Loading documents preview...
DR. RIFDA| DR. WIDYA | DR. YOLINA | DR. OKTRIAN DR. REZA | DR. CEMARA | DR. RYNALDO
OFFICE ADDRESS: Jakarta Jl. Layur Kompleks Perhubungan VIII No.52 RT.001/007 Kel. Jati, Pulogadung, Jakarta Timur Tlp 021-22475872 WA. 081380385694/081314412212
Medan Jl. Setiabudi Kompleks Setiabudi Square No. 15 Kel. Tanjung Sari, Kec. Medan Selayang 2013 WA/Line 082122727364
w w w. o p t i m a p re p . co . i d
ILMU P E N YA K I T DALAM
1. Reaksi hipersensitivitas
1. Reaksi hipersensitivitas
2. Hipertiroid Hipertiroidisme
Kumar and Clark Clinical Medicine
Hipertiroid Primer & Sekunder
Human Physiology.
Graves’ disease(penyebab hipertiroid terbanyak) • Pr:Lk5–10:1, usia terbanyak 40 - 60 thn • Antibodi tiroid (+): TSI atauTBII (+pada 80%), anti-TPO, antithyroglobulin; ANA • Manifestasi klinis yaitu gejala hipertiroid ditambah: – Goiter • diffusa, tdk nyeri, terdengar bruit
– ophthalmopati: 90% kasus • Edema periorbital, retraksi kelopak, proptosis
– myxedema pretibial (3%): • edema di tungkai bawah akibat dermopati infiltratif
Manifestasi klinis hipertiroid • Apathetic thyrotoxicosis – dpt terjadi pada org tua dengan satu2nya gejala berupa letargi
• Thyroid storm/krisis tiroid(mengancam jiwa, mortalitas 20–50%): – delirium, demam, takikardia, – hipertensisistolik dengan tekanan nadi melebar &↓MAP, gejala pencernaan;
Pemeriksaan penunjang • ↑FT4 &FT3; ↓TSH (↑ pada sebab sekunder) • RAIU scan utk menentukan penyebab • Tidak perlu periksa autoantibodi kecuali pada kehamilan (resiko fetal Graves) • Dapat terjadi hipercalciuria, hipercalcemia, anemia • Indeks Wayne – Skor>19 hipertiroid – Skor<11 eutiroid – Antara 11-19 equivocal
• Hipertiroid Subklinis – ↓TSH ringan &free T4 normal,tanpa gejala klinis – 15% hipertiroid dlm 2 thn; ↑resiko AF & osteoporosis
2. Pemeriksaan Hipertiroid
•
The diagnosis of hyperthyroidism is based upon thyroid function tests. In patients in whom there is a clinical suspicion of hyperthyroidism, the best initial test is serum TSH.
Penyakit Endokrin
20. Radioactive Iodine
Klasifikasi Struma Struma
Difusa
Non Toksik
Hashimoto Tiroidiitis, Iodium Defisiensi (Early), Paparan radiasi
Nodosa
Toksik
Grave’s Disease
Non Toksik Konsumsi goitrogen : PTU atau litihium dan Iodium defisiensi (late stage)
Toksik
Adenoma toksik, Plummer’s Disease
3. Penyakit Hepatobilier • Kolelitiasis: – Nyeri kanan atas/epigastrik mendadak, hilang dalam 30 menit-3 jam, mual, setelah makan berlemak.
• Kolesistitis: – Nyeri kanan atas bahu/punggung, mual, muntah, demam – Nyeri tekan kanan atas (murphy sign)
• Koledokolitiasis: – Nyeri kanan atas, ikterik, pruritis, mual.
• Kolangitis: – Triad Charcot: nyeri kanan atas, ikterik, demam/menggigil – Reynold pentad: charcot + syok & penurunan kesadaran Pathophysiology of disease. 2nd ed. Springer; 2006.
3. Penyakit Hepatobilier • Koledokolitiasis – Batu empedu di duktus biliaris komunis
• Manifestasi klinis – Kolik bilier, kolangitis asending, ikterus obstruktif, pankreatitis akut.
• Radiologi – USG, sensitivitas 13-55%, temuan: visualisasi batu (hiperekoik), dilatasi duktus bilier – CT dengan kontras: 65-88%
• Terapi – ERCP dengan sfingterotomi http://radiopaedia.org/articles/choledocholithiasis
3. Penyakit Hepatobilier Lokasi Nyeri
Anamnesis
Pemeriksaan Fisis
Nyeri epigastrik Kembung
Membaik dgn makan (ulkus duodenum), Memburuk dgn makan (ulkus gastrikum)
Tidak spesifik
Nyeri epigastrik menjalar ke punggung
Gejala: mual & muntah, Demam Penyebab: alkohol (30%), batu empedu (35%)
Nyeri tekan & defans, perdarahan retroperitoneal (Cullen: periumbilikal, Gray Turner: pinggang), Hipotensi Ikterus, Hepatomegali
Nyeri kanan atas/ Prodromal epigastrium (demam, malaise, mual) kuning. Nyeri kanan atas/ Risk: Female, Fat, epigastrium Fourty, Hamil Prepitasi makanan berlemak, Mual, TIDAK Demam Nyeri epigastrik/ Mual/muntah, kanan atas Demam menjalar ke bahu/ punggung
Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis
Terapi
Urea breath test (+): H. pylori Endoskopi: eritema (gastritis akut) atropi (gastritis kronik) luka sd submukosa (ulkus) Peningkatan enzim amylase & lipase di darah
Dispepsia
PPI: ome/lansoprazol H. pylori: klaritromisin+amok silin+PPI
Transaminase, Serologi HAV, HBSAg, Anti HBS Nyeri tekan USG: hiperekoik abdomen dgn acoustic Berlangsung 30-180 window menit Murphy Sign
USG: penebalan dinding kandung empedu (double rims)
Pankreatitis
Hepatitis Akut
Resusitasi cairan Nutrisi enteral Analgesik
Suportif
Kolelitiasis
Kolesistektomi Asam ursodeoksikolat
Kolesistitis
Resusitasi cairan AB: sefalosporin gen. 3 + metronidazol Kolesistektomi
3. Penyakit Hepatobilier • Pencitraan untuk diagnosis batu empedu: – USG: pilihan pertama untuk diagnosis kandung empedu, rutin untuk memperlihatkan besar, bentuk, penebalan kandung empedu, & saluran empedu ekstrahepatik. – Foto polos abdomen: tidak dapat memperlihatkan kolesistitis akut. Hanya 15% batu yang dapat terlihat. – CT scan abdomen: kurang sensitif & mahal, tapi mampu memperlihatkan abses perikolesistik yang kecil. – ERCP: bermanfaat untuk deteksi & mengambil batu saluran empedu, invasif & berisiko pankreatitis & kolangitis. – MRCP: pencitraan saluran empedu tanpa risiko, tetapi bergantung operator & bukan modalitas terapi.
3. PENYAKIT HEPATOBILIER
Lokasi Nyeri
Pemeriksaan Fisis
Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis
Terapi
Tidak spesifik
Urea breath test (+): H. pylori Endoskopi: eritema (gastritis akut) atropi (gastritis kronik) luka sd submukosa (ulkus)
Nyeri epigastrik Kembung
Membaik dgn makan (ulkus duodenum), Memburuk dgn makan (ulkus gastrikum)
Dispepsia
PPI: ome/lansoprazol H. pylori: klaritromisin+amoksili n+PPI
Nyeri epigastrik menjalar ke punggung
Gejala: mual & muntah, Demam Penyebab: alkohol (30%), batu empedu (35%)
Nyeri tekan & defans, perdarahan retroperitoneal (Cullen: periumbilikal, Gray Turner: pinggang), Hipotensi
Peningkatan enzim amylase & lipase di darah
Pankreatitis
Resusitasi cairan Nutrisi enteral Analgesik
Nyeri kanan atas/ epigastrium
Prodromal (demam, malaise, mual) kuning.
Ikterus, Hepatomegali
Transaminase, Serologi HAV, HBSAg, Anti HBS
Hepatitis Akut
Suportif
Nyeri kanan atas/ epigastrium
Risk: Female, Fat, Fourty, Hamil Prepitasi makanan berlemak, Mual, TIDAK Demam
Nyeri tekan abdomen Berlangsung 30-180 menit
USG: hiperekoik dgn acoustic window
Kolelitiasis
Kolesistektomi Asam ursodeoksikolat
Murphy Sign
USG: penebalan dinding kandung empedu (double rims)
Kolesistitis
Resusitasi cairan AB: sefalosporin gen. 3 + metronidazol Kolesistektomi
Nyeri epigastrik/ kanan atas menjalar ke bahu/ punggung
Anamnesis
Mual/muntah, Demam
4. Infeksi Saluran Kemih • Escherichia coli is by far the most frequent cause of uncomplicated community-acquired UTIs. • Other bacteria frequently isolated from patients with UTIs are: Klebsiella spp., other Enterobacteriaceae, Staphylococcus saprophyticus, and enterococci.
4. Infeksi Saluran Kemih (ISK)
4. Infeksi Saluran Kemih (ISK) • Rute infeksi saluran kemih: Ascending • kolonisasi uretra, lalu infeksi menyebar ke atas Hematogen • bakteri ke ginjal berasal dari bakteremia Limfogen •dari abses retroperitoneal atau infeksi intestin
4. Infeksi Saluran Kemih (ISK)
4. Infeksi Saluran Kemih • Pielonefritis Inflamasi pada ginjal & pelvis renalis Demam, menggigil, mual, muntah, nyeri pinggang, diare, Lab: silinder leukosit, hematuria, pyuria, bakteriuria, leukosit esterase +.
• Sistitis: Inflamasi pada kandung kemih Disuria, frekuensi, urgensi, nyeri suprapubik, urin berbau, Lab: pyuria, hematuria, leukosit esterase (+) nitrit +/-.
• Urethritis: Inflamasi pada uretra Disuria, frekuensi, pyuria, duh tubuh. Lab: pyuria, hematuria, leukosit esterase (+), nitrit (-).
4. Pielonefritis Akut • Trias gejala pielonefritis: demam, nyeri ketok CVA, mual/ muntah. • Pemeriksaan penunjang: – Urinalisis: didapatkan pyuria (>5-10 leukosit/LPB, aatau didapatkan esterase leukosit yang positif. – Pemeriksaan radiologi umumnya tidak dibutuhkan untuk menegakka diagnosis, kecuali pada gejala yang tidak khas, atau pada pasien yang tidak respons terhadap terapi.
• Tatalaksana adalah antibiotik. DOC: fluoroquinolones, cephalosporins, penicillins, extended-spectrum penicillins, carbapenems, atau aminoglycosides.
Pyelonefritis • Uncomplicated Pyelonephritis – Mild to moderate cases – Severe cases
• Complicated Pyelonephritis – Infection associated with a condition, such as a structural or functional abnormality of the genitourinary tract, or the presence of an underlying disease, which increase the risk of a more serious outcome than expected from UTI
Pyelonefritis • Indikasi Absolut Rawat Inap – Muntah persisten – Infeksi progresif – Tersangka sepsis – Diagnosis belum pasti – Obstruksi saluran kemih
• Indikasi Relatif Rawat Inap • Usia > 60 tahun • Abnormalitas saluran kemih • Imunokompromais • Akses follow up kurang adekuat • Dukungan social kurang
Pielonefritis akut
Pielonefritis
• Untuk pasien dengan respons yang cepat (demam & gejala hilang di awal terapi), terapi dapat dibatasi selama 7-10 hari. • Pada laki-laki muda (< 35 tahun), sebaiknya fluoroquinolone diteruskan hingga 14 hari. Karena risiko aktivitas seksual lebih aktif. • Pada beberapa penelitian pemberian golongan β-lactam kurang dari 14 hari berkaitan dengan angka kegagalan yang tinggi. • Satu penelitian menunjukkan keunggulan siprofloksasin selama 7 hari dibandingkan TMP-SMX selama 14 hari. Comprehensive cllinicall nephrology. 5th ed. 2015
Severe Uncomplicated Pyelonephritis • Terapi antibiotic IV dahulu, setelah perbaikan dapat diganti antibiotic oral hingga total pengobatan selama 1-2 minggu
Complicated Pyelonephritis
• Antibiotik IV durasi 7-14 hari
5. Anemia • Menurut WHO, anemia merupakan keadaan dimana terjadi pengurangan jumlah sel darah merah, baik itu dalam kadar hemoglobin dan atau hematokrit, selama volume darah total dalam batas normal • WHO memakai standard kadar Hb < 12,5 g/dL untuk dapat menegakkan diagnosis anemia • Di Amerika, digunakan batas Hb < 13,5 g/ dL untuk laki-laki dan <12,5 dL untuk perempuan.
5. Gejala anemia • Gejala dapat bervariasi • Pada anemia karena kehilangan darah yang akut, lemah atau pun tidak sadar. • Sementara pada keadaan pendarahan kronisbadan lemah atau bahkan tidak bergejala sama sekali. • Pada anemia hemolisis perubahan warna kulit menjadi warna kuning (ikterus) karena proses hemolisis yang menghasilkan bilirubin
5. Anemia
5. Defisiensi Vitamin B12 Etiologi • Pernicious anemia (lack of intrinsic factor)—most common cause in the Western hemisphere • Gastrectomy / Bariatric surgery • Poor diet (e.g., strict vegetarianism); alcoholism • Crohn’s disease, ileal resection (terminal ileum approximately the last 100 cm) • Other organisms competing for vitamin B12 Diphyllobothrium latum infestation (fish tapeworm) Blind-loop syndrome (bacterial overgrowth)
Absorbsi Vitamin B12
Defisiensi Vitamin B12
Defisiensi Vitamin B12 Diagnosis • Apusan darah tepi Megaloblastik anemia Hypersegmented neutrofil
• Vit B 12 serum rendah (< 100pg/mL) • Meningkatnya kadar asam metilmalonic dan homosistein • Antibodi thdp faktor intrinsik (pd anemia pernisiosa) • Schiling test
Defisiensi Vitamin B12 • Numerous treatment regimens have been proposed, including cobalamin 1000 mcg IM/SC daily for 5 days followed by 1000 mcg/wk for 5 weeks, then 1001000 mcg/mo for life.
5. Defisiensi Asam Folat
6. Ulkus Peptikum
• • •
•
Characteristics of DU and Gastric UlcerGU Duodenal Ulcer • Usually seen in May present < age 40 50-60 year olds Rarely associated with • Strong relationship to NSAID use NSAID use Pain often on empty • Pain usually worse after stomach, better with food meals or antacids • H. pylori in 70% to 90% H. pylori in 90% to 100% Both • most common symptom: diffuse epigastric pain • may be pain free • may be associated with dyspeptic symptoms • can lead to bleeding, perforation, or obstruction
TATALAKSANA • Medikamentosa: ANTACID • Memperingan gejala nyeri ulu hati/dyspepsia. • Paling umum digunakan : gabungan Al(OH)3 dan Mg(OH)2 • Bekerja dengan menetralisir asam lambung berlebihan
H2R Antagonis • Antagonis reseptor H2, sehingga menurunkan sekresi asam lambung. • Contoh: cimetidine, ranitidine, famotidine, nizatidine.
PPI
SITOPROTEKTIF
• Inhibisi H+/K+ATPase. • Bekerja amat poten dalam menghambat asam lambung • Onset dalam 26 jam dengan durasi aksi 7296 jam. • Contoh obat: omeprazole, lansoprazole, esomeprazole, pantoprazole.
• Sukralfat: sebagai protektan • Membentuk lapisan pelindung yang melapisi mukosa • Meningkatkan proliferasi serta meningkatkan sintesis prostaglandin.
Sumber: Fauci, A.S. et al (2012) Harrison Principles of Internal Medicine. 18th Ed
Terapi Dietetik:
Terapi Pembedahan:
• Perubahan pola makan, menjauhi makanan yang memicu gejala dyspepsia harus dilakukan, antar lain:
Tatalaksana bedah dilakukan dengan indikasi: • Penyakit yang tidak respon dengan pengobatan medikamentosa • Bedah cito bila terdapat perforasi, karena meningkatkan resiko peritonitis dan sepsis. Bedah elektif: • Vagotomy dan drainase (pyloroplasty, gastroduodenotomy, gastrojejunotomy) • Highly selective vagotomy • Vagotomy dengan antrectomy
– Menghindari makanan pedas – Menghindari kopi, karena kopi dapat menyebabkan peningkatan sekresi asam lambung serta dihubungkan denganresiko infeksi H. pylori – Menghindari konsumsi alkohol – Diet tinggi serat
• Pola makan teratur dengan selingan makanan
7. SLE • Merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis peradangan pada kulit, sendi, ginjal, paru-paru, sistem saraf dan organ tubuh lainnya
7. SLE
Tatalaksana SLE • Pilar Pengobatan SLE: – Edukasi dan konseling – Program rehabilitasi • • • •
Istirahat Terapi fisik Terapi dengan modalitas Ortotik, dll
– Pengobatan medikamentosa • • • • •
OAINS Antimalaria Steroid Imunosupresan/sitotoksik Terapi lain
8. Penyakit katup Jantung
8. Penyakit Katup Jantung
Lilly LS. Pathophysiology of heart disease.
8. Penyakit katup Jantung
Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 5th ed. Lipincott Williams & Wilkins; 2011.
8. Penyakit katup Jantung
Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 5th ed. Lipincott Williams & Wilkins; 2011.
9-10. PPOK • Definisi PPOK – Ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel – Bersifat progresif & berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang beracun/berbahaya – Disertai efek ekstraparu yang berkontribusi terhadap derajat penyakit
• Karakteristik hambatan aliran udara pada PPOK disebabkan oleh gabungan antara obstruksi saluran napas kecil (obstruksi bronkiolitis) & obstruksi parenkim (emfisema) yang bervariasi pada setiap individu. • Bronkitis kronik & emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK karena: – Emfisema merupakan diagnosis patologi (pembesaran jalan napas distal) – Bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis (batuk berdahak selama 3 bulan berturut-turut, dalam 2 tahun)
9-10. PPOK Anamnesis • Sesak yang bersifat progresif dengan atau tanpa bunyi mengi • Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan • Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja • Riwayat penyakit emfisema pada keluarga • Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara • Batuk berulang dengan atau tanpa dahak • Penyakit komorbid seperti jantung, osteoporosis, keganasan • Keterbatasan aktivitsd • Riwayat pengobatan akibat penyakit paru
Pengukuran gejala sesak napas dapat dilakukan dengan beberapa kuesioner, yaitu: – COPD Assessment Test (CAT TM ) – Chronic Respiratory Questionnaire – (CCQ® ) – St George’s Respiratory – Questionnaire (SGRQ) – Chronic Respiratory Questionnaire – (CRQ) – Modified Medical Research Council – (mMRC) questionnaire
PPOK: diagnosis dan penatalaksanaan. PDPI 2016
Pemeriksaan Fisik PPOK Inspeksi – Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu) – Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding) – Penggunaan otot bantu napas – Hipertropi otot bantu napas – Pelebaran sela igaku – Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut – vena jugularis di leher dan edema tungkai • Palpasi: pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar • Perkusi: pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah • Auskultasi – suara napas vesikuler normal, atau melemah – terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa ekspirasi memanjang – bunyi jantung terdengar jauh, gagal jantung kanan – terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema – tungkai PPOK: diagnosis dan penatalaksanaan. PDPI 2016
• Pink puffer – Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan pernapasan pursed – lips breathing • Blue bloater – Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer • Pursed - lips breathing – Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang yang terjadi pada gagal napas kronik.
Pemeriksaan Fisik PPOK • • •
Palpasi: pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar Perkusi: pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong ke bawah Auskultasi – – – –
•
suara napas vesikuler normal, atau melemah terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa ekspirasi memanjang bunyi jantung terdengar jauh, gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema tungkai
Pink puffer – Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan pernapasan pursed – lips breathing
•
Blue bloater – Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema tungkai dan ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer
•
Pursed - lips breathing – Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik. PPOK: diagnosis dan penatalaksanaan. PDPI 2011
Pemeriksaan Penunjang PPOK • Uji spirometri merupakan gold standar – FEV1 / FVC < 70 % (GOLD); <75% (pneumobile Indonesia) – Uji bronkodilator harus dilakukan ketika pasien secara klinis stabil dan bebas dari infeksi pernapasan: – FEV1 pasca bronkodilator < 80 % prediksi dan FEV1/FVC < 75% menandakan ada hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel – Obstruksi saluran napas dinyatakan reversibel bila setelah pemberian bronkodilator didapatkan FEV1 meningkat > 12% dan 200 ml dari nilai awal – Apabila spirometri tidak ada atau tidak memungkinkan, APE (arus puncak ekspirasi/ PEF Peak Expiratory Flow) dapat dipakai sebagai alternatif untuk menunjang diagnosis dengan memantau variabilitas harian pagi dan sore tidak lebih dari 20% • Laboratorium darah: HB, Ht, trombosit, Leukosit, dan AGD • Radiologi foto thoraks: Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain.
PPOK Pemeriksaan penunjang antara lain: •
Uji spirometri merupakan gold standar akan tampak – FEV1 / FVC < 70 % (GOLD); <75% (pneumobile Indonesia) – Uji bronkodilator (saat diagnosis ditegakkan) : FEV1 pasca bronkodilator < 80 % prediksi; serta FEV1 / FVC < 75 % memastikan adanya hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel – Obstruksi jalan napas dikatakan reversibel bila setelah pemakaian bronkodilator VEP1> 12% dan 200 cc dr nilai awal
•
APE (arus puncak ekspirasi/ PEF Peak Expiratory Flow) – Apabila spirometri tidak ada atau tidak memungkinkan – memantau variabilitas harian pagi dan sore tidak lebih dari 20%
•
Uji coba kortikosteroid
•
Laboratorium darah: HB, Ht, trombosit, Leukosit, dan AGD – Analisis gas darah dilakukan pada pasien dengan VEP1 < 40% prediksi dan secara klinis diperkirakan gagal napas dan payah jantung kanan.
•
Radiologi foto thoraks: Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain.
PPOK (klasifikasi) Dalam penilaian derajat PPOK diperlukan beberapa penilaian seperti • Penilaian gejala dengan menggunakan kuesioner COPD Assesment Test (CAT) serta The modified British Medical Research Council (mMRC) untuk menilai sesak nafas; • Penilaian derajat keterbatasan aliran udara dengan spirometri – – – –
GOLD 1: Ringan: FEV1 >80% prediksi GOLD 2: Sedang: 50% < FEV1 < 80% prediksi GOLD 3: Berat: 30% < FEV1 < 50% prediksi GOLD 4: Sangat Berat: FEV1 <30% prediksi
• Penilaian risiko eksaserbasi
Radiologi PPOK A. Pada emfisema terlihat: – Hiperinflasi, Hiperlusen, – Ruang retrosternal melebar, – Diafragma mendatar, Jantung menggantung (jantung pendulum/teardrop/eye drop).
B. Pada bronkitis kronik: – Normal, Corakan bronkovaskular bertambah pada 21% kasus.
Penyakit Paru Spirometri penyakit obstruktif paru: • Forced expiratory volume/FEV1 ↓ • Vital capacity ↓ • Hiperinflasi mengakibatkan: – Residual volume ↑ – Functional residual capacity ↑
Normal
COPD
Nilai FEV1 pascabronkodilator <80% prediksi memastikan ada hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. 1. 2. 3. 4.
Color Atlas of Patophysiology. 1st ed. Thieme: 2000. Current Diagnosis & Treatment in Pulmonary Medicine. Lange: 2003. Murray & Nadel’s Textbook of respiratory medicine. 4th ed. Elsevier: 2005. PPOK: diagnosis dan penatalaksanaan. PDPI 2011
PPOK Eksaserbasi • Gejala dan tanda eksaserbasi PPOK antara lain: 1. Bertambahnya sesak 2. Meningkatnya jumlah sputum 3. Terjadi perubahan karakteristik dan konsistensi sputum
• Menurut Anthonisen 1987, derajat eksaserbasi PPOK dibagi menjadi tiga, yakni: 1. Tipe I (Berat), memiliki 3 gejala eksaserbasi 2. Tipe II (Sedang), memiliki 2 gejala eksaserbasi 3. Tipe III (Ringan), memiliki 1 gejala eksaserbasi ditambah ISPA lebih dari 5 hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan mengi/ frekuensi nafas >20% nilai dasar atau frekuensi nadi >20% nilai dasar.
PPOK Eksaserbasi • Berdasarkan derajat eksaserbasi tersebut, maka prinsip penatalaksanaan menjadi: 1. Eksaserbasi ringan meningkatkan pemakaian bronkodilator (dapat dilakukan di rumah / di klinik) 2. Eksaserbasi sedang menambahkan antibiotik / steroid sistemik atau keduanya (dapat dilakukan di puskesmas atau klinik atau praktik dokter)
3. Eksaserbasi berat tatalaksana di RS
PPOK (terapi pada eksaserbasi akut) • Tata Laksana oksigen terkontrol, melalui kanul nasal atau venturi mask. • Bronkodilator: inhalasi agonis β2 + antikolinergik. Pada eksaserbasi akut berat: + Aminofilin ( 0,5 mg/kgbb/jam ) • Steroid: Prednisolon 30-40 mg PO selama 10-14 hari. SteroidIV: pada keadaan berat. • Antibiotika terhadap S pneumonie, H influenzae, M catarrhalis • Antioksidan: NAC • Mukolitik
• Imunomodulator: vit C, selenium, echinacea purpura • Ventilasi mekanik. Indikasi: gagal nafas akut atau kronik.
11. Endokarditis Infektif • Infeksi mikroba pada permukaan endotel jantung • Endokarditis infektif berisiko pada pasien dengan – Katup prostetik atau materi prostetik untuk repair katup jantung – Riwayat EI sebelumnya – Penyakit jantung kongenital – Menjalani prosedur tertentu khususnya prosedur pada daerah gigi dan mulut
11. Endokarditis infektif • Fever, possibly low-grade and intermittent, is present in 90% of patients with IE. • Heart murmurs are heard in approximately 85% of patients. • One or more classic signs of IE are found in as many as 50% of patients. They include the following: – Petechiae: Common, but nonspecific, finding – Subungual (splinter) hemorrhages: Dark-red, linear lesions in the nail beds – Osler nodes: Tender subcutaneous nodules usually found on the distal pads of the digits – Janeway lesions: Nontender maculae on the palms and soles – Roth spots: Retinal hemorrhages with small, clear centers; rare
http://emedicine.medscape.com/article/216650-overview
Tahapan patogenesis endokarditis • Kerusakan endotel katup • Pembentukan trombus fibrin-trombosit • Perlekatan bakteri pada plak trombus-trombosit • Proliferasi bakteri lokal dengan penyebaran hematogen
11. Endokarditis Bakterialis
Identifikasi Mikrobiologi
Empirical Therapy IE
• The initial choice of empirical treatment depends on several considerations: – (1) Whether the patient has received previous antibiotic therapy. – (2) Whether the infection affects a native valve or a prosthesis and if so, when surgery was performed (early vs. late PVE)]. – (3) The place of the infection (community, nosocomial, or nonnosocomial healthcare-associated IE) and knowledge of the local epidemiology, especially for antibiotic resistance and specific genuine culture-negative pathogen. – (4) Cloxacillin/cefazolin administration is associated with lower mortality rates than other beta-lactams, including amoxicillin/clavulanic acid or ampicillin/sulbactam, and vancomycin for empirically treating MSSA bacteraemia/ endocarditis 203
• •
•
12. Gagal Ginjal Kronik Definisi Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi: – Kelainan patologis – Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging test). LFG kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan, dengan atau tanpa kerusakan ginjal. Stage
Kreatinin
Terapi
1
Early
♀: < 1,5 ♂: < 2
Reserve progression
2
Latent
1,5-2,5
Stop progression
3
Emergent
2,5-3,5
Slow progression
4
Imminent
3,5-5,0
Persiapan ESRD
5
ESRD
> 5,0
Dialysis/ Transplantasi
TABEL KLASIFIKASI DERAJATNYA Derajat Deskripsi
PGK
BERDASARKAN LFG (ml/mnt/1,73m2)
1
LFG normal atau ↑
≥ 90
2
Penurunan LFG ↓ ringan
60-89
3a
Penurunan LFG ↓ ringan
30-59
hingga sedang 3b
Penurunan
LFG
↓
sedang hingga berat
4 5
Penurunan LFG ↓ berat
Gagal ginjal Sumber: KDIGO 2012
15-29 <15 atau dialisis
Klasifikasi di samping banyak digunakan, berdasarkan guideline dari National Kidney Foundation. Rumus Kockroft-Gault dijadikan dasar penghitungan LFG. LFG (ml/mnt/1,73m2) = (140-umur) x BB* / 72x kretinin plasma (mg/dl) *pada perempuan dikalikan 0,85
12. Penyakit ginjal kronik (CKD)
12. Penyakit ginjal kronik (CKD)
PENYAKIT GINJAL
12. Penyakit ginjal kronik (CKD) • Terapi Penyakit Dasar PGK – Waktu yang optimal untuk memberikan terapi untuk penyakit dasar PGK adalah sebelum terjadinya penurunan LFG (Tabel) – Namun bila LFG sudah menurun sampai 20-30% dari normal, terapi terhadap penyakit dasar sudah tidak banyak bermanfaat.
• Memperlambat Progresifitas PGK – Faktor utama yang menyebabkan perburukan fungsi ginjal adalah adanya hiperfiltrasi intraglomerular yang disebabkan oleh berkurangnya massa ginjal dan aktivasi sistem reninangiotensin. – Hiperfiltrasi ini kemudian menyebabkan terjadinya kebocoran protein melewati glomerulus sehingga timbul proteinuria – Sehingga, cara yang penting untuk mengurangi hiperfiltrasi adalah dengan pembatasan asupan protein dan memberikan obat antihipertensi untuk mengontrol hipertensi sistemik dan glomerular.
12. Penyakit ginjal kronik (CKD) • Anemia – Penanganan anemia pada PGK adalah dengan memberikan EPO – Status besi harus selalu diperhatikan karena EPO memerlukan besi untuk dapat bekerja – Transfusi harus dihindari kecuali anemia gagal berespon terhadap pemberian EPO dan pasien simptomatik – Sasaran Hb menurut berbagai studi klinik adalah 11-12 gr/dl.
• Dalam penanganan nefropati diabetik diperlukan kontrol gula darah yang baik – Kadar glukosa preprandial yang direkomendasikan adalah 90130 mg/dl dan kadar HbA1c harus <7%.
12. Penyakit ginjal kronik (CKD) • Pemberian terapi antihipertensi – Untuk menurunkan albuminuria dan mengurangi progresifitasnya meskipun pada pasien diabetes yang normotensi – Secara umum, penggunaan ACE inhibitor dan ARB memiliki efek renoprotektif, dengan jalan menurunkan tekanan intraglomerular dan menginhibisi jalur angiotensin yang menginduksi sklerosis ginjal, serta menghambat jalur mediasi TGF-β.
• Osteodistrofi renal – mengatasi hiperfosfatemia dan pemberian hormon kalsitriol (1.25(OH)2D3) , asupan fosfat dibatasi 600-800 mg/hari. – Pemberian pengikat fosfat seperti garam kalsium, alumunium hidroksida, atau garam magnesium dapat diberikan untuk menghambat absorpsi fosfat – Garam kalsium yang banyak digunakan adalah kalsium karbonat (CaCO3) dan kalsium asetat.
12. Penyakit ginjal kronik (CKD) • Imbalans cairan dan elektrolit – Berasumsi bahwa insensible water loss adalah 500-800 ml/hari (sesuai dengan luas permukaan tubuh), maka air yang masuk per hari dianjurkan 500-800 ml ditambah jumlah urin – Elektrolit yang harus diawasi kadarnya adalah kalium karena hiperkalemia dapat menyebabkan aritmia jantung – Selain itu, natrium juga perlu diawasi untuk mengendalikan hipertensi dan edema
• Terapi pengganti ginjal diindikasikan bila klirens kreatinin <15 ml/menit – Dibandingkan dengan pasien nondiabetik, hemodialisis pada pasien DM lebih sering menimbulkan komplikasi seperti hipotensi (karena adanya neuropati autonom yang menyebabkan hilangnya refleks takikardia), sulitnya akses vena, dan cepatnya progresi retinopati
12. CKD
13. Hepatitis • Inflamasi hepar yang disebabkan oleh berbagai macam penyebab. • Penyebab hepatitis: autoimun, hepatitis imbas obat, virus, alkohol, dan lain-lain. • Virus hepatitis merupakan infeksi sistemik yang dominan menyerang hepar. Hepatitis jenis ini paling sering disebabkan oleh virus hepatotropik (virus Hepatitis A, B, C, D, E). • Incubation periods for hepatitis A range from 15–45 days (mean, 4 weeks), for hepatitis B and D from 30–180 days (mean, 8–12 weeks), for hepatitis C from 15–160 days (mean, 7 weeks), and for hepatitis E from 14–60 days (mean, 5–6 weeks).
Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. 2011.
13. Hepatitis
14-15. Sindrom Koroner Akut • Gejala khas Rasa tertekan/berat di bawah dada, menjalar ke lengan kiri/leher/rahang/bahu/ulu hati. Dapat disertai berkeringat, mual/muntah, nyeri perut, sesak napas, & pingsan.
• Gejala tidak khas: Nyeri dirasakan di daerah penjalaran (lengan kiri/leher/rahang/bahu/ulu hati). Gejala lain berupa rasa gangguan pencernaan, sesak napas atau rasa lemah yang sulit dijabarkan. Terjadi pada pasien usia 25-40 tahun / >75thn / wanita / diabetes / penyakit ginjal kronik/demensia.
• Angina stabil: Umumnya dicetuskan aktivtas fisik atau emosi (stres, marah, takut), berlangsung 2-5 menit, Angina karena aktivitas fisik reda dalam 1-5 menit dengan beristirahat & nitrogliserin sublingual. Penatalaksanaan STEMI, PERKI
ACS (STEACS & NSTEACS)
Klasifikasi ACS Klasifikasi Lama
Klasifikasi Baru
Unstable angina pectoris (UAP)
Non ST elevation acute coronary syndrome (NSTEACS)
Non ST elevation myocardial infarction (NSTEMI) ST elevation myocardial infarction (STEMI)
ST elevation acute coronary syndrome (STEACS)
Acute Coronary Syndrome
14. Sindrom Koroner Akut
Lilly LS. Pathophysiology of heart disease. 5th ed. Lipincott Williams & Wilkins; 2011.
Unstable angina pectoris Bila terdapat minimal 1 keadaan dari 3: – Terjadi saat istirahat (dengan aktivitas minimal) selama > 10 menit dan < 30 menit – Baru terjadi (new onset) dalam 1 bulan – Nyerinya cresendo (semakin berat dan lama) * Tidak disertai dengan peningkatan enzim jantung
NSTEMI & STEMI Non-STEMI (NSTEMI, Subendocardial Myocard Infark) – Myocardial nekrosis tanpa ST segmen elevasi atau Q wave abnormal – Ada peningkatan dari enzim jantung STEMI (Transmural Myocard Infark) – Nekrosis myocard dengan ST segmen elevasi – Tidak hilang dengan istirahat dan pemberian nitrat sublingual – Lama > 30 menit – Infark mengenai seluruh dinding ventrikel – Ada peningkatan dari enzim jantung
Pemeriksaan NSTEMI/STEMI • EKG • Laboratorium: Hb, Ht, Leukosit, Trombosit, Natrium, Kalium, Ureum, Kreatinin, Gula darah sewaktu, SGOT, SGPT, CK-MB, dan Troponin I atau Troponin T • Rontgen Thoraks AP • Ekokardiografi
• Creatine Kinase (CK atau CPK) dikeluarkan otot yang rusak : Mm (otot rangka ), MB (otot jantung ) & BB (jaringan otak ). • Troponin protein yang membantu mengatur kontraksi otot jantung : Troponin I, Troponin T & Troponin C. Troponin I dan T normal tidak ditemukan dalam aliran darah Troponin C Mengikat ion Ca & (-) digunakan untuk menentukan jaringan sel / kematian
Diagnosis Banding 1. Kelainan pada esophagus : esofagitis oleh karena refluks. 2. Kolik bilier. 3. Sindroma kostosternal : oleh karena inflamasi pada tulang rawan kosta. 4. Radikulitis servikal. 5. Kelainan pada paru : pneumonia, emboli paru. 6. Nyeri psikogenik.
14. ACS
14. ACS
16. Tuberkulosis • Penyakit infeksi yang di sebabkan oleh mycrobacterium tubercolosis dengan gejala yang sangat bervariasi • Kuman TB berbentuk batang, memiliki sifat tahan asam terhadap pewarnaan Ziehl Neelsen sehingga dinamakan Basil Tahan Asam (BTA).
Tanda dan Gejala 1. Gejala lokal/ gejala respiratorik batuk - batuk > 2 minggu batuk darah sesak napas nyeri dada 2. Gejala sistemik Demam Gejala sistemik lain: malaise, keringat malam, anoreksia, berat badan menurun
Pemeriksaan fisik • Pada TB paru • tergantung luas kelainan struktur paru. Umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apex dan segmen posterior , serta daerah apex lobus inferior. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki basah.
• Pleuritis TB • kelainan pemeriksaan fisik tergantung dari banyaknya cairan di rongga pleura. Pada perkusi ditemukan pekak, pada auskultasi suara napas yang melemah sampai tidak terdengar pada sisi yang terdapat cairan.
• Pada limfadenitis TB • terlihat pembesaran kelenjar getah bening, tersering di daerah leher (pikirkan kemungkinan metastasis tumor), kadang-kadang di daerah axila
Pembagian kasus TB a. Kasus baru Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan. b. Kasus kambuh (relaps) Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif. Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologik dicurigai lesi aktif / perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus dipikirkan beberapa kemungkinan : Infeksi non TB (pneumonia, bronkiektasis dll) Dalam hal ini berikan dahulu antibiotik selama 2 minggu, kemudian dievaluasi. Infeksi jamur TB paru kambuh
c. Kasus defaulted atau drop out Adalah pasien yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa pengobatannya selesai. d. Kasus gagal Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan) Adalah pasien dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif menjadi BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan e. Kasus kronik / persisten Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik
Alur Diagnosis TB Dan TB Resistan Obat Di Indonesia Terduga TB
Pasien baru, tidak ada riwayat pengobatan TB, tidak ada riwayat kontak erat dengan pasien TB RO, pasien dengan HIV (-) atau tidak diketahui status HIV nya
Pasien dengan riwayat pengobatan TB, pasien dengan riwayat kontak erat dengan pasien TB RO, pasien dengan HIV (+)
Tuberculosis
Pemeriksaan Klinis dan Pemeriksaan bakteriologis dengan Mikroskop atau Tes Cepat Molekuler (TCM)
Tidak memiliki akses untuk TCM TB
Memiliki akses untuk TCM TB
Pemeriksaan Mikroskopis BTA
Pemeriksaan TCM TB
(+ +) (+ -)
(- -)
MTB Pos, Rif Sensitive
Tidak bisa dirujuk
Foto Toraks
Gambaran Mendukung TB
Terapi Antibiotika Non OAT
Tidak Mendukung TB; Bukan TB; Cari kemungkinan penyebab penyakit lain
TB Terkonfirmasi Klinis
TB Terkonfirmasi Bakteriologis
Pengobatan TB Lini 1
Ada Perbaikan Klinis
Bukan TB; Cari kemungkinan penyebab penyakit lain
Pengobatan TB Lini 1
Tidak Ada Perbaikan Klinis, ada faktor risiko TB, dan atas pertimbangan dokter TB Terkonfirmasi Klinis
MTB Pos, Rif Indeterminate
Ulangi pemeriksaan TCM
MTB Neg
MTB Pos, Rif Resistance
Foto Toraks
TB RR
Mulai Pengobatan TB RO; Lakukan pemeriksaan Biakan dan Uji Kepekaan OAT Lini 1 dan Lini 2
TB RR; TB MDR
Lanjutkan Pengobatan TB RO
TB Pre XDR
(Mengikuti alur yang sama dengan alur pada hasil pemeriksaan mikrokopis BTA negatif (- -) )
TB XDR
Pengobatan TB RO dengan Paduan Baru
Algoritma TB Nasional 2016 Pemeriksaan tambahan pada semua pasien TB yang terkonfirmasi baik secara bakteriologis maupun klinis adalah pemeriksaan HIV dan gula darah. Pemeriksaan lain dilakukan sesuai indikasi misalnya fungsi hati, fungsi ginjal, dll)
Tuberkulosis
Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. 2014.
Tuberkulosis
Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. 2014.
Tuberkulosis OAT kategori-1: 2(HRZE) / 4(HR)3 – Pasien TB paru terkonfirmasi bakteriologis. – Pasien TB paru terdiagnosis klinis – Pasien TB ekstra paru
Kategori -2: 2(HRZE)S / (HRZE) / 5(HR)3E3) – Pasien kambuh – Pasien gagal pada pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya – Pasien yang diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up)
• Pemberian sisipan tidak diperlukan lagi pada pedoman TB terbaru.
Pedoman nasional pengendalian tuberkulosis. 2014.
Klasifikasi Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Uji Kepekaan Obat
Secara umum, resistensi terhadap obat antituberkulosis terbagi atas : • Resistensi primer apabila pasien sebelumnya tidak pernah mendapat pengobatan TB, (2)
• Resistensi sekunder bilamana pasien memiliki riwayat pengobatan • Resistensi inisial jika riwayat pengobatan tidak diketahui dengan pasti
Klasifikasi Berdasarkan Hasil Pemeriksaan Uji Kepekaan Obat • Mono resistan (TB MR): resistan terhadap salah satu jenis OAT lini pertama saja • Poli resistan (TB PR): resistan terhadap lebih dari satu jenis OAT lini pertama selain Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan • Multi drug resistan (TB MDR): resistan terhadap Isoniazid (H) dan Rifampisin (R) secara bersamaan • Extensive drug resistan (TB XDR): adalah TB MDR yang sekaligus juga resistan terhadap salah satu OAT golongan fluorokuinolon dan minimal salah satu dari OAT lini kedua jenis suntikan (Kanamisin, Kapreomisin dan Amikasin) • Resistan Rifampisin (TB RR): resistan terhadap Rifampisin dengan atau tanpa resistensi terhadap OAT lain yang terdeteksi menggunakan metode genotip (tes cepat) atau metode fenotip (konvensional).
17. Gout Arthritis Definisi • Kelainan metabolisme purin yang ditandai dengan adanya hiperuricemia, deposisi kristal monosodium urat monohidrat pada sendi serta jaringan preartikular serta serangan sinovitis berulang. • Faktor Resiko: Pria usia tua, wanita menopause, riwayat keluarga dengan artritis gout, gangguan ginjal, menerima terapi diuretic
• • •
•
• • •
• •
Klinis Fase akut: Nyeri sendi disertai kemerahan, bengkak dan panas pada sendi MTP 1 (podagra) Sendi yang terlibat: sendi besar, seperti ankle, pergelangan tangan, lutut, siku, namun bisa menyerang jari tangan. Fase kronis. Gout poliartikular: nyeri, kaku sendi serta deformitas sendi. Bisa terdapat tofi, yaitu penimbunan kristal pada jaringan lunak. Bisa terdapat gejala batu ginjal. Keterlibatan mata: tofus pada kelopak mata dan penurunan penglihatan
Nyeri Sendi pada Gout
Harrison’s principles of internal medicine. 18th ed. McGraw-Hill; 2011. Robbins’ pathologic basis of disease. 2007.
Artritis Gout • Tujuan penanganan serangan akut untuk meredakan nyeri dengan cepat. – NSAID indometasin 150-200 mg/hari, 2-3 hari, atau naproxen 2 x 500 mg, atau sulindac 2 x 200 mg. – Colchicine (dalam 36 jam (ACR); dalam 12 jam (EULAR): 1,2 (ACR)/1 (EULAR) mg, dilanjutkan 0,6 (ACR)/0,5 mg (EULAR) mg 1 jam kemudian, diikuti dengan 2 x 0,6 mg 12 jam kemudian sampai serangan gout menghilang. – Kortikosteroid, jika NSAID dan kolkisin kontraindikasi.
• Pencegahan serangan dengan menurunkan asam urat: – Allopurinol (lini 1): 300 mg/hari, maksimal 800 mg dosis terbagi – Probenecid: 2x250 mg/hari minggu pertama, selanjutnya 2x500 mg, maksimal 2-3 g/hari.
• Agen penurun asam urat tidak diberikan saat serangan akut, kecuali sudah rutin diminum dari sebelum serangan. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi IV. Current diagnosis & treatment in rheumatology. 2nd ed. McGraw-Hill; 2007. Physician drug handbook.
• Recommended first-line options for acute flare are colchicine (within 12 hours of flare onset) at a loading dose of 1 mg followed 1 hour later by 0.5 mg on day 1 • and/or an NSAID (plus a proton pump inhibitor if appropriate), oral corticosteroids (30–35 mg/day of equivalent prednisolone for 3–5 days) • or articular aspiration and injection of corticosteroids. • The task force does not prioritise between these options because of no direct comparative evidence • Colchicine and NSAIDs should be avoided in patients with severe renal impairment. • Colchicine should not be given to patients receiving strong P-glycoprotein and/or CYP3A4 inhibitors such as cyclosporin or clarithromycin.
Indikasi Urate Lowering Therapy •
Urate lowering therapy diindikasikan pada pasien dengan – – – –
•
Terdapatnya tofus Serangan akut >2 kali/tahun CKD stage 2 ke atas Riwayat urolithiasis
Initiation of ULT is recommended close to the time of first diagnosis in patients – presenting at a young age (<40 years), – very high serum uric acid level (>8 mg/dL; 480 mmol/L) – Comorbidities (renal impairment, hypertension, ischaemic heart disease, heart failure)
Ciri
OA
RA
Arthritis
Gout
Spondilitis Ankilosa
Female>male, >50 tahun, obesitas
Female>male 40-70 tahun
Male>female, >30 thn, hiperurisemia
Male>female, dekade 2-3
gradual
gradual
akut
Variabel
Inflamasi
-
+
+
+
Patologi
Degenerasi
Pannus
Mikrotophi
Enthesitis
Poli
Poli
Mono-poli
Oligo/poli
Tipe Sendi
Kecil/besar
Kecil
Kecil-besar
Besar
Predileksi
Pinggul, lutut, punggung, 1st CMC, DIP, PIP
MCP, PIP, pergelangan tangan/kaki, kaki
MTP, kaki, pergelangan kaki & tangan
Sacroiliac Spine Perifer besar
Bouchard’s nodes Heberden’s nodes
Ulnar dev, Swan neck, Boutonniere
Kristal urat
En bloc spine enthesopathy
Osteofit
Osteopenia erosi
erosi
Erosi ankilosis
-
Nodul subkutan, pulmonari cardiac splenomegaly
Tophi, olecranon bursitis, batu ginjal
Uveitis, IBD, konjungtivitis, insuf aorta, psoriasis
Normal
RF +, anti CCP
Asam urat
Prevalens Awitan
Jumlah Sendi
Temuan Sendi Perubahan tulang Temuan Extraartikular
Lab
18. Demam Typhoid • Penyakit sistemik akut yang disebabkan oleh infeksi kuman Salmonella typhi atau Salmonella partatyphii • Gejala dan tanda klinis – demam naik secara bertangga terutama pada sore dan malam hari – sakit kepala – nyeri otot – anoreksia, mual, muntah – obstipasi atau diare, kesadaran berkabut, – bradikardia relatif – lidah yang berselaput (kotor di tengah, tepi dan ujung merah, serta tremor), – hepatomegali, splenomegali, nyeri abdomen, – roseolae (jarang pada orang Indonesia).
Patofisiologi Demam Tifoid • S. Typhi masuk sampai usus halus menembus sel epitel ke lamina propria difagosit makrofag berkembang biak dalam makrofag ke Plak Peyeri KGB mesenterika duktus torasikus bakterimia ke hepar& lien bakterimia dan diekskresikan bersama cairan empedu ke lumen usus
Sensitivity of Typhoid Cultures
Blood cultures: often (+) in the 1st week. (gold standard) Stools cultures: yield (+) from the 2nd or 3rd week on. Urine cultures: may be (+) after the 2nd week. (+) culture of duodenal drainage: presence of Salmonella in carriers.
Kultur Typhoid • Bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses. • Media pembiakan yang direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi • Media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut. • Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. – Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari.
Widal test:
• Deteksi antibodi terhadap antigien somatik O & flagel H dari salmonella. • Diagnosis (+): peningkatan titer >4 x setelah 5-10 hari dari hasil pertama. • Antibody O meningkat setelah 6-8 hari, antibodi H meningkat setelah 1012 hari. • Pada daerah endemik, tes widal tunggal tidak reliabel karena antibodi terhadap H dan O dapat terdeteksi hingga 1/160 pada populasi normal. Karena itu, sebagian memakai batas titer H dan/ O ≥ 1/320 sebagai nilai yang signifikan.
Typhidot • Deteksi IgM dan IgG terhadap outer membrane protein (OMP) 50 kDa dari S. typhi. • Positif setelah infeksi hari 2-3.
Tubex TF • Deteksi IgM anti lipopolisakarida O9 dari Salmonella serogroup D (salah satunya S. typhi). • Positif setelah hari ke 3-4. A Comparative Study of Typhidot and Widal Test in Patients of Typhoid Fever. JIACM 2004; 5(3): 244-6.
Pilihan Antibiotik Untuk Demam Tifoid (WHO 2011)
Demam Tifoid • Kloramfenikol 4x500 mg PO atau IV diberikan sampai 7 hari bebas demam • Kotrimoksazol 2x2 tabley (1 tablet : Sulfametoksazol 400mg dan Trimetoprim 80 mg) diberikan selama 2 minggu. • Ampisilin dan Amoksisilin 50-150mg/KgBB selama 2 minggu • Sefalosporin generasi ketiga IV 4 gr dalam dekstrosa 100cc diberikan selama ½ jam sekali sehari selama 3-5 hari. • Cefixime dapat diberikan 7-14 hari.
Golongan Fluorokionolon: • Norfloksasin 2x400mg/hari selama 14 hari • Siprofloksasin 2x500mg selama 6 hari (5-7 hari) • Ofloksasin 2x400 mg/hari selama 7 hari • Pefloksasin 400 mg/hari selama 7 hari • Fleroksasin 400 mg/hari selama 7 hari
19. Osteoporosis • Penyakit tulang sistemik yang ditandai oleh penurunan densitas massa tulang dan perburukan mikroarsitektur tulang sehingga tulang menjadi rapuh dan mudah patah. • Compromised bone strength • Tipe osteoporosis – Osteoporosis tipe I pasca menopause (defisiensi esterogen) – Osteoporosis tipe II senilis (gangguan absorbsi kalsium di usus)
• Faktor risiko osteoporosis – Usia, genetik, lingkungan, hormon, sifat fisik tulang
• Dapat menyebabkan fraktur patologis
19. Osteoporosis • In the absence of estrogen, T cells promote osteoclast recruitment, differentiation, and prolonged survival via IL-1, IL-6, and tumor necrosis factor (TNF)–alpha. • IL-1 has also been shown to be involved in the production of osteoclasts. The production of IL-1 is increased in bone marrow mononuclear cells from ovariectomized rats. • Administering IL-1 receptor antagonist to these animals prevents the late stages of bone loss induced by the loss of ovarian function, but it does not prevent the early stages of bone loss.
19. Klasifikasi Osteoporosis
19. Osteoporosis
Tanda dan Gejala • Seringnya tanpa gejala – silent disease • Gejala lain yang dapat muncul Nyeri punggung Fraktur patologis Penurunan tinggi badan Imobilisasi Kifosis bertambah
Fraktur Kompresi pada Osteoporosis • Wedge fractures – collapse of the anterior or posterior of the vertebral body • Biconcave fractures – collapse of the central portion of both vertebral body endplates
• Crush fractures – collapse of entire vertebral body
Ciri Prevalens
Awitan
OA
RA
Gout
Spondilitis Ankilosa
Female>male, >50 tahun, obesitas
Female>male 40-70 tahun
Male>female, >30 thn, hiperurisemia
Male>female, dekade 2-3
gradual
gradual
akut
Variabel
+
+
+
Arthritis
Inflamasi
-
Patologi
Degenerasi
Pannus
Mikrotophi
Enthesitis
Poli
Poli
Mono-poli
Oligo/poli
Tipe Sendi
Kecil/besar
Kecil
Kecil-besar
Besar
Predileksi
Pinggul, lutut, punggung, 1st CMC, DIP, PIP
MCP, PIP, pergelangan tangan/kaki, kaki
MTP, kaki, pergelangan kaki & tangan
Sacroiliac Spine Perifer besar
Kristal urat
En bloc spine enthesopathy
erosi
Erosi ankilosis
Jumlah Sendi
Temuan Sendi Perubahan tulang Temuan Extraartikular Lab
Bouchard’s nodes Ulnar dev, Swan Heberden’s nodes neck, Boutonniere Osteofit -
Normal
Osteopenia erosi
Nodul subkutan, Tophi, pulmonari cardiac olecranon bursitis, splenomegaly batu ginjal RF +, anti CCP
Asam urat
Uveitis, IBD, konjungtivitis, insuf aorta, psoriasis
20. Demam Berdarah Dengue • Definisi : Penyakit demam akut yang disebabkan oleh virus dengue dan ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypty dan Aedes albopictus serta memenuhi kriteria WHO untuk DBD • dicurigai apabila ditemukan demam tinggi (40°C) diikuti 2 dari gejala berikut: – – – –
nyeri kepala, nyeri dibelakang mata, nyeri otot dan sendi, mual, muntah, atau timbul bintik merah.
• Gejala ini muncul selama 2-7 hari setelah 4-10 hari dari pertama gigitan nyamuk yang terinfeksi.
INFEKSI DENGUE
INFEKSI DENGUE
Shock Bleeding
Infeksi Dengue • NS1: – antigen nonstructural untuk replikasi virus yang dapat dideteksi sejak hari pertama demam. – Puncak deteksi NS1: hari ke 2-3 (sensitivitas 75%) & mulai tidak terdeteksi hari ke 5-6.
• Untuk membedakan infeksi dengue primer atau sekunder digunakan pemeriksaan IgM & IgG antidengue. – Infeksi primer IgM (+) setelah hari ke 3-6 & hilang dalam 2 bulan, IgG muncul mulai hari ke-12. – Pada infeksi sekunder IgG dapat muncul sebelum atau bersamaan dengan IgM – IgG bertahan berbulan-bulan & dapat (+) seumur hidup sehingga diagnosis infeksi sekunder dilihat dari peningkatan titernya. Jika titer awal sangat tinggi 1:2560, dapat didiagnosis infeksi sekunder.
WHO SEARO, Dengue prevention & management. 2011.
Primary infection: • IgM: detectable by days 3–5 after the onset of illness, by about 2 weeks & undetectable after 2–3 months. • IgG: detectable at low level by the end of the first week & remain for a longer period (for many years).
Infeksi Primer
Secondary infection: • IgG: detectable at high levels in the initial phase, persist from several months to a lifelong period. • IgM: significantly lower in secondary infection cases.
Infeksi Sekunder
• Transfusi trombosit: • Hanya diberikan pada DBD dengan perdarahan masif (4-5 ml/kgBB/jam) dengan jumlah trombosit <100.000/uL, dengan atau tanpa DIC. • Pasien DBD trombositopenia tanpa perdarahan masif tidak diberikan transfusi trombosit.
ILMU BEDAH
21. Initial Assessment Penderita trauma/multitrauma memerlukan penilaian dan pengelolaan yang cepat dan tepat untuk menyelamatkan jiwa penderita. Waktu berperan sangat penting, oleh karena itu diperlukan cara yang mudah, cepat dan tepat. Proses awal ini dikenal dengan Initial assessment ( penilaian awal ). Penilaian awal meliputi: 1. Persiapan 2. Triase 3. Primary survey (ABCDE) 4. Resusitasi 5. Tambahan terhadap primary survey dan resusitasi 6. Secondary survey 7. Tambahan terhadap secondary survey 8. Pemantauan dan re-evaluasi berkesinarnbungan 9. Transfer ke pusat rujukan yang lebih baik ATLS Coursed 9th Edition
Primary Survey A. Airway dengan kontrol servikal 1. Penilaian a) Mengenal patensi airway ( inspeksi, auskultasi, palpasi) b) Penilaian secara cepat dan tepat akan adanya obstruksi
2.
Pengelolaan airway a) Lakukan chin lift dan atau jaw thrust dengan kontrol servikal in-line immobilisasi b) Bersihkan airway dari benda asing bila perlu suctioning dengan alat yang rigid c) Pasang pipa nasofaringeal atau orofaringeal d) Pasang airway definitif sesuai indikasi ( lihat tabell )
3. 4. 5.
Fiksasi leher Anggaplah bahwa terdapat kemungkinan fraktur servikal pada setiap penderita multi trauma, terlebih bila ada gangguan kesadaran atau perlukaan diatas klavikula. Evaluasi ATLS Coursed 9th Edition
ATLS Coursed 9th Edition
Cervical in-line immobilization
Indikasi Airway definitif
B. Breathing dan Ventilasi-Oksigenasi 1. Penilaian a) Buka leher dan dada penderita, dengan tetap memperhatikan kontrol servikal in-line immobilisasi b) Tentukan laju dan dalamnya pernapasan c) Inspeksi dan palpasi leher dan thoraks untuk mengenali kemungkinan terdapat deviasi trakhea, ekspansi thoraks simetris atau tidak, pemakaian otot-otot tambahan dan tanda-tanda cedera lainnya. d) Perkusi thoraks untuk menentukan redup atau hipersonor e) Auskultasi thoraks bilateral
2.
Pengelolaan a) Pemberian oksigen konsentrasi tinggi ( nonrebreather mask 11-12 liter/menit) b) Ventilasi dengan Bag Valve Mask c) Menghilangkan tension pneumothorax d) Menutup open pneumothorax e) Memasang pulse oxymeter
3.
Evaluasi ATLS Coursed 9th Edition
C. Circulation dengan kontrol perdarahan 1. Penilaian a) b) c) d)
Mengetahui sumber perdarahan eksternal yang fatal Mengetahui sumber perdarahan internal Periksa nadi : kecepatan, kualitas, keteraturan, pulsus paradoksus. Tidak diketemukannya pulsasi dari arteri besar merupakan pertanda diperlukannya resusitasi masif segera. e) Periksa warna kulit, kenali tanda-tanda sianosis. f) Periksa tekanan darah
2.
Pengelolaan a) Penekanan langsung pada sumber perdarahan eksternal b) Kenali perdarahan internal, kebutuhan untuk intervensi bedah serta konsultasi pada ahli bedah. c) Pasang kateter IV 2 jalur ukuran besar sekaligus mengambil sampel darah untuk pemeriksaan rutin, kimia darah, tes kehamilan (pada wanita usia subur), golongan darah dan cross-match serta Analisis Gas Darah (BGA). d) Beri cairan kristaloid yang sudah dihangatkan dengan tetesan cepat. e) Pasang PSAG/bidai pneumatik untuk kontrol perdarahan pada pasienpasien fraktur pelvis yang mengancam nyawa. f) Cegah hipotermia
3.
Evaluasi ATLS Coursed 9th Edition
Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah
D. Disability 1. Tentukan tingkat kesadaran memakai skor GCS/PTS 2. Nilai pupil : besarnya, isokor atau tidak, reflek cahaya dan awasi tanda-tanda lateralisasi 3. Evaluasi dan Re-evaluasi aiway, oksigenasi, ventilasi dan circulation.
E. Exposure/Environment 1. Buka pakaian penderita, periksa jejas 2. Cegah hipotermia : beri selimut hangat dan tempatkan pada ruangan yang cukup hangat. ATLS Coursed 9th Edition
22. Trauma Dada Diagnosis
Etiologi
Tanda dan Gejala
Hemotoraks
Laserasi pembuluh darah di kavum toraks
• Ansietas/ gelisah, takipneu, tanda-tanda syok, takikardia, Frothy/ bloody sputum. • Suara napas menghilang pada tempat yang terkena, vena leher mendatar, perkusi dada pekak.
Simple pneumotoraks
Trauma tumpul spontan
• Jejas di jaringan paru sehingga menyebabkan udara bocor ke dalam rongga dada. • Nyeri dada, dispneu, takipneu. • Suara napas menurun/ menghilang, perkusi dada hipersonor
Open pneumotoraks
Luka penetrasi di • Luka penetrasi menyebabkan udara dari luar area toraks masuk ke rongga pleura. • Dispneu, nyeri tajam, empisema subkutis. • Suara napas menurun/menghilang • Red bubbles saat exhalasi dari luka penetrasi • Sucking chest wound
Diagnosis
Etiologi
Tanda dan Gejala
Tension pneumotoraks
Udara yg terkumpul • Tampak sakit berat, ansietas/gelisah, di rongga pleura tidak • Dispneu, takipneu, takikardia, distensi dapat keluar lagi vena jugular, hipotensi, deviasi trakea. (mekanisme pentil) • Penggunaan otot-otot bantu napas, suara napas menghilang, perkusi hipersonor.
Flail chest
Fraktur segmental • Nyeri saat bernapas tulang iga, • Pernapasan paradoksal melibatkan minimal 3 tulang iga.
Efusi pleura
CHF, pneumonia, keganasan, TB paru, emboli paru
• Sesak, batuk, nyeri dada, yang disebabkan oleh iritasi pleura. • Perkusi pekak, fremitus taktil menurun, pergerakan dinding dada tertinggal pada area yang terkena.
Pneumonia
Infeksi, inflamasi
• Demam, dispneu, batuk, ronki
Hemopneumothorax • Hemopneumotoraks akumulasi darah dan udara di dalam rongga pleura.
http://emedicine.medscape.com/article/433779
FLAIL CHEST
Fraktur segmental dari tulang-tulang iga yang berdekatan, sehingga ada bagian dari dinding dada yang bergerak secara independen
Flail chest: • Beberapa tulang iga • Beberapa garis fraktur pada satu tulang iga
The first rib is often fractured posteriorly (black arrows). If multiple rib fractures occur along the midlateral (red arrows) or anterior chest wall (blue arrows), a flail chest (dotted black lines) may result.
http://emedicine.medscape.com/
Treatment ABC’s dengan c-spine control sesuai indikasi Analgesik kuat intercostal blocks Hindari analgesik narkotik Ventilation membaik tidal volume meningkat, oksigen darah meningkat Ventilasi tekanan positif Hindari barotrauma Chest tubes bila dibutuhkan Perbaiki posisi pasien Posisikan pasien pada posisi yang paling nyaman dan membantu mengurangi nyeriPasien miring pada sisi yang terkena Aggressive pulmonary toilet Surgical fixation rarely needed Rawat inap24 hours observasion
http://emedicine.medscape.com/article/152083-overview
Cardiac Tamponade Gejala • Takipnea dan DOE, rest air hunger • Weakness • Presyncope • Dysphagia • Batu • Anorexia • (Chest pain)
Pemeriksaan Fisik • Takikardi • Hypotension shock • Elevated JVP with blunted y descent • Muffled heart sounds • Pulsus paradoxus – Bunyi jantung masih terdengar namun nadi radialis tidak teraba saat inspirasi
• (Pericardial friction rub)
http://www.learningradiology.com/archives2007/COW%20274-Pericardial%20effusion/perieffusioncorrect.html
“Water bottle configuration" bayangan pembesaran jantung yang simetris
• Dicurigai Tamponade jantung: – Echocardiography – Pericardiocentesis • Dilakukan segera untuk diagnosis dan terapi
• Needle pericardiocentesis – Sering kali merupakan pilihan terbaik saat terdapat kecurigaan adanya tamponade jantung atau terdapat penyebab yang diketahui untuk timbulnya tamponade jantung
http://emedicine.medscape.com/article/152083-overview
23. Urolithiasis
Staghorn Stone • Batu staghorn seringkali tanpa disertai gejala. • Staghorn merupakan batu saluran kemih yang bercabang menempati renal pelvis dan setidaknya menempati 1 sistem kaliks. • Gejala yang sering pada pasien berupa ISK dan hematuria.
https://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMicm0805190
Nyeri Alih
24. Hirschsprung • Suatu kelainan bawaan berupa aganglionik usus, mulai dari spinchter ani interna kearah proksimal dengan panjang yang bervariasi, tetapi selalu termasuk anus dan setidaktidaknya sebagian rectum dengan gejala klinis berupa gangguan pasase usus. • Tidak terdapat ganglion Meisner dan Auerbach
EPIDEMIOLOGI 1 diantara 5000 kelahiran hidup Laki-laki > wanita
Faktor genetik
ETIOLOGI
Kegagalan perkembangan pleksus submukosa Meissner dan pleksus mienteric Auerbach di usus besar
Tidak terdapatnya sel ganglion parasimpatis dari pleksus Auerbach di colon
Terbentuknya panjang terminal aganglionik usus besar yang bervariasi
PATOFISIOLOGI Gagal migrasi bakal sel ganglion dari cranio- caudal Minggu 5 – 12 Segmen aganglionik Peristaltik propulsif tidak ada, sfingter ani internus gagal mengendur pada distensi rectum
Ganglion parasimpatik intramural tidak ada
Defekasi terganggu
obstruksi
Distensi abdomen
Colon tidak mengembang
konstipasi
MANIFESTASI KLINIS
KETERLAMBATAN EVAKUASI MEKONIUM
MUNTAH HIJAU
DISTENSI ABDOMEN
DIAGNOSA
GAMBARAN KLINIS COLOK DUBUR PEM.PENUNJANG :
BNO POLOS Gambaran hearing bone
BARIUM ENEMA Gambaran zona transisi
• Darm kontur: terlihatnya bentuk usus pada abdomen • Darm Steifung: terlihatnya gerakan peristaltik pada abdomen Rontgen : • Abdomen polos – Dilatasi usus – Air-fluid levels. – Empty rectum
•
Contrast enema – Transition zone – Abnormal, irregular contractions of aganglionic segment – Delayed evacuation of barium
•
Biopsy : – absence of ganglion cells – hypertrophy and hyperplasia of nerve fibers,
PENATALAKSANAAN • Prinsip terapi – mengatasi obstruksi, – mencegah terjadinya enterocolitis – membuang segmen aganglionik – mengembalikan kontinuitas usus
TERAPI SEMENTARA
PEMBEDAHAN
COLOSTOMY
RECTOSIGMOIDESTOMY CARA SWENSON DEFINITIF ANASTOMOSE COLOANAL CARA DUHAMEL DAN SOAVE
25. Peritonitis
• Peritonitis Sekunder – Bakteri, enzim, atau cairan empedu mencapai peritoneum dari suatu robekan yang berasal dari traltus bilier atau GIT • Peritonitis TB
– Robekan tersebut dapat disebabkan oleh” • • • • • •
Pankreatitis Perforasi appendiks Ulkus gaster Crohn’s disease Diverticulitis Komplikasi tifoid
Gambaran radiologis pada peritonitis: a) adanya kekaburan pada cavum abdomen b) preperitonial fat dan psoas line menghilang c) adanya udara bebas subdiafragma atau d) adanya udara bebas intra peritoneal
26. Compartment Syndrome
27. Klasifikasi Syok Penyebab syok dapat diklasifikasikan sebagai berikut: • Syok kardiogenik (kegagalan kerja jantungnya sendiri)
•
• (a) Penyakit jantung iskemik, seperti infark • (b) Obat-obat yang mendepresi jantung; • • (c) Gangguan irama jantung.
• Syok hipovolemik (berkurangnya volume sirkulasi darah): • (a) Kehilangan darah, misalnya perdarahan; • (b) Kehilangan plasma, misalnya luka bakar; • (c) Dehidrasi: cairan yang masuk kurang (misalnya puasa lama), cairan keluar yang banyak (misalnya diare, muntahmuntah, fistula, obstruksi usus dengan penumpukan cairan di lumen usus).
Syok obstruktif (gangguan kontraksi jantung akibat di luar jantung): • • •
(a) Tamponade jantung; (b) Pneumotorak; (c) Emboli paru.
Syok distributif (berkurangnya tahanan pembuluh darah perifer) • •
• • • •
(a) Syok neurogenik; (b) Cedera medula spinalis atau batang otak; (c) Syok anafilaksis; (d) Obat-obatan; (e) Syok septik; (f) Kombinasi, misalnya pada sepsis bisa gagal jantung, hipovolemia, dan rendahnya tahanan pembuluh darah perifer.
Perkiraan Kehilangan Cairan dan Darah
28. Fraktur Antebrachii • Fraktur Galeazzi: adalah fraktur radius distal disertai dislokasi atau subluksasi sendi radioulnar distal. • Fraktur Monteggia: adalah fraktur ulna sepertiga proksimal disertai dislokasi ke anterior dari kapitulum radius. • Fraktur Colles: fraktur melintang pada radius tepat diatas pergelangan tangan dengan pergeseran dorsal fragmen distal. • Fraktur Smith: Fraktur smith merupakan fraktur dislokasi ke arah anterior (volar), karena itu sering disebut reverse Colles fracture.
Prinsip diagnostik • Secara umum, pada kasus fraktur dilakukan foto polos AP dan lateral • Khusus untuk fraktur pada lengan bawah dan pergelangan, urutan foto polos: - PA Bila hanya pergelangan tangan saja yang difoto - APBila meliputi sendi siku dan pergelangan tangan - Lateral - Oblique Ekayuda I. Radiologi diagnostik. 2nded
PA
Akan menentukan tangan sebelah mana yang patah dan arah pergeserannya pada foto lateral
PA
Fraktur Monteggia
Fraktur Galeazzi
Fraktur Smith
Fraktur Colles
29. Hernia
Tipe Hernia
Definisi
Reponible
Kantong hernia dapat dimasukan kembali ke dalam rongga peritoneum secara manual atau spontan
Irreponible
Kantong hernia tidak adapat masuk kembali ke rongga peritoneum
Inkarserata
Obstruksi dari pasase usus halus yang terdapat di dalam kantong hernia
Strangulata
Obstruksi dari pasase usus dan obstruksi vaskular dari kantong hernia tanda-tanda iskemik usus: bengkak, nyeri, merah, demam
Hernia Inkarserata dengan Ileus
Test
Keterangan
Finger test
Untuk palpasi menggunakan jari telunjuk atau jari kelingking pada anak dapat teraba isi dari kantong hernia, misalnya usus atau omentum (seperti karet). Dari skrotum maka jari telunjuk ke arah lateral dari tuberkulum pubicum, mengikuti fasikulus spermatikus sampai ke anulus inguinalis internus. Dapat dicoba mendorong isi hernia dengan menonjolkan kulit skrotum melalui anulus eksternus sehingga dapat ditentukan apakah isi hernia dapat direposisi atau tidak. Pada keadaan normal jari tidak bisa masuk. Dalam hal hernia dapat direposisi, pada waktu jari masih berada dalam anulus eksternus, pasien diminta mengedan. Bila hernia menyentuh ujung jari berarti hernia inguinalis lateralis, dan bila hernia menyentuh samping ujung jari berarti hernia inguinalis medialis.
Siemen test
Dilakukan dengan meletakkan 3 jari di tengah-tengah SIAS dengan tuberculum pubicum dan palpasi dilakukan di garis tengah, sedang untuk bagian medialis dilakukan dengan jari telunjuk melalui skrotum. Kemudian pasien diminta mengejan dan dilihat benjolan timbal di annulus inguinalis lateralis atau annulus inguinalis medialis dan annulus inguinalis femoralis.
Thumb test
Sama seperti siemen test, hanya saja yang diletakkan di annulus inguinalis lateralis, annulus inguinalis medialis, dan annulus inguinalis femoralis adalah ibu jari.
Valsava test
Pasien dapat diperiksa dalam posisi berdiri. Pada saat itu benjolan bisa saja sudah ada, atau dapat dicetuskan dengan meminta pasien batuk atau melakukan manuver valsava.
30. Fibroadenoma • Most common benign tumor of breast. • Benign tumors that represent a hyperplastic or proliferative process in a single terminal ductal unit. • Young females:15 -25yrs of age. • Aberration in normal development of a lobule. • Cause -unknown. • 10% of disappear spontaneously each year. • Most stop growing after they reach 2-3 cm.
• Involute in postmenopausal womencoarse calcifications develop. • Conversely grow rapidly during pregnancy, HRT or immunosuppression-(multiple or growing fibroadenomas -related to Epstein barr virus infn) • Variants • juvenile fibroadenomas • myxoid fibroadenomas Carney complex, an autosomal dominant neoplasia syndrome (skin mucosal lesions, myxomas, and endocrine disorders.)
Types • Gross: Soft, Hard, Giant. • Microscopy – Intracanalicularmainly cellular tissue – Pericanalicularmainly fibrous
• Clinical features – Painless swelling – Smooth, firm, nontender – Well-localized – Moves freely within the breast tissue- breast mouse. – Axillary LN not enlarged.
• Treatment • Excision of the lump • In pericanalicular type periareolar incision • Intracanalicularsubmammary incision
The Breast Lump
31. Appendisitis
Sign of Appendicitis
Alvarado Score
32. Hernia Diafragmatika Penonjolan organ perut ke dalam rongga dada melalui suatu lubang pada diafragma. Akibat penonjolan viscera abdomen ke dalam rongga thorax melalui suatu pintu pada diafragma. Terjadi bersamaan dengan pembentukan sistem organ dalam rahim.
Pembagian Hernia Diafragmatika a. Traumatica : hernia akuisita, akibat pukulan, tembakan, tusukan b. Non-Traumatica 1)Kongenital › Hernia Bochdalek atau Pleuroperitoneal Celah dibentuk pars lumbalis, pars costalis diafragma › Hernia Morgagni atau Para sternalis Celah dibentuk perlekatan diafragma pada costa dan sternum 2)Akuisita Hernia Hiatus esophagus Ditemukan pada 1 diantara 2200-5000 kelahiran dan 8090% terjadi pada sisi tubuh bagian kiri.
gangguan pembentukan diafragma
Patofisiologi gangguan pembentukan otot
dapat berupa kegagalan pembentukan diafragma tipis & eventerasi diafragma, gangguan fusi &gangguan pembentukan spt pembentukan otot
gangguan pembentukan & fusi
terjadi lubang hernia
Tanda dan gejala 1. Gangguan pernafasan yang berat 2. Sianosis (warna kulit kebiruan akibat kekurangan oksigen) 3. Takipneu (laju pernafasan yang cepat) 4. Bentuk dinding dada kiri dan kanan tidak sama (asimetris) 5. Takikardia (denyut jantung yang cepat).
bayi lahir
Komplikasi
menangis&bernafas
usus terisi oleh udara
massa dorong jantung
menekan paru-paru
sindroma gawat pernafasan
Penatalaksanaan a. Pemeriksaan fisik 1. Pada hernia diafragmatika dada tampak menonjol, tetapi gerakan nafas tidak nyata 2. Perut kempis dan menunjukkan gambaran scafoid 3. Pada hernia diafragmatika pulsasi apeks jantung bergeser sehingga kadang-kadang terletak di hemitoraks kanan 4. Bila anak didudukkan dan diberi oksigen, maka sianosis akan berkurang 5. Gerakan dada pada saat bernafas tidak simetris 6. Tidak terdengar suara pernafasan pada sisi hernia 7. Bising usus terdengar di dada 8. Perut terasa kosong
Lanjutan…. b. Pemeriksaan Penunjang 1. Foto thoraks akan memperlihatkan adanya bayangan usus di daerah toraks 2. Kadang-kadang diperlukan fluoroskopi untuk membedakan antara paralisis diafragmatika dengan eventerasi (usus menonjol ke depan dari dalam abdomen)
Lanjutan… b. Perencanaan Apabila pada anak dijumpai adanya kelainankelainan yang bisa mengarah pada hernia difragmatika, maka anak perlu segera dibawa ke dokter atau rumah sakit agar segera bisa ditangani dan mendapatkan diagnosis yang tepat.
Lanjutan… Tindakan yang bisa dilakukan sesuai dengan masalah dan keluhan-keluhan yang dirasakan yaitu: 1. Anak ditidurkan dalam posisi duduk, dipasang pipa nasogastrik yang dengan teratur dihisap 2. Diberikan antibiotika profilaksis dan selanjutnya anak dipersiapkan untuk operasi. Organ perut harus dikembalikan ke rongga perut dan lubang pada difragma diperbaiki.
Tipe Hernia Diafragmatika
Diaphragmatic Hernias
Congenital Hernia
Bochdalek (Posterolateral) Hernia
Morgagni (Parasternal) Hernia
Acquired (Hiatal) Hernias
Sliding Hernia (Type I)
Classic Paraesophageal Hernia (Type II)
Mixed Paraesophageal Hernia (Type III)
Giant Hiatal Hernia (Type IV)
Bochdalek Hernia • Hernia diafragmatika posterolateral. • Manifestasi tersering dari hernia diafragmatika (95% kasus). • Kebanyakan (80-85%) kasus Hernia Bochdalek terjadi pada diafragma kiri. – Diafragma gagal menutup saat perkembangan janin. – Herniasi organ abdomen ke dalam rongga thorax. – Terjadi pulmonary hypoplasia.
Morgagni Hernia • Morgagni/ Retrosternal/ Parasternal Hernia • Defek diafragma anterior pada space of Larry sangat jarang terjadi. • Mencakup 5% kasus hernia diafragmatika. • Insidensi pada anak dengan Down’s Syndrome 1:1000. • Karakteristik herniasi organ abdomen melalui foramen Morgagni area triangular diafragma anterior.
Hiatal Hernia
33. Varikokel • Varikokel adalah dilatasi abnormal dari vena pada pleksus pampiniformis akibat gangguan aliran darah balik vena spermatika interna. • Varikokel merupakan salah satu penyebab infertilitas pada pria; dan didapatkan 21-41% pria yang mandul menderita varikokel.
ETIOLOGI • hilangnya mekanisme pompa otot atau atrofi otot kremaster, kelemahan kongenital, proses degeneratif pleksus pampiniformis. • Hipertensi v. renalis atau penurunan aliran ginjal ke vena kava inferior. • Turbulensi dari v. supra renalis kedalam juxta v. renalis internus kiri berlawanan dengan kedalam v. spermatika interna kiri. • Tekanan segment iliaka (oleh feses) pada pangkal v. spermatika . • Tekanan v. spermatika interna meningkat • Sekunder : tumor retro, trombus v. renalis, hidronefrosis.
PATOGENESIS Varikokel mengganggu proses spermatogenesis dengan cara:
1. Terjadi stagnasi darah balik pada sirkulasi testis hipoksia 2. Refluks hasil metabolit ginjal dan adrenal (katekolamin dan prostaglandin) melalui vena spermatika interna ke testis. 3. Peningkatan suhu testis. 4. Adanya anastomosis antara pleksus pampiniformis kiri dan kanan zat-zat hasil metabolit tidak dapat dialirkan dari testis kiri ke testis kanan menyebabkan gangguan spermatogenesis testis kanan infertilitas.
GEJALA KLINIS • Pasien biasanya mengeluh belum mempunyai anak setelah beberapa tahun menikah, atau kadang-kadang mengeluh adanya benjolan di atas testis yang terasa nyeri. • Varikokel jarang menimbulkan rasa tidak nyaman. • Keluhan yang biasa dimunculkan antara lain adanya rasa sakit yang tumpul atau rasa berat pada sisi dimana varikokel terdapat.
PEMERIKSAAN FISIK • Pemeriksaan dilakukan dgn pasien dalam posisi berdiri, perhatikan keadaan skrotum kemudian dilakukan palpasi bentukan seperti kumpulan cacing-cacing di dalam kantung (bag of worms) yang berada di sebelah kranial testis, adanya distensi kebiruan dari dilatasi vena. • Jika varikokel tidak terlihat secara visual, struktur vena harus dipalpasi dengan manuver valsava.
Secara klinis varikokel dibedakan dalam 3 tingkatan/derajat: 1. Derajat I kecil: varikokel dapat dipalpasi setelah pasien melakukan manuver valsava 2. Derajat II sedang: varikokel dapat dipalpasi tanpa melakukan manuver valsava 3. Derajat III besar: varikokel sudah dapat dilihat bentuknya tanpa melakukan manuver valsava. (manuver valsava = mengedan)
• pemeriksaan auskultasi dengan memakai stetoskop Doppler sangat membantu, karena alat ini dapat mendeteksi adanya peningkatan aliran darah pada pleksus pampiniformis. • Untuk lebih objektif dalam menentukan besar atau volume testis dilakukan pengukuran dengan alat orkidometer.
• Pemeriksaan analisis semen dilakukan untuk menilai seberapa jauh varikokel telah menyebabkan kerusakan pada tubuli seminiferi. • Hasil analisis semen pada varikokel menunjukkan pola stress yaitu menurunnya motilitas sperma, meningkatnya jumlah sperma muda (immature,) dan terdapat kelainan bentuk sperma (tapered).
Salah satu hasil analisis sperma pasien varikokel
PEMERIKSAAN PENUNJANG • Angiografi/Venografi • Ultrasonografi (USG)
PENATALAKSANAAN Indikasi Operasi : • Varikokel secara klinis pada pasien dengan parameter semen yang abnormal terkait dengan atrofi testikular ipsilateral atau dengan nyeri ipsilateral testis yang makin memburuk setiap hari, harus segera dioperasi dengan tujuan membalikkan proses yang progresif dan penurunan durasi-dependen fungsi testis. • Remaja dengan varikokel grade I – II tanpa atrofi dilakukan pemeriksaan tahunan untuk melihat pertumbuhan testis, jika didapatkan testis yang menghilang pada sisi varikokel, maka disarankan untuk dilakukan varikokelektomi.
TINDAKAN OPERASI Ligasi dari vena spermatika interna dapat dilakukan dengan berbagai teknik. 1. 2. 3. 4. 5.
Teknik Retroperitoneal (palomo) Teknik Inguinal (ivanissevich) Teknik Laparoskopik Microsurgical varicocelectomy (Marmar-Goldstein ) Teknik Embolisasi
PROGNOSIS • 6 bulan setelah operasi didapatkan perbaikan signifikan volume testis kiri dan konsentrasi spermatozoa. • Kehamilan terjadi pada 3 bulan pasca operasi berkisar 25% dan meningkat menjadi 50% pada 6 bulan pasca operasi.
34. Hemoroid
35. Tetanus • Tetanus: gangguan neuromuskular akut berupa trismus, kekakuan dan kejang otot disebabkan oleh eksotosin spesifik Clostridium tetani. • Akibat komplikasi luka: Vulnus laceratum (luka robek), Vulnus punctum (luka tusuk), combustion (luka bakar), fraktur terbuka, otitis media, luka terkontaminasi, luka tali pusat. tetanus prone wound
Tanda dan gejala • Masa inkubasi: bervariasi antara 2 hari atau beberapa minggu bahkan beberapa bulan, pada umumnya 8 – 12 hari. • Suhu tubuh normal hingga subfebris • Tetanus lokal otot sekitar luka kaku • Tetanus generalisata – – – – –
Trismus: sulit/tidak bisa membuka mulut Rhesus sardonicus Kaku otot kuduk, perut, anggota gerak Sukar menelan Opistotonus
• Kejang dalam keadaan sadar dan nyeri hebat. • Sekujur tubuh berkeringat.
Stadium klinis Derajat penyakit tetanus menurut modifikasi dari klasifikasi Albleet’s : 1. Grade 1 (ringan) – Trismus ringan sampai sedang, spamisitas umum, tidak ada penyulit pernafasan, tidak ada spasme, sedikit atau tidak ada disfagia.
2.
Grade 2 (sedang) – Trismus sedang, rigiditas lebih jelas, spasme ringan atau sedang namun singkat, penyulit pernafasan sedang dengan takipneu.
3.
Grade 3 (berat) – Trismus berat, spastisitas umum, spasme spontan yang lama dan sering, serangan apneu, disfagia berat, spasme memanjang spontan yang sering dan terjadi refleks, penyulit pernafasan disertai dengan takipneu, takikardi, aktivitas sistem saraf otonom sedang yang terus meningkat.
4.
Grade 4 (sangat berat) – Gejala pada grade 3 ditambah gangguan otonom yang berat, sering kali menyebabkan “autonomic storm”.
Diagnosis dan Komplikasi • Diagnosis – Klinis – Pewarnaan gram
• Komplikasi – – – – – –
Anoksia otak fraktur vertebra Aspirasi, penumonia Low intake, Dehidrasi Disfungsi otonom: hiper/hipotensi, hiperhidrosis Kematian
Manajemen Luka Tetanus
Dosis Profilaksis: • HTIG250-500 IU • ATS 1500 IU
Tatalaksana Tetanus 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Pemberian antitoksin tetanus Penatalaksanaan luka Pemberian antibiotika Penanggulangan kejang Perawatan penunjang Pencegahan komplikasi
Tatalaksana Tetanus 1. Manajemen Luka • Semua luka harus dibersihkan dan jika perlu dilakukan debridemen. • Riwayat imunisasi tetanus pasien perlu didapatkan. • TT harus diberikan jika riwayat booster terakhir lebih dari 10 tahun jika riwayat imunisasi tidak diketahui, TT dapat diberikan. • Jika riwayat imunisasi terakhir lebih dari 10 tahun yang lalu, maka tetanus imunoglobulin (TIg) harus diberikan. Keparahan luka bukan faktor penentu pemberian TIg
Luka Rentan Tetanus
Luka yang tidak rentan tetanus
• • • •
• • • • • •
> 6-8 jam Kedalaman > 1 cm Terkontaminasi Bentuk stelat, avulsi, atau hancur (irreguler) • Denervasi, iskemik • Terinfeksi (purulen, jaringan nekrotik)
< 6 jam Superfisial < 1 cm Bersih Bentuknya linear, tepi tajam Neurovaskular intak Tidak infeksi
Lanjutan... 2. 3. 4.
Pengawasan, agar tidak ada hambatan fungsi respirasi. Ruang Isolasi untuk menghindari rangsang luar seperti suara, cahayaruangan redup dan tindakan terhadap penderita. Diet cukup kalori dan protein – 3500-4500 kalori per hari – 100-150 gr protein – Bila ada trismus, makanan dapat diberikan per sonde atau parenteral
5. 6.
Oksigen, pernapasan buatan dan trakeostomi bila perlu. Antikonvulsan diberikan secara titrasi, sesuai kebutuhan dan respon klinis. Diazepam atau Vankuronium 6-8 mg/hari. – Bila penderita datang dalam keadaan kejang maka diberikan diazepam dosis 0,5 mg/kgBB/kali i.v. perlahan-lahan dengan dosis optimum 10mg/kali diulang setiap kali kejang. Kemudian diikuti pemberian Diazepam per oral (sonde lambung) dengan dosis 0,5/kgBB/kali sehari diberikan 6 kali. Dosis maksimal diazepam 240 mg/hari. – Bila masih kejang (tetanus yang sangat berat), harus dilanjutkan dengan bantuan ventilasi mekanik, dosis diazepam dapat ditingkatkan sampai 480 mg/hari dengan bantuan ventilasi mekanik, dengan atau tanpa kurarisasi. – Magnesium sulfat dapat pula dipertimbangkan digunakan bila ada gangguan saraf otonom.
Lanjutan... 7.
ATS – – –
8.
Eliminasi bakteri – – –
9.
Skin tes untuk hipersensitif Dosis biasa 50.000 iu, diberikan IM diikuti dengan 50.000 unit dengan infus IV lambat Jika pembedahan eksisi luka memungkinkan, sebagian antitoksin dapat disuntikkan di sekitar luka. DOC: Penisilin berikan prokain penisilin, 1,2 juta unit IM atau IV setiap 6 jam selama 10 hari. Alergi penisilin Tetrasiklin, 500 mg PO atau IV setiap 6 jam selama 10 hari dapat mengeradikasi Clostridium tetani tetapi tidak dapat mempengaruhi proses neurologisnya.
Bila dijumpai adanya komplikasi pemberian antibiotika spektrum luas – – – –
Tetrasiklin, Eritromisin dan Metronidazol dapat diberikan, terutama bila penderita alergi penisilin Tetrasiklin: 30-50 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis Eritromisin: 50 mg/kgBB/hari dalam 4 dosis, selama 10 hari Metronidazol loading dose 15 mg/KgBB/jam selanjutnya 7,5 mg/KgBB tiap 6 jam.
10. Pemberian Tetanus Toksoid (TT) yang pertama – –
Dilakukan bersamaan dengan antitoksin tetapi pada sisi yang berbeda dengan alat suntik yang berbeda Dosis inisial 0,5 ml toksoid intramuskular diberikan 24 jam pertama.
11. Pemberian TT harus dilanjutkan sampai imunisasi dasar terhadap tetanus selesai. 12. Mengatur keseimbangan cairan dan elektrolit.
Pencegahan komplikasi • Anoksia otak dengan – Pemberian antikejang, sekaligus mencegah laringospasme, – Jalan napas yang memadai, bila perlu lakukan intubasi (pemasangan tuba endotrakheal) atau lakukan rakheotomi berencana, pemberian oksigen.
• Pneumonia – membersihkan jalan napas yang teratur, pengaturan posisi penderita berbaring, pemberian antibiotika.
• Fraktur vertebra: pemberian antikejang yang memadai.
ILMU P E N YA K I T M ATA
36. Conjunctivitis • •
•
•
Inflammationor infection of the conjunctiva conjunctivitis Characterized by : dilatation of the conjunctival vessels, resulting in hyperemia and edema of the conjunctiva, typically with associated discharge Viral conjunctivitis is the most common cause of infectious conjunctivitis both overall and in the adult population Bacterial conjunctivitis is the second most common cause and is responsible for the majority (50%-75%) of cases in children The conjunctiva is a thin membrane covering the sclera (bulbar conjunctiva, labeled with purple) and the inside of the eyelids (palpebral conjunctiva, labeled with blue
Azari A, Barney N. Conjunctivitis A Systematic Review of Diagnosis and Treatment. JAMA: 310(16).2013
Classification • infectious and noninfectious causes. – Infectious : Viruses, bacteria the most common infectious causes. – Noninfectious conjunctivitis : allergic, toxic, and cicatricial conjunctivitis, as well as inflammation secondary to immunemediated diseases and neoplastic processes.1
• Acute, hyperacute, and chronic according to the mode of onset and the severity of the clinical response. • Primary or secondary to systemic diseases such graft-vs-host disease, and Reiter syndrome,
Follicularis vs Papillaris Conjunctivitis Folicularis • Seen ini variety condition: inflamation caused by viruses, atypical bacteria, toxin, topical medication (glaucoma medication brimonidine) • Follicle small, dome shaped nodules without prominent central vessels. Pale on its surface,red at base • Most prominent in the inferior palpebral and forniceal conjunctiva • Histology : – Lymphoid follicle is situated in the subepitelial region and consists of germinal center immature proliferating lymphocyte
Papillaris •
•
Most commonly associated with an allergic immune response (AKC & VKC), response to foreign body (CL, prosthetic ocular) Shows a cobblestone arrangement of flattened nodules with central vascular cores – Papillae tarsal Giant papillary conjunctivitis – Limbal papillae horner trantas dots in VKC
•
•
Closely packed, flat topped projections with numerous eosinophil, lymphocyte, plasma and mast cells. More red in surface, pale at base
Treatment
37.HIPERMETROPIA • Gangguan kekuatan pembiasan mata dimana sinar sejajar jauh tidak cukup dibiaskan sehingga titik fokusnya terletak di belakang retina (di belakang makula lutea) • Etiologi : – sumbu mata pendek (hipermetropia aksial), – kelengkungan kornea atau lensa kurang (hipermetropia kurvatur), – indeks bias kurang pada sistem optik mata (hipermetropia refraktif)
• Gejala : penglihatan jauh dan dekat kabur, sakit kepala, silau, rasa juling atau diplopia Ilmu Penyakit Mata, Sidharta Ilyas ; dasar – teknik Pemeriksaan dalam Ilmu Penyakit Mata, sidarta Ilyas
HIPERMETROPIA •
•
•
•
Pengobatan : Pemberian lensa sferis positif akan meningkatkan kekuatan refraksi mata sehingga bayangan akan jatuh di retina koreksi dimana tanpa siklopegia didapatkan ukuran lensa positif maksimal yang memberikan tajam penglihatan normal (6/6), hal ini untuk memberikan istirahat pada mata. Jika diberikan dioptri yg lebih kecil, berkas cahaya berkonvergen namun tidak cukup kuat sehingga bayangan msh jatuh dibelakang retina, akibatnya lensa mata harus berakomodasi agar bayangan jatuh tepat di retina. Contoh bila pasien dengan +3.0 atau dengan +3.25 memberikan tajam penglihatan 6/6, maka diberikan kacamata +3.25 Ilmu Penyakit Mata, Sidharta Ilyas
BENTUK HIPERMETROPIA • Hipermetropia total = laten + manifest – Hipermetropia yang ukurannya didapatkan sesudah diberikan siklopegia
• Hipermetropia manifes = absolut + fakultatif – Yang dapat dikoreksi dengan kacamata positif maksimal dengan hasil visus 6/6 – Terdiri atas hipermetropia absolut + hipermetropia fakultatif – Hipermetropia ini didapatkan tanpa siklopegik
• Hipermetropia absolut : – “Sisa”/ residual dari kelainan hipermetropia yang tidak dapat diimbangi dengan akomodasi – Hipermetropia absolut dapat diukur, sama dengan lensa konveks terlemah yang memberikan visus 6/6
Ilmu Penyakit Mata, Sidharta Ilyas
BENTUK HIPERMETROPIA • Hipermetropia fakultatif : – Dimana kelainan hipermetropia dapat diimbangi sepenuhnya dengan akomodasi – Bisa juga dikoreksi oleh lensa – Dapat dihitung dengan mengurangi nilai hipermetrop manifes – hipermetrop absolut
• Hipermetropia laten: – – – –
Hipermetropia yang hanya dapat diukur bila diberikan siklopegia bisa sepenuhnya dikoreksi oleh tonus otot siliaris Umumnya lebih sering ditemukan pada anak-anak dibandingkan dewasa. Makin muda makin besar komponen hipermetropia laten, makin tua akan terjadi kelemahan akomodasi sehingga hipermetropia laten menjadi fakultatif dan kemudia menjadi absolut
Ilmu Penyakit Mata, Sidharta Ilyas & Manual of ocular diagnosis and therapy
• Contoh pasien hipermetropia, 25 tahun, tajam penglihatan OD 6/20 – Dikoreksi dengan sferis +2.00 tajam penglihatan OD 6/6 – Dikoreksi dengan sferis +2.50 tajam penglihatan OD 6/6 – Diberi siklopegik, dikoreksi dengan sferis +5.00 tajam penglihatan OD 6/6 ARTINYA pasien memiliki: – Hipermetropia absolut sferis +2.00 (masih berakomodasi) – Hipermetropia manifes Sferis +2.500 (tidak berakomodasi) – Hipermetropia fakultatif sferis +2.500 – (+2.00)= +0.50 – Hipermetropia laten sferis +5.00 – (+2.50) = +2.50
38. PTERIGIUM • • • •
•
• •
Pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva, bersifat degeneratif dan invasif Terletak pada celah kelopak bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah kornea Mudah meradang Etiologi: iritasi kronis karena debu, cahaya matahari, udara panas Keluhan : asimtomatik, mata iritatif, merah, mungkin terjadi astigmat (akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterigium), tajam penglihatan menurun Tes sonde (-) ujung sonde tidak kelihatan pterigium Pengobatan : konservatif; Pada pterigium derajat 1-2 yang mengalami inflamasi, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari. Pada pterigium derajat 3-4 dilakukan tindakan bedah
DERAJAT PTERIGIUM • Derajat 1: Jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea • Derajat 2: Jika pterigium sudah melewati limbus kornea tetapi tidak lebih dari 2 mm melewati kornea • Derajat 3: Jika pterigium sudah melebihi derajat dua tetapi tidak • melebihi pinggiran pupil mata dalam keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-4 mm) • Derajat 4: Jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil sehingga mengganggu penglihatan
PTERIGIUM – DIAGNOSIS BANDING
39. ASTIGMATISME - DEFINISI • Ketika cahaya yang masuk ke dalam mata secara paralel tiudak membentuk satu titik fokus di retina.
Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry
http://www.mastereyeassociates.com/Portals/60407/images//astig matism-Cross_Section_of_Astigmatic_Eye.jpg
ASTIGMATISME •
•
• •
•
Kornea seharusnya berbentuk hampir sferis sempurna (bulat) pada astigmat kornea berbentuk seperti bola rugby. Bagian lengkung yang paling landai dan yang paling curam mengakibatkan cahaya direfraksikan secara berbeda dari kedua meridian mengakibatkan distorsi bayangan Kekuatan refraksi pada horizontal plane memproyeksikan gambar/ garis vertikal. Kekuatan refraksi pada vertical plane memproyeksikan gambar/ garis horizontal. The amount of astigmatism is equal to the difference in refracting power of the two principal meridians
http://www.improveeyesighthq.com/Corrective-Lens-Astigmatism.html
KLASIFIKASI : ETIOLOGI • Astigmatisme korneal: When the cornea has unequal curvature on the anterior surface – 90% penyebab astigmatisme bisa dites dgn tes Placido (keratoscope) • Astigmatisme lentikular: When the crystalline lens has an unequal on the surface or in its layers • Astigmatigma total: The sum of corneal astigmatism and lenticular astigmatism Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry
PLACIDO
Astigmatisme korneal akibat trauma pada kornea. Perhatikan iregularitas bayangan placido http://oelzant.priv.at/~aoe/images/galleries/narcism/med/hornhautabrasion/
KLASIFIKASI : HUBUNGAN ANTAR BIDANG MERIDIAN
ASTIGMATISME REGULER • Kedua bidang meridian utamanya saling tegak lurus. (meredian di mana terdapat daya bias terkuat dan terlemah di sistem optis bolamata). • Cth: – jika daya bias terkuat berada pada meredian 90°, maka daya bias terlemahnya berada pada meredian 180° – Jika daya bias terkuat berada pada meredian 45°, maka daya bias terlemah berada pada meredian 135°.
• Kebanyakan kasus astigmatisme adalah astigmatisme reguler • 3 tipe: – are with-the-rule – against-the-rule – oblique astigmatism
Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry
KLASIFIKASI : HUBUNGAN ANTAR BIDANG MERIDIAN ASTIGMATISME IREGULER • When the two principal meridians are not perpendicular to each other • Curvature of any one meridian is not uniform • Associated with trauma, disease, or degeneration • VA is often not correctable to 20/20
Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry
BASED ON FOCAL POINTS RELATIVE TO THE RETINA • SIMPLE ASTIGMATISM – When one of the principal meridians is focused on the retina and the other is not focused on the retina (with accommodation relaxed) – Terdiri dari • astigmatisme miopikus simpleks • astigmatisme hipermetrop simpleks
• COMPOUND ASTIGMATISM – When both principal meridians are focused either in front or behind the retina (with accommodation relaxed) – Terdiri dari • astigmatisme miopikus kompositus • astigmatisme hipermetrop kompositus
• MIXED ASTIGMATISM – When one of the principal meridians is focused in front of the retina and the other is focused behind the retina (with accommodation relaxed)
BASED ON FOCAL POINTS RELATIVE TO THE RETINA 1. Simple Myopic Astigmatism • When one of the principal meridians is focused in front of the retina and the other is focused on the retina (with accommodation relaxed) • Astigmatisme jenis ini, titik A berada di depan retina, sedangkan titik B berada tepat pada retina. Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry
BASED ON FOCAL POINTS RELATIVE TO THE RETINA 2. Simple Hyperopic Astigmatism • When one of the principal meridians is focused behind the retina and the other is focused on the retina (with accommodation relaxed) • Astigmatisme jenis ini, titik A berada tepat pada retina, sedangkan titik B berada di belakang retina. Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry
BASED ON FOCAL POINTS RELATIVE TO THE RETINA 3. Compound Myopic Astigmatism • When both principal meridians are focused in front of the retina (with accommodation relaxed)
Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry
BASED ON FOCAL POINTS RELATIVE TO THE RETINA 4. Compound Hyperopic Astigmatism
• When both principal meridians are focused behind the retina (with accommodation relaxed) Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry
BASED ON FOCAL POINTS RELATIVE TO THE RETINA 5. MIXED ASTIGMATISM
• When one of the principal meridians is focused in front of the retina and the other is focused behind the retina (with accommodation relaxed) Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry
http://www.improveeyesighthq.com/Corrective-Lens-Astigmatism.html
BASED ON RELATIVE LOCATIONS OF PRINCIPAL MERIDIANS OR AXES WHEN COMPARING THE TWO EYES
SYMMETRICAL ASTIGMATISM
• The principal meridians or axes of the two eyes are symmetrical (e.g., both eyes are WTR or ATR) • Ciri yang mudah dikenali adalah axis cylindris mata kanan dan kiri yang bila dijumlahkan akan bernilai 180° (toleransi sampai 1015°).
• Example – OD: pl -1.00 x 175 – OS: pl -1.00 x 005 • Both eyes are WTR astigmatism, and the sum of the two axes equal approximately 180
Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry
BASED ON RELATIVE LOCATIONS OF PRINCIPAL MERIDIANS OR AXES WHEN COMPARING THE TWO EYES
ASYMMETRICAL ASTIGMATISM
• The principal meridians or axes of the two eyes are not symmetrical (e.g., one eye is WTR while the other eye is ATR) • The sum of the two axes of the two eyes does not equal approximately 180
• Example: – OD: pl -1.00 x 180 – OS: pl -1.00 x 090 – One eye is WTR astigmatism, and the other eye is ATR astigmatism, and the sum of the two axes do not equal approximately 180
Astigmatism, Walter Huang, OD. Yuanpei University: Department of Optometry
Toric/Spherocylinder lens pada koreksi Astigmatisme
They have a different focal power in different meridians. http://www.oculist.net/downaton502/prof/ebook/duanes/graphics/figures/v1/051a/010f.gif http://vision.zeiss.com/content/dam/Vision/Vision/International/images/image-text/opticaldesigns_asphere_atorus_atoroidal-surface_500x375.jpg
TIPS & TRIK • Rumus hapalan ini bisa digunakan untuk menentukan jenis jenis astigmatisme berdasarkan kedudukannya di retina kalau disoal diberikan rumus astigmatnya sbb 1. sferis (-) silinder (-) pasti miop kompositus 2. Sferis (+); silinder (+) pasti hipermetrop kompositus 3. Sferis (tidak ada); silinder (-) pasti miop simpleks 4. Sferis (tidak ada); silinder (+) pasti hipermetrop simpleks • Agak sulit dijawab jika di soal diberikan rumus astigmat sbb: 1. Sferis (-) silinder (+) 2. Sferis (+) silinder (-) BELUM TENTU astigmatisme mikstus!! Harus melalui beberapa tahap penjelasan untuk menemui jawabannya
cara menentukan jenis astigmatisme berdasarkan kedudukannya di retina kalau disoal diberi rumus S(-) Cyl(+) atau S(+) Cyl(-)
• PERTAMA, rumus kacamata astigmat adalah
SFERIS ± X SILINDER ±Y x AKSIS Z • Sferis tidak harus selalu ada, kadang jika tidak ada, nilai sferis akan dihilangkan penulisannya menjadi C (silinder) ± .… x …..° atau menjadi pl (plano) C (silinder) ± …. x …..°
KEDUA, TRANSPOSISI • Transposisi itu artinya: notasi silinder bisa ditulis dalam nilai minus atau plus • Rumus ini bisa ditransposisikan (dibolak-balik) tetapi maknanya sama. Cara transposisi: • To convert plus cyl to minus cyl: – Add the cylinder power to the sphere power – Change the sign of the cyl from + to – – Add 90 degrees to the axis is less than 90 or subtract 90 if the original axis is greater than 90.
• To convert minus cyl to plus cyl: – add the cylinder power to the sphere – Change the sign of the cylinder to from - to + – Add 90 to the axis if less than 90 or subtract if greater than 90
• Misalkan pada soal OD ∫-4,00 C-1,00 X 1800minus cylinder notation yang jika ditransposisi maknanya sama dengan ∫-5,00 C+1,00 X 900 (plus cylinder notation)
KETIGA, CARA MEMBACA • OD ∫-4,00 C-1,00 X 1800 artinya adalah kekuatan lensa pada aksis 180 adalah -4.00 D. Kemudian kita transposisikan menjadi ∫-5,00 C+1,00 X 900 artinya kekuatan lensa pada 90 adalah -5,00 D • OS ∫-5,00 C-1,00 X 900 artinya adalah kekuatan lensa pada aksis 90 adalah -5.00 D dan Kemudian kita transposisikan menjadi ∫-6,00 C+1,00 X 1800 artinya kekuatan lensa pada 180 adalah -6,00 D
40. Defisiensi vitamin A • Vitamin A meliputi retinol, retinil ester, retinal dan asam retinoat. Provitamin A adalah semua karotenoid yang memiliki aktivitas biologi βkaroten • Sumber vitamin A: hati, minyak ikan, susu & produk derivat, kuning telur, margarin, sayuran hijau, buah & sayuran kuning • Fungsi: penglihatan, diferensiasi sel, keratinisasi, kornifikasi, metabolisme tulang, perkembangan plasenta, pertumbuhan, spermatogenesis, pembentukan mukus Kliegman RM. Nelson’s textbook of pediatrics, 19th ed. McGraw-Hill; 2011
• Konjungtiva normalnya memiliki sel goblet. Hilangnya/ berkurangnya sel goblet secara drastis bisa ditemukan pada xerosis konjungtiva. • Gejala defisiensi: – Okular (xeroftalmia): rabun senja, xerosis konjungtiva & kornea, keratomalasia, bercak Bitot, hiperkeratosis folikular, fotofobia – Retardasi mental, gangguan pertumbuhan, anemia, hiperkeratosis folikular di kulit
Xerophthalmia (Xo) Stadium : XN X1A X1B X2 X3A X3B XS XF
: night blindness (hemeralopia) : xerosis conjunctiva : xerosis conjunctiva (with bitot’s spot) : xerosis cornea : Ulcus cornea < 1/3 : Ulcus cornea > 1/3, keratomalacea : Corneal scar : Xeroftalmia fundus
Xeroftalmia XN. NIGHT BLINDNESS • Vitamin A deficiency can interfere with rhodopsin production, impair rod function, and result in night blindness. • Night blindness is generally the earliest manifestation of vitamin A deficiency. • “chicken eyes” (chickens lack rods and are thus night-blind) • Night blindness responds rapidly, usually within 24—48 hours, to vitamin A therapy
X1A, X1B. CONJUNCTIVAL XEROSIS AND BITOT’S SPOT • The epithelium of the conjunctiva in vitamin A deficiency is transformed from the normal columnar to the stratified squamous, with loss of goblet cells, formation of a granular cell layer, and keratinization of the surface. • Clinically, these changes are expressed as marked dryness or unwettability, the affected area appears roughened, with fine droplets or bubbles on the surface.
• Conjunctival xerosis first appears billateraly, in the temporal quadrant, as an isolated oval or triangular patch adjacent to the limbus in the interpalpebral fissure.
X1A, X1B. CONJUNCTIVAL XEROSIS AND BITOT’S SPOT • In some individuals, keratin and saprophytic bacilli accumulate on the xerotic surface, giving it a foamy or cheesy appearance, known as Bitot’s spots and they’re easily wiped off) • Generalized conjunctival xerosis, involving the inferior and/or superior quadrants, suggests advanced vitamin A deficiency.
• Conjunctival xerosis and Bitot’s spots begin to resolve within 2—5 days, most will disappear within 2 weeks.
X2 CORNEAL XEROSIS • Corneal changes begin early in vitamin A deficiency, long before they can be seen with the naked eye which characteristic are superficial punctate lesions of the inferior—nasal aspects of the cornea, which stain brightly with fluorescein • Early in the disease the lesions are visible only through a slitlamp biomicroscope • With more severe disease the punctate lesions become more numerous, spreading upwards over the central cornea, and the corneal stroma becomes oedematous
•
•
Clinically, the cornea develops classical xerosis, with a hazy, lustreless, dry appearance, first observable near the inferior limbus Corneal xerosis responds within 2—5 days to vitamin A therapy, with the cornea regaining its normal appearance in 1—2 weeks
X3A, X3B. Corneal ulceration/keratomalacia • Ulceration/keratomalacia indicates permanent destruction of a part or all of the corneal stroma, resulting in permanent structural alteration • Ulcers are classically round or oval “punchedout” defects • The ulceration may be shallow, but is commonly deep
• Superficial ulcers heal with little scarring, deeper ulcers, especially perforations, form dense peripheral adherent leukomas. • Localized keratomalacia is a rapidly progressive condition affecting the full thickness of the cornea
XS. SCARS • Healed sequelae of prior corneal disease related to vitamin A deficiency include opacities or scars of varying density (nebula, macula, leukoma), weakening and outpouching of the remaining corneal layers (staphyloma, and descemetocele), and phthisis bulbi.
XF. XEROPHTHALMIC FUNDUS • The small white retinal lesions described in some cases of vitamin A deficiency • They may be accompanied by constriction of the visual fields and will largely disappear within 2—4 months in response to vitamin A therapy • Gambaran funduskopi “ fenomena cendol”
Pemeriksaan Penunjang • A serum retinol study is a costly but direct measure using highperformance liquid chromatography. – A value of less than 0.7 mg/L in children younger than 12 years is considered low.
• A serum RBP study – easier to perform and less expensive than a serum retinol study, because RBP is a protein and can be detected by an immunologic assay. – RBP is also a more stable compound than retinol – However, RBP levels are less accurate, because they are affected by serum protein concentrations and because types of RBP cannot be differentiated.
• • • • •
The serum retinol level may be low during infection because of a transient decrease in the RBP. A zinc level is useful because zinc deficiency interferes with RBP production. An iron panel is useful because iron deficiency can affect the metabolism of vitamin A. Albumin levels are indirect measures of vitamin A levels. Obtain a complete blood count (CBC) with differential if anemia, infection, or sepsis is a possibility.
Therapy and Prevention • For treatment of xerophthalmia, vitamin A is given in three doses at the age-specific doses: – – – –
Infants < 6 months of age: 50,000 international units orally Infants 6 to 12 months of age: 100,000 international units orally Children >12 months: 200,000 international units orally Adolescent and adults is 200,000 international units orally
• The first dose is given immediately on diagnosis, the second on the following day, and the third dose at least two weeks later. • Women of reproductive age or who are pregnant and have night blindness should be treated with frequent small doses of vitamin A, rather than high doses used for other adults
Therapy & Prevention • Vitamin A deficiency is common among populations in resource-limited countries. • For populations in which vitamin A deficiency is endemic the World Health Organization (WHO) recommends the following replacement approaches • Universal periodic distribution — Periodic supplementation is recommended for populations endemic for vitamin A deficiency, at the following doses (where 1 microgram retinol = 3.3 international units) – Infants 6 to 12 months of age: 100,000 international units orally (30 mg retinol equivalent) – One dose – Children 12 to 59 months of age: 200,000 international units orally (60 mg retinol equivalent) – Dose repeated every four to six months
NEUROLOGI
41. Migrain
Olesen J et al. The International Classification of Headache Disorders 3rd edition. International Headache Society . 2013
• Migren: nyeri kepala primer dengan kualitas vaskular (berdenyut), diawali unilateral yang diikuti oleh mual, fotofobia, fonofobia, gangguan tidur dan depresi • Penyebab Idiopatik (belum diketahui hingga saat ini) : • Gangguan neurobiologis • Perubahan sensitivitas sistem saraf • Avikasi sistem trigeminalvaskular • Pada wanita migren lebih banyak ditemukan dibanding pria dengan skala 2:1.
Faktor Predisposisi • Menstruasi biasa pada hari pertama menstruasi atau sebelumnya/ perubahan hormonal. • Puasa dan terlambat makan • Makanan misalnya akohol, coklat, susu, keju dan buahbuahan. • Cahaya kilat atau berkelip • Banyak tidur atau kurang tidur • Faktor herediter • Faktor kepribadian
Kriteria Diagnosis Migrain
Alur Tatalaksana Migrain Akut
Gilmore B, Michael B. Treatment of Acute Migrain. AAFP Volume 83, Number 3 . 2011
https://www.medscape.com/viewarticle/446557_3
Migraine Severity Index
https://www.medscape.com/viewarticle/446557_3
Penatalaksanaan Migrain • Pada saat serangan pasien dianjurkan untuk menghindari stimulasi sensoris berlebihan. • Bila memungkinkan beristirahat di tempat gelap dan tenang dengan dikompres dingin Pengobatan Abortif : 1. Analgesik spesifik analgesik khusus untuk nyeri kepala. – – –
Lebih bermanfaat untuk kasus yang berat atau respon buruk dengan NSAID. Contoh: Ergotamin, Dihydroergotamin, dan golongan Triptan (agonis selektif reseptor serotonin / 5-HT1) Ergotamin dan DHE migren sedang sampai berat apabila analgesik non spesifik kurang terlihat hasilnya atau memberi efek samping. Kombinasi ergotamin dengan kafein bertujuan untuk menambah absorpsi ergotamin sebagai analgesik. Hindari pada kehamilan, hipertensi tidak terkendali, penyakit serebrovaskuler serta gagal ginjal.
IDI. Panduan praktik klinis bagia dokter di fasilitas pelayanan kesehatan primer. Ed I.2013
2. Analgesik non-spesifik Yakni: analgesik yang dapat digunakan pada nyeri selain nyeri kepala Respon terapi dalam 2 jam (nyeri kepala residual ringan atau hilang dalam 2 jam) • Aspirin 600-900 mg + metoclopramide • Asetaminofen 1000 mg • Ibuprofen 200-400 mg Terapi Profilaksis (The U.S. Headache Consortium’s) • Diberikan pada orang yang memiliki KI atau intoleransi terhadap terapiabortif • Nyeri kepala muncul lebih dari 2 hari/minggu • Nyeri kepala yang berat dan mempengaruhi kualitas hidup (walau telah diberi terapi abortif) • Gejala migrain jarang including hemiplegic migraine, basilar migraine, migraine with prolonged aura, or migrainous infarction • Terapi preventif jangka pendek pasien akan terkena faktor risiko yang telah dikenal dalam jangka waktu tertentu, misalnya migren menstrual. • Terapi preventif kronis diberikan dalam beberapa bulan bahkan tahun tergantung respon pasien.
Terapi Profilaksis
42. Meningitis TB • Meningitis adalah radang umum pada arakhnoid dan piamater yang dapat terjadi secara akut dan kronis. Sedangkan ensefalitis adalah radang jaringan otak. • Meningoensefalitis tuberkulosis adalah peradangan pada meningen dan otak yang disebabkan oleh Mikobakterium tuberkulosis (TB). • Penderita dengan meningoensefalitis dapat menunjukkan kombinasi gejala meningitis dan ensefalitis.
Patologi •
•
•
•
•
Meningitis TB tak hanya mengenai meningen tapi juga parenkim dan vaskularisasi otak. Bentuk patologis primernya adalah tuberkel subarakhnoid yang berisi eksudat gelatinous. Pada ventrikel lateral seringkali eksudat menyelubungi pleksus koroidalis. Secara mikroskopik, eksudat tersebut merupakan kumpulan dari sel polimorfonuklear (PMN), leukosit, sel darah merah, makrofag, limfosit diantara benang benang fibrin. Selain itu peradangan juga mengenai pembuluh darah sekitarnya, pembuluh darah ikut meradang dan lapisan intima pembuluh darah akan mengalami degenerasi fibrinoid hialin. Hal ini merangsang terjadinya proliferasi sel sel subendotel yang berakhir pada tersumbatnya lumen pembuluh darah dan menyebabkan infark serebral karena iskemia. Gangguan sirkulasi cairan serebrospinal (CSS) mengakibatkan hidrosefalus obstruktif (karena eksudat yang menyumbat akuaduktus spinalis atau foramen luschka, ditambah lagi dengan edema yang terjadi pada parenkim otak yang akan semakin menyumbat. Adanya eksudat, vaskulitis, dan hidrosefalus merupakan karakteristik dari menigoensefalitis yang disebabkan oleh TB.
Gejala klinis meningitis TB dibagi 3 stadium: Stadium I : Stadium awal (2-3 minggu) • Gejala prodromal non spesifik : apatis, iritabilitas, nyeri kepala, malaise, demam, anoreksia Stadium II : Intermediate (transisi 1-3 minggu) • Gejala menjadi lebih jelas: mengantuk, kejang • Defisit neurologik fokal : hemiparesis, paresis saraf kranial(terutama N.III dan N.VII, gerakan involunter • Hidrosefalus, papil edema Stadium III : Advanced (± 3 minggu setelah gejala awal) • Penurunan kesadaran • Disfungsi batang otak, dekortikasi, deserebrasi
Diagnosa pada meningitis TB dapat dilakukan dengan beberapa cara : 8 1. Anamnese: ditegakkan berdasarkan gejala klinis, riwayat kontak dengan penderita TB 2. Lumbal pungsi: • Gambaran LCS pada meningitis TB : Warna jernih / xantokrom, jumlah Sel meningkat MN > PMN, Limfositer, protein meningkat, glukosa menurun <50 % kadar glukosa darah. • Pemeriksaan tambahan lainnya : Tes Tuberkulin, Ziehl-Neelsen ( ZN ), PCR 3. Rontgen thorax: TB apex paru, TB milier 4. CT scan otak • Penyengatan kontras ( enhancement ) di sisterna basalis • Tuberkuloma : massa nodular, massa ring-enhanced • Komplikasi : hidrosefalus 5. MRI Diagnosis dapat ditegakkan secara cepat dengan PCR, ELISA dan aglutinasi Latex. Baku emas diagnosis meningitis TB adalah menemukan M. tb dalam kultur CSS. Namun pemeriksaan kultur CSS ini membutuhkan waktu yang lama dan memberikan hasil positif hanya pada kira-kira setengah dari penderita
• Regimen terapi: 2RHZE / 7-10RH • Indikasi Steroid : Kesadaran menurun, defisit neurologist fokal • Dosis steroid : Deksametason 10 mg bolus intravena, kemudian 4 kali 5 mg intravena selama 2 minggu selanjutnya turunkan perlahan selama 1 bulan.
CSF Finding in Meningitis
Bamberger DM. Diagnosis, Initial Management, and Prevention of Meningitis. Am Fam Physician. 2010;82(12):1491-1498
43. Bell’s Palsy
44. HNP • HNP (Hernia Nukleus Pulposus) yaitu : keluarnya nucleus pulposus dari discus melalui robekan annulus fibrosus keluar ke belakang/dorsal menekan medulla spinalis atau mengarah ke dorsolateral menakan saraf spinalis sehingga menimbulkan gangguan.
Fakultas Kedokteran UI, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2, Media Acsculapius, Jakarta 2000, hal; 54-57.
Gejala Klinis • Adanya nyeri di pinggang bagian bawah yang menjalar ke bawah (mulai dari bokong, paha bagian belakang, tungkai bawah bagian atas). Dikarenakan mengikuti jalannya N. Ischiadicus yang mempersarafi kaki bagian belakang. 1.
2. 3. 4.
Nyeri mulai dari pantat, menjalar kebagian belakang lutut, kemudian ke tungkai bawah. (sifat nyeri radikuler). Nyeri semakin hebat bila penderita mengejan, batuk, mengangkat barang berat. Nyeri bertambah bila ditekan antara daerah disebelah L5 – S1 (garis antara dua krista iliaka). Nyeri Spontan, sifat nyeri adalah khas, yaitu dari posisi berbaring ke duduk nyeri bertambah hebat. Sedangkan bila berbaring nyeri berkurang atauhilang.
Fakultas Kedokteran UI, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2, Media Acsculapius, Jakarta 2000, hal; 54-57.
Pemeriksaan • Motoris – –
•
Gaya jalan yang khas, membungkuk dan miring ke sisi tungkai yang nyeri dengan fleksi di sendi panggul dan lutut, serta kaki yang berjingkat. Motilitas tulang belakang lumbal yang terbatas.
Sensoris – –
Lipatan bokong sisi yang sakit lebih rendah dari sisi yang sehat. Skoliosis dengan konkavitas ke sisi tungkai yang nyeri, sifat sementara.
Tes-tes Khusus 1. Tes Laseque (Straight Leg Raising Test = SLRT) – Tungkai penderita diangkat secara perlahan tanpa fleksi di lutut sampai sudut 90°.
2.
3. 4. 5. 6. 7. 8.
9.
Tes Bragard: Modifikasi yang lebih sensitif dari tes laseque. Caranya sama seperti tes laseque dengan ditambah dorsofleksi kaki. Tes Sicard: Sama seperti tes laseque, namun ditambah dorsofleksi ibu jari kaki. Gangguan sensibilitas, pada bagian lateral jari ke 5 (S1), atau bagian medial dari ibu jari kaki (L5). Gangguan motoris, penderita tidak dapat dorsofleksi, terutama ibu jari kaki (L5), atau plantarfleksi (S1). Tes dorsofleksi : penderita jalan diatas tumit Tes plantarfleksi : penderita jalan diatas jari kaki Kadang-kadang terdapat gangguan autonom, yaitu retensi urine, merupakan indikasi untuk segera operasi. Kadang-kadang terdapat anestesia di perineum, juga merupakan indikasi untuk operasi.
Fakultas Kedokteran UI, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2, Media Acsculapius, Jakarta 2000, hal; 54-57.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/arti cles/PMC2647081/
• Terdapat banyak sekali Pemeriksaan fisik untuk mengetahui adanya radikulopati pada lumbal • Pemeriksaan ini memiliki nama yang berbeda-beda, dengan sinonim yang berbeda-beda, dan dapat memiliki nama yang mirip namun artinya berbeda • Hal ini akan menyebabkan kebingungan
Straight leg raise test • The knee is extended and the hip is flexed until a complaint of pain or tightness is reached. • The leg is then carefully returned to the table and the contralateral leg is tested in a similar fashion • A positive test is demonstrated when reproduction of symptoms radiating down the leg is produced at 30-70° of leg elevation • Sensitivity of 91% and specificity of 26% • If pain radiates below the knee, L4-S1 nerve root impingement has been identified
• Reproduction of symptoms in the opposite leg being tested is termed crossed straight leg and indicates a large central lumbar disc herniation • Sensitivity of 28%-29% and a specificity of 88%-90% for nerve root impingement
• Menurut Deyo dan Rainville, untuk pasien dengan keluhan Nyeri Pinggang Bawah dan nyeri yang dijalarkan ke tungkai, pemeriksaan awal cukup meliputi: – Tes laseque – Tes kekuatan dorsofleksi pergelangan kaki dan ibu jari kaki. Kelemahan menunjukkan gangguan akar saraf L4-5 – Tes refleks tendon achilles untuk menilai radiks saraf S1 – Tes sensorik kaki sisi medial (L4), dorsal (L5) dan lateral (S1) – Tes laseque silang merupakan tanda yang spesifik untuk HNP • Bila tes ini positif, berarti ada HNP, namun bila negatif tidak berarti tidak ada HNP.
– Pemeriksaan yang singkat ini cukup untuk menjaring HNP L4-S1 yang mencakup 90% kejadian HNP • Namun pemeriksaan ini tidak cukup untuk menjaring HNP yang jarang di L2-3 dan L3-4 yang secara klinis sulit didiagnosis hanya dengan pemeriksaan fisik saja.
– Tes Konfirmasi untuk SLR adalah test Bragard http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2647081/
Lasegue’s Test (Straight Leg Raising Test) • Prosdur: pasien supine. Fleksikan sendi pinggul pasien dengan lutut tertekuk. Jaga pinggul tetap dalam keadaan fleksi, kemudian ekstensikan tungkai bawah. • Tes positif: radikulopati sciatik (+), jika: – Nyeri tidak ada pada kondisi pinggul dan lutut fleksi. – Nyeri muncul saat pinggul fleksi, dan kemudian lutut diekstensikan.
Straight Leg Raising Test
http://www.healingartscenter.info/wp-content/uploads/2010/01
Bragard’s Test •
•
Prosedur: pasien supine. Kaki pasien lurus kemudian elevasi hingga titik dimana rasa nyeri dirasakan. Turunkan 5o dan dorsofleksi kaki. Positive Test: nyeri akibat traksi nervus sciatik. – Nyeri dengan dorsiflexion 0° to 35° – extradural sciatic nerve irritation. – Nyeri dengan dorsiflexion from 35° – 70° – intradural problem (usually IVD lesion). – Nyeri tumpul paha posterior tight hamstring.
Sicard's Sign • If the SLR is positive, lower the leg to just below the point of pain and quickly dorsiflex the great toe
Valsalva Maneuver • Increases intrathecal pressure. • Aggravates pain caused by pressure on cord or roots.
• Patrick Test (FABER) and contra-patrick test – Deteksi kondisi patologis dari sendi paggul dan sakroiliaka. – Pemeriksaan (+) jika terasa nyeri pada salah satu atau kedua sendi tersebut.
Patrick Test
Contra-patrick Test
Pemeriksaan Penunjang • Radiologi – Foto X-ray tulang belakang. Pada penyakit diskus, foto ini normal atau memperlihatkan perubahan degeneratif dengan penyempitan sela invertebrata dan pembentukan osteofit. – Myelogram mungkin disarankan untuk menjelaskan ukuran dan lokasi dari hernia. Bila operasi dipertimbangkan maka myelogram dilakukan untuk menentukan tingkat protrusi diskus. – CT scan untuk melihat lokasi HNP – Diagnosis ditegakan dengan MRI setinggi radiks yang dicurigai.
• EMG – Untuk membedakan kompresi radiks dari neuropati perifer
Fakultas Kedokteran UI, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2, Media Acsculapius, Jakarta 2000, hal; 54-57.
Tatalaksana
• •
Medikamentosa: anti nyeri NSAID/ opioid, muscle relaxant, transquilizer. Fisioterapi – Tirah baring (bed rest) 3 – 6 minggu dan maksud bila anulus fibrosis masih utuh (intact), sel bisa kembali ke tempat semula. – Simptomatis dengan menggunakan analgetika, muscle relaxan trankuilizer. – Kompres panas pada daerah nyeri atau sakit untuk meringankan nyeri. – Bila setelah tirah baring masih nyeri, atau bila didapatkan kelainan neurologis, indikasi operasi. – Bila tidak ada kelainan neurologis, kerjakan fisioterapi, jangan mengangkat benda berat, tidur dengan alas keras atau landasan papan. – Fleksi lumbal – Pemakaian korset lumbal untuk mencegah gerakan lumbal yang berlebihan. – Latihan, seperti jalan kaki, naik sepeda atau berenang. Berenang adalah pilihan terbaik dengan very low impact environment untuk meningkatkan denyut jantung dan pembakaran kalori yang efektif tanpa membuat persendian dan tulan belakang cedera. – Jika gejala sembuh, aktifitas perlahan-lahan bertambah setelah beberapa hari atau lebih dan pasien diobati sebagai kasus ringan.
•
Operasi
Fakultas Kedokteran UI, Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2, Media Acsculapius, Jakarta 2000, hal; 54-57.
45. Subarachnoid Hematom • Perdrhan fokal di daerah subarahnoid. CT scan terdpt lesi hiperdens yg mengikuti arah girus-girus serebri daerah yg berdktan dg hematom. • Gjl klinik = kontusio serebri. • Penatalaks : perwatan dg medikamentosa dan tidak dilakukan op.
PERDOSSI. Trauma Kapitis. 2006
HEMATOM EPIDURAL
HEMATOM SUBDURAL
• Lucid interval • Kesadaran makin menurun • Late hemiparesis kontralateral lesi • Pupil anisokor • Babinsky (+) kontralateral lesi • Fraktur daerah temporal * akibat pecah a. meningea media
• akut: 1- 3 hr pasca trauma • Subakut: 4-21 hr pasca trauma • Kronik : > 21 hari • Gejala: sakit kepala disertai /tidak disertai penurunan kesadaran * akibat robekan bridging vein
HEMATOM SUBARAKHNOID • Kaku kuduk • Nyeri kepala • Bisa didapati gangguan kesadaran • Akibat pecah aneurisme berry
Aneurysm
12/26/2018© 2009, American Heart Association. All rights reserved.
CT Scan non-contrast showing blood in basal cisterns (SAH) – so called “Star-Sign”
CT Scan courtesy: University of Texas Health Science Center at San Antonio, Department of Neurosurgery 12/26/2018© 2009, American Heart Association. All rights reserved.
ILMU PSIKIATRI
46. DEPRESI • Gejala utama: 1. afek depresif, 2. hilang minat & kegembiraan, 3. mudah lelah & menurunnya aktivitas.
• Gejala lainnya: 1. konsentrasi menurun, 2. harga diri & kepercayaan diri berkurang, 3. rasa bersalah & tidak berguna yang tidak beralasan, 4. merasa masa depan suram & pesimistis, 5. gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri, 6. tidur terganggu, 7. perubahan nafsu makan (naik atau turun).
Terjadi selama minimal 2 minggu. PPDGJ
Depresi • Episode depresif ringan: 2 gejala utama + 2 gejala lain > 2 minggu • Episode depresif sedang: 2 gejala utama + 3 gejala lain, >2 minggu. • Episode depresif berat: 3 gejala utama + 4 gejala lain > 2 minggu. Jika gejala amat berat & awitannya cepat, diagnosis boleh ditegakkan meski kurang dari 2 minggu.
• Episode depresif berat dengan gejala psikotik: episode depresif berat + waham, halusinasi, atau stupor depresif. PPDGJ
DSM-IV Criteria
Terapi Depresi • Sasarannya adalah perubahan biologis/efek berupa mood pasien. • Karena mood pasien dipengaruhi kadar serotonin dan nor-epinefrin di otak, maka tujuan pengobatan depresi adalah modulasi serotonin dan norepinefrin otak dengan agenagen yang sesuai. • Dapat berupa terapi farmakologis dan non farmakologis.
Terapi Non Farmakologis • PSIKOTERAPI – interpersonal therapy: berfokus pada konteks sosial depresi dan hub pasien dengan orang lain – cognitive - behavioral therapy „: berfokus pada mengoreksi pikiran negatif, perasaan bersalah yang tidak rasional dan rasa pesimis pasien
• ELECTROCONVULSIVE THERAPY (ECT): aman dan efektif, namun masih kontroversial „ – diindikasikan pada : d ™epresi yang berat ™diperlukan respons yang cepat, ™™respon terhadap obat jelek
Terapi Farmakologis
Dosis Obat Antidepresan
47. GANGGUAN OBSESIF KOMPULSIF (F42) PEDOMAN DIAGNOSIS PPDGJ-III: • Untuk menegakkan diagnosis pasti gejala obsesif atau tindakan kompulsif, atau keduaduanya harus ada hampir setiap hari selama sedikitnya 2 minggu berturut-turut. • Hal tersebut merupakan sumber penderitaan (distress) atau menganggu aktivitas penderita.
Gejala obsesif mencakup: • Harus disadari sebagai pikiran atau impuls diri sendiri; • Sedikitnya ada satu pikiran atau tindakan yang tidak berhasil dilawan, meskipun ada lainnya yang tidak lagi dilawan oleh penderita. • Pikiran untuk melakukan tindakan tersebut diatas bukan untuk merupakan hal yang memberi kepuasan atau kesenangan (sekedar perasaan lega dari ketegangan atau anxietas, tidak dianggap sebagai kesenangan seperti dimaksud diatas); • Gagasan, bayangan pikiran, atau impuls tersebut harus merupakan pengulangan yang tidak menyenangkan (unpleasantly repetitive).
Tipe Gangguan Obsesif Kompulsif (1) • OCD tipe Checking ketakutan irasional yang membuat pasien terobsesi untuk memeriksa sesuatu berulang-ulang. • OCD tipe Contamination ketakutan terkena penyakit dan mati pada diri sendiri dan orang yang dicintai. Contoh:kebiasaan cuci tangan berkali-kali karena takut kuman. • OCD tipe Hoarding penderita mengumpulkan barang yang tidak berharga karena takut akan terjadi hal-hal buruk jika barang tersebut dibuang.
Tipe Gangguan Obsesif Kompulsif (2) • OCD tipe Rumination pasien memikirkan pikiran-pikiran yang tidak produktif tetapi berulang-ulang. Contohnya preokupasi tentang kehidupan setelah kematian. • OCD tipe symmetry dan orderliness pasien terfokus untuk mengatur semua obyek sejajar, urut, dan simetris.
Tatalaksana Gangguan Obsesif Kompulsif
Koran LM, Hanna GL, Hollander E, Nestadt G, Simpson HB, for the American Psychiatric Association. Practice guideline for the treatment of patients with obsessive-compulsive disorder. Am J Psychiatry. 2007;164(7 suppl):5–53.
Tatalaksana Medikamentosa Gangguan Obsesif Kompulsif SRI
STARTING DOSAGE (MG PER DAY)
TARGET DOSAGE (MG PER DAY)
MAXIMAL DOSAGE (MG PER DAY)
Citalopram (Celexa)
20
40 to 60
80
Escitalopram (Lexapro)
10
20
40
Fluoxetine (Prozac)*
20
40 to 60
80
Fluvoxamine*
50
200
300
Paroxetine (Paxil)*
20
40 to 60
60
Sertraline (Zoloft)*
50
200
200
Koran LM, Hanna GL, Hollander E, Nestadt G, Simpson HB, for the American Psychiatric Association. Practice guideline for the treatment of patients with obsessive-compulsive disorder. Am J Psychiatry. 2007;164(7 suppl):5–53.
48. Gangguan Isi Pikir Jenis
Karakteristik
Waham
Keyakinan yang salah, tidak dapat dikoreksi, dihayati oleh penderita sebagai hal yang nyata, tidak sesuai dengan sosiokultural di mana penderita tinggal.
Obsesi
Gagasan (ide), bayangan, atau impuls yang berulang dan persisten.
Kompulsi
Perilaku/perbuatan berulang yang bersifat stereotipik, biasanya menyertai obsesi.
Fobia
Ketakutan irasional yang menetap dan tidak rasional terhadap suatu objek, aktifitas, atau situasi spesifik yang menimbulkan keinginan yang mendesak untuk menghindarinya.
Anosognosis
Pasien menolak kenyataan bahwa ia mengalami gangguan fisik, hal ini terjadi pada pasien yang mengalami luka/trauma dan kerusakan otak yang luas. Contoh: penderita buta mengatakan bahwa ia dapat melihat.
48-49. WAHAM • Waham merupakan suatu perasaan keyakinan atau kepercayaan yang keliru, berdasarkan simpulan yang keliru tentang kenyataan eksternal, tidak konsisten dengan intelegensia dan latar belakang budaya pasien, dan tidak bisa diubah lewat penalaran atau dengan jalan penyajian fakta.
Jenis Waham Waham
Karakteristik
Bizzare
keyakinan yang keliru, mustahil dan aneh
Sistematik
keyakinan yang keliru atau keyakinan yang tergabung dengan satu tema/kejadian.
Nihilistik
perasaan yang keliru bahwa diri dan lingkungannya atau dunia tidak ada atau menuju kiamat.
Somatik
perasaan yang keliru yang melibatkan fungsi tubuh.
Paranoid
termasuk didalamnya waham kebesaran, waham kejaran/presekutorik, waham rujukan (reference), dan waham dikendalikan.
Kebesaran/ grandiosity
keyakinan atau kepercayaan, biasanya psikotik sifatnya, bahwa dirinya adalah orang yang sangat kuat, sangat berkuasa atau sangat besar.
Kejar/ persekutorik
mengira bahwa dirinya adalah korban dari usaha untuk melukainya, atau yang mendorong agar dia gagal dalam tindakannya.
Rujukan/ delusion of reference
selalu berprasangka bahwa orang lain sedang membicarakan dirinya dan kejadian-kejadian yang alamiah pun memberi arti khusus/berhubungan dengan dirinya
Jenis Waham Waham
Karakteristik
Kendali
keyakinan yang keliru bahwa keinginan, pikiran, atau perasaannya dikendalikan oleh kekuatan dari luar. Termasuk di dalamnya: thought of withdrawal, thought of broadcasting, thought of insertion.
Thought of withdrawal
waham bahwa pikirannya ditarik oleh orang lain atau kekurangannya.
Thought of insertion/ sisip pikir
waham bahwa pikirannya disisipi oleh orang lain atau kekuatan lain.
Thought of waham bahwa pikirannya dapat diketahui oleh orang lain, tersiar broadcasting/ siar pikir di udara. Cemburu
keyakinan yang keliru yang berasal dari cemburu patologis tentang pasangan yang tidak setia.
Erotomania
keyakinan yang keliru, biasanya pada wanita, merasa yakin bahwa seseorang sangat mencintainya.
50. GEJALA ANSIETAS
Ansietas Diagnosis
Characteristic
Gangguan panik
Serangan ansietas yang intens & akut disertai dengan perasaan akan datangnya kejadian menakutkan. Tanda utama: serangan panik yang tidak diduga tanpa adanya provokasi dari stimulus apapun & ada keadaan yang relatif bebas dari gejala di antara serangan panik. Tanda fisis:Takikardia, palpitasi, dispnea, dan berkeringat. Serangan umumnya berlangsung 20-30 menit, jarang melebihi 1 jam. Tatalaksana: terapi kognitif perilaku + antidepresan.
Gangguan fobik
Rasa takut yang kuat dan persisten terhadap suatu objek atau situasi, antara lain: hewan, bencana, ketinggian, penyakit, cedera, dan kematian.
Gangguan penyesuaian
Gejala emosional (ansietas/afek depresif ) atau perilaku dalam waktu <3 bulan dari awitan stresor. Tidak berhubungan dengan duka cita akibat kematian orang lain.
Gangguan cemas menyeluruh
Ansietas berlebih terus menerus berlangsung setiap hari sampai bbrp minggu disertai Kecemasan (khawatir akan nasib buruk), ketegangan motorik (gemetar, sulit berdiam diri, dan sakit kepala), hiperaktivitas otonomik (sesak napas, berkeringat, palpitasi, & gangguan gastrointestinal), kewaspadaan mental (iritabilita).
PEDOMAN DIAGNOSIS GANGGUAN CEMAS MENYELURUH (PPDGJ-III) • Penderita harus menunjukan anxietas sebagai gejala primer yg harus berlangsung setiap hari untuk beberapa minggu sampai beberapa bulan. • Gejala tersebut mencakup unsur-unsur: – Kecemasan (khawatir akan nasib buruk, merasa seprti diujung tanduk dan nasib buruk) – Ketegangan motorik (gelisah, sakit kepala, gemetaran, tidak santai) – Overaktivitas otonomik (kepala terasa sakit, keringatan, jantung berdebar-debar, sesak napas, kelujhan lambung, pusing kepala)
• Pada anak-anak sering terlihat kebutuhan berlebihan untuk ditenangkan & keluhan somatik berulang yg menonjol. • Adanya gejala lain yg sifatnya sementara, khususnya untuk depresi, tidak membatalkan diagnosis utama gangguan cemas menyeluruh selama tidak memenuhi kriteria lengkap dari episode depresif.
Tatalaksana Gangguan Cemas Menyeluruh
KULIT & KELAMIN, MIKROBIOLOGI, PARASITOLOGI
51. Gambar Soal
51. Psoriasis vulgaris •
Bercak eritema berbatas tegas dengan skuama kasar berlapis-lapis dan transparan
•
Predileksi • Skalp, perbatasan skalp-muka, ekstremitas ekstensor (siku & lutut), lumbosakral • Khas: fenomena tetesan lilin, Auspitz sign, Kobner sign
•
Patofisiologi – Genetik: berkaitan dengan HLA – Imunologik: diekspresikan oleh limfosit T, sel penyaji antigen dermal, dan keratinosit – Pencetus: stress, infeksi fokal, trauma, endokrin, gangguan metabolisme, obat, alkohol, dan merokok
•
Tata laksana (pemilihan Tx lihat slide selanjutnya): – Topikal: preparat ter, kortikosteroid, ditranol, tazaroen, emolien, dll – Sistemik: KS, sitostatik (metotreksat), levodopa, etretinat, dll – PUVA (UVA + psoralen)
Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2010.
Psoriasis Vulgaris Tanda dan Gejala • Perburukan lesi skuama kronik • Onset cepat pada banyak area kecil dengan skuama dan kemerahan • Baru terinfeksi radang tenggorokan (streps), virus, imunisasi, obat antimalaria, trauma • Nyeri (terutama pada kasus psoriasis eritrodermis atau pada sendi yang terkena arthritis psoriasis) • Pruritus • Afebril • Kuku distrofik • Ruam yang responsif terhadap steroid • Konjungtivitis atau blepharitis http://emedicine.medscape.com/article/1943419-overview
Psoriasis Vulgaris: Tanda Khas Tanda
Penjelasan
Skuama yang berubah warnanya menjadi putih pada Fenomena goresan, seperti lilin yang digores, akibat berubahnya tetesan lilin indeks bias.
Fenomena Auspitz
Tampak serum atau darah berbintik-bintik akibat papilomatosis dengan cara pengerokan skuama yang berlapis-lapis hingga habis.
Fenomena Kobner
Kelainan yang sama dengan kelainan psoriasis yang timbul akibat trauma pada kulit sehat penderita psoriasis, kira-kira muncul setelah 3 minggu.
Tipe Psoriasis Tipe Plak Psoriasis
• • • •
Bentuk paling umum Lesi meninggi dasar kemerahan dan tertutup sisik putih (sel kulit mati) Predileksi: kulit kepala, lutut, siku, punggung, dan kulit yang sering terkena trauma Terasa gatal dan nyeri, dapat retak dan berdarah
Psoriasis Gutata
• • •
Tersering kedua Lesi berbentuk titik/ plak kecil Dimulai pada masa anak-dewasa muda, dapat merupakan kelanjutan dari infeksi streptokokus.
Inverse Psoriasis
• • •
Lesi berwarna merah, pada lipatan kulit Tampak licin dan mengkilat Dapat muncul bersama tipe lain
Psoriasis Pustular
• • • •
Pustul berwarna putih (bula steril) dikelilingi dasar kemerahan Isi pus adalah sel darah putih Tidak menular Paling sering muncul di tangan dan kaki
Nail Psoriasis
•
Perubahan warna kuku menjadi kuning-kecoklatan, permukaan menjadi tidak rata (sering berbentuk pit kecil multipel)
Tatalaksana Langkah pengobatan psoriasis: Langkah 1: Pengobatan topikal (obat luar) untuk psoriasis ringan, luas kelainan kulit kurang dari 3%. Langkah 2: Fototerapi/fotokemoterapi untuk mengobati psoriasis sedang sampai berat, selain itu juga dipakai untuk mengobati psoriasis yang tidak berhasil dengan pengobatan topikal. Langkah 3: Pengobatan sistemik (obat makan atau obat suntik) khusus untuk psoriasis sedang sampai parah (lebih dari 10% permukaan tubuh) atau psoriatic arthritis berat (disertai dengan cacat tubuh). Juga dipakai untuk psoriatic eritroderma atau psoriasis pustulosa
PPK PERDOSKI 2017
Keterangan: Ultraviolet B (UVB) Broadband (BB) Narrowband (NB) Phototherapy ultraviolet A (PUVA)
52. Gambar Soal
52. Herpes zoster Herpes Zoster
Lesi Kulit pada Herpes Zoster
• Penemuan utama dari PF: kemerahan yang terdistribusi unilateral sesuai dermatom • Rash dapat berupa eritematosa, makulopapular, vesikular, pustular, atau krusta tergantung tahapan penyakit • Komplikasi – Neuralgia pasca herpes, herpes zoster oftalmika, sindrom Ramsay-Hunt Djuanda A. Ilmu penyakit kulit dan kelamin, 5th ed. Balai Penerbit FKUI; 2007.
Tzank Test • Sel tzanck pad apemeriksaan Tzanck test merupakan sel-sel epitel raksasa berinti banyak atau sel Tzanck. • Sel Tzanck biasa ditemukan di herpes simpleks, varicella dan herpes zoster, Pemphigus vulgaris, dan Cytomegalovirus. • Terkadang tes ini disebut Chikenpox skin test atau herpes skin test karena sering digunakan pada virus-virus tersebut.
TZANCK SMEAR • Kegunaan untuk: o Immunobullous disorders: pemphigus vulgaris, SSSS, TEN
o Cutaneous infections: • herpers simplex, herpes zoster, varricella, CMV multinucleated giant cells • Moluscum contagiosum
o Genodermatoses (inherited genetic skin conditions example: ichthyosis; often grouped into three categories: chromosomal, single gene, and polygenetic) o Suspected tumors: basal cell epitelioma, paget’s disease, squamous cell carcinoma
Cytodiagnosis of cutaneous infections with Tzanck Test • Herpes simplex, varicella, herpes zoster – The typical features include characteristic multinucleated syncytial giant cells and acantholytic cells. The cells appear as if they have been inflated ("ballooning degeneration") – Eosinophilic Intranuclear inclusion bodies
• Molluscum contagiosum – Intracytoplasmic molluscum bodies (Henderson-Patterson bodies)
• Viral warts: – koilocytes
• Hand foot and mouth disease – syncytial nuclei, absence of acantholytic cells
Tatalaksana Terapi sistemik Antivirus diberikan tanpa melihat waktu timbulnya lesi pada: - Usia >50 tahun - Dengan risiko terjadinya NPH - HZO/sindrom Ramsay Hunt/HZ servikal/HZ sakral - Imunokompromais, diseminata/generalisata, dengan komplikasi - Anak-anak, usia <50 tahun dan ibu hamil diberikan terapi anti-virus bila disertai NPH, sindrom Ramsay Hunt (HZO), imunokompromais, diseminata/generalisata, dengan komplikasi Pilihan antivirus - Asiklovir oral 5x800 mg/hari selama 7-10 hari. - Dosis asiklovir anak <12 tahun 30 mg/kgBB/hari selama 7 hari, anak >12 tahun 60 mg/kgBB/hari selama 7 hari. - Valasiklovir 3x1000 mg/hari selama 7 hari. - Famsiklovir 3x250 mg/hari selama 7 hari. Simptomatik - Nyeri ringan: parasetamol 3x500 mg/hari atau NSAID. - Nyeri sedang-berat: kombinasi dengan tramadol atau opioid ringan. PPK PERDOSKI 2017
PPK PERDOSKI 2017
53. Gambar Soal
53. Malaria • Penyakit yang disebabkan oleh infeksi parasit Plasmodium dan ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles. Berdasarkan jenis plasmodiumnya, infeksi malaria ini dapat menimbulkan berbagai gejala antara lain: – Plasmodium vivax malaria tertian benigna/malaria vivax – Plasmodium falciparum malaria tertiana maligna/ malaria Tropicana – Plasmodium malariae malaria kuartana – Plasmodium ovale malaria tertian benigna ovale
Malaria
Malaria
Malaria
Malaria
Malaria the disease
• 9-14 day incubation period • Fever, chills, headache, back and joint pain • Gastrointestinal symptoms (nausea, vomiting, etc.)
Malaria the disease • Malaria tertiana: 48h between fevers (P. vivax and ovale) • Malaria quartana: 72h between fevers (P. malariae)
• Malaria tropica: irregular high fever (P. falciparum)
Tatalaksana Malaria Falciparum • Lini pertama – Menggunakan ACT (dihydroartemisinin piperakuin (DHP) atau artesunat + amodiakuin) selama 3 hari + primakuin dosis tunggal
• Lini kedua (bila resisten terhadap lini pertama) – Kina + doksisiklin/ tetrasiklin + primakuin – Dosis: • Kina: 10 mg/kgBB/kali, 3x/hari, PO, selama 7 hari • Primakuin: 0.25 mg/kgBB
Tatalaksana Malaria Vivaks dan Ovale • Lini pertama – Menggunakan ACT (dihydroartemisinin piperakuin (DHP) atau artesunat + amodiakuin) selama 3 hari + primakuin dosis tunggal – Dosis: sama seperti malaria falciparum, namun primakuin diberikan selama 14 hari dengan dosis 0.25 mg/kgBB
• Lini kedua (bila resisten terhadap lini pertama) – Kina + primakuin – Dosis: • Kina: 10 mg/kgBB/kali, 3x/hari, PO, selama 7 hari • Primakuin: 0.25 mg/kgBB/hari selama 14 hari (0.5 mg bila relaps)
Tatalaksana Malaria Malariae dan Malaria Mix (Falciparum + Vivaks) • Malaria malariae – ACT 1x/hari selama 3 hari
• Malaria Mix – ACT 3 hari + primakuin 14 hari – primakuin dosis 0.25 mg/kgBB • Tetrasiklin/ doksisiklin dikontraindikasikan pada ibu hamil dan anak < 8 tahun • Primakuin dikontraindikasikan pada bayi < 6 bulan dan ibu hamil (Depkes, 2017) • Tatalaksana malaria pada ibu hamil pada trimester 1 s.d. 3 adalah ACT selama 3 hari TANPA primakuin, baik malaria falciparum maupun vivaks
Pengobatan Malaria dengan DHP dan Primakuin
1 atau 14*
* Jika infeksi malaria falciparum maka primakuin hanya diberikan sekali dosis tunggal, sedangkan jika infeksi malaria vivakx atau campuran falsiparum dan vivaks, maka primakuin diberikan selama 14 hari
Malaria Berat • Malaria berat adalah ditemukannya Plasmodium falciparum stadium aseksual dengan minimal satu dari manifestasi klinis atau didapatkan temuan hasil laboratorium (WHO, 2015): – – – – –
Perubahan kesadaran (GCS<11, Blantyre <3) Kelemahan otot (tak bisa duduk/berjalan) Kejang berulang-lebih dari dua episode dalam 24 jam Distres pernafasan Gagal sirkulasi atau syok: pengisian kapiler > 3 detik, tekanan sistolik <80 mm Hg (pada anak: <70 mmHg) 6. Jaundice (bilirubin>3mg/dL dan kepadatan parasit >100.000) – Hemoglobinuria – Perdarahan spontan abnormal – Edema paru (radiologi, saturasi Oksigen <92%
Malaria Berat Kriteria laboratorium malaria berat: • Hipoglikemi (gula darah <40 mg%) • Asidosis metabolik (bikarbonat plasma <15 mmol/L). • Anemia berat (Hb <5 gr% untuk endemis tinggi, <7gr% untuk endemis sedang-rendah), pada dewasa, Hb<7gr% atau hematokrit <15%) • Hiperparasitemia (parasit >2 % eritrosit atau 100.000 parasit /μL di daerah endemis rendah atau > 5% eritrosit atau 100.0000 parasit /μl di daerah endemis tinggi) 5 • Hiperlaktemia (asam laktat >5 mmol/L) • Hemoglobinuria • Gangguan fungsi ginjal (kreatinin serum >3 mg%)
Tatalaksana malaria berat di faskes primer • Jika puskesmas/klinik tidak memiliki fasilitas rawat inap langsung dirujuk • Sebelum dirujuk berikan terapi awal artesunat intramuskular (dosis 2,4mg/kgbb).
Tatalaksana malaria berat selama dirawat • Artesunat intravena merupakan pilihan utama. Jika tidak tersedia dapat diberikan kina drip. • Artesunat parenteral tersedia dalam vial yang berisi 60 mg serbuk kering asam artesunik dan pelarut dalam ampul yang berisi natrium bikarbonat 5%. • Keduanya dicampur kemudian diencerkan dengan Dextrose 5% atau NaCL 0,9% sebanyak 5 ml sehingga didapat konsentrasi 60 mg/6ml (10mg/ml). Obat diberikan secara bolus perlahan-lahan. • Artesunat diberikan dengan dosis 2,4 mg/kgbb intravena sebanyak 3 kali jam ke 0, 12, 24. Selanjutnya diberikan 2,4 mg/kgbb intravena setiap 24 jam sehari sampai penderita mampu minum obat.
Tatalaksana malaria berat selama dirawat • Pemberian kina 1. loading dose : 20 mg garam/kgbb dilarutkan dalam 500 ml (hati-hati overload cairan) dextrose 5% atau NaCl 0,9% diberikan selama 4 jam pertama. 2. 4 jam kedua hanya diberikan cairan dextrose 5% atau NaCl 0,9%. 3. 4 jam berikutnya berikan kina dengan dosis rumatan 10 mg/kgbb dalam larutan 500 ml (hati-hati overload cairan) dekstrose 5 % atau NaCl. 4. 4 jam selanjutnya, hanya diberikan cairan Dextrose 5% atau NaCl 0,9%. 5. Setelah itu diberikan lagi dosis rumatan seperti di atas sampai penderita dapat minum kina per-oral. 6. Bila sudah dapat minum obat pemberian kina iv diganti dengan kina tablet per-oral dengan dosis 10 mg/kgbb/kali diberikan tiap 8 jam. Kina oral diberikan bersama doksisiklin atau tetrasiklin pada orang dewasa atau klindamisin pada ibu hamil. • Dosis total kina selama 7 hari dihitung sejak pemberian kina perinfus yang pertama.
54. Gambar Soal
54. Gonorrhea • Gonore IMS yang disebabkan oleh Neisseria gonorrhoeae (N.gonorrhoeae) suatu kuman Gram negatif, berbentuk biji kopi, terletak intrasel Gejala klinis • Laki-laki: Gatal pada ujung kemaluan Nyeri saat kencing Keluar duh tubuh berwarna putih atau kuning kehijauan kental dari uretra • Perempuan: Keputihan Atau asimtomatik • Pada keduanya didapatkan adanya riwayat kontak seksual sebelumnya (coitus suspectus). PPK PERDOSKI 2017
Pemeriksaan Fisik Gonorrhea • Laki-laki: Orifisium uretra hiperemis, edema, dan ektropion disertai disuria Duh tubuh uretra mukopurulen Infeksi rektum pada pria homoseksual dapat menimbulkan duh tubuh anal atau nyeri/rasa tidak enak di anus/perianal Infeksi pada faring biasanya asimtomatik • Perempuan: Seringkali asimtomatik Serviks hiperemis, edema, kadang ektropion Duh tubuh endoserviks mukopurulen Dapat disertai nyeri pelvis/perut bagian bawah Infeksi pada uretra dapat menyebabkan disuria • Komplikasi Laki-laki: epididimitis, orkitis, dan infertilitas Perempuan: penyakit radang panggul, bartolinitis, dan infertilitas. PPK PERDOSKI 2017
Pemeriksaan Penunjang Gonorrhea • Gram: diplokokus Gram negatif intraselular. • Kultur menggunakan Thayer-Martin atau modifikasi ThayerMartin dan agar coklat McLeod • Tes definitif (dilakukan pada hasil kultur yang positif) Tes oksidasi Tes fermentasi Tes beta-laktamase
Tatalaksana Gonorrhea • DOC: sefiksim 400 mg per oral, dosis tunggal • Obat alternatif: – Seftriakson 250 mg injeksi IM dosis tunggal – Kanamisin 2 gram injeksi IM, dosis tunggal
• Jika sudah komplikasi bartolinitis, prostatitis: - DOC: sefiksim 400 mg peroral selama 5 hari - Obat alternatif: Levofloksasin 500 mg per oral 5 hari Kanamisin 2 gram injeksi intramuskular 3 hari Seftriakson 250 mg injeksi intramuskular 3 hari
• Infeksi gonokokus dan infeksi Chlamydia trachomatis hampir selalu bersamaan sebaiknya diberikan juga pengobatan untuk infeksi Chlamydia. PPK PERDOSKI 2017
55. Gambar Soal
55. Skabies • Penyakit kulit akibat infestasi dan sensitisasi terhadap Sarcoptes scabiei var. hominis • Termasuk dalam infeksi menular seksual • Transmisi: langsung (skin to skin) dan tidak langsung • Kriteria diagnosis: Menemukan 2 dari 4 tanda di bawah ini 1. Pruritus nokturnal (gatal terutama di malam hari) 2. Menyerang sekelompok orang 3. Ditemukan kanalikulus berwarna putih/keabuan, lurus/berkelok, panjang 1 cm, di ujung terowongan ada papul/vesikel. Predileksi: sela jari tangan, pergelangan tangan bagian volar, siku luar, lipat ketiak depan, areola mammae, umbilikus, bokong, genitalia eksterna, perut bawah 4. Ditemukan tungau pada kerokan kulit • Terdapat 2 tipe, yaitu Classic Scabies dan Crusted (Norwegian) Scabies
CDC Treatment Guideline for Scabies 2017
Temuan klinis
• Kanalikuli
• Sarcoptes scabiei
Crusted (Norwegian) Scabies • Merupakan salah satu bentuk berat dari scabies • Banyak terjadi pada penderita immunocompromised • Tampilan klinis: ada krusta tebal dan tidak segatal skabies yang biasa • Tipe skabies yang ini sangat menular
Modalitas pemeriksaan • Menemukan terowongan (kedua teknik sama sensitifnya) 1. Burrow Ink Test -
Cara kerja: tinta dioleskan pada kulit dan tinta ini akan melakukan penetrasi ke stratum korneumdibersihkan dengan alkoholtinta mewarnai terowongan. Metode ini sangat efektif terutama juga pada anak-anak dan penderita dengan jumlah terowongan yang kecil dan sedikit
2. Tetracycline: -
PPK PERDOSKI 2017
Cara kerja:Tetrasiklin topikal dioleskan di kulit kemudian dibersihkan dengan alkohollampu wood: terowongan akan berwarna kehijauan Metode ini lebih disukai karena colorless dan bisa mendeteksi area kulit yang luas
Modalitas pemeriksaan (lebih advanced dan butuh tenaga terlatih)
• Skin scraping - Cara kerja: kulit yang ada terowongan dikerok dengan scalpeldiperiksa di mikroskopditemukan 1-2 telur atau tungau - Hasil sering false negative
• Adhesive tape test - Cara kerja: beberapa tape ditaruh di kanalikuli kemudian dilepaskan tiba-tiba dan diperiksa di bawah mikroskop - Yang dicari sama seperti skin scraping, namun sensitivitas tes ini lebih bagus dari skin scraping
• Dermatoscopy - Lebih akurat dibandingkan pemeriksaan adhesive tape test, yaitu sensitivitasnya 83% - Butuh tenaga terlatih PPK PERDOSKI 2017
Prinsip Tatalaksana • Classic Scabies - DOC: Permethrine cream 5% (anak usia<2 bulan tidak boleh) dioleskan pada kulit dan didiamkan selama 8 jam. - Krim lindane 1% dioleskan pada kulit dan dibiarkan selama 8 jam. Tidak boleh digunakan pada bayi, anak kecil, dan ibu hamil. - Salep sulfur 5-10%, dioleskan selama 8 jam, 3 malam berturut-turut. - Krim krotamiton 10% dioleskan selama 8 jam pada hari ke-1,2,3, dan 8. - Emulsi benzil benzoat 10% dioleskan selama 24 jam penuh
• Crusted scabies -
Ivermectin 200 µg/kgBB/pemberian, pembagian dosis berdasarkan derajat keparahan dan perlu dikombinasi dengan topikal Permethrin cream 5% Benzyl benzoate 25% Keratolitic cream terapi adjuvan
PPK PERDOSKI 2017
Antiskabies Drugs
Possible adverse Effect
Efektif
Benzyl benzoat 25%
Irritation, anasthesia & hypoesthesia, ocular irritation, rash, pregnancy category B
All stadium
Permethrine 5%
Mild &transient burning & stinging, pruritus, pregnancy category B, not recomended for children under 2 months
All stadium
Gameksan 1%
Toksis to SSP for pregnancy and children under 6 years old, pregnancy category C
All stadium
Krotamiton 10%
Allergic contact dermatitis/primary irritation, pregnancy category C
All stadium
Sulfur precipitate 6%
Erythema, desquamation, irritation, pregnancy category C
Not efective for egg state
ILMU KESEHATAN ANAK
56. APGAR Score
57. Resusitasi Neonatus
Rekomendasi utama untuk resusitasi neonatus:
• Penilaian setelah langkah awal ditentukan oleh penilaian simultan dua tanda vital yaitu frekuensi denyut jantung dan pernapasan. • Oksimeter digunakan untuk menilai oksigenasi karena penilaian warna kulit tidak dapat diandalkan. • Untuk bayi yang lahir cukup bulan sebaiknya resusitasi dilakukan dengan udara dibanding dengan oksigen 100%. • Oksigen tambahan diberikan dengan mencampur oksigen dan udara (blended oxygen , dan pangaturan konsentrasi dipandu berdasarkan oksimetri. • Bukti yang ada tidak cukup mendukung atau menolak dilakukannya pengisapan trakea secara rutin pada bayi dengan air ketuban bercampur mekonium, bahkan pada bayi dalam keadaan depresi. • Penjepitan talipusat harus ditunda sedikitnya sampai satu menit untuk bayi yang tidak membutuhkan resusitasi. Bukti tidak cukup untuk merekomendasikan lama waktu untuk penjepitan talipusat pada bayi yang memerlukan resusitasi.
Pemberian Oksigen • Target saturasi oksigen dapat dicapai dengan memulai resusitasi dengan udara atau oksigen campuran (blended oxygen) dan dilakukan titrasi konsentrasi oksigen untuk mencapai SpO2 sesuai target. • Jika oksigen campuran tidak tersedia, resusitasi dimulai dengan udara kamar. • Jika bayi bradikardia (kurang dari 60 per menit) setelah 90 detik resusitasi dengan oksigen konsentrasi rendah, konsentrasi oksigen ditingkatkan sampai 100% hingga didapatkan frekuensi denyut jantung normal.
Teknik Ventilasi dan Kompresi • Ventilasi Tekanan Positif (VTP) – Jika bayi tetap apnu atau megap-megap, atau jika frekuensi denyut jantung kurang dari 100 per menit setelah langkah awal resusitasi, VTP dimulai.
• Pernapasan awal dan bantuan ventilasi – Bantuan ventilasi harus diberikan dengan frekuensi napas 40 – 60 kali per menit untuk mencapai dan mempertahankan frekuensi denyut jantung lebih dari 100 per menit. Penilaian ventilasi awal yang adekuat ialah perbaikan cepat dari frekuensi denyut jantung. Kattwinkel, John et al. Part 15: Neonatal Resuscitation: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122(suppl 3):S909–S919.
Teknik Ventilasi dan Kompresi • Kompresi dada • Indikasi kompresi dada ialah jika frekuensi denyut jantung kurang dari 60 per menit setelah ventilasi adekuat dengan oksigen selama 30 detik. Untuk neonatus, rasio kompresi: ventilasi = 3:1 (1/2 detik untuk masing-masing). • Pernapasan, frekuensi denyut jantung, dan oksigenasi harus dinilai secara periodik dan kompresi – ventilasi tetap dilakukan sampai frekuensi denyut jantung sama atau lebih dari 60 per menit. • Kompresi dada dilakukan pada 1/3 bawah sternum dengan kedalaman 1/3 dari diameter antero-posterior dada. • Teknik kompresi: (1) teknik kompresi dua ibu jari dengan jari-jari melingkari dada dan menyokong bagian punggung, (2) teknik kompresi dengan dua jari dimana tangan lain menahan bagian punggung • Pada kompresi, dada harus dapat berekspansi penuh sebelum kompresi berikutnya, namun jari yang melakukan kompresi tidak boleh meninggalkan posisi di dada. Kattwinkel, John et al. Part 15: Neonatal Resuscitation: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122(suppl 3):S909–S919.
Indicator of Successful Resuscitation • A prompt increase in heart rate remains the most sensitive indicator of resuscitation efficacy. • Of the clinical assessments, auscultation of the heart is the most accurate, with palpation of the umbilical cord less so. • There is clear evidence that an increase in oxygenation and improvement in color may take many minutes to achieve, even in uncompromised babies. • Furthermore, there is increasing evidence that exposure of the newly born to hyperoxia is detrimental to many organs at a cellular and functional level. • For this reason color has been removed as an indicator of oxygenation or resuscitation efficacy. • Respirations, heart rate, and oxygenation should be reassessed periodically, and coordinated chest compressions and ventilations should continue until the spontaneous heart rate is 60 per minute Kattwinkel, John et al. Part 15: Neonatal Resuscitation: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122(suppl 3):S909–S919.
Kapan menghentikan resusitasi? • Pada bayi baru lahir tanpa adanya denyut jantung, dianggap layak untuk menghentikan resusitasi jika detak jantung tetap tidak terdeteksi setelah dilakukan resusitasi selama 10 menit (kelas IIb, LOE C). • Keputusan untuk tetap meneruskan usaha resusitasi bisa dipertimbangkan setelah memperhatikan beberapa faktor seperti etiologi dari henti hantung pasien, usia gestasi, adanya komplikasi, dan pertimbangan dari orangtua mengenai risiko morbiditas.
Kattwinkel, John et al. Part 15: Neonatal Resuscitation: 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Circulation. 2010;122(suppl 3):S909–S919.
58. Metabolisme Bilirubin 80 – 90% bilirubin berasal dari pemecahan Hb di eritrosit, 10 -20 % dari protein mengandung heme
• Biliverdin unconjugated / bilirubin indirek •Enzim : biliverdin reductase • lokasi : plasma •Unconjugated bilirubin conjugated/ bilirubin direk •Enzim UGT mengkonjugasi bilirubin dengan asam glukoronat •Lokasi di liver •Conjugated bilirubin urobilinogen + stercobilin •Enzim dari bakteri, lokasi di intestin •Conjugated bilirubin unconjugated bilirubin •Beta glucoronidase •Lokasi di intestin, membuat bilirubin indirek masuk ke siklus enterohepatik
Patomekanisme Hiperbilirubinemia ↑ Produksi blirubin (ex. Hemolisis) i
↓ambilan bilirubin oleh hepatosit ↓ ikatan bilirubin intrahepatosit gangguan konjugasi bilirubin
↓sekresi bilirubin
↓ekskresi bilirubin
Etiologi
Ikterus Neonatorum • Ikterus neonatorum: fisiologis vs non fisiologis. • Ikterus fisiologis: – Awitan terjadi setelah 24 jam – Memuncak dalam 3-5 hari, menurun dalam 7 hari (pada NCB) – Ikterus fisiologis berlebihan → ketika bilirubin serum puncak adalah 7-15 mg/dl pada NCB
• Ikterus non fisiologis: – – –
Awitan terjadi sebelum usia 24 jam Tingkat kenaikan > 0,5 mg/dl/jam Tingkat cutoff > 15 mg/dl pada NCB
– Ikterus bertahan > 8 hari pada NCB, > 14 hari pada NKB – Tanda penyakit lain
• Gangguan obstruktif menyebabkan hiperbilirubinemia direk. Ditandai bilirubin direk > 1 mg/dl jika bil tot <5 mg/dl atau bil direk >20% dr total bilirubin. Penyebab: kolestasis, atresia bilier, kista duktus koledokus.
Indrasanto E. Hiperbilirubinemia pada neonatus.
Zona
1
2
3
4
5
Definisi
Kepala dan leher
Kulit tubuh di atas pusar
Kulit tubuh di bawah pusar dan paha
Lengan dan tungkai
Telapak tangan dan kaki
Kadar bilirubin serum (mg/dL)
4-8
5 - 12
8 - 16
11 – 18
>1 5
Ikterus biasanya mulai terlihat di wajah lalu menyebar dengan arah cephalocaudal ke tubuh dan akhirnya ekstrimitas.
Ikterus pada Neonatus perlu dievaluasi lebih lanjut bila: 1. Ikterus timbul saat lahir atau pada hari pertama kehidupan 2. Kenaikan kadar bilirubin berlangsung cepat (>5 mg/Dl/hari) 3. Kadar bilirubin serum > 12 mg/Dl pada bayi cukup bulan dan 10-14 mg/dL/24 jam pada bayi preterm 4. Ikterus menetap pada usia 2 minggu atau lebih 5. Peningkatan bilirubin direk > 2 mg/ dL
Ikterus yang Berhubungan dengan ASI Breast Feeding Jaundice (BFJ) •
• •
Disebabkan oleh kurangnya asupan ASI sehingga sirkulasi enterohepatik meningkat (pada hari ke-2 atau 3 saat ASI belum banyak) Timbul pada hari ke-2 atau ke-3 Penyebab: asupan ASI kurang cairan & kalori kurang penurunan frekuensi gerakan usus ekskresi bilirubin menurun
Breast Milk Jaundice (BMJ) •
• •
•
Berhubungan dengan pemberian ASI dari ibu tertentu dan bergantung pada kemampuan bayi mengkonjugasi bilirubin indirek Kadar bilirubin meningkat pada hari 4-7 Dapat berlangsung 3-12 minggu tanpa penyabab ikterus lainnya Penyebab: 3 hipotesis – Inhibisi glukuronil transferase oleh hasil metabolisme progesteron yang ada dalam ASI – Inhibisi glukuronil transferase oleh asam lemak bebas – Peningkatan sirkulasi enterohepatik
Indikator
BFJ
BMJ
Awitan
Usia 2-5 hari
Usia 5-10 hari
Lama
10 hari
>30 hari
Volume ASI
asupan ASI kurang cairan & kalori kurang penurunan frekuensi gerakan usus ekskresi bilirubin menurun
Tidak tergantung dari volume ASI
BAB
Tertunda atau jarang
Normal
Kadar Bilirubin
Tertinggi 15 mg/dl
Bisa mencapai >20 mg/dl
Pengobatan
Tidak ada, sangat jarang fototerapi Teruskan ASI disertai monitor dan evaluasi pemberian ASI
Fototerapi, Hentikan ASI jika kadar bilirubin > 16 mg/dl selama lebih dari 24 jam (untuk diagnostik) AAP merekomendasikan pemberian ASI terus menerus dan tidak menghentikan Gartner & Auerbach merekomendasikan penghentian ASI pada sebagian kasus
• For healthy term infants with breast milk or breastfeeding jaundice and with bilirubin levels of 12 mg/dL to 17 mg/dL, the following options are acceptable: Increase breastfeeding to 8-12 times per day and recheck the serum bilirubin level in 12-24 hours. • Temporary interruption of breastfeeding is rarely needed and is not recommended unless serum bilirubin levels reach 20 mg/dL. • For infants with serum bilirubin levels from 17-25 mg/dL, add phototherapy to any of the previously stated treatment options. • The most rapid way to reduce the bilirubin level is to interrupt breastfeeding for 24 hours, feed with formula, and use phototherapy; however, in most infants, interrupting breastfeeding is not necessary or advisable
Breast Milk Jaundice Treatment & Management. Medscape.com
58. ASI Eksklusif Setelah melahirkan, produksi ASI ibu adalah: • 500 ml pada hari pertama sampai ke 5 • 600-690 ml pada minggu kedua • 750 ml pada bulan 3-5 Kebutuhan ASI bagi bayi 750-1000 ml/hari
Sumber: IDAI 2013
Pemberian ASI ideal • • • •
Bayi menyusu 10-12 kali dalam sehari Produksi ASI rata-rata 800 ml/hari Produksi 90-120 ml total dari 2 payudara Umumnya bayi menyusu payudara pertama 75 ml, payudara kedua 50 mll • Frekuensi menyusu di malam hari (jam 22.00-04.00) adalah 1-3 kali
Sumber: IDAI 2013
Cara meningkatkan perahan ASI • Rutin memerah ASI setiap hari dan setiap menyusui, jika rutin produksi akan terus meningkat setiap 2 minggu. • Kompres air hangat dan pijat dengan lembut. • Menyusui dengan posisi yanng benar
Sumber: IDAI 2013
59. Leukosit
Neutrophils
• • • •
12 - 17 µm 3 times the size of RBC Lobes from 2 to 4 If no lobes : band form of neutrophils.
Neutrophils NEUTROPHILIA
• Acute bacterial infections • Tissue necrosis • Acute blood loss • Acute haemorrhage • Metabolic disorders • Poisoning • Malignant tumors
NEUTROPENIA • Decreased or ineffective production in BM • Infections- Typhoid , Miliary Tuberculosis, measles , rubella , influenza • Hematologic disorders • Drugs-Analgesics , antithyroid drugs , anti cancer drugs • Ionizing radiation
Eosinophil The eosinophil (12 - 17 µm) generally has a nucleus with two lobes (bilobed), and cytoplasm filled with approximately 200 large granules within the cellular cytoplasm, which contain many chemical mediators, such as histamines and major basic protein
Eosinophil EOSINOPHILIA
• Allergic diseases • Skin diseases- Eczema , dermatitis herpetiformis • Parasitic infection • Carcinoma with necrosis • Lung diseases- Loffler's syndrome , tropical eosinophilia
Basophil •
The least common of the granulocytes, representing 0.1% of circulating white blood cells containing deep blue staining large dense granules which cover the nucleus. • Granules contain serotoin , heparine and histamine. help to increase blood flow to the area of damage, as part of the inflammatory response. • Basophilia:
14-16 µm
– – – –
CML Polycythemia vera Myxedema Drug/food allergies
Monocyte • Largest Of all leucocytes (18 micrometer) • Third most common type of white blood cell • Monocytes in the circulation are precursors of tissue macrophages • Monocytes have bean-shaped nuclei that are unilobar and have clear cytoplasm • Monocytosis: • Infections-TB , Sub Acute Bacterial Endocarditis • Hodgkins disease • Ulcerative colitis , Chrons disease
Lymphocyte
Lymphocytes can look like monocytes, except that lymphocytes do not have a kidney-bean shaped nucleus, and lymphocytes are usually smaller. >>> lymphocyte count seen in viral infection, chronic infection Small around 7 micrometer and large around 14 micrometer
60. Bronkiolitis • Infection (inflammation) at bronchioli • Bisa disebabkan oleh beberapa jenis virus, yang paling sering adalah respiratory syncytial virus (RSV) • Virus lainnya: influenza, parainfluenza, dan adenoviruses • Predominantly < 2 years of age (2-6 months) • Difficult to differentiate with pneumonia and asthma
Bronkhiolitis
Bronchiolitis
Bronchiolitis: Management Mild disease • Symptomatic therapy Moderate to Severe diseases • Life Support Treatment : O2, IVFD • Etiological Treatment – Anti viral therapy (rare) – Antibiotic (if etiology bacteria) • Symptomatic Therapy – Bronchodilator: controversial – Corticosteroid: controversial (not effective)
Tatalaksana Bronkiolitis • Walaupun pemakaian nebulisasi dengan beta2 agonis sampai saat ini masih kontroversi, tetapi masih bisa dianjurkan dengan alasan: – Pada bronkiolitis selain terdapat proses inflamasi akibat infeksi virus juga ada bronkospasme dibagian perifer saluran napas (bronkioli) – Beta agonis dapat meningkatkan mukosilier – Sering tidak mudah membedakan antara bronkiolitis dengan serangan pertama asma – Efek samping nebulasi beta agonis yang minimal dibandingkan epinefrin.
Sari Pediatri
Gambaran Radiologis DISEASE
RADIOGRAPHY
Pneumonia lobaris
Characteristically, there is homogenous opacification in a lobar pattern. The opacification can be sharply defined at the fissures, although more commonly there is segmental consolidation. The non-opacified bronchus within a consolidated lobe will result in the appearance of air bronchograms.
Pneumonia lobularis/ bronko pneumonia
associated with suppurative peribronchiolar inflammation and subsequent patchy consolidation of one or more secondary lobules of a lung in response to a bacterial pneumoniAssociated a: multiple small nodular or reticulonodular opacities which tend to be patchy and/or confluent.
Asthma
bronkiolitis
pulmonary hyperinflation Increased Bronchial wall markings (most characteristic) Associated with thicker Bronchial wall, inflammation Flattening of diaphragm (with chronic inflammation or Associated with accessory muscle use) Hyperinflation (variably present) Patchy infiltrates (variably present) from Atelectasis Hyperexpansion (showed by diaphragm flattening), hyperluscent, Peribronchial thickening Variable infiltrates or Viral Pneumonia
Bronchiolitis
Bronchopneumonia
Pneumonia Lobaris
Etiology: Pneumococcus Mycoplasma Gram negative organisms Legionella
61. Pendekatan Anemia pada anak • Anemia (WHO): – A hemoglobin (Hb) concentration 2 SDs below the mean Hb concentration for a normal population of the same gender and age range
• US National Health and Nutrition Examination Survey (1999 – 2002)→ anemia: – Hb concentration of less than 11.0 g/dL for both male and female children aged 12 through 35 months
Robert D. Barker, Frank R. Greer, and The Committee of Nutrition. Diagnosis and Prevention of Iron Defiency and Iron Anemia i n Infants and Young Children (0-3 years of Age. Pediatrics 2010; 126; 1040.
Pendekatan Anemia pada anak • idai
Etiologi • Bayi di bawah 1 tahun – Persediaan besi yang kurang karena BBLR, lahir kembarm ASI eksklusif tanpa suplementasi, susu formula rendah besi, pertumbuhan cepat, anemia selama kehamilan
• Anak umur 1-2 tahun – Tidak mendapat MPASI – Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang – Malabsorbsi
• Anak umur 2-5 tahun – Diet rendah heme – Infeksi berulang/menahun – Perdarahan berlebihan karena divertikulum meckel
• Umur 5 tahun – remaja – Poliposis – Kehilangan besi karena perdarahan e.c parasit/infeksi
• Remaja dewasa – Menstruasi berlebihan
Indeks Eritrosit •
•
Indeks eritrosit/ indeks kospouskuleradalah batasan untuk ukuran dan isi hemoglobineritrosit. terdiri atas:
•
– (MCV : mean corpuscular volume) – (MCH : mean corpuscular hemoglobin) – (MCHC : mean corpuscular hemoglobin) – (RDW : RBC distribution width atau luas distribusi eritrosit) perbedaan ukuran
•
Indeks eritrosit dipergunakan secara luas dalam mengklasifikasi anemia atau sebagai penunjang dalam membedakan berbagai macamanemia.
•
•
mean corpuscular volume (MCV) – Volume/ ukuran eritrosit : mikrositik (ukuran kecil), normositik (ukuran normal), dan makrositik (ukuran besar). mean corpuscular hemoglobin (MCH) – bobot hemoglobin di dalam eritrosit tanpa memperhatikan ukurannya. mean corpuscular hemoglobin concentration (MCHC) – konsentrasi hemoglobin per unit volume eritrosit.
Retikulosit • Retikulosit : eritrosit muda yang sitoplasmanya masih mengandung sejumlah besar sisa-sisa ribosome dan RNA yang berasal dari sisa inti dari prekursornya (sel darah muda). • Jumlah retikulosit yg meningkat menunjukkan kemampuan respon sumsum tulang ketika anemia (misal perdarahan) • Indikator aktivitas sumsum tulang, banyaknya retikulosit dalam darah tepi menggambarkan eritropoesis yang hampir akurat. – Peningkatan jumlah retikulosit di darah tepi menggambarkan akselerasi produksi eritrosit dalam sumsum tulang. – hitung retikulosit yang rendah dapat mengindikasikan keadan hipofungsi sumsum tulang atau anemia aplastik.
Hipokrom: MCH ˂ normal MCH ˃ normal Mikrositik: MCV ˂ normal
Hiperkrom:
Manifestasi Klinis • Anamnesis
• Pemeriksaan fisik
– Pucat yang berlangsung lama (kronik)
– Pucat tanpa tanda – tanda perdarahan
– Gejala komplikasi : lemas, sariawan, fagofagia, penurunan prestasi belajar, menurunnya daya dahan tubuh terhadap infeksi dan gangguan perilaku – Terdapat faktor predisposis dan faktor penyebab
– Limpa dapat membesar namun umumnya tidak teraba – Koilonikia, glositis. Dan stomatitis angularis
Pemeriksaan Penunjang
Profil Zat Besi •
Ferritin ferritin : intracellularprotein which safely stores excess iron. – Tiny amounts of ferritin can be detected in serum measured surrogate for body iron stores – Serum ferritin shows an acute phase response and can be elevated in a variety of inflammatory, metabolic,hepatic and neoplastic disorders difficult to recognise iron deficiency in patients with inflammatory disorders – normal range for serum ferritin is generally regarded as 15300μg/l.
•
Total iron binding capacity –
–
is a measurement of the maximum amount of iron that can be carried.
– Indirect measurement of transferrin. •
Transferrin saturation – The most useful test in assessing iron supply to the tissues – Transferrin is a glycoprotein synthesised in the liver and is responsible for the transportation of iron (Fe3+) in serum – In iron deficiency anaemia the serum iron level falls. As a result the liver is stimulated to synthesise more transferrin and the transferrin saturation falls (usually <15%). – Transferrin saturation is obtained by the following formula: serum iron x 100 ÷ TIBC Normal range 25–50%,
• Serum iron concentration – is a measurement of circulating iron (Fe³+) bound to transferrin – Only 0.1% of total body iron is bound to transferrin at any one time
Diagnosis
Penatalaksanaan • Pengobatan harus dimulai pada stadiumdini (pada stadium deplesi besi atau kekurangan besi) untuk mencegah terjadinya ADB • Tatalaksana etiologi dan terapi preparat zat besi atau bila perlu diberikan transfusi PRC • Pemberian Zat Besi : – Preparat besi diberikan sampai kadar Hb normal dilanjutkan sampai terpenuhi bentuk fero lebih mudah diserap
• Pemberian parenteral diberikan bila pemberian oral gagal, misalnya akibat malabsorbsi, atau efek samping berat pada saluran cerna • Evaluasi hasil pengobatan periksa Hb, retikulosit seminggu sekali, SI dan feritin seminggu sekali • Terapi diteruskan hingga 2 bulan Hb normal tanpa pemeriksaan SI dan feritin • Transfusi hanya diberikan bila Hb<7 g/dL atau kadar Hb ≥7 g/dl disertai lemah, gagal jantung, infeksi berat atau akan menjalani operasi transfusi PRC
Tatalaksana • Fe oral – Aman, murah, dan efektif – Enteric coated iron tablets tidak dianjurkan karena penyerapan di duodenum dan jejunum – Beberapa makanan dan obat menghambat penyerapan • Jangan bersamaan dengan makanan, beberapa antibiotik, teh, kopi, suplemen kalsium, susu. (besi diminum 1 jam sebelum atau 2 jam setelahnya) • Konsumsi suplemen besi 2 jam sebelum atau 4 jam setelah antasida • Tablet besi paling baik diserap di kondisi asam konsumsi bersama 250 mg tablet vit C atau jus jeruk meningkatkan penyerapan
Tatalaksana – Absorbsi besi yang terbaik adalah pada saat lambung kosong, – Jika terjadi efek samping GI, pemberian besi dapat dilakukan pada saat makan atau segera setelah makan meskipun akan mengurangi absorbsi obat sekitar 40%-50% – Efek samping: • Mual, muntah, konstipasi, nyeri lambung • Warna feses menjadi hitam, gigi menghitam (reversibel)
Skrining • The American Academyof Pediatrics (AAP) dan CDCdi Amerika menganjurkan melakukan pemeriksaan (Hb) dan (Ht) setidaknya satu kali padausia 9-12 bulan dan diulang 6 bulan kemudian pada usia 15-18 bulan atau pemeriksaan tambahan setiap 1 tahun sekali pada usia 25 tahun. • Pada bayi prematur ataudengan berat lahir rendah yang tidak mendapat formula yang difortifikasi besi perlu dipertimbangkan untuk melakukan pemeriksaan Hb sebelum usia 6 bulan
•
Pemeriksaan tersebut dilakukan pada populasi dengan risiko tinggi: – kondisi prematur – berat lahir rendah – riwayat mendapat perawatan lama di unit neonatologi – anak dengan riwayatperdarahan – infeksi kronis – etnik tertentu denganprevalens anemia yang tinggi – mendapat asi ekslusif tanpa suplementasi – mendapat susu sapi segar pada usia dini – dan faktor risiko sosial lain.
Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia
Suplemen Besi
Rekomendasi Ikatan Dokter Indonesia
62. Demam Tifoid Gejala Klinis: • Demam persisten • Nyeri kepala • Gejala abdomen (biasanya berupa nyeri epigastrium, diare atau konstipasi), mual, muntah • Bradikardi relatif, • Lidah yang tremor dan berselaput • Meteorismus. • Hepatomegali, splenomegali
Tes Widal: • Deteksi antibodi terhadap antigien somatik O & flagel H dari salmonella. • Diagnosis (+): peningkatan titer >4 x setelah 5-10 hari dari hasil pertama. • Antibody O meningkat setelah 6-8 hari, antibodi H meningkat setelah 10-12 hari. • Pada daerah endemik, tes widal tunggal tidak reliabel karena antibodi terhadap H dan O dapat terdeteksi hingga 1/160 pada populasi normal. Karena itu, sebagian memakai batas titer H dan/ O ≥ 1/320 sebagai nilai yang signifikan. • Sensitivitas 64% dan spesifisitas 76%
Typhidot • Deteksi IgM dan IgG terhadap outer membrane protein (OMP) 50 kDa dari S. typhi. • Positif setelah infeksi hari 2-3. • Sensitivitas 79%, spesifisitas 89%
Tubex TF • Deteksi IgM anti lipopolisakarida O9 dari Salmonella serogroup D (salah satunya S. typhi). • Positif setelah hari ke 3-4. • Sensitivitas 78%, spesifisitas 89% A Comparative Study of Typhidot and Widal Test in Patients of Typhoid Fever. JIACM 2004; 5(3): 244-6.
Sensitivity of Typhoid Cultures Spesimen
Minggu I
Minggu II
Darah (GOLD STANDARD)
Sensitivitas 70%
Sensitivitas 4050% disarankan kultur feses/urin
Minggu III
Minggu IV
Bone marrow Sensitivitas 90% (setelah 5 hari antibiotik akan turun) terlalu invasif dan tidak menjadi pilihan utama Feses
Urin
Sensitivitas 20-60%
Sensitivitas 25-30%
Tatalaksana Demam Tifoid
63. Demam rematik • Penyakit sistemik yang terjadi setelah faringitis akibat GABHS (Streptococcus pyogenes) • Usia rerata penderita: 10 tahun • Komplikasi: penyakit jantung reumatik • Demam rematik terjadi pada sedikit kasus faringitis GABHS setelah 1-5 minggu • Pengobatan: – Pencegahan dalam kasus faringitis GABHS: penisilin/ ampisilin/ amoksisilin/ eritromisin/ sefalosporin generasi I – Dalam kasus demam rematik: • Antibiotik: penisilin/eritromisin • Antiinflamasi: aspirin/kortikosteroid • Untuk kasus korea: fenobarbital/haloperidol/klorpromazin Chin TK. Pediatric rheumatic fever. http://emedicine.medscape.com/article/1007946-overview Behrman RE. Nelson’s textbook of pediatrics, 19th ed. McGraw-Hill; 2011.
Ket: ASO=ASTO
Physical Findings • Migratory Polyarthritis – is the most common symptom – (polyarticular, fleeting, and involves the large joints) – frequently the earliest manifestation of acute rheumatic fever (70-75%).
• Characteristic murmurs of acute carditis include
• Carditis:
– (40% of patients) – and may include cardiomegaly, new murmur, congestive heart failure, and pericarditis, with or without a rub and valvular disease.
•
– the high-pitched, blowing, holosystolic, apical murmur of mitral regurgitation; – the low-pitched, apical, middiastolic, flow murmur (CareyCoombs murmur); – and a high-pitched, decrescendo, diastolic murmur of aortic regurgitation heard at the aortic area. – Murmurs of mitral and aortic stenosis are observed in chronic valvular heart disease.
Valvulitis merupakan tanda utama karditis reumatik : – – –
katup mitral (76%), katup aorta (13%), dan katup mitral+ aorta (97%).
Physical Findings • Subcutaneous nodules (ie, Aschoff bodies): – 10% of patients and are edematous, fragmented collagen fibers. – They are firm, painless nodules on the extensor surfaces of the wrists, elbows, and knees.
• Erythema marginatum: – 5% of patients. – The rash is serpiginous and long lasting.
• Chorea (also known as Sydenham chorea and "St Vitus dance"): – occurs in 5-10% of cases – consists of rapid, purposeless movements of the face and upper extremities. – Onset may be delayed for several months and may cease when the patient is asleep.
Rheumatic Fever - Treatment • Bed rest 2-6 weeks(till inflammation subsided)
• Supportive therapy - treatment of heart failure • Anti-streptococcal therapy - Benzathine penicillin(long acting) 1.2 million units once(IM injection) or oral penicillin V 10 days, if allergic to penicillin erythromycin 10 days (antibiotic is given even if throat culture is negative) • Anti-inflammatory agents Aspirin in anti-inflammatory doses effectively reduces all manifestations of the disease except chorea, and the response typically is dramatic. • Aspirin 100 mg/kg per day for arthritis and in the absence of carditis- for 4-6 weeks to be tapered off • Corticosteroids If moderate to severe carditis is present as indicated by cardiomegaly, third-degree heart block, or CHF, add PO prednisone to salicylate therapy -2 mg/kg per day – for 2-6 weeks to be tapered off
Tatalaksana • Terapi antiinflamasi harus segera dimulai setelah diagnosis demam reumatik ditegakkan. • Hanya artritis – aspirin 100 mg/kg/ hari sampai 2 minggu – dosis diturunkan menjadi 75 mg/kg/hari seiama 2-3 minggu berikutnya. • Karditis ringan sampai sedang – aspirin 100 mg/kg/hari dibagi 4-6 dosis seiama 4-8 minggu, tergantung pada respons klinis – Bila ada perbaikan maka dosis diturunkan bertahap seiama 4-6 minggu berikutnya. • Karditis berat dengan gagal jantung, AV blok total, kardiomegali – Prednison 2 mg/kg/hari diberikan seiama 2 minggu dilanjutkan dengan aspirin 75 mg/kg/hari. • Untuk kasus korea: fenobarbital/haloperidol/klorpromazin
Rheumatic Fever -Pprevention Secondary prevention – prevention of recurrent attacks • Benzathine penicillin G 1.2 million units IM SD every 4 week • Penicillin V 250 mg twice daily orally • Or If allergic – Erythromycin 250 mg twice daily orally
AHA Scientific Statement
Rheumatic Fever - Prevention Duration of secondary rheumatic fever prophylaxis • Rheumatic fever + carditis + persistent valve disease - 10 years since last episode or until 40 years of age (whichever is longer), sometimes life long • Rheumatic fever + carditis + no valvar disease – 10 years or well into adulthood whichever is longer • Rheumatic fever without carditis - 5 years or until 21 years whichever is longer (Continous prophylaxis is important since patient may have asymptomatic GAS infection)
AHA Scientific Statement
64. Diare akut • Diare akut: - BAB >3 kali dalam 24 jam - Konsistensi cair - Durasi <1 minggu
• Diare kronik: diare karena penyebab apapun dan berlangsung ≥ 14 hari
Gejala dan tanda dehidrasi
Tanpa dehidrasi
Dehidrasi ringan-sedang
Dehidrasi berat
Terapi zinc
Syok hipovolemik pada anak • Jika diare sangat massif sehingga volume loss sangat tinggi, anak dapat mengalami syok hipovolemik • Tatalaksana syok akibat diare pada anak tidak menggunakan rencana terapi C melainkan algoritma tatalaksana syok hipovolemik anak
Komplikasi Diare • Dehidrasi • Asidosis Metabolik • Hipoglikemia, terutama dengan predisposisi undernutrition • Gangguan elektrolit – hipo/hipernatremia – Hipokalemia – (NB: Hiperkalemia bisa menstimulasi intestinal motility menyebabkan watery diarrhea.)
• Gangguan gizi • Gangguan sirkulasi (syok)
Electrolyte: kalium • K has important role in resting membrane potential & action potentials. • The level of K influences cell depolarization – the movement of the resting potential closer to the threshold more excitability & hyperpolarization – decreased resting membrane potential to a point far away from the threshold less excitability.
• The most critical aspect of K, it affects: – Cardiac rate, rhythm, and contractility – Muscle tissue function, including skeletal muscle and muscles of the diaphragm, which are required for breathing – Nerve cells, which affect brain cells and tissue – Regulation of many other body organs (intestinal motility) Johnson JY. Fluids and Electrolytes demystified. 2008
Electrolyte: kalium Hypokalemia • Disorientation • Confusion • Discomfort of muscles • Muscle weakness • Ileus paralytic • Paralysis of the muscles of the lung, resulting in death
Hyperkalemia • Rapid heart beat (fibrillation) • Skin tingling • Numbness • Weakness • Flaccid paralysis
Johnson JY. Fluids and Electrolytes demystified. 2008
Tatalaksana Hipokalemia • Transient, asymptomatic, or mild hypokalemia may spontaneously resolve or may be treated with enteral potassium supplements. • Symptomatic or severe hypokalemia should be corrected with a solution of intravenous potassium.
PPM IDAI http://emedicine.medscape.com/article/907757-treatment
65. Kejang demam • Kejang yang terjadi pada kenaikan suhu tubuh diatas 38 C yang TIDAK disebabkan oleh proses intrakranial • Mayoritas terjadi pada hari pertama sakit • Bukan disebabkan infeksi SSP, gangguan metabolik, tidak pernah ada riwayat kejang tanpa demam. • Usia antara 6 bulan – 5 tahun, mayoritas usia 12-18 bulan. • Anak berumur antara 1-6 bulan masih dapat mengalami kejang demam, namun jarang sekali. • Bila anak berumur kurang dari 6 bulan mengalami kejang didahului demam, pikirkan kemungkinan lain, terutama infeksi susunan saraf pusat. • Bayi berusia kurang dari 1 bulan tidak termasuk dalam rekomendasi ini melainkan termasuk dalam kejang neonatus Rekomendasi Kejang Demam. 2016. IDAI
Klasifikasi Kejang demam sederhana Kejang demam kompleks
• Kejang kurang dari 15 menit • Kejang umum tonik-klonik • Kejang tidak berulang
• Kejang lebih dari 15 menit • Kejang fokal, fokal menjadi umum • Kejang berulang dalam 24 jam KET: 1. Kejang demam sederhana merupakan 80% di antara seluruh kejang demam 2. Sebagian besar kejang demam sederhana berlangsung kurang dari 5 menit dan berhenti sendiri.
Pemeriksaan Penunjang • Pemeriksaan laboratorium – Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam. – Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan atas indikasi misalnya darah perifer, elektrolit, dan gula darah
• Indikasi Pungsi Lumbal (konsensus UKK 2016) – saat ini pemeriksaan pungsi lumbal tidak dilakukan secara rutin pada anak berusia <12 bulan yang mengalami kejang demam sederhana dengan keadaan umum baik. – Indikasi LP: • Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal • Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis • Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang sebelumnya telah mendapat antibiotik dan pemberian antibiotik tersebut dapat mengaburkan tanda dan gejala meningitis.
Pemeriksaan Penunjang • Indikasi CT scan/MRI – Tidak diperlukan pada kejang demam sederhana – Insiden kelainan patologis intrakranial pada kejang demam kompleks sangat rendah – Harus dilakukan : • Makro/mikrosefali • Kelainan neurologi yang menetap, terutama lateralisasi
• Indikasi EEG – Pemeriksaan EEG tidak diperlukan untuk kejang demam, KECUALI apabila bangkitan bersifat fokal untuk menentukan adanya fokus kejang di otak yang membutuhkan evaluasi lebih lanjut.
Faktor resiko berulangnya KD • Faktor risiko : – Riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keluarga – Usia kurang dari 12 bulan – Suhu tubuh kurang dari 39oC saat kejang – Interval waktu yang singkat antara awitan demam dengan terjadinya kejang. – Apabila kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks.
• Semua faktor risiko ada, kemungkinan berulang 80% • Tidak ada faktor risiko kemungkinan berulang 1015%
Tatalaksana • Saat kejang : algoritme tatalaksana kejang akut dan SE • Setelah kejang berhenti : – Profilaksis atau tidak – Profilaksis intermiten atau kontinyu
• Antipiretik: – – – –
Tidak mengurangi risiko berulangnya kejang Memberikan rasa nyaman bagi pasien Mengurangi kekhawatiran orangtua Kesimpulan: dokter neurologi anak di Indonesia sepakat bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. – Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10-15 mg/kg/kali diberikan tiap 4-6 jam. – Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali sehari.
Tatalaksana Saat Kejang • Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rerata 4 menit) dan pada waktu pasien datang, kejang sudah berhenti. • Apabila saat pasien datang dalam keadaan kejang, obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam intravena. • Dosis diazepam intravena adalah 0,2-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 10 mg. • Secara umum, penatalaksanaan kejang akut mengikuti algoritma kejang pada umumnya.
Tatalaksana Saat Kejang • Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orangtua di rumah (prehospital)adalah diazepam rektal. – Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari 12 kg.
• Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. • Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. • Di rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena. • Jika kejang masih berlanjut, lihat algoritme tatalaksana status epileptikus. • Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari indikasi terapi antikonvulsan pro laksis.
Profilaksis Intermiten • Yang dimaksud dengan obat antikonvulsan intermiten adalah obat antikonvulsan yang diberikan hanya pada saat demam. • Indikasi (salah satu dari): – – – – –
Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun Usia <6 bulan Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh meningkat dengan cepat.
• Obat diazepam oral 0,3 mg/kgBB/kali, maksimum 7,5 mg/kali (3 kali sehari) ATAU rektal 0,5 mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan <12 kg dan 10 mg untuk berat badan >12 kg) 3 kali sehari • Diazepam intermiten diberikan selama 48 jam pertama demam. • ES dapat menyebabkan ataksia, iritabilitas, serta sedasi.
Profilaksis Kontinyu/ Rumatan • Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan, maka pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka pendek • Indikasi pengobatan rumat: – Kejang fokal – Kejang lama >15 menit
– Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya palsi serebral, hidrosefalus, hemiparesis. (Pada anak dengan kelainan neurologis berat dapat diberikan edukasi untuk pemberian terapi profilaksis intermiten terlebih dahulu, jika tidak berhasil/orangtua khawatir dapat diberikan terapi antikonvulsan rumat)
Profilaksis Kontinyu/ Rumatan • Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam menurunkan risiko berulangnya kejang • Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. • Obat pilihan saat ini adalah asam valproat. • Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumur kurang dari 2 tahun, asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati. • Dosis asam valproat adalah 15-40 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis, dan fenobarbital 3-4 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis. • Pengobatan diberikan selama 1 tahun, penghentian pengobatan rumat untuk kejang demam tidak membutuhkan tapering off , namun dilakukan pada saat anak tidak sedang demam.
66. Tatalaksana Kejang Akut Anak • Evaluasi tanda vital serta penilaian airway, breathing, circulation (ABC) harus dilakukan seiring dengan pemberian obat antikonvulsan. • Pemilihan jenis obat serta dosis anti-konvulsan pada tata laksana SE sangat bervariasi antar institusi.
66. Algoritma tata laksana kejang akut dan status epileptikus
Keterangan • •
•
Diazepam IV: 0,2 - 0,5 mg/kg IV (maksimum 10 mg) dalam spuit, kecepatan 2 mg/menit. Bila kejang berhenti sebelum obat habis, tidak perlu dihabiskan. Fenobarbital: pemberian boleh diencerkan dengan NaCl 0,9% 1:1 dengan kecepatan yang sama Midazolam buccal: dapat menggunakan midazolam sediaan IV/IM, ambil sesuai dosis yang diperlukan dengan menggunakan spuit 1 cc yang telah dibuang jarumnya, dan teteskan pada buccal kanan, selama 1 menit. Dosis midazolam buccal berdasarkan kelompok usia; – – – –
•
• •
2,5 mg (usia 6 – 12 bulan) 5 mg (usia 1 – 5 tahun) 7,5 mg (usia 5 – 9 tahun) 10 mg (usia ≥ 10 tahun)
Tapering midazolam infus kontinyu: Bila bebas kejang selama 24 jam setelah pemberian midazolam, maka pemberian midazolam dapat diturunkan secara bertahap dengan kecepatan 0,1 mg/jam dan dapat dihentikan setelah 48 jam bebas kejang. Midazolam: Pemberian midazolam infus kontinyu seharusnya di ICU, namun disesuaikan dengan kondisi rumah sakit Bila pasien terdapat riwayat status epileptikus, namun saat datang dalam keadaan tidak kejang, maka dapat diberikan fenitoin atau fenobarbital 10 mg/kg IV dilanjutkan dengan pemberian rumatan bila diperlukan.
67. Aseptik Meningitis • The term aseptic meningitis encompasses all types of inflammations of the brain meninges other than that causedby pus producing organisms. • It is usually a benign illness. • Etiology of aseptic meningitis is very wide and includes many infections - both viral and non viral, drugs, malignancy and systemic illness • The most common cause is viral infection and enteroviruses - Coxsackie and ECHO viruses account for more than half of all cases. Kumar R. Aseptic Meningitis : Diagnosis and Treatment. [Indian J Pediatr 2005; 72 (1) : 57-63]
Meningitis Virus • The most common symptoms – headache, fever, myalgias, malaise, chills, sore throat, abdominal pain, nausea, vomiting, photophobia, stiff neck and drowsiness. – Occasionally the child may exhibit altered consciousness in the form of confusion, drowsiness or visual hallucinations.
• Physical Examination : – M eningeal signs in the form of neck stiffness, Kernig's or Brudzinsky's signs. – Severe meningeal irritation may result in the patient assuming the tripod position with the knees and hips flexed, neck extended and arms brought back to support the thorax.
CSF Finding in Meningitis
Bamberger DM. Diagnosis, Initial Management, and Prevention of Meningitis. Am Fam Physician. 2010;82(12):1491-1498
Nilai normal analisis CSF • Total volume: 150 mL • Warna: Jernih seperti air • Opening pressure - 90-180 mm H 2O (pasien dalam posisi miring ke samping) • Glukosa: 45-80 mg/dL • Proteins: 20-40 mg/dL • Hitung eritrosit: Newborn: 0-675/mm3 Adult: 0-10/mm3 • Hitung leukosit: Anak <1 tahun: 0-30/mm3 Usia 1-4 tahun: 0-20/mm3 Usia 5 tahun sampai pubertas: 0-10/mm3
68. Diabetes Melitus Tipe 1 (Insulin-dependent diabetes mellitus) • Merupakan kelainan sistemik akibat gangguan metabolisme • glukosa yang ditandai oleh hiperglikemia kronik. • Etiologi: Suatu proses autoimun yang merusak sel β pankreas sehingga produksi insulin berkurang, bahkan terhenti. Dipengaruhi faktor genetik dan lingkungan. • Insidensi tertinggi pada usia 5-6 tahun dan 11 tahun • Komplikasi : Hipoglikemia, ketoasidosis diabetikum, retinopathy , nephropathy and hypertension, peripheral and autonomic neuropathy, macrovascular disease • Manifestasi Klinik: – Poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan – Pada keadaan akut yang berat: muntah, nyeri perut, napas cepat • dan dalam, dehidrasi, gangguan kesadaran
Kriteria Diagnosis DM pada Anak • Kriteria diagnostik • Glukosa darah puasa dianggap normal bila kadar glukosa darah kapiler < 126 mg/dL (7 mmol/L). Glukosuria saja tidak spesifik untuk DM sehingga perlu dikonfirmasi dengan pemeriksaan glukosa darah. • Diagnosis DM dapat ditegakkan apabila memenuhi salah satu kriteria sebagai berikut: – Ditemukannya gejala klinis poliuria, polidpsia, polifagia, berat badan yang menurun, dan kadar glukasa darah sewaktu >200 mg/ dL (11.1 mmol/L). – Pada penderita yang asimtomatis ditemukan kadar glukosa darah sewaktu >200 mg/dL atau kadar glukosa darah puasa lebih tinggi dari normal dengan tes toleransi glukosa yang terganggu pada lebih dari satu kali pemeriksaan.
Tes Toleransi Glukosa •
Pada anak biasanya tes toleransi glukosa (TTG) tidak perlu dilakukan untuk mendiagnosis DM tipe-1, karena gambaran klinis yang khas. • Indikasi TTG pada anak adalah pada kasus-kasus yang meragukan yaitu ditemukan gejala-gejala klinis yang khas untuk DM, namun pemeriksaan kadar glukosa darah tidak menyakinkan. • Dosis glukosa yang digunakan pada TTG adalah 1,75 g/kgBB (maksimum 75 g). • Glukosa tersebut diberikan secara oral (dalam 200-250 ml air) dalam jangka waktu 5 menit. • Testoleransi glukosa dilakukan setelah anak mendapat diet tinggi karbohidrat (150-200 g per hari) selama tiga hari berturut-turut dan anak puasa semalam menjelang TTG dilakukan. – Selama tiga hari sebelum TTG dilakukan, aktifitas fisik anak tidak dibatasi. – Anak dapat melakukan kegiatan rutin sehari- hari.
•
Sampel glukosa darah diambil pada menit ke 0 (sebelum diberikan glukosa oral), 60 dan 120.
Penilaian hasil tes toleransi glukosa • Anak menderita DM apabila: Kadar glukosa darah puasa ≥140 mg/dL (7,8 mmol/L) atau Kadar glukosa darah pada jam ke 2 ≥200 mg/dL (11,1 mmol/L) • Anak dikatakan menderita toleransi gula terganggu apabila: Kadar glukosa darah puasa <140 mg/dL (7,8 mmol/L) dan Kadar glukosa darah pada jam ke 2: 140-199 mg/dL (7,8-11 mmol/L) • Anak dikatakan normal apabila : Kadar glukosa darah puasa (plasma) <110 mg/dL (6,7 mmol/L) dan Kadar glukosa darah pada jam ke 2: <140 mg/dL (7,8-11 mmol/L)
Patogensis
http://emedicine.medscape.com/article/919999-overview http://www.noahhealth.org/five-most-common-food-myths-associated-with-diabetes/#pid
DM Tipe 1 vs Tipe 2
http://s3.amazonaws.com/stopdiabete/symptoms-between-type-1-and-type-2-diabetes.html
• Pemeriksaan Penunjang : – Penderita baru : gula darah, urin reduksi dan keton urin, HbA1C, CPeptide (untuk membedakan diabetes tipe 1 dan tipe 2), pemeriksaan autoantibodi yaitu: cytoplasmic antibodies (ICA), insulin autoantibodies (IAA), dan glutamic acid decarboxylase (GAD). – Penderita lama : HbA1c Setiap 3 bulan sebagai parameter kontrol metabolik
• Tatalaksana: Insulin
1. 2.
Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 1. UKK Endokrinologi Anak dan Remaja, IDAI World Diabetes Foundation. 2009 Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan AnaK. Diabetes Melitus pada Anak(DM tipe-1). RSCM. 2007
HbA1c • Parameter kontrol metabolik standar: - HbA1c < 7% baik - HbA1c < 8% cukup - HbA1c > 8% buruk
• • • •
1. 2.
Untuk modifikasi tatalaksana. Wajib setiap 3 bulan. Perbedaan HbA1c 1% risiko komplikasi ↓25-50%. Penyimpangan kurva pertumbuhan ideal periode 6 bulan evaluasi HbA1c.
Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 1. UKK Endokrinologi Anak dan Remaja, IDAI World Diabetes Foundation. 2009 Panduan Pelayanan Medis Departemen Ilmu Kesehatan AnaK. Diabetes Melitus pada Anak(DM tipe-1). RSCM. 2007
Insulin
1.
Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 1. UKK Endokrinologi Anak dan Remaja, IDAI World Diabetes Foundation. 2009
http://www.distrodoc.com/203580-cara-penggunaan-insulin
Pilihan Insulin Insulin kerja cepat : • Setelah makan • Snack sore • Saat hiperglikemi dan ketosis • Pada CSII (continuous subcutaneous insulin infusion) Insulin kerja pendek: • Sebelum makan • Pilihan pada balita
1.
Insulin kerja menengah: • Pilihan pada penderita yang memiliki pola hidup teratur Insulin kerja panjang: • Masa kerja lebih dari 24 jam • Digunakan dalam regimen basal-bolus Insulin kerja campuran: • Dianjurkan bagi penderita yang memiliki kontrol metabolik baik.
Konsensus Nasional Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 1. UKK Endokrinologi Anak dan Remaja, IDAI World Diabetes Foundation. 2009
69. Imunisasi Jadwal Imunisasi Anak Usia 0 – 18 Tahun Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Tahun 2017 Usia Imunisasi Hepatitis B Polio BCG DTP Hib PCV Rotavirus Influenza Campak MMR Tifoid Hepatitis A Varisela HPV Japanese encephalitis Dengue Keterangan Cara membaca kolom usia : misal
Lahir 1
1 0
2 2 1
3 3 2
4 4 3
1 1 1 1
2 2
3 3 2 2
Bulan 5 6
9
12
15
18
24
3
5
6
7
Tahun 8
9
10
12
18
4
1 kali 4
5
6 (Td/Tdap)
7 (Td)
4 3 3a
4
1
2 berarti usia 2 bulan (60 hari) s.d. 2 bulan 29 hari (89 hari) Rekomendasi imunisasi berlaku mulai Januari 2017 Dapat diakses pada website IDAI (http:// idai.or.id/public-articles/klinik/imunisasi/jadwal-imunisasi-anak-idai.html) a Vaksin rotavirus monovalen tidak perlu dosis ke-3 (lihat keterangan) b Apabila diberikan pada remaja usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antibodi setara dengan 3 dosis (lihat keterangan) Optimal Catch-up Booster Daerah Endemis Untuk memahami tabel jadwal imunisasi perlu membaca keterangan tabel 1. Vaksin hepatit i s B (HB). Vaksin HB pertama (monovalen) paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir dan didahului pemberian suntikan vitamin K1 minimal 30 menit sebelumnya. Jadwal pemberian vaksin HB monovalen adalah usia 0,1, dan 6 bulan. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif, diberikan vaksin HB dan imunoglobulin hepatit i s B (HBIg) pada ekstremitas yang berbeda. Apabila diberikan HB kombinasi dengan DTPw, maka jadwal pemberian pada usia 2, 3, dan 4 bulan. Apabila vaksin HB kombinasi dengan DTPa, maka jadwal pemberian pada usia 2, 4, dan 6 bulan. 2. Vaksin polio. Apabila lahir di rumah segera berikan OPV-0. Apabila lahir di sarana kesehatan, OPV-0 diberikan saat bayi dipulangkan. Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3, dan polio booster diberikan OPV atau IPV. Paling sedikit harus mendapat satu dosis vaksin IPV bersamaan dengan pemberian OPV-3. 3. Vaksin BCG. Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum usia 3 bulan, a optiml usia 2 bulan. Apabila diberikan pada usia 3 bulan atau lebih, perlu dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu. 4. Vaksin DTP. Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada usia 6 minggu. Dapat diberikan vaksin DTPw atau DTPa atau kombinasi dengan vaksin lain. Apabila diberikan vaksin DTPa maka interval mengikuti rekomendasi vaksin tersebut yaitu usia 2, 4, dan 6 bulan. Untuk anak usia lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td atau Tdap. Untuk DTP 6 dapat diberikan Td/Tdap pada usia 10-12 tahun dan booster Td diberikan setia p 10 t ahun.
2 1
Ulangan 1 kali setiap tahun 3 2 Ulangan setiap 3 tahun 2 kali, interval 6 – 12 bulan 1 kali 2 atau 3 kalib
1
2 3 kali, interval 6 bulan 5. Vaksin pneumokokus (PCV). Apabila diberikan pada usia 7-12 bulan, PCV diberikan 2 kali dengan interval 2 bulan; dan pada usia lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya perlu booster pada usia lebih dari 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada anak usia di atas 2 tahun PCV diberikan cukup satu kali. 6. Vaksin rotavirus. Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14 minggu (dosis pertamaatidk diberikan pada usia > 15 minggu), dosis ke-2 diberikan dengan interval minimal 4 minggu. Batas akhir pemberian pada usia 24 minggu. Vaksin rotavirus pentavalen diberikan 3 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14 minggu (dosis pertamaatidk diberikan pada usia > 15 minggu), dosis kedua dan ketiga diberikan dengan interval 4-10 minggu. Batas akhir pemberian pada usia 32 minggu. 7. Vaksineinflunz a. Vaksineinflunz a diberikan pada usia lebih dari 6 bulan, diulangp setia tahun. Untuk imunisasi pertama kali (primary immunizatio n ) pada anak usia kurang dari 9 tahun diberi dua kali dengan interval minimal 4 minggu. Untuk anak 6-36 bulan, dosis 0,25 mL. Untuk anak usia 36 bulan a atau lebih, dosis 0,5 mL. 8. Vaksin campak. Vaksin campak kedua (18 bulan) tidk per l u diberikan apabila sudah mendapatkan MMR. 9. Vaksin MMR/MR. Apabila sudah mendapatkan vaksin campak pada usia 9 bulan, maka vaksin MMR/MR diberikan pada usia 15 bulan (minimal interval 6 bulan). Apabila pada usia 12 bulan belum mendapatkan vaksin campak, maka dapat diberikan vaksin MMR/MR. 10. Vaksin varisela. Vaksin varisela diberikan setelah usia 12 bulan, terbaik pada usia sebelum masuk sekolah dasar. Apabila diberikan pada usia lebih dari 13 tahun, perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu. 11. Vaksin human papiloma virus (HPV). Vaksin HPV diberikan mulai usia 10 tahun. Vaksin HPV bivalen diberikan tiga kali dengan jadwal 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV tetravalen dengan jadwal 0,2,6 bulan. Apabila diberikan pada remaja usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons antib o d i setara dengan 3 dosis. 12. Vaksin Japanese encephalitis (JE). Vaksin JE diberikan mulai usia 12 bulan pada daerah endemis atau turis yang akan bepergian ke daerah endemis tersebut. Untuk perlindungan jangka panjang dapat diberikan booster 1-2 tahun berikutnya. 13. Vaksin dengue. Diberikan pada usia 9-16 tahun dengan jadwal 0, 6, dan 12 bulan.
Cara membaca kolom usia: misal 2 berarti usia 2 bulan (60 hari) s.d 2 bulan 29 hari (89 hari) aVaksin rotavirus monovalen tidak perlu dosis ke-3 (lihat keterangan) bApabila diberikan pada remaja 10-13 tahun pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan, respon antibody sama dengan 3 dosis (lihat keterangan) optimal catchup booster daerah endemis 1. Vaksin Hepatitis B: vaksin HB pertama (monovalen) paling baik diberikan dalam 12 jam setelah lahir, didahului pemberian vitamin K, minimal 30 menit sebelumnya, jadwal pemberian vaksin HB monovalen adalah usia 0, 1 dan 6 bulan. Bayi lahir dari ibu HBsAg positif diberikan vaksin HB dan IG hep B (HbIg) pada extremitas berbeda. Apabila diberikan HB kombinasi dengan DTPw maka jadwal pemberian pada usia 2,3, dan 4 bulan. Apabila vaksin HB kombinasi dengan DTPa maka jadwal pemberian pada usia 2, 4, dan 6 bulan. 2. Vaksin polio: apabila lahir di rumah segera berikan OPV-0. Apabila lahir di sarana kesehatan OPV-0 diberikan saat dipulangkan. Untuk polio 1,2, dan 3 dan booster diberikan OPV atau IPV. Paling sedikit harus mendapat satu dosis IPV bersamaan dengan OPV-3 3. Vaksin BCG: pemberian sebelum usia 3 bulan, optimal usia 2 bulan. Apabila diberikan usia 3 bulan atau lebih perlu diuji tuberkulin
4. Vaksin DTP: DTP 1 paling cepat usia 6 minggu, dapat diberikan DTPW atau DTPa atau kombinasi dengan vaksin lain. Apabila DTPa maka interval 2,4,6 bulan. Untuk usia lebih 7 tahundiberikan vaksin Td atau Tdap. Untuk DTP 6 dapat diberikan Td/Tdap pada usia 10-12 tahun dan booster Td diberikan setiap 10 tahun 5. Vaksin pneumokokkus (PCV): apabila diberikan pada usia 7-12 bulan, PCV diberikan 2 kali dengan interval 2 bulan dan pada usia lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya perlu booster pada usia lebih dari 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis terakhir. Anak diatas 2 tahun PCV cukup 1 kali 6. Vaksin rotavirus. Monovalen diberikan 2 kali, dosis pertama 6-14 minggu, kedua diberikan interval minimal 4 minggu, batas akhir pemberian pada 24 minggu. Pentavalen diberikan 3 kali, dosis pertama 6-14 minggu, dosis kedua dan ketiga interval 4-10 minggu, batas akhir pemberian pada 32 minggu 7. Vaksin influenza: diberikan pada usia lebih dari 6 bulan, diulang setiap tahun. Untuk imunisasi pertama anak kurang dari 9 tahun diberikan dua kali dengan interval minimal 4 minggu. Untuk anak usia 6-36 bulan, dosis 0,25 mL. untuk anak usia 36 bulan atau lebih, dosis 0,5 mL
8. Vaksin campak: campak kedua (18 bulan) tidak perlu diberikan bila sudah mendapat MMR 9. MMR/MR: apabila sudah mendapatkan pada usia 9 bulan maka diberikan pada usia 15 bulan (interval minimal 6 bulan). Apabila usia 12 bulan belum vaksin campak, dapat diberikan MMR/MR 10. Varisela: diberikan setelah usia 12 bulan, terbaik sebelum masuk SD. Apabila lebih dari 13 tahun perlu 2 dosis dengan interval minimal 4 minggu 11. HPV: diberikan mulai usia 10 tahun, bivalen jadwal 3 kali 0,1,6 bulan. Tetravalen 0,2,6 bulan. Bila diberikan usia 10-13 tahun, cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan 12. Japanese Encephalitis: diberikan mulai usia 12 bulan pada daerah endemic atau turis yang akan ke daerah endemic. Perlindungan jangka panjang diberikan booster 1-2 tahun berikutnya 13. Vaksin dengue: diberikan pada usia 9-16 tahun dengan jadwal 0,6, dan 12 bulan
Perubahan Jadwal Imunisasi Wajib 2014 Hep. B: lahir,1,6 bulan
2016
Polio: lahir, 2,4,6 bulan
Hep .B: sama dengan 2014
DPT: 2,4,6 bulan
Polio: lahir, 2,3,4 bulan
DPT: 2,3,4 bulan
2017 Hep .B: lahir, 2,3,4 bulan Polio: lahir, 2,3,4 bulan DPT: 2,3,4 bulan
Plus2 : HiB
2,4,6 bulan
2,3,4 bulan
2,3,4 bulan
*Intradermal=Intrakutan
70. Pubertas Prekoks • Definisi: tanda-tanda maturasi seksual sebelum usia 8 tahun pada perempuan dan 9 tahun pada laki-laki • Lebih banyak pada perempuan • Perempuan idiopatik; laki-laki kelainan CNS
• GnRH dependent (central) : early reactivation of Hypothalamus-pitutarygonad axis • GnRH independent (peripheral): autonom sex steroid , not affected by Hypothalamus-pitutarygonad axis • Variant – thelarche prematur – adrenarche prematur
Etiologi GnRH dependent (sentral) • idiopatik • kelainan SSP – tumor – non-tumor: pasca infeksi, radiasi, trauma, kongenital
• Iatrogenik • keterlambatan diagnosis pada GIPP
GnRH independent (perifer); Lelaki: • (isoseksual) – adrenal: tumor, CAH – testes : tumor sel Leydig, familial testotoksikosis – gonadotropin-secreting tumor: • non SSP: hepatoma, germinoma, teratoma • SSP: germinoma, adenoma (LH secreting)
• Heteroseksual – peningkatan aromatisasi perifer
Pubertas Prekoks, Diagnosis & Tatalaksana. H. Hakimi; Melda Deliana; Siska Mayasari Lubis. Divisi Endokrinologi Anak Fakultas Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan
Etiologi GnRH independent (perifer), perempuan: • (isoseksual) – McCune Albright – Hipotiroid berat
• heteroseksual – adrenal: tumor, CAH – Tumor ovarium:arrhenoblasto ma
Pubertas Prekoks, Diagnosis & Tatalaksana. H. Hakimi; Melda Deliana; Siska Mayasari Lubis. Divisi Endokrinologi Anak Fakultas Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan
Stadium Tanner
Gejala + Tanda GnRH Dependent Precoccious Puberty • Selalu isoseksual • perkembangan tanda-tanda pubertas • mengikuti pola stadium pubertas normal • gambaran hormonal: peningkatan aktivitas hormonal di seluruh poros
GnRH Independent Precoccious Puberty • Isoseksual atau heteroseksual (late onset CAH, tumor adrenal) • perkembangan seks sekunder tidak sinkron (volume testes tidak sesuai dengan stadium pubertas - lebih kecil) • peningkatan kadar seks steroid tanpa disertai peningkatan kadar GnRH dan LH/FSH
Pubertas Prekoks, Diagnosis & Tatalaksana. H. Hakimi; Melda Deliana; Siska Mayasari Lubis. Divisi Endokrinologi Anak Fakultas Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan
Gejala Klinis akibat Peningkatan Hormon Seks Steroid • Efek estrogen → – ”tall child but short adult” karena penutupan epifisis tulang dini – ginekomastia
• Efek testosteron – hirsutism – Acne – male habitus
• Efek umum – sexual behavior – agresif Pubertas Prekoks, Diagnosis & Tatalaksana. H. Hakimi; Melda Deliana; Siska Mayasari Lubis. Divisi Endokrinologi Anak Fakultas Kedokteran USU/RSUP H. Adam Malik Medan
PENDEKATAN PUBERTAS PREKOKS PADA PEREMPUAN
Anamnesis • Usia awitan saat terjadi pubertas dan progresivitas perubahan fisik pubertal. • Pola pertumbuhan (kecepatan tumbuh) anak sejak bayi. • Adanya kelainan SSP atau gejala kelainan SSP • Riwayat penyakit dahulu – kemoterapi, radiasi, operasi, trauma atau infeksi SSP, riwayat konsumsi obat-obatan jangka panjang (obat yang mengandung hormon steroid seks)
• Riwayat penyakit keluarga – riwayat pubertas anggota keluarga yang lain, tinggi badan, dan rerata pertumbuhan orangtua dan saudara kandungnya.
• Adanya paparan kronik terhadap hormon seks steroid eksogen.
Pemeriksaan fisis • Pengukuran tinggi badan, berat badan, rasio segmen atas/bawah tubuh. • Palpasi tiroid: ukuran, ada tidaknya nodul, konsistensi, dan bruit • Status pubertas sesuai dengan skala maturasi Tanner – Perempuan: rambut aksila (A), payudara atau mammae (M), dan rambut pubis (P). – Laki-laki: rambut aksila (A), rambut pubis (P), dan genital (G).
• Lesi kulit hiperpigmentasi menunjukkan neurofibromatosis atau sindrom McCune- Albright. • Palpasi abdomen untuk mendeteksi adanya tumor intraabdomen. • Pemeriksaan status neurologis, funduskopi, visus.
Pemeriksaan laboratorium + Radiologi • Nilai basal LH dan FSH. – Kadar basal LH basal >0,83 U/L menunjang diagnosis pubertas prekoks sentral. – rasio LH/FSH lebih dari satu menunjukkan stadium pubertas.
• Hormon seks steroid: estradiol pada anak perempuan dan testosteron pada anak laki- laki. • Kadar DHEA (dehydroepiandrosterone) atau DHEAS (DHEA sulfate) jika terdapat bukti adrenarke. • Tes stimulasi GnRH/GnRHa: kadar puncak LH 5-8 U/L menunjukkan pubertas prekoks progresif.
• RUTIN: – Usia tulang/bone age – USG pelvis pada anak perempuan • ATAS INDIKASI: – Ultrasonografi testis pada anak laki-laki jika terdapat asimetri pembesaran testis. – USG atau CT-Scan abdomen. – MRI kepala untuk mencari lesi hipotalamus
Tatalaksana • ditujukan langsung pada penyebab
• Tumor SSP atau tumor yang memproduksi hormon seks steroid: bedah, radiasi atau kemoterapi yang sesuai. • Terapi subsitusi kortisol dengan hidrokortison suksinat pada HAK. • Terapi substitusi hormon tiroid pada hipotiroid primer. • Pubertas prekoks sentral idiopatik: penggunaan GnRH agonis. • Pubertas prekoks perifer: keberhasilan tata laksana penyakit yang mendasarinya
Analisis soal • Pada kasus ini ditemukan ciri-ciri pubertas yang ditandai dengan adanya menarche dan tanda seks sekunder. • Onset pubertas <8 tahun pada perempuan menandakan bahwa pubertas ini termasuk pubertas precocs. • Pubertas prekoks sendiri terbagi menjadi 2, yaitu tipe sentral (GnRH dependent) dan tipe perifer (GnRH independent). • Pseudopubertas prekoks termasuk dalam tipe perifer. • Namun, karena tidak ada keterangan lain pada soal (seperti pemeriksaan GnRH, FSH, atau LH) maka tidak dapat ditentukan apakah pubertas ini termasuk yang GnRH dependent atau independent.
OBSTETRI & GINEKOLOGI
71. Persalinan normal • Persalinan dan kelahiran dikatakan normal jika: – Usia kehamilan cukup bulan (37- <42 minggu) – Persalinan terjadi spontan – Presentasi belakang kepala – Berlangsung tidak lebih dari 18 jam – Tdak ada komplikasi pada ibu maupun janin
Kala Persalinan PERSALINAN dipengaruhi 3 FAKTOR “P” UTAMA 1. Power His (kontraksi ritmis otot polos uterus), kekuatan mengejan ibu, keadaan kardiovaskular respirasi metabolik ibu. 2. Passage Keadaan jalan lahir 3. Passanger Keadaan janin (letak, presentasi, ukuran/berat janin, ada/tidak kelainan anatomik mayor) (++ faktor2 “P” lainnya : psychology, physician, position)
• PEMBAGIAN FASE / KALA PERSALINAN Kala 1 Pematangan dan pembukaan serviks sampai lengkap (kala pembukaan) Kala 2 Pengeluaran bayi (kala pengeluaran) Kala 3 Pengeluaran plasenta (kala uri) Kala 4 Masa 1 jam setelah partus, terutama untuk observasi
Kala Persalinan: Sifat HIS Kala 1 awal (fase laten) • Tiap 10 menit, amplitudo 40 mmHg, lama 20-30 detik. Serviks terbuka sampai 3 cm • Frekuensi dan amplitudo terus meningkat Kala 1 lanjut (fase aktif) sampai kala 1 akhir • Terjadi peningkatan rasa nyeri, amplitudo makin kuat sampai 60 mmHg, frekuensi 2-4 kali / 10 menit, lama 60-90 detik (minimal 40”) . Serviks terbuka sampai lengkap (+10cm). Kala 2 • Amplitudo 60 mmHg, frekuensi 3-4 kali / 10 menit. • Refleks mengejan akibat stimulasi tekanan bagian terbawah menekan anus dan rektum Kala 3 • Amplitudo 60-80 mmHg, frekuensi kontraksi berkurang, aktifitas uterus menurun. Plasenta dapat lepas spontan dari aktifitas uterus ini, namun dapat juga tetap menempel (retensio) dan memerlukan tindakan aktif (manual aid).
Kala Persalinan: Kala I Fase Laten • Pembukaan sampai mencapai 3 cm (8 jam) Fase Aktif • Pembukaan dari 3 cm sampai lengkap (+ 10 cm), berlangsung sekitar 6 jam • Fase aktif terbagi atas : 1. Fase akselerasi (sekitar 2 jam), pembukaan 3 cm sampai 4 cm. 2. Fase dilatasi maksimal (sekitar 2 jam), pembukaan 4 cm sampai 9 cm. 3. Fase deselerasi (sekitar 2 jam), pembukaan 9 cm sampai lengkap (+ 10 cm).
Kala Persalinan: Kala II • Dimulai ketika pembukaan serviks sudah lengkap (10 cm) dan berakhir dengan lahirnya bayi • Gejala dan tanda kala II persalinan – Dor-Ran Ibu merasakan ingin meneran bersamaan dengan terjadinya kontraksi – Tek-Num Ibu merasakan adanya peningkatan tekanan pada rektum dan/atau vaginanya. – Per-Jol Perineum menonjol – Vul-Ka Vulva-vagina dan sfingter ani membuka – Meningkatnya pengeluaran lendir bercampur darah
• Tanda pasti kala II ditentukan melalui periksa dalam (informasi objektif) – Pembukaan serviks telah lengkap, atau – Terlihatnya bagian kepala bayi melalui introitus vagina
Kala Persalinan: Kala III • Dimulai setelah lahirnya bayi dan berakhir dengan lahirnya plasenta dan selaput ketuban
• Tanda pelepasan plasenta – Semburan darah dengan tiba-tiba: Karena penyumbatan retroplasenter pecah saat plasenta lepas – Pemanjangan tali pusat: Karena plasenta turun ke segmen uterus yang lebih bawah atau rongga vagina – Perubahan bentuk uterus dari diskoid menjadi globular (bulat): Disebabkan oleh kontraksi uterus – Perubahan dalam posisi uterus, yaitu uterus didalam abdomen: Sesaat setelah plasenta lepas TFU akan naik, hal ini disebabkan oleh adanya pergerakan plasenta ke segmen uterus yang lebih bawah (Depkes RI. 2004. Buku Acuan Persalinan Normal. Jakarta: Departemen Kesehatan)
72. Emesis Gravidarum • Emesis gravidarum (nausea and vomiting of pregnancy /NVP) – NVP should only be diagnosed when onset is in the first trimester of pregnancy and other causes of nausea and vomiting have been excluded. – Nausea and vomiting of varying severity usually commence between the first and second missed menstrual period and continue until 14 to 16 weeks’ gestation
• Hiperemesis gravidarum – protracted NVP with the triad of more than 5% prepregnancy weight loss, dehydration and electrolyte imbalance. RCOG. The Management of Nausea and Vomiting of Pregnancy and Hyperemesis Gravidarum. 2016
Hiperemesis Gravidarum Emesis gravidarum: • NVP without complication, frequency is usually <5 x/day • 70% of patients: Began between the 4th and 7th menstrual week • 60% of patients: resolution by 12 weeks . 99% of patienst by 20 weeks Hyperemesis gravidarum (no universally accepted definition) • NVP with complications: – dehydration, – hyperchloremic alkalosis, – ketosis Grade 1
Low appetite, epigastrial pain, weak, pulse 100 x/min, systolic BP low, signs of dehydration (+)
Grade 2
Apathy, fast and weak pulses, icteric sclera (+), oliguria, hemoconcentration, aceton breath
Grade 3
Somnolen – coma, hypovolemic shock, Wernicke encephalopathy.
1. http://student.bmj.com/student/view-article.html?id=sbmj.c6617. 2. http://emedicine.medscape.com/article/254751-overview#a0104. 3. Bader TJ. Ob/gyn secrets. 3rd ed. Saunders; 2007. 4. Mylonas I, et al. Nausea and Vomiting in Pregnancy. Dtsch Arztebl 2007; 104(25): A 1821–6.
Pregnancy-Unique Quantification of Emesis (PUQE) index
• Pregnancy-Unique Quantification of Emesis (PUQE) score can be used to classify the severity of NVP
RCOG. The Management of Nausea and Vomiting of Pregnancy and Hyperemesis Gravidarum. 2016
The initial management of NVP and HG • Women with mild NVP should be managed in the community with antiemetics. • Ambulatory daycare management should be used for suitable patients when community/primary care measures have failed and where the PUQE score is less than 13. • Inpatient management should be considered if there is at least one of the following: – continued nausea and vomiting and inability to keep down oral antiemetics – continued nausea and vomiting associated with ketonuria and/or weight loss (greater than 5% of body weight), despite oral antiemetics – confirmed or suspected comorbidity (such as urinary tract infection and inability to tolerate oral antibiotics) RCOG. The Management of Nausea and Vomiting of Pregnancy and Hyperemesis Gravidarum. 2016
Therapeutic options for NVP and HG • Antiemetics – There are safety and efficacy data for first-line antiemetics such as antihistamines (H1 receptor antagonists) and phenothiazines and they should be prescribed when required for NVP and HG – Combinations of different drugs should be used in women who do not respond to a single antiemetic. – For women with persistent or severe HG, the parenteral or rectal route may be necessary and more effective than an oral regimen. Women should be asked about previous adverse reactions to antiemetic therapies. – Metoclopramide is safe and effective, but because of the risk of extrapyramidal effects it should be used as second-line therapy. – There is evidence that ondansetron is safe and effective, but because data are limited it should be used as second-line therapy – Drug-induced extrapyramidal symptoms and oculogyric crises can occur with the use of phenothiazines and metoclopramide. If this occurs, there should be prompt cessation of the medications.
RCOG. The Management of Nausea and Vomiting of Pregnancy and Hyperemesis Gravidarum. 2016
73. Siklus Menstruasi & Ovulasi • Siklus menstruasi terdiri atas 2 komponen yaitu siklus ovarian dan siklus uterine • Siklus Ovarian : • Fase folikular • Ovulasi • Fase luteal • Siklus Uterine : • Fase menstruasi • Fase proliferatif • Fase sekresi
Siklus Ovarian • Rata – rata berkisar sekitar 28 hari. • Dimulai saat menarche, dapat diinterupsi secara normal oleh kehamilan dan terhenti saat menopause. • Terdiri atas 3 fase : – Fase Follicular : • Didominasi oleh pertumbuhan dan pematangan folikel.
– Ovulasi – Luteal phase • Dicirikan dengan hadirnya corpus luteum. Durasi selalu konstan yaitu 14 hari
Ovulasi • Ruptur dinding folikel Graff, cairan di dalam folike dan oocyte keluar dari folikel. • Dipacu oleh LH surge • Dua atau lebih folikel dominan dapat mengalami ovulasi. • Bila keduanya mengalami fertilisasi kembar fraternal atau kembar dizigotik
Fase luteal • Folikel yang telah pecah akan berubah struktur menjadi corpus luteum (gland) • Corpus luteum akan berfungsi sempurna dalam waktu 4 hari post ovulasi. • Bila tidak terjadi fertilisasi dan implantasi, corpus luteum akan mengalami degenerasi dalam waktu 14 hari setelah terbentuk • LH mempengaruhi pembentukan corpus luteum. • Durasi fase luteal bersifat konstan yaitu 14 hari. Bila terjadi abnormalitas menstruasi, yang mengalami pemanjangan atau pemendekan adalah fase folikular
Siklus Uterine • Menggambarkan perubahan endometrium selama siklus ovarium • Terdiri atas 3 fase yaitu: – Fase menstruasi • Terjadi penurunan hormon estrogen dan progesteron • Endometrium luruh selama 5-7 hari – Fase proliferasi • Endometrium kembali tumbuh (menebal) untuk persiapan implantasi bila terjadi kehamilan – Fase sekresi / progestational • Berbarengan dengan fase luteal.
Siklus uterine • Fase Menstruasi • Fase Proliferasi – Terjadi pengeluaran darah serta – Mulai bersamaan dengan hari – debris endometrium melalui vagina hari terakhir fase folikular ovarium – Hari pertama menstruasi dihitung – Pada fase ini uterus bersiap untuk sebagai hari pertama dari siklus menerima ovum yang sudah baru fertilisasi – Terjadi bersamaan dengan • Endometrium mulai berakhirnya fase luteal dari siklus berproliferasi (tumbuh) dengan ovarium dan awal dari fase folikular dipengaruhi oleh estrogen dari siklus ovarium folikel yang tumbuh – Dipicu oleh penurunan hormon – Estrogen mendomniasi fase esterogen dan progesteron proliferasi dari akhir fase menstruasi hingga ovulasi – Pelepasan prostaglandin uterin vasokontriksi pembuluh darah – Puncak dari kadar esterogen akan endometrium kematian dari mencetuskan LH surge Ovulasi endometrium darah menstruasi
Siklus uterine • Fase sekresi – – – –
Endometrium bersiap untuk mengalami implantasi Peningkatan suplay darah endometrium Dipicu oleh progesteron Bertepatan dengan fase luteal (saat terbentuknya corpus luteum) – Progesterone meningkatkan vaskularisasi endometrium, dan kelenjar endometrium mensekresikan glycogen secara aktif. – Jika tidak terjadi fertilisasi dan implantasi, corpus luteum akan berdegenerasi akan terjadi lagi fase folikular dan fase menstrual yang baru
Fern Test (Amniotic Fluid Crystallization Test for Ruptured Membranes ) • Purpose: – Detection of fern-type amnoitic fluid crystallization as an aid in the detection of ruptured amniotic membranes in pregnant women.
• “Ferning” is not specific for amniotic fluid. Other fluids (e.g., blood, cervical mucus, semen and some urine specimens) when dried can also yield microscopic crystallization in a “fern” pattern • Ferning is due to the prescence of sodium chloride in the mucus under estrogen effect. • When high levels of estrogen are present just before the ovulation, the cervical mucus forms fern like pattern due to crystallization of sodium chloride on mucus fiber.
74. Imunisasi TT pada Kehamilan • Pemberian imunisasi pada wanita usia subur atau ibu hamil harus didahului dengan skrining untuk mengetahui jumlah dosis (dan status) imunisasi tetanus toksoid (TT) yang telah diperoleh selama hidupnya. • Pemberian imunisasi TT tidak mempunyai interval (selang waktu) maksimal, hanya terdapat interval minimal antar dosis TT. – Jika ibu belum pernah imunisasi atau status imunisasinya tidak diketahui, berikan dosis vaksin (0,5 ml IM di lengan atas) sesuai tabel berikut. – Dosis booster mungkin diperlukan pada ibu yang sudah pernah diimunisasi. Pemberian dosis booster 0,5 ml IM disesuaikan dengan jumlah vaksinasi yang pernah diterima sebelumnya seperti pada tabel berikut:
75. ANEMIA • Anemia adalah suatu kondisi dimana terdapat kekurangan sel darah merah atau hemoglobin. • Diagnosis : – Kadar Hb < 11 g/dl (pada trimester I dan III) atau < 10,5 g/dl (pada trimester II)
• Faktor Predisposisi : – – – –
Diet rendah zat besi, B12, dan asam folat Kelainan gastrointestinal Penyakit kronis Riwayat Keluarga
Tatalaksana Umum • Apabila diagnosis anemia telah ditegakkan, lakukan pemeriksaan apusan darah tepi untuk melihat morfologi sel darah merah. • Bila pemeriksaan apusan darah tepi tidak tersedia, berikan suplementasi besi dan asam folat. – Tablet yang saat ini banyak tersedia di Puskesmas adalah tablet tambah darah yang berisi 60 mg besi elemental dan 250 µg asam folat. – Pada ibu hamil dengan anemia, tablet tersebut dapat diberikan 3 kali sehari. Bila dalam 90 hari muncul perbaikan, lanjutkan pemberian tablet sampai 42 hari pascasalin. – Apabila setelah 90 hari pemberian tablet besi dan asam folat kadar hemoglobin tidak meningkat, rujuk pasien ke pusat pelayanan yang lebih tinggi untuk mencari penyebab anemia.
• Tabel jumlah kandungan besi elemental yang terkandung dalam berbagai jenis sediaan suplemen besi yang beredar:
Tatalaksana Khusus •
Anemia mikrositik hipokrom dapat ditemukan pada keadaan: – Defisiensi besi: lakukan pemeriksaan ferritin. Apabila ditemukan kadar ferritin < 15 ng/ml, berikan terapi besi dengan dosis setara 180 mg besi elemental per hari. Apabila kadar ferritin normal, lakukan pemeriksaan SI dan TIBC. – Thalassemia: Pasien dengan kecurigaan thalassemia perlu dilakukan tatalaksana bersama dokter spesialis penyakit dalam untuk perawatan yang lebih spesifik
• Anemia normositik normokrom dapat ditemukan pada keadaan: – Perdarahan: tanyakan riwayat dan cari tanda dan gejala aborsi, mola, kehamilan ektopik, atau perdarahan pasca persalinan – Infeksi kronik
•
Anemia makrositik hiperkrom dapat ditemukan pada keadaan: – Defisiensi asam folat dan vitamin B12: berikan asam folat 1 x 2 mg dan vitamin B12 1 x 250 – 1000 μg – Transfusi untuk anemia dilakukan pada pasien dengan kondisi berikut: • Kadar Hb <7 g/dl atau kadar hematokrit <20 % • Kadar Hb >7 g/dl dengan gejala klinis: pusing, pandangan berkunang-kunang, atau takikardia (frekuensi nadi >100x per menit)
•
Lakukan penilaian pertumbuhan dan kesejahteraan janin dengan memantau pertambahan tinggi fundus, melakukan pemeriksaan USG, dan memeriksa denyut jantung janin secara berkala.
Maternal Effect of Anemia • Obviously, severe anemia has adverse effects on the mother and the fetus. • Major maternal complications directly related to anemia are not common in women with a hemoglobin level greater than 6 gr/dl. • However, Hb levels even lower may lead to significant morbidity in pregnant women, such as infections, increased hospital stays, and other general health problems. • In more severe cases, especially in pregnant women with hemoglobin levels less than 6 gr/dl, significant life-threatening problems secondary to high-output congestive heart failure and decreased oxygenation of tissues, including heart muscle may be encountered. • severe iron deficiency anemia or methemorragic anemia may be presented by complications of pregnancy, such as placenta previa or abruptio placenta, operative delivery and post partum hemorrhage.
Sifakis S. Anemia in Pregnancy. Annals of the New York Academy of Sciences. February 2000.
Fetal Effect of Anemia • effects the maternal anemia has on the fetus are not well defined; however, several reports in the literature associate the reduction in hemoglobin level with prematurity, spontaneous abortions, low birth weight, and fetal death.
Sifakis S. Anemia in Pregnancy. Annals of the New York Academy of Sciences. February 2000.
76. Letak, presentasi, posisi dan habitus janin • Letak – Hubungan antara sumbu panjang fetus terhadap sumbu panjang ibu. Letak janin yang dapat dijumpai adalah letak lintang (transverse), longitudinal dan oblique
• Presentasi – Bagian terbawah janin yang berada/mendekati jalan lahir – Terdiri atas presentasi kepala, bokong, transversal, ganda, wajah dan dahi
• Posisi – Hubungan antara bagian terbawah janin terhadap tubuh ibu. Pada presentasi kepala yang menjadi penanda adalah vertex. Normalnya vertex berada di bagian anterior tubuh ibu
• Habitus – Sikap tubuh janin selama dalam uterus. – Normalnya sikap janin adalah kepala flexi dan dagu menyentuh sternum, punggung convex, paha melipat ke arah perut, tungkai flexi pada lutut,
Malpresentasi Janin • Malpresentasi adalah semua presentasi janin selain verteks • Malposisi adalah kelainan posisi kepala janin relatif terhadap pelvis ibu dengan oksiput sebagai titik referensi
• Posisi normal: oksiput anterior • Masalah: janin yg dalam keadaan malpresentasi dan malposisi kemungkinan menyebabkan partus lama atau partus macet Irmansyah, Frizar. Malpresentasi dan Malposisi
Malposisi Oksiput Posterior • Oksiput berada didaerah posterior dari diameter transversal pelvis • Rotasi spontan: 90% kasus • Persalinan yg terganggu terjadi bila kepala janin tidak rotasi atau turun • Pada persalinan dapat terjadi robekan perineum yang luas/tidak teratur
Irmansyah, Frizar. Malpresentasi dan Malposisi
Malposisi Oksiput Posterior • Etiologi usaha penyesuaian kepala terhadap bentuk dan ukuran panggul • Pada diameter antero-posterior >tranversa pada panggul antropoid,atau segmen depan menyempit seperti pada panggul android, uuk akan sulit memutar kedepan
• Sebab lain: otot-otot dasar panggul lembek pada multipara atau kepala janin yg kecil dan bulat sehingga tak ada paksaan pada belakang kepala janin untuk memutar kedepan
Irmansyah, Frizar. Malpresentasi dan Malposisi
Presentasi Dahi • Presentasi dahi adalah keadaan dimana kedudukan kepala berada diantara fleksi maksimal dan defleksi maksimal • Pada umumnya merupakan kedudukan yg sementara dan sebagian besar akan berubah menjadi presentasi muka atau belakang kepala • Penyebabnya CPD, janin besar, anensefal,tumor didaerah leher,multiparitas dan perut gantung
Irmansyah, Frizar. Malpresentasi dan Malposisi
Presentasi Dahi • Diagnosis pada periksa dalam dapat diraba sutura frontalis, pakal hidung dan lingkaran orbita. Mulut dan dagu tidak dapat diraba. • Biasanya penurunan dan persalinan macet. Konversi kearah verteks atau muka jarang terjadi. Persalinan spontan dapat terjadi jika bayi kecil atau mati dgn maserasi • Bila janin hidup lakukan SC • Bila janin mati, pembukaan belum lengkapSC • Bila pembukaan lengkaplakukan embriotomi
Irmansyah, Frizar. Malpresentasi dan Malposisi
Presentasi Muka • Disebabkan oleh terjadinya ekstensi yang penuh dari kepala janin . • Penolong akan meraba muka, mulut , hidung dan pipi • Etiologi: panggul sempit,janin besar,multiparitas,perut gantung,anensefal,tumor dileher,lilitan talipusat • Dagu merupakan titik acuan, sehingga ada presentasi muka dengan dagu anterior dan posterior • Sering terjadi partus lama. Pada dagu anterior kemungkinan persalinan dengan terjadinya fleksi.
Irmansyah, Frizar. Malpresentasi dan Malposisi
Presentasi Muka • Pada presentasi muka dengan dagu posterior akan terjadi kesulitan penurunan karena kepala dalam keadaan defleksi maksimal • Posisi dagu anterior, bila pembukaan lengkap : - lahirkan dengan persalinan spontan pervaginam - bila kemajuan persal lambat lakukan oksitosin drip - bila penurunan kurang lancar, lakukan forsep
Irmansyah, Frizar. Malpresentasi dan Malposisi
Presentasi Ganda • Bila ekstremitas (bag kecil janin) prolaps disamping bag terendah janin • Persalinan spontan hanya terjadi bila janin kecil atau mati dan maserasi
• Lakukan koreksi dengan jalan Knee Chest Position,dorong bag yg prolaps ke atas, dan pada saat kontraksi masukkan kepala memasuki pelvis.Bila koreksi tidak berhasil lakukan SC
Irmansyah, Frizar. Malpresentasi dan Malposisi
Presentasi Bokong • Bila bokong merupakan bagian terendah janin • Ada 3 macam presentasi bokong: complete breech(bokong sempurna), Frank breech(bokong murni), incomplete breech • Partus lama merupakan indikasi utk melakukan SC, karena kelainan kemajuan persalinan merupakan salah satu tanda disproporsi • Etiologi • Multiparitas, hamil kembar, hidramnion, hidrosefal, plasenta previa, CPD
Irmansyah, Frizar. Malpresentasi dan Malposisi
Letak Lintang • • • • • •
Persalinan akan macet Lakukan versi luar bila permulaan inpartu dan ketuban intak Bila ada kontraindikasi versi luar lakukan SC Lakukan pengawasan adanya prolaps funikuli Dapat terjadi ruptura uteri Dalam obsteri modern, pada letak lintang inpartu dilakukan SC walaupun janin mati
Irmansyah, Frizar. Malpresentasi dan Malposisi
77. Taksiran usia janin
78. Bartholin Cyst • Bartholin cyst
• Bartholin abscess
– If the orifice of the Bartholin duct becomes obstructed, mucous produced by the gland accumulates, leading to cystic dilation proximal to the obstruction. – Obstruction is often caused by local or diffuse vulvar edema. – Bartholin cysts are usually sterile and the gland is not affected.
Uptodate.com
– An obstructed Bartholin duct can become infected and form an abscess
Clinical Presentation •
Bartholin cyst : – Unilateral, 1-3 cm – typically painless, and may be asymptomatic or mild pain – Most Bartholin cysts are detected during a routine pelvic examination or by the woman herself. – Larger cysts discomfort, typically during sexual intercourse, sitting, or ambulating. – Patients may also find the presence of a cyst to be disfiguring, even in the absence of symptoms. – Cysts are likely to have clear or white fluid.
•
Bartholin abscesses : – typically present with such severe pain and swelling and patients are unable to walk, sit, or have sexual intercourse. – Abscesses have a purulent discharge that is typically yellow or green – Fever - One-fifth of patients with abscess are febrile – Unilateral, warm, tender, soft, or fluctuant mass in the lower medial labia majora or lower vestibular area, occasionally surrounded by erythema (cellulitis) and edema (lymphangitis). – A large abscess, however, can expand into the upper labia. – If the abscess is very close to the surface, pus may break through the thin layer of skin at a point (pointing) and may drain spontaneously.
Treatment • Cyst – No intervention is necessary for asymptomatic Bartholin cysts. – A possible exception to this is women age 40 years or older, for whom some experts suggest incision and drainage (I&D) to allow a biopsy to exclude carcinoma. – Cysts that are disfiguring or symptomatic are treated is the same manner as a Bartholin abscess.
• Abscess – The mainstay of treatment is I&D (Insicion and Drainage) with placement of a Word catheter, under local anesthesia. – Immediate pain relief occurs upon drainage of pus. – Antibiotic therapy is only given in patients with risk factors or clinical findings indicative of a more severe infection or for recurrent abscesses. – Marsupialization refers to a procedure whereby a new ductal orifice is created. • This is achieved by incising the cyst/abscess and then everting and suturing the epithelium to the skin at the edge of the incision.
Kista Pada Alat Reproduksi Wanita Kista Bartholin
Kista pada kelenjar bartholin yang terletak di kiri-kanan bawah vagina,di belakang labium mayor. Terjadi karena sumbatan muara kelenjar e.c trauma atau infeksi
Kista Nabothi (ovula)
Terbentuk karena proses metaplasia skuamosa, jaringan endoserviks diganti dengan epitel berlapis gepeng. Ukuran bbrp mm, sedikit menonjol dengan permukaan licin (tampak spt beras)
Polip Serviks
Tumor dari endoserviks yang tumbuh berlebihan dan bertangkai, ukuran bbrp mm, kemerahan, rapuh. Kadang tangkai panjang sampai menonjol dari kanalis servikalis ke vagina dan bahkan sampai introitus. Tangkai mengandung jar.fibrovaskuler, sedangkan polip mengalami peradangan dengan metaplasia skuamosa atau ulserasi dan perdarahan.
Karsinoma Serviks
Tumor ganas dari jaringan serviks. Tampak massa yang berbenjolbenjol, rapuh, mudah berdarah pada serviks. Pada tahap awal menunjukkan suatu displasia atau lesi in-situ hingga invasif.
Mioma Geburt
Mioma korpus uteri submukosa yang bertangkai, sering mengalami nekrosis dan ulserasi.
79. Partograf Tujuan Utama
Tidak boleh digunakan pada:
• Mencatat hasil observasi dan menilai kemajuan persalinan • Mendeteksi apakah persalinan berjalan normal atau terdapat • penyimpangan, dengan demikian dapat melakukan deteksi dini setiap kemungkinan terjadinya partus lama
1. Wanita pendek, tinggi kurang dari 145 cm 2. Perdarahan antepartum 3. Pre-eklampsia – eklampsia 4. Persalinan prematur 5. Bekas sectio sesarea 6. Kehamilan ganda 7. Kelainan letak janin 8. Fetal distress 9. Dugaan distosia karena panggul sempit
Partograf: Umum • Denyut jantung janin: setiap 1⁄2 jam • Frekuensi dan lamanya kontraksi uterus: setiap 1⁄2 jam • Nadi: setiap 1⁄2 jam • Pembukaan serviks: setiap 4 jam • Penurunan: setiap 4 jam • Tekanan darah dan temperatur tubuh: setiap 4 jam • Produksi urin, aseton dan protein: setiap 2-4 jam
Partograf: Pencatatan Kondisi Bayi •
Denyut jantung janin: setiap 1⁄2 jam – DJJ Normal: 110-160 x/menit
•
Menilai Air Ketuban – U : selaput ketuban utuh (belum pecah) – J : selaput ketuban telah pecah dan air ketuban jernih – M : selaput ketuban telah pecah dan air ketuban bercampur mekonium – D : selaput ketuban telah pecah dan air ketuban bercampur darah – K : selaput ketuban telah pecah dan air ketuban kering (tidak mengalir lagi)
•
Molase Tulang Kepala Janin – Semakin besar penyusupan semakin besar kemungkinan disporposi kepala panggul. Lambang yang digunakan: • 0: tulang –tulang kepala janin terpisah, sutura mudah dipalpasi • 1: tulang-tulang kepa janin sudah saling bersentuhan • 2: tulang-tulang kepala janin saling tumpang tindih tapi masih bisa dipisahkan • 3: tulang-tulang kepala janin saling tumpang tindih dan tidak dapat dipisahkan
Partograf: Kemajuan Persalinan •
Pembukaan Serviks – Angka pada kolom kiri 0-10 pembukaan serviks – Menggunakan tanda X pada titik silang antara angka yang sesuai dengan temuan pertama pembukaan serviks pada fase aktif dengan garis waspada – Hubungan tanda X dengan garis lurus tidak terputus
•
Penurunan bagian terbawah janin – Tulisan “turunnya kepala” dan garis tidak terputus dari 0-5 pada sisi yang sama dengan angka pembukaan serviks – Berikan tanda “●” pada waktu yang sesuai dan hubungkan dengan garis lurus.
• Garis waspada – Jika pembukaan serviks mengarah ke sebelah kanan garis waspada waspadai kemungkinan adanya penyulit persalinan – Jika persalinan telah berada di sebelah kanan garis bertindak yang sejajar dengan garis waspada perlu segera dilakukan tindakan penyelesaian persalinan
•
Garis bertindak dan waktu – Waktu mulainya fase aktif persalinan diberi angka 1-16, setiap kotak: 1 jam yang digunakan untuk menentukan lamanya proses persalinan telah berlangsung – Waktu aktual saat pemeriksaan merupakan kotak kosong di bawahnya yang harus diisi dengan waktu yang sebenarnya saat kita melakukan pemeriksaan
Partograf: Kontraksi Uterus • Terdapat lima kotak mendatar untuk kontraksi • Pemeriksaan dilakukan setiap 30 menit, raba dan catat jumlah dan durasi kontaksi dalam 10 menit • Misal jika dalam 10 menit ada 3 kontraksi yang lamanya 20 setik maka arsirlah angka tiga kebawah dengan warna arsiran yang sesuai untuk menggambarkan kontraksi 20 detik (arsiran paling muda warnanya)
Partograf • Obat-obatan dan cairan yang diberikan – Catat obat dan cairan yang diberikan di kolom yang sesuai. Untuk oksitosin dicantumkan jumlah tetesan dan unit yang diberikan
• Kondisi Ibu – Catat nadi ibu setiap 30 menit dan beri tanda titik pada kolom yang sesuai. Ukur tekanan darah ibu tiap 10 menit dan beri tanda ↕ pada kolom yang sesuai. Temperatur dinilai setiap dua jam dan catat di tempat yang sesuai
• Volume urine, protein dan aseton – Lakukan tiap 2 jam jika memungkinkan
80. Konseling kb • Prinsip pelayanan kontrasepsi saat ini adalah memberikan kemandirian pada ibu dan pasangan untuk memilih metode yang diinginkan. • Pemberi pelayanan berperan sebagai konselor dan fasilitator, sesuai langkah-langkah di bawah ini. 1. Jalin komunikasi yang baik dengan ibu – Beri salam kepada ibu, tersenyum, perkenalkan diri Anda. – Gunakan komunikasi verbal dan non-verbal sebagai awal interaksi dua arah. – Tanya ibu tentang identitas dan keinginannya pada kunjungan ini. 2. Nilailah kebutuhan dan kondisi ibu – Tanyakan tujuan ibu berkontrasepsi dan jelaskan pilihan metode yang dapat diguakan untuk tujuan tersebut. – Tanyakan juga apa ibu sudah memikirkan pilihan metode tertentu. Buku pelayanan Kesehatan Ibu di Faskes Dasar dan Rujukan. 2013.
Vasektomi Permanen Tubektomi
IUD Berbantu Barrier
Kondom/ diafragma Spermisida
Metode Kontrasepsi
Sementara Implan MAL Hormonal Alami
Pil/suntik
Pantang berkala
Kondar Senggama terputus
KB: Metode Barrier • Menghalangi bertemunya sperma dan sel telur • Efektivitas: 98 % • Mencegah penularan PMS • Efek samping – Dapat memicu reaksi alergi lateks, ISK dan keputihan (diafragma)
• Harus sedia sebelum berhubungan
Kontrasepsi Hormonal No
Jenis kontrasepsi
Mekanisme Kerja
1
Pil Kombinasi
menekan ovulasi, mencegah implantasi, mengentalkan lendir serviks sehingga sulit dilalui oleh sperma, dan menganggu pergerakan tuba sehingga transportasi telur terganggu
2
Pil progestin
Supresi ovulasi, menekan puncak LH dan FSH, meningkatkan kekentalan lendir servix, menurunkan jumlah dan ukuran kelenjar endometrium, menurunkan motilitas cilia di tuba falopi
3
Suntik kombinasi
menekan ovulasi, mengentalkan lendir serviks sehingga penetrasi sperma terganggu, atrofi pada endometrium sehingga implantasi terganggu, dan menghambat transportasi gamet oleh tuba. Suntikan ini diberikan sekali tiap bulan
4.
Suntik Progestin
Kerja utama mencegah ovulasi dengan menekan FSH dan LH serta LH surge
5.
Implan
Kombinasi antara supresi LH surge, supresi ovulasi, mengentalkan lendir servix, mencegah pertumbuhan dan perkembangan endometrium
Jenis Progestin pada Kontrasepsi No.
Generasi
Jenis
1
Generasi pertama
• • • •
2
Generasi kedua
• Norgestrel • Levonorgestrel
3
Generasi ketiga
• Desogesthrel • Gestodene • Norgestimate
4
Generasi keempat
• Drospirenone • Cyproterone acetate
Norethindrone acetate Ethynodiol diacetate Lynestrenol Norethynodrel
Pil kontrasepsi kombinasi (esterogen dan progesteron) No.
Jenis Esterogen
Jenis Progesteron
1
Etinil estradiol 30 mcg
Levonorgestrel
2
Etinil estradiol 35 mcg
Cyproterone acetate
3
Etinil estradiol 30 mcg
Drospirenone
4
Etinil estradiol 20 mcg
Drospirenone
Metode Hormonal: Pil & Suntikan Kombinasi • Jenis Pil Kombinasi – Monofasik (21 tab): E/P dalam dosis yang sama, dengan 7 tablet tanpa hormon aktif (placebo). – Bifasik (21 tab): E/P dengan dua dosis yang berbeda, dengan 7 tablet tanpa hormon aktif. – Trifasik (21 tab) : E/P dengan tiga dosis yang berbeda, dengan 7 tablet tanpa hormon aktif
• Jenis Suntikan Kombinasi – 25mg Depo Medroksiprogesteron Asetat + 5 mg Estradiol Sipionat, IM sebulan sekali – 50mg Noretindron Enantat + 5 mg Estradiol Valerat, IM sebulan sekali
Metode Hormonal: Pil dan Suntikan Progestin
Pil & Suntikan Kombinasi
•
Pil Progestin – Isi 35 pil: 300 µg levonorgestrel atau 350 µg noretindron – Isi 28 pil: 75 µg norgestrel – Contoh • Micrinor, NOR-QD, noriday, norod (0,35 mg noretindron) • Microval, noregeston, microlut (0,03 mg levonogestrol) • Ourette, noegest (0,5 mg norgestrel) • Exluton (0,5 mg linestrenol) • Femulen (0,5 mg etinodial diassetat)
• Suntikan Progestin – Depo Medroksiprogesteron Asetat (Depo Provera) 150mg DMPA, IM di bokong/ 3 bulan – Depo Norestisteron Enantat (Depo Norissterat) 200mg Noretdron Enantat,IM di bokong/ 2 bulan
Metode Hormonal: Implan • Implan (Saifuddin, 2006)
• Cara Kerja • menekan ovulasi, – Norplant: 36 mg levonorgestrel dan lama mengentalkan lendir kerjanya 5 tahun. serviks, menjadikan selaput rahim tipis dan atrofi, dan mengurangi transportasi sperma – Implanon: 68 mg ketodesogestrel dan lama kerjanya 3 tahun.
– Jadena dan Indoplant: 75 mg levonorgestrel dengan lama kerja 3 tahun
• Efek Samping • Serupa dengan hormonal pil dan suntikan • Kontra Indikasi • Serupa dengan hormonal pil dan suntikan
KB: Metode IUD •
Cara Kerja – Menghambat kemampuan sperma untuk masuk ke tuba falopii – Mempengaruhi fertilisasi sebelum ovum mencapai kavum uteri – Mencegah implantasi hasil konsepsi kedalam rahim
• Efek Samping – Nyeri perut, spotting, infeksi, gangguan haid
• Kontra Indikasi •
Hamil, kelainan alat kandungan bagian dalam, perdarahan vagina yang tidak diketahui, sedang menderita infeksi alat genital (vaginitis, servisitis), tiga bulan terakhir sedang mengalami atau sering menderita PRP atau abortus septik, penyakit trofoblas yang ganas, diketahui menderita TBC pelvik, kanker alat genital, ukuran rongga rahim kurang dari 5 cm
EPO. (2008). Alat Kontrasepsi Dalam Rahim atau Intra Uterine Device (IUD). Diambil pada tanggal 20 Mei 2008 dari http://pikas.bkkbn.go.id/jabar/program_detail.php?prgid=2
KB Mantap Definisi •
•
Menutup tuba falopii (mengikat dan memotong atau memasang cincin), sehingga sperma tidak dapat bertemu dengan ovum oklusi vasa deferens sehingga alur transportasi sperma terhambat dan proses fertilisasi tidak terjadi
Efek Samping •
Nyeri pasca operasi
Kerugian •
Infertilitas bersifat permanen
KB: Metode Alami • Menghitung masa subur – Periode: (siklus menstruasi terpendek – 18) dan (siklus menstruasi terpanjang 11) – Menggunakan 3 – 6 bulan siklus menstruasi
• Mengukur suhu basal tubuh (pagi hari) • Saat ovulasi: suhu tubuh akan meningkat 1-2° C
KB: Metode Alami • Metode Amenorea Laktasi
•
Mekanisme: – pemberian Air Susu Ibu (ASI) eksklusif untuk menekan ovulasi. – Metode ini memiliki tiga syarat yang harus dipenuhi: • Ibu belum mengalami haid lagi • Bayi disusui secara eksklusif dan sering, sepanjang siang dan malam • • Bayi berusia kurang dari 6 bulan
• Efektivitas: – Risiko kehamilan tinggi bila ibu tidak menyusui bayinya secara benar. – Bila dilakukan secara benar, risiko kehamilan kurang dari 1 di antara 100 ibu dalam 6 bulan setelah persalinan.
Keuntungan khusus bagi kesehatan: – Mendorong pola menyusui yang benar, sehingga membawa – manfaat bagi ibu dan bayi.
•
Risiko bagi kesehatan: – Tidak ada.
•
Efek samping: – Tidak ada.
• Mengapa beberapa orang menyukainya: – Metode alamiah, mendorong kebiasaan menyusui, dan tidak perlu biaya.
KB: Kontrasepsi Pasca Persalinan • Pada klien yang tidak menyusui, masa infertilitas rata-rata sekitar 6 minggu • Pada klien yang menyusui, masa infertilitas lebih lama, namun, kembalinya kesuburan tidak dapat diperkirakan • Metode yang langsung dapat digunakan adalah : Spermisida Kondom Koitus Interuptus
KB: Kontrasepsi Pasca Persalinan Metode
MAL
Waktu Pascapersalinan
Mulai segera
Ciri Khusus
•
Manfaat kesehatan bagi ibu dan bayi
Catatan
• •
Kontrasepsi Kombinasi
• •
Kontrasepsi Progestin
•
•
Jangan sebelum 68mg pascapersalinan Jika tidak menyusui dapat dimulai 3mg pascapersalinan
• •
Bila menyusui, jangan mulai sebelum 6mg pascapersalinan Bila tidak menyusui dapat segera dimulai
•
•
Akan mengurangi ASI Selama 6-8mg pascapersalinan mengganggu tumbuh kembang bayi
•
Selama 6mg pertama pascapersalinan, progestin mempengaruhi tumbuh kembang bayi Tidak ada pengaruh pada ASI
•
• •
Harus benar-benar ASI eksklusif Efektivitas berkurang jika sudah mulai suplementasi Merupakan pilihan terakhir bagi klien yang menyusui Dapat diberikan pada klien dgn riw.preeklamsia Sesudah 3mg pascapersalinan akan meningkatkan resiko pembekuan darah Perdarahan ireguler dapat terjadi
KB: Kontrasepsi Pasca Persalinan Metode
Waktu Pascapersalinan
Ciri Khusus
Catatan
AKDR
• Dapat dipasang langsung pascapersalinan
• Tidak ada pengaruh • Insersi postplasental terhadap ASI memerlukan petugas • Efek samping lebih terlatih khusus sedikit pada klien yang menyusui
Kondom/S permisida
• Dapat digunakan setiap saat pascapersalinan
Tidak pengaruh terhadap laktasi
Sebaiknya dengan kondom dengan pelicin
Diafragma
Tunggu sampai 6mg pascapersalinan
• Tidak ada pengaruh terhadap laktasi
• Perlu pemeriksaan dalam oleh petugas
• Tidak ada pengaruh terhadap laktasi
• Suhu basal tubuh kurang akurat jika klien sering terbangun malam untuk menyusui
KB Alamiah • Tidak dianjurkan sampai siklus haid kembali teratur
KB: Usia > 35 Tahun Metode
Catatan
Pil/suntik Kombinasi
• Tidak untuk perokok • Dapat digunakan sebagai terapi sulih hormon pada masa perimenopause
Kontrasepsi Progestin (implan, pil, suntikan)
• Dapat digunakan pada masa perimenopause (40-50 tahun) • Dapat untuk perokok • Implan cocok untuk kontrasepsi jangka panjang yang belum siap dengan kontap
AKDR
• Tidak terpapar pada infeksi saluran reproduksi dan IMS • Sangat efektif, tidak perlu tindak lanjut, efek jangka panjang
Kondom
• Satu-satunya metode kontrasepsi yang dapat mencegah infeksi saluran reproduksi dan IMS • Perlu motivasi tinggi bagi pasangan untuk mencegah kehamilan
Kontrasepsi Mantap
Benar-benar tidak ingin tambahan anak lagi
81. Kontrasepsi Darurat • kontrasepsi yang digunakan untuk mencegah kehamilan setelah senggama tanpa pelindung atau tanpa pemakaian kontrasepsi yang tepat dan konsisten sebelumnya • Indikasi penggunaan kontrasepsi darurat misalnya: – Perkosaan – Sanggama tanpa menggunakan kontrasepsi – Pemakaian kontrasepsi tidak benar atau tidak konsisten: • Kondom bocor, lepas atau salah digunakan • Diafragma pecah, robek, tau diangkat terlalu cepat • Sanggama terputus gagal dilakukan sehingga ejakulasi terjadi di vagina atau genitalia eksterna • Salah hitung masa subur • AKDR ekspulsi (terlepas) • Lupa minum pil KB lebih dari 2 tablet • Terlambat suntik progesti lebih dari 2 minggu atau terlambat suntik kombinasi lebih dari 7 hari
• Kontrasepsi darurat dapat bermanfaat bila digunakan dalam 5 hari pertama, namun lebih efektif bila dikonsumsi sesegera mungkin. Kontrasepsi darurat sangat efektif, dengan tingkat kehamilan <3%. • Efek samping: – mual, muntah (bila terjadi dalam 2 jam pertama sesudah minum pil pertama atau kedua, berikan dosis ulangan), perdarahan/bercak.
Mekanisme kerja Kondar • Kontrasepsi darurat hormonal kombinasi ataupun progestin levonorgestrel memiliki mekanisme kerja utama yaitu : – Mencegah atau menunda ovulasi mekanisme kerja yang terpenting. Sangat berperan bila diminum pada hari – hari sebelum terjadi ovulasi. – Menghambat kemampuan endometrium untuk menerima implantasi dari hasil konsepsi – Mengganggu fungsi korpus luteum – Mengentalkan lendir servix sperma terperangkap – Mengubah dan menghambat transportasi di tuba, sehingga ovum sulit untuk bertemu sperma Editorial: Mechanism of action of Emergency contraceptive pills. Elsevier 2006
Kontrasepsi Darurat
Pil KB • Pil KB Andalan diminum di hari pertama haid • Satu tablet setiap hari pada waktu yang sama untuk mengurangi kemungkinan efek samping • Bila lupa minum 1 butir pil hormonal (berwarna kuning) harus minum 2 butir pil hormonal segera setelah Anda mengingatnya • Apabila lupa meminum 2 butir/ lebih pil hormonal (berwarna kuning) minum 2 pilselama 2 hari berturut-turut dan+ gunakan kondom bila melakukan hubungan seksual atau hindari hubungan seksual selama 7 hari • Apabila lupa meminum 1 butir pil pengingat (berwarna putih) maka buang pil pengingat yang terlupakan
82. Abortus • Definisi: – ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup di luar kandungan. – WHO IMPAC menetapkan batas usia kehamilan kurang dari 22 minggu, namun beberapa acuan terbaru menetapkan batas usia kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin kurang dari 500 gram
Abortus • Diagnosis dengan bantuan USG – – – – –
Perdarahan pervaginam (bercak hingga berjumlah banyak) Perut nyeri & kaku Pengeluaran sebagian produk konsepsi Serviks dapat tertutup/ terbuka Ukuran uterus lebih kecil dari yang seharusnya
• Faktor Predisposisi Abortus Spontan – Faktor dari janin: kelainan genetik (kromosom) – Faktor dari ibu: infeksi, kelainan hormonal (hipotiroidisme, DM), malnutrisi, obat-obatan, merokok, konsumsi alkohol, faktor immunologis & defek anatomis seperti uterus didelfis, inkompetensia serviks, dan sinekhiae uteri karena sindrom Asherman – Faktor dari ayah: Kelainan sperma Depkes RI. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu di Fasilitas Kesehatan Dasar dan Rujukan. Bakti Husada
Jenis Abortus
Abortus Imminens
Abortus Komplit
Abortus Insipiens
Abortus Inkomplit
Missed Abortion
Abortus: Tatalaksana Umum • Lakukan penilaian secara cepat mengenai keadaan umum ibu termasuk tanda-tanda vital (nadi, tekanan darah, pernapasan, suhu). • Periksa tanda-tanda syok (akral dingin, pucat, takikardi, tekanan sistolik <90 mmHg). Jika terdapat syok, lakukan tatalaksana awal syok • Jika tidak terlihat tanda-tanda syok, tetap pikirkan kemungkinan tersebut saat penolong melakukan evaluasi mengenai kondisi ibu karena kondisinya dapat memburuk dengan cepat • Bila terdapat tanda-tanda sepsis atau dugaan abortus dengan komplikasi, berikan kombinasi antibiotika sampai ibu bebas demam untuk 48 jam: – Ampicillin 2 g IV/IM kemudian 1 g diberikan setiap 6 jam – Gentamicin 5 mg/kgBB IV setiap 24 jam – Metronidazol 500 mg IV setiap 8 jam
• Segera rujuk ibu ke rumah sakit . • Semua ibu yang mengalami abortus perlu mendapat dukungan emosional dan konseling kontrasepsi pasca keguguran. • Lakukan tatalaksana selanjutnya sesuai jenis abortus
Tatalaksana Abortus Imminens • Pertahankan kehamilan. • Tidak perlu pengobatan khusus. • Jangan melakukan aktivitas fisik berlebihan atau hubungan seksual. • Jika perdarahan berhenti, pantau kondisi ibu selanjutnya pada pemeriksaan antenatal termasuk pemantauan kadar Hb dan USG panggul serial setiap 4 minggu. Lakukan penilaian ulang bila perdarahan terjadi lagi. • Jika perdarahan tidak berhenti, nilai kondisi janin dengan USG. Nilai kemungkinan adanya penyebab lain.
Tatalaksana Abortus Insipiens •
Jika usia kehamilan kurang dari 16 minggu: lakukan evakuasi isi uterus (dengaan AVM) Jika evakuasi tidak dapat dilakukan segera: – Berikan ergometrin 0,2 mg IM (dapat diulang 15 menit kemudian bila perlu) – Rencanakan evakuasi segera.
•
Jika usia kehamilan lebih dari 16 minggu: – Tunggu pengeluaran hasil konsepsi secara spontan dan evakuasi sisa hasil konsepsi dari dalam uterus (lakukan dengan AVM). – Bila perlu, berikan infus 40 IU oksitosin dalam 1 liter NaCl 0,9% atau Ringer Laktat dengan kecepatan 40 tetes per menit untuk membantu pengeluaran hasil konsepsi
• •
•
Lakukan pemantauan pascatindakan setiap 30 menit selama 2 jam. Bila kondisi ibu baik, pindahkan ibu ke ruang rawat. Lakukan pemeriksaan jaringan secara makroskopik dan kirimkan untuk pemeriksaan patologi ke laboratorium. Lakukan evaluasi tanda vital, perdarahan pervaginam, tanda akut abdomen, dan produksi urin setiap 6 jam selama 24 jam. Periksa kadar hemoglobin setelah 24 jam. Bila hasil pemantauan baik dan kadar Hb >8 g/dl, ibu dapat diperbolehkan pulang.
Tatalaksana Abortus Inkomplit •
•
•
Jika perdarahan ringan atau sedang dan kehamilan usia kehamilan kurang dari 16 minggu, gunakan jari atau forsep cincin untuk mengeluarkan hasil konsepsi yang mencuat dari serviks. Jika perdarahan berat dan usia kehamilan kurang dari 16 minggu, lakukan evakuasi isi uterus. Aspirasi vakum manual (AVM) adalah metode yang dianjurkan. Kuret tajam sebaiknya hanya dilakukan bila AVM tidak tersedia. Jika evakuasi tidak dapat segera dilakukan, berikan ergometrin 0,2 mg IM (dapat diulang 15 menit kemudian bila perlu). Jika usia kehamilan lebih dari 16 minggu, berikan infus 40 IU oksitosin dalam 1 liter NaCl 0,9% atau Ringer Laktat dengan kecepatan 40 tetes per menit untuk membantu pengeluaran hasil konsepsi. – Lebih disarankan untuk memakai kuret tajam jika usia kehamilan >16 minggu
• •
•
Lakukan evaluasi tanda vital pascatindakan setiap 30 menit selama 2 jam. Bila kondisi ibu baik, pindahkan ibu ke ruang rawat. Lakukan pemeriksaan jaringan secara makroskopik dan kirimkan untuk pemeriksaan patologi ke laboratorium. Lakukan evaluasi tanda vital, perdarahan pervaginam, tanda akut abdomen, dan produksi urin setiap 6 jam selama 24 jam. Periksa kadar hemoglobin setelah 24 jam. BIla hasil pemantauan baik dan kadar Hb >8 g/dl, ibu dapat diperbolehkan pulang
Tatalaksana Abortus Komplit • Tidak diperlukan evakuasi lagi. • Konseling untuk memberikan dukungan emosional dan menawarkan KB pasca keguguran. • Observasi keadaan ibu. • Apabila terdapat anemia sedang, berikan tablet sulfas ferosus 600 mg/hari selama 2 minggu, jika anemia berat berikan transfusi darah. • Evaluasi keadaan ibu setelah 2 minggu.
83. Kehamilan Ektopik Terganggu • Kehamilan yang terjadi diluar kavum uteri • Gejala/Tanda: – Riwayat terlambat haid/gejala & tanda hamil – Akut abdomen – Perdarahan pervaginam (bisa tidak ada) – Keadaan umum: bisa baik hingga syok – Kadang disertai febris
Neurologic basis for abdominal pain in Ectopic Pregnancy • Pain receptors in the abdomen respond to mechanical and chemical stimuli. • Ectopic pregnancies usually occur in the fallopian tube, but sometimes within the cervical canal or a cesarean delivery scar. • Clinical manifestations are usually related to free blood in the peritoneal cavity due to extrauterine pregnancy rupture or bleeding, and vary depending upon the location
KET
Darah mengiritasi peritoneum
Saraf simpatis bekerja
Nyeri
Diagnosis • The main goals and steps of the evaluation of a woman with a suspected ectopic pregnancy are: – Confirm that the patient is pregnant. – Evaluate the patient for hemodynamic instability, since rupture of the structure in which the ectopic pregnancy is implanted may cause hemorrhage. Failure to diagnose ectopic pregnancy before tubal rupture limits the treatment options and increases maternal morbidity and mortality. – Determine whether the pregnancy is intrauterine or ectopic (in rare cases, the pregnancy is heterotopic). Determine the site of the ectopic pregnancy USG – Determine whether the structure in which the pregnancy is implanted (most commonly, the fallopian tube) has ruptured and whether the patient is hemodynamically stable. – Perform additional testing to guide further management (eg, blood type and antibody screen, pretreatment testing for methotrexate therapy). Uptodate.com
KET: Kuldosentesis • Teknik untuk mengidentifikasi hemoperitoneum • Serviks ditarik kearah simfisis menggunakan tenakulum jarum 16-18 G dimasukkan lewat forniks posterior kearah cul-de-sac • Cairan yang mengandung gumpalan darah, atau cairan bercampur darah sesuai dengan diagnosis hemoperitoneum akibat kehamilan ektopik
KET: Tatalaksana Tatalaksana Umum • Restorasi cairan tubuh dengan cairan kristaloid NaCl 0,9% atau RL (500 mL dalam 15 menit pertama) atau 2 L dalam 2 jam pertama • Segera rujuk ibu ke RS
Tatalaksana Khusus • Laparotomi: eksplorasi kedua ovarium dan tuba fallopii • Jika terjadi kerusakan berat pada tuba, lakukan salpingektomi (eksisi bagian tuba yang mengandung hasil konsepsi) • Jika terjadi kerusakan ringan pada tuba, usahakan melakukan salpingostomi untuk mempertahankan tuba (hasil konsepsi dikeluarkan, tuba dipertahankan)
• Sebelum memulangkan pasien, berikan konseling untuk penggunaan kontrasepsi. Jadwalkan kunjungan ulang setelah 4 minggu • Atasi anemia dengan pemberian tablet besi sulfas ferosus 60 mg/hari selama 6 bulan Buku Saku Pelayanan Kesehatan Ibu, WHO
84. Fisiologi Menyusui • Reflek Prolaktin Bayi mulai menyusu (rangsangan fisik) sinyalsinyal ke kelenjar hipotalamus di otak (hipofise anterior) untuk menghasilkan hormon prolaktin beredar dalam darah dan masuk ke payudara,memerintahkan alveolus untuk memproduksi ASI
• Reflek Let Down (Oksitosin) –Rangsangan isapan bayi hipofise posterior oksitosin peredaran darah rahim menstimulus kontraksi rahim masuk ke payudara untuk memeras ASI –Juga dipengaruhi beberapa faktor seperti psikologis ibu yang bahagia melihat bayinya, mendengar suara bayi,melihat foto bayi,ibu bahagia karena peran serta ayah. Reflek ini juga dihambat oleh faktor stress.
85. Penyakit Trofoblastik Gestasional WHO Classification
Malignant neoplasms of various types of trophoblats
Choriocarcinoma
Placental site trophoblastic tumor Epithilioid trophoblastic tumors
Malformations of the chorionic villi that are predisposed to develop trophoblastic malignacies Hydatidiform moles
Complete
Partial
Invasive
Benign entities that can be confused with with these other lesions Exaggerated placental site Placental site nodule
Mola Hidatidosa • Definisi – Latin: Hidatid tetesan air, Mola Bintik
– Mola Hidatidosa menunjukkan plasenta dengan pertumbuhan abnormal dari vili korionik (membesar, edem, dan vili vesikular dengan banyak trofoblas proliferatif)
Mola Hidatidosa: Faktor Risiko • Usia ibu < 20 tahun atau > 35 tahun • Pernah mengalami kehamilan mola sebelumnya • Risiko meningkat sesuai dengan jumlah abortus spontan • Wanita dengan golongan darah A lebih berpotensi menderita koriokarsinoma, tapi bukan mola hidatidosa
Mola Hidatidosa: Faktor Risiko • Usia ibu < 20 tahun atau > 35 tahun • Pernah mengalami kehamilan mola sebelumnya • Risiko meningkat sesuai dengan jumlah abortus spontan • Wanita dengan golongan darah A lebih berpotensi menderita koriokarsinoma, tapi bukan mola hidatidosa
Mola Hidatidosa: Manifestasi Klinis T I P E KO M P L I T • Perdarahan pervaginam setelah amenorea • Uterus membesar secara abnormal dan menjadi lunak • Hipertiroidism • Kista ovarium lutein • Hiperemesis dan pregnancy induced hypertension •
Peningkatan hCG 100,000 mIU/mL
• •
• •
T I P E PA R S I A L Seperti tipe komplit hanya lebih ringan Biasanya didiagnosis sebagai aborsi inkomplit/ missed abortion Uterus kecil atau sesuai usia kehamilan Tanpa kista lutein
Mola Hidatidosa: Diagnosis • Pemeriksaan kadar hCG sangat tinggi, tidak sesuai usia kehamilan
• Pemeriksaan USG ditemukan adanya gambaran vesikuler atau badai salju – Komplit: badai salju – Partial: terdapat bakal janin dan plasenta
• Pemeriksaan Doppler tidak ditemukan adanya denyut jantung janin
Mola Hidatidosa: Tatalaksana Tatalaksana Kuret • Kuretase dengan kuret tumpul seluruh jaringan hasil kerokan di PA • 7-10 hari sesudahnya kerokan ulangan dengan kuret tajam, agar ada kepastian bahwa uterus betul-betul kosong dan untuk memeriksa tingkat proliferasi sisa-sisa trofoblas yang dapat ditemukan
IKK & FO R E N S I K
86. DESAIN PENELITIAN STUDY DESIGNS
Descriptive
Analytical
Case report (E.g. Cholera)
Observational
Experimental
Case series Cross-sectional
1. 2. 3. 4.
Cross-sectional Cohort Case-control Ecological
Clinical trial (parc vs. aspirin in Foresterhill)
Field trial (preventive programmes )
Prinsip Desain Studi Analitik Observasional Cross-sectional – Pajanan/ faktor risiko dan outcome dinilai dalam waktu yang bersamaan. Cohort study – Individu dengan pajanan/ faktor risiko diketahui, diikuti sampai waktu tertentu, kemudian dinilai apakah outcome terjadi atau tidak. Case-control study – Individu dengan outcome diketahui, kemudian digali riwayat masa lalunya apakah memiliki pajanan/ faktor risiko atau tidak.
Prinsip Desain Studi Analitik Observasional PAST
PRESENT
FUTURE
Time Assess exposure and outcome
Cross -sectional study Case -control study
Assess exposure
Known exposure
Prospective cohort Retrospective cohort
Known outcome
Known exposure
Assess outcome
Assess outcome
Contoh: Penelitian ingin mengetahui Hubungan ASI Eksklusif dengan Diare pada Anak 1-3 tahun • Bila menggunakan desain cross sectional, maka dalam satu waktu peneliti mengumpulkan data semua anak berusia 1-3 tahun dan ditanyakan apakah mendapat ASI eksklusif dan berapa frekuensi diare selama ini secara bersamaan. • Bila menggunakan desain case control, dimulai dengan peneliti menentukan subyek anak 1-3 tahun yang pernah mengalami diare dengan yang tidak pernah mengalami diare. Kemudian ibu diwawancara apakah sebelumnya memberi ASI eksklusif atau tidak.
Contoh: Penelitian ingin mengetahui Hubungan ASI Eksklusif dengan Diare pada Anak 1-3 tahun • Bila menggunakan desain kohort (prospektif), maka dimulai dengan peneliti mengumpulkan subyek penelitian berusia 6 bulan yang diberi ASI eksklusif dan yang tidak diberi ASI eksklusif. Kemudian, subyek tersebut diamati selama 1 tahun untuk dilihat apakah mengalami diare atau tidak. • Bila menggunakan desain kohort (retrospektif), dari catatan rekam medis RS tahun 2015 dimulai dengan dikumpulkan data bayi yang diberi ASI eksklusif dan yang tidak diberi ASI eksklusif. Kemudian rekam medis ditelusuri, dari tahun 2015-2016 apakah subyek pernah mengalami diare atau tidak.
Prinsip Kohort
• Studi kohort selalu dimulai dari subyek yang tidak sakit. Kelompok subyek dibagi menjadi subyek yang terpajan dan tidak terpajan. Kemudian dilakukan pengamatan sampai terjadinya penyakit atau sampai waktu yang ditentukan.
Kohort Prospektif vs Retrospektif •
Baik kohort prospektif maupun retrospektif selalu dimulai dari menjadi subyek yang tidak sakit.
•
Kohort prospektif dimulai saat ini dan diikuti ke depan sampai terjadi penyakit.
•
Pada kohort retrospektif, peneliti “kembali ke masa lalu” melalui rekam medik, mencari subyek yang sehat pada tahun tertentu kemudian mengikuti perkembangannya melalui catatan rekam medik hingga terjadinya penyakit.
Desain Cross Sectional KELEBIHAN: • Mengukur angka prevalensi
• Mudah dan cepat • Sumber daya dan dana yang efisien karena pengukuran dilakukan dalam satu waktu
• Kerjasama penelitian (response rate) dengan desain ini umumnya tinggi.
KELEMAHAN: • Sulit membuktikan hubungan sebab-akibat, karena kedua variabel paparan dan outcome direkam bersamaan.
• Desain ini tidak efisien untuk faktor paparan atau penyakit (outcome) yang jarang terjadi.
Desain Case Control KELEBIHAN: • Dapat membuktikan hubungan sebab-akibat. • Tidak menghadapi kendala etik, seperti halnya penelitian kohort dan eksperimental. • Waktu tidak lama, dibandingkan desain kohort. • Mengukur odds ratio (OR).
KEKURANGAN: • Pengukuran variabel secara retrospektif, sehingga rentan terhadap recall bias.
• Kadang sulit untuk memilih subyek kontrol yang memiliki karakter serupa dengan subyek kasus (case)nya.
Desain Kohort KELEBIHAN: • Mengukur angka insidens. • Keseragaman observasi terhadap faktor risiko dari waktu ke waktu sampai terjadi outcome, sehingga merupakan cara yang paling akurat untuk membuktikan hubungan sebab-akibat. • Mengukur Relative Risk (RR).
• •
•
•
KEKURANGAN: Memerlukan waktu penelitian yang relative cukup lama. Memerlukan sarana dan prasarana serta pengolahan data yang lebih rumit. Kemungkinan adanya subyek penelitian yang drop out/ loss to follow up besar. Menyangkut masalah etika karena faktor risiko dari subyek yang diamati sampai terjadinya efek, menimbulkan ketidaknyamanan bagi subyek.
87. JENIS RUJUKAN • Jenis rujukan secara umum dibagi menjadi 2, yaitu: – Rujukan upaya kesehatan individual – Rujukan upaya kesehatan masyarakat
Skema Sistem rujukan Perorangan
RUJUKAN UPAYA KESEHATAN PERORANGAN • Rujukan kasus untuk keperluan diagnostik, pengobatan, tindakan operasi dan lain– lain
RUJUKAN UPAYA KESEHATAN MASYARAKAT • Rujukan sarana berupa bantuan laboratorium dan teknologi kesehatan.
• Rujukan bahan (spesimen) untuk pemeriksaan laboratorium klinik yang lebih lengkap.
• Rujukan tenaga dalam bentuk dukungan tenaga ahli untuk penyidikan, sebab dan asal usul penyakit atau kejadian luar biasa suatu penyakit serta penanggulangannya pada bencana alam, dan lain – lain
• Rujukan ilmu pengetahuan antara lain dengan mendatangkan atau mengirim tenaga yang lebih kompeten atau ahli untuk melakukan tindakan, memberi pelayanan, ahli pengetahuan dan teknologi dalam meningkatkan kualitas pelayanan.
• Rujukan operasional berupa obat, vaksin, pangan pada saat terjadi bencana, pemeriksaan bahan (spesimen) bila terjadi keracunan massal, pemeriksaan air minum penduduk dan sebagainya
Jenis Rujukan Berdasarkan Tingkatannya • Rujukan horizontal : rujukan yang dilakukan antar pelayanan kesehatan dalam satu tingkatan apabila perujuk tidak dapat memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan pasien karena keterbatasan fasilitas, peralatan dan/atau ketenagaan yang sifatnya sementara atau menetap. – Misalya rujukan dari RS tipe B ke RS tipe B lainnya
• Rujukan vertikal adalah rujukan yang dilakukan antar pelayanan kesehatan yang berbeda tingkatan, dapat dilakukan dari tingkat pelayanan yang lebih rendah ke tingkat pelayanan yang lebih tinggi atau sebaliknya. – Misalnya rujukan dari puskesmas ke RS
JENIS RUJUKAN • Interval referral: pelimpahan wewenang dan tanggungjawab penderita sepenuhnya kepada dokter konsultan untuk jangka waktu tertentu, dan selama jangka waktu tersebut dokter tsb tidak ikut menanganinya. • Collateral referral: menyerahkan wewenang dan tanggungjawab penanganan penderita hanya untuk satu masalah kedokteran khusus saja. • Cross referral: menyerahkan wewenang dan tanggungjawab penanganan penderita sepenuhnya kepada dokter lain untuk selamanya. • Split referral: menyerahkan wewenang dan tanggungjawab penanganan penderita sepenuhnya kepada beberapa dokter konsultan, dan selama jangka waktu pelimpahan wewenang dan tanggungjawab tersebut dokter pemberi rujukan tidak ikut campur.
88. TEKNIK SAMPLING
Probability Sampling Techique lebih baik dibanding non-probability • Simple Random Sampling: pengambilan sampel dari semua anggota populasi dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata/tingkatan yang ada dalam populasi itu. • Stratified Sampling: Penentuan sampling tingkat berdasarkan karakteristik tertentu (usia, jenis kelamin, dsb). Misalnya untuk mengambil sampel dipisahkan dulu jenis kelamin pria dan wanita. Baru kemudian dari kelompok pria diambil sampel secara acak, demikian juga dari kelompok wanita.
Probability Sampling Techique lebih baik dibanding non-probability • Cluster Sampling: disebut juga sebagai teknik sampling daerah. Pemilihan sampel berdasarkan daerah yang dipilih secara acak. Contohnya mengambil secara acak 20 kecamatan di Jakarta. Seluruh penduduk dari 20 kecamatan terpilih dijadikan sampel. • Multistage random sampling: teknik sampling yang menggunakan 2 teknik sampling atau lebih secara berturut-turut. Contohnya mengambil secara acak 20 kecamatan di Jakarta (cluster sampling). Kemudian dari masing-masing kecamatan terpilih, diambil 50 sampel secara acak (simple random sampling). • Systematical Sampling anggota sampel dipilh berdasarkan urutan tertentu. Misalnya setiap kelipatan 10 atau 100 dari daftar pegawai disuatu kantor, pengambilan sampel hanya nomor genap atau yang ganjil saja.
Non-probability Sampling • Purposive Sampling: sampel yang dipilih secara khusus berdasarkan tujuan penelitiannya. • Snowball Sampling: Dari sampel yang prevalensinya sedikit ,peneliti mencari informasi sampel lain dari yang dijadikan sampel sebelumnya, sehingga makin lama jumlah sampelnya makin banyak • Quota Sampling:anggota sampel pada suatu tingkat dipilih dengan jumlah tertentu (kuota) dengan ciri-ciri tertentu • Convenience sampling:mengambil sampel sesuka peneliti (kapanpun dan siapapun yang dijumpai peneliti)
When population is small, homogeneous & readily available. All subsets of the frame are given an equal probability.
The frame organized into separate "strata." Each stratum is then sampled as an independent sub-population, out of which individual elements can be randomly selected In this technique, the total population is divided into these groups (or clusters) and a simple random sample of the groups is selected (two stage) Ex. Area sampling or geographical cluster sampling
89. Langkah Menentukan Uji Statistik • Tentukan sifat variabel yang diuji (numerik atau kategorik) • Bila ada variabel yang bersifat numerik, tentukan apakah variabel tersebut terdistribusi normal atau tidak. Atau bila kedua variabel bersifat kategorik, tentukan apakah memenuhi persyaratan uji chi square. Untuk mengerjakan soal UKDI, bila tidak disebutkan, maka diasumsikan bahwa variabel tersebut terdistribusi normal atau memenuhi persyaratan chi square. • Lihat tabel untuk menentukan uji hipotesis apa yang sesuai.
TABEL UJI HIPOTESIS VARIABEL INDEPENDEN
DEPENDEN
Kategorik
Kategorik
Kategorik (2 kategori)
Numerik
Kategorik (>2 kategori)
Numerik
Numerik
Numerik
U J I S TAT I S T I K
Chi square
U J I A LT E R N AT I F Fisher (digunakan untuk tabel 2x2)* Kolmogorov-Smirnov (digunakan untuk tabel bxk)*
T-test independen
Mann-Whitney**
T-test berpasangan
Wilcoxon**
One Way Anova (tdk berpasangan)
Kruskal Wallis**
Repeated Anova (berpasangan) Korelasi Pearson Regresi Linier
Keterangan: * : Digunakan bila persyaratan untuk uji chi square tidak terpenuhi **: Digunakan bila distribusi data numerik tidak normal
Friedman** Korelasi Spearman**
Syarat Uji Chi Square • Tidak ada cell dengan nilai frekuensi kenyataan atau disebut juga Actual Count (F0) sebesar 0 (Nol). • Apabila bentuk tabel kontingensi 2 X 2, maka tidak boleh ada 1 cell saja yang memiliki frekuensi harapan atau disebut juga expected count (“Fh”) kurang dari 5. • Apabila bentuk tabel lebih dari 2 x 2, misak 2 x 3, maka jumlah cell dengan frekuensi harapan yang kurang dari 5 tidak boleh lebih dari 20%. Bila tidak memenuhi salah satu atau lebih persyaratan di atas, maka uji chi square tidak dapat digunakan.
One Sample vs Two Sample T-Test One sample T-test • Mengetahui perbedaan mean (rerata) satu kelompok dibandingkan dengan mean yang sudah ditetapkan peneliti atau mean sudah diketahui di populasi. • Misalnya penelitian tentang mean gula darah sewaktu (GDS) pada pasien DM yang diberi metformin. Contoh pertanyaan penelitiannya adalah: apakah mean GDS pasien DM yang diberi metformin lebih dari 200 mg/dl?
Two Sample T-test • Mengetahui apakah terdapat perbedaan mean antara dua kelompok populasi. • Misalnya penelitian ingin mengetahui apakah terdapat perbedaan mean GDS dari kelompok pasien DM yang diberi metformin dengan kelompok pasien DM yang diberi insulin?
Independent vs Paired T-Test Independent T-test • Prinsipnya adalah setiap subjek hanya dilakukan 1 kali pengukuran.
Paired T-test • Prinsipnya adalah setiap subjek dilakukan pengukuran lebih dari 1 kali.
• Contoh: penelitian obat A dan obat B terhadap kadar kolesterol. Subyek dibagi dua kelompok, kelompok pertama diberi obat A dan kelompok kedua diberi obat B. setelah 3 bulan, tiap subyek diukur kadar kolesterolnya.
• Contoh: penelitian obat A dan obat B terhadap kadar kolesterol. Subyek dibagi dua kelompok, kelompok pertama diberi obat A dan kelompok kedua diberi obat B. Sebelum mulai penelitian, tiaap subyek diukur kadar kolesterolnya. setelah 3 bulan, tiap subyek diukur kadar kolesterolnya lagi.
Korelasi Pearson vs Regresi Linier • Penelitian yang meneliti hubungan antara dua variabel, di mana kedua variabel bersifat numerik, dapat menggunakan korelasi Pearson dan regresi linier. • Korelasi pearson digunakan untuk mengetahui arah dan kekuatan hubungan antara kedua variabel. Sedangkan regresi linier digunakan untuk memprediksi nilai variabel dependen melalui variabel independen (dinyatakan dalam persamaan Y = a + bX).
Korelasi Pearson vs Regresi Linier • Contohnya penelitian ingin mengetahui hubungan berat badan dan tekanan darah. – Hasil uji korelasi Pearson didapatkan r =+0,8, artinya terdapat hubungan kuat bahwa semakin tinggi berat badan, semakin tinggi pula tekanan darah. Sebaliknya, bila didapatkan nilai r=-(0,8), artinya terdapat hubungan kuat bahwa semakin tinggi berat badan, semakin rendah tekanan darah. – Bila menggunakan regresi linier, akan didapatkan persamaan untuk memprediksi nilai tekanan darah melalui berat badan. Misalnya tekanan darah sistolik = 20 + (2 x berat badan).
90. Strategi Promosi Kesehatan
PROMOSI KESEHATAN DI DAERAH BERMASALAH KESEHATAN, Panduan bagi Petugas Kesehatan di Puskesmas. Kemenkes RI. 2011.
• Pemberdayaan – Pemberian informasi dan pendampingan dalam mencegah dan menanggulangi masalah kesehatan. – Individu, keluarga, atau kelompok masyarakat menjalani tahap tahu, mau, dan mampu mempraktikkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS).
• Bina Suasana – Pembentukan suasana lingkungan sosial yang kondusif, mendorong dipraktikkannya PHBS, penciptaan panutan dalam mengadopsi PHBS.
• Advokasi – Pendekatan dan motivasi terhadap pihak-pihak tertentu yang diperhitungkan dapat mendukung keberhasilan pembinaan PHBS baik dari segi materi maupun non materi.
• Kemitraan – Kerjasama antar individu, keluarga, pejabat atau instansi pemerintah yang terkait dengan urusan kesehatan (lintas sektor), pemuka/tokoh masyarakat, media massa, dll.
91-92. VISUM ET REPERTUM (VER) • VeR : Keterangan yang dibuat oleh dokter atas permintaan penyidik yang berwenang mengenai hasil pemeriksaan medis terhadap manusia, baik hidup atau mati untuk kepentingan peradilan. • Dasar: PASAL 133 KUHAP – Dalam hal penyidik untuk kepentingan peradilan menangani seorang korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diduga karena peristiwa yang merupakan tindak pidana, ia berwenang mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter dan atau ahli lainnya
• Pasal 7(1) butir h dan pasal 11 KUHAP: yang berwenang meminta keterangan ahli → penyidik & penyidik pembantu Pengantar Medikolegal, Budi Sampurna
Siapa Yang Berhak Membuat VER? • Dalam pasal 133 KUHAP disebutkan: penyidik berwenang untuk mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya. • Sebenarnya boleh saja seorang dokter yang bukan dokter spesialis forensik membuat dan mengeluarkan visum et repertum.
• Tetapi, di dalam penjelasan pasal 133 KUHAP dikatakan bahwa keterangan ahli yang diberikan oleh dokter spesialis forensik merupakan keterangan ahli, sedangkan yang dibuat oleh dokter selain spesialis forensik disebut keterangan.
Syarat Pembuatan Visum et Repertum Syarat yang menyangkut prosedur yang harus dipenuhi dalam pembuatannya, yaitu: • Permintaan visum et repertum haruslah secara tertulis (sesuai dengan pasal 133 ayat 2 KUHAP) • Pemeriksaan atas mayat dilakukan dengan cara bedah, jika ada keberatan dari pihak keluarga korban, maka pihak polisi atau pemeriksa memberikan penjelasan tentang pentingnya dilakukan bedah mayat. • Permintaan visum et repertum hanya dilakukan terhadap peristiwa pidana yang baru terjadi, tidak dibenarkan permintaan atas peristiwa yang telah lampau. • Polisi wajib menyaksikan dan mengikuti jalannya pemeriksaan. • Isi visum et repertum tidak bertentangan dengan ilmu kedokteran yang telah teruji kebenarannya
Permintaan VeR menurut Ps.133 KUHAP • • • • •
WEWENANG PENYIDIK TERTULIS (RESMI) TERHADAP KORBAN, BUKAN TERSANGKA ADA DUGAAN AKIBAT PERISTIWA PIDANA BILA MAYAT : – IDENTITAS PADA LABEL – JENIS PEMERIKSAAN YANG DIMINTA – DITUJUKAN KEPADA : AHLI KEDOKTERAN FORENSIK / DOKTER DI RUMAH SAKIT Pengantar Medikolegal, Budi Sampurna
Ketentuan Lain dalam VeR Korban Hidup • Surat permintaan ver dapat “terlambat” : – Korban luka dibawa ke dokter (rs) dulu sebelum ke polisi – Spv menyebutkan peristiwa pidana yang dimaksud – Ver = surat keterangan, jadi dapat dibuat berdasarkan rekam medis (rm telah menjadi barang bukti sejak datang spv) – Pembuatan ver tanpa ijin pasien, sedangkan SKM lain harus dengan ijin. – Sebaiknya diantar petugas agar dapat dipastikan identitas korban dan statusnya sebagai “barang bukti” Pengantar Medikolegal, Budi Sampurna
VeR dan Rekam Medis • Seorang pasien yang datang berobat ke RS dengan perlukaan dan/atau keracunan, apalagi dengan anamnesis yang menunjukkan adanya kemungkinan kaitan dengan suatu tindak pidana, pertama-tama harus DIANGGAP sebagai kasus forensik, tanpa melihat ada atau tidaknya Surat Permintaan VER dari polisi. • Dokter yang menangani pasien ini harus melakukan pencatatan anamnesis secara lengkap dan detil. Pemeriksaan fisik dilakukan seperti biasa, akan tetapi pencatatan luka-lukanya dilakukan secara lengkap dan mendetil. • VER kasus forensik klinik dibuat berdasarkan rekam medis korban, yang dibuat oleh dokter IGD, dokter yang merawat, SpF maupun perawat. Suatu VER yang baik hanya dapat dihasilkan dari Rekam Medis (RM) yang baik pula. Cara Pencatatan Rekam Medis untuk Kasus Forensik Klinik, Djaja Surya Atmadja
Rahasia VeR – Peraturan Pemerintah No.10 tahun 1966 tentang Wajib Simpan Rahasia Kedokteran – Penggunaan keterangan ahli, atau VeR hanya untuk keperluan peradilan – Berkas VeR hanya boleh diserahkan kepada penyidik yang memintanya. – Untuk mengetahui isi VeR, pihak lain harus melalui aparat peradilan, termasuk keluarga korban
Sanksi Hukum Bila Menolak Pembuatan VeR PASAL 216 KUHP Barangsiapa dengan sengaja tidak menuruti perintah atau permintaan yang dilakukan menurut undang-undang oleh pejabat yang tugasnya mengawasi sesuatu, atau oleh pejabat berdasarkan tugasnya, demikian pula yang diberi kuasa untuk mengusut atau memeriksa tindak pidana; demikian pula barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan tindakan guna menjalankan ketentuan, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak sembilan ribu rupiah. Pengantar Medikolegal, Budi Sampurna
Sanksi Hukum Bila Menolak Otopsi PASAL 222 KUHP Barangsiapa dengan sengaja mencegah, menghalang-halangi atau menggagalkan pemeriksaan mayat untuk pengadilan, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bula atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
Visum et Repertum
Antemortem
Visum sementara
Postmortem
Pemeriksaan luar
Pemeriksaan dalam (Otopsi)
Visum definitif
Otopsi anatomis
Visum lanjutan
Otopsi klinis
Otopsi forensik
Jenis Visum et Repertum Korban Hidup • Visum et repertum biasa/tetap. Visum et repertum ini diberikan kepada pihak peminta (penyidik) untuk korban yang tidak memerlukan perawatan lebih lanjut. • Visum et repertum sementara. Visum et repertum sementara diberikan apabila korban memerlukan perawatan lebih lanjut karena belum dapat membuat diagnosis dan derajat lukanya. Apabila sembuh dibuatkan visum et repertum lanjutan. • Visum et repertum lanjutan. Dalam hal ini korban tidak memerlukan perawatan lebih lanjut karena sudah sembuh, pindah dirawat dokter lain, atau meninggal dunia.
Visum et repertum untuk orang mati (jenazah) • Pada pembuatan visum et repertum ini, dalam hal korban mati maka penyidik mengajukan permintaan tertulis kepada pihak Kedokteran Forensik untuk dilakukan bedah mayat (outopsi).
Jenis VeR lainnya • Visum et repertum Tempat Kejadian Perkara (TKP). Visum ini dibuat setelah dokter selesai melaksanakan pemeriksaan di TKP.
• Visum et repertum penggalian jenazah. Visum ini dibuat setelah dokter selesai melaksanakan penggalian jenazah. • Visum et repertum psikiatri . Visum pada terdakwa yang pada saat pemeriksaan di sidang pengadilan menunjukkan gejala-gejala penyakit jiwa. • Visum et repertum barang bukti. Misalnya visum terhadap barang bukti yang ditemukan yang ada hubungannya dengan tindak pidana, contohnya darah, bercak mani, selongsong peluru, pisau.
93. INFORMED CONSENT • Informed Consent adalah persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. • Menurut Lampiran SKB IDI No. 319/P/BA./88 dan Permenkes no 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Tindakan Medis Pasal 4 ayat 2 menyebutkan dalam memberikan informasi kepada pasien / keluarganya, kehadiran seorang perawat / paramedik lainnya sebagai saksi adalah penting.
Yang Berhak Memberikan Informed Consent • Pasien yang telah dewasa (≥21 tahun atau sudah menikah, menurut KUHP) dan dalam keadaan sadar. • Bila tidak memenuhi syarat di atas, dapat diwakilkan oleh keluarga/ wali dengan urutan: – Suami/ istri – Orang tua (pada pasien anak) – Anak kandung (bila anak kandung sudah dewasa) – Saudara kandung
Tujuan Informed Consent • Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter yang sebenarnya tidak diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan tanpa sepengetahuan pasiennya. • Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat negatif, karena prosedur medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap tindakan medik ada melekat suatu resiko ( Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008 Pasal 3 )
• Tindakan medis yang dilakukan tanpa izin pasien, dapat digolongkan sebagai tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351 (trespass, battery, bodily assault ). Menurut Pasal 5 Permenkes No 290 / Menkes / PER / III / 2008, persetujuan tindakan kedokteran dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang memberi persetujuan, sebelum dimulainya tindakan ( Ayat 1 ). Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran harus dilakukan secara tertulis oleh yang memberi persetujuan ( Ayat 2 ). • Pengecualian terhadap keharusan pemberian informasi sebelum dimintakan persetujuan tindakan kedokteran adalah: – Dalam keadaan gawat darurat ( emergensi ), dimana dokter harus segera bertindak untuk menyelamatkan jiwa. – Keadaan emosi pasien yang sangat labil sehingga ia tidak bisa menghadapi situasi dirinya.
94. TANATOLOGI FORENSIK • Livor mortis atau lebam mayat – terjadi akibat pengendapan eritrosit sesudah kematian akibat berentinya sirkulasi dan adanya gravitasi bumi . – Eritrosit akan menempati bagian terbawah badan dan terjadi pada bagian yang bebas dari tekanan. – Muncul pada menit ke-30 sampai dengan 2 jam. Intensitas lebam jenazah meningkat dan menetap 8-12 jam.
Rigor mortis atau kaku mayat • terjadi akibat hilangnya ATP. • Rigor mortis akan mulai muncul 2 jam postmortem semakin bertambah hingga mencapai maksimal pada 12 jam postmortem. • Kemudian dipertahankan selama 12 jam, setelah itu akan berangsur-angsur menghilang sesuai dengan kemunculannya. • Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kaku jenazah adalah suhu tubuh, volume otot dan suhu lingkungan. • Makin tinggi suhu tubuh makin cepat terjadi kaku jenazah. • Rigor mortis diperiksa dengan cara menggerakkan sendi fleksi dan antefleksi pada seluruh persendian tubuh.
Penurunan suhu badan • Pada saat sesudah mati, terjadi proses pemindahan panas dari badan ke benda-benda di sekitar yang lebih dingin secara radiasi, konduksi, evaporasi dan konveksi. • dipengaruhi oleh suhu lingkungan, konstitusi tubuh dan pakaian. • Bila suhu lingkugan rendah, badannya kurus dan pakaiannya tipis maka suhu badan akan menurun lebih cepat. • Lama kelamaan suhu tubuh akan sama dengan suhu lingkungan.
Pembusukan mayat (dekomposisi) • Terjadi akibat proses degradasi jaringan karena autolisis dan kerja bakteri. • Mulai muncul 24 jam postmortem, berupa warna kehijauan dimulai dari daerah sekum menyebar ke seluruh dinding perut dan berbau busuk karena terbentuk gas seperti HCN, H2S dan lain-lain. • RUMUS CASPER untuk perbedaan kecepatan pembusukan udara: air: tanah = 8:2:1 • Ini disebabkan karena suhu di dalam tanah yang lebih rendah terutama bila dikubur ditempat yang dalam, terlindung dari predators seperti binatang dan insekta, dan rendahnya oksigen menghambat berkembang biaknya organisme aerobik.
Thanatologi Livor mortis mulai muncul
0
20 mnt
30 mnt
Livor mortis lengkap dan menetap
2 jam
Rigor mortis mulai muncul
6 jam
8 jam
12 jam
Rigor mortis lengkap (8-10 jam)
24 jam
Pembusuk an mulai tampak di caecum
Budiyanto A dkk. Ilmu Kedokteran Forensik. Bagian Kedokteran Forensik Fakultas Kedokteran Indonesia.
36 jam
Pembus ukan tampak di seluruh tubuh
95. Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT) • Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. • Lingkup rumah tangga: – Suami, isteri, dan anak – Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan suami, istri, dan anak yang menetap dalam rumah tangga – Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tsb. UU PKDRT No. 23 tahun 2004
Kekerasan Fisik pada Anak Curiga kekerasan fisik pada anak apabila: • Onset luka sudah lama • Riwayat/anamnesis yang tidak jelas atau tidak ada • Cerita tidak sesuai dengan luka yang ditimbulkan • Pola luka yang menandakan kekerasan • Cedera repetitif • Pada anak yang belum ada mobilitas • Perilaku atau mood orang tua yang tidak biasa • Sikap dan perilaku anak atau interaksi anak dengan orang tua atau pengasuh yang tidak biasa • Pengakuan dari anak atau saksi mata Clinical Forensic Medicine: A Physician’s Guide. 2nd ed.
Injury Patterns in Child’s Non Accidental Injury
• Hand marks: – Fingertip bruises circular or oval, caused by squeezing, poking, gripping, or grabbing injuries. – Linear petechial bruises in the shape of a hand caused by hand slap. – Pinch marks crescentshaped bruises separated by white lines.
Clinical Forensic Medicine: A Physician’s Guide. 2nd ed.
Injury Patterns in Child’s Non Accidental Injury • Implement marks – High-velocity impact rim of petechiae outlining the pattern of the inflicting instrument. Eg pair of sticks tramline bruising – Higher-velocity impact bruising underlying the injury in the shape of the object used – Pressure necrosis of the skin from ligatures well-demarcated bands encircling limbs or neck – Petechial bruises pinprick bruises from ruptured capillaries (suction bruises, squeezing, slapping, strangulation or suffocation) Clinical Forensic Medicine: A Physician’s Guide. 2nd ed.
Sites of Injury • More commonly associated with non accidental injury: – Facial soft tissues of the cheek, eye, mouth, ear, mastoid, lower jaw, frenulum, neck – Chest wall – Abdomen – Inner thighs and genitalia (associated with sexual abuse) – Buttock and outer thighs – Multiple sites
• More commonly associated with accidental injury: – Bony prominences – On the front of the body Clinical Forensic Medicine: A Physician’s Guide. 2nd ed.
THT-KL
96. Otitis Media Akut
Otitis Media Efusi Infeksi (-)
(Air Bubble (+)) Kronik Glue Ear
Oklusi tuba
Akut
< 3 bulan Infeksi (+)
Otitis Media Kronik
> 3 bulan
Otitis Media
96. Otitis Media Efusi • Radang mukoperiosteum rongga telinga tengah yang ditandai dengan adanya cairan dan membrane timpani yang utuh. • Klasifikasi: Eksudativa (Aerotitis, Barotrauma), Serosa (Kataralis), Mukoid (Glue Ear) • Gejala: – – – –
Telinga seperti tertutup atau penuh Tinnitus nada rendah Tuli konduktif Displakusis (mendengar suara ganda
• Terapi: – Cari pencetusnya – Medikamentosa: steroid, dekongestan, antihistamin – Definitf: pemasangan ear ventilation tube (grommet tube)
• Terjadi ketika suatu oklusi tuba tidak teratasi. Terjadi pengumpulan cairan serosa di dalam cavum timpani dengan gejala khas berupa gelembung udara pada pemeriksaan otoskop (Air Bubble)
Otitis Media Efusi
97. Otitis Media Akut
Otitis Media Efusi Infeksi (-)
(Air Bubble (+)) Kronik Glue Ear
Oklusi tuba
Akut
< 3 bulan Infeksi (+)
Otitis Media Kronik
> 3 bulan
Otitis Media
97. Otitis Media Akut Otitis Media Akut • Etiologi: Streptococcus pneumoniae 35%, Haemophilus influenzae 25%, Moraxella catarrhalis 15%.
Perjalanan penyakit otitis media akut: 1. Oklusi tuba: membran timpani retraksi atau suram. 2. Hiperemik/presupurasi: hiperemis & edema. 3. Supurasi: nyeri, demam, eksudat di telinga tengah, membran
timpani membonjol. 4. Perforasi: ruptur membran timpani, demam berkurang. 5. Resolusi: Jika tidak ada perforasi membran timpani kembali normal. Jika perforasi sekret berkurang. 1) Lecture notes on diseases of the ear, nose, and throat. 2) Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
Stadium Otitis Media Akut • Tahapan: – Oklusi tuba: retraksi membran timpani atau berwarna keruh. – Hiperemik/presupurasi: tampak hiperemis dan pelebaran pembuluh darah. – Supurasi: edema yanghebat pada mukosa telinga tengah, bulging, demam, nyeri – Perforasi: membran timpani ruptur, demam menurun – Resolusi: jika membran timpani tetap utuh maka membran timpani akan kembali normal.
Penatalaksanaan OMA • Tatalaksana – Oklusi tuba: Dekongestan topikal (ephedrine HCl) – Hiperemis: AB selama 7 hari (ampicylin/amoxcylin/ erythromicin), dekongestan topikal & analgetik. – Supurasi: Miringotomi + AB – Perforasi: Ear toilet (H2O2 3%) + AB – Resolusi: Jika tidak terjadi fase resolusi, lanjutkan AB sampai 3 minggu
98. Rinitis medikamentosa • Kelainan hidung berupa gangguan respons normal vasomotor akibat pemakaian vasokonstriktor topikal (tetes hidung atau semprot hidung) dalam waktu lama dan berlebihan, sehingga menyebabkan sumbatan menetap terjadi rebound dilatation dan rebound congestion • Anjuran: pemakaian obat topikal sebaiknya tidak lebih dari 1 minggu • PF: edema/hipertrofi konka dengan sekret berlebihan. Apabila diberi tampon, edema tidak berkurang • Tatalaksana: hentikan obat topikal hidung, steroid oral dosis tinggi jangka pendek dan tappering off, dekongestan oral Sources: Soepardi EA, et al, editor. Buku Ajar Ilmu THT-KL. Ed 6. Jakarta: FKUI. 2009
Rhinitis Medikamentosa • •
Patofisiologi rhinitis medikamentosa tidak diketahui sepenuhnya. Diduga karena penurunan produksi norepinefrin endogen oleh mekanisme feedback. Pada pemakaian dekongestan jangka panjang/penghentian pemakaian, saraf simpatis tidak bisa menjaga vasokonstriksi karena produksi norepinefrin tersupresi.
DIAGNOSIS
RINITIS ALERGI
CLINICAL FINDINGS
Riwayat atopi. Gejala: bersin, gatal, rinorea, kongesti. Tanda: mukosa edema, basah, pucat atau livid, sekret banyak.
RINITIS VASOMOTOR
Gejala: hidung tersumbar dipengaruhi posisi, rinorea, bersin. Pemicu: asap/rokok, pedas, dingin, perubahan suhu, lelah, stres. Tanda: mukosa edema, konka hipertrofi merah gelap.
RINITIS HIPERTROFI
Hipertrofi konka inferior karena inflamasi kronis yang disebabkan oleh infeksi bakteri, atau dapat juga akrena rinitis alergi & vasomotor. Gejala: hidung tersumbat, mulut kering, sakit kepala. Sekret banyak & mukopurulen.
RINITIS ATROFI / OZAENA
Disebabkan Klesiella ozaena atau stafilokok, streptokok, P. Aeruginosa pada pasien ekonomi/higiene kurang. Sekret hijau kental, napas bau, hidung tersumbat, hiposmia, sefalgia. Rinoskopi: atrofi konka media & inferior, sekret & krusta hijau.
RINITIS MEDIKAMENTOSA
Hidung tersumbat yang memburuk terkait penggunaan vasokonstriktor topikal. Perubahan: vasodilatasi, stroma edema,hipersekresi mukus. Rinoskopi: edema/hipertrofi konka dengan sekret hidung yang berlebihan.
RINITIS AKUT
Rhinitis akut: umumnya disebabkan oleh rhinovirus, sekret srosa, demam, sakit kepala, mukosa bengkak dan merah. Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007.
99. Faringitis • Definisi – Inflamasi pada faring akibat infeksi – Etiologi tersering adalah Group A Streptococcus dan infeksi virus – Often co-exists with tonsillitis
Faringitis Akut • Etiologi – Viral >90% • Rhinovirus – common cold • Coronavirus – common cold • Adenovirus – pharyngoconjunctival fever;acute respiratory illness • Parainfluenza virus – common cold; croup • Coxsackievirus - herpangina • EBV – infectious mononucleosis • HIV
Faringitis Akut • Etiologi – Bacterial • Group A beta-hemolytic streptococci (S. pyogenes)* – most common bacterial cause of pharyngitis – accounts for 15-30% of cases in children and 5-10% in adults.
• • • •
Mycoplasma pneumoniae Arcanobacterium haemolyticum Neisseria gonorrhea Chlamydia pneumoniae
Faringitis • Anamnesis – Classic symptoms → Fever, throat pain, dysphagia VIRAL → Most likely concurrent URI symptoms of rhinorrhea, cough, hoarseness, conjunctivitis & ulcerative lesions STREP → Look for associated headache, and/or abdominal pain Fever and throat pain are usually acute in onset
Faringitis • Pemeriksaan Fisik – Virus EBV – White exudate covering erythematous pharynx and tonsils, cervical adenopathy, Subacute/chronic symptoms (fatigue/myalgias) transmitted via infected saliva
Adenovirus/Coxsackie – vesicles/ulcerative lesions present on pharynx or posterior soft palate Also look for conjunctivitis
Faringitis • Pemeriksaan fisik – Bacterial GAS – look for whitish exudate covering pharynx and tonsils – tender anterior cervical adenopathy – palatal/uvular petechiae – scarlatiniform rash covering torso and upper arms Spread via respiratory particle droplets – NO school attendance until 24 hours after initiation of appropriate antibiotic therapy – Absence of viral symptoms (rhinorrhea, cough, hoarseness)
Faringitis
Faringitis
Modified Centor Score*
*(untuk menentukan kemungkinan tonsilofaringitis karena GABHS)
Tatalaksana Faringitis Strep. (Antibiotic, Acetaminophen, Warm salt gargling) • Strep: Penicillin, Erythromycin, Azithromycin • Prevention in patients with history of rheumatic fever: Penicillin G benzathine IM • Prevention in Chronic GAS carriers (inoutbreaks of acute rheumatic fever and/or poststreptococcal glomerulonephritis or when GAS infections are recurring in households or other close-contact settings): clindamycin or amoxicillinclavulanate or penicillin plus rifampin. • Retropharyngeal abscesses: Drainage + Antibiotics • Peritonsilar abscesses: penicillin + Aspiration
Antibiotic in Strep. Pharyngitis
Adult Dose Antibiotic class
Drug
Amoxicillin*
▪ ▪
Penicillin G benzathine*
▪
1.2 million units IM as a single dose
▪
500 mg orally twice daily for 10 days
▪
1 g orally daily for 10 days
▪
250 mg orally twice daily for 10 days
▪
400 mg orally once daily for 10 days
▪
500 mg orally on day 1 followed by 250 mg orally on days 2 through 5 Alternate dosing: 500 mg orally once daily for 3 days
Cephalexin* (first generation) Cefadroxil* (first Cephalosporins (potential alternatives for mild generation) Cefuroxime* reactions to penicillinΔ) (second generation) Cefixime (third generation) Macrolides (alternatives for patients with anaphylaxis or other IgEmediated reactions or severe delayed reactions to penicillinΔ) Lincosamides (Last alternative)
▪
500 mg orally two to three times daily for 10 days 500 mg orally twice daily for 10 days 1000 mg (immediate release) once daily for 10 days
Penicillin V Penicillins (preferred)
Dosing in adults
Azithromycin
▪
Clarithromycin*
250 mg orally twice daily for 10 days
Clindamycin
300 mg orally three times daily for 10 days
Pediatric Dose Antibiotic class
Drug
Dosing in adults ▪
Penicillin V
Penicillins (preferred)
Amoxicillin*
Penicillin G benzathine*
Cephalexin* Cephalosporins (potential alternatives for mild reactions to penicillinΔ)
Cefadroxil* Cefuroxime*
Macrolides (alternatives for patients with anaphylaxis or other IgE-mediated reactions or severe delayed reactions to penicillinΔ) Lincosamides (Last alternative)
Azithromycin Clarithromycin* Clindamycin
▪
If ≤27 kg: 250 mg two to three times daily for 10 days If >27 kg: 500 mg two to three times daily for 10 days
▪
50 mg/kg per day/3 doses orally (maximum 1000 mg per day) for 10 days
▪
If ≤27 kg: Penicillin G benzathine 600,000 units IM as a single doseΔ If >27 kg: Penicillin G benzathine 1.2 million units IM as a single dose
▪ ▪
40 mg/kg/day divided twice daily for 10 days (maximum 500 mg/dose)
▪
1 g orally daily for 10 days
▪
40 mg/kg/day divided twice daily for 10 days (maximum 500 mg/dose)
▪
12 mg/kg (maximum 500 mg/dose) on day 1 followed by 6 mg/kg/dose (maximum 250 mg/dose) once daily on days 2 through 5
7.5 mg/kg/dose (maximum 250 mg per dose) orally twice daily for 10 days 7 mg/kg/dose (maximum 300 mg per dose) orally three times daily for 10 days
Faringitis • Treatment VIRAL – Supportive care only – Analgesics, Antipyretics, Fluids No strong evidence supporting use of oral or intramuscular corticosteroids for pain relief → few studies show transient relief within first 12–24 hrs after administration EBV – infectious mononucleosis activity restrictions – mortality in these pts most commonly associated with abdominal trauma and splenic rupture
100. Angina Ludwig • Ludwig’s angina is a rapidly progressing polymicrobial cellulitis of the sublingual and submandibular spaces • Results in life threatnening air way compromise • The organisms most often isolated in patients with the disorder are Streptococcus viridans and • Staphylococcus aureus • Anaerobes also are frequently involved, including bacteroides, peptostreptococci, and peptococcus, fusiform bacilli , diptheroids. • Non specific mixed infection
Etiology • • • • • •
> 90% odontogenic in origin Peritonsillar absecess Parapharyngeal abscesses Oral lacerations Mandibular fractures Submandibular sialadenitis
100. Angina Ludwig • Ludwig’s is a cellulitis of the submandibular space that spreads to the structures of the anterior • neck and beyond via connective tissue, muscle, and fascial planes rather than by the lymphatic system. • Cellulitis, rather than abscess formation, is the most common early presenting finding. • As the infection progresses, edema of the suprahyoid tissues and supraglottic larynx elevate and posteriorly displace the tongue, resulting in lifethreatening airway narrowing. • In advanced infection, cavernous sinus thrombosis and brain abscess, in addition to airway compromise, have been described.
Presentation • Board like swelling of floor of mouth • Elevation of the tongue • Nonfluctuant suprahyoid swelling typify the disease process. There is typically a bilateral submandibular edema, • The swelling of the anterior soft tissues of the neck above the hyoid bone sometimes leads to the characteristic “bull’s neck” appearance of affected patients. • Adenopathy and fluctuance are not usually seen in patients with Ludwig’s angina
Pathogens • Bacterial isolates are often mixed, comprising both aerobes and anaerobes. • Mostly alpha-hemolytic streptococci, staphylococci and bacteroides.
Treatment Primary goal: • Preserve the oropharyngeal airway.
Secondary goal: • Antibiotic agent or incision and drainage
100. Abses Leher Dalam DIAGNOSIS
C L I N I C A L F E AT U R E S
ABSES PERITONSIL
Odynophagia, otalgia, vomit, foetor ex ore, hypersalivation, hot potato voice, & sometimes trismus.
ABSES PARAFARING
1.Trismus, 2. Angle mandible swelling, 3. Medial displacement of lateral pharyngeal wall.
ABSES RETROFARING
In children: irritability,neck rigidity, fever,drolling,muffle cry, airway compromise In adult: fever, sore throat, odynophagia, neck tenderness, dysnea
SUBMANDIBULAR Fever, neck pain, swelling below the mandible or tongue. Trismus often ABSCESS found. If spreading fast bilateral, cellulitis ludwig angina LUDWIG/LUDOVI CI ANGINA
Swelling bilaterally, hypersalivation, airway obstrution caused by retracted tongue, odynophagia, trismus, no purulence (no time to develop)
1) Menner, a pocket guide to the ear. Thieme; 2003. 2) Buku Ajar THT-KL FKUI; 2007. 3) Cummings otolaryngology. 4th ed. Mosby; 2005.
Abses Leher Dalam ABSES PERITONSIL
ABSES RETROFARING
ABSES PARAFARING
ABSES SUBMANDIBULA
ANGINA LUDOVICI
ISPA, limfadenitis retrofaring
Penjalaran infeksi
GEJALA DAN TANDA
Odinofagia, otalgia, regurgitasi, foetor ex ore, hipersalivasi, trismus
Nyeri, disfagia, demam, leher kaku, sesak napas, stridor
Trismus, Trismus, pembengkakan indurasi bawah sekitar angulus mandibula/ mandibula bawah lidah, fluktuasi
Nyeri, dasar mulut membengkak mendorong lidah kebelakang
PEMERIKSAAN
Paltum mole bengkak, uvula terdorong, detritus
Dinding belakang faring ada benjolan unilateral
rontgen
Riwayat sakit gigi, mengorek atau mencabut gigi
TERAPI
Antibiotik, obat kumur, pungsi, insisi, tonsilektomi
AB parenteral dosis tinggi, insisi abses
AB parenteral dosis tinggi, insisi
ETIOLOGI
Komplikasi tonsilitis
Selulitis ec Penjalaran infeksi penjalaran infeksi
rontgen
AB parenteral AB parenteral dosis tinggi, dosis tinggi, insisi insisi
Abses Leher Dalam
Peritonsillar abscess
Parapharyngeal abscess
Retropharyngeal abscess
Submandibular abscess