Ipd - Infeksi.pdf

  • Uploaded by: ryan enots
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Ipd - Infeksi.pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 6,142
  • Pages: 115
Loading documents preview...
www.optImaprep.com

d r. Y o l i n a | d r R e s t h i e Jakarta Jl. Layur Kompleks Perhubungan VIII No.52 RT.001/007 Kel. Jati, Pulogadung, Jakarta Timur WA. 081380385694/081314412212

Medan Jl. Setiabudi Kompleks Setiabudi Square No. 15 Kel. Tanjung Sari, Kec. Medan Selayang 20132 WA/Line 082122727364

INFEKSI DENGUE

Demam Berdarah Dengue • Definisi : Penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypty dan Aedes albopictus serta memenuhi kriteria WHO untuk DBD • dicurigai apabila ditemukan demam tinggi (40°C) diikuti 2 dari gejala berikut: – – – –

nyeri kepala, nyeri dibelakang mata, nyeri otot dan sendi, mual, muntah, atau timbul bintik merah.

• Gejala ini muncul selama 2-7 hari setelah 4-10 hari dari pertama gigitan nyamuk yang terinfeksi.

INFEKSI DENGUE

INFEKSI DENGUE

Shock Bleeding

Serologi Infeksi Dengue • NS1: – antigen nonstructural untuk replikasi virus yang dapat dideteksi sejak hari pertama demam. – Puncak deteksi NS1: hari ke 2-3 (sensitivitas 75%) & mulai tidak terdeteksi hari ke 5-6.

• Untuk membedakan infeksi dengue primer atau sekunder digunakan pemeriksaan IgM & IgG antidengue. – Infeksi primer IgM (+) setelah hari ke 3-6 & hilang dalam 2 bulan, IgG muncul mulai hari ke-12. – Pada infeksi sekunder IgG dapat muncul sebelum atau bersamaan dengan IgM – IgG bertahan berbulan-bulan & dapat (+) seumur hidup sehingga diagnosis infeksi sekunder dilihat dari peningkatan titernya. Jika titer awal sangat tinggi 1:2560, dapat didiagnosis infeksi sekunder.

WHO SEARO, Dengue prevention & management. 2011.

Primary infection: • IgM: detectable by days 3–5 after the onset of illness,  by about 2 weeks & undetectable after 2–3 months. • IgG: detectable at low level by the end of the first week & remain for a longer period (for many years).

Infeksi Primer

Secondary infection: • IgG: detectable at high levels in the initial phase, persist from several months to a lifelong period. • IgM: significantly lower in secondary infection cases.

Infeksi Sekunder

• Transfusi trombosit: • Hanya diberikan pada DBD dengan perdarahan masif (4-5 ml/kgBB/jam) dengan jumlah trombosit <100.000/uL, dengan atau tanpa DIC. • Pasien DBD trombositopenia tanpa perdarahan masif tidak diberikan transfusi trombosit.

MALARIA

Malaria • Penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit Plasmodium dan ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles. Berdasarkan jenis plasmodiumnya, infeksi malaria ini dapat menimbulkan berbagai gejala antara lain: – Plasmodium vivax  malaria tertian benigna/malaria vivax – Plasmodium falciparum  malaria tertiana maligna/ malaria Tropicana – Plasmodium malariae  malaria kuartana – Plasmodium ovale  malaria tertian benigna ovale

Malaria

Malaria

Malaria

Malaria

Malaria the disease • 9-14 day incubation period • Fever, chills, headache, back and joint pain • Gastrointestinal symptoms (nausea, vomiting, etc.)

Malaria the disease • Malaria tertiana: 48h between fevers (P. vivax and ovale) •

Malaria quartana: 72h between fevers (P. malariae)



Malaria tropica: irregular high fever (P. falciparum)

Tatalaksana Malaria Falciparum • Lini pertama – Menggunakan ACT (dihydroartemisinin piperakuin (DHP) atau artesunat + amodiakuin) selama 3 hari + primakuin dosis tunggal

• Lini kedua (bila resisten terhadap lini pertama) – Kina + doksisiklin/ tetrasiklin + primakuin – Dosis: • Kina: 10 mg/kgBB/kali, 3x/hari, PO, selama 7 hari • Primakuin: 0.25 mg/kgBB

Tatalaksana Malaria Vivaks dan Ovale • Lini pertama – Menggunakan ACT (dihydroartemisinin piperakuin (DHP) atau artesunat + amodiakuin) selama 3 hari + primakuin dosis tunggal – Dosis: sama seperti malaria falciparum, namun primakuin diberikan selama 14 hari dengan dosis 0.25 mg/kgBB

• Lini kedua (bila resisten terhadap lini pertama) – Kina + primakuin – Dosis: • Kina: 10 mg/kgBB/kali, 3x/hari, PO, selama 7 hari • Primakuin: 0.25 mg/kgBB/hari selama 14 hari (0.5 mg bila relaps)

Tatalaksana Malaria Malariae dan Malaria Mix (Falciparum + Vivaks) • Malaria malariae – ACT 1x/hari selama 3 hari

• Malaria Mix – ACT – Dosis primakuin hari pertama 0.75 mg/kgBB – Hari 2-14 primakuin dosis 0.25 mg/kgBB • Tetrasiklin/ doksisiklin dikontraindikasikan pada ibu hamil dan anak < 8 tahun • Primakuin dikontraindikasikan pada bayi < 6 bulan dan ibu hamil (Depkes, 2017) • Tatalaksana malaria pada ibu hamil pada trimester 1 s.d. 3 adalah ACT selama 3 hari TANPA primakuin, baik malaria falciparum maupun vivaks

Pengobatan Malaria dengan DHP dan Primakuin

1 atau 14*

* Jika infeksi malaria falciparum maka primakuin hanya diberikan sekali dosis tunggal, sedangkan jika infeksi malaria vivakx atau campuran falsiparum dan vivaks, maka primakuin diberikan selama 14 hari

Malaria Berat • Malaria berat adalah ditemukannya Plasmodium falciparum stadium aseksual dengan minimal satu dari manifestasi klinis atau didapatkan temuan hasil laboratorium (WHO, 2015): – – – – –

Perubahan kesadaran (GCS<11, Blantyre <3) Kelemahan otot (tak bisa duduk/berjalan) Kejang berulang-lebih dari dua episode dalam 24 jam Distres pernafasan Gagal sirkulasi atau syok: pengisian kapiler > 3 detik, tekanan sistolik <80 mm Hg (pada anak: <70 mmHg) 6. Jaundice (bilirubin>3mg/dL dan kepadatan parasit >100.000) – Hemoglobinuria – Perdarahan spontan abnormal – Edema paru (radiologi, saturasi Oksigen <92%

Malaria Berat Kriteria laboratorium malaria berat: • Hipoglikemi (gula darah <40 mg%) • Asidosis metabolik (bikarbonat plasma <15 mmol/L). • Anemia berat (Hb <5 gr% untuk endemis tinggi, <7gr% untuk endemis sedang-rendah), pada dewasa, Hb<7gr% atau hematokrit <15%) • Hiperparasitemia (parasit >2 % eritrosit atau 100.000 parasit /μL di daerah endemis rendah atau > 5% eritrosit atau 100.0000 parasit /μl di daerah endemis tinggi) 5 • Hiperlaktemia (asam laktat >5 mmol/L) • Hemoglobinuria • Gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum >3 mg%)

Cerebral Malaria • Possible cause: • Binding of parasitized red cells in cerebral capillaries → sekuestrasi → severe malaria •  permeability of the blood brain barrier • Excessive induction ofcytokines

http://www.microbiol.unimelb.edu.au

Pilihan utama Malaria Berat di RS: Artesunat • Artesunate parenteral tersedia dalam vial yang berisi 60 mg serbuk kering dan pelarut natrium bikarbonat 5%. • Untuk membuat larutan artesunat dengan mencampur 60 mg serbuk kering dengan larutan biknat 5%. Kemudian ditambah larutan Dextrose 5% sebanyak 5 cc.







Artesunat (AS) diberikan dengan dosis 2,4 mg/kgBB per-iv, sebanyak 3 kali jam ke 0, 12, 24. Selanjutnya diberikan 2,4 mg/kgbb per-iv setiap 24 jam sampai penderita mampu minum obat. Larutan artesunat bisa diberikan secara intramuskular dengan dosis yang sama. Apabila sudah dapat minum obat, pengobatan dilanjutkan dengan dihydroartemisinin-piperakuin atau ACT lainnya selama 3 hari + primakuin

Pilihan lainnya: Artemeter • Artemeter intramuskular tersedia dalam ampul yang berisi 80 mg artemeter dalam larutan minyak. • Artemeter diberikan dengan dosis 3,2 mg/kgBB intramuskular. Selanjutnya artemeter diberikan 1,6 mg/kgBB intramuskular satu kali sehari sampai penderita mampu minum obat.

• Apabila sudah dapat minum obat, pengobatan dilanjutkan dengan dihydroartemisininpiperakuin atau ACT lainnya selama 3 hari + primakuin

Pilihan lainnya: Kina • Kina per-infus masih merupakan obat alternatif untuk malaria berat pada daerah yang tidak tersedia derivat artemisinin parenteral Dalam bentuk ampul kina hidroklorida 25%. • Satu ampul berisi 500 mg/2 ml.

• Kina tidak boleh diberikan secara bolus intra vena, karena toksik bagi jantung dan dapat menimbulkan kematian.

*Pengobatan malaria berat di tingkat Puskesmas dilakukan dengan memberikan artemeter ataupun kina hidroklorida intramuscular sebagai dosis awal sebelum merujuk ke RS rujukan.

Pilihan lainnya: Kina • Loading dose kina: 20 mg garam/kgBB dilarutkan dalam 500 ml dextrose 5% atau NaCl 0,9% diberikan selama 4 jam pertama. • Selanjutnya selama 4 jam kedua hanya diberikan cairan dextrose 5% atau NaCl 0,9%. • Setelah itu, diberikan kina dengan dosis rumatan 10 mg/kgBB dalam larutan 500 ml dekstrose 5 % atau NaCl selama 4 jam. • Empat jam selanjutnya, hanya diberikan cairan dextrose 5% atau NaCl 0,9%. • Setelah itu diberikan dosis rumatan seperti di atas sampai penderita dapat minum kina per oral. • Bila sudah dapat minum obat pemberian kina IV diganti dengan kina tablet dengan dosis 10 mg/kgBB/kali diberikan tiap 8 jam. • Kina oral diberikan bersama doksisiklin, tetrasiklin pada orang dewasa atau klindamisin pada ibu hamil. • Dosis total kina selama 7 hari dihitung sejak pemberian kina per infus yang pertama

Profilaksis Malaria NON FARMAKOLOGIS • Tidur menggunakan kelambu yang sudah dicelup pestisida • Menggunakan obat pembunuh nyamuk (mosquito repellant) • Proteksi diri saat keluar dari rumah (baju berlengan panjang, kus/stocking) • Proteksi kamar atau ruangan menggunakan kawat anti nyamuk

Profilaksis Malaria FARMAKOLOGISKemoprofilaksis saat ke daerah endemis • • •

Daerah sensitif klorokuin Ibu hamil Imunitas rendah



Resisten klorokuin : doksisiklin 100 mg/hari (sejak 1-2 hari sebelum berangkat s.d. 4 minggu setelah pulang) atau meflokuin 250 mg/minggu (sejak 2 minggu sblm berangkat hingga 4 minggu setelah kembali) atau klorokuin 2 tablet/minggu + proguanil 200 mg/hari



Alternatif : primakuin 0.5 mg/kgBB/hari (1-2 hari sebelum berangkat hingga 1 minggu setelah pulang)

2 tablet klorokuin (250 mg) tiap minggu sejak 1 minggu sebelum berangkat hingga 4 minggu setelah kembali

DEMAM TIFOID

Demam Typhoid • Penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh infeksi kuman Salmonella typhi atau Salmonella partatyphii • Gejala dan tanda klinis – demam naik secara bertangga terutama pada sore dan malam hari – sakit kepala – nyeri otot – anoreksia, mual, muntah – obstipasi atau diare, kesadaran berkabut, – bradikardia relatif – lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah, serta tremor), – hepatomegali, splenomegali, nyeri abdomen, – roseolae (jarang pada orang Indonesia).

Patofisiologi Demam Tifoid • S. Typhi masuk  sampai usus halus  menembus sel epitel  ke lamina propria  difagosit makrofag  berkembang biak dalam makrofag  ke Plak Peyeri  KGB mesenterika  duktus torasikus  bakterimia  ke hepar& lien  bakterimia dan diekskresikan bersama cairan empedu ke lumen usus

Sensitivity of Typhoid Cultures

Blood cultures: often (+) in the 1st week. (gold standard) Stools cultures: yield (+) from the 2nd or 3rd week on. Urine cultures: may be (+) after the 2nd week. (+) culture of duodenal drainage: presence of Salmonella in carriers.

Kultur Typhoid • Bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses. • Media pembiakan yang direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi • Media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut. • Biakan sumsum tulang merupakan metode dengan sensitivitas tertinggi karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. – Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari.

Widal test:

• Deteksi antibodi terhadap antigien somatik O & flagel H dari salmonella. • Diagnosis (+): peningkatan titer >4 x setelah 5-10 hari dari hasil pertama. • Antibody O meningkat setelah 6-8 hari, antibodi H meningkat setelah 1012 hari. • Pada daerah endemik, tes widal tunggal tidak reliabel karena antibodi terhadap H dan O dapat terdeteksi hingga 1/160 pada populasi normal. Karena itu, sebagian memakai batas titer H dan/ O ≥ 1/320 sebagai nilai yang signifikan.

Typhidot • Deteksi IgM dan IgG terhadap outer membrane protein (OMP) 50 kDa dari S. typhi. • Positif setelah infeksi hari 2-3.

Tubex TF • Deteksi IgM anti lipopolisakarida O9 dari Salmonella serogroup D (salah satunya S. typhi). • Positif setelah hari ke 3-4. A Comparative Study of Typhidot and Widal Test in Patients of Typhoid Fever. JIACM 2004; 5(3): 244-6.

Pilihan Antibiotik Untuk Demam Tifoid (WHO 2011)

Demam Tifoid Golongan Fluorokionolon: • Norfloksasin 2x400mg/hari selama 14 hari • Siprofloksasin 2x500mg selama 6 hari (5-7 hari) • Ofloksasin 2x400 mg/hari selama 7 hari • Pefloksasin 400 mg/hari selama 7 hari • Fleroksasin 400 mg/hari selama 7 hari

Demam Tifoid • Kloramfenikol 4x500 mg PO atau IV diberikan sampai 7 hari bebas demam • Kotrimoksazol 2x2 tabley (1 tablet : Sulfametoksazol 400mg dan Trimetoprim 80 mg) diberikan selama 2 minggu. • Ampisilin dan Amoksisilin 50-150mg/KgBB selama 2 minggu • Sefalosporin generasi ketiga IV 4 gr dalam dekstrosa 100cc diberikan selama ½ jam sekali sehari selama 3-5 hari. • Cefixime dapat diberikan 7-14 hari.

PPK Dokter di Fasyankes (IDI 2014) • Terapi suportif dapat dilakukan dengan: – Istirahat tirah baring dan mengatur tahapan mobilisasi – Menjaga kecukupan asupan cairan, yang dapat diberikan secara oral maupun parenteral. – Diet bergizi seimbang, konsistensi lunak, cukup kalori dan protein, rendah serat.

– Konsumsi obat-obatan secara rutin dan tuntas – Kontrol dan monitor tanda vital (tekanan darah, nadi, suhu, kesadaran), kemudian dicatat dengan baik di rekam medik pasien

• Terapi simptomatik: – untuk menurunkan demam (antipiretik) dan mengurangi keluhan gastrointestinal.

• Terapi definitif : – Antibiotik lini pertama untuk demam tifoid adalah Kloramfenikol, Ampisilin atau Amoksisilin (aman untuk penderita yang sedang hamil), atau Trimetroprimsulfametoxazole (Kotrimoksazol). – Bila pemberian salah satu antibiotik lini pertama dinilai tidak efektif, dapat diganti dengan antibiotik lain atau dipilih antibiotik lini kedua yaitu Seftriakson, Sefiksim, Kuinolon (tidak dianjurkan untuk anak <18 tahun karena dinilai mengganggu pertumbuhan tulang).

PPK Dokter di Fasyankes (IDI 2014)

INFEKSI CACING

Filariasis • Penyakit yang disebabkan cacing Filariidae, dibagi menjadi 3 berdasarkan habitat cacing dewasa di hospes: – Kutaneus: Loa loa, Onchocerca volvulus, Mansonella streptocerca – Limfatik: Wuchereria bancroftii, Brugia malayi, Brugia timori – Kavitas tubuh: Mansonella perstans, Mansonella ozzardi

• Fase gejala filariasis limfatik: – Mikrofilaremia asimtomatik – Adenolimfangitis akut: limfadenopati yang nyeri, limfangitis retrograde, demam, tropical pulmonary eosinophilia (batuk, mengi, anoreksia, malaise, sesak) – Limfedema ireversibel kronik

• Grading limfedema (WHO, 1992): – Grade 1 - Pitting edema reversible with limb elevation – Grade 2 - Nonpitting edema irreversible with limb elevation – Grade 3 - Severe swelling with sclerosis and skin changes

Wayangankar S. Filariasis. http://emedicine.medscape.com/article/217776-overview WHO. World Health Organization global programme to eliminate lymphatic filariasis. WHO Press; 2010.

Distribusi Cacing Filaria di Indonesia

Subdit Fiariasis dan Kecacingan, Direktorat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik

WUCHERERIA BANCROFTII

• Panjang: lebar kepala sama • Inti teratur • Tidak terdapat inti di ekor

BRUGIA M A L AY I

• Perbandingan panjang:lebar kepala 2:1 • Inti tidak teratur • Inti di ekor 2-5 buah

BRUGIA TIMORI

• Perbandingan panjang:lebar kepala 3:1 • Inti tidak teratur • Inti di ekor 5-8 buah

Filariasis: Pemeriksaan dan Terapi • Pemeriksaan penunjang: – – – –

Deteksi mikrofilaria di darah Deteksi mikrofilaria di kiluria dan cairan hidrokel Antibodi filaria, eosinofilia Biopsi KGB

• Pengobatan: – Tirah baring, elevasi tungkai, kompres – Antihelmintik (ivermectin, DEC, albendazole) – DEC: 6 mg/kgBB/hari selama 12 hari – Ivermectin hanya membunuh mikrofilaria: 150 ug/kgBB SD/6 bln, atau /tahun bila dikombinasi dengan DEC SD

– Suportif – Pengobatan massal dengan albendazole + ivermectin (untuk endemik Onchocerca volvulus) atau albendazole + DEC (untuk nonendemik Onchocerca volvulus) guna mencegah transmisi (DEC + Albendazol 400 mg/tahun selama 5 tahun) – Bedah (untuk kasus hidrokel/elefantiasis skrotal) – Diet rendah lemak dalam kasus kiluria Parasitologi Kedokteran, FKUI

Askariasis (Cacing Gelang) Gejala •

Rasa tidak enak pada perut (gangguan lambung); kejang perut, diselingi diare; kehilangan berat badan; dan demam; ileus obstruktif



Telur – Fertilized: bulat, bile stained (coklat), dilapisi vitelin dan unstructured albuminoid (tidak teratur), ukuran diameter 50 dan 75 mcm – Unfertilized: lonjong, permukaan bisa tidak teratur atau teratur (dekortikated), dinding lebih tipis, ukuran diameter 43 dan 95 mcm

DOC: Albendazole 400 mg SD Alternatif: Mebendazole 2x100mg p.o selama 3 hari atau 500 mg SD Hamil atau usia < 2 tahun: Pyrantel pamoat 11 mg/kgBB selama 3 hari

Nekatoriasis (Cacing Tambang) Gejala •

Mual, muntah, diare & nyeri ulu hati; pusing, nyeri kepala; lemas dan lelah; anemia

Telur • •

Dinding tipis & transparan, berisi 4-8 sel embrio atau embrio cacing Diameter 40 dan 55 mcm

DOC: Albendazole 400 mg SD Alternatif: Mebendazole 2x100mg p.o selama 3 hari atau 500 mg SD Hamil atau usia < 2 tahun: Pyrantel pamoat 11 mg/kgBB selama 3 hari

Trikuriasis (Cacing Cambuk) Gejala • nyeri ulu hati, kehilangan nafsu makan, diare, anemia, prolaps rektum

Telur •

Seperti tempayan/ lemon, memiliki dua kutub • Ukuran 20-25 mcm dan 5055 mcm

DOC: Mebendazole 500 mg SD Alternatif: Albendazole 400 mg selama 3 hari Hamil atau usia < 2 tahun: Pyrantel pamoat 11 mg/kgBB selama 3 hari

Oksiuriasis (Cacing Kremi) • Nama lain: Enterobius vermicularis • Gejala – Gatal di sekitar dubur (terutama pada malam hari pada saat cacing betina meletakkan telurnya), gelisah dan sukar tidur – Pemeriksaan: perianal swab dengan Scotch adhesive tape – Telur lonjong dan datar pada satu sisi, bening DOC: Mebendazole 500 mg SD Alternatif: Albendazole 400 mg SD Hamil atau usia < 2 tahun: Pyrantel pamoat 11 mg/kgBB 2 minggu setelahnya diberikan lagi dosis sama

Taeniasis & Sistiserkosis (Cacing Pita) Gejala •

mual, konstipasi, diare; sakit perut; lemah; kehilangan nafsu makan; sakit kepala; berat badan turun, benjolan pada jaringan tubuh (sistiserkosis) Telur • Bulat dengan embrio berstria radier tebal • Berisi onkosfer dengan 6 kait • Ukuran 31-34 mcm

DOC: Prazikuantel 5-10 mg/kgBB SD (untuk anak ≤ 4 tahun safety dan efficacy belum jelas) Alternatif: Albendazole 15 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 2 dosis selama 15 hari

Proglotid Gravid T. Solium vs T. Saginata Taenia Saginata

Taenia Solium



Folikel testis yang berjumlah 300-400 buah, tersebar di bidang dorsal



Serupa dengan proglotid T. Saginata namun jumlah folikel testisnya lebih sedikit, yaitu 150-200 buah



Uterus tumbuh dari bagian anterior ootip dan menjulur kebagian anterior proglotid



Proglotid gravid mempunyai ukuran panjang hampir sama dengan lebarnya



Jumlah cabang uterus: 7-12 buah pada satu sisi



Lubang kelamin letaknya bergantian selang-seling pada sisi kanan atau kiri strobila secara tidak beraturan



Berisi kira-kira 30.000-50.000 buah telur.





Jumlah cabang uterus: 15-30 buah pada satu sisinya dan tidak memiliki lubang uterus (porus uterinus) Proglotid yang sudah gravid letaknya terminal dan sering terlepas dari strobila

P E R B E DA A N K A R A K T E R I ST I K T. s a g i n a t a

T. s o l i u m

Penyakit

Taeniasis

Taeniasis dan sistiserkosis

Panjang cacing dws

4-12 m

2-4 m & 8 m

∑ proglotid

1000-2000

800-1000

Skolek

Tanpa rostelum/kait-kait Punya rostelum + kait-kait

Proglotid

Keluar sendiri scr aktif satu-satu

Keluar bersama tinja 2-3 progl.

Matang

Ovarium 2 lobus

Ovarium trilobus

Gravid

15-30 cabang lateral

7-12 cabang lateral

∑ telur/proglotid

100.000

30.000-50.000

Larva

Cystisercus bovis

Cystisercus cellulose

Hospes perantara

Sapi

Babi dan manusia

Cara infeksi

Makan daging sapi yg Makan daging babi yg mengandung mengandung cystisercus cystisercus cellulose (mjd taeniasis) bovis dan tertelan telur (mjd sistiserkosis)

Neurocysticercosis • Cysticercosispenyakit akibat infeksi T. Solium • Neurocysticercosis  penyakit akibat infeksi T. solium ke CNS • Terbagi menjadi parenkimal dan ekstraparenkimal - Pada parenkimal, penyakit terjadi karena T. solium menginfeksi parenkim otak - Pada ekstraparenkimal, penyakit terjadi karena T. solium bermigrasi ke dalam CSF dan masuk ke ventrikel, sisterna, subarachnoid, dan juga mata dan medulla spinalis

• Akan tetapi, 80% asimptomatik • Gejala umum: kejang, peningkatan TIK, meningoensefalitis, gangguan psikiatri, stroke, dan radikulopati dan/atau myelopati

Neurocysticercosis • Neurocysticercosis parenkimal - Kejang fokal, fokal dengan parsial umum, atau umum - Nyeri kepala seperti migrain atau tension - Defisit neurokognitifsulit mempelajari sesuatu, depresi, bahkan psikotik

• Neurocysticercosis ekstraparenkimal - Nyeri kepala - Hidrosefalus - Peningkatan TIK (mual, muntah, nyeri kepala, penurunan kesadaran, dsb) - Jika terdapat di basilar cisterns bisa menyebabkan hidrosefalus komunikans atau bahkan lacunar infarct - Jika ada di spinalradiculopaty - Jika di matagangguan penglihatan

Neurocysticercosis • Tatalaksana – Mengatasi peningkatan TIK (bedah dan atau kortikosteroid) dan kejang, jika ada. • Operasi eksisi pada lesi • Antikonvulsan jika kejang • Kortikosteroidjika ada edema serebri atau vaskulitis (prednisone 1mg/kgBB/hari)

• Setelah itu, bisa diberikan antiparasit dan anti-inflamasi. Antiparasit tidak boleh diberikan pada pasien dengan tanda peningkatan TIK dan harus ditambah steroid sebelum dan selama pemberian. – Untuk pasien dengan satu atau dua kista, pengobatan terdiri dari albendazole (15 mg/kgBB/2 dosis per hari maks 1200 mg per hari) selama 10-14 hari. – Untuk pasien dengan lebih dari dua kista, pengobatan terdiri dari albendazole (15 mg / kgBB/2 dosis per hari maks 1200 mg per hari) dan praziquantel (50 mg/kgBB/3 dosis per hari) selama 10-14 hari

Schistosoma • Penyakit : skistosomiasis= bilharziasis • Spesies tersering: S. japonicum dan S. haematobium

• Morfologi dan Daur Hidup

– Hidup in copula di dalam pembuluh darah vena-vena usus, vesikalis dan prostatika – Di bagian ventral cacing jantan terdapat canalis gynaecophorus, tempat cacing betina – Telur tidak mempunyai operkulum dan berisi mirasidium, mempunyai duri dan letaknya tergantung spesies – Telur dapat menembus keluar dari pembuluh darah, bermigrasi di jaringan dan akhirnya masuk ke lumen usus atau kandung kencing – Telur menetas di dalam air mengeluarkan mirasidium

Daur Hidup Schistosoma sp.

Schistosoma Haematobium • Tersebar terutama di Afrika dan Timur Tengah • Ukuran telur: panjang 110-170 µm dan lebar 40-70 µm, memiliki tonjolan spinal • Telur mengandung mirasidium matur yang tersebar di urin

Schistosoma japonicum TELUR BENTUK : BULAT AGAK LONJONG DNG TONJOLAN DI BAGIAN

LATERAL DEKAT KUTUB UKURAN : 100 x 65 µm TELUR BERISI EMBRIO TANPA OPERKULUM

Tersebar di daerah Timur (termasuk Indonesia)

SERKARIA Schistosoma sp EKOR BERCABANG

Gejala Klinis & Pemeriksaan Penunjang –

Efek patologis tergantung jumlah telur yang dikeluarkan dan jumlah cacing Keluhan

– • •

S. mansoni & japonicum: demam Katamaya, fibrosis periportal, hipertensi portal, granuloma pada otak & spinal S. haematobium: hematuria, skar, kalsifikasi, karsinoma sel skuamosa, granuloma pada otak dan spinal

– –

Pada infeksi berat → Sindroma disentri Hepatomegali timbul lebih dini disusul splenomegali; terjadi 6-8 bulan setelah infeksi



Pemeriksaan Penunjang • •

Mikroskopik feses: semua spesies Mikroskopik urin: spesies haematobium Sumber: http://www.cdc.gov/dpdx/schistosomiasis/dx.html

Fascioliasis (Liver Flukes) • Biasanya menginfeksi duktus biliaris dan hati, namun dapat mengenai bagian tubuh yang lain • Fase Akut: gejala muncul akibat migrasi parasit dari intestinal ke dan melewati hati • Gejala dan Tanda – Masalah GI seperti mual, muntah, nyeri perut, – Demam, ruam, dan sulit bernapas dapat terjadi

http://web.stanford.edu/group/parasites/ParaSites2001/fascioliasis/Fasciola.htm

Fase Infeksi



Acute Phase – Rarely seen in humans – Occurs only when a large number of metacercariae are ingested at once. – After 4-7 days after ingestion: Fever, tender hepatomegaly, and abdominal pain the most frequent symptoms – vomiting, diarrhea, urticaria (hives), anemia, and may all be present. – Caused by the migration of the F. hepatica larvae throughout the liver parenchyma., the larvae penetrate the liver capsule – Migration continues for 6-8 weeks until the larvae mature and settle in the bile ducts.



Chronic Phase – Much more common in human populations – Biliary cholic, abdominal pain, tender hepatomegaly, and jaundice, severe anemia (In children) – These symptoms reflect the biliary obstruction and inflammation caused by the presence of the large adult worms and their metabolic waste in the bile ducts. – Inflammation of the bile ducts eventually leads to fibrosis and a condition called "pipestem liver", a term describing the white appearance of the biliary ducts after fibrosis portal cirrhosis and death.



Halzoun – a type of Fasciola hepatica infection in which the worm settles in the pharynx – This occurs when an individual consumes infected raw liver. – The young adult worms then attach themselves to the pharyngeal mucosa which causes considerable pain, edema, and bleeding that can interfere with respiration – The adults can live in the biliary ducts, causing symptoms for up to 10 years.



Ectopic Infection – Ectopic infections through normal transmission are infrequent but can occur in the peritoneal cavity, intestinal wall, lungs, subcutaneous tissue, and very rarely in other locations.

Fasciola Hepatica: Siklus Hidup

Fasciola Hepatica: Telur pada Mikroskopik

A, B, C: Telur Fasciola hepatica. Pengecatan: iodine. A,B bentuk membulat; C. Terlihat operculum pada terminal

Fasciola Hepatica: Tatalaksana • DOC: Triclabendazole – Dosis: 10 mg/kg/dosis, 1-2 hari • Alternatif: Nitazoxanide – Untuk fase kronik – 2x500 mg/hari selama 7 hari • Praziquantel: poorly response • Mebendazol, albendazol – Tidak efektif untuk mengobati fasciola http://emedicine.medscape.com/article/997890-treatment http://reference.medscape.com/drug/biltricide-praziquantel-342666

Fasciolopsis Buski (Intestinal Fluke) • Also called asia giant intestinal fluke • Prevalent in southeast asia and lives in humans and pigs’ intestines • Related to growing water plants and feeding pigs on water plants • Treatment: – Praziquantel as a single dose 25 mg/kg (10-20 mg/kg may be sufficient) – Albendazole (400 mg orally on empty stomach twice daily for three days) may also be used

https://emedicine.medscape.com/article/219662-treatment

• Symptoms – Many people do not have symptoms – Symptoms are due to inflammation, ulceration, and microabscesses – abdominal pain and diarrhea can occur 1 or 2 months after infection. – heavy infections: • • • • •

intestinal obstruction, abdominal pain, nausea, vomiting, Fever Allergic reactions and swelling of the face and legs can also occur - and anemia may be present

https://www.uptodate.com/contents/intestinalflukes?source=search_result&search=fasciolopsis%20buski&selecte dTitle=1~5#H3

https://www.cdc.gov/parasites/ fasciolopsis/biology.html

Life Cycle

1. 2. 3.

Site of inhabitation: small intestine Infective stage: metacercaria Infective mode: eating raw water plants with metacercariae

4. Medium of water plants: chestnut, water bamboo and caltrop 5. Intermediate hosts: Planorbis snail 6. Reservoir host: pig 7. Life span: 1-4 years

• Egg is oval in shape, slight yellow in color, 130-140×80-85µ(the largest helminth egg) • Thinner shell with an operculum encloses an ovum and 20-40 yolk cells • Endemic at: • Southeast asia • China • India • Korea https://emedicine.medscape.com/article/219662-treatment

Nama cacing

Gejala Klinis

Morfologi

Fasciola hepatika

Gangguan GIT mual, muntah, nyeri abdomen, demam Peradangan, penebalan,sumbatan sal.empedusiroris periporta

• Cacing pipih spt daun • Cacing dewasa memiliki batil isap kepala dan perut • Telursulit dibedakan dengan F.buski, sdkt melebar pada abopercular • Telur dikeluarkan belum matang, matang dalam air berisi mirasidium

Fasciolopsis buski

Sebagian besar asimptomatik. Nyeri perut (epigastrium),diare kronik diselingi konstipasi,tinja berisi makanan yang tidak tercerna,anemia akibat perdarahan ulkus/abses,reaksi alergi thdp komponen cacing,obstruksi usus

• Cacing dewasa memiliki batil isap kepala dan perut • Telurelips,dinding transparan,operkulum kecil nyaris tidak terlihat,imatur(tidak ada embrio)

Bentuk

Strongyloidiasis • Strongyloidiasis merupakan infeksi saluran cerna akibat 2 cacing nematoda Strongyloides. • Kedua cacing ini adalah S. stercoralis dan S. fuelleborni (hanya di africa dan papua new guinea)

Strongyloides stercoralis • Acute infection: – Lower extremity itching (mild erythematous maculopapular rash at the site of skin penetration) – Cough, dyspnea, wheezing – Low-grade fevers – Epigastric discomfort

• Chronic Infection – Can be completely asymptomatic – Abdominal pain that can be very vague, crampy, burning • Often worse after eating

– Intermittent diarrhea • Can alternate with constipation

– Occasional n/v – Weight loss (if heavy infestation) – Larva currens (“racing larva” – a recurrent maculopapular or serpiginous rash) • Usually begins perianally and extends up the buttocks, upper thighs, abdomen

– Chronic urticaria

Gambaran telur strongyloides • Shape: – Oval clear, thin shelled similar to hookworm but smaller – Eggs are lain in the mucosa and hatch into rhabditiform larvae and pass to the lumen of the intestines and out the feces – Eggs are seldom seen in the stools

Transmission • Penetration of intact skin by filariform larvae in the soil, or ingestion through contaminated food or water • Larvae enter the circulation

– Lungs  alveoli  ascension up tracheobronchial tree  swallowed  molt in the small bowel and mature into adult female

• Females enter the intestinal mucosa and produce several eggs daily through parthenogenesis (hatch during transit through the gut)

Treatment • First line therapy Ivermectin, in a single dose, 200 µg/kg orally for 2 days – Relative contraindications: • confirmed or suspected concomitant Loa loa infection • persons weighing less than 15kg • pregnant or lactating women

• Alternative • Albendazole, 400 mg orally two times a day for 7 days. – Relative contraindications: • hypersensitivity to benzimidazole compounds or any component of product • use should be avoided in the 1st trimester of pregnancy https://www.cdc.gov/parasites/strongyloides/health_professionals/index.html#tx

KEY POINTS

KEY POINTS

KEY POINTS

KEY POINTS

Albendazole •

Terapi cacing gelang, cacing cambuk, cacing kremi, cacing tambang

• Cara kerja : membunuh cacing, menghancurkan telur & larva cacing dengan jalan menghambat pengambilan glukosa oleh cacing  produksi ATP sebagai sumber energi <<  kematian cacing •

Kontra Indikasi: – Ibu hamil (teratogenik), menyusui – Gangguan fungsi hati & ginjal, anak < 2 tahun



Dosis sediaan : 400 mg per tablet. – Tablet dapat dikunyah, ditelan atau digerus lalu dicampur dengan makanan

• Efek samping : perasaan kurang nyaman pada saluran cerna dan sakit kepala, mulut terasa kering

Mebendazole •

Terapi cacing gelang, cacing cambuk, cacing kremi, cacing tambang

• Cara kerja : membunuh cacing, menghancurkan telur & larva cacing dengan jalan menghambat pengambilan glukosa oleh cacing  produksi ATP sebagai sumber energi <<  kematian cacing •

Kontra Indikasi: – Ibu hamil (teratogenik), menyusui – Gangguan fungsi hati & ginjal, anak < 2 tahun



Dosis sediaan : 100 mg per tablet – Tablet dapat dikunyah, ditelan atau digerus lalu dicampur dengan makanan

• Efek samping : perasaan kurang nyaman pada saluran cerna dan sakit kepala, mulut terasa kering

Pirantel Pamoat • Indikasi: cacing tambang, cacing gelang, dan cacing kremi • Cara kerja: Melumpuhkan cacing  mudah keluar bersama tinja • Dapat diminum dalam keadaan perut kosong, atau diminum bersama makanan, susu, atau jus • Dosis: 10 mg/kg BB, tidak boleh melebihi 1 gram – Jika berat badan 50 kg, dosisnya menjadi 500 mg. – Bentuk sediaannya adalah 125 mg per tablet, 250 mg per tablet, dan 250 mg per ml sirup

Prazikuantel • Indikasi: Cacing pita, kista hidatid • Cara Kerja: Meningkatkan permeabilitas membrane sel trematoda dan cestoda terhadap kalsium, yang menyebabkan paralisis, pelepasan, dan kematian (Katzung, 2010). • Efek samping: Nyeri kepala, pusing, mengantuk dan kelelahan, efek lainnya meliputi mual, muntah, nyeri abdomen, feses yang lembek, pruritus, urtikaria, artalgia, myalgia, dan demam berderajat rendah

HIV

HIV

Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. McGraw-Hill; 2011.

Perjalanan Penyakit HIV 1. Acute HIV syndrome:

– Experienced in 50–70% of individuals with HIV infection – acute clinical syndrome occurs 3–6 weeks after primary infection. – The typical clinical findings occur along with a burst of plasma viremia.

Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. McGraw-Hill; 2011.

Perjalanan Penyakit HIV 2. The Asymptomatic Stage—Clinical Latency – The length of time from initial infection to the development of clinical disease. Median time for untreated patients is 10 years. – Active virus replication is ongoing and progressive during this asymptomatic period. – The rate of disease progression is directly correlated with HIV RNA levels. • Patients with high levels of HIV RNA in plasma progress to symptomatic disease faster than do patients with low levels of HIV RNA. • During the asymptomatic period of HIV infection, the average rate of CD4+ T cell decline is 50/L per year. • When the CD4+ T cell count falls to <200/L, the resulting state of immunodeficiency is severe enough to place the patient at high risk for opportunistic infection and neoplasms and, hence, for clinically apparent disease. Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. McGraw-Hill; 2011.

Perjalanan Penyakit HIV 3. Symptomatic Disease • Symptoms of HIV disease can appear at any time during the course of HIV infection. •

The more severe and lifethreatening complications of HIV infection occur in patients with CD4+ T cell counts <200/L.



AIDS: – HIV infection & a CD4+ T cell count <200/L or – HIV infection who develops one of the HIV-associated diseases considered to be indicative of a severe defect in cell-mediated immunity (category C)

Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. McGraw-Hill; 2011.

Stadium Klinis HIV/AIDS

Stadium Klinis HIV/AIDS

Diagnosis HIV • Tes untuk diagnosis HIV dilakukan dengan tes antibodi menggunakan strategi III (pemeriksaan dengan menggunakan 3 jenis tes antibodi yang berbeda sensitivitas dan spesivisitasnya) • (Permenkes No.87 2014 : Pedoman Pengobatan ARV)

Pemeriksaan HIV Pedoman 2014 • Ketiga tes tersebut dapat menggunakan reagen tes cepat atau dengan ELISA. • Untuk pemeriksaan pertama (A1) harus digunakan tes dengan sensitifitas yang tinggi (>99%), • Pemeriksaan selanjutnya (A2 dan A3) menggunakan tes dengan spesifisitas tinggi (>99%).

Kriteria Interpretasi Tes Anti-HIV & Tindak Lanjutnya Hasil

Kriteria

Tindak Lanjut

Positif

Bila hasil A1 reaktif, A2 reaktif dan A3 reaktif

Rujuk ke Pengobatan HIV

Negatif

• •

Bila hasil A1 non reaktif Bila hasil A1 reaktif tapi pada pengulangan A1 dan A2 non-reaktif Bila salah satu reaktif tapi tidak berisiko



Bila dua hasil tes reaktif Bila hanya 1 tes reaktif tapi mempunyai risiko atau pasangan berisiko





Indeterminate

• • •



• •

Bila tidak memiliki perilaku berisiko, dianjurkan perilaku hidup sehat Bila berisiko, dianjurkan pemeriksaan ulang minimum 3 bulan, 6 bulan dan 12 bulan dari pemeriksaan pertama sampai satu tahun Tes perlu diulang dengan spesimen baru minimal setelah dua minggu dari pemeriksaan yang pertama. Bila hasil tetap indeterminate, dilanjutkan dengan pemeriksaan PCR. Bila sarana pemeriksaan PCR tidak memungkinkan, rapid tes diulang 3 bulan, 6 bulan, dan 12 bulan dari pemeriksaan yang pertama. Bila sampai satu tahun hasil tetap “indeterminate” dan faktor risiko rendah, hasil dapat dinyatakan sebagai negatif

Rekomendasi inisiasi ARV pada Anak dan Dewasa Populasi

Rekomendasi

Dewasa dan anak > 5 tahun Inisiasi ARV pada orang terinfeksi HIV stadium klinis 3 a Pengobatan TB harus dimulai lebih dahulu, dan 4a, atau jika jumlah CD4 ≤ 350 sel/mm3 kemudian obat ARV diberikan dalam 2-8 minggu sejak mulai obat TB, tanpa menghentikan terapi TB. Pada ODHA dengan CD4 kurang dari 50 sel/mm3, ARV harus dimulai dalam 2 minggu setelah mulai pengobatan TB. Untuk ODHA dengan meningitis kriptokokus, ARV dimulai setelah 5 minggu pengobatan kriptokokus. b Dengan memperhatikan kepatuhan c Bayi umur < 18 bulan yang didiagnosis terinfeksi HIV dengan cara presumtif, maka harus segera mendapat terapi ARV. Bila dapat segera dilakukan diagnosis konfirmasi (mendapat kesempatan pemeriksaan PCR DNA sebelum umur 18 bulan atau menunggu sampai umur 18 bulan untuk dilakukan pemeriksaan antibodi HIV ulang), maka perlu dilakukan penilaian ulang apakah anak pasti terdiagnosis HIV atau tidak. Bila hasilnya negatif, maka pemberian ARV dihentikan.

Anak < 5 tahun

Inisiasi ARV tanpa melihat stadium klinis WHO dan berapapun jumlah CD4  Koinfeksi TBa  Koinfeksi Hepatitis B  Ibu hamil dan menyusui terinfeksi HIV  Orang terinfeksi HIV yang pasangannya HIV negatif (pasangan serodiskordan), untuk mengurangi risiko penularan  LSL, PS, atau Penasun (pengguna narkoba suntik)b  Pada wilayah dengan epidemi HIV meluas (> 1% pada populasi umum atau ibu hamil) Inisiasi ARV tanpa melihat stadium klinis WHO dan berapapun jumlah CD4c

ARV lini pertama untuk anak > 5 tahun dan dewasa, termasuk wanita hamil dan menyusui, pasien koinfeksi hepatitis B, dan pasien dengan koinfeksi TB

ARV Lini Pertama untuk dewasa Paduan pilihan Paduan alternatif

TDFa + 3TC (atau FTC) + EFV dalam bentuk KDTc AZTb + 3TC + EFV (atau NVP) TDFa + 3TC (atau FTC) + NVP

aJangan

memulai dengan TDF jika CCT hitung < 50 ml/menit, atau pada kasus diabetes lama, hipertensi tak terkontrol dan gagal ginjal bJangan memulai dengan AZT jika Hb < 7 g/dl sebelum terapi cKombinasi dosis terpadu (KDT) yang tersedia: TDF + 3TC + EFV

• TDF: tenofovir, AZT: zidovudin, 3TC: lamivudin, EFV: efavirenz, NVP: nevirapine, ABC: abacavir, LPV/r: lopinavir/ritonavir; FTC: emtricitabin

Efek Samping ARV ARV

Efek Samping

ARV

Efek Samping

TENOFOVIR

Disfungsi tubulus renal Sindrom Fanconi Penurunan densitas tulang Asidosis laktat Hepatomegali dengan steatosis Eksaserbasi hepatitis B

LAMIVUDIN

Neuropati perifer (jarang) Lipoatrofi atau lipodistrofi Asidosis laktat Hepatomegali dengan steatosis

ZIDOVUDIN

Anemia Neutropenia berat Miopati Lipoatrofi atau lipodistrofi Intoleransi saluran cerna Asidosis laktat Hepatomegali dengan steatosis

NEVIRAPIN

Hepatotoksik Hipersensitivitas obat

EFAVIRENZ

Toksisitas SSP Hepatotoksik Kejang Hipersensitvitas Ginekomastia

STAVUDIN, DIDANOSIN

Neuropati perifer

LEPTOSPIROSIS

Leptospirosis Infection through the mucosa or wounded skin

Proliferate in the bloodstream or extracellularly within organ

Disseminate hematogenously to all organs Multiplication can cause: • Hepatitis, jaundice, & hemorrhage in the liver • Uremia & bacteriuria in the kidney • Aseptic meningitis in CSF & conjunctival or scleral hemorrhage in the aqueous humor • Muscle tenderness in the muscles Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed.

Infeksi •

Anicteric leptospirosis (90%), follows a biphasic course: – Initial phase (4–7 days): • sudden onset of fever, • severe general malaise, • muscular pain (esp calves), conjunctival congestion, • leptospires can be isolated from most tissues.

– Two days without fever follow. – Second phase (up to 30 days): • leptospires are still detectable in the urine. • Circulating antibodies emerge, meningeal inflammation, uveitis & rash develop.



Icteric leptospirosis or Weil's disease (10%), monophasic course: – Prominent features are renal and liver malfunction, hemorrhage and impaired consciousness, – The combination of a direct bilirubin < 20 mg/dL, a marked  in CK, &  ALT & AST <200 units is suggestive of the diagnosis. – Hepatomegaly is found in 25% of cases.

Gejala dan Tanda • Demam tinggi mendadak • Nyeri otot dan sendi • Sakit kepala • Diare • Mual muntah

• Injeksi konjungtiva • Ikterik • Nyeri tekan gatroknemius • Splenomegali • Hepatomegali • Ruam di kulit • Edema

Pemeriksaan Penunjang Leptospira • Leukopenia • Trombositopenia dapat terjadi • Shift to the left • Bilirubin meningkat pada Weil’s disease • Pemeriksaan serologi IgM antileptospira dengan ELISA

Baku emas: • Pemeriksaan serologi IgM antileptospira dengan metode Microscopic Agglutination Test (MAT) • Kultur (hasilnya seringkali negatif) – Hingga 10 hari penyakit, spesimen diambil dari darah atau LCS – Minggu kedua sampai hari ke 30 setelah sembuh, spesimen dari urine.

Tatalaksana Leptospirosis Kasus rawat jalan • Diberikan 7 hari • DOC: Doxycycline (100 mg PO bid) or • Amoxicillin (500 mg PO tid) or • Ampicillin (500 mg PO tid)

Kasus rawat inap • Diberikan 7 hari • Penicillin (1.5 million units IV q6h) or • Ceftriaxone 1 gram/24 jam • Cefotaxime 1 gram/6 jam

Related Documents

Ipd Diare
January 2021 1
Ipd - Kardiologi.pdf
February 2021 1
Ipd - Infeksi.pdf
January 2021 1
Ipd Infeksi Master.pdf
January 2021 1
Ppk Ipd Isk
January 2021 0

More Documents from "Adhella Menur Naysilla"

Ipd - Infeksi.pdf
January 2021 1
Mx Gc Error Codes
February 2021 1
Chemistry Of Oil Industry
January 2021 1
Forex Ict & Mmm Notes.pdf
February 2021 1
Proposal Usaha Sabun Cair
January 2021 1