mulai melanjutkan studinya pada program doktor bidang Filsafat Islam di Department of Philosophy, Faculty of Art and Sciences, Middle East Technical University (METU), Ankara, Turki dan selesai pada tahun 1990 dengan disertasi berjudul; The Idea of University of



Ethical Norms in Ghazali and Kant. Selama setahun (1997-1998), ia mengikuti program Post-Doctoral di McGill University, Kanada. Selain disertasinya diterbitkan di Turki 1992, karya-karya ilmiah M. Amin Abdullah juga telah diterbitkan di Indonesia, antara lain; Falsafah Kalam di Era Postmodernisme (1995); Studi Agama: Normativitas atau Historisitas (1996); Dinamika Islam Kultural: Pemetaan atas Wacana Keislaman Kontemporer, (2000); Antara al-Ghazali dan Kant: Filsafat Etika Islam (2002); dan Pendidikan Agama Era Multikultural Multireligius (2005). Karya hasil terjemahannya yang telah diterbitkan antara lain; Agama dan Akal Pikiran: Naluri Rasa Takut dan Keadaan Jiwa Manusiawi (1985); dan Pengantar Filsafat Islam: Abad Pertengahan (1989).

4. M. Mukhtasar Syamsuddin Lahir di tanah Luwu, Palopo, Sulawesi Selatan, 2 Februari 1968. Ia bersekolah di Pesantren IMMIM Makassar, Sulawesi Selatan (19811987), lalu pada tahun 1987 ia beranjak ke Yogyakarta untuk mengikuti kuliah program sarjana di IAIN Sunan Kalijaga dan Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Gelar sarjana (Doktorandus) diperoleh dari Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada (1992). Pada awal tahun 2011, karyanya berjudul “Teologi Pembebasan dalam Konteks Pluralitas Agama di Asia”, sebuah buku yang diangkat dari tesis program magister filsafat, Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada (2000) diterbitkan. Program doktor dalam bidang Comparative Philosophy ditempuhnya sejak tahun 2001 dan meraih gelar Ph.D of Arts dari Department of Philosophy, School of Humanities, Hankuk University of Foreign Studies, Korea Selatan pada tahun 2006 dengan disertasi berjudul; Merleau-Ponty’s Solution to the Mind-Body Problem and its Philosophical Implications in Toegye’s Concept of Self-Cultivation. Sebagai kontributor, karya-karyanya termuat dalam beberapa antologi, antara lain; Pendidikan di Korea (Peluang dan Tantangan Penerapannya di Indonesia) dalam buku berjudul “Dua Dunia; Pengalaman Lintas-Budaya Mahasiswa Indonesia di Korea” (2006); Menakar Etos Kerja Orang BugisMakassar menurut Tradisi Bangsa Jepang dalam buku berjudul “Apropriasi



Embrio Sulawesi Selatan di Yogyakarta, Masyarakat Sulawesi Selatan” (2010). Kini, M. Mukhtasar Syamsuddin menjabat sebagai Dekan Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada (periode 2008-2012).

5. P. Hardono Hadi Dilahirkan di Klaten, Jawa Tengah, pada 19 Juni 1952. Ia memperoleh ijazah Sarjana Muda Filsafat pada tahun 1974 dan menyandang gelar sarjana (Doktorandus) bidang teologi sejak tahun 1978, keduanya dari IKIP Sanata Dharma Yogyakarta. Pada tahun 1982, ia melanjutkan pendidikan untuk mempelajari filsafat di “Graduate School of Arts and Sciences”, Fordham University, New York, Amerika Serikat. Gelar Master diterimanya pada tahun 1986 dan gelar Doktor pada tahun 1989. Saat ini, P. Hardono Hadi mengajar filsafat di beberapa perguruan tinggi di Yogyakarta, antara lain di Fakultas Teologi, Universitas Sanata Dharma, Seminari St. Paulus, dan Program Pascasarjana, Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada. Karya-karyanya yang telah diterbitkan, antara lain; Epistemologi (Filsafat Pengetahuan) (1994) dan Hakikat & Muatan Filsafat Pancasila (1994). Ia menyumbangkan tulisannya dalam buku; Kepemimpinan Religius Masa Kini (Peny.; Achmad Maulani dan Amiddanal Khusna) (2007) dan buku karya bersamanya dengan Simon Danes, Simon & Christoper Danes; Masalah-masalah Moral Sosial Aktual dalam Perspektif Iman Kristen (2007).

6. Reza Alexander Antonius Wattimena Lahir 22 Juli 1983. Kini bekerja menjadi dosen dan Sekretaris Fakultas di Fakultas Filsafat Universitas Katolik Widya Mandala, Surabaya, redaktur Media Budaya On Line untuk Kolom Filsafat www. dapunta.com, anggota Komunitas Diskusi Lintas Ilmu COGITO (dalam kerja sama dengan Universitas Airlangga) di UNIKA Widya Mandala, Surabaya, dan anggota komunitas System Thinking di universitas yang sama. Ia adalah alumnus program Sarjana dan Magister Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta. Telah menulis beberapa buku yakni Melampaui Negara Hukum Klasik (2007), Filsafat dan Sains



(2008), Filsafat Kritis Immanuel Kant (2010), Bangsa Pengumbar Hasrat (2010), Menebar Garam di Atas Pelangi (artikel dalam buku, 2010), Ruang Publik (artikel dalam buku, 2010), menjadi editor untuk satu buku tentang Filsafat Manusia (Membongkar Rahasia Manusia: Telaah Lintas Peradaban Filsafat Timur dan Filsafat Barat, Kanisius, Yogyakarta, 2010), serta beberapa artikel ilmiah di jurnal ilmiah, maupun artikel filsafat populer di media massa. Kini sedang menulis buku tentang pemikiran Slavoj Žižek terkait dengan konsep manusia dan ideologi. Bidang peminatan adalah Filsafat Politik, Multikulturalisme, dan Filsafat Ilmu Pengetahuan. Dapat dihubungi di [email protected] atau dilihat di Rumah Filsafat http://rezaantonius.wordpress.com/

7. S. Takdir Alisjahbana Lahir di Natal, Tapanuli Selatan, 11 Februari 1908, dan meninggal pada 17 Juli 1994. Semula ia bersekolah di HD Bangkahulu, namun kemudian melanjutkannya ke Kweekschool di Muara Enim dan HBS, Bandung. Ia memperoleh gelar Meester in de rechten (Sarjana Hukum) dari RHS ( Recht HogeSchool), Jakarta pada tahun 1942. Selain berpendidikan ilmu hukum, S. Takdir Alisjahbana juga mendalami ilmu bahasa umum, kebudayaan Asia, dan filsafat. Peranannya dalam pengembangan sastra, budaya, dan bahasa sangat besar. Di bidang sastra, ia telah menghasilkan banyak karya tulis, antara lain; Tak Putus Dirundung Malang (1929), Dian Tak Kunjung Padam (1932), Layar Terkembang (1936), Anak Perawan di Sarang Penyamun (1941), Grotta Azzura (1970), Tebaran Mega, Kalah dan Menang (1978), Puisi Lama (1941), dan Puisi Baru (1946). Karyanya di bidang bahasa; Tata bahasa Bahasa Indonesia (1936), dan Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia (1957) di bidang sosial dan budaya; Revolusi Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia (1966), dan di bidang filsafat; Pembimbing ke Filsafat (1946). Kedudukan yang pernah dijabat oleh S. Takdir Alisjahbana sebagai berikut; Rektor Universitas Nasional, Jakarta; Ketua Akademi (Kesenian) Jakarta (Taman Ismail Marzuki); Ketua Himpunan Filsafat Indonesia, Jakarta; Ketua International Association for Art and



the Future; Pemimpin Balai Seni Toyabungkah, Bali; Pemimpin Pusat Penerjemahan Nasional, Jakarta; Wakil Ketua Yayasan Memajukan Ilmu dan Kebudayaan (YMIK), Jakarta; Pemimpin Umum Majalah “Ilmu dan Budaya”; Ketua Philosophy and the Future of Humanity.

8. Toeti Heraty Noerhadi Anak pertama dari Prof. DR. Ir. R. Roosseno ini lahir di Bandung, dan sejak usia dini, ia sudah terpukau dengan bacaan-bacaan yang penuh cerita, dari cerita anak-anak sampai buku sejarah. Sejak 1966 ia mulai menulis puisi. Karya puisinya sendiri dibukukan dalam Sajak- sajak 33 (1971). Ia juga menyunting buku; Seserpih Pinang, Sepucuk Sirih;Antologi puisi penyair-penyair wanita Indonesia (1979). Bukunya yang lain; Mimpi dan Potensi (1984), Aku dalam Budaya (dari disertasi doktornya) (1984), dan Bowbaden (karya bersama Marzuki) (1982). Toeti Heraty Noerhadi mencapai sarjana muda kedokteran di Universitas Indonesia, Jakarta. Kemudian ia meneruskan kuliah psikologi dan sempat mengenyam pendidikan di Amsterdam, Belanda. Ia pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta, dan sejak 1974 mengajar filsafat di Universitas Indonesia, Jakarta.

More Documents from "ahmad rizq"