Modul Pendidikan Agama Hindu

  • Uploaded by: EkaAjuz
  • 0
  • 0
  • March 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Modul Pendidikan Agama Hindu as PDF for free.

More details

  • Words: 45,718
  • Pages: 209
Loading documents preview...
MODUL

PENDIDIKAN AGAMA HINDU DALAM MEMBANGUN KARAKTER BANGSA Disusun untuk Materi Pembelajaran Mata Kuliah Pendidikan Agama Hindu di Lingkungan Universitas Udayana

OLEH : TIM DOSEN PENDIDIKAN AGAMA HINDU

UPT. PENDIDIKAN PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA UNIVERSITAS UDAYANA BALI 2013 1

MODUL

PENDIDIKAN AGAMA HINDU DALAM MEMBANGUN KARAKTER BANGSA Disusun untuk Materi Pembelajaran Mata Kuliah Pendidikan Agama Hindu di Lingkungan Universitas Udayana

DISUSUN OLEH : 1. 2. 3. 4. 5.

Dr. Drs. I Wayan Surpa, SH., M.Si I Wayan Latra, S.Ag. M.Si Dra. I Gusti Ayu Putu Suryani, M.Si Drs. I Made Karda, M.Si I Ketut Gede Harsana, S.Ag. M.Si

UPT. PENDIDIKAN PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA UNIVERSITAS UDAYANA BALI 2013 KATA PENGANTAR 2

Atas asung kerta wara nugraha Ida Sang Hyang Widhi Wasa Tuhan Yang Maha Esa, dalam kurun waktu yang relatif singkat penyusunan modul Pendidikan Agama Hindu untuk tingkat perguruan tinggi ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Dalam penyusunan materi modul ini, penulis berpedoman pada Keputusan Menteri Pendidikan Nasional nomor: 45/U/2002 dan Keputusan Dikti nomor: 43 / Dikti/ kep / 2006. Dengan adanya pedoman ini diharapkan agar materi kelompok mata kuliah pengembangan kepribadian mampu mengantarkan mahasiswa memantafkan kepribadiannya secara konsisten sebagai manusia Indonesia seutuhnya sekaligus juga mampu mewujudkan nilai-nilai dasar keagama, kebudayaan, dan rasa kebangsaan. Semoga dengan adanya modul Pendidikan Agama Hindu di perguruan tinggi ini dapat membantu dan memudahkan rekan_rekan mengajar kelompok mata kuliah pengembangan kepribadian ini dalam kegiatan proses belajar mengajar. Modul ini utamanya untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa Universitas Udayana (UNUD) Bali yang memprogramkan mata kuliah Pendidikan Agama Hindu. Pada kesempatan ini tidak lupa penyusun ucapkan terima kasih kepada para tenaga pengajar di lingkungan UPT. Pendidikan Pembangunan Karakter Bangsa UNUD, khususnya tenaga pengajar mata kuliah Pendidikan Agama Hindu, Pembantu Rektor I, Badan Penjamin Mutu UNUD, dan utamanya kepada Prof. Dr. I Wayan Windia selaku Guru Besar pada Fak. Pertanian UNUD, Ketua Badan Penjamin Mutu UNUD (Ka. BPMU), yang telah turut memberikan tulisannya yang sangat bermanfaat pada modul ini. Kami mohon maaf apabila ada kekurangan dalam penyusunan modul ini dan berharap adanya masukan-masukan dari para pembaca demi kesempurnaan pada modul selanjutnya. Akhirnya kami berharap modul ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua utamanya sebagai tuntutan dalam mengajar mata kuliah Pendidikan Agama Hindu di Universitas Udayana.

Tim Penyusun. ©2013 [email protected]

DAFTAR ISI 3

Kata Pengantar……………………………………………………………….

i

Daftar Isi……………………………………………………………………....

ii

BAB I

Tuhan Yang Maha Esa (Brahma Vidya)……………………...

1

A. B. C. D. E.

1

Kompetensi Dasar………………………………………….. Indikator……………………………………………………. Materi……………………………………………………….. Rangkuman………………………………………………..... Daftar Pustaka………………………………………...…….

Manusia Dalam Susatra Hindu……………………………….. BAB II

A. B. C. D. E.

Kompetensi Dasar…………………………………………... Indikator…………………………………………………….. Materi……………………………………………………….. Rangkuman………………………………………………..... Daftar Pustaka……………………………………………….

Hukum Dalam Rangka Menegakkan Keadilan………………

BAB III

BAB IV

A. B. C. D. E.

Kompetensi Dasar………………………………………….. Indikator…………………………………………………….. Materi……………………………………………………….. Rangkuman………………………………………………..... Daftar Pustaka……………………………………………….

1 51 52 53 53 53 53 76 77 78 78

Etika (Moralitas)………………………………………………..

78

A. B. C. D. E.

78

Kompetensi Dasar………………………………………….. Indikator…………………………………………………….. Materi……………………………………………………….. Rangkuman………………………………………………..... Daftar Pustaka……………………………………………….

Akhlak Mulia Dalam Kehidupan……………………………... A. B. C. D. E.

Kompetensi Dasar………………………………………….. Indikator…………………………………………………….. Materi……………………………………………………….. Rangkuman………………………………………………..... Daftar Pustaka……………………………………………….

Musuh-Musuh Yang Ada Dakam Diri Manusia……………... BAB V

1

A. Kompetensi Dasar………………………………………….. B. Indikator……………………………………………………..

88 89 90 90 90 90 121 121 122 122 4

C. Materi……………………………………………………….. D. Rangkuman………………………………………………..... E. Daftar Pustaka………………………………………………. Misi Untuk Menuju Manusia Ideal…………………………… BAB VI

A. B. C. D. E.

Kompetensi Dasar………………………………………….. Indikator…………………………………………………….. Materi……………………………………………………….. Rangkuman………………………………………………..... Daftar Pustaka……………………………………………….

122 122 141 142 143 143 143

Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Seni Dalam Persepektif 143

BAB VII

Hindu…………………………………………………………….

151

A. B. C. D. E.

151

Kompetensi Dasar………………………………………….. Indikator…………………………………………………….. Materi……………………………………………………….. Rangkuman………………………………………………..... Daftar Pustaka……………………………………………….

Kerukunan Hidup Umat Beragama…………………………...

BAB VIII

A. B. C. D. E.

Kompetensi Dasar………………………………………….. Indikator…………………………………………………….. Materi……………………………………………………….. Rangkuman………………………………………………..... Daftar Pustaka……………………………………………….

Masyarakat…………………………………………………….... A. B. C. D. E. BAB IX

Kompetensi Dasar………………………………………….. Indikator…………………………………………………….. Materi……………………………………………………….. Rangkuman………………………………………………..... Daftar Pustaka……………………………………………….

152 152 152 152 162 162 163 163 163 163 163 174

Budaya Sebagai Ekspresi Pengalaman Agama Hindu……….

174

A. B. C. D. E.

175

Kompetensi Dasar………………………………………….. Indikator…………………………………………………….. Materi……………………………………………………….. Rangkuman………………………………………………..... Daftar Pustaka……………………………………………….

Politik Dalam Perspektip Hindu………………………………. A. Kompetensi Dasar…………………………………………..

175 175 175 180 181 5

BAB X

B. C. D. E.

Indikator…………………………………………………….. Materi……………………………………………………….. Rangkuman………………………………………………..... Daftar Pustaka……………………………………………….

182 182 182 182 186 186

BAB XI

187 187 187 187 191 192

BAB XII

193 193 193 193 202 202

6

BAB I TUHAN YANG MAHA ESA (BRAHMA VIDYA) 1.

Kompetensi Dasar Mampu menjelaskan tentang Tuhan Yang Maha Esa (Brahma Vidya)

dari segi usaha dan sarana untuk memujanya dalam kehidupan sehari-hari. 2.

Indikator 1. Menjelaskan Śraddhā Dan Bhakti 2. Menjelaskan Brahma vidya (teologi ketuhanan) 3. Menjelaskan dan mengimplementasikan usaha dan sarana untuk memuja Tuhan

3.

Materi Judul “Tuhan Yang Maha Esa (Brahma Vidya” merupakan bagian awal

modul dari mata kuliah Pendidikan Agama Hindu, yang memberikan gambaran kepada anda tentang perlunya mata kuliah Pendidikan Agama Hindu diberikan di Perguruan tinggi, serta untuk menambah wawasan anda sebagai mahluk tuhan, yang tentunya harus memahami dasar-dasar Agana Hindu dengan benar. Sesudah kita bisa meyakini akan keberadaan Tuhan itu dapat diwujudnyatakan lewat pengamalan dari ajaran sradha, yaitu Bhakti yang bersifat universal. Dalam konsep brahma widya yang menjelaskan tentang ilmu ketuhanan dalam agama hindu yang bersifat personal god dan impersonal god. Seperti yang selalu diusahakan oleh umat hindu dalam memuja tuhan dalam menetapkan diri dengan Tuhan melalui sistem catur marga yoga dengan bantuan berbagai macam sarana / media untuk mendekatkan diri dengan Tuhan, termasuk dalam pengamalannya.

1

Sehubungan dengan hal tersebut maka pada awal perkuliahan mata kuliah Pendidikan Agama Hindu perlu diketahui konsep dasar Tuhan Yang Maha Esa (Brahma Vidya) di perguruan tinggi. Untuk dapat memiliki kemampuan seperti yang diuraikan diatas, maka dalam modul ini akan disajikan materi sebagai berikut: 1.

Śraddhā Dan Bhakti Sebelum secara khusus membahas pendalaman Śraddhā maka terlebih

dahulu akan dikaji pengertian istilah Śraddhā ini secara sematic dan aplikatif. Ada 2 jenis kata yang sangat dekat dengan bunyinya namun maknanya lain adalah kata Śrāddha, yang berarti upacara terakhir bagi seseorang yakni setelah

upacara

Mrtyusamskāra

pembakaran dan

penyucian

jenasah roh

yang yang

disebut disebut

Antyesti

atau

Pitrapinda

atau

Sapindīkarana (Klostermaier,1990:180). Upacara Srāddha ini berdasarkan uraian Kitab Nagarakrtagama dilaksanakan pula pada zaman keemasan Majapahit, saat itu Raja Hayam Wuruk melakukan upacara Swiddha untuk nenenknya yang bernama Dyah Gāyatri. Upacara Srāddha dilaksanakan pula di Bali yang kini disebut: “Nuntun atau Ngalinggihang Dewahyang” atau upacara “Ātmāsiddha-dewatā”. Kata Śraddhā yang merupakan topik dari tulisan ini mengandung makna yang sangat luas yakni keyakinan atau keimanan. Untuk itu dalam rangka memperluas wawasan kita tentang istilah ini, maka kami kutipkan beberapa pengertian tentang kata Śraddhā ini seperti diungkapkan Yaska dalam bukunya Nighantu (III.10), sebagai berikut: “Kata Śraddhā dari akar kata śrat yang berarti kebenaran (satyanāmani), sedang Sāyana memberikan interprestasi dalam pengertian berikut: a). ādārātiśaya atau bahumāna, penghargaan yang tinggi (dalam Rgveda I.107;V.3). b). Viśvasa, keyakinan atau kepercayaan (Rgveda II.12.5). 2

c). purusagatobhilāsa-viśeaah, satu bentuk yang istimewa dari keinginan manusia (Rgveda X.151). d). śraddhādhānāh

sebagai

karmānustannatatparāh,

ia

yang

memiliki

keyakinan di dalam dan semangat untuk mempersembahkan upacara pemujaan (Atharvaveda VI.l22.3). Menurut

lexicographer

Amarasimha

dalam

bukunya

Amarakosa

(III.102), menyatakan bahwa Śraddhā mengandung makna: keyakinan atau keinginan (Seshagiri Rao,l974:6), selanjutnya dalam A Sanskrit Dictionary, karya Sir Monier Monierm Williams (l990:1095) kata Śraddhā diterjemahkan: Keimanan, kepercayaan, keyakinan penuh kepercayaan, penuh keimanan, percaya kepada, loyal dan dalam Rgveda (X.151) digambarkan sebagai Dewa, di dalam Taittrīya Brāhmana dilukiskan sebagai putri dari Prājapati, di dalam Śatapatha Brāhmana sebagai putri Sūrya, di dalam Māhabhārata digambarkan sebagai putri Daksa dan istri dari Dharma. Di dalam Mārkandeya Purāna dilukiskan sebagai ibu dari Kāma, dan di dalam Bhavisya

Purāna

digambarkan sebagai putri Kardama dan istri dari Angirasa sedang dalam The Pratical Sanskrit-Englis Dictionary, karya V.S. Apte (l978:930) diberikan arti sebagai berikut : a. Śraddhā: (l). Kepercayaan, Ketaatan, ajaran, keyakinan. (2). Kepercayaan kepada Sabda Tuhan Yang Maha Esa, Keimanan Agama. (3). Ketenangan jiwa, kesabaran dalam pikiran. (4). Akrab, intim, kekeluargaan. (5). Hormat, menaruh penghargaan. (6). Kuat penuh semangat. (7). Kandungan ibu yang berumur lama. b. Śraddhālu 3

(l). Kepercayaan, penuh keimanan. (2). Kerinduan, keinginan terhadap sesuatu. Di dalam Bhagavadgita (XVIL2.-3) kita temukan tiga jenis Śraddhā, yaitu: Śraddhā yang bersifat Sattva, Rajas dan Tamas sesuai dengan sifat manusia. Keyakinan tiap-tiap individu tergantung pada sifat (watak)nya. Manusia

itu

terbentuk

oleh

keyakinannya

dan

keyakinannya

itulah

sesungguhnya dia. Demikian antara lain makna kata Śraddhā yang kiranya amat sulit mencari padanannya yang tepat dalam kosa kata bahasa Indonesia. Kini timbul pertanyaan, ajaran yang mana saja dalam Hindu dapat dikategorikan ke dalam Śraddhā. Tentang hal ini Bapak Drs. I.B. Oka Punyatmadja (1976) telah merumuskannya dalam buku yang diberi judul Pancha Śraddhā yang merupakan 5 jenis keyakinan atau keimanan Hindu, yaitu: 1) Widhi Tattwa atau Widhi Śraddhā, keimanan terhadap Tuhan Yang Mahaesa dengan berbagai manifestasi-Nya. 2) Ātmā Tattwa atau Ātmā Śraddhā, keimanan terhadap Ātmā yang menghidupkan semua mahluk. 3) Karmaphala Tattwa atau Karmaphala Śraddhā, keimanan terhadap kebenaran hukum sebab akibat atau buah dari perbuatan. 4) Samsāra atau Punarjanma Tattwa/Śraddhā, keimanan terhadap kelahiran kembali. 5) Moksa Tattwa atau Moksa Śraddhā, keimanan terhadap kebebasan yang tertinggi bersatunya Ātmā dengan Brahman, Tuhan Yang Maha Esa. Tentang pengamalan ajaran agama melalui pendalaman Śraddhā secara tegas dijelaskan dalam Brahmasūtra maupun Bhagavadgīta. Di dalam kitab Brahmasutra (I.1.3) dinyatakan: “Śātrayonitvāt”, yang artinya: Sastra suci sebagai sumber pengetahuan yang benar. Berkenaan dengan sūtra ini, Swami Sivananda menyatakan bahwa sastra yang dimaksud adalah kitab suci Veda 4

atau Śruti. Śruti adalah sabda Tuhan Yang Maha Esa yang di dalamnya kita menemukan berbagai ajaran suci sebagai sumber ajaran agama Hindu. Lebih jauh kitab Brahmasūtra (I.1.4) menyatakan: “Tattu Samanvayāt” yang artinya: Tetapi Dia (Brahman hanya diketahui melalui sastra suci) dan itulah tujuan (dari kitab-kitab Vedanta). Yang dimaksud dengan kitab-kitab Vedanta adalah kitab-kitab Upanisad yang di dalamnya dikandung ajaran Śraddhā (Panca Śraddhā) yang diajarkan secara mendalam yang merupakan sumber ajaran filsafat Hindu. Kitab Bhagavadgita (III.31, IV.39,40) yang merupakan sabda Sri Krsna kepada Arjuna, menekankan tentang Śraddhā, sebagai berikut: “Mereka yang selalu mengikuti ajaran-Ku dengan penuh keyakinan (Śraddhā) serta bebas dari keinginan duniawi, juga akan bebas dari keterikatan “ “Ia yang memiliki keimanan yang mantap (Śraddhā) memperoleh ilmu pengetahuan, menguasai panca indrianya, setelah memiliki ilmu pengetahuan dengan segera mencapai kedamaian yang abadi” “Tetapi mereka yang dungu, yang tidak memiliki ilmu pengelahuan, tidak memiliki keimanan dan diliputi keragu-raguan, orang yang demikian ini tidak memperoleh kebahagiaan di dunia ini dan dunia lainnya Di dalam Adhyaya IV, sloka 9 Sri Kresna menyatakan: “Ia yang rnengerti tentang kebenaran kelahiran suci-Ku dan memahami tentang hakekat perbuatan, ketika ia meninggalkan badannya, ia akan datang kepada-Ku” Lebih jauh Śraddhā saja tanpa kebaktian dan menyerahkan diri sepenuhnya tidak akan pernah mencapai kesempurnaan, sebaliknya seorang 5

Yogi akan mencapai kesempurnaan bila kebaktian (dan perbuatan)nya dilandasi Śraddhā atau keyakinan yang mantap terhadap-Nya. Perhatikan terjemahan sloka Bhagavadgita (VI.37 dan 47) berikut 3 “Seseorang yang tidak mampu mengontrol dirinya sendiri, walaupun ia memiliki Śraddhā, apabila pikiranya mengembara kemana-mana, jauh dari Yoga, apakah yang akhirnya akan diperoleh wahai Krsna, tentunya gagal mencapai kesempurnaan di dalam Yoga” “Di antara Yogi, yang memuja Aku dengan penuh keimanan yang mantap, yang hatinya menyatu kepada Aku, inilah menurut pendapat-Ku yogi yang paling Sempurna” Sesungguhnya Śraddhā saja tanpa kebhaktian tidaklah cukup, hal ini ditegaskan kembali dalam terjemahan Bhagavadgita (VII.22): “Berpegang teguh pada keyakinannya itu, mereka berbhakti melalui keyakinannya itu, dari padanya memperoleh apa yang diharapkan mereka, yang sebenarnya akan terkabulkan oleh-Ku” Terjemahan sloka yang terakhir ini menunjukkan betapa toleransi atau penghargaan terhadap keimanan atau keyakinan seseorang sangat dihargai, sebab pada hakekatnya kebhaktiannya itu akan terkabulkan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa, agama Hindu memberikan kebebasan kepada umat-Nya untuk menempuh berbagai jalan yang dirasakan cocok oleh pribadi yang bersangkutan. Jalan atau Marga tersebut pada umumnya adalah: Bhakti Marga (jalan kebhaktian), Karma Marga (jalan perbuatan), Jnana Marga (jalan pengetahuan) dan Yoga Marga (jalan spiritual/meditasi). Di antara empat jalan yang umum tersebut jalan Bhakti atau Bhakti Marga, sering juga disebut Bhakti Yoga adalah jalan yang paling mudah dilaksanakan oleh Umat Hindu umumnya. 6

Hidup manusia tidak selamanya manis, enak dan menyenangkan, tetapi terkadang juga mengalami pasang surut laksana gelombang di tepi laut. Dalam pasang surut kehidupan seseorang yang tidak memiliki pegangan akan terhempas dan mungkin terjerembab ke dasar lautan. Hidup dan kehidupan mestinya dinikmati bagaikan seorang peselancar yang mahir, selalu tersenyum riang meniti gelombang, walaupun sekali waktu ia harus tergulung ombak yang besar karena tiupan angin yang kencang. Ajaran suci diturunkan oleh Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Mahaesa kemudian dirumuskan menjadi ajaran agama merupakan pegangan hidup dan kehidupan umat manusia. Seseorang yang memiliki pegangan yang jelas tidak akan khawatir dalam meniti kehidupan. Ajaran agama membimbing manusia bagaimana seharusnya hidup, bagaimana meniti hidup, apa tujuan hidup kita, bagaimana merealisasikannya dan berbagai bimbingan yang mengarahkan umat manusia menuju kesempurnaan hidup. Dalam kehidupan ini, banyak hal yang dapat menjerumuskan diri manusia

menuju

jurang

kehancuran.

Di

antara

banyak

hal

yang

menjerumuskan diri manusia, kitab Bhagawadgita menyatakan adanya 3 sifat atau dorongan, yaitu nafsu (Kāma), emosi (Krodha), dan ambisi (Lobha) yang digambarkan sebagai tiga pintu gerbang menuju neraka: Trividham narakasyedam dvāram naśanam ātmanah, kāmah krodhas tathā lobhas tamas etat trayam tyajel. Bhagavadgita XVl.2l (Inilah tiga pintu gerbang menuju neraka, jalan menuju jurang kehancuran diri, yaitu: nafsu (Kāma), amarah (Krodha) dan ambisi/ serakah (Lobha), setiap orang harus meninggalkan sifat ini) Ketiga sifat-sifat atau kecenderung itu sering menjerumuskan umat manusia pada kehancuran diri dan lingkungannya. Untuk dapat mengatasi hal 7

itu seseorang harus kembali berpegang kepada ajaran agama yang diturunkan oleh Tuhan Yang Mahaesa/Sang Hyang Widhi seperti tercantum dalam kitab suci Veda dan susastra Hindu lainnya. Dalam hal ini pendidikan spiritual, moral dan etika, hendaknya semakin ditingkatkan dan direalisasikan dalam kehidupan nyata sehari-hari baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat, baik dalam lingkungan keluarga, lingkungan sosial maupun dalam

hubungannya

dengan

kehidupan

berbangsa,

bernegara

dan

bermasyarakat. Pendidikan spiritual, moral dan etika merupakan hal yang sangat mendasar dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Adapun yang menjadi sumber pendidikan ini tidak lain adalah ajaran agama. Pengamalan ajaran agama bagi seseorang maupun kelompok masyarakat akan tercermin dalam berperilaku di dalam keluarga dan masyarakat. Semakin arif dan bijaksana perilaku seseorang, maka orang tersebut dikatakan telah mengamalkan ajaran agama dengan baik, sebab tidak ada artinya mengerti atau memahami ajaran agama bila tidak diamalkan dalam kehidupan seharihari. Untuk dapat mengamalkan ajaran agama dengan baik, seseorang hendaknya melaksanakan berbagai petunjuk atau petuah yang diajarkan oleh ajaran agama. Ajaran agama Hindu bersumber pada kitab suci Veda yang merupakan wahyu Tuhan Yang Mahaesa. Bila seseorang secara mantap mengikuti semua ajaran agama yang bersumber pada sabda suci Tuhan Yang Mahaesa itu, maka ia akan memperoleh ketenteraman dan kebahagian hidup yang sejati. Ajaran agama merupakan pembimbing kehidupan spiritual, moral dan etika bagi umat manusia. Sebagai telah dimaklumi bahwa kehidupan di dunia ini tidak selamanya stabil, tenang, tenteram dan bahagia. Banyak duri dan rintangan yang mesti dihadapi, demikian pula gelombang kehidupan dengan pasang surutnya seakan-akan lebih dasyat dari gelombang di samudra luas. Bila 8

keadaan cuaca tenang, maka samudra kehidupanpun menjadi tenang, sebaliknya bila cuaca buruk, angin ribut, maka samudra kehidupanpun bergelombang tinggi yang kadang-kadang ombaknya menghancurkan bibir pantai.

Bagaimanakah

seseorang

menyelamatkan

diri

dari

gelombang

kehidupan ini, maka jawabannya tidak ada yang lain, kecuali mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Mahaesa. Dalam ajaran agama Hindu kita mengenal empat jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Mahaesa, yakni melalui: Bhakti Marga (jalan kebhaktian), Karma Mārga (jalan perbuatan), Jnāna Marga (jalan pengetahuan kerohanian) dan Yoga Mārga (Jalan Yoga/menghubungkan diri kepada-Nya) dari berbagai jalan itu, nampaknya Bhakti Mārga merupakan jalan yang paling mudah dilaksanakan oleh umat manusia. Dari berbagai bentuk pelaksanaan Bhakti Mārga, maka melaksanakan Tri Sandhyā, sembahyang, dan berdoa merupakan jalan yang sederhana dan mudah dilaksanakan oleh setiap orang, di samping tentunya membuat berbagai upacara persembahan, pembangunan tempat pemujaan, arca dan berbagai simbol keagamaan yang pada intinya adalah untuk meningkatkan Śraddhā dan Bhakti kepada Tuhan Yang Mahaesa. Sabda Tuhan Yang Mahaesa dalam kitab suci Veda secara tegas menyatakan bahwa siapa saja yang senantiasa sujud dan bhakti kepada-Nya, akan diberikan apa saja yang diperlukan, akan dilindungi-Nya apa saja yang dimiliki oleh seseorang. Bila kita senantiasa mampu mendekatkan diri, maka ketentraman jiwa, kesejahteraan dan kebahagiaan akan dapat diwujudkan. Apakah terdapat perbedaan antara sembahyang dan berdoa? Secara singkat dapat dijelaskan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara kedua hal tersebut. Sembahyang lebih bersifat formal, dilakukan di tempat tertentu (tempat yang diyakini suci seperti berbagai tempat pemujaan), namun berdoa dapat dilakukan kapan saja, dimana saja dengan bahasa Sansekerta atau 9

bahasa hati. Mengapa kita mesti berdoa, bukankah dengan sembahyang saja cukup? Jawabannya yang pertama adalah kita berkewajiban untuk setiap saat ingat dan memusatkan perhatian kita kepada Tuhan Yang Maha Esa. Kitab Suci Bhagavadgita secara tegas menyatakan: Manmanā bhava madbhakto madyājī mām namaskuru, mām evaisyasi satyam te pratijāne prīyo si me. Bhagavadgita XVIII.65 (Berpikirlah tentang Aku senantiasa, jadilah penyembah-Ku, bersembahyang dan berdoa kepada-Ku, dengan demikian, pasti engkau datang kepada-Ku. Aku berjanji demikian kepadamu, karena engkau Aku sangat kasihi). Berdasakan kutipan wejangan suci di atas, dapatlah kita pahami bahwa sembahyang dan berdoa mesti senantiasa kita lakukan karena Tuhan Yang Mahaesa menegaskan bahwa dengan senantiasa berpikir tentang-Nya, mengingat-Nya, bersembahyang dan berdoa kepada-Nya, Tuhan Yang Mahaesa akan membukakan pintu hati-Nya dan kita datang kepada-Nya. Alasan lebih jauh mengapa kita perlu berdoa adalah dalam rangka proses membiasakan diri (abhyāsa) guna mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Mahaesa. Mendekatkan diri kepada-Nya dengan membiasakan diri, akan mudah dilakukan bila kita telah memiliki keikhlasan (tyāga) dan tidak terikat terhadap obyek keduaniawian (vairagya), mensyukuri karunia-Nya (santosa) dan keseimbangan lahir dan batin dalam suka dan duka ( sthitaprajna). Dengan membiasakan diri berpikir tentang-Nya, berdoa kepada-Nya di setiap saat, maka melalui doa kita ini, maka kita akan bebas dari segala penderitaan dan pikiran-pikiran negatif yang menjerumuskan diri kita dan orang lain. Di mana nama-Nya disebutkan, di sana Tuhan Yang Mahaesa hadir dan menganugerahkan kasih dan kebahagiaan. Demikian pula memanjatkan doa, 10

mohon keselamatan, kerahayuan dan pengampunan dapat dilaksanakan kapan saja, di mana saja dan dalam situasi apa pun juga. Seperti telah dimaklumi, bahwa hidup manusia tidak salamanya manis, enak dan menyenangkan, tetapi terkadang juga mengalami pasang surut laksana gelombang di tepi laut. Dalam pasang surut kehidupan, seseorang yang tidak memiliki pegangan hidup, pegangan spiritual, moral dan etika, ibarat sebuah perahu tanpa nahoda, akan selalu terombang-ambing, terempas, dan mungkin terjerembab ke dasar lautan. Hidup dan kehidupan mestinya dinikmati bagaikan seorang perselancar yang mahir, selalu tersenyum riang meniti gelombang, walaupun sekali waktu ia harus tergulung ombak yang besar karena tiupan angin yang kencang. Menurut kitab suci Bhagavadgita (XHL8), Setiap orang dibelenggu oleh enam hal, yakni: janma-mrtyu (kelahiran-kematian), jam-vyādhi (usia tua-penyakit), duhkha-dosa (duka-dosa). Belenggu tersebut mesti dialami oleh Setiap orang, dalam kondisi yang berbeda-beda, seperti umurnya pendek, baru beberapa saat lahir kemudian meninggal atau ada yang memiliki umur panjang, dengan berbagai pengalaman suka dan duka dalam meniti kehidupan. Setiap orang tidak dapat melepaskan diri dari ketuaan, penyakit, penderitaan dan dosa. Bila kita kaji lebih jauh, frekwensi antara suka dan duka, nampaknya kesukaan atau kegembiraan hidup, pada umumnya lebih banyak dinikmati oleh umat manusia. Penderitaan tidak dapat dihindari. Penderitaan atau kedukaan mesti dihadapi. Bagi seseorang yang telah memiliki kebijaksanaan, keluhuran budi atau intelek, maka penderitaan dipandang sebagai awan-awan di langit yang pada saatnya akan lenyap dalam berbagai bentuk, ada yang langsung menjadi hujan, ada juga yang menjauh, tidak menutupi langit di atas kepala kita. Badai pasti berlalu, demikian keyakinan yang perlu ditumbuhkan. Untuk mengatasi badai tidak ada jalan lain kecuali

11

mencari perlindungan dan perlindungan yang sejati, tidak ada lain kecuali datang dari pada-Nya. Ajaran suci diturunkan oleh Sang Hyang Widhi, Tuhan Yang Maha Esa kemudian dirumuskan menjadi ajaran agama merupakan pegangan hidup dan kehidupan umat manusia. Seorang yang memiliki pegangan yang jelas tidak akan khawatir dalam meniti kehidupan. Ajaran agama membimbing manusia bagaimana

seharusnya

hidup,

apa

tujuan

hidup

kita,

bagaimana

merealisasikannya dan berbagai bimbingan yang mengarahkan umat manusia menuju kesempurnaan hidup. Membicarakan umat manusia, maka dalam ajaran Hindu dinyatakan bahwa pada diri Setiap makhluk terdapat jiwa yang tidak lain merupakan perwujudan atau ekspresi dari Ātman, percikan dan bagian dari sinar suciNya. Sesuai dengan sifat Atman, maka sesungguh-nya hati nurani umat manusia selalu suci, seperti halnya sifat-sifat Paramatman, Tuhan Yang Mahaesa, jiwa dari seluruh alam semesta. Bila pada diri setiap umat manusia terdapat Ātman yang luhur sifatnya, maka seseorang hendaknya mampu mengepresikan sifat-sifat luhur dari diri umat manusia. Manusia sesuai dengan arti katanya berasal dari Manu, kemudian berubah menjadi manusya (yang berarti memiliki akal-pikiran/mind), dengan demikian sesungguhnya Atman memancarkan budi pekerti yang luhur, memiliki sifat yang arif dan bijaksana yang dalam bahasa Sanskerta, status manusya ditingkatkan menjadi Madhava-Madhava (dari kata madhu, berarti yang memiliki kemanisan hidup dan sifat lemah lembut, kasih kepada-Nya dan segala ciptaan-Nya. Sebagai telah dipahami, bahwa Bhakti Marga adalah jalan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Mahaesa. Jalan ini disebut jalan yang paling mudah, sederhana dan tidak memerlukan biaya yang banyak, dan hampir seluruh umat Hindu menempuh jalan Bhakti ini. Dari ajaran Bhakti inilah muncul seni pengarcaan (membuat arca, sebagai sarana memuja 12

keagungan-Nya, membuat bangunan suci yang indah dan sebagainya). Selanjutnya hidup tanpa seni, maka hidup seakan-akan kering tidak bermakna, oleh karena terdapat unsur seni dalam ajaran agama Hindu, maka unsur keindahan, slalu ditonjolkan. Pokok-pokok ajaran tentang Bhakti Marga dapat kita jumpai dalam kitab suci Veda, menunjukkan bahwa sejak Veda diturunkan dan diterima oleh para rsi (rsi agung atau maharsi) mengembangkan unsur Bhakti dalam dirinya. Berikut ini kutipkan mantram-mantram Veda yang mengajarkan ajaran Bhakti Mārga, sebagai berikut: Om Bhūr Bhuvah Svah Tat Savitur varenyam bhargo devasya dhimahi dhiyo yo nah pracodayāt. Yajurveda XXXVI.3 (Ya Tuhan Yang Maha Kuasa, sumber sgala yang ada, luhur dan maha mulia, pencipta alam semesta. Kami memuja kemaha mulian-Mu, anugrahkanlah kecerdasan dan budi pekerti yang luhur kepada kami). Mengapa mantram yang sangat terkenal yang disebut Vedamātā (ibu dari semua mantram Veda) ini memohon kecerdasan intelek dan keluhuran budi, alasan yang dapat diajukan tidak lain dengan berbekal kecerdasan intelek dan keluhuran budi itu, seseorang memiliki Vivekajnāna, yaitu kemampuan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, yang benar dan salah. Selanjutnya setelah mengetahui, dan memahami hal tersebut, sinar budi nurani umat manusia, mendorong agar setiap orang melakukan kebaikan dan kebajikan. Perhatikanlah mantram selanjutnya: Bhadram karnebhih srnnuyāma devā bhadram pasyemāk§abhir yajatrāh sthirair angais tustuvāmsas tanubhir vyasema devahitam yad āyuh Rg Veda I.89.8. Yayurveda XXV.21. (Ya Tuhan Yang Maha Esa, anugerahkanlah kepada kami 13

untuk mendengar hal-hal yang baik, dan, Ya Tuhan Yang Maha Suci, kami dapat melihat hal-hal yang baik, dan semogalah kami dapat mempersembahkan bhakti kami dengan kekuatan tangan dan keteguhan badan kami, dapat menikmati kebahagiaan sejati sesuai dengan hukum kemakuasaan-Mu), Mantram-mantram Veda berikut memberi petunjuk kepada kita bahwa segala sesuatu di alam semesta ini adalah ciptaan-Nya dan seorang jangan terikat kepada keduniawian, demikian juga serakah ingin memiliki milik atau hak orang lain. Mengapa hal ini sangat ditekankan, karena pada hakikatnya dalam diri setiap mahluk terdapat Atman yang senantiasa memancarkan keluhuran budi. Keluhuran budi ini hendaknya tetap dipelihara, dengan menghindarkan keterikatan diri dan keserakahan. Purusa evadam sarvam yad bhūtam yacca bhāvyam, utāmrtatvasyesa no yad annenāti rohati Rgveda X.90.2 (Tuhan Yang Maha Esa adalah asal dari segala yang ada dan yang akan ada. Ia adalah raja dan penguasa alam yang kekal abadi dan dunia fana ini tempat tumbuhnya makanan (tanaman) Īsā vāsyam idam sarvam yat Kim ca jagalyām jagat tena tyaktena bhunjīthā mā grdhah kasya svid dhanam. Yajurveda XL.1 (Hendaknya dipahami bahwa segalanya diresapi oleh Tuhan Yang Maha Esa, segala yang bergerak dan yang tidak bergerak di alam semesta. Hendaknya orang tidak terkait dengan berbagai kenikmatan dan tidak rakus serta mengingini milik orang lain). Dari beberapa mantram Veda yang mengajarkan bhakti ini, Maharsi Nāarada dalam kitabnya Nārada Bhakti Sūtra (1.2) merumuskan bahwa bhakti 14

itu sesungguhnya Paramā Premā atau Paramā Premārupa, cinta kasih yang sejati, yang tertinggi. Kasih yang sejati digambarkan sebagai kasih dari seseorang bapak, sanak saudara, sahabat, dan di dalam Gurupūjā, Tuhan Yang Maha Esa tidak saja digambarkan sebagai seorang ibu dan bapak, tetapi juga sebagai

keluarga

dan

sahabat,

pemberi

pengetahuan

dan

kekayaan.

Perhatikanlah mantram-mantram berikut: Agnim manye pitaram agnim āpim agnim bhrātaram sadami skhāyam, anger anikam brhatah saparyam divi sukram yajatam sūryasya Rgveda X.7.3 (Tuhan Yang Mahaesa yang kami yakini sebagai bapak kami, sanak kerabat dan saudara kami, kami puja Engkau sebagai yang memiliki wajah yang agung, sinar suci Sūrya di langit) Twam eva māta ca pitā tvam eva Twain eva bandhuś ca sakhā tvam eva, Twain eva vidyā dravinam tvam eva Twain eva sarvarn mama deva-deva. Guru Stotra 14 (Tuhan Yang Maha Esa sesungguhnya adalah ibu kami, bapak kami, sahabat kami dan keluarga kami. Tuhan Yang Maha Esa sesungguhnya pemberi pengetahuan, dan Engkau Penganugrah kekayaan. Engkau adalah segalanya, Ya Engkau adalah Dewata tertinggi dari seluruh Dewata). Berdasarkan penjelasan tersebut, maka pengertian bhakti seperti nampaknya dekat dengan yajna, yakni pengorbanan yang tulus dengan landasan kesucian hati dan berseminya kasih sayang. Selanjutnya dalam kitab Śabdakalpadruma

III.463b,

kata

bhakti

dinyatakan

sebagai

vibhāga

pembagian atau pemisahan, memisahkan penyembah dan yang disembah), sevā (pemujaan atau pelayanan). Selanjutnya para ahli Sanskerta, menyatakan bahwa kata bhakti berasal dari akar kata bhaj yang berarti memuja, cinta kasih yang sejati kepada-Nya dengan penuh perasaan dan ketulusan. Di dalam 15

Brahma Sūtra atau Vedānta Sūtra, pengertian tentang bhakti diungkapkan dalam kalimat Siltra berikut: athātobhaktijijnāsa, sekarang diuraikan makna bhakti, sāparānu-raktīśvare, cinta kasih yang sejati kepada Tuhan Yang Mahaesa dari seseorang dengan sepenuh hati. Jadi pengertian tentang bhakti ini sejalan dengan makna kata paramā premā, kasih yang tinggi dan sejati. Di dalam Bhagavadgita (VII.16-17) kita jumpai penjelasan tentang empat macam orang yang berusaha mendekatkan diri, berbhakti kepada Tuhan Yang Maha Esa, mereka itu adalah: orang yang sengsara, yang mengejar kekayaan, yang mengejar ilmu pengetahuan dan orang yang berbudi luhur. Di antara keempat macam orang tersebut, maka orang yang berbudi luhur dinyatakan yang paling mulia. Mengapa demikian orang yang berbudi pekerti luhur sepenuhnya menyerahkan diri kepada-Nya. Penyerahan diri secara total kepada-Nya disebut prapatti, demikianlah bhakti-prapatti mengandung makna

bhakti

yang

murni,

sebab

mereka

telah

merasakan

dalam

kebhaktiannya itu, ia berada dalam lindungan-Nya. Bila kita bhakti dan menyerahkan diri sepenuh hati, maka Tuhan Yang Maha Esa hadir dihadapan kita. Dari uraian tersebut di atas, kita menjumpai dua jenis atau bentuk bhakti, yaitu para bakti dan apara bhakti. Para bhakti mempunyai makna yang sama dengan prapatti, yakni penyerahan diri secara total kepada-Nya sedang apara bhakti adalah bhakti dengan berbagai permohonan dan permohonan yang dipandang wajar adalah mohon keselamatan atau mohon berkembang-mekarnya budi nurani, sedang permohonan untuk kekayaan atau kekuasaan, sering disebut bhakti yang bersifat Rajas dan Tamas. Perlu pula ditegaskan bahwa prapatti itu bukan fatalistik, artinya: dengan penyerahan diri kepada-Nya, kemudian yang bersangkutan tidak bekerja sebagai mana mestinya, tidak melakukan tugas dan kewajiban dengan baik. Tuhan Yang Maha Esa di dalam kitab Suci Veda, tegas menyatakan bahwa Dia hanya 16

menyayangi umat manusia yang suka bekerja keras, tidak malas, suka tidur dan banyak omong kosong. Lebih jauh, bila kita mengkaji berbagai bentuk, sifat bhakti atau metodologi pendidikan untuk senantiasa bhakti kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, kitab Bhagavata Purana (VII.52.23) membedakan 9 jenis bhakti (Navavidhabhakti), yaitu: (1) Śravanam (mempelajari keagungan Tuhan Yang Maha Esa melalui membaca atau mendengarkan pembacaan kitab-kitab suci), (2) Knrtanam (mengucapkan/menyanyikan nama-nama Tuhan Yang Maha Esa), (3) Smaranam (mengingat nama-Nya atau bermeditasi tentang-Nya), (4) Pādasevanam (memberikan pelayanan kepada Tuhan Yang Maha Esa, termasuk melayani, menolong berbagai mahluk ciptaan-Nya), (5) Arcanam (memuja keagungan-Nya), (6) Vandanam (sujud dan kebhaktian), (7) Dāsya (melayani-Nya dalam pengertian mau melayani mereka yang memerlukan pertolongan dengan penuh keikhlasan), (8) Sākhya (memandang Tuhan Yang Maha Esa sebagai sahabat sejati, yang memberikan pertolongan ketika dalam bahaya) dan, (9) Ātmanivedanam (penyerahan diri secara total kepada-Nya). Dalam bhakti yoga, para penyembah membangun hubungan yang dekat dan mesra dengan Tuhan Yang Mahaesa. Mereka secara perlahan-lahan mengusahakan salah satu dari enam bhava (ekspresi), sesuai dengan temperamen, selera dan keinampuannya. Keenam bhava tersebut adalah: Santa Bhawa, Daśya Bhawa, Śākhya Bhawa, Vatgalya Bhawa, Kanta Bhawa, dan Madhurya Bhawa. Bhava berbeda dalam tipe dan intensitas perasaan. Bhava-bhava yang berbeda disusun sesuai dengan intensitas mereka. Maharaja Dhruwa dan Prahlada memiliki perasaan seorang anak terhadap 17

orang tuanya, ini contoh Śānta Bhava, Dalam Daśya Bhawa, para penyembah bertindak sebagai seorang pelayan terhadap Tuhan Yang Mahaesa majikannya. Hanuman merupakan pelayan Tuhan Yang Mahaesa, yang ideal. Pada Śākhya Bhawa, terdapat rasa persahabatan, seperti Arjuna dengan Śrī Krsna. Pada Vatsalya Bhawa, para penyembah memandang Tuhan Yang Mahaesa sebagai anaknya sendir, seperti yang ditunjukan Yasoda terhadap Krana, demikian pula Kauśalya terhadap Śri Rāma. Kanta Bhawa, adalah cinta kasih seperti cinta kasih seorang istri terhadap suami, seperti ditunjukkan oleh Dewi Sitā dan Rukminī. Puncaknya dicapai pada Madhurya Bhawa, di situ yang mencintai dengan yang dicintai inenjadi satu melalui cinta kasih yang mendalam, seperti yang ditunjukkan oleh Radhā terhadap Śrī Krsna. Bhava yang terakhir merupakan puncak tertinggi dari Bhakti; di situ ia tergabung atau terserap dalam kuasa dan kasih Tuhan Yang Mahaesa. Para penyembah memuliakan Tuhan Yang Mahaesa secara konstan mengingat-Nya. Ia menyanyikan nama-nama-Nya (kirtana); membicarakan kemulian-Nya; mengulang-ulang nama-Nya menguncarkan mantra-Nya; berdoa dan bersujud; mendengarkan lila-Nya Serta pasrah secara total, sukarela, tanpa syarat, memperoleh karunia-Nya, memperoleh penyatuan dengan-Nya dan akhirnya terserap ke dalam-Nya. Pada Madhurya Bhava ada hubungan yang paling dekat antara penyembah dengan Tuhan Yang Mahaesa; tanpa dilandasi nafsu maupun hal-hal yang bersifat jasmaniah. Orang-orang yang penuh nafsu tak dapat memahami kedua Bhava ini, karena pikiran mereka dipenuhi dengan nafsu dan selera seksual rendah (Sivananda, 1993:110). Berbagai bentuk atau contoh perwujudan bhakti tersebut di atas dapat kita lihat dari berbagai cerita baik dalam kitab-kitab Itihasa seperti Rāmāyana dan Mahābhārata maupun kitab-kitab Purana. 2. Brahmavidyā (Teologi) 18

Bila kita mengkaji kitab suci Veda maupun praktek keagamaan di India dan Indonesia (Bali) maka Tuhan Yang Maha Esa disebut dengan berbagai nama. Berbagai Wujud digambarkan untuk Yang Maha Esa itu, walaupun sesungguhnya Tuhan Yang Maha Esa tidak berwujud, dan di dalam bahasa Sansekterta disebut Acityarūpa yang artinya: tidak berwujud dalam pikiran manusia (Monier, 993:9), dan dalam bahasa Jawa Kuno dinyatakan: “tan kagrahita dening manah mwang indriya” (tidak terjangkau oleh akal dan indriya manusia). Bila Tuhan Yang Maha Esa tidak berwujud (impersonal God), timbul pertanyaan mengapa dalam sistem pemujaan kita membuat bangunan suci, arca, pratima, pralingga, mempersembahkan bhusana, sesajen dan lain-lain. Bukankah semua bentuk perwujudan maupun persembahan itu ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang berwujud dalam alam pikiran manusia? Sebelum kita lebih jauh membahas tentang Tuhan Yang Maha Esa, marilah kita tinjau difinisi atau pengertian tentang Tuhan Yang Maha Esa yang dikemukakan oleh Mahārsi Vyāsa yang dikenal juga dengan nama Badarāyana dalam bukunya: Brahmāsūtra, Vedantasāra, sebagai berikut: Janmādyasya yatah (I.1.2), yang oleh Svami Sivananda (1977) diterjemahkan sebagai berikut: Brahman adalah asal muasal dari alam semesta dan segala isinya (Janmādi=asal, awal, penjelmaan dan sebagainya, asya=dunia/alam semesta ini, yatah=dari padanya). Jadi menurut sutra (kalimat singkat dan padat) ini, Tuhan Yang Maha Esa yang disebut Brahman ini adalah merupakan asal mula segalanya. Penjelasan ini sesuai dengan bunyi mantram Purusa Sūkta Rgveda, berikut: Purusa Evedank sarvarh yadbūtam Yacca Bhavyam, utāmrtavasesā no yadannenati rohati Rgveda X.90.2 19

(Tuhan sebagai wujud kesadaran agung merupakan asal dari segala yang telah dan yang akan ada. Ia adalah raja di alam yang abadi dan juga di bumi ini yang hidup dan berkembang dengan makanan). Demikian pula, Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumber segalanya dan sumber kebahagiaan hidup, dinyatakan pula di dalam mantram Veda berikut: Yo bhūtam ca bhavyam ca sarvam yas cadhitisthati svar yasyaca kevalam tasmai jyesthāya Brahmāne namah. Atharvaveda X.8.l. (Tuhan Yang Maha Esa hadir dimana-mana, asal dari segalanya yang telah ada dan yang akan ada. Ia penuh dengan rakhmat dan kebahagiaan. Kami memuja Engkau Tuhan Yang Maha Tinggi). Selanjutnya dalam Narayana Upanisad 2, yang kemudian dijadikan mantram bait ke-2 dari mantram Tri Sandhyā, juga menjelaskan tentang Tuhan Yang Maha Esa sebagai asal segalanya, Maha Suci tidak ternoda, sebagai berikut : Narāyana evedam sarvam yadbhūtani yacca bhavyam, niskalanko niranjano nirvikalpo nirākhyātah suddho devo eko Narāyano na dvityo ’sti kaścit Narayana Upanisad 2. (Ya Tuhan Yang Maha Esa, dari Engkaulah semua ini berasal dan kembali yang telah ada dan yang akan ada di alam raya ini. Hyang Widhi Maha Gaib, mengatasi segala kegelapan, tak termusnahkan, Maha Cemerlang, Maha Suci (tidak ternoda), tidak terucapkan, tiada duanya). Definisi atau pengertian tentang Tuhan Yang Maha Esa tersebut di atas tentu sangat terbatas, oleh karena itu kitab-kitab Upanisad menyatakan definisi atau pengertian apapun yang ditujukan untuk memberikan batasan 20

kepada Tuhan Yang Tidak Terbatas itu tidaklah menjangkau kebesaran-Nya, oleh karena itu kitab-kitab Upanisad menyatakan tidak ada definisi yang tepat untuk-Nya, Neti-Neti (Na+iti, na+iti), bukan ini, bukan ini , Bila tidak ada definisi yang tepat untuk-Nya, bagaimanakah kita dapat memuja-Nya? Untuk memahami Tuhan Yang Maha Esa, maka tidak ada jalan lain kecuali mendalami ajaran agama, memohon penjelasan para guru yang ahli di bidangnya yang mampu merealisasikan ajaran Ketuhanan dalam kehidupan pribadinya. Tentang kitab suci atau sastra agama sebagai sumber atau ajaran untuk memahami Tuhan Yang Maha Esa, kitab Brahmā Sūtra, secara tegas menyatakan: Sastrayonitvat (I.1.2.), yang artinya: kitab suci/sastra agama adalah sumber untuk memahami-Nya. Kembali pada permasalahan yang dikemukakan pada awal tulisan ini, apakah Sang Hyang Widhi sama dengan Siva atau Brahma? Untuk menjawab pertanyaan ini, maka marilah kita kaji berdasarkan tinjauan etimologis maupun leksikal sebagai berikut: Kata Widhi (Sansekerta Vidhi) berasal dari urat kata Vidh yang artinya yang mengatur, hukum, ajaran, perintah, petunjuk, perbuatan, persembahan, pekerjaan, menjadikan atau yang mentakdirkan, Vidhi juga berarti hukum atau pengendalian dan lain-lain (Ibid: 968). Di Bali kita temukan sebuah lontar bernama Vidhi Papiñcatan yang berisi keputusan-keputusan hukum/pengadilan semacam yurisprudensi. Dengan demikian Sang Hyang Widhi adalah Tuhan sebagai Pencipta alam semesta. Tuhan sebagai Widhi disebut bersthana di Luhuring Ākāśa, yakni di atas angkasa, nun jauh di sana. Dalam pengertian ini, tentunya Tuhan Yang Maha Esa digambarkan tidak berwujud (Impersonal God). Kapan Sang Hyang Widhi dimohon turun dan hadir untuk menerima persembahan, maka saat itu juga Beliau telah terwujud dalam alam pikiran. Wujud-wujud utama-Nya itu disebut Tri Mūrti (Brahmā, Visnu dan Śiva).

21

Kata Śiva berarti: yang memberikan keberuntungan (kerahayuan), yang baik hati, ramah suka memaafkan menyenangkan, memberi banyak harapan, yang tenang, membahagiakan dan sejenisnya (ibid:1074). Sang Hyang Śiva di dalam menggerakkan hukum Kemaha Kuasaan-Nya didukung oleh śaktinya Durgā atau Parvatī. Hyang Śiva adalah Tuhan Yang Maha Esa, sebagai pelebur kembali (aspek pralaya atau pralina dari alam semesta dan segala isinya). Śiva yang sangat ditakuti disebut Rudra (yang suaranya menggelegar dan menakutkan). Śiva yang belum kena pengaruh Maya (berbagai sifat seperti Guna Śakti dan Svabhava) disebut Parama Śiva, dalam keadaan ini, disebut juga Acintyarūpa atau Niskala dan Tidak Berwujud (Impersonal God). Kata Brahman (adalah bentuk neutrum dari Brahmā) yang berarti: yang tumbuh, berkembang, berevolusi, yang bertambah besar, yang meluap dari diri-Nya dan sejenisnya (Ibid:737). Ciptaan-Nya muncul dari diri-Nya seperti halnya Veda yang muncul dari nafas-Nya. Kemaha Kuasaan Hyang Brahmā sebagai pencipta jagat raya didukung oleh śakti-Nya yang disebut Saraswati, dewi pengetahuan dan kebijaksanaan yang memberikan inspirasi untuk kebajikan umat manusia. Bila disebut sebagai Brahma, maka ia adalah manifestasi utama Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta, dengan demikian Brahma saat ini adalah Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta, dengan demikian Brahma saat ini adalah Tuhan Yang Berpribadi (Personal God). Brahma digambarkan berwajah empat (Caturmukha) dan lain-lain. Dengan demikian Hyang Widhi adalah Brahman, Tuhan Yang Tidak Berwujud dalam alam pikiran manusia (Impersonal God) sedang disebut Brahmā, ketika ia telah mengambil wujud dalam menciptakan alam semesta beserta segala isinya. Manifestasi utama-Nya lainnya adalah Visnu. Visnu manifestasi Tuhan Yang Maha Esa memelihara jagat raya dan segala isinya. Ia yang 22

menghidupkan segalanya. Kata Visnu berarti: pekerja, yang meresapi segalanya, dan sejenisnya (Ibid:999). Kemahakuasaan Sang Hyang Visnu dalam memelihara alam semesta beserta segala isinya didukung oleh saktinya yang bernama Śri dan Laksmī. Berdasarkan uraian tersebut di atas, jelaslah bagi kita bahwa Hyang Widhi Waśa adalah Tuhan Yang Maha Esa, ia disebut juga Brahman dan berbagai nama lainnya. Bila Tuhan Yang Maha Esa dipuja dengan aneka persembahan, maka ia dipuja sebagai Tuhan yang personal, yang berperibadi. Untuk memahami lebih jauh hakekat ketuhanan dalam agama Hindu, terlebih dahulu akan diuraikan tentang ketuhanan dalam kitab suci Veda. Di dalam kitab suci Veda, Tuhan Yang Maha Esa dan para deva disebut deva atau devatā. Kata ini berarti: cahaya, berkilauan, sinar gemerlapan yang semuanya itu ditujukan kepada manifestasi-Nya, juga ditujukan kepada matahari atau langit, termasuk api, petir atau fajar (F. Max Muller, l969:l7). Deva juga berarti mahluk sorga atau yang sangat mulia (Apte, juga Monier, 1990:4925). Tentang deva-deva ini, S. Radhakrisnan dalam bukunya Indian Philosophy Volume I menyatakan: Hal ini sangat penting untuk didiskusikan. Kata “deva” sangat dimuliakan sesuai dengan alamnya dan digunakan untuk menunjukkan berbagai hal yang berbeda-beda. Lebih lanjut ia mengutip kitab Nirukta, sebagai berikut: Devo dānād vā dipanād vā dyotanād vā dyusthāno bhavati itīva Nirukta VII.15 Dapat pula ditambahkan penjelasan tentang Deva tersebut diatas, yakni adanya empat deva seperti disebutkan dalam kitab Taittirīya Upanisad berikut: Matrdevo bhava pitrdevobhava ācāryadevo bhava atithidevo bhava. Taittrīya Up.I.II. 23

(Seseorang ibu adalah Deva, seorang bapak adalah Deva, seorang guru adalah juga Deva dan para tamupun adalah Deva). Menurut terjemahannya mantram Taittriya Upaniead tersebut, maka keempat Deva itu adalah para Deva yang mempunyai badan kasar (Dayananda Sarasvati, l98l:93). Selanjutnya apakah ada beda pengertian atau makna antara deva dengan devatā? Sesungguhnya bila kita kaji berdasarkan gramatika bahasa Sanskerta, kedua kata itu mempunyai pengertian yang sama. Kata devata dibentuk dengan penambahan kata tambahan tal pada kata dasar deva (deva+tal+r Ā.P=deva+ta+a) sebagai penekanan menurut Astadhyāyi karya Pānini, tanpa mengubah arti atau makna dari kedua kata itu sebagai dinyatakan dalam ungkapan berikut: deva+tal=devatā (Astadhyāyi V.4.27) Menurut Svami Dayananda Sarasvati, matahari dan yang lainnya tidak dapat menyinari Tuhan Yang Maha Esa. Matahari dan benda-benda yang bersinar lainnya memperoleh sinar dari Tuhan Yang Maha Esa, yakni ia yang bersinar dengan sendirinya. Sinar-sinar pada benda-benda langit itu sangat tergantung

kepada-Nya.

Dengan

demikian

Tuhan

Yang

Maha

Esa

Sesungguhnya adalah devatā yang tertinggi yang sepatutnya menerima bhakti dan

pemujaan

kita

(Dayananda

Saravati,198l:84).

Pernyataan

Svami

Dayananda Saraswati itu didukung oleh pernyataan dari mantram Katha Upanisād berikut: Na tatra sūyo bhāti, na candra tarakam, nemā vidyto bhānti, kuto’yam agnih, tam eva bhātam anubhāti sarvarh tasty bhāsā sarvam idam vibhāti Katha Up. 11.2.15 (Matahari tidak bersinar disana, demikian pula bulan dan bintang-bintang, jadi dimanakah datangnya api ini? 24

Semuanya bersinar sesudah sinar-Nya itu. Seluruh dunia disinari oleh sinar-Nya itu). Lebih jauh kita temukan sebuah penjelasan di dalam kitab Nirukta tentang deva dalam syair berikut: Mahā bhāgyād devatāyā ekam evātmā bahudha stuyate, ekasyātmāno ’tye devāh pratyangāni, karmajanmanci, ātmāivaisam rathebhavatyātmā svā ātmayudhamatmesawa atma sarva dewasya-dewasya Nirukta VI1.4. (Oleh karena demikian tinggi makna dan ciri khas dari devatā (dalam hal ini Tuhan Yang Mahaesa). Yang merupakan jiwa alam semesta yang dipuja dengan berbagai pujian. Lainnya, para deva (disebutkan dalam kitab suci Veda), hanyalah bagian dan atau manifestasi-Nya (dari jiwa yang agung itu). Para deva tampil dengan aneka wujudnya oleh karena berbagai aktivitas-Nya (yang berlipat ganda. Kereta (ratha) adalah deva (jiwa dari alam semesta), kuda-kuda kereta adalah deva, adalah cahaya-Nya. Panah-panah-Nya adalah deva, cahaya-Nya adalah jiwajiwa yang sama. Jiwa itu adalah deva). Menurut Svami Dayananda Sarasvati, kata deva mengandung 10 arti dari urat kata div, yaitu: (1) bermain, (2) penaklukan, (3) aktivitas pada umumnya, (4) kemuliaan/keagungan, (5) penghormatan, (6) menyenangkan, (7) kerinduan, (8) tidur, (9) keindahan (kānti), dan (10) kemajuan . Selanjutnya Swami Dayananda Saraswati mengatakan: arti atau makna kata deva melingkup dua hal yang sama. Perbedaan antara deva (Tuhan yang Maha Esa) dengan deva (para Deva) adalah: seluruh deva atau devatā menerima sinar dari Tuhan Yang Maha Esa (merupakan sinar-Nya) sedang Tuhan Yang Maha Esa memancarkan sendiri sinar-Nya itu (Ibid:83). Petikan dari mantram Yajurveda berikut mendukung pandangan bahwa Tuhan Yang Maha Esa memancarkan sendiri sinar-Nya: yo’asav āditye purusah yo’asav aham. Om Kham Brahmā Yayurveda XL.17 25

(Spirit yang terdapat dimatahari, itu adalah Aku. Om (nama-Ku) memenuhi seluruh alam semesta). Svami Dayananda sarasvati membuka pengertian yang lebih luas tentang deva atau devatā yang beraneka ragam (pluralistis), yang secara salah telah diinterprestasikan oleh sarjana-sarjana Eropa, yang sesungguhnya memancar dari Tuhan Yang Maha Esa. Beraneka deva atau devatā itu adalah untuk memudahkan membayangkan-Nya seperti yang secara gambling dijelaskan dalam mantram-mantram Veda. Dalam teologi Hindu kita jumpai demikian banyak jumlah atau nama Deva-deva itu. Berapakah sesungguhnya jumlah dewa-dewa itu? Kitab suci Rgveda seperti pula halnya Atharvaveda menyebutkan jumlah Deva-deva itu sebanyak 33 Deva (Macdonell, 991:19). Berikut adalah kutipan mantram dari Rgveda tentang mantram dimaksud: ā nāstyā tribhirekādasai ha devebhir yātham madhupeyam aśvinā, prāyustāristam nī ripām si mrksatam sedhatam dveso bhavatam sacābhuvā. Rgveda I.34.11. (Semogalah Engkau tiga kali sebelas (33) tidak pernah jatuh dari kesucian, sumber kebenaran, yang memimpin kami menuju jalan untuk memperoleh kebajikan. Semoga Tuhan Yang Maha Esa merakhmati persembahan kami, memperpanjang hidup kami, menghapuskan kekurangan kami, melenyapkan sifat-sifat jahat kami dan semoga semuanya itu tidak membelenggu kami). Śrustivāno hi dāśuse deva agne vicetatasah tā rohidaśva girvanas trayastrimśatamā āi vaha. Rgveda I.52.2. (Ya Tuhan Yang Maha Esa, Engkau adalah guru agung penuh kebijaksanaan, mengurangkan karunia kepada mereka yang mempersembahkan karya-karyanya Ya Tuhan Yang Penuh Cahaya Gemerlapan, Semogalah. Para pencahari pengetahuan rohani dapat mengetahui Rahasia dari 33 deva (yang merupakan tenaga kosmos). 26

ye devāso divyekādaśa stha prlhivyam adhy ekādaaśa stha, apsuksito mahinaikādaśa stha te devāso yajnamimanh jusadhvam. Rgveda :I.139.11 (Wahai para Dewa (33 Deva), sebelas di sorga, sebelas di bumi dan sebelas di langit, semoga engkau bersuka cita dengan persembahan suci ini). aibhiragne saratham yāhy arvān nānāiratham vā vibhvo hyaśvah patnīvataslrimśatanh trīmś ca devānanugvvadhamā vaha mādayasva. Rgveda :III.6.9 (Semogalah engkau mendekati kami dengan kereta atau melalui kudakuda (Cahaya)-Mu yang penuh tenaga. Semogalah 33 devatā bersama dengan sakti-Nya (yakni rakhmat dan sifat-Nya) sesuai dengan keinginannya yang luhur dan menyenangkan). Di dalam kitab suci Yajurveda, kita jumpai sebuah mantram yang juga menjelaskan hal ini: Trayastrimśatāstuvata bhūtānyaśāmyan prajāpatih paramestyadhipatirāsit. Yajurveda XIV.3l (Pemujaan oleh 33 Deva dan kedamaian ditegakkan Tuhan Yang Maha Esa, Yang adalah maharaja dari semua mahluk, ia adalah penguasa dan pengendalinya). Selanjutnya, di dalam kitab suci Atharvaveda kita jumpai penjelasan tentang Deva, sebagai berikut: yasya trayastrimśatātuvata bhūtānyaśāmyan prajāpatih paramestyadhipatirāsit. Atharvaveda X.7.13 (Siapakah yang demikian banyak itu, ceritakan kepadaku, tidak lain adalah Tuhan Yang Maha Esa yang meresapi segalanya, yang pada diriNya dikandung seluruh 33 Deva-Deva (sebagai kekuatan alam). 27

Yasya trayastrimśad devā niddhim raksanti sarvadā, nidhim tamadya ko veda yam devā abhiraksatha Atharvaveda X.7.23 (Siapakah yang paling kaya, 33 deva, yang senantiasa memperhatikan dan melindungi, siapakah yang mengetahui lokasi dari artha yang sangat berharga (yang penuh rahasia) yang dijaga oleh 33 devata) Yasya trayas trimśad devāsange gatra bibhejire, tān vai trayastrimśad devāneka Brāhma vido viduh. Atharvaveda X.7.27 (Tiga puluh tiga deva menyelesaikan tugasnya masing-masing di dalam ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Hanya beberapa orang yang terpelajar di dalam Veda memahami 33 Devatā). Bila kita membaca mantram-mantram lainnya dari katab suci Rgveda, ternyata jumlah Deva-deva di dalam Veda tidaklah hanya 33, melainkan sebanyak 3339 yang merupakan kelipatan 1013/11 (seratus satu tiga persebelas), sebagai dijelaskan dalam mantram berikut: trini śatā trī sahasrānyagnim trimśancca devā nava cāsaparyan, auksan ghrtāirastrnan barhirasmā ādiddhotāram nyasādyanta. Rgveda III.9.9. (Adalah tiga ribu tiga puluh sembilan devata memuja Agni yang telah menyebarkan rumput suci dengan minyak yang dicipratkan dan mengangkat mereka sebagai Pandita dan pelaksana Yajña). Selanjutnya di dalam kitab suci Veda kita tidak menemukan jelas tentang nama 33 atau 3339 devatā sebagai tersebut dalam mantram-mantram Veda di atas. Penjelasan tentang nama 33 Deva tersebut dapat dijumpai dalam kitab Śatapatha Brāhmana, sebagai berikut: sa hovāca mahimān evaisāmete tryastrimśatteva devā iti, katame te trayastrimsādityāstau vsavah, ekadamrudrā, dvādaśādityaāsta ekatrimśad indrsca 28

iva prajāpatisca, trayastrimśaviti. Śatapatha Brāhmana XIV.5 (Sesungguhnya ia mengatakan: Adalah kekuatan agung yang dahsyat sebanyak 33 devata. Siapakah devata itu? Mereka adalah 8 Vasu (Astavasu), 11 Rudra (Ekadaśarudra), 12 Aditya (Dvādaśāditya). Jumlah seluruhnya 31, (kemudian ditambah) Indra dan Prajapati, seluruhnya menjadi 33 devatā). Di antara deva-deva itu, Rgveda menggambarkan Deva Sūrya sebagai Deva tertinggi, deva dari seluruh deva. Silrya adalah sumber dan pendukung kehidupan,

yang

memberikan

sinar

yang

terang

dan

kegembiraan,

melenyapkan kegelapan malam dari kebodohan, menurunkan pengetahuan kepada setiap mahluk dan memberikan cahaya kepada planet-planet di alam raya (Lokesh Chandra, 1977:35). Pendapat ini didukung oleh bukti mantram berikut: Udvayam tamasaspari jyutis paśyanta uttaram, devam devatrā sūryamaganma jyotiruttamam. Rgveda I.50.10. (Lihatlah menjulang tinggi di angkasa, cahaya yang terang benderang mengatasi kegelapan telah datang, Ia adalah Surya, Deva dari seluruh devata, cahayanya yang terang Itu betapa indahnya). Surya bukanlah bola matahari, melainkan devatā tertinggi, deva dari seluruh deva. Sesungguhnya semua deva-deva yang tersebut dalam Veda adalah nama atau bentuk lain dari Surya, devatā tertinggi. Di dalam Veda, deva pada dasarnya adalah Sūrya yang memancarkan cahaya-Nya sendiri, dan devī adalah aspek feminim (wanita) dari devata. Devī pada dasarnya mengandung makna fajar di pagi hari. Surya di dalam Veda adalah satu kesatuan integral daripada devatā, realitas kesatuan mutlak dan ciptaan-Nya,

29

yang sesungguhnya satu dalam segalanya dan segalanya dalam Yang Satu (David-Frawely, 1982:279). Pandangan David Frawely ini di dalam filsafat ketuhanan disebut Monisme. Dapat pula ditambahkan bahwa merealisasikan Spirit atau kekuatan di dalam matahari, atau Sūrya sebagai ātmā di dalam diri merupakan fokus dari ajaran Upanisad, teristimewa pandangan tentang kesatuan dengan Brahman, seperti dijelaskan dalam yajur Veda XL.17, yang menyatakan kekuatan yang menjadikan matahari bersinar, itu adalah Aku. Kalimat ini merupakan salah satu Mahāvākya (sasanti utama) dalam kitab-kitab Upanisad dan menjadi landasan utama dari ajaran Vedānta: Tat tvam asi (Ia adalah engkau), Aham Brahmāsmi (Aku adalah Brahman). Ayam Ātmā Brahmā (Atman ini adalah Brahman)

Prajnānam

Sarvamkhalvidam

Bramā

Brahmā (segalanya

(Kesadaran adalah

adalah

Brahman),

Brahman).

Mahāvākya-

Mahāvākya ini adalah sejalan dengan makna Gāyatri atau Savitri mantram dalam Rgveda, mantram yang ditujukan untuk memuja Sūrya, kekuatan yang menjadikan matahari bersinar Savitar (Loc.Cit). Di atas telah disebutkan bahwa Sūrya adalah devatā tertinggi di dalam Veda. Di samping Sūrya dengan berbagai nama merupakan berbagai aspekNya, deva-deva lainnya yang dominan dipuja di dalam Veda adalah Agni (deva api). Indra (deva hujan, deva perang dan raja kahyangan) dan Vāyu (deva angin), juga devi-devi yang kerap kali dipuja atau disebutkan dalam mantram-mantram Veda adalah Saraswatī, Savitrī, Aditī, Sūryaputri dan lainlain. Deva-deva dan devi-devi itu pada umumnya digambarkan secara antrophomorphic (berwujud seperti manusia) dengan aneka keunggulan dan kelebihannya (manusia super) lengkap dengan kendaraan (kereta) dan binatang-binatang yang menarik keretanya. Arsitek kahyangan dan sekaligus Deva seniman (the God of Artist) adalah Viśvākarma yang juga populer di dalam kitab-kitab itihāsa dan Purāna. 30

Bila kita perhatikan perkembangan pemujaan hingga saat ini, devadeva yang termuat dalam kitab suci Veda, khususnya Indra, Vāyu, Aditī dan lain-lain tidak nampak di puja lagi, Mengapa hal tersebut dapat terjadi? Hal ini tidak lain, karena kedudukan deva-deva tersebut di atas, pada jaman kitabkitab Purāna disusun tidak lagi dipuja, karena fungsi dan peranannya digantikan oleh Tiga Devata Utama, manifestasi-Nya yang kita kenal dengan Tri Mūrti. Deva Agni diidentikkan dan digantikan oleh Brahmā, Indra dan Vāyu diidentikkan dan digantikan oleh Visnu, walaupun pada kitab suci Veda, Visnu adalah nama lain dari Sixrya dan Siirya sendiri diidentikkan dan digantikan fungsi dan peranannya oleh Siva. Ketiga Deva-Deva ini dengan “parivāra devatā”-Nya (keluarga deva-deva, sakti atau istrinya, putraputrinya termasuk pula pengiringnya) mendapat pemujaan yang khusuk. Adapun deva-deva tersebut adalah Brahmā dengan saktinya Saraswati, Visnu dengan saktinya Śri dan Lasmī, Avatāra-Avatāra-Nya seperti Rama dan Krsna, pengiringnya seperti Hanuman, Śiva dengan śaktinya Durgā dan Parvatī, putra-putranya seperti Kumara atau Sabramanyam, Skanda atau Muruga, Ganeśa dan Kāla. Berbagai aspek Durgā seperti Kālī, Cāndi dan lainlain dapat dijumpai pada kitab-kitab Tantra. Demikian antara lain deva-deva dan devi-devi di dalam Hindu yang digambarkan selalu berwajah muda (nirjara, para deva tidak mengalami umur tua, karena mereka meminum Amrta/air kehidupan yang selalu membuat awet muda/tidak ada deva berwajah tua, walaupun berjenggot dan menyeramkan, wajahnya selalu tampan). Kini timbul pertanyaan, bila deva-deva atau devi-devi dalam Hindu demikian rupa, bagaimana halnya dengan Bhattāra dan Bhattārī dan AvatāraAvatāra-Nya? Istilah Bhattāra dan Bhattāri populer di Bali (Indonesia), di India, sebutan Bhattāra hampir tidak terdengar di dalam masyarakat. Istilah

31

atau nama ini sebenarnya ditujukan kepada para Deva tersebut di atas, di samping juga ditujukan kepada Avatāra dan atau para leluhur, Kata Bhattāra dalam bahasa Sansekerta, berasal dari kata bhattā (bhattr) yang artinya: yang melindungi, tuan, atau raja. Kata Bhattāra berarti mereka yang sangat dihormati karena fungsinya sebagai pemimpin dan pelindung umat manusia (Monier Williams, 1993:745). Jadi istilah atau nama deva-devi dan bhattārabhattāri sebenarnya identik karena fungsi dari deva-deva adalah untuk melindungi umat-Nya. Menurut Rgveda VIII.57.2, juga Brhadāranyaka Upanisad III.9.1, dijelaskan bahwa seluruh deva-deva itu jumlahnya 33, menguasai Tri Bhuwana (Bhur, Bhuvah, Svah Loka, yakni bumi, langit dan sorga). Seluruh deva-deva itu terdiri dari 8 Vaśu (Astavaśu), 11 Rudra (Ekadaśarudra), 12 Āditya (Dvadaśāditya), Serta Indra dan Prajāpati. Deva-deva Astavasu adalah : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Anala atau Agni (deva api) Dhavā atau Prthivī (devi bumi) Anila atau Vāyu (deva angin) Prabhasa atau Dyaus (deva langit) Pratyusa atau Sūrya (deva matahari) Aha atau Savitr (deva antariksa) Candra atau Somā (devi bulan) Druva atau Druha (deva konstelasi planet)

32

Deva-deva Ekadaśarudra adalah : 1. Aja Ekapat 2. Ahirbudhnya 3. Virupāksa 4. Sureśvara 5. Jayanta 6. Bahurūpa 7. Aparijita 8. Stivitra 9. Tryambaka 10. Vaivasvata Hara Visnu Purāna, 15, Amśa Purāna, 1 Ekadaśarudra dalam tubuh manusia dihubungkan dengan Prana dan Atma dan dalam ajaran Tantra 11 Rudra dihubungkan (disim-boliskan) dengan 11 aksara, yaitu: DA, DHA, NA, TA, THA, DA, DHA, NA, PA, PHA dan BA. Rudra sering diidentikkan dengan aspek Krodha dari Śiva sebagai penguasa 11 penjuru (kiblat) di alam raya. Selanjutnya yang disebut deva-deva Dvadaśāditya adalah: terdiri enam pasang deva, yaitu: Mitra-Varuna, Aryamān-Dāksa, Bhāga-Amsa, TvastrSavitr, Pūsan-Śukra dan Vivasvat-Visnu (Rgveda 11.27.1). Menurut arti katanya, kata Āditya berarti hukum tertinggi. Dalam hal ini Tuhan Yang Maha Esa dilambangkan pula sebagai hukum tertinggi. Tuhan adalah penguasa atas hukum tertinggi dan sebagai pengatur alam semesta. Keenam pasang devadeva dimaksud merupakan wujud deva yang transendent dan immanent, sebagai berikut:

33

Deva-Deva Dvadaéaditya Transendent 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Mitra (sahabat) Aryamān (mengalahkan musuh) Bhāga (pemurah) Tvastr (pembentuk) Pūsan (energi) Vivasvat (gemerlapan)

Immanent 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Varuna(1angit) Dāksa(akhli) Amśa (yang bebas) Savitr (pelebur) Śukra (kekuatan) Vi$nu (yang meresapi) Rgveda: X.63.2, I.72.9, VII.10.3, Atharvaveda XIII.1.38 Di dalam Rgveda X.36.14 disebutkan adanya deva-deva yang datang

dari penjuru yang kemudian dalam perkembangan berikutnya (pada zaman Purāna) dikenal dengan Devatā Astadikpālaka (penguasa atau pelindung 8 penjuru) dan di Bali (Indonesia) disebutkan Devatā Nava Sanga (Siva sebagai penguasa Tengah), yaitu: Devatā Astadipālaka terdiri dari: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Utara Timur Barat Selatan Timur Laut Tenggara Barat Daya Barat Laut

: : : : : : : :

Kuvera Indra Varuna Yama Īśana Agni Sūrya Vāyu

Devatā Nava Sanga: 1. Utara

: Visnu 34

2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.

Timur Barat Selatan Timur Laut Tenggara Barat Daya Barat Laut

: : : : : : :

Īśvara Mahādeva Brahma Sambhu Maheśvara Rudra Samkara

Pengenalan kedudukan devatā Nava Sanga beserta “Laksana” (AtributNya) berhubungan dengan upacara Yajna sesuai dengan ajaran Tantrāyana dan Śaiva Siddhānta yang sangat besar pengaruhnya di Indonesia (khususnya Bali) dewasa ini seperti upacara Ekadaśarudra, Panca Balikrama dan Tawur Kasanga. Lebih jauh bila dalam usaha memantapkan pemahaman kita tentang Tuhan Yang Maha Esa, kiranya perlu diketengahkan pandangan filsafat tentang ketuhanan. Pandangan agama terhadap Tuhan Yang Maha Esa atau ajaran ketuhanan menurut ajaran agama disebut teologi, dan sifatnya adalah sebagai keimanan dan diimani atau diyakini oleh pemeluknya. Filsafat ketuhanan berdasarkan pendekatan pikir (rasional) sesuai dengan filsafat. Di dalam filsafat ketuhanan, pandangan tentang Tuhan Yang Maha Esa dapat dijumpai beraneka macam, sebagai berikut: 1) Animisme: keyakinan akan adanya roh bahwa segala sesuatu di alam semesta ini didiami dan dikuasai oleh roh yang berbeda-beda pula. 2) Dinamisme: keyakinan terhadap adanya kekuatan-kekuatan

alam.

Kekuatan alam ini dapat berupa mahluk (personal) ataupun tanpa wujud. Tuhan yang disebut sebagai Super Natural Power (kekuatan alam yang tertinggi). 3) Totemisme: keyakinan akan adanya binatang keramat, yang sangat dihormati. Binatang tersebut diyakini memiliki ke-Saktian. Umumnya

35

adalah binatang mitos, juga binatang tertentu di alam ini yang dianggap keramat. 4) Polytheisme: keyakinan terhadap adanya banyak Tuhan. Wujud Tuhan berbeda-beda sesuai dengan keyakinan manusia. 5) Natural Pollytheisme: keyakinan terhadap adanya banyak Tuhan sebagai penguasa berbagai aspek alam, misalnya: Tuhan matahari, angin, bulan dan sebagainya. 6) Henotheisme atau Kathenoisme: keyakinan atau teori kepercayaan ini diungkapkan oleh F.Max Muller ketika ia mempelajari kitab suci Veda. Sebelumnya ia mengajukan teori Natural Polytheisme seperti tersebut di atas. Yang dimaksud dengan Henotheisme atau Kathenoisme adalah keyakinan terhadap adanya Deva yang tertinggi yang pada suatu masa akan digantikan oleh Deva yang lain sebagai deva tertinggi. Hal ini dijumpai dalam Rgveda pada suatu masa deva Agni menempati kedudukan tertinggi, tetapi pada masa berikutnya, deva itu digantikan oleh Deva Indra, Vayu atau Sūrya. Dalam perkembangan selanjutnya, terutama pada kitab-kitab Purana deva-deva tersebut di atas diambilah fungsinya dan digantikan oleh deva-deva Tri Mūrti. Deva Agni digantikan oleh Brahma, Indra-Vāyu digantikan oleh Visnu dan Sūrya digantikan oleh Śiva. Demikian pula misalnya Devi Sarasvatī adalah devi kebijaksanaan dan devi sungai dalam Veda kemudian menjadi śakti deva Brahma dalam kitab-kitab Itihasa dan Purana. Juga deva Visnu yang sangat sedikit disebut dalam kitab Veda, tetapi mempunyai peranan yang sangat besar dalam kitab-kitab Purana (Śrīmād Bhagavatam atau Bhagavata Purāna, Visnu Purana), dan lain-lain. 7) Pantheisme: keyakinan bahwa dimana-mana serba Tuhan atau setiap aspek alam digambarkan dikuasai oleh Tuhan. Menurut sejarawan Arnold Toynbee dan Daisaku Ikeda, sikap bangsa India dan Asia Timur adalah: Pantheisme yang berbeda dengan Monotheisme Yahudi. Dalam pandangan 36

Pantheisme, ihwal, ketuhanan termaktub (immanent) di alam semesta. Dalam pandangan Monotheisme, ihwal Ketuhanan direngut dari alam semesta dan dibuat berada di luar pengertian dan pengalaman manusia (transcendent). 8) Monotheisme: keyakinan terhadap adanya Tuhan Yang Maha Esa (Tuhan Yang Satu). Keyakinan ini dibedakan atas : a). Monotheisme Transcendent: Keyakinan yang memandang Tuhan Yang Maha Esa berada jauh diluar Ciptaan-Nya. Tuhan Yang Maha Esa Maha Luhur, tidak terjangkau oleh akal pikiran manusia. b). Monotheisme Immanent: Keyakinan yang memandang bahwa Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta alam semesta dan segala isinya, tetapi Tuhan Yang Maha Esa itu berada diluar dan sekaligus di dalam Ciptaan-Nya. Hal ini dapat diibaratkan dengan sebuah gelas yang penuh berisi air, kemudian sebagian air tumpah, ternyata keadaan air di dalam gelas tidak berubah. 9) Monisme: keyakinan terhadap adanya Keesaan Tuhan Yang Maha Esa merupakan hakekat alam semesta. Esa dalam segala. Segalanya berada di dalam Yang Esa. Sebuah kalimat Brhadāranyaka Upaniaad menyatakan: “Sarvam Khalvidam Brahman” (Segalanya adalah Tuhan Yang Maha Esa). Demikian berbahagia pandangan tentang Tuhan (ketuhanan) yang dikaji melalui pendekatan filsafat (Filsafat Ketuhanan) yang tentunya keyakinan tersebut masih diperlukan oleh masyarakat, baik mereka yang disebut primitive maupun yang modern. Sebagai telah diuraikan diatas, teologi Veda adalah Monotheisme Transcendent, Monotheisme Immanent dan Monisme. Tuhan menurut Monotheisme Transcent digambarkan dalam wujud Personal Gog (Tuhan Yang Maha Esa Yang Berpribadi), sedang menurut Monotheisme

Immanent

Tuhan

Yang

Maha

Esa

selalu

digambarkan

Impersonal God (tidak berpribadi). Tidak ada Wujud atau bandingan apapun untuk menggambarkan kebesaran dan keagungan-Nya. Tentang Tuhan yang 37

tidak tergambarkan dalam pikiran dan tiada kata-kata yang tepat untuk memberikan batasannya kepada-Nya dinyatakan dalam Brahmāsūtra: “ Tad avyaktam, aha hi”, sesungguhnya Tuhan Yang Maha Esa itu tidak terkatakan , demikian kitab suci telah mengatakannya. Tentang pemujaan kepada Tuhan Yang Maha Esa Yang Berpribadian dan Tidak Berpribadian, dijelaskan dalam Adhyāya XII Bhagavadgītā (Bhakti Yoga) yang menyatakan: menyembah Tuhan Yang Maha Esa yang abstrak (Impersonal God) tanpa mempergunakan sarana jauh lebih sulit dibandingkan dengan menyembah Tuhan Yang Personal Goa’ melalui Bhakti dan Karma Marga. Tuhan Yang Maha Esa di dalam Veda digambarkan sebagai Personal God (Tuhan Berpribadi). Penggambaran ini dapat dibedakan dalam tiga kategori, yaitu: 1. Penggambaran Anthrophomorphic (sebagai manusia dengan kelebihan seperti bermata seribu, berkaki empat, bertangan empat dan sebagainya). 2. Penggambaran Semianthrophomorphic (sebagai setengah manusia atau setengah binatang) hal ini lebih menonjol dalam Purāna seperti Deva Ganeśa manusia berkepala gajah, Hyagriwa, manusia yang berkepala kuda dan sebagainya. 3. Penggambaran Unanthrophormophic (tidak sebagai manusia, melainkan sebagai binatang saja misalnya Garutman atau Garuda, sebagai tumbuhtumbuhan, misalnya Soma dan lain-lainnya). Terhadap beraneka penggambaran dewa-dewa sebagai manifestasinya atau wujud pribadi Tuhan Yang Maha Esa, Svami Sivananda dalam bukunya All About Hinduism (19931 138) menyatakan: Hinduisme sangatlah universal, bebas, toleran dan luwes. Inilah gambaran indah tentang Hinduisme. Seorang asing merasa terpesona keheranan apabila ia mendengar tentang sekta-sekta dan keyakinan yang berbeda-beda dalam Hinduisme; tetapi perbedaan-perbedaan itu sesungguhnya merupakan berbagai tipe pemikiran dan temperamen, sehingga menjadi bermacam-macam keyakinan 38

pula. Hal ini adalah wajar. Hal ini merupakan ajaran yang utama dari Hinduisme; karena dalam Hinduisme tersedia tempat bagi semua tipe roh dari yang tertinggi sampai yang terendah, demi untuk pertumbuhan mereka. Pernyataan

ini

jelas

meragukan

kemampuan

Umat-Nya

untuk

membayangkan Tuhan Yang Maha Esa. Bagi mereka yang tinggi pengetahuan rohaninya. Tuhan Yang Maha Esa digambarkan dalam pikiranya sebagai Impersonal God (tanpa Wujud baik dalam pikiran maupun dalam kata-kata) sedang bagi yang pemahamannya sederhana, Tuhan Yang Maha Esa digambarkan sebagai Personal God, berpribadi dan dibayangkan sebagai wujud-wujud yang agung, maha kasih, maha besar dan sebagainya. Pada umumnya umat beragama menyembah Tuhan Yang Maha Esa yang Personal ini. Penggambaran dalam alam pikiran manusia umumnya sebagai yang serba mulia, suci, luhur agung dan tinggi, jauh di alam sana. Demikian pula bila kita meneliti kitab suci Veda, maka Tuhan Yang Maha Esa umumnya digambarkan sebagai Tuhan yang berpribadi itu, Walaupun penggambarannya itu tidak sejelas penggambaran kitab-kitab Itihāsa dan Purāna. Di dalam kitab suci Veda dinyatakan bahwa Tuhan Yang Maha Esa disebut dengan berbagai nama oleh para mahārsi (Vipra) sebagai dinyatakan dalam mantram berikut: Indrm mitram varuparh agnim ahur atho divyah sa suparno garutmān, ekam sadviprā bahudhā vadanti agnim yamam matrisvānam ahuh. Rgveda I.64.46. (Mereka menyebutnya dengan Indra, Mitra, Varuna dan Agni, ia yang bersayap keemasan Garuda, ia adalah Esa, para mahārsi (Vipra/orang bijaksana) memberi banyak nama, mereka menyebutnya Indra, Yama, Matarisvān).

39

Disini Tuhan Yang Maha Agung digambarkan sebagai kebenaran Yang Maha Esa (Ekamsad), satu kebenaran. Suparna artinya yang bersayap indah, Simbol

mistik

dalam

Veda

untuk

Tuhan

Yang

Maha

Kuasa

(A.C.Bose:1988:130). Keesaan Tuhan Yang Maha Tunggal dijelaskan secara gamblang dalam mantram berikut: Tad eva agnis tad ādityas tad vāyus tad u candramāh, tad eva śukram tad Brahmā ta ‘āipah sa prajāpatih Yajurveda XXX.II.1 (Sesungguhnya Ia adalah Agni, Ia adalah Āditya, Ia adalah Vāyu, Ia adalah Candramā, Ia adalah Śukra, Ia adalah Brahmā, Ia adalah Āpah, Ia yang Esa itu adalah Prajāpati). Agne bhūrīni tava jātavede deva Svadhavo’mrtasya nāma, yāsca māyā māyinamviśvaminva tve pūrvih sanndhuh prstabandho. Rgveda III.20.3 (Banyak nama yang ditujukan kepada-Mu, Oh Agni! Tuhan Yang Maha Kekal Abadi, Tuhan Yang Maha suci, Jātaveda dan banyak keindahan dari yang indah, yang memberikan inspirasi kepada segalanya, yang terbentang didalam-Nya, Tuhan Yang Maha Esa dari pengiring yang sejati). Di dalam kitab suci Bhagavadgita juga dinyatakan tentang Keagungan Yang Maha Esa, sebagai berikut : Vāyur yamo ’gnir varunah śaśankah Prajāpati tvam pra pītamahās ca. Bhagavadgītā XI.39. (Engkau adlah Vāyu dan Yama, Agni, Varuna dan Dewi, Śaśanka atau rembulan), Engkau adalah Prajāpati, pencipta alam semesta dan leluhur umat manusia). 40

Tuhan Yang Maha Esa adalah kebenaran yang maha luhur, berikut dinyatakan keluhuran Yang Maha Esa (dalam Wujud-Nya yang neutrum), menunjukkan bahwa sebelum ada sesuatu ciptaan, tidak ada nilai-nilai material. Nasādāsinn sadasīttadānim nāsid rājo no vyomā paro yat, kim avarīvah kuha kasya sarma nambhah kimasīd gahanam gabhīram (1) Na mrtyurāsīd amrtam na tarhi na rātrya ahna āsit praketah, anīd avātana svadhayā tadekam tasmāddhānyanna parah kimca (2) Rgveda X.129.1-2. (Pada saat itu tidak ada kenyataan, ketidak nyataan, tidak ada udara, tidak ada langit. Apakah yang menutupi dan dimanakah itu? Dan adakah perlindungan disana, adakah di sana air yang sangat dalam dan tidak terbatas?) (1) (Kematian belum muncul di sana, demikian pula keabadian, tidak ada tanda-tanda siang atau malam, Yang Maha Esa hidup tanpa nafas, yang menjadikan dirinya sendiri, sebagian dari pada-Nya tidaklah diketahui apa sebenamya) (2) Mantram Veda ini mengandung ajaran filsafat kebutuhan yang sangat tinggi. Hal ini pula menunjukkan bahwa alam pikiran umat manusia sangat terbatas, tidak dapat menjangkau yang maha besar dan maha tinggi itu. Berikut dinyatakan bahwa semua deva-deva itu sesungguhnya adalah satu, Satu Devata. Pada mantram-mantram kita jumpai pernyataan non simbolis tentang satunya deva-deva dalam deva yang satu, Aspek Tuhan Yang Maha Esa, yang sama: Tvamagna indro vrsabhah satāmasi tvam visnur urugāyo namasyah tvam brahmā rayivid braāhmāvaspate tvam vidhartah sacase purandhyā (3). 41

Tvam agne aditir deva dāsuse tvam mitro bhavasi dasma idyah, tvamaryamā satpatiryasya sambhjam tvamamso vidhate deva bhājayuh (4). Tvam agne aditir deva dāsuae tvam hotra bhāratī vardhase girā, tvamilā śatahimāsi daksase tvana vrtrā vasuvate sarazvatī (11). (Rgveda II.1.3,4,11. (Engkau adalah Agni, Indra, Pahlawan dari semua Pahlawan. Engkau adalah Visnu, yang langkahnya Agung yang hamba puja. Engkau adalah Brāhmānaspati, Brahmā yang memiliki selumh kekayaan, Engkau menyangga segala yang hamba cintai dan memohon kebijaksanaan) (3). (Engkau adalah Agni, Engkau adalah Maharaja Varuna, Penguasa hukum yang sangat adil. Engkau adalah Mitra, Pekerja yang mengagumkan yang hamba puja. Engkau adalah Aryama Devatā para pahlawan yang menambahkan kekayaan kepada semua orang. Engkau Tuhan Yang Maha Esa dalam wujud-Mu sebagai Amsa yang bebas dalam persidangan agung) (4). (Ya Tuhan Yang Maha Esa, Engkau adalah Agni, Aditi, devatā yang menerima persembahan kami. Engkau adalah HotraBhārati, Pandita Agung dan dewi Kebudayaan, engkau adalah yang diagungkan oleh ribuan umat manusia di musim salju. Engkau adalah penganugrah kekayaan, pembunuh raksasa Vitra, dan Saraswatī, dewi ilmu pengetahuan dan kebijakan) (11). Dalam mantra-mantra di atas, deva Agni diidentikkan dengan semua devata yang lain, baik deva maupun devi. Ini menunjukkan bahwa semua deva-deva (devata) adalah nama yang ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Suci, Yang Maha Tunggal. Selanjutnya dapat kita jumpai mantra yang menjelaskan semua devatā itu adalah satu dan penjelasan ini tidak kontradiksi karena satu adalah segala42

Nya dan segala-Nya adalah Yang Maha Esa. Berikut dipetikkan mantram yang menjelaskan hal itu : Ya eko asti damsana mahan Ugro abhi vrataih Rgveda VIII.1.27. (Ia Yang Maha Esa, yang mengagumkan, agung dan kuat serta mengendalikan hukum suci-Nya). Indra it somapā eka indrah sutapā viśvāyuh antar devān martyamśca. Rgveda VIII.2.4. (Indra yang menikmati minuman persembahan, yang menikmati minuman Soma, yang menghidupkan segalanya baik yang di sorga maupun di maya pada ini). Ayam eka ityā casthevi viśpatih tasyan ratāy anuyaś carāmasi. Rgveda VIII.24.6. (Di sini Tuhan Yang Maha Esa, Rajanya umat manusia, yang terlihat membentang terus, jauh nan luas, untuk kesejahteraan hidupmu, ikutilah hukum-hukum-Nya). Berikut semua devatā ada dan identik dengan Indra Mahāttadevah Kavayanś cārunāma yaddhadevabhavātha viśve indre, sakharbhubhih puruhūta priyebhir imām dhiyam sātaye takstā nah. Rgveda III.54.17. (Itulah Dia, Oh Para Mahārsi! Engkau maha agung, semua devatā menyatu di dalam Indra. Oh Sahabat, kerap kali pujalah Dia. Engkau maha suci bersama dengan Rbhu yang mengaransemennya, lagu pujian ini adalah untuk kesejahteraan kami).

43

Disebutkan pula dalam mantram yang hampir sama bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah segalanya, meresapi segalanya: Ejad druvapatyate viśvam ekam caratpatatrivisunam vijatam. Rgveda III.54.8. (Esa dalam segalanya adalah maharaja dari yang bergerak dan yang tidak bergerak, yang berjalan atau yang terbang dalam multi Wujud ciptaan-Nya). Esa dalam segala-Nya, Viśvam Ekam, menunjukkan tanpa jenis kelamin, netral, Maha suci yang meliputi segala esensi. Dengan demikian semua deva ada dalam Yang Maha Esa, Yang Maha Esa dalam berbagai aspek atau penampakan-Nya yang Maha Esa, Yang Maha Esa dalam berbagai aspek atau penampakan-Nya yang suci. Viśvadevah (deva-deva yang beraneka) adalah Ekodevah (Tuhan Yang Maha Esa) yang makna sama, Esa. Sesungguhnya Ia Yang Maha Esa adalah esensi segalanya ( ekam). Pernyataan yang sama juga dijelaskan dalam petikan mantram berikut: Mahād devānām asuratvam ekam Rgveda III.55.1. (Maha Esa dan Maha Agung adalah yang tunggal gemerlapan). Berdasarkan kutipan mantram-mantram Veda di atas, jelaslah bagi kita bahwa Ketuhanan dalam Veda adalah Maha Esa. Kini timbul pernyataan, mengapa deva-deva dalam deva tidak nampak perannya baik dalam upacara pemujaan di India maupun di Bali. Berdasarkan pengamatan, hanya Sampradaya (perguruan Agama) Arya Samaj saja yang memuja deva-deva dalam Veda melalui upacara Veda yang penting yakni Agni Hotra. Deva-deva Veda menurut pandangan Arya Samaj berdasarkan kutipan mantram-mantram Veda di atas, tidak lain adalah nama-nama atau aspek-aspek Tuhan Yang Maha Esa, pada intinya Ketuhanan dalam Veda adalah Monotheism.

44

Seperti telah diuraikan di atas, deva-deva yang sangat dominan dipuja dalam Veda adalah Agni, Vayu dan Surya kemudian dalam perkembangannya, seperti dapat kita jumpai dalam kitab-kitab Purana, deva-deva tersebut digantikan, diambil alih kedudukannya atau diidentikan dengan deva-deva Tri Marti, yakni Agni diidentikan dengan Brahmā, Indra dan Vāyu diidentikan dengan Visnu dan Surya ketiga deva-deva Tri Mūrti ini merupakan UdbhavaNya atau manifestasi utama-Nya. Deva-deva Tri Mūrti ini yang menggantikan peranan deva-deva dalam Veda, sehingga deva-deva Veda itu tidak banyak lagi

dipuja

dalam

perkembangan

berikutnya.

Deva-deva

Tri

Mūrti

digambarkan sebagai Personal God (Tuhan Yang Berpribadi). Brahmā, Śakti-Nya Sarasvatī, Visnu, Śaktinya Śri dan Laksmī dan Śiva dengan Umā dan Parvatī. Masing-masing deva-deva Tri Mūrti ini turun untuk menyelamatkan umat manusia sebagai Awatara, di antaranya Brahmā sebagai Baladeva Visnu sebagai Śri Krsna (dan Avatara-avatara lainya), Śiva sebagai Agastya dan lain-lain. Śiva dipuja dengan putra-putra-Nya seperti Ganeśa, Kāla, Kumara, Skanda atau Subramanyam dan lain-lain. Di dalam kitab-kitab Purāna dalam rangka memantapkan bhakti umat manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa, manifestasi utama-Nya, masingmasing Brahmā disebut dengan ribuan nama-Nya (Brahma Sahasranāma), Visnu dengan ribuan nama-Nya (Visnu Sahasranāma), Śiva dengan ribuan nama-Nya (Śiva Sahasranāma) Durgā atau Lalitā dengan ribuan nama-Nya (Lalitā

Sahaaranāma)

sesungguhnya

dan

merupakan

lain-lain. sifat,

Nama-nama

sikap,

karunia

atau

atau

abhiseka-Nya,

kasih-Nya

yang

diharapkan dan didambakan oleh setiap umat manusia. Pemberian atau persembahan

nama

sesuai

dengan

sifat-sifat-Nya

yang

maha

luhur,

memantapkan keimanan (Śraddhā) umat kepada-Nya. 3. Usaha dan Sarana untuk Memuja-Nya 45

Di atas telah dijelaskan bahwa umat manusia, sebagai ciptaan-Nya hendaknya

senantiasa

mendekatkan

diri

kepada-Nya.

Jalan

untuk

mendekatkan diri itu disebut mārga atau yoga, yang jumlahya empat sehingga disebut Catur Marga, Catur Yoga atau Catur Yoga Marga. Selanjutnya sarana untuk

memuja-Nya

bentuknya

bermacam-macam,

di

antaranya

untuk

membayangkan-Nya dibuat pratika, cihnam laksanam, lihgam, samjnā, pratitūpa (Apte, l987:460), di samping itu secara umum dikenal pula istilah: arca, pratima, prativimba, Nyāsa, mūrti dan lain-lain, yang mengandung makna bentuk-bentuk perwujudan-Nya. Di samping itu juga dikenal adanya Tirtha dan Ksetra, yakni mata air, tepi sungai atau tepi laut dan daratan yang memiliki potensi sebagai tempat kemunculan kekuatan suci. Kekuatan suci ini mendukung kawasan itu menjadi suci, yang menjadikan tempat itu menjadi menarik, sangat menyolok atau menumental yang memberikan semangat yang tinggi kepada yang memiliki perhatian kepada orang-orang yang langsung datang dan konsentrasi (meditasi) di kawasan tersebut. Pada tempat-tempat itu ’para dewa terlihat bercengkrama’ (Kramrich, l991:3). Di Bali kawasan tertentu seperti Besakih, Tanah Lot, Uluwatu, Sakenan, pantai Klotok, Tirtha Empul, Tampak Siring dan lain-lain adalah merupakan kawasan suci, yang sejak jaman purba telah terpelihara kesuciannya. Sarana memuja Tuhan Yang Maha Esa, para devatā dan roh-roh suci para rsi dan leluhur adalah pura, mandira, kuil, kahyangan dan lain-lain. Pura seperti halnya meru atau candi (dalam pengertian peninggalan purbakala kini di Jawa) merupakan symbol dari kosmos atau alam sorga (kahyangan), seperti pula diungkapkan oleh Dr. Soekmono pada akhir kesimpulan disertasinya yang menyatakan bahwa candi bukanlah sebagai makam, maka terbukalah suatu perspektif baru yang menempatkan candi dalam kedudukan yang semestinya (sebagai tempat pemujaan, pura). Secara sinkronis candi tidak lagi terpencil dari hasil-hasil seni bangunan lainnya yang sejenis dan sejaman, dan 46

secara diakronis candi tidak lagi berdiri di luar garis rangkaian sejarah kebudayaan Indonesia (1974:242). Kesimpulan Soekmono ini tentunya telah menghapus pandangan yang keliru selama ini yang memandang bahwa candi di Jawa ataupun Pura di Bali sebagai tempat pemakaman para raja, melainkan sebagian pura di Bali adalah tempat suci untuk memuja leluhur yang sangat berjasa yang kini disebut padharman. Untuk mendukung bahwa Pura atau tempat pemujaan adalah replika kahyangan dapat dilihat dari bentuk (struktur), relief, gambar dan ornament dari sebuah pura atau candi. Pada bangunan suci seperti candi di Jawa kita menyaksikan semua gambar, relief atau hiasannya menggambarkan mahluk-mahluk sorga seperti arca-arca dewatā, vahana dewatā, pohon-pohon sorga (parijata, dan lain-lain), juga mahluk-mahluk

suci

Vidyādhara-Vidyādhari,

dan

Kinara-Kinarī,

yakni

seniman sorga, dan lain-lain. Sorga atau kahyangan digambarkan berada di puncak gunung Mahameru, oleh karena itu gambaran candi atau pura merupakan replika dari gunung Mahameru tersebut; penelitian Soekmono maupun tulisan Drs. Sudiman tentang candi Lorojonggrang (l969:26) memperkuat keyakinan ini. Berbagai sumber ajaran Hindu sejak kitab suci Veda sampai susastra Hindu mengungkapkan tentang kahyangan, pura atau mandira, untuk itu kami kutipkan penjelasan tentang hal tersebut, di antaranya sebagai berikut: Prāsādam yacchiva śaktyātmakam tacchaktyantaih syādvisudhādyaistu tatvaih śaivi mūrtih khalu devālayākhyetyasmād dhyeyā prathaman cābhipūjyā. Īśanaśivagurudevapaddhati, III.12.16. (Pura dibangun untuk memohon kehadiran Sang Hyang Śiva dan Śakti dan Kekuatan/Prinsip Dasar dan segala Manifestasi atau Wujud-Nya, dari element hakekat yang pokok, Prthivī sampai kepada Sakti-Nya. Wujud konkrit (materi) Sang Hyang Śiva merupakan sthana Sang Hyang Vidhi. Hendaknya seseorang melakukan perenungan dan memuja-Nya). 47

Di samping hal tersebut, dengan memperhatikan pula praktek upacara yang masih tetap hidup dan terpelihara di Bali maupun di India, yakni pada saat menjelang upacara piodalan (di India disebut abhiseka), para devatā dimohon turun ke bumi, di Bali disebut “nuntun atau nedunang Ida Bhattāra”, di India disebut Avahana, sampai upacara persembahyangan dan mengembalikan-Nya

kembali

ke

kahyangan

sthana-Nya

yang

abadi

menunjukkan bahwa pura adalah replika dari kahyangan atau sorga. Demikian pula bila kita melihat struktur halaman pura menunjukkan bahwa pura adalah juga melambangkan alam kosmos, jaba pisan adalah alam bhumi (bhūrloka), jaba tengah adalah bhuvahloka dan jeroan adalah svahloka atau sorga. Khusus pura Besakih secara keseluruhan melambangkan saptaloka (luhuring ambal-ambal) dan saptapatala (soring ambal-ambal). Tidak sembarangan tempat dapat dijadikan tepat untuk membangun pura, dalam tradisi Bali (termuat dalam beberapa lontar) menyatakan tanah yang layak dipakai adalah tanah yang berbau harum, yang “ gingsih” dan tidak berbau busuk, sedangkan tempat-tempat yang ideal untuk membangun pura, adalah seperti disebutkan pada kutipan dari Bhavisya Purāna dan Brhat Samhitā, yang secara sederhana disebut sebagai “ hyang-hyangning sāgaragiri”, atau “sāgara-giri adumukha”, tempatnya tentu sangat indah di samping vibrasi kesucian memancar pada lokasi yang ideal tersebut. Pura atau disebut juga Kahyangan adalah replika atau bentuk tiruan dari Kahyangan tempat/sthana sejati Tuhan Yang Maha Esa dengan berbagai manifestasinya di Sorga Loka. Penggambaran Sorga atau Kahyangan yang sangat indah dapat dijumpai dalam berbagai kitab Itihāsa dan Purāna. Di dalam Itihāsa seperti Rāmāyana dan Mahābhārata, juga dalam berbagai kitab Purāna digambarkan bahwa Kahyangan itu sangat indah. Dewa Viśvākarma adalah arsitek Agung Kahyangan, beliau disebut sebagai dewa para seniman 48

(the God of Artist). Sorga yang demikian indah diturunkan ke bumi berupa Gunung Suci seperti Himalaya, sthana Gauri (Dewi Uma) dan Samkara (Sankara atau dewa Śiva), puncak Gunung Kailasapun diyakini sebagai sthana dari dewa Śiva. Oleh karena gunung diyakini sebagai sthana suci, maka pura pun harus dibuat sedemikian indah dengan konsepsi Segara Giri bila pura dibangun dilereng Gunung, di harapkan kelihatan laut, sebaliknya bila pura dibangun ditepi pantai, diharapkan pula supaya puncak gunung kelihatan. Tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa tidak saja di lereng gunung atau di tepi pantai, di tengah-tengah desa atau sawah, hutan atau tempattempat yang lain yang dipandang telah memenuhi syarat-syarat untuk itu seperti misalnya tanahnya berbau harum dan sebagainya, dapat dibangun sebuah pura. Mengingat bahwa pura adalah replika Kahyangan, maka pura itu harus suci dan indah, memfungsikan pura dilakukan dengan upacara Pemelaspas, “mepedagingan” atau upacara yang paling sederhana berupa “Ngambe” di samping melarang mereka yang tidak patut memasuki pura, seperti wanita dalam keadaan haid, karena kematian, melahirkan, keguguran kandungan, membawa jenazah ke pura, ada pertumpahan darah di pura dan sebagainya, semuanya itu dalam ajaran agama Hindu disebut Cuntaka. Orang yang sedang Cuntaka dilarang memasuki pura. Bila terjadi pelanggaran, maka pura tersebut harus disucikan kembali. Untuk membuat pura itu indah, maka bangunan pura harus memenuhi aturan untuk itu yang tertuang dalam Asta kosala-kosali dan Astabhumi (Arsitektur Tradisional Bali). Demikianlah berbagai ukiran, ornamentasi baik jenis fauna ataupun flora atau kombinasi keduanya senantiasa menghiasi sebuah pura. Sejak seseorang mulai masuk dari Candi Bentar, menuju Kori Agung sampai Jeroan, sesungguhnya seperti menuju Sorga, atau seseorang menuju Puncak Gunung. Candi bentar adalah pangkal gunung, Kori Agung 49

adalah lereng gunung dengan Bhoma sebagai hutan yang lebat yang harus dilewati dengan berbagai binatang buasnya. Jeroan pura adalah puncak gunung yang maha suci. Sang Hyang Widhi bersthana di Padmasana, para dewa bersthana di meru-meru sesuai dengan tingkatan manifestasinya, bahkan para Devata yang tidak dibuatkan tempat (tidak memiliki Meru atau Gedong) pada waktu upacara besar berlangsung, Beliau di sthanakan pada bangunan sementara yang disebut Dangsil. Oleh karena Sang Hyang Widhi, para Devatā manifestasi-Nya serta leluhur adalah Mahasuci, maka seseorang yang akan sembahyang terlebih dahulu harus mensucikan diri lahir dan batin. Pada saat upacara Sang Hyang Widhi, para Devatā dan Roh Suci Leluhur, dimohon untuk hadir, sebagai tamu Agung yang patut menerima persembahan umat balk berupa sesajen (makanan dan rninuman yang lezat) bhusana, tari-tari wali, lagu kidung wargasari, tabuh gamelan (gong) lelambatan, suara kentongan bertalu dan bau dupa/kemenyan yang dibakar akan

membantu

mewujudkan

kescuian

itu.

Umat

sangat

berbahagia

mempersembahkan yang terbaik miliknya dan selanjutnya umat mohon waranugraha berupa air suci kehidupan (Tirtha Amrta) dan bija sebagai simbolis benih-benih kebajikan. Sarana pemujaan lainnya adalah berupa bangunan seperti: Dangsil (meru sementara memakai atap janur atau daun aren yang dihiasi indah), Sanggar Tawang (altar dari bambu sebagai sthana Sang Hyang Surya, Saksi Agung Alam Semesta), Jempana (sarana mengusung arca/pratima atau daksina palinggih), umbul-umbul dan Pengawin dan lain-lain. Sarana lainnya adalah berupa upacara atau sesajen persembahan dari yang sangat sederhana sampai yang besar tergantung kemampuan dan keikhlasan umat untuk mempersembahkan. Untuk menyampaikan persembahan tersebut diatas, dipergunakan berbagai sarana seperti arca, pura, kelengkapan upacara persembahan dan 50

lain-lain.

Untuk menyampaikan

hal

tersebut

umat

Hindu melakukan

pemujaan. Puja adalah istilah umum bagi pemujaan ritual, disitu terdapat sejumlah persamaan seperti arcana, vandana, bhajana dan sebagainya. Walaupun beberapa di antaranya menekankan pada aspek-aspek tertentu, obyek pemujaan adalah Īstadevatā atau devata dalam Wujud tertentu dari manifestasi-Nya, di antaranya yang populer adalah Śiva, Visnu, Brahmā, Sarasvatī dan lain-lain. Kadang-kadang para penyembah memilih kuladeva atau kuladevi-Nya yaitu para keluarga dewa atau dewi sebagai sasaran pemujaannya. Kadang-kadang Īstadevatā dipilihkan oleh guru atau pengajar spritualnya. Kadang-kadang, mereka sendiri memilih Īstadevatā yang paling berkenan pada mereka. 4. Rangkuman Tuhan yang maha esa dengan sub sradha dan bhakti, brahma widya dan usaha sarana dalam memujanya. Dalam konsep ini dijelaskan tentang cara menumbuhkan keyakinan atau kepercayaan bahwa tuhan itu betul-betul ada di dunia ini, dipaparkan melalui sloka-sloka yang ada dalam kitab-kitab suci agama hindu juga dibantu oleh kitab-kitab umum yang sudah diakui keberadaannya oleh masyarakat luas. Sesudah kita bisa meyakini akan keberadaan Tuhan itu dapat diwujudnyatakan lewat pengamalan dari ajaran sradha, yaitu Bhakti yang bersifat universal. Dalam konsep brahma widya yang menjelaskan tentang ilmu ketuhanan dalam agama hindu yang bersifat personal god dan impersonal god. Kedua sifat tuhan (ISWW) ini sudah diuraikan dalam kitab-kitab suci agama hindu dan berdasarkan realitas yang ada dalam kehidupan sehari-hari, seperti yang selalu diusahakan oleh umat hindu dalam memuja tuhan dalam menetapkan diri dengan Tuhan melalui sistem catur marga yoga dengan bantuan berbagai macam sarana / media untuk mendekatkan diri dengan Tuhan, termasuk dalam pengamalannya. 5. Daftar Pustaka 51

Bowes, Pratima, “The Hindu Religious Tradition: A Philosophical Approach”, Allied Pub., 1976. Drs. I Ketut Subangiasta, M.Si,D.Phil. Teologi, Filsafat, Etika, dan Ritual dalam Susastra Hindu.Surabaya:Paramita 2006. Drs. I Ketut Wiana, M. Ag. Sembahyang Menurut Hindu. Surabaya: Paramita 2006. Falsafat-Etika-Puja Buddha Dharma dan Hindu Dharma. Surabaya. 2006 Ketut, I Subagiasta. Teologi, Filsafat, Etika, dan Ritual Dalam Agama Hindu. Surabaya; Paramita 2006 Ketut, I Wiana. Sembahyang Menurut Hindu. Surabaya; Paramita. 2006 Nyoman, I Suarka. Ketuhanan Bali. Surabaya: Paramita. 2005 I Ketut Subangiasta. Teologi, Filsafat, Etika, dan Ritual dalam susastra Hindu.Surabaya. 2004 I Ketut Subangiasta. Teologi, Filsafat, Etika, dan Ritual dalam susastra Hindu Surabaya. 2003 Pt. Kisanlal Sharma. Alih : I Wayan Punia, Mengapa? Tradisi Dan Upacara Hindu. Surabaya: Paramita 2007. BAB II MANUSIA DALAM SUSASTRA HINDU A. Kompetensi Dasar Mampu memahami dan menjelaskan manusia dakam susastra hindu yang terkandung dalam konsep dan hakekat manusia hindu termasuk didalamnya martabat serta tanggungjawab yang berkaitan dengan orang-orang suci. B. Indikator 1. Menjelaskan konsep manusia hindu 52

2. Menjelaskan hakikat manusia hindu 3. Menjelaskan martabat manusia hindu 4. Menguraikan tanggungjawab manusia sebagai ciptaannya 5. Menjelaskan dan menyebutkan orang suci dan awatara C. Materi Kajian tentang Hakikat Manusia Hindu dari beberapa kitab Susastra Hindu untuk mengetahui sama pentingnya badan jasmani dan rohani sehingga terwujud kedamaian rohani dan kesejahteraan hidup jasmani sebagai tujuan dari agama Hindu. Pada dasarnya hakikat manusia terjadi dari 25 tattwas/prinsip seperti disebutkan dalam Samkhya Darsana. Sehingga aspek-aspek langsung ataupun tidak langsung yang mengindikasikan tentang konsepsi harkat-martabat sebagai manusia Hindu yang Mendorong terbentuknya rasa tanggungjawab secara vertikal (dalam hubungannya dengan Tuhan). dan horizontal (dengan hidup sesama insan manusia serta makhluk hidup lainnya) sesuai dengan amanah Maharsi sebagai penerima wahyu suci Veda atau orang-orang suci yang sangat besar jasanya terhadap penyebaran dan pembinaan agama Hindu. 1. Konsep Manusia Hindu Pembicaraan tentang manusia dalam konteks agama dan kebudayaan senantiasa menarik di kalangan para ahli, baik dalam konteks dirinya sebagai subjek

pengamat/peneliti

(knower)

maupun

sebagai

objek

yang

diamati/diteliti (known). Di samping itu, manusia juga merupakan mahluk yang secara dinamis dan penuh kesadaran membentuk dan sekaligus dibentuk oleh suatu system nilai hidup dan kehidupan ciptaannya sendiri, sehingga manusia merupakan subjek sekaligus objek kebudayaan itu sendiri. Kesadaran dan kelebihan akal budi yang dimiliki manusia inilah membedakan sekaligus menempatkan manusia sebagai mahluk yang paling tinggi di antara mahluk hidup lainnya. Karena itu oleh para ahli manusia disebut dengan berbagai 53

nama seperti homo sapiens (mahluk berakal pikiran), homo socius (mahluk sosial), homo ludens (mahluk bermain), sedangkan ahli bahasa (linguis) menyebut manusia sebagai animal symbolicum (mahluk pencipta sekaligus pengguna tanda bahasa), bahkan tak berlebihan jika dari sudut pandang religi manusia dikatakan sebagai homo religious (mahluk yang berkeyakinanKetuhanan). Dalam pandangan Hindu (terutama berdasarkan Veda), istilah manusia (manusya), secara etimologis berasal dari bahasa Sansekerta, yakni kata manu (berarti ‘pikiran’) + sya bentuk genetif yang menyatakan arti: ‘milik’ atau sifat yang dimiliki kata benda yang dilekatinya). Dengan demikian secara harfiah kata manusya/manusia berarti: (ia) yang memiliki pikiran atau ‘(ia) yang senantiasa berpikir dan menggunakan akal pikirannya’. Pengertian ini dapat dikaitkan dengan pandangan filsafat bahasa Ludwig Wittgendtein yang menyatakan, bahwa kata/bahasa adalah logika, sehingga secara konsepsional dapat kita pahamkan bahwa dalam kata manu atau manusia tersebut pada dasarnya telah terumuskan tentang makna hakiki dari jenis mahluk hidup yang bernama manusia: berpikir dengan akal pikirannya (manah). Berpikir merupakan perwujudan dari tindakan sadar mengada

(eksistensi)

dari

manusia

sebagai

subjek

pengada

yang

berkesadaran, karena itu kepastian pertama dari eksistensi manusia menurut Rene Descartes adalah “Cogito, ergo sum” (Saya berpikir, maka saya ada); dan selanjutnya dinyatakan dengan: “Cogito, ergo sum cogitans” yang maksudnya, Saya berpikir, maka saya adalah pengada yang berpikir, yaitu eksistensi dari budi, sebuah substanmsi sadar (Gallagher, 1994:33-34). Dalam kitab Veda disebutkan (dan selanjutnya dijelaskan dalam kitab Upadesa), bahwa manusia pertama dalam konsepsi Hindu adalah manu atau Swayambu-Manu (Mahluk berpikir yang menjadikan dirinya sendiri). Dari konsepsi (lingual dan filosofis) ini maka dalam system kodifikasi Veda kita 54

mengenal Manu sebagai maharsi pertama yang menuliskan (sabda suci/wahyu yang diterima) tentang hukum Hindu (dharma) berdasar ingatan pikirannya sehingga kitab hukum tersebut dikenal dengan nama Manusmrti atau Manawadharmasastra (kitab hukum Hindu dari Manu). Berkenaan dengan itu, maka Hindu beranggapan bahwa semua umat yang bernama manusia adalah keturunan dari Manu (mahluk berpikir). Pemahaman dan penjelasan tentang sejarah para manu secara mitologis diuraikan dalam kitab-kitab Purana, yag secara substansial membicarakan 5 topik besar, yaitu (1) Sarga, penciptaan semesta, (2) Pratisarga, penciptaan segala isi semesta, (3) Manvantara, riwayat penciptaan dan keturunan Manu. (4) Vamsa, riwayat dinasti Candra dan Surya, dan (5) Vamsanucarita, riwayat hidup raja-raja dari dinasti Candra dan Surya (Tejomayananda, 1994:l58). Dari konsep-konsep ini dapat dipahami bahwa secara dasariah manusia makhluk rasional karena berpikir dengan akal (budi) pikiranya. Akal budipikiran

yang

dimilikinya

itu

merupakan

dasar

yang

penting

dalam

pengembangan wiweka yakni kemampuan akal-pikiran rasional untuk mempertimbangkan sesuatu secara arif. Karena itu secara konseptual manusia Hindu adalah manusia yang mampu mengembangkan dan mengedepankan daya pikir dan pikiran rasional (manah) untuk menjadikan dirinya sendiri sebagai manusia (Swayambu-manu) dalam tatanan hidup dan kehidupan ini. 2. Hakikat Manusia Hindu Dalam melihat manusia Hindu sebagaimana halnya manusia pada umumnya maka hal pertama yang menjadi perhatian kita adalah badan (tubuh) dan jiwanya. Kesatuan yang utuh dan kompleks dari badan-jiwa dalam mahluk yang bernama manusia ini menjadikan ia sebagai pribadi yang secara psiko-fisik terus berkembang secara dinamis, baik di dalam dirinya (substansi) maupun di dalam alam lingkungannya) dilihat dari sudut pandang 55

filsafat manusia maka tubuh sebagai res extens yakni aktualisasi keluasan substansi semesta, sedangkan jiwa adalah res cogitans (perwujudan substansi berpikir). Realitas manusia sebagai pribadi yang memiliki badan jasmani dan jiwa telah membuka beberapa pemikiran dalam pandangan filsafat manusia, misalnya pandangan materialisme (seperti dianut kaum Carvaka di India) menganggap bahwa badan jasmani lebih bernilai (penting) daripada jiwa. Sebaliknya, pandangan spiritualisme beranggapan bahwa jiwa jauh lebih bernilai (penting) dibandingkan badan jasmani. Akan tetapi dalam pandangan Veda (Hindu), baik badan jasmani maupun jiwa memiliki hakikat yang sama pentingnya: jiwa-atma dapat menjadi dasar dalam pemahaman badan jasmani (wadag) atau dapat juga sebaliknya. Bidang yang mengkaji hakikat badan jasmani

manusia

Hindu sebagai

res extensa

dari substansi semesta

(makrokosmos) adalah Mayatatwa (filsafat kebendaan, pradhana, maya), sedang bidang yang mengkaji hakikat jiwa-atma sebagai res cogitans dari substansi berpikir adalah Purusatatwa atau Adipurusatatwa (filsafat nonkebendaan, purusa). Pembicaraan baik dari segi Mayatatwa dan Purusatatwa terhadap hakikat badan jasmani dan jiwa-atma manusia yang pada dasarnya merupakan sebuah cara pemahaman yang esensial kosmologi Hindu (Veda). Secara kormologis, manusia (yang berupa kesatuan jiwa-badan jasmaninya) yang sering disebut mikrokosmos (bhuwana alit, jagat cilik) adalah perwujudan dari (res extensa dan res cogitans) substansi semesta atau makrokosmos (bhuwana agung jagad gede). Dengan demikian, eksistensi dan hidup manusia di dunia ini adalah satu-kesatuan kosmos/kosmis, maksudnya bahwa

pernahaman

tentang

hakikat

manusia

(nilai

manusia

dan

kemanusiaannya) tidak saja terkait dengan diri pribadi manusia di dalam umat manusia umumnya, akan tetapi berkaitan pula dengan mahluk-mahluk hidup lainnya, bahkan tidak terpisahkan dengan realitas seisi semesta raya ini. 56

Ajaran Samkhya Darsana sebagai Salah satu cabang filsafat Veda yang bersifat dualistik-analisis rupanya dapat membantu menjelaskan hakikat badan-jiwa

atau

purusa-prakerti

(pradhana)

atau

cetana-acetana

yang

selanjutnya menjadi pokok kajian bagi bidang Mayatatwa dan purusatatwa. Menurut Samkhya bahwa hakikat manusia dan alam semesta terdiri dari dua unsur, yaitu: Purusa, asas Kejiwaan (Rohani) dan Prakrti, asas badani (material/badani). Selanjutnya kedua unsur ini, terutama setelah Purusa bertemu dengan Prakrti, berkembanglah Prakrti itu sebagai unsur penyusun tubuh manusia maupun alam semesta, yang keseluruhannya terdiri dari 25 prinsip (Tattwas) sebagai berikut:

Keterangan : 1. Purusa

: Unsur rohani, spiritual, jiwa-atma.

2. Prakrti

: Unsur badani, materi, material, jasmaniah 57

3. Buddhi

: Kesadaran, kecerdasan, inte1ek

4. Ahamkara

: Ego, rasa aku (keakuan).

5. Manah

: Pikiran, rasio.

(6-10) Panca Buddhindriya (lima indria untuk mengenal/mengetahui) 6. Cakswindriya

- indriya pada mata.

7. Śrotendriya

- indriya pada telinga.

8. Ghraijendriya

- indriya pada hidung.

9. Jihvendriya

- indriya pada lidah.

10. Tvakindriya

- indriya pada kulit.

(11-15) Panca Karmendriya (Lima indria pelaku/penggerak). 11. Panindriya

- indriya pada tangan.

12. Pādendriya

- indriya pada kaki.

13. Garbhendriya

- indriya pada perut.

14. Upastendriya

- indriya pada kelamin pria

Bhagendriya 15. Payvindriya

- indriya pada kelamin wanita. - indriya pada pelepasan (anus).

(16-20) Pañca Tanmātra (Lima macam sari, benih, tak terukur). 16. Śabda tanmātra

(benih/sari suara)

17. Sparsā tanmātra

(benih/sari rabaan)

18. Rilpa tanmātra

(benih/sari warna)

19. Rasa tanmātra

(benih/sari rasa)

20. Gandha tanmātra

(benih/sari bau/penciuman)

(21-25) Panca Mahābhūtha (lima unsur kasar) 21. Ākāśa

(ether atau wang)

58

22. Vāyu

(udara, hawa, atmosir)

23. Teja

(api)

24. Āpah

(air)

25. Prtiwī

(tanah)

Ada pula yang menyebutkan bahwa Vakindriya yaitu indria pada mulut termasuk

kelompok

Panca

Karmendriya.

Indriya

ini

pengganti

dari

Garbhendriya. Manas, di samping berkedudukan sebagai anggota dari Tri Antahkarana, juga ia berkedudukan sebagai Rājendriya yaitu raja dari indriya, karena semua indriya itu berpusat pada pikiran manusia. Indriya-indriya itu semuanya tak dapat diamati, akan tetapi berada pada alat-alatnya yang tampak. Sthūla Śarira, Raga Śarira yang terjadi dari Panca Tanmatra atau Panca Mahabhuta itu uraiannya adalah sebagai berikut: 1. Tulang belulang, otot, daging dan segala yang padat sifatnya terjadi dari gandha atau prtiwi. 2. Darah, lemak, kelenjar, empedu, air badan dan segala yang cair sifatnya terjadi dari rasa atau apah. 3. Panas badan, sinar mata dan segala yang panas dan bercahaya sifatnya terjadi dari rupa atau teja. 4. Napas dan udara dalam badan sifatnya terjadi dari sparsa atau vayu. 5. Rongga dada, rongga mulut dan segala rongga lainnya terjadi dari sabdha dan akasa Dalam hubungannya dengan Sthūla Śarira/badan kasar manusia disebutkan adanya unsur-unsur sebagai berikut: Sad Kośa yaitu 6 lapis pembungkus yang terdiri dari: 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Asti/tavulan Odvad Sumsum Mamsa Rudhira Carma

-

tulang otot susum daging darah kulit 59

Daśa Bayu atau Daśa Prana, yaitu 10 macam udara dalam badan manusia, yang terdiri dari: 1. 2. 3. 4. 5. 6.

Prāna Samāna Apāna Udāna Vyāna Nāga

7. Kūrmara 8. Krkara 9. Devadatta 10. Dananjaya

- udara pada paru-paru - udara pada pencernaan - udara pada pantat - udara pada kerongkongan - udara yang menyebar ke seluruh tubuh - udara pada perut yang keluar pada saat perut mengempis - udara yang keluar dari badan oleh tangan dan jari - udara pada saat bersin - udara saat menguap - udara yang memberi makan pada badan

Sedangkan yang mempunyai hubungan dengan Sūkama Śarīra/ Badan halus manusia adalah Pañca Kośa yaitu lima lapis pembungkus dari badan halus manusia, yang terdiri dari: 1. 2. 3. 4. 5.

Annamaya kośa Prānamaya kośa Manomaya kośa Vijnānamaya kośa Ānandamaya kośa

-

badan badan badan badan badan

dari dari dari dari dari

sari makanan sari nafas sari pikiran sari pengetahuan kebahagian

Badan jasmani atau tubuh mempunyai makna penting bagi jiwa-atma yang menjadi akar hidup dan dilahirkan dalam badan jasmani (badan wadag, sthula sarira) sebagai manusia dalam pandangan Hindu merupakan suatu keutamaan dan kemuliaan. Hal ini bukan saja dinyatakan dalam kitab Veda atau para Maharsi, tetapi juga oleh ahli manajemen sumber daya manusia seperti Abraham Maslow (1908-1970) yang mengatakan, bahwa manusia pada dasarnya adalah baik dan layak, bahkan mampu berbuat luhur dan mulia. Maharsi Wararuci dalam kitab Sarasamuccaya sloka 2 menjelaskan hakikat badan jasmani yang terlahirkan sebagai manusia sebagai berikut. Ri sakwhing sarwa bhūta, iking janma wwang juga wenang gumawayaken ikang çubhāçubhakarma 60

kuněng panětasakěna ring çubhakarma ikangaçubha-karma, phalaning, dadi wwang.

juga

(Diantara semua mahluk hidup hanya yang dilahirkan menjadi manusia sajalah yang dapat melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk; leburlah kedalam perbuatan baik, segala perbuatan yang buruk itu; demikianlah gunanya (pahalanya) menjadi manusia). Tubuh manusia pada hakekatnya adalah yoni dengan jiwa-atma sebagai Lingga, sehingga sering disebut dengan istilah Lingga-Sarira, padma-hredaya Padmanala atau meru-sarira. Dalam sabda suci Atharva Veda. X.2.31-34 dinyatakan sebagai berikut: Tubuh manusia adalah lambang keadaan universal. Dalam tubuh manusia terdapat kota sthana dewata, dengan 8 roda dan 9 pintu. Badan merupakan Pura bagi jiwa yang abadi, yang diterangi sinar yang luhur. Jiwa terbungkus oleh badannya sendiri, Raja seluruh alam semesta. Ia penuh rahasia dan hanya diketahui oleh mereka yang memperoleh penerangan. Berkenaan dengan kutipan sabda suci di atas, lebih jauh dalam kitab. Rg. Veda mandala 1, sukta 91.13 juga disebut sebagai berikut: Semoga Tuhan Yang Maha Esa datang dan bersemayam dalam hati yang merupakan Sthana-Nya. Semoga kami bebas menikmati pahala dari karma kami seperti sapi yang merumput dipadang hijau. Semoga kita dapat memelihara kebun kehidupan demi keagungan Tuhan Yang Maha Esa, semoga pula kita tetap menjadi abdi-Nya yang benar. Dalam kitab-kitab Upanisad dan Purana serta Kanda. Tafsir dan pemahaman tentang hakikat badan jasmani dan jiwa manusia diberi penjelasan yang lebih kritis dan mendalam. Dalam kitab Maitreyi Upanisad (2) dinyatakan: “deho devalayah proktah, sa jiva kevala sivah,” yang artinya badan itu adalah sthana-Nya para Dewa (devalaya). Dan jiwa itu sendiri adalah Siwa yang meresapi segalanya. Sementara dalam kitab Brahma Purana 228, 45 (Punyatmadja, 1993:4) disebutkan: “dharmāirthakāmamoksanam 61

sarīram sādhanam,” artinya tubuh adalah alat atau jalan dalam pelaksanaan dharma (kewajiban, kebajikan) untuk mendapatkan artha (harta benda dan kekayaan), kama (kesenangan dan kebahagiaan duniawi) dan moksa (kebebasan abadi). Dalam Brahmanda Purana juga disebutkan ungkapan yang hampir serupa, yakni: “sariram adyam khalu dharma sadhanam,” yang artinya sesungguhnya badan jasmani ini merupakan jalan utama untuk mencapai dharma (kebenaran tertinggi) dalam kehidupan. Melihat demikian pentingnya makna badan jasmani manusia Hindu, maka dalam Veda dan seluruh pengetahuan yang menjadi cabang-cabangnya senantiasa mempertegas dalam uraiannya, bahwa perawatan badan jasmani ini, baik berkenaan dengan kebersihan ini, kesehatan dan kesuciannya serta segala hal yang terkait sepatutnya terjaga dengan teratur, harmonis dan tetap kondusif. Perawatan badan jasmani teratur menurut prinsip-prinsip dharma, sistacra atau tradisi suci dianggap sebagai suatu ibadah religius, jiwa-atma yang merupakan percikan dari Parama atma (Brahma) dapat bersemayam dengan tentram di dalamnya. Hal ini dengan tegas diatur dalam kitab hukum Hindu yakni Manavadharmasastra atau Manusmrti V.109 (Pudja, 1996:311), sebagai berikut: “Adbhirgatrani suddhanyanti manah satyena suddhyati, vidhyatapobhayam bhutatma budhir jnanena suddhayanti” (Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran dibersihkan/disucikan kebenaran, jiwa-atma disucikan dengan pelajaran suci dan tapabrata, dan kecerdasan disucikan dengan pengetahuan kerohanian yang benar). Di samping itu, untuk tetap mengkondisikan kualitas badan jasmaniah yang sehat-bersih-suci, maka manusia selaku pribadi juga patut memilih dengan cermat segala makanan yang dimakan. Karena bahan dan sifat makanan

dimakan

dalam

pandangan

Upanisad

secara

apriori

akan

menentukan sifat, perilaku serta kesucian diri manusia bersangkutan. Dalam 62

kitab Taittriya Upanisad H.2.1, 7.1. disebutkan bahwa jiwa-atma di dalam badan jasmani pada dasarnya dibungkus 5 lapisan yang disebut Panca Mayakosa, yang terdiri atas: (1) Annamayakosa (Pembungkus berupa badan jasmani yang terbentuk dari makanan yang dimakan), (2) Pranamayakosa (lapisan pembungkusan berupa energi prana), (3) Manomayakosa (lapisan pembungkusan berupa pikiran), (4) Vijnanamayakosa (lapisan pembungkus berupa kecerdasan), dan (5) Anandamayakosa (lapis pembungkus berupa kebahagiaan). Karena itu bentuk dan jenis makanan apa yang dimakan (anna=makanan) secara langsung akan memberi pengaruh kepada jiwa-atma yang terbungkus di dalamnya. Atma tidak akan dapat tinggal dengan tentram di dalamnya, bahkan dapat meninggalkannya jika badan jasmani yang ditumpanginya itu telah rusak dan kacau. Namun harus disadari pula bahwa badan jasmani bukanlah tempat tinggal yang abadi, tetapi sampai batas waktu yang ditentukan pasti ditinggalkannya. Oleh karena badan jasmani merupakan tumpangan sementara bagi jiwa-atma maka, orientasi pemahaman terhadap hakikat manusia Hindu pun akhirnya terarah kepada jiwa-atma, dan selanjutnya pikiran manusia adalah dipusatkan pada jiwa-atma sebagai upaya untuk mengendalikan badan jasmani. Hal ini disebutkan secara jelas di dalam kitab Bhagavad Gita III.4043 (Pudja, 1984:93-95) disabdakan sebagai berikut: Indriyāni mano budhir asyādhisthānam ucyate, etair vimohayaty esa jnānam āvritya dehinam. (IH.40) Tasmāt tvam indriyāny ādau niyamya bharatamabha, pāpmānam prajahi hy enarh jnāna-vijnāna-nāśanam. (III.4l) indriyāni parāny āhur idriyebhayah param manah, 63

mananas tu parā budhir yo buddeh paratas tu sah. (III.42) evam buddeh param buddhvā samstabhyā Ymānam ātmanā, jahi śatrum mahā-bāho kāma-rūpam durāsadam. (III.43) (Panca indria hati dan pikiran adalah kendaraan baginya; dengan tertutupnya ilmu pengetahuan rohani olehnya (indriya) menyebabkan bingungnya jiwa/atma dalam badan jasmani). (Karena itu, pertama-tama kendalikanlah panca indriamu dan basmilah nafsu yang penuh dosa, perusak segala ilmu pengetahuan rohani dan kebajikan, wahai Arjuna yang baik). (Orang mengatakan pañca indria itu lebih besar dari pada badan, lebih besar dari padanya adalah nurani, lebih besar dari nurani adalah intelek, tetapi lebih besar dari intelek adalah Dia (ātman)). (Jadi dengan mengetahui Dia sebagai lebih agung dari kecerdasan, dengan mengendalikan sang diri dengan sang Diri, basmilah musuhmu dalam wujud hawa nafsu yang sulit ditundukkan, wahai Mahābāhu). Dari ke-4 seloka Bhagavad Gita di atas kita dapat menarik suatu pemahaman berkenaan dengan hakikat jiwa-atma dan badan jasmani sebagai tempat melekatnya indria-indria dan pikiran. Pada hakekatnya badan jasmani adalah

yang

paling

rendah,

kemudian

indria-indria

yang

merupakan

kendaraan pikiran, selanjutnya pikiran yang merupakan rajanya indria dan yang paling penting adalah jiwa-atma. Badan jasmani sama saja artinya dengan benda mati umumnya jika jiwa-atma telah meninggalkannya. Karena itu, maka pikiran selaku rajanya indria haruslah mampu mengendalikan indria-indria pada badan yang dilekatinya, dan pengendalian pikiran diatas 64

indria-indria dan badan jasmani harus dipusatkan kepada jiwa-jiwa dan Atma (Tertinggi). Badan jasmani dan indria-indria manusia yang terkendalikan oleh pikiran yang terpusat kepada jiwa-jiwa dan Atma akan menjadikan hidup dan kehidupan manusia itu bernilai, yakni: tercapainya duniawi (jagadhita) dan kebebasan abadi (moksa). 3. Martabat Manusia Hindu Dari Zaman yang silam hingga saat ini segenap ahli dalam berbagai bidang ilmu terlebih dalam bidang Agama dan kebudayaan bahkan seluruh umat manusia di muka bumi telah sepaham dan sependapat, bahwa sesosok mahluk hidup yang bernama manusia adalah mahluk yang memiliki harkat martabat paling tinggi di antara segala jenis mahluk hidup di jagad raya ini. Ungkapan pernyataan umum ini (common sense) dengan gamblang dapat dilihat dalam berbagai pustaka ilmiah, susastra, mitologi, ataupun berbagai kitab Suci Keagamaan dan Kepercayaan yang ada, termasuk di dalam sabda Suci Veda. Pemahaman akan tingginya martabat manusia itu bagi manusia modern kini yang pada dasarnya sudah melek baca tulis (litracy) telah menjadi suatu arus

kesadaran

(mentalitas)

yang

tercermin

dalam

berbagai

aspek

aktivitasnya; dan indikasinya dengan cepat dapat diketahui. Misalnya: (a) tingkat pendidikan dan wawasan pengetahuan yang dimiliki, (b) profesi atau bidang pekerjaan dan tingkat sosial-ekonomi, (c) peran dan kedudukan dalam hidup sosial-kemasyarakatan-kemanusiaan, (d) keimanan dan ketaqwaan, serta hidup keberagaman. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan upaya pemahaman tentang harkat-martabat manusia Hindu di masa lalu, yang mungkin diungkapkan hanya dari sumber-sumber tertulis yang terbatas. Sementara bagi manusia Hindu di masa kini yang umumnya telah mengenal system pendidikan modern 65

pemahaman akan martabat kemanusiaannya merupakan sebuah perpaduan antara konsepsi harkat-martabat manusia yang diadopsi dari dunia Barat. Berdasarkan pandangan Veda secara awam dapat dikemukakan di sini, bahwa aspek-aspek yang

langsung ataupun

tidak langsung dianggap

mengindikasikan dan merepresentasikan tentang rumusan (konsepsi) harkatmartabat manusia Hindu: (a) jati (kelahiran), (b) dharma (kewajiban hidup), kebenaran, serta kedudukan dan peran sosial-kemasyrakatan-keagamaan), (c) Warna Kasta (profesi/bidang pekerjaan), (d) Karma (secara luas melingkupi: Manacika, Wacika, Kayika), (e) guna (yang dapat berupa: guna Satwa, Rajas, Tamas), (f) tingkat kebrahmacaryan dan Wawasan pengetahuan (Vedajna, Wedaparaga Sastrajna, Gunawan), (g) tingkat keimanan dan kerohaniawanan (Sradham, Satyam). Jati (kelahiran) seperti telah disinggung dalam uraian di atas di satu sisi dapat menjadi indikasi pertama yang menentukan harkat-martabat yang tinggi seorang manusia Hindu. Misalnya, orang yang merupakan kelahiran dari Sorga salah satunya dapat dilihat bahwa di dunia ia akan menikmati hidup baik, keluarga terhormat, dan kekayaan yang berlimpah. Akan tetapi dari sisi lain, jati bisa nirmakna sama sekali bagi martabat seseorang, seperti dikatakan Mahrsi Kautilya (Titib, l996:l5). Apa gunanya lahir dikalangan keluarga terhormat tetapi tidak memiliki pengetahuan suci. Walaupun seseorang lahir dari keluarga rendah, tetapi ia terpelajar, memiliki pengetahuan suci, dan bijaksana, patutlah ia dihormati seperti dewa. Dari kutipan di atas kita dapat melihat bahwa memiliki pengetahuan suci, terpelajar dan bijaksana jauh lebih bernilai daripada sekedar kelahiran pada keluarga terhomat untuk menentukan martabat kemanusiaan seorang manusia Hindu bagi mereka yang berkelahiran dari warna kasta rendah sekalipun. Dalam kaitan itu, jati secara langsung akan berkenaan dharma 66

sekaligus warna seseorang. Jika melalui kelahirannya itu seseorang dapat melaksanakan dharma-nya sebaik-baiknya menjadi sangat bermakna. Hal ini dalam Bhagavad Gita III.34, IV. 13 dan XVIII. 4l dengan jelas dinyatakan sebagai berikut: Lebih baik mengerjakan kewajibanmu sendiri walaupun tiada sempurna daripada mengerjakan dharmanya orang lain meskipun dilakukan dengan baik; lebih baik mati dalam tugas sendiri daripada dalam tugas orang lain yang sangat berbahaya (III.34). Catur warna Kuciptakan menurut pembagian dari guna dan karma. Meskipun Aku sebagai penciptanya, ketahuilah Aku mengatasi gerak perubahan (IV.l3). O, Arjuna, tugas-tugas adalah terbagi menurut sifat, watak kelahirannya sebagaimana halnya Brahmana. Ksatria, Waisya, dan Sudra (XVIII41). Dari gambaran di atas, maka ditarik suatu rumusan umum bahwa pemahaman harkat-martabat manusia Hindu pada dasarnya (secara konseptual dan teologis) telah dilandasi kesadaran human-equality (kesederajatan/ kesetaran kemanusiaan universal) yakni man kind is one (kemanusiaan adalah satu adanya). Pembagian manusia ke dalam warna/kasta merupakan suatu cara pemahaman tatanan hidup (kosmos) yang bersifat relative dan sementara, sehingga hal mendasar untuk menentukan harkat-martabat manusia Hindu itu adalah jiwa-atma, pikiran, kualitas perilakunya. Dalam Niralamba Upanisad dikatakan : “Na jatir atmano jatir vyavahara kalpita”. yang artinya, atma tidak terikat oleh kelahiran atau kasta yang dibuat oleh tradisi. Dengan demikian segala bentuk sifat amarah, malas, penjudi, atau mabuk adalah perilaku yang membuat martabat manusia Hindu itu jatuh dan dipandang rendah. 4. Tanggungjawab Manusia Sebagai Ciptaan-Nya 67

Setiap individu manusia Hindu seperti halnya umat manusia umumnya tentu memikul tanggung jawab kemanusiaan yang hampir sama. Secara awam bentuk tanggung jawab manusia Hindu dapat dilihat secara vertikal (dalam hubungannya dengan Brahman Sang Pencipta Semesta) dan horizontal (dalam hubungannya dengan hidup sesama insan manusia dan makhluk hidup lainnya, seperti terumuskan secara filosofis dalam Tat Twam Asi. Pelaksanaan kedua bentuk tanggung jawab manusia Hindu ini menurut pandangan Veda secara teologis pada dasarnya merupakan suatu ibadah religius, yang dalam kehidupan manusia Hindu di Bali terjabarkan kedalam konsep Tri Hita Karana. Akan tetapi perlu diketahui, bahwa konsep Tri Hita Karana yang terdiri atas Parhyangan, Pawongan dan Palemahan ini sesungguhnya

dilandasi

oleh

konsep

Satyam-Sivam-Sundaram

yang

termaktub di dalam Veda. Tanggungjawab utama dalam kaitannya

dengan

Brahman Sang

Pencipta semesta adalah menyangkut Parhyangan, yang meliputi aktivitas pendirian dan pemeliharaan tempat suci, dan melakukan upacara yadnya kepada para Dewa atau Hyang Maha Kuasa. Kewajiban dan tanggungjawab ini pada dasarnya terkait dengan Satyam (kebenaran) sekaligus di dalamnya terkandung pemahaman Sradham (keyakinan) dan Siwam (kesucian). Jika pemahaman ini dihubungkan dengan mitologi dalam Lontar Purwa Bhumi Kamulan tentang penciptaan semesta, sarwa bhuta, dewa-dewa, dan manusia, maka dapat dimengerti tanggungjawab dan kewajiban melakukan yadnya dalam kaitannya dengan Parhyangan di samping untuk memuja dewa-dewa (dan Hyang Widhi), ternyata juga untuk penyucian semesta dan penyucian kemanusiaan diri pribadi manusia Hindu itu sendiri. Dalam Bhagavadgita disebutkan, bahwa pelaksanaan yadnya akan mendatangkan hujan dan kemakmuran bagi umat manusia.

68

Dalam hal ini maka secara vertikal manusia Hindu bertanggung jawab untuk mempertinggi derajat dan kesucian kemanusiaannya hingga mencapai tingkatan tertinggi: untuk menjadi manusia-dewa (seperti Wrehaspati) bahkan jika perlu monistis (moksa) dengan Brahman. Hal ini merupakan tanggungjawab individual yang bersifat intrapersonal dari setiap manusia Hindu, yakni mampu membebaskan dirinya sendiri untuk mencapai Parama Manu (Brahman sebagai pikiran absolut/cemerlang). Secara horizontal tanggungjawab manusia Hindu telah terjabar dalam bentuk Pawongan dan Palemahan. Rumusan ini sejalan dengan pandangan filsafat

kebudayaan

yang

dikemukakan

oleh

Bakker

(198422)

yang

mengatakan: “Man humanizes himsey in humanizing the word around him ” (man. akan memanusiakan dirinya sendiri --- dalam arti akan meningkat kemanusiaannya --- memanusiakan (memberadabkan) dunia di sekelilingnya. Dalam pandangan Veda, manusia tidak saja memiliki tanggung jawab untuk memanusiakan (memberadabkan) manusia, tetapi yang lebih penting adalah ‘mengentaskan’ (melakukan Somya) sarwa bhuta yang ada di sekelilingnya ke kehidupan yang lebih tinggi, seperti dilakukan dalam Upacara Tawur Agung berkenaan dengan Hari Raya Nyepi. Dengan demikian terjadilah Sundaram (keindahan) yang pada hakikatnya merupakan kedamaian dan harmoni di jagad raya ini. Dari pemahaman ini maka jelas bahwa tanggungjawab terbesar manusia adalah (a) mengkondisikan kemakmuran umat manusia melalui yadnya yang dilakukan, (b) menjaga Satyam dan Dharma sebagai cosmic order untuk tetap berjalan pada relnya, (c) mengentaskan

kemiskinan

bendani

dan

spiritual,

serta

mengangkat

(mengentaskan) derajat makhluk yang lebih rendah agar menjadi lebih tinggi (seperti disebutkan dalam Lontar Purva Bhumi Kamulan) pada kelahirannya mendatang, dan (d) menjaga kedamaian dan keharmonisan jagat raya ini secara berkelanjutan (ad infinitum). 69

5. Orang Suci dan Awatara Orang suci adalah mereka yang memiliki kebersihan lahir dan kesucian bhatin, memiliki kewibawaan rohani serta memiliki kepekaan untuk menerima getaran-getaran gaib. Dalam penampilannya menunjukkan ketenangan dan penuh welas asih. Pada dasarnya orang-orang suci itu dikenal karena jasajasanya,

pengabdiannya,

kepemimpinannya,

keluhuran

budinya

serta

perbuatannya yang suci. Dalam masyarakat Hindu kedudukan orang-orang suci dipandang sangat terhormat, karena melalui orang-orang suci ajaran agama dapat diterima oleh masyarakat, di samping itu tuntunan dan bimbingan kerohanian banyak diajarkan oleh orang-orang suci. Banyak contoh yang dapat dibuktikan seperti jasa Rsi Agastya adalah penyebar agama Hindu ke Indonesia. Sapta Rsi penerima wahyu, Mpu Kuturan arsitektur Desa Pakraman, Danghyang Nirarta sebagai konseptor Padmasana dan masih banyak lagi orang-orang suci yang berjasa terhadap pembinaan agama Hindu. Berkat jasa-jasa beliau tersebut (orang-orang suci) maka dibangunlah pura yang berstatus Dang Khahyangan sebagai penghormatan kepada orang-orang suci. Sapta Rsi Penerima Wahyu Veda Maharsi adalah orang-orang suci yang dapat berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa. Di dalam Agama Hindu, Maharsi penerima wahyu tidaklah hanya seorang, melainkan beberapa orang, yang telah populer dengan sebutan Sapta Rsi yaitu tujuh orang rsi yaitu: 1. Maharsi Grtsamada 2. Maharsi Visvamitra 3. Maharsi Atri 70

4. 5. 6. 7.

Maharsi Maharsi Maharsi Maharsi

Bharadwaja Vasistha Kanva Vamadewa

Menurut tradisi Hindu, Maharsi terbesar yang sangat besar jasanya dalam menghimpun dan mengkodifikasikan Catur Veda adalah Maharsi Vyasa. Beliau dibantu oleh empat orang siswanya yaitu: 1. Maharsi Pulaha sebagai penyusun Rgveda. 2. Maharsi Jaimini sebagai penyusun Samaveda. 3. Maharsi Vaisampayana sebagai penyusun Yajurveda. 4. Maharsi Sumantu sebagai penyusun Atharvaveda Gelar orang suci adalah: Pedanda - dari Brahmana Wangsa. Danghyang - Brahmana wangsa menjadi guru besar di bidang keagamaan. Rsi atau Bhagawan - dari Wangsa Ksatria Empu - dari Wangsa Pasek, Pande Sengghu - ahli dalam memimppin upacara Bhuta Yadnya Dukuh -orang suci yang dipandang dan dihormati dalam masyarakat Pengertian Awatara Awatara adalah perwujudan Sang Hyang Widhi ke dunia dengan mengambil suatu bentuk yang dengan perbuatan atau ajaran-ajaran sucinya, memberi tuntunan untuk membebaskan manusia dari kesengsaraan yang diakibatkan oleh kegelapan awidya. Dalam Bhagawadgita (H. 7) disebut “Kapan saja Dharma (kebenaran) mulai runtuh dan Adharma (kejahatan mulai merajalela, Aku menjelma kembali ke dunia untuk menegakkan Dhanna (kebenaran)” (Upadesa, 197834)

71

Awatara adalah perwujudan dari Hyang Widhi (Tuhan) yang turun ke dunia dalam mengambil bentuk-bentuk tertentu guna menyelamatkan dunia dengan segala isi dari kehancuran yang disebabkan oleh adharma dapat dikatakan bahwa Awatara adalah turunnya sifat-sifat suci demi untuk menegakkan kedamaian dan kebahagian umat manusia dalam kaitannya dengan awatara ada dinyatakan dalam kitab suci Bhagawadgita sebagai berikut Oh Bharata, bilamana di dunia ini dharma (kebajikan) hilang dan Adharma (kejahatan) makin menguasai dunia, maka pada waktu itu Aku menjelmakan diri-Ku (Bagawadgita, IV. 7) Dalam sloka tersebut bahwa Tuhan turun ke dunia memiliki tujuan untuk menegakkan kebenaran sehingga manusia dapat terangkat dalam kehidupan yang lebih mulia. Dasa Awatara 1. Matsya Awatara: Dengan wujud seekor ikan besar, Dewa Wisnu turun ke dunia untuk menolong Manu, manusia pertama yang ada di dunia, yang tenggelam ketika banjir besar melanda dunia. 2. Kurma Awatara: Untuk mendapat air suci berupa tirtha amertha, yaitu air kehidupan, Dewa Wisnu menjelma sebagai kura-kura. Dengan wujud seperti ini beliau dijadikan dasar gunung Mandara yang dipergunakan untuk mengaduk air laut sehingga keluar air suci tersebut. Tanpa air kehidupan manusia akan mati dan musnah. 3. Waraha Awatara: Ketika dunia ditenggelamkan oleh raksasa Hiraniakasipu, Dewa Wisnu menjelma menjadi babi hutan yang sangat besar dan membunuh raksasa tersebut. 4. Narasimha Awatara: Dengan menjelma sebagai manusia berkepala singa Dewa Wisnu mampu membunuh raksasa yang mengganggu manusia. 72

5. Wamana Awatara: Cucu Hiraniakasipu yang bernama Bali, ingin membalas dendam dan mengobrak-abrik dunia dengan segala isinya. Dewa Wisnu menjelma lagi sebagai orang cebol atau kerdil. Pada

waktu

(triwikrama)

melawan

Bali,

sehingga

mengalahkan Bali. 6. Parasurama Awatara:

beliau

memenuhi Sebagai

membesarkan

alam

awatara

semesta

dirinya ini

Parasurama

dan

dengan

bersenjatakan kapak yang sangat besar, beliau melenyapkan orangorang yang berbuat adharma, tidak sesuai dengan ajaran Tuhan. 7. Ramadewa Awatara: Dewa Wisnu menjelma sebagai seorang raja, bergelar Rama, turun ke marcapada ini untuk membinasakan Rahwana, seorang raja dari Alengka yang selalu melakukan perbuatan adharma. Kisah ini ditulis dalam sebuah kitab berupa epos Ramayana. 8. Krisna Awatara: Untuk melenyapkan kedengkian dan keserakahan Kaurawa, maka tueunlah Dewa Wisnu menjadi raja Kresna. Secara tidak

langsung,

dengan

berbagai

nasihat

kepada

Arjuna,

tertumpaslah Kaurawa dalam perang Bharatayuda. Nasihat-nasihat beliau

dibukukan

dalam

kitab

Bhagawadgita.

Sedang

kisah

seluruhnya mengenai awal permusuhan antara Pandwa dengan Kaurawa sampai pecahnya perang Bharatayuda, yang berakhir dengan kemenangan Pandawa dapat dibaca dalam kitab epos Mahabharata. 9. Budha Awatara: Budha adalah awtara Dewa Wisnu terakhir yang turun ke dunia. Beliau bertugas untuk meluruskan ajaran dharma yang telah banyak penyimpangannya. 10. Kalki Awatara: Awatara yang kesepuluh ini belum turun ke bumi kita ini. Tetapi diperkirakan dan dipercayai sepenuhnya, pada suatu saat jika terjadi ancaman terhadap dharma dan tak mampu diatasi

73

oleh umat manusia, maka beliau pasti akan menjelma sebagai awatara dan dan menumpas ancaman tersebut. Dalam pustaka suci Bhagawad Gita: IV.7 Sri Krishna sebagai Avatara Wisnu yang turun ke dunia menyatakan sebagai berikut: Manakala kebajikan (Dharma) akan mengalami kemusnahan dan kebatilan (Adharma) merajalela para Sadhu (orang-orang suci) serta untuk memusnahkan orang-orang jahat dan demi untuk menegakkan dharma (kebajikan), Aku menjelma dari masa ke masa. Maksud

turunnya

Awatara,

kekuatan

Illahi

ke

Bumi,

untuk

mengingatkan kembali akan status manusia yang sejati, melalui ajaran-ajaranNya, Dia berusaha untuk menegakkan kembali aturan-aturan dharma yang semakin merosot serta untuk melindungi para bhaktinya yang tulus dari kemunduran spiritual. Dalam hal ini Tuhan senantiasa berada di pihak kebenaran, karena Dia adalah kebenaran itu sendiri. Kasih sayang dan welas asih pada akhirnya akan lebih berkuasa daripada kebencian dan kekejaman. Dharma akan menaklukan adharma; kebenaran akan mengalahkan kepalsuan. Kekuatan dibalik penyakit, kematian dan dosa-dosa akan diatasi oleh realitas yang merupakan keberadaan, kecerdasan dan kebahagiaan murni atau Sat, Cit, Ananda. Kakawin Ramayana II, 126 s/d 129. Oh, Dewa Wisnu sadarlah Engkau jangan lupa Engkau adalah perwujudan Dewa Wisnu, manifestasi Dewa Purusotama. Dharma dan kesetiaan itu abadi yang ada pada tubuhMu tidak boleh hilang. Kendati mungkin ada pikiran yang bingung demikian pula sifat angkara murka semua sudah dikuasai. (Bait 126). Segala bentuk penjelmaan-Mu, dimasa silam sama sekali tidak boleh menyebabkan fikiranMu bingung. Dahulu kala ketika penjelmaan yang Pertama konon Engkau menjadi Ikan Besar, Berwujud Kura-Kura, Babi Hutan, Narasingha, Engkau adalah 74

Dewa Wisnu, Orang Cebol, Rama Parasu menitis sebagai Rama Dewa juga Engkau. (Bait 127). Demikianlah awataraMu, semua itu bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan dunia. Tiada lain orang hidup kemudian akan Sri Baginda temui. Keenakan, kegaungan awataraMu tidak pernah kami lupakan, selalu ingat, tidak pernah terhalang karena engkau adalah junjunganku, (Bait 128). Engkau memenuhi dunia yang merupakan jiwa bagi semua mahluk. Merupakan awal, pertengahan, akhir dan maut juga Engkau yang menyebabkan lahir, hidup dan mati tiga dunia itu. Juga Engkau berwujud mengasihi, Engkau adalah Maheswara dari Dewa yang utama, (Bait 129). D. Rangkuman Hukum. Pemaparan tentang hukum ini mengajak dan mengayadarkan kita bahwa sesungguhnya aturan hukum apa pun yang ada di dunia ini adalah berasal dari hukum Tuhan, yaitu hukum Rta yang mengatur seluruh alam dan komponennya. Oleh karena itu, agama dan hukum berkaitan erat, agama sebagai basic atau dasar hukum tersebut. Setiap gerak hukum diwarnai oleh ajaran agama, materi hukum yang ada di dunia ini diambil dari ajaran agama sebagai induk berlaku dari hukum itu sendiri sehingga tujuan agama selaras dengan tujuan hukum, yaitu menuntun dan mengarahkan manusia untuk mencapai keseimbangan hidup (Moksartham jagadhita ya ca iti dharma). E. Daftar Pustaka Anandakusuma, Sri Reshi. 2004. Silsilah Orang Suci dan Orang Besardi bali, Denpasar: CV Kayumas. Kadjeng, I Nyoman, 1970/1971. Sarasamuccaya, Proyek Penerbitan Kitab Suci Hindu dan Buddha Direktorat Djendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan Buddha Departemen Agama R.I. 75

Pudja, G. dan Tjokorda Rai Sudharta, Manawa Dharmacastra, (Tanpa penerbti dan tempat). Punyatmadja, I.B. Oka, 1991. Cilakrama, Upada Sastra, Denpasar. Sadulloh dan Uyoh. 1983. Filsafat dan ILMu. Bandung: IKIP Bandung. Tjokorda Rai Sudartha, 1992. Asta Brata Dalam Pembangunan, Penerbit: PT. Upada Sastra. Wikarman, I Nyoman Singgih. 1998. Leluhur Orang Bali dari Dunia Babad dan Sejarah. Surabaya: Paramita.

76

BAB III HUKUM DALAM RANGKA MENEGAKKAN KEADILAN A. Kompetensi Dasar  Mendiskripsikan tentang Hukum Tuhan (Rta)  Mengimplimentasikan tentang hukum Dharma  Menguraikan sumber-sumber hukum Hindu B. Indikator  Mampu melakukan kajian tentang Hukum Tuhan (Rta) yaitu hukum yang bersifat absolut dan berlaku bagi semua ciptaan-Nya.  Dapat menerapkan hukum Dharma yaitu melaksanakan tugas dan kewajiban sesuai dengan propesi dan bakat kelahiran (Swadharma), mematuhi hukum yang berlaku dengan mengabaikan pangkat atau jabatan tertentu dalam masyarakat (Paradharma).  Dapat mengenal sumber-sumber hukum Hindu menurut kronologinya (Sruti/Veda,

Smerti/Dharmasastra,

Sila/tingkahlaku

orang

suci,

Acara/Sadacara, Atmatusti/ Atmanastusti C. Materi Manusia Hindu harus menyadari adanya hukum Tuhan (Rta /Dharma) sebab hukum alam ini merupakan ajaran disiplin hidup untuk dapat menciptakan kemakmuran, kesejahteraan, ataupun keindahan dan keharmonisan. Dalam agama Hindu sangat menekankan hukum yang adil yang sudah jelas dijabarkan dalam kitab kitab suci Veda sebagai dasardari hukum Hindu yang menuntun dan memberi arahan moral yang benar kepada pemeluknya untuk mencapai tujuan hidup kedamaian ataupun kesimbangan. 1. Menumbuhkan Kesadaran Untuk Taat Hukum Tuhan (Rta/Dharma) 77

So ’bhidhyaya Sarirat Swatsistksur wiwidhah prajah (D.S.I.8) Ia yang menciptakan berbagai ciptaan menjadikan diri sendiri, di ciptakannya mahluk-mahluk hidup yang beraneka ragam, mulai dengan memikirkannnya, diciptakannya, air, daun, meletakkan benih itu kedalamnya. Menurut ajaran Hindu yang menciptakan alam semesta beserta dengan isinya, yaitu semua mahluk hidup, air, udara dan yang lainnya adalah Tuhan. Untuk mengatur dan menjaga hubungan antara partikel-partikel yang di ciptakanNya itu, Tuhan menciptakan Hukum yang murni dan abadi bersifat absolut berlaku bagi semua ciptaanNya, Hukum tersebut disebut dengan Hukum Rta, kata Rta berasal dari Bahasa Sansekerta yang artinya : “Adil” sedangkan lawan Rta, yaitu Anrta berarti: “Tidak Adil”. Tuhan sebagai Pencipta dan pengendali Hukum Rta sehingga beliau disebut

dengan

Rtawan.

Hukum

Rta

mengatur

seluruh

alam

dan

komponennya, satupun komponen semua ciptaan Tuhan seperti yang diuraikan oleh mantram Reg Veda sebagai berikut ini: Ia yang bersinar, menyebabkan yang tidak bersinar menjadi bersinar dengan hukum (Rta) ia menyalakan fajar, ia menjalankan kuda yang terkendalikan oleh Hukum Abadi (Rta) membuat manusia senang dengan kereta menuju terang. (R.VI.39.4). Adapun contoh Rta tersebut adalah:      

Matahari terbit di Timur, tenggelam di Barat. Air mengalir dari yang lebih tinggi ke tempat yang lebih rendah. Adanya perputaran siang dan malam. Adanya rangkaian lahir, hidup dan mati. Setiap mahluk mempunyai rasa lapar dan haus. Kebutahan tidur/istirahat setiap makhluk.

78

Rta yang menyatu-padukan alam dengan hukum alam merupakan disiplin hidup dan juga merupakan disiplin untuk menciptakan keindahan dan keharmonisan dalam hidup ini, Rta juga mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan di dunia ini, karena memberikan kesempatan kepada setiap mahluk untuk tumbuh dan berkembang seperti uraian mantram di bawah ini: Melalui hukum Abadi engkau telah menyebarkan tumbuhtumbuhan yang berkembang dan berbuah, dan mengalirkan air engkau mengeluarkan halilintar dilangit, Engkau sangat luas meliputi alam yang amat luas, patut dipuja. (R.II.13.7). Apabila Rta ini dilanggar/tidak dijalankan sesuai dengan aturannya maka akan timbul ketidak harmonisan di dalam kehidupan ini. Seperti penebangan hutan yang mengakibatkan gunung gundul menutup bantaran sungai/tidak membiarkan air itu mengalir dengan semestinya itu akan mengakibatkan bencana alam yang merugikan kehidupan manusia, dalam lingkup yang lebih kecil pelanggaran terhadap Rta, yaitu : Pada saat malam tiba yang seharusnya kita instirahat/tidur kalau itu tidak dilakukan dalam waktu cukup panjang, maka tubuh kita akan lesu dan mudah terserang penyakit, pada saat lapar kita tidak makan dalam waktu cukup lama juga akan menyebabkan sakit badan kita. Demikianlah Rta itu mengatur alam beserta isinya. Selain Rta, Tuhan juga menciptakan Hukum yang khusus berlaku untuk manusia yang disebut dengan Dharma. Dharma berasal dari bahasa Sansekerta dari urat kata “Dhr” yang artinya : memangku, menjaga, memelihara. Jadi kata Dharma dalam arti yang lebih luas berarti: Ajaran. Kewajiban atau peraturan-peraturan Suci yang mengatur hidup manusia. Seperti yang diuraikan dalam Sloka Santi Parwa, sebagai berikut: Lokasamgrahasamyuktam widartrwihitam pura Suksma dharmathaniyatam Satam caritam utta umam 79

Kesentosaan umat manusia dan kesejahteraan masyarakat datang dari Dharma. Laksana dan Budi yang luhur untuk kesejahteraan manusia itulah Dhrama yang utama (Santi Parwa 259.26). Sesuai dengan anjuran Agama yaitu: Moksartham Jagadhita ya ca iti dharma yang artinya: Untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat/lahir dan batin maka dharmalah sebagai penuntunnnya. Sehingga dalam aplikasinya dibedakan menjadi 2 bagian, yaitu: 1. Swa Dharma dan 2. Para Dharma. Swa Dharma berarti sadar akan tugas dan kewajiban masing-masing dan apabila kewajiban itu dijalankan dengan sebaik-baiknya barulah Moksartham dan Jagahita akan terwujud. Dalam menjalankan Swa Dharma, ini dibedakan menjadi 4 (empat) kelompok tugas yang disebut Catur Warna, yaitu Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra. Yang disebut Brahmana adalah para pemikir atau pekerja otak yang berorientasi kepada peningkatan pribadi seseorang atau kelompok Serta peningkatan budaya bangsa. Mereka ini adalah para pendeta, para guru atau dosen, dan para ilmuwan lainnya. Mengapa guru atau dosen dikategorikan sebagai Brahmana, karena fungsinya sama dengan pendeta yaitu mendidik masyarakat agar berprilaku baik. Sementara itu yang disebut Ksatria adalah para pengendali pemerintahan dan para prajurit yang bertugas mengamankan dan membela negara. Sedangkan yang disebut Waisya adalah mereka yang berkecimpung dalam pembangunan ekonomi seperti para petani, pedagang, industriawan, dan pengusaha lainnya. Dan yang disebut Sudra adalah mereka yang bekerja mempergunakan tenaga dan ototnya yang sekarang sering disebut tenaga kasar. Mereka ini bertugas membantu ketiga warna pertama dalam menyelesaikan pekerjaannya. Apabila

masing-masing

golongan

ini

menunaikan

tugas

dan

kewajibannya dengan baik akan terwujud ketentraman, keharmonisan di 80

masyarakat. Para Dharma adalah peraturan yang berlaku pada setiap orang, apapun profesinya ataupun warnanya apapun jenis kelaminnya, dalam setiap tingkat umur, dimanapun berada, diikat oleh aturan tersebut. Apabila melanggar aturan ini akan terjadi benturan-benturan yang menyebabkan kesengsaraan dalam hidup ini. Di samping hal tersebut di atas masih ada sumber dalam Weda yang memberikan tuntunan kepada umatnya untuk sadar dan taat pada hukum sebagai berikut: Śruti smrtyudhita dharma manutisthanti manawah iha kirtimawapnoti śanuttamam sukham D.S.II.9 Orang yang mengikuti hukum yang diajarkan oleh pustakapustaka suci dan mengikuti adat-istiadat yang keramat mendapat kemasyhuran di dunia ini dan setelah meninggal menerima kebahagiaan tak terbatas. Dari uraian di atas jelaslah bahwa Agama Hindu menuntun umatnya untuk selalu sadar dan taat pada Hukum Tuhan. 2.

Peran Agama Dalam Merumuskan Dan Menegakkan Hukum Yang Adil Perumusan hukum menurut Hindu diatur secara konsepsional, di mana

sistem dan azas yang dipergunakan dalam Hukum Hindu bersumber pada Kitab Suci Veda. Maharsi Manu, peletak dasar hukum Hindu menjelaskan bahwa Veda adalah sumber dari segala dharma: Vedo’khilo dharma mūlam smrti śīle ca tad vidām, ācāraś caiva sādhūnām ātmanastustir eva ca Mānavadharmaśāstra II.6

81

(Veda adalah sumber dari segala dharma, yakni agama, kemudian barulah smrti, di samping sīila (kebiasaan atau tingkah laku yang baik dari orang yang menghayati dan mengamalkan ajaran Veda) dan kemudian ācāra tradisi-tradisi yang baik dari orang-orang śuci atau masyarakat yang diyakini baik serta akhirnya ātmanastusti, yakni rasa puas diri yang dipertanggung jawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa) Berdasarkan kutipan di atas, kita mengenal sumber-sumber hukum Hindu menurut kronologinya seperti berikut: 1. 2. 3. 4. 5.

Veda (Śruti) Smerti (dharmasāstra) Śila (tingkah laku orang śuci) Ācāra (sadācāra) Ātmatusti (ātmanastusti)

1. Śruti artinya sama dengan Wahyu, atau wahyu yang dihimpun dalam Mantra Samhita. Kalau kita bandingkan dalam bentuk perundangundangan Negara, Śruti dianggap sebagai UUD, karena Śruti merupakan sumber dari ketentuan-ketentuan berikutnya. 2. Smrti adalah himpunan-himpunan yang berisi tentang penafsiran dari Śruti. Di dalam Smerti dijabarkan atau diaplikasikan Śruti tersebut. 3. Śila mempunyai arti tingkah laku dari orang Suci. Yang dimaksud dengan Orang Suci adalah orang yang memiliki kekuatan mata batin dapat memancarkan kekuatan rohani serta mempunyai kepekaan untuk menerima getaran-getaran gaib, dalam penampilannya menunjukkan keluwesan dan rasa welas asih yang disertai kemurnian dan kebersihan lahir batin tidak terpengaruh oleh materi duniawi dan dipakai panutan di masyarakat (contoh: para Maharsi, Nabi dalam agama Islam). 4. Ācara ialah adat istiadat yang keramat yang berlaku disuatu tempat. 5. Ātmatusti Rasa puas diri. Rasa puas adalah ukuran yang selalu diusahakan oleh setiap manusia untuk mencapai kepuasan tersebut harus didasarkan pada kebenaran atau ajaran agama.

82

Penegakan hukum yang adil dalam ajaran Hindu mempunyai konsep yang jelas dijabarkan atau diaplikasikan dalam konsep Śraddhā atau Keimanan Hindu dibagian yang ketiga, yaitu: Karma Phala. Karma Phala merupakan hukum yang universal memberikan dalil atau rumusan yang pasti. Karma Phala berasal dari 2 (dua) kata, yaitu: “Karma” = Kr = membuat yang berarti perbuatan, sedangkan Phala = hasil, jadi arti dari Karma Phala adalah: Setiap perbuatan akan mendatangkan hasil, juga bisa disebut dengan hukum sebab akibat, yaitu: segala sebab berupa perbuatan akan membawa hasil dari perbuatannya. Untuk lebih pasti kita perhatikan Sloka dibawah ini: Karma Phala ngaran ika paraning gawe ala ayu (slokantara) Artinya: Karma Phala adalah akibat perbuatan baik dan buruk. Karma memberikan pahala yang pasti, apa yang kita nikmati dalam kehidupan ini tidak semata-mata merupakan takdir dari Tuhan. Kehidupan ini sendirilah yang menentukan. Kalau kita berbuat yang baik maka kita akan memperoleh pahala yang baik pula demikian pula sebaliknya kalau kita berbuat yang tidak baik maka penderitaanlah yang kita nikmati. Namun perlu diingat bahwa penikmatan dari hasil itu sendiri dapat dirasakan dalam 3 (tiga) kemungkinan, yaitu: 1. Sancita Karma Phala, ialah pahala dari perbuatan kita dalam kehidupan terdahulu yang belum habis dinikmati dan masih merupakan benih yang menentukan kehidupan kita yang sekarang. Jadi adanya orang menderita dalam hidup ini walaupun ia selalu berbuat baik adalah disebabkan oleh sancita karma (karmanya yang lalu) yang buruk yang mau tidak mau ia harus merasakan buahnya sekarang karena dikelahirannya yang terdahulu belum habis diterimanya. Sebaliknya orang yang berbuat curang dan nampaknya sekarang berbahagia adalah

83

karena sancita karmanya yang dahulu baik tetapi nantinya pasti akan menerima hasil perbuatannya sekarang yang tidak baik itu. 2. Prarabda Karma Phala, ialah pahala dari perbuatan kita pada kehidupan sekarang, hasilnya diterima pada kehidupan sekarang juga. Contoh :  Kalau kita makan cabe, maka mulut kita akan terasa pedas.  Kalau kita mengambil api, tangan kita akan terbakar.  Kalau kita makan nasi, habis makan kita kenyang. 3. Kriyamana Karma Phala, ialah hasil perbuatan yang tidak sempat dinikmati pada saat berbuat, sehingga harus diterima pada kehidupan yang akan datang. Contoh : 

Jika seseorang berbuat baik, suka menolong, jujur, maka setelah mati akan mendapat sorga dan sebaliknya.

Demikianlah Karma Phala diyakini sebagai Dalil Hukum yang asli, sehingga pada setiap tindakan dan perilaku penganut agama Hindu selalu berpedoman pada hukum Karma Phala. Tegasnya cepat atau lambat, dalam kehidupan sekarang atau nanti segala pahala dari perbuatan itu pasti diterima, karena sudah merupakan hukum. Jadi hukum karmaphala itu tidak menyebabkan putus asa dan menyerah pada nasib (fatalistis) tetapi positip dan dinamis. Ini harus disadari. Kita harus sadar bahwa penderitaan kita disaat ini adalah akibat dari perbuatan yang lampau. Dan kita sadar pula bahwa suatu saat penderitaan itu akan berakhir dan diganti dengan kebahagiaan, asal kita berbuat baik selalu walaupun dalam kita menderita, Perbuatan yang baik disaat ini akan mengakibatkan kebahagiaan nanti. Dengan kesadaran ini, kita tidak perlu sedih atau menyesali orang lain karena mengalami penderitaan dan tidak perlu sombong, karena mengalami kebahagiaan. Itu semua adalah hasil perbuatan kita sendiri. Tetapi walau 84

hukum karmaphala itu seolah-olah berdiri sendiri di dalam lingkaran sebab akibat, tetapi itu tidak terlepas dari kekuasaan Sang Hyang Widhi. Benar bahwa perbuatan seseorang itu yang menentukan pahalanya, tetapi mengenai macamnya buah dan waktu pemetikannya itu tergantung kepada keadilan Sang Hyang Widhi. Sang Hyang Widhi yang menentukan pahala dari karmanya. Beliau memberi ganjaran sesuai dengan hukum karmanya. Jadi kelahiran kita kedunia walaupun dalam menderita adalah sesungguhnya sangat beruntung karena kita mendapat kesempatan untuk berbuat baik, meningkatkan jiwa kita untuk menentukan hidup kita yang akan datang. 3. Fungsi Profetik Agama Hindu Dalam Hukum Agama Hindu memberikan tuntunan dan arahan moral yang benar kepada pemeluknya untuk menuju tujuan hidup sebagaimana juga tujuan Agama. Tuhan menciptakan manusia disertai dengan 2 (dua) unsur, yaitu: “Unsur Positif” dan “Unsur Negatii” (Baik dan Buruk). Untuk menjalani Swa Dharma dan Para Dharma dalam hidup ini, supaya tidak terjadi benturan antara dua hal tersebut maka oleh manusia dibuatlah aturan yang disebut Hukum. Namun perlu dipahami bahwa Agama sebagai basic atau dasar pada hukum tersebut, setiap gerak hukum yang selalu diwarnai oleh ajaran Agama. Materi hukum yang diambil dari nilai-nilai Agama yang ada, dengan kata lain Agama sebagai induk berlaku dari Hukum itu sendiri sehingga tujuan Agama selaras dengan tujuan hukum, yaitu: menuntun dan mengarahkan manusia untuk mencapai keharmonisan dalam hidup. Dalam Pustaka Suci Weda dan Pustaka Suci Agama Hindu lainnya, terdapat ungkapan-ungkapan yang merupakan fungsi profetik dalam hukum,

85

dari sudut pandang Agama Hindu, diantaranya ialah: Weda Smerti (Manu Smerti): VII.20.31.VII.14:15). Bila Raja tidak menghukum dengan tidak jemu-jemunya kepada orang-orang yang patut dihukum, maka yang kuat akan melalap yang lemah, seperti ikan dalam tempayan. Hukum dapat divonis tepat (bijaksana) hanya oleh orang-orang yang suci, setia kepada janji yang bertindak selalu menurut Dharma (Lembaga Dharma) oleh orang yang mempunyai pembantu ahli dan bijaksana. Dimana keadilan dirusak oleh ketidak adilan atau kebenaran atau kelobaan, sedangkan hakim melihatnya, mereka akan dihancurkan pula. Keadilan yang dilanggar, menghancurkan; keadilan yang dipelihara akan menjaminnya, oleh karena itu keadilan jangan dilanggar, pelanggaran keadilan akan menghancurkan kita sendiri. Demikianlah ungkapan dalam Weda Smerti (Manu Smerti atau Manava Dharma Sastra). Selanjutnya dapat kami kemukakan ungkapan dalam Wiracarita Ramayna, yang merupakan amanat Sri Rama, sebagai salah seorang Awatara Wisnu (Penjelmaan Tuhan Turun ke Dunia); Ramayana (III.65; 66; 75, XXIV.54). Ketenangan, kasih sayang hendaklah selalu dilaksanakan. Jangalah lemah kepada apa yang ditakutkan! Kesalahan rakyat bila diabaikan, ia tidak akan mengenal setia lagi, ia akan berbuat sewenang-wenang. Seperti halnya si kambing, takut, hormat ia pada kayu yang tegak, bila condong, sambil main-main ia meniti naik. Senang tiada khawatir ia berlari. Bila jelas jahat hendaknya dihukum, bila perilakunya salah, lenyaplah ia yang besar dosanya. Perbincangkan dan pertimbangkan dengan sungguh-sungguh. Demikianlah bila orang berjasa berilah Anugerah, berilah kesenangan. Itulah yang patut diberi Anugerah, dan yang patut dihukum. 86

Brata Hyang Yama, menghukum orang yang melakukan kejahatan. Hyang Yamalah yang menyiksa roh penjahat sesudah mati. Adinda juga patut menghukum orang yang melakukan kesalahan. Upayakan untuk menumpas setiap orang yang bermaksud menghancurkan Negara Lengka. D. Rangkumam Pemaparan tentang hukum ini mengajak dan mengayadarkan kita bahwa sesungguhnya aturan hukum apa pun yang ada di dunia ini adalah berasal dari hukum Tuhan, yaitu hukum Rta yang mengatur seluruh alam dan komponennya. Oleh karena itu, agama dan hukum berkaitan erat, agama sebagai basic atau dasar hukum tersebut. Setiap gerak hukum diwarnai oleh ajaran agama, materi hukum yang ada di dunia ini diambil dari ajaran agama sebagai induk berlaku dari hukum itu sendiri sehingga tujuan agama selaras dengan tujuan hukum, yaitu menuntun dan mengarahkan manusia untuk mencapai keseimbangan hidup (Moksartham jagadhita ya ca iti dharma). Agama Hindu memberikan tuntunan dan arahan moral yang benar kepada pemeluknya untuk menuju tujuan hidup sebagaimana juga tujuan Agama. Tuhan menciptakan manusia disertai dengan 2 (dua) unsur, yaitu: “Unsur Positif” dan “Unsur Negatii” (Baik dan Buruk). Untuk menjalani Swa Dharma dan Para Dharma dalam hidup ini, supaya tidak terjadi benturan antara dua hal tersebut maka oleh manusia dibuatlah aturan yang disebut Hukum. Dalam agama Hindu sangat menekankan hukum yang adil yang sudah jelas dijabarkan dalam kitab - kitab suci Veda sebagai dasar dari hukum Hindu yang menuntun dan memberi arahan moral yang benar kepada pemeluknya Agama. E. Daftar Pustaka

87

Maswinara (I Wyn), Tahun 1997, Bhagawad Gita, Penerbit Paramita, Surabaya. Oka (I Gusti Agung), Tahun 1992, Slokantara, Penerbit Hanuman Sakti, Jakarta. Pudja (G. MA), Rai Sudharta, (Tjokorda), Tahun 1996, Manawa Dharma Sastra, Penerbit Hanuman Sakti, Jakarta. Pudja (G MA-SH), Tahun 1995, Sama Veda Samhita, Penerbit Hanuman Sakti Jakarta.

88

BAB IV ETIKA (MORALITAS) A. Kompetensi Dasar Agama sebagai sumber moral yang dijadikan dasar etika dan moralitasbagi umat hindu yang berpedoman dari kitab suci weda. Sehingga:  Mahasiswa mampu memahami agama sebagai sumber moral 

Mahasiswa mampu memahami dan memebedakan setiap ajaran etika dan moralitas menurut weda, Manusmrti, Mahabrata, Bhagawangita, wrhaspatitattwa, sarasamuccaya, kitab slokantara.

B. Indikator  Menjelaskan agama sebagai sumber moral  Menjelaskan ajaran etika dan moralitas menurut Weda  Menjelaskan ajaran etika dan moralitas menurut Manusmrti  Menjelaskan ajaran etika dan moralitas menurut Mahabrata  Menjelaskan ajaran etika dan moralitas menurut Bhagawadgita  Menjelaskan ajaran etika dan moralitas menurut wrhaspatitattwa  Menjelaskan ajaran etika dan moralitas menurut Sarasamuccaya  Menjelaskan ajaran etika dan moralitas menurut kitab Slokantara C. Materi

Etika (moralitas) yang bersumber dari ajaran agama merupakan suatu ajaran yang sangat penting sekali dalam kehidupan manusia, sebab konsep ini mengajarkan manusia untuk selalu mengkedepankan kebenaran dan kebajikan. Implementasinya manusia mampu mengendalikan diri dalam setiap gerak langkah kehidupan agar terwujud kedamaian tanpa kekerasan. 89

1. Agama Sebagai Sumber Moral. Menurut agama Hindu Etika dan Moralitas sama dengan Susila. Susila berasal dari kata Sanskerta “Sila” yang berarti tingkahlaku, mendapat awalan “Su” yang berarti baik. Kata Susila berarti sikap/tingkahlaku yang baik dan benar. Tata Susila berarti peraturan tingkahlaku yang baik dan mulia yang harus menjadi pedoman hidup manusia (Mantra, 1989:5) Ajaran Etika atau Tata Susila yakni tingkahlaku yang baik dan benar untuk kebahagiaan hidup serta keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan Yang Mahaesa, antara sesama manusia, dengan alam semesta dan ciptaan-Nya (Titib, 1996:38) Peraturan tingkahlaku yang baik disebut orang Tata susila. Nama lainnya adalah Etika, bila etikad beretika masih dalam angan-angan disebut orang budi baik dan bila diwujudkan dalam tindakan disebut orang budi pekerti yang baik. Etika adalah pengetahuan tentang kesusilaan. Kesusilaan berbentuk kaidah-kaidah yang berisi larangan-larangan atau suruhan-suruhan untuk berbuat sesuatu. Dengan demikian dalam etika kita akan dapati ajaran tentang perbuatan yang baik dan perbuatan yang buruk. Perbuatan yang baik itulah supaya dilaksanakan dan perbuatan yang buruk itu dihindari. Agama sebagai sumber moral yang dijadikan landasan dasar etika dan moralitas bagi umat Hindu, sedangkan pedoman yang dipergunakan adalah Kitab Suci Weda dan Kitab-kitab Suci Agama Hindu lainnya. Berikut ini beberapa ajaran etika dan moralitas dalam Kitab Śuci Hindu. 2. Ajaran Etika dan Moralitas Menurut Weda Segala yang ada ini tunduk pada Rta. Demikian pula halnya dengan manusia. Dengan mengikuti rta orang akan hidup harmonis dengan alam dan 90

sesama manusia. Perbuatan yang berlawanan dengan rta disebut anrta, yang artinya ketidakbenaran. Hidup agar mengikuti hukum alam, manusia yang hidup dengan mengikuti hukum alam akan selalu berbahagia. Sebaliknya orang yang melawan hukum alam dengan menggunduli hutan belantara, akan menimbulkan kesulitan bagi umat manusia, seperti datangnya banjir, timbulnya longsor dan lain-lain Na devāmimati vratam śatātmā cana jrvali tathā yujā vi vāvfte Rgveda X.33.9 Terjemahan: Manusia tidak dapat melawan hukum alam dan kehendak Tuhan, manusia yang melawan hukum alam hidupnya menghadapi kesulitan. Suka menolong, Veda mengajarkan orang harus bakti kepada Tuhan, dengan bakti orang akan memperoleh sifat-sifat baik Tuhan. Orang tersebut akan menjadi baik hati, suka berbuat baik dan suka menolong orang lain yang berada dalam kesulitan. Orang baik dan suka menolong pasti akan memperoleh perlindungan Tuhan dan hidupnya akan selalu bahagia. Vanśāyā dugdham pītvā sādhyā vasavaśca ye te vai bradhnasya vistapi payo asyā upāsate Atharvaveda X.10.31 Terjemahan: Orang yang suka menolong dan bersifat baik selalu akan memperoleh kekuatan dengan pertolongan Tuhan mereka akan selalu hidup bahagia. Semua manusia bersaudara, sesungguhnya dunia ini adalah satu keluarga besar. Tiada yang besar, tiada yang kecil, semua manusia adalah 91

saudara yang harus bergerak demi mencapai kemajuan dan menghancurkan kejahatan bersama. Dengan demikian semua manusia akan bahagia dan sejahtera, hidup tenang dan damai. Tercapailah kesejahteraan secara menyeluruh di dunia. Ajyesthāso akani sthāsa ete sambhrātaro vāyrdhuh subhagāya yuvā pitā svapā rudra esām sudughā prśnih sudinā marudbhyah Rgveda V.60.5 Terjemahan: Tiada yang besar dan tiada yang kecil semua adalah saudara, majulah demi kemajuan karma utama pemuda menghancurkan kejahatan semua manusia akan hidup sejahtera dan bahagia. Orang harus hidup damai, hidup dalam suasana persahabatan. Semua orang hendaknya mampu melihat orang lain sebagai sahabat, maka mereka tidak

akan

saling

membenci.

Dengan

demikian

semua

kemarahan,

permusuhan, kedengkian dan kebencian akan hilang. Kutipan berikut mencerminkan hal ini: drte drmha mā mitrasya mā caksusā sarvāni bhūtāni samīksantām, mitrasyāham caksusā sarvāni bhūtāni samikse mitrasya caksusā samiksamahe. (Yajurveda, 36.18) Terjemahan: Tuhan, kuatkanlah kami Semoga semua orang memandang kami sebagai seorang sahabat, Semoga saya memandang mereka sebagai seorang sahabat, Semoga kami pandang memandang sebagai seorang sahabat. Dengan hidup bersahabat berarti orang harus kasih sayang kepada orang lain, hormat kepada orang tua, menjauhi kebencian, mendambakan kesatuan dan persatuan. Hal ini tercermin dari kutipan berikut: sahahrdayam sāmmanasyam avidvesam krnomi vah, anyo anyam 92

abhi haryata vatsarhjātam ivāghnya. anuvratah pituh putro mātrā bhavatu sammanah, jāyā patye madhu matim vācam vadatu śantivam, mā bhrātā bhrātaram dviksan mā svasāram uta svasā samyancah savratā bhulvā vācam vādata bhadrayā (Atharva Veda, 3.30.1-3) Terjemahan: Aku jadikan engkau sehati, satu pikiran, bebas dari kebencian. Kasihlah satu sama lain seperti sapi mengasihi anaknya yang ia lahirkan. Biarlah anak setia kepada ayah dan satu hati dengan ibu. biarlah istri bercakap dengan manis dan dengan kata-kata yang bagus pada suami. Jangan sdr. laki benci pada sdr. laki, sdr. perempuan dengan sdr perempuan. rukunlah, bersatulah dalam tujuan, berkatalah dengan kata-kata persahabatan. 3. Ajaran Etika dan Moralitas Menurut Manusmrti Manusmrti adalah salah satu kitab Dharmaśastra yang terbaik. Di dalam kitab ini banyak terdapat ajaran etika. Kitab ini mengajarkan agar hidup ini didasarkan atas Dharma. Ini berarti kita harus berpikir, berkata dan berbuat yang baik dan benar sehingga kita mendapatkan kerahayuan. Hanya dengan melaksanakan Dharma orang mendapatkan kebahagian di dunia dan di akhirat. Manusmrti menyebutkan:

adhārmiko naro yo hi yasya cāpyanrtana dhanam, himsārataś ca yo nityam nehcisau sukhamedhate. 93

(Manusmrti, IV.170) Terjemahan: Seseorang yang tidak menjalankan dharma atau orang yang mendapat kekayaan dengan jalan curang dan orang yang suka menyakiti makhluk lain, tidak akan pernah berbahagia di dunia ini. nāmutra hi sahāyārtham pitā mātāi ca tisthatah, na putradāram na jnātir dharmas tisthati kevalah (Manusmrti, IV.239) Terjemahan: Tidak bapak, tidak ibu, tidak anak, tidak istri atau teman akan mengantarkan orang ke dunia sana. Yang tetap ada padanya hanyalah Dharma. Salah satu dharma kita yang amat mulia ialah hormat kepada ibu dan Bapak. Demikian pula kepada ibu dan bapak guru di sekolah. Ibu dan bapaklah yang menyebabkan kita ada yang merawat dan membiayai hidup kita sejak kecil. Betapa besarnya pengorbanannya kepada anak tak dapat dihitung dan dibayar. Tiada kasih yang dapat menyamai kasih ibu. Lalu apakah yang kita pakai membalas jasa ibu? Hanya bakti kita mempersenang mereka, dan ibu akan memberkati kita. Demikian pula hormat kita kepada ibu dan bapak guru di sekolah. yat mātāpitarau kleaśam sahete sambhave nrnām na tasya niskrtih śakyā kartum varsaśatair api (Manusmrti, II.227) Terjemahan: Penderitaan ibu dan bapak sewaktu lahirnya anak tidak dapat dibayar, walaupun dalam seratus tahun. tayornilyam priyam kuryāt ācāryasya ca sarvadā tesveva trisu tustesu 94

tapah sarvam samāpyate. (Manusmrti, IL228) Terjemahan: Hendaknya ia mempersenang kedua mereka itu (ibu dan bapak) dan guru pengajian (guru yang memberikan pengetahuan.) Andaikata kita dapat mempersenang ketiga mereka itu maka semua tapa akan berhasil.

4. Ajaran Etika dan Moralitas Menurut Mahabharata. Mahābharata adalah salah satu kitab Itihāsa. Itihāsa yang lain adalah Ramayana. Mahābhārata mengajarkan supaya orang menaruh kasih sayang, rasa bersahabat, simpati dan beritikad baik terhadap semua makhluk. Ini semuanya

akan mengantarkan

orang kepada

kedamaian,

dan dengan

kedamaian orang akan dapat mewujudkan kesejahteraan hidup, kebahagiaan hidup sehat lahir batin. Kutipan berikut menunjukkan hal ini: Yadanyesam hitam nasya ātmanah karma purusam, srapatrapeta va yena na tat kuryāt katarhcana (Mahābhārata) Terjemahan: Perbuatan yang tidak mengantarkan orang kepada kerahayuan, atau membawa malu kepada kita, janganlah itu dilakukan kepada siapapun. sarve bhavantu sukhinah sarve santu niramayah sarve bhadrāni paśyantu mā kaścid duhkha bag bhavet (Mahabharata) Terjemahan: Semoga semua bahagia, semoga semua sehat dan jujur, semoga semua menjumpai kebahagiaan, semoga tidak ada yang sengsara. 95

5. Ajaran Etika dan Moralitas Menurut Bhagavādgīta. Bhagavadgita terbagi atas 18 Bab. Hampir seluruh isi Bhagavadgita merupakan percakapan antara Krsna dan Arjuna, percakapan antara guru dengan murid, antara awatara dengan seorang penganutnya. Dalam

Bhagavadgita

kecendrungan-kecendrungan

sifat

manusia

dibedakan menjadi dua bagian, (1) Daivi Sampat, yaitu kecendrungan kedewataan. Kecendrungan kedewataan adalah kecenderungan-kecenderungan yang mulia yang menyebabkan manusia berbudi luhur yang mengantarkan orang untuk mendapatkan kerahayuan. (2) Asuri Sampat, yaitu kecenderungan keraksasaan. Kecenderungan ini adalah kecenderungan yang rendah yang menyebabkan manusia berbudi rendah yang menyebabkan manusia dapat jatuh ke jurang neraka. Kedua kecenderungan itu ada pada diri semua orang hanya dalam ukuran yang berbeda-beda. Ini berarti bahwa dalam diri orang terdapat sifat baik dan sifat buruk atau subhakarma dan asubhakarma. Agar orang tidak dikuasai oleh kecenderungan-kecenderungan yang rendah ia harus mengendalikan diri dari guncangan-guncangan hati yang tidak baik. Sifat kedewataan adalah sifat-sifat etis karena semuanya itu membawa orang pada keserasian, kedamaian, tulus, ahimsa, jujur, hormat kepada guru, kesucian badan dan pikiran, serta ketetapan hati dan penguasaan diri adalah sifat-sifat etis yang baik dan benar. Ini berarti orang harus menghindar dari sifat-sifat keraksasaan. Usaha untuk dapat lepas dari sifat-sifat tidak baik ialah dengan jalan menguasai diri sendiri. Dalam hubungan ini Bhagavadgita berulang-ulang menyebutkan agar orang dapat menguasai indriyanya, karena indriya yang menghubungkan manusia dengan dunia ini, dunia objek kesenangan. Dengan menguasai

96

indriya maka keinginan yang timbul dari dirinya itu dapat diarahkan kepada tujuan-tujuan yang baik yang membawa keselamatan kepada dirinya sendiri. Adapun metode untuk menguasai indriya, Bhagavadgita mengikuti praktek ajaran yoga. Indriya harus ditarik dari objek-objek keinginan seperti kurakura menarik semua anggota badannya ke dalam dirinya. yadā samharate cāyam kurmo ngānīva sarvaśah, indriyānindriyārthebhyas tasya prajnā praghitā (Bhagavādgita H.58) Terjemahan: Ia yang dapat menarik indriyanya dari objek keinginan dengan sempurna, sepeni kura-kura yang menarik anggota badannya ke dalam dirinya, itulah orang bijaksana Dari uraian di atas tampaklah bahwa benda-benda dunia inilah yang mengguncang-guncangkan

hati

manusia

yang

menjauhkannya

dari

ketenangan, kedamaian hati, dan kebahagiaan. Karena itu orang diharuskan dapat mengendalikan indriyanya ke dalam ikatannya dengan benda-benda duniawi ini, sehingga kebijaksanaan tetap menjadi pelita penerang jiwa. Seperti terungkap pada sloka-sloka di bawah ini: dhyayāto vigvayān pumsah sangas tesūpajāyate sangāt sānjāyale kāmah kāmāt krodho bhijāyate. (Bhagavādgīta II.62) Terjemahan: Bila seseorang selalu memikirkan benda-benda duniawi, ia akan terikat kepadanya. Dari ikatan muncul keinginan, dari keinginan muncul kemarahan. krodhād bhavati sammohah sammohāt smrti-vibhramah, smrti-bhramśād buddhi-nāśo 97

buddhi-nāsāt pranaśyati. (Bhagavadgita II.63) Terjemahan: Dari kemarahan munculah kebingungan, dari kebingungan hilang ingatan, hilang ingatan menghancurkan pikiran, kehancuran pikiran membawa kemusnahan. rāga-dvesa-viyuklais tu visayān indriyaiś caram, ātma-vaśyair vidheyātmā prasādam adhigacchati (Bhagavadgita II.64) Terjemahan: Akan tetapi ia yang dapat mengendalikan pikirannya di tengah benda-benda duniawi, dengan dapat menguasai indriyanya, bebas dari ikatan dan perasaan enggan ia mencapai ketenangan Dengan indriya yang terkendali, dengan hati yang tenang orang harus melakukan kewajibannya di dunia ini dengan jalan bekerja, seperti diungkap dalam sloka di bawah ini. sahajam karmakaunteya sa-donam api na tyajet, sarvārambhā hi dosena dhūmenāgnir ivāyrtāh. (Bhagavādgīta XVIII.48) Terjemahan: Orang hendaknya jangan melepaskan pekerjaan yang sesuai dengan diri, O Arjuna, meskipun ada kurangnya, karena semua usaha diselimuti oleh kekurangan seperti api oleh asap. Karmanaiva hi samsiddhim āthita janakādayah, loka-sagngraham evāpi sampaśyam kartum arhasi. (Bhagavadgita III.20) Terjemahan: 98

Hanya dengan bekerja, Prabu Janaka dan lain-lainnya mendapat kesempurnaan, jadi kami harus juga melakukan pekerjaan dengan pandangan untuk pemeliharaan dunia. Demikianlah ajaran etika dan moralitas serta pengendalian diri diajarkan oleh kitab Bhagavadgita yang hendaknya menjadi pedoman bertingkahlaku dalam mengarungi hidup di dunia ini. 6. Ajaran Etika dan Moralitas Menurut Wrhaspatitattwa. Wrhaspati tattwa terdiri dari 74 sloka yang masing-masing dijelaskan maksudnya dalam bahasa Jawa Kuna. Isinya merupakan percakapan antara Bhatara Parameswara dengan yang Mulia Wrhaspati. Pengendalian diri, Etika dan Moralitas. Agar orang tidak jatuh ke jurang neraka maka orang harus mengendalikan dirinya dan melaksanakan ajaran etika sehingga kecendrungan-kecendrungan hati yang buruk dapat dibendung dan kecendrungan hati yang baik dapat dipupuk. Dalam hubungan ini Wrhaspatitattwa mengambil astānggayoga ajaran Rsi Patañjali sebagai jalan untuk menguasai diri. Dengan demikian ajaran yama niyama dalam ajaran ini juga menjadi alas ajaran yoga ialah sebagai ajaran yang bersifat etis. Susunan satangga yoga dalam kitab Wrhaspatitattwa ini berbeda dengan Susunan sadangga yoga Rsi Patañjali, dengan memisahkan yama niyama dari kedelapan anggota yoga, sehingga yang tinggal enam anggota yoga itu disebut sadangga yoga. Susunan sadangga yoga itupun berbeda dengan susunan dalam yoga sūtra, yaitu dengan mendahulukan dhyana dari pranayama dan mengganti asana dengan tarka yoga. Tetapi penjelasan masing-masing anggota yoga itu sesuai pula dengan penjelasan yoga sūtra Patañjali. Dalam kitab Wrhaspatitattwa ini ajaran yoga dimulai dengan jalan sadangga yoga dan kemudian ajaran yama niyama. Seperti kutipan di bawah ini. 99

Pratyāhāraśtathā dhyānam prānayāmaśca dhāranam, Tarkascaiva sāmadhisca sadangga yoga ucyate. Nahan tang sadanggayoga ngaranya, ika ta sadhana ning sang mahyun umangguhakena sang hyang Wiśesa denika, pahawas tang hidepta, haywa ta iwĕng-iwĕngdentangĕngo sang hyang aji hana pratyāhāra yoga ngaranya, hana dhyanayoga ngaranya, hana prānāyama yoga ngaranya, hana dhārana yoga ngaranya, hana harus tarkayoga ngaranya, hana samādhi yoga ngaranya, nahan tang sadangga yoga ngaranya. (Wrhaspatitattwa, 53) Terjemahan: Demikianlah sadangga yoga namanya, itulah sarananya orang yang ingin menemukan sang hyang Wisesa, biarlah terang hitam, janganlah kalut olehmu mendengar ajaran ini. Ada pratyahara yoga namanya ada dhyāna yoga namanya, ada tarka yoga namanya, ada samādhi yoga namanya. Demikian Sadangga yoga namanya. Kitab Wrhaspatitattwa juga mengajarkan, indriya dan pikiranlah yang dikendalikan untuk memperoleh kedamaian hati. Dalam ajaran ini pikiran itu disebut citta, namun kadang-kadang disebut jnana atau hati. Objek pemusatan pikiran ialah sang hyang Wiśesa, yang di sana sini juga dipanggil Bhatāra Śiwa atau sang hyang Paramātma. Penjelasan masing-masing bagian yoga ini seperti di bawah ini. Indriyānindriyārthebhyan visayebhyah prayatnatah, jnantena manasahrlya pratyāhāro nigadyate. Ikang indriya kabeh winatĕk wisayanya, ikang citta budhi mana tan wineh maparan-parana kinĕmitakĕn ing citta malilang, yeka pratyāhara ngaranya. (Wrhaspatitattwa, 54) Terjemahan. 100

Indriya itu semua ditarik sasaran keinginannya, citta buddhi manah tidak dibiarkan mengembara ke mana-mana, namun dipegang baik-baik pada citta yang hening bersih, itulah pratyāhāra namanya. Nirdvandvan nirvikārānca nisāntamacalam tathā, yadrūpam dhyāyate nityam, tad dhyānamiti kathyate. Ikang jnāna tan pangrwarrwa, tatan wikāra, enak hĕnĕnghĕnĕng nira, umidĕng sado tan kāwarapan, yeka dhyāna yoga ngaranya. (Wrhaspatitattwa, 55) Terjemahan. Pikiran yang memusat, tidak berubah-ubah, tenang dan tentram, tetap tidak goyah, tidak terselimuti apa-apa, itulah dhyana yoga namanya. Pidhyāya sarvadvārrāni vāyurantranigrhyate, mūrdhānam vāyunobhidya prānāyama nigadyate. Ikang sarvadwāra kabeh yateka tutupana mata, irung, tutuk, talinga, ikang wayu huwus inisĕpngūnin rumuhun, yateka winĕtwakĕn mahawana ng wunwunan, kunang yapwan tan abhhyasa ikang wāyu mahawaneng hirung, ndan sakasadidik dening manetwaké wayu, yateka prānayama yoga ngaranya. (Wrhaspatitattwa, 56.) Terjemahan. Semua pintu ditutup, mata, hidung, mulut, telinga. Udara yang telah dihirup terlebih dahulu, dihembuskan keluar melalui ubun-ubun. Bila tidak terlatih udara melalui itu, dapatlah dikeluarkan melalui hidung. Hendaknya sedikit demi sedikit. Yang demikian itulah disebut prānayāma yoga. Ongkāram hrdaye sthāpya, tattwalīne swātmalym, Ongkārah samdhto yasmād, dhāranam vai nigadyate. 101

Hana ongkārāsabda umungwing hati, yateka dhāranām, yapwan hilang ika nora karengo ri kāla ning yoga yeka śiwātma ngaranya, sūnyāwak bhatara Siwa yan mangkana, yeka dhārana yoga ngaranya Wrhaspatitattwa, 57) Terjemahan. Ada Ongkāra śabda namanya, tempatnya dalam hati, itulah supaya ditahan kuat-kuat. Bila ia lenyap tak terdengar lagi waktu melaksanakan yoga, itulah Siwa ātma namanya. Pada saat yang demikian Bhatāra Siwa berbadan sunya. Yang demikian itulah dhārana yoga namanya. Ākāśa iva tadrūpam, ākāsah santatam druvam, Nihsabdam tarkayetnityam sa tarka iti kahyate. Kadi ākāsa rakwa sang hyang paramārtha, ndan ta palenanira lawan ākāsa, tan hana śabda ri nira, ya ta kalingan ing paramartha, papada nira lawan awang-awang malilang juga, yeka tarkayoga ngaranya. (Wrhaspatitattwa, 58.) Terjemahan Seperti angkasalah sang hyang paramértha, Badannya dengan angkasa ialah padanya tidak ada suara. Demikianlah hakikat sang hyang paramārtha sama dengan awang-awang yang bersih. Keadaan yang demikian tarkayoga namanya. Nirupeksam nirākalpam nihsprhe sāntamavyayam, Alinggam cintayet nityam, samādhistena kathyale. Ikang jnnā tan popakaa, tanpangalpana, tan hana kaharĕp nira, tan hana sinadhyanira, alilang tan kāwaranan juga, tatan pakahilangan, tatan pawastu ikang cetana, apan māri humidĕp sira ikang sarira, luput sangkeng catur kalpana. Caturkalpanā ngaranya, wruh lawan kinawruhan pangawruh lawan mangawruhi, nahan yang catur kalpana ngaranya, ika ta kabeh tan hana ri sang yogīśwara, yateka samādhi yoga ngaranya. (Wphaspatitattwa, 59.) 102

Terjemahan. Pikiran yang sadar dari apa yang dipandang, bebas dari apa yang berbentuk, tiada yang diharap-harapkannya, tidak ada yang hendak dicapainya, suci bersih tak terlutup apapun juga, tidak ada wujudnya kesadaran itu, sebab tidak lagi ia memikirkan badannya, bebas dari catur kalpana. Catur kalpana namanya ialah tahu dan yang diketahui, pengetahuan dan mengetahui, itulah catur kalpana namanya, itu semuanya tidak ada pada sang yogiswara. Yang demikian itulah samadhi yoga namanya. Suasana yang di uraikan di atas ini suasana seseorang yang sedang melaksanakan

praktek

yoga.

Sudah

tentu

tidak

semua

orang

dapat

melaksanakan ajaran yoga seperti itu karena kemampuan orang berbedabeda. Suasana pikiran yang digambarkan di atas adalah suasana pikiran yang luar biasa tenangnya lepas dari sentuhan rangsang dunia ini, karena kemampuan pengendalian pikiran yang luar biasa pula. Sang Yogīśwara julukannya orang yang demikian. Setelah uraian-uraian tersebut di atas barulah di dalam kitab Wrhaspatitattwa diuraikan ajaran yama niyama yang merupakan ajaran etika di dalam yoga. Seperti sudah disebutkan di depan Susunan yama niyama ini di sana sini ada perbedaan-perbedaannya dengan yama niyama dalam yoga siltra Patañjali. Susunan yama dalam kitab Wrhaspatitattwa adalah semikian. Ahimsā brahmacayanca, satyam avyavahārikam, Astainyamiti pancaite yamā rudrena bhāsitāh. Ahimsā ngaranya tan pamati-mari, brahmacarya ngaranya tan ahyun arabya, satya ngaranya tatan mithyawacana, awyawahārika ngaranya tan awiwāda, tan adol awělya, tan paguna dosa, astainya ngaranya tan amaling-maling, tan angalap drewya ning len yan tan ubhaya. (Wrhaspatitattwa, 60.) Terjemahan: 103

Ahimsā namanya tidak mebunuh-bunuh, brahmacari namanya tidak mau kawin, satya namanya tidak berkata bohong, awyawaharika namanya tidak berjual beli, tidak berbuat dosa karena kepintaran, astainya namanya tidak mencuri, tidak mengambil milik orang lain bila tidak dapat persetujuan kedua pihak. Demikianlah susunan yama dalam kitab Wrhaspatitattwa yang sifatnya etis sekali. Demikian pula susunan niyama dalam kitab ini sifatnya juga seperti yama yaitu sangat etis sebagai pedoman hidup yang baik. Susunannya seperti di bawah ini. Akrodha guruśuśrūsā saucam āharalāghavam, apramādaśca pancaite niyamāh parikīlitāh. Akrodha ngaranya tan bwat sěrěngěn, gurususrūsā ngaranya bhakty aguru, sauca ngaranya nitya majapamaradina śarira, āhāralāghawa ngaranya tan abwat ing pinangan, apramāda ngaranya tan palěh-palěha. (Wrhaspatitattwa, 61.) Terjemahan: Akrodha namanya tidak marah saja, gurususrūsā namanya bakti berguru, sauca namanya selalu melakukan japa, membersihkan badan, āhāralāghawa ialah tidak banyak-banyak makan, apramāda namanya tidak lalai. Ajaran-ajaran yama niyama seperti tersebut di atas juga kita dapati tersebar dalam lontar-lontar di Bali antara lain ialah lontar Vratiśasana, Pancaśiksa. 7. Ajaran Etika dan Moralitas Menurut Sārasamuccaya. Sarasamuccaya menyebutkan bahwa hanya manusialah yang mengenal perbuatan yang salah dan benar, baik dan buruk, dan dapat menjadikan yang tidak baik itu menjadi baik. Itulah salah satu kemampuan manusia yang diberikan oleh Tuhan. Karena manusia ini adalah mahluk yang mulia, mahluk 104

berpikir, maka ia mampu melepaskan dirinya dari asubhā karma dan masuk dalam

subhākarma.

Pada

banyak

komentar

dari

sloka-sloka

kitab

Sārasamuccaya ini orang-orang yang berbudi luhur disebut sadhujana, sang sajjana, sedangkan orang yang bertabiat buruk disebut dursila, durjana, dursila wwang pāpabhudhi. Orang Sādhu jana adalah orang yang sabar, tidak kasar, tidak memikirkan akan cacat cela orang. Hanya kebajikan sajalah yang dikerjakannya, terutama kasih sayang terhadap sesama hidup. Hal ini semua adalah akibat banyak memiliki ilmu sehingga beliau merunduk bagaikan padi yang sarat dengan buah yang bernas. Semua sifat-sifat kebajikan itu dapat kita banyak pada ayat-ayat seperti di bawah ini. Kuneng laksana sang Sadhu, tan agirang yan inalem, tan alara yan ininda, tan kataman kroda, pisaningun ujarakena ng parusawacana, langgeng dhīrāhning manah nira. (Sarasamuccaya, 306) Terjemahan: Adapun ciri-ciri sang sādhu adalah tidak gembira jika dipuji, tidak sedih jika dicela, pun tidak kerasukan marah, tidak mungkin beliau mengucapkan kata-kata kasar, sebaliknya selalu tetap teguh dan suci bersih pikiran beliau. Lawan ta waneh, tarangěn-angěn dosa ning len, pisaningun ujarakěnang parāpawāda, gunanya, inwang ulahnya, rahayu juga kengět nira, tatan hana gantanira manasara sakeng sistācara apagěh juga sira ri maryādānira, mangkana laksana sang sādhu, sira purusotama ngaranira waneh. (Sarasamuccaya, 307) Terjemahan: Dan lagi sang sādhu tidak memikirkan dosa atau cacat orang lain, pun tidak akan mengeluarkan kata-kata apapun tentang celaan atau teguran dari pihak lain, hanya kebajikan dan perbuatan baik pihak lain saja dipikirkan beliau, dan sama sekali tidak ada kemungkinan beliau akan menyimpang dari perilaku orang arif, melainkan tetap teguh berpegang pada susila dan sopan santun. Demikianlah laksana sang sadhu. 105

Beliau disebut pula manusia utama). Paramārthanya, upaśama ta pwa sang sādhu ngaranira, tumungkul dening kweh ning gunanira, mwang wruhnira, kadyangganing pari, tumungkul dening bwatning wwahnya, mwang pang ning kayu, tumungkul de ning töb ning phalanya. (Sarasamuccaya, 308) Terjemahan: Kesimpulannya, sabar dan tenang pembawaan sang sādhu, merunduk karena banyak kebajikan dan ilmunya, sebagai halnya padi runduk karena berat buahnya, dan dahan pohon kayu itu runduk, disebabkan karena lebat buahnya. Tātan pakanimitta hyunira ring pratyupakāra sang sajjana ar gawayakěn ikang kaparārthan, kunang wiwekanira, prawrtti sang sādhu ta pwa iki, maryadā sang mahapurusa, mangkana juga wiwekanira, tan prakoyeka ring phala. (Sarasamuccaya, 313) Terjemahan: Bukan karena keinginan akan pembalasannya, sang utama budi mengusahakan kesejahteraan orang lain, melainkan karena hal itu telah merupakan keyakinannya. Pembawaan sang sādhu memang demikian. Itulah ciri orang yang berjiwa besar. Demikianlah keyakinan beliau, tidak memandang akan buah hasil kerjanya. Demikianlah

sifat-sifat

mulia

yang

dimiliki

sang

sādhujana.

Selanjutnya kita sajikan uraian sifat-sifat orang papa budhi yang sudah tentu berlawanan dengan sifat-sifat sang Sadhu budhi. Sifat-sifat itu adalah sifat ingin berbuat jahat, tidak kasihan terhadap dirinya sendiri, bohong, membuat orang lain menderita, sombong, munafik, menipu dan sebagainya. Di bawah ini kami kutipkan beberapa ayat yang menguraikan sifat-sifat sang durjana. Lawan purihnikang durjana, yadyan sawiji ning sasawi dosa sang sādhu, katon juga denya, kunang yan dosanyawaknya, ydayan sawwah ning wilwa towi katona ta de nya, tan tinon fuga ya (Sarasamuccaya, 342) 106

Terjemahan: Dan tabiat orang yang jahat meskipun sebesar biji sawi dosa sang sādhu terlihat olehnya. Akan tetapi mengenai noda dirinya sendiri, kendati sebesar buah maja yang seharusnya terlihat olehnya, tidak tampak olehnya). Lawan swabhāwa ning durjana, ika sang sādhu, atyanta juga sukhanirān panambaha atwang ādara ri sang wfddha pandita, tatan mangkana ng durjana, wiparita kramanya, atyanta paritusfanyān tělah manirakārāwamana angapahāsa ri sang mahāpurusa (Sarasamuccaya, 342) Terjemahan: Demikianlah perangai sang durjana, sedangkan sang sadhu keliwat senang hatinya untuk memberi hormat dengan segala kerendahan hati serta dengan khidmat kepada sang pandita yang arif bijaksana. Tidaklah demikian si durjana, terbalik perilakunya. Ia terlalu sangat puas hatinya setelah menista, berlaku kurang ajar dan mengejek orang yang berjiwa besar. Apan sang sādhu ngaranira, yadyapin koněn sira ring ulah salah, tan pangihiděp juga sira, tan rěngö- rěngön, kunang ikang wwang dusta, yadyapin uhutana towi ring ulah salah, inulahakěnnya juga (Sarasamuccaya, 348) Terjemahan: Orang yang disebut sādhu budi, biarpun diperintah untuk berbuat dosa, sekali-kali beliau tidak akan menurut, dan tidak akan mentaati perintah itu. Akan tetapi orang yang berhati jahat, meskipun ia dilarang agar tidak melakukan perbuatan jahat, namun dilakukan juga olehnya). Rupanya uraian-uraian dalam kitab ini bermaksud untuk memberikan contoh-contoh akan sifat baik dan buruk kepada semua orang dan mendorong

107

agar orang memilih sifat baik. Seseorang baru akan dapat memilih apabila disuguhi dua pilihan atau lebih. Demikian ajaran etika dan moralitas kita selalu menemukan satu pilihan di antara dua sifat baik dan buruk. Etika dan moralitas selalu menunjuk jalan untuk memilih sifat yang baik. Sārasamuccaya juga mengajarkan bahwa pikiranlah yang menjadi sumber dari segala apa yang dilakukan orang. Pikiranlah yang memungkinkan orang dapat melihat, mendengar, dan sebagainya pun pula pikiranlah yang menjadi sumber hawa nafsu, sumber perbuatan baik dan buruk. Karena itu bila seseorang ingin mendapatkan keselamatan maka pikiran itu harus dikendalikan. Hal ini dinyatakan dalam Sārasamuccaya sebagai berikut. Apan ikang manah ngaranya, ya ika witning indriya, maprawrtti ta ya ring śubhāśubhā karma, matangnyan ikang manahjuga prihen kahrětannya sekarěng. (Sarasamuccaya, 80) Terjemahan: Sebab yang disebut pikiran itu merupakan sumbernya nafsu, ialah yang menggerakkan perbuatan yang baik maupun yang buruk. Oleh karena itu, pikiranlah yang segera patut diusahakan pengendaliannya. Kemudian diajarkanlah bahwa indriya itu adalah sorga dan neraka, sumber bahagia dan celaka. Bila ia dapat dikendalikan seseorang akan mendapatkan sorga bila tak terkendali orang akan mendapatkan neraka. Demikian seperti disebutkan dalam ayat kitab Sārasamuccaya berikut ini. Nyang pajara waneh, indriya ikang sinangguh swarga-naraka, kramanya, yan kawasa kahrśtanya, yaika sāksāt swarga ngaranya, yapwan tan kawasa kahrětanya saksat naraka ika. (Sarasamuccaya, 71) Terjemahan: Inilah lagi diuraikan, nafsu yang dianggap penyebab sorga ataupun neraka. Keterangannya, jika nafsu itu dapat dikuasai pengendaliannya itulah merupakan sorga namanya apabila 108

tidak dapat dikuasai pengekangannya, itulah merupakan neraka. Di dalam ayat 90 dari kitab ini kita diajarkan supaya pikiran dan indriya itu dihindari dari melakukan sesuatu yang terlarang, melakukan sesuatu

yang

tercela,

melakukan

sesuatu

yang

pada

akhirnya

tidak

menyenangkan. Kitab ini mengajarkan kesabaran, tahan uji, adalah emas permatanya orang yang mampu memerangi indriya. Sangksepanya, ksamā ikang paramārthaning pinakadrbya, pinaka mas manik nika sang wěnang lumage sakti ning indriya, nora luměwihana halěpnya, anghing ya wěkasan ing pathya, pathya ngaran ing pathādāna petah, tan panasar sangke mārga yukti, manggeh sadhana asing parana, tan apilih ring kāla. (Sarasamuccaya, 93) Terjemahan: Kesimpulannya, kesabaran hati itulah merupakan kekayaan yang sangat utama. Itu adalah sebagai emas dan permata orang yang mampu dalam menerangi kekuatan hawa nafsu, yang tidak ada melebihi kemuliaannya. Akan tetapi ia juga puncaknya pathya. Pathya disebut patadanapeta, yang tidak sasar, sesat dari jalan yang benar melainkan tetap selalu merupakan pedoman untuk mencapai setiap apa yang akan ditempuh sepanjang waktu). Selain daripada Ksama yaitu kesabaran hati, maka kitab ini juga mengajarkan Dama yaitu ketenangan hati yang menyebabkan orang sadar akan diri sehingga tidak mudah tersesat oleh pengaruh goncangan-goncangan emosi seperti krodha, irsya, dan sebagainya. Isi pokok kitab Sarasamuccaya ini adalah ajaran Etika dan Moralitas. Berbagai suruhan, larangan mengenai tingkah laku disajikan oleh kitab ini. Tentu saja semua ajaran ini berlandaskan ajaran agama Hindu, ajaran untuk mencapai kelepasan dari belenggu penderitaan. Pembenahan diri sendiri mendapatkan tempat utama, di samping pembenahan diri dalam hubungan dengan orang lain. Hal terakhir ini kita 109

dapati dalam ajaran anrěśangsya, sangsarga dan catur warna. Tetapi juga hubungan antara hidup diakhiratpun mendapat perhatian yang besar. Barang siapa yang hidup baik di dunia akan mendapat kebahagiaan di akhirat. Namun pembenahan hidup di dunia inilah yang terpenting, karena di dunia inilah tempat kita berbuat yang hasilnya akan kita nikmati di akhirat dan pada kelahiran yang akan datang. Kelahiran ini adalah tangga untuk naik ke sorga. Karena itu kelahiran ini harus diabdikan untuk meningkatkan diri dalam kebajikan supaya tidak jatuh ke neraka. Caranya ialah dengan melakukan dharma. Kasih sayang selalu didambakan orang. Kasih ibulah yang paling mulia. Orang harus hormat kepada orang tua, tetapi juga kepada semua makhluk. Dalam kitab ini kita dapatkan ajaran mengenai: Catur purusa artha, trikaya, tentang pergaulan, hormat kepada orang lain dan orang tua, ajaran tentang daśa yama dan daśa niyama. 8. Ajaran Etika dan Moralitas Menurut Kitab Ślokāntara. Naskah Śilokantara memiliki nilai-nilai etika (tata susila) atau moralitas dalam kaitannya dengan pendidikan agama Hindu. Naskah Ślokantara adalah salah satu naskah Hindu di Bali yang juga sarat dengan ajaran-ajaran kesusilaan atau moralitas, yang dapat dijadikan tuntunan atau pedoman dalam menuju keberhasilan penyelenggaraan pendidikan agama Hindu. Nilai etika yang dimaksudkan seperti berikut ini. 8.1 Dharma (kewajiban suci dan Brahmacari (masa menuntut ilmu pengetahuan) Sukla brahmacari ialah orang yang tidak kawin seumur hidupnya dari kecil sampai tua, bukan karena mempunyai cacat badan atau Wandu (lemah syawat), malah ia tidak pernah berbicara tentang perkawinan sampai di hari 110

tuanya. Sawala brahmacara ialah orang kawin hanya sekali saja dan tidak lagi, walaupun sudah ditinggalkan mati oleh istrinya. Krsna brahmacari ialah orang yang kawin paling banyak empat kali dan tidak kawin lagi. 8.2 Satya dan dharma (kebenaran) Mengenai satya (kebenaran) ada dinyatakan “membuat sebuah telaga untuk umum itu lebih baik dari pada menggali seratus sumur. Melakukan yajna (korban suci) itu lebih tinggi mutunya daripada membuat seratus telaga. Mempunyai seorang putra itu lebih berguna daripada melakukan seratus yajna. Dan menjadi manusia setia itu jauh lebih tinggi mutu dan gunanya dari mempunyai seratus putra” (Oka, 1993:10). Tidak ada dharma (kewajiban suci) yang lebih tinggi dari kebenaran (satya) tidak ada dosa yang lebih rendah dari dusta. Dharma harus dilaksanakan di ketiga dunia ini, dan kebenaran harus tidak dilanggar. Dikatakan bahwa tidak ada kewajiban suci yang melebihi kebenaran, oleh karena itu jangan lupa bahwa manusia harus melakukan kebenaran (ibid). “Kemudaan dan kecantikan rupa itu tidak langgeng, timbunan kekayaan tidak langgeng. Hubungan dengan yang dicintaipun tidak langgeng. Oleh karena itu kita harus selalu mengejar dharma (kebenaran) karena itulah yang langgeng (ibid). 8.3 Karma Dharma (berbuat baik dan Niraya berbuat tidak baik) Menyimak makna sloka 5 (Oka, 1993:15) dinyatakan berikut ini, “Untuk seekor rusa yang berbahagia dengan rumput dan buluh muda, perhiasan itu tidak berarti. Bagi kera yang berbahagia dengan buah-buahan dan pohon-pohon kayu, mutiara itu tidak ada artinya. Untuk babi yang gembira dengan makanan yang sudah busuk, bau bunga harum itu tidak berarti apa-apa. Tetapi bagi manusia, dharmalah (perbuatan baiklah) yang harus

diutamakan

dan

dilakukan

walaupun

kadang-kadang

tidak 111

menggembirakan. Sebaliknya dinamai karma adharma atau niraya (berbuat yang tidak baik). 8.4

Budhiman atau krti atau pandita (orang yang cerdas) dan Paradara-warji (tidak merindukan istri orang lain) Perilaku orang budhiman tersurat dalam sloka 6 (Oka,1993:17)

dinyatakan “Ia yang setia kepada kewajibannya, yang telah mengatasi kesombongan dan kemarahan, yang bijaksana tetapi rendah hati, orang yang tidak pernah menyakiti hati orang lain, puas dan setia pada istrinya, hormat pada wanita lainnya, baginya tidk ada sesuatunyapun yang perlu ditakutinya di dunia ini. Orang budiman yang telah mendalam pengetahuannya tentang dharma akan tidak menghiraukan segala usaha-usaha jahat dan tipu muslihat musuhmusuhnya untuk menjauhkan dirinya. Jika ia tidak demikian berbudi, ia pasti akan membalas dendam (ibid,19). Ketentuan orang budiman, antara lain: 1) krti artinya orang bijaksana dan budiman; 2) pratikara artinya kejahatan atau kesakitan itu akan berbalik kembali dari mana asalnya. 8.5 Uttama Janma (orang saleh) Bagaimanakah yang dinamai orang Saleh itu? Orang saleh walaupun ia amat miskin, ia tidak akan mau melakukan pekerjaan haram. Seekor harimau, walaupun kakinya dipotong remuk, ia tidak mau makan rumput (ibid,21). 8.6 Swargasyuta (kelahiran sorga) Bagaimanakah ciri-ciri kelahiran sorga atau swargasyuta itu? “Berani, sehat, menikmati ketenangan yang halal, berbakti pada Tuhan, menerima harta benda, kehormatan dan cinta dari orang-orang besar dan orang-orang suci, inilah tanda orang berbahagia kelahiran sorga” (ibid,23). 112

8.7 Enam ciri orang baik-baik Enam ciri orang baik-baik, yang merupakan tanda kelahiran dari sorga (swargasyuta), seperti: suratwa (menjelma dengan segala sifat ksatriya), arogya (ia tidak pernah sakit selama hidupnya), rati (ia disayangi oleh rakyat), dewasu bhaktih (ia selalu bhakti kepada Tuhan), kanakalabha (mendapat emas perak kekayaan dengan halal), dan i (ia sangat dikasihi oleh raja/pemimpin). Sesuai sloka 9 dalam Ślokantara bahwa mereka yang berbahagia merupakan ciri-ciri dari kelahiran sorga, di antaranya: berani, sehat, menikmati ketenangan yang halal, berbhakti kepada Tuhan, menerima harta benda, kehormatan dan cinta dari orang-orang besar dan orang-orang suci, inilah tanda orang berbahagia dari kelahiran sorga (Oka,1993:23). 8.8 Empat golongan manusia yang menikmati kebahagiaan Empat golongan manusia yang menikmati kebahagiaan di dunia yakni: upayajna (cerdik), sura (pemberani), krtawidya (bijaksana dalam segala ilmu), priyamwada (peramah). 8.9 Empat orang yang dapat dipercaya Empat orang yang dapat dipercaya yaitu brahmana (orang yang pandai), orang yang mendapat anugerah dewa/Tuhan, raja (orang yang memiliki kekuasaan/cakrawarti), dan yogin (orang yang menerapkan ajaran yoga). 8.10 Kebaikan sejati Kebaikan sejati diumpamakan seperti: 1) sebagai emas murni walau dipanasi dan ditempa berkali-kali masih tetap cemerlang, 2) sebagai kayu cendana walau digosok-gosokan berkali-kali masih tetap mengeluarkan bau harum, 3)sebagai tebu walau dipotong berkali-kali tetap memiliki rasa manis. 113

8.11 Dusta (bohong) dan dosa (salah) Dusta (bohong) dan dosa (salah) ketentuannya adalah 1) bohong terhadap mahluk rendah salahnya sepuluh lipat, 2) bohong terhadap sesama manusia salahnya seratus lipat, 3) bohong terhadap raja salahnya seribu lipat, 4) bohong terhadap pertapa dan dewa-dewa dosa tidak terbatas. 8.12 Manusa Dosa atau Pataka (manusia salah) Manusa Dosa atau Pataka (manusia salah) ketentuannya antara lain: 1) brunaha (membunuh bayi yang masih dalam kandungan), 2) purusaghna (melakukan pembunuhan terhadap manusia lain, baik dhanawan atau orang kaya maupun orang yang berilmu atau bahusastra atau sastrawan), 3) kanyacora (orang yang mencuri atau melarikan dengan paksa seorang gadis (gadis perawan), 4) agrayajaka (seorang yang kawin mendahului kakak laki atau perempuan), 5) ajnata samwatsarika (orang yang menanam atau mengolah tanah di musim yang salah. Semua orang jenis tersebut di atas nantinya masuk neraka. 8.13 Upa dosa/Upa pataka (salah kecil) Upa dosa/Upa pataka (salah kecil), ketentuannya antara lain: l) gowadha (membunuh sapi), 2) yuwati wada (membunuh perempuan muda), 3) bala wada (membunuh orang yang tua renta), 4) agara daha (membakar rumah sampai penghuninya).Walau dikategorikan sebagai salah kecil, tetapi tetapi tetap masuk naraka. 8.14 Maha Dosa/Maha Pataka (salah besar) Maha Dosa/ Maha Pataka (salah besar) dengan ketentuan berikut ini: l) brahma wadha (membunuh orang brahmana), 2) sura pana (menyuruh orang saleh siswa meminum minuman keras), 3) suwarnastya (mencuri emas), 114

4) kanya wighna (memperkosa gadis sebelum remaja sampai ia sakit atau mati), dan 5) guruwadha (membunuh guru). Semua jenis kesalahan besar tersebut hasilnya masuk naraka juga. 8.15 Ati Dosa/Ati Pataka (salah terbesar) Ati Dosa/Ati Paraka (salah terbesar) ketentuannya adalah 1) swaputri bhajana

(memperkosa

kehormatan

putri

sendiri),

2)

hatra

bhajana

(memperkosa kehormatan ibu sendiri), 3) lingga grahana (orang yang merusak atau menghancurkan lingga atau lambang bhatara Siwa). Semua jenis kesalahan terbesar tersebut akan masuk naraka dan akan terlahirkan sebagai mahluk terendah di dasar naraka maha Raurawa. 8.16 Ciri-ciri orang kelahiran naraka Ciri-ciri orang kelahiran naraka sebagai berikut: 1) anapatya= orang yang tidak bisa mempunyai keturunan, 2) akamarasa=orang yang tidak mendapatkan kenikmatan dalam persetubuhan/wandu, 3) kliwa= orang yang kelaminnya

dihilangkan,

4)

walawadi=orang

perempuan

yang

bukan

perempuan atau banci, 5) kilu=orang yang gemuk bunder, 6) mangsi=orang yang anggota rahasianya bengkak atau ditumbuhi daging, 7) pitti=orang yang berpenyakit ashma atau orang yang busung perutnya, 8) kujihwa=orang yang bisu, 9) anggu=orang yang berpenyakit tulang, 10) mutri=orang yang membuang air kecil terus-terusan, 11) bhinostha=orang sumbing, 12) wadhira=tu1i, 13) nimatta=orang berpenyakit ayan, 14) unmatta=orang berpenyakit gila, 15) kustha=orang yang memiliki penyakit lepra, 16) rogakuksi=orang

yang

memiliki

penyakit

perut

segala

macam,

17)

wigantika=orang kemasukan setan, 18) khanja=orang yang pincang atau lumpuh, 19) kubja=orang bungkuk, 20) andha=buta, 21) ekadrka=orang bermata sebelah/peceng, 22) hrswa= orang kerdil atau sengkok atau anggota 115

badannya bengkok, 23) clesma=orang yang bicaranya tidak terang, 24) knetra=orang yang berpenyakit mata. Sesuai

pustaka

Kunjarakarna

oleh

Kern

(dalam

Oka,1993:42)

dinyatakan berikut ini, “kemudian mereka diberikan kesernpatan untuk lahir sebagai manusia tetapi manusia yang penuh cacad. Misalnya menjadi orang bungkuk, buta, tuli, lepra, bengkok, bisu, kerdil, gila, busung air, biri-biri basah, peceng (buta sebelah), juling, dungu, mata merah, tanda kekurangan daging, kuping beah, sumbing, kaki sebelah, segala orang cacad dari lahir yang ada di muka bumi ini. Itulah ciri-ciri mereka yang datang dari naraka, yang seumur hidupnya akan menderita. Mereka mati, lahir kembali dengan badan yang cacad. Jika dilihat dari luar umpamanyaztukang potong, penangkap ikan, tukang besi, penyapu jalan, penunggu bangkai, pengemis, orang mandul, orang lemah syawat, fakir miskin, berpenyakit ayan, gila, bebal, kependekan lidah, tidak mempunyai rasa cium, orang sakit tahunan yang tak tertolong lagi”. 8.17 Tingkat kelahiran orang berdosa Tingkat kelahiran orang berdosa (Oka, 1993243-44) sebagai berikut: “kelahiran sebagai manusia ini adalah neraka bagi para dewa-dewa. Neraka bagi manusia biasa adalah kelahiran menjadi binatang ternak, neraka bagi binatang ternak ialah kelahiran menjadi binatang hutan. Neraka bagi binatang buas di hutan itu ialah kelahiran sebagai burung. Kelahiran bagi bangsa burung ialah kelahiran sebagai binatang busuk. Neraka bagi binatang busuk ini ialah kelahiran menjadi binatang menyengat. Neraka bagi binatang penyengat ini ialah kelahiran menjadi binatang berbisa, karena binatang berbisa ini sangat berbahaya dan kejam. Kelahiran yang dibarengi oleh hati dan nasib yang jelek itu merupakan kelahiran terkutuk. Umpamanya, bangsa ikan itu dihanyutkan oleh derasnya air tertentu ia akan didorong turun. Sudah 116

menjadi keharusan baginya untuk hidup di dalam air, dan sangat sulit baginya, atau ia akan lebih merana jika ia ditaruh di tempat dewa-dewa sekalipun. Sedangkan untuk kembali ke dunia manusiapun sangat sulit baginya. 8.18 Candala (manusia rendah) Candala (manusia rendah) Sesuai sloka 22 ketentuannya ialah 1) cunakrat=penjual kapur, 2) surasut=penjual minuman keras, 3) nili=orang yang mencelup, 4) kumbhakaraka=penjual priuk, 5) pranaghana=jagal, 6) dhatudagdha=tukang emas, 7) nejaka=tukang curi, 8) tantu-warna=orang yang biasa membuat keranjang bambu. Dalam sloka 23 dinyatakan “orang membuat minuman keras, penatu, jagal, pembuat periuk belanga, tukang emas, kelimanya dikenal sebagai candala. Orang-orang yang dinamai candala di dunia ini ada Jima macam yaitu: 1) surasut (pembuat minuman keras atau arak), 2) krmidaha (pencuci pakaian alias penatu), 3) pranaghana (jagal), 4) kumbhakaraka (orang yang membuat priuk belanga), dan 5) dhatudagdha (tukang emas). Kemudian sesuai sloka 24 (Oka,1993:50) bahwa orang candala, di antara binatang berkaki empat keledailah yang candala, di antara manusia, orang pemarahlah yang candala, dan akhirnya orang jahat itu ialah orang paling candala. 8.19 Sad tatayi (enam penjahat) Sad tatayi (enam penjahat) sesuai sloka 25 ketentuannya yaitu: 1) agnida=orang yang membakar desa atau kota tidak pada waktu perang, 2) sastragna=orang yang membunuh, 3) daratikrama=orang suka melakukan pemerkosaan sampai menusuk dengan keris, 4) rajapisuna=orang yang suka mengadudombakan orang lain untuk berkelahi, 5) wisada=orang yang suka meracun orang lain, dan 6) atharwa=orang yang suka melakukan ilmu sihir, 117

memasang

guna-guna,

melakukan

pasangan-pasangan

(umpamanya

memendam sesuatu tulang manusia misalnya dan jika dilangkahi atau diinjak menyebabkan sakit atau gila) (Oka,1993:62-63;) 8.20 Durtha (penjahat kawakan) Durtha (penjahat kawakan Sesuai sloka 26 (Oka,1993:55) dinyatakan “mukanya tenang dan menarik sebagai daun bunga seroja, katanya manis lembut menyejukkan sebagai gesekan cendana, tetapi hatinya jahat setajam gunting inilah tanda-tanda dari penjahat ulung”. 8.21 Krtaghnakam (hilang ingatan atau gila) Krtaghnakam (hilang ingatan atau gila). “Sekarang pelayan telah meninggalkan tuannya jika tuannya itu sangat kejam dan kikir kadekut, apalagi ia tidak mempunyai tujuan hidup sama sekali, atau jika ia itu tidak bisa membalas budi” (ibid,56). Juga ditinggalkan jika raja atau pemimpin yang awisesa (mencapurbaurkan segalanya). 8.22 Asta brata (delapan sifat kepemimpinan) Asta brata (delapan sifat kepemimpinan). Dalam sloka 52 sampai dengan 61 dinyatakan berikut ini, 1)

indrabrata (mewujudkan atau

menghujankan kemakmuran), 2) yamabrata (menghukum segala laksana jahat), 3) suryabrata (laksana matahari dengan air yang menguapkan perlahan-lahan

dan

tidak

lekas-lekas

dihabiskan),

4)

candrabrata

(memberikan kenikmatan kepada rakyat dengan lemah lembut, senyum manis sebagai air kehidupan, orang tua dan pendeta dihormati), 5) bayubrata (bertindak dengan hati-hati, mengetahui setiap pikiran rakyatnya), 6) danabrata atau kuwerabrata (makan, minum, berpakaian dan berhias yang

118

harmonis), 7) barunabrata (menangkap tipu segala yang jahat), dan 8) agnibrata (membakar/menghancurkan segala musuh dengan sikap perwira atau berani yang berkobar-kobar). 8.23 Swanayoni Swanayoni (menjadi anjing, jika anjing itu mati kemudian menjelma menjadi orang candala, karena orang itu tidak membalas budi). Sesuai sloka 28 dinyatakan “orang yang tidak mau mengakui guru. Orang yang telah memberikan pelajaran padanya walaupun sedikit saja, ia nanti akan lahir mula-mula sebagai anjing dan kemudian sebagai orang candala (ibid,61). Tiga kategori orang candala: 1) orang yang melakukan kedelapan macam pencurian (asta dusta) atau orang delapan dosa; 2) orang-orang yang melakukan delapan macam pencurian (asia cora) atau delapan kesalahan; 3) orang-orang yang melakukan keenam macam kejahatan (sad tatayi). Selanjutnya mengenai asta dosa/asta dusta dan asta corah rinciannya berikut ini. Yang tergolong asta dosa/asta dusta dan asia corah rinciannya berikut

ini.

Yang

tergolong

asta

dosa

atau

asta

dusta

yaitu

1)

himsaka=membunuh atau menyuruh orang membunuh, 2) codaka=memaksa dengan kekerasan, 3) bhoktah=memuaskan hawa nafsu dengan sepuaspuasnya, 4) bhojekah=memberi makan pada ..., 5) sakarakah=mengikuti dan menolong membunuh, 6) pritikara=berhubungan erat dengan pembunuh, 7) sthanadha=memberi perlindungan pada pembunuh, 8) tretah=memberikan persembunyian/perlindungan pada pembunuh. Yang tergolong asta corah yakni 1) orang yang melakukan pencurian, 2) orang yang menyuruh orang lain membunuh, 3) orang yang memberi tempat persembunyian pada pencuri, 4) orang yang memberi makan pada pencuri, 5) orang yang berhubungan rapat dengan pencuri, 6) orang yang memberi tahu seorang pencuri dalam bahaya, 7) orang yang menolong melakukan pencurian, dan 8) orang yang melindungi 119

dan menyembunyikan pencuri. Demikian beberapa uraian mengenai etika yang berkaitan dengan pendidikan agama Hindu. D. Rangkuman Moral/etika adalah Segala hal yang mengajarkan tentang kebaikan, baik itu disebut dharma, etika, tata susila, kesopanan, norma dan yang lainnya semua bersumber dari ajaran agama, buktinya dapat kita lihat dari kitab-kitab suci seperti sloka-sloka yang tercantum bersumber dari wahyu-wahyu tuhan yang menuntun manusia untuk selalu bisa berakhlak mulia dalam kehidupan. Agama sebagai sumber dasar landasan etika dan moralitas bagi seluruh umat hindu yang selalu berpedoman pada kitab-kitab suci Agama Hindu yang mengajarkan agar hidup ini didasarkan atas dharma, hanya manusialah yang mengenal perbuatan yang salah dan benar, baik dan buruk, dan dapat dijadikan yang tidak baik itu menjadi baik, itulah salah satu kemampuan manusia yang diberikan oleh tuhan. Karena manusia ini mahluk mulia, mahluk berpikir maka ia mampu melepaskan dirinya dari asubha karma dan masuk dalam subhakarma. E. Daftar Pustaka Harsa, Swarbodhi. Upamana-praman Buddha Dharma & Hindu Dharma Analgogi Falsafat-Etika-Puja Buddha Dharma Dan Hindu Dharma. Medan: Yayasan Perguruan “Budaya” & I.B.C. 1980 Mantra (Prof. DR. Ida Bagus) Tahun 1993/1994. Tata Susila Hindu Dharma Diterbitkan oleh Parisada Hindu Dharma Pusat. Pdt. D. D. Harsa Swarbodhi M.A. Upamana-praman Buddha Dharma & Hindu Dharma Analogi Falsafat – Etika-Puja Buddha Dharma dan Hindu Dharma. Medan : Yayasan Perguruan “Budaya” & I.B.C. 1980. Hal. 51 Siwananda, Sri Swami, Intisari Ajaran Hindu, Paramita Surabaya, 1993 BAB V 120

AKHLAK MULIA DALAM KEHIDUPAN A. Kompetensi Dasar Memahami akhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari baik etika maupun moralitas sebagai wujud tingkah laku yang baik. B. Indikator  Menjelaskan etika dan moralitas sebagai aturan tingkah laku yang baik  Menjelaskan Trikaya Parisudha  Menjelaskan Panca Yama Brata  Menjelaskan Panca Niyama Brata  Menjelaskan Dasa Niyama Brata  Menjelaskan Dasa Dharma  Menjelaskan Catur Paramita C. Materi Ajaran tentang akhlak mulia dalam kehidupan bukan saja penting untuk dipahami, tetapi yang lebih penting lagi adalah untuk diamalkan, untuk dilaksanakan dalam pergaulan hidup sehari-hari, untuk diamalkan Sesuai dengan petunjuk-petunjuk agama, sehingga dapat terbentuk manusia berbudi luhur dan mulia. 1. Etika dan Moralitas Sebagai Aturan Tingkahlaku Yang Baik Etika dan Moralitas Agama Hindu pada dasarnya mengajarkan aturan tingkah laku yang baik dan mulia. Ajaran tingkah laku yang baik dan mulia ini terdiri atas: (a) Tri Kaya Parisuda (tiga perilaku yang baik); (b) Panca Yama Brata (lima cara pengendalian diri); (c) Dasa Yama Brata (sepuluh cara 121

pengendalian diri); (d) Panca Niyama Brata (lima cara pengendalian lanjutan); (e) Dāsā Niyama Brata (sepuluh cara pengendalian diri lanjutan); (f) Dasa Dharma (sepuluh perbuatan baik berdasarkan agama); (g) Catur Paramita (empat perbuatan yang luhur).

2. Tri Kaya Parisuda. Tri Kaya Parisuda berasal dari kata “tri” artinya tiga, “kaya” artinya tingkah laku dan “parisuda” artinya mulia atau bersih. Tri Kaya Parisuda dengan demikian berarti tiga tingkah laku yang mulia (baik). Adapun tiga tingkah laku yang baik termaksud adalah: manacika (berpikir yang baik dan suci); wacika (berkata yang baik dan benar); kayika (berbuat yang baik dan jujur). Seseorang dapat dikatakan berpikir baik dan suci (manacika) apabila: (1) tidak menginginkan sesuatu yang tidak halal; (2) tidak berpikir buruk terhadap sesama manusia atau mahluk lainnya; (3) yakin dan percaya terhadap hukum karmapala. Seseorang dapat dinyatakan sebagai berkata baik dan benar (wacika), apabila ia: (1) tidak mencaci maki orang lain; (2) tidak berkata-kata yang kasar kepada orang lain; (3) tidak memfitnah atau mengadu domba; (4) tidak ingkar janji. Seseorang dapat dikatakan berbuat baik dan jujur (kayika) manakala ia : (1) tidak menyiksa, menyakiti atau membunuh; (2) tidak berbuat curang, mencuri atau merampok; (3) tidak berzina. 3. Panca Yama Brata Yang dimaksud Panca Yama Brata yaitu “panca” berarti lima, “Yama” berarti pengendalian dan “Brata” berarti keinginan. Panca Yama Brata dengan 122

demikian berarti lima keinginan untuk mengendalikan diri dari godaangodaan nafsu yang tidak baik. Lima macam pengendalian diri yang perlu diperhatikan oleh umat Hindu adalah (1) tidak menyakiti atau membunuh (Ahimsa); (2) berpikir suci, bersih dan jernih (Brahmacari); (3) kebenara, kesetiaan dan kejujuran (Satya); (4) tidak terikat keduniawian (Awyawahara); (5) tidak mencuri (Asteya atau Asteneya. Ahimsa (Tidak Menyakiti atau Membunuh) Perbuatan yang tidak menyakiti atau membunuh dinamakan ahimsa. Ahimsa berasal dari kata “a” yang berarti tidak dan “himsa” yang berarti membunuh atau menyakiti. Jadi ahimsa berarti tidak membunuh atau tidak menyakiti orang (mahluk) lain. Menyakiti apalagi membunuh adalah suatu perbuatan dosa yang besar dan dilarang oleh Agama Hindu. Semua manusia diciptakan oleh Tuhan, jadi berasal dari Sumber yang sama, dengan Atma yang merupakan sinar suci juga dari Tuhan Yang Maha Esa, semestinya hidup rukun, penuh kasih sayang dan tidak saling menyakiti atau membunuh. Membunuh yang dibenarkan adalah membunuh binatang untuk keperluan pengorbanan kepada Tuhan Yang Maha Esa (yadnya) dan untuk dimakan. Ada empat macam pembunuhan (binatang) yang dibenarkan oleh agama Hindu, yaitu terbatas pada keperluan (a) untuk persembahan kepada Tuhan atau para Dewa (Dewa Yadnya; (b) untuk persembahan kepada roh leluhur (Pitra Yadnya); (c) untuk dipersembah atau diberikan kepada tamu atau undangan; (d) untuk menghindarkan adanya gangguan terhadap manusia karena dapat menimbulkan penderitaan atau penyakit misalnya membunuh nyamuk. Dengan cara tidak menyakiti atau membunuh, maka seseorang akan dapat lebih mudah mencapai ketenangan dan ketentraman lahir maupun batin.

123

Brahmacari (Berpikir Suci, Bersih dan Jernih). Berpikir suci, bersih dan jernih disebut brahmacari. Brahmacari atau Brahmacarya berasal dari kata “brahma” berarti ilmu pengetahuan dan “cari” atau “carya” yang berarti bergerak. Jadi Brahmacari maksudnya bergerak atau bertingkah laku dalam menuntut ilmu pengetahuan. Tegasnya bagaimana perilaku seseorang dalam mempelajari ilmu pengetahuan tentang ajaranajaran yang termuat dalam Kitab Suci Weda, yaitu selalu berpikir bersih dan jernih dan hanya memikirkan pelajaran atau ilmu pengetahuan saja serta tidak memikirkan masalah-masalah keduniawian. Karena itu, maka agar pikiran terpusat hanya kepada pelajaran, seorang Brahmacari tidak dibenarkan untuk kawin, berdagang ataupun berpolitik. Brhamacari dapat dibedakan dalam tiga bagian (l) Sukla Brahmacari adalah orang yang tidak kawin seumur hidupnya; (2) Swala Brahmacari adalah orang yangkawin sekali saja selama hidupnya, meskipun isterinya telah tiada; (3) Kresna Brahmacari adalah orang yang kawin lebih dari satu kali sampai maksimal empat kali. Dengan

tidak

memikirkan

masalah-masalah

keduniawian,

maka

seseorang akan lebih mudah mengendalikan diri, lebih mudah mencapai ketenangan dan ketentraman hidup. Satya (Kebenaran, Kesetiaan dan Kejujuran). Menjunjung tinggi kebenaran, kesetiaan dan kejujuran disebut Satya. Ada lima jenis satya yang disebut Panca Satya yang patut diperhatikan oleh umat Hindu, yakni: (1) Satya Wacana yaitu setia dan jujur dalam berkata-kata dan tidak sombong, tidak mengucapkan kata-kata yang tidak sopan, tidak berkata-kata yang menyakitkan telinga atau berkata pedas dan tidak memaki; (2) Satya Hredaya yaitu setia terhadap kata hati dan selalu konsisten atau berpendirian teguh; (3) Satya Laksana yaitu jujur dan bertanggung jawab 124

terhadap apa yang diucapkan; (4) Satya Mitra yaitu selalu setia kepada teman dan tidak pernah berkhianat; (5) Satya Semaya yaitu selalu menepatijanji, tidak pernah ingkar kepada janji. Dengan menjunjung tinggi kebenaran, kesetiaan dan kejujuran, seseorang akan lebih cepat bisa mengendalikan diri pribadinya, sehingga dapat lebih mudah mencapai ketenangan dan ketentraman. Awyawahara (Tidak Terikat Keduniawian) Melapaskan diri dari keterikatan keduniawian dinamakan awywahara. Awyawahara berasal dari kata “a” yang berarti tidak dan “wyawahara” yang berarti terikat dengan kehidupan duniawi. Awyawahara dengan demikian berarti tidak terikat dengan kehidupan duniawi. Dengan tidak mengikatkan diri terhadap masalah-masalah keduniawian, maka seseorang akan dapat menentukan ketenangan dan ketentraman lahir maupun batin. Asteya/Asteneya (Tidak Mencuri) Tidak berperilaku seperti maling disebut asteya. Asteya berasal dari kata “a” yang berarti tidak, dan “steya” yang berarti mencuri atau memperkosa milik orang lain. Jadi Asteya berarti tidak mencuri atau tidak ingin memiliki barang orang lain. Dengan cara pengendalian diri seperti ini (tidak menuri atau ingin memiliki barang orang lain), maka seseorang akan dapat mencapai ketenangan lahir maupun batin. 4. Dasa Yama Brata. Di atas telah diuraikan tentang Panca Yama Brata atau lima cara pengendalian diri agar dapat berperilaku yang baik dalam masyarakat. Berikut ini akan diuraikan sepuluh cara pengendalian diri yang dinamakan Dasa Yama Brata dan perlu mendapat perhatian umat Hindu yaitu: (1) Anrsamsa (tidak 125

kejam); (2) Ksama (pemaaf); (3) Satya (kebenaran, kesetiaan, dan kejujuran); (4) Ahimsa (tidak menyakiti atau membunuh); (5) Dama (mengendalikan hawa nafsu); (6) Arjawa (tetap pendirian); (7) Priti (Welas asih); (8) Prasada (berpikir jernih dan suci; (9) Madhurya (ramah tamah); (10) Mardarwa (lemah lembut). Dari kesepuluh cara pengendalian diri ini, dua di antaranya telah dijelaskan dalam Panca Yama Brata, yakni Ahimsa dan Satya. Berikut ini adalah uraian lebih lanjut mengenai kesepuluh cara pengendalian diri tersebut. Anrsamsa (Tidak Kejam). Perbuatan yang tidak kejam disebut anrsamsa. Anrsamsa berasal dari kata “a” yang berarti tidak dan “nrsamsa” berarti orang yang kejam. Jadi anrsamsa berarti orang yang tidak kejam. Menjadi manusia itu haruslah lemah lembut, tidak lekas marah, tidak mudah tersinggung. Dalam hal ini seseorang hendaknya dapat mengendalikan pikirannya, dapat mengendalikan katakatanya,

dapat

mengendalikan

perbuatannya.

Hanya

dengan

perilaku

demikian orang akan diterima bergaul di masyarakat. Ksama (Pemaaf). Mudah memaafkan kesalahan orang lain (ksama) merupakan perbuatan yang sangat terpuji. Berbuat keliru adalah sifat manusia, maksudnya setiap orang pernah membuat kesalahan. Tidak ada seorangpun yang terlepas dari kekeliruan. Oleh karena itu manusia harus hidup dengan penuh toleransi dan selalu saling memafkan. Hanya dengan sikap saling memaafkan manusia akan dapat hidup rukun, aman dan damai.

126

Satya (Kebenaran, Kesetiaan, dan Kejujuran). Dalam uraian tentang Panca Yama Brata di atas, masalah ini telah diuraikan juga. Di sini akan disinggung lagi. “Satya” berarti menjunjung tinggi kebenaran, kesetiaan, dan kejujuran. Dalam pergaulan hidup, manusia hendaknya selalu berperilaku jujur, selalu setia dan selalu membela kebenaran. Bersikap yang bertentangan dangan itu, dapat menimbulkan permasalahan,

dapat

mengganggu

ketertiban

bermasyarakat.

Dengan

menjunjung tinggi kebenaran, kesetiaan, dan kejujuran, manusia akan dapat hidup rukun, tenang dan damai. Ahimsa (Tidak Menyakiti atau Membunuh). Ahimsa juga telah diuraikan di atas. Di sini akan diulangi lagi. “Ahimsa” berarti tidak menyakiti atau tidak membunuh. Tidak menyakiti pengertiannya sangat luas, menyangkut tidak menyakiti hati orang lain, tidak menyiksa sesamanya secara pisik maupun mental dan tidak membunuh. Manusia hendaknya hidup saling mengasihi, saling menyangi, sehingga tercapai kerukunan, ketententeraman dan kedamaian dalam kehidupan seharihari. Dama (Mengendalikan Hawa Nafsu). Mengendalikan atau menundukan hawa nafsu (dama) adalah sanga perlu. Orang yang dapat menundukkan nafsu adalah orang yang dapat menguasai dan mengendalikan dirinya dengan baik. Hidup bermasyarakat, seyogyanya tidak menyerap pengaruh buruk dari orang lain. Manusia hendaknya dapat memilah-milah dan memilih-milih yang baik-baik saja serta dapat mengendalikan pikiran, kata-kata maupun perbuatannya.

127

Arjawa (Tetap Pendirian). Manusia hendaknya teguh pendirian (arjawa) dalam mempertahankan kebenaran. Orang yang teguh pendirian tidak mudah diombang-ambingkan oleh situasi. Orang ini selalu konsisten dengan pendapatnya tentang kebenaran. Priti (Welas Asih). Kasih sayang (priti) terhadap sesama mahluk adalah penting sekali. Manusia hendaknya menaruh rasa belas kasihan terhadap teman-temannya, terutama yang sedang menghadapi kesulitan. Janganlah bersikap sombong dan tidak perduli dengan kondisi lingkungan. Memberi perhatian dan bantuan kepada masyarakat yang menghadapi berbagai kesulitan adalah sesuai dengan ajaran agama. Berilah bantuan kepada siapa saja yang memerlukannya. Prasada (Berpikir Jernih dan Suci). Berpikir jernih dan suci (prasada) dalam pergaulan hidup adalah sangat perlu. Seseorang hendaknya tidak berprasangka buruk terhadap orang lain, Sebab prasangka buruk dapat mengganggu ketenangan hidup diri sendiri maupun

orang lain,

dapat menimbulkan

perbedaan

pendapat bahkan

pertentangan yang tidak perlu. Hidup saling mencurigai dapat mengganggu ketenangan lahir maupun batin. Madhurya (Ramah Tamah). Berperilaku ramah tamah disebut madhurya. Madhurya berasal dari kata “madu” yang berarti manis. Madhurya berarti hidup yang manis, maksudnya selalu murah senyum, ramah tamah dengan siapa saja. Manusia hendak tidak bersikap kasar terhadap sesamanya. Manusia hendaknya selalu berbuat baik terhadap siapa saja. 128

Mardawa (Lemah Lembut). Bersikap lemah lembut adalah baik sekali. Orang yang lemah lembut akan disukai oleh kawan-kawannya. Sebaliknya orang yang berperilaku kasar akan dijauhi. Oleh karena itu manusia hendaknya selalu bersikap baik, bersikap ramah tamah terhdap sesamanya. Hanya dengan perilaku demikian akan dapat tercipta masyarakat yang sentosa, masyarakat yang rukun dan tenang lahir maupun batin. 5. Panca Niyama Brata. Berikut adalah penjelasan lebih jauh mengenai masalah pengendalian diri tahap lanjutan (yang lebih tinggi) yang dinamakan Panca Niyama Brata. Panca Niyama Brata adalah lima cara pengendalian diri lanjutan (tahap kedua) untuk dapat tercapainya ketenangan dan ketentraman batin. Kelima cara dimaksud adalah (1) Akrodha (tidak marah); (2) Guru Susrusa (hormat kepada guru); (3) Sauca (bersih atau suci); (4) Aharalaghawa (makan makanan sederhana); (5) Apramada (tidak mengabaikan kewajiban). Untuk dapat hidup tenang dan tentram, manusia semestinya dapat melaksanakan pengendalian diri tahap kedua ini dengan sebaik-baiknya, sehingga terpenuhi keinginan untuk hidup tenang lahir maupun batin. Akrodha (Tidak Marah). Manusia hendaknya dapat mengendalikan diri dan tidak marah (akrodha). Akrodha berasal dari kata “a” yang berarti tidak dan “krodha” yang berarti marah. Jadi akrodha berarti tidak marah. Maksudnya adalah bahwa manusia harus dapat mengekang atau mengendalikan sifat marahnya, sebab sifat marah menjadikan menderita lahir batin dan bingung. Karena bingung, pikiran menjadi kacau dan kebijaksanaan menjadi sirna. Pahamilah bahwa sifat marah adalah musuh utama manusia yang harus dikalahkan. 129

Dengan mengalahkan sifat marah, maka manusia akan lebih mudah mencapai ketenteraman dan ketenangan lahir maupun batin. Guru Susrusa (Hormat Kepada Guru). Setiap orang ataupun setiap murid harus menghargai dan menghormati gurunya (guru susrusa). Pengertian guru di sini adalah dalam pengertiannya yang luas, yakni: (1) Guru Rupaka, yaitu orang tua (ibu dan bapak) yang merupakan orang tua yang pertama kali memberikan pendidikan kepada anakanaknya. Manusia menjadi tumbuh dan berkembang adalah berkat pendidikan dan asuhan orang tuanya. Karena itu anak-anak harus menghargai dan menghormati orang tuanya; (2) Guru Pengajian, yaitu guru yang memberikan pendidikan dan pengajaran di sekolah. Guru disekolah memberikan ilmu pengetahauan kepada murid-muridnya sehingga murid menjadi pandai dan terhindar

dari

kebodohan.

Hilangnya

kebodohan

berarti

lenyapnya

penderitaan. Karena itu murid-murid harus menghargai dan menghormati gurunya; (3) Guru Wisesa, yaitu pemerintah yang mengayomi rakyatnya, yang berusaha mensejahterakan rakyatnya, dan yang memberikan perlindungan kepada rakyatnya. Karena itu pemerintah harus selalu dihormati dan dihargai misalnya dengan mentaati peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah. Sauca (Bersih atau Suci) Manusia seyogyanya berhati bersih atau suci (suca) baik lahir maupun batin, baik jasmani maupun rohani. Untuk dapat menjadi bersih dan suci, maka ada berbagai cara yang dapat ditempuh. Tubuh dibersihkan dengan cara mandi, pikiran dibersihkan dengan cara menjunjung tinggi kebenaran, kesetiaan, dan kejujuran, jiwa dibersihkan dengan ilmu pengetahuan dan tapa, brata, yoga, semadi, akal dibersihkan dengan kebijaksanaan. Dengan mandi, 130

berpakaian

yang

bersih, bersembahyang

atau berdoa dan melakukan

pengorbanan suci atau yadnya, maka akan tercapailah kebersihan jasmani dan rohani, kebersihan lahir dan batin. Aharalaghawa (Makan Makanan Sederhana) Makanan sehari-hari sebaiknyalah makanan yang ringan atau makanan yang sederhana saja (aharalaghawa). Aharalaghawa berasal dari kata “ahara” yang berarti makan dan “laghawa” yang berarti ringan. Dengan demikian Aharalaghawa berarti makan makanan yang ringan-ringan atau yang sederhana tau makan seperlunya dan tidak berlebihan. Makan sesukanya secara rakus dapat mengakibatkan buntunya pikiran dan timbulnya ketidak tenangan. Manusia sebaiknya membatasi makanan yang berarat-berat seperti makan terlalu banyak daging. Seseorang sebaiknya dapat mengendalikan indriyanya untuk makan dan harus selalu merasa puas dengan makanan yang enak maupun yang tidak enak. Dengan membatasi makanan, maka akan tercapai ketenangan dan ketentraman batin. Apramadha (Tidak Mengabaikan Kewajiban). Manusia hendaknya tidak mengabaikan kewajibannya (apramadha). Apramada berarti tidak mengabaikan kewajiban, maksudnya selalu ingat dengan tugas kewajiban. Dengan selalu ingat dan melaksanakan kewajiban yang menjadi tanggungjawabnya, maka seseorang akan terbebas dari beban pikiran yang seolah-olah masih mempunyai hutang, sehingga hidupnya akan menjadi tenang dan tentram baik lahir maupun batin. 6. Dasa Niyama Brata Berikut ini adalah tentang sepuluh cara pengendalian diri lanjutan (yang lebih tinggi), yang disebut Dasa Niyama Brata, yang terdiri dari (l) 131

Dana (pemberian sedekah); (2) Ijya (puja dan puji kepada Tuhan); (3) Tapa (menghindarkan

keduniawian);

(4)

Dhyana

(pemusatan

pikiran);

(5)

Swadhyaya (belajar sendiri); (6) Upasthanigraha (pengendalian hawa nafsu); (7) Brata (pelaksanaan pantangan); (8) Upawasa (puasa); (9) Mona (tidak berbicara); (10) Snana (pembersihan diri). Dana (Pemberian Sedekah) Dana artinya harta benda. Dalam hal ini dimaksudkan sebagai pemberian

sedekah (dana)

kepada anggota

masyarakat

yang

miskin,

masyarakat yang kekurangan dan memerlukan bantuan. Pemberian sedekah itu harus diberikan dengan tulus iklas dan tanpa pamerih atau tanpa harapan adanya balas jasa.

Ijya (Puja dan Puji Kepada Tuhan) Manusia hendaknya selalu ingat dan menyampaikan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa (ijya). Puja dan puji kepada Tuhan harus diberikan dengan hati yang tulus, dengan sembah sujud yang suci dan khidmat. Tuhan adalah pencipta dan pemberi hidup (Atman) keada manusia dan karena itu manusia berhutang budi kepada-Nya. Adalah patut sekali apabila manusia selalu ingat dan menyembah Tuhannya dengan penuh rasa pengabdian. Tapa (Menghindarkan Keduniawian) Manusia hendaknya dapat melakukan pengendalian diri dengan menjauhkan semua kesenangan duniawi (tapa), Dengan tapa manusia mengurangi semua kebiasaan sehari-hari seperti kebiasaan makan, kebiasan tidur, kebiasaan berbicara dan lain-lain. Menguangi kebiasaan berarti 132

mengendalikan keinginan atau kebiasaan. Dengan cara ini akan diperoleh ketenangan dan ketentraman lahir maupun batin. Dhyana (Pemusatan Pikiran) Adalah

baik

sekali

apabila

seseorang

sewaktu-waktu

dapat

memusatkan pikirannya (dhyana). Dalam hal ini manusia mengendalikan pikirannya agar tidak melanglang buana kesana kemari, tetapi terpusat atau terkonsentrasi hanya kepada Tuhan Yang Maha Agung. Dengan terpusatnya pikiran, maka manusia akan dapat menyadari kebesaran Tuhan, akan dapat mengendalikan pikirannya sehingga tercapai kententraman lahir dan batin. Swadhyaya (Belajar Sendiri). Belajar sendiri (swadhyaya) dapat menambah pengetahuan seseorang. “Swa” artinya sendiri dan “adhyaya” artinya guru atau berguru. Swadhyaya dengan demikian berarti belajar sendiri, berusaha sendiri untuk untuk mencapai kemajuan. Di samping itu berarti pula rajin atau tidak malas menuntut ilmu. Manusia hendaknya selalu rajin, berusaha sendiri mempelajari ilmu pengetahuan, sehingga dapat menjadi orang yang pandai dan berguna bagi bangsa, negara dan agama. Upasthanigraha (Pengendalian Hawa Nafsu). Manusia sebaiknya mampu menguasai hawa nafsu, khususnya nafsu birahi (nafsu sexual). Kebiasaan menuruti nafsu birahi dapat membawa akibat yang kurang baik, apalagi kalau nafsu birahi diumbar di luar rumah akan dapat mengakibatkan menjalarnya penyakit kotor. Oleh karena itu agama mengajarkan agar umat manusia berusaha mengendaikan nafsunya. Dengan mengendalikan hawa nafsu, maka kesehatanpun akan terpelihara dengan lebih baik. 133

Brata (Pelaksanaan Pantangan) Manusia patut melaksanaan pengendaliaan diri dengan melakukan berbagai pantangan (brata). Pantangan di sini dapat berupa pantangan tidur, pantangan makan, pantangan berbicara, dan lain-lain. Kebiasaan melakukan brata atau pantangan secara berkala akan dapat meningkatkan mutu pengendalian diri, akan dapat menambah ketenangan hidup. Upawasa (Puasa) Berpuasa atau tidak makan dan minum secara periodik atau pada waktu-waktu tertentu sangat bermanfaat bagi pemeliharaan kesehatan. Dengan berpuasa orang akan lebih mudah mengendalikan diri, mengekang keinginan atau menahan hawa nafsu agar diperoleh pikiran yang bersih, jernih,

dan

suci.

Dengan

berpuasa

akan

diperoleh

ketenangan

dan

ketentraman lahir maupun batin. Mona (Tidak Berbicara) Cara pengendaian berkutnya adalah dengan cara diam atau tidak berbicara. Dengan tidak berbicara orang akan berusaha mengendalikan diri, menahan diri untuk tidak mengeluarkan kata-kata sepatahpun. Dengan cara ini orang akan lebih mudah berkonsenterasi, memuaskan pikiran menuju Tuhan Yang Maha Kuasa dan akan tercapailah ketentraman dan ketenangan jiwa. Snana (Pembersihan Diri). Badan perlu dibersihkan agar tidak kotor. Dengan badan yang bersih disertai dengan pakaian yang bersih, maka pikiranpun akan menjadi jernih

134

dan suci. Dengan pikiran yang bersih dan suci maka jalan menuju Tuhan Yang Maha Esa akan menjadi terbuka lebih lebar. 7. Dasa Dharma Dasa Dharma adalah sepuluh macam perbuatan baik yang patut dilaksanakan oleh umat Hindu. Segenap umat Hindu disarankan untuk melaksanakan ajaran Dharma ini, karana dapat mendorong terciptanya masyarakat yang aman, tentram dan damai. Kesepuluh ajaran tersebut adalah (l) Dhriti (bekerja sungguh-sungguh); (2) Ksama (mudah memberi maaf); (3) Dama (Dapat mengendalikan nafsu); (3) Asteya (tidak mencuri); (4) Sauca (bersih atau suci); (5) Indry anigraha (dapat mengendalikan keinginan); (6) Dhira (berani membela yang benar); (7) Widya (sanggup belajar dan mengajar); (9) Satya (kebenaran, kesetiaan, dan kejujuran); (10) Akrodha (tidak marah). Dari kesepuluh ajaran Dharma ini enam di antaranya telah diuraikan di atas, yaitu Ksama, Dama dan Satya (termasuk dalam Dasa Yama Brata), Sauca dan Akrodha (termasuk dalam Panca Niyama Brata) serta Asteya (termasuk dalam uraian Panca Yama Brata). Dhriti (Bekerja Sungguh-sungguh) Setiap orang sebaiknya melakukan pekerjaannya dengan sungguhsungguh (dhriti). Maksudnya adalah bahwa seseorang yang ditugaskan melakukan sesuatu pekerjaan hendaknya menyelesaikan pekerjaan tersebut dengan penuh rasa tanggung jawab, mengerjakan pekerjaan itu dengan sebaik-baiknya. Janganlah mengabaikan tugas pekerjaan itu. Dan manakala pekerjaan itu telah dilaksanakan dengan sungguh-sungguh, bagaimanapun hasilnya haruslah diterima sengan hati yang tulus.

135

Ksama (Mudah Memberi Maaf). Mudah memberi maaf (ksama) adalah tindakan yang sangat terpuji, karena setiap orang haruslah menyadari bahwa berbuat khilaf adalah sifat manusia. Artinya seseorang pasti pernah berbuat salah dan oleh karena itu pada suatu saat ia pasti ingin dimaafkan pula oleh orang lain. Oleh karena itu bersiaplah selalu untuk memberi maaf. Seseorang hendaknya rela untuk memberikan maaf kepada orang lain yang mengakaui kekeliruaannya dengan tulus ikhlas. Dama (Dapat Mengendalikan Nafsu) Manusia hendaknya mampu menundukkan dan mengendalikan nafsu atau keinginannya. Kemampuan ini adalah bentuk pengendalian diri yang sangat baik dan perlu diikuti oleh setiap orang. Janganlah nafsu dan keinginan itu selalu dituruti, karana akan dapat menyulitkan diri sendiri maupun orang lain. Barang siapa ingin hidup dengan baik, tenang dan tentram sebaikanya dapat mengendalikan dan menundukkan keinginan-keinginannya. Asteya (Tidak Mencuri). Barang siapa ingin hidup berbahagia hendaknya tidak mencuri atau menginginkan milik orang lain. Orang selalu menginginkan barang orang lain adalah orang yang tidak bisa mengendalikan diri, adalah orang yang dikuasai oleh nafsu. Orang seperti ini akan hidup menderita, karena tidak pernah merasa puas dengan apa yang telah dimiliki dan selalu ingin mengambil milik orang lain. Seseorang hendaknya mampu mengendalikan keinginannya untuk tidak memiliki barang orang lain, apalagi dengan cara yang tidak dibenarkan oleh agama.

136

Sauca (Bersih atau Suci). Seseorang hendaknya berhati bersih atau suci. Bersih dan suci baik lahir maupun batin. Bersih dan suci bukan saja badannya tetapi juga pikirannya. Dengan pikiran yang bersih. maka jalan menuju ketentraman dan kedamaian serta ketenangan hidup akan lebih mudah dapat dicapai. Indriyanigraha (Dapat Mengendalikan Keinginan). Manusia sebaiknya mapu menjaga keinginan atau nafsunya dengan sebaik-baiknya. Dengan mampu semua indriya atau keinginan, maka seseorang akan lebih mudah mencapai ketenangan lahir maupun batin. Batin yang tenang dan tentram akan lebih mudah mengantarkan seseorang untuk mencapai jalan kebenaran. Dhira (Berani Membela Yang Benar). Manusia harus berani membela yang benar. Manusia hendaknya selalu menjunjung tinggi kebenaran, kesetiaan dan kejujuran. Bagaimanapun resiko yang harus dihadapi, seseorang hendaknya selalu membela kebenara itu. Widya (Sanggup Belajar dan Mengajar) Manusia wajib menuntut ilmu pengetahuan agar menjadi orang yang pandai dan tidak bodoh atau diperbodoh oleh orang lain. Di samping belajar manusia juga wajib mengajar ilmu pengetahuan yang diketahuinya kepada orang lain tanpa pamerih. Hanya dengan kesediaan untuk belajar dan mengajar itulah akan lebih cepat tercapainya masyarakat yang berpendidikan dan berbudaya, masyarakat yang maju dan tidak tertinggal dari masyarakat lainnya.

137

Satya (Kebenaran, Kesetiaan, dan Kejujuran). Manusia hendaknya mampu menjunjung tinggi kebenaran, kesetiaan, dan kejujuran. Manusia hendaknya setia dan jujur dalam berkata-kata, selalu setia terhadap kata hati atau teguh pendirian. Manusia juga harus jujur dan bertanggung jawab terhadap apa yang dikatakan, setia dan tidak berkhianat kepada teman-temannya. Di samping itu juga harus menepati janji dan tidak ingkar janji. Akroda (Tidak Marah). Berusahalah agar tidak marah dan tidak lekas marah. Manusia hendaknya mampu mengendalikan pikirannya untuk tidak mudah marah. Kemarahan bukan saja menyakitkan hati orang lain, tetapi dapat juga mencelakakan dirinya sendiri. Karena itu agama mengajarkan agar manusia dapat menahan diri, dapat mengendalikan diri agar tidak mudah marah. Kemarahan dapat menimbulkan kekecewaan terhadap orang lain dan pada gilirannya dapat pula menimbulkan kemarahan orang lain. 8. Catur Paramita. Catur Paramita berasal dari kata “Catur” yang berarti empat dan “Paramita” yang berarti perbuata luhur. Catur Paramita dengan demikian berarti empat perbuatan luhur, yang harus dilaksanakan oleh umat Hindu. Keempat perbuatan luhur itu adalah (l)Maitri (bersahabat); (2) Karuna (cinta kasih); (3) Mudhita (bersimpati); (4) Upeksa (toleransi). Maitri (Bersahabat). “Mitra” adalah asal kata Maitri, yang berarti teman atau sahabat. Maitri

artinya

bersahabat.

Maksudnya

adalah

bahwa

manusia

harus

mempunyai sifat-siafat yang sahabat terhadap sesamanya. Manusia adalah 138

ciptaan Tuhan, mempunyai Atman yang merupakan sinar suci kebesaran Tuhan. Jadi manusia berasal dari Sumber yang satu, yaitu Tuhan Yang Mahaesa dan karena itu sesungguhnyalah manusia itu semuanya bersaudara, bersahabat. Oleh karenanya mereka harus hidup rukun, hidup saling membantu, hidup saling mengasihi dan tidak bermusuhan. Manusia harus menghindarkan kebencian, menghindarkan rasa balas dendam. Dengan berpegang kepada perbuatan yang lhur itu. maka manusia akan hidup tenang, hidup tententram lahir maupun batin. Karuna (Cinta Kasih). Karuna adalah perbuatan luhur atau cinta kasih atau belas kasihan terhadap orang yang menderita. Sebagai manusia yang berasal dari satu sumber, yakni Tuhan Yang Mahaesa, manusia harus hidup saling menolong, bahkan harus bersedia berkorban demi untuk menolong orang yang sedang kesusahan, bersedia berkorban demi kebahagiaan orang lain. Manusia dipandang sebagai berbudi luhur apabila ia mau merasakan kesusahan atau penderitaan orang lain sebagai kesusahan atau penderitaannya sendiri. Dengan berpikiran demikian mereka akan cepat tanggap menolong sesamanya yang menderita. Mudhita (Bersimpati). Mudhita artinya simpati atau turut merasakan baik kesusahan maupun kebahagiaan orang lain. Dengan sifat luhur seperti ini, manusia akan terhindar dari rasa irihati, rasa dengki dan rasa kebencian. Kesusahan seseorang akan dirasakan sebagai kesusahannya

sendiri, keberhasilan

seseorang juga akan dirasakan sebagai keberhasilannya sendiri. Mudhita adalah sikap solider dan simpati terhadap sesamanya. Untuk mendapatkan simpati orang lain, maka seseorang haruslah menanamkan rasa simpati pula 139

terhadap orang lain. Dengan sikap luhur yang dinamakan Mudhita ini, maka seseorang akan dapat hidup tenang lahir maupun batin. Upeksa (Toleransi). Perbuatan luhur berikutnya adalah Upeksa, yang berarti toleran dan senantiasa memperhatikan keadaan orang lain. Sedangkan jiwanya dipenuhi oleh rasa setia kawan dan simpati terhadap sesamanya, bahkan tidak menaruh rasa dendam terhadap orang yang bermaksud jahat terhadapnya. Manusia yang bersikap Upeksa juga selalu waspada terhadap situasi yang dihadapi, manusia bijaksana dan selalu menjaga keseimbangan lahir batin serta tidak mau mencampuri urusan orang lain. D. Rangkuman Pada dasarnya akhlak mulia dalam kehidupan mengajarkan aturan tingkah laku yang baik dan mulia agar dapat terjalin hubungan yang baik antara sesama baik itu hubungan dengan tuhan, lingkungan, dan manusia sendiri dalam hal ini sangat diperlukannya ajaran-ajaran agama hindu yang bersifat mengajarkan aturan tingkah lakuyang baik untuk menghindari adanya hukum rimba, dimana yang kuat menindas atau memperalat yang lemah agar terbinanya umat hindu yang berbudi luhur. Ajaran-ajaran pengendalian diri diatas mengajarkan arti persaudaraan dan persahabatan oleh karena itu umat hindu diajarkan untuk selalu hidup rukun, hidup saling membantu, hidup saling mengasihi dan tidak bermusuhan. Manusia harus menghindari kebencian,

menghindari rasa balas dendam

dengan berpegang kepada kehidupan yang luhur maka terciptalah kehidupan yang tentram lahir maupun batin.

140

E Daftar Pustaka Cudamani, 1993. Karma Phala dan Reinkarnasi. Hanuman Darmayasa, Ahimsa Dharma & Vegetarian, Paramita Surabya, 1997 Masri, Abdul Watif, Etika, Jilid I, Rake Press, Yogyakarta. Pudja, G, MA, SH, Bhagawadgita Pancama Weda, Maya Sari Jakarta, 1981 Wikarman, I Nyoman Singgih. 1998. Leluhur Orang Bali dari Dunia Babad dan Sejarah. Surabaya: Paramita. Punyatmadja, I.B. Oka, 1991. Panca Cradh, Upada Sastra, Denpasar Sura, I Gede, 1985. Pengendalian Diri dan Etika. Hanuman Sakti Jakarta. Y. B. Mangunwijaya, Menumbuhkan Sikap Religiusitas Anak-anak, (Gramedia, Jakarta, 1986).

141

BAB VI MUSUH-MUSUH DALAM DIRI MANUSIA A. Kompetensi Dasar Adapun musuh-musuh atau kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam diri manusia termaksud adalah (l)Tri Mala; (2) Tri Mala Paksa; (3) Sad Ripu; (4) Sad Atatayi; (5) Sapta Timira; (6) Dāsā Mala. B. Indikator  Menjelaskan dan memahami ajaran Tri Mala  Menjelaskan dan memahami ajaran Tri Mala Paksa  Menjelaskan dan memahami ajaran Sad Ripu  Menjelaskan dan memahami ajaran Sad Atatayi  Menjelaskan dan memahami ajaran Sapta Timira  Menjelaskan dan memahami ajaran Dāsā Mala C. Materi Di samping aturan tingkah laku yang baik dan mulia termaksud di atas, susila agama Hindu juga mengajarkan tentang musuh-musuh yang ada dalam diri manusia. Manusia banyak mempunyai kelemahan, baik yang nyata-nyata terlihat maupun yang tersembunyi, Dengan mempelajari ajaran tentang etika atau tingkah laku yang baik clan mulia saja tidaklah cukup. Manusia juga harus memahami berbagai kelemahan yang ada di dalam dirinya. Kelemahankelemahan itu adalah musuh yang harus ditundukkan oleh manusia. Dengan memahami kelemahan dan kekurangannya manusia akan lebih berminat untuk mengendalikan dirinya.

142

1. Tri Mala (Tiga Jenis Pembuatan Yang Tidak Baik). Kelemahan manusia yang pertama adalah apa yang disebut Tri Mala. Tri Mala berasal dari kata “Tri” yang berarti tiga dan “Mala” yang berarti kotor, buruk, dan jelek. Tri Mala dengan demikian berarti tiga keburukan yang melekat dalam diri seseorang. Ketiga keburukan yang dipandang sebagai musuh manusia dan karena itu harus dihindarkan adalah (1)Mithia Hrdaya (selalu berburuk sangka, selalu mempunyai pikiran yang jelek terhadap seseorang); (2) Mithia Wacana (selalu berkata yang tidak baik, sombong dan tidak pernah menempati janji; (3) Mithia Laksana (selalu berbuat yang tidak baik, tidak mempunyai sopan santun, tidak etis). 2. Tri Mala Paksa (Tiga Perbuatan Yang Hina) Kelemahan manusia berikutnya adalah yang disebut Tri Mala Paksa. Tri Mala Paksa adalah perbuatan yang kotor dan hina yang juga harus dihindarkan dan dihilangkan oleh seseorang. Tiga kelemahan yang merupakan musuh manusia dan karena itu harus ditiadakan, adalah (1) Kasmala (selalu berbuat yang kotor dan hina); (2) Mada (selalu berkata buruk, dusta dan kotor; (3) Moha (selalu angkuh dan curang). 3. Sad Ripu (Enam Jenis Sifat Yang Buruk) Sad Ripu berasal dari kata “Sad” yang berarti enam dan “Ripu” yang berarti musuh. Jadi Sad Ripu berarti enam musuh yang ada di dalam diri manusia. Adapun keenam musuh yang harus dikendalikan adalah: 

Kama (hawa nafsu). Manusia harus dapat mengendalikan hawa nafsunya agar tidak menghancurkan dirinya sendiri. Hawa nafsu yang tidak terkendalikan bukan saja akan merusak dirinya sendiri, tetapi dapat pula menyusahkan orang lain. Karena itu agama Hindu mengajarkan agar 143

umatnya selalu mengendalikan panca indranya, mengendalikan dan 

mengekang hawa nafsunya. Lobha (rakus). Orang yang rakus selalu ingin memiliki lebih dari apa yang sepantasnya dimiliki. Keinginan untuk memiliki yang berlebihan itu akan dipenuhinya dengan jalan apapun, meski bertentangan dengan ajaran agama. Umat Hindu hendaknya menjauhkan diri dari perbuatan yang rakus, karena perbuatan itu bukan saja menyusahkan orang lain, tetapi



pada gilirannya dapat menyusahkan dirinya sendiri. Kroda (marah). Seseorang harus dapat mengendalikan diri dan tidak lekas marah.

Perbuatan

marah

dapat

menyusahkan

atau

menimbulkan

kekecewaan bagi orang lain. Karena itu manusia perlu mengendalikan diri 

dan menghindari perbuatan marah itu. Moha (bingung). Pikiran yang bingung tidak dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk. Kecenderungan orang yang bingung adalah selalu berbuat yang negatif dan menyusahkan orang lain sampai kepada membunuh orang lain atau membunuh dirinya sendiri. Agar tidak terjadi kebingunangan, manusia hendaknya selalu mengendalikan dirinya, selalu mentaati akaran-ajaran



agamanya, sehingga dapat hidup tenang dan tentram. Mada (mabuk). Orang yang mabuk akan lupa dengan dirinya sendiri maupun kawan-kawannya. Dalam keadaan demikian orang itu akan cenderung akan berbuat yang merugikan orang Iain dan dirinya sendiri.



Umat Hindu hendaknya selalu menjauhkan diri dari perbuatan mabuk. Matsarya (irihati). Seseorang belum tentu tenang melihat orang lain hidup bahagia. Belum tentu senang melihat orang lain berkecukupan. Orang itu mungkin merasa disaingi atau merasa dikalahkan gengsinya, sehingga timbul rasa irihahatinya. Akibatnya timbullah rencana jahat untuk mengalahkan saingannya dengan berbagai cara. Perbuatan ini tidak sesuai

144

dengan ajaran agama. Umat Hindu hendaknya menjauhkan diri dari perbuatan semacam itu. 4. Sad Atatayi (enam Jenis Perbuatan Yang Kejam). Sad Atatayi berasal dari kata “Sad” yang berarti enam dan “Atatayi” yang berarti perbuatan yang kejam atau membunuh. Sad Atatayi dengan dengan demikian berarti enam perbuatan yang kejam dan ini adalah kelemahan atau musuh manusia. Kelemahan tersebut hendaknya selalu dihindarkan. Adapun enam perbuatan kejam yang dianggap sebagai musuh manusia dan harus dijauhi adalah: 

Agnida (kejam karena suka membakar milik orang lain). Tidak Semua orang senang melihat orang lain senang. Tidak Semua orang suka melihat orang lain memiliki sesuatu barang yang bagus. Orang itu cenderung irihati atau dengki melihat orang lain memiliki barang itu. Karena itu timbul pikiran buruk untuk membakar barang milik orang itu. Orang seperti ini digolongkan sebagai orang yang sangat kejam, karena dapat merusak milik orang lain, dapat mengakibatkan pemiliknya menjadi susah. Seyogyanya manusia dapat mengontrol peribadinya agar tidak berbuat yang bertentangan dengan ajaran agama dan menghindarkan perbuatan



yang dapat menyusahkan orang lain. Wisada (kejam karena suka meracun). Perbuatan meracun adalah perbuatan yang disengaja, dengan tujuan untuk membunuh orang yang diracun. Karena itu perbuatan ini digolongkan sebagai perbuatan yang sangat kejam karena dapat menyebabkan jiwa manusia melayang. Perbuatan ini bertentangan dengan ajaran agama dan karena itu dilarang



oleh agama Hindu. Atharwa (kejam karena suka bermain black magic atau ilmu hitam). Tujuannya adalah untuk membuat seseorang menjadi sakit atau susah sampai meninggal dunia. Perbuatan ini dianggap sebagai perbuatan yang 145

kejam dan karena itu dilrang oleh agama. Karena itu umat Hindu 

hendaknya menjauhkan diri dari perbuatan ilmu hitam itu. Sastraghna (kejam karena suka ngamuk). Perbuatan ini timbul karena pikiran yang buntu dan kacau atau sedang bingung serta putus asa, sehingga tidak bisa menemukan pemecahan atas sesuatu masalah yang dihadapi. Perbuatan ini dapat menimbulkan kekacauan dan kepanikan karena bisa jadi orang sedang ngamuk membunuh orang lain. Karena itu perbuatan ini digolongkan sebagai perbuatan yang sangat kejam dan dilarang

oleh

agama.

Umat

Hindu

hendaknya

selalu

berusaha

mengendalikan diri, dengan selalu ingat kepada Tuhan Yang Maha 

Pengasih. Dratikrama (kejam karena suka memperkosa orang lain). Perbuatan ini sama dengan perbuatan binatang, karena dilakukan dengan tiada perasaan malu dan hanya berdasarkan nafsu. Perbuatan ini sangat menyusahkan orang lain dan dikategorikan sebagai perbuatan kejam dan karena itu dilarang oleh agama. Umat Hindu hendaknya selalu menjauhkan diri dari



perbuatan ini. Raja Pisuna (kejam karena suka memfitnah). Fitnah lebih kejam dari pembunuhan. Fitnah dapat mencelakakan dan dapat menimbulkan rasa benci kepada orang yang difitnah. Fitnah dapat menyusahkan orang lain. Karena itu perbuatan serupa ini dilarang oleh agama. Umat Hindu hendaknya menjauhkan diri dari perbuatan fitnah.

5. Sapta Timira (Tujuh Jenis Kemabukan). Musuh manusia selanjutnya adalah apa yang dinamakan Sapta Timira. “Sapta” artinya tujuh dan “Timira” artinya lupa daratan (lupa diri atau mabuk). Sapta Timira dengan demikian berarti tujuh macam keadaan yang menyebabkan orang lupa daratan, lupa diri atau mabuk. Ketujuh macam musuh yang harus dimusnahkan dari dalam diri manusia itu adalah: 146



Surupa (kemabukan karena wajah atu rupa yang tampan, ganteng atau cantik).

Kegantengan

atau

kecantikan

seseorang

kadang

kala

menyebabkan yang bersangkutan menjadi angkuh, sombong dan tinggi hati. Semestinya kegantengan atau kecantikan wajah dibarengi dengan perilaku yang baik, budi yang luhur. Orang yang ganteng atau cantik, hendaknya dapat mengendalikan diri dengan membuang jauh-jauh sikap 

dan perilaku yang tidak baik. Dhana (kemabukan karena mempunyai harta benda atau kekayaan). Banyaknya harta benda yang dimiliki seringkali menyebabkan seseorang menjadi lupa diri, menepuk dada, angkuh dan sombong dan tidak ingat dengan teman-temannya. Padahal kepemilikan harta benda seyogyanya dibarengi dengan dharma, perlaku yang bai sesuai dengan ajaran agama. Karena itu orang yang memiliki banyak harta benda seyogyanya dapatmenjaga diri, tidak menepuk dada atau tidak sombong dengan harta



bendanya. Guna (kemabukan karena mempunyai kepintaran atau kepandaian). Orang yang pintar kadang kala lupa diri, menganggap orang lain tidak tahu apaapa. Orang seperti ini cenderung angkuh dan kurang disukai oleh temantemannya. Oleh karena itu kepandaian semestinya dibarengi dengan perbuatan yang baik, disertai dengan budi pekerti yang luhur. Kepintaran semestinya diamalkan, dipergunakan untuk maksud-maksud yang baik, sehingga



dapat

membantu

masyarakat

yang

kurang

mempunyai

pengetahuan. Kulina (kemabukan karena keturunan). Faktor keturunan juga sering mengakibatkan lupa diri. Seorang keturunan bangsawan, keturunan raja, kadang kala juga menganggap remeh orang lain yang tidak seketurunan. Hal ini dapat menimbulkan kesulitan bagi orang tersebut. Keturunan orang-orang terkenal, berpangkat atau bangsawan, sebaiknya mempunyai

147

perilaku yang baik, berbudi luhur sejalan dengan ajaran agama. Mereka seharusnya dapat menjadi panutan, dapat memberikan contoh yang baik 

terhadap masyarakat sekitarnya. Yowana (kemabukan karena masa remaja/muda). Anak muda remaja karena kurang pendidikan dan pengalaman, sering kali lebih menyukai kebebasan dan huru-hara, sering kali sok jagoan dan suka berkelahi. Sebaiknya semasa masih remaja, anak-anak itu diberi pendidikan agama yang mamadai, diberikan pelajaran mengenai etika, bagaimana harus berperilaku di dalam masyarakat, bagaimana harus membawa diri dan lain-lain, supaya mereka dapat menjadi manusia yang berguna bagi nusa dan bangsa. Masa remaja adalah masa yang baik untuk mengembang diri menjadi manusia yang berguna bagi masyarakat, nusa dan bangsa serta



agama. Sura (kemabukan karena minuman keras). Minuman keras merupakan musuh yang sangat buruk. Ia dapat membuat orang mabuk, lupa diri dan berbuat yang tidak sesuai dengan ajaran agama. Karena itu manusia



beragama sebaiknya menjauhi minuman keras. Kasuran (kemabukan karena merasa mempunyai keberanian). Keberanian kadang kala membuat orang lupa diri. Keberanian tanpa disertai dengan pikiran yang sehat dan baik dapat mengakibatkan kerugian atau kesulitan bagi orang lain maupun yang bersangkutan sendiri. Keberanian hendaknya selalu dilandasi oleh kebenaran dan dharma, oleh perbuatan yang luhur sesuai dengan ajaran agama.

6. Dāsā Mala (Sepuluh Jenis Perilaku Yang Jelek). Musuh manusia berikutnya adalah apa yang dinamakan Dasa Mala. Dasa Mala adalah sepuluh kelemahan yang melekat dalam diri manusia dan ini bertentangan dengan ajaran agama yang kalau dibiarkan dapat menjadikan 148

orang yang bersangkutan menderita, bahkan dapat pula membawa kesedihan bagi orang lain. Karena itu kesepuluh sikap atau perilaku buruk manusia itu haruslah dikikis habis. Adapun sepuluh kelemahan manusia yang harus dihindarkan itu adalah: 

Tandri: Perilaku tanpa gairah, senantiasa lemah, lemas, letih dan lesu, suatu sikap yang sengaja clibuat untuk dapat menghindarkan diri dari



kegiatan kemasyarakatan. Kleda: Perilaku manusia yang cepat putus asa, selalu pesimis dan tidak



mengenal apa yang disebut perjuangan hidup. Leja: Sikap seseorang yang selalu serakah atau tamak dan lagi angkuh



atau sombong. Kuhaka: Perilaku yang suka memuji diri sendiri dan senang mengucapkan



kata-kata yang kasar. Metraya: Sikap seseorang yang suka bersilat lidah dan dengan tipu daya



berusaha mempengaruhi pihak lain untuk berbuat yang tidak baik. Megata: Perilaku seseorang yang selalu munafik, tidak konsisten dan lain

 

di mulut lain di hati. Regastri: Sikap seseorang play boy dan mata keranjang. Kutila: Perilaku yang suka menipu orang lain untuk keuntungan dirinya



sendiri. Bhaksabhuwana: Tingkah laku yang senang melihat orang lain menderita dan karena itu orang seperti ini senang menyakiti atau menyiksa orang



lain. Kimburu: Sikap seseorang yang selalu irihati atau dengki terhadap pihak lain dan ingin memiliki barang orang lain dengan menghalalkan segala cara. Kesepuluh kelemahan atau keburukan manusia tersebut di atas

hendaknya dimusnahkan karena bertentangan dengan ajaran agama, sehingga masyarakat bisa hidup rukun, aman, tentram dan damai.

149

D. Rangkuman susila agama Hindu juga mengajarkan tentang musuh-musuh yang ada dalam diri manusia. Meskipun manusia merupakan mahluk paling sempurna yang di ciptakan Tuhan Yang Maha Esa ternyata manusia banyak mempunyai kelemahan dan kekurangan, baik yang nyata-nyata terlihat maupun yang tersembunyi, Dengan mempelajari ajaran tentang etika atau tingkah laku yang baik dan mulia saja tidaklah cukup. Manusia juga harus memahami dan dapat mengendalikan berbagai kelemahan yang ada di dalam dirinya. Kelemahankelemahan itu adalah musuh yang harus ditundukkan oleh manusia. Dengan memahami kelemahan dan kekurangannya manusia akan lebih berminat untuk mengendalikan dirinya. E. Daftar Pustaka Pendit, Nyoman S, 1980. Mahabharata, sebuah perang dahsyat di medan Kurukshetra, Bhratara Karya Aksara, Jakarta. Vivekananda, Swami, “Jnana Yoga”, Kessinger Publishing, 2005. ISBN 1-42548288-0 Titib, I Made. 2003. Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu. Penerbit Paramita : Surabaya. Wiratmadja, I Gusti Ketut, 1973. Diktat Agama Hindu, Departemen Pertahanan dam Keamanan Akademi Angkatan Bersenjata RI.

150

BAB VII MISI UNTUK MENUJU MANUSIA IDEAL

A. Kompetensi Dasar Mampu

memahami

misi

untuk

menuju

manusia

ideal

dengan

melakukan implementasi kebenaran, kebajikan, kasih sayang, kedamain dan tanpa adanya kekerasan sehingga terwujud Manava Madhava. B. Indikator  Menjelaskan misi untuk memperbaiki diri menuju manusia ideal  Mengimplementasikan

kebenaran,

kebajikan,

kasih

saying,

dan

kedamaian. C. Materi Salah satu tugas suci bagi umat Hindu ialah untuk menata dirinya sendiri dan masyarakat, serta umat manusia untuk mengenal jati dirinya untuk berusaha menjadi manusia yang berperi kemanusiaan (berakhlak mulia) yang secara ideal disebut manusia “Dharmika” (Manava Madhava). 1

Misi Untuk Memperbaiki Diri Menuju Manusia Ideal (Manava Madhava) Ajaran Etika (Moralitas), atau Tata Susila yakni, tingkah laku yang

baik dan benar untuk kebahagiaan hidup serta keharmonisan antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, antara sesama manusia, dengan alam semesta dan ciptaan-Nya. Ajaran etika di dalam Weda mencakup bidang yang sangat luas meliputi antara lain: kebenaran, kasih sayang, tanpa kekerasan, kebajikan, ketekunan, kemurahan hati, keluhuran budhi pekerti, membenci 151

sifat buruk, pantang berjudi, menjalankan kebajikan, percaya diri, membina hubungan yang serasi, mementingkan persatuan, kewaspadaan, kesucian hati, kemasyhuran,

kemajuan,

pergaulan

dengan

orang-orang

mulia,

mengembangkan sifat-sifat ramah dan manis, sejahtera, damai, bahagia, kegembiraan, moralitas, persahabatan, wiweka (kemampuan membedakan sifat baik dan buruk), mengendalikan diri dan banyak lagi yang lainnya. Dalam Kitab Suci Sarasamuscaya: Sloka 2, 3, 4 disebutkan sebagai berikut: Ri skwehning sarwa bhūta, iking janma wwang juga wenang gumayakenikang śubhāśubhakarma, kuneng panentas akena ring śubhakarma juga ikang aśubhakarma phalaning dadi wwang (Sarasamuscaya, 2) (Dari semua mahluk yang hidup, hanya yang dilahirkan menjadi manusia sajalah yang dapat melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk; leburlah ke dalam perbuatan baik, segala perbuatan yang buruk itu; demikianlah gunanya menjadi manusia) Matangnyan haywa juga wwang manastapa an tan paribhawa si dadi wwang ta pwa kagongakena ri ambek apayapan paramadurlabha iking si janmamanusa ngaranya, yadyapi candalayoni tuwi (Sarasamuscaya, 3) (Oleh karena itu janganlah sekali-kali bersedih hati, meskipun hidupmu tidak makmur, dilahirkan menjadi manusia itu hendaklah menjadikan kamu berbesar hati, sebab amat sukar untuk dapat dilahirkan menjadi manusia, meskipun kelahiran hina sekalipun). Apan ikang dadi wwang, uttama juga ya, nimittaning mangkana, wenang ya tumulung awaknya sangkeng sangsara, maka sādhanang śubhakarma, hinganing kottamaning dadi wwang ika. (Sarasamuscaya, 4)

152

(Menjelma menjadi manusia itu adalah sungguh-sungguh utama; sebabnya demikian karena ia dapat menolong dirinya dari keadaan sengsara dengan jalan berbuat baik; demikianlah keuntungannya dapat menjelma menjadi manusia) Menyimak ajaran ini, kita diarahkan serta dituntut untuk berbuat kebenaran, kebaikan, agar dapat melebur kegelapan, atau karma yang jahat (buruk), untuk menuju manusia Manava-Madhava (Dharmika). Ajaran Etika (Moralitas), Tata Susila, serta pengendalian diri untuk menjadikan diri serta manusia,

menjadi

manusia

yang

berperi

kemanusiaan,

berbudhi

dan

berkepribadian mulia, manusia manava-madhava (Dharmika), berdasarkan ajaran Agama Hindu, yang dimuat dalam Veda, Itihasa, Purana, Bhagawad Gita, Sarasamuscaya, Slokantara, dan yang lain-lainnya. Dalam Bhagavad Gita Sri Krishna mengajarkan ada dua macam kecenderungan (sifat, perilaku) manusia seperti tersebut pada pustaka suci Bhagawad Gita: XVI.1, 2, dan 3. Sri Bhagawan bersabda: keberanian, kemurnian pikiran, bijaksana dalam membagi pengetahuan dan konsentrasi, amal sedekah, pengendalian diri, berkurban, mempelajari kitab suci, melakukan tapa dan berbuat kejujuran (1) Tanpa kekerasan, kebenaran, bebas dari kemarahan, tanpa pamerih, tenang, tidak memhtnah, kasih sayang terhadap sesama mahluk, bebas dari kelobaan, lemah lembut, sopan dan berketetapan hati (2) Cekatan, suka memaafkan, teguh iman, budi Iuhur, tidak iri hati, tanpa keangkuhan, semua ini adalah harta, dari dia yang dilahirkan dengan sifat-sifat dewata, wahai Arjuna (3) Pada lambang keagamaan India perbedaan antara para dewa yang bersinar cemerlang dan para asura (raksasa) sebagai putra kegelapan, sudah ada sejak jaman purbakala. Dalam Rgveda kita mendapatkan pernyataan tentang perjuangan antara para dewa dan musuh kegelapannya, Ramayana 153

juga menyatakan pertentangan yang sama antara keteladanan budaya tinggi dan mereka yang keakuannya tak terkendalikan. Mahabrata juga memberitahu kita tentang perjuangan antara para Pandawa sebagai pengabdi Dharma, Hukum dan Keadilan Serta para Kurawa yang lebih mencintai kekuasaan. Semuanya ini merupakan kemungkinan perkembangan manusia yang lebih kurangnya seperti kita sendiri. Para dewa dan para asura keduanya berasal dari Prajapati. Selanjutnya dalam pustaka suci Bhagawad Gita XVI 4, 6, menyatakan: Sifat tekebur, sombong, terlalu bangga, pemarah dan juga kasar dan bodoh, ini oh Partha (Arjuna) adalah tergolong pada orang yang dilahirkan dengan sifat Setan/keraksasaan (4). Ada dua macam mahluk diciptakan di dunia ini, yaitu yang bersifat Ilahi, dan bersifat raksasa. Yang bersifat Ilahi telah dia uraikan secara panjang lebar. Sekarang dengarkan wahai Partha (Arjuna), tentang mahluk yang bersifat raksasa (6). Selanjutnya dalam Bahagavad Gita XVI. 10, 11, 12, 14, 17, 21, menjelaskan mengenai sifat-sifat keraksaan (Asuri Sampat), sebagai lawan sifat-sifat kedewaan (Daiwi Sampat) adalah sebagai berikut: Dengan menyerahkan diri pada nafsu yang tak terpuaskan, penuh dengan pura-pura, terlalu bangga dan sombong, memegang pandangan yang salah karena kekhayalan, mereka berbuat dengan keputusan yang tidak suci (10). Digoda oleh bermacam-macam keinginan duniawi yang akan berakhir hanya dengan kematian, menganggap pemuasan nafsu itu sebagai tujuannya tertinggi dan yakin bahwa ini adalah semuanya (11). Dengan diikat oleh ratusan belenggu keinginan, menyerahkan diri pada nafsu dan kemarahan, mereka berjuang untuk menimbun kekayaan, dengan jalan curang untuk memuaskan keinginannya. (12)

154

Musuh ini Aku yang membunuhnya, dan yang lainnya juga Aku akan sembelih, akulah penguasa, akulah penikmat, akulah yang berhasil, yang perkasa dan yang berbahagia (14). Sombong, keras kepala, penuh dengan kebanggaan dan keangkuhan akan kekayaan, mereka melakukan yadnya yang hanya namanya saja, dengan kemegahan yang berlebih-lebihan tanpa peraturan. (17). Pintu gerbang neraka yang menuntun jiwatma ke kehancuran ada tiga yaitu nafsu, marah, dan loba. Oleh karena itu orang harus menghindari ketiganya ini (21) Demikianlah garis-garis besar tuntunan yang kita dapat dari pustaka suci Bhagawad Gita, amanat Sri Krishna, untuk menjadi manusia manava madhava (Dharmika). Banyak lagi kitab-kitab ajaran Hindu yang mengajarkan etika (moralitas) serta pengendalian diri bagi manusia, diantaranya Sarasamuccaya 57 Karya Bhagawan Wararuci menyatkan sebagai berikut: Nyang brata sang brahmana, rwa welas kwehnya, prayekanya dharma, satya, tapa, dama, wimatsaritwa, hrih, titiksa, anasuya, yajna, dāna, dhfti, ksama, nahan pra tyekanyan rwawelas, dharma, satya pagwanya, tapa ngaranya śarīra sang śosana, kapanasaning śarira, piharan, kurungana wisaya, dama ngaranya upaśamadening tuturnya, wimatsaritwa ngarani haywa irsya, hrih ngaraning irang, wruha ring irang wih, titiksā ngaraning hywa gong krodha, anasuyā haywa dosa grahi, yajna magelem amuja, dāna, maweha dānapunya, dhīti ngaraning maneb, āhning, ksama ngaraning kelan, nahan brata sang brāhmana. (Inilah brata Seorang Brahmana, dua belas banyaknya, perinciannya dharma, satya, tapa, dama, wimatsaritwa, hrih, titiksa, anasuya, yajna, dana, dhrti, ksama, demikian perincian kedua belas itu. Dharma: dari satyalah sumbernya; tapa artinya pesucian jiwa raga, yaitu dapat mengendalikan jasmani serta mengurangi nafsu; dama artinya tenang dan sabar, tahu 155

menasehati diri sendiri; wimatsaritwa artinya, tidak dengki dan irihati; hrih berarti malu, mempunyai rasa malu; titiksa artinya, jangan terlalu gusar (marah); anasūyā berarti tidak berbuat dosa; yajña berarti berkemauan melakukan yajna (kurban suci); dana adalah memberi dana punya (sedekah/zakat); dhrti artinya penenangan dan pensucian pikiran; ksama berarti tahan sabar dan suka mengampuni; demikianlah brata Seorang Brahmana). Sara Samuscaya Sloka 63, memuat mengenai Catur Prwawrtti. Catur Prawrrti terdiri dari arjawa (jujur dan terus terang) anśansya (tidak mementingkan diri sendiri); dama (dapat menasehati dirinya sendiri); dan indriyanigraha (mengekang hawa nafsu). Sarasamuscaya, Sloka 259. Inilah brata yang disebut yama, periciannya demikian anrçangsya, ksama, satya, ahingsa, dama, arjawa, pritti, prasada, madhurya, mardhawa, sepuluh banyaknya anrçangsya, yaitu harimbawa, tidak mementingkan diri sendiri saja; ksama, tahan akan panas dan dingin; satya, yaitu tidak berkata bohong (berdusta); ahingsa, berbuat selamat atau bahagianya sekalian makhluk; dama, sabar serta dapat menasehati dirinya sendiri; arjawa, tulus hati, berterus terang; pritti yaitu sangat welas asih; prasada kejernihan hati; madhurya, manisnya pandangan (muka manis) dan manisnya perkataan (perkataan yang lemah lembut); mardhawa, kelembutan hati. Sarasamuscaya 260. Inilah brata sepuluh banyaknya, yang disebut niyama, perinciannya: dana, ijya, tapa, dhayana, swadhayaya, upasthanigraha, brata, upawasa, mona, snana itulah yang merupakan niyama; dana pemberian, pemberian makanan dan minuman dan lain-lain; ijya pujaan kepada dewa, kepada leluhur dan lain-lain sejenis itu; tapa pengekangan nafsu jasmanisah, badan yang seluruhnya kurus-kering, layu, berbaring diatas tanah, diatas air dan diatas alas-alas sejenis itu; dhayana tepekur, merenungkan Siwa; swadhayaya mempelajari Weda; 156

upasthanigraha pengekangan upastha, singkatan pengendalian nafsu sex; upawasa puasa; brata pengekangan nafsu terhadap rnakanan; mona itu macamnya, berarti menahan, tidak mengucapkan kata-kata yaitu tidak berkata-kata sama sekali, tidak bersuara; snana trisandhya sewana, melakukan trisandhya, mandi membersihkan diri pada waktu pagi, tengah hari dan petang hari.

2.

Implementasi Kebenaran, Kewajiban, Kasih Sayang, Kedamaian dan Tanpa Kekerasan. Setelah mempelajari ajaran etika (moralitas) yang dimuat dalam kitab

suci Weda, Itihasa, Purana dan sebagainya, kita sebagai umat Hindu mempunyai

kewajiban

peran

serta

dalam

implementasi

(penerapan)

menjalankan, melaksanakan ajaran tersebut. Berikut ini diungkapkan, petikan inti sari ajaran yang penting kita jadikan perilaku kita sehari-hari di masyarakat diantara sesama manusia. Kebenaran/Kejujuran (Satyam, Dharma) Sabda suci weda menyatakan bahwa kebenaran/kejujuran (satyam), merupakan prinsip dasar hidup dan kehidupan. Bila seseorang senantiasa mengikuti kebenaran maka hindupnya akan selamat, sejahtera, terhindar dari bencana, memperoleh kebijaksanaan dan kemuliaan. Kebenaran/kejujuran dapat dilaksanakan dengan mudah, bila seseorang memiliki keyakinan (Sraddha). Dengan keyakinan seseorang akan mantap bertindak di jalan yang benar, menuju kebenaran. Atharva Veda XIV.1.1. Kebenaran, kejujuran menyangga bumi, Matahari menyangga langit. Hukum-hukum alam menyangga matahari. Tuhan Yang Maha Esa, meresapi seluruh lapisan udara yang meliputi bumi (atmosfir). Sarasamuscaya Skoka 128 157

Tak berjauhan bisa (beracun) itu dengan amrta: disinilah di badan sendirilah tempatnya : keterangannnya, jika orang itu bodoh, dan senang hatinya kepada adhrama, bisa atau racun didapat olehnya; sebaiknya kokoh berpegangan kepada kebenaran, tidak goyah hatinya bersandar kepada Dharma, maka amrtalah diperolehnya. Sarasamuscaya Sloka : 41, 42 Maka yang harus anda perhatikan, jika ada hal yang ditimbulkan oleh perbuatan, perkataan dan pikiran yang tidak menyenangkan dirimu sendiri, malahan menimbulkan duka yang menyebabkan sakit hati, jangan tidak mengukur baju dibadanmu sendiri, perilaku anda yang demikian itulah dhrama namanya: penyelewengan ajaran dharma, jangan hendaknya dilakukan. Bahwa segala perilaku orang yang bijaksana, orang yang jujur, orang satya wacana, pun orang yang dapat mengalahkan hawa nafsunya dan tulus ikhlas lahir bathin, pasti berlandaskan dharma segala laksana beliau, laksana beliau itulah patut dituruti, jika telah dapat menurutinya, itulah yang dinamai laksana dharma. Kebajikan Dalam ajaran Hindu, kata: Dharma mempunyai arti yang luas, antara lain: kebenaran, kebajikan, pengabdian, tugas suci, budi luhur, dan lain sebagainya. Dalam Rgveda VII.32.8. Tuhan Yang Maha Esa yang pemurah memberkahi orang yang penuh kebajikan. Sarasamuscaya Sloka 12, 13. Pada hakekatnya jika artha dan kama dituntut, maka seharusnya dharma hendaknya dilakukan lebih dahulu, tak tersangsikan lagi, pasti akan diperoleh artha dan kama itu nanti, tidak akan ada artinya, jika artha dan kama itu diperoleh menyimpang dari dharma. 158

Bagi sang pandita (orang arif bijaksana) tak lain hanya orang yang bajik yang melaksanakan dharma, dipuji dan disanjung olehnya, karena ia telah berhasil mencapai kebahagiaan, beliau tidak menjujung orang yang kaya dan orang yang selalu birahi cinta waita, sebab orang itu tidak sungguh berbahagia, karena adanya pikiran angkara dan masih dapat digoda oleh kekayaan dan hawa nafsu itu. Kasih Sayang (Cinta Kasih) Kitab Suci Sarasamuscaya Sloka 135, 136, 146. Oleh karenanya usahakanlah kesejahteraan mahluk itu, karena kehidupan mereka itu menyebabkan tetap terjamin tegaknya catur warga, yaitu dharma, artha, kama dan moksa; jika mau mencabut nyawanya mahluk, betapa itu tidak musnah olehnya; demikianlah orang yang menjaga kesejahteraan mahluk itu, ia itulah yang disebut menegakkan catur warga, dinamakan Abhutahita, jika sesuatunya itu tidak terjaga atau terlindugi olehnya. Catatan Abhutahita: Abhuta + hita, berarti tidak ada/mempunyai kebaikan,

kebajikan,

tidak

menghiraukan

kesejahetaraan

mahluk,

kebalikannya bhutahita-kesejahteraan mahluk. Bila orang itu sayang akan hidupnya, apa sebabnya ia itu ingin memusnahkan hidup mahluk lain, hal itu sekali-kali tidak memakai ukuran diri sendiri, segala sesuatu yang akan dapat menyenangkan kepada dirinya, mestinya itulah di citacitakannya terhadap mahluk lain. Sebab tidak ada yang lebih utama daripada hidup maknanya hanya hidup yang berharga di ketiga dunia ini dan karena itu hendaknya seseorang menunjukkan cinta kasihnya (sebagaimana) mencintai hidup sendiri, demikian hendaknya cinta kasih seseorang itu terhadap orang lain.

159

Kedamaian Dan Tanpa Kekerasan Kedamaian juga mengandung pengertian; tenang, tentram. Jangan menyakiti hati siapapun, jangan mengganggu, jangan merugikan orang lain, apalagi mereka yang pernah berjasa. Setiap umat manusia dianjurkan untuk tidak membunuh binatang, terutama yang bermanfaat bagi kehidupan (berjasa bagi manusia). Pada doa puja Trisandhya, mantram ke-2, mengatakan “Sarvaprani Hitangkarah” (Semoga semua mahluk sejahtera), menunjukkan doa kita yang universal, tidak hanya untuk manusia, tetapi semua mahluk ciptaan-Nya. Hal ini banyak diungkapkan oleh pustaka suci: Weda, Itihasa, Purana dan lain-lainnya. Atharva Veda : XIX 9.1 Semoga langit penuh damai. Semoga bumi bebas dari gangguan-gangguan. Semoga suasana lapisan udara yang meliputi bumi (atmosfir) yang luas menjadi tenang. Semoga perairan yang mengalir menyejukkan dan Semoga semua tanaman dan tumbuh-tumbuhan menjadi bermanfaat untuk kami. Yajur Veda XXXIV.17. Semoga ada kedamaian di langit, di udara yang meliputi bumi (atmosfir) di atas bumi, semoga air, tumbuh-tumbuhan dan tanam-tanaman menjadi sumber kedamaian untuk semuanya. Semoga semua para dewa dan Tuhan Yang Maha Esa menganugerahkan kedamaian kepada kami. Semoga terdapat kedamaian (ketentraman) dimana-mana. Semoga kadamaian itu datang kepada kami. Atharva Veda XIX.92. Semoga masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang penuh kedamaian dan amat ramah kepada kami. Setelah membaca ungkapan-ungkapan dalam pustaka suci Weda maka sebagai umat Hindu kita wajib berusaha lahir bathin untuk menerapkan, 160

melaksanakan sifat luhur seperti: kebenaran, kebajikan, kedamaian, tanpa kekerasan, seperti yang dijelaskan dalam Daiwi Sampat (sifat-sifat Ke Dewaan). D. Rumusan kita sebagai umat Hindu mempunyai kewajiban peran serta dalam implementasi (penerapan) menjalankan, melaksanakan sabda suci weda yang menyatakan bahwa kebenaran/kejujuran (satyam), merupakan prinsip dasar hidup dan kehidupan. Bila seseorang senantiasa mengikuti kebenaran maka hindupnya akan selamat, sejahtera, terhindar dari bencana, memperoleh kebijaksanaan dan kemuliaan. Kebenaran/kejujuran dapat dilaksanakan dengan mudah, bila seseorang memiliki keyakinan. Dengan keyakinan seseorang akan mantap bertindak di jalan yang benar, menuju kebenaran. Sehingga menjadi manusia yang berperi kemanusiaan (berakhlak mulia) yang secara ideal disebut manusia Manava Madhava. E. Daftar Pustaka Agung, Anak Gde Okta Netra. Tuntunan Dasar Agama Hindu. Denpasar: Widya Dharma. 2009 Kadjeng, I Nyoman, 1970/1971. Sarasamuccaya, Proyek Penerbitan Kitab Suci Hindu dan Buddha Direktorat Djendral Bimbingan Masyarakat Hindu dan Buddha Departemen Agama R.I. Pudja, Gde. 1981. Sarasamuccaya. Jakarta: Proyek Pengadaan Kitab Suci Hindu Dept Agama RI. Sura, I Gede, 1985. Pengendalian Diri dan Etika. Hanuman Sakti Jakarta.

161

BAB VIII ILMU PENGETAHUAN, TEKNOLOGl, DAN SENI DALAM PERSPEKTIF HINDU A. Kompetensi Dasar Memahami ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan teknologi dan seni dalam perspektif hindu yang berkaitan erat dengan Tri Hita Karana dalam kehidupan sehari-hari B. Indikator  Menjelaskan dan menguraikan tentang ajaran Sradha, Jnana, dan Karma sebagai kesatuan dalam yadnya  Mengamalkan kewajiban menuntut ilmu dan mengamalkan ilmu  Menjelaskan ajaran Tri Hita Karana dan tanggung jawab terhadap alam dan lingkungan. C. Materi Ilmu pengetahuan dalam ajaran Hindu disebut: Jafrana, sedangkan teknologi dan Seni termasuk pada Gandarva Weda, yaitu cabang Ilrnu Seni (Kesenian). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, halaman : 916 ; 816. Teknologi: “kemampuan teknik yang berdasarkan pengetahuan ilmu eksakta yang berdasarkan proses teknik”. “Seni: 1). halus, kecil dan halus, 2). Keaktifan membuat karya-karya bermutu dilihat dari segi kehalusannya dsb., seperti tari, lukis, ukir”. Dalam pustaka suci Weda, mengenai teknologi serta seni, yang merupakan salah satu daripada produk budaya, terpancar dari budhi dan mendapat kekuatan hidup dari jiwa-atma, yang ada dalam diri tiap manusia.

162

Mengenai teknologi dan seni, dapat kita lihat pada ungkapan dalam Weda sebagai berikut: “Semoga gas air mata diledakkan dan semoga bahan peledak diledakkan membuat bunyi yang dahsyat” (Atharva Veda XI. 10.7) “Hendaknyalah ranjau-ranjau yang mengeluarkan bau yang busuk dan membuat bunyi dahsyat, membuat angkatan bersenjata musuh merasa takut dan disiksa dengan bau busuk” (Atharva Veda VIII.8.2.). Menari, menyanyi dan tertawa bersuka ria diamanatkan dalam kitab suci Weda. Menari bersama keluarga tidak lain, adalah dalam rangka menempuh dan memperkuat tali pe'rsaudaraan. Tarian rnenjadi indah bila diikuti gamelan (alat-alat bunyi-bunyian). “Dewi Fajar seperti seorang gadis yang menari memamerkan kecantikannya” (Rgveda I.124.7.). “kelompok orang yang bersembahyang, mempersembahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan alat-alat musik (gamelan) yang menyertainya dimainkan oleh pengatur tinggi nada kecapi dan seruling” (Rgveda VIII.69.9). Kemudian dalam perkembangan ajaran Hindu ke bagian dunia lainnya, dan khususnya di Indonesia dan Bali, maka seni (kesenian) berkembang memuncak dengan aneka ragam seperti: Seni Tari, Gambar, Lukis, Pahat (Patung), Ukir (wayang) rupa, bangunan, suara, sastra, dan sebagainya. Hal ini dapat kita saksikan sebagai: Candi, Pura (Kahyangan), Arca (patung) perwujudan, lukisan yang merupakan symbol Agama, tari-tarian sakral seperti (rejang, sanghyang). Menurut perspektif Hindu, bahwa ilmu pengetahuan, Teknologi, Seni merupakan kesatuan yang saling jalin menjalin untuk mewujudkan sesuatu yang indah (seni), yang secara vertikal diabdikan kepada Tuhan, dan secara horizontal diabdikan kepada sesama

hidup

(manusia)

untuk

mencapai

kesejahteraan,

kebahagian

serta

kesempurnaan.

163

1. Sraddha Jnana Dan Karma Sebagai Kesatuan Dalam Yadnya. Adapun arti kata-kata tersebut, sebagai berikut : Sraddha = keyakinan kepercayaan. Panca Sraddha = lima keyakinan , dalam ajaran Hindu, yaitu adanya: Brahman (Tuhan Yang Maha Esa), Atma, Karma, Samsara (Punarbhawa) dan Moksa. Jnana: llmu Pengetahuan, Karma, Perbuatan, laksana Yadnya: korban, persembahan. Kita umat Hindu wajib memiliki keyakinan (kepercayaan) yang teguh terutama kepada Tuhan dan diri sendiri, agar tidak cepat goyah, tidak menentu arah. Kita harus rajin mempelajari, menuntut ilmu pengetariuan, tak terbatas umur maupun waktu, seperti dinyatakan pada pustaka suci, dan setelah berhasil memiliki berbagai macam ilmu pengetahuan, maka kita diwajibkan bekerja dengan giat mengamalkan ilmu pengetahuan itu untuk melenyapkan awidya (kebodohan) lahir bathin. Dalam mengamalkan ilmu pengetahuan ini hendaknya kita persembahkan sebagai suatu yadnya kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) Dewi Saraswati adalah Dewinya ilmu pengetahuan. Pustaka Suci Weda, Itihasa, Purana dll. memberikan petuah mengenai hal ini diantaranya ialah : - Mengenai Jnana (Ilmu pengetahuan). Bhagavad Gita : IV 34-35-39, XVIII.70. “Tujuan ilmu pengetahuan adalah kebijaksanaan hidup yang memberikan kebebasan dari kegiatan kerja dan kelepasan dari belenggu kerja”. “Belajarlah, bahwa dengan sujud bersembah, dengan bertanya dan dengan pelayanan; orang-orang bijksana yang telah melihat kebenaran, mengajarmu dalam ilmu pengetahuan”. (IV.34). “walaupun seandainya engkau paling berdosa diantara orang yang berdosa, engkau akan dapat menyeberangi segala kejahatan dengan pera.hu kebijaksanaan ini saja”. (IV.36). 164

“Ia yang memiliki keyakinan, yang terserap di dalam kebijaksanaan dan setelah dan yang telah menundukkan indra-indranya, akan memperoleh kebijaksanaan dan setelah memperoleh kebijaksanaan dengan cepat ia akan mendapatkan kedamaian tertinggi”. (IV.39). “Dan ia yang mempelajari percakapan suci kita ini, Aku akan dipujanya dengan pengorbanan pengetahuan, demikianlah pendapatKu”. (Bhagavad Gita XVIII.70). Dalam kitab : Canakya Nitisastra, menyebutkan : “Ilmu pengetahuan ibaratnya bagaikan kamandhenu, yaitu yang setiap saat dapat memenuhi segala keinginan. Pada saat orang berada di Negara lain, ilmu pengetahuan bagaikan seorang ibu yang selalu memelihara kita; Orang bijaksana mengatakan bahwa ilmu pengetahuan adalah kekayaan yang rahasia, harta yang tak kelihatan”. (IV.5). “Vidyan, yaitu : seorang terpelajar dan bijaksana, dihormati didunia. Vidvan selalu diagung-agungkan dimana-mana. Dengan ilmu pengetahuan segala hasil bisa didapatkan. Oleh karena itu ilmu pengetahuan dipuja dimana-mana”. (VIII.20). “Orang yang kurang dalam harta benda bukanlah orang miskin. Sebaliknya orang yang kaya adalah dia yang memiliki ilmu pengetahuan. Dia yang kurang dalam ilmu pengetahuan, sesungguhnya dalam segala keadaan ia disebut orang miskin” (X.1). “Makan, tidur, kecemasan dan hubungan kelamin, semua itu adalah persamaan” binatang dengan'manusia. Kelebihan sifat manusia adalah pengetahuauan. Orang yang tidak memiliki ilmu pengetahuan sama dengan binatang”. (XI. 17). Dalam kitab suci Sara Samuccaya : “Maka tindakan orang yang tinggi pengetahuannya, tidak sayang merelakan kekayaannya, nyawanya sekalipun jika untuk kesejahteraan umum: tahulah beliau akah maut pasti datang dan tidak adanya sesuatu yang kekal; oleh mereka itu adalah lebih baik berkorban (rela mati) demi untuk kesejahteraan umum (Sloka 175).

165

“Namun demikian janganlah orang tidak cinta kepada ilmu pengetahuan, tuntutlah kejarlah saja akan ilmu itu, jangan hendaknya dipengaruhi oleh perbuatan dosa, sebab orang yang berbudi (berpekerti jahat), karena tiada ada sifat satwam padanya, merupakan musuh dirinya sendiri (Sloka, 304). Pustaka suci Hindu yang memberikan penjelasan mengenai karma ataupun yang menyangkut tentang karma antra lain ialah sebagai berikut: Mengenai Karma : “Tugasmu kini hanyalah berbuat dan jangan sekali-kali mengharap akan hasilnya; jangan sekali-kali hasil yang menjadi motifmu ataupun sama sekali terikat dengan tanpa kegiatan” (Bhagavad Gita II.47). Sloka yang terkenal ini mengandung prinsip dasar dari ketidak terikatan. Bila kita melakukan pekerjaan kita, apakah itu membajak sawah ataukah mengecet, menyanyi ataupun berpikir, kita akan dibelokkan dari ketidak terikatan, bila kita berfikir, kita akan dibelokkan dari ketidak terikatan/bila kita berfikir tentang kemasyhuran ataupun penghasilan yang akan diperoleh. “Tak seorangpun dapat tetap tanpa melakukan kegiatan kerja walaupun sesaat saja, karena setiap orang dibuat tak berdaya oleh kecenderungan-kecenderungan alam untuk melakukan kegiatan kerja”. (Bhagavad Gita III.5.). Selama manusia menjalani kehidupan dunia ini, mereka tak dapat melepaskan dirinya dari kegiatan kerja; karena tanpa kerja kehidupan tak dapat berlangsung. “Kecuali kerja yang dilakukan sebagai dan untuk tujuan pengorbanan, dunia ini dibelenggu oleh kegiatan kerja. Oleh karena itu wahai putra Kunti (Arjuna), lakukanlah kekuatanmu sebagai pengorbanan itu dan jangan terikat dengan hasilnya” (Bhagavad Gita III.9). “Ia yang bekerja setelah melepaskan keterikatan serta mempersembah-kan kegiatan kerjanya kepada Tuhan, tak akan tersentuh oleh dosa, bagaikan daun teratai, yang tak terbasahi oleh air”. (Bhagavad Gita V. 10).

166

Dengan jelas disini Gita meminta kita bukan untuk menolak kegiatan kerja, tetapi melakukannya, dengan mempersembahkannya kepada Tuhan sebagai yang abadi. Mengenai yadnya. Dahulu kala Prajapati menciptakan manusia bersama-sama dengan pengorbanan dan bersabda: “Dengan ini semoga engkau akan berkembang biak dan biarlah ini menjadi sapi perahan” (Bhagavad Gita III. 10). “Orang-orang yang baik yang makan sisa persembahan kurban akan terlepas dari segala dosa, tetapi orang-orang yang jahat yang mempersiapkan makanan hanya bagi dirinya sendiri sesungguhnya mereka itu makan dosa”. (Bhagavad Gita III.13). “Di dunia ini mereka yang tidak ikut membantu memutar roda kehidupan ini, pada dasarnya bersifat jahat, memperturutkan nafsu semata dan mengalami penderitaan. wahai Partha” (Bhagavad Gita III.16). Dalam sloka ini konsep wedik (Weda) tentang pengorbanan sebagai saling tukar antara para dewa dan manusia diungkapkan dalam konteks saling ketergantungan makhluk-makhluk yang lebih luas dalam kasus ini. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam semangat pengorbanan semacam ini sangat berkenan pada Tuhan. (“Sang Perwira melaksanakan pengorbanan di medan perang berkehendak untuk melenyapkan angkara murka”). Dengan merenungkan ungkapan Veda tersebut, maka jelaslah manusia wajib memiliki Sraddha (keyakinan, keimanan) yang kuat baik kepada Tuhan, maupun kepada diri sendiri. Sebagai seorang b^rahmacari, atau penuntut ilrnu pengetahuan hendaknya rajin serta berusaha keras untuk memiliki ilmu pengetahuan, terutama mengenai ketuhanan. Setelah ilmu pengetahuan didapat, selanjutnya bekerja dan amalkanlah ilmu itu sebagai Yadnya rnaupun bhakti kehadapan Tuhan Yang Maha Esa (Sang Hyang Widhi Wasa).

167

2. Kewajiban Menuntut Ilmu dan Mengamalkan Ilmu. Dalam ajaran Hindu, Catur Asrama (empat tahap kehidupan) terdiri dari: Brahmacari (Brhmacarya), Grehastha, Wanaprastha dan Bhiksuka. Brahmacari adalah masa belajar, masa menuntut ilmu pengetahuan tentang ke Tuhanan (spiritual). Kata Brahmacari seeing dijabarkan melalui .pernyataan berikut: “Brahmacari iti Brahmacari”, mereka yang berkecimpung dibidang pengetahuan (mencari ilmu pengetahuan) disebut Brahmacari. Brahmacari yang mampu mengendalikan dirinya (dari dorongan nafsu seks), dinyatakan memiliki kekuatan suci (cahaya) kedewataan. Dalam Atharwa Weda 5.17. “Seorang raja dengan sarana menjalankan brahmacari, bila melindungi bangsanya. Seorang pendidik (guru, pembimbing), yang sedang menjalankan brahmacari sendiri berkeinginan menjaga para siswa yang saleh”. Jnana Marga Yoga, merupakan jalan ilmu pengetahuan untuk menuju atau mencapai Tuhan. Jnana (ilmu pengetahuan) ini bersumber pada Weda, Itihasa, Purana, Tattwa, Dll. Dalam Bhagawad Gita IV.29: “Beberapa orang lainnya mempersembahkan harta bendanya sebagai korban, atau kegiatan tapa maupun latihan spiritual (yoga)nya, sementara yang lainnya mempersembahkan pikiran dan beberapa orang yang bernazar (bersumpah berat) mempersembahkan studi dan ilmu pengetahuannya. Mungkinkah kita mempersembahkan ilmu pengetahuan, kalau diri kita sendiri belum memiliki ilmu pengetahuan? Sloka ini menggugah lahir batin kita sebagai umat Hindu untuk banyak me'mpelajari berbagai ilmu pengetahuan, terutama ilmu pengetahun spiritual untuk mencapai 168

Tuhan. Jika berhasil mendapatkan berbagai ilmu pengetahuan maka wajiblah kita mengamalkan pengetahuan itu, mengajarkan dan mendidik saudara-saudara yang masih berada dalam kegelapan. Bhagawad Gita IV.33 “Ilmu pengetahuan sebagai yajna, lebih unggul dari pada yajna material-apapun, wahai Pramtapa (Arjuna), karena segala kegiatan kerja tanpa kecuali memuncak dalam kebijaksanaan, wahai Partha (Arjuna)”. Tujuan ilmu pengetahuan adalah kebijaksanaan hidup yang memberikan kebebasan dari kegiatan kerja dan kelepasan dari berbagai belenggu kerja.

3. Trihita Karana Dan Tanggung Jawab Terhadap Alam Dan Lingkungan Trihita Karana adalah salah satu ajaran Agama Hindu, yang secara harafiah berarti, Tri = Tiga, Hita = Kesejahteraan, Kebahagiaan, Karana = Penyebab. Keseluruhannya berarti : Tiga penyebab kesejahteraan (Kebahagiaan). Ketiga penyebab itu ialah: Tunan, Manusia, Alam Semesta (Lingkungan Hidup). Ajaran ini bersumber pada Weda, Itihasa dan Parana, yang memberikan penjelasan mengenai isinya. 1. Tuhan (Tuhan Yang Maha Esa, Sang Hyang Widhi Wasa). Tuhan telah menciptakan alam semesta ini, dimana kita manusia wajib menyatakan rasa terima kasih lahir batin atas anugerahnya, memuja keagungannya, karena Tuhan sebagai sumber kebahagiaan. “Dahulu kala, Prajapati menciptakan manusia bersama-sama dengan pengorbanan dan berkata: “Dengan ini semoga engkau akan berkembang biak dan biarlah ini menjadi sapi perahanmu” (Bhagawan Gita III.10).

169

“Orang-orang yang baik yang makan sisa persembahan korban (yajna), akan terlepas dari segala dosa, tetapi orang yang jah.at yang mempersiapkan makanan hanya bagi dirinya sendiri, sesungguhnya mereka itu makan dosa”. (Bhagawad Gita III.13). Dalam hal ini kita sebagai manusia dapat mengerti bahwa Tuhan menciptakan alam semesta berserta isinya dengan jalan korban (Yadya), dan hendaknya kita mengikuti pula dengan jalan yadnya (Korban) untuk bersatu kepada Sang Maha Pencipta, yang merupakan kebahagiaan yang kekal abadi. 2. Sebagai manusia ciptaaan Tuhan hendaklah kita dapat mengerti mengenai kemanusiaan kita. Perilaku antara sesama manusia, yang tidak terbatas pada golongan sendiri, namun hendaknya bersifat universal, menciptakan kasih sayang,

kedamaian,

untuk

bersama-sama

melenyapkan

kebodohan,

kemiskinan serta penderitaan. “Om Sarve bhavantu sukhinah, Sarve santu niramayah, Sarve bhdrani pasyantu, Ma kascid duhkha bhag bhavet”. (Ia Hyang Widhi, semoga semuanya memperoleh kebahagiaan, semoga semuanya memperoleh kedamaian, semoga semuanya memperoleh kebajikan dan saling pengertian, dan semoga semuanya terbebas dari penderitaan). 3. Alam Semesta (Lingkungan Hidup). Menurut ajaran Hindu, alam semesta (Bhuwana Agung, Macrocomos) maupun Bhuwana alit (Manusia), microcosmos terdiri dari pada Panca Maha Bhuta (Lima unsur utama), yaitu : Akaca (Ether), Wayu (Udara), Teja (Api), Apah (Air) dan Prathiwi (Unsur tanah).

170

Disamping lima unsur itu, kita ketahui bahwa di alam ini hidup ber-bagai ciptaan Tuhan: Manusia, mahluk halus, binatang, tumbuh-tumbuhan. Panca Maha Bhuta rnaupun unsur kehidupan yang ada di alam ini ikut mempengaruhi jalannya hidup manusia, keseimbangan, keselarasan serta keharmonisan

kehidupan

kita.

Kalau

udara

tidak

seimbang

dapat

mendatangkan angin topan, kalau air tidak seimbang, menyebabkan banjir, kalau api tidak seimbang dapat mendatangkan bahaya kebakaran, disamping polusi (pencemaran) udara, air, tanah dan sebagainya. Bagaimanakah tanggung jawab umat Hindu terhadap lingkungan hidup? Umat Hindu sejak perkembangan Agama Hindu di Indonesia telah mengadakan pelestarian lingkungan (alam semesta), yang wujudnya dapat kita lihat pada upacara (ritual) yang mengandung nilai religius-spiritual. Upacara (ritual) tersebut antara lain : 1. Setiap tahun, sehan sebelum Nyepi, Umat Hindu mengadakan Tahur Kesanga yang bertujuan untuk pembersihan serta keseimbangan alam, keharmonisan. Upacara ini mengingatkan kita agar cidak merusak alam lingkungan dengan sewenang-wenang, sebab kalau alam marah, bahaya banjir,dan peletusan gunung berapi, tanah longsor dapat mendatangkan bahaya besar dalam kehidupan manusia. Upacara sepuluh tahun sekali, ialah Pancawalikrama, dan Upacara Seratus tahun sekali Ekadaca Rudra, di Pura Besakih (Bali). 2. Setiap 210 hari sekali diadakan Upacara Tumpek Wariga, Memuja Kehadapan Tuhan yang telah mengadakan tumbuh-tumbuhan (flora), dan sebagai rasa terima kasih dan kasih sayang kepada tumbuh-tumbuhan memberikan bubuh (bubur) kepada pohon kelapa, yang dipandang sebagai perwakilan tumbuhtumbuhan. 3. Pada Tumpek Wuye, 210 hari sekali, memuja Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) yang mengadakan hewan (Binatang), Umat Hindu menyatakan rasa sayangnya kepada hewan dengan memberikan makanan secara ritual. 171

Wujudnya kelihatan pada upacara (ritual), namun dibalik itu mengandung pengertian religius dan spiritual, dan agar kita menyayangi Ciptaan Tuhan, tidak sembarang perlakuan terhadap Panca Maha Bhuta dan lingkungan. “Sarwa prani hitangkarah”, agar semua mahluk sejahtera (bahagia)”. Demikianlah isi salah satu bait Trisandhya, yang diucapkan umat Hindu dalam persembahyangan sehari-hari. Ajaran Trihita Karana sejak dahulu kala telah dilaksanakan oleh umat Hindu di Indonesia dan Bali khususnya. 1. Hubungan antara manusia dengan Tuhannya diwujudkan dengan Dewa Yadnya. 2. Hubungan manusia dengan alam lingkungannya diwujudkan dengan Bhuta Yadnya; 3. Hubungan manusia dengan sesamanya diwujudkan dengan Pitra Yadnya, Resi Yadnya dan Manusa Yadnya. Penerapan ajaran Trihita Karana dalam kehidupan Umat Hindu di Bali adalah sebagai berikut: Parhyangan : Tempat memuja Tuhan dan Prabhawanya. Palemahan : Wilayah. daerah, alam lingkungan hidup. Pawongan

: Wong, berarti manusia; Pawongan tempat tinggal manusia.

Kalau ajaran Trihita Karana ini benar-benar dilaksanakan dengan baik maka persatuan, kesatuan dan kesejahteraan dan kebahagiaan bersama akan. dapat dicapai secara harmonis. Telah kita sadari bersama bahwa alam semesta ini tidak hanya terdiri dari fisik material, namun juga unsur magis religius dan mental spiritual, yang kita tidak boleh kita lalaikan.

172

D. Rangkuman Ilmu pengetahuan, tehnologi dan seni ada dalam konsep agama hindu seperti dalam kitab Atharwa Veda dan Reg Veda ataupun dalam kitab -kitab suci hindu yang lain, ajaran hindu sangat menekankan pengamalan ilmu pengetahuan dengan penuh kebijaksanaan tanpa dibelenggu oleh ikatan kerja itu sendiri yang dipandang sebagai suatu yadnya maupun bhakti kepada Tuhan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Masing-masing konsep ini harus dipahami baik-baik sebelum, mengkaitkan antara satu dengan yang lain, selanjutnya dapat dibuktikan dengan contoh-contoh berdasarkan realitas yang ada dan dijadikan satu kesatuan dalam pengamalannya pada kehidupan ini. E. Daftar Pustaka Maswinara (I Wyn), Tahun 1997, Bhagawad Gita, Penerbit Paramita, Surabaya. Salam, H Burhanuddin. 1997. Logika material: Filsafat Ilmu Pengetahuan. Bandung: Rineka Cipta. Soebadio, Haryati, 1971. Jnanasiddhanta, The hague Martinus Nijhoff. Suriasumantri, Jujun S. 1984. Filsafat Ilmu. Jakarta: Sinar Harapan.

173

BAB IX KERUKUNAN HIDUP UMAT BERAGAMA A. Kompetensi Dasar Kemampuan mahasiswa dalam memahami kerukunan hidup umat beragama dan pengamalannya dalam kehidupan sehari-hari. B. Indikator  Menjelaskan Agama merupakan rahmat bagi semua  Menjelaskan hakikat kebersamaan dalam pluralitas beragama C. Materi Semua umat bergama meyakini ajaran agama yang dipeluknya itu berasal dari Tuhan Yang Maha Esa. Demikian, pula umat Hindu meyakini Kitab Suci Veda sebagai himpunan Wahyu Tuhan Yang Maha Esa (Divine Origin) disamping kitabkitab lain yang merupakan tafsir atau memberi penjelasan terhadap Kitab Suci Veda. 1. Agama Merupakan Rakhmat Bagi Semua Di dalam Kitab Suci Veda kita menemukan banyak Sabda Tuhan Yang Maha Esa yang mengamanatkan untuk menumbuh kembangkan kerukunan umat beragama, toleransi, solidaritas dan penghargaan terhadap sesama manusia dengan tidak membedakan tentang keimanan yang dianutnya. Beberapa diantaranya kami ketengahkan di sini: “Aku satukan pikiran dan langkahmu untuk mewujudkan kerukunan di antara kamu. Aku bimbing mereka yang berbuat salah menuju jalan yang benar” (Atharvaveda III.8.5). “Wahai umat manusia! Bersatulah dan rukunlah kamu seperti menyatunya para Dewata. Aku telah anugrahkan hal yang sama kepadamu, oleh karena itu ciptakanlah persatuan di antara kamu” (Atharvaveda III.30.). “Wahai umat manusia! hiduplah dalam harmoni dan kerukunan. Hendaklah bersatu dan bekerja sama. Berbicaralah dengan satu bahasa dan ambillah keputusan dengan satu pikiran, seperti orang-orang suci di masa lalu yang telah melaksanakan kewajibanmu” (Rgveda X.191.2). “Wahai umat manusia! Pikirkanlah bersama. Bermusyawarahlah bersama. Satukanlah hati dan pikiranmu satu dengan yang lain. Aku anugrahkan pikiran dan ide yang sama dan fasilitas yang sama pula untuk kerukunan hidupmu”(Rgveda X.191.3).

174

“Wahai umat manusia! Milikilah perhatian yang sama. Tumbuhkanlah saling. pengertian diantara kamu. Dengan demikian Engkau dapat mewujudkan kerukunan dan kesatuan” (Rgveda X.191.2). Di samping sabda Tuhan Yang Maha Esa seperti kami sebutkan di atas, banyak pula ajaran lainnya yang bersumber pada kitab-kitab susastra Hindu yang menganjurkan untuk senantiasa hidup rukun antar sesarna manusia dan bahkan antara sesama ciptaanNya. Dalam doa puja umat Hindu sehari-hari dipanjatkan pula mantram yang universal untuk kebahagiaan semua mahluk, “sarva prani hitankarah”, semoga mahluk (yang bernafas) senantiasa sejahtera, demikian pula dengan mantra berikut “Sarve bhavantu, sukhina sarve santu niramayah, sarve bhadrani pasyantu makascid, duhkha bhag bhawet”, tegas menyatakan semoga semuanya rnemperoleh kebahagiaan, semua memperoleh kedamaian, semoga tumbuh saling pengertian dan semoga semuanya bebas dari penderitaan. Pandangan ini dilandasi dengan ajaran kitab suci. Veda yang menyatakan bahwa “Semua mahluk sesungguhnya bersaudara” (vasudhaiva kutumbhakam). Kesadaran untuk persaudaraan dan persatuan semesta ini menuntut kepada semua umat manusia untuk senantiasa mengembangkan kerukunan hidup yang dinamis. Dengan pandangan yang Advaitik (Kesatuan) ini, agama Hindu memandang setiap manusia dan mahluk hidup lainnya adalah seperti dirinya sendiri, ia adalah saudara, ibu, bapak, adik, kakak, kakek dn nenek sendiri. Ti'dak ada yang lain. Lebih lanjut tentang hubungan antar agama, kitab suci Veda (Atharvaveda XII.1.45) seperti telah dikutipkan terjemahannya pada manggala tulisan ini mengamanatkan untuk memberikan penghargaan, toleransi yang sejati kepada penganut agama yang berbeda-beda. Penghargaan dan toleransi yang sejati diamanatkan berulang kali di dalam kitab suci Veda, demikian pula dalam Bhagavad Gita (IV.II) kita jumpai penekanan yang sama. “Jalan apapun orang menuju Aku, pada jalan yang sama Aku memenuhi keinginannya, karena pada \semua jalan yang ditempuh mereka adalah jalan-Ku”. Hinduisme dapat disebut sebagai contoh pertama di dunia Agama misionaris. Hanya saja sifat misionaris-nya berbeda dengan yang diasosiasikan dengan kepercayaan-kepercayaan yang menarik orang-orang untuk masuk dan menjadi pemeluk. Hinduisme tidak menganggap sebagai panggilan untuk membawa manusia kepada suatu kepercayaan. Sebab yang diperhitungkan adalah perbuatan dan bukan kepercayaan (Radhakrishnan, 2002.36). Demikian pula halnya dengan fahatisme buta yahg hanya didasarkan kepada solidaritas dari suatu komunitas atas sesuatu yang sangat diyakini tanpa pembuktian yang memadai, baik melalui bidang fisika maupun metafisika, apalagi ditunjang oleh. dogma-dogma kaku yang sengaja diciptakan untuk kepentingan golongan tertentu sehingga akhirnya membatasi setiap gerak dan penalaran yang cenderung mudah sekali memicu terjadinya gesekan dan benturan kepentingan kecil di satu pihak lainnya. Dalam kejamakan, kepentingan dalam satu 175

dunia yang sedang dilanda kebingungan, mudah sekali etika pribadi yang tidak memiliki cukup pertahanan diri untuk terseret dalam arus provokasi yang justru tidak akan pernah memberikan keuntungan bagi siapapun, hanya kehancuran yang akan menimpanya. Dalam usaha meningkatkan kerukunan antar umat beragama ini, kami kutipkan pernyataan Svami Vivekananda pada penutupan sidang Parlemen AgamaAgama sedunia, seratus dua tahun yang lalu tepatnya 27 September 1893 di Chicago, karena pernyataan yang disampaikan oleh pemikir Hindu terkenal lahir abad yang lalu itu senantiasa relevan dengan situasi saat ini. Pidato yang menggemparkan dunia dan memperoleh penghargaan yang tertinggi seperti ditulis oleh surat kabar Amerika sebagai berikut: “An Orator by divine right and undoubted greatest in the Parliament of Religion” (Benyamin Walker, 1983:580). Kutipan yang amat berharga itu diulas pula oleh Jai Singh Yadav (1993) dan diungkapkan kembali oleh Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus (1993), sebagai berikut : Telah banyak dibicarakan tentang dasar-dasar umum kerukunan agama. Kini saya tidak sekedar mempertaruhkan teori saya. Namun, jika ada orang yang berharap bahwa kerukunan ini akan tercapai melalui kemenangan dari suatu ajaran agama lainnya, maka kepadanya saya akan katakan ”Saudara harapan anda ini hanyalah impian yang mustahil” (Svami Mumukshananda, 1992:24). Pada waktu sampai pada akhir pidatonya, Svami Vivekananda melihat bahwa sukses besar dari Parlemen Agama-Agama ini membuktikan kepada dunia: kesucian hati, kemurnian dan kebaikan hati, bukan milik eksklusif perorangan lagi. “Setiap system telah melahirkan orang-orang yang memiliki karakter mulia” tandasnya. Dalam hubungan dengan bukti ini, Vivekananda kembali menegaskan: “Jika seseorang secara eksklusif memimpikah kelangsungan agama dan kehancuran lainnya, dari lubuk hati yang paling dalam saya menaruh kasihan kepadanya dan akan menunjukkan kepadanya melalui sebuah spanduk setiap agama akan segera ditulis, walaupun sedikit ditentang. “Saling menolong dan tidak bermusuhan”, “Berbaur dan tidak menghancurkan”, “Harmoni, damai serta tidak berselisih” (Loc Cit). Pernyataan Svami Vivekananda dapat “dijadikan acuan dalam meningkatkan kerukunan hidup antar umat beragama dewasa ini untuk bersama-sama membangun masa depan. bersama. 2. Hakikat Kebersamaan Dalam Pluralitas Beragama. Perang antar umat beragama adalah hasil dari fanatisme yang membenarkan pembunuhan dari orang-orang yang berbeda kepercayaannya hampir-hampir tidak dikenal di dalam budaya Hindu. Memang di sana-sini terjadi letupan fanatisme. Hinduisme tidak pernah mengajurkan hukuman terhadap mereka yang tidak memiliki kepercayaan yang sama. Dapatlah dikatakan bahwa sejarahnya bersih dari hal-hal 176

yang demikian. Dia sanggup mempersatukan bersama di dalam kedamaian berbagai kelompok manusia. Toleransi agarna adalah salah satu tema dari Maklumat Asoka : “Raja yang dicintai oleh Dewata, menghargai setiap bentuk dari keimanan agama, tetapi menganggap tiada satupun pemberian atau kehormatan yang melebihi dari penambahan sari agama; karena inilah akarnya untuk menghormati keimanan seseorang tidak pernah menghina keimanan orang lain. Siapapun bertindak berlainan, berarti melukai Agamanya sendiri, sedang dia sendiri berbuat kesalahan terhadap orang lain. Semua susastra dari semua bentuk agama akan berada dibawah perlindungan saya” (The Twelfth Rock Edict). Penguasa Hindu dan Budha di India bertindak dengan menggunakan azas ini dan sebagai akibatnya mereka yang dihukum karena alasan-alasan agama dan pelarian dari berbagai agama. menemui tempat perlindungan di India, Yahudi, Kristiani dan Parsi diberi kebebasan mutlak untuk mengembangkan kepercayaan mereka Yuan Chwang melaporkan bahwa di dalam festival besar prayaga (mahakumbharnela), raja Harsa pada hari pertama meresmikan arca Budha dan arca Dewa Surya, yang merupakan istadevata ayahanda Raja, diresmikannya pada hari ke dua serta arca Siva pada hari yang ketiga. Prasasti Kottayam si Sthanuravi (abad IX M) dan prasasti Cochin dari Vijayaragadeva menjelaskan bukti-bukti bahwa raja-raja Hindu bukan saja mentolerir Kristiani tetapi juga memberi konsesi khusus kepada seorang guru besar dari kepercayaan tersebut. Seorang Pangeran Hindu dari Mysore menyampaikan sumbangan untuk pembangunan kembali Gereja Kristiani di negaranya (Radhakrishnan, 2002:51). Demikian pula di Indonesia pada masa kejayaannya Majapahit kita temukan betapa kerukunan hidup beragama telah dapat diwujudkan, sasanti Bhinneka Tunggal Ika yang kini menjadi lambang Negara tersurat dalam pita yang dibawa oleh burung Garuda Pancasila merupakan produk dari Kerajaan Nasional ini. Pada zaman majapahit agama Hindu dan Buddha berkembang dengan berbagai sekta dari kedua agama tersebut yang mendapat tempat dihati sang Raja. Di Bali, hubungan antar umat beragama telah berjalan harmonis sejak masa kerajaan Hindu dimasa lalu. Pada masa kerajaan Hindu di Bali, kita jumpai komunitas Islam hampir tersebar di 8 kerajaan Bali saat itu. Mereka umumnya diberi tugas sebagai sah Bandar, sebagai pemelihara gajah atau kuda-kuda kerajaan dan profesi lainnya. Hubungan yang harmonis antar umat beragama kita warisi hingga kini berupa kearifan-kearifan yang perlu dilestarikan terus. Kearifan masa lalu, ketika kerajaan Hindu di Bali bersentuhan dan mengenal agama lain, pada masyarakat Bali muncul rasa persaudaraan yang tulus. Mereka hingga kini dengan tulus menyebut umat beragama Islam sebagai “Nyaman Tiang Selam” (Saudara saya beragama Islam), demikian pula “Nyama Kristen” (Saudara Kristen) kepada mereka yang beragama Kristiani dan khusus untuk etnis China disebut sebagai “Nyama Kelihan”, saudara yang lebih tua. Implikasi selanjutnya adalah hari-hari raya mereka, semuanya disebut 177

dengan Galungan, seperti Galungan China untuk menyebut hari Imlek, Galungan Kristen untuk menyebutkan hari raya Natal dan Galungan Selam untuk menyebutkan Idul Fitri. Kearifan tidak hanya dalam perilaku dan pergaulan sehari-hari, tetapi juga dalam hal pelaksanaan upacara agama. Di Kabupaten Karangasem, saudara-saudara umat Islam bisa mengunjungi dan membantu suksesnya sebuah upacara agama yang dilaksanakan oleh umat Hindu, namun dalam penyiapan hidangan, umat Hindu sangat menyadari apa yang harus dilakukan dan yang mana tidak boleh atau merupakan pantangan. Oleh karenanya masyarakat mengenal jenis hidangan yang disebut “Selaman” (Makanan khas Islam) misalnya tidak menggunakan daging babi, tetapi khusus kambing dan bahkan ketika mulai kambing disembelih, memasak dan menyajikannyapun diserahkan sepenuhnya kepada saudara-saudara yang beragama Islam untuk melayani mereka yang beragama Islam atau umat Hindu yang berpantang memakan daging babi. Dikalangan umat Hindu sendiri terdapat berbagai pariasi dalam penyajian makanan dalam rangkaian upacara agarna misalnya berpantang makan makanan dari daging (Vegetarian) disebut “Tan mangan sarwa mambekan”, kepadanya disiapkan makanan berupa kacang goreng, bawang goreng dan saur kelapa atau sambal, kadang-kadang juga telor rebus. Yang lain yang tidak boleh memakan makanan dari daging babi, umumnya disebut “Suci”, seperti untuk para pandita Hindu, juga ada “pemijan'', yang boleh menikmati makanan dari daging Babi, tetapi harus dipisahkan tersendiri, yakni mereka tidak boleh diajak makan bersama dalam tradisi “magibungan” (makan bersama duduk bersila melingkar antara 4 sampai 8 orang dalam sikap yang tertib sesuai aturan), di kabupaten Karangasem, Klungkung, Bangli. Kini hal-hal tersebut masih lestari menunjukkan telah ditanamkannya sikap toleransi yang sejati, yakni menghargai adanya perbedaan-perbedaan diantara anggota masyarakat. Galungan dan Kuningan, seperti halnya hari Raya Idul Fitri dan Natal disambut dengan meriah, sikap umat Hindu dengan kegembiraan menyambut hari kemenangan tersebut. Upacara Galungan dan Kuningan merupakan kelanjutan tradisi perayaan Durga Puja dan Vijayai Dasami di India yang telah di peribumikan oleh misionaris Hindu di masa silam. Berbeda halnya dengan Hari Raya Nyepi tepatnya hari raya memperingati pergantian Tahun Baru Saka yang datang setiap tahun sekali sekitar Maret atau April. Hari Raya Nyepi diperingati justru dengan pelaksanaan Tapa, Brata atau Meditasi dan berbagai pantangan, seperti Upawasa (Tidak menikmati makanan dan minuman), Mona Brata (tidak berbicara) dan Catur Brata Nyepi (4 jenis pantangan), yakni tidak memasak dan menggunakan api untuk memasak atau menerangi, tidak bekerja, tidak bepergian (meninggalkan rumah) dan tidak boleh menikmati hiburan atau kesenangan duniawi.

178

Saat Hari Raya Nyepi pulau Bali seperti pulau mati, karena tidak ada aktivitas di dalam rumah dan di jalan-jalan raya. Semuanya pada menyepikan diri, duduk hening, bermeditasi atau membaca buku-buku agama berbeda dengan sehari sebelumnya, saat itu disebut hari “Bhuta Yajna “atau “Pangrupukan”, Ogoh-ogoh sebagai Perwujudan Bhuta Kala (Evil Spirit) diusung untuk diberikan sajian, supaya jangan mengganggu ketentraman masyarakat. Pada Hari Raya Nyepi merupakan hari keheningan, hari meditasi massal umat Hindu di Bali. Bila hal tersebut datangnya bersamaan dengan Hari Idul Fitri atau Idul Qurban, bagaimana umat beragama menyikapi? Ternyata muncul kearifan dari pemuka umat beragama. Pemerintah Daerah Bali bersama Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Propinsi Bali menjadi mediator, dan kegiatan seperti Takbiran, Taraweh dikalangan umat Islam dan sebagainya dibatasi hanya dilakukan diseputar Masjid dan loudspeaker diarahkan ke dalam Masjid dan volumenya diperkecil. Umat Islam akan Salat hanya pada Masjid terdekat saja. Kesepakatan ini telah diwarisi dan merupakan tradisi yang sangat perlu untuk tetap dilestarikan, mengingat plurarisme agama dan kekhasan daerah di Indonesia merupakan realitas yang mesti dihargai seperti kita menghormati dan menjungjung tinggi agama yang kita anut. Semoga kearifan-kearifan budaya ini tumbuh dan berkembang terus di bumi nusantara guna mencegah disintegrasi. Kerukunan hidup beragama dalam Negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila, serta menjunjung tinggi Sila 1 (Pertama), yaitu : Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan tugas dan kewajiban kita bersama. Sebagai umat beragama hal ini secara jelas telah ditetapkan oleh Pemerintah dengari Tri Kerukunan hidup beragama, yang menjadi tugas pada Departemen Agama selaku membina dan pengawasannya. Tri Kerukunan hidup umat beragama, meliputi : 1. Kerukunan intern umat beragama. 2. Kerukunan antar umat beragama. 3. Kerukunan antara umat beragama dengan Pemerintah. Kerukunan itu akan dapat dicapai kalau ada kerukunan dalam fikiran, kata-kata dan perbuatan (pelaksanaan), disertai kesadaran yang tinggi dan ketulusan hati nurani. D. Rangkuman Kerukunan hidup beragama sangat mutlak hams dilaksanakan kepada setiap masing - masing umat beragama. Dalam kitab - kitab suci sudah dianjurkan hal itu, khususnya kitab - kitab suci sepeti hindu banyak memuat tentang kerukunan mat beragama yang berbeda keyakinan dengan mengamalkan ajaran Tat Twain Asi yaitu 179

saling hormat - menghormati, harga -menghargai walaupun berbeda suku, ras, agama, dan antar golongan. Kerukunan hidup umat beragama merupakan suatu hal yang cukup riskan, dalam pelaksanaannya mengingat negara Indonesia pada umumnya dan khususnya Bali yang terdiri dari berbagai macam suku, ras, agama dan antar golongan. Sifat toleransi harus mau dilakukan oleh masing-masing agama seperti yang sudah diajarkan semua agama dalam kitab-kitab sucinya. Senantiasa harus hidup rukun, bersatu, bermusyawarah, bekerja sama agar kedamaian selalu terwujud ditengahtengah kemajemukan beragama. E. Daftar Pustaka Ali, Mukhti. H. A, Agama-agama di Dunia. Yogyakarta: IAIN Sunan Kalijaga Press. 1988 Arifin, H.M. Belajar Memahami Ajaran Agama-Agama Besar. Jakarta: CV Sera Jaya. 1980 Bhaskarananda, Swami, “The Essentials of Hinduism”, Viveka Press, 1994. ISBN 1884852-02-5 Bhatia V. P., “Secularisation of a Martyrdom”, Organiser, 1998 Cudami. 1989. Pengantar Agama Hindu Untuk Perguruan Tinggi. Yayasan Drs. M. Bahri Ghazali, M.A. Studi Agama-Agama Dunia (Bagian Agama non Semistik). Jakarta: CV Pedoman Ilmu Jaya 1994. Hal. 37 Hak Asasi Manusia, Undang-Undang No. 4 Tahun 2008 Tentang penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Sharta Rani, 1957. Slokantara, Internasional Akademy of Indian Culture, New Delhi. Wiana, Kt. 2006. Memahami Perbedaan Catur Warna, Kasta dan Wangsa, Surabaya: 1 [1] Harun Hadiwijono, Agama Hindu dan Buddha, Jakarta: Gunung Mulia 1989.

180

BAB X MASYARAKAT A. Kompetensi Dasar Mampu memahami dan menghayati peran serta umat hindu dalam masyarakat dari segi tanggung jawabanya sesuai dengan Hak Asasi Manusia dan nilai-nilai demokrasi B. Indikator 1. Menjelaskan Peran Umat Hindu Dalam Mewujudkan Masyarakat Indonesia Yang Sejahtera. 2. Menjelaskan tanggung jawab Umat Hindu dalam mewujudkan Hak Asasi Manusia (HAM) dan Demokrasi C. Materi Pengertian tentang masyarakat sebagai sebuah komunitas dalam pandangan Hindu adalah berangkat dari konsepsi kula (keluarga), gotra atau mahagotra ('himpunan keluarga besar atau yang lebih besar) yang berkembang melingkupi suatu wilayah desa hingga terbentuknya suatu tatanan hidup bersama, baik yang disebut kula dresta, desa dresta atau loka dresta, dan sastra dresta. Setiap Kula atau Gotra pada dasarnya merupakan unit terkecil dari system tatanan dharma-karma dalam sebuah kesatuan kosmos yang bertujuan mewujudkan kreta (pakertan), yakni kesejahteraan warganya. Dari konsep kerta (kreta) ini dikembangkan menjadi keraman atau desa-pakraman seperti dikenal pada masyarakat Hindu di Bali. 1.

Peran Umat Hindu Dalam Mewujudkan Masyarakat Indonesia Yang Sejahtera

Konsepsi kerta (kreta) yang dipahamkan dalam konteks keraman ini secara ideal (dan utopis) merujuk kepada ketentraman dan keberlimpahan sebagaimana halnya di kahyangan atau sorga; ketentraman dan keberlimpahan itu adalah sepatutnya dihadirkan di bumi bagi segenap umat manusia. Hal ini disebutkan dalam Atharva Veda, sebagai berikut: “Janam bibhrati bahudha vivacasam, nanadharmanam pritivi yathaukasam. Shasram dh-ara dravinasya me duham, Dhruveva dhenur anapasphuranti” (Atharva Veda XII.1.45) 181

“Bumi yang memikul beban, bagaikan sebuah keluarga, semua orang berbicara dengan bahasa berbeda-beda dan yang memeluk kepercayaan (agama) yang berbeda pula, semoga ia melimpahkan kekayaan kepada kita, tumbuhkan penghargaan di antara anda seperti seekor sapi betina (kepada anak-anaknya)” “Samani prapa saha vo-annabhagah, samane yoktre saha vo-yunajmi. Samyanco-agnim saparyata. Ara nabhim iva-abitah” (Atharva Veda III.30.6) “Engkau mengambil makanan dan airmu di tempat yang sama. Aku menyatukan anda semua dengan suatu ikatan saling pengertian. Sembahlah Tuhan Yang Maha Esa dengan kebulatan hati (musyawarah) dan tujulah kehidupan yang bersatu seperti sebuah as roda yang dikelilingi oleh jari-jarinya”. “Jyayavantas Cittino ma vi yausta, sam radhayantah sadhuras caran-tah. Anyo anyasmai algu vadanta eta. Sadhricinan vah sammanasaskraomi” (Atharva Veda III.30.5) “Wahai umat manusia, dengan berjalan kearah depan anda seharusnya tidak-saling bertentangan,. karena anda adalah para pengikut tujuan yang sama, yang hormat kepada para orang tua, yang memiliki pemikiran-pemikiran yang mulia dan ikut serta di dalam pikiran yanig sama. Majulah lebih lanjut bercakap-cakap dengan kata-kata yang manis. Aku mempersatukan anda dan memberkahimu dengan pemikiranpemikiran yang mulia”. “Ajyesthaso akanisthaoa ete, sam bhrataro vav rdhuh saubhagaya” (Rg Veda V. 60.5) “Para Dewa Marut bertingkah laku seperti sesama saudara dan mereka membenci orang yang membedakan tinggi dan rendah, majulah dikau menuju kemakmuran”.

182

“Sagdhis ca me saptitas ca me” (Yayur Veda XVIII 9) “Hendaknya terdapat tempat makan umum, untuk makan dan minum” “Indram vardhanto apturah krnavanto visvam aryanam. Apaghnatnto Aravnah” (Rg Veda IX. 63.5) “Semoga semua dari anda menjadi giat dan bijak. Buatlah seluruh masyarakat menjadi mulia dan hancurkanlah orang-orang yang kikir”. Dari kutipan di atas dapat dipahami bahwa setiap manusia Hindu yang merupakan bagian dari anggota keluarga, gotra, mahagotra, dan desa pakraman secara teologis telah dibekah sebuah kesadaran sosial-ekonomi kultural untuk berperan mengkondisikan dan membangun sebuah masyarakat yang kerta-raharja (Civil Society) atau masyarakat madani/sejahtera. Upaya ini tidak sekedar tergantung kepada pimpinan Negara, akan tetapi bertumpu kepada setiap individu. Hal ini selaras dengan konsep filosofis Hindu yang memandang bahwa setiap manusia Hindu adalah seorang pemimpin; pertama-tama adalah memimpin mengendalikan indria-indrianya ke hal yang positif, sehingga ia juga akan dapat memimpin keluarga dan masyarakat demi terciptanya kesejahteraan bersama. Mewujudkan kesejahteraan pada prinsipnya sebuah dharma-agama sekaligus dharma Negara dan dharma-kemasyarakatan. 2. Tanggung Jawab Umat Hindu Dalam Mewujudkan HAM Dan Demokrasi Tanggung jawab dalam mewujudkan HAM dan Demokrasi bagi sebuah kehidupan masyarakat dalam pandangan Veda, pada dasarnya tidak dapat dipisahkan dharma-karma. Dalam pemafiaman tentang dharma-karma baik dalam konteks dharma-agama, dharma-negara dan dharma kemasyarakatan, maka makna HAM akan dipahami sebagai salah satu kesatuan dengan KAM (Kewajiban Asasi Manusia). Selanjutnya, dengan memahami makna HAM dan KAM sebagai salah satu kesatuan juga berarti memahami konsepsi HAR (Hak Asasi Ruh) dan KAR (Kewajiban Asasi Ruh) yang terlahirkan sebagai manusia. Seperti telah disinggung dalam pembicaraan diatas, pandangan fislsafat manusia Hindu lebih berat tendensinya kepada paham spiritualisme, bahwa jiwa-atma lebih tinggi dari badan materi.

183

Dalam kaitan ini, Mahatma Gandhi mengatakan: “Sumber dari seluruh hak yang sejati ialah kewajiban. Asal saja kita semua melaksanakan kewajiban sendiri (Swadharma), tidak terlalu susah mengejar hak”. Pandangan Mahatma Gandhi ini pada dasarnya bersumber dari Bhagavad Gita, sebagai berikut : “Tasmad asaktah satatam, karyam karma samacara, asakto hy acaran karma, parain apnoti purusah.” “Oleh karena itu. Laksanakanlah segala kerja sebagai kewajibanmu tanpa terikat pada hasil (sebagai hak), sebab kerja yang bebas dari keterikatan bila melakukannya, maka orang itu akan rnencapai (tujuan) yang tertinggi”. Dalam bahasa yang lain, Svami Viyakananda mengatakan: “Tiap-tiap kewajiban adalah suci, dan mengabdikan diri kepada sesuatu kewajiban adalah suatu bentuk pemujaan terhadap Tuhan yang lertinggi”. Dengan demikian sudah sangat jelas bagi masyarakat Hindu, bahwa mewujudkan HAM tidak dapat dilakukan tanpa KAM. Dengan kata lain, bahwa pemahaman dan pelaksanaan KAM secara otomatis telah mengandung HAM sekalipun tidak tampak dalam bentuk benda materi yang nyata. Selanjutnya Pustaka Suci Bhagavad Gita II 40-41-45, menjelaskan sebagai berikut : “Di jalan ini, tak ada usaha yang sia-sia, dan tak ada rintangan yang tak teratasi bahkan walaupun sedikit dari dharma ini sudah cukup untuk membebaskan dari ketakutan yang mengerikan”. Tak ada langkah yang sia-sia karena dan setiap usaha yang dilakukan dengan penuh perjuangan akan meninggalkan nilai yang akan diperhitungkan sebagai jasa. “Dalam hal ini, wahai Kurunandana (Arjuna), yang pikirannya sudah bulat, pemahamannya menyatu; sedangkan yang pikirannya masih ragu-ragu, pemahamannya bercabang dan tak ada habis-habisnya”. Disini dengan jelas diharapkan untuk dapat mengkosentrasikan pikiran dalam mencapai keberhasilan, karena kegiatan apapun yang dikerjakan tahpa konsentrasi, tak akan memberikan keberhasilan. Pada dasarnya, pikiran manusia senantiasa mengembara kemana-mana terutama mengikatkan dirinya pada obyek-obyek kenikmatan material, sehingga untuk dapat melakukan konsentrasi semacam ini diperlukan usaha keras yang disertai semangat yang tak kunjung padam. 184

“Kegiatan dari Triguna (tiga sifat alam) adalah masalah pokok dari kitab Weda, tetapi engkau hendaknya membebaskan dirimu dari padanya, wahai Arjuna; bebaskan pula dirimu dari dualitas (pasangan yang sating bertentangan) dan mantapkan pikiranmu pada kemurnian, jangan memperdulikan tentang masalah duniawi dan berkonsentrasi pada sang Diri”. Pelaksanaan upacara ritualitas diperlukan untuk memelihara kehidupan duniawi sebagai hasil dari triguna untuk mendapatkan hasil kesempurnaan yang lebih tinggi, kita harus mengarahkan perhatian kita pada realitas yang tertinggi. D. Rangkuman Peran umat Hindu dalam mewujud masyarakat yang damai dan sejahtera dalam menerapkan konsep - konsep yang terdapat dalam Veda, sesuai juga dengan konsep filosofi Hindu bahwa setiap manusia Hindu adalah seorang pemimpin yang berarti memimpin, mengendalikan, indria - indriannya ke hal - hal yang positif dengan tidak lupa melaksanakan hak dan kewajibannya sehingga Negara demokrasi, sejahtera dan damai dapat diwujudkan. Masyarakat sejahtera dan damai dapat terwujud apabila masing-masing umat bergama mampu melaksanakan swadharmanya (kewajibannya) dengan baik. Sesuai dengan warna yang dimiliki. Kesejahteraan juga akan dicapai bila ditunjang oleh kesadaran untuk mau melestarikan sumber-sumber alam yang sudah diciptakan oleh tuhan (ISWW) untuk kehidupan manusia. Hal lain yang juga mendukung, mewujudkan HAM (Hak Asasi Manusia) dan KAM (Kewajiban Asasi Manusia) sebagai dasar untuk mencapai kebahagian jasmani dan rohani. C. Daftar Pustaka Tjokorda Rai Sudartha, 1992. Asta Brata Dalam Pembangunan, Penerbit: PT. Upada Sastra. Wiana, Kt & Raka Santeri. 1993. Kasta dalam Hindu, Kesalahpahaman Berabadabad. Denpasar: Dharma Naradha. Wiana, Kt. 2006. Memahami Perbedaan Catur Warna, Kasta dan Wangsa, Surabaya: Paramita.

185

BAB XI BUDAYA SEBAGAI EKSPRESI PENGAMALAN AGAMA HINDU A. Kompetensi Dasar Mampu memahami dan mendeskripsikan agama sebagai inti dari suatu budaya serta rasa tanggung jawab yang diwujudkan dengan cara berpikir kritis dan bekerja keras. B. Indikator 1. Menjelaskan Agama sebagai inti budaya dan berbagai aspeknya 2. Menganalisis tanggung jawab Umat Hindu dalam mewujudkan cara berpikir Kritis (akademik), bekerja keras dan bersifat fair C. Materi Ajaran Agama Hindu bersumber pada Weda (Wahyu Tuhan). Manusia diberikan kekuatan hidup oleh jiwa-atma yang ada pada diri inanusia serta memancarkan kekuatan pada budhi, hingga mampu mengadakan berbagai macam sarana (alat) keperluan hidup manusia. Pustaka suci Weda juga membahas soal budaya dan seni (kesenian). Kata budaya adalah merupakan kata bentuk plural dari buddhi, yaitu buddhaya, yang berarti keluhuran dan kecerdasan pikiran, sedangkan seni, adalah salah satu produk dari budaya. Terdapat bermacam-macam cabang seni: musik (gamelan), suara, tari, ukir, rupa dsb. 1. Keterkaitan Agama Sebagai Inti Budaya Dan Berbagai Aspeknya Melalui budaya, dihadirkan kebajikan menjauhkan kejahatan. Dalam budaya dikembangkan iimu pengetahuan serta metodologi yang tepat untuk hal tersebut. Dalam: Pengantar Antropologi, Koentjaraningrat, halaman 72, disebutkan sebagai berikut: “Menurut antropologi, kebudayaan adalah seluruh system gagasan dari rasa, tindakan serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar” Kemudian dijelaskan pula adanya empat wujud kebudayaan (pada halaman 74-75), yaitu: “Namun demikian penulis menyarankan agar kebudayaan dibedabedakan sesuai dengan empat wujudnya, yang secara simbolis digambarkan sebagai empat lingkaran konsentrasi (lihat bagan 10). Lingkaran yang paling luar, dan karena itu letaknya pada bagian paling luar, melambangkan kebudayaan sebagai: (1). Artifacts, atau benda-benda fisik; (2) lingkaran berikutnya (dan tentunya lebih kecil) melambangkan kebudayaan sebagai 186

system tingkah laku dan tindakan yang berpola; (3) lingkaran yang berikutnya lagi (dan lebih kecil) dari pada kedua lingkaran yang berada di sebelah luarnya, melambangkan kebudayaan sebagai system berada di sebelah luarnya, melambangkan kebudayaan sebagai system gagasan; (4) lingkaran hitam yang letaknya paling dalam dan bentuknya juga paling kecil, dan merupakan pusat atau inti dari seluruh Bagan 10, melambangkan kebudayaan sebagai system gagasan yang ideologis” Ditinjau dari segi Agama Hindu yang bersumber pada Weda (Wahyu Tuhan), budaya dengan berbagai aspeknya diresapi, dijiwai oleh ungkapan-ungkapan Weda, yang menuntun umat manusia menuju kebenaran, kebajikan, kebijaksanaan, kesejahteraan, kebahagiaan lahir bathin. Seni budaya Hindu di Indonesia dan Bali khususnya merupakan ekspresi dari pengamalan Agama Hindu, telah merupakan satu kesatuan yang saling berkaitan. “Keluarga yang kaya akan pengetahuan Weda, walaupun hartanya sedikit, mereka tergolong diantara orang-orang besar dan terkenal” (M.D. II.26). “Mempelajari Weda setiap harinya, melakukan Panca Maha Yadnya dalam menderita, semuanya itu cepat atau lambat akan melenyapkan semua dosa-dosanya walaupun dosa besar sekalipun” (M.D. XI.246.). Jelaslah bahwa pengetahuan Weda sangat penting artinya baik untuk diri sendiri maupun akibatnya untuk kesejahteraan umat manusia. Maitri Upanisad IV-3, menegaskan bahwa adalah merupakan jaminan bagi seseorang akan mencapai kesempurnaan melalui belajar Weda serta melakukan kewajibankewajiban dengan teratur. Melakukan tugas kewajiban yang menjadi tugasnya adalah tingkah laku yang menjadi azas kehidupan beragama dan itu adalah ketentuan. Kewajiban-kewajiban seperti yang diwajibkan dan dianjurkan didalam Weda dan tidak melanggar kewajiban yang telah ditetapkan akan meningkatkan tingkat kehidupan manusia karena sesungguhnya itulah yang dinyatakan sebagai kesucian yang layak. Inilah pokok-pokok yang diajarkan didalam Maitri Upanisad IV.3. Chandogya Upanisad XXIII.1. menegaskan hal-hal sebagai berikut: “Ada tiga kewajiban yang hams dilakukan yaitu, berkorban, mempelajari Weda dan Berdana (bersedekah)” Itu adalah tugas utama. Hidup bertapa merupakan kewajiban kedua sedangkan hidup berumah tangga dengan mengajarkan Weda merupakan tugas yang ketiga. Semua itu akan membawa kebajikan pada dunia. Ia yang tetap berdoa akan mencapai kesempurnaan. Dalam Mahanarayana Upanisad (76.1) “Semoga Ibu Weda pemberi anugerah, yang telah kupuja, yang mendorong makhlukmakhluk ciptaan seperti angin dan yang memiliki dua tempat kelahiran, berangkat ke kemuliaan yang menghasilkan dunia Brahman setelah menganugerahiku di bumi ini, dengan umur panjang, kekayaan dan kemampuan mempelajari Weda”

187

“Ya Tuhan Yang Maha Esa, para penyanyi memuliakan Engkau dengan mantram gayatri dan para perapal Rgveda memuja Engkau dengan. mantram Rgveda (Sama Veda 342). “Ya teman-teman, duduk dan nyanyikanlah lagu-lagu dalam paduan suara bagi dewa” (Rgveda IX. 104.1)., “Orang-orang yang berpengetahuan tinggi ini menari bersama-sama saudara perempuan mereka, bergemerincing bumi dengan derap, kaki mereka” (Rgveda X.94.4). “Peniup seruling, peniup terompet kulit kerang dipergunakan untuk upacara dan mengundang banyak orang” (Yayurveda XXX. 19). Budaya (kebudayaan) terdiri dari pada berbagai aspek. Salah satu aspek kebudayaan ialah kesenian. Dalam kitab: kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan oleh Koentjoraningrat, halaman 12 menyebutkan : Unsur-unsur Universal itu yang sekalian merupakan isi dari semua kebudayaan yang ada di dunia ini adalah : 1) Sistem religi dan upacara keagamaan. 2) Sistem dan organisasi kemasyarakatan. 3) Sistem pengetahuan. 4) Bahasa. 5) Kesenian. 6) Sistem mata pencaharian hidup. 7) Sistem teknoiogi dan peralatan. Dalam perkembangan seni budaya Hindu di Indonesia dan Bali khususnya, kesenian telah berkembang dengan pesat sarnpai kepuncaknya. Kesenian (seni) itu terdiri dari pada : Seni tari, Suara, Sastra, Rupa, Musik (Gamelan), dsb. Hasil karya seni berikut dapat kita saksikan/ketahui : Seni Tari : Tari sakral seperti : Rejang, Sanghyang, Barong. Seni Suara : Kidung. Kakawin, Dharma Gha, pembacaan phalawakhya, sloka. Seni sastra : Cara menyusun lagu, kakawin, contoh kakawin diantaranya ialah Arjunawiwaha (oleh Empu Kanwa), Bharata Yuddha (oleh Empu Sedah dan Panuluh), Sutasoma, (oleh Empu Tantular), Ramayana (Empu Yogiswara, menurut tradisi Bali). Seni Rupa : Bangunan, Gambar, Lukis, Pahat, menghasilkan Candi, Pura (Kahyangan), Area, Patung, Wayang. Seni Musik : Gamelan, Gong. Angklung, gambang , gender.

188

2.

Tanggung Jawab Umat Hindu Dalam Mewujudkan Cara Berpikir Kritis (Akademik) Bekerja Keras Dan Bersikap Fair

Dalam ajaran Hindu, mulai dari Weda, Itihasa, Purana, maupun Tatwa dll banyak mengungkapkan cara kritis (Akademik); ungkapan-ungkapan tersebut antara lain ialah: Dalam pustaka suci Sarasamuccaya : Sloka 79, 80 menjelaskan : “Maka kesimpulannya, pikirannya yang merupakan unsur yang rnenentukan ; jika penentuan hati telah terjadi, maka mulailah orang berkata atau melakukan perbuatan: oleh karena itu pikiranlah yang menjadi pokok sumbernya”. “Sebab yang disebut pikiran itu adalah sumbernya nafsu, ialah yang menggerakkan perbuatan yang baik ataupun buruk; oleh karena itu pikiranlah yang segera patut diusahakan pengekangannya / pengendaliannya. Dalam hubungannya dengan dasa indriya atau sepuluh jenis indriya, pikiranlah yang menjadi rajanya dasa indriya, yang disebut, raja indnya, yaitu manah (pikiran). Maka itu sebelum berkata dan berbuat sesuatu hendaklah ditimbang dengan baik dalam pikiran, mengenai benar-salahnya, maupun baik-buruknya. Untuk dapat berpikir dengan baik, wajib mengendalikan dasa indriya, mengarahkan kejalan yang benar, yang diamanatkan oleh pustaka suci Weda. Dalam ajaran Hindu kita diberikan ajaran mengenai wiweka, yang mengandung pengertian mampunyai kebijaksanaan serta kemampuan untuk membedakan antara yang benar dengan yang salah, dan antara yang baik dan buruk, dapat menganalisa dengan waspada, dan berhasil memilih yang benar maupun yang baik. Pada kitab Wrehaspati Tattwa, mengenai Tripramana, yang merupakan tiga cara, ataupun cara mendapatkan ilmu pengetahuan, salah satu dari padanya disebut: Anumana Pramana, yang mengandung pengertian berpikir secara logis akademis, menggunakan pertimbangan akal. Cara berpikir serupa ini diungkapkan dalam kalimat: “Yatra Yatra Dhuma Tatra Tatra Wahnih” (Dimana dimana ada asap, disana ada api). Kerja keras dan tidak malas merupakan kewajiban dan kebajikan yang patut dilakukan. Tuhan Yang Maha Esa hanya menyayangi mereka yang suka bekerja keras dan memiliki ketekunan, bukan mereka yang malas, gampangan dan menyepelekan segala sesuatu. Orang yang suka bekerja keras dan memiliki ketekunan akan mencapai keberhasilan. Hal ini sangat relevan dengan perkembangan dunia modern. Siapa saja yang tekun bekerja, tekun belajar, berdisiplin dan memiliki kualitas sraddha yang mantap akan sukses dalam berbagai aspek kehidupan. Demikian pula orang yang tidak mengenai lelah, tidak cepat putus asa akan memperoleh kekayaan lahir bathin. Tuhan Yang maha Esa selalu menolong orang yang suka bekerja keras. Ungkapan-ungkapan pustaka suci Weda, Itihasa, ajaran-ajaran Hindu lainnya mengenai, kerja keras dan bersikap fair (satya, jujur) : “Orang seharusnya suka hidup, di dunia ini dengan melakukan kerja keras selama seratus tahun. Tidak ada cara lain 189

bagi keselamatan seseorang. Suatu tindakan yang tidak mementingkan diri sendiri dan tidak memihak menjauhkan pelaku dari keterikatan” (Yayurveda XL.2). “Para dewa menyukai orang-orang yang bekerja keras. Para Dewa tidak menyukai orang-orang yang gampang-gampangan dan bermalas-malas. Orang-orang yang selalu waspada mencapai kebahagiaan yang agung” (Atharvaveda XX.18.3). “Wahai orang-orang yang berpikir mulia, janganlah tersesat. Tekunlah dan dengan tekad yang keras untuk mencapai tujuan yang tinggi. Bekerjalah dengan tekun untuk memperoleh kekayaan. Orang yang bersemangat (tekun sekali) berhasii, hidup berbahagia dan menikmati kemakmuran. Para dewa tidak pernah menolong orang yang bermalas-malas” (Rgveda 39.9). “Atandraso avrka asramisthah (Rgveda IV.4.12). “Ya, Sang Hyang Agni (Tuhan Yang Maha Esa) hanya orang-orang yang giat, tulus hati dan tidak kenal lelah, berhasil dalam kehidupan”. Jelaslah disini bahwa pustaka suci Weda memberi amanat kepada pengikutnya, untuk senantiasa bekerja keras, tidak suka bermalas-malas, dalam hidup serta kehidupan kita ini, sesuai dengan ajaran Weda. Selanjutnya mengenai sifat satya (jujur, benar, fair), dapat kita lihat pada ungkapan maupun ajaran dalam Agama Hindu: Melaksanakan panca Satya (setia, jujur, benar): terdiri dari pada :1). Satya Nredaya (jujur dalam hati atau pikiran; 2). Satya Wacana (setia, jujur) dalam kata-kata; 3). Satya laksana (Setia, Jujur) dalam perbuatan; 4).Satya Samaya (Setia, Jujur) pada janji atau waktu, dan 5) Satya Mitra (Setia, Jujur) pada sahabat. Hendaknya kita berusaha melaksanakan Panca Satya tersebut, dalam kehidupan sehari-hari dimasyarakatkan. “Satyam eva jayate nanrtam” (Hanya kebenaran/kejujuran yang menang (unggul) bukan kecurangan). D. Rangkuman Agama merupakan sumber dari kebudayaan terlebih-lebih kebudayaan bali bersumber dari agama hindu (weda), sehingga sering disebutkan agama hindu adalah jiwa dari kebudayaan bali, kebudayaan terus berkembang dan bersifat universal seiring dengan perkembangan kecerdasan manusia seperti : upacara keagamaan, organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa dan kesenian, dan seterusnya. Dalam perkembangan kebudayaan khususnya seni mengalami perkembangan pesat seperti seni tari, seni suara, sastra, rupa, musik. Ada juga wujud budaya berpikir kritis (akademik) bekerja keras dan bersikap fair. Semua itu wujud dari pengamalan ajaran agama khususnya agama hindu.

190

E. Daftar Pustaka Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu, Tahun 1996, Diterbitkan Dan Diedarkan oleh: Suka Duka Hindu Dharma, DKI Jaya. Koentjraningrat, Tahun 1974, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Penerbit P.T Gramedia, Jakarta. Titib, I Made. 2003. Teologi & Simbol-simbol dalam Agama Hindu. Penerbit Paramita : Surabaya.

191

BAB XII POLITIK DALAM PERSPEKTIP HINDU A. Kompetensi Dasar Memahami ajaran politik yang bersumber dari ajaran Agama Hindu serta mendeskripsikan kontribusi agama hindu dalam kehidupan politik. B. Indikator 1. Menjelaskan pengertian dan sumber Ajaran Agama Hindu tentang politik (Nitisastra) 2. Menjelaskan kontribusi Agama Hindu dalam kehidupan politik berbangsa dan bernegara C. Materi Kata Politik yang sering dikenal dalam bahasa Indonesia dapat disamakan dengan kata Nitisastra dalam sastra-sastra Hindu. Kata atau istilah Nitisastra ini berasal dari kata-kata Niti dan kata Sastra dalam Bahasa Sansekerta. Dalam kamus kecil Sansekerta Indonesia yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah Tmgkat Satu Bali, kata Niti berarti: Kemudi, Pjmpinan, Politik dan Sosial Etik, Pertimbangan dan Kebijakan. Kata “Sastra, berarti perintah, ajaran, nasehat, aturan tulisan ilmiah. Menurut Mardiwarsito dalam kamus bahasa Jawa kunonya, kata Niti berarti: Kebijakan Politik atau Ilmu Tata Negara, Sastra, berarti: Ilmu Pengetahuan atau kitab pelajaran. Dalam kamus Sansekerta Inggris karya Arthur Mac Donnel kata Niti berarti Wordly Wisdom (Kebijakan Duniawi) Etika Sosial Politik dan Tuntunan Politik. Sebagai istilah kata Nitisastra diartikannya sebagai Etika Politik. 1. Pengertian Dan Sumber Ajaran Hindu Tentang Politik (Nitisastra) Nitisastra adalah pengetahuan tentang politik negara. Sebagai suatu istilah Nitisastra dapat bermakna sebagai kebijakan yang berhubungan dengan Etika Sosial Politik untuk menyelenggarakan pemerintahan suatu Negara. Pada umumnya setiap Negara selalu berupaya membuat agar masyarakatnya sejahtera, sehingga pemahaman tentang Nitisastra akan lebih meluas lagi, yaitu: ilmu pengetahuan tentang politik untuk menyelenggarakan pemerintahan suatu Negara dalam rangka mencapai cita-cita Negara membangun masyarakat sejahtera. Ajaran Nitisastra dalam sastra-sastra Hindu tidak pernah lepas dari pembahasan tentang pentingnya upaya untuk mewujudkan masyarakat sejahtera. Jadi politik dalam perspektip Hindu adalah 192

pengetahuan untuk menyelenggarakan-pemerintahan suatu Negara guna mencapai tujuan menciptakan masyarakat sejahtera. Selain istilah Nitisastra dalam, sastra-sastra Hindu dikenal pula istilah Dandhaniti, Raja Dharma, Raja Niti dan istilah yang paling tua adalah Arthaveda atau Arthasastra. Dandha Niti kadang-kadang dikaitkan dengan aspek hukum sebagai bagian dari politik Raja Dharma dikaitkan dengan kewajiban-kewajiban pemerintahan atau kepala Negara. Raja dapat disamakan dengan kepala Negara atau kepala pemerintahan. Raja Niti sebagai politik pemerintah secara luas sedangkan Arthasastra sering diartikan ilmu pengetahuan pemerintahan. Sesungguhnya banyak penulis tentang Nitisastra, diantaranya : Bhagavan Manu. Yadnya Valkya, Usana, Brhaspati, Visalaksa, Bhagavan Sukra, Bharadvaja, Parasara dan Kautilya atau Bhagavan Canakya. Yang terkenal diantaranya Bhagavan Manu yang menulls Manava Dharmasastra yang ajarannya kemudian hari dipopulerkan oleh Bhagavan Bhrigu. Dalam kitab Manava Dharmasastra dipakai istilah Raja Dharma dan ada penekanan bahwa Negara wajib melindungi segenap ciptaan Tuhan yang ada diwilayahnya. Bhagavan Canakya yang dikenal pula dengan nama Kautilya menulis Canakya Nitisastra yang sangat popular. Selain memuat ajaran tentang Nitisastra banyak pula memuat tentang tata susila dan masalah sosial lainnya seperti pendidikan anak-anak dan lain sebagainya. Karya Nhagavan Canakya ini dianggap pula menyatukan pandangan para Rsi penulis-penulis sebelumnya. Sumber Ajaran Hindu Tentang Nitisastra Untuk memahami sumber ajaran Hindu yang menguraikan Nitisastra perlu terlebih dahulu dipahami kedudukan Veda sebagai Kitab Suci sumber ajaran Agama Hindu. Bagi umat Hindu atau kelompok masyarakat Hindu kitab suci yang menjadi sumber ajaran dan sumber hukum adalah Veda. Ketentuan mengenai Veda sebagai kitab suci secara tegas dinyatakan dalam kitab smerti Manava Dharmasastra sebagai berikut : 1. Manavadharmasastra II.6 VEDA KHILO DHARMA MULAM SMERTI SILE CA TAD VIDAM ACARASCA IVA SADHUNAM ATMANAS TUTIREVACA

193

Artinya :

Seluruh Veda merupakan sumber utama daripada Dharma (Agama Hindu kemudian barulah Smrti disamping sila kemudian acara serta akhirnya Atma Tusti (rasa puas diri sendiri).

Sila adalah kebiasaan-kebiasaan yang baik dari orang-orang suci penghayat Veda dan acara adalah tradisi-tradisi dari orang-orang suci. Sebagai diketahui Dharma adalah nama awal dari Agama Hindu juga dsebut Sanatana Dharma sedangkan nama Hindu yang dikenal sekarang ini adalah nama yang dikenal belakangan. Nama Hindu dimaksudkan untuk menyebut Agama dan kepercayaan termasuk kebudayaan yang bersumber kitab suci Veda. 2. Manavadharmasastra II.10

Artinya :

SRUTISTU VEDO VIJNEYO DHARMASASTRATRAMTU VI SMRTIH TESARVAMTHESVAMIMAMSYE TABHYAM DHARMOHI NIRBABHAU Sesungguhnya Sruti (Wahyu) adalah: Veda, demikian pula Smerti itu adalah Dharma sastra, keduanya harus tidak boleh diragukan dalam hal apapun juga karena keduanya adalah kitab suci yang menjadi sumber Agama Hindu (Dharma).

Sebagai kitab suci agama Hindu “Veda” adalah sumber ajarannya karena dari Vedalah mengalir semua ajaran yang merupakan kebenaran Agama Hindu. Ajaran Veda dikutip kembali diinterpretasikan dan diterjemahkan dalam berbagai tulisan member! vitalitas terhadap kitab-kitab susastra Hindu pada masa berikutnya. Dalarfi kitab Vedalah mengalir ajaran dan dikembangkan dalam kitab-kitab Smerti, Itihasa, Purana, Tantra, Darsana, Upanisad maupun Lontar-Lontar Tattwa yang ada sekarang ini. Dalam kitab-kitab inilah ajaran-ajaran Niti Sastra dapat dijumpai. Sumber Ajaran Nitisastra 1. Kitab-Kitab Veda (Sruti) Bila dicermati pemikiran tentang Nitisastra sudah terdapat dalam kitab-kitab Sruti. Sebagai diketahui masing-masing kitab Sruti mempunyai Upaveda tersendiri. Kitab Upaveda dari Rgveda adalah kitab Ayurveda, Kitab Upaveda dari Yajurveda adalah kitab Dhanurveda, Kitab Upaveda dari Samaveda adalah Kitab Gandharvaveda dan kitab Upaveda dari Atharvaveda adalah kitab Arthaveda. Kitab Arthaveda dikenal sebagai kitab yang memuat pengetahuan tentang pemerintahan, ekonomi, pertanian. ilmu sosial dan lain sebagainya. Jadi Arthaveda merupakan kitab Sruti yang memuat ajaran Nitisastra. 194

2. Kitab-Kitab Smerti. Kitab Nitisastra tersebar dalam kitab-kitab Smerti, Kitab Manava Dharmasastra memuai ajaran-ajaran Bhagavan Manu yang dihimpun dan disusun oleh Bhagavan Bhrigu banyak sekali memuat ajaran-ajaran Nitisastra. Dalam Adhyaya VII memuat berbagai peraturan tentang kenegaraan sedangkan pada Adhyaya VIII memuat berbagai aspek hukum yang juga berkaitan dengan upaya penyelenggaraan pemerintahan Negara. Dalam kitab ini kita menemukah penggunaan istilah Raja Dharma. RAJADHARMAM PRAVAKSYAMI YATHA VRTTO BHAVEN NRPAH SAMBHAVASCA YATHA TASYA SIDDHISCA PARAMAYATHA (Manava Dharmasastra VII.1) artinya :

Akan saya nyatakan dan perlihatkan tentang kewajiban Raja (Raja Dharma) bagaimana Raja seharusnya berbuat untuk dirinya sendiri, bagaimaria ia dijadikan dan bagaimana ia dapat mencapai kesempurnaanya yang tertinggi. “Raja” dalam pengertian ini dapat dipersamakan dengan kepala Negara, kata “dijadikan” mengandung pengertian bagaimana kepala Negara dipilih,. diiantik dan mengapa diperlukan adanya Raja atau kepala Negara bagi masyarakat. 3. Kitab-Kitab Itihasa Kitab Ramayana dan Kitab Mahabharata merupakan dua kitab yang memuat dua epos besar yang juga disebut Viracarita. Kedua kitab ini menceritakan tentang kepahlawanan yang keseluruhannya memuat tentang etika dan cara-cara mengelola pemerintahan Negara. Itihasa Ramayana dan Mahabharata sangat berkaitan dengan sejarah perkembangan Agama Hindu dimasa lalu. Dapat dikatakan keseluruhan kitab Ramayana dan Mahabharata memuat ajaran tentang Nitisastra. Dalam Ramayana Kakawin, misalnya yang sangat popular di Indonesia terdapat uraian tentang asasasas kepemimpinan yang disebut Asta Brata. Uraian tentang ajaran Asta Brata ini sebelumnya sudah termuat dalam kitab Manava Dharmasastra tetapi belum disebut Asta Brata. Seperti diketahui kakawin Ramayana digubah pada jaman kerajaan Hindu di Indonesia secara tradisional dianggap digubah oleh Empu Yogiswara. 4. Kitab-Kitab Purana Kitab Purana dikenal pula sebagai kitab yang memuat ceritera-ceritera kuno yang menceriterakan kejadian-kejadian di masa lalu. Kitab Purana memuat ceritera 195

dewa-dewa, raja-raja dan rsi-rsi pada jaman kuno. Kitab-kitab Purana ini banyak jumlahnya dan bila dicermati didalamnya banyak memuat ajaran tentang Nitisastra. 5. Kitab-Kitab, Lontar-Lontar Maupun Naskah-Naskah Lainnya Yang Bersumber Dari Naskah Sansekerta Maupun Jawa Kuno. Slokantara maupun Sarasamuccaya juga memuat tentang ajaran Nitisastra yang kadang-kadang dikemas dalam bentuk ceritera yang mengadung kiasan tentang pemerintahan maupun masalah sosial. Dalam Tantri Kamandaka banyak sekali ceritera-ceritera yang memuat ajaran Nitisastra. Di daerah Bali yang sebagian besar pehduduknya penganut Hindu, merupakan daerah yang subur menumbunkan karya sastra Agama Hindu. Ada beberapa lontar yang memakai judul Niti Seperti: Niti Praja, Nitisastra atau Niti Sara, Rajaniti, Niti Raja Sesana, Dharma Sesana. Isi naskah-naskah ini tidak begitu jauh berbeda dengan naskah-naskah niti yang lainnya. Contoh : SINGHA RAKSAKANING HALAS HALAS IKANG RAGSENG HARE NITYASA SINGHA MWANG WANA TAN PADIRT PADA WIRODANGDAH TIKANG KESARI, RUG BRASTANG WANA DENIKANG JANA TINON WREKSANYA SIRNA PADANG, SINGHANGAT RI JURANG NIKANG TEGAL AYUN ADANG SAMPUN DINON DUR LABA Artinya :

Singa adalah penjaga hutan, hutan selalu melindungi singa, jika singa dengan hutan berselisih, mereka marah lalu singa meninggalkan hutan. Hutan dirusak dan pohon-pohon ditebangi orang sampai menjadi terang, Singa lari bersembunyi dalam lembah atau di te'ngah-tengah ladang, diserbu dan dibinasakan orang.

Jadi karena tidak bersatu antara hutan dan singa, hutan menjadi rusak-karena ditebangi orang dan singapun mati dibunuh orang karena tidak mempunyai tempat tinggal, kedua-duanya hancur. Demikialah gambaran singa sebagai kepala Negara (pemerintah) tidak saling mementingkan (saling dukung) akhirnya kepala Negara (pemerintah) jatuh dan Negara (masyarakat) kacau.

196

2.

Kontribusi Agama Hindu Dalam Kehidupan Politik Berbangsa Dan Bernegara

1. Dari Negara kesatuan terpuruk ke alam penjajahan Ketika Gajah Mada diiantik menjadi Maha Patih Kerajaan Majapahit di pendopo Agung kerajaan disaksikan oleh raja dan segenap pejabat kerajaan, ia rnengucapkan sumpah yang terkenal dengan Sumpah Palapa. Inti dari Sumpah Palapa itu adalah tekad untuk menyatukan seluruh wilayah nusantara dalam satu kesatuan Negara yang merdeka dan berdaulat. Walaupun banyak pejabat Negara yang menyangsikan ucapan Gajah Mada itu, namun Maha Patih Gajah Mada itu, namun Maha Patih itu kukuh pada pendiriannya, tidak pernah bergeser dari tekad dan upaya menyatukan Nusantara. Secara mantap dan pasti satu persatu wilayah-wilayah nusantara yang tadinya merupakan kerajaan-kerajaan kecil yang terpisah-pisah dipersatukan dalam satu Negara yang besar, yaitu Negara Majapahit. Seluruh Nusantara bersatu, panji-panji majapahit “Gula Kelapa, Merah Putih” berkibar di seluruh wilayah Nusantara. Majapahit mencapai masa kejayaannya. Cita-cita Negara Kesatuan yang dicetuskan oleh pusat pemerintahan yang sudah terwujud. Sejarah telah membuktikan bahwa Majapahit telah meletakkan dasar-dasar Negara Kesatuan. Waktu beredar terus, sejarahpun membuktikan pula Saka kala Sirna Hilang, Kertaning Bhumi, Tahun Saka 1400 (1478 Masehi) Majapahit sebagai Negara Kesatuan runtuh, sampai kesatuan nusantara putus bukan karena serangan dari luar melainkan karena pelapukan, wilayah nusantarapun cerai berai kembali, masingmasing berjalan sendiri-sendiri lagi. Gaung persatuan lenyap tidak ada gemanya lagi, nusantara mulai diliputi kabut gelap. Pada percaturan politik dunia saat-saat itu, kaum kapitalis kolonial sudah mulai mengincar wilayah nusantara dengan kedatangan orang-orang Portugis dan kemudian Belanda yang semula didorong oleh kepentingan ekonomi: Belanda berhasil mendapat fasilitas di Batavia, maka berdirilah Verenigde Cost Indische Compagnie (VOC) sekitar tahun 1602, yang semula hanya merupakan kongsi dagang. Untuk memuluskan tujuan ekonominya, VOC. Kemudian mengembangkah politik imperialisme dan penjajahan. Sejak saat itu berangsur-angsur nusantara mulai dikuasai, sehingga akhirnya seluruh nusantara berada dalam kekuasaan penjajahan Belanda. Nusantara diperkenalkan dengan nama Hindia Belanda. Akibatnya hilangnya rasa persatuan dan kesatuan setelah Majapahit runtuh sekitar tiga setengah abad nusantara tenggelam dalam penjajahan Belanda. 2. Lahir Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia Alam penjajahan menyebabkan seluruh penduduk nusantara berada dalam penindasan, tanpa harga diri apalagi kekuasaan. Semua kekayaan alam termasuk 197

potensi manusianya dikuras oleh penjajah, sehingga akibatnya nusantara merupakan wilayah miskin dan terbelakang. Sejarah memberikan pengalaman bahwa akibat terkoyaknya persatuanlah yang menjerumuskan nusantara ke dalam penjajahan. Perkembangan politik dunia Internasional pada saat itu ikut memberi pengaruh bangkitnya rasa kesadaran nasinal, kesadaran berbangsa. Sejak timbulnya Kebangkitan Nasional telah dirasakan pentingnya mewujudkan persatuan dalam memperjuangkan kemerdekaan Bangsa. Cita-cita persatuan Indonesia yang dipelopori organisasi sosial politik seperti Budi Utomo dan lain-lainya, gaungnya juga bergema dikalangan golongan pemuda seluruh nusantara yang kemudian perwakilan para pemuda itu pada tanggal 28 Oktober 1928, melahirkan Sumpah Pemuda yang mencetuskan : Satu Nusa, Satu Bangsa. dan Satu Bahasa yaitu Indonesia. Cita-cita persatuan Indonesia yang telah diikrarkan sebagai suatu sumpah oleh Putra Putri Indonesia mempunyai nilai keyakinan dan tekad yang sangat kuat dan mendalam karena mengandung pengertian perjuangan yang harus di wujudkan secara nyata tanpa memperdulikan korban yang akan timbul. Sumpah Pemuda menjadi semen (perekat) kesadaran persatuan Bangsa, sehingga untuk kepentingan Persatuan Indonesia dalam memperjuangkan cita-cita itu, setiap orang harus rela berkorban dengan mengesampingkan kepentingan pribadi atau golongan sewaktu-waktu. Persatuan Bangsa itu diperlukan. Pada hakekatnya persatuan Indonesia itu lahir dari rasa kesadaran bahwa untuk mencapai tujuan kemerdekaan persatuan merupakan suatu keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi, demikian pula untuk mempertahankan .kemerdekaan, membangun dan mengisi kepentingan Bangsa dan Negara. Akhirnya berkat persatuan dan kesatuan bangsa, perjuangan Bangsa Indonesia mencapai puncaknya dengan di Proklamasikannya Kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta selaku wakil Bangsa Indonesia. Pada hari itulah lahirnya Bangsa Indonesia dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Negara berdasarkan Pancasila dengan Konstitusi UUD 1945, serta lambang Negara Garuda Panca Sila dengan Sasanti Bhinneka Tunggal Ika. Bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku, bahasa daerah, dan adat istiadat, kebudayaan dan Agama, semua mendukung memberi kontribusi masing-masing. 3. Kontribusi Agama Hindu Dalam Kehidupan Politik Berbangsa dan Bernegara Lahirnya bangsa dan Negara kesatuan Indonesia dengan dasar Pancasila dan lambang Negara Garuda Pancasila dengan Sasanti Bhinneka Tunggal Ika adalah sangat tepat.di dukung pemilihan yang amat cermat dari para pendiri Negara yang mengamati kondisi nyata bangsa Indonesia yang memang amat majemuk.

198

Sasanti Bhinneka Tunggal Ika diangkat dari karya Rakawi Empu Tantular dalam Kakawin Sutasoma, yang memaparkan kondisi komunikasi antara Agama Hindu dengan Agama Budha pada masa itu. Baris lengkapnya berbunyi Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa. Kalimat ini adalah kalimat dalam bahasa Jawa Kuno. Kata Bhinneka terdiri dari kata Bhina yang artinya berbeda-beda, dan kata Ika yang artinya satu, Ika artinya itu. Tan Hana artinya tidak ada. Dharma artinya kewajiban. Mangrwa artinya Mendua, secara harafiah maka kalimat itu berarti berbeda-beda itu, satu, itu, tidak ada kebajikan/kebenaran/kewajiban mendua. Kalimat ini mengandung ajaran Nitisastra yang tinggi dan sesuai dengan bangsa dan kesatuan Indonesia. Dalam konteks politik berbangsa dan bernegara sesuai dengan cita-cita pendiri bangsa dan Negara ini kalimat sasanti ini mempunyai makna bahwa Indonesia berbeda-beda tetapi tetap satu, sebagai warga Negara Indonesia tidak ada kebajikan yang mendua kecuali cinta pada bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sasanti Bhinneka Tunggal Ika merupakan basis politik yang patut dipedomani dalam menentukan kebijakan apapun dalam penyelenggaraan Negara ini. Dalam pustaka Arthava Veda terdapat mantram yang menjiwai rumusan yang dikembangkan oleh empu Tantular tadi sebagai berikut: JANAM BIBHRATI BAHUDA VIVACASAM MANA DHARMANAM PRTHIVI YATHAUKASAM SAHASRAM DHARA DRAVINASYA ME DUHAM DHRUVEVA dHENUR ANA PAS PHURANTI (Atharvaveda XII.1.45)

Artinya : Semoga bumi yang memberi tempat tinggal kepada penduduk yang berbicara berbeda-beda bahasa berbeda-beda tata cara agama menurut tempat tinggalnya memperkaya hamba dengan ribuan pahala laksana lembu yang menyusui anaknya tak pernah kekurangan. Dalam konteks Negara Indonesia mantra Veda ini menegaskan bahwa Bangsa Indonesia terdiri dari berjenis-jenis suku menempati wilayah Indonesia yang satu diharapkan mendapat jaminan dan kesempatan yang sama serta layak dalam menikmati sumber alam Indonesia, hidup bersatu dan damai sehingga kebahagiaan dapat tercapai. Persatuan dalam kebhinnekaan itu pada dasarnya bersifat dinamis, tidak mengecilkan arti setiap unsur budaya bangsa dan perbedaan agama yang ada diantara warga negara Indonesia. Semua kegiatan yang bertujuan memajukan dan mencerdaskan anggota masyarakat dalam bidang apapun juga hendaklah didasarkan 199

atas kesadaran bahwa usaha-usaha itu tidak mengganggu atau melemahkan persatuan dan kesatuan Bangsa Indonesia. Veda jelas-jelas menganjurkan persatuan karena dengan persatuan itu sesungguhnya kebahagiaan bersama dapat dicapai. Persatuan yang dimaksud bukanlah hanya antara sesama Agama melainkan persatuan dengan semua golongan yang berbeda-beda seperti yang dimaksud Sasanti Bhinneka Tunggal Ika. Untuk menggalang dan membina persatuan ini dalam Veda juga terdapat beberapa petunjuk diantaranya dalam Rgveda X.191 mantra 2 - 4 sebagai berikut: SAM GACCHADHVAM SAM VADADHUAM SAM WO MANAMSI JANATAM. DEVA BHAGAM YATHA PURVE SAM JNANA UPA SATE Artinya : Berkurnpul berbicara satu dengan yang lain bersatulah dalam pikiranmu seperti pada dewa pada jaman dahulu bersatu. SAMANO MANTRAH SAMITIH SAMANI SAMANAM MANAH SAHA CITTAM ASAM SAMANAM MANTRAM ABHI MANTRAYE VAH SAMANENA WO HAWISA JUBHOBHI Artinya: Hendaknya tujuan mu sama, bersama dalam musyawah, bawalah pikiran itu dan persatukanlah pikiran itu untuk maksud yang sama. Aku ajarkan kepadamu untuk bersembah dengan caramu yang biasa. SAMANI VA AKUTIH SAMANA KRDAYANI VA SAMANAM ASTU VO MANO YATHA VA SUSAHASATI Artinya: Samakanlah tujuanmu, samakan pula niatmu hendaknya sehingga pikiranmu satu Engkau dapat hidup bersama dengan bahagia. Politik berbangsa dan bernegara bagi bangsa Indonesia pada dasarnya adalah penanaman kesadaran bahwa berdasarkan sejarahnya kita adalah satu Bangsa Indonesia yang menempati satu Negara, yaitu: Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kesadaran inilah yang perlu dipupuk dan dikembangkan dari khasanah budaya bangsa termasuk dari nilai-nilai ajaran Agama. 200

D. Rangkuman Menurut hindu, politik harus dijalankan sesuai dengan petunjuk sastra, seperti yang dimuat dalam niti sastra, manawa dharma sastra, raja dharma, raja niti, itihasa maupun lontar-lontar yang telah ada. Apabila politik dilaksanakan sesuai dengan sastra akan lahir politik yang berkarakter, beretika, bijaksana dalam penyelenggaraan suatu pemerintahan dengan tujuan mencapai masyarakat yang sejahtera, damai adil dan makmur. E. Daftar Pustaka Darmayasa, Tahun 1992, Canakya Nitisastra, Penerbit Hanuman Sakti, Jakarta. Wiratmadja, I Gusti Ketut, 1973. Diktat Agama Hindu, Departemen Pertahanan dam Keamanan Akademi Angkatan Bersenjata RI. Pudja (G MA-SH), Maswinara (I Wayan), Tahun 1998, Yajur Veda, Paramita Surabaya

201

DAFTAR PUSTAKA Ardana, (Prof. Drs. I Gusti Gde), Tahun 1997, Pura Kahyangan Tiga, Milik Pemda Tingkat I Bali. Darmayasa, Tahun 1992, Canakya Nitisastra, Penerbit Hanuman Sakti, Jakarta. Dinas Pendidikan Dasar Propinsi Daerah Tingkat I Bali, Tahun 1993 Kekawin Sutasoma. Darji Darmodiharjo (Prof., SR), Tahun 1991 Santiaji Pancasila, Penerbit Usaha Nasional, Surabaya, Indonesia. Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu, Tahun 1996, Diterbitkan Dan Diedarkan oleh: Suka Duka Hindu Dharma, DKI Jaya. Kajeng (I Nyoman dkk), Tahun 1970/1971; Sarasamuccaya, Proyek Penerbit Kitab Suci Hindu Dan Budha Departemen Agama RL Koentjraningrat, Tahun 1996, Pengantar Anthropologi, Penerbit Reneka Citra. Koentjraningrat, Tahun 1974, Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, Penerbit P.T Gramedia, Jakarta. Mantra (Prof. DR. Ida Bagus) Tahun 1993/1994. Tata Susila Hindu Dharma Diterbitkan oleh Parisada Hindu Dharma Pusat. Mas (Ny. IGA Putra) Tahun 1993 Panca Yadnya, Penerbit Yayasan Dharma Sarathi, Jakarta. Maswinara (I Wyn),Tahun 1997, Mahanarayana Upanisad, Paramita, Surabaya. Maswinara (I Wyn), Tahun 1997, Bhagawad Gita, Penerbit Paramita, Surabaya. Maswinara (I Wyn), Tahun !999, Parasara Dharmasastra, Penerbit Paramita, Surabaya. Maswinara (I Wyn), Tahun 1998, Sistem Filsafat Hindu, Penerbit Paramita Surabaya. Mahadevan (TMP), Tahun 1996, Outlines of Hinduism, Chetana, Bombay.

202

Muhammad Yamin, Tahun 1972, Gadjah Mada, P.N. Balai Pustaka, Djakarta. Oka (I Gusti Agung), Tahun 1992, Slokantara, Penerbit Hanuman Sakti, Jakarta. Oka Sanjaya ( Gde), Tahun 2001, Visnu Purana, Penerbit Paramita, Surabaya. Pudja (G. MA), Rai Sudharta, (Tjokorda), Tahun 1996, Manawa Dharma Sastra, Penerbit Hanuman Sakti, Jakarta. Pudja (G MA-SH), Tahun 1995, Sama Veda Samhita, Penerbit Hanuman Sakti Jakarta. Pudja (G MA-SH), Tahun 1978, Theologi Hindu Dharma (Brahma Widya), Penerbit Maya Sari, Jakarta. Pudja (G MA-SH), Maswinara (I Wayan), Tahun 1998, Yajur Veda, Paramita Surabaya. Pudja (G MA-SH), Tahun 1983, Pengantar Agama Hindu III-Veda, Penerbit Maya Sari, Jakarta. Pudja (G. MA-SH), Tahun 1983, Candogya Upanisad, Proyek Pengadaan Kitab Suci Hindu, Departemen Agama R.I. Pudja (Gde-MA), Tahun 1963, Sosiologi Hindu Dharma, Penerbit Yayasan Pembangunan Pura Pita Maha, Djakarta.

203

Related Documents


More Documents from "syakier mahmud"