Makalah Keperawatan Paliatif Perawatan Paliatif Dalam Perspektif Sosial Dan Budaya Sgd 5.docx

  • Uploaded by: Ni Putu Neni Indriyani
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Keperawatan Paliatif Perawatan Paliatif Dalam Perspektif Sosial Dan Budaya Sgd 5.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,830
  • Pages: 35
Loading documents preview...
MAKALAH KEPERAWATAN PALIATIF PERAWATAN PALIATIF DALAM PERSPERKTIF SOSIAL DAN BUDAYA

Dosen Pembimbing: Aria Aulia, S.Kep.,Ns.M.Kep

Disusun Oleh: Small Group Discussion 5 Kelas A1.2016 Sarah Maulida Rahmah Ragil Titi Hatmati Rufaidah Fikriya Sekar Ayu Pitaloka Ni Putu Neni Indriyani Nesya Ellyka Novalia Puspitasary

(131611133006) (131611133012) (131611133018) (131611133025) (131611133031) (131611133038) (131611133044)

PROGRAM STUDI S1 PENDIDIKAN NERS FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA MARET, 2019

i

KATA PENGANTAR Puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa berkat rahmat serta hidayah-Nya penyusun dapat menyelesaikan salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Paliatif ini pada program S1 Pendidikan Ners Universitas Airlangga dengan baik. Penyusun juga mengucap terimakasih kepada dosen mata kuliah Keperawatan Paliatif, Ibu Aria Aulia, S.Kep.,Ns.M.Kep. atas bimbingan yang telah diberikan selama perkuliahan. Harapan penyusun, semoga makalah ini dapat memberikan ilmu dan pengetahuan yang lebih kepada pembaca. Semoga makalah ini dapat bermanfaat pula dalam bidang keperawatan khususnya bagi proses pembelajaran Keperawatan Paliatif. Makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penyusun harapkan untuk perbaikan baik dari segi materi maupun teknik penulisan.

Surabaya, 24 Februari 2019

Kelompok 5

ii

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................ii DAFTAR ISI................................................................................................iii BAB 1 PENDAHULUAN .........................................................................1 1.1. Latar Belakang ...............................................................................1 1.2. Rumusan Masalah .........................................................................2 1.3. Tujuan ...........................................................................................3 BAB 2 2.1. 2.2. 2.3. 2.4.

TINJAUAN PUSTAKA ................................................................4 Perawatan Paliatif .........................................................................4 Masalah Keperawatan pada Pasien Paliatif ..................................6 Tahapan Penerimaan Pasien Paliatif ..............................................15 Peran Perawat Paliatif ...................................................................15

BAB 3 ASUHAN KEPERAWATAN .........................................................17 3.1 Kasus ..............................................................................................17 3.2 Pengkajian ......................................................................................18 3.3 Analisa data ....................................................................................22 3.4 Diagnosa Keperawatan...................................................................23 3.5 Intervensi Keperawatan .................................................................23 BAB 4 PENUTUP .....................................................................................29 4.1. Kesimpulan ....................................................................................29 4.2. Saran ..............................................................................................30 DAFTAR PUSTAKA

iii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu kemajuan utama dalam perawatan kesehatan modern adalah perbaikan perawatan akhir hayat pada pasien yang mengalami penyakit terminal. Sebagian besar pasien terminal akan sangat menderita, penderitaan berupa fisik, mental dan atau spiritual (Kemp, 2009). Selain kegiatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif, pasien dengan penyakit yang sulit disembuhkan seperti penyakit kanker, penyakit degeneratif, penyakit paru obstruktif kronis, cystic fibrosis, stroke, Parkinson, gagal jantung/ heart failure, penyakit genetika, dan HIV/AIDS juga memerlukan perawatan paliatif (Supari, 2007). Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup pasien (dewasa dan anak-anak) dan keluarga dalam menghadapi penyakit dan mengancam jiwa, dengan cara meringankan penderitaan rasa sakit melalui identifikasi dini, pengkajian yang sempurna, dan penatalaksanaan nyeri serta masalah lainnya baik fisik, psikologis, sosial atau spiritual (WHO, 2016). Menurut Ketua Masyarakat Paliatif Indonesia (MPI) Drajad Ryanto Suardi dalam seminar yang bertema Sharing the care (Peduli perawatan paliatif untuk sesama), jumlah pasien yang memerlukan perawatan paliatif meningkat, seiring dengan meningkatnya usia harapan hidup, disamping pasien kanker, jumlah penyakit motor neuron dan penyakit saraf serta pasien HIV-ADIS juga meningkat. Dari pasien yang rawat inap di RSCM pada 2009, terdapat 65% pasien paliatif, yang 60% pasien neurologi, lebih 60% pasien ODHA dalam stadium lanjut (Hendry, 2010). Agama merupakan hubungan antara manusia dengan tuhan. Terapi religious sangat penting dalam memberikan palliative care. Kurangnya pemenuhan kehidupan beragama, menimbulkan masalah pada saat terapi. Pengetahuan dasar dari masing-masing agama sangat membantu dalam mengembangkan palliative care. Terkadang palliative care spiritual sering disamakan dengan terapi paliatif religious. Palliative care spiritual bisa ditujukan kepada pasien yang banyak meyakini akan adanya Tuhan tanpa mengalami

1

ritual suatu agama dan bisa juga sebagai terapinreligius dimana selain meyakini ritual agama memiliki tata cara beribadah dalam suatu agama. Salah satu faktor yang menentukan kondisi kesehatan masyarakat

adalah

perilaku

kesehatan masyarakat itu sendiri. Dimana proses terbentuknya perilaku ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah faktor sosial budaya, bila faktor tersebut telah tertanam dan terinternalisasi dalam kehidupan dan kegiatan masyarakat ada kecenderungan untuk merubah perilaku yang telah terbentuk tersebut sulit untuk dilakukan. Untuk itu, mengatasi dan memahami suatu masalah kesehatan diperlukan pengetahuan yang memadai mengenai budaya dasar dan budaya suatu daerah. Sehingga dalam kajian sosial budaya tentang perawatan paliatif bertujuan untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga dalam menghadapi masalh yang berhububgan dengan penyakit yang mengancam kehidupan. Kebutuhan akan perawatan paliatif tidak dapat dihindari sehubungan dengan makin meningkatnya jumlah pasien kanker. Dengan sudah dituangkannya program pelayanan paliatif ke dalam Sistem Kesehatan Nasional perawatan paliatif kini menjadi bagian dari tata laksana penyakit kanker di Indonesia yang perlu terus dikembangkan. Dalam makalah ini, penulis akan membahas asuhan keperawatan paliatif dalam perspektif agama, spiritual budaya dan sosial.

1.2 Rumusan Masalah 1. Apa definisi perawatan paliatif? 2. Apa saja masalah keperawatan pada pasien paliatif? 3. Bagaimana tahapan penerimaan pasien paliatif? 4. Bagaimana peran perawat paliatif? 5. Bagaimana asuhan keperawatan yang diberikan pada klien dengan masalah keperawatan dalam perspektif agama, spiritual budaya dan sosial?

2

1.3 Tujuan 1. Menjelaskan definisi perawatan paliatif 2. Menjelaskan masalah keperawatan pada pasien paliatif 3. Menjelaskan tahapan penerimaan pasien paliatif 4. Menjelaskan peran perawat paliatif 5. Menjelaskan asuhan keperawatan yang diberikan pada klien dengan masalah keperawatan dalam perspektif agama, spiritual budaya dan sosial

3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perawatan Paliatif Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan meningkatkan kualitas hidup pasien

(dewasa

dan

anak-anak)

dan

keluarga

dalam

menghadapi

penyakit

yangmengancam jiwa, dengan cara meringankan penderitaan rasa sakit melalui identifikasi dini, pengkajian yang sempurna, dan penatalaksanaan nyeri serta masalah lainnya baik fisik, psikologis, sosial atau spiritual. (World Health Organization (WHO) 2016). Perawatan paliatif merupakan perawatan yang berfokus pada pasien dan keluarga dalam mengoptimalkan kualitas hidup dengan mengantisipasi, mencegah, dan menghilangkan penderitaan. Perawatan paliatif mencangkup seluruh rangkaian penyakit termasuk fisik, intelektual, emosional, sosial, dan kebutuhan spiritual serta untuk memfasilitasi otonomi pasien, mengakses informasi, dan pilihan (National Consensus Project for Quality Palliative Care, 2013). Pada perawatan paliatif ini, kematian tidak dianggap sebagai sesuatu yang harus di hindari tetapi kematian merupakan suatu hal yang harus dihadapi sebagai bagian dari siklus kehidupan normal setiap yang bernyawa (Nurwijaya dkk, 2010). Permasalahan yang sering muncul ataupun terjadi pada pasien dengan perawatan paliatif meliputi masalah psikologi, masalah hubungan sosial, konsep diri, masalah dukungan keluarga serta masalah pada aspek spiritual (Campbell, 2013). Perawatan paliatif ini bertujuan untuk membantu pasien yang sudah mendekati ajalnya, agar pasien aktif dan dapat bertahan hidupselama mungkin. Perawatan paliatif ini meliputi mengurangi rasa sakit dan gejala lainnya, membuat pasien menganggap kematias sebagai prosesyang normal, mengintegrasikan aspek-aspek spikokologis dan spritual (Hartati & Suheimi, 2010). Selain itu perawatan paliatif juga bertujuan agar pasien terminal tetap dalam keadaan nyaman dan dapat meninggal dunia dengan baik dan tenang (Bertens, 2009).

4

Prinsip perawatan paliatif yaitu menghormati dan menghargai martabat serta harga diri pasien dan keluarganya (Ferrel & Coyle, 2007). Menurut Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (KEMENKES, 2013) dan Aziz, Witjaksono, dan Rasjidi (2008) prinsip pelayanan perawatan paliatif yaitu 1. menghilangkan nyeri dan mencegah timbulnya gejala serta keluhan fisik lainnya, penanggulangan nyeri, 2. menghargai kehidupan dan menganggap kematian sebagai proses normal , 3. tidak bertujuan mempercepat atau menghambat kematian, 4. memberikan dukungan psikologis, sosial dan spiritual, 5. memberikan dukungan agar pasien dapat hidup seaktif mungkin, 6. memberikan dukungan kepada keluarga sampai masa dukacita, 7. serta menggunakan pendekatan tim untuk mengatasi kebutuhan pasien dan keluarganya.

Elemen dalam perawatan paliatif menurut National Consensus Project dalam Campbell (2013), meliputi : 1. Populasi pasien. Dimana dalam populasi pasien ini mencakup pasien dengan semua usia, penyakit kronis atau penyakit yang mengancam kehidupan. 2. Perawatan yang berfokus pada pasien dan keluarga. Dimana pasien dan keluarga merupakan bagian dari perawatan paliatif itu sendiri. 3. Waktu perawatan paliatif. Waktu dalam pemberian perawatan paliatif berlangsung mulai sejak terdiagnosanya penyakit dan berlanjut hingga sembuh atau meninggal sampai periode duka cita. 4. Perawatan komprehensif. Dimana perawatan ini bersifat multidimensi yang bertujuan untuk menanggulangi gejala penderitaan yang termasuk dalam aspek fisik, psikologis, sosial maupun keagamaan. 5. Tim interdisiplin. Tim ini termasuk profesional dari kedokteran, perawat, farmasi, pekerja sosial, sukarelawan, koordinator pengurusan jenazah, pemuka agama, psikolog, asisten perawat, ahli diet, sukarelawan terlatih.

5

6. Perhatian terhadap berkurangnya penderitaan : Tujuan perawatan paliatif adalah mencegah dan mengurangi gejala penderitaan yang disebabkan oleh penyakit maupun pengobatan. 7. Kemampuan berkomunikasi : Komunikasi efektif diperlukan dalam memberikan informasi, mendengarkan aktif, menentukan tujuan, membantu membuat keputusan medis dan komunikasi efektif terhadap individu yang membantu pasien dan keluarga. 8. Kemampuan merawat pasien yang meninggal dan berduka 9. Perawatan yang berkesinambungan. Dimana seluru sistem pelayanan kesehatan yang ada dapat menjamin koordinasi, komunikasi, serta kelanjutan perawatan paliatif untuk mencegah krisis dan rujukan yang tidak diperukan. 10. Akses yang tepat. Dalam pemberian perawatan paliatif dimana timharus bekerja pada akses yang tepat bagi seluruh cakupanusia, populasi, kategori diagnosis, komunitas, tanpa memandang ras, etnik, jenis kelamin, serta kemampuan instrumental pasien. 11. Hambatan pengaturan. Perawatan paliatif seharusnya mencakup pembuat kebijakan, pelaksanaan undang-undang, dan pengaturan yang dapat mewujudkan lingkungan klinis yang optimal. 12. Peningkatan kualitas. Dimana dalam peningkatan kualitas membutuhkan evaluasi teratur dan sistemik dalam kebutuhan pasien.

2.2. Masalah Keperawatan pada Pasien Paliatif Permasalahan perawatan paliatif yang sering digambarkan pasien yaitu kejadiankejadian yang dapat mengancam diri sendiri dimana masalah yang seringkali di keluhkan pasien yaitu mengenai masalah seperti nyeri, masalah fisik, psikologi sosial, kultural serta spiritual (IAHPC, 2016). Permasalahan yang muncul pada pasien yang menerima perawatan paliatif dilihat dari persepktif keperawatan meliputi masalah psikologi, masalah hubungan sosial, konsep diri, masalah dukungan keluarga serta masalah pada aspek spiritual atau keagamaan (Campbell, 2013).

a.

Masalah Fisik Masalah fisik yang seringkali muncul yang merupakan keluhan dari pasien paliatif yaitu nyeri (Anonim, 2017). Nyeri merupakan pengalaman emosional dan 6

sensori yang tidak menyenangkan yang muncul akibat rusaknya jaringan aktual yang terjadi secara tiba-tiba dari intensitas ringan hingga berat yang dapat diantisipasi dan diprediksi. Masalah nyeri dapat ditegakkan apabiladata subjektif dan objektif dari pasien memenuhi minimal tiga kriteria (NANDA, 2015).

b. Masalah Psikologi Masalah psikologi yang paling sering dialami pasien paliatif adalah kecemasan. Hal yang menyebabkan terjadinya kecemasan ialah diagnosa penyakit yang membuat pasien takut sehingga menyebabkan kecemasan bagi pasien maupun keluarga (Misgiyanto & Susilawati, 2014). Durand dan Barlow (2006) mengatakan kecemasan adalah keadaan suasana hati yang ditandai oleh afek negatif dan gejala-gejala ketegangan jasmani dimana seseorang mengantisipasi kemungkinan datangnya bahaya atau kemalangan di masa yang akan datang dengan perasaan khawatir. Menurut Carpenito (2000) kecemasan merupakan keadaan individu atau kelompok saat mengalami perasaan yang sulit (ketakutan) dan aktivasi

sistem saraf otonom

dalam berespon

terhadap

ketidakjelasan atau ancaman tidak spesifik. NANDA (2015) menyatakan bahwa kecemasan adalah perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang diseratai oleh respon otonom, perasaan takut yang disebabkan olehantisipasi terhadap bahaya. Hal ini merupakan tanda waspada yang member tanda individu akan adanya bahaya dan mampukah individu tersebut mengatasinya.

c.

Masalah Spiritual Menurut Carpenito (2006) salah satu masalah yang sering muncul pada pasien paliatif adalah distress spiritual. Distres spiritual dapat terjadi karena diagnose penyakit kronis, nyeri, gejala fisik, isolasi dalam menjalani pengobatan serta ketidakmampuan pasien dalam melakukan ritual keagamaan yang mana biasanya dapat dilakukan secara mandiri.

Distres spiritual adalah kerusakan kemampuan

dalam mengalami dan mengintegrasikan arti dan tujuan hidup seseorang dengan diri, orang lain, seni, musik, literature, alam dan kekuatan yang lebih besr dari dirinya (Hamid, 2008).Definisi lain mengatakan bahwa distres spiritual adalah gangguan 7

dalam prinsip hidup yang meliputi seluruh kehidupan seseorang dan diintegrasikan biologis dan psikososial (Keliat dkk, 2011).

d. Masalah Sosial Masalah pada aspek sosial dapat terjadi karena adanya ketidak normalan kondisi hubungan social pasien dengan orang yang ada disekitar pasien baik itu keluarga maupun rekan kerja (Misgiyanto & Susilawati, 2014). Isolasi sosial adalah suatu keadaan kesepian yang dialami oleh seseorang karena orang lain menyatakan sikap yang negatif dan mengancam ( Twondsend, 1998 ). Atau suatu keadaan dimana seseorang individu mengalami penurunan bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya, pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Kelliat, 2006 ).

Salah satu faktor yang menentukan kondisi kesehatan masyarakat adalah perilaku kesehatan masyarakat itu sendiri. Dimana proses terbentuknya perilaku ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya adalah faktor sosial budaya, bila faktor tersebut telah tertanam dan terinternalisasi dalam kehidupan dan kegiatan masyarakat ada kecenderungan untuk merubah perilaku yang telah terbentuk tersebut sulit untuk dilakukan. Untuk itu, untuk mengatasi dan memahami suatu masalah kesehatan diperlukan pengetahuan yang memadai mengenai budaya dasar dan budaya suatu daerah. Sehingga dalam kajian sosial budaya tentang perawatan paliatif bertujuan untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga dalam menghadapi masalah yang berhubungan dengan penyakit yang mengancam kehidupan. Pengertian sosial menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah segala sesuatu yang mengenai masyarakat atau kemasyarakatan. Kebudayaan atau kultur dapat membentuk kebiasaan dan respons terhadap kesehatan dan penyakit dalam segala masyarakat tanpa memandang tingkatannya. Karena itulah penting bagi tenaga kesehatan untuk tidak hanya mempromosikan kesehatan, tapi juga membuat mereka mengerti tentang proses terjadinya suatu penyakit dan bagaimana meluruskan 8

keyakinan atau budaya yang dianut hubungannya dengan kesehatan. Pengaruh kebudayaan, tanpa disadari kebudayaan telah menanamkan garis pengaruh sikap terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai sikap anggota masyarakat, karena kebudayaanlah yang memberi corak pengalaman individuindividu masyarakat. Green dalam Notoatmodjo (2007) mengatakan bahwa perilaku manusia dari tingkat kesehatan dipengaruhi oleh 2 faktor pokok yaitu faktor perilaku (behaviour cause) dan faktor di luar perilaku (non-behaviour cause). Perilaku itu sendiri terbentuk dari tiga faktor, yaitu : 1. Faktor Predisposisi ( predisposing factors), yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya 2. Faktor pendukung (enabling factors), yang terwujud dalam lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitasfasilitas atau sarana-sarana kesehatan, misalnya puskesmas, obat-obatan, air bersih dan sebagainya 3. Faktor pendorong (reinforcing factors) yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat. Contoh lain, sosial budaya mempengaruhi kesehatan adalah pandangan suatu masyarakat terhadap tindakan yang mereka lakukan ketika mereka mengalami sakit, ini akan sangat dipengaruhi oleh budaya, tradisi, dan kepercayaan yang ada dan tumbuh dalam masyarakat tersebut. Misalnya masyarakat yang sangat mempercayai dukun yang memiliki kekuatan gaib sebagai penyembuh ketika mereka sakit, dan bayi yang menderita demam atau diare berarti pertanda bahwa bayi tersebut akan pintar berjalan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa sosial budaya sangat mempengaruhi kesehatan baik itu individu maupun kelompok. Aspek sosial pasien yang sakit parah Penyakit yang tidak dapat disembuhkan mengubah status sosial pasien. Selain rasa sakit, dan gejala serta komplikasi yang menghancurkan lainnya, pasien mungkin menderita efek yang tidak diinginkan dari penyakit yang mempengaruhi penampilan pasien; hilangnya peran sosial, profesional, dan keluarga; kemampuan untuk tetap 9

mandiri dan berfungsi secara normal, dan sebagian besar penting persepsi masa depan. Menurut Sherbourne dan Stewart, dukungan sosial melayani berbagai dimensi termasuk 1. Dukungan emosional yang didefinisikan sebagai empati dan memahami, memiliki pengaruh positif, dan mendorong ekspresi perasaan; 2. Memberikan bantuan dan bantuan seperti transportasi, bantuan keuangan dan / atau rumah tangga dianggap sebagai instrumen mendukung; 3. Dukungan informasi melibatkan penawaran informasi, bimbingan, dan saran; dan 4. Dukungan penuh kasih sayang yang terdiri memiliki seseorang yang mengekspresikan cinta dan kasih sayang. Helgeson menunjukkan bahwa hubungan sosial menempatkan pasien dalam suasana hati yang lebih baik dan memberi mereka rasa identitas dan persahabatan. Sosial dukungan mungkin memengaruhi kualitas hidup dan kebermaknaan pasien hidup dengan membantu mereka mengatasi lebih efektif dengan penderitaan mereka dan membuat mereka merasa dihargai, dicintai, dan diperhatikan. Selain itu, Schwartz dan Frohner menemukan bahwa semakin banyak dukungan sosial yang dirasakan pasien, semakin sedikit rasa sakit yang diderita, dan semakin baik ia menilai kesehatan umum dan kesejahteraan. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan pada pasien dewasa yang sakit parah didiagnosis menderita kanker, untuk memahami makna kesejahteraan sosial pada akhir kehidupan, Pangeran-Paul menemukan bahwa semua peserta dalam studi mengidentifikasi kebutuhan untuk dikelilingi oleh keluarga dan berpartisipasi dalam kegiatan sosial. Ini, pada gilirannya, memberi pasien alasan untuk hidup dan tujuan untuk tetap terlibat dan hidup saat mereka sekarat. Demikian pula, Mikulincer, Florian, dan Hirschberger mendalilkan bahwa sosial dekat hubungan yang melampaui kematian fisik dapat memberikan perlindungan yang memungkinkan pasien untuk menghadapi kenyataan kematian dengan lebih baik. Mereka menunjukkan bahwa hubungan dekat ini mempromosikan pelestarian diri, bantuan pasien dengan masalah kematian, dan membantu mereka dalam mewujudkan artinya dan nilai hidup mereka.

10

e. Masalah Budaya Budaya adalah istilah yang menggabungkan konsep ras, etnis, agama, bahasa, asal kebangsaan, dan faktor lainnya. Ras dan etnis bisa dipertukarkan sebagai variabel yang digunakan untuk mengidentifikasi budaya. Menurut Johnson, Kuchibhatla, dan Tulsky (2008), etnisitas adalah pembuat kepercayaan budaya dan nilai-nilai yang dapat memengaruhi pengambilan keputusan di akhir kehidupan. Selanjutnya, Peneliti dan cendekiawan telah menyarankan bahwa pandangan dunia budaya pada kelompok orang tertentu menentukan bagaimana mereka memahami kehidupan dan kematian, dan pendekatan pengambilan keputusan akhir kehidupan (Braun et al., 2000; Parry & Ryan, 2000). Pengetahuan dan kesadaran akan nilai-nilai budaya, sikap, dan perilaku dapat membantu praktisi menghindari stereotip dan bias, sementara menciptakan interaksi positif dengan pasien yang mengarah pada hasil pasien yang lebih baik dibandingkan ketika penyedia kurang sadar budaya (Reith & Payne, 2009). Dalam kelompok budaya, kesehatan didefinisikan untuk para anggotanya. Metode adalah diresepkan untuk menjaga kesehatan, serta untuk menangani penyakit dan kematian (Lo, 2010; Parry & Ryan, 2000). Nilai-nilai bersama, tradisi, norma, adat, pengalaman hidup, dan peran institusi (yaitu, keluarga, agama, perkawinan) dari sekelompok orang menentukan bagaimana seseorang akan berinteraksi dengan penyedia layanan (Braun et al., 2000) dan apakah seseorang akan memilih untuk melakukan kontrol dan otonomi dalam proses perawatan akhir kehidupan (Volker, 2005). Penelitian sebelumnya telah menyarankan bahwa perbedaan dalam nilai, keyakinan (Ludke & Smucker, 2007; Bullock et al., 2005; Burr, 1995; Reese, Ahern, Nair, O'Faire, & Warren, 1999), dan perilaku terikat budaya — termasuk pola komunikasi (Shrank et al., 2005) —pengaruh pengambilan keputusan akhir kehidupan. Nilai-nilai pasien dan keyakinan tentang, dan interpretasi dari apa yang diceritakan oleh seorang anggota tim perawatan, dan harapan perawatan mereka mungkin berbeda dari mereka penyedia perawatan. Kompetensi Budaya sebagai Standar Perawatan Praktek kompetensi budaya telah diterima secara luas dalam pekerjaan sosial sebagai a standar yang mengurangi kesenjangan dalam kualitas layanan yang 11

disampaikan ke etnis kelompok minoritas. NASW (2007) Standar untuk Kompetensi Budaya termasuk pedoman yang membahas beberapa bidang utama praktik kerja sosial— termasuk etika dan nilai-nilai, kesadaran diri, pengetahuan lintas budaya, keterampilan lintas budaya, pemberian layanan, pemberdayaan dan advokasi, keanekaragaman tenaga kerja, pendidikan profesional, keanekaragaman bahasa, dan kepemimpinan lintas budaya. Namun, pedoman tidak cukup tanpa pemahaman yang lebih jelas tentang apa yang penting bagi pasien dan keluarga mereka. Studi ras dan perbedaan etnis dalam preferensi perawatan akhir hidup (Caralis, Davis, Wright, & Marcial, 1993; Tulsky, Cassileth, & Bennett, 1997; Blackhall et al., 1999) telah digunakan untuk membuat kesimpulan terhadap perbedaan budaya pengambilan keputusan perawatan akhir hidup. Sebagai contoh, praktisi sangat menyadari bahwa banyak pasien, terlepas dari apa pun latar belakang budaya, melibatkan keluarga ketika mereka menerima paliatif dan perawatan akhir kehidupan (Kehl, Kirchhoff, Kramer, & Hovland-Scafe, 2009; Hudson, Remedios, & Thomas, 2010; Kovacs, Bellin, & Fauri, 2006; Kramer, Boelk, & Auer, 2006; Townsend, Ishler, Shapiro, Pitorak, & Matthews, 2010). Namun, ketika bekerja dengan pasien ras dan etnis minoritas, yang cenderung untuk lebih mengandalkan dukungan informal daripada dukungan formal, keluarga mungkin seorang aspek yang lebih besar dari rencana perawatan. Bagi para praktisi, yang beroperasi pada a Model perawatan medis berbasis Barat, ini mungkin menjadi sumber pertengkaran. Terlebih lagi, bagi praktisi tampaknya tujuan perawatan kurang diarahkan pada pasien daripada pada anggota keluarga. Penelitian difokuskan pada etnis dan variasi rasial dalam dokumen keputusan akhir kehidupan yang berpotensi menjadi area konflik (Bright-Long, 2010; Stein, Sherman, & Bullock, 2009; Torke, Quest, Kinlaw, Eley, & Branch, 2004). Ketika konflik antara sistem nilai penyedia layanan kesehatan dan pasien muncul (Lo, 2010), kegagalan untuk berurusan dengan mereka dengan benar dapat mengakibatkan perawatan yang tidak memadai (Fins, 2006) atau tidak ada perawatan.

12

Dukungan keluarga telah menjadi tema yang konsisten dalam penelitian perawatan akhir kehidupan berfokus pada etnis minoritas. Afrika Amerika cenderung melihat anggota keluarga pertama dalam keputusan akhir kehidupan mereka (Klessing, 1992; Tinggi, 1994; Hauser, Kleefield, Brennen, & Fishchbach, 1997; Bullock, 2004) daripada konsultasi dengan staf medis. Selanjutnya, ketidakpercayaan penyedia formal memimpin mereka untuk memilih perawatan yang lebih agresif dan invasif daripada perawatan paliatif (Lahir, Greiner, Sylvia, Butler, & Ahluwalia, 2004; Caralis et al., 1993; Crawley et al., 2002). Menurut Volker (2005), antara Hispanik dan Afrika-Amerika individu, pentingnya menggunakan keluarga untuk menyuarakan keinginan pasien adalah dipandang lebih relevan secara budaya daripada melengkapi arahan tertulis. Bahkan, orang yang lebih menghargai hubungan keluarga mungkin lebih suka untuk mengidentifikasi anggota keluarga atau teman tepercaya untuk membuat keputusan akhir kehidupan atas nama mereka daripada membuat keputusan sendiri. Eksplorasi sistematis dari faktor-faktor ini penting karena mengidentifikasi pengaruh keputusan akhir kehidupan di antara kelompok-kelompok minoritas menambah tubuh pengetahuan saat ini tersedia untuk mempromosikan kompetensi budaya di antara praktisi, yang dapat meningkatkan perawatan pasien dan keluarga menerima. Selanjutnya, kesadaran dan keterampilan budaya dapat ditingkatkan ketika pengetahuan diperluas. Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Penyelesaian Arahan Lanjutan Diantara Penelitian Lebih Tua Afrika Amerika (FICA), disajikan di sini, dirancang untuk mengeksplorasi nilai-nilai, norma, sikap, dan perilaku seputar keputusan akhir perawatan untuk tujuan meningkatkan pengetahuan dan kesadaran akan keputusan akhir kehidupan orang Afrika-Amerika. Penilaian budaya Mengembangkan

kompetensi

budaya

mensyaratkan

bahwa

perawat

mendengarkan dengan cermat dan mengumpulkan informasi budaya. Latar belakang pasien dapat memberikan petunjuk tentang keyakinan seseorang; Namun, ini hanya asumsi kecuali divalidasi dengan menanyakan pasien tentang keyakinan, kebutuhan, harapan, dan keinginan mereka. Pengetahuan tentang kelompok budaya seseorang 13

harus berfungsi hanya sebagai titik awal atau pedoman dalam menilai keyakinan dan perilaku individu (Kagawa-Singer, 1998; Lipson, Dibble, & Minarik, 1996). Dalam melakukan penilaian budaya, ada beberapa bidang yang harus ditangani: 1. Identifikasi tempat kelahiran pasien. 2. Tanyakan kepada pasien tentang pengalaman imigrasi mereka. 3. Tentukan tingkat identitas etnisnya. 4. Mengevaluasi tingkat akulturasi yang dibuktikan dengan penggunaannya atas Bahasa Inggris, lamanya waktu di Amerika Serikat, dan adaptasinya. 5. Tentukan struktur keluarganya. 6. Identifikasi penggunaan jaringan informal dan sumber dukungan dalam masyarakat. 7. Identifikasi siapa yang mengambil keputusan, seperti pasien individu, keluarga, atau unit sosial lainnya. 8. Menilai bahasa primer dan sekundernya. 9. Tentukan pola komunikasi verbal dan nonverbal orang tersebut 10. Pertimbangkan masalah gender dan kekuasaan dalam hubungan. 11. Mengevaluasi rasa harga diri pasien. 12. Identifikasi pengaruh agama atau kerohanian pada harapan dan perilaku pasien dan keluarga. 13. Pastikan persepsi pasien tentang diskriminasi atau rasisme. 14. Identifikasi tradisi memasak dan makan dan arti makanan. 15. Tentukan tingkat pendidikan dan status sosial ekonomi pasien. 16. Menilai sikap, kepercayaan, dan praktik yang terkait dengan kesehatan, penyakit, penderitaan, dan kematian. 17. Tentukan preferensi pasien dan keluarga mengenai lokasi kematian. 18. Diskusikan harapan tentang perawatan kesehatan. 19. Tentukan tingkat fatalisme atau aktivisme dalam menerima atau mengendalikan perawatan dan kematian. 20. Mengevaluasi pengetahuan dan kepercayaan pasien mengenai sistem perawatan kesehatan. 21. Menilai nilai dan penggunaan terapi komplementer. 14

22. Diskusikan bagaimana harapan dipertahankan (American Medical Student Association, 2001; ELNEC, 2013; Ersek et al., 1998) Kebudayaan perilaku kesehatan yang terdapat dimasyarakat beragam dan sudah melekat dalam kehidupan bermasyarakat. Kebudayaan tersebut seringkali berupa kepercayaan gaib. Sehingga usaha yang harus dilakukan untuk mengubah kebudayaan tersebut adalah dengan mempelajari kebudayaan mereka dan menciptakan kebudayaan yang inovatif sesuai dengan norma, berpola, dan benda hasil karya manusia.

2.3. Tahapan Penerimaan Pasien Paliatif Respons psikologis yang dialami seseorang karena kehilangan oleh Kubler-Ross (1969) dikemukakan dalam teori yang disebut “The Five Stages of Grief”, teori ini membagi

respons

marah (anger),

psikologis

dalam lima tahap,

tawar-menawar (bargaining),

yaitu

penyangkalan

depresi

(denial),

(depression) dan

penerimaan (acceptance). Kelima tahap respons psikologis ini sering diidentikkan dengan lima tahap model duka cita yang disebabkan oleh proses kematian. Namun akhirnya berkembang tidak hanya sebatas itu, lima tahap respons psikologis ini juga bisa digunakan untuk mengidentifikasi individu pasca pemutusan hubungan kerja, adanya bencana sehingga terpaksa harus mengungsi, kehilangan anggota tubuh, hukuman, kebangkrutan, korban kejahatan atau kriminal dan keputusasaan. Sehingga teori ini berkembang lebih luas dan dapat digunakan untuk memahami reaksi pasca kejadian traumatik yang dialami oleh seseorang.

2.4. Peran Perawat Paliatif Peran perawat di perawatan paliatif perawat memiliki peranan penting dalam memberikan dukungan bagi penderita kanker dalam mengatasi gejala yang di alami (Mackenzie & Mac Callam, 2009). Menurut Matzo & Sherman (2014) peran perawat

15

dalam perawatan paliatif meliputi sebagai praktik di klinik, pendidik, peneliti, bekerjasama (Collaborator), penasihat. Perawat sebagai salah satu petugas praktik di klinik memiliki kemampuan untuk memahami dan mengevaluasi nyeri beserta keluhan dari nyeri yang dialami pasien. Perawat dapat berkolaborasi dengan tim kesehatan lainnya dalam mengembangkan dan menerapkan perencanaan perawatan yang komprehensif.

Perawat mengidentifikasi

pendekatan baru dalam mengatasi nyeri dan dikembangkan sesuai dengan standar rumah sakit sehingga dapat dipraktekkan sesuai denga aturan di rumah sakit. Perawat sebagai pendidik memfasilitasi filosofi yang kompleks, etik dan diskusi tentang penatalaksanaan di klinik sehingga semua tim dapat mencapai hasil yang positif. Perawat memperlihatkan dasar keilmuannya yang meliputi : mengatasi nyeri neuropatik, berperan mengatasi konflik profesi, mencegah dukacita dan resiko kehilangan. Perawat pendidik dengan tim lainnya, seperti komite dan ahli farmasi, berdasarkan pedoman dan tim perawatan paliatif, maka memberikan perawatan yang berbeda dan khusus dalam menggunaan obat-obatan intravena untuk mengatasi nyeri neuropatik yang tidak mudah di atasi. Perawat sebagai peneliti menghasilkan ilmu pengetahuan baru melalui pertanyaanpertanyaan penelitian dan memulai pendekatan baru yang ditujukan pada pertanyaanpertanyaan. Perawat dapat meneliti dan terintegrasi pada penelitian perawatan paliatif. Perawat sebagai salah satu tim pelayanan kesehatan akan bekerjasama (Collaborator) melakukan pengkajian dalam mengkaji bio-psiko-sosial-spiritual serta penatalaksananya. Perawat membangun dan mempertahankan kolaborasi dengan tim perawatan paliatif. Perawat memfasilitasi dalam mengembangkan anggota dalam pelayanan, perawat bekerjasama dengan tim perawatan paliatif dalam rangka mempersiapkan pelayanan dengan hasil yang terbaik. Perawat sebagai penasihat (concultant) akan bekerjasama dan berdiskusi dengan dokter, tim perawatan paliatif dan komite untuk menentukan strategi pengobatan yang tepat untuk menetukan tindakan dan memenuhi kebutuhan pasien dan keluarga.

16

BAB III ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Kasus Nyonya A usia 55 tahun asal Surabaya masuk ke Rumah Sakit tanggal 5 februari 2019 akibat mengalami penyakit Ca. Colon. Klien datang ke RSUD Pringsewu diantar oleh keluarganya melalui IGD, pada tanggal 5 februari 2019, dengan keluhan nyeri pada abdomen, kram perut, pola defekasi bermasalah, sering sembelit, feses berwarna kehitaman dan kadang disertai darah merah segar, tidak nafsu makan, penurunan berat badan, dan cepat letih. Kesadaran klien composmentis, Vital Sign TD 110/90 mmHg, Nadi 70x/menit, irama reguler kekuatan sedang, Respirasi 20x/menit, irama regular, Suhu 36,50 C. Pekerjaan Ny. A yaitu seorang PNS dan waktu luangnya diisi dengan beristirahat di rumah dan berkumpul bersama keluarga. Klien jarang berolahraga. Saat sakit, klien hanya bisa berbaring di tempat tidur, aktifitas terbatas, dan klien dibantu oleh keluarganya. Sebelum sakit lama tidur klien 7-8 jam/hari, hanya dipergunakan untuk tidur malam karena klien jarang sekali tidur siang dan tidak ada gangguan dalam tidur. Saat sakit lama tidur klien hanya 5 jam dengan tidur siang selama 1 jam. Klien kadangkadang kesulitan tidur di rumah sakit karena nyeri yang dialami klien, klien tampak lemah. Klien merasakan nyeri pada perutnya dalam 2 bulan belakangan ini. Nyeri akan lebih terasa menyakitkan jika beraktifitas dan saat defekasi, dan akan berkurang saat klien beristirahat. Region nyeri yaitu pada abdomen bagian bawah (dessendens bawah). Skala nyeri klien 8, raut muka klien tampak menahan nyeri. Sebelum sakit, frekuensi makan Ny. A tidak teratur dikarenakan kesibukan jam kerja yang mengakibatkan sering telat makan. Berat badan klien 68 kg. Berat badan dalam 1 bulan terakhir turun drastis menjadi 63 kg. Jenis makanan yang paling sering dikonsumsi klien yaitu daging hewan dan makanan cepat saji (sate & gulai). Klien tidak suka sayuran, dan tidak memiliki pantangan terhadap makanan apapun. Klien tidak pernah mengalami operasi gastrointestinal. Saat sakit, klien hanya mengkonsumsi nasi lembek, sayuran hijau, buah tapi jarang habis karena klien mual, tidak nafsu makan, & klien tidak makan yang pedas & berminyak. Sebelum sakit frekuensi minum klien 7-8 gelas/hari. Saat sakit, frekuensi 17

minum klien + 2-3 gelas/hari. Turgor kulit tidak elastis. Klien tidak mengalami sesak, tidak ada keluhan saat bernafas, irama teratur, klien tidak batuk, klien tidak merokok, klien tidak terpasang oksigen. Frekuensi BAB klien sebelum sakit 1x sehari di pagi hari. Feses berwani kuning, konsistensi padat, berbau khas, warna kuning kecoklatan, dan tidak ada keluhan. Saat sakit, klien kesulitan BAB, mengalami sembelit, feses berwarna kehitaman, konsistensi keras, kadang disertai darah merah segar, berbau anyir. Frekuensi BAK klien 2x sehari. Klien tidak mengalami perubahan pola berkemih. Klien tidak menggunakan kateter. Klien tidak memiliki gangguan dan riwayat penyakit yang menyangkut sensori, persepsi, dan kognitif.

3.2 Pengkajian 1. Biodata Nama

: Ny. A

No RM

: 123.456.xx

Usia

: 55 tahun

Jenis kelamin

: perempuan

Alamat

: surabaya

Tanggal masuk

: 5 Februari 2019

Diagnosa medis

: Ca. Colon

Pekerjaan

: PNS

Status

: menikah

Agama

: islam

Pendidikan

: sarjana

2. Keluhan utama Nyeri pada bagian perut selama 3 bulan, semakin lama semakin nyeri. 3. Riwayat penyakit

:

a. Riwayat penyakit sekarang Nyeri pada abdomen, kram perut, pola defekasi bermasalah, sering sembelit, feses berwarna kehitaman dan kadang disertai darah merah segar, tidak nafsu makan, penurunan berat badan, dan cepat letih. 18

b. Riwayat penyakit dahulu Klien tidak memiliki riwayat penyakit sebelumnya. c. Riwayat penyakit keluarga Klien mengatakan tidak ada keluarga yang memiliki riwayat penyakit serupa. 4. Pemeriksaan fisik Head to Toe a. Keadaan umum Kesadaran : composmentes TD

: 110/90 mmHg

Nadi

: 70x/menit (irama reguler kekuatan sedang)

Respirasi : 20x/menit (rama regular) : 36,50 C

Suhu b. Kepala

Kulit kepala normal, tidak ada hematoma, lesi atau kotor. Rambut mudah patah saat dicabut, hitam tanpa uban, dan bersih. o Mata : mata klien secara umum normal, bentuk simetris, konjungtiva tampak anemis, sklera tidak ikterik, pupil dapat merespon terhadap cahaya, palpebra normal, tidak ada oedema. Lensa mata normal, jernih, visus mata kanan dan kiri normal. o Hidung : Hidung klien simetris, tidak ada septum deviasi, polip, epistaksis, gangguan indera pencium, atau secret. o Mulut : Mulut klien normal. o Telinga : telinga klien simetris, bersih, dan tidak ada gangguan pendengaran. o Leher : leher klien normal, tidak ada pembesaran thyroid, tidak ada kaku kuduk, tidak ada hematoma, tida ada lesi. Tenggorokan klien normal, tidak ada nyeri tekan, tidak hipremis, dan tidak ada pembesaran tonsil. c. Dada Bentuk dada normal. Irama jantung normal S1 S2 tunggal. d. Abdomen Bentuk aga cembung, adanya nyeri tekan pada bagian bawah. e. Genetalia Normal dan bersih. 19

f. Rectum Normal, tidak ada hemoroid, tidak ada prolaps, dan tidak ada tumor. g. Ekstremitas Normal, Tidak ada gangguan. 5. Aktifitas dan latihan Pekerjaan Ny. A yaitu seorang PNS dan waktu luangnya diisi dengan beristirahat di rumah dan berkumpul bersama keluarga. Klien jarang berolahraga. Saat sakit, klien hanya bisa berbaring di tempat tidur, aktifitas terbatas, dan klien dibantu oleh keluarganya 6. Istirahat dan tidur Sebelum sakit lama tidur klien 7-8 jam/hari, hanya dipergunakan untuk tidur malam karena klien jarang sekali tidur siang dan tidak ada gangguan dalam tidur. Saat sakit lama tidur klien hanya 5 jam dengan tidur siang selama 1 jam. Klien kadang-kadang kesulitan tidur di rumah sakit karena nyeri yang dialami klien, klien tampak lemah. 7. Kenyamanan dan nyeri Klien kadang-kadang kesulitan tidur di rumah sakit karena nyeri yang dialami klien, klien tampak lemah. Klien merasakan nyeri pada perutnya dalam 2 bulan belakangan ini. Nyeri akan lebih terasa menyakitkan jika beraktifitas dan saat defekasi, dan akan berkurang saat klien beristirahat. Region nyeri yaitu pada abdomen bagian bawah (dessendens bawah). Skala nyeri klien 8, raut muka klien tampak menahan nyeri. 8. Nutrisi Berat badan klien 68 kg. Berat badan dalam 1 bulan terakhir turun drastis menjadi 63 kg. Jenis makanan yang paling sering dikonsumsi klien yaitu daging hewan dan makanan cepat saji (sate & gulai). Klien tidak suka sayuran, dan tidak memiliki pantangan terhadap makanan apapun. Klien tidak pernah mengalami operasi gastrointestinal. Saat sakit, klien hanya mengkonsumsi nasi lembek, sayuran hijau, buah tapi jarang habis karena klien mual, tidak nafsu makan, & klien tidak makan yang pedas & berminyak. 9. Cairan Sebelum sakit frekuensi minum klien 7-8 gelas/hari. Saat sakit, frekuensi minum klien + 2-3 gelas/hari. Turgor kulit tidak elastis.

20

10. Oksigen Klien tidak mengalami sesak, tidak ada keluhan saat bernafas, irama teratur, klien tidak batuk, klien tidak merokok, klien tidak terpasang oksigen. 11. Eliminasi urin Frekuensi BAK klien 2x sehari. Klien tidak mengalami perubahan pola berkemih. Klien tidak menggunakan kateter. 12. Eliminasi fekal Feses berwani kuning, konsistensi padat, berbau khas, warna kuning kecoklatan, dan tidak ada keluhan. Saat sakit, klien kesulitan BAB, mengalami sembelit, feses berwarna kehitaman, konsistensi keras, kadang disertai darah merah segar, berbau anyir. 13. Sensori, persepsi, dan kognitif Klien tidak memiliki gangguan dan riwayat penyakit yang menyangkut sensori, persepsi, dan kognitif. 14. Pemeriksaan penunjang c

Hasil

Nilai Normal

Interpretasi

Hb

10

12-18 g/dL

Turun

Ht/PVC

42

40-52%

Normal

Leukosit

7.000

4.000-10.000 /uL

Normal

Trombosit

253.000

150.000-450.000 /uL

Normal

Masa

13.0

11.0-17.0 detik

Normal

protrombin

15. Psikologis Perasaan klien setelah mengalami masalah ini adalah gelisah. Cara mengatasi gelisahnya klien dihibur keluarga. Dukungan yang diberikan oleh keluarga sangat baik, keluarga memberikan semangat kepada klien agar klien selalu berdo’a supaya cepat sembuh. Klien juga mengatakan sedikit cemas dengan penyakitnya. Klien takut akan perubahan status kesehatannya. 21

16. Sosial Aktivitas atau peran di masyarakat adalah sebagai anggota RT 5 Kalirejo. Kebiasaan lingkungan yang tidak disukai adalah lingkungan yang kotor. Cara mengatasinya dengan melakukan kegiatan kerja bakti. 17. Budaya Budaya yang diikuti klien adalah budaya jawa. Kebudayaan yang dianut tidak merugikan kesehatannya. 18. Spiritual Aktivitas ibadah sehari-hari sholat 5 waktu. Kegiatan keagamaan yang biasa dilakukan adalah yasinan. Keyakinan klien tentang masalah kesehatan yang sekarang sedang dialami : klien yakin akan dirinya pasti sembuh.

3.3 Analisa Data Data DS : -

Klien

akan

kesehatannya Klien merasa

Masalah

Kanker kolon

Ansietas

mengatakan

cemas

-

Etiologic

Minimnya pendidikan kesehatan

mengatakan takut

akan

Gelisah

kondisi kesehatnnya Ansietas

DO : -

Klien tampak gelisah

-

Klien sulit tidur

-

Klien

sering

bertanya

mengenai kondisinya

22

DS : Klien

Insomnia mengatakan

susah

Kanker kolon

tidur saat di rumah sakit Obstruksi kolon DO :

Kompresi jaringan

Durasi tidur malam 3 jam Reseptor nyeri

dan tidur siang 1 jam

Nyeri

Susah tidur DS :

Kanker kolon

Klien mengatakan merasa tertekan karena kondisinya Klien

mengatakan

ingin

Kesiapan Meningkatkan Koping

Respon psikologis Takut dan gelisah

merasa lebih tenang Stress DO : -

3.4 Diagnosa Keperawatan 1. Ansietas berhubungan dengan ancaman kematian 2. Insomnia berhubungan dengan ketidaknyamanan fisik 3. Kesiapan meningkatkan koping

3.5 Intervensi Keperawatan Dx: Ansietas berhubungan dengan ancaman kematian (00146, Domain 9, Kelas 2) Definisi: Perasaan tidak nyaman atau kekhawatiran yang samar disertai respons autonom (sumber sering kali tidak spesifik atau tidak diketahui oleh individu),

23

perasaan takut yang disebabkan oleh antisipasi terhadap bahaya. Hal ini merupakan isyarat kewaspadaan yang memperingatkan individu akan adanya bahaya dan memampukan individu untuk bertindak menghadapi ancaman. NOC Setelah asuhan

NIC

diberikan Pengurangan Kecemasan keperawatan (5820)

selam 1 x 24 jam diharapkan klien tidak mengalami kecemasan, dengan kriteria hasil : Tingkat

Rasional

(5820)

- Mendengarkan penyebab

Pengurangan Kecemasan

-

kecemasan

Keluarga

dapat

mengungkapkan

klien dengan penuh

penyebab

perhatian

kecemasannya

Kecemasan

sehingga perawat dapat

(1211)

menentukan

tingkat

kecemasan klien dan - Kecemasan

pada

menentukan intervensi

keluarga berkurang

untuk

(5)

klien

selanjutnya. -

Mengobservasi

tanda

verbal dan non verbal dari

kecemasan

keluarga

dapat

mengetahui

tingkat

kecemasan

yang

keluarga alami. - Observasi tanda verbal Teknik

Menenagkan

dan non verbal dari (5880) kecemasan keluarga. -

Dukungan dapat

keluarga memperkuat

mekanisme

koping 24

klien sehingga tingkat ansietasnya berkurang -

Pengurangan

atau

penghilangan rangsang penyebab Teknik

Menenangkan

(5880)

dapat

kecemasan

meningkatkan

ketenangan keluarga

- Menganjurkan keluarga untuk tetap mendampingi klien

- Mengurangi

mengurangi

pada dan tingkat

kecemasannya

atau

menghilangkan rangsangan

yang

menyebabkan kecemasan

pada

keluarga klien Dx: Insomnia berhubungan dengan ketidaknyamanan fisik (00095, Domain 4, Kelas 1) Definisi: Gangguan pada kuantitas dan kualitas tidur yang menghambat fungsi. NOC Setelah asuhan

NIC

Rasional

diberikan Peningkatan Tidur (1850) keperawatan

- Diskusikan

dengan

Peningkatan Tidur (1850) -

Teknik yang tepat

selam 2 x 24 jam

pasien dan keluarga

diharapkan

dapat

mengenai

mengoptimalkan

kuantitas

teknik

25

dan kualitas tidur klien

untuk meningkatkan

meningkat,

tidur

dengan

kriteria hasil :

- Kualitas tidur tidak terganggu (5)

-

- Bantu

Tidur (0004)

untuk

memulai tidur (5)

dapat

menghilangkan

membantu

untuk

situasi stres sebelum

memulai tidur lebih

tidur

awal -

Kenyamanan dapat

langkah kenyamanan

mengurangi sedikit

seperti

rasa

pijat,

dan

sentuhan afektif Teknik

sakit

yang

dirasakan klien

Menenangkan

(5880) -

Menghilangkan stres

- Terapkan langkah –

- Tidak ada kesulitan

tidur

Teknik Intruksikan

klien

untuk

Menenangkan

(5880) -

Perasaan

tenang

menggunakan

dapat

mengurangi

metode

stres

mengurangi

dirasakan klien

yang

kecemasan (teknik bernafas

dalam,

relaksasi

otot

progresif, mendengar musik lembut) Terapi Relaksasi (6040) -

Ciptakan lingkungan

yang

tenang dan tanpa distraksi

Terapi Relaksasi (6040)

dengan

lampu redup dan

-

Lingkungan

yang 26

suhu

-

lingkungan

nyaman

yang nyaman

memberikan

Gunakan relaksasi

perasaan tenang

sebagai

strategi

tambahan

dengan

obat-obatan atau

-

nyeri

-

sejalan

Evaluasi

laporan

individu

terkait

relaksasi

yang

dicapai

dapat

mengurangi nyeri Evaluasi

untuk

mengetahui

dengan terapi lain -

Relaksasi

efektifitas terapi

secara

teratur

Dx: Kesiapan meningkatkan koping (00158, Domain 9, Kelas 2) Definisi:

Suatu

pola

upaya

kognitif

dan

perilaku

untuk

mengatasi

tuntutan/permintaan yang adekuat untuk kesejahteraan dan dapat ditingkatkan NOC Setelah asuhan

NIC

diberikan Peningkatan

Rasional Koping Peningkatan

keperawatan (5230)

selam 2 x 24 jam diharapkan

koping

-

- Melaporkan pengurangan

memberi jaminan -

Koping (1302)

-

Pendekatan

tenang

memberi ketenangan -

Harapan yang realistis

Dukung sikap pasien

dapat

terkait harapan yang

keinginan pasien untuk

realistis sebagai

sembuh

upaya untuk stres

(5230)

yang tenang dan

klien membaik, dengan kriteria hasil :

Gunakan pendekatan

Koping

mengatasi perasaan

-

meningkatkan

Pasien kebiasaan

mempunyai spiritual

27

(5) - Melaporkan

-

ketidakberdayaan

yang

Dukung penggunaan

dimanfaatkan

sumber-sumber

kenyamanan

spiritual

yang

Mengenalkan pasien

memberikan motivasi

pada seseorang atau

dan semnagat baru

-

Melihat

harus

peningkatan

psikologis (5)

-

baik,

orang

lain

berhasil

kelompok yang telah berhasil mengalami pengalaman yang sama

Dukungan

Emosional

(5270) -

Rangkul atau sentuh pasien dengan penuh

-

dukungan

Dukungan

Dorong untuk bicara

(5270)

atau menangis

-

Emosional

Sentuhan untuk

sebagai cara untuk

membina hubungan

menurunkan respon

saling percaya

emosi

-

Komunikasi dua arah dapat meringankan beban psikologis

28

BAB IV PENUTUP

4.1 Kesimpulan Perawatan paliatif merupakan pendekatan yang memiliki tujuan meningkatkan kualitas hidup pasien yang terfokus pada pasien dan keluarga pasien dalam menghadapi penyakit yang sedang dialami. Pada perawatan paliatif ini, kematian tidak dianggap sebagai sesuatu yang harus dihindari, tetapi kematian merupakan suatu hal yang harus dihadapi sebagai bagian dari siklus kehidupan normal setiap yang bernyawa. Permasalahan yang sering muncul ataupun terjadi pada pasien dengan perawat paliatif meliputi masalah psikologis, social, konsep diri, dukungan keluarga dan aspek spiritual. Permasalahan yang sering digambarkan pasien yaitu kejadian-kejadian yang dapat mengancam diri sendiri, misalnya nyeri, masalah fisik, psikologi, social, kultural dan spiritual. Perawatan paliatifi ini bertujuan untuk membantu pasien yang sudah mendekati ajalnya, agar pasien aktif dan dapat bertahan hidup selama mungkin. Teori “The Five Stage of Grief” menyebutkan bahwa respon psikologis yang dialami seseorang karena kehilangan terbagi atas lima tahap, yaitu penyangkalan (denial), marah (anger),

tawar-menawar (bargaining),

depresi

(depression) dan

penerimaan (acceptance). Respons psikologi ini juga bias digunakan untuk memahami reaksi pasca kejadian traumatic yang dialami oleh seseorang. Dapat dikatakan pula bahwa teori ini berkembang sangat pesat. Dalam hal ini peran perawat paliatif memiliki peran penting dalam memberikan dukungan bagi penderita kanker dalam mengatasi gejala yang dialami. Sebagai salah satu petugas klinik tentu perawat dapat memahami dan mengevaluasi keluhan-keluhan pasien. Perawat dapat berkolaborasi dengan tim kesehatan lainnya, guna mengembangkan dan menerapkan perencanaan perawatan yang komprehensif.

29

4.2 Saran Sebagai tenaga profesional keperawatan khususnya asuhan keperawatan pada pasien paliatif dengan Ca Kolon, perawat perlu mengetahui konsep perawatan paliatif dan asuhan keperawatan yang akan dilakukan pada pasien paliatif. Kita sebagai mahasiswa keperawatan , yang nantinya akan menjadi tenaga kesehatan di rumah sakit juga seharusnya mempelajari dan mengembangkan pengetahuan asuhan keperawatan pasien paliatif.

30

DAFTAR PUSTAKA Ayu Purnamaningrum. 2010. F aktor-F aktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Masyarakat Untuk Mendapatkan Pelayanan Kesehatan Mata (Factors Related To The Community’s Behaviour To Get Eye Health Servic). Universitas Diponegoro. Boedhi, Darmojo, R. 2011 .Buku Ajar Geriatic (IlmuKesehatanLanjutUsia) edisike – 4.Jakarta :BalaiPenerbit FKUI Bullock, K. (2011). The influence of culture on end-of-life decision making. Journal of social work in end-of-life & palliative care, 7(1), 83-98. Dobríková, P., Macková, J., Pavelek, L., AlTurabi, L., Miller, A., & West, D. (2016). The effect of social and existential aspects during end of life care. Nursing and Palliative Care, 1(3), 47-51. Dochteran, J. M., & Bulechek, G. M. 2013. Nursing Interventions Classification (NIC). 6th ed. America: Mosby Elseiver Dwi Hapsari, dkk.2012. Pengaruh Lingkungan Sehat dan Perilaku Hidup Sehat Terhadap Status Kesehatan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Ekologi dan Status Kesehatan. Jakarta. Entjang, Indan. 2000. Ilmu Kesehatan Masyarakat. PT. Citra Aditya Bakti : Bandung. Herdman, T.H. & Kamitsuru, S. (2014). NANDA International Nursing Diagnoses: Definitions & Classification, 2015–2017. 10nd ed. Oxford: Wiley Blackwell. Lukman Hakim, dkk.. 2013. Faktor Sosial Budaya Dan Orientasi Masyarakat Dalam Berobat (Socio-Cultural Factors And Societal Orientation In The Treatment). Universitas Jember (UNEJ). Jember. Moorhead, S., Jhonson, M., Maas, M., & Swanson, L. (2013). Nursing Outcomes Classification (NOC). 5th ed. United states of America: Mosby Elseiver.

31

PERTANYAAN & JAWABAN

1. Bagaimana melakukan intervensi pada peningkatan tidur? (Novia) Jawab : Pada pasien kondisi terminal sering mengalami gangguan tidur yang diakibatkan dari proses penyakitnya. Beberapa intervensi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas tidur adalah dengan teknik relaksasi, modifikasi lingkungan pada kamar tidur pasien diatur senyaman mungkin, memutarkan lagu berirama tenang sebelum tidur dan memberikan teknik sentuhan maupun pijatan.

2. Bagaimana intervensi yang dilakukan oleh perawat kepada pasien yang berasal dari suku lain misalnya Batak tetapi dirawat di RS Surabaya? (Nurul) Jawab : sebagai seorang perawat kita harus peka terhadap kondisi pasien saat ini, perawat juga dapat menanyakan kebiasaan-kebiasaan apa saja yang dilakukan dirumah dan budaya daerah mana yang ditanamkan, maka dari itu kita sebagai perawat dapat melakukan intervensi sesuai dengan budaya dan keyakinan pasien.

3. Bagaimana peran perawat menghadapi stigma masyarakat di lingkungan sosial pada penyakit HIV-AIDs ? (Dwi Utari) Jawab : Sebagai perawat kita dapat melakukan peran sebagai edukator kepada masyarakat awam, bahwa penyakit HIV AIDs tidak dapat menular melalui sentuhan, berbicara dan berdekatan dengan pasien, maka kita dapat mengedukasi masyarakat untuk memperlakukan pasien HIV AIDS dengan sewajarny. Selalu menanamkan ke masyarakat, jauhi virusnya bukan orangnya.

32

Related Documents


More Documents from "Iqbal Kannibal"