Askep Fraktur Pelvis

  • Uploaded by: Relawan Sehat
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Askep Fraktur Pelvis as PDF for free.

More details

  • Words: 9,100
  • Pages: 51
Loading documents preview...
MAKALAH ASKEP KEGAWATAN FRAKTUR PELVIS Disusun untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Gadar I yang diampu oleh Bapak Ns.Rudianto.S.Kep.,M.Kep

DISUSUN OLEH : I KETUT ANGGAS

201602015

LUFIANTI AMELINDA

201602019

MONICHA

201602022

PUTRI SANTINA R

201602029

RESY DIWI

201602082

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN BANYUWANGI 2019

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami panjatkan puja dan puji syukur kehadirat-Nya yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah seminar ini yaitu tentang Askep Kegawatan Fraktur Pelvis. Dalam pembuatan makalah ini kami tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini dan kami juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Rudianto selaku dosen pengajar. Akhir kata kami berharap semoga makalah tentang Asuhan Kegawatan Fraktur Pelvis dapat memberikan manfaat maupun inspirasi terhadap pembaca.

Daftar Isi Halaman Judul……………………………………………………………………… Kata Pengantar……………………………………………………………………... Daftar Isi………………………………………………………………………….... Bab I Pendahuluan………………………………………………………………… 1.1 Latar Belakang………………………………………………………….. 1.2 Rumusan Masalah………………………………………………………. 1.3 Tujuan Penulisan………………………………………………………... Bab II Pembahasan………………………………………………………………... 2.1 Laporan Pendahuluan Fraktur Pelvis......................................................... 2.2 Konsep Askep Fraktur Pelvis.................................................................... 2.3 Tinjauan kasus.......................................................................................... Bab III Penutup………………………………………………………………….. 3.1 Kesimpulan…………………………………………………………….. 3.2 Saran………………………………………………………………….... Daftar Pustaka…………………………………………………………………….

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Saat ini, penyakit muskuloskeletal telah menjadi masalah yang banyak dijumpai di pusat-pusat pelayanan kesehatan di seluruh dunia. WHO telah menetapkan dekade ini menjadi Dekade Tulang dan Persendian. Semakin pesatnya kemajuan lalu lintas baik dari segi jumlah pemakai jalan, kendaraan, pemakai jasa angkutan dan bertambahnya jaringan jalan serta kecepatan kendaraan maka mayoritas penyebab terjadinya fraktur adalah kecelakaan lalu lintas. Selain itu, trauma lain yang dapat mengakibatkan fraktur adalah jatuh dari ketinggian, kecelakaan kerja, dan cedera olah raga. Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan berlebihan, yang dapat berupa benturan, pemukulan, penghancuran, penekukan atau terjatuh dengan posisi miring, pemuntiran, atau penarikan. Rekonstruksi terjadinya kecelakaan penting untuk menduga fraktur yang terjadi. Setiap trauma yang dapat mengakibatkan fraktur juga dapat merusak jaringan lunak di sekitar fraktur mulai dari otot, fascia, kulit, tulang, sampai struktur neurovaskuler atau organ-organ penting lainnya. Fraktur pelvis merupakan 3% kasus dari semua kasus fraktur tulang. Lebih dari separuh dari semua kasus fraktur pelvis terjadi akibat dari trauma minimalsampai sedang. Disisi lain, fraktur pelvis yang berat dapat menyebabkan komplikasi yang signifikan.

Sebuah analisis baru-baru ini lebih dari 63.000

pasien trauma menunjukkan bahwa fraktur pelvis berkaitan dengan tingginya angka mortality yang disebabkan oleh karena perdarahan, baik panggul atau extrapelvic, atau terkait cedera kepala parah.

1.2 Rumusan Masalah 1.2.1 Bagaimana konsep laporan pendahuluan tentang fraktur pelvis ? 1.2.2 Bagaimana konsep askep pada kasus fraktur pelvis ? 1.2.3 Bagaimana tinjauan kasus fraktur pelvis ? 1.3 Tujuan Masalah 1.3.1 Mengetahui konsep laporan pendahuluan tentang fraktur pelvis

1.3.2 1.3.3

Mengetahui konsep askep pada kasus fraktur pelvis Mengetahui tinjauan kasus fraktur pelvis

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Laporan Pendahuluan Fraktur Pelvis 2.1.1 Anatomi Fisiologi Pelvis merupakan struktur mirip-cincin yang terbentuk dari tiga tulang: sacrum dan dua tulang innominata, yang masing-masing terdiri dari ilium, ischium dan pubis. Tulang-tulang innominata menyatu dengan sacrum di bagian posterior pada dua persendian sacroiliaca; di bagian anterior, tulang-tulang ini bersatu pada simfisis pubis. Simfisis bertindak sebagai penopang sepanjang memikul beban berat badan untuk mempertahankan struktur cincin pelvis. Tiga tulang dan tiga persendian tersebut menjadikan cincin pelvis stabil oleh struktur ligamentosa, yang terkuat dan paling penting adalah ligamentumligamentum sacroiliaca posterior. Ligamentum-ligamentum ini terbuat dari serat oblik pendek yang melintang dari tonjolan posterior sacrum sampai ke spina iliaca posterior superior (SIPS) dan spina iliaca posterior inferior (SIPI) seperti halnya serat longitudinal yang lebih panjang melintang dari sacrum lateral sampai ke spina iliaca posterior superior (SIPS) dan bergabung dengan ligamentum sacrotuberale. Ligamentum sacroiliaca anterior jauh kurang kuat dibandingkan dengan ligamentum sacroiliaca posterior. Ligamentum sacrotuberale adalah sebuah jalinan kuat yang melintang dari sacrum posterolateral dan aspek dorsal spina iliaca posterior sampai ke tuber ischiadicum. Ligamentum ini, bersama dengan ligamentum sacroiliaca posterior, memberikan stabilitas vertikal pada pelvis. Ligamentum sacrospinosum melintang dari batas lateral sacrum dan coccygeus sampai ke ligamentum sacrotuberale dan masuk ke spina ischiadica. Ligamentum iliolumbale melintang dari processus transversus lumbalis keempat dan kelima sampai ke crista iliaca posterior; ligamentum lumbosacrale melintang dari processus transversus lumbalis ke lima sampai ke ala ossis sacri (gambar 1).

Gambar 1. Pandangan posterior (A) dan anterior (B) dari ligamentum pelvis. Arteri iliaca communis terbagi, menjadi arteri iliaca externa, yang terdapat pada pelvis anterior diatas pinggiran pelvis. Arteri iliaca interna terletak diatas pinggiran pelvis. Arteri tersebut mengalir ke anterior dan dalam dekat dengan sendi sacroliliaca. Cabang posterior arteri iliaca interna termasuk arteri iliolumbalis, arteri glutea superior dan arteri sacralis lateralis. Arteri glutea superior berjalan ke sekeliling menuju bentuk panggul lebih besar, yang terletak secara langsung diatas tulang. Cabang anterior arteri iliaca interna termasuk arteri obturatoria, arteri umbilicalis, arteri vesicalis, arteri pudenda, arteri glutea inferior, arteri rectalis dan arteri hemoroidalis. Arteri pudenda dan obturatoria secara anatomis berhubungan dengan rami pubis dan dapat cedera dengan fraktur atau perlukaan pada struktur ini. Arteri-arteri ini dan juga vena-vena yang menyertainya seluruhnya dapat cedera selama adanya disrupsi pelvis (gambar 2). Pemahaman tentang anatomi pelvis akan membantu ahli bedah ortopedi untuk mengenali pola fraktur mana yang lebih mungkin menyebabkan kerusakan langsung terhadap pembuluh darah mayor dan mengakibatkan perdarahan retroperitoneal signifikan.

Gambar 2. Aspek internal pelvis yang memperlihatkan pembuluh darah mayor yang terletak pada dinding dalam pelvis

2.1.2 Definisi Patah tulang panggul adalah putusnya kontinuitas tulang, tulang rawan epifisis atau tulang rawan sendi dan gangguan struktur tulang dari pelvis. Pada orang tua penyebab paling umum adalah jatuh dari posisi berdiri. Namun, fraktur yang berhubungan dengan morbiditas dan mortalitas terbesar melibatkan pasukan yang signifikan misalnya dari kecelakaan kendaraan bermotor atau jatuh dari ketinggian. Fraktur pelvis termasuk fraktur tulang proksimal femur dan acetabulum. Fraktur pelvis dapat mengenai orang muda dan tua. Biasanya, pasien yang lebih muda dapatmengalami fraktur pelvis sebagai akibat dari trauma yang signifikan, sedangkan pasien lansiadapat mengalami fraktur pelvis akibat trauma ringan.

- High-Energy Fractures Fraktur pelvis dengan taruma berat jarang terjadi,2/3 pasien juga memiliki cederamuskuloskeletal lain,dan lebih dari 1/2 pasien memiliki cedera pada multisistem.(19)

pada

75%

kasus

disertai

dengan

perdarahan,12%

cedera

urogenital,dan 8% cedera pleksus lumbosakral.Dalam sebuah penelitian didapatkan 55% merupakan kasus fraktur cincin pelvis stabil, 25% fraktur pelvis tidak stabil di rotasi, 21% tidak stabil pada tranlasi,16% merupakan fraktur pelvis yang disertai fraktur acetabulum.

- Low-Energy Fractures Fraktur pelvis dan acetabulum dengan trauma ringan lebih sering terjadi daripadadengan trauma berat.Wanita lebih sering terkena,dan kebanyakan pasien tidak mengalami cedera lainnya.Dalam sebuah penelitian pada pasien usia 60 tahun dan lebih,didapatkan cedera cincin pelvis stabil pada 45 dari 48 pasien; 87% pasien adalah wanita.Dalam 3/4 kasus disebabkan oleh jatuh dengan kekuatan ringan. Fraktur pelvis disertaidengan fraktur acetabulum terjadi pada 25% kasus.

2.1.3 Etiologi Etiologi fraktur pelvis adalah: 1.

Trauma langsung: benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur pada tempat tersebut.

2.

Trauma tidak langsung: bilamana titik tumpul benturan dengan terjadinya fraktur

berjauhan. 3.

Proses penyakit: kanker dan riketsia.

4.

Compresion force: klien yang melompat dari tempat ketinggian dapat mengakibatkan fraktur kompresi tulang belakang.

5.

Muscle (otot): akibat injuri/sakit terjadi regangan otot yang kuat sehingga dapat menyebabkan fraktur (misal; elektrik shock dan tetani).

Mekanisme trauma Trauma biasanya terjadi secara langsung pada panggul karena tekanan yang besar ataukarena jatuh dari ketinggian. Pada orang tua dengan osteoporosis atau osteomalasia dapatterjadi fraktur stress pada ramus pubis. Oleh karena rigiditas panggul maka keretakan pada Fraktur Pelvis salah satu bagian cincin akan disertai robekan pada titik lain, kecuali pada trauma langsung.Sering titik kedua tidak terlihat dengan jelas atau mungkin terjadi robekan sebagian atau terjadi reduksi spontan pada sendi sakro-iliaka.Mekanisme trauma pada cincin panggul terdiri atas : • Kompresi anteroposterior Hal ini biasanya terjadi akibat tabrakan antara seorang pejalan kaki dengan kendaraan.Ramus pubis mengalami fraktur, tulang inominata terbelah, dan mengalami rotasieksterna disertai robekan simfisis.Keadaan ini disebut sebagai open book injury.Bagian posterior ligamen sakro-iliaka mengalami robekan parsial atau dapat disertai fraktur bagian belakang ilium. •Kompresi lateral Kompresi dari samping akan menyebabkan cincin mengalami keretakan. Hal initerjadi apabila ada trauma samping karena kecelakaan lalu lintas atau jatuh dariketinggian. Pada keadaan ini ramus pubis bagian depan pada kedua sisinya mengalamifraktur dan bagian belakang terdapat strain dari sendi sakri-iliaka atau fraktur ilium ataudapat pula fraktur ramus pubis pada sisi yang sama. • Trauma vertical Tulang inominata pada satu sisi mengalami pergerakan secara vertikal disertai fraktur ramus pubis dan disrupsi sendi sakro-iliaka pada sisi yang sama. Hal ini terjadi apabilaseseorang jatuh dari ketinggian pada satu tungkai.

•Trauma kombinasi Pada trauma yang lebih hebat dapat terjadi kombinasi kelainan di atas

2.1.4

Klasifikasi dan Tipe

Klasifikasi 1. Menurut Tile (1988) a. Tipe A ; stabil : i. A1 ; fraktur panggul tidak mengenai cincin ii. A2 ; stabil, terdapat pergeseran cincin yang minimal dari fraktur Tipe A termasuk fraktur avulsi atau fraktur yang mengenai cincin panggul tetapi tanpa atau sedikit sekali pergeseran cincin. b. Tipe B ; tidak stabil secara rotasional, stabil secara vertikal : i. B1 ; open book ii. B2 ; kompresi lateral : ipsilateral iii. B3 ; kompresi lateral : kontralateral (bucket handle) Tipe B mengalami rotasi eksterna yang mengenai satu sisi panggul (open book) atau rotasi interna atau kompresi lateral yang dapat menyebabkan fraktur pada ramus isio-pubis pada satu atau kedua sisi disertai trauma pada bagian posterior tetapi simfisis tidak terbuka (closed book). c. Tipe C ; tidak stabil secara rotasi dan vertikal : i. C1 ; unilateral ii. C2 ; bilateral iii. C3 ; disertai fraktur asetabulum Terdapat disrupsi ligamen posterior pada satu atau kedua sisi disertai pergeseran dari salah satu sisi panggul secara vertikal, mungkin juga disertai fraktur asetabulum.

Classification of pelvic fracture disruption. (A) Type B represents rotationally unstable but vertically stable fractures; type B1 injuries are external rotation or open-book injuries. (B) Type B2.1 injuries represent internal rotation of lateral compression injuries on the ipsilateral side. (C) Type B2.2 injuries represent lateral compression injuries with contralateral fracturing of the pubic rami and posterior structures. (D) Type C fractures are rotationally and vertically unstable and are represented here as a unilateral, unstable, vertically disrupted pelvis.(16)

2.

Menurut Key dan Conwell a. Fraktur pada salah satu tulang tanpa adanya disrupsi cincin i. Fraktut avulsi 1. Spina iliaka anterior superior 2. Spina iliaka anterior inferior 3. Tuberositas isium ii. Fraktur pubis dan isium iii. Fraktur sayap ilium (Duverney) iv. Fraktur sakrum v. Fraktur dan dislokasi tulang koksigeus b. Keretakan tunggal pada cincin panggul i. Fraktur pada kedua ramus ipsilateral ii. Fraktur dekat atau subluksasi simfisis pubis iii. Fraktur dekat atau subluksasi sendi sakro-iliaka c. Fraktur bilateral cincin panggul i. Fraktur vertikal ganda dan atau dislokasi pubis

ii. Fraktur ganda dan atau dislokasi (Malgaigne) iii. Fraktur multipel yang hebat d. Fraktur asetabulum i. Tanpa pergeseran ii. Dengan pergeseran 3.

Klasifikasi Young-Burgess 1990 (6) Angka kematian : Lateral compression - 7%; Antero posterior - 20%; Vetikal shears- 0% (cause of death is usually MOF & ARDS).

4.

Klasifikasi lain a. Fraktur isolasi dan fraktur tulang isium dan tulang pubis tanpa gangguan pada cincin i. Fraktur ramus isiopubis superior ii. Fraktur ramus isiopubis inferior iii. Fraktur yang melewati asetabulum iv. Fraktur sayap ilium v. Avulsi spina iliaka antero-inferior b. Fraktur disertai robekan cicncin

5.

Klasifikasi berdasarkan stabilitas dan komplikasi a. Fraktur avulsi b. Fraktur stabil c. Fraktur tidak stabil d. Fraktur dengan komplikasi Dengan menilai klasifikasi maka yang paling penting adalah stabilitas panggul

apakah bersifat stabil atau tidak stabil, karena hal ini penting dalam penanggulangan serta prognosis.

Tipe Cedera 1.

Fraktur Yang Terisolasi Dengan Cincin Pelvis Yang Utuh

Fraktur avulsi Sepotong tulang tertarik oleh kontraksi otot yang hebat; fraktur ini biasanya ditemukan pada para olahragawan dan atlet. Sartorius dapat menarik spina iliaka anterior superior, rektus femoris menarik spina iliaka anterior inferior, adduktor longus menarik sepotong pubis, dan urat-urat lutut menarik bagian-bagian iskium. Semua pada pokoknya merupakan cedera otot, hanya memerlukan istirahat selama beberapa

hari dan penentraman. Nyeri dapat memerlukan waktu beberapa bulan agar hilang dan karena sering tak ada riwayat cedera, biopsi pada kalus dapat mengakibatkan kekeliruan diagnosis dan disangka tumor. Avulsi pada apofisis iskium oleh otot-otot lutut jarang mengakibatkan gejala menetap, dan dalam hal ini reduksi terbuka dan fiksasi internal diindikasikan. Fraktur langsung Pukulan langsung pada pelvis, biasanya setelah jatuh dari tempat tinggi, dapat menyebabkan fraktur iskium atau ala osis ilii. Biasanya diperlukan istirahat di tempat tidur hingga nyeri mereda. Fraktur tekanan Fraktur pada rami pubis cukup sering ditemukan (dan sering tidak nyeri) pada pasien osteoporosis atau osteomalasia yang berat. Yang lebih sulit didiagnosis adalah fraktur-tekanan di sekitar sendi sakro-iliaka; ini adalah penyebab nyeri “sakro-iliaka” yang tak lazim pada orang tua yang menderita osteoporosis. Fraktur tekanan yang tak jelas terbaik diperlihatkan dengan scan radioisotop.

2.

Fraktur Pada Cincin Pelvis Telah lama diperdebatka bahwa, karena kakunya pelvis, patah di suatu tempat

pada cincin pasti disertai kerusakan pada tempat kedua; kecuali fraktur akibat pukulan langsung (termasuk fraktur pada lantai asetabulum), atau fraktur cincin pada anakanak, yang simfisis dan sendi sakro-iliakanya masih elastis. Tetapi, patahan kedua sering tidak kelihatan-baik karena patah ini tereduksi dengan segera atau karena sendisendi sakro-iliaka hanya rusak sebagian; dalam keadaan ini fraktur yang kelihatan tidak mengalami pergeseran dan cincin bersifat stabil. Fraktur atau kerusakan sendi yang jelas bergeser, dan semua fraktur cincin ganda yang jelas, bersifat tak stabil. Perbedaan ini lebih bernilai praktis daripada klasifikasi ke dalam fraktur cincin tunggal dan ganda. 3.

Fraktur Pada Asetabulum

4.

Fraktur Sakrokoksigis

2.1.5

Patofisiologi Trauma tidak langsung

2.1.6

Trauma langsung

Manifestasi Klinis Fraktur panggul merupakan salah satu trauma multiple yang dapat mengenai

organ-organ lain dalam panggul. Keluhan yang dapat terjadi pada fraktur panggul antara lain : 1. Nyeri 2. Pembengkakan 3. Deformitas 4. Perdarahan subkutan sekitar panggul 5. Hematuria 6. Perdarahan yang berasal dari vagina, urethra, dan rectal 7. Syok Penderita datang dalam keadaan anemi dan syok karena perdarahan yang hebat. Terdapat gangguan fungsi anggota gerak bawah. Pada cedera tipe A pasien tidak mengalami syok berat tetapi merasa nyeri bila berusaha berjalan. Terdapat nyeri tekan lokal tetapi jarang terdapat kerusakan pada visera pelvis. Sinar-X polos dapat memperlihatkan fraktur.

Pada tipe cedera B dan C pasien mengalami syok berat, sangat nyeri dan tak dapat berdiri; dia mungkin juga tidak dapat kencing. Mungkin terdapat darah di meatus eksternus. Nyeri tekan dapat bersifat lokal tetapi sering meluas, dan usaha menggerakkan satu atau kedua ala osis ilii akan sangat nyeri. Salah satu kaki mungkin mengalami anestetik sebagiankarena cedera saraf skiatika dan penarikan atau pendorongan dapat mengungkapkanketidakstabilan vertikal (meskipun ini mungkin terlalu nyeri). Cedera ini sangat hebat,sehingga membawa risiko tinggi terjadinya kerusakan viseral, perdarahan di dalam perut dan retroperitoneal, syok, sepsis, dan ARDS, angka kematiannya cukup tinggi

2.1.7 1.

Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan laboratorium a. Pemeriksaan serial hemoglobin dan hematokrit, tujuannya untuk memonitor kehilangan darah yang sedang berlangsung. b. Pemeriksaan urin, untuk menilai adanya gross hematuria dan atau mikroskopik. c. Kehamilan tes ditunjukkan pada wanita usia subur untuk mendeteksi kehamilan serta pendarahan sumber potensial (misalnya, keguguran, abrupsio plasenta).

2.

Pemeriksaan Imaging a. Radiografi Radiograf anteroposterior pelvis merupakan skrining test dasar dan mampu menggambarkan 90% cedera pelvis. Namun, pada pasien dengan trauma berat dengan kondisi hemodynamic tidak stabil seringkali secara rutin menjalani pemeriksaan CT scan abdomen dan pelvis, serta foto polos pelvis yang tujuannya untuk memungkinkan diagnosis cepat fraktur pelvis dan pemberian intervensi dini. b. CT-Scan CT scan merupakan imaging terbaik untuk evaluasi anatomi panggul dan derajat perdarahan pelvis, retroperitoneal, dan intraperitoneal. CT scan juga dapat menegaskan adanya dislokasi hip yang terkait dengan fraktur acetabular.

c. MRI MRI dapat mengidentifikasi lebih jelas adanya fraktur pelvis bila dibandingkan dengan radiografi polos (foto polos pelvis). Dalam satu penelitian retrospektif,

sejumlah besar positif palsu

dan negatif palsu

itu dicatat ketika

membandingkan antara foto polos pelvis dengan MRI. d. Ultrasonografi Sebagai bagian dari the Focused Assessment with Sonography for Trauma (FAST), pemeriksaan pelvis seharusnya divisualisasikan untuk menilai adanya pendarahan/cairan intrapelvic. Namun, studi terbaru menyatakan ultrasonografi memiliki

sensitivitas

yang

lebih

rendah

untuk

mengidentifikasi

hemoperitoneum pada pasien dengan fraktur pelvis. Oleh karena itu, perlu diingat bahwa, meskipun nilai prediksi positif mencatat hemoperitoneum sebagai bagian dari pemeriksaan FAST yang baik, keputusan terapeutik menggunakan FAST sebagai pemeriksaan skrining mungkin terbatas. e. Cystography Pemeriksaan ini dilakukkan pada pasien dengan hematuria dan urethra utuh.

2.1.8 Komplikasi Komplikasi awal 1. Shock Hipovolemik/traumatik Fraktur (ekstrimitas, vertebra, pelvis, femur) → perdarahan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak → shock hipovolemi. 2. Emboli lemak 3. Tromboemboli vena Berhubungan dengan penurunan aktivitas/kontraksi otot/bedrest. 4. Infeksi Fraktur terbuka: kontaminasi infeksi sehingga perlu monitor tanda infeksi dan terapi antibiotik. 5. Sindrom kompartemen

Komplikasi lambat 1. Delayed union Proses penyembuhan fraktur sangat lambat dari yang diharapkan biasanya lebih dari 4 bulan. Proses ini berhubungan dengan proses infeksi. Distraksi/tarikan bagian fragmen tulang.

2. Non union Proses penyembuhan gagal meskipun sudah diberi pengobatan. Hal ini disebabkan oleh fibrous union atau pseudoarthrosis. 3. Mal union Proses penyembuhan terjadi tetapi tidak memuaskan (ada perubahan bentuk). 4. Nekrosis avaskuler di tulang Karena suplai darah menurun sehingga menurunkan fungsi tulang.

2.1.9 Penatalaksanaan dan Penganan Dini Terapi tidak boleh menunggu diagnosis yang lengkap dan rinci. Prioritas perlu ditentukan dan bertindak berdasrkan setiap informasi yang sudah tersedia sementara beralih ke pemeriksaan diagnostik berikutnya. Tata laksana dalam konteks ini adalah kombinasi penilaian dan terapi. 6 pertanyaan harus ditanyakan dan jawabannya ditangani satu demi satu : 1. Apakah saluran nafas bersih ? 2. Apakah paru-paru cukup membuat ventilasi ? 3. Apakah pasien kehilangan darah ? 4. Apakah terdapat cedera di dalam perut ? 5. Apakah terdapat cedera kandung kemih dan uretra ? 6. Stabil atau tidakkah fraktur pelvis ini ? Pada setiap pasien yang mengalami cedera berat, langkah yang pertama adalah memastikan bahwa saluran nafas bersih dan ventilasi tak terhalang. Resusitasi harus dimulai segera dan perdarahan aktif dikendalikan. Pasien dengan cepat diperikas untuk mencari ada tidaknya cedera ganda dan, kalau perlu, fraktur yang nyeri dibebat. 1 foto sinar-X AP pada pelvis harus diambil. Kemudian dilakukan pemeriksaan yang lebih cermat, dengan memperhatikan pelvis, perut, perineum, dan rektum. Liang meatus uretra diperiksa untuk mencari tanda-tanda perdarahan. Tungkai bawah juga diperiksa untuk mencari tanda-tanda cedera saraf. Kalau keadaan umum pasien stabil, pemeriksaan dengan sinar-X selanjutnya dapat dilakukan. Kalau dicurigai adanya robekan uretra, dapat dilakukan uretrogram secara pelan-pelan. Hasil penemuan sampai tahap ini dapat menentukan perlu tidaknya urogram intravena.

Sampai saat ini dokter yang memeriksa sudah mendapat gambaran yang baik mengenai keadaan umum pasien, tingkat cedera pelvis, ada tidaknya cedera viseral dak kemungkinan berlanjutnya perdarahan di dalam perut atau retroperitoneal. Idealnya, tim ahli masing-masing menangani tiap masalah atau melakukan penyelidikan lebih jauh. Pengobatan

harus

dilakukan

sesegera

mungkin

berdasarkan

prioritas

penanggulangan trauma yang terjadi (ABC), yaitu: 1.

Resusitasi awal a. Perhatikan saluran nafas dan perbaiki hipoksia b. Kontrol perdarahan dengan pemberian cairan Ringer dan transfusi darah

2. Anamnesis a. Keadaan dan waktu trauma b. Miksi terakhir c. Waktu dan jumlah makan dan minum yang terakhir d. Bila penderita wanita apakah sedang hamil atau menstruasi e. Trauma lainnya seperti trauma pada kepala 3.

Pemeriksaan klinik a. Keadaan umum i.

Catat secara teratur denyut nadi, tekanan darah dan respirasi

ii.

Secara cepat lakukan survey tentang kemungkinan trauma lainnya

b. Lokal i.

Inspeksi perineum untuk mengetahui adanya perdarahan, pembengkakan dan deformitas

ii.

Tentukan derajat ketidak-stabilan cincin panggul dengan palpasi pada ramus dan simfisis pubis

iii.

Adakan pemeriksaan colok dubur

4. Pemeriksaan tambahan a. Foto polos panggul, toraks serta daerah lain yang dicurigai mengalami trauma b. Foto polos panggul dalam keadaan rotasi interna dan eksterna serta pemeriksaan foto panggul lainnya c. Pemeriksaan urologis dan lainnya : i. Kateterisasi ii. Ureterogram iii. Sistogram retrograd dan postvoiding

iv. Pielogram intravena v. Aspirasi diagnostik dengan lavase peritoneal 5. Pengobatan a. Tindakan operatif bila ditemukan kerusakan alat-alat dalam rongga panggul b. Stabilisasi fraktur panggul, misalnya traksi skeletal, pelvic sling, spika panggul

Penanganan Perdarahan Yang Hebat Upaya lain yang dapat diperlukan untuk menangani perdarahan masif mencakup penggunaan pakaian antisyok pneumatik dan pemasangan segera fiksator luar. Diagnosis perdarahan yang terus berlanjut sering sukar dilakukan, dan sekalipun tampak jelas bahwa berlanjutnya syok adalah akibat perdarahan, tidaklah mudah untuk menentukan sumber perdarahan itu. Pasien dengan tanda-tanda abdomen yang mencurigakan harus diselidiki lebih jauh dengan aspirasi peritoneum atau pembilasan. Kalau terdapat aspirasi diagnostik positif, perut harus dieksplorai untuk menemukan dan mengangani sumber perdarahan. Tetapi, kalau terdapat hematoma retroperitoneal yang besar, ini tidak boleh dievakuasi karena hal ini dapat melepaskan efek tamponade dan mengakibatkan perdarahan yang tak terkendali.

Penanganan Uretra Dan Kandung Kemih Cedera urologi terjadi pada sekitar 10% pasien dengan fraktur cincin pelvis. Karena pasien sering sakit berat akibat cedera yang lain, mungkin dibutuhkan kateter urine untuk memantau keluaran urine, sehingga ahli urologi terpaksa membuat diagnosis kerusakan uretra dengan cepat. Tidak boleh memasukkan kateter diagnostik karena kemungkinan besar ini akan mengubah robekan sebagian menjadi robekan lengkap. Untuk robekan yang tek lengkap, pemasukan kateter suprapubik sebagai prosedur resmi saja yang dibutuhkan. Sekitar setengah dari semua robekan tak lengkap akan sembuh dan tak banyak membutuhkan penanganan jangka panjang. Terapi robekan uretra lengkap masih kontroversial. Penjajaran ulang (realignment) primer pada uretra dapat dicapai dengan melakukan sistostomi suprapubik, mengevakuasi hematoma pelvis dan kemudian memasukkan kateter melewati cedera untuk mendrainase kandung kemih. Kalau kandung kemih mengambang tinggi, ini harus direposisi dan diikat dengan penjahitan melalui bagian

anterior bawah kapsul prostat, melalui perineum pada kedua sisi uretra bulbar dan difiksasi pada paha dengan plester elastis. Suatu pendekatan alternatif – yang jauh lebih sederhana – adalah melakukan sistostomi secepat mungkin, tidak berusaha mendrainase pelvis atau membedah uretra, dan mengangani striktur yang diakibatkan 4-6 bulan kemudian. Metode yang belakangan ini dikontraindikasikan kalau terdapat dislokasi prostat yang hebat atau robekan hebat pada rektum atau leher kandung kemih. Pada kedua metode itu terdapat cukup banyak insidensi pembentukan striktur, inkontinensia dan impotensi di belakang hari.

Terapi Fraktur Untuk pasien dengan cedera yang sangat hebat, fiksasi luar dini adalah salah satu cara yang paling efektif untuk mengurangi perdarahan dan melawan syok. Kalau tidak ada komplikasi yang membahayakan jiwa, terapi pastinya adalah sebagai berikut. Fraktur tipe A, Fraktur yang sedikit sekali bergeser dan fraktur pelvis yang terisolasi hanya membutuhkan istirahat di tempat tidur, barangkali dikombinasi dengan traksi tungkai bawah. Dalam 4-6 minggu pasien biasanya nyaman sehingga dapat diperbolehkan menggunakan penopang. Fraktur tipe B, Asalkan dapat dipastikan bahwa pergeseran posterior tidak terjadi, cedera buku terbuka dengan celah kurang dari 2,5 cm biasanya dapat diterapi secara memuaskan dengan beristirahat di tempat tidur; kain gendongan posterior atau korset elastis yang bermanfaat untuk “menutup buku”. Celah yang lebih dari 2,5 cm sering dapat ditutup dengan membaringkan pasien secara miring dan menekan ala osis ilii. Cara yang paling efisien untuk mempertahankan reduksi adalah fiksasi luar dengan pen pada kedua ala osis ilii yang dihubungkan oleh batang anterior; “penutupan buku” juga dapat mengurangi jumlah perdarahan. Penempatan pen lebih mudah dilakukan kalau 2 pen sementara mula-mula dimasukkan sehingga merengkuh permukaan medial dan lateral tiap ala osis ilii dan kemudian mengarahkan pen-pen pengikat itu diantara keduanya. Fiksasi internal dengan pemasangan plat pada simfisis harus dilakukan : (1) selama beberapa hari pertama setelah cedera, hanya jika pasien memerlukan laparotomi dan (2) di belakang hari jika celah itu tidak dapat ditutup dengan metode yang tidak begitu radikal. Pada cedera buku tertutup penggunaan kain gendongan atau korset tidak tepat. Beristirahat di tempat tidur selama sekitar 6 minggu tanpa fiksasi apapun biasanya memadai, tetapi, kalau perbedaan panjang kaki melebihi 1,5 cm atau terdapat

deformitas pelvis yang nyata, reduksi dengan pen pada satu krista iliaka dapat dicoba dan, kalau berhasil, dipertahankan dengan menghubungkan pen-pen itu dengan pen pada sisi yang lain sehingga membentuk fiksator luar. Kerangka fiksasi biasanya diperlukan selama 6-8 minggu tetapi pada stadium yang belakangan, kalau telah nyaman pasien diperbolehkan bangun dan berjalan. Fraktur tipe C, Cedera ini adalah yang paling berbahaya dan paling sulit diterapi. Kemungkinan beberapa atau semua pergeseran vertikal dapat direduksi dengan traksi kerangka yang dikombinasi dengan fiksator luar; meskipun demikian, pasien perlu tinggal di tempat tidur sekurang-kurangnya 10 minggu. Kalau reduksi belum dicapai, fraktur dislokasi dapat direduksi secara terbuka dan mengikatnya dengan satu plat kompresi dinamis atau lebih. Operasi berbahaya bila dilakukan (bahayanya mencakup perdarahan masif dan infeksi) dan harus dilakukan hanya oleh ahli bedah yang berpengalaman dalam bidang ini. Pemakaian traksi kerangka dan fiksasi luar mungkin lebih aman, meskipun malposisi mungkin akan meninggalkan nyeri di bagian posterior. Perlu ditekankan bahwa > 60% fraktur pelvis tidak memerlukan fiksasi.

Fraktur pelvis terbuka ditangani dengan fiksasi luar. Kolostomi diversi mungkin diperlukan.

METODE PENATALAKSANAAN Military Antishock Trousers Military antishock trousers (MAST) atau celana anti syok militer dapat memberikan kompresi dan imobilisasi sementara terhadap cincin pelvis dan ekstremitas bawah melalui tekanan berisi udara. Pada tahun 1970an dan 1980an, penggunaan MAST dianjurkan untuk menyebabkan tamponade pelvis dan meningkatkan aliran balik vena untuk membantu resusitasi. Namun, penggunaan MAST membatasi pemeriksaan abdomen dan mungkin menyebabkan sindroma kompartemen ekstermitas bawah atau bertambah satu dari yang ada. Meskipun masih berguna untuk stabilisasi pasien dengan fraktur pelvis, MAST secara luas telah digantikan oleh penggunaan pengikat pelvis yang tersedia secara komersil.

Pengikat dan Sheet Pelvis Kompresi melingkar mungkin siap dicapai pada keadaan pra rumah-sakit dan pada awalnya memberikan keuntungan stabilisasi selama pengangkutan dan resusitasi. Lembaran terlipat yang dibalutkan secara melingkar di sekeliling pelvis efektif secara biaya, non-invasif, dan mudah untuk diterapkan. Pengikat pelvis komersial beragam telah ditemukan. Tekanan sebesar 180 N tampaknya memberikan efektivitas maksimal. Sebuah studi melaporkan pengikat pelvis mengurangi kebutuhan transfusi, lamanya rawatan rumah sakit, dan mortalitas pada pasien dengan cedera APC (gambar 4).

Gambar 4. Ilustrasi yang mendemonstrasikan aplikasi alat kompresi melingkar pelvis (pengikat pelvis) yang tepat, dengan gesper tambahan (tanda panah) untuk mengontrol tekanan Rotasi eksterna ekstremitas inferior umumnya terlihat pada orang dengan fraktur pelvis disposisi, dan gaya yang beraksi melalui sendi panggul mungkin berkontribusi pada deformitas pelvis. Koreksi rotasi eksternal ekstremitas bawah dapat dicapai dengan membalut lutut atau kaki bersama-sama, dan hal ini dapat memperbaiki reduksi pelvis yang dapat dicapai dengan kompresi melingkar.

Fiksasi Eksternal Fiksasi Eksternal Anterior Standar Beberapa studi telah melaporkan keuntungan fiksasi eksternal pelvis emergensi pada resusitasi pasien yang tidak stabil secara hemodinamik dengan fraktur pelvis tidak stabil. Efek menguntungkan fiksasi eksternal pada fraktur pelvis bisa muncul dari beberapa faktor. Imobilisasi dapat membatasi pergeseran pelvis selama pergerakan dan perpindahan pasien, menurunkan kemungkinan disrupsi bekuan darah. Pada beberapa pola (misal, APC II), reduksi volume pelvis mungkin dicapai dengan aplikasi fiksator eksternal. Studi eksperimental telah menunjukkan bahwa reduksi cedera pelvis “open book” mengarah pada peningkatan tekanan retroperitoneal, yang bisa membantu tamponade perdarahan vena. Penambahan fraktur disposisi dapat meringankan jalur hemostasis untuk mengontrol perdarahan dari permukaan tulang kasar. C-Clamp Fiksasi pelvis eksternal standar tidak menyediakan stabilisasi pelvis posterior yang adekuat. Hal ini membatasi efektivitas pada pola fraktur yang melibatkan disrupsi posterior signifikan atau dalam kasus-kasus dimana ala ossis ilium mengalami fraktur. C-clamp yang diaplikasikan secara posterior telah dikembangkan untuk

menutupi kekurangan ini. Clamp memberikan aplikasi gaya tekan posterior tepat melewati persendian sacroiliaca. Kehati-hatian yag besar harus dilatih untuk mencegah cedera iatrogenik selama aplikasi; prosedur umumnya harus dilakukan dibawah tuntunan fluoroskopi. Penerapan C-clamp pada regio trochanter femur menawarkan sebuah alternatif bagi fiksasi eksternal anterior standar untuk fiksasi sementara cedera APC.

Angiografi Eksplorasi angiografi harus dipertimbangkan pada pasien dengan kehilangan darah berkelanjutan yang tak dapat dijelaskan setelah stabilisasi fraktur pelvis dan infus cairan agresif. Keseluruhan prevalensi pasien dengan fraktur pelvis yang membutuhkan embolisasi dilaporkan <10%. Pada satu seri terbaru, angiografi dilakukan pada 10% pasien yang didukung sebuah fraktur pelvis. Pasien yang lebih tua dan yang memiliki Revised Trauma Score lebih tinggi paling sering mengalami angiografi. Pada studi lain, 8% dari 162 pasien yang ditinjau ulang oleh penulis membutuhkan angiografi. Embolisasi dibutuhkan pada 20% pola cedera APC, cedera VS, dan fraktur pelvis kompleks, namun hanya 1,7% pada cedera LC. Eastridge dkk melaporkan bahwa 27 dari 46 pasien dengan hipotensi persisten dan fraktur pelvis yang sama sekali tak stabil, termasuk cedera APC II, APC III, LC II, LC III dan VS, memiliki perdarahan arteri aktif (58,7%). Miller dkk menemukan bahwa 19 dari 28 pasien dengan instabilitas hemodinamik persisten diakibatkan oleh pada fraktur pelvis menunjukkan perdarahan arteri (67,9%). Pada studi lain, ketika angiografi dilakukan, hal tersebut sukses menghentikan perdarahan arteri pelvis pada 86-100% kasus. BenMenachem dkk menganjurkan “embolisasi bersifat lebih-dulu”, menekankan bahwa jika sebuah arteri yang ditemukan pada angiografi transected, maka arteri tersebut harus diembolisasi untuk mencegah resiko perdarahan tertunda yang dapat terjadi bersama dengan lisis bekuan darah. Penulis lain menjelaskan embolisasi non-selektif pada arteri iliaca interna bilateral untuk mengontrol lokasi perdarahan multipel dan menyembunyikan cedera arteri yang disebabkan oleh vasospasme. Angiografi dini dan embolisasi berikutnya telah diperlihatkan untuk memperbaiki hasil akhir pasien. Agolini dkk menunjukkan bahwa embolisasi dalam 3 jam sejak kedatangan menghasilkan angka ketahanan hidup yang lebih besar secara signifikan. Studi lain menemukan bahwa angiografi pelvis yang dilakukan dalam 90 menit izin masuk memperbaiki angka ketahanan hidup. Namun, penggunaan

angiografi secara agresif dapat menyebabkan komplikasi iskemik. Angiografi dan embolisasi tidak efektif untuk mengontrol perdarahan dari cedera vena dan lokasi pada tulang, dan perdarahan vena menghadirkan sumber perdarahan dalam jumlah lebih besar pada fraktur pelvis berkekuatan-tinggi. Waktu yang digunakan pada rangkaian angiografi pada pasien hipotensif tanpa cedera arteri mungkin tidak mendukung ketahanan hidup.

Balutan Pelvis Balutan pelvis dikembangkan sebagai sebuah metode untuk mencapai hemostasis langsung dan untuk mengontrol perdarahan vena yang disebabkan fraktur pelvis. Selama lebih dari satu dekade, ahli bedah trauma di Eropa telah menganjurkan laparotomi eksplorasi yang diikuti dengan balutan pelvis. Teknik ini diyakini terutama berguna pada pasien yang parah. Ertel dkk menunjukkan bahwa pasien cedera multipel dengan fraktur pelvis dapat dengan aman ditangani menggunakan C-clamp dan balutan pelvis tanpa embolisasi arteri. Balutan lokal juga efektif dalam mengontrol perdarahan arteri. Akhir-akhir ini, metode modifikasi balutan pelvis – balutan retroperitoneal – telah diperkenalkan di Amerika Utara. Teknik ini memfasilitasi kontrol perdarahan retroperitoneal melalui sebuah insisi kecil (gambar 5). Rongga intraperitoneal tidak dimasuki, meninggalkan peritoneum tetap utuh untuk membantu mengembangkan efek tamponade. Prosedurnya cepat dan mudah untuk dilakukan, dengan kehilangan darah minimal. Balutan retroperitoneal tepat untuk pasien dengan beragam berat ketidakstabilan hemodinamik, dan hal ini dapat mengurangi angiografi yang kurang penting. Cothren dkk melaporkan tidak adanya kematian sebagai akibat dari kehilangan darah akut pada pasien yang tidak stabil secara hemodinamik persisten ketika balutan langsung digunakan. Hanya 4 dari 24 yang bukan responden pada studi ini membutuhkan embolisasi selanjutnya (16,7%), dan penulis menyimpulkan bahwa balutan secara cepat mengontrol perdarahan dan mengurangi kebutuhan angiografi emergensi.

Gambar 5. Ilustrasi yang mendemonstrasikan teknis pembalutan retroperitoneal. A, dibuat sebuah insisi vertikal midline 8-cm. Kandung kemih ditarik ke satu sisi, dan tiga bagian spons tak terlipat dibungkus kedalam pelvis (dibawah pinggir pelvis) dengan sebuah forceps. Yang pertama diletakkan secara posterior, berbatasan dengan persendian sacroiliaca. Yang kedua ditempatkan di anterior dari spons pertama pada titik yang sesuai dengan pertengahan pinggiran pelvis. Spons ketiga ditempatkan pada ruang retropubis kedalam dan lateral kandung kemih. Kandung kemih kemudian ditarik

kesisi

lainnya,

dan

proses

tersebut

diulangi.

B,

Ilustrasi

yang

mendemonstrasikan lokasi umum enam bagian spons yang mengikuti balutan pelvis.

Resusitasi Cairan Resusitasi cairan dianggap cukup penting sebagai usaha yang dilakukan untuk menilai dan mengontrol lokasi perdarahan. Dua bor besar (≥16-gauge) kanula intravena harus dibangun secara sentral atau di ekstremitas atas sepanjang penilaian awal. Larutan kristaloid ≥ 2 L harus diberikan dalam 20 menit, atau lebih cepat pada pasien yang berada dalam kondisi syok. Jika respon tekanan darah yang cukup dapat diperoleh, infus kristaloid dapat dilanjutkan sampai darah tipe-khusus atau keseluruhan cocok bisa tersedia. Darah tipe-khusus, yang di crossmatch untuk tipe ABO dan Rh, biasanya dapat disediakan dalam 10 menit; namun, darah seperti itu dapat berisi inkompatibilitas dengan antibodi minor lainnya. Darah yang secara keseluruhan memiliki tipe dan crossmatch membawa resiko lebih sedikit bagi reaksi transfusi, namun juga butuh waktu paling banyak untuk bisa didapatkan (rata-rata 60 menit). Ketika respon infus kristaloid hanya sementara ataupun tekanan darah gagal merespon, 2 liter tambahan cairan kristaloid dapat diberikan, dan darah tipe-khusus atau darah donor-universal non crossmatch (yaitu, kelompok O negatif) diberikan dengan segera. Kurangnya respon mengindikasikan bahwa kemungkinan terjadi kehilangan darah yang sedang berlangsung, dan angiografi dan/atau kontrol perdarahan dengan pembedahan mungkin dibutuhkan.

Produk-produk Darah dan Rekombinan Faktor VIIa Pasien hipotensif yang tidak merespon resusitasi cairan awal membutuhkan sejumlah besar cairan sesudah itu, mengarah pada defisiensi jalur hemostasis. Karenanya, semua pasien yang seperti itu harus diasumsikan membutuhkan trombosit dan fresh frozen plasma (FFP). Umumnya, 2 atau 3 unit FFP dan 7-8 unit trombosit

dibutuhkan untuk setiap 5 L penggantian volume. Transfusi darah masif memiliki resiko potensial imunosupresi, efek-efek inflamasi, dan koagulopati dilusi. Sepertinya, volume optimal dan kebutuhan relatif produk-produk darah untuk resusitasi masih kontoversial. Sebagai tambahan, jumlah transfusi PRC merupakan faktor resiko independen untuk kegagalan multi-organ paska cedera. Beberapa penulis telah mengusulkan bahwa pasien trauma koagulopati terutama harus diresusitasi dengan penggunaan FFP yang lebih agresif, dengan transfusi yang terdiri atas PRC, FFP dan trombosit dalam rasio 1:1:1 untuk mencegah kemajuan koagulopati dini. Rekombinan faktor VIIa (rFVIIa) mungkin dipertimbangkan sebagai intervensi akhir jika koagulopati dan perdarahan yang mengancam-jiwa menetap disamping pengobatan lainnya. Ini merupakan penggunaan rFVIIa off-label. Boffard dkk melakukan sebuah studi multicenter dimana pasien trauma berat yang menerima 6 unit PRC dalam 4 jam setelah masuk diacak pada baik pengobatan rFVIIa atau plasebo. Pada kelompok rFVIIa, jumlah transfusi sel darah secara signifikan berkurang (kirakira 2,6 unit sel darah merah; P = 0,02), dan terdapat kecenderungan ke arah reduksi mortalitas dan komplikasi.

EVALUASI STATUS RESUSITASI Titik akhir resusitasi ditentukan berdasarkan kombinasi data laboratorium dan tanda-tanda fisiologis. Pembacaan tingkat hemoglobin diketahui tidak akurat selama fase akut resusitasi. Titik akhir resusitasi yang umumnya dipertimbangkan termasuk tekanan darah normal, menurunnya denyut jantung, urin output yang cukup (≥ 30 mL/jam), dan tekanan vena sentral (CVP) normal. Namun, bahkan setelah normalisasi parameter-parameter ini, oksigenasi jaringan yang tidak memadai bisa menetap. Pengukuran laboratorium tambahan yang dapat digunakan untuk mengevaluasi oksigenasi jaringan termasuk defisit basa, bikarbonat dan laktat. Semua ini menilai glikolisis anaerobik. Istilah defisit basa dan kelebihan basa digunakan bergantian, satusatunya perbedaan untuk menjadi defisit basa diperlihatkan sebagai nomor positif dan kelebihan basa diperlihatkan sebagai nomor negatif. Defisit basa normal adalah 0-3 mmol/L; angka ini secara rutin diukur melalui analisa gas darah arteri (AGDA). Defisit basa menetap menandakan resusitasi yang tidak mencukupi.

ALGORITMA PENGOBATAN DAN ANGKA KETAHANAN HIDUP Analisa retrospektif hasil akhir sebelum pembentukan algoritma pengobatan secara dramatis mengilustrasikan kesulitan buatan bahwa protokol-protokol tersebut dicari untuk dihindari. Pada satu seri, kematian 43 pasien, mewakili 60% kematian pada seri ini, dihubungkan secara keseluruhan atau sebagai bagian dari fraktur pelvis. Pada 26 pasien yang fraktur pelvis-nya dipertimbangkan sebagai penyebab kematian utama, 24 pasien mengalami syok atau memiliki bukti klinis hipovolemia pada waktu masuk, dan 18 pasien kehilangan darah akibat fraktur pelvis mereka segera setelah masuk rumah sakit. Penetapan algoritma pengobatan klinis yang baku untuk pasien dengan fraktur pelvis secara hebat meningkatkan kemungkinan stabilisasi dan ketahanan hidup yang cepat. Bosch dkk melaporkan bahwa pelaksanaan protokol standar pada pusat trauma mengarah pada menurunnya mortalitas sehubungan dengan fraktur pelvis berkekuatantinggi dari 66,7% menjadi 18,7%. Biffl dkk melaporkan bahwa jalur klinis mereka, termasuk segera munculnya kehadiran ahli bedah ortopedi di departemen gawatdarurat, pembalutan pelvis, dan penggunaan C-clamp agresif berikutnya, mengarah pada menurunnya mortalitas secara signifikan, dari 31% mejadi 15% (P < 0,05). Balogh dkk menetapkan pedoman institusional evidence-based terdiri atas ikatan pelvis dan pemeriksaan abdomen dalam 15 menit, angiografi pelvis dalam 90 menit, dan fiksasi ortopedi invasif minimal dalam 24 jam. Penggunaan pedoman ini mengurangi volume transfusi PRC 24-jam dari 16 ± 2 U menjadi 11 ± 1 U (P < 0,05) dan mengurangi mortalitas dari 35% menjadi 7% (P < 0,05). Beberapa algoritma terlalu kompleks yang kelihatannya tidak mungkin untuk diikuti. Satu alasan kompleksitas ini adalah begitu banyaknya variasi sebagai penyebab syok dan banyaknya sumber perdarahan pada pasien dengan fraktur pelvis. Juga, pengobatan cenderung pada ketergantungan-kasus yang tinggi. Alasan lain adalah kebanyakan algoritma pengobatan yang ditetapkan berdasarkan kapabilitas institusi untuk dikembangkan. Meskipun prinsip mendasar protokol-protokol tersebut berguna, mungkin juga penting untuk memodifikasi algoritma-algoritma tersebut agar sesuai dengan sumber daya dan staf ahli pada masing-masing institusi. Pasien dengan fraktur pelvis berkekuatan-tinggi yang dibawa ke institusi kami dengan instabilitas hemodinamik pada awalnya diberikan 2 L larutan kristaloid (gambar 6). Radiografi dada portable, bersama dengan gambaran radiografi pelvis dan tulang belakang cervical lateral, diperiksa untuk menyingkirkan sumber kehilangan

darah yang berasal dari toraks. Saluran tekanan vena sentral dipasang, dan defisit basa diukur. Pemeriksaan sonografi abdomen terfokus untuk trauma (focused abdominal sonography for trauma/FAST) dilakukan. Jika hasilnya positif, pasien dibawa langsung ke ruang operasi untuk laparotomi eksplorasi. Fiksator eksternal pelvis dipasang, dan dilakukan balutan pelvis. Pasien yang secara hemodinamik tetap tidak stabil menjalani angiografi pelvis sebelum dipindahkan ke ICU. Jika stabilitas hemodinamik pulih, pasien dipindahkan langsung ke ICU. Di ICU, pasien menerima resusitasi cairan lanjutan dan dihangatkan; berbagai usaha dilakukan untuk menormalkan status koagulasi. Jika pasien membutuhkan transfusi berkelanjutan di ICU, penilaian angiografi, jika sebelumnya tidak dilakukan, maka harus dilakukan. rFVIIa harus dipertimbangkan jika kondisi pasien melawan semua intervensi lainnya. Jika hasil FAST negatif, transfusi PRC dimulai di departemen gawat darurat. Jika pasien secara hemodinamik tetap tidak stabil sambil mengikuti PRC unit kedua, pasien dibawa ke ruang operasi untuk fiksasi eksternal pelvis dan balutan pelvis. Pasien yang secara hemodinamik tetap tidak stabil mendapat angiografi pelvis sebelum dipindahkan ke ICU. Jika stabilitas hemodinamik pulih, pasien dipindahkan langsung ke ICU. CT-scan abdomen dapat dilakukan saat ini. Jika pasien membutuhkan transfusi berkelanjutan ketika di ICU, penilaian angiografi, jika sebelumnya belum dilakukan, maka harus dilakukan.

Gambar 6. Algoritma untuk pengobatan pasien dengan fraktur pelvis yang muncul dengan instabilitas hemodinamik. Pasien yang belum dilakukan laparotomi biasanya melakukan CT-scan abdomen yang dimulai di ICU. Di ICU, pasien menerima resusitasi cairan lebih lanjut dan dihangatkan; berbagai usaha dilakukan untuk menormalkan status koagulasi. rFVIIa harus dipertimbangkan jika kondisi pasien melawan semua intervensi lainnya.FAST = focused abdominal sonography for trauma, PRBCs = packed red blood cells

2.1.10 Pencegahan Pencegahan fraktur pelvis yaitu: 1.

Dengan membuat lingkungan lebih aman

2.

Mengajarkan kepada masyarakat secara berkesinambungan mengenai pada saat bekerja berat.

2.2

Konsep Askep Fraktur Pelvis Asuhan keperawatan

PENGKAJIAN PRIMER DAN SEKUNDER Pengertian Asuhan keperawatan gawat darurat adalah rangkaian kegiatan praktek keperawatan kegawatdaruratan yang diberikan pada klien oleh perawat yang berkompeten untuk memberikan asuhan keperawatan di ruangan gawat darurat. Asuhan keperawatan diberikan untuk mengatasi masalah biologi, psikologi dan sosial klien, baik aktual maupun potensial yang timbul secara bertahap maupun mendadak. Kegiatan asuhan keperawatan dilakukan dengan menggunakan sistematikan proses keperawatan yang merupakan suatu metode ilmiah dan panduan dalam memberikan asuhan keperawatan yang berkualitas dalam rangka mengatasi masalah kesehatan pasien. Adapun langkah-langkah yang harus dilakukan meliputi : pengkajian, diagnosa keperawatan, tindakan keperawatan, dan evaluasi. asuhan keperawatan di ruang gawat darurat seringkali dipengaruhi oleh karakteristik ruang gawat darurat itu sendiri, sehingga dapat menimbulkan asuhan keperawatan spesifik yang sesuai dengan keadaan ruangan. Karakteristik unit dari rungan gawat darurat yang dapat mempengaruhi sistem asuhan keperawatan antara lain : Kondisi kegawatan seringkali tidak terprediksi, baik kondisi klien dan jumlah klien yang datang ke ruang gawat darurat. Keterbatasan sumber daya dan waktu Pengkajian, diagnosis dan tindakan keperawatan diberikan untuk seluruh usia, seringkali dengan data dasar yang sangat terbatas. Jenis tindakan yang diberikan merupakan tindakan yang memerlukan kecepatan dan ketepatan yang ting Adanya saling ketergantungan yang tinggi antara profesi kesehatan yang bekerja di ruang gawat darurat. Berdasarkan kondisi di atas, prinsip umum keperawatan yang diberikan oleh perawat di ruang gawat darurat meliputi : a. Penjaminan keamanan diri perawat dan klien terjaga : perawat harus menerapkan prinsip universal precaution dan men cegah penyebaran infeksi. b. Perawat bersikap cepat dan tepat dalam melakukan triase, menetapkan diagnosa keperawatan, tindakan keperawatan dan evaluasi yang berkelanjutan. c. Tindakan keperawatan meliputi : resucitasi dan stabilisasi diberikan untuk

mengatasi masalah biologi dan psikologi klien. d. Penjelasan dan pendidikan kesehatan untuk klien dan keluarga diberikan untuk menurunkan kecemasan dan meningkatkan kerjasama klien-perawat. e. Sistem monitoring kondisi klien harus dapat dijalankan f. Sistem dokumentasi yang dipakai dapat digunakan secara mudah, cepat dan tepat. Penjaminan tindakan keperawatan secara etik dan legal keperawatan perlu dijaga Pengkajian Standard : perawat gawat darurat harus melakukan pengkajian fisik dan psikososial di awal dan secara berkelanjutan untuk mengetahui masalah keperawatan klien dalam lingkup kegawatdaruratan. Keluaran : adanya pengkajian keperawatan yang terdokumentasi untuk setiap klien gawat darurat Proses : pengkajian merupakan pendekatan sistematik untuk mengidentifikasi masalah keperawatan gawat darurat. Proses pengkajian dalam dua bagian : pengkajian primer dan pengkajian skunder. PENGKAJIAN KEPERAWATAN KRITIS (ABCDE, SAMPLE) 1.

Pengkajian Primer a. Airway

Adanya sumbatan/obstruksi jalan

napas

oleh

adanya

penumpukan sekret akibat kelemahan reflek batuk. Jika ada obstruksi maka lakukan : Chin lift / jaw trust Suction / hisap Guedel airway.Intubasi trakhea dengan leher ditahan (imobilisasi) pada posisi netral. b. Breathing Kelemahan menelan/ batuk/ melindungi jalan napas, timbulnya pernapasan yang sulit dan / atau tak teratur, suara nafas terdengar ronchi /aspirasi, whezing, sonor, stidor/ ngorok, ekspansi dinding dada. c. Circulation TD dapat normal atau meningkat, hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi, bunyi jantung normal pada tahap dini, disritmia, kulit dan membran mukosa pucat, dingin, sianosis pada tahap lanjut. d. Disability Menilai kesadaran dengan cepat,apakah sadar, hanya respon terhadap nyeri atau atau sama sekali tidak sadar. Tidak dianjurkan mengukur GCS. Adapun cara yang cukup jelasa dan cepat adalah:

Allert(kesadaran) :A Respon bicara :V Respon nyeri :P Tidak ada respon :U e. Eksposure Lepaskan baju dan penutup tubuh pasien agar dapat dicari semua cidera yang mungkin ada, jika ada kecurigan cedera leher atau tulang belakang, maka imobilisasi in line harus dikerjakan. 2. Pengkajian Sekunder Pengkajian sekunder meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik. Anamnesis dapat meggunakan format SAMPLE (Symptom,Alergi,

Medikasi,

Post

illnes,

Last

meal,

dan Event/

Environment yang berhubungan 5 dengan kejadian). Pemeriksaan fisik dimulai dari kepala hingga kaki dan dapat pula ditambahkan pemeriksaan diagnostik. Pengkajian sekunder dapat dilakukan dengan cara mengkaji data dasar klien yang kemudian digolongkan dalam SAMPLE. Pengkajian

sekunder

dilakukan

dengan

menggunakan

metode

SAMPLE, yaitu sebagai berikut : 1. S : Sign and Symptom. 2. A : Allergies Riwayat alergi yang diderita klien atau keluarga klien. Baik alergi obat-obatan ataupun kebutuhan akan makan/minum. 3. M

:

Medications

(Anticoagulants,

insulin

and

cardiovascular

medications especially). Pengobatan yang diberikan pada klien sebaiknya yang sesuai dengan keadaan klien dan tidak menimbulka reaksi alergi. Pemberian obat dilakukan sesuai dengan riwayat pengobatan klien. 4. P :Previous medical/surgical history. Riwayat pembedahan atau masuk rumah sakit sebelumnya. 5. L :Last meal (Time) Waktu klien terakhir makan atau minum. 6. E :Events /Environment surrounding the injury;. Exactly what happened.

NO. DX KEP

Tujuan

Intervensi

Rasional

1

Tujuan :

a : Pertahankan

a. Mengurangi rasa

nyeri

berhubung Kebutuhan

imobilisasi pada bagian

nyeri dan mencegah

an dengan

rasa nyaman

yang patah dengan cara

dis lokasi tulang dan

fraktur/tra

nyeri

bed rest, gips,

perluasan luka pada

uma.

terpenuhi.

traksi

jaringan.

b : Meninggikan dan

b. Meningkatkan aliran darah,

melapang bagian kaki

mengurangi edema dan

yang fraktur

mengurangi rasa nyeri.

spalek,

c : Evaluasi rasa nyeri, catat tempat nyeri, sifat, intensitas, dan tanda-

c. Mempengaruhi penilaian

tanda nyeri non verbal

intervensi, tingkat kegelisahan

d. : Kolaborasi dalam

mungkin akibat dari

pemberian analgetik

presepsi/reaksi terhadap nyeri. d. Diberikan obat analgetik untuk mengurangi rasa nyeri.

2

Gangguan

Tujuan :

a. : Kaji tingkat

a. : Mengetahui kemandirian

mobilitas

ekstremitas

mobilitas yang bisa

pasien dalam mobilisasi

fisik

yang rusak

dilakukan pasien

b. : Rentang gerak meningkatkan

berhubung dapat

b. : Anjurkan gerak

tonus atau kekuatan otot serta

an dengan

aktif pada ekstremitas

memperbaiki fungsi jantung dan

kerusakan

yang sehat

pernafasan

rangka/tul

c. : Pertahankan

c. : Mempertahankan imobilisasi

ang

penggunaan spalek dan

pada tulang yang patah.

neuromus

elastis verban

digerakkan.

kuler.

3

Resiko tinggi

Tujuan : Tidak

a. Kaji tanda vital dan

a. Mengetahui keadaan umum

tanda infeksi.

pasien dan dugaan adanya infeksi.

terhadap

terjadi

b. Ganti balutan luka

b. Meminimalkan infeksi

infeksi

adanya

secara septik aseptik

sekunder dari alat yang

berhubung infeksi

setiap hari

digunakan.

an dengan

c. Anjurkan pasien

c. Untuk mencegah kontaminasi

alat

untuk menjaga

fiksasi

kebersihan.

adanya infeksi.

invasive.

4

5

Cemas/

Mengatasi

Klien menerima

takut/

cemas/ takut/

keadaan, ekspresi,wajah mengekspresikan perasaannya

berduka

berduka

tampak tenang

Gangguan

Memperbaiki

Harga diri meningkat

Kaji kemampuan klien perawatan

perawatan

cairan tubuh

berperan aktif selama

diri

diri

rehabilitasi

Beri kesempatan pada klien untuk

2.3 Ilustrasi kasus dan Pembahasan

2.3.1 Identitas Nama

: Tn. M

Umur

: 34 thn

Agama

: Islam

Pendidikan

: Tamat Akademik

Alamat

: pondok kacang timur, pondok aren

Bangsa

: Indonesia

Tanggal masuk

: 1 Juni 2011

Tanggal Pemeriksaan

: 1 Juni 2011

No. R. M

: 162210

2.3.2 Anamnesis A. Keluhan Utama Pasien datang ke UGD RSUP Fatmawati dengan keluhan nyeri pada daerah pinggang sejak 5 hari SMRS. B. Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke UGD RSUP Fatmawati dengan keluhan nyeri pada pinggang sejak 5 hari SMRS. Pasien menyatakan nyeri terjadi setelah kecelakaan lalu lintas pada 5 hari SMRS, pasien pengendara sepeda motor bertabrakan dari arah berlawanan, kemudian pasien terjatuh dan terlindas mobil dengan kecepatan tidak terlalu tinggi. Pasien

menyatakan

nyeri

dipinggang

terutama

saat

pasien

menggerakkan panggulnya, luka terbuka (-), pingsan (-), muntah (-). Segera setelah kecelakaan terjadi pasien tidak langsung dibawa ke Rumah Sakit, tetapi dibawa ke dukun patah tetapi tidak ada kemajuan. Kemudian karena tidak ada kemajuan pasien dibawa ke Rumah Sakit Fatmawati.

BAB blm sejak

kecelakaan.

C. Riwayat Pengobatan Dahulu 1.

Riwayat trauma sebelumnya (-)

2.

Hipertensi (-)

3.

Penyakit jantung (-)

4.

DM (-)

5.

Asma (-)

6.

Alergi (-),

D. Riwayat Penyakit Keluarga 1.

Hipertensi (-)

2.

Penyakit jantung (-)

3.

DM (-)

4.

Asma (-)

5.

Alergi (-)

E. Riwayat Operasi Tidak pernah 2.3.3 Pemeriksaan Fisik Data pemeriksaan fisik tanggal A. Primary Survey Airway

: clear

Breathing

: spontan, pernafasan 20 x/m, thorako-abdominal

Circulation

: baik, nadi 80 x/m,tekanan darah 120/80 mmHg,CRT< 2”

Disability Exposure

: GCS = E4M6V5 = 15 : inspeksi :pada abdomen bentuk datar,terdapat jejas di abdomen

kiri bawah. Palpasi : nyeri tekan di seluruh lapang abdomen B. Secondary Survey Keadaan umum

: tampak sakit sedang

Kesadaraan

: Compos mentis

Tanda vital Tekanan darah

: 130/80 mmHg

Nadi

: 80 X/menit

Pernafasan

: 20 X/menit

Suhu

: 36 ºC

Status Generalis Kepala

: normochepali, rambut hitam, lurus, distribusi Merata, jejas (-)

Mata

: conjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, RCL +/+, RCTL +/+, pupil bulat isokor, diameter 3 mm/3 mm

Mulut

: Mukosa kering (-), oral hygiene baik

Telinga

: normotia, serumen +/+, sekret -/-, othore (-/-)

Hidung

:normosepta, sekret -/-, tidak ada nafas

cuping

hidung, rhinore (-/-) Leher

: pembesaran kelenjar KGB (-), kelenjar tiroid tidak teraba membesar, JVP 5-2 cmH2O, jejas (-), deviasi trakhea (-)

Thorak Pulmo

:

Inspeksi

: Simetris saat statis maupun dinamis

Palpasi

: Ekspansi dada baik, vocal fremitus kiri dan kanan sama

Perkusi

: Sonor pada paru kiri dan kanan

Auskultasi

: Suara napas vesikuler, ronkhi -/-, wheezing -/-

Jantung Inspeksi

: Iktus kordis tidak terlihat

Palpasi

: Iktus kordis teraba pada ICS V 1 jari medial midklavikula sinistra

Perkusi

: Batas jantung kiri ICS V 1 jari medial linea Midklavikula sinistra Batas jantung kanan di linea sternalis dextra

Auskultasi

: Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-),gallop (-)

Abdomen Inspeksi

: Datar, jejas (+) di abdomen kiri bawah

Palpasi

: Dinding abdomen lemas, turgor baik, nyeri tekan (+) di seluruh lapang abdomen, nyeri lepas (-), hepar dan limpa tidak teraba membesar.

Perkusi

: Timpani pada seluruh abdomen, shifting dullness (-)

Auskultasi

: Bising usus (+) normal

Ekstremitas

:akral hangat pada keempat ekstremitas, tidak

linea

ada edema. Kulit

: turgor baik

C. Status Orthopedi Regio pelvis

:

Look

: luka terbuka (-), perdarahan (-), jejas (+).

Feel

: nyeri tekan (+), tenderness (+), NVD (-)

Move

: ROM terbatas karena nyeri

D.

Status lokalis lainnya Regio suprapubis : Inspeksi

: massa (-), jejas (-).

Palpasi

: nyeri tekan (+)

2.3.4 Pemeriksaan Penunjang A. Pemeriksaan Pelvis 

Foto Pelvis

:

B. Pemeriksaan Laboratorium pada tanggal 2 juni 2011

PEMERIKSAAN

HASIL

NILAI RUJUKAN

10,4

13,2-17,3 g/dl

31

33-45%

18,2

5-10 ribu/Ul

377

150-440 ribu/Ul

3,27

4,4-5,9 juta/Ul

82

80-100 fl

27

26-34 pg

33

32-36 g/dl

HEMATOLOGI -

Hemoglobin

-

Hematokrit

-

Leukosit

-

Trombosit

-

Eritrosit

VER/HER/KHER/RDW -

VER

-

HER

-

KHER

HEMOSTASIS -

Prothrombin time (PT)

-

PT control

-

APTT

-

APTT control

20,6

11-14 detik

11,1 47,1

27,3-41 detik

34,2 KIMIA KLINIK Fungsi ginjal -

Ureum darah

-

Creatinin darah

38

20-40 mg/dl

1,0

0,6-1,5 mg/dl

34

SGOT

120

Gula darah sewaktu

10-35 u/l 70-200 mg/dl

Elektrolit -

Natrium

-

Kalium

-

Chlorida

131

135-147 mmol/l

6,3

3,5-5,5 mmol/l

102

100-106 mmol/l

Kesan: leukositosis. 2.3.5 Resume Pasien datang ke UGD RSUP Fatmawati dengan keluhan nyeri pada daerah pinggang sejak 5 hari SMRS. Nyeri terjadi setelah kecelakaan lalu lintas terlindas mobil. Nyeri dipinggang terutama saat pasien menggerakkan pinggangnya, luka terbuka (-), pingsan (-), muntah(-). Melakukan pengobatan ke dukun patah namun tidak ada kemajuan. Kemudian ke RSUP Fatmawati. BAB blm sejak kecelakaan.

Pemeriksaan fisik Abdomen datar, jejas (+) di abdomen kiri bawah , nyeri tekan (+), nyeri lepas (-), hepar dan lien tidak teraba membesar. BU (+) normal. Look:luka terbuka (-), perdarahan (-), jejas (+). Feel : nyeri tekan (+) Move:ROM terbatas karena nyeri

Pemeriksaan penunjang :  Kesimpulan hasil pemeriksaan thoraks dan pelvis :  Tidak tampak kelainan radiologis pada cor dan pulmo.  Fraktur asetabulum  Symphiolosis pubis.

 Kesimpulan hasil pemeriksaan laboratorium : 

Kesan leukositosis

2.3.6 Diagnosis - Fraktur asetabulum

2.3.7 Penatalaksanaan - Pantau tanda vital - Bed rest dan immobilisasi - Terapi konservatif  traksi kulit selama 1 bulan

2.3.8 PROGNOSIS - Ad vitam

: bonam

- Ad functionam

: dubia ad bonam

- Ad sanationam

: dubia ad bonam

Analisa Data DS

Diagnosa 1. Nyeri

Intervensi a :Pantau

Implementasi a : Memantau

Evaluasi S : px

-px

tanda-tanda : GCS = tanda-tanda E4M6V5 = 15

mengatakan

mengatakan

vital

vital

nyeri pinggang

nyeri pinggang

b:

b:

terutama saat

terutama saat

Pertahankan

Mempertahank menggerakkan

menggerakkan

imobilisasi

an imobilisasi

panggulnya

panggulnya

pada bagian

pada bagian

sejak 5 hari

sejak 5 hari

yang patah

yang patah

yll.

yll.

dengan cara

dengan cara

-px

-px

bed

bed

mengatakan

mengatakan

rest,gips,spale

rest,gips,spale

tidak ada luka

tidak ada luka

k,traksi.

k,traksi.

terbuka,tidak

terbuka,tidak

c : Terapi

c : Melakukan

pingsan dan

pingsan dan

konservatif

terapi

tidak muntah.

tidak muntah.

dengan traksi

konservatif

-px

-px

kulit selama 1

dengan traksi

mengatakan

mengatakan

bulan.

kulit selama 1

saat

saat

d : Rencana

bulan.

kecelakaan

kecelakaan

foto pelvis

d:

menggunakan

menggunakan

ulang setelah

Merencanakan

sepeda motor

sepeda motor

traksi kulit.

foto pelvis

bertabrakan

bertabrakan

e : kolaborasi

ulang setelah

dari arah

dari arah

pemberian

traksi kulit.

berlawanan,ke

berlawanan,ke

analgesik jika

e:

mudian jatuh

mudian jatuh

di perlukan.

Mengkolabora

dan terlindas

dan terlindas

sikan

mobil dengan

mobil dengan

pemberian

kecepatan

kecepatan

analgesik jika

tidak terlalu

tidak terlalu

di perlukan.

tinggi.

tinggi.

-px

-px

mengatakan

mengatakan

setelah

setelah

kecelakaan

kecelakaan

langsungdi

langsungdi

bawa ke dukun

bawa ke dukun

patah namun

patah namun

tidak ada

tidak ada

kemajuan.

kemajuan.

O : -Airway: clear

DO :

-Breathing

-Airway: clear

:spontan,perna

-Breathing

fasan

:spontan,perna

20x/menit,thor

fasan

ako-abdominal

20x/menit,thor

-Circulation:

ako-abdominal

baik,nadi

-Circulation:

80x/menit,TD

baik,nadi

120/80

80x/menit,TD

mmHg,CRT <

120/80

2 detik

mmHg,CRT <

-

2 detik

Disability:GC

-

S 456

Disability:GC

-Exposure:

S 456

inspeksi :pada

-Exposure:

abdomen

inspeksi :pada

bentuk

abdomen

datar,terdapat

bentuk

jejas di

datar,terdapat

abdomen kiri

jejas di

bawah.

abdomen kiri

Palpasi : nyeri

bawah.

tekan di

Palpasi : nyeri

seluruh lapang

tekan di

abdomen

seluruh lapang abdomen

Sign and Symptom :

Sign and

Nyeri positif

Symptom :

pada daerah

Nyeri positif

pinggang

pada daerah

Alergi :

pinggang

negatif

Alergi :

Medikasi

negatif

:negatif

Medikasi

Pust illness

:negatif

:negatif

Pust illness

Last meal

:negatif

:tidak terkaji

Last meal

Event:5 hari

:tidak terkaji

yang lalu

Event:5 hari

pasien

yang lalu

menggunakan

pasien

sepeda motor

menggunakan

bertabrakan

sepeda motor

dari arah

bertabrakan

berlawanan

dari arah

kemudian

berlawanan

pasien terjatuh

kemudian

dan terlindas

pasien terjatuh

mobil dengan

dan terlindas

kecepatan

mobil dengan

tidak terlalu

kecepatan

tinggi

tidak terlalu

A :masalah

tinggi

teratasi sebagian P : Lanjutkan intervensi

2.3.9 Analisa Kasus Dari ilustrasi kasus diatas, berdasarkan dari data anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang yang didapatkan serta disesuaikan dengan teori yang ada, maka mengarah pada suatu diagnosis yaitu fraktur pelvis.  Fraktur pelvis Berdasarkan anamnesis, didapatkan keluhan berupa : nyeri di daerah pinggang yang terjadi setelah kecelakaan lalu lintas. Pasien tersungkur ke bawah mobil. Nyeri dipinggang terutama saat menggerakkan panggulnya. Tedapat memar pada pinggang pasien. Keluhan ini sesuai dengan teori yang mengarah ke keadaan fraktur pelvis, antara lain :

1. Nyeri

2. Pembengkakan 3. Deformitas 4. Perdarahan subkutan sekitar panggul 5. Hematuria 6. Perdarahan yang berasal dari vagina, urethra, dan rectal 7. Syok Pada pemeriksaan fisik,didapatkan data berupa : nyeri tekan (+) di seluruh lapang abdomen, di Regio pelvis : Look : jejas (+), Feel : nyeri tekan (+), Move : ROM terbatas karena nyeri. Tanda dan gejala di atas sesuai dengan teori yang mengarah ke fraktur pelvis, antara lain : nyeri (+), ROM terbatas, deformitas (+), ketidakstabilan cincin panggul dengan palpasi pada ramus dan simfisis pubis. Untuk menegakkan diagnosis pada pasien ini dilakukan pemeriksaan rontgen regio pelvis. Kesimpulan : 

Farktur pelvis Dari hasil pemeriksaan penunjang tersebut gambarannya menyerupai

gambaran klasifiksai fraktur pelvis tidak stabil berdasarkan klasifikasi TILE. Melihat dari data keseluruhan yang terdiri dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang, maka diagnosis fraktur pelvis dapat ditegakan dan berdasarkan teori yang telah dijelaskan diatas, maka fraktur pelvis pada pasien ini di klasifikasikan kedalam klasifikasi fraktur pelvis tidak stabil. Tatalaksana yang diberikan pada pasien ini antara lain : - Pantau tanda vital - Bed rest dan immobilisasi - Terapi konservatif  traksi kulit selama 1 bulan - Rencana foto pelvis ulang setelah traksi kulit

Berdasarkan teori yang telah dijelaskan di atas, maka tatalaksana yang diberikan masih perlu sedikit tambahan karena berdasarkan teori tatalaksana untuk fraktur pelvis antara lain :

- Tindakan operatif bila ditemukan adanya kerusakan alat-alat dalam rongga

panggul. - Stabilisasi fraktur panggul, misalnya traksi skeletal, pelvic sling, spika panggul. - Fraktur avulsi atau stabil diatasi dengan pengobatan konservatif seperti istirahat, traksi, dan pelvic sling. - Fraktur yang tidak stabil diatasi dengan fiksasi eksterna atau dengan operasi.

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan Semakin pesatnya kemajuan lalu lintas baik dari segi jumlah pemakai jalan, kendaraan, pemakai jasa angkutan dan bertambahnya jaringan jalan serta kecepatan kendaraan maka mayoritas penyebab terjadinya fraktur adalah kecelakaan lalu lintas. Selain itu, trauma lain yang dapat mengakibatkan fraktur adalah jatuh dari ketinggian, kecelakaan kerja, dan cedera olah raga. Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan berlebihan,

yang dapat

berupa benturan,

pemukulan, penghancuran,

penekukan atau terjatuh dengan posisi miring, pemuntiran, atau penarikan. Rekonstruksi terjadinya kecelakaan penting untuk menduga fraktur yang terjadi. Setiap trauma yang dapat mengakibatkan fraktur juga dapat merusak jaringan lunak di sekitar fraktur mulai dari otot, fascia, kulit, tulang, sampai struktur neurovaskuler atau organ-organ penting lainnya. 3.2 Saran Bagi pembaca maupun masyarakat umum diharapkan lebih berhati-hati dalam

berkendara,mengingat

kasus

fraktur

banyak

disebabkan

oleh

kecelakaan lalu lintas,bagi petugas kesehatan di harapkan mampu membuat masyarakat memahami apa itu fraktur pengertian,penyebab dll,serta sebagai tenaga medis mampu melakukan tindakan keperawatan sesuai dengan standar operasional prosedur agar penagananan yang di lakukan tidak salah sehingga menimbulkan masalah baru.

Daftar Pustaka

Marilynn E Doengoes, et all, alih bahasa Kariasa IM, (2000), Rencana Asuhan Keperawatan,

pedoman

untuk

perencanaan

dan

pendokumentasian

perawatan pasien, EGC, Jakarta. Sjamsuhidajat. R (1997), Buku ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta ENA. 2000. Emergency Nursing Core Curriculum. 5thED. USA: WB.Saunders Company Campbell, Jhon Pe. 2004. Basic Trauma Life Support. New Jersy : Person Prentice Hall. Price, S. A. 2000. Patofisiologi : Konsep klinis Proses-proses Penyakit, Jakarta: EGC Muttaqin, Arif. 2007. Pengantar Asuhan Keperawatan Sistem Persyarafan. Jakarta:Salemba Smeltzer,C.S. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner dan Suddarth.Edisi 8. Jakarta: EGC Widjaja, Ignatius Harjadi. Buku ajar anatomi pelvis. FK UNTAR. Jakarta, 2006. Chairuddin Rasjad. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: Yarsif Watampone, 2007 Graham Apley & Louis Solomon, Buku Ajar Ortopedi Dsn Fraktur Sistem Apley,Edisi Ketujuh. Tahun 1995, Widya Medika Jakarta.

Related Documents

Askep Fraktur Pelvis
February 2021 0
Askep Infeksi Pelvis
February 2021 0
Askep Fraktur Femur
January 2021 0
Pelvis Pediatrica
January 2021 1
Cuestionario Pelvis
January 2021 2

More Documents from "Indah KaDe"