Modul Kelas Acting

  • Uploaded by: Iswadi Pratama
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Modul Kelas Acting as PDF for free.

More details

  • Words: 25,394
  • Pages: 61
Loading documents preview...
TIGA PEMUSIK DAN SEORANG AKTOR Modul Kelas Akting Salihara Iswadi Pratama & Ari Pahala Hutabarat

1

1 PEMBUKA SEKILAS TENTANG STANISLAVSKI DAN “SISTEM”

Konstantin Stanislavski adalah seorang aktor, guru, sutradara, penulis dan salah satu pendiri Moscow Art Theatre. Ia dilahirkan di Moskow, 17 Januari 1863. Nama aslinya Konstantin Sergeievich Stanislavski. Nama panggung “Stanislavski” diadopsinya sejak 1884 untuk menyembunyikan aktivitas berteaternya dari sang ayah, seorang kepala kaum pedagang di kotanya. Latar belakang keluarganya adalah kaum borjuis pemilik pabrik yang mengolah emas dan perak bagi seragam dan pernak-pernik militer. Pada saat itu profesi aktor kurang mempunyai status sosial yang baik dalam lingkungan masyarakat, bukan hanya di Rusia, namun juga di seluruh Eropa. Sejak umur 14 tahun Stanislavski telah mempunyai ketertarikan untuk meneliti aktingnya sendiri. Dan pada tahun ini juga ayahnya mengubah sebuah gedung yang telah tak terpakai di Liubimovka dan mengubahnya menjadi gedung teater yang lumayan bagus sebagai sarana bagi hiburan keluarga dan teman-temannya. Pada September 1877 di Liubomovka ia memulai debut pertamanya sebagai aktor. Peristiwa inilah yang membekas pada kesadaran Stanislavski untuk kelak bersungguh-sungguh meniti kariernya di dunia teater. Pada usia 22 tahun, Stanislavski menuliskan pertanyaan-pertanyaan penting dalam buku hariannya: seperti apakah bentuk aspek psikologis dalam kerja pemeranan? Bagaimana pula dengan aspek fisik dalam kerja pemeranan? Pertanyaan itu mengarah pada kebutuhan untuk membangun sebuah pendekatan atau metode yang dapat membantu aktor mewujudkan kehidupan “nyata” dari tokoh yang akan diperankannya. Berdasarkan catatannya, kurun 1877-1906 adalah masa yang amat intens baginya dalam melakukan investigasi fundamental terhadap masalahmasalah keaktoran dan penyutradaraan. Pada 1885 Stanislavski mulai menempuh pelajarannya di sekolah drama. Namun ia hanya bertahan selama tiga minggu. Sebab di sekolah itu ia tak mendapatkan apa yang selama ini ia cari—sebentuk metode keaktoran yang efektif dan rasional—yang akan membangkitkan secara sistematis kreativitas di dalam dirinya. Bahkan, sekolah drama tersebut tak mengajarkan metode sama sekali. Semua guru hanya mengajarkan akting berdasarkan teori-teori yang ideal, yang dalam angan-angan mereka akan mampu membawa aktor mencapai puncak aktingnya, tapi tanpa mereka sendiri menguasai keterampilan tersebut. Karenanya yang diajarkan hanya sekumpulan strategi dan “trik-trik pemeranan” siap pakai, yang rupanya memang sudah mereka kuasai. Sampai dengan usia tiga puluh tiga tahun, Stanislavski hanyalah seorang amatir dalam teater, baik selaku aktor maupun sutradara. Namun, semua itu berubah pada 1897. Pada Juni tahun itu tiba-tiba ia menerima dua pucuk surat dari Vladimir Nemirovich-Dachenko, seorang dramawan dan tokoh pendidik teater yang terkenal di Rusia, untuk bertemu. Setelah bertemu, keduanya berdiskusi, menurut pengakuan Stanislavski, hampir delapan belas jam, dan pada akhirnya mereka memutuskan untuk membentuk Moscow Art Theatre (MAT) tahun itu juga. Pertemuan yang berlangsung di sebuah restoran itu jadi semacam tonggak bagi sejarah perkembangan teater di Rusia. Mereka berniat mereformasi kehidupan teater Eropa umumnya dan Rusia khususnya yang menurut mereka telah stagnan dan membosankan. Dalam bahasa Danchenko, “kami berbincang untuk merekonstruksi ulang kehidupan, khususnya teater. . .dan untuk mengubah akar keseluruhan sistem pelatihan dan persiapan dari produksi drama.” Sejak itu,

2

ide-ide tentang pemanggungan “realisme” dan standar-standar baru akting yang selama ini hanya bersemayam di benak Stanislavski seakan telah menemukan laboratorium yang tepat sebagai lahan percobaannya. Stanislavski yang kaya dan telah cukup banyak pengalaman, baik sebagai aktor maupun sutradara, adalah mitra ideal Danchenko yang telah sukses sebagai dramawan. Langkah pertama mereka untuk keluar dari kejumudan dan klise dunia teater saat itu adalah dengan berkonsentrasi pada pembentukan grup yang benar-benar menjadikan proses jadi lebih penting ketimbang hanya terpusat pada “hasil” produksi. Tak ada pemain bintang dalam grup ini, ujar Stanislavski. Setiap aktor dikehendaki berproses dari awal secara bersama-sama; membangun set dan merancang kostumnya sendiri, sekaligus mendudukkan perencanaan akting dan pertunjukan secara keseluruhan sebagai fondasi yang sangat penting. Dan tentulah iklim produksi yang seperti ini sangat tidak lazim dijalani para aktor pada saat itu. Disiplin menjadi penting bagi siapa yang terlibat. Tak ada lagi percakapan-percakapan kosong di samping dan koridor panggung saat pertunjukan berlangsung, tak ada lagi percakapan yang tak berhubungan dengan pertunjukan, tak ada lagi kunjungan-kunjungan penonton kepada aktor saat sebelum dan selama pertunjukan, dan lain sebagainya—seperti lazimnya pertunjukan pada masa itu. Pada 1896 MAT mementaskan naskah The Seagull (Burung Camar) karya Anton Chekov di Imperial Aleksandrinsky Theatre dan meraih sukses besar. Dan kesuksesan ini juga menjadi contoh dari gambaran cara berproduksi yang baru seperti yang dikehendaki Stanislavski; bagaimana setiap aktor bertemu delapan jam sehari untuk berlatih, bagaimana setiap aktor kemudian menyiapkan diri mereka masing-masing sesuai dengan perannya, bagaimana perencanaan terhadap kostum, set dekorasi, properti panggung—bahkan back sound suara anjing dan seterusnya telah disiapkan sejak awal untuk mendukung kesuksesan pementasan. Melalui pementasan Seagull ini, dan pentas-pentas lainnya, Stanislavski menjadi terkenal sebagai sutradara “tetap” untuk lakon-lakon karya Chekov dan MAT kemudian mendapatkan tempat khusus dalam dunia teater ke-20.Nama Stanislavski dan MAT sejak itu menjadi identik dan seakan tak terpisahkan lagi. Ia memainkan banyak lakon Chekov yang utama sepanjang 18981904, juga lakon The Lower Depts (Lembah Dalam) karya Maxim Gorky pada 1902, lakon An Enemy of the People (Musuh Masyarakat) karya Hendrik Ibsen pada 1900, juga berperan sebagi aktor sekaligus sutradara untuk lakon Woe From Wit karya Alexander Griboyedov pada 1906. Semua pertunjukan tersebut mendudukkan Stanislavski pada reputasi yang amat mentereng sebagai sutradara “realistik” dan aktor penuh bakat di Rusia dan Eropa. Lalu MAT seakan telah menempatkan dirinya sendiri sebagai pemimpin dari aliran realisme, di mana drama-drama yang bersifat simbolis dan sutradara-sutradara yang mempunyai kecenderungan menampilkan teater yang “teaterikal” menjadi “lawan” utamanya. Teater Representasi Stanislavski menjadi oposisi dari kaum simbolis yang berkehendak mencari sekaligus menampilkan “realitas lain” di luar realitas sehari-hari, yang menyajikan karya dalam bentuk ekspresi-ekspresi puitik. Demikian juga bentuk-bentuk teater yang “teaterikal”—yang sejak awal memang telah membiarkan penonton amat “sadar” terhadap pertunjukan, melalui pilihan set, kostum, juga wataknya. Meskipun kemudian, pada 1907 dan 1908, Stanislavski pernah menggarap lakon simbolis, namun ia tetap menampilkannya dengan menjadikan keaktoran (seni peran) sebagai titik tekan utamanya, yang merupkan prinsip utama realisme. Namun, dengan segala kesuksesan produksi dan ketenaran secara pribadi itu, Stanislavski belum merasa puas. Ia merasa cita-cita tentang “bagaimana cara berakting yang benar” seperti yang selama ini ia idam-idamkan belum juga terwujud. Pada setiap produksinya, Moskow Art Theatre seakan kembali masuk dalam kubangan klise yang sama; kesuksesan melenakan setiap

3

aktor dan memerangkap mereka pada akting yang mekanistik, juga bagaimana ia selaku sutradara secara tanpa sadar lebih mementingkan dan lebih “menyiapkan” hal-ihwal di luar proses pemeranan itu sendiri, seperti menyiapkan set, kostum, properti, musik pendukung demi membuat pertunjukan berlangsung “seilusif dan senyata” mungkin di mata penonton. Anton Chekov, yang rata-rata lakon mayornya digarap oleh Stanislavski, bahkan pernah secara pribadi menyatakan keberatannya akan pendekatan Stanislavski terhadap naskah lakonnya. Chekov merasa Stanislavski telah menyelewengkan maksud sekaligus gaya yang sebenarnya dikehendaki Chekov. Secara formal Stanislavski menolak kebenaran yang diutarakan Chekov itu. Namun, secara intelektual sesungguhnya ia sendiri menyadari bahwa apa-apa yanag dikatakan oleh Anton Chekov tersebut benar adanya. Berdasarkan semua kenyataan di atas, sejak 1906, Stanislavski lebih berkonsentrasi untuk merumuskan secara lebih sistematis metode pemeranan seperti yang secara ideal dibayangkannya selama ini. Sejak itu ia lebih banyak menghabiskan waktu bersama para murid-muridnya di studio yang lebih kecil. Ia mulai melakukan serangkaian percobaan metode pemeranan. Ia mulai mengumpulkan sekian banyak serakan catatan-catatan proses, yang memang sudah ia lakukan sejak lama sekali. Ia mulai menjadikan aktor sebagai pusat perhatian utamanya dan meminggirkan, walau untuk sementara, ihwal lain di luar proses keaktoran itu sendiri. Para aktornya banyak yang tidak tahan dengan pendekatan yang sama sekali berbeda dari yang biasa mereka lakukan. Tapi, Stanislavski terus meyakinkan mereka hingga usahanya ini berhasil. Metode atau yang lazim kita kenal sebagai “The System” (“Sistem”) akhirnya menjadi warisan Stanislavski yang terbesar bagi dunia teater, tak hanya di Rusia tapi juga di dunia. Di Indonesia, pemahaman terhadap “metode” Stanislavski dikenal melalui dua buku utama: Persiapan Seorang Aktor yang diterjemahkan oleh Asrul Sani dari An Actor Prepares. Dalam edisi Soviet, buku itu memiliki judul sangat panjang Kerja Aktor Secara Individual di Dalam Proses Kreatif Menuju Penghayatan Peran. Pada umumnya ini adalah penyajian terakhir dari karya Stanislavski antara 1906 dan 1914, penekanannya pada proses mental, teknik-psikis.1 Di dalam skema pengembangan aktor hal itu mewakili karya di tahun-tahun awal. Ringkasan buku sudah siap sejak awal abad ke-20 dalam bentuk catatan-catatan dengan sejumlah judul sementara: Buku Harian Seorang Siswa, Seni dan Teknik-Psikis Seorang Aktor, Kaidah Alamiah dari Kreativitas Aktor, Sekolah Teater-Ku, Sistem Stanislavski, Buku Harian Seorang Siswa adalah gambaran yang paling dekat dengan versi akhir buku yang diterbitkan. Stanislavski menjadi Torstov, dan anggota kelasnya digambarkan dengan salah seorang dari siswa belianya, Kostya. Stanislavski menulis bukunya itu dengan gaya penuturan yang tidak formal, dalam bentuk fiksi. Memang benar bahwa hal itu telah menuai sejumlah kritik ketika akhirnya orang mengetahui penyamaran Stanislavski sebagai Torstov bisa tertebak dan dianggap tidak perlu. Namun bentuk fiksi yang dipilih Stanislavski, bagaimanapun memungkinkan Stanislavski untuk menghadirkan masalah-masalah akting sebagai pengalaman hidup dan menggambarkan ujian-ujian pelajaran

1

Materi yang menyangkut teknik-teknik latihan yang akan mengarahkan aktor memiliki kecakapan dan keterampilan untuk mencapai kualitas-kualitas batin tertentu lebih banyak dibanding latihan-latihan yang melulu bersifat fisik. Misalnya, melalui latihan-latihan imajinasi aktor diharapkan mampu menjelmakan situasi-situasi imajiner yang dapat mendatangkan impuls-impuls tertentu dalam dirinya. Atau merasakan kembali apa yang pernah dialaminya melalui Metode Ingatan Emosi.

4

dalam praktik langsung. Buku ini adalah hasil sulingan dari proses belajar pribadinya. Kostya dan teman-teman sekelasnya menelusuri jalan setapak penemuan yang merupakan pengalaman Stanislavski sendiri. Ada banyak benturan ide dalam memahami akting sebagai proses—bukan imitasi atau peniruan terhadap apa yang sudah baku2—tersebar di dalam pertentangan antara proses belajar sebagai sesuatu yang hidup; tumbuh dan terus berubah dengan proses belajar dalam tataran formal yang cenderung mengukuhkan. Sesudah itu, dalam buku ini, Stanislavski menginvestigasi elemenelemen dasar dari teknik-psikis—the magic if, Situasi-Situasi Terberi, Kesenyapan Penonton, Lingkaran Perhatian, Komunikasi dan lain sebagainya. Buku kedua Building A Character, yang dalam edisi terbitan Teater Garasi berjudul Membangun Tokoh3 sebelum dipublikasikan memiliki judul yang juga sangat panjang: Kerja Individual Aktor dalam Proses Penciptaan Tokoh Fisik Tokoh. Hal ini didasarkan pada karyanya tentang teknik vokal dan fisik yang dikerjakannya antara 1914 dan 1920, mewakili periode tahun kedua latihan-latihan keaktoran. Stanislavski wafat sebelum karya dari bagian kedua ini lengkap. Namun demikian, kedua buku inilah yang menjadi landasan pengembangan “Sistem”, sebuah metode berdasarkan paham Stanislavski. “Sistem” adalah metode yang diciptakan Stanislavaski untuk membantu aktor menghidupkan tokoh yang kelak akan ia mainkan di panggung dengan benar-benar “hidup, otentik dan dapat dipercaya”.4 Dua kunci yang menjadi pengaruh utama bagi Stanislavski, sebagai produk dari akhir abad ke-19, adalah Leo Tolstoy dan psikologi asosiatif. Pernyataan utama Leo Tolstoy (1828-1910) What is Art (1896) sangat memengaruhi Stanislavski. Dalam tulisannya tersebut Tolstoy berujar bahwa esensi dari karya seni adalah untuk mengomunikasikan perasaan seniman ke penonton atau pembacanya. Stanislavski percaya bahwa tujuan seni adalah untuk menyampaikan ihwal yang paling mulia dan emosi-emosi yang paling baik kepada orang lain dalam kehidupan mereka (Whyman, 2008;14). Tolstoy bukanlah satu-satunya orang yang mempengaruhi Stanislavski, tapi juga Alexander Pushkin, Nikolai Gogol, Vissarion Belinsky dan Nikolai Chernyshevsky. Namun, Tolstoy lebih didengarkan ketimbang yang lain. Contohnya: Biarkan kebenaran di atas panggung menjadi nyata. Tapi biarkan ia tetap menjadi artisitik. Biarkan ia mengangkat kita. . .kita ubah peran ini menjadi sesuatu yang puitik, indah, harmonis, sederhana dan lengkap, mulia dan suci bagi penonton (Membangun Tokoh, 192).

2

Satu hal yang mendorong Stanislavski mencari metode-metode baru untuk seni peran adalah kenyataan yang berkembang di Rusia ketika itu bahwa sebagian besar aktor tidak lagi “menciptakan” sesuatu dari apa yang otentik dalam dirinya, melainkan sekadar meniru dan mengulang-ulang apa yang pernah dilakukan para aktor sebelumnya dan mereka ikuti dengan tekun. Misalnya, untuk memerankan Hamlet, mereka cukup menirukan apa yang dilakukan aktor sebelum mereka dalam menggambarkan (bukan membangun) tokoh Hamlet. “Kau bisa memainkan 365 tokoh dalam setahun,” sindir Stanislavski dalam buku Building A Character. Hal ini umumnya terjadi ketika teater telah manjadi bagian dari industri hiburan yang berkembang di Eropa ketika itu. 3 Konstantin Stanislavski, Membangun Tokoh, terjemahan B. Very Handayani, Dina Oktaviani, Tri Wahyuni (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia & Teater Garasi, 2008). Selanjutya ditulis Membangun Tokoh. 4 Emerentia Eletitia van Heerden, Tracing the Impact of Stanislavski’s System on Strasberg’s Method (Stellenbosch University, tesis, 2007), 31. Selanjutnya ditulisa Tracing the Impact.

5

Sedangkan pengaruh psikologi asosiatif lebih mengacu kepada seorang ahlinya Theodule Ribot (1839-1896) yang teori maupun karyanya sangat memengaruhi Stanislavski pada konsep mengenai ingatan emosi atau ingatan afektif. Teori utama para psikolog asosiatif adalah bahwa semua aktivitas mental termasuk pikiran tidak lebih dari pada asosiasi ide-ide atau sensasi-sensasi. Hal yang menjadi perhatian utamanya bahwa pada peran faktor ketidaksadaran, khususnya dalam hubungannya dengan emosi, yang bahkan telah terbangun sebelum karya-karya Freud terkenal di Rusia. Poin sederhana tentang hubungan antara Stanislavski dan psikologi asosiatif adalah pendapat mereka yang paralel, bahwa otak manusia punya kapasitas asosiatif tempat aktor dapat menggambarkan proses kreatif mereka, dan bentuk-bentuk dari unsur yang sifgnifikan yang disebut Stanislavski sebagai “keadaan kreatif” atau “kepekaan diri yang kreatif”—dan pencapaian “keadaan kreatif” ini adalah merupakan tujuan utama sistem Stanislavski secara keseluruhan. Whyman menggambarkan proses ini sebagai pengembangan dari “kemampuan untuk memberi perhatian dan benar-benar hidup di atas panggung, mengalami situasi “saat ini”.5 (Whyman 2008:29). Keadaan kreatif ini pada akhirnya akan menghasilkan pemeran yang otentik. Otentik yang dimaksudkan Stanislavski adalah perasaan, emosi atau pikiran yang bergerak di benak tokoh mampu benar-benar dirasakan atau dipikirkan oleh aktor yang sedang memainkannnya. Emosi yang ditampakkan tokoh benar-benar merupakan hasil impuls yang hadir di dalam diri aktor, bukan rekayasa yang bersifat artifisial. Otentik di sini pada akhirnya berkenaan dengan sifat “rasa yang murni dan jujur” yang muncul pada aktor saat ia memainkan emosi dan pikiran si tokoh. Sedangkan akting yang dapat “dipercaya” hanya akan muncul jika tokoh yang dimainkan benar-benar mampu menampakkan kewajaran dalam perilaku sekaligus otentik dalam pikiran dan perasaannya. Jika kedua hal ini dapat dipenuhi oleh aktor, maka seketika penonton yang menyaksikan tokoh tersebut di atas panggung akan menjadi percaya dan yakin. Percaya dan yakin terhadap apa? Percaya dan yakin bahwa tokoh tersebut memang benar-benar nyata—tak hanya secara fisik namun juga secara emosional. Mengapa Stanislavski menciptakan “Sistem”? Karena ia melihat kebanyakan aktor yang berakting pada masanya telah bertindak secara tidak alami di atas panggung. Para aktor, apalagi yang memang sudah sering memainkan sesosok tokoh dan menjadi tenar karena perannya tersebut, kerap berperilaku secara rutin dan membosankan. “Bagaimana mendefinisikan “teater” yang sesungguhnya, yang bukan ‘teaterikal’”? ujar Stanislavski. “Di mana tak ada lagi pola-pola atau bentuk-bentuk gestur yang telah jadi rutin, pola gerakan atau gaya berbicara yang melenceng dari kebenaran perilaku sejati manusia—dan terlanjur telah jadi anggapan masyarakat tentang aktor,” ujarnya lagi.6 Tak ada lagi proses sekaligus tantangan kreatif saat mereka berhadapan dengan tokoh baru dari naskah baru yang akan mereka mainkan. Akting menjadi sebentuk kebiasaan yang rutin. Cara berjalan, bergerak, gaya dan cara berbicara telah menjadi suatu paket yang tetap dan karena itu klise. Proses tokohisasi tokoh hanya berhasil menyentuh sebagian kecil kehidupan tokoh—yaitu hanya sisi lahiriah si tokoh, menurut Stanislavski. Makanya dalam setiap produksi yang diurus oleh para aktor sekaligus sutradara hanyalah bagaiamana rupa dan bentuk kostum, bagaimana bentuk dan rupa latar tempat kejadian

5

Rose Whyman, The Stanislavski System:Legacy and Influence in Modern Porformance (Cambridge: Cambridge University Press, 2008), 29. Selanjutnya ditulis The Stanislavski System. 6 Jean Benedetti, Stanislavski: An Introduction (New York: Routledge, 2004), 32. Selanjutnya ditulis Stanislavski.

6

atau dekorasi panggung, dan lain sebagainya. Hal-hal ini bukannya tak penting, hanya ia bukanlah keseluruhan dari sebuah proses kreatif dalam rangka menangkap secara utuh sisi kehidupan tokoh yang sesungguhnya. Laku akting yang banal dan rutin sehingga menjadi tidak alami ini yang menjadi musuh utama Stanislavski. Teater pada titik ini telah berubah menjadi sekadar “teaterikal”—sesuatu yang berkonotasi “dibuat-buat dan artifisial”. Selanjutnya, Stanislavski berujar, Jangan dibingungkan oleh sesuatu yang sekadar “teaterikal”. Tidak diragukan lagi, teater menyediakan sesuatu yang spesial, tentang ihwal yang tak ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Jadi tugasnya adalah membawa kehidupan di atas panggung, sambil menghindari yang “teaterikal” (yang justru menghancurkan kehidupan), tapi pada saat yang sama menghormati sifat dari panggung itu sendiri (Stanislavski, 32). Jadi, Stanislavski hendak mengembalikan lagi kewajaran dalam diri aktor saat ia mendekati pemeranan. Ia menghendaki hadirnya “kejujuran” dalam proses kreatif aktor. Ia ingin para aktor menjalani pemeranan mereka dengan cara mengerahkan secara maksimal “kejujuran emosional dan kejujuran intelektual”. Mengapa? Karena kejujuran, baik emosional maupun intelektual, adalah bahan bakar utama untuk menghidupi sosok tokoh yang akan ia mainkan di panggung. Secara berulang Stanislavski berujar, bahwa fondasi utama dari Sistemnya adalah mengembalikan aktor pada “kewajarannya selaku manusia”. Stanislavski menyakini bahwa pengembangan “Sistem” secara esensial berarti menerapkan hukum-hukum kealamiahan dan biologis kepada konvensi teater. . .saat spontanitas mengambil alih dan ‘kehidupan dari batin manusia’ hadir di atas panggung, ujar Bella Marlin (Konstantin Stanislavski, 20). Dan untuk itulah maka Stanislavski melakukan studi yang sangat lama dan intensif untuk menemukan langkah-langkah yang sistematik dan universal bagi aktor untuk melakukan laku pemeranannya. Karena itu, ada tiga prinsip yang saling berkait antara yang satu dengan yang lain untuk menghasilkan sebentuk pertunjukan yang benar dan dipercaya. Pertama, seorang aktor harus mampu mencapai semacam “kehidupan yang normal dan wajar” di atas pangung. Untuk meraih “kehidupan yang normal dan wajar” ini, a. Aktor harus mampu membebaskan fisiknya dari ketegangan yang tak diperlukan dan mampu mengontrol segenap otot-ototnya. b. Perhatian atau konsentrasi aktor harus sangat terjaga/sadar. c. Aktor harus mampu menjalin kontak atau komunikasi yang otentik dengan lawan mainnya; ia harus benar-benar menyimak dan mengamati lawan mainnya itu seperti di kehidupan nyata. d. Aktor harus menyakini “kehidupannya” di panggung; ia harus yakin bahwa apa pun yang berlangsung di atas panggung mempunyai hubungan dengan lakon yang sedang ia mainkan. Kedua, Stanislavski berkesimpulan bahwa pada setiap laku fisik, terdapat di dalamnya motif psikologis yang berpengaruh langsung terhadap laku fisik tersebut. Demikian pula sebaliknya, pada setiap laku psikologis (inner action) selalu terdapat laku fisik yang mengekspresikan sifat psikisnya (which express its psychic nature). Inilah yang dikenal dengan

7

istilah pendekatan psiko-fisik. Pendekatan psiko-fisik mempunyai arti bahwa dalam setiap laku (fisik) mesti terdapat motif psikologis di dalamnya. Ketiga, Stanislavski menyakini bahwa laku yang benar-benar organik dari aktor, yaitu laku yang tumbuh dari dalam diri aktor yang berasal dari bawah sadarnya sendiri seperti ketulusan, kemurnian dan perasaan otentik, akan muncul dari dalam diri si aktor itu sendiri. Karena itu, untuk mencapai laku yang benar-benar organik, pertama-tama aktor haruslah meletakkan dirinya ke dalam suatu keadaan/situasi khusus yang sesuai dengan yang dikehendaki naskah lakon terhadap tokoh yang akan ia mainkan. Aktor haruslah bertanya apa yang akan ia lakukan seandainya ia mengalami situasi yang sama seperti yang dialami tokoh dalam lakon dan reaksi seperti apa yang sekiranya akan ia berikan untuk merespons situasi tersebut. Selanjutnya, aktor juga harus menemukan alasan-alasan yang logis untuk menjustifikasi laku tokoh yang sedang ia mainkan tersebut. Kemudian, aktor mesti berakting tanpa merenungkan kapan tindakannya sendiri sebagi individu berakhir dan kapan tindakannya sebagai si tokoh dimulai (Tracing the Impact, 32-33). Stanislavski berujar, “on the stage a true inner creative state, action and feelings result in natural life on the stage in the form of one characters.

8

2 TIGA SERANGKAI PEMUSIK

Stanislavski membagi metode pelatihan “Sistem” ke dalam dua bagian. Pertama, latihan-latihan yang bersifat praktis untuk mengembangkan alat-alat ekspresi yang ada pada diri aktor, seperti kemampuan fisik, vokal dan emosional—latihan keaktoran (work on the actor). Kedua, kegiatan yang lebih bersifat intelektual seperti analisis round the table untuk mengeksplorasi misteri-misteri atau motif-motif yang ada di dalam naskah lakon—teknik latihan untuk pemeranan (work on the role) (Konstantin Stanislavski, 20). Stanislavski menyatakan, “Sistemku terbagi dua: kerja internal dan eksternal aktor terhadap dirinya sendiri dan kerja eksternal dan internal aktor terhadap lakon atau peran.” 1. Kerja internal dan eksternal aktor dengan dirinya sendiri (work on in Self) Kerja internal aktor terlihat dalam teknik penyempurnaan psikologis yang memungkinkan keadaan batin aktor selalu dalam keadaan kreatif dan penuh inspirasi dan siap dijelmakan saat dibutuhkan. Sedang kerja eksternal aktor pada dirinya sendiri terlihat pada persiapan anggota tubuhnya untuk mengekspresikan pemeranan secara fisik dan menerjemahkan kehidupan batinnya ke atas panggung. 2. Kerja internal dan eksternal aktor dengan tokoh yang diperankan (work on the role) Bekerja untuk tokoh yang akan diperankan adalah sebuah proses pembelajaran terhadap karya dramatik (naskah lakon) dengan menyelami dimensi-dimensi batiniah naskah juga tokoh. Proses ini akan memberikan pemahaman kepada aktor mengenai “benih sejati” yang menjadi sumber kehidupan bagi setiap tokoh dalam naskah. Lalu semua itu diwujudkan aktor sebagai suatu totalitas (lahir-batin) sehingga esensi tokoh dan lakon menjadi hadir dan terlihat secara jelas dan nyata (Stanislavski, 75). Dengan mengikuti “Sistem” secara utuh, Stanislavski berusaha menjelmakan apa yang disebutnya sebagai aktor “psiko-fisik” (psycho-physical). Aktor yang mampu menghadirkan seni peran sebagai suatu keutuhan laku fisik dan batin berdasarkan prinsip-prinsip alami di atas panggung. Bertolak dari anggapan bahwa apa yang hendak dicapai “Sistem Stanislavski” adalah menjelmanya aktor yang “psiko-fisik”, maka modul ini memetakan sistem berdasarkan pembagian: 1). Kerja kreatif aktor yang berpusat pada pikiran (mind center), 2). kerja kreatif aktor dengan emosinya (emotion center) dan 3). kerja kreatif aktor dengan tubuhnya (physical center). Cara ini dipilih mengingat teramat sulit membagi kerja aktor dengan diri sendiri dan kerja aktor dengan peran ke dalam dua tahapan kerja yang linier dan terpisah secara tegas. Komponenkomponen atau peralatan yang digunakan dalam kedua tahapan kerja itu masih sama dan satu sama lain masih saling terpaut. Meskipun demikian, tidak berarti pemetaan sistem dengan cara yang dipilih dalam modul ini akan lebih mudah. Setidaknya, cara ini bisa mengarahkan pembaca secara langsung pada tiga anasir utama dalam diri manusia yang akan bertugas memproduksi akting yang

9

benar seperti yang diharapkan melalui “Sistem Stanislavski” ini: pikiran (otak), emosi (hati) dan will (tubuh). Pemilihan terhadap tiga anasir yang menjadi “pusat” kerja kreatif aktor di atas, dilandasi pada apa yang ditulis dan sangat ditekankan Stanislavski dalam buku An Actor Prepares melalui bab “Kekuatan Motif Dalam”. Ini adalah tema yang paling singkat yang ada dalam buku tersebut. Meskipun sebenarnya beberapa gagasan yang ada di dalamnya sangat niscaya untuk memahami istilah akting psikofisik. Malangnya, akibat dari bahasan yang terlalu singkat ini, bagian ini sering kali dilewatkan begitu saja. “Jangan bodoh!” kata Bella Merlin. Stanislavski mengumpamakan “kekuatan motif-motif dalam” yang meliputi anasir imajinasi, ingatan emosi, konsentrasi, komunikasi, satuan-sasaran, alur yang tak terputus, sub-teks, interaksi-intim dan lain-lain, yang dimiliki aktor seperti alat-alat musik. Bila semua itu sudah siap, maka pekerjaan yang tersisa adalah menemukan para “pemusik” yang tepat. Dan para pemusik itu, kata Stanislavski adalah pikiran, emosi dan kehendak atau tubuh (otak, hati, tubuh). Inilah tiga serangkai dari kekuatan motif-motif dalam yang bekerja dalam diri setiap aktor. Oleh karena hampir seluruh instrumen yang disebut “kekuatan motif dalam” itu tidak ada dengan sendirinya dalam diri aktor—melainkan diciptakan, maka pertanyaan yang pantas diajukan adalah dari mana semua itu berasal atau diproduksi? Jawabannya adalah pikiran, emosi, dan tubuh. Jadi, tiga serangkai yang disebut “pemusik” oleh Stanislavski itu adalah pencipta (sumber) sekaligus “pemain” alat-alat musik (kekuatan motif dalam) dalam diri aktor. Berdasarkan argumentasi inilah pemetaan terhadap “Sistem Stanislavski” dihadirkan dalam modul ini. Bagian yang cukup sulit dari semua ini adalah penggunaan istilah “will” yang dipakai dalam pembahasan “kekuatan motif dalam”. “Kehendak” (will) kadang-kadang digambarkan sebagai “gairah” (desire), yang lebih dekat pada “perasaan” (feeling) atau “emosi” (emotion). Bagi para siswa-aktor, kesamaran arti ini bisa sangat tidak membantu. Dewasa ini, sebagian dari praktisi di Rusia menyebut “kehendak” (will) sebagai “actioncenter” (pusat-tindakan) yang lebih berdekatan dengan tubuh, kendaraan yang akan menjelmakan laku fisik. Ini menjadi kunci pembuka yang diberikan dalam An Actor Prepares yang pada praktikpraktik latihan berikutnya disebut Active Analysis (Analisis-Aktif). Walaupun Stanislavski menulis bahwa perasaan, kehendak dan pikiran adalah saling tergantung dan melengkapi, dua rangkaian akting dari ketiga mata rantai itu ia jelaskan hingga akhir dengan menggunakan istilah “kehendak”. Rangkaian pertama yang ia usulkan adalah Pemahaman mental (pikiran)—emosi— kehendak ( tindakan). Pemahaman mental aktor terhadap teks drama memunculkan emosi yang kemudian menyarankan kehendak di dalam tindakan. Rangkaian kedua adalah Reaksi emosi—pikiran—kehendak (tindakan). Reaksi emosi para aktor terhadap teks drama memunculkan pikiran yang kemudian menyarankan kehendak di dalam tindakan. Dengan kata lain, Stanislavski tidak langsung mempertimbangkan “kehendak” sebagai entitas yang melahirkan kekuatan di dalam kebenarannya sendiri. Seiring waktu ketika ia bekerja untuk menjelaskan Analisis-Aktif, pikirannya telah berubah dan menyadari bahwa kadangkala kehendak atau tubuh dapat—dalam faktanya—menjadi mata rantai pertama dalam rangkaian akting (Konstantin Stanislavski, 70). Tentu saja kekuatan motif-motif dalam ini sering ditekankan di dalam latihan-latihan keaktoran dewasa ini, ketika dalam faktanya tiga serangkai dari tubuh-pikiran-perasaan bersamayam di “jantung” sistem secara keseluruhan. Tetapi, bagaimana memformulasikannya secara lebih

10

sederhana, atau bagaimana mengimplementasikan semua itu secara lebih mudah? Stanislavski masih merasa perlu mendiskusikan kesaling-terpautan di antara kekuatan motif-motif dalam, sebab bahasa yang ia gunakan untuk menjelaskannya belum benar-benar meyakinkan dirinya sendiri. Semua itulah yang akan ia lanjutkan menjadi kerja-hidupnya dalam Analisis-Aktif—yang akan menjadi bab paling akhir dalam modul ini.

11

3 KERJA PIKIRAN

Di tempat emosi (rasa) terlalu berlimpah, maka pikiran akan padam. Sebaliknya, setiap kali pikiran menjadi terlalu dominan, maka rasa akan hilang. Sering kali kita menemukan fakta bahwa ada sebagian seniman menganggap bahwa kerja seni adalah kerja dengan rasa, jiwa, hati. Pandangan ini sama sekali tidak salah terkecuali bila mereka benar-benar mengabaikan kerja “si perusuh” yang bernama pikiran itu. Emosi (perasaan) di dalam karya seni harus diwujudkan secara cermat dan proporsional. Untuk itu, seorang seniman membutuhkan metode, teknik, analisis, dan penguasaan data bagi karyanya. Semua ini adalah kerja pikiran. Jadi bisa dibayangkan sebuah ekspresi seni yang tidak dilandasi kerja pikiran pada dasarnya bukanlah seni, ia hanya suatu ekspresi atau “gejala” kejiwaan belaka. Oleh karena itu, daripada menganggap pikiran sebagai “si perusuh”, lebih baik mencoba menggunakannya untuk membangun landasan sekaligus arah bagi karya seni yang hendak kita sampaikan. Dalam hal ini, pikiran akan menjadi “Sang Informan” dan “Pengawas”. Dalam “Sistem Stanislavski” ada banyak komponen yang merupakan kerja pikiran, yakni seluruh bentuk keterampilan yang bersumber dari pengelolaan dan pendayagunaan pikiran (mind center). Fase ini menjadi fase pertama yang sangat penting terutama ketika aktor mulai memasuki kerja untuk pemeranan (work on the role).7 Kerja pikiran ini akan memberikan aktor “sebuah peta” bagi perjalanan kreatif aktor menyusuri dan mencapai tokoh dan permainannya di atas panggung.

1. Analisis Round the Table Analisis round the table adalah langkah awal yang harus dilakukan oleh para aktor, sutradara atau siapa pun yang terlibat di dalam suatu produksi sebagai langkah awal untuk memulai produksi. Analisis ini secara harfiah dilakukan oleh semua individu yang terlibat dengan cara duduk berdiskusi mengelilingi sebuah meja dan mulai mengerahkan segala pemikiran mereka kepada naskah lakon untuk menemukan “apa-apa saja yang penting untuk ditangkap” dalam naskah dan tokoh. Dalam diskusi atau analisis ini ada beberapa hal yang ingin diungkap oleh sutradara, aktor dan pihak-pihak pendukung lainnya, seperti: a. Menceritakan kembali isi lakon. b. Membuat daftar fakta-fakta, peristiwa-peristiwa dan situasi-situasi khusus dan terberi seperti yang dikehendaki oleh penulis lakon. c. Menganalisis arti dan makna kata-kata atau kalimat-kalimat yang termaktub di dalam naskah lakon, juga berusaha menemukan atau memberi makna mengapa ada jeda di antara

7

Trainning yang dimaksud dalam modul ini adalah latihan-latihan dasar yang harus dilakukan aktor untuk mendapatkan keterampilan dalam menggunakan alat-alat ekspresinya yang bersifat eksternal, mencakup senam, menyanyi, teknik vokal, wicara, melatih tempo dan irama dan lain-lain.

12

kata/kalimat—yang tentunya punya maksud tertentu seperti yang dikehendaki penulis lakon. d. Menerka sekaligus menyusun ulang kehidupan “masa lalu” si tokoh sekaligus kehidupannya di “masa depan”—yang tentu saja jarang sekali secara eksplisit dituliskan penulis lakon pada naskahnya. e. Menganalisis struktur lakon (baik struktur luar maupun dalam) serta membaginya dalam adegan-adegan dan bit-bit sekaligus memberi nama pada tiap sasaran atau tujuan si tokoh. f. Detail-detail yang harus dianalisis ini menyangkut bukan hanya situasi-situasi terberi yang ada pada naskah lakon namun juga pengaruh historis dan sosiologis pada zaman apa naskah lakon itu dibuat oleh si penulisnya. Stanislavski menyakini bahwa pengetahuan aktor akan kehidupan tokoh secara mendetail seperti yang dikehendaki naskah lakon juga situasi sosial-budaya pada zaman apa naskah lakon itu diciptakan akan sangat membantu aktor untuk mengembangkan aktingnya secara lebih jujur dan kreatif. g. Mendiskusikan motif-motif psikologis setiap tokoh serta menelaah jenis dan bentuk relasi antartokoh. h. Analisis terhadap subteks tokoh juga termasuk dalam diskusi round the table ini. Yang dimaksud dengan subteks adalah makna-makna yang tersirat atau tak secara eksplisit terdapat dalam dialog sang tokoh (Konstantin Stanislavski, 16). Setelah beberapa hal di atas dilakukan barulah proses latihan dilakukan. Tujuannya tentu saja agar aktor atau siapa saja yang terlibat di dalam produksi benar-benar mengetahui (secara kognitif dan imajinatif) apa saja yang harus dipraktikkan di panggung. Memang pada praktiknya tak semua hasil analisis round the table ini akan tepat dan berjalan ketika latihan. Namun, setidaknya fase ini akan memberikan semacam interpretasi awal sekaligus perspektif yang jelas dan terarah bagi para aktor dan sutradara untuk memainkan tokoh atau lakonnya. Dari analisis round the table ini aktor akan memperoleh sejumlah data dan fakta berupa:

2. Given Circumstance (Situasi Terberi) Berkaitan dengan sebuah produksi teater, “situasi terberi” adalah segala data juga fakta yang telah ada dan akan mempengaruhi kerja kreatif seorang aktor dan sutradara berkaitan dengan apa yang ditulis oleh pengarang di dalam karyanya. Dalam “Sistem Stanislavski”, situasi terberi itu juga meluas pada situasi aktual (tuntutan dan pilihan yang tersedia untuk sebuah produksi teater). Misalnya mengenai pilihan menggunakan bentuk panggung, gedung pertunjukan, set, kostum, media yang akan digunakan untuk mementaskan naskah dan lain-lain. Dan situasi eksternal (situasi sosial, ekonomi, politik yang akan memengaruhi produksi teater). Sehingga, hal ini melibatkan juga sutradara, penata artistik, desainer, hingga manajer pemasaran.

13

The first component to negotiate in Stanislavsky’s System is “Given Circumstance”, as these determine most of the choices an actor, designer, director and even marketing manager will make about the production of particular play (Konstantin Stanislavski, 118). Namun, dalam hal ini, kita hanya akan membatasi pada situasi terberi yang bersifat tekstual, yang langsung berhubungan dengan kerja aktor atas perannya. Melalui analisis round the table para aktor duduk bersama mengurai seluruh komponen yang menyusun sebuah naskah. Hal ini mencakup: apa peristiwa yang terjadi, mengenai apa cerita di dalam teks, latar belakang waktu dan tempat cerita, tokoh-tokoh yang terlibat di dalam cerita, perwatakan tokoh, garis laku cerita, konflik-konflik yang membangun cerita, latar belakang tokoh, dan seterusnya. Seluruh data yang diperoleh dari “situasi-situasi terberi” khususnya berkaitan dengan peristiwa dan cerita, bisa disusun ke dalam babak, adegan, hingga ke bagian yang lebih spesifik: peristiwa-peristiwa yang menyusun adegan, unit-unit atau satuan dan sasaran-sasaran adegan. Dengan data ini, aktor mulai bekerja untuk perannya. Mengenali, memasuki dan mengalami situasi-situasi atau keadaan-keadaan yang terdapat dalam situasi terberi. Lalu anasir apa saja yang bisa diidentifikasi aktor berkaitan dengan situasi terberi untuk peran yang dimainkannya. Secara umum anasir ini meliputi latar belakang tokoh, waktu, tempat, peristiwa, isu utama lakon, gaya lakon yang digunakan pengarang, tokoh-tokoh yang terlibat, hubungan antartokoh. Untuk anasir yang berubah-ubah dalam lakon, aktor bisa mengidentifikasinya berdasarkan adegan per adegan atau dalam unit-unit yang lebih kecil lagi: peristiwa demi peristiwa yang terjadi dalam setiap adegan. Misalnya: Sarapan pagi di sebuah warung di pinggir jalan. Sedangkan anasir yang bersifat tetap meliputi: latar belakang tokoh, gaya lakon, isu utama, tokoh yang terlibat dalam lakon, hubungan antartokoh bisa diidentifikasi secara menyeluruh. Meskipun identifikasi data dan fakta dari situasi terberi ini tampak sangat sederhana, namun jangan pernah menganggap semua itu menjadi mudah diaplikasikan di atas panggung.

3. Satuan dan Sasaran Setiap lakon tentulah mempunyai tema dan tujuan atau misi tertentu yang dibuat oleh penulisnya. Tema dan misi besar ini bisa saja secara eksplisit dapat terbaca di dalam lakon. Namun, kebanyakan tema dan misi ini tertera secara implisit, baik yang terselubung di dalam dialog-dialog yang diucapkan tokoh-tokoh ataupun di dalam aksi atau tindakan-tindakan fisik mereka di dalam lakon. Tugas aktor adalah menyingkap sekaligus menampilkan tema dan misi yang disisipkan penulis naskah ini di atas panggung. Maka, analisis naskah harus dilakukan. Asumsi dasarnya adalah sebuah naskah lakon hanya mempunyai satu tema besar dan satu tujuan atau sasaran besar. Demikian pula halnya dengan keberadaan tokoh atau tokoh tertentu di dalam lakon tersebut—ia punya satu tujuan atau sasaran besar yang harus ia emban dan capai guna memenuhi misi utama tersebut. Jadi, peristiwa-peristiwa yang berlangsung di dalam lakon sesungguhnya adalah wadah yang sedang dijalani tokoh tertentu dalam rangka memenuhi tujuan utamanya itu. Untuk mengetahui dan mencapai tujuan utama ini, maka salah satu langkah yang harus dilakukan aktor, menurut Stanislavski, adalah dengan cara membagi keseluruhan naskah tersebut ke dalam bagian-bagian, yang di dalam bagian-bagian tersebut bisa dibagi-bagi kembali.

14

Pembagian inilah yang kemudian dikenal dengan istilah babak-babak, adegan-adegan, bit-bit— atau dalam istilah Stanislavski—dalam satuan-satuan.8 Dalam An Actor Prepares, Stanislavski sering menyebut unit dengan istilah “bit” yang dalam versi bahasa Rusia disebut kusok. Sedangkan kata zadacha dari bahasa Rusia tidak diterjemahkan Hapgod ke dalam bahasa Inggris sebagai objective, melainkan goal atau “sasaran”.9 Namun dalam modul ini akan dipakai istilah unit (satuan) dan objectives (sasaran), walaupun Stanislavski sendiri jauh lebih sering memakai istilah bits untuk unit dan task untuk objectives dalam setiap latihan. Untuk mengidentifikasi suatu bagian yang besar dalam sebuah lakon, aktor dapat menggunakan pertanyaan: “Apa inti dari lakon ini?”—sesuatu yang tanpanya lakon tidak bisa menjelma? Sekali bagian besar terdidentifikasi, lalu unit-unit yang sedang dan kecil, maka bagian yang paling besar telah terpaut di dalamnya. Meskipun demikian, Stanislavski sering mengatakan bahwa membagi sebuah lakon menjadi unit-unit hanyalah langkah temporer yang sederhana untuk memudahkan proses kerja latihan. Walaupun hal itu sangat penting untuk kecermatan kerja aktor, aktor tidak perlu seperti mengenakan jaket yang sangat ketat dengan terlalu banyak menambahkan detail. Untuk mencegah hal ini, aktor perlu bergantung pada “saluran gagasan” (channel of idea) yang mengandung suatu pokok pikiran tertentu dan mengarahkan seluruh tindakan-tindakan kecil ke dalam sebuah unit. Stanislavski menganalogikan perlunya pembagian dalam satuan-satuan ini dengan perjamuan yang dilakukan Paman Paul terhadap beberapa murid-muridnya. Di meja makan, sepotong ayam kalkun panggang telah tersedia dan Paman Paul menyuruh tamu-tamunya untuk membayangkan ayam kalkun tersebut sebagai lakon yang terdiri atas lima babak. Apakah ayam kalkun itu bisa dihabiskan dalam satu kali suap, tanya Paman Paul. Tidak, jawab seorang anaknya. Karena itulah, ujar Paman Paul, potongan ayam kalkun ini harus kita bagi kembali dalam potongan yang lebih kecil. Setelah Paman Paul

8

Stanislavski seperti bergerak dari makro-level ke mikro-level dalam usahanya untuk memahami misi utama naskah. Problem makro aktor adalah pada persoalan—bagaimana caranya mengakses “creative state”—dalam rangka untuk mengejawantahkan tokoh plus sekian banyak detail yang telah diterakan di dalam naskah lakon. “Jika (keadaan kreatif) itu tak mungkin dikuasai keseluruhannya hanya dengan satu kali pembacaan teks, maka ia mungkin saja dapat dicapai dalam bit demi bit. Atau dengan kata lain mencapai yang keseluruhan melalui bagian demi bagian,” ujar Stanislavski. Usaha untuk melakukan konstruksi bagian per bagian ini dipercaya Stanislavski akan memudahkan aktor sekaligus menjadi jalan baginya untuk “mengolah” inspirasi yang telah mudah ia dapat saat mengolah “bagian/satuan” yang realatif lebih kecil itu. Melalui pengenalan dan pengolahan bit atau satuan-satuan yang lebih kecil ini, diharapkan aktor akan menjadi lebih mudah menjadikan aktingnya sebagai “sifat bawaan kedua” bagi lakunya kelak di panggung. Jadi, dapat dikatakan Stanislavski melakukan semacam pendekatan “atomistik” untuk menafsir sekaligus “membangun” ulang konstruksi naskah lakon secara keseluruhan. Untuk lebih jelas, baca Jonathan Pitches, Science and Stanislavsky Tradition of Acting (New York: Routledge, 2006), 26. Selanjutnya ditulis Science and Stanislavsky. 9 Stanislavski kerap menggunakan kata bit atau potongan daging untuk menerjemahkan kata kusok dalam bahasa Rusia ketimbang unit atau satuan. Mungkin karena Stanislavski ingin menggunakan kata-kata yang dekat dalam kehidupan sehari-hari agar lebih mudah dipahami. Sedangkan Hapgod menerjemahkan zadacha, yang sesungguhnya berarti “tugas” dalam bahasa Rusia menjadi objective atau “sasaran”—di dalam setiap satuan/bit pasti akan telah terkandung di dalamnya satu “sasaran” (objective) yang harus dicapai aktor pada bagian tertentu itu. Padahal arti yang lebih tepat untuk zadacha sesungguhnya adalah task (tugas). Pada kata task terkandung dua arti laku itu sendiri juga adanya batu sandungan yang harus diselesaikan—tugasnya—oleh aktor melalui aksi agar ia dapat melanjutkan aksinya ke momentum yang lain, yang ada di depan. Kata tugas memang terdengar lebih provokatif bagi aktor ketimbang kata sasaran. Kata tugas ini menjadi pancingan dan permintaan khusus bagi aktor untuk mendekati teks: untuk berpikir ke depan, terpusat pada tujuan dan aktif (Science and Stanislavsky, 27).

15

memotong kembali ayam kalkun, ia kembali meminta para tamunya untuk memakan ayam tersebut dalam sekali suapan. Namun, potongan itu belum cukup kecil untuk dimakan dalam sekali suapan. Karena itu, ujar Paman Paul, kalian harus terus membagi ayam itu dalam pototngan-potongan yang lebih kecil lagi, sampai kalian mampu memakannya dalam satu kali suapan. Demikianlah sebuah naskah lakon harus terus kita bagi dalam beberapa potongan sampai kita mampu mengunyahnya dengan leluasa. Membayangkan apa saja yang harus dikerjakan aktor secara detail dan tepat detik demi detik dalam seluruh pertunjukan mungkin akan membuat siapa pun merasa mustahil. Tetapi ketika semua itu sudah dibagi dalam unit-unit terkecil, dan mulai menempuhnya, kita akan mulai bergerak menuju “sasaran” dengan tidak melewatkan satu hal penting pun. Tentu saja “detail” dalam hal ini dalam takaran kebutuhan artistik permainan sesuai dengan given circumstance dan bukan “tiruan dari realitas yang sebenarnya”. Hal ini bisa diperjelas dengan ilustrasi di bawah ini: Suatu malam, Maula merasa kacau setelah bertengkar dengan ayahnya. Ia memerlukan tempat yang nyaman agar bisa menenangkan pikiran. Ia pun pergi tak tahu arah. Tibatiba hujan deras. Maula terus memacu sepeda motornya menuju rumah Bayasa yang terletak di pinggiran kota. Setelah mengeringkan badan dan mengganti pakiannya, Maula duduk di beranda. Merasakan sepi malam dan hujan. Bila ilustrasi di atas adalah sebuah adegan, kita bisa membaginya dalam beberapa unit berdasarkan pokok pikiran atau saluran gagasan yang terdapat di dalamnya: 1. 2. 3. 4.

Maula merasa kacau karena bertengkar dengan ayahnya Pergi dari rumah mencari tempat yang nyaman untuk menenangkan pikiran Kehujanan di jalan lalu mampir ke rumah Bayasa Duduk di beranda sendiri dan menenangkan diri

Dari keempat unit (satuan) di atas, saluran gagasan seluruh unit yang menjadi sasaran kreatif utama adalah “Mencari tempat nyaman untuk menenangkan diri”. Pendefenisian “Sasaran Kreatif Peran” ini tak terbantah merupakan sumbangan yang sangat relevan yang diberikan Stanislavski pada praktik-praktik akting modern. Dia menyatakan bahwa, sebagaimana di dalam kehidupan, di atas panggung kita mengikuti tiga jenis sasaran yang berbeda: mekanis, naluriah dan psikologis. Sasaran mekanis adalah “ritual-ritual pokok” atau kebiasaan-kebiasaan yang sudah menjadi lazim dalam suatu budaya atau masyarakat. Misalnya, anda berjumpa seseorang untuk pertama kali dan anda menjabat tangannya. Tindakan anda ini tidak mengandung motif psikologis tertentu. Sasaran anda sederhana saja: Anda berharap menjadi kenalannya, dan pada fase ini anda melakukan “ritual” berupa jabatan tangan dengan tanpa muatan emosi pribadi tertentu. Pada kesempatan lain, anda berjumpa dengan seorang aktor idola anda dan berkesempatan menjabat tangannya. Tindakan anda bersalaman dengannya itu tentu saja mengandung motif psikologis berupa kekaguman dan rasa bangga. Jabatan tangan itu adalah “sasaran naluriah” sebagai tanda (sikap) dari kekaguman dan rasa bangga yang pasti akan ditunjukkan oleh seorang pengagum kepada idolanya.

16

Sedangkan bila anda menjabat tangan seorang kawan akrab yang beberapa hari lalu bertengkar dengan anda dan anda ingin sekali meminta maaf padanya, akan menjadi “sasaran psikologis”. Sebab tindakan itu memiliki muatan berupa motif emosi yang lebih dalam dan muncul dari kesadaran. Dari ketiga ilustrasi di atas kita bisa menyimpulkan ada tiga bentuk motif batin yang berbeda dari tindakan yang sama: menjabat tangan. Dengan motif batin yang berbeda itu, kita pun akan mendapatkan gambaran detail yang berbeda dari tindakan menjabat tangan. Semua perbedaan ini lahir dari dan menggambarkan sasaran yang berbeda pula. Dengan gambaran seperti itu, Stanislavski telah menunjukkan kepada kita betapa sederhananya untuk mewujudkan sasaran, dan juga betapa indahnya sebuah laku yang dijelmakan dari kepaduan tindakan fisik dan psikologis yang tepat. Sehingga kita tidak perlu berjuang terlalu keras untuk menjadi “aktor yang utuh” (psycho-physical). Mengingat “sasaran” menjadi sesuatu yang sangat rawan dalam sebuah pertunjukan, Stanislavski telah mendedikasikan waktunya untuk mendefenisikan dan menemukan cara bagaimana suatu “sasaran” bisa diartikulasikan dan dinamai oleh aktor. Cara tercepat untuk menemukan sasaran kreatif sebuah tokoh adalah dengan mengajukan pertanyaan: “Apa yang saya inginkan?” Tetapi jawabannya tidak bisa bersifat terlalu umum. Misalnya: “Saya ingin kekuatan”, jawaban ini tidak memiliki daya dorong di dalamnya. Oleh karena itu sangat penting untuk mengajukan pertanyaan lanjutan yang lebih spesifik seperti: “Apa yang harus saya lakukan untuk mendapatkan kekuatan itu?”. Pertanyaan lanjutan ini mengarah pada tindakan-tindakan yang akan dilakukan untuk mencapai “sasaran”.10 Hanya pertanyaan aktif yang akan menghasilkan gairah dan menarik sasaran, dan mengekspresikan sasaran melalui sebuah kata kerja yang memiliki daya dorong bagi aktor untuk melakukan suatu tindakan dalam mencapai sasaran.11

4. Subteks Apabila “satuan” dan “sasaran” itu diurai lagi menjadi bagian-bagian yang terkecil, maka aktor akan bekerja melalui dialog demi dialog (line by line) yang terdapat di dalam naskah. Setiap kata atau kalimat yang diucapkan aktor berbarengan dengan tindakan tertentu ini menjadi “unit”.

10

Dengan kata lain, tindakan-tindakan ini dilakukan dalam rangka “menyelesaikan suatu tugas” yang harus dilakukan aktor agar ia mampu menggerakkan aksinya terus ke depan, ke peristiwa-peristiwa selanjutnya yang disediakan teks lakon. 11 Jadi, sesungguhnya proses “aksi-reaksi” atau “laku” menurut Stanislavski merujuk pada hukum ketiga Newton, The Law of Inertia—“to every action there is always opposed an equal reaction”. Stanislavski menegaskan bahwa setiap laku atau aksi, yang digerakkan oleh “motif dalam” secara otomatis juga akan menimbulkan “aksi balasan” atau “reaksi” yang sama kuatnya dengan aksi pendahulu. Reaksi ini akan berperan sebagai “serangkaian masalah” yang akan menghadang aktor untuk menggenapi sasarannya. Proses dialektika inilah yang melambari setiap laku dalam proses pemeranan. Maka, tugas aktor, disamping menyiapkan “motivasi” dan “sasaran” bagi setiap lakunya, ia juga harus memahami secara benar “reaksi” yang akan muncul sebagai balasan dari aksinya tersebut. Reaksi ini bisa saja muncul dari lawan mainnya atau muncul dari lingkungan peristiwa yang sedang ia hadapi atau justru muncul dari dalam dirinya sendiri. Semakin aktor mampu memahami sifat dan kekuatan “reaksi” ini, maka akan semakin tepat dan logis pula aksi atau laku yang akan ia lakukan. Karena itu, tugas aktorlah untuk memahami kembali “tugasnya” pada setiap satuan, untuk mencari solusi bagi problemnya. Dengan berfokus pada “tugas” yang ia hadapi pada setiap satuan, maka aktor akan terhindar dari bentuk-bentuk aksi atau laku yang klise, tak logis, juga laku yang hanya berpretensi pada “hasil” (Science and Stanislavsky, 28).

17

Sedangkan muatan batin atau pokok pikiran atau maksud yang hendak disampaikan melalui kata atau kalimat atau tindakan itu adalah “sasaran”. Maksud atau muatan batin yang bersifat tersirat dari setiap kalimat atau tindakan yang dilakukan aktor ini disebut “subteks”. Subteks adalah apa “yang terjadi atau berlangsung” di dalam benak tokoh. Subteks berarti “pemikiran-pemikiran” yang terus saja berkelebat di dalam benak tokoh. Subteks terdiri atas dua bagian: monolog batin dan gambaran-gambaran mental (mental images). Mengapa subteks ini bisa muncul dalam diri tokoh? Karena, seperti dalam kehidupan sehari-hari manusia, otak kita tak pernah berhenti bekerja, berpikir, bahkan saat tidur pun otak tetap bekerja menghasilkan pemikiran-pemikirannya. Kebanyakan memang pemikran-pemikiran ini berlangsung di alam bawah sadar individu. Jadi, monolog batin dan gambaran mental ini bekerja secara spontan dan kerap tak disadari, juga oleh aktor. Karena itu, aktor yang sedang berperan haruslah menciptakan secara sadar dua bagian dari subteks itu dan membuatnya menjadi bagian “tak sadar” selama proses latihan. Membuatnya tak sadar di sini berarti aktor berupaya menjadikan monolog batin dan gambaran mental yang ada di dalam benak tokoh sebagi sifat alamiahnya. Ia harus membiasakan tokoh berpikir, secara sadar dan tak sadar dengan pikiran-pikirannya sendiri. Hasil akhirnya adalah selama pementasan aktor menggunakan “pemikiran-pemikiran tidak sadar si tokoh” ketimbang ia menggunkan pemikirannya sendiri selaku individu.12 Subteks ini tidak selalu sebangun dengan apa yang tertulis secara verbal di dalam naskah. Seorang peran di dalam naskah bisa saja mengatakan “pergi kamu!” kepada temannya, namun secara implisit tujuannya bukan untuk mengusir namun justru untuk melindungi dia dari sesuatu. Tujuan atau sasaran (subtext) ini bisa ditampakkan berbarengan ketika atau setelah kalimat itu diucapkan, atau justru setelah sebuah peristiwa yang melatarinya berlalu. Umumnya, pengarang menyembunyikan tujuan-batin dari dialog yang ditulisnya untuk memberi kesan lebih mendalam dan lebih halus kepada tokoh yang diciptakannya. Subteks ini bisa menjadi “hal kecil” yang mampu menciptakan kontradiksi atau ironi yang dapat memperkaya permainan seorang aktor (tokoh) di atas panggung. Di dalam pertunjukan, sebentuk subteks tentulah tidak diucapkan secara verbal oleh aktor. Ia ditafsirkan aktor melalui intonasi, gestur, postur tubuh atau isyarat mimik wajah tertentu, jedajeda di dalam atau antarkalimat dan dalam tindakan-tindakan. Dengan demikian, melalui imajinasi aktor seakan-akan subteks “berbicara” secara langsung dengan penonton. Karena pentingnya subteks, Stanislavski bahkan berujar, “Penonton datang ke gedung pertunjukan teater untuk ‘mendengarkan’ subteks. Mereka bisa membaca teks di rumah.” Dalam pertunjukan-pertunjukannya yang mementaskan lakon-lakon Anton Chekov, Moscow Art Theatre memainkan subteks-subteks ini secara ekstensif. Karena memang lakonlakon Chekov dikenal dengan “diam”nya atau “keheningan” yang memang diniatkan ada untuk melambari laku-laku eksplisit tokoh. Bagi Stanislavski, subteks menambah tekstur dan kekayaan untuk sebuah laku atau aksi. Menurutnya, bahkan untuk sebuah laku yang jujur, ia akan terlihat datar dan membosankan jika tanpa pendayagunaan subteks di dalamnya. Sebab penonton ingin sekali terlibat dalam perubahan-perubahan perilaku, emosi dan pikiran-pikiran si tokoh. Sehingga seakan-akan antara penonton dan tokoh ada proses “berbagi rahasia” dalam hubungannya dengan tokoh lain yang ada dalam adegan tertentu.13

12

Anthony Lewis Johnson, Training the Youth Actor: A Physical Approach (Ohio: University of Akron, 2009), 2324. 13 Pevriz Sawoski, The Stanislavski System: Growth and Methodology, 09-10.

18

5. Superobyektif Masa depan suatu peran adalah tujuan utamanya, superobyektifnya.14 Bila dalam “Sistem Stanislavski” khususnya pada buku An Actor Prepares, pembahasan mengenai “superobyektif” ada dalam bab terakhir, maka pada modul ini ia menjadi fase terakhir dari kerja analisis round the table. Walaupun demikian, membaca bagian ini sendirian tidak dengan sertamerta bisa membuat kita menangkap ide yang utuh mengenai hal ini. Meskipun memahaminya dengan jelas sangat penting. Superobyektif atau supertask (tugas utama) adalah tujuan utama drama, di mana ia merupakan wadah bagi bergabungnya semua “tugas-tugas” yang terdapat di satuan-satuan, yang akan membangkitkan ide-ide kreatif maupun aksi dari aktor. Stanislavski berujar, “Or, in other words, you must look for the Supertask not only in the role but also in the heart and mind of the actor” (Training the Youth Actor, 36). Karena itu, setiap individu yang bekerja di dalam drama yang dimainkan itu mestilah bersetuju terhadap superobyektif yang terdapat di dalam teks. Sebab superobyektif hadir dari ideide yang ada pada penulis teks lakon dan harus “menghasut” reaksi dari para aktor selama pertunjukan. Usaha untuk mengejar superobyektif ini haruslah berkesinambungan dan tak terputus dalam permainan dan dalam pikiran setiap pemeran. Jadi, tujuannya adalah untuk mengarahkan seluruh energi dan fokus aktor menuju penggenapan “tugas” yang akan juga memenuhi superobyektif atau “tugas utama”. Stanislavski berujar, Superobyektif atau supertask harus tertanam kuat dalam kepribadian aktor, dalam imjinasinya, dalam pikirannya, dalam perasaannya, sekuat yang aktor bisa. Superobyektif harus mengingatkan aktor untuk tak henti-hentinya berfokus pada kehidupan batin peran dan tujuan kerja kreatifnya (Training the Youth Actor, 36). Dalam An Actor Prepares, Torstov memulai dengan menghubungkannya pada penulis lakon, khususnya pada Chekov. (Ada sedikit keraguan di sini, hal itu akibat Chekov merasa bahwa Stanislavski tidak benar-benar memahami tentang apa dramanya itu). Kemudian Torstov menghubungkan hal ini pada alur cerita, menyatakan bahwa dalam karya-karya besar di mana terletak “daya-magne” yang besar: di situlah superobyektif menjelma. Ketika ia mulai menjelaskan mengenai hal ini, contoh yang ia pilih adalah yang berhubungan dengan tokoh utama dalam drama. Jadi, sebagai contoh, dalam lakon Le malade Imaginare superobyektif ditandai dari perspektif tokoh pria utama sebagai: “Saya berharap menjadi berpikir, menjadi sakit.” Dihubungkan dengan gagasan bahwa mendefinisikan superobyektif dapat memengaruhi gaya drama, bahkan menggantinya dari komedi menjadi tragedi atau sebaliknya, menjadi problematis ketika Stanislavski menggunakan tokoh pria utama (khususnya salah satu yang pernah ia mainkan) untuk membatasi superobyektif seluruh drama. Tidaklah mengherankan bila kemudian para sarjana internasional memiliki interpretasi berbeda mengenai superobyektif. Di tangan yang lain, Jean Benedetti menghubungkannya dengan 14

Membangun Tokoh, 221.

19

lakon secara keseluruhan (Stanislavski, 42), dan Sonia Moore menggambarkannya sebagai “kewajiban aktor” untuk memancarkan kepada penonton ide utama penulis naskah. Sementara Sharon Carnicke menggambarkannya sebagai tindakan yang menentang yang terpaut dengan tindakan-tindakan yang muncul melalui naskah, dan Mel Gordon menulis bahwa melalui superobyektif aktor bertindak dan mengarahkannya pada tujuan dan tindakan besar di dalam drama. Namun semuanya dengan jelas memberi perhatian yang sangat mendalam mengenai: “apakah superobyektif menghubungkan kita pada alasan-alasan utama penulis lakon menuliskan karyanya.” Masih diliputi kebingungan, Stanislavski mendefenisikan superobyektif sebagai: Hakikat terdalam, mencakup seluruh tujuan, sasaran dari semua sasaran, pusat perhatian dari seluruh skor peran, dari seluruh satuan besar dan kecil. Superobyektif mewadahi makna, perasaan-perasaan terdalam, dari seluruh sasaran-sasaran perantara di dalam drama. Membawa keluar superobyektif ini kau akan sampai pada sesuatu yang bahkan lebih penting lagi, kesadaran tertinggi, tak tertuliskan, yang merupakan semangat diri penulis sendiri, sesuatu yang telah menginspsirasinya untuk menulis, dan juga menginspirasi aktor untuk bertindak (Konstantin Stanislavski, 75). Semua hal yang tersebar, sasaran, satuan, tindakan, di dalam peran tercakup dalam definisi ini. Sama dengan sejenis kekuatan yang menggerakkan kreativitas yang menginspirasi penulis untuk menulis dan aktor untuk berakting: bersifat spesifik sekaligus universal. Inilah kesatupaduan penulis dan aktor. Di akhir bab mengenai pembahasan superobyektif, Stanislavski memperjelas pemahaman mengenai superobyektif ini dengan sejumlah kualitas kunci yang disyaratkan untuk menandainya. Pertama, ia harus mendukung sudut pandang pengarang (dengan kata lain superobyektif setiap tokoh harus memiliki tema utama lakon). Kedua, ia harus membangkitkan kekuatan motif-motif dalam aktor; bagaimanapun ia harus muncul dari kerja aktor melalui suatu proses kreatif tanpa menjadi terlalu intelektual (Konstantin Stanislavski, 76). Barangkali ide yang sangat mencolok adalah bahwa superobyektif harus menyatukan aktor, sutradara dan penulis lakon. Ia tidak bisa menjadi sesuatu yang dimengerti sendiri oleh sutradara, melainkan harus muncul dari pemahaman bersama seluruh pemeran. Hanya dengan demikian setiap aktor akan dibangkitkan oleh pilihan superobyektifnya, sementara secara serempak melayani atau merefleksikan tujuan penulis dalam menuliskan dramanya. Adalah tugas sutradara untuk membantu aktor mengajukan pertanyaan yang benar dan menjelmakan setiap detail yang benar untuk mengidentifikasi superobyektif mereka secara memuaskan dan akurat. Sekali aktor mulai mempertimbangkan semua elemen (ini bisa sangat menentukan, superobyektif harus menautkan aktor dengan penulis lakon, harus menggerakkan keinginan aktor untuk mengeksekusinya), ia mewujudkan bagaimana sulitnya mengidentifikasi superobyektif. Tentu saja, sangat diutamakan untuk mencapainya secara benar, sebagaimana ia memiliki kemampuan untuk menciptakan drama yang hidup di atas panggung, dengan kemurnian aktor dalam mendengarkan dan merespons satu sama lain. Garis lurus laku dalam lakon dibuat untuk menemukan hubungan setiap tindakan yang dilakukan para aktor di dalam adegan sehingga ia logis. Sedangkan superobyektif berarti usaha

20

untuk menggambarkan dan menokohkan ide-ide yang esensial dan utama dari lakon dan harus diwujudkan melalu serangkaian “Garis Laku”.15 Dalam pertunjukan, ujar Stanislavski, “Whole stream of individual minor objectives, all the imaginative thought, feelings and actions of an actor should converge to carry out this Super-objective. . .the most powerful stimuli to subconscious creativeness. . .are the trough line the action and Super-obyective. ... Dari beberapa ihwal di atas yang mesti ditelaah aktor, analisis round the table ini memang terlihat sangat bersifat kognitif. Namun,Stanislavski sesungguhnya mempunyai maksud yang lebih dari sekedar bersifat teknis berkenaan dengan fase ini. Ia berujar bahwa tujuan dari analisis round the table ini adalah agar semua pihak yang terlibat, terutama para aktor dan tim artistik, merasa “memiliki” produksi dan sekaligus juga merasa memiliki tanggung jawab yang sama dengan sutradara untuk secara kreatif menciptakan peran-peran tokoh yang kelak akan mereka mainkan di panggung. Namun, pada fase akhir investigasinya terhadap akting justru Stanislavski menemukan bahwa proses analisis secara intelektual tersebut hanya mampu membuat para aktor memahami tokoh secara kognitif, atau hanya berhenti pada level pikiran atau intelektual saja. Analisis yang bersifat intelektual ini belum mampu mengajak aktor menyelam lebih ke dalam dari aspek dirinya sebagai individu, yang bukan hanya mengandung sisi kognitif dari dirinya, namun juga mengandung sisi afektif atau emosi dan juga naluri yang tentunya bersifat lebih dalam ketimbang aspek intelektual semata. Untuk itulah, pada fase berikutnya, metode analisis terhadap penokohan yang dilakukan oleh para aktor tak hanya berhenti pada level intelektual namun langsung kepada aspek yang sifatnya fisik dari penokohan yang akan diperankan yang dalam buku ini akan dibahas pada bagian akhir dalam bagian “Laku Fisik” dan “Analisis Aktif”.

6. Imajinasi Komponen lain dari kerja pikiran yang dieksplorasi Stanislavski dalam sistemnya adalah Imajinasi. Seni adalah hasil imajinasi, demikian juga halnya dengan karya seorang pengarang drama. Tujuan seorang aktor adalah mempergunakan tekniknya untuk mengubah lakon itu menjadi aktualitas teater. Dalam proses ini imajinasi memainkan peranan yang penting sekali (Persiapan Seorang Aktor, 65).

15

Sekali lagi, garis laku/aksi ini berisi aksi dan aksi tandingan. Melalui proses dialektika inilah maka akan muncul konflik, yang sekiranya membuat sebuah kisah menjadi lebih dramatik. Dari sini memang dapat dilihat pemahaman saintifik Newtonian yang mendalam oleh Stanislavski mengenai Hukum Gerak yang Ketiga oleh Newton. Karena itu “Sistem Stanislavski” sesungguhnya mendasarkan diri pada Hukum Gerak Newton yang ketiga ini—bagaimana setiap tokoh berkembang di dalam kisah melalui serangkaian “bentrokan” dengan tokoh lain. Bagaimana “konflik kepentingan” yang terjadi antartokoh sesungguhnya menjadi daya penggerak sebuah kisah atau drama. Stanislavski berujar, “Every action meets with a reaction which inturn intensifies the first. In every play, beside the main action we finds its opposite counteraction. This is fortunate because its inevitable result is more action. We need that clash of purposes, and all problems to solve that grow out of them. They cause activity which is the basis of our art.” Untuk pemahaman yang lebih dalam, baca Training the Youth Actor, 36-37, dan Science and The Stanislavsky, 32.

21

Sistem Stanislavski sangat memberikan nilai yang lebih pada kapasitas aktor yang mampu membangun semacam situasi fiksional sehingga seakan-akan ia nyata. Kerap penulis naskah lakon tak memberikan semua informasi (yang berkenaan dengan penokohan atau lainnya) di dalam naskah lakon yang sekiranya amat dibutuhkan aktor. Baik sutradara maupun anggota tim produksi lainnya tak pula memberikan jawaban yang jelas. Maka, seorang aktor harus mengisi kekososongan “data dan fakta” di dalam naskah lakon ini dengan imajinasinya. Aktor semestinya mampu memadukan antara situasi-situasi khusus/terberi dan tertentu yang berkenaan dengan tokoh yang disediakan oleh lakon dengan detail-detail latar belakang atau masa lalu tokoh atau lakon dengan imajinasinya. Stanislavski berujar, Apakah seorang penulis drama menyediakan semua yang harus diketahui oleh aktor tentang sebuah lakon? Apa kau sanggup membeberkan kisah para pelaku sebuah lakon secara lengkap dalam seratus halaman? Misalnya, apakah pengarang telah memberikan cukup detail tentang apa yang telah terjadi sebelum lakon mulai? Apa ia memberi tahu apa yang terjadi setelah lakon itu berakhir?. . .Apa ia memberi rona pikiran, perasaan, detak hati dan perbuatan para tokohnya? . . .Tidak, semua ini harus dilengkapi dan diperdalam oleh seorang aktor. Dalam proses kreatif ini yang memimpin seorang aktor adalah imajinasinya (Persiapan Seorang Aktor, 66-67). Jadi, imajinasi aktor berfungsi sebagai pengisi dari “celah-celah kosong” yang terdapat di dalam teks, agar ia mampu mengaktualisasikan dan menghidupkan lakon di panggung dengan sempurna dan meyakinkan. Untuk itu aktor haruslah memiliki kekayaan dan kekuatan imajinasi yang baik. Aktor harus belajar untuk membuat kemampuan imajinasinya terampil, sehingga dengan keterampilan ini perwatakan yang ia mainkan menjadi betul-betul lengkap. Jika aktor tak mampu atau malas mendayagunakan imajinasi dalam dirinya, maka yang akan tampil di panggung adalah tokoh-tokoh yang canggung, yang hidupnya tak lengkap, yang datar dan pasti membosankan. Karena itu, mau tak mau, keterampilan untuk mengolah imajinasi adalah salah satu syarat utama untuk menjadi aktor yang baik. Stanislavski berujar, Ia harus menumbuhkannya (imajinasi—pen). . .atau kalau tidak, sebaiknya ia meninggalkan panggung. Jika tidak, maka ia akan jatuh ke dalam tangan sutradarasutradara yang akan mengisi kekosongan imajinasi mereka dengan imajinasinya sendiri, hingga ia menjadi sekadar alat saja (Persiapan Seorang Aktor, 68). Latar belakang atau masa lalu adalah latar cerita. Saat aktor memulai sebuah adegan, ia harus mampu menjustifikasi melalui imajinasinya apa yang telah terjadi sebelum adegan itu dimainkan. Dalam hal ini, Stanislavski membedakan antara imajinasi dan fantasi yang dilakukan aktor. Imajinasi, ujar Stanislavski, adalah menciptakan apa itu, apa yang hadir, dan apa yang kita ketahui, sedangkan fantasi berrkutat pada “apa yang bukan”, “apa yang tak kita ketahui”, dan “apa yang tak pernah dan selalu tak terjadi” (Stanislavski, My Life in Art, 61). Untuk itu, aktor sesungguhnya berurusan dengan imajinasi yang bersifat aktif ketimbang imajinasi pasif. Metode untuk mengembangkan imajinasi dalam sistem Stanislavski dikenal dengan istilah “The Magic If”. Ia berujar,

22

Pekerjaan kita untuk sebuah lakon dimulai dengan penggunaan “bagaimana jika” sebagai ancang-ancang untuk menaikkan kita dari kehidupan sehari-hari ke suatu dunia imajinasi. Lakon itu sendiri, peranan-peranan yang terdapat di dalamnya, adalah hasil penemuan imajinasi pengarang drama, dan merupakan serentetan “bagaimana jika” dan keadaan tertentu/terberi yang ia ciptakan (Persiapan Seorang Aktor, 65). Stanislavski mendapat inspirasi untuk mengembangkan metode latihan “The Magic If” ini berdasarkan permainan-permainan dengan sepupunya dari masa kecilnya. Dalam permainan ini, aktor dapat menentukan obyek tertentu sebagai sasarannya, kemudian sang aktor harus mengubah relasi atau hubungannya dengan si obyek—tentang apakah juga fungsi obyek di dalam pikirannya. Misalnya, si aktor sedang memegang sebuah pengering rambut, maka ia harus mengubah fungsi obyek (pengering rambut) tersebut dengan fungsinya sebagai benda lain, misalnya sebagai es krim atau teropong, atau apa saja. Latihan ini sekiranya akan dapat mengembangkan kemampuan aktor untuk meyakini kenyataan yang imajinatif atau fiksional dari suatu obyek atau situasi tertentu. Lebih jauh, Stanislavski menghendaki agar aktor bisa memiliki kemampuan untuk mengembangkan semacam “kesadaran dua arah”. Kesadaran dua arah yang dimaksud Stanislavski adalah meski sesungguhnya aktor tahu bahwa set tertentu, atau properti atau situasi tertentu seperti yang ada di dalam teks dan tergambar di panggung, adalah sebentuk kenyataan palsu—aktor mesti menanyakan pada dirinya, “Bagaimana seandainya hal-hal tersebut nyata adanya?” (Tracing the Impact, 38). Stanislavski juga memberikan penekanan khusus kepada “visualisasi” agar aktor mampu mengembangkan kemampuan imajinasinya. Visualisasi yang dimaksud adalah semacam penglihatan batin atau penglihatan yang ada dalam benak aktor bagi lakon atau tokoh yang sedang dimainkan. Ia sangat menekankan ihwal yang menegaskan bahwa selayaknya seorang aktor tak boleh bermain di panggung tanpa imaji juga gambaran yang jelas dan jernih tentang “situasisituasi khusus/terberi” dari pertunjukan tersebut di dalam benaknya. Sampai di sini, kita bisa melihat dengan jelas bagaimana komponen-komponen yang menyusun sistem tidak bisa kita pilah-pilah begitu saja. Pada bagian yang khusus membahas “Imajinasi” ini, kita masih dapat menemukan kaitannya dengan “Tindakan”, “Ingatan Emosi”, “If”, “Adaptasi”, dan “Garis Laku”. Hal ini tergambar misalnya pada saat Torstov memulai pelajaran pertama tentang imajinasi dengan cara amat sederhana. Ia memulainya dengan membawa seluruh siswa (aktor) ke dalam situasi aktual saat kelas akting dilakukan, sore hari. Ia lalu mengambil satu data kecil dari “Situasi Terberi”, yakni latar waktu. Mengajukan pertanyaan kepada para aktor bagaimana mereka akan mengubah perilaku atau kebiasaan mereka seandainya (bagaimana jika) saat itu dalam kenyataannya adalah pukul 03 dini hari? Lalu tugas berikutnya sedikit lebih kompleks, dengan menggunakan imajinasinya, Kostya diminta membawa semua temannya ke dalam kamar, momen demi momen, detail demi detail. Proses ini menghendaki suatu gambaran rangkaian tindakan yang menyatu dan logis dari pembayangan aktivitas-aktivitas yang sangat kecil (seperti membuka pintu dan menekan tombol lampu). Bukan cuma itu, Kostya juga harus memunculkan lebih banyak lagi hal-hal yang sangat halus berupa respons emosi ( seperti merasa asing, nyaman atau tegang). Pada titik ini, untuk merangsang imajinasinya yang terasa kering oleh hal-hal sepele itu, Kostya membayangkan ia menggantung dirinya sendiri di dalam kamar mandi.

23

Menanggapi apa yang dilakuakan Kostya ini, Torstov berkata, Here in lies the importance of logic, after all: “it is only reasonable that your imagination should back at being asked to work from a doubtful premise to stupid conclusion” (Konstantin Stanislavski, 62). Apa yang dikehendaki Stansislavski dalam latihan di atas adalah bagaimana aktor mendapatkan semacam perasaan kesejatian dari rangkaian tindakan atau aktivitas yang sepele, logis, berkesinambungan, dengan motif-motif emosi yang tepat, sehingga menghasilkan suatu garis laku yang kuat (meyakinkan) dan bukan sensasi-sensasi. Melihat prinsip-prinsip kerjanya, bisa dikatakan bahwa inilah dasar dari “Metode Laku Fisik” sebagaimana Stanislavski terus-menerus mengingatkan kebutuhan aktor akan kesatuan dan kesinambungan aspek-aspek batiniah selogis dan serunut laku lahiriahnya. Dan semua itu berakar dalam pengembangan imajinasi. Sangat mungkin untuk mendapatkan gambaran yang menyeluruh dan lengkap dari suatu situasi melalui imajinasi, yakni dengan mengajukan enam pertanyaan mendasar: Siapa saya? Di mana saya? Kapan saya berada di sini? Mengapa saya di sini? (Misalnya, apakah situasi-situasi yang sudah terjadi sebelumnya yang menyebabkan saya berada di sini). Untuk alasan apa saya ada di sini? (Misalnya, apa yang ingin saya raih saat ini. Saya di sini saat ini dan tindakan-tindakan apa yang harus saya lakukan berikutnya untuk meraih hasil)? Bagaimana saya harus keluar dari semua ini? (Misalnya, apa tindakan-tindakan selanjutnya?). Dari keenam pertanyaan itu, Stanislavski sangat menekankan pentingnya pertanyaan: untuk atau karena alasan apa. Ini adalah pertanyaan yang akan mengarahkan aktor pada “Sasaran Laku” (objective). Untuk menemukan jawaban yang memiliki “daya dorong”, aktor perlu menambahkan sesuatu yang sangat mempribadi dari kehidupan mereka sendiri, sesuatu yang akan menjadi pemicu bagi munculnya gairah murni mereka untuk menjangkau sasaran. Apabila jawaban terhadap keenam pertanyaan itu terpaut kuat atau berakar dari dalam diri dan hidup aktor, maka akan semakin kuat keterpautan imajinasinya dengan situasi-situasi terberi yang ada di dalam naskah (Konstantin Stanislavski, 49).

24

4 KERJA EMOSI: BATIN

Pada bab ini akan disajikan beberapa metode yang melandasi kerja aktor dengan berpusat pada emosinya (emotional center). Lagi-lagi harus dikatakan bahwa pembagian ini hanya bertujuan memilah wilayah kerja kreatif (internal) aktor. Dengan kata lain, dalam praktiknya semua bentuk kerja kreatif aktor, baik yang berpusat pada pikiran, perasaan maupun tubuhnya, akan terjadi serempak dan saling melengkapi satu sama lain. 1. Ingatan Emosi Kita bisa menggunakan emosi kita sendiri, sensasi dan naluri-naluri kita sendiri, bahkan ketika kita sedang menghayati tokoh watak yang berbeda dengan pribadi asli kita. . . (Membangun Tokoh, 32). Ingatan emosi adalah aspek yang cukup sulit dalam sistem Stanislavski, sering salah dimengerti oleh banyak praktisi. Melalui beberapa praktik improvisasi terhadap suatu adegan, Stanislavski (via Torstov) sering mengkritik pada para aktor bagaimana akting menjadi sangat mekanis dan formal ketika aktor tidak memberikan respons-respons yang “intim” (berasal dalam diri) dan manusiawi (wajar) pada permainan mereka. Pada poin inilah sesungguhnya konsep mengenai “Ingatan Emosi” (affective memory) secara eksplisit diperkenalkan. Sebuah istilah yang dipinjam dari psikolog Prancis Theodule Ribot yang menyatakan jika seorang pasien mengingat kembali saat mereka masih sehat, mereka akan sembuh lebih cepat dibandingkan pasien yang masih terpaut dengan kesakitan mereka selama proses penyembuhan. Pengaruh dari ingatan-ingatan yang telah lampau atau kekinian situasisituasi terberi diaplikasikan Stanislavski dalam situasi-situasi rekaan (fiksi) di dalam drama. Ia membedakan dua jenis affective memory, yaitu “Ingatan Rasa” dan “Ingatan Emosi”. Ingatan rasa (sensasi) termasuk di dalamnya adalah proses pengulangan secara sadar penglihatan dan suara dari pengalaman sebenarnya pada kegairahan sensasi saat ini di sini. Rasa (pengecapan lidah), penciuman dan sentuhan adalah juga komponen dari ingatan rasa, walaupun Stanislavski menyatakan hal itu tidak cukup kuat. Ingatan emosi lebih bersifat psikologis, kualitasnya sedikit lebih nyata daripada ingatan rasa. Sering ketika kita memanggil ulang pengalaman-pengalaman lampau, kita menemukan perasaan yang ada saat ini berubah menjadi lebih kuat, lebih lemah atau lebih sederhana dari aslinya, tetapi perubahan perasaan itu tak terbantah cukup valid ((Konstantin Stanislavski, 61). Seorang aktor bisa meminjam pengalaman-pengalaman mental atau emosionalnya untuk memberi jiwa pada tokoh yang diperankannya. Pengalaman-pengalaman emosional yang ada pada tokoh yang dimainkan hanyalah berupa “tanda” atau “petunjuk” belaka—bukan sesuatu yang hidup dan nyata. Aktorlah yang harus menjelmakannya. Itulah mengapa aktor membutuhkan suatu cara untuk membangkitkan emosinya. Namun, bila ingatan-ingatan emosi yang dikehendaki dalam tokoh tidak sama—dan tidak mungkin bisa sama—dengan apa yang ada dalam memori aktor, apa

25

yang harus dilakukannya? Misalnya, perasaan bersalah, berdosa dan terkutuk yang melanda Oedipus setelah mengetahui bahwa istrinya adalah ibu kandungnya? Aktor yang hendak memerankan tokoh Oedipus tentu tidak memiliki pengalaman emosi yang sama mengenai perasaan bersalah dan berdosa. Perbedaan itu terletak pada bentuk atau kejadian dan peristiwa yang dialami, motifnya, kapasitas emosi dan dampak yang ditimbulkannya. Namun substansi dari rasa bersalah dan berdosa itu berasal dari sumber yang sama. Sebagai manusia belaka, si aktor tentu pernah merasa bersalah dan berdosa. Kalaupun ia tidak pernah merasa demikian, tapi pasti ia pernah bersalah dan berdosa. Maka dengan membayangkan “bagaimana jika saya adalah Oedipus yang menikahi ibunya sendiri”—si aktor bisa menggunakan rasa bersalah atau berdosa yang pernah ada dalam dirinya, untuk memasuki dunia batin Oedipus dan menjelmakannya dalam tokoh. Tentu saja, kapasitas rasa bersalah yang muncul akan berbeda. Namun, setidaknya ia akan memberi aktor sebuah pijakan untuk mengembangkan empati lebih jauh terhadap apa yang dialami tokoh yang diperankannya. Di dalam Sistem Stanislavski, ingatan emosi adalah sebuah cara, alat atau metode untuk “mengalami” atau berempati terhadap segi-segi batin atau mental tokoh dari berbagai peristiwa yang dialami tokoh sepanjang cerita. Hal yang sangat penting dicatat, latihan-latihan ingatan emosi ini—khususnya menyangkut motif-motif emosi yang gelap dan berat—harus diawasi oleh seorang instruktur yang sudah cukup berpengalaman dan memahami masalah-masalah kejiwaan, sebab daya tahan setiap orang terhadap beban emosi tertentu berbeda-beda. Jangan sampai terjadi, pengalaman-pengalaman emosional yang telah tersimpan di bawah sadar aktor bangkit menguasai kesadarannya, namun si aktor tak mampu menguasai dan mengendalikannya. Ini bisa berakibat buruk bagi kesehatan jiwa. Di sisi lain, Stanislavski sendiri tidak ingin ingatan emosi ini menjadi sesuatu yang terlalu personal dan sempit. Ia menjelaskan hal ini dengan menceritakan kembali sebuah insiden di jalan raya yang dilihat Kostya. Ketika Kostya melihat seorang laki-laki tua ditabrak mobil dan terkapar di jalanan, ia menjadi sangat peduli dengan warna dari insiden itu; warna-warna itu memprovokasi ingatan dan pada saat yang sama menjadi simbol dari suatu tema universal. Salju yang berwarna putih mengingatkannya pada kehidupan, sosok gelap kematian, kucuran darah Lelaki Tua akibat pelanggaran, matahari dan langit dari keabadian dunia, mobil yang berlalu seperti generasi yang berlalu. Dengan kata lain, secara alamiah, detail-detail yang tercerap dari insiden melalui imajinasi Kostya, bergerak dari sifatnya yang harfiah (sebagaimana adanya) menuju taraf yang bersifat imajinatif dan psikologis, yang kemudian melebar—bersifat simbolis—menggema. Penambahan ini ditemukan Kostya ketika ia memanggil ulang ingatan tentang kecelakaan, ingatannya melebur dengan impresi-impresi lain, misalnya seperti saat ia melihat seorang laki-laki tua memberi makan seekor monyet mati dengan kulit jeruk. Jadi, kekuatan ingatan emosi tidak memerlukan detail ingatan dari pengalaman asli, tetapi paling tidak, dalam keterpautan yang diciptakan imajinasi aktor dan resonansi dari keterpautan itu. Pengulangan emosional tidak bisa mandek dalam dirinya sendiri—ia adalah penala yang baik dari kepekaan psiko-fisik aktor, ia adalah campuran warna dari lukisan imajinasi aktor. Mengenai hal ini, Stanislavsky mengatakan, “Ingatan emosi adalah suatu campuran ingatan dalam sekala luas. Ia lebih murni, lebih ringkas, lebih padat, substansial dan lebih tajam dari peristiwa yang sesungguhnya (Persiapan Seorang Aktor, 17, Konstantin Stanislavski, 62).

26

Perlu diingat bahwa ketika seorang aktor “memanggil” kembali suatu peristiwa yang menyebabkannya merasa sangat bersalah, dan lalu perasaan itu ia pindahkan ke panggung untuk memasuki perasaan bersalah pada diri Oedipus, mungkin ia akan menemukan lebih banyak warna yang memberikan rangsangan pada imajinasi dan emosinya. Faktanya, suatu rangsangan tidak harus selalu bersifat internal (ke dalam diri). Sering aspek-aspek yang sangat teknis yang diciptakan aktor dapat memprovokasi emosinya. Misalnya, dalam An Actor Prepares, Stanislavski (via Torstov) meminta siswa duduk di sebuah beranda rumah. Lalu panggung disiram cahaya, musik dan suara yang menyugestikan suasana pagi. Beberapa menit kemudian, atmosfer panggung diubah menjadi suasana sore; juga dengan cahaya, musik, suara dan beberapa penambahan detail. Setelah itu, para aktor diminta mencatat sensasi atau perasaan apa saja yang mereka rasakan. Bagaimana faktor-faktor eksternal itu memengaruhi imajinasi dan emosi mereka. Di antara mereka mungkin ada yang teringat kembali kebahagiaan di masa kanak-kanak, juga ada yang teringat kembali dengan saat di mana ia kehilangan seseorang yang dicintai dan merasakan kesedihannya. Latihan ini membuktikan bahwa emosi dan ingatan emosi dapat diprovokasi tanpa satu pun motif psikologis dari dalam diri aktor, melainkan dengan cara yang sederhana dengan mengubah atmosfer dengan bantuan cahaya dan suara.

2. Konsentrasi Camkan dalam pikiran: semua perbuatan kita, bahkan yang paling sederhana sekalipun, yang dalam kehidupan sehari-hari bagi kita merupakan hal yang sangat biasa, menjadi kaku dan tegang jika kita berdiri di belakang lampu kaki di hadapan penonton yang beribu-ribu. Karena itu kita perlu mengoreksi diri kita sendiri dan belajar kembali bagaimana caranya berjalan, bergerak, duduk atau berbaring. Kita harus mengajar diri kembali untuk memandang dan melihat, untuk memasang telinga dan mendengar.— Stanislavski

Ilustrasi dari Stanislavski di atas adalah kejadian yang pasti akan dialami aktor saat ia berakting di panggung. Segala kewajaran dalam bertingkah laku dalam kehidupan sehari-hari sang aktor seketika akan berubah bahkan musnah sama sekali jika perilaku tersebut ia tampilkan. Penonton menjadi semacam magnet yang begitu kuat menarik konsentrasi aktor dari dunia imajinatifnya—dunia fiksi yang ia bangun berdasarkan lakon yang sedang ia mainkan. Lantas, dunia fiksi tersebut akan menjadi hancur berantakan karena aktor tak lagi mampu berkonsentrasi menjaganya. Perhatian atau konsentrasi aktor telah beralih kepada penonton, atau lebih tepatnya beralih kepada respons atau tanggapan penonton akan akting yang sedang ia mainkan—dan bukannya kepada dunia imajinatif yang ada pada dirinya atau pertunjukannnya. Untuk itulah, maka salah satu latihan dasar yang sangat penting yang menjadi salah satu fondasi dari Sistem Stanislavski adalah keterampilan konsentrasi. Bagi Stanislavski, konsentrasi mengambil tiga bentuk: dunia nyata (real world), dunia imajinasi (imaginary world), dan fokus multilevel (Training the Youth Actor, 22). Dunia nyata adalah semua hal yang saat ini atau sekarang ini sedang dialami aktor di dunianya (panggung). Kelima pancaindra harus aktif dan berperan di dunia ini. Sedang dunia imajinasi berarti apa yang semestinya berlangsung dalam dunia tokoh.

27

Fokus multilevel sederhananya berarti konsentrasi pada lebih dari satu obyek. Misalnya, sang tokoh yang sedang merajut pakaian sambil berbincang dengan seorang sahabatnya sementara matanya sesekali memperhatikan dari jendela anak-anak yang sedang bermain di halaman rumahnya (Stanislavski and the Actor, 38-39). Langkah untuk menguatkan konsentrasi aktor yang pertama adalah dengan menggunakan “Lingkaran Perhatian”. Aktor dapat memulainya dengan memusatkan perhatian kepada obyekobyek kecil lalu mengembangkan konsentrasinya tersebut ke dalam area yang lebih luas atau kepada obyek yang lebih besar. Jika suatu saat sang aktor tiba-tiba merasa bahwa kekuatan konsentrasi atau perhatiannya terganggu atau teralih ke penonton, maka ia bisa segera mengembalikan lagi perhatiannya ke lingkaran perhatian yang lebih kecil di panggung dan melakukan re-fokus pada konsentrasinya. Tentang ini Stanislavski mengatakan, Aku akan memperlihatkan kepada kalian sebuah lingkaran perhatian. Ia terdiri dari sebuah bagian yang lengkap, berukuran besar atau kecil, dan di dalamnya akan terdapat sejumlah titik obyek yang masing-masing berdiri sendiri. Mata boleh saja berpindah dari titik yang satu ke titik yang lain, tapi ia tidak boleh melampaui batas lingkaran perhatian yang sudah ditentukan (Persiapan Seorang Aktor, 92). Lingkaran perhatian ini, jika terkuasai dengan baik, akan berfungsi laiknya benteng bagi aktor, yang akan melindungi konsentrasinya dari “serangan” penonton. Lingkaran perhatian akan membuat intensitas aktor meningkat, karena batas-batas yang dibuat lingkaran perhatian mau tak mau akan membimbing aktor untuk menjadi lebih fokus pada obyek atau peristiwa yang sedang berlangsung di panggung. Selanjutnya, Bahwa seorang aktor harus memilih obyek pusat perhatiannya di atas panggung, pada lakon yang ia mainkan, pada peranannya, pada dekor. Ini adalah suatu hal sulit yang harus kalian pecahkan (Persiapan Seorang Aktor, 90). Jika intensitas perhatian aktor terhadap obyek atau peristiwa menguat, maka interaksi antara aktor dan obyek juga akan lebih wajar dan hidup. Stanislavski juga berujar, Mengamati sebuah obyek secara intensif dengan sendirinya akan menimbulkan keinginan untuk melakukan sesuatu dengan obyek itu. Melakukan sesuatu dengan obyek itu sebaliknya akan memperdalam pengamatan kita terhadap obyek tersebut (Persiapan Seorang Aktor, 87). Dengan cara seperti inilah, akting-akting yang klise dan mati, dalam pengertian menjalani sebentuk laku atau hubungan yang tak wajar dengan benda atau lawan main di atas panggung menjadi bisa dihindari. Ihwal interaksi atau komunikasi yang lebih hidup dan wajar ini sekiranya dikaji lebih jauh oleh Stanislavski dalam bagian latihan dasar tersendiri, yaitu perihal komunikasi. Jenis konsentrasi yang kedua adalah suatu keadaan “sunyi dari publik”, yang sering dikatakan Stanislavski dalam kelas-kelasnya sebagai sebentuk keadaan ketika konsentrasi terjadi secara utuh dan serentak baik secara mental maupun fisik. Bagi aktor, untuk mendapatkan keadaan yang “sunyi dari publik” ini, maka ia harus menyisihkan segala sesuatu yang berasal dari dunia eksternalnya, yang tidak berkorelasi secara langsung dengan lakon yang sedang ia mainkan atau kepada laku aktingnya di panggung. Aktor

28

harus mampu meyakini meskipun ia sedang berada di panggung, bahwa ia berada dalam sebuah situasi yang sangat pribadi, sekali lagi, meskipun ia sedang berhadapan dengan khalayak, ia harus mengandaikan dirinya sedang berada dalam dan berperilaku pada situasi yang sangat pribadi. Ini yang kita sebut kesunyian di tengah orang banyak. Kau berada di tengah orang banyak, karena kami semua ada di sini. Kau sunyi karena kau dipisahkan dari kami oleh Lingkaran Perhatian Kecil. Waktu mengadakan pertunjukan, dihadapan penonton yang beribu-ribu jumlahnya, kita bisa saja menutup diri kita dalam lingkaran ini seperti seekor siput menutup diri dalam rumahnya (Persiapan Seorang Aktor, 93). Laiknya atlet professional, aktor harus melupakan penonton untuk “memenangkan” pertunjukan. Menang untuk kasus ini berarti sang aktor saat berada di atas panggung mesti berada pada “the now” moment atau moment “kekinian”. Seluruh pertunjukan yang berlangsung adalah bergeraknya satu momen “kekinian” ke momen “kekinian” yang lain, begitu seterusnya sampai seluruh lakon rampung dimainkan. Agar bisa bertahan pada momen “kekinian” itu aktor harus tetap fokus pada obyek yang jadi titik konsentrasinya, yang mana obyek itu, selama pertunjukan berlangsung, akan terus berubah. Stanislavski berkata bahwa obyek konsentrasi adalah seseorang atau sesuatu yang menjadi fokus sang aktor (My Life in Art, 86-93). Konsentrasi memiliki dua komponen penting. Pertama, justifikasi. Agar aktor mampu tetap fokus pada sesuatu hal, ia harus memiliki alasan-alasan. Jika tidak, maka pikirannya akan melantur dan berkelana ke mana-mana. Kedua, lingkaran perhatian. Kadang-kadang dibutuhkan fokus yang besar akan sesuatu, namun juga terkadang dibutuhkan fokus yang sempit atau kecil. Lingkaran perhatian mesti meluas atau justru menyempit sesuai dengan kebutuhan yang diperlukan aktor pada momen tertentu (My Life in Art, 22). Misalnya, memasukkan benang ke sebatang jarum tentulah membutuhkan fokus atau lingkaran perhatian yang menyempit. Sedangkan, pertarungan pedang antara satu orang yang melawan lima orang tentulah membutuhkan lingkaran perhatian yang lebih besar atau luas (My Life in Art, 98). Ide mengenai lingkaran perhatian ini meskipun tampak sederhana, namun ia dilatari oleh suatu pertimbangan yang cukup serius. Ide ini dikembangkan bukan cuma untuk memperkuat pusat perhatian di atas panggung. Di sini, ide tentang “dinding keempat” (dinding yang tak terlihat di antara panggung dan penonton) diperkenalkan. Ini adalah aspek dari sistem yang sering disalahpahami, tetapi sangat penting untuk diingat bahwa, bagi Stanislavski, penonton memainkan peran yang sangat penting di dalam pertunjukan yang hidup, namun seorang aktor tidak diperkenankan terserap oleh mereka. Aktor harus membayangkan ada sebuah dinding pembatas antara panggung dan penonton. Penjelasan lebih jauh mengenai hal ini akan dibahas dalam “Kerja Emosional” pada bagian Interaksi Intim (communion). Pada saat yang sama, Stanislavski telah mengobarkan “perlawanan” terhadap eksploitasi aktor dan “sistem bintang”, di mana pertunjukan terhubung dengan penonton lebih untuk tujuantujuan pribadi mereka, daripada untuk melayani teks yang ditulis pengarang. Stanislavski memperingatkan para aktor untuk kembali mengarahkan perhatian mereka kepada panggung.16

16

Ketika pertunjukan teater telah menjadi industri hiburan dan banyak aktor terkenal yang menjadi pujaan para penonton, ada kecenderungan bahwa aktor bermain di atas penggung lebih untuk memenuhi keinginan-keinginan

29

Untuk memperjelas gagasannya mengenai lingkaran perhatian, Stanislavski memberikan suatu metode latihan dalam tiga variasi yang dilakukan dalam bentuk improvisasi terhadap sebuah tema cerita. Seorang bocah laki-laki yang memiliki keterbelakangan mental, menemukan setumpuk uang milik kakaknya. Ia melemparkan uang itu ke dalam kobaran api dan merasa senang dengan kilatan-kilatan api yang memercik di udara. Para siswa memainkan improvisasi adegan ini sebanyak tiga kali di atas panggung: sekali dengan layar diangkat (terbuka), sekali dengan layar turun (tertutup), dan sekali dengan berilusi bahwa mereka mengalami peristiwa itu di dalam diri mereka sendiri. Selama melakukan setiap variasi, mereka gagal membangkitkan gairah dalam diri mereka sendiri, tak satu pun “rasa kebenaran” mereka rasakan dalam tindakan mereka. Ketika mereka diminta untuk menemukan sepatu berhak tinggi milik salah seorang di antara mereka yang hilang, dengan serta-merta mereka menjadi sibuk, melupakan siapa yang di sekelilingnya, beraktivitas sambil mengatakan sesuatu yang tidak begitu jelas, memperhatikan area panggung di sekitar mereka, hingga ke sisi dan sudut panggung lainnya, lalu meluas hingga ke ruang auditorium. Di sini, permintaan untuk mencari sepatu yang hilang (yang sebenarnya sebuah kebohongan) justru telah membuat mereka melakukan aktivitas yang alami, dengan tujuan yang nyata, yang secara menyeluruh menyerap perhatian semua aktor. Dengan ilustrasi itu, Stanislavski menjelaskan mengenai “Empat lingkaran atau pusat perhatian aktor di atas panggung”. Mereka memulainya dengan Lingkaran Kecil: yakni dengan memperhatikan fokus yang sederhana yang meliputi ruang di sekitar lengan dan kepala mereka sendiri; hal ini menghadirkan rasa akan “kesenyapan dalam keramaian” (public solitude), merasa tak ada siapa pun walaupun mereka dilihat oleh orang lain. Ruang atau wilayah perhatian ini kemudian diluaskan menjadi Lingkaran Sedang (mencakup diri aktor sendiri dan lingkungan terdekat di sekitarnya), lalu Lingkaran Besar (seluruh panggung), dan terakhir Lingkaran Paling Besar (meliputi panggung dan ruang auditorium). Dalam pertunjukan, pusat perhatian aktor bergerak dari satu lingkaran perhatian ke lingkaran perhatian berikutnya, seperti berjalan ke luarmasuk ke dalam empat lingkaran perhatian itu. Melanjutkan pembahasan materi ini, Stanislavski menggambarkan perbedaan yang sangat penting antara Perhatian Eksternal (dengan fokus terletak pada benda-benda, furniture atau orangorang) dan Perhatian Internal (dengan bekerja bersama rasa, ingatan emosi dan imajinasi). Walaupun semua ini terdengar sangat “biasa” dan sederhana, Stanislavski menyatakan latihan-latihan untuk memfokuskan perhatian terhadap aspek internal harus lebih giat daripada latihan-latihan fisik; pikiran itu sangat licin dan senang menjelajah ke seluruh ruangan, lebih dari aspek-aspek fisik yang bisa kita pegang lebih cepat. Dikatakan, Perhatian Internal adalah seperti imajinasi—ini seumpama sebuah otot yang dapat menjadi lebih kuat dengan kerja harian, sepanjang aktor terpaut dengan latihan dan bersabar (Konstantin Stanislavski, 51).

3. Komunikasi

penonton terhadap aktor pujaan mereka daripada untuk menjelmakan cerita yang ditulis pengarang. Bahkan, dengan “sistem bintang” ini, kehadiran aktor-aktor lain di atas panggung cenderung menjadi pendukung belaka bagi penonjolan sang bintang. Seakan-akan semua orang yang bermain dan bekerja dalam pertunjukan itu semata-mata hanya agar sang bintang semakin terang dan memuaskan penonton.

30

Bagian berikutnya dari kerja kreatif aktor dengan emosinya adalah komunikasi, yakni interaksi para aktor dalam sebuah drama. Stanislavski berujar, Jika komunikasi antara orang-orang penting artinya dalam kehidupan sehari-hari, di atas panggung hal ini sepuluh kali lebih penting. Kebenaran ini berasal dari sifat teater, dan sifat teater itu dasarnya adalah interkomunikasi para pelaku. Kita takkan bisa membayangkan seorang pengarang drama yang meyajikan tokoh-tokohnya dalam keadaan tidak siuman atau tidur, atau pada saat-saat ketika kehidupan batin mereka tidak berfungsi (Persiapan Seorang Aktor, 208). Bagi Stanislavski, komunikasi terjadi saat subyek mengirimkan pikiran maupun perasaannya kepada sebuah obyek (Membangun Tokoh, 233-235). Dalam kehidupan keseharian banyak komunikasi yang tidak cukup merangsang atau mendebarkan kecuali sesuatu yang dramatis terjadi. Komunikasi yang berlangsung antara pekerja bank dengan pelangggannya bukanlah sebentuk komunikasi yang menarik untuk disimak. Jika seandainya tiba-tiba si pelanggan itu merampok bank tersebut, maka interaksi yang berlangsung di sana barulah akan jadi menarik. Tugas aktorlah untuk membuat hal-hal yang tadinya “biasa” menjadi “luar biasa”. Bagi aktor, ujar Stanislavski, interaksi lebih dari sekadar peristiwa biasa. Stanislavski mencatat ada tiga jenis komunikasi: (a) Komunikasi dengan suatu obyek; (b) Komunikasi dengan diri sendiri (self-communication) dan (c) Komunikasi dengan obyek-obyek imajinatif (Training the Youth Actor, 27). Komunikasi secara langsung dengan obyek termasuk juga di dalamnya komunikasi dengan aktor lain—dan ini bukanlah ihwal yang mudah, meskipun terlihat sederhana. Para aktor kerap membayangkan bahwa bila ia melihat dan mendengar aktor lawan mainnya melakukan sesuatu atau berbicara berarti ia telah melakukan komunikasi dengan lawan mainnya tersebut. Padahal pada waktu yang sama sesungguhnya ia tak sungguh melihat dan tidak sungguh-sungguh mendengar dan menyimak lawan mainnya tersebut. Si aktor hanya sibuk dengan pikiranpikirannya sendiri. Ia hanya sibuk dengan gebalau perasaannya sendiri. Malahan sesungguhnya ia telah sibuk untuk menyiapkan dialog jawaban dari ucapan yang sedang diucapkan lawan mainnya tadi. Maka, dalam situasi yang seperti ini sesungguhnya komunikasi tidaklah berlangsung, karena tidak ada hubungan batin di antara para aktor. Alangkah tersiksanya jika kita harus bermain dengan seorang aktor yang memandang kita tapi sesungguhnya ia melihat pada orang lain, yang tak henti-hentinya berusaha menyesuaikan diri dengan orang lain itu dan bukan dengan kita. Aktor-aktor yang seperti itu terpisah dari orang-orang yang sebetulnya harus berhubungan dengan akrab. Mereka tak menampung kata-kata kita, intonasi kita atau apa pun juga. Mata mereka seolah-olah bercadar jika memandang pada kita (Persiapan Seorang Aktor, 214). Jenis komunikasi yang terjadi, seperti yang diutarakan Stanislavski di atas, tak ubahnya sebentuk komunikasi yang mati, padahal aktor adalah seseorang yag hidup yang juga sedang berhubungan dengan seseorang lain yang hidup. Aktor tidak melakukan relasi dengan benda mati yang tidak punya jiwa di dalam dirinya. Bahkan sesungguhnya—saat ia berkomunikasi dengan benda-benda mati sekalipun—aktor yang piawai seharusnya mampu “menghidupkan” relasinya dengan benda atau obyek-obyek tak bernyawa tersebut. Dengan cara apa ia “menghidupkan” relasi atau komunikasinya, yaitu dengan menggunakan kekuatan imajinasinya. Tugas aktor, ujar

31

Stanislavski, untuk selalu berusaha mencapai jiwa obyeknya yang hidup dan, “bahwa ia tidak berurusan dengan hidung atau mata atau kancing baju seperti yang dilakukan sebagian aktor di atas panggung” (Persiapan Seorang Aktor, 212). Jadi, sesungguhnya tugas aktor dalam komunikasi di panggung adalah “mencapai jiwa obyek” atau “menghidupkan” relasinya dengan obyek. Seandainya aktor mampu “menghidupkan” hubungannya dengan obyek (baik benda-benda atau pun aktor lainnya), maka tak mungkin terjadi hubungan komunikasi yang beku, mandek, yang tak ada kemajuan dalam latihan sehari-hari, atau malah munculnya perasan bosan karena merasa selalu mengucapkan dialog yang berulang-ulang dalam latihan. Komunikasi yang berlangsung antaraktor akan menjadi komunikasi yang otentik dan jujur, yang benar-benar muncul dari dalam dirinya untuk “melakukan relasi” dengan lawan mainnya. Komunikasi ini tidak mungkin bersifat artifisial, karena ia muncul dari dalam jiwa seorang aktor dan mengenai jiwa aktor yang lain. Komunikasi akan menjadi semacam petualangan yang segar, seakan baru pertama kali terjadi, dan spontan. Kita harus belajar menangkap kata-kata (dialog) dan pikiran kawan kita bermain, seolaholah hal itu baru pertama kali. Kita harus menyadari ucapan-ucapannya hari ini, biarpun ucapan-ucapan itu sudah berkali-kali kaudengar diutarakan ketika latihan dan dalam pertunjukan sebelumnya. Hubungan ini harus kita lakukan setiap kali kita bermain bersama. Hal ini memerlukan perhatian terpusat yang besar, teknik dan disiplin artistik (Persiapan Seorang Aktor, 213-214). Selanjutnya, komunikasi dengan diri sendiri biasanya berlangsung di “kepala” atau komunikasi yang berlangsung antara kepala/pikiran dengan hati/perasaan, demikian pula sebaliknya. Sedangkan komunikasi dengan obyek-obyek yang sifatnya imajinatif contohnya adalah berkomunikasi dengan hantu dan lain-lain. Selama pertunjukan berlangsung, biasanya ketiga jenis komunikasi ini yang terjadi pada aktor. Komunikasi melalui dialog atau kata-kata bukanlah satu-satunya cara dalam berkomunikasi yang dianggap penting oleh Stanislavski. Ada banyak bentuk atau cara berkomunikasi lain, di luar kata atau dialog, yang perlu diperhatikan, misalnya perasaan-perasaan yang ada tapi tersimpan dari tokoh yang tak dijelaskan secara langsung melalui kata-kata. Hal ini yang dimaksud dengan komunikasi batin. Komunikasi batin biasanya berlangsung tidak melalui komunikasi verbal, namun bisa saja disampaikan melalui bahasa tubuh, intonasi yang ada pada kalimat-kalimat tertentu, atau justru hanya melalui binar mata tokoh yang sedang dimainkan aktor. Dalam proses berkomunikasi dengan aktor lainnya seorang aktor berperan serentak baik sebagai subyek maupun obyek. Pada saat ia menyampaikan pikiran atau perasaannnya, ia berperan sebagi subyek. Namun, saat ia yang harus mendengarkan atau menyimak lontaran ide atau perasaan lawan mainnya, maka ia menjadi obyek. Komunikasi yang fungsinya tak hanya untuk menyampaikan ide atau pikiran-pikiran tapi juga muatan emosi atau perasaan karena itu memerlukan keterlibatan penuh aktor, baik secara indrawi maupun pikiran dan naluri. Para aktor juga harus memiliki kekuatan yang sama untuk merangkul dengan mata, telinga dan semua indra kita. Sekiranya seorang aktor harus menyimak, maka ia harus melakukannya dengan penuh kesungguhan. Jika ia harus membaui sesuatu, maka ia harus

32

membauinya dengan penuh kekuatan. Jika ia harus melihat pada sesuatu, maka ia harus betul-betul mempergunakan matanya. . .(Persiapan Seorang Aktor, 229). Stanislavski berujar, saat penonton menyaksikan dua atau lebih tokoh bertukar pikiran dan perasaan, hal itu membuat mereka terlibat dalam kata-kata dan tindakan mereka tanpa sadar, ketimbang seseorang yang memang sengaja menyimak suatu percakapan. Secara diam-diam ia berpartisipasi dalam pertukaran itu, melihat mereka, memahami mereka dan lalu terserap dalam pengalaman orang lain. Jika komunikasi dua arah ini terjadi, maka penonton akan bisa menyaksikan sebentuk peristiwa komunikasi yang luar biasa. Peristiwa komunikasi bersifat eksternal, terlihat dan fisik. Agar interaksi terjadi, aktor harus menggunakan kelima indranya, yang masing-masing mempunyai peran sama pentingnya. Komunikasi yang baik mesti menggunakan kelima indra ini, sering secara berkesinambungan. Aktor berposisi sebagi subyek sekaligus obyek; baik melihat ataupun mendengar adalah ihwal penting untuk membangun komunikasi yang baik. Namun komunikasi juga bisa bersifat internal, tak terlihat dan mental. Stanislavski menyebut istilah untuk tipe komunikasi yang semacam ini “memancarkan dan menerima sinar” atau radiasi. Tak seperti komunikasi yang bersifat eksternal—di mana sebagian besar pikiran disampaikan—komunikasi internal mengirimkan emosi atau perasaanketimbang pikiran. Dalam kejadian ini tidak ada kata-kata, tidak ada ucapan, tidak ada pengutaraan muka, gerakan tangan atau tindakan lainnya. Komunikasi ini adalah komunikasi langsung dalam bentuk yang paling murni (Persiapan Seorang Aktor, 225). Stanislavski menyadari bahwa bentuk komunikasi yang seperti inilah sesungguhnya komunikasi dalam bentuknya yang paling sejati—dan karena itu pula paling sulit dijelaskan atau diajarkan. Karena itu, untuk bisa mempraktikkan komunikasi mental ini amat dibutuhkan aktor yang memiliki kepekaan yang kuat—baik kepada diri sendiri maupun kepada keberadaan fisik dan emosi orang lain. Kepada para muridnya Stanislavski pernah berujar, Kesulitanku di sini ialah membeberkan pada kalian sesuatu yang kurasakan, tetapi yang tidak kuketahui. Sesuatu yang kualami, tapi yang tidak dapat kukatakan dalam bentuk teori. Aku tidak punya kalimat-kalimat yang tepat untuk sesuatu yang hanya dapat kujelaskan dengan isyarat. . . (Persiapan Seorang Aktor, 223). Ia tak ubahnya seperti sungai bawah tanah, yang terus mengalir di bawah permukaan kata dan keheningan dan yang merupakan suatu ikatan gaib antara subyek dan obyek (Persiapan Seorang Aktor, 226). Salah seorang muridku pernah membandingkannya dengan wanginya sekuntum bunga, sedangkan yang lain menyarankan api yang tersimpan di dalam intan. Aku merasakannya seperti waktu aku berdiri di tebing kawah sebuah gunung berapi. Aku merasakan panasnya udara yang naik dari api yang menyala di perut bumi (Persiapan Seorang Aktor, 228). Salah satu cara yang paling efektif agar para aktor bisa memiliki kepekaan, baik kepada perasaannya sendiri maupun kepada orang lain, yaitu dengan bertindak rileks atau tiada ketegangan. Aktor mesti belajar untuk rileks dan melihat jauh ke dalam pikiran orang lain untuk

33

melihat jiwanya, mirip saat sepasang kekasih saat melihat mata pasangannya masing-masing. Saat di mana gelombang pikiran bergerak dari satu mata ke mata yang lain. Jenis komunikasi semacam ini hanya bisa terwujud jika tak ada ketegangan. Stanislavski mengatakan, “Kita sudah memiliki semacam ketegangan sehingga kita harus berhati-hati dalam proses ini. Proses yang halus dan rumit dalam memancarkan dan menerima. Hal ini tak mungkin terjadi jika terdapat ketegangan di dalam otot-otot (Training the Youth Actor, 30). Dalam lain kesempatan, kepada murid-muridnya yang sedang berusaha melatih untuk mengomunikasikan perasaan dan pikirannya secara mental atau nonverbal kepada aktor lainnya pada saat latihan Stanislavski mengatakan, Kali ini yang kaupikirkan ialah bagaimana caranya untuk mendorong arus itu keluar. Uraturatmu jadi tegang. Dagu dan lehermu meregang dan matamu mulai melotot. Yang kuinginkan darimu, bisa kau laksanakan dengan cara yang lebih mudah, lebih bersahaja dan lebih wajar. Jika kau ingin memasukkan orang lain ke dalam keinginan-keinginanmu kau tak perlu menegangkan urat-urat dagingmu. Sensasi fisik yang kau hasilkan dari arus ini hampir tak bisa dilihat, sedangkan kekuatan yang kau pergunakan untuk mendorongnya hanya akan membuat pembuluh darahmu pecah (Persiapan Seorang Aktor, 227). Untuk itu, Stanislavski merancang beberapa bentuk latihan improvisasi yang memungkinkan aktor untuk melakukan semacam komunikasi nonverbal dengan lawan mainnya. Ia kerap meminta para aktor atau murid-muridnya dalam latihan untuk membuat adegan, misalnya, the one characters has just bought the last loaf of bread of the grocery store and the other character was desperate the bread. . . . Tujuan yang dicari oleh Stanislavski dari latihan ini adalah agar aktor mampu menyampaikan perasaan-perasaan tokoh tanpa perlu memverbalkan perasaannya itu melalui katakata atau dialog. Latihan ini dalam Sistem Stanislavski disebut sebagai latihan improvisasi (Silent Etudes). Namun, sekali lagi, Stanislavski selalu menekankan untuk melakukannya dengan rileks, tanpa ketegangan yang tak perlu pada urat dan otot di tubuh aktor yang sedang mencoba melatih kepekaan komunikasinya, baik verbal maupun nonverbal. Karena, seperti yang pernah ia katakan, ketegangan otot yang tidak pada tempatnya adalah musuh utama bagi kreativitas, bagi aktor untuk mampu masuk dan mendayagunakan keadaan batiniahnya yang kreatif. Kemampuan komunikasi mensyaratkan kepekaan, baik kepada aktor lain yang sedang berperan sebagai lawan main dan juga terhadap diri sendiri. Nah, kepekaan ini akan terhalang jika otot-otot tubuh aktor menegang yang akan mengakibatkan si aktor tak mampu untuk mengenali juga mendistribusikan perasaan-perasaannya kepada lawan mainnya secara akurat. Otot dan urat saraf yang tegang pada akhirnya akan menghalangi pergerakan impulsimpuls dalam diri aktor—impuls-impuls yang hadir, baik yang berasal dari ingatan emosi maupun imajinasinya. Dan jika aktor memainkan perannya tanpa dilambari impuls yang otentik ini, maka sudah bisa dipastikan laku pemeranannya akan kering dan mati—dan sudah barang tentu— komunikasi yang otentik dan hidup, seperti yang seharusnya berlangsung dan ingin dinikmati oleh para penonton yang sedang menyaksikan pertunjukan, tak akan tercipta. Karenanya, di akhir bab tentang komunikasi di dalam bukunya Persiapan Seorang Aktor, Stanislavski menegaskan, “Tapi yang paling penting, jauhi paksaan dan ketegangan fisik. Radiasi atau penyinaran dan peresapan emosi harus berlangsung dengan mudah, bebas, wajar dan tanpa kehilangan energi (234).

34

4. Communion: Alur Interaksi Batin Masih melanjutkan eksplorasinya mengenai komunikasi, di tempat lain, Stanislvaski mengatakan bahwa Kau benar-benar harus menyentuh teman bermainmu dengan teksmu; setelah semua itu, bila drama adalah tentang komunikasi di antara para aktor, maka akting harus menjadi “Communion” yang murni di antara para aktor. Hanya apabila aktor bertolak dari apa yang menjadi sasaran mereka mampu meyakinkan satu sama lain melalui pertukaran pikiran dan tindakan yang tak terputus, penonton akan diyakinkan dengan apa yang mereka saksikan di atas pentas. Prinsip dan cara kerja antara komunikasi dengan communion sebenarnya sama. Namun, gagasan yang diajukan Stanislavski pada communion semakin spesifik. Seperti ingatan emosi, communion difokuskan pada bagaimana seorang aktor memboboti tindakan-tindakan eksternal dengan muatan batin. Perbedaanya dengan Ingatan Emosi adalah bahwa perhatian aktor sekarang diarahkan ke luar dirinya kepada aktor lain dan bukan kepada ingatan-ingatan pribadinya untuk menciptakan suatu alur perhatian yang intim (alur batin) yang tak terputus (communion). Pada poin inilah Stanislavski menegaskan bahwa konsentrasi dan perhatian aktor adalah seperti untaian tasbih emas. Bila alur konsentrasi itu putus, maka ia tak lebih dari untaian tasbih dari timah yang bermutu rendah. Salah satu pengertian lain yang sering digunakan Stanislavski dalam menggambarkan communion adalah “Grasp” (menggenggam). “Grasp” is what a bull-dog has in his jaw. We actors must have the same power to seize with our eyes, ears and all our senses (Persiapan Seorang Aktor, 217). Berada dalam “Genggaman” seseorang adalah pengalaman yang tidak umum, apakah itu berhadapan dengan juru cerita hebat, pesulap yang sangat dekat, cinta sejati, atau aktor yang memesona. Seorang performer dapat merasakan ketika penonton ada dalam genggamannya. Ia tidak membutuhkan aktivitas-aktivitas fisik yang luar biasa untuk melakukannya. Ia hanya membutuhkan kekuatan rasa dari aktivitas batin, yang bisa dicapai dengan sungguh-sungguh memperhatikan sasaran, yang secara total menyerapnya, baik dalam tindakan maupun dalam merespons teman bermainnya. Penggunaan istilah “Menggengam” ini jauh lebih mendekatkan kita pada apa yang dimaksud Stanislavski dengan communion, dan memberi kita suatu konsep dengan apa kita dapat terhubung segera: Apakah saya dalam genggamanmu? Apakah engkau dalam genggamanku? Apakah kita benar-benar saling mendengarkan dan terhubung satu sama lain? Stansislavski menekankan bagaimana pentingnya mempraktikkan latihan-latihan “saling menggenggam” dengan seseorang, tidak sendirian atau dengan tokoh imajiner—mudah bagi aktor untuk menipu diri mereka sendiri dengan mengatakan bahwa mereka telah menemukan arti “menggenggam” padahal kenyataannya apa yang mereka maksudkan itu tidak lebih dari sekadar aktivitas dan tegangan otot. Idealnya, pada awal mempraktikkan metode ini harus diawasi oleh seseorang yang dapat mencatat perbedaaan antara “genggaman” dan “tegangan”. Itulah mengapa bagian ini menjadi bahasan yang sangat penting sekaligus sangat sulit; persoalan di dalamnya tidak bisa dipahami hanya dengan membaca apa yang tertulis di halaman. Seorang sutradara dibutuhkan

35

untuk membawa para aktornya menuju latihan untuk menemukan bagaimana kekuatan interaksi intim yang murni bisa terjadi (Konstantin Stanislavski, 66).

5. Adaptasi Communion dan adaptasi adalah mutlak saling terpaut; selama aktor berada di atas pentas, ia berada dalam hubungan yang tak pernah berakhir dengan aktor lainnya. Bagaimanapun penyesuaian diri seorang aktor terhadap aktor lainnya harus terus berlangsung; tak terputus meski sekejap. Dalam menggambarkan adaptasi, Stansislavski dalam An Actor Prepares mengacu pada lima komponen utama: Kita harus, (1) Menyesuaikan diri dengan situasi-situasi terberi atau pokok persoalan dalam Adegan; (2) Mengekspresikan apa yang ada dalam diri kita; (3) Menarik perhatian seseorang dengan siapa kita akan berhubungan; (4) Meletakkan seseorang dalam suasana emosi yang tepat untuk memberi respons pada kita; (5) Saling bertukar pesan atau maksud yang tak terlihat (invisible message) yang tidak perlu diekspresikan secara verbal. Aspek terakhir ini, invisible message (pesan atau maksud tak terlihat) jelas adalah suatu rangkaian interaksi intim yang tak terputus. Salah satu yang paling krusial di sini adalah poin keempat: meletakkan seseorang di dalam suasana emosi yang tepat untuk merespons adalah cara lain untuk mengatakan “mainkan sasaranmu”. Ketika Sonya membujuk Torstov bahwa kelas jadi kacau dengan latihan improvisasi adegan “membakar uang” dan tidak ingin melakukannya lagi, ia mencapai sasarannya dengan memilih suatu isyarat di mana Torstov memberikan dan mengadaptasi tindakannya sesuai dengan harapannya. Sementara Vanya gagal total mencapai sasarannya ketika mencoba mengalihkan perhatian Torstov yang memerankan bangsawan dan sedang membaca surat. Secara tak sengaja mengadaptasi sasarannya (dengan keliru) dari “mengalihkan perhatian Torstov” menjadi “menghibur si bangsawan”. Terlalu banyak tertawa, terlalu banyak rayuan, malah membelokkan perhatiannya ke arah ruang penonton dan berlalu dari mitranya di atas panggung. Dua kualitas penting lainnya dalam adaptasi adalah “kepatutan” dan “proyeksi” mereka. Untuk menjelaskan hal ini Stanislavski menggunakan ilustrasi tentang seorang pemuda yang ingin menarik perhatian buah hatinya. Dengan menyesuaikan keadaan ia menyeberangi jalan, di jendela si gadis, dengan ibu si buah hati atau ketika dekat dengan pesaingnya, si pemuda sudah menyesuaikan tindakannya berdasarkan kadar mereka masing-masing (amplitude, proyeksi) dan secara alamiah (kepatutan) untuk mengekspresikan pemujaannya. Penambahan pada sasaran, proyeksi dan kepatutan adalah “ketakterdugaan”. Stanislavski mengatakan, If you turn your attention from your self and focus it fully on your partner, you will be surprised by your own intuitive adaptations. So now you know wha to do to “adapt” successfully on stage: focus on your partner and play your objective with the relevant lah amplitude, appropriateness and unexpectedness (An Actor Prepares, 167).

36

Setelah menjabarkan kualitas-kualitas yang berbeda yang diperlukan untuk keberhasilan adaptasi, Stanislavski mengingatkan para aktor agar menghindari adaptasi yang bersifat mekanis: suatu klise yang berasal dari kedangkalan hidup sehari-hari, atau dari teater (pertunjukan) yang sudah menjadi rutin.

6. Rasa Keyakinan dan Kebenaran Perasaan “yakin” dan “benar” adalah sekeping mata uang yang harus ada di tangan seorang aktor yang menjadi modal baginya untuk melaksanakan seluruh tindakannya di atas panggung. Sebagaimana dalam kehidupan nyata, rasa yakin memberikan kekuatan kepada seseorang untuk mulai melangkah dan melakukan sesuatu. Demikian juga di atas panggung, seorang aktor tidak mungkin bisa mengerjakan apa pun dengan “benar” tanpa merasa yakin. Dan sebaliknya, “rasa yakin” itu tidak mungkin hadir bila aktor belum merasa “benar” dengan apa yang ia lakukan. Bagaimana ia mulai memasuki panggung, duduk atau berdiri di sana, merespons lawan mainnya, berjalan dan mengucapkan katakatanya, atau melakukan aktivitas-aktivitas fisik tertentu untuk mempertajam atau menggambarkan suatu keadaan batin tertentu. Semua itu harus ia lakukan dengan “benar” sehingga aa merasa yakin. Rasa benar itu hadir di diri aktor setidaknya karena kerja aktor atas perannya telah mencapai beberapa hal sebagai berikut: perwatakan yang tepat dan hidup, seluruh tindakannya wajar dan logis dan menjelmakan sasaran yang dikehendaki naskah, memiliki kesesuaian antara laku fisik dengan motif batin. Rasa keyakinan dan kebenaran bergantung pada fisik, detail yang alamiah, yang digambarkan aktor dari kehidupan nyata untuk memenuhi kebutuhan diri mereka sendiri dan penonton dengan perasaan yang murni—begitulah hal ini akan terlihat pada kita sebagai sesuatu yang diproyeksikan dari kehidupan nyata. Keyakinan dan kebenaran adalah komponen psikologis yang ditambahkan Aktor pada seluruh detail tindakan (eksternal). Dua unsur, “kebenaran eksternal (fisik)” dan “keyakinan internal”, dikombinasikan untuk meyakinkan penonton bahwa peristiwafiksi yang mereka saksikan di atas panggung dapat terjadi secara aktual. Tambahan pada “Kebenaran” dan “Keyakinan” adalah unsur ketiga: “perasaan tak benar”. Bagi penonton, perasaan “tak benar” ini adalah bahwa mereka tahu mereka sedang berada di dalam teater; semua kejadian yang mereka saksikan tidak benar-benar terjadi dan lalu mereka menangguhkan ketidak-percayaan mereka itu dan menerima atau menyepakati kenyataan teaterikal yang mereka saksikan. Sedangkan bagi aktor, rasa “tidakbenar” ini adalah perangkat yang berguna untuk mencegah mereka “terlalu banyak akting”. Sering banyak Aktor sangat ngotot meyakinkan diri mereka sendiri dan penonton bahwa apa yang mereka lakukan adalah tulus seluruhnya. Kemudian mereka mulai overacting, dan permainannya jatuh pada akting-akting yang mekanis untuk menutupi segala tindakan mereka yang tidak benar-benar nyata (dibuat-buat). Stanislavski menasehati agar aktor selalu bersikap “tenang dan jujur”. Dalam latihan-latihan yang menekankan pada aspek ini, Stanislavski sering meneriaki aktor yang over-acting di atas panggung: “Buang yang 90 persen!”. Ia mempercayai bahwa kesederhanaan di atas panggung jauh lebih beralasan daripada terlalu banyak detail alamiah. Dalam mengeskplorasi “kebenaran” dan “keyakinan”, Stanislavski menampungnya dalam bentuk

37

awal metode Laku Fisik yang terlihat dari apa yang ia istilahkan dengan the life of the human body (di sini digunakan istilah “tubuh yang hidup”) dan the creation of the human soul (di sini digunakan istilah “menjelmakan jiwa”). Kembali pada improvisasi adegan “pembakaran uang”, di mana Torstov meminta Kostya untuk memeragakan bagaimana ia menggenggam sejumlah uang tanpa satu pun peralatan bermain. Hanya menggunakan imajinasinya. Ia harus—dengan bentuk mime (gerak tanpa kata) menggambarkan bagaimana si anak idiot mengambil sebuah amplop besar dari bank, mengeluarkan setumpuk uang dari dalamnya, melepaskan pengikatnya, membaginya menjadi beberapa tumpuk kecil. Semua itu harus dikerjakannya dengan sangat rinci dan akurat dengan kekuatan dari rasa kebenaran. Dengan kata lain, ia harus menciptakan dengan kemampuan yang meyakinkan suatu rangkaian laku fisik, yang dapat ia ulang lagi dan lagi sampai seluruh rangkaian tindakan itu benarbenar dikenalnya (familiar). Setiap kali mengulanginya, ia harus mencatat sensai-sensai baru yang muncul dan bagaimana semua sensasi itu mendorongnya lebih jauh pada keyakinan (kepastian) yang lebih dalam. This is undoubtedly the process behind the Method of Physical Actions; the main emphasis here is on the physical, external details of the scene to create the “life of the human body” (An Actor Prepares, 58). Sekarang tinggal “menjelmakan jiwa” yang harus dipertimbangkan. Tetapi ini tidak sesulit seperti istilah yang terdengar. Jika aktor telah terpaut pada serangkaian laku fisik yang dikukuhkan dengan rasa yakin, kemudian mereka menemukan perasaan-perasaan yang murni di dalamnya, dan emosi-emosi ini menjelma dalam tindakan-tindakan eksternal (aktivitas fisik). Semua ini, di dalam dirinya, akan memunculkan apa yang disebut oleh Stanislavski sebagai “menjelmakan jiwa”.

7. Alur yang Tak Terputus Setiap aktor bisa membayangkan kisah hidup yang telah dialaminya dari masa tertentu hingga ke sebuah masa tertentu pula yang telah mempengaruhi bahkan mengubahnya. Dan bagaimana kisah hidupnya itu telah membuatnya bertemu juga terlibat dalam kehidupan orang-orang lain. Namun, jangan pernah membayangkan kisah hidup yang lempang semata, karena hal seperti itu pastilah tidak menarik dan tidak menggugah siapa pun. Ia mungkin hanya penting bagi dirinya sendiri. Selanjutnya, kisah hidup yang sangat kaya, penuh dinamika, dan dialami seseorang mungkin seumur hidupnya itu dipadatkan oleh pengarang ke dalam sebuah teks panggung yang hanya akan dimainkan dalam durasi 2 jam atau lebih. Di sanalah seorang aktor akan napak tilas menyusuri garis laku cerita dan menemukan segala implikasinya sepanjang ia bisa mengembangkan empaty terhadap cerita dan tokoh yang diperankan sebagaimana yang dibutuhkan atau dituntut di dalam naskah. Lalu dengan apa aktor akan “mengikat” sekaligus “terikat” dengan semua rangkaian peristiwa itu sehingga menjadi sebuah “alur yang tak terputus” di atas panggung? Stanislavski menyebut tiga serangkai: pikiran, tubuh dan emosi yang ia umpamakan sebagai “Pemusik” yang akan menjalankan tugas itu. Ia mengatakan bahwa “perangkat-perangkat batin” adalah “sebuah konser komposisi nada” (Persiapan Seorang Aktor, 252). Mereka siap bekerja menuju pertunjukan. Ini adalah suatu “alur tak terputus” yang merupakan mata rantai proses batin dan aktivitas luaran melalui pemaknaan atas rangkaian tindakan-tindakan fisik (laku fisik). Seluruh rangkaian

38

itu memiliki logikanya sendiri, dan logika itu menginspirasi rasa keyakinan dalam diri aktor yang diterangi dengan imajinasi dan dinyalakan dengan emosi. Dalam menjelaskan “alur yang tak terputus ini” Stanislavski (via Torstov) meminta Vanya mengulangi segala sesuatu yang telah dikerjakannya hari itu sejak saat ia bangun tidur hingga saat ia tiba di kelas. Membuat daftar semua peristiwa dan melakukan kembali seluruh rangkaian peristiwa itu sampai semuanya menjadi jelas dan dimengerti. Dengan cara itu, Torstov menunjukkan bahwa hidup adalah sesuatu yang berkesinambungan dan seluruhnya disatupadukan oleh tindakan individual, perasaan dan pikiran. (Ingat tiga kekuatan motif-motif dalam). Bagi para aktor, untuk memiliki rasa dari suatu alur yang berkesinambungan atas laku batin dan aktivitas luaran (fisik) untuk peran mereka, mereka perlu menyusun suatu alur yang tak terputus. Hal ini termasuk mengisi semua detail di dalamnya yang dihilangkan oleh penulis naskah di antara keragaman tokoh yang keluar-masuk selama aktivitas berlangsung di atas panggung. Alur yang tak terputus bukan cuma berada dalam kehidupan tokoh, ia harus berada dalam konsentrasi aktor.

8. Situasi Kreatif Batin Sasaran yang paling mendasar dari psycho-technique (teknik-teknik yang berhubungan dengan aspek-aspek batiniah) adalah untuk meletakkan aktor dalam situasi kreatif yang mana bawah-sadar mereka akan berfungsi secara alami (Konstantin Stanislavski, 72). Capaian dalam tujuan ini adalah keseimbangan Situasi alamiah—psycho technique—situasi kreatif. Situasi alamiah dan situasi kreatif sangat sebangun dan teori mengenai hal itu adalah dengan psycho-technique yang mumpuni dari aktor, situasi kreatif yang sangat alamiah akan menghampirinya di atas panggung. Secara esensial, bagian ini terhubung dengan dua bagian sebelumnya: garis laku akting yang tak terputus akan menjadi saluran bagi kekuatan motif-motif dalam dan akan menciptakan situasi kreatif batin. Ketiganya akan menjadi seperti prisma tempat keindahan laku panggung akan berpendaran. Ketiganya membias dalam nada, warna, shading (penciptaan bayangan) dan mood yang dikehendaki oleh lakon. Tokoh yang muncul melalui penyulingan ini menetap di dalam pikiran, perasaan dan tindakan, tetapi dimatangkan dengan rasa di dalam situasi-situasi terberi yang ada di dalam naskah. Dengan cara ini, pada saat yang bersamaan si aktor dan peran menjelma: “Inilah aku”. Seorang aktor diarahkan oleh komponen-komponen utama: sasaran-sasaran tokoh, perkembangan lakon, sasaran konsentrasi atau perhatian, keterpautan dengan tokoh lainnya dan sentuhan-sentuhan pribadi terhadap kebenaran artistik. Semua komponen itu disebut Stanislavski sebagai “elemen dari situasi emosional (mood) kreativitas batin” dan semua itu melebur satu sama lain di dalam situasi kreatif batin aktor (Konstantin Stanislavski, 73). Stanislavski secara suntuk menyatakan bahwa situasi kreatif batin akan menjelma dalam kesempurnaan situasi alamiah. Dalam banyak hal ia lebih buruk daripada situasi sehari-hari kita jika di dalamnya ada kecenderungan untuk “pamer”, tentu saja ia juga bisa menjadi lebih baik dari situasi sehari-hari kita karena kekhasan cara kita dalam berhubungan dengan penonton. (Sebenarnya, penonton adalah komponen penting dalam mengalami situasi kreatif batin). Walaupun situasi kreatif batin itu bersifat alamiah, namun sangat sulit untuk mengelolanya. Derita situasi kreatif batin adalah apabila perangkat-perangkat lahiriah dan batiniah aktor salah

39

berfungsi sebab aktor atau aktris membangun secara mekanis atau terbiasa malas, atau hanya setengah hati berperan, atau memiliki ketakutan-ketakutan pribadi atau gangguan kesehatan. Berdasarkan hal itu, ada beberapa cara spesifik melalui mana situasi kreatif batin mungkin dibangun. Pertama, aktor telah berada di dalam kontak langsung dengan mitra mereka di atas panggung, bukan penonton; mereka harus memilih sasaran yang mereka percayai; dan mereka perlu terpaut secara total dengan apa pun sasaran yang menjadi perhatian mereka. Satu kadar pun dari kepura-puraan tidak boleh berdampingan dengan situasi kreatif batin. Stanislavski menganjurkan datang dua jam lebih awal pada latihan fase pertama memasuki lakon, sehingga mereka bisa “mengadon” aspek-aspek lahairiah dan batiniah mereka yang masih kasar menjadi seperti tanah lempung. Pertama, mereka harus membebaskan otot-otot mereka dari ketegangan. Kemudian mereka harus “memanaskan” imajinasi mereka dengan memilih suatu sasaran dan membiarkan beragam fantasi terurai. Lalu mulai bekerja melalui lingkaran perhatian mulai dari lingkaran yang paling kecil mendekat pada diri mereka hingga lingkaran yang paling besar merangkum seluruh auditorium. Terakhir, para aktor harus memikirkan sasaran dan memotivasinya kemudian mengubah atau menggantinya, lalu menambahkan yang lainnya, dan menjaga perubahan atau pergantian fiksi-fiksi imajinatif, memastikan bahwa mereka selalu memercayai laku fisik mereka. Dengan cara ini mereka bisa “memanaskan” imajinasi mereka, tubuh mereka, dan “dua bersaudara” yang saling ketergantungan: tubuh dan jiwa. “Cobalah pemanasan. . .tetapi komprehensif!” Salah satu elemen yang sangat mengagumkan dari bagian ini adalah berapa banyak khazanah muncul pada jiwa dan spiritualitas. Melalui An Actor Prepares, lebih dari 15 khazanah, semua itu membantah anggapan bahwa Sistem Stanislavski melulu intelektual dan kering, atau sebaliknya terlalu emosional dan psikotik. Faktanya, sistem ini bersifat menyeluruh, mengombinasikan tubuh, pikiran dan perasaan (emosi) dengan banyak sekali elemen yang tak kasat mata dari “energi” dan “spiritualitas”.

40

5 LAKU FISIK

Meskipun pada bagian sebelumnya kita selalu mendapatkan bagaimana Stanislavski dengan antusiasme yang sangat besar memberi perhatian dan penekanan terhadap aspek-aspek intelek dan emosi (batin) dalam kerja kreatif seorang aktor, bukan berarti aspek fisik menjadi hal yang kurang begitu penting dalam Sistem-nya. Malahan, pada fase-fase terakhir pengembangan Sistem, ia justru sangat mengarahkan perhatiannya pada “Laku Fisik” aktor. Semua nilai spiritual dan batiniah yang sudah ditempa aktor tanpa lelah, tidak akan mungkin bisa dijelmakan ke dalam tokoh yang diperankannya apabila aspek lahiriah (fisik) aktor tidak memadai untuk mewadahi dan mengekspresikannya. Kesadaran semacam ini sudah sejak awal mempengaruhi penelitian dan eksperimeneksperimen yang dilakukan Satnislavski. Ini terlihat dalam sejumlah besar metode yang ia gunakan sejak aktor masih dalam tahap trainning: latihan-latihan dasar untuk mempersiapkan peralatan ekspresi hingga aktor memasuki tahap pemeranan. Ada banyak teknik yang diajarkan Stanislavski untuk seluruh tahapan kerja fisik aktor tersebut. Namun dalam modul ini hanya akan disertakan sebagian saja, terutama yang paling pokok dan yang mengarah kepada pemeranan.

1. Relaksasi Merelaksasikan otot atau mengendurkan urat adalah titik pangkal dari sistem pelatihan yang diciptakan oleh Stanislavski. Mengapa? Karena menurut Stanislavski, berdasarkan pengalaman bertahun-tahun bahwa ketegangan yang terdapat pada aktor, lebih spesifik lagi, ketegangan yang terdapat pada otot-otot seorang aktor adalah musuh utama kreativitas. Jika hal seperti ini (ketegangan—pen) menimpa organ-organ suara maka seseorang yang memiliki suara yang baik akan jadi parau atau bahkan bisa kehilangan suaranya. Jika ketegangan seperti ini menyerang kaki, maka seorang aktor akan berjalan seperti orang lumpuh; jika menimpa tangannya, maka tangannya akan jadi kaku dan bergerak bagai kayu. Ketegangan yang seperti itu juga bisa menimpa tulang punggung, leher dan bahu. Setiap serangan itu akan membuat seorang aktor lumpuh dan membuat ia tidak bisa bermain. Yang paling buruk ialah jika keadaan ini menimpa wajahnya dan mengerutkan serta melumpuhkan mukanya, atau membuat wajahnya seperti batu. Matanya terjulur, uraturat yang tegang membuat wajahnya tidak enak dilihat dan menggambarkan sesuatu yang bertentangan sama sekali dengan apa yang dirasakan oleh aktor itu dalam hatinya dan sama sekali tidak punya hubungan dengan emosi-emosinya (Persiapan Seorang Aktor, 107). Aktor, yang dalam lakunya di atas panggung tak hanya harus menampilkan laku fisik tokoh yang sedang ia mainkan, tapi juga harus menampilkan aspek emosi atau batin tokoh—tentu akan mengalami kesulitan jika otot-ototnya mengalami ketegangan. Ketegangan yang tak pada tempatnya akan membuat aktor kesulitan untuk mengakses aspek yang lebih halus dari kehidupan psikisnya sebagai manusia, yaitu aspek emosi atau spiritualnya. Otot atau urat-uratnya yang tegang

41

dan kaku itu akan menjelma menjadi semacam benteng atau blok-blok yang melindungi emosi dari intervensi kesadaran aktor guna memenuhi kebutuhan keutuhan penokohan. Selama fisikmu dalam keadaan tegang kau tidak bisa menemukan perasaan halus atau kehidupan spiritual perananmu. Oleh karena itu, sebelum kita mulai menciptakan sesuatu kita harus menguasahan supaya urat-urat kita berada dalam keadaan yang seharusnya, hingga tidak mengganggu gerakan-gerakan kita (Persiapan Seorang Aktor, 108). Perasaan halus dalam istilah Stanislavski atau impuls yang seharusnya mengalir dalam tubuh aktor terhalang oleh ketegangan tubuhnya. Tubuh pada titik ini menjadi tak reseptif terhadap berbagai rangsangan yang diberikan aktor untuk membangun tokoh. Situasi khusus dan terberi yang tergambar secara fisik melalui dekorasi, setting panggung, kostum, ilustrasi musik atau pengetahuan aktor tentang latar belakang sosial tokoh menjadi tak maksimal ketika tubuh si aktor kaku dan tegang. Meskipun pikiran atau imajinasi aktor menghendaki impuls itu hadir dalam dirinya, tubuhnya menolak. Karena itu, aktor harus belajar untuk melepaskan dan mengontrol ketegangan dalam dirinya. Stanislavski menghendaki agar murid-muridnya mampu menyadari dan mengontrol tubuh mereka saat muncul ketegangan-ketegangan otot dan kesadaran untuk mengontrol ini bukanlah perkara yang gampang. Ia harus dilakukan secara terus-menerus, sehingga bisa berkembang menjadi semacam kebiasaan baru dalam kehidupan sehari-hari aktor. Stanislavski menegaskan, Caranya ialah dengan mengembangkan semacam alat pengontrol, seperti seorang pengawas. Pengawas ini harus menjaga supaya dalam keadaan apa pun tidak terdapat tempat yang ada ketegangan yang berlebihan. Proses mengamati diri sendiri ini dan penyingkiran ketegangan yang tak semestinya ini harus dikembangkan sedemikian rupa hingga ia menjadi sebentuk kebiasaan yang tak lagi disadari, kesadaran yang mekanis. Tapi itu saja belum cukup. Ia harus menjadi kebiasaan yang wajar dan keharusan yang biasa (Persiapan Seorang Aktor, 110). Untuk itulah ia meminta beberapa muridnya melakukan latihan-latihan relaksasi yang ia desain untuk membangkitkan suara batin yang terdapat dalam diri setiap aktor yang ia sebut “pengontrol”. Stanislavski meminta agar setiap aktor membangun hubungan yang kuat antara aktor dan tubuhnya sendiri, yang memungkinkan “suara batinnya” menjadi sadar dan waspada saat sang aktor mengalami kejadian ketika tegangan-tegangan yang tidak perlu dari otot muncul di tubuhnya (Konstantin Stanislavski, 34). Baginya, ketegangan fisik menandakan ketidaklenturan emosi pada diri aktor. Lebih jauh lagi Stanislavski mengatakan bahwa, Kebiasaan ini harus ditumbuhkan setiap hari, terus-menerus dan secara sistematis, baik waktu menjalankan latihan di sekolah maupun waktu di rumah. Ia harus berjalan terus waktu kita akan berangkat tidur atau bangun, waktu makan, berjalan, bekerja, istirahat, di saat-saat yang membahagiakan atau sedih. “Pengontrol” otot ini harus kita jadikan perlengkapan tubuh kita, menjadikannya pembawaan alam (Persiapan Seorang Aktor, 110-111). Stanislavski kemudian menciptakan latihan-latihan praktis yang bertolak dari perilaku sehari-hari aktor, misalnya laku sederhana seperti berjalan di sekitar ruangan atau duduk di kursi,

42

atau mengambil beberapa poses horizontal dan vertikal, kemudian duduk lurus, separuh duduk, berdiri, separuh berdiri, berlutut, baik melakukannya secara sendiri atau bersama-sama atau dengan benda tertentu. Selanjutnya aktor harus menemukan lokasi mana pada bagian tubuhnya yang mengalami ketegangan. Kemudian aktor itu harus merelaksasi atau melepaskan ketegangan yang ada pada bagian tertentu dari otot atau tubuhnya tersebut, khususnya tegangan-tegangan otot yang tak diperlukan dan tak bermanfaat apa-apa dalam hubungannnya dengan laku atau tindakan yang sedang dilakukan (Training the Youth Actor, 17-18). Di bagian lain, Stanislavski mengatakan, Untuk setiap sikap, mereka harus membuat catatan tentang urat atau otot-otot yang tegang dan kemudian menyebutkannya. Rupa-rupanya ada otot-otot tertentu yang menjadi tegang di setiap pose. Tapi hanya otot-otot yang langsung terlibat yang boleh berkontraksi, otototot lain yang berdekatan dengannya tidak. . .sebuah otot yang diperlukan untuk suatu posisi boleh berkontraksi, tapi hanya sedemikian rupa sekadar diperlukan untuk posisi tersebut (Persiapan Seorang Aktor, 114). Di bagian lain dalam bukunya itu, Stanislavski juga melukiskan sejenis latihan lain dengan tujuan yang sama. Latihan itu ialah latihan berbaring menelentang di atas tempat yang datar dan keras, lantai misalnya, dan kemudian mencatat urat atau otot-otot yang membuat tubuhku menjadi tegang dan tidak pada tempatnya. . .aku merasakan kontraksi di bahu, leher dan tulang belikatku, sekitar pinggangku—tempat-tempat yang dicatat itu harus dikendurkan dengan segera. Sesudah itu dicari lagi tempat-tempat yang lain. . . (Persiapan Seorang Aktor, 111). Prinsip latihan-latihan di atas, menurut Jean Benedetti, adalah to use the least amount of effort to make the most of the endeavor atau menggunakan sedikit usaha untuk membuat hasil yang semaksimal mungkin dari usaha tersebut (Stanislavski, 18). Setelah sadar akan tegangan otot, langkah selanjutnya adalah bagaimana melepaskan tegangan-tegangan yang tak diinginkan yang secara tak sadar terjadi selama latihan atau pertunjukan berlangsung.

2. Keliatan Gerak Menari, senam, balet—kadang-kadang ditambahkan pula dengan bela diri atau permainan anggar—adalah sarana-sarana yang disarankan untuk melatih kelenturan atau keliatan gerak seorang aktor. Namun Stanislavski mengingatkan bahwa semua itu dilakukan bukan bertujuan memamerkan gerak itu sendiri—seperti yang sering terjadi pada banyak pertunjukan tari atau balet. Para penari atau balerina meliuk-liukkan dan melenggak-lenggokkan tubuh hanya untuk menunjukkan betapa lentur dan bagusnya tubuh mereka. Barangkali memang lentur dan memang bagus, tapi tujuan aktor, kata Stanislavski, bukanlah terletak pada semua itu. Tujuan aktor melatih kelenturan geraknya adalah agar ia mampu mengekspresikan dan menjelmakan nilai batin dari seluruh tindakannya melalui tubuh (gerak) yang tepat dan wajar. Mengenai hal ini Stanislavski mengatakan,

43

Saya telah menunjukkan bahwa para balerina dan penari modern pun ada yang posenya artifisial, arus gestur-gesturnya menjadi tidak proporsional dan terkesan pamer. Mereka menggunakan gerak dan kelenturan demi gerak dan kelenturan itu sendiri. Mereka mempelajari dan melatih gerak-gerak mereka tanpa kaitan dengan muatan batin; menciptakan bentuk tanpa makna (Membangun Tokoh, 55). Keliatan gerak yang diperlukan oleh aktor adalah keliatan gerak yang dihasilkan dari kerja yang benar (secara alamiah) dari setiap organ yang terdapat di dalam tubuh. Bahkan setiap inci dan sendi yang ada di dalam tubuh. Secara alamiah semua organ itu memiliki fungsi yang sangat sempurna dan indah. Namun karena kebiasaan buruk yang terjadi terus-menerus sepanjang hidup seseorang, kita bisa melihat bagaimana sulitnya menemukan seorang yang bisa berjalan dengan benar: sesuai fungsi setiap organ secara alamiah. Ada sebagian orang yang berjalan dengan bobot tubuh yang bertumpu pada bahu, atau pada sebelah kaki tertentu, cara berjalan yang seperti pengidap bisul di pangkal paha, seperti seorang idiot yang seluruh tubuhnya ikut bergerak ketika berjalan dan masih banyak lagi. Demikian juga ketika duduk, berdiri, ketika sedang berbicara atau melakukan aktivitas tertentu. Banyak sekali kekeliruan terhadap fungsi-fungsi organ tubuh. Sehingga gestur yang mereka hasilkan menjadi tampak tidak wajar dan menyimpang dari hukum alam. Itulah mengapa dalam melatih keliatan gerak ini, Stanislavski banyak mempraktikkan aktivitas-aktivitas seharihari namun dengan pengawasan yang sangat cermat pada fungsi-fungsi setiap organ tubuh. Tentang hal ini Stnanislavski menjelaskan, Seandainya mereka mau menyimak dengan saksama seluk-beluk kerja tubuh mereka sendiri, akan mereka rasakan suatu energi yang naik dari sumur terdalam kedirian mereka, dari hati mereka. Ini bukan energi hampa, melainkan berisi emosi, hasrat dan tujuan yang membuatnya berdenyut menempuh suatu jalur di dalam diri demi merangsang laku, tindakan tertentu. Tenaga yang dipanaskan oleh emosi, diisi kehendak, diarahkan oleh kecerdasan, bergerak dengan kepercayaan diri dan martabat, layaknya seorang duta yang sedang mengemban tugas penting. Tenaga mewujud sebagai tindakan yang sadar, penuh perasaan, isi dan tujuan; yang tidak bisa dilakukan secara serampangan dan mekanis, melainkan dilaksanakan sesuai dorongan rohaniahnya (Membangun Tokoh, 57). Untuk melatih merasakan aliran tenaga yang menjalari tubuh ini, Stanislavski menggambarkannya dengan air raksa imajiner yang disuntikkan melalui jari masuk ke dalam seluruh pelosok tubuh sejak dari pangkal hingga ke ujung tubuh lainnya. Aktor diminta membayangkan dan merasakan bagaimana air raksa itu menjalar sangat perlahan melewati setiap persendian di jemari tangan, merambat ke atas hingga siku, lengan atas, bahu, leher, kepala, lalu turun lagi melalui leher ke bahu, lengan atas, siku, hingga ke ujung-ujung jari lainnya. Dan dengan cara yang sama membayangkan dan merasakannya di bagian-bagian tubuh lainnya. Aktor diminta menggerakkan setiap bagian tubuhnya mengikuti pergerakan air raksa imajiner yang sedang mengalir di dalamnya. Bagian tubuh yang belum dilewati air raksa belum bergerak. Semuanya dilakukan dengan sangat perlahan, sabar dan penuh penghayatan (Membangun Tokoh, 72). Dengan latihan seperti ini, diharapkan aktor mampu merasakan getaran yang paling halus sekalipun dari motif-motif emosi tertentu yang merambat dari kedalaman batinnya melalui setiap inci tubuhnya. Dengan demikian, aktor bisa mengekspresikannya melalui gerak dan tubuhnya

44

secara alamiah; tanpa membebani tubuh dengan ketegangan dan kekakuan atau wujud-wujud ekspresi tubuh yang jadi aneh lantaran pemaksaan. Ketaklaziman wujud-wujud ekspresi dan aktivitas tubuh di atas panggung itu juga bisa terjadi karena tubuh tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Dalam banyak kasus, ada aktor yang sulit sekali meluruskan jari telunjuknya ketika menunjuk sesuatu, atau kepalanya yang selalu bergetar-getar jika mengucapkan dialog dalam tempo agak cepat, seperti pengidap lumpuh temporer di pergelangan tangan, atau ada pula yang selalu menjulurkan wajahnya ke depan setiap kali hendak mengeskpresikan rasa sedih, tak jarang yang selalu melengkungkan punggung seperti udang, ada juga yang selalu menjulur-julurkan kedua tangannya saat berbicara hingga mirip camang. Ada pula aktor yang setiap kali naik pentas tubuhnya seperti besi cor yang sulit digerakkan, atau kejang-kejang laiknya penderita ayan. Semua “penyakit fisik” itu sering kita lihat dalam pertunjukan drama di Indonesia, aktor bukan sedang bergerak secara wajar dan alami sesuai energi dari dalam batin yang mengaliri tubuh mereka. Melainkan sebagian besar aktor itu sedang menggerakkan tubuh mereka dengan gaya yang “kepanggung-panggungan” (teaterikal). Menggagah-gagahkan diri, menganggunanggunkan, melembut-lembutkan, menyedih-nyedihkan dan semua yang bertendensi pamer. Di sisi lain, tak sedikit aktor yang kikuk dan gugup dengan tubuhnya sendiri. Daripada tergesa-gesa naik pentas dan memainkan satu tokoh dengan laku fisik yang konyol seperti itu, akan lebih patut apabila aktor bertahun-tahun melatih seluruh organ tubuhnya agar bisa berfungsi secara wajar dan alamiah. Jika ia berjalan tampak sebagaimana seharusnya manusia normal berjalan, jika berbicara atau melihat Ia tampak sebagaimana seseorang yang sedang melihat dan berbicara secara benar dan normal. Demikian juga ketika sedang bersedih, marah, merasa takut dan seterusnya. Dalam kehidupan sehari-hari, kekeliruan dalam memfungsikan setiap organ tubuh ini tidak akan menimbulkan masalah apa-apa, malahan bisa dianggap sebagai “ciri” fisik tertentu; cacat fungsi organ tubuh yang lalu dianggap sebagai salah satu kekhasan. Tetapi di atas panggung, setiap aktor harus bisa berjalan, duduk, berbaring dengan benar; dengan fungsi-fungsi organ mulai dari persendian yang terdapat pada jemari kaki, tungkai, otot betis, lutut, paha, pinggul, bahu, tulang punggung, leher, kepala dan seterusnya secara benar.

3. Tempo-Ritme dalam Gerak Marilah kita lihat beberapa rumusan ilmiah di bawah ini: Tempo adalah cepat-lambatnya ketukan pada satuan-satuan yang sama panjang dalam birama yang tetap. Ritme adalah hubungan kuantitatif satuan gerak, bunyi, dengan panjangnya satuan dalam suatu tempo dan birama tertentu. Birama adalah sekelompok ketukan sama panjang yang berulang (atau dibayangkan berulang), yang disepakati sebagai satuan dan ditandai oleh tekanan pada salah satu ketukan (Membangun Tokoh, 226). Memahami tempo-ritme berdasarkan rumusan ilmiah di atas, barangkali akan lebih cepat membuat kita bingung daripada mengerti. Bukannya segala rumusan itu tidak penting, melainkan

45

kerumitan yang bisa ditimbulkannya dalam pikiran malah akan membuat kita tidak bisa menikmati tempo-ritme secara menyenangkan. Sekarang cobalah bayangkan seorang pemuda yang baru saja berpisah dengan kekasihnya untuk waktu yang sangat lama. Berjalan meninggalkan sebuah pelabuhan, sendiri di malam hari. Di tempat lain, seorang gadis baru saja mendengarkan pengumuman penerimaan calon artis untuk sebuah film layar lebar. Ia dinyatakan lulus dan ia ingin segera mengabarkan hal itu kepada temannya yang menunggunya tak jauh dari tempat pengumuman. Di tempat lain lagi, serombongan laki-laki sedang mengusung peti jenazah salah seorang saudara mereka yang wafat karena kecelakaan. Dari ketiga contoh di atas, kita bisa mendapatkan tiga bentuk tempo-ritme gerak: bukan cuma langkah kaki, melainkan juga gestur seluruh tubuh. Variasi tempo-ritme yang berbeda pada ketiga contoh itu menggambarkan bahwa tempo-ritme yang ada dalam setiap pernik aktivitas fisik seseorang selalu dipengaruhi oleh suasana batin yang ada di dalam dirinya. Lalu bagaimana bila seseorang yang sedang bersedih, memilih duduk diam. Apakah kita masih bisa melihat tempo-ritme di sana? Ya. Tempo-ritme itu memang tak kasat mata, tapi ada dan riil dalam dirinya, sebentuk arus emosi yang sangat halus atau bahkan penuh gejolak. Kita bisa melihatnya pada tempo-ritme tarikan dan hembusan napas, sorot mata atau perubahan air muka, cara dia menggerakkan ujung jari, mengubah posisi duduk meski cuma gerakan yang sangat kecil. Kita bisa melihat tempo-ritme dalam semua laku fisik yang paling halus sekalipun. Sampai di sini bisa dikatakan bahwa tempo-ritme tubuh selalu berpaut dengan tempo-ritme batin. Lalu bagaimana dengan suatu kontras? Bisakah kita menggambarkan tempo-ritme batin yang penuh gejolak dengan tempo-ritme fisik yang tenang atau sebaliknya—kontras semacam ini bisa kita temui dalam banyak lakon Chekov. Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering melihat seseorang yang sedang menghadapi atau dilanda persoalan yang cukup kompleks justru lebih banyak diam, tenang dan tenggelam dalam dirinya sendiri. Dalam situasi ini, kediam-dirian dan ketenangannya itu hanyalah upaya untuk menyembunyikan sesuatu. Dia bisa saja tetap berbicara dengan tenang kepada siapa saja sehingga kita yang melihatnya menganggap dia baik-baik saja. Inilah kontras itu. Tapi cobalah melihat ke dalam kedua biji matanya; rasakan sesuatu yang berbeda dari sorot matanya. Atau cobalah kejutkan dia dengan sebuah suara keras atau apa pun yang bisa mengagetkannya. Maka kita akan melihat dengan serta-merta ia akan bergerak sesuai dengan tempo-ritme yang berlangsung dalam batinnya, meskipun untuk beberapa detik saja. Stanislavski mengatakan bahwa untuk memainkan suatu tokoh yang memiliki kompleksitas batin atau emosi, kita memang tidak bisa memainkannya hanya dengan satu pola tempo-ritme. Hal itu akan membuat permainan menjadi monoton. Ia berkata, Kadang-kadang semua lakon, semua peran didasarkan pada dan diungkapkan melalui gabungan beberapa tempo-ritme kontras. Banyak lakon Chekov didasarkan pada ini: The Three Sisters, Uncle Vanya dan lain-lain. Tokoh-tokohnya secara lahiriah hampir selalu tenang sedangkan secara batiniah berdegup dengan kegelisahan semosi (Membangun Tokoh, 261). Semua tempo dan irama dalam keseluruhannya menciptakan atmosfer tertentu: megah dan khidmat atau ringan dan riang.

46

Arti tempo-ritme sangatlah besar untuk pergelaran apa pun. Sering sebuah lakon yang bagus, yang sudah dirancang dan dimainkan dengan cantik, tidak sukses karena ditampilkan dengan kelambatan yang tidak semestinya atau keterburu-buruan yang tidak pada tempatnya. Bayangkan sendiri bagaimana hasilnya jika kalian mencoba memainkan lakon tragedi dalam tempo yang pas untuk lakon satire, misalnya (Membangun Tokoh, 263)! Cukup sering kita menyaksikan lakon yang biasa-biasa saja, diproduksi dan dimainkan dengan gaya yang biasa-biasa juga tapi disampaikan dalam tempo yang kuat dan meluap-luap— bisa sukses karena kesan riang yang diciptakannya. Dalam Sistem Stanislavski sendiri tidak ditemukan suatu metode psiko-teknik yang pasti tentang bagaimana menentukan tempo-ritme pertunjukan atau peran secara keseluruhan. Mengenai hal ini ia hanya menggambarkan dengan ilustrasi dalam praktik sehari-hari di bawah ini: Tempo-ritme keseluruhan suatu pergelaran drama biasanya tercipta secara kebetulan, atau muncul dengan sendirinya. Jika seorang aktor, karena alasan apa pun, memiliki rasa permainan dan rasa peran yang tepat, jika kondisinya sedang baik, jika penonton responsif, maka aktor itu akan menghayati perannya dengan cara yang benar. Maka tempo-ritme yang pas akan terbentuk dengan sendirinya. Jika ini tidak terjadi, kita seakan jadi tak berdaya. Jika kita menguasai jenis psiko-teknik yang tepat, kita dapat menggunakannya untuk menetapkan dasar tempo-ritme lahir atau luar terlebih dahulu, kemudian tempo-ritme batin atau dalam. Kedua irama itu akan merangsang perasaan (Membangun Tokoh, 263). Meski Satnislavski menyatakan tidak ada suatu metode psiko-teknik yang pasti untuk menentukan tempo-ritme peran dan pertunjukan secara keseluruhan, ia telah memberikan suatu panduan tertentu bagi para aktor untuk menemukan tempo-ritme peran dan permainan mereka. Tempo-ritme keseluruhan lakon adalah tempo-ritme garis tembus laku dan isi subteks lakon. Garis tembus laku memerlukan dua sudut pandang: sudut pandang aktor dan sudut pandang peran. Aktor harus mengupayakan dalam imbangan yang betul untuk seluruh garis tembus laku dalam suatu lakon, seperti pelukis yang membagi-bagikan warna dalam lukisannya dan berusaha menetapkan imbangan yang benar dalam hubungan antara warna dengan warna (Membangun Tokoh, 269). Hal lain yang harus diupayakan aktor untuk menemukan, menjaga dan mengembangkan tempo-ritme selama pertunjukana berlangsung adalah dengan melibatkan diri secara terusmenerus dengan seluruh peristiwa yang sedang terjadi dengan seluruh dirinya: lahir-batin. Bahkan ketika ia masih berada di side-wing panggung. Sehingga ketika tiba gilirannya melibatkan diri dalam pertunjukan, ia akan menemukan suatu nada yang tepat bagi permainannya. Sering juga kita mendengar ungkapan, “Tenang saja, si Anu ikut bermain.” Apa maksud pernyataan seorang aktor yang disampaikannya kepada teman aktornya ini? Dalam banyak kasus, kehadiran seorang aktor yang telah dianggap cukup matang, akan bisa membawa pertunjukan dalam suatu tempo-ritme yang tepat dan mengesankan. Bagaimana melalui dirinya seluruh aktor dan lakon terserap dalam suatu tempo-ritme yang bertenaga dan siap melanda penonton.

47

Betapa penting dan krusialnya fungsi tempo-ritme bagi peran dan pertunjukan. Bahkan dalam buku Membangun Tokoh, tidak kurang dari 50 halaman yang dihabiskan untuk mengurai tema ini.

5. Wicara Mendengarkan aktor mengucapkan kata-katanya di atas panggung, mestinya bisa seperti mendengarkan sebuah konser musik yang indah selama pertunjukan. Indah karena kita seperti mendengarkan dan merasakan ratapan yang amat lirih dari pedalaman jiwa, gelegak marah yang membadai, bisikan lembut sebuah ketulusan, nyaring kumandang kenangan, gaung dendam yang mengerikan, lembut-datar suatu kebohongan, meriah harapan dan keceriaan, atau getar sederhana sebuah sapaan. Indah karena nada-nada lembut, datar, tinggi, meraung, mengentak berpadu sebagai suatu komposisi yang penuh keharmonian. Indah karena nada-nada itu keluar dari instrumen-instrumen musik yang sudah disiapkan dan dimainkan dengan kecakapan, ketepatan, dan kemahiran seorang dengan teknik yang mendekati sempurna. Namun dalam banyak kejadian, khususnya menyaksikan pertunjukan teater di Indonesia dewasa ini, alih-alih mendengarkan “konser musik” yang indah, kita malah seperti dipaksa menyimak demonstrasi dari betotan bas yang sember, suara drum yang pecah, lengking suling yang terlalu nyaring dan memekakkan telinga, atau gemaung cello yang digesek dengan cara yang salah. Kita sering mendengar saja apa yang dikatakan aktor, tapi tidak bisa merasakan getar perasaan apa-apa. Tak jarang cuma seperti mendengar potongan-potongan kata yang tak bisa dipahami arti dan maksudnya. Juga sangat sering mendengarkan aktor berbicara seperti rekaman suara peringatan di pintu lintasan kereta. Ada banyak aktor yang tak henti mengerang sepanjang pertunjukan untuk menunjukkan bahwa tokoh yang ia mainkan berwatak keji dan menakutkan, yang lain sangat senang mendayudayukan ucapannya untuk memamerkan kesedihan, sementara temannya melulu berbicara dalam nada datar untuk memberi kesan bahwa tokoh yang dimainkannya adalah seorang yang dingin dan tak perduli. Dalam lain kasus, dan ini cukup sering kita temukan di Indonesia, seluruh aktor mengucapkan dialognya dengan nada dan warna suara yang sama sepanjang pertunjukan. Unsur wicara dan seluruh kaidah-kaidah di dalamnya adalah unsur yang paling sering rusak parah dalam teater kita dewasa ini. Beberapa aktor yang terbiasa berdeklamasi bahkan selalu memberi tekanan pada setiap huruf, kata, frasa dan kalimat yang dia ucapkan. Jangankan keindahan, bahkan kewajaran percakapan sehari-hari sulit kita dapatkan. Diksi, “nyanyian”, tempo, jeda, lewat begitu saja. Aktor seperti petasan yang tak henti mengeluarakan bunyi “dar der dor”—sesekali “pes”, di atas panggung. Bisakah seorang aktor membacakan puisi seperti berbicara sesederhana mungkin, tanpa kesedihan palsu, efek suara pura-pura atau penekanan yang berlebihan? Bisakah seorang aktor atau deklamator tetap memusatkan perhatiannya pada jiwa puisi itu? Bisakah seorang aktor menjelmakan kesan yang bersumber dari kata-kata dalam frasa yang bergetar, bernyanyi— sehingga menjadikan wicaranya terdengar berbobot dan musikal?17

17

Membangun Tokoh, 100. Kutipan sudah diubah dalam bentuk pertanyaan agar lebih provokatif.

48

Bahkan itu semua belum cukup. Aktor tidak boleh berpuas diri dengan bunyi wicaranya sendiri melainkan harus pula membuat penonton mampu mendengar dan memahami apa yang patut diperhatikan. Stanislavski mengatakan, Hal itu membutuhkan keterampilan tinggi. Ketika saya berhasil mencapainya, saya sadari apa yang kita sebut “rasa kata”. Wicara adalah musik. Teks yang harus diucapkan oleh tokoh atau seluruh teks lakon adalah melodi, opera atau simfoni. Pengucapan di atas panggung adalah seni yang sama sulitnya dengan seni suara dan membutuhkan latihan dan teknik yang terbaik. Ketika aktor yang memiliki suara terlatih dan menguasai teknik vokal dengan baik mengucapkan dialognya saya terhanyut oleh seninya yang luar biasa. Ketika ia mengucapkannya dengan berirama, saya langsung terbawa mengikuti irama dan nada wicaranya, tergerak olehnya. Jika ia sendiri menembus sampai ke dalam jiwa kata-kata tokoh yang diperankannya, saya terbawa memasuki tempat-tempat rahasia dalam gubahan si penulis lakon dan juga dalam jiwa sang aktor. Ketika sang aktor mengimbuhkan ornamen suara untuk menghidupkan kata-kata itu, ia membuat saya melihat dengan mata batin saya kelebat gambaran-gambaran yang diciptakannya dari imajinasi kreatifnya sendiri (Membangun Tokoh, 100). Tapi bagaimana mewujudkan semua itu? Bagaimana agar aktor bisa merasakan orkestra lengkap meski hanya dalam satu frasa sederhana? Mengenai hal ini, Stanislavski memberikan sebuah contoh pengucapan kalimat yang sangat cermat dengan seluruh detail emosi dan diksi yang sempurna. Kembalilah. Aku tidak bisa hidup tanpa dirimu. Kalimat yang hanya terdiri atas tujuh kata ini, hampir dapat dipastikan akan jadi ungkapan perasaan yang klise belaka bila ia dinyanyikan (diucapkan) dengan teknik yang serampangan. Namun dengan menggunakan teknik tertentu, Stanislavski menunjukkan kepada kita, betapa kalimat di atas bisa membuat penonton tergetar di bangkunya—dengan meminjam teknik nyanyian dalam aria (nyanyian tunggal dalam opera). Betapa banyak cara untuk menyanyikan (mengucapkan) kalimat itu, dan selalu baru! Betapa banyak makna yang bisa dituangkan ke dalamnya! Beragam suasana hati. Cobalah memberi jeda dan tekanan di tempat-tempat yang berbeda; akan kau peroleh makna baru dan baru lagi. Jeda pendek dengan penekanan menjadikan kata kunci terdengar tajam dan menghasilkan sesuatu yang berbeda. Jeda yang lebih panjang tanpa suara, memungkinkan kata-kata diresapi dengan muatan makna baru dan segar. Ini semua dibantu dengan gerak, ekspresi wajah dan intonasi. Perubahan-perubahan ini menimbulkan suasana hati yang baru, memberi isi baru pada keseluruhan kalimat. Contohnya, kata pertama, Kembalilah, diikuti dengan jeda yang penuh keputusasaan karena dia yang telah pergi tak akan kembali. Inilah awal dari aria yang sedih. Lalu Aku tidak bisa—diikuti dengan jeda pendek mengambil napas untuk mempersiapkan dan membantu mengangkat kata kunci—hidup—yang merupakan titik puncak. Jelas, inilah kata paling penting dalam keseluruhan kalimat. Untuk memberi ruang yang lebih lapang sehingga kata itu dapat lebih menonjol lagi, ditambahkan jeda dengan helaan napas pendek, kemudian kalimat itu ditutup dengan kata-kata tanpa dirimu.

49

Jika kata hidup yang merupakan alasan terciptanya keseluruhan kalimat musikal ini adalah suatu daya yang tercabut dari jiwa, jika si perempuan yang telah dicampakkan itu menggunakan kata itu dengan seluruh sisa tenaganya untuk mengungkapkan bahwa ia bersandar pada laki-laki yang telah ia percaya selamanya—maka kata itu akan menyampaikan inti seluruh kalimat, yaitu jiwa seorang perempuan yang dikhianati, yang hancur berkeping-keping. Sesuai kebutuhan, penempatan jeda dan penekanan kata dapat saja berbeda, dan inilah yang kita peroleh: Kembalilah—berhenti sejenak—aku—(mengambil napas) tidak bisa. . .(napas) hidup tanpa dirimu! Kali ini penajaman diletakkan pada kata-kata Aku tidak bisa. Melalui kata-kata ini kita merasakan keputusasaan seorang perempuan karena hidupnya kehilangan makna. Dengan ini seluruh kalimat diwarnai dengan firasat buruk yang gawat, dan kita serasa tahu bahwa perempuan yang tercampakkan ini sudah tamat; bahwa jurang maut menganga di depannya. Bayangkan, berapa banyak yang bisa dimampatkan dalam satu kata atau satu kalimat, betapa kayanya bahasa, betapa besar kekuatan bahasa; bukan sebagai bahasa itu sendiri, melainkan sebagai penyampai jiwa dan pikiran manusia. Alangkah banyak muatan rohaniah dan emosi dalam kata-kata sederhana: Kembalilah. Aku tidak bisa hidup tanpa dirimu. Dalam kalimat ini termuat seluruh tragedi kehidupan seorang manusia. Padahal, apalah arti satu kalimat dalam konsep besar si penulis lakon, di seluruh adegan, babak, dan lakon? Hanya satu noktah kecil dari satu keseluruhan yang sangat besar (Membangun Tokoh, 101). Dari uraian semenjana dan contoh di atas, kini kita mengerti bahwa diksi (pengucapan), tempo, jeda, tebal-tipis suara, penekanan (sewajarnya) pada bagian tertentu, yang dilakukan aktor ketika mengucapkan kata, frasa atau kalimatnya di atas panggung bukan hanya membuat wicaranya terdengar, melainkan juga mengangkut keluar seluruh khazanah batin yang tersembunyi di dalam kata, frasa atau kalimat sehingga bergetar dalam jiwa penonton juga lawan mainnya dan terlihat dalam keseluruhan laku fisiknya. Tentu saja tidak berarti semua kata, frasa atau kalimat di dalam teks harus selalu disampaikan dengan pengucapan yang bersumber dari kedalaman perasaan seperti itu. Seorang aktor hanya perlu menyesuaikan pengucapannya dengan motif-motif batin (subteks) yang terkandung dalam kata-kata atau kalimatnya. Sebuah kata atau frasa yang dimaksudkan untuk menyampaikan keragu-raguan, basa-basi atau sekadar sapaan ramah, juga harus disampaikan dengan teknik yang sama. Artinya, bagaimana muatan subteks di dalamnya—dengan teknik tertentu—tersampaikan secara jernih dan bisa dipahami oleh lawan main dan penonton. Bahkan, dalam banyak kasus, tak sedikit aktor yang selalu gagal ketika mengucapkan kata atau frasa yang sangat singkat seperti Selamat malam, Oh, ya? Bagaimana bisa? Permisi dan seterusnya. Frasa dan kata yang sangat familiar kita dengar dalam kehidupan sehari-hari itu, tibatiba terasa sangat asing dan kehilangan rasa. Hampir sebagian besar aktor akan melewatkannya begitu saja dengan sikap meremehkan seakan ia sudah benar-benar tepat ketika mengucapkannya. Sementara di sisi lain, kata, frasa atau kalimat yang memiliki bobot batin cukup besar diucapkan dengan muatan emosi yang berlimpah dan sering menenggelamkan si aktor dan ucapannya dalam “banjir bandang” perasaan. Ini semua membuktikan kebenaran pernyataan Stanislavski, “Semakin sederhana sebuah kebenaran, semakin banyak waktu yang harus kita habiskan untuk memahaminya.”

6. Menubuhkan Tokoh

50

Setiap manusia, secara alamiah maupun karena bentukan dari faktor-faktor di luar dirinya, memiliki karakteristik fisik yang berbeda satu sama lain. Watak atau ciri fisik itu biasanya menandakan ciri atau tokoh batin tertentu pula. Apa yang tersembunyi di dalam diri seseorang bisa kita “raba” dengan melihat tokoh fisiknya: cara berjalannya, cara berbicara, bentuk kepala, leher, wajah, lengan, dada, hingga hal-hal yang tak kasat mata seperti tekanan nada bicara dan sebagainya. Berkaitan dengan kerja aktor terhadap perannya, seorang aktor perlu menambahkan ciri atau karakteristik fisik untuk menonjolkan atau mempertajam ciri atau tokoh batin tertentu. Misalnya, seorang yang secara emosional dan mental sangat tidak percaya diri, umumnya jarang sekali menatap mata orang lain secara langsung, tubuhnya cenderung “mengerut” ketika berhadapan dengan orang yang dianggapnya lebih dominan. Nada bicaranya mengesankan keraguraguan dan seterusnya. Semua karakteristik dan ciri fisik itu disebut “menubuhkan tokoh”. Dengan cara ini, apa yang tersimpan di “dunia dalam” tokoh akan bisa terlihat dan mengungkapkan segala yang abstrak yang semula hanya dikenal oleh aktor yang memerankannya. Pendekatan terhadap penubuhan tokoh ini bisa dilakukan dengan menghadirkan secara detail ciri-ciri atau tokoh batin tokoh. Dalam beberapa kasus, ketika seorang aktor telah membereskan semua ciri batin tokoh yang dia perankan, secara otomatis tubuhnya akan menyesuaikan dengan keadaan batin tersebut. Namun, kata Satanislavski, kita tidak bisa menyandarkan diri pada kebetulan seperti itu. Lalu bagaimana cara menemukan kiat yang tepat untuk menubuhkan tokoh? Stanislavski mengatakan bahwa Kita mengembangkan perwatakan lahiriah dengan sumber dari diri kita sendiri, selain dari orang lain, dari kehidupan nyata atau imajiner, seturut dengan intuisi dan amatan kita terhadap diri sendiri atau orang lain. Kita memperolehnya dari pengalaman hidup kita sendiri atau pengalaman hidup teman-teman kita, dari foto-foto, lukisan, sketsa, buku, film, cerita, novel atau suatu peristiwa sederhana. Satu-satunya syarat yang harus dipenuhi adalah bahwa selama melakukan penelitian lahiriah ini kalian tidak boleh kehilangan diri batiniah kalian (Membangun Tokoh, 07). Dalam proses penubuhan tokoh ini, aktor harus selalu bertolak dari kandungan batin yang ada pada tokoh. Apa pun wujud tokoh fisik yang diberikan aktor pada tokoh yang diperankannya hendaknya jangan menghilangkan sifat alamiah dari dunia batin si tokoh. Kata Stanislavski, “Kita bisa saja menjadi pincang, memiliki mata yang kecil sebelah, bungkuk atau seperti orang yang baru saja tersengat lebah sehingga wajahnya menjadi bengkak, tapi semua itu tidak menghilangkan kepribadian yang ada di dalam diri kita juga tidak menghilangkan sifat alamiah yang ada pada kita” (Membangun Tokoh, 6). Tujuan penubuhan watak ini adalah agar tokoh bisa hadir secara lebih meyakinkan dan meninggalkan kesan yang mendalam. Bukan sekadar karena ia berbeda secara fisik dari tokoh lainnya. Melainkan lebih karena sifat-sifat batiniah tokoh tergambar dengan lebih kuat dan nyata melalui tokoh fisiknya.

7. Improvisasi: Menemukan Bobot Laku Fisik

51

Sering terjadi sedikit kebingungan dalam memahami Metode Laku Fisik yang diajarkan Stanislavski. Sebelumnya ia menganjurkan para aktor untuk menggali dan membangkitkan “emosi-emosi murni” dari dalam dirinya sendiri sebagai “bahan” untuk mewujudkan akting yang benar. Namun, di sisi lain, ia tampak lebih menekankan agar para aktornya mampu merancang suatu rangkaian laku fisik yang tepat dan rinci berdasarkan situasi-situasi terberi yang ada di dalam naskah. Seakan ada pertentangan di antara keduanya. Namun, bila kita melihat kedua hal tersebut sebagai metode yang saling melengkapi, maka kebingungan seperti itu tak perlu ada. Stanislavski sering menyebut kedua hal ini dengan istilah “psiko-psikis” atau “tubuh-jiwa”. Bentuk-bentuk laku fisik (lahiriah) yang sering hanyalah serangkaian tindakan-tindakan kecil dan remeh, akan membuat seluruh motif dalam (psikis) tokoh menjadi “meruang” di atas panggung, terasa dan terlihat. Hadir. Oleh karena itu, kecermatan dan ketepatan dalam mewujudkan keduanya; aspek psikis dan fisik, sesuai dengan situasi-situasi terberi yang ada di dalam naskah, menjadi nilai yang tak bisa ditawar. Dengan penjelasan yang semenjana ini, mungkin beberapa di antara kita akan menyimpulkan: solusinya adalah semua hal yang sudah kita rencanakan itu harus diulang terusmenerus hingga menjadi kebiasaan di atas panggung. Ini bukanlah kesimpulan yang keliru, meskipun bukan berarti persoalan akan menjadi beres. Seorang aktor yang terus-menerus melatih seluruh perencanaan terhadap perannya, bisa saja semakin jauh dari apa yang dikehendakinya. Maka, bila hal ini yang terjadi, kita bisa mencoba suatu metode lain yang diberikan Stanislavski, yaitu Laku Fisik melalui Improvisasi. Tujuan utama dari metode Laku Fisik untuk para aktor adalah untuk menemukan suatu rangkaian yang logis dan tepat dari seluruh tindakan yang akan memungkinkan watak mereka mencapai “tugas atau sasarannya”. Teknik untuk melakukan hal ini dalam faktanya sangatlah sederhana, dan tantangan Stanislavski pada para aktor bersifat profokatif—tanpa sedikit pun membaca, tanpa sedikit pun penjelasan atas lakon, para aktor diminta datang untuk melakukan latihan. Bagaimana mereka bisa melakukan hal itu? Demikianlah, ini hanya sebuah cara untuk berlatih dalam lakon dengan persiapan yang sangat sedikit melalui improvisasi. Ini bukanlah sebuah ide baru: Meyerhold telah menggunakan improvisasi secara ekstensif dalam Studio Teater pada 1905. Pada 1935 improvisasi jauh dari keumuman atau sembarang: jika para aktor akan mengidentifikasi laku-laku fisik secara tepat dan benar, mereka perlu mengerahkan perhatian yang sangat besar terhadap detail dari improvisasi mereka sebesar perhatian mereka sebelumnya terhadap analisis round-the-table. Perbedaan yang utama adalah mereka tidak lagi duduk di sekitar meja dengan kepala yang penuh dan buku-buku dan pensil di tangan mereka. Mereka kini mengerjakan penelitian mereka di atas panggung, melihat ke dalam sisi manusiawi hidup mereka sendiri untuk apa pun informasi yang mereka perlukan demi mencapai detail watak mereka (Membangun Tokoh, 30). Untuk membantu aktor mendapatkan informasi, Stanislavski mengajukan empat tahap yang mudah: Tahap 1, sebisa mungkin sederhana: para aktor mempelajari sebuah adegan. Tahap 2, terlibat dalam diskusi kecil untuk mengklarifikasi mengenai apa adegan tersebut, bagaimana hal itu terbagi ke dalam satuan-satuan aktivitas dan apa laku (tindakan) utamanya.

52

Tahap 3, aktor mencoba mewujudkan adegan ke dalam bentuk improvisasi. Mereka sering memulainya dengan silent etude (aktivitas akting tanpa kata), di dalam cara seperti itu mereka bekerja sangat penuh perhatian namun sangat hening—melalui daftar aktivitasaktivitas fisik, menguji apakah aktivitas yang mereka pilih selama diskusi persiapan telah tepat atau tidak. Tahap 4, (termasuk detail silent etudes). Sesudah etude, berlanjut ke diskusi mengidentifikasi momen-momen mana yang telah dikerjakan dalam improvisasi dan manakah yang merusak logika aktivitas-aktivitas fisik yang telah dicatat dalam daftar. Kemudian ketika aktor kembali ke tahap 1, sedikit demi sedikit, kata-kata dimaklumkan, mulai dengan improvisasi teks masing-masing dan menggambarkan lebih dekat dan lebih dekat lagi pada naskah aktual yang ditulis pengarang (Membangun Tokoh, 30).

Sepanjang waktu mereka kembali pada sesuatu yang sederhana, rangkaian pemahaman yang terus-menerus dari membaca, diskusi dan improvisasi. Melalui seluruh pengembangan improvisasi tersebut, para aktor akan mampu menemukan “nada” aktivitas-aktivitas/tindakan mereka dan memperbaikinya untuk membentuk kerangka adegan, dikenal sebagai physical score atau “notasi fisik”.18 Bentuk-bentuk “kerangka” laku fisik yang tepat dapat diulang-ulang sampai menjadi kebiasaan, kebiasaan menjadi mudah, dan mudah menjadi indah.19

18

“Physical score” (notasi fisik) adalah istilah yang dipopulerkan Stanislavski, kemudian dikembangkan lebih jauh oleh Grotowski—yang merujuk pada konsistensi (fisik) yang organis. Score juga berarti serangkaian laku atau aksi yang presisif, buah desain, yang dapat diulang-ulang—yang dihubungkan bersama untuk mencapai “tugas”. Namun, sebuah score tidak hanya mengekspresikan perilaku eksternal, tapi ia lebih kepada “buah” dari sebentuk aksi internal yang lalu dijelmakan dalam bentuk eksternal. Score diperoleh melalui proses trial and error aktor selama latihan. Poin pentingnya—score harus muncul dari pengalaman yang aktual atau “menyata” dari proses aksi-reaksi/stimulus-respons—antara aktor dengan mitranya atau dengan obyek lain tempat aktor melakukan “kontak”. Istilah “score” memang berdekatan dengan kata “notasi” seperti dalam musik—dan memang Stanislavski merujuk pada istilah musik ini untuk menjelaskan maksudnya akan “desain fisik” yang dapat diulang oleh para aktor. Jika para pemusik membutuhkan “notasi” untuk tampil memainkan lagu atau musiknya, maka para aktor membutuhkan pula “notasi-notasi fisik” untuk tampil memainkan perannya, ujar Grotowski. Stanislavski juga kerap merujuk pada arti “tata bahasa” atau “grammar”—juga untuk menunjukkan maksud yang sama. Kebutuhan agar para aktor mampu mendesain “notasi fisik” ini beranjak dari keinginan Stanislavski agar para aktor dapat melakukan hal yang sama seperti yang selalu dilakukan oleh para pemusik—mereka mampu memainkan musiknya secara tetap dan tepat—meskipun mereka harus memainkannya malam demi malam atau berulang-ulang. Untuk penjelasan lebih jauh bisa di baca buku Robert Benedetti, The Actor at Work, (New Jersey: Prentice Hall, 1990), 252-254. 19 Eugenio Barba secara lebih rinci menjelaskan bahwa istilah score merujuk pada: 1. Bentuk-bentuk umum dari laku/aksi fisik yang di dalamnya mengandung awal, klimaks dan akhir. 2. Dinamika dan ritme, kecepatan dan intensitas yang mengatur tempo; termasuk aksentuasi-aksentuasi dan pengulangan-pengulangan tertentu di dalam aksi. 3. Ketepatan dari detail yang tetap; definisi yang tepat pada laku atau aksi individu, seperti—sats, perubahan arah, perbedaan-perbedaan kualitas energi dan variasi-variasi kecepatan.

53

Dalam banyak cara, bentuk laku fisik tidak banyak perbedaan dengan perencanaan yang telah dilakukan sebelumnya yang bersumber dari rencana pengadegan (mis-en-scene), kecuali proses penemuan melengkapi apa yang saling bertentangan. Stanislavski tidak lagi membuat daftar pokok kebutuhan laku fisik peran sebagaimana yang telah ia lakukan dengan lakon The Seagull (Burung Camar) karya Anton Chekov. Sebaliknya, para aktor—melalui diri mereka sendiri— menggali momen-momen “kebenaran”—di dalam watak dan di dalam tindakan—melalui pengalaman-pengalaman “lahir-batin” dalam mengerjakan adegan. Selanjutnya, “momen-momen kebenaran” yang telah menjelma dalam laku fisik itu harus terus dilatih, berulang-ulang, sampai menjadi kebiasaan. Kebiasaan baru ini seakan menjadi kebiasaan yang alamiah bagi aktor—atau ia telah menjadi sepenuhnya kebiasaan tokoh—sampai aktor “tak memerlukan lagi” proses berpikir untuk menjalankan proses pemeranannya. Saat score telah tetap, aktor tak lagi “menggerakkan” arus asosiasi (yang di dalamnya berisi emosi, memori, perasaan-perasaan dan imajinasi) di dalam benaknya, namun arus asosiasi itu yang telah menggerakkan aktor (berikut laku fisiknya.) Pada titik ini, aktor memang telah benar-benar terpusat seluruh eksistensinya pada momen “here and now” (The Actor at Work, 253). Peristiwa panggung yang sejatinya bersifat “fiksional”—pada momen itu menjadi peristiwa “faktual” di tubuh aktor. Inilah salah satu alasan lain untuk melakukan latihan improvisasi, yaitu untuk menjadikan proses mempelajari teks sebagai pengalaman yang bersifat mempribadi, menjadi milik kita (Membangun Tokoh, 30). 8. Membangkitkan “Roh” Kata Masalah lain menyangkut Laku Fisik aktor di atas panggung adalah bagaimana mengucapkan kata atau kalimat atau serangkaian dialog dengan tepat dan benar. Tepat, karena memenuhi sasaran yang dikehendaki di dalam naskah. Benar, karena mampu menjelmakan subteks. Hal ini sama sekali tidak akan menjadi segampang yang bisa kita bayangkan. Aktor sering bukan mengucapkan kalimatnya dengan tepat dan benar, melainkan sekadar melisankannya sambil merasa seolah-olah telah mengucapkan hal yang sebenarnya. Di Indonesia,

4. Orkestrasi dari hubungan antar bagian pada tubuh—tangan, bahu, kaki, mata, suara, ekspresi wajah dan sebagainya. Yang menarik, Barba juga “menyamakan” istilah score ini dengan istilah “kata” dalam karate. “Kata” adalah serial tindakan yang memang didesain secara tepat agar bisa dilatih atau dilakukan berulang-ulang oleh para karateka. Di dalam “kata” ini kita juga dapat melihat kualitas “ketepatan, variasi irama dan tempo, variasi energi, sats dan lainlain”—yang seharusnya juga terdapat dalam sebentuk laku atau aksi para aktor di panggung. Jika “kata” yang diperagakan mampu memenuhi “persyaratan-persyaratan laku” seperti yang diperintahkan sang guru karate, maka secara otomatis “kata” tersebut akan menghasilkan kualitas estetik tertentu dan ini dapat dilihat dan dirasakan oleh orang-orang yang menontonnya. Dan yang mengagumkan—bentuk dari “kata” ini dapat ditransmisikan kepada karateka-karateka lainnya, sehingga jika mereka melatihnya dengan serius, maka penonton juga akan melihat “bentuk/aksi fisik dan energi/aksi mental” yang sama. Transmisi pengetahuan berupa “bentuk dan isi” ini yang memang harus diakui belum dapat dilakukan oleh dunia teater atau aktor. Di dunia tari hal ini sedikit banyak telah dilakukan, khususnya untuk tari-tari tradisional, yang mampu mewariskan baik bentuk maupun isi tarinya ke generasi penerusnya. Pada tari modern, dengan adanya Notasi Laban, kiranya mereka pun mulai mampu membuat semacam “kata” yang akan memudahkan pewarisan bentuk tari pada penari-penari lain yang ingin mempelajari jenis tari tertentu. Untuk pemahaman lebih jauh, baca buku Eugenio Barba, The Paper Canoe, 121-134.

54

kasus serupa ini sering kita dapati pada pertunjukan lakon-lakon terjemahan. Dialog yang diucapkan para aktor di atas panggung tiba-tiba hanya seperti peragaan pengucapan bahasa Indonesia yang baku. Kita tidak bisa merasakan getaran apa-apa di sana, meskipun dalam mengucapkannya para aktor telah terisak, mengerang, mendayu dan sebagainya. Bahkan untuk sekadar mengucapkan frasa silakan masuk, seorang aktor tampak bukan seperti manusia pada umumnya. Semua itu disebabkan terdapat jarak yang cukup jauh antara aktor dengan kata, frasa, kalimat atau dialog yang diucapkannya. Bahasa yang digunakan aktor di atas panggung bukan bahasa yang lahir dari dirinya, melainkan sekadar dari lidahnya. Jarak itu ada pertama-tama karena bahasa yang ada di dalam naskah adalah bahasa milik pengarang yang bukan saja merepresentasikan pikiran dan perasaannya, melainkan juga budaya dan segala hal yang telah mempengaruhinya. Itulah mengapa, tahap membaca naskah harus selalu berarti mehami subteks, sasaran dan mengenali seluruh aspek ekstrinsik dan intrisiknya. Mengenai hal ini, Stanislavski menyatakan, Di antara kata-kata kita dan semua kata-kata orang lain, ada jarak yang sangat tak terbatas. Kata-kata kita mengarahkan ekspresi-ekspresi dari perasaan kita, sebaliknya kata-kata orang lain menjadi sesuatu yang asing sampai kita membuatnya menjadi milik kita sendiri. Di sana tidak ada apa pun daripada sekadar tanda-tanda, dari emosi-emosi yang belum terjadi, yang belum menjadi bagian yang hidup dalam diri kita. Kata-kata kita dibutuhkan dalam fase pertama perwujudan tindakan-tindakan fisik peran, sebab ia adalah keterampilan terbaik untuk menyuling dari dalam diri kita sendiri perasaan-perasaan yang bergetar, yang belum ditemukan dalam ekspresi-ekspresi luar (Membangun Tokoh, 31). Ia bahkan lebih jauh melarang penghafalan secara sengaja dan berhati-hati teks yang ditulis pengarang. Jika aktor terlalu bergantung secara fanatik terhadap lakon, ia percaya hal itu akan membuka keengganan mereka—atau menjadi tak terbiasa—untuk membangkitkan jiwa dari tokoh/peran. Hal itu setelah mempertimbangkan pencapaian tertinggi apabila aktor dapat membuka skema adegan dengan memaknai laku fisik yang “sepele” atau dengan jumlah kata-kata paling minim.20 Dalam sebuah sesi latihan di sebuah grup teater di Indonesia, seorang aktor harus melakukan sebuah adegan ia berteriak memaki pesawat-pesawat pengebom milik penjajah yang sedang melintas di atas kotanya. Aktor itu harus mengucapkan kalimat yang cukup panjang untuk menggambarkan segala kemarahan, dendam dan kebenciannya, “Kalian para fasis, enyahlah dari tanah kami. Apakah belum cukup segala kehancuran dan penderitaan yang kalian akibatkan ini!” Berkali-kali sang aktor mengucapkan kalimat di atas sambil berlari terhuyung ke sana ke mari mengikuti arah pesawat yang terus berputar-putar jauh di atas sana. Berkali-kali pula sutradara menghentikan adegan itu dan memintanya mengulang dengan alasan “belum terasa kemarahan dan kebenciannya.” Akhirnya latihan dihentikan. Si aktor tampak frustrasi dengan semua upayanya itu. Lalu sang sutradara memintanya mengganti semua kalimat itu dengan satu kata saja yang bisa menggambarkan kemarahan dan kebenciannya pada para penjajah. Maka dipilihlah satu kata: bangsat! Setelah itu, si aktor mengulang melatih adegan tersebut dengan kata yang dipilihnya sendiri. Tiba-tiba ia merasa darahnya mendesir, kebenciannya meluap dan pada saat bersamaan ia 20

Toporkov, murid Stanislavski, dalam Konstantin Stanislavski.

55

ucapkan “bangsat!”. Tidak dengan berteriak-teriak. Bahkan nyaris lirih. Tapi justru adegan itu menjadi terasa bergetar dan hidup. “Yak! Dapat!” kata sutradara, puas. Tentu saja, akan tiba saat aktor membutuhkan teks aktual, hal mana di dalam reherseal Stanislavski menjejali mereka dengan sejumlah catatan atas kata-kata yang ditulis pengarang, di sisi pinggir naskah seperti pelatih sepakbola. Mereka menangkap semua kata-kata teks pengarang dengan penuh nafsu—di panggung—mengekspresikan sebuah gagasan atau pikiran atau menjelmakan sebuah bagian dari tindakan lebih baik lagi melalui ucapan-ucapan yang mereka buat sendiri. Dalam contoh di atas, setelah si aktor mampu menjelmakan seluruh motif dalam dan menemukan bentuk (teknik) yang tepat melalui kata bangsat yang diucapkannya dengan lirih, sutradara bisa memintanya kembali pada teks yang sebenarnya sambil membawa seluruh pengalamannya menggunakan kata-katanya sendiri (bangsat) untuk mengucapkan kalimat panjang yang ada di dalam naskah. Hasil proses ini tampaknya tidak menemukan jalan yang sukar melalui (1) improvisasi aktor terhadap teks, melalui (2) saran-saran sutradara di sisi pinggir naskah, (3) para aktor akhirnya mengetahui setiap baris naskah sebab mereka menginginkkan kata-kata yang sesungguhnya, bukan seperti yang telah mereka hafal dengan cara yang kaku. Jika aktor mengikuti rangkaian ini, pengucapan teks mereka akan menjadi apa yang disebut Stanislavski “membangkitkan/menciptakan roh kata-kata” (Membangun Tokoh, 31). Sumbernya terhunjam di dalam batin mereka, muncul sebagai suatu cara untuk mengekspresikan apa yang sedang berlangsung di dalam diri mereka. Momen yang sungguhsungguh menggetarkan aktor adalah ketika teks (naskah) menjadi tindakan di dalam cara yang benar berdasarkan kebenaran yang terkandung di dalam teks itu sendiri, peralatan yang sangat penting untuk mengartikulasikan (menjelmakan) gairah yang mematangkan watak.

56

6 PENUTUP ADAB KEAKTORAN

Seorang pendeta sejati selalu menyadari keberadaan mezbah atau altar, setiap saat selama dia memimpin peribadatan, persis demikianlah hendaknya seorang seniman sejati bereaksi terhadap panggung, sepanjang waktu ketika berada di pergelaran. Aktor yang tidak pernah mampu mengembangkan perasaan demikian tidak bakalan pernah bisa menjadi seniman sejati (Membangun Tokoh, 313). Salah satu hal yang dianggap penting oleh Stanislavski untuk mencapai sebuah kualitas keaktoran yang maksimal adalah etika atau adab keaktoran. Baginya, etika adalah batu fondasi yang amat penting, karena tanpa dilandasi oleh sebuah sikap yang patut dan layak oleh sang aktor terhadap dirinya sendiri, terhadap tempatnya berlatih, terhadap teman-teman aktor yang lain, terhadap jadwal latihan, bahkan terhadap panggung, maka niscaya kualitas akting takkan mungkin tercapai secara maksimal. Sesungguhnya, adab atau etika menjadi amat penting dalam proses berteater karena dilandasi pemikiran bahwa pemeranan atau teater bukanlah semata-mata kerja yang bersifat jasmaniah, namun juga menyangkut kerja ruhaniah. Kerja teater adalah kerja yang bersifat fisiologis sekaligus psikologis. Jika kerja fisiologis mudah diverifikasi hasilnya secara tepat, karena sifatnya yang dapat diindrai, maka kerja psikologis tak mudah untuk segera dilihat hasil atau produknya. Stanislavski selalu menekankan bahwa Sistemnya adalah usaha untuk memasuki bawahsadar aktor melalui kesadaran. Lebih jauh ia juga mengatakan bahwa “Keadaan Kreatif Batiniah”, yang dalam hal ini merupakan sasaran utama bagi setiap aktor untuk dapat diaktualisasikan, bertempat tinggal di bawah-sadar setiap manusia. Karena itu, usaha-usaha yang sistematis, atau usaha-usaha yang dilakukan dengan penuh kesadaran, untuk memasuki alam bawah-sadar amat diperlukan. Pada fase ini, adab atau etika aktor saat berhadapan dengan kerja keaktorannya, dengan profesinya, dengan ilmu teaternya, dengan lawan mainnya, dengan sutradaranya, dengan panggungnya, dengan penontonnya dan dengan banyak lagi ihwal lainnya, harus disadari sebagai fondasi utama yang harus dimilikinya. Stanislavski mengatakan, Singkatnya, pikirkanlah segala yang dapat dikendalikan secara sadar dan yang akan mengantarkan kau pada wilayah bawah-sadar. Inilah persiapan yang baik untuk datangnya inspirasi. Tapi, jangan sekali-kali mencoba mempergunakan pendekatan langsung pada inspirasi demi inspirasi itu sendiri (Persisapan Seorang Aktor, 298). Sekilas memang seperti tak ada hubungannya antara adab atau sikap, yang dalam hal ini merupakan ranah emosi dan mental terhadap hasil kerja pemeranan. Namun, jika ditelisik lebih jauh ternyata persoalan adab ini amat menentukan. Karena tuntutan yang tertinggi dari akting “yang benar” adalah penampakan kerja rohani tokoh, maka sebuah sikap yang tepat tentu amat diperlukan. Konsentrasi yang tinggi dan penuh disiplin, baik di panggung maupun di luar

57

panggung, amat dibutuhkan. Konsentrasi ini tentulah hanya akan lahir dari dalam jiwa yang memang menganggap “sangat penting” apa-apa yang sedang dikerjakannya. Sebuah keadaan kreatif batiniah, di mana unsur bawah-sadar dan kesadaran dalam diri aktor dikehendaki meluruh dan tampil secara bersama, sekali lagi, tidaklah mudah diraih. Aktor harus menyiapkan ladang di bawah sadar dalam dirinya agar dapat menyiapkan bibit-bibit tindakan “yang sejati dan benar” untuk dilakukan. Dan hal ini belum cukup sampai di sini saja—sang aktor juga harus pula mencari jalan agar ia mampu “memanen” buah dari bibit-bibit yang ia sebar di alam bawah sadarnya itu. Ia harus mampu meraih “inspirasi” dari bawah sadarnya itu. Sebuah adab yang tepat terhadap ilmu, profesi keaktoran dan panggung akan membimbing individu untuk menyiapkan segala sesuatunya dengan matang di rumah untuk diuji kelak di tempat latihan. Sebuah proses aksi dan refleksi yang berulang-ulang, di rumah dan di tempat latihan menjadi semacam rutin yang memang sudah selayaknya dilakukan aktor. Proses aksi-refleksi-aksi itulah kelak akan ia wujudkan ke panggung pementasannya. Jika selama ini proses dialektika aksirefleksi-aksi yang ia latih telah berjalan baik, maka kosekuensinya akting sang aktor tersebut akan gemilang hasilnya. Demikian pula sebaliknya, jika hanya aksi dan aksi melulu yang ia lakukan, dalam hal ini hanya di tempat latihannya saja dan tidak ada refleksi di rumah, maka hasil pemeranannya juga akan minimal. Dalam sebuah latihan, yang diulasnya di buku Persiapan Seorang Aktor, Stanislavski berujar pada seorang aktornya yang terlambat datang ke tempat latihan sedangkan teman-teman berlatihnya sudah menunggu: Apa hakmu untuk datang terlambat? Ia menjelaskan bahwa usaha kita untuk menciptakan sebuah keadaan kreatif bukanlah ihwal yang gampang. Namun, mematikan keadaan kreatif itu perkara yang mudah sekali. Datang terlambat ke tempat latihan sekilas memang terlihat sepele, namun ia akan membunuh secara pasti keadaan kreatif teman-teman berlatihnya yang sudah kelelahan menunggu kedatangan aktor yang terlambat itu. Adab lain yang juga amat penting adalah saat aktor akan memulai latihan rutinnya (atau apa lagi saat menjelang pentas) jangan sekali-kali ia membawa persoalan pribadinya ke atas panggung. Sebab sering terjadi bukannya aktor membawa dari rumahnya perencanaanperencanaan pemeranan yang matang, malah ia membawa hal-hal lain di luar urusan pemeranan yang niscaya akan mempengaruhi konsentrasinya saat ia berlatih. Stanislavski berujar begini, Jangan pernah masuk ke tempat pertunjukan dengan membawa lumpur di kaki. Tinggalkan debu dan yang kotor-kotor di luar. Periksalah kecemasan-kecemasan remehmu, pertengkaran yang berisik, persoalan tetek bengek yang menyangkut pakaianmu— segalanya yang merusak hidupmu dan membuat perhatianmu melenceng dari kesenianmu (Persiapan Seorang Aktor, 312). Karena itu menjadi wajar jika Stanislavski secara metaforis menghendaki agar para aktornya saat menyikapi panggung harus mempunyai “kekhusyukan” dan sikap mental yang sama dengan para pendeta saat mereka menyiapkan altar atau mezbahnya. Ada semacam situasi “sakral” yang harus dibuat dan dikondisikan sejak awal oleh para aktor. Situasi sakral dan suci saat berada di tempat latihan atau di panggung secara otomatis akan menumbuhkan sebentuk “daya konsentrasi dan keheningan” di batin para aktor. Dan berdasarkan “keheningan internal” inilah baru “keadaan kreatif batiniah” dan “Kesunyian Publik” akan mudah dicapai. Saat keadaan kreatif muncul dan bergerak di dalam diri aktor, juga didukung oleh daya konsentrasi yang membuatnya merasa “sunyi dari publik”, maka aktor akan mudah mengakses dan mengaktualisasikan seluruh unsur kreatif dalam dirinya. Ketiga pemusik dalam diri setiap

58

manusia: pikiran, hati dan daya kehendaknya bernyanyi bersama. Tak ada unsur yang akan sangat menonjol sehingga mendominasi atau menekan unsur yang lainnya. Ada keserampakan dan distribusi arus kreatif yang akan dilihat penonton dalam tubuh aktor. Penonton akan melihat bahwa antara laku fisik dan laku emosional dan imajinatif saling mengisi secara amat jujur, benar, dan wajar. Jujur, karena aktor sungguh-sungguh “mengalami” perasaan sang tokoh. Benar, karena aktor dapat menyalurkan “pengalaman yang menyata akan perasaan tokoh” dalam dirinya itu secara logis sesuai dengan tututan teks, penulis naskah, dan sistem perilaku manusia dalam kehidupan sehari-hari. Wajar, karena kesemuanya itu muncul dari dalam takaran yang amat pas dan tanpa pemaksaan sedikit pun dari salah satu “pemusik” dari diri sang aktor. Pada titik ini, meminjam istilah Jerzy Grotowski dan Peter Brook, “tubuh aktor akan terbakar, tubuh aktor menjadi transparan dan penonton hanya melihat derasnya arus impuls dan asosiasi yang bergerak dan mengalir melalui setiap sendi dan otot yang ada di tubuh aktor!” Aku ingin supaya kalian sudah dari awal, biarpun hanya untuk masa yang singkat, merasakan kecemerlangan yang dirasakan setiap aktor jika perlengkapan kreatif mereka berfungsi dengan benar (Persiapan Seorang Aktor, 291).

59

RUJUKAN

Benedetti, Robert, The Actor at Work (New Jersey: Prentice Hall, 1990). Benedetti, Jean, Stanislavski: An Introduction (New York: Routledge, 2004). Barba, Euginio, The Paper Canoe: A Guide to Theatre Anthropology (London and New York: Routledge, 1995). Carnicke, Sharon Marie, “Stanislavsky’s System: Pathways for the Actor” dalam Alison Hodge, Actor Training: Second Edition (New York: Routledge, 2010). Dinkgrafe, Daniel Meyer, Theatre and Consciousness: Explanatory Scope and Future Potential (Portland: Intellect Book, 2005). Gordon, Mel, Stanislavski in Amerika: An Actor’s Workbook (New York: Routledge, 2010). Johnson, Anthony Lewis, Training the Youth Actor: A Physical Approach (Ohio: University of Akron, 2009). Mitter, Shomit, Sistem Pelatihan Lakon: Stanislavski, Brecht, Grotowski, Brook (Yogyakarta: arti, 2002). Mitter, Shomit dan Maria Shevstova, Fifty Key Theatre Directors (New York: Routledge, 2005). Merlin, Bella, Konstantin Stanislavski (New York: Routledge, 2003). Pitches, Jonathan, Science and The Stanislavsky Tradition of Acting (New York: Routledge, 2006). Richards, Thomas, At Work with Grotowski on Physical Action (New York: Routledge, 1995). Stephenson, Graham, Stanislavski and Postmodernism (Birmingham University, 2011). Stanislavski, Konstantin, My Life in Art (Malang: Pustaka Kayutangan, 2006). Stanislavski, Konstantin, Persiapan Seorang Aktor, terjemahan Asrul Sani (Jakarta: Pustaka Jaya, 1980). Stanislavski, Konstantin, Membangun Tokoh, terjemahan B. Very Handayani, Dina Oktaviani, Tri Wahyuni (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia dan Teater Garasi, 2008).

60

Stanislavski, Konstantin, “From Inner Impulses and Inner Action: Creative Objectives (19161920)” dalam Richard Drain, ed., Twentieth Century Theatre: A Sourcebook (London: Routledge, 1995). Stanislavski, Konstantin, “Kerja Kreatif dengan Pemain: Suatu Diskusi tentang Penyutradaraan” dalam Wahyu Sihombing dkk., Pertemuan Teater 80 (Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta, 1980). Van Heerden, Emerentia Eletitia, Tracing the Impact of Stanislavski’s System on Strasberg’s Method (Stellenbosch University, 2007).

61

Related Documents

Modul Kelas Acting
January 2021 1
Modern Acting
February 2021 1
Modul
January 2021 4

More Documents from "Devi Ramadhan"

Modul Kelas Acting
January 2021 1
February 2021 2
February 2021 4