Modul 4 Pbl Klpk 10(1)

  • Uploaded by: Rafli Afriansyah
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Modul 4 Pbl Klpk 10(1) as PDF for free.

More details

  • Words: 14,376
  • Pages: 84
Loading documents preview...
LAPORAN PROBLEM BASED LEARNING BLOK GASTROENTEROHEPATOLOGI

Makassar, 16 Januari 2020

LAPORAN PBL MODUL 4 BUANG AIR BESAR BERDARAH

Tutor : dr. Nur Aisyah dr. Marzelina Karim Oleh : Kelompok 10 B CHAERUNNISA AMIR

110 2018 0127

ANDI AYESHA ANANDA IRWAN

110 2018 0134

ANDRI AS’AD

110 2018 0141

SITTI AULIA RAMADHANI SUMARWAN

110 2018 0155

ATIKA SOLEHA

110 2018 0166

VIOLETA AULIA HAPSARI

110 2018 0179

RAFLI AFRIANSYAH

110 2018 0189

FAHMI SATRIO HIDAYAT

110 2018 0196

MASYITHA SAGENARI UMAR

110 2018 0205

MUKHBITA ALIFIA DANIAL

110 2018 0221

MUHAMMAD FARHAN IRAWAN

110 2018 0237

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA MAKASSAR 2020

1

KATA PENGANTAR Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih dan Maha Penyanyang. Kami panjatkan puji syukur kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, serta inayah-NyA kepada kami sehingga kami bisa menyelesaikan laporan PBL dengan judul “MODUL 4”. Makalah ini sudah kami susun dengan maksimal dan mendapat bantuan dari berbagai pihak sehingga bisa memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan makalah ini. Terlepas dari segala hal tersebut, Kami sadar sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karenanya kami dengan lapang dada menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah ilmiah ini. Akhir kata kami berharap semoga laporan PBL ini bisa memberikan manfaat maupun inspirasi untuk pembaca.

Makassar, 16 Januari 2020

Penyusun

2

SKENARIO 2 Seorang perempuan berusia 45 tahun datang ke praktek dokter umum dengan keluhan susah BAB selama 3 bulan terakhir. Frekuensi BAB 4 hari sekali, sedikitsedikit, perut dirasakan kembung dan begah. Nafsu makan menurun, BB menurun 2 kg dalam 3 bulan terakhir. KATA SULIT : Tidak ada. KATA KUNCI : 1. Perempuan berusia 45 tahun. 2. Keluhan susah BAB selama 3 bulan terakhir 3. Frekuensi BAB 4 hari sekali, sedikit-sedikit. 4. Perut dirasakan kembung dan begah. 5. Nafsu makan menurun. 6. BB menurun 2 kg dalam 3 bulan terakhir. PERTANYAAN : 1. Bagaimana mekanisme defekasi normal? 2. Jelaskan patomekanisme dari gejala-gejala yang terdapat pada skenario! 3. Apa saja langkah-langkah diagnosis terkait skenario? 4. Apa diagnosis differential dari skenario? 5. Apa tata laksana dan pencegahan dari skenario? 6. Perspektif islam terkait skenario!

3

Anatomi Saluran Pencernaan Bagian Bawah 1. Intestinum Tenue 1.1 Duodenum

1.2 Jejenum  Panjang 1,5

±1– m

 Batas

antara duodenum dan jejunum adalah ligamentum treitz yang merupakan pita muskulofibrosa yang berorigo pada perbatasan antara duodenum dan jejunum yang berfungsi sebagai ligamentum suspensorium

4

 Terdapat muara-muara yang berbentuk jonjot yang halus dan disebut

vili

intestinalis

yang

berfungsi

untuk

memperluas

permukaan absorpsi untuk menyerap sari makanan

1.3 Ileum 

Ileum termasuk salah satu bagian dari intestinum tenue (usus halus) yang terletak di bagian dextra cavitas abdomen dan cavitas pelvis dengan panjang ±2-2,5 m. Ileum ininberakhir pada juncture ileocaecalis



Perbedaan jejenum dan ileum:  Lumen jejenum lebih besar daripada ileum  Dinding jejenum lebih tebal daripada ileum  Vascularisasi jejenum lebih banyak  Lipatan dalam jejenum lebih banyak  Tidak ada payer patch dalam jejenum, sedangkan di ileum terdapat payer patch

5



Vascularisasi

 Berasal dari cabang-cabang arteri mesenterica superior dan ileum pada bagian bawah diperdarahi oleh arteri Ileocolica  Vena sesuai dengan cabang-cabang arteri mesenterica dan mengalirkan darahnya ke dalam vena mesenterica superior 

Pembuluh limfe berjalan melalui banyak akhirnya

nodi

mesenterica

sampai

di

dan nodi

mesenterica superior (di sekitar arteri mesenterica superior) 2. Intestinum Crassums 2.1 Caecum  Merupakan kantung tertutup yang menggantung di bawah area katup ileosekal  Menempati 2-3 inchi pertama dari usus besar  Terdapat appendiks yang melekat pada ujung caecum 6

2.2 Appendix  Terletak intraperitonial  Panjang 5-13 cm  Merupakan sisa apeks sekum yang belum diketahui fungsinya pada manusia.  Letak appendix dapat ditentukan pada titik Mc Burney ( Batas antara 1/3 lateral dan 2/3 bagian medial suatu garis yang mengubungkan antara umbilicus dan spina iliaca anterior superior) dan titik Lanz ( batas i/3 bagian kanan dengan 2/3 bagian kiri suatu garis yang menghubungkan antara SIAS kanan dan SIAS kiri ). Dalam keadaan infeksi, titik-titik ini mengalami nyeri tekan.

2.3 Colon Colon dibagi dalam 3 bagian: 

Colon Ascenden Panjangnya sekitar 5 inci (13 cm) dan terletak di kuadran kanan bawah. Colon ascenden membentang ke atas dari caecum sampai permukaan inferior lobus hepatis dextra, lalu colon ascenden membelok ke kiri, membentuk flexura coli

dextra,

dan

melanjutkan

diri

sebagai

colon

tranversarium. Peritonium meliputi bagian depan dan samping

colon

ascenden

dengan

dinding

posterior

abdomen.  Vascularisasi 

Arteri Diperdarahi oleh arteri ileocolica dan arteri colica dextra yang merupakan cabang arteri mesenterica superior



Vena Vena mengikuti arteri yang sesuai dan bermuara ke vena meseterica superior

 Innervasi 7

Saraf

berasal

dari

cabang

saraf

simpatis

dan

parasimpatis (nervus vagus) dari plexus mesetericus superior 

Colon Tranversum Panjang colon tranversum sekitar 15 inci (38cm) dan berjalan

menyilang

abdomen,

menempati

region

umbilicalis. Colon tranversum mulai dari flexura coli dextra di bawah lobus hepatis dextra dan tergantung ke bawah oleh mesocolon tranversum dari pancreas. Kemudian colon tranversum berjalan ke atas sampai flexura coli sinistra di bawah lien. Flexura coli sinistra lebih tinggi daripada flexura coli dextra dan digantung ke diafragma oleh ligamentum

phrenicocolium.

Mesocolon

tranversum,

menggantungkan colon tranversum dari facies anterior pancreas. Mesocolon tranversum dilekatkan pada pinggir superior colon tranversum, dan lapisan posteror omentum majus dilekatkan pada pinggir inferior. Karena mesocolon tranversum sangat panjang, posisi colon tranversarium sangat bervariasi dann kadang mencapai pelvis. 

Vascularisasi 

Arteri 2

/3

bagian

proksimal

colon

tranversum

diperdarahi oleh arteri colica media, cabang arteri mesenterica superior. 1/3 bagian distal colon tranversum diperdarahi oleh arteri colica sinistra, cabang arteri mesenterica inferior. 

Vena Vena mengikuti arteri yang sesuai dan bermuara ke

vena

mesenterica

mesenterica inferior. 

8

Innervasi

superior

dan

vena

2

/3 proksimal colon tranversarium dipersarafi oleh

saraf simpatis dan nervus vagus melalui plexus mesenterica superior, 1/3 distal dipersarafi nervus splanchnici pelvic melalui plexus mesenterica inferior. 

Colon Descenden Panjang colon descenden sekitar 10 inci (25cm) dan terletak di kuadran kiri atas dan bawah. Colon ini berjalan ke bawah dari flexura coli sinistra sampai pinggir pelvis, disini colon tranversum melanjutkan diri menjadi colon sigmoidenum. Peritoneum meliputi permukaan depan dan sisi-sisinya serta menghubungkannya dengan dinding posterior abdomen. 

Vascularisasi 

Arteri Diperdarahi oleh arteri colica sinistra dan arteri sigmoideae

merupakan

cabang

arteri

mesenterica inferior. 

Vena Vena mengikuti arteri yang sesuai dan bermuara ke vena mesenterica inferior.



Innervasi Saraf simpatis dan parasimpatis oleh nervus splanchnici pelvic melalui plexus mesenterica inferior.

2.4 Rectum  Bagian saluran pencernaan dengan panjang 12-13 cm.  Membentang dari kolon sigmoid sampai dengan rektum  Satu inchi terakhir dari rektum disebut kanalis ani dan dilindungi oleh otot sfingter ani eksternus dan internus

9

 Rectum merupakan kelanjutan dari colon sigmoid.  Pada rectum terdapat rectosigmoid junction, dimana menghubungkan rectum dengan colon sigmoid.  Rectum ini terletak retroperitoneal. Arteri yang mensuplai adalah:  Arteri rectal superior merupakan cabang arteri mesenterica inferior.  Arteri rectal medial merupakan cabang arteri illiaca  Arteri rectal inferior merupakan cabang arteri pudendal internal. Histologi Saluran Pencernaan Bagian Bawah a.

Struktur Histologi Umum Saluran Pencernaan Saluran pencernaan umumnya mempunyai sifat struktural tertentu yang terdiri atas 4 lapisan utama yaitu:

1) Lapisan mukosa terdiri atas (1) epitel pembatas; (2) lamina propria yang terdiri dari jaringan penyambung jarang yang kaya akan pembuluh darah kapiler dan limfe dan sel-sel otot polos, kadang-kadang mengandung juga kelenjar-kelenjar dan jaringan limfoid; dan (3) muskularis mukosae. 2) Submukosa terdiri atas jaringan penyambung jarang dengan banyak pembuluh darah dan limfe, pleksus saraf submukosa (juga dinamakan Meissner), dan kelenjar-kelenjar dan/atau jaringan limfoid. 3) Lapisan otot tersusun atas: (1) sel-sel otot polos, berdasarkan susunannya dibedakan menjadi 2 sublapisan menurut arah utama sel-sel otot yaitu sebelah dalam (dekat lumen), umumnya tersusun melingkar (sirkuler); pada sublapisan luar, kebanyakan memanjang (longitudinal). (2) kumpulan saraf yang disebut pleksus mienterik (atau Auerbach), yang terletak antara 2 sublapisan otot. (3) pembuluh darah dan limfe.

10

4) Serosa merupakan lapisan tipis yang terdiri atas (1) jaringan penyambung jarang, kaya akan pembuluh darah dan jaringan adiposa; dan (2) epitel gepeng selapis (mesotel). Fungsi utama epitel mukosa saluran pencernaan adalah: 1) Menyelenggarakan sawar (pembatas), bersifat permeabel selektif antara isi saluran dan jaringan tubuh. 2) Mempermudah transpor dan pencernaan makanan 3) Meningkatkan absorpsi hasil-hasil pencernaan (sari-sari makanan). Sel-sel pada lapisan ini selain menghasilkan mukus juga berperan dalam pencernaan atau absorpsi makanan. b.

Lambung Lambung merupakan segmen saluran pencernaan yang melebar, yang fungsi utamanya adalah menampung makanan yang telah dimakan, mengubahnya menjadi bubur yang liat yang dinamakan kimus (chyme). Permukaan lambung ditandai oleh adanya peninggian atau lipatan yang dinamakan rugae. Invaginasi epitel pembatas lipatan-lipatan tersebut menembus lamina propria, membentuk alur mikroskopik yang dinamakan gastric pits atau foveolae gastricae. Sejumlah kelenjar-kelenjar kecil, yang terletak di dalam lamina propria, bermuara ke dalam dasar gastric pits ini. Epitel pembatas ketiga bagian ini terdiri dari sel-sel toraks yang mensekresi mukus. Lambung secara struktur histologis dapat dibedakan menjadi: kardia, korpus, fundus, dan pylorus.

1) Daerah Kardia Kardia merupakan peralihan antara oesofagus dan lambung. Lamina proprianya mengandung kelenjar-kelenjar kardia turbular simpleks bercabang, bergelung dan sering mempunyai lumen yang besar yang berfungsi mensekresikan mukus. Kelenjar-kelenjar ini strukturnya sama seperti kelenjar kardia bagian terminal oesofagus dan mengandung (dan mungkin sekresi) enzim lisosom. 2)

Korpus dan Fundus Lamina mukosa tersusun atas 6 jenis sel yaitu :

11

a)

Sel-sel mukus istmus terdapat dalam bagian atas kelenjar pada daerah peralihan antara leher dan gastric pit. Sel-sel ini mengsekresi mukus netral yang membatasi dan melindungi permukaan lambung dari asam.

b) Sel parietal (oksintik) terutama terdapat pada bagian setengah atas kelenjar dan tersisip antara sel-sel mukus leher. Sel parietal merupakan sel bulat atau piramidal dengan inti sferis di tengah dan sitoplasma yang jelas eosinofilik. Sel-sel parietal menghasilkan asam klorida (HCl) yang terdapat dalam getah lambung. c)

Sel mukus leher terdapat dalam kelompokkan atau sel-sel tunggal antara sel-sel parietal dalam leher kelenjar gastrik. Sekret sel mukus leher adalah mukus asam yang kaya akan glikosaminoglikans.

d) Chief cells (sel zimogenik) mensintesis dan mengeluarkan protein yang mengandung enzim inaktif pepsinogen. Bila granula pepsinogen dikeluarkanke dalam lingkungan lambung yang asam, enzim diubah menjadi enzim proteolitik yang sangat aktif yang disebut pepsin. e)

Sel-sel argentafin juga dinamakan sel-sel enterokromafin karena afinitasnya terhadap garam kromium serta perak. Sel-sel ini jumlahnya lebih sedikit dan terletak pada dasar kelenjar, terselip antara sel-sel zimogenik. Fungsi mereka sebenarnya masih merupakan spekulasi (belum jelas).

f)

Sel-sel endokrin lain yang dapat digolongkan sebagai sel-sel APUD (amine precursor uptake and decarboxyllation) menghasilkan hormon Gastrin.

3)

Pilorus Pada pilorus terdapat kelenjar bergelung pendek yang mensekresikan enzim lisosim. Diantara sel-sel mukus ke lenjar pilorus terdapat sel-sel gastrin (G) yang berfungsi mengeluarkan hormone gastrin. Gastrin berfungsi merangsang pengeluaran asam lambung oleh kelenjar-kelenjar lambung.

c.

12

Usus Halus

Usus halus relatif panjang – kira-kira 6 m – dan ini memungkinkan kontak yang lama antara makanan dan enzim-enzim pencernaan serta antara hasil-hasil pencernaan dan sel-sel absorptif epitel pembatas. Usus halus terdiri atas 3 segmen: duodenum, jejunum, dan ileum. Membran mukosa usus halus menunjukkan sederetan lipatan permanen yang disebut plika sirkularis atau valvula Kerkringi. Pada membran mukosa terdapat lubang kecil yang merupakan muara kelenjar tubulosa simpleks yang dinamakan kelenjar intestinal (kriptus atau kelenjar Lieberkuhn). Mukosa usus halus dibatasi oleh beberapa jenis sel, yang paling banyak adalah sel epitel toraks (absorptif), sel paneth, dan selsel yang mengsekresi polipeptida endokrin. d. Usus Besar Usus besar terdiri atas membran mukosa tanpa lipatan kecuali pada bagian distalnya (rektum) dan tidak terdapat vili usus. Epitel yang membatasi adalah toraks dan mempunyai daerah kutikula tipis. Fungsi utama usus besar adalah (Eroschenko, 2010) : 1) untuk absorpsi air 2) pembentukan massa feses, 3) pemberian mukus dan pelumasan permukaan mukosa, dengan demikian banyak sel goblet. Lamina propria kaya akan sel-sel limfoid dan nodulus limfatikus. Nodulus sering menyebar ke dalam dan menginvasi submukosa. Pada bagian bebas kolon, lapisan serosa ditandai oleh suatu tonjolan pedunkulosa yang terdiri atas jaringan adiposa – appendices epiploidices (usus buntu). e.

Anus Pada daerah anus, membran mukosa mempunyai sekelompok lipatan longitudinal, collum rectails Morgagni. Sekitar 2 cm di atas lubang anus mukosa usus diganti oleh epitel berlapis gepeng. Pada daerah ini, lamina propria mengandung pleksus vena-vena besar yang bila melebar berlebihan dan mengalami varikosa mengakibatkan hemoroid.

13

Referensi: Eroschenko, V P. 2010. Atlas Histologi di Fiore. Jakarta : EGC. Junquiera, et al. 2007. Histologi Dasar, Teks dan Atlas. Jakarta : EGC.

1. Proses Defekasi Defekasi atau buang air besar merupakan proses pengosongan usus. Pada saat makanan masuk ke lambung, timbul gerakan peristaltik di dalam usus besar yang disebul refleks gastrokolon, Gerakan refleks di usus besar mendorong isi usus besar ke dalam rektum sehingga terjadi peregangan rektum yang memicu refleks defekasi. Secara umum refleks yang membantu defekasi dibedakan menjadi: 1. Refleks Defekasi Intrinsik Defekasi ini dimulai dari terdapatnya zal sisa makanan (feses) didalam rektum sehingga menyebabkan distensi. Pleksus mesentrikus kemudian merangsang geraakan peristaltik dan akhirnya feses sampai di anus. Spincter internal melemas, tetapi spinter eksternal relaksasi secaara volunter. Tekanan dihasilkan oleh otot-otot abdomen. Pada saat ini terjadilah defekasi.

14

2. Refleks Defekasi Parasimpatetis Dimulai

ketika

feses

masuk

ke

rektum.

Hal

ini

menimbulkan rangsangan pada saraf rektum, Rangsangan tersebut kemudian dihantarkan di sepanjang saraf parasimpaletik aferen ke pars sakralis medula spinalis. Pesan aferen dihantarkan sepanjang saraf parasimpatetik aferen mencapai otot. Hal ini menyebabkan spincter anus mengalami relaksasi; otot koln, otot perut, dan diafragma berkontraksi; serta dasar pinggul naik. Pada saat ini terjadilah defekasi. 3. Upaya volunter Selain disebabkan oleh mekanisme refleks, defekasi juga dapat terjadi karena upaya volunter. Pergerakan feses pada upaya volunter terjadi melalui kontraksi otot abdomen dan diafragma. Ketika kedua otot ini berkontraksi, tekanan abdomen meningkat dan olot levator anus berkontraksi. Kontraksi olot levator anus menyebabkan feses bergerak melalui saluran anus dan terjadilah defekasi. Proses pembentukan feses Setiap harinya, sekitar 750 cc chyme masuk ke kolon dari ileum. Di kolon, chyme tersebut mengalami proses absorbsi air, natrium, dan klorida. Absorbsi ini dibantu dengan adanya gerakan peristaltik usus. Dari 750 cc chyme tersebut, sekitar 150-200 cc mengalami proses reabsorbsi. Chyme yang tidak direabsorbsi menjadi bentuk semisolid yang disebut feses (Asmadi, 2008). Selain itu, dalam saluran cerna banyak terdapat bakteri. Bakteri tersebut mengadakan fermentasi zat makanan yang tidak dicerna. Proses fermentasi akan menghasilkan gas yang dikeluarkan melalui anus setiap harinya, yang kita kenal dengan istilah flatus. Misalnya, karbohidrat saat difermentasi akan menjadi hidrogen, karbondioksida, dan gas metan. Apabila terjadi gangguan pencernaan karbohidrat, maka akan ada banyak gas yang terbentuk saat fermentasi.

15

Akibatnya, seseorang akan merasa kembung. Protein, setelah mengalami proses fermentasi oleh bakteri, akan menghasilkan asam amino, indole, statole, dan hydrogen sulfide. Oleh karenannya, apabila terjadi gangguan pencernaan protein, maka flatus dan fesesnya menjadi sangat bau (Asmadi, 2008). Referensi: Rakhman,Arif,dkk. 2014. Buku Panduan Praktek Laboratorium Keterampilan Dasar. Yogyakarta: deepublish.

2. Patomekanisme gejala  Susah BAB/Konstipasi

16

a. Etiologi Penyebab konstipasi pada anak dapat dibagi menjadi organik dan fungsional. Hampir 95% konstipasi pada anak disebabkan kelainan fungsional dan hanya 5% oleh kelainan organik.

Idiopatik atau fungsional

Kurangnya asupan serat, kurangnya minum, kurang aktivitas fisik, stress dan perubahan aktivitas

rutin,

ketersediaan toilet

dan

masalah psikososial. Intestinal

Penyakit Hirschprung, Stenosis ano-rektal, Striktur,

Volvulus,

Pseudo-obstruksi,

penyakit Chagas. Retardasi psikomotor, tidak ada otot perut, Neuromuskuler

distrofi miotonik, Lesi tulang belakang (tumor,

spina

bifida,

diastematomielia)

Amiotonia kongenital. Dehidrasi, Fibrosis kistik, Hipotiroidisme, Metabolik

Hipokalemi,

Asidosis

tubuler

ginjal,

Hiperkalsemia Narkotik, Obat-obatan

17

Vinkristin

Antidepresan,

Psikoaktif,

b. Klasifikasi Konstipasi

Berdasarkan patofisiologi konstipasi: 1. Konstipasi akibat kelainan struktural, terjadi melalui proses obstruksi aliran tinja. 2. Konstipasi fungsional, berhubungan dengan gangguan motilitas kolon atau anorektal. a. Primer: apabila penyebab dasar konstipasi tidak dapat ditentukan. b. Sekunder: apabila penyebab dasar konstipasi dapat ditentukan. Berdasarkan waktu berlangsungnya konstipasi: 1. Akut: apabila kejadian baru berlangsung selama 1-4 minggu 2. Kronis: apabila kejadian telah berlangsung lebih dari 4 minggu c. Patofisiologi

18

Patofisiologi konstipasi Defekasi dimulai dari gerakan peristaltik usus besar yang menghantar feses ke rektum untuk dikeluarkan. Feses masuk dan merenggangkan ampula dari rekum diikuti relaksasi dari sfingter anus interna. Untuk menghindari pengeluaran feses secara spontan, terjadi refleks kontraksi dari sfingter anus eksterna dan kontraksi otot dasar pelvis yang dipersarafi oleh saraf pudendus. Otak menerima rangsangan keinginan untuk buang air besar dan sfingter anus eksterna diperintahkan untuk relaksasi, sehingga rektum mengeluarkan isinya dengan bantuan kontraksi otot dinding perut. Kontraksi ini akan menaikkan tekanan dalam perut, relaksasi sfingter dan otot-otot levator ani. Ketika serat yang dikonsumsi sedikit, kotoran akan menjadi kecil dan keras. Konstipasi akan timbul, dimana dalam proses defekasi terjadi tekanan yang berlebihan dalam usus besar (kolon) keluar dari otot, membentuk kantong kecil yang disebut divertikula. Hemoroid juga bisa sebagai akibat dari tekanan yang berlebihan saat defekasi (Wardlaw, Hampl, and DiSilvestro, 2004). Hampir 50% dari pasien dengan penyakit divertikular atau anorektal, ketika ditanya, menyangkal mengalami konstipasi/sembelit. Namun, hampir semua pasien ini memiliki gejala ketegangan atau jarang defekasi. Patogenesis

dari

konstipasi

bervariasi,

penyebab

multipel

mencakup beberapa faktor yaitu: 1.Diet rendah serat , karena motalitas usus bergantung pada volume isi usus. semakin besar volume akan semakin besar motalitas. 2. Gangguan refleks dan psikogenik. Hal ini termasuk (1) fisura ani yang terasa nyeri dan secara refleks meningkatkan tonus sfingter ani sehingga semakin meningkatnya nyeri; (2) yang disebut anismus (obstruksi pintu bawah panggul), yaitu kontraksi (normalnya relaksasi) dasar pelvis saat rektum terenggang.

19

3. Gangguan transport fungsional, dapat terjadi karena kelainan neurogenik, miogenik, refleks, obat-obatan atau penyebab iskemik (seperti trauma atau arteriorsklerosis arteri mesentrika). 4. Penyebab neurogenik. Tidak adanya sel ganglion di dekat anus karena kelainan kongenital (aganglionosis pada penyakit Hirschsprung) menyebabkan spasme yang menetap dari segmen yang terkena akibat kegagalan relaksasi reseptif dan tidak ada refleks penghambat anorektal (sfingter ani internal gagal membuka saat rektum mengisi). 5. Penyakit miogenik. distrofi otot, sklerosisderma, dermatomiosistis dan lupus eritamatosus sistemik. 6. Obstruksi mekanis di lumen usus (misal, cacing gelang, benda asing, batu empedu). 7. Pada beberapa pasien konstipasi dapat terjadi tanpa ditemukannya penyebabnya. Stress emosi atau psikis sering merupakn faktor memperberat keadaan yang disebut irritable colon. d. Faktor Risiko Beberapa faktor yang bisa menyebabkan seseorang mengalami konstipasi, antara lain: 

Jenis kelamin. Konstipasi lebih sering dialami oleh perempuan daripada pria, terutama pada masa sebelum menstruasi dan masa kehamilan.



Usia. Konstipasi juga lebih sering dialami oleh lansia.



Makan makanan yang rendah serat.



Jarang atau tidak berolahraga sama sekali.



Minum obat-obatan tertentu, termasuk obat penenang, atau obat untuk tekanan darah tinggi.



Memiliki kondisi kesehatan mental, seperti depresi.

 Kembung Kembung (meteorism, tympanities) ialah suatu simtom/gejala yang menunjukkan adanya udara atau gas dalam rongga abdomen atau usus.

20

Distensi abdomen adalah kesan secara inspeksi adanya abdomen lebih besar dari ukuran biasa pada anak. Distensi abdomen mungkin disebabkan oleh adanya masa abdomen atau oleh karena penumpukan cairan atau gas Distensi abdomen pada bayi dan anak biasanya merupakan manifestasi suatu penyakit.Distensi dapat timbul secara akut maupun kronik. Kembung ( meteoristimus ) adalah pembesaran abdomen terjadi karena usus terisi udara, abdomen akan timpanik ( kembung ), tidak teraba masa dan tidak ada gelombang cairan. Gas, dapat memasuki traktus gastrointestinal dari tiga umber yang berbeda: (1) udara yang ditelan; (2) gas yang terbentuk didalam perut sebagai hasil kerja bakteri; (3) gas yang terdifusi dari darah ke dalam traktus gastrointestinal. Kebanyakan gas dalam lambung adalah campuran nitrogen dan oksigen yang berasal dari udara yang ditelan. Pada orang secara umun, kebanyakan gas ini dikeluarkan lewat sendawa. Hanya sejumlah kecil gas yang umumnya muncul dalam usus halus, dan banyak dari gas ini merupakan udara yang berjalan dari lambung masuk ke traktus gastrointesninalis. Dalam usus besar, kebanyakan gas berasal kerja bakteri, termasuk khusunya karbondioksida, metana, dan hydrogen. Ketika metana dan hydrogen bercampur secara tepat dengan oksigen, kadang terbentuk campuran yang benar-benar bias meledak. Makanan tertentu diketahui menyebabkan pengeluaran flatus yang lebih besar melalui anus dibandingkan makanan yan lain; kacangkacangan, kubis, bawang, kembang kol, jagung dan makanan tertentu yang mengiritasi seperti cuka. Beberapa dari mkaanan ini bertindak sebagai medium yang baik untuk banketi pembentuk gas, terutama tipe karbohidrat yang terabsorpsi yang dapat mengalamai fermentasi. Contohnya, kacang-kacangan mengandung karbohidrat tak tercerna yang masuk ke dalam kolok dan merupakan makanan utama bagi bakteri kolon. Tetapi pada keadaan lain, penyeluaran gas yang

21

berlebihan berasal dari usus besar, yang mencetuskan pengeluaras peristaltic cepat gas melalui anus sebelum gas tersebut dapat diabsorpsi. Untuk memahami perut kembung ada 2 hal yang harus diketahui: a. Gejala/bloating: merupakan perasaan (subyektif) perut seperti lebih besar dari normal, jadi merupakan suatu tanda atau gejala ketidaknyamanan, merupakan hal yang lebih ringan dati distention. b. Tanda/distention: merupakan hasil pemeriksaan fisik (obyektif) dimana didapatkan bahwa perut lebih besar dari normal, bias didapatkan dari observasu saat menggunakan baju jadi kesempitan dan lambung jelas lebih besar dari bisanya. Mekanisme dan penyebab perut kembung a. Produksi gas yang berlebihan, biasaknya disebabkan oleh bakteri, melalui 3 mekanisme. Pertama, jumlah gas yang dihasilkan oleh setiap individu tidak sama sebab ada bakteri tertentu yang menghasilkan banyak gas sementara yang lainnya tidak. Kedua, makanan yang sulit dicerna dan diabsorpsi di usus halus menyebabkan banyaknya makanan yang sampai di usus besar sehingga makanan yang harus dicerna bakteri akan bertambah dan gas yang dihasilkan bertambah banyakk. Contohnya adalah pada kelinan intoleransi laktosa, sumbatan pancreas, dan saluran empedu. Ketiga, karena keadaan tertentu bakteri tumbuh dan berkembang di usus halus dimana biasanya seharusya di usus besar. Biasanya

hal

ini

berpotensi

meningkatkan

flatus

(buang

angin/kentut). b. Sumbatan mekanis. Sumbatan dapat terjadi di sepanjang lambung sampai rectum, jika bersifat sementara dapat menyebabkan kembung yang bersifat sementara. Contohnya adalah adanya parut di katub lambng yang dapat menggangu alliran dari ;ambung ke usus. Sesudah makan makanan Bersama udara tertelan, kemudian setelah 1-2 jam lambung mengeluarkan asam dan caira dan

22

bercampur dengan makanan untuk membantu pencernaan. Jika terdapat sumbatan yang tidak komplit makan makanan dan hasil pencernaan dapat masuk ke usu dan dapat mengatasi kembung.. selian itu kondisi feses yang tertalu keras juga dapat menjadi sumbatan yang dapat memperparah kembung. c. Sumbatan fungsional. Yang dimaksud dengan sumbatan fungsional adalah akibat kelemahan yang terjadi pada oto lambung dan usus sehingga gerakan dari saluran cerna tidak baik dan menyebabkan pergerakan makanan menjadi lambat sehingga terjadi kembung. Hal ini bias terjadi pada penyakit gastroparesis, Irretable Bowel Disease (IBS) dan Hirschprung’s. selain itu factor makanan seperti lemak juga akan memperlambat pergerakan makanan, gas, dan cairan ke saluran cerna bawah yang juga berakibat kembung. Serat yang digunakan untuk mengatasi sembelit juga dapat menyebabkan kembung tanpa adanya peningkatan jumlah gas, namun adanya kembung ini disebabkan oleh melambatnya aliran gas ke usus kecil akibat serat. d. Hipersensitifitas saluran cerna. Beberapa orang ada yang memang hipersentitfitas terhadap kembung, mereka merasakan kembung padahal jumlah makanan, gas dan cairan di saluran cerna dalam batas normal, biasanya bila mengonsumsi makanan yang mengandung lemak.  Nafsu makan menurun Nafsu makan diatur oleh proces metabolic seperti metabolisme carbohydrate/protien/serta lipid. Yang mendorong kita untuk merasakan makan adalah sebuah procces komplex dimana yang berperan utama adalah metabolism carbohydrate apabila sudah tidak ada bahan bakunya kita akan merasakan lapar. Selain menyebabkan demam, IL-1 juga bertanggung jawab terhadap gejala lain seperti timbulnya rasa kantuk/tidur, supresi nafsu makan, dan penurunan sintesis albumin serta

23

transferin. Penurunan nafsu makan merupakan akibat dari kerjasama IL-1 dan TNF-α. Keduanya akan meningkatkan ekspresi leptin oleh sel adiposa. Peningkatan leptin dalam sirkulasi menyebabkan negatif feedback ke hipothalamus ventromedial yang berakibat pada penurunan intake makanan. Penyebab nafsu makan menurun a. Nafsu makan menurun pada cuaca panas b. Peregangan saluran pencernaan yang menghambat nafsu makan c. Lambung yang masih terisi makanan menghambat nafsu makan d. Usia. Seiring dengan perkembangan waktu, manusia dapat menyeimbangkan asupan makanan dengan pelepasan energy untuk kebutuhan mendadak dan pertumbuhan sehingga mereka akan tubuh berkembang secara normal.  Berat badan menurun Cachexia pada umunya disebabkan oleh inflamasi kronik, yang dimana pada inflamasi ini dikeluarkan sitokin pro-inflamasi seperti IL1, IL-6, TNFα.Cachexia biasanya disertai dengan sensasi hilangnya nafsu makan (Anorexia). Anorexia diduga dicetuskan oleh IL-1 dan TNFα serta IL-6, bila terjadi inflamasi ketiga sitokin ini akan berinteraksi dengan sel-sel di otak, khususnya di hypothalamus untuk mengeluarkan hormon-hormon tertentu yang meregulasi intake makanan, dimana ada hormon yang meningkatkan nafsu makan (orexigenik, seperti ghrelin) dan adapun juga yang bekerja sebaliknya (anorexigenik, seperti leptin, insulin, dan kolesitokinin). Pada orang cachexia biasanya terjadi peningkatan hormone ghrelin, namun karena kurangnya respon dari hypothalamus mengakibatkan terjadinya resistensi ghrelin, disertai dengan aktivitas hormone anorexigenik yang terus meningkat sehingga berujung pada anorexia. IL-1 meningkatkan konsentrasi triptofan pada plasma yang akan merangsang hypothalamus

24

meningkatkan sekresi serotonin sehingga dapat menekan nafsu makan dan menghasilkan sensasi kenyang pada pasien. TNFα mempunyai berbagai macam fungsi, sitokin ini bersinergi dengan IL-1 yang dimana TNFα mendorong kerja dari IL-1 yang berperan dalam muscle wasting dengan aktivasi jalur nuclear factor kappa B. Selain itu, TNFα menyebabkan peningkatan aktivitas penguraian metabolisme, seperti lipolysis jaringan lemak, proteolysis dari jaringan otot, serta merangsasng gluconeogenesis dari hati. TNFα juga menghambat produksi zat-zat yang dibutuhkan untuk metabolisme tersebut (produksi, lipid, protein, sintesis albumin, dan glikogen). Gluconeogenesis yang dilakukan terus-menerus oleh hati yang dirangsang oleh TNFα akan menambah energy expenditure, dan apabila sintesis energy juga berkurang disaat bersamaan maka penderita akan kekurangan energy untuk beraktivitas di waktu yang akan datang, hal ini menjelaskan mengapa pasien mengeluhkan rasa lesu di skenario. Tidak hanya bersinergi dengan IL-1, TNFα bekerja sama dengan IL-6 untuk menghambat sintesis albumin di hati. IL-6 berperan penting dalam produksi CRP ketika terjadi inflamasi karena penyakit. IL-6 mengaktivasi sautu system di jaringan otot yang disebut Signal Transducers and Activators of Transcription (STAT3). System ini menstimulasi proteolysis di otot. Selama proteolysis terjadi penguraian protein menjadi asam amino, kemudian asam amino akan ditransfer ke hati untuk memproduksi CRP guna melawan inflamasi. Proteolisis inilah yang akan mengakibatkan muscle wasting yang dapat diartikan sebagai berkurangnya massa otot. Berkurangnya massa otot berarti mengurangi massa tubuh yang dapat menjelaskan berkurangnya berat badan pasien pada kasus.

Referensi:

25

Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran: Fisiologi gastrointestinal. Edisi ke-11. Jakarrta: Penerbit Buku kedokteran EGC; 2006. Harrisons Principles of Internal Medicine 17th Ed, 2008. Pathophysiology, the biological basis for Disease in Adults and Children 5th Ed, 2006. Porporato, PE. 2016. Understanding Cachexia as a Cancer Metabolism Syndrome. Journal. Belgia : PEP Oyagi, Tomoyoshi. 2015. Cancer Cachexia, Management, and Treatment. Journal. Richmond : Massey Cancer Center.

26

3. Langkah-langkah diagnosis Anamnesis 1. Tanyakan identitas : nama, umur, alamat, pekerjaan 2. Tanyakan keluhan utama dan riwayat penyakit saat ini : -

onset (sejak kapan) dan durasi (berapa lama) faktor2 yg mengurangi-menambah keluhan

-

beratnya dan bagian/regio apa saja yg berhubungan dgn keluhan

-

gejala lain yang berhubungan

3. Menggali riwayat pasien - Riwayat kebiasaan hidup : makanan & minuman, obat2an, penyakit - Riwayat penyakit dahulu, riwayat penyakit di keluarga. Pemeriksaan fisik



Inspeksi 1. Baringkan pasien dengan posisi supine, dengan sumber cahaya meliputi kaki sampai kepala, atau meliputi abdomen 2. Berdiri di sisi kanan pasien, usahakan pemeriksa dapat melihat abdomen pasien dengan jelas dan tanpa halangan 3. Periksa rambut, konjungtiva, sklera dan kulit 4. Inspeksi kontur abdomen normal atau abnormal 5. Bila tampak distensi abdomen, evaluasi apakah karena obesitas, timpanitis (adanya udara atau gas yg berlebihan), asites, kehamilan, feses dan neoplasma 6. Lihat penampakan abnormal dipermukaaan abdomen seperti : jaringan parut (skar), kongesti vena (hipertensi vena porta, caput medusae) penampakan peristaltik (obstruksi pilorus, obstruksi usus halus-kolon) atau adanya massa abdomen



Auskultasi 1. Penderita diminta rileks dan bernafas normal

27

2. Letakkan membran atau bel stetoskop (bila kurang jelas) di atas midabdomen (umbilikus) atau dibawah umbilikus dan diatas suprabupik 3. Dengarkan peristaltik/bising usus (seperti suara bila perut lapar atau melilit), bila tidak segera terdengar, lanjutkan mendengar selama 5 menit 4. Tentukan normal atau abnormal berdasarkan timbulnya berapa kali permenit 5. Lakukan evaluasi bising usus pada empat kuadran abdomen dengan benar 6. Bising pembuluh darah abnormal yang dapat ditemukan 

Hepatic rub: diatas dan di kanan umbilikus seperti bunyi bergerumuh/gesekan telapak tangan yang kuat



Bruit dari karsinoma pankreas di kiri regio epigastrium dan splenik friction rub di lateral kiri abdomen, seperti aliran yang melewati celah sempit, periodik sesuai kontraksi sistolik

7. Catat hasil auskultasi.



Palpasi 1. Sebelum palpasi, tangan diusahan hangat sesuai suhu ruangan/tubuh 2. Pasien diminta menekuk kedua lutut dan bernapas dengan mulut terbuka (bila pasien tampak tegang dan abdomen mengeras agar terjadi relaksasi abdomen) 3. Lakukan percakapan dengan pasien sambil melakukan palpasi 4. Lakukan palpasi ringan dengan tempatkan telapak tangan di abdomen pelan-pelan, adduksikan jari-jari sambil menekan lembut masuk ke dinding abdomen kira-kira 1 cm (kuku jari jangan sampai menusuk dinding abdomen) Bila nyeri langsung ditemukan saat palpasi, kepala pasien dapat ditinggikan memakai bantal 5. Nilai nyeri tekan atau tidak dengan memperhatikan wajah atau ekspresi pasien

28

6. Lakukan palpasi dalam cara bimanual, menilai hepar dan limpa (normal tidak teraba), dengan langkah yang sama pada palpasi ringan namun menekan lebih dalam (4-5 cm) naik turun 7. Palpasi limpa (metode Schuffner & metode Hacket). Ujung limpa yang teraba di bawah arkus kosta kiri menandakan splenomegaly 

Tangan kanan dimasukkan di belakang margin kosta kiri pada garis midaksillaris. Tangan kiri ditempatkan dibawah toraks dengan jari-jari aduksi dibawah tulang iga.



Pasien diminta inspirasi dalam, tangan kanan masuk lebih dalam di belakang margin kosta dan dinaikkan, sementara tangan kiri menaikkan costovertebra bagian belakang. Lakukan beberapa kali sesuai irama inspirasi sambil menempatkan posisi tangan kanan berganti tempat/arah.

8. Palpasi Hepar : nilai permukaan, tepi, ujung dan nyeri tekan hepar. 

Tangan kanan dengan jari-jari adduksi dimasukkan mulai di regio kuadran kanan bawah dengan permukaan volar tangan menyentuh permukaan abdomen. Tangan kiri ditempatkan dibawah toraks dengan posisi supinasi



Saat inspirasi dalam, tangan kanan digerakkan ke arah superior dan profunda, saat inspirasi akhir tercapai, bersamaan dengan tangan kiri menaikkan area costovertebra kanan. Langkah ini dilakukan sampai dibawah margin tulang rusuk kanan.

8. Metode palpasi Palpasi Limpa 9. Abnormal palpasi : 

Blumberg’s sign (+)/ rebound tenderness: terasa sakit jika ditekan ujung jari perlahan-lahan ke dinding abdomen di area kiri bawah, kemudian secara tibatiba menarik kembali jarijari.



29

Rovsing’s sign (+): terasa sakit jika ditekan di area kiri bawah



Psoas sign (+): terasa sakit jika tungkai bawah difleksikan ke arah perut



Obturator sign (+) : terasa sakit jika tungkai diangkat ke atas dengan lutut ekstensi

10. Jika massa abdomen ditemukan, nilai : lokasi, ukuran, besar, kekenyalan, mobilitas dan pulsasi.



Perkusi 1. Lakukan perkusi pada ke empat kuadran abdomen 2. Lakukan perkusi batas paru-hepar di garis midklavikula kanan, dimulai dari interkostal II ke bawah 3. Bunyi resonan dada menjadi redup ketika mencapai hepar, bila dilanjutkan ke bawah, bunyi redup berubah menjadi timpani bila perkusi di atas kolon 4. Tentukan lokasi dan ukuran hepar.

Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan Penunjang IBS Pemeriksaan penunjang untuk IBS meliputi pemeriksaan darah lengkap, LED,biokimia darah dan pemeriksaan mikrobiologi dengan pemeriksan telur, kista dan parasit pada kotoran. Pemeriksaan lanjutan yang dilakukan untuk menyingkirkan diagnosis diferensial, yaitu: 1. Pemeriksaan darah lengkap; 2. Pemeriksaan biokimia darah; 3. Pemeriksaan hormon tiroid; 4. Sigmoidoskopi; 5. Kolonoskopi.

Pemeriksaan penunjang IBD 1. Pemeriksaan 2. Pemeriksaan 3. Pemeriksaan 4. Pemeriksaan

30

feses darah rutin serologi radiologi

Pemeriksaan penunjang CA Colorecti 1. Biopsi 2. Carsinoembrionik Antigen (CEA screening) 3. Barium enema 4. Endoskopi 5. Kolonoskopi Referensi: Penuntun CSL Fakultas Kedokteran Universitas Muslim Indonesia. 2019. Makassar. Manan, Chudahma & Ari Fahrial Syam. 2008. Irritable Bowel Syndrome (IBS). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. Talley NJ, Abreu MT, Achkar JP, Bernstein CN, Dubinsky MC, Hanauer SB, Kane SV, Sandborn WJ, Ullman TA, Moayyedi P. An Evidence-Based Systemic Review on Medical Therapies for Inflammatory Bowel Disease. Am J Gastroenterol 2011; 106:S2 – S25. Panduan

Penatalaksanaan

Kanker

Kolorektal.

Komite

Penanggulangan Kanker Nasional. Jakarta: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.

31

4. Diagnosis differential  Irritable Bowel Syndrome (IBS) Definsi Irritable bowel syndrome (IBS) adalah salah satu penyakit gastrointenstinal fungsional. Irritable bowel syndrome memberikan gejala berupa adanya nyeri perut, distensi dan gangguan pola defekasi tanpa gangguan organik. Epidemiologi Sejak abad ke 19 IBS diakui sebagai salah satu penyakit yang paling sering dijumpai namun data objektif mengenai prevalensi IBS belum ada, hal ini kemungkinan disebabkan karena IBS bukan merupakan penyakit yang fatal. Prevalensi rata-rata secara keseluruhan di negara maju sebesar 10% atau berkisar antara 9-24%.

Belum ada penelitian statistik jumlah

penderita IBS di Indonesia. Di seluruh bagian dunia, prevalensi penyakit ini diperkirakan sangat bervariasi.  Di Amerika Utara dan Eropa bagian barat, survei penduduk menunjukkan bahwa penderita IBS sebesar 12-22% dari populasi umum atau satu dari lima orang dewasa memiliki gejala IBS, sehingga menjadikan IBS sebagai salah satu gangguan yang paling umum didiagnosa oleh dokter. Sementara prevalensinya di Asia Tenggara lebih jarang yaitu sekitar kurang dari 5%. Perbedaan ini mungkin disebabkan oleh perbedaan metode survey, kriteria yang digunakan ataupun jumlah populasi yang diteliti. IBS lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pada pria (2:1), dan 50% penderita IBS gejalanya dimulai pada usia kurang dari 35 tahun dan 40% dimulai pada usia 35-50 tahun. Tipe konstipasi didapatkan lebih

32

banyak pada wanita, sedang tipe diare lebih banyak pada pria. Walaupun penyakit ini bukan penyakit yang dapat mengancam jiwa, penyakit ini dapat menimbulkan stres yang berat bagi pasien dan perasaan frustrasi bagi dokter yang mengobatinya. Etiologi Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya IBS antara lain gangguan

motilitas,

intoleransi

makanan,

abnormalitas

sensoris,

abnormalitas dari interaksi aksis braingut, hipersensitivitas viseral,dan pasca infeksi usus1 . Adanya IBS predominan diare atau predominan konstipasi menunjukkan bahwa pada IBS terjadi sesuatu perubahan motilitas. Pada IBS tipe diare terjadi peningkatan kontraksi usus dan memendeknya waktu transit kolon dan usus halus. Sedangkan IBS tipe konstipasi terjadipenurunan kontraksi usus dan memanjangnya waktu transit kolon dan usus halus. IBS yang terjadi pasca infeksi dilaporkan hampir pada 1/3 kasus IBS. Penyebab IBS paska infeksi antara lain virus, giardia atau amuba. Faktor-faktor yang dapat mengganggu kerja dari usus adalah sebagai berikut: 1. Faktor psikologis Stress dan emosi dapat secara kuat mempengaruhi kerja kolon. Kolon memiliki banyak saraf yang berhubungan dengan otak. Sebagian kolon dikontol oleh SSP, yang berespon terhadap stress. Sebagai contoh kolon dapat berkontraksi secara cepat atau sebaliknya. 2. Sensitivitas terhadap makanan Gejala IBS dapat ditimbulkan oleh beberapa jenis makanan seperti kafein, coklat, produk-produk susu, makanan berlemak,

33

alkohol, sayursayuranyang dapat memproduksi gas (kol dan brokoli) dan minuman bersoda. 3. Genetik Beberapa penelitian menyatakan bahwa ada kemungkinan IBS diturunkan dalam keluarga dengan perkiraan faktor genetik berperan berkisar antara 0-57%9 . 4. Hormon Gejala IBS sering muncul pada wanita yang sedang menstruasi, mengemukakan bahwa hormon reproduksi estrogen dan progesteron dapat meningkatkan gejala dari IBS10 . 5. Obat obatan konvensional Banyak pasien yang menderita IBS melaporkan bertambah beratnya

gejala

setelah

menggunakan

obatobatan

konvensionalseperti antibiotik, steroid dan obat anti inflamasi. Klasifikasi Menurut kriteria Roma III dan berdasarkan pada karakteristik feses pasien, subklasifikasi IBS dibagi menjadi: 1. IBS predominan diare (IBS-D) : - Feses lunak >25 % dan feses keras <25% dalam satu waktu - Terjadi pada 1/3 kasus - Sering pada pria 2. IBS predominan konstipasi (IBS-C) : - Feses keras >25% dan feses lunak <25% dalam satu waktu - Terjadi pada 1/3 kasus - Sering pada wanita 3. IBS campuran (IBS-M) : - Defekasi berubah-ubah: diare dan konstipasi - 1/3-1/2 dari kasus. Patofisiologi

34

1. Perubahan motilitas usus Dalam 50 tahun terakhir, perubahan pada kontraktilitas kolon dan usus halus telah diketahui pada pasien IBS. Stress psikologis atau fisik dan makanan dapat merubah kontraktilitas kolon. Motilitas abnormal dari usus halus selama puasaditemukan pada pasien IBS. Juga dilaporkan adanya respon kontraksi yang berlebihan pada makanan tinggi lemak. 2. Hipersensitivitas visceral Salah satu penjelasan yang mungkin adalah sensitivitas dari reseptor pada viscus dirubah melalui perekrutan silence nociseptor pada respon terhadap iskemia, distensi, kandungan intraluminal, infeksi, atau faktor psikiatri. Beberapa penulis menyatakan bahwa kewaspadaan yang berlebihan lebih bertanggung jawab dari pada hipersensitivitas visceral murni untuk ambang nyeri yang rendah pada pasien IBS. 3. Faktor psikososial Stress psikologis dapat merubah fungsi motor pada usus halus dan kolon, baik pada orang normal maupun pasien IBS. Sampai 60% pasien pada pusat rujukan memiliki gejala psikiatri seperti somatisasi, depresi, dan cemas. Dan pasien dengan diagnosis IBS lebih sering memiliki gejala ini. 4. Ketidakseimbangan neurotransmitter Lima persen serotonin berlokasi di susunan saraf pusat, 95% di saluran gastrointestinal dalam sel enterokromafin, saraf, sel mast, dan sel otot polos. Serotonin mengakibatkan respon fisiologis sebagai reflek sekresi usus dan peristaltik dan gejala seperti mual, muntah, nyeri perut, dan kembung. 5. Infeksi dan inflamasi Ditemukan adanya bukti yang menunjukkan bahwa beberapa pasien IBS memiliki peningkatan jumlah sel inflamasi pada mukosa kolon dan ileum. Adanya episode enteritis infeksi sebelumnya, faktor genetik, alergi makanan yang tidak terdiagnosis, dan perubahan pada mikroflora bakteri dapat berperanan pada terjadinya proses inflamasi derajat rendah. Inflamasi dikatakan dapat mengganggu reflex gastrointestinal dan

35

mengaktivasi sistem sensori visceral. Kelainan pada interaksi neuroimun dapat

berperanan

pada

perubahan

fisiologi

dan

hipersensitivitas

gastrointestinal yang mendasari IBS. 6. Faktor genetic Data menunjukkan mungkin ada komponen genetik pada IBS meliputi: pengelompokan IBS pada keluarga, frekuensi 2 kali meningkat pada kembar

monozigot

jika

dibandingkan

dengan

dizigot.

Adanya

polimorpisme gen yang mengendalikan down regulation dari inflamasi (seperti IL-10 dsn TGF _1) dan SERT. Faktor genetik sendiri tidak merupakan penyebab, tapi berinteraksi palingdengan faktor lingkungan. Manifestasi Klinik Gejala klinik dari IBS biasanya bervariasi diantaranya nyeri perut, kembung dan rasa tidak nyaman di perut. Gejala lain yang menyertai biasanya perubahan defekasi dapat berupa diare, konstipasi atau diare yang diikuti dengan konstipasi. Diare terjadi dengan karakteristik feses yang lunak dengan volume yang bervariasi. Konstipasi dapat terjadi beberapa hari sampai bulan dengan diselingi diare atau defekasi yang normal. Selain itu pasien juga sering mengeluh perutnya terasa kembung dengan produksi gas yang berlebihan dan melar, feses disertai mucus, keinginan defekasi yang tidak bisa ditahan dan perasaan defekasi tidak sempurna.Gejalanya hilang setelah beberapa bulan dan kemudian kambuh kembali pada beberapa orang, sementara pada yang lain mengalami pemburukkan gejala. Pada sekitar 3-35% pasieng ejala IBS muncul dalam 6 sampai 12 bulan setelah infeksi sistem gastrointestinal. Secara khusus ditemukan sel inflamasi mukosa terutama sel mast di beberapa bagian duodenum dan kolon. Diagnosis

36

Diagnosis

dari

IBS

berdasarkan

atas

kriteria

gejala,

mempertimbangkan demografi pasien (umur, jenis kelamian dan ras) dan menyingkirkan penyakit organik. Melalui anamnesis riwayat secara spesifik menyingkirkan gejala alarm (red flag) seperti penurunan berat badan, perdarahan per rektal, gejala nokturnal, riwayat keluarga dengan kanker, pemakaian antibiotik dan onset gejala setelah umur 50 tahun. Tidak ada tes diagnosis yang khusus, diagnosis ditegakkan secara klinis. Pendekatan klinis ini kemudian dipakai guideline dengan berdasarkan kriteria diagnosis. Saat ini ada beberapa kriteria diagnosis untuk IBS diantaranya kriteria Manning, Rome I, Rome II, dan Rome III. Menurut kriteria Rome III, nyeri perut atau rasa tidak nyaman setidaknya 3 hari per bulan dalam 3 bulan terakhir dihubungkan dengan 2 atau lebih hal berikut : 1. Membaik dengan defekasi; 2. Onset dihubungkan dengan perubahan pada frekuensi kotoran; 3.

Onset

dihubungkan

dengan

perubahan

pada

bentuk

(penampakan) dari kotoran. Kriteria terpenuhi selama 3 bulan terakhir dengan onset gejala setidaknya 6 bulan sebelum diagnosis. Gejala penunjang yang tidak masuk dalam kriteria diagnosis meliputi kelaianan pada frekuensi kotoran (3x/hari), kelainan

bentuk kotoran (kotoran keras

atau kotoran

encer/berair), defekasi strining, urgency, juga perasaan tidak tuntas saat buang air besar, mengeluarkan mukus dan perut kembung. Komplikasi Komplikasi-komplikasi dari penyakit-penyakit fungsional dari saluran pencernaan secara relatif terbatas. Karena gejala-gejala paling sering diprovokasi oleh makanan, pasien-pasien yang merubah diet-diet

37

mereka dan mengurangi pemasukan kalori-kalori mereka mungkin kehilangan berat badan. Selain itu, penyakit IBS sering mengganggu kenyamanan pasien dan aktivitas-aktivitas harian mereka. Gangguan pada aktivitas harian juga dapat menjurus pada persoalan

hubungan antar

pribadi, terutama pada pasangan suami-istri. Penatalaksanaan Penatalaksanaan IBS meliputi modifikasi diet, intervensi psikologi, dan terapi farmakologi. Ketiga bentuk pengobatan ini harus berjalan bersamaan. Dalam memberikan obatobatan mempunyai efek samping dan yang juga akan memperburuk kondisi psikis pasien.Target terapi IBS adalah mengurangi gejala sehingga meningkatkan kualitas hidup pasien. 1. Diet Modifikasi diet terutama meningkatkan konsumsi serat pada IBS predominan konstipasi. Sebaliknya pada pasien IBS dengan predominan diare konsumsi serat dikurangi. Pada IBS tipe konstipasi peningkatan konsumsi serat juga disertai konsumsi air yang meningkat disertai aktivitas olah raga rutin. Selanjutnya menghindari makanan dan minuman yang dicurigai sebagai pencetus, jika menghilang setelah menghindari makanan tersebut coba lagi setelah 3 bulan secara bertahap. 2. Farmakoterapi Obat-obatan

yang

diberikan

untuk

IBS

terutama

untuk

menghilangkan gejala yang timbul antara lain untuk mengatasi nyeri abdomen, mengatasi konstipasi, mengatasi diare dan antiansietas. Obatobatan ini biasanya diberikan secara kombinasi. Untuk mengatasi nyeri abdomen sering digunakan antispasmodik yang memiliki efek kolinergik dan lebih bermanfaat pada nyeri perut setelah makan. Obat-obat yang sudah beredar di Indonesia antara lain mebeverine 3x135 mg, hyocine butylbromide 3x10 mg, chlordiazepoksid 38

5 mg, klidinium 2,5 mg 3x1 tablet dan alverine 3x30 mg.Untuk IBS konstipasi,

tegaserod

suatu

5-HT4

reseptor

antagonis

bekerja

meningkatkan akselerasi usus halus dan meningkatkan sekresi cairan usus. Tegaserod biasanya diberikan dengan dosis 2 x 6 mg selama 10-12 minggu.Untuk IBS tipe diare beberapa obat juga dapat diberikan antara lain loperamid dengan dosis 2-16 mg per hari. Antibiotik jangka pendek direkomendasikan untuk mengatasi kembung pada IBS. Penggunaan antibiotic non absorbent seperti rifaksimin,

mengatasi

sensasi

tidak

nyaman

abdomen,

namun

penggunaannya dapat menyebabkan relaps yang tinggi. Pemberian probiotik juga merupakan salah satu terapi pada IBS, namun mekanisme belum sepenuhnya diketahui. Salah satu hipotesis menyatakan kerapatan epitel intestinal mencegah bakteri masuk kecelah intersel dan melakukan invasi, produksi substansi antimikroba dapat mencegah invasi, perubahan mikroflora intestinal dapat berdampak pada fungsi motorik dan sekretorik intestinal dan menjadi signal epitel intestinal yang berfungsi memodulasi imunitas luminal dan respon inflamasi. Prognosis Penyakit IBS tidak akan meningkatkan mortalitas, gejala-gejala pasien IBS biasanya akan membaik dan hilang setelah 12 bulan pada 50% kasus dan hanya <5% yang akan memburuk dan sisanya dengan gejala yang menetap. Tidak ada perkembangan menjadi keganasan dan penyakit inflamasi. Referensi: Safira, Nur. Irritable bowel syndrome (IBS).2015.Universitas Lampung. Camilleri M. Management of The Irritable Bowel Syndrome. Gastroenterology 2001; 120: 652-68.

39

Mansjoer, A., Suprohaita, Wardhani, W. I., Setiowulan, W. 2002.  Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.  CA Colorektal Definisi Kanker kolorektal adalah keganasan yang berasal dari jaringan usus besar, terdiri dari kolon (bagian terpanjang dari usus besar) dan/atau rektum (bagian kecil terakhir dari usus besar sebelum anus). Epidemiologi Menurut American Cancer Society, kanker kolorektal (KKR) adalah kanker ketiga terbanyak dan merupakan kanker penyebab kematian ketiga terbanyak pada pria dan wanita di Amerika Serikat. 1. Berdasarkan survei GLOBOCAN 2012, insidens KKR di seluruh dunia menempati urutan ketiga (1360 dari 100.000 penduduk [9,7%], keseluruhan laki-laki dan perempuan) dan menduduki peringkat keempat sebagai penyebab kematian (694 dari 100.000 penduduk [8,5%], keseluruhan laki-laki dan perempuan). 2. Di Amerika Serikat sendiri pada tahun 2016, diprediksi akan terdapat 95.270 kasus KKR baru, dan 49.190 kematian yang terjadi akibat KKR. Secara keseluruhan risiko untuk mendapatkan kanker kolorektal adalah 1 dari 20 orang (5%).1 Risiko penyakit cenderung lebih sedikit pada wanita dibandingkan pada pria. Banyak faktor lain yang dapat meningkatkan risiko individual untuk terkena kanker kolorektal. Angka kematian kanker kolorektal telah berkurang sejak 20 tahun terakhir. Ini berhubungan dengan meningkatnya deteksi dini dan kemajuan pada penanganan kanker kolorektal. Faktor Risiko dan Pencegahan 40

Secara umum perkembangan KKR merupakan interaksi antara faktor lingkungan dan faktor genetik. Faktor tidak dapat dimodifikasi: adalah riwayat KKR atau polip adenoma individual dan keluarga dan riwayat individual penyakit kronis inflamatori pada usus. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi: inaktivitas, obesitas, konsumsi tinggi daging merah, merokok dan konsumsi alkohol moderatsering. Sementara aktivitas, diet berserat dan asupan vitamin D10 termasuk dalam faktor protektif. Pencegahan kanker kolorektal dapat dilakukan mulai dari fasilitas kesehatan layanan primer melalui program KIE di populasi/masyarakat dengan menghindari faktor-faktor risiko kanker kolorektal yang dapat di modifikasi dan dengan melakukan skrining atau deteksi dini pada populasi, terutama pada kelompok risiko tinggi. Diagnosis a. Keluhan utama dan pemeriksaan klinis: Perdarahan per-anum disertai peningkatan frekuensi defekasi dan/atau diare selama minimal 6 minggu (semua umur). Perdarahan per-anum tanpa gejala anal (di atas 60 tahun). Peningkatan/penurunan obstipasi atau diare selama minimal 6 minggu (di atas 60 tahun). Massa teraba pada fossa iliaka dekstra (semua umur). Massa intra-luminal di dalam rektum

Tanda-tanda obstruksi mekanik

usus. Setiap pasien dengan anemia defisiensi Fe (Hb <11g% untuk lakilaki atau <10g% untuk perempuan pascamenopause). b. Pemeriksaan colok dubur Pemeriksaan colok dubur dilakukan pada setiap pasien dengan gejala ano-rektal. Pemeriksaan ini bertujuan untuk menetapkan keutuhan 41

sfingter ani dan menetapkan ukuran dan derajat fiksasi tumor pada rektum 1/3 tengah dan distal. Pada pemeriksaan colok dubur ini yang harus dinilai adalah: Keadaan tumor: Ekstensi lesi pada dinding rektum serta letak bagian terendah terhadap cincin anorektal, cervix uteri, bagian atas kelenjar prostat atau ujung os coccygis. Mobilitas tumor: Hal ini sangat penting untuk mengetahui prospek terapi pembedahan.

Ekstensi dan

ukuran tumor dengan menilai batas atas, bawah, dan sirkuler. c. Pemeriksaan penunjang 1. Endoskopi Endoskopi merupakan prosedur diagnostik utama dan dapat dilakukan

dengan

sigmoidoskopi

(>35%

tumor

terletak

di

rektosigmoid) atau dengan kolonoskopi total. 2. Enema barium Dengan kontras ganda Pemeriksaan enema barium yang dipilih adalah dengan kontras ganda. 3. CT colonography (Pneumocolon CT). Modalitas CT yang dapat melakukan CT kolonografi dengan baik adalah modalitas CT scan yang memiliki kemampuan rekonstruksi multiplanar dan 3D volume rendering. Kolonoskopi virtual juga memerlukan software khusus. Penetapan stadium pra-operatif Penetapan stadium pre-operatif harus dilakukan, karena strategi terapi untuk setiap stadium berbeda. Prosedur yang dilakukan untuk penetapan stadium pre-operatif adalah:

42

-

Deteksi perluasan tumor primer dan infiltrasinya;

-

Deteksi kelenjar getah bening regional dan para-aorta;

-

Deteksi metastasis ke hepar dan paru-paru;

-

Deteksi metastasis ke cairan intraperitoneal.

Komplikasi Komplikasi terjadi sehubungan dengan bertambahnya pertumbuhan pada lokasi tumor atau melelui penyebaran metastase yang termasuk :  Perforasi usus besar yang disebabkan peritonitis  Pembentukan abses  Pembentukan fistula pada urinari bladder atau vagina Biasanya tumor menyerang pembuluh darah dan sekitarnya yang menyebabkan pendarahan.Tumor tumbuh kedalam usus besar dan secara berangsur-angsur membantu usus besar dan pada akirnya tidak bisa sama sekali. Perluasan tumor melebihi perut dan mungkin menekan pada organ yang berada disekitanya ( Uterus, urinary bladder,dan ureter ) dan penyebab gejala-gejala tersebut tertutupi oleh kanker.

Penatalaksaanaan Penatalaksanaan kanker kolorektal bersifat multidisiplin. Pilihan dan rekomendasi terapi tergantung pada beberapa faktor Terapi bedah merupakan modalitas utama untuk kanker stadium dini dengan tujuan kuratif. Kemoterapi adalah pilihan pertama pada kanker stadium lanjut dengan tujuan paliatif. Radioterapi merupakan salah satu modalitas utama terapi kanker rektum. Saat ini, terapi biologis (targeted therapy) dengan antibodi monoklonal telah berkembang pesat dan dapat diberikan dalam berbagai situasi klinis, baik sebagai obat tunggal maupun kombinasi dengan modalitas terapi lainnya. Penatalaksanaan kanker kolorektal dibedakan menjadi penatalaksanaan kanker kolon dan kanker rectum.

43

Penatalaksanaan Kanker kolon

Tatalaksana Sistemik 1. Kemoterapi Kemoterapi pada kanker kolorektal dapat dilakukan sebagai terapi ajuvan, neoaduvan atau paliatif. Terapi ajuvan direkomendasikan untuk KKR stadium III dan stadium II yang memiliki risiko tinggi. Yang termasuk risiko tinggi adalah: jumlah KGB yang terambil <12 buah, tumor berdiferensiasi buruk, invasi vaskular atau limfatik atau perineural; tumor dengan obstruksi atau perforasi, dan pT4. Kemoterapi

ajuvan

diberikan

kepada

pasien

dengan

WHO

performance status (PS) 0 atau 1. Selain itu, untuk memantau efek samping, sebelum terapi perlu dilakukan pemeriksaan darah tepi lengkap, uji fungsi hati, uji fungsi ginjal (ureum dan kreatinin), serta elektrolit darah. 2. Terapi biologis (Targeted therapy) a. Bevacizumab 44

b. Cetuximab c. Ziv-Aflibercept 3. Regimen terapi Saat ini, regimen standar kemoterapi baik ajuvan maupun paliatif yang dianjurkan adalah FOLFOX 6 atau modifikasinya (mFOLFOX6). Terapi radiasi Modalitas radioterapi hanya berlaku untuk kanker rektum. Secara umum, radiasi pada karsinoma rekti dapat diberikan baik pada tumor yang resectable maupun yang non-resectable, dengan tujuan: -

Mengurangi risiko kekambuhan lokal, terutama pada pasien dengan histopatologi yang berprognosis buruk

-

Meningkatkan kemungkinan prosedur preservasi sfingter

-

Meningkatkan tingkat resektabilitas pada tumor yang lokal jauh atau tidak resektabel

-

Mengurangi jumlah sel tumor yang viable sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya kontaminasi sel tumor dan penyebaran melalui aliran darah pada saat operasi

Tatalaksana nutrisi : Sindrom kaheksia membutuhkan tatalaksana multidimensi yang melibatkan pemberian nutrisi optimal, farmakologi, dan aktifitas fisik. Pemberian nutrisi optimal pada pasien kaheksia perlu dilakukan secara individual sesuai dengan kondisi pasien. 1. Kebutuhan nutrisi umum pada pasien kanker a. Kebutuhan energi

45

Idealnya, perhitungan kebutuhan energi pada pasien kanker ditentukan dengan kalorimetri indirek, namun, apabila tidak tersedia, penentuan kebutuhan energi pada pasien kanker dapat dilakukan dengan formula standar, misalnya rumus HarrisBenedict yang ditambahkan dengan faktor stres dan aktivitas, tergantung dari kondisi dan terapi yang diperoleh pasien saat itu. Perhitungan kebutuhan energi pada pasien kanker juga dapat dilakukan dengan rumus rule of thumb: Pasien ambulatory: 30 35 kkal/kg BB/hari. Pasien bedridden: 20 25 kkal/kg BB/hari Pasien obesitas : menggunakan berat badan ideal

Pemenuhan energi

dapat ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan dan toleransi pasien. b. Makronutrien Kebutuhan protein: 1.2 protein perlu

2,0 g/kg BB/hari,

disesuaikan dengan fungsi

pemberian

ginjal dan hati.

Kebutuhan lemak: 25 30% dari kalori total 35–50% dari energi total

(pada pasien kanker stadium

penurunan BB2

lanjut yang mengalami

Kebutuhan karbohidrat : Sisa dari perhitungan

protein dan lemak. c. Mikronutrien Sampai saat ini, pemenuhan mikronutrien untuk pasien kanker hanya berdasarkan empiris saja, karena belum diketahui jumlah pasti kebutuhan mikronutrien untuk pasien kanker. ESPEN menyatakan bahwa suplementasi vitamin dan mineral dapat diberikan sesuai dengan angka kecukupan gizi (AKG). d. Cairan Kebutuhan cairan pada pasien kanker umumnya sebesar: Usia kurang dari 55 tahun : 30−40 mL/kgBB/hari Usia 55−65 tahun : 30 mL/kgBB/hari Usia lebih dari 65 tahun : 25 mL/kgBB/hari.

46

e. Nutrien spesifik 1. Branched-chain amino acids (BCAA) BCAA juga sudah pernah diteliti manfaatnya untuk memperbaiki selera makan pada pasien kanker yang mengalami anoreksia, lewat sebuah penelitian acak berskala kecil dari Cangiano (1996). Penelitian intervensi BCAA pada pasien kanker oleh Le Bricon, menunjukkan bahwa suplementasi BCAA melalui oral sebanyak 3 kali 4,8 g/hari selama 7 dapat meningkatkan kadar BCAA plasma sebanyak 121% dan menurunkan insiden anoreksia pada kelompok BCAA dibandingkan plasebo. Selain dari suplementasi, BCAA dapat diperoleh dari bahan makanan sumber dan suplementasi. 10 bahan makanan sumber yang diketahui banyak mengandung BCAA antara lain putih telur, ikan, ayam, daging sapi, kacang kedelai, tahu, tempe, polong-polongan. 2. Asam lemak omega-3 Suplementasi asam lemak omega-3 secara enteral terbukti mampu mempertahankan BB dan memperlambat kecepatan penurunan BB, meskipun tidak menambah BB pasien. Konsumsi harian asam lemak omega-3 yang dianjurkan untuk pasien kanker adalah setara dengan 2 gram asam eikosapentaenoat atau eicosapentaenoic acid (EPA). Jika suplementasi tidak memungkinkan untuk diberikan, pasien dapat dianjurkan untuk meningkatkan asupan bahan makanan sumber asam lemak omega-3, yaitu minyak dari ikan salmon, tuna, kembung, makarel, ikan teri, dan ikan lele. Farmakoterapi Pasien kanker yang mengalami anoreksia memerlukan terapi multimodal a. Progestin

47

Menurut studi meta-analisis MA bermanfaat dalam meningkatkan selera makan dan meningkatkan BB pada kanker kaheksia, namun tidak memberikan efek dalam peningkatan massa otot dan kualitas hidup pasien.18,19 Dosis optimal penggunaan MA adalah sebesar 480–800 mg/hari. Penggunaan dimulai dengan dosis kecil, dan ditingkatkan bertahap apabila selama dua minggu tidak memberikan efek optimal. b. Kortikosteroid Kortikosteroid merupakan zat oreksigenik yang paling banyak digunakan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pemberian kortikosteroid pada pasien kaheksi dapat meningkatkan selera makan dan kualitas hidup pasien. c. Siproheptadin Siproheptadin merupakan antagonis reseptor 5-HT, yang dapat memperbaiki selera makan dan meningkatkan berat badan pasien dengan tumor karsinoid. Efek samping yang sering timbul adalah mengantuk dan pusing. Umumnya digunakan pada pasien anak dengan kaheksia kanker, dan tidak direkomendasikan pada pasien dewasa.

d. Antiemetik Berikan anti emetik 5-HT3 antagonis (ondansetron) 8 mg atau 0,15 mg/kg BB (i.v) atau 16 mg (p.o). Jika keluhan menetap ditambahkan deksametason. Pertimbangkan pemberian antiemetik intravena secara kontinyu jika keluhan masih berlanjut. Penanganan antiemetic dilakukan berdasarkan penyebabnya.

48

Referensi : Intercollegiate S, Network G. Management of Colorectal Cancer. (SIGN Guideline No 67).

18. Diagnosis and management of colorectal

cancerhttp://www.sign.ac.uk/pdf/sign126.pdf (2011, accessed 24 August 2016). Benson A, Venook A, Bekaii-Saab T, et al. Colon Cancer. NCCN; 2.2016. Mansjoer, Arif., et all. (1999). Kapita Selekta Kedokteran. Fakultas Kedokteran UI : Media Aescullapius.

49

 Crohn’s Disease Definisi Crohn’s Disease merupakan salah satu Inflammatory Bowel Diseases (IBD), yaitu penyakit peradangan granulomatosa kronik yang mengenai traktus gastrointestinal, mulai dari mulut hingga anus. Namun, lebih sering mengenai bagian ileum terminalis sampai colon bagian awal. Peradangan ini mencakup seluruh bagian dinding usus dari superficial hingga profundal. Etiologi Penyebab pasti belum diketahui, namun beberapa ahli menduga banyak faktor risiko yang dapat menyebakan Crohn’s disease seperti genetik, mikroba, imunologis, lingkungan, diet, vaskular dan faktor psikososial seperti merokok, penggunaan kontrasepsi oral dan penggunaan Non steroid anti-inflammatory drugs (NSAID). Pada bidang genetika telah ditemukan pada kromosom 16 (IBD gen) yang diidentifikasi sebagai gen penyebab Crohn’s disease, yaitu NOD2 gene (CARD15). Gen ini terlibat dalam system imunitas tubuh manusia. Penelitian di Jerman dan Norwegia mengemukakan bahwa orang yang memiliki gen alel CARD15 lebih berisiko terkena penyakit pada ileum dan colon. Penegakkan Diagnosis Diagnosis Crohn Disease ditegakkan berdasarkan tanda dan gejala yang didapat berikut ini : 1. Anamnesis Pasien paling banyak mengeluhkan sakit perut dan diare berkepanjangan yang kadang disertai darah, selain itu keluhan yang sering timbul adalah (Wilkins, 2011) : a. Demam b. Malaise

50

c. Mual muntah d. Berat badan turun e. Depresi dan cemas f. Konstipasi dan obstipasi 2. Pemeriksaan Fisik a) Tanda vital : normal, kadang takikardi dan demam b) Gastrointestinal : nyeri tekan abdomen, pada pemeriksaan rektal dapat ditemukan fistula, ulkus, abses, tonus sphincter abnormal, mukosa rektal abnormal, hematochezia c) Genitourinary : ditemukan fistula, abses dan ulkus pada region perianal d) Dermatologi : ulkus mukokutan, eritema nodosum, pioderma 3. Pemeriksaan Penunjang a) Laboratorium 

Darah lengkap : anemia, leukositosis



Elektrolit : hipoalbumin, penurunan serum Fe,



Inflammatory marker : CRP meningkat



Serologi : Antibodi sacromyces , antibody eschericia coli

b) Radiologi 1) Foto polos abdomen Foto polos abdomen merupakan tes yang tidak spesifik untuk

melihat

inflamasi

pada

saluran

cerna.

Namun,

pemeriksaan ini dapat bermanfaat pada penderita ‘Crohn Disease’ dengan eksaserbasi akut. Dapat ditemukan obstruksi, perforasi ataupun distensi colon. 2) Barium Kontras Barium enema adalah tindakan non invasif yang biasanya digunakan untuk mengevaluasi adanya pseudodivertikel, fistula, dan panjang striktur pada colon. Namun, tindakan ini kontraindikasi jika diketahui terdapat perforasi. Walaupun pada

51

masa lalu barium kontras adalah pemeriksaan penunjang pilihan untuk ‘Crohn Disease’ , kini sudah mulai ditinggalkan. Pada pemeriksaan radiografi ditemukan edema dan ulserasi pada mukosa intestinal yang ditunjukkan dengan penebalan dan distorsi dari intestinal. ‘Cobblestone appearance’ terlihat sebagai ulkus dalam yang berbentuk transversal maupun longitudinal.

Gambar 5. Cobblestone Appearance

Gambar 6. Ulsearasi, inflamasi dan penyempitan pada colon ascendens pada Crohn’s Disease

52

Gambar 7. Fistula Enterocolon 3) CT enterografi Pada pemeriksaan CT enterografi dapat dinilai penebalan dinding intestinal, obstruksi, edema mesentrium, abses dan adanya fistula. CT enterografi lebih sensitif ketimbang pemeriksaan barium kontras.

Gambar 8. Inflamasi intestinal pada Crohn’s Disease 4) Colonoskopi dan Endoskopi Colonoskopi dinilai lebih sensitif dan spesifik sebagai alat untuk diagnosis dan manajemen yang dicurigai mengalami inflamasi saluran cerna bagian bawah. Prosedur ini dapat diambil biopsy. Endoskopi dengan biopsi dapat membantu diagnosis Crohn’s Disease yang disebabkan oleh NSAID, bakteri Helicobacter pylori atau dari jamur dan virus lain. 5) Biopsi jaringan

53

Hasil patologi anatomi dari biopsi jaringan menunjukkan inflamasi transmural dimana infiltrasi oleh sel limfoid ke seluruh dinding intestinal yang menimbulkan granuloma non kaseosa. Definisi dari granuloma dalah kumpulan sel monosit atau makrofag dan sel inflamasi lain, dengan atau tanpa ‘Giant Cell’. Tatalaksana Tujuan umum dari pengobatan Crohn’s Disease yang pertama adalah mendapatkan hasil perbaikan klinis, laboratorium dan histologis yang terbaik untuk mengontrol inflamasi dengan efek samping yang minimal. Kedua, membuat pasien dapat beraktivitas senormal mungkin dan yang ketiga adalah agar anak-anak dapat tumbuh dan mendapatkan nutrisi yang adekuat. Berikut beberapa terapi pilihan untuk Crohn’s Disease. Farmakoterapi a. Antidiare : loperamid, difenoksilate. Pada pasien dengan Crohn’s disease terjadi inflamasi dinding usus yang menyebabkan tidak dapat mengabsorbsi cairan secara normal. Antidiare seperti difenoksilat dan loperamid bekerja dengan cara memperlambat motilitas saluran cerna dengan mempengaruhi otot sirkuler dan longitudinal usus (Robinson, 1997). Dosis pemberian loperamide 2-4mg diberikan sampai 4x sehari, difenoksilat 40-60 mg / hari. Obat dapat diberikan sampai diare berhenti. b. Derivate agen asam 5-aminosalisilat (5-ASA) : sulfasalazine, mesalamine, balsalazide) Pengobatan dengan menggunakan 5-ASA adalah pilihan pertama untuk pasien Crohn’s Disease. 5-ASA bekerja sebagai

54

agen anti inflamasi. Obat ini dapat terus digunakan setelah tindakan pembedahan untuk mencegah terjadinya inflamasi ulang. Dosis pemberian mesalamin 800 mg, diberikan 3x sehari. Penggunaan derivate 5-ASA ini pada prinsipnya dalah pengobatan jangka panjang untuk mencegah kambuhnya peradangan. c. Kortikosteroid : prednisone, metilprednisolon, budesonide Crohn’s disease dengan gejala sistemik sedang sampai berat seperti timbul demam, mual-muntah, dan berat badan turun, dapat menggunakan kortikosteroid. Prednisone biasa digunakan pada inflamasi akut tanpa tanda-tanda infeksi. Dosis pemberian prednisone adalah 40-60 mg/ hari Budenoside menginduksi perbaikan sel-sel pada daerah inflamasi. Kombinasi antara kortikosteroid

dan

antibiotik

seperti

metronidazole

lebih

menguntungkan

ciprofloxaxin

dibanding

atau

penggunaan

tunggal. Pada prinsipnya penggunan kortikosteroid hanya untuk pasien dengan gejala sedang sampai berat. Kortikosteroid tidak diindikasikan untuk pengobatan jangka panjang. Jika kondisi pasien membaik, kortikosteroid dihentikan. d. Agen imunosupresan: mercaptopurin, methotrexat (6-MP) Apabila penggunaan kortikosteroid tidak menimbulkan perbaikan, dapat digunakan agen imunosupresan. Azathioprine dengan bahan aktif metabolit 6-MP dapat digunakan dengan catatan dalam pengawasan 3-6 bulan. 6-MP bekerja dengan cara menekan pembentukan sel-sel imun yang dalam jangka waktu lama dapat mensupresi sumsum tulang. Dosis pemberian methotrexate adalah 25mg/minggu dan diberikan selama 4 bulan kemudian dievaluasi kembali. Pengobatan biologis

55

Pengobatan secara biologis pada Crohn’s Disease yaitu dengan cara memberikan antibodi monoklonal (anti-TNFα-antibodi) seperti ; Infliximab, Adalimumab, Natalizumab . a.

Infliximab Infliximab adalah antibodi monoclonal yang merupakan antagonis TNFα. Bekerja pada permukaan sel makrofag dan sel T, menghambat pembentukan TNFα. Dosis pemberian 3-10 mg/kg/ hari, dapat diberikan sampai 6 tahun lamanya dan dilihat perbaikan klinis pasien.

b.

Adalimumab Adalimumab

adalah

antibodi

monoclonal

immunoglobulin

rekombinan (igG1) yang cara kerjanya mengikat dengan afinitas yang kuat dengan TNFα. Dosis pemberian 160 mg/hari, ditrunkan menjadi 80mg/hari pada minggu ke 2, diturunkan lagi menjadi 40 mg/hari pada minggu selanjutnya. c. Natalizumab Natalizumab adalah antibodi monoclonal yang bekerja melawan alpha4 integrin yang menghambat adhesi dan migrasi leukosit ke area inflamasi. Dosis pemberian natalizumab adalah 300mg setiap 4 minggu sekali selama 1 tahun, kemudian di evaluasi kembali. Tindakan pembedahan Pada prinsipnya tindakan pembedahan pada Crohn’s Disease tidak dapat menyembuhkan, namun berikut adalah keadaan-keadaan yang direkomendasikan untuk dilakukan pembedahan pada Crohn’s Disease (ASCRS, 2007) :

56

a.

Gagal pengobatan : tidak ada perubahan secara klinis

b.

Komplikasi : abses, fistula

c.

Obstruksi : striktur colon

d.

Inflamasi : kolitis, peritonitis

e.

Hemoragik : perdarahan intra abdomen

f.

Perforasi

g.

Neoplasia

h.

Hambatan tumbuh kembang Intervensi pembedahan pada ileum terminal, ileocolon, dan colon

dapat dilakukan (ASCRS, 2007) : a. Reseksi bagian intestinal yang terkena inflamasi Tindakan pembedahan untuk membuang bagian intestinal yang terkena inflamasi. Sebelumnya didahului dengan pemeriksaan biopsi jaringan, untuk mengetahui daerah yang inflamasi. b. Ileostomi Ileostomi berasal dari kata ‘Ileum’ dan ‘Stoma yang artinya adalah tindakan operasi membuat mulut buatan di bagian ileum , untuk membuang zat sisa tubuh, dikarenakan bagian distal ileum tidak dapat bekerja normal. c. Strikturplasti Strikturplasti adalah tindakan bedah yang dilakukan untuk mengatasi jaringan parut yang terbentuk pada dinding intestinal akibat kondisi inflamasi kronik pada Crohn’s Disease. Jaringan parut menyebabkan striktur (penyempitan lumen intestinal). Striktur dapat menyebabkan isi lumen masuk ke dalam ulkus dan fisura yang dapat memperburuk peradangan pada Crohn’s Disease. Tindakan strikturplasti yaitu membuat pasase intestinal lancar tanpa membuang segmen menyempit (reseksi usus). Segmen usus yang menyempit diinsisi kemudian dilebarkan dengan membuat potongan memanjang sepanjang satu sisi usus, kemudian dijahit. d. Dilatasi Balon Endoskopi Dilatasi Balon Endoskopi adalah pilihan terapi non bedah untuk penanganan striktur pada Crohn’s Disease. Komplikasi yang mungkin terjadi adalah risiko perforasi dan striktur rekurens.

57

Striktur didefinisikan sebagai penyempitan yang menghalangi pasase usus sebesar 14 mm atau kurang. Teknik ini dilakukan melalui colonoskopi, mencari bagian yang striktur kemudian dilakukan dilatasi melalui balon-endoskopi. Antibiotic diberikan selama pengerjaan dan 7 hari setelah tindakan.

e. Manajemen Fistula Komplikasi dari Crohn’s Disease adalah terjadinya fistula. Fistula dapat terjadi antara intestinal (ileoileal, ileocecal, ileosigmoid,

enterovesica,

enterocutaneus,

cologastric,

coloduodenal). Tindakan pertama yang dilakukan adalah mencegah dan mengatasi

infeksi

metronidazole

atau

dengan

menggunakan

ciprofloxaxin.

antibiotik

Kemudian

seperti

memperbaiki

keseimbangan cairan dan elektrolit, mengusahakan perbaikan gizi serta merawat kulit di sekitar fistel. Keputusan diambilnya tindakan bedah ditunggu sekurangkurangnya 3-4 minggu. Fistula dapat terjadi penutupan spontan biasanya sekitar minggu keempat. Bila setelah itu fistula masih tetap ada, penanganan sepsis sudah dilakukan cukup baik, maka tindakan bedah harus segera dilakukan. Komplikasi Berikut ini adalah beberapa komplikasi yang mungkin terjadi akibat Crohn’s disease atau penyakit Crohn. 

Fistula. Fistula adalah saluran  yang terbentuk dari tukak pada dinding saluran cerna, yang menembus bagian lain dari saluran cerna atau bahkan menembus kandung kemih, vagina, anus, atau kulit. Akibatnya dapat menimbulkan nyeri konstan, demam, kotoran yang

58

mengandung darah atau nanah, bahkan kebocoran kotoran di pakaian dalam. 

Osteoporosis. Kondisi pada saat kualitas kepadatan tulang menurun akibat dari usus yang tidak menyerap nutrisi makanan dan karena efek samping  pemakaian obat-obatan steroid.



Anemia defisiensi besi. Pendarahan yang terjadi di saluran pencernaan akibat penyakit Crohn bisa mengakibatkan terjadinya anemia defisiensi besi. Gejala dari komplikasi ini yang paling umum adalah sesak napas, kelelahan, dan pucat.



Anemi defisiensi vitamin B12 atau folat. Terganggunya penyerapan vitamin B12 atau folat yang terjadi karena penyakit Crohn. Gejala paling umum akibat kondisi ini adalah kelelahan dan kekurangan energi. Gagalnya penyerapan vitamin dan mineral oleh tubuh juga akan menyebabkan terjadinya malanutrisi.



Kanker Usus. Penyakit Crohn yang menyerang usus besar akan meningkatkan risiko Anda mengalami kanker usus besar. Tanyakan kepada dokter apakah Anda memerlukan tes skrining kanker usus besar.

Prognosis Prognosis Crohn’s Disease dikarakteristikkan dalam periode perbaikan dan kekambuhan. Pada tahun pertama setelah diagnosis, angka kekambuhan mencapai 50% dengan 10% masuk kategori kronik. 5 tahun setelah diagnosis, yang membutuhkan tindakan bedah 49%. 10 tahun setelah diagnosis, yang membutuhkan tindakan bedah 62%. 15 tahun setelah diagnosis, yang membutuhkan tindakan bedah mencapai 70%. Referensi: Ajlouni, Y. Iser, J.H and Gibson, P.R. Endoscopic balloon dilatation of intestinal strictures in Crohn’s Disease : safe alternative to surgery. J Gastroenterol Hepatol. Melbourne, Australia. 2007 Apr;22(4):486-90 59

60

 Kolitis Ulseratif Definisi Kolitis ulseratif adalah salah satu dari 2 jenis utama penyakit radang usus (IBD) , bersama dengan penyakit Crohn . Tidak seperti penyakit Crohn, yang dapat mempengaruhi setiap bagian dari saluran pencernaan, kolitis ulseratif bersifat hanya melibatkan usus besar, dan ileum terminal pada 10% pasien. (Gambar 1 dan 2).

Colitis sebagai divisualisasikan dengan kolonoskop

Pada foto rontgen dengan single kontras pada pasien dengan kolitis total menunjukkan radang mukosa dengan berbagai bentuk

Epidemiologi 61

Penyebaran penyakit kolitis ulseratif ini sama dengan penyakit chron. Banyak ditemukan di negara barat dan sedikit di negara Asia dan Afrika. Akan tetapi akhir-akhir ini lebih banyak kasus Crohn ditemukan di Indonesia, mungkin juga karena lebih banyak orang berobat ke dokter dan adanya kemajuan di bidang teknik untuk diagnosa. Insidensi penyakit kolitis ulseratif di Amerika Serikat kira-kira 15 per 100.000 penduduk secara respektif dan tetap konstan. Prevalensi penyakit ini diperkirakan sebanyak 200 per 100.000 penduduk. Sementara puncak kejadian penyakit tersebut adala usia 15-35 tahun, penyakit ini telah dilaporkan terjadi dalam setiap dekade kehidupan. Di RSCM tahun 2001 – 2006 terdapat 3,9% pasien yang terdeteksi dari 1541 pasien yang dilakukan endoskopi, dan di RSGS tahun 2002 – 2006 terdapat 6,95% pasien yang terdeteksi sebagai kolitis ulseratif dari 532 pasien yang dilakukan endoskopi. Etiologi Sementara penyebab kolitis ulseratif tetap belum diketahui, gambaran tertentu penyakit ini telah menunjukan beberapa kemungkinan penting. Hal ini meliputi faktor familial atau genetik, infeksi, imunologik dan psikogenik.  Faktor familial/ genetik Penyakit ini lebih sering dijumpai pada orang kulit putih dibandingkan orang kulit hitam atau cina, dan insidensinya meningkat (3 sampai 6 kali lipat) pada orang Yahudi dibandingkan dengan non Yahudi. Hal ini menunjukan

bahwa

dapat

ada

predisposisi

genetik

terhadap

perkembangan penyakit ini.  Faktor infeksi Sifat radang kronik penyakit ini telah mendukung suatu pencarian terus menerus untuk kemungkinan penyebab infeksi. Disamping banyak usaha untuk menemukan agen bakteri, jamur, virus, belum ada yang sedemikian jauh diisolasi. Laporan awal isolat varian dinding sel

62

Pseudomonas atau agen lain yang dapat ditularkan yang dapat menghadirkan efek sitopatik pada kultur jaringan masih harus dikonfirmasi.  Faktor imunologik Teori bahwa mekanisme imun dapat terlibat didasarkan pada konsep bahwa manifestasi ekstraintestinal yang dapat menyertai kelainan ini (misalnya artritis, perikolangitis) dapat mewakili fenomena autoimun dan bahwa zat terapeutik tersebut, seperti glukokortikoid atau azatioprin, dapat menunjukkan efek mereka melalui mekanisme imunosupresif. Pada 60-70% pasien dengan kolitis ulseratif, ditemukan adanya p-ANCA (perinuclear anti-neutrophilic cytoplasmic antibodies). Walaupun p-ANCA tidak terlibat dalam patogenesis penyakit kolitis ulseratif, namun ia dikaitkan dengan alel HLA-DR2, di mana pasien dengan p-ANCA negatif lebih cenderung menjadi HLADR4 positif.  Faktor psikologik Gambaran psikologis pasien penyakit radang usus juga telah ditekankan. Tidak lazim bahwa penyakit ini pada mula terjadinya, atau berkembang, sehubungan dengan adanya stres psikologis mayor misalnya kehilangan seorang anggota keluarganya. Telah dikatakan bahwa pasien penyakit radang usus memiliki kepribadian yang khas yang membuat mereka menjadi rentan terhadap stres emosi yang sebaliknya dapat merangsang atau mengeksaserbasi gejalanya.  Faktor lingkungan Ada hubungan terbalik antara operasi apendiktomi dan penyakit kolitis ulseratif berdasarkan analisis bahwa insiden penyakit kolitis ulseratif menurun secara signifikan pada pasien yang menjalani operasi apendiktomi pada dekade ke-3. Beberapa penelitian sekarang menunjukkan penurunan risiko penyakit kolitis ulseratif di antara perokok dibandingkan dengan yang bukan perokok. Analisis meta menunjukkan risiko penyakit kolitis ulseratif pada perokok sebanyak 40% dibandingkan dengan yang bukan perokok. 63

Patogenesis Ada bukti aktivasi imun pada IBD, dengan infiltrasi lamina propria oleh limfosit, makrofag, dan sel-sel lain, meskipun antigen pencetusnya belum jelas. Virus dan bakteri telah diperkirakan sebagai pencetus, namun sedikit yang mendukung adanya infeksi spesifik yang menjadi penyebab IBD. Hipotesis yang kedua adalah bahwa dietary antigen atau agen mikroba non patogen yang normal mengaktivasi respon imun yang abnormal. Hasilnya suatu mekanisme penghambat yang gagal. Pada tikus, defek genetik pada fungsi sel T atau produksi sitokin menghasilkan respon imun yang tidak terkontrol pada flora normal kolon. Hipotesis ketiga adalah bahwa pencetus IBD adalah suatu autoantigen yang dihasilkan oleh epitel intestinal. Pada teori ini, pasien menghasilkan respon imun inisial melawan antigen lumenal, yang tetap dan diperkuat karena kesam/aan antara antigen lumenal dan protein tuan rumah. Hipotesis autoimun ini meliputi pengrusakan sel-sel epitelial

oleh

sitotoksisitas

seluler

antibody-dependent

atau

sitotoksisitas cell-mediated secara langsung. Imun respon cell-mediated juga terlibat dalam patogenesis IBD. Ada peningkatan sekresi antibodi oleh sel monomuklear intestinal, terutama IgG dan IgM yang melengkapi komplemen. Kolitis ulseratif dihubungkan dengan meningkatnya produksi IgG (oleh limfosit Th2) dan IgG, sub tipe yang respon terhadap protein dan antigen T-celldependent. Ada juga peningkatan produksi sitokin proinflamasi (IL-1, IL-6, IL-8 dan tumor necrosis factor-α [TNF-α], terutama pada aktivasi makrofag di lamina propria. Sitokin yang lain (IL-10, TGF-β) menurunkan imun respon. Defek produksi sitokin ini menghasilkan inflamasi yang kronis. Sitokin juga terlibat dalam penyembuhan luka dan proses fibrosis. Faktor imun yang lain dalam pembentukan penyakit IBD termasuk produksi superoksida dan spesies oksigen reaktif yang lain oleh aktivasi netrofil, mediator soluble yang meningkatkan

64

permeabilitas dan merangsang vasodilatasi, komponen kemotaksis netrofil lekotrien dan nitrit oksida yang menyebabkan vasodilatasi dan edema. Klasifikasi a. Kolitis ulserosa dini aktif Pada pemeriksaan endoskopik tampak mukosa rektum hipermia dan edema, erosif dan ulserasif kecil. Gambaran histopatologi biopsi, menunjukkan kelainan kombinasi antara erosi dan ulserasi. Kuantitas elemen kelenjar mukosa berkurang atau menghilang dan vaskularisasi pada lamina propria bertambah. Pada kripta tampak mikroabses yang terdiri dari kumpulan sel radang neutrofil dan limfosit. Mikroabses kemudian pecah dan proses radang meluas pada submukosa. b. Kolitis ulserosa kronik aktif Pada tahap ini, terdapat lesi kombinasi radang aktif dan proses penyembuhan dengan regenerasi mukosa. Mikroabses pada kripta jumlahnya berkurang atau menghilang, pada lamina propria jaringan

limfoid

mengalami

hiperplasia.

Kelenjar

mukosa

mengalami hiperplasia, muncul dalam bentuk psedopolip. (Jugde TA, 2009) c. Kolitis Ulserosa Tenang Pada stadium tenang, mukosa lebih tipis. Walaupun ada proses regenerasi kelenjar, menonjol, akan tetapi vaskularisasi sudah berkurang. Bila kolitis ulserosa sudah berlangsung lama, dapat dijumpai displasia atau prakanker. Itulah alasannya ulserosa dianggap sebagai resiko tinggi untuk karsinoma kolon dan rektum.

65

Klasifikasi kolitis ulseratif Acute

Resolving

Chronic-healed

  Vascular congestion Mucin depletion Cryptitis, crypt abcess Epithelial lost and ulcer PMN, eosinophil and mast

Stage ++ + ++ ++

Stage + + -

Stage        

cell Luminal pus Basal plasma cell Epithelial regeneration Expantion of mitotic active

++ ++ ++ -

+ ++ ++

       

cell Architectural distortion: • atrophy • branching • crypt shortening • villous surface Metaplasia pyloric Metaplasia Paneth cell Lymphoid hyperplasia Epithelial displacement Increased mononucleous Endocrine cell hyperplasia Squamous metaplasia

                       

++                        

    ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++ ++

Gejala Klinis Gejala klinis yang paling dominan pada penderita kolitis ulseratf adalah sakit pada perut dan diarrhea yang disertai pendarahan. Di samping itu dapat juga dijumpai anemia, kelelahan (mudah lelah), kehilangan berat badan, pendarahan pada rektum, kehilangan nafsu makan, kehilangan cairan tubuh dan gizi, lesi pada kulit dan radang

66

sendi, pertumbuhan yang terganggu, terutama anak-anak. Hanya sebagian pasien yang terdiagnosa dengan kolitis ulseratf yang mempunyai gejala, yang lain kadang-kadang menderita demam, diarrhea dengan perdarahan, nausea, rasa nyeri pada perut yang hebat. Kolitis ulseratf juga dapat menimbulkan gejala seperti arthritis, radang pada mata (uveitis), hati (sclerossing cholangitis) dan osteoporosis. Hal ini tidak dapat diketahui bagaimana bisa terjadi di luar dari kolon, tetapi para ahli berfikir komplikasi ini dapat terjadi akibat pencetus dari peradangan yaitu sistem immune. Sebagian problem seperti ini tidak jadi masalah jika kolitis dapat diobati. Ada pun organ yang terlibat pada kolitis ulseratif seperti pada gambar dibawah ini.

Keterlibatan organ pada kolitis ulseratif.

Perbedaan kolitis ulseratif dan penyakit crohn Kolitis Ulceratif 67

Penyakit Crohn

Hanya usus yang terlibat Terus-menerus memperluas peradangan proksimal dari dubur

Panintestinal Skip-lesi dengan intervening mukosa normal

Peradangan pada mukosa dan hanya submucosa

Peradangan Transmural

Tidak ada granuloma

Noncaseating granuloma Asca positif

Perinuclear Anca (PANCA) positif

Diagnosis Gejala utama kolitis ulseratif adalah diare berdarah dan nyeri abdomen, seringkali dengan demam dan penurunan berat badan pada kasus berat. Pada penyakit yang ringan, bisa terdapat satu atau dua feses yang setengah berbentuk yang mengandung sedikit darah dan tanpa manifestasi sistemik. Derajat klinik kolitis ulseratif dapat dibagi atas berat, sedang dan ringan, berdasarkan frekuensi diare, ada/tidaknya demam, derajat beratnya anemia yang terjadi dan laju endap darah (klasifikasi Truelove) ( tabel 3). Perjalanan penyakit kolitis

ulseratif dapat dimulai dengan serangan

pertama yang berat ataupun dimulai ringan yang bertambah berat secara gradual setiap minggu. Berat ringannya serangan pertama sesuai dengan panjangnya kolon yang terlibat. Lesi mukosa bersifat difus dan terutama hanya melibatkan lapisan mukosa. Secara endoskopik penilaian aktifitas penyakit kolitis ulseratif relatif mudah dengan menilai gradasi berat ringannya lesi mukosa dan luasnya bagian usus yang terlibat. Pada kolitis ulseratif, terdapat reaksi radang yang secara primer mengenai mukosa kolon. Secara makroskopik, kolon tampak berulserasi, hiperemik, dan biasanya hemoragik. Gambaran mencolok dari radang adalah bahwa sifatnya seragam dan kontinu dengan tidak ada daerah tersisa mukosa yang normal. Gambaran Fisik

68

Temuan fisis pada kolitis ulseratif biasanya nonspesifik; bisa terdapat distensi abdomen atau nyeri sepanjang perjalanan kolon. Pada kasus ringan, pemeriksaan fisis umum akan normal. Demam, takikardia dan hipotensi postural biasanya berhubungan dengan penyakit yang lebih berat. Manifestasi ekstrakolon bisa dijumpai. Hal ini termasuk penyakit okular (iritis, uveitis, episkleritis), keterlibatan kulit (eritema nodosum, pioderma gangrenosum), dan artralgia/artritis (periferal dan aksial artropati). Kolangitis sklerosing primer jarang dijumpai. Gambaran Laboratorium Temuan laboratorium seringkali nonspesifik dan mencerminkan derajat dan beratnya perdarahan dan inflamasi. Bisa terdapat anemia yang mencerminkan penyakit kronik serta defisiensi besi akibat kehilangan darah kronik. Leukositosis dengan pergeseran ke kiri dan peningkatan laju endap darah seringkali terlihat pada pasien demam yang sakit berat. Kelainan elektrolit,

terutama

hipokalemia,

mencerminkan

derajat

diare.

Hipoalbuminemia umum terjadi dengan penyakit yang ekstensif dan biasanya mewakili hilangnya protein lumen melalui mukosa yang berulserasi. Peningkatan kadar alkali fosfatase dapat menunjukkan penyakit hepatobiliaris yang berhubungan. Pemeriksaan kultur feses (patogen usus dan bila diperlukan, Escherichia coli O157:H7), ova, parasit dan toksin Clostridium difficile negatif. Pemeriksaan antibodi p-ANCA dan ASCA (antibodi Saccharomyces cerevisae mannan) berguna untuk membedakan penyakit kolitis ulseratif dengan penyakit Crohn. Gambaran Radiologi 1.

Foto polos abdomen Pada foto polos abdomen umumnya perhatian kita cenderung terfokus

pada kolon. Tetapi kelainan lain yang sering menyertai penyakit ini adalah batu ginjal, sakroilitis, spondilitis ankilosing dan nekrosis avaskular kaput femur. Gambaran kolon sendiri terlihat memendek dan struktur haustra menghilang. Sisa feses pada daerah inflamasi tidak ada, sehingga, apabila

69

seluruh kolon terkena maka materi feses tidak akan terlihat di dalam abdomen yang disebut dengan empty abdomen. Kadangkala usus dapat mengalami dilatasi yang berat (toxic megacolon) yang sering menyebabkan kematian apabila tidak dilakukan tindakan emergensi. Apabila terjadi perforasi usus maka dengan foto polos dapat dideteksi adanya pneumoperitoneum, terutama pada foto abdomen posisi tegak atau left lateral decubitus (LLD) maupun pada foto toraks tegak. Foto polos abdomen juga merupakan pemeriksaan awal untuk melakukan pemeriksaan barium enema. Apabila pada pemeriksaan foto polos abdomen ditemukan tanda-tanda perforasi maka pemeriksaan barium enema merupakan kontra indikasi. 2.

Barium enema Barium enema merupakan pemeriksaan rutin yang dilakukan apabila

ada kelainan pada kolon. Sebelum dilakukan pemeriksaan barium enema maka persiapan saluran cerna merupakan pendahuluan yang sangat penting. Persiapan dilakukan selama 2 hari berturut-turut dengan memakan makanan rendah serat atau rendah residu, tetapi minum air putih yang banyak. Apabila diperlukan maka dapat diberikan laksatif peroral. Pemeriksaan barium enema dapat dilakukan dengan teknik kontras tunggal (single contrast) maupun dengan kontras ganda (double contrast) yaitu barium sulfat dan udara. Teknik double contrast sangat baik untuk menilai mukosa kolon dibandingkan dengan teknik single contrast, walaupun prosedur pelaksanaan teknik double contrast cukup sulit. Barium enema juga merupakan kelengkapan pemeriksaan endoskopi atas dugaan pasien dengan kolitis ulseratif.

70

Pemeriksaan barium enema yang menunjukkan gambaran pipa pada Colitis ulseratif

Gambaran colitis ulseratif stadium berat dimana haustra tidak terlihat hampir menyeluruh di semua colon. Gambaran foto barium enema pada kasus dengan kolitis ulseratif adalah mukosa kolon yang granuler dan menghilangnya kontur haustra serta kolon tampak menjadi kaku seperti tabung. Perubahan mukosa terjadi secara difus dan simetris pada seluruh kolon. Lumen kolon menjadi lebih sempit akibat spasme. Dapat ditemukan keterlibatan seluruh kolon. Tetapi apabila ditemukan lesi yang segmental maka rektum dan kolon kiri (desendens) selalu terlibat, karena awalnya kolitis ulseratif ini mulai terjadi di rektum

71

dan menyebar ke arah proksimal secara kontinu. Jadi rektum selalu terlibat, walaupun rektum dapat mengalami inflamasi lebih ringan dari bagian proksimalnya. Pada keadaan di mana terjadi pan-ulseratif kolitis kronis maka perubahan juga dapat terjadi di ileum terminal. Mukosa ileum terminal menjadi granuler difus dan dilatasi, sekum berbentuk kerucut (cone-shaped caecum) dan katup ileosekal terbuka sehingga terjadi refluks, yang disebut backwash ileitis. Pada kasus kronis, terbentuk ulkus yang khas yaitu collarbutton ulcers. Pasien dengan kolitis ulseratif juga menanggung resiko tinggi menjadi adenokarsinoma kolon. 3.

Ultrasonografi (USG) Pemeriksaan ultrasonografi sampai saat ini belum merupakan

modalitas pemeriksaan yang diminati untuk kasus-kasus IBD. Kecuali merupakan pemeriksaan alternatif untuk evaluasi keadaan intralumen dan ekstralumen. Sebelum dilakukan pemeriksaan USG sebaiknya pasien dipersiapkan saluran pencernanya dengan menyarankan pasien untuk makan makanan rendah residu dan banyak minum air putih. Persiapan dilakukan selama 24 jam sebelum pemeriksaan. Sesaat sebelum pemeriksaan sebaiknya kolon diisi dulu dengan air. Pada pemeriksaan USG, kasus dengan kolitis ulseratif didapatkan penebalan dinding usus yang simetris dengan kandungan lumen kolon yang berkurang. Mukosa kolon yang terlibat tampak menebal dan berstruktur hipoekhoik akibat dari edema. Usus menjadi kaku, berkurangnya gerakan peristalsis dan hilangnya haustra kolon. Dapat ditemukan target sign atau pseudo-kidney sign pada potongan transversal atau cross-sectional. Dengan USG Doppler, pada kolitis ulseratif selain dapat dievaluasi penebalan dinding usus dapat pula dilihat adanya hypervascular pada dinding usus tersebut. 4.

72

CT-scan dan MRI

Kelebihan CT-scan dan MRI, yaitu dapat mengevaluasi langsung keadaan intralumen dan ekstralumen. Serta mengevaluasi sampai sejauh mana komplikasi ekstralumen kolon yang telah terjadi. Sedangkan kelebihan MRI terhadap CT-scan adalah mengevaluasi jaringan lunak karena terdapat perbedaan intensitas (kontras) yang cukup tinggi antara jaringan lunak satu dengan yang lain. . Gambaran CT-scan pada kolitis ulseratif, terlihat dinding usus menebal secara simetris dan kalau terpotong secara cross-sectional maka terlihat gambaran target sign. Komplikasi di luar usus dapat terdeteksi dengan baik, seperti adanya abses atau fistula atau keadaan abnormalitas yang melibatkan mesenterium. MRI dapat dengan jelas memperlihatkan fistula dan sinus tract-nya. Gambaran Endoskopi Pada dasarnya kolitis

ulseratif merupakan penyakit yang

melibatkan mukosa kolon secara difus dan kontinu, dimulai dari rektum dan menyebar/progresif ke proksimal. Data dari beberapa rumah sakit di Jakarta didapatkan bahwa lokalisasi kolitis ulseratif adalah 80% pada rektum dan rektosigmoid, 12% kolon sebelah kiri (left side colitis), dan 8% melibatkan seluruh kolon (pan-kolitis). Pada kolitis ulseratif, ditemukan hilangnya vaskularitas mukosa, eritema difus, kerapuhan mukosa, dan seringkali eksudat yang terdiri atas mukus, darah dan nanah. Kerapuhan mukosa dan keterlibatan yang seragam adalah karakteristik. Sekali mukosa yang sakit ditemukan (biasanya di rektum), tidak ada daerah mukosa normal yang menyela sebelum batas proksimal penyakit dicapai. Ulserasi landai, bisa kecil atau konfluen namun selalu terjadi pada segmen dengan kolitis aktif. Pemeriksaan kolonoskopik penuh dari kolon pada kolitis ulseratif tidak diindikasikan pada pasien yang sakit akut. Biopsi rektal bisa memastikan radang mukosa. Pada penyakit yang lebih kronik, mukosa bisa menunjukkan penampilan granuler, dan bisa terdapat pseudopolip.

73

Gambaran colitis ulsertatif cronic. Penatalaksanaan Karena kolitis ulserativa tidak dapat disembuhkan dengan pengobatan, tujuan pengobatan dengan obat adalah untuk 1) menginduksi remisi, 2) mempertahankan remisi, 3) meminimalkan efek samping pengobatan, 4) meningkatkan kualitas hidup, dan 5) meminimalkan risiko kanker. Adapun Algoritma rencana terapeutik kolitis ulseratif di pelayanan kesehatan lini pertama dijelaskan pada gambar 7. Obat-obat kolitis ulserativa meliputi: 1.

Agen anti-inflamasi seperti senyawa 5-ASA, kortikosteroid sistemik, kortikosteroid topikal, dan

2.

Immunomodulators

Algoritma rencana terapeutik kolitis ulseratif di pelayanan kesehatan lini pertama.

74

a. Kortikosteroid Sistemik Kortikosteroid ( Prednisone , prednisolone, hidrokortison, dll) telah digunakan selama bertahun-tahun dalam pengobatan pasien dengan penyakit Crohn sedang sampai parah dan kolitis ulseratif atau yang gagal untuk merespon dosis optimal 5-ASA. Berbeda dengan senyawa 5-ASA, kortikosteroid tidak memerlukan kontak langsung dengan jaringan usus yang meradang untuk menjadi efektif. Kortikosteroid oral adalah agen anti peradangan yang kuat seluruh tubuh.  Akibatnya, mereka digunakan dalam mengobati enteritis. Pada

pasien

kritis,

kortikosteroid

intravena

(seperti

hydrocortisone) dapat diberikan di rumah sakit. Kortikosteroid lebih cepat bertindak daripada senyawa 5-ASA. Pasien sering mengalami perbaikan dalam gejala mereka dalam beberapa hari setelah pemberian kortikosteroid dimulai.  Rencana bertindak diawali dengan : (a) memilih obat: secara konvensional, prednison, metilprednisolon atau steroid enema masih menjadi pilihan yang sering karena murah dan mudah dijangkau. Preparat Budesonide dipakai untuk memperoleh tujuan konsentrasi steroid yang tinggi pada dinding usus, dengan efek sistemik (dan efek sampingnya) yang rendah, khususnya pada pengobatan IBD di daerah ileum terminalis dan colon ascendens baik dalam bentuk preparat oral lepas lambat ataupun enema. (b) mempertimbangkan dosis. Dosis rata – rata yang banyak digunakan untuk mencapai fase remisi adalah setara dengan 40 – 60 mg prednison atau setara dengan prednisolon dengan dosis 0,5 – 1,0 mg/KgBB. Tindakan terapi kemudian tappering off dose setelah remisi yang tercapai dalam waktu 8-12 minggu. b. Obat Golongan Asam Aminosalisilat Dilatar belakangi oleh dasar berfikir, bahwa preparat sulfasalazin merupakan obat yang sudah dan mapan dipakai dalam pengobatan IBD, terdiri dari gabungan sulfapiridin dan aminosalisilat

75

dalam ikatan azo yang dalam usus dipecah menjadi sulfapiridin dan mesalazine/ 5-ASA. Telah diketahui bahwa yang berperan sebagai efek anti inflamasi adalah 5-ASA ini. Efek samping 5-ASA murni lebih kecil dibanding Sulfasalazin (terdapat pada unsusr sulfapiridin), sedangkan efektivitas relatif sama dalam pengobatan IBD. Rencana tindakan: (a) Preparat

murni atau derivatnya

(olsalazine: ikatan bersama dua molekul mesalazine) lebih diutamakan dibanding mesalazine yang terikat molekul pembawa (carrir molecule: sulfasalazine dan blasalazide), karena dapat dilepas lambat pada pH >5 (dalam lumen usus halus/ ileum terminalisdan kolon proximal) serta lebih efektif dalam penggunaan oral (coated) maupun rektal (foam-enema/suppository). (b) Dosis rata-rata 5-ASA untuk mencapai remisi adalah 2-4 gram/hari. Setelah remisi tercapai yang umumnya

setelah

16-24

minggu

diberikan

kemudian

dosis

pemeliharaan yang bersifat individual.Terapi jangka panjang 5-ASA dapat pula mencegah karsinoma kolorektal dengan cara apoptosis dan menurunnya proliferasi mukosa kolorektal pada IBD. c. Immunomodulators Immunomodulators adalah obat-obat yang melemahkan sistem kekebalan tubuh. Pada pasien dengan penyakit Crohn dan kolitis ulceratif, bagaimanapun, sistem kekebalan tubuh secara abnormal dan kronis

diaktifkan.

Immunomodulators

mengurangi

peradangan

jaringan dengan mengurangi populasi sel kekebalan tubuh dan / atau dengan mengganggu produksi protein yang mempromosikan aktivasi kekebalan dan peradangan. Contoh Immunomodulators termasuk azathioprine,

6-mercaptopurine

(6-MP), siklosporin,

dan methotrexate. Azathioprine atau metabolit aktifnya 6-MP, memerlukan waktu

pemberian

2-3

bulan

sebelum

memperlihatkan

efek

terapeutiknya. Umumnya sebagai introduktor/ substituensi pada kasus kasus steroid dependent atau refrakter. Umumnya dosis initial 50 mg

76

sampai tercapai efikasi substitusi, kemudian dinaikan bertahap 2,5 mg/kgbb untuk Azathioprine atau 1,5 mg/kgbb untuk 6-MP. Efek samping yang sering timbul adalah nausea dan dispepsia, leukopenia, limfoma, hepatitis, dan pankreatitis. d. Pembedahan Kolitis toksik merupakan suatu keadaan gawat darurat. Segera setelah terditeksi atau bila terjadi ancaman megakolon toksik, semua obat anti-diare dihentikan, penderita dipuasakan, selang dimasukan ke dalam lambung atau usus kecil dan semua cairan, makanan dan obatobatan diberikan melalui pembuluh darah. Pasien diawasi dengan ketat untuk menghindari adanya peritonitis atau perforasi. Bila tindakan ini tidak berhasil memperbaiki kondisi pasien dalam 24-48 jam, segera dilakukan pembedahan, dimana semua atau hampir sebagian besar usus besar diangkat. Jika didiagnosis kanker atau adanya perubahan pre-kanker pada usus besar, maka pembedahan dilakukan bukan berdasarkan kedaruratan. Pembedahan non-darurat juga dilakukan karena adanya penyempitan dari usus besar atau adanya gangguan pertumbuhan pada anak-anak. Alasan paling umum dari pembedahan adalah penyakit menahun yang tidak sembuh-sembuh, sehingga membuat penderita tergantung kepada kortikosteroid dosis tinggi. Pengangkatan seluruh usus besar dan rektum, secara permanen akan menyembuhkan kolitis ulserativa. Penderita hidup dengan ileostomi (hubungan antara bagian terendah usus kecil dengan lubang di dinding perut) dan kantong ileostomi. Prosedur pilihan lainnya adalah anastomosa ileo-anal, dimana usus besar dan sebagian besar rektum diangkat, dan sebuah reservoir dibuat dari usus kecil dan ditempatkan pada rektum yang tersisa, tepat diatas anus.

77

Komplikasi 1.

Perdarahan,

merupakan

komplikasi

yang

sering

menyebabkan anemia  karena kekurangan zat besi.Pada 10% penderita, serangan pertama sering menjadi

berat, dengan

perdarahan yang hebat, perforasi atau penyebaran infeksi. 2.

Kolitis Toksik, terjadi kerusakan pada seluruh ketebalan dinding usus. Kerusakan ini menyebabkan terjadinya ileus, dimana pergerakan dinding usus terhenti, sehingga isi usus tidak terdorong di dalam salurannnya. Perut tampak menggelembung. Usus besar kehilangan ketegangan ototnya dan akhirnya mengalami pelebaran. Rontgen perut akan menunjukkan adanya gas di bagian usus yang lumpuh.

Jika

usus

besar

sangat

melebar,

keadaannya

disebut megakolon toksik. Penderita tampak sakit berat dengan demam yang sangat tinggi. Perut terasa nyeri dan jumlah sel darah putih meningkat. Dengan pengobatan efektif dan segera, kurang dari

4%

penderita

yang

meninggal.

Jika

perlukaan

ini

menyebabkan timbulnya lubang di usus (perforasi), maka resiko kematian akan meningkat. 3.

Kanker Kolon (Kanker Usus Besar). Resiko kanker usus besar meningkat pada orang yang menderita kolitis ulserativa yang lama dan berat.Resiko tertinggi adalah bila seluruh usus besar terkena dan penderita telah mengidap penyakit ini selama lebih dari 10 tahun, tanpa menghiraukan seberapa aktif penyakitnya. Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan kolonoskopi (pemeriksaan usus besar) secara teratur, terutama pada penderita resiko tinggi terkena kanker, selama periode bebas gejala. Selama kolonoskopi, diambil sampel jaringan untuk diperiksa dibawah mikroskop. Setiap tahunnya, 1% kasus akan menjadi kanker. Bila diagnosis kanker ditemukan pada stadium awal, kebanyakan penderita akan bertahan hidup.

78

Prognosis 

Remisi pada 10%; eksaserbasi intermiten sebanyak 75%; penyakit aktif berlanjut sebanyak 10%.



Mortalitas

Referensi: Djojoningrat D dkk editor. Konsensus Nasional Penatalaksanaan Inflammatory bowel disease (IBD) di Indonesia. Editor: Djojoningrat D, dkk. Jakarta: Interna Publishing; 2011 Marc D Basson. 2011.http://emedicine.medscape.com/article/183084overview. Akses pada 22 mei 2011

.

Tatalaksana 

Non Farmakologi: 1. Edukasi yang tepat pada anak dan orangtua dapat meningkatkan keberhasilan terapi 2. Latihan BAB (toilet training) 3. Stimulasi dalam bentuk olah raga pada orang yang kurang aktif 4. Makanan berserat



Farmakologi Banyak orang menggunakan obat pencahar (laksatif) untuk menghilangkan konstipasi. Beberapa obat aman digunakan dalam jangka waktu

lama,

obat

lainnya

hanya

boleh

digunakan

sesekali. 

Beberapa obat digunakan untuk mencegah konstipasi, obat lainnya digunakan untuk mengobati konstipasi. Golongan obat-obat pencahar yang biasa digunakan adalah: 1. Bulking Agents

79

2. Pelunak Tinja 3. Minyak Mineral 4. Bahan-bahan Osmotik 5. Pencahar Perangsang. 

Bulking Agents Bulking agents (gandum, psilium, kalsium polikarbofil dan metilselulosa) bisa menambahkan serat pada tinja. Penambahan serat ini akan merangsang kontraksi alami usus dan tinja yang berserat lebih lunak dan lebih mudah dikeluarkan. Bulking agents bekerja perlahan dan merupakan obat yang paling aman

untuk

merangsang

buang

air

besar

yang

teratur. 

Pada mulanya diberikan dalam jumlah kecil. Dosisnya ditingkatkan secara bertahap, sampai dicapai keteraturan dalam buang air besar. Orang yang menggunakan bahan-bahan ini harus selalu minum banyak cairan. 

Pelunak Tinja. Dokusat akan meningkatkan jumlah air yang dapat diserap oleh tinja. Sebenarnya bahan ini adalah detergen yang menurunkan tegangan permukaan dari tinja, sehingga memungkinkan air menembus tinja dengan mudah dan menjadikannya lebih lunak. Peningkatan jumlah serat akan merangsang kontraksi alami dari usus besar dan membantu melunakkan tinja sehingga lebih mudah dikeluarkan dari tubuh.



80

Minyak Mineral.

Minyak mineral akan melunakkan tinja dan memudahkannya keluar dari tubuh. Tetapi bahan ini akan menurunkan penyerapan dari vitamin yang larut dalam lemak. Dan jika seseorang yang dalam keadaan lemah menghirup minyak mineral secara tidak sengaja, bisa terjadi iritasi yang serius pada jaringan paru-paru. Selain itu, minyak mineral juga bisa merembes dari rektum. 

Bahan Osmotik. Bahan-bahan osmotik mendorong sejumlah besar air ke dalam usus besar, sehingga tinja menjadi lunak dan mudah dilepaskan.  Cairan yang berlebihan juga meregangkan dinding usus besar dan merangsang kontraksi. Pencahar ini mengandung garam-garam (fosfat, sulfat dan magnesium) atau gula (laktulosa dan sorbitol). Beberapa bahan osmotik mengandung natrium, menyebabkan retensi (penahanan) cairan pada penderita penyakit ginjal atau gagal jantung, terutama jika diberikan dalam jumlah besar. Bahan osmotik yang mengandung magnesium dan fosfat sebagian diserap ke dalam aliran darah dan berbahaya untuk penderita gagal ginjal. Pencahar ini pada umumnya bekerja dalam 3 jam dan lebih baik digunakan sebagai pengobatan daripada untuk pencegahan.  Bahan ini juga digunakan untuk mengosongkan usus sebelum pemeriksaan

rontgen

pada

saluran

pencernaan

dan

sebelum

kolonoskopi. 

Pencahar Perangsang. Pencahar perangsang secara langsung merangsang dinding usus besar

81

untuk

berkontraksi

dan

mengeluarkan

isinya. 

Obat ini mengandung substansi yang dapat mengiritasi seperti senna, kaskara, fenolftalein, bisakodil atau minyak kastor. Obat ini bekerja setelah 6-8 jam dan menghasilkan tinja setengah padat, tapi sering menyebabkan kram perut. Dalam bentuk supositoria (obat yang dimasukkan melalui lubang dubur), akan bekerja setelah 1560 menit. Penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan kerusakan pada usus besar, juga seseorang bisa menjadi tergantung pada obat ini sehingga usus menjadi malas berkontraksi (Lazy Bowel Syndromes). Pencahar ini sering digunakan untuk mengosongkan usus besar sebelum proses diagnostik dan untuk mencegah atau mengobati konstipasi yang disebabkan karena obat yang memperlambat kontraksi usus besar (misalnya narkotik).



Pencegahan Cara pencegahan penyakit terkait skenario a. Minum air yang cukup Karena

dapat

melumasi

makanan

di

saluran

pencernaan, membantu melarutkan mineral, vitamin, dan nutrisi sehingga lebih mudah diserap, dan supaya tinja lebih lunak untuk mencegah sembelit b. Makan

cukup

sayuran

dan

buah-buahan

yang

mengandung serat Diet tinggi serat merupakan bagian penting dari makanan sehat, selain membantu pencernaan, juga dapat jantung

82

membantu koroner,

mencegah wasir,

diabetes,

kanker

penyakit

kolorektal,

dan

penyakit

lainnya.

Hindari

makanan

yang

dapat

menyebabkan kembung atau gas, termasuk brokoli, kacang panggang, kubis, kembang kol, dan minuman berkarbonasi. c. Olahraga teratur Selain

membantu

mempertahankan

gaya

hidup

sehat, olahraga juga dapat membantu pencernaan. Sebuah

studi

ilmiah

Gastroenterology menunjukkan

and

bahwa,

yang

diterbitkan

Hepatology aktivitas

fisik

journal

dalam telah

benar-benar

dapat membantu mengurangi masalah pencernaan. Stres di sisi lain dapat memiliki efek negatif pada pencernaan. d. Tidak menunda buang air besar Setiap menunda buang air besar, maka feses akan tertahan lebih lama dalam usus, dan usus secara otomatis menyerap kembali kandungan air dari feses sehingga feses menjadi lebih padat dan lebih sulit dikeluarkan. Hal ini akan menyebabkan mengejan lebih kuat. e. Mengunyah makanan dengan cukup Mengunyah merupakan salah satu bagian yang paling penting dari pencernaan, namun mungkin justru yang paling terlupakan. Mengunyah tidak hanya membantu memecah makanan, namun juga merupakan tanda dari kelenjar ludah, lambung dan usus

kecil

pencernaan. Referensi :

83

untuk

mulai

melepaskan

enzim

Nelson Waldo, Behrman Waldo, Kliegman Robert, Arvin Ann. Sistem Saluran pencernaan. In: Wahab Samik. Ilmu Kesehatan Anak. 15th ed. Jakarta: EGC; 2000; p. 1274-75. Endyarni Bernie, Syarif Badriul. Konstipasi fungsional. Sari Pedriatri 2004; 6 (suppl 2): 75-80 6.

84

Perspektif Islam

Related Documents

Modul 4 Pbl Klpk 10(1)
January 2021 0
Cs - Modul 4.pdf
February 2021 1
Modul Kimia Tingkatan 4
January 2021 1
Modul 4 Konstipasi
January 2021 1
Modul 4 Edukasi
January 2021 1
Lbm 4 Modul Tumbang
January 2021 1

More Documents from "Nisitya"