Buku Biomaterial Dan Bioproduk.pdf

  • Uploaded by: Arninda Pratiwi
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Buku Biomaterial Dan Bioproduk.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 19,102
  • Pages: 113
Loading documents preview...
Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-Undang No. 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta

1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000 (seratus juta rupiah). 2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

3. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin

Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

4. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).

BIOMATERIAL DAN BIOPRODUK

Penulis: Yusuf Wibisono, STP., MSc., Ph.D

2017

BIOMATERIAL DAN BIOPRODUK ISBN : 978-602-432-181-9

Penulis : Yusuf Wibisono, STP., MSc., Ph.D Penyunting: Tim UB Press Penata Letak: Denny Akhmadi A. Desain Sampul: Denny Akhmadi A. Penerbit:

Universitas Brawijaya Press (UB Press) Penerbit Perguruan Tinggi Terbaik dan Terbesar Kelas Dunia Jl. Veteran No. 10-11 Malang 65145 Indonesia Gedung INBIS Lt.3 Telp/Fax: 0341-5081255 / 082228238999 e-Mail: [email protected] http://www.ubpress.ub.ac.id Cetakan pertama, Mei 2017 i-xiv + 98 hlm., 15,5 x 23,5 cm Dicetak oleh: UB Media Universitas Brawijaya, Malang Isi diluar tanggung jawab percetakan Hak cipta dilindungi undang-undang Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa seizin tertulis dari penerbit

PENGANTAR PAKAR Ucapan selamat saya tujukan atas selesainya penyusunan buku Biomaterial dan Bioproduk yang ditulis oleh teman sejawat saya Dr. Yusuf Wibisono. Saya sebagai Ketua Program Studi Magister Teknik Pertanian di Universitas Brawijaya menyambut baik buku ini, yang saya harapkan dapat menjadi rujukan bagi para mahasiswa yang memiliki minat dalam bidang biomaterial dan bioproduk. Buku ini tidak hanya akan menjadi rujukan bagi mahasiswa program sarjana dalam bidang teknologi bioproses, bioteknologi atau biomedis, namun juga menjadi pelengkap bagi mahasiswa program magister. Khusus di Program Magister Teknik Pertanian UB, buku ini saya harapkan juga bisa dirujuk oleh para mahasiswa yang mengambil mata kuliah Teknologi Proses Bioproduk. Tentu saja masyarakat luas berhak untuk mengambil manfaat ilmu yang terkandung dalam buku ini, khususnya dalam era bio-based economy saat ini.

Dr. Ir. Sandra Malin Sutan, MP

v

PENGANTAR PENULIS Alhamdulillah Allah SWT telah menganugerahkan kepada penulis kemudahan dalam menyelesaikan penulisan buku Biomaterial dan Bioproduk ini, disela kesibukan mengajar, meneliti dan mengerjakan berbagai kegiatan akademik. Buku ini memaparkan tentang dasar dan aplikasi biomaterial dan bioproduk, disertai dengan proses dan karakterisasi biomaterial untuk memahami sifat dan karakteristik dari suatu bioproduk. Penulisan buku ini diilhami atas minimnya pustaka terkait bidang biomaterial, khususnya bioproduk bagi mahasiswa program sarjana teknologi bioproses dan bioteknologi di Universitas Brawijaya Malang. Tujuan dari penulisan buku Biomaterial dan Bioproduk ini antara lain adalah untuk memberikan gambaran tentang perkembangan ilmu teknik pertanian dan biosistem dalam ranah teknologi pertanian, memaparkan tentang definisi dan cakupan ilmu biomaterial dan bioproduk, memaparkan tentang potensi Indonesia sebagai penghasil biomassa terbesar didunia yang bisa dimanfaatkan sebagai bahan biomaterial dan bioproduk, menjelaskan tentang ragam jenis biomaterial dan bioproduk serta teknologi bioproses dalam mengkonversi sumber alami biomassa asli Indonesia dan memberikan persuasi kepada para mahasiswa, para peneliti, para akademisi, para praktisi bisnis dan pemerintah untuk menggali potensi biomassa Indonesia dalam memberikan nilai tambah yang besar dan memanfaatkannya dalam menjaga ketahanan pangan, ketahanan energi dan ketahanan bidang kesehatan Indonesia. Terakhir, penulis menyampaikan terimakasih kepada Bapak Sandra Malin Sutan yang telah memberikan masukan atas manuskrip awal buku ini. Terima kasih penulis kepada mahasiswa yang penulis bimbing yang telah membantu menyiapkan naskah antara lain Henda, Nurkaifa, dan Bella. Terima kasih kepada Tim PHK UB yang telah memberikan sokongan dana dan teknis, serta Tim UB Press yang memungkinkan buku ini terbit dan sampai ke tangan para pembaca sekalian. Yusuf Wibisono, STP, MSc., PhD

vii

DAFTAR ISI PENGANTAR PAKAR......................................................................................v PENGANTAR PENULIS................................................................................vii DAFTAR ISI ........................................................................................................ix DAFTAR GAMBAR...........................................................................................xi SEJARAH PERKEMB ANGAN TEKNIK BIOSISTEM ............1 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5

Perkembangan Ilmu Teknik Pertanian...................................................1 Lahirnya Teknik Biosistem.......................................................................3 Cakupan Kurikulum Teknik Biosistem..................................................6 Bioproses dan Biomaterial .......................................................................7 Teknik Pertanian dan Biosistem di Indonesia.....................................20

BIOMATERIAL DAN BIOPRODUK ...............................................23 2.1 2.2 2.3

Definisi Biomaterial.................................................................................23 Biomaterial dan Bioproduk dalam Biorefinari ....................................25 Potensi Biomaterial dan Bioproduk Indonesia...................................26

KARAKTERISASI BI OMATERIAL DAN BIOPRODUK .....29 3.1 3.2 3.3 3.4 3.5 3.6 3.7 3.8 3.9

Scanning Electron Microscopy (SEM).................................................29 Transmission Electron Microscopy (TEM) ........................................38 Atomic Force Microscopy (AFM) ........................................................43 Confocal Laser Scanning Microscopy (CLSM)...................................48 Optical Coherence Tomography (OCT) .............................................52 Fourier Transform Infra Red (FTIR)..................................................56 X-Ray Diffraction (XRD) ......................................................................57 X-Ray Fluorescence (XRF)....................................................................59 Particle Size Analyzer (PSA) ..................................................................60

RAGAM BIOMATERIAL DAN BIOPRODUK ...........................61 4.1 4.2 4.3 4.4

Biokeramik................................................................................................61 Hydroxyapatite.........................................................................................63 Biofuel dan Bio-Oil .................................................................................66 Biodiesel....................................................................................................68

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................89 BIOGRAFI PENULIS ......................................................................................97 ix

DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Gambar 2 Gambar 3 Gambar 4 Gambar 5

Gambar 6 Gambar 7 Gambar 8

Gambar 9 Gambar 10

Gambar 11 Gambar 12

Gambar 13 Gambar 14

Perkembangan ilmu teknik pertanian, . .................... 2 Skema epistemologis ilmu rekayasa biosistem dan rekayasa biologi................................. 3 Bidang kajian ilmu rekayasa biosistem dan rekayasa biologi. ..................................................... 4 Skala ilmu rekayasa biosistem (makro) dan rekayasa biologi (mikro)........................................... 5 Penggunaan logam sebagai biomaterial pada pembuluh koroner jantung (Image courtesy Nucleus Medical Media). ....................................................... 23 Biomaterial menurut ilmu rekayasa biosistem (bioproduk) dan rekayasa biologi. .......................... 24 Biokeramik untuk implan gigi, berasal dari hydroxyapatite (Carlos et al. 2014). ........................ 25 Integrasi antara siklus pertanian-biofuelbiomaterial-biopower untuk teknologi berkelanjutan (Ragauskas et al. 2006)..................... 25 Produksi sektor perikanan di Indonesia 2011-2014. ............................................................ 27 (a) Perbandingan prinsip kerja TEM dan mikroskop cahaya. (b) Prinsip kerja SEM: (S) backscattered electron, (B) absorbed electron, (A) Amplication (Murr 2009)................................ 30 Skema prosedur kerja dari SEM dan TEM. ........... 31 (a) Pemindaian elektron di seluruh sampel dan sinyal yang dipancarkan ditransfer pada monitor sebagai posisi elektron, (b) Spektrum energi yang dipancarkan dari secondary electron (SEs) hingga elastic scattered electron yang direfleksikan (Suga et al. 2014). .................................................................... 32 Interaksi antara elektron dan bahan uji (Vernon-Parry 2000).............................................. 33 Gambar IRMOF, (kiri) skema gambar tangan, (tengah) gambar hasil TEM, (kanan) gambar xi

Gambar 15 Gambar 16 Gambar 17 Gambar 18

Gambar 19. Gambar 20 Gambar 21. Gambar 22. Gambar 23

Gambar 24 Gambar 25 Gambar 26 Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar Gambar

27 28 29. 30 31 32

Gambar 33 Gambar 34. Gambar 35 Gambar 36

hasil SEM. Diameter pori 3.5 nm (Suga et al. 2014). .................................................. 35 Helikal TiO2 (a & b) gambar hasil HRSEM dengan landing energy 500eV, ............................... 36 Gambar SBA-15 dengan HRSEM. ........................ 37 Gambar SEM dari biofouling yang menempel di permukaan membran nanofiltrasi. ......................... 38 Diagram sinar pada TEM (a) ilustrasi (b) area difraksi yang dipilih.(Vernon-Parry and Wright 2000) ......................................................... 39 Ilustrasi persamaan Bragg (Vernon-Parry and Wright 2000) ......................................................... 40 Mikrostruktur dan nanostruktur aluminium........... 42 (a) ilustrasi mikrostruktur YBa2Cu3O7; (b) gambar hasil TEM (Murr 2009).......................................... 42 Set up dasar AFM (Johnson et al. 2009) ................ 43 Gambar SEM dari probe AFM (a) probe piramida (b) probe kerucut (c) cantilever bentuk V (d) chip dengan pengungkit (Johnson et al. 2009).............................................. 44 Ilustrasi mode kontak (Johnson et al. 2009). .......... 45 Struktur kimia dengan STM (A-B) dan AFM (C-D)(Gross et al. 2009). ....................................... 47 Gambar AFM untuk mengukur tingkat kekasaran dari permukaan,..................................... 48 Prinsip dari konfokal: ............................................ 50 Citra CLSM ........................................................... 51 Citra SEM. ............................................................ 51 Konfigurasi tomografi. .......................................... 53 Skema kerja OCT (Huang et al. 1991) ................... 54 (a) Hasil pencitraan OCT dari anterior gigi (b) ilustrasi jaringan gigi (Fercher et al. 2003). ............. 55 Skema kerja OCT pada observasi biofouling(Wibisono et al. 2015b).......................... 56 Gambar OCT....................................................... 56 Hasil FTIR pada modifikasi polimer antibiofouling (Wibisono et al. 2015b)......................... 57 Struktur yang bisa diuji dengan menggunakan XRD:. ................................................................... 58 xii

Hasil analisis XRD. ............................................... 58 Penyerapan radiasi sinar-X yang datang dan terfluoresens (Brouwer 2010)..................................... 59 Gambar 39 Ukuran partikel dari humus dan yeast sebagai bahan biologis (Wibisono et al. 2016). ....... 60 Gambar 40. Preparasi hidroksiapatit dari berbagai bioproduk (Sadat-Shojai et al. 2013)........................................ 64 Gambar 41 Struktur Kimia Hidroksiapatit (Ylinen 2006) ......... 65 Gambar 42 Struktur Heksagonal Hidroksiapatit....................... 66 Gambar 43 Konversi biomassa menjadi biofuel . ..................... 67 Gambar 44 Sumber biodisel dan bioetanol .............................. 67 Gambar 45 Persamaan umum reaksi transesterifikasi ............... 76 Gambar 46 Perubahan bertahap pada reaksi transesterifikasi (Fukuda et al. 2001)............................................... 76 Gambar 47 Diagram alir reaksi transesterifikasi menggunakan katalis basa (Leung et al. 2010) .............................. 77 Gambar 48 Reaksi Saponifikasi................................................ 77 Gambar 49 Reaksi Hidrolisis.................................................... 78 Gambar 50 Perbandingan langkah dalam transesterifikasi menggunakan katalis kimia dan biokatalis (Fukuda et al. 2001). .............................................. 84

Gambar 37 Gambar 38

xiii

BAB I

SEJARAH PERKEMBANGAN TEKNIK BIOSISTEM 1.1 Perkembangan Ilmu Teknik Pertanian Integrasi antara ilmu biologi dan rekayasa telah menjadi tren yang muncul dalam dunia keilmuan sejak awal abad ke 20. Integrasi ini mencakup kepada penyatuan atau interaksi antara ilmu-ilmu pertanian, medis, pangan, bioproses, lingkungan, sumber daya alam, farmasi, kehutanan, akuakultur, dan rekayasa ekologi. Integrasi itu nampak pada perkembangan kurikulum program sarjana di Amerika Serikat, yang melibatkan pendidikan sarjana teknik pertanian, teknik kimia dan rekayasa dalam bidang medis (Young 2006b). Ilmu asal yang berbeda inilah yang mencirikan integrasi yang unik antara bidang biologi dan rekayasa pada perkembangannya di dunia akademik di seluruh dunia. Misalnya North Carolina State University sudah memulai penamaan dengan Biological and Agricultural Engineering (Teknik Biologi dan Pertanian) pada tahun 1961, diikuti oleh Missisipi State University. Perubahan tersebut diikuti oleh banyak universitas di seluruh Amerika Serikat sehingga mereka menambahkan kurikulum Teknik Biologi atau merubah nama dengan penambahan kata Bio pada rentang waktu antara tahun 1970 hingga 1990-an. Pada tahun 1997, seperti tertera pada Gambar 1, jumlah program studi yang menyelenggarakan program Bio bahkan mampu menyaingi jumlah program studi yang masih memakai nama atau menyelenggarakan kurikulum Agricultural Engineering (Teknik Pertanian) (Young 2006b). Sementara, teknik biomedis mulai muncul pada era 1950an, dipacu oleh peningkatan ilmu kesehatan masyarakat yang memerlukan penerapan ilmu rekayasa dalam observasi maupun tindakan medis. Dalam Gambar 1 bisa dilihat peningkatan yang sangat drastis dalam penyelenggaran ilmu biomedis pada universitas-universitas di Amerika Serikat pada kurun antara tahun 1992-2004. Sementara itu dalam akar bidang teknik kimia, minat terhadap Bio-based curricula agak sedikit terlambat yaitu baru sekitar tahun 1999. Munculnya minat bioproses, 1

bioteknologi dan biomolekular ditandai dengan ditetapkannya pembentukan Society for Biological Engineering dalam AIChe (American Institute of Chemical Engineers) pada tahun 2003 (Young 2006b). Interaksi dan irisan keilmuan tersebut tentu saja merupakan keniscayaan pada perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan menunjukkan bahwa pembagian keilmuan adalah pembatasan yang tidak kaku dan bisa saling berinteraksi, menguatkan satu bidang keilmuan dengan yang lain.

Gambar 1. Perkembangan ilmu teknik pertanian, ilmu teknik biologi dan ilmu teknik biomedis pada universitas-universitas di Amerika Serikat mulai rentang tahun 1965 hingga 2000-an (Young 2006b) .

Pada awalnya, kurikulum Teknik Pertanian (Agricultural Engineering) dirancang untuk penerapan ilmu rekayasan pada sistem hayati dengan fokus pada produksi pertanian (Walker 1931). Ilmu teknik pertanian ini muncul dari disiplin ilmu pertanian tradisional seperti agronomi dengan disiplin ilmu rekayasa seperti teknik mesin. Visi awal dari bidang baru saat itu adalah bringing engineering to life dan visi tersebut melahirkan banyak penyelenggaraan program studi Teknik Pertanian dan Mekanisasi Pertanian di Amerika Serikat. Kebutuhan untuk berinteraksi lebih luas untuk menyelesaikan persoalan biologis akhirnya melampaui kebutuhan tersebut di bidang pertanian murni (Young 2006b). Kemunculan pembelajaran - pada sekitar tahun 1960an - tentang pengolahan dan peningkatan nilai tambah produk untuk produk pangan dan pakan, ergonomika dan kesehatan kerja, penggunaan dan penjagaan terhadap sumber daya alam serta dampak lingkungan pada material biologi, menjadikan bidang Teknik Pertanian ini semakin luas.

2 | Sejarah Perkembangan Teknik Biosistem

1.2 Lahirnya Teknik Biosistem Pada perkembangan berikutnya, muncul kebutuhan untuk aplikasi lebih jauh ilmu rekayasa terhadap empat dimensi: atmosfer, litosfer, hidrosfer dan biosfer. Titik fokus pada biosfer yang beririsan dengan 3 dimensi lainnya tersebut memunculkan perkembangan yang meluas dan mendalam pada bidang teknik pertanian. Aplikasinya meluas menjadi penerapan ilmu rekayasa yang didalam bidang hayati, mulai dari mikro organisme, makro organisme (tanaman dan hewan), serta ekosistem. Oleh sebab itu, muncul kajian biosistem, bioproses, biomaterial, bioremediasi, bioproduksi, bioteknologi, sistem biologi, pengolahan pangan, akuakultur, ekologi, lingkungan, sumber daya alam, biomekanik, dan bioenvironmental. Perubahan nama program kajian juga meningkatkan jumlah peminat pada bidang teknik biosistem ini di Amerika Serikat. Hal ini yang mendorong pula berubahnya nama masyarakat ilmiah Teknik Pertanian di Amerika Serikat dari American Society of Agricultural Engineers (ASAE) menjadi American Society of Agricultural and Biological Engineers (ASABE) pada tahun 2005 (Young 2006a).

Gambar 2 Skema epistemologis ilmu rekayasa biosistem dan rekayasa biologi.

Karena berasal pada akar keilmuan yang berbeda, yaitu teknik pertanian, teknik kimia dan teknik biomedis, maka perkembangan integrasi antara ilmu biologi dan ilmu rekayasa ini juga mengalami diferensiasi. Integrasi ilmu biologi yang berasal dari teknik pertanian, dengan teknik kimia dan teknik mesin melahirkan teknik biosistem (Biosystems Engineering), sedangkan integrasi ilmu biologi yang berasal dari ilmu medis dengan teknik kimia melahirkan teknik biologi (Biological Engineering). Secara umum penamaan pada program yang ditawarkan khususnya di Amerika Serikat Sejarah Perkembangan Teknik Biosistem | 3

menjadi Teknik Pertanian dan Biosistem (Agricultural and Biosystems Engineering) dan Teknik Biologi dan Kimia (Chemical and Biological Engineering). Pada Gambar 2, ada pembedaan epistemologis yang jelas diantara lahirnya kedua cabang keilmuan Teknik Pertanian dan Biosistem (Agricultural and Biosystems Engineering) dan Teknik Biologi dan Kimia (Chemical and Biological Engineering). Namun demikian, tentu saja batas tersebut tidak kaku dan memungkinkan adanya interaksi antara kedua cabang ilmu tersebut. Baik teknik biosistem maupun teknik biologi memakai asas-asas rekayasa pada sistem hayati, walaupun pada aspek penerapannya akan memungkinkan untuk memunculkan diferensiasi yang unik.

Gambar 3 Bidang kajian ilmu rekayasa biosistem dan rekayasa biologi.

Pada Gambar 3, nampak bahwa teknik biosistem menerapkan ilmu rekayasa pada sistem biologi yang meliputi pertanian, sarana produksi, rantai pangan, bioproses dan bioproduksi, serta penggunaan lahan dan lingkungan yang berkelanjutan. Sedangkan teknik biologi menekankan pada rekayasa molekuler dan biologi sel yang meliputi kajian biomolekuler, komunikasi sel, imunologi, biokompatibiliti dan fisiologi kesehatan. Oleh sebab itu, secara umum kajian teknik biosistem akan mengarah pada kajian penerapan ilmu rekayasa pada sistem hayati skala makro (macrosystems), seperti produk-produk tumbuhan, hewan dan ekosistem. Sedangkan teknik biologi merupakan penerapan ilmu rekayasa pada sistem hayati skala mikro (microsystems), seperti pada tingkat sel, kromosom atau makromolekul penyusun makhluk hidup (lihat Gambar 4).

4 | Sejarah Perkembangan Teknik Biosistem

Gambar 4 Skala ilmu rekayasa biosistem (makro) dan rekayasa biologi (mikro).

Pada Gambar 4 nampak adanya irisan antara kedua sistem tersebut, sehingga pada skala meso (mesoscale) kedua ilmu ini memungkinkan untuk berinteraksi, misalnya di Amerika Serikat misalnya, banyak kurikulum program studi sarjana yang merupakan perwujudan dari interaksi kedua bidang keilmuan tersebut. Tabel 1 menunjukkan nama program studi dan jumlah program studi yang ditawarkan di universitas-universitas di Amerika Serikat yang telah diakui oleh ASABE (Kaleita and Raman 2012). Penamaan tersebut menunjukkan bahwa interaksi antara teknik biosistem dan teknik biologi masih sangat terbuka dan memungkinkan irisan dalam berbagai aspek kajian dalam ranah bio and engineering ini. Tabel 1 Nama program studi dan jumlahnya di Amerika Serikat menurut ASABE (Kaleita and Raman 2012).

Nama Program Studi Teknik Biologi Teknik Biosistem Teknik Pertanian Teknik Sistem Biologi Teknik Biologi dan Pertanian Teknik Pertanian dan Biologi Teknik Biosistem dan Pertanian Teknik Ekologi Teknik Pertanian dan Biosistem Bio-engineering Teknik Lingkungan Biologi

Jumlah 11 6 5 5 4 3 2 2 2 1 1

Sejarah Perkembangan Teknik Biosistem | 5

Nama Program Studi Teknik Bioproduk dan Biosistem Teknik Sumber Daya Biologi dan Pertanian Teknik Pangan

Jumlah 1 1 1

1.3 Cakupan Kurikulum Teknik Biosistem Kurikulum Teknik Biosistem secara garis besar dikelompokkan menjadi dua kelompok besar, yaitu kelompok dasar ilmu rekayasa (principles of engineering) dan kelompok sistem hayati (biosystems). Pada penjabaran kurikulum, topik-topik dasar ilmu rekayasa meliputi matematika (kalkulus, persamaan diferensial), fisika (fisika dasar, mekanika, listrik dan elektronika, instrumentasi dan kontrol), kimia (kimia dasar, kimia organik), ilmu komputer (pemrograman, menggambar teknik), biologi, statistika dan fisiko-kimia (termodinamika, pindah panas, pindah massa, pindah momentum). Sementara itu, topik yang terkait dengan sistem hayati antara lain: pengukuran pada sistem hayati (kehutanan, perairan), penerapan kesetimbangan massa dan energi pada pertanian dan sistem biologis, analisis teknik sistem biologi, kinetika bioreaktor, teknik dan pengolahan biologis, bioteknologi, teknik biokimia, sifat-sifat teknik dari material biologis dan teknik sumber daya alam (Kaleita and Raman 2012). Dalam kriteria ABET (Accreditation Board for Engineering and Technology) di Amerika Serikat, yang diikuti pula oleh penyelenggara program akademik rekayasa di seluruh dunia, akreditasi program teknik pertanian atau yang semisalnya, mencakup seluruh program yang memasukkan agricultural , forest atau yang semisalnya dalam nama program. Sedangkan untuk biosistem mencakup seluruh program yang memakai nama biological , biological systems , food , atau yang semisalnya dengan pengecualian program bioengineering dan biomedical engineering . Sementara, untuk teknik biologi adalah seluruh program yang mencakup bioengineering dan biomedical engineering dan yang semisalnya (ABET 2016). Ketiga kategorisasi program akademik tersebut dipakai oleh universitas-universitas di Amerika Serikat dalam penamaan dan penyusunan kurikulum program terkait (lihat Tabel 1). ASABE sendiri, sebagai payung organisasi ilmiah dalam bidang ini, terlibat pada akreditasi 3 jenis program tersebut, yang terkait dengan agricultural engineering , biological system engineering dan bioengineering . 6 | Sejarah Perkembangan Teknik Biosistem

Menurut ABET (ABET 2016), kurikulum untuk teknik pertanian (agricultural engineering) atau yang semisalnya harus memasukkan matematika (persamaan diferensial) dan ilmu biologi serta ilmu teknik yang diterapkan pada pertanian, akuakultur, kehutanan, manusia atau sumberdaya alam. Sedangkan kurikulum untuk teknik biosistem (biological system engineering) mencakup penerapan matematika melalui persamaan diferensial, dengan pemahaman pada kimia dan biologi, dan penerapan pada ilmu biologi tingkat lanjut. Sedangkan kurikulum teknik biologi (bioengineering) mencakup: (i) penerapan prinsip rekayasa, biologi, fisiologi manusia, kimia, fisika terapan melalui kalkulus, matematika (persamaan diferensial) dan statistika, (ii) memecahkan permasalahan teknik biologi atau biomedis dengan interaksi antara sistem hayati dan non-hayati, (iii) analisis, pemodelan, perancangan dan penerapan instrumen, sistem, komponen atau proses teknik biologi atau biomedis, (iv) pengukuran dan analisis data dari sistem hayati. Atas dasar penggolongan oleh ABET dan keterlibatan ASABE ini maka cakupan keilmuan hasil interaksi ilmu rekayasa dan ilmu biologi ini menghasilkan ragam keilmuan yang semakin luas, namun semakin mendalam. Sementara itu di Eropa, acuan yang dipakai untuk Teknik Biosistem ini dirumuskan oleh ERABEE (Education and Research in Biosystems Engineering in Europe). ERABEE mendefinisikan Teknik Biosistem sebagai cabang dari ilmu teknik yang menerapkan ilmu teknik untuk memecahkan masalah yang berhubungan dengan sistem biologi , dengan mengeluarkan teknik biomedis dan bioteknologi (Briassoulis et al. 2014). Kurikulum inti dari teknik biosistem di Eropa menurut ERABEE mencakup: (a) topik ilmu rekayasa dasar, dan (b) topik pertanian atau biologi. Topik dasar rekayasa mencakup: (1) rancangan dan gambar teknik (CAD), (2) statika, (3) kekuatan bahan, (4) dinamika, (5) mekanika fluida, (6) termodinamika terapan, (7) perpindahan panas dan massa, (8) listrik dan elektronika, dan (9) sistem dinamik. Sedangkan topik biologi dasar mencakup: (1) biologi tanaman, (2) biologi hewan, (3) pengantar ilmu tanah, (4) meteorologi mikro atau meteorologi pertanian, (5) lingkungan dan interaksi dengan makhluk hidup, dan (6) mikrobiologi. 1.4 Bioproses dan Biomaterial Menurut ERABEE (Briassoulis et al. 2014), bidang spesialisasi teknik biosistem dibedakan antara lain adalah: (1) teknik bioproses, (2) sistem bioenergi, (3) bio-based material, (4) informatika dan analisis Sejarah Perkembangan Teknik Biosistem | 7

biosistem, (5) sistem struktur, bahan dan lingkungan untuk sistem biologis, (6) teknik sumber daya air. Bidang spesialisasi (1) hingga (3) merupakan perluasan dari bidang Teknik Pertanian tradisional, sedangkan bidang spesialisasi (4) hingga (6), merupakan kurikulum dasar bagi Teknik Pertanian. Pada pembahasan tentang biomaterial dan bioproduk, maka bidang spesialisasi yang terkait adalah bidang (1) hingga (3). ERABEE telah menyusun capaian pembelajaran (learning outcomes) pada masingmasing bidang spesialisasi. Gambaran tentang capaian pembelajaran yang telah disusun oleh ERABEE, khususnya untuk spesialisasi bidang teknik bioproses dilihat secara lengkap pada Tabel 2. Tabel 2. Capaian spesialiasi Teknik Bioproses menurut ERABEE (Briassoulis et al. 2014) Spesialisasi : Teknik Bioproses Pengetahuan untuk setiap Capaian Pembelajaran Capaian Pembelajaran[a] Level 2 (Menengah) Level 3 (Lanjut) 1. Karakteristik 1. Metabolisme dalam pertumbuhan LOB1 : Menggunakan organisme hidup, biologi, khususnya pengetahuan mendalam khususnya mikroorganisme. mengenai karakteristik mikroorganisme. 2. Peran enzim kimia fisik, mekanik, dan 2. Karakteristik enzim dalam reaksi. biologi untuk mengevaluasi dan mikroorganisme. 3. Cara menghambat parameter dan proses 3. Proses isolasi enzim atau mengontrol operasi bioproses. dari mikroorganisme enzim dalam spesifik. reaksi. LOB2 : Menggunakan pengetahuan dan pemahaman mengenai macam-macam reaksi 1. Hubungan antara biokimia (eksotermal dan 1. Reaksi kimia dan mikroorganisme dan endotermal) dan reaksi teori laju reaksi. produknya. kinetik dari reaksi 2. Reaksi biokatalis. 2. Reaksi biokimia enzimatik dalam 3. Peran enzim dalam system hidup. memproduksi nilai tambah dalam reaksi 3. Produk dari reaksi produk berbasis-bio dan biokimia. biokimia dalam memperoleh pemahaman sistem hidup. yang luas mengenai hubungan antara mikroorganisme dan produknya. 8 | Sejarah Perkembangan Teknik Biosistem

Spesialisasi : Teknik Bioproses Pengetahuan untuk setiap Capaian [a] Pembelajaran Capaian Pembelajaran Level 2 (Menengah) Level 3 (Lanjut) 1. Hubungan antara LOB3 : Memperoleh mikroorganisme dan 1. Hubungan antara pemahaman yang luas produknya. enzim dan mengenai proses isolasi 2. Proses ektraksi dan produknya. enzim dari mikroorganisme isolasi enzim dari 2. Proses biokimia spesifik yang berhubungan sistem hidup yang melibatkan untuk menghasilkan (mikroorganisme, enzim dalam produk nilai tambah jamur, dan system hidup. berbasis-bio. tumbuhan) dan jaringan hewan. 1. Reaksi biokimia dan sistem biologi yang 1. Produk digunakan untuk sampingan dari LOB4 : Mengevaluasi pengolahan limbah reaksi biokimia. bio. karakteristik dasar limbah 2. Metode biologi 2. Sistem pengolahan biologi, mencakup untuk pengolahan biologi untuk penanganan alternatif limbah dari mengolah limbah bio termokimia dan biologi. operasi bioproses. menjadi produk alternatif yang bernilai. 1. Keperluan desain untuk menangani LOB5 : Memperoleh 1. Kesetimbangan biomassa. pengetahuan mendalam energi dan massa. 2. Keperluan desain dan memahami prinsip unit operasi dan sistem heat exchangers 2. Proses transfer mekanik yang dibutuhkan energi, massa, dan untuk material untuk mengkonversi biologi. momentum. biomaterial menjadi 3. Prinsip dasar unit 3. Dinamika fluida produk bernilai tambah. operasi untuk proses biomaterial. LOB6 : Menggabungkan 1. Implikasi 1. Regulasi/aturan pengetahuan faktor-faktor lingkungan dari (misalnya OSHA, industri berbasisGMP, HACCP), yang berpengaruh pada bio. lingkungan, serta dampak lingkungan dan 2. Masalah ekonomi masalah dan ketahanan dari yang berhubungan pertimbangan etis. memproduksi berbagai dengan dampak 2. Taksiran siklus hidup macam produk berbasisSejarah Perkembangan Teknik Biosistem | 9

Spesialisasi : Teknik Bioproses Pengetahuan untuk setiap Capaian [a] Pembelajaran Capaian Pembelajaran Level 2 (Menengah) Level 3 (Lanjut) bio dan rantai pasokannya. lingkungan dari produk berbasis-bio. manajemen 3. Penyelesaian berkelanjutan untuk limbah-bio nilai tambah bioproduk dan rantai pasokannya. 1. Menggambar diagram balok untuk pabrik proses. 1. Menjelaskan 2. Mendesain tata letak LOE1 : Mendesain dan pengertian proses. pabrik untuk proses. menganalisis proses 2. Menggambar 3. Mengidentifikasi unit diagram alir, menggunakan diagram alir proses proses utama dalam pengetahuan dan sederhana. pabrik proses. pemahaman untuk 3. Membedakan 4. Menggambarkan alur mendesain sistem dan antara unit operasi material yang melalui menggambarkan dan proses. pabrik proses. kesimpulan tentang 4. Mengidentifikasi 5. Menampilkan batasan-batasan sistem diagram balok kesetimbangan massa untuk kesetimbangan (unit operasi) lanjut untuk unit massa dan energi. proses. operasi. 6. Mengoptimalkan alur material yang melalui pabrik. LOE2 : Mengaplikasikan 1. Komponen dan pengetahuan yang cara operasi 1. Kesetimbangan bioreaktor. diperoleh dari massa terbaru untuk 2. Kegunaan termodinamika dan unit operasi. bioreaktor. fenomena transport untuk 2. Kesetimbangan 3. Kesetimbangan mendesain berbagai energi untuk unit massa dan energi macam teknologi unit operasi. untuk unit operasi dalam proses bioproses. material biologi. LOE3 : Menggunakan 1. Komponen dan 1. Mendesain sistem pengetahuan dasar operasi operasi sistem mekanik untuk dan efisiensi pompa, heat mekanik. menangani biomassa. exchangers, conveyor, dan 2. Komponen heat 2. Mendesain heat exchangers dan exchanger untuk alat pengecilan ukuran 10 | Sejarah Perkembangan Teknik Biosistem

Spesialisasi : Teknik Bioproses Pengetahuan untuk setiap Capaian [a] Pembelajaran Capaian Pembelajaran Level 2 (Menengah) Level 3 (Lanjut) untuk aplikasi desain berbagai macam material biologi. bioproses. unit operasi. 3. Mendesain unit operasi untuk proses biomaterial. LOE4 : Menggunakan 1. Mendesain proses pengetahuan untuk 1. Dasar dan aplikasi secara lengkap. mengkonsepkan sistem berbagai macam 2. Mengidentifikasi unit dan proses yang unit operasi. operasi yang tepat berhubungan dengan 2. Kesetimbangan untuk tugas. langkah-langkah unit massa dan energi 3. Mendesain langkah operasi untuk mencapai untuk unit operasi. unit operasi untuk tugas yang diberikan dalam 3. Analisis ekonomi mencapai tugas. proses produksi nilai unit operasi. 4. Menampilkan analisis tambah material berbasisekonomi proses. bio. 1. Mengoptimalkan bioreaktor untuk peformansi yang 1. Parameter proses maksimal. dalam bioreaktor. 2. Mengoptimalkan LOE5 : Menggabungkan 2. Pengaruh bioreaktor untuk parameter yang parameter proses produksi produk terhadap output mempengaruhi proses berbasis-bio secara bioreaktor. dalam mendesain reaktor maksimal. enzim untuk memproduksi 3. Peran parameter 3. Memilih parameter proses terhadap berbagai macam produk proses untuk produksi berbasis-bio. optimalisasi proses. bioproduk yang 4. Menganalisis pengaruh dipilih. parameter proses terhadap performansi bioreaktor. 1. Cara-cara operasi 1. Macam-macam bioreactor. LOE6 : Mengaplikasikan reaksi dan laju 2. Dampak parameter proses dasar kinetika untuk reaksi. reaksi terhadap sistem mendesain fermentor dan 2. Peran enzim dalam mikroba. bioreaktor. reaksi. 3. Memantau parameter reaksi secara efektif Sejarah Perkembangan Teknik Biosistem | 11

Spesialisasi : Teknik Bioproses Pengetahuan untuk setiap Capaian [a] Pembelajaran Capaian Pembelajaran Level 2 (Menengah) Level 3 (Lanjut) LOE7 : Menggunakan 1. Alat simulasi untuk kreativitas dalam simulasi operasi 1. Memproses dan bioproses mengembangkan model kontrol proses sederhana. komputasi untuk simulasi menggunakan 2. Melakukan operasi bioproses sebagai software, misalnya scenario what if rantai penyokong nilai SuperPro. menggunakan tambah produk berbasismodel simulasi. bio 1. Asas-asas keberlanjutan (sustainability). 1. Pembelajaran kasus 2. Manajemen asasLOBE1 : Menggabungkan bioproses, misalnya asas bioremediasi, pengetahuan, mencakup biopolimer, biokimia, biodegradasi, dan interaksi biosistem dengan biofuel, farmasi, pengolahan limbah teknologi yang sehubungan pangan, dan makanan secara biologi. maupun ilmu yang lainnya, suplemen, dll. 3. Peran berdasarkan prinsip 2. Aplikasi teknik mikroorganisme berkelanjutan dan dampak metabolisme untuk dan pabrik dalam ekosistem menuju meningkatkan bioproses. pengembangan biorefinari. operasi bioproses. 4. Strategi dan teknologi untuk meminimalkan limbah. 1. Fungsi pemasaran 1. Perencanaan strategi yang berhubungan manajemen proses, dengan inovatif dan lingkungan, dan industri baru pemasaran. LOBE2 : Menunjukkan bioproses. 2. Mendesain pengetahuan dan perencanaan alat-alat pemahaman pertimbangan 2. Memimpin inisiasi untuk manajemen pasar dalam ekonomi, finansial, dan rantai pasokan produksi bioproduk komersial yang bioproduk, yang berkelanjutan. berhubungan untuk inovasi mengoptimalkan 3. Pengesahan produk, dan pemasaran produk proses produksi, dan manajemen kualitas, nilai tambah berbasis-bio. memodelkan proses dan pengaturan umum untuk masalah. kemajuan 4. Asas-asas fungsional 12 | Sejarah Perkembangan Teknik Biosistem

Spesialisasi : Teknik Bioproses Pengetahuan untuk setiap Capaian [a] Pembelajaran Capaian Pembelajaran Level 2 (Menengah) Level 3 (Lanjut) yang bersebangan berkelanjutan. dengan pendekatan 3. Metode kuantitatif untuk membuat tim untuk keputusan menyelesaikan berdasarkan situasi masalah. pasar pada masa sekarang dan peramalan permintaan masa depan. [a] LOB = biosystem learning outcome (capaian pembelajaran biosistem), LOE = engineering learning outcome (capaikan pembelajaran keteknikan/rekayasa), dan LOBE = integrated biosystems and engineering learning outcome (gabungan capaian pembelajaran biosistem dan keteknikan/rekayasa).

Sedangkan gambaran tentang capaian pembelajaran yang telah disusun oleh ERABEE, khususnya untuk spesialisasi bidang material berbasis-bio (bio-based material) tersaji pada Tabel 3. Tabel 3. Capaian spesialiasi Bio-based Material menurut ERABEE (Briassoulis et al. 2014) Spesialisasi : Material Berbasis-Bio Pengetahuan untuk setiap Capaian Capaian Pembelajaran Pembelajaran[a] Level 2 (Menengah) Level 3 (Lanjut) LOB1 : 1. Pengertian dan 1. Proses kimia fisik Mengevaluasi klasifikasi material biomaterial dan konsep produk berbasis-bio. interaksinya berbasis-bio dan 2. Teknologi untuk dengan organisme wawasan pada produksi bahan baku hidup. garis terdepan utama dan sifat fisik 2. Reaksi oksidasi produksi dan bahan baku yang enzim katalis dan penggunaan mempengaruhi laju biodegradasi. material berbasisproses produksi 3. Memahami bio, mencakup biomaterial. karakteristik pembuangan akhir 3. Memantau proses, biodegradasi atau daur ulang. kontrol, dan material, mencakup Sejarah Perkembangan Teknik Biosistem | 13

Spesialisasi : Material Berbasis-Bio Pengetahuan untuk setiap Capaian Capaian Pembelajaran Pembelajaran[a] Level 2 (Menengah) Level 3 (Lanjut) mengoptimalkan kondisi untuk hasil biomaterial. biodegradasi. 4. Co-produk 4. Tes standarisasi biomaterial dan untuk kemampuan produk sampingan biodegradasi : siap proses utama dibiodegradasikan, biomassa untuk bersifat biofuel dan biokimia. biodegradasi, dan 5. Komersialisasi tidak dapat formulasi material dibiodegradasikan. berbasis-bio dan 5. Standar untuk sebagian berbasismaterial dan bio. produk berbasisbio yang berkelanjutan. LOB2 : 1. Proses pemisahan 1. Mengoptimalkan Menggunakan yang selektif untuk proses untuk teknik isolasi bagian rekoveri produk pertimbangan bermanfaat dari lebih dari satu dari untuk bekerja bahan baku utama. biomassa pada dengan konsep 2. Footprint pengurangan biorefinari dan pengolahan air, beban lingkungan, langkah ektraktif efesiensi energi, oleh karena itu yang bersangkutan dampak lingkungan keberlanjutan untuk mendesain (kesehatan, ekonomi berbasissolusi yang mengandung racun, bio (misalnya melibatkan proses keamanan, dan biopolimer, bagian berbagai macam resiko). biopolimer, lemak, golongan 3. Recovery energi dari ektstraksi fitokimia, biomassa ke proses aliran limbah dll) dapat dicapai. dalam aneka unit proses dan 2. Menggabungkan warna bioproduk material, oleh karena rantai proses untuk dan biofuel yang itu meminimalkan melingkupi dapat dipasarkan. konsumsi sumber penangkapan dan 14 | Sejarah Perkembangan Teknik Biosistem

Spesialisasi : Material Berbasis-Bio Pengetahuan untuk setiap Capaian Capaian Pembelajaran Pembelajaran[a] Level 2 (Menengah) Level 3 (Lanjut) energi yang tidak penyimpanan dapat diperbarui. karbon, dan fitoremediasi proses limbah cair. LOB3 : 1. Dasar-dasar taksiran 1. Taksiran siklus Menggabungkan siklus hidup. hidup proses pengetahuan 2. Pengaturan produksi material faktor utama yang lingkungan dan berbasis-bio: berhubungan petunjuk yang sumber daya dengan dampak mengatur emisi hayati, produksi lingkungan dan proses siklus hidup. material, keberlanjutan dari 3. Konsep greenpembuatan, dan produksi berbagai chemistry untuk penggunaan hingga macam produk desain lingkungan pengolahan akhir. berbasis-bio dan yang ramah 2. Identifikasi dan rantai pasokannya. lingkungan dari evaluasi faktor dampak lingkungan proses dan produk yang tersembunyi, kimia. misalnya pemanasan global, penipisan ozon, pengasaman, eutrofikasi, penipisan sumber daya, racun, pembentukan asap, dll. 3. Tolak ukur produk atau peformansi proses hingga perubahan terbatas beban lingkungan antara unit operasi dalam langkahSejarah Perkembangan Teknik Biosistem | 15

Spesialisasi : Material Berbasis-Bio Pengetahuan untuk setiap Capaian Capaian Pembelajaran Pembelajaran[a] Level 2 (Menengah) Level 3 (Lanjut) langkah proses. LOE1 : 1. Hubungan antara 1. Memodelkan Menggunakan komposisi, sifat dan aplikasi pengetahuan dan struktur, dan sifat biomaterial dan pemahaman ilmu biomaterial, komposit. pengetahuan mencakup tanaman 2. Desain, material dan sifat pangan dan pengembangan, teknik material jaringan hewan. dan perawatan biologi untuk 2. Teknik pengetahuan mengaplikasikan karakterisasi dasar yang keduanya ke material secara in menyinggung dalam berbagai situ dan nonbiomaterial baru macam desain dan destruktif. maupun yang analisis aplikasi 3. Sifat-sifat sudah teknik. biomaterial, smart dikembangkan. material, dan ecomaterial, mencakup perlengkapan unuk dan karakteristik peformansi. LOE2 : 1. Komposisi, struktur, 1. Pengembangan Mengembangkan dan sifat-sifat alat-alat dan pemahaman yang industri, biologi, referensi prosedur luas tentang serta material dan pengukuran, teknik dan metode proses lingkungan. referensi material, yang dapat dipakai 2. Jarak, kepentingan, penilaian data untuk pengukuran dan keterbatasan kritis, dan petunjuk sifat mekanik, variabilitas material. praktek terbaik fisik, kimia, 3. Penggunaan sensor untuk pengukuran thermal, dan dan teknik yang jaminan kualitas. tepat untuk sumber elektromagnetik 2. Desain dan daya karakterisasi biomaterial untuk pengembangan dan optimalisasi evaluasi, sensor dan teknik hasil. pemilihan, dan yang tepat yang 16 | Sejarah Perkembangan Teknik Biosistem

Spesialisasi : Material Berbasis-Bio Pengetahuan untuk setiap Capaian Capaian Pembelajaran Pembelajaran[a] Level 2 (Menengah) Level 3 (Lanjut) penggunaan sifat berhubungan tersebut dalam untuk karakteristik teknik aplikasi sumber biomassa yang secara in-situ dan berhubungan. penggunaan produk sampingan untuk mengoptimalkan karakteristik yang diinginkan. 3. Mengoptimalkan sifat komposit biomaterial. LOE3 : 1. Keterbatasan 1. Pemetaan sumber Menggabungkan lingkungan dan daya hayati untuk pengetahuan keberlanjutan. pilihan kuantitas perbedaan cabang 2. Reaksi kimia dan dan pengguanaan. teknik dan bidang batas paparan 2. Industri reaksi lainnya untuk terhadap manusia kimia dalam proses mengatur sumber dan organisme biomaterial dan ketidakluasaan, lainnya untuk proses ektraksi produk masalah kesehatan material beracun dan sampingan. dan keamanan, emisinya. 3. Mendesain dan resiko yang 3. Prinsip penerapan konversi sumber berhubungan dan standar industri, material serta dengan masalah proses pemantauan serta kebutuhan terkait dengan dan kontrol. untuk aplikasinya produksi dan untuk material proses baku berbasis-bio. bahan. LOE4 : 1. Pengesahan konten 1. Teknik dan Mendesain dan berbasis-bio. produksi unit tingkah laku 2. Biodegradable. operasi biomaterial percobaan 3. Tolak ukur dan bioproduk. Sejarah Perkembangan Teknik Biosistem | 17

Spesialisasi : Material Berbasis-Bio Pengetahuan untuk setiap Capaian Capaian Pembelajaran Pembelajaran[a] Level 2 (Menengah) Level 3 (Lanjut) mengenai performansi 2. Perpindahan panas identifikasi, lingkungan. dan massa sebagai klasifikasi, 4. Identifikasi dan pengaplikasian karakterisasi, dan evaluasi masalah dan proses biomaterial. korelasi sifat urusan etik. 3. Penelitian industri struktur dengan biomaterial performansi dan komposit. melalui penggunaan metode analitik, alat-alat, dan teknik pemodelan. LOE5 : 1. Kebutuhan dan jarak 1. Pemurnian, Mendesain dan aplikasi biomaterial modifikasi, dan mengoptimalkan dalam pengemasan, performansi hasil proses struktur material, perbaikan rekoveri energi, dll. biomaterial. biomaterial, dan 2. Evaluasi kualitas dan 2. Pengembangan mempertinggi performansi produk teknologi untuk kualtias produk berbasis-biomaterial. peningkatan serta performansi 3. Nanoteknologi dan biodegradable dan dalam nanomanufaktur daur ulang ecopenggunaannya. sebagai efisiensi. pengaplikasian 3. Desain molecular biomaterial. dan teknologi manipulasi skala nano struktur biopolimer. 4. Standar nanoteknologi untuk karakteristik biomaterial untuk kesehatan, keamanan (beracun 18 | Sejarah Perkembangan Teknik Biosistem

Spesialisasi : Material Berbasis-Bio Pengetahuan untuk setiap Capaian Capaian Pembelajaran Pembelajaran[a] Level 2 (Menengah) Level 3 (Lanjut) atau potensi bahaya), dan kinerja lingkungan (penyaringan toksikologi) LOBE1 : 1. Dasar-dasar 1. Penelitian Menggabungkan keberlanjutan/sustai bioteknologi pengetahuan, nabilitas. lingkungan. mencakup 2. Pengolahan limbah 2. Pembelajaran kasus interaksi biosistem bioremediasi, produksi dengan teknologi biodegradasi, biomaterial, yang berhubungan biotranformasi, dan misalnya dan ilmu atau biologi. biodegradasi profesi lainnya, 3. Peran kultur jaringan polimer, berdasarkan pada dan teknik genetika biopestisida, prinsip dalam sintesis pembangkit berkelanjutan, biomaterial. biofuel, biosintesis eco-efisiensi, 4. Strategi dan enzim deterjen, industri ekologi, teknologi untuk surfaktan, pewarna dan green pencegahan limbah alami, pangan, chemistry untuk dan meminimalkan makanan berbagai macam proses yang suplemen, dll. desain dan analisis membutuhkan 3. Metode dan aplikasi teknik energi. aplikasi sintesis biosistem. untuk perancang biomaterial dengan sifat fisik yang unik. LOBE2 : 1. Pemasaran kegunaan 1. Perencanaan Menggunakan yang berhubungan strategi produk dan pengetahuan dan dengan inovatif dan manajemen pemahaman kemunculan lingkungan pasar. pertimbangan biomaterial dan 2. Desain ekonomi, produk industri perencanaan alatSejarah Perkembangan Teknik Biosistem | 19

Spesialisasi : Material Berbasis-Bio Pengetahuan untuk setiap Capaian Capaian Pembelajaran Pembelajaran[a] Level 2 (Menengah) Level 3 (Lanjut) finansial, berbasis-bio. alat untuk institusional, dan 2. Memimpin inisatif manajemen rantai komersional pasar dalam pasok biomaterial, untuk inovasi dan pembangunan pengoptimalan pemasaran berkelanjutan, tekstil proses produksi, material produk yang terlindungi, dan pemodelan berbasis-bio. jerami agrikultur, proses umum daur ulang (tas untuk sampah dan tas pengembangan belanja), energi yang yang berkelanjutan. dapat diperbarui, dll. 3. Metode kuantitatif 3. Pengesahan produk, untuk membuat manajemen kualitas, keputusan dan pengaturan berdasarkan situasi masalah. pasar pada masa 4. Asas-asas fungsional sekarang dan yang berseberangan peramalan dengan pendekatan permintaan pasar tim untuk masa depan. menyelesaikan masalah. [a] LOB = capaian pembelajaran biosistem, LOE = capaikan pembelajaran keteknikan/rekayasa, dan LOBE = gabungan capaian pembelajaran biosistem dan keteknikan/rekayasa. Atas capaian pembelajaran yang dirumuskan oleh ERABEE di Eropa dan ASABE di Amerika Serikat itulah, maka cakupan kajian biomaterial dan bioproduk pada keilmuan Teknik Biosistem dirumuskan. 1.5 Teknik Pertanian dan Biosistem di Indonesia Secara umum, cakupan kajian program Teknik Pertanian tradisional adalah meliputi mekanisasi pertanian, pertanian presisi, pangan, sumberdaya tanah dan air. Para mahasiswa pada bidang Teknik Pertanian tradisional ini dididik untuk menggunakan prinsip-prinsip ilmiah untuk 20 | Sejarah Perkembangan Teknik Biosistem

merancang sistem dan peralatan yang digunakan untuk mengatur berbagai sumberdaya untuk menghasilkan pangan dan pakan, dengan jalan menurunkan kebutuhan tenaga kerja (meningkatkan penggunaan mesin yang tidak padat karya), meningkatkan produktivitas dan melejitkan standar hidup para petani. Sedang Teknik Biosistem telah melebarkan bidang kajiannya melebihi dari Teknik Pertanian tradisional, dengan menerapkan prinsip rekayasa untuk memecahkan masalah terkait sistem hayati (biologi) dan medis. Pada umumnya kajian Teknik Biosistem meliputi aspek rekayasa biomedis, pangan dan teknologi bioproses, kontrol dan instrumentasi, serta teknik lingkungan. Di luar Eropa dan Amerika Serikat, pada umumnya Teknik Pertanian masih terbatas pada pengertian tradisional: mekanisasi pertanian, pengolahan pangan dan keteknikan tanah dan air. Persoalan yang menimpa penyelenggara program Teknik Pertanian tradisional di Amerika Serikat pada sekitar tahun 1980-an juga melanda di negara-negara berkembang (lihat Gambar 1). Kompetisi di dunia kerja sedemikian tinggi, ditambah dengan menurunnya usaha tani karena industrialisasi, urbanisasi dan masalah sosial ekonomi lain, membuat daya saing lulusan Teknik Pertanian ini semakin rendah di banyak negara berkembang. Para lulusan Teknik Pertanian tradisional yang memiliki spesialisasi pada mesin-mesin pertanian harus berkompetisi dengan para lulusan teknik mesin murni. Spesialis sumber daya air harus berkompetisi dengan teknik sipil, dengan spesialis pengolahan pangan dan hasil pertanian harus berkompetisi dengan teknik kimia. Masih sangat sedikit penyelenggara program Teknik Pertanian di negara-negara berkembang yang mengembangkan kajian keilmuan teknik bioproses dan teknik biomedik, dimana kedua hal itu akan mampu mengantarkan para lulusan Teknik Pertanian untuk berkompetisi dengan para lulusan bidang teknik yang lain. Padahal pertanian (dalam arti luas) memberikan peluang kajian yang lebih luas dari sekedar mekanisasi dan proses on-farm maupun off-farm/post-farm. Kondisi ini terjadi di negara berkembang seperti India (Fernando et al. 2006). Di Indonesia, geliat untuk meluasnya cakupan Teknik Pertanian tradisional mulai juga dirasakan. Di Institut Pertanian Bogor misalnya, Jurusan Mekanisasi Pertanian telah bermetamorfosa menjadi Jurusan Teknik Pertanian, dan kemudian berkembang menjadi 2 departemen baru yaitu Departemen Teknik Mesin dan Biosistem serta Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan. Di Universitas Gajah Mada, metamorfosa itu tidak menghasilkan pemecahan departemen namun penggantian nama menjadi Sejarah Perkembangan Teknik Biosistem | 21

Departemen Teknik Pertanian dan Biosistem. Di Universitas Brawijaya, Teknik Pertanian masih menjadi nama jurusan/departemen namun program studi sarjana yang ditawarkan telah bertambah menjadi 3 program studi, yaitu program studi Teknik Pertanian (mekanisasi pertanian dan pertanian presisi), Teknik Lingkungan dan Teknologi Bioproses. Sementara itu di banyak universitas lain penyenggara bidang teknik pertanian ini masih memakai nama dan kurikulum awal Teknik Pertanian. Asosiasi yang memayungi bidang ini juga masih memakai nama PERTETA (Perhimpunan Teknik Pertanian Indonesia). Kajian terhadap perkembangan bidang Teknik Pertanian di seluruh dunia (Fernando et al. 2006, Wall 2006), menyarankan adanya penyesuaian kurikulum Teknik Pertanian tradisional dengan semakin modern-nya sistem pertanian. Konsep pertanian modern digambarkan sebagai agri-food system yang mencakup sarana produksi pertanian, produksi tanaman dan hewan (on-farm production), pengolahan hasil pertanian (post-farm processing), penyimpangan, penanganan dan penyaluran hasil produksi kepada konsumen sebagai end-user, termasuk komitmen untuk menemukan produk baru atau memperbesar nilai tambah produk melalui teknologi bioproses (Wall 2006). Pengembangan teknik biosistem di negara berkembang seperti di Indonesia, bisa didekati dengan 2 model pendekatan (Fernando et al. 2006). Model pertama dengan menjadikan teknik pertanian, teknik biosistem, teknik biomedik, dan teknik kimia dikembangkan pada program yang berbeda dan diselenggarakan secara paralel dengan komitmen untuk kemajuan bersama dan saling menguntungkan. Sedangkan model kedua adalah dengan menanamkan akar kurikulum dari berbagai bidang keilmuan (termasuk teknik kimia, teknik mesin, ilmu biomedik, biologi molekuler dsb.) ke dalam unit baru yang akan menjadi benih bagi lahirnya bidang baru teknik biologi atau teknik biosistem.

22 | Sejarah Perkembangan Teknik Biosistem

BAB II

BIOMATERIAL DAN BIOPRODUK 2.1 Definisi Biomaterial Biomaterial memiliki definisi yang bisa didekati dengan dua pendekatan dan cara pandang (lihat Gambar 6), yaitu menurut ilmu teknik biosistem (Agricultural and Biosystems Engineering) dan menurut ilmu teknik biologi (Chemical and Biological Engineering). Menurut ilmu teknik biosistem, biomaterial didefinisikan sebagai material berbasis biomassa atau merupakan material biologis yang memiliki nilai tambah dan dimanfaatkan baik dalam bidang pangan, energi dan kesehatan. Biomaterial dalam kategori ini bisa disebut juga sebagai bioproduk, yaitu produk pangan, energi dan kesehatan yang berbasis bahan biologis atau biomassa. Beberapa biomaterial yang termasuk pada kategori ini misalnya, kayu, umbi, bijian, serat, produk hewani yang diubah menjadi biofuel, biooil, biodiesel, bioetanol, biochar, dan bioplastik.

Gambar 5 Penggunaan logam sebagai biomaterial pada pembuluh koroner jantung (Image courtesy Nucleus Medical Media). Sedangkan dalam bidang teknik biologi, biomaterial adalah segala jenis material baik bahan alami maupun buatan manusia yang digunakan untuk menggantikan sebagian atau keseluruhan organ atau struktur hidup atau perangkat biomedik yang berfungsi, mendukung, atau menggantikan fungsi alami organ hidup. Beberapa biomaterial dalam kategori ini adalah semua jenis material dari jenis logam, polimer, keramik atau komposit yang 23

dimanfaatkan untuk interaksi dengan jaringan hidup. Sifat paling utama dari material yang dipakai untuk tujuan tersebut adalah sifat biokompatibitas, yaitu kesesuaian fungsi dalam interaksinya dengan jaringan hidup, tanpa memicu terjadinya reaksi samping yang merugikan jaringan hidup tersebut. Misalnya penggunaan logam jenis tertentu yang dipakai sebagai pembuka pembuluh koroner jantung yang terhambat oleh timbunan lemak atau yang lain, adalah contoh biomaterial dalam kategori ini.

Gambar 6 Biomaterial menurut ilmu rekayasa biosistem (bioproduk) dan rekayasa biologi. Selain penggolongan yang berbeda (distinctive) tersebut, terdapat irisan yang bisa mempertemukan kajian biomaterial dalam kedua bidang tersebut. Biomaterial dalam kategori pertama (bioproduk) juga bisa dimanfaatkan sebagai bahan dalam biomaterial dalam kategori yang kedua (lihat Gambar 6). Contoh dari jenis biomaterial ini adalah biokeramik. Biokeramik adalah material jenis keramik yang dihasilkan dari sintesis kalsium dari bahan hidup. Biokeramik pada umumnya mengandung tri kalsium fosfat atau hydroxyapatite, dan bisa dibuat dari bahan-bahan alam dari hewan dan tumbuhan yang banyak mengandung kalsium. Biokeramik bisa disintesi misalnya dari produk hasil kelautan seperti sisik ikan, cangkang udang, cangkang rajungan atau produk hasil peternakan seperti tulang sapi. Biokeramik bisa dimanfaatkan sebagai bahan implan gigi ataupun pengganti tulang (Gambar 7). 24 | Biomaterial Dan Bioproduk

Gambar 7 Biokeramik untuk implan gigi, berasal dari hydroxyapatite (Carlos et al. 2014). 2.2 Biomaterial dan Bioproduk dalam Biorefinari Dalam pemahaman Teknik Biosistem, biomaterial adalah produk turunan dari biomassa. Biomassa sendiri merepresentasikan sumberdaya terbarukan yang memiliki net zero carbon footprint atau carbon-neutral. Artinya jumlah karbon yang dilepaskan ke lingkungan pada pemanfaatan biomassa (carbon release) sama dengan jumlah karbon yang diserap (carbon sequestration). Penggunaan istilah ini dalam konteks bahwa CO2 yang dihasilkan pada proses produksi energi, transportasi atau industri, akan diserap oleh penghasil biomassa, misalnya tanaman dan hutan.

Gambar 8 Integrasi antara siklus pertanian-biofuel-biomaterial-biopower untuk teknologi berkelanjutan (Ragauskas et al. 2006). Biomaterial Dan Bioproduk | 25

Biomassa memiliki potensi yang sangat besar sebagai sumber bagi produksi bioenergi, biopower dan biomaterial untuk memenuhi kebutuhan manusia (lihat Gambar 8). Perkembangan teknologi dalam ilmu genetik, bioteknologi, proses kimia dan rekayasa memungkinkan untuk menghasilkan konsep konversi biomassa menjadi bahan bakar dan produk yang bernilai tinggi, melewati proses yang dikenal dengan sebutan Biorefinari. Dalam perkembangan teknologi biorefinari saat ini, telah mulai muncul produk komersial yang siap berkompetisi untuk kebutuhan pasar, misalnya biodiesel dan bioetanol. Dukungan teknologi maju dan kebijakan yang tepat akan mampu mengantarkan pada perubahan di dalam penggunaan sumber daya alam dengan konsep integrasi total dari sumber daya tanaman yang inovatif, sintesis dari biomaterial, dan generasi baru biofuels dan biopower (Ragauskas et al. 2006). Sumber daya tanaman yang inovatif maksudnya adalah upaya inovatif untuk meningkatkan produksi biomassa dengan faktor pengali dua atau lebih. Inovasi yang dilakukan melalui berbagai penelitian untuk meningkatkan efisiensi dan produksi biomassa misalnya(Ragauskas et al. 2006): •

• •

• • •

Peningkatan produksi biomassa per satu satuan luas dengan menurunkan persepsi dari lingkungan terdekat dengan manipulasi respon fotomorfogenik dari fitokrom merah/merah jauh menggunakan sistem persepsi cahaya. Meningkatkan proses fotosintesis dengan optimisasi respon fotoperiodik dan arsitektur daun. Meningkatkan resistensi tanaman terhadap hama dan penyakit, toleransi terhadap kekeringan dan perubahan suhu ekstrim, serta sterilisasi bunga. Penundaan pelayuan daun dan dormansi tanaman. Peningkatan efisiensi akar dan memaksimalkan biomassa yang tumbuh diatas tanah. Optimalisasi penggunaan nitrogen.

2.3 Potensi Biomaterial dan Bioproduk Indonesia Indonesia memiliki sumber biomassa yang sangat melimpah dengan jenis yang sangat beragam. Sektor kelautan misalnya, memberikan potensi hasil laut yang menjadikan Indonesia termasuk ke dalam salah satu negara pengekspor hasil perikanan terbesar di dunia. Berdasarkan data 26 | Biomaterial Dan Bioproduk

Kementerian Kelautan dan Perikanan pada tahun 2014 produksi perikanan di Indonesia dari tahun 2009 hingga 2014 mengalami kenaikan yang cukup signifikan yaitu dari 9.817.000 ton/tahun pada tahun 2009 meningkat menjadi 20.722.000 ton/tahun pada tahun 2014 (Gambar 9). Industri pengolahan perikanan umumnya memproduksi ikan dalam kemasan kaleng maupun ikan filet, dimana pada proses pengolahan dihasilkan limbah tulang dan sisik ikan yang cukup banyak. Biasanya sisik ikan hanya dibuang atau dijadikan sebagai bahan campuran pakan ternak. Sisik ikan sebagai byproduct memiliki kandungan kolagen serta kalsium fosfat yang tinggi (Kongsri et al. 2013). Kalsium fosfat merupakan komponen utama senyawa biokeramik (John et al. 2003). Biokeramik ini merupakan salah satu jenis biomaterial yang bisa dipergunakan untuk aplikasi di bidang biomedis. Potensi bio-waste ini bisa dikembangkan untuk bahan baru yang memiliki nilai ekonomis yang jauh lebih besar.

Gambar 9 Produksi sektor perikanan di Indonesia 2011-2014. (Febriyanti, 2016) Sektor perkebunan Indonesia, memberikan potensi sebagai penghasil kelapa sawit terbesar di dunia. Industri sawit ini juga menghasilkan by-product dalam proses pengolahannya menjadi minyak, yaitu salah satunya adalah Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS). Menurut BPTP Jambi, limbah TKKS di Indonesia mencapai 6 (enam) juta ton setiap tahun. Selama ini pemanfaatan yang umum dilakukan adalah dengan menjadikanya mulsa di kebun atau sebagai pupuk melalui proses pengomposan. TKKS memiliki kandungan selulosa dan hemiselulosa Biomaterial Dan Bioproduk | 27

berkisar antara 62-64%. Kedua kandungan tersebut 3 memiliki kemampuan adsorpsi udara dan air yang baik. Sintesis selulosa dari limbah sawit ini bisa dikembangkan menjadi nanofiber yang bisa dipergunakan sebagai bio-absorber yang bisa dimanfaatkan untuk menyerap berbagai polusi air maupun udara. Hal ini tentu saja akan menjadi peluang untuk meningkatkan nilai tambah bagi bio-waste kelapa sawit.

28 | Biomaterial Dan Bioproduk

BAB III

KARAKTERISASI BIOMATERIAL DAN BIOPRODUK Dalam sintesis dan pemanfaatan biomaterial dan bioproduk, dibutuhkan informasi yang akurat dan terukur tentang kualitas biomaterial dan bioproduk yang dihasilkan. Beberapa instrumen yang penting untuk karakterisasi sifat dari biomaterial dan bioproduk dipaparkan pada bab ini. Diantara instrumen yang penting untuk diketahui adalah SEM, TEM, AFM, CLSM, OCT, FTIR, XRD, XRF, dan PSA. 3.1 Scanning Electron Microscopy (SEM) Setelah penemuan mikroskop cahaya van Leuwenhoek pada tahun 1669, Henry Clifton Sorby pada tahun 1863 meneliti lapisan tipis pada batuan dan mineral menggunakan mikroskop transmisi cahaya, selanjutnya pada tahun 1863 meneliti tentang kerusakan rel kereta api menggunakan mikroskop cahaya. Berawal dari penelitian Sorby, mikroskop berkembang di bidang metalurgi serta digunakan untuk karakterisasi material. Mikroskop cahaya konvensional memiliki batas perbesaran sekitar 1000x. Bruche pada tahun 1933 melakukan penelitian penyinaran cahaya ultraviolet pada logam padat yang dilapisi electron. Gambar permukaan logam yang dihasilkan lebih detail jika dibandingkan dengan menggunakan mikroskop cahaya. Bersamaan dengan itu Bruche menjadi pelopor pondasi transmission electron microscop (TEM) dan scanning electron microscop (SEM). Baik TEM maupun SEM diawali dengan alat intrumentasi emisi elektron yang dikembangkan E. Bruche dan H. Johannson. Model SEM berkembang pesat antara tahun 1937 dan 1942, walaupun komersialisasinya tidak berjalan begitu baik sampai tahun 1960 (Murr 2009). Gambar 10 menunjukkan perbedaan prinsip kerja TEM dan mikroskop cahaya (a), serta prinsip kerja SEM (b).

29

Gambar 10 (a) Perbandingan prinsip kerja TEM dan mikroskop cahaya. (b) Prinsip kerja SEM: (S) backscattered electron, (B) absorbed electron, (A) Amplication (Murr 2009).

Secara umum, perbedaan antara SEM dan TEM digambarkan pada Gambar 11. Pada SEM elektron yang mengenai sampel berupa backscaterred electron dan secondary electron terpantul menuju detektor sedangkan pada TEM, elektron tertransmisi menuju detektor. Kelebihan SEM dibandingkan dengan mikroskop cahaya (VernonParry 2000): a. Jangkauan kedalaman SEM tinggi, sehingga sebagian besar permukaan akan terdeteksi walaupun permukaannya kasar. Mikroskop cahaya jangkauan kedalamannya kecil, sehingga kehalusan permukaan sangat mempengaruhi hasil. b. Perbesaran SEM hingga 1.000.000x dengan resolusi 1 nm, sedangkam perbesaran mikroskop cahaya hanya mencapai 1000x c. SEM tidak hanya mengidentifikasi topologi permukaan, namun SEM mampu mengidentifikasi struktur kristal, komposisi kimia, dan sifal elektris material. Kelebihan SEM dibandingkan dengan TEM (Suga et al. 2014, Vernon-Parry 2000): a. Diameter bahan uji SEM mencapai 200 mm, sedangkan TEM hanya 2,3 sampai 3 mm. b. SEM merupakan teknik analisis non-destructive, sedangkan TEM menggunakan teknik yang destructive terhadap bahan uji. 30 | Karakterisasi Biomaterial Dan Bioproduk

c.

Pengoperasian SEM hanya beberapa detik saja, sedangkan TEM lebih kompleks dan membutuhkan waktu lebih lama.

Gambar 11 Skema prosedur kerja dari SEM dan TEM (adaptasi dari S.Y. Park 2014).

Pada Gambar 12, digambarkan prinsip kerja dari SEM, yaitu Gambar 12 (a) menggambarkan probe elektron akan menscan sampel berdasarkan sumbu scanning X dan Y. Interaksi antara probe elektron dan sampel akan menghasilkan berbagai jenis emisi. Emisi inilah yang kemudian ditangkap oleh detector yang ditempatkan di tempat yang tepat. Gambar 12 (b) menunjukkan hasil informasi komposisi dari mendeteksi karakteristik X-rays dengan mengggunakan detector X-ray (Suga et al. 2014).

Karakterisasi Biomaterial Dan Bioproduk | 31

Gambar 12 (a) Pemindaian elektron di seluruh sampel dan sinyal yang dipancarkan ditransfer pada monitor sebagai posisi elektron, (b) Spektrum energi yang dipancarkan dari secondary electron (SEs) hingga elastic scattered electron yang direfleksikan (Suga et al. 2014).

Energi elektron yang dikeluarkan oleh penembak elektron (electron gun) sebesar 2-40 keV. Berikut adalah beberapa penembak elektron (electron gun) yang umumnya digunakan (Vernon-Parry 2000) : a. Filamen tungsten hairpin yang dipanaskan lebih dari 2500oC, sehingga emisi termal elektron dapat diproduksi dari ujungnya. b. Fungsi kerja filamen Lantanum Hexaboride (LaB6) lebih rendah dari tungsten, sehingga memiliki keuntungan arus sinar maksimum yang lebih besar. Filamen ini memiliki umur pakai yang relative lebih lama, namun harganya lebih mahal. c. Field emission gun juga dikenal sebagai cold cathode karena tidak dipanaskan. Field emission gun menghasilkan sinar yang lebih terang. Penyimpangan energi elektron sangat kecil dengan menerapkan medan listrik pada ujung tajam dengan sempurna sampai aliran mekanik elektron terjadi. Lensa kondensor elektromagnetik melakukan pengecilan sinar elektron ke dalam probe yang mana akan discan dengan scan coils pada area tertentu dari permukaan bahan uji. Elektron dalam volume tetesan air akan menembus bahan uji yang keseluruhan dimensinya ditentukan oleh energi elektron, massa atom elemen yang berada dalam bahan uji, dan sudut penembakan elektron pada bahan uji. Kedalaman penetrasi meningkat seiring dengan tingginya energi elektron yang ditembakkan, sudut penembakan, dan massa atom. Secondary electron, backscattered dan auger electron, dan x-rays dihasilkan dari interaksi elektron (seperti terlihat pada Gambar 13) dengan bahan uji yang kemudian akan dikumpulkan oleh 32 | Karakterisasi Biomaterial Dan Bioproduk

berbagai jenis detector dalam ruang bahan uji. Masing-masing detektor akan mengirimkan sinyal pada monitor yang mana sudah tersinkronisasi dengan sinar elektron. Rasio panjang monitor dengan panjang raster pada bahan uji menentukan pembesaran gambar yang dihasilkan. Resolusi terbaik secondary electron sebesar 1 nm.(Vernon-Parry 2000).

Gambar 13 Interaksi antara elektron dan bahan uji (Vernon-Parry 2000).

Beberapa sinyal yang dihasilkan dari bahan uji dikumpulkan dan digunakan untuk membentuk gambar. Gambar 13 menunjukkan volume interaksi yang menghasilkan sinyal, berikut adalah ulasan pada mode pencitraan yang berlaku secara khusus pada bahan semi konduktor (Vernon-Parry 2000): a. Citra secondary electron (SE) SE adalah elektron yang lepas dari bahan uji, SE mengandung energi di bawah 50 eV. Sebagian besar dari SE terlempar keluar dari orbit atom oleh elektron yang ditembakkan. Inilah yang menghasilkan gambar spasial dengan resolusi tertinggi. b. Citra backscattered electron (BSE) BSE merupakan elektron yang mendekati inti atom. BSE jumlahnya tidak sebanyak SE, namun energi yang dimiliki lebih tinggi. Gambar BSE memiliki resolusi yang lebih kecil dibandingkan dengan gambar SE, hal ini dikarenakan BSE berada lebih dalam (mendekati inti atom) sehingga menimbulkan sinyal yang lebih besar dari probe. Sebagian besar BSE dapat menghasilkan informasi komposisi yaitu kontras cerah dihasilkan dari elemen massa atom yang lebih tinggi, serta informasi mengenai kristalografi. Karakterisasi Biomaterial Dan Bioproduk | 33

c. Electron beam induced current (EBIC) Ratusan pasangan lubang elektron pada bahan uji akan terbentuk dari satu tembakan elektron. Ratusan pasangan lubang elektron dan elektron bergabung kembali normalnya selama 10-12 detik. Namun, apabila medan listrik memisahkan elektron dan lubangnya sebelum mereka sempat kembali maka aliran arus induksi akan membentuk gambar EBIC. Besarnya arus listrik setiap titik tergantung dengan besarnya konduktifitas bahan uji pada titik tersebut, usia elektron dan lubangnya, dan mobilitasnya. Teknik ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi titik kerusakan pada alat. d. Cathodoluminescence (CL) Elektron memancarkan cahaya ketika elektron dan lubang elektron bergabung kembali. Selisih energi band energi bahan uji ditentukan oleh panjang gelombang. Sinyal melewati spectrometer sebelum diukur oleh detektor yang cocok. Teknik ini sangat cocok untuk mengidentifikasi kecacatan pada bahan uji. Sinyal CL berasal dari seluruh interaksi tembakan elektron, sehingga memiliki resolusi sekitar 1 µm. e. Citra voltages-contrast Ada atau tidak adanya tegangan yang melalui semikonduktor tentunya akan menghasilkan gambar SE yang berbeda. Tegangan mengembangkan jarak lintas area aktif, oleh karena itu jumlah SE pada area itu juga berubah. Beberapa elektron bisa lolos dari area aktif dimana tegangan negatif berkembang, sehingga akan menampakan area lebih terang dimana tegangan positif berkembang. f.

Elektron auger dan x-rays Elektron auger terpancar dari lapisan atom yang dekat dengan permukaan, oleh karena itu elektron auger inilah yang akan memberikan informasi mengenai susunan kimia permukaan bahan uji. Pengaplikasian citra auger elektronik membutuhkan detektor dan alat yang mutakhir, hal ini dikarenakan sedikitnya jumlah elektron auger dan dibutuhkan pengukuran presisi untuk mengetahui energinya.

Informasi tentang komposisi kimia bahan uji dihasilkan dari pengukuran energi atau panjang gelombang x-rays. Interaksi elektron dengan bahan uji memancarkan karakteristik x-rays dari keseluruhan bagian bahan uji, sehingga resolusi tidak lebih baik dari 1 µm. Pancaran xrays dapat dideteksi baik dengan energi dispersif spektrometer maupun dengan panjang gelombang dispersif spektrometer. Umumnya energy 34 | Karakterisasi Biomaterial Dan Bioproduk

dispersive x-ray spectroscopy (EDS atau EDX) digunakan sebagai instrumen pelengkap SEM. Hal ini dikarenakan dapat menganalisis bahan uji secara kualitatif secara cepat. Namun, keakuratan mikroanalisis dapat diperoleh dari wavelength dispersive spectrometer. Electron Microprober merupakan gabungan dari SEM dengan wavelength dispersive spectrometer, dan sangat sesuai untuk analisis kimia. SEM dapat digunakan untuk berbagai macam aplikasi dalam berbagai bidang. Misalnya Suga dkk (Suga et al. 2014) menjelaskan penerapan SEM untuk karakterisasi IRMOF. MOFs merupakan gabungan dari material anorganik dan organik. MOF memiliki pori yang sangat besar, sehingga konektivitas antara pori dan permukaan dapat diperoleh dari analisis SEM (Gambar 14).

Gambar 14 Gambar IRMOF, (kiri) skema gambar tangan, (tengah) gambar hasil TEM, (kanan) gambar hasil SEM. Diameter pori 3.5 nm (Suga et al. 2014).

Penerapan yang lain adalah penggunaan SEM untuk karakterisasi TiO2. Sintesis chiral nano fiber TiO2 dengan aktivitas optik berbasis elektron transisi melalui transkripsi struktur heliks asam amino berhasil dilakukan dengan panjang chiralnya 25 nm dan lebarnya 100 nm (Suga et al. 2014). Dengan ukuran tersebut sangat sulit menggunakan SEM untuk mengidentifikasi morfologi heliks, maka morfologi dapat terdeteksi dengan HRSEM (high resolution SEM) dengan mengaplikasikan high column energy dan low landing energy melalui pengaplikasian bias bahan uji (Gambar 15).

Karakterisasi Biomaterial Dan Bioproduk | 35

Gambar 15 Helikal TiO2 (a & b) gambar hasil HRSEM dengan landing energy 500eV, sampel bias 2 kV, diameter 3mm (c) gambar hasil HRSEM dengan accelerating voltage 200 kV (d) gambar skema (e) gambar hasil HRSEM dengan landing energy 1 keV, sampel bias -2 kV, diameter 2.2 mm (f) gambar HRSEM dengan accelerating voltage 200 kV (g) gambar skema (Suga et al. 2014).

SEM juga dipakai untuk karakterisasi silica crystal (SBA-15) (Suga et al. 2014). SBA-15 merupakan partikel yang berbentuk 2-D heksagonal. Kristal yang terbentuk memiliki porositas yang sangat kompleks dengan pori-pori yang menembus dinding silika. Serapan nitrogen dapat memberikan informasi mengenai karakterisrik berpori dari bahan mesopori, namun teknik yang digunakan adalah observasi langsung. HRSEM dapat digunakan untuk karakterisasi pori SBA-15. Baik mikropori inter channel maupun plug dapat diamati (Gambar 16).

36 | Karakterisasi Biomaterial Dan Bioproduk

Gambar 16 Gambar SBA-15 dengan HRSEM (a) specimen bias = -2kV, (b) specimen bias = -5 kV, (c) landing energy = 300 ev dan specimen bias = - kV, (d) perbesaran dari gambar c (Suga et al. 2014).

Penerapan SEM dalam bidang biomaterial dan bioproduk misalnya dilakukan oleh penulis (Wibisono et al. 2015a), yang menggunakan SEM untuk mendeteksi adanya penempelan koloni bakteri pada permukaan membran nanofiltrasi yang digunakan untuk penyaringan air (Gambar 17). Dengan menggunakan SEM, bisa dibuktikan adanya biofouling yang menempel pada permukaan membran dan spacer umpan. Bahkan pada pembesaran tertentu, nampak adanya koloni bakteri berbentuk batang dengan panjang 1-2 µm yang menempel pada permukaan membran nanofiltrasi (Gambar 17 C2).

Karakterisasi Biomaterial Dan Bioproduk | 37

Gambar 17 Gambar SEM dari biofouling yang menempel di permukaan membran nanofiltrasi pada proses membran untuk pengolahan air minum. Pada gambar C2 nampak koloni bacteria berbentuk batang berukuran panjang sekitar 12 µm (Wibisono et al. 2015a) .

3.2 Transmission Electron Microscopy (TEM) TEM merupakan mikroskop dengan memanfaatkan elektron dapat menggambarkan mikrostruktur, kualitas kristal, dan kecacatan pada bahan uji. Teknik analisis energy dispersive x-rays, auger spectroscopy, dan electron energy loss spectroscopy (EELS) dapat menghasilkan citra seperti kristal simetri dan pola geometris bahan uji. Selain itu penggunaan TEM pada bahan uji yang berlapis mampu menghasilkan informasi mengenai ketebalan setiap lapisan, serta komposisinya. Kemampuan operator sangat mempengaruhi pembacaan hasil citra TEM. Analisis TEM hanya dapat menganalisis sebagian kecil dari bahan uji, oleh karena itu diperlukan teknik lainnya seperti XRD untuk melengkapi TEM. Karena bisa jadi sebagian kecil area tersebut tidak representatif (Vernon-Parry and Wright 2000). Prinsip operasi TEM adalah sebagai berikut. Electron gun yang digunakan menghasilkan tembakan elektron dengan spesifikasi energi sebesar 100-1000 keV. Tembakan elektron diarahkan ke bawah kolom evakuasi melalui rangkaian lensa elektromagnetik yang terletak di atas dan 38 | Karakterisasi Biomaterial Dan Bioproduk

di bawah bahan uji. Bahan uji tersebut dimasukkan melalui airlock. Gambar terbentuk difraksi sebaran dari tembakan elektron yang dapat dilihat dengan berbagai teknik. Gambar 18 menunjukan jalur optik pada TEM dalam pembentukkan gambar dan pola difraksi. Resolusi spasial yang dapat dicapai TEM adalah 0.2 nm.

Gambar 18 Diagram sinar pada TEM (a) ilustrasi (b) area difraksi yang dipilih.(Vernon-Parry and Wright 2000)

Difraksi akan terjadi ketika elektron mengenai struktur kristalin. Kondisi ini dijelaskan oleh persamaan Bragg (Gambar 19) : n = 2d sin dimana adalah panjang gelombang elektron, d adalah jarak difraksi, dan adalah sudut antara tembakan elektron dan bidang bahan uji.

Karakterisasi Biomaterial Dan Bioproduk | 39

Gambar 19. Ilustrasi persamaan Bragg (Vernon-Parry and Wright 2000)

Terdapat 3 mekanisme dalam pembentukan citra gambar pada TEM, yaitu saat terjadi perbedaan absorpsi, difraksi, dan fase (VernonParry and Wright 2000): a. Perbedaan absorpsi Perbedaan kontras juga disebut sebagai perbedaan ketebalan massa. Apabila bahan uji memiliki ketebalan dan masaa atom yang berbeda maka timbullah perbedaan absorpsi. Perbedaan absorpsi akan selalu muncul pada gambar, walaupun perbedaan mekanisme lainnya mendominasi. Perbedaan absopsi sangatlah penting dalam semikonduktor mikroskop elektron seiring dengan meningkatnya kerumitan struktur. b. Perbedaan difraksi Perbedaan difraksi juga disebut dengan perbedaan amplitudo. Perbedaan ini diperoleh dengan menggunakan satu sinar untuk menghasilkan citra. Sinar elektron dimiringkan sehingga citra sinar terletak di sepanjang axis TEM dan lobang kecil bidik kamera dimasukkan ke dalam belakang bidang lensa objektif (Gambar 18). Citra akan terbentuk hanya dari sinar elektron yang ditembakkan. Apabila sinar langsung dipilih, maka gambar bidang terang akan terbentuk. Daerah bahan uji pada kondisi Bragg (difraksi elektron 40 | Karakterisasi Biomaterial Dan Bioproduk

sangat kuat) tampak gelap. Apabila gambar terbentuk dari bidang gelap maka area Bragg tampak cerah. c. Perbedaan fase Pembentukan gambar dengan menggunakan perbedaan fase dibutuhkan lebih dari satu sinar elektron yang melewati lensa objektif. Gabungan antara beberapa sinar membentuk gambar kisi (lattice), teknik ini biasa disebut dengan high resolution electron microscopy (HREM). Kerumitan system HREM kemudian memunculkan ide untuk mengembangkan gambar lattice ke dalam scanning transmission electron microscope (STEM) dengan menggunakan hamburan high angle incoherent. STEM berbeda dengan TEM yang biasanya banyak digunakan. Elektron dengan kecerahan tinggi difokuskan pada probe. Elektron transmisi ataupun sinyal lainnya kemudian terdeteksi. Keunggulan STEM dibandingkan TEM sebagai berikut (Vernon-Parry and Wright 2001): •









Fokus tidak berubah ketika perbesarannya berubah, berbeda dengan TEM yang gambarnya membutuhkan fokus setiap ada perubahan perbesaran. Sinyalnya dapat menghasilkan gambar yang tingkat kejelasannya tinggi dalam cathode ray tube (CRT), berbeda dengan TEM yang hambur pada layar fosfor yang buram khususnya pada perbesaran yang tinggi. Banyak sinyal yang berbeda (secondary electron, backscattered electron, cathodoluminescence, dan energy loss spectra) dapat dikumpulkan sama seperti transmitted electrons dan x-rays. Analisis kimia yang lebih baik, karena ukuran probe lebih halus dan mempunyai arus listrik sebesar 0.5 nA yang difokuskan kurang dari 1 nm2 Kerusakan bahan uji hanya terjadi pada bagian yang di bawah probe elektron, sedangkan pada TEM keseluruhan bagian bahan uji disinari elektron.

Namun bagaimanapun juga STEM tidak sebagus TEM jika ditinjau dari perbedaan difraksi dan analisis kecacatan. Penerapan TEM misalnya dipakai untuk menganalisis struktur aluminium(Murr 2009). Gambar 20 (b) menunjukan bagian kecil aluminium yang diamati dengan HRTEM untuk menggambarkan atom aluminium secara individu, sejalan dengan bidang, dan karakteristik Karakterisasi Biomaterial Dan Bioproduk | 41

simestris. Struktur atom pada aluminium lebih umum dan dan mudah dikenali.

Gambar 20 Mikrostruktur dan nanostruktur aluminium. (a) skema aluminum dan bagian gambar 3D TEM, (b) gambar resolusi atom dari aluminium, (c) gambar TEM menunjukan dislokasi dan lapisan endapan subtruktur yang membentuk aluminium (Murr 2009).

Pada Gambar 21, TEM juga dapat digunakan untuk mendetekti karakteristik mikrostruktur superkonduktor berbahan yttrium barium copper oxide (YBa2Cu3O7) (Murr 2009).

Gambar 21. (a) ilustrasi mikrostruktur YBa2Cu3O7; (b) gambar hasil TEM (Murr 2009). 42 | Karakterisasi Biomaterial Dan Bioproduk

3.3 Atomic Force Microscopy (AFM) AFM merupakan bagian dari kelompok instrumentasi scanning probe microscopes (SPMs). AFM juga disebut dengan scanning force microscope (SFM). Teknik yang biasa digunakan SPM adalah pemindaian permukaan bahan uji yang diinginkan dengan menggunakan probe yang sangat tajam. Interaksi antara probe dan permukaan bahan uji menghasilkan gambar bahan uji dengan resolusi tinggi, tentunya sangat berpotensi untuk skala dibawah nanometer (sub-nanometer). Probe yang digunakan AFM merupakan jenis stylus. Probe jenis stylus akan berinteraksi secara langsung dengan permukaan bahan uji kemudian mengukur gaya tarik dan tolak yang timbul diantara probe dan permukaan bahan uji, sehingga menghasilkan gambar topografi 3D dengan resolusi tinggi. Probe tajam yang menjulang hingga ujung lengan fleksibel microcantilever merupakan inti utama dalam intrumentasi AFM (Johnson et al. 2009). Binnig merupakan orang yang pertama kali menjabarkan AFM sebagai teknik baru dalam menggambarkan topografi permukaan dengan high resolution. AFM memiliki keunggulan lebih dibandingkan dengan mikroskop elektron, AFM mempunyai banyak cara melakukan pengukuran dalam lingkungan udara atau fluida daripada lingkungan hampa udara yang tinggi. AFM juga mampu menggambarkan polimer dan sampel biologi pada tempat aslinya(Johnson et al. 2009).

Gambar 22. Set up dasar AFM (Johnson et al. 2009)

Cantilever umumnya berbentuk V, seperti pada Gambar 1, namun ada juga yang berbentuk persegi seperti papan selam. Ujung cantilever sangat tajam dan berfungsi sebagai probe. Umumnya probe berbentuk piramida atau kerucut (Gambar 23). Probe dan cantilever sebagian besar terbuat dari silicon nitrit (Si3N4) atau silicon (Si), sedangkan permukaan Karakterisasi Biomaterial Dan Bioproduk | 43

bagian atas cantilever dilapisi emas (Au) atau aluminium (Al)(Johnson et al. 2009).

Gambar 23 Gambar SEM dari probe AFM (a) probe piramida (b) probe kerucut (c) cantilever bentuk V (d) chip dengan pengungkit(Johnson et al. 2009).

AFM memiliki banyak cara dalam pencitraan bahan uji, hal ini dikarenakan probe mampu menyediakan berbagai informasi tentang permukaan bahan uji. Berikut adalah cara-cara pencitraan AFM (Johnson et al. 2009): a. Pencitraan Contact Mode Cara ini disebut mode kontak (contact mode) karena probe bersentuhan dengan bahan uji hingga proses pencitraan selesai. Mode kontak merupakan cara tersederhana dalam mengoperasikan AFM (Gambar 24). Ada 2 perbedaan dalam teknik ini, yaitu gaya konstan dan gaya variabel. Mekanisme umpan balik dari gaya digunakan untuk menjaga defleksi cantilever tetap konstan dalam cara gaya konstan. Cantilever merupakan defleksi dari tinggi-z. Perubahan posisi z dipantau dan informasinya merupakan fungsi dari posisi x,y. Pembentukan gambar topologi permukaan bahan uji memanfaatkan informasi dari posisi x,y. Sedangkan cara gaya variabel, mekanisme umpan balik dimatikan sehingga tinggi-z tetap konstan dan defleksi menghasilkan gambar topologi. Cara ini dapat digunakan hanya pada bahan uji yang permukaannya relatif lembut.

44 | Karakterisasi Biomaterial Dan Bioproduk

Gambar 24 Ilustrasi mode kontak (Johnson et al. 2009).

Mode kontak sering menjadi pilihan dalam pencitraan bahan uji yang permukaannya relatif datar disebabkan pengoperasiaannya yang sederhana. Namun metode ini memiliki kekurangan, yaitu gaya lateral dapat terjadi ketika probe melintasi pinggiran bahan uji yang curam, sehingga inilah yang menyebabkan kerusakan pada probe ataupun bahan uji. Hal ini tentunya dapat mengurangi resolusi yang dihasilkan. Selain itu gaya yang tinggi dapat mengakibatkan perubahan bentuk bahan uji. b. Pencitraan Intermittent Contact (Tapping) Mode Pada mode intermiten ini cantilever dapat berosilasi (bergerak) mendekati nilai resonan frekuensinya. Selama proses scan, amplitude osilasi cantilever akan berubah seiring dengan berbedanya topologi permukaan bahan uji. Gaya lateral berkurang (dibandingkan dengan mode kontak) karena probe melakukan pemindaian secara tepat pada permukaan bahan uji. Tentunya mode ini juga memiliki kelemahan, salah satunya adalah penggunaannya pada udara memungkinkan adanya gaya adesif. Gaya adesif yang timbul harus segera diatasi. Perubahan gaya pada cantilever tidak cukup untuk mengatasi gaya adesif antara probe dan permukaan bahan uji. Oleh sebab itu diperlukan gaya yang lebih besar untuk mengatasi gaya adesif (0.01-2 Nm-1 untuk mode kontak, 20-75 Nm-1 untuk mode intermiten pada udara). Seiring dengan berbedanya sifat mekanik dan adesif permukaan bahan uji yang dipindai, maka frekuensi osilasi juga berubah. Hal inilah yang menyebabkan AFM selain dapat menghasilkan gambar topologi permukaan juga akan menyajikan informasi mengenai perubahan sifat materialnya. Karakterisasi Biomaterial Dan Bioproduk | 45

c. Pencintraan Non Contact Mode Pencitraan mode non-kontak juga menggunakan cantilever yang berosilasi seperti mode intermiten, yang berbeda adalah amplitude cantiliver mode non-kontak lebih kecil. Selama probe dapat menjangkau permukaan bahan uji, interaksi seperti gaya van der Waals dan gaya elektrostatik dapat terjadi antara atom dalam probe dan bahan uji. Metode ini baik digunakan pada resolusi atom. d. Pencitraan Force Volume Pencitraan volume gaya merupakan kombinasi dari pencitraan konvensional dengan pengukuran gaya jarak lengkungan. Cantilever membawa probe menuju permukaan bahan uji dan defleksi pengungkit sebagai fungsi translasi-z secara simultan terekam sehingga diperoleh gambar topografi konvensional, informasi tentang interaksi antara probe dan bahan uji. Plotting skala gambar dapat menunjukkan gaya terendah setiap piksel serta peta adesif permukaan bahan uji. Hal itu sangat berguna untuk mengetahui perbedaan sifat adesif pada daerah permukaan yang berbeda. Lebih berguna lagi apabila probe dilengkapi dengan fungsi kimiawi. Selain itu, apabila bahan uji merupakan bahan uji yang cukup lembut (seperti lapisan polimer atau permukaan sel imobilisasi), maka plot elastisitas relatif dari permukaan yang berbeda dapat dihasilkan. Mode volume gaya akan sangat berguna untuk mendapatkan jumlah gaya lengkungan yang dibutuhkan. Namun, mode volume gaya merupakan tipe yang resolusinya rendah jika dibandingkan dengan metode pencitraan AFM lainnya. e. Pencitraan Force Modulation Mode Pencitraan mode modulasi gaya ini merupakan kombinasi dari beberapa aspek pencitraan mode kontak dan dinamik. Salah satu dari cantilever atau bahan uji berosilasi secara sinusoidal pada arah z selama operasi AFM mode modulasi gaya. Topologi permukaan terbentuk dari amplitudo dan fase osilasi yang dipantau secara simultan. Dengan memafaatkan model mekanik seperti Hertz atau Johnson Kendal dan Robert (JKR) memungkinkan untuk mengekstrak informasi kuantitatif tentang sifat material seperti modulus elatisitas. Kemampuan teknik ini dalam memantau perbedaan sifat mekanik permukaan bahan uji dengan resolusi tinggi banyak digunakan untuk karakteristik material skala nano.

46 | Karakterisasi Biomaterial Dan Bioproduk

f. Pencitraan Lateral/Frictional Force Mode Pada mode gaya lateral, gaya digunakan ketika ujung probe pada arah lateral (x) terekam secara simultan selama probe melakukan pemindaian melewati permukaan bahan uji. Hal itu merupakan keistimewaan metode ini dalam menghasilkan perhitungan kuantitatif dari pergeseran gaya yang dirasakan antara probe dan bahan uji. Lebih menarik lagi dalam bidang nano-tribology dimana pergeseran dan sifat material digunakan untuk membentuk micro-machines. Untuk konversi pengukuran menjadi data kuantitatif diperlukan pencatatan beberapa variabel seperti gaya normal yang diaplikasikan oleh ujung probe, pegas lateral yang konstan dari cantilever, dan sensitivitas pengungkit optik hingga torsi lengan pengungkit. Penerapan AFM misalnya dilakukan untuk menganalisis struktur kimia molekul pentacene (C12H14) (Gross et al. 2009). Mereka melakukan pengukuran pentacene baik pada substrat Cu(111) maupun pada insulat film NaCl. Diperlukan gaya pendek dimana interaksi kimia memberikan kontribusi yang kokoh (Gambar 25).

Gambar 25 Struktur kimia dengan STM (A-B) dan AFM (C-D)(Gross et al. 2009).

Dalam bidang biomaterial dan bioproduk, penulis memanfaatkan AFM untuk mengukur tingkat kehalusan pelapisan polimer yang memiliki muatan listrik pada suatu permukaan (Wibisono et al. 2015b). Tiga jenis polimer hidrogel yang bermuatan positif, negative dan netral dilapiskan pada permukaan polipropilen, dan AFM digunakan untuk meneliti tingkat kehalusan permukaan tersebut (Gambar 26). Tingkat kehalusan pelapisan polimer diduga juga akan mempengaruhi proses terjadinya biofouling, yaitu menempelnya mikroorganisme diatas permukaan yang dilapisi polimer. Karakterisasi Biomaterial Dan Bioproduk | 47

Gambar 26 Gambar AFM untuk mengukur tingkat kekasaran dari permukaan, aplikasi pada modifikasi permukaan dengan polimer untuk meningkatkan sifat anti-biofouling (Wibisono et al. 2015b).

3.4 Confocal Laser Scanning Microscopy (CLSM) Mikroskop konfokal dalah perangkat yang mampu menangkap citra sebagian (optical sectioning) dari jaringan hidup. Alat ini mampu menangkap citra dari bagian yang tipis dari jaringan dengan resolusi yang tinggi dan kontras tanpa merusak jaringan secara fisik. Mikroskop konfokal bisa dilakukan dengan atau tanpa menggunakan laser. Tandem scanning confocal microscope (TSCM) menggunakan lampu merkuri untuk menangkap citra, sedangkan confocal laser scanning microscope (CLSM) menggunakan laser dengan kelebihan pemanfaatan panjang gelombang tertentu yang lebih selektif dan daya iluminasi yang tinggi (Rajadhyaksha et al. 1995). Confocal scanning microscopy sebagai bagian dari optical sectioning microscopy telah secara radikal merubah penangkapan citra optik dalam bidang biologi. Alat ini mampu menghilangkan background pada citra yang disebabkan karena kehilangan focus dan bias. Teknik konfokal mampu meningkatkan resolusi dari citra mikroskop cahaya diatas yang bisa dicapai oleh mikroskop fluoresens. Pada setiap mikroskop konfokal, konsep penangkapan citra dilakukan dengan menggabungkan dua hal secara simultan (lihat Gambar 27): melakukan scan gambar dengan memberikan 48 | Karakterisasi Biomaterial Dan Bioproduk

iluminasi pada bagian-bagian tertentu secara berturutan (scanning the illumination) dan pada waktu yang sama menutupi seluruh bagian yang teriluminasi dari cahaya balik menuju detektor (scanning the detection)(Conchello and Lichtman 2005). Pada Gambar 27 (a), nampak bahwa cahaya tereksitasi diarahkan oleh cermin pemindai dan difokuskan ke arah sampel spesimen. Emisi fluoresens kemudian dipisahkan dari eksitasi dengan menggunakan cermin dikroik dan filter pembatas. Cahaya yang diemisikan dari lokasi pemindaian pada spesimen memancar melalui lubang di depan detektor. Pada Gambar 27 (b), nampak bahwa spot pemindaian berada di tengah dari bidang infokus (garis bersambung), terfokus pada bidang citra dimana lubang konfokal berada. Cahaya tidak diemisikan dari lokasi spot pemindaian pada bagian yang tidak transparan (opaque) dan tidak mencapai detektor PMT. Cahaya yang tidak fokus terpancar pada bagian yang lebih dalam (garis putus) atau lebih dangkal (garis titik putus) sehingga hanya bagian kecil dari cahaya tidak fokus ini yang melewati lubang detektor. Pada Gambar 27 (c), spot terpindai (garis hijau) mengeksitasi fluoresens dimana molekul fluoresens pada lokasi spot ini akan teremisi secara kuat dan menghasilkan pola difraksi Airy pada bidang dari lubang konfokal (profil garis merah), dimana molekul yang jauh dari spot ini menghasilkan fluoresens lemah sebagai hasil dari pola difraksi Airy yang buram. Hasilnya, fluoresens yang dideteksi dari spot ini akan banyak berkurang dibandingkan dari yang datang dari lokasi pemindaian (Conchello and Lichtman 2005).

Karakterisasi Biomaterial Dan Bioproduk | 49

Gambar 27 Prinsip dari konfokal: (a) Skematik dari mikroskop konfokal; (b) Jalur dari cahaya fluoresens dengan eksitasi dan scanning tidak ditampilkan; (c) Spot dari scanning berupa profil intensitas berwarna hijau yang mengeksitasi fluoresens (Conchello and Lichtman 2005).

CLSM banyak digunakan dalam penangkapan citra pada bidang biomaterial dan bioproduk. Misalnya untuk karakterisasi struktur bio-cake pada membran(Hwang et al. 2012). Karakterisasi biofouling sangat mempengaruhi besarnya permeabilitas membran. Permukaan biofouling dapat diamati dengan menggunakan SEM, namun untuk strukturnya (porosity dan biovolume) digunakan CLSM (Gambar 28).

50 | Karakterisasi Biomaterial Dan Bioproduk

Gambar 28 Citra CLSM dari penampang melintang dari lapisan bio-cake. Warna hijau mengindikasikan sel dan warna merah mengindikasikan EPS (extracellular polymer substance). Skala batang pada citra sebesar 100 µm(Hwang et al. 2012)

Pada penelitian yang lain, CLSM digunakan untuk karakterisasi aktivitas anti bakteri pada sayap capung dan black silicon sintetis (bSi) (Ivanova et al. 2013). bSi adalah nanomaterial sintetik yang memiliki aspek rasio nanoprotusi yang tinggi pada permukaannya yang digunakan untuk aplikasi fotovoltaik. Nanomaterial alami yang juga memiliki aspek rasio nanoprotusi yang tinggi adalah sayap capung Diplacodes bipunctata. CLSM digunakan untuk mendeteksi aktivitas antibakteri pada kedua permukaan alami dan sintesis tersebut (Gambar 29).

Gambar 29. Citra SEM (a-d dan i-l) dan CLSM (e-h dan m-p) yang menunjukan tingkat penempelan sel bakteri P. aeruginosa, S. aureus, sel vegetatif dan spora B. subtilis. Citra CLSM menunjukkan bahwa kedua permukaan sayap capung dan bSi memiliki sifat anti bakteri yang tinggi. Batang skala sebesar 200 nm (Ivanova et al. 2013). Karakterisasi Biomaterial Dan Bioproduk | 51

3.5 Optical Coherence Tomography (OCT) Tomografi merupakan rekontruksi gambar penampang suatu objek. Tomografi dalam transmisi optik dan refleksi menggunakan 3 prinsip (Gambar 30), yaitu : tomografi sinar lurus (straight ray tomography), tomografi difraksi (diffraction tomography), dan tomografi berbasis waktu penyelesaian (time-resolved tomography) (Fercher 1996). Pada tomografi refleksi sinar lurus (Gambar 30 (a)) penghitungan dilakukan pada waktu transit gelombang cahaya atau posisi kedalaman dari pantulan situs obyek. Sinar yang biasa digunakan adalah ultrasonik sampai ɤ -ray. Tomografi difraksi (Gambar 30 (b)) menggunakan prinsip rekonstruksi struktur obyek dengan menggunakan difraksi Fourier. Jarak intraokuler diukur sehingga akan menghasilkan pola dari struktur objek. Sedangkan tomografi berbasis waktu penyelesaian (Gambar 30 (c)) mendeteksi dan mengukur waktu perjalanan foton melalui objek untuk menghasilkan citra. Waktu penyelesaian akan menggambarkan proyeksi sepanjang jalur yang melalui objek.

52 | Karakterisasi Biomaterial Dan Bioproduk

Gambar 30 Konfigurasi tomografi. (a) refleksi sinar lurus, (b) difraksi, (c) waktu penyelesaian. Keterangan: OB= objek; SC= scattering center; PD= photodetector; PA= photodetector aray; BS= beam splitter.(Fercher 1996)

Optical Coherence Tomography (OCT) adalah suatu teknik pencitraan optik yang dapat menangkap citra suatu jaringan biologi tanpa kontak dengan jaringan dengan memanfaatkan foton sehingga mengurangi resiko kerusakan pada obyek (Hrynchak and Simpson 2000, Huang et al. 1991). Pengoperasian OCT memanfaatkan koherensi rendah untuk menggambarkan objek dua dimensi dari jariangan biologi. OCT biasanya menggunakan sinar infra merah dekat (NIR) dengan panjang gelombang 843 nm, resolusi longitudinal 10-20 µm, dan kedalaman penetrasi beberapa millimeter.(Huang et al. 1991) OCT dua dimensi dilakukan dengan bantuan komputer, dimana komputer akan mengamati gerakan axial dan hasil pemindaian akan direpresentasikan dalam skala warna. Warna merah hingga putih menunjukan daerah yang refleksi optiknya tinggi, sedangkan warna biru hingga hitam menunjukkan daerah yang rendah refleksi (Hrynchak and Simpson 2000). Secara prinsip kerja, OCT menggunakan teknik low-coherence interferometry (Gambar 31). Output SLD (superluminescent diode) dirangkai dalam serat mode tunggal yang kemudian terbagi 50/50 menjadi 2 yaitu untuk lengan referensi dan lengan sampel. SLD akan ditembakkan ke coupler. SLD yang akan ditembakan menghasilkan sinar low-coherence dengan panjang gelombang 830 nm. Jaringan sampel diletakkan di lengan sampel. SLD 50% direfleksikan ke sampel dan 50% lainnya akan direfleksikan ke referensi. Kedua hasil refleksi akan digabungkan dalam coupler yang kemudian akan dideteksi oleh detektor foto-dioda. Cermin referensi melakukan pemindaian longitudinal dengan motor stepper 1.6 mm/s akan menghasilkan perubahan Doppler sebesar 3.8 kHz. Pada lengan sampel Karakterisasi Biomaterial Dan Bioproduk | 53

terdapat piezoelectric transducer (PZT) yang akan memberikan sinyal interferometri 21.2 kHz. Apabila sinyal refleksi kedua lengan sesuai, maka akan direfleksikan menuju detektor. Output detektor didemodulasikan pada frekuensi 25 kHz sehingga menghasilkan sinyal interferometri. Sinyal interferometri kemudian akan diubah dalam bentuk digital dan disimpan dalam komputer. Sistem akan melakukan serangkaian pemindaian longitudinal. Setiap pemindaian longitudinal, posisi sinar lateral akan diterjemahkan.

Gambar 31 Skema kerja OCT (Huang et al. 1991)

Terdapat beberapa jenis OCT, yaitu berbasis: (1) Time-domain; (2) Fourier-domain; dan (3) Parallel. Pada Time-domain OCT, dasar teknik yang digunakan ada dua macam. Teknik pertama adalah sampel diletakkan dalam interferometer yang kemudian akan disinari sampel beam saja. Sedangkan pada teknik kedua, sampel diletakkan di luar interferometer dan disinari oleh kedua sinar interferometer. Penerapan OCT awalnya hanya digunakan pada pencitraan optik pada bidang kedokteran, contohnya mendeteksi penyakit pada retina. Seiring dengan berkembangnya teknologi, OCT dapat digunakan pada karakterisasi topologi permukaan jaringan lainnya. Pengaplikasian OCT di bidang kedokteran masih mendominasi. Namun, OCT dapat digunakan dalam bidang non-kedokteran. Pada bidang kedokteran, misalnya OCT cukup sensitif dan presisi untuk mendeteksi struktur optamologi. Pencitraan dan ukuran detail patologi kornea serta perubahan struktural sudut ruang dan iris dapat dideteksi dengan menggunakan OCT. Pada bidang gastroenterologi dan dermatologi, OCT digunakan untuk mengggambarkan mikrostruktur jaringan gastrointestinal (sistem pencernaan). Sedangkan pada bidang 54 | Karakterisasi Biomaterial Dan Bioproduk

dermatologi (ilmu kedokteran yang berhubungan dengan kulit), OCT digunakan untuk mendeteksi jaringan bawah kulit yang sangat kompleks. Penetrasi OCT dalam dermatologi meliputi stratum korneum, epidermis yang mengandung keratinosit, dan dermis (kolagen, elastin, dan fibroblast). Penyakit kulit umumnya dapat didiagnosis dengan mata telanjang atau mikroskop epiluminescence, tetapi tidak untuk kanker kulit. Diagnosis kanker berdasarkan fitur arsitektur tidak dapat dijadikan pedoman, hal ini dikarenakan indikator diagnosis yang paling penting yaitu perubahan neoplastik terjadi pada tingkat sub-sel. OCT dengan resolusi tinggi dapat digunakan sebagai prasyarat identifikasi dan grading neoplasis. Selain kanker, inflamatori dan bulosa juga bisa dideteksi dengan menggunakan OCT. OCT dapat digunakan untuk pencitraan intravaskular, yaitu dengan sistem OCT endoskopi yang terdiri dari satu lengan interferometer Michelson OCT. Desain sistem endoskopi sangat sempit, misalnya 1 mm. Selain itu OCT dapat digunakan untuk mendeteksi lipid intramural dalam dinding pembuluh intima (Fercher et al. 2003). Pada kedokteran gigi, PS-OCT dapat mendeteksi dan mencitrakan beberapa struktur komponen jaringan gigi seperti sulcus, ephitelium, dan lapisan penghubung (Gambar 32).

Gambar 32 (a) Hasil pencitraan OCT dari anterior gigi (b) ilustrasi jaringan gigi (Fercher et al. 2003). Karakterisasi Biomaterial Dan Bioproduk | 55

Pemanfaatan OCT dalam bidang non-kedokteran misalnya digunakan untuk analisis non-destruktif arsitektur fiber, residu porositas, dan integritas struktur polimer komposit. OCT memiliki keunggulan dibandingkan dengan pencitraan ultrasonic karena resolusi yang tinggi dan non-kontak. Dalam bidang biomaterial dan bioproduk misalnya penulis menggunakan OCT untuk mendeteksi adanya biofouling didalam saluran membran nanofiltrasi secara real-time (Gambar 33 dan 34) (Wibisono et al. 2015a).

Gambar 33 Skema kerja OCT pada observasi biofouling(Wibisono et al. 2015b).

Gambar 34. Gambar OCT pada observasi biofouling yang telah dikonversi menjadi gambar tiga dimensi/3-D (image courtesy Yusuf Wibisono).

3.6 Fourier Transform Infra Red (FTIR) FTIR adalah spektroskopi menggunakan infra merah (IR). Spektrometer IR memungkinkan identifikasi substansi gugus kompleks suatu senyawa. Cara kerja spektroskopi inframerah adalah sampel yang dipindai menggunakan sinar inframerah, dilalukan menembus sampel dan ditangkap oleh detektor. Hasil pemindaian yang diolah dengan komputer, mampu menyajikan spektrum sampel. 56 | Karakterisasi Biomaterial Dan Bioproduk

FTIR menggunakan radiasi IR dari sumber cahaya benda hitam yang meliputi seluruh spectrum IR. Sumber radiasi dimodulasikan dengan interferometer Michelson dan seluruh frekuensi optikal direkam secara simultan dalam interferogram yang terukur (Rapson and Dacres 2014). Salah satu keunggulan dari FTIR adalah teknologi pencitraan yang cepat dan tanpa memerlukan pelabelan, seperti bahan pewarna. Spesifikasi kimia dari FTIR berasal dari interaksi (absorpsi) dari sinar IR dengan mode vibrasi dari molekul yang diinterogasi. Informasi yang lengkap dari spektra IR memungkinkan pendeteksian banyak spesies kimia dalam satu kali pengukuran. FTIR bisa digunakan dalam tiga konfigurasi: (1) transmisi, (2) pantulan, (3) total pantulan lemah (attenuated total reflection/ATR) (Rapson and Dacres 2014). FTIR banyak digunakan untuk analisis dalam bidang biomedis, seperti jaringan biologis, sampel tulang, rambut, sel hidup, kulit, penyembuhan luka dan pengobatan (Rapson and Dacres 2014). Dalam bidang biomaterial dan bioproduk, penulis menggunakan ATR-FTIR untuk mendeteksi gugus kimia tertentu pada polimer hidrogel yang dipakai untuk lapisan anti-biofouling (Gambar 35).

Gambar 35 Hasil FTIR pada modifikasi polimer anti-biofouling (Wibisono et al. 2015b).

3.7 X-Ray Diffraction (XRD) XRD adalah instrumen yang mampu mengidentifikasi struktur atom dilihat dari keteraturan struktur kristal dengan menggunakan radiasi sinarX (Gambar 36). Parameter kristalografi seperti konstanta lattice dan factor Karakterisasi Biomaterial Dan Bioproduk | 57

Debye-Waller (amplitude vibrasi termal) digunakan, sehingga XRD bisa digunakan untuk metode pengukuran kuantitatif (Robinson and Tweet 1992).

Gambar 36 Struktur yang bisa diuji dengan menggunakan XRD: (a) Kristal 2D satu lapis terisolasi, (b) Kristal 2D yang terhubung pada substrat kristalin, (c) Antar muka antara 2 kristal yang berbeda (Robinson and Tweet 1992).

Penerapan XRD pada bidang biomaterial misalnya untuk pengujian kristalin dari material hydroxyapatite (HA) yang dipakai sebagai bahan implan gigi. Penulis menggunakan XRD dari material HA yang dikonversi secara kimia dari sisik ikan kurisi (Gambar 37).

Gambar 37 Hasil analisis XRD dari sampel HA hasil sintesis dari sisik ikan kurisi yang mendeteksi dua fase hidroksiapatit dengan rumus molekul Ca10(OH)2(PO4)6 dan Ca5(OH)(PO4)3 dan kalsium magnesium natrium fosfat Ca9MgNa(PO4)7 (Image courtesy Yusuf Wibisono). 58 | Karakterisasi Biomaterial Dan Bioproduk

3.8 X-Ray Fluorescence (XRF) XRF adalah metode analisis yang dipakai untuk mendeteksi unsur penyusun dari segala jenis material, baik berupa padatan, cairan, bubuk atau bentuk lain. XRF juga bisa digunakan untuk mendeteksi ketebalan dan komposisi lapisan kimia tertentu. Keunggulan XRF yaitu tidak perlu merusak sampel, sehingga metode ini termasuk dalam non-destructive test, dan hanya memerlukan penyiapan sampel yang sederhana (Brouwer 2010). XRF mengkalkulasi panjang gelombang komponen penyusun bahan dari emisi flourosens sampel ketika disinari dengan sinar-X. Untuk mencapai atom didalam sampel, sinar-X harus melalui lapisan diatasnya, dan lapisan tersebut akan menyerap sebagian dari radiasi yang datang. Sebagian radiasi ini akan meninggalkan sampel, dan sebagian akan terserap. (Gambar 38).

Gambar 38 Penyerapan radiasi sinar-X yang datang dan ter-fluoresens (Brouwer 2010).

Penerapan XRF pada bidang biomaterial dilakukan oleh penulis untuk mengetahui unsur penyusun material hydroxyapatite (HA) untuk bahan pengganti implan gigi. Tabel 4 menunjukkan unsur penyusun HA yang dibuat dari sisik ikan kurisi. Tabel 4. Hasil analisis XRF atas HA dari sisik ikan kurisi (Data courtesy Yusuf Wibisono)

Komponen Ca P Fe Ni

Persentase (%) 81.62 16.50 0.10 0.12

Karakterisasi Biomaterial Dan Bioproduk | 59

Cu Zn Sr Yb Zr Re

0.05 0.03 1 0.20 0.26 0.04

3.9 Particle Size Analyzer (PSA) Karakterisasi menggunakan PSA biasanya digunakan untuk menentukan ukuran rata-rata nanopartikel. PSA menggunakan metode Dynamic Light Scattering (DLS) yang memanfaatkan hamburan sinar IR atau laser (Cornillault 1972). Pada Gambar 39, digambarkan distribusi ukuran partikel yang menyebabkan fouling dan biofuling pada sistem membran(Wibisono et al. 2016).

Gambar 39 Ukuran partikel dari humus dan yeast sebagai bahan biologis (Wibisono et al. 2016).

60 | Karakterisasi Biomaterial Dan Bioproduk

BAB IV

RAGAM BIOMATERIAL DAN BIOPRODUK Banyak jenis biomaterial dan bioproduk, terutama yang berasal dari biomassa. Misalnya biokeramik, hydroxyapatite, biofuel, biodiesel, bioethanol, biofilm, bioplastik dan biopolimer, biochar dan biomaterial lain. Pada bab ini akan dijelaskan beberapa jenis biomaterial dan bioproduk yang mewakili dari kelompok yang pertama maupun kedua seperti dijelaskan pada Gambar 6. 4.1 Biokeramik Biokeramik adalah material keramik yang digunakan untuk keperluan biomaterial seperti bahan pengganti atau pengisi pada gigi dan struktur tulang manusia. Salah satu keunggulan dari bahan biokeramik adalah sifat biokompatibilitas yang baik, tidak mengandung racun, tidak memicu alergi atau radang, dan tahan lama. Biokeramik adalah bahan yang digunakan untuk memperbaiki kerangka atau jaringan keras. Biokeramik terdiri dari bioinert (alumina, zirkonia), bioresorbable (tri calcium fosfat), bioaktif (hidroksiapatit, bioactive glasses, dan glass ceramics), serta keramik yang memiliki pori digunakan untuk jaringan yang masih tumbuh (lapisan hidroksiapatit, dan lapisan bioglass pada bahan metalik) (Paital and Dahotre 2009). Keramik bioinert tidak berpengaruh dan berinteraksi dengan jaringan tubuh sedangkan keramik bioaktif dapat berikatan dengan jaringan tulang yang hidup. Keramik bioaktif memiliki kinetika reaksi yang sangat cepat sehingga dapat bereaksi dengan cairan tubuh menghasilkan bahan tulang baru. Oleh karena itu, keramik bioaktif dapat digunakan untuk memperbaiki bagian tulang, yaitu dengan cara mengganti bagian tulang yang rusak atau meregenerasi tulang. Keramik kalsium fosfat adalah keramik bioaktif yang bisa dipakai untuk perbaikan tulang, termasuk diantaranya beta-tricalcium phospat ( TCP), hidroksiapatit (HA), dan bifasik calcium phospat (BCP) yang terdiri 61

dari campuran inti HA dan -TCP dari berbagai HA/ -TCP rasio (Daculsi et al. 1997). Keramik tersebut disamakan dengan komponen anorganik dari jaringan keras vertebrata. Sebagai bahan implant, keramik tersebut disintesis dengan desain ilmiah yang kuat dan bersifat biokompatibel. Kalsium fosfat merupakan keramik yang memiliki ikatan kovalen atau ionik. Senyawa kalsium fosfat tidak memiliki muatan bebas sehingga memiliki sifat listrik yang rendah. Sintesis senyawa kalsium fosfat dapat diperoleh dengan mencampurkan prekursor kalisum dan fosfat dengan berbagai metode. Dalam berbagai penelitian kalsium fosfat sintetik berhasil diperoleh dalam berbagai macam fase. Perbedaan fase kalsium fosfat dapat digunakan dalam medis tergantung pada bioaktivitas atau kemampuan penyerapan material yang diperlukan. Pada Tabel 5 menunjukkan daftar kalsium fosfat yang sering digunakan pada bidang medis (Shi 2006). Tabel 5 Jenis-jenis Senyawa Kalsium Fosfat (Shi 2006)

Nama mineral

Nama kimia

Monetite

Dikalsium fosfat (DKF)

CaHPO4

Ca : P (rasio molar) 1,00

Brushite

Dikalsium fosfat dihidrat (DKFD) Oktakalsium fosfat (OKF ) Trikalsium fosfat (TKF) Hidroksiapatit (HA)

CaHPO4.2H2O

1,00

Ca8H2(PO4)6.5H 2O Ca3(PO4)2

1,33 1,50

Ca10(PO4)6(OH)2

1,67

Whitlockite

Hidroksiapatit

Rumus kimia

Senyawa kalsium fosfat dalam tulang memiliki karakteristik kristalinitas rendah dan non stoikiometri, yang disebabkan oleh kehadiran +

+

-

2-

2+

ion asing seperti Na , H , F , Sr , an Mg yang masuk ke alam kisi kristal atau hanya berada pada permukaan kisi kristal (Bigi et al. 1992). Kalsium fosfat terdapat dalam dua bentuk yaitu fase amorf dan fase kristal. Senyawa kalsium fosfat kristal sintetis mempunyai 4 fase yaitu CaHPO 2 (dicalcium phosphate dehydrate atau disingkat DCPD), Ca8H2(PO4)6 octacalcium phosphate atau disingkat OCP), Ca3(PO4)2 (tricalcium phosphate atau disingkat TCP), dan Ca10(PO4)6(OH)2 (hidroksiapatit atau disingkat HA). Hidroksiapatit

62 | Ragam Biomaterial Dan Bioproduk

merupakan kristal paling stabil dibandingkan 3 fase lainnya (Elliott et al. 1973). 4.2 Hydroxyapatite Biomaterial untuk implantasi tulang menggunakan senyawa kalsium fosfat yang memiliki kekuatan tinggi. Meninjau sifat tersebut, hidroksiapatit (HAp) merupakan senyawa apatit yang banyak digunakan dibidang ortopedik. Hal ini karena HAp memiliki stabilitas yang tinggi (Aoki 1991). Hidroksiapatit dapat diperoleh dari sumber alami maupun sintetis. Bahan alam yang mulai dikembangkan yaitu koral, kerang, tulang sapi, cangkang telur. Bahan tersebut berperan sebagai sumber kalsium dimana sebagian besar kandungan yang terdapat pada bahan tersebut adalah kalsit (kalsium karbonat, CaCO3). Sedangkan HAp sintetis dapat diperoleh dengan mereaksikan senyawa yang mengandung prekursor kalsium (Ca2+) dengan prekursor fosfat (PO43-) (Sadat-Shojai et al. 2013). HAp secara luas telah digunakan untuk memperbaiki jaringan tulang yang telah rusak (Guzman Vazquez et al. 2005). Molekul ini menempati porsi 65% dari fraksi mineral yang ada di dalam tulang manusia (Petit 1999). Selama sepuluh tahun terakhir, banyak peneliti yang melakukan sintesis HAp dari bahan alami terutama limbah/by-product. Bahan-bahan alami tersebut adalah limbah tulang sapi, kulit telur, kerangka organisme laut. Hal ini karena hidroksiapatit dari bahan alami memiliki sifat fisikokimia yang lebih baik dari HAp sintetis (Sadat-Shojai et al. 2013). Beberapa sumber HAp yang umumnya telah digunakan dapat dilihat pada Gambar 40.

Ragam Biomaterial Dan Bioproduk | 63

Gambar 40. Preparasi hidroksiapatit dari berbagai bioproduk (Sadat-Shojai et al. 2013).

HAp bisa disintesis dari bahan alami seperti sisik ikan. Menurut (Gaiker 2004), tulang dan sisik ikan memiliki komponen utama yaitu kalsium fosfat khususnya hidroksiapatit. Salah satu keuntungan dari HA yang berasal dari bahan alami adalah adanya beberapa komponen lain yang memiliki kesamaan dengan tulang asli sehingga dapat meningkatkan biokompatibilitas serta mendukung pertumbuhan sel (Grynpas et al., 1993). Beberapa mineral lain yang terdapat pada HAp alami antara lain magnesium berpengaruh terhadap resorbility material (Bigi et al. 1992). Tabel 6 menunjukkan perbandingan beberapa riset tentang penggunaan limbah ikan dari beberapa spesies ikan untuk sintesis HAp. Tabel 6 Sintesis HAp dari Tulang dan Sisik Ikan Jenis Ikan

Metode sintesis

Bream laut Ikan cod

Annealing panas Annealing panas Annealing panas

Ikan todak, tuna Tuna

Annealing panas dan Hidrolisis alkali

Bagian ikan yang digunakan Tulang

Komponen yang dihasilkan HAp

Tulang

HAp, -TCP

Tulang

HAp, -TCP

Tulang

HAp

64 | Ragam Biomaterial Dan Bioproduk

Referensi (Ozawa and Suzuki 2002) (Piccirillo et al. 2014) (Boutinguiza et al. 2012) (Venkatesan et al. 2015)

Jenis Ikan

Metode sintesis

Rohu

Asam/basa dan annealing panas Enzimatik dan annealing panas

Tilapia

Bagian ikan yang digunakan Sisik

Komponen yang dihasilkan HAp

Sisik

HAp

Referensi (Mondal et al. 2010) (Huang 2011)

et

al.

Hidroksiapatit (HAp) termasuk ke dalam golongan apatit. Apatit adalah kristal mineral dengan komposisi M10(ZO4)6X2. Komponen yang menempati M adalah Ca, Mg, Sr, Ba, Pb. Komponen Z terdiri dari V, P, As, S, Ge, Si serta komponen X adalah F, OH, Cl, Br (Comodi et al. 2001). HAp atau Ca10(PO4)6(OH)2 yang merupakan unsur utama penyusun jaringan keras (hard tissue) seperti tulang dan gigi pada tubuh manusia (Markovic et al. 2004). Hidroksiapatit termasuk senyawa kalsium fosfat terdiri dari gabungan dua senyawa garam trikalsiumfosfat dengan kalsium hidroksida. HAp memiliki specific gravity 3,08 serta berbentuk serbuk murni berwarna putih dengan berat molekul 502,31 gram/mol dan massa jenisnya 3,156 gram/cm3 (Mescher 2009). Komposisi HAp terdiri dari 39,9% Ca; 18,5% P; dan 3,38% OH dengan rasio antara Ca/P sebesar 1,67 Rasio molar dari Ca/P berpengaruh terhadap kekuatan HAp yang disintesis dimana semakin besar rasio Ca/P maka kekuatan akan semakin meningkat dan mencapai nilai maksimal yaitu sekitar 1,67 (HAp stokiometrik). Namun kekuatan akan semakin menurun apabila rasio Ca/P kurang dari 1,67 (Raynaud et al. 2002). Struktur kimia hidroksiapatit dapat dilihat pada Gambar 41.

Gambar 41 Struktur Kimia Hidroksiapatit (Ylinen 2006)

Sedangkan struktur heksagonal hidroksiapatit dapat dilihat pada Gambar 42. Ragam Biomaterial Dan Bioproduk | 65

Gambar 42 Struktur Heksagonal Hidroksiapatit (Ylinen 2006)

Kualitas HAp sangat bergantung pada semua karakteristik serbuk hasil sintesis. Sifat-sifat yang dimaksud antara lain ukuran partikel, distribusi, morfologi partikel dan stoikiometri, kristalinitas dan morfologi permukaan yang berkaitan dengan sifat bioaktif dari HAp. Fase amorfus dibutuhkan agar mudah larut pada cairan tubuh. Disisi lain, kebanyakan sel akan lebih terserap dan berkembang baik pada fase kristalin jika dibandingkan saat fasenya amorf (Hahn et al. 2011). 4.3 Biofuel dan Bio-Oil Definisi biofuel atau bahan bakar bio adalah bahan bakar yang diturunkan dari biomassa, sedangkan biomassa adalah sumber daya yang terbarukan yang bersifat carbon-neutral untuk produksi bioenergi dan biomaterial. Gambar 43 menggambarkan konversi biomassa menjadi berbagai macam biofuel. Teknologi yang menggunakan ilmu genetika, bioteknologi, proses kimia dan rekayasa teknik untuk mengkonversi biomassa menjadi bahan bakar dan produk yang bernilai guna, dinamakan dengan biorefinari (Ragauskas et al. 2006). Teknologi ini termasuk fermentasi, fotosintesis dan hidrolisis untuk produksi bioetanol (Saxena et al. 2009). Teknologi yang lain termasuk fotolisis mikrobial, hidrogenasi, digesti anaerob, gasifikasi, pirolisis, sakarifikasi dan trans-esterifikasi (Luque et al. 2008). Dengan menggunakan biofuel, secara teori karena bersifat carbonneutral, maka kan membantu mengendalikan kandungan karbon di atmosfer bumi (Schaub and Vetter 2008). Walaupun beberapa studi mengindikasikan bahwa bioetanol dari jagung misalnya masih memiliki emisi gas buang yang sama dengan bahan bakar fosil (Farrell et al. 2006). Namun biofuel masih memiliki banyak keunggulan, yaitu: ketersediaan,

66 | Ragam Biomaterial Dan Bioproduk

keterbaruan, efisiensi pembakaran yang tinggi, rendah emisi gas buang dan biodegradabel (Demirbas 2007b).

Gambar 43 Konversi biomassa menjadi biofuel (Agarwal 2007).

Walaupun biofuel memiliki masa depan yang cerah, namun masalah serius yang mungkin timbul adalah bagaimana menyeimbangkan antara vegetasi alam dan kultivasinya, penggunaan lahan produktif dan marjinal, mekanisasi pertanian dan kesempatan kerja serta prioritas bahan pangan atau bahan bakar (Koonin 2006). Sekitar 95% dari produksi biodiesel dunia dikonversi dari minyak nabati yang bersifat edible (dapat dimakan) yang dapat dengan mudah didapatkan dari agroindustri. Gambar 44 menggambarkan sumber utama biodiesel dan bioethanol masih berasal dari hasil pertanian pangan.

Gambar 44 Sumber biodisel dan bioetanol (Demirbas 2007a). Ragam Biomaterial Dan Bioproduk | 67

Peluang untuk pemanfaatan hasil tanaman pangan adalah limbah pertanian, yaitu bagian dari tanaman pangan yang non-edibel, yang ditinggalkan setelah panen. Tabel 7 menggambarkan potensi limbah pertanian yang potensial untuk digunakan sebagai bahan baku biofuel. Walaupun tabel ini menggambarkan kondisi di Amerika Serikat, namun bisa menggambarkan potensi yang serupa di seluruh dunia(Lal 2005). Tabel 7 Perkiraan jumlah limbah pertanian yang dihasilkan dari tanaman pangan di AS (Lal 2005)

Tanaman pangan

Jelai Jagung Kapas Haver Kacang tanah Padi Sorghum Tembakau Tomat Gula bit Gandum

Jumlah limbah pertanian dalam basis kering (Mg/ha/tanaman) 4.3 10.1 6.7 5.6 5.6 6.7 8.4 4.0 5.0 5.6 5.0

4.4 Biodiesel Salah satu biofuel yang potensial adalah biodiesel. Biodiesel bersifat ramah terhadap lingkungan dan dapat diperbarui. Dibandingkan dengan minyak diesel dari bahan bakar fosil, biodiesel mempunyai efisiensi pembakaran yang lebih tinggi, angka setana lebih tinggi dibandingkan dengan bahan bakar diesel. Kemudian biodiesel merupakan bahan biodegradable dan lebih dari 90% biodiesel dapat didegradasikan dalam 21 hari. Biodiesel mempunyai belerang dan kandungan senyawa aromatik yang lebih rendah, hal ini berarti tidak akan menghasilkan banyak gas beracun. Biodiesel mengurangi sebagian besar gas emisi kecuali NOx, seperti monosida, hidrokarbon tak terbakar, dan zat partikulat. Ide tentang biodiesel bukanlah ide baru, ide ini telah diperkenalkan dalam pada tahun 1900-an di Paris dimana Rudolf Diesel mengoperasikan 68 | Ragam Biomaterial Dan Bioproduk

mesin diesel kecil dengan minyak kacang. Namun untuk selanjutnya tidak diaplikasikan mengingat viskositasnya yang tinggi dan volatil minyak sayurnya rendah (Wibisono and Widodo 2015). Biodiesel adalah perpaduan metil ester dan asam lemak rantai panjang. Biodiesel bisa dihasilkan dari minyak nabati, lemak hewan atau minyak goreng bekas (UFO). Harga bahan baku bisa mencapai 60-80% dari total harga produksi biodiesel, sehingga sangat penting untuk memilih bahan baku yang tepat. Minyak nabati edibel memiliki keunggulan karena diproduksi di banyak negara dan memiliki sifat biodiesel yang cocok untuk mesin diesel. Namun minyak nabati edibel, memiliki kelemahan terkait dapat menyebabkan beberapa masalah seperti persaingan dengan bahan pangan, dan banyaknya penebangan hutan pada beberapa negara untuk tujuan perkebunan. Minyak nabati non-edibel (tidak dapat dimakan) memiliki keunggulan karena tidak cocok untuk dikonsumsi manusia dengan adanya beberapa racun dalam minyak tersebut. Tanaman minyak non-edible dapat tumbuh di lahan marjinal yang tidak cocok untuk tanaman pangan dan biaya kultivasinya lebih rendah karena tanaman ini dapat tetap mempertahankan hasil yang cukup tinggi tanpa perawatan yang intensif. Namun minyak nabati non-edibel ini juga memiliki kelemahan karena sebagian besar minyak non-edible mengandung asam lemak bebas yang tinggi, sehingga diperlukan langkah kimia lebih dari satu atau pendekatan alternatif untuk memproduksi biodiesel yang akan menaikkan biaya produksi. Kemungkinan ester biodiesel yang dihasilkan juga lebih rendah dari standar. Sedangkan lemak hewan mengandung asam lemak jenuh yang tinggi dan biasanya ada dalam bentuk padat pada suhu ruang, hal inilah yang menyebabkan kendala dalam proses produksi. Biayanya lebih tinggi dari minyak nabati. Kemudian, minyak goreng bekas (UFO) memiliki keunggulan karena UFO tidak cocok untuk konsumsi manusia, namun cocok untuk bahan baku produksi biodiesel. Pemakaian UFO dapat mengurangi biaya produksi biodiesel secara signifikan. Hanya saja kualitas UFO mungkin dapat menimbulkan kekhawatiran karena sifat fisik dan kimianya tergantung pada kandungan minyak goreng segar. UFO juga mungkin mengandung banyak kotoran yang tak diinginkan, seperti air dan asam lemak bebas (Leung et al. 2010). Tabel 8 menggambarkan Ragam Biomaterial Dan Bioproduk | 69

kandungan beberapa minyak nabati yang potensial untuk dikembangkan menjadi biodiesel. Tabel 8 Nilai asam, kandungan phospolipid dan nilai peroksida beberapa minyak nabati (Goering et al. 1982)

Minyak nabati Jagung Biji kapas Crambe Kacang tanah Rapa Kacang kedelai Bunga matahari

Nilai asam Kandungan a) phospolipid b) 0.11 7.00 0.07 8.00 0.36 12.00 0.20 9.00 1.14 18.00 0.20 32.00

Nilai peroksida c) 18.4 64.8 26.5 82.7 30.2 44.5

0.15

10.7

15.00

a) Nilai asam dalam milligram KOH untuk menetralkan FFA dalam 1 gram minyak nabati. b) Kandungan phospolipid (gum) bisa bervariasi. c) Nilai peroksida setara dengan mili peroksida per 1000 gram minyak nabati, untuk mengoksidasi KI (kalium iodida). Sementara itu, Tabel 9 menggambarkan sifat-sifat bahan bakar dari beberapa minyak nabati yang diukur dari nilai viskositas, densitas, titik nyala dan HHV (higher heating value). Tabel 10 menggambarkan komposisi asam lemak (laurat/C12, miristat/C14, palmitat/C16, stearat/C18, oleat/C18:1, linoleat/C18:2) pada beberapa sumber bahan baku biodiesel. Tabel 11 menggambarkan sifat fisikokimia lengkap dari beberapa sumber bahan baku biodiesel. Tabel 9 Viskositas, densitas, titik nyala dan HVV dari minyak nabati dan metil ester (Demirbas 2008)

Viscositas (cSt) Minyak Nabati Ailanthus 30.2 Salam 23.2 Beech 34.6

Densitas (g/L)

Titik Nyala (K)

HHV(MJ /kg)

916 921 915

513 499 515

39.44 39.30 39.59

70 | Ragam Biomaterial Dan Bioproduk

Viscositas (cSt) Biji Beech 38.0 Jagung 35.4 Biji kapas 33.5 Crambe 53.0 Kacang Hazel 24.0 Biji Rami 27.2 Minyak Mustar 33.8 Zaitun 29.8 Sawit 24.1 Kacang tanah 39.6 Biji opium 42.4 Biji Rapa 37.3 Biji Kesumba 31.3 High oleic biji 41.2 kesumba Wijen 35.5 Kacang Kedelai 32.6 Spruce 35.6 Biji bunga 33.9 matahari Kacang Walnut 36.8 Metil ester Minyak biji 3.75 kapas Minyak jagung 3.62 Minyak Crambe 5.12 Minyak kacang 3.59 Hazel Minyak biji rami 2.83 Minyak Mustar 4.10 Minyak zaitun 4.18 Minyak sawit 3.94 Minyak biji rapa 4.60 Minyak Biji 4.03

Densitas (g/L) 912 914 915 902 920 921 913 918 923 908 907 912 914 906

Titik Nyala (K) 533 532 524 557 503 520 518 504 501 543 538 531 531 548

HHV(MJ /kg) 39.82 39.66 40.38 39.83 39.33 39.50 39.57 39.50 39.74 39.85 39.73 39.52 39.79 39.51

913 914 914 916

533 528 513 535

39.63 39.44 39.57 39.59

912

524

No data

871

455

41.18

873 848 875

427 463 427

41.14 41.98 41.12

885 866 860 867 857 866

415 442 447 434 453 440

40.84 41.30 41.35 41.24 41.55 41.26

Ragam Biomaterial Dan Bioproduk | 71

Kesumba Minyak wijen Minyak kedelai Minyak bunga matahari Minyak Kacang Walnut

Viscositas (cSt)

Densitas (g/L)

Titik Nyala (K)

HHV(MJ /kg)

3.04 4.08 4.16

880 865 863

418 441 439

40.90 41.28 41.33

4.11

864

443

41.32

72 | Ragam Biomaterial Dan Bioproduk

Ragam Biomaterial Dan Bioproduk | 73

74 | Ragam Biomaterial Dan Bioproduk

Ragam Biomaterial Dan Bioproduk | 75

Proses pembuatan biodiesel yang paling utama adalah proses transesterifikasi. Selain proses transesterifikasi,biodiesel dapat pula dihasilkan dengan menggunakan proses biox co-solvent, alkohol superkritis atau biodiesel in situ. Reaksi transesterifikasi adalah reaksi antara trigliserida dengan alkohol menghasilkan metil ester asam lemak (FAME) dan gliserol. Reaksi transesterifikasi digambarkan pada Gambar 45. R1, R2, R3 adalah rantai panjang hidrokarbon, kadang-kadang disebut rantai asam lemak. Umumnya. Ada 5 tipe utama rantai dalam minyak sayur dan minyak hewan : palmitat, stearate, oleat, linoleat, dan linolenat. Biasanya, metanol lebih banyak dipakai untuk pembuatan biodiesel karena biayanya yang rendah.

Gambar 45 Persamaan umum reaksi transesterifikasi Katalis dalam hal ini juga melakukan konversi trigliserida secara bertahap menjadi digliserida, monogliserida, dan akhirnya menjadi gliserol. 1 mol ester lemak dibebaskan pada setiap tahap. Gambar 46 menjelaskan proses perubahan bertahap ini. Katalis yang digunakan bisa berupa katalis basa, asam maupun enzimatik. Proses transesterifikasi menggunakan katalis basa digambarkan pada Gambar 47.

Gambar 46 Perubahan bertahap pada reaksi transesterifikasi (Fukuda et al. 2001) 76 | Ragam Biomaterial Dan Bioproduk

Gambar 47 Diagram alir reaksi transesterifikasi menggunakan katalis basa (Leung et al. 2010)

Minyak nabati dan lemak hewani sebagai bahan baku biodiesel bisa jadi mengandung sebagian kecil air dan asam lemak bebas (FFA). Ketika berlangsung reaksi transesterifikasi menggunakan katalis basa, maka katalis basa yang digunakan akan bereaksi dengan FFA membentuk sabun. Reaksi pembentukan sabun ini dinamakan reaksi saponifikasi (Gambar 48). Reaksi ini merupakan reaksi yang tidak diinginkan karena sabun mengurangi hasil biodiesel dan menghambat pemisahan ester dari gliserol. Disamping itu, sabun mengikat katalis yang berarti bahwa banyak katalis akan dibutuhkan, dan karenanya proses akan mengakibatkan biaya yang lebih tinggi. Reaksi saponifikasi katalis (natrium hidroksida) dan FFA membentuk sabun dan air: R1-COOH + NaOH FFA natrium hidroksida

R1COONa + H2O sabun air

Gambar 48 Reaksi Saponifikasi Ragam Biomaterial Dan Bioproduk | 77

Selanjutnya, air yang terbentuk selama reaksi saponifikasi, memperlambat reaksi transesterifikasi melalui reaksi hidrolisis.Air dapat menghidrolisis trigliserida menjadi digliserida dan membentuk banyak FFA. Gambar 49 menggambarkan reaksi hidrolisis.

Gambar 49 Reaksi Hidrolisis

Karena adanya reaksi sampingan berupa saponifikasi dan hidrolisis, alternatif lain adalah dengan melakukan reaksi transesterifikasi dengan menggunakan katalis asam. FFA dapat bereaksi dengan alkohol membentuk ester (biodiesel) dengan reaksi transesterifikasi katalis asam. Reaksi ini sangat bermanfaat untuk menangani minyak atau lemak dengan FFA yang tinggi. Namun demikian, reaksi transesterifikasi dengan katalis asam ini tidak secepat reaksi transesterifikasi dengan menggunakan katalis basa. Oleh sebab itu, penggunaan katalis basa masih potensial, dengan penambahan proses pretreatment sehingga menghasilkan metil ester yang berkualitas dalam waktu cepat. Beberapa proses pretreatment yang penting dilakukan antara lain: menghilangkan gum (degumming), menghilangkan bau, menghilangkan FFA, aldehid, hidrokarbon tak jenuh, keton, dan semua yang dapat menyebabkan bau dan rasa yang tak diinginkan dalam minyak. Sementara itu, material alkohol yang bisa digunakan dalam reaksi transesterifikasi yaitu metanol, etanol, propanol, butanol, dan amil alkohol. Diantara alkohol tersebut, methanol dan etanol sering digunakan. Terutama metanol, digunakan karena harganya lebih rendah serta keuntungan fisik dan kimianya. Metanol dapat bereaksi dengan trigliserida secara cepat dan katalis basa larut di dalamnya dengan mudah. Bagaimanapun juga, karena titik didihnya rendah maka resiko ledakan besar terkait dengan uap metanol yang tidak bewarna dan berbau. Keduanya baik metanol dan metoksida merupakan bahan yang sangat berbahaya yang seharusnya ditangani secara hati-hati(Leung et al. 2010). Tujuan pencampuran metanol dengan katalis adalah untuk menghasilkan metoksida yang mana bereaksi dengan bahan dasar minyak. 78 | Ragam Biomaterial Dan Bioproduk

Sebagian besar katalis (contohnya NaOH, KOH) dalam bentuk padat dan tidak larut dalam metanol, cara terbaik adalah dengan mengaduk metanol dalam tempat pengaduk dan ditambahkan katalis secara perlahan dan hatihati. Ketika katalis terlarut secara sempurna dalam metanol, metoksida siap ditambahkan ke dalam minyak. Ketika metoksida ditambahkan ke dalam minyak, maka reaksi netralisasi akan berlangsung seketika itu. Reaksi transesterifikasi akan mulai berlangsung ketika katalis, alkohol, dan minyak dicampur dan diaduk dalam bejana reaksi. Reaktor berpengaduk biasanya digunakan sebagai bejana reaksi untuk produksi biodiesel dengan katalis basa secara kontinyu. Teknologi ultrasonik dan microwave dapat digunakan untuk perpindaan massa dan peningkatan laju reaksi. Ketika reaksi transesterifikasi selesai, maka ada 2 produk : ester (biodiesel) dan gliserol. Fase gliserol jauh lebih padat daripada fase biodiesel dan mengendap di bagian bawah bejana reaksi, sehingga terpisah dari fase biodiesel. Pemisahan fase dapat diamati dalam 10 menit dan dapat diselesaikan dalam beberapa jam dengan pengendapan. Campuran reaksi dibiarkan mengendap dalam bejana reaksi untuk memungkinkan pemisahan awal biodiesel dan gliserol, atau campuran tersebut dipompa hingga mengendap dalam bejana. Pada beberapa kasus, sentrifugasi mungkin digunakan untuk memisahkan 2 fase tersebut. Baik biodiesel maupun gliserol terkontaminasi dengan katalis yang tak bereaksi, alkohol, dan minyak selama transesterifikasi. Sabun yang mungkin timbul selama proses juga mengotori fase biodiesel dan gliserol. Walaupun fase gliserol cenderung mengandung persentase kontaminasi lebih tinggi daripada biodiesel, sejumlah besar kontaminan/kotoran juga ada dalam biodiesel. Meskipun biodiesel merupakan produk yang diinginkan dari reaksi, penyaringan gliserol juga penting karena beberapa aplikasi dalam industri produk yang berbeda seperti pelembab, sabun, kosmetik, obat, dan produk gliserol lainnya. Produk gliserol biasanya mengandung komposisi 50% gliserol atau kurang dan sebagian besar mengandung air, garam, alcohol tak bereaksi, dan katalis tak terpakai. Katalis basa tak terpakai biasanya dinetralkan dengan asam. Setelah langkah netralisasi ulang, alkohol dalam fase gliserol dapat dihilangkan melalui proses vacuum flash atau dengan tipe evaporator lainnya. Ragam Biomaterial Dan Bioproduk | 79

Biasanya uap alkohol diembunkan (kondensasi) kembali ke dalam bentuk cairan dan digunakan ulang dalam proses. Bagaimanapun juga, alkohol mungkin mengandung air yang seharusnya dihilangkan dalam kolom distilasi sebelum alkohol dikembalikan ke dalam proses. Langkah perolehan alkohol kembali lebih sulit ketika alkohol yang digunakan (seperti etanol dan isopropanol) membentuk azeotrop dengan air. Penyaring molekuler mungkin digunakan misalnya dengan menggunakan membran Setelah memisahkan dari fase gliserol, biodiesel mentah sebagian besar terkontaminasi dengan sisa katalis, air, alkohol yang tak bereaksi, gliserol bebas, dan sabun yang terbentuk selama reaksi transesterifikasi. Normalnya, biodiesel mentah masuk ke dalam langkah netralisasi dan kemudian melewati stripper alkohol sebelum masuk langkah pencucian. Dalam beberapa kasus, asam ditambahkan ke dalam biodiesel mentah untuk menetralkan sisa katalis dan memecahkan sabun. Alkohol tak bereaksi seharusnya dihilangkan dengan peralatan distilasi sebelum langkah pencucian untuk menghindari alkohol berlebih pada limbah cair. Tabel 12 menjelaskan berbagai metode pencucian biodiesel.

80 | Ragam Biomaterial Dan Bioproduk

Ragam Biomaterial Dan Bioproduk | 81

Selain katalis asam dan basa, biokatalis juga bisa dipakai dalam reaksi transesterifikasi. Keunggulan dari katalis enzim yaitu: energi yang rendah, perolehan gliserol kembali yang mudah dan transesterifikasi gliserida dengan kandungan asam lemak bebas. Namun metil ester yang dihasilkan masih rendah dan harga enzim masih relatif tinggi. Selain itu, waktu reaksi lebih lama dan jumlah air dan pelarut organik yang dibutuhkan lebih banyak dalam reaksi pencampuran (Bajaj et al. 2010). Tabel 13 dan Gambar 50 membandingkan penggunaan katalis kimia dan enzimatik dalam reaksi transesterifikasi. Tabel 14 meringkas beberapa hasil dari penggunaan biokatalis dalam reaksi transesterifikasi. Tabel 13 Perbandingan penggunaan katalis kimia dan enzimatik dalam reaksi transesterifikasi (Leung et al. 2010).

Tipe Basa homogen

Contoh NaOH, KOH

Keunggulan Aktifitas katalis tinggi, harga rendah, kinetik cepat, kondisi operasi sederhana

Kelemahan Membutuhkan FFA yang rendah, kondisi tak berair, saponifikasi, pembentukan emulsi, pemurnian menghasilkan limbah cair yang banyak, sekali pakai.

Basa heterogen

CaO, CaTiO3, CaZrO3, KOH/Al2O3, KOH/NaY, Al2O3/KI, ETS10 zeolit, alumina/silika bantuan K2CO3

Non-korosif, ramah lingkungan, dapat didaur ulang, masalah pembuangan lebih sedikit, pemisahannya mudah, tingkat selektifitas lebih tinggi, umur pakai katalis lebih lama.

Membutuhkan FFA yang rendah, kondisi tak berair, pemurnian menghasilkan limbah cair yang banyak, rasio molar alkohol yang tinggi untuk kebutuhan minyak, suhu dan tekanan reaksi tinggi, keterbatasan difusi, biaya tinggi

82 | Ragam Biomaterial Dan Bioproduk

Asam homogen

Asam sulfat pekat

Esterifikasi dan transesterifikasi katalis secara serempak, menghindari pembentukan sabun

Peralatan mengalami korosi, banyak limbah cair berasal dari netralisasi, susah didaur ulang, suhu reaksi lebih tinggi, waktu reaksi panjang, aktifitas katalis lemah

Asam heterogen

ZnO/I2, ZrO2/SO42-, TiO2/ SO42-, katalis asam padat carbonbased, katalis yang berasal dari karbohidrat, vanadil fosfat, asam niobic, sulfat zirconia, amberlis-15, nafion-NR50

Esterifikasi dan transesterifikasi katalis secara serempak, dapat didaur ulang, ramah lingkungan

Konsentrasi asam rendah, mikroporositas rendah, keterbatasan difusi, biaya tinggi

Enzim

Candida antartika fraksi B lipase, rhizomucor mihei lipase

Menghindari terbentuknya sabun, tidak mencemari, pemurnian lebih mudah

Mahal, denaturasi

.

Ragam Biomaterial Dan Bioproduk | 83

Gambar 50 Perbandingan langkah dalam transesterifikasi menggunakan katalis kimia dan biokatalis(Fukuda et al. 2001).

Ragam Biomaterial Dan Bioproduk | 85

86 | Ragam Biomaterial Dan Bioproduk

Ragam Biomaterial Dan Bioproduk | 87

Dalam hal penyimpanan, biodisel aman untuk disimpan dan sifat biodiesel seharusnya memenuhi standar (ATSM D 6751 dan EN 14214) setelah itu dapat disimpan dalam jangka waktu yang panjang. Ada beberapa kunci faktor yang membutuhkan pertimbangan untuk penyimpanan biodiesel, meliputi suhu ledakan, stabilitas oksidasi, daya larut bahan bakar, dan kesesuaian bahan. Pada suhu antara 7 dan 10oC akan menghindari terbentuknya kristal yang bisa menyebabkan sumbatan pada saluran dan filter bahan bakar. Penambahan antioksidan mungkin dilakukan untuk menjaga stabilitas oksidatif. Stabilitas yang buruk dapat menyebabkan peningkatan nilai asam, viskositas bahan bakar, pembentukan gum, dan endapan. Tangki penyimpanan biodiesel terbuat dari aluminium, baja, teflon, dan fluorinated polyethylene atau polipropilen seharusnya dipilih (Leung et al. 2010).

Ragam Biomaterial Dan Bioproduk | 88

DAFTAR PUSTAKA ABET (2016) Criteria for accrediting engineering programs: Effective for reviews during 2016-2017 accreditation cycles, ABET, Baltimore, Md. Agarwal, A.K. (2007) Biofuels (alcohols and biodiesel) applications as fuels for internal combustion engines. Progress in Energy and Combustion Science 33(3), 233-271. Aoki, H. (1991) Hydroxyapatite, JAAS.

Science

and

Medical

Applications

of

Bajaj, A., Lohan, P., Jha, P.N. and Mehrotra, R. (2010) Biodiesel production through lipase catalyzed transesterification: An overview. Journal of Molecular Catalysis B: Enzymatic 62(1), 9-14. Bigi, A., Foresti, E., Gregorini, R., Ripamonti, A., Roveri, N. and Shah, J.S. (1992) The role of magnesium on the structure of biological apatites. Calcified Tissue International 50(5), 439-444. Boutinguiza, M., Pou, J., Comesaña, R., Lusquiños, F., de Carlos, A. and León, B. (2012) Biological hydroxyapatite obtained from fish bones. Materials Science and Engineering: C 32(3), 478-486. Briassoulis, D., Gallego, E., Pantaleo, A.M., Holden, N.M., Owende, P., Ting, K.C. and Mallikarjunan, K. (2014) The Threads of Biosystems Eengineering. Transactions of the ASABE 57(1), 307 - 330. Brouwer, P. (2010) Theory of XRF: Getting acquainted with the principles, PANalytical BV, Almelo. Carlos, B.M., Rafael, M., Vinicius, F., Rodrigo, C. and Agostini, D.E. (2014) Comparative study of immediately inserted dental implants in sinus lift: 24 months of follow-up. The Annals of Maxillofacial Surgery 4(1), 30-33. Comodi, P., Liu, Y., Zanazzi, P. and Montagnoli, M. (2001) Structural and vibrational behaviour of fluorapatite with pressure. Part I: in situ single-crystal X-ray diffraction investigation. Physics and Chemistry of Minerals 28(4), 219-224.

89

Conchello, J.-A. and Lichtman, J.W. (2005) Optical sectioning microscopy. Nat Meth 2(12), 920-931. Cornillault, J. (1972) Particle Size Analyzer. Applied Optics 11(2), 265-268. Daculsi, G., Bouler, J.M. and LeGeros, R.Z. (1997) International Review of Cytology. Kwang, W.J. (ed), pp. 129-191, Academic Press. Demirbas, A. (2007a) Biodiesel: A Realistic Fuel Alternative for Diesel Engines, Springer London. Demirbas, A. (2007b) Importance of biodiesel as transportation fuel. Energy Policy 35(9), 4661-4670. Demirbas, A. (2008) Relationships derived from physical properties of vegetable oil and biodiesel fuels. Fuel 87(8 9), 1743-1748. Elliott, J.C., Mackie, P.E. and Young, R.A. (1973) Monoclinic Hydroxyapatite. Science 180(4090), 1055-1057. Farrell, A.E., Plevin, R.J., Turner, B.T., Jones, A.D., O'Hare, M. and Kammen, D.M. (2006) Ethanol Can Contribute to Energy and Environmental Goals. Science 311(5760), 506-508. Fercher, A.F. (1996) Optical coherence tomography. Journal of Biomedical Optics 1(2), 157-173. Fercher, A.F., Drexler, W., Hitzenberger, C.K. and Lasser, T. (2003) Optical coherence tomography - Principles and applications. Reports on Progress in Physics 66(2), 239-303. Fernando, S., Murali, N. and Bhushan, S. (2006) The Need to Reform Agricultural Engineering Curricula in Developing Countries. International Journal of Engineering Education 22(1), 79-85. Fukuda, H., Kondo, A. and Noda, H. (2001) Biodiesel fuel production by transesterification of oils. Journal of Bioscience and Bioengineering 92(5), 405-416. Gaiker, C.T. (2004) Handbook for the Prevention and Minimization of Waste and Valorisation of By-products in European Agro-food Industries, AWARENET. Goering, C.E., Schwab, A.W., Daugherty, M.J., Pryde, E.H. and Heakin, A.J. (1982) Fuel Properties of Eleven Vegetable Oils. 25(6). 90 | Daftar Pustaka

Gross, L., Mohn, F., Moll, N., Liljeroth, P. and Meyer, G. (2009) The Chemical Structure of a Molecule Resolved by Atomic Force Microscopy. Science 325(5944), 1110. Guzman Vazquez, C., Pina Barba, C. and Munguia, N. (2005) Stoichiometric hydroxyapatite obtained by precipitation and sol gel processes. Revista mexicana de física 51(3), 284-293. Hahn, B.-D., Park, D.-S., Choi, J.-J., Ryu, J., Yoon, W.-H., Choi, J.H., Kim, H.-E. and Kim, S.-G. (2011) Aerosol deposition of hydroxyapatite chitosan composite coatings on biodegradable magnesium alloy. Surface and Coatings Technology 205(8 9), 3112-3118. Hrynchak, P. and Simpson, T. (2000) Optical coherence tomography: An introduction to the technique and its use. Optometry and Vision Science 77(7), 347-356. Huang, D., Swanson, E., Lin, C., Schuman, J., Stinson, W., Chang, W., Hee, M., Flotte, T., Gregory, K., Puliafito, C. and et, a. (1991) Optical coherence tomography. Science 254(5035), 1178-1181. Huang, Y.-C., Hsiao, P.-C. and Chai, H.-J. (2011) Hydroxyapatite extracted from fish scale: Effects on MG63 osteoblast-like cells. Ceramics International 37(6), 1825-1831. Hwang, B.-K., Lee, C.-H., Chang, I.-S., Drews, A. and Field, R. (2012) Membrane bioreactor: TMP rise and characterization of bio-cake structure using CLSM-image analysis. Journal of Membrane Science 419 420, 33-41. Ivanova, E.P., Hasan, J., Webb, H.K., Gervinskas, G., Juodkazis, S., Truong, V.K., Wu, A.H.F., Lamb, R.N., Baulin, V.A., Watson, G.S., Watson, J.A., Mainwaring, D.E. and Crawford, R.J. (2013) Bactericidal activity of black silicon. Nature Communications 4, 2838. John, A., Varma Hk Fau - Kumari, T.V. and Kumari, T.V. (2003) Surface reactivity of calcium phosphate based ceramics in a cell culture system. J Biomater Appl. 18(1), 63-78. Johnson, D., Hilal, N. and Bowen, W.R. (2009) Atomic Force Microscopy in Process Engineering, pp. 1-30, Butterworth-Heinemann, Oxford.

Daftar Pustaka | 91

Kaleita, A.L. and Raman, D.R. (2012) A rose by any other name: An analysis of agricultural and biological engineering undergraduate curricula. Transactions of the ASABE 55(6), 2371-2378. Kongsri, S., Janpradit, K., Buapa, K., Techawongstien, S. and Chanthai, S. (2013) Nanocrystalline hydroxyapatite from fish scale waste: Preparation, characterization and application for selenium adsorption in aqueous solution. Chemical Engineering Journal 215 216, 522-532. Koonin, S.E. (2006) Getting Serious About Biofuels. Science 311(5760), 435-435. Lal, R. (2005) World crop residues production and implications of its use as a biofuel. Environment International 31(4), 575-584. Leung, D.Y.C., Wu, X. and Leung, M.K.H. (2010) A review on biodiesel production using catalyzed transesterification. Applied Energy 87(4), 1083-1095. Luque, R., Herrero-Davila, L., Campelo, J.M., Clark, J.H., Hidalgo, J.M., Luna, D., Marinas, J.M. and Romero, A.A. (2008) Biofuels: a technological perspective. Energy & Environmental Science 1(5), 542-564. Markovic, M., Fowler, B.O. and Tung, M.S. (2004) Preparation and comprehensive characterization of a calcium hydroxyapatite reference material. Journal of research of the National Institute of Standards and Technology 109(6), 553. Mescher, A. (2009) Junqueira's Basic Histology: Text and Atlas, 12th Edition : Text and Atlas: Text and Atlas, Mcgraw-hill. Mondal, S., Mahata, S., Kundu, S. and Mondal, B. (2010) Processing of natural resourced hydroxyapatite ceramics from fish scale. Advances in Applied Ceramics 109(4), 234-239. Murr, L.E. (2009) Imaging systems and materials characterization. Materials Characterization 60(5), 397-414. Ozawa, M. and Suzuki, S. (2002) Microstructural Development of Natural Hydroxyapatite Originated from Fish-Bone Waste through Heat Treatment. Journal of the American Ceramic Society 85(5), 1315-1317. Paital, S.R. and Dahotre, N.B. (2009) Calcium phosphate coatings for bio-implant applications: Materials, performance factors, and 92 | Daftar Pustaka

methodologies. Materials Science and Engineering: R: Reports 66(1 3), 170. Petit, R. (1999) The use of hydroxyapatite in orthopaedic surgery: A ten-year review. European Journal of Orthopaedic Surgery & Traumatology 9(2), 71-74. Piccirillo, C., Pullar, R.C., Tobaldi, D.M., L. Castro, P.M. and E. Pintado, M.M. (2014) Hydroxyapatite and chloroapatite derived from sardine by-products. Ceramics International 40(8, Part B), 13231-13240. Ragauskas, A.J., Williams, C.K., Davison, B.H., Britovsek, G., Cairney, J., Eckert, C.A., Frederick, W.J., Hallett, J.P., Leak, D.J., Liotta, C.L., Mielenz, J.R., Murphy, R., Templer, R. and Tschaplinski, T. (2006) The Path Forward for Biofuels and Biomaterials. Science 311(5760), 484489. Rajadhyaksha, M., Grossman, M., Esterowitz, D., Webb, R.H. and Rox Anderson, R. (1995) In Vivo Confocal Scanning Laser Microscopy of Human Skin: Melanin Provides Strong Contrast. Journal of Investigative Dermatology 104(6), 946-952. Rapson, T.D. and Dacres, H. (2014) Analytical techniques for measuring nitrous oxide. TrAC Trends in Analytical Chemistry 54, 65-74. Raynaud, S., Champion, E., Bernache-Assollant, D. and Thomas, P. (2002) Calcium phosphate apatites with variable Ca/P atomic ratio I. Synthesis, characterisation and thermal stability of powders. Biomaterials 23(4), 1065-1072. Robinson, I.K. and Tweet, D.J. (1992) Surface X-ray diffraction. Reports on Progress in Physics 55(5), 599-651. Sadat-Shojai, M., Khorasani, M.-T., Dinpanah-Khoshdargi, E. and Jamshidi, A. (2013) Synthesis methods for nanosized hydroxyapatite with diverse structures. Acta Biomaterialia 9(8), 7591-7621. Saxena, R.C., Adhikari, D.K. and Goyal, H.B. (2009) Biomass-based energy fuel through biochemical routes: A review. Renewable and Sustainable Energy Reviews 13(1), 167-178. Schaub, G. and Vetter, A. (2008) Biofuels for Automobiles Overview. Chemical Engineering & Technology 31(5), 721-729.

An

Daftar Pustaka | 93

Shi, D. (2006) Introduction to Biomaterials, Tsinghua University Press. Suga, M., Asahina, S., Sakuda, Y., Kazumori, H., Nishiyama, H., Nokuo, T., Alfredsson, V., Kjellman, T., Stevens, S.M., Cho, H.S., Cho, M., Han, L., Che, S., Anderson, M.W., Schüth, F., Deng, H., Yaghi, O.M., Liu, Z., Jeong, H.Y., Stein, A., Sakamoto, K., Ryoo, R. and Terasaki, O. (2014) Recent progress in scanning electron microscopy for the characterization of fine structural details of nano materials. Progress in Solid State Chemistry 42(1 2), 1-21. Venkatesan, J., Lowe, B., Manivasagan, P., Kang, K.-H., Chalisserry, E.P., Anil, S., Kim, D.G. and Kim, S.-K. (2015) Isolation and Characterization of Nano-Hydroxyapatite from Salmon Fish Bone. Materials 8(8), 5426-5439. Vernon-Parry, K.D. (2000) Scanning electron microscopy: an introduction. III-Vs Review 13(4), 40-44. Vernon-Parry, K.D. and Wright, A.C. (2000) TEM: an introduction. III-Vs Review 13(6), 36-40. Vernon-Parry, K.D. and Wright, A.C. (2001) TEM: An introduction part 2. III-Vs Review 14(1), 48-51. Walker, H.B. (1931) Agricultural engineering educational standards. Agricultural Engineering 12(9), 345-347. Wall, G. (2006) Agricultural Engineering Education in Developing and Transition Countries. The International Journal of Engineering Education 22(1), 67-70. Wibisono, Y., Ahmad, F., Cornelissen, E., Kemperman, A. and Nijmeijer, K. (2016) Dominant factors controlling the efficiency of twophase flow cleaning in spiral-wound membrane elements. Desalination and Water Treatment 57(38), 17625-17636. Wibisono, Y., El Obied, K.E., Cornelissen, E.R., Kemperman, A.J.B. and Nijmeijer, K. (2015a) Biofouling removal in spiral-wound nanofiltration elements using two-phase flow cleaning. Journal of Membrane Science 475(0), 131-146.

94 | Daftar Pustaka

Wibisono, Y. and Widodo, S. (2015) Concentration Boundary Layer in Membrane Degumming: A CFD Model and Neural Network Approach. Procedia Environmental Sciences 28, 224-233. Wibisono, Y., Yandi, W., Golabi, M., Nugraha, R., Cornelissen, Emile R., Kemperman, A.J.B., Ederth, T. and Nijmeijer, K. (2015b) Hydrogel-coated feed spacers in two-phase flow cleaning in spiral wound membrane elements: A novel platform for eco-friendly biofouling mitigation. Water Research 71(0), 171-186. Ylinen, P. (2006) Applications of coralline hydroxyapatite with bioabsorbable containment and reinforcement as bone graft substitute. Academic dissertation, Helsinki. Young, R.E. (2006a) The `Bio'-Type Engineering Name Game. International Journal of Engineering Education 22(1), 23-27. Young, R.E. (2006b) Comparisons of `Bio'-type Engineering Undergraduate Curricula from Agricultural, Medical and Chemical Origins. International Journal of Engineering Education 22(1), 14-22.

Daftar Pustaka | 95

BIOGRAFI PENULIS Yusuf Wibisono, STP, MSc., PhD adalah dosen di Program Studi Teknologi Bioproses Universitas Brawijaya Malang. Lulusan program MSc dalam bidang Materials and Chemical Engineering dari Chung Yuan University Taiwan dan program PhD dalam bidang Chemical and Process Engineering kekhususan bidang Membrane Technology dari University of Twente Belanda.

Minat penelitian dalam bidang: • Membrane technology for: separation/purification and energy generation • Water technology: Drinking water technology, water and waste water treatment, water reuse for agriculture • Sustainable energy technology: biofuels and bioreactors • Fluid dynamics: two-phase flow processes, bubble columns, cooling tower • Biomaterial: Bio-based material, biomass utilization, bio-compatible material Merupakan anggota Editor pada jurnal internasional Journal of Biosystems Engineering yang diterbitkan oleh Korean Society of Agricultural Machinery. Menjadi mitra bestari (reviewer) dari berbagai jurnal internasional seperti Energy Conversion and Management (Impact factor 4.801 ), Separation and Purification Technology (Impact factor 3.299 ) dan Journal of Membrane Science (Impact factor 5.557). Untuk mendapatkan informasi lebih lengkap silakan mengunjungi laman www.drywibisono.net.

97

Related Documents


More Documents from "Panduan Asmara"