Loading documents preview...
PSIKOLOGI KLINIS PERKEMBANGAN TEORI, PRAKTEK, dan BUDAYA EKO YULIANTO, CHt, CI, S.Psi,MKM
PSIKOLOGI KLINIS Perkembangan Teori, Praktek dan Budaya
EKO YULIANTO, CHt, CI, S.Psi,MKM
Jakarta 2017 2
Penulis Eko Yulianto, CHt, CI, S.Psi,MKM Editor Ali Nurdiman Albifa Naparinas Deden Kurniawan Elok Faiqoh Desain Galih Rakasiwi Fadhilatul M Reni Yulianti Priyadi Setting Rika Oktaviani Linda Panjilie Fildzah Irsalina Agung Saputra
3
PSIKOLOGI KLINIS Perkembangan Teori, Praktek dan Budaya EKO YULIANTO, CHt, CI, S.Psi,MKM
Hak Cipta © 2017 Pada Penulis Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari penerbit Sanksi Pelanggaran Pasal 22 Undang-undang Nomor No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat(1) dan ayat (2) di pidana dengan pidana penjara masing masing paling singkat (satu) bulan dan atau denda paling sedikit Rp 1000.000 (satu juta rupiah) Atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5000.000.000 (lima milyar rupiah). 2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud
DAFTAR PUSTAKA
dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
4
DAFTAR isi
Penyusun ........................................................................................... 3 Daftar isi ....................... .................................................................... 5 Kata Pengantar ................................................................................ 9 BAB I PSIKOLOGI KLINIS .......................................................... 11 A. Definisi dan Ruang Lingkup Psikologi Klinis 12 B. Pengertian Assesmen Menurut Para Ahli ........ 15 C. Karakteristik Psikologi Klinis ............................... 42 D. Clinical Attitude ........................................................ 43 E. Sejarah Psikologi Klinis .......................................... 43 F. Psikologi Klinis di Tengah Perang Dunia II .... 54 G. Pasca Perang Dunia ................................................. 59 H. Psikologi Klinis pada Abad 21.............................. 61 I. Perkembangan Psikologi Klinis ........................... 62 J. Profesi dalam Psikologi Klinis .............................. 68 K. Psikologi Klinis dalam Dunia Kerja ................... 69
5
BAB II PSIKOLOGI KLINIS ANAK/PEDIATRIK ................... 72 A. Definisi ......................................................................... 73 B. ASPEK PSIKOLOGI ANAK ...................................... 75 C. PENDEKATAN DALAM PSIKOLOGI ANAK ..... 76 D. METODE PENANGANAN ...................................... 90 BAB III PSIKOLOGI KLINIS REMAJA .................................... 99 A. Definisi ...................................................................... 100 B. Permasalahan Fisik dan Kesehatan ................. 104 C. Permasalahan
Alkohol
dan
Obat-Obatan
Terlarang .................................................................. 107 D. Penanganan ............................................................. 113 BAB IV PSIKOLOGI KLINIS DEWASA ................................ 117 A. Definisi ...................................................................... 118
B. Karakteristik Perkembangan pada Fase Dewasa ............................................................. 120 C. Cara Penanganan ......................................... 135
6
1. Suasana Terapi .................................... 135 2. Terapi Dalam Psikiatri ...................... 137 BAB V PSIKOLOGI KLINIS LANSIA ........................ 155 A. Definisi ................................................................ 156 B. Profisensi Di Bidang Geropsikologi .......... 160 C. Psikopatologi Pada Lansia ............................ 163 1. Depresi .................................................... 163 2. Kecemasan ............................................. 164 3. Demensia ................................................ 166 D. Masalah-masalah Lain yang Dapat Menjadi Fokus Penang ............................... 169 1. Kesehatan ............................................... 169 2. Penganiayaan Lansia .......................... 170 3. Insomnia ................................................. 171 4. Masalah-masalah Seksual ............... 173 7
5. Isu- isu yang Terkait dengan Kematian dan Menjelang Ajal ............................ 175 6. Intervensi psikologis .......................... 177 BAB VI PSIKOLOGI KESEHATAN ............................. 184 A. Definisi .............................................................. 185 B. Pengertian Neuropsikologi ........................ 187 C. Jenis Tanaman Obat dan Manfaatnya ... 190 D. Mengenal Psikologi Forensik ................... 195 E. Peran Psikologi Forensik Dalam Proses Hukum Di Indonesia ....................................................... 200 F. Kode Etik Psikologi Indonesia ................... 225 Penutup ............................................................................. 228 Daftar Pustaka ................................................................ 233 Tentang Penulis............................................................... 246
8
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh, Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat taufiq dan hidayah-Nya kepada kita semua, amin ya Rabbal Alamin. Selain daripada itu bahwa susunan materi “ Psikologi Klinis “ ini telah dapat kami selesaikan. Susunan materi ini adalah hasil dari pemahaman penyusun tentang beberapa buku yang terbit sebelumnya, mencoba untuk mengulas kembali demi memenuhi materi Psikologi Klinis pada Fakultas llmu Psikologi. Kami himpun dari beberapa sumber materi yakni dari buku-buku psikologi klinis lain dan bantuan internet serta dari perpustakaan.
9
Akhir kata, penyusun berharap semoga buku ini dapat bermanfaat terutama bagi mahasiswa Fakultas Psikologi dimana penyusun menempuh pendidikan dan bagi pembaca sekalian yang budiman.
Wassalamualakum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Jakarta, Februari 2017 Penulis
10
BAB I PSIKOLOGI KLINIS
11
A.
Definisi dan Ruang Lingkup Psikologi Klinis Psikologi klinis adalah cabang psikologi yang
berfokus pada penanganan, penganalisisan, dan diagnosa penyakit-penyakit jiwa. Psikologi Klinis merupakan
bidang
yang
membahas
kajian,
diagnosis dan penyembuhan (treatment) masalahmasalah
psikologis,
gangguan (disorder)
atau
tingkah laku abnormal (Phares :1992). Dalam
American
Psychological
Association
(1935),
Psikologi klinis merupakan psikologi terapan untuk menentukan kapasitas dan karakteristik tingkah laku
individu
dengan
menggunakan
metode
pengukuran assessment, analisa dan observasi serta uji fisik dan riwayat sosial agar dapat diperoleh saran
dan
rekomendasi
untuk
membantu 12
penyesuaian diri individu secara tepat. Psikologi klinis merupakan integrasi dari sains, teori, dan pengetahuan klinis. Psikologi Klinis dapat diartikan secara sempit maupun luas, yaitu mempelajari orang-orang abnormal dengan menggunakan assessmen sebagai bagian integral yang biasa digunakan, membahas kesulitan-kesulitan maupun rintangan emosional pada manusia tanpa memandang normal atau abnormal
serta
melihat
gejala
yang
dapat
memungkinkan mengurangi kebahagiaan manusia. Psikologi
Klinis
menggunakan
psikologi
abnormal,
psikologi
konsep-konsep perkembangan,
psikopatologi dan psikologi kepribadian, serta prinsip-prinsip dalam asessmen dan intervensi, 13
untuk dapat memahami dan memberi bantuan bagi mereka
yang
mengalami
masalah-masalah
psikologis. Permasalahan psikologis yang ditangani oleh psikologi klinis meliputi banyak hal, mulai dari
Kelainan
konflik keluarga,
emosi jangka hingga
pendek,
seperti
kelainan mental yang
sangat parah, seperti schizophrenia. Psikologi klinis adalah suatu bagian dalam ilmu
Psikologi
yang
kegiatannya
melakukan
penelitian terhadap perilaku manusia, menerapkan hasil penelitian tersebut dan melakukan asessmen. Psikologi
klinis
menggunakan
psikologi
abnormal,
psikologi
konsep-konsep perkembangan,
psikopatologi dan psikologi kepribadian serta prinsip-prinsip dalam asesmen dan intervensi 14
untuk
dapat
memahami
masalah-masalah
psikologis, gangguan penyesuaian diri dan tingkah laku abnormal.
B.
Pengertian Asesmen Menurut Para Ahli Angelo T.A.(1991): Classroom Assessment is a
simple method faculty can use to collect feedback, early and often, on how well their students are learning what they are being taught. (Artinya: asesmen Kelas adalah suatu metode yang sederhana dapat digunakan untuk mengumpulkan umpan balik, baik di awal maupun setelah pembelajaran tentang seberapa baik siswa mempelajari apa yang telah diajarkan kepada mereka.)
15
Kizlik, Bob (2009): Assessment is a process by
which information is obtained relative to some known objective or goal. Assessment is a broad term that includes testing. A test is a special form of assessment. Tests are assessments made under contrived circumstances especially so that they may be administered. In other words, all tests are assessments, but not all assessments are tests. (Artinya : asesmen adalah suatu proses dimana informasi diperoleh berkaitan dengan tujuan pembelajaran. Asesmen adalah istilah yang luas yang mencakup tes (pengujian). Tes adalah bentuk khusus dari asesmen. Tes adalah salah satu bentuk asesmen. Dengan kata lain, semua tes merupakan asesmen, namun tidak semua asesmen berupa tes) 16
Overton, Terry (2008): Assesment is a process
of gathering information to monitor progress and make educational decisions if necessary. As noted in my definition of test, an assesment may include a test, but also include methods such as observations, interview, behavior monitoring, etc. (Artinya: sesmen
adalah
suatu
proses
pengumpulan
informasi untuk memonitor kemajuan dan bila diperlukan pengambilan keputusan dalam bidang pendidikan. Sebagaimana disebutkan dalam definisi saya tentang tes, suatu asesmen bisa saja terdiri dari tes, atau bisa juga terdiri dari berbagai metode seperti observasi, wawancara, monitoring tingkah laku, dan sebagainya).
17
Asesmen merupakan cara salah satu kegiatan pengukuran. Dalam konteks bimbingan konseling, asesmen yaitu mengukur suatu proses konseling yang harus dilakukan konselor sebelum, selama, dan
setelah
konseling
dilaksanakan/berlangsung.
Asesmen
tersebut merupakan
salah satu bagian terpenting dalam seluruh kegiatan yang ada dalam konseling (baik konseling kelompok maupun konseling individual). Karena itulah maka
asesmen dalam bimbingan dan
konseling merupakan bagian yang terintegral dengan proses terapi maupun semua kegiatan bimbingan/konseling
itu
sendiri.
Asesmen
dilakukan untuk menggali dinamika dan faktor penentu yang mendasari munculnya masalah. Hal 18
ini sesuai dengan tujuan asesmen dalam bimbingan dan konseling, yaitu mengumpulkan informasi yang
memungkinkan
menentukan
masalah
bagi
konselor
untuk
dan
memahami
latar
belakang serta situasi yang ada pada masalah klien. Asesmen yang dilakukan sebelum, selama dan setelah konseling berlangsung dapat memberi informasi
yang
dapat
digunakan
untuk
memecahkan masalah yang dihadapi konselee. Dalam prakteknya, asesmen dapat digunakan sebagai alat untuk menilai keberhasilan sebuah konseling, namun juga dapat digunakan sebagai sebuah
terapi
untuk
menyelesaikan
masalah
konselee.
19
Hood & Johnson (1993) menjelaskan ada beberapa fungsi asesmen, diantaranya adalah untuk: 1. Menstimulasi konselee maupun konselor mengenai berbagai isu permasalahan 2. Menjelaskan masalah yang senyatanya 3. Memberi alternatif solusi untuk masalah 4. Menyediakan
metode
untuk
dengann
memperbandingkan alternatif sehingga dapat diambil keputusan 5. Memungkinkan evaluasi efektivitas konseling Kesimpulan Tentang Pengertian Asesmen:
Asesmen merupakan metode dan proses yang digunakan untuk mengumpulkan
20
umpan balik tentang seberapa baik siswa belajar.
Dapat
dilakukan
di
awal,
di
akhir
(sesudah), maupun saat pembelajaran sedang berlangsung.
Asesmen dapat berupa tes atau nontes.
Asesmen
berupa
penggunaan
nontes
metode
misalnya observasi,
wawancara, monitoring tingkah laku, dsb.
Hasilnya
dapat
digunakan
untuk
pengambilan keputusan.
Bertujuan
meningkatkan
belajar
(pembelajaran) dan perkembangan siswa.
21
Tujuan Assesmen Hood & Johnson (1993) menjelaskan bahwa
asesmen
dalam
bimbingan
dan
konseling mempunyai beberapa tujuan, yaitu: 1. Orientasi masalah, yaitu untuk membuat konselee
mengenali
permasalahan
yang
dan
menerima
dihadapinya,
tidak
mengingkari bahwa ia bermasalah 2. Identifikasi masalah, yaitu membantu baik bagi konselee maupun konselor dalam mengetahui masalah yang dihadapi konselee secara mendetil
22
3. Memilih alternatif solusi dari berbagai alternatif penyelesaian masalah yang dapat dilakukan oleh konselee 4. Pembuatan keputusan alternatif pemecahan masalah
yang
paling
menguntungkan
dengan memperhatikan konsekuensi paling kecil dari beberapa alternatif tersebut 5. Verifikasi untuk menilai apakah konseling telah berjalan efektif dan telah mengurangi beban masalah konselee atau belum. Selain itu, asesmen digunakan pula untuk menentukan
variabel
pengontrol
dalam
permasalahan yang dihadapi konselee, untuk memilih/mengembangkan intervensi terhadap area yang bermasalah, atau dengan kata lain 23
menjadi dasar untuk mendesain dan mengelola terapi,
untuk
membantu
mengevaluasi
intervensi, serta untuk menyediakan informasi yang relevan untuk pertanyaan-pertanyaan yang muncul untuk setiap fase konseling. Pada asesmen berbasis individu, asesmen dipakai untuk mengumpulkan informasi asli atau autentik
mengenai
konselee
sehingga
diperoleh informasi menyeluruh tentang diri konselee secara utuh, dan untuk memberikan penilaian yang objektif. Selain itu, secara terperinci
asesmen
berbasis
individu
bertujuan untuk:
24
1. Mengembangkan cara konselee merespon (verbal dan/atau non verbal) pertanyaanpertanyaan yang disampaikan oleh guru BK. 2. Melatih konselee untuk berpikir dalam upaya pemecahan masalah 3. Membentuk kemandirian konselee dalam berbagai
masalah
atau
membentuk
individu menjadi mandiri. 4. Melatih konselee mengemukakan apa yang dipikirkan dan apa yang dirasakan. melalui proses konseling. 5. Membentuk individu yang terbuka dalam berbagai hal, termasuk membuka diri dalam konseling 25
6. Membina kerjasama yang baik dalam memecahkan masalah yang dihadapi. 7. Membelajarkan konselee untuk menilai terhadap
cara
melaksanakan
keputusannya secara konsekuen.
Asesmen
berbasis
individu
akan
mengukur seluruh kemampuan konselee, baik keterampilan
personal
(personal
skills),
keterampilan social (social skills), keterampilan memecahkan masalah (problem solving skills), dan keterampilan memilih alternative (Choice
alternative skills). Jika hal ini dilakukan maka asesmen akan dapat:
26
a. Membantu
sekolah
melaksanakan
dan
guru
pembelajaran
dalam karena
konselee sebagai siswa dapat berkonsentrasi dalam mengikuti pembelajaran b. Memudahkan guru dalam pembelajaran di kelas karena siswa tidak banyak masalah c. Memudahkan konseling
guru
dalam
bimbingan
melaksanakan
bimbingan dan konseling –
dan tugas
khususnya
dalam konseling d. Membantu
kepala
sekolah
dalam
penyelenggaraan pendidikan di sekolah e. Mendorong konselee untuk memanfaatkan layanan bimbingan dan konseling dalam berbagai
hal
(seperti
mendapatkan 27
informasi
studi,
pekerjaan,
dan
memecahkan masalah (masalah pribadi, sosial, belajar, dan karir), dan f. Menyajikan informasi berkesinambungan tentang
kegiatan
kegiatan
layanan
bimbingan dan konseling.
Dalam
tiap
fase
konseling,
asesmen
(menurut Hood & Johnson, 1993) mempunyai tujuan yang bisa jadi berbeda-beda. Hal ini terlihat dalam tabel berikut ini:
28
Fase
Pertanyaan yang ditujukan bagi
tritmen
assesmen
Skrining awal
o Apakah konselee
tepat untuk
layanan ini? o Jika tidak tepat, dirujuk kemana?
Identifikasi dan analisis masalah
o Apa masalah konselee? o Apakah
masalah
konselee
mengundang masalah tritmen? o Faktor
apa
masalah
yang
membuat
konselee
terus
berlangsung? Seleksi tritmen
o Alternatif tritmen apa yang membuat konselee nyaman? o Alternatif tritmen apa yang
29
membuat lingkungan konselee nyaman? o Alternatif tritmen apa yang membuat terapis nyaman? o Tritmen mana yang optimum dalam menyelesaikan masalah konselee? o Apakah evaluasi tritmen dapat dipercaya? o Perubahan apa yang terjadi pada Evaluasi tritmen
masalah dan perilaku? o Apakah perubahan terjadi karena tritmen? o Biaya apa yang harus dikeluarkan
30
untuk tritmen? o Apakah keuntungan yang didapat dari tritmen memadai dengan biayanya? o Apakah tritmen harus dihentikan atau dilanjutkan?
Proses Assesmen Apapun bentuk dan jenis asesmen yang dilakukan,
hal
ini
tetap
menuntut
suatu
perencanaan, termasuk pada saat melakukan analisis. Dengan demikian maka akan diperoleh alat ukur atau instrumen yang benar-benar dapat diandalkan (valid) dan dapat dipercaya (reliabel)
31
dalam mengukur apa yang seharusnya diukur. Berikut ini adalah langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam melakukan asesmen:
Perencanaan Aspek yang harus ada dalam perencanaan asesmen adalah: Memilih fokus asesmen pada aspek tertentu dari diri konselee. Salah
satu
penentu
keberhasilan
konseling adalah kemauan dan kemampuan konselee
itu
sendiri.
Dalam
konseling,
keputusan akhir untuk pemecahan masalah yang dihadapi ada pada diri konselee. Konselor/guru BK bukan pemberi nasihat, 32
bukan pengambil keputusan mengenai apa yang
harus
memecahkan
dilakukan masalah
konselee yang
dalam
dihadapinya.
Karena itu, untuk keberhasilan konseling, konselee dapat bekerjasama dengan guru BK/konselor, dan dengan bantuan guru BK maka
konselee
diharapkan
mampu
memunculkan ide-ide pemecahan masalah, dan konselee memiliki keberanian serta kemampuan untuk mengambil keputusan, mampu memahami diri sendiri, dan mampu menerima dirinya sendiri. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka konselor menentukan akan
melakukan
asesmen
dengan
33
memfokuskan pada salah satu aspek dalam diri konselee saja. Memilih instrumen yang akan digunakan. Setelah ditentukan fokus area asesmen, Anda dapat merencanakan instrumen yang akan digunakan dalam asesmen. Banyak instrumen yang dapat digunakan dalam asesmen seperti tes psikologis, observasi, inventori,
dan sebagainya.
Tetapi untuk
menentukan instrumen sangat
tergantung
pada aspek
diasesmen.
Misalnya
apa
yang
Anda akan
akan
melihat kerjasama
konselee dalam konseling, maka instrumen dapat menggunakan checklist, tetapi apabila Anda
memfokuskan
asesmen
tentang 34
kemampuan konselee dalam memecahkan masalah, maka Anda dapat mempergunakan tes psikologis. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih
instrumen
dalam
asesmen
diantaranya yaitu: (i) kemampuan guru BK sendiri, (ii) kewenangan guru BK (baik dalam mengadministrasikan
maupun
interpretasi
(iii)
hasilnya),
dalam
ketersediaan
instrumen, (iv) waktu yang tersedia, dan (v) dana yang tersedia. Penetapan waktu Perencanaan adalah
kapan
waktu
yang
dimaksud
asesmen
akan
dilakukan.
Penetapan waktu ini sangat erat berhubungan 35
engan
persiapan
Persiapan
pelaksanaan
akan
keberhasilan
banyak
suatu
menentukan
asesmen,
mempersiapkan
instrumen,
peralatan
yang
lain
asesmen.
misalnya
tempat,
diperlukan
dan dalam
pelaksanaan asesmen. Apalagi jika pelaksana asesmen tersebut bukan guru BK itu sendiri, misalnya karena instrumen yang digunakan untuk asesmen adalah tes psikologis (tes intelegensi, inventori kepribadian, tes minat jabatan, dan sebagainya). Validitas dan reliabilitas Apabila instrumen yang kita gunakan adalah buatan sendiri atau dikembangkan sendiri, maka instrumen itu
perlu diuji 36
validitas dan reliabilitasnya. Karena validitas dan reliabilitas merupakan suatu syarat mutlak suatu instrumen asesmen. Namun apabila kita menggunakan instrumen yang sudah terstandar, Anda tidak perlu mencari validitas dan reliabilitas karena instrumen tersebut sudah jelas memenuhi persyaratan sebagai suatu instrumen. Asesmen Kepribadian & Perilaku Asesmen Kepribadian Asesmen ini berupaya untuk menemukan pola perilaku dan pola pikiran atau penyesuaian diri seseorang secara khas terhadap lingkungannya. Asesmen kepribadian ini sendiri dibagi menjadi
37
dua, yakni Projective Assessement dan Objective Assessement.
a) Projective Assessement Dalam asesmen proyektif ini subjek diberi kesempatan untuk dapat memproyeksikan dirinya.
b) Objective Assessement Asesmen
objektif
ini
bertujuan
untuk
menggambarkan karakteristika atau sifatsifat individu atau kelompok sebagai alat untuk memprediksi perilaku. Menurut Butcher, 1971, ada tiga perbedaan mendasar antara kedua assesmen tersebut. Pertama, asesmen proyektif sangat menaruh perhatian pada
38
dinamika intraphisik sedangkan asesmen objektif mencari
deskripsi
sifat
atau
karakteristik
seseorang. Kedua, tes proyektif memiliki kebebasan untuk menjawab sedangkan tes objektif memiliki stimuli yang dirancang secara jelas dan jawaban yang terbatas. Ketiga, isi respons tes proyektif secara tipikal ditafsir tiap orang tanpa referensi norma. Skor tes objektif membandingkan hasil seseorang dengan yang lain. i. Asesmen Perilaku Asesmen
ini
berpusat
pada
mengidentifikasikan perilaku spesifik klien atau sistem lingkungan yang mungkin memerlukan perubahan.
Asesmen
perilaku
merupakan
39
pendekatan situasi spesifik, di mana variasi spesifik dalam keadaan lingkungan dengan teliti dan periksa
untuk
menentukan
peranan
mereka
terhadap pemfungsian klien. Adapun landasan penggunaan asesmen perilaku adalah perspektif perilaku di mana pemfungsian manusia dilihat sebagai produk dari interaksi yang terus menerus antara pribadi dan situasi.
Asesmen Intelektual & Neuro Psikologis i.
Asesmen Intelektual Asesmen
ini
bertujuan
untuk
mengukur
kemampuan dan atau kekurangan intelektual seseorang
yang
kemudian
digunakan
untuk
40
mengarahkan individu tersebut. Contohnya, tes TPA yang biasa dilakukan di SMA saat mendekati penjurusan.Beberapa alat tes intelegensi yang sering digunakan di Indonesia, yakni: - Stanford – Binet Intelligence Scale - Wechsler Adult Intelligence Scale (WAIS) ii. Asesmen Neuro Psikologis Asesmen ini melibatkan pengukuran tandatanda perilaku yang mencerminkan kesehatan atau kekurangan dalam fungsi otak. Ada delapan jenis tes asesmen neuropsikologis, yaitu: Tes persepsi visual Tes-tes persepsi pendengaran Test of Tactile Perception Test of Motor Coordination and Steadiness 41
Test of Sensomotor Construction Skill Tests of Memory Tests of Verbal Tests of Conceptual Reasoning Skills
C. Karakteristik Psikologi Klinis: Merupakan bagian psikologi yang tertarik pada perilaku dan proses mental, khususnya manusia. Melakukan penelitian mengenai perilaku dan proses mental. Terlibat dalam asessmen
dianalisis dan
ditafsirkan (kesimpulan). Psikologi
klinis
menolong
orang
yang
masalah atau kesulitan psikologis. 42
D. Clinical Attitude 1. Psikologi klinis berusaha memahami manusia dan menolong individu yang mengalami masalah & tekanan psikologis. 2. Seorang klinisi tidak berhenti pada hasil-hasil penelitian mengenai perilaku dan proses mental, tetapi juga berusaha menerapkan hasil penelitian
dan
mengupayakan
asessmen
individual untuk memahami, menolong, dan mnyembuhkan
individu
tertentu
yang
mengalami tekanan.
E.
Sejarah Psikologi Klinis Ditelisik dari sisi sejarah, psikologi klinis
ditemukan oleh pria berkebangsaan Amerika, 43
Lightner
Witmer.
Universitas
Dia
Pensylvana
merupakan
tahun
1988.
alumni Witmer
bekerja di program doktoral bidang psikologi bersama Wilhem Wundt di Leipzig. Setelah menyelesaikan program doktoralnya, dia langsung ditunjuk sebagai direktur laboratorium psikologi Universitas Leipzig. Dimulai ketika ada seorang guru sekolah bernama
Margareth
Witmer
untuk
muridnya Charles
Maguire
membantu Gilman
yang
meminta
salah
seorang
yang
didiagnosa
mengalami kesulitan dalam mengeja. Witmer kemudian
menerima
tawaran
tersebut.
Tak
disangka, hal ini menghantarkan dia sebagai psikolog klinis pertama, dan pada saat yang sama, 44
ia memulai usaha untuk
mendirikan klinik
psikologi pertama di dunia. Pendekatan yang pertama kali dilakukan oleh Witmer adalah dengan asesmen (menilai) masalah Charles disusul menyusun rangkaian pengobatan yang tepat. Penilaian psikologis menunjukkan bahwa Charles mengalami kerusakan visual, baik dalam hal membaca dan masalah mengingat. Hal tersebut diberi istilah oleh Witmer dengan "amnesia verbal-visual, atau sekarang disebut disleksia. Witmer menggunakan tutorial yang intensif guna membantu si anak dalam mengenal kata tanpa terlebih dahulu mengejanya. Cara ini berhasil sehingga Charles bisa kembali normal membaca.
45
Tidak semua yang dilakukan oleh Witmer berpengaruh secara merata, artinya bisa diterapkan di segala umur, akan tetapi ada beberapa aspek klinis terbarunya yang diperuntukkan untuk pekerjaan klinis berikutnya: 1. Kebanyakan
kliennya
perkembangan
adalah
natural
sejak
anak-anak, Witmer
menawarkan kursus tentang psikologi anak, telah mempublikasikan karyanya di jurnal pediatris, dan telah menarik minat guru yang memperhatikan masalah siswa mereka. 2. Rekomendasinya guna membantu para klien didasari oleh asesmen diagnostik. 3. Dia tidak bekerja sendiri, akan tetapi dengan pendekatan tim yang merekrut anggotanya 46
dari berbagai profesi, saling berkonsultasi dan berkolaborasi dalam kasus-kasus tertentu. 4. Ada penekanan yang jelas pada pencegahan masalah mendatang melalui diagnosa dan pengobatan awal. 5. Dia menekankan bahwa psikologi klinis harus dibangun di atas prinsip yang ditemukan atas dasar psikologi ilmiah.
Pada tahun 1897, ada klinik baru yang menawarkan kursus 4 pekan pada musim panas. Kursus ini menawarkan presentasi kasus, instruksi tes diagnosa, dan teknik demonstrasi pengobatan. Pada tahun 1900, sebanyak 3 anak per hari diberikan oleh staf klinis. Selama tahun akademik 47
1904-1905, Universitas Pensylvnia menawarkan program psikologi klinis di bawah pengawasan Witmer. Akan tetapi, pengaruh klinik Witmer, sekolah, jurnal, dan pelatihan-pelatihan menjadi terbatas. Witmer merasa bahwa psikologi klinis berputarputar saja, stagnan. Akan tetapi Witmer memiliki sedikit hal yang telah dilakukannya dan kemudian mengendalikannya. Itu semua disebabkan karena ia mengabaikan perkembangan-perkembangan yang akan terjadi di kemudian hari. Sebagai contoh, Witmer mengabaikan tes intelijensi Binet dan Skala Binet-Simon ketika keduanya diperkenalkan di Amerika Serikat. Seperti tes Binet terdahulu, instrumen ini dirancang untuk mengukur proses 48
mental yang rumit, bukan untuk mengukur mental biasa yang dilakukan oleh Witmer. Walaupun Binet mengingatkan bahwa alatnya tidak menyediakan pengukuran objektif keseluruhan intelijensi, tetapi tes Binet-Simon ini mencuri perhatian banyak kalangan. Henry H. Goddard dari Vineland (New Jersey) Training School pernah mendengar hal itu ketika dia berada di Eropa pada tahun 1908 dan membawa
skala
melakukan
Binet-Simon
asesmen
ke
kecerdasan
U.S
untuk
anak
yang
menderita “feeble minded” di klinik yang telah ia bangun
dua
tahun
sebelumnya.
Popularitas
translasi Goddard terhadap skala Binet-Simon dan revisi atas Lewis Terman pada tahun 1916 tumbuh begitu
cepat
di
Amerika
Serikat
sehingga 49
melampaui popularitas tes-tes intelijensi lain, termasuk alat tes Witmer. Skala Binet menyediakan fokusnya pada fungsi asesmen psikologi klinis yang sudah tidak lagi diurus sampai tahun 1910. Selain itu, Witmer juga mengabaikan asesmen klinis orang dewasa, layanan yang digunakan ahli klinis lain guna memberikan pertolongan kepada para
psikiater
untuk
mendiagnosa
dan
merencanakan perawatan kerusakan dan masalah lainnya. Malah, pengujian psikologis mental pada pasien di beberapa rumah sakit menjadi hal yang rutin dilakukan pada tahun 1907. Asesmen serupa dilakukan di penjara untuk membantu anggota agar bisa mengidentifikasikan narapidana yang
50
terganggu mentalnya atau merencanakan program rehabilitasi. Pada
akhirnya
Witmer
tidak
bergabung
dengan ahli klinis lain dalam praktek psikoterapi atau dalam mengadopsi pendekatan Freudian dalam menangani kasus gangguan. Pendekatan Freud menjadi terkenal di kalangan psikologi melalui perkumpulan psikiater di rumah sakit jiwa serta melalui klinik bimbingan anak yang secara rutin mempekerjakan para psikolog. Pergerakan bimbingan anak di AS distimulasi oleh komite nasional
tentang
kesehatan
mental,
sebuah
kelompok yang didirikan oleh mantan pasien jiwa, Clifford James, dan didukung oleh William James, psikolog Harvard, dan Adolf Meyer, psikolog kota 51
yang paling menonjol. Dengan sokongan dana dari dermawan Henry Phips, komite tersebut bekerja demi memperbaiki perawatan penyakit mental dan untuk mencegah gangguan psikologis. Klinik Chicago
bimbingan pertama pada
1909
oleh
ditemukan
seorang
di
psikiater
bernamaWilliam Healy. Dia mempunyai banyak kesamaan dengan Witmer. Hanya saja dia lebih fokus pada kasus-kasus perilaku menyimpang anak-anak yang disebabkan oleh otoritas sekolah, polisi atau pengadilan. Klinik Healy berlandaskan pada asumsi bahwa pelanggaran yang dilakukan anak kecil yang menderita penyakit mental yang harus
ditangani
sebelum
hal
tersebut
menimbulakan masalah yang lebih serius. Kedua, 52
pendekatan yang diambil oleh staf di klinik psikologi Healy di Chicago sangat dipengaruhi oleh teori psikodinamik Freud. Pendekatan dinamik ini menerima dorongan yang kuat ketika pada tahun yang sama Healy membuka klinik, G. Stanley Hall, seorang psikolog, mengatur waktu Freud dan dua pengikutnya, Carl Jung dan Sandor Ferenczi, untuk mendiskusikan perayaan tahunan universitas Clark di Worcester, Massachusetts. Acara dan materi yang digabungkan ini menjual psikoanalisis kepada psikolog Amerika (meskipun bukan pada Witmer, yang saat itu tidak hadir: Routh, 1996). Kiblat psikolog menjadi berubah ke arah model Healy mengenai masalah psikologi klinis dan klinik 53
bimbingan
anak.
Fakta
ini
sejalan
dengan
menyebarnya penggunaan tes intelijensi Binet, meninggalkan
Witmer
dengan
background
psikologi klinisnya. Tentu saja dia masih aktif, akan tetpi dia lebih fokus pada fungsi dan klien yang sudah lebih dulu ada, bergabung dengan psikologi sekolah, konseling kejuruan, terapi bicara, dan perbaikan
pendidikan
dengan
menggunakan
psikologi klinis.
F.
Psikologi Klinis di Tengah Perang Dunia II Ketika Amerika memasuki PD I, militer dalam
jumlah besar direkrut dan harus diklasifikasikan menjadi orang yang punya intelektual dan orang yang stabil psikologisnya. Tidak ada teknik yang 54
digunakan untuk melakukan hal ini. Kemudian pihak militer meminta Robert Yerkes (yang kemudian menjadi presiden APA) untuk memimpin komite psikolog eksperimental yang berorientasi pada assesment yang mengembankan pengukuran yang tepat. Untuk mengukur kemampuan mental, komite tersebut mengeluarkan tes intelejensi Army Alpha dan Army Betha, dan untuk membantu mendeteksi gangguan perilaku. Selain itu, ini juga merekomendasikan
penemuan
Psychoneurotic
Robert Woodworth's. Pada tahun 1918, para psikolog telah mengevaluasi hampir 2 juta orang. Ahli klinis menggunakan variasi yang lebih luas mengenai tes intelijensi untuk anak dan dewasa dan menambah pengukuran baru tentang 55
kepribadian, minat, kemampuan khusus, emosi, dan perilaku. Mereka mengembangkan alat tes sendiri, sambil mengadopsi dari alat tes lain yang diambil dari psikiater Eropa yang orientasinya psikoanalisis. Beberapa
tes yang familiar pada masa ini
adalah Jung's Association Test (1919), Roschach
Inkblot
Test (1921), the
Miller
Test(1926), the
Goodenough
Test (1926), the
Strong
Test (1927), the
Thematic
(TAT) (1935), dan the
the
Analogies Draw-A-Man
Vocationl
Interest
Apperception
Bender-Gestalt
Wechsler-Bellevue
Test
Test (1938), Intelligence
Scale (1939). Pada tahun 1930, terdapat sekitar 50 klinik psikologi
dan
sedikitnya
sekitar
12
klinik 56
bimbingan anak di AS. Psikolog klinis dalam seting ini menyadari bahwa mereka sedang berurusan dengan dunia pendidikan, bukan dengan masalah psikiatris. Akan tetapi, perbedaan ini tumbuh lamban, secara perlahan, ahli klinis menambah fungsi perawatan pada asesmen mereka, trainingtraining, dan alat-alat penelitian. Pada 1930-an akhir, psikologi klinis tidak hanya dikenal sebagai profesi. Pada permulaan PD II, masih tidak terdapat program training untuk ahli
klinis,
hanya
sedikit
sekali
yang
menyelenggarakan program doktoral, M.A dan paling
banyak
pada
program
B.A.
Untuk
mendapatkan pekerjaan sebagai psikolog klinis, dibutuhkan
beberapa
keahlian
tentang
tes, 57
psikologi abnormal, perkembangan anak, dan juga tertarik
dengan
orang
banyak.
Departemen-
departemen psikologi Universitas enggan untuk mengembangkan program pascasarjana dalam psikologi
klinis
karena
fakultas
mereka
mempertanyakan penerapan psikologi dan mereka khawatir dengan biaya pelatihan klinis yang cukup mahal. Seluruh materi pokok psikologi klinis modern telah
diadakan.
Enam
fungsinya
(assesment,
treatment, research, teaching, consultation, dan administrasi) sudah bermunculan. Psikologi klinis telah berkembang melalui klinik-klinik aslinya serta melalui rumah sakit, penjara dan setting-
58
setting lainnya. Parktisinya pun pada saat itu bekerja dengan anak-anak dan orang dewasa.
G. Pasca Perang Dunia Pasca perang dunia II pengenalan hukum psikologi klinis sebagai profesi tumbuh dengan baik.
Pada
masa
pasca
perang,
hukum
menyediakan lisensi atau sertifikasi bagi para ahli klinis yang punya kualifikasi tinggi, dan APA membuat
grup
sertifikat
mandiri
untuk
mengidentifikasi individu yang telah mencicipi banyak
pengalaman
dan
mengusai
banyak
keahlian. Penelitian klinis juga meluas setelah PD II dan menghasilkan banyak kesimpulan negatif pada 59
ketidakmanfaatan tes kepribadian, nilai keputusan diagnostik dibandingkan dengan keputusan yang statistik, dan efektifitas psikoterapi tradisional. Penelitian ini membuat ketidakpuasan terhadap metode standar penilaian klinis dan ini termotivasi oleh perkembangan pendekatan-pendekatan baru untuk merawat, termasuk pendekatan humanistik dan behavioral. Pada
tahun
1980,
hampir
seluruh
yng
berkaitan dengan psikologi klinis sebelum PD II telah
berubah.
Psikolog
klinis
sebelum
PD
merupakan ahli diagnosa yang kliennya adalah anak-anak. Setelah 1945, fungsi, setting, dan klien dari psikologi klinis berubah drastis. Sekarang, ahli klinis bisa menikmati jangkauan yang lebih luas 60
tentang pendekatan teori dan alat-alat praktek untuk melakukan asesemen dan untuk merubah prilaku manusia.
H. Psikologi Klinis pada Abad 21 Perjalan sejarah psikologi klinis mengalami kemajuan pesat selama lebih dari 100 tahun, akan tetapi
baik
perkembangannya
maupun
pengujiannya belum sempurna. Ketika memasuki abad 21, psikologi klinis banyak menemui hal yang belum pernah terjadi sebelumnya. Termasuk cara melatih siswa, layanan yang disediakan ahli klinis, seting yang digunakan, cara pembayaran, dan teori yang
membimbing
mereka
serta
perawatan
gangguan psikologis. 61
I.
Perkembangan Psikologi Klinis Perkembangan Psikologi Klinis dapat dibagi
kedalam beberapa periode. Periode ini mulai dari awal munculnya, hingga sekarang, perkembangan psikologi sangat pesat. Dibawah ini, kita akan mengklasifikasikan periode ini secara singkat, kemudian
mendeskripsikan
sejarahnya
secara
umum. 1. Periode I (Tahun-tahun awal) · Psikologi sebagai ilmu peengetahuan di abad XIX · Pendirian laboratotium pertama di Lepzig tahun 1879 · Pengukuran dan statistic karakteristik manusia oleh Francis Galton di Inggris. 62
· Sigmund
Freud
berpraktek
di
ina
dan
menerbitkan “the interpretation of dreams” · Lightmer “Psikologi mendirikan
Witmer Klinis” klinis
menggunakan untuk
pertama
psikologi
dan
istilah kalinya jurnal
psikologi pertama. · Awal abad ke-20 merupakan periode reformasi yang menggairahkan bagi ide, rencana, dan alat-alat baru dalam bidang psikologi. · Antara tahun 1900–1920 banyak ditemukan alat pengukuran karakteristik baru, terutama tes intelegensi, misal: Tes Binet, Tes Army Alpha, dll.
63
2. Periode II (Waktu Konsolidasi) · Masa antara perang dunia menumbuhkan kemajuan
dalam
bidang
psikologi
dan
perkembangan pada standar pelayanan. · Pada masa praktek lebih fokus pada masalah anak dan pengembangan teori pada orang dewasa. · Selama dan setelah perang dunia kedua, psikologi di Amerika sangat terlibat dalam pekerjaan di rumah sakit bersama personal dan veteran militer. · Tahun
1930,
kelompok
psikolog
terapan
mendirikan layanan konseling di kampus. · Para psikolog menemukan berbagai teknik assessment, antala lain MMPI, TAT, dan SVIB. 64
3. Periode III (Pertumbuhan Pesat) · Dua hingga tiga decade setelah PD II, psikolog klinis menjadi profesi yang mandiri. · Sudah menetapkan standar, misalnya tahun 1952, APA menerbitkan DSM I (Diagnostic and
statistic manual of mental disorder ), di negara lain
(International
ICD
classification
of
disorder). · 1950–1960, Psikoterapi menjadi kegiatan yang penting
dan
lebih
menarik
ketimbang
assessment. · Perubahan dalam pola latihan, pendidikan, dan standar etik bagi psikologi klinis.
65
4. Periode IV (Perkembangan yang Campur Aduk) · Muncul kebutuhan akan kesehatan mental orang Amerika dan menjadikannya sebagai masalah nasional peluang meluas bagi psikolog klinis dan pekerja kesehatan mental lainnya. · Sebagian
psikolog
penanganan
berkomitmen
yang
tidak
pada
isu
semata-mata
individual, missal isu, kesehatan masyarakat dan
pencegahan
muncul
bidang
khusus
Psikologi komunitas. · Tahun 1970, psikologi klinis diakui perusahan asuransi kesehatan sebagai penyedia layanan kesehatan independen. · Perubahan dalam jalur dan gelar pendidikan psikologi klinis. 66
5. Periode V (Perkembangan Mutakhir & Masa Depan) · Berkembang kajian lintas disiplin psikologi klinis dengan disiplin ilmu lain, seperti kedokteran. · Teori dan riset terus berkembang pesat, antara lain
neuroimaging,
memetakan
karakteristik
penelitian
untuk
genetik
manusia
(human genetic project). · Berbagai kemungkinan muncul antara lain penggunaan tes dan interpretasi tes dengan sistem komputerisasi, konsultasi psikologi di internet.
67
J.
Profesi dalam Psikologi Klinis Psikolog
Psikiater
Konsultan
Pengajaran
Terapis
Eksekutif
Dalam dunia kerja tidak dipungkiri bahwa psikologi klinis memiliki lahan pekerjaan sesuai dengan
peranan
keahliannya
dan
fungsi
penggunaannya. Psikologi klinis memiliki peranan dalam memahami, mencegah dan memulihkan keadaan psikologis individu ke ambang normal. Singkatnya, psikologi klinis memberikan bantuan pada manusia yang mengalami masalah psikologis. Tugas utama psikologi klinis adalah menggunakan tes
yang
merupakan
bagian
integral
suatu
68
pemeriksaan klinis yang biasanya dilakukan di rumah sakit.
K.
Psikologi Klinis dalam Dunia Kerja 1. Assessment,
pengumpulan
informasi
(observasi, wawancara, dan tes secara subyektif dan obyektif) mengenai perilaku individu, perilaku,
masalah,
karakteristik
unik,
kemampuan, dan keberfungsian intelektual untuk diagnosis, bimbingan karir, seleksi, dll. 2. Intervensi / Treatment, penanganan yang dirancang
untuk
menolong
orang
yang
bermasalah agar lebih mampu memahami dan menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. (Konseling dan Psikoterapi) 69
3. Research, psikologi klinis berorientasi pada penelitian, melalui pelatihan dan kbiasaan. Biasanya melibatkan juga profesi lain. 4. Teaching, menjadi staf pengajar, memberikan sminar, kursus, bimbingan dan lain-lain. 5. Consultation, memberikan nasihat/bimbingan bagi organisasi mengenai berbagai masalah --mengkombinasikan
aspek
pengajaran,
penelitian, assessment, dan penyembuhan. 6. Administration,
keterlibatan
dalam
manajemen/kegiatan harian organisasi, karena kepekaan, keterampilan interpersonal, keahlian dalam
penelitian,
dan
kemampuan
organisasionalnya.
70
Bidang-bidang Terkait · Psikopatologi: Ilmu yang mempelajari proses terjadinya patologi atau kelainan dari proses kejiwaan. · Psikologi Medis: penjabaran dari psikologi umum dan
psikologi
kepribadian
untuk
ilmu
kedokteran. · Psikologi abnormal:
ilmu
yang
mempelajari
perilaku abnormal atau gangguan psikologis dan klasifikasi berbagai jenis gangguan. · Kesehatan mental: Ilmu yang mempelajari upaya mencegah munculnya gangguan mental.
71
BAB II PSIKOLOGI KLINIS ANAK/PEDIATRIK
72
A.
Definisi Psikologi anak klinis adalah suatu bidang
keahlian khusus dari psikologi profesional yang mengintegrasikan prinsip-prinsip dasar psikologi klinis, psikopatologi perkembangan, dan prinsipprinsip perkembangan anak dan keluarga, yang digunakan untuk melaksanakan penelitian ilmiah dan memberikan pelayanan psikologis kepada bayi, anak-anak, dan remaja. Penelitian dan pelayanan di bidang psikologi klinis-anak difokuskan pada usaha memahami, mencegah, dan menangani masalah keluarga, kognitif, emosional, perkembangan, dan perilaku anak. Yang sangat penting bagi para psikolog anak klinis adalah pemahaman tentang kebutuhan 73
psikologis dasar anak dan konteks-konteks sosial yang memengaruhi perkembangan anak. ( Sunberg, 2007). Psikologi
Pediatrik
didefinisikan
sebagai
“bidang interdisipliner yang menangani fungsi dan perkembangan fisik, kognitif, sosial, dan emosional dalam kaitannya dengan isu-isu kesehatan dan penyakit pada anak-anak, remaja, dan keluarga” (masthead [ pokok tulisan ] Journal of Pediatric Psycology, 2000, vol. 25. hlm. 6; Norman D. Sunberg, 2007: 256). Bidang keahlian khusus psikologi pediatrik dikembangkan karena profesi kedokteran pediatrik dan psikologi anak-klinis yang
sudah
ada
sebelumnya
tidak
mampu
memenuhi tantangan dari beberapa masalah anak 74
dalam kerangka-kerangka kerja yang sudah ada ( Roberts dan McNeal, 1995: Norman D. Sunberg, 2007). Psikologi pediatrik dengan paparan awal ke peran unik psikologi di setting medis.
B.
ASPEK PSIKOLOGI ANAK Tiga aspek primer dalam psikologi anak
(Harper, 1997: Sunberg, 2007) adalah 1. Perspektif perkembangan 2. Pengumpulan data berdasarkan asesmen yang komprehensif dan berkelanjutan 3. Pendekatan penanganan behavioral Perkembangan normal dianggap sebagai titik acuan (reference point) bagi konseptualisasi dan intervensi klinis, dengan fokus khusus bagaimana 75
masalah medis memengaruhi anak-anak selama proses perkembangan. Protokol asesmen terstandar digunakan
untuk
mengumpulkan
informasi
tentang perilaku anak dan sebagai sarana untuk memantau penanganan. Intervensi behavioral dan psikososial menjadi pendekatan yang paling efektif untuk menangani berbagai gangguan terkait medis pada anak-anak. Menurut Harper (1997) bahwa psikolog
pediatrik
harus
mempunyai
multi
keterampilan di luar satu atau bidang spesialisasi.
C.
PENDEKATAN DALAM PSIKOLOGI ANAK 1. Pendekatan Piagetian : Perkembangan Kognitif Pendekatan Piagetian adalah pendekatan untuk mempelajari perkembangan kognitif 76
yang
mendeskripsikan
tahap
kualitatif
kefungsian kognitif. Jean Piaget menggambarkan masa anakanak
awal
sebagai
tahap
praoperasional
(preoperational stage), yang artinya pada tahap ini anak belum mampu untuk melakuakn operasi
mental
yang
logis.
Tahap
yang
berlangsung selama usia 2-7 tahun ini ditandai dengan pengembangan pemikiran-pemikiran simbolis atau kemampuan representasi, selain itu juga terdapat kemajuan pada pemahaman identitas,
pemahaman
sebab-akibat,
kemampuan mengklasifikasikan, pemahaman terhadap angka, dan empati.
77
Karakterisktik utama dalam pemikiran praoperasional
adalah
centration,
yaitu
kecenderungan untuk fokus terhadap satu aspek sehingga mengabaikan aspek-aspek yang lainnya. Hal tersebut yang kemudian memunculkan aspek-aspek ketidak matangan pada
pemikiran
egosentrisme
praoperasional,
(bentuk
yaitu
pengekspresian
centration), yang menimbulkan kegagalan memahami konservasi. Usia 7 tahun, anak memasuki tahap operasional konkret (concrete operation), yaitu tahap di mana anak dapat menggunakan berbagai operasi mental, seperti penalaran dan pemecahan masalah nyata. Pada tahap ini 78
anak-anak memiliki pemahaman yang lebih baik dari pada pemahaman anak pada tahap sebelumnya mengenai konsep ruang, sebabakibat, pengelompokan, penalaran induktif dan deduktif, konservasi, dan angka. 2. Pendekatan
Pemrosesan
Informasi
:Perkembangan Ingatan Pendekatan
pemrosesan
informasi
adalah
pendekatan untuk mempelajari perkembangan kognitif dengan menganalisis proses-proses yang terlibat dalam pembuatan persepsi dan penerimaan informasi. Pada masa kanak-kanak awal, kecepatan, perhatian dan efisiensi dalam memproses infromasi meningkat dan dari sini mulai terbentuk ingatan 79
jangka panjang. Berbeda dengan orang dewasa yang cenderung mengingat inti dari sebuah kejadian, anak-anak ini lebih cenderung mengingat detail dari suatu kejadian. Pada tahap ini tidak mudah bagi anak untuk mengingat sesuatu, kecuali hidup mereka sampai mereka mengenmbangkan konsem tentang diri mereka. Partisipasi aktif anak akan mempengaruhi ketahanan ingatan tersebut, seperti ketika anak mampu mengunkapkan kembali ingatan mereka dalam kata-kata, maka mereka baru akan dapat menyimpannya dalam pikiran. Anak pada masa kanak-kanak tengah, atau pada usia sekolah (7 tahun) cenderung untuk membuat
kemajuan
dalam
memproses
dan
mempertahankan informasi. Reaksi dan kecepatan 80
memproses meningkat, yang kemudian mengarah pada peningkatan jumlah informasi yang bisa disimpan.
Anak pada tahap ini juga
lebih
memahami fungsi ingatan dan tahu strategi atau cara untuk mengingat. Mereka mulai menyadari tentang
pemilihan
informasi
yang
sekiranya
penting untuk diperhatikan dan diingat.
3. Pendekatan Psikometrik Pendekatan ini adalah pendekatan untuk mempelajari perkembangan kognitif yang berusaha mengukur secara kuantitatif faktor yang diduga mempengaruhi kecerdasan yang dimiliki seseorang, yang
hasilnya
akan
digunakan
untuk
81
memperkitasakan
kinerja
individu
di
masa
mendatang. Alferd Binet dan rekannnya Theodore Simon adalah pelopor tes psikometrik. Dua tes individu yang paling sering di gunakan untuk anak prasekolah adalah Stanford-Binet Intelligence Scale dan Weschler Preschool and Primary Scale of
Intelligence. Sedangkan tes kecerdasan psikometrik untuk anak usia sekolah yang cukup luas penggunaannya adalah Otis-Lennon School Abilit
Test
untuk
Intelligence
test
Scale
kelompok,
for
dan
Children
Weschler untuk
tes
perorangan.
82
4. Pendekatan Keseluruhan Bahasa Pendekatan ini merupakan pendekatan untuk mengajar
membaca
yang
menekankan
pada
penyimpanan dan pengingatan kembali visual dan penggunaan isyarat kontekstual.
5. Pendekatan Sosial-Kultural Pendekatan sosial-kultural adalah pendekatan untuk mempelajari perkembangan kognitif dengan berfokus pada pengaruh lingkungan, khususnya orang tua dan pengasuh lainnya. Dimana pada masa kanak-kanak keluarga masih tetap menjadi fokus utama dalam kehidupan sosialnya, walaupun teman-teman mulai menduduki posisi penting.
83
6. Pendekatan Neurosains Kognitif Tujuan dari pendekatan ini adalah untuk mempelajari
perkembangan
kognitif
yang
mengkaitkan fungsi otak dengan proses kognitif. Dimana pada anak-anak perkembangan yang terjadi adalah pada usia 5-6 tahun yaitu pada kematangan wilayah kortikal, yang berhubungan dengan bahasa.
7. Pendekatan Behaviorisme Pendekatan yang bertujuan untuk mempelajari perkembangan kognitif yang berkaitan dengan mekanisme dasar pembelajaran.
8. Metode Assesmen 84
Asesman klinis merupakan sebuah proses yang dapat memiliki bentuk berbeda-beda, seperti wawancara klinis, tes psikologi, observasi perilaku, dan
review
pendekatan
arsip sentral
merupakan yang
pendekatan-
digunakan
untuk
meengumpulkan informasi yang dibutuhkan untuk memenuhi tujuan asesmen yang telah digariskan.
9. Metode Wawancara (Terstruktur) Dalam metode wawancara terstruktur ini pewawancara
telah
terlatih
menyampaikan
sejumlah pertanyaan. Sebagian besar pertanyaan tersebut berupa pertanyaan tertutup, seperti : “Pernahkah
Anda
mengalami
periode
yang
berlangsung sehari-hari, dimana Anda merasa 85
depresi nyaris setiap hari ?” pertanyaan tersebut dapat dijawab dengan ya atau tidak dengan jawaban yang pendek dan pasti, berlawanan dengan pertanyaan terbuka, seperti “Bagaimana perasaan Anda hari ini?” Dengan menerapkan kriteria yang telah ditetapkan, klinisi dapat menggunakan
jawaban-jawaban
untuk
menegakkan diagnosis. Wawancara terstruktur untuk anak disebut
Diagnostis Interview Shcedule for Children , Revised (DISC-R; Schaffer, Schwab-Stone, Fisher, dan Cohen, 1993). Wawancara tersebut digunakan untuk memiliki format-format yang paralel untuk anak dan pengasuh primer untuk dijadikan alat
86
bantu dalam berbagai diagnosis gangguan pada masa kanak-kanak.
10.
Tes Intelegensi
Pengetesan intelegensi banyak dilakukan pada anak-anak karena masalah retardasi mental atau kemampuan yang tak lazim sudah nampak pada awal kehidupan. Stanford Binnet Intelligence Scale. Tes intelligensi komprehensif pertama adalah yang diciptakan oleh Alfred Binet, ilmuwan Prancis yang produktif, akhir abad ke-19 awal abad ke-20. Stanford Binet edisi ke-4 memiliki empat maksud sekaligus: diagnosis diferensial retardasi mental versus diagnosis diferensial Learning Disabilities, pemahaman tentang mengapa seorang siswa 87
memiliki kesulitan kognitif, pengidentifikasian siswa berbakat, dan study mengenai perkembangan keterampilan
kognitif
individi-individu
yang
berumur 2 tahun ke atas (Thorndike, dan kawankawan, 1986; Sundberg, 2007)
Wechsler Intelligence Scales dipublikasikan pertama oleh David Wechsler pada 1939. Wechsler
Intelligence Scale for Children, Edisi ke-3 (WISCIII, Wechsler 1998) digunakan pada anak-anak berumur 6 tahun sampai 17 tahun 11 bulan.
Wechsler
Presschool
and
Primary
Scale
of
Intelligence (WPPSI-R, Wechsler, 1989) untuk digunakan pada anak-anak berumur 3 Tahun 7 Bulan sampai 7 Tahun 3 Bulan. Wechsler
Abbreviated Scale of Intelligence (WASI) dan 88
menjadi instrument popular yang diterapkan orang dewasa
dan
anak-anak
karena
pengadministrasiannya yang mudah dan cepat.
11.
Defisit dan Disfungsi Serebral
Defisit dan Disfungsi Serebral mencakup tugas-tugas seperti copying design from memory (mengkopi desain dari ingatan), traching a path
between numbers and letters in sequence (melacak sebuah jalan-jalan kecil diantara angka-angka dan huruf-huruf yang berurutan), dan reporting shapes
by feeling objects (menyebutkan bentu benda dengan merasakannya). 12. Tes Prestasi Umum dan Tes Bakat
89
Bagi anak-anak, pengukuran prestasi sekolah sangat penting dalam memahami school ferrals. Dalam tes ini yang menonjol adalah Differential
Aptitude Test (DAT). DAT terutama digunakan untuk konseling oleh anak-anak SMA.
D. METODE PENANGANAN Pertimbangan-pertimbangan yang diperlukan dalam
mengembangkan
definisi
tentang
kenormalan dan keabnormalan pada anak menurut perspektif perkembangan oleh Garber (1984). Pertimbangan tersebut meliputi : 1) Umur dan Trend terkait-Jenis Kelamin Dalam tipikal,
mempertimbangkan
penting
untuk
perilaku
membedakan
anak antara 90
symptom (gejala, masalah tertentu) dan syndrome ( sindroma, pola, atau klaster dari beberapa gejala yang khas untuk sebuah gangguan).Study-study epidemiologismemperlihatkan
bahwa
meskipun
berbagai macam gejala cukup lazim terlihat pada usia-usia tertentu, tetapi sindroma jauh lebih jarang terlihat. Contoh : mimpi buruk yang melibatkan monster (sebuah gejala) bukan hal yang tidak wajar bagi anak-anak, dan jika itu muncul tidak akan dianggap sebagai psikopatologi (Papalia, Olds, dan Feldman, 1999, Sunberg, 2007) 2) Taraf Fungsi dan Progresi Perkembangan Perilaku individu bersifat patologis atau tidak, dapat ditentukan oleh salah satu kriteria, yaitu 91
dengan mempertimbangkan seberapa baik orang itu menghadapi berbagai tuntunan lingkungannya. Pada anak-anak, asesmen terhadap taraf fungsi mereka saat ini dan progresi mereka seiring perjalanan waktu harus dibandingkan dengan garis-basal yang diharapkan. Sehingga ketika melihat taraf fungsi anak saat ini, kita harus menanyakan apakah hal itu khas untuk anak-anak yang lebih muda atau lebih tua. a) Metode Intervensi Intervensi-intervensi
psikologis
terjadi
di
berbagai macam setting seperti, klinik, rumah sakit di rumah, atau di sekolah dan menangani berbagai proses
psikologis
memperbaiki
dan
bagaimana
interpersonal cara
anak
untuk berpikir, 92
merasakan dan bertindak. Psikolog menggunakan bermacam-macam pendekatan konseptual untuk menangani anak-anak, termasuk dengan terapi psikodinamika, behavioral, kognitif, bermain, dan keluarga, dan bervariasi menurut siapa yang menerima penanganan (misalnya anak, keluarga), modalitas penanganannya (misalnya, berbicara, bermain),
dan
settingnya
(misalnya,
klinik,
sekolah). Tabel strategi-strategi intervensi untuk menangani masalah-masalah perilaku anak : 1. Konteks intervensi Type intervensi 2. Intervensi anak remaja Psikoterapi individual 3. Psikoterapi kelompok 4. Terapi bermain 5. Terapi behavioral dan kognitif behavioral 93
6. Latihan keterampilan 7. Psikofarmakologi 8. Intervensi orang tua Konsultasi 9. Latihan pendidikan 10. Intervensi keluarga Terapi keluarga 11. Dukungan pemberdayaan keluarga 12. Intervensi sekolah dan masyarakat Konsultasi dengan pelayanan sosial 13. Konsultasi dengan sistem hukum 14. Konsultasi dengan setting medis Mengidentifikasikan
anak-anak
yang
membutuhkan penanganan adalah tugas yang kompleks karena anak-anak jarang merujuk dirinya sendiri untuk mendapatkan penanganan dan sering kali tidak mengenali kesulitan perilaku, 94
emosional, atau belajarnya sendiri. Orangtualah yang
biasayna
mengetahui
masalahnya
dan
mengambil keputusan untuk mencari keputusan dari profesional. Tetapi untuk anak-anak dan remaja sering di anggap “de facto family-context therapy” karena masalah anak harus di tangani dalam konteks sistem keluarga dan sistem sosial yang lebih besar (Kazdin
dan
Weisz,
1998).
Konsekuensinya,
gangguan pada anak-anak harus di lihat dalam kerangka kerja masalah psikopatologi maupun psikososial orang dan lingkungan dan bukan mengatribusikan masalahnya pada salah satu diantara kedua aspek itu (Adelman,1995).
95
b) Isu-Isu Perkembangan Tantangan bagi psikolog yang berorientasi klinis adalah mendapatkan pemahaman tentang bagaimana perkembangan normal menyimpang dari jalurnya, situasi atau variabel apa saja yang mempertahankan penyimpangan itu, dan kondisi apa saja yang memungkinkan untuk kembali ke jalur
normal
(Serafica
dan
wenar,
1996).
Mendukung jalur perkembangan yang sehat dapat di lakukan dengan mengajarkan ketrampilan adaptif di bidang-bidang, seperti problem solving, komunikasi dan interaksi sosial, sambil mendukung sistem keluarganya.
96
Faktor-faktor perkembangan, seperti umur, tingkat kognitif, pengalaman masa lalu, dan pemahaman tentang isu-isu etis dan legal juga akan
memengaruhi
bagaimana
anak-anak
merespon berbagai kegiatan kesehatan mental (misalnya, tes psikologis, terapi, penelitian). Ketika menangani orang dewasa, ada asumsi bahwa mereka memahami atau melalui penjelasan akan memahami alasan di balik psikoterapi. Ada banyak fungsi kognitif dan emosional yang berubah di sepanjang proses perkembangan dan dapat memengaruhi penanganan klinis pada anakanak. Proses perkembangan bahasa baik reseptif maupun ekspresif, krusial untuk partisipasi dalam penanganan. Tingkat berbahasa reseptif akan 97
berdampak
pada
kemampuan
anak
dalam
memahami instruksi dan penjelasan dari petugas kesehatan mental. Kemampuan berbahasa ekspresif akan
memengaruhi
bagaiman
anak
akan
membicarakan tentang pengalamannya sendiri.
98
BAB III PSIKOLOGI KLINIS REMAJA
99
A.
Definisi Menurut
Hurlock
(1981)
remaja
adalah
mereka yang berada pada usia 12-18 tahun. Monks, dkk (2000) memberi batasan usia remaja adalah 12-21 tahun. Menurut Stanley Hall (dalam Santrock, 2003) usia remaja berada pada rentang 12-23 tahun. Berdasarkan batasan-batasan yang diberikan para ahli, bisa dilihat bahwa mulainya masa remaja relatif sama, tetapi berakhirnya masa remaja sangat bervariasi. Bahkan ada yang dikenal juga dengan istilah remaja yang diperpanjang, dan remaja yang diperpendek. Remaja adalah masa yang penuh dengan permasalahan. Statemen ini sudah dikemukakan jauh pada masa lalu yaitu di awal abad ke-20 oleh 100
Bapak Psikologi Remaja yaitu Stanley Hall. Pendapat Stanley Hall pada saat itu yaitu bahwa masa remaja merupakan masa badai dan tekanan (storm and
stress) sampai sekarang masih banyak dikutip orang. Menurut Erickson masa remaja adalah masa terjadinya krisis identitas atau pencarian identitas diri. Gagasan Erickson ini dikuatkan oleh James Marcia yang menemukan bahwa ada empat status identitas diri pada remaja yaitu identity diffusion/
confussion, moratorium, foreclosure, dan identity achieved (Santrock, 2003, Papalia, dkk, 2001, Monks, dkk, 2000, Muss, 1988). Karakteristik remaja yang sedang berproses untuk mencari
101
identitas diri ini juga sering menimbulkan masalah pada diri remaja. Gunarsa
(1989)
merangkum
beberapa
karakteristik remaja yang dapat menimbulkan berbagai permasalahan pada diri remaja, yaitu: 1. Kecanggungan dalam pergaulan dan kekakuan dalam gerakan. 2. Ketidakstabilan emosi. 3. Adanya perasaan kosong akibat perombakan pandangan dan petunjuk hidup. 4. Adanya sikap menentang dan menantang orang tua. 5. Pertentangan di dalam dirinya sering menjadi pangkal penyebab pertentangan-pertentang dengan orang tua. 102
6. Kegelisahan karena banyak hal diinginkan tetapi
remaja
tidak
sanggup
memenuhi
semuanya. 7. Senang bereksperimentasi. 8. Senang bereksplorasi. 9. Mempunyai banyak fantasi, khayalan, dan bualan. 10. Kecenderungan membentuk kelompok dan kecenderungan kegiatan berkelompok. Berdasarkan tinjauan teori perkembangan, usia remaja adalah masa saat terjadinya perubahanperubahan
yang
cepat,
termasuk
perubahan
fundamental dalam aspek kognitif, emosi, sosial dan pencapaian
(Fagan,
2006).
Sebagian
remaja
mampu mengatasi transisi ini dengan baik, namun 103
beberapa remaja bisa jadi mengalami penurunan pada kondisi psikis, fisiologis, dan sosial. Beberapa permasalahan remaja yang muncul biasanya banyak berhubungan dengan karakteristik yang ada pada diri remaja. Berikut ini dirangkum beberapa permasalahan utama yang dialami oleh remaja.
B.
Permasalahan Fisik dan Kesehatan Permasalahan akibat perubahan fisik banyak
dirasakan
oleh
remaja
awal
ketika
mereka
mengalami pubertas. Pada remaja yang sudah selesai masa pubertasnya (remaja tengah dan akhir) permasalahan fisik yang terjadi berhubungan dengan
ketidakpuasan/
keprihatinan
mereka 104
terhadap keadaan fisik yang dimiliki yang biasanya tidak sesuai dengan fisik ideal yang diinginkan. Mereka juga sering membandingkan fisiknya dengan fisik orang lain ataupun idola-idola mereka.
Permasalahan
fisik
ini
sering
mengakibatkan mereka kurang percaya diri. Levine & Smolak (2002) menyatakan bahwa 40-70% remaja perempuan merasakan ketidakpuasan pada dua atau lebih dari bagian tubuhnya, khususnya pada bagian pinggul, pantat, perut dan paha. Dalam
sebuah
penelitian
survey
pun
ditemukan hampir 80% remaja ini mengalami ketidakpuasan dengan kondisi fisiknya (Kostanski & Gullone, 1998). Ketidakpuasan akan diri ini sangat erat kaitannya dengan distres emosi, pikiran yang 105
berlebihan tentang penampilan, depresi, rendahnya harga diri, onset merokok, dan perilaku makan yang maladaptiv (& Shaw, 2003; Stice & Whitenton, 2002). Lebih lanjut, ketidakpuasan akan body
image ini dapat sebagai pertanda awal munculnya gangguan makan seperti anoreksia atau bulimia (Polivy & Herman, 1999; Thompson et al). Dalam masalah kesehatan tidak banyak remaja yang mengalami sakit kronis. Problem yang banyak terjadi adalah kurang tidur, gangguan makan, maupun
penggunaan
obat-obatan
terlarang.
Beberapa kecelakaan, bahkan kematian pada remaja penyebab terbesar adalah karakteristik mereka
yang
suka
bereksperimentasi
dan
berskplorasi. 106
C. Permasalahan
Alkohol
dan
Obat-Obatan
Terlarang Penggunaan alkohol dan obat-obatan terlarang akhir-akhir ini sudah sangat memprihatinkan. Walaupun usaha untuk menghentikan sudah digalakkan tetapi kasus-kasus penggunaan narkoba ini sepertinya tidak berkurang. Ada kekhasan mengapa remaja menggunakan narkoba/ napza yang kemungkinan alasan mereka menggunakan berbeda dengan alasan yang terjadi pada orang dewasa. Santrock (2003) menemukan beberapa alasan mengapa remaja mengkonsumsi narkoba yaitu karena ingin tahu, untuk meningkatkan rasa percaya
diri,
solidaritas,
adaptasi
dengan
lingkungan, maupun untuk kompensasi. 107
Pengaruh sosial dan interpersonal: termasuk kurangnya
kehangatan
dari
orang
tua,
supervisi, kontrol dan dorongan. Penilaian negatif dari orang tua, ketegangan di rumah, perceraian dan perpisahan orang tua.
Pengaruh budaya dan tata krama: memandang penggunaan alkohol dan obat-obatan sebagai simbol penolakan atas standar konvensional, berorientasi pada tujuan jangka pendek dan kepuasan hedonis, dll.
Pengaruh interpersonal: termasuk kepribadian yang temperamental, agresif, orang yang memiliki lokus kontrol eksternal, rendahnya harga diri, kemampuan koping yang buruk, dll.
Cinta dan Hubungan Heteroseksual 108
Permasalahan Seksual
Hubungan Remaja dengan Kedua Orang Tua
Permasalahan Moral, Nilai, dan Agama Lain
Anderson
halnya
dengan
(dalam
pendapat
Fagan,2006),
Smith
&
menurutnya
kebanyakan remaja melakukan perilaku berisiko dianggap sebagai bagian dari proses perkembangan yang normal. Perilaku berisiko yang paling sering dilakukan oleh remaja adalah penggunaan rokok, alkohol dan narkoba (Rey, 2002). Tiga jenis pengaruh
yang
memungkinkan
munculnya
penggunaan alkohol dan narkoba pada remaja: Salah satu akibat dari berfungsinya hormon gonadotrofik
yang
diproduksi
oleh
kelenjar
hypothalamus adalah munculnya perasaan saling 109
tertarik antara remaja pria dan wanita. Perasaan tertarik ini bisa meningkat pada perasaan yang lebih tinggi yaitu cinta romantis (romantic love) yaitu luapan hasrat kepada seseorang atau orang yang sering menyebutnya “jatuh cinta”. Santrock (2003) mengatakan bahwa cinta romatis menandai kehidupan percintaan para remaja dan juga merupakan hal yang penting bagi para siswa. Cinta romantis meliputi sekumpulan emosi yang saling bercampur seperti rasa takut, marah, hasrat seksual, kesenangan dan rasa cemburu. Tidak semua emosi ini positif. Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Bercheid & Fei ditemukan bahwa cinta romantis merupakan salah satu
penyebab
seseorang
mengalami
depresi 110
dibandingkan
dengan
permasalahan
dengan
teman. Tipe cinta yang lain adalah cinta kasih sayang (affectionate love) atau yang sering disebut cinta kebersamaan yaitu saat muncul keinginan individu untuk memiliki individu lain secara dekat dan mendalam, dan memberikan kasih sayang untuk orang tersebut. Cinta kasih sayang ini lebih menandai masa percintaan orang dewasa daripada percintaan remaja. Dengan telah matangnya organ-organ seksual pada
remaja
maka
akan
mengakibatkan
munculnya dorongan-dorongan seksual. Problem tentang seksual pada remaja adalah berkisar masalah
bagaimana
mengendalikan
dorongan 111
seksual, konflik antara mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan, adanya “ketidaknormalan”
yang
dialaminya
berkaitan
dengan organ-organ reproduksinya, pelecehan seksual, homoseksual, kehamilan dan aborsi, dan sebagainya (Santrock, 2003, Hurlock, 1991). Di antara perubahan-perubahan yang terjadi pada masa remaja yang dapat mempengaruhi hubungan orang tua dengan remaja adalah : pubertas,
penalaran
logis
yang
berkembang,
pemikiran idealis yang meningkat, harapan yang tidak tercapai, perubahan di sekolah, teman sebaya, persahabatan, pacaran, dan pergaulan menuju kebebasan.
112
Beberapa konflik yang biasa terjadi antara remaja dengan orang tua hanya berkisar masalah kehidupan sehari-hari seperti jam pulang ke rumah, cara berpakaian, merapikan kamar tidur. Konflik-konflik seperti ini jarang menimbulkan dilema utama dibandingkan dengan penggunaan obat-obatan terlarang maupun kenakalan remaja. Beberapa remaja juga mengeluhkan cara-cara orang tua memperlakukan mereka yang otoriter, atau sikap-sikap orang tua yang terlalu kaku atau tidak memahami kepentingan remaja.
D. PENANGANAN Akhir-akhir ini banyak orang tua maupun pendidik yang merasa khawatir bahwa anak-anak 113
mereka terutama remaja mengalami degradasi moral. Sementara remaja sendiri juga sering dihadapkan pada dilema-dilema moral sehingga remaja merasa bingung terhadap keputusankeputusan
moral
yang
harus
diambilnya.
Walaupun di dalam keluarga mereka sudah ditanamkan nilai-nilai, tetapi remaja akan merasa bingung ketika menghadapi kenyataan ternyata nilai-nilai tersebut sangat berbeda dengan nilainilai yang dihadapi bersama teman-temannya maupun di lingkungan yang berbeda. Pengawasan terhadap tingkah laku oleh orang dewasa sudah sulit dilakukan terhadap remaja karena lingkungan remaja sudah sangat luas. Pengasahan
terhadap
hati
nurani
sebagai 114
pengendali internal perilaku remaja menjadi sangat penting
agar
remaja
bisa
mengendalikan
perilakunya sendiri ketika tidak ada orang tua maupun
guru
dan
segera
menyadari
serta
memperbaiki diri ketika dia berbuat salah. Dari beberapa bukti dan fakta tentang remaja, karakteristik
dan
permasalahan
yang
menyertainya, semoga dapat menjadi wacana bagi orang tua untuk lebih memahami karakteristik anak remaja mereka dan perubahan perilaku mereka. Perilaku mereka kini tentunya berbeda dari masa kanak-kanak. Hal ini terkadang yang menjadi stressor tersendiri bagi orang tua. Oleh karenanya, butuh tenaga dan kesabaran ekstra
115
untuk benar-benar mempersiapkan remaja kita kelak menghadapi masa dewasanya.
116
BAB IV PSIKOLOGI klinis DEWASA
117
A.
Definisi Pengertian kedewasaan sebagai susatu fase
dalam perkembangan dipandang dari beberapa segi sebetulnya kurang tepat. Dewasa dalam bahasa Belanda adalah “volwassen” vol = penuh dan
wassen = tumbuh, sehingga volwassen berarti sudah tumbuh dengan penuh atau selesai tumbuh. Istilah “dewasa” berasal dari kata latin yaitu adults yang berarti telah tumbuh menjadi kekuatan dan ukuran yang sempurna atau telah menjadi dewasa. Oleh karena itu, orang dewasa adalah individu
yang
pertumbuhannya
telah dan
telah
menyelesaikan siap
menerima
kedudukan dalam masyarakat bersamaan dengan orang
dewasa
lainnya.
Jadi
psikologi 118
perkembangan fase dewasa yaitu salah satu bidang psikolog
yang
memfokuskan
pembahasannya
mengenai perubahan tingkah laku dan proses perkembangan pada fase dewasa. Di Indonesia batas kedewasaan adalah 21 tahun. Hal ini berarti
bahwa pada usia itu
seseorang sudah dianggap sudah mempunyai tanggung
jawab
terhadap
perbuatan-
perbuatannya. Ia mendapat hak-hak tertentu sebagai orang dewasa, misalnya hak untuk memilh Dewan Perwakilan Rakyat, dapat nikah tanpa wali dan sebagainya. Jadi peraturan hukum tadi hanya untuk menetapkan hal-hal yang diperoleh seorang warga negara dalam suatu masyarakat. Dengan begitu 119
maka istilah kedewasaan lebih menunjuk pada suatu
pengertian
perkembanagan
sosiologis
sosiologisnya.
daripada Dapat
pula
dikatakan bahwa tugas-tugas perkembangaan pada massa ini ditentukan oleh masyarakat yaitu kawin, membangun
suatu keluarga,
mendidik
anak,
memikul tanggung jawab sebagai warga negara, membuat hubungan dengan suatu kelompok sosial tertentu, dan melakukan suatu pekerjaan.
B.
Karakteristik Perkembangan pada Fase Dewasa Setiap kebudayaan memuat pembedaan usia
kapan seseorang mencapai status dewasa secara resmi. Masa dewasa dapat dikatakan sebagai masa yang paling lama dalam rentang hidup. Selama 120
masa yang panjang ini, perubahan fisik dan psikologis terjadi pada waktu-waktu yang dapat diramalkan yang menimbulkan masalah-masalah penyesuaian diri, tekanan-tekanan, serta harapanharapan. Saat terjadinya peubahan-perubahan fisik dan psikis tertentu, masa dewasa biasanya dibagi menjadi
tiga
periode
yang
menunjuk
pada
perubahan-perubahan tersebut. Yaitu :
1. Masa Dewasa Dini (Dewasa Awal) Masa
dewasa
dini
merupakan
periode
penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan baru. Periode ini secara umum berusia sekitar 18-25 dan berakhir sekitar 35-40 tahun. Dewasa dini, memiliki ciri-ciri yaitu : 121
a) Kognitif : masa dewasa produktifitasnya tinggi dan pemikiran pada masa dewasa cenderung tampak
fleksibel,
terbuka,
adaptif,
dan
individualistis. Hal tersebut didasarkan kepada intuisi dan emosi serta logika untuk membantu orang-orang menghadapi dunia yang tampak kaotis ini. b) Emosional : kecerdasan emosional bisa jadi memainkan
peran
dalam
kemampuan
mendapatkan dan menggunakan pengetahuan implisit. Stabilitas emosi masih mengalami naik turun, namun tetap terkontrol dan cenderung mengarah ke titik keseimbangan dan bisa menerima tanggung jawab.
122
c) Bahasa : orang yang menginjak masa dewasa awal akan lebih anggun dalam bertutur kata, menggunakan bahasa yang tepat seuai dengan lawan bicaranya. keterampilan berbahasa lebih dikuasai
dan
lebih
supel
serta
mudah
berkomunikasi dengan orang lain. d) Sosial : masa dewasa ini biasanya akan lebih supel dalam berteman namun seringkali kondisi mereka seringkali mengubah cara berteman kerah kelompok-kelompok. e) Moral
: masa dewasa dini selalu memiliki
keinginan untuk bisa mengikuti nilai-nilai adat istiadat yang berlaku. f) Spiritual : pada tahap ini mulai muncul sintesis kepercayaan dan tanggung jawab individual 123
terhadap kepercayaan tersebut. Pengalaman personal pada tahap ini memainkan peranan penting dalam kepercayaan seseorang. g) Motorik : pada usia ini, orang memiliki kecepatan respon yang maksimal dan mereka dapat menggunakan kemampuan ini dalam situasi tertentu dan lebih luas. h) Peran jenis kelamin : golongan dewasa muda semakin
memiliki
kematangan
fisiologis
(seksual) sehingga mereka siap melakukan tugas reproduksi, yaitu mampu melakukan hubungan seksual dengan lawan jenisnya. Dia mencari pasangan untuk bisa menyalurkan kebutuhan biologis.
124
2. Masa Dewasa Madya (Dewasa Pertengahan) Usia madya berusia sekitar 35-40 tahun & berakhir sekitar 60 tahun. Masa tersebut pada akhirnya ditandai dengan adanya perubahanperubahan jasmani dan mental. Pada usia 60 tahun biasanya terjadi penurunan kekuatan fisik, sering pula diiringi oleh penurunan daya ingat. Usia madya merupakan periode yang panjang dalam rentang kehidupan manusia, biasanya usia tersebut dibagi dalam dua sub bagian, yaitu: (1) Usia madya dini dari usia sekitar 35-50 tahun, dan (2) Usia madya lanjut dari 50-60 tahun. Pada periode usia madya lanjut, perubahan fisik dan psikologis menjadi lebih kelihatan. Ciri- ciri dari masa dewasa madya yaitu: 125
a) Kognitif : secara kognitif, orang-orang paruh bayah sedang berada dalam kondisi puncak. Para periset menyimpulkan “tidak adanya pola umum perubahan dengan
usia
bagi
yang berkaitan
semua
kemampuan
intelektual”. Walaupun penurunan konsisten kemampuan perseptual telah dimulai sejak 25 tahun, dan kemampuan numerik mulai menurun pada usia sekitar 40 tahun, performa puncak dalam empat dari enam keterampilan, penalaran induktif, orientasi spasial, kosakata, dan memori verbal terjadi sekitar pertengahan masa paruh bayah. b) Emosional : stabilitas emosionalnya sudah seimbang. Dewasa tengah mengatur diri 126
mereka sendiri, dan mereka cenderung memilih atau membentuk lingkungan yang sesuai
dengan
kebutuhan
mereka
dan
membuat mereka merasa nyaman. c) Bahasa
:
usia
madya
ini
mengalami
kemunduran dalam segi bahasa setelah mengalami puncaknya. Kosa kata tinggi yang dulu pernah dimengerti, kini sedikit demi sedikit
mulai
kemunduran
terlupakan ingatan.
akibat
faktor
keterampilan
berbahasa lebih sopan, agak bijak dan lebih dewasa. d) Sosial : Masa dewasa madya awal biasanya lebih
fokus
pada
kegiatannya
masing-
masing, berteman dengan kelompok telah 127
mereka bina, namun pada akhir masa madya perubahan respon sosial mulai naik, lebih giat bermasyarakat dan mengenal tetangga. e) Moral : masa dewasa ini selalu memiliki keinginan
untuk
bisa
mengikuti
dan
menghargai adat istiadat yang berlaku dan daya tarik kearah religi mulai terlihat apalagi diusia madya akhir. f) Spiritual
:
Tahap
ini
ditandai
dengan
perasaan terintegrasi dengan simbol-simbol, ritual-ritual dan keyakinan agama. Dalam tahap ini seseorang juga lebih terbuka terhadap
pandangan-pandangan
yang
paradoks dan bertentangan, yang berasal dari
128
kesadaran akan keterbatasan dan pembatasan seseorang. g) Motorik : memiliki kecepatan respon yang baik, tetapi diakhir usia dewasa madya kecepatan respon mengalami penurunan. h) Peran jenis kelamin : pria paruh baya lebih terbuka tentang perasaanya, lebih tertarik kepada relasi intim, dan lebih mengayomi (karakteristik yang secara tradisional dilabeli feminin) dibandingkan usia sebelumnya. Sedangkan wanita paruh baya lebih asertif, percaya diri, dan berorientasi pada prestasi (karakteristik yang secara tradisional dilabeli maskulin).
129
3. Masa Dewasa Akhir Usia lanjut ditandai dengan perubahan fisik dan
psikologis
tertentu.
Efek-efek
tersebut
menentukan apakah pria atau wanita usia lanjut akan melakuan penyesuaian diri secara baik atau buruk. Akan tetapi, ciri-ciri usia lanjut cendrung menuju dan membawa penyesuaian diri yang buruk
daripada
yang
baik
dan
kepada
kesengsaraan dari pada kebahagiaan. Ciri-ciri usia lanjut yaitu: Kognitif
:
Studi
Longitudinal
Seattle
menemukan bahwa fungsi kognitif pada lansia sangat bervariasi. Sedikit orang yang menurun kemampuan pada semua atau sebagaian besar bidang, dan banyak orang mehningkat pada 130
bidang tertentu. Pada usia dewasa akhir meskipun adanya penurunan dalam bidang kognitifnya mereka masih bisa menunjukkan performanya
dengan
adanya
pelatihan-
pelatihan. Emosional : para lansia dapat mengontrol emosi dengan lebih baik. Dalam menangani sebuah masalah lansia lebih bijaksana yaitu dengan memilih strategi pengaturan emosi cenderung menarik diri pada posisi melihat suatu kejadian dari segi positifnya. Bahasa : usia dewasa akhir dari segi bahasa juga mengalami kemunduran dengan ditandai pelafalan kosa kata yang kurang jelas. Hal ini
131
dikarenakan telah menanggalnya beberapa gigi yang membuat artikulasi kurang jelas. Sosial : dengan semakin lanjut usia seseorang secara berangsur-angsur ia mulai melepaskan diri dari kehidupan sosialnya karena berbagai keterbatasan yang dimilikinya. Pada usia ini justru lebih membutuhkan perhatian yang lebih dari keluarga terdekat untuk menguatkan diri meskipun mulai terjauh dari lingkungan masyarakat. Moral : usia dewasa akhir lebih cenderung tidak perduli lagi dengan norma-norma atau aturan–aturan
yang
ada
di
lingkungan
tersebut. Hal ini dikarenakan banyaknya
132
terjadi kemunduran dalam fisiknya yang berakibat berdampak pada moralnya. Spiritual : Perkembangan agama pada masa ini ditandai
dengan
munculnya
sistem
kepercayaan transcendental untuk mencapai perasaan
ketuhanan,
serta
adanya
desentransasi diri dan pengosongan diri. Peristiwa-peristiwa konflik tidak selamanya dipandang sebagai paradoks, sebaliknya, pada tahap ini orang mulai berusaha mencari kebenaran universal. Dalam proses pencarian kebenaran ini, seseorang akan menerima banyak kebenaran dari banyak titik pandang yang berbeda serta berusaha menyelaraskan perspektifnya sendiri dengan perspektif orang 133
lain yang masuk dalam jangkauan universal yang paling luas. Motorik : kelenturan otot-otot tangan bagian depan dan otot-otot yang menopang tegaknya tubuh , Penurunan kecepatan dalam bergerak mulai melemah, Kekuatan orang usia lanjut cendrung menjadi canggung dan kagok. Peran jenis kelamin : lansia wanita cenderung leih tinggi untuk hidup sendiri dibandingkan lansia
pria.
Lansia
lebih
menikmati
menghabiskan waktu bersama teman daripada bersama
keluarga,
merupakan
sumber
akan
tetapi
dukungan
keluarga emosional
utama. Di negara berkembang, para lansia biasanya tinggal bersama anak cucu. Di negara 134
maju
mayoritas
lansia
tinggal
bersama
pasangan.
C. Cara Penanganan 1.
Suasana Terapi
Dasar semua pengobatan adalah suasana terapi yang diciptakan oleh dokter bersama pasiennya. dan yang memegang peranan penting dalam hal ini adalah hubungan antara pasien dan dokter. selama pasien masih tetap merupakan manusia yang holistic, masih berperasaan, masih bisa merasakan emosi, mempunyai cinta-kasih, ia harus dihadapi pula oleh seorang manusia yang lain, yaitu seorang pengobat atau dokter yang mempunyai emosi juga.
135
Hubungan ini sangat berbeda sekai antara mesin dan ahli tehnik,atau robot dengan komputer. Dalam suasana terapi ini, faktor sugesti dan persuasi, serta keyakinan dan kepercayaan pada sang pengobat sampai sekarang masih merupakan faktor yang penting yang bersifat empatik tanpa perasaan sentimental atau simpati yang berlebihan. Penderitaan dapat menimbulkan perilaku yang sifatnya dipengaruhi oleh berbagai faktor , yang penting ialah: o Asal genetic orang tersebut; o Persepsi masa kecil tentang penderitaan; o Pengalaman tentang rasa sakit dan nyeri; o Keadaan hidup sekarang;
136
o Keinginan dan harapannya untuk masa depan; Dengan memerhatikan faktor-faktor diatas, dokter akan lebih menilai hakiki perilaku pasiennya, sehingga pendekatannya terhadap pasien itu akan lebih membantu suasana terapi.
2.
Terapi Dalam Psikiatri Pengobatan dalam psikiatri pada umumnya
dapat dibagi menjadi tiga golongan besar,yaitu: a) Somatoterapi Sasaran utama pengobatan ini adalah tubuh manusia dengan harapan bahwa pasien itu akan sembuh karena reaksinya secara holistik. Somatoterpi
secara
umum
dapat
dibagi 137
menjadi : farmakologi,
pembadahan
dan
fisioterapi. Selanjutnya yang dipakai dalam bidang ilmu kedoteran jiwa, yaitu: Electro Convulsive Therapy (ECT) ECT merupakan bentuk terapi kepada klien dengan menimbulkan kenjang dengan cara mengalirkan arus listrik melalui electrode yang ditempelkan
pada
memberikan
rangsangan
eksternal
untuk
tertentu.ECT hipotalamus
pelipis
terapi
klien
untuk
elektrik
secara
gangguan
membangkitkan didaerah
efek
jiwa pada
limbic
yang
ECT
berupa
mengakibatkan mood pasien. Alat
dalam
penggunaan
elektrokonvulsator.
Pada
terapi
umumnya 138
penggunaan alat tersebut berkisar 100-150 volt selama 2-3 detik terjadi konvulsi. Bila tidak terjadi maka langsung diulang dengan voltase yang sama atau lebih tinggi dan dapat diulang sampai tiga kali. Indikasi dalam penggunaan ECT adalah untuk depresi
yang
resistant
dengan
obat,
kecenderungan bunuh diri, menolak makan dan minum, kehamilan, skizofrenia katakonik, skizofrenia
bentuk
akut,
paranoid,
Efek
samping dalam penggunaan terapi ECT adalah robekan otot, sakit kepala, demensia, delirium, amnesia retrograde, dll. Terapi Kejutan Insulin (Insulin Shock
Therapy). 139
Pada tahun 1933, M.J Sakel dia menggunakan insulin dalam merawat orang yang kecanduan morfin. Keadaan koma yang terjadi secara kebetulan dan tidak disengaja yang timbulkan oleh insulin ternyata berpengaruh baik pada kepribadian. Terapi ini menjadi salah satu bentuk somatoterapi yang sangat penting untuk skizofrenia. Dalam terapi ini psikiater memberikan pasien dosis insulin yang setiap harinya semakin bertambah sampai pada kadar dosis
tertentu
menimbulkan
yang
diperlukan
keadaan
kejutan.
untuk Psikiater
berpendapat bahwa peran utama dari bentukbentuk somatoterapi, misalnya kejutan insulin dan
obat-obat
penenang
adalah
untuk 140
membuat
pasien
lebih
mudah
diberi
psikoterapi. Pengobatan
psikotropik
(Terapi
Farmakologi) Sesudah menciptakan suasana terapi, maka dalam suasana inilah dokter itu melakukan sesuatu
yang
menurut
si
sakit
dapat
menolongnya. Bila diberi obat, maka pengaruh obat tidak terlepas pula dari suasana terapi itu, sehingga efek placebo dapat setinggi 30%50%, bukan saja obat psikotoropik, tetapi juga dari umpamanya obat antihipertensi, antidiabetes, anti-kholesterol. Obat dapat juga dipergunakan sebagai alat untuk memelihara hubungan pasien-dokter , sebagai jembatan 141
dalam hubungan pasien dan dokter supaya tidak terputus . Kita melihat bahwa farmakoterapi atau terapi dengan pemberian obat merupakan hanya salah satu cara terapi di antara banyak cara
lain.
ataupun
Penggunaan
obat
psikofarmakoterapi
psikotropik merupakan
bidang yang lebih kecil lagi dari lapangan pengobatan yang begitu luas .adapun dalam psikiatri yang mempelajari serta memakai obat psikotropik dinamakan farmakopsikiatri. Obat
psikotropik
adalah
obat
yang
mempunyai efek terapetik pada proses mental pasien karena efeknya pada otak . akan tetapi kita harus ingat bahwa gangguan mental itu 142
disebabkan oleh suatu masalah psikologik ataupun social , maka tidak ada satupun obat yang dapat menyelesaikan persoalan tersebut , kecuali diri sendiri dan dokter serta obat hanya sebagai fasilitator yang membantu kea rah penyelesaian atau kea rah penyesuaian diri yang lebih baik . Pembagian obat psikotropik. I. Tranquilazer, mempunyai efek anticemas, anti-tegang dan anti-agitasi II. Neroleptika,
mempunyai
efek
antipsikosa dan antiskizofrenia, serta juga efek anti-cemas, anti-tegang. III. Antidepresant,
mempunyai
efek
antidepresi dan anti-cemas dan tegang 143
serta
efek
aktivasi
dan
efek
menghilangkan hambatan. IV. Psikotomimetika, dapat menimbulkan gejala-gejala psikosa, tetapi reversible, umpamanya meskalin dan LSD (tidak akan dibicarakan disini karena tidak dipakai buat pengobatan, tetapi dipakai untuk penelitian gejala-gejala psikosa).
b) Terapi Psiko-edukatif Psikoterapi (Terapi Psikologi) Psikoterapi (psychotherapy) adalah pengobatan alam
pikiran
pengobatan
atau
dan
dapat
perawatan
dikatakan gangguan
sebagai psikis
melalui metode psikologis. Istilah ini mencakup 144
berbagai teknik yang bertujuan untuk membantu individu dalam mengatasi gangguan emosionalnya, dengan cara memodifikasi perilaku, pikiran, dan emosinya, sehingga individu tersebut mampu mengembangkan dirinya dalam mengatasi masalah psikisnya. Psikoterapi juga merupakan suatu interaksi sistematis
antara
klien
dan
terapis
yang
menggunakan prinsip-psinsip psikologis untuk membantu
menghasilkan
perubahan
dalam
tingkah laku, pikiran dan perasaan klien supaya membantu klien mengatasi tingkah laku abnormal dan memecahkan masalah-masalah dalam hidup atau
berkembang
Psikoterapis
sebagai
menggunakan
seorang
individu.
prinsip-prinsip 145
penelitian, menyusun
dan
teori-teori
interaksi
psikologis
serta
teraupetik. Psikoterapi
biasanya digunakan dalam terapi psikiatri pada orang-orang yang mengalami masalah-masalah tingkah laku yang abnormal, seperti gangguan suasana hati, gangguan penyesuaian diri, gangguan kecemasan atau
skizofrenia. Untuk beberapa
gangguan ini, terutama gangguan bipolar dan skizofrenia, terapi biologis umumnya memegang peranan
utama
dalam
perawatan.
Meskipun
demikian, selain perawatan biologis, psikoterapi membantu pasien belajar tentang dirinya sendiri dan memperoleh keterampilan-keterampilan yang akan memudahkannya menanggulangi tantangan hidup dengan lebih baik. 146
Behavioral Therapy (Terapi Perilaku) Suatu terapi yang berfokus untuk memodifikasi atau mengubah perilaku. Seperangkat perilaku atau respon yang dilakukan dalam suatu lingkungan dan
menghasilkan
konsekuensi-konsekuensi
tertentu. Terapi perilaku berusaha menghilangkan masalah perilaku khusus secepat-cepatnya dengan mengawasi perilaku belajar si pasien. Operan
conditioning adalah modifikasi perilaku yang dipertajam atau ditingkatkan frekuensi terjadinya melalui pemberian reinforcement. Lingkungan sosial digunakan untuk membantu seseorang dalam meningkatkan
kontrol
terhadap
perilaku
yg
berlebihan atau berkurang (Murray & Wilson).
147
Indikasi utama dari terapi perilaku ialah gangguan fobik dan perilaku kompulsif, disfungsi sexual (misalnya: impotensi dan frigiditas) dan deviasi sexual (misalnya: exhibisionisme). Dapat dicoba pada pikiran-pikiran obsesif, gangguan kebiasaan atau pengawasan impuls (misalnya gagap, enuresis, dan berjudio secara kompulsif), gangguan nafsu makan (obesitas dan anorexia) dan reaksi konversi. Terapi perilaku tidak berguna pada skizofrenia akut, depresi yang hebat dan (hipo) mania. Perkembangan Terapi Perilaku Dialectical Behavior Therapy (DBT) DBT telah berhasil digunakan pada pasien dengan
gangguan
kepribadian
ambang. 148
Terapi ini bersifat selektif, dan mengambil metode dari terapi suportif, kognitif dan perilaku. Fungsi DBT adalah : 1. Meningkatkan dan memperluas daftar pola perilaku terlatih pasien 2. Meningkatkan matovasi pasien untuk berubah dengan mengurangi dorongan pada
perilaku
maladaptif,
termasuk
disfungsi (kognisi dan emosi). 3. Meyakinkan bahwa pola perilaku baru dikembangkan
dari
lingkungan
terapeutik ke lingkungan alami. 4. Membuat
struktur
lingkungan
sedemikian rupa sehinggaperilaku efektif
149
bukannya
perilaku
disfungsi
yang
didorong 5. Meningkatkan motivasi dan kemampuan terapis sehingga diperoleh terapi efektif.
Terapi
Kognitif-Perilaku
(Cognitive
Behavioural Therapy) Terapi kognitif-perilaku (sering disingkat CBT) menampilkan usaha yang relatif baru untuk menyatukan aspek terapi perilaku yang berguna dengan terapi kognitif dan memiliki tujuan utama membantu pasien mendapatkan perubahan yang mereka harapkan dalam kehidupannya. Asumsi dasar
yang
melatarbelakangi
terapi-kognitif
perilaku meliputi: 150
a. Respons pasien lebih berdasarkan kepada interpretasi ketimbang pada realitasnya. b. Pikiran, perilaku, dan emosi saling terkait. c. Tindakan terapeutik perlu diklarifikasi dan diubah menurut pikiran pasien d. Manfaat perubahan proses kognitif dan perilaku pasien lebih besar daripada manfaat perubahan salah satunya saja.
c) Sosioterapi Terapi gangguan
Terapi Lingkungan lingkungan mental
adalah
atau
pengobatan
ketidakmampuan
menyesuaikan diri dengan melakukan perubahan substansial
dalam
keadaan
langsung
pasien 151
kehidupan dan lingkungan dengan cara yang akan meningkatkan efektivitas bentuk lain dari terapi. Tujuan
terapi
lingkungan
adalah
untuk
memanipulasi lingkungan sehingga semua aspek pengalaman rumah sakit klien dianggap terapeutik. Konsep terapi lingkungan dikembangkan dari keinginan untuk melawan efek negatif regresif institusionalisasi: mengurangi kemampuan untuk berpikir dan bertindak secara independen, adopsi nilai-nilai kelembagaan dan sikap, dan hilangnya komitmen di dunia luar. Terapi lingkungan dalam pengobatan yang dilakukan pasien melibatkan baik keluarga dan lingkungan tempat tinggal pasien agar dapat membantu menciptakan lingkungan
152
yang
kondusif
untuk
perkembangan
proses
pengobatan pasien.
Terapi Keluarga
Terapi keluarga adalah model terapi yang bertujuan mengubah
pola interaksi keluarga
sehingga bisa membenahi masalah-masalah dalam keluarga (Gurman, Kniskern & Pinsof, 1986). Terapi keluarga muncul dari observasi bahwa masalah-masalah yang ada pada terapi individual mempunyai konsekwensi dan konteks social.Tujuan pertama adalah menemukan bahwa masalah yang ada berhubungan dengan keluarganya, kemudian dengan jalan apa dan bagaimana anggota keluarga tersebut ikut berpartisipasi. Ini dibutuhkan untuk menemukan
siapa
yang
sebenarnya
terlibat, 153
karenanya perlu bergabung dalam sesi keluarga dalam terapi ini, juga memungkinkan apabila diikutsertakan tetangga, nenek serta kakek, atau keluarga dekat yang berpengaruh.
154
BAB V PSIKOLOGI klinis LANSIA
155
A. Definisi Dengan semakin besar proporsi populasi orang-orang
lanjut
usia
(lansia)
beserta
heterogenitas, pengalaman hidup yang kompleks, dan perubahan demografis dalam populasi, penting bagi professional kesehatan mental untuk bersiapsiap mengakses dan menagngani klien-klien lansia. Terlepas dari kecenderungan untuk memandang lansia sebagai populasi yang homogen dilihat dari nilai-nilai, motif, status social psikologis serta perilakunya, penelitian menunjukkan bahwa lansia adalah
populasi
yang
sangat
beragam
dan
heterogen (Jackson, Chatter, dan Taylor, 1993; Williams, Lavizzo-Mourey, dan Warren, 1994). Mereka memiliki karakteristik-karakteristik yang 156
sama dan yang berbeda dengan kelompokkelompok usia lainnya. Dalam pembedaan
mengonseptualisasikan yang
berfaedah
penuaan,
adalah
dengan
membedakan antara the young-old dan the oldest-
old (Berger dan Thompson, 1998). Istilah oldest-old mengacu pada orang-orang yang berumur 85 tahun keatas. Tetapi, sebagian peneliti khawatir apabila
pembedaan
itu
dapat
menjadikan
pensetereotipan terhadap kelompok the oldest-old (Binstock, 1992). Ini poin yang penting karena umur kronologis bukan satu-satunya faktor yang menentukan bagaimana orang menyesuaikan diri terhadap penuaannya. Keadaan pikiran, kebiasaan terkait kesehatan, dan pandangan social dan 157
psikologis secara umum tentang hidup juga menentukan penyesuaian terhadap penuaan. Di Amerika jumlah penduduk berusia 65 tahun atau lebih deperkirakan akan meningkat dari 35 juta pada tahun 2000 menjadi 78 juta pada tahun 2050, peningkatan jumlah tertinggi dibandingkah kelompok usia lain. Di seluruh dunia jumlah individu berusia di atas 65 tahun mencapai 750 juta pada tahun 2050. Menurut Bernice Neugarten (1968) James C. Chalhoun (1995) masa tua adalah suatu masa dimana
orang
dapat
merasa
puas
dengan
keberhasilannya. Tetapi bagi orang lain, periode ini adalah
permulaan
dipandang
sebagai
kemunduran. masa
Usia
kemunduran,
tua masa 158
kelemahan manusiawi dan sosial sangat tersebar luas
dewasa
ini.
Pandangan
ini
tidak
memperhitungkan bahwa kelompok lanjut usia bukanlah kelompok orang yang homogen. Usia tua dialami dengan cara yang berbeda-beda. Ada orang berusia lanjut yang mampu melihat arti penting usia tua dalam konteks eksistensi manusia, yaitu sebagai
masa
hidup
kesempatan-kesempatan
yang
memberi untuk
mereka tumbuh
berkembang dan bertekad berbakti. Ada juga lanjut usia yang memandang usia tua dengan sikap-sikap yang berkisar antara kepasrahan yang pasif dan pemberontakan, penolakan, dan keputusasaan. Lansia ini menjadi terkunci dalam diri mereka
159
sendiri dan dengan demikian semakin cepat proses kemerosotan jasmani dan mental mereka sendiri.
B. Profisensi Di Bidang Geropsikologi Tren dalam penggunaan pelayanan psikologis oleh lansia telah mengalami perubahan. Kohortkohort (sejumlah orang yang lahir pada tahun lebih kurang sama) suksesif memiliki tingkat pendidikan dan sikap penerimaan yang lebih tinggi terhadap psikologi. Rokke dan Scorgin (1995), misalnya menunjukkan bahwa lansia menganggap terapi kognitif lebih kredibel dan akseptabel dari pada terapi obat untuk depresi. Pendapat ini berlawanan
dengan
pemikiran
yang
sering
dilontarkan bahwa lansia lebih menyukai terapi 160
obat
dan merasa terstigmatisasi bila diberi
rekomendasi psikoterapi. Jadi, psikolog dapat bertindak lebih aktif dalam menjangkau lansia untuk diberi pelayanan dan dapat berharap bahwa lansia itu akan menyambutnya dengan baik. Untuk menjawab isu-isu tanggung jawab dan kompetensi dalam memberikan perhatian pada psikologi dan penuaan. American Psychological
Association
telah
mengembangkan
berbagai
pedoman terkait dengan kompetensi-kompetensi yang dibutuhkan untuk menjadi profesien dibidang geropsikologi (APA Interdivisional Task Force, 1999). 13 bidang yang disebutkan meliputi: 1. Penelitian dan teori tentang penuaan 2. Psikologi kognitif dan perubahan 161
3. Aspek-aspek sosial psikologis penuaan 4. Aspek-aspek biologis penuaan 5. Psikopatologi dan penuaan 6. Masalah-masalah kehidupan sehari-hari 7. Faktor-faktor sosiokultural dan sosial-ekonomi 8. Isu-isu khusus dalam asesmen lansia 9. Penanganan lansia 10. Pencegahan dan pelayanan intervensi krisis pada lansia 11. Konsultasi 12. Interface dengan disiplin-disiplin lain 13. Isu-isu
etik
khusus
dalam
menyediakan
pelayanan kepada lansia
162
C. Psikopatologi Pada Lansia Angka psikopatologi dalam populasi lansia yang hidup di masyarakat maupun di berbagai institusi kira-kira 22% (Gatz dan Smyer, 1992). 1. Depresi Diagnosis (gangguan mensyaratkan
Major depresi
Despressive berat)
keberadaan
Disorder
dalam
DSM-IV
suasana
perasaan
berupa depresi atau kehilangan minat
pada
berbagai kegiatan, letih, kehilangan nafsu makan, gangguan tidur, dan perasaan tidak berharga.
Dysthimia, sebuah gangguan suasana perasaan yang sering muncul sebelum episode-episode depresif berat, mensyaratkan lebih sedikit gejala
163
tetapi durasi “feeling blue” yang lebih panjang (American Psychiatric Association, 1994). Depresi tidak hanya menyerang lansia yang memiliki riwayat masalah emosional saja, tetapi hampir semua lansia bisa terkena depresi. Hal ini karena depresi bisa dipicu oleh trauma, penyakit, kesepian, sakit kronis, keuangan, kematian orang terdekat, kehilangan pekerjaan, atau perubahan dalam kehidupan. 2. Kecemasan Informasi
yang
ada
tentang
gangguan
kecemasan pada lansia sangat terbatas, meskipun gangguan ini lebih banyak terjadi dalam populasi ini dibanding depresi (Beck dan Stenley, 1997). Kriteria diagnosis untuk gangguan kecemasan yang 164
menjadi focus perhatian pada lansia didefinisikan sebagai berikut (American Psychiatric Association, 1994): 1. Gangguan
panik
dideskripsikan
sebagai
episode-episode aprehensi intens, palpitasi, nyeri dada, dan napas pendek yang mendadak, yang berulang kali muncul. 2. Fobia
ditandai
penghindaran
oleh
yang
ketakutan
melampaui
dan
besarnya
bahaya riilnya. 3. Generalized Anxiety Disorde (GAD) (gangguan kecemasan
menyeluruh)
menyangkut
kecemasan dan kekhawatiran yang persisten dan tak terkontrol.
165
4. Post-Traumatic
Stress
Disorder
(PTSD)
(Gangguan Stes Paska-Trauma) mengacu pada pengalaman emosional yang dirasakan kembali seperti saat mengalami kejadian traumatis intens, yang disertai dengan penghindaran rangsangan
fisiologis
dari
hal-hal
yang
berhubungan dengan trauma itu. Angka preferensi gangguan kecemasan dikalangan lansia adalah 5,5% (Regier, dkk., 1988). 3. Demensia Demensia ditandai oleh kehilangan fungsi sedemikian rupa sehingga menghendaya performa dalam kegiatan sehari-hari. Kriteria diagnostik mensyaratkan bahwa orang itu memiliki ingatan yang terhendaya (paling tidak dua deviasi standar 166
dibawah rata-rata untuk umur dan pendidikan tertentu dari berbagai tes) dan penurunan, paling tidak, pada satu ranah fungsi kognitif lain yang mempengaruhi
fungsi
sehari-hari
(American
Psychiatric Association, 1994). Pada umur 65 tahun, hanya 1% diantara populasi yang akan mengalami demensia; pada umur 85 tahun, 30% - 35% akan mengalami demensia; dan 50% lansia yang berumur 90 tahun keatas akan menerima diagnosis demensia. Ada beberapa indikasi demensia atau cognitive slippage (kecenderungan berbagai pikiran untuk saling mengikuti dengan cara-cara yang tidak logis atau tidak dapat diprediksi) pada lansia, yaitu:
167
1. Kesulitan dalam mempelajari dan mengingat informasi baru. 2. Problem salving dirumah dan ditempat kerja yang terhendaya. 3. Bermasalah dalam menangani tugas-tugas yang kompleks. 4. Berbagai masalah yang mengikuti rentetan pikiran yang kompleks. 5. Mengalami kesulitan pada tugas-tugas yang sebelumnya dapat dilakukan dengan mudah (misalnya menulis cek). 6. Mengalami kesulitan untuk pergi keberbagai tempat dilingkungan yang sangat dikenalnya. 7. Mengalami masalah dalam menemukan katakata. 168
8. Perubahan perilaku (apati, disengagement, kepasifan,
iritabilitas,
kecurangan
yang
meningkat).
D. Masalah-masalah lain yang Dapat Menjadi Fokus Penanganan 1. Kesehatan Satu hal yang perlu dicatat adalah lansia memiliki lebih banyak masalah kesehatan, dan status psikologisnya terkait erat dengan status fisik dan fungsionalnya (Zeiss, dkk., 1996). Masalahmasalah kesehatan sering menjadi bagian penting dari dari terapi lansia. Banyak lansia yang memiliki masalah-maslah
kesehatan
kronis.
Psikolog
menerapkan beberapa strategi yang membantu 169
mengelola rasa sakit, termasuk teknik-teknik relaksasi dan biofeedback (ini akan didiskusikan lagi dibab berikutnya). Kepatuhan terhadap aturan minum obat dan adaptasi terhadap perubahan hidup juga merupakan topik yang sering muncul dalam terapi lansia.
2. Penganiayaan Lansia Elder abuse (penganiayaan lansia) di Amerika pada tahun 1970-an ada penekanan pada usaha menetapkan istilah penganiayaan, cara melapor, dan strategi penanganan yang tepat untuk itu. Lima macam penganiayaan yang sering teridentifikasi adalah:
170
Penganiayaan dan penelantaran secara fisik. Penganiayaan finansial. Pelanggaran hak asai. Pelanggaran process rights (oleh orang lain dengan menggunakan guardianships atau conserfatorships). Penganiayaan psikologis.
3. Insomnia Insomnia/sulit tidur adalah masalah yang lazim dialami lansia; sleep-maintenance insomnia adalah
kondisi
terkait
umur
dan
membuat
penderitanya lemah (Bootzin, Engle-Friedman, dan Hazelwood). 171
Dalam sleep education, terapis mengajari klien tentang perubahan-perubahan tidur terkait umur; efek kafein, nikotin, alkohol, bantuan tidur olah raga,
dan
nutrisi;
dan
efek
minimal
dari
deprivasi/kekurangan tidur bagi kebanyakan orang. Kebanyakan orang bisa kehilangan waktu tidur tanpa mengakibatkan masalah kesehatan. Bagi sebagian klien, komponen terapi kognitif yang diadaptasi untuk imsomnia juga dapat ditambahkan. Ini membantu klien dalam; 1. Mengidentifikasi
pikiran-pikiran
atau
kekhawatiran-kekhawatiran disfungsionalnya. 2. Menantang
keyakinan
dan
sikap
maladaptifnya tentang tidur dan dampak
172
kehilangan jam tidur pada fungsinya disiang hari. 3. Mengganti
pikiran-pikiran
itu
dengan
alternative-alternatif yang lebih realistis.
4. Masalah-masalah Seksual Hasrat dan perilaku seksual pada lansia sering diasumsikan
jarang
terjadi,
ternyata
tidak
sepenuhnya benar (Pedersen, 1998). Terlepas dari berbagai perubahan fisiologis pada perempuan dan laki-laki, seperti menopause pada perempuan dan laki-laki, minat seksual pada lansia sampai umur 80 tahunan ternyata masih cukup tinggi. Ada pendapat (misalnya, Zeiss dan Zeiss, 1990; Zeiss, Zeiss, dan Davies, 2000) bahwa klinisi 173
seharusnya
menggunakan
intervensi-intervensi
yang dirancang secara individual, yang difokuskan pada
kombinasi
elemen-elemen
berikut:
meningkatkan pengetahuan seksual, mengurangi kecemasan seksual, dan memperbaiki etni-etnik seksual. Ini termasuk membantu pasangan untuk memperbanyak
ragam
aktifitas
seksual
yang
mereka anggap akseptabel dan menyenangkan. Adaptasi yang dilakukan agar sesuai dengan berbagai keterbatasan yang dialami oleh salah satu pasangan juga dibutuhkan. Bahkan dalam kasuskasus
tatkala
hubungan
seksual
tak
dapat
dilakukan, kebanyakan pasangan menganggap cuddling (kelon), saling memijati, dan saling
174
menyentuh
sebagai
tindakan
yang
sangat
rewarding.
5. Isu- isu yang Terkait dengan Kematian dan
Menjelang Ajal Saat ini ada dua tren yang mengharuskan perlunya
fokus
pada
isu-isu
kematian
dan
menjelang ajal pada lansia. 1. Orang yang hidup lebih lama, dan semakin panjangnya
umur
manusia
berimplikasi
bahwa kebanyakan kematian akan terjadi pada usia yang sangat lanjut. 2. Penggunaan berkelanjutan dari teknik-teknik memperpanjang
umur
membuat
proses
175
menjelang ajal semakin dapat dikontrol dan semakin dapat dinegosiasikan (Riley, 1992). Elizabeth
Kubler-Ross
(1969),
mendiskusikan
tentang 5 tahap menjelang ajal yang dialami orang setelah tahuu bahwa sakitnya akan membawa kematian.
Tahap-tahap
kesedihan
yang
diikhtisarkan oleh Kubler-Ross, sebagai berikut; 1. Pengingkaran: pasien tidak mau percaya bahwa dirinya akan meninggal. 2. Marah: pasien marah kepada Tuhan atau sang nasib. 3. Tawar-menawar:
pasien
mencoba
menawarkan sebuah alternatif dengan Tuhan atau sang nasib. 4. Menerima: pasien menerima kematiaannya. 176
6.
Intervensi psikologis a) Asesmen: Bersikap Sensitif terhadap Isu-isu
Penuaan Seperti halnya orang-orang dewasa yang lebih muda
teknik-teknik
yang
digunakan
dalam
asesmen psikologisnya termasuk wawancara klinis, review data dan catatan riwayat hidup, evaluasi kognitif dan neuropsikologis, asasmen perilaku, dan observasi situasional (Kaszniak, 1996). Tetapi, untuk lansia, psikolog perlu untuk berbagai tes dan lebih sering memasukkan tes kognitif dalam asesmen. American Psychiatric Association (1994) menyediakan pedoman untuk evaluasi demensia dan kemunduran kognitif terkait umur.
177
Untuk pasien-pasien yang memperlihatkan perilaku
yang
bersifat
merugikan
(misalnya;
berkeliaran, berteriak-teriak, menyerang) asesmen perilaku dapat berguna dalam menetapkan tipe teknik yang berguna bagi pasien dan/atau staf yang menangani
pasien
(misalnya
dipanti
jompo)
(Burgio, Flynn, dan Martin, 1987; Rader, 1994). b) Psikoterapi: Observasi Umum tentang Adaptasi
dan Efektifitas Kebanyakan penelitian tentang psikoterapi untuk
lansia
menggunakan
pendekatan-
pendekatan kognitif-behavioral, dan ini telah terbukti efektif untuk berbagai macam masalah (Scorgin dan Mc Elreath, 1994; Zarith dan Knight, 1996). 178
Cognitive and Behavioral Therapies (CBT)/Terapi kognitif
dan
behavioral,
didasarkan
pada
pendekatan-pendekatan teoritis yang menekankan pada belajar seumur hidup dan keyakinan yang optimistic bahwa orang mampu menciptakan perubahan penting dalam pikiran, perasaan, dan tindakannya (misalnya, Goldfried dan Davison, 1994). c) Psikoterapi Untuk Lansia Ketika menangani lansia, penting untuk tidak berasumsi bahwa adaptasi tertentu pada terapi kognitif-behavioral
selalu
dibutuhkan.
Setiap
individu dalam terapi akan berfungsi dengan cara yang unik. Asesmen terhadap masing-masing klien seharusnya tidak hanya memasukkan informasi 179
tentang presenting complaint, tetapi juga berbagai kekuatan dan deficit, guna menetapkan adaptasi mana yang lebih tepat. d) Adaptasi-adaptasi yang Lazim Disisi positif beberapa perubahan dalam terpai sering kali dibutuhkan untuk merespon kekuatankekuatan ini dapat dianggap sebagai wisdom (kearifan) (Baltes dan Staudinger, 1993). Bahkan klien-klien yang tidak memenuhi kriteria mungkin pernah mengalami pengalaman hidup yang sulit. Kebanyakan informasi
lansia yang
dapat sangat
mengabstraksikan membantu
dari
pengalaman-pengalaman itu dan mendiskripsikan ketrampilan-ketrampilan pribadi yang pernah membantu mereka dalam mengatasi kesulitan. 180
Menunjukkan respek dan terhadap akumulasi
minat yang tulus
pengalaman
klien
dapat
mendukung terapi. Adaptasi-adaptasi kunci terhadap terapi yang perlu dipertimbangkan untuk masing-masing klien lansia, yakni: a) Menggunakan
pembelajaran
multimodel
(dengan banyak cara). b) Menanamkan kesadaran interdisipliner. c) Menyajikan informasi yang lebih jelas (more clearly). d) Mengembangkan pengetahuan (knowledge) tentang berbagai tantangan dan kekauatan terkait-penuaan.
181
e) Menyuguhkan materi terapi dengan lebih lambat (more slowly).
e) Intervensi-intervensi Psikologi dalam Konteks
Tim Interdisipliner Keluarga kadang-kadang merupakan kekuatan primer dibelakang lansia yang mencari perawatan kesehatan mental (Zeiss dan Steffen, 1996). Keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan oleh semua anggota tim meliputi: a) Pengetahuan dan respek terhadap kemampuan anggota tim lainnya. b) Kemampuan untuk berbagi informasi secara jelas dengan professional-profesional yang
182
memiliki
latar
belakang
pendidikan
dan
latihan serta jargon yang berbeda. c) Kapasitas untuk mengonseptualisasikan kasus secara holistic, termasuk kecakapan dalam mengembangkan rencana penanganan tim secara tertulis. d) Keterampilan kepemimpinan. e) Keterampilan mengatasi konflik.
183
BAB VI PSIKOLOGI KESEHATAN
184
A.
Definisi Psikologi kesehatan adalah aspek-aspek ilmu
psikologi yang bermanfaat ketika digunakan di dalam dunia kesehatan. Sebagai contoh, seorang dokter harus bisa mengendalikan psikis pasiesnnya dan bukan hanya sebagai orang yang dibayar dan harus memberi resep obat. Ketika pasien mempunyai sakit parah, maka sebagai
dokter
yang
baik,
ia
harus
dapat
membangkitkan semangat dan motivasi pasien untuk dapat sembuh dari penyakitnya. Lebih dari itu, dokter juga harus mengetahui bagaimana keadaan
mental
pasien
berkaitan
dengan
kesehatannnya.
185
Sesuai dengan Matarazzo, psikologi kesehatan adalah
adalah
suatu
agregat
dari
specific
educational, dan kontribusi scientific professional, dari disiplin psikologi, untuk memajukan atau memelihara kesehatan, termasuk juga didalamnya penanganan penyakit dan aspek-aspek lain yang terkait dengannya. Psikologi pengetahuan
kesehatan psikis
dan
dipandang sosial
yang
sebagai dapat
digunakan dan bermanfaat untuk mengurangi stress psikis yang disebabkan oleh penyakit. Psikologi kesehatan dapat dimanfaatkan untuk berbagai situasi dan kondisi.
186
B.
PENGERTIAN NEUROPSIKOLOGI Neuropsikologi
adalah
suatu
ilmu
yang
mempelajari hubungan antara otak dan perilaku, disfungsi otak
dan perilaku, dan melakukan
assesmen dan treatment untuk perilaku dengan fungsi otak yang terganggu. Sedangkan asesmen neuropsikologis adalah sebuah metode untuk menggambarkan fungsi otak berdasarkan pada performance
pasien
distandarisasi,
yang
melalui telah
test-test
terbukti
yang
memiliki
indicator akurat mengenai hubungan otak perilaku. Dalam lima tahun terakhir, neuropsikologi berkembang pesat. Ini terlihat dari jumlah anggota asosiasi
Neuropsikologi,
program
pelatihan,
makalah-makalah yang dipublikasikan, dan posisi187
posisi tugas berkaitan dengan Neuropsikologi di Amerika Serikat yang meningkat (Phares 1992). Sebagai ilmu, Neuropsikologi dianggap sebagai salah satu bagian dari Biopsikologi. Bidang lain yang termasuk dalam biopsikologi antara lain; psikologi
faal,
psikofisiologi,
dan
psikologi
perbandingan. Neuropsikologi adalah interface neurologi dan neurosains, yang dipacu oleh kemajuan yang sangat pesat dalam penelitian biokimia, ilmu faal, histologi susunan syaraf pusat. Neuropsikolog atau neurology berasumsi bahwa perilaku mausia, kepribadiannya, proses psikopatologi dan strategi kognitif diantarai (mediated) oleh otak (Carlson 1992).
Neuropsikologi
klinis
yang
bertujuan 188
mendeteksi
dan
mendiagnosis
proses
neuropatologi, dan menjembatani gap antara dengan ilmu-ilmu perilaku. Neuropsikologi klinis melakukan evaluasi kekuatan dan kelemahan aspek kognitif,
aspek
psikologis,
serta
menentukan
hubungannya dengan fungsi otak. Para ahli neuropsikologi memiliki fungsi dalam sejumlah peran yang berbeda. Peran-peran para neurology adalah, o Mambantu menegakkan peraturan dalam melakukan diagnosis tertentu o Membuat
prediksi
mengenai
prognosis
maupun penyembuhannya o Neurology
meiliki
peran
utama
dalam
memberikan intervensi dan rehabilitasi. 189
C.
JENIS TANAMAN OBAT DAN MANFAATNYA Indonesia adalah negara agraris yang terkenal
akan kekayaan rempah rempah dan berbagai jenis tanaman. Dari dulu hingga sekarang tanaman herbal
ataupun
tanaman
obat
dapat
menyembuhkan berbagai macam penyakit. Tapi sayang sekali banyak warga Indonesia saat ini malah lebih memilih produk kesehatan luar negri dibanding negri sendiri. Padahal tak perlu jauh jauh ke negri orang dengan biaya yang sangat mahal sekali, di negri kita jauh lebih kaya dan alami dalam segi pengobatan. Yuk kenali berbagai macam jenis tanaman obat diindonesia dan manfaatnya.
190
Tanaman Obat atau yang biasa kita sebut Tanaman herbal sangat banyak sekali jenisnya dan manfaatnya,
dari
mulai
mampu
mengobati
penyakit kelas ringan bahkan penyakit sampai ke penyakit kelas berat. Selain itu Tanaman obat juga sudah banyak teruji ampuh dibandingkan dengan obat - obatan yang dicampur bahan kimia. Kalau begitu langsung saja ini dia beberapa tanaman obat yang bisa anda pakai sebagai Pengobatan Alternatif dirumah.
1. Seledri (Apium Graviolens) Mungkin tanaman yang satu ini tidak asing lagi bagi kita, selain enak dipakai sebagai penyedap rasa ternyata seledri juga berfungsi sebagai obat alami 191
karena
kaya
akan
kalsium,
fosfor
dll.
Contohnya seledri bisa dipakai sebagai Obat Asam Urat. Caranya Cukup rebus beberapa biji seledri untuk segelas air didihkan lalu minum setiap pagi.
2. Mengkudu (Morinda Citrifolia) Mengkudu memiliki nama yang berbeda - beda di setiap
daerah
contohnya
di
Sunda
disebut
Cangkudu, di Aceh disebut Keumeude, dan di Jawa diseut kudu. Tanaman ini biasa ditanam di aceh pada setiap rumah warga (walau tidak semua) karena biasa dipakai sebagai bahan rujak ataupun menu buka puasa khas aceh. Tapi taukah anda bahwa Mengkudu bisa menjadi Obat Jantung Koroner
dan
membantu
mencegah
penyakit 192
jantung koroner. Caranya sangat mudah cukup jus mengkudu lalu saring air sarinya tambahkan sedikit madu dan minum 2 kali sehari setelah makan.
3.Lidah Buaya (Aloe Vera) Lidah buaya sejak zaman dahulu telah dipercaya sebagai bahan perawatan kecantikan dan obat. Saat ini dijepang sedang mengembangkan penelitian lidah buaya sebagai Obat Kanker. Saat ini sangat banyak sekali cara untuk memakan lidah buaya seperti Cendol ala Pontianak.
193
4. Belimbing (Averrhoa Carambola) Belimbing manis banyak mengandung vitamin C, B, A, Protein, Kalsium dll. Belimbing. Selain rasanya yang enak juga mampu mejadi Obat Kolestrol Tinggi dan Penurun Darah Tinggi. caranya cukup makan buah belimbing setiap hari sesudah makan.
5. Temulawak (Curcuma Xanthorrhiza) Temulawak merupakan tanaman obat indonesia yang memiliki kandungan Kurkumin yang berguna sebagai Anti Radang ataupun Anti Keracunan Empedu. Walaupun temulawak tidak mampu menjadi Obat Kanker Hati, namun temulawak mampu mencegahnya karena temulawak mampu
194
mengobati Penyakit Hepatitis B yang berperan sebagai faktor utama Penyakit Kanker Hati.
D. MENGENAL PSIKOLOGI FORENSIK Psikologi forensik adalah penelitian dan teori psikologi yang berkaitan dengan efek-efek dari faktor kognitif, afektif, dan perilaku terhadap proses hukum. Praktek psikologi forensik banyak dijumpai dalam proses pengusutan dan pengolahan kasus-kasus hukum dan tindak kejahatan seperti pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan, money laundering, dan sebagainya. Para
praktisi
psikologi forensik
biasanya
dilibatkan ke dalam tim detektif maupun kepolisian 195
untuk membantu menyelidiki dan melakukan asasmen terhadap perilaku para tersangka, pelaku, dan juga perilaku korban (apabila masih hidup) dengan tujuan agar proses hukum dapat berjalan secara lancar dan menghasilkan sebuah keputusan peradilan yang seutuhnya. Dalam praktek psikologi forensik, para pakar psikologi forensik melakukan pengkajian terhadap motif para pelaku dengan melakukan berbagai macam
tes
menggunakan
psikologi prinsip
seperti
tes-tes
neuropsikologi
yang untuk
mengetahui kerusakan otak, retardasi mental, fungsi intelektual, gangguan mental, atau trauma. Selain itu tes kepribadian juga merupakan tes dasar yang digunakan dalam psikologi forensik yang 196
bertujuan untuk mengetahui karateristik dasar individu-individu yang terlibat dalam sebuah kasus hukum. Psikologi forensik adalah aplikasi metode, teori, dan konsep-konsep psikologi dalam sistem hukum. Setting dan kliennya bervariasi, mencakup anakanak maupun orang dewasa. Semua jenis institusi, mencakup
korporasi,
lembaga
pemerintah,
universitas, rumah sakit dan klinik, serta lembaga pemasyarakatan, dapat terlibat sebagai klien atau obyek kesaksian dalam berbagai macam kasus hukum. Dalam psikologi forensik, bidang psikologi yang
secara
prakteknya
mendasar
adalah
digunakan
psikologi
klinis.
dalam Hal
ini 197
berkaitan dengan sejarah awal psikologi forensik pada tahun 1901. Pada tahun 1901, seorang ilmuwan psikologi klinis bernama William Stern meneliti ketepatan ingatan orang sebagai suatu rintisan awal dalam penelitian yang banyak dilakukan pada masa kini tentang ketepatan kesaksian seorang saksi. Dalam ceramahnya kepada sejumlah hakim Austria pada tahun 1906, Sigmund Freud menguatkan praktek yang dilakukan oleh
William Stern
dengan
mengatakan bahwa psikologi dapat diaplikasikan pada hukum. Sejak saat itu, ilmu psikologi mulai secara konsisten diaplikasikan ke dalam berbagai proses atas kasus hukum. Dalam perjalanannya, masuknya 198
praktek
psikologi
ke
dalam
bidang
hukum
menemui berbagai macam dinamika serta pro dan kontra.
Beberapa
tokoh
hukum
menganggap
masuknya praktek psikologi ke dalam sebuah proses hukum dianggap tidak relevan, dan lebih cenderung menggunakan pendekatan ilmu sosial dalam membantu menyelesaikan sebuah kasus hukum. Seiring dengan dinamikan jaman dan segala tekanan sosial di dalamnya, semakin banyak kasus hukum yang terjadi berlatarkan oleh ketertekanan psikis dan mental. Hal ini membuat para psikolog kini selalu dilibatkan sebagai saksi ahli dalam hampir semua bidang hukum termasuk kriminal, perdata, keluarga, dan hukum tatausaha. Di 199
samping itu, para ahli di bidang psikologi forensik juga berperan sebagai konsultan bagi berbagai lembaga dan individu dalam sistem hukum. E.
PERAN PSIKOLOGI FORENSIK DALAM PROSES HUKUM DI INDONESIA Psikologi adalah ilmu yang mempelajari
jiwa/psikis
manusia,
sehingga
dalam
setiap
kehidupan manusia maka psikologi berusaha untuk menjelaskan masalah yang dihadapi. Tak terkecuali Indonesia,
dalam
permasalahan
psikologi
kemudian
hukum.
Di
membagi
bidangnya menjadi 6 yaitu psikologi klinis, perkembangan, psikologi umum dan eksperimen, psikologi sosial, psikologi pendidikan, psikologi
200
industri dan organisasi. Pada kenyataannya di Amerika, pembagian ini sudah menjadi lebih dari 50 bagian, mengikuti semakin kompleksnya permasalahan yang dihadapi manusia. Salah satunya adalah permasalahan dalam bidang hukum, bagian dari psikologi yang menanganinya sering dikenal sebagai psikologi forensik.Apa itu psikologi forensik
?
The committee on ethical Guidelines for forensic psychology
(Putwain
&
Sammons,
2002)
mendefinisikan psikologi hukum sebagai semua bentuk pelayanan psikologi yang dilakukan di dalam
hukum.
Bartol
&
Bartol
(dalam
201
Wrightsman, 2001) menyatakan psikologi hukum dapat dibedakan menjadi : a) Kajian/ penelitian yang terkait dengan aspek-aspek
perilaku
manusia
dalam
ingatan
saksi,
proseshukum
(seperti
pengambilan
keputusan
juri/hakim,
perilaku kriminal) b) Profesi
psikologi
yang
memberikan
bantuan berkaitan dengan hukum. Profesi ini
di
Amerika
sudah
sedemikian
berkembangnya, seperti Theodore Blau, ia merupakan ahli psikologi klinis yang merupakan Spealisasinya
konsultan adalah
Kepolisian. menentukan
202
penyebab kematian
seseorang karena
dibunuh atau bunuh diri. Ericka B. Gray, ia
seorang
melakukan
psikolog mediasi
yang
bertugas
terutama
pada
perkara perdata. Sebelum perkara masuk ke pengadilan, hakim biasanya menyuruh orang yang berperkara ke Gray untuk dapat memediasi perkara mereka. John Stap adalah seorang psikolog sosial, ia bekerja pada pengacara. Tugasnya adalah sebagai konsultan peradilan, ia akan merancang hal-hal yang akan dilakukan pengacara maupun kliennya agar dapat memenangkan perkara. Richard Frederic,
203
adalah
seorang
ahli
rehabilitasi
narapidana.
Dengan mengamati rofesi-profesi tersebut, kita
dapat
membayangkan
betapa
psikolog
berperan penting dalam sistem hukum di Amerika. Begitu luasnya bidang kajian psikologi hukum maka Blackburn (dalam Bartol & Bartol, 1994; Kapardis, 1995) membagi bidang tersebut menjadi tiga bidang, psychology in law, psychology and law, psychology of law. Psychology in law, merupakan
aplikasi
praktis
psikologi dalam
bidang hukum seperti psikolog diundang menjadi saksi ahli dalam proses peradilan. Psychology and
204
law, meliputi bidang psycho-legal research yaitu penelitian tentang individu yang terkait dengan hukum seperti hakim, jaksa, pengacara, terdakwa. Psychology
of
law,
hubungan
hukum
dan
psikologi lebih abstrak, hokum sebagai penentu perilaku. Isu yang dikaji antara lain bagaimana masyarakat
mempengaruhi
hukum
dan
bagaimana hukum mempengaruhi masyarakat. Hampir setiap hari koran maupun telivisi memberitakan
kasus-kasus
kriminalitas
yang
menimpa masyarakat. Bentuknya beragam. Ada perampokan,
pemerasan,
penjambretan,
pembunuhan,
perampasan, perkosaan,
pencopetan, penganiayaan, dan kata lain yang
205
mengandung unsur pemaksaan, atau kekerasan terhadap fisik ataupun harta benda korban. Berikut ini salah satu contoh berita yang dikutip dari salah satu media di Surabaya. “Tembak
Mati Polisi, Gasak Rp. 1,9 Miliar
Perampokan di Bank Mandiri Capem Jl. Bukit Kota, Kota Pinang, Labuhan Batu. Bandit-bandit jalanan itu menembak dua polisi dan satu diantaranya kabur dengan membawa uang hasil rampokan. Polisi sulit mengetahui identitas pada perampok. Sebab mereka menutupi wajahnya dengan kain sebo ketika menjalankan aksinya. Aksi perampokan yang terjadi pukul 10.000 WIB pagi itu diawali dengan
kedatangan
sebuah
Daihatsu
Troper
206
berplat BM. Begitu berhenti di parkiran, beberapa penumpang mobil itu berhamburan turun. Mereka langsung memberondongkan tembakan ke udara. “Empat orang menenteng senpi laras panjang dan dua senpi genggam,”ujar saksi mata di tempat kejadian. Setelah merobohkan Bripda Lauri, enam perampok masuk ke bank. Mereka menodong kasir lalu memaksanya untuk mengumpulkan uang yang ada di bank. Kasir yang ketakutan buru-buru mengambil semua uang seperti yang diminta perampok (JP, 26 Oktober 2004).
Kengerian,
ketakutan, keheranan, kebencian dan bahkan trauma psikologis barangkali yang menjadi katakata
yang
terungkap
setelah
melihat
atau
207
mengalami
peristiwa
tersebut.
Banyak sudut pandang yang digunakan untuk memberikan
penjelasan
fenomena
tindakan
kriminal yang ada. Pada kesempatan ini saya mencoba dari sisi psikologis pelakunya. Sudut pandang ini tidak dimaksudkan untuk memaklumi tindakan kriminalnya, melainkan semata-mata hanya sebagai penjelasan. Coba kita cermati Ragam Pendekatan Teori Psikologis Perilaku Kriminalitas yang sebetulnya berawal dari penjelasan yang diberikan oleh folosof, ahli genetika, dokter, ahli fisika, dan sebagainya. Bermula dari berdirinya psikologi sebagai ilmu pengetahuan, dan beberapa kajian
208
sebelumnya yang terkait dengan perilaku kriminal, maka pada tulisan ini disampaikan beberapa padangan tentang perilaku Kriminal. 1. Pendekatan Tipologi Fisik / Kepribadian yang memandang bahwa sifat dan karakteristik fisik manusia
berhubungan
dengan
perilaku
kriminal. Tokoh yang terkenal dengan konsep ini
adalah
Kretchmerh
dan
Sheldon:
Kretchmer dengan constitutional personality, melihat hubungan antara tipe tubuh dengan kecenderungan perilaku. Menurutnya ada tiga tipe jarigan embrionik dalam tubuh, yaitu endoderm
berupada
sistem
digestif
(pencernaan), Ectoderm: sistem kulit dan
209
syaraf, dan Mesoderm yang terdiri dari tulang dan otot. Menurutnya orang yang normal itu memiliki
perkembangan
yang
seimbang,
sehingga kepribadiannya menjadi normal. Apabila perkembangannya imbalance, maka akan
mengalami
problem
kepribadian.
William Shldon (1949) , dengan teori Tipologi Somatiknya, ia bentuk tubuh ke dalam tiga tipe. Endomorf: Gemuk (Obese ), lembut (soft ), and rounded people, menyenangkan dan sociabal. Mesomorf : berotot (muscular ), atletis (athletic people), asertif, vigorous, and
210
bold. Ektomorf : tinggi (Tall ), kurus (thin ), and otak berkembang dengan baik (well
developed brain), Introverted, sensitive, and nervous Menurut Sheldon, tipe mesomorf merupakan tipe yang paling banyak melakukan tindakan kriminal.
Berdasarkan dari dua kajian di atas, banyak kajian tentang perilaku kriminal saat ini yang didasarkan pada hubungan antara bentuk fisik dengan tindakan kriminal. Salah satu simpulannya misalnya, karakteristik fisik pencuri itu memiliki kepala pendek (short heads), rambut merah (blond
211
hair),
dan
rahang
tidak
menonjol
keluar
(nonprotruding jaws), sedangkan karakteristik perampok misalnya ia memiliki rambut yang panjang bergelombang, telinga pendek, dan wajah lebar. Apakah pendekatan ini diterima secara ilmiah? Barangkali metode ini yang paling mudah dilakukan oleh para ahli kriminologi kala itu, yaitu dengan mengukur ukuran fisik para pelaku kejahatan yang sudah ditahan/dihukum, orang lalu melakukan pengukuran dan hasil pengukuran itudisimpulkan. 2. Pendekatan Pensifatan / Trait Teori tentang kepribadian yang menyatakan bahwa sifat atau karakteristik kepribadain
212
kepribadian tertentu berhubungan dengan kecenderungan seseorang untuk melakukan tindakan kriminal. Beberapa ide tentang konsep ini dapat dicermati dari hasil-hasil pengukuran tes kepribadian. Dari beberapa penelitian tentang kepribadian baik yang melakukan teknik kuesioner ataupun teknik proyektif
dapatlah
kecenderungan hubungan Dimisalkan
disimpulkan
kepribadian
dengan orang
perilaku yang
memiliki kriminal. cenderung
melakukan tindakan kriminal adalah rendah kemampuan kontrol dirinya, orang yang cenerung pemberani, dominansi sangat kuat,
213
power yang lebih, ekstravert, cenderung asertif, macho, dorongan untuk memenuhi kebutuhan fisik yang sangat tinggi, dan sebagainya. Sifat-sifat di atas telah diteliti dalam kajian terhadap para tahanan oleh beragam ahli. Hanya saja, tampaknya masih perlu kajian yang lebih komprehensif tidak hanya satu aspek sifat kepribadian yang diteliti, melainkan seluruh sifat itu bisa di profilkan secara bersama-sama. 3. Pendekatan Psikoanalisis Dengan tokoh sentral Sigmund Freud yang melihat
bahwa
perilaku
kriminal
merupakan representasi dari “Id” yang tidak
214
terkendalikan oleh ego dan super ego. Id ini merupakan impuls yang memiliki prinsip kenikmatan
(Pleasure
Principle). Ketika
prinsip itu dikembangkannya Super-ego terlalu lemah untuk mengontrol impuls yang hedonistik ini. Walhasil, perilaku untuk
sekehendak
menyenangkan
muncul
hati dalam
asalkan diri
seseorang. Mengapa super-ego lemah? Hal itu disebabkan oleh resolusi yang tidak baik dalam menghadapi konflik Oedipus, artinya anak seharusnya melakukan belajar dan beridentifikasi dengan bapaknya, tapi malah dengan ibunya.
Penjelasan lainnya dari
215
pendekatan
psikoanalis
yaitu
bahwa
tindakan kriminal disebabkan karena rasa cemburu
pada
bapak
terselesaikan,
sehingga
melakukan
tindak
yang
tidak
individu
senang
kriminal
untuk
mendapatkan hukuman dari bapaknya. Psikoanalist lain (Bowlby:1953) menyatakan bahwa
aktivitas
kriminal
merupakan
pengganti dari rasa cinta dan afeksi. Umumnya kriminalitas dilakukan pada saat hilangnya ikatan cinta ibu-anak. 4. Pendekatan Teori Belajar Sosial Yang dimotori oleh Albert Bandura (1986). Bandura menyatakan bahwa peran model
216
dalam melakukan penyimpangan yang berada di rumah, media, dan subcultur tertentu (gang) merupakan contoh baik tuntuk terbentuknya perilaku kriminal orang lain. Observasi dan kemudian imitasi dan identifikasi merupakan cara yang biasa dilakukan hingga terbentuknya perilaku menyimpang
tersebut.
Ada
dua
cara
observasi yang dilakukan terhadap model yaitu secara langsung dan secara tidak langsung (melalui vicarious reinforcement) Tampaknya
metode
ini
yang
paling
berbahaya dalam menimbulkan tindak kriminal. Sebab sebagian besar perilaku
217
manusia
dipelajari
melalui
observasi
terhadap model mengenai perilaku tertentu. 5. Pendekatan Teori Kognitif Yang
selalu
menanyakan
menuntut apakah
kita
pelaku
untuk kriminal
memiliki pikiran yang berbeda dengan orang “normal”? Yochelson & Samenow (1976, 1984) telah mencoba meneliti gaya kognitif (cognitive styles) pelaku kriminal dan mencari pola atau penyimpangan bagaimana
memproses
informasi.
Para
peneliti ini yakin bahwa pola berpikir lebih pentinfg daripada sekedar faktor biologis dan
lingkungan
dalam
menentukan
218
seseorang untuk menjadi kriminal atau bukan. Dengan mengambil sampel pelaku kriminal seperti ahli manipulasi (master manipulators), liar yang kompulsif, dan orang yang tidak bisa mengendalikan
dirinya
mendapatkan
hasil
simpulan bahwa pola pikir pelaku kriminal itu memiliki
logika
yang
sifatnya
internal
dan
konsisten, hanya saja logikanya salah dan tidak bertanggung jawab. Ketidaksesuaian pola ini sangat beda antara pandangan mengenai realitas. Lantas, apakah sebetulnya faktor penyebab perilaku
kriminal?
Banyak
ahli
yang
telah
memberikan jawaban atas pertanyaan mengapa
219
orang melakukan tindakan kriminal. Berikut ini kami kutipkan dari beberapa pendapat ahli sebelum orang psikologi membuat penjelasan teoritis seputar hal ini. Kemiskinan merupakan penyebab
dari
revolusi
dan
kriminalitas
(Aristoteles). Kesempatan untuk menjadi pencuri (Sir Francis Bacon, 1600-an). Kehendak bebas, keputusan yang hedonistik, dan kegagalan dalam melakukan kontrak sosial (Voltaire & Rousseau, 1700-an) . Atavistic trait atau Sifat-sifat antisosial bawaan
sebagai
penyebab
perilaku
kriminal
(Cesare Lombroso, 1835-1909). Hukuman yang diberikan pada pelaku tidak proporsional (Teoritisi Klasik Lain).
220
Kiranya tidak ada satupun faktor tunggal yang menjadi penyebab dan penjelas semua bentuk kriminalitas yang terjadi di masyarakat. Oleh karena itu pada kesempatan ini, saya mencoba mengangkat dua teori yang mencoba menjelaskan mengapa seseorang berperilaku. Teori pertama yaitu dari Deutsch & Krauss, 1965) tentang level of aspiration. Teori ini menyatakan bahwa keinginan seseorang melakukan tindakan ditentukan oleh tingkat kesulitan dalam mencapai tujuan dan probabilitas subyektif pelaku
apabila
sukses
dikurangi probabilitas subjektif kalau gagal. Teori ini dapat dirumuskan dalam persama seperti berikut:
221
V = (Vsu X SPsu) – (Vf X SPf)
Dimana: V = valensi = tingkat aspirasi seseorang su= succed = sukses = failure = gagal SP=SubjectiveProbability
Teori
di
menjelaskan
atas,
tampaknya
perilaku
kriminal
cocok
untuk
yang
telak
direncanakan. Karena dalam rumus di atas peran subyektifitas penilaian sudah dipikirkan lebih dalam akankah seseorang melakukan tindakan kriminal atau tidak.
Sedangkan perilaku yang
222
tidak
terencana
dapat
dijelaskan
dengan
persamaan yang diusulkan oleh kelompok gestalt tentang Life Space yang dirumuskan B=f(PE). Perilaku merupakan fungsi dari life-spacenya. Life
space
ini
merupakan
interaksi
antara
seseorang dengan lingkungannya. Mengapa model perilaku Gestalt digunakan untuk menjelaskan perilaku kriminal yang tidak berencana? Pertama, pandangan Gestalt sangat mengandalkan aspek kekinian. Kedua, interaski antara seseorang dengan lingkungan
bisa
berlangsung
sesaat.
Ketiga,
interaksi tidak bisa dilacak secara partial. Dengan demikian bagaimana cara penanganan perilaku kriminal? Banyak pendapat menyatakan
223
bahwa kriminalitas tidak bisa dihilangkan dari muka bumi ini. Yang bisa hanya dikurangi melalui tindakan-tindakan pencegahan. a) Hukuman selama ini hukuman ( punishment ) menjadi sarana utama untuk membuat jera pelaku kriminal.
Dan
pendekatan
behavioristik
ini
tampaknya masih cocok untuk dijalankan dalam mengatasi masalah kriminal. Hanya saja, perlu kondisi tertentu, misalnya konsisten, fairness, terbuka, dan tepat waktunya. b) Penghilang Model melalui tayangan Media masa itu ibarat dua sisi mata pisau . Ditayangkan nanti penjahat
tambah
ahli,
tidak
ditayangkan
masyarakat tidak bersiap-siap.
224
c)
Membatasi
Kesempatan
Seseorang
bisa
mencegah terjadinya tindakan kriminal dengan membatasi munculnya kesempatan untuk mencuri. Kalau pencuri akan lewat pintu masuk dan kita sudah menguncinya, tentunya cara itu termasuk mengurangi kesempatan untuk mencuri. d) Jaga diri. Jaga diri dengan keterampilan beladiri dan beberapa persiapan lain sebelum terjadinya tindak kriminal bisa dilakukan oleh warga masyarakat.
F. Kode Etik Psikologi Indonesia Penelitian dan publikasi Pasal 45 Pedoman Umum :
225
(1) Penelitian adalah suatu rangkaian proses secara sistematis berdasar pengetahuan yang bertujuan memperoleh fakta dan/atau menguji teori
dan/atau
menggunakan
menguji metode
intervensi
ilmiah
yang
dengan
cara
mengumpulkan, mencatat dan menganalisis data. (2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam melaksanakan
penelitian
diawali
dengan
menyusun dan menuliskan rencana penelitian sedemikian rupa dalam proposal dan protokol penelitian sehingga dapat dipahami oleh pihakpihak lain yang berkepentingan. Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi membuat desain penelitian, melaksanakan, melaporkan hasilnya yang disusun
226
sesuai dengan standar atau kompetensi ilmiah dan etika penelitian.
.
227
PENUTUP
228
Pada umumnya ilmu pengetahuan merupakan ilmu yang sering digunakan dalam medis sebagai panduan dalam pengobatan secara fisik. Dalam bidang ilmu psikologi ilmu tersebut sangat bermanfaat pula dalam bidang pengobatan yaitu pengobatan psikis. Psikologi semakin banyak ditemukan organisasi
di
posisi-posisi
pelayanan
pemerintahan,
manajemen
kemanusiaan
peluang-peluang
dan
di di yang
mensyaratkan latihan formal yang jarang mereka miliki.
Mereka
membutuhkan
berbagai
keterampilan untuk melihat organisasi sebagai sebuah sistem yang hidup dan dengan tujuantujuannya sendiri. Mereka juga membutuhkan
229
pemahaman tentang tanggung jawab manajerial dan
kemampuan
untuk
menggunakan
keterampilan klinisnya hanya bila dianggap perlu. Psikolog
perlu
memahami
perbedaan
antara
penanganan klinis terhadap klien dan penanganan instrumental berorientasi tugas terhadap kolega dan
lain-lain,
yang
mungkin
membutuhkan
manajemen konflik. Komunitas didefinisikan dengan banyak cara berdasarkan
lokalitasnya,
berdasarkan
pola
komunikasinya, atau sebagai jaringan-jaringan yang memenuhi berbagai macam kebutuhan dasar. Sumber
daya
komunitas
yang
berbeda
menawarkan berbagai macam pelayanan untuk
230
memenuhi
berbagai
macam
kebutuhan
dan
kondisi di sepanjang siklus kehidupan. Dalam iklim ekonomi dan politis, organisasi-organisasi berusaha memperoleh berbagai sumber daya dan menghindari atau meminimalkan liability. Dengan tekanan-tekanan ini, berbagai subsistem komunitas sebagian publik, sebagian swasta mendefinisikan permasalahannya dengan cara yang berbeda dan kadang-kadang
tumpang-tindih,
bertentangan
atau mengabaikan klien. Model-model untuk mendorong kolaborasi tumbuh dengan lambat. Psikolog komunitas, banyak diantaranya bekerja di bidang
kesehatan
mental,
menyadari
membludaknya masalah psikologis di segmen-
231
segmen besar dalam populasi, seperti diperlihatkan oleh studi-studi epidemiologis.
232
DAFTAR PUSTAKA
Acosta, F. X., Yamamoto, J. & Evans, L. A (1982).
Effective Psychotherapy For Low-In-Come And Minority Patients. New York: Plenum Press. Acuff, C., Bennett, B. E., Bricklin, P. M., Canter, M. B., Knapp, S. J., Moldawsky, S., Dkk. (1999).
Consideration For Ethical Practice In Managed Care. Professional Psychology: Research And Practice, 30, 563-575. Aguilera, A., Garza, M. J. & Muños, R. F.(2010).
Group
Cognitive-Behavioral
Depression
In
Spanish:
Therapy
For
Culture-Sensitive
Manualized Treatment In Practice. Journal Of Clinical Psychology, 66, 857-867. 233
Ahmed, S. & Amer, M. M.(Penyunting).(2012).
Counseling Muslims: Handbook Of Mental Helath Issues And Interventions, New York: Routledge. Ahrons, C. R. (2011). Divorce: An Unscheduled
Family Transition. Dalam M. Mc Goldrick, B. Carter & N. Garcia-Preto (Penyunting),The
Expanded Family Life Cycle: Individual, Family And Social Perspective (Edisi Ke-4, Hlm. 292306). Boston:Pearson. Bailey, J. & Burch, M. (2006).How To Think Like A
Behavior Analyst. Mahwah, NJ: Lawrence Erlbaum. Baker, D. C. & Bufka, L. F. (2011). Preparing For
234
The
Telehealth
World:Navigating
Legal,
Regulatory, Reimbursement And Ethical Issues In An Electronic Age. Professional Psychology: Research And Practice, 42, 405-411. Baker, K. D. & Ray, M. (2011). Online Counseling:
The Good, The Bad, And The Possibilities. Counseling Psychology Quarterly,24(4), 341346. Baker, R. R. & Pickren, W. E. (2011). Training
System And Sites: Department Of Veterans Affairs. Dalam J. C. Norcross, G. R. Vandenbos & D. K. Freedheim (Penyunting), History Of
Psychotherapy: Continuity And Change (Edisi Kedua,
Hlm.673-683).
Washington,
Dc:
235
American Psychological Association. Balon, R., Martini, S. & Singareddy, R. K. (2004).
Patient
Perspective
On
Collaborative
Treatment. Psychiatric Services, 55, 945-946. Bandura, A. (1997). Social Learning Theory. New
York: Prentice Hall. Barez, M., Blasco, T., Fernandez-Castro, J. & Viladrich, C. (2009). Perceived Control And
Psychological Distress In Women With Breast Cancer: A Longitudinal Study. Journal Of Behavioral Medicine, 32, 187-196. Barnett, J. E. (2011). Utilizing Technological
Innovation Supervision,
To
Enhance
Training
Psychotherapy And
Outcome.
236
Psychotherapy, 48, 103-108. Barnett, J. E. & Campbell, L. F. (2012). Ethics Issues
In Scholarship. Dalam S.J. Knapp (Penyunting), APA Handbook Of Ethics In Psychology, Vol.2:Practice,
Teaching
And
Research
(Hlm.309-333). Washington, Dc: American Psychological Association. Barnett, J. E. & Cooper, N. (2009). Creating A
Culture Of Self-Care. Clinical Psychology: Science And Practice, 16, 16-20. Corey, G. (2009). Therapy And Practice Of
Counseling
And
Psychotherapy
(Edisi
Kedelapan). Belmont CA: Thomson. Cosgrove, L. & Krimsky, S. (2012). A Comparison
237
Of DSM-IV And DSM-5 Panel Member’s Financial
Associations
With
Industry:
A
Pernicious Problem Persists. Public Library Of Science Medicine, 9(3). Cosgrove, L. & Krimsky, S., Vijayaghavan, M. & Schneider, L.(2006). Financial Ties Between
DSM-IV
Panel
Members
And
The
Pharmaceutical Industry. Psychotherapy And Psychosomatics, 75, 154-160. Engle, V. & Graney, M. (2000). Biobehavioral
Effects Of Therapeutic Touch. Journal Of Nursing Scholarship, 32, 287-293. Eonta, A. M., Christon, L. M., Hourigan, S. E., Ravindran, N., Vrana, S. R. & Southam Gerow,
238
M. A. (2011). Using Everyday Technology To
Enhance Professional
Evidense-Based Psychology:
Treatments. Research
And
Practice, 42, 513-520. Epp, A. M., Dobson, K. S. & Cottraux, J. (2009).
Applications
Of
Individual
Cognitive
Behavioral Therapy To Specific Disorders. Dalam G. O. Gabbard (Penyunting), Texbook
Of Psychotherapeutic Treatment (Hlm. 239262). Washington, DC: American Psychiatric Publishing. Eriksen, K. (2005). Beyond The DSM Story.
Thousand Oaks, CA: Sage. Eriksen, K. & Kress, V. E. (2005). Beyond The DSM
239
Story: Ethical Quandries, Challenges, And Best Practices. Thousand Oaks, CA: Sage. Grothberg, E. H. (2003). What Is Resilience? How
Do You Promote It? How Do You Use It? Dalam E. H. Grotberg (Penyunting), Resilience
For Today: Gaining Strength From Adversity (Hlm.1-29). Westport, CT: Praeger. Groth-Marnat,
Psychological
G.
(2009).
Assessment
Handbook (Edisi
Of
Kelima).
Hoboken, NJ:Wiley. Grove, W. M., Zald, D. H., Lebow, B. S., Snitz, B. E. & Nelson C. (2000). Clinical Versus Mechanical
Prediction: A Meta-Analysis. Psychological Assessment, 12, 19-30.
240
Grus, C. L. (2011). Training, Credentialing, And
New Roles In Clinical Psychology: Emerging Trends. Dalam D. H. Barlow (Penyunting), The Oxxford Handbook Of Clinical Psychology (Hlm. 150-168). Kendall, P & Norton-Ford. J. 1982. Clinical
Psychology, Scientific And Professions. New York, John Willey & Sons Korchin, S J. 1976. Modern Clinical Psychology,
Principles Of Intervention In The Clinic And Community. New York : Basic Books Inc. Rummell, C. M. & Joyce, N. R. (2010). “So Wat Do U
Want To Wrk On 2day?”: The Ethical Implications Of Online Counseling. Ethics &
241
Behavior, 20, 482-496. Russ,
S.
W.
&
Freedheim,
D.
K.
(2002).
Psychotherapy With Chiledren. Dalam C.E. Walker & M. C. (Penyunting), Handbook Of
Child Clinical Psychology (Edisi Ketiga, Hlm. 840-859). New York: Wiley. Sageman, M. (2003). Three Types Of Skills For
Effective Forensic Psychological Assessments. Assessment, 10, 321-328. Saks, E. R., Jeste, D. V., Granholm, B. W., Palmer, B. W. & Schneiderman, L. (2002). Ethical Issues
In
Psychosocial
Interventions
Research
Involving Controls. Ethics & Behavior, 12, 87101.
242
Slamet, S. I. S. & Markam, S. 2005. Pengantar Psikologi Klinis. Jakarta : Universitas Indonesia. Trull, T J. & Phares E J. 2001. Clinical Psychology.
Concepts, Method, And Profession. Stamfort; Thomson Learning. Wheelis, J. (2009). Theory And Practice Of
Dialectical Behavioral Therapy. Dalam G.O. Gabbard
(Penyunting),
Textbook
Of
Psychotherapeutic: Treatments (Hlm. 727756). Washington, DC: American Psychiatric Publishing. White,J. H., Lester, D. Gentile, M. & Rosebleeth, J. (2011).The Utilization Of Forensic Sience And
Criminal Profiling For Capturing Serial Killers.
243
Forensic Science International, 209, 160-165. White, M. & Epston, D. (1990). Narrative Means To
Therapeutic Ends. New York: W. W. Norton. Widiger, T. A. & Mullins-Sweatt, S. N. (2008).
Classification. Dalam M. Hersen &A. M. Gross. (Penyunting),
Handbook
Of
Clinical
Psychology(Jil. 1, Hlm. 340-370). Hoboken, N. J. Wiley. Widiger, T. A. & Mullins-Sweatt, S. N. (2009).Five-
Factor Model Of Personality Disorder: A Proposal For DSM-V. Annual Review Of Clinical Psychology, 5, 197-220. Widiger, T. A. & Trull, T. J. (2007). Plate Tectonics
In The Classification Of Personality Disorders:
244
Shifting To A Dimensional Model. American psychologist, 62, 71-83.
245
Tentang Penulis Eko Yulianto, CHt, CI, S.Psi,MKM
lahir
di
Semarang pada tanggal 24 Juli 1972. Dimana telah memiliki
Hypnoterapist Indonesian
yang
Board
terdaftar
Of
sertifikasi di
IBH
Hypnoterapy)
(The
dengan
pengalaman lebih dari 10 tahun sebagai praktisi HRD dan dosen. Di bidang pengembangan individu beliau telah bekerja sama dengan perusahaan nasional dan multi nasional serta terlibat dengan pimpinan-pimpinan perusahaan tersebut. Klienkliennya berasal dari berbagai industri bidang
246
pendidikan, manufacture, jasa, trading, maupun individu seperti PT. Energisindo, KPUD Batam dan Kepulauan Riau, Kementrian Agama RI, Universitas Muhammadiyah
Jakarta,
Rumah
Sakit
Islam
(group) Jakarta, SMP Muhammadiyah 50 Jakarta, dan lain-lainnya. Saat ini, bekerja sebagai Manager HRD Rumah Sakit Islam Pondok Kopi Jakarta, dosen fakultas psikologi
Universitas
Azzahra
Jakarta,
dosen
fakultas ekonomi Institut Bisnis Muhammadiyah Bekasi.
Beliau
mendapatkan
beasiswa
untuk
pendidikannya di sekolah perawat kesehatan daerah Ngawi (1989-1992) dan melanjutkan S1 Psikologi (1995-2000), mendapatkan beasiswa kembali
saat
melanjutkan
pendidikan
S2 247
Manajemen Perumahsakitan (2010-2012). Beliau pernah juga mengikuti pendidikan kepesantrenan (1995-2003). Beliau memiliki pengalaman kerja di berbagai bidang rumah sakit. Diantaranya Rumah Sakit Kasih Murni di Ngawi Jawa Timur (1992-1993), dan Rumah Sakit Harapan Jayakarta Jakarta (19931994). Selama karirnya beliau mendapatkan beberapa penghargaan diantaranya pegawai teladan 2 RSI Pondok Kopi Jakarta (2000), Finalis PERSI AWARD (Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia) materi HRD “Segenggam Berlian” (2011), Finalis PERSI AWARD materi HRD “ Penilaian Kinerja Pejabat” (2011), Finalis PERSI AWARD materi HRD 248
“Analisa Beban Kerja”(2012), dan Pegawai terbaik 1 Satya Bakti 20th (2014).
249
PSIKOLOGI KLINIS PERKEMBANGAN TEORI, PRAKTEK, dan BUDAYA EKO YULIANTO, CHt, CI, S.Psi,MKM Psikologi Klinis dapat diartikan secara sempit maupun luas, yaitu mempelajari orang-orang abnormal dengan menggunakan assessmen sebagai bagian integral yang biasa digunakan. Psikologi Klinis
menggunakan
konsep-konsep
psikologi
abnormal, psikologi perkembangan, psikopatologi dan psikologi kepribadian, serta prinsip-prinsip dalam asessmen dan intervensi, untuk dapat memahami dan memberi bantuan bagi mereka yang mengalami masalah-masalah psikologis.
250