Loading documents preview...
LAPORAN PENDAHULUAN PPOK (penyakit paru obstruksi kronis) DI RUANG CENDANA RSUD.Prof.Dr.MARGONO SOEKARJO
OLEH : ISTIA NINGSIH 170104072
PROGRAM STUDI PROFESI NERS SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HARAPAN BANGSA PURWOKERTO 2018
1
BAB I PENDAHULUAN A. DEFINISI Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah suatu penyakit yang dikarakteristikkan oleh adanya hambatan aliran udara secara kronis dan perubahan-perubahan patologi pada paru, dimana hambatan aliran udara saluran nafas bersifat progresif dan tidak sepenuhnya reversibel dan berhubungan dengan respon inflamasi yang abnormal dari paruparu terhadap gas atau partikel yang berbahaya. (Hariman, 2010). Penyakit paru-paru obstrutif kronis/PPOK (COPD) merupakan suatu istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya (Irman, 2008). Penyakit Paru Obstruksi Kronik adalah sejumlah gangguan yang mempengaruhi pergerakan udara dari dan ke luar paru. Gangguan yang penting adalah bronkitis obstruktif, efisema, dan asma bronchial (Muttaqin, 2008).
B. ETIOLOGI Brashers (2007) menambahkan faktor-faktor yang menyebabkan penyakit paru obstruksi kronis adalah : 1. Merokok merupakan > 90% resiko untuk PPOK dan sekitar 15% perokok menderita PPOK. Beberapa perokok dianggap peka dan mengalami penurunan fungsi paru secara cepat. Pajanan asap rokok dari lingkungan telah dikaitkan dengan penurunan fungsi paru dan peningkatan resiko penyakit paru obstruksi pada anak. 2. Terdapat peningkatan resiko PPOK bagi saudara tingkat pertama perokok. Pada kurang dari 1% penderita PPOK, terdapat defek gen alfa satu antitripsin yang diturunkan yang menyebabkan awitan awal emfisema. 3. Infeksi saluran nafas berulang pada masa kanak – kanak berhubungan dengan rendahnya tingkat fungsi paru maksimal yang bisa dicapai dan peningkatan
2
resiko terkena PPOK saat dewasa. Infeksi saluran nafas kronis seperti adenovirus dan klamidia mungkin berperan dalam terjadinya PPOK. 4. Polusi udara dan kehidupan perkotaan berhubungan dengan peningkatan resiko morbiditas PPOK.
C. MANIFESTASI KLINIS Manifestasi klinis menurut Mansjoer (2000) pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah : 1. Batuk. 2. Sputum putih atau mukoid, jika ada infeksi menjadi purulen atau mukopurulen. 3. Sesak, sampai menggunakan otot-otot pernafasan tambahan untuk bernafas. 4. Reeves (2001) menambahkan manifestasi klinis pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah : Perkembangan gejala-gejala yang merupakan ciri dari PPOK adalah malfungsi kronis pada sistem pernafasan yang manifestasi awalnya ditandai dengan batuk-batuk dan produksi dahak khususnya yang makin menjadi di saat pagi hari. Nafas pendek sedang yang berkembang menjadi nafas pendek akut. Batuk dan produksi dahak (pada batuk yang dialami perokok) memburuk menjadi batuk persisten yang disertai dengan produksi dahak yang semakin banyak. Biasanya pasien akan sering mengalami infeksi pernafasan dan kehilangan berat badan yang cukup drastis, sehingga pada akhirnya pasien tersebut tidak akan mampu secara maksimal melaksanakan tugas-tugas rumah tangga atau yang menyangkut tanggung jawab pekerjaannya. Pasien mudah sekali merasa lelah dan secara fisik banyak yang tidak mampu melakukan kegiatan sehari-hari. Selain itu pada pasien PPOK banyak yang mengalami penurunan berat badan yang cukup drastis, sebagai akibat dari hilangnya nafsu makan karena produksi dahak yang makin melimpah, penurunan daya kekuatan tubuh, kehilangan selera makan (isolasi sosial) penurunan kemampuan pencernaan sekunder karena tidak cukupnya oksigenasi sel dalam sistem (GI) gastrointestinal. Pasien dengan PPOK lebih membutuhkan banyak kalori karena lebih banyak mengeluarkan tenaga dalam melakukan pernafasan.
3
D. PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan diagnostik untuk pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Doenges (2000) antara lain : 1. Sinar x dada dapat menyatakan hiperinflasi paru-paru, mendatarnya diafragma, peningkatan area udara retrosternal, penurunan tanda vaskularisasi atau bula (emfisema), peningkatan tanda bronkovaskuler (bronkhitis), hasil normal selama periode remisi (asma). 2. Tes fungsi paru untuk menentukan penyebab dispnea, untuk menentukan apakah fungsi abnormal adalah obstruksi atau restriksi, untuk memperkirakan derajat disfungsi dan untuk mengevaluasi efek terapi misalnya bronkodilator. 3. Peningkatan pada luasnya bronkhitis dan kadang-kadang pada asma, penurunan emfisema. 4. Kapasitas inspirasi menurun pada emfisema. 5. Volume residu meningkat pada emfisema, bronchitis kronis dan asma. 6. Forced Expiratory Volume (FEV1) atau FVC. Rasio volume ekspirasi kuat dengan kapasitas vital kuat menurun pada bronchitis dan asma. 7. Analisa Gas Darah (AGD) memperkirakan progresi proses penyakit kronis misalnya paling sering PaO2 menurun, dan PaCO2 normal atau meningkat (bronkhitis kronis dan emfisema) tetapi sering menurun pada asma, pH normal atau asidosis, alkalosis respiratorik ringan sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau asma). 8.
Bronkogram dapat menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada inspirasi, kolaps bronkhial pada ekspirasi kuat (emfisema), pembesaran duktus mukosa yang terlihat pada bronkus.
9.
Hemoglobin meningkat (emfisema luas), peningkatan eosinofil (asma).
10. Kimia darah antara lain alfa satu antitripsin dilakukan untuk meyakinkan defisiensi dan diagnosa emfisema primer. 11. Sputum, kultur untuk menentukan adanya infeksi, mengidentifikasi patogen, pemeriksaan sitolitik untuk mengetahui keganasan atau gangguan alergi
4
12. Elektrokardiogram (EKG). Deviasi aksis kanan, peninggian gelombang P (asma berat), disritmia atrial (bronchitis), peninggian gelombang P pada lead II, III, AVF (bronchitis, emfisema), aksis vertikal QRS (emfisema). 13. Elaktrokardiogram (EKG) latihan, tes stress membantu dalam mengkaji derajat disfungsi paru, mengevaluasi keefektifan terapi bronkodilator, perencanaan atau evaluasi program latihan.
E. PENATALAKSANAAN Penatalaksanaan eksaserbasi akut di rumah sakit dapat dilakukan secara rawat jalan atau rawat inap dan dilakukan di poliklinik rawat jalan, ruang rawat inap, unit gawat darurat, atau ruang ICU (PDPI, 2009). 1. Bronkodilator: Albuaterol ( proventil, ventolin ), isoetarin ( bronkosol, bronkometer 2. Kortikosteroid : Metilprenisolon, Deksametason. 3. Antibiotik 4. Terapi Oksigen: sesuai indikasi hasil AGD dan toleransi klien. 5. Ventilasi Mekanik 6. Bantu pengobatan pernafasan (Fisioterapi dada) 7. Berikan vitamin atau mineral atau elektrolit sesuai indikasi.
F. PATHOFISIOLOGI Patofisiologi menurut Brashers (2007), Mansjoer (2000) dan Reeves (2001) adalah : Asap rokok, polusi udara dan terpapar alergen masuk ke jalan nafas dan mengiritasi saluran nafas. Karena iritasi yang konstan ini , kelenjar-kelenjar yang mensekresi lendir dan sel-sel goblet meningkat jumlahnya, fungsi silia menurun, dan lebih banyak lendir yang dihasilkan serta terjadi batuk, batuk dapat menetap selama kurang lebih 3 bulan berturut-turut. Sebagai akibatnya bronkhiolus menjadi menyempit, berkelok-kelok dan berobliterasi serta tersumbat karena metaplasia sel goblet dan berkurangnya elastisitas paru. Alveoli yang berdekatan dengan bronkhiolus dapat menjadi rusak dan membentuk fibrosis mengakibatkan
5
fungsi makrofag alveolar yang berperan penting dalam menghancurkan partikel asing termasuk bakteri, pasien kemudian menjadi rentan terkena infeksi. Infeksi merusak dinding bronchial menyebabkan kehilangan struktur pendukungnya dan menghasilkan sputum kental yang akhirnya dapat menyumbat bronki. Dinding bronkhial menjadi teregang secara permanen akibat batuk hebat. Sumbatan pada bronkhi atau obstruksi tersebut menyebabkan alveoli yang ada di sebelah distal menjadi kolaps. Pada waktunya pasien mengalami insufisiensi pernafasan dengan penurunan kapasitas vital, penurunan ventilasi, dan peningkatan rasio volume residual terhadap kapasitas total paru sehingga terjadi kerusakan campuran gas yang diinspirasi atau ketidakseimbangan ventilasiperfusi. Pertukaran gas yang terhalang biasanya terjadi sebagai akibat dari berkurangnya permukaan alveoli bagi pertukaran udara. Ketidakseimbangan ventilasi–perfusi ini menyebabkan hipoksemia atau menurunnya oksigenasi dalam darah. Keseimbangan normal antara ventilasi alveolar dan perfusi aliran darah kapiler pulmo menjadi terganggu. Dalam kondisi seperti ini, perfusi menurun dan ventilasi tetap sama. Saluran pernafasan yang terhalang mukus kental atau bronkospasma menyebabkan penurunan ventilasi, akan tetapi perfusi akan tetap sama atau berkurang sedikit. Berkurangnya permukaan alveoli bagi pertukaran udara menyebabkan perubahan pada pertukaran oksigen dan karbondioksida. Obstruksi jalan nafas yang diakibatkan oleh semua perubahan patologis yang meningkatkan resisten jalan nafas dapat merusak kemampuan paru-paru untuk melakukan pertukaran oksigen atau karbondioksida. Akibatnya kadar oksigen menurun dan kadar karbondioksida meningkat. Metabolisme menjadi terhambat karena kurangnya pasokan oksigen ke jaringan tubuh, tubuh melakukan metabolisme anaerob yang mengakibatkan produksi ATP menurun dan menyebabkan defisit energi. Akibatnya pasien lemah dan energi yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi juga menjadi berkurang yang dapat menyebabkan anoreksia. Selain itu, jalan nafas yang terhambat dapat mengurangi daerah permukaan yang tersedia untuk pernafasan, akibat dari perubahan patologis ini adalah
6
hiperkapnia, hipoksemia dan asidosis respiratori. Hiperkapnia dan hipoksemia menyebabkan vasokontriksi vaskular pulmonari, peningkatan resistensi vaskular pulmonary mengakibatkan hipertensi pembuluh pulmonary yang meningkatkan tekanan vascular ventrikel kanan atau dekompensasi ventrikel kanan.
7
G. PHATWAY Faktor predisposisi Edema, spasme bronkus, peningkatan secret bronkiolus
Bersihan jalan napas tidak efektif
Suplai O2 jaringan rendah
Hipoksemia
Obstruksi bronkiolus awal fase ekspirasi
Udara terperangkap dalam alveolus PaO2 rendah PaCO2 tinggi
Gangguan metabolisme jaringan
Sesak napas, napas pendek
Gangguan pertukaran gas
Metabolisme anaerob
Gagal jantung kanan
Produksi ATP menurun
Insufisiensi/ga gal napas
Defisit energi
Lelah, lemah
Intoleransi aktivitas
Kurang perawatan diri
Gangguan pola tidur
8
Risiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
Pola napas tidak efektif
H. FOKUS PENGKAJIAN 1. Fokus Pengkajian a. Riwayat Kesehatan Sekarang Biasanya klien masuk ke rumah sakit karena sesak nafas batuk,batuk berdahak. b. Riwayat Kesehatan Dahulu Pasien belum pernah mengalami penyakit yang seperti di alami sekarang. c. Riwayat Kesehatan Keluarga Keluarga pasien juga tidak ada yang mengalami penyakit seperti yang dirasakan klien sekarang. d. Pemeriksaan Fisik 1) Kepala: normal, kepala tegak lurus, tulang kepala umumnya bulat dengan tonjolan frontal di bagian anterior dan oksipital dibagian posterior. 2) Rambut: biasanya tersebar merata, tidak terlalu kering, tidak terlalu berminyak. 3) Mata: biasanya tidak ada gangguan bentuk dan fungsi mata. Mata anemis, tidak ikterik, tidak ada nyeri tekan. 4) Telinga: normalnya bentuk dan posisi simetris. Tidak ada tandatanda infeksi dan tidak ada gangguan fungsi pendengaran. 5) Hidung: bentuk dan fungsi normal, tidak ada infeksi dan nyeri tekan. 6) Mulut: mukosa bibir kering, tidak ada gangguan perasa. 7) Leher: normal. 8) Dada: tidak ada kelainan pada dada 9) Hepar: biasanya tidak ada pembesaran hepar. 10) Ekstremitas: biasanya tidak ada gangguan pada ektremitas.
I.
DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Ketidakefektifan Bersihan jalan napas b.d mokus dalam jumlah berlebih
9
2. Gangguan pola tidur b.d gangguan (sesak nafas)
J.
FOKUS RENCANA INTERVENSI
DIAGNOSA Ketidakefektifan
NOC
NIC
NOC :
NIC :
Respiratory status : ventilation
Airway suction:
dalam jumlah
Respiratory status : airway patency
1. Pastikan kebutuhan oral/ tracheal
berlebih
Kriteria Hasil :
Bersihan jalan napas b.d mokus
suctioning 2. Auskultasi suara nafas sebelum dan
1. Mendemonstrasikan batuk efektif
sesudah suctioning
dan suara nafas yang bersih,tidak 3. Imformasikan kepada keluarga ada sianosis dan dyspnea (mampu tentang suctioning mengeluarkan sputum,mampu 4. Minta pasien nafas dalam sebelum bernafas dengan mudah,tidak ada pursed lips)
5. Berikan O2 dengan mengunakan
2. Menunjukan paten(
jalan
klien
normal,tidak
nafas
tidak
tercekik,irama pernafasan
yang
merasakan
nafas,frekuensi dalam ada
rentan
suara
nafas
tambahan) 3. Dapat
nasal kanul untuk memfasilitasi suksion nasotrakeal. Airway management 1. Posisikan pasien untuk membuka ventilasi 2. Monitor respirasi dan status O2
mengidentifikasikan
mencagah
dilakukan suctioning.
factor
yang
menghambat jalan nafas.
dan dapat
3. Identifikasi pemasangan
pasien alat
perlunya
jalan
nafas
buatan 4. Keluarkan secret dengan baruk atau suction 5. Auskultasi suara nafas cata adanya suara nafas tambahan
10
Gangguan
pola NOC :
tidur b.d gangguan
NIC :
Sleep : extent and pattern
Sleep enhancement
1.
1. Determinasi efek – efek medikasi
(sesak nafas) Jumlah jam tidur dalam batas normal 6-8 jam / hari 2.
terhadap pola tidur
Pola tidur,kualitas dalam bats normal
3.
adekuat
Perasaan segar sesudah tidur atau istirahat
4.
2. Jelaskan pentingnya tidur yang
3. Fasilitas untuk mempertahankan aktivitas sebelum tidur ( membaca)
Mampu mengidentifikasikan hal
4. Ciptakan lingkungan yang nyaman
– hal yang meningkatkan tidur
5. Kolaborasi pemberian obat tidur 6. Instruksikan untuk memonitor tidur pasien 7. Diskusikan dengan pasien dan keluarga pasien tentang teknik tidur pasien.
11
DAPDAFTAR PUSTAKA
GOLD.Inc. Pocket Guide to CPOD Diagnosis Management, and Prevention. Diakses dari: http://www.goldsopd.com.Guideineitem.asp Irman, S. 2008. Asuhan keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika. Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta : Salemba Medika. NANDA, NIC- NOC. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnose Medis & NAND, NIC- NOC. Jakarta: Media Action Publishing. Tamsuri, Anas. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Pernafasan. Jakarta: EGC. Tim PDPI. 2008. Diagnosis dan Tatalaksana Kegawatdaruratan Paru. Jakarta: Sagung Seto
12