Makalah Pengkajian Primer

  • Uploaded by: khalidharl
  • 0
  • 0
  • February 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Makalah Pengkajian Primer as PDF for free.

More details

  • Words: 4,104
  • Pages: 22
Loading documents preview...
MAKALAH SEMINAR KEGAWATDARURATAN PENGKAJIAN PRIMER DI KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

DISUSUN OLEH KELOMPOK 2 ( A 2014 1) 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15.

AGUSTONO ANISA WULANDARI DIAH PRATIWI WIDIASTUTI DIAN EKA LESTARI FAIZAH ISNA FARIHA MUHTI KURNIA SANDI NESHA NURDILLA PRATIWI NINGSIH RUVIDA ULFA SHINTA RAHMA NATA S. TIARA SUCI ISWANDHIE VICKY SETIARINI WINDY OKTAVIANA YOVIA RAHAYU

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN UNIVERSITAS RIAU 2017

KATA PENGANTAR Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT Yang Maha Kuasa atas hidayah dan rahmat-Nya Karena dengan pertolongan-Nya itu kami dapat menyelesaikan makalah berjudul “Pengkajian Primer” ini dengan baik dan tepat waktu. Dalam makalah ini kami menyadari makalah ini mempunyai banyak kekurangan baik dari segi penulisan, penyusunan, dan tata bahasanya. Oleh karena itu, kami mengucapkan mohon maaf atas segala kekurangan yang terdapat dalam makalah ini dan dengan sangat berharap kami meminta saran dan kritikan guna perbaikan dan kesempurnaan dan semoga makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi penyusun dan pembaca. Terima Kasih.

Pekanbaru, 04 November 2017 Penyusun

Kelompok 2

i

DAFTAR ISI KATA PENGANTAR……………………………………………………………………...i DAFTAR ISI………………………………………………………………………………….ii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang...............................................................................................................1 1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................................2 1.3 Tujuan ………...............................................................................................................2 BAB II PEMBAHASAN 2.1 Definisi Pengkajian Primer.......................................................................................3 2.2 Pengkajian Primer........................................................................................................4 2.3 Format Pengkajian Asuhan Keperawatan Pengkajian Primer....................................15 BAB III PENUTUP 3.1 KESIMPULAN............................................................................................................19 3.2 SARAN........................................................................................................................19 DAFTAR PUSTAKA............................................................................................................20

ii

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Fokus keperawatan gawat darurat ini pada pengembangan pengetahuan, skill dan perilaku dengan penerapan prinsip-prinsip dan konsep pemberian asuhan keperawatan klien yang mempunyai masalah aktual dan potensial yang mengancam kehidupan tanpa atau terjadinya secara mendadak atau tidak dapat diperkirakan dan tanpa disertai kondisi lingkungan yang tidak dapat dikendalikan, dilaksanakan, dikembangkan sedemikian rupa sehingga mampu mencegah kematian atau kecacatan yang mungkin terjadi. Asuhan keperawatan

secara

umum

meliputi:

pengkajian,

diagnosa,

perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Pengkajian pada kasus gawat darurat dibedakan menjadi dua, yaitu pengkajian primer dan pengkajian sekunder. Pertolongan kepada pasien gawat darurat dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan survei primer untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang mengancam hidup pasien, barulah selanjutnya dilakukan survei sekunder. Tahapan pengkajian primer meliputi A: Airway, mengecek jalan nafas dengan tujuan menjaga jalan nafas disertai kontrol servikal, B: Breathing, mengecek pernafasan dengan tujuan mengelola pernafasan agar oksigenasi adekuat, C: Circulation, mengecek sistem sirkulasi disertai kontrol perdarahan, D: Disability, mengecek status neurologis, E: Exposure, enviromental control, buka baju penderita tapi cegah hipotermia (Basoeki, 2008). Pengkajian

primer bertujuan mengetahui dengan segera kondisi yang

mengancam nyawa pasien. Pengkajian primer dilakukan secara sekuensial sesuai dengan prioritas. Tetapi dalam prakteknya dilakukan secara bersamaan dalam tempo waktu yang singkat (kurang dari 10 detik) difokuskan pada Airway Breathing Circulation (ABC). Karena kondisi kekurangan oksigen merupakan penyebab kematian yang cepat. Kondisi ini dapat diakibatkan karena masalah sistem pernafasan ataupun bersifat sekunder akibat dari gangguan sistem tubuh yang lain. Pasien dengan kekurangan oksigen dapat jatuh dengan cepat ke dalam kondisi gawat darurat sehingga memerlukan pertolongan segera. Apabila terjadi kekurangan oksigen 6-8 menit akan menyebabkan kerusakan otak permanen, lebih dari 10 menit akan menyebabkan kematian. Oleh karena itu pengkajian primer pada penderita gawat darurat penting dilakukan secara efektif dan efisien (Mancini, 2011). 1

1.2 Rumusan Masalah 1. Apa yang dimaksud dengan pengkajian primer? 2. Apa saja komponen-komponen dalam pengkajian primer? 3. Apa saja yang dilakukan pada saat pengkajian primer? 1.3 Tujuan a. Tujuan Umum Untuk mengetahui dan memahami lebih spesifik pengkajian primer pada pasien kegawatdaruratan b. Tujuan Khusus 1. Mahasiswa mampu memahami apa yang dimaksud dengan pengkajian primer. 2. Mahasiswa mampu mengetahui dan memahami komponen-komponen dalam pengkajian primer. 3. Mahasiswa mampu mengetahui apa-apa saja yang dilakukan pada saat pengkajian primer.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Defenisi Pengkajian Primer

2

Pengkajian adalah tahap awal dan dasar dalam proses keperawatan. Pengkajian merupakam tahap yang paling menentukan bagi tahap berikutnya. Kemampuan mengidentifikasi masalah keperawatan yang terjadi pada tahap ini akan menentukan diagnosis keperawatan, oleh karena itu pengkajian harus dilakukan dengan teliti dan cermat, ssehingga seluruh kebutuhan perawatan klien dapat diidentifikasi. Pengkajian primer merupakan tahap kedua dari enam tahapan manajemen perawatan trauma, yang bertujuan untuk mengetahui dengan segera kondisi yang mengancam nyawa pasien. Pengkajian primer dilakukan secara sekuensial sesuai dengan prioritas.

Tahapan pengkajian primer meliputi A: Airway, mengecek jalan

nafas dengan tujuan menjaga jalan nafas disertai kontrol servikal, B: Breathing, mengecek pernafasan dengan tujuan mengelola pernafasan agar oksigenasi adekuat, C: Circulation, mengecek sistem sirkulasi disertai kontrol perdarahan, D: Disability, mengecek status neurologis, E: Exposure, enviromental control, buka baju penderita tapi cegah hipotermia (Basoeki, 2008).

Primary survey menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian dan manajemen segera terhadap komplikasi akibat trauma parah yang mengancam kehidupan. Tujuan dari

Primary survey adalah untuk mengidentifikasi dan

memperbaiki dengan segera masalah yang mengancam kehidupan. Prioritas yang dilakukan pada primary survey antara lain (Fulde, 2009) : 3

-

Airway maintenance dengan cervical spine protection

-

Breathing dan oxygenation

-

Circulation dan kontrol perdarahan eksternal

-

Disability-pemeriksaan neurologis singkat

-

Exposure dengan kontrol lingkungan Sangat penting untuk ditekankan pada waktu melakukan primary survey

bahwa setiap langkah harus dilakukan dalam urutan yang benar dan langkah berikutnya hanya dilakukan jika langkah sebelumnya telah sepenuhnya dinilai dan berhasil. Setiap anggota tim dapat melaksanakan tugas sesuai urutan sebagai sebuah tim dan anggota yang telah dialokasikan peran tertentu seperti airway, circulation, dll, sehingga akan sepenuhnya menyadari mengenai pembagian waktu dalam keterlibatan mereka (American College of Surgeons, 1997). Primary survey perlu terus dilakukan berulang-ulang pada seluruh tahapan awal manajemen. Kunci untuk perawatan trauma yang baik adalah penilaian yang terarah, kemudian diikuti oleh pemberian intervensi yang tepat dan sesuai serta pengkajian ulang melalui pendekatan AIR (assessment, intervention, reassessment). 2.2 Pengkajian Primer Primary survey dilakukan melalui beberapa tahapan, antara lain (Gilbert., D’Souza., & Pletz, 2009) : 1.

General Impressions -

Memeriksa kondisi yang mengancam nyawa secara umum.

-

Menentukan keluhan utama atau mekanisme cedera

-

Menentukan status mental dan orientasi (waktu, tempat, orang)

2. Pengkajian Airway Patofisiologi Airway + C-Spine Control Pada penderita trauma kemampuan sistem respiratorik dalam menyediakan oksigen yang adekuat dan pelepasan karbondioksida akan terganggu kemungkinan karena : a. Hipoventilasi akibat hilangnya penggerak usaha bernafas, yang biasanya disebabkan oleh penurunan fungsi neurologis. 4

b. Hipoventilasi akibat adanya obstruksi aliran udara pada jalan nafas atas dan c. d. e. f.

bawah. Hipoventilasi akibat penurunan kemampuan paru untuk mengambang. Hipoksia akibat penurunan absorpsi oksigen melalui membran alveolar-kapiler. Hipoksia akibat penurunan aliran darah ke alveoli. Hipoksia akibat ketidakmampuan udara untuk mencapai alveolus, biasanya

karena terisi oleh air atau debris. g. Hipoksia pada tingkat seluler akibat penurunan aliran darah ke sel jaringan. Tiga komponen pertama diatas merupakan keadaan hipoventilasi akibat penurunan volume per menit. Jika tidak ditangani, maka hipoventilasi akan mengakibatkan penumpukan karbon dioksida, asidosis, metabolisme anaerobic, dan kemudian kerusakan sel, dan dapat berakhir dengan kematian. Pengelolaan yang harus diberikan meliputi usaha memperbaiki frekuensi dan kedalaman pernafasan penderita, yaitu dengan mengoreksi semua masalah yang ada pada jalan nafas dan pemberian bantuan nafas. Petugas harus antisipasi kemungkinan muntah pada semua penderita trauma. Adanya cairan gaster di orofaring menandakan kemungkinan aspirasi yang dapat terjadi secara mendadak. Trauma pada wajah merupakan keadaan lain yang memerlukan perhatian segera. Mekanisme perlukan biasanya adalah penumpang mobil yang tanpa sabuk pengaman dan kemudian terlempar ke kaca depan saat tubrukan. Trauma pada bagian tengah wajah (mid face) dapat menyebabkan fraktur dislokasi yang dapat mengganggu oro atau naso faring. Fraktur tulang wajah dapat menyebabkan perdarahan, sekresi yang meningkat serta ovulasi gigi yang menambah masalah pada jalan masalah. Fraktur ramus mandibula, terutama bilateral, dapat menyebabkan lidah jatuh ke belakang dan gangguan jalan nafas pada posisi terlentang. Penderita yang menolak untuk berbaring mungkin ada gangguan jalan nafas. Perlukaan daerah leher mungkin ada gangguan jalan nafas karena rusaknya laring atau trakea atau karena perdarahan dalam jaringan lunak yang menekan jalan nafas. Pada saat penilaian awal, ini untuk sementara menjamin adanya airway yang baik. Karena itu, tindakan paling utama adalah berusaha berbicara dengan penderita. Jawaban yang adekuat menjamin airway yang baik, pernafasan yang baik serta perfusi ke otak yang baik. Gangguan dalam menjawab pertanyaan menunjukkan gangguan kesadaran, gangguan pada pernafasan. Tindakan pertama kali yang harus dilakukan adalah memeriksa responsivitas pasien dengan mengajak pasien berbicara untuk memastikan ada 5

atau tidaknya sumbatan jalan nafas. Seorang pasien yang dapat berbicara dengan jelas maka jalan nafas pasien terbuka (Thygerson, 2011). Pasien yang tidak sadar mungkin memerlukan

bantuan airway dan ventilasi. Tulang

belakang leher harus dilindungi selama intubasi endotrakeal jika dicurigai terjadi cedera pada kepala, leher atau dada. Obstruksi jalan nafas paling sering disebabkan oleh obstruksi lidah pada kondisi pasien tidak sadar (Wilkinson & Skinner, 2000). Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian airway pada pasien antara lain : a.

Kaji kepatenan jalan nafas pasien. Apakah pasien dapat berbicara atau bernafas dengan bebas?

b.

Tanda-tanda terjadinya obstruksi jalan nafas pada pasien antara lain:  Adanya snoring atau gurgling  Stridor atau suara napas tidak normal  Agitasi (hipoksia)  Penggunaan otot bantu pernafasan / paradoxical chest movements  Sianosis

c. Look Lihat

apakah

penderita

kesadaran

berubah.

Bila

penderita

gelisah,

kemungkinan paling besar adalah hipoksia. Pada trauma kapitis maka penderita gelisah disebabkan : a) Hipoksia. b) Buli-buli penuh c) Nyeri dari tempat lain (fraktur dsb). d) Trauma kapitisnya sendiri Sianosis dapat dilihat pada buku dan sekitar mulut. Perhatikan adanya penggunaan otot pernafasan tambahan. d. Listen Pernafasan yang berbunyi adalah pernafasan yang ter-obstruksi : a) Mengorok (snoring) : lidah jatuh ke belakang. b) Bunyi cairan (gurgling) : darah atau cairan. c) Stridor/crowing disebabkan obstruksi parsial faring atau laring. e. Feel Rasakan pergerakan udara ekspirasi, dan tentukan apakah trakea terletak di garis

tengah.

6

f. Jika terjadi obstruksi jalan nafas, maka pastikan jalan nafas pasien terbuka g. Lindungi tulang belakang dari gerakan yang tidak perlu pada pasien yang beresiko untuk mengalami cedera tulang belakang. h. Gunakan berbagai alat bantu untuk mempatenkan jalan nafas pasien sesuai indikasi:  Chin lift Cara : memakai jari-jari dua tangan yang diletakkan dibawah mandibula untuk kemudian mendorong dagu anterior. Ibu jari tangan yang sama sedikit menekan bibir bawah untuk menekan mulut. Bila diperlukan ibu jari dapat diletakkan dalam mulut di belakang gigi seri untuk mengangkat dagu. Tindakan chin lift ini tidak boleh mengakibatkan hiperekstensi leher. Tindakan chin lift ini bermanfaat pada penderita trauma karena tidak mengakibatkan kelumpuhan bila ada fraktur servikal.  Jaw thrust Cara : tindakan ini dilakukan memakai dua tangan masing-masing satu tangan di belakang angulus mandibula dan menarik rahang ke depan. Bila tindakan ini dilakukan memakai face-mask akan dicapai penutupan -

sempurna dari mulut sehingga dapat dilakukan ventilasi yang baik. Head tilt Cara : letakkan 1 telapak tangan di dahi pasien dan tekan ke bawah, sehingga kepala menjadi tengadah dan penyangga lidah tegang akhirnya

-

lidah terangkat ke depan. Orofaringeal airway (guedel/mayo tube) Orofaringeal airway dimasukkan ke dalam mulut dan diletakkan di belakang lidah. Cara terbaik adalah dengan menekan lidah memakai tong spatel dan masukkan alat ke arah posterior. Alat tidak boleh mendorong lidah ke belakang dan malah menyumbat faring. Alat ini tidak boleh dipakai pada penderita sadar karena akan menyebabkan muntah dan kemudian aspirasi. Cara lain adalah dengan memasukkan alat secara terbaik sampai menyentuh palatum mole, lalu diputar 180 derajat dan diletakkan di belakang lidah. 7

Teknik ini tidak boleh dipakai pada anak kecil karena mungkin mematahkan -

gigi. Nasofaringeal airway Alat ini dimasukkan salah satu lubang hidung lalu secara perlahan dimasukkan sehingga ujungnya terletak di faring. Alat ini lebih baik dari pada orofaringeal airway pada penderita sadar karena tidak akan menyebabkan muntah dan lebih ditolerir penderita. Alat ini harus dilunasi dengan baik dan dimasukkan ke dalam lubang hidung yang tampak tidak tersumbat. Bila pada saat pemasangan ditemukan hambatan, berhenti dan pindah ke lubang hidung yang lain. Bila ujung alat ini tampak di orofaring, mungkin akan dapat dipasang Nasogastric Tube (NGT) pada penderita dengan fraktur tulang wajah.

-

Jalan nafas definitif Jalan nafas definitif adalah suatu pipa dalam trachea dengan balon yang berkembang dan biasanya memerlukan suatu bentuk ventilasi bantuan dengan juga memakai oksigen. Ada tiga jenis airway definitif yakni nasotracheal,

orotracheal

atau

surgical

(Crico-Throidomi

atau

Tracheostomy). Indikasi untuk pemasangan jalan nafas definitif adalah : a) Apnue. b) Kegagalan menjaga jalan nafas dengan cara lain. c) Proteksi jalan nafas terhadap aspirasi darah atau muntahan. d) Kemungkinan terganggunya jalan nafas karena perlukaannya sendiri seperti luka bakar inhalasi, fraktur tulang atau kejang-kejang. e) Trauma kapitis yang memerlukan hiperventilasi. f) Kegagalan memberikan cukup oksigen melalui face-mask. Urgensi dan keadaan saat itu menentukan pilihan airway. Ventilasi assisted dapat dibantu sedasi, analgesia atau muscle relaxant. Pemakaian pulse oxymeter dapat membantu dalam menentukan indikasi jalan nafas definitif yang tersering dipakai adalah nasotracheal dan orotracheal. Kemungkinan -

adanya fraktur servikal merupakan perhatian utama. Intubasi orotracheal Pada setiap penderita tidak sadar dengan trauma kapitis tentukanlah perlunya intubasi. Bila penderita dalam keadaan apnue, intubasi dilakukan oleh dua orang, dengan satu petugas melakukan imobilisasi segaris. Setelah pemasangan orotracheal tube, balon dikembangkan dan dimulai ventilasi 8

assisted. Penempatan ETT yang tepat dapat diperiksa dengan auskultasi kedua paru. Bila terdengar bunyi pernafasan ETT sudah benar. Terdengarnya suara dalam daerah lambung terutama pada inspirasi, memperkuat dengan bahwa ETT terpasang dalam esofagus dan menuntut intubasi.

-

Intubasi nasotracheal Intubasi nasotracheal bermanfaat pada fraktur servikal, catatan: disini dimaksudkan “blind naso-tracheal intubations” apnue adalah kontra indikasi yang lain adalah fraktur tulang wajah yang berat atau fraktur basis cranii anterior. Perhatikan akan adanya fraktur servikal adalah sama seperti pada intubasi orotracheal. Pemilihan jenis intubasi terutama tergantung pada pengalaman dokter. Kedua cara di atas aman bila dilaksanakan dengan benar. Penutupan kartilago krikoid oleh seorang asisten bermanfaat untuk mencegah terjadinya aspirasi dan visualisasi jalan nafas yang lebih jelas (disebut sebagai Sellick Maneuver). Malposisi ETT harus dipertimbangkan pada semua penderita yang datang dengan sudah terpasang ETT. Malposisi dapat dengan ETT terdorong lebih jauh masuk ke bronkus, atau tercabut selama transportasi. Kembungnya daerah epigastrium harus diwaspadai akan kemungkinan malposisi ETT. Foto toraks dapat membantu diagnosis letak ETT yang benar, namun tidak menyingkirkan kemungkinan intubasi esofagus. Bila keadaan penderita memungkinkan dapat dipakai teknik endoskopi fiberoptik dalam pemasangan ETT. Ini terutama diindikasikan pada fraktur maksilofasial dan fraktur servikal dan penderita dengan leher pendek. Bila keadaan-keadaan di atas menghambat intubasi oro atau nasotracheal dapat

-

langsung ke surgical ericothyroidotomy. Airway surgical Ketidakmampuan intubasi trakea adalah indikasi jelas untuk surgical airway. Bila edema glottis, fraktur laring atau perdarahan oropharingeal airway yang berat menghambat intubasi trakea dapat dipertimbangkan surgical airway. Pemasangan jarum (Needle Cricothyroidotomy) merupakan cara sementara untuk dalam keadaan emergency memberikan oksigen sampai dapat dipasang surgical airway. 9

3.

Pengkajian Breathing (Pernafasan) Penentuan adanya jalan nafas yang baik barulah langkah yang pertama yang penting, langkah kedua adalah memastikan bahwa ventilasi yang cukup. Ventilasi dapat terganggu karena sumbatan jalan nafas, tetapi juga dapat terganggu oleh mekanika pernafasan atau depresi Susunan Saraf Pusat (SSP). Bila pernafasan tidak bertambah baik dengan perbaikan jalan nafas, penyebab lain dari gangguan ventilasi harus dicari. Trauma langsung ke thoraks dapat menjadi dangkal dan selanjutnya, hipoksemia. cedera servikal rendah dapat menyebabkan penafasan diafragma sehingga dibutuhkan bantuan ventilasi. Pengkajian pada pernafasan dilakukan untuk menilai kepatenan jalan nafas dan keadekuatan pernafasan pada pasien. Jika pernafasan pada pasien tidak memadai, maka langkah-langkah yang harus dipertimbangkan adalah: dekompresi dan drainase tension pneumothorax/haemothorax, closure of open chest injury dan ventilasi buatan (Wilkinson & Skinner, 2000). Yang perlu diperhatikan dalam pengkajian breathing pada pasien antara lain : a. Look, listen dan feel; lakukan penilaian terhadap ventilasi dan oksigenasi pasien.  Inspeksi dari tingkat pernapasan sangat penting. Apakah ada tanda-tanda sebagai berikut : sianosis, penetrating injury, flail chest, sucking chest wounds, dan penggunaan otot bantu pernafasan.  Perhatikan peranjakan thoraks simetris atau tidak. Bila asimetris pikirkan kelainan intratorakal atau flail chest. Setiap pernafasan yang sesak harus dianggap sebagai ancaman terhadap oksigenisasi.  Palpasi untuk adanya : pergeseran trakea, fraktur tulang iga, subcutaneous emphysema,

perkusi

berguna

untuk

diagnosis

haemothorax

dan

pneumotoraks.  Auskultasi untuk adanya: suara abnormal pada dada. Bising nafas yang berkurang atau menghilang pada satu atau kedua hemi thoraks menunjukkan kelainan intra torakal. Berhati-hatilah terhadap takipnea karena mungkin disebabkan hipoksia. 10

b. Buka dada pasien dan observasi pergerakan dinding dada pasien jika perlu. c. Tentukan laju dan tingkat kedalaman nafas pasien; kaji lebih lanjut mengenai karakter dan kualitas pernafasan pasien. d. Penilaian kembali status mental pasien. e. Dapatkan bacaan pulse oksimetri jika diperlukan. f. Pemberian intervensi untuk ventilasi yang tidak adekuat dan / atau oksigenasi:  Pemberian terapi oksigen Oksigenisasi sebaiknya diberikan melalui suatu masker yang terpasang baik dengan flow 10-12 liter/menit. Cara memberikan oksigen lain (nasal kateter, kanul dsb) dapat memperbaiki oksigenisasi. Karena perubahan kadar oksigen darah dapat berubah cepat, dan tidak mungkin dikenali secara klinis, maka harus dipertimbangkan pulse oksimeter bila di duga ada masalah intubasi atau ventilasi. Ini termasuk pada saat transport penderita luka parah. Nilai normal saturasi O2 adalah lebih dari 95%.  Bag-Valve Masker Ventilasi yang cukup dapat tercapai dengan teknik mouth to face atau bagvalve-face-mask. Seringkali hanya satu petugas tersedia,namun lebih efektif bila ada petugas kedua yang memegang face mask. Intubasi mungkin memerlukan beberapa kali usaha dan tidak boleh menggangu oksigenisasi. Dengan demikian lebih baik pada saat mulai intubasi petugas menarik nafas dalam dan menghentikan usaha pada saat petugas harus inspirasi. Bila sudah intubasi, ventilasi dapat dibantu dengan bagging, atau lebih baik memakai respirator. Dokter harus selalu waspada terhadap baro trauma (akibat positive pressure ventilation) yang dapat mengakibatkan pneumotorax atau malah tension pneumotorax akibat bagging yang terlalu bersemangat.

-

Intubasi (endotrakeal atau nasal dengan konfirmasi penempatan yang benar), jika diindikasikan

 Catatan: defibrilasi tidak boleh ditunda untuk advanced airway procedures g. Kaji adanya masalah pernapasan yang mengancam jiwa lainnya dan berikan terapi sesuai kebutuhan. 11

4. Pengkajian Circulation Syok didefinisikan sebagai tidak adekuatnya perfusi organ dan oksigenasi jaringan. Hipovolemia adalah penyebab syok paling umum pada trauma. Diagnosis syok didasarkan pada temuan klinis: hipotensi, takikardia, takipnea, hipotermia, pucat, ekstremitas dingin, penurunan capillary refill, dan penurunan produksi urin. Oleh karena itu, dengan adanya tanda-tanda hipotensi merupakan salah satu alasan yang cukup aman untuk mengasumsikan telah terjadi perdarahan dan langsung mengarahkan tim untuk melakukan upaya menghentikan pendarahan. Penyebab lain yang mungkin membutuhkan perhatian segera adalah: tension pneumothorax, cardiac tamponade, cardiac, spinal shock dan anaphylaxis. Semua perdarahan eksternal yang nyata harus diidentifikasi melalui paparan pada pasien secara memadai dan dikelola dengan baik (Wilkinson & Skinner, 2000). Langkah-langkah dalam pengkajian terhadap status sirkulasi pasien, antara lain : a. Cek nadi dan mulai lakukan CPR jika diperlukan. b. CPR harus terus dilakukan sampai defibrilasi siap untuk digunakan. c. Kontrol perdarahan yang dapat mengancam kehidupan dengan pemberian penekanan secara langsung. d. Palpasi nadi radial jika diperlukan:  Menentukan ada atau tidaknya  Menilai kualitas secara umum (kuat/lemah)  Identifikasi rate (lambat, normal, atau cepat)  Regularity e. Kaji kulit untuk melihat adanya tanda-tanda hipoperfusi atau hipoksia (capillary refill). f. Lakukan treatment terhadap hipoperfusi. 5.

Pengkajian Level of Consciousness dan Disabilities Pada primary survey, disability dikaji dengan menggunakan skala AVPU : A - Alert, yaitu merespon suara dengan tepat, misalnya mematuhi perintah yang diberikan.

12

V - Vocalises, mungkin tidak sesuai atau mengeluarkan suara yang tidak bisa dimengerti. P - responds to Pain only (harus dinilai semua keempat tungkai jika ekstremitas awal yang digunakan untuk mengkaji gagal untuk merespon). U - Unresponsive to pain, jika pasien tidak merespon baik stimulus nyeri maupun stimulus verbal. 6.

Expose, Examine dan Evaluate

Menanggalkan pakaian pasien dan memeriksa cedera pada pasien. Jika pasien diduga memiliki cedera leher atau tulang belakang, imobilisasi in-line penting untuk dilakukan. Lakukan log roll ketika melakukan pemeriksaan pada punggung pasien. Yang perlu diperhatikan dalam melakukan pemeriksaan pada pasien adalah mengekspos pasien hanya selama pemeriksaan eksternal. Setelah semua pemeriksaan telah selesai dilakukan, tutup pasien dengan selimut hangat dan jaga privasi pasien, kecuali jika diperlukan pemeriksaan ulang (Thygerson, 2011). Dalam situasi yang diduga telah terjadi mekanisme trauma yang mengancam jiwa, maka Rapid Trauma Assessment harus segera dilakukan: -

Lakukan pemeriksaan kepala, leher, dan ekstremitas pada pasien.

-

Perlakukan setiap temuan luka baru yang dapat mengancam nyawa pasien dan mulai melakukan transportasi pada pasien yang berpotensi tidak stabil atau kritis. (Gilbert., D’Souza., & Pletz, 2009).

2.3. Format Pengkajian Asuhan FORMAT PENGKAJIAN ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT 13

Nama Pengkaji : Tanggal Pengkajian : Ruang Pengkajian : Jam : A.

BIODATA PASIEN Nama : Jenis Kelamin : Pendidikan : Pekerjaaan : Usia : Status Pernikahan : No RM : Diagnosa Medis : Tanggal Masuk RS : Alamat :

B.

BIODATA PENANGGUNG JAWAB Nama : Jenis Kelamin : Pendidikan : Pekerjaan : Hubungan dengan Klien : Alamat :

C. PENGKAJIAN PRIMER Airways (jalan nafas) Sumbatan : ( ) Benda Asing ( ) Broncospasme ( ) Darah ( ) Sputum ( ) Lendir Suara napas: ( ) Snowring 14

( ) Gurgling ( ) …………………… Breathing (pernapasan) Sesak dengan: ( ) Aktivitas ( ) Tanpa aktivitas ( ) Menggunakan otot tambahan Frekuensi:…………x/menit Irama: ( ) Teratur

( ) Tidak

Kedalaman: ( ) Dalam

( ) Dangkal

Reflek batuk: ( ) Ada

( ) Tidak

Batuk: ( ) Produktif

( ) Non produktif

Sputum: ( ) Ada

( ) Tidak

Warna: …………………. Konsistensi: ………………….. Bunyi nafas: ( ) Ronchi

( ) Creakless

( ) Wheezing

( ) ………………….. BGA: ……………………………. Circulation (Sirkulasi) Sirkulasi Perifer: Nadi: ……………….. x/menit Irama: ( ) Teratur

( ) Tidak

Denyut: ( ) Lemah

( ) Kuat

( ) Tidak kuat

TD: ……………….mmHg Ekstremitas: ( ) Cyanosis

( ) Pucat

Nyeri dada: ( ) Ada

( ) Kemerahan ( ) Tidak 15

Karakteristik nyeri dada: ( ) Menetap

( ) Menyebar

( ) Seperti ditusuk-tusuk ( ) Seperti ditimpa benda berat Capillary refill: ( ) < 3 detik

( ) > 3 detik

Edema: ( ) Ya

( ) Tidak

Lokasi edema: ( ) Muka

( ) Tangan

( ) Tungkai

( ) Anasarka

Disability ( ) Alert/ perhatian ( ) Voice respons/ respon terhadap suara ( ) Pain respons/ respon terhadap nyeri ( ) Unrespons/ tidak berespons ( ) Reaksi pupil Eksposure/environment/event Pemeriksaan seluruh bagian tubuh terhadap adanya jejas dan perdarahan dengan pencegahan hipotermi. Pemeriksaan penunjang yang telah dilakukan: Event/ penyebab kejadian:

PENGKAJIAN PRIMER 1. Airway : a. Adakah Sumbatan jln napas/benda asing, bronkospasme, darah, sputum/lender? b. Bunyi napas? 2. Breathing : a. Adakah sesak napas, frekuensi dan irama napas? 16

b. Jenis pernapasan, pola napas (retraksi IC, otot bantu pernapasan, dll)? c. Adakah reflek batuk dan jenis batuknya serta karakteristik sputum? d. Bagaimanakah hasil BGA? e. Adakah suara napas abnormal 3. Circulation a. Berapa frekuensi nadi dan tekanan darah serta karakteristiknya? b. Bagaimanakah akral, warna kulit, capillary refill dan edemanya? c. Adakah nyeri dada dan bagaimana karakteristiknya? 4. Disability Bagaimana kualitas dan kuantitas kesadarannya 5. Exposure a. Adakah jejas luka dan bagaimanakah karakteristiknya? b. Adakah perdarahan dan bagaimanakah karakteristiknya?

BAB III PENUTUP 3.1 KESIMPULAN Pengkajian primer bertujuan mengetahui dengan segera kondisi yang mengancam nyawa pasien. Pengkajian primer menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian dan manajemen segera terhadap komplikasi akibat trauma parah yang mengancam kehidupan. Tujuan dari pengkajian primer adalah untuk mengidentifikasi dan memperbaiki dengan segera masalah yang mengancam kehidupan. Prioritas yang dilakukan pada pengkajian primer antara lain (Fulde, 2009) : -

Airway maintenance dengan cervical spine protection.

-

Breathing dan oxygenation.

-

Circulation dan kontrol perdarahan eksternal. 17

-

Disability-pemeriksaan neurologis singkat.

-

Exposure dengan kontrol lingkungan.

3.2 SARAN Penulis banyak berharap para pembaca untuk memberikan kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan penulisan makalah di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para pembaca pada umumnya. Terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA Curtis, K., Murphy, M., Hoy, S., dan Lewis, M.J. (2009). The emergency nursing assessment process: a structured framedwork for a systematic approach. Australasian Emergency Nursing Journal, 12; 130-136 Delp & manning. (2004) . Major diagnosis fisik . Jakarta: EGC. Diklat Yayasan Ambulance Gawat Darurat 118. (2010). Basic Trauma Life Support and Basic Cardiac Life Support Edisi Ketiga. Yayasan Ambulance Gawat Darurat Diklat RSUP Dr. M. Djamil Padang. (2006). Pelatihan Penanggulangan Penderita Gawat darurat (PPGD). RSUP. Dr.M.Djamil Padang. Djumhana, Ali. (2011). Perdarahan Akut Saluran Cerna Bagian Atas. FK. UNPAD. Emergency Nurses Association (2007). Sheehy`s manual of emergency care 6th edition. St. Louis Missouri : Elsevier Mosby. Fulde, Gordian. (2009). Emergency medicine 5th edition. Australia : Elsevier. Gilbert, Gregory., D’Souza, Peter., Pletz, Barbara. (2009). Patient assessment routine medical care primary and secondary survey. San Mateo County EMS Agency.

18

Lombardo, D. (2005). Patient

asessment.

In: Newbury L., Criddle L.M., ed. Sheehy’s

manual of emergency care, ed 6. Philadelphia: Mosby. Lyandra, april, Budhi, Antariksa, Syahrudin. (2011). Ultrasonografi Toraks. Jurnal Respiratori Inonesia Volume 31 diakses dari http://jurnalrespirologi.org/ tanggal 28 April 2013. Lyer, P.W., Camp, N.H.(2005).

Dokumentasi Keperawatan, Suatu Pendekatan Proses

Keperawatan, Edisi 3. Jakarta: EGC Mancini MR, Gale AT.(2011). Emergency care and the law. Maryland: Aspen Publication. Maryuani, Anik & Yulianingsih. (2009). Asuhan kegawatdaruratan. Jakarta : Trans Info Media Medis. Practitioner Emergency Medical Technician. (2012). Clinical practice guidelines for prehospital emergency care. Ireland : Pre-Hospital Emergency Care Council. ISBN 978-09571028-2-8. The National Institue for Health and Clinical Excellence. (2007). Head injury: triage, assessment, investigation and early management of head injury in infant, children and adults. London: The National Institue for Health and Clinical Excellence Thygerson, Alton. (2006). First aid 5th edition. Alih bahasa dr. Huriawati Hartantnto. Ed. Rina Astikawati. Jakarta : PT. Gelora Aksara Pratama.

19

Related Documents


More Documents from "Dhemon Putra Lamau"

Makalah Pengkajian Primer
February 2021 0