Optima - Anak .pdf

  • Uploaded by: Bastiangga
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Optima - Anak .pdf as PDF for free.

More details

  • Words: 27,681
  • Pages: 492
Loading documents preview...
dr. Yolina J A K A R T A M E D A N Jl padang no 5, Manggarai, Jakarta selatan Jl. SeKabudi no. 65 G, medan T. 021 8317064 | BB. 5a999b9f/293868a2 T. 061 8229229 | BB. 24BF7CD2 WA. 081380385694/081314412212 w w w . o p t I m a p r e p . c o m

NEONATOLOGI

NEWBORN & APGAR

Newborn Baby USIA GESTASI •  Neonatus Kurang Bulan (Pre-term infant) : Usia gestasi < 37 minggu •  Neonatus Lebih Bulan (Post-term infant) : Usia gestasi ≥ 42 minggu •  Neonatus Cukup Bulan (Term-infant) : Usia gestasi 37 s/d 41 BERAT LAHIR BERDASARKAN USIA GESTASI •  Small for GestaKonal Age (SGA, Kecil Masa Kehamilan) : Berat lahir dibawah 2SD / persenKl 10th dari populasi usia gestasi yang sama •  Large for GestaKonal Age (LGA, Besar Masa Kehamilan) : Berat lahir diatas persenKl 90 untuk populasi usia gestasi yang sama •  Appropriate for GestaKonal Age (Sesuai Masa Kehamilan) : Diantaranya

BERAT BADAN •  BBL “rendah”: berat badan < 2500 •  BBL “sangat rendah” : berat badan bayi baru lahir kurang dari 1500 gram. •  BBL “sangat-sangat rendah” : berat badan bayi baru lahir kurang dari 1000 gram.

The Fetus and the Neonatal Infant. Nelson Textbook of Pediatrics 17th ed

Lubchenco Intrauterine Growth Curve

Week of GestaKon (26 to 42 weeks) Intrauterine Growth as Es0mated From Liveborn Birth-Weight Data at 24 to 42 Weeks of Gesta0on, by Lula O. Lubchenco et al,Pediatrics, 1963;32:793–8007:403

Skor APGAR A P

G A R

Tanda

Skor APGAR dievaluasi menit ke-1 dan menit ke-5

AcKvity (tonus otot) Pulse

0

Tidak ada Tidak ada

Grimace (reflex irritability)

Tidak ada respon

Appearance (warna kulit)

Sianosis seluruh tubuh Tidak ada

RespiraKon (napas)

1

tangan dan kaki fleksi sedikit < 100x/menit Menyeringai lemah, gerakan sedikit Kebiruan pada ekstremitas Lambat dan ireguler

2

akKf > 100 x/menit Reaksi melawan, batuk, bersin Kemerahan di seluruh tubuh Baik, menangis kuat

ASFIKSIA NEONATAL

Neonatal Asphyxia •  DeprivaKon of oxygen to a newborn infant that lasts long enough during the birth process to cause physical harm, usually to the brain •  EKology: –  Intrauterine hypoxia –  Infant respiratory distress syndrome –  Transient tachypnea of the newborn –  Meconium aspiraKon syndrome –  Pleural disease (Pneumothorax, PneumomediasKnum) –  Bronchopulmonary dysplasia hfp://en.wikipedia.org/wiki/Perinatal_asphyxia

Asfiksia Neonatal

Mathai SS. Management of respiratory distress in the newborn. MJAFI 2007; 63: 269-72.

HMD •  gangguan pernapasan yang disebabkan imaturitas paru dan defisiensi surfaktan, terutama terjadi pada neonatus usia gestasi<34 minggu atau berat lahir <1500 gram •  Gejala Klinis –  Sesak, merinKh, takipnea, retraksi interkostal dan subkostal, napas cuping hidung, dan sianosis yang terjadi dalam beberapa jam pertama kehidupan. –  Bila gejala Kdak Kmbul dalam 8 jam pertama kehidupan, adanya PMH dapat disingkirkan. •  Lung immaturity à salah satu penyebab Chronic Lung Disease (bronchopulmonary dysplasia)

•  Penyakit membran hialin (PMH) merupakan gangguan pernapasan yang disebabkan imaturitas paru dan defisiensi surfaktan, terutama terjadi pada neonatus usia gestasi <34 minggu atau berat lahir <1500 gram •  EKology:

RESPIRATORY DISTRESS SYNDROME (Hyaline membrane disease)

–  Defisiensi surfaktan (produksi dan sekresi menurun)

•  Surfactant

–  Berperan untuk pengembangan alveolus –  Komposis utama surfaktan : •  dipalmitoyl phosphaKdylcholine (lecithin) •  PhosphaKdylglycerol •  apoproteins (surfactant proteins SP-A, -B, -C, -D) •  Cholesterol

Hyaline Membrane Disease (Respiratory Distress Syndrome). Nelson Textbook of Pediatrics

hfp://www.neferimages.com/images/vpv/ 000/000/010/10291-0550x0475.jpg

Patomekanisme HMD

Pathogenesis of hyaline membrane disease (HMD). Vascular disruption causes leakage of plasma into the alveolar spaces and layering of fibrin and necrotic cells arise from type II pneumocytes (“hyaline membranes”) along the surface of alveolar ducts and respiratory bronchioles partially denuded of their normal cell lining.

Pneumosit sebagai Penghasil Surfaktan •  Pada dinding alveolus dibedakan atas 2 macam sel: –  sel epitel gepeng ( squamous pulmonary epitheal atau sel alveolar kecil atau pneumosit KpeI). –  sel kuboid yang disebut sel septal atau alveolar besar atau pneumosit Kpe II. •  Menghasilkan surfaktan untuk menurunkan tegangan permukaan dan mempertahankan bentuk dan besar alveolus

Komplikasi –  SepKcemia –  Bronchopulmonary dysplasia (BPD) –  Patent ductus arteriosus (PDA) –  Pulmonary hemorrhage –  Apnea/bradycardia –  NecroKzing enterocoliKs (NEC) –  ReKnopathy of prematurity (ROP) –  Hypertension –  Failure to thrive –  Intraventricular hemorrhage (IVH)

Tatalaksana HMD •  •  •  • 

Endotracheal (ET) tube Con_nuous posi_ve airway pressure (CPAP) Surfactant replacement Broad spectrum an_bio_c (Ampicillin)à stop if there is no proof of infec_on

•  Cor_costeroid à reduced overall incidence of death or chronic lung disease –  Early Postnatal CorKcosteroids (<96 hours) à not suggested because risk> benefit (CP, development delay, Hyperglicemia, hypertension, GI bleeding) –  Moderately Early Postnatal CorKcosteroids (7-14 days) à not suggested because risk> benefit –  Delayed Postnatal CorKcosteroids (> 3 weeks) à can be used for venKlator dependant infants in whom it is felt that steroids are essenKal to facilitate extubaKon.

KLASIFIKASI HMD

Derajat I, Bercak retikulogranuler dengan air bronchogram

Derajat II, Bercak retikulogranular menyeluruh dengan air bronchogram

Derajat III, Opasitas lebih jelas, dengan airbronchogram lebih jelas meluas kecabang di perifer. Gambaran jantung menjadi kabur.

Derajat IV, Seluruh lapangan paru terlihat putih (opak), Tidak tampak airbronchogram, jantung tak terlihat, disebut juga “White lung”

Sindroma Aspirasi Mekonium •  Distres intrauterin dapat menyebabkan keluarnya mekonium ke cairan amnion. •  Faktor yang memicu: placental insufficiency, maternal hypertension, preeclampsia, oligohydramnios, and maternal drug abuse, especially of tobacco and cocaine. •  Matur/prematur, pertumbuhan janin terhambat (PJT), mekonium staining pada kulit dan cairan amnion •  Saat dilakukan sucKon dari mulut dan jalan napas atas terdapat mekonium, hiperinflasi dada •  Rontgen: hiperinflasi dengan banyak white areas dari paru yang kolaps

Meconium Aspiration Syndrome

Densitas ropey, kasar, patchy luas menyeluruh pada kedua lapangan paru. Selain itu pada MAS juga bisa ditemukan •  Hiperaerasi paru pada daerah yang mengalami air-trapping •  Efusi pleura minimal (20%). •  pneumotoraks atau pneumomediastinum spontan. •  atelektasis paru emfisema obstruktif.

Air trapping and hyperexpansion from airway obstruc_on.

ATELEKTASIS

Transient Tachypnea of Newborn (TTNB)

Transient Tachypnea of Newborn

(a) Fuzzy vessel, fisura interlobaris terisi cairan; (b) densitas bergaris divergen di medial dengan sedikit efusi kanan. Gambaran paru membaik dalam waktu yang cepat sejalan dengan perbaikan klinis.

Transient Tachypnea of Newborn

(a) Fuzzy vessel, fisura interlobaris terisi cairan; (b) densitas bergaris divergen di medial dengan sedikit efusi kanan. Gambaran paru membaik dalam waktu yang cepat sejalan dengan perbaikan klinis.

Pneumonia Neonatal •  Terjadinya sindrom gagal napas akibat komplikasi korioamnioniKs jika terjadi saat lahir ataupun karena infeksi nosokomial jika terjadi setelah lahir •  Gejala klinis akan tampak pus cells dan bakteri pada cairan lambung •  Ro thoraks akan tampak daerah paru yang kolaps dan konsolidasi •  Tatalaksana : SuporKf dan anKbioKka

Pneumonia neonatal Infiltrat inhomogen pada lapang paru kanan atas. Bila terjadi dalam 72 jam pertama kehidupan, pneumonia neonatal perlu dipikirkan.

Distres Pernapasan pada Neonatus KELAINAN

GEJALA

Sindrom aspirasi mekonium

Biasanya pada bayi matur, pertumbuhan janin terhambat, terdapat staining mekonium di cairan amnion dan kulit, kuku, atau tali pusar. Pada radiologi tampak air trapping dan hiperinflasi paru, patchy opacity, terkadang atelektasis.

Respiratory distress syndrome (penyakit membran hyalin)

Pada bayi prematur, pada bayi dengan ibu DM atau kelahiran SC, gejala muncul progresif segera setelah lahir. Pada radiologi tampak gambaran diffuse “ground-glass” or finely granular appearance, air bronkogram, ekspansi paru jelek.

Biasanya pada bayi matur dengan riwayat SC. Gejala muncul setelah Transient tachypnea of lahir, kemudian membaik dalam 72 jam pasca lahir. Pada radiologi newboorn tampak peningkatan corakan perihilar, hiperinflasi, lapangan paru perifer bersih. Pneumonia neonatal Asfiksia perinatal (hypoxic ischemic encephalopathy)

Terdapat risiko pneumonia (KPD, demam pada ibu, cairan amnion berbau, dsb). Gejala melipuK gejala distress dan gejala sepsis. Gambaran radiologis : Diffuse, relaKvely homogeneous infiltrates Asidemia pada arteri umbilikal, Apgar score sangat rendah, terdapat kelainan neurologis, keterlibatan mulKorgan

RESUSITASI NEONATUS

Resusitasi Neonatus

Teknik VenKlasi dan Kompresi •  Ven_lasi Tekanan Posi_f (VTP) •  Jika bayi tetap apnu atau megap-megap, atau jika frekuensi denyut jantung kurang dari 100 per menit setelah langkah awal resusitasi, VTP dimulai. •  Pernapasan awal dan bantuan ven_lasi •  Bantuan venKlasi harus diberikan dengan frekuensi napas 40 – 60 kali per menit untuk mencapai dan mempertahankan frekuensi denyut jantung lebih dari 100 per menit. Penilaian venKlasi awal yang adekuat ialah perbaikan cepat dari frekuensi denyut jantung. Kafwinkel, John et al. Part 15: Neonatal ResuscitaKon: 2010 American Heart AssociaKon Guidelines for Cardiopulmonary ResuscitaKon and Emergency Cardiovascular Care. Circula)on. 2010;122(suppl 3):S909–S919.

Pemberian Oksigen •  Target saturasi oksigen dapat dicapai dengan memulai resusitasi dengan udara atau oksigen campuran (blended oxygen) dan dilakukan Ktrasi konsentrasi oksigen untuk mencapai SpO2 sesuai target. •  Jika oksigen campuran _dak tersedia, resusitasi dimulai dengan udara kamar. •  Jika bayi bradikardia (kurang dari 60 per menit) setelah 90 deKk resusitasi dengan oksigen konsentrasi rendah, konsentrasi oksigen diKngkatkan sampai 100% hingga didapatkan frekuensi denyut jantung normal.

VTP •  Peralatan yang digunakan untuk VTP adalah: –  Self inflaKng bag (balon mengembang sendiri) –  Flow inflaKng bag (balon Kdak mengembang sendiri) –  T-piece resuscitator

•  Dalam 30 deKk dilakukan VTP 20-30 kali, mengikuK pernafasan bayi 40-60x/menit •  Pada permulaan resusitasi, oksigen Kdak dibutuhkan secara ruKn. Namun bila terjadi sianosis selama resusitasi à boleh ditambahkan oksigen

Teknik VenKlasi dan Kompresi •  Kompresi dada •  Indikasi kompresi dada ialah jika frekuensi denyut jantung kurang dari 60 per menit setelah venKlasi adekuat dengan oksigen selama 30 deKk. Untuk neonatus, rasio kompresi: venKlasi = 3:1 (1/2 deKk untuk masingmasing). •  Pernapasan, frekuensi denyut jantung, dan oksigenasi harus dinilai secara periodik dan kompresi – venKlasi tetap dilakukan sampai frekuensi denyut jantung sama atau lebih dari 60 per menit. •  Kompresi dada dilakukan pada 1/3 bawah sternum dengan kedalaman 1/3 dari diameter antero-posterior dada. •  Teknik kompresi: (1) teknik kompresi dua ibu jari dengan jari-jari melingkari dada dan menyokong bagian punggung, (2) teknik kompresi dengan dua jari dimana tangan lain menahan bagian punggung •  Pada kompresi, dada harus dapat berekspansi penuh sebelum kompresi berikutnya, namun jari yang melakukan kompresi Kdak boleh meninggalkan posisi di dada. Kafwinkel, John et al. Part 15: Neonatal ResuscitaKon: 2010 American Heart AssociaKon Guidelines for Cardiopulmonary ResuscitaKon and Emergency Cardiovascular Care. Circula)on. 2010;122(suppl 3):S909–S919.

Indicator of Successful ResuscitaKon •  A prompt increase in heart rate remains the most sensiKve indicator of resuscitaKon efficacy (LOE 55). •  Of the clinical assessments, auscultaKon of the heart is the most accurate, with palpaKon of the umbilical cord less so. •  There is clear evidence that an increase in oxygenaKon and improvement in color may take many minutes to achieve, even in uncompromised babies. •  Furthermore, there is increasing evidence that exposure of the newly born to hyperoxia is detrimental to many organs at a cellular and funcKonal level. •  For this reason color has been removed as an indicator of oxygenaKon or resuscitaKon efficacy. •  RespiraKons, heart rate, and oxygenaKon should be reassessed periodically, and coordinated chest compressions and venKlaKons should conKnue unKl the spontaneous heart rate is ︎60 per minute Kafwinkel, John et al. Part 15: Neonatal ResuscitaKon: 2010 American Heart AssociaKon Guidelines for Cardiopulmonary ResuscitaKon and Emergency Cardiovascular Care. Circula)on. 2010;122(suppl 3):S909–S919.

Kapan menghenKkan resusitasi? •  Pada bayi baru lahir tanpa adanya denyut jantung, dianggap layak untuk menghenKkan resusitasi jika detak jantung tetap Kdak terdeteksi setelah dilakukan resusitasi selama 10 menit (kelas IIb, LOE C). •  Keputusan untuk tetap meneruskan usaha resusitasi bisa diperKmbangkan setelah memperhaKkan beberapa faktor seperK eKologi dari henK hantung pasien, usia gestasi, adanya komplikasi, dan perKmbangan dari orangtua mengenai risiko morbiditas. Kafwinkel, John et al. Part 15: Neonatal ResuscitaKon: 2010 American Heart AssociaKon Guidelines for Cardiopulmonary ResuscitaKon and Emergency Cardiovascular Care. Circula)on. 2010;122(suppl 3):S909–S919.

SEPSIS NEONATORUM

Sepsis Neonatorum •  Merupakan sindrom klinis penyakit sistemik akibat infeksi yang terjadi pada 1 bulan pertama kehidupan –  Early onset sepsis (onset< 72 jam) Faktor risiko: Ibu dengan infeksi rahim (korioamnioniKs), ketuban pecah dini, riwayat persalinan Kdak higienis. 85% kasus neonatus terjadi pada early onset.

–  Late onset sepsis (onset > 72 jam) Ditemukan fokus infeksi yang Kdak berhubungan dengan proses melahirkan. Sering disertai dengan meningiKs. EKologi pada late onset: Stafilokokus koagulase negaKf, S. Aureus, E. Coli, Klebsiella, Pseudomonas, Enterboacter, Candida, SerraKa, Acinetobacter, Anaerob, GBS

–  Sepsis nosokomial Ditemukan pada bayi yang dirawat, berhubungan dengan penggunaan alat-alat di RS

•  EKologi tersering (pada early onset) –  –  –  –  – 

Group B streptococcus (GBS) E. Coli Stafilokokus koagulase negaKf H. inluenza L. monocytogenes hfp://emedicine.medscape.com/arKcle/978352-overview

Sepsis Neonatorum •  InternaKonal Pediatric Sepsis Consensus Conference 2005: Sepsis adalah systemic inflammatory rensponse syndrome (SIRS) + infeksi. •  Kriteria SIRS (2 dari 4): –  Suhu tubuh > 38,5°C atau < 36°C –  Takikardia, didefinisikan sebagai rata-rata frekuensi denyut jantung > 2 SD atau diatas nilai normal menurut umur –  Frekuensi pernafasan > 2 SD menurut umur –  Leukositosis atau leukopenia berdasarkan umur atau ditemukannya > 10% netrofil imatur

•  Sepsis berat: sepsis disertai kegagalan organ atau hipoperfusi •  Syok sepsis: sepsis disertai kegagalan organ kardiovaskular

Sepsis Neonatorum •  Anamnesis

–  Riwayat ibu dengan infeksi intrauterin (demam, ketuban pecah dini >18 jam, air ketuban keruh) –  Riwayat persalinan, penolong persalinan, lingkungan persalinan yang Kdak higienis –  Riwayat lahir asfiksia berat, BBLR, prematur –  Riwayat bayi malas minum

•  Pemeriksaan fisis

–  Suhu tubuh abnormal (sering hipotermia) –  Letargi, mengantuk, akKvitas berkurang –  Malas minum –  Iritabel atau rewel –  Perburukan cepat –  Muntah, diare, perut kembung, hepatomegali (muncul pada hari ke-4) –  Perfusi kurang, sianosis, petekia, ikterik –  Takipnea, distres nafas (NCH, merinKh, retraksi), takikardia, hipotensi –  Penurunan kesadaran, kejang, ubun-ubun menonjol

Pemeriksaan Penunjang •  Laboratorium

–  DPL, leukosit, diff count, CRP –  Kultur darah, kultur urin –  Uji resistensi –  AGD –  Kadar bilirubin meningkat

•  Pungsi lumbalà periksa cairan CSF

Sepsis Neonatal. Pedoman Pelayanan Medis IDAI. 2009.

•  Radiologis

Foto thoraks (bila ada distress nafas), hasil: –  Pneumonia kongenitalà konsolidasi bilateral atau efusi pleura –  Pneumonia krn infeksi intrapartumà infiltrasi dan destruksi jaringan bronkopulmoner, atelektasis segmental, gambaran reKkulogranular difus (spt pada HMD) –  Pneumonia krn infeksi pascanatalà sesuai pola kuman setempat

Tatalaksana •  AnKbioKk o  Neonatus dengan kecurigaan sepsisà segera langsung diberikan anKbioKk o  Pilihan anKbioKk empirik: ampisilin + gentamisin. o  Bila organisme Kdak dapat ditemukan dan bayi tetap menunjukkan tanda infeksi setelah > 48 jam à cefotaksim+gentamisin o  Pada sepsis nosokomialà anKbioKk disesuaikan dengan pola kuman. Bila disertai dengan meningiKs, anKbioKk dosis meningiKs diberikan selama 14 hari (kuman gram +) dan 21 hari (kuman gram -)

•  Jaga patensi jalan nafas dan berikan oksigen, bila perlu pasang venKlator mekanik •  Pasang iv line, beri cairan maintenance –  Pantau TD dan perfusi jaringan –  Bila ada gangguan perfusià berikan volume ekspander (NaCl, darah, albumin, tergantung kebutuhan) 10cc/kg dalam 30 menit, dapat diulang 1-2 kali –  Inotropik agent (dopamin atau dobutamin) Sepsis Neonatal. Pedoman Pelayanan Medis IDAI. 2009.

Sepsis Neonatal. Pedoman Pelayanan Medis IDAI. 2009.

Identifying Neonates With Clinical Signs of Sepsis With A “High Likelihood” of EarlyOnset Sepsis Who Require Antimicrobial Agents Soon After Birth

hfp://pediatrics.aappublicaKons.org/content/pediatrics/129/5/1006.full.pdf

IKTERUS NEONATORUM

Ikterus Neonatorum •  Ikterus neonatorum: fisiologis vs non fisiologis. •  Ikterus fisiologis:

–  Awitan terjadi setelah 24 jam –  Memuncak dalam 3-5 hari, menurun dalam 7 hari (pada NCB) –  Ikterus fisiologis berlebihan → keKka bilirubin serum puncak adalah 7-15 mg/ dl pada NCB

•  Ikterus non fisiologis:

–  Awitan terjadi sebelum usia 24 jam –  Tingkat kenaikan > 0,5 mg/dl/jam –  Tingkat cutoff > 15 mg/dl pada NCB

–  Ikterus bertahan > 8 hari pada NCB, > 14 hari pada NKB –  Tanda penyakit lain

•  Gangguan obstrukKf menyebabkan hiperbilirubinemia direk. Ditandai bilirubin direk > 1 mg/dl jika bil tot <5 mg/dl atau bil direk >20% dr total bilirubin. Penyebab: kolestasis, atresia bilier, kista duktus koledokus.

Indrasanto E. Hiperbilirubinemia pada neonatus.

Ikterus Neonatorum •  Ikterus yang berkembang cepat pada hari ke-1 –  Kemungkinan besar: inkompaKbilitas ABO, Rh, penyakit hemoliKk, atau sferositosis. Penyebab lebih jarang: infeksi kongenital, defisiensi G6PD

•  Ikterus yang berkembang cepat setelah usia 48 jam –  Kemungkinan besar: infeksi, defisiensi G6PD. Penyebab lebih jarang: inkompaKbilitas ABO, Rh, sferositosis.

Kramer’s Rule

Daerah tubuh Muka Dada/punggung Perut dan paha

Kadar bilirubin mg/dl 4 - 8 5 -12 8 -16

Tangan dan kaki 11-18 Telapak tangan/kaki >15

20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0

fisiologis non- fisiologis

hari 1 hari 2 hari 3 hari 4 hari 5 hari 6 hari 7

•  Ikterus yang berkembang cepat pada hari ke-1

–  Kemungkinan besar: inkompaKbilitas ABO, Rh, penyakit hemoliKk, atau sferositosis. Penyebab lebih jarang: infeksi kongenital, defisiensi G6PD

•  Ikterus yang berkembang cepat setelah usia 48 jam

–  Kemungkinan besar: infeksi, defisiensi G6PD. Penyebab lebih jarang: inkompaKbilitas ABO, Rh, sferositosis.

Tatalaksana Ikterus neonatorum 1. Pencegahan –  Inisiasi menyusu dini (IMD) dan pemberian minum sesegera mungkin –  Sering menyusui untuk menurunkan siklus enterohepaKk –  Menunjang kestabilan flora normal –  Merangsang akKvitas usus halus

2. Panduan foto terapi

AAP, 2004

3. Panduan transfusi tukar

AAP, 2004

Ikterus yang Berhubungan dengan ASI (Fisiologis) Breast Feeding Jaundice (BFJ) • 

•  • 

Disebabkan oleh kurangnya asupan ASI sehingga sirkulasi enterohepaKk meningkat (pada hari ke-2 atau 3 saat ASI belum banyak) Timbul pada hari ke-2 atau ke-3 Penyebab: asupan ASI kurang à cairan & kalori kurang à penurunan frekuensi gerakan usus à ekskresi bilirubin menurun

Breast Milk Jaundice (BMJ) •  Berhubungan dengan pemberian ASI dari ibu tertentu dan bergantung pada kemampuan bayi mengkonjugasi bilirubin indirek •  Kadar bilirubin meningkat pada hari 4-7 •  Dapat berlangsung 3-12 minggu tanpa penyabab ikterus lainnya •  Penyebab: 3 hipotesis

–  Inhibisi glukuronil transferase oleh hasil metabolisme progesteron yang ada dalam ASI –  Inhibisi glukuronil transferase oleh asam lemak bebas –  Peningkatan sirkulasi enterohepaKk

Indikator

BFJ

BMJ

Awitan

Usia 2-5 hari

Usia 5-10 hari

Lama

10 hari

>30 hari

Volume ASI

asupan ASI kurang à cairan & Tidak tergantung dari volume ASI kalori kurang à penurunan frekuensi gerakan usus à ekskresi bilirubin menurun

BAB

Tertunda atau jarang

Normal

Kadar Bilirubin

TerKnggi 15 mg/dl

Bisa mencapai >20 mg/dl

Pengobatan

Tidak ada, sangat jarang fototerapi Teruskan ASI disertai monitor dan evaluasi pemberian ASI

Fototerapi, HenKkan ASI jika kadar bilirubin > 16 mg/dl selama lebih dari 24 jam (untuk diagnosKk) AAP merekomendasikan pemberian ASI terus menerus dan Kdak menghenKkan Gartner & Auerbach merekomendasikan penghenKan ASI pada sebagian kasus

•  For healthy term infants with breast milk or breasyeeding jaundice and with bilirubin levels of 12 mg/dL to 17 mg/dL, the following opKons are acceptable: Increase breasyeeding to 8-12 Kmes per day and recheck the serum bilirubin level in 12-24 hours. •  Temporary interrupKon of breasyeeding is rarely needed and is not recommended unless serum bilirubin levels reach 20 mg/dL. •  For infants with serum bilirubin levels from 17-25 mg/dL, add phototherapy to any of the previously stated treatment opKons. •  The most rapid way to reduce the bilirubin level is to interrupt breasyeeding for 24 hours, feed with formula, and use phototherapy; however, in most infants, interrupKng breasyeeding is not necessary or advisable

Breast Milk Jaundice Treatment & Management. Medscape.com

INKOMPATIBILITAS ABO – RHESUS PADA NEONATUS

Anemia Hemolisis Neonatus ec. Inkompa_bilitas PENYAKIT

KETERANGAN

Adanya agluKnin ibu yang bersirkulasi di darah anak terhadap I n k o m p a _ b i l i t a s agluKnogen ABO anak. Ibu dengan golongan darah O, memproduksi anKbodi IgG AnK-A/B terhadap gol. darah anak ABO (golongan darah A atau B). Biasanya terjadi pada anak pertama Rh+ berarK mempunyai anKgen D, sedangkan Rh– berarK Kdak memiliki anKgen D. Hemolisis terjadi karena adanya anKbodi ibu dgn Rh- yang bersirkulasi di darah anak terhadap anKgen Rh anak I n k o m p a _ b i l i t a s (beraK anak Rh+). Jarang pada anak pertama krn anKbodi ibu terhadap anKgen D anak yg berhasil melewaK plasenta belum Rh banyak. KeKka ibu Rh - hamil anak kedua dgn rhesus anak Rh + anKbodi yang terbentuk sudah cukup untuk menimbulkan anemia hemolisis

Inkompa_bilitas Rhesus •  Faktor Rh: salah satu jenis anKgen permukaan eritrosit •  InkompaKbilitas rhesus: kondisi dimana wanita dengan rhesus (-) terekspos dengan eritrosit Rh (+), sehingga membentuk anKbodi Rh –  KeKka ibu Rh (-) hamil dan memiliki janin dengan Rh (+), terekspos selama perjalanan kehamilan melalui kejadian aborsi, trauma, prosedure obstetrik invasif, atau kelahiran normal –  KeKka wanita dengan Rh (-) mendapatkan transfusi darah Rh (+)

è

è

•  Setelah eksposure pertama, ibu akan membentuk IgG maternal terhadap anKgen Rh yang bisa dengan bebas melewaK plasenta hingga membentuk kompleks anKgen-anKbodi dengan eritrosit fetus dan akhirnya melisiskan eritrosit tersebut à fetal alloimmune-induced hemolyKc anemia. •  KeKka wanita gol darah Rh (-) tersensiKsasi diperlukan waktu kira-kira sebulan untuk membentuk anKbodi Rh yg bisa menandingi sirkulasi fetal. •  90% kasus sensiKsasi terjadi selama proses kelahiran è o.k itu anak pertama Rh (+) Kdak terpengaruhi karena waktu pajanan eritrosit bayi ke ibu hanya sebentar, Kdak bisa memproduksi anKbodi scr signifikan

InkompaKbilitas Rhesus •  Risiko dan derajat keparahan meningkat seiring dengan kehamilan janin Rh (+) berikutnya, kehamilan kedua menghasilkan bayi dengan anemia ringan, sedangkan kehamilan keKga dan selanjutnya bisa meninggal in utero •  Risiko sensiKsasi tergantung pada 3 faktor:

–  Volume perdarahan transplansental –  Tingkat respons imun maternal –  Adanya inkompaKbilitas ABO pada saat bersamaan •  Adanya inkompaKbilitas ABO pada saat bersamaan dengan keKdakcocokan Rh justru mengurangi kejadian inkompaKbilitas Rh è karena serum ibu yang mengandung anKbodi ABO menghancurkan eritrosit janin sebelum sensiKsasi Rh yg signifikan sempat terjadi •  Untungnya inkompaKbilitas ABO biasanya Kdak memberikan sekuele yang parah hfp://emedicine.medscape.com/arKcle/797150

Tes Laboratorium •  Prenatal emergency care

•  Postnatal emergency care

–  Tipe Rh ibu –  the Rosefe screening test atau the Kleihauer-Betke acid eluKon test bisa mendeteksi alloimmunizaKon yg disebabkan oleh fetal hemorrhage –  Amniosentesis/ cordosentesis

–  Cek Kpe ABO dan Rh, hematokrit, Hb, serum bilirubin, apusan darah, dan direct Coombs test. –  direct Coombs test yang posiKf menegakkan diagnosis an)body-induced hemoly)c anemia yang menandakan adanya inkompabilitas ABO atau Rh

hfp://emedicine.medscape.com/arKcle/797150

Tatalaksana •  Jika sang ibu hamil Rh – dan belum tersensiKsasi, berikan human anK-D immunoglobulin (Rh IgG atau RhoGAM) •  Jika sang ibu sudah tersensiKsasi, pemberian Rh IgG Kdak berguna •  Jika bayi telah lahir dan mengalami inkompaKbilitas, transfusi tukar/ foto terapi tergantung dari kadar bilirubin serum, rendahnya Ht, dan naiknya reKculocyte count hfp://emedicine.medscape.com/arKcle/797150

Inkompa_bilitas ABO •  Terjadi pada ibu dengan •  Gejala yang Kmbul adalah golongan darah O terhadap ikterik, anemia ringan, dan janin dengan golongan peningkatan bilirubin darah A atau B serum. •  Tidak terjadi pada ibu gol A •  Lebih sering terjadi pada dan B karena anKbodi yg bayi dengan gol darah A terbentuk adalah IgM yg tdk dibanding B, tetapi melewaK plasenta, hemolisis pada gol darah sedangkan 1% ibu gol darah Kpe B biasanya lebih berat. O yang memiliki Kter •  InkompaKbilitas ABO jarang anKbody IgG terhadap sekali menimbulkan hidrops anKgen A dan B, bisa fetalis dan biasanya Kdak melewaK plasenta separah inkompaKbilitas Rh

Kenapa Inkompa_bilitas ABO _dak separah Inkompa_bilitas Rh? •  Biasanya anKbodi AnK-A dan AnK-B adalah IgM yang Kdak bisa melewaK sawar darah plasenta •  Karena anKgen A dan B diekspresikan secara luas pada berbagai jaringan fetus, Kdak hanya pada eritrosit, hanya sebagian kecil anKbodi ibu yang berikatan dengan eritrosit. •  Eritrosit fetus tampaknya lebih sedikit mengekspresikan anKgen permukaan A dan B dibanding orang dewasa, sehingga reaksi imun antara anKbody-anKgen juga lebih sedikit è hemolisis yang parah jarang ditemukan.

Pemeriksaan Penunjang Inkompa_bilitas •  Pemeriksaan penunjang yang dilakukan adalah direct Coombs test. •  Pada inkompaKbilitas ABO manifestasi yg lebih dominan adalah hiperbilirubinemia, dibandingkan anemia, dan apusan darah tepi memberikan gambaran banyak spherocyte dan sedikit erythroblasts, sedangkan pada inkompaKbilitas Rh banyak ditemukan eritoblas dan sedikit spherocyte •  Tatalaksana: fototerapi, transfusi tukar

Tatalaksana InkompaKbilitas Rh •  Jika sang ibu hamil Rh – dan belum tersensiKsasi, berikan human anK-D immunoglobulin (Rh IgG atau RhoGAM) •  Jika sang ibu sudah tersensiKsasi, pemberian Rh IgG Kdak berguna •  Jika bayi telah lahir dan mengalami inkompaKbilitas, transfusi tukar/ foto terapi tergantung dari kadar bilirubin serum, rendahnya Ht, dan naiknya reKculocyte count hfp://emedicine.medscape.com/arKcle/797150

Tatalaksana Umum Hemoly_c Disease of Neonates •  • 

• 

• 

• 

In infants with hyperbilirubinemia due to alloimmune HDN, monitoring serum bilirubin levels, oral hydra_on, and phototherapy are the mainstays of management. For infants who do not respond to these convenKonal measures, intravenous fluid supplementaKon and/or exchange transfusion may be necessary to treat hyperbilirubinemia. Intravenous immunoglobulin (IVIG) also may be useful in reducing the need for exchange transfusion. Phototherapy — Phototherapy is the most commonly used intervenKon to treat and prevent severe hyperbilirubinemia. It is an effecKve and safe intervenKon. The AAP has developed guidelines for the iniKaKon and disconKnuaKon of phototherapy based upon total serum bilirubin (TSB) values at specific hourly age of the paKent, gestaKonal age, and the presence or absence of risk factors for hyperbilirubinemia including alloimmune HDN Hydra_on — Phototherapy increases insensible skin losses and as a result the fluid requirements of infants undergoing phototherapy are increased. In addiKon, by-products of phototherapy are eliminated in the urine. If oral hydraKon is inadequate, intravenous hydraKon may be necessary. Exchange transfusion — Exchange transfusion is used to treat severe anemia, as previously discussed, and severe hyperbilirubinemia. Exchange transfusion removes serum bilirubin and decreases hemolysis by the removal of anKbodycoated neonatal RBCs and unbound maternal anKbody.

INKOMPATIBILITAS ABO

INKOMPATIBILITAS RH

Tidak memerlukan proses sensiKsasi Butuh proses sensiKsasi oleh kehamilan RH + oleh kehamilan pertama karena sdh pertama karena ibu blm punya anKbodi. terbentuk IgG. Dapat terjadi pada Terjadi pada anak ke dua atau lebih anak 1 InkompaKbilitas ABO jarang sekali menimbulkan hidrops fetalis dan biasanya Kdak separah inkompaKbilitas Rh

Gejala biasanya lebih parah jika dibandingkan dengan inkompaKbilotas ABO, bahkan hingga hidrops fetalis

Risiko dan derajat keparahan Kdak meningkat di anak selanjutnya

Risiko dan derajat keparahan meningkat seiring dengan kehamilan janin Rh (+) berikutnya, kehamilan kedua menghasilkan bayi dengan anemia ringan, sedangkan kehamilan keKga dan selanjutnya bisa meninggal in utero

apusan darah tepi memberikan gambaran banyak spherocyte dan sedikit erythroblasts

pada inkompaKbilitas Rh banyak ditemukan eritoblas dan sedikit spherocyte

ATRESIA BILIER

Kolesta_s Bilirubin indirek

Bilirubin Direk

Larut air: dibuang lewat ginjal

OBSTRUKSI

Urin warna teh

Tidak ada bilirubin direk yg menuju usus

Feses warna Dempul

Kolestasis (Cholesta_c Liver Disease) •  Definisi : Keadaan bilirubin direk > 1 mg/dl bila bilirubin total < 5 mg/dl, atau bilirubin direk >20% dari bilirubin total bila kadar bil.total >5 mg/dl •  Kolestasis : Hepatoselular (Sindrom hepaKKs neonatal) vs ObstrukKf (Kolestasis ekstrahepaKk) •  Sign and Symptom : Jaundice, dark urine and pale stools, nonspecific poor feeding and sleep disturbances, bleeding and bruising, seizures

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Penunjang

Atresia Bilier •  Merupakan penyebab kolestasis tersering dan serius pada bayi yang terjadi pada 1 per 10.000 kelahiran •  Ditandai dengan adanya obstruksi total aliran empedu karena destruksi atau hilangnya sebagian atau seluruh duktus biliaris. Merupakan proses yang bertahap dengan inflamasi progresif dan obliterasi fibroKk saluran bilier •  EKologi masih belum diketahui •  Tipe embrional 20% dari seluruh kasus atresia bilier, –  sering muncul bersama anomali kongenital lain seperK polisplenia, vena porta preduodenum, situs inversus dan juga malrotasi usus. –  Ikterus dan feses akolik sudah Kmbul pada 3 minggu pertama kehidupan

•  Kpe perinatal/postnatal yang dijumpai pada 80% dari seluruh kasus atresia bilier, ikterus dan feses akolik baru muncul pada minggu ke-2 sampai minggu ke-4 kehidupan. Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Anak dengan Gejala Kuning. Dept IKA RSCM. 2007

Biliary Atresia Type ü  Type I: atresia of the common bile duct ü  Type IIa: atresia of the common hepaKc duct ü  Type IIb: atresia of common bile duct, cysKc duct, and common hepaKc duct ü  Type III: atresia of the common bile duct, cysKc duct, and hepaKc ducts up to the porta hepaKs. This is the subtype present in over 90% of paKents with biliary atresia

Atresia Bilier •  Gambaran klinis: biasanya terjadi pada bayi perempuan, lahir normal, bertumbuh dengan baik pada awalnya, bayi Kdak tampak sakit kecuali sedikit ikterik. Tinja dempul/akolil terus menerus. Ikterik umumnya terjadi pada usia 3-6 minggu •  Laboratorium : Peningkatan SGOT/SGPT ringan-sedang. Peningkatan GGT (gamma glutamyl transpep)dase) dan fosfatase alkali progresif. •  DiagnosKk: USG dan Biopsi HaK •  Terapi: Prosedur Kasai (Portoenterostomi) •  Komplikasi: Progressive liver disease, portal hypertension, sepsis Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Anak dengan Gejala Kuning. Dept IKA RSCM. 2007

Triangular Cord Sign in USG •  The triangular cord sign is a triangular or tubular echogenic cord of fibrous Kssue seen in the porta hepaKs at ultrasonography and is relaKvely specific in the diagnosis of biliary atresia. •  This sign is useful in the evaluaKon of infants with cholestaKc jaundice, helping for the differenKal diagnosis of biliary atresia from neonatal hepaKKs. •  It is defined as more than 4 mm thickness of the echogenic anterior wall of the right portal vein (EARPV) measured on a longitudinal ultrasound scan.

Biliary Atresia - Treatment •  Kasai’s portoenterostomy: Once biliary atresia is suspected, surgical intervenKon in the form of intraoperaKve cholangiogram and Kasai portoenterostomy is indicated. •  This procedure is not usually curaKve, but ideally does buy Kme unKl the child can achieve growth and undergo liver transplanta_on •  A considerable number of these paKents, even if Kasai portoenterostomy has been successful, eventually undergo liver transplantaKon •  Post operaKve medicaKon: –  Methylprednisolone should be given for it’s anK-inflammatory –  Ursodeoxycholic acid has also been shown to enhance bile flow. –  AnKbioKc prophylaxis in order to prevent cholangiKs postoperaKvely

Prognosis •  Prognosis is good if operated before 2 months of age •  Risk factors for failureà liver fibrosis &Post op cholangiKs episodes •  1/3rd of pts remain asymptomaKcà No transplant •  1/3 never have bile flow and require early transplant •  1/3 iniKally have good bile flow but subsequently develop cirrhosis •  Without surgery or liver transplant, life span – 19 months •  Death is due to liver failure, bleeding esophageal varices and sepsis

PARALISIS PLEKSUS BRAKIAL

Cedera Pleksus Brachialis •  Lesi pleksus brakhialis adalah lesi saraf yang menimbulkan kerusakan saraf yang membentuk pleksus brakhialis, mulai dari “radiks” saraf hingga saraf terminal. •  Keadaan ini dapat menimbulkan gangguan fungsi motorik, sensorik atau autonomic pada ekstremitas atas. •  IsKlah lain yang sering digunakan yaitu neuropaK pleksus brakhialis atau pleksopaK brakhialis Am Fam Physician. 2010 Jan 15;81(2):147-155.

EKologi 1. Trauma

Merupakan penyebab terbanyak lesi pleksus brakhialis pada orang dewasa maupun neonatus. Keadaan ini dapat berupa ; cedera tertutup, cedera terbuka, cedera iatrogenic.

2. Tumor

Dapat berupa tumor neural sheath yaitu ; neuroblastoma, schwannoma, malignant peripheral nerve sheath tumor dan meningioma. Tumor non-neural ; jinak (desmoid, lipoma), malignant ( kangker mammae dan kangker paru)

3. Radia_on-induced

Frekuensi cedera pleksus brachialis yang dipicu oleh radiasi diperkirakan sebanyak 1,8 – 4,9% dari lesi dan paling sering pada pasien kangker mammae dan paru.

4. Entrapment

Keadaan ini merupakan penyebab cedera pleksus brakhialis pada thoracic outlet syndrome. Faktor lain yaitu payudara berukuran besar yang dapat menarik dinding dada ke depan (anterior dan inferior).

5. Idiopa_k

Pada Parsonage Turner Syndrome terjadi pleksiKs tanpa diketahui penyebab yang jelas namun diduga terdapat infeksi virus yang mendahului. Presentasi klasik adalah nyeri dengan onset akut yang berlangsung selama 1 – 2 minggu dan kelemahan otot Kmbul lebih lambat. Nyeri biasanya hilang secara spontan dan pemulihan komplit terjadi dalam 2 tahun.

Sindroma Erb-Duchenne •  Lesi di radiks servikal atas (C5 dan C6) atau trunkus superior dan biasanya terjadi akibat trauma. •  Pada bayi biasanya akibat distosia bahu, orang dewasa terjadi karena jatuh pada bahu dengan kepala terlampau menekuk kesamping. •  Presentasi klinis pasien berupa waiter’s Kp posiKon dimana lengan berada dalam posisi adduksi (kelemahan otot deltoid dan supraspinatus), rotasi internal pada bahu (kelemahan otot teres minor dan infraspinatus), pronasi (kelemahan otot supinator dan brachioradialis) dan pergelangan tangan fleksi (kelemahan otot ekstensor karpi radialis longus dan brevis). •  Selain itu terdapat pula kelemahan pada otot biseps brakhialis, brakhialis, pektoralis mayor, subscapularis, rhomboid, levator scapula dan teres mayor. •  Refleks bisep biasanya menghilang, sedangkan hipestesi terjadi pada bagian luar (lateral) dari lengan atas dan tangan. Am Fam Physician. 2010 Jan 15;81(2):147-155.

Sindroma Klumpke’s Paralysis •  Lesi di radiks servikal bawah (C8, T1) atau trunkus inferior dimana penyebab pada bayi baru dilahirkan adalah karena penarikan bahu untuk mengeluarkan kepala, sedangkan pada orang dewasa biasanya saat mau jatuh dari keKnggian tangannya memegang sesuatu kemudian bahu tertarik. •  Presentasi klinis berupa deformitas clawhand (kelemahan otot lumbrikalis) sedangkan fungsi otot gelang bahu baik. •  Selain itu juga terdapat kelumpuhan pada otot fleksor carpi ulnaris, fleksor digitorum, interosei, tenar dan hipotenar sehingga tangan terlihat atrofi. •  Disabilitas motorik sama dengan kombinasi lesi n. Medianus dan ulnaris. •  Kelainan sensorik berupa hipestesi pada bagian dalam/ sisi ulnar dari lengan dan tangan. Am Fam Physician. 2010 Jan 15;81(2):147-155.

“claw hand”

Netter 1997

2006 Moore & Dalley COA

Am Fam Physician. 2010 Jan 15;81(2):147-155.

Lesi Pan-supraklavikular (radiks C5-T1 / semua trunkus) •  Pada lesi ini terjadi kelemahan seluruh otot ekstremitas atas, defisit sensorik yang jelas pada seluruh ekstremitas atas dan mungkin terdapat nyeri. •  Otot rhomboid, seratus anterior dan otot-otot spinal mungkin Kdak lemah tergantung dari letak lesi proksimal (radiks) atau lebih ke distal (trunkus). Am Fam Physician. 2010 Jan 15;81(2):147-155.

TRAUMA LAHIR EKSTRAKRANIAL

Trauma Lahir Ekstrakranial Kaput Suksedaneum •  Paling sering ditemui •  Tekanan serviks pada kulit kepala •  Akumulasi darah/serum subkutan, ekstraperiosteal •  TIDAK diperlukan terapi, menghilang dalam beberapa hari.

Perdarahan Subgaleal •  Darah di bawah galea aponeurosis •  Pembengkakan kulit kepala, ekimoses •  Mungkin meluas ke daerah periorbital dan leher •  Seringkali berkaitan dengan trauma kepala (40%).

Trauma Lahir Ekstrakranial: Sefalhematoma •  Perdarahan sub periosteal akibat ruptur pembuluh darah antara tengkorak dan periosteum •  EKologi: partus lama/obstruksi, persalinan dengan ekstraksi vakum, Benturan kepala janin dengan pelvis •  Paling umum terlihat di parietal tetapi kadang-kadang terjadi pada tulang oksipital •  Tanda dan gejala: –  massa yang teraba agak keras dan berfluktuasi; –  pada palpasi ditemukan kesan suatu kawah dangkal didalam tulang di bawah massa; –  pembengkakan Kdak meluas melewaK batas sutura yang terlibat

Trauma Lahir Ekstrakranial: Sefalhematoma •  Ukurannya bertambah sejalan dengan bertambahnya waktu •  5-18% berhubungan dengan fraktur tengkorak •  Umumnya menghilang dalam waktu 2 – 8 minggu •  Komplikasi: ikterus, anemia •  Kalsifikasi mungkin bertahan selama > 1 tahun. •  Catatan: Jangan mengaspirasi sefalohematoma meskipun teraba berfluktuasi •  Tatalaksana: •  Observasi pada kasus tanpa komplikasi •  Transfusi jika ada indikasi •  Fototerapi (tergantung dari kadar bilirubin total)

HIPOGLIKEMIA PADA NEONATUS

Hipoglikemia pada Neonatus •  Hipoglikemia adalah kondisi bayi dengan kadar glukosa darah <45 mg/dl (2.6 mmol/L), baik bergejala atau Kdak •  Hipoglikemia berat (<25 mg/dl) dapat menyebabkan palsi serebral, retardasi mental, dan lain-lain •  EKologi –  Peningkatan pemakaian glukosa (hiperinsulin): Neonatus dari ibu DM, Besar masa kehamilan, eritroblastosis fetalis –  Penurunan produksi/simpanan glukosa: Prematur, IUGR, asupan Kdak adekuat –  Peningkatan pemakaian glukosa: stres perinatal (sepsis, syok, asfiksia, hipotermia), defek metabolisme karbohidrat, defisiensi endokrin, dsb

•  Insulin dalam aliran darah fetus Kdak bergantung dari insulin ibu, tetapi dihasilkan sendiri oleh pankreas bayi •  Pada Ibu DM terjadi hiperglikemia dalam peredaran darah uteroplasental àbayi mengatasinya melalui hiperplasia sel B langerhans yang menghasilkan insulin à insulin Knggi •  Begitu lahir, aliran glukosa yang menyebabkan hiperglikemia Kdak ada, sedangkan insulin bayi tetap Knggi à hipoglikemia

Pedoman Pelayanan Medis IDAI 2010

Hipoglikemia •  Diagnosis –  Anamnesis: tremor, iritabilitas, kejang/koma, letargi/apaKs, sulit menyusui, apneu, sianosis, menangis lemah/melengking –  PF: BBL >4000 gram, lemas/letargi/kejang beberapa saat sesudah lahir –  Penunjang: Pemeriksaan glukosa darah baik strip maupun darah vena, reduksi urin, elektrolit darah

•  Penatalaksanaan –  Bolus 200 mg/kg dengan dextrosa 10% IV selama 5 menit –  Hitung Glucose Infusion Rate (GIR), 6-8 mg/kgBB/menit untuk mencapai GD maksimal. Dapat dinaikkan sampai maksimal 12mg/kgBB/menit –  Cek GD per 6 jam –  Bila hasil GD 36-47 mg/dl 2 kali berturut-turut + Infus dextrosa 10% –  Bila GD >47 mg/dl setelah 24 jam terapi, infus diturunkan bertahap 2mg/ kgBB/menit seKap jam –  Tingkatkan asupan oral

Pemantauan dan Skrining Hipoglikemia

PPM IDAI jilid 1

APCD

Acquired Prothrombine Complex Deficiency (APCD) dengan Perdarahan Intrakranial •  Sebelumnya disebut sebagai Hemorrhagic Disease of the Newborn (HDN) atau Vitamin K Deficiency Bleeding •  EKologinya adalah defisiensi vitamin K yang dialami oleh bayi karena : (1) Rendahnya kadar vitamin K dalam plasma dan cadangan di haK, (2) Rendahnya kadar vitamin K dalam ASI, (3) Tidak mendapat injeksi vitamin K1 pada saat baru lahir •  Mulai terjadi 8 hari-6 bulan, insidensi terKnggi 3-8 minggu •  80-90% bermanifestasi menjadi perdarahan intrakranial Pedoman Pelayanan Medis IDAI 2010

Hemorrhagic disease of newborn (HDN) Acquired prothrombrin complex deficiency (APCD) Stadium

Characteris_c

Early HDN

Occurs within 2 days and not more than 5 days of life. Baby born of mother who has been on certain drugs: anKconvulsant, anKtuberculous drug, anKbioKcs, VK antagonist anKcoagulant.

Classic HDN

Occurs during 2 to 7 day of life when the prothrombin complex is low. It was found in babies who do not received VKP or VK supplemented.

Vit K deficiency

Occurs within 2 days and not more than 5 days of life. Definite eKology inducing VKP is found in associaKon with bleeding: malabsorpKon of VK ie gut resecKon, biliary atresia, severe liver disease-induced intrahepaKc biliary obstrucKon.

Late HDN / APCD

Acquired bleeding disorder in the 2 week to 6 month age infant caused by reduced vitamin K dependent clo{ng factor (II, VII, IX, X) with a high incidence of intracranial hemorrhage and responds to VK.

Diagnosis APCD •  Diagnosis

–  Anamnesis : Bayi kecil yang sebelumnya sehat, Kba-Kba tampak pucat, malas minum, lemah. Tidak mendapat vitamin K saat lahir, konsumsi ASI, kejang fokal –  PF : Pucat tanpa perdarahan yang nyata. Tanda peningkatan tekanan intrakranial (UUB membonjol, penurunan kesadaran, papil edema), defisit neurologis fokal –  Pemeriksaan Penunjang : Anemia dengan trombosit normal, PT memanjang, APTT normal/memanjang. USG/CT Scan kepala : perdarahan intrakranial –  Pada bayi dengan kejang fokal, pucat, disertai UUB membonjol harus difikirkan APCD sampai terbukK bukan Buku PPM Anak IDAI

Tatalaksana APCD •  Pada bayi dengan kejang fokal, pucat, dan UUB membonjol, berikan tatalaksana APCD sampai terbukK bukan •  Vitamin K1 1 mg IM selama 3 hari berturut-turut •  Transfusi FFP 10-15 ml/kgBB selama 3 hari berturut-turut •  Transfusi PRC sesuai Hb •  Tatalaksana kejang dan peningkatan tekanan intrakranial (Manitol 0,5-1 g/kgBB/kali atau furosemid 1 mg/kgBB/kali) •  Konsultasi bedah syaraf •  Pencegahan : Injeksi Vitamin KI 1 mg IM pada semua bayi baru lahir Buku PPM Anak IDAI

KARDIOLOGI

PENYAKIT JANTUNG BAWAAN

Tekanan di dalam Jantung

Congenital Heart Disease Congenital HD

AcyanoKc

With ↑ volume load: - ASD - VSD - PDA - Valve regurgitaKon

With ↑ pressure load: - Valve stenosis - CoarctaKon of aorta

CyanoKc

With ↓ pulmonary blood flow: - ToF - Atresia pulmonal - Atresia tricuspid

1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed. 2. Pathophysiology of heart disease. 5t ed.

With ↑ pulmonary blood flow: - TransposiKon of the great vessels - Truncus arteriosus

Penyakit jantung kongenital •  AsianoKk: L-R shunt –  ASD: fixed spli>ng S2, murmur ejeksi sistolik –  VSD: murmur pansistolik –  PDA: con)nuous murmur

•  SianoKk: R-L shunt –  TOF: PS, VSD, overriding aorta, RVH. Boot like heart pada radiografi –  TGA hfp://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0002103/

Park MK. Pediatric cardiology for pracKKoners. Mosby; 2008.

CyanoKc Congenital HD CyanoKc lesions with ↓ pulmonary blood flow must include both: an obstruc_on to pulmonary blood flow & a shunt from R to L Common lesions: Tricuspid atresia, ToF, single ventricle with pulmonary stenosis The degree of cyanosis depends on: the degree of obstrucKon to pulmonary blood flow If the obstruc_on is mild: Cyanosis may be absent at rest These paKent may have hypercyano_c spells during condiKon of stress If the obstruc_on is severe: Pulmonary blood flow may be dependent on patency of the ductus arteriosus. When the ductus closes à hypoxemia & shock

CyanoKc Congenital HD CyanoKc lesions with ↑ pulmonary blood flow is not associated with obstrucKon to pulmonary blood flow

Cyanosis is caused by: Abnormal ventricular-arterial connec_ons: - TGA

Total mixing of systemic venous & pulmonary venous within the heart: - Common atrium or ventricle - Total anomolous pulmonary venous return - Truncus arteriosus

1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.

Tetralogi Fallot

Tet Spell/ HypercyanoKc Spell •  serangan biru yang terjadi secara mendadak •  Anak tampak lebih biru, pernapasan cepat, gelisah, kesadaran menurun, kadang-kadang disertai kejang. •  Serangan berlangsung 15-30 menit, biasanya teratasi secara spontan, tetapi serangan yang hebat dapat berakhir dengan koma, bahkan kemaKan •  Biasanya muncul usia 6-12 bulan, tapi bisa muncul usia 2-4 bulan •  ToF yang Kpikal biasanya memiliki tekanan pada ventrikel kiri dan kanan yang sama besar, sehinggan Kngkat sianosis dan terjadinya tet spell ditentukan dari systemic vascular resistance dan derajat keparahan komponen stenosis pulmonal. PPM IDAI Jilid I

Pelepasan katekolamine

takikardia

increased myocardial contracKlity + infundibular stenosis.

menangis, BAB, demam, akKvitas yg meningkat

VICIOUS CYCLE

aliran balik vena sistemik meningkat shg resistensi vaskular pulmonal meningkat (a€erload pulmonal meningkat) + resistensi vaskular sistemik rendah

Right-to-le€ shunt meningkat

aliran darah ke paru berkurang secara Kba-Kba

TET SPELL HYPERCYANOTIC SPELL

KEMATIAN

sianosis progresif penurunan PO2 dan peningkatan PCO2 arteri à penurunan pH darah

SKmulasi pusat pernapasan di reseptor karoKs + nucleus batang otak

hiperpnoea

Tatalaksana Tet Spell •  Knee chest posiKon/ squa{ng –  Diharapkan aliran darah paru bertambah karena peningkatan resistensi vaskular sistemik dan a€erload aorta akibat penekukan arteri femoralis

•  Morfin sulfat 0,1-0,2 mg/kgBB SC, IM, atau IV untuk menekan pusat pernapasan dan mengatasi takipnea •  Natrium bikarbonat 1 mEq/kgBB IV untuk mengatasi asidosis. Dosis yang sama dapat diulang dalam 10-15 menit. PPM IDAI Jilid I

AcyanoKc Congenital HD: General Pathophysiology

With ↑ volume load

Clinical Findings

The most common: le€ to right shunKng

e.g. ASD, VSD, PDA

Blood back into the lungs

↓ compliance & ↑ work of breathing

Fluid leaks into the intersKKal space & alveoly

Pulmonary edema, tachypnea, chest retracKon, wheezing

High level of ventricular output -> ↑sympatheKc nervous system

↑ Heart rate & stroke volume ↑Oxygen consumpKon -> sweaKng, irritability, FTT Remodelling: dilataKon & hypertrophy

If le€ untreated, ↑ volume load will increase pulmonary vascular resistance

Eventually leads to Eisenmenger Syndrome

1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.

AcyanoKc Congenital HD: General Pathophysiology

With ↑ pressure load

Clinical Findings

ObstrucKon to normal blood flow: pulmonic stenosis, aorKc

Murmur PS & PS: systolic murmur;

stenosis, coarctaKon of aorta.

Hypertrophy & dilataKon of ventricular wall

Defect locaKon determine the symptoms

1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.

DilataKon happened in the later stage Severe pulmonic stenosis in newborn à right-sided HF (hepatomegaly, peripheral edema) Severe aorKc stenosis à le€sided (pumonary edema, poor perfusion) & right-sided HF

Ventricular Septal Defect

VSD:

Pathophysiology & Clinical Findings Flow across VSD

Pansystolic murmur & thrill over le€ lower sternum.

Over flow across mitral valve

If defect is large à 3rd heart sound & mid diastolic rumble at the apex.

LA, LV, RV volume overload

ECG: Le€ ventricular hypertrophy or biventricular hypertrophy, peaked/ notched P wave Ro: gross cardiomegaly

High systolic pressure & high flow to the lungs à pulmonary hypertension

Dyspnea, feeding difficulKes, poor growth, profuse perspiraKon, pneumonia, heart failure. Duskiness during crying or infecKon Ph/: increased of 2nd heart sound

1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.

VSD: Pathophysiology & Clinical Findings •  cardiomegaly with prominence of –  both ventricles, –  the le€ atrium, & –  the pulmonary artery.

•  ↑ pulmonary vascular marking

1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.

Atrial Septal Defect

ASD:

Pathophysiology & Clinical Findings The degree of L-to-R shun_ng is dependent on: - the size of the defect, - the relaKve compliance of the R and L ventricles, & - the relaKve vascular resistance in the pulmonary & systemic circulaKons

Infant has thick & less compliant RV à minimal symptoms As children grow older: subtle failure to thrive, faKgue, dyspneu on effort, recurrent respiratory tract infecKon

Overflow in the right side of heart

Enlargement of the RA & RV DilataKon of the pulmonary artery The LA may be enlarged

Pulmonary vascular resistance may begin to increase in adulthood à reversal of the shunt & cyanosis 1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.

ASD:

Pathophysiology & Clinical Findings Increased flow into right side of the heart & lungs

Ro: - enlargement of RV, RA, & pulmonary artery - increased vasvular marking

Constant increased of ventricular diastolic volume

Wide, fixed 2nd heart sound spli{ng

Increased flow across tricuspid valve

Mid-diastolic murmur at the lower le€ sternal border

Increased flow across pulmonary valve

Thrill & systolic ejecKon murmur, best heard at le€ middle & upper sternal border

Flow across the septal defect doesn’t produce murmur because the pressure gap between LA & RA is not significant 1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed.

ASD:

Pathophysiology & Clinical Findings

•  ↑ size of the main pulmonary artery •  ↑ size of the right atrium •  ↑ size of the right ventricle (seen best on the lateral view as so€ Kssue filling in the lower & middle retrosternal space). 1. Nelson’s textbook of pediatrics. 18th ed. 2. EssenKals of Radiology. 2nd ed.

Patent Ductus Arteriosus

Coarctasio of Aorta

Sindrom Eisenmenger •  Suatu kondisi dimana defek jantung kongenital yang Kdak dikoreksi menyebabkan hipertensi pulmonal yang ireversibel, reversal flow, dan sianosis •  Pirau dari kiri ke kanan berubah menjadi kanan ke kiri akibat meningkatnya tekanan arteri pulmonal. •  50% dari VSD besar yg Kdak dikoreksi dan 10% dari pasien dgn ASD besar tdk dikoreksi, serta hampir semua pasien truncus arteriosus berpotensi mengalami sindrom eisenmenger

Gejala GEJALA HIPERTENSI PULMONAL: •  Sesak napas •  FaKgue •  Letargi •  Toleransi laKhan fisik berkurang dengan fase pemulihan yg lambat •  Presyncope •  Syncope GEJALA GAGAL JANTUNG: •  DOE •  Orthopnea •  Paroxysmal nocturnal dyspnea •  Edema •  Ascites •  Anorexia •  Nausea

GEJALA ERYTHROCYTOSIS: •  Myalgias •  Anorexia •  FaKgue •  Paresthesia jari-jari dan bibir •  Tinnitus •  Pandangan kabur •  Nyeri kepala & pusing •  Irritabilitas GEJALA VASODILATASI: •  Presyncope •  Syncope

Tanda •  Sianosis sentral •  Clubbing finger/ jari tabuh •  Palpasi prekordial didapatkan adanya ventricular heave kanan dan palpable S2. •  Suara P2 yang keras •  High-pitched early diastolic murmur dari insufiensi pulmonal •  Right-sided fourth heart sound •  Pulmonary ejec)on click •  Single S2

Tatalaksana Jaga fluid balance Gagal jantung kanan: diureKk utk mengurangi gejala kongesKf Pulmonary vasodilaKng agents: fosfodiesterase, prostasiklin Eritrositosis à flebotomi Bedah paliaKf: –  Kdak ada bedah korekKf yang bisa mengkoreksi kelainan kongenital (defek primer) yang telah menyebabkan eisenmenger syndrome –  Heart-lung transplantaKon and single or bilateral, sequenKal lung transplantaKon are viable transplant procedures and are the only surgical opKons for a paKent with Eisenmenger syndrome. •  Untuk ps. Wanita disarankan jangan hamil (mother mortality rate 50%) è ligasi tuba •  •  •  •  • 

Prognosis •  Eisenmenger syndrome bersifat fatal; tetapi sebagian kecil pasien berhasil bertahan hidup hingga dekade keenam. •  Angka harapan hidup biasanya sekitar 20-50 tahun jika didiagnosa awal dan ditatalaksana maksimal.

Kawasaki disease •  Penyakit kawasaki merupakan sindrom vasculiKs akut yang terjadi pada fase akut demam •  EKologi dari kasus ini belum diketahui secara jelas hingga saat ini •  Insidensi terKnggi terdapat pada anak-anak Asia, khususnya dari Jepang •  Proporsinya lebih banyak pada pria, yaitu dengan rasio lakilaki:perempuan = 1.5:1 •  Terjadi banyak pada anak yang berusia <5 tahun •  Case fatality rate diketahui rendah selama belum menyebabkan komplikasi berupa coronary artery aneurysms •  Pada <5% kasus dapat menyebabkan komplikasi acute coronary syndrome saat usia <40 tahun Diagnosis, Treatment, and Long-Term Management of Kawasaki Disease, AHA 2017

Patofisiologi Kawasaki disease •  KarakterisKk dari penyakit kawasaki ini adalah inflamasi sistemik yang terjadi pada pembuluh darah arteri berukuran sedang di semua organ dan jaringan. •  Inflamasi ini terjadi selama fase akut demam, sehingga dapat menyebabkan masalah di haK (hepaKKs), paru-paru (pneumoniKs intersisial), saluran cerna (nyeri perut, muntah, diare, hidrops gallbladder), meninges (meningiKs), jantung (miokardiKs, perikardiKs, valvuliKs), traktus urinarius (pyuria), pankreas (pankreaKKs), dan nodul limfe (limfadenopaK) •  Penyakit kawasaki ini terjadi melalui 3 proses patologis, yaitu: 1. NecroKzing arteriKs: proses neutrofilia yang merusak pembuluh darah arteri secara progressif hingga ke tunika advenKsiaàmenimbulkan aneurisma 2. VaskuliKs subakut/kronis: infiltrasi limfosit, sel plasma, eosinofil, dan sebagian kecil makrofag pada 2 minggu pertama setelah onset demam, yang dapat berlangsung hingga beberapa bulan dan tahun 3. Luminal myofibroblasKc proliferaKon (LMP): terjadi proses myofibroblasKc dari otot polos yang menyebabkan stenosis arteri progresif

Diagnosis, Treatment, and Long-Term Management of Kawasaki Disease, AHA 2017

Gejala Klinis Penyakit Kawasaki

ConjuncKviKs: Bulbar conjuncKval injecKon without exudate; bilateral

Rash: Maculopapular, diffuse erythroderma, or erythema multiforme-like Diagnosis, Treatment, and Long-Term Management of Kawasaki Disease, AHA 2017

Oral changes: Erythema and cracking of lips (cheiliKs); strawberry tongue; erythema of oral andpharyngeal mucosa

Gejala Klinis Penyakit Kawasaki

Palmar eritema Cervical adenopathy: Usually unilateral, node ≥1.5 cm in diameter

Plantar eritema

Diagnosis, Treatment, and Long-Term Management of Kawasaki Disease, AHA 2017

Diagnosis Kawasaki Disease Based on Diagnosis, Treatment, and Long-Term Management of Kawasaki Disease 2017

Diagnosis, Treatment, and Long-Term Management of Kawasaki Disease, AHA 2017

Kawasaki Disease Inkomplit •  Kriteria diatas sayangnya Kdak selalu terpenuhi dan seringkali Kdak dapat mengidenKfikasi adanya suatu penyakit kawasaki. •  Penyakit kawasaki harus selalu diperKmbangkan pada anak yang memiliki demam prolonged yang Kdak dapat dijelaskan •  Selain itu, demam dengan karakterisKk penyakit kawasaki yang Kdak memenuhi kriteria diagnosis, jika sudah terdapat bukK aneurisma arteri koroner sudah dapat dianggap sebagai penyakit kawasaki •  Pasien yang tergolong dalam penyakit kawasaki inkomplit ini adalah anak dengan demam dan gejala klinis yang khas kawasakii, hanya saja belum memenuhi kriteria diagnosis

Diagnosis Kawasaki Disease Inkomplit Based on Diagnosis, Treatment, and Long-Term Management of Kawasaki Disease 2017

Diagnosis, Treatment, and Long-Term Management of Kawasaki Disease, AHA 2017

Tatalaksana Kawasaki Disease Based on Diagnosis, Treatment, and Long-Term Management of Kawasaki Disease 2017

•  Prinsip tatalaksananya adalah mengurangi inflamasi dan kerusakan arteri, serta mencegah trombosis pada mereka yang memiliki abnormalitas arteri koroner •  DOC: Intravenous Immunoglobulin (IVIG) dalam 10 hari pertama sejak onset penyakit •  Jika sudah lebih dari 10 hari dapat tetap diberikan jika CRP>3mg/dl •  Dosis: 2 g/kg as a single infusion, selama 10-12 jam dan diberikan bersama asam aseKlsalisilat 30-50 mg/kgBB/hari dibagi 4 dosis •  Setelah anak sudah Kdak demam selama 48-72 jam, dosis asam aseKlsalisilat mulai diturunkan secara perlahan

Diagnosis, Treatment, and Long-Term Management of Kawasaki Disease, AHA 2017

NUTRISI PEDIATRIK

ANTROPOMETRIK

Pemeriksaan Antropometrik BB/U (WHO-NCHS) •  Merupakan interpretasi pertumbuhan yang bersifat akut.

–  80-120% : gizi baik –  60-80% : gizi kurang(edem - ), buruk (edem + ) –  < 60% : gizi buruk

TB/U (WHO-NCHS) •  Merupakan penentuan status nutrisi yang bersifat akut –  90-110% : TB baik/normal –  70-90% : TB kurang –  < 70% : TB sangat kurang



BB/TB (WHO-NCHS) •  Merupakan penentuan status nutrisi paling akurat –  BB/TB(%) =(BB terukur saat itu/ BB baku~TB terukur saat itu) x 100% –  Interpretasi •  •  •  •  • 

> 120 : kegemukan/obesitas 110-120% : overweight 90-110% : normal 70-90 % : gizi kurang < 70 % : gizi buruk

GIZI BURUK

Malnutrisi Energi Protein •  Malnutrisi: KeKdakseimbangan seluler antara asupan dan kebutuhan energi dan nutrien tubuh untuk tumbuh dan mempertahankan fungsinya (WHO) •  Dibagi menjadi 3: –  Overnutri)on (overweight, obesitas) –  Undernutri)on (gizi kurang, gizi buruk) –  Defisiensi nutrien spesifik

•  Malnutrisi energi protein (MEP):

–  MEP derajat ringan-sedang (gizi kurang) –  MEP derajat berat (gizi buruk)

•  Malnutrisi energi protein berdasarkan klinis: –  Marasmus –  Kwashiorkor –  Marasmik-kwashiorkor

Sjarif DR. NutriKon management of well infant, children, and adolescents. Scheinfeld NS. Protein-energy malnutriKon. hfp://emedicine.medscape.com/arKcle/1104623-overview

Marasmus §  wajah seperK orang tua §  kulit terlihat longgar §  tulang rusuk tampak terlihat jelas §  kulit paha berkeriput §  terlihat tulang belakang lebih menonjol dan kulit di pantat berkeriput ( baggy pant )

Kwashiorkor §  edema §  rambut kemerahan, mudah dicabut §  kurang ak_f, rewel/cengeng §  pengurusan otot §  Kelainan kulit berupa bercak merah muda yg meluas & berubah warna menjadi coklat kehitaman dan terkelupas (crazy pavement dermatosis)

Marasmik-kwashiorkor •  Terdapat tanda dan gejala klinis marasmus dan kwashiorkor secara bersamaan

Kriteria Gizi Kurang dan Gizi Buruk •  Z-score → menggunakan kurva WHO weight-forheight •  <-2 – moderate wasted •  <-3 – severe wasted è gizi buruk

•  Lingkar Lengan Atas < 11,5 cm

•  BB/IBW (Ideal Body Weight) → menggunakan kurva CDC •  ≥80-90% ⇒ mild malnutriKon •  ≥70-80% ⇒ moderate malnutriKon •  ≤70% ⇒ severe malnutriKon è Gizi Buruk

Kwashiorkor Protein ê Serum Albumin ê Tekanan osmoKk koloid serum ê Edema

Marasmus Karbohidrat ê Pemecahan lemahé

+ pemecahan proteiné

Lemak subkutan ê Muscle wasKng, kulit keriput Turgor kulit berkurang

Emergency Signs in Severe MalnutriKon •  Dibutuhkan _ndakan resusitasi •  Tanda gangguan airway and breathing : –  Tanda obstruksi –  Sianosis –  Distress pernapasan

•  Tanda dehidrasi berat → rehidrasi secara ORAL. Dehidrasi berat sulit dinilai pada malnutrisi berat. Terdapat risiko overhidrasi •  Tanda syok : letargis, penurunan kesadaran –  Berikan rehidrasi parenteral (Resusitasi Cairan)

Cause difference MARASMUS

KWASHIORKOR

Marasmus is mulK nutriKonal deficiency

Kwashiorkor occurs due to the lack of proteins in a person's diet

Marasmus usually affects very young children

Kwashiorkor affects slightly older children mainly children who are weaned away from their mother's milk

Marasmus is usually the result of a gradual process

Kwashiorkor can occur rapidly

10 Langkah Utama Penatalaksaan Gizi Buruk No Tindakan Stabilisasi Transisi Rehabilitasi Tindaklanjut H 1-2 H 3-7 H 8-14 mg 3-6 mg 7-26 1. Atasi/cegah hipoglikemia 2. Atasi/cegah hipotermia 3. Atasi/cegah dehidrasi 4. Perbaiki gangguan elektrolit 5. Oba_ infeksi 6. Perbaiki def. nutrien mikro tanpa Fe + Fe 7. Makanan stab & trans 8. Makanan Tumb.kejar 9. S_mulasi 10. Siapkan _ndak lanjut

HIPOGLIKEMIA •  Semua anak dengan gizi •  Jika anak Kdak sadar, beri buruk berisiko hipoglikemia larutan glukosa 10% IV (< 54 mg/dl) bolus 5 ml/kg BB, atau larutan glukosa/larutan gula •  Jika Kdak memungkinkan pasir 50 ml dengan NGT. periksa GDS, maka semua •  Lanjutkan pemberian F-75 anak gizi buruk dianggap hipoglikemia seKap 2–3 jam, siang dan malam selama minimal dua •  Segera beri F-75 pertama, hari. bila Kdak dapat disediakan dengan cepat, berikan 50 ml glukosa/ gula 10% (1 sendok teh munjung gula dalam 50 ml air) oral/NGT.

Ketentuan Pemberian Makan Awal •  Makanan dalam jumlah sedikit tetapi sering dan rendah osmolaritas serta rendah laktosa •  Berikal secara oral atau melalui NGT, hindari pemberian parenteral •  Formula awal F-75 diberikan sesuai standar WHO dan sesuai jadwal makan yang dibuat untuk mencukupi kebutuhan zat gizi pada fase stabilisasi •  Jika anak masih mendapat ASI, lanjutkan, tetapi pasKkan bahwa jumlah F-75 yang dibutuhkan harus dipenuhi •  Apabila pemberian makan oral Kdak mencapai kebutuhan minimal, berikan sisanya melalui NGT •  Pada fase transisi, secara bertahap gan_ F-75 dengan F-100 Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO. 2008

Pemberian Makanan •  Fase stabilisasi (Inisiasi) –  Energi: 80-100 kal/kg/hari –  Protein: 1-1,5 gram/kg/hari –  Cairan: 130 ml/kg/hari atau 100 ml/kg/hari (edema)

•  Fase transisi –  Energi: 100-150 kal/kg/hari –  Protein: 2-3 gram/kg/hari

•  Fase rehabilitasi –  Energi: 150-220 kal/kg/hari –  Protein: 3-4 gram/kg/hari

HIPOTERMIA (Suhu aksilar < 35.5° C) •  PasKkan bahwa anak berpakaian (termasuk kepalanya). Tutup dengan selimut hangat dan letakkan pemanas/ lampu di dekatnya, atau lakukan metode kanguru. •  Ukur suhu aksilar anak seKap 2 jam s.d suhu menjadi 36.5° C/lbh. •  Jika digunakan pemanas, ukur suhu Kap setengah jam. HenKkan pemanasan bila suhu mencapai 36.5° C

DEHIDRASI •  Jangan gunakan infus untuk rehidrasi, kecuali pada kasus dehidrasi berat dengan syok. •  Beri ReSoMal, secara oral atau melalui NGT –  beri 5 ml/kgBB seKap 30 menit untuk 2 jam pertama –  setelah 2 jam, berikan ReSoMal 5–10 ml/kgBB/ jam berselang-seling dengan F-75 dengan jumlah yang sama, seKap jam selama 10 jam.

Atasi Infeksi • Anggap semua anak dengan gizi buruk mengalami infeksi saat mereka datang dan segera diberi anKbioKk. PILIHAN ANTIBIOTIK SPEKTRUM LUAS • Jika )dak ada komplikasi atau )dak ada infeksi nyata à Kotrimoksazol PO (25 mg SMZ + 5 mg TMP/kgBB/12 jam selama 5 hari.

•  Jika ada komplikasi (hipoglikemia, hipotermia, atau anak terlihat letargis atau tampak sakit berat), atau jelas ada infeksi à Ampisilin (50 mg/kgBB IM/IV/6 jam selama 2 hari), dilanjutkan Amoksisilin PO (15 mg/kgBB/8 jam selama 5 hari) ATAU Ampisilin PO (50 mg/kgBB/6 jam selama 5 hari) sehingga total selama 7 hari, DITAMBAH Gentamisin (7.5 mg/ kgBB/hari IM/IV) seKap hari selama 7 hari.

Atasi Infeksi •  Jika anak )dak membaik dalam waktu 48 jam, tambahkan Kloramfenikol (25 mg/kgBB IM/IV seKap 8 jam) selama 5 hari. •  Jika diduga meningiKs, lakukan pungsi lumbal untuk memasKkan dan obaK dengan Kloramfenikol (25 mg/kg seKap 6 jam) selama 10 hari.

Mikronutrien Asam folat (5 mg pada hari 1, dan selanjutnya 1 mg/hari) Seng (2 mg Zn elemental/kgBB/hari) Tembaga (0.3 mg Cu/kgBB/hari) Ferosulfat 3 mg/kgBB/hari setelah berat badan naik (mulai fase rehabilitasi) •  Vitamin A diberikan secara oral pada hari ke 1 dengan: •  •  •  • 

•  Jika ada gejala defisiensi vitamin A, atau pernah sakit campak dalam 3 bulan terakhir, beri vitamin A dengan dosis sesuai umur pada hari ke 1, 2, dan 15.

PEDIATRIK SOSIAL

IMUNISASI

Jadwal Imunisasi Anak Umur 0 – 18 tahun Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Tahun 2014 Umur pemberian vaksin Jenis vaksin Hepatitis B Polio BCG DTP Hib PCV Rotavirus Influenza Campak MMR Tifoid Hepatitis A Varisela HPV

Lahir

1

1

2

0

2

3

4

Bulan 5 6

9

12

15

18

24

3

5

6

Tahun 7 8

10

12

18

3 1

2

3

1

2

3

1

2

3

1

2

3

1

2

3

4

5

4

5

1 kali 6 (Td)

7(Td)

4 4 Ulangan 1 kali tiap tahun 1

Keterangan Cara membaca kolom umur: misal 2 berarti umur 2 bulan (60 hari) sd 2 bulan 29 hari (89 hari) Rekomendasi imunisasi berlaku mulai 1 Januari 2014 dan dapat diakses pada website IDAI (http:// idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-anak-idai.html) Untuk memahami tabel jadwal imunisasi perlu membaca keterangan tabel 1. Vaksin hepatitis B. Paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir dan didahului pemberian suntikan vitamin K1. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, diberikan vaksin hepatitis B dan imunoglobulin hepatitis B (HBIg) pada ekstremitas yang berbeda. Vaksinasi hepatitis B selanjutnya dapat menggunakan vaksin hepatitis B monovalen atau vaksin kombinasi. 2. Vaksin polio. Pada saat lahir atau pada saat bayi dipulangkan harus diberikan vaksin polio oral (OPV-0). Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3 dan polio booster dapat diberikan vaksin OPV atau IPV, namun sebaiknya paling sedikit mendapat satu dosis vaksin IPV. 3. Vaksin BCG. Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum 3 bulan, optimal umur 2 bulan. Apabila diberikan sesudah umur 3 bulan, perlu dilakukan uji tuberkulin. 4. Vaksin DTP. Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada umur 6 minggu. Dapat diberikan vaksin DTwP atau DTaP atau kombinasi dengan vaksin lain. Untuk anak umur lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td, dibooster setiap 10 tahun. 5. Vaksin campak. Vaksin campak kedua tidak perlu diberikan pada umur 24 bulan, apabila MMR sudah diberikan pada 15 bulan.

2 1

3 2 Ulangan tiap 3 tahun 2 kali, interval 6-12 bulan 1 kali 3 kali

6. Vaksin pneumokokus (PCV). Apabila diberikan pada umur 7-12 bulan, PCV diberikan 2 kali dengan interval 2 bulan; pada umur lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali, namun keduanya perlu booster 1 kali pada umur lebih dari 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada anak umur di atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali. 7. Vaksin rotavirus. Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, vaksin rotavirus pentavalen diberikan 3 kali. Vaksin rotavirus monovalen dosis I diberikan umur 6-14 minggu, dosis ke-2 diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Sebaiknya vaksin rotavirus monovalen selesai diberikan sebelum umur 16 minggu dan tidak melampaui umur 24 minggu. Vaksin rotavirus pentavalen : dosis ke-1 diberikan umur 6-14 minggu, interval dosis ke-2 dan ke-3, 4-10 minggu; dosis ke-3 diberikan pada umur kurang dari 32 minggu (interval minimal 4 minggu). 8. Vaksin varisela. Vaksin varisela dapat diberikan setelah umur 12 bulan, terbaik pada umur sebelum masuk sekolah dasar. Apabila diberikan pada umur lebih dari 12 tahun, perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu. 9. Vaksin influenza. Vaksin influenza diberikan pada umur minimal 6 bulan, diulang setiap tahun. Untuk imunisasi pertama kali (primary immunization) pada anak umur kurang dari 9 tahun diberi dua kali dengan interval minimal 4 minggu. Untuk anak 6 - < 36 bulan, dosis 0,25 mL. 10. Vaksin human papiloma virus (HPV). Vaksin HPV dapat diberikan mulai umur 10 tahun. Vaksin HPV bivalen diberikan tiga kali dengan interval 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV tetravalen dengan interval 0,2,6 bulan.

Jadwal Imunisasi Anak Usia 0 – 18 Tahun Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Tahun 2017 Usia Imunisasi Hepatitis B Polio BCG DTP Hib PCV Rotavirus Influenza Campak MMR Tifoid Hepatitis A Varisela HPV Japanese encephalitis Dengue Keterangan Cara membaca kolom usia : misal

Lahir 1

1 0

2 2 1

3 3 2

4 4 3

1 1 1 1

2 2

3 3 2 2

Bulan 5 6

9

12

15

18

24

3

5

6

7

Tahun 8

9

10

12

18

4

1 kali 4

6 (Td/Tdap)

5

7 (Td)

4 3 3a

4

1

2 berarti usia 2 bulan (60 hari) s.d. 2 bulan 29 hari (89 hari) Rekomendasi imunisasi berlaku mulai Januari 2017 Dapat diakses pada website IDAI (http:// idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-anak-idai.html) a Vaksin rotavirus monovalen tidak perlu dosis ke-3 (lihat keterangan) b Apabila diberikan pada remaja usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antibodi setara dengan 3 dosis (lihat keterangan) Optimal Catch-up Booster Daerah Endemis Untuk memahami tabel jadwal imunisasi perlu membaca keterangan tabel 1. Vaksin hepatitis B (HB). Vaksin HB pertama (monovalen) paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir dan didahului pemberian suntikan vitamin K1 minimal 30 menit sebelumnya. Jadwal pemberian vaksin HB monovalen adalah usia 0,1, dan 6 bulan. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, diberikan vaksin HB dan imunoglobulin hepatitis B (HBIg) pada ekstremitas yang berbeda. Apabila diberikan HB kombinasi dengan DTPw, maka jadwal pemberian pada usia 2, 3, dan 4 bulan. Apabila vaksin HB kombinasi dengan DTPa, maka jadwal pemberian pada usia 2, 4, dan 6 bulan. 2. Vaksin polio. Apabila lahir di rumah segera berikan OPV-0. Apabila lahir di sarana kesehatan, OPV-0 diberikan saat bayi dipulangkan. Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3, dan polio booster diberikan OPV atau IPV. Paling sedikit harus mendapat satu dosis vaksin IPV bersamaan dengan pemberian OPV-3. 3. Vaksin BCG. Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum usia 3 bulan, optimal usia 2 bulan. Apabila diberikan pada usia 3 bulan atau lebih, perlu dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. 4. Vaksin DTP. Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada usia 6 minggu. Dapat diberikan vaksin DTPw atau DTPa atau kombinasi dengan vaksin lain. Apabila diberikan vaksin DTPa maka interval mengikuti rekomendasi vaksin tersebut yaitu usia 2, 4, dan 6 bulan. Untuk anak usia lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td atau Tdap. Untuk DTP 6 dapat diberikan Td/Tdap pada usia 10-12 tahun dan booster Td diberikan setiap 10 tahun.

2 1

Ulangan 1 kali setiap tahun 3 2 Ulangan setiap 3 tahun 2 kali, interval 6 – 12 bulan 1 kali 2 atau 3 kalib

1

2 3 kali, interval 6 bulan 5. Vaksin pneumokokus (PCV). Apabila diberikan pada usia 7-12 bulan, PCV diberikan 2 kali dengan interval 2 bulan; dan pada usia lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya perlu booster pada usia lebih dari 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada anak usia di atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali. 6. Vaksin rotavirus. Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14 minggu (dosis pertama tidak diberikan pada usia > 15 minggu), dosis ke-2 diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Batas akhir pemberian pada usia 24 minggu. Vaksin rotavirus pentavalen diberikan 3 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14 minggu (dosis pertama tidak diberikan pada usia > 15 minggu), dosis kedua dan ketiga diberikan dengan interval 4-10 minggu. Batas akhir pemberian pada usia 32 minggu. 7. Vaksin influenza. Vaksin influenza diberikan pada usia lebih dari 6 bulan, diulang setiap tahun. Untuk imunisasi pertama kali (primary immunization) pada anak usia kurang dari 9 tahun diberi dua kali dengan interval minimal 4 minggu. Untuk anak 6-36 bulan, dosis 0,25 mL. Untuk anak usia 36 bulan atau lebih, dosis 0,5 mL. 8. Vaksin campak. Vaksin campak kedua (18 bulan) tidak perlu diberikan apabila sudah mendapatkan MMR. 9. Vaksin MMR/MR. Apabila sudah mendapatkan vaksin campak pada usia 9 bulan, maka vaksin MMR/MR diberikan pada usia 15 bulan (minimal interval 6 bulan). Apabila pada usia 12 bulan belum mendapatkan vaksin campak, maka dapat diberikan vaksin MMR/MR. 10. Vaksin varisela. Vaksin varisela diberikan setelah usia 12 bulan, terbaik pada usia sebelum masuk sekolah dasar. Apabila diberikan pada usia lebih dari 13 tahun, perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu. 11. Vaksin human papiloma virus (HPV). Vaksin HPV diberikan mulai usia 10 tahun. Vaksin HPV bivalen diberikan tiga kali dengan jadwal 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV tetravalen dengan jadwal 0,2,6 bulan. Apabila diberikan pada remaja usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antibodi setara dengan 3 dosis. 12. Vaksin Japanese encephalitis (JE). Vaksin JE diberikan mulai usia 12 bulan pada daerah endemis atau turis yang akan bepergian ke daerah endemis tersebut. Untuk perlindungan jangka panjang dapat diberikan booster 1-2 tahun berikutnya. 13. Vaksin dengue. Diberikan pada usia 9-16 tahun dengan jadwal 0, 6, dan 12 bulan.

Cara membaca kolom usia: misal 2 berarK usia 2 bulan (60 hari) s.d 2 bulan 29 hari (89 hari) aVaksin rotavirus monovalen Kdak perlu dosis ke-3 (lihat keterangan) bApabila diberikan pada remaja 10-13 tahun pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan, respon anKbody sama dengan 3 dosis (lihat keterangan) opKmal catchup booster daerah endemis 1.  Vaksin HepaKKs B: vaksin HB pertama (monovalen) paling baik diberikan dalam 12 jam setelah lahir, didahului pemberian vitamin K, minimal 30 menit sebelumnya, jadwal pemberian vaksin HB monovalen adalah usia 0, 1 dan 6 bulan. Bayi lahir dari ibu HBsAg posiKf diberikan vaksin HB dan IG hep B (HbIg) pada extremitas berbeda. Apabila diberikan HB kombinasi dengan DTPw maka jadwal pemberian pada usia 2,3, dan 4 bulan. Apabila vaksin HB kombinasi dengan DTPa maka jadwal pemberian pada usia 2, 4, dan 6 bulan. 2.  Vaksin polio: apabila lahir di rumah segera berikan OPV-0. Apabila lahir di sarana kesehatan OPV-0 diberikan saat dipulangkan. Untuk polio 1,2, dan 3 dan booster diberikan OPV atau IPV. Paling sedikit harus mendapat satu dosis IPV bersamaan dengan OPV-3 3.  Vaksin BCG: pemberian sebelum usia 3 bulan, opKmal usia 2 bulan. Apabila diberikan usia 3 bulan atau lebih perlu diuji tuberkulin

4.  Vaksin DTP: DTP 1 paling cepat usia 6 minggu, dapat diberikan DTPW atau DTPa atau kombinasi dengan vaksin lain. Apabila DTPa maka interval 2,4,6 bulan. Untuk usia lebih 7 tahundiberikan vaksin Td atau Tdap. Untuk DTP 6 dapat diberikan Td/Tdap pada usia 10-12 tahun dan booster Td diberikan seKap 10 tahun 5.  Vaksin pneumokokkus (PCV): apabila diberikan pada usia 7-12 bulan, PCV diberikan 2 kali dengan interval 2 bulan dan pada usia lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya perlu booster pada usia lebih dari 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis terakhir. Anak diatas 2 tahun PCV cukup 1 kali 6.  Vaksin rotavirus. Monovalen diberikan 2 kali, dosis pertama 6-14 minggu, kedua diberikan interval minimal 4 minggu, batas akhir pemberian pada 24 minggu. Pentavalen diberikan 3 kali, dosis pertama 6-14 minggu, dosis kedua dan keKga interval 4-10 minggu, batas akhir pemberian pada 32 minggu 7.  Vaksin influenza: diberikan pada usia lebih dari 6 bulan, diulang seKap tahun. Untuk imunisasi pertama anak kurang dari 9 tahun diberikan dua kali dengan interval minimal 4 minggu. Untuk anak usia 6-36 bulan, dosis 0,25 mL. untuk anak usia 36 bulan atau lebih, dosis 0,5 mL

8.  Vaksin campak: campak kedua (18 bulan) Kdak perlu diberikan bila sudah mendapat MMR 9.  MMR/MR: apabila sudah mendapatkan pada usia 9 bulan maka diberikan pada usia 15 bulan (interval minimal 6 bulan). Apabila usia 12 bulan belum vaksin campak, dapat diberikan MMR/MR 10. Varisela: diberikan setelah usia 12 bulan, terbaik sebelum masuk SD. Apabila lebih dari 13 tahun perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu 11. HPV: diberikan mulai usia 10 tahun, bivalen jadwal 3 kali 0,1,6 bulan. Tetravalen 0,2,6 bulan. Bila diberikan usia 10-13 tahun, cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan 12. Japanese EncephaliKs: diberikan mulai usia 12 bulan pada daerah endemic atau turis yang akan ke daerah endemic. Perlindungan jangka panjang diberikan booster 1-2 tahun berikutnya 13. Vaksin dengue: diberikan pada usia 9-16 tahun dengan jadwal 0,6, dan 12 bulan

Perubahan Jadwal Imunisasi Wajib 2014 Hep. B: lahir,1,6 bulan Polio: lahir, 2,4,6 bulan DPT: 2,4,6 bulan

2016 Hep .B: sama dengan 2014 Polio: lahir, 2,3,4 bulan DPT: 2,3,4 bulan

2017 Hep .B: lahir, 2,3,4 bulan Polio: lahir, 2,3,4 bulan DPT: 2,3,4 bulan

Plus2 : HiB

2,4,6 bulan

2,3,4 bulan

2,3,4 bulan

*Intradermal=Intrakutan

DTP •  Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada usia 6 minggu. •  Dapat diberikan vaksin DTPw atau DTPa atau kombinasi dengan vaksin lain. •  Apabila diberikan vaksin DTPa maka interval mengiku rekomendasi vaksin tersebut yaitu usia 2, 4, dan 6 bulan. •  Untuk anak usia lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td atau Tdap. •  Untuk DTP 6 dapat diberikan Td/Tdap pada usia 10-12 tahun dan booster Td diberikan seKap 10 tahun.

DTP Kombinasi •  •  •  •  •  • 

DTwP + HepB àQuadrivalent DTwP + HepB + HiB àPentavalent DTwP + HepB + HiB + IPV à Hexavalent DTaP + HepB + HiB DTaP + HepB + HiB + IPV DT, Td, Tdap

Note: Huruf kapital = pediatric dose, huruf kecil = adult dose

Vaksin Pertusis •  Vaksin pertussis whole cell: merupakan suspensi kuman B. pertussis maK. •  Vaksin pertusis aselular adalah vaksin pertusis yang berisi komponen spesifik toksin dari Bordefellapertusis. •  Vaksin pertussis aselular bila dibandingkan dengan whole-cell ternyata memberikan reaksi lokal dan demam yang lebih ringan, diduga akibat dikeluarkannya komponen endotoksin dan debris.

•  Kejadian ikutan pasca imunisasi DTP –  Reaksi lokal kemerahan, bengkak, dan nyeri pada lokasi injeksi terjadi pada separuh (42,9%) penerima DTP. –  Demam –  Anak gelisah dan menangis terus menerus selama beberapa jam pasca sunKkan (inconsolable crying). –  Kejang demam –  ensefalopaK akut atau reaksi anafilaksis

Vaksin Pertusis •  Kontraindikasi mutlak terhadap pemberian vaksin pertusis baik whole-cell maupun aselular, yaitu –  Riwayat anafilaksis pada pemberian vaksin sebelumnya –  EnsefalopaK sesudah pemberian vaksin pertusis sebelumnya

• 

•  Keadaan lain dapat dinyatakan sebagai perhaKan khusus (precau)on): –  bila pada pemberian pertama dijumpai riwayat hiperpireksia, keadaan hipotonik-hiporesponsif dalam 48 jam, anak menangis terus menerus selama 3 jam dan riwayat kejang dalam 3 hari sesudah imunisasi DTP.

KONTRAINDIKASI IMUNISASI •  Berlaku umum untuk semua vaksin Indikasi Kontra

BUKAN Indikasi Kontra

•  Reaksi anafilaksis terhadap vaksin (indikasi kontra pemberian vaksin tersebut berikutnya) •  Reaksi anafilaksis terhadap konsKtuen vaksin •  Sakit sedang atau berat, dengan atau tanpa demam

•  Reaksi lokal ringan-sedang (sakit, kemerahan, bengkak) sesudah sunKkan vaksin •  Demam ringan atau sedang pasca vaksinasi sebelumnya •  Sakit akut ringan dengan atau tanpa demam ringan •  Sedang mendapat terapi anKbioKk •  Masa konvalesen suatu penyakit •  Prematuritas •  Terpajan terhadap suatu penyakit menular •  Riwayat alergi, atau alergi dalam keluarga •  Kehamilan Ibu •  Penghuni rumah lainnya Kdak divaksinasi

Pedoman Imunisasi di Indonesia. Satgas Imunisasi – IDAI. 2008

PerKmbangan Pemberian Imunisasi •  Kontra indikasi absolut imunisasi adalah defisiensi imun dan pernah menderita syok anafilaksis pada imunisasi terdahulu. Sedangkan demam Knggi atau sedang dirawat karena penyakit berat merupakan kontra indikasi sementara, sehingga anak tetap harus diimunisasi apabila telah sembuh. •  Bila anak sedang batuk pilek tanpa demam, anak tetap BOLEH mendapat imunisasi polio oral. Bila anak sedang demam atau sakit berat lainnya, maka imunisasi polio oral DITUNDA. •  Pengurangan dosis imunisasi menjadi setengahnya, atau membagi dosis sangat Kdak dibenarkan. •  Apabila anak sedang minum obat prednison 2 mg/kgbb/hari, dianjurkan menunda imunisasi 1 bulan setelah selesai pengobatan. Idai.or.id

PerKmbangan Pemberian Imunisasi •  Pada bayi prematur, vaksin polio sebaiknya diberikan sesudah bayi prematur berumur 2 bulan atau berat badan sudah > 2000 gram, demikian pula DPT, hepaKKs B dan Hib. •  Apabila bayi / anak sudah pernah sakit campak, rubela atau batuk rejan, imunisasi boleh dilakukan untuk penyakit-penyakit tersebut. •  Vaksinasi bayi / anak dengan riwayat pernah sakit campak akan meningkatkan kekebalan dan Kdak menimbulkan risiko. Diagnosis campak dan rubella tanpa konfirmasi laboratorium sangat Kdak dapat dipercaya.

Imunisasi pada Anak dengan Ibu Penderita Hepa__s B •  Tujuan utama imunisasi hepaKKs B (HB) ialah untuk mencegah terjadinya hepaKKs kronik serta karier dan bukan untuk menyembuhkan hepaKKs akut atau infeksi oleh virus HB (VHB) •  Indonesia adalah negara dengan angka prevalensi HB berkisar antara 5 – 20 % à endemisitas sedang sampai Knggi •  Transmisi verKkal HB 48 % à imunisasi harus diberikan segera setelah lahir •  Dosis dan jadwal imunisasi HB diberikan berdasarkan status HBsAg ibu

Bayi lahir dari ibu dengan status HBsAg yang _dak diketahui : •  Diberikan vaksin rekombinan (10 mg) secara intramuskular, dalam waktu 12 jam sejak lahir. •  Dosis ke dua diberikan pada umur 1-2 bulan dan dosis ke Kga pada umur 6 bulan. •  Apabila pada pemeriksaan selanjutnya diketahui HbsAg ibu posiKf, segera berikan 0,5 ml imunoglobulin anK hepaKKs (HBIG) (sebelum usia 1 minggu).

Bayi lahir dari ibu dengan HBsAg posi_f: •  Dalam waktu 12 jam setelah lahir, secara bersamaan diberikan 0,5 ml HBIG dan vaksin rekombinan secara intramuskular di sisi tubuh yang berlainan. •  Dosis ke dua diberikan 1-2 bulan sesudahnya, dan dosis ke Kga diberikan pada usia 6 bulan

•  Bayi prematur, termasuk bayi berat lahir rendah, tetap dianjurkan untuk diberikan imunisasi, sesuai dengan umur kronologisnya dengan dosis dan jadwal yang sama dengan bayi cukup bulan

Vaksin BCG (Bacille CalmeKe-Guerin) •  Bacille CalmeTe-Guerin adalah vaksin hidup yang dibuat dari Mycobacterium bovis yang dibiak berulang selama 1-3 tahun sehingga didapatkan basil yang Kdak virulen tetapi masih mempunyai imunogenitas. •  Vaksinasi BCG Kdak mencegah infeksi tuberkulosis tetapi mengurangi risiko terjadi tuberkulosis berat seperK meningiKs TB dan tuberkulosis milier. •  Vaksin BCG Kdak boleh terkena sinar matahari, harus disimpan pada suhu 2-8° C, Kdak boleh beku. •  Vaksin yang telah diencerkan harus dipergunakan dalam waktu 8 jam.

Vaksin BCG •  Vaksin BCG diberikan pada umur <3 bulan, sebaiknya pada anak dengan uji Mantoux (tuberkulin) negaKf. •  Efek proteksi Kmbul 8–12 minggu setelah penyunKkan. •  Vaksin BCG diberikan secara intrakutan 0,10 ml untuk anak, 0,05 ml untuk bayi baru lahir. •  VaksinBCG diberikan secara intrakutan di daerah lengan kanan atas pada insersio M.deltoideus sesuai anjuran WHO, Kdak di tempat lain (bokong, paha). •  Vaksin BCG diberikan apabila uji tuberkulin negaKf pada umur lebih dari 3 bulan. •  Pada bayi yang kontak erat dengan pasien TB dengan bakteri tahan asam (BTA) +3 sebaiknya diberikan INH profilaksis dulu, apabila pasien kontak sudah tenang bayi dapat diberi BCG.

KIPI BCG •  PenyunKkan BCG secara intradermal akan menimbulkan ulkus lokal yang superfisial 3 (2-6) minggu setelah penyunKkan. •  Ulkus tertutup krusta, akan sembuh dalam 2-3 bulan, dan meninggalkan parut bulat dengan diameter 4-8 mm. •  Apabila dosis terlalu Knggi maka ulkus yang Kmbul lebih besar, namun apabila penyunKkan terlalu dalam maka parut yang terjadi tertarik ke dalam (retracted).

•  Limfadeni_s –  LimfadeniKs supuraKf di aksila atau di leher kadang-kadang dijumpai setelah penyunKkan BCG. –  LimfadeniKs akan sembuh sendiri, jadi Kdak perlu diobaK. –  Apabila limfadeniKs melekat pada kulit atau Kmbul fistula maka lakukan drainase dan diberikan OAT

•  BCG-i_s diseminasi (Disseminated BCG Disease) –  berhubungan dengan imunodefisiensi berat. –  diobaK dengan kombinasi obat anK tuberkulosis.

Kontraindikasi BCG •  Reaksi uji tuberkulin >5 mm, •  Menderita infeksi HIV atau dengan risiko Knggi infeksi HIV, •  imunokompromais akibat pengobatan korKkosteroid, obat imuno-supresif, mendapat pengobatan radiasi, penyakit keganasan yang mengenai sumsum tulang atau sistem limfe, •  Menderita gizi buruk, •  Menderita demam Knggi, •  Menderita infeksi kulit yang luas, •  Pernah sakit tuberkulosis, •  Kehamilan.

TUMBUH KEMBANG ANAK

Skrining Tumbuh Kembang Anak •  Pertumbuhan : bertambahnya ukuran fisik anak dalam hal panjang/Knggi badan, berat badan, dan lingkar kepala –  Pemantauan : melalui penilaian klinis dan pengukuran antropometris (Z Score WHO atau kurva NCHS CDC)

•  Perkembangan : bertambahnya kemampuan fungsi individu antara lain dalam bidang motorik kasar, motorik halus, komunikasi dan bahasa, intelektual, emosi, dan sosial

–  Pemantauan : penilaian klinis dan skrining perkembangan Denver II

•  Pemantauan seKap bulan hingga usia 1 tahun dan seKap 3 bulan hingga 5 tahun

Child Developmental Sectors

2/27/18

200

NEUROPEDIATRI

KEJANG DEMAM DAN TATALAKSANA KEJANG AKUT PADA ANAK

Kejang demam •  Kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh diatas 38 C yang TIDAK disebabkan oleh proses intrakranial •  Mayoritas terjadi pada hari pertama sakit •  Bukan disebabkan infeksi SSP, gangguan metabolik, Kdak pernah ada riwayat kejang tanpa demam. •  Usia antara 6 bulan – 5 tahun, mayoritas usia 12-18 bulan. •  Anak berumur antara 1-6 bulan masih dapat mengalami kejang demam, namun jarang sekali. •  Bila anak berumur kurang dari 6 bulan mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain, terutama infeksi susunan saraf pusat. •  Bayi berusia kurang dari 1 bulan Kdak termasuk dalam rekomendasi ini melainkan termasuk dalam kejang neonatus Rekomendasi Kejang Demam. 2016. IDAI

Klasifikasi Kejang demam sederhana

• Kejang kurang dari 15 menit • Kejang umum tonik-klonik • Kejang Kdak berulang

Kejang demam kompleks

• Kejang lebih dari 15 menit • Kejang fokal, fokal menjadi umum • Kejang berulang dalam 24 jam KET: 1. Kejang demam sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam 2. Sebagian besar kejang demam sederhana berlangsung kurang dari 5 menit dan berhenK sendiri.

Pemeriksaan Penunjang •  Pemeriksaan laboratorium –  Pemeriksaan laboratorium Kdak dikerjakan secara ruKn pada kejang demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam. –  Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan atas indikasi misalnya darah perifer, elektrolit, dan gula darah

•  Indikasi Pungsi Lumbal (konsensus UKK 2016) –  saat ini pemeriksaan pungsi lumbal Kdak dilakukan secara ruKn pada anak berusia <12 bulan yang mengalami kejang demam sederhana dengan keadaan umum baik. –  Indikasi LP: •  Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal •  Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis •  DiperKmbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang sebelumnya telah mendapat anKbioKk dan pemberian anKbioKk tersebut dapat mengaburkan tanda dan gejala meningiKs.

Pemeriksaan Penunjang •  Indikasi CT scan/MRI –  Tidak diperlukan pada kejang demam sederhana –  Insiden kelainan patologis intrakranial pada kejang demam kompleks sangat rendah –  Harus dilakukan : •  Makro/mikrosefali •  Kelainan neurologi yang menetap, terutama lateralisasi

•  Indikasi EEG –  Pemeriksaan EEG Kdak diperlukan untuk kejang demam, KECUALI apabila bangkitan bersifat fokal untuk menentukan adanya fokus kejang di otak yang membutuhkan evaluasi lebih lanjut.

Faktor resiko berulangnya KD •  Faktor risiko : –  Riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keluarga –  Usia kurang dari 12 bulan –  Suhu tubuh kurang dari 39oC saat kejang –  Interval waktu yang singkat antara awitan demam dengan terjadinya kejang. –  Apabila kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks.

•  Semua faktor risiko ada, kemungkinan berulang 80% •  Tidak ada faktor risiko kemungkinan berulang 10-15%

Tatalaksana •  Saat kejang : algoritme tatalaksana kejang akut dan SE •  Setelah kejang berhen_ : –  Profilaksis atau Kdak –  Profilaksis intermiten atau konKnyu

•  An_pire_k: Tidak mengurangi risiko berulangnya kejang Memberikan rasa nyaman bagi pasien Mengurangi kekhawaKran orangtua Kesimpulan: dokter neurologi anak di Indonesia sepakat bahwa anKpireKk tetap dapat diberikan. –  Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10-15 mg/kg/kali diberikan Kap 4-6 jam. –  Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali sehari. –  –  –  – 

Tatalaksana Saat Kejang •  Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rerata 4 menit) dan pada waktu pasien datang, kejang sudah berhenK. •  Apabila saat pasien datang dalam keadaan kejang, obat yang paling cepat untuk menghenKkan kejang adalah diazepam intravena. •  Dosis diazepam intravena adalah 0,2-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 10 mg. •  Secara umum, penatalaksanaan kejang akut mengikuK algoritma kejang pada umumnya.

Tatalaksana Saat Kejang •  Obat yang prakKs dan dapat diberikan oleh orangtua di rumah (prehospital)adalah diazepam rektal. –  Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 12 kg.

•  Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenK, dapat diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. •  Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. •  Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena. •  Jika kejang masih berlanjut, lihat algoritme tatalaksana status epilepKkus. •  Bila kejang telah berhenK, pemberian obat selanjutnya tergantung dari indikasi terapi anKkonvulsan pro laksis.

Profilaksis Intermiten •  Yang dimaksud dengan obat anKkonvulsan intermiten adalah obat anKkonvulsan yang diberikan hanya pada saat demam. •  Indikasi (salah satu dari): –  –  –  –  – 

Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun Usia <6 bulan Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh meningkat dengan cepat.

•  Obat diazepam oral 0,3 mg/kgBB/kali, maksimum 7,5 mg/kali (3 kali sehari) ATAU rektal 0,5 mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan <12 kg dan 10 mg untuk berat badan >12 kg) 3 kali sehari •  Diazepam intermiten diberikan selama 48 jam pertama demam. •  ES dapat menyebabkan ataksia, iritabilitas, serta sedasi.

Profilaksis Kon_nyu/ Rumatan •  Berdasarkan bukK ilmiah bahwa kejang demam Kdak berbahaya dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping yang Kdak diinginkan, maka pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus selekKf dan dalam jangka pendek •  Indikasi pengobatan rumat: –  Kejang fokal –  Kejang lama >15 menit –  Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya palsi serebral, hidrosefalus, hemiparesis. (Pada anak dengan kelainan neurologis berat dapat diberikan edukasi untuk pemberian terapi profilaksis intermiten terlebih dahulu, jika Kdak berhasil/orangtua khawaKr dapat diberikan terapi anKkonvulsan rumat)

Profilaksis Kon_nyu/ Rumatan •  Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat seKap hari efekKf dalam menurunkan risiko berulangnya kejang •  Pemakaian fenobarbital seKap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. •  Obat pilihan saat ini adalah asam valproat. •  Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumur kurang dari 2 tahun, asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi haK. •  Dosis asam valproat adalah 15-40 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis. •  Pengobatan diberikan selama 1 tahun, penghenKan pengobatan rumat untuk kejang demam Kdak membutuhkan tapering off , namun dilakukan pada saat anak Kdak sedang demam.

Diagnosis diferensial infeksi SSP KLINIS/ LAB.

ENSEFAL ITIS

MENING. BAKTERi

MENING. TBC

MENING. VIRUS

ENSEFALO PATI

Onset

Akut

Akut

Kronik

Akut

Akut/kronik

Demam

< 7 hari

< 7 hari

> 7 hari

< 7 hari

7 hari/(-)

Kejang

Umum/ fokal

Umum

Umum

Umum

Umum

Penurunan kesadaran

Somnolen- sopor

ApaKs

Variasi, apaKs - sopor

CM - ApaKs

ApaKs - Somnolen

Paresis

+/-

+/-

++/-

-

-

Perbaikan kesadaran

Lambat

Cepat

Lambat

Cepat

Cepat/Lambat

E_ologi

Tidak dpt diidenKfikas i

++/-

TBC/riw. kontak

-

Ekstra SSP

Terapi

Simpt/ anKviral

AnKbioKk

TuberkulostaKk

Simpt.

Atasi penyakit primer

Kejang dan Status Epilep_kus pada Anak •  Sampai saat ini, belum terdapat keseragaman mengenai definisi status epilepKkus (SE) karena Interna)onal League Againts Epilepsy(ILAE) hanya menyatakan bahwa SE adalah kejang yang berlangsung terus-menerus selama periode waktu tertentu atau berulang tanpa disertai pulihnya kesadaran diantara kejang. •  Kekurangan defnisi menurut ILAE tersebut adalah batasan lama kejang tersebut berlangsung. •  Oleh sebab itu, sebagian para ahli membuat kesepakatan batasan waktunya adalah selama 30 menit atau lebih.

Tatalaksana •  Evaluasi tanda vital serta penilaian airway, breathing, circula)on (ABC) harus dilakukan seiring dengan pemberian obat anKkonvulsan. •  Pemilihan jenis obat serta dosis anKkonvulsan pada tata laksana SE sangat bervariasi antar insKtusi.

Algoritma tata laksana kejang akut dan status epilep_kus berdasarkan Konsensus UKK Neurologi IDAI 2016

Keterangan •  •  • 

Diazepam IV: 0,2 - 0,5 mg/kg IV (maksimum 10 mg) dalam spuit, kecepatan 2 mg/menit. Bila kejang berhenK sebelum obat habis, Kdak perlu dihabiskan. Fenobarbital: pemberian boleh diencerkan dengan NaCl 0,9% 1:1 dengan kecepatan yang sama Midazolam buccal: dapat menggunakan midazolam sediaan IV/IM, ambil sesuai dosis yang diperlukan dengan menggunakan spuit 1 cc yang telah dibuang jarumnya, dan teteskan pada buccal kanan, selama 1 menit. Dosis midazolam buccal berdasarkan kelompok usia; –  –  –  – 

• 

•  • 

2,5 mg (usia 6 – 12 bulan) 5 mg (usia 1 – 5 tahun) 7,5 mg (usia 5 – 9 tahun) 10 mg (usia ≥ 10 tahun)

Tapering midazolam infus kon_nyu: Bila bebas kejang selama 24 jam setelah pemberian midazolam, maka pemberian midazolam dapat diturunkan secara bertahap dengan kecepatan 0,1 mg/jam dan dapat dihenKkan setelah 48 jam bebas kejang. Midazolam: Pemberian midazolam infus konKnyu seharusnya di ICU, namun disesuaikan dengan kondisi rumah sakit Bila pasien terdapat riwayat status epilep_kus, namun saat datang dalam keadaan Kdak kejang, maka dapat diberikan fenitoin atau fenobarbital 10 mg/kg IV dilanjutkan dengan pemberian rumatan bila diperlukan.

CEREBRAL PALSY

Cerebral Palsy •  Cerebral palsy (CP) describes a group of permanent disorders of the development of movement and posture, causing acKvity limitaKon, that are afributed to non-progressive disturbances that occurred in the developing fetal or infant brain. •  The motor disorders of cerebral palsy are o€en accompanied by disturbances of sensaKon, percepKon, cogniKon, communicaKon, and behaviour, by epilepsy, and by secondary musculoskeletal problems. ”Rosenbaum et al, 2007 •  Although the lesion is not progressive, the clinical manfestaKons change over Kme •  CP is caused by a broad group of developmental, geneKc, metabolic, ischemic, infecKous, and other acquired eKologies that produce a common group of neurologic phenotypes Behrman: Nelson Textbook of Pediatrics, 17th ed

Cerebral Palsy Risk factor

Clinical ManifestaKon •  CP is generally divided into several major motor syndromes that differ according to the pafern of neurologic involvement, neuropathology, and eKology

Clinical ManifestaKon •  Spas)c hemiplegia: decreased spontaneous movements on the affected side, the arm is o€en more involved than the leg. SpasKcity is apparent in the affected extremiKes, parKcularly the ankle, causing an equinovarus deformity of the foot •  Spas)c diplegia is bilateral spasKcity of the legs greater than in the arms. ExaminaKon: spasKcity in the legs with brisk reflexes, ankle clonus, and a bilateral Babinski sign. When the child is suspended by the axillae, a scissoring posture of the lower extremiKes is maintained •  Spas)c quadriplegia is the most severe form of CP because of marked motor impairment of all extremiKes and the high associaKon with mental retardaKon and seizures •  Athetoid CP, also called choreoathetoid or extrapyramidal CP, is less common than spasKc cerebral palsy. Affected infants are characterisKcally hypotonic with poor head control and marked head lag

Tujuan Terapi Cerebral Palsy •  Tujuan terapi pasien cerebral palsy adalah membantu pasien dan keluarganya memperbaiki fungsi motorik dan mencegah deformitas serta penyesuaian emosional dan pendidikan sehingga penderita sesedikit mungkin memerlukan pertolongan orang lain dan diharapkan penderita bisa mandiri dalam melakukan akKvitas kehidupannya di kemudian hari. •  Diperlukan tatalaksana terpadu/mulK disipliner mengingat masalah yang dihadapi sangat kompleks, dan merupakan suatu Km antara dokter anak, dokter saraf, dokter jiwa, dokter mata, dokter THT, dokter ortopedi, psikolog, rehabilitasi medik, pekerja sosial, guru sekolah luar biasa dan orang tua penderita. •  Jenis rehabilitasi medik yang diperlukan pada CP: fisioterapi, terapi wicara, okupasional (termasuk rekreasional di dalamnya), dan ortoKk protese

NEFROLOGI

ISK PADA ANAK

Infeksi Saluran Kemih •  UTI pada anak perempuan 3-5%, laki-laki 1% (terutama yang Kdak disirkumsisi) •  Banyak disebabkan oleh bakteri usus: E. coli (75-90%), Klebsiella, Proteus. Biasanya terjadi secara ascending. •  Gejala dan tanda klinis, tergantung pada usia pasien: –  Neonatus: Suhu Kdak stabil, irritable, muntah dan diare, napas Kdak teratur, ikterus, urin berbau menyengat, gejala sepsis –  Bayi dan anak kecil: Demam, rewel, nafsu makan berkurang, gangguan pertumbuhan, diare dan muntah, kelainan genitalia, urin berbau menyengat –  Anak besar: Demam, nyeri pinggang atau perut bagian bawah, mengedan waktu berkemih, disuria, enuresis, kelainan genitalia, urin berbau menyengat Fisher DJ. Pediatric urinary tract infecKon. hfp://emedicine.medscape.com/arKcle/969643-overview American Academic of Pediatrics. Urinary tract infecKon: clinical pracKce guideline for the diagnosis and management of the iniKal UTI in febrile infants and children 2 to 24 months. Pediatrics 2011; 128(3).

ISK •  3 bentuk gejala UTI: –  PyelonefriKs (upper UTI): nyeri abdomen, demam, malaise, mual, muntah, kadang-kadang diare –  SisKKs (lower UTI): disuria, urgency, frequency, nyeri suprapubik, inkonKnensia, urin berbau –  Bakteriuria asimtomaKk: kultur urin (+) tetapi Kdak disertai gejala •  Pemeriksaan Penunjang : –  Urinalisis : Proteinuria, leukosituria (>5/LPB), Hematuria (Eritrosit>5/LPB) –  Biakan urin dan uji sensiKvitas –  KreaKnin dan Ureum –  Pencitraan ginjal dan saluran kemih untuk mencari kelainan anatomis maupun fungsional •  Diagnosa pasK : Bakteriuria bermakna pada biakan urin (>105 koloni kuman per ml urin segar pancar tengah (midstream urine) yang diambil pagi hari) Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO. & PPM IDAI

Tatalaksana •  • 

• 

Tujuan : Memberantas kuman penyebab, mencegah dan menangani komplikasi dini, mencari kelainan yang mendasari Umum (SuporKf) –  Masukan cairan yang cukup –  Edukasi untuk Kdak menahan berkemih –  Menjaga kebersihan daerah perineum dan periurethra –  Hindari konsKpasi Khusus –  Sebelum ada hasil biakan urin dan uji kepekaan, anKbioKk diberikan secara empirik selama 7-10 hari –  Obat rawat jalan : kotrimoksazol oral 24 mg/kgBB seKap 12 jam, alternaKf ampisilin, amoksisilin, kecuali jika : •  Terdapat demam _nggi dan gangguan sistemik •  Terdapat tanda pyelonefri_s (nyeri pinggang/bengkak) •  Pada bayi muda –  Jika respon klinis kurang baik, atau kondisi anak memburuk berikan gentamisin (5-7.5 mg/kg IV sekali sehari) + ampisilin (25-50 mg/kg IV seKap 6 jam) atau sefalosporin gen-3 parenteral –  AnKbioKk profilaksis diberikan pada ISK simpleks berulang, pielonefriKs akut, ISK pada neonatus, atau ISK kompleks (disertai kelainan anatomis atau fungsional) –  PerKmbangkan komplikasi pielonefriKs atau sepsis

Interpretasi Hasil Biakan Urin

Algoritme Penanggulangan dan Pencitraan Anak dengan ISK

Dosis Obat Pada UTI Anak

*Rentang dosis seoriakson untuk infeksi berat adalah 50-75/kgBB/hari

SINDROM NEFROTIK

Sindrom NefroKk •  Sindrom nefroKk (SN) adalah suatu sindrom klinik dengan gejala: –  Proteinuria massif (≥ 40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreaKnin pada urin sewaktu > 2 mg/mg atau dipsKk ≥ 2+) –  Hipoalbuminemia ≤ 2,5 g/dL –  Edema –  Dapat disertai hiperkolesterolemia

•  EKologi SN dibagi 3 yaitu kongenital, primer/idiopaKk, dan sekunder (mengikuK penyakit sistemik antara lain lupus eritematosus sistemik (LES), purpura Henoch Schonlein) KONSENSUS TATA LAKSANA SINDROM NEFROTIK IDIOPATIK PADA ANAK. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia

Sindrom NefroKk • 

• 

•  • 

Spektrum gejala yang ditandai dengan protein loss yang masif dari ginjal Pada anak sindrom nefroKk mayoritas bersifat idiopaKk, yang belum diketahui patofisiologinya secara jelas, namun diperkirakan terdapat keterlibatan sistem imunitas tubuh, terutama sel limfosit-T Gejala klasik: proteinuria, edema, hiperlipidemia, hipoalbuminemia Gejala lain : hipertensi, hematuria, dan penurunan fungsi ginjal

• 

• 

Di bawah mikroskop: Minimal change nephroKc syndrome (MCNS)/Nil Lesions/Nil Disease (lipoid nephrosis) merupakan penyebab tersering dari sindrom nefroKk pada anak, mencakup 90% kasus di bawah 10 tahun dan >50% pd anak yg lbh tua. Faktor risiko kekambuhan: riwayat atopi, usia saat serangan pertama, jenis kelamin dan infeksi saluran pernapasan akut akut (ISPA) bagian atas yang menyertai atau mendahului terjadinya kekambuhan, ISK

Lane JC. Pediatric nephroKc syndrome. hfp://emedicine.medscape.com/arKcle/982920-overview

•  Edema : AccumulaKon of fluid in intersKKal space (due to filtraKon out of the capillaries) •  Usually caused by a disrupKon in Starling forces, that exceeds the ability of lymphaKc system to return it to the circulaKon

Decreased plasma protein osmoKc pressure (severe liver failure, nephroKc syndrome)

Increased capillary pressure (failure of venous pumps, heart failure)

Increased capillary protein permeability (due to release of vasoacKve substances) (e.g. burns, trauma, infecKon)

parasiKc infecKon of lymph nodes (filariasis)

EDEMA

NefroKk vs NefriKk

Diagnosis •  Anamnesis : Bengkak di kedua kelopak mata, perut, tungkai atau seluruh tubuh. Penurunan jumlah urin. Urin dapat keruh/kemerahan •  Pemeriksaan Fisik : Edema palpebra, tungkai, ascites, edema skrotum/labia. Terkadang ditemukan hipertensi •  Pemeriksaan Penunjang : Proteinuria masif ≥ 2+, rasio albumin kreaKnin urin > 2, dapat disertai hematuria. Hipoalbumin (<2.5g/dl), hiperkolesterolemia (>200 mg/dl). Penurunan fungsi ginjal dapat ditemukan.

Definisi pada Sindrom NefroKk •  Remisi : proteinuria negaKf atau trace (proteinuria < 4 mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu •  Relaps : proteinuria ≥ 2+ (proteinuria ≥ 40 mg/m2 LPB/jam) 3 hari berturut-turut dalam 1 minggu •  Relaps jarang : relaps terjadi kurang dari 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau kurang dari 4 kali per tahun pengamatan •  Relaps sering (frequent relaps) : relaps terjadi ≥ 2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respons awal atau ≥ 4 kali dalam periode 1 tahun •  Dependen steroid : relaps terjadi pada saat dosis steroid diturunkan atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihenKkan, dan hal ini terjadi 2 kali berturut-turut •  Resisten steroid : Kdak terjadi remisi pada pengobatan prednison dosis penuh (full dose) 2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu. KONSENSUS TATA LAKSANA SINDROM NEFROTIK IDIOPATIK PADA ANAK. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia

Tatalaksana

KONSENSUS TATA LAKSANA SINDROM NEFROTIK IDIOPATIK PADA ANAK. Unit Kerja Koordinasi Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia

Tatalaksana Diet pada SN Anak •  Pemberian diit Knggi protein dianggap merupakan kontraindikasi karena akan menambah beban glomerulus untuk mengeluarkan sisa metabolisme protein (hiperfiltrasi) dan menyebabkan sklerosis glomerulus. •  Bila diberi diit rendah protein akan terjadi malnutrisi energi protein (MEP) dan menyebabkan hambatan pertumbuhan anak. •  Jadi cukup diberikan diit protein normal sesuai dengan RDA (recommended daily allowances) yaitu 1,5-2 g/kgbb/hari. •  Diit rendah garam (1-2 g/hari) hanya diperlukan selama anak menderita edema.

DiureKk pada SN Anak •  Restriksi cairan dianjurkan selama ada edema berat. •  Biasanya diberikan loop diure0c seper_ furosemid 1-3 mg/kgbb/hari, bila perlu dikombinasikan dengan spironolakton (antagonis aldosteron, diureKk hemat kalium) 2-4 mg/kgbb/hari. •  Sebelum pemberian diureKk, perlu disingkirkan kemungkinan hipovolemia. Pada pemakaian diureKk lebih dari 1-2 minggu perlu dilakukan pemantauan elektrolit kalium dan natrium darah. •  Bila pemberian diureKk Kdak berhasil (edema refrakter), biasanya terjadi karena hipovolemia atau hipoalbuminemia berat (≤ 1 g/dL), dapat diberikan infus albumin 20-25% dengan dosis 1 g/kgbb selama 2-4 jam untuk menarik cairan dari jaringan intersKsial dan diakhiri dengan pemberian furosemid intravena 1-2 mg/kgbb. •  Bila diperlukan, suspensi albumin dapat diberikan selang-sehari untuk memberi kesempatan pergeseran cairan dan mencegah overload cairan. Bila asites sedemikian berat sehingga mengganggu pernapasan, dapat dilakukan punksi asites berulang

GNAPS

Glomerulonefri_s akut Pasca Streptokokus •  GlomerulonefriKs akut ditandai dengan edema, hematuria, hipertensi dan penurunan fungsi ginjal (sindrom nefriKk) di mana terjadi inflamasi pada glomerulus •  Acute poststreptococcal glomerulonephriKs is the archetype of acute GN •  GNA pasca streptokokus terjadi setelah infeksi GABHS nefritogenik → deposit kompleks imun di glomerulus •  Diagnosis –  Anamnesis: Riwayat ISPA atau infeksi kulit 1-2 minggu sebelumnya, hematuri nyata, kejang atau penurunan kesadaran, oliguri/anuri –  PF: Edema di kedua kelopak mata dan tungkai, hipertensi, lesi bekas infeksi, gejala hipervolemia seperK gagal jantung atau edema paru –  Penunjang: Fungsi ginjal, komplemen C3, urinalisis, ASTO

•  Terapi: AnKbioKk (penisilin, eritromisin), anKhipertensi, diureKk

Geetha D. Poststreptococcal glomerulonephriKs. hfp://emedicine.medscape.com/arKcle/240337-overview

Causes of glomerulonephri_s in children PRIMARY GLOMERULONEPHRITIS Membranous glomerulonephriKs MembranoproliferaKve glomerulonephriKs type I MembranoproliferaKve glomerulonephriKs type II (dense deposit disease) IgA nephropathy AnK-glomerular basement membrane disease Idiopathic crescenKc glomerulonephriKs

SECONDARY GLOMERULONEPHRITIS Post-streptococcal glomerulonephriKs Other post-infecKous glomerulonephriKs Henoch-Schönlein purpura nephriKs Systemic lupus erythematosus nephriKs Microscopic polyangiiKs Wegener granulomatosus

Patogenesis dan Patofisiologi variety of different eKologic agents e.g. Streptococcal infecKon immunologic response àAkKvasi komplemen

Komplemen serum turun

Immune injuries Proliferasi selular

Destruksi membran basal glomerulus

Lumen kapiler menyempit hematuria Aliran darah glomerular menurun GFR turun oliguria

Reabsorbsi natrium distal Retensi air dan natrium Volume darah meningkat Edema dan hipertensi

Mekanisme GNAPS •  Terperangkapnya kompleks anKgen-anKbodi dalam glomerulus yang kemudian akan merusak glomerulus •  Proses autoimun kuman Streptokokus yang bersifat nefritogenik dalam tubuh menimbulkan badan autoimun yang merusak protein glomerulus (molecular mimicry) •  Streptokokus nefritogenik dan membran basalis glomerulus mempunyai komponen anKgen yang sama sehingga dibentuk zat anK yang langsung merusak membran basalis glomerulus.

Pemeriksaan Penunjang •  Urinalisis –  Proteinuria, hematuria, dan adanya silinder eritrosit

•  Peningkatan ureum dan kreaKnin •  ASTO meningkat (ASTO: the anKbody made against streptolysin O, an immunogenic, oxygen-labile hemolyKc toxin produced by most strains of group A) •  Komplemen C3 menurun pada minggu pertama •  Hiperkalemia, asidosis metabolik, hiperfosfatemia, dan hipokalsemia pada komplikasi gagal ginjal akut

Penatalaksanaan •  The major goal is to control edema and blood pressure •  During the acute phase of the disease, restrict salt and water. If significant edema or hypertension develops, administer diureKcs. –  Loop diureKcs (Furosemide 1 mg/kg/kali (maks 40 mg), 2-3 kali per hari) –  For hypertension not controlled by diureKcs, usually calcium channel blockers or angiotensinconverKng enzyme inhibitors are useful

•  RestricKng physical acKvity is appropriate in the first few days of the illness but is unnecessary once the paKent feels well •  Specific therapy: –  Treat paKents, family members, and any close personal contacts who are infected. –  Throat cultures should be performed on all these individuals. Treat with oral penicillin V (250 mg qid for 7-10 d for children ≤27 kg) or with erythromycin (250 mg qid for 7-10 d) for paKents allergic to penicillin –  This helps prevent nephriKs in carriers and helps prevent the spread of nephritogenic strains to others

•  IndicaKons for dialysis include life-threatening hyperkalemia and clinical manifestaKons of uremia

METABOLIK ENDOKRIN

DM TIPE I

Diabetes Melitus Tipe 1 (Insulin-dependent diabetes mellitus) •  Merupakan kelainan sistemik akibat gangguan metabolisme glukosa yang ditandai oleh hiperglikemia kronik. •  EKologi: Suatu proses autoimun yang merusak sel β pankreas sehingga produksi insulin berkurang, bahkan terhenK. Dipengaruhi faktor geneKk dan lingkungan. •  Insidensi terKnggi pada usia 5-6 tahun dan 11 tahun •  Komplikasi : Hipoglikemia, ketoasidosis diabeKkum, reKnopathy , nephropathy and hypertension, peripheral and autonomic neuropathy, macrovascular disease •  Manifestasi Klinik:

–  Poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan –  Pada keadaan akut yang berat: muntah, nyeri perut, napas cepat dan dalam, dehidrasi, gangguan kesadaran

Kriteria Diagnosis DM pada Anak •  Kriteria diagnos_k •  Glukosa darah puasa dianggap normal bila kadar glukosa darah kapiler < 126 mg/dL (7 mmol/L). Glukosuria saja Kdak spesifik untuk DM sehingga perlu dikonfirmasi dengan pemeriksaan glukosa darah. •  Diagnosis DM dapat ditegakkan apabila memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut: –  Ditemukannya gejala klinis poliuria, polidpsia, polifagia, berat badan yang menurun, dan kadar glukasa darah sewaktu >200 mg/ dL (11.1 mmol/L). –  Pada penderita yang asimtomaKs ditemukan kadar glukosa darah sewaktu >200 mg/dL atau kadar glukosa darah puasa lebih Knggi dari normal dengan tes toleransi glukosa yang terganggu pada lebih dari satu kali pemeriksaan.

Tes Toleransi Glukosa •  Pada anak biasanya tes toleransi glukosa (TTG) Kdak perlu dilakukan untuk mendiagnosis DM Kpe-1, karena gambaran klinis yang khas. •  Indikasi TTG pada anak adalah pada kasus-kasus yang meragukan yaitu ditemukan gejala-gejala klinis yang khas untuk DM, namun pemeriksaan kadar glukosa darah Kdak menyakinkan. •  Dosis glukosa yang digunakan pada TTG adalah 1,75 g/kgBB (maksimum 75 g). •  Glukosa tersebut diberikan secara oral (dalam 200-250 ml air) dalam jangka waktu 5 menit. •  Testoleransi glukosa dilakukan setelah anak mendapat diet Knggi karbohidrat (150-200 g per hari) selama Kga hari berturut-turut dan anak puasa semalam menjelang TTG dilakukan. –  Selama Kga hari sebelum TTG dilakukan, akKfitas fisik anak Kdak dibatasi. –  Anak dapat melakukan kegiatan ruKn sehari- hari.

•  Sampel glukosa darah diambil pada menit ke 0 (sebelum diberikan glukosa oral), 60 dan 120.

Penilaian hasil tes toleransi glukosa •  Anak menderita DM apabila: Kadar glukosa darah puasa ≥140 mg/dL (7,8 mmol/L) atau Kadar glukosa darah pada jam ke 2 ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L) •  Anak dikatakan menderita toleransi gula terganggu apabila: Kadar glukosa darah puasa <140 mg/dL (7,8 mmol/L) dan Kadar glukosa darah pada jam ke 2: 140-199 mg/dL (7,8-11 mmol/L) •  Anak dikatakan normal apabila : Kadar glukosa darah puasa (plasma) <110 mg/dL (6,7 mmol/L) dan Kadar glukosa darah pada jam ke 2: <140 mg/dL (7,8-11 mmol/L)

Patogensis

hfp://emedicine.medscape.com/arKcle/919999-overview hfp://www.noahhealth.org/five-most-common-food-myths-associated-with-diabetes/#pid

DM Tipe 1 vs Tipe 2

hfp://s3.amazonaws.com/stopdiabete/symptoms-between-type-1-and-type-2-diabetes.html

•  Pemeriksaan Penunjang : –  Penderita baru : gula darah, urin reduksi dan keton urin, HbA1C, CPep)de (untuk membedakan diabetes Kpe 1 dan Kpe 2), pemeriksaan autoan_bodi yaitu: cytoplasmic anKbodies (ICA), insulin autoanKbodies (IAA), dan glutamic acid decarboxylase (GAD). –  Penderita lama : HbA1c SeKap 3 bulan sebagai parameter kontrol metabolik

•  Tatalaksana: Insulin

1.  Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 1. UKK Endokrinologi Anak dan Remaja, IDAI World Diabetes FoundaKon. 2009 2.  Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan AnaK. Diabetes Melitus pada Anak(DM Kpe-1). RSCM. 2007

HbA1c •  Parameter kontrol metabolik standar: -  HbA1c < 7% baik -  HbA1c < 8% cukup -  HbA1c > 8% buruk

•  •  •  • 

Untuk modifikasi tatalaksana. Wajib seKap 3 bulan. Perbedaan HbA1c 1% à risiko komplikasi ↓25-50%. Penyimpangan kurva pertumbuhan ideal periode 6 bulan à evaluasi HbA1c.

1.  Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 1. UKK Endokrinologi Anak dan Remaja, IDAI World Diabetes FoundaKon. 2009 2.  Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan AnaK. Diabetes Melitus pada Anak(DM Kpe-1). RSCM. 2007

Pilihan Insulin Insulin kerja cepat : •  Setelah makan •  Snack sore •  Saat hiperglikemi dan ketosis •  Pada CSII (con)nuous subcutaneous insulin infusion) Insulin kerja pendek: •  Sebelum makan •  Pilihan pada balita

Insulin kerja menengah: •  Pilihan pada penderita yang memiliki pola hidup teratur Insulin kerja panjang: •  Masa kerja lebih dari 24 jam •  Digunakan dalam regimen basal-bolus Insulin kerja campuran: •  Dianjurkan bagi penderita yang memiliki kontrol metabolik baik.

1.  Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 1. UKK Endokrinologi Anak dan Remaja, IDAI World Diabetes FoundaKon. 2009

HIPOTIROID KONGENITAL

Hipo_roid Kongenital •  HipoKroid kongenital adalah kelainan fungsi dari kelenjar Kroid yang didapat sejak bayi baru lahir. •  Kondisi ini dapat terjadi karena kelainan anatomi atau gangguan metabolisme pembentukan hormon Kroid atau defisiensi iodium. •  Selama kehamilan, plasenta berperan sebagai media transportasi elemen-elemen penKng untuk perkembangan janin. Thyroid Releasing Hormone (TRH) dan iodium – yang berguna untuk membantu pembentukan Hormon Tiroid (HT) janin – bisa bebas melewaK plasenta. Demikian juga hormon Kroksin (T4). Namun disamping itu, elemen yang merugikan Kroid janin seperK anKbodi (TSH receptor an)body) dan obat anK Kroid yang dimakan ibu, juga dapat melewaK plasenta. Sementara, TSH, yang mempunyai peranan penKng dalam pembentukan dan produksi HT, justru Kdak bisa melewaK plasenta.

Pedoman skrining hipoKroid kongenital kemenkes 2014

Thyroid Gland Development • 

Thyroid FuncKon:

–  normal brain growth and myelinaKon and for normal neuronal connecKons. –  The most criKcal period fis the first few months of life.

•  •  •  • 

The thyroid arises from the fourth branchial pouches. The thyroid gland develops between 4 and 10 weeks' gestaKon. By 10-11 weeks' gesta_on, the fetal thyroid is capable of producing thyroid hormone. By 18-20 weeks' gestaKon, blood levels of T4 have reached term levels. T

hfp://emedicine.medscape.com/arKcle/919758-overview#aw2aab6b2b2aa

•  The fetal pituitary-thyroid axis is believed to funcKon independently of the maternal pituitary-thyroid axis. •  The contribuKons of maternal thyroid hormone levels to the fetus are thought to be minimal, but maternal thyroid disease can have a substanKal influence on fetal and neonatal thyroid funcKon. –  Immunoglobulin G (IgG) autoanKbodies, as in autoimmune thyroidiKs, can cross the placenta and inhibit thyroid funcKon (transient) –  Thioamides (PTU) can block fetal thyroid hormone synthesis (transient) –  RadioacKve iodine administered to a pregnant woman can ablate the fetus's thyroid gland permanently.

E_ologi

E_ologi

HipoKroid kongenital pada Anak •  Merupakan salah satu penyebab retardasi mental yang dapat dicegah. Bila terdeteksi setelah usia 3 bulan, akan terjadi penurunan IQ bermakna. •  Tata laksana tergantung penyebab. Sebaiknya diagnosis eKologi ditegakkan sebelum usia 2 minggu dan normalisasi hormon Kroid (levoKroksin)sebelum usia 3 minggu.

Postellon DC. Congenital hypothyroidism. hfp://emedicine.medscape.com/arKcle/919758-overview

Gambaran klinis

• 

• 

Most affected infants have few or no symptoms, because their thyroid hormone level is only slightly low. However, infants with severe hypothyroidism o€en have a unique appearance, including: –  Dull look –  Puffy face –  Thick tongue that sKcks out This appearance usually develops as the disease gets worse. The child may also have: –  Choking episodes –  ConsKpaKon –  Dry, brifle hair –  Jaundice –  Lack of muscle tone (floppy infant) –  Low hairline –  Poor feeding –  Short height (failure to thrive) –  Sleepiness –  Sluggishness

Neeonatal hypothyroidism. hfp://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0002174/

Quebec Clinical Scoring for Congenital Hypothyroid

Figure 3 DiagnosKc algorithm for the detecKon of primary congenital hypothyroidism

Grüters, A. & Krude, H. (2011) DetecKon and treatment of congenital hypothyroidism Nat. Rev. Endocrinol. doi:10.1038/nrendo.2011.160

Skrining •  Pengambilan spesimen darah yang paling ideal adalah keKka umur bayi 48 sampai 72 jam. •  Namun, pada keadaan tertentu pengambilan darah masih bisa ditolerir antara 24–48 jam (contoh: ibu pulang paksa). •  Akan tetapi, sebaiknya darah Kdak diambil dalam 24 jam pertama setelah lahir karena pada saat itu kadar TSH masih Knggi, sehingga akan memberikan sejumlah hasil Knggi/posiKf palsu (false posi)ve). •  Jika bayi sudah dipulangkan sebelum 24 jam, maka spesimen perlu diambil pada saat kontrol, tepatnya saat bayi berusia 48 sampai 72 jam •  Sampel darah diteteskan di kertas saring dan diperiksa di laboratorium •  Hasil sudah bisa diperoleh dalam 1 minggu Pedoman skrining hipoKroid kongenital kemenkes 2014

Intepretasi hasil •  Kadar TSH < 20 μU/mL berarK normal •  Jika kadar TSH antara ≥ 20 μU/mL , perlu pengambilan spesimen ulang (resample) atau dilakukan pemeriksaan DUPLO (diperiksa dua kali dengan spesimen yang sama, kemudian diambil nilai rata-rata). Bila pada hasil pengambilan ulang didapatkan: Ø Kadar TSH < 20 μU/mL, maka hasil tersebut dianggap normal. Ø Kadar TSH ≥ 20 μU/mL, maka harus dilakukan pemeriksaan TSH dan FT4 serum Pedoman skrining hipoKroid kongenital kemenkes 2014

Tatalaksana •  Pengobatan dengan L-T4 diberikan segera setelah hasil tes konfirmasi. •  Bayi dengan hipoKroid berat diberi dosis Knggi, sedangkan bayi dengan hipoKroid ringan atau sedang diberi dosis lebih rendah. •  Bayi yang menderita kelainan jantung, mulai pemberian 50% dari dosis, kemudian dinaikkan setelah 2 minggu. Dosis levo_roksin (L-T4)

Pedoman skrining hipoKroid kongenital kemenkes 2014

Evaluasi terapi •  Pemantauan pertama setelah 2 minggu sejak pengobatan Kroksin •  Selanjutnya Kap 4 minggu sampai kadar TSH normal •  Tiap 2 bulan sampai umur 12 bulan •  Dari umur 1 – 3 tahun, pemantauan klinis dan laboratorium Kap 4 bulan •  Selanjutnya Kap 6 bulan sampai selesai masa pertumbuhan. •  Setelah umur 18 tahun, dialihrawatkan pada ahli penyakit •  dalam. •  Pemeriksaan sebaiknya dilakukan lebih sering bila kepatuhan minum obat meragukan, atau ada perubahan dosis (4 – 6 minggu setelah perubahan dosis. Pedoman skrining hipoKroid kongenital kemenkes 2014

Target pengobatan •  Nilai T4 serum,130 – 206 nmol/L (10 – 16 μg/ dl ) •  FT4 18 – 30 pmol/L (1,4 - 2,3 μg/dl) kadar FT4 ini dipertahankan pada nilai di atas 1,7 μg/dl (75% dari kisaran nilai normal). Kadar ini merupakan kadar opKmal. •  Kadar TSH serum, sebaiknya dipertahankan di bawah 5 μU/mL Pedoman skrining hipoKroid kongenital kemenkes 2014

GASTRO HEPATOLOGI

DIARE AKUT

Diare •  Diare akut: berlangsung < 1 minggu, umumnya karena infeksi –  Diare akut cair –  Diare akut berdarah

•  Diare berlanjut: diare infeksi yang berlanjut > 1 minggu •  Diare Persisten: Bila diare melanjut Kdak sembuh dan melewaK 14 hari atau lebih •  Diare kronik: diare karena sebab apapun yang berlangsung 14 hari atau lebih

•  Disentri: diare mengandung lendir dan darah •  Diare primer: infeksi memang terjadi pada saluran cerna (misal: infeksi Salmonella) •  Diare sekunder: diare sebagai gejala ikutan dari berbagai penyakit sistemik seperK pada bronkopnemonia, ensefaliKs dan lain-lain

Diare dan Dehidrasi •  Evaluasi Diare dan Dehidrasi –  Anamnesis •  Frekuensi BAB •  Lamanya diare •  Adanya darah dalam Knja •  Muntah •  Pengobatan yang baru diminum (anKbioKk dan obat lainnya) –  Pemeriksaan Fisik •  Evaluasi tanda dehidrasi (rewel/gelisah, kesadaran, mata cekung, turgor kulit, kehausan/malas minum) •  Darah dalam Knja •  Tanda-tanda gizi buruk •  Perut kembung •  Tanda invaginasi (massa intraabdomen, Knja lendir dan darah)

KLASIFIKASI DIARE

Tatalaksana cairan pada diare akut

PPM IDAI

INTOLERANSI LAKTOSA

Intoleransi Laktosa •  Laktosa diproduksi oleh kelenjar payudara dengan kadar yang bervariasi diantara mamalia. •  Susu sapi mengandung 4% laktosa, sedangkan ASI mengandung 7% laktosa. •  Laktosa adalah disakarida yang terdiri dari komponen glukosa dan galaktosa. •  Manusia normal Kdak dapat menyerap laktosa, oleh karena itu laktosa harus dipecah dulu menjadi komponen-komponennya. •  Hidrolisis laktosa memerlukan enzim laktase yang terdapat di brush border sel epitel usus halus. •  Tidak terdapatnya atau berkurangnya akKvitas laktase akan menyebabkan terjadinya malabsorpsi laktosa.

Defisiensi Laktase •  Defisiensi laktase dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu defisiensi laktase primer dan defisiensi laktase sekunder •  Terdapat 3 bentuk defisiensi laktase primer, yaitu –  Developmental lactase deficiency Terdapat pada bayi prematur dengan usia kehamilan 26-32 minggu. Kelainan ini terjadi karena akKvitas laktase belum opKmal. –  Congenital lactase deficiency Kelainan dasarnya adalah Kdak terdapatnya enzim laktase pada brush border epitel usus halus. Kelainan ini jarang ditemukan dan menetap seumur hidup –  Gene)cal lactase deficiency Kelainan ini Kmbul secara perlahan-lahan sejak anak berusia 2-5 tahun hingga dewasa. Kelainan ini umumnya terjadi pada ras yang Kdak mengkonsumsi susu secara ruKn dan diturunkan secara autosomal resesif

•  Defisiensi laktase sekunder

–  Akibat penyakit gastrointesKnal yang menyebabkan kerusakan mukosa usus halus, seperK infeksi saluran cerna. –  umumnya bersifat sementara dan akKvitas laktase akan normal kembali setelah penyakit dasarnya disembuhkan.

Patogenesis •  Laktosa Kdak dapat diabsorpsi sebagai disakarida, tetapi harus dihidrolisis menjadi glukosa dan galaktosa dengan bantuan enzim laktase di usus halus. •  Bila akKvitas laktase turun atau Kdak ada è laktosa Kdak diabsorpsi dan mencapai usus bagian distal atau kolon è tekanan osmoKk meningkat è menarik air dan elektrolit sehingga akan memperbesar volume di dalam lumen usus è diare osmoKk •  Keadaan ini akan merangsang peristalKk usus halus sehingga waktu singgah dipercepat dan mengganggu penyerapan.

Patogenesis •  Di kolon, laktosa akan difermentasi oleh bakteri kolon è menghasilkan asam laktat dan asam lemak rantai pendek lainnya seperK asam asetat, asam buKrat, dan asam propionat è Fenomena ini menerangkan feses yang cair, asam, berbusa dan kemerahan pada kulit di sekitar dubur (eritema natum). •  Fermentasi laktosa oleh bakteri di kolon è menghasilkan beberapa gas seperK hidrogen, metan dan karbondioksida è distensi abdomen, nyeri perut, dan flatus. •  Selanjutnya, 80% dari gas tersebut akan dikeluarkan melalui rektum dan sisanya akan berdifusi ke dalam sistem portal dan dikeluarkan melalui sistem pernapasan. •  Feses sering mengapung karena kandungan gas yg Knggi dan juga berbau busuk.

Gejala Klinis •  Intoleransi laktosa dapat bersifat asimtomaKs atau memperlihatkan berbagai gejala klinis •  Berat atau ringan gejala klinis yang diperlihatkan tergantung dari akKvitas laktase di dalam usus halus, jumlah laktosa, cara mengkonsumsi laktosa, waktu pengosongan lambung, waktu singgah usus, flora kolon, dan sensiKfitas kolon terhadap asidifikasi.

•  Gejala klinis yang diperlihatkan dapat berupa rasa mual, muntah, sakit perut, kembung dan sering flatus. •  Rasa mual dan muntah merupakan gejala yang paling sering ditemukan •  Pada uji toleransi laktosa rasa penuh di perut dan mual Kmbul dalam waktu 30 menit, sedangkan nyeri perut, flatus dan diare Kmbul dalam waktu 1-2 jam setelah mengkonsumsi larutan laktosa

Pemeriksaan Penunjang •  Analisis Knja, prinsipnya ditemukan asam dan bahan pereduksi dalam Knja setelah makan yg mengandung laktosa, ada 3 metode:

–  Metode klini test (detects all reducing substances in stool; of primary interest are glucose, lactose, fructose, galactose, maltose, and pentose) –  Kromatografi Knja –  pH Knja à Knja bersifat asam

•  Uji toleransi laktosa: merupakan uji kuanKtaKf; memeriksa kadar gula darah setelah konsumsi laktosa •  Pemeriksaan radiologis lactosa-barium meal •  Ekskresi galaktos pada urin •  Uji hidrogen napas à metode pilihan pada intoleransi laktosa karena bersifat noninvasif, memiliki sensiKvitas dan efekKvitas yang Knggi •  Biopsi usus dan pengukuran akKvitas laktase

Clinitest Method •  Clinitest is a reagent tablet based on the Benedict's copper reducKon reacKon, combining reacKve ingredients with an integral heat generaKng system. •  The test is used to determine the amount of reducing substances (generally glucose) in urine/stools. •  Clinitest provides clinically useful informaKon on carbohydrate metabolism.

Principle •  Copper sulfate in Clinitest reacts with reducing substances in urine/stools converKng cupric sulfate to cuprous oxide. •  The resultant color, which varies with the amount of reducing substances present, ranges from blue through green to orange.

Clinitest • 

• 

• 

The Clinitest® reacKon detects all reducing substances in stool; of primary interest are glucose, lactose, fructose, galactose, maltose, and pentose. Reference Range: NegaKve. A result of 0.25% to 0.5% is suspicious for a carbohydrate absorpKon abnormality, >= 0.75% is abnormal. Test LimitaKons: Assay results have relevance for liquid stool samples; assay results have lifle relevance for formed stool samples.

• 

• 

• 

• 

TesKng for reducing substances in stool is used in diagnosing the cause of diarrhea in children. Increased reducing substances in stool are consistent with primary or secondary disaccharidase deficiency and intes_nal monosaccharide malabsorp_on. Similar intesKnal absorpKon deficiencies are associated with short bowel syndrome and necroKzing enterocoliKs. Stool reducing substances is also helpful in diagnosing between osmo_c diarrhea caused by abnormal excre_on of various sugars as opposed to diarrhea caused by viruses and parasites.

Tatalaksana •  Sebagian besar self limited, cukup menjaga status hidrasi agar Kdak dehidrasi dan menjaga asupan nutrisi •  Pemberian cairan rehidrasi oral (CRO) hipotonik •  Rehidrasi cepat (3-4 jam) •  ASI harus tetap diberikan •  Realimentasi segera dengan makanan sehari-hari •  Susu formula yang diencerkan Kdak dianjurkan •  Susu formula khusus diberikan sesuai indikasi •  AnKbioKk hanya berdasarkan indikasi kuat.

•  PerKmbangan pengganKan susu formula selama diare akut (diare kurang dari 7 hari), sebagai berikut : •  Diare tanpa dehidrasi dan dehidrasi ringan-sedang : susu formula normal dilanjutkan •  Diare tanpa dehidrasi atau dehidrasi ringan-sedang dengan gejala klinis intoleransi laktosa yang berat (selain diare) dapat diberikan susu formula bebas laktosa. •  Diare dengan dehidrasi berat diberikan susu formula bebas laktosa •  Pemberian susu formula untuk alergi pada anak dengan diare akut tanpa jelas petanda alerginya adalah Kdak rasional.

FOOD ALLERGY

Food Allergy •  •  •  •  • 

HipersensiKvitas terhadap protein di dalam makanan (cth kasein & whey dari produk sapi) Mekanisme pertahanan spesifik dan non-spesifik saluran cerna belum sempurna, anKgen masuk lewat saluran cerna à hipersensiKvitas HipersensiKvitas bisa diperantarai IgE atau Tidak diperantarai IgE The prevalence of food allergies has been esKmated to be 5-6% in infants and children younger than 3 years and 3.7 % in adults Gejala: –  –  –  – 

•  • 

AnafilakKk Kulit: dermaKKs atopik, urKkaria, angioedema Saluran nafas: asma, riniKs alergi Saluran cerna: oral allergy syndrome, esofagiKs eosinofilik, gastriKs eosinofilik, gastroenteriKs eosinofilik, konsKpasi kronik, dll.

Pemeriksaan: skin test, IgE serum, eliminasi diet, food challenge Tata laksana: –  Eliminasi makanan yang diduga mengandung alergen –  Breas^eeding, ibu ikut eliminasi produk susu sapi dalam dietnya –  Susu terhidrolisat sempurna bila susah untuk breas^eeding Nocerino A. Protein intolerance. hfp://emedicine.medscape.com/arKcle/931548-overview

PPM IDAI

Intoleransi Laktosa VS Milk Allergy INTOLERANSI LAKTOSA

MILK ALLERGY o  reaksi hipersensiKvitas terhadap protein susu sapi. Dapat melalui 2 mekanisme : 1). Diperantarai IgE ; 2). Non IgE (rx hipersensiKvitas Kpe IV)

Definisi

o  KeKdakmampuan tubuh untuk mencerna “gula susu/laktosa” akibat defisiensi enzim laktase. o  reaksi non – imunologis

Manifestasi klinis

o  mual, keram perut, kembung, nyeri perut, flatus dan diare o  gejala muncul dalam waktu 15 menit hingga beberapa jam setelah mengkonsumsi laktosa

Pemeriksaan Klinis

o  Double blind placebo controlled food o  Analisis Knja : challenge (DBPCFC) à gold standar •  Metode klini test à lebih banyak untuk riset •  Kromatografi Knja o  pemeriksaan lain yang resiko lebih •  pH Knja à Knja bersifat asam rendah namun memiliki efikasi yg o  Pemeriksaan radiologis lactosasama barium meal • skin prick test, pengukuran o  Ekskresi galaktos pada urin anKbodi IgE spesifik terhadap o  Uji hidrogen napas protein susu sapi, patch test

Manifestasi Kdak hanya pada sal. cerna, tetapi juga pada mukosa, kulit, hingga saluran napas

STOMATITIS APHTOSA DAN HERPETIC

StomaKKs aphtosa •  StomaKKs aphtosa/ •  EKologi stomaKKs rekuren -  GeneKk •  Gejala klinis: -  Trauma -  Ulserasi mulKpel -  Alergi makanan -  Rekuren -  Gangguan hormon -  Nyeri -  Defisiensi nutrisi -  Pada mukosa mulut -  Stres

Klasifikasi dan tatalaksana •  Tipe A (Minor/ Mikulicz ulcer; 80-85% of cases): ukuran <1cm, jumlah 1-5 cm, sembuh dalam 7-10 hari. Tx/kumur anKsepKk dan underlying condiKon. •  Tipe B (Mayor/ Sufon ulcer, periadeniKs mucosa necroKca recurrens; 5-10% of cases): besar dan dalam, ukuran >1cm, sembuh lebih lama (beberapa minggu) dan meninggalkan parut. Tx/Terapi A+korKkosteroid topikal. DOC: triamcinolone •  HerpeKformis (<5% of cases): kecil dan banyak, ukuran 1-3mm, 5-100 ulkus, mirip lesi herpes, sembuh dalam 10-14 hari. Tx/Atasi underlying condiKon+steroid oral

Tipe A (Minor/ Mikulicz ulcer; 80-85% of cases)

Tipe B (Mayor/ Sufon ulcer, periadeniKs mucosa necroKca recurrens; 5-10% of cases)

HerpeKformis (<5% of cases)

Gingivostoma__s Herpe_c •  Disebabkan oleh virus HSV-1. –  Umumnya terjadi pada anak usia 6 bln-5 tahun –  Pada dewasa à bentuk lebih ringan dan melibatkan faring posterior

•  Masa inkubasinya 3-6 hari. •  PaKents present with mul_ple painful ulcers –  1 to 2mm in diameter surrounded by erythematous Kssue on all mucosal surfaces of the oral cavity –  Pain upon eaKng, especially salty or acidic foods –  Low fever and malaise also are present and paKents o€en become under-nourished or dehydrated

•  Tanda dan gejala klinis: Onset mendadak Didahului demam Knggi Anoreksia, lemah lesu LimfeadenopaK servikal, submental, dan submaksila –  Tanda gingiviKs (gusi bengkak, eritematosa) –  Lesi vesikular yang terasa nyeri di mukosa mulut, lidah, bibir, dapat hingga ke palatum –  Sulit menelan –  –  –  – 

VIRAL INFECTIONS Primary herpes infecKon: Symptoms: 1. 

Painful generalized ulcers on oral mucosa. SomeKmes it appears extra-orally.

2. 

Low fever and malaise. PaKents o€en are under-nourished due to pain upon eaKng.

3. 

Self-limiKng. Will last 10 to 14 days.

Occurs frequently in young children

VIRAL INFECTIONS Primary herpes infecKon: Treatment: 1. 

PalliaKve treatment

2. 

Viscous topical anestheKc.

3. 

Nutrient supplements.

4. 

Acyclovir (anK-viral agent)

StomaKKs aphtosa

StomaKKs herpeKca

Stoma__s Herpe_c

Stoma__s Aphthosa

EKologi: Virus HSV-1

EKologi: Kdak jelas. Berhubungan dengan faktor geneKk dan stress

Didahului demam Knggi atau subfebris

Umumnya Kdak didahului demam

Onset mendadak

Lesi berkembang dari beberapa hari (24-48 jam)

Lesi vesikular

Lesi umumnya berbetuk bulat, tepi inflamasi, bagian tengah puKh atau kuning

Lesi melipuK rongga mulut, lidah, bibir, hingga palatum

Lesi terbatas di mukosa rongga mulut yang bergerak seperK bibir, buccal, dan dasar rongga mulut

Pengobatan: asiklovir

Biasanya dapat sembuh dengan sendirinya (Self-limi)ng) Dapat diberikan triamcinolon

INFEKSI

PERTUSSIS

Pertusis •  Batuk rejan (pertusis) adalah penyakit akibat infeksi Bordetella pertussis dan Bordetella parapertussis (basil gram -) •  KarakterisKk : uncontrollable, violent coughing which o€en makes it hard to breathe. A€er fits of many coughs needs to take deep breathes which result in a "whooping" sound. •  Anak yang menderita pertusis bersifat infeksius selama 2 minggu sampai 3 bulan setelah terjadinya penyakit

Pertusis •  Stadium: –  Stadium katarrhal: hidung tersumbat, rinorrhea, demam subfebris. Sulit dibedakan dari infeksi biasa. Penularan terjadi dalam stadium ini. –  Stadium paroksismal: batuk paroksismal yang lama, bisa diikuK dengan whooping atau stadium apnea. Bisa disertai muntah. –  Stadium konvalesens: batuk kronik hingga beberapa minggu Guinto-Ocampo H. Pediatric pertussis. hfp://emedicine.medscape.com/arKcle/967268overview

Diagnosis dan Tatalaksana Pertusis •  Diagnosis : –  Curiga pertusis jika anak batuk berat lebih dari 2 minggu, terutama jika penyakit diketahui terjadi lokal. –  Tanda diagnosKk : Batuk paroksismal diiku_ whoop saat inspirasi disertai muntah, perdarahan subkonjungKva, riwayat imunisasi (-), bayi muda dapat mengalami henK napas sementara/sianosis

•  Penatalaksanaan : –  Kasus ringan pada anak-anak umur ≥ 6 bulan dilakukan secara rawat jalan –  < 6 bulan, dengan pneumonia, kejang, dehidrasi, gizi buruk, henK napas, atau sianosis dirawat di RS

•  Pemeriksaan penunjang –  Leukosit dan hitung jenis sel: Leukositosis (15.000-100.000/mm3) dengan limfositosis absolut –  IgG terhadap toksin pertusis: Didapatkan anKbodinya (IgG terhadap toksin pertusis) Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit. WHO. 2008

Tatalaksana •  SuporKf umum (terapi oksigen dan venKlasi mekanik jika dibutuhkan) •  Observasi ketat diperlukan pada bayi, untuk mencegah/mengatasi terjadinya apnea, sianosis, atau hipoksia •  Pasien diisolasi (terutama bayi) selama 4 minggu, diutamakan sampai 5-7 hari selesai pemberian anKbioKk. Gejala batuk paroksismal setelah terapi anKbioKk Kdak berkurang, namun terjadi penurunan transmisi setelah pemberian terapi hari ke-5 •  Belum ada studi berbasis bukK untuk pemberian korKkosteroid, albuterol, dan beta- 2-adrenergik lainnya, serta belum terbukK efekKf sebagai terapi pertusis. •  Dilakukan penilaian kondisi pasien, apakah terjadi apnea, spel sianoKk, hipoksia dan/ atau dehidrasi. •  Terapi an_bio_k: Tujuan farmakoterapi adalah menghilangkan infeksi, mengurangi morbiditas, dan mencegah kompilkasi. •  Beri imunisasi DPT pada pasien pertusis dan seKap anak dalam keluarga

Penyulit/ Komplikasi •  •  •  •  •  •  • 

Pneumonia Atelektasis Ruptur alveoli Emfisema Bronkiektasis Pneumotoraks Ruptur diafragma

•  Kejang •  Tanda perdarahan, berupa: Epistaksis, melena, perdarahan subkonjungKva, hematom epidural, perdarahan intrakranial •  MeningoensefaliKs, ensefalopaK, koma •  Dehidrasi dan gangguan nutrisi •  Hernia umbilikalis/ inguinalis, prolaps rekK

CROUP

Croup •  Croup (laringotrakeobronkiKs viral) adalah infeksi virus di saluran nafas atas yang menyebabkan penyumbatan •  Merupakan penyebab stridor tersering pada anak •  Gejala: batuk menggonggong (barking cough), stridor, demam, suara serak, nafas cepat disertai tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam

Steeple sign

Pemeriksaan •  Croup is primarily a clinical diagnosis •  Laboratory test results rarely contribute to confirming this diagnosis. The complete blood cell (CBC) count may suggest a viral cause with lymphocytosis •  Radiography : verify a presumpKve diagnosis or exclude other disorders causing stridor. –  The anteroposterior (AP) radiograph of the so€ Kssues of the neck classically reveals a steeple sign (also known as a pencil-point sign), which signifies subglo{c narrowing –  Lateral neck view may reveal a distended hypopharynx (ballooning) during inspiraKon

•  Laryngoscopy is indicated only in unusual circumstances (eg, the course of illness is not typical, the child has symptoms that suggest an underlying anatomic or congenital disorder)

Klasifikasi dan Penatalaksanaan Ringan •  Gejala: –  –  –  – 

Demam Suara serak Batuk menggonggong Stridor bila anak gelisah

•  Terapi: –  Rawat jalan –  Pemberian cairan oral, ASI/ makanan yang sesuai –  SimtomaKk

Berat •  Gejala: –  Stridor saat isKrahat –  Takipnea –  Retraksi dinding dada bagian bawah

•  Terapi: –  Steroid (dexamethasone) dosis tunggal (0,6 mg/kg IM/PO) dapat diulang dalam 6-24 jam –  Epinefrin 1:1000 2 mL dalam 2-3 mL NS, nebulisasi selama 20 menit

WHO. Buku saku pelayanan kesehatan anak di rumah sakit. WHO; 2008.

EKSANTEMA AKUT

EKSANTEMA AKUT

Morbili/Rubeola/Campak • 

• 

• 

• 

Pre-erup_ve Stage –  Demam –  Catarrhal Symptoms – coryza, conjuncKviKs –  Respiratory Symptoms – cough Erup_ve Stage/Stage of Skin Rashes –  Exanthem sign •  Maculopapular Rashes – Muncul 2-7 hari setelah onset •  Demam Knggi yang menetap •  Anoreksia dan iritabilitas •  Diare, pruriKs, letargi dan limfadenopaK oksipital Stage of Convalescence –  Rash – menghilang sama dengan urutan munculnya (muka lalu ke tubuh bag bawah) → membekas kecoklatan –  Demam akan perlahan menghilang saat erupsi di tangan dan kaki memudar Tindakan Pencegahan : –  Imunisasi Campak pada usia 9 bulan –  Mencegah terjadinya komplikasi berat

Morbili •  Paramyxovirus •  Kel yg rentan:

•  Prodromal

•  Musin: akhir musim dingin/ musim semi •  Inkubasi: 8-12 hari •  Masa infeksius: 1-2 hari sblm prodromal s.d. 4 hari setelah muncul ruam

•  Enanthem à ruam kemerahan •  Koplik’s spots muncul 2 hari sebelum ruam dan bertahan selama 2 hari.

–  Anak usia prasekolah yg blm divaksinasi –  Anak usia sekolah yang gagal imunisasi

–  Hari 7-11 setelah eksposure –  Demam, batuk, konjungKviKs,sekret hidung. (cough, coryza, conjuncKviKs à 3C)

Morbili KOMPLIKASI •  OKKs Media (1 dari 10 penderita campak pada anak) •  Diare (1 dari 10 penderita campak) •  Bronchopneumonia (komplikasi berat; 1 dari 20 anak penderita campak) •  EncephaliKs (komplikasi berat; 1 dari 1000 anak penderita campak) •  PericardiKs •  Subacute sclerosing panencephaliKs – late sequellae due to persistent infecKon of the CNS; 7-10 tahun setelahnya; 1: 100,000 orang)

DIAGNOSIS & TERAPI •  Diagnosis: –  manifestasi klinis, tanda patognomonik bercak Koplik –  isolasi virus dari darah, urin, atau sekret nasofaring –  pemeriksaan serologis: Kter anKbodi 2 minggu setelah Kmbulnya penyakit

•  Terapi: –  SuporKf, pemberian vitamin A 2 x 200.000 IU dengan interval 24 jam.

Penatalaksanaan •  Terapi suporKf diberikan dengan menjaga cairan tubuh dan mengganK cairan yang hilang dari diare dan emesis. •  Obat diberikan untuk gejala simptomaKs, demam dengan anKpireKk. •  Jika terjadi infeksi bakteri sekunder, diberikan anKbioKk. •  Suplementasi vitamin A diberikan pada: –  –  –  – 

Bayi usia kurang dari 6 bulan 50.000 IU/hari PO diberi 2 dosis. Umur 6-11 bulan 100.000 IU/hari PO 2 dosis. Umur di atas 1 tahun 200.000 IU/hari PO 2 dosis. Anak dengan tanda defisiensi vitamin A, 2 dosis pertama sesuai umur, dilanjutkan dosis keKga sesuai umur yang diberikan 2-4 minggu kemudian.

Konseling & Edukasi •  Edukasi keluarga dan pasien bahwa morbili merupakan penyakit yang menular. •  Namun demikian, pada sebagian besar pasien infeksi dapat sembuh sendiri, sehingga pengobatan bersifat suporKf. •  Edukasi penKngnya memperhaKkan cairan yang hilang dari diare/ emesis. •  Untuk anggota keluarga/kontak yang rentan, dapat diberikan vaksin campak atau human immunoglobulin untuk pencegahan. •  Vaksin efekKf bila diberikan dalam 3 hari terpapar dengan penderita. •  Imunoglobulin dapat diberikan pada individu dengan gangguan imun, bayi umur 6 bulan -1 tahun, bayi umur kurang dari 6 bulan yang lahir dari ibu tanpa imunitas campak, dan wanita hamil.

Measles Virus Taxonomy •  Species : Measles morbillivirus •  Genus : Morbillivirus •  Family : Paramyxoviridae •  Order : Mononegavirales •  Single-stranded, negaKve-sense, enveloped (non-segmented) RNA virus hfps://www.cdc.gov/measles/about/photos.html

Electron Micrograph of Measles virus

3D graphical representaKon of a spherical-shaped, measles virus parKcle

Rubella •  Togavirus •  AsymptomaKk hingga 50% •  Yg rentan: orang dewasa •  Prodromal yang belum divaksinasi –  Anak-anak: Kdak bergejala •  Musim: akhir musim s.d. gejala ringan dingin/ awal musim semi. –  Dewasa: demam, malaside, •  Inkubasi 14-21 hari nyeri tenggorokan, mual, anoreksia, limfadeniKs •  Masa infeksius: 5-7 hari oksipital yg nyeri. sblm ruam s.d. 3-5 hari setelah ruam muncul •  Enanthem –  Forschheimer’s spots èpetekie pada hard palate

Rubella - komplikasi •  Arthralgias/arthriKs pada org dewasa •  Peripheral neuriKs •  encephaliKs •  thrombocytopenic purpura (jarang) •  Congenital rubella syndrome –  Infeksi pada trimester pertama –  IUGR, kelainan mata, tuli, kelainan jantung, anemia, trombositopenia, nodul kulit.

Roseola Infantum ≈ Exanthem Subitum •  Human Herpes Virus 6 (and 7) •  Yg rentan: 6-36 bulan (puncak 6-7 bulan) •  Musim: sporadik •  Inkubasi: 9 hari •  Masa infeksius: berada dalam saliva secara intermiten sepanjang hidup; infeksi asimtomaKk persisten.

•  Demam Knggi 3-4 hari •  Demam turun mendadak dan mulai Kmbul ruam kulit. •  Kejang yang mungkin Kmbul berkaitan dengan infeksi pada meningens oleh virus.

Roseola Infantum ≈ Exanthem Subitum •  Roseola infantum atau disebut juga exanthema subitumà penyakit akut yang bersifat self limited pada bayi dan anak-anak •  Gejala utamanya berupa demam Knggi dan mendadak, yang biasanya akan turun mendadak juga setelah 72 jam. •  Begitu demam turun, ruam kulit muncul dengan karakterisKk eritematosa berukuran morbiliformis, Kdak gatal, dan predileksi terutama di batang tubuh. •  Ruam-ruam ini akan menghilang dengan sendirinya setelah 1-3 hari, dan bisa menyebar ke perifer tubuh •  Pada beberapa kasus dapat disertai gejala lain berupa eritema pada faring, injeksi konjungKva, eritema pada membran Kmpani, atau pembesaran KGB •  Pada populasi Asia dapat muncul ulkus di uvulopalatoglassal juncKon ( Nagayama spots ) Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, Geme JWS, Behrman RE. Nelson textbook of pediatrics

Scarlet Fever •  Sindrom yang memiliki karakterisKk: faringiKs eksudaKf, demam, dan rash. •  Disebabkan oleh group AbetahemolyKcstreptococci (GABHS) •  Masa inkubasi 1-4 hari. •  Manifestasi pada kulit diawali oleh infeksi streptokokus (umumnya pada tonsillopharynx) : nyeri tenggorokan dan demam Knggi, disertai nyeri kepala, mual, muntah, nyeri perut, myalgia, dan malaise.

•  Rash : Timbul 12-48 jam setelah onset demam. Dimulai dari leher kemudian menyebar ke badan dan ekstremitas. •  Pemeriksaan : Throat culture posiKve for group A strep •  Tatalaksana : AnKbioKk anKstreptokokal minimal 10 hari (Eritromisin atau Penicillin G)

Scarlet Fever. hfp://emedicine.medscape.com/arKcle/1053253-overview

MUMPS

Anatomy of Salivary gland •  3 major salivary glands: –  The paroKd glands –  The submandibular glands –  The sublingual glands

•  Many minor salivary glands in mucosa of cheeks, lips, palate.

Mumps (ParoKKs Epidemica) •  Acute, self-limited, systemic viral illness characterized by the swelling of one or more of the salivary glands, typically the paroKd glands. •  Highly infecKous to nonimmune individuals and is the only cause of epidemic paroKKs. •  Taksonomi: –  –  –  – 

Species: Mumps rubulavirus Genus: Rubulavirus Family: Paramyxoviridae Order: Mononegavirales

Mumps •  Salah satu penyebab paroKKs •  Satu-satunya penyebab paroKKs yang mengakibatkan “occasional outbreak” •  Disebabkan oleh paramyxovirus, dengan predileksi pada kelenjar dan jaringan syaraf. •  The transmission mode is person to person via respiratory droplets and saliva, direct contact, or fomites. •  Insidens puncak pada usia 5-9 tahun. •  Imunisasi dengan live aTenuated vaccine sangat berhasil (98%)

•  Penularan terjadi sejak 6 hari sebelum Kmbulnya pembengkakan paroKs sampai 9 hari kemudian. •  Bisa tanpa gejala •  Masa inkubasi 12-25 hari, gejala prodromal Kdak spesifik ditandai dengan mialgia, anoreksia, malaise, sakit kepala dan demam ringan à Setelah itu Kmbul pembengkakan unilateral/ bilateral kelejar paroKs. •  Gejala ini akan berkurang setelah 1 minggu dan biasanya menghilang setelah 10 hari.

Mumps •  Komplikasi : MeningiKs/encephaliKs, Sensorineural hearing loss/deafness, Guillain-Barré syndrome, ThyroidiKs, MyocardiKs, orchiKs (terjadi pada laki-laki usia postpubertal) •  Approximately one third of postpubertal male paKents develop unilateral orchiKs. •  PrevenKon : Vaccina_ng children with MMR Jadwal IDAI 2017: jika sudah imunisasi campak 9 bulan, MMR diberikan usia 15 bulan (interval minimal 6 bulan); jika belum mendapat campak 9 bulan, MMR bisa diberikan usia 12 bulan

Mumps Treatment •  ConservaKve, supporKve medical care is indicated for paKents with mumps. •  No anKviral agent is indicated, as mumps is a selflimited disease. •  Encouraging oral fluid intake •  Refrain from acidic foods and liquids as they may cause swallowing difficulty, as well as gastric irrita_on. •  Analgesics (acetaminophen, ibuprofen) •  Topical applicaKon of warm or cold packs to the swollen paroKd may soothe the area.

MMR •  Merupakan vaksin kombinasi untuk Measles (Campak), Mumps (ParoKKs), dan Rubella •  Vaksin kering, mengandung virus hidup, disimpan pada temperatur 2-8⁰C, dan terlindung dari cahaya •  Pemberian dengan dosis tunggal 0.5 ml intramuskular atau subkutan dalam •  Harus diberikan sekalipun ada riwayat infeksi campak, gondongan, dan rubella •  Jadwal IDAI 2017: jika sudah imunisasi campak 9 bulan, MMR diberikan usia 15 bulan (interval minimal 6 bulan); jika belum mendapat campak 9 bulan, MMR bisa diberikan usia 12 bulan

PULMONOLOGI

PNEUMONIA

Pneumonia •  Peradangan/inflamasi parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas setempat. E_ologic Agents Grouped By Age Of The Pa_ent Age group

Frequent Pathogens (In order of Frequency)

Neonates (<3 wk)

Group B streptococcus, Escherichia coli, other gram negaKve bacilli, Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae (type b)

3 wk-3 mo

Respiratory syncyKal virus, other respiratory viruses (parainfluenza viruses, influenza viruses, adenovirus), S. pneumoniae, H. influenzae (type b); if paKent is afebrile, consider Chlamydia trachomaKs

4 mo- 4 yr

Respiratory syncyKal virus, other respiratory viruses (parainfluenza viruses, influenza viruses, adenovirus), S. pneumoniae, H. infl uenzae (type b), Mycoplasma pneumoniae, group A streptococcus

≥5 yr

M. pneumoniae, S. pneumoniae, Chlamydophila pneumoniae, H. influenzae (type b), infl uenza viruses, adenovirus, other respiratory viruses, Legionella pneumophila

Sumber : Kllegman RM, Staton BF, Schor N,et all. Nelson Texbook of Pediatrics. 19th ediKon. New York : Saunders; 2011.

Pneumonia •  Tanda utama menurut WHO: fast breathing & lower chest indrawing •  Signs and symptoms : –  Non respiratory: fever, headache, faKgue, anorexia, lethargy, vomiKng and diarrhea, abdominal pain –  Respiratory: cough, chest pain, tachypnea , grunKng, nasal flaring, subcostal retracKon (chest indrawing), cyanosis, crackles and rales (ronchi)

Fast breathing (tachypnea) Respiratory thresholds Age Breaths/minute < 2 months 60 2 - 12 months 50 1 - 5 years 40

AGE

COMMON ETIOLOGIES (as in order)

LESS COMMON ETIOLOGIES

2 to 24 months

RSV Human metapneumovirus Parainfluenza viruses Influenza A and B Rhinovirus Adenovirus Enterovirus

Streptococcus pneumoniae Chlamydia trachomatis

Mycoplasma pneumoniae Haemophilus influenzae (type B and nontypable) Chlamydophila pneumoniae

2 to 5 years

Respiratory syncytial virus Human metapneumovirus Parainfluenza viruses Influenza A and B Rhinovirus Adenovirus Enterovirus Rhinovirus Adenovirus Influenza A and B

S. pneumoniae M. pneumoniae H. influenzae (B and nontypable) C. pneumoniae

Staphylococcus aureus (including methicillin-resistant S. aureus) Group A streptococcus

M. pneumoniae C. pneumoniae S. pneumoniae

H. influenzae (B and nontypable) S. aureus (including methicillinresistant S. aureus) Group A streptococcus Respiratory syncytial virus Parainfluenza viruses Human metapneumovirus Enterovirus

Older than 5 years

Patofisiologi

RESOLUTION Sumber : Rubin E, Resiner H. EssenKals of Rubin’s Pathology. 6th ediKon. New York : Lippincot ; 2014.

Klasifikasi Pneumonia Berdasarkan Lokasi Anatomis

Manifestasi Klinis •  Infeksi umum à demam, sakit kepala, gelisah, malaise, penurunan nafsu makan, keluhan gastrointesKnal seperK mual, muntah atau diare; kadang-kadang ditemukan gejala infeksi ekstrapulmoner. •  Gangguan respiratori à batuk, sesak napas, retraksi dada, takipnea, napas cuping hidung, air hunger, merinKh, dan sianosis.

Pneumonia •  Hubungan antara diagnosis klinis dan Klasifikasi-Pneumonia (MTBS) Diagnosis (Klinis) Pneumonia berat (rawat inap) •  Tanpa gejala hipoksemia •  Dengan gejala hipoksemia •  Dengan komplikasi Pneumonia ringan (rawat jalan) Infeksi respiratori akut atas

Klasifikasi (MTBS) Penyakit sangat berat (Pneumonia berat)

Pneumonia Batuk: bukan pneumonia

Sumber :WHO. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di RS. Pedoman Bagi RS Rujukan Tk I di Kabupaten/Kota.

Klasifikasi Pneumonia (WHO) dan kriteria rawat inap

Kriteria rawat inap

Pneumonia Ringan •  Dx à disamping batuk atau kesulitan bernapas, hanya terdapat napas cepat saja. •  Napas cepat: •  pada anak umur 2 bulan – 11 bulan: ≥ 50 kali/menit •  pada anak umur 1 tahun – 5 tahun : ≥ 40 kali/menit •  Tx à rawat jalan, beri anKbioKk : Kotrimoksasol (4 mg TMP/kg BB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari atau Amoksisilin (25 mg/kg BB/kali) 2 kali sehari selama 3 hari.

Pneumonia Berat •  Dx à Batuk dan atau kesulitan bernapas ditambah minimal salah satu hal berikut ini: •  Kepala terangguk-angguk •  Pernapasan cuping hidung •  Tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam •  Foto dada menunjukkan gambaran pneumonia (infiltrat luas, konsolidasi) •  Selain itu bisa didapatkan pula tanda berikut ini: •  Napas cepat •  Suara merinKh (grun_ng) pada bayi muda •  Pada auskultasi terdengar : Crackles (ronki), suara pernapasan menurun, suara pernapasan bronkial •  Dalam keadaan yang sangat berat dapat dijumpai: Tidak dapat menyusu atau minum/ makan, atau memuntahkan semuanya, Kejang, letargis atau _dak sadar, sianosis, distres pernapasan berat.

Tatalaksana Pneumonia Berat Beri ampisilin/amoksisilin (25-50 mg/kgBB/kali IV atau IM seKap 6 jam), yang harus dipantau dalam 24 jam selama 72 jam pertama. Bila anak memberi respons yang baik maka diberikan selama 5 hari. Selanjutnya terapi dilanjutkan di rumah atau di rumah sakit dengan amoksisilin oral (15 mg/ kgBB/kali Kga kali sehari) untuk 5 hari berikutnya.

Bila keadaan klinis memburuk sebelum 48 jam, atau terdapat keadaan yang berat (Kdak dapat menyusu atau minum/makan, atau memuntahkan semuanya, kejang, letargis atau Kdak sadar, sianosis, distres pernapasan berat) maka ditambahkan kloramfenikol (25 mg/kgBB/kali IM atau IV seKap 8 jam). Bila pasien datang dalam keadaan klinis berat, segera berikan oksigen dan pengobatan kombinasi ampilisin-kloramfenikol atau ampisilin-gentamisin. Sebagai alternaKf, beri seoriakson (80-100 mg/kgBB IM atau IV sekali sehari.



Gambaran Radiologis DISEASE

RADIOGRAPHY

Pneumonia lobaris

CharacterisKcally, there is homogenous opacificaKon in a lobar pafern. The opacificaKon can be sharply defined at the fissures, although more commonly there is segmental consolidaKon. The non-opacified bronchus within a consolidated lobe will result in the appearance of air bronchograms.

Pneumonia lobularis/ bronko pneumonia

associated with suppuraKve peribronchiolar inflammaKon and subsequent patchy consolidaKon of one or more secondary lobules of a lung in response to a bacterial pneumoniAssociated a: mulKple small nodular or reKculonodular opaciKes which tend to be patchy and/or confluent.

Asthma

bronkioli_s

pulmonary hyperinflaKon Increased Bronchial wall markings (most characterisKc) à Associated with thicker Bronchial wall, inflammaKon Flafening of diaphragm (with chronic inflammaKon or Associated with accessory muscle use) HyperinflaKon (variably present) Patchy infiltrates (variably present) from Atelectasis Hyperexpansion (showed by diaphragm flafening), hyperluscent, Peribronchial thickening Variable infiltrates or Viral Pneumonia

Bronchopneumonia

Pneumonia Lobaris

EKology: Pneumococcus Mycoplasma Gram negaKve organisms Legionella

Bronchioli_s

The x-ray shows lung hyperinflaKon with a flafened diaphragm and opacificaKon in the right lung apex (red circle) and le€ lung base (blue circle) from atelectasis. Obviously, the same changes can be seen in the x-ray of a child with acute asthma. This is one reason why children with acute asthma are o€en misdiagnosed as having pneumonia.

ATELECTASIS Chest radiographs and CT scans may demonstrate direct and indirect signs of lobar collapse. Direct signs include displacement of fissures and opacificaKon of the collapsed lobe. Indirect signs include •  displacement of the hilum, •  mediasKnal shi€ toward the side of collapse, •  loss of volume on ipsilateral hemithorax, •  elevaKon of ipsilateral diaphragm, •  crowding of the ribs, •  compensatory hyperlucency of the remaining lobes, •  silhoue{ng of the diaphragm or the heart border.

BRONKIOLITIS

Bronkioli_s •  InfecKon (inflammaKon) at bronchioli •  Bisa disebabkan oleh beberapa jenis virus, yang paling sering adalah respiratory syncyKal virus (RSV) •  Virus lainnya: influenza, parainfluenza, dan adenoviruses •  Predominantly < 2 years of age (2-6 months) •  Difficult to differenKate with pneumonia and asthma

BronkhioliKs

Bronchioli_s

Bronchioli_s: Management Mild disease •  SymptomaKc therapy Moderate to Severe diseases •  Life Support Treatment : O2, IVFD •  EKological Treatment –  AnK viral therapy (rare) –  AnKbioKc (if eKology bacteria) •  SymptomaKc Therapy –  Bronchodilator: controversial –  CorKcosteroid: controversial (not effecKve)

Tatalaksana BronkioliKs •  Walaupun pemakaian nebulisasi dengan beta2 agonis sampai saat ini masih kontroversi, tetapi masih bisa dianjurkan dengan alasan: –  Pada bronkioliKs selain terdapat proses inflamasi akibat infeksi virus juga ada bronkospasme dibagian perifer saluran napas (bronkioli) –  Beta agonis dapat meningkatkan mukosilier –  Sering Kdak mudah membedakan antara bronkioliKs dengan serangan pertama asma –  Efek samping nebulasi beta agonis yang minimal dibandingkan epinefrin.

Sari Pediatri

TUBERKULOSIS PADA ANAK

Tuberkulosis pada anak •  Pada umumnya anak yang terinfeksi Kdak menunjukkan gejala yang khas over/ underdiagnosed •  Batuk BUKAN merupakan gejala utama TB pada anak •  PerKmbangkan tuberkulosis pada anak jika : –  BB berkurang dalam 2 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas atau gagal tumbuh –  Demam sampai 2 minggu tanpa sebab yang jelas –  Batuk kronik 3 ≥ minggu –  Riwayat kontak dengan pasien TB paru dewasa

Petunjuk Teknis Tatalaksana TB Anak (Depkes 2016) •  Penegakan diagnosis TB anak didasarkan 4 hal :

–  Konfirmasi bakteriologis TB –  Gejala klinis yang khas TB –  Adanya bukK infeksi TB(tuberculin atau kontak TB) –  Foto thorax sugesKf TB

•  System skoring:

–  Telah digunakan untuk diagnosis TB anak –  Bila Kdak terdapat fasilitas pemeriksaan tuberculin dan foto thoraks, maka skoring ini akan Kdak dapat terpenuhi seluruh komponennya –  Sehingga dibuat alur diagnosKk berdasarkan klinis dan pemeriksaan bakteriologis

Sistem Skoring

Sistem Skoring •  •  •  •  • 

•  •  •  •  • 

Diagnosis oleh dokter Perhitungan BB dinilai saat pasien datang (moment opname) Demam dan batuk yang Kdak respons terhadap terapi baku Cut-of f point: ≥ 6 Anak dgn skor 6 yg diperoleh dari kontak dgn pasien BTA + dan hasil uji tuberkulin posiKf, tetapi TANPA gejala klinis, maka dilakukan observasi atau diberi INH profilaksis tergantung dari umur anak tersebut Foto toraks bukan merupakan alat diagnosKk utama pada TB anak Adanya skrofuloderma langsung didiagnosis TB Reaksi cepat BCG harus dievaluasi dengan sistem skoring Total nilai 4 pada anak balita atau dengan kecurigaan besar dirujuk ke rumah sakit

ALUR DIAGNOSIS BILA DIDAPATKAN GEJALA KLINIS

Prinsip Pengobatan TB Anak

Berat dan ringannya penyakit •  TB ringan: –  Kdak berisiko menimbulkan kecacatan berat atau kemaKan, misalnya TB primer tanpa komplikasi, TB kulit, TB kelenjar

•  TB berat: –  TB pada anak yang berisiko menimbulkan kecacatan berat atau kemaKan, misalnya TB meningiKs, TB milier, TB tulang dan sendi, TB abdomen, termasuk TB hepar, TB usus, TB paru BTA posiKf, TB resisten obat, TB HIV.

Petunjuk Teknis Manajemen TB Anak. 2016. Depkes.

KorKkosteroid pada TB Anak

Uji Tuberkulin •  Menentukan adanya respon imunitas selular terhadap TB. Reaksi berupa indurasi (vasodilatasi lokal, edema, endapan fibrin, dan akumulasi sel-sel inflamasi) •  Tuberkulin yang tersedia : PPD (purified protein derived) RT-23 2TU, PPD S 5TU, PPD Biofarma •  Cara : SunKkkan 0,1 ml PPD intrakutan di bagian volar lengan bawah. Pembacaan 48-72 jam setelah penyunKkan •  Pengukuran (pembacaan hasil) –  Dilakukan terhadap indurasi yang Kmbul, bukan eritemanya –  Indurasi dipalpasi, tandai tepi dengan pulpen. Catat diameter transversal. –  Hasil dinyatakan dalam milimeter. Jika Kdak Kmbul = 0 mm

•  Hasil: –  PosiKf jika indurasi >= 10mm –  Ragu-ragu jika 5-9 mm –  NegaKf < 5 mm

Pengobatan Profilaksis •  Pengobatan profilaksis hanya diberikan pada pasien dengan kontak TB dan Kdak bergejala, yaitu: –  kelompok infeksi laten TB (tuberculin posiKf) –  Terpajan (tuberculin negaKve)

•  Untuk menentukan kelompok pasien tersebut dilakukan invesKgasi kontak

ALUR INVESTIGASI KONTAK TB RO: kontakTB tersangka resisten Obat (RO) atau terbukK resisten Obat

Tatalaksana Pencegahan dengan Isoniazid •  Sekitar 50-60% anak yang Knggal dengan pasien TB paru dewasa dengan BTA sputum posiKf, akan terinfeksi TB juga. •  Kira-kira 10% dari jumlah tersebut akan mengalami sakit TB. •  Infeksi TB pada anak kecil berisiko Knggi menjadi TB berat (misalnya TB meningiKs atau TB milier) sehingga diperlukan pemberian kemoprofilaksis untuk mencegah terjadinya sakit TB.

Profilaksis TB pada Anak

KETERANGAN •  ILTBàInfeksi Laten TB •  Obat yang diberikan adalah INH (Isoniazid) dengan dosis 10 mg/kgBB (7-15 mg/kg) se_ap hari selama 6 bulan. •  SeKap bulan (saat pengambilan obat Isoniazid) dilakukan pemantauan terhadap adanya gejala TB. Jika terdapat gejala TB pada bulan ke 2, ke 3, ke 4, ke 5 atau ke 6, maka harus segera dievaluasi terhadap sakit TB dan jika terbukK sakit TB, pengobatan harus segera ditukar ke regimen terapi TB anak dimulai dari awal •  Jika rejimen Isoniazid profilaksis selesai diberikan (Kdak ada gejala TB selama 6 bulan pemberian), maka rejimen isoniazid profilaksis dapat dihenKkan. •  Bila anak tersebut belum pernah mendapat imunisasi BCG, perlu diberikan BCG setelah pengobatan profilaksis dengan INH selesai.

ASMA

Asma pada anak

Based on Pedoman Nasional Anak 2016 •  Penyakit saluran respiratori dengan dasar inflamasi kronik yang mengakibatkan obstruksi dan hiperreakKvitas saluran respiratori dengan derajat bervariasi. •  Manifestasi klinis asma dapat berupa batuk, wheezing, sesak napas, dada tertekan yang Kmbul secara kronik dan atau berulang, reversibel, cenderung memberat pada malam atau dini hari, dan biasanya Kmbul jika ada pencetus •  Chronic recurrent cough (batuk kronik berulang, BKB) dapat menjadi petunjuk awal untuk membantu diagnosis asma

Patogenesis asma pada anak

Patogenesis asma pada anak

Patofisiologi asma pada anak

Patofisiologi asma pada anak

Asma pada anak

Based on Pedoman Nasional Anak 2016 KARAKTERISTIK:

Ø  Gejala Kmbul secara episodik atau berulang. Ø  Timbul bila ada faktor pencetus. Ø  Iritan: asap rokok, asap bakaran sampah, asap obat nyamuk, suhu dingin, udara kering, makanan minuman dingin, penyedap rasa, pengawet makanan, pewarna makanan. Ø  Alergen: debu, tungau debu rumah, rontokan hewan, serbuk sari. Ø  Infeksi respiratori akut karena virus, selesma, common cold, rinofaringiKs Ø  AkKvitas fisis: berlarian, berteriak, menangis, atau tertawa berlebihan. Ø  Adanya riwayat alergi pada pasien atau keluarganya. Ø  Variabilitas, yaitu intensitas gejala bervariasi dari waktu ke waktu, bahkan dalam 24 jam. Biasanya gejala lebih berat pada malam hari (nokturnal). Ø  Reversibilitas, yaitu gejala dapat membaik secara spontan atau dengan pemberian obat pereda asma. Ø  Terdengar wheezing, baik yang terdengar langsung (audible wheeze) atau yang terdengar dengan stetoskop. Ø  Biasanya berhubungan dengan kondisi atopi lain seperK dermaKKs atopi atau riniKs alergi, dan dapat pula dijumpai tanda alergi seperK allergic shiners atau geographictongue.

Kriteria diagnosis asma pada anak Based on Pedoman Nasional Anak 2016

Alur diagnosis asma pada anak Based on Pedoman Nasional Anak 2016

Klasifikasi asma pada anak

Based on Pedoman Nasional Anak 2016 Berdasarkan kekerapan •  •  •  • 

Intermifen Persisten Ringan Persisten Sedang Persisten Berat

Berdasarkan umur •  Asma bayi – baduta (bawah dua tahun) •  Asma balita (bawah lima tahun) •  Asma usia sekolah (5-11 tahun) •  Asma remaja (12-17 tahun)

Berdasarkan kondisi saat ini

Berdasarkan derajat kendali

Tanpa gejala Ada gejala Serangan ringan Serangan sedang Serangan berat Ancaman gagal napas

•  Tidak terkendali •  Terkendali sebagian •  Terkendali penuh dengan controller •  Terkendali penuh tanpa controller

•  •  •  •  •  • 

Berdasarkan fenoKp •  Asma tercetus infeksi virus •  Asma tercetus akKvitas (exercise induced asthma) •  Asma tercetus alergen •  Asma terkait obesitas •  Asma dengan banyak pencetus (mul)ple triggered asthma)

Berdasarkan derajat beratnya serangan •  Asma serangan ringansedang •  Asma serangan berat •  Serangan asma dengan ancaman henK napas

Klasifikasi asma pada anak

Based on Pedoman Nasional Anak 2016 Berdasarkan kekerapan

Berdasarkan derajat beratnya serangan

Klasifikasi asma pada anak

Based on Pedoman Nasional Anak 2016 Berdasarkan derajat kendali

Korelasi Klasifikasi Lama dengan Baru PNAA 2004

PNAA 2015

Keterangan

Episodik jarang

Intermiten

Episode gejala asma <6x/tahun atau jarak antar gejala ≥6 minggu

Episodik sering

Persisten ringan

Episode gejala asma >1x/bulan, <1x/minggu

Persisten

Persisten sedang

Episode gejala asma >1x/minggu, namun Kdak seKap hari

Persisten berat

Episode gejala asma terjadi hampir Kap hari

PNAA: Pedoman Nasional Asma Anak

Tatalaksana kekerapan asma pada anak Based on Pedoman Nasional Anak 2016

Tatalaksana kekerapan asma pada anak Based on Pedoman Nasional Anak 2016 Jenis Alat Inhalasi Sesuai Usia

Tatalaksana kekerapan asma pada anak Based on Pedoman Nasional Anak 2016 Sediaan Steroid Ø  Steroid inhalasi atau sistemik tidak digunakan untuk asma intermiten dan wheezing akibat infeksi virus. Ø  Steroid inhalasi umumnya diberikan dua kali dalam sehari Ø  Ciclesonide diberikan sekali seharièe3ikasi masih diobservasi Ø  Steroid inhalasi sebagai obat pengendali asma tidak mempengaruhi tinggi badan dan densitas tulang. Ø  Kandidiasis oral dan suara parau sebagai efek samping dapat dicegah dengan cara berkumur setiap selesai pemberian steroid inhalasi lalu membuang air bekas berkumur tersebut. Ø  Pada anak asma yang mendapatkan steroid inhalasi perlu dipantau pertumbuhan (persentil tinggi badan dan berat badan) setiap tahun.

Tatalaksana serangan asma pada anak

Based on Pedoman Nasional Anak 2016

Tatalaksana serangan asma pada anak Based on Pedoman Nasional Anak 2016

•  Beberapa pasien memiliki risiko Knggi untuk mengalami serangan asma yang dapat mengancam nyawa. Resiko tersebut adalah pasien dengan riwayat: Ø  Serangan asma yang mengancam nyawa Ø  Intubasi karena serangan asma Ø  Pneumotoraks dan/atau pneumomediasKnum Ø  Serangan asma berlangsung dalam waktu yang lama Ø  Penggunaan steroid sistemik (saat ini atau baru berhenK) Ø  Kunjungan ke UGD atau perawatan rumah sakit (RS) karena asma dalam setahun terakhir Ø  Tidak teratur berobat sesuai rencana terapi Ø  Berkurangnya persepsi tentang sesak napas Ø  Penyakit psikiatrik atau masalah psikososial. Ø  Alergi makanan •  Untuk pasien dengan risiko Knggi tersebut, steroid sistemik (oral atau parenteral) perlu diberikan pada awal tata laksana meskipun pada penilaian awal serangannya masih ringan sedang.

Tatalaksana serangan asma pada anak Based on Pedoman Nasional Anak 2016 Sediaan Steroid Untuk Serangan Asma Nama generik

Sediaan

Dosis

MeKlprednisolone

Tablet 4mg, 8 mg

0.5-1 mg/kgBB/hari Kap 6 jam

Prednison

Tablet 5 mg

0.5-1 mg/kgBB/hari Kap 6 jam

MeKlprednisolone suksinat injeksi

Vial 125 mg, 500 mg

30 mg dalam 30 menit Kap 6 jam

HidrokorKson suksinat injeksi Vial 100 mg

4 mg/kgBB/kali Kap 6 jam

Deksametasine injeksi

Ampul

0.5-1 mg/kgBB bolus kemudian dilanjutkan 1 mg/ kgBB/hari seKap 6-8 jam

Betametasone injeksi

Ampul

0.05-0.1 mg/kgBB Kap 6 jam

Obat-obatan serangan asma pada anak Based on Pedoman Nasional Anak 2016

Agonis β2 kerja pendek Ø  Diberikan 2 kali dengan interval 20 menit, jika di rumah keadaan pasien belum juga membaik harus segera dibawa ke fasilitas layanan kesehatan terdekat Ø  Bila pemberian 2 kali sudah dilakukan di fasyankes maka pemberian keKga diperKmbangkan kombinasi dengan ipratropium bromida Ø  Contoh agonis β2 kerja pendek adalah salbutamol, terbutalin, dan prokaterol Ø  Pada serangan asma, agonis β2 kerja pendek diberikan secara inhalasi diberikan lewat DPI, MDI dengan/ tanpa spacer, atau nebulizer dengan dosis sesuai beratnya serangan dan respons pasien Ø  Harus diberikan dengan dosis terendah dan frekuensi terkecil •  Ipratropium bromida Ø  memberikan efek dilatasi bronkus lewat peningkatan tonus parasimpaKs dalam inervasi otonom di saluran napas •  Aminofilin intravena Ø  Penambahan aminofilin pada terapi awal (inhalasi agonis β2 dan steroid) meningkatkan fungsi paru dalam 6 jam pertama, tetapi Kdak mengurangi gejala, jumlah nebulisasi dan lama rawat inap Ø  Pemberian aminofilin intravena harus sangat berhaK-haK dan dipantau secara ketat karena efek sampingnya yang cukup berat (mual, muntah, takikarsi, agitasi, aritmia, hipotensi, dan kejang Ø  Dosis : inisial bolus pelan 6-8 mg/kgBB diberikan dalam 20 menit dilanjutkan dengan pemberian rumatan secara drip 1 mg/kg/jam. Ø  Loading 1 mg/kg akan meningkatkan kadar aminofilin serum 2 mcg/mL. Ø  Untuk efek terapi yang maksimal, target kadar amonifilin serum adalah 10-20 ug/mL. Oleh karena itu kadar aminofilin serum seharusnya diukur 1-2 jam setelah loadingdose diberikan • 

Obat-obatan serangan asma pada anak Based on Pedoman Nasional Anak 2016

• 

• 

•  •  •  •  •  • 

Steroid sistemik Ø Pemberian steroid sistemik per oral sama efekKfnya dengan pemberian secara intravena Ø Pemberian secara oral memerlukan waktu sekitar 4 jam untuk memberikan perbaikan klinis Ø Pemberian IVàjika pasien Kdak bisa menelan obat Ø Steroid sistemik berupa prednison atau prednisolon diberikan per oral dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari dengan dosis maksimum sampai 40 mg/hari, maksimal 1 kali dalam 1 bulan. Lama pemberian 3-5 hari tanpa tapperingoff Adrenalin Ø Terapi tambahan pada asma yang berhubungan dengan anafilaksis dan angioedema Ø Dosis 10 ug/kgBB (0,01 ml/kgBB adrenalin 1:1.000), dengan dosis maksimal 500 ug (0.5 ml) Magnesium sulfat -->_dak ru_n dilakukan Steroid inhalasi Mukoli_k An_bio_k àhanya jika terbukK disebabkan infeksi bakteri Obat sedasi An_histamin

INFEKSI & KELAINAN KONGENITAL

INFEKSI KONGENITAL

Clinical manifesta_ons that are sugges_ve of specific congenital infec_ons in the neonate Congenital toxoplasmosis







•  Hydrocephalus

•  Otherwise unexplained mononuclear CSF pleocytosis or elevated CSF protein Congenital syphilis





•  Skeletal abnormaliKes (osteochondriKs & periosKKs)



•  Pseudoparalysis





•  Cataracts, congenital glaucoma, pigmentary reKnopathy

•  Intracranial calcificaKons (diffuse)

•  ChorioreKniKs

Congenital rubella

Uptodate. 2017

•  Congenital heart disease (most commonly patent ductus arteriosus or peripheral pulmonary artery stenosis)

•  Sensorineural hearing loss



•  Radiolucent bone disease

Congenital cytomegalovirus •  Thrombocytopenia





•  Periventricular intracranial calcificaKons





•  Persistent rhiniKs

•  Microcephaly

•  Maculopapular rash (parKcularly on palms and soles or in diaper area)

•  Hepatosplenomegaly





•  Sensorineural hearing loss



Clinical manifesta_ons that are sugges_ve of specific congenital infec_ons in the neonate

Perinatally acquired HSV infec_on •  Mucocutaneous vesicles •  CSF pleocytosis •  Thrombocytopenia •  Elevated liver transaminases Herpes simplex virus

Congenital varicella



•  Cicatricial or vesicular skin lesions



•  Microcephaly

Congenital Zika syndrome



•  Microcephaly



•  ConjuncKviKs or keratoconjucKviKs

Congenital (in utero) HSV infec_on (rare)



•  Eye abnormaliKes (eg, micro-ophthalmia)



•  Intracranial calcificaKons



•  Skin vesicles, ulceraKons, or scarring

•  Arthrogryposis



•  Brain abnormaliKes (eg, hydranencephaly, microcephaly)





Uptodate. 2017



•  Ocular abnormaliKes •  Hypertonia/spasKcity

•  Sensorineural hearing loss





Kelainan Kongenital Penyebab

Temuan klinis

Rubella

IUGR, kelainan kardiovaskular (biasanya PDA/ pulmonary artery stenosis), katarak, tuli. reKnopaK, mikro€almia, hearing loss, mental retardaKon, speech defect, trombositopenia,

Varicella

IUGR, kelainan kulit sesuai distribusi dermatomal: sikatriks kulit, kulit tampak merah, berindurasi, dan meradang, kelainan tulang:hipoplasia ekstrimitas dan jari tangan kaki, kelainan mata, dan kelainan neurologis

Toxoplasma

IUGR, choriore_ni_s, Cerebral calcifica_on, hydrocephalus, Abnormal cerebrospinal fluid (xanthochromia and pleocytosis), Jaundice, Hepatosplenomegaly, Neurologic signs are severe and always present. (Microcephaly or macrocephaly, Bulging fontanelle, Nystagmus Abnormal muscle tone, Seizures, Delay of development)

Citomegalovirus ReKniKs, Jaundice, Hepatosplenomegali, BBLR, Mineral deposits in the brain, Petechiae, Seizures, Small head size (microcephaly) Herpes

Trias: 1.  Kulit (scarring, acKve lesions, hypo- and hyperpigmentaKon, aplasia cuKs, and/or an erythematous macular exanthem) 2.  Mata (microopthalmia, reKnal dysplasia, opKc atrophy, and/or chorioreKniKs) 3.  Neurologis (microcephaly, encephalomalacia, hydranencephaly, and/or intracranial calcificaKon) hfp://cmr.asm.org/content/17/1/1.full

Cytomegalovirus Congenital InfecKon •  Majority are asymptomaKc at birth •  Periventricular calcificaKons •  IUGR, developmental delay, microcephaly, sensorineural hearing loss, reKniKs, jaundice, hepatosplenomegaly, thrombocytopenia, hypotonia, lethargy, poor suck •  Preterm infants may appear sepKc – apnea, bradycardia, intesKnal distension) •  Postnatal infecKons are generally asymptomaKc

Cytomegalic inclusion disease (CID) •  Approximately 10% of infants with congenital infecKon have clinical evidence of disease at birth. •  The most severe form of congenital CMV infecKon is referred to as CID. •  CID almost always occurs in women who have primary CMV infecKon during pregnancy, although rare cases are described in women with preexisKng immunity who presumably have reacKvaKon of infecKon during pregnancy.

Cytomegalic Inclusion Disease (CID) Intrauterine growth restricKon, Hepatosplenomegaly, Hematological abnormaliKes (parKcularly thrombocytopenia), Various cutaneous manifesta_ons, including petechiae and purpura (ie, blueberry muffin baby). •  However, the most significant manifestaKons of CID involve the CNS. •  •  •  • 

–  –  –  –  – 

Microcephaly, ventriculomegaly, cerebral atrophy, choriore_ni_s, and sensorineural hearing loss

•  Intracerebral calcificaKons typically demonstrate a periventricular distribuKon and are commonly encountered using CT scanning (see the image below). –  The finding of intracranial calcificaKons is predicKve of cogniKve and audiologic deficits in later life and predicts a poor neurodevelopmental prognosis.

Tissue invasive disease - infected cells are idenKfied on H & E stain by characterisKc features including a large cell nucleus with perinuclear clearing, and basophilic staining cytoplasmic inclusion bodies which are o€en referred to as the “owl’s eye” appearance.

Congenital Toxoplasma Clinical PresentaKon •  First Trimester – o€en results in death •  Second Trimester – classic triad –  Hydrocephalus –  Intracranial calcificaKons –  ChorioreKniKs

•  Third Trimester – o€en asymptomaKc at birth •  Symptoms may also include fever, IUGR, microcephaly, seizure, hearing loss, maculopapular rash, jaundice, hepatosplenomegaly, anemia, and lymphadenopathy

Herpes Simpleks Congenital InfecKon •  SEM disease (Localized to skin, eyes, and mucosal) –  Vesicular lesions on an erythematous base –  KeratoconjuncKviKs, cataracts, chorioreKniKs –  UlceraKve lesions of the mouth, palate, and tongue

•  CNS disease

–  Seizure, lethargy, irritability, tremor, poor feeding, temperature instability, full anterior fontanelle

•  Disseminated disease

–  MulKple organ involvement (CNS, skin, eye, mouth, lung, liver, adrenal glands) –  May appear sepKc – fever/hypothermia, apnea, irritability, lethargy, respiratory distress –  HepaKKs, ascites, direct hyperbilirubinemia, neutropenia, disseminated intravascular coagulaKon, pneumonia, hemorrhagic pneumoniKs, necroKzing enterocoliKs, meningoencephaliKs, skin vesicles

Vesicular lesions on an erythematous base

Congenital Rubella Syndrome Classic Triad •  Sensorineural hearing loss is the most common manifestaKon of congenital rubella syndrome. It occurs in approximately 58% of paKents. •  Ocular abnormali_es including cataract, infan_le glaucoma, and pigmentary re_nopathy occur in approximately 43% of children with congenital rubella syndrome. –  Both eyes are affected in 80% of paKents, and the most frequent findings are cataract and rubella reKnopathy. –  Rubella reKnopathy consists of a salt-and-pepper pigmentary change or a mofled, blotchy, irregular pigmentaKon, usually with the greatest density in the macula. –  The reKnopathy is benign and nonprogressive and does not interfere with vision (in contrast to the cataract) unless choroid neovascularizaKon develops in the macula.

•  Congenital heart disease including patent ductus arteriosus (PDA) and pulmonary artery stenosis is present in 50% of infants infected in the first 2 months' gestaKon.

Rubella Congenital InfecKon •  Blueberry Muffin” rash due to extramedullary hematopoiesis •  “Salt and Pepper” reKnopathy •  Radiolucent bone disease (long bones) •  IUGR, glaucoma, hearing loss, pulmonic stenosis, patent ductus arteriosus, lymphadenopathy, jaundice, hepatosplenomegaly, thrombocytopenia, intersKKal pneumoniKs, diabetes mellitus

Congenital cataract

Blueberry muffin baby

Salt pepper reKnopathy

Congenital Syphilis

Congenital syphilis

Early

Within first 2 year

Late

Later than 2 yr

Sifilis Kongenital Dini

hfp://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/arKcles/PMC2819963/

Sifilis Kongenital Dini

Eyes •  ChoroidoreKnits, glaucoma, uveiKs . •  ChoroidoreKniKs in later life is seen as salt & pepper fundus showing black pigment & white atrophic patches.

Congenital Syphilis

Hydrops fetalis

Nasal discharge Petechial rash NecroKzing funisiKs within the matrix of the umbilical cord

Hepatomegaly Rash

OsKKs, MetaphysiKs, PeriosKKs Wimberger sign

MulKple, discrete, tense blisters seen over a normal looking skin Contain serous/ seropurulent discharge (spirochetes)

Decreased mineralizaKon of the metaphyses of long bones of the upper extremiKes

bilateral lyKc lesions of the talus, calcareous, and proximal Kbia (Wimberger sign) medially

Radiographic Abnormali_es

A more specific finding is localized bony destrucKon of the medial porKon of the proximal Kbial metaphysic (Wimberger’s sign). Other findings include metaphyseal serraKon (“sawtooth metaphyses”), and diaphyseal involvement with periosteal reacKon.

Sifilis Kongenital Laten

Among these manifestaKons, Hutchinson triad (Hutchinson teeth, intersKKal keraKKs, and sensorineural hearing loss), mulberry molars, and Clufon joints are relaKvely specific for congenital syphilis hfp://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/arKcles/PMC2819963/

Treatment Congenital Syphilis in Neonates (Proven or highly probable) •  Treat congenital infecKon with 10 days of aqueous penicillin G OR procaine penicillin G. –  Aqueous crystalline penicillin G is 50,000 units/kg/ dose IV every 12 hours (infants ≤7 days of life) and every 8 hours (infants ≥7 days of life) for a total of 10 days –  Procaine penicillin G (50,000 U/kg IM) single dose for 10 days

GENETIC DISORDER

GENETIC DISORDER Patau Syndrome Trisomi 13 noninherited

Mental retardaKon, heart defects, CNS abnormaliKes, microphthalmia, polydachtyly, a cle€ lip with or without a cle€ palate, coloboma iris, and hypotonia, Clenched hands (with outer fingers on top of the inner fingers), Close-set eyes, Low-set ears, Single palmar crease, microcephaly, Small lower jaw (micrognathia), cryptorchidism, Hernia Many infants with trisomy 13 die within their first days or weeks of life.

Sindrom Klinefelter 47,XXY noninherited

cryptorchidism, hypospadias, or micropenis, small testes, delayed or incomplete puberty, gynecomasKa, reduced facial and body hair, and an inability to have biological children (inferKlity). Older children and adults tend to be taller. Increased risk of developing breast cancer and SLE. May have learning disabiliKes and delayed speech; tend to be quiet, sensiKve, and unasserKve.

Sindrom Edward Trisomi 18 Noninherited

Clenched hands, Crossed legs, abnormally shaped head; micrognathia, Feet with a rounded bofom (rocker-bofom feet), Low birth weight & IUGR, Low-set ears, Mental delay, microcephaly, Undescended tesKcle, coloboma iris, Umbilical hernia or inguinal hernia, congenital heart disease (ASD, PDA, VSD), kidney problems (i.e: Horseshoe kidney, Hydronephrosis, PolycysKc kidney), severe intellectual disability It is three Kmes more common in girls than boys. Many individuals with trisomy 18 die before birth or within their first month.

mikrosefal; hypotonus, Excess skin at the nape of the neck, Flafened nose, Separated sutures, Single palm crease, Small ears, small mouth, Upward slanKng eyes, Wide, short hands with short fingers, White spots on the Sindrom Down colored part of the eye (Brushfield spots), heart defects (ASD, VSD) Trisomi 21 noninherited Physical development is o€en slower than normal (Most never reach their average adult height), delayed mental and social development (Impulsive behavior, Poor judgment, Short afenKon span, Slow learning)

Sindrom turner 45 + XO noninherited

The most common feature is short stature, which becomes evident by about age 5. Ovarian hypofuncKon. Many affected girls do not undergo puberty and inferKle. About 30 % have webbed neck, a low hairline at the back of the neck, limfedema ekstrimitas, skeletal abnormaliKes, or kidney problem, 1/3 have heart defect, such as coarctaKon of the aorta. Most of them have normal intelligence. Developmental delays, nonverbal learning disabiliKes, and behavioral problems are possible

Jacob Syndrome 47, XYY

No unusual physical features, increased risk of learning disabiliKes and delayed development of speech and language skills. Delayed development of motor skills, weak muscle tone (hypotonia), hand tremors or other involuntary movements (motor Kcs), and behavioral and emoKonal difficulKes

Marfan syndrome Mutasi pada fibrillin (protein pada jaringan ikat tubuh). 3 dari 4 kasus A tall, thin build, Long arms, legs, fingers, and toes and bersifat diturunkan flexible joints, skoliosis, pektus karinatum/ ekskavatum, Teeth that are too crowded, Flat feet.

Sindrom Turner

Sindrom Down

Patau syndrome (Trisomy 13)

Edward Syndrome •  Higher in females compared to males •  Trisomy 18 is the second most common autosomal trisomy syndrome a€er trisomy 21 •  Types: full, parKal, mosaic •  There is a high percentage of fetuses dying during labor (38.5%), and the preterm frequency (35%) •  Approximately 50% of babies with trisomy 18 live longer than 1 week, and 5-10% of children survive beyond the first year

Clinical descripKon Prenatal growth deficiency Specific craniofacial features minor, major malformaKons, marked psychomotor and cogniKve developmental delay •  The growth delay starts in prenatal period and conKnues a€er the birth •  Associated with feeding problems that may require enteral nutriKon. •  •  •  • 

PROMINENT OCCIPUT

DYSPASTIC EARS SMALL MOUTH AND JAW

SMALL NECK

WIDE NIPPLES SHORT STERNUM SHIELD CHEST

CLENCHED HANDS

FLEXED BIG TOE

PROMINENT HEELS

smooth 'rocker bofom' feet (with a rounded base)

clenched fist with overriding fingers (index finger overlapping the third and 5th finger overlapping the 4th

anomalies of the ears

dolicocephaly Short palpebral fissures

micrognathia

short sternum

club feet

small fingernails, underdevelop ed thumbs

Findings CARDIOVASCULAR •  80%-100% •  ventricular and atrial septal defects, patent •  ductus arteriosus and polyvalvular disease RESPIRATORY •  upper airway obstrucKon •  (in some case due to a laryngomalacia or tracheobronchomalacia) •  and central apnea

Findings CENTRAL NERVOUS SYSTEM •  cerebellar hypoplasia, •  agenesis of corpus callosum, •  polymicrogyria, •  spina bifida •  craniofacial orofacial cle€s •  eye microphthalmia, •  coloboma, cataract, •  corneal opaciKes

GASTROINTESTINAL Omphalocele oesophageal atresia tracheo-oesophageal fistula umbilical or inguinal hernia imperforate anus pyloric stenosis

Developmental and behavior •  Developmental delay is always present –  marked to profound degree of psychomotor and intellectual disability –  slow gaining of some skills –  Expressive language and independently walk are not achieved

HEMATOLOGI & ONKOLOGI

WILMS TUMOR

Wilms tumor •  Wilms tumor Tumor ganas ginjal yang terjadi pada anak, yang terdiri dari sel spindel dan jaringan lain. Disebut juga adenomyosarcoma , embryoma o f kidney , nephroblastoma ,renal c arcinosarcoma .

•  Merupakan tumor solid pada renal terbanyak pada masa kanak-kanak, 5% dari jumlah kanker pada anak. (smith urology) •  Puncak usia adalah pada usia 3 tahun •  Lebih sering unilateral ginjal •  EKologi –  Non familial: 2 postzygoKc mutaKon pada single cell –  Familial : 1 preygoKc mutaKon dan subsequent post zygoKc event –  Mutasi ini terjadi pada lengan pendek kromosom 11 (11p13)

The American Heritage® Stedman's Medical DicKonary Copyright © 2002, 2001, 1995 by Houghton Mifflin Company. Published by Houghton Mifflin Company.



Patogenesis & Pathology

KarakterisKk tumor

•  Wilms tumor : large, mulK lobular, gray or tan in Prekurson wilms tumor (nephrogenic color, focal area of hemorrhage rest-NR) and necrosis, biasanya terdapat Perilobar NR dan intralobar NR fibrous pseudocapsule •  Penyebarannya : 1. Direct extension à renal capsule NR dormant untuk beberapa tahun 2. hematogenously à renal vein atau vena cava 3. lymphaKc Renal mengalami involusi dan •  Metastasis : 85-95% ke paru, sclerosis 10-15% ke liver, 25% ke limf node regional Wilms tumor Histopatology : Blastemal, epithelial, dan stromal element, tanpa anaplasia

Staging tumor Menurut NWTS (NaKonal Wilms Tumor Study) •  Stage I : Tumor terbatas pada ginjal. Tidak ada penetrasi ke kapsul renalis atau keterlibatan renal sinus vessel. Tumor Kdak rupture pada saat pengangkatan, Kdak ada residual tumor di batas pengangkatan tumor.

•  Stage II : Tumor sudah meluas dari ginjal tapi masih dapat diangkat sempurna. Terdapat penetrasi permukaan luar renal kapsul, invasi renal vessel sinus. Tidak ada residual tumor, Kdak ada sisa pada batas pengangkatan, Kdak ada keterlibatan kelenjar getah bening regional

•  Stage III : Residual •  Stage IV : Terdapat nonhematogenous metastasis tumor ke abdomen. hematogenous ke paru, Terdapat keterlibatan liver, tulang, dan otak kelenjar getah bening, kontaminasi peritoneal, •  Stage V: Keterlibatan implan pada permukaan bilateral renal peritoneal, tumor meluar melebihi daerah pengangkatan, terdapat trombus tumor

Gejala Klinis •  Massa dan rasa sakit pada abdominal •  Macroscopic haematuria •  Hypertension •  Anorexia, nausea, vomit

Pemeriksaan penunjang •  Lab : Urinalisis : hematuria, anemia, subcapsular hemorrhage. Jika sudah metastasis ke liver terdapat peningkatan creaKnin •  CT abdominalà lihat ekstensi tumor •  Chest xray à lihat metastasis ke paru •  Biopsi

•  CT scan in a paKent with a right-sided Wilms tumor with favorable histology.

Ò 

Gross nephrectomy specimen shows a Wilms tumor pushing the normal renal parenchyma to the side.

Manajemen •  Surgical : - Keterlibatan kidney unilateral - Tumor Kdak melibatkan organ visceral •  Chemotherapy •  Radiasi

NEUROBLASTOMA

Neuroblastoma •  Neuroblastoma dalah tumor yang berasal dari jaringan neural crest dan dapat mengenai susunan saraf simpaKs sepanjang aksis kraniospinal. •  Neuroblastoma merupakan kanker ekstrakranial yang paling sering ditemukan pada anak, mencakup 8-10% dari seluruh kanker pada anak. •  Angka kejadian sekitar 1,1 per 10.000 anak di bawah usia 15 tahun •  EKologi belum diketahui, diduga berhubungan dengan faktor lingkungan, ras dan geneKk

Diagnosis •  Anamnesis –  Manifestasi klinis neuroblastoma sangat bervariasi, dapat berupa keluhan sehubungan tumor primernya, akibat metastasisnya atau gejala sindrom paraneoplasKknya. –  Perut yang membesar merupakan keluhan yang paling sering ditemukan –  Berat badan yang menurun –  Mata yang menonjol dengan ekimosis periorbital –  Keluhan lain adalah nyeri tulang, anoreksia, pucat, banyak keringat, muka merah, nyeri kepala, palpitasi, diare berkepanjangan yang dapat menyebabkan gagal tumbuh.

• 

Pemeriksaan fisis Gejala dan tanda tergantung pada lokasi tumor primer dan

penyebarannya.

–  Pembesaran perut. Tumor di daerah abdomen, pelvis atau mediasKnum, dan biasanya Neuroblastoma melewaK garis tengah. –  Pada penyebaran limfogenik akan ditemukan pembesaran kelenjar getah bening –  Cari penyebaran hematogenik ke sumsum tulang, tulang, dan haK akan ditemukan pucat, perdarahan, nyeri tulang, hepatomegali, dan splenomegali. –  Tumor yang berasal dari ganglia simpaKs paraspinal dapat menimbulkan kompresi spinal –  Bila tumor menyebar ke daerah leher akan terjadi sindrom Horner (miosis, ptosis, dan anhidrosis unilateral). –  Bila infiltrasi retrobulbar dan orbital maka akan ditemukan ekimosis periorbital dan proptosis.

•  Pemeriksaan Penunjang –  Darah ruKn, elektrolit, feriKn, urin ruKn, Vanillylmandelic Acid (VMA) pada urin dan Homovanillic Acid (HVA) pada urin, –  USG abdomen, CT scan untuk mencari tumor primer dan penyebarannya –  Foto toraks untuk mencari penyebaran –  Biopsi sumsum tulang untuk mencari penyebaran –  Aspirasi sumsum tulang: sel ganas pseudoroseTe –  Diagnosis pasK dengan pemeriksaan histopatologis dari jaringan yang diambil (biopsi)

•  Terapi neuroblastoma terdiri dari: –  Operasi pengangkatan tumor –  Kemoterapi –  Radioterapi

disease

Sign & symptoms

Renal cell carcinoma

In contrast to adults, renal cell carcinoma is rare in childhood. However, there appears to be a subset of affected adolescent males with a unique chromosomal translocaKon at Xp11.2 The classic triad of RCC (flank pain, hematuria, and a palpable abdominal renal mass)

neuroblastoma

NB is the third most common pediatric cancer, accounKng for about 8% of childhood malignancies The signs and symptoms of NB reflect the tumor site and extent of disease. Most cases of NB arise in the abdomen, either in the adrenal gland or in retroperitoneal sympatheKc ganglia. Usually a firm, nodular mass that is palpable in the flank or midline is causing abdominal discomfort

Wilms tumor

Wilms tumor is the most common renal malignancy in children and the fourth most common childhood cancer Most children with Wilms tumor present with an abdominal mass or swelling, without other signs or symptoms. Other symptoms can include abdominal pain (30 %), hematuria (12 to 25 %), and hypertension (25 %) PF reveals a firm, nontender, smooth mass that rarely crosses the midline and generally does not move with respiraKon. In contrast, neuroblastoma and splenomegaly o€en will extend across the midline and move with respiraKon

disease

Sign & symptoms

Burkit limfoma

PaKents with BL present with rapidly growing tumor masses and o€en have evidence of tumor lysis with a very high serum lactate dehydrogenase (LDH) concentraKon and elevated uric acid levels The endemic (African) form usually presents as a jaw or facial bone tumor that spreads to extranodal sites including the mesentery, ovary, tesKs, kidney, breast, and especially to the bone marrow and meninges The nonendemic (sporadic) form usually has an abdominal presentaKon Immunodeficiency-related cases more o€en involve lymph nodes BL tumor cells are monomorphic, medium-sized cells with round nuclei, mulKple nucleoli, and basophilic cytoplasm A "starry-sky" pafern is usually present, imparted by numerous benign macrophages that have ingested apoptoKc tumor cells

hodgkin limfoma

commonly present with painless, non-tender, firm, rubbery, cervical or supraclavicular lymphadenopathy. Most paKents present with some degree of mediasKnal involvement. paKents may present with symptoms and signs of airway obstrucKon (dyspnea, hypoxia, cough), pleural or pericardial effusion, hepatocellular dysfuncKon, or bone marrow infiltraKon (anemia, neutropenia, or thrombocytopenia). DiagnosKc Reed-Stemberg cells are large cells that have bilobed, double, or mulKple nuclei and prominent, eosinophilic, inclusion-like nucleoli in at least two nuclei or nuclear lobes

Acute Jenis leukemia tersering pada anak. Akan ditemukan anemia, trombositopenia, Leukositosis/ LymphocyKc leukopenia dengan banyak sel limfoblas. Gejala klinis Kmbul berupa lemas, pucat akibat anemia, Leukemia demam dan mudah infeksi akibat kelainan leukosit, dan mudah berdarah/ lebam akibat trombositopenia. Selain itu bisa didapatkan adanudanya organomegali dan pembesaran KGB

disease Rhabdomyosar coma

Sign & symptoms the most common so€ Kssue sarcoma in children, originated from rhabdomyoblasts. The tumor is believed to arise from primiKve muscle cells, but tumors can occur anywhere in the body; however, a primary bone rhabdomyosarcoma has not been reported. The most common sites are the head and neck (28%), extremiKes (24%), and genitourinary (GU) tract (18%). Other notable sites include the trunk (11%), orbit (7%), and retroperitoneum (6%). Rhabdomyosarcoma usually manifests as an expanding mass. Symptoms depend on the locaKon of the tumor, and pain may be present. Typical presentaKons of nonmetastaKc disease, by locaKon, are as follows: •  Orbit: Proptosis or dysconjugate gaze •  ParatesKcular: Painless scrotal mass •  Prostate: Bladder or bowel difficulKes •  Uterus, cervix, bladder: Menorrhagia or metrorrhagia •  Vagina: Protruding polypoid mass (botryoid, meaning a grapelike cluster) •  Extremity: Painless mass •  Parameningeal (ear, mastoid, nasal cavity, paranasal sinuses, infratemporal fossa, pterygopalaKne fossa): Upper respiratory symptoms or pain

Related Documents

Optima - Anak .pdf
January 2021 1
Optima
February 2021 2
Hipno Anak-anak
February 2021 1
Optima Pembahasan To 1
February 2021 1
Configuracion Optima Otdr
February 2021 1

More Documents from "Carlos A. Galeano A."

Optima - Anak .pdf
January 2021 1