Skripsi-ahmad Nurjihan 111070038

  • Uploaded by: Rainier Siahaan
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Skripsi-ahmad Nurjihan 111070038 as PDF for free.

More details

  • Words: 18,112
  • Pages: 130
Loading documents preview...
GEOLOGI DAN PENGARUH SESAR MENDATAR TUTUPAN TERHADAP PERBEDAAN PERINGKAT BATUBARA SEAM T120 BERDASARKAN PARAMETER NILAI REFLEKTAN VITRINIT DAERAH TUTUPAN SELATAN KECAMATAN TANJUNG KABUPATEN TABALONG PROPINSI KALIMANTAN SELATAN

SKRIPSI

Oleh : AHMAD NURJIHAN 111.070.038

PRODI TEKNIK GEOLOGI FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” YOGYAKARTA 2 0 11

i

GEOLOGI DAN PENGARUH SESAR MENDATAR TUTUPAN TERHADAP PERUBAHAN PERINGKAT BATUBARA SEAM T120 BERDASARKAN PARAMETER NILAI REFLEKTAN VITRINIT DAERAH TUTUPAN SELATAN KECAMATAN TANJUNG KABUPATEN TABALONG PROPINSI KALIMANTAN SELATAN

SKRIPSI

Oleh : AHMAD NURJIHAN 111.070.038

Disusun Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Teknik Geologi Yogyakarta, 26 September 2011 Menyetujui, Pembimbing I

Pembimbing II

Ir. H. Achmad Rodhi, M.T. NIP : 19540511 198303 1 001

Ir. Ediyanto, M.T. NIP. 19600331 199203 1 001 Mengetahui, Ketua Jurusan

Ir. Sugeng Raharjo, M.T. NIP. 19581208 199203 1 001

ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT dan rosulnya Muhammad SAW berkat rahmat Nya-lah penulis dapat menyelesaikan laporan tugas akhir yang berjudul “ Geologi dan Pengaruh Sesar Mendatar Tutupan Terhadap Perbedaan Peringkat Batubara Seam T120 Berdasarkan Parameter Nilai Reflektan Vitrinite Daerah Tutupan Selatan, Kecamatan Tanjung, Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan. Laporan tugas akhir ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat kurikulum program Strata-1 di Prodi Teknik Geologi Falkutas Teknologi Mineral Universitas Pembangunan Nasional “ Veteran “ Yogyakarta. Penyusun juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Almarhum Ayah dan Ibunda tercinta, atas semangat, bimbingan, nasehat, doa dan bantuan materiil sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik. 2. Ir. H. Sugeng Rahardjo, MT selaku Ketua Prodi Teknik Geologi, UPN ” Veteran ” Yogyakarta. Bapak Ir. H.Achmad Rodhi, MT selaku pembimbing I di Prodi Teknik Geologi, UPN ”Veteran” Yogyakarta, atas segala ilmu, waktu dan bimbingan yang diberikan kepada penulis. Ir.Ediyanto, MT selaku pembimbing II di Prodi Teknik Geologi, UPN ”Veteran” Yogyakarta, atas segala ilmu, waktu dan bimbingan yang diberikan kepada penulis. 3. PT. Adaro Indonesia atas kesempatan, dukungan, sarana dan prasarana selama penelitian, Bapak Dwin Deswantoro selaku pembimbing di lapangan PT.Adaro Indonesia, dan seluruh karyawan PT. Adaro Indonesia yang telah banyak membantu dan telah memberikan suasana yang menyenangkan selama penelitian. 4. Keluarga Besar Pangea Cruiser atas semua ilmu dan pengalaman yang telah diberikan kepada penulis dan saudara-saudara angkatan 2007 Teknik Geologi UPN ”V” Yogyakarta, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terimakasih atas dukungan dan doanya.

iii

5. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu - persatu yang telah membantu penulis baik secara langsung maupun tidak langsung hingga skripsi ini dapat terselesaikan. Penulis menyadari bahwa laporan skripsi ini masih banyak kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan laporan skripsi ini. Akhir kata, semoga laporan skripsi ini dapat memberikan manfaat dan berguna untuk dipahami bagi para pembaca pada umumnya dan bagi mahasiswa pada khususnya serta dapat dikembangkan sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan, amin yaa rabbal a’lamin.

Yogyakarta,

20 Agustus 2011

Penulis

Ahmad Nurjihan

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN Skripsi ini ku persembahkan kepada :

Keluarga Tercinta, Almarhum Ayahanda Harun Alrasyid dan Ibunda Sri Hartati yang selalu memberikan kasih sayang, dukungan, semangat dan doa yang tiada henti. serta kedua saudaraku Eko Nurrahmanto dan Fajar Dwi Astuti

Keluarga Besar Pangea Cruiser, sebagai tempat bermain dan belajar.

Keluarga Basecamp PC, Adie Pulung Saputro, RY Rahman, Rudi Prastiono

Keluarga Besar staff dosen dan asisten dosen Laboratorium Geologi Struktur.

Selvy Indah Era Wardani yang telah banyak memberikan semangat. Teman-teman Geologi terutama “Pangea 2007”, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, terimakasih atas dukungan dan bantuan kalian semua.

v

GEOLOGI DAN PENGARUH SESAR MENDATAR TUTUPAN TERHADAP PERUBAHAN PERINGKAT BATUBARA SEAM T120 BERDASARKAN PARAMETER NILAI REFLEKTAN VITRINIT DAERAH TUTUPAN KECAMATAN TANJUNG KABUPATEN TABALONG PROPINSI KALIMANTAN SELATAN Ahmad Nurjihan 111.070.038

ABSTRAK Latar belakang penelitian ini adalah dijumpai banyak seam batubara dengan ketebalan mencapai 28 meter dan struktur geologi yang cukup kompleks, sehingga tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui keadaan geologi dan karakteristik struktur geologi daerah telitian serta perubahan peringkat batubara (coal rank) berdasarkan tingkat kematangan bahan organik (reflektan vitrinit) yang dikontrol oleh perubahan tekanan dan temperatur akibat dari pengaruh sesar mendatar Tutupan. Lokasi Penelitian ini dilakukan pada salah satu kuasa pertambangan milik PT. Adaro Indonesia, yaitu di Blok Tutupan Selatan Pit Hill 11. Secara administrasi lokasi daerah telitian berada pada daerah Tanjung, Kabupaten Tabalong, Provinsi Kalimantan Selatan, secara geografis terletak pada 11528’0” BT - 11528’53.2” BT dan 214’10.8” LS - 215’0” LS. Metode penelitian yang digunakan adalah berupa pemetaan geologi permukaan (Surface Mapping) dengan pengambilan data langsung di lapangan. Beberapa analisis yang dilakukan antara lain: struktur geologi dan petrografi batubara (maseral dan reflektan vitrinit) yang digunakan untuk penentuan peringkat batubara pada daerah telitian. Satuan geomorfologi daerah telitian antara lain: bukit homoklin berlereng miring (S1), perbukitan homoklin berlereng landai (S2), kolam penampungan air/sump hasil penambangan (H1), lereng curam high wall hasil penambangan (H2), lereng curam low wall hasil penambangan (H3), lereng curam end wall hasil penambangan (H4) dan dataran berlereng landai-miring hasil penambangan (H5). Stratigrafi daerah telitian dari tua ke muda yaitu : Satuan batupasir kuarsa Warukin yang diendapkan pada lingkungan Upper delta plain pada Kala Miosen Tengah, selaras di atasnya Satuan batulempung Warukin yang diendapkan pada lingkungan Transitional lower delta plain pada Kala Miosen Tengan dan tidak selaras di atasnya Satuan Endapan Alluvial yang diendapkan pada lingkungan fluviatil (darat) pada Kala Holosen. Struktur geologi pada daerah telitian berupa kekar dan cleat dengan arah umum NW-SE, homoklin dengan strike ke arah NE-SW dan dip miring ke arah SE, sesar mendatar Tutupan berarah WNW-ESE, serta sesar naik Hill 11 diperkirakan berarah NE-SW. Secara umum, peringkat batubara (coal rank) berdasarkan nilai reflektan vitrinit di daerah telitian mempunyai peringkat batubara Sub-Bituminous B menurut klasifikasi ASTM, 1986. Sedangkan pada seam T120 yang tersesarkan (pengambilan sampel pada zona sesar) terjadi perbedaan peringkat batubara dengan peringkat High Volatile Bituminous C yang diakibatkan oleh peningkatan tekanan dan temperatur karena pergerakan sesar mendatar Tutupan.

vi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................ HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................. KATA PENGANTAR.............................................................................................. HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN .................................................... ABSTRAK ................................................................................................................ DAFTAR ISI ............................................................................................................ DAFTAR FOTO ..................................................................................................... DAFTAR GAMBAR................................................................................................ DAFTAR TABEL ....................................................................................................

i ii iii v vi vii ix x xi

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang .................................................................................................... 1.2. Rumusan Masalah ............................................................................................... 1.3. Batasan Masalah ................................................................................................ 1.4. Maksud dan Tujuan Penelitian ........................................................................... 1.5. Lokasi dan Kesampaian Daerah Penelitian ........................................................ 1.6. Hasil Penelitian ................................................................................................... 1.7. Manfaat Penelitian .............................................................................................. 1.8. Peneliti Terdahulu ...............................................................................................

1 1 2 2 3 6 7 7

BAB II. METODE PENELITIAN 2.1.Metodologi Penelitian .......................................................................................... 8 BAB III. DASAR TEORI 3.1. Genesa Batubara ................................................................................................. 3.2. Faktor Pembentuk Batubara................................................................................ 3.3. Petrografi Batubara ............................................................................................. 3.4. Peringkat Batubara (Coal Rank) ........................................................................ 3.5. Lingkungan Pengendapan .................................................................................. 3.7. Karakteristik Sesar Naik dan Sesar Mendatar ....................................................

14 17 19 17 31 35

BAB IV. GEOLOGI REGIONAL 4.1. Fisiografi Regional ............................................................................................. 4.2. Kerangka Tektonik Regional .............................................................................. 4.3. Stratigrafi Regional ............................................................................................. 4.4. Struktur Geologi Regional ..................................................................................

39 40 43 48

BAB V. GEOLOGI DAERAH TELITIAN 5.1. Geomorfologi Daerah Telitian ............................................................................ 50 5.2. Stratigrafi Daerah Telitian .................................................................................. 58

vii

5.3. Struktur Geologi Daerah Telitian ....................................................................... 70 5.4. Sejarah Geologi Daerah Telitian......................................................................... 84 BAB VI. PENGARUH SESAR MENDATAR TUTUPAN TERHADAP PERINGKAT BATUBARA SEAM T120 BERDASARKAN PARAMETER NILAI REFLEKTAN VITRINIT DAERAH TELITIAN 5.1. Peringkat Batubara (Coal Rank) Daerah Telitian ............................................... 84 5.2.Pengaruh Sesar Mendatar Tutupan Terhadap Peringkat Batubara Seam T120 ... 88 BAB VII. KESIMPULAN ....................................................................................... 92 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... xii DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................ xiii

viii

DAFTAR FOTO

Foto

Hal

5.1. Kenampakan arah kemiringan lapisan batuan pada daerah telitian ................. 5.2. Kenampakan satuan Geomorfologi bukit homoklin berlereng miring (S1) dan perbukitan lemah homoklin berlereng landai (S2) di bagian tenggara daerah telitian.................................................................................................... 5.3. Kenampakan satuan kolam penampungan (sump) di daerah telitian ............... 5.4. Kenampakan satuan geomorfik aspek manusi pada daerah telitian ................ 5.5. Kenampakan woody structur (struktur kayu) pada LP 109 ............................. 5.6. Litologi batupasir kuarsa daerah telitian pada LP 2 ....................................... 5.7. a. Litologi batulempung dengan sisipan batubara tipis pada LP 82 ................ 5.7. b. Lithologi batulempung karbonan dengan struktur menyerpih pada LP 90 . 5.8. Litologi batubara T110 bagian floor pada lintasan MS end wall timur laut .... 5.9. a. Cleat pada batubara seam T110 pada LP 164 .............................................. 5.9. b. Kenampakan resin/amber pada seam batubara T110 pada end wall timut laut................................................................................................................ 5.10. Kontak satuan batuan (garis merah) pada end wall timur laut daerah telitian 5.11. Litologi batulempung dengan struktur masif pada LP 101 ............................ 5.12. Litologi batupasir kuarsa dengan struktur silang siur pada LP 10 .................. 5.13. Litologi batulanau dengan fosil cetakan daun (plant remain) LP 102 ........... 5.14. Satuan Endapan Alluvial yang terdapat pada kolam penampungan /sump .... 5.15. Kekar pada lithologi batulanau LP 71 ............................................................ 5.16. Kenampakan cleat pada daerah telitian .......................................................... 5.17. Struktur homoklin pada daerah telitian ........................................................... 5.18. Kenampakan offset, bidang sesar, zona milonit pada daerah telitian ............. 5.19. Kenampakan bidang sesar, slickenside dan drag fold di daerah telitian ........ 5.20. Kenampakan lipatan berupa drag fold di dearah telitian pada LP 78 dan LP 79 ....................................................................................................................

52

53 54 56 59 59 60 60 61 62 62 64 65 65 66 69 71 73 75 76 77 81

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1. Peta lokasi daerah telitian yang termasuk dalam wilayah konsesi PT. Adaro Indonesia ........................................................................................................... 1.2. Petunjuk letak peta dan peta lokasi daerah telitian ........................................... 2.1. Diagram alir tahapan dan metode penelitian .................................................... 3.1. Proses kematangan batubara ............................................................................. 3.2. Model Lingkungan Pengendapan Batubara (Horne,1978) ............................... 3.3. Penampang Singkapan dan Rekontruksi Upper Delta Plain-Fluvial (Horne,et all, 1978) ........................................................................................... 3.4. a. Rekontruksi dari lingkungan transitional lower delta plain ......................... 3.4. b. Urutan umum vertikal melalui endapan transitional lower delta plain (Horne,et all, 1978) ...................................................................................... 3.5. Kemungkinan terbentuknya splitting lapisan batubara yang disebabkan perubahan pergerakan sesar selama pengendapan gambut berlangsung .......... 3.6. Plan of wrench system under North – South sample (Moddy and Hill, 1961) 3.7. En Echelon Structures pada zona strike slip faults (Harding,1974 and Bartlett et all,1981) ........................................................................................... 4.1. Peta fisiografi pulau Kalimantan ...................................................................... 4.2. Elemen Tektonik Kalimantan (Kusuma & Darin, 1989) .................................. 4.3. Barito Basin-Makassar Strait cross section ...................................................... 4.4. Peta geologi Regional daerah penelitian (Heryanto,dkk.1994) ....................... 4.5. Model Struktur Regional (PT. Adaro Indonesia).............................................. 4.6. Tatanan Tektonik Cekungan Barito .................................................................. 5.1. Diagram Rosset dan Kontur face cleat daerah telitian ..................................... 5.2. Diagram kontur face cleat pada zona sesar dengan kekudukan umum N370E/550......................................................................................................... 5.3. Diagram analisis sesar mendatar Tutupan ........................................................ 5.4. Analisis stereografis drag fold pada daerah telitian.......................................... 5.5. Hubungan antara pergerakan sesar dengan struktur penyerta (Hill,1976) ........

Hal. 5 6 13 23 26 29 31 31 33 38 38 39 42 42 46 49 49 74 78 78 80 82

x

DAFTAR TABEL

Tabel

Hal.

3.1 Tahap – tahap perkembangan gambut menjadi meta-antrasit (Thomas, 2002 ..) 16 3.2 Klasifikasi Maseral Batubara (AS 2856, 1986) ............................................... 22 3.3 Coal Rank Classifications (ASTM Standard, 1983) And Relation to vitrinite reflectance (modified from Meissner, 1984) ..................................................... 24 4.1 Stratigrafi cekungan Barito (Adaro Resources Report, 1999) ........................... 46 4.2 Kolom stratigrafi daerah Tutupan (PT. Adaro Indonesia) ................................. 47 5.1 Klasifikasi Kemiringan Lereng (Zuidam dan Cancelado, 1979) ....................... 51 5.2 Klasifikasi satuan geomorfik daerah telitian ..................................................... 59 5.3 Kolom Stratigrafi Daerah Telitian ..................................................................... 70 5.4 Tabulasi Data Face Cleat Daerah Telitian ........................................................ 72 5.5 Tabulasi Data Kedudukan Sayap Drag Fold ..................................................... 79 6.1 Peringkat batubara Tutupan (ADARO) ............................................................. 84 6.2 Coal rank ADR_T100 ....................................................................................... 85 6.3 Coal rank ADR_T120 ....................................................................................... 85 6.4 Coal rank ADR_T300 ....................................................................................... 86 6.5 Hasil analisis reflektan vitrinit dan penentuan coal rank (ASTM,1986), seam T120 pada daerah telitian.................................................................................. 87 6.6 Klasifikasi coal rank T120 AH-1 LP 105 (ASTM,1983 modified from Meissner,1984) ................................................................................................. 88 6.7 Klasifikasi coal rank T120 AH-2 LP 6(ASTM,1983 modified from Meissner,1984) ................................................................................................. 88 6.8 Klasifikasi coal rank T120 AH-2 LP 6(ASTM,1983 modified from Meissner,1984) ................................................................................................. 89

xi

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian Batubara adalah bahan bakar hydro-karbon yang terbentuk dari tetumbuhan dalam lingkungan bebas oksigen dan terkena pengaruh panas serta tekanan yang berlangsung lama sekali. Secara garis besar batubara terdiri dari zat organik, air dan bahan mineral. Petrologi batubara memberikan dasar untuk pemahaman genesa , sifatsifat dan arti penting unsur organik di dalam batubara. Material organik berasal dari berbagai macam tumbuhan dan sebagian bercampur dengan sedimen anorganik selama tahap pembentukan gambut. Pada tahap pembentukan batubara merupakan tahap pembentukan dari gambut menjadi batubara yang lebih tinggi derajatnya (coal rank) yaitu mulai dari lignit, subbituminous, bituminous dan antrasit, yang merupakan akibat dari kenaikan temperatur yang berlangsung pada waktu dan tekanan tertentu (Cook, 1982). Cook (1982), juga menjelaskan bahwa tahap pembatubaraan terdiri dari derajat dan pematangan bahan organik pada fase metamorfosa tingkat rendah, dimana material organik lebih peka terhadap metamorfosa tingkat rendah dari pada mineral anorganik. Aktifitas tektonik dapat menimbulkan efek tekanan terutama pada shearing force atau gaya lintang. Aktivitas tektonik sangat berpengaruh terhadap kondisi lapisan batubara baik fisik maupun kimianya. Tentunya pada daerah patahan juga menghasilkan akibat yang sama karena adanya perubahan tekanan dan temperatur di zona sesar. Kondisi geologi terutama batubara pada daerah Tutupan selatan yang merupakan wilayah konsesi PT. Adaro Indonesia, dijumapi banyak seam batubara dan ada yang mempunyai tebal mencapai 30 meter serta kondisi struktur geologi pada daerah tersebut yang cukup kompleks. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perubahan peringkat batubara (coal rank) berdasarkan tingkat kematangan bahan organik yang dikontrol oleh perubahan tekanan dan temperatur akibat dari pengaruh

1

struktur geologi, yang secara ekonomis akan sangat menguntungkan karena ketebalan seam batubara pada daerah telitian ini mencapai hingga 28 meter.

1.2. Rumusan Masalah Rumusan masalah yang dapat dimunculkan adalah : 1. Bagaimana karakteristik struktur geologi yang ada pada daerah telitian? 2. Bagaimana pengaruh struktur geologi terhadap peringkat batubara (coal rank) berdasarkan parameter nilai reflektan vitrinit pada daerah telitian?

1.3. Batasan Masalah Penelitian yang dilaksanakan dibatasi dan menitikberatkan khususnya pada lapisan batubara seam T120 dan struktur geologi berupa sesar mendatar Tutupan. Dimana nantinya akan dibandingkan peringkat batubara pada zona sesar dan jauh dari zona sesar menggunakan parameter nilai reflektan vitrinit rata-rata dengan pengaruh sesar mendatar Tutupan pada daerah telitian. Data yang digunakan adalah data outcrop permukaan dari hasil pemetaan peneliti di daerah Tutupan Selatan, konsesi PT. Adaro Indonesia, Kecamatan Tanjung, Kabupaten Tabalong, Provinsi Kalimantan Selatan serta menggunakan hasil analisis petrografi batubara dengan sampel yang diambil pada daerah telitian. Seam T120 dipilih karena merupakan seam yang paling jelas tersesarkan dibandingkan seam yang lain dan merupakan seam kunci dengan ketebalan hingga 28 meter pada daerah telitian.

1.4. Maksud dan Tujuan Penelitian Berdasarkan kurikulum Jurusan Teknik Geologi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta, maka mahasiswa yang telah memenuhi syarat diwajibkan untuk melaksanakan Tugas Akhir dengan melakukan pemetaan geologi lapangan. Hal ini sebagai syarat untuk mencapai gelar kesarjanaan pada program S1 di Jurusan Teknik Geologi UPN “V” Yogyakarta 2

Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengetahui kondisi geologi daerah telitian. 2. Mengetahui struktur geologi yang berkembang pada daerah telitian. 3. Mengetahui pengaruh sesar mendatar Tutupan terhadap perbedaan peringkat batubara (coal rank) seam T120 yang ditinjau dari nilai reflektan maseral (vitrinit) di daerah telitian.

I.5. Lokasi dan Kesampaian Daerah Penelitian Lokasi Penelitian ini dilakukan pada salah satu kuasa pertambangan milik PT. Adaro Indonesia, yaitu di Blok Tutupan Selatan pit Hill 11. Secara administrasi lokasi daerah telitian berada pada daerah Tanjung, Kabupaten Tabalong, Provinsi Kalimantan Selatan (sekitar 210 km ke arah Timur Laut dari Kota Banjarmasin) dan daerah telitian terletak pada koordinat UTM N 9751209 – N 9752768 dan E 329486 – E 331068, secara geografis terletak pada 11528’4.6” BT - 11528’53.2” BT dan 214’1.8” LS - 215’1.6” LS dengan luas daerah telitian adalah 1 x 1,3 km (Gambar 1.1 dan 1.2). Pertambangan batubara PT. Adaro Indonesia dibatasi dalam wilayah kuasa Pertambangan Eksploitasi DU. 182/Kal–Sel. Areal kuasa penambangan batubara PT.Adaro Indonesia terdapat di empat lokasi, yaitu daerah Paringin, Tutupan, Wara dan Warukin. Daerah operational PT.Adaro Indonesia secara geografis berada pada : 

115º33’30” sampai dengan 115º26’10” Bujur Timur



2º7’30” sampai dengan 2º55’30” Lintang Selatan.



Lokasi penambangan berjarak 210 km kearah Timur Laut Kota Banjarmasin. Secara administratif, PT. Adaro Indonesia meliputi tiga belas kecamatan dan tiga

kabupaten yang terdapat di dua propinsi (Gambar 1.1). Di daerah tingkat I Kalimantan Selatan meliputi Kabupaten Tabalong (Kecamatan Muara Harus, Murung Pudak, Upau, Tanta, dan Kelua), Kabupaten Hulu Sungai Utara (Kecamatan Paringin : Lampihong, Juai, Awayan, dan Batu Mandi). Sedangkan di Daerah Tingkat I Kalimantan Tengah

3

meliputi Kabupaten Barito Selatan (Desa Kelanis Kecamatan Hulu Sungai Hilir/Mangkatip dan Desa Rangga Ilung Kecamatan Jenamas serta Pasar Panas). Rute perjalanan yang ditempuh dari Yogyakarta ke lokasi areal tambang adalah sebagai berikut: 1) Yogyakarta – Banjarbaru (Kalimantan Selatan) selama ± 1 jam 30 menit dengan menggunakan pesawat udara. 2) Banjarbaru – Tanjung, Kabupaten Tabalong dengan menggunakan transportasi darat jarak tempuh ± 230 km selama ± 4-5 jam perjalanan dengan kondisi jalan beraspal cukup baik. 3) Tanjung – Kantor Pusat PT. Adaro Indonesia Wara km 73 dengan menggunakan transportasi darat jarak tempuh ± 15 km selama ± 30-45 menit dengan kondisi jalan beraspal cukup baik. 4) Kantor Pusat PT. Adaro Indonesia Wara km 73 – Lokasi Penelitian dapat ditempuh dengan trasportasi darat (mobil roda 4) jarak tempuh ± 6 km selama 10-15 menit dengan kondisi jalan berupa haul road dan jalan tambang.

4

Gambar 1.1. Peta lokasi daerah telitian yang termasuk dalam wilayah konsesi PT. Adaro Indonesia

5

Gambar 1.2. Petunjuk letak peta dan peta lokasi daerah telitian

I.6. Hasil Penelitian Hasil penelitian ditampilkan dalam bentuk: 1. Peta lintasan dan lokasi pengamatan. 2. Peta geomorfologi 3. Peta geologi 4. Peta struktur dan peringkat batubara seam T120. 5. Penampang stratigrafi terukur 6. Laporan Penelitian.

6

I.7. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dari beberapa sudut pandang berupa: 1. Keilmuan, dapat diketahui bagaimana pengaruh struktur geologi terhadap komposisi maseral batubara. 2. Kegunaan penelitian bagi perusahaan, memberikan informasi dan data geologi terbaru kepada perusahaan yang menjadi tempat dilaksanakannya penelitian ini.

I.8. Peneliti Terdahulu Daerah telitian termasuk ke dalam Cekungan Barito, secara fisiografi merupakan bagian dari cekungan di Kal-Tim. Beberapa peneliti terdahulu, meneliti daerah lebih luas yang mencakup daerah penelitian penulis, antara lain: 1. Gunawan Sabta Eko, Skripsi, 2007, Kendali Geologi Terhadap Karaktristik Cleat Batubara Seam T210,T220,T200 Pada Blok Tambang PT. Bukit Makmur Mandiri Utama Daerah Tutupan Wilayah Konsesi PT. Adraro Indonesia Kabupaten Tabalong Kal-Sel, UPN “V”. Yogyakarta. 2. Hariyadi, Skripsi, 2008, Pola Sebaran Lapisan Batubara Seam A, B, C, D, E, F Pada

Formasi

Warukin

Berdasarkan

Data

Permukaan

Daerah

Utara

TutupanWilayah Konsesi PT. Adaro Indonesia,, Kabupaten Tabalong, Kal-Sel, UPN “V”. Yogyakarta. 3. Heryanto, R, 2009, Karakteristik dan Lingkungan Pengendapan Batubara Formasi Tanjung di daerah Binuang dan sekitarnya, Kalimantan Selatan, Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 4 No. 4 Desember 2009: 239-252. 4. Kusnama, 2008, Batubara Formasi Warukin di daerah Sampit dan sekitarnya, Kalimantan Tengah, Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 3 No. 1 Maret 2008: 11-22 5. Sikumbang, N. dan Heryanto, R., 1994. Peta Geologi Lembar Banjarmasin, Kalimantan Selatan skala 1 : 250.000. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung.

7

BAB II METODELOGI PENELITIAN 2.1.

Metodelogi Penelitian Metode penelitian yang digunakan di daerah penelitian adalah berupa

pemetaan geologi permukaan (Mapping surface). Dalam penelitian ini masalah yang akan dijumpai terutama masalah yang berhubungan dengan obyek penelitian itu sendiri seperti permasalahan geologi, geomorfologi, struktur geologi maupun stratigrafi. Maka untuk memecahkan masalah tersebut, metode pendekatan yang dilakukan dalam penelitian di lakukan dalam beberapa tahap yang meliputi antara lain: tahap pendahuluan (pra-lapangan), pelaksanaan (lapangan) dan tahap pasca-lapangan (pengolahan data dan laporan akhir).

a. Tahap Pendahuluan (Pra-lapangan) Segala hal mengenai daerah penelitian sangat berguna bagi penelitian lebih lanjut, untuk itu hasil-hasil penelitian terdahulu sangat penting sebagai referensi dan perbandingan. Adapun pengenalan lapangan dan persiapan-persiapan yang harus dilakukan meliputi :  Persiapan proposal penelitian dan perijinan.  Persiapan peralatan dan perlengkapan. Pada penelitian ini bahan-bahan dan alat-alat yang digunakan adalah sebagai berikut: 1. Sarana Pengamatan: Kompas geologi, palu geologi, kaca pembesar (lup), komparator butir, meteran 30 m, HCL dan kantong sampel. 2. Sarana Perekam: Peta topografi, buku catatan lapangan, kamera digital dan GPS. 3. Alat Tulis : Pena, pensil, pensil berwarna, spidol marker, spidol OHP, clipboard, penggaris, busur derajat, kertas HVS.

8

4. Pengolahan data menggunakan software: AutoCad, MapSource, ArcGis, Dips, Global Mapper, Surfer dan Corel Draw.  Studi pustaka daerah penelitian dan geologi regionalnya, untuk dapat mengetahui kondisi geologi daerah penelitian berdasarkan informasi-informasi yang berupa literatur dan publikasi dari peneliti terdahulu.  Melakukan interpretasi awal dengan menggunakan peta topografi daerah penelitian sebagai peta dasar dan sebagai tahap awal penelitian dengan memperhatikan unsur-unsur yang terdapat dalam peta tersebut.

b. Tahap Pelaksanaan (lapangan) Dalam tahap pelaksanaan/lapangan ini dilakukan

pekerjaan lapangan dan

pengumpulan data dilapangan pada daerah penelitian yang merupakan konsesi PT. Adaro Indonesia. Data yang didapatkan peneliti dari pengamatan lapangan merupakan data primer. Data yang diperoleh antara lain:  Observasi lapangan: Dilakukan untuk mengenali medan dan kondisi lapangan dari daerah penelitian dan juga untuk mengetahui gambaran morfologi dan keadaan geologi secara umum guna menentukan langkah-langkah dalam penelitian selanjutnya.  Penggambilan data lapangan: Pengamatan lapangan dan pengambilan data geologi merupakan unsur utama dalam pemetaan geologi permukaan (Mapping surface) karena keakuratan data yang diambil akan sangat mempengaruhi hasil akhir penelitian ini. Data yang perlu diambil pada daerah penelitian, antara lain: 1.

Pengukuran data kedudukan lapisan batuan. Tujuan dari pengambilan data ini ialah untuk mengetahui sebaran litologi daerah penelitian dan kondisi geologi daerah penelitian.

2.

Deskripsi singkapan, baik iu singkapan batubara, batuan lainnya, morfologi sekitar dan unsur-unsur struktur geologi yang dijumpai.

9

3.

Profil singkapan pengamatan dan penampang stratigrafi terukur Tujuan dari pembuatan profil dan penampang stratigrafi terukur adalah untuk mengetahui hubungan satuan batuan, sejarah geologi dan juga dapat digunakan untuk menentukan lingkungan pengendapan dari satuan batuan pada daerah penelitian.

4.

Pengukuran struktur geologi Data pengukuran struktur geologi dapat dipakai untuk mengetahui prosesproses geologi yang bekerja serta sebagai data utama pada kajian khusus pada daerah penelitian.

5.

Pengukuran azimuth singkapan Pengukuran azimuth singkapan dilakukan untuk mengetahui arah dari singkapan yang ditemui.

6.

Dokumentasi (foto) Dokumentasi dimaksudkan untuk merekam kenampakan-kenampakan litologi maupun singkapan yang ada, sehingga akan memudahkan penulis untuk menunjukannya kepada pembaca. Dokumentasi tersebut dapat berupa foto singkapan, foto bentang alam maupun foto close up dari litologi dan struktur sedimennya.

7.

Pegambilan sampel untuk uji laboratorium, diantaranya sampel petrografi, sampel paleontologi dan sampel batubara untuk uji petrografi dan maseral batubara.

c. Tahap Analisis Data Tahap pemprosesan data yaitu dengan melakukan penggabungan dari hasil studi pustaka dan literatur yang dilakukan di studio dengan hasil

pengamatan serta

pengambilan data lapangan yang didukung oleh analisa laboratorium, yang meliputi : analisis struktur geolo, analisa paleontologi, analisa petrografi, analisa struktur geologi serta analisa data-data lapangan yang dibuat menjadi penampang terukur (profil) agar

10

dicapai kesimpulan yang dapat menjawab pertanyaan tetang penelitian yang dilakukan yang akan ditampilkan dalam bentuk: 1) Peta Lintasan dan Lokasi Pengamatan 2) Peta Geomorfologi 3) Peta Geologi 4) Penampang Stratigrafi Terukur 5) Peta Struktur dan peringkat Batubara seam T120

Beberapa analisa yang dilakukan untuk melengkapi data pemetaan ini antara lain: a. Analisis Petrografi Untuk menganalisis petrografi dari sampel-sampel batuan yang mewakili satuan batuan di daerah penelitian. b. Analisis Mikropaleontologi Untuk menganalisis kandungan mikrofosil (fosil bentos maupun plankton) yang terkandung dalam sampel batuan yang diduga mengandung fosil untuk penentuan umur dari satuan batuan yang diwakili. c. Analisis Struktur Geologi Untuk menganilisis struktur geologi meliputi analisa stereografi untuk penggambaran stereografi kedudukan struktur geologi yang dijumpai baik itu kekar, sesar, micro fold, maupun cleat. d. Analisis Penampang Stratigrafi Terukur Untuk menganilisis penampang stratigrafi terukur berdasarkan cirri-ciri fisik, kimia dan biologi dari batuan untuk selanjutnya menentukan lingkungan pengendapan. e. Analisis Petrografi dan Maseral Batubara Untuk mengetahui komposisi dan penyusun apa saja yang terkandung dalam batubara. Serta menentukan peringkat batubara (coal rank) dari lapisan batubara menggunakan analisis reflektan vitrinit dari maseral batubara.

11

f. Pembuatan peta-peta, yaitu peta lintasan dan lokasi pengamatan, peta struktur dan peringkat batubara seam T120, peta geomorfologi dan peta geologi daerah penelitian.

d. Penyusunan Laporan Pelaporan merupakan tahap akhir dari seluruh kegiatan penelitian yang telah dilakukan dan disajikan dalam bentuk laporan dan peta yang merangkum semua permasalahan yang diangkat penulis beserta hasil analisa guna menjawab permasalahan di atas.

12

Gambar 2.1. Diagram alir tahapan dan metode penelitian

13

BAB III DASAR TEORI 3.1. Genesa Batubara Menurut Badan Standarisasi Nasional dalam SNI (1997),

batubara adalah

endapan yang mengandung hasil akumulasi material organik yang berasal dari sisa-sisa tumbuhan yang telah melalui proses lithifikasi untuk membentuk lapisan batubara, material tersebut telah mengalami kompaksi, ubahan kimia dan proses metamorfosis oleh peningkatan panas dan tekanan selama periode geologi. Bahan-bahan organik yang terkandung dalam lapisan batubara mempunyai berat > 50% volume bahan organik. Batubara berasal dari tumbuh-tumbuhan yang mengalami proses pembentukan batubara yang terdiri dari dua tahap, yaitu tahap biokimia (penggambutan) dan tahap geokimia (pembatubaraan). Tahap penggambutan (peatification) adalah tahap dimana sisa-sisa tumbuhan yang terakumulasi tersimpan dalam kondisi reduksi (gambut) di daerah rawa dengan sistem pengeringan yang buruk dan selalu tergenang air pada kedalaman 0,5 – 10 m. Material tumbuhan yang busuk ini melepaskan H, N, O, dan C dalam bentuk senyawa CO2, H2O, dan NH3 untuk menjadi humus. Selanjutnya oleh bakteri anaerobik dan fungi diubah menjadi gambut (Stach et al, 1982 ). Gambut merupakan tahap paling awal dari proses pembentukkan batubara. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam pembentukkan gambut : 

Evolusi tumbuhan, hara merupakan unsur utama pembentuk batubara dan sebagai penentu terbentuknya berbagai tipe batubara. Metode yang digunakan untuk mengenal jenis tumbuhan pembentuk batubara yaitu paleobotani atau maseral.



Iklim, kelembaban memegang peranan penting dalam pembentukan gambut. Iklim tropis dapat membentuk gambut lebih cepat karena kecepatan tumbuh dari tumbuhan lebih besar, lebih banyak ragam tumbuhan, dalam waktu 7-9 tahun dapat mencapai ketinggian 30 m.

14

Sedangkan pada iklim sedang dapat mencapai ketinggian 5-6 m dalam jangka waktu yang sama. 

Paleografi dan Tektonik, syarat terbentuknya formasi batubara adalah kenaikan muka air tanah yang lambat, adanya perlindungan rawa terhadap pantai atau sungai dan terdapat energi yang relatif rendah. Tahap selanjutnya yaitu tahap pambatubaraan (coalification)

yang

merupakan gabungan proses biologi, kimia, dan fisika yang terjadi karena pengaruh pembebanan dari sedimen yang menutupinya, temperatur, tekanan, dan waktu terhadap komponen organik dari gambut (Stach et al, 1982, dalam Susilawati, 1992). Pada tahap ini persentase karbon akan meningkat, sedangkan presentase hidrogen dan oksigen akan berkurang (Fischer, 1927, dalam Susilawati, 1992). Proses ini akan menghasilkan batubara dalam berbagai tingkat kematangan material organiknya mulai dari lignit, sub bituminus, bituminus, semi antrasit, antrasit, hingga meta antrasit (Tabel 3.1.). Meningkatnya peringkat batubara dari lignit hingga berubah menjadi subbitumin dan antrasit disebabkan oleh kombinasi antara proses fisika dan kimia serta aktifitas biologi (Teichmuller dan Teichmuller, 1968; Stach et al., 1975 dalam Galloway dan Hobday, 1983).

15

Tabel 3.1. Tahap – tahap perkembangan gambut menjadi meta-antrasit (Thomas, 2002) Tahap Pembatubaraan

Kisaran peringkat batubara menurut ASTM

Proses yang dominan

1. Penggambutan

Gambut

Maserasiasi, humifikasi, jelifikasi, fermentasi

2. Dehidrasi

Lignit – subbituminus

Dehidrasi, penghilangan kompaksi

3. Bituminisasi

Subbituminus A – bituminous A kaya volatile

Pembentukan dan pengikatan hidrokarbon, depolimerisasi matriks, penambahan ikatan hydrogen

4. Debituminisasi

Bituminous A kaya volatile – bituminous A rendah volatile

5. Grafitisasi

Semi-antrasit – antrasit – meta-antrasit

Coalescence, pelepasan hydrogen dan nitrogen

Perubahan fisika-kimia yang dominan Pembentukan zat humik, peningkatan pada aroma Pengurangan kandungan air dan rasio O/C, peningkatan nilai panas, pertumbuhan cleat Peningkatan vitrinit Ro, peningkatan fluorescence, pengurangan densitas, peningkatan kekuatan Pengurangan fluorescence, pengurangan berat molekul, pengurangan rasio H/C, pengurangan kekuatan, pertumbuhan cleat Pengurangan rasio H/C, anisotropic, kondensasi kekuatan cincin dan perbaikan cleat

Genesa batubara berdasarkan tempat dibedakan menjadi dua (Sukandarrumidi, 1995, hal.17) yaitu : a. Teori Insitu Bahan-bahan pembentuk lapisan batubara terbentuk di tempat dimana tumbuh-tumbuhan asal itu berada. Dengan demikian setelah tumbuhan itu mati, sebelum terjadi proses transportasi segera tertutup oleh lapisan sediment dan mengalami proses coalification. Batubara dengan proses ini penyebarannya luas, merata dan kualitasnya baik. b. Teori Drift Bahan-bahan pembentuk lapisan batubara terjadi di tempat yang berbeda dengan tempat tumbuhan semula hidup dan berkembang. Dengan demikian tumbuhan yang telah mati mengalami transportasi oleh media air dan terakumulasi di suatu tempat, tertutup oleh batuan sediment dan terjadi

16

proses coalification. Batubara dengan proses drift penyebarannya tidak luas tetapi banyak dan kualitasnya kurang baik.

3.2. Faktor Pembentuk Batubara Menurut Bambang Kuncoro, 1996 ada 10 faktor

yang mempengaruhi

pembentukan batubara, faktor-faktor tersebut adalah: a. Posisi Geoteknik Yaitu suatu keadaan batubara yang keberadaannya dipengaruhi oleh gaya-gaya tektonik dengan adanya pengaruh dari gaya-gaya tersebut akan mempengaruhi iklim lokal dan morfologi cekungan lingkungan pengendapan batubara maupun kecepatan penurunannya. b. Topografi Topografi dari cekungan pada saat pembentukan gambut sangat penting karena menentukan penyebaran rawa-rawa dimana batubara tersebut terbentuk. Topografi mungkin mempunyai efek yang terbatas terhadap iklim dan keberadaanya bergantung pada posisi geoteknik. Bentuk muka bumi yamg berupa cekungan akan sangat berpengaruh dan dapat menentukan arah penyebaran batubara. c. Iklim Keberadaan memegang peranan penting dalam pembentukan batubara dan merupakan faktor pengontrol pertumbuhan flora dan kondisis yang sesuai. Iklim tergantung pada posisi geografi dan lebih luas lagi dipengaruhi oleh posisi geoteknik. Temperatur yang lembab pada iklim tropi sdan subtropis pada umumnya sesuai untuk pertumbuhan flora dibandingkan wilayah yang lebih dingin. Pada iklim tropis atau subtropis umumnya akan membentuk batubara yang mengkilap, sedangkan pada daerah yang lebih dingin batubara terbentuk lebih kusam. d. Tumbuhan (Flora) Flora merupakan unsur utama pembentuk batubara yang tumbuh pada masa Karbon dan Tersier terdiri berbagai jenis tumbuhan. Pertumbuhan dari flora terakumulasi pada suatu lingkungan dan zona fisiografi dengan iklim dan topografi tertentu.

17

e. Dekomposisi Dekomposisi flora merupakan transformasi biokimia dari organik yang merupakan titik awal untuk seluruh altersi, bila tumbuhan tertutup air dengan capat maka pembusukan tidak akan terjadi tetapi akan di integrasiatau penguraian hewan mikrobiologi, bila tumbuhan yang mati berada di udara terbuka maka kecepatan pembentukan gambut akan berkurang sehingga bagian keras saja yang tertinggal. f. Penurunan Cekungan Penurunan cekungan batubara dipengaruhi oleh gaya-gaya tektonik, jika penurunan dan pengendapan gambut seimbang maka akan menghasilkan lapisan batubara yang tebal. Pergantian transgresi dan regresi akan mempengaruhi pertumbuhan flora dan pengendapannya yang menyebabkan adanya infiltrasi material dan mineralnya, hal ini mempengaruhi kualitas batubara yang terbentuk. g. Umur geologi Merupakan umur formasi pembawa lapisan batubara. Proses geologi menentukan berkembangnya evoluasi kehidupan berbagai macam tumbuhan, berpengaruh pada sejarah pengendapan batubara dan metamorfosa organik. Dimana makin tua umur pembawa lapisan batubara maka akan semakin tinggi nilai kalorinya. h. Sejarah Setelah Pengendapan Sejarah cekungan batubara secara luas bergantung pada posisi geoteknik yang mempengaruhi perkembangan batubara dan cekungan batubara. Secara singkat terjadi proses biokimia dan metamorfosa organik sesudah pengendapan gambut, secara geologi intrusi menyebabkan terbentuknya struktur cekungan batubara berupa perlipatan, sesar, intrusi. Terbentuknya batubara pada cekungan batubara umumnya mengalami defornasi oleh gaya tektonik, yang akan menghasilkan lapisan batubara dengan bentuk-bentuk tertentu. Disamping itu adanya erosi yang intensif menyebabkan bentuk lapisan batubara tidak menerus. i. Metamorfosa organik Pada tingkat penimbunan oleh sedimen baru, proses degradasi biokimia tidak berperan lagi tidak di dominasi oleh proses dinamokimia yang menyebabkan

18

perubahan gambut menjadi batubara dan menjadi berbagai macam. Selama Prosesini terjadi pengurangan air lembab, oksigen, zat terbang, serta bertambahnya prosentase karbon padat, belerang dan kandungan abu.

3.3. Petrografi Batubara (Dalam Ediyanto dan Basuki Rahmad, 2008 : Petrografi Bartubara) Secara mikroskopis bahan-bahan organik pembentuk batubara disebut maseral (maceral), analog dengan mineral dalam batuan. Istilah ini pada awalnya diperkenalkan oleh Stopes, 1935 (dalam buku Stach, dkk. (1982) untuk menunjukkan material terkecil penyusun batubara yang hanya dapat diamati di bawah mikroskop sinar pantul. Petrologi batubara adalah ilmu yang mempelajari komponen organik dan bukan organik pembentuk batubara. Untuk mempelajari petrologi batubara umumnya ditinjau dalam 2 aspek yaitu jenis (coal type) dan peringkat batubara (coal rank). Coal type berhubungan dengan jenis tumbuhan pembentuk batubara, dan perkembangannya dipenagaruhi oleh proses biokimia selama penggambutan. Dengan demikian batubara bukan benda homogen, melainkan terdiri dari bermacam-macam komponen dasar. Asosiasi yang berkaitan dengan maseral adalah litotipe (lapisan-lapisan tipis pada singkapan batubara) seperti : vitrain (berbentuk lapisan atau lensa, tebal 3 – 5 mm, pecahan kubik, kaya vitrinite); clarain (lapisan tipis cemerlang dan buram, kaya vitrinite dan liptinite); fusain (hitam, kilap sutera, musah diremas, kaya akan fusinite); durain (kilap berminyak, kaya liptinite dan inertinite). Maseral dalam batubara dapat dikelompokkan dalam 3 grup (kelompok) utama yaitu grup (kelompok) vitrinit, liptinit dan inertinit. Pengelompokan ini didasarkan pada bentuk morfologi, ukuran, relief, struktur dalam, komposisi kimia, warna pantulan, intensitas refleksi dan tingkat pembatubaraannya (dalam “Coal Petrology”, oleh Stach, dkk. 1982). Dalam hal ini pembagiannya mulai dari grup (kelompok) maseral, sub-grup maseral dan jenis maseral yang mengacu pada Australian Standard: AS2856 (1986) (Tabel 3.2). Kelebihan sistem Australian Standart ini adalah pembagian komposisi maseralnya berlaku untuk semua peringkat batubara, baik untuk batubara hard coal

19

maupun brown coal, dan sistem ini cukup sederhana. Sedangkan sistem standart yang lain biasanya dibedakan antara hard coal dan brown coal. Grup vitrinit berasal dari tumbuh-tumbuhan yang mengandung serat kayu (woody tissue) seperti batang kayu, akar, dahan dan serat daun. Vitrinite umumnya merupakan bahan penyusun utama batubara (>50%). Melalui pengamatan mikroskop refraksi, grup vitrinit memperlihatkan warna coklat kemerahan sampai gelap, tergantung dari tingkat ubahan batubara, semakin tinggi peringkat batubara semakin gelap warna maseralnya, demikian pula sebaliknya. Melalui pengamatan miskroskop refleksi, grup vitrinit memperlihatkan warna pantul lebih terang, mulai dari abu-abu tua sampai abuabu terang tergantung dari peringkat batubara, semakin tinggi peringkat batubara semakin terang warna pantul yang dihasilkan. Berdasarkan morfologinya grup vitrinit dibagi menjadi 3 sub grup maseral (Tabel 3.2) Grup liptinit berasal dari organ tumbuhan (ganggang/algae, spora, kotak spora, kulit luar (kutikula), getah tanaman (resin) dan serbuk sari /pollen). Grup liptinit memiliki kandungan hidrogen paling banyak dan kandungan karbon paling sedikit bila dibandingkan dengan grup maseral lainnya. Di bawah miskroskop refleksi menunjukkan pantulan berwarna abu-abu sampai gelap, mempunyai reflektivitas rendah

dan

flouresens tinggi (Teichmueller, 1989). Berdasarkan morfologi dan sumber asalnya, grup liptinit dapat dibedakan seperti : sporinit (berasal dari spora, serbuk sari); cutinit (berasal dari kulit ari, daun,tangkai, akar); suberinit (berasal dari kulit kayu); resinit (resin, lemak,parafin); liptodetrinit (berasal dari pecahan liptinite); exsudatinit (minyak, dimana bitumen yang keluar selama proses pembatubaraan), flourinit (berasal dari lipids, minyak); alginit (berasal dari sisa-sisa ganggang); dan bituminite (Tabel 3.2). Grup inertinit diperkirakan berasal dari tumbuhan yang sudah terbakar (charcoal) dan sebagian lagi diperkirakan akibat proses oksidasi dari maseral lainnya atau proses decarboxylation yang disebabkan oleh jamur atau bakteri (proses biokimia) atau hasil ubahan (biokimia) dari kayu dan serat-serat kayu selama penggambutan. Dengan adanya proses tersebut kelompok inertinit memiliki kandungan oksigen relatif tinggi, kandungan hidrogen rendah, dan ratio O/C lebih tinggi dari pada grup vitrinit dan

20

liptinit. Grup inertinit memiliki nilai reflektensi tertinggi diantara grup maseral lainnya. Dibawah miskroskop refleksi , inertinit memperlihatkan warna abu-abu hingga abu-abu kehijauan, tetapi pada sinar ultra violet tidak menunjukan flouresens. Berdasarkan struktur dalam, tingkat pengawetan dan intensitas pembakaran, grup inertinit dibedakan menjadi beberapa maseral, yaitu fusinit, semifusinit, sclerotinit, icrinit, inertodetrinit dan macrinit (Tabel 3.2). Cook (1982), menjelaskan bahwa jenis batubara (coal type) berhubungan dengan jenis tumbuhan pembentuk batubara dimana dalam pertumbuhannya dipengaruhi oleh diagenesa tingkat awal. Parks dan Donnel (dalam Cook, 1982), menjelaskan bahwa batasan jenis batubara (coal type) dipergunakan untuk mengklasifikasi berbagai jenis pembentuk batubara, sedangkan menurut Shierly (dalam Cook, 1982) menjelaskan bahwa jenis batubara (coal type) merupakan dasar klasifikasi petrografi batubara yang terdiri dari berbagai macam unsur tumbuhan sebagai penyusun batubara dengan kejadian yang berbeda-beda. Petrologi batubara memberikan dasar untuk pemahaman genesa , sifat-sifat dan arti penting unsur organik di dalam batubara. Material organik berasal dari berbagai macam tumbuhan dan sebagian bercampur dengan sedimen anorganik selama tahap pembentukan gambut, oleh karena itu jenis batubara (coal type) ditentukan pada tahap biokimia yang dapat dipergunakan untuk mengetahui lingkungan pengendapan batubara, terutama berdasarkan material organiknya. Penentuan jenis batubara (coal type) dapat secara mikroskopis dan makroskopis yang didasarkan pada konsep maseral, microlitotype dan litotype. Pada tahap pembentukan batubara merupakan tahap pembentukan dari gambut menjadi batubara yang lebih tinggi derajatnya (coal rank) yaitu mulai dari lignit, subbituminous, bituminous dan antrasit, yang merupakan akibat dari kenaikan temperatur yang berlangsung pada waktu dan tekanan tertentu (Cook, 1982). Tahap pembatubaraan merupakan perubahan dari rombakan sisa-sisa tumbuhan dari kondisi reduksi, dimana prosentase karbon semakin besar, sedangkan prosentase oksigen dan hidrogen semakin berkurang. Cook (1982), menjelaskan bahwa tahap pembatubaraan terdiri dari derajat dan pematangan bahan organik pada fase metamorfosa tingkat

21

rendah. Material organik lebih peka terhadap metamorfosa tingkat rendah dari pada mineral anorganik.

Tabel 3.2. Klasifikasi Maseral Batubara (AS 2856, 1986)

3.4. Peringkat Batubara (Coal Rank) Coal rank atau peringkat batubara merupakan suatu urutan dari tingkatantingkatan kematangan material organik pada batubara yang didasarkan pada material vegetasi yang terubah yang disebut maseral. Rank batubara dapat ditentukan dengan

22

mengetahui jumlah kandungan kimia batubara antara lain total moisture, ash, volatile matter, fix carbon, calori value, dan total sulfur. Material organic yang terubah menjadi batubara melalui tingkatan sikuen. Perubahan fisika dan kimia dapat diamati. Perubahan fisik dan kimia sejalan dengan meningkatnya tingkat kematangan yang terlihat pada batuan induk marine kerogenbearing, dan dapat digunakan pada penunjuk yang serupa untuk mengevaluasi potensi coalbed methane dari area coal-bearing. Perubahan tersebut paling sering digunakan sebagai indicator dari kematangan material organic yaitu nilai kalori, kandungan kelembaban atau kapasitas mempertahankan kelembaban, prosentase zat volatile, vitrinite

reflectance,

dan

kandungan

karbon.

Beberapa

perubahan

kimia

mengindikasikan tingkat kematangan lebih sesuai pada tahap-tahap tertentu. Sebagai contoh, kelembaban lapisan (ash-free) dan nilai kalori (moist; ash-free) banyak terdapat pada peat sampai medium-volatile bitumonuos. Perubahan unsur diatas terukur dan terprediksikan oleh meningkatnya suhu diikuti meningkatnya kedalaman penimbunan.

Gambar 3.1. Proses kematangan batubara (Evaluation of Coalbed Methane Reservoirs,prepared for University Of Oviedo, Spain, prepared by Holditch-Reservoirs Technologies Consulting Services, Pittsburg, Pennsylvania, May 24-25, 2001, Schlumberger) Petrografi batubara dapat digunakan untuk menentukan peringkat batubara (coal rank), yaitu menggunakan metode analisis reflektansi dan analisis komposisi maseral

23

dengan melihat besarnya nilai pemantulan vitrinit atau vitrinite reflectance (Ro) dalam bentuk persen (%). Penentuan peringkat batubara dengan metode analisis reflektansi maseral (vitrinit) didasarkan pada konsep bahwa pertambahan tingkat kematangan (peringkat) suatu lapisan batubara akan diikuti oleh peningkatan reflektansi maseralnya, sehingga analisis reflektansi maseral (vitrinit) dapat digunakan untuk menentukan peringkat batubara (Tabel 3.3).

Tabel. 3.3 Coal Rank Classifications (ASTM Standard, 1983) And Relation to vitrinite reflectance (modified from Meissner, 1984)

24

3.5.Lingkungan Pengendapan Batubara Secara umum endapan sedimen pembawa lapisan batubara di Indonesia di endapkan di lingkungan delta plain dan rawa. Batubara berada pada system sungai meander, endapannya terdiri dari: 1. Endapan Overbank, merupakan endapan limpah banjir yang diendapkan di rawa rawa, terdiri dari litologi fraksi halus (mudstone, shally coal, coally shale dan batubara) . Secara umum endapan overbank di lapangan tersingkap menerus dan di beberapa tempat sering dipotong oleh endapan crevasse splay dan channel batupasir. 2. Endapan Crevasse Splay, merupakan sedimen distributary channel berbutir kasar menerobos dinding tanggul sungai saat terjadi banjir, terendapkan di daerah limpah banjir yaitu di rawa-rawa, pengendapan splay deposit di rawa bisa secara lokal bahkan bisa menerus. Secara umum litologi splay deposit terdiri batupasir halus – kasar, campuran batulanau, massif, berlapis, struktur sedimen yang umum berkembang climbing ripple cross-laminasi, struktur imbrikasi (orientasi fragmen), flaser laminasi, terdapat pita-pita batubara (coal string), campuran karbon, komposisi mineral kuarsa, feldspar, sedikit orthoklas. 3. Endapan Levee, merupakan endapan tanggul di sisi sungai dalam system sungai meander. Ciri litologi adalah interbedded dari berbagai variasi ukuran butir, seperti perselingan siltstone, batupasir dan batulempung. 4. Endapan Channel, dalam sistem aliran sungai meander , channel merupakan factor utama dalam pembentukan jenis endapan -endapan sepe rti tersebut di atas, khususnya terkait dengan pembentukan rawa batubara. Channel dalam sistim meandering mempunyai karakteristik khusus yaitu berpindah tempat (migrasi) secara lateral, akibat migrasi channel menyebabkan gangguan terhadap facies batubara yaitu terhambatnya pertumbuhan vegetasi sehingga akumulasi gambut juga akan terganggu. Dampak lain akibat gangguan channel adalah aliran washout yang berupa aliran batupasir channel yang mengerosi lapisan batubara. Ciri -ciri litologi channel adalah :

25

a). Struktur sedimen gradded bedding (perlapisan bergradasi), litologinya adalah batupasir konglomeratan, batupasir kasar. b). Struktur sedimen lateral akresi, dicirikan oleh batupasir berlapis melengkung seperti terlipat, kemudian bagian tepinya secara berangsur berubah litologinya menjadi mudstone atau siltstone, bagian bawah struktur lateral akresi terdapat endapan lag (gravel) terorientasi secara secara teratur. Kriteria utama pengenalan lingkungan pengendapan telah dikemukakan oleh Horne dkk, 1978. Identifikasi bermacam lingkungan pengendapan purba dari sayatan stratigrafi didasarkan pada pengenalan bermacam variasi dibandingkan dengan system pengendapan fluvial, delta, dan barrier modern (saat sekarang). Selanjutnya pembahasan masing – masing lingkungan pengendapan batubara lebih mengacu kepada pembagian yang dikemukakan oeleh Horne et al, 1978 (Gambar 3.2). Adapun lingkungan pengendapan batubara menurut Horne et al (1978) dibagi menjadi 5 (lima) lingkungan, yakni sebagai berikut :

Gambar 3.2. Model Lingkungan Pengendapan Batubara (Horne,1978)

26

2.4.1. Lingkungan Barrier. Lingkungan barrier mempunyai peran penting, yaitu menutup pengaruh oksidasi dari air laut dan mendukung pembentukan gambut dibagian dataran. Kriteria utama mengenal lingkungan barrier adalah hubungan lateral dan vertical dari struktur sediment dan pengenalan tekstur batupasirnya. Kearah laut batupasir butirannya menjadi halus dan selangseling dengan serpih gampingan merah kecoklatan sampai hijau. Batuan karbonat dengan fauna laut kearah darat bergradasi menjadi serpih berwarna abu – abu gelap sampai hijau tua yang mengandung fauna air payau. 2.4.2. Lingkungan Back-Barrier. Lingkungan ini jika kearah darat, berangsur menjadi lingkungan “lagoon backbarrier”. Penyusun utama lingkungan ini adalah urutan perlapisan serpih abu – abu gelap yang kaya bahan organic dan batulanau yang terus diikuti oleh batubara yang secara lateral tidak menerus dan zona siderite yang berlubang. 2.4.3. Lower Delta Plain. Batubara yang dihasilkan relatif tipis dan terbelah (split) oleh sejumlah endapan crevasse splay. Lapisan batubara cendrung menerus sepanjang jurus pengendapan, tetapi sering juga tidak menerus sejajar dengan pengendapan kerena batubara digantikan tempatnya oleh material bay fill secara anterdistribusi. Sekuen yang terbentuk dari butiran halus atau sediment organic, termasuk batubara mungkin sebagian mengisi channel-chnnel ini. Fasies lain didalam endapan lower delta plain termasuk endapan crevasse splay yang mengkasar keatas, biasanya ditemukan pada sekuen bay fill dan dengan sortasi buruk, endapan irregularbedded levee yang berasosiasi dengan bagian channel fill. Akhirnya komponen utama dari lower delta plain adalah “creavase splay”. Ketebalan endapan creavase splay lebih dari 12 m dengan pelamparan horizontal berkisar 30 m – 8 km.

2.4.4. Upper Delta Plain. Endapannya didominasi oleh bentuk linier, tubuh batupasir lentikuler tebalnya 15-25 m dan lebarnya 1,5-11 km. pada tubuh batupasir terdapat gerusan dibawahnya,

27

permukaannya terpotong tajam, tetapi lateral pada bagian atas batupasir ini melidah dengan serpih abu-abu, batulanau dan lapisan batubara. Mineralogi batupasir bervariasi mulai lithic grey wacke sampai arkose, ukuran butir menengah sampai kasar. Diatas bidang gerus terdapat kerikil lepas dan hancuran batubara yang melimpah pada bagian bawah, makin ke atas butiran menghalus pada batupasir. Perlapisan pada batupasir masif pada bagian bawah terdapat “festoon cross beds” tebal, keatas batupasir massif berubah menjadi lapisan point bar yang maju (kemiringan rata-rata 17º), mengandung festoon cross beds dengan skala yang lebih kecil. Lapisan ini ditutupi oleh batupasir dan batulanau dengan akar tanaman dan struktur “climbing ripples”. Semua sifat khas ini, menunjukan energi besar pada channel flank disekitar rawa kecil dan danau – danau. Dari bentuk batupasir dan pertumbuhan lapisan point bar-nya menunjukan bahwa hal ini dikontrol oleh meandering. Batupasir ini memperlihatkan susunan yang enechelon masuk ke daerah rawa belakang (backswamps). Sekuen endapan backswamp dari bawah keatas, terdiri dari “seat earth”, batubara, serpih dengan fosil tanaman yang melimpah dan jarang pelecypoda air tawar, batulanau, batupasir, “seat earth” dan batubara. Batupasir secara lateral menebal dan akhirnya bergabung dengan tubuh utama batupasir. Batupasirnya tipis (1,5-4,5m), berbutir halus, mengkasar keatas. Sekuen ini tipe endapan pada tubuh air terbuka, mungkin rawa dangkal atau danau. Pelamparan lateral endapan ini antara 1,5-8 km. Endapan levee dicirikan oleh sortasi yang buruk, perlapisan batupasir dan batulanau yang tidak teratur hingga menembus akar. Ketebalannya dapat mencapai lebih dari 8 m, terutama di dekat channel yang aktif dan ketebalan serta ukuran buturnya akan berkurang bila menjauhi channel. Lapisan batubara pada endapan upper delta plain cukup tebal (lebih dari 10 m), tetapi secara lateral tidak menerus, kadang sering mencapai 150 m. lapisan pembentuk endapan alluvial plain (Gambar 3.3). Kedudukan lapisan batubaranya cendrung sejajar dengan kemiringan pengendapan, tetapi sedikit yang menerus dibandingkan dengan fasies lower delta plain. Sehubungan dengan sedikitnya jumlah bagian yang teratur mengikuti channel sungai, maka lapisan-

28

lapisannya sangat tebal dengan jarak yang relative pendek dengan sejumlah split (membelah) mungkin berkembang dalam hubungannya dengan endapan tanggul (Levee) yang kontenporer. Bentuk lapisan juga dimodifikasi secara besar-besaran oleh adanya perkembangan washout pada tingkat akhir dari proses pengendapan.

Gambar 3.3 Penampang Singkapan dan Rekontruksi Upper Delta Plain-Fluvial (Horne,et all, 1978)

Pada endapan upper delta plain ini juga sering terjadi kenampakan Washout, dimana Washout ini merupakan tubuh lentikuler sedimen yang menonjol ke bawah, biasanya barupa batupasir dan menggantikan sebagian atau seluruh lapisan batubara yang ada. Ukurannya sangat bervariasi, baik tebal dan pelamparannya. Sebagian besar struktur Washout ini di isi oleh batupasir, meskipun krikil batubara atau konglomerat kerikilan juga dapat hadir. Hal ini mencerminkan lingkungan meander cut-off dan channel. Washout merupakan masalah utama didalam proses penambangan, yakni

29

ketebalan batubara berkurang atau tidak menerusnya suatu lapisan batubara kerena terpotong oleh Washout. Sehingga sangat mempengaruhi didalam kepentingan perencanaan penambangan dan pengembangannya.

2.4.5 Transitional Lower Delta Plain. Zona diantara lower dan upper delta plain dijumpai zona teransisi yang mengandung karakteristik litofasies dari kedua sekuen tersebut. Sekuen bay-fill dicirikan butirannya halus, lebih tipis (1,5-7,5m) dari lower delta plain. Bagaimanapun sekuen bay-fill tidaklah sama dengan sekuen upper delta plain, zona ini mengandung fauna air payau sampai fauna marin serta struktur burrowed yang meluas. Endapan channel menunjukan kenampakan migrasi lateral lapisan point-bar accretion menjadi channel pada upper delta plain. Channel pada “Transitional delta plain” ini berbutir halus dari pada di upper delta plain. Endapan channel ini menunjukan

sekuen “single-storied” yang migrasi

lateralnya hanya satu arah, bagaimanapun batupasir channel upper delta plain merupakan satuan “multi-stroried”yang migrasi keberbagai arah. Levee berasosiasi dengan channel yang menebal (1,5-4,5m) dan menembus akar secara meluas dari pada lower delta plain. Batupasir tipis splay (1,5-4,5m) umum pada endapan ini, tetapi sedikit lebih dari pada lower delta plain dan tidak semelimpah di upper delta plain. Kemampuan membentuk berbagai endapan dalam sebuah kolom stratigrafi tunggal dapat dipergunakan sebagai perkiraan secara cepat sejumlah besar kejadian sedimentasi. (Gambar 3.4).

30

Gambar 3.4 a. Rekontruksi dari lingkungan transitional lower delta plain; b. Urutan umum vertikal melalui endapan transitional lower delta plain (Horne,et all, 1978)

3.6. Struktur Geologi Struktur geologi lapisan batubara secara umum dibagi kedalam dua jenis, berdasarkan waktu pembentukannya (Ediyanto dan Basuki Rahmad, 2008 : hal 17 ), yaitu: 3.7.1 Syn-Depositional

31

Secara umum sedimen pembawa batubara diendapkan mulai dari tepi hingga tengah cekungan, sedangkan struktur geologi sangat berpengaruh terhadap akumulasi sedimen dan jumlah suplai material rombakan yang diperlukan guna mengetahui runtunan lapisan batubara, sebaran dan ciri lingkungan pengendapanya. Efek diagenesa selama akumulasi sedimen berlangsung bisa menyebabkan deformasi struktur (pensesaran dan perlipatan), seperti gaya tekan ke arah bawah terhadap semua lapisan sedimen dan batubara. 3.7.1.1 Mikro-Struktur Gabungan akumulasi ketebalan sedimen dan kecepatan penurunan cekungan menyebabkan ketidak stabilan terutama di bagian tepi cekungan. Akibat adanya struktur pembebanan ketika sedimen masih dalam bentuk fluida, menyebabkan sedimen pembawa batubara terlihat berbentuk struktur slumping, ciri lain seperti: injeksi sedimen ke dalam lapisan bagian atas dan bawah (klastik dike). Kehadiran perselingan mudstone, sandstone dan batubara dibawah kondisi struktur pembebanan, bisa menyebabkan perubahan variasi lapisan batubara seperti: erosi di bagian dasar lapisan batubara oleh channel sand stone, flame structure, distorted dan dislocated ripples , fold and contorted bedding. Gangguan ketidakstabilan lingkungan pengendapan, merupakan salah satu petunjuk adanya reaktifasi kembali sesar-sesar normal akibat struktur pembebanan dari akumulasi sedimen di cekungan, umumnya menghasilkan sedimen sistem aliran gravitasi (gravity flow). 3.7.1.2 Makro-Struktur Sesar dalam cekungan sedimen bisa menerus dan aktif kembali sehingga bisa mempengaruhi lapisan batubaranya, seperti : ketebalan serta karakter susunan lapisan sedimennya. Pengaruh sesar growth fault dalam cekungan tektonik bisa menyebabkan penebalan lapisan batubara secara setempat , hal ini disebabkan penurunan cekungan akibat pensesaran. Sedangkan di daerah paparan relatif stabil dan kecepatan penurunan relatif lebih lambat. Dengan demikian kecepatan progradasi pengendapan sedimen yang dikontrol oleh growth fault relatif lebih cepat dibandingkan pengendapan di daerah paparan. Sesar growth fault berpengaruh terhadap proses pengendapan sedim en, bidang

32

sesar growth fault tersebut merupakan zona bidang gelincir (failure) menyebabkan gravity sliding berupa longsoran sedimentasi di cekungan tersebut. Tekanan yang sangat kuat terhadap batupasir lempungan yang belum kompak menyebabkan gradient patahannya besar. Bagian atasnya curam dan landai ke arah bidang lapisan patahan (flexure) di sepanjang roof lapisan batubara. Sesar-sesar tersebut akan mengerosi sebagian, sebelum sedimen nya longsor ke bawah. Lapisan batubara yang mengalami splitting (bercabang) merupakan petunjuk adanya sesar growth fault. Reaktivasi kembali sesar-sesar tersebut dapat menghasilkan bentuk lapisan batubara yang melengkung ke bawah dan ke atas, dan selanjutnya diikuti lapisan sedimen non batubara yang bentuknya melengkung juga (Gambar 3.5).

Gambar 3.5 Menjelaskankan kemungkinan terbentuknya splitting lapisan batubara yang disebabkan perubahan pergerakan sesar selama pengendapan gambut berlangsung.

Perubahan secara periodik dilevel dasar lingkungan delta plain serta pengaruh pergerakan sesar, menyebabkan perubahan karakter perkembangan batubara, hal ini seiring dengan naiknya muka air rawa. Dengan demikian batubara akan berkembang lebih intensif, sedangkan pengaruh masuknya material rombakan non batubara sangat kecil, sehingga kandungan abu (ash) batubaranya rendah. Jika terjadi penurunan muka 33

air, maka akumulasi batubara akan terhambat perkembangannya, sedang material rombakan sedimen semakin besar menyebabkan kandungan abu (ash) tinggi atau bahkan seluruh lapisan batubara ashnya bisa tinggi. Disisi lain batubara yang terendam air (low moor) kemungkinan bisa terkontaminasi air laut, sisi lain batubara yang terendam air (low moor) kemungkinan bisa terkontaminasi air laut, sehingga menghasilkan kandungan sulfur yang lebih tinggi terutama di bagian top lapisan batubara.

Growth fold bisa mempengaruhi pola

pengendapan cekungan batubara, adanya kecepatan erosi dan sedimentasi menyebabkan pengendapan batubara di beberapa tempat. Adanya pemotongan channel oleh suplai rombakan sedimen yang terus membumbung dapat membentuk sand bar.

3.7.2 Post -Depositional 3.7.2.1 Sesar Dalam suatu deformasi batuan, ada isilah yang diberi nama sesar. Sesar adalah suatu deformasi berupa rekahan yang ditandai oleh adanya pergeseran yang jelas. Sesar terbentuk karena adanya gaya yang bekerja pada suatu tubuh batuan. Jenis sesar dipengaruhi oleh gaya yang bekerja pada batuan. sesar naik dikarenakan adanya kompresi, sedangkan sesar normal (turun) dikarenakan adanya ekstensi. Sesar transform dikarenakan bisa terjadi dari dua deformasi tersebut. Penamaan sesar dilakukan dengan cara binomial tergantung besar pitch. Jika dip strike slip, atau pitch kurang dari 45˚ maka penamaan sesar dilakukan pada urutan pertama adalah gerak relatif sesar, menganan atau mengiri. Kemudian diikuti oleh jenis sesar, normal atau naik. Sesar dikatakan bergerak relatif menganan jika kitaberdiri pada suatu daerah, dimana di depan kita ada bidang sesar dan daerah yang dipotong bidang sesar tersebut bergerak ke kanan kita. Sedangkan sesar turun jika bagian hanging-wall (bagian yang relatif di atas bidang sesar) bergerak relatif turun dibandingkan dengan foot-wall. Jika pitch lebih dari 45°, maka penamaan sesar dilakukan pertama adalah jenis sesar kemudian arah relatifnya. Dalam pembentukannya, kadang kita tidak menemui bidang sesar utama secara langsung. Kita hanya melihat tanda-tanda keberadaan sesar. Penanda adanya sesar

34

diantaranya adalah gores garis (slickenside), kekar gerus (shear fracture), extension fracture, micro fold/drag fold, dan breksiasi. Shear fracture hadir sebagai bidang sesar, di lapangan mungkin saja menemui sesar minor penyerta sesar utama. Kehadiran shear fracture biasanya berpasangan. Jika dua shear fracture tersebut berpotongan, salah satu bagian akan membentuk sudut lancip. Sesar dapat menyebabkan seretan (drag) sepanjang bidang patahan, sehingga batuan sekelilingnya juga bergeser sepanjang arah pergeseran dari sesar tersebut. Apabila berupa sesar besar (major fault) maka sesar tersebut dapat menggeser seluruh lapisan batuan dan batubara hingga beberapa meter, dimana zona sesar tersebut berupa bidang hancuran.

3.7. Karakteristik Sesar Naik Dan Sesar Mendatar 3.7.1 Sesar Naik (Reverse & Thrust) Pergerakan yang terjadi pada sesar naik melepaskan tegasan dengan cara ekspansi kearah atas kerak bersamaan dengan pemendekan secara horisontal, pergerakan berupa reverse slip dimana hanging wall bergerak relatif naik terhadap footwall, dan sesar berupa sesar naik/reverse fault. Sesar ini telah lama disebut sebagai thrusts, atau lebih spesifik sebagai low-angle thrust faults, untuk membedakannya dengan up thrust atau high-angle thrusts, yang terbentuk dari rejim tegasan yang berbeda. Perlipatan biasanya terjadi bersamaan dengan thrust faulting. Sumbu lipatan berorientasi sejajar terhadap arah sumbu tegasan normal menengah dan sejajar dengan strike dari thrust fault. Transisi dari lipatan dan thrust diobservasi di berbagai dataran geologi: suatu lipatan terbalik pada arah tertentu dan sayap yang terbalik tersebut tertarik dan menjadi rekahan/patahan dan kemudian membentuk thrust. Sifat-sifat dan gejala di lapangan (Benyamin Sapiie, 2006): 1. Kebanyakan sesar naik mempunyai kemiringan bidang sesar <45° sampai mendekati horizontal atau sering disebut sebagai "low-angle fault" 2. Bidang sesarnya merupakan zona kompleks dan jarang merupakan bidang yang halus (smooth) dengan jalur sesar kebanyakan berupa garis lengkung.

35

3. Sesar naik dicirikan oleh pola sesar ganda sub-Parallel fault, dengan bidang sesar masing-masing searah (subparallel) dengan sumbu lipatan. 4. Adanya batuan yang lebih tua menumpang diatas batuan yang lebih muda. 5. Adanya seretan (drag) akibat dari pergerakan blok-blok sesar yang menunjukkan gerakan relatif naik. 6. Gejala seretan dan pembentukan sesar-sesar sekunder. 7. Sesar naik umumnya berasosiasi dengan lipatan dan mempunyai hubungan yang erat dengan pembentukan lipatan. Adapun jenis lipatannya adalah lipatan simetris atau lipatan rebah dengan hinge line yang penunjamannya kecil. Posisi bidang sesar pada sayap yang curam. 8. Perulangan dari beberapa lapisan.

3.7.2 Sesar Mendatar (Achmad Rodhi dan Sugeng Raharjo , 2007) Bila suatu bahan dikenai oleh suatu tekanan maka bahan tersebut akan pecah yang membentuk sesar mendatar di mana yang searah dengan tegasan utama akan membentuk sesar mendatar yang saling berpotongan dengan sudut kurang-lebih 300. Pada saat tegasan utama semakin berlanjut maka akan terbentuk lipatan dan sesar-sesar naik. Setelah tegasan utama berkurang akan akan terbentuk extension joint kemudian membentuk sesar sesar normal yang arahnya tegak lurus sumbu lipatan. Perpotongan dua sesar akibat tegasan utama tersebut di sebut sesar geser orde 1. Karena arah tegasan utama berpindah maka akan terbentuk sesar mendatar orde 2 dan seterusnya. Pada masing masing sesar geser tersebut akan terbentuk juga drag fold yang mempunyai sudut 120 terhadap sesar gesernya (Moddy and Hill,1961, Gambar 3.6). Besarnya sudut pada sesar yang berpotongan tergantung pada jenis batuannya. Pada tahap eksplorasi pada suatu daerah dimana perlu mengenal patahan yang diakibatkan oleh wrenching , dengan mengenal beberapa tipe zona wrenching struktur akan mudah dikenali terutama arahnya. Bila tekanan pada daerah diantara dua sesar mendatar meningkat dan mempunyai arah yang berlawanan maka di dalamnya akan terbentuk en echelon folds. En echelon

36

folds merupakan tatanan struktur sepanjang zona linear sehingga lipatan-lipatan atau patahan-patahan sendiri jenisnya sejajar satu dengan yang lain dan membuat sudut yang sama dengan sesar mendatarnya.(Harding,1974 and Bartlett et al,1981,Gambar 3.7). Sifat-sifat umum sesar mendatar (Benyamin Sapiie, 2006) antara lain: 1. Panjang, lurus atau lengkung - lebar, sepanjang jejaknya. 2. Kemiringan terjal / curam yang beragam. 3. Lebar, jalur teranyam dengan gouge / mylonit dan gores-garis horizontal. 4. Berukuran panjang dan arahnya hampir lurus - mudah dikenal difoto udara. 5. Sembul dan terban yang tak sistimatis. 6. Lipatan-lipatan seretan yang menunjam dan merencong. 7. Tataan stratigrafi yang saling menindih dan tidak sama. 8. Merupakan jalur peka erosi 9. Yang berukuran besar, mempunyai jumlah pergeseran yang besar : San andreas 500 km dan Semangko 25-100 km. 10. Diatas permukaan, jalur penggerusan/ pelenturan - lebar beberapa ratus ribu meter. 11.Pembentukan depresi dan pembubungan- pembubungan akibat penyimpangan pada arah secara merencong. 12. Struktur penyerta; rekahan, lipatan dengan penunjaman yang besar, struktur bentuk bunga (flower structure).

37

Gambar 3.6. Plan of wrench system under North – South sample (Moddy and Hill,1961)

Gambar 3.7. En Echelon Structures pada zona strike slip faults (Harding,1974 and Bartlett et all ,1981)

38

BAB IV GEOLOGI REGIONAL

4.1. Fisiografi Regional Secara fisiografis, daerah telitian termasuk ke dalam Cekungan Barito bagian timur, yang dibatasi oleh Pegunungan Schwaner pada bagian bagian barat, Pegunungan Meratus pada bagian timur dan Cekungan Kutai pada bagian utara (Gambar 4.1).

Gambar 4.1. Peta fisiografi pulau Kalimantan (Dalam Kusnama, Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 3 No. 1 Maret 2008: 11-22)

39

4.2. Kerangka Tektonik Regional Pulau Kalimantan merupakan pulau terbesar yang menjadi bagian dari Lempeng mikro Sunda. Menurut Tapponnir (1982) lempeng Asia Tenggara ditafsirkan sebagai fragmen dari lempeng Eurasia yang melejit ke Tenggara sebagai akibat dari tumbukan kerak Benua India dengan kerak Benua Asia, yang terjadi kira-kira 40 – 50 juta tahun yang lalu. Fragmen dari lempeng Eurasia ini kemudian dikenal sebagai lempeng mikro Sunda yang meliputi semenanjung Malaya, Sumatra, Jawa, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Adapun batas-batas yang paling penting disebalah Timur adalah : 1. Komplek subduksi Kapur Tersier Awal yang berarah Timurlaut, dimulai dari Pulau Jawa dan membentuk pegunungan Meratus sekarang. 2. Sesar mendatar utama di Kalimantan Timur dan Utara (Gambar 4.2) 3. Jalur subduksi di Kalimantan Utara, Serawak, dan Laut Natuna, Jalur ini dikenal dengan jalur Lupar. Menurut Bemmelen (1949) pulau Kalimantan dibagi menjadi beberapa Zona fisiografi, yaitu : 1. Blok Schwaner yang dianggap sebagai bagian dari dataran Sunda. 2. Blok Paternoster, meliputi pelataran Paternoster sekarang yang terletak dilepas Pantai Kalimantan Tenggara dan sebagian di dataran Kalimantan yang dikenal sebagai sub cekungan Pasir. 3. Meratus Graben, terletak diantara blok Schwaner dan Paternoster, daerah ini sebagi bagian dari cekungan Kutai. 4. Tinggian Kuching, merupakan sumber untuk pengendapan ke arah Barat laut dan Tenggara cekungan Kalimantan selama Neogen. Cekungan-cekungan tersebut antara lain:  Cekungan Tarakan, yang terletak paling Utara dari Kalimantan Timur. Disebelah Utara cekungan ini dibatasi oleh “Semporna High”.  Cekungan Kutai, yang terletak sebelah Selatan dari Tinggian Kuching yang merupakan tempat penampungan pengendapan dari Tinggian

40

Kuching selama Tersier. Cekungan ini dipisahkan oleh suatu unsur Tektoniok yang dikenal sebagai Paternoster Cross Hight dari cekungan Barito. Secara regional wilayah kuasa pertambangan PT. Adaro Indonesia termasuk ke dalam Cekungan Barito (Kusuma dan Darin1985), lihat Gambar 4.2. Cekungan Barito meliputi daerah seluas 70.000 kilometer persegi di Kalimantan Tenggara. Cekungan ini terletak diantara dua elemen yang berumur Mesozoikum (Paparan Sunda di sebelah barat dan Pegunungan Meratus yang merupakan jalur melange tektonik di sebelah timur). Orogenesa yang terjadi pada Plio-Plistosen mengakibatkan bongkah Meratus bergerak ke arah barat. Akibat dari pergerakan ini sedimen-sedimen dalam Cekungan Barito tertekan sehingga terbentuk struktur perlipatan. Cekungan Barito memperlihatkan bentuk cekungan asimetrik yang disebabkan oleh adanya gerak naik dan gerak arah barat dari Pegunungan Meratus. Sedimensedimen Neogen diketemukan paling tebal sepanjang bagian timur Cekungan Barito, yang kemudian menipis ke barat. Secara keseluruhan sistem sedimentasi yang berlangsung pada cekungan ini melalui daur genang laut dan susut laut yang tunggal, dengan hanya ada beberapa subsiklus yang sifatnya lokal dan kecil. Formasi Tanjung yang berumur Eosen menutupi batuan dasar yang

relatif landai, sedimen-sedimennya memperlihatkan ciri

endapan genang laut yang

diendapkan pada lingkungan deltaik air tawar sampai

payau. Formasi ini terdiri dari batuan-batuan sedimen klastik berbutir kasar yang berselang-seling dengan serpih dan kadangkala batubara. Pengaruh genang laut marine bertambah selama Oligosen sampai Miosen Awal yang mengakibatkan terbentuknya endapan-endapan batugamping dan napal (Formasi Berai). Pada Miosen TengahMiosen Akhir terjadi susut laut yang mengendapkan Formasi Warukin. Pada

Miosen

Akhir ini terjadi pengangkatan yang membentuk Tinggian Meratus, sehingga terpisahnya cekungan Barito, Sub Cekungan Pasir dan Sub Cekungan Asam-Asam (Gambar 4.3).

41

Lokasi daerah penelitian Gambar 4.2. Elemen Tektonik Kalimantan (Kusuma & Darin, 1989)

Gambar 4.3 Barito Basin-Makassar Strait cross section (After Satyana and Silitonga, 1994)

42

4.3. Stratigrafi regional Wilayah kuasa pertambangan PT Adaro Indonesia secara regional termasuk dalam cekungan Kutai. Namun cekungan Kutai tersebut kemudian dibagi menjadi dua bagian, yaitu: cekungan Barito yang terdapat di sebelah barat pegunungan Meratus dan cekungan Pasir yang terdapat di sebelah Timur pegunungan Meratus. Secara khusus wilayah kerja penambangan PT Adaro Indonesia terletak pada cekungan Barito. Cekungan Barito sendiri memiliki formasi pembawa batubara. Adapun urut-urutan stratigrafi Formasi cekungan Barito (tabel 4.1) berdasarkan waktu terbentuknya adalah :

1. Formasi Tanjung Formasi paling tua yang ada di daerah penambangan, berumur Eosen, yang diendapkan pada lingkungan paralis hingga neritik dengan ketebalan 900-1100 meter, terdiri dari (atas ke bawah ) batulumpur, batulanau, batupasir, sisipan batubara yang kurang berarti dan konglomerat sebagai komponen utama. Hubungannya tidak selaras dengan batu pra-tersier. 2. Formasi Berai Formasi ini diendapkan pada lingkungan lagon hingga neritik tengah dengan ketebalan 107-1300 meter. Berumur oligosen bawah sampai miosen awal, hubungannya selaras dengan formasi Tanjung yang terletak dibawahnya. Formasi ini terdiri dari pengendapan laut dangkal di bagian bawah, batu gamping dan napal di bagian atas. 3. Formasi Warukin Formasi ini diendapkan pada lingkungan neritik dalam hingga deltaic dengan ketebalan 1000-2400 meter, dan merupakan formasi paling produktif, berumur mioesen tengah sampai plestosen bawah. Pada formasi ini ada tiga lapisan paling dominan, yaitu : A. Batulempung dengan ketebalan ± 100 meter

43

B. Batulumpur dan batu pasir dengan ketebalan 600-900 meter, dengan bagian atas terdapat deposit batubara sepanjang 10 meter. C. Lapisan batubara dengan tebal cadangan 20-50 meter, yang pada bagian bawah lapisannya terdiri dari pelapisan pasir dan batupasir yang tidak kompak dan lapisan bagian atasnya yang berupa lempung dan batu lempung dengan ketebalan 150-850 meter. Formasi warukin ini hubungannya selaras dengan formasi Berai yang ada dibawahnya. 4. Formasi Dohor Formasi ini diendapkan pada lingkungan litoral hingga supralitoral, yang berumur miosen sampai plio-plistosen dengan ketebalan 450-840 meter. Formasi ini hubungannya tidak selaras dengan ketiga formasi di bawahnya dan tidak selaras dengan endapan alluvial yang ada di atasnya. Formasi ini terdiri dari perselingan batuan konglomerat dan batupasir yang tidak kompak, pada formasi ini juga ditemukan batulempung lunak, lignit dan limonit. 5. Endapan Alluvium Merupakan kelompok batuan yang paling muda yang tersusun oleh krikil, pasir, lanau, lempung, dan lumpur yang tersebar di morfologi dataran dan sepanjang aliran sungai.

44

Tangkan

Tungkat

Tomb

Tomb 20

Tet

Tet

20

15

30

45

Agung

20

Bentot

Tmw

ng lo ba Ta S.

15

15 pu ah aw S. T

30

h pu

Tomb

Tamianglayang

S. Jang

Manunggul

kung

30

20 S.J ai ng 35

40

Lokasi penelitian

Matabuk

30 20

30

Tmw

Qa

25

TQd

Tanjung

25

Tmw

Qa

25

Endapan Alluvial Formasi Dahor

Tomb Taruran

TQd Tmw 40

Tm

ang k us

ip

w

25 30

Warukin

40

k

b

Formasi Berai Formasi Tanjung

S. B

bu Ta S.

Tom Tet

an ta lu as

S .M

Dahor

Formasi Warukin

Qa

Syncline

TQd

Tmw

Paringin

Anticline

Tanahhabang

30

S. B

S .Ta ba lo n

TQd

at an ga n

g

25

Thrust Fault

Tmw 30

i ab Al S. o

S.

S.Ba Me an

nd i tuma Batumandi

--.---.---.---.--

-----------

20

g

Fault

15

Qa Lokbatu

Alabio

Plunge Direction Sungai

TQd Tangai

S. N

eg ar

a

Qa

AMUNTAI

Qa

PETA GEOLOGI REGIONAL DAERAH PENELITIAN Skala 1 : 250.000 Oleh Heryanto (P3G), 1994

Gambar 4.4 Peta geologi Regional daerah penelitian ( Heryanto,dkk.1994 )

45

Tabel 4.1 Stratigrafi cekungan Barito (Adaro Resources Report, 1999)

STRATIGRAFI CEKUNGAN BARITO (ADARO RESOURCES REPORT, 1999) UMUR

STRATIGRAFI

KUARTER

ALLUVIUM

KOLOM STRATIGRAFI

FASIES

TEBAL (m)

Batuan klastik, konglomerat, batupasir, batulanau dan batulempung.

LOWER DELTA PLAIN

lebih dari 840

Seam batubara berketebalan 30 - 40 m, interbedded dari batulempung calcareous dan pasir halus.

UPPER DELTA PLAIN

850

Lapisan tebal dari sangat halus hingga kasar, batulanau, batulempung dan beberapa seam batubara, konglomerat sebagai dasar.

LOWER DELTA PLAIN

500

Interkalasi dan pasir halus, batulanau, batulempung dan beberapa seam batubara tipis.

LOWER DELTA PLAIN

600

Serpih, kadang-kadang calcareous, pasir halus dan marl.

DELTA FRONT

450

Marl, lempung, lanau dan interbedded dari lapisan batugamping tipis, berisi pita-pita batubara.

PRODELTA

225

Batugamping kristalin, interbedded lapisan tipis marl.

PRODELTA

600

Marl, batugamping, serpih, lanau dan beberapa interbedded seam batubara.

PRODELTA

250

Interkalasi dari serpih dan pasir dengan beberapa seam batubara tipis.

MARINE

LITOLOGI Deposit sungai dan rawa

PLIOSEN FORMASI DAHOR ATAS ANGGOTA

ATAS BATUBARA

ANGGOTA FORMASI

PASIR

TENGAH

ATAS TENGAH

MIOSEN

WARUKIN

ANGGOTA

PASIR BAWAH BAWAH

ANGGOTA LEMPUNG ANGGOTA

MARL

BAWAH

ATAS

FORMASI BERAI

ANGGOTA BATUGAMPING

ANGGOTA

OLIGOSEN

MARL BAWAH

EOSEN

PRATERSIER

FORMASI

ATAS

TANJUNG

BAWAH

BASEMENT PRATERSIER

Serpih, pasir dan konglomerat

900 DELTA FRONT

Serpih, kuarsit dan batuan beku

46

Tabel 4.2 Kolom stratigrafi daerah Tutupan (PT. Adaro Indonesia)

47

4.4. Struktur Geologi Regional Pola struktur yang berkembang di pulau Kalimantan berarah Meratus (Timur laut-Barat daya). Pola ini tidak hanya terjadi pada struktur-struktur sesar tetapi juga pada arah sumbu lipatan. Perbukitan Tutupan yang berarah timur laut-barat daya dengan panjang sekitar 20 km terbentuk akibat pergerakan dua patahan anjakan yang searah. Salah satunya dikenal dengan nama Dahai Thrust Fault yang memanjang pada kaki bagian barat perbukitan Tutupan. Patahan lain bernama Tanah Abang-Tepian Timur Thrust Fault yang memanjang pada kaki bagian timur perbukitan Tutupan. Keberadaan patahan ini diketahui berdasarkan data seismik dan pemboran sumur minyak (Asminco,1996). Patahan lain yang tidak berhubungan dengan perbukitan Tutupan dan berarah timurlautbaratdaya terdapat di daerah Wara dengan nama Maridu Thrust Fault. Patahan-patahan yang terjadi pada umumnya searah dengan bidang perlapisan sehingga tidak mengganggu penyebaran batubara. Pada kaki bagian timur perbukitan Tutupan juga terdapat struktur antiklin yang diberi nama Antiklin Tanah Abang-Tepian Timur. Sumbu antiklin berarah utaraselatan dan searah dengan Tanah Abang-Tepian Timur Thrust Fault. Antiklin-antiklin umumnya memiliki sumbu berarah timurlaut-baratdaya seperti antiklin Tanjung, antiklin Warukin dan antiklin Paringin. Sedangkan struktur sinklin yang terdapat di daerah Tutupan dan Wara dinamakan Sinklin Bilas. Struktur geologi yang terdapat di daerah Paringin berupa antiklin yang dikenal dengan nama antiklin Paringin. Antiklin Paringin yang bentuknya tidak simetri memanjang sekitar 18 km searah timurlaut-baratdaya. Di bagian barat kemiringan lapisan batuan hampir vertikal.

48

Gambar 4.5 Model Struktur Regional (PT. Adaro Indonesia)

Gambar 4.6 Tatanan Tektonik Cekungan Barito (After Satyana and Silitonga, 1993) 49

BAB V GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

5.1. Geomorfologi Daerah Telitian Pembagian geomorfologi daerah telitian memakai konsep atau model untuk membagi satuan geomorfologi yang mengacu pada klasifikasi Verstappen (1985), Brahmantyo dan Bandono (1992) yang mengkaitkan antara struktur geologi dan proses secara bersama dalam pembentukan bentuk lahan disertai keterangan tentang morfometri, morfografi, dan morfogenesa. Pembagian bentuk lahan, secara umum dibagi menjadi dua, yaitu morfologi dan morfogenesa. 1. Morfologi (bentuk), yaitu mempelajari mengenai relief secara umum yang meliputi aspek: a. Morfografi merupakan aspek yang bersifat pemerian pada suatu daerah, antara lain bukit, punggungan, lembah dan dataran. b. Morfometri merupakan aspek kuantitatif suatu daerah, terdiri dari kemiringan lereng, bentuk lembah (menggunakan klasifikasi Van Zuidam & Cancelado, 1979). 2. Morfogenesa, yaitu studi mengenai proses geomorfologi yaitu proses yang mengakibatkan perubahan dan terjadinya bentuklahan yang mencakup aspek: a. Morfostruktur : aktif gaya – gaya endogen, yaitu struktur geologi b. Morfostruktur pasif : aspek material penyusunnya, yaitu litologi c. Morfostruktur dinamik : gaya-gaya eksogen, yaitu proses denudasional Daerah penelitian merupakan daerah yang terdiri dari perbukitan dan lembahlembah hasil kegiatan penambangan. Ketinggian terendah daerah penelitian adalah -10 meter di bawah muka air laut yang merupakan kolam penampungan air tambang maupun air hujan. Titik tertinggi adalah 128 meter di atas permukaan laut yang berupa puncak bukit yang terletak di sebelah tenggara daerah telitian . Dengan melihat arah 50

kedudukan batuan disekitar lokasi tambang, maka secara umum daerah telitian merupakan daerah homoklin yang ditandai oleh arah kedudukan lapisan batuan yang searah ke arah tenggara (Foto 5.1) Satuan geomorfik pada daerah terlitian di sebelah tenggara berupa perbukitan homoklin berlereng miring dan di sekeliling area tambang di sebelah barat daya sampai utara berupa perbukitan homoklin berlereng landai yang tidak dipengaruhi oleh aktivitas penambangan diklasifikasikan ke dalam bentuk lahan bentukan asal struktural. Sedangkan satuan geomorfik daerah telitian pada lokasi tambang dibagi berdasarkan terminologi tambang terbuka/open pit (Imam Sancoko, 2010) dan tingkat kemiringan lereng (Zuidam, 1979) yang didasarkan pada aspek morfometri yakni ; aspek kuantitatif suatu daerah yang berupa kelerengan (Tabel 5.1.) yang sudah berubah dari betuk aslinya karena dipengaruhi oleh aktivitas penambangan, maka diklasifikasikan ke dalam bentukan asal aspek manusia.

Tabel 5.1 Klasifikasi Kemiringan Lereng (Zuidam & Cancelado, 1979) Klasifikasi Kemiringan Lerang No Satuan Lahan

Prosentase kelerengan %

1

Datar – hampir datar

0–2

2

Landai

2–7

3

Miring

7 – 15

4

Agak Curam

15 – 30

5

Curam

30 – 70

6

Sangat Curam

70 – 140

7

Tegak

> 140

51

Foto 5.1. Kenampakan arah kemiringan lapisan batuan pada daerah telitian. Kemiringan lapisan batuan secara umum ke arah tenggara. Arah kamera N 400 E

5.1.1.1 Bentuk Asal Struktural 1. Perbukitan homoklin berlereng miring Satuan geomorfologi ini menempati 10% dari luas daerah telitian, morfologi berupa bukit dengan kelerengan berkisar antara 8% hingga 13% dengan ketinggian 65 sampai 128 mdpl. Litologi yang menyusun berupa satuan batulempung yang terdiri dari batulempung, batupasir, batulanau dan batubara. Satuan ini dipengaruhi oleh struktur geologi berupa sesar mendatar Tutupan dan struktur homoklin dengan kemiringan ke arah tenggara. Vegetasi berupa pohon karet, dan semak. Pada peta geomorfologi (lampiran 3) satuan ini diwakili dengan warna ungu tua dan simbol S1.

2. Perbukitan homoklin berlereng landai

52

Satuan geomorfologi ini menempati 20% dari luas daerah telitian, morfologi berupa perbukitan lemah dengan kelerengan berkisar antara 3% hingga 7% dengan ketinggian 60 sampai 80 mdpl. Pola pengaliran yang berkembang. Litologi penyusun satuan geomorfologi ini sebagian besar berupa satuan batupasir dengan litologi terdiri dari batupasir, sisipan batulempung dan batubara, dan pada bagian tenggara tersusun dari satuan batulempung yang terdiri dari batulempung, dengan sisipan batupasir, batulanau dan batubara. Satuan ini dipengaruhi oleh struktur geologi berupa struktur homoklin dengan kemiringan ke arah tenggara dan sesar naik Hill 11 diperkirakan.

Vegetasi berupa pohon karet, dan semak. Pada peta

geomorfologi (lampiran 3) satuan ini diwakili dengan warna ungu muda dengan simbol S2.

Foto 5.2. Kenampakan satuan Geomorfologi bukit homoklin berlereng miring (S1) dan perbukitan lemah homoklin berlereng landai (S2) di bagian tenggara daerah telitian. Arah kamera N 1750 E

53

5.1.1.2 Bentukan Asal Aspek Manusia 1. Kolam Penampungan Air (Sump) Hasil Penambangan Satuan ini menempati 6% dari luas daerah telitian, morfologi berupa tempat paling rendah sebagai kolam penampungan air hasil aktivitas penambangan dengan kelerengan berkisar antara 0% hingga 2% dan ketinggian antara 0 - -10 mdpl (foto 5.4 & 5.5). Litologi penyusun berupa endapan-endapan material lepas yang terbawa air yang masuk ke kolam penampungan ini. Satuan ini dipengaruhi oleh struktur geologi berupa struktur homoklin dan sesar mendatar Tutupan. Pada peta geomorfologi (lampiran 3) satuan ini diwakili oleh warna abu-abu dengan simbol H1.

Foto 5.3. Kenampakan satuan kolam penampungan (sump) di daerah telitian. Arah kamera N 470 E

2. Lereng Curam High Wall Hasil Penambangan Satuan ini menempati 9% dari luas daerah telitian, morfologi berupa dinding tambang pada sisi kemiringan batubara terdalam yang terdiri dari slope dan bench dengan lereng curam berkisar antara 30% hingga 70% hasil

54

aktivitas penambangan dengan tinggi jenjang antara 8-16 m (foto 5.5). Litologi terdiri dari satuan batulempung yang terdiri dari batulempung, dengan sisipan batupasir kuarsa, batulanau dan batubara. Satuan ini dipengaruhi oleh struktur geologi berupa struktur homoklin dan sesar mendatar Tutupan. Pada peta geomorfologi (lampiran 3) satuan ini diwakili oleh warna coklat dengan simbol H2. 3. Lereng Curam Low Wall Hasil Penambangan Satuan ini menempati 9% dari luas daerah telitian, morfologi berupa dinding tambang pada sisi kemiringan batubara terdangkal atau terendah yang terdiri dari slope dan bench dengan lereng curam berkisar antara 30% hingga 70% hasil aktivitas penambangan dengan tinggi jenjang antara 8-16 m (foto 5.5). Litologi terdiri dari satuan batupasir kuarsa yang terdiri dari batupasir kuarsa dengan sisipan batulempung, batulempung karbonan, batulanau dan batubara. Satuan ini dipengaruhi oleh struktur geologi berupa struktur homoklin, sesar mendatar Tutupan dan sesar naik Hill 11. Pada peta geomorfologi (lampiran 3) satuan ini diwakili oleh warna hijau dengan simbol H3. 4. Lereng Curam End Wall Hasil Penambangan Satuan ini menempati 6% dari luas daerah telitian, morfologi berupa dinding atau batas akhir dari penambangan, biasanya terdapat diujung daerah penambangan (melintang jurus lapisan batuan) yang terdiri dari slope dan bench dengan lereng curam berkisar antara 30% hingga 70% hasil aktivitas penambangan dengan tinggi jenjang antara 8-16 m (foto 5.5). Litologi terdiri dari satuan batupasir kuarsa yang terdiri dari batupasir kuarsa dengan sisipan batulempung, batulempung karbonan, batulanau dan batubara pada bagian barat laut serta satuan batulempung dengan sisipan batupasir kuarsa, batulempung karbonan, batulanau dan batubara pada bagian tenggara. Satuan ini dipengaruhi oleh struktur geologi berupa

55

struktur homoklin. Pada peta geomorfologi (lampiran 3) satuan ini diwakili oleh warna kuning dengan simbol H4. 5. Dataran Berlereng Landai Hasil Penambangan Satuan ini menempati 40% dari luas daerah telitian, morfologi berupa dataran berlereng landai hasil aktivitas penambangan dengan kelerengan berkisar antara 3% hingga 7% (foto 5.5). Litologi terdiri dari satuan batupasir kuarsa yang terdiri dari batupasir kuarsa dengan sisipan batulempung,

batulempung

karbonan,

dan

batubara

serta

satuan

batulempung yang terdiri dari batulempung, batupasir kuarsa, batulanau, batulempung karbonan dan batubara. Satuan ini dipengaruhi oleh struktur geologi berupa struktur homoklin, sesar mendatar Tutupan dan sesar mendatar Hill 11. Pada peta geomorfologi (lampiran 3) satuan ini diwakili dengan warna jingga dengan simbol H5.

Foto 5.4. Kenampakan satuan geomorfik aspek manusia pada daerah telitian. Arah kamera N 400 E

56

Tabel 5.2 Klasifikasi satuan geomorfik daerah telitian

57

5.2. Stratigrafi Daerah Telitian Urutan stratigrafi yang tersingkap di daerah telitian yaitu Formasi Warukin bagian atas yang dicirikan dengan hadirnya batubara yang tebal dan sedimen klastik berukuran lempung sampai pasir sedang. Berdasarkan hasil pengamatan (ciri litologi) dan umur geologi, maka pada daerah telitian dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) satuan litostratigrafi tidak resmi. Urutan litostratigrafi dari yang tertua hingga yang termuda pada daerah telitian adalah sebagai berikut :

5.2.2.1. Satuan batupasir kuarsa Warukin a. Ciri Litologi Penamaan satuan litostratigrafi ini berdasarkan pada litologi yang dominan. Secara umum litologi penyusun satuan lithostratigrafi ini secara dominan berupa batupasir kuarsa yang secara petrografi adalah Quartz Arenite menurut klasifikasi Pettijohn, 1972 dan Gilbert, 1982 pada analisis petrografi (lampiran 7). Setempatsetempat ditemukan perselingan batulempung dan batubara dengan tebal mencapai 28 m dengan floor dan roof umumnya berupa batulempung karbonan. Pada satuan ini cukup banyak dijumpai kenampakkan woody structure (struktur kayu) pada beberapa lokasi pengamatan (Foto 5.6). Berdasarkan pengamatan di lapangan, penyusun satuan batupasir kuarsa Warukin ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : Batupasir kuarsa, umumnya terdiri dari mineral kuarsa; matriks pecahan batubara; semen silika; warna; putih kekuningan sampai keabu-abuan; ukuran butir sangat halus sampai sedang (1/16 – 1/2 mm); struktur sedimen yang dijumpai : laminasi sejajar, laminasi bergelombang , cross bedding dan masif (foto 5.7).

58

Foto 5.5. Kenampakan woody structur (struktur kayu) pada LP 109 Arah kamera N 3100 E

b a

Foto 5.6. Litologi batupasir kuarsa daerah telitian pada LP 2 (a). Kontak roof batubara dengan batupasir kuarsa N440E/490, arah kamera N 40 E (b). Batupasir kuasra mengandung cerat karbon dengan struktur laminasi bergelombang, arah kamera N 450 E

59

Batulempung, warna abu – abu kecoklatan, ukuran butir lempung (<1/256); mineral lempung; struktur sedimen yang dijumpai masif.

a b

Foto 5.7. a. Litologi batulempung dengan sisipan batubara tipis N370E/560 pada LP 82 Arah kamera N 3100 E .b. Lithologi batulempung karbonan dengan struktur menyerpih pada LP 90 Arah kamera N 40 E

60

Batubara, warna hitam; gores hitam kecoklatan; pecahan Sub-conchoidal; kilap hitam kusam; kekerasan brittle-hard, terdapat cleat dengan face cleat relatif berarah barat lauttenggara dan sebagian terdapat resin/amber (getah damar). Ketebalan batubara pada satuan batuan ini secara umum tebal mencapai 28 m dan beberapa seam batubara minor (lampiran 5 & 6 penampang stratigrafi terukur).

Foto 5.8. Litologi batubara T110 bagian floor N430E/350 pada LP 163 lintasan MS end wall timur laut, arah kamera N 470 E

61

(b)

(a) Foto 5.9. a Cleat pada batubara seam T110 pada LP 164, arah kamera foto N3200E b. Kenampakan resin/amber pada seam batubara T110 pada end wall timut laut, arah kamera N3050E

b. Penyebaran dan Ketebalan Satuan ini menempati 40% luas dari daerah telitian dengan arah penyebaran timur laut-barat daya dan miring ke arah tenggara. Satuan ini mengalami pergeseran (offset) akibat sesar mendatar kanan Tutupan. Ketebalan Satuan batupasir kuarsa Warukin ini berdasarkan pengukuran penampang stratigrafi terukur adalah lebih dari 119,7 m.

c. Lingkungan Pengendapan dan Umur Berdasarkan hasil dari pengukuran profil dan penampang stratigrafi terukur, maka dapat diketahui sub–lingkungan pengendapan dan lingkungan pengendapan di daerah telitian. Penentuannya didasarkan pada aspek fisik dengan melihat ciri – ciri litologi, struktur sedimen, variasi litologi dan ketebalan batubara (lampiran 5 dan 6), aspek kimia dengan melihat kehadiran mineral sedikit serta aspek biologi dengan

62

melihat kehadiran fosil. Dan juga mengacu pada stratigrafi regional daerah telitian (Tabel 4.1). Satuan batuan ini didominasi oleh batupasir kuarsa dengan ukuran butir halus-sedang dan struktur sedimen antara lain masif, laminasi sejajar, laminasi bergelombang, gradded beding dan silang siur. Juga dijumpai batulempung, batulempung karbonan, batulanau dan lapisan-lapisan batubara dengan tebal ada yang mencapai 28 m. Lapisan batubara satuan batuan ini banyak mengalami splitting pada bagian barat daya. Kehadiran mineral sedikit pada satuan batuan seperti pirit dan fosil sangat jarang bahkan tidak ada serta dari uji kandungan sulfur pada sampel batubara yang diambil dari satuan ini menunjukkan kandungan sulfur yang rendah ( <1 ). Maka Dari aspek-aspek tersebut dapat disimpulkan bahwa sub-lingkungan pengendapan pada satuan batupasir kuarsa ini berupa Swamp, Leeve, Channe, Creavasse dan Flood Plain serta lingkungan pengendapannya adalah Upper Delta Plain (Horne, 1979). Berdasarkan analisis sampel paleontologi pada satuan batuan ini tidak ditemukan kehadiran fosil foraminifera baik berupa bentos maupun. Oleh karena itu, penentuan umur satuan batuan ini dilakukan dengan cara melakukan kesebandingan berdasarkan ciri-ciri litologi dari satuan ini dengan stratigrafi regional yang mengacu pada stratigrafi cekungan barito (Tabel 4.1). Selain itu, juga ditentukan berdasarkan hasil penelitian terdahulu oleh N. Sikumbang dan R. Heryanto, 1994 dimana pada satuan ini ditemukan fosil foraminifera dalam batulempung pasiran antara lain Ammonia indica (Le Roy), Cellanthus sp., Amphistegina sp., Florilus sp., Lepidocyclina sp. dan Austrotrillina howchini yang mengindikasikan berumur Miosen Awal – Miosen Tengah (Heryanto, R, 1994). Berdasarkan stratigrafi regional dan peneliti terdahulu, maka satuan batupasir kuarsa ini masuk kedalam Formasi Warukin bagian atas yang berumur Miosen Tengah.

d. Hubungan Stratigrafi Hubungan stratigrafi antara satuan batupasir kuarsa Warukin dengan satuan batulempung Warukin yang berada di atasnya adalah selaras. Hal ini terlihat jelas di

63

lapangan dan juga terlihat dari kedudukan kedua satuan batuan ini yang memiliki jurus dan kemiringan yang relatif sama (foto 5.11).

Foto 5.10. Kontak satuan batuan (garis merah) pada end wall timur laut daerah telitian dengan kedudukan N550E/340, arah foto N 850 E

5.2.2.2. Satuan batulempung Warukin a. Ciri Litologi Penamaan satuan batuan ini didasarkan pada litologi dominan pada daerah telitian. Secara umum litologi penyusun satuan lithostratigrafi ini berupa batulempung dengan struktu masif dan setempat-setempat ditemukan perselingan antara batupasir kuarsa, batulanau dan beberapa seam minor batubara. Berdasarkan pengamatan di lapangan, penyusun satuan batulempung Warukin ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : Batulempung, berwarna abu-abu sampai putih kekuningan; ukuran butir lempung (<1/256 mm) komposisi berupa mineral lempung, semen silika, kadang terdapat pecahan

64

batubara, struktur sedimen yang dijumpai secara umum masif dan beberapa dijumpai struktur laminasi.

Foto 5.11. Litologi batulempung dengan struktur masif pada LP 101 Arah kamera N 1530 E

Batupasir kuarsa, umumnya terdiri dari mineral kuarsa; matriks pecahan batubara; semen silika; warna; putih ke abu-abuan-kekuningan; ukuran butir pasir sangat halus sampai halus (1/16 – 1/4 mm); struktur sedimen yang dijumpai : laminasi sejajar, laminasi bergelombang dan silang siur.

Foto 5.12. Litologi batupasir kuarsa dengan struktur silang siur pada LP 10 Arah kamera N 1200 E

65

Batulanau, berwarna abu-abu terang sampai putih kekuningan; ukuran butir lanau (1/16) komposisi berupa mineral lempung- lanau, silika, kadang terdapat pecahan batubara, Struktur sedimen pada yang dijumpai masif serta dibeberapa singkapan dijumpai struktur plant remain berupa fosil cetakan daun.

Foto 5.13. Litologi batulanau dengan fosil cetakan daun (plant remain) LP 102 Arah kamera N 220 E

Batubara, warna hitam; gores hitam kecoklatan; pecahan sub-conchoidal; kilap hitam kusam; kekerasan brittle-hard, terdapat cleat dan sebagian terdapat resin/amber (getah damar), ketebalan batubara pada satuan ini lebih tipis berkisar antara 50 cm sampai 10 m dan lebih sedikit dijumpai seam batubara dibandingkan pada satuan batupasir kuarsa Warukin (lampiran penampang stratigrafi terukur).

b. Penyebaran dan Ketebalan Satuan batulempung Warukin ini menempati 45% luas dari

daerah telitian

dengan arah penyebaran timur laut-barat daya dan miring ke arah tenggara. Satuan ini mengalami pergeseran (offset) akibat sesar mendatar kanan Tutupan. Ketebalan satuan batuan ini berdasarkan pengukuran penampang stratigrafi terukur lebih dari 122, 2 m.

66

c. Lingkungan Pengendapan dan Umur Berdasarkan hasil dari pengukuran profil dan penampang stratigrafi terukur, maka dapat diketahui sub–lingkungan pengendapan dan lingkungan pengendapan di daerah telitian. Penentuannya didasarkan pada aspek fisik dengan melihat ciri – ciri litologi, struktur sedimen, variasi litologi dan ketebalan batubara (lampiran 6), aspek kimia dengan melihat kehadiran mineral sedikit serta aspek biologi dengan melihat kehadiran fosil. Dan juga mengacu pada stratigrafi regional daerah telitian (Tabel 4.1). Satuan batuan ini didominasi oleh litologi berukuran halus yaitu batulempung dengan struktur sedimen masif dan laminasi sejajar. Juga dijumpai batulempung karbonan, batulanau, batupasir kuarsa dan lapisan batubara dengan yang sedikit dan lebih tipis dengan ketebalan antara 50 cm – 10 m. Splitting pada satuan batuan ini tidak berkembang seperti pada satuan batupasir kuarsa. Kehadiran mineral pirit dan fosil pada satuan batuan ini juga tidak serta kandungan sulfur pada lapisan batubara yang diambil dari satuan ini menunjukkan kandungan sulfur yang rendah ( <1 ). Maka Dari aspek-aspek tersebut dapat disimpulkan bahwa sub-lingkungan pengendapan pada satuan batupasir kuarsa ini berupa Crevasse, Interdistributary bay dan Swamp serta lingkungan pengendapannya adalah Transitional Lower Delta Plain (Horne, 1978). Berdasarkan analisis sampel paleontologi pada satuan batuan ini tidak ditemukan kehadiran fosil foraminifera baik berupa bentos maupun. Oleh karena itu, penentuan umur satuan batuan ini dilakukan dengan cara melakukan kesebandingan berdasarkan ciri-ciri litologi dari satuan ini dengan stratigrafi regional yang mengacu pada stratigrafi cekungan barito (Tabel 4.1). Selain itu, juga ditentukan berdasarkan hasil penelitian terdahulu oleh N. Sikumbang dan R. Heryanto, 1994 dimana pada satuan ini ditemukan fosil foraminifera dalam batulempung pasiran antara lain Ammonia indica (Le Roy), Cellanthus sp., Amphistegina sp., Florilus sp., Lepidocyclina sp. dan Austrotrillina howchini yang mengindikasikan berumur Miosen Awal – Miosen Tengah (Heryanto, R,

67

1994). Berdasarkan stratigrafi regional dan peneliti terdahulu, maka satuan batupasir kuarsa ini masuk kedalam Formasi Warukin bagian atas yang berumur Miosen Tengah

d. Hubungan Stratigrafi Hubungan stratigrafi antara satuan batulempung Warukin dengan satuan batupasir kuarsa Warukin yang berada di bawahnya adalah kontak selaras. Hal ini terlihat jelas di lapangan dan juga terlihat dari kedudukan kedua satuan batuan ini yang memiliki jurus dan kemiringan yang relatif sama (Foto 5.11). Sedangkan hubungan satuan ini dengan endapan alluvial di atasnya adalah tidak selaras. Dibuktikan dengan perbedaan kedudukan dari satuan batulempung dengan endapan alluvial dan perbedaan umur yang menyolok atau dengan kata lain terdapat tahap dimana proses sedimentasi terhenti dan satuan yang lebih tua mengalami pengerosian (tabel 4.1).

5.2.2.3. Satuan Endapan Alluvial a. Ciri Litologi Endapan alluvial tersusun oleh material lepas hasil rombakan dari batuan asal yang lebih tua dan berupa endapan yang belum mengalami kompaksi yang tertransportasi oleh media air serta didominasi oleh tekstur berukuran lempung dan lumpur. Tidak dijumpai adanya perlapisan atau struktur luar sedimen, sehingga dalam penentuan hubungan stratigrafi dengan satuan batuan di bawahnya merupakan bidang erosi. b. Penyebaran dan Ketebalan Satuan ini menempati 15% dari luas daerah telitian dan terletak pada bagian tengah daerah telitian dengan bentukan berupa kolam penampungan air/sump (foto 5.15). Ketebalan satuan endapan alluvial ini tidak diketahui dikarenakan terletak pada sump yang tergenang air.

68

c. Hubungan Stratigrafi Hubungan stratigrafi antara endapan alluvial dengan satuan batulempung Warukin yang berada di bawahnya adalah tidak selaras, dibuktikan dengan perbedaan kedudukan dari satuan batulempung dengan endapan alluvial dan perbedaan umur yang menyolok atau dengan kata lain terdapat tahap dimana proses sedimentasi terhenti dan satuan yang lebih tua mengalami pengerosian (tabel 4.1).

Foto 5.14. Satuan Endapan Alluvial yang terdapat pada kolam penampungan /sump Arah kamera N 400 E

69

Tabel 5.3 Kolom Stratigrafi Daerah Telitian

5.3. Struktur Geologi Daerah Telitian Analisis struktur geologi yang terdapat didaerah penelitian didasarkan pada data– data pengukuran bidang kekar, jurus dan kemiringan perlapisan batuan dimana dari hasil pengeplotan kedudukan tersebut menunjukkan arah umum tegasan daerah telitian. Berdasarkan hasil analisis data dan pengamatan di lapangan, maka didapatkan beberapa jenis struktur geologi yang ada pada daerah telitian, antara lain berupa struktur kekar, struktur homoklin, sesar mendatar kanan Tutupan, drag fold dan sesar naik Hill 11.

70

5.2.3.1. Kekar Struktur kekar ini teramati pada lokasi pengamatan 71, terdapat pada litologi batulanau. Berikut ini adalah data pengukuran kekar pada lokasi pengamatan 71 berupa shear joint, extension joint dan release joint : : a. N 2870 E/720

1. Shear Joint

b. N 2350 E/360 2. Extension Joint

: N 2670 E/720

3. Release Joint

: N 1600 E/68 0

Foto 5.15. Kekar pada lithologi batulanau LP 71 Arah kamera N 2750 E

Selain itu juga dilakukan pengamatan dan pengukuran kekar pada lapisan batubara yang biasanya disebut dengan cleat. Menurut Laubach et al (1998), cleat adalah rekahan alami yang terdapat di dalam lapisan batubara, terdiri dari face cleat dan lebih kecil lagi disebut butt cleat sedangkan menurut Ryan (2003), cleat adalah kekar di dalam lapisan batubara, khususnya pada batubara bituminous yang ditunjukkan oleh serangkaian kekar yang sejajar, umumnya mempunyai orientasi berbeda dengan kedudukan lapisan batubara. Pengukuran cleat ini difokuskan pada jenis face cleat Face cleat karena merupakan hasil dari perpanjangan rekahan dalam bidang sejajar dengan

71

paleostress kompresif maksimum suatu daerah (Nickelsen & Hough 1967; Hanes & Shepherd 1981). Berikut ini adalah data kedudukan umum face cleat yang diukur pada lapisan batubara di daerah telitian ditunjukkan seperti pada tabel di bawah ini:

Tabel 5.4. Tabulasi Data Face Cleat Daerah Telitian

No. LP 163 169 166 26 32 158 34

Seam T 110 EW TL T110 EW BD T 120 EW TL T 120 T 120 T 120 ZONA SESAR T 300

Face cleat 284/70 304/79 289/86 280/80 272/75 218/54 255/70

Pengisi pirit -

Spasi 0,1 – 2 cm 2 cm

Kerapatan

0,2-21 cm 0,1-10 cm 0,1-1,5 cm 1-10 cm

58/3,5 m 92/3,5 m >213/3,5 m

Berdasarkan table di atas dan setelah dilakukan analisis, secara umumn face cleat pada daerah telitian berarah relative barat laut-tenggara (Diagram 5.1). Maka arah tegasan utama pada daerah telitian searah dengan face cleat dan extension joint pada daerah telitian yang berarah barat laut-tenggara. Sedangkan perubahan arah face cleat pada zona sesar, mengindikasikan bahwa adanya perubahan kedudukan seam batubara yang dipengaruhi oleh proses pensesaran pada daerah telitian.

72

vvv

a.

c.

b.. Foto 5.16. a. Kenampakan face cleat (kuning) dan butt cleat (merah) T120 pada 0 LP 32, arah kamera N290 E b. Kenampakan face cleat (kuning) dan butt cleat (merah) pada zona 0 sesar seam T120 LP 158, arah kamera N290 E c. Kenampakan face cleat (kuning) seam T110 pada LP 164, arah

kamera foto N3200E.

73

a

b Gambar 5.1. a. b.

Diagram Rosset face cleat daerah telitian yang relative berarah barat laut-tenggara.

Diagram Kontur face cleat daerah telitian yang mempunyai kedudukan umum N291 0E/730

5.2.3.2. Struktur Homoklin Berdasarkan hasil pengamatan dan pengukuran kedudukan perlapisan batuan di daerah telitian yang secara umum mempunyai jurus relative berarah timur laut-barat daya dan kemiringan (dip direction) searah yaitu ke arah tenggara dengan besaran dip rata-rata antara 250 - 500 (Foto 5.17). Sehingga dapat disimpulkan bahwa struktur geologi yang ada pada daerah telitian berupa struktur homoklin. .

74

Foto 5.17. Struktur homoklin dengan kemiringan ke tenggara pada daerah telitian Arah kamera N 950 E

5.2.3.3. Sesar Mendatar Kanan Tutupan Struktur geologi ini teramati jelas pada daerah telitian berdasarkan data pergeseran (offset) dari batubara seam T120 yang dijadikan sebagai keybed. Selain itu juga ditemukan bukti berupa bidang sesar pada LP 106 dan LP 113 (lampiran 1. peta lintasan dan lokasi pengamatan). Pada LP 106 ditemukan singkapan bidang sesar berupa zona hancuran berukuran halus (milonite) dengan kedudukan N 2930 E/550 (Foto. 5.18) dan pada LP 113 berupa bidang sesar pada litologi batubara dengan kedudukan 2940 E/420 (Foto 5.19). Berdasarkan kedudukan dan posisinya pada peta, maka kedua singkapan ini dipastikan sebagai hasil dari satu sesar atau dengan kala lain merupakan satu sesar yang sama. Untuk penamaan sesar ini didasarkan dari data bidang sesar, cleat berupa face cleat yang di interpretasikan sebagai kekar tension/gash fracture pada zona sesar yang telah mengalami perubahan akibat sesar, pergeseran/offset litologi dan drag fold dari kenampakan di lapangan. Penamaan sesar ini berdasarkan klasifikasi sesar translasi menurut Rickard, 1972 dengan menggunakan data dip bidang sesar dan rake dari gores

75

garis hasil analisis menggunakan stereografis, serta dengan melihat offset seam T120 guna menentukan pergerakan relatifnya. Dari hasil analisis menggunakan data-data tersebut

maka didapatkan nama sesar yaitu thrust right slip fault. Sesar ini juga

mengalami gerak rotasi yang ditunjukkan dengan adanya perbedaan jarak offset, sehingga penamaan sesar ini merupakan gabungan dari sesar rotasional dan translasi yaitu Rotasional Thrust Right Slip Fault.

a. b.

c.

Foto. 5.18 a. Kenampakan offset lapisan batuan di High Wall pada daerah telitian. Arah kamera N1300E b. Bidang sesar pada LP 106 dengan kedudukan N2930E/550 Arah kamera N1100E c. Zona milonit berukuran halus pada LP 106, arah kamera N1250

76

a.

b.

Foto. 5.19 a. Kenampakan bidang sesar dan drag fold pada Low Wall daerah telitian, arah kamera N3150E b. Kenampakan bidang sesar N2940E/420 dan slickenside yang mengindikasikan arah pergerakan sesar pada LP 113, arah kamera N32800E

77

Gambar 5.2. Diagram kontur face cleat pada zona sesar dengan kekudukan umum N370E/550

Gambar 5.3. Diagram analisis sesar mendatar kanan Tutupan

78

5.2.3.4. Sesar Naik Hill 11 Struktur Sesar ini diperkirakan berdasarkan keberadaan drag fold yang membentuk antiklin di bagian barat laut daerah telitian pada LP 78, LP 79, LP 82, LP 84 dan LP 85 (lampiran 1. Peta lintasan dan lokasi pengamatan). Hasil pengukuran kedudukan-kedudukan lapisan batuan tersebut (Tabel 5.4) pada analisis dengan metode stereografis seperti ditunjukkan pada (Gambar 5.4). Berdasarkan kedudukan sumbu lipatan yang memiliki penunjaman (plunge) yang kecil, maka drag fold tersebut diinterpretasikan sebagai struktur penyerta dari sesar naik. Drag fold tersebut memiliki kedudukan hinge surface yaitu N190 E/790 dan hinge line 260, N 1940 E. Tabel 5.5 Tabulasi Data Kedudukan Sayap Drag Fold

44 52 64 37 44 36 46 45 53 42 42 42 34 41 32 20

Strike

Dip

53 9 70 46 64 178 191 201 226 182 154 146 178 191 201

54 11 19 32 38 71 33 88 43 64 41 48 71 33 88

Ket. Sayap 1

38 26 45 50 44 54 52 40 73 50 51 68 79 64 60 41

Ket.

Sayap 2

Dip

Sayap 1

Strike

79

Gambar 5.4 a. Diagram kontur sayap 1 drag fold dengan kedudukan N520E/400 b. Diagram kontur sayap 2 drag fold dengan kedudukan N1800E/670 c. Analisis stereografis drag fold pada daerah telitian dan didapatkan nama lipatan Steeply inclined gently plunging fold (Fluety, 1964)

80

Foto 5.20. Kenampakan lipatan berupa drag fold di dearah telitian pada LP 78 dan LP 79, arah kamera N130E Penentuan sesar naik Hill 11 ini didasarkan pada hubungan sesar dengan struktur penyertanya, dengan asumsi bahwa drag fold terbentuk sebagai akibat dari pergerakan sesar. Hill (1976) menyimpulkan bahwa pada setiap gerak sesar terbentuk struktur penyerta (kekar dan lipatan) dengan pola seperti pada (Gambar 5.5). Menurut (Moddy and Hill,1961) dalam Achmad Rodhi dan Sugeng Raharjo (2007), menyatakan bahwa pada sesar geser akan terbentuk juga drag fold yang mempunyai sudut 120 terhadap sesar gesernya (Gambar 3.6). Dalam kasus ini terdapat struktur penyerta berupa drag fold dengan kedudukan sumbu N190 E/790 serta penunjaman (plunge) sebesar 260. Penarikan sesar mengikuti dasar hubungan atara sesar dengan struktur penyerta (Moody dan Hill, 1961) yaitu 120 dari arah jurus drag fold. Maka didapatkan arah jurus sesar N310E dengan dip ke arah tenggara didasarkan pada pola drag fold sesar naik serta struktur geologi regional dengan arah tegasan utama tenggara-barat laut yang akan membentuk sesar naik pada arah jurus relative timur laut-barat daya. Maka penamaan sesar diperkuat dengan nilai penunjaman (plunge) drag fold yang relatif kecil sehingga disimpulkan bahwa gerak sesar relative naik dengan jurus N310E dengan dip ke arah tenggara.

81

Gambar 5.5. Hubungan antara pergerakan sesar dengan struktur penyerta (Hill,1976) 5.2.4 Sejarah Geologi Daerah Telitian Berdasarkan data-data geologi primer yang meliputi data lapangan khirnya dapat dibuat suatu sintesis geologi daerah penelitian yang menggambarkan sejarah geologi pada suatu kerangka ruang dan waktu. Penentuan sejarah geologi daerah penelitian juga mengacu pada sejarah geologi regional peneliti-peneliti terdahulu (N. Sikumbang dan R. Heryanto, 1994). Cekungan barito terletak sepanjang batas Tenggara dari Paparan Schwaner di Kalimantan Selatan. Cekungan ini dibatasi oleh Pegunungan Meratus di bagian timur yang membatasi dengan Cekungan kutai dan di bagian utara di batasi oleh sesar Adang. Cekungan terbuka ke arah Laut Jawa. Tersier Awal (Paleogen) terjadi proses pengangkatan (konvergen), hal tersebut di hasilkan oleh suatu seri pemekaran arah Baratlaut – tenggara. Pemekaran tersebut mengakibatkan terjadinya sedimentasi alluvial dan lakustrine dari Formasi Tanjung bagian bawah. Pada awal Eosen Tengah, terjadi kenaikan muka air laut (transgresi), sehingga terjadi proses sedimentasi fluviodeltaic dan akhirnya terjadi sedimen laut. Proses transgresi berlangsung selama pengendapan satuan batuan Formasi Tanjung bagian Tengah.

82

Pada Oligosen Tengah terjadi penurunan cekungan menyebabkan terjadi proses transgresi kembali.

Pada akhir Oligosen terjadi pengendapan batuan karbonat dari

Formasi Berai. Pengendapan batuan karbonat berlangsung hingga Awal Miosen, dimana diakhiri pengurangan sedimen (klastik) ke arah barat. Selama Miosen, muka air laut relatif menurun yang disebabkan oleh pengangkatan Pegunungan Schwanner dan Pegunungan Meratus. Sedimentasi berlangsung ke arah timur dan sedimen yang ada merupakan sedimen deltaic dari Formasi Warukin. Selama Plio – Pleistosen terjadi aktivitas tektonik, yang mengakibatkan deformasi pada cekungan Barito, sehingga berkembang struktur lipatan mayor post depositional berarah timur laut - barat daya. Kerena tegasan tersebut masih terus berlangsung dan mengenai lapisan batuan yang terlipat sebelumnya, sehingga melebihi batas plastisitas lapisan batuan, akibatnya terbentuk sesar naik berarah relatif sama dengan sumbu lipatan dilanjutkan sesar mendatar dengan arah relatif WNW-ESE, yang memotong sumbu antiklin dan sesar naik. Kemudian terjadi proses pelapukan, erosi, transportasi dan pengendapan lagi hingga sampai sekarang masih berlangsung.

83

BAB VI PENGARUH SESAR MENDATAR TUTUPAN TERHADAP PERINGKAT BATUBARA SEAM T120 BERDASARKAN PARAMETER NILAI REFLEKTAN VITRINIT DAERAH TELITIAN

6.1. Peringkat Batubara (Coal Rank) Daerah Telitian Peringkat batubara regional daerah telitian menurut peneliti terdahulu dari PT. Adaro Indonesia yang didasarkan pada analisis kandungan organik batubara (maseral) melalui parameter nilai (%Rv rata-rata) Reflektan Vitrinit rata-rata dengan konsep bahwa pertambahan tingkat kematangan (peringkat) suatu lapisan batubara akan diikuti oleh peningkatan reflektansi maseralnya. Sehingga analisis reflektansi maseral (vitrinit) dapat digunakan untuk menentukan peringkat batubara. Secara umum, peringkat batubara berdasarkan nilai (%Rv rata-rata) Reflektan Vitrinit rata-rata pada daerah telitian ditunjukkan seperti pada tabel di bawah ini:

Tabel 6.1. Peringkat batubara Tutupan (ADARO) Nomor Sampel

(%Rv rata-rata)

Coal Rank (ASTM, 1986)

ADR_T100

0,47

Sub-Bituminous B

ADR_T120

0,47

Sub-Bituminous B

ADR_T300

0,45

Sub-Bituminous B

84

Tabel 6.2. Coal rank ADR_T100

Tabel 6.3. Coal rank ADR_T120

85

Tabel 6.4. Coal rank ADR_T300

Berdasarkan tabel di atas, secara umum nilai (%Rv rata-rata) batubara daerah Tutupan yaitu antara 0,45-0,47 %, peringkat batubara pada seam batubara major T100, T120 dan T300 digolongkan dalam Sub-Bituminous B berdasarkan klasifikasi ASTM, 1986.

6.2. Pengaruh Sesar Mendatar Tutupan Terhadap Peringkat Batubara Seam T120 Untuk mengetahui pengaruh struktur geologi berupa sesar mendatar Tutupan terhadap peringkat batubara pada daerah telitian, pengujian sampel dilakukan pada seam kunci T120 yang dapat diidentifikasi secara jelas di lapangan. Sampel batubara yang diambil pada tiga titik berbeda dari seam T120, yaitu pada LP 105, LP 6 dan LP 26. LP 105 merupakan titik pengamatan dan pengambilan sampel petrografi batubara seam T120 pada zona sesar mendatar Tutupan, LP 6 merupakan titik pengamatan dan pengambilan sampel petrografi batubara seam T120 di bagian timut laut dari zona sesar LP 105 dengan jarak +450 meter dari zona sesar dan LP 26 merupakan titik pengamatan dan pengambilan sampel petrografi batubara seam T120 di bagian barat daya dari zona 86

sesar LP 105 dengan jarak +500 meter dari zona sesar (lampiran 4). Dari hasil analisis petrografi berupa analisis maseral (lampiran 8) serta analisis reflektan vitrinit (Tabel 6.4) terhadap 3 sampel batubara seam T120 adalah sebagai berikut :

Tabel. 6.5. Hasil analisis reflektan vitrinit dan penentuan coal rank (ASTM,1986), seam T120 pada daerah telitian Nomor Sampel

Rv min

Rv max

Rv rata-rata

Coal Rank

(%)

(%)

(%)

(ASTM, 1986)

0,46

0,52

0,49

0,44

0,48

0,46

SUB-BITUMINOUS B

0,42

0,46

0,44

SUB-BITUMINOUS B

AH-1 (LP 106) Zona sesar

HIGH VOLATILE BITUMINOUS C

AH-2 (LP 6) Timur laut AH-3 (LP 26) Barat daya

87

Tabel. 6.6. Klasifikasi coal rank T120 AH-1 LP 105 (ASTM,1983 modified from Meissner,1984)

0,49

Tabel. 6.7. Klasifikasi coal rank T120 AH-2 LP 6 (ASTM,1983 modified from Meissner,1984)

88

Tabel. 6.8. Klasifikasi coal rank T120 AH-2 LP 6 (ASTM,1983 modified from Meissner,1984)

Cook (1982) dalam Basuki Rahmad dan Ediyanto (2008), menjelaskan bahwa tahap pembatubaraan terdiri dari derajat dan pematangan bahan organik pada fase metamorfosa tingkat rendah. Material organik lebih peka terhadap metamorfosa tingkat rendah dari pada mineral anorganik. Pertambahan tingkat kematangan (peringkat) suatu lapisan batubara akan diikuti oleh peningkatan reflektansi maseralnya. Jadi tahap pembentukan batubara merupakan tahap pembentukan dari gambut menjadi batubara yang lebih tinggi derajatnya (coal rank) yaitu mulai dari lignit, sub-bituminous, bituminous dan antrasit, yang merupakan akibat dari kenaikan temperatur yang berlangsung pada waktu dan tekanan tertentu. Berdasarkan tabel di atas terlihat adanya perbedaan peringkat batubara (coal rank) pada seam T120. Dimana terlihat perbedaan peringkat batubara pada LP 105 yang terletak pada zona sesar. Hal ini membuktikan adanya pengaruh kenaikan tekanan dan temperatur yang diakibatkan oleh proses pensesaran yaitu sesar mendatar Tutupan yang turut meningkatkan pematangan bahan organik yang diikuti oleh peningkatan nilai reflektan vitrinit sehingga terjadi pula peningkatan peringkat batubabara (coal rank).

89

BAB VII KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. Morfologi daerah telitian yang mengacu pada klasifikasi Verstappen (1985), Budi Brahmantyo dan Bandono (1992), serta klasifikasi kelerengan menurut Van Zuidam dan Cancelado (1979), maka dapat dikelompokkan menjadi 2 bentukan asal, yaitu : bentuk asal struktural dengan betuk lahan perbukitan homoklin berlereng miring (S1) dan perbukitan homoklin berlereng landai (S2), bentuk asal aspek manusia (human aspect) dengan bentuk lahan kolam penampungan air/sump hasil penambangan (H1), lereng curam high wall hasil penambangan (H2), lereng curam low wall hasil penambangan (H3), lereng curam end wall hasil penambangan (H4) dan dataran berlereng landai-miring hasil penambangan (H5). 2. Stratigrafi daerah telitian dibagi menjadi 3 satuan batuan tidak resmi dari tua ke muda, yaitu Satuan batupasir kuarsa Warukin yang terdiri dari litologi batupasir kuarsa dengan sisipan batulanau, batulempung, batulempung karbonan, seam batubara major yang mencapai tebal 28 m dengan lingkungan pengendapan Upper Delta Plain (Horne, 1978), Satuan batulempung Warukin yang terdiri dari litologi batulempung dengan sisipan batupasir kuarsa, batulempung karbonan, sedikit seam batubara yang mencapai tebal 50 cm – 10 m dengan lingkungan pengendapan Transitional Lower Delta Plain (Horne, 1978) dan Satuan endapan alluvial yang terdiri dari material-material lepas yang belum terkompaksi hasil rombakan dari batuan yang lebih tua yang dikontrol oleh media air yang masih berlangsung proses sedimentasi hingga sekarang yang terendapkan pada lingkungan darat (fluviatil). 3. Struktur geologi yang berkembang di daerah penelitian adalah kekar(cleat) dengan arah umun relative barat laut-tenggara, struktur homoklin dengan kemiringan lapisan (dip direction) ke arah tenggara dengan kisaran dip rata-rata 250 - 500, struktur sesar mendatar kanan Tutupan berarah WNW-ESE dengan gabungan klasifikasi sesar

90

translasi (Rickard, 1972) dan sesar rotasional bernama Rotasional Thrust Right Slip Fault dan sesar naik Hill 11(Right Reverse Separation Fault) dengan struktur penyerta berupa drag fold. 4. Struktur sesar mendatar Tutupan berpengaruh terhadap perubahan peringkat batubara umumnya pada daerah telitian dan khususnya pada seam batubara T120. Hal ini disebabkan karena sesar ini meningkatkan tekanan dan temperatur sehingga turut meningkatkan pematangan material organik yang lebih peka terhadap metamorfosa tingkat rendah, serta diikuti oleh peningkatan nilai reflektan vitrinit sehingga terjadi pula peningkatan peringkat batubabara (coal rank).

91

DAFTAR PUSTAKA Anarta, R, Perkembangan Metode Petrografi Batubara, Universitas Negeri Padang, ISSN: 0854-8986. Asminco Exploration dan Mining, 1996, Adaro Resources Report, PT.Adaro Indonesia. Bemmelen, R. W, 1970, The Geology of Indonesia, vol. IA. Gov. Printing Office, The Hegue. Brahmantyo, B dan Bandono, 2006, Klasifikasi Bentuk Muka Bumi (Landform) untuk Pemetaan Geomorfologi pada Skala 1:25.000 dan Aplikasinya untuk Penataan Ruang, Jurnal Geoaplika (2006) Volume 1, Nomor 2, hal. 071 – 078 Daranin, E, Tesis, 1995, Studi Petrografi Batubara Untuk Penentuan Peringkat Dan Lingkungan Pengendapan Batubara di Daerah Bukit Kendi, Muara Enim, Sumatera Selatan, Program Studi Rekayasa Pertambangan, ITB, Bandung. Ediyanto dan Rahmad, B. 2008. Stuktur Geologi Dan Model Sedimentasi Batubara Terhadap Geometri Batubara, Diktat Pelajaran Pelatihan Umum Bahan Galian Batubara, hal.:17-31 Heryanto, R, 2009, Karakteristik dan Lingkungan Pengendapan Batubara Formasi Tanjung di daerah Binuang dan sekitarnya, Kalimantan Selatan, Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 4 No. 4 Desember 2009: 239-252. Heryanto, R dan Sikumbang, N, 1994, Peta Geologi Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Endapan batubara Kalimantan Timur dan Selatan, Sub direktorat Explorasi Direktorat Geologi, Lap No. 2130. Heryanto, R dan Suyoko, 2010, Karakteristik Batubara di Cekungan Bengkulu, (online, http://iagibengkulu.blogspot.com/2010/11/karakteristik-batubara-dicekungan 27.html , diakses tanggal 7 Agustus 2011) Horne, Ferm, JC, Caruccio, FT, dan Baganz, BP, 1978, Depositional Models in Coal Exploration and Planning in Appalachian Region, AAPG Buletin

62:2379-

2411, Depertement of Geology, University of South Carolina, America.

xii

Komisi Sandi Stratigrafi Indonesia, 1996, Sandi Stratigrafi Indonesia, Ikatan Ahli Geologi Indonesia, Bandung. Kuncoro, Prasongko, Bambang, 1996, Model Pengendapan Batubara Untuk Menunjang Eksplorasi Dan Perencanaan Tambang, Program Studi Rekayasa Pertambangan, ITB, Bandung. Kusnama, 2008, Batubara Formasi Warukin di daerah Sampit dan sekitarnya, Kalimantan Tengah, Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 3 No. 1 Maret 2008: 11-22. Marston, 1996, Kolom Stratigrafi Cekungan Barito, Dalam Adaro Source Repot, Kalimantan. Rahmad, B, 2008, Petrologi Batubara, Bahan Kuliah Geologi Batubara Jurusan Teknik Geologi UPN “V” Yogyakarta. Rodhi, A dan Raharjo, S, 2007, Kontrol Struktur Geologi Terhadap Penyebaran Lapisan Batubara di Daerah Binungan Blok 1-4 Berau, Kalimantan Timur, Jurnal Ilmiah MTG. Rodhi, A dan Rahmad, B, 2008, Struktur Geologi dan Sedimentasi Batubara Formasi Berau, Jurnal Ilmiah MTG, Vol.1 No. 3, November 2008. Satyana dan Silitonga, 1994, Tectonic Reversal in East Barito Basin, South Kallmantan : Consideration of the Types of Inversion Structures and Petroleum System Significance, Proceedings Indonesian Petroleum Association 23rd Annual Convention, IPA94-1.1-027. Van Zuidam, R.A dan Cancelado, 1979, Terrain Analysis And Classification Using Aerial Photographs, ITC 350, Boulevard 1945, 7511 AL Enchede, The Netherlands. Verstappen, H, 1983, Applied geomorphology: Geomorphological surveys for environmental development, Amsterdam

xiii

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Peta Lintasan dan Lokasi Pengamatan Lampiran 2. Peta Geomorfologi Lampiran 3. Peta Geologi Lampiran 4. Peta Struktur dan Peringkat Batubara Seam T120 Lampiran 5. Penampang Stratigrafi Terukur End Wall Timur Laut Lampiran 6. Penampang Stratigrafi Terukur End Wall Barat Daya Lampiran 7. Analisis Petrografi Batupasir Kuarsa Lampiran 8. Analisis Petrografi Batubara

xiv

1

ii

iii

iv

v

LAMPIRAN 7 Nomor sayatan Perbesaran

: 1/4J (LP 101) : 30 x

Kuarsa

Feldsp ar

Nikol bersilang

PEMERIAN PETROGRAFIS: Sayatan batuan sedimen, warna abu-abu kecoklatan, tekstur klastik, butiran terdiri dari mineral kwarsa, feldspar, siderit, dan mineral opak, ukuran butir 0,05-0,2mm, bentuk butir menyudut tanggung-membulat tanggung. KOMPOSISI MINERAL: Kwarsa (95%), tidak berwarna, relief rendah, sudut pemedaman bergelombang, mineral berukuran 0,1–0,2mm hadir merata dalam sayatan Feldspar (1%), putih, relief rendah, berukuran 0,05–0,15mm, bentuk menyudut tanggung, berupa mineral plagioklas Siderite (1%), coklat kekuningankemerahan, bias rangkap kuat, ukuran 0,05-0,15 mm. Mineral opak (3%), hitam, isotrop, relief tinggi, ukuran 0,05-0,15 mm, berupa pecahan karbon Penamaan Petrografis: Quartz Arenite (Klasifikasi Pettijohn, 1972) Quartz Arenite (Klasifikasi Gilbert, 1982) Quartz Arenite (Klasifikasi Dott 1964 vide Gilbert, 1982)

Min opak

Siderit

Nikol sejajar 0

1 mm

6

LAMPIRAN 7 Nomor sayatan: 2/AJ/Qz ss (LP 77) Perbesaran : 30 x

Kuarsa Feldsp ar

Nikol bersilang

Min opak

PEMERIAN PETROGRAFIS: Sayatan batuan sedimen, warna abu-abu, tekstur klastik, butiran terdiri dari mineral kwarsa, feldspar, dan mineral opak, ukuran butir 0,05-0,3mm, bentuk butir menyudut tanggung-membulat tanggung. KOMPOSISI MINERAL: Kwarsa (97%), tidak berwarna, relief rendah, sudut pemedaman bergelombang, mineral berukuran 0,2–0,3mm hadir merata dalam sayatan Feldspar (1%), putih, relief rendah, berukuran 0,1–0,2mm, bentuk menyudut tanggung, berupa mineral plagioklas Mineral opak (2%), hitam, isotrop, relief tinggi, ukuran 0,05-0,2 mm, berupa pecahan karbon Penamaan Petrografis: Quartz Arenite (Klasifikasi Pettijohn, 1972) Quartz Arenite (Klasifikasi Gilbert, 1982) Quartz Arenite (Klasifikasi Dott 1964 vide Gilbert, 1982)

Nikol sejajar

0

1 mm

7

LAMPIRAN 7 Nomor sayatan: 3/AJ T120 (LP 28) Perbesaran : 30 x

PEMERIAN PETROGRAFIS: Sayatan batuan sedimen, warna abu-abu kecoklatan, tekstur klastik, butiran terdiri dari mineral kwarsa, feldspar, dan mineral opak, ukuran butir 0,02-0,15mm, bentuk butir menyudut tanggung-membulat tanggung.

Kuarsa

Feldsp ar

Nikol bersilang

KOMPOSISI MINERAL: Kwarsa (95%), tidak berwarna, relief rendah, sudut pemedaman bergelombang, mineral berukuran 0,1–0,15mm hadir merata dalam sayatan Feldspar (2%), putih, relief rendah, berukuran 0,02–0,15mm, bentuk menyudut tanggung, berupa mineral plagioklas Mineral opak (3%), hitam, isotrop, relief tinggi, ukuran 0,02-0,15 mm, berupa pecahan karbon dan cerat karbon Penamaan Petrografis: Quartz Arenite (Klasifikasi Pettijohn, 1972) Quartz Arenite (Klasifikasi Gilbert, 1982) Quartz Arenite (Klasifikasi Dott 1964 vide Gilbert, 1982)

Min opak

Nikol sejajar 0

1 mm

8

LAMPIRAN 7 Nomor sayatan: 4/AJ EW TL (LP 164) Perbesaran : 30 x

Kuarsa

Feldsp ar

Nikol bersilang

Min opak

Siderit

PEMERIAN PETROGRAFIS: Sayatan batuan sedimen, warna abu-abu, tekstur klastik, kompisisi butiran terdiri dari mineral kwarsa, feldspar, siderit, dan mineral opak, ukuran butir 0,05-0,2mm, bentuk butir menyudut tanggung-membulat tanggung. KOMPOSISI MINERAL: Kwarsa (95%), tidak berwarna, relief rendah, sudut pemedaman bergelombang, mineral berukuran 0,1–0,2mm hadir merata dalam sayatan Feldspar (2%), putih, relief rendah, berukuran 0,05–0,15mm, bentuk menyudut tanggung, berupa mineral plagioklas Siderite (1%), coklat kekuningankemerahan, bias rangkap kuat, ukuran 0,05-0,15 mm. Mineral opak (2%), hitam, isotrop, relief tinggi, ukuran 0,05-0,15 mm, berupa pecahan karbon Penamaan Petrografis: Quartz Arenite (Klasifikasi Pettijohn, 1972) Quartz Arenite (Klasifikasi Gilbert, 1982) Quartz Arenite (Klasifikasi Dott 1964 vide Gilbert, 1982)

Nikol sejajar 0

1 mm

9

LAMPIRAN 7 Nomor sayatan: 5/A (LP 175) Perbesaran : 30 x

PEMERIAN PETROGRAFIS: Sayatan batuan sedimen, warna abu-abu, tekstur klastik, kompisisi butiran terdiri dari mineral kwarsa, feldspar, dan mineral opak, ukuran butir 0,05-0,15mm, bentuk butir menyudut tanggung-membulat tanggung.

Feldsp ar

Kuarsa

Nikol bersilang

KOMPOSISI MINERAL: Kwarsa (95%), tidak berwarna, relief rendah, sudut pemedaman bergelombang, mineral berukuran 0,05–0,15mm hadir merata dalam sayatan Feldspar (2%), putih, relief rendah, berukuran 0,05–0,15mm, bentuk menyudut tanggung, berupa mineral plagioklas Mineral opak (3%), hitam, isotrop, relief tinggi, ukuran 0,05-0,15 mm, berupa pecahan karbon dan cerat karbon. Penamaan Petrografis: Quartz Arenite (Klasifikasi Pettijohn, 1972) Quartz Arenite (Klasifikasi Gilbert, 1982) Quartz Arenite (Klasifikasi Dott 1964 vide Gilbert, 1982)

Min opak

Nikol sejajar 0

1 mm

10

LAMPIRAN 8 MACERAL ANALYSIS Sample mark Sample number

: AH-1 (LP 106) : 3716/2011 MACERAL ANALYSIS

MACERAL GROUP

% VOL

VOL mfb

SUB MACERAL

Telovitrinite (Humotelinite) 12.0 VITRINITE (HUMINITE)

65.6

Detrovitrinite (Humodetrinite) 47.2 Gelovitrinite (Humocolinite) 6.4

LIPTINITE (EXINITE)

7.8

Telo-inertinite INERTINITE

25.4 Detro-inertinite Gelo-inertinite

MINERALS MATTER TOTAL Point Counting Magnification

1.2

MACERAL

Textinite Texto-ulminite E-ulminite Telocollinite Attrinite Densinite Desmocollinite Corpogelinite Porigelinite Eugelinite Sporinite Cutinite Resinite Liptodetrinite Alginite Suberinite Fluorinite Exsudatinite Bituminite Fusinite Semifusinite Sclerotinite Inertodetrinite Micrinite Macrinite Oksida Pyrite Clay

% VOL

VOL (mfb)

12.0 0.8 46.4 6.4 0.4 1.6 5.8 6.4 7.6 5.0 6.4 1.2 -

100 : 500 : 500x

Interval (x) Interval (y)

:2 :2

Prepared and measured in accordance with Australian Standard 2856 (1986) and ASTM (2009)

11

LAMPIRAN 8 VITRINITE REFLECTANCE ANALYSIS

Sample mark

: AH-1 (LP 106)

Sample number

: 3716/2011

Standard Deviation (%)

: 0.03

Maximum Reflectance (%)

: 0.52

Minimum Reflectance (%)

: 0.46

Mean Reflectance (%)

: 0.49

Prepared and measured in accordance with Australian Standard 2856 (1986) and ASTM (2009)

12

LAMPIRAN 8

Pyrite Suberinit e

Detrovitrinite Figure 1. Suberinite, fine pyrite associated with detrovitrinite in coal, reflectant white ligth, 500x. Sample 3716

Detrovitrinit e

Suberinit e

Figure 2. As for Figure 1 but in fluorescence mode, 500x. Sample 3716

13

LAMPIRAN 8

Detrovitrinit e Suberinite

Resinite Fusinite

Pyrite Figure 3. Pyrite, resinite, suberinite and fusinite associated detrovitrinite in coal, reflectant white light, 500x. Sample 3716

Suberinite

Resinite

Detrovitrinit e

Figure 4. As for Figure 3 but in fluorescence mode, 500x. Sample 3716

14

LAMPIRAN 8

Fusinite Pyrite

Detrovitrini te Figure 5. Pyrite and fusinite associated with detrovitrinite in coal, reflectant white ligth, 500x. Sample 3716

Sclerotini te Inertodetrini te

Detrovitrinit e Figure 6. Sclerotinite and inertodetrinite associated detrovitrinite in coal, reflectant white light, 500x. Sample 3716

15

LAMPIRAN 8 MACERAL ANALYSIS Sample mark Sample number

: AH-2 (LP 6) : 3717/2011 MACERAL ANALYSIS

MACERAL GROUP

% VOL

VOL mfb

SUB MACERAL

Telovitrinite (Humotelinite) 12.8 VITRINITE (HUMINITE)

73.6

Detrovitrinite (Humodetrinite) 54.4 Gelovitrinite (Humocolinite) 6.4

LIPTINITE (EXINITE)

8.8

Telo-inertinite INERTINITE

11.6 Detro-inertinite Gelo-inertinite

MINERALS MATTER TOTAL Point Counting Magnification

6.0

MACERAL

Textinite Texto-ulminite E-ulminite Telocollinite Attrinite Densinite Desmocollinite Corpogelinite Porigelinite Eugelinite Sporinite Cutinite Resinite Liptodetrinite Alginite Suberinite Fluorinite Exsudatinite Bituminite Fusinite Semifusinite Sclerotinite Inertodetrinite Micrinite Macrinite Oksida Pyrite Clay

% VOL

VOL (mfb)

12.8 0.4 54.0 6.4 0.2 0.4 2.8 5.4 1.2 2.0 5.4 3.0 2.8 3.2

100 : 500 : 500x

Interval (x) Interval (y)

:2 :2

Prepared and measured in accordance with Australian Standard 2856 (1986) and ASTM (2009)

16

LAMPIRAN 8 VITRINITE REFLECTANCE ANALYSIS

Sample mark

: AH-2 (LP 6)

Sample number

: 3717/2011

Standard Deviation (%)

: 0.02

Maximum Reflectance (%)

: 0.48

Minimum Reflectance (%)

: 0.44

Mean Reflectance (%)

: 0.46

Prepared and measured in accordance with Australian Standard 2856 (1986) and ASTM (2009)

17

LAMPIRAN 8

Fusinite

Pyrite

Detrovitrinite

Figure 7. Pyrite and fusinite associated detrovitrinite in coal, reflectant white light, 500x. Sample 3717

Sclerotinite

Detrovitrinite

Pyrite Figure 8. Sclerotinite and pyrite associated with detrovitrinite in coal, reflectant white light, 500x. Sample 3717

18

LAMPIRAN 8

Resinite

Alginite

Detrovitrinite

Pyrite

Figure 9. Pyrite, alginate and resinite associated detrovitrinite in coal, reflectant white light, 500x. Sample 3717

Resinite Alginite

Cutinite

Detrovitrinite

Figure 10. As for Figure 9 but in fluorescence mode, 500x. Sample 3717

19

LAMPIRAN 8

Suberinite

Pyrite

Detrovitrinite

Figure 11. Pyrite amd suberinite associated with detrovitrinite in coal, reflectant white ligth, 500x. Sample 3717

Suberinit e

Detrovitrinit e

Figure 12. As for Figure 11 but in fluorescence mode, 500x. Sample 3717

20

LAMPIRAN 8 MACERAL ANALYSIS Sample mark Sample number

: AH-3 (LP 26) : 3718/2011 MACERAL ANALYSIS

MACERAL GROUP

% VOL

VOL mfb

SUB MACERAL

Telovitrinite (Humotelinite) 7.2 VITRINITE (HUMINITE)

82.8

Detrovitrinite (Humodetrinite) 63.6 Gelovitrinite (Humocolinite) 12.0

LIPTINITE (EXINITE)

7.6

Telo-inertinite INERTINITE

7.8 Detro-inertinite Gelo-inertinite

MINERALS MATTER TOTAL Point Counting Magnification

1.8

MACERAL

Textinite Texto-ulminite E-ulminite Telocollinite Attrinite Densinite Desmocollinite Corpogelinite Porigelinite Eugelinite Sporinite Cutinite Resinite Liptodetrinite Alginite Suberinite Fluorinite Exsudatinite Bituminite Fusinite Semifusinite Sclerotinite Inertodetrinite Micrinite Macrinite Oksida Pyrite Clay

% VOL

VOL (mfb)

7.2 7.6 56.0 12.0 0.8 0.4 1.4 0.6 4.4 0.2 4.8 2.8 1.2 0.6

100 : 500 : 500x

Interval (x) Interval (y)

:2 :2

Prepared and measured in accordance with Australian Standard 2856 (1986) and ASTM (2009)

21

LAMPIRAN 8 VITRINITE REFLECTANCE ANALYSIS

Sample mark

: AH-3 (LP 26)

Sample number

: 3718/2011

Standard Deviation (%)

: 0.03

Maximum Reflectance (%)

: 0.46

Minimum Reflectance (%)

: 0.42

Mean Reflectance (%)

: 0.44

Prepared and measured in accordance with Australian Standard 2856 (1986) and ASTM (2009)

22

LAMPIRAN 8

Sclerotinit e

Detrovitrinite

Pyrite

Figure 13. Pyrite and sclerotinite associated with detrovitrinite in coal, reflectant white ligth, 500x. Sample 3718

Sclerotinite

Detrovitrinite

F igure 14. Sclerotinite associated with detrovitrinite in coal, reflectant white ligth, 500x. Sample 3718 Ff

23

LAMPIRAN 8

Alginite

Pyrite

Detrovitrinite

Figure 15. Pyrite and resinite associated with detrovitrinite in coal, reflectant white ligth, 500x. Sample 3718

Alginite

Detrovitrinit e

Figure 16. As for Figure 15 but in fluorescence mode, 500x. Sample 3718

24

LAMPIRAN 8

Detrovitrinite

Alginite Pyrite

Figure 17. Pyrite and alginate associated with detrovitrinite in coal, reflectant white light, 500x. Sample 3718

Alginte

Detrovitrinite

Figure 18. As for Figure 17 but in fluorescence mode, 500x. Sample 3718

25

Related Documents


More Documents from "Rainier Siahaan"