Referat Konstipasi

  • Uploaded by: tanniarw
  • 0
  • 0
  • January 2021
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Referat Konstipasi as PDF for free.

More details

  • Words: 4,034
  • Pages: 15
Loading documents preview...
1 LATAR BELAKANG Konstipasi merupakan salah satu keluhan yang paling sering dalam gangguan pencernaan. Konstipasi lebih cocok digolongkan menjadi gejala daripada penyakit. Selain dari frekuensi buang air besar yang jarang, gangguan konstipasi sering tidak terdeteksi hingga terbentuk gangguan anorektal atau gangguan diverticular yang menyebabkan spasme otot pada kolon (usus besar) dan adanya divertikula yang menyebabkan nyeri abdomen dan gangguan pada kolon. Selain itu, pada gangguan konstipasi tentu terjadi hambatan pengeluaran tinja melalui kolon dan rektum disertai kesulitan pada defekasi. Normalnya, setiap 24 jam kolon dikosongkan secara teratur, namun ada pula orang normal yang melakukan defekasi 2-3 kali per hari, bahkan ada pula kelompok orang yang melakukan defekasi tiap 2 hari sekali. EPIDEMIOLOGI Prevalensi gangguan konstipasi cukup tinggi di Amerika Serikat dan melibatkan 15% dari jumlah penduduk. Pada 2006, kasus konstipasi yang ditemukan pada kunjungan dokter ke rumah mencapai angka 5,7 juta penderita, dan 2,7 juta diantaraya terdiagnosis konstipasi sebagai diagnosis primer. 2% dari populasi tersebut mengeluhkan gangguan konstipasi yang terjadi secara konstan dan sering. Kasus konstipasi di seluruh dunia mencapai 12% dari total penduduk dunia yang diketahui oleh penderita itu sendiri. Penduduk Amerika dan Asia Pasifik memiliki angka prevalensi dua kali lebih banyak daripada penduduk Eropa. Konstipasi dapat terjadi dalam semua kalangan umur, dari bayi baru lahir maupun orangorang tua. Seiring berjalannya usia, insiden dari gangguan konstipasi mulai meningkat, bahkan 30-40% dari populasi berusia 65 tahun mengeluhkan gangguan konstipasi. Insiden yang meninggi tersebut berkaitan dengan kombinasi dari faktor perubahan pola makan, penurunan tonus otot, penurunan dalam aktifitas fisik / olahraga, dan penggunaan obat-obat yang menyebabkan dehidrasi relatif atau dismotilitas kolon. Beberapa penelitain juga mengemukakan adanya eksposur dari “neurotoxin” pada lingkungan. Faktor jenis kelamin juga mempengaruhi terjadinya insiden gangguan konstipasi. Di Amerika Serikat, gangguan konstipasi lebih banyak diderita oleh wanita daripada pria. Rasio perbandingan antara wanita dan pria sekitar 3:1. Insiden pada wanita meningkat terutama saat mengandung dan saat setelah persalinan. (Lindberg, G et al, 2010)

2 DEFINISI Konstipasi tidak dipahami sebagai sebuah penyakit, namun suatu keluhan yang muncul akibat masalah dari fungsi kolon dan anorektal. Konstipasi merupakan terhambatnya defekasi dari kebiasaan normal. Definisi dapat memiliki arti yang luas, seoerti frekuensi buang air besar yang jarang, volum feses yang kurang, konsistensi feses yang keras dan kering. Definisi konstipasi juga bersifat relatif, bergantung pada konsistensi tinja, frekuensi buang air besar dan sulitnya pengeluaran tinja. Pada orang yang buang air besar tiap 2-3 hari dengan tinja yang lunak dan tanpa kesulitan tidak dapat digolongkan menjadi konstipasi. Sehingga dapat disimpulkan bahwa konstipasi adalah persepsi gangguan buang air besar yang berupa berkurangnya frekuensi buang air besar, sensai yang tidak puas saat buang air besar, adanya rasa sakit, harus mengejan atau feses yang keras. Ada pula penyedia pelayanan medik yang menyebutkan bahwa konstipasi merupakan berkurangnya frekuensi buang air besar hingga kurang dari 3 kali per minggu. Berdasarkan kriteria Roma III tentang konstipasi, pasien harus mengalami paling tidak 2 gejala di bawah ini setidaknya selama 3 bulan, seperti: (1) frekuensi buang air besar kurang dari 3x per minggu, (2) mengejan saat buang air besar, (3) perasaan adanya sumbatan oada anorektal, (4) perasaan tidak puas setelah buang air besar, (5) penggunaan jari dalah usaha untuk pengeluaran tinja. Pada kriteria Roma III, pasien juga tidak memenuhi kriteria dalam “Irritable Bowel Syndrome” dan serta penggunaan obat-obatan laksatif. (Lindberg, G et al, 2010) Etiologi Banyak hal yang mencetuskan terjadinya gangguan konstipasi. Etiologi konstipasi dapat dibagi dalam beberapa golongan besar, yaitu: 1. Kelainan Fungsional. Kelainan fungsional seperti retensi tinja, depresi, latihan defekasi yang salah, serta fobia toilet dapat menyebabkan konstipasi. 2. Nyeri saat defekasi Nyeri saat defekasi dapat disebabkan oleh fissura ani, benda asing, pemakaian pencahar yang berlebihan, proktitis, dan prolaps rektum. 3. Obstruksi Mekanis Obstruksi atau penyumbatan dapat disebabkan oleh penyakit Hirschprung, massa di pelvis, obstruksi usus bagian atas, stenosis rektum, atresia ani, an ileus mekonikum 4. Menurunnya motilitas dan sensasi

3 Turunnya motilitas dan sensasi diakibatkan karena adanya penggunaan obat-obatan, ileus karena penyakit virus, penyakit neuromuskular (serebral palsi, hipotoni), kelainan endokrin (Hiperparatiroid, hiperkalsemi), Botulisme infantil, dan tumor medula spinalis. (Grundy J, 2010) 5. Kelainan feses Konstipasi juga dapat disebabkan oleh dehidrasi, diet serat yang kurang dan malnutrisi. Selain pembagian etiologi di atas, terdapat pembagian etiologi konstipasi lainnya sebagai berikut : 1. Konstipasi primer: Konstipasi primer adalah konstipasi fungsional yang tidak ditemukan kelainan organik maupun biokimiawi di dalam tubuh. Konstipasi primer (idiopatik, fungsional) dibagi menjadi 3 jenis yaitu a. “Normal-Transit Constipation” (NTC) b. “Slow-Transit Constipation” (STC) c. “Pelvic Floor Dysfunction” (PFD) Normal-Transit Constipation atau NTC adalah jenis dari konstipasi primer yang paling sering. Walaupun feses melewati kolon pada jumlah yang normal, pasien merasa kesulitan untuk mengeluarkan feses tersebut dari anus. Pasien jenis ini kadang-kadang memenuhi kriteria Irittable Bowel Syndrome dengan konstipasi (IBS-C). Perbedaan utama anara IBS dengan konstipasi dengan konstipasi adalah adanya nyeri abdomen pada IBS-C. (Leung L, 2011) Slow-Transit Constipation atau (STC) dan Pelvic Floor Dyssynergia (PFD) adalah 2 faktor intrinsik yang menyebabkan konstipasi kronik teruma pada orang lanjut usia. STC ini ditandai dengan frekuensi defekasi yang jarang, berkurangnya urgency atau keinginan untuk buang air besar dengan segera, atau adanya paksaan untuk buang air besar atau mengejan. Pasien dengan STC memiliki aktifitas motorik pada kolon yang tertanggu. Pada pemeriksaan biasanya ditemukan distensi atau feses yang teraba pada kolon sigmoid. (Rao S, 2010) Pelvic Floor Dysfunction ditandai dengan gangguan pada otot levator ani pada dasar panggul atau spingter anal. Pasien sering mengeluhkan rasa mengejan yang berlebihan atau lama, rasa tidak puas atau ada feses yang tertinggal setelah defekasi, ada penggunaan tekanan perineal atau vagina selama proses defekasi, atau penggunaan jari saat proses defekasi. (Leung L, 2011) 2. Konstipasi Sekunder a. Pola hidup: diet rendah serat, kurang minum atau dehidrasi, kebiasaan minum kopi, teh, atau alkohol yang berlebihan, kebiasaan buang air besar yang buruk yang

4 dipengaruhi oleh kebiasaan pola makan yang tidak teratur, kebiasaan untuk menunda buang air besar, dan kurang olah raga. b. Kelainan anatomi (struktur): fissura ani, hemoroid, striktur kolon, tumor, abses perineum, megakolon c. Kelainan endokrin dan metabolik: hiperkalsemia, hiperparatiroid, hipokalemia, hipotiroid, Diabetes Melitus, dan kehamilan d. Kelainan syaraf: stroke, penyakit Hirschprung, penyakit Parkinson, sklerosis multiple, diabetik neuropati, lesi sumsum tulang belakang, trauma kepala, penyakit Chagas, disotonomia familier e. Kelainan jaringan ikat: skleroderma, amiloidosis, “mixed connective-tissue disease” f. Obat: antidepresan (antidepresan siklik, inhibitor MAO), logam (besi, bismuth), anti kholinergik, opioid (kodein, morfin), antasida (aluminium, senyawa kalsium), “calcium channel blockers” (verapamil), Obat Anti Inflamasi Non-Steroid (ibuprofen, diclofenac), simpatomimetik (pseudoephidrine), cholestyramine dan laksan stimulans jangka panjang, g. Gangguan psikologi (depresi, cemas, smomatisasi, gangguan makan). (Leung L, 2011) PATOFISIOLOGI KONSTIPASI Fungsi kolon atau usus bersar adalah menerima zat sisa pencernaan dari ileum, kemudian mencampur, melakukan fermentasi, dan memilah karbohidrat yang tidak diserap, serta memadatkannya menjadi tinja. Defekasi berlangsung melalui mekanisme yang kompleks. Kolon normalnya dikosongkan tiap 24 jam. Proses pergerakan tinja dari bagian proksimal kolon ke daerah retrosigmoid dilakukan tiap beberapa hari sekali, melalui gelombang yang memiliki amplitudo tinggi dan berlangsung lama. Gerakan ini dikontrol oleh batang otak dan sudah terlatih sejak masa anakanak. Saat terjadi hambatan pasase bolus di kolon maupun rektum, dapat terjadi konstipasi bahkan obstipasi atau kegagalan total menyeluarkan feses dari rektum. (Andrews CN, 2011) Konstipasi dapat diakibatkan oleh suatu penyakit maupun gangguan psikoneurosis. Misalnya gangguan pasase bolus karena infeksi (parasit, bakteri, virus), kelainan organ, tumor jinak maupun ganas yang dapat menyebabkan obstruksi maupun paska bedah pada gastrektomi atau kolesistektomi. Kolon seharusnya menyerap air dan membentuk bahan buangan sisa makanan atau tinja dan kontraksi otot pada kolon akan membawa kotoran ke arah rektum. Begitu

5 mencapai rektum, feses akan menjadi lebih padat karena adanya proses penyerapan air pada kolon. Apabila kolon menyerap terlalu banyak air dapat menyebabkan tinja yang menjadi terlalu keras dan kering. Hal itu terjadi karena kontraksi otot terlalu lama sehingga tinja bergerak ke arah kolon terlalu lama sehingga terjadinya obstruksi yang menyebabkan konstipasi. (Andrews CN, 2011) Konstipasi juga dapat timbul dari gangguan pengisian dan pengosongan rektum. Gangguan pengisian rektum dapat disebabkan bila gerakan peristaltik kolon tidak efektif, otot otot intraabdomen yang sudah tidak adekuat pada usia tua serta misalnya pada kasus hipotiroidisme, penggunaan opium, obstruksi usus besar karena kelainan struktur atau penyakit Hirschrung. Pada penyakit Hirschprung, tidak terdapat sel ganglion sehingga meningkatkan persarafan intrinsik dan ekstrinsik. Sistem adrenergik sebagai excitatory lebih dominan dari sistem kolinergik (inhibitory) sehingga meningkatkan tonus otot polos. Hal ini memicu ketidakseimbangan dari kontraksi otot polos, gangguan peristaltis, sehingga obstruksi secara fungsional. (McCrea L, Miakowski C, 2008). Kondisi tinja yang terlalu lama berada di kolon menyebabkan proses pengeringan tinja yang berlebihan dan kegagalan untuk memulai reflek dari rektum yang normalnya akan memicu evakuasi. Rektum dikosongkan melalui evakuasi spontan tergantung pada reflek defekasi yang dipicu oleh perangsangan reseptor tekanan pada otot-otot rektum, serabut-serabut aferen dan eferen dari tulang belakang bagian sakrum atau otot-otot perut dan dasar panggul. Kelainan pada relaksasi sfingter ani juga bisa menyebabkan tinja tidak bisa dievakuasi. Selain itu, distensi rektum dapat mengurang sensitifitas refleks defekasi dan aktifitas peristaltik. Konstipasi juga bisa dijelaskan melalui konsumsi serat yang tidak adekuat. Padahal konsumsi serat yang cukup menyebabkan serat menarik air dan menstimulasi otot pencernaandan akhirnya tekanan yang digunakan untuk pengeluaran feses menjadi berkurang. (Ghoshal U, 2007) MANIFESTASI KLINIK 

Anamnesis: Anamnesis dilakukan secara seksama untuk mengetahui etiologi dari konstipasi. Dalam

melakukan anamnesis perlu ditanyakan tentang lamanya usaha untuk melakukan defekasi, jumlah defekasi per minggunya, dan ada tidaknya keluhan mengejan atau tinja yang memiliki konsistensi yang keras. Anamnesis juga diperlukan untuk mendeteksi adanya penurunan berat

6 badan, perdarahan saluran cerna, riwayat keluarga kanker, pola buang air besar sebelumnya. Pasien juga perlu ditanyakan tentang ada riwayat konstipasi paska bedah, tirah baring yang terlalu lama, sisa barium setelah pemeriksaan barium enema, atau penggunaan obat-obatan yang menimbulkan konstipasi seperi golongan opioid dan golongan antikolinergik. Pasien juga ditanyakan tentang jumlah konsumsi cairan per hari. Pasien juga ditanyakan apakah menderita penyakit endokrin seperti diabetes melitus dan hipotiroidisme karena penderita diabetes melitus biasanya menderita kronik dismotilitas. Selain penyakit endokrin, pasien juga dievaluasi apakah menderita penyakit yang berhubungan dengan sistem saraf pusat, seperti penyakit Parkinson, Multiple Sklerosis, Stroke, Sifilis pada sistem saraf pusat, trauma pada sumsum tulang belakang atau adanya tumor. (Lindberg, G et al, 2010) Pada pasien geriatri yang melakukan tirah baring, penting untuk menyingkirkan adanya dehidrasi maupun kelainan elektrolit. Singkirkan dulu setiap komplikasi konstipasi yang dapat mengancam hidup penderita, seperti volvulus. (McCrea L, Miakowski C, 2008). Gejala yang ditimbulkan pada pasien yang mengalami konstipasi biaanya keluhan akan proses defekasi yang sulit dan nyeri, tinja keras, mengejan yang berlebihan saat defekasi, perasaan kurang puas setelah defekasi, defekasi hanya 3x atau kurang dalam seminggu. Keluhan lain yang biasa timbul adalah perasaan kembung dan kurang enak. Penderita konstipasi juga bisa tanpa gejala sama sekali atau memiliki keluhan seperti perdarahan rektum, buang air besar yang sedikit-sedikit, dan nyeri pinggang bagian bawah. Pasien dengan gangguan konstipasi biasanya juga mengeluh sudah tidak buang air besar selama beberapa hari atau tinja keluar berwarna kehitaman. Perut dirasakan penuh, mendesak ke atas, berbunyi, dan perasaan mual. Rasa mulas juga bisa dirasakan di daerah perut kiri, yaitu pada kolon desenden dan kolon sigmoid. Selain itu penderita konstipasi juga bisa merasakan mulut yag terasa pahit, lidah yang kering, kepala pusing, dan nafsu makan yang menurun. Bila keluhan makin parah dapat ditemukan gejala obstruksi intestinal. Keluhan berikut juga dapat ditanyakan kepada pasien sebagai dugaan bahwa penderita mengalami kesulitan defekasi, seperti perasaan kurang puas setelah defekasi, sering dilakukan evakuasi feses dengan jari, tenesmus atau nyeri saat buang air besar. Konstipasi yang ditemukan sejak lahir atau sejak awal usia anak-anak cenderung bersifat kongenital, sementara apabila awitan yang terjadi kemudian saat dewasa menunjukkan penyakit

7 yang didapat. Penderita konsipasi juga perlu ditanya adanya riwayat pemakaian laksatif dan durasi penggunaannya 

Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik sering kurang bermanfaat untuk menetapkan penyebab serta

pengobatan konstipasi. Pemeriksaan fisik untuk menilai keadaan sistemik dan lokal, terutama tanda adanya masa intra abdomen, peristaltik usus dan colok dubur. Pemeriksaan fisik harus ditujukan pada deteksi penyakit-penyakit non gastrointestinal yang dapat turut menjadi penyebab timbulnya konstipasi. Perhatian khusus harus diberikan pada pemeriksaan neurologis, termasuk penilaian terhadap fungsi otonom. Abdomen juga diperiksa untuk mencari tanda-tanda pembedahan sebelumnya, distensi usus atau feses yang tertahan. Pemeriksaan perineum dan anorektal harus dilakukan untuk menemukan bukti adanya deformitas, atrofi otot gluteus, prolapsus rekti, stenosis ani, fissura ani, masa rektum atau fecal impaction. Pasien dapat diminta untuk mengejan agar bukti yang menunjukan adanya rektokel, atau prolapsus rekti dapat terlihat. Adanya kedipan atau kontraksi pada anus dinilai duntuk menunjukkan kontraksi refleks kanalis ani setelah rasa ditusuk benda tajam pada perineum. Pemeriksaan fisik sering kurang bermanfaat untuk menetapkan penyebab serta pengobatan konstipasi, kecuali pada kejadian berikut ini: a. Adanya masa yang teraba pada pemeriksaan abdomen. b. Lesi anorektal, yang diduga menjadi penyebab konstipasi, seperti fisura ani, fistula ani, striktur, kanker, hemoroid yang memgalami trombosis. c. Intususepsi yang tampak pada saat mengejan Pemeriksaan colok dubur (RT) sering bermanfaat untuk dipakai menemukan kelainan berikut ini : 1) 2) 3) 4)

Masa anorektal Tonus sfingter ani internal. Kekuatan sfingter ani eksternal dan otot puborectalis. Adanya “gross blood” atau “occult bleeding”

Pada “pelvis outlet dysfunction”, akan ditemukan tinja lebih banyak di daerah “rectal vault” dari pada pada “colonic inertia” atau “irritable bowel syndrome”, di mana di antara defekasi biasanya hanya ditemukan sisa tinja dalam jumlah yang lebih sedikit atau tidak ada sama sekali. Selain itu gejala yang tampak adalah kegagalan untuk memberi tekanan pada jari pada saat mengejan pada waktu dilakukan pemeriksaan colok dubur. (Rao S, 2010)

8 Anus kaku atau spastik, yang menunjukkan adanya lesi pada anus. Lumen dari rektum biasanya membesar dan biasanya teraba massa fekal. Jadi bila dijumpai dilatasi dari rektum dengan proktostasis dan adanya gangguan pengosongan rektum ialah tanda patognomonis dan dyschezia. 

Pemeriksaan laboratorium Pada pemeriksaan laboratorium perlu diperhatikan warna, bentuk, besarnya dan

konsistensi dari masa fekal. Pemeriksaan kimia darah dapat dipakai untuk menyingkirkan kelainan metabolik sebagai penyebab konstipasi, seperti hipokalemia dan hiperkalsemia. Pemeriksaan darah lengkap dapat membantu menunjukkan adanya anemia karena perdarahan per anum (“gross” atau “occult”). Pemeriksaan fecal occult blood yaitu memeriksa darah pada feses dapat membantu pada kasus geriatri untuk mencurigai adanya tumor atau karsinoma yang menyebabkan obstruksi sehingga mengakibatkan konstipasi. Tes fungsi tiroid, seperti TSH (Thyroid Stimulating Hormone) dapat digunakan untuk mendiagnosis adanya hipotiroid. Pemeriksaan radiologi Foto polos abdomen baik secara berdiri maupun berbaring dapat menunjukkan jumlah feses pada kolon penderita. Foto polos dapat membantu pemeriksa untuk menyingkirkan diagnosis banding antara “fecal impaction”, obstruksi usus, dan “fecalith”. Diagnosis adanya “fecalith” penting untuk dipastikan karena kemungkinan terjadinya komplikasi “stercoral ulcers” yang dapat menimbulkan perforasi kolon. Gastropati diabetik, seperti halnya “fecal impaction”, dapat timbul pada penderita neuropati diabetik. Sisa barium (sesudah pemeriksaan barium enema) dapat juga tampak pada foto polos abdomen. Skleroderma dan penyakit jaringan ikat yang lain, dapat disertai gangguan motorik yang dapat menutupi gejala-gejala obstruksi kolon pada pemeriksaan foto polos abdomen “Myxedema ileus” dapat terjadi akibat penyakit hipotiroid. 

Pemeriksaan lain-lain a. Rektosigmoidoskopi Pemeriksaan rektosigmoudoskopi dilakukan untuk memeriksa membran mukosa, untuk

memperhatikan ada tidaknya tanda-tanda kataral proktosigmoiditis dan melanosis koli. Pada penderita yang biasa mempergunakan laksatif atau terlalu sering melakukan lavement, maka terlihat tanda-tanda inflamasi yang ringan yaitu mukosa membran terlihat kuning kecoklat-

9 coklatan. Sering terlihat bahwa kolon sigmoid mengalami pelebaran sehingga alat instrumen dapat dengan mudah masuk ke sigmoid. Pemeriksaan ekstensif yang lebih teliti pada penderita konstipasi dapat dilakukan secara poliklinik, biasanya baru dikerjakan bila keluhan berlangsung lebih dari 3 – 6 bulan, dan pengobatan medik tidak ada hasilnya. Pemeriksaan ini dapat dilakukan untuk melihat baik anatomi (barium enema, proktosigmoidoskopi, kolonoskopi) maupun fisiologi (“colonic transit study”, “defecography”, “manometry”, “electromyography”). Kolonoskopi atau sigmoidoskopi fleksibel dapat memeperlihatkan melanosis koli sebagai bercak berwarna hitam coklat pada mukosa usus yang terjadi akibat penggunaan preparat laksatif antrakuinon secara kronik. (Ghoshal U, 2007) Pada pemeriksaan endoskopi atau barium enema, tidak adanya haustra menunjukkan “kolon katartik” akibat penyalahgunaan preparat laksatif. Barium enema juga dapat memperlihatkan lesi obstruktif kolon, penyakit mega kolon atau mega rektum, dan pada penyakit hirschsprung akan menunjukkan segmen usus yang mengalami denervasi serta memperlihatkan gambaran yang khas dengan dilatasi segmen kolon bagian proksimal. Pada kasus-kasus seperti ini, biopsi rektum dapat dilakukan untuk menunjukkan tidak adanya neuron. b. Anuskopi/Proctoscopi Pada pemeriksaan anoskopi dapat dilakukan untuk melihat adanya fisura ani, tukak, hemoroid, dan keganasan lokal anorektal. (Ghoshal U, 2007) PENATALAKSANAAN: Pengobatan utama adalah pemberian diet tinggi serat. Hindari pemakaian iritan atau perangsang peristaltik. Penggunaan obat-obat ini dalam jangka panjang pernah dapat menimbulkan kerusakan pada plexus mientericus, yang akan mengganggu gerakan usus. Prinsip penatalaksanaan gangguan konstipasi adalah: 1. Penyelusuran etiologi dari konstipasi. 2. Memberikan pengertian kepada pasien gangguan konstipasi agar dapat

melakukan

defekasi secara alami. 3. Menghentikan kebiasaan pemakaian obat-obatan laksatif. Penatalaksanaan konstipasi untuk tiap penderita tidak selalu sama, dan harus dicari penyebabnya. Memberi penjelasan kepada penderita, agar melakukan defekasi yang rutin dan

10 pada waktu-waktu yang tertentu. Perhatian terhadap pengobatan lebih ditujukan pada evakuasi dari tinja, dibanding meningkatkan gerakan usus. Konsultasi dengan departemen bedah dilakukan bila ada kecurigaan obstruksi intestinal atau volvulus. Penanganan konstipasi harus disesuaikan menurut keadaan masing-masing pasien dengan memperhitungkan lama dan intensitas konstipasi, faktor-faktor yang berkontribusi, usia pasien dan harapan pasien, antara lain: 1. Terapi Non-Farmakologis a. Diet Asupan makanan yang mengandung serat, baik yang mudah larut maupun yang sulit larut, seperti buah-buahan, sayuran dapat membantu keluhan pasien penderita konstipasi. Makanan berserat yang mudah larut dalam air akan membentuk bahan seperti gel dalam usus. Sebaliknya makanan berserat yang tidak larut dalam air akan melewati usus tanpa mengalami perubahan. Bahan serat yang berbentuk besar dan lunak ini akan mencegah adanya konsistensi feses yang keras dan kering yang sulit melintasi usus. Konsumsi serat bermanfaat karena serat memiliki kandunga selulosa yang sulit dicerna, sebab didalam badan kita tidak mempunyai enzim selulosa sehingga serat dapat memperlancar defekasi. Menurut “American Dietetic Association”, konsumsi serat per hari sebainya 20 – 35 gram. Terapi awal dilakukan dengan peningkatan asupan serat makanan. Penderita gangguan konstipasi menunjukkan respon yang baik dengan peningkatan asupan serat makanan. Suplementasi serat dapat meningkatkan berat tinja serta frekuensi defekasi dan menurunkan waktu transit gastrointestinal. Bagi pasien yang dicurigai memiliki gangguan konstipasi karena obstruktif, seperti penyakit megakolon atau megarektum, suplementasi serat bukan terapi yang tepat. (Lindberg, G et al, 2010) b. Meningkatkan Asupan Cairan dan Olah Raga Meningkatkan asupan cairan dapat meningkatkan volum cairan dalam usus sehingga membantu pergerakan usus. Penderita gangguan konstipasi dianjurkan untuk minum cukup air setiap harinya, sekitar 8 gelas perhari. Kurangnya olah raga dapat menimbulkan gangguan konstipasi, tanpa diketahui penyebabnya. Pada pasien tirah baring yang memiliki aktifitas fisik yang kurang sering terjadi gangguan konstipasi.

11 2. Terapi Farmakologis Walaupun terapi utama pada penderita konstipasi adalah meningkatkan konsumsi serat, penggunaan obat-obatan merupakan terapi lini berikutnya. Pemberian obat-obatan dapat dikerjakan untuk membantu melakukan evakuasi tinja. Namun perlu diperhatikan untuk menghindari pemakaian iritan atau perangsang perisltatik. Pemakaian obat-obat ini dalam jangka panjang pernah dilaporkan dapat menimbulkan kerusakan pada “myenteric plexus”, yang selanjutnya justru akan mengganggu gerakan usus. Penggunakan obat-obatan pencahar (laksatif) dapat membantu untuk menghilangkan konstipasi. Ada jenis obat aman digunakan dalam jangka waktu lama, ada pula jenis obat lainnya yang hanya boleh digunakan sesekali. Beberapa obat digunakan untuk mencegah konstipasi, obat lainnya digunakan untuk mengobati konstipasi. Jenis-jenis penggolongan obat-obat tersebut, antara lain: 1. Bulk-forming Agents Bulk-forming agents (derivat plantain, isphagula, celandrin, gandum, psilium, kalsium polikarbofil dan metilselulosa) bisa menambahkan serat pada tinja. Penambahan serat ini akan merangsang kontraksi alami usus dan tinja yang berserat lebih lunak dan lebih mudah dikeluarkan. Bulking agents bekerja perlahan dan merupakan obat yang paling aman untuk merangsang buang air besar yang teratur. Pada mulanya diberikan dalam jumlah kecil. Dosisnya ditingkatkan secara bertahap, sampai dicapai keteraturan dalam buang air besar. Orang yang menggunakan bahan-bahan ini harus disertai konsumsi cairan minimal 250 cc. Obat jenis ini perlu dihindari pada pasien yang mengalami gangguan konstipasi karena masalah obstruksi pada usus dan digunakan secara hati-hati pada penderita hipertensi yang membatasi masuknya konsumsi natrium. Efek samping yang paling umum dari pengobatan jenis ini adalah perut terasa kembung. 2. Pelunak Tinja Obat-obatan pelunak tinja, seperti dokusat dan poloxalkol akan meningkatkan jumlah air yang dapat diserap oleh tinja. Bahan ini adalah sejenis detergen yang menurunkan tegangan permukaan dari tinja, sehingga memungkinkan air menembus tinja dengan mudah dan menjadikannya lebih lunak. Jenis obat ini juga bekerja untuk mencampur bahan-bahan mengandung air dan lemak pada feses. Mekanisme tersebut membantu melunakkan tinja

12 sehingga lebih mudah dikeluarkan dari tubuh. Efek samping dari jenis obat ini adalah kurangnya kemampuan untuk mengontrol keluarnya tinja bahkan terjadinya diare. 3. Bahan-bahan Osmotik Bahan-bahan laksatif dengan cara kerja proses osmotik mendorong sejumlah besar air ke dalam usus besar, sehingga tinja menjadi lunak dan mudah dilepaskan. Cairan yang berlebihan juga meregangkan dinding usus besar dan merangsang kontraksi. Pencahar ini mengandung garam-garam (fosfat, sulfat dan magnesium) atau gula (laktulosa dan sorbitol). Beberapa bahan osmotik mengandung natrium, menyebabkan retensi cairan pada penderita penyakit ginjal atau gagal jantung, terutama jika diberikan dalam jumlah besar. Bahan osmotik yang mengandung magnesium dan fosfat sebagian diserap ke dalam aliran darah dan berbahaya untuk penderita gagal ginjal. Pencahar ini pada umumnya bekerja secara cepat mulai 30 menit hingga 3 jam setelah pemberiannya dan lebih baik digunakan sebagai pengobatan daripada pencegahan. Bahan ini juga digunakan untuk mengosongkan usus sebelum pemeriksaan rontgen pada saluran pencernaan dan sebelum kolonoskopi, atau kadang digunakan untuk konstipasi akut.

4. Pencahar Perangsang. Pencahar perangsang dapat bekerja dengan merangsang fungsi motorik usus dan merangsang dinding usus besar untuk berkontraksi dan mengeluarkan isinya. Obat ini mengandung substansi yang dapat mengiritasi seperti senna, kaskara, fenolftalein, bisakodil atau minyak kastor. Obat dengan jenis oral bekerja setelah 6-12 jam dan menghasilkan tinja setengah padat, tapi sering menyebabkan kram perut yang parah. Dalam bentuk supositoria (obat yang dimasukkan melalui lubang dubur), akan bekerja setelah 15-60 menit. Penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan kerusakan pada usus besar, juga seseorang bisa menjadi tergantung pada obat ini sehingga usus menjadi malas berkontraksi (Lazy Bowel Syndromes). Jenis obatobatan pencahar perangsang ini sering digunakan untuk mengosongkan usus besar sebelum

13 proses diagnostik dan untuk mencegah atau mengobati konstipasi yang disebabkan karena obat yang memperlambat kontraksi usus besar ,misalnya narkotik dan kondisi konstipasi akut. (Ford C, 2010) 3. Tindakan Pembedahan Tindakan pembedahan dilakukan pada pasien yang telah dievaluasi dengan pengujian fisiologis dan terbukti memiliki manfaat sembelit transit kolon yang lambat dari operasi. Sebuah kolektomi subtotal dengan ileorectostomy adalah prosedur pilihan untuk pasien dengan konstipasi transit lambat. Komplikasi setelah operasi mungkin termasuk obstruksi usus kecil, sembelit berulang atau persisten, diare, dan inkontinensia. Bedah umumnya tidak dianjurkan untuk sembelit disebabkan oleh anorectal dysfunction. Hubungan antara rectocele dan sembelit tidak sepenuhnya jelas. Koreksi bedah dicadangkan untuk pasien dengan rectocele besar yang mengubah fungsi usus. (Ghoshal U, 2007) Prognosis dan Komplikasi Sebagian besar penderita konstipasi, menunjukkan respon yang baik dengan pemberian obat. Pada penderita yang harus tirah baring lama, konstipasi akan menjadi masalah. Konstipasi pada umumnya memiliki komplikasi berupa trombosis hemoroid akut, selain itu juga dapat meyebabkan fissura ani, dan ulserasi soliter pada rektum. (Lindberg, G et al, 2010)

KESIMPULAN

Konstipasi bukanlah suatu penyakit, melainkan suatu keluhan yang muncul akibat dari kelainan fungsi kolon dan anorektal. Konstipasi dpat diartikan sebagai buang air besar yang jarang, jumlah feses yang kurang, konsistensi feses yang keras dan kering. Penyebab konstipasi sendiri dapat digolongkan menjadi kelainan fungsional, keadaan yang nyeri sat defekasi, obstruksi mekanis, penurunan motilitas dan sensasi, kelainan tinja, konstipasi primer dan konstipasi sekunder. Diagnosis konstipasi ditegakkan dari klinis, yaitu meliputi tanda dan gejala, termasuk ada atau tidak adanya keluhan defekasi sulit dan nyeri, perasaan kurang puas setelah defekasi,

14 defekasi hanya 3 kali atau kurang dalam seminggu, perut kembung, dan riwayat mengejan. Selain itu perlu ditanyakan riwayat tirah baring, paskaoperasi, dan onset dari konstipasi itu sendiri. Pemeriksaan fisik dengan palpasi maupun colok dubur dapat membantu menegakkan diagnosis, demikian pula pemeriksaan penunjang, seperti pemeriksaan laboratorium, radiologi, rektosigmoidoskopi, dan anuskopi. Pengobatan terutama ditujukan pada mengurangi gejala-gejala konstipasi, dimulai dengan perubahan pola hidup, aktifitas fisik, dan perubahan pola makan dan asupan makanan hingga penggunaan

obat-obatan

farmakologi

untuk

menanggulangi

konstipasi.

DAFTAR PUSTAKA Andrews CN, Storr M. 2011. The Pathophysiology of Chronic Constipation. Journal of Gastroenterology; 25 (Suppl B):16B-21B Ford AC, Suares NC. 2010. Effect of Laxatives and Pharmacological Therapies in Chronic Idiopathic

Constipation:

Systemic

Review

and

Meta-analysis.

Journal

of

Neurogastroenterology 60: 209-218. Ghoshal UC. 2007. Review of Pathogenesis and Management of Constipation. Journal of Tropical Gastroenterology vol.28 : 91-95.

15 Leung L, Kotecha J. 2011. Clinical Review on Cronic Constipation: An Evidence-Based Review vol.24 No.4 Lindberg G. 2010. World Gastroenterology Organisation. Constipation. Available at: www.worldgastroenterology.org McCrea GL, Miakowski C, et al. 2008. Pathophysiologi of Constipation in the Older Adult. World Journal of Gastroenterol vol.15: 16-23 Rao SC, Go JT. 2010. Update on The Management of Constipation in the Elderly: New Treatment Options. Journal of Clinical Intervention in Aging vol. 5: 163-171

Related Documents

Referat Konstipasi
January 2021 0
Kasus Konstipasi
January 2021 1
Woc Konstipasi
February 2021 0
Makalah Konstipasi
January 2021 2
Renpra Konstipasi Sdki
February 2021 0
Modul 4 Konstipasi
January 2021 1

More Documents from "Virni Aprielia"

Referat Konstipasi
January 2021 0