Sinopsis Novel Ronggeng Dukuh Paruk

  • Uploaded by: Abeel Oktaano
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Sinopsis Novel Ronggeng Dukuh Paruk as PDF for free.

More details

  • Words: 2,871
  • Pages: 9
Loading documents preview...
Sinopsis Novel Ronggeng Dukuh Paruk

Judul

:Ronggeng Dukuh Paruk

Pengarang

: Ahmad Tohari

Penerbit

: Gramedia Pustaka Utama

Srintil, perawan kecil yang pandai menyayikan tembang-tembang ronggeng diketahui kakeknya. Sakarya, kakek Srintil percaya cucunya adalah calon ronggeng. Dukuh Srintil merupakan tanda kelahiran kembali seorang ronggeng. Sakarya menyerahkan semuanya kepada Kartareja untuk menangani cucunya.. Srintil pun mampu tampil memukau dalam pentas pertamanya meskipun tidak ada yang mengajarinya untuk menari dan bernyayi. Sejak itu Srintil menjadi tenar di padukuhan itu. Srintil adalah yatim piatu, orang tuanya menjadi korban keracunan tempe bongkrek, begitu juga dengan Rasus. Rasus hanya tinggal bersama neneknya, ia pun sudah mendengar tentang malapetaka itu dari mulut neneknya. Cerita nenek yang selalu membuat penasaran terutama tentang kisah emaknya. Rasus selau berusaha menarik perhatian Srintil, hingga suatu hari rasus memberikan sebuah keris peninggalan ayahnya kepada Srintil. keris itu bernama Kyai Jaran Guyang, pusaka dukuh Paruk yang hilang. Dengan keris itu, Srintil akan menjadi ronggeng tenar. Srintil masih harus menjalani ritual lagi. Salah satunya adalah ritual mandi di depan cungkup makam Ki Secamenggala. Di sini Kertareja kesurupan arwah Ki Secamenggala, itu bertanda Srintil telah direstui menjadi ronggeng. Syarat yang terakhir, Srintil harus melalui peristiwa Bukak-Klambu, sayembara mendapatkan keperwanan Srintil dengan syarat meyerahkan uang logam emas. Rasus marah mendengar itu, namun ia hanya pasrah. Srintil disuruh Nyi Kertaraja untuk mengantar sesaji ke makam Ki Secamenggala. Ternyata Rasus mengikutinya. Di bawah pohon beringin besar mereka mengobrol dan hampir terjadilah pelampiasan birahi kedua anak manusia tersebut. Namun Rasus segera sadar dan mengingatkan Srintil agar tidak berzina di sekitar makam keramat itu. Tibalah saat malam Bukak-Klambu, seorang pemuda datang ke rumah kertareja dengan membawa seekor kerbau betina. Pemuda itu hendak mengikuti malam Bukak-Klambu setelah sebelumnya datang membawa dua keping perak. Setelah kedatangan Dower, datang pula Sulam. Kali ini Sulam datang membawa sekeping emas. Dower dan Sulam pun bertengkar malam itu. Namun otak licik Kertareja dan istrinya, lebih memiliih Dower karena barangnya lebih berharga daripada sekeping emas, Sulam dibuatnya mabuk. Di belakang rumah ternyata Rasus dan Srintil melakukan hubungan layaknya suami istri, jadi malam itu Rasus lah yang mendapatkan keperawanan Srintil. Akhirnya

Dower diberitahu Kartareja untuk masuk ke kamar Srintil untuk melampiaskan nafsunya. Setelah itu giliran Sulam. Sulam tidak tahu kalau dia dibohongi kertareja. Rasus tidak dapat membayangkan lagi sosok ibunya pada diri Srintil. Rasus pergi dan meninggalkan neneknya sendirian. Rasus pergi meninggalkan Dukuh Paruk dan bekerja sebagai penjual singkong di Pasar Dawuan. Ia telah melihat Srintil banyak berubah. Suatu ketika Srintil datang lagi ke Pasar Dawuan, Rasus memberanikan diri untuk menemuinya. Ternyata Srintil tidak melupakan ulah mereka berdua pada malam Bukak-Klambu. Tahun 1960 kecamatan Dawuan tidak lagi aman, banyak terjadi perampokan bahkan pembunuhan. Rombongan tentara yang di pimpin Sersan Slamet datang mengamankan. Rasus diminta bekerja untuk rombongan tentara itu. Dari bekerja itu, Rasus mulai diajari menulis dan membaca oleh Sersan Slamet. Suatu hari Rasus diajak berburu di hutan oleh Sersan Slamet beserta dua anggotanya. Ketika Sersan Slamet dan anak buahnya istirahat, Dipahatlah sebuah batu cadas miri kepala manusia dan segera Rasus menembak batu itu. Hal itu membuat Sersan Slamet dan anak buahnya terbangun. Rasus tidak peduli, ia tengah merasakan kepuasan batin. Rasus pingsan. Perampokan masih terjadi dan telah menewaskan seorang tentara. Suatu malam Rasus dan Kopral Pujo melihat ada sekelompok perampok dengan senjata lengkap. Namun Kopral Pujo takut, akhirnya Rasus yang harus mengikuti perampokperampok itu. Kawanan perampok itu terdiri dari lima orang. Saat tengah mengintai Rasus melihat salah satu perampok yang di belakang rumah. Dengan keberaniannya Rasus membunuhnya dengan pukulan gagang cangkul. Kemudian salah satu perampok juga dibunuh Rasus. Malam terakhir di Dukuh Paruk, Srintil meminta Rasus untuk mengawininya. Namun Rasus menolak. Menjelang fajar Rasus bersiap-siap untuk menyusul ke markas tentara. Srintil pun tidak tahu ketika Rasus pergi. Bagi Rasus, ia telah menemukan dirinya sendiri. Dukuh Paruk tidak lagi dibencinya karena telah merenggut Srintil darinya. Rasus telah merasakan padukuhan itu telah kembali keaslinya. Dengan menolak permintaan Srintil, itu berarti Rasus telah memberi sesuatu yang paling berharaga di Dukuh paruk, yaitu Ronggeng. Rasus juga telah begitu yakin mampu hidup tanpa kehadiran bayangan emaknya.

Identitas Buku     

Judul Penulis Tebal buku Penerbit Cetakan

: Ronggeng Dukuh Paruk : Ahmad Tohari : 408 halaman; 21 cm : PT Gramedia Pustaka Utama : 2009

Dukuh Paruk, Representasi Atmosfer Sosio-Politik Tahun 60-an Bukan hanya buku teks nonfiksi yang dapat dijadikan sumber pengetahuan tentang sejarah, tetapi juga karya sastra. Melalui kisah Ronggeng Dukuh Paruknya, Ahmad Tohari telah membawa kembali masa 1960-an dimana banyak terjadi kekacauan sosio-politik menjelang peralihan Orde Lama ke Orde Baru. OLEH: RENI OKTARI Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk yang terdiri dari Catatan Buat Emak (1982), Lintang Kemukus Dini Hari (1985), dan Jentera Bianglala (1986) menyajikan aspek cerita yang komplit: sosial, budaya dan politik. Lengkap pula dibumbui kekhasan romansa, cinta dan dilema. Trilogi ini telah dicetak berulang-ulang, hingga kemudian dicetaklah edisi three in one-nya. Karya yang sangat menarik ini telah mencapai masa keemasannya. Selain telah diterjemahkan ke berbagai bahasa asing, novel ini juga telah melahirkan lebih dari 50 skripsi dan tesis. Tak hanya itu, novel karya Ahmad Tohari ini pun dijadikan sebagai bacaan wajib mahasiswa jurusan sastra Asia Timur. Novel ini menyorot dinamika hidup Srintil, seorang gadis Dukuh Paruk yang sejak masih belia sudah ditentukan takdirnya sebagai ronggeng lantaran dipercaya tubuhnya telah dirasuki indang ronggeng. Novel ini juga megisahkan secara khas kehidupan Dukuh Paruk: tentang Rasus yang bergulat dengan cinta dan tradisi; tentang anak-anak yang kudisan dan kelaparan; dan tentang perempuan-perempuan dusun yang dengan bangga menceritakan bahwa suami mereka bertayub dengan ronggeng.

Kisah yang didongengkan dengan sangat mengalir ini mampu menyedot pembaca masuk ke dalam cerita. Dengan teknik penceritaan yang apik, Dukuh Paruk mampu dihadirkan ke dalam imajinasi para pembaca secara dekat. Perilaku alam dan segenap penghuni Dukuh Paruk lainnya berhasil dihidupkan Ahmad Tohari melalui kalimat-kalimat yang dirangkai dengan luwes dan khas. Tanpa bermaksud mengeneralisir, secara garis besar Dukuh Paruk merupakan representasi masyarakat pedesaan pada masa itu – khususnya di Jawa. Melalui Dukuh paruk, Ahmad Tohari ingin mengangkat kemelaratan desa-desa kecil di Jawa yang pada tahun 60-an masih belum merasakan kemerdekaan. Gambaran tentang Dukuh Paruk yang belum tersentuh pembangunan, belum mengenal pendidikan dan miskin secara sosial ekonomi merupakan sebagian dari contoh kemelaratan itu. Ketertinggalan Dukuh Paruk ditampakkan juga melalui keluguan-nya dalam menghadapi huru-hara politik dan ideologi di Indonesia tahun 60an, terkait dengan PKI dan ideologi komunisnya. Nasib buruk yang dialami Srintil pun menunjukkan betapa pemerintah sangat paranoid terhadap PKI. Ia ditangkap karena diduga sebagai simpatisan PKI, padahal ia tidak tahu-menahu tentang itu. Beruntung ia hanya ditangkap, karena pada masa itu banyak orang yang tiba-tiba menghilang atau ditemukan sudah tak bernyawa dengan luka tembak tertinggal. Dalam novel ini ditampilkan pula secara kental kehidupan Jawa yang feodal. Hal ini dapat dilihat dari struktur sosial masyarakat Dukuh Paruk, yaitu sebutan priayi disertai penghormatan khusus bagi mereka yang bekerja sebagai abdi negara. Feodalisme tampak pula pada penghormatan yang diberikan bagi mereka yang kaya, pemilik tanah dan pemberi lapangan pekerjaan. Ini terlihat dari penghormatan warga Dukuh Paruk terhadap Srintil, ronggeng yang kaya raya. Tradisionalitas lain terlihat dari konsep gender yang dihadirkan. Hal ini ditampakkan lewat cerita novel yang sering memunculkan pandangan mengenai apa yang pantasdalam konsep keperempuanan dan kelelakian. Bahwa sudah menjadi kodrat perempuan untuk melayani suami dan memelihara anak. Sedangkan laki-laki pergi bekerja mencari nafkah. Ini menampakkan bahwa pada masa itu budaya Jawa mengenal konsep dikotomi gender dalam etika, yaitu perempuan etis dan laki-laki etis. Selain itu, novel ini juga mengangkat keteguhan masyarakat Jawa dalam memegang tradisi dan kepercayaan leluhur turun-menurun. Ini terlihat dalam keseharian masyarakat Dukuh Paruk yang masih mematuhi dan percaya pada petuah-petuah lama serta banyak diwarnai dengan ritual-ritual dan mantra. Selanjutya, tampak bahwa sebenarnya masyarakat Dukuh paruk telah mengenal konsepketuhanan. Konsep ketuhanan ini mereka hadirkan dalam bentuk kepasrahan diri terhadap takdir. Bahwa setiap kejadian dalam hidup sudah ada yang mengaturnya. Hanya saja pada masa itu mereka belum mengenal agama, namun mereka telah mengenal keramat Ki Secamenggala yang mereka percaya sebagai pengatur kehidupan di Dukuh Paruk. Belum masuknya pengaruh agama di Dukuh Paruk juga mewakili kuatnya tradisi dan kepercayaan pada masyarakat Jawa kala itu, dimana pada masa itu masyarakat Jawa memang merupakan masyarakat yang sulit disentuh pengaruh agama dari luar. Ambil saja contoh pada

penyebaran agama Islam di pulau Jawa, bahwa para wali harus mengatur strategi sedemikian rupa agar masyarakat dapat direngkuh simpatinya, misalnya melalui tradisi pewayangan yang oleh para wali dicampuri dengan unsur-unsur islami. Jika ingin dibandingkan dengan karya lain, maka akan terlihat jelas perbedaan antara novel berlatar Sumatera (baik latar cerita maupun latar penulisnya) dengan novel berlatar Jawa. Bahwa pada masa yang sama (sekitar tahun 60-an), unsur-unsur keagamaan yang hadir akan lebih ramai pada karya sastra yang berlatar Sumatera dibanding Jawa. Karena jika ditilik dari sisi historis dan geografis, Sumatera memang lebih strategis untuk dimasuki unsur-unsur luar dibandingkan Jawa. Melalui novelnya, Ahmad Tohari berhasil memunculkan sisi sensitivitas pembaca melalui kisah hidup Srintil yang semi-tragis. Tak hanya itu, gambaran tentang kecabulan Dukuh Paruk, kemiskinannya, dan toleransinya atas semua kecabulan dan kemiskinan itu menimbulkan pandangan dan perdebatan tersendiri bagi para pembaca terutama soal etika dan moralitas pada masa itu. Misalnya mengenai antusiasme warga terhadap seni ronggeng. Bahwa pada masa itu, yang notabene merupakan masa-masa sulit Indonesia secara sosial dan politik, masyarakat banyak melakukan pelarian dan katarsis melalui hiburan-hiburan yang cenderung mengumbar sensualitas. Melihat unsur intrinsiknya, trilogi ini memiliki kejanggalan mengenai sudut pandang. Secara keseluruhan penulis sebenarnya hadir sebagai sudut pandang orang ketiga yang tahu segala. Namun, pada bagian-bagian tertentu sudut pandang penulis berubah menjadi orag kedua yaitu sebagai Rasus. Hal ini sedikit membingungkan pembaca. Terlepas dari itu semua, novel ini sangat asyik dibaca. Dinamika hidup yang dihadirkan dapat dinikmati secara sederhana dan diterima logika. Bobot novel ini pun dapat dilihat dari perdebatan yang hadir di sepanjang cerita, namun tanpa dilebih-lebihkan. Novel ini memang pantas diagung-agungkan dalam dunia sastra.

Judul : Ronggeng Dukuh Paruk Penulis : Ahmad Tohari Isi : 408 halaman Penerbit : Gramedia Pustaka Utama ISBN : 978 – 979 – 22 – 7728 – 9 Cetakan : November 2011 Harga : Rp. 65.000,00 Novel ini merupakan penyatuan trilogi Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari dan Jantera Bianglala, ini berarti dengan membeli satu buku kita dapat tiga buku sekaligus. Apalagi dengan memasukkan kembali bagian-bagian yang tersensor selama 22 tahun, membuat saya penasaran dengan isi buku karya Ahmad Tohari ini. Ahmad Tohari adalah penulis kelahiran Banyumas, 13 Juni 1948 yang tidak pernah melepaskan diri dari pengalaman hidup kedesaanya. Dia memiliki kesadaran dan wawasan alam yang begitu jelas terlihat pada buku ini. Novel ini mengambil setting sekitar tahun 1965an. Semangat Dukuh Paruk kembali menggeliat sejak Srintil dinobatkan menjadi ronggeng baru di Dukuh Paruk, bagi pedukuhan ini ronggeng adalah perlambang. Tanpanya dukuh itu merasa kehilangan jati diri. Dengan segera Srintil menjadi tokoh yang amat terkenal dan digandrungi, cantik dan menggoda. Semua ingin merasakannya. Dari kawula biasa hingga pejabat-pejabat desa maupun kabupaten. Namun malapetaka politik membuat dukuh tersebut hancur secara fisik maupun mental. Pedukuhan itu dibakar. Ronggeng beserta para penabuh calungnya ditahan. Hanya karena kecantikannya Srintil tidak diperlakukan semena-mena di penjara. Pengalaman pahit sebagai tahanan politik membuat Srintil sadar akan hakikatnya sebagai manusia. Karena itu setelah bebas ia berniat memperbaiki citra dirinya. Ia ingin menjadi wanita somahan. Sepercik harapan muncul ketika Bajus muncul. Mesti akhirnya, ia kembali terhempas…

Dalam novel ini Dukuh Paruk adalah gambaran secara jelas dimana pola pikir dan budaya masyarakat sangat dipengaruhi oleh keadaan ekonomi dan tingkat pendidikan. Muatan gender juga sangat terasa dimana Srintil (wanita) lebih dianggap sebagai objek oleh kebanyakan orang, dan ironisnya kebanyakan wanita pun merasa bangga dengan keadaan ini. Cerita tentang kesenian rakyat yang terbawa pada arus politik yang mengakibatkan para pelakunya dituduh sebagai manusia yang mengguncangkan negara, bahkanorang-orangnya ditahan dan harus menyandang status “tapol” membuat saya bertanya-tanya tentang awal pembangunan sebuah rezim dinegri ini. Satu-satunya kekurangan buku ini menurut saya adalah pengaturan line spacingnya yang terlalu rapat, membuat mata pembaca cepat lelah. Namun secara keseluruhan, buku ini bagus dan sangat layak sebagai koleksi.

Dalam Novel ini dikisahkan seorang ronggeng (penari) dari Dukuh Paruk. Ronggeng itu bernama Srintil. Dukuh Paruk adalah sebuah desa kecil yang terpencil dan miskin. Namun, segenap warganya memiliki suatu kebanggaan tersendiri karena mewarisi kesenian ronggeng yang senantiasa menggairahkan hidupnya. Dalam waktu singkat, Srintil pun membuktikan kebolehannya menari disaksikan orang-orang Dukuh Paruk sendiri dan selanjutnya dia pun berstatus gadis pilihan yang menjadi milik masyarakat. Sebagai seorang ronggeng, Srintil harus menjalani serangkaian upacara tradisional yang puncaknya adalah menjalani upacara bukak klambu, yaitu menyerahkan keperawanannya kepada siapa pun lelaki yang mampu memberikan imbalan paling mahal. Meskipun Srintil sendiri merasa ngeri, tak ada kekuatan dan keberanian untuk menolaknya. Srintil telah terlibat atau larut dalam kekuasaan sebuah tradisi, di sisi lain, Rasus merasa mencintai gadis itu tidak bisa berbuat banyak setelah Srintil resmi menjadi ronggeng yang dianggap milik orang banyak. Oleh karena itu, Rasus memilih pergi meninggalkan Srintil sendirian di Dukuh Paruk. Kepergian Rasus ternyata membekaskan luka yang mendalam di hati Srintil dan kelak besar sekali pengaruhnya terhadap perjalanan hidupnya yang berliku. Rasus yang terluka hatinya memilih meninggalkan Dukuh Paruk dan akhirnya menjadi seorang prajurit atau tentara yang gagah. Dengan ketentaraannya itulah kemudian Rasus memperoleh penghormatan dan penghargaan seluruh orang Dukuh Paruk, lebih-lebih setelah berhasil menembak dua orang perampok yang berniat menjarah rumah Kartareja yang menyimpan harta kekayaan ronggeng Srintil. Beberapa hari singgah di Dukuh Paruk Rasus sempat menikmati kemanjaan Srintil sepenuhnya. Tapi itu semua tidak menggoyahkan tekadnya yang bulat untuk menjauhi Srintil dan dukuhnya yang miskin. Pada saat fajar merekah, Rasus melangkah gagah tanpa berpamitan pada Srintil yang masih pulas tidurnya. Kepergian Rasus tanpa pamit sangat mengejutkan dan menyadarkan Srintil bahwa ternyata tidak semua lelaki dapat ditundukkan oleh seorang ronggeng. Setelah kejadian itu Srintil setiap hari tampak murung dan sikap Srintil yang kemudian menimbulkan keheranan orang-orang disekitarnya. Kebanyakan mereka tidak senang menyaksikan kemurungan Srintil, sebab mereka tetap percaya ronggeng Srintil telah menjadi simbol kehidupan Dukuh Paruk. Dalam kurun waktu tertentu, Srintil tetap bertahan tidak ingin menari sebagai ronggeng. Perlawanan atau pemogokan Srintil masih bertahan ketika datang tawaran menari dari Kantor Kecamatan Dawuan yang akan menggelar pentas kesenian menyambut perayaan Agustusan. Kalau pun pada akhirnya runtuh dan pasrah, bukan semata-mata tergugah untuk kembali tampil menari sebagai seorang ronggeng, melainkan mendengar ancaman Pak Ranu dari Kantor Kecamatan. Srintil menyadari kedudukannya sebagai orang kecil yang tak berhak melawan kekuasaan. Sama selaki ia tidak membayangkan akibat lebih jauh dari penampilannya di panggung perayaan Agustusan yang pada tahun 1964 sengaja dibuat berlebihan oleh orang-orang Partai Komunis Indonesia (PKI). Warna merah dipasang di mana-mana dan muncullah pidato-pidato yang menyebut-nyebut rakyat tertindas, kapitalis, imperalis, dan sejenisnya. Pemberontakan PKI kandas dalam sekejap dan akibatnya orang-orang PKI atau mereka yang dikira PKI dan siapa pun yang berdekatan dengan PKI di daerah mana pun ditangkapi dan di tahan. Nasib itu terjadi juga pada Srintil yang harus mendekam di tahanan tanpa alasan yang jelas. Pada mulanya, terjadi paceklik di mana-mana sehingga menimbulkan kesulitan ekonomi secara menyeluruh. Pada waktu itu, orang-orang Dukuh Paruk tidak berpikir panjang dan tidak memahami berbagai gejala zaman yang berkembang di luar wilayahnya. Dalam masa paceklik yang berkepanjangan, Srintil terpaksa lebih banyak berdiam di rumah, karena amat jarang orang mengundangnya berpentas untuk suatu hajatan. Akan tetapi, tidak lama kemudian ronggeng Srintil sering berpentas di rapat-rapat umum yang selalu dihadiri atau dipimpin tokoh Bakar. Walaupun Srintil tidak memahami makna rapat-rapat umum, pidato yang sering diselenggarakan orang. Yang dia pahami hanyalah menari sebagai ronggeng atau melayani nafsu kelelakian. Hubungan mereka merenggang setelah beberapa kali terjadi penjarahan padi yang dilakukan oleh orang-orang kelompok Bakar. Sukarya merasa tersinggung dengan Bakar, karena Bakar mengungkit-ungkit masa lampau Ki

Secamenggala yang dikenal orang sebagai bromocorah. Karena hal itu Sakarya memutuskan hubungan dengan kelompok Bakar. Sakarya tidak hanya melarang ronggeng Srintil berpentas di rapat-rapat umum, tetapi juga meminta pencabutan lambang partai. Akan tetapi, Bakar menanggapinya dengan sikap bersahaja. Dalam tempo singkat, Dukuh Paruk kembali ke tradisinya yang sepi dan miskin. Akan tetapi, kedamaian itu hanya sebentar, karena mereka kemudian kembali bergabung dengan kelompok Bakar setelah terkecoh oleh kerusakan cungkup makam Ki Secamenggala. Sakarya menduga kerusakan itu ulah kelompok Bakar yang sakit hati, tetapi kemudian beralih ke kelompok lain setelah menemukan sebuah caping bercat hijau di dekat pekuburan itu. Sayang, mereka tidak mampu membaca simbol itu. Dan Srintil pun semangat menari walaupun tariannya tidak seindah penampilannya yang sudah-sudah. Ternyata penampilan yang berlebihan itu merupakan akhir perjalanan Srintil sebagai ronggeng. Mendadak pasar malam bubar tanpa penjelasan apa pun dan banyak orang limbung, ketakutan, dan kebingungan, sehingga kehidupan terasa sepi dan mencekam. Berbagai peristiwa menjadikan orang-orang Dukuh Paruk ketakutan, tetapi tidak mengetahui cara-cara penyelesaiannya. Yang terpikir adalah melaksanakan upacara selamatan dan menjaga kampung dengan ronda setiap saat. Keesokan harinya orang-orang Dukuh Paruk melepas langkah Kartareja dan Srintil yang berniat meminta perlindungan polisi di Dawuan. Tapi ternyata harapan berlindung kepada polisi itu berantakan, karena kepolisian dan tentara justru sudah menyimpan catatan nama Srintil yang terlanjur populer sebagai ronggeng rakyat yang mengibarkan bendera PKI. Srintil pulang ke Dukuh Paruk setelah dua tahun mendekam dalam tahanan politik dengan kondisi kejiwaan yang sangat tertekan. Ia berjanji menutup segala kisah dukanya selama dalam tahanan dan bertekad melepas predikat ronggengnya untuk membangun sebuah kehidupan pribadinya yang utuh sebagai seorang perempuan Dukuh Paruk, meskipun tidak mengetahui sedikitpun keberadaan Rasus. Srintil bertemu dengan Bajus. Bajus berjanji akan menikahi Srintil, sehingga Srintil berusaha mencintai Bajus. Tapi Srintil sangat kecewa, karena Bajus ternyata lelaki impoten yang justru hanya berniat menawarkannya kepada seorang pejabat proyek. Srintil pun mengalami goncangan jiwa dan akhirnya menderita sakit gila sampai akhirnya dibawa ke rumah sakit jiwa oleh Rasus. Sumber: http://id.shvoong.com/books/novel-novella/2295752-sinopsis-novel-ronggeng-dukuh-paruk/#ixzz24wcaTvZR

Related Documents

Sinopsis
February 2021 3
Novel
February 2021 4
Sinopsis Francisco
January 2021 1
Novel
February 2021 4

More Documents from "anon_694633681"